BAN-TOK MO-LI mengeluarkan sebuah kantong kuning yang sudah dipersiapkan, membuka kantong itu dan mengambil sebuah jarum emas yang dibungkus kain sutera putih. Jarum emas itu ujungnya kelihatan merah sekali dan memang jarum itu sudah diberi semacam racun merah di ujungnya.
“Sekarang siaplah menderita sedikit nyeri pada lenganmu, Giok Cu. Tidak takutkah engkau?”
Anak itu menggeleng kepala dan matanya bersinar-sinar. “Apa yang harus kutakutkan, subo? Aku yakin bahwa subo akan melakukan segala hal yang baik bagiku.”
Diam-diam wanita iblis itu merasa girang. Anak ini memang menyenangkan sekali. Terbuka, jujur, polos, keras hati, pemberani dan anak seperti ini tentu kesetiaan yang boleh dipercaya. “Aku akan menusuk lenganmu dengan jarum ini!” katanya. Setelah meneliti lengan itu, ia pun menusukkan jarum emas itu pada bagian lengan Giok Cu sebelah dalam, sedikit di bawah siku.
Giok Cu merasa betapa lengan yang ditusuk itu nyeri sekali, perih dan panas, juga gatal. Namun, ia tidak mengeluarkan keluhan sedikit pun juga, bahkan menggigit bibirnya agar jangan sampai mengeluh. Ketika rasa nyeri itu menjalar sampai ke seluruh lengan, Giok Cu memejamkan mata dan memusatkan kekuatan hatinya untuk menahan. Tak lama kemudian, jarum itu dicabut kembali.
“Duduklah bersila, biarkan rasa nyeri itu menyebar ke seluruh tubuhmu, sampai akhirnya melemah dan lenyap.” Kata Ban-tok Mo-li.
Giok Cu mentaati perintah ini. Ia duduk bersila dan masih memejamkan mata, dan ia merasa betapa rasa panas, perih dan gatal yang menimbulkan nyeri hebat itu benar saja menjalr ke seluruh tubuhnya. Dan masih juga belum pernah ia mengeluh. Akhirnya, rasa nyeri itu makin berkurang dan akhirnya lenyap. Barulah ia membuka matanya, memandang kepada gurunya dengan senang.
“Benar saja, subo tentu tidak akan mencelakai aku. Akan tetapi, bolehkah aku mengetahui apa artinya tusukan jarum dan rasa nyeri ini, subo?”
“Lihatlah lenganmu di bagian yang kutusuk tadi.”
Giok Cu melihat lengannya. Disitu, di bawah siku di sebelah dalam lengannya, terdapat bintik merah seperti tahi lalat kecil. Tidak buruk, bahkan menjadi pemanis seperti hiasan pada kulit lengannya yang putih mulus itu.
“Apa ini, Subo?” Ia menggosok-gosok dengan jari tangan kanannya untuk mencoba apakah tahi lalat merah itu dapat dilenyapkan oleh gosokan.
“Takkan dapat kau lenyapkan, biar dicuci dengan apa pun, Giok Cu. Tanda merah itu hanya akan lenyap kalau engkau kehilangan keperawanmu! Tanda merah itu tanda keperawananmu dan sekali engkau berhubungan dengan pria, maka kau akan mati..."
Sepasang mata kecil itu terbelalak memandang gurunya, mengandung keheranan dan ketidakpercayaan. “Aih, Subo, harap jangan main-main dan menakut-nakuti aku!”
“Anak bodoh...! Siapa main-main denganmu...?”
“Tapi… tapi…“ Gadis itu bingung. Ia masih terlalu kecil, usianya baru sepuluh tahun, untuk mengerti tentang keperawanan segala macam, akan tetapi karena ia seorang anak yang cerdik, ia dapat menduga bahwa gurunya menanamkan semacam racun di tubuhnya yang merupakan semacam hukuman atas dilanggarnya suatu larangan. “Mengapa Subo melakukan ini kepadaku?”
“Ketahuilah, muridku. Bagi seorang wanita, betapun tinggi ilmu kepandaiannya, ada suatu bahaya yang amat berbahaya dan besar sekali, yaitu pria! Pria adalah makhluk yang jahat, pandai merayu dan berpalsu-palsu untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Semua rayuan itu hanya dipergunakan sebagai alat menjebak, dan celakalah seorang gadis yang lemah dan terbius oleh rayuan itu, karena ia akan kehilangan keperawananya, kehilangan kehormatan dan masa depannya, satu-satunya pantangan adalah kehilangan keperawanan. Oleh karena itu, terpaksa aku memberi tanda tahi lalat merah ini kepadamu, tanda keperawanan agar engkau selalu ingat bahwa engkau tidak boleh terbujuk rayuan pria. Kalau sekali waktu engkau tertarik, kemudian melihat tanda tahi lalat merah ini, engkau tentu akan sadar kembali. Ingat baik-baik. Kalau tanda ini lenyap, berarti engkau bukan perawan lagi, ilmu-ilmu yang kau pelajari dan belum sempurna akan rusak dan engkau akan mati dalam waktu satu bulan sesudah itu.”
Diam-diam Giok Cu bergidik. Ia tidak kuatir karena sedikit pun belum terbayang olehnya akan rayuan pria dan akan bahayanya terbius rayuan lalu kehilangan keperawananya. “Tapi, subo. Apakah tanda ini akan selamanya berada di lenganku? Mengapa subo sendiri tidak memiliki tanda seperti ini di lengan subo?” anak itu memang cerdik. Ia tidak memperlihatkan keraguan atau ketidakpercayaan melainkan keheranan karena tidak mengerti.
“Tentu saja tidak selamanya, Giok Cu. Kalau engkau menjadi murid yang baik, tidak melanggar pantangan sehingga tanda merah itu tetap ada padamu, tentu akan tiba saatnya aku melenyapkannya. Hanya aku seoranglah yang akan mampu menghilangkan tanda itu, tanpa harus menghilangkan keperawananmu.”
Giok Cu mengangguk maklum dan tidak banyak bertanya lagi. Biarpun masih kecil, namun ia dapat menduga bahwa perbuatan subonya ini merupakan suatu tekanan baginya, merupakan suatu ancaman bahwa ia harus selalu mentaati guruya dan tidak melanggar semua perintah dan larangannya. Ia tidak tahu bahwa wanita iblis itu melakukan hal ini kepadanya karena pernah dikecewakan puteri kandungnya sendiri yang meyerahkan keperawanannya kepada cucu ketua Hek-houw-pang itu.
Demikianlah, mulai hari itu, Giok Cu berlatih semakin tekun dan memang Bn-tok Mo-li tidak keliru memilih murid. Giok Cu merupakan seorang murid yang selain cerdas, juga amat rajin dan tahan uji. Apalagi dengan modal tenaga sakti dari darah ular di tubuhnya, anak ini segera dapat menghimpun sin-kang dan mengendalikannya secara baik sekali. Kelak kalau ia dewasa, ia tentu memiliki kekuatan sin-kang yang jauh melampaui tingkat gurunya sendiri!
Kita ikuti perjalanan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki yang membawa lari Si Han Beng. Pendekar perkasa ini merasa berterima kasih sekali kepada Sin-Cing Kai-ong yanag telah menolongnya, karena tanpa pengemis ini, agaknya akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskaan diri membawa Han Beng dari kepungan para pendekar dan tokoh kang-ouw, apalagi di situ terdapat Ban-to Mo-li yang lihai.
Dia akan selalu ingat janjinya seperti yang diminta Sin-ciang Kai-ong, yaitu bahwa kelak, setelah Han Beng menjadi muridnya selama lima tahun, anak itu harus menjadi murid Raja Pengemis itu selama lima tahun pula.
Sambil memondong tubuh han Beng pergi menjauhi tempat berbahaya itu, Liu Bhok Ki teringat akan janji itu dan di pun berpikir apakah semua itu kelak akan dapat dipenuhi. Keselamatan anak itu sendiri sampai sekarang masih menjadi pertanyaan besar baginya. Dia tahu bahwa anak itu keracunan hebat, terkena pukulan tangan Ban-tok Mo-li, ada goresan kuku di kulit leher Han Beng. Tadi, ketika dia memondong han Beng, dia sudah melihat betapa leher itu melepuh seperti terbakar, bengkak dan kehitaman amat mengerikan.
Setelah berlari cukup jauh dan memasuki sebuah hutan yang besar yang penuh pohon liar, Liu Bhok Ki berhenti sebentar, mencurahkan perhatian kearah belakang untuk melihat apakah ada orang yang melakukan pengejaran. Sepuluh menit kemudian, yakinlah dia bahwa tidak ada orang mengejarnya, maka dia pun menurunkan Han Beng dari pondongannya ke atas rumput.
Anak laki-laki itu dalam keadaan pingsan dan ketika dia direbahkan diatas rumput, tidak seperti orang yang sudah tidak bernyawa lagi. Wajahnya pucat dan napasnya seperti gelombang air laut yang sedang pasang.
Dengan hati-hati Liu Bhok Ki memeriksa leher yang tadinya terkena pukulan dan goresan kuku beracun dari ban-tok Mo-li dan dia hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran, juga girang melihat betapa leher itu sudah normal kembali! Tidak ada warna hitam, tidak ada bengkak! Bahkan luka bekas goresan kuku yang tadi mengeluarkan darah hitam, kini sudah kering.
Dirabanya leher itu dan tidak terasa panas! Juga bagaian tubuh lain dari anak ini yang tadinya amat panas, kini sudah tidak panas lagi, hangat biasa saja. Dipegangnya pergelangan tangan anak itu. Darahnya pun berjalan dengan baiknya. Hanya napas anak itu yang bergelora, seolah-olah ada kekuatan di dalam tubuhnya yang masih agak liar. Akan tetapi segala bagian tubuh anak itu sehat sama sekali, tidak ada
gangguan, apalagi pengaruh racun! Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw. Biarpun dia bukan seorang ahli pengobatan yang pandai, namun pengalamannya amat banyak dan dia tahu akan cara pengobatan orang terkena racun, asalkan jangan racun sehebat racun tangan Ban-tok Mo-li. Dia memandang anak yang masih rebah seperti orang tidur itu dan mengerutkan alisnya. Dia memutar otaknya dan akhirnya dia mengangguk-angguk dengan senyum gembira.
“Thian Maha Adil…” pujinya dengan hati penuh kelegaan. Dia dapat menduga apa yang telah terjadi dalam diri anak itu. Gigitan ular yang disebut anak naga di pusaran maut Sungai Huang-ho itu, juga darah binatang aneh itu yang dihisap oleh Han Beng, tentu membuat anak ini kecarunan hebat.
Tanda keracunan itu mudah dilihat, yaitu membuat anak itu kepanasan dan memiliki kekuatan dasyat sehingga ketika anak itu mengamuk, banyak tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi roboh oleh pukulan anak yang tidak tahu ilmu silat itu.
Racun anak naga itu hebat sekali, dan mungkin Han Beng takkan kuat bertahan, mungkin akan dapat tewas karena kehebatan darah anak naga itu akan menghapuskan semua jaringan otot dan syarafnya. Akan tetapi, sungguh suatu kemukjijatan terjadi. Ketika anak itu terkena pukulan beracun dan goresan kuku Ban-to Mo-li maka ada semacam racun lain yang memasuki tubuhnya dan justru racun dari tangan ban-tok Mo-li inilah yang merupakan penyembuhan ketika dua macam racun yang berlawanan itu bertemu dan saling melumpuhkan!
Inilah kiranya yang terjadi, demikian, piker Liu Bhok Ki. Dengan hati-hati Liu Bhok Ki lalau mengurut tengkuk dan punggung Han Beng. Baru saja beberapa kali dia mengurut untuk membuka kesadaran anak itu, tiba-tiba Han Beng mengeluh, membuka matanya dan dia pun meloncat bangun. Matanya terbelalak dan kaki tangannya tidak mau diam, bergerak-gerak seperti bukan atas kehendak sendiri, dan kaki tangan itu mengeluarkan bunyi berkerotokan. Ketika Liu Bhok Ki mendekat dan dan hendak memegang lengan anak itu, tangan kiri Han Beng menyambar dan ada hawa pukulan demikian kuatnya mendahului tangan itu sehingga Liu Bhok Ki terkejut dan menangkis.
“Dukkkk!” Tangkisan ini membuat tubuh Liu Bhok Ki terdorong dan hampir terhuyung.
“Ahhhhh…!” Pendekar itu berseru penuh kagum. Dia melangkah mundur dan melihat betapa anak itu masih menggerak-gerakkan kaki tangannya, dan ada hawa pukulan menyambar-nyambar dari kaki tangan itu. Akan tetapi sinar mata anak itu waras, hanya kini Han Beng menjadi bingung sendiri.
“Lo-cian-pwe... Tolong… tolonglah aku… Kaki tanganku taak dapat kuhentikan bergerak sendiri, dan ada sesuatu dalam perutku bergerak-gerak… seperti… seperti ada ularnya!”
Memang aneh. Bukan hanya kaki tangan anak itu yang bergerak-gerak, akan tetapi ada tonjolan yang aneh bergerak-gerak di tubuhnya, kadang-kadang nampak tonjolan sebesar tikus bergerak di kedua pundaknya, di dadanya, di leher, bahkan di kepalanya! Seolah-olah di dalam tubuhnya itu ada seekor tikus yang ingin keluar akan tetapi terhalang oleh kuil!
Liu Bhok Ki bersikap tenang. “Baik baik, tenanglah. Pusatkan perhatianmu dan kerahkan seluruh kekuatan kemauanmu untuk menguasai dirimu sendiri. Nah, kau contohlah aku, duduklah bersila di atas tanah, seperti ini!”
Han Beng sudah percaya sepenuhnya kepada kakek yang telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang aneh yang jahat, yang memperebutkan dirinya. Maka, mendengar suara yang penuh wibawa itu, dia pun mengerahkan kemauannya untuk menguasai dirinya dan biarpun dengan susah payah akhirnya dia dapat pula memaksa tubuhnya untuk menjatuhkan diri duduk di atas tanah, lalu menekuk kedua kakinya, bersila.
“Tegakkan tubuhnmu, luruskan leher dan kepala, pusatkan perhatianmu ke tengah anatara kedua alismu, nah, begitu. Dan sekarang tarik napas panjang, hitung sampai delapan, tahan… sekarang keluarkan dari hidung perlahan-lahan. Itu kedua lengan, letakkan diatas pangkuan, begini…”
Liu Bhok Ki mulai mengajar anak itu untuk menenangkan diri, pelajaran permulaan Samadhi, dan dengan perlahan dia membimbing Han Beng untuk menguasai dirinya sendiri dan menguasai pula kekuatan dasyat yang terdapat dalam dirinya.
Setelah anak itu mulai tenang dan mulai dapat mengendalikan tenaga dasyat itu, Liu Bhok Ki mengajak melanjutkan Perjalanan. Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki mengajak Han Beng yang menjadi muridnya itu ke sebuah bukit di lembah Huang-ho, bukit yang dikenal dengan nama Kim-hong-san (Bukit Burung Hong Emas).
Bukit ini kecil saja dan mereka membuat sebuah pondok di puncaknya dan dari puncak ini mereka dapat melihat sungai Huang-ho mengalir di kaki bukit. Pemandangan di bukit itu indah sekali, sebuah bukit yang dipenuhi hutan belukar dan dusun terdekat terletak di akai bukit, di pantai sungai Huang-ho. Bukit itu sendiri sunyi, tidak di tempatai manusia karena memang merupakan hutan belukar yang liar.
Begitu tiba di puncak Kim-hong-san, Liu Bhok Ki dibantu oleh Han Beng menebang pohon dan bamboo, membuat pondok darurat untuk mereka. Setelah selesai, Liu Bhok Ki memanggil han Beng yang berlutut dia ats lantai tanah kering, menghadap kakek yang duduk di atas bangku kayu buatan sendiri itu.
"Han Beng, engkau sudah menceritakan semua riwayatmu dan sekarang engkau adalah seorang anak yatim piatu yang tidak mempunyai orang tua dan keluarga lagi. Sudah bulatkah hatimu untuk berguru kepadaku?”
Han beng adalah seorang anak yang tabah. Ketika dia bersama gurunya itu mencari perahu orang tuanya di sekitar pusaran maut, dia hanya menemukan ayah ibu Giok Cu yang terluka. Dari keluarga Bu ini dia mendengar bahwa ayah ibunya tewas dalam keributan ketika orang-orang kang-ouw memperebutkan anak naga kemudian memperebutkan dia dan Giok Cu. Hanya sebentar dia menangis, dan setelah itu, dia tidak pernah menangis lagi, maklum betapa sia-sia saja menangis dan berduka. Sekarang pun, diingatkan oleh gurunya bahwa dia anak yatim piatu yang tiada keluarga lagi, hatinya seperti di remas, akan tetapi dia tidak mau hanyut oleh kedukaan dan keharuan.
“Suhu, teecu sudah bertekad untuk menjadi murid suhu, dan teecu akan mentaati semua perintah dan petunjuk suhu.”
“Benarkah itu? Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaanku sebagai syarat berguru kepadaku?”
“Teecu bukan hanya berjanji, bahkan teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu dengan taruhan nyawa teecu. Suhu bukan hanya guru teecu, akan tetapi juga suhu penolong dan penyelamat nyawa teecu.”
“Bagus! Kalau begitu dengar baik-baik pesanku. Engkau akan belajar ilmu silat dariku selama lima tahun. Setelah lima tahun, engkau akan kuserahkan kepada Sin-ciang kai-ong. Dialah gurumu yang yang kedua dan aku sudah berjanji kepadanya selama lima tahun engkau menjadi muridku. Dialah yang melindungi kita, menyelamatkan kita dan memberikan kita kesempatan untuk terbebas dari kepungan mereka yang hendak merampasmu. Sanggupkah engkau untuk menjadi murid Sin-ciang Kai-ong selama lima tahun setelah engkau menjadi muridku selama lima tahun pula?”
“Teecu sanggup!”
“Sekarang yang kedua, dan mungkin ini akan terasa berat olehmu. Ketahuilah bahwa aku juga kehilangan keluargaku secara menyedihkan sekali, dan sampai selamanya aku tidak akan dapat melupakan sakit hati karena kehilangan keluarga itu…”
Liu Bhok Ki melirik kearah kepala yang berada di dalam botol besar terisi arak. Ketika membawa pergi Han Beng, dia lebih dulu mengambil dua buah kepala ini yang disembunyikan di sebuah tempat dekat sungai, lalu membawa dua buah kepala itu ke puncak Kim-hong-san.
Ketika han Beng melihat dua buah kepala itu untuk pertama kalinya, dia terkejut dan merasa ngeri, akan tetapi tidak berani bertanya, melihat betapa gurunya amat berhati-hati merawat dua buah kepala itu dan kelihatan tidak senang kalau dia mencoba mendekati dua buah benda mengerikan itu. kini melihat betapa gurunya bicara tentang dendam sakit hati dan melirik kea rah dua buah kepala, Han Beng tidak dapat menahan keinginan tahunya.
“Suhu, apakah sakit hati suhu itu ada hubungan dengan dua buah kepala itu?”
Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang berhati keras dan berwatak kasar, jujur namun juga angkuh. Kalau saja hatinya tidak sudah bulat menerima Han Beng sebagai muridnya dan dia sudah mengenal watak muridnya yang juga gagah perkasa dan tabah, tentu dia akan tersinggung dan marah karena ada orang berani menyinggung soal dua buah kepala itu.
Kini, sejenak matanya mengeluarkan sinar mencorong, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang dan mengangguk. Lalu dia mengambil botol anggur diatas meja dimana tersimpan sebuah kepala wanita yang cantik dan pucat, lalu dia menempelkan bibirnya di botol itu, seolah-olah hendak mencium bibir kepala wanita dalam botol itu yang menyeringai seperti menahan sakit.
“Ini… Ini kepala isteriku tercinta…”
Han Beng terbelalak dan dia melihat betapa kedua mata gurunya itu berlinang air mata! Diam-diam dia bergidik. Kenapa isteri suhunya tewas dan kenapa pula kepalanya disimpan oleh suhunya di dalam botol arak itu? suhunya kelihatan demikian mencinta isterinya, akan tetapi mengapa kecintaan itu diperlihatkan dengan cara yang amat kejam dan di luar batas perikemanusiaan?
Agaknya Liu Bhok Ki dapat membaca pertanyaan yang tak terucapkan oleh muridnya itu, dan dia melanjutkan. “Dan yang tergantung itu adalah kepala kekasih iateriku!”
Han Beng merasa semakin terkejut dan dia memandang kepada kepala yang tergantung itu. lebih mengerikan lagi kepala ini, kepala seorang pria muda yang tampan dan juga amat pucat. Kalau kepala wanita cantik di dalam botol itu hanya menyeringai dan tidak bergerak, kepala yang tergantung ini dapat bergerak dan berputar-putar di ujung tali kecil yang tergantung. Mata kepala ini melotot seperti orang marah dan mulutnya setengah terbuka.
Kemudian Han Beng melihat hal yang baru pertama kali dilihatnya dan yang membuatnya menjadi semakin ngeri. Gurunya menuangkan anggur dari botol berisi kepala itu ke dalam cawan, lalu mengangkat cawan diacungkan kepada kepala yang tergantung seolah-oalh menawarkan minuman kepada mereka, lalu dia minum arak itu dari cawan dan nampaknya nikmat sekali!
Han Beng bergidik. Di dalam benaknya yang belum banyak pengalaman itu terjadi dugaandugaan yang mengerikan, yang dibantahnya sendiri dalam hatinya. Gurunya adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa yang untuk menolongnya sudah menempuh bahaya maut menghadapi para orang-orang kang-ouw yang lihai. Mungkikah suhunya melakukan hal yang begini kejam?
“Tapi… Tapi mengapa suhu melakukan itu…?”
“Mereka adalah isteriku dan sahabatku, mereka telah menghianatiku, menghancurkan kebahagiaan hidupku dengan berzina! Aku bunuh mereka dan menyimpan kepala mereka, agar mereka melihat betapa mereka telah menghancurkan kebahagiaan hidupku!”
“Ahhhhh…!” Han Beng menundukkan mukanya, hatinya memberontak, dia tidak setuju sekali dan ingin dia mencela gurunya, akan tetapi dia tidak berani karena diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gurunya yang entah sudah berapa puluh tahun menderita kesengsaraan batin yang amat hebat. Dua buah kepala itu masih muda, maka tentu peristiwa itu terjadi ketika suhunya masih muda, tentu sudah puluhan tahun lamanyaa hal itu terjadi dan selama itu, suhunya tak pernah merasa bahagia hidupnya.
“Sekarang dengar, Han Beng. Sakit hatiku tak pernah dapat tertebus sampai kini, dank arena aku tidak dapat lagi menghukum kekasih isteriku, maka aku ingin membalas sakit hati ini kepada puteranya yang masih hidup!” berkata demikian, pendekar itu mengepal tinju kanannya dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan.
“Akan tetapi… bukankah suhu sudah membalas sakit hati itu dengan membunuhnya?”
“Tidak! Aku keliru! Dia membuat aku menderita selama hidupku, dan aku hanya membunuhnya begitu saja, membuat dia mati dan tidak lagi merasakan penderitaan hidup! Tidak, sekarang anaknya yang harus merasakan penderitaan hidup seperti yang telah kutanggung selama ini. Terlalu enak dia. Biar kepalanya kugantung, tetap saja di tidak dapat melihat dan tidak dapat merasakan! Aku telah melakukan kesalahan dengan membunuh mereka dan sekarang aku harus membetulkan kesalahan itu dan menghukum puteranya!”
Han Beng bergidik. Suhunya yang demikian gagah perkasa, yang dihormatinya sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, penentang segala kejahatan, kini diracun dendam dan menjadi iblis sendiri!
“Suhu, apa… apa yang harus teecu lakukan?” tanyanya dengan suara lirih dan jantung berdebar tegang.
“Aku ingin anaknya merasakan penderitaan seperti yang kurasakan Selma berpuluh tahun ini! Dengar baik-baik, muidku. Laki-laki yang kepalanya tergantung disana itu bernama Coa Kun Tian, putera ketua Hek-houw-pang di dusun Tai-bun-cung dekat Po-yang, dan isteriku bernama Phang Bi Cu, adik kandung dari ban-to Mo-li Phang Bi Cu. Engkau masih ingat nenek cantik pesolek yang memperebutkanmu di sungai itu dan yang kemudian melarikan teman perempuanmu itu? Nah, ia itulah ban-tok Mo-li atau dulu pernah menjadi enci dari isteriku. Coa Kun Tian dan Phang Bi Cu sudah mati kubunuh, akan tetapi ternyata Coa Kun Tian mempunyai seorang putera! Dan akulah yang mengawinkan puteranya itu! puteranya bernama Coa Siang Lee, tampan dan mukanya mirip ayahnya. Lihat baik-baik muka kepala itu! Coa Siang Lee telah kuperdaya sehingga dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi puteri Ban-to Mo-li, keponakan isteriku yang wajahnya mirip wajah isteriku yang kepalanya berada di dalam botol ini. Nama gadis itu Sim Lan Ci. Nah, kepada kedua orang itulah aku ingin engkau mebalaskan sakit hatiku, Han Beng. Sanggupkah engkau?”
“Suhu, pembalasan yang bagaimanakah harus teecu lakukan?” tanpa mejawab pertanyaan gurunya, Han Beng bertanya karena dia merasa bingung sekali, juga ngeri melihat gurunya yang gagah perkasa itu ternyata mabuk oleh dendam yang amat mendalam.
“Mereka telah menjadi suami isteri, Han Beng. Mereka mirip benar dengan isteriku dan kekasihnya, seolah-olah isteriku dan kekasihku hidup kembali berbahagia dan saling mencinta. Nah, aku ingin engkau menghancurkan kebahagiaan mereka itu, Han Beng, seperti mereka dahulu menghancurkan kebahagiaanku!”
“Bagaimana… caranya, suhu? Sungguh teecu tidak mengerti…”
“Kelak engkau tentu menjadi seorng pria yang gagah perkasa dan tampan. Engkau harus merayu dan menjatuhkan hati Sim Lan Ci, seperti dulu isteriku dirayu dan dijatuhkan hatinya, engkau dapat menggunakan akal apa saja, dengan obat kalau perlu dan aku akan mengajarkan semua itu, sampa Si Lan Ci terjungkal dalam rayuanmu dan engkau harus menggaulinya, menodaianya agar suaminya, putera Coa Kun Tian, melihatnya dan kebahagiaan hidupnya akan lenyap karena isterinya telah menghianatinya seperti isteriku menghianatiku. Nah, biarkan suami isteri itu merana dan saling membenci, dan noda penuh aib itu akan terus mengejar mereka samapai mati. Engkau tidak perlu membunuh kebahagiaan mereka seperti orang tua mereka pernah membunuh kebahagiaanku...!”
“Sekarang siaplah menderita sedikit nyeri pada lenganmu, Giok Cu. Tidak takutkah engkau?”
Anak itu menggeleng kepala dan matanya bersinar-sinar. “Apa yang harus kutakutkan, subo? Aku yakin bahwa subo akan melakukan segala hal yang baik bagiku.”
Diam-diam wanita iblis itu merasa girang. Anak ini memang menyenangkan sekali. Terbuka, jujur, polos, keras hati, pemberani dan anak seperti ini tentu kesetiaan yang boleh dipercaya. “Aku akan menusuk lenganmu dengan jarum ini!” katanya. Setelah meneliti lengan itu, ia pun menusukkan jarum emas itu pada bagian lengan Giok Cu sebelah dalam, sedikit di bawah siku.
Giok Cu merasa betapa lengan yang ditusuk itu nyeri sekali, perih dan panas, juga gatal. Namun, ia tidak mengeluarkan keluhan sedikit pun juga, bahkan menggigit bibirnya agar jangan sampai mengeluh. Ketika rasa nyeri itu menjalar sampai ke seluruh lengan, Giok Cu memejamkan mata dan memusatkan kekuatan hatinya untuk menahan. Tak lama kemudian, jarum itu dicabut kembali.
“Duduklah bersila, biarkan rasa nyeri itu menyebar ke seluruh tubuhmu, sampai akhirnya melemah dan lenyap.” Kata Ban-tok Mo-li.
Giok Cu mentaati perintah ini. Ia duduk bersila dan masih memejamkan mata, dan ia merasa betapa rasa panas, perih dan gatal yang menimbulkan nyeri hebat itu benar saja menjalr ke seluruh tubuhnya. Dan masih juga belum pernah ia mengeluh. Akhirnya, rasa nyeri itu makin berkurang dan akhirnya lenyap. Barulah ia membuka matanya, memandang kepada gurunya dengan senang.
“Benar saja, subo tentu tidak akan mencelakai aku. Akan tetapi, bolehkah aku mengetahui apa artinya tusukan jarum dan rasa nyeri ini, subo?”
“Lihatlah lenganmu di bagian yang kutusuk tadi.”
Giok Cu melihat lengannya. Disitu, di bawah siku di sebelah dalam lengannya, terdapat bintik merah seperti tahi lalat kecil. Tidak buruk, bahkan menjadi pemanis seperti hiasan pada kulit lengannya yang putih mulus itu.
“Apa ini, Subo?” Ia menggosok-gosok dengan jari tangan kanannya untuk mencoba apakah tahi lalat merah itu dapat dilenyapkan oleh gosokan.
“Takkan dapat kau lenyapkan, biar dicuci dengan apa pun, Giok Cu. Tanda merah itu hanya akan lenyap kalau engkau kehilangan keperawanmu! Tanda merah itu tanda keperawananmu dan sekali engkau berhubungan dengan pria, maka kau akan mati..."
Sepasang mata kecil itu terbelalak memandang gurunya, mengandung keheranan dan ketidakpercayaan. “Aih, Subo, harap jangan main-main dan menakut-nakuti aku!”
“Anak bodoh...! Siapa main-main denganmu...?”
“Tapi… tapi…“ Gadis itu bingung. Ia masih terlalu kecil, usianya baru sepuluh tahun, untuk mengerti tentang keperawanan segala macam, akan tetapi karena ia seorang anak yang cerdik, ia dapat menduga bahwa gurunya menanamkan semacam racun di tubuhnya yang merupakan semacam hukuman atas dilanggarnya suatu larangan. “Mengapa Subo melakukan ini kepadaku?”
“Ketahuilah, muridku. Bagi seorang wanita, betapun tinggi ilmu kepandaiannya, ada suatu bahaya yang amat berbahaya dan besar sekali, yaitu pria! Pria adalah makhluk yang jahat, pandai merayu dan berpalsu-palsu untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Semua rayuan itu hanya dipergunakan sebagai alat menjebak, dan celakalah seorang gadis yang lemah dan terbius oleh rayuan itu, karena ia akan kehilangan keperawananya, kehilangan kehormatan dan masa depannya, satu-satunya pantangan adalah kehilangan keperawanan. Oleh karena itu, terpaksa aku memberi tanda tahi lalat merah ini kepadamu, tanda keperawanan agar engkau selalu ingat bahwa engkau tidak boleh terbujuk rayuan pria. Kalau sekali waktu engkau tertarik, kemudian melihat tanda tahi lalat merah ini, engkau tentu akan sadar kembali. Ingat baik-baik. Kalau tanda ini lenyap, berarti engkau bukan perawan lagi, ilmu-ilmu yang kau pelajari dan belum sempurna akan rusak dan engkau akan mati dalam waktu satu bulan sesudah itu.”
Diam-diam Giok Cu bergidik. Ia tidak kuatir karena sedikit pun belum terbayang olehnya akan rayuan pria dan akan bahayanya terbius rayuan lalu kehilangan keperawananya. “Tapi, subo. Apakah tanda ini akan selamanya berada di lenganku? Mengapa subo sendiri tidak memiliki tanda seperti ini di lengan subo?” anak itu memang cerdik. Ia tidak memperlihatkan keraguan atau ketidakpercayaan melainkan keheranan karena tidak mengerti.
“Tentu saja tidak selamanya, Giok Cu. Kalau engkau menjadi murid yang baik, tidak melanggar pantangan sehingga tanda merah itu tetap ada padamu, tentu akan tiba saatnya aku melenyapkannya. Hanya aku seoranglah yang akan mampu menghilangkan tanda itu, tanpa harus menghilangkan keperawananmu.”
Giok Cu mengangguk maklum dan tidak banyak bertanya lagi. Biarpun masih kecil, namun ia dapat menduga bahwa perbuatan subonya ini merupakan suatu tekanan baginya, merupakan suatu ancaman bahwa ia harus selalu mentaati guruya dan tidak melanggar semua perintah dan larangannya. Ia tidak tahu bahwa wanita iblis itu melakukan hal ini kepadanya karena pernah dikecewakan puteri kandungnya sendiri yang meyerahkan keperawanannya kepada cucu ketua Hek-houw-pang itu.
Demikianlah, mulai hari itu, Giok Cu berlatih semakin tekun dan memang Bn-tok Mo-li tidak keliru memilih murid. Giok Cu merupakan seorang murid yang selain cerdas, juga amat rajin dan tahan uji. Apalagi dengan modal tenaga sakti dari darah ular di tubuhnya, anak ini segera dapat menghimpun sin-kang dan mengendalikannya secara baik sekali. Kelak kalau ia dewasa, ia tentu memiliki kekuatan sin-kang yang jauh melampaui tingkat gurunya sendiri!
********************
Kita ikuti perjalanan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki yang membawa lari Si Han Beng. Pendekar perkasa ini merasa berterima kasih sekali kepada Sin-Cing Kai-ong yanag telah menolongnya, karena tanpa pengemis ini, agaknya akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskaan diri membawa Han Beng dari kepungan para pendekar dan tokoh kang-ouw, apalagi di situ terdapat Ban-to Mo-li yang lihai.
Dia akan selalu ingat janjinya seperti yang diminta Sin-ciang Kai-ong, yaitu bahwa kelak, setelah Han Beng menjadi muridnya selama lima tahun, anak itu harus menjadi murid Raja Pengemis itu selama lima tahun pula.
Sambil memondong tubuh han Beng pergi menjauhi tempat berbahaya itu, Liu Bhok Ki teringat akan janji itu dan di pun berpikir apakah semua itu kelak akan dapat dipenuhi. Keselamatan anak itu sendiri sampai sekarang masih menjadi pertanyaan besar baginya. Dia tahu bahwa anak itu keracunan hebat, terkena pukulan tangan Ban-tok Mo-li, ada goresan kuku di kulit leher Han Beng. Tadi, ketika dia memondong han Beng, dia sudah melihat betapa leher itu melepuh seperti terbakar, bengkak dan kehitaman amat mengerikan.
Setelah berlari cukup jauh dan memasuki sebuah hutan yang besar yang penuh pohon liar, Liu Bhok Ki berhenti sebentar, mencurahkan perhatian kearah belakang untuk melihat apakah ada orang yang melakukan pengejaran. Sepuluh menit kemudian, yakinlah dia bahwa tidak ada orang mengejarnya, maka dia pun menurunkan Han Beng dari pondongannya ke atas rumput.
Anak laki-laki itu dalam keadaan pingsan dan ketika dia direbahkan diatas rumput, tidak seperti orang yang sudah tidak bernyawa lagi. Wajahnya pucat dan napasnya seperti gelombang air laut yang sedang pasang.
Dengan hati-hati Liu Bhok Ki memeriksa leher yang tadinya terkena pukulan dan goresan kuku beracun dari ban-tok Mo-li dan dia hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran, juga girang melihat betapa leher itu sudah normal kembali! Tidak ada warna hitam, tidak ada bengkak! Bahkan luka bekas goresan kuku yang tadi mengeluarkan darah hitam, kini sudah kering.
Dirabanya leher itu dan tidak terasa panas! Juga bagaian tubuh lain dari anak ini yang tadinya amat panas, kini sudah tidak panas lagi, hangat biasa saja. Dipegangnya pergelangan tangan anak itu. Darahnya pun berjalan dengan baiknya. Hanya napas anak itu yang bergelora, seolah-olah ada kekuatan di dalam tubuhnya yang masih agak liar. Akan tetapi segala bagian tubuh anak itu sehat sama sekali, tidak ada
gangguan, apalagi pengaruh racun! Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw. Biarpun dia bukan seorang ahli pengobatan yang pandai, namun pengalamannya amat banyak dan dia tahu akan cara pengobatan orang terkena racun, asalkan jangan racun sehebat racun tangan Ban-tok Mo-li. Dia memandang anak yang masih rebah seperti orang tidur itu dan mengerutkan alisnya. Dia memutar otaknya dan akhirnya dia mengangguk-angguk dengan senyum gembira.
“Thian Maha Adil…” pujinya dengan hati penuh kelegaan. Dia dapat menduga apa yang telah terjadi dalam diri anak itu. Gigitan ular yang disebut anak naga di pusaran maut Sungai Huang-ho itu, juga darah binatang aneh itu yang dihisap oleh Han Beng, tentu membuat anak ini kecarunan hebat.
Tanda keracunan itu mudah dilihat, yaitu membuat anak itu kepanasan dan memiliki kekuatan dasyat sehingga ketika anak itu mengamuk, banyak tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi roboh oleh pukulan anak yang tidak tahu ilmu silat itu.
Racun anak naga itu hebat sekali, dan mungkin Han Beng takkan kuat bertahan, mungkin akan dapat tewas karena kehebatan darah anak naga itu akan menghapuskan semua jaringan otot dan syarafnya. Akan tetapi, sungguh suatu kemukjijatan terjadi. Ketika anak itu terkena pukulan beracun dan goresan kuku Ban-to Mo-li maka ada semacam racun lain yang memasuki tubuhnya dan justru racun dari tangan ban-tok Mo-li inilah yang merupakan penyembuhan ketika dua macam racun yang berlawanan itu bertemu dan saling melumpuhkan!
Inilah kiranya yang terjadi, demikian, piker Liu Bhok Ki. Dengan hati-hati Liu Bhok Ki lalau mengurut tengkuk dan punggung Han Beng. Baru saja beberapa kali dia mengurut untuk membuka kesadaran anak itu, tiba-tiba Han Beng mengeluh, membuka matanya dan dia pun meloncat bangun. Matanya terbelalak dan kaki tangannya tidak mau diam, bergerak-gerak seperti bukan atas kehendak sendiri, dan kaki tangan itu mengeluarkan bunyi berkerotokan. Ketika Liu Bhok Ki mendekat dan dan hendak memegang lengan anak itu, tangan kiri Han Beng menyambar dan ada hawa pukulan demikian kuatnya mendahului tangan itu sehingga Liu Bhok Ki terkejut dan menangkis.
“Dukkkk!” Tangkisan ini membuat tubuh Liu Bhok Ki terdorong dan hampir terhuyung.
“Ahhhhh…!” Pendekar itu berseru penuh kagum. Dia melangkah mundur dan melihat betapa anak itu masih menggerak-gerakkan kaki tangannya, dan ada hawa pukulan menyambar-nyambar dari kaki tangan itu. Akan tetapi sinar mata anak itu waras, hanya kini Han Beng menjadi bingung sendiri.
“Lo-cian-pwe... Tolong… tolonglah aku… Kaki tanganku taak dapat kuhentikan bergerak sendiri, dan ada sesuatu dalam perutku bergerak-gerak… seperti… seperti ada ularnya!”
Memang aneh. Bukan hanya kaki tangan anak itu yang bergerak-gerak, akan tetapi ada tonjolan yang aneh bergerak-gerak di tubuhnya, kadang-kadang nampak tonjolan sebesar tikus bergerak di kedua pundaknya, di dadanya, di leher, bahkan di kepalanya! Seolah-olah di dalam tubuhnya itu ada seekor tikus yang ingin keluar akan tetapi terhalang oleh kuil!
Liu Bhok Ki bersikap tenang. “Baik baik, tenanglah. Pusatkan perhatianmu dan kerahkan seluruh kekuatan kemauanmu untuk menguasai dirimu sendiri. Nah, kau contohlah aku, duduklah bersila di atas tanah, seperti ini!”
Han Beng sudah percaya sepenuhnya kepada kakek yang telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang aneh yang jahat, yang memperebutkan dirinya. Maka, mendengar suara yang penuh wibawa itu, dia pun mengerahkan kemauannya untuk menguasai dirinya dan biarpun dengan susah payah akhirnya dia dapat pula memaksa tubuhnya untuk menjatuhkan diri duduk di atas tanah, lalu menekuk kedua kakinya, bersila.
“Tegakkan tubuhnmu, luruskan leher dan kepala, pusatkan perhatianmu ke tengah anatara kedua alismu, nah, begitu. Dan sekarang tarik napas panjang, hitung sampai delapan, tahan… sekarang keluarkan dari hidung perlahan-lahan. Itu kedua lengan, letakkan diatas pangkuan, begini…”
Liu Bhok Ki mulai mengajar anak itu untuk menenangkan diri, pelajaran permulaan Samadhi, dan dengan perlahan dia membimbing Han Beng untuk menguasai dirinya sendiri dan menguasai pula kekuatan dasyat yang terdapat dalam dirinya.
Setelah anak itu mulai tenang dan mulai dapat mengendalikan tenaga dasyat itu, Liu Bhok Ki mengajak melanjutkan Perjalanan. Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki mengajak Han Beng yang menjadi muridnya itu ke sebuah bukit di lembah Huang-ho, bukit yang dikenal dengan nama Kim-hong-san (Bukit Burung Hong Emas).
Bukit ini kecil saja dan mereka membuat sebuah pondok di puncaknya dan dari puncak ini mereka dapat melihat sungai Huang-ho mengalir di kaki bukit. Pemandangan di bukit itu indah sekali, sebuah bukit yang dipenuhi hutan belukar dan dusun terdekat terletak di akai bukit, di pantai sungai Huang-ho. Bukit itu sendiri sunyi, tidak di tempatai manusia karena memang merupakan hutan belukar yang liar.
Begitu tiba di puncak Kim-hong-san, Liu Bhok Ki dibantu oleh Han Beng menebang pohon dan bamboo, membuat pondok darurat untuk mereka. Setelah selesai, Liu Bhok Ki memanggil han Beng yang berlutut dia ats lantai tanah kering, menghadap kakek yang duduk di atas bangku kayu buatan sendiri itu.
"Han Beng, engkau sudah menceritakan semua riwayatmu dan sekarang engkau adalah seorang anak yatim piatu yang tidak mempunyai orang tua dan keluarga lagi. Sudah bulatkah hatimu untuk berguru kepadaku?”
Han beng adalah seorang anak yang tabah. Ketika dia bersama gurunya itu mencari perahu orang tuanya di sekitar pusaran maut, dia hanya menemukan ayah ibu Giok Cu yang terluka. Dari keluarga Bu ini dia mendengar bahwa ayah ibunya tewas dalam keributan ketika orang-orang kang-ouw memperebutkan anak naga kemudian memperebutkan dia dan Giok Cu. Hanya sebentar dia menangis, dan setelah itu, dia tidak pernah menangis lagi, maklum betapa sia-sia saja menangis dan berduka. Sekarang pun, diingatkan oleh gurunya bahwa dia anak yatim piatu yang tiada keluarga lagi, hatinya seperti di remas, akan tetapi dia tidak mau hanyut oleh kedukaan dan keharuan.
“Suhu, teecu sudah bertekad untuk menjadi murid suhu, dan teecu akan mentaati semua perintah dan petunjuk suhu.”
“Benarkah itu? Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaanku sebagai syarat berguru kepadaku?”
“Teecu bukan hanya berjanji, bahkan teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu dengan taruhan nyawa teecu. Suhu bukan hanya guru teecu, akan tetapi juga suhu penolong dan penyelamat nyawa teecu.”
“Bagus! Kalau begitu dengar baik-baik pesanku. Engkau akan belajar ilmu silat dariku selama lima tahun. Setelah lima tahun, engkau akan kuserahkan kepada Sin-ciang kai-ong. Dialah gurumu yang yang kedua dan aku sudah berjanji kepadanya selama lima tahun engkau menjadi muridku. Dialah yang melindungi kita, menyelamatkan kita dan memberikan kita kesempatan untuk terbebas dari kepungan mereka yang hendak merampasmu. Sanggupkah engkau untuk menjadi murid Sin-ciang Kai-ong selama lima tahun setelah engkau menjadi muridku selama lima tahun pula?”
“Teecu sanggup!”
“Sekarang yang kedua, dan mungkin ini akan terasa berat olehmu. Ketahuilah bahwa aku juga kehilangan keluargaku secara menyedihkan sekali, dan sampai selamanya aku tidak akan dapat melupakan sakit hati karena kehilangan keluarga itu…”
Liu Bhok Ki melirik kearah kepala yang berada di dalam botol besar terisi arak. Ketika membawa pergi Han Beng, dia lebih dulu mengambil dua buah kepala ini yang disembunyikan di sebuah tempat dekat sungai, lalu membawa dua buah kepala itu ke puncak Kim-hong-san.
Ketika han Beng melihat dua buah kepala itu untuk pertama kalinya, dia terkejut dan merasa ngeri, akan tetapi tidak berani bertanya, melihat betapa gurunya amat berhati-hati merawat dua buah kepala itu dan kelihatan tidak senang kalau dia mencoba mendekati dua buah benda mengerikan itu. kini melihat betapa gurunya bicara tentang dendam sakit hati dan melirik kea rah dua buah kepala, Han Beng tidak dapat menahan keinginan tahunya.
“Suhu, apakah sakit hati suhu itu ada hubungan dengan dua buah kepala itu?”
Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang berhati keras dan berwatak kasar, jujur namun juga angkuh. Kalau saja hatinya tidak sudah bulat menerima Han Beng sebagai muridnya dan dia sudah mengenal watak muridnya yang juga gagah perkasa dan tabah, tentu dia akan tersinggung dan marah karena ada orang berani menyinggung soal dua buah kepala itu.
Kini, sejenak matanya mengeluarkan sinar mencorong, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang dan mengangguk. Lalu dia mengambil botol anggur diatas meja dimana tersimpan sebuah kepala wanita yang cantik dan pucat, lalu dia menempelkan bibirnya di botol itu, seolah-olah hendak mencium bibir kepala wanita dalam botol itu yang menyeringai seperti menahan sakit.
“Ini… Ini kepala isteriku tercinta…”
Han Beng terbelalak dan dia melihat betapa kedua mata gurunya itu berlinang air mata! Diam-diam dia bergidik. Kenapa isteri suhunya tewas dan kenapa pula kepalanya disimpan oleh suhunya di dalam botol arak itu? suhunya kelihatan demikian mencinta isterinya, akan tetapi mengapa kecintaan itu diperlihatkan dengan cara yang amat kejam dan di luar batas perikemanusiaan?
Agaknya Liu Bhok Ki dapat membaca pertanyaan yang tak terucapkan oleh muridnya itu, dan dia melanjutkan. “Dan yang tergantung itu adalah kepala kekasih iateriku!”
Han Beng merasa semakin terkejut dan dia memandang kepada kepala yang tergantung itu. lebih mengerikan lagi kepala ini, kepala seorang pria muda yang tampan dan juga amat pucat. Kalau kepala wanita cantik di dalam botol itu hanya menyeringai dan tidak bergerak, kepala yang tergantung ini dapat bergerak dan berputar-putar di ujung tali kecil yang tergantung. Mata kepala ini melotot seperti orang marah dan mulutnya setengah terbuka.
Kemudian Han Beng melihat hal yang baru pertama kali dilihatnya dan yang membuatnya menjadi semakin ngeri. Gurunya menuangkan anggur dari botol berisi kepala itu ke dalam cawan, lalu mengangkat cawan diacungkan kepada kepala yang tergantung seolah-oalh menawarkan minuman kepada mereka, lalu dia minum arak itu dari cawan dan nampaknya nikmat sekali!
Han Beng bergidik. Di dalam benaknya yang belum banyak pengalaman itu terjadi dugaandugaan yang mengerikan, yang dibantahnya sendiri dalam hatinya. Gurunya adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa yang untuk menolongnya sudah menempuh bahaya maut menghadapi para orang-orang kang-ouw yang lihai. Mungkikah suhunya melakukan hal yang begini kejam?
“Tapi… Tapi mengapa suhu melakukan itu…?”
“Mereka adalah isteriku dan sahabatku, mereka telah menghianatiku, menghancurkan kebahagiaan hidupku dengan berzina! Aku bunuh mereka dan menyimpan kepala mereka, agar mereka melihat betapa mereka telah menghancurkan kebahagiaan hidupku!”
“Ahhhhh…!” Han Beng menundukkan mukanya, hatinya memberontak, dia tidak setuju sekali dan ingin dia mencela gurunya, akan tetapi dia tidak berani karena diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gurunya yang entah sudah berapa puluh tahun menderita kesengsaraan batin yang amat hebat. Dua buah kepala itu masih muda, maka tentu peristiwa itu terjadi ketika suhunya masih muda, tentu sudah puluhan tahun lamanyaa hal itu terjadi dan selama itu, suhunya tak pernah merasa bahagia hidupnya.
“Sekarang dengar, Han Beng. Sakit hatiku tak pernah dapat tertebus sampai kini, dank arena aku tidak dapat lagi menghukum kekasih isteriku, maka aku ingin membalas sakit hati ini kepada puteranya yang masih hidup!” berkata demikian, pendekar itu mengepal tinju kanannya dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan.
“Akan tetapi… bukankah suhu sudah membalas sakit hati itu dengan membunuhnya?”
“Tidak! Aku keliru! Dia membuat aku menderita selama hidupku, dan aku hanya membunuhnya begitu saja, membuat dia mati dan tidak lagi merasakan penderitaan hidup! Tidak, sekarang anaknya yang harus merasakan penderitaan hidup seperti yang telah kutanggung selama ini. Terlalu enak dia. Biar kepalanya kugantung, tetap saja di tidak dapat melihat dan tidak dapat merasakan! Aku telah melakukan kesalahan dengan membunuh mereka dan sekarang aku harus membetulkan kesalahan itu dan menghukum puteranya!”
Han Beng bergidik. Suhunya yang demikian gagah perkasa, yang dihormatinya sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, penentang segala kejahatan, kini diracun dendam dan menjadi iblis sendiri!
“Suhu, apa… apa yang harus teecu lakukan?” tanyanya dengan suara lirih dan jantung berdebar tegang.
“Aku ingin anaknya merasakan penderitaan seperti yang kurasakan Selma berpuluh tahun ini! Dengar baik-baik, muidku. Laki-laki yang kepalanya tergantung disana itu bernama Coa Kun Tian, putera ketua Hek-houw-pang di dusun Tai-bun-cung dekat Po-yang, dan isteriku bernama Phang Bi Cu, adik kandung dari ban-to Mo-li Phang Bi Cu. Engkau masih ingat nenek cantik pesolek yang memperebutkanmu di sungai itu dan yang kemudian melarikan teman perempuanmu itu? Nah, ia itulah ban-tok Mo-li atau dulu pernah menjadi enci dari isteriku. Coa Kun Tian dan Phang Bi Cu sudah mati kubunuh, akan tetapi ternyata Coa Kun Tian mempunyai seorang putera! Dan akulah yang mengawinkan puteranya itu! puteranya bernama Coa Siang Lee, tampan dan mukanya mirip ayahnya. Lihat baik-baik muka kepala itu! Coa Siang Lee telah kuperdaya sehingga dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi puteri Ban-to Mo-li, keponakan isteriku yang wajahnya mirip wajah isteriku yang kepalanya berada di dalam botol ini. Nama gadis itu Sim Lan Ci. Nah, kepada kedua orang itulah aku ingin engkau mebalaskan sakit hatiku, Han Beng. Sanggupkah engkau?”
“Suhu, pembalasan yang bagaimanakah harus teecu lakukan?” tanpa mejawab pertanyaan gurunya, Han Beng bertanya karena dia merasa bingung sekali, juga ngeri melihat gurunya yang gagah perkasa itu ternyata mabuk oleh dendam yang amat mendalam.
“Mereka telah menjadi suami isteri, Han Beng. Mereka mirip benar dengan isteriku dan kekasihnya, seolah-olah isteriku dan kekasihku hidup kembali berbahagia dan saling mencinta. Nah, aku ingin engkau menghancurkan kebahagiaan mereka itu, Han Beng, seperti mereka dahulu menghancurkan kebahagiaanku!”
“Bagaimana… caranya, suhu? Sungguh teecu tidak mengerti…”
“Kelak engkau tentu menjadi seorng pria yang gagah perkasa dan tampan. Engkau harus merayu dan menjatuhkan hati Sim Lan Ci, seperti dulu isteriku dirayu dan dijatuhkan hatinya, engkau dapat menggunakan akal apa saja, dengan obat kalau perlu dan aku akan mengajarkan semua itu, sampa Si Lan Ci terjungkal dalam rayuanmu dan engkau harus menggaulinya, menodaianya agar suaminya, putera Coa Kun Tian, melihatnya dan kebahagiaan hidupnya akan lenyap karena isterinya telah menghianatinya seperti isteriku menghianatiku. Nah, biarkan suami isteri itu merana dan saling membenci, dan noda penuh aib itu akan terus mengejar mereka samapai mati. Engkau tidak perlu membunuh kebahagiaan mereka seperti orang tua mereka pernah membunuh kebahagiaanku...!”