MELIHAT wanita itu menghunus pedang yang bersinar hitam. Hak Bu Cu juga menghunus goloknya yang tersembunyi di balik jubahnya. Melihat golok ini, Ban-tok Sian-li berseru kaget.
"Mestika Golok Naga...!"
"Engkau sudah mengenal golokku! Bagus, hayo cepat menyerah sebelum golokku membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!"
Akan tetapi Ban-tok Sian-li sudah menggerakkan pedangnya, menyerang dengan dahsyatnya menusukkan pedang ke arah dada lawan.;Hak Bu Cu tidak berani memandang rendah. Dia sudah merasakan kelihaian wanita ini dan harus mengakui bahwa tanpa bantuan pengawal, kemarin dia tidak akan mampu menandingi wanita ini. Maka diapun cepat menggerakkan golok yang besar itu menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Cringggg... trangg...!!"
Dua kali pedang bertemu golok dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Beberapa orang pengawal sudah menyerbu dan Ban-tok Sian-li lalu dikeroyok. Sementara itu, Siang Hwi juga sudah mengamuk, dikeroyok Jin Kiat dan orang-orangnya sehingga gadis ini, seperti juga gurunya, sudah dikepung ketat.
Guru dan murid itu mengamuk dan mereka sudah berhasil membunuh beberapa orang pengawal, akan tetapi datang pula regu pengawal yang lain sehingga mereka semakin terdesak. Ketika mengelak dari sambaran banyak senjata tiba tiba Ban-tok Sian-li terkena tendangan yang dilontarkan oleh Hak Bu Cu. Keras sekali tendangan itu dan Ban-tok Sian-li tidak sempat mengelak lagi, karena ia sedang mengelak dan menangkis sambaran banyak senjata para pengeroyok.
Tendangan itu mengenai paha kirinya. Biarpun paha itu tidak menderita luka, akan tetapi saking kerasnya tendangan itu, kakinya menjadi memar dan rasanya nyeri bukan main. Tubuh Ban tok Sian-li terpelanting dan dengan cepat iapun bergulingan. Ketika, dua orang pengawal mengejarnya dengan bacokan golok, ia menggerakkan pedangnya dan dua orang pengawal itupun roboh mandi darah dan tewas seketika. la melompat berdiri lagi dan mengamuk. Sudah lebih dari sepuluh orang pengawal roboh oleh pedangnya, demikian pula muridnya telah merobohkan banyak pengawal. Akan tetapi Jin Kiat masih terus mengepungnya dengan pengawal pengawal baru yang datang membantu.
Keadaan guru dan murid itu kini terdesak dan mereka dalam bahaya. Apa lagi kini Ban-tok Sian-li sudah terkena tendangan yang membuat gerakannya kurang lincah, sedangkan Hak Bu Cu terus mendesak dengan hebatnya. Selagi mereka berdua terdesak, mendadak nampak banyak bayangan berkelebat dan muncullah belasan orang membantu guru dan murid itu. Mereka berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, dan senjata mereka juga bermacam-macam.
Akan tetapi melihat bahwa yang muncul itu adalah Gan Kok Bu. Maklumlah Ban-tok Sian-li dan Siang Hwi bahwa orang-orang itu tentu para anggauta Hek-tung Kai-pang yang sengaja menyamar agar jangan ketahuan bahwa mereka anggauta perkumpulan pengemis itu. Maka mereka tidak mengenakan рakaian pengemis dan tidak pula menggunakan senjata tongkat hitam. Bagaimanapun juga, setelah rombongan ini datang membantu, Ban-tok Sian-li dan Siang Hwi lolos dari kepungan.
Kok Bu segera menghampiri mereka dan berseru, "Mari kita pergi!"
Karena maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, pihaknya tentu akan menderita kekalahan dan akan celaka di tangan para pengawal, Ban-tok Sian-li yang sudah terluka pahanya lalu melompat pergi dan mengajak muridnya. "Siang Hwi, kita pergi!"
Siang Hwi juga meloncat pergi. Bantuan para anggauta Hek-tung Kai-pang memungkinkan mereka meninggalkan para pengeroyok itu. Pada saat itu, bagian kiri gedung itu terbakar, dibakar oleh anggauta Kai-pang yang bertugas untuk itu. Melihat ini, tentu saja para pengawal menjadi panik dan kesempatan ini memungkinkan mereka semua untuk melarikan diri, walaupun ada tiga orangg anggauta Kai-pang terpaksa ditinggal karena mereka sudah roboh dan tewas.
Kok Bu mengajak guru dan murid itu pergi bersembunyi di tempat rahasia ayahnya, yaitu ketua Hek-tung Kai-pang. Tempat ini adalah sebuah rumah seorang pejabat tinggi bagian kebudayaan. Pejabat tinggi ini juga seorang yang bersimpati kepada para pejuang, maka memberikan rumahnya yang kosong untuk tempat bersembunyi ketua Hek-tung Kai-pang. Dan tidak akan ada orang yang mencurigai tempat itu karena tempat itu kadang-kadang dijadikan tempat peristirahatan sang pembesar tinggi.
Selain itu, masih ada hubungan keluarga antara pejabat tinggi itu dengan ketua Hek-tung Kai-pang yang bernama Gan Liang. Adapun pusat Hek-tung Kai-pang sendiri berada di luar kota raja. Para anggauta Hek-tung Kai-pang dengan bebas berkeliaran di kota raja karena mereka tidak pernah membikin ribut dan mereka membantu para pejuang secara rahasia, tidak terang-terangan.
Ban-tok Sian-li dan The Siang Hwi disambut oleh Hek-tung Kai-pang-cu Gan Liang sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang nampaknya masih gagah. Ayah Gan Kok Bu ini sudah mendengar dari puteranya tentang sepak terjang wanita bernama Souw Hian Li dan muridnya yang bernama The Siang Hwi itu.
Ketika menyambut dua orang wanita itu, Gan Liang yang memberi hormat kepada Ban-tok Sian-li tertegun. Dia memandang wanita itu penuh perhatian, lalu berseru heran, "Bukankah toanio ini Ban-tok Sian-li"
Yang di tanya balas memandang. "Bagaimana engkau dapat mengenalku?"
"Siapa yang tidak mengenai Ban-tok Sian-li dari Lembah Maut yang tersohor itu?"
Melihat sikap ayahnya yang nampak kaget dan juga tidak senang itu, Gan Kok Bu lalu mempersilakan mereka, duduk. Suasana menjadi agak kaku karena Gan Liang lebih banyak diam dari pada bicara. Tentu saja hal ini dirasakan oleh Ban-tok Sian-li dan dengan terus terang datuk ini berkata,
"Agaknya Hek-tung Kai-pangcu tidak menyukai kehadiran kami di sini!"
"Ah, tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya terkejut dan terheran bahwa Ban-tok Sian-li tiba-tiba menjadi seorang pejuang yang membela An-wangwe. Pada hal dahulu engkau tidak pernah pemperdulikan perjuangan, Sian-li."
"Pang-cu, tidak ada orang yang boleh memaksaku untuk berjuang dan tidak ada orang pula yang boleh melarangku untuk berjuang. Karena itu, engkau tidak perlu heran," jawab Ban-tok Sian- li dengan ketus.
Wanita itu memang aneh wataknya. Kalau ia ditentang, ia akan bangkit melawan dengan keras. Dan kiranya ini sudah menjadi watak para datuk persilatan pada umumnya.
"Tidak, Sian-li, siapa berani melarangmu? Silakan tinggal di sini, dan selama di sini, engkau akan aman dari pengejaran pasukan. Maaf, saya ada keperluan lain, terpaksa harus meninggal kan ji-wi."
Dia lalu keluar dari ruangan itu dan tinggal Kok Bu yang sikapnya jauh berbeda dengan ayahnya. Dia melayani dua orang tamunya dengan baik dan penuh penghormatan, lalu menunjukkan sebuah kamar untuk mereka. Juga dia menyediakan makanan untuk kedua orang tamunya itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Hwi sudah mandi dan keluar dari kamarnya. Gurunya masih beristirahat karena semalam gurunya itu hampir tidak tidur melainkan menghimpun tenaga murni untuk mengobati luka di pahanya yang memar.
Rumah pejabat itu cukup besar dengan pekarangan yang luas, dan di belakang terdapat sebuah taman bunga yang cukup indah dan luas pula. Siang Hwi memasuki taman itu. Udara pagi itu amat сеrah, burung-burung masih banyak yang berkicau di taman itu, belum berangkat pergi mencari makan, Sinar matahari pagi mulai menghangatkan taman. Siang Hwi menghampiri serumpun kembang merah dan dipetiknya setangkai lalu di pasangnya di rambutnya.
"Nona...!" la terkejut dan memutar tubuhnya. Ternyata Kok Bu yang memanggilnya tadi dan pemuda itu berdiri di depannya terbelalak dan memandangnya dengan mata terpesona. Bagi Kok Bu, gadis itu nampak cantik jelita pagi itu, apa lagi dengan bunga merah di rambutnya, nampak seperti seorang bidadari dari kahyangan yang turun ke taman itu bersama cahaya matahari pagi.
"Eh, Bu toako kiranya. Selamat pagi. Eh, toako engkau kenapakah?"
"Kenapa...?"
"Engkau memandangku seperti belum pernah melihat aku saja!"
Kok Bu tersenyum salah tingkah dan menjawab gugup, "Aku... ah, kembang di rambutmu itu membuatmu nampak cantik jellta seperti bidadari saja, nona..."
"Hemm, engkau terlalu memujiku, toako!"
"Sungguh mati, aku bukan merayu atau memuji kosong, nona Siang Hwi. Engkau adalah gadis yang paling cantik yang pernah kutemui selama hidupku."
"Omong kosong! Engkau tinggal di kota raja, bahkan engkau banyak mengenal para bangsawan. Banyak putri bangsawan cantik jelita di kota raja, apa lagi puteri istana."
"Sudah banyak aku bertemu puteri bangsawan, akan tetapi tidak ada yang dapat menandingi engkau dalam hal kecantikan dan kegagahan, nona. Aku sungguh terpesona dan begitu bertemu denganmu, seketika aku jatuh hati. Maafkan kelancanganku..."
Wajah Siang Hwi menjadi kemerahan akan tetapi ia tidak marah. Sikap pemuda ini terlalu jujur dan ucapannya itu bukan rayuan, hal ini ia dapat merasakan benar. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pemuda yang baru dikenalnya itu, walau pun ia merasa berterima kasih dan juga kagum atas pertolongan pemuda ini kepadanya dan kepada gurunya.
"Sudahlah, toako, jangan bicara soal itu. Aku tidak senang mendengarnya. Sama sekali belum ada dalam pikiranku persoalan yang kau kemukakan itu. Maafkan aku."
Dan iapun pergi meninggalkan,pemuda itu menuju ke rumah untuk masuk ke kamarnya di mana gurunya masih tidur. Akan tetapi ia melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahulah ia bahwa bayangan itu adalah Gan-pangcu, ayah dari Kok Bu. Karena ingin tahu apa yang akan terjadi, ia menyelinap ke balik sebatang pohon dan mengintai.
Gan Liang kini bicara keras kepada anaknya sehingga Siang Hwi tidak perlu mengerahkan pendengarannya untuk dapat mendengar apa yang dikatakan ketua Hek-tung Kai-pang itu.
"Apa? Engkau mencinta gadis itu? Tidak tahukah engkau murid siapa ia? Gurunya adalah Ban-tok Sian-li, datuk sesat yang tinggal di Lembah Iblis! Tidak, aku tidak suka kalau engkau mencinta gadis itu. Apa lagi menikah dengannya! Aku tidak suka berbesan dengan datuk sesat!"
Mendengar ini, Siang Hwi mengerutkan alisnya dan diam-diam ia pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam gedung. la mendapatkan gurunya sudah bangun dan sudah mandi. "Subo, sebaiknya kita cepat pergi dari tempat ini dan keluar kota raja," kata Siang Hwi.
Melihat wajah muridnya seperti orang yang marah, Ban-tok Siàп-li memandang penuh selidik, "Ada apakah, Siang Hwi?"
"Subo, aku mendengar Gan-pangcu berkata kepada puteranya bahwa dia merasa khawatir dan tidak senang kalau kita tinggal di sini lebih lama lagi karena dapat membahayakan dirinya dan perkumpulannya. Karеna itu, sebaiknya kita pergi sekarang juga, subo. Mereka sudah menolong kita, tidak enak kalau harus menyusahkan mereka lebih lanjut."
Gurunya mengangguk. "Engkau benar, Siang Hwi. Kalau begitu mari kita berkemas dan pergi dari sini sekarang juga."
Siang Hwi menjadi girang dan cepat ia berkemas bersama gurunya. Selagi keduanya berkemas, muncul Kok Bu di depan kamar mereka. Melihat kesibukan guru dan murid yang berkemas dan menggendong buntalan pakaian di punggung, dia terkejut sekali.
"Eh, toanio, dan nona, jiwi hendak pergi ke manakah?"
Ban-tok Sian-li yang menjawab tegas. "Kami akan berpamit dan pergi dari sini sekarang juga."
"Akan tetapi, itu berbahaya sekali Ji-wi akan diketahui oleh para pengawal dan perajurit dan tentu akan di tangkap! Pula, di kota raja ini, ji-wi hendak bersembunyi di mana? Di sini merupakan tempat terbaik bagi ji-wi untuk bersembunyi."
"Kami hendak keluar dari kota raja!" kata Siang Hwi yang bicara dan suaranya terdengar dingin.
"Tapi... tapi itu lebih berbahya!" kata Kok Bu. "Semua pintu gerbang dijaga ketat oleh pasukan dan tidak mungkin Ji-wi dapat melewati pintu gerbang dengan selamat."
"Kami tidak takut! Akan kami lawan mati-matian!" kata pula Ban-tok Sian-Li .
"Aihh, kenapa ji-wi memaksakan diri? Kalau ji-wi memaksa, baiklah, akan kami atur agar ji-wi dapat melewati pintu gerbang dengan aman. Jalan satu-satunya hanyalah menyamar sebagai anggauta Hek-tung Kai-pang."
"Menyamar?" tanya Ban-tok Sian li.
"Jangan ji-wi khawatir. Di antar anak buah kami terdapat seorang yang ahli dalam hal mendandani orang dalam penyamaran. Dalam waktu singkat saja ji-wi sudah akan menjadi orang lain yang tidak akan dikenal bahkan oleh orang-orang terdekat. Bagaimana pendapat ji-wi? Kiranya itulah jalan satu-satunya untuk dapat menyusup keluar dari pintu gerbang dengan selamat."
Tentu saja guru dan murid itu tidak dapat menolak tawaran yang menarik dan juga menguntungkan itu. Anggauta Hek-tung Kai-pang yang ahli merias itu dipanggil dan segera dia mendandani Ban-tok Sian-li dan The Siang Hwi. Dalam waktu kurang dari satu jam, kedua guru dan murid ini benar-benar telah berubah, menjadi dua orang anggauta pengemis yang berjalan terbongkok-bongkok membawa tongkat.
Tak lama kemudian, di pintu gerbang utara, ada serombongan pengemis terdiri tujuh orang melewati pintu gerbang itu, para petugas jaga tentu saja tidak mau didekati para pengemis yang berpakaian kotor dan berbau. Maka merekapun membiarkan para pengemis itu lewat. Setelah melewati pintu gerbang, para pengemis itu segera pergi berpencar. Dua di antara mereka yang berjalan terbongkok-bongkok melanjutkan perjalanann dengan cepat menuju ke barat.
Akan tetapi belum lama para pengemis itu melewati pintu gerbang, tampak belasan orang penunggang kuda tiba di tempat itu, yaitu rombongan pengawal rumah gedung Perdana Menteri, dipimpin oleh seorang raksasa hitam yang bukan lain adalah Hak Bu Cu.
"Apakah ada serombongan pengemis lewat di sini?" tanya Hak Bu Cu yang berpakaian perwira.
Para petugas jaga di pintu gerbang itu tidak mengenal Hak Bu Cu, akan tetapi melihat pakaiannya, mereka memberi hormat dan seorang di antara mereka menjawab bahwa baru saja ada serombongan tujuh orang pengemis lewat di situ dan keluar kota.
"Hayo cepat kejar!" bentak Hak Bu Cu dan anak buahnya lalu membedal kuda melakukan pengejaran keluar kota melalui pintu gerbang utara.
Bagaimana sampai para pengawal mencurigai serombongan pengemis itu? Semua ini adalah ulah ketua Hek-tung Kai-pang sendiri. Setelah dia membiarkan puteranya menolong dua orang wanita itu melarikan diri dengan mendandani mereka seperti dua orang pengemis, Gan Liang lalu mengutus seorang anak buahnya untuk memberitahu kepada Perdana Menteri Jin Kui bahwa ada serombongan penjahat yang menyamar pengemis melarikan diri keluar kota raja melalui pintu gerbang utara!
Tentu saja Perdana Menteri Jin lalu mengutus Hak Bu Cu untuk melakukan pengejaran. Sementara itu, mendengar akan perbuatan ayahnya ini, Gan Kok Bu marah sekali kepada ayahnya.
"Ayah, apa yang telah ayah lakukan ini? Kenapa ayah mengkhianati mereka yang jelas membantu para pejuang?"
"Tadinya aku memang setuju engkau membantu mereka karena mereka membantu para pejuang. Akan tetapi setelah aku tahu siapa wanita yang kau bantu, aku lebih senang melihat mereka tertangkap dan terhukum! Engkau tidak tahu siapa itu Ban-tok Sian-li! Ketika ia masih gadis dahulu, telah banyak orang menjadi korban karena kecantikannya! Banyak pemuda tergila-gila kepadanya dan mengajukan pinangan. Akan tetapi apa yang dilakukan? la menghina semua yang meminangnya dan menghajar setiap orang pria yang berani meminangnya, bahkan ada yang terbunuh olehnya! Wanita macam apa itu? Biarlah ia ditangkap dan menerima hukuman mati, baru puas hatiku..."
Melihat betapa ayahnya nampak mendendam sekali kepada Ban-tok Sian-li, Kok Bu bertanya dengan alis berkerut, "Hemm, agaknya ayah termasuk seorang yang telah ditolak pinangannya?"
Wajah ayahnya berubah kemerahan. "Benar, dan ia telah merobohkanku, hampir saja membunuhku. Tak pernah aku dapat melupakan penghinaan itu!"
"Ayah, peristiwa itu telah terjadi bеrtahun-tahun yang lalu, kenapa ayah masih mendendam? Dan pula, sudah wajar kalau cinta seseorang ditolak, kenapa harus merasa sakit hati? Tentang penyerangan itu, mudah diketahui. Sebagai seorang ahli silat, agaknya ia hendak menguji setiap orang pemuda yang meminangnya, ia tidak ingin memperoleh suami yang kalah olehnya. Itu wajar saja, ayah!"
"Sudahlah, engkau tahu apa? Wanita itu memiliki pukulan beracun, segalanya yang ada padanya beracun, kukunya, rambutnya, dan juga hatinya beracun!" kata ayahnya dan meninggalkan puteranya yang merasa penasaran sekali. Yang tidak di сегitakan oleh Gan Liang adalah bahwa ketika hal itu terjadi dia sudah mempunyai istеri dan anak.
Karena kecantikan Souw Hian memang luar biasa sekali dan mendenger bahwa gadis itu mau diperisteri pria yang dapat mengalahkannya, maka diapun yang tergila-gila melihat kecantikannya, ikut masuk sayembara itu, dengan maksud kalau sampai dia berhasil wanita itu akan dijadikan isteri kedua. Akan tetapi bukan saja dia tidak berhasil bahkan dia hampir tewas oleh рukulan beracun Souw Hian Li yang kemudian berjuluk Ban-tok Sian-Li.
Kok Bu merasa marah sekali kepada ayahnya. Dia anggap ayahnya tidak adil dan tidak benar tindakannya. Maka, dia lalu berkemas dan meninggalkan rumah itu tanpa pamit lagi kepada ayahnya. Dia hendak menyusul Siang Hwi dan kalau tidak bertemu, dia akan membantu pergerakan para pejuang di luar kota raja.
Tadi dia memang tidak mengantarkan Siang Hwi dan gurunya karena kalau dia yang mengantar dan terjadi sesuatu amat berbahaya bagi Hek-tung Kai-pang karena para penjaga banyak yang sudah mengenalnya sebagai pimpinan Hek tung Kai-pang.
"Tiong Li, sudah lima tahun engkau mempelajari ilmu dari kami berdua. Semua ilmu yang kami kuasai telah kami berikan kepadamu, dan karena engkau sebelumnya telah digembleng oleh Pеk Hong San-jin, maka kini tingkat kepandaianmu sudah lebih tinggi dari pada tingkat kami berdua. Nah, sekarang setelah tiba saatnya untuk kita saling berpisah, apa yang hendak kau lakukan?" tanya Thian Kui Lo-jin yang tinggi kurus kepada muridnya.
"Usiamu sudah dua puluh satu tahun, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu sendiri. Kami hanya ingin mengetahui, jalan mana sekarang yang hendak kau tempuh? Apa yang akan kau lakukan?" tanya pula Tee Kui Lo-jin yang bertubuh gendut pendek.
Ditanya demikian oleh kedua ,orang gurunya, Tiong LI menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kedua orang gurunya Itu. "Suhu walaupun teecu sudah dewasa dan telah menerima gemblengan dari mendiang suhu Pеk Hong San-jin kemudian dari suhu berdua, akan tetapi teecu sama sekali tidak mempunyai pengalaman. Teecu masih hijau dan kalau ji-wi suhu bertanya apa yang hendak teecu lakukan, teecu menjadi bingung. Teecu sendiri tidak tahu apa yang hendak Teecu lakukan setelah teecu terpaksa berpisah dari ji-wi suhu. Teecu mohon pe tunjuk!"
"Ha-ha-ha, bagus engkau masuh berendah hati untuk bertanya. Pakailah sikap rendah hati ini untuk selamahya,Tiong Li. Hanya orang yang rendah hati sajalah yang akan dapat memperoleh tambahan pengetahuan," kata Tee Kui Lok jin. "Tiong ki, manusia diberi kehidupan dan dilahirkan di dalam dunia ini tentu bukan percuma saja, bukan seperti binatang saja asal makan tidur lalu mati. Tuhan tentu mempunyai maksud tertentu terhadap manusia yang dibekali hati akal pikiran, diberi akal budi sehingga manusia dapat menentukan sendiri, memilih apa yang baik untuk dirinya. Manusia bukanlah benda mati, bukan pula binatang atau tumbuh-tumbuhan. Manusia berakal budi, karena itu hidup di dunia ini haruslah bertanya kepada diri sendiri, apa yang dapat dilakukan demi diri sendiri, demi orang Iain, demi kemanusiaan dan demi dunia pada umumnya. Jadikanlah dirimu seorang manusia yang berguna dan bermanfaat bagi kemanusiaan dengan perbuatan-perbuatan yang bijaksana, benar dan adil. Sia-sia sajalah manusia hidup didunia kalau hanya untuk menanti datangnya kematian tanpa melakukan sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan"
"Akan tetapi suhu. Apa yang harus dapat teecu lakukan?"
"Sian-cai, banyak sekali yang dapat kau lakukan, muridku," kata Thian Lo-jin. "Kalau engkau tidak tahu apa yang kau lakukan, lalu untuk apa Engkau mempelajari semua iImu itu? Kau tahu, di dunia ini terdapat banyak sekali kejahatan dilakukan manusia yang batinnya dikuasai Iblis. Engkau sudah memiliki iImu kepandaian untuk menghadapi mereka yang suka melakukan perbuatan sewenang-wenang, menggunakan kekerasan mengandalkan tenaga dan kepandaian. Engkau dapat mencegah perbuatan jahat itu dan menolong mereka yang tertindas. Engkau dapat berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan demi perikemanusiaan. Dan engkau dapat juga membaktikan dirimu demi nusa dan bangsa, dapat membantu gerakan para pejuang yang membendung kekuasaan Bangsa Yucen yang semakin sewenang-wenang melebarkan kekuasaannya. Engkau dapat mengingatkan dan memberi hajaran kepada para pembesar yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya, yang suka memeras dan menindas rakyat jelata. Wah banyak sekali yang dapat kau lakukan Tiong Li!"
"Teecu mengerti dan akan teecu laksanakan petunjuk suhu," kata Tiong Li.
"Akan tetapi berhati-hatilah, Tiong Li. Kekuatanmu itu dapat mendatangkan kekuasaan, dan kekuasaan yang bagaimanapun juga bentuknya dapat membuat orang menjadi lupa diri dan menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh karena itu, engkau harus lebih waspada terhadap musuhmu itu, musuh tunggal yang tidak kelihatan akan tetapi yang kelihaiannya sukar dilawan," kata Tee Kui Jin.
"Siapakah musuh itu, suhu?"
"Musuh itu adalah dirimu sendiri, hati akal pikiranmu sendiri. Kalau engkau sudah memiliki kekuatan dan kepandaian, lalu merasa diri memiliki kekuasaan, berhati-hatilah karena hati akal pikiranmu dapat dipergunakan oleh iblis untuk berbuat sewenang-wepang karena mengejar kesenangan bagi dirimu sendiri."
"Teecu mengerti, suhu. Teecu masih mengingat akan semua nasehat suhu Ðеk Hong San-jin bahwa teecu harus melakukan tiga macam kesetiaan, yaitu setia dan berbakti kepada Tuhan, berbakti kepada negara dan berbakti kepada orang tua atau guru. Dan teecu harus menjadi alat yang baik untuk Tuhan Yang Maha Kuasa."
"Bagus! Kalau engkau masih ingat akan hal itu dan memegang semua keyakinan itu, maka kami pun akan merasa lega melepasmu, Tiong Li," kata pula Tee Kui Lojin. "Hanya yang harus kau selalu ingat, jangan terlampau mudah membunuh orang kalau tidak amat terpaksa dan perlu sekali. Jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan, jangan menyombongkan kepandaian dan ingat selalu, setiap orang lawan haruslah dihadapi dengan sikap hati-hati dan waspada, tidak boleh meremehkan orang lain. Dan lagi, betapapun tingginya puncak gunung dan awan, masih ada langit yang lebih tinggi lagi, karena itu jangan menganggap diri paling pandai..."
Setelah menerima banyak nasihat dari kedua orang gurunya, Tiong Li lalu turun gunung membawa buntalan pakaian yang sederhana dan membawa sebatang ranting kayu yang dijadikan pikulan buntalan pakaiannya. Dia kini telah berusia duapuluh satu tahun, seorang pemuda yang bertubuh tegap, langkahnya seperti seekor Harimau, dadanya bidang, pinggangnya ramping. Wajah pemuda ini sederhana namun tampan dengan tatapan mata yang kadang mencorong kadang lembut seperti mata seekor rajawali. Rambutnya hitam tebal digelung keatas dan diikat dengan pita kuning.
Dahinya lebar dan alis matanya berbentuk golok, hitam dan tebal, melindungi matanya yang tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersenyum seperti bayangan dari keadaan hati yang lapang. Dagunya agak berlekuk menunjukkan bahwa di balik keramahan senyumnya tersembunyi hati yang dapat mengeras, dan dagu itu menimbulkan kesan jantan kepadanya.
Setelah jauh meninggalkan puncak Ki-lin-san, dan tiba di lereng pegunungan Kui-san, Tiong Li berhenti. Dia menoleh memandang ke atas, ke puncak Ki-lin-san. Nampak awan menyelimuti puncak itu dan dia teringat akan kedua orang gurunya, menghela napas lalu memandang jauh ke bawah. Nampak Sungai Wu-kiang berkelak-kelok dan berlenggak-lenggok seperti seekor ular besar melalui tebing-tebing gunung. Dan jauh di kaki pegunungan itu nampak pedusunan dalam kelompok-kelompok kecil.
Dia lalu menggunakan waktu selama limabelas tahun untuk mempelajari ilmu silat dan ilmu sastera. Dia bukan ahli sastera, sekedar dapat membaca dan menulis, dan sudah banyak kitab agama di bacanya. Mengenai ilmu silat, dia sudah mеmреlajari banyak macam ilmu, dan di antaranya adalah ilmu-ilmu simpanan ke tiga orang gurunya.
Dari Pеk Hong San-Jin dia mempelajari Hui-eng Kiam-sut (ilmu Pedang Elang Terbang) dan Tai-lek Kim-kong-jiu (Tenaga Besar Sinar Emas) yang mengandalkan sinkang yang kuat. Kepandaian ilmu tangan kosong mengandalkan sinkang ini ditambah lagi oleh ilmu Jian-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) yang dipelajarinya dari Tee Kui Lo-jin, bersama ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan-kun, merupakan ilmu silat berantai Lima Anasir yang lihai.
Dari Thian Kui Lo-jin dia mempelajari ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang disebut Jiauw-sang-hui (Terbang Atas Rumput) dan I-kiong-hoan-hi-at (Ilmu Memindahkan Jalan Darah). Dengan ilmu-ilmu itu maka kini Tiong Li, menjadi seorang pemuda yang sukar menemukan tandingan!
Ketika melihat ke bawah ini, Tiong Li melamun, teringat akan hal-hal yang telah lalu dan tak terasa lagi hatinya menjadi kosong dan trenyuh, merasa hidup seorang diri dan hampa. Cepat-cepat tangan kirinya mengusap ke arah kedua matanya yang tiba-tiba menjadi basah air mata! Untung tidak ada Tee Kui Lo-jin di situ.
Kalau gurunya yang gendut pendek itu melihatnya menangis, tentu guru itu akan tertawa terpingkal pingkal kemudian marah kepadanya. Bagi gurunya itu, pantang untuk menangis selama hidupnya. Tertawalah dan jangan sekali sekali menangis, begitu pesannya berulang kali.
Duka timbul dari iba diri. Dan iba diri timbul kalau pikiran ini mengenang hal-hal yang lalu, mengenangkan segala kehilangan yang direnggut dari dirinya, atau kalau pikiran mengenangkan masa depan akan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya.
Begitu mengenangkan masa lalu, Tiong Li teringat akan ayahnya yang terbunuh mati, akan Pеk Hong San-jin yang juga terbunuh mati, kemudian dia membayangkan masa depannya yang dianggapnya kosong dan suram, tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki apa-apa kecuali sebuntal рakaian sederhana!
Masa lalunya muram, masa depannya suram! Lalu semua kenangan dan bayangan itu mendatang kan iba-diri, merasa diri paling sengsara di dunia ini dan setelah timbul iba diri, lalu muncullah du ka. Berbahagialah orang karena lepas dari duka kalau dia tidak mengenangkan masa lalu dan tidak membayangkan masa depan.
Kalau orang hanya menghadapi masa kini , saat ini, saat demi saat, apa adanya, wajar, maka kedukaanpun tidak akan pernah menyerang dirinya, Tentu saja waktu lalu boleh diingat, akan tetapi yang ada hubungannya dengan pekerjaan, demikian pula waktu yang akan datang boleh diperhitungkan untuk pekerjaan, akan tetapi kalau waktu lalu dan waktu mendatang itu dihu- bungkan dengan keadaan diri, maka hasilnya hanya akan mendatangkan rasa takut, dan rasa duka belaka. Tidak ada gunanya sama sekali.
Tiong Li yang sedang termenung teringat akan pelajaran ini , maka wajahnya menjadi сеrah kembali. Lenyaplah segala kenangan masa lalu, hilanglah segala bayangan masa depan. Dan pemandangan di bawah lereng gunung nampak indah bukan main. Indah dan luas, terbentang luas di depan kakinya!
Dan semua kekhawatiran dan keresahan tadi yang mengganggu batinnya lenyaplah seketika dan dia bangkit, mengayun langkah dengan tegapnya seperti seekor harimau melangkah menuruni lereng itu.
Yang dinamakan hidup ini adalah sekarang ini, saat demi saat, inilah hidup,sambung menyambung dari saat ke saat. Yang lalu itu sudah mati, tak perlu diingat kembali. Yang akan datang itu hanya lamunan, hanya khayal, tidak perlu dibayangkan.
Saat ini, sekarang ini, harus bersih dan benar dan segalanya akan berjalan dengan baik. Saat demi saat waspada dan benar, waktu yang lain tidak perlu dipikir. Masa lalu hanya menimbulkan kesedihan belaka, dan dendam kebencian.
Masa depan hanya mendatangkan rasa takut dan khawatir belaka. Akan tetapi kalau saat ini, yang kita hadapi saat demi saat, tidak ada rasa takut, tidak ada rasa sedih, yang ada hanyalah apa adanya.
Kini dia sudah berada di kaki pegunungan Kui-san. Sudah mulai ada pedusunan. Ketika dia sudah melewati beberapa buah dusun dan tiba di tepi sebuah hutan, tiba tiba dari balik pohon-pohon besar itu berloncatan Iima belas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat.
Wajah mereka bengis dan mereka adalah orang-orang yang biasa memaksakan kehendaknya sendiri, gerombolan perampok yang tidak segan melakukan bentuk kekerasan apapun untuk memaksakan kehendak. Di antara lima belas orang itu terdapat kepalanya, seorang berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, matanya besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang mengkilap saking tajamnya...
"Mestika Golok Naga...!"
"Engkau sudah mengenal golokku! Bagus, hayo cepat menyerah sebelum golokku membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!"
Akan tetapi Ban-tok Sian-li sudah menggerakkan pedangnya, menyerang dengan dahsyatnya menusukkan pedang ke arah dada lawan.;Hak Bu Cu tidak berani memandang rendah. Dia sudah merasakan kelihaian wanita ini dan harus mengakui bahwa tanpa bantuan pengawal, kemarin dia tidak akan mampu menandingi wanita ini. Maka diapun cepat menggerakkan golok yang besar itu menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Cringggg... trangg...!!"
Dua kali pedang bertemu golok dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Beberapa orang pengawal sudah menyerbu dan Ban-tok Sian-li lalu dikeroyok. Sementara itu, Siang Hwi juga sudah mengamuk, dikeroyok Jin Kiat dan orang-orangnya sehingga gadis ini, seperti juga gurunya, sudah dikepung ketat.
Guru dan murid itu mengamuk dan mereka sudah berhasil membunuh beberapa orang pengawal, akan tetapi datang pula regu pengawal yang lain sehingga mereka semakin terdesak. Ketika mengelak dari sambaran banyak senjata tiba tiba Ban-tok Sian-li terkena tendangan yang dilontarkan oleh Hak Bu Cu. Keras sekali tendangan itu dan Ban-tok Sian-li tidak sempat mengelak lagi, karena ia sedang mengelak dan menangkis sambaran banyak senjata para pengeroyok.
Tendangan itu mengenai paha kirinya. Biarpun paha itu tidak menderita luka, akan tetapi saking kerasnya tendangan itu, kakinya menjadi memar dan rasanya nyeri bukan main. Tubuh Ban tok Sian-li terpelanting dan dengan cepat iapun bergulingan. Ketika, dua orang pengawal mengejarnya dengan bacokan golok, ia menggerakkan pedangnya dan dua orang pengawal itupun roboh mandi darah dan tewas seketika. la melompat berdiri lagi dan mengamuk. Sudah lebih dari sepuluh orang pengawal roboh oleh pedangnya, demikian pula muridnya telah merobohkan banyak pengawal. Akan tetapi Jin Kiat masih terus mengepungnya dengan pengawal pengawal baru yang datang membantu.
Keadaan guru dan murid itu kini terdesak dan mereka dalam bahaya. Apa lagi kini Ban-tok Sian-li sudah terkena tendangan yang membuat gerakannya kurang lincah, sedangkan Hak Bu Cu terus mendesak dengan hebatnya. Selagi mereka berdua terdesak, mendadak nampak banyak bayangan berkelebat dan muncullah belasan orang membantu guru dan murid itu. Mereka berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, dan senjata mereka juga bermacam-macam.
Akan tetapi melihat bahwa yang muncul itu adalah Gan Kok Bu. Maklumlah Ban-tok Sian-li dan Siang Hwi bahwa orang-orang itu tentu para anggauta Hek-tung Kai-pang yang sengaja menyamar agar jangan ketahuan bahwa mereka anggauta perkumpulan pengemis itu. Maka mereka tidak mengenakan рakaian pengemis dan tidak pula menggunakan senjata tongkat hitam. Bagaimanapun juga, setelah rombongan ini datang membantu, Ban-tok Sian-li dan Siang Hwi lolos dari kepungan.
Kok Bu segera menghampiri mereka dan berseru, "Mari kita pergi!"
Karena maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, pihaknya tentu akan menderita kekalahan dan akan celaka di tangan para pengawal, Ban-tok Sian-li yang sudah terluka pahanya lalu melompat pergi dan mengajak muridnya. "Siang Hwi, kita pergi!"
Siang Hwi juga meloncat pergi. Bantuan para anggauta Hek-tung Kai-pang memungkinkan mereka meninggalkan para pengeroyok itu. Pada saat itu, bagian kiri gedung itu terbakar, dibakar oleh anggauta Kai-pang yang bertugas untuk itu. Melihat ini, tentu saja para pengawal menjadi panik dan kesempatan ini memungkinkan mereka semua untuk melarikan diri, walaupun ada tiga orangg anggauta Kai-pang terpaksa ditinggal karena mereka sudah roboh dan tewas.
Kok Bu mengajak guru dan murid itu pergi bersembunyi di tempat rahasia ayahnya, yaitu ketua Hek-tung Kai-pang. Tempat ini adalah sebuah rumah seorang pejabat tinggi bagian kebudayaan. Pejabat tinggi ini juga seorang yang bersimpati kepada para pejuang, maka memberikan rumahnya yang kosong untuk tempat bersembunyi ketua Hek-tung Kai-pang. Dan tidak akan ada orang yang mencurigai tempat itu karena tempat itu kadang-kadang dijadikan tempat peristirahatan sang pembesar tinggi.
Selain itu, masih ada hubungan keluarga antara pejabat tinggi itu dengan ketua Hek-tung Kai-pang yang bernama Gan Liang. Adapun pusat Hek-tung Kai-pang sendiri berada di luar kota raja. Para anggauta Hek-tung Kai-pang dengan bebas berkeliaran di kota raja karena mereka tidak pernah membikin ribut dan mereka membantu para pejuang secara rahasia, tidak terang-terangan.
Ban-tok Sian-li dan The Siang Hwi disambut oleh Hek-tung Kai-pang-cu Gan Liang sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang nampaknya masih gagah. Ayah Gan Kok Bu ini sudah mendengar dari puteranya tentang sepak terjang wanita bernama Souw Hian Li dan muridnya yang bernama The Siang Hwi itu.
Ketika menyambut dua orang wanita itu, Gan Liang yang memberi hormat kepada Ban-tok Sian-li tertegun. Dia memandang wanita itu penuh perhatian, lalu berseru heran, "Bukankah toanio ini Ban-tok Sian-li"
Yang di tanya balas memandang. "Bagaimana engkau dapat mengenalku?"
"Siapa yang tidak mengenai Ban-tok Sian-li dari Lembah Maut yang tersohor itu?"
Melihat sikap ayahnya yang nampak kaget dan juga tidak senang itu, Gan Kok Bu lalu mempersilakan mereka, duduk. Suasana menjadi agak kaku karena Gan Liang lebih banyak diam dari pada bicara. Tentu saja hal ini dirasakan oleh Ban-tok Sian-li dan dengan terus terang datuk ini berkata,
"Agaknya Hek-tung Kai-pangcu tidak menyukai kehadiran kami di sini!"
"Ah, tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya terkejut dan terheran bahwa Ban-tok Sian-li tiba-tiba menjadi seorang pejuang yang membela An-wangwe. Pada hal dahulu engkau tidak pernah pemperdulikan perjuangan, Sian-li."
"Pang-cu, tidak ada orang yang boleh memaksaku untuk berjuang dan tidak ada orang pula yang boleh melarangku untuk berjuang. Karena itu, engkau tidak perlu heran," jawab Ban-tok Sian- li dengan ketus.
Wanita itu memang aneh wataknya. Kalau ia ditentang, ia akan bangkit melawan dengan keras. Dan kiranya ini sudah menjadi watak para datuk persilatan pada umumnya.
"Tidak, Sian-li, siapa berani melarangmu? Silakan tinggal di sini, dan selama di sini, engkau akan aman dari pengejaran pasukan. Maaf, saya ada keperluan lain, terpaksa harus meninggal kan ji-wi."
Dia lalu keluar dari ruangan itu dan tinggal Kok Bu yang sikapnya jauh berbeda dengan ayahnya. Dia melayani dua orang tamunya dengan baik dan penuh penghormatan, lalu menunjukkan sebuah kamar untuk mereka. Juga dia menyediakan makanan untuk kedua orang tamunya itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Hwi sudah mandi dan keluar dari kamarnya. Gurunya masih beristirahat karena semalam gurunya itu hampir tidak tidur melainkan menghimpun tenaga murni untuk mengobati luka di pahanya yang memar.
Rumah pejabat itu cukup besar dengan pekarangan yang luas, dan di belakang terdapat sebuah taman bunga yang cukup indah dan luas pula. Siang Hwi memasuki taman itu. Udara pagi itu amat сеrah, burung-burung masih banyak yang berkicau di taman itu, belum berangkat pergi mencari makan, Sinar matahari pagi mulai menghangatkan taman. Siang Hwi menghampiri serumpun kembang merah dan dipetiknya setangkai lalu di pasangnya di rambutnya.
"Nona...!" la terkejut dan memutar tubuhnya. Ternyata Kok Bu yang memanggilnya tadi dan pemuda itu berdiri di depannya terbelalak dan memandangnya dengan mata terpesona. Bagi Kok Bu, gadis itu nampak cantik jelita pagi itu, apa lagi dengan bunga merah di rambutnya, nampak seperti seorang bidadari dari kahyangan yang turun ke taman itu bersama cahaya matahari pagi.
"Eh, Bu toako kiranya. Selamat pagi. Eh, toako engkau kenapakah?"
"Kenapa...?"
"Engkau memandangku seperti belum pernah melihat aku saja!"
Kok Bu tersenyum salah tingkah dan menjawab gugup, "Aku... ah, kembang di rambutmu itu membuatmu nampak cantik jellta seperti bidadari saja, nona..."
"Hemm, engkau terlalu memujiku, toako!"
"Sungguh mati, aku bukan merayu atau memuji kosong, nona Siang Hwi. Engkau adalah gadis yang paling cantik yang pernah kutemui selama hidupku."
"Omong kosong! Engkau tinggal di kota raja, bahkan engkau banyak mengenal para bangsawan. Banyak putri bangsawan cantik jelita di kota raja, apa lagi puteri istana."
"Sudah banyak aku bertemu puteri bangsawan, akan tetapi tidak ada yang dapat menandingi engkau dalam hal kecantikan dan kegagahan, nona. Aku sungguh terpesona dan begitu bertemu denganmu, seketika aku jatuh hati. Maafkan kelancanganku..."
Wajah Siang Hwi menjadi kemerahan akan tetapi ia tidak marah. Sikap pemuda ini terlalu jujur dan ucapannya itu bukan rayuan, hal ini ia dapat merasakan benar. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pemuda yang baru dikenalnya itu, walau pun ia merasa berterima kasih dan juga kagum atas pertolongan pemuda ini kepadanya dan kepada gurunya.
"Sudahlah, toako, jangan bicara soal itu. Aku tidak senang mendengarnya. Sama sekali belum ada dalam pikiranku persoalan yang kau kemukakan itu. Maafkan aku."
Dan iapun pergi meninggalkan,pemuda itu menuju ke rumah untuk masuk ke kamarnya di mana gurunya masih tidur. Akan tetapi ia melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahulah ia bahwa bayangan itu adalah Gan-pangcu, ayah dari Kok Bu. Karena ingin tahu apa yang akan terjadi, ia menyelinap ke balik sebatang pohon dan mengintai.
Gan Liang kini bicara keras kepada anaknya sehingga Siang Hwi tidak perlu mengerahkan pendengarannya untuk dapat mendengar apa yang dikatakan ketua Hek-tung Kai-pang itu.
"Apa? Engkau mencinta gadis itu? Tidak tahukah engkau murid siapa ia? Gurunya adalah Ban-tok Sian-li, datuk sesat yang tinggal di Lembah Iblis! Tidak, aku tidak suka kalau engkau mencinta gadis itu. Apa lagi menikah dengannya! Aku tidak suka berbesan dengan datuk sesat!"
Mendengar ini, Siang Hwi mengerutkan alisnya dan diam-diam ia pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam gedung. la mendapatkan gurunya sudah bangun dan sudah mandi. "Subo, sebaiknya kita cepat pergi dari tempat ini dan keluar kota raja," kata Siang Hwi.
Melihat wajah muridnya seperti orang yang marah, Ban-tok Siàп-li memandang penuh selidik, "Ada apakah, Siang Hwi?"
"Subo, aku mendengar Gan-pangcu berkata kepada puteranya bahwa dia merasa khawatir dan tidak senang kalau kita tinggal di sini lebih lama lagi karena dapat membahayakan dirinya dan perkumpulannya. Karеna itu, sebaiknya kita pergi sekarang juga, subo. Mereka sudah menolong kita, tidak enak kalau harus menyusahkan mereka lebih lanjut."
Gurunya mengangguk. "Engkau benar, Siang Hwi. Kalau begitu mari kita berkemas dan pergi dari sini sekarang juga."
Siang Hwi menjadi girang dan cepat ia berkemas bersama gurunya. Selagi keduanya berkemas, muncul Kok Bu di depan kamar mereka. Melihat kesibukan guru dan murid yang berkemas dan menggendong buntalan pakaian di punggung, dia terkejut sekali.
"Eh, toanio, dan nona, jiwi hendak pergi ke manakah?"
Ban-tok Sian-li yang menjawab tegas. "Kami akan berpamit dan pergi dari sini sekarang juga."
"Akan tetapi, itu berbahaya sekali Ji-wi akan diketahui oleh para pengawal dan perajurit dan tentu akan di tangkap! Pula, di kota raja ini, ji-wi hendak bersembunyi di mana? Di sini merupakan tempat terbaik bagi ji-wi untuk bersembunyi."
"Kami hendak keluar dari kota raja!" kata Siang Hwi yang bicara dan suaranya terdengar dingin.
"Tapi... tapi itu lebih berbahya!" kata Kok Bu. "Semua pintu gerbang dijaga ketat oleh pasukan dan tidak mungkin Ji-wi dapat melewati pintu gerbang dengan selamat."
"Kami tidak takut! Akan kami lawan mati-matian!" kata pula Ban-tok Sian-Li .
"Aihh, kenapa ji-wi memaksakan diri? Kalau ji-wi memaksa, baiklah, akan kami atur agar ji-wi dapat melewati pintu gerbang dengan aman. Jalan satu-satunya hanyalah menyamar sebagai anggauta Hek-tung Kai-pang."
"Menyamar?" tanya Ban-tok Sian li.
"Jangan ji-wi khawatir. Di antar anak buah kami terdapat seorang yang ahli dalam hal mendandani orang dalam penyamaran. Dalam waktu singkat saja ji-wi sudah akan menjadi orang lain yang tidak akan dikenal bahkan oleh orang-orang terdekat. Bagaimana pendapat ji-wi? Kiranya itulah jalan satu-satunya untuk dapat menyusup keluar dari pintu gerbang dengan selamat."
Tentu saja guru dan murid itu tidak dapat menolak tawaran yang menarik dan juga menguntungkan itu. Anggauta Hek-tung Kai-pang yang ahli merias itu dipanggil dan segera dia mendandani Ban-tok Sian-li dan The Siang Hwi. Dalam waktu kurang dari satu jam, kedua guru dan murid ini benar-benar telah berubah, menjadi dua orang anggauta pengemis yang berjalan terbongkok-bongkok membawa tongkat.
Tak lama kemudian, di pintu gerbang utara, ada serombongan pengemis terdiri tujuh orang melewati pintu gerbang itu, para petugas jaga tentu saja tidak mau didekati para pengemis yang berpakaian kotor dan berbau. Maka merekapun membiarkan para pengemis itu lewat. Setelah melewati pintu gerbang, para pengemis itu segera pergi berpencar. Dua di antara mereka yang berjalan terbongkok-bongkok melanjutkan perjalanann dengan cepat menuju ke barat.
Akan tetapi belum lama para pengemis itu melewati pintu gerbang, tampak belasan orang penunggang kuda tiba di tempat itu, yaitu rombongan pengawal rumah gedung Perdana Menteri, dipimpin oleh seorang raksasa hitam yang bukan lain adalah Hak Bu Cu.
"Apakah ada serombongan pengemis lewat di sini?" tanya Hak Bu Cu yang berpakaian perwira.
Para petugas jaga di pintu gerbang itu tidak mengenal Hak Bu Cu, akan tetapi melihat pakaiannya, mereka memberi hormat dan seorang di antara mereka menjawab bahwa baru saja ada serombongan tujuh orang pengemis lewat di situ dan keluar kota.
"Hayo cepat kejar!" bentak Hak Bu Cu dan anak buahnya lalu membedal kuda melakukan pengejaran keluar kota melalui pintu gerbang utara.
Bagaimana sampai para pengawal mencurigai serombongan pengemis itu? Semua ini adalah ulah ketua Hek-tung Kai-pang sendiri. Setelah dia membiarkan puteranya menolong dua orang wanita itu melarikan diri dengan mendandani mereka seperti dua orang pengemis, Gan Liang lalu mengutus seorang anak buahnya untuk memberitahu kepada Perdana Menteri Jin Kui bahwa ada serombongan penjahat yang menyamar pengemis melarikan diri keluar kota raja melalui pintu gerbang utara!
Tentu saja Perdana Menteri Jin lalu mengutus Hak Bu Cu untuk melakukan pengejaran. Sementara itu, mendengar akan perbuatan ayahnya ini, Gan Kok Bu marah sekali kepada ayahnya.
"Ayah, apa yang telah ayah lakukan ini? Kenapa ayah mengkhianati mereka yang jelas membantu para pejuang?"
"Tadinya aku memang setuju engkau membantu mereka karena mereka membantu para pejuang. Akan tetapi setelah aku tahu siapa wanita yang kau bantu, aku lebih senang melihat mereka tertangkap dan terhukum! Engkau tidak tahu siapa itu Ban-tok Sian-li! Ketika ia masih gadis dahulu, telah banyak orang menjadi korban karena kecantikannya! Banyak pemuda tergila-gila kepadanya dan mengajukan pinangan. Akan tetapi apa yang dilakukan? la menghina semua yang meminangnya dan menghajar setiap orang pria yang berani meminangnya, bahkan ada yang terbunuh olehnya! Wanita macam apa itu? Biarlah ia ditangkap dan menerima hukuman mati, baru puas hatiku..."
Melihat betapa ayahnya nampak mendendam sekali kepada Ban-tok Sian-li, Kok Bu bertanya dengan alis berkerut, "Hemm, agaknya ayah termasuk seorang yang telah ditolak pinangannya?"
Wajah ayahnya berubah kemerahan. "Benar, dan ia telah merobohkanku, hampir saja membunuhku. Tak pernah aku dapat melupakan penghinaan itu!"
"Ayah, peristiwa itu telah terjadi bеrtahun-tahun yang lalu, kenapa ayah masih mendendam? Dan pula, sudah wajar kalau cinta seseorang ditolak, kenapa harus merasa sakit hati? Tentang penyerangan itu, mudah diketahui. Sebagai seorang ahli silat, agaknya ia hendak menguji setiap orang pemuda yang meminangnya, ia tidak ingin memperoleh suami yang kalah olehnya. Itu wajar saja, ayah!"
"Sudahlah, engkau tahu apa? Wanita itu memiliki pukulan beracun, segalanya yang ada padanya beracun, kukunya, rambutnya, dan juga hatinya beracun!" kata ayahnya dan meninggalkan puteranya yang merasa penasaran sekali. Yang tidak di сегitakan oleh Gan Liang adalah bahwa ketika hal itu terjadi dia sudah mempunyai istеri dan anak.
Karena kecantikan Souw Hian memang luar biasa sekali dan mendenger bahwa gadis itu mau diperisteri pria yang dapat mengalahkannya, maka diapun yang tergila-gila melihat kecantikannya, ikut masuk sayembara itu, dengan maksud kalau sampai dia berhasil wanita itu akan dijadikan isteri kedua. Akan tetapi bukan saja dia tidak berhasil bahkan dia hampir tewas oleh рukulan beracun Souw Hian Li yang kemudian berjuluk Ban-tok Sian-Li.
Kok Bu merasa marah sekali kepada ayahnya. Dia anggap ayahnya tidak adil dan tidak benar tindakannya. Maka, dia lalu berkemas dan meninggalkan rumah itu tanpa pamit lagi kepada ayahnya. Dia hendak menyusul Siang Hwi dan kalau tidak bertemu, dia akan membantu pergerakan para pejuang di luar kota raja.
Tadi dia memang tidak mengantarkan Siang Hwi dan gurunya karena kalau dia yang mengantar dan terjadi sesuatu amat berbahaya bagi Hek-tung Kai-pang karena para penjaga banyak yang sudah mengenalnya sebagai pimpinan Hek tung Kai-pang.
********************
"Tiong Li, sudah lima tahun engkau mempelajari ilmu dari kami berdua. Semua ilmu yang kami kuasai telah kami berikan kepadamu, dan karena engkau sebelumnya telah digembleng oleh Pеk Hong San-jin, maka kini tingkat kepandaianmu sudah lebih tinggi dari pada tingkat kami berdua. Nah, sekarang setelah tiba saatnya untuk kita saling berpisah, apa yang hendak kau lakukan?" tanya Thian Kui Lo-jin yang tinggi kurus kepada muridnya.
"Usiamu sudah dua puluh satu tahun, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu sendiri. Kami hanya ingin mengetahui, jalan mana sekarang yang hendak kau tempuh? Apa yang akan kau lakukan?" tanya pula Tee Kui Lo-jin yang bertubuh gendut pendek.
Ditanya demikian oleh kedua ,orang gurunya, Tiong LI menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kedua orang gurunya Itu. "Suhu walaupun teecu sudah dewasa dan telah menerima gemblengan dari mendiang suhu Pеk Hong San-jin kemudian dari suhu berdua, akan tetapi teecu sama sekali tidak mempunyai pengalaman. Teecu masih hijau dan kalau ji-wi suhu bertanya apa yang hendak teecu lakukan, teecu menjadi bingung. Teecu sendiri tidak tahu apa yang hendak Teecu lakukan setelah teecu terpaksa berpisah dari ji-wi suhu. Teecu mohon pe tunjuk!"
"Ha-ha-ha, bagus engkau masuh berendah hati untuk bertanya. Pakailah sikap rendah hati ini untuk selamahya,Tiong Li. Hanya orang yang rendah hati sajalah yang akan dapat memperoleh tambahan pengetahuan," kata Tee Kui Lok jin. "Tiong ki, manusia diberi kehidupan dan dilahirkan di dalam dunia ini tentu bukan percuma saja, bukan seperti binatang saja asal makan tidur lalu mati. Tuhan tentu mempunyai maksud tertentu terhadap manusia yang dibekali hati akal pikiran, diberi akal budi sehingga manusia dapat menentukan sendiri, memilih apa yang baik untuk dirinya. Manusia bukanlah benda mati, bukan pula binatang atau tumbuh-tumbuhan. Manusia berakal budi, karena itu hidup di dunia ini haruslah bertanya kepada diri sendiri, apa yang dapat dilakukan demi diri sendiri, demi orang Iain, demi kemanusiaan dan demi dunia pada umumnya. Jadikanlah dirimu seorang manusia yang berguna dan bermanfaat bagi kemanusiaan dengan perbuatan-perbuatan yang bijaksana, benar dan adil. Sia-sia sajalah manusia hidup didunia kalau hanya untuk menanti datangnya kematian tanpa melakukan sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan"
"Akan tetapi suhu. Apa yang harus dapat teecu lakukan?"
"Sian-cai, banyak sekali yang dapat kau lakukan, muridku," kata Thian Lo-jin. "Kalau engkau tidak tahu apa yang kau lakukan, lalu untuk apa Engkau mempelajari semua iImu itu? Kau tahu, di dunia ini terdapat banyak sekali kejahatan dilakukan manusia yang batinnya dikuasai Iblis. Engkau sudah memiliki iImu kepandaian untuk menghadapi mereka yang suka melakukan perbuatan sewenang-wenang, menggunakan kekerasan mengandalkan tenaga dan kepandaian. Engkau dapat mencegah perbuatan jahat itu dan menolong mereka yang tertindas. Engkau dapat berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan demi perikemanusiaan. Dan engkau dapat juga membaktikan dirimu demi nusa dan bangsa, dapat membantu gerakan para pejuang yang membendung kekuasaan Bangsa Yucen yang semakin sewenang-wenang melebarkan kekuasaannya. Engkau dapat mengingatkan dan memberi hajaran kepada para pembesar yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya, yang suka memeras dan menindas rakyat jelata. Wah banyak sekali yang dapat kau lakukan Tiong Li!"
"Teecu mengerti dan akan teecu laksanakan petunjuk suhu," kata Tiong Li.
"Akan tetapi berhati-hatilah, Tiong Li. Kekuatanmu itu dapat mendatangkan kekuasaan, dan kekuasaan yang bagaimanapun juga bentuknya dapat membuat orang menjadi lupa diri dan menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh karena itu, engkau harus lebih waspada terhadap musuhmu itu, musuh tunggal yang tidak kelihatan akan tetapi yang kelihaiannya sukar dilawan," kata Tee Kui Jin.
"Siapakah musuh itu, suhu?"
"Musuh itu adalah dirimu sendiri, hati akal pikiranmu sendiri. Kalau engkau sudah memiliki kekuatan dan kepandaian, lalu merasa diri memiliki kekuasaan, berhati-hatilah karena hati akal pikiranmu dapat dipergunakan oleh iblis untuk berbuat sewenang-wepang karena mengejar kesenangan bagi dirimu sendiri."
"Teecu mengerti, suhu. Teecu masih mengingat akan semua nasehat suhu Ðеk Hong San-jin bahwa teecu harus melakukan tiga macam kesetiaan, yaitu setia dan berbakti kepada Tuhan, berbakti kepada negara dan berbakti kepada orang tua atau guru. Dan teecu harus menjadi alat yang baik untuk Tuhan Yang Maha Kuasa."
"Bagus! Kalau engkau masih ingat akan hal itu dan memegang semua keyakinan itu, maka kami pun akan merasa lega melepasmu, Tiong Li," kata pula Tee Kui Lojin. "Hanya yang harus kau selalu ingat, jangan terlampau mudah membunuh orang kalau tidak amat terpaksa dan perlu sekali. Jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan, jangan menyombongkan kepandaian dan ingat selalu, setiap orang lawan haruslah dihadapi dengan sikap hati-hati dan waspada, tidak boleh meremehkan orang lain. Dan lagi, betapapun tingginya puncak gunung dan awan, masih ada langit yang lebih tinggi lagi, karena itu jangan menganggap diri paling pandai..."
Setelah menerima banyak nasihat dari kedua orang gurunya, Tiong Li lalu turun gunung membawa buntalan pakaian yang sederhana dan membawa sebatang ranting kayu yang dijadikan pikulan buntalan pakaiannya. Dia kini telah berusia duapuluh satu tahun, seorang pemuda yang bertubuh tegap, langkahnya seperti seekor Harimau, dadanya bidang, pinggangnya ramping. Wajah pemuda ini sederhana namun tampan dengan tatapan mata yang kadang mencorong kadang lembut seperti mata seekor rajawali. Rambutnya hitam tebal digelung keatas dan diikat dengan pita kuning.
Dahinya lebar dan alis matanya berbentuk golok, hitam dan tebal, melindungi matanya yang tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersenyum seperti bayangan dari keadaan hati yang lapang. Dagunya agak berlekuk menunjukkan bahwa di balik keramahan senyumnya tersembunyi hati yang dapat mengeras, dan dagu itu menimbulkan kesan jantan kepadanya.
Setelah jauh meninggalkan puncak Ki-lin-san, dan tiba di lereng pegunungan Kui-san, Tiong Li berhenti. Dia menoleh memandang ke atas, ke puncak Ki-lin-san. Nampak awan menyelimuti puncak itu dan dia teringat akan kedua orang gurunya, menghela napas lalu memandang jauh ke bawah. Nampak Sungai Wu-kiang berkelak-kelok dan berlenggak-lenggok seperti seekor ular besar melalui tebing-tebing gunung. Dan jauh di kaki pegunungan itu nampak pedusunan dalam kelompok-kelompok kecil.
Dia lalu menggunakan waktu selama limabelas tahun untuk mempelajari ilmu silat dan ilmu sastera. Dia bukan ahli sastera, sekedar dapat membaca dan menulis, dan sudah banyak kitab agama di bacanya. Mengenai ilmu silat, dia sudah mеmреlajari banyak macam ilmu, dan di antaranya adalah ilmu-ilmu simpanan ke tiga orang gurunya.
Dari Pеk Hong San-Jin dia mempelajari Hui-eng Kiam-sut (ilmu Pedang Elang Terbang) dan Tai-lek Kim-kong-jiu (Tenaga Besar Sinar Emas) yang mengandalkan sinkang yang kuat. Kepandaian ilmu tangan kosong mengandalkan sinkang ini ditambah lagi oleh ilmu Jian-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) yang dipelajarinya dari Tee Kui Lo-jin, bersama ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan-kun, merupakan ilmu silat berantai Lima Anasir yang lihai.
Dari Thian Kui Lo-jin dia mempelajari ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang disebut Jiauw-sang-hui (Terbang Atas Rumput) dan I-kiong-hoan-hi-at (Ilmu Memindahkan Jalan Darah). Dengan ilmu-ilmu itu maka kini Tiong Li, menjadi seorang pemuda yang sukar menemukan tandingan!
Ketika melihat ke bawah ini, Tiong Li melamun, teringat akan hal-hal yang telah lalu dan tak terasa lagi hatinya menjadi kosong dan trenyuh, merasa hidup seorang diri dan hampa. Cepat-cepat tangan kirinya mengusap ke arah kedua matanya yang tiba-tiba menjadi basah air mata! Untung tidak ada Tee Kui Lo-jin di situ.
Kalau gurunya yang gendut pendek itu melihatnya menangis, tentu guru itu akan tertawa terpingkal pingkal kemudian marah kepadanya. Bagi gurunya itu, pantang untuk menangis selama hidupnya. Tertawalah dan jangan sekali sekali menangis, begitu pesannya berulang kali.
Duka timbul dari iba diri. Dan iba diri timbul kalau pikiran ini mengenang hal-hal yang lalu, mengenangkan segala kehilangan yang direnggut dari dirinya, atau kalau pikiran mengenangkan masa depan akan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya.
Begitu mengenangkan masa lalu, Tiong Li teringat akan ayahnya yang terbunuh mati, akan Pеk Hong San-jin yang juga terbunuh mati, kemudian dia membayangkan masa depannya yang dianggapnya kosong dan suram, tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki apa-apa kecuali sebuntal рakaian sederhana!
Masa lalunya muram, masa depannya suram! Lalu semua kenangan dan bayangan itu mendatang kan iba-diri, merasa diri paling sengsara di dunia ini dan setelah timbul iba diri, lalu muncullah du ka. Berbahagialah orang karena lepas dari duka kalau dia tidak mengenangkan masa lalu dan tidak membayangkan masa depan.
Kalau orang hanya menghadapi masa kini , saat ini, saat demi saat, apa adanya, wajar, maka kedukaanpun tidak akan pernah menyerang dirinya, Tentu saja waktu lalu boleh diingat, akan tetapi yang ada hubungannya dengan pekerjaan, demikian pula waktu yang akan datang boleh diperhitungkan untuk pekerjaan, akan tetapi kalau waktu lalu dan waktu mendatang itu dihu- bungkan dengan keadaan diri, maka hasilnya hanya akan mendatangkan rasa takut, dan rasa duka belaka. Tidak ada gunanya sama sekali.
Tiong Li yang sedang termenung teringat akan pelajaran ini , maka wajahnya menjadi сеrah kembali. Lenyaplah segala kenangan masa lalu, hilanglah segala bayangan masa depan. Dan pemandangan di bawah lereng gunung nampak indah bukan main. Indah dan luas, terbentang luas di depan kakinya!
Dan semua kekhawatiran dan keresahan tadi yang mengganggu batinnya lenyaplah seketika dan dia bangkit, mengayun langkah dengan tegapnya seperti seekor harimau melangkah menuruni lereng itu.
Yang dinamakan hidup ini adalah sekarang ini, saat demi saat, inilah hidup,sambung menyambung dari saat ke saat. Yang lalu itu sudah mati, tak perlu diingat kembali. Yang akan datang itu hanya lamunan, hanya khayal, tidak perlu dibayangkan.
Saat ini, sekarang ini, harus bersih dan benar dan segalanya akan berjalan dengan baik. Saat demi saat waspada dan benar, waktu yang lain tidak perlu dipikir. Masa lalu hanya menimbulkan kesedihan belaka, dan dendam kebencian.
Masa depan hanya mendatangkan rasa takut dan khawatir belaka. Akan tetapi kalau saat ini, yang kita hadapi saat demi saat, tidak ada rasa takut, tidak ada rasa sedih, yang ada hanyalah apa adanya.
Kini dia sudah berada di kaki pegunungan Kui-san. Sudah mulai ada pedusunan. Ketika dia sudah melewati beberapa buah dusun dan tiba di tepi sebuah hutan, tiba tiba dari balik pohon-pohon besar itu berloncatan Iima belas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat.
Wajah mereka bengis dan mereka adalah orang-orang yang biasa memaksakan kehendaknya sendiri, gerombolan perampok yang tidak segan melakukan bentuk kekerasan apapun untuk memaksakan kehendak. Di antara lima belas orang itu terdapat kepalanya, seorang berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, matanya besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang mengkilap saking tajamnya...