Mestika Golok Naga Jilid 18

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Jilid 18
Sonny Ogawa
"Benar juga, aku sudah menemukan cara yang baik, siasat yang tepat untuk dapat berhadapan dengan Jin Kui dan membunuhnya. Yaitu dengan golok ini. Kita mohon menghadap Perdana Menteri Jin Kui. Kalau kita memakai alasan untuk mengembalikan Mestika Golok Naga, kurasa dia akan mau menerima kita."

"Bagus! itu siasat yang baik sekali, Thio-twako!" seru Souw Hian Li dengan girang.

"Mari kita bicarakan di rumah!"

Keduanya lalu berjalan pergi meninggalkan tiga puluh orang perampok itu saling tolong dan menuju ke lereng bukit Thian-mu-san, jalan berdampingan dan bukan hanya Thio Cin Kang saja yang merasa berbahagia dapat mengajak wanita itu pulang ke rumahnya, juga Souw Hian Li merasakan suatu perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Cinta asmara memang aneh dapat membuat seseorang merasa bahagia seperti hidup di sorga, akan tetapi di lain saat dapat membuat orang itu berbalik merasa sengsara seperti hidup di neraka! Cinta asmara mengandung nafsu berahi, ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin menguasai dan dikuasai, ingin selalu berdekatan, bahkan bersatu dalam dua badan satu hati. Akan tetapi satu saja di antara keinginan-keinginan itu tidak terpenuhi, datanglah sengsara dan kasih sayang dapat saja berubah sama sekali bentuknya menjadi dendam dan benci.

Karena ingin memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai, maka timbullah cemburu. Cinta asamara adalah semacam kesayangan seperti sayangnya seseorang kepada sebuah benda yang indah dan ingin dimilikinya sendiri, tidak boleh disentuh orang lain. Dan cinta asmara mendatangkan duka kalau tiba saatnya dipisahkan dari yang dicinta.

Namun, tanpa adanya cinta asmara, hidup akan terasa hambar. Perasaan ini sudah merupakan naluri kemanusiaan, di ikut-sertakan semenjak lahir karena cinta asmara merupakan sarana perkembang-biakan manusia. Tanpa cinta asmara yang mengandung nafsu berahi, bagaimana manusia dapat berkembang biak, beranak-cucu? Tiada habis-habisnya para cendekiawan, para filsuf dan pengarang, membicarakan dan menulis tentang cinta asmara, dan kita tidak juga bosan mendengar atau membacanya. Mengapa demikian? Karena cinta asmara merupakan bagian dari pada hidup kita.


Ban-tok Sian-li Souw Hian Li telah banyak bertemu pria yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi belum pernah ia merasa tertarik kepada seorangpun pria itu. Dan sekarang, tiba-tiba saja ia tertarik kepada seorang duda. Inilah yang dinamakan jodoh dan memang terdapat sesuatu yang aneh dalam soal perjodohan ini. Seolah ada Tangan Ajaib yang mengaturnya.

Karena itu, sejak jaman dahulu orang mengatakan bahwa kalau sudah jodoh, akhirnya tentu akan bertemu juga. Kalau sudah jodoh, maka orang itu akan dilihatnya sebagai orang yang sebaik-baiknya, setampan-tampannya, pendeknya serba baik menarik. Daya tarik ini mungkin timbul dari persamaan selera, persamaan watak dan sebagainya yang agar memudahkan disebut saja sudah jodohnya.

********************

Cerita silat Mestika Golok Naga karya kho ping hoo

Tiong Li dan Siang Hwi kembali ke kota raja. Mereka mencari-cari jejak Ban-tok Sian-li akan tetapi sia-sia saja karena wanita yang mereka cari itu sama sekali tidak meninggalkan jejak, seperti hilang begitu saja. Akhirnya mereka mengaso di dalam taman rakyat. Siang itu orang-orang masih sibuk bekerja sehingga taman itu tidak ramai dan mereka dapat duduk bercakap-cakap dengan santai di sebuah bangku panjang.

Tiba-tiba seorang mengemis menghampiri mereka dan menyodorkan sebuah mangkok butut. Siang Hwi mengambil uang sekeping dan memasukkannya ke dalam mangkok. Akan tetapi, melihat pengemis itu Tiong Li berseru girang.

"Eh, bukankah engkau Gan-twako?"

Wajah yang terlindung caping lebar butut itu tersenyum dan sepasang mata itu bersinar-sinar. Kiranya yang bersembunyi di balik baju butut dan kulit muka kotor itu adalah seorang pemuda tampan dan gagah yang bukan lain adalah Gan Kok Bu, putera ketua Hek tung Kai-pang.

"Ah, kiranya engkau, Gan-twako?" Siang Hwi kini juga mengenalnya.

"Kau sudah mengenalnya?" tanya Tiong Li kepada Siang Hwi.

"Dan kau juga sudah mengenalnya?" balas tanya Siang Hwi dengan heran.

"Dia putera Gan-pangcu dari Hek-tung Kai-pang dan dia sudah pernah membantuku," jawab Tiong Li.

"Aku juga tahu bahwa dia putera Gan-pangcu dan dia juga pernah membantu kami, ketika aku dan subo terkepung pasukan. Dia yang menyembunyikan kami," kata Siang Hwi.

"Sudahlah, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu menyebut lagi hal itu. Di antara kita sudah tentu harus ada saling bantu dan saling kerja sama," kata Gan Kok Bu sambil tersenyum.

"Bagaimana kabarnya dengan Hek-tung Kai-pang ketika diadakan penggeledahan, Gan-twako?" tanya Tiong Li.

"Ah, karena pemberitahuanmu, maka, kami telah bersiap-siap dan ketika di adakan penggeledahan, mereka tidak menemukan apapun. Kami bebas dari kecurigaan dan sampai kini masih dapat berkeliaran tanpa dicurigai." Kok Bu memandang kepada Siang Hwi, gadis yang dicintanya dan pernah dia menyatakan cintanya kepada gadis itu. "Dan di mana adanya gurumu, nona? Kenapa tidak bersamamu?"

"Kami memang sedang mencarinya," Jawab Siang Hwi.

"Ah, kebetulan sekali, Gan-twako. Engkau tentu akan dapat membantu kami Kalau bibi Souw Hian Li, guru Hwi-moi berada di kota raja, tentu engkau dan kawan-kawanmu mengetahuinya. Kami ingin sekail mencarinya"

"Ah, itu perkara mudah. Marilah, ji-wi singgah di tempat kami dan menanti satu dua hari tentu kami akan mendapatkan berita tentang Ban-tok Sian-li" ajaknya gembira.

Karena ingin sekali segera dapat menemukan Ban-tok Sian-li yang merampas Mestika Golok Naga, Tiong Li menerima tawaran itu dan dia mengajak Siang Hwi untuk pergi ke tempat tinggal Gan Kok Bu. Semenjak peristiwa dahulu ketika ayahnya menyatakan tidak senang dia bergaul dengan murid Ban-tok Sian-li dan ayahnya bahkan mengkhianati guru dan murid itu, Gan Kok Bu tidak lagi mau tinggal bersama ayahnya. Dia tinggal sendiri bersama beberapa orang pembantu pengurus Hek-tung Kai-pang di rumah yang terpisah dan ke rumah itulah dia membawa Tiong Li dan Siang Hwi.

Melihat hubungan yang akrab dari Tiong Li dan Siang Hwi sebagai dua orang sahabat baik, hati Kok Bu sudah merasa tidak enak. Sejak dulu dia mencinta Siang Hwi, dan kini setelah mereka bertemu kembali, perasaan cinta dan kagumnya semakin berkobar. Setelah dia memerintahkan para pengurus untuk menyampaikan perintahnya kepada para anggauta Hek-tung Kai-pang untuk menyelidiki di mana adanya Ban-tok Sian-li, dia lalu menemani kedua orang tamunya itu dengan ramah.

Ketika pada suatu sore dia mendapat kesempatan berbicara berdua saja dengan Tiong Li, dia mengaku terus terang tentang perasaannya terhadap Siang Hwi.

"Tan-taihiap, engkau tidak tahu betapa bahagianya aku dapat bertemu dengan kalian berdua, terutama sekali dengan nona Siang Hwi. Aku sangat merindukannya dan sudah lama aku mencari-cari akan tetapi tanpa hasil. Pertemuanku dengannya adalah ketika ia dan gurunya tinggal bersembunyi untuk beberapa hari lamanya di rumah kami."

"Aku senang sekali engkau berbahagia bertemu dengan kami," kata Tiong Li dengan suara dan sikap wajar saja.

Hening sejenak. Kemudian Kok Bu memberanikan hatinya dan berkata, "Tan taihiap, maukah engkau menolongku?"

"Tentu saja, twako. Menolong apa?"

"Engkau bersahabat baik dengannya, tentu dapat menyampaikan dengan mudah. Tolong kau katakan kepadanya bawa aku... perasaan hatiku kepadanya masih tetap seperti dulu, bahkan kini lebih yakin lagi dan bahwa aku tetap masih menunggu jawabannya."

Sekali ini Tiong Li terkejut bukan main, akan tetapi semua perasaan itu ditahannya di dalam hati. "Kenapa tidak engkau sampaikan saja sendiri, twako?"

"Aku.. aku merasa sungkan dan takut ditolak. Ketahuilah, taihiap. Dahulu aku sudah pernah menyatakan cintaku kepadanya, dan sampai kini belum mendapatkan jawabannya. Oleh karena itu, kalau mau menolongku, menyampaikan perasaanku itu dan menanti jawabannya, aku akan merasa berterima kasih sekali..."

Tiong Li merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tahu bahwa perasaan cemburu menusuk-nusuk perasaannya. Akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu dan suaranya masih terdengar biasa ketika dia bertanya.

"Engkau cinta padanya, twako. Dan bagaimana dengan ia? Apakah ia juga mencintamu?"

"Ahh, melihat sikap, pandang matanya dan suaranya, aku hampir yakin bahwa iapun mencintaku, taihiap. Akan tetapi ia belum menyatakan itu dengan kata-kata dan inilah yang kuharapkan. Sekarang akan ia lakukan kalau engkau! mau menolongku menyampaikan pesanku kepadanya. Maukah engkau, taihiap?" Sambil berkata demikian Gan Kok-Bu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan depan dada lalu memberi hormat berkali-kali.

Bukan main panasnya rasa hati Tiong Li. Cemburu memang menjadi permainan cinta asmara. Dan nafsu cemburu ini amatlah berbahaya, dapat menggelapkan pertimbangan, mendatangkan dendam amarah dan kebencian. Akan tetapi Tiong Li dapat menekan perasaannya yang terbakar dan diapun bangkit berdiri.

"Akan kulaksanakan permintaanmu itu! Gan-twako. Jangan khawatir, akan kusampaikan pesanmu itu kepadanya."

"Ah, terima kasih! Terima kasih taihiap dan aku menanti jawabannya dengan hati tidak sabar lagi. Maafkan! sekarang kutinggalkan taihiap agar dapat segera menemuinya." Gan Kok Bu dengan hati girang dan harapan setinggi gunung lalu meninggalkan Tiong Li seorang diri.

Setelah ditinggalkan tuan rumah, Tiong Li duduk kembali seperti patung dan sampai lama dia diam saja tidak bergerak, walaupun di dalam dadanya terjadi pergolakan hebat. Siang Hwi saling cinta dengan Kok Bu? Benarkah Siang Hwi juga mencinta pemuda itu? Mengapa tidak?

Gan Kok Bu seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, putera ketua Hek-tung Kai-pang. Seorang pemuda yang berbudi baik dan perkasa, sudah sepantasnya kalau mendapatkan cinta seorang gadis seperti Slang Hwi. Akan tetapi kalau Siang Hwi mencinta Kok Bu, kenapa gadis itu masih mau menerima cintanya? Apakah gadis itu seorang yang tidak memiliki kesetiaan?

Hati Tiong Li menjadi panas sekali. Dia merasa telah didahului oleh Kok Bu. Sebelum dia mengaku cintanya kepada Siang Hwi, Kok Bu telah lebih dulu dari padanya. Dan bagaimana dengan Siang Hwi? Dia harus menanyainya. Gadis itu harus mengambil keputusan, tidak boleh mempermainkan hati pria!

Kebetulan sekali pada saat itu Siang Hwi muncul dari dalam rumah. Agaknya ia memang mencari Tiong Li yang duduk di luar rumah bersama Kok Bu tadi.

"Aih, kiranya engkau berada di sini, koko!" kata Siang Hwi. dengan suara manja. Suara yang biasanya menggetarkan hati Tiong Li karena kemanjaannya itu kini bahkan memanaskan hatinya, seperti suara yang dibuat-buat dan palsu!

Melihat pemuda itu tidak menjawabnya, bahkan tidak menengoknya melainkan menunduk dengan wajah murung, tentu saja Siang Hwi menjadi heran dan khawatir. "Koko, engkau kenapakah?" tanyanya sambil memegang pundak pemuda itu.

Tiong Li melepaskan pundaknya dengan gerakan agak kasar, lalu bangkit! dan berkata, "Duduklah, aku hendak menyampaikan pesan untukmu!"

Siang Hwi duduk dan memandang khawatir sekali. "Koko, kenapa engkau bersikap begini? Pesan apakah itu dan dari siapa?"

"Dari Gan Kok Bu! Nah, engkau ingin mendengar pesannya, bukan?"

Siang Hwi bingung dan khawatir sekali melihat sikap yang kaku dari Tiong Li itu, ia tidak dapat menjawab hanya mengangguk.

"Nah, dengarlah baik baik. Gan Kok Bu minta agar aku menyampaikan kepadamu bahwa perasaan cintanya kepadamu masih seperti dulu, dan bahwa dia masih mengharapkan jawaban darimu sekarang juga. Nah, kau sampaikan jawaban itu melalui aku!"

Siang Hwi terbelalak dan tiba-tiba ia mengerti! Kok Bu menyatakan cintanya melalui Tiong Li dan kekasihnya itu terbakar oleh api cemburu. Hampir ia tertawa geli, akan tetapi ia menelan tawanya, la tidak mau menyinggung perasaan kekasihnya, ia terlalu hormat dan cinta kepada Tiong Li, tidak mau ia menyakiti hatinya.

"Ah, begitukah? Betapa beraninya!" ia lalu memegang tangan Tiong Li dan ditariknya pemuda itu bangkit berdiri. "Hayo kita cari dia. Aku ingin menyampaikan sendiri jawabanku dan engkau harus hadir!" Dengan erat ia memegang tangan Tiong Li dan menariknya lari mencari Kok Bu.

Mereka mendapatkan Kok Bu sedang berada di ruangan dalam, bercakap-cakap dengan tiga orang pengurus Hek-tung Kai-pang. Akan tetapi Siang Hwi tidak perduli dan terus menarik tangan Tiong Li memasuki ruangan itu. Tentu saja Kok Bu memandang dengan mata terbelalak melihat gadis itu masuk sambil menggandeng tangan Tiong Li yang di tarik-tariknya dengan paksa!

"Gan-twako, aku sudah menerima pesanmu lewat Li-koko. Dan dengarlah baik-baik jawabanku. Beberapa waktu yang lalu engkau pernah menyatakan cintamu kepadaku dan aku sama sekali tidak menanggapi, tidak menjawab karena pada waktu itu aku tidak ingin bicara soal cinta. Hatiku masih kosong dari cinta maka aku tidak dapat menjawab atau memberi keputusan kepadamu. Kemudian aku bertemu Li-koko dan aku menemukan cinta. Dia inilah cintaku, dan kami sudah bertunangan, kami kelak akan menjadi suami isteri, akan menikah. Dan engkau malah mengangkat calon suamiku sebagai comblang untuk menyampaikan cintamu ke padaku! Nah, itulah jawabanku, Gan twako!"

Pucat wajah Kok Bu. Pucat lalu merah sekali. Ingin rasanya dia masuk ke dalam bumi karena merasa malu dan terpukul . "Ahhh... ohhh... Tan-taihap, ap... kenapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku? Mengapa engkau diam saja sehingga membiarkan aku melakukan hal yang memalukan itu?" Suara Kok Bu mengandung penyesalan dan kedukaan. "Tan-taihiap, Nona The, kalian maafkanlah aku yang tak tahu diri dan tidak tahu malu ini." Pemuda itu menundukkan mukanya dan sepasang kekasih itu memandang dengan penuh perasaan iba.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Gan-twako. Tentu saja engkau berhak menyatakan perasaanmu kepada siapapun juga," kata Tiong Li.

"Aih, kau maafkanlah aku, Gan-twako. Aku... aku telah membikin engkau merasa tidak enak. Aku terburu nafsu karena melihat Li-koko dibakar api cemburu dan kelihatan bersikap kaku ke padaku. Maafkan aku, tidak ada maksud di hatiku untuk menyinggung perasaanmu."

Gan Kok Bu tersenyum. Wajahnya masih agak pucat akan tetapi senyumnya wajar. Dia memang seorang gagah perkasa yang dapat menguasai hatinya dan dapat menerima kenyataan. "Sungguh aneh kalian ini. Orang-orang gagah yang aneh. Kalian terganggu oleh kelancanganku, malah kalian yang menyatakah maaf. Aku sama sekali tidak tersinggung, bahkan merasa girang. Kalian memang sepantasnya menjadi jodoh masing-masing. Biarlah sekarang juga aku mengucapkan kiong-hi (selamat)!"

Dia lalu mengangkat kedua tangan kedepan dada dan mengucapkan selamat. Tiga orang pengurus Hek-tung Kai-pang yang sejak tadi hanya melongo kini juga ikut-ikutan memberi selamat. Tentu saja Tiong Li dan Siang Hwi menjadi tersipu. Tiong Li memandang ke pada Gan Kok Bu dengan kagum.

"Gan-twa ko, engkau seorang sahabat yang baik, engkau seorang gagah tulen!"

"Mari, marilah kalian duduk. Hal ini perlu dirayakan dengan pesta kecil!" kata Kok Bu gembira dan dia lalu memanggil pembantu untuk menghidangkan arak dan makanan.

Mereka berenam lalu makan minum dengan gembira dan agaknya Kok Bu sudah melupakan sama sekali malapetaka batin yang menimpa dirinya. Tentu tidak ada yang tahu betapa malam itu dia menangis seorang diri di dalam kamarnya!

********************

Perdana Menteri Jin Kui mengundang semua pembantunya, yaitu Ciang Sun Hok yang menjadi jagoan lihai bekas jagoan istana, Ma Kiu it panglima pengawalnya, Kui To Cin-jin si muka tikus bekas guru mendiang Jin Kiat dan dua sutenya yang diperbantukan, yaitu Ouw Yang Kian dan Oyw Yang Sian kemudian Tang Boa Lu si Muka Tengkorak. Enam orang ini berkumpul diruangan dalam di mana Jin Kui duduk sambil memegangi selembar surat dengan muka merah.

"Aku menerima surat ini. bagaimana pendapat kalian? Dengar, kubacakan suratnya: 'Kami hendak menghaturkan! Mestika Golok Naga kepada Perdana Menteri Jin Kui, harap datang ke Bukit Menjangan di luar kota. Kalau Perdana Menteri Jin Kui tidak datang sendiri! Jangan harap akan dapat menemukan kembali Mestika Golok Naga!' Nah, surat ini tidak ditandatangani, ini jelas merupakan tantangan kepadaku untuk datang ke Bukit Menjangan. Bagaimana pendapat kailan?"

"Hati-hati, taijin. Ini bisa saja merupakan pancingan agar paduka datang ke tempat itu. Merupakan jebakan kata Kui To Cin-rjin yang dibenarkan oleh lima orang rekannya yang lain.

"Kita semua sudah mengetahui bahwa Mestika Golok Naga sudah dirampas oleh Tan Tiong Li dari tangan Panglima Wu Chu. Kenapa sampai sekarang belum di kembalikan kepada Kaisar? Apakah Tan Tiong Li yang mengirim surat ini dan apa maksudnya berbuat demikian?"

"Mungkin untuk menjebak pasukan, taijin," kata Kui To Ciri-Jin.

"Lalu bagaimana pendapat kalian terhadap surat ini? Apa yang harus kita lakukan?"

"Saya usulkan agar mengirim seorang yang menyamar sebagai paduka ke Bukit Menjangan, dan kami berenam akan mengawalnya! Kalau dia benar-benar muncul membawa Mestika Golok Naga, kami akan merampasnya," kata Tang Boa Lu.

"Bagaimana kalau mereka itu membawa pasukan pemberontak yang besar jumlahnya?" kata Ma Kiu it. "Sebaiknya kita kerahkan pasukan menuju ke Bukit Menjangan dan membasmi mereka!"

"Usul Ma-ciangkun tidak tepat," kata Ciang Sun Hok. "Kalau kita mengerahkan pasukan, tentu mereka itu sama sekali malah tidak mau datang. Taijin, Saya lebih condong menerima usul Tang ciangkun. Kita mengirim seorang yang menyamar sebagai paduka, menunggang kereta dan kami berenam yang mengawal, lalu kita lihat apa yang akan terjadi di sana. Andaikata merupakan jebakan kami berenam tentu akan dapat mengatasinya dan paduka yang berada di rumah tentu tidak akan terancam apa-apa."

Perdana Menteri Jin Kui mengangguk-angguk. "Kami dapat menyetujui usul itu."

"Tai-jin, dalam surat itu, kapankah ditentukap agar paduka datang ke Bukit Menjangan?" tanya Ma Kiu it.

"Tidak disebutkan, jadi sewaktu-waktu."

"Kalau begitu, sebaiknya kalau yang menyamar paduka itu datang di waktu matahari telah condong ke barat. Kalau cuaca sudah mulai gelap, maka dengan mudah kita mengirim pasukan khusus ke tempat itu secara diam-diam dan mengepung tempat itu. Dengan demikian kalau mereka menggunakan jebakan dan mengerahkan pasukan, kita dapat menghancurkannya."

Demikianlah, mereka berunding dan akhirnya diputuskan agar seseorang menyamar sebagai Perdana Menteri Jin Kui dan setelah lewat tengahari kereta itu diberangkatkan ke Bukit Menjangan, dikawal oleh enam orang jagoan itu dan di belakangnya ada pasukan yang diam-diam menuju ke Bukit Menjangan dari jurusan lain agar tidak diketahui oleh para pemberontak. Setelah semua siasat diatur, mereka bubaran dan siasat itu akan dilaksanakan keesokan harinya. Mereka memilih setelah hari menjelang malam agar penyamaran orang pengganti Perdana Menteri Jin Kui tidak ketahuan dan agar pasukan yang diam-diam mendatangi Bukit Menjangan dari lain jurusan tidak terlihat pula.

Pada hari itu, lewat tengahari, sebuah kereta milik Perdana Menteri Jin Kui keluar dari pintu gerbang sebelah barat. Karena kareta itu dikawal oleh enam orang panglima, maka dapat melewati pintu gerbang tanpa diperiksa lagi, bahkan para penjaga mengambil sikap menghormat. Kereta lalu dibalapkan menuju ke barat, ke Bukit Menjangan yang kelihatan dari pintu gerbang itu menjulang tinggi.

Karena bentuk puncaknya seperti, kepala menjangan, maka bukit Itu disebut Bukit Menjangan. Daerah itu sunyi dan tandus, merupakan bukit kapur yang penuh dengan batu karang, karena itu sunyi tidak pernah di datangi manusia. Setelah kereta keluar dari pintu gerbang, dari pintu gerbang selatan keluar pula sepasukan tentara terdiri dari seratus orang, melakukan perjalanan cepat namun bersembunyi-sembunyi menuju ke Bukit Menjangan dari arah lain.

Begitu kereta keluar dari pintu gerbang, sepasang kakek dan nenek terbungkuk-bungkuk memasuki pintu gerbang itu. Si nenek menggendong buntalan butut dan kakek itu memegang sebatang tongkat. Tak seorangpun mengetahui bahwa nenek yang bungkuk itu bukan lain adalah Ban tok Sian-li yang cantik jelita dan kakek bertongkat itu adalah Thio Cin Kang yang gagah perkasa, ketua Pek-eng pang! Dan dari pintu-pintu gerbang lainnya masuk pula duapuluh orang anak buah Pek-eng-pang yang menyamar sebagai kuli atau pedagang.

Setelah hari menjadi gelap, nampak bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung terbang melompati pagar tembok rumah gedung Perdana Menteri Jin Kui yang terjaga ketat. Bayangan itu bukan lain adalah Ban-tok Sian-li yang kini berpakaian serba hitam dan dipunggungnya terdapat Mestika Golok Naga.

Ternyata surat yang dikirim oleh Thio Cin Kang kepada Perdana Menteri Jin Kui itu hanya sebuah pancingan saja. Sudah diperhitungkan oleh ketua Pek-eng-pang itu bahwa Perdana Menteri Jin Kui tidak mungkiri mau memenuhi permintaan dalam surat dan tentu akan mengirim semua jagoannya pergi ke Bukit Menjangan. Dan inilah yang dimaksudkan dengan pengiriman surat itu. Memancing agar para jagoan meninggalkan gedung tempat tinggal Perdana Menteri itu. Dan dalam keadaan gedung ditinggalkan para jagoan itulah Ban tok Sian li menyerbu!

Kini Souw Hian Li dan Thio Cin Kang melaksanakan siasat mereka selanjutnya. Setelah berhasil memasuki pagar tembok gedung itu, Ban tok Sian-li Souw Hian Li lalu melompat naik ke atas genteng dan mendekam di atas gedung itu untuk mengamati ke dalam. Pada saat itulah Thio Cin Kang memimpin anak buahnya untuk menyerbu, melompati pagar tempok dan menyerang para penjaga. Segera tanda bahaya dipukul oleh para penjaga dan semua penjaga berkumpul untuk melawan sekitar duapuluh orang yang menyerbu gedung Perdana Menteri Jin Kui, yang semuanya berkedok hitam.

Tentu saja keributan ini terdengar pula oleh Jin Kui. Dia terkejut sekali karena pada saat itu semua jagoannya telah pergi menyerbu ke Bukit Menjangan. Karena khawatir akan keselamatan dirinya, dia tergopoh-gopoh hendak pergi memasuki ruangan rahasia yang mempunyai terowongan menembus ke bawah tanah sebagai tempat bersembunyi. Akan tetapi ketika dia tergopoh-gopoh menuju ke ruangan itu, gerakannya ini terlihat oleh Ban-tok Sian-li Souw Hian Li yang segera melayang turun dan tahu-tahu telah tiba di depan Perdana Menteri itu.

Sang perdana menteri terkejut ketika melihat seorang wanita cantik jelita berpakaian Serba hitam telah berdiri di depannya. "Siapa kau...?" bentaknya untuk menutupi kekagetan dan rasa takutnya.

"Aku Ban-tok Sian-Li majikan lembah Maut yang kau suruh serbu dan basmi. Dan inilah Mestika Golok Naga yang kau kehendaki!" Souw Hian Li mencabut golok yang mengkilap itu dengan Sikap mengancam.

Tentu saja Perdana Menteri Jin Kui menjadi ketakutan dan diapun berteriak-teriak minta tolong sambil melarikan diri. Akan tetapi, Ban-tok Sian-li mengejarnya dan dari belakang menyerangnya dengan dua batang jarum Ban tok-ciam. la sengaja melakukan ini karena ia ingin agar pengkhianat itu mati dalam keadaan tersiksa dan sengsara. Jin Kui menjerit dan roboh terpelanting ketika dua batang jarum memasuki punggungnya.

Ban-tok Sian-li menghampirinya dan berkata kepada Perdana Menteri yang mengeluh kesakitan Itu. "Inilah pembalasan mendiang Panglima Gak Hui dan ribuan pejuang lain yang sudah kau basmi dan bunuh. Rasakan!"

Setelah ber kata demikian Ban-tok Sian-li lalu melompat naik. ke atas atap dan melalui taman keluar dari pagar tembok, la melihat betapa dua puluh orang yang dipimpin Thio Cin Kang masih bertempur melawan pasukan, ia lalu melompati mendekati Thio Cin Kang yang mengamuk.

Setelah melihat Souw Hian Li datang dengan selamat. Thio Cin Kang bertanya. "Bagaimana?"

"Beres!" jawab Souw Hian Li.

Mendengar ini, Thio Cin Kang lalu meneriakkan perintah mundur kepada anak buahnya. Mereka semua menggunakan topeng hitam sehingga tidak akan dikenal. Para pasukan itu hanya mengenai seorang wanita cantik di antara orang-orang berkedok sehingga tentu akan disangka bahwa Ban-tok Sian-li memimpin anak buahnya, sisa anak buah dari Lembah Maut untuk melakukan penyerbuan itu. Pasukan penjaga segera melakukan pengejaran dan gegerlah kota raja karena kejar kejaran itu.

Pada saat itu muncullah Tiong Li, Siang Hwi dan Kok Bu. Seperti kita ketahui, Tiong Li dan Siang Hwi sedang berada di rumah Gan Kok Bu, menanti berita penyelidikan para anak buah Pek-eng-pang yang mencari Ban-tok Sian-li Dan malam itu mereka mendapat kabar bahwa Ban-tok Sian-li terlihat menyerbu, rumah gedung Perdana Menteri Jin Kui. Mereka terkejut dan cepat keluar dari rumah.

Ketika Ban-tok Sian-li dan orang-orang berkedok itu dikejar-kejar pasukan, mereka bertiga segera muncul dan Kok Bu memapaki Ban-tok Sian-li. "Sian-li, kesinilah..."

Ban-tok Sian-li mengenal pemuda putera ketua Hek-tung Kai-pang ini maka ia segera mengajak Thio Cin Kang dan anak buahnya mengikuti. Apa lagi melihat pula muridnya dan Tan Tiong Li berada di dekat tokoh pengemis itu. Mereka semua diajak berlari oleh Gan Kok Bu keluar masuk lorong dan akhirnya memasuki rumahnya.

"Cepat kalian semua membuang kedok hitam dan berpakaian seperti anggauta Hek-tung Kai-pang!" kata Gan Kok Bu yang cepat menyediakan pakaian pengemis bermacam-macam dan memberikan sebuah tongkat hitam kepada mereka semua.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.