Mestika Golok Naga Jilid 16

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Jilid 16
Sonny Ogawa
USAHA Pangeran Kian Cu menghubungi para pejuang atas perintah Kaisar ini telah diketahui oleh Jin Kui melalui mata-mata yang disebarnya diantara para thai-kam di istana. Dia merasa khawatir sekali. Kalau Kaisar sudah menaruh kepercayaan kepada para pejuang, ini berbahaya sekali. Berarti hubungan antara Sung dan Kin dapat menjadi renggang, dan dia sendiri tentu akan mendapat kemarahan dari Raja Kin. Juga mungkin Kaisar lambat laun akan terpengaruh dan bahkan memusuhinya, yang sejak semula memang memusuhi para pejuang.

Cepat dia memanggil Si Muka Tengkorak Tang Boa Lu, Ciang Sun Hok, Ma Kiu It, Kui To Cinjin dan kedua orang sutenya yang baru saja dipanggil membantu mereka, yaitu Ouw Yang Kian dan Ouw Yang Sian. Mereka lalu mengadakan perundingan dan akhirnya Perdana Menteri Jin Kui berkata dengan marah.

"Hal ini tidak dapat didiamkannya saja! Kaisar melalui Pangeran Kian Cu mengadakan pertemuan dengan para pemberontak! Ini berbahaya sekali dan aku tahu jalan apa yang harus ditempuh untuk menggagalkan itu!"

"Jalan apakah yang taijin maksudkan? Harap memberi tahu kami agar dapat segera kami laksanakan." kata Kui To Cinjin sambil mengelus jenggotnya yang tipis panjang.

"Pangeran itu harus dibunuh dan kita fitnah para pemberontak itu sebagai pembunuhnya. Dengan begini selain pertemuan itu akan gagal, juga Kaisar akan marah dan sakit hati kepada para pemberontak!"

Para kaki tangan Perdana Menteri Jin Kui mengangguk-angguk setuju dan menganggap akal itu baik sekali.

"Akan tetapi bagaimana pembunuhan itu dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan kecurigaan?" tanya pula Kui To Cin jin.

"Sekarang juga harus dilaksanakan. Kalau pangeran kembali dari tempat para pemberontak, itulah kesempatan yang baik sekali. Karena itu aku perintahkan Ouw Yang Kian dan Ouw Yang Sian dibantu oleh Tang Boa Lu untuk melaksanakan pembunuhan itu."

Tiga orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan segera mereka berangkat setelah mengetahui jalan mana yang ditempuh pangeran untuk menemui para pemberontak.

Bagi orang yang lemah dan menjadi budak nafsunya seperti Jin Kui. memang selalu berlaku pegangan bahwa yang terpenting adalah tujuan, dan tujuan menghalalkan segala cara. Kita sendiri memang seringkali lupa akan hal ini. Kita mengagungkan tujuan dengan sebutan cita-cita yang muluk-muluk, yang kita kejar-kejar. Padahal, dalam pengejaran tujuan inilah letak bahayanya, yaitu dalam caranya. Cara atau jalan untuk mengejar cita-cita ini kadang berbahaya sekali. Kita terbius oleh gemer lapnya tujuan sehingga untuk mendapatkannya, kita lupa bahwa cara yang kita pergunakan tidak benar.

Padahal, bukan tujuannya yang menjadi ciri baik buruknya perbuatan, melainkan cara itu sendiri. Kalau cara yang dipergunakan itu buruk, bagaimana mungkin dapat mencapai tujuan yang baik ? Gemerlapnya tujuan memang condong untuk membuat kita lupa akan cara kita yang kita pergunakan. Misalnya, demi untuk tujuan memberi kehidupan mewah kepada anak isteri, kita melakukan korupsi atau mencuri.

Demi untuk tercapainya tujuan menjadi, sarjana kita melakukan sogokan dan suapan atau membeli ijazah. Tujuan itu tentu sifatnya menyenangkan dan menyenangkan itu mendorong nafsu untuk mendapatkannya. Segala nafsu itu wajar saja, akan tetapi kalau kita sudah diperbudaknya, celakalah kita, Nafsu mencari keuntungan itu wajar saja, akan tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja menipu atau mencuri.

Nafsu sex itu wajar saja, akan tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja melacur memperkosa dan sebagainya lagi. Demikian dengan mengejar kedudukan, harta benda, nama dan pengejaran apa saja yang menjadi cita-cfta dapat menyelewengkan kita. Betapa baik dan muliapun tujuan yang hendak kita capai, bisa saja melahirkan cara pengejaran yang menyeleweng.


Demikian pula dengan Jin Kui. Demi tercapainya segala cita-citanya, demi terlaksananya tujuannya, maka dia pun menghalalkan segala cara. Cara yang curang dianggapnya cerdik dan benar. Cara yang kejam dianggapnya gagah!

Setelah selesai mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Gak Liu dan para pejuang lainnya, sang pangeran lalu berangkat pulang naik kuda di antar oleh lima orang anggauta pejuang. Enam orang penunggang kuda itu melarikan kuda mereka menuju ke Hang-couw. Akan tetapi ketika mereka menuruni sebuah lereng bukit dan tiba di daerah yang sunyi, nampak tiga orang menghadang perjalanan mereka.

Sang pangeran menahan kudanya, demikian pula lima orang pengawalnya. Dan pada saat mereka menahan kuda mereka itulah Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak, Toat-beng-jiauw (Cakar Pencabut Nyawa) Ouw Yang Kian dan Hek-bin-kui (Setan Muka Hitam) Ouw Yang Sian bergerak menyerang!! Si Muka Tengkorak sendiri yang menyerang Pangeran Kian Cu tanpa peringatan lagi.

Pangeran itu meloncat turun dari kudanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan serangan Si Muka Tengkorak yang amat lihai itu? Hanya dua kali dia dapat mengelak, akan tetapi pukulan yang ke tiga kalinya mengenai kepalanya. Pangeran Kian Cu tidak sempat mengaduh lagi, langsung terpelanting dengan kepala retak dan tewas seketika.

Lima orang pengawalnya tidak mampu melindunginya karena mereka berlima juga sudah diserang kalang kabut oleh dua orang kakak beradik yang amat lihai itu. Para pejuang yang mengawal itu hanya memiliki Ilmu silat biasa saja, mana mungkin mereka mampu menandingi kedua saudara Ouw Yang Ini. Dalam belasan jurus saja mereka berlima juga sudah roboh semua dan tewas!

Pada hari itu juga Kaisar menerima laporan bahwa Pangeran Kian Cu telah tewas terbunuh lima orang pemberontak yang sebaliknya terbunuh pula oleh kedua adik seperguruan Kui To Cin-jin. Kaisar terkejut dan sedih Sekali mendengar ini dan dia segera memanggil kedua orang saudara Ouw Yang untuk menceritakan apa yang telah terjadi.

"Hamba berdua sedang melakukan perjalanan ke luar kota ketika dari jauh hamba melihat kuda sang pangeran di kepung lima orang dan mereka itu mengeroyok Pangeran Kian Cu. Hamba berdua segera lari menghampiri akan tetapi hamba terlambat dan melihat sang pangeran sudah terguling dan roboh ,terkena hantaman ruyung. Melihat Ini, hamba berdua lalu mengamuk, menyerang lima orang itu dan akhirnya hamba berdua dapat membunuh mereka. Hanya itulah yang hamba ketahui, Yang Mulia," kata Ouw Yang Kian.

"Mereka itu adalah pimpinan para pemberontak, Yang Mulia!" sambung Ouw Yang Sian yang bermuka hitam.

"Keparat jahanam!" Kaisar memaki, sambil mengepal tinju. "Dibaiki bahkan membunuh. Ciang Sun Hok, kerahkan pasukan dan basmi para pemberontak yang berada di daerah itu!" perintahnya ke pada Ciang Sun Hok. Panglima jagoan ini menyatakan kesanggupannya dan pertemuan itu dibubarkan karena kaisar sedang berduka atas kematian puteranya.

Perdana Menteri Jin Kui di rumahnya mengadakan pesta menjamu para pembantunya. Mereka berpesta karena kegirangan. Mereka telah menang. Kaisar kembali membenci dan tidak percaya kepada kaum pejuang! Inilah tujuan mereka dan berhasil.

"Kui To Cin Jin, sekarang kita tinggal menghadapi Tan Tiong Li, Pemuda itu berbahaya sekali. Kita harus dapat segera membunuhnya karena dia dapat menjadi bahaya besar bagi kita. Akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Siapa yang akan dapat melawan dan membunuhnya?"

"Harap tai-jin jangan khawatir, Pinto mempunyai tiga orang kenalan diutara. Mereka itu pertapa-pertapa di Luliang-san, Thai-hang-san, dan di lembah Sungai Fen-ho. Mereka adalah datuk datuk dunia kang-ouw yang berilmu tinggi. Dan pinto mengetahui benar bahwa biarpun mereka tidak berbuat sesuatu di daerah Kerajaan Kin itu, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Sung. Kalau pinto minta bantuan mereka untuk menghadapi orang yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kiranya mereka akan sanggup membantu."

"Bagus sekali! Undang mereka ke sini, Kui To Gin-jin. Syukur kalau mereka suka menjadi pembantu tetap kita, kalau tidak, cukup baik kalau mereka mau menghadapi dan mengalahkan Tan Tiong Li!"

"Baik, tai-jin. Akan pinto usahakan agar mereka mau membantu kita."

Pesta dilanjutkan sampai jauh malam dan sampai mereka Semua menjadi mabok, mabok arak dan mabok kemenangan.

Pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu menjadi pembela dari semua perbuatan yang dilakukan manusia. Biarpun hati akal pikiran mengerti dan tahu bahwa perbuatan itu tidak benar, akan tetapi nafsu dalam pikiran membuat pikiran menjadi pembela dan berusaha membenarkan perbuatan itu, melawan hati nuraninya sendiri. Setiap orang manusia tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Adakah di dunia ini pencuri yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri adalah tidak benar? Semua pencuri tentu telah mengetahuinya. Akan tetapi tetap saja dia mencuri dan pikirannya yang sudah bergelimang nafsu membenarkan perbuatannya mencuri itu dengan segala macam dalih. Pengertian dan pengetahuan tidak dapat melawan nafsu, kalau nafsu sudah mencengkeram hati akal pikiran. Nafsu merupakan hamba yang amat penting dan amat baik, akan tetapi menjadi majikan yang amat jahat.

Akan tetapi siapa yang dapat menjadikan nafsu sebagai hamba yang baik dan mengekangnya agar tidak menjadi majikan? Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu. Kita dengan hati akal pikiran kita tidak akan mampu menguasai nafsu. Jalan satu-satunya hanya menyerah dan pasrah kepada Tuhan dengan segenap ketawakalan dan kepercayaan.

Hanya itu yang dapat kita lakukan dan jika Tuhan menghendaki, maka kitalah yang akan menjadi majikan atas nafsu kita sendiri, menjadikannya hamba yang baik. pembantu datam kehidupan yang amat berguna. Bukan menjadi majikan yang merajalela dan yang mendorong kita melakukan segala macam perbuatan yang tersesat.


********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Dengan susah payah Tiong Li bersama Siang Hwi mencoba untuk mencari jejak Ban-tok Sian-li. Akan tetapi kemana mereka harus mencarinya. Sudah pasti wanita Itu tidak lagi berada di Lembah Maut Sungai Yang-ce yang sudah diobrak-abrik dan dibakar oleh pasukan pemerintah. Dan wanita itu pandai menghilangkan jejak, gerakannya bagaikan! tidak meninggalkan jejak. Maka Tiong Li dan Siang Hwi hanya berkeliaran saja sampai ke daerah perbatasan utara. Akhirnya Siang Hwi berkata kepada kekasihnya.

"Koko, kurasa percuma saja mencari jejak subo. Agaknya ia tidak pergi jauh. Subo tentu merasa sakit hati sekali kepada pemerintah karena dibasminya Lembah Maut. Dan watak subo tidak akan mendiamkan saja hal itu terjadi tanpa dibalas. Kalau menurut dugaanku, subo tidak akan pergi jauh dari kota raja, mencari kesempatan untuk membalas dendam."

"Kepada siapa ia hendak membalas dendam?"

"Mungkin subo sedang menyelidiki siapa biang keladi penyerangan ke Lembah Maut itu."

"Jelas biang keladinya adalah Perdana Menteri Jin Kui."

"Kalau begitu, subo tentu akan mengetahui dan akan membalas kepada Perdana Menteri itu. Maka sebaiknya kita kembali saja ke kota raja. Siapa tahu kita dapat menemukan ia di sana."

Demikianlah, keduanya lalu melakukan perjalanan kembali ke Hang-couw. Begitu mendekati Hang-couw, segera mereka ketahuan oleh para penyelidik anak buah Perdana Menteri Jin Kui, dan mereka cepat melaporkan kepada Perdana menteri itu.

Pada waktu itu, di kediaman Perdana Menteri Jin Kui, baru dua hari kedatangan tiga orang tamu. Mereka adalah tiga orang pertapa yang baru saja didatangkan oleh sahabat mereka, Kui To Cin-jin yang berhasil membujuk mereka untuk menghadapi Tan Tiong Li yang dikatakannya sebagai seorang pimpinan pemberontak di samping Gak Liu.

Tiga orang itu adalah Im Seng Cu, to-su pertapa di Luliang-san, Ban Hok Seng-jin, pertapa di Lembah Sungai Fengho, dan Sin Gi To-su, pertapa dari Thai-hang-san. Tiga orang pertapa ini memang merupakan sahabat-sahabat dari Kui To Cin-jin, ketika Kui To Cin-jin belum menjadi jagoan yang menghambakan diri kepada Jin Kui. Bagi tiga orang tokoh itu, Kui To Cin-jin menghambakan diri kepada Kerajaan Sung dan hal ini mereka setujui sekali.

Memang mereka bertiga adalah tokoh-tokoh yang sangat mengagumi mendiang Panglima Gak Hui yang dianggapnya amat setia kepada Kerajaan Sung sampai akhir hayatnya. Biarpun di sepanjang Sungai Huang-ho sampai ke utara sudah diduduki oleh Bangsa Kin, mereka bertiga dalam hati tetap setia kepada Kerajaan Sung. Kalau saja Kerajaan Sung menyerang ke utara, mereka biarpun merupakan pertapa-pertapa tentu akan membantunya.

Maka, ketika Kui To Cin-jin yang mereka anggap seorang hamba yang setia dari Kerajaan Sung itu berkunjung kepada mereka dan minta bantuan mereka agar menghadapi dan menangkap seorang pemberontak yang lihai, mereka tidak merasa keberatan dan berangkatlah mereka ke selatan untuk menunjukkan baktinya kepada Kerajaan Sung Selatan.

Maka, ketika para penyelidik melaporkan tentang munculnya Tiong Li, dan Siang Hwi lalu perdana menteri itu minta kepada mereka bertiga untuk menghadapi "pemberontak", tiga orang datuk itu segera berangkat. Mereka juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Kian Cu telah dibunuh oleh para pemberontak.

Tiong Li dan Siang Hwi yang melakukan perjalanan ke kota raja, bertemu dengan para pejuang dan merekapun mendengar tentang terbunuhnya Pangeran Kian Cu, dan bahwa Jin Kui menuduh para pejuang yang membunuhnya.

Mendengar ini, mereka merasa terkejut sekali. Para pejuang mengatakan bahwa pahlawan Gak Liu yakin bahwa anak buahnya yang lima orang dan yang mengawal sang pangeran itu tidak mungkin membunuhnya. Mereka sendiri juga terbunuh dan walau pun para pejuang menduga bahwa ada pihak ke tiga yang membunuh pangeran dan melakukan fitnah kepada para pejuang, akan tetapi mereka tidak mempunyai bukti dan saksi.

"Ini tentu perbuatan si laknat Jin Kui!" kata Tan Tiong Li, akan tetapi tanpa saksi dan bukti, bagaimana dia akan dapat melapor kepada Kaisar? Dia merasa sedih sekali mendengar bahwa kaisar marah sekali dan semakin memusuhi para pejuang yang dianggap pemberontak. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja untuk dapat mendengar sendiri apa yang telah terjadi.

Tiba-tiba, perjalanan mereka dihadang oleh tiga orang yang berjubah seperti pertapa. Seorang di antara mereka memegang sebatang tongkat hitam dan ke tiganya memandang kepadanya seperti orang yang tidak senang, dengan alis berkerut. Melihat tiga orang menghadang di depannya, Tiong Li segera memberi hormat kepada tiga orang tosu itu dan berkata dengan hormat dan ramah.

"Selamat siang, sam-wi to-tiang (tiga orang pendeta To)."

"Orang muda," kata Im Seng Cu yang memegang tongkat. "Engkaukah yang bernama Tan Tiong Li?"

Tiong Li memandang heran. "Benar sekali, to-tiang. Saya bernama Tan Tiong Li dan samwi to-tiang ini siapakah? Dan ada keperluan apakah dengan saya?"

"Tiong Li, engkau pemberontak! Menyerahlah untuk kami tangkap!"

"Aih, to-tiang! Kenapa to-tiang berkata demikian? Saya sama sekali bukan pemberontak, bahkan saya melaksanakan perintah Yang Mulia Kaisar untuk menemukan kembali Mestika Golok Naga!" bantah Tiong Li. "Siapakah sam-wi?"

"Pinto adalah Im Seng Cu dari Lu-liang-san," kata yang memegang tongkat, dan bertubuh kurus tinggi.

"Pinto Ban Hok Seng jin pertapa Lembah Fen-ho!" kata tosu pendek gendut yang membawa sebatang pedang dipunggungnya.

"Dan pinto Sin Gi Tosu, pertapa dari Thai-hang-san!" kata yang tinggi besar dan memegang sebuah kebutan berbulu putih .

Kembali Tiong Li memberi hormat. "Seperti saya katakan tadi, nama saya Tan Tiong Li dan ini adalah sahabat saya bernama The Siang Hwi. Kami berdua tidak pernah memberontak dan..."

"Tidak perlu mengganjal lagi! Pinto bertiga sudah mendengar bahwa engkau bergabung dengan para pemberontak, yang dipimpin oleh pemberontak Gak Liu!"

"Memang benar saya bersahabat dengan pendekar Gak Liu dan saudara-saudaranya. Akan tetapi Gak Liu adalah putera mendiang Panglima Gak Hui dan sama sekali bukan pemberontak, melainkan pejuang!"

"Hemm, kami mengenal Gak Hui sebagai seorang pahlawan yang setia sampai mati kepada Kaisar. Kami semua menghormatinya. Akan tetapi Gak Liu puteranya itu sama sekali tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia menggerakkan orang-orang untuk menjadi pemberontak!" kata Sin Gi Tosu yang tinggi besar sambil menggerak-gerakkan kebutannya.

"Sam-wi to-tiang salah sangka, Gak Liu sama sekali bukan pemberontak! Dia berjuang mati-matian untuk menentang pemerintah Kin, berusaha keras untuk mengusir penjajah Kin dari tanah air."

"Akan tetapi dia menentang dan seringkali bentrok dengan pasukan Sung, bahkan sudah banyak membunuh anggauta pasukan Sung. Apakah itu tidak memberontak namanya?" kata Im Seng Cu.

"To-tiang salah sangka. Perdana Menteri Jin Kui amat membenci para pejuang yang gagah perkasa. Perdana Menteri Jin Kui seringkali mengirim pasukan untuk membasmi para pejuang, maka tentu saja para pejuang membela diri. Perdana Menteri Jin Kui itulah yang menghasut Yang Mulia Kaisar dan menyebut para pejuang itu pemberontak. Kalau para pejuang yang bersatu padu berniat untuk memusuhi Kerajaan Sung yang lemah, tentu sudah lama berhasil. Tidak to-tiang. Para pejuang bukan, pemberontak, melainkan patriot sejati yang hendak mengusir penjajah dari tanah air! Sayang sekali Yang Mulia Kaisar tidak mendengarkan pendapat mendiang Panglima Gak Hui untuk menyerang Bangsa Kin. Dia bahkan mendengarkan Perdana Menteri Jin Kui yang menghendaki perdamaian dan persekutuan dengan penjajah."

"Sian-cai, engkau pandai bicara orang muda!" kata Ban Hok Seng-jin yang pendek gemuk.

"Lalu apa katamu tentang Mestika Golok Naga yang dicuri dari gudang pusaka istana? bukankah itu perbuatan para pejuang pula? Bukankah itu berarti memberontak?"

"Berita bohong itupun di tiup-tiupkan oleh Perdana Menteri Jin Kui sebagai fitnah. Sesungguhnya yang mencuri golok pusaka, itu adalah kaki tangan Panglima Kin yang bernama Wu Chu. Saya sendiri yang merampas kembali golok pusaka itu dari tangan Panglima Wu Chu, akan tetapi sayang golok itu terampas oleh seorang tokoh kang-ouw yang hendak mempergunakannya untuk menentang pasukan Kin. Dan sekarang saya sedang berusaha untuk merampasnya kembali," jawab Tiong Li dengan suara tegas.

"Ho-ho, engkau sudah siap untuk menjawab semua, pertanyaan. Bagus sekali! Dan bagaimana engkau akan menjawab kalau pinto bertanya tentang kematian Pangeran Kian Cu yang terbunuh oleh lima orang pemberontak itu, orang muda?"

"Sam-wi To-tiang, ketahuilah bahwa Pangeran Kian Cu pergi berunding dengan para pejuang atas perintah Yang Mulia Kaisar, bahkan pangeran itu telah memberi sumbangan yang cukup banyak kepada para pejuang. Kemudian ketika pangeran meninggalkan para pejuang, pendekar Gak Liu sendiri yang menyuruh lima orang rekannya untuk mengawal pangeran itu. Kemudian diketahui bahwa mereka berlima itu tewas, demikian pula sang pangeran. Bagaimana mungkin mereka berlima itu membunuh sang pangeran yang telah menjadi sahabat baik? Ini sungguh tidak masuk akal. Tentu ada pihak lain yang membunuh pangeran, kemudian membunuh pula lima orang pengawal itu, kemudian melemparkan fitnah bahwa lima orang pejuang itu yang membunuh sang pangeran. Harap sam-wi to-tiang dapat mempertimbangkannya dengan adil dan tidak hanya mendengarkan keterangan satu pihak saja."

Tiga orang tosu itu menjadi bingung dan saling pandang penuh kebimbangan dan keraguan. Semua keterangan yang diucapkan pemuda itu dengan lancar dan tegas membuat mereka merasa bimbang. Semua jawaban itu mengandung kemungkinan besar akan kebenarannya! Tiga orang ini adalah para datuk yang terbujuk oleh Kui To Cin-jin dan mereka hendak berjuang tanpa pamrih membela Kerajaan Sung.

Mereka tidak mengharapkan imbalan jasa. juga tidak mengingat akan kepentingan diri pribadi. Semua hanya dilakukan dengan tujuan satu, yalah membela Kerajaan Sung dan membersihkan pemberontak yang mengacau Kerajaan Sung. Akan tetapi kini mereka mendapat jawaban yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Kui To Cin-jin dan Perdana Menteri Jin Kui.

"Bagaimana pendapatmu, Im Seng Cu?" tanya Ban Hok Seng-jin kepada rekannya.

"Sian-cai...! Keterangan pemuda ini memang masukbdiakal. Pinto menjadi bingung memikirkan persoalan ini," jawab yang ditanya.

Sin Gi Tosu juga berkata sambil menghela napas panjang. "Pinto juga menjadi ragu karena pinto sudah mendengar bahwa Perdana Menteri Jin Kui amat licik dan tidak disuka oleh para menteri lain yang setia. Akan tetapi kekuasaannya besar sehingga para menteri tidak ada yang berani berkutik."

"Sian-cai, apakah benar kita yang dibohongi?" tanya Ban Hok Seng-jin. "Kui To Cin-jin ternyata juga tidak menghambakan diri kepada Kaisar, melainkan kepada Perdana Menteri Jin Kui. Hal itu saja tadinya sudah menimbulkan kekecewaanku. Pinto kira dia menghambakan diri kepada Kaisar."

"Sam-wi To-tiang yang bijaksana," kata Tiong Li. "Harap sam-wi berpikir dengan pertimbangan seadilnya. Jin Kui itu adalah seorang penjilat yang telah mampu menguasai Yang Mulia Kaisar, akan tetapi dia bukanlah seorang pejabat yang baik. Dialah yang bersekutu dengan orang-orang Kin. Bahkan saya merasa yakin dia yang menyuruh orang menculik sang puteri Sung Hiang Bwee untuk dihadiahkan kepada Panglima Kin yang bernama Wu Chu itu. Masih untung saya dapat membebaskan sang puteri yang telah dua kali diculik orang. Dan mengapa Perdana Menteri Jin Kui membenci para pejuang? Pertama karena para pejuang itu menentang Bangsa Kin yang menjadi sekutunya, dan kedua kalinya belum lama ini puteranya yang bernama Jin Kiat, yang terkenal mata keranjang dan amat jahat, terbunuh oleh pendekar Gak Liu. Itulah yang membuat Jin Kui selalu mengejar-ngejar para pejuang dan mengatakannya bahwa mereka pemberontak yang harus dibasmi."

Tiga orang tosu itu mengangguk-angguk. Mereka adalah orang-orang bijaksana yang mudah disadarkan dan begitu menyadari kekeliruan mereka, seketika dapat mengubah sikap. Tidak seperti kebanyakan dari kita yang kalau menyadari kekeliruan diri sendiri, pikiran lalu mencari akal untuk membela kekeliruan itu, untuk mencari alasan dan menyalahkan orang lain untuk menutupi ke salahan sendiri.

"Sian-cai...! Ban Hok Seng-jin dan Sin Gi Tosu, kita bertiga ini orang-orang tua yang berpikiran seperti anak kecil, mudah dibujuk dan mudah di kelabuhi. Kita telah tertipu oleh Kui To Cin-jin yang agaknya telah ketularan penyakit Jin Kui dan menjadi seorang penjilat. Tan Tiong Li, terima kasih. Kami menyadari kekeliruan kami. Akan tetapi dari tempat jauh sekali kami datang dan kami telah mendengar tentang kelihaianmu. Rasanya akan sia-sia perjalanan kami kalau kami belum mencoba kelihaianmu. Nah, mari kita main main sebentar, hendak kubuktikan apa yang telah kudengar tentang dirimu!"

Tiong Li mengerutkan alisnya. "Totiang, perlukah itu? Kita bukan musuh dan tidak ada urusan apapun di antara kita. Kita belajar ilmu untuk dipergunakan membela kebenaran dan keadilan, bukan untuk saling serang di antara orang-orang sehaluan. Bukankah totiang juga membela kebenaran dan keadilan?"

"Ha-ha-ha, lupakah engkau akan kebiasaan orang kang-ouw, belum berarti berkenalan dengan baik kalau belum mengenal kepandaian masing-masing? Ini bukan perkelahian, hanya saling menguji kepandaian saja."

Tiong Li menghela napas panjang dia mengerti akan kebiasaan orang-orang kang-ouw yang sangat suka untuk mengenal orang lain melalui ilmu silatnya. "Baiklah, to-tiang. Kalau totiang menghendaki demikian."

To-su yang tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya. Im Seng Cu memang seorang ahli dengan senjata tongkatnya yang telah mengangkat namanya sebagai seorang datuk persilatan yang lihai. "Orang muda, pergunakanlah senjatamu untuk menandingi tongkatku ini!"

"Maaf, to-tiang. Saya tidak memiliki senjata apapun selain kaki dan tangan ini. Biarlah saya menghadapi tongkat to-tiang dengan kaki dan tanganku. Nah, saya sudah bersiap, to-tiang!" kata Tiong Li sambil memasang kuda-kuda di depan tosu itu.

Im Seng Cu mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia melawan seorang pemuda yang bertangan kosong dengan tongkatnya? Akan tetapi karena dia sudah mendengar akan kelihaian Tiong Li, diapun ingin sekali mengujinya. "Baik, engkau yang menghendaki demikian, bukan pinto. Nah, sambutlah seranganku ini!"

Tongkatnya menyambar dengan dahsyat dan cepat sekali, mengirim totokan bertubi-tubi ke arah tiga jalan darah di pundak dan dada Tiong Li. Pemuda ini tidak memandang rendah dan sudah menduga bahwa tosu itu tentu lihai sekali, maka sejak tadi dia sudah bersikap waspada dan begitu lawan menyerang, dia mengerahkan Ilmu meringankan tubuh Jauw-sang-hui dan memainkan ilmu silat Ngo-heng-lian-hoan-kun yang amat lihai. Tubuhnya berkelebatan dan tidak dapat tersentuh ujung tongkat.

Im Seng Cu terkejut sekali melihat tubuh pemuda itu berubah seperti bayangan yang berkelebatan dan tahu-tahu tangan pemuda itu menampar ke arah pergelangan tangannya sedangkan kakinya menyusul dengan sapuan yang cepat, dan kuat sekali! Cepat sekali dia menarik lengannya dan meloncat tinggi ke atas, lalu memutar tongkatnya dan menyerang lebih hebat lagi karena dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar amat tangguh.

Tiong Li sendiri juga terkejut. Tongkat itu memang hebat. Ujungnya seolah berubah menjadi puluhan batang dan semua ujung itu mengancam jalan darahnya. Totokan yang bertubi-tubi membuat dia terpaksa harus menggunakan kecepatan gerakannya, mengelak dan kadang menangkis tongkat itu dengan lengannya.

"Dukkk...!" Ketika tingkat bertemu dengan lengan kiri Tiong Li yang menangkisnya, kembali tosu itu terkejut karena dia merasa betapa kedua lengannya yang memegang tongkat tergetar hebat. Hal ini tidaklah mengherankan karena ketika menangkis Tiong Li telah mengerahkan tenaga Jian-kin-lat. Akan tetapi kakek Itu menggerakkan tongkatnya secara istimewa sekali dan tahu-tahu sudah menotok pundaknya! Tidak ada kesempatan lagi bagi Tiong Li untuk mengelak atau menangkis, maka cepat dia mengerahkan ilmu I-kiong-hoan-hiat.

"Tukkk!" Jalan darah di pundak itu tertotok dengan cepat sekali oleh ujung tongkat. Im Seng Cu memang seorang ahli totok yang hebat, akan tetapi sekali ini dia terkejut, setengah mati melihat totokannya itu tidak merobohkan si pemuda, sebaliknya dengan Tai-lek-kim-kong-jiu Tiong Li menyerangnya dan menangkap tongkatnya.

Demikian hebatnya pukulan kilat itu sehingga Im Seng Cu terpaksa melompat ke belakang dan melepaskan tongkatnya yang terampas oleh Tiong Li! Kiranya ilmu I-kiong-hoan-hiat yang dapat memindahkan jalan darah dan menahan aliran darah itu membuat dia kebal terhadap totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundaknya itu tidak mengenai jalan darah yang sudah dipindahkan, maka dia pun tidak terpengaruh.

"Siancai...! Engkau memang hebat sekali, orang muda!" kata Im Seng Cu memuji dan dia menyambut ketika Tiong Li mengembalikan tongkatnya, lalu melangkah kebelakang dengan wajah agak basah oleh keringat.

Melihat ini, dua orang Tosu yang lain menjadi gembira bukan main. Pemuda itu dapat menandingi bahkan mengugguli Im Seng Cu, ini hebat!

Ban Hok Seng-jin lalu maju dan mencabut pedangnya. "Tan-sicu, pinto juga ingin sekali merasakan kelihaianmu. Akan tetapi karena pinto biasa menggunakan pedang, maka sekarangpun terpaksa pinto mempergunakan pedang. Harap kau orang muda suka menggunakan senjata pula, karena kalau bertangan kosong sungguh membuat pinto merasa tidak enak."

"Koko, kau pergunakanlah pedangku ini!" Tiba-tiba Siang Hwi berkata sambil memberikan pedangnya kepada Tiong Li.

Pemuda itu meragu. Kekasihnya adalah murid Ban-tok Sian-li maka pedangnya tentu pedang beracun dan dia tidak mau mempergunakan pedang beracun, akan tetapi untuk menolaknyapun dia merasa tidak enak terhadap kekasihnya. Agaknya Siang Hwi memaklumi keraguan kekasihnya, maka ia tersenyum manis dan berkata,

"Koko, jangan khawatir. Pedangku ini bersih!"

Tiong Li menjadi girang sekali dan tanpa ragu lagi dia menerima pedang itu, sebatang pedang yang terbuat dari baja yang baik sehingga mengkilat bersih. Tidak ada tanda-tanda bahwa pedang itu mengandung racun. Dia memegang pedang menghadapi Ban Hok Seng-jin.

"Kalau to-tiang memaksa hendak menguji ilmu pedang, silakan, to-tiang. Saya sudah bersiap!" katanya sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

Biarpun kelihatannya dia hanya melintangkan pedangnya depan dada bertemu dengan ujung jari tangan kirinya yang juga berada di depan dada dengan lengan terlipat, namun sesungguhnya itu adalah sebuah pasangan dari ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat (ilmu Pedang Garuda Terbang), yaitu pasangan Garuda Melipat sayapnya.

"Bagus, kalau begitu sambutlah seranganku ini, orang muda!" bentak Ban Hok Seng-jin yang sudah menyerang dengan sabetan pedangnya dari kiri ke kanan. Sepasang lengan yang membentuk sayap dilipat itu terbuka dan pedang di tangan Tiong Li menangkis. Pedang beradu beruntun sampai tiga kali dan mereka masing-masing menarik pedangnya untuk diperiksa.

Ternyata pedang tidak menjadi rusak hanya Ban Hok Sen-jin merasa betapa tangannya tergetar keras. Maka dia lalu menyerang lebih hebat lagi. Pedangnya lenyap, bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Tosu ini memang seorang ahli pedang yang pandai sekali, Akan tetapi Tiong Li mengimbanginya dengan ilmu meringankan tubuh Jauw-sang-hui.

Tubuh pemuda yang memainkan ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat ini seperti berubah menjadi seekor burung walet yang amat lincah. Beterbangan ke sana sini di antara sambaran pedang lawan dan pedangnya sendiri pun digerakkan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.

Terjadi saling serang dengan hebatnya, ditonton dua orang tosu dan juga Siang Hwi yang merasa semakin kagum kepada kekasihnya, ia melihat tubuh kekasihnya itu seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang.

Tentu saja Tiong Li tidak ingin merobohkan atau melukai lawan maka dia mencari akal bagaimana untuk mencapai kemenangan tanpa harus melukai lawan. Akhirnya dia mendapatkan akal. Pada saat pedang lawan menusuk ke arah lehernya, dia memapaki dengan pedangnya dan mengerahkan sin-kang menyedot pedang itu sehingga pedang tosu itu melekat pada pedangnya. Diputarnya pedang itu dengan pengerahan sin-kang sehingga mau tidak mau pedang tosu itu ikut berputar. Pada saat kedua pedang berputar itulah, Tiong LI menyerongku pedangnya dan menusuk ke depan, mengancam pergelangan tangan lawan!

Ban Hok Seng-jin terkejut bukan main ketika tahu-tahu pergelangan tangannya sudah terancam ujung pedang lawan. Untuk melindungi pergelangan tangannya, terpaksa dia melepaskan pedang yang menempel pada pedang lawan itu dan melompat ke belakang!

Pedangnya masih menempel pada pedang Tiong Li yang kemudian mengambilnya dan menyodorkan kepada pemiliknya, mengembalikannya sambil berkata, "Terima kasih bahwa to-tiang telah mengalah kepada saya."

"Siancai...!" Ban Hok Seng-jin menerima kembali pedangnya dan memandang penuh kagum. "Belum pernah pinto bertemu tanding seperti engkau, orang muda. Kalau boleh pinto bertanya, ilmu pedang apakah yang kau mainkan itu?"

"Itu adalah Hui-eng-kiam-hwat, to-tiang."

"Hui-eng-kiam-hwat? Bukankah ilmu pedang itu menjadi ilmu Pek Hong San-jin, pertapa di Pek-hong-san?"

"Beliau adalah seorang di antara guru-guru saya, to-tiang."

"Siancai...! Pantas engkau begitu lihai!" kata Ban Hok Seng-jin kagum.

"Dan siapakah guru-gurumu yang lain, orang muda?" kini Sin Gi Tosu yang bertubuh tinggi besar.

"Saya masih mempunyai dua orang guru lagi, to-tiang, yaitu Thian Kui lo-jin dan Tee Kui Lo-jin."

"Wah, sepasang pendekar sakti dari puncak Ki lin-san? Bukan main!" seru Sin Gi Tosu sambil menyelipkan kebutannya di pinggangnya. "Kalau begitu pinto tidak ingin mencoba ilmu silatmu, orang muda, karena Ilmu silatmu yang diajarkan oleh tiga orang sakti itu pasti hebat. Pinto ingin menguji ketangguhan tenagamu."

"Silakan, to-tiang," kata Tiong Li sambil mengembalikan pedang kepada Siang Hwi.

"Nah, sambutlah ini orang muda!" kata Sin Gi Tosu sambil mendorong dengan kedua tangan terbuka ke depan, kearah dada Tiong Li.

Pemuda itu melihat dorongan itu mengandung kekuatan yang hebat dan angin dahsyat menyambar, segera memasang kuda-kuda dan diapun menggerakkan kedua tangan terbuka ke depan dengan ilmu Thai-lek-kim-kong-jiu. Dua tenaga sin-kang amat kuat bertemu di udara dan keduanya seolah bertemu dengan dinding baja yang kuat. Keduanya saling dorong dan mengerahkan tenaga...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.