Mestika Golok Naga Jilid 05

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Jilid 05
Sonny Ogawa
LAKI-LAKI itu menengok untuk melihat siapa yang berani memaki dia perampok busuk. Dan dia tercengang melihat bahwa yang memakinya adalah seorang gadis berusia belasan tahun yang amat cantik manis. Dia lalu melangkah maju menghampiri.

"Apa kau bilang, nona?"

"Aku bilang engkau perampok busuk, orang tidak tahu malu yang paling rendah budi di dunia ini!" gadis itu kembali memaki, sekali ini lebih ketus lagi.

"Hei, jaga mulutmu!" bentak laki-laki itu. "Engkau sudah memaki aku, hayo cepat beri ciuman atau kalau engkau tidak mau, mulutmu akan kurobek sebagai hukuman!" laki-laki itu menghampiri semakin dekat dan hendak merangkul.

"Plak-plak...!!" Dua kali tangan gadis itu menampar dan laki-laki itu jatuh terjengkang lalu mengaduh-aduh sambil memegangi kedua pipinya yang menjadi bengkak dan giginya rontok sehingga mulutnya berdarah.

Akan tetapi dasar orang tidak tahu diri. Dalam rasa sakitnya, dia malah marah dan segera bangkit berdiri lalu menyerang gadis itu dengan pukulan kedua tangannya! Karena dia memang tinggi besar dan kuat, pukulannya itu gencar datangnya dan kuat sehingga membuat yang menontonnya menjadi khawatiг akan keselamatan gadis itu.

Akan tetapi mereka kecelik karena tidak sekalipun pukulan itu mengenai tubuh si gadis, bahkan sebaliknya, begitu gadis itu menggerakkan kakinya menendang, untuk kedua kalinya laki-laki itu terjengkang. Akan tetapi sekali ini, dia bangkit dengan perut mulas, dia memegangi perutnya dan lari dari situ tanpa menoleh lagi entah ketakutan entah untuk mencari tempat mengeluarkan isi perutnya yang terguncang!

Melihat ini, semua orang bertepuk tangan dengan girang dan memuji. Pada masa itu, memang banyak sekali orang yang memaksakan kehendaknya, baik dengan bantuan kedudukannya, kekuasaannya, hartanya, maupun kekuatannya. Dan гakyat yang sudah ketakutan itu biasanya tidak ada yang berani melawan. Maka, kini melihat orang yang bertindak sewenang-wenang mendapatkan hajaran, tentu saja mereka menjadi girang dan puas.

An Kiong mengenal orang pandai. Dia lalu memberi hormat kepada gadis itu dengan ramah. "Nona, engkau telah menolongku dan mengusir orang yang bertindak sewenang-wenang tadi. Kami mohon sudilah nona singgah di rumah kami untuk berkenalan dan untuk memberi kesempatan kepada kami mengucapkan terima kasih kami."

Sikap hartawan itu amat hormatnya dan kata-katanya pun teratur ramah dan rapi. Mendengar ini, The Siang Hwi lalu menengok kepada gurunya. "Subo, bagaimana kalau kita singgah sebentar?"

Mendengar gadis itu menyebut subo kepada wanita cantik jelita yang sejak tadi hanya berdiri acuh saja, An wangwie lalu menghampirinya dan memberi hormat. "Ah, kiranya toanio adalah guru nona ini? Maafkan kalau kami kurang hormat kaгena tidak tahu. Toanio, kami mohon sudilah kiranya toanio dan nona singgah di rumah kami sejenak untuk berkenalan dan menghaturkan terima kasih. Kami adalah keluarga yang selalu mengagumi dan menghormati kaum pendekar seperti toanio berdua."

Sikap An-wangwe memang baik sekali sehingga Ban-tok Sian-Ii yang biasanya acuh saja kini-menjadi tertarik juga. Orang ini selain dermawan, juga ramah dan sopan sekali.

"Baik, kita sebentar singgah disini, Siang Hwi." katanya sambil mengangguk.

Dan hartawan itu merasa girang bukan main. Dia memberi isarat kepada orang-orangnya untuk melanjutkan dengan pembagian beras dan dia sendiri tergopoh-gopoh mengiringkan dua orang wanita cantik itu memasuki rumahnya.

Sementara itu apa yang terjadi di luar rumah sudah terdengar oleh isteri dan empat orang anak hartawan itu, dan melihat. hartawan mengiringkan kedua orang masuk, merekapun menyambut dengan ramah dan hormat sehingga amat menyenangkan hati Ban-tok Sian-li.

Kedua orang tamu itu lalu dijamu oleh tuan rumah beserta semua keluarganya yang terdiri dari seorang isteri dan empat orang anak. An Kiong mengangkat cawan araknya memberi hormat kepada mereka berdua.

"Kami hendak memperkenalkan diri kepada ji-wi yang mulia . Nama saya An Kiong, ini isteri saya dan empat orang anak saya yang berusia dari lima tahun sampai lima belas tahun. Kalau ji-wi tidak keberatan, kami ingin sekali mengetahui nama ji-wi yang mulia."

Sikap amat rendah hati ini menggerakkan hati Ban-tok Sian-li. Biasanya ia tidak pernah memperkenaIkan nama aslinya, hanya memperkenalkan nama julukannya saja. Akan tetapi karena hartawan An bukan orang kangouw, dan tidak perlu ia menyembunyikan namanya, maka ia kini memperkenaIkan nama aslinya, bahkan tidak menyebut nama julukannya.

"Aku bernama Souw Hian Li dan muridku ini bernama The Siang Hwi. Kami berdua adalah perantau yang datang dari Lembah Maut di tepi sungai Yang-ce."

"Aih, sudah kami duga bahwa ji-wi tentulah tokoh-tokoh kangouw yang perkasa dan budiman. Puteri kami yang sulung telah berusia limabelas tahun dan ia selalu ingin sekali belajar iImu silat, akan tetapi tidak pernah mendapatkan guru yang pandai. la selalu tertarik kepada mendiang pek-hua-nya (uwa-nya) yaitu Panglima Gak Hui, maka ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi. Kalau saja toa-nio sudi memberi petunjuk kepadanya, alangkah akan bahagianya hati kami."

Diam-diam Ban-tok Sian-li Souw Hian Li terkejut. "Ah, kiranya An-wangwe masih terhitung keluarga mendiang Panglima Gak Hui? Sungguh mengherankan, mengapa engkau masih enak-enak tinggal di kota raja?"

An-wangwe tersenyum. "Ah, kami hanya keluarga jauh. Isteri mendiang Panglima Gak adalah kakak misanku, maka kami terhitung keluarga jauh. Pula, kami tidak pernah ikut urusan perjuangan, mengapa takut tinggal di kota raja? Kamipun tidak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apapun..."

Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar. Serentak mereka keluar. Ternyata yang ribut-rlbut itu adalah selosin orang pasukan yang menyuruh para pembantu dan petugas yang membagi beras tadi menghentikan pekerjaannya dan mereka menyuruh semua orang pergi. Itulah selosin pasukan yang dipimpin oleh Jin Kiat dan Hak Bu Cu. Ketika Jin Kiat melihat An-wangwe muncul, dia lalu menudingkan telunjuknya dan berteriak lantang..

"An Kiong engkau mengumpulkan orang apakah hendak memberontak?"

Anwangwe mengenai pemuda itu dan diapun cepat memberi hormat. "Jin-kongcu, mengapa berkata demikian? Mereka ini adalah fakir miskin yang mengambil bagian beras yang kubagi-bagikan untuk mereka kongcu."

"Ahhh, jangan membantah. Lihat aku membawa surat perintah Yang Mulia Kaisar untuk menangkapi sejuruh keluarga pemberontak Gak. Menyerahlah engkau sekeluargamu untuk kutangkap, An Kiong!"

Seketika wajah An Kiong berubah pucat mendengar ini. "Akan tetapi, kongcu... kami... kami bukan keluarga Gak! Kami keluarga An..."

"Cukup! Siapa tidak tahu bahwa engkau masih saudara misan ibu pemberontak Gak Liu?"

"Ampun, kongcu. Kongcu sendiri cukup lama mengenal keluarga kami yang tidak pernah berbuat salah apapun..."

"Jangan banyak cakap! Perajurit, tangkap mereka semua!" perintah Jin Kiat.

"Kami tidak bersalah! Kami tidak mau ditangkap!" terdengar bentakan dan An Siu Hwa, puteri sulung hartawan An itu. sudah mencabut pedangnya.

"Ha-ha-ha, puterimu ini gagah juga, An Kiong! Biar yang ini bagianku!" kata Jin Kiat dan diapun menubruk kearah gadis itu. Siu Hwa menyambutnya dengan tusukan pedang, akan tetapi ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau dibandingkan Jin Kiat yang menjadi murid para jagoan istana.

Jin Kiat mengelak dan dari samping dia sudah menotok tubuh gadis itu sehingga Siu Hwa merasa tubuhnya lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh ke dalam rangkulan Jin Kiat yang tertawa-tawa.

Para perajurit lalu menangkapi An Kiong, isterinya dan tiga orang anaknya yang lain, yang masih kecil-kecil. Melihat ini Ban-tok Sian-li menjadi marah sekali.

"Jahanam busuk, lepaskan mereka!" la menampar dua kali dan dua orang perajurit terjungkal dan tewas seketika.

Melihat ini, Hak Bu Cu terkejut dan maklum bahwa wanita cantik itu lihai sekali dan memiliki pukulan beracun. Maka diapun segera menerjang maju dan segera terjadi pertandingan yang seru antara Hak Bu Cu melawan Ban-tok Sian-li yang juga terkejut karena di situ muncul raksasa hitam yang demikian dahsyat tenaga dan tinggi llmu silatnya.

Sementara itu, melihat betapa Siu Hwa telah dirangkul secara kurang ajar sekali oleh Jin Kiat, The Siang Hwi mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia sudah menyerang pemuda itu dari samping.

"lepaskan gadis itu!"

Jin Kiat yang masih merangkul dan tadi menciumi Siu Hwa, menggunakan tangan kiri menangkis pukulan Siang Hwi. Dia terlalu memandang rendah, maka ketika Tangan mereka beradu, hampir saja Jin Kiat terpelanting. Dia melepaskan Siu Hwa dan terkejut bukan main karena ternyata gadis cantik manis itu memiliki tenaga sinkang yang membuat dia hampir roboh! Dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Siang Hwi. Akan tetapi gadis inipun mencabut sebatang pedang tipis dari punggungnya dan mereka sudah saling serang dengan hebatnya.

Para perajurit juga membantu Jin Kiat sehingga Siang Hwi dikeroyok banyak оrang. Para perajurit itu tidak berani membantu Hak Bu Cu karena pertandingan antara Hak Bu Cu dengan wanita cantik itu hebat bukan main, Angin yang dahsyat menyambar-nyambar dari kaki tangan mereka sehingga tidak ada perajurit berani mendekat.

Seorang perajurit lari mencari bala bantuan dan tak lama kemudian berdatangan berpuluh-puluh perajurit kerajaan. Melihat ini, mau tidak mau Bantok Sianli lalu melompat jauh dan bersama muridnya ia terpaksa melarikan diri. Tidak mungkin menghadapi pengeroyokan puluhan orang perajurit, apalagi, mereka berada di kota raja yang dapat mengerahkan ratusan bahkan ribuan orang perajurit yang tentu akan membahayakan sekali kepada mereka.

Tеrpaksa walaupun dengan hati mendongkol sekali, Ban-tok Sian-li dan The Siang Hwi membiarkan An Kiong sekeluarga ditangkap dan dibawa ke penjara. Mereka berdua juga tidak lepas dari pengejaran para perajurit. Ke manapun mereka pergi, tentu bertemu dengan seregu perajurit dan beberapa kali mereka harus melakukan perlawanan merobohkan beberapa orang perajurit dan lari lagi.

Akhirnya mereka terjebak ke dalam sebuah lorong, pada hal kedua ujung lorong itu telah terjaga oleh ratusan orang perajurit. Pada saat mereka kebingungan itu, muncullah seorang pemuda berpakaian pengemis, pakaiannya tambal tambalan namun bersih.

"Toa-nio, sio-cia, mari ke sini. Tidak ada jalan keluar lain. Mari cepat!" katanya kepada dua orang wanita itu.

Karena memang sudah tersudut, Ban tok Sian-li memberi isyarat kepada muridnya untuk mengikuti pemuda itu. Mereka memasuki sebuah rumah kecil dan dari rumah ini mereka dapat menyusup melalui lorong-lorong kecil, keluar dari lorong yang terkepung itu. Mereka lalu memasuki sebuah kuil. Kuil itu adalah sebuah kuil para pendeta wanita. Seorang ni-kouw tua menyambut kedatangan pemuda pengemis itu.

"Ceng-nikouw, tolonglah kedua orang sahabat ini. Mereka adalah buruan tentara. Cepat!"

"Baik, masuklah ke sini, ji-wi sio-cia!" kata ni-kouw tua itu kepada Ban-tok Sian-ii dan Siang Hwi.

Pengemis itu lalu memberi hormat dan berkata kepada mereka. "Untuk sementara ji-wi di sini aman. Aku akan mencari jalan untuk ji-wi dapat keluar dari kota raja. Sampai jumpa!" Pengemis itu laiu menyelinap pergi dari situ dengan cepat.

Ban-tok Sian-li dan Siang Hwi segera dibawa masuk ke dalam kamar dan mereka diberi рakaian ni-kouw untuk menyamar, dengan memakai penutup kepala berwarna kuning seperti kebiasaan calon-calon ni-kouw yang belum menggunduli rambutnya.

Benar saja. Tempat itu aman. Biar pun ada rombongan perajurit yang mengadakan pemeriksaan di situ, akan tetapi para perajurit ini tidak berani berbuat sesukanya. Kuil ini biasa dikunjungi oleh permaisur dan keluarga kaisar, maka perajurit pun menghormatinya.

Setelah keadaan agak aman, barulah mereka. berdua berkenalan dengan Ceng Ni-kouw, kepala ni-kouw di situ dan baru mereka tahu bahwa Ceng Nikouw adalah simpatisan para pejuang yang berusaha mengusir para pasukan Kin yang merajalela di perbatasan. Juga, nikouw ini adalah pengagum mendiang Panglima Gak Hui.

Ketika mendengar dari The Siang Hwi mengapa mereka. menjadi buronan, karena membela An Kiong yang ditangkap sebagai anggauta keluarga mendiang Pang lima Gak Hui, ni-kouw itu merasa senang telah dapat menolong mereka.

"Omitohud... memang keadaan sekarang amatlah menyedihkan. Sebetulnya, semua ini gara-gara keluarga Jin itulah!"

"Apakah yang dimaksudkan adalah perdana Menteri Jin Kui?" tanya Ban-tok Sian-li yang merasa tertarik juga.

"Siapa lagi? Sebetulnya kaisar tidaklah jahat, akan tetapi kaisar amat lemahnya dan terlalu percaya kepada perdana menteri itu. Dahulu, Panglima Gak Hui tewas juga karena perdana menteri itu. Hal ini siapakah yang tidak tahu? Seluruh rakyat juga mengetahui belaka akan tetapi kekuasaan Jin Kui amat besar, siapa berani menentang dia? Dan puteranya itu tidak kalah jahatnya dengan ayahnya. Merampas anak gadis orang, bahkan isteri orang, apa saja yang tidak dilakukan pemuda jahat itu. Dan semua orang juga tahu bahwa Perdana Menteri Jin Kui itu diam-diam menjadi antek Kin. Hanya kaisar seorang yang tidak mau tahu dan tidak percaya. Aihh, entah apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Sung"

"Akan tetapi kematian Gak Hui sudah lama terjadi. Sekarang mengapa tahu-tahu hartawan An Kiong ditangkap? Apakah bibi mengetahui sebabnya?" tanya Ban-tok Sian-li.

Ni-kouw Itu menghela napas panjang. "Omitohud... sebetulnya, kalau memang hendak ditangkap sudah dari dahulu. An Kiong itu masih saudara misan mendiang nyonya Gak Hui, maka dapat di kata masih sanak keluarga. Akan tetapi kalau sampai sekarang baru ditangkap hal ini tentu sudah lain jadinya. Mungkin Jin Kiat itu tergila-gila kepada puteri Sulungnya atau mungkin juga merupakan usaha untuk merampas kekayaannya. Pin-ni (aku) sendiri tidak tahu jelas mengapa dia sekeluarga ditangkap. Pada hal semua orang di kota raja tahu belaka bahwa hartawan An itu adalah seorang yang dermawan dan bijaksana, tidak pernah melakukan kejahatan sama sekali.

"Kalau begitu, pasti ada sebab tertentu dan mengapa Perdana Menteri Jin Kui sampai mengutus puteranya sendiri bahkan ditemani raksasa hitam yang lihai itu..."

"Pin-ni juga tidak tahu. Lalu ji-wi ini siapakah dan bagaimana sampai terlibat dalam penangkapan An Kiong itu?"

"Nama saya Souw Hian Li dan ini murid saya bernama The Siang Hwi, bibi. Kami berdua kebetulan tertarik melihat Anwangwe membagi-bagikan beras kepada fakir miskin. Kemudian ketika terjadi penangkapan, kami berdua menjadi tamunya. Sayang sekali kami tidak dapat melindunginya dari tangkapan karena datangnya banyak pasukan kerajaan dan si raksasa hitam itu lihai bukan main. Terpaksa kami melarikan diri, kalau tidak kami tentu tertangkap oleh pasukan yang demikian banyaknya."

"Jangan ji-wi khawatir. Di sini ji-wi pasti aman. Tidak ada yang akan berani menggeledah sampai ke dalam karena kuil ini biasa dikunjungi permaisuri dan keluarga kaisar."

"Kami tidak mengkhawatirkan diri kami, bibi, yang kami khawatirkan adalah keadaan keluarga An yang ditangkap."

"Omitohud, apa yang dapat kita lakukan, toa-nio? Kekuasaan Perdana Menteri Jin Kui amat besar, hanya di bawah kekuasaan kaisar sendiri. Hanya kaisarlah yang dapat menghentikan semua perbuatannya. Apa daya kita?"

"Hemm, kalau perlu kami akan mempergunakan kekerasan untuk membebaskan hartawan An, atau dapat juga kami memaksa Perdana Menteri Jin Kui!" kata Ban-tok Sian-li sambil mengepal tinju.

la sungguh merasa tidak rela melihat An Kiong, hartawan yang demikian bijaksana dan dermawan, diperlakukan sewenang-wenang oleh siapapun juga. Memang demikianlah watak Ban-tok Sian-li. Kalau ia sudah tidak perduli, maka iapun tidak akan memperhatikan apapun yang terjadi kepada seseorang, ia akan acuh saja. Akan tetapi sekali ia membela orang, akan dibelanya sampai semampunya!

"Harap toa-nio bersabar. Jin Kui itu besar sekali kekuasaannya dan dia dijaga oleh sepasukan pengawal yang berilmu tinggi. Berbahaya sekali kalau memasuki ruangan gedungnya. Sebaiknya kita menanti sampai Gan-enghiong datang."

"Gan-enghiong?"

"Oh ya, ji-wi belum mengetahui namanya. Pemuda yang membawa ji-wi ke sini, dia adalah putera ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam). Biarpun golongan pengemis, namun mereka adalah para pengemis kang ouw yang gagah dan tidak pernah berbuat jahat, bahkan selalu siap menolong orang yang tertindas. Bahkan ketuanya bersimpati kepada para pejuang, akan tetapi di kota raja tentu saja mereka tidak berani terang-terangan.

"Bukankah para pejuang itu berarti membela pula kedaulatan Kerajaan Sung?"

"Sebenarnya demikian. Para pejuang itu setia kepada kerajaan dan mereka memusuhi Kerajaan Kin. Akan tetapi, karena pengaruh Perdana Menteri Jin Kui, Kaisar menyalahkan para pejuang yang dianggap membikin kacau saja memancing permusuhan dengan Kin."

"Sungguh aku tidak mengerti. Kaisar dibela para pejuang malah memusuhi mereka. Pasti ada hal-hal kotor dan busuk tersembunyi dibalik semua, ini" kata Ban-tok Sian-li penasaran.

"Telah menjadi rahasia umum bahwa Perdana Menteri Jin Kui memang bersikap baik dan bersahabat terhadap Kerajaan Kin. Dia yang membujuk Kaisar untuk berdamai dengan Kerajaan Kin. Contohnya Pang lima Gak Hui. Kurang bagaimana panglima besar itu? Dia setia kepada Kaisar, akan tetapi kenyataannya dia dihukum mati hanya karena dia bersikap terus menentang Kerajaan Kin dan melancarkan serangan yang sama sekali tidak disetujui oleh Perdana Menteri Jin Kui."

"Sungguh celaka! Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Sung sikapnya demikian lemah terhadap musuh yang selalu mengancam keamanan negara dan bangsa? Sungguh mengherankan sekali. Semestinya kaisar merasa bangga dan senang melihat rakyatnya setia dan membela kerajaannya. Padahal, sudah amat luas tanah air yang dijajah bangsa Yu cen. Sepatutnya kaisar menghimpun kekuatan rakyat untuk merampas kembali daerah yang direbut oleh penjajah Itu..."

"Pikiran seperti toa-nio itulah yang membuat para pendekar patriot membentuk laskar-laskar rakyat dan menyerang pasukan Kin. Akan tetapi sayangnya di rumah sendiri mereka dimusuhi oleh pasukan Sung yang semestinya malah mendukung dan membela mereka. Yah, beginilah keadaannya, toa-nio. Kita mampu berbuat apakah?"

Sampai jauh malam mereka bercakap-cakap Ban-tok Sian-li dan muridnya mendapat banyak keterangan dari ni-kouw itu sehingga hati datuk wanita itu menjadi semakin tertarik. Tadinya ia sama sekali tidak perduli tentang perjuangan akan tetapi kini ia mulai bersimpati kepada para pejuang.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gan Kok Bu, yaitu pemuda yang menolong guru dan murid semalam dan menyembunyikan mereka ke dalam kuil ni-kouw, muncul di kuil itu. Kedatangannya secara rahasia dan Ceng Nikouw lalu membawanya ke ruangan belakang di mana dia bertemu dengan Ban-tok Si anli dan The Slang Hwi. Begitu bertemu, Ban-tok Sian-li segera bertanya,

"Saudara Gan, bagaimana kabarnya dengan An-wangwe dan keluarganya?"

Yang ditanya menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang lalu berkata pendek, "Celaka mereka itu..."

Siang Hwi menjadi terkejut dan khawatir. "Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Benar-benar keparat ayah dan anak she Jin itu!" Kok Bu berkata sambil mengepal tinju. "Orang-orang yang tidak bersalah apapun, bahkan yang berjasa bagi rakyat jelata, dibunuhi secara kejam!"

"Dibunuh? Maksudmu, mereka semua dibunuh?" tanya Ban-tok Sian-li membelalakkan matanya yang indah.

"Tidak cuma dibunuh, mereka disiksa sampai mati."

"Akan tetapi, mengapa? Apa kesalahan mereka?" Ban-tok Sian-li kini bertanya dengan setengah berteriak. Sukar ia membayangkan orang tua yang berbudi itu dibunuh sеkеluarganya begitu saja, bahkan disiksa sampai mati!

"Menurut hasil penyelidikan kami melalui para perajurit pengawal, mereka itu disiksa untuk mengaku di mana adanya pemberontak Gak Liu. Karena tidak ada yang dapat mengatakan di mana adanya Gak Liu, mereka disiksa sampai mati dan dicap sebagai pemberontak. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, puteri sulung An wangwe oleh Jin Kiat telah diperkosa kemudian diserahkan kepada pengawal sampai gadis itupun menemui ajalnya. Dan harta benda hartawan itu disita untuk negara yang tentu saja telah disaring dulu melalui tangan Perdana Menteri.

"Terkutuk! Kami tidak dapat mendiamkannya saja, subo!" tiba-tiba Siang Hwi berseru nyaring, mukanya berubah merah sekali saking marahnya.

"Benar! Kita harus bertindak. Malam ini juga kita berdua akan menyusup ke dalam gedung Perdana Menteri Jin dan kita bunuhi mereka semua sekeluarga!" kata Ban-tok Sian-li.

"Omitohud... toa-nio dan nona pin-ni harap ji-wi tidak melakukan pekerjaan yang amat berbahaya itu. Salah salah ji-wi sendiri yang akan menderita celaka di tangan para pasukan pengawal."

"Kami tidak takut, bibi. Sudah menjadi resiko dunia persilatan, kalau tidak berhasil tentu gagal kalau tidak menang tentu kalah dan kekalahan ada kalanya membawa nyawa. Kami tidak takut!" kata Ban-tok Sian-li dengan ucapan yang keren dan tegas.

"Maaf, toanio dan siocia (nona) bukannya saya ingin mencampuri urusan ji-wi, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Ceng Ni-kouw, menyerbu ke dalam gedung istana Perdana Menteri amatlah berbahaya. Perdana Menteri Jin Kui telah mengundang beberapa orang jagoan istana untuk mengawalnya, dan kedudukannya kuat sekali."

"Kami tidak takut!" kata pula Ban tok Sian-li. "Pendeknya malam ini kami harus dapat membunuh Perdana Menteri keparat itu!"

Karena merasa tidak mampu untuk mencegah guгu dan murid itu, Kok Bu hanya menghela napas panjang dan dia berpamit. Akan tetapi diam-diam dia ngumpulkan beberapa puluh anak buahnya yang paling lihai dan bersiap-siap untuk melindungi guru dan murid itu. Entah mengapa, hatinya merasa tidak rela melihat The Siang Hwi terancam bahaya kalau ikut gurunya menyerbu rumah ge dung Perdana Menteri Jin.

Malam itu amatlah sunyi dan dingin. Malam terang bulan yang sejuk. Akan tetapi seperti biasa, setelah agak malam semua penduduk memasuki rumahnya. Apa lagi tersiar berita bahwa pasukan mencari-cari buronan dan ini berarti setiap saat dapat saja rumah penduduk diserbu pasukan, digeledah dan hal ini membuat setiap penduduk merasa ketakutan. Kalau kebetulan pasukan yang menggeledah itu dipimpin seorang perwira yang baik, maka penggeledahan berjalan wajar dan tidak terjadi gangguan kalau mereka tidak menemukan orang yang dicari di rumah itu.

Akah tetapi kalau ternyata sebaliknya, pasukan itu dipimpin oleh seorang perwira yang jahat, maka pasukan itu menggunakan kesempatan untuk menggerayangi harta milik penduduk, dan tidak segan-segan mengganggu wanita yang muda dan cantik.

Di antara bayang bayang pohon berkelebatan dua sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main. Mereka itu adalah Ban-tok Sian-li dan muridnya, The Siang Hwi. Dengan menyelinap diantara pohon-pohon mereka menghampiri gedung besar tempat tinggal Perdana Menteri Jin Kui dan tak lama kemudian mereka telah tiba di luar pagar tembok yang tinggi.

Di pintu gerbang pagar tembok itu terdapat gardu penjagaan dan di situ berkumpul belasan orang penjaga. Mereka secara bergilir meronda, mengeliIingi gedung itu. Dengan gerakan ringan dan mudah saja, guru dan murid ini lalu melompati pagar tembok dan turun di sebelah dalam. Mereka telah berada di dalam taman dan agaknya tidak ada penjaga yang mengetahui gerakan mereka. Dengan girang guru dan murid ini lalu melaya naik ke atas genteng dan dari sana me ceka mencari-cari, mengintai ke bawah.

Tiba tiba mereka berhenti bergerak dan mendekam di atas wuwungan. Mereka melihat pemuda yang bukan lain adalah Jin Kiat bersama seorang laki-laki setengah tua duduk di sebuah ruangan yang lampunya terang, sedang makan minum. Dari si kap Jin Kiat yang menghormat laki-laki setengah tua itu, mudah diduga bahwa orang itu tentulah perdana Menteri Jin Kui, ayah pemuda itu. Mereka berdua makan minum dilayani beberapa orang dayang dan di sekitar ruangan itu nampak lima orang perajurit pengawal menjaga.

"Kesempatan baik," bisik Ban-tok Sian-li kepada muridnya. "Mari serbu!"

Dua orang wanita perkasa itu lalu melayang turun, dan mendadak saja semua penerangan di ruangan itu menjadi padam sehingga keadaannya menjadi gelap. Mereka terkejut dan maklum bahwa mereka terjebak. Dan tiba-tiba ruangan menjadi terang benderang kembali akan tetapi Perdana Menteri Jin Kui dan para dayang telah menghilang.

Yang ada hanyalah Jin Kiat yang kini memimpin belasan orang pengawal, di antaranya terdapat raksasa hitam yang lihai! Mereka itu telah mengepung guru dan murid itu. Melihat guru dan murid ini, Jin Kiat segera mengenai mereka sebagai orang-orang yang pernah membela An Kiong sekeluarga ketika keluarga ttu hendak ditangkap, maka dia tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian dua orang wanita pemberontak! Tangkap mereka! Terutama yang muda itu, tangkap hidup-hidup dan jangan lukai!"

Para pengawal itu sudah mencabut senjata masing-masing, dan Ban tok Sian-li yang maklum bahwa si tinggi besar muka hitam itu amat lihai, sudah menerjang kepada raksasa hitam ini dengan pedangnya. Pedang di tangan datuk wanita ini bersinar hitam dan pedang itu amatlah berbahaya karena telah direndam racun yang amat berbahaya. Sekali terkena goresan pedang ini musuh akan tewas dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.