SIN WAN yang menyadari kesalahannya segera mengelak, lantas dari samping Kui Siang sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar dengan totokan dan si kedok abu-abu itu pun terkulai lemas. Sin Wan merampas pedangnya dan menyambut tubuh itu supaya tidak menimbulkan suara gaduh.
"Inilah bukti yang paling baik," bisiknya kepada Kui Siang.
Tak lama kemudian Sin Wan dan Kui Siang keluar dari kamar kerja Jenderal Yauw Ti. Sin Wan menggendong sebuah karung yang nampak terisi penuh, melangkah dengan tenang keluar dari kamar kerja itu.
Ketika para petugas jaga di luar melihat Sin Wan menggendong sebuah karung, mereka memandang heran, tidak bisa menduga apa isi karung itu tapi juga tidak berani bertanya.
"Kami sudah menemukan barang yang dibutuhkan Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti," kata Sin Wan tenang dan para penjaga itu pun tidak berani bertanya. Mereka semua mengenal Jenderal Shu Ta sebagai seorang jenderal yang sangat tegas dan berdisiplin, maka mereka tentu saja tidak berani melanggar surat perintahnya.
Tentu saja isi karung itu adalah si kedok abu-abu yang telah ditangkap oleh Sin Wan dan Kui Siang. Mereka cepat membawa tawanan dalam karung itu ke rumah Bhok Cun Ki.
Semuanya berkumpul di situ. Bhok Cun Ki sendiri, Sui In dan Akim yang belum berhasil membongkar rahasia Yauw Siucai yang selalu berdekatan dengan Pangeran Mahkota, Ci Han dan Ci Hwa. Hanya nyonya Bhok yang berada di dalam, tidak mau turut mencampuri urusan yang menggunakan kekerasan dan membutuhkan kepandaian silat itu.
Sesudah tawanan itu dikeluarkan dari karung, lantas dipaksa berlutut di atas lantai dengan kedok terbuka, ternyata dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Dia seorang Han, bukan orang Mongol, bahkan dia seorang anggota pasukan di bawah Jenderal Yauw Ti.
"Dengar baik-baik," kata Bhok Cun Ki yang memimpin pemeriksaan itu. "Jika engkau mau mengaku terus terang, maka hukumanmu akan diperingan. Tetapi jika engkau berbohong dan tidak mau mengaku, maka akan kusuruh tangkap seluruh keluargamu dan kusuruh menyiksa mereka di depan matamu. Nah, jawab yang sebenarnya. Siapa namamu?"
Wajah orang itu menjadi pucat. Tadinya dia bersikap keras dan masa bodoh, akan tetapi ancaman terhadap keluarganya itu mengingatkan dia akan isterinya, tiga orang anaknya yang masih kecil dan ibunya yang sudah tua. Maka luluhlah kekerasan hatinya.
"Nama saya Siauw Jin, ciangkun."
"Katakan, siapa sebenarnya pemimpin para orang berkedok, anggota jaringan mata-mata Mongol itu. Jawab!"
"Saya... saya tidak tahu..."
"Engkau menyebutnya Yang Mulia, bukan?"
Siauw Jin mengangguk. "Kami semua hanya mengenal dia sebagai Yang Mulia, tetapi tak seorang pun di antara kami yang pernah melihat wajahnya. Kami semua tidak tahu siapa sebenarnya Yang Mulia itu."
"Dan siapa yang kau sebut pangeran itu?" tanya pula Bhok Cun Ki.
Wajah orang itu berubah pucat sekali, matanya terbelalak dan dia menggelengkan kepala. "Saya... saya tidak berani…!"
Pada saat itu Sui In menjulurkan tangannya dan jari tangannya sudah menekan tengkuk tawanan itu. Wajah tawanan itu berkerut-kerut sambil keluar rintihan dari mulutnya karena dia merasa betapa tubuhnya seperti ditusuki ratusan batang jarum yang panas, nyerinya tak tertahan lagi. Sui In melepaskan tangannya dan orang itu basah oleh keringat dingin.
"Hayo katakan, siapa pangeran itu!" kini Sui In membentak.
"Atau kau ingin kusuruh tangkap dan menyeret ke sini seluruh keluargamu!" Bhok Cun Ki menambahkan.
"Dia... dia murid Yang Mulia...”
"Hemm, siapa namanya? Di mana?" bentak Bhok-ciangkun lagi.
"Dia adalah Pangeran Yaluta..."
"Pangeran Mongol?"
Tawanan itu mengangguk, dan tiba-tiba dia menjerit lalu terkulai. Ternyata sebatang paku telah menancap pada punggungnya. Sui In cepat mencabut paku itu dan dia pun berkata kepada suaminya.
"Dia bagian kami! Hayo, Akim!" Kemudian wanita perkasa itu meloncat pergi, diikuti Akim karena memang Pangeran Yaluta merupakan bagian mereka. Mereka yakin bahwa yang disebut Pangeran Yaluta itu bukan lain adalah yang menyamar sebagai Yauw Siucai!
Begitu mencabut paku dari punggung tawanan yang diserang secara menggelap, tahulah Sui In bahwa yang dahulu melukai pundak puterinya dengan paku merupakan orang yang sama, yaitu si penyambit tadi. Masih nampak olehnya bayangan putih berkelebat, karena itu dengan cepat dia pun melakukan pengejaran bersama Akim. Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap.
"Hayo, kita langsung saja ke istana Pangeran Mahkota!” kata Sui In. Untuk keperluan ini dia sudah dibekali surat penggeledahan yang ditulis sendiri oleh Jenderal Shu Ta.
Dengan surat perintah dari jenderal Shu Ta itu, benar saja Su In dan Akim tidak menemui kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam istana sang pangeran, biar pun para penjaga menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengenal tanda tangan dan cap kebesaran Jenderal Shu Ta, dan kedua orang wanita itu tadi mengatakan bahwa mereka hendak bertemu dengan Yauw Siucai. Entah ada urusan penting apa maka Jenderal Shu Ta sampai memberi kuasa kepada dua orang wanita itu untuk menemui Yauw Siucai dan melakukan penggeledahan!
Karena merasa tidak enak hati walau pun tidak berani menghalangi, kepala jaga kemudian memimpin pasukan kecil untuk masuk ke dalam, hendak melihat apa yang akan terjadi dan untuk berjaga-jaga melindungi sang pangeran.
Sui In dan Akim juga telah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan istana sang pangeran, dan mereka tahu di mana letak kamar pangeran mahkota, di mana pula letak kamar puteranya dan kamar Yauw Siucai. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar pangeran dan kamar Yauw Siucai, sunyi saja di situ. Seorang pengawal yang berjaga di situ memandang penuh curiga sambil melintangkan tombaknya.
Sui In segera memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta, membuat pengawal itu berdiri tertegun. "Cepat katakan, di mana Yauw Siucai dan Sang Pangeran?"
Pengawal itu masih tertegun dan tidak dapat menjawab, hanya menunjuk ke arah taman. Sui In menggerakkan tangan menotoknya agar pengawal itu tidak membuat banyak ribut, lalu bersama Akim dia berlari ke dalam taman yang luas dan indah itu. Berindah-indap mereka menghampiri Pangeran Mahkota yang kelihatan sedang duduk di atas bangku menghadapi Yauw Siucai yang kelihatan marah-marah.
"Jika paduka tetap menolak maka terpaksa aku akan membunuhmu!" katanya kacau dan kadang kasar.
"Pangeran, cepat buatkan surat kuasa untukku dan aku tidak akan membunuhmu!"
Walau pun wajahnya pucat, pangeran yang nampak lemah dan tidak bersemangat itu kini mengangkat kepala dan membusungkan dadanya. "Orang she Yauw! Baru sekarang aku menyadari bahwa engkau bukanlah orang baik-baik. Entah siapa engkau, akan tetapi jelas engkau menyusup ke sini untuk menguasai aku!"
"Ahh, pangeran tolol! Kau sudah bosan hidup agaknya!" Yauw Siucai mengangkat tangan kanan ke atas dan memukul ke arah kepala Pangeran Mahkota untuk membunuhnya.
"Jahanam busuk!" Mendadak terdengar teriakan nyaring. Akim sudah meloncat, langsung memukul ke arah dada Yauw Siucai. Yauw Siucai atau Pangeran Yaluta itu amat terkejut ketika merasakan sambaran angin, dia lalu menggerakkan tangan kirinya menangkis.
"Dukk! Plakk...!"
Baik Pangeran Yaluta mau pun Akim terdorong mundur, namun pukulan Yaluta ke arah kepala Pangeran Mahkota tadi meleset dan hanya mengenai ujung pundak kirinya. Walau pun pukulan itu tidak telak dan hanya menyerempet saja, tetapi cukup membuat pangeran itu terpelanting. Sekarang Yaluta berdiri berhadapan dengan dua orang wanita itu. Wajahnya agak pucat, mulutnya cemberut dan matanya mencorong. Dia segera mengenal dua orang itu. Dia pun tersenyum mengejek.
"Kiranya Bi-coa Sianli yang datang! Hemm, dahulu ketika bersama ayahmu dan puterimu engkau melarikan diri dikejar-kejar pasukan, aku yang menyelamatkan kalian dan...”
"Tutup mulutmu, jahanam palsu! Ternyata engkaulah yang dahulu sudah melukai pundak Lili! Nih, kukembalikan paku-pakumu yang dulu melukai Lili dan tadi telah membunuh anak buahmu sendiri!"
Tangan Sui In bergerak dan dua batang paku itu menjadi dua sinar hitam menyambar ke arah dada dan leher Yaluta! Namun tentu saja pangeran Mongol ini tidak sudi senjatanya makan dirinya sendiri. Sekali dia bergerak, dia sudah mengelak dan dua batang paku itu meluncur lewat.
"Pangeran, lihat baik-baik. Dua orang wanita ini datang untuk membunuh paduka! Bi-coa Sianli ini adalah ibu dari Lili, tentu dia datang untuk membunuh paduka. Ada pun gadis ini adalah pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo, agaknya adik paduka itu memang hendak membunuh paduka maka mengirimnya ke sini. Awas, mereka akan membunuh paduka. Pengawal, cepat kurung dan tangkap kedua orang pembunuh ini. Mereka berdua hendak membunuh sang pangeran!"
Belasan orang pengawal yang telah tiba di taman itu menjadi bingung, akan tetapi mereka sudah siap dengan senjata di tangan, menunggu perintah sang pangeran karena perintah dari Yauw Siucai kurang meyakinkan hati mereka.
Akim berkata kepada Pangeran Mahkota. "Maaf, pangeran, apakah paduka masih belum menyadari benar? Tadi orang ini hampir membunuh paduka. Dia adalah seorang mata-mata, dia adalah Pangeran Yaluta, pangeran dari Mongol yang sengaja menyelundup ke sini untuk memimpin jaringan mata-mata Mongol."
Mendengar ucapan ini, pangeran yang kini sudah sadar benar itu mengangguk kemudian berkata kepada para pengawal. "Tangkap sastrawan gadungan ini!"
"Jangan!" teriak Sui In. "Biarkan kami berdua saja yang menangkapnya. Kalian jaga saja keselamatan pangeran!"
Yaluta tak dapat mengelak lagi, akan tetapi masih mencoba untuk membela diri. "Betapa lucunya. Jika benar aku adalah mata-mata dan memusuhi sang pangeran mahkota, tentu sudah lama aku menyerang atau membunuhnya karena setiap hari aku selalu berdekatan dengannya. Itu hanya fitnah keji!"
"Yaluta, engkau orang Mongol licik! Engkau mendekati sang pangeran untuk menguasai beliau, juga engkau mengadu domba beliau dengan Raja Muda Yung Lo, engkau bahkan hampir membunuh kedua orang pangeran itu di Cin-an!" Sekarang Akim berkata dengan suaranya yang lantang. "Engkau hendak membuat keluarga kerajaan menjadi lemah dan saling bermusuhan!"
"Sudahlah Yaluta, tak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau bekerja sama dengan Yang Mulia memimpin jaringan mata-mata Mongol!"
Mendengar ini, pucatlah wajah Yaluta. Dia menyangka bahwa gurunya sudah terbongkar rahasianya dan tertangkap. Dia menjadi nekat lantas dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, benar! Aku adalah Pangeran Yaluta! Aku hendak membangun kembali Kerajaan Mongol yang jaya! Ha-ha-ha, Kerajaan Beng akan hancur, pangeran mahkotanya pun hanyalah seekor kura-kura yang lemah, ha-ha-ha!"
Semua orang kini merasa yakin. Selagi pangeran Mongol itu masih tertawa, tiba-tiba saja dia sudah menerjang dan menyerang ke arah Pangeran Mahkota yang kini telah dikepung dan dijaga oleh para pengawal. Para pengawal cepat melindungi, dan tiga orang di antara mereka roboh disambar kipas yang digerakkan secara ganas dan dahsyat oleh pangeran Mongol itu.
Akan tetapi Akim dan Sui In segera menerjang maju dan sudah mencabut senjata pedang mereka. Akim sudah memegang Goat-im-kiam, sedangkan Cu Sui In sudah memegang Hek-coa-kiam yang bersinar hitam.
Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, suara ketawa yang menyembunyikan kekecewaan hatinya karena siasatnya telah gagal dan hancur, Yaluta lalu mengamuk dengan kipasnya. Ilmu silat pangeran Mongol ini cukup hebat karena semenjak kecil dia sudah mempelajari segala macam ilmu berkelahi, gulat dan silat, bahkan akhir-akhir ini dia menjadi murid dari Yang Mulia.
Andai kata Akim seorang yang maju menandinginya, tentu tidak akan mudah bagi gadis itu untuk mengalahkan Yaluta. Akan tetapi di sana terdapat Cu Sui In yang kedudukannya di dalam dunia persilatan sudah tinggi, sebagai datuk. Maka, menghadapi sambaran sinar pedang hitam yang bergulung-gulung, segera Yaluta terdesak hebat.
"Kita tangkap dia hidup-hidup,” kata Cu Sui In kepada Akim.
Akim maklum bahwa calon ibu mertua tirinya ini hendak menangkap pangeran Mongol itu hidup-hidup supaya bisa diseret ke depan suaminya dan agar seluruh jaringan mata-mata itu dapat dibongkar. Maka Akim cepat mendesak dengan pedangnya, membuat pangeran itu sibuk menangkis dan tak sempat menyerang lagi sehingga Akim memberi kesempatan kepada calon ibu mertuanya untuk merobohkan lawan. Dan memang usahanya berhasil baik karena dengan gerakan lengan kirinya yang seperti ular Cu Sui In berhasil menotok roboh Yaluta!
Akan tetapi, ketika dia dan Akim hendak meringkus pangeran Mongol itu, tiba-tiba Yaluta mengeluarkan jeritan lalu mukanya berubah menghitam. Dia tewas seketika! Sui In cepat memeriksanya dengan menekan gerahamnya sehingga mulutnya terbuka dan nampaklah betapa mulut itu penuh dengan cairan menghitam.
Maka tahulah dia bahwa sejak tadi pangeran Mongol itu sudah mempersiapkan diri, sudah memasukkan semacam pil di mulutnya sehingga kalau dia menghendaki, setiap waktu dia dapat menggigit pecah pil itu dan dia pun membunuh diri tanpa dapat dicegah lagi. Yaluta sudah memperhitungkan agar jangan sampai tertawan hidup-hidup, karena hal itu berarti suatu penghinaan baginya. Selain tak mungkin dia diampuni, juga dia tidak ingin para kaki tangannya terbasmi semua.
Pangeran Mahkota jatuh pingsan dan digotong oleh para pengawal ke dalam. Sejak itu dia jatuh sakit. Sejak di Cin-an Pangeran Mahkota ini telah mengalami guncangan batin, dan kini dia bahkan menyadari betapa selama ini dia sudah memperhamba seorang pangeran Mongol, seorang pemimpin mata-mata yang hendak menghancurkan kerajaan ayahnya! Inilah tekanan yang paling berat, yang membuat dia tidak dapat bangkit kembali.
Setelah memesan kepada para pengawal supaya menjaga jenazah Pangeran Yaluta dan memasukkannya ke dalam peti agar jangan sampai ada anak buah orang Mongol itu yang mencoba untuk mencuri mayat, Sui In dan Akim lalu bergegas pulang ke rumah keluarga Bhok.
Setibanya di rumah, mereka melihat Sin Wan dan Kui Siang sudah menanti mereka, lalu menuturkan bahwa Bhok-ciangkun telah menemukan sebuah buku catatan di saku dalam tawanan tadi, dan di buku itu terdapat catatan tentang sarang-sarang yang dipergunakan oleh jaringan mata-mata Mongol. Kini Bhok-ciangkun sedang keluar untuk bekerja sama dengan para panglima lainnya, menyerbu sarang-sarang itu.
Tidak lama kemudian Bhok Cun Ki datang, lalu mengajak Cu Sui In, Akim, Sin Wan serta Kui Siang untuk ikut bersama dia, siap membantu kalau diperlukan, kemudian mereka pun pergi ke rumah Jenderal Shu Ta. Kiranya Bhok-ciangkun memang sudah mengirim berita rahasia kepada Jenderal Shu Ta mengenai hasil penyelidikannya dan para pembantunya, juga tentang tewasnya Yauw Siucai yang bukan lain adalah Pangeran Yaluta dari Mongol, tentang jaringan mata-mata yang sekarang sedang diserbu oleh para panglima, kemudian tentang kecurigaannya yang mendalam bahwa Jenderal Yauw Ti terlibat, bahkan mungkin menjadi pemimpin besar jaringan mata-mata Mongol!
Jenderal Shu Ta yang baru saja keluar dari persidangan, menerima berita rahasia ini dari seorang perwira pengawal istana. Tentu saja dia menjadi terkejut dan girang, namun tidak diperlihatkannya kepada rekan-rekannya, di antaranya Jenderal Yauw Ti yang bersama-sama dia baru keluar dari istana. Bahkan dia mendekati Jenderal Yauw Ti, menggandeng lengannya dan berkata.
"Yauw-goanswe, mari singgah ke rumahku sebentar sebelum kau pulang. Ada hal penting mengenai tugas kita yang harus kurundingkan denganmu sehubungan dengan pertemuan di istana tadi."
Jenderal Yauw Ti yang menjadi pembantu utama Jenderal Shu Ta, menerima undangan itu tanpa curiga sedikit pun. Dua orang jenderal besar ini kemudian naik ke sebuah kereta milik Jenderal Shu Ta, lalu keduanya menuju ke rumah panglima besar itu. Tidak terjadi sesuatu ketika mereka tiba di pekarangan rumah sang jenderal, dan sambil bicara keduanya turun dari kereta lalu memasuki gedung itu. Jenderal Shu Ta mengajak tamunya memasuki ruang tamu yang cukup luas. Setelah mempersilakan tamunya duduk, Jenderal Shu Ta berkata, suaranya tenang namun tegas.
"Nah, setelah kita duduk, mari kita bicara secara terbuka, Yang Mulia."
Tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Dia mengerutkan alisnya, lalu menatap tajam kepada Shu-goanswe dan bertanya, "Apa maksudmu, Jenderal Shu?"
"Maksudku sudah jelas sekali, Yang Mulia. Bukankah engkau telah terbiasa disebut Yang Mulia?"
Yauw Ti bangkit berdiri, juga Shu Ta bangkit berdiri. Kedua orang jenderal yang selama bertahun-tahun menjadi rekan seperjuangan itu, yang dulu bersama-sama membantu Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar Thai-cu mengusir penjajah Mongol dan mendirikan Kerajaan Beng, bahkan keduanya pula yang memimpin pasukan mengejar sisa pasukan Mongol sampai ke utara, menaklukkan seluruh kota Mongol, kini berdiri saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Jenderal Shu Ta, jelaskan apa maksudmu dengan ucapan itu?” Kata-katanya juga tegas dan keras.
"Masih kurang jelaskah? Engkau, yang selama ini kukenal sebagai Jenderal Yauw Ti yang gagah perkasa, rekan seperjuangan yang biasa kuhormati, yang sudah menerima banyak anugerah dari Sribaginda Kaisar, setelah menjadi tua sudah berubah menjadi pengkhianat bangsa! Engkau sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol, memimpin jaringan mata-mata Mongol di sini, juga engkau menyamar sebagai Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia! Engkau menyelundupkan Pangeran Yaluta dari Mongol ke dalam istana Pangeran Mahkota untuk meracuni dan merusak sang pangeran. Engkau pula yang mengusahakan adu domba antara Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo, bahkan sudah mengirim pembunuh-pembunuh untuk membunuh mereka berdua. Masih kurang jelaskah...?"
"Inilah bukti yang paling baik," bisiknya kepada Kui Siang.
Tak lama kemudian Sin Wan dan Kui Siang keluar dari kamar kerja Jenderal Yauw Ti. Sin Wan menggendong sebuah karung yang nampak terisi penuh, melangkah dengan tenang keluar dari kamar kerja itu.
Ketika para petugas jaga di luar melihat Sin Wan menggendong sebuah karung, mereka memandang heran, tidak bisa menduga apa isi karung itu tapi juga tidak berani bertanya.
"Kami sudah menemukan barang yang dibutuhkan Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti," kata Sin Wan tenang dan para penjaga itu pun tidak berani bertanya. Mereka semua mengenal Jenderal Shu Ta sebagai seorang jenderal yang sangat tegas dan berdisiplin, maka mereka tentu saja tidak berani melanggar surat perintahnya.
Tentu saja isi karung itu adalah si kedok abu-abu yang telah ditangkap oleh Sin Wan dan Kui Siang. Mereka cepat membawa tawanan dalam karung itu ke rumah Bhok Cun Ki.
Semuanya berkumpul di situ. Bhok Cun Ki sendiri, Sui In dan Akim yang belum berhasil membongkar rahasia Yauw Siucai yang selalu berdekatan dengan Pangeran Mahkota, Ci Han dan Ci Hwa. Hanya nyonya Bhok yang berada di dalam, tidak mau turut mencampuri urusan yang menggunakan kekerasan dan membutuhkan kepandaian silat itu.
Sesudah tawanan itu dikeluarkan dari karung, lantas dipaksa berlutut di atas lantai dengan kedok terbuka, ternyata dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Dia seorang Han, bukan orang Mongol, bahkan dia seorang anggota pasukan di bawah Jenderal Yauw Ti.
"Dengar baik-baik," kata Bhok Cun Ki yang memimpin pemeriksaan itu. "Jika engkau mau mengaku terus terang, maka hukumanmu akan diperingan. Tetapi jika engkau berbohong dan tidak mau mengaku, maka akan kusuruh tangkap seluruh keluargamu dan kusuruh menyiksa mereka di depan matamu. Nah, jawab yang sebenarnya. Siapa namamu?"
Wajah orang itu menjadi pucat. Tadinya dia bersikap keras dan masa bodoh, akan tetapi ancaman terhadap keluarganya itu mengingatkan dia akan isterinya, tiga orang anaknya yang masih kecil dan ibunya yang sudah tua. Maka luluhlah kekerasan hatinya.
"Nama saya Siauw Jin, ciangkun."
"Katakan, siapa sebenarnya pemimpin para orang berkedok, anggota jaringan mata-mata Mongol itu. Jawab!"
"Saya... saya tidak tahu..."
"Engkau menyebutnya Yang Mulia, bukan?"
Siauw Jin mengangguk. "Kami semua hanya mengenal dia sebagai Yang Mulia, tetapi tak seorang pun di antara kami yang pernah melihat wajahnya. Kami semua tidak tahu siapa sebenarnya Yang Mulia itu."
"Dan siapa yang kau sebut pangeran itu?" tanya pula Bhok Cun Ki.
Wajah orang itu berubah pucat sekali, matanya terbelalak dan dia menggelengkan kepala. "Saya... saya tidak berani…!"
Pada saat itu Sui In menjulurkan tangannya dan jari tangannya sudah menekan tengkuk tawanan itu. Wajah tawanan itu berkerut-kerut sambil keluar rintihan dari mulutnya karena dia merasa betapa tubuhnya seperti ditusuki ratusan batang jarum yang panas, nyerinya tak tertahan lagi. Sui In melepaskan tangannya dan orang itu basah oleh keringat dingin.
"Hayo katakan, siapa pangeran itu!" kini Sui In membentak.
"Atau kau ingin kusuruh tangkap dan menyeret ke sini seluruh keluargamu!" Bhok Cun Ki menambahkan.
"Dia... dia murid Yang Mulia...”
"Hemm, siapa namanya? Di mana?" bentak Bhok-ciangkun lagi.
"Dia adalah Pangeran Yaluta..."
"Pangeran Mongol?"
Tawanan itu mengangguk, dan tiba-tiba dia menjerit lalu terkulai. Ternyata sebatang paku telah menancap pada punggungnya. Sui In cepat mencabut paku itu dan dia pun berkata kepada suaminya.
"Dia bagian kami! Hayo, Akim!" Kemudian wanita perkasa itu meloncat pergi, diikuti Akim karena memang Pangeran Yaluta merupakan bagian mereka. Mereka yakin bahwa yang disebut Pangeran Yaluta itu bukan lain adalah yang menyamar sebagai Yauw Siucai!
Begitu mencabut paku dari punggung tawanan yang diserang secara menggelap, tahulah Sui In bahwa yang dahulu melukai pundak puterinya dengan paku merupakan orang yang sama, yaitu si penyambit tadi. Masih nampak olehnya bayangan putih berkelebat, karena itu dengan cepat dia pun melakukan pengejaran bersama Akim. Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap.
"Hayo, kita langsung saja ke istana Pangeran Mahkota!” kata Sui In. Untuk keperluan ini dia sudah dibekali surat penggeledahan yang ditulis sendiri oleh Jenderal Shu Ta.
Dengan surat perintah dari jenderal Shu Ta itu, benar saja Su In dan Akim tidak menemui kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam istana sang pangeran, biar pun para penjaga menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka mengenal tanda tangan dan cap kebesaran Jenderal Shu Ta, dan kedua orang wanita itu tadi mengatakan bahwa mereka hendak bertemu dengan Yauw Siucai. Entah ada urusan penting apa maka Jenderal Shu Ta sampai memberi kuasa kepada dua orang wanita itu untuk menemui Yauw Siucai dan melakukan penggeledahan!
Karena merasa tidak enak hati walau pun tidak berani menghalangi, kepala jaga kemudian memimpin pasukan kecil untuk masuk ke dalam, hendak melihat apa yang akan terjadi dan untuk berjaga-jaga melindungi sang pangeran.
Sui In dan Akim juga telah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan istana sang pangeran, dan mereka tahu di mana letak kamar pangeran mahkota, di mana pula letak kamar puteranya dan kamar Yauw Siucai. Akan tetapi, ketika mereka lewat di kamar pangeran dan kamar Yauw Siucai, sunyi saja di situ. Seorang pengawal yang berjaga di situ memandang penuh curiga sambil melintangkan tombaknya.
Sui In segera memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Shu Ta, membuat pengawal itu berdiri tertegun. "Cepat katakan, di mana Yauw Siucai dan Sang Pangeran?"
Pengawal itu masih tertegun dan tidak dapat menjawab, hanya menunjuk ke arah taman. Sui In menggerakkan tangan menotoknya agar pengawal itu tidak membuat banyak ribut, lalu bersama Akim dia berlari ke dalam taman yang luas dan indah itu. Berindah-indap mereka menghampiri Pangeran Mahkota yang kelihatan sedang duduk di atas bangku menghadapi Yauw Siucai yang kelihatan marah-marah.
"Jika paduka tetap menolak maka terpaksa aku akan membunuhmu!" katanya kacau dan kadang kasar.
"Pangeran, cepat buatkan surat kuasa untukku dan aku tidak akan membunuhmu!"
Walau pun wajahnya pucat, pangeran yang nampak lemah dan tidak bersemangat itu kini mengangkat kepala dan membusungkan dadanya. "Orang she Yauw! Baru sekarang aku menyadari bahwa engkau bukanlah orang baik-baik. Entah siapa engkau, akan tetapi jelas engkau menyusup ke sini untuk menguasai aku!"
"Ahh, pangeran tolol! Kau sudah bosan hidup agaknya!" Yauw Siucai mengangkat tangan kanan ke atas dan memukul ke arah kepala Pangeran Mahkota untuk membunuhnya.
"Jahanam busuk!" Mendadak terdengar teriakan nyaring. Akim sudah meloncat, langsung memukul ke arah dada Yauw Siucai. Yauw Siucai atau Pangeran Yaluta itu amat terkejut ketika merasakan sambaran angin, dia lalu menggerakkan tangan kirinya menangkis.
"Dukk! Plakk...!"
Baik Pangeran Yaluta mau pun Akim terdorong mundur, namun pukulan Yaluta ke arah kepala Pangeran Mahkota tadi meleset dan hanya mengenai ujung pundak kirinya. Walau pun pukulan itu tidak telak dan hanya menyerempet saja, tetapi cukup membuat pangeran itu terpelanting. Sekarang Yaluta berdiri berhadapan dengan dua orang wanita itu. Wajahnya agak pucat, mulutnya cemberut dan matanya mencorong. Dia segera mengenal dua orang itu. Dia pun tersenyum mengejek.
"Kiranya Bi-coa Sianli yang datang! Hemm, dahulu ketika bersama ayahmu dan puterimu engkau melarikan diri dikejar-kejar pasukan, aku yang menyelamatkan kalian dan...”
"Tutup mulutmu, jahanam palsu! Ternyata engkaulah yang dahulu sudah melukai pundak Lili! Nih, kukembalikan paku-pakumu yang dulu melukai Lili dan tadi telah membunuh anak buahmu sendiri!"
Tangan Sui In bergerak dan dua batang paku itu menjadi dua sinar hitam menyambar ke arah dada dan leher Yaluta! Namun tentu saja pangeran Mongol ini tidak sudi senjatanya makan dirinya sendiri. Sekali dia bergerak, dia sudah mengelak dan dua batang paku itu meluncur lewat.
"Pangeran, lihat baik-baik. Dua orang wanita ini datang untuk membunuh paduka! Bi-coa Sianli ini adalah ibu dari Lili, tentu dia datang untuk membunuh paduka. Ada pun gadis ini adalah pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo, agaknya adik paduka itu memang hendak membunuh paduka maka mengirimnya ke sini. Awas, mereka akan membunuh paduka. Pengawal, cepat kurung dan tangkap kedua orang pembunuh ini. Mereka berdua hendak membunuh sang pangeran!"
Belasan orang pengawal yang telah tiba di taman itu menjadi bingung, akan tetapi mereka sudah siap dengan senjata di tangan, menunggu perintah sang pangeran karena perintah dari Yauw Siucai kurang meyakinkan hati mereka.
Akim berkata kepada Pangeran Mahkota. "Maaf, pangeran, apakah paduka masih belum menyadari benar? Tadi orang ini hampir membunuh paduka. Dia adalah seorang mata-mata, dia adalah Pangeran Yaluta, pangeran dari Mongol yang sengaja menyelundup ke sini untuk memimpin jaringan mata-mata Mongol."
Mendengar ucapan ini, pangeran yang kini sudah sadar benar itu mengangguk kemudian berkata kepada para pengawal. "Tangkap sastrawan gadungan ini!"
"Jangan!" teriak Sui In. "Biarkan kami berdua saja yang menangkapnya. Kalian jaga saja keselamatan pangeran!"
Yaluta tak dapat mengelak lagi, akan tetapi masih mencoba untuk membela diri. "Betapa lucunya. Jika benar aku adalah mata-mata dan memusuhi sang pangeran mahkota, tentu sudah lama aku menyerang atau membunuhnya karena setiap hari aku selalu berdekatan dengannya. Itu hanya fitnah keji!"
"Yaluta, engkau orang Mongol licik! Engkau mendekati sang pangeran untuk menguasai beliau, juga engkau mengadu domba beliau dengan Raja Muda Yung Lo, engkau bahkan hampir membunuh kedua orang pangeran itu di Cin-an!" Sekarang Akim berkata dengan suaranya yang lantang. "Engkau hendak membuat keluarga kerajaan menjadi lemah dan saling bermusuhan!"
"Sudahlah Yaluta, tak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau bekerja sama dengan Yang Mulia memimpin jaringan mata-mata Mongol!"
Mendengar ini, pucatlah wajah Yaluta. Dia menyangka bahwa gurunya sudah terbongkar rahasianya dan tertangkap. Dia menjadi nekat lantas dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, benar! Aku adalah Pangeran Yaluta! Aku hendak membangun kembali Kerajaan Mongol yang jaya! Ha-ha-ha, Kerajaan Beng akan hancur, pangeran mahkotanya pun hanyalah seekor kura-kura yang lemah, ha-ha-ha!"
Semua orang kini merasa yakin. Selagi pangeran Mongol itu masih tertawa, tiba-tiba saja dia sudah menerjang dan menyerang ke arah Pangeran Mahkota yang kini telah dikepung dan dijaga oleh para pengawal. Para pengawal cepat melindungi, dan tiga orang di antara mereka roboh disambar kipas yang digerakkan secara ganas dan dahsyat oleh pangeran Mongol itu.
Akan tetapi Akim dan Sui In segera menerjang maju dan sudah mencabut senjata pedang mereka. Akim sudah memegang Goat-im-kiam, sedangkan Cu Sui In sudah memegang Hek-coa-kiam yang bersinar hitam.
Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, suara ketawa yang menyembunyikan kekecewaan hatinya karena siasatnya telah gagal dan hancur, Yaluta lalu mengamuk dengan kipasnya. Ilmu silat pangeran Mongol ini cukup hebat karena semenjak kecil dia sudah mempelajari segala macam ilmu berkelahi, gulat dan silat, bahkan akhir-akhir ini dia menjadi murid dari Yang Mulia.
Andai kata Akim seorang yang maju menandinginya, tentu tidak akan mudah bagi gadis itu untuk mengalahkan Yaluta. Akan tetapi di sana terdapat Cu Sui In yang kedudukannya di dalam dunia persilatan sudah tinggi, sebagai datuk. Maka, menghadapi sambaran sinar pedang hitam yang bergulung-gulung, segera Yaluta terdesak hebat.
"Kita tangkap dia hidup-hidup,” kata Cu Sui In kepada Akim.
Akim maklum bahwa calon ibu mertua tirinya ini hendak menangkap pangeran Mongol itu hidup-hidup supaya bisa diseret ke depan suaminya dan agar seluruh jaringan mata-mata itu dapat dibongkar. Maka Akim cepat mendesak dengan pedangnya, membuat pangeran itu sibuk menangkis dan tak sempat menyerang lagi sehingga Akim memberi kesempatan kepada calon ibu mertuanya untuk merobohkan lawan. Dan memang usahanya berhasil baik karena dengan gerakan lengan kirinya yang seperti ular Cu Sui In berhasil menotok roboh Yaluta!
Akan tetapi, ketika dia dan Akim hendak meringkus pangeran Mongol itu, tiba-tiba Yaluta mengeluarkan jeritan lalu mukanya berubah menghitam. Dia tewas seketika! Sui In cepat memeriksanya dengan menekan gerahamnya sehingga mulutnya terbuka dan nampaklah betapa mulut itu penuh dengan cairan menghitam.
Maka tahulah dia bahwa sejak tadi pangeran Mongol itu sudah mempersiapkan diri, sudah memasukkan semacam pil di mulutnya sehingga kalau dia menghendaki, setiap waktu dia dapat menggigit pecah pil itu dan dia pun membunuh diri tanpa dapat dicegah lagi. Yaluta sudah memperhitungkan agar jangan sampai tertawan hidup-hidup, karena hal itu berarti suatu penghinaan baginya. Selain tak mungkin dia diampuni, juga dia tidak ingin para kaki tangannya terbasmi semua.
Pangeran Mahkota jatuh pingsan dan digotong oleh para pengawal ke dalam. Sejak itu dia jatuh sakit. Sejak di Cin-an Pangeran Mahkota ini telah mengalami guncangan batin, dan kini dia bahkan menyadari betapa selama ini dia sudah memperhamba seorang pangeran Mongol, seorang pemimpin mata-mata yang hendak menghancurkan kerajaan ayahnya! Inilah tekanan yang paling berat, yang membuat dia tidak dapat bangkit kembali.
Setelah memesan kepada para pengawal supaya menjaga jenazah Pangeran Yaluta dan memasukkannya ke dalam peti agar jangan sampai ada anak buah orang Mongol itu yang mencoba untuk mencuri mayat, Sui In dan Akim lalu bergegas pulang ke rumah keluarga Bhok.
Setibanya di rumah, mereka melihat Sin Wan dan Kui Siang sudah menanti mereka, lalu menuturkan bahwa Bhok-ciangkun telah menemukan sebuah buku catatan di saku dalam tawanan tadi, dan di buku itu terdapat catatan tentang sarang-sarang yang dipergunakan oleh jaringan mata-mata Mongol. Kini Bhok-ciangkun sedang keluar untuk bekerja sama dengan para panglima lainnya, menyerbu sarang-sarang itu.
Tidak lama kemudian Bhok Cun Ki datang, lalu mengajak Cu Sui In, Akim, Sin Wan serta Kui Siang untuk ikut bersama dia, siap membantu kalau diperlukan, kemudian mereka pun pergi ke rumah Jenderal Shu Ta. Kiranya Bhok-ciangkun memang sudah mengirim berita rahasia kepada Jenderal Shu Ta mengenai hasil penyelidikannya dan para pembantunya, juga tentang tewasnya Yauw Siucai yang bukan lain adalah Pangeran Yaluta dari Mongol, tentang jaringan mata-mata yang sekarang sedang diserbu oleh para panglima, kemudian tentang kecurigaannya yang mendalam bahwa Jenderal Yauw Ti terlibat, bahkan mungkin menjadi pemimpin besar jaringan mata-mata Mongol!
Jenderal Shu Ta yang baru saja keluar dari persidangan, menerima berita rahasia ini dari seorang perwira pengawal istana. Tentu saja dia menjadi terkejut dan girang, namun tidak diperlihatkannya kepada rekan-rekannya, di antaranya Jenderal Yauw Ti yang bersama-sama dia baru keluar dari istana. Bahkan dia mendekati Jenderal Yauw Ti, menggandeng lengannya dan berkata.
"Yauw-goanswe, mari singgah ke rumahku sebentar sebelum kau pulang. Ada hal penting mengenai tugas kita yang harus kurundingkan denganmu sehubungan dengan pertemuan di istana tadi."
Jenderal Yauw Ti yang menjadi pembantu utama Jenderal Shu Ta, menerima undangan itu tanpa curiga sedikit pun. Dua orang jenderal besar ini kemudian naik ke sebuah kereta milik Jenderal Shu Ta, lalu keduanya menuju ke rumah panglima besar itu. Tidak terjadi sesuatu ketika mereka tiba di pekarangan rumah sang jenderal, dan sambil bicara keduanya turun dari kereta lalu memasuki gedung itu. Jenderal Shu Ta mengajak tamunya memasuki ruang tamu yang cukup luas. Setelah mempersilakan tamunya duduk, Jenderal Shu Ta berkata, suaranya tenang namun tegas.
"Nah, setelah kita duduk, mari kita bicara secara terbuka, Yang Mulia."
Tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Dia mengerutkan alisnya, lalu menatap tajam kepada Shu-goanswe dan bertanya, "Apa maksudmu, Jenderal Shu?"
"Maksudku sudah jelas sekali, Yang Mulia. Bukankah engkau telah terbiasa disebut Yang Mulia?"
Yauw Ti bangkit berdiri, juga Shu Ta bangkit berdiri. Kedua orang jenderal yang selama bertahun-tahun menjadi rekan seperjuangan itu, yang dulu bersama-sama membantu Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar Thai-cu mengusir penjajah Mongol dan mendirikan Kerajaan Beng, bahkan keduanya pula yang memimpin pasukan mengejar sisa pasukan Mongol sampai ke utara, menaklukkan seluruh kota Mongol, kini berdiri saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Jenderal Shu Ta, jelaskan apa maksudmu dengan ucapan itu?” Kata-katanya juga tegas dan keras.
"Masih kurang jelaskah? Engkau, yang selama ini kukenal sebagai Jenderal Yauw Ti yang gagah perkasa, rekan seperjuangan yang biasa kuhormati, yang sudah menerima banyak anugerah dari Sribaginda Kaisar, setelah menjadi tua sudah berubah menjadi pengkhianat bangsa! Engkau sudah bersekutu dengan orang-orang Mongol, memimpin jaringan mata-mata Mongol di sini, juga engkau menyamar sebagai Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia! Engkau menyelundupkan Pangeran Yaluta dari Mongol ke dalam istana Pangeran Mahkota untuk meracuni dan merusak sang pangeran. Engkau pula yang mengusahakan adu domba antara Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo, bahkan sudah mengirim pembunuh-pembunuh untuk membunuh mereka berdua. Masih kurang jelaskah...?"