SEORANG laki-laki setengah tua yang berperahu seorang diri, nampak dikejutkan dan dikurung oleh empat buah perahu yang masing-masing ditumpangi empat orang! Dan jelas nampak betapa enam belas orang itu mengancam pria setengah tua yang perahunya kini terkurung di tengah-tengah.
Belasan orang itu sudah mengeluarkan senjata dan perahu mereka bergerak semakin dekat. Ada gambar harimau kecil di baju enam belas orang itu, di bagian dada. Mereka adalah orang-orang Hek-houw-pang yang datang ke tempat itu karena tertarik pula akan berita kemungkinan munculnya anak naga di permukaan Pusaran Maut.
Tak mereka sangka, sebelum tengah malam bulan purnama tiba, mereka melihat musuh besar mereka, Liu Bhok Ki, berada disitu, naik perahu seorang diri! Tentu saja begitu melihat musuh besar ini, belasan orang itu pun segera mengepung dengan perahu mereka.
Diwajah mereka terbayang penuh kegeraman dan kebencian, dan mereka merasa gembira karena kini mengharapkan akan dapat membunuh musuh besar itu. kalau di daratan, beberapa kali usaha Hek-houw-pang gagal dan jatuh korban banyak diantara para murid Hek-houw-pang. Akan tetapi kini mereka berada di permukaan sungai, diatas perahu dan mereka mengharapkan musuh besar itu tidak akan mampu meloloskan diri pembalasan mereka.
Tentu saja para tokoh kang-ouw, para tokoh dunia persilatan yang berada disitu tahu akan sikap orang-orang Hek-houw-pang itu yang mengepung laki-laki setengah tua yang tidak dikenal itu. mereka semua tertarik, merasa tegang dan maklum bahwa akan terjadi perkelahian yang menarik. Maka, perahu-perahu segera minggir dan nonton dari jauh, sedangkan orang-orang yang berada di daratan, segera berkumpul di tepi sungai untuk menonton pertunjukan yang amat menarik bagi mereka itu. Tidak ada pertunjukan yang lebih menarik daripada perkelahian bagi orang-orang dunia persilatan itu.
Liu Bhok Ki tentu saja tahu bahwa perahunya dikepung oleh empat buah perahu orang-orang Hek-houw-pang, akan tetapi dia bersikap tenang saja, bahkan mendayung perahunya ke tengah, mendekati daerah pusaran maut. Makin dekat daerah itu, airpun mulai beriak dan terdengar suara angin besar. Dia mendayung dan duduk ditengah perahu, kelihatan tenang seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Buntalan besar berada diatas punggungnya.
Setelah empat buah perahu itu mengepung dalam jarak dekat, tiba-tiba Liu Bhok Ki bangkit berdiri diatas perahunya, berdiri tegak dan dayung itu masih berada ditangannya. Agaknya gerakan ini menjadi isyarat bagi enam belas anggota hek-houw-pang untuk bergerak menerjang setelah perahu mereka yang masih meluncur itu dekat benar dengan musuh.
Akan tetapi, pada saat belasan orang itu melakukan gerakan menyerang dari empat penjuru, tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki meloncat keatas meninggalkan perahunya dan dia melompati kepala orang-orang dalam perahu di depannya dan urun di sebelah belakang mereka. Ternyata kedua kaki Liu Bhok Ki telah dipasangi papan yang ditalikan dengan betisnya.
Dan ketika tubuhnya turun keatas air, tubuh itu tidak tenggelam melainkan berdiri diartas kedua lembar papan itu. Hal ini tidak nampak oleh para anggota Hek-houw-pang karena selain gerakan Liu Bhok Ki amat cepat juga cuaca sudah mulai gelap. Mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga melihat betapa musuh besar itu dapat berjalan diatas air!
Akan tetapi, keheranan mereka berubah menjadi kekagetan dan kepanikan ketika tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki melayang diatas permukaan air kearah mereka, dan pendekar ini sudah mengayun dayung di tangannya, menyerang mereka. Repotlah belasan orang itu. ketika diserang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengira Liu Bhok Ki dapat “berjalan” diatas air dan serangan orang tinggi besar itu memang hebat sekali.
Biarpun anggota hek-houw-pang mencoba untuk menangkis dengan pedang dan golok mereka, tetap saja mereka terpukul atau terdorong dari atas perahu mereka, jatuh terlempar kedalam air! Dan karena sudah berada di daerah Pusaran air, maka tubuh mereka segera terseret oleh arus air yang dasyat.
Tubuh Liu Bhok Ki terus melayang dari perahu ke perahu dan dalam waktu sebentar saja, tubuh enam belas orang itu telah terpelanting semua ke dalam air dan mereka terbawa arus air kearah pusat pusaran. Enam belas orang itu mati-matian berenang untuk membebaskan diri dari arus, namun sia-sia belaka. Tubuh mereka terseret semakin cepat dan arus itu kuat sekali. Mereka berteriak-teriak, menjerit dan melolong, namun sia-sia belaka karena arus itu lebih kuat. Bukan hanya tubuh enam belas orang itu yang hanyut oleh arus air pusaran, juga empat perahu mereka mulai terseret!
Setelah melihat betapa semua lawannya terseret arus, Liu Bhok Ki meloncat kembali kedalam perahunya, menggunakan dayungnya dengan kekuatan sepenuhnya dan akhirnya dia berhasil membawa perahunya terbebas dari arus pusaran air dan menjauhkan diri dari tempat itu agar tidak menjadi pusat perhatian orang yang sejak tadi menonton dengan penuh kagum, bahkan mereka bertanya-tanya siapa adanya laki-laki setengah tua yang demikian lihaynya! Sukar dipercaya bahwa enam belas orang anggota Hek-houw-pang yang terkenal gagah perkasa itu akan menemui maut sedemikian cepatnya ketika mengeroyok orang itu!
Sementara itu, kalau orang-orang kang-ouw itu gembira nonton perkelahian tadi, Si Kian dan Bu Hok Gi saling pandang dengan muka pucat. Tak mereka sangka bahwa di tempat itu akan terjadi perkelahian dan pembunuhan demikian banyaknya orang, tanpa seorangpun menolong mereka yang hanyut tadi. Diam-diam mereka lalu meninggalkan pantai, menuju ke darat untuk mencari kebutuhan mereka akan bekal makanan.
Dua orang dari dusun yang masih berdebar-debar penuh ketegangan dari ketakutan itu, menuju ke sebuah kedai yang mulai memasang lampunya. Agak sunyi disitu karena sebagian besar orang masih berkumpul di tepi sungai. Mereka tiba di depan kedai yang agaknya menjual makanan dan minuman itu, keduanya berhenti dan merasa ragu-ragu untuk masuk karena mereka melihat beberaapa orang berada di ruangan depan kedai itu.
Ada seorang wanita cantik duduk diatas bangku, mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas yang indah sekali. Wanita itu sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah empat puluh tahun, akan tetapi mungkin pula baru tiga puluh tahun. Wajahnya cantik dan pesolek, pakaiannya indah pula, akan tetapi kecantikannya itu sama sekali tidak cerah, bahkan menyeramkan karena ada sikap yang dingin sekali, dingin dan angkuh. Hal ini nampak dari pandangan matanya yang acuh, dan mulutya tersenyum mengejek atau memandang rendah itu.
Dan pada saat itu, ia agaknya memandang rendah kepada lima orang laki-laki yang berdiri mengelilinginya dan agaknya lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun ini memang hendak iseng atau menggodanya! Lima orang laki-laki ini pun baru datang dari nonton perkelahian di sungai tadi.
“Ah, Enci ini datang bukan untuk nonton perkelahian,” kata orang kedua.
“Habis, mau apa?” kata yang ketiga
“Agaknya hendak mencari anak naga Sakti Sungai Huang-ho!” kata yang ke empat nadanya mengejek.
“Kalau tidak ada naga sakti, kamipun merupakan lima ekor naga yang cukup dasyat!” kata orang kelima dan mereka tertawa-tawa.
Wanita cantik itu memperlebar senyumnya, akan tetapi dari sepasang matanya muncul sinar mencorong bagaikan kilat menyambar. “Kalian ini anak-anak anjing jelek pergilah. Sebelum mati konyol!” katanya
Suaranya lirih saja, namun mengandung ancaman yang sebenarnya amat mengerikan. Akan tetapi, lima orang itu bukanlah orang-orang biasa. Mereka memang berjuluk Lima naga Bukit Hijau. Nama Jeng-san Ngo-liong memang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi.
Sebetulnya, mereka bukanlah segolongan laki-laki rendah yang suka menggoda wanita, akan tetapi sekali ini mereka iseng karena melihat keadaan wanita itu yang juga luar biasa. Mereka sudah dapat menduga bahwa wanita ini bukan wanita sembarangan, dan memiliki kecantikan yang aneh, juga kemunculannya di situ seorang diri, maka hati mereka tertarik dan mereka mendekati untuk berkenalan dan sekedar iseng sambil menanti datangnya saat yang menegangkan dan mendebarkan hati itu.
Kini, wanita itu memaki mereka sebagai anak-anak anjing jelek dan mengusir mereka begitu saja! Hal ini membuat wajah mereka berubah merah dan seorang tertua diantara mereka, yang kepalanya botak sampai hampir gundul, membentak.
“Heh, perempuan tak tahu diri! Tahukah kau siapa kami? Kami adalah Jeng-San Ngo-liong dan kami menegurmu secara baik-baik. Bagaimana engkau berani mencaci dan menghina kami? Apakah nyawamu sudah rangkap lima?”
Wanita itu mempercepat kebutan kipasnya pada leher, seolah-olah ia semakin gerah. “Sekali lagi bicara, engkau akan mampus!” katanya dan suaranya mengandung desis seperti desis ular.
Melihat sikap wanita itu, empat orang diantara Jeng-san Ngo-Liong agaknya menjadi gentar juga. Mereka adalah orang-orang dunia persilatan dan mereka tahu bahwa di dunia persilatan ada suatu hal yang harus mereka perhatikan, yaitu bahwa mereka harus berhati-hati, apabila berhadapan dengan orang yang kelihatannya lemah. Misalnya berhadapan dengan pendeta, sastrawan, pengemis dan wanita. Karena yang nampaknya lemah ini justeru amat berbahaya. Kalau mereka ini sudah berani berkeliaran di dunia kag-ouw, berarti bahwa mereka tentu sudah memiliki tingkat tinggi dalam ilmu silat.
“Sudahlah, mari kita pergi saja,” ajak empat orang itu kepada toa-suheng (sudara tertua) mereka.
Akan tetapi si Botak itu masih penasaran. Dia dihina di depan adik-adiknya, bahkan diluar kedai itu sudah berkumpul banyak orang yang ikut pula mendengar ketika dia diancam tadi. Sekali lagi bicara, dia akan mampus. “Tidak!” dengusnya ketika empat saudaranya membujuknya untuk pergi. “Ia telah menghinaku! Wanita ini harus berlutut minta maaf, atau setidaknya ia harus mau memberi ciuman satu kali kepadaku, baru aku mau membebaskn dan memaafkannya!”
Wanita itu menghentikan gerakan kipasnya, dan kini ia tidak lagi melirik, melainkan memandang langsung kepada si botak, dan ia pun tersenyum. Wajahnya nampak lebih muda lagi, deretan gigi putih seperti mutiara nampak dan jilatan lidah jambon pada bibir merah mengisaratkan tantangan yang panas.
“Aku lebih suka mencium daripada minta maaf,” katanya dengan suara lembut, mulut tersenyum akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
Empat orang sute itu menjadi bengong. Mereka tadinya sudah mengkuatrkan kalau-kalau wanita itu akan melakukan penyerangan kepada suheng mereka, tidak tahunya wanita itu malah menyatakan bersedia untuk mencium toa-suheng itu! tentu saja saling pandang dan menyeringai. Si botak tersenyum bangga. Dia rasa menang dan mengira bahwa wanita cantik itu gentar menghadapinya, maka untuk menyombongkan kemenangannya diapun lalu menghampiri wanita itu.
“Marilah, manis, beri ciuman sekali kepadku dan engkau akan kami anggap sahabat baik!”
Wanita itu tidak menjawab, melainkan mengembangkan kedua lengannya dan bangkit, lalu melangkah maju menyambut pria botak itu. mereka saling rangkul dan didepan banyak orang yang nonton dengan gembira, ada yang cekikikan ada pula yang menahan ketawanya, wanita cantik itu lalu mencium mulut si botak dengan mulutnya. Ciuman itu mesra dan mengeluarkan bunyi, bahkan si pria botak merasa betapa wanita itu menjulurkan lidahnya, seperti lidah ular memasuki mulutnya. Akan tetapi, suara cekikikan dan ketawa para penonton seketika terhenti ketika wanita itu melepaskan rangkulanya dan melangkah mundur.
Pria botak itu terhuyung sambil berkata lirih, “Aduh... aduh...”
Orang-orang yang berada disitu masih ragu-ragu akan arti keluhan mengaduh ini, karena suara keluhan ini berarti sakit akan tetapi orangpun mengaduh kalau merasakan nikmat! Akan tetapi, pria itu terhuyung lalu terpelanting roboh tertelentang dan semua orang terkejut melihat betapa pria botak itu telah mati dengan mata melotot dan muka menghitam, bahkan kedua bibirnya membengkak besar!
Kalau orang-orang lain terkejut dan ngeri, empat orang sute dari si botak menjadi terkejut dan marah bukan main melihat toa-suheng mereka tewas setelah berciuman dengan wanita itu. mereka sudah mencabut pedang dan kini mereka menyerbu wanita yang masih berdiri sambil tersenyum mengejek itu.
“Siluman betina mampuslah!” bentak mereka.
Akan tetapi, kini wanita cantik itu menyambut serbuan mereka dengan gerakan kedua lengannya yang cepat meluncur seperti dua batang anak panah terlepas dari busurnya, juga lengan itu seperti dua ekor ular. Tubuh wanita itu berkelebat diantara sambaran empat batang pedang.
Dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan disusul robohnya empat orang itu secara berturut-turut. Sukar diikuti dengan pandang mata dan sukar pula mengetahui mengapa empat orang itu roboh. Akan tetapi mereka roboh untuk tidak bangkit kembali, dengan muka berubah menghitam dan membengkak, dan ternyata mereka berempat itu sudah tewas semua!
Setelah membunuh lima orang itu, dengan tenang sekali wanita cantik ini melemparkan mata uang keatas meja, lalu meninggalkan kedai itu dengan langkah tenang, lenggangnya menarik sekali, membuat kedua pinggulnya menari-nari di balik celana sutera yang ketat.
Semua orang cepat minggir memberi jalan kepada wanita itu dan ketika ia lewat, terciumlah bau harum yang menyengat hidung, harum bercampur amis, seperti bau ular. Seorang diantara para penonton, seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, berbisik kepada temannya.
“Ia adalah Ban-to Mo-li!” Nama ini terdengar oleh penonton lain dan mereka pun bergidik.
Siapa yang belum pernah mendengar Ban-to Mo-li? Andaikata belum pernah bertemu dengan orangnya, namanya tentu sudah pernah didengar karena nama ini terkenal di dunia kang-ouw. Ban-to Mo-li (Iblis Betina Selasa Racun) adalah seorang datuk sesat yang amat terkenal karena kelihaiannya, juga karena kekejamannya. Terbukti kekejamannya ketika dengan mudah saja ia membunuh Jeng-San Ngo-liong hanya karena ia digoda.
Si Kian dan Bu Hok Gi yang tadinya hendak membeli makanan di kedai itu dan menjadi penonton, tentu saja terkejut dan muka mereka pucat sekali. Baru tadi mereka menyaksikan perkelahian diatas perahu-perahu itu dan melihat pusaran maut menyeret belasan orang, dan kini di depan mata mereka, demikian dekatnya, mereka melihat lima orang tewas dengan muka menghitam dan membengkak, mata melotot, dibunuh oleh seorang wanaita cantik!
Tentu saja nyali mereka seperti terbang melayang dan tapa banyak cakap lagi keduanya meninggalkan tempat itu dengan muka pucat dan kedua kai gemetaran. Mereka kembali ke tepi sungai dimana mereka meninggalkan keluarga mereka tadi tanpa membawa sedikitpun makanan karena mereka sudah ketakutan untuk tinggal lebih lama lagi di perkampungan itu.
“Kita harus cepat meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalan kita,” kata Bu Hok Gi yang masih ketakutan.
“Memang benar, Bu-toako,” kata Si Kian. “Akan tetapi kita harus berhati-hati. Sekarang, didepan sana masih banyaknya mereka sekali perahu berseliweran dan agaknya mereka adalah orang-orang jahat yang mudah membunuh orang. Sebaiknya kita menanti sampai malam menjadi sunyi, diam-diam kita melanjutkan perjalanan dan lolos dari daerah yang berbahaya ini.”
Bu Hok Gi membenarkan pendapat Si Kian dan mereka pun menanti sampai malam menjadi larut. Karena ayah mereka tidak membawa makanan, Si han Beng dan Bu Giok Cu, dua orang anak dua keluarga itu, segera mencoba untuk memancing ikan. Bu Giok Cu sejak tadi mengomel terus karena perutnya terasa lapar dan ayahnya yang sejak tadi dinanti-nanti, datang tanpa membawa makanan. Dan lebih sial lagi, sejak tadi ia mengail, tidak ada ikan yang menyambar umpannya.
Bu Giok Cu yang baru berusia sepuluh tahun itu sudah memperlihatkan tanda yang jelas bahwa kelak ia akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Akan tetapi, sebagai puteri tunggal seorang kepala dusun, ia amat manja. Biarpun manja, Giok Cu adalah seorang anak yang tidak malas dan cerdik, juga nakal.
Berbeda dengan Giok Cu, Si han Beng lebih pendiam dan biarpun usianya baru dua belas tahun, Han Beng tidak kekanak-kanakan, bahkan seperti seorang yang sudah dewasa saja. Hal ini adalah karena sejak kecil dia hidup dalam keluarga yang tidak mampu, memaksanya sejak kecil ikut bekerja membantu ayahnya, baik mencari ikan sebagai nelayan atau bekerja di sawah lading sebagai petani. Tubuhnya juga tinggi besar dan kuat karena sudah terbiasa bekerja berat sejak kecil. Wajahnya tampan, mewarisi wajah ibunya yang termasuk wanita cantik walaupun orang dusun.
Suasana di daerah Pusaran Maut itu makin malam menjadi semakin sunyi. Agaknya, ketegangan terasa diantara para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan anak naga. Ketegangan menanti munculnya anak naga, ditambah dengan ketegangan karena terjadinya perkelahian dan pembunuhan besar-besaran yang terjadi sore tadi, mencekam hati semua orang dan banyak diantara mereka yang kini bersiap-siap saja di tepi sungai. Mereka percaya akan berita atau dongeng bahwa anak naga itu muncul pada tengah malam, maka mereka pada siap di tepi sungai dengan perahu mereka, menanti datangnya malam.
Bulan sudah muncul, bulan purnama yang membuat permukaan air sungai nampak keemasan. Malam telah larut biarpun tengah malam masih dua tiga jam lagi, sudah mulai ada perahu yang bersiliweran di luar daerah Pusaran maut. Menurut dongeng, anak naga akan muncul di tengah pusaran itu dan berenang keluar dari arus pusaran, karena anak naga itu ingin mencari ikan di air yang tenang. Ikan tidak terdapat di air yang terseret arus pusaran. Karena tidak dapat menentukan, di bagian mana dari luar pusaran yang akan didatangi oleh anak naga, maka perahu-perahu itu hanya berseliweran di sekitar daerah pusaran.
Bulan purnama sudah naik tinggi ketika nampak dua buah perahu di dayung perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali, dengan tenang meluncur di luar daerah pusaran berbahaya. Itu adalah perahu yang ditumpangi keluarga Si Kian dan Keluarga Bu Hok Gi. Perahu Si Kian didayung oleh Si Kian sendiri, dibantu oleh Han Beng, sedangkan perahu Bu Hok Gi didayung oleh seorang pembantunya dan oleh Bu Hok Gi sendiri. Mereka mendayung perahu perlahan-lahan sambil mata mereka memandang kea rah beberapa buah perahu yang berseliweran di daerah itu dengan mata takut-takut.
Bulan purnama cukup terang sehingga para penumpang dua buah perahu ini dapat melihat betapa daerah ini dikelilingi oleh banyak sekali perahu. Akan tetapi perahu-perahu itu hanya diam saja, seperti menanti sesuatu, dan hanya sedikit yang berseliweran. Tiba-tiba terdengar suara ribut dan banyak perahu yang tadinya diam itu bergerak semua.
Hal ini mengejutkan dan menakutkan Si Kian dan Bu Hok Gi. Mereka menghentikan perahu mereka yang dibiarkan berhimpitan, takut kalau sampai ketahuan perahu-perahu lain dan terlibat dalam keributan itu. sejak tadi Bu Giok Cu masih enak-enakan memancing ikan, tidak peduli akan semua itu dan mencurahkan perhatiannya ke ujung tangkai pancingnya.
Keributan terjadi di dekat daerah pusaran ketika seorang diantara para tokoh kang-ouw melihat adanya benda yang mengeluarkan cahaya di permukaan air. Cahaya itu berkilau seperti beberapa ekor binatang laut kalau muncul di tengah malam dan mengeluarkan semacam sinar dari tubuhnya, seperti udang dan beberapa macam ikan lainnya.
Dan tokoh kang-ouw itu kemudian melihat jelas bahwa yang sedang berenang melawan arus air pusaran itu adalah seekor binatang seperti ular atau belut warnanya kehitaman, sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya kurang lebih satu setengah meter.
“Anak… anak naga…!” teriaknya di luar kesadarannya saking kaget, girang dan tegangnya. Kalau saja dia tidak panik, tentu dia diam saja agar jangan ada orang lain mendengarnya dan akan diam-diam berusaha menangkap binatang yang ditunggu-tunggu itu. Dia mendayung perahunya, meluncur dekat binatang yang seperti ular itu. Akan tetapi ketika dia menjulurkan tangan hendak menangkapnya, binatang itu mengelak dan berenang kembali ke pusaran.
Tokoh kang-ouw itu mengejar dengan perahunya, tidak sadar bahwa binatang itu terus berenang ke tengah. Dia baru tahu ketika tiba-tiba perahunya terseret oleh arus yang amat kuat dan binatang itu lenyap. Dia terbelalak melihat perahunya meluncur cepat tanpa dapat dikuasainya lagi. Dia mencoba untuk mendayung sekuat tenaga, namun tetap saja tenaganya tidak mampu menahan kekuatan arus yang menyeret perahunya. Mulailah dia panik.
“Tolooooooooong!” Tanpa malu-malu dia berteriak ketika perahunya terseret pusaran air, dibawa berpusing oleh pusaran air, makin lamaa makin cepat dan makin menyempit garis lingkarannya. Saking takutnya, diapun melompat dari perahunya, mencoba untuk berenang. Akan tetapi sia-sia saja, tubuhnya terseret dan beberapa kali terdengar dia menjerit minta tolong, juga perahunya, disedot oleh pusat pusaran air!
Akan tetapi teriakannya tentang anak naga tadi sudah menarik perhatian semua tokoh. Mereka ini sama sekali tidak peduli akan nasib orang yang tersedot pusaran air itu. Perhatian mereka seluruhnya ditujukan kepada benda berkilau yang tadi berenang dan kemudian lenyap.
Tiba-tiba, dua buah perahu yang ditumpangi oleh delapan orang gagah, para anggota perkumpulan Jit-Seng-pang (Perkumpulan Tujuh Bintang) di Cin-an nampak sibuk. Dua orang diantara mereka mempergunakan jala yang bergagang bambu panjang dan mereka agaknya telah berhasil menjala anak naga yang dihebohkan itu. Di dalam jala mereka itu nampak benda panjang yang mengeluarkan sinar berkelaiuan bergerak-gerak hendak lepas.
Melihat betapa delapan orng anggota Jit-seng-pang itu agaknya berhasil menangkap “Anak Naga”, banyak perahu meluncur mendekati mereka. Melihat ini, para anggota Jit-seng-pang siap dengan senjata mereka, dan kepala rombongan mereka berseru,
“Kami dari Jit-seng-pang dan ular naga kecil ini sudah kami tangkap. Kami yang berhak memilikinya, harap para sahabat yang gagah tidak mengganggu kami!”
Akan tetapi, nampak seorang laki-laki tinggi gemuk bermuka hitam meloncat dari perahunya keatas perahu orang-orang Jit-seng-pang. Dua orang anggota Jit-seng-pang yang menyambutnya dengan bacokan golok, dibuat terjungkal dari perahunya oleh tendangan laki-laki gemuk itu dan sekali dia menyambar, jala itu telah dirampasnya. Dengan kecepatan luar biasa, dia sudah meloncat ke perahunya sendiri. Akan tetapi ketika dia hendak melarikan diri dengan perahunya, membawa jala yang membungkus ular berkilauan itu terdengar bentakan halus.
“Tinggalkan anak naga itu padaku dan sinar hitam meluncur cepat sekali kerah laki-laki gemuk bermuka hitam.
Laki-laki yang amat lihai itu hendak menangkis, akan tetapi ternyata ada sianr kedua menyambar dan mengenai pundaknya. Dia roboh dalam perahunya, jala itu terlepas dari tangannya kedalam air. Laki-laki yang roboh di dalam perahunya itu tidak dapat bergerak lagi, mukanya berubah membiru dan dia tewa seketika terkena senjata rahasia jarum yang tadi dilepaskan oleh Bn-to Mo-li, wanita cantik yang tadi membunuh Ceng-san Ngo-liong di kedai!
Sebelum Ban-to Mo-li dapat menangkap ular dalam jala yang terlempar agak jauh dari perahunya, sebuah perahu lain meluncur dekat dan seorang laki-laki tinggi kurus menyambar jala itu dan dia cepat mengeluarkan ular dari dalam jalan. Tiba-tiba dia memekik, ular itu telah mengigit pangkal lengannya dan begitu kena digigit, dia berkelonjotan dan ular itu melesat kedalam air dan menghilang!
Orang tinggi kurus itu hanya sebentar berkelojotan karena dia sudah tewas dalam perahunya dengan tubuh membengkak seluruhnya, seperti balon yang ditiup. Ternyata racun gigitan ular atau anak naga itu tidak kalah hebatnya dibandingkan racun yang terkandung dalam jarum yang dilemparkan Ban-to Mo-li.
Keadaan menjadi makin kacau karena anak naga itu lenyap lagi. Perahu-perahu berseliweran dan semua mata mengamati air dan mencari-cari anak naga yang tadi terlepas dan menyelam. Karena semua orang tenggelam dalam perhatian mereka untuk mencari “anak naga” itu, keadaan menjadi sunyi sekali.
Perahu-perahu semua diam dan tak seorangpun mengeluarkan suara seolah-olah takut kalau ada suara gaduh, anak naga yang tadi sudah memeperlihatkan diri akan tetapi tidak berani muncul muncul kembali. Dari ketegangan memuncak karena semua orang maklum bahwa untuk memperebutkan anak naga itu, para tokoh kang-ouw tidak segan-segan untuk merampas dan membunuh, seperti dilakukan oleh si Muka Hitam, kemudian Ban-to Mo-li.
Keadan yang sunyi itulah yang menyebabkan suara anak perempuan itu terdengar teiakannya. “Heiiiii! Umpan pancingku disambar ikan!” teriakan ini mengandung kegembiraan besar dan Bu Giok Cu yang sejak tadi memancing dan tidak pedulikan keadan sekitarnya, nampak bersusah payah menahan pancingnya sehingga tangkai pancingnya melengkung dan Giok Cu harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menahan diri.
“Wah, ikannya besar dan kuat sekali…!” katanya dan di lain saat tubuhnya terjatuh kedalam air karena terbawa oleh tarikan ikan pada pancingnya yang amat kuat dan ia tidak mau melepaskan gagang pancingnya.
“Byuuuuurrrrr…!”
Dua keluarga itu terkejut bukan main. Akan tetapi yang lebih dulu bergerak adalh si Han Beng. Melihat betapa kawan barunya itu terjatuh kedalam air, diapun tanpa membuang waktu lagi segera melepaskan dayung ditangannya dan melompat kedalam air. Sebagai seorang anak nelayan, Han Beng pandai berenang, demikian pula Giok Cu yang dusunnya terletak di tepi sungai.
“Iiiiihhh…! Ular... Ular...” Giok Cu menjerit dan ia berenang menjauh. Akan tetapi ular yang ternyata menjadi korban pancingannya itu agaknya marah. Karena anak perempuan itu lupa melepas gagang pancingnya, maka ular itu pun terseret dan ular itu menggunakan tubuhnya yang panjang untuk membelit tubuh Giok Cu! Anak perempuan itu menjerit karena merasa jijik dan takut.
Pada saat itu, Han Beng sudah berenang dekat. Melihat anak perempuan itu dibelit ular yang besarnya selengan orang tua dan panjangnya satu setengah meter, membuat anak perempuan itu tidak dapat berenang lagi dan gelagapan, Han Beng lalu merasa kuatir dan menjadi nekat. Dia memegang leher ular itu menarik-narik lilitannya agar terlepas dari tubuh Giok Cu! Ular itu memang melepas lilitannya pada tubuh Giok Cu, akan tetapi kini dengan marah menggerakkan kepalanya dan mulutnya tahu-tahu sudah mengigit pundak Han Beng...!
Belasan orang itu sudah mengeluarkan senjata dan perahu mereka bergerak semakin dekat. Ada gambar harimau kecil di baju enam belas orang itu, di bagian dada. Mereka adalah orang-orang Hek-houw-pang yang datang ke tempat itu karena tertarik pula akan berita kemungkinan munculnya anak naga di permukaan Pusaran Maut.
Tak mereka sangka, sebelum tengah malam bulan purnama tiba, mereka melihat musuh besar mereka, Liu Bhok Ki, berada disitu, naik perahu seorang diri! Tentu saja begitu melihat musuh besar ini, belasan orang itu pun segera mengepung dengan perahu mereka.
Diwajah mereka terbayang penuh kegeraman dan kebencian, dan mereka merasa gembira karena kini mengharapkan akan dapat membunuh musuh besar itu. kalau di daratan, beberapa kali usaha Hek-houw-pang gagal dan jatuh korban banyak diantara para murid Hek-houw-pang. Akan tetapi kini mereka berada di permukaan sungai, diatas perahu dan mereka mengharapkan musuh besar itu tidak akan mampu meloloskan diri pembalasan mereka.
Tentu saja para tokoh kang-ouw, para tokoh dunia persilatan yang berada disitu tahu akan sikap orang-orang Hek-houw-pang itu yang mengepung laki-laki setengah tua yang tidak dikenal itu. mereka semua tertarik, merasa tegang dan maklum bahwa akan terjadi perkelahian yang menarik. Maka, perahu-perahu segera minggir dan nonton dari jauh, sedangkan orang-orang yang berada di daratan, segera berkumpul di tepi sungai untuk menonton pertunjukan yang amat menarik bagi mereka itu. Tidak ada pertunjukan yang lebih menarik daripada perkelahian bagi orang-orang dunia persilatan itu.
Liu Bhok Ki tentu saja tahu bahwa perahunya dikepung oleh empat buah perahu orang-orang Hek-houw-pang, akan tetapi dia bersikap tenang saja, bahkan mendayung perahunya ke tengah, mendekati daerah pusaran maut. Makin dekat daerah itu, airpun mulai beriak dan terdengar suara angin besar. Dia mendayung dan duduk ditengah perahu, kelihatan tenang seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Buntalan besar berada diatas punggungnya.
Setelah empat buah perahu itu mengepung dalam jarak dekat, tiba-tiba Liu Bhok Ki bangkit berdiri diatas perahunya, berdiri tegak dan dayung itu masih berada ditangannya. Agaknya gerakan ini menjadi isyarat bagi enam belas anggota hek-houw-pang untuk bergerak menerjang setelah perahu mereka yang masih meluncur itu dekat benar dengan musuh.
Akan tetapi, pada saat belasan orang itu melakukan gerakan menyerang dari empat penjuru, tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki meloncat keatas meninggalkan perahunya dan dia melompati kepala orang-orang dalam perahu di depannya dan urun di sebelah belakang mereka. Ternyata kedua kaki Liu Bhok Ki telah dipasangi papan yang ditalikan dengan betisnya.
Dan ketika tubuhnya turun keatas air, tubuh itu tidak tenggelam melainkan berdiri diartas kedua lembar papan itu. Hal ini tidak nampak oleh para anggota Hek-houw-pang karena selain gerakan Liu Bhok Ki amat cepat juga cuaca sudah mulai gelap. Mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga melihat betapa musuh besar itu dapat berjalan diatas air!
Akan tetapi, keheranan mereka berubah menjadi kekagetan dan kepanikan ketika tiba-tiba tubuh Liu Bhok Ki melayang diatas permukaan air kearah mereka, dan pendekar ini sudah mengayun dayung di tangannya, menyerang mereka. Repotlah belasan orang itu. ketika diserang secara tiba-tiba. Mereka tidak mengira Liu Bhok Ki dapat “berjalan” diatas air dan serangan orang tinggi besar itu memang hebat sekali.
Biarpun anggota hek-houw-pang mencoba untuk menangkis dengan pedang dan golok mereka, tetap saja mereka terpukul atau terdorong dari atas perahu mereka, jatuh terlempar kedalam air! Dan karena sudah berada di daerah Pusaran air, maka tubuh mereka segera terseret oleh arus air yang dasyat.
Tubuh Liu Bhok Ki terus melayang dari perahu ke perahu dan dalam waktu sebentar saja, tubuh enam belas orang itu telah terpelanting semua ke dalam air dan mereka terbawa arus air kearah pusat pusaran. Enam belas orang itu mati-matian berenang untuk membebaskan diri dari arus, namun sia-sia belaka. Tubuh mereka terseret semakin cepat dan arus itu kuat sekali. Mereka berteriak-teriak, menjerit dan melolong, namun sia-sia belaka karena arus itu lebih kuat. Bukan hanya tubuh enam belas orang itu yang hanyut oleh arus air pusaran, juga empat perahu mereka mulai terseret!
Setelah melihat betapa semua lawannya terseret arus, Liu Bhok Ki meloncat kembali kedalam perahunya, menggunakan dayungnya dengan kekuatan sepenuhnya dan akhirnya dia berhasil membawa perahunya terbebas dari arus pusaran air dan menjauhkan diri dari tempat itu agar tidak menjadi pusat perhatian orang yang sejak tadi menonton dengan penuh kagum, bahkan mereka bertanya-tanya siapa adanya laki-laki setengah tua yang demikian lihaynya! Sukar dipercaya bahwa enam belas orang anggota Hek-houw-pang yang terkenal gagah perkasa itu akan menemui maut sedemikian cepatnya ketika mengeroyok orang itu!
Sementara itu, kalau orang-orang kang-ouw itu gembira nonton perkelahian tadi, Si Kian dan Bu Hok Gi saling pandang dengan muka pucat. Tak mereka sangka bahwa di tempat itu akan terjadi perkelahian dan pembunuhan demikian banyaknya orang, tanpa seorangpun menolong mereka yang hanyut tadi. Diam-diam mereka lalu meninggalkan pantai, menuju ke darat untuk mencari kebutuhan mereka akan bekal makanan.
Dua orang dari dusun yang masih berdebar-debar penuh ketegangan dari ketakutan itu, menuju ke sebuah kedai yang mulai memasang lampunya. Agak sunyi disitu karena sebagian besar orang masih berkumpul di tepi sungai. Mereka tiba di depan kedai yang agaknya menjual makanan dan minuman itu, keduanya berhenti dan merasa ragu-ragu untuk masuk karena mereka melihat beberaapa orang berada di ruangan depan kedai itu.
Ada seorang wanita cantik duduk diatas bangku, mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas yang indah sekali. Wanita itu sukar ditaksir berapa usianya, mungkin sudah empat puluh tahun, akan tetapi mungkin pula baru tiga puluh tahun. Wajahnya cantik dan pesolek, pakaiannya indah pula, akan tetapi kecantikannya itu sama sekali tidak cerah, bahkan menyeramkan karena ada sikap yang dingin sekali, dingin dan angkuh. Hal ini nampak dari pandangan matanya yang acuh, dan mulutya tersenyum mengejek atau memandang rendah itu.
Dan pada saat itu, ia agaknya memandang rendah kepada lima orang laki-laki yang berdiri mengelilinginya dan agaknya lima orang laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun ini memang hendak iseng atau menggodanya! Lima orang laki-laki ini pun baru datang dari nonton perkelahian di sungai tadi.
“Ah, Enci ini datang bukan untuk nonton perkelahian,” kata orang kedua.
“Habis, mau apa?” kata yang ketiga
“Agaknya hendak mencari anak naga Sakti Sungai Huang-ho!” kata yang ke empat nadanya mengejek.
“Kalau tidak ada naga sakti, kamipun merupakan lima ekor naga yang cukup dasyat!” kata orang kelima dan mereka tertawa-tawa.
Wanita cantik itu memperlebar senyumnya, akan tetapi dari sepasang matanya muncul sinar mencorong bagaikan kilat menyambar. “Kalian ini anak-anak anjing jelek pergilah. Sebelum mati konyol!” katanya
Suaranya lirih saja, namun mengandung ancaman yang sebenarnya amat mengerikan. Akan tetapi, lima orang itu bukanlah orang-orang biasa. Mereka memang berjuluk Lima naga Bukit Hijau. Nama Jeng-san Ngo-liong memang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi.
Sebetulnya, mereka bukanlah segolongan laki-laki rendah yang suka menggoda wanita, akan tetapi sekali ini mereka iseng karena melihat keadaan wanita itu yang juga luar biasa. Mereka sudah dapat menduga bahwa wanita ini bukan wanita sembarangan, dan memiliki kecantikan yang aneh, juga kemunculannya di situ seorang diri, maka hati mereka tertarik dan mereka mendekati untuk berkenalan dan sekedar iseng sambil menanti datangnya saat yang menegangkan dan mendebarkan hati itu.
Kini, wanita itu memaki mereka sebagai anak-anak anjing jelek dan mengusir mereka begitu saja! Hal ini membuat wajah mereka berubah merah dan seorang tertua diantara mereka, yang kepalanya botak sampai hampir gundul, membentak.
“Heh, perempuan tak tahu diri! Tahukah kau siapa kami? Kami adalah Jeng-San Ngo-liong dan kami menegurmu secara baik-baik. Bagaimana engkau berani mencaci dan menghina kami? Apakah nyawamu sudah rangkap lima?”
Wanita itu mempercepat kebutan kipasnya pada leher, seolah-olah ia semakin gerah. “Sekali lagi bicara, engkau akan mampus!” katanya dan suaranya mengandung desis seperti desis ular.
Melihat sikap wanita itu, empat orang diantara Jeng-san Ngo-Liong agaknya menjadi gentar juga. Mereka adalah orang-orang dunia persilatan dan mereka tahu bahwa di dunia persilatan ada suatu hal yang harus mereka perhatikan, yaitu bahwa mereka harus berhati-hati, apabila berhadapan dengan orang yang kelihatannya lemah. Misalnya berhadapan dengan pendeta, sastrawan, pengemis dan wanita. Karena yang nampaknya lemah ini justeru amat berbahaya. Kalau mereka ini sudah berani berkeliaran di dunia kag-ouw, berarti bahwa mereka tentu sudah memiliki tingkat tinggi dalam ilmu silat.
“Sudahlah, mari kita pergi saja,” ajak empat orang itu kepada toa-suheng (sudara tertua) mereka.
Akan tetapi si Botak itu masih penasaran. Dia dihina di depan adik-adiknya, bahkan diluar kedai itu sudah berkumpul banyak orang yang ikut pula mendengar ketika dia diancam tadi. Sekali lagi bicara, dia akan mampus. “Tidak!” dengusnya ketika empat saudaranya membujuknya untuk pergi. “Ia telah menghinaku! Wanita ini harus berlutut minta maaf, atau setidaknya ia harus mau memberi ciuman satu kali kepadaku, baru aku mau membebaskn dan memaafkannya!”
Wanita itu menghentikan gerakan kipasnya, dan kini ia tidak lagi melirik, melainkan memandang langsung kepada si botak, dan ia pun tersenyum. Wajahnya nampak lebih muda lagi, deretan gigi putih seperti mutiara nampak dan jilatan lidah jambon pada bibir merah mengisaratkan tantangan yang panas.
“Aku lebih suka mencium daripada minta maaf,” katanya dengan suara lembut, mulut tersenyum akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
Empat orang sute itu menjadi bengong. Mereka tadinya sudah mengkuatrkan kalau-kalau wanita itu akan melakukan penyerangan kepada suheng mereka, tidak tahunya wanita itu malah menyatakan bersedia untuk mencium toa-suheng itu! tentu saja saling pandang dan menyeringai. Si botak tersenyum bangga. Dia rasa menang dan mengira bahwa wanita cantik itu gentar menghadapinya, maka untuk menyombongkan kemenangannya diapun lalu menghampiri wanita itu.
“Marilah, manis, beri ciuman sekali kepadku dan engkau akan kami anggap sahabat baik!”
Wanita itu tidak menjawab, melainkan mengembangkan kedua lengannya dan bangkit, lalu melangkah maju menyambut pria botak itu. mereka saling rangkul dan didepan banyak orang yang nonton dengan gembira, ada yang cekikikan ada pula yang menahan ketawanya, wanita cantik itu lalu mencium mulut si botak dengan mulutnya. Ciuman itu mesra dan mengeluarkan bunyi, bahkan si pria botak merasa betapa wanita itu menjulurkan lidahnya, seperti lidah ular memasuki mulutnya. Akan tetapi, suara cekikikan dan ketawa para penonton seketika terhenti ketika wanita itu melepaskan rangkulanya dan melangkah mundur.
Pria botak itu terhuyung sambil berkata lirih, “Aduh... aduh...”
Orang-orang yang berada disitu masih ragu-ragu akan arti keluhan mengaduh ini, karena suara keluhan ini berarti sakit akan tetapi orangpun mengaduh kalau merasakan nikmat! Akan tetapi, pria itu terhuyung lalu terpelanting roboh tertelentang dan semua orang terkejut melihat betapa pria botak itu telah mati dengan mata melotot dan muka menghitam, bahkan kedua bibirnya membengkak besar!
Kalau orang-orang lain terkejut dan ngeri, empat orang sute dari si botak menjadi terkejut dan marah bukan main melihat toa-suheng mereka tewas setelah berciuman dengan wanita itu. mereka sudah mencabut pedang dan kini mereka menyerbu wanita yang masih berdiri sambil tersenyum mengejek itu.
“Siluman betina mampuslah!” bentak mereka.
Akan tetapi, kini wanita cantik itu menyambut serbuan mereka dengan gerakan kedua lengannya yang cepat meluncur seperti dua batang anak panah terlepas dari busurnya, juga lengan itu seperti dua ekor ular. Tubuh wanita itu berkelebat diantara sambaran empat batang pedang.
Dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan disusul robohnya empat orang itu secara berturut-turut. Sukar diikuti dengan pandang mata dan sukar pula mengetahui mengapa empat orang itu roboh. Akan tetapi mereka roboh untuk tidak bangkit kembali, dengan muka berubah menghitam dan membengkak, dan ternyata mereka berempat itu sudah tewas semua!
Setelah membunuh lima orang itu, dengan tenang sekali wanita cantik ini melemparkan mata uang keatas meja, lalu meninggalkan kedai itu dengan langkah tenang, lenggangnya menarik sekali, membuat kedua pinggulnya menari-nari di balik celana sutera yang ketat.
Semua orang cepat minggir memberi jalan kepada wanita itu dan ketika ia lewat, terciumlah bau harum yang menyengat hidung, harum bercampur amis, seperti bau ular. Seorang diantara para penonton, seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, berbisik kepada temannya.
“Ia adalah Ban-to Mo-li!” Nama ini terdengar oleh penonton lain dan mereka pun bergidik.
Siapa yang belum pernah mendengar Ban-to Mo-li? Andaikata belum pernah bertemu dengan orangnya, namanya tentu sudah pernah didengar karena nama ini terkenal di dunia kang-ouw. Ban-to Mo-li (Iblis Betina Selasa Racun) adalah seorang datuk sesat yang amat terkenal karena kelihaiannya, juga karena kekejamannya. Terbukti kekejamannya ketika dengan mudah saja ia membunuh Jeng-San Ngo-liong hanya karena ia digoda.
Si Kian dan Bu Hok Gi yang tadinya hendak membeli makanan di kedai itu dan menjadi penonton, tentu saja terkejut dan muka mereka pucat sekali. Baru tadi mereka menyaksikan perkelahian diatas perahu-perahu itu dan melihat pusaran maut menyeret belasan orang, dan kini di depan mata mereka, demikian dekatnya, mereka melihat lima orang tewas dengan muka menghitam dan membengkak, mata melotot, dibunuh oleh seorang wanaita cantik!
Tentu saja nyali mereka seperti terbang melayang dan tapa banyak cakap lagi keduanya meninggalkan tempat itu dengan muka pucat dan kedua kai gemetaran. Mereka kembali ke tepi sungai dimana mereka meninggalkan keluarga mereka tadi tanpa membawa sedikitpun makanan karena mereka sudah ketakutan untuk tinggal lebih lama lagi di perkampungan itu.
“Kita harus cepat meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalan kita,” kata Bu Hok Gi yang masih ketakutan.
“Memang benar, Bu-toako,” kata Si Kian. “Akan tetapi kita harus berhati-hati. Sekarang, didepan sana masih banyaknya mereka sekali perahu berseliweran dan agaknya mereka adalah orang-orang jahat yang mudah membunuh orang. Sebaiknya kita menanti sampai malam menjadi sunyi, diam-diam kita melanjutkan perjalanan dan lolos dari daerah yang berbahaya ini.”
Bu Hok Gi membenarkan pendapat Si Kian dan mereka pun menanti sampai malam menjadi larut. Karena ayah mereka tidak membawa makanan, Si han Beng dan Bu Giok Cu, dua orang anak dua keluarga itu, segera mencoba untuk memancing ikan. Bu Giok Cu sejak tadi mengomel terus karena perutnya terasa lapar dan ayahnya yang sejak tadi dinanti-nanti, datang tanpa membawa makanan. Dan lebih sial lagi, sejak tadi ia mengail, tidak ada ikan yang menyambar umpannya.
Bu Giok Cu yang baru berusia sepuluh tahun itu sudah memperlihatkan tanda yang jelas bahwa kelak ia akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Akan tetapi, sebagai puteri tunggal seorang kepala dusun, ia amat manja. Biarpun manja, Giok Cu adalah seorang anak yang tidak malas dan cerdik, juga nakal.
Berbeda dengan Giok Cu, Si han Beng lebih pendiam dan biarpun usianya baru dua belas tahun, Han Beng tidak kekanak-kanakan, bahkan seperti seorang yang sudah dewasa saja. Hal ini adalah karena sejak kecil dia hidup dalam keluarga yang tidak mampu, memaksanya sejak kecil ikut bekerja membantu ayahnya, baik mencari ikan sebagai nelayan atau bekerja di sawah lading sebagai petani. Tubuhnya juga tinggi besar dan kuat karena sudah terbiasa bekerja berat sejak kecil. Wajahnya tampan, mewarisi wajah ibunya yang termasuk wanita cantik walaupun orang dusun.
********************
Suasana di daerah Pusaran Maut itu makin malam menjadi semakin sunyi. Agaknya, ketegangan terasa diantara para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan anak naga. Ketegangan menanti munculnya anak naga, ditambah dengan ketegangan karena terjadinya perkelahian dan pembunuhan besar-besaran yang terjadi sore tadi, mencekam hati semua orang dan banyak diantara mereka yang kini bersiap-siap saja di tepi sungai. Mereka percaya akan berita atau dongeng bahwa anak naga itu muncul pada tengah malam, maka mereka pada siap di tepi sungai dengan perahu mereka, menanti datangnya malam.
Bulan sudah muncul, bulan purnama yang membuat permukaan air sungai nampak keemasan. Malam telah larut biarpun tengah malam masih dua tiga jam lagi, sudah mulai ada perahu yang bersiliweran di luar daerah Pusaran maut. Menurut dongeng, anak naga akan muncul di tengah pusaran itu dan berenang keluar dari arus pusaran, karena anak naga itu ingin mencari ikan di air yang tenang. Ikan tidak terdapat di air yang terseret arus pusaran. Karena tidak dapat menentukan, di bagian mana dari luar pusaran yang akan didatangi oleh anak naga, maka perahu-perahu itu hanya berseliweran di sekitar daerah pusaran.
Bulan purnama sudah naik tinggi ketika nampak dua buah perahu di dayung perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali, dengan tenang meluncur di luar daerah pusaran berbahaya. Itu adalah perahu yang ditumpangi keluarga Si Kian dan Keluarga Bu Hok Gi. Perahu Si Kian didayung oleh Si Kian sendiri, dibantu oleh Han Beng, sedangkan perahu Bu Hok Gi didayung oleh seorang pembantunya dan oleh Bu Hok Gi sendiri. Mereka mendayung perahu perlahan-lahan sambil mata mereka memandang kea rah beberapa buah perahu yang berseliweran di daerah itu dengan mata takut-takut.
Bulan purnama cukup terang sehingga para penumpang dua buah perahu ini dapat melihat betapa daerah ini dikelilingi oleh banyak sekali perahu. Akan tetapi perahu-perahu itu hanya diam saja, seperti menanti sesuatu, dan hanya sedikit yang berseliweran. Tiba-tiba terdengar suara ribut dan banyak perahu yang tadinya diam itu bergerak semua.
Hal ini mengejutkan dan menakutkan Si Kian dan Bu Hok Gi. Mereka menghentikan perahu mereka yang dibiarkan berhimpitan, takut kalau sampai ketahuan perahu-perahu lain dan terlibat dalam keributan itu. sejak tadi Bu Giok Cu masih enak-enakan memancing ikan, tidak peduli akan semua itu dan mencurahkan perhatiannya ke ujung tangkai pancingnya.
Keributan terjadi di dekat daerah pusaran ketika seorang diantara para tokoh kang-ouw melihat adanya benda yang mengeluarkan cahaya di permukaan air. Cahaya itu berkilau seperti beberapa ekor binatang laut kalau muncul di tengah malam dan mengeluarkan semacam sinar dari tubuhnya, seperti udang dan beberapa macam ikan lainnya.
Dan tokoh kang-ouw itu kemudian melihat jelas bahwa yang sedang berenang melawan arus air pusaran itu adalah seekor binatang seperti ular atau belut warnanya kehitaman, sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya kurang lebih satu setengah meter.
“Anak… anak naga…!” teriaknya di luar kesadarannya saking kaget, girang dan tegangnya. Kalau saja dia tidak panik, tentu dia diam saja agar jangan ada orang lain mendengarnya dan akan diam-diam berusaha menangkap binatang yang ditunggu-tunggu itu. Dia mendayung perahunya, meluncur dekat binatang yang seperti ular itu. Akan tetapi ketika dia menjulurkan tangan hendak menangkapnya, binatang itu mengelak dan berenang kembali ke pusaran.
Tokoh kang-ouw itu mengejar dengan perahunya, tidak sadar bahwa binatang itu terus berenang ke tengah. Dia baru tahu ketika tiba-tiba perahunya terseret oleh arus yang amat kuat dan binatang itu lenyap. Dia terbelalak melihat perahunya meluncur cepat tanpa dapat dikuasainya lagi. Dia mencoba untuk mendayung sekuat tenaga, namun tetap saja tenaganya tidak mampu menahan kekuatan arus yang menyeret perahunya. Mulailah dia panik.
“Tolooooooooong!” Tanpa malu-malu dia berteriak ketika perahunya terseret pusaran air, dibawa berpusing oleh pusaran air, makin lamaa makin cepat dan makin menyempit garis lingkarannya. Saking takutnya, diapun melompat dari perahunya, mencoba untuk berenang. Akan tetapi sia-sia saja, tubuhnya terseret dan beberapa kali terdengar dia menjerit minta tolong, juga perahunya, disedot oleh pusat pusaran air!
Akan tetapi teriakannya tentang anak naga tadi sudah menarik perhatian semua tokoh. Mereka ini sama sekali tidak peduli akan nasib orang yang tersedot pusaran air itu. Perhatian mereka seluruhnya ditujukan kepada benda berkilau yang tadi berenang dan kemudian lenyap.
Tiba-tiba, dua buah perahu yang ditumpangi oleh delapan orang gagah, para anggota perkumpulan Jit-Seng-pang (Perkumpulan Tujuh Bintang) di Cin-an nampak sibuk. Dua orang diantara mereka mempergunakan jala yang bergagang bambu panjang dan mereka agaknya telah berhasil menjala anak naga yang dihebohkan itu. Di dalam jala mereka itu nampak benda panjang yang mengeluarkan sinar berkelaiuan bergerak-gerak hendak lepas.
Melihat betapa delapan orng anggota Jit-seng-pang itu agaknya berhasil menangkap “Anak Naga”, banyak perahu meluncur mendekati mereka. Melihat ini, para anggota Jit-seng-pang siap dengan senjata mereka, dan kepala rombongan mereka berseru,
“Kami dari Jit-seng-pang dan ular naga kecil ini sudah kami tangkap. Kami yang berhak memilikinya, harap para sahabat yang gagah tidak mengganggu kami!”
Akan tetapi, nampak seorang laki-laki tinggi gemuk bermuka hitam meloncat dari perahunya keatas perahu orang-orang Jit-seng-pang. Dua orang anggota Jit-seng-pang yang menyambutnya dengan bacokan golok, dibuat terjungkal dari perahunya oleh tendangan laki-laki gemuk itu dan sekali dia menyambar, jala itu telah dirampasnya. Dengan kecepatan luar biasa, dia sudah meloncat ke perahunya sendiri. Akan tetapi ketika dia hendak melarikan diri dengan perahunya, membawa jala yang membungkus ular berkilauan itu terdengar bentakan halus.
“Tinggalkan anak naga itu padaku dan sinar hitam meluncur cepat sekali kerah laki-laki gemuk bermuka hitam.
Laki-laki yang amat lihai itu hendak menangkis, akan tetapi ternyata ada sianr kedua menyambar dan mengenai pundaknya. Dia roboh dalam perahunya, jala itu terlepas dari tangannya kedalam air. Laki-laki yang roboh di dalam perahunya itu tidak dapat bergerak lagi, mukanya berubah membiru dan dia tewa seketika terkena senjata rahasia jarum yang tadi dilepaskan oleh Bn-to Mo-li, wanita cantik yang tadi membunuh Ceng-san Ngo-liong di kedai!
Sebelum Ban-to Mo-li dapat menangkap ular dalam jala yang terlempar agak jauh dari perahunya, sebuah perahu lain meluncur dekat dan seorang laki-laki tinggi kurus menyambar jala itu dan dia cepat mengeluarkan ular dari dalam jalan. Tiba-tiba dia memekik, ular itu telah mengigit pangkal lengannya dan begitu kena digigit, dia berkelonjotan dan ular itu melesat kedalam air dan menghilang!
Orang tinggi kurus itu hanya sebentar berkelojotan karena dia sudah tewas dalam perahunya dengan tubuh membengkak seluruhnya, seperti balon yang ditiup. Ternyata racun gigitan ular atau anak naga itu tidak kalah hebatnya dibandingkan racun yang terkandung dalam jarum yang dilemparkan Ban-to Mo-li.
Keadaan menjadi makin kacau karena anak naga itu lenyap lagi. Perahu-perahu berseliweran dan semua mata mengamati air dan mencari-cari anak naga yang tadi terlepas dan menyelam. Karena semua orang tenggelam dalam perhatian mereka untuk mencari “anak naga” itu, keadaan menjadi sunyi sekali.
Perahu-perahu semua diam dan tak seorangpun mengeluarkan suara seolah-olah takut kalau ada suara gaduh, anak naga yang tadi sudah memeperlihatkan diri akan tetapi tidak berani muncul muncul kembali. Dari ketegangan memuncak karena semua orang maklum bahwa untuk memperebutkan anak naga itu, para tokoh kang-ouw tidak segan-segan untuk merampas dan membunuh, seperti dilakukan oleh si Muka Hitam, kemudian Ban-to Mo-li.
Keadan yang sunyi itulah yang menyebabkan suara anak perempuan itu terdengar teiakannya. “Heiiiii! Umpan pancingku disambar ikan!” teriakan ini mengandung kegembiraan besar dan Bu Giok Cu yang sejak tadi memancing dan tidak pedulikan keadan sekitarnya, nampak bersusah payah menahan pancingnya sehingga tangkai pancingnya melengkung dan Giok Cu harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menahan diri.
“Wah, ikannya besar dan kuat sekali…!” katanya dan di lain saat tubuhnya terjatuh kedalam air karena terbawa oleh tarikan ikan pada pancingnya yang amat kuat dan ia tidak mau melepaskan gagang pancingnya.
“Byuuuuurrrrr…!”
Dua keluarga itu terkejut bukan main. Akan tetapi yang lebih dulu bergerak adalh si Han Beng. Melihat betapa kawan barunya itu terjatuh kedalam air, diapun tanpa membuang waktu lagi segera melepaskan dayung ditangannya dan melompat kedalam air. Sebagai seorang anak nelayan, Han Beng pandai berenang, demikian pula Giok Cu yang dusunnya terletak di tepi sungai.
“Iiiiihhh…! Ular... Ular...” Giok Cu menjerit dan ia berenang menjauh. Akan tetapi ular yang ternyata menjadi korban pancingannya itu agaknya marah. Karena anak perempuan itu lupa melepas gagang pancingnya, maka ular itu pun terseret dan ular itu menggunakan tubuhnya yang panjang untuk membelit tubuh Giok Cu! Anak perempuan itu menjerit karena merasa jijik dan takut.
Pada saat itu, Han Beng sudah berenang dekat. Melihat anak perempuan itu dibelit ular yang besarnya selengan orang tua dan panjangnya satu setengah meter, membuat anak perempuan itu tidak dapat berenang lagi dan gelagapan, Han Beng lalu merasa kuatir dan menjadi nekat. Dia memegang leher ular itu menarik-narik lilitannya agar terlepas dari tubuh Giok Cu! Ular itu memang melepas lilitannya pada tubuh Giok Cu, akan tetapi kini dengan marah menggerakkan kepalanya dan mulutnya tahu-tahu sudah mengigit pundak Han Beng...!