MENDENGAR ucapan puterinya, wajah kakek gendut itu berubah merah. Takut merupakan pantangan baginya dan dikatakan takut merupakan penghinaan yang paling besar. Maka, mendengar ucapan Akim, mukanya merah dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa dia sedang mengerahkan tenaga sinkang-nya, siap untuk bertempur. Kemudian, sesudah mengeluarkan pekik seperti para pendekar samurai Jepang kalau berlagak, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menyerbu ke dalam pertempuran antara Bhok Cun Ki yang dikeroyok dua.
"Ouwyang Cin, bajak Jepang rendah, jangan banyak lagak di sini!" bentak Ang-bin Moko yang cepat menyambut kakek gendut itu. Pada saat itu Ouwyang Cin menyambar dengan pukulan tamparan yang amat kuat, dan Ang-bin Moko cepat mengerahkan Toat-beng-tok-ciang untuk menyambut.
"Dessss...!" Dua telapak tangan beradu dan akibatnya, tubuh Ang-bin Moko terdorong mundur sampai tujuh langkah. Ouwyang Cin sendiri terkejut karena biar pun dia lebih kuat dan tubuhnya tetap tegak, namun telapak tangannya yang tadi bertemu dengan telapak tangan Ang-bin Moko terasa panas dan gatal! Tahulah dia bahwa lawan menggunakan pukulan beracun yang sangat berbahaya sehingga telapak tangannya yang sudah kebal terhadap senjata tajam dan terhadap racun itu kini tetap saja tertembus.
Sesudah mengerahkan sinkang untuk menahan pengaruh hawa beracun yang menyusup pada telapak tangan kanannya itu, Tung-hai-liong Ouwyang Cin mencabut pedangnya dan tampak sinar yang menyilaukan mata. Pedang Jit-ong-kiam (Raja Matahari) telah tercabut dan pedang ini memang mengkilat dengan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi Ang-bin Moko juga telah memegang golok gergajinya, maka tanpa banyak cakap lagi kedua orang datuk ini sudah saling terjang dengan ganasnya.
Karena kini Ang-bin Moko sudah mendapat lawan tangguh, maka Bhok Cun Ki terbebas dari pengeroyokan sehingga pertandingan antara dia melawan Pek-bin Moli berjalan seru dan seimbang. Sabuk ular di tangan Pek-bin Moli menyambar-nyambar, akan tetapi dapat diimbangi oleh gulungan sinar pedang di tangan Bhok Cun Ki. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang, maka keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga serta menguras semua kepandaian untuk dapat mengalahkan lawan.
Yang paling hebat adalah perkelahian antara Tung-hai-liong Ouwyang Cin melawan Ang-bin Moko. Kedua datuk ini mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh, dan keduanya sangat bernafsu untuk saling membunuh. Karena maklum bahwa lawan sangat berbahaya, maka keduanya ingin saling mendahului.
Berkali-kali Jit-kong-kiam beradu dengan golok gergaji. Begitu kerasnya pertemuan kedua senjata ini sehingga nampak bunga api berpijar dan berhamburan, disertai suara nyaring yang menusuk telinga. Akan tetapi kedua senjata itu tidak menjadi rusak. Agaknya kedua senjata itu memang merupakan senjata ampuh yang amat kuat dan keras sekali.
"Singgg...!" Kembali dua senjata itu menyambar dengan gerakan amat kuat, didorong tenaga sinkang yang memenuhi kedua tangan yang memegangnya. Untuk ke sekian puluh kalinya kedua senjata itu bertemu lagi di udara.
"Trakkkk!" Sekali ini pertemuan kedua senjata itu demikian kuatnya sehingga seolah terjadi ledakan kilat. Keduanya terkejut sekali ketika melihat betapa senjata andalan masing-masing telah patah-patah! Dua buah senjata itu akhirnya tidak kuat menahan hantaman yang dilandasi tenaga sinkang sehingga keduanya patah berbareng. Keduanya terkejut dan marah bukan main.
"Keparat!" bentak Tung-hai Liong Ouwyang Cin.
"Jahanam!" Ang-bin Moko juga membentak kemudian keduanya menggerakkan kaki maju dan saling terjang dengan nekat.
"Plakkk...!" Kedua telapak tangan mereka saling bertemu dengan kuatnya dan seperti melekat! Kini mereka, dua orang datuk itu, mengadu tenaga dengan nekat, cara bertanding yang hanya dapat diakhiri dengan salah seorang di antara mereka putus nyawa!
Mereka saling serang melalui penyaluran tenaga lewat tangan mereka, saling mendorong. Keduanya saling tatap dengan mata melotot, seluruh tenaga dari pusar mendorong lawan melalui kedua telapak tangan. Demikian hebat mereka mengerahkan tenaga sampai uap perlahan-lahan mengepul keluar dari kepala mereka!
Setelah kini mengadu sinkang, Ouwyang Cin kembali merasa betapa hawa beracun yang amat kuat menyerangnya melalui telapak tangan. Dia tahu akan bahayanya hal ini, namun kini dia tidak dapat mundur lagi. Siapa mundur tentu akan binasa!
Dalam keadaan seperti itu tidak ada seorang pun yang akan mampu memisahkan mereka tanpa menghadapi bahaya maut bagi dirinya sendiri. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan lagi seluruh tenaganya untuk merobohkan lawan sebelum hawa beracun itu menyusup semakin dalam ke tubuhnya.
Dia melihat betapa kedua tangannya mulai berubah menghitam sampai ke pergelangan. Itu tandanya bahwa dia telah keracunan secara hebat! Hawa beracun yang menimbulkan panas serta gatal itu dengan kuatnya hendak menyusup terus ke dalam. Hanya dengan sinkang-nya yang kuat saja maka hawa beracun itu dapat tertahan.
Sementara itu Ang-bin Moko juga terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya ada orang di dunia ini yang sanggup menerima Toat-beng-tok-ciang, ilmunya yang mengandung racun mematikan itu. Malah kini dia mulai terdorong dan ketika dia mempertahankan, perlahan-lahan, senti demi senti, kedua kakinya amblas ke dalam tanah yang diinjaknya. Demikian kuat tenaga lawan mendorongnya! Dia mencoba untuk mempertahankan, tetapi dia kalah kuat.
Uap putih semakin tebal mengepul di atas kepalanya, napasnya juga mulai memburu dan matanya mendelik, mukanya yang biasanya berwarna merah itu sekarang telah berkurang merahnya, berubah pucat. Dia berusaha mengerahkan lagi tenaganya, akan tetapi seperti bendungan pecah, dia memuntahkan darah segar dan kedua kakinya kini amblas sampai sebatas lututnya.
Akhirnya dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya seperti terjengkang, roboh telentang di atas tanah dengan dua kaki terjepit tanah sampai di lutut. Akan tetapi, ketika dua pasang telapak tangan itu terlepas, tubuh Ouwyang Cin juga terhuyung ke belakang dan hampir saja dia roboh.
Datuk timur masih mampu bertahan dan memandang kepada kedua lengannya yang telah menghitam sampai ke atas siku! Sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, maklumlah Ouwyang Cin bahwa maut sudah berada di ambang pintu. Maka dia pun menguatkan diri, lalu memandang ke arah puterinya yang bersama seorang pemuda yang gagah dikeroyok oleh Maniyoko dan lima orang lain.
Gerakan pedang pemuda yang saling melindungi dengan puterinya itu cukup indah, ilmu pedang Butong-pai, akan tetapi masih kalah jauh kalau dibandingkan Maniyoko sehingga keadaan puterinya terancam.
"Maniyoko, keparat engkau!" Ouwyang Cin melompat kemudian sekali menggerakkan dua tangannya yang menghitam itu, Maniyoko langsung terhuyung dan dua orang pengeroyok roboh dalam keadaan tewas!
"Suhu, aku hanya melanjutkan cita-cita suhu! Kelak aku ingin menjadi raja muda!" bantah Maniyoko saat melihat suhu-nya melangkah menghampirinya, sedangkan tiga orang sisa pembantunya masih mengeroyok Akim dan Ci Han.
"Setan kau! Mengapa engkau mengeroyok Akim?"
"Bukankah suhu sudah memberikan dia untukku? Bukankah suhu sudah setuju kalau dia menjadi jodohku?" kembali Maniyoko membantah.
"Setuju berjodoh denganmu bukan berarti setuju engkau mempermainkan dia! Lagi pula engkau sudah bersekongkol dengan sepasang iblis itu untuk mencelakainya. Engkau tidak berhak hidup lagi!" Sesudah berkata demikian, Ouwyang Cin yang sudah mulai lemah itu bergerak menyerang muridnya sendiri.
"Suhu! Suhu ingin membunuh murid sendiri, bangsa sendiri? Suhu tidak melihat senjata pusaka bangsa kita ini?" Maniyoko memperlihatkan pedang samurai di tangannya.
Sejenak Ouwyang Cin tertegun. Dia memandang kepada senjata yang merupakan senjata mustika yang dihormati dan dikeramatkan bangsa Jepang itu. Pada saat dia tertegun dan terpukau di depan muridnya memandang pedang samurai itu, tiba-tiba saja dengan kedua tangannya Maniyoko menyerang dengan menusukkan pedang samurai itu sekuat tenaga ke perut gurunya.
Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah amat lemah oleh hawa beracun. Karena itu, tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin kemudian tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.
Pemuda Jepang itu terbelalak, tak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri sekali seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya, kemudian ia pun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram dua pundaknya. Guru dan murid itu tewas pada waktu yang bersamaan.
Melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko, Akim menjadi khawatir sekali. Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, ia pun mengamuk bersama Ci Han dan dalam waktu singkat saja dia merobohkan dua orang pengeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.
Pada waktu itu perkelahian antara Bhok Cun Ki melawan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena tingkat kedua orang ini memang seimbang. Akan tetapi mendadak terdengar bentakan nyaring,
"Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"
Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya, namun berpencar dari suaminya. Karena dia mencari ke jurusan lain, maka sampai semalam itu dia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.
Menjelang pagi akhirnya ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya, dan pada pagi hari itu dia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat bagaikan mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja dia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka dia pun membentak dan segera terjun membantu suaminya.
Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli kaget bukan main. Dia pun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedangnya yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat kini menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sulit mencapai kemenangan, kini muncul pula tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini.
Dia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, maka dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya telah putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In. Apa lagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Dia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng Tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci.
Akan tetapi kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat kemudian membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.
Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suheng-nya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Sepasang tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundaknya masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.
Melihat wajah Tung-hai-liong Ouwyang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In. Dia segera mengenal datuk itu. "Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"
Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas. Peristiwa yang baru terjadi terlampau hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.
"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.
Kini Ci Han yang menjawab. "Dia muridnya sendiri yang bernama Maniyoko, ibu."
"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.
Akim yang masih bercucuran air mata itu mendadak bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka pada pundak kirinya. "Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"
Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena dari lukanya memang telah banyak darah mengalir keluar dan dia pun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.
"Siapakah gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.
“Dia bernama Ouwyang Kim, puterinya Ouwyang Cin, ibu."
"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali supaya tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han sudah melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.
"Ibu, jangan...!" teriak Ci Han.
Cu Sui In kembali mengerutkan alisnya, kemudian memandang heran. Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya. "Sui In, tenang dulu, biar aku yang mengurusnya."
Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman!
"Ci Han, mengapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah dia dan suheng-nya yang menculikmu?"
"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan jika tidak ada dia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimana pun juga aku tidak membolehkan siapa pun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"
Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Dia pun masih hendak menyelami perasaan puteranya, "Kami tidak akan membunuhnya, tapi aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."
"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim. Aku yang menanggung bahwa dia tidak bersalah..."
Tiba tiba terdengar rintihan Akim. Ci Han cepat membalik lantas merangkul gadis itu yang terkulai sehingga tubuhnya hendak roboh.
"Nona... engkau... kenapa? Engkau... tidak apa-apakah engkau...?" tanya Ci Han sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.
"Aku... Ci Han... biarkan... biarkan mereka menghukumku ... biar aku menebus dosa ayah dan suheng...”
"Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.
"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa dia pulang dan kita rawat di rumah."
Ci Han memandang ayahnya, lalu kepada ibu tirinya. "Ayah dan ibu... tidak... tidak akan membunuh atau menawannya...? Tidak, bukan...?”
Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Cu Sui In juga tersenyum karena dia pun maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.
Pada saat itu datang beberapa orang prajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi turut pula mencari. Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka supaya mengurus semua jenazah dengan baik, bahkan memberikan peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.
Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.
Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim. Mereka mendapat kenyataan bahwa seperti yang sebelumnya mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga akibat tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga.
Di kamar itu pula mereka lalu mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan bersama ibunya. Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko, juga betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar sebagai prajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun.
Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara dan melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang sudah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.
"Sesudah tahu bahwa dia dikelabui oleh suheng-nya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko serta orang-orangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Kemudian muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya. Dia lantas bertanding melawan Ang-bin Moko yang berhasil dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan lalu tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya. Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Maka tidak sepatutnya kalau sekarang kita membikin susah Akim yang telah kehilangan ayah dan suheng-nya. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suheng-nya itu sudah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."
Semua orang mengangguk-angguk, bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.
"Tidak, kami memang bersalah... keluarga kami memang tidak benar...”
Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja mudah diketahui bahwa pemuda ini memang benar-benar jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan ini sama dengan pengakuannya kepada semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.
"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara. Beristirahatlah dahulu..." Ci Han membujuk.
Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri bisa melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu pada waktu memandang kepadanya, dapat merasakan getaran di dalam suara itu dan dia pun terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya?
"Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok... ehh, maksudku Panglima Bhok...”
"Engkau boleh menyebutku paman, Akim, bahkan aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.
"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini ayah kedatangan Bu-tek Kiam-ong, salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, sambil membawa barang-barang berharga hadiah dari yang dia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak jika berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, kemudian berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."
Dia berhenti sebentar, menghela napas panjang. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati orang tuanya!
"Akim, perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu serta suheng-mu sudah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi..." kata Ci Han.
"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, kemudian melanjutkan, "Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah bisa terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta supaya aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu mengenakan kedok hitam."
Dia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suheng-nya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa dia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu, kemudian dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suheng-nya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.
"Mulai saat itu juga ayahku sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol, bahkan menentang mereka. Biar pun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar, namun akhirnya..." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.
"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkan engkau atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur. "Mulai sekarang engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku..."
Akim terbelalak. Ia memandang pemuda itu, kemudian menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang semenjak tadi hanya turut mendengarkan saja. Dia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.
"Ci Han, apa... apa artinya ucapanmu itu...?”
Dengan jujur dan tanpa sungkan lagi, Ci Han yang telah jatuh cinta itu mengaku, "Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamu dan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminang dirimu."
"Aihhh...!” Akim benar-benar kaget dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Dia pun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguan bagi batinnya. "Bagaimana mungkin...?”
"Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut. "Kalau kalian sudah saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, kenapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."
Mendengar ini Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasanya, Cu Sui In memang lancang dan suka berterus terang, namun juga cerdik sehingga sebelum bicara dia sudah merasa yakin bahwa suaminya mau pun madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.
"Aku...? Aku kagum dan suka sekali kepada Ci Han. Akan tetapi aku merasa tidak pantas menjadi jodohnya. Bahkan aku pernah jatuh cinta kepada seseorang, tetapi dia menolak cintaku. Terus terang saja, Ci Han, aku pernah jatuh cinta kepada Sin Wan."
Semua orang mengerutkan alisnya, dan Ci Hwa yang ikut mendengarkan menjadi merah sekali mukanya. "Dan sekarang engkau masih cinta padanya?" tanya Ci Hwa karena dia ingin tahu sekali. Meski pun dia tidak ikut bertanya, namun pandang mata Ci Han kepada Akim juga menuntut penjelasan.
Akim tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Aku memang mengaku cinta padanya, akan tetapi dia juga berterus terang bahwa dia tidak dapat mencinta gadis lain kecuali sumoi-nya. Aku kemudian sadar. Cinta tak mungkin dipaksakan. Perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak. Aku bahkan kagum kepadanya Sin Wan, seorang yang setia kepada kekasihnya."
Kecuali Nyonya Bhok, keluarga itu adalah keluarga orang gagah yang sangat menghargai kejujuran. Sikap Akim yang terus terang itu mengagumkan hati mereka. Bahkan kini Ci Hwa memandang kepada Akim dengan wajah berseri-seri, lalu tiba-tiba dia pun merangkul Akim.
"Engkau hebat, enci Akim, aku suka sekali mempunyai kakak ipar sepertimu ini!"
Semua orang tersenyum, juga Ci Han tersenyum karena mereka semua tahu dengan hati lega bahwa sesudah mendengar ucapan Akim tadi, Ci Hwa menyadari perasaan hatinya yang lemah dan tidak benar. Dia mencinta Sin Wan, akan tetapi kalau Sin Wan mencinta gadis lain, perlu apa dia harus menyesali diri?
Cinta tidak dapat dipaksakan, dan perjodohan tak mungkin ditunjang cinta sepihak, seperti sebuah bangku tidak mungkin hanya berkaki sebelah. Seketika Ci Hwa menyadari bahwa perasaan masgul dan duka yang selama ini dia rasakan akibat penolakan Sin Wan adalah suatu kebodohan dan kelemahan!
"Eh, kalian tidak membenciku karena itu? Ci Han, engkau tidak marah karena aku pernah mencinta pemuda lain?"
"Kenapa marah? Kenapa menyesal, Akim? Cinta adalah perasaan hati yang amat pribadi. Jatuh cinta berarti tertarik kepada seseorang. Apa bila kita mau jujur, aku sendiri mungkin telah puluhan kali jatuh cinta, tertarik kepada seorang wanita, akan tetapi semua itu hanya menjadi rahasia hatiku sendiri. Itulah bedanya antara engkau dan aku. Kalau aku hanya merahasiakan perasaan hatiku, engkau berterus terang. Engkau jujur dan terbuka, Akim. Yang terpenting, sekarang kita saling tertarik dan saling jatuh cinta. Benarkah dugaanku bahwa engkau pun cinta padaku?"
Akim tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu, engkau setuju kalau kami mengajukan pinangan kepada ibumu?" kini Bhok-ciangkun bertanya.
"Tentu saja aku setuju, paman. Tapi sebelum itu aku harus membalaskan kematian ayah lebih dulu!" Akim mengepal tinju.
"Hemmm, pembunuh ayahmu adalah Ang-bin Moko dan suheng-mu Maniyoko. Dua orang itu sudah tewas, kenapa engkau masih ingin membalas dendam? Kepada siapa?" tanya Bhok Cun Ki.
"Tidak, paman. Yang menjadi biang keladinya adalah Si Kedok Hitam. Aku harus mencari dia dan membunuhnya!" Akim berkata gemas.
"Ah, kalau begitu engkau dapat membantu kami, Akim. Kami pun sedang berusaha keras untuk membasmi jaringan mata-mata Mongol yang dipimpin oleh Si Kedok Hitam itu. Dia amat lihai dan jaringannya amat kuat. Berbahaya sekali bila kita bekerja sendiri-sendiri..."
"Ouwyang Cin, bajak Jepang rendah, jangan banyak lagak di sini!" bentak Ang-bin Moko yang cepat menyambut kakek gendut itu. Pada saat itu Ouwyang Cin menyambar dengan pukulan tamparan yang amat kuat, dan Ang-bin Moko cepat mengerahkan Toat-beng-tok-ciang untuk menyambut.
"Dessss...!" Dua telapak tangan beradu dan akibatnya, tubuh Ang-bin Moko terdorong mundur sampai tujuh langkah. Ouwyang Cin sendiri terkejut karena biar pun dia lebih kuat dan tubuhnya tetap tegak, namun telapak tangannya yang tadi bertemu dengan telapak tangan Ang-bin Moko terasa panas dan gatal! Tahulah dia bahwa lawan menggunakan pukulan beracun yang sangat berbahaya sehingga telapak tangannya yang sudah kebal terhadap senjata tajam dan terhadap racun itu kini tetap saja tertembus.
Sesudah mengerahkan sinkang untuk menahan pengaruh hawa beracun yang menyusup pada telapak tangan kanannya itu, Tung-hai-liong Ouwyang Cin mencabut pedangnya dan tampak sinar yang menyilaukan mata. Pedang Jit-ong-kiam (Raja Matahari) telah tercabut dan pedang ini memang mengkilat dengan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi Ang-bin Moko juga telah memegang golok gergajinya, maka tanpa banyak cakap lagi kedua orang datuk ini sudah saling terjang dengan ganasnya.
Karena kini Ang-bin Moko sudah mendapat lawan tangguh, maka Bhok Cun Ki terbebas dari pengeroyokan sehingga pertandingan antara dia melawan Pek-bin Moli berjalan seru dan seimbang. Sabuk ular di tangan Pek-bin Moli menyambar-nyambar, akan tetapi dapat diimbangi oleh gulungan sinar pedang di tangan Bhok Cun Ki. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang, maka keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga serta menguras semua kepandaian untuk dapat mengalahkan lawan.
Yang paling hebat adalah perkelahian antara Tung-hai-liong Ouwyang Cin melawan Ang-bin Moko. Kedua datuk ini mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh, dan keduanya sangat bernafsu untuk saling membunuh. Karena maklum bahwa lawan sangat berbahaya, maka keduanya ingin saling mendahului.
Berkali-kali Jit-kong-kiam beradu dengan golok gergaji. Begitu kerasnya pertemuan kedua senjata ini sehingga nampak bunga api berpijar dan berhamburan, disertai suara nyaring yang menusuk telinga. Akan tetapi kedua senjata itu tidak menjadi rusak. Agaknya kedua senjata itu memang merupakan senjata ampuh yang amat kuat dan keras sekali.
"Singgg...!" Kembali dua senjata itu menyambar dengan gerakan amat kuat, didorong tenaga sinkang yang memenuhi kedua tangan yang memegangnya. Untuk ke sekian puluh kalinya kedua senjata itu bertemu lagi di udara.
"Trakkkk!" Sekali ini pertemuan kedua senjata itu demikian kuatnya sehingga seolah terjadi ledakan kilat. Keduanya terkejut sekali ketika melihat betapa senjata andalan masing-masing telah patah-patah! Dua buah senjata itu akhirnya tidak kuat menahan hantaman yang dilandasi tenaga sinkang sehingga keduanya patah berbareng. Keduanya terkejut dan marah bukan main.
"Keparat!" bentak Tung-hai Liong Ouwyang Cin.
"Jahanam!" Ang-bin Moko juga membentak kemudian keduanya menggerakkan kaki maju dan saling terjang dengan nekat.
"Plakkk...!" Kedua telapak tangan mereka saling bertemu dengan kuatnya dan seperti melekat! Kini mereka, dua orang datuk itu, mengadu tenaga dengan nekat, cara bertanding yang hanya dapat diakhiri dengan salah seorang di antara mereka putus nyawa!
Mereka saling serang melalui penyaluran tenaga lewat tangan mereka, saling mendorong. Keduanya saling tatap dengan mata melotot, seluruh tenaga dari pusar mendorong lawan melalui kedua telapak tangan. Demikian hebat mereka mengerahkan tenaga sampai uap perlahan-lahan mengepul keluar dari kepala mereka!
Setelah kini mengadu sinkang, Ouwyang Cin kembali merasa betapa hawa beracun yang amat kuat menyerangnya melalui telapak tangan. Dia tahu akan bahayanya hal ini, namun kini dia tidak dapat mundur lagi. Siapa mundur tentu akan binasa!
Dalam keadaan seperti itu tidak ada seorang pun yang akan mampu memisahkan mereka tanpa menghadapi bahaya maut bagi dirinya sendiri. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan lagi seluruh tenaganya untuk merobohkan lawan sebelum hawa beracun itu menyusup semakin dalam ke tubuhnya.
Dia melihat betapa kedua tangannya mulai berubah menghitam sampai ke pergelangan. Itu tandanya bahwa dia telah keracunan secara hebat! Hawa beracun yang menimbulkan panas serta gatal itu dengan kuatnya hendak menyusup terus ke dalam. Hanya dengan sinkang-nya yang kuat saja maka hawa beracun itu dapat tertahan.
********************
Sementara itu Ang-bin Moko juga terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya ada orang di dunia ini yang sanggup menerima Toat-beng-tok-ciang, ilmunya yang mengandung racun mematikan itu. Malah kini dia mulai terdorong dan ketika dia mempertahankan, perlahan-lahan, senti demi senti, kedua kakinya amblas ke dalam tanah yang diinjaknya. Demikian kuat tenaga lawan mendorongnya! Dia mencoba untuk mempertahankan, tetapi dia kalah kuat.
Uap putih semakin tebal mengepul di atas kepalanya, napasnya juga mulai memburu dan matanya mendelik, mukanya yang biasanya berwarna merah itu sekarang telah berkurang merahnya, berubah pucat. Dia berusaha mengerahkan lagi tenaganya, akan tetapi seperti bendungan pecah, dia memuntahkan darah segar dan kedua kakinya kini amblas sampai sebatas lututnya.
Akhirnya dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya seperti terjengkang, roboh telentang di atas tanah dengan dua kaki terjepit tanah sampai di lutut. Akan tetapi, ketika dua pasang telapak tangan itu terlepas, tubuh Ouwyang Cin juga terhuyung ke belakang dan hampir saja dia roboh.
Datuk timur masih mampu bertahan dan memandang kepada kedua lengannya yang telah menghitam sampai ke atas siku! Sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, maklumlah Ouwyang Cin bahwa maut sudah berada di ambang pintu. Maka dia pun menguatkan diri, lalu memandang ke arah puterinya yang bersama seorang pemuda yang gagah dikeroyok oleh Maniyoko dan lima orang lain.
Gerakan pedang pemuda yang saling melindungi dengan puterinya itu cukup indah, ilmu pedang Butong-pai, akan tetapi masih kalah jauh kalau dibandingkan Maniyoko sehingga keadaan puterinya terancam.
"Maniyoko, keparat engkau!" Ouwyang Cin melompat kemudian sekali menggerakkan dua tangannya yang menghitam itu, Maniyoko langsung terhuyung dan dua orang pengeroyok roboh dalam keadaan tewas!
"Suhu, aku hanya melanjutkan cita-cita suhu! Kelak aku ingin menjadi raja muda!" bantah Maniyoko saat melihat suhu-nya melangkah menghampirinya, sedangkan tiga orang sisa pembantunya masih mengeroyok Akim dan Ci Han.
"Setan kau! Mengapa engkau mengeroyok Akim?"
"Bukankah suhu sudah memberikan dia untukku? Bukankah suhu sudah setuju kalau dia menjadi jodohku?" kembali Maniyoko membantah.
"Setuju berjodoh denganmu bukan berarti setuju engkau mempermainkan dia! Lagi pula engkau sudah bersekongkol dengan sepasang iblis itu untuk mencelakainya. Engkau tidak berhak hidup lagi!" Sesudah berkata demikian, Ouwyang Cin yang sudah mulai lemah itu bergerak menyerang muridnya sendiri.
"Suhu! Suhu ingin membunuh murid sendiri, bangsa sendiri? Suhu tidak melihat senjata pusaka bangsa kita ini?" Maniyoko memperlihatkan pedang samurai di tangannya.
Sejenak Ouwyang Cin tertegun. Dia memandang kepada senjata yang merupakan senjata mustika yang dihormati dan dikeramatkan bangsa Jepang itu. Pada saat dia tertegun dan terpukau di depan muridnya memandang pedang samurai itu, tiba-tiba saja dengan kedua tangannya Maniyoko menyerang dengan menusukkan pedang samurai itu sekuat tenaga ke perut gurunya.
Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah amat lemah oleh hawa beracun. Karena itu, tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin kemudian tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.
Pemuda Jepang itu terbelalak, tak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri sekali seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya, kemudian ia pun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram dua pundaknya. Guru dan murid itu tewas pada waktu yang bersamaan.
Melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko, Akim menjadi khawatir sekali. Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, ia pun mengamuk bersama Ci Han dan dalam waktu singkat saja dia merobohkan dua orang pengeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.
Pada waktu itu perkelahian antara Bhok Cun Ki melawan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena tingkat kedua orang ini memang seimbang. Akan tetapi mendadak terdengar bentakan nyaring,
"Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"
Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya, namun berpencar dari suaminya. Karena dia mencari ke jurusan lain, maka sampai semalam itu dia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.
Menjelang pagi akhirnya ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya, dan pada pagi hari itu dia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat bagaikan mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja dia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka dia pun membentak dan segera terjun membantu suaminya.
Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli kaget bukan main. Dia pun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedangnya yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat kini menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sulit mencapai kemenangan, kini muncul pula tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini.
Dia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, maka dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya telah putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In. Apa lagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Dia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng Tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci.
Akan tetapi kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat kemudian membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.
Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suheng-nya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Sepasang tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundaknya masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.
Melihat wajah Tung-hai-liong Ouwyang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In. Dia segera mengenal datuk itu. "Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"
Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas. Peristiwa yang baru terjadi terlampau hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.
"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.
Kini Ci Han yang menjawab. "Dia muridnya sendiri yang bernama Maniyoko, ibu."
"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.
Akim yang masih bercucuran air mata itu mendadak bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka pada pundak kirinya. "Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"
Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena dari lukanya memang telah banyak darah mengalir keluar dan dia pun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.
"Siapakah gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.
“Dia bernama Ouwyang Kim, puterinya Ouwyang Cin, ibu."
"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali supaya tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han sudah melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.
"Ibu, jangan...!" teriak Ci Han.
Cu Sui In kembali mengerutkan alisnya, kemudian memandang heran. Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya. "Sui In, tenang dulu, biar aku yang mengurusnya."
Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman!
"Ci Han, mengapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah dia dan suheng-nya yang menculikmu?"
"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan jika tidak ada dia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimana pun juga aku tidak membolehkan siapa pun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"
Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Dia pun masih hendak menyelami perasaan puteranya, "Kami tidak akan membunuhnya, tapi aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."
"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim. Aku yang menanggung bahwa dia tidak bersalah..."
Tiba tiba terdengar rintihan Akim. Ci Han cepat membalik lantas merangkul gadis itu yang terkulai sehingga tubuhnya hendak roboh.
"Nona... engkau... kenapa? Engkau... tidak apa-apakah engkau...?" tanya Ci Han sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.
"Aku... Ci Han... biarkan... biarkan mereka menghukumku ... biar aku menebus dosa ayah dan suheng...”
"Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.
"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa dia pulang dan kita rawat di rumah."
Ci Han memandang ayahnya, lalu kepada ibu tirinya. "Ayah dan ibu... tidak... tidak akan membunuh atau menawannya...? Tidak, bukan...?”
Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Cu Sui In juga tersenyum karena dia pun maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.
Pada saat itu datang beberapa orang prajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi turut pula mencari. Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka supaya mengurus semua jenazah dengan baik, bahkan memberikan peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.
Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.
Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim. Mereka mendapat kenyataan bahwa seperti yang sebelumnya mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga akibat tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga.
Di kamar itu pula mereka lalu mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan bersama ibunya. Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko, juga betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar sebagai prajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun.
Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara dan melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang sudah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.
"Sesudah tahu bahwa dia dikelabui oleh suheng-nya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko serta orang-orangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Kemudian muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya. Dia lantas bertanding melawan Ang-bin Moko yang berhasil dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan lalu tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya. Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Maka tidak sepatutnya kalau sekarang kita membikin susah Akim yang telah kehilangan ayah dan suheng-nya. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suheng-nya itu sudah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."
Semua orang mengangguk-angguk, bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.
"Tidak, kami memang bersalah... keluarga kami memang tidak benar...”
Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja mudah diketahui bahwa pemuda ini memang benar-benar jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan ini sama dengan pengakuannya kepada semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.
"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara. Beristirahatlah dahulu..." Ci Han membujuk.
Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri bisa melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu pada waktu memandang kepadanya, dapat merasakan getaran di dalam suara itu dan dia pun terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya?
"Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok... ehh, maksudku Panglima Bhok...”
"Engkau boleh menyebutku paman, Akim, bahkan aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.
"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini ayah kedatangan Bu-tek Kiam-ong, salah seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi, sambil membawa barang-barang berharga hadiah dari yang dia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak jika berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, kemudian berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."
Dia berhenti sebentar, menghela napas panjang. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati orang tuanya!
"Akim, perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu serta suheng-mu sudah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi..." kata Ci Han.
"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, kemudian melanjutkan, "Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah bisa terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta supaya aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu mengenakan kedok hitam."
Dia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suheng-nya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa dia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu, kemudian dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suheng-nya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.
"Mulai saat itu juga ayahku sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol, bahkan menentang mereka. Biar pun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar, namun akhirnya..." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.
"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkan engkau atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur. "Mulai sekarang engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku..."
Akim terbelalak. Ia memandang pemuda itu, kemudian menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang semenjak tadi hanya turut mendengarkan saja. Dia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.
"Ci Han, apa... apa artinya ucapanmu itu...?”
Dengan jujur dan tanpa sungkan lagi, Ci Han yang telah jatuh cinta itu mengaku, "Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamu dan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminang dirimu."
"Aihhh...!” Akim benar-benar kaget dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Dia pun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguan bagi batinnya. "Bagaimana mungkin...?”
"Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut. "Kalau kalian sudah saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, kenapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."
Mendengar ini Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasanya, Cu Sui In memang lancang dan suka berterus terang, namun juga cerdik sehingga sebelum bicara dia sudah merasa yakin bahwa suaminya mau pun madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.
"Aku...? Aku kagum dan suka sekali kepada Ci Han. Akan tetapi aku merasa tidak pantas menjadi jodohnya. Bahkan aku pernah jatuh cinta kepada seseorang, tetapi dia menolak cintaku. Terus terang saja, Ci Han, aku pernah jatuh cinta kepada Sin Wan."
Semua orang mengerutkan alisnya, dan Ci Hwa yang ikut mendengarkan menjadi merah sekali mukanya. "Dan sekarang engkau masih cinta padanya?" tanya Ci Hwa karena dia ingin tahu sekali. Meski pun dia tidak ikut bertanya, namun pandang mata Ci Han kepada Akim juga menuntut penjelasan.
Akim tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Aku memang mengaku cinta padanya, akan tetapi dia juga berterus terang bahwa dia tidak dapat mencinta gadis lain kecuali sumoi-nya. Aku kemudian sadar. Cinta tak mungkin dipaksakan. Perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak. Aku bahkan kagum kepadanya Sin Wan, seorang yang setia kepada kekasihnya."
Kecuali Nyonya Bhok, keluarga itu adalah keluarga orang gagah yang sangat menghargai kejujuran. Sikap Akim yang terus terang itu mengagumkan hati mereka. Bahkan kini Ci Hwa memandang kepada Akim dengan wajah berseri-seri, lalu tiba-tiba dia pun merangkul Akim.
"Engkau hebat, enci Akim, aku suka sekali mempunyai kakak ipar sepertimu ini!"
Semua orang tersenyum, juga Ci Han tersenyum karena mereka semua tahu dengan hati lega bahwa sesudah mendengar ucapan Akim tadi, Ci Hwa menyadari perasaan hatinya yang lemah dan tidak benar. Dia mencinta Sin Wan, akan tetapi kalau Sin Wan mencinta gadis lain, perlu apa dia harus menyesali diri?
Cinta tidak dapat dipaksakan, dan perjodohan tak mungkin ditunjang cinta sepihak, seperti sebuah bangku tidak mungkin hanya berkaki sebelah. Seketika Ci Hwa menyadari bahwa perasaan masgul dan duka yang selama ini dia rasakan akibat penolakan Sin Wan adalah suatu kebodohan dan kelemahan!
"Eh, kalian tidak membenciku karena itu? Ci Han, engkau tidak marah karena aku pernah mencinta pemuda lain?"
"Kenapa marah? Kenapa menyesal, Akim? Cinta adalah perasaan hati yang amat pribadi. Jatuh cinta berarti tertarik kepada seseorang. Apa bila kita mau jujur, aku sendiri mungkin telah puluhan kali jatuh cinta, tertarik kepada seorang wanita, akan tetapi semua itu hanya menjadi rahasia hatiku sendiri. Itulah bedanya antara engkau dan aku. Kalau aku hanya merahasiakan perasaan hatiku, engkau berterus terang. Engkau jujur dan terbuka, Akim. Yang terpenting, sekarang kita saling tertarik dan saling jatuh cinta. Benarkah dugaanku bahwa engkau pun cinta padaku?"
Akim tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu, engkau setuju kalau kami mengajukan pinangan kepada ibumu?" kini Bhok-ciangkun bertanya.
"Tentu saja aku setuju, paman. Tapi sebelum itu aku harus membalaskan kematian ayah lebih dulu!" Akim mengepal tinju.
"Hemmm, pembunuh ayahmu adalah Ang-bin Moko dan suheng-mu Maniyoko. Dua orang itu sudah tewas, kenapa engkau masih ingin membalas dendam? Kepada siapa?" tanya Bhok Cun Ki.
"Tidak, paman. Yang menjadi biang keladinya adalah Si Kedok Hitam. Aku harus mencari dia dan membunuhnya!" Akim berkata gemas.
"Ah, kalau begitu engkau dapat membantu kami, Akim. Kami pun sedang berusaha keras untuk membasmi jaringan mata-mata Mongol yang dipimpin oleh Si Kedok Hitam itu. Dia amat lihai dan jaringannya amat kuat. Berbahaya sekali bila kita bekerja sendiri-sendiri..."