"Memang ada orang yang menolong saya, lo-cian-pwe. Ketika saya siuman, ada seorang wanita dan seorang gadis remaja berada di sini. Wanita itu menurut keterangan si gadis remaja bernama Ban-tok Sian-li..."
"Sian-cai...! Dewi Selaksa Racun itu datang kepadamu dan mengobatimu dari pukulan beracun? Sungguh luar biasa sekali! Biasanya ia tidak perdulian orang lain.”
"Memang ia menolong saya ada pamrihnya, lo-cian-pwe. Mungkin dalam keadaan setengah sadar saya telah menyebut Si Golok Naga dan dia tertarik, setelah mengobati saya lalu ia bertanya tentang Mestika Golok Naga. Ketika saya menjawab bahwa saya tidak tahu dan bahwa yang membunuh suhu hanyalah orang berjuluk Si Golok Naga dan Tengkorak Hidup, dan saya tidak tahu di mana adanya Mestika Golok Naga, ia menjadi marah dan hendak membunuh saya. Akan tetapi nyawa saya masih dilindungi Tuhan. Muridnya, seorang gadis remaja telah mencegah gurunya membunuh saya dan selamatlah saya."
"Hemm, tanpa kau sadari, engkau telah terlibat dalam urusan yang akan membahayakan hidupmu selanjutnya, Tiong Li. Engkau melihat raksasa hitam itu membunuhi tokoh empat partai besar, berarti engkau seorang yang menjadi saksi mata atas perbuatannya itu karena ayahmu, saksi kedua telah tewas. Si raksasa hitam itu tentu tidak akan pernah merasa lega dan puas kalau belum dapat membunuhmu. Untung engkau bertemu dan menjadi murid sahabat kami Pek Hong San-jin, kalau tidak tentu sudah dari dulu engkau terancam bahaya maut," kata Thian Kui Lo-jin.
"Lo-cian-pwe, sebenarnya siapakah raksasa hitam itu? Dan siapa pula si muka tengkorak yang telah membunuh suhu itu?"
"Kami tidak tahu. Akan tetapi melihat kelihaian dan keanehannya, agaknya dia dan si muka tengkorak itu bukan tokoh di dunia kang-ouw yang kita kenal. Mungkin dia datang dari daerah lain dan sangat boleh jadi dia datang dari negara Cin, merupakan tokoh dari utara atau barat yang memang banyak terdapat orang orang lihai yang aneh. Akan tetapi sudahlah, kami tidak tertarik kepada mereka, melainkan tertarik kepadamu. Karena engkau murid mendiang sahabat kami, maka kami tidak boleh tinggal diam melihat engkau terancam bahaya maut."
"Ha-ha-ha, jalan satu-satunya adalah bahwa engkau harus ikut bersama kami, menjadi murid kami, Tiong Li. Dengan demikian berarti kita tidak menyia-nyiakan semua jerih payah hwe-shio tua itu. Bagaimana, maukah engkau menjadi murid kami dan ikut bersama kami?" tanya Tee Kui Lo-jin sambil tertawa-tawa.
Mendengar pertanyaan itu, seketika Tiong Li menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Mereka adalah para sahabat gurunya, dan dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipakai melawan orang-orang pandai maka dengan rela dan senang hati dia lalu memberi hormat dan berkata,
"Teecu menghaturkan terima kasih kalau ji-wi suhu (guru berdua) suka mengambil teecu sebagai murid. Teecu akan menaati semua perintah dan petunjuk ji-wi suhu."
Dua orang aneh itu tertawa senang. Mereka tidak mempunyai murid dan tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid. Akan tetapi ketika bertemu dengan Tiong Li, melihat kebaktian Tiong Li terhadap gurunya, lalu melihat betapa Tiong Li terlibat dalam urusan besar dan anak itupun berbakat baik sekali, hati mereka tertarik dan mereka sepakat untuk menggembleng pemuda itu sebagai murid mereka.
Demikianlah, setelah api yang mem bakar pondok itu padam dan abunya beterbangan dibawa angin gunung, dua orang pertapa itu mengajak Tiong Li meninggalkan tempat itu.
"Biarlah abu jenazah Pek Hong San Jin diterbangkan angin bertebaran di seluruh permukaan bukit dan menjadi pupuk yang baik bagi tanaman di sini," kata Tee Kui Lo-jin sambil tertawa. "Ini sudah sesuai dengan kehendaknya."
Dua orang pertapa itu bertempat tinggal di Lembah Sungai Wu-kiang, di pegunungan Kui-san dan mengambil sebuah puncaknya sebagai tempat pertapaan, yaitu di puncak Ki-lin-san (Puncak Bu-kit Kilin). Disebut demikian karena puncak ini dari jauh seperti bentuk seekor ki-lin (hewan keramat setengah singa setengah harimau).
Seperti halnya ketika belajar kepada Pek Hong San-jin dahulu, sekali ini Tiong Li juga. belajar dengan tekun, hampir tidak pernah meninggalkan puncak sehingga dia tidak pernah tahu atau mendengar akan keadaan di dunia luar.
Sementara itu, diluar tempat pertapaan itu, terjadi banyak hal yang hebat. Melihat gerakan pasukan Cin (Kin) yang selalu melanggar perbatasan, kaum pendekar di dunia kang-ouw merasa penasaran sekali. Mereka tidak setuju dengan sikap Kaisar Kao Cung yang lemah dan yang lebih suka mengalah terhadap Kerajaan Kin, tanpa malu-malu mengajak Bangsa Yu-cen itu berdamai dan bahkan membayar upeti.
Di propinsi Ho pei dan Shan-si, di mana-mana para pendekar patriot membentuk pasukan-pasukan rakyat sendiri untuk melawan pasukan Kin yang selalu melanggar perbatasan dan melakukan perampokan dan pembunuhan pada penduduk dusun di sekitar perbasatan. Laskar-laskar rakyat ini membuat sarang mereka di bukit bukit dan hutan-hutan di sepanjang Sungai Yang-ce.
Pernah sebuah laskar rakyat yang menamakan dirinya Laskar Pita Merah menyerbu sebuah perkemahan pasukan Kin (Cin) dan membasmi seluruh penghuninya! Semangat mereka berkobar-kobar, sungguh berbeda dengan sikap Kaisar Sung Kao Cung yang dianggap merendahkan martabat Kerajaan.
Yang bertugas mempertahankan kota raja Kai-feng yang telah jatuh ketangan musuh adalah Panglima Cung Ce. Kini dialah yang memimpin pasukan Kerajan Sung yang bertugas di garis depan. Pada suatu ketika, Panglima Cung Ce menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengadakan perundingan dengan para patriot yang berjuang di seberang utara untuk merebut kembali daerah yang telah dikuasai musuh.
Dia memerintahkan tujuh ribu orang pasukan, dipimpin oleh pendekar Wang Yen, menerjang kepungan puluhan ribu orang pasukan Kin dan berhasil mencapai dan menguasai Pegunungan Tai-hang-san. Mereka menghimpun lebih dari seratus ribu orang di Pegunungan Tai-hang-san ini dan berulang kali mengalahkan pasukan Kin dan memperkuat pasukan sendiri.
Berulang kali Panglima Cung Ce mengusulkan untuk menyerbu terus ke utara, namun Kaisar selalu menolak. Bahkan sebaliknya, Kaisar yang dikuasai oleh Perdana Menteri Jin Kui, merasa khawatir kalau-kalau Cung Ce yang bekerja sama dengan para pendekar patriot akan terlalu besar kekuasaannya dan mengancam kedudukan kaisar sendiri. Maka, selain menolak usul Panglima Cung Ce, kaisarpun memerintahkan orang orangnya untuk mengawasi gerak-gerik panglima itu dengan penuh kecurigaan.
Melihat keadaan itu, Panglima Cung Ce menjadi penasaran, marah dan kecewa bukan main. Sakit sekali hatinya. Dia yang setia dan membela negara untuk mengusir penjajah, untuk merebut kembali Kerajaan Sung di utara yang di kuasai musuh, selain dilarang menyerang ke utara, juga malah diawasi dan dicurigai.
Sakit hati ini membuat panglima yang sudah berusia tujuhpuluh tahun itu jatuh sakit berat. Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Menjelang kematiannya dia mengundang para pendekar patriot dan membujuk mereka agar melanjutkan perjuangan membasmi musuh Dia meninggal dunia dengan hati mengandung penasaran sehingga matanyapun tidak dapat terpejam!
Pada waktu itu terdapat seorang panglima lain yang gagah perkasa dan setia kepada negara, yaitu Gak Hui. Bersama seluruh putera-puterinya, panglima ini merupakan pejuang yang gigih dan sudah berulang kali memukul mundur pasukan Kin. Panglima Gak Hui berasal dari kota Tang-yin di propinsi Honan, dari keluarga petani biasa.
Akan tetapi ibunya adalah seorang wanita yang bijaksana dan berjiwa patriot sejati. Pernah ibu Gak Hui menuliskan kata-kata di punggung Gak Hui yang memerintahkan puteranya itu untuk berbakti kepada negara dan setia kepada Kaisar sampai mati!
Panglima Gak Hui amat mencintai tanah airnya dan setelah bangsa Yu-cen menguasai Kerajaan Sung utara, dia amat membenci musuh ini. Dia menghimpun pasukan yang sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda petani yang amat patuh kepadanya. Dalam keadaan bagaimana pun, baik selagi kelaparan maupun kedinginan, tak seorangpun tentara berani mengganggu rakyat. Karena itu rakyat amat menyayang dan menghormati pasukan yang dipimpin Panglima Gak Hui dan di mana mana pasukan ini diterima dengan senang dan bangga oleh rakyat jelata.
Setelah beberapa kali memukul mundur pasukan Kin, Gak Hui membawa pasukannya maju terus ke utara dan bergabung dengan laskar rakyat di Tai-hang-san dan dengan para pasukan di Ho-pei.
Dalam tahun 1140, panglima besar Kerajaan Kin yang bernama Wu-cu memimpin pasukannya ke selatan. Akan tetapi di Shun-cang, propinsi An-hwi, pasukannya dihancurkan oleh pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Lui Chi. Juga jenderal Wu Lin menghantam pasukan Kin di Tu-feng propinsi Shen-si. Adapun Panglima Gak Hui sendiri menyerang dari Siang-yang propinsi Hu-peh. Panglima Gak Hui mengirim para patriot menyeberangi Sungai Kuning.
Mereka berhasil memorak-porandakan pertahanan musuh. Gak Hui mengejar sampai ke Yen-ceng propinsi Ho-nan. Selurun kekuatan para pejuang di utara bergabung dengan Gak Hui. Rakyat mendukung, menyumbangkan ransum dan pasukannya menjadi semakin besar karena banyak sukarelawan memasuki pasukan itu dan berjuang dengan semangat yang tinggi.
Pada saat yang amat menguntungkan bagi perjuangan itu, setelah Panglima Gak Hui berhasil, tiba-tiba saja Kaisar Sung Kao Cung memerintahkan pasukan Gak Hui untuk mundur! Kaisar Sung Kao Cung amat dipengaruhi oleh Jin Kui itu bukan saja takut kalau perhubungannya dengan Kin memburuk, juga Perdana Menteri Jin Kui memperingatkan kaisar bahwa kekuasaan Gak Hui semakin besar dengan dukungan rakyat jelata. Semua ini dapat mendorong Gak Hui untuk memberontak dan membahayakan kedudukan Kaisar.
Kaisar sama sekali tidak tahu bahwa nasihat Jin Kui untuk berdamai dengan pihak Kin itu sebetulnya didasari oleh persekutuan yang dijalin Perdana menteri Jin Kui dengan pihak musuh! Jin Kui bersekongkol bahkan diperalat oleh Kerajaan Cin (Kin) sehingga apapun yang diperintahkan pihak Kin, selalu ditaati oleh Jin Kui.
Dalam tahun 1411, Panglima Kin Wu Cu menulis sepucuk surat rahasia kepada sekutunya, yaitu Jin Kui dan berkata, "Engkau menghendaki perdamaian, akan tetapi Gak Hui menyerang Hupei. Kalau engkau tidak segera membunuh Gak Hui, perdamaian tidak akan pernah ada!"
Demikianlah, Jin Kui membujuk Kaisar yang segera menulis surat perintah kepada Gak Hui untuk menarik mundur pasukannya sampai di perbatasan, dan memerintahkan Gak Hui untuk pulang ke kota raja. Surat panggilan untuk Gak Hui ini ditandatangi oleh kaisar sendiri. Pada waktu itu, semua orang sudah tahu bahwa Kaisar dipermainkan dan dipengaruhi oleh Jin Kui dan banyak panglima, bahkan putera-puteri Gak Hui sendiri menasihatkan agar Gak Hui tidak memenuhi panggilan itu karena dikhawatirkan merupakan perangkap yang diatur oleh Perdana Menteri Jin Kui.
Namun, Panglima Gak Hui adalah seorang yang amat setia kepada kerajaan, kepada negara karenanya juga setia dan patuh kepada kaisar. Dia mengabaikan semua nasihat itu dan berkeras untuk memenuhi panggilan kaisar! Tidak percuma mendiang ibunya dahulu menuliskan kata-kata di punggungnya agar dia setia sampai mati kepada kaisar. Dengan gagahnya Gak Hui melakukan perjalanan pulang ke kota raja.
Dan benar saja seperti yang dikhawatirkan semua sahabat dan putera-puteri Gak Hui, setibanya di kota raja Gak Hui lalu ditangkap di dipenjarakan dengan tuduhan melanggar perintah dan telah lancang menyerang ke utara mengabaikan larangan kaisar! Semua ini tentu saja telah diatur oleh Perdana Menteri Jin Kui.
Melihat ini. Para putera dan sahabat Panglima Gak Hui berusaha untuk membebaskan Gak Hui. Mereka mengamuk menyerbu penjara, bahkan sudah berhasil mendobrak runtuh pintu kamar tahanan Panglima Gak Hui, mengajaknya minggat dari situ.
Akan tetapi bagaimana sikap Gak Hui? Dia marah sekali kepada para pengikut dan para puteranya, "Aku bersumpah untuk setia kepada kerajaan, setia sampai mati dan kalian malah memberontak dan mencoba untuk membebaskan aku? Aku tidak akan melarikan diri!" demikian katanya.
Para perwira bawahannya, para sahabat dan puteranya membujuk berulang-ulang. "Ayah," kata puteranya yang bernama Gak Liu. "Kalau ayah tidak mau pergi, itu berarti ayah mencari kematian sendiri. Jin Kui tentu tidak akan puas sebelum melihat ayah tewas!"
"Anak tidak berbakti. Engkau berani menganjurkan ayahmu menjadi pemberontak? Bukan Jin Kui yang dapat mengusai aku, akan tetapi Yang Mulia Sri Baginda Kaisar yang memerintahkan semua ini! Bagaimana aku dapat membangkang terhadap perintah Kaisar? Ketahuilah, kalian semua. Aku bersedia mati untuk Kerajaan dan kalau Kaisar menghendaki aku mati, maka matilah aku! Nah, kalian pergilah sebelum aku membantu kerajaan untuk menangkap kalian semua!"
Dengan hati yang hancur semua pendekar itu meninggalkan penjara yang sudah mereka serbu. Mereka harus mengambil jalan darah untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat, karena pasukan telah mengepung mereka. Ada berapa orang pendekar yang roboh dan tewas. Akan tetapi Gak Liu berhasil meloloskan diri dengan hati sedih sekali melihat ayahnya tidak mau ditolong.
Dan dengan tipu muslihatnya yang licik, Jin Kui berhasil membuat surat perintah palsu dari kaisar yang menjatuhkan hukuman mati kepada Gak Hui, dalam perintah palsu kaisar mengirim mangkok arak beracun untuk Gak Hui. Tanpa ragu sedikitpun Gak Hui menerima sambil berlutut dan minum arak beracun itu sampai habis sambil berdiri tegak dan diapun mati dalam keadaan masih berdiri!
Setelah Gak Hui tewas, maka perlawanan Kerajaan Sung dengan pasukannya terhenti. Kaisar mengadakan perdamaian yang amat menghina dan merendahkan martabat Sung dengan Kerajaan Kin. Tapal batas yang baru dibuat dan daerah luas antara sebelah utara Sungai Huai dan Tasan-kuan di Shen-si jatuh ke tangan Kerajaan Kin! Selain ini, juga Kerajaan Sung harus membayar upeti dua ratus lima puluh ribu tail perak dan dua ratus lima puluh ribu gulung sutera halus setiap tahun!
Biarpun Kerajaan Sung sudah berdamai dan mengalah, akan tetapi para pendekar patriot masih terus melakukan perlawanan. Untuk ini Kerajaan Kin membentuk pasukan-pasukan khusus untuk membasminya. Keadaan di sepanjang perbatasan menjadi ajang pertempuran gerilya.
Demikianlah keadaan Kerajaan Sung yang sama sekali tidak diketahui oleh Tiong Li yang sedang tekun belajar ilmu dari kedua orang gurunya. Kerajaan Kin juga mendesak Kerajaan Sung melalui sekutunya, yaitu Perdana Henteri Jin Kui untuk membasmi para pendekar patriot yang membentuk laskar laskar rakyat mengganggu Kerajaan Kin di sepanjang perbatasan. Kaisar Sung Kao Cung memberi kekuasaan kepada Menteri Jin Kui untuk memimpin pembasmian para "pemberontak" itu.
Dalam keadaan seperti itu, rakyat selalu gelisah. Di satu pihak mereka itu diam-diam membantu para pejuang dan di lain pihak mereka takut akan gerakan pembersihan pasukan pemerintah, juga kadang-kadang ada pasukan Kin yang melakukan pengejaran jauh ke dalam Kerajaan Sung Selatan melanggar perbatasan.
Rakyat dicekam ketakutan dengan adanya perang gerilya yang dapat saja sewaktu-waktu terjadi di mana. Bahkan di kota raja sendiri rakyat merasa gelisah karena Perdana Menteri Jin Kui tidak segan-segan melakukan pembersihan di kota raja menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Dalam keadaan seperti itu, maka fitnah merajalela. Setiap orang dapat saja lakukan fitnah terhadap orang lain yang menjadi musuhnya, atau yang dibencinya. Sekali saja melapor bahwa seseorang dicurigai menjadi mata-mata pejuang, maka orang itu akan ditangkap dan disiksa untuk mengaku, kadang disiksa sampai mati! Maka terjadilah kepanikan di antara rakyat dan kesempatan ini banyak dipergunakan oleh para perwira untuk menggertak rakyat untuk memancing keluarnya uang sogokan yang besar.
Mereka mendatangi seorang yang beruang, mengancam dan baru pergi setelah menerima sogokan, padahal hartawan itu sama sekali tidak terlibat perjuangan. Terlibat atau tidak, kalau sudah ditangkap kecil harapannya akan dapat pulang dalam keadaan hidup atau tidak cacat.
Malam yang gelap dan sunyi. Hawa udara dingin sekali dan sore-sore rakyat di kota raja sudah tidak nampak di luar. Cuaca seperti itu lebih baik dihindari dengan masuk ke dalam rumah mendekati perapian. Apa lagi kalau berkeliaran di luar dan bertemu peronda pasukan keamanan, dapat saja terjadi hal yang bukan-bukan, dan merugikan mereka lahir batin.
Tiba-tiba di tengah malam yang sunyi dan gelap itu nampak sesosok bayangan berkelebat. Cepat sekali gerakan bayangan itu dan dia sudah melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung besar milik Perdana Menteri Jin Kui! Akan tetapi baru saja dia memasuki pekarangan, mendadak lima orang pasukan pengawal sudah mengepungnya dan mereka menyalakan obor.
"Berhenti! Siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?" bentak seorang pengawal.
"Hemm, aku yang masuk. Cepat bawa aku menghadap Perdana Menteri!" kata orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Para perajurit pengawal itu mendekatkan obor untuk melihat siapa orang yang datang itu. Obor menerangi wajah yang menyeramkan dan berkulit hitam. Dan mereka semua mengenalnya dengan baik karena orang ini seringkali datang berkunjung dan menjadi kenalan baik Perdana Menteri.
"Ah, kiranya Hak-sicu yang datang. Kenapa mengejutkan orang dengan melompati pagar tembok dan tidak langsung saja ke gardu penjagaan di luar gerbang?"
"Lebih baik begini jadi tidak akan ada yang melihatku!" jawab orang itu. Dia itu bernama Hak Bu Cu dan bagi yang pernah bertemu dengannya segera akan mengenalnya sebagai orang yang mengaku berjuluk Si Golok Naga!
Hak Bu Cu ini sebenarnya adalah seorang jagoan dari Kerajaan Kin dan dialah yang diutus oleh Kerajaan Kin untuk menjadi penghubung dengan Perdana Menteri Jin Kui. Dia dan Perdana Menteri Jin Kui yang mengatur pencurian Mestika Golok Naga itu, dengan maksud agar dunia kang-ouw saling menuduh sendiri dan karena keadaan para pendekar patriot menjadi lemah.
Hak Bu Cu inilah yang rnelakukan pencurian itu, dan dia pula yang membunuhi para tokoh empat partai besar. Golok itu oleh Hak Bu Cu diserahkan kepada atasannya, yaitu Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin. Dan dia sendiri membawa golok tiruan, golok yang sama besar dengan Mestika Golok Naga untuk mengelabui mereka yang hendak mencari dan merampas kembali Mestika Golok Naga. Hak Bu Cu ini adalah seorang yang lihai bukan main, mengerti banyak macam ilmu silat dan dia menjadi tangan kanan Panglima Wu Chu.
Para pengawal segera mengantarkan Hak Bu Cu masuk dan mereka melapor kepada Perdana Menteri Jin Kui yang belum tidur, masih bersenang-senang di dalam taman dihibur para selir dan dayangnya dengan tari-tarian.
Mendengar laporan pengawal bahwa Hak Bu Cu datang mohon menghadap Perdana Menteri Ji Kui segera memerintahkan semua selir dan dayang untuk mundur, kemudian dia menyuruh pengawal minta kepada tamu itu untuk masuk saja ke taman, di mana terdapat sebuah bangunan mungil terbuka yang tadi dipergunakan untuk menonton tari-tarian.
Setelah bertemu, Hak Bu Cu memberi hormat kepada Perdana Menteri Jin Kui yang langsung menegur. "Ah, Hak-sicu, angin apakah yang membawamu malam-malam begini datang berkunjung? Mari, duduklah di sini, Hak-sicu."
Hak Bu Cu, si raksasa hitam itu, setelah memberi hormat lalu duduk di depan Jin Kui, terhalang meja yang penuh dengan makanan dan minuman. Jin Kui menuangkan arak dalam cawan kosong lalu memberikannya kepada tamunya.
"Terima kasih, taijin. Saya datang diutus. oleh Wu-ciangkun untuk menemui taijin. Pertama-tama Wu-ciangkun menyampaikan hormatnya dan kedua kali dia menyuruh saya untuk membicarakan urusan penting dengan taijin," Hak Bu Cu lalu minum araknya.
"Hemm, urusan penting apakah, si-cu? Coba cepat ceritakan kepadaku."
"Begini, taijin. Akhir-akhir ini Wu-ciangkun dibikin pusing dengan munculnya sepasukan pejuang yang sungguh mengganggu kami dengan sepak terjang mereka di perbatasan. Pasukan ini sungguh. tangguh dan dipimpin oleh seorang laki-laki perkasa yang kabarnya adalah putera mendiang Panglima Gak Hui yang bernama Gak Liu."
"Hemm, Gak Liu itu memang putera mendiang Gak Hui yang paling berani dan berkepandaian tinggi. Dahulupun ketika ayahnya dipenjara, dia bersama teman-temannya sudah berani penyerbu penjara dan hampir saja dapat membebaskan ayahnya. Hanya Panglima Gak Hui yang tidak mau dibebaskan. Jadi sekarang dia memimpin pemberontak untuk mengacau di perbatasan? Sungguh kurang ajar!" Perdana Menteri itu berkata.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, berwajah tampan dan berpakaian mewah. Dia ini adalah Jin Kiat, putera Perdana Menteri. Jin Kui, seorang pemuda yang sombong, akan tetapi telah mempelajari ilmu silat yang cukup tinggi di samping ilmu sastra.
"Aha, kiranya Paman Hak yang datang!" serunya sambil memberi hormat dan dibalas oleh raksasa hitam itu
"Pantas di sini sepi-sepi saja tidak terdengar suara musik, kiranya ayah sedang menjamu seorang tamu terhormat."
"Jin Kiat, duduklah, kami sedang membicarakan urusan penting sekali. Hak sicu ini disuruh oleh Wu-ciangkun menyampaikan berita penting tentang para pemberontak."
"Ada apa lagikah, ayah?"
"Ada sepasukan pejuang yang amat mengganggu di perbatasan, dan pasukan itu dipimpin oleh Gak Liu, puteri mendiang Panglima Gak Hui."
"Hemm, dia itukah? Yang dahulu menyerbu penjara?" Jin Kiat lalu ikut duduk menghadapi meja mendengarkan percakapan itu.
"Lalu apa yang dikehendaki oleh Wu-ciangkun?" tanya Jin Kui.
"Wu-ciangkun minta bantuan taijin untuk dapat menangkap Gak Liu dan menghukumnya, taijin," kata si raksasa hitam.
"Hemm, kalau begitu aku akan melapor kepada kaisar, akan kukatakan bahwa Gak Liu memberontak dan memimpin pasukan pemberontak. Setelah itu, maka dia akan menjadi buronan, dan kita tangkapi seluruh keluarganya, baik keluarga dekat maupun jauh, maka pernbersihan itu tentu akan memancing munculnya Gak Liu."
"Aku akan memimpin pembersihan itu, ayah! Keluarga Gak semua sudah menyingkir entah ke mana sejak matinya Gak Hui, dan kurasa di kota raja sudah tidak terdapat seorangpun yang she Gak Bahkan orang-orang Gak sudah ketakutan sendiri dan minggat. Akan tetapi kalau diusut, tentu masih ada keluarga jauh dari pihak ibunya yang bukan she Gak Aku akan menyelidiki, ayah."
"Bagus, kalau engkau sendiri yang memimpin pembersihan, tentu akan berhasil. Akan tetapi aku akan minta bantuanmu, Hak-sicu, untuk membantu Jin Kiat karena siapa tahu, di antara keluarga mendiang Gak Hui itu akan terdapat orang-orang pandai yang tentu akan menyusahkan puteraku."
"Tentu saja saya selalu siap untuk membantu, tai-jin."
"Bagus, kalau begitu tinggallah di sini sampai aku melapor kepada Kaisar. Karena setelah melapor tentu aku dapat minta surat kuasa untuk melakukan penangkapan kepada seluruh keluarga Gak yang berada di sini. Setelah ada yang tertangkap, kita dapat memaksa keterangan darinya di mana kita dapat menemukan Gak Liu si pemberontak itu."
Demikianlah, dengan gembira mereka lalu melanjutkan makan minum sampai jauh malam dan Hak Bu Cu tinggal di rumah besar itu sebagai seorang tamu yang dihormati. Jin Kiat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk minta petunjuk tentang ilmu silat kepada tamunya, dan sambil menanti ayahnya membuat laporan, diapun mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari si raksasa hitam yang lihai.
Pada keesokan harinya, dalam persidangan, Perdana Menteri Jin Kui melaporkan kepada Kaisar. "Yang Mulia, hamba mendengar berita yang tidak enak sekali bahwa terdapat pasukan pemberontak yang membikin kacau di perbatasan, memancing-mancing pertempuran dengan pasukan Kin. Perbuatannya ini berbahaya sekali karena setiap saat mereka dapat membalik dan berbalik menyerang pasukan kita sendiri. Dan yang memimpin pasukan itu adalah putera si pemberontak Gak Hui yang bernama Gak Liu."
Tentu saja Kaisar marah sekali! mendengar laporan ini. "Apa Putera pemberontak itu berani membikin kacau? tangkap dia!" bentaknya.
"Hamba akan melaksanakan perintah itu, Yang Mulia. Mohon Yang Mulia mengeluarkan surat per intah penangkapan bukan hanya untuk Gak Liu, melainkan untuk seluruh keluarga pemberontak itu agar hamba dapat membasminya sampai bersih!"
Kaisar lalu membuat surat perintah itu dan dengan bekal surat perintah ini, dengan girang Jin Kui lalu pulang ke rumah gedungnya.
"Nah, dengan bekal surat perintah, engkau dapat melakukan penangkapan kepada siapapun tanpa khawatir lagi, Jin Kiat," kata ayah ini dengan bangga.
Sementara itu, Jin Kiat tidak tinggal diam dan dia sudah mengutus orangnya menyelidiki siapa yang masih terhitung sanak keluarga Gak. Dia mendengar bahwa ada seorang hartawan di kota raja bernama An Kiong. An Kiong ini kabarnya masih sanak keluarga Gak, dan masih terhitung paman dari Gak Liu dari pihak ibunya. Dan masih saudara misan ibunya.
"Ha-ha, aku tahu siapa yang harus kutangkap terlebih dahulu, ayah. Dia bernama An Kiong dan menjadi seorang hartawan yang terkenal di kota raja. Mari, Paman Hak, kita siapkan pasukan untuk mulai melakukan penangkapan."
Pemuda itu sambil membawa surat perintah lalu mengajak tamunya untuk mempersiapkan selosin perajurit pilihan yang di-ambil dari pasukan keamanan. Dengan adanya Hak Bu Cu disampingnya, selusin orang perajuritpun sudah lebih dari cukup.
Perajurit itu hanya untuk menambah keangkeran saja, karena kalau Hak Bu Cu membantunya, tanpa perajuritpun dia berani melakukan penangkapan terhadap siapapun juga. Setelah pasukan itu siap, berangkatlah Jin Kiat dalam pakaian panglima yang mewah, disertai Hak Bu Cu, dengan gagahnya keluar dari gedung ayahnya menuju ke rumah sang korban.
Sejak pagi sekali, banyak orang berdiri antri di depan rumah An-wangwi (hartawan An). Hampir setiap hari hartawan An ini membagi-bagi beras dan kadang juga uang kepada fakir miskin. Pada waktu itu, akibat terjadinya perang, banyak terdapat orang-orang miskin yang hidupnya terlantar.
Karena itulah, setiap kali hartawan An membagi bagi beras atau gandum, banyak yang antri minta bagian. Baik yang berpakaian seperti pengemis atau penduduk biasa, banyak yang antri. Hartawan An Kiong memang terkenal sekali di kota raja sebagai seorang yang dermawan. Tangannya terlepas dan terbuka menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan.
Pada pagi hari itu, selagi orang ramai antri dan menerima pembagian beras, lima kati setiap orang, tiba-tiba terjadi keributan. Seorang pengantri yang bertubuh tinggi besar, mendesak ke depan minta didahulukan. Pada hal, dia datang belakangan. Orang itu masih muda, berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan sikapnya kasar sekali. Dia mendorong begitu saja orang-orang yang antri di depan, tidak perduli yang didorongnya itu wanita, kakek-kakek atau kanak-kanak dan dia menuntut kepada petugas yang membagi beras untuk mengisi kantungnya dengan beras.
Si petugas melihat orang itu dan mengenalnya sebagai orang yang pagi tadi sudah mendapatkan jatahnya, "Eh, bukankah engkau tadi sudah mendapatkan lima kati?"
"Itu kan tadi. Akan tetapi aku sudah antri lagi dan setiap pengantri harus mendapatkan lima kati," katanya kukuh.
"Hem aturan siapa itu?"
"Aturanku!" kata laki-laki itu sambil melotot marah. "Cepat berikan bagianku, ataukah aku harus ambil sendiri?"
"Heii, engkau ini minta atau merampok?" bentak petugas yang membagi beras.
"Kalau merampok, engkau mau apa" balas si laki-laki tinggi besar itu Terjadilah perkelahian, akan tetapi lima petugas itu bukan lawan si laki-laki tinggi besar yang memukul dan menendang mereka sampai jatuh bangun.
Mendadak di tempat itu muncul seorang Wanita cantik bersama seorang gadis manis lain yang lebih muda. Gadi itu berusia kurang lebih sembilanbelas tahun, wajahnya manis sekali dan dia memandang kepada laki-laki itu denga alis berkerut. Gadis ini bukan lain adalah Siang Hwi, murid Ban-tok Sian li yang juga hadir di situ.
Guru dan murid ini berada di kota raja, baru tadi mereka datang dan mereka tertaril sekali melihat kerumunan banyak orang itu maka mereka mendekat dan melihat bahwa kerumunan orang itu adalah orang orang yang menerima bagian beras dari seorang hartawan yang dermawan. Mereka merasa kagum sekali kepada hartawan itu. Pada masa itu, jaranglah terdapat hartawan yang demikian dermawan, yang membagi-bagi beras kepada fakir miskin dan siapa saja yang membutuhkannya.
An Kiong yang diberitahu cepat ke luar. Dia dengan wajah ramah lalu memberi hormat kepada laki-laki tinggi besar yang baru saja menghajar orang-orangnya itu. "Sobat, harap jangan marah. Kalau engkau menghendaki beras, marilah kuambilkan."
"Bagus, begitu baru baik. Nah, isilah kantung ini sampai penuh!" katanya.
An Kiong mengerutkan alisnya. "Sobat, biasanya untuk setiap orang diberi lima kati. Yang minta banyak, kami khawatir kalau sampai persediannya kurang."
"Tidak perduli. Orang-orangmu bersikap kasar kepadaku. Harus dipenuhi kantung ini atau aku akan mengambil sendiri!"
"Perampok busuk...!"
"Sian-cai...! Dewi Selaksa Racun itu datang kepadamu dan mengobatimu dari pukulan beracun? Sungguh luar biasa sekali! Biasanya ia tidak perdulian orang lain.”
"Memang ia menolong saya ada pamrihnya, lo-cian-pwe. Mungkin dalam keadaan setengah sadar saya telah menyebut Si Golok Naga dan dia tertarik, setelah mengobati saya lalu ia bertanya tentang Mestika Golok Naga. Ketika saya menjawab bahwa saya tidak tahu dan bahwa yang membunuh suhu hanyalah orang berjuluk Si Golok Naga dan Tengkorak Hidup, dan saya tidak tahu di mana adanya Mestika Golok Naga, ia menjadi marah dan hendak membunuh saya. Akan tetapi nyawa saya masih dilindungi Tuhan. Muridnya, seorang gadis remaja telah mencegah gurunya membunuh saya dan selamatlah saya."
"Hemm, tanpa kau sadari, engkau telah terlibat dalam urusan yang akan membahayakan hidupmu selanjutnya, Tiong Li. Engkau melihat raksasa hitam itu membunuhi tokoh empat partai besar, berarti engkau seorang yang menjadi saksi mata atas perbuatannya itu karena ayahmu, saksi kedua telah tewas. Si raksasa hitam itu tentu tidak akan pernah merasa lega dan puas kalau belum dapat membunuhmu. Untung engkau bertemu dan menjadi murid sahabat kami Pek Hong San-jin, kalau tidak tentu sudah dari dulu engkau terancam bahaya maut," kata Thian Kui Lo-jin.
"Lo-cian-pwe, sebenarnya siapakah raksasa hitam itu? Dan siapa pula si muka tengkorak yang telah membunuh suhu itu?"
"Kami tidak tahu. Akan tetapi melihat kelihaian dan keanehannya, agaknya dia dan si muka tengkorak itu bukan tokoh di dunia kang-ouw yang kita kenal. Mungkin dia datang dari daerah lain dan sangat boleh jadi dia datang dari negara Cin, merupakan tokoh dari utara atau barat yang memang banyak terdapat orang orang lihai yang aneh. Akan tetapi sudahlah, kami tidak tertarik kepada mereka, melainkan tertarik kepadamu. Karena engkau murid mendiang sahabat kami, maka kami tidak boleh tinggal diam melihat engkau terancam bahaya maut."
"Ha-ha-ha, jalan satu-satunya adalah bahwa engkau harus ikut bersama kami, menjadi murid kami, Tiong Li. Dengan demikian berarti kita tidak menyia-nyiakan semua jerih payah hwe-shio tua itu. Bagaimana, maukah engkau menjadi murid kami dan ikut bersama kami?" tanya Tee Kui Lo-jin sambil tertawa-tawa.
Mendengar pertanyaan itu, seketika Tiong Li menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Mereka adalah para sahabat gurunya, dan dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipakai melawan orang-orang pandai maka dengan rela dan senang hati dia lalu memberi hormat dan berkata,
"Teecu menghaturkan terima kasih kalau ji-wi suhu (guru berdua) suka mengambil teecu sebagai murid. Teecu akan menaati semua perintah dan petunjuk ji-wi suhu."
Dua orang aneh itu tertawa senang. Mereka tidak mempunyai murid dan tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid. Akan tetapi ketika bertemu dengan Tiong Li, melihat kebaktian Tiong Li terhadap gurunya, lalu melihat betapa Tiong Li terlibat dalam urusan besar dan anak itupun berbakat baik sekali, hati mereka tertarik dan mereka sepakat untuk menggembleng pemuda itu sebagai murid mereka.
Demikianlah, setelah api yang mem bakar pondok itu padam dan abunya beterbangan dibawa angin gunung, dua orang pertapa itu mengajak Tiong Li meninggalkan tempat itu.
"Biarlah abu jenazah Pek Hong San Jin diterbangkan angin bertebaran di seluruh permukaan bukit dan menjadi pupuk yang baik bagi tanaman di sini," kata Tee Kui Lo-jin sambil tertawa. "Ini sudah sesuai dengan kehendaknya."
Dua orang pertapa itu bertempat tinggal di Lembah Sungai Wu-kiang, di pegunungan Kui-san dan mengambil sebuah puncaknya sebagai tempat pertapaan, yaitu di puncak Ki-lin-san (Puncak Bu-kit Kilin). Disebut demikian karena puncak ini dari jauh seperti bentuk seekor ki-lin (hewan keramat setengah singa setengah harimau).
Seperti halnya ketika belajar kepada Pek Hong San-jin dahulu, sekali ini Tiong Li juga. belajar dengan tekun, hampir tidak pernah meninggalkan puncak sehingga dia tidak pernah tahu atau mendengar akan keadaan di dunia luar.
********************
Sementara itu, diluar tempat pertapaan itu, terjadi banyak hal yang hebat. Melihat gerakan pasukan Cin (Kin) yang selalu melanggar perbatasan, kaum pendekar di dunia kang-ouw merasa penasaran sekali. Mereka tidak setuju dengan sikap Kaisar Kao Cung yang lemah dan yang lebih suka mengalah terhadap Kerajaan Kin, tanpa malu-malu mengajak Bangsa Yu-cen itu berdamai dan bahkan membayar upeti.
Di propinsi Ho pei dan Shan-si, di mana-mana para pendekar patriot membentuk pasukan-pasukan rakyat sendiri untuk melawan pasukan Kin yang selalu melanggar perbatasan dan melakukan perampokan dan pembunuhan pada penduduk dusun di sekitar perbasatan. Laskar-laskar rakyat ini membuat sarang mereka di bukit bukit dan hutan-hutan di sepanjang Sungai Yang-ce.
Pernah sebuah laskar rakyat yang menamakan dirinya Laskar Pita Merah menyerbu sebuah perkemahan pasukan Kin (Cin) dan membasmi seluruh penghuninya! Semangat mereka berkobar-kobar, sungguh berbeda dengan sikap Kaisar Sung Kao Cung yang dianggap merendahkan martabat Kerajaan.
Yang bertugas mempertahankan kota raja Kai-feng yang telah jatuh ketangan musuh adalah Panglima Cung Ce. Kini dialah yang memimpin pasukan Kerajan Sung yang bertugas di garis depan. Pada suatu ketika, Panglima Cung Ce menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengadakan perundingan dengan para patriot yang berjuang di seberang utara untuk merebut kembali daerah yang telah dikuasai musuh.
Dia memerintahkan tujuh ribu orang pasukan, dipimpin oleh pendekar Wang Yen, menerjang kepungan puluhan ribu orang pasukan Kin dan berhasil mencapai dan menguasai Pegunungan Tai-hang-san. Mereka menghimpun lebih dari seratus ribu orang di Pegunungan Tai-hang-san ini dan berulang kali mengalahkan pasukan Kin dan memperkuat pasukan sendiri.
Berulang kali Panglima Cung Ce mengusulkan untuk menyerbu terus ke utara, namun Kaisar selalu menolak. Bahkan sebaliknya, Kaisar yang dikuasai oleh Perdana Menteri Jin Kui, merasa khawatir kalau-kalau Cung Ce yang bekerja sama dengan para pendekar patriot akan terlalu besar kekuasaannya dan mengancam kedudukan kaisar sendiri. Maka, selain menolak usul Panglima Cung Ce, kaisarpun memerintahkan orang orangnya untuk mengawasi gerak-gerik panglima itu dengan penuh kecurigaan.
Melihat keadaan itu, Panglima Cung Ce menjadi penasaran, marah dan kecewa bukan main. Sakit sekali hatinya. Dia yang setia dan membela negara untuk mengusir penjajah, untuk merebut kembali Kerajaan Sung di utara yang di kuasai musuh, selain dilarang menyerang ke utara, juga malah diawasi dan dicurigai.
Sakit hati ini membuat panglima yang sudah berusia tujuhpuluh tahun itu jatuh sakit berat. Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Menjelang kematiannya dia mengundang para pendekar patriot dan membujuk mereka agar melanjutkan perjuangan membasmi musuh Dia meninggal dunia dengan hati mengandung penasaran sehingga matanyapun tidak dapat terpejam!
Pada waktu itu terdapat seorang panglima lain yang gagah perkasa dan setia kepada negara, yaitu Gak Hui. Bersama seluruh putera-puterinya, panglima ini merupakan pejuang yang gigih dan sudah berulang kali memukul mundur pasukan Kin. Panglima Gak Hui berasal dari kota Tang-yin di propinsi Honan, dari keluarga petani biasa.
Akan tetapi ibunya adalah seorang wanita yang bijaksana dan berjiwa patriot sejati. Pernah ibu Gak Hui menuliskan kata-kata di punggung Gak Hui yang memerintahkan puteranya itu untuk berbakti kepada negara dan setia kepada Kaisar sampai mati!
Panglima Gak Hui amat mencintai tanah airnya dan setelah bangsa Yu-cen menguasai Kerajaan Sung utara, dia amat membenci musuh ini. Dia menghimpun pasukan yang sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda petani yang amat patuh kepadanya. Dalam keadaan bagaimana pun, baik selagi kelaparan maupun kedinginan, tak seorangpun tentara berani mengganggu rakyat. Karena itu rakyat amat menyayang dan menghormati pasukan yang dipimpin Panglima Gak Hui dan di mana mana pasukan ini diterima dengan senang dan bangga oleh rakyat jelata.
Setelah beberapa kali memukul mundur pasukan Kin, Gak Hui membawa pasukannya maju terus ke utara dan bergabung dengan laskar rakyat di Tai-hang-san dan dengan para pasukan di Ho-pei.
Dalam tahun 1140, panglima besar Kerajaan Kin yang bernama Wu-cu memimpin pasukannya ke selatan. Akan tetapi di Shun-cang, propinsi An-hwi, pasukannya dihancurkan oleh pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Lui Chi. Juga jenderal Wu Lin menghantam pasukan Kin di Tu-feng propinsi Shen-si. Adapun Panglima Gak Hui sendiri menyerang dari Siang-yang propinsi Hu-peh. Panglima Gak Hui mengirim para patriot menyeberangi Sungai Kuning.
Mereka berhasil memorak-porandakan pertahanan musuh. Gak Hui mengejar sampai ke Yen-ceng propinsi Ho-nan. Selurun kekuatan para pejuang di utara bergabung dengan Gak Hui. Rakyat mendukung, menyumbangkan ransum dan pasukannya menjadi semakin besar karena banyak sukarelawan memasuki pasukan itu dan berjuang dengan semangat yang tinggi.
Pada saat yang amat menguntungkan bagi perjuangan itu, setelah Panglima Gak Hui berhasil, tiba-tiba saja Kaisar Sung Kao Cung memerintahkan pasukan Gak Hui untuk mundur! Kaisar Sung Kao Cung amat dipengaruhi oleh Jin Kui itu bukan saja takut kalau perhubungannya dengan Kin memburuk, juga Perdana Menteri Jin Kui memperingatkan kaisar bahwa kekuasaan Gak Hui semakin besar dengan dukungan rakyat jelata. Semua ini dapat mendorong Gak Hui untuk memberontak dan membahayakan kedudukan Kaisar.
Kaisar sama sekali tidak tahu bahwa nasihat Jin Kui untuk berdamai dengan pihak Kin itu sebetulnya didasari oleh persekutuan yang dijalin Perdana menteri Jin Kui dengan pihak musuh! Jin Kui bersekongkol bahkan diperalat oleh Kerajaan Cin (Kin) sehingga apapun yang diperintahkan pihak Kin, selalu ditaati oleh Jin Kui.
Dalam tahun 1411, Panglima Kin Wu Cu menulis sepucuk surat rahasia kepada sekutunya, yaitu Jin Kui dan berkata, "Engkau menghendaki perdamaian, akan tetapi Gak Hui menyerang Hupei. Kalau engkau tidak segera membunuh Gak Hui, perdamaian tidak akan pernah ada!"
Demikianlah, Jin Kui membujuk Kaisar yang segera menulis surat perintah kepada Gak Hui untuk menarik mundur pasukannya sampai di perbatasan, dan memerintahkan Gak Hui untuk pulang ke kota raja. Surat panggilan untuk Gak Hui ini ditandatangi oleh kaisar sendiri. Pada waktu itu, semua orang sudah tahu bahwa Kaisar dipermainkan dan dipengaruhi oleh Jin Kui dan banyak panglima, bahkan putera-puteri Gak Hui sendiri menasihatkan agar Gak Hui tidak memenuhi panggilan itu karena dikhawatirkan merupakan perangkap yang diatur oleh Perdana Menteri Jin Kui.
Namun, Panglima Gak Hui adalah seorang yang amat setia kepada kerajaan, kepada negara karenanya juga setia dan patuh kepada kaisar. Dia mengabaikan semua nasihat itu dan berkeras untuk memenuhi panggilan kaisar! Tidak percuma mendiang ibunya dahulu menuliskan kata-kata di punggungnya agar dia setia sampai mati kepada kaisar. Dengan gagahnya Gak Hui melakukan perjalanan pulang ke kota raja.
Dan benar saja seperti yang dikhawatirkan semua sahabat dan putera-puteri Gak Hui, setibanya di kota raja Gak Hui lalu ditangkap di dipenjarakan dengan tuduhan melanggar perintah dan telah lancang menyerang ke utara mengabaikan larangan kaisar! Semua ini tentu saja telah diatur oleh Perdana Menteri Jin Kui.
Melihat ini. Para putera dan sahabat Panglima Gak Hui berusaha untuk membebaskan Gak Hui. Mereka mengamuk menyerbu penjara, bahkan sudah berhasil mendobrak runtuh pintu kamar tahanan Panglima Gak Hui, mengajaknya minggat dari situ.
Akan tetapi bagaimana sikap Gak Hui? Dia marah sekali kepada para pengikut dan para puteranya, "Aku bersumpah untuk setia kepada kerajaan, setia sampai mati dan kalian malah memberontak dan mencoba untuk membebaskan aku? Aku tidak akan melarikan diri!" demikian katanya.
Para perwira bawahannya, para sahabat dan puteranya membujuk berulang-ulang. "Ayah," kata puteranya yang bernama Gak Liu. "Kalau ayah tidak mau pergi, itu berarti ayah mencari kematian sendiri. Jin Kui tentu tidak akan puas sebelum melihat ayah tewas!"
"Anak tidak berbakti. Engkau berani menganjurkan ayahmu menjadi pemberontak? Bukan Jin Kui yang dapat mengusai aku, akan tetapi Yang Mulia Sri Baginda Kaisar yang memerintahkan semua ini! Bagaimana aku dapat membangkang terhadap perintah Kaisar? Ketahuilah, kalian semua. Aku bersedia mati untuk Kerajaan dan kalau Kaisar menghendaki aku mati, maka matilah aku! Nah, kalian pergilah sebelum aku membantu kerajaan untuk menangkap kalian semua!"
Dengan hati yang hancur semua pendekar itu meninggalkan penjara yang sudah mereka serbu. Mereka harus mengambil jalan darah untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat, karena pasukan telah mengepung mereka. Ada berapa orang pendekar yang roboh dan tewas. Akan tetapi Gak Liu berhasil meloloskan diri dengan hati sedih sekali melihat ayahnya tidak mau ditolong.
Dan dengan tipu muslihatnya yang licik, Jin Kui berhasil membuat surat perintah palsu dari kaisar yang menjatuhkan hukuman mati kepada Gak Hui, dalam perintah palsu kaisar mengirim mangkok arak beracun untuk Gak Hui. Tanpa ragu sedikitpun Gak Hui menerima sambil berlutut dan minum arak beracun itu sampai habis sambil berdiri tegak dan diapun mati dalam keadaan masih berdiri!
Setelah Gak Hui tewas, maka perlawanan Kerajaan Sung dengan pasukannya terhenti. Kaisar mengadakan perdamaian yang amat menghina dan merendahkan martabat Sung dengan Kerajaan Kin. Tapal batas yang baru dibuat dan daerah luas antara sebelah utara Sungai Huai dan Tasan-kuan di Shen-si jatuh ke tangan Kerajaan Kin! Selain ini, juga Kerajaan Sung harus membayar upeti dua ratus lima puluh ribu tail perak dan dua ratus lima puluh ribu gulung sutera halus setiap tahun!
Biarpun Kerajaan Sung sudah berdamai dan mengalah, akan tetapi para pendekar patriot masih terus melakukan perlawanan. Untuk ini Kerajaan Kin membentuk pasukan-pasukan khusus untuk membasminya. Keadaan di sepanjang perbatasan menjadi ajang pertempuran gerilya.
********************
Demikianlah keadaan Kerajaan Sung yang sama sekali tidak diketahui oleh Tiong Li yang sedang tekun belajar ilmu dari kedua orang gurunya. Kerajaan Kin juga mendesak Kerajaan Sung melalui sekutunya, yaitu Perdana Henteri Jin Kui untuk membasmi para pendekar patriot yang membentuk laskar laskar rakyat mengganggu Kerajaan Kin di sepanjang perbatasan. Kaisar Sung Kao Cung memberi kekuasaan kepada Menteri Jin Kui untuk memimpin pembasmian para "pemberontak" itu.
Dalam keadaan seperti itu, rakyat selalu gelisah. Di satu pihak mereka itu diam-diam membantu para pejuang dan di lain pihak mereka takut akan gerakan pembersihan pasukan pemerintah, juga kadang-kadang ada pasukan Kin yang melakukan pengejaran jauh ke dalam Kerajaan Sung Selatan melanggar perbatasan.
Rakyat dicekam ketakutan dengan adanya perang gerilya yang dapat saja sewaktu-waktu terjadi di mana. Bahkan di kota raja sendiri rakyat merasa gelisah karena Perdana Menteri Jin Kui tidak segan-segan melakukan pembersihan di kota raja menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Dalam keadaan seperti itu, maka fitnah merajalela. Setiap orang dapat saja lakukan fitnah terhadap orang lain yang menjadi musuhnya, atau yang dibencinya. Sekali saja melapor bahwa seseorang dicurigai menjadi mata-mata pejuang, maka orang itu akan ditangkap dan disiksa untuk mengaku, kadang disiksa sampai mati! Maka terjadilah kepanikan di antara rakyat dan kesempatan ini banyak dipergunakan oleh para perwira untuk menggertak rakyat untuk memancing keluarnya uang sogokan yang besar.
Mereka mendatangi seorang yang beruang, mengancam dan baru pergi setelah menerima sogokan, padahal hartawan itu sama sekali tidak terlibat perjuangan. Terlibat atau tidak, kalau sudah ditangkap kecil harapannya akan dapat pulang dalam keadaan hidup atau tidak cacat.
Malam yang gelap dan sunyi. Hawa udara dingin sekali dan sore-sore rakyat di kota raja sudah tidak nampak di luar. Cuaca seperti itu lebih baik dihindari dengan masuk ke dalam rumah mendekati perapian. Apa lagi kalau berkeliaran di luar dan bertemu peronda pasukan keamanan, dapat saja terjadi hal yang bukan-bukan, dan merugikan mereka lahir batin.
Tiba-tiba di tengah malam yang sunyi dan gelap itu nampak sesosok bayangan berkelebat. Cepat sekali gerakan bayangan itu dan dia sudah melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung besar milik Perdana Menteri Jin Kui! Akan tetapi baru saja dia memasuki pekarangan, mendadak lima orang pasukan pengawal sudah mengepungnya dan mereka menyalakan obor.
"Berhenti! Siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?" bentak seorang pengawal.
"Hemm, aku yang masuk. Cepat bawa aku menghadap Perdana Menteri!" kata orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Para perajurit pengawal itu mendekatkan obor untuk melihat siapa orang yang datang itu. Obor menerangi wajah yang menyeramkan dan berkulit hitam. Dan mereka semua mengenalnya dengan baik karena orang ini seringkali datang berkunjung dan menjadi kenalan baik Perdana Menteri.
"Ah, kiranya Hak-sicu yang datang. Kenapa mengejutkan orang dengan melompati pagar tembok dan tidak langsung saja ke gardu penjagaan di luar gerbang?"
"Lebih baik begini jadi tidak akan ada yang melihatku!" jawab orang itu. Dia itu bernama Hak Bu Cu dan bagi yang pernah bertemu dengannya segera akan mengenalnya sebagai orang yang mengaku berjuluk Si Golok Naga!
Hak Bu Cu ini sebenarnya adalah seorang jagoan dari Kerajaan Kin dan dialah yang diutus oleh Kerajaan Kin untuk menjadi penghubung dengan Perdana Menteri Jin Kui. Dia dan Perdana Menteri Jin Kui yang mengatur pencurian Mestika Golok Naga itu, dengan maksud agar dunia kang-ouw saling menuduh sendiri dan karena keadaan para pendekar patriot menjadi lemah.
Hak Bu Cu inilah yang rnelakukan pencurian itu, dan dia pula yang membunuhi para tokoh empat partai besar. Golok itu oleh Hak Bu Cu diserahkan kepada atasannya, yaitu Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin. Dan dia sendiri membawa golok tiruan, golok yang sama besar dengan Mestika Golok Naga untuk mengelabui mereka yang hendak mencari dan merampas kembali Mestika Golok Naga. Hak Bu Cu ini adalah seorang yang lihai bukan main, mengerti banyak macam ilmu silat dan dia menjadi tangan kanan Panglima Wu Chu.
Para pengawal segera mengantarkan Hak Bu Cu masuk dan mereka melapor kepada Perdana Menteri Jin Kui yang belum tidur, masih bersenang-senang di dalam taman dihibur para selir dan dayangnya dengan tari-tarian.
Mendengar laporan pengawal bahwa Hak Bu Cu datang mohon menghadap Perdana Menteri Ji Kui segera memerintahkan semua selir dan dayang untuk mundur, kemudian dia menyuruh pengawal minta kepada tamu itu untuk masuk saja ke taman, di mana terdapat sebuah bangunan mungil terbuka yang tadi dipergunakan untuk menonton tari-tarian.
Setelah bertemu, Hak Bu Cu memberi hormat kepada Perdana Menteri Jin Kui yang langsung menegur. "Ah, Hak-sicu, angin apakah yang membawamu malam-malam begini datang berkunjung? Mari, duduklah di sini, Hak-sicu."
Hak Bu Cu, si raksasa hitam itu, setelah memberi hormat lalu duduk di depan Jin Kui, terhalang meja yang penuh dengan makanan dan minuman. Jin Kui menuangkan arak dalam cawan kosong lalu memberikannya kepada tamunya.
"Terima kasih, taijin. Saya datang diutus. oleh Wu-ciangkun untuk menemui taijin. Pertama-tama Wu-ciangkun menyampaikan hormatnya dan kedua kali dia menyuruh saya untuk membicarakan urusan penting dengan taijin," Hak Bu Cu lalu minum araknya.
"Hemm, urusan penting apakah, si-cu? Coba cepat ceritakan kepadaku."
"Begini, taijin. Akhir-akhir ini Wu-ciangkun dibikin pusing dengan munculnya sepasukan pejuang yang sungguh mengganggu kami dengan sepak terjang mereka di perbatasan. Pasukan ini sungguh. tangguh dan dipimpin oleh seorang laki-laki perkasa yang kabarnya adalah putera mendiang Panglima Gak Hui yang bernama Gak Liu."
"Hemm, Gak Liu itu memang putera mendiang Gak Hui yang paling berani dan berkepandaian tinggi. Dahulupun ketika ayahnya dipenjara, dia bersama teman-temannya sudah berani penyerbu penjara dan hampir saja dapat membebaskan ayahnya. Hanya Panglima Gak Hui yang tidak mau dibebaskan. Jadi sekarang dia memimpin pemberontak untuk mengacau di perbatasan? Sungguh kurang ajar!" Perdana Menteri itu berkata.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, berwajah tampan dan berpakaian mewah. Dia ini adalah Jin Kiat, putera Perdana Menteri. Jin Kui, seorang pemuda yang sombong, akan tetapi telah mempelajari ilmu silat yang cukup tinggi di samping ilmu sastra.
"Aha, kiranya Paman Hak yang datang!" serunya sambil memberi hormat dan dibalas oleh raksasa hitam itu
"Pantas di sini sepi-sepi saja tidak terdengar suara musik, kiranya ayah sedang menjamu seorang tamu terhormat."
"Jin Kiat, duduklah, kami sedang membicarakan urusan penting sekali. Hak sicu ini disuruh oleh Wu-ciangkun menyampaikan berita penting tentang para pemberontak."
"Ada apa lagikah, ayah?"
"Ada sepasukan pejuang yang amat mengganggu di perbatasan, dan pasukan itu dipimpin oleh Gak Liu, puteri mendiang Panglima Gak Hui."
"Hemm, dia itukah? Yang dahulu menyerbu penjara?" Jin Kiat lalu ikut duduk menghadapi meja mendengarkan percakapan itu.
"Lalu apa yang dikehendaki oleh Wu-ciangkun?" tanya Jin Kui.
"Wu-ciangkun minta bantuan taijin untuk dapat menangkap Gak Liu dan menghukumnya, taijin," kata si raksasa hitam.
"Hemm, kalau begitu aku akan melapor kepada kaisar, akan kukatakan bahwa Gak Liu memberontak dan memimpin pasukan pemberontak. Setelah itu, maka dia akan menjadi buronan, dan kita tangkapi seluruh keluarganya, baik keluarga dekat maupun jauh, maka pernbersihan itu tentu akan memancing munculnya Gak Liu."
"Aku akan memimpin pembersihan itu, ayah! Keluarga Gak semua sudah menyingkir entah ke mana sejak matinya Gak Hui, dan kurasa di kota raja sudah tidak terdapat seorangpun yang she Gak Bahkan orang-orang Gak sudah ketakutan sendiri dan minggat. Akan tetapi kalau diusut, tentu masih ada keluarga jauh dari pihak ibunya yang bukan she Gak Aku akan menyelidiki, ayah."
"Bagus, kalau engkau sendiri yang memimpin pembersihan, tentu akan berhasil. Akan tetapi aku akan minta bantuanmu, Hak-sicu, untuk membantu Jin Kiat karena siapa tahu, di antara keluarga mendiang Gak Hui itu akan terdapat orang-orang pandai yang tentu akan menyusahkan puteraku."
"Tentu saja saya selalu siap untuk membantu, tai-jin."
"Bagus, kalau begitu tinggallah di sini sampai aku melapor kepada Kaisar. Karena setelah melapor tentu aku dapat minta surat kuasa untuk melakukan penangkapan kepada seluruh keluarga Gak yang berada di sini. Setelah ada yang tertangkap, kita dapat memaksa keterangan darinya di mana kita dapat menemukan Gak Liu si pemberontak itu."
Demikianlah, dengan gembira mereka lalu melanjutkan makan minum sampai jauh malam dan Hak Bu Cu tinggal di rumah besar itu sebagai seorang tamu yang dihormati. Jin Kiat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk minta petunjuk tentang ilmu silat kepada tamunya, dan sambil menanti ayahnya membuat laporan, diapun mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari si raksasa hitam yang lihai.
Pada keesokan harinya, dalam persidangan, Perdana Menteri Jin Kui melaporkan kepada Kaisar. "Yang Mulia, hamba mendengar berita yang tidak enak sekali bahwa terdapat pasukan pemberontak yang membikin kacau di perbatasan, memancing-mancing pertempuran dengan pasukan Kin. Perbuatannya ini berbahaya sekali karena setiap saat mereka dapat membalik dan berbalik menyerang pasukan kita sendiri. Dan yang memimpin pasukan itu adalah putera si pemberontak Gak Hui yang bernama Gak Liu."
Tentu saja Kaisar marah sekali! mendengar laporan ini. "Apa Putera pemberontak itu berani membikin kacau? tangkap dia!" bentaknya.
"Hamba akan melaksanakan perintah itu, Yang Mulia. Mohon Yang Mulia mengeluarkan surat per intah penangkapan bukan hanya untuk Gak Liu, melainkan untuk seluruh keluarga pemberontak itu agar hamba dapat membasminya sampai bersih!"
Kaisar lalu membuat surat perintah itu dan dengan bekal surat perintah ini, dengan girang Jin Kui lalu pulang ke rumah gedungnya.
"Nah, dengan bekal surat perintah, engkau dapat melakukan penangkapan kepada siapapun tanpa khawatir lagi, Jin Kiat," kata ayah ini dengan bangga.
Sementara itu, Jin Kiat tidak tinggal diam dan dia sudah mengutus orangnya menyelidiki siapa yang masih terhitung sanak keluarga Gak. Dia mendengar bahwa ada seorang hartawan di kota raja bernama An Kiong. An Kiong ini kabarnya masih sanak keluarga Gak, dan masih terhitung paman dari Gak Liu dari pihak ibunya. Dan masih saudara misan ibunya.
"Ha-ha, aku tahu siapa yang harus kutangkap terlebih dahulu, ayah. Dia bernama An Kiong dan menjadi seorang hartawan yang terkenal di kota raja. Mari, Paman Hak, kita siapkan pasukan untuk mulai melakukan penangkapan."
Pemuda itu sambil membawa surat perintah lalu mengajak tamunya untuk mempersiapkan selosin perajurit pilihan yang di-ambil dari pasukan keamanan. Dengan adanya Hak Bu Cu disampingnya, selusin orang perajuritpun sudah lebih dari cukup.
Perajurit itu hanya untuk menambah keangkeran saja, karena kalau Hak Bu Cu membantunya, tanpa perajuritpun dia berani melakukan penangkapan terhadap siapapun juga. Setelah pasukan itu siap, berangkatlah Jin Kiat dalam pakaian panglima yang mewah, disertai Hak Bu Cu, dengan gagahnya keluar dari gedung ayahnya menuju ke rumah sang korban.
********************
Sejak pagi sekali, banyak orang berdiri antri di depan rumah An-wangwi (hartawan An). Hampir setiap hari hartawan An ini membagi-bagi beras dan kadang juga uang kepada fakir miskin. Pada waktu itu, akibat terjadinya perang, banyak terdapat orang-orang miskin yang hidupnya terlantar.
Karena itulah, setiap kali hartawan An membagi bagi beras atau gandum, banyak yang antri minta bagian. Baik yang berpakaian seperti pengemis atau penduduk biasa, banyak yang antri. Hartawan An Kiong memang terkenal sekali di kota raja sebagai seorang yang dermawan. Tangannya terlepas dan terbuka menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan.
Pada pagi hari itu, selagi orang ramai antri dan menerima pembagian beras, lima kati setiap orang, tiba-tiba terjadi keributan. Seorang pengantri yang bertubuh tinggi besar, mendesak ke depan minta didahulukan. Pada hal, dia datang belakangan. Orang itu masih muda, berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan sikapnya kasar sekali. Dia mendorong begitu saja orang-orang yang antri di depan, tidak perduli yang didorongnya itu wanita, kakek-kakek atau kanak-kanak dan dia menuntut kepada petugas yang membagi beras untuk mengisi kantungnya dengan beras.
Si petugas melihat orang itu dan mengenalnya sebagai orang yang pagi tadi sudah mendapatkan jatahnya, "Eh, bukankah engkau tadi sudah mendapatkan lima kati?"
"Itu kan tadi. Akan tetapi aku sudah antri lagi dan setiap pengantri harus mendapatkan lima kati," katanya kukuh.
"Hem aturan siapa itu?"
"Aturanku!" kata laki-laki itu sambil melotot marah. "Cepat berikan bagianku, ataukah aku harus ambil sendiri?"
"Heii, engkau ini minta atau merampok?" bentak petugas yang membagi beras.
"Kalau merampok, engkau mau apa" balas si laki-laki tinggi besar itu Terjadilah perkelahian, akan tetapi lima petugas itu bukan lawan si laki-laki tinggi besar yang memukul dan menendang mereka sampai jatuh bangun.
Mendadak di tempat itu muncul seorang Wanita cantik bersama seorang gadis manis lain yang lebih muda. Gadi itu berusia kurang lebih sembilanbelas tahun, wajahnya manis sekali dan dia memandang kepada laki-laki itu denga alis berkerut. Gadis ini bukan lain adalah Siang Hwi, murid Ban-tok Sian li yang juga hadir di situ.
Guru dan murid ini berada di kota raja, baru tadi mereka datang dan mereka tertaril sekali melihat kerumunan banyak orang itu maka mereka mendekat dan melihat bahwa kerumunan orang itu adalah orang orang yang menerima bagian beras dari seorang hartawan yang dermawan. Mereka merasa kagum sekali kepada hartawan itu. Pada masa itu, jaranglah terdapat hartawan yang demikian dermawan, yang membagi-bagi beras kepada fakir miskin dan siapa saja yang membutuhkannya.
An Kiong yang diberitahu cepat ke luar. Dia dengan wajah ramah lalu memberi hormat kepada laki-laki tinggi besar yang baru saja menghajar orang-orangnya itu. "Sobat, harap jangan marah. Kalau engkau menghendaki beras, marilah kuambilkan."
"Bagus, begitu baru baik. Nah, isilah kantung ini sampai penuh!" katanya.
An Kiong mengerutkan alisnya. "Sobat, biasanya untuk setiap orang diberi lima kati. Yang minta banyak, kami khawatir kalau sampai persediannya kurang."
"Tidak perduli. Orang-orangmu bersikap kasar kepadaku. Harus dipenuhi kantung ini atau aku akan mengambil sendiri!"
"Perampok busuk...!"