HAN BENG tertegun, mukanya menjadi merah. Dia masih belum dewasa akan tetapi dia sudah dapat mengerti apa yang dimaksudkan gurunya dan dia merasa ngeri membayangkan tugasnya itu. Akan tetapi, dia sudah berjanji, bahkan bersumpah untuk mentaati perintah gurunya!
“Bagaimana, Han Beng. Sanggupkah engkau?” Liu Bhok Ki mendesak sambil menatap tajam wajah muridnya yang menunduk.
“Teecu… Sanggup,” kata Han Beng yang tidak mempunyai pilihan lain. Betapun juga, tadinya dia mengira bahwa dia ditugaskan membunuh orang dan hal ini sungguh amat tidak disukainya, akan tetapi ternyata perintah gurunya itu bukan untuk membunuh, melainkan untuk menjatuhkan hati seorang wanita, hal yang sama sekali asing baginya, bahkan membayangkan bagaimana saja dia pun tidak mampu.
Girang sekali Liu Bhok Ki mendengar ini. Amat girang sehingga dia merangkul anak itu dengan air mata basah. “Han Beng, muridku yang baik, ketahuilah bahwa itu merupakan satu-satunya harapanku dalam hidup ini. Kalau aku melihat mereka menderita seperti yang pernah kurasakan, maka biar mati pun aku akan dapat memejamkan mata dengan hati tenang. Aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu, muridku, sebagai balas jasa atas usahamu menghancurkan mereka kelak.”
Demikianlah, mulai hari itu, Han Beng menerima gemblengan dari Liu Bhok Ki. Anak ini memang telah memiliki tenaga dashyat sebagai akibat minum darah ular itu, dan dengan bimbingan yang amat bijaksana dan ahli dari Liu Bhok Ki, dia akhirnya mampu menguasai tenaga dashyat itu dan mengendalikaannya sehingga kalau dia mengerahkan tenaga itu, ketika dia berusia lima belas tahun, gurunya sendiri tidak mampu menandingi kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang terkandung dalam tubuhnya!
Cemburu merupakan satu di antara nafsu-nafsu yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri dan orang-orang lain. Cemburu merupakan akibat daripada penonjolan si-AKU merasa dirugikan, dihina, miliknya, yaitu orang yang dicintainya, diambil orang-orang yang dicintainya, berpaling kepada orang lain. Si-AKU merasa diabaikan, merasa dikecilkan dan diremehkan maka timbullah cemburu yang disusul dengan kemarahan dan dendam kebencian!
Api cemburu bisa bernyala besar sekali dan membakar segalanya. Api cemburu dapat mendatangkan kebakaran dalam batin, dan kalau cemburu sudah beranakkan dendam kebencian, maka mata akan menjadi buta dan segala pertmbangan akan lumpuh. Yang ada hanya nafsu membalas, membikin sengsara orang yang dibencinya itu. kalau sudah begini, muncullah perbuatan-perbuatan yang kejam dan tidak berprikemanusian, perbuatan yang hanya merupakan pelampiasan nafsu amarah dan dendam kebencian.
Kepandaian, kekayaan besar, kedudukan tinggi, tidak akan melindungi manusia daripada nafsu-nafsu ini, bahkan seringkali kelebihan-kelebihan itu memperbesar nyala nafsu. Satu-satunya pemadam nafsu apa pun hanyalah kesadaran, kewaspadaan yang akan memungkinkan datangnya sinar cinta kasih dan kebijaksanaan.
Sadar dan waspada akan segala hal yang terjadi di dalam dan di luar lahir batin, waspada akan semua gerak-gerik lahir batin, gerakan jasmani, gerakan panca indera, gerakan hati dan pikiran. Tidak lengah sebentar pun sehingga apabila pikiran berceloteh lalu menghidupkan si-AKU yang semakin menjadi-jadi dan merajalela sehingga membangkitkan nafsu-nafsu, maka hal ini pun akan berada dalm pengamatan yang penuh kesadaran dan kewaspadaan.
Pembuatan terusan besar yang menyambung dua sungai besar Huang-ho dan Yang-ce, makin lama semakin terasa berat bagi rakyat jelata. Karena pekerjaan besar itu membutuhkan tenaga manusia yang sebanyak-banyaknya dan juga membutuhkan biaya besar yang keluar dari kantung pemerintah, maka timbulah hal-hal yang meresahkan rakyat, mana ada banyak uang yang dipermainkan, tentu timbul kecurangan-kecurangan.
Para pembesar yang mendapat tugas mencari tenaga baru dan membayar tenaga itu setelah melihat kesempatan lalu timbul kecurangan mereka dan banyak sekali uang yang sebetulnya diperuntukkan para tenaga pembuat terusan masuk ke kantung para pembesar. Rakyat yang takut terhadap pemerintah mudah digertak. Hanya sebagian saja upah yang menjadi hak mereka itu di terima oleh para pekerja. Upahnya sudah dikebiri oleh para pejabat, dan yang kecil sampai yang besar.
Pembesar yang kecil mencatut sedikit, yang besar mencatut semakin banyak dan rakyat pekerja hanya menerima sisanya saja. Bahkan banyak pula yang tidak dibayar seperti kerja rodi. Namun, mereka itu hanya dapat menangis dan mengeluh tidak berani melawan. Mula-mula, yang menjadi pekerja paksa tanpa dibayar adalah orang-orang hukuman yang dimanfaatkan tenaganya. Akan tetapi, melihat lubang ini, para pembesar dan pengurus pekerjaan besar itu lalu mempergunakan akal mereka yang busuk, memperlakukan rakyat seperti orang hukuman, memaksa rakyat bekerja tanpa dibayar, dan uangnya masuk ke dalam kantung mereka sendiri.
Ratapan rakyat ini tidak terdengar oleh pemerintah, akan tetapi terdengar oleh para pendekar. Dan pada waktu Itu, para pendekar adalah mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan watak yang bersih, jujur, adil dan pemberani. Dan pusat dari ilmu silat, sebagian besar terletak di dalam biara-biara dan tempat-tempat pertapaan. Terutama sekali di kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat dari Siauw-Lim-pai, sumber para ahli silat tingkat tinggi.
Seringkali para murid Siauw-lim-pai yang sudah menjadi pendekar di luar kuil, datang berkumpul untuk berunding dengan para tokoh Siauw-lim-pai, membicarakan tentang kesengsaraan rakyat yang timbul karena adanya pembuatan terusan yang mempergunakan tenaga ratusan ribu orang itu.
Pusat dari perkumpulan Siauw-li pai ini berada di kuil Siauw-lim-si yang besar, selain menjadi pusat perguruan silat tinggi, juga menjadi pusat penyebaran Agama Buddha. Kuil Siauw-li atau Siauw-lim-si ini berdiri di Siong-san sebuah gunung yang tanahnya subur yang juga dikenal dengan nama Cong san. Siong-san bukanlah gunung yang besar dan bukan pula pegunungan yang luas seperti Min-san, Cin-ling-san, Kun-lun-san dan masih banyak lagi.
Akan tetapi biarpun tidak berapa besar, nama Siong-san menjadi amat terkenal karena adanya vihara atau kuil Siauw-lim yang besar itu. Terutama sekali di dunia persilatan, nama Siauw-lim-si amat terkenal, disegani dan ditakuti karena di situ menjadi sumber ahli-ahli silat yang menjadi pendekar-pendekar kenamaan.
Kuil yang megah itu dibangun oleh seorang pendeta Buddha yang datang datang dari India untuk menyebar pelajaran Agama Buddha, dan pada mulanya hanya merupakan vihara di mana orang-orang belajar keagamaan. Para calon pendeta, calon penyebar pelajaran agama, dididik di dalam vihara ini.
Oleh karena pada zaman itu (sekitar tahun 500) merupakain jaman yang belum teratur, apalagi dengan adanya perang saudara yang tiada henti-hentinya sejak jaman Sam-Kok (Tiga Negara) (Tahun 221-265), maka perkembangan Agama Buddha pun menglami gangguan dalam suasana yang ser¬ba kacau ini.
Kemudian, sekitar tahun 520, muncullah seorang pendeta dari India pula yang memiliki kesaktian tinggi. Berbeda dengan pendeta To yang menjadi pendiri vihara Siauw-lim dan yang hanya seorang ahli tentang agama, Tat-mo Couw-su, pendeta dari India yang baru datang ini, memiliki kesaktian yang hebat.
Apalagi ketika dalam perantauannya dari See-thian (India) ke Tiongkok dia banyak mengembara di Himalaya, bertemu dengan para pertapa yang tinggi ilmunya dan dia senantiasa memperdalam ilmu-ilmunya, maka ketika tiba di vihara Siauw-lim, dia merupakan seorang pendeta Buddha yang amat tinggi ilmu kesaktiannya. Banyak sekali kisah yang aneh-aneh diceritakan orang turun temurun, terutama yang datang dari para hwesio (pendeta Buddha) di kuil Siau lim tentang tokoh Tat-mo Couw-su ini.
Ada yang mengatakan bahwa ketika berada di vihara Siauw-lim itu. Tat-Couw-su pernah menggali sumur dengan hanya menggunakan kedua tangannya sampai ada air muncrat keluar! Ada pula yang mengatakan bahwa dia membuat ukir-ukiran di atas dinding batu mengunakan jari tangannya melukiskan gerakan orang bersilat dalam berbagai jurus.
Bahkan ada cerita bahwa dia bertapa di kuil itu selama sembilan tahun untuk memperdalam ilmu-ilmunya. dan tubuhnya tercetak di atas batu tempat dia duduk, juga punggungnya tercetak di dinding batu yang menjadi sandarannya. Pendeknya, banyak sekali dongeng tentang Tat-mo Couw-su ini yang mencereritakan tentang kesaktiannya yang seperti dewa!
Bagaimanapun juga, harus diakui berdasarkan sejarah yang ada bahwa Tat-mo-Couw-su inilah yang menjadi pelopor adanya ilmu silat di dalam kuil Siauw-lim, yang kemudian menjadi terkenal sekali, bahkan menjadi sumber banyak macam ilmu silat yang ada di daratan Tiongkok.
Pada waktu sebelum Tat-mo Couw-su datang ke kuil Siauw-lim, tentu saja tidak ada murid atau pendeta kuil Itu yang mempelajari ilmu silat. Mereka belalah penganut-penganut agama yang Imtuh dan Agama Buddha mengajarkan cinta kasih, menjauhi pertentangan, per¬musuhan, apalagi kekerasaan. Sedangkan Ilmu silat adalah ilmu berkelahi! Tentu taja tidak ada hwesio yang mau mempelajari ilmu untuk memukul orang itu!
Akan tetapi pada suatu hari, Tat-mo Couw-su melihat betapa para pendeta dan murid di kuil Siauw-lim itu bertubuh lemah dan karena kelemahan tubuh ini mereka menjadi malas dan tidak betah duduk bersamadhi, lebih suka bermalas-malasan dan tidur. Karena tubuh yang lemah ini banyak pula diantara mereka yang terkena penyakit, selain itu, juga pada jaman itu banyak terjadi kerusuhan dan para penjahat itu agaknya tidak memandang bulu ketika melakukan kejahatan yang mengandalkan kekerasan.
Bahkan beberapa kali ki diserbu dan dirampok, para hwesio dianiaya, bahkan ada pula yang sampai dibunuh. Dua hal ini menggerakkan hati Tat-mo, yaitu nama pendeta ini yang kemudian ditambah sebutan Couw (Guru Besar), untuk memberi latihan kepada para pendeta dan murid Siau lim agar tubuh mereka menjadi sehat dan kuat.
Mula-mula pendeta yang sakti menciptakan semacam ilmu olah raga yang kalau dilatih dapat menyehatkan tubuh, bahkan memperkuat batin. Ilmu ini yang kemudian terkenal dengan sebutan it-kin-keng, ilmu gerakan yang melenturkan otot-otot, membersikan darah dan memperkuat tulang-tulang. It-kin-keng dibagi menjadi delapan belas gerakan pokok. Manfaat ilmu ini setingkat atau bahkan lebih tinggi dari gerakan dalam Yoga.
Selain ilmu It-kin-keng, juga Tat-mo Couw-su menciptakan ilmu silat untuk para hwesio yang bertugas jaga untuk menjaga kuil dari gangguan orang-orang jahat. Ilmu silat ini diberi nama Cap-pwe Lo-han-kun, juga terdiri dari delapan belas jurus. Lo-han-kun atau Silat Arhad ini memang diperuntukkan para hwesio, selain untuk memperkuat tubuh juga untuk dapat di pakai membela diri dan melindungi keamanan Kuil.
Itulah permulaan ilmu silat yang diajarkan kepada para hwesio di kuil Siauw-lim. Kemudian, melihat kegunaan dari ilmu-ilmu itu, maka para cerdik pandai tokoh-tokoh keagamaan Buddha memperkembangkan ilmu silat itu dan mulailah ilmu silat Siauw-lim memegang peran penting di dunia persilatan.
Latihan-latihan yang dilakukan para murid di kuil Siauw-lim terkenal amat berat, namun justeru latihan berat inilah yang membuat ilmu silat Siauw-lim terkenal sebagai ilmu yang kokoh kuat, dan murid yang lulus dari perguruan ini miliki ilmu silat yang sudah matang dengan tenaga yang boleh diandalkan. Banyak tokoh bermunculan dan ilmu silat siauw-lim terus berkembang, semakin banyak macamnya dan para cerdik pandai tiada hentinya mengerahkan segala bakat dan kepandaian mereka untuk menciptakan jurus-jurus baru.
Pada Pada jaman pemerintah Kaisar Li Wu Ti (502-549), seorang Kaisar dinasti Liang yang menjadi penganut Agama Buddha yang patuh, mempunyai hubungan dekat dengan Siauw-lim-si. Lagi ketika terjadi banyak kerusuhan pemberontakan di sana-sini, kaisar ini minta bantuan para ahli silat dari Siau lim-pai. Pada waktu itu, sudah banyak pendekar lihai yang menjadi murid Siauw-lim-pai, dan para pendekar ini berhasil baik sekali dalam penumpasan para perusuh.
Kaisar Liang Wu Ti merasa gembira dan berterima kasih, maka kaisar itu lalu memperluas bangunan vihaha Siauw-lim. Makin majulah vihara itu dan semakin banyak muridnya. Usaha menyebarkan Agama Buddha juga berkembang dengan baik dan memperoleh kemajuan pesat seperti juga pengembangan pelajaran ilmu silatnya. Semua ini karena dukungan Kaisar Liang Wu Ti yang juga beragama Buddha.
Akan tetapi, pemberontakan besar meletus ketika wangsa Sui, dipimpin oleh Yang Cien menyerbu ke utara dan menghancurkan kekuasaan dinasti Liang. Dalam perang ini, pihak Siauw-lim-pai membantu Kaisar Liang Wu Ti. Oleh karena itu, ketika Dinasti Liang kalah, Dinasti Baru dari Wangsa Sui membasmi semua Vihara agama Buddha, juga Siauw-lim-Si ikut dimusnahkan Para murid dan pendekar Siauw-lim-pai yang berhasil meloloskan diri, lari cerai berai dan para liwesio lari bersembunyi atau bertapa di puncak-puncak gunung dan di tempat-tempat sunyi.
Akan tetapi karena para pendekar siauw-lim-pai itu di mana-mana telah menyebar perbuatan yang gagah perkasa dan baik, akhirnya Kaisar Yang Cien mau mengampuni mereka dan bahkan memperkenankan kembali vihara Sia lim-si dibangun. Sampai Kaisar Yang Cien diganti oleh puteranya, yaitu Kaisar Yang Ti, keadaan Siauw-lim-si tetap baik walaupun Kaisar Yang Ti lebih condong medekati para to-su (pendeta) dari Agama To (Taoism) daripada Agama Buddha.
Sudah sejak lama terjadi semacam permusuhan antara para tokoh Agama Buddha dan para tokoh Agama To. ini terjadi karena adanya semacam persaingan dan iri hati. Kalau kaisar pemerintahnya mendekati Agama Budda maka pihak para to-su merasa iri hati, sebaliknya kalau kaisar mendekati pa to-su, maka para hwesio yang merasa iri hati dan tidak senang.
Iri hati ada suatu penyakit batin yang timbul dan penonjolan dan pementingan si-AKU pula. Pikiran ini membentuk si-AKU dibesar-besarkan, dipentingkan sedemikian rupa sehingga kalau diabaikan timbul perasaan iri hati dan kecewa. Kita sudah sedemikian egois, setiap saat selalu mementingkan diri pribadi sehingga segala hal-hal yang menyenangkan dan baik hendak kita monopoli, sedapat mungkin segalanya itu diperuntukkan diri sendiri.
Bahkan Tuhan Yang Maha Adil pun, ingin kita monopoli agar keadilan-Nya hanya untuk kita, demi kepentingan dan kesenangan kita, demikian pula kasih sayang dari Yang Maha Kasih ingin kita monopoli. Karena setiap perorangan memiliki sikap mementingkan diri sendiri masing-masing, maka tidaklah mengherankan apabila dunia ini penuh dengan permusuhan pribadi, permusuhan antara keluarga, antara golongan, antar suku dan antar bangsa. Bertabrakanlah kepentingan masing-masing dan menimbulkan konflik.
Permusuhan selalu mendatangkan dendam. Ketika Siauw-Lim-si dimusuhi kaisar dan pemerintah, bukan hanya jagoan-jagoan istana dan para panglima saja yang menyerbu Siauw-lim-si, akan tetapi di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh dari kalangan Agama To, yaitu para to-su yang membantu pemerintah.
Oleh karena itu, ketika pemerintah condong mendekati para hwesio, giliran to-su yang dimusuhi! Dendam mendendam yang tiada habisnya agaknya sudah menjadi pakaian manusia. Hanya kita sendiri yang mampu menanggalkannya dari diri kita masing-masing.
Kini keadaan kembali berubah, lihat betapa pelaksanaan pembuatan terusan itu mengorbankan banyak rakyat jelata, membikin sengsara rakyat dengan adanya kerja-paksa yang dilakukan oleh pembesar-pembesar daerah, dengan penjilatan ke atas atau korupsi, banyak pendekar Siauw-lim-pai menjadi penasaran. Mulailah terjadi penentang penentangan dari pihak Siauw-lim-si.
Para pendekar Siauw-lim-pai bentrok dengan pelaksana pengumpul tenaga rakyat. Di mana-mana terjadi perkelahian antara para pelaksana yang mempunyai jagoan-jagoan dengan para pendekar Siauw-lim-pai. Tentu saja hal ini terdengar oleh para pejabat dan mulai timbul perasaan tidak senang kepada Siauw-Lim-si. Inilah kesempatan yang amat baik bagi saingan para hwesio, yaitu para tosu. Para tosu yang tadinya merasa tersisih melihat akrabnya hubungan antara para hwesio dan pemerintah, kini melihat kesempatan baik sekali untuk maju ke depan.
Mereka berusaha untuk memperlebar jurang pemisah antara pemerintah dan pihak Siauw-lim-si, ada yang menghasut dan banyak yang membantu pemerintah dalam menghadapi para pendakar Siauw-lim-pai. Campur tangan dari para tosu ini tentu saja memperhebat pertentangan para para hwesio dan pendekar Siauw-Lim-pai dengan pihak pemerintah sehingga seringkah terjadi perkelahian besar-besaran yang menjatuhkan korban cukup banyak, terutama dipihak pasukan pemerintah.
Hal ini terdengar oleh pihak atasan, Kaisar yang mendengar oleh berita laporan bahwa orang-orang Siauw-lim-pai menentang kebijaksanaan pemerintah untuk membangun terusan besar, bahkan menyerang para pelaksana pekerjaan besar itu, tentu saja menjadi marah dan Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menghukum Siauw-lim-pai, membasmi mereka yang memberontak dan mcmusnahkan vihara besar Siauw-lim-si yang dulu dibangun dengan bantuan istana juga.
Pihak Siauw-lim-pai maklum akan keadaan yang amat gawat itu dan pada pagi hari itu, para pimpinan Siauw-lim-pai berkumpul di vihara. Pagi yang sunyi dan penuh ketegangan karena para pendekar murid-murid Siauw-lim-pai yang berdatangan membawa berita yang tidak menggembirakan, Vihara Siauw-lim itu memang luas sekali. Dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti benteng. Pintu gerbang depan besar dan tebal, selalu dijaga oleh murid-murid vihara. Di bagian dalamnya yang luas terdapat bermacam bangunan, dan cukup banyak.
Pada waktu itu, para pendekar murid Siauw-lim-pai yang sudah hidup di bagian kuil dan berdatangan ke situ, berduyun-duyun naik ke bukit kecil di dalam kompleks vihara. Bukit kecil itu tidak berapa tinggi, akan tetapi di puncaknya terdapat sebuah bangunan mungil. Disinilah tinggalnya pimpinan tertinggi dari kuil Siauw-lim-si, bahkan menjadi tokoh tertinggi dari perguruan Siauw-lim-pai pada umumnya.
Pondok mungil itu ternyata tidak berkamar, merupakan ruangan yang luas dan terbuka. Dua orang hwesio tua nampak duduk di atas dipan bundar, bersila dan berhadapan. Mereka itu sudah tua. sedikitnya tentu sudah tujuh puluh tahun usia mereka. Yang seorang bertubuh tinggi kurus dengan jubah kuning, mukanya bersih seperti kepalanya, tanpa ada rambut sedikit pun. Wajahnya pun dan matanya banyak menunduk, akan tetapi terbayang ketegasan dalam sinar mata dan dalam tarikan garis-garis di tepi mulut, di dagu dan di tepi kedua matanya.
Dia adalah ketua Siauw-Im-pai pada waktu itu, seorang hwesio yang sudah pernah mempelajari keagamaan di India, dan di samping itu juga telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari siauw-lim-pai. Julukannya adalah Thian-cu Hwesio, dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin yang jujur, adil, dan tegas maka disegani oleh semua murid Siauw-lim-pai.
Karena sudah merasa tua dan lebih suka bersamadhi, maka selama hampir dua tahun ini Thian-cu Hweslo hampir tidak pernah mencampuri urusan di luar kuil. Dia hanya bersamadhi di dalam kamarnya dan baru keluar dari kamar kalau dia merasa perlu untuk memberi penerangan tentang pelajar agama kepada para muridnya, atau adakalanya kalau hatinya sedang gembira dia mengamati para murid yang berlatih silat di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan memberi petunjuk kepada beberapa orang murid yang melakukan gerakan yang kurang sempurna.
Akan tetapi, selama beberapa hari ini, Thian-cu Hwesio kedatangan seorang tamu, yaitu seorang hwesio yang sebaya dengan dia. Hwesio ini adalah kakak seperguruannya, juga seorang pendeta Buddha yang banyak melakuka perantauan untuk kepentingan penyebaran Agama Buddha. Hwesio ini, karena terlalu banyak hidup di luar, kulitnya sampai berubah menghitam dan julukannya berubah Hek-bin Hwesio (Pendeta Muka Hitam) karena mukanya memang hitam sekali terbakar sinar matahari ketika merantau sampai bertahun-tahun di padang pasir di utara.
Puluhan tahun lamanya dia memperdalam ilmu-ilmunya di India, Nepal dan di Himalaya, dan di tempat terakhir itulah dia bertemu dengan Thian-Cu Hwesio dan sama-sama belajar dan seorang pertapa yang sakti sehingga Hek-bin Hwesio terhitung su-heng (kakak seperguruan) dari ketua Siauw-lim-pai itu.
Bukan main gembira rasa hati Thian-Cu Hwesio menerima kunjungan suhengnya ini dan beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap, bukan saja tentang perkembangan Agama Buddha, melainkan juga tentang kekacauan di antara rakyat sehubungan dengan adanya paksaan terhadap rakyat untuk bekerja menggali terusan.
“Bagaimana hati pin-ceng tidak akan merasa resah, Suheng. Biarpun sudah lama pinceng tidak pernah keluar dari kuil, akan tetapi banyak laporan para murid yang menceritakan tentang kesengsaraan rakyat jelata dengan adanya usaha pemerintah menggali terusan besar antara Sungai Huang-ho dan Ya-ce itu. Mau tidak mau, para murid Siauw-Lim-pai harus melindungi rakyat jelata dan karenanya seringkali terjadi bentrokan dengan para petugas pemerintah yang melaksanakan pengumpulan tenaga rakyat itu. Bukan bentrokan kecil-kecilan, bahkan sampai terjadi pertempuran yang menjatuhkan korban di kedua pihak. Sungguh hal ini memprihatinkan hati pin-ceng, Suheng," kata Thian Hwesio yang mengeluh karena ada pertentangan itu.
Hwesio tamu itu bertubuh gendut dengan perut besar bulat, kepalanya yang gundul itu pun bundar dan licin, mulutnya selalu tersenyum lebar seperti orang yang selalu gembira, sepasang matanya juga lembut dan ramah, akan tetapi sesuatu yang mencorong di dalam yang menunjukkan bahwa di balik muka yang kekanak-kanakan penuh senyum. Tubuh yang gendut seperti patung Ji-Lai-hud itu tersembunyi sesuatu yang dasyat dan amat kuat.
Memang Hek-Bin Hwesio yang mukanya hitam seperti pantat kuali ini seorang yang selalu ramah dan penuh senyum tawa, memandang dunia dan kehidupan manusia dari segi yang menggembirakan saja. Akan tetapi jangan dipandang rendah semua keramahan dan kelembutan itu karena hwesio tua ini sesungguhnya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dan lebih hebat dibandingkan dengan sutenya yang menjadi ketua Siauw-lim-pai. Mendengar keluhan sutenya, Hek-bin Hwesio tertawa, lalu membelalakkan matanya yang bundar itu, memandang sutenya.
"Sute, sebagai ketua Siauw-lim-pai, mengapa engkau membiarkan murid-muridmu menentang pemerintah? Bukanlah pemerintah pula yang telah bersikap baik dan murah hati kepada Siauw-lim-Si, membangun vihara ini dan bahkan memberi tanah yang luas?"
"Omitohud... tentu saja pin-ceng tidak akan melupakan itu... justeru karena itulah maka pin-ceng merasa prihatin dan hati menjadi resah suheng. Kami tidak menentang pemerintah, sama sekali tidak memusuhi pemerintah, kami cukup mengerti bahwa rencana pemerintah itu baik sekali. Menggali itu membangun terusan besar antara sungai Huang-ho dan Yang-ce memang amat besar manfaatnya, melancarkan lalu lintas perdagangan. Akan tetapi... pelaksanaannya itulah, Suheng! Pelaksanaannya menyimpang dari tujuannya yang baik. Bayangkan saja. Rakyat diperas tenaganya, dipaksa bekerja tanpa dibayar, bahkan menerima ransum yang sedikit sekali, tidak ada pengobatan dan tidak ada pertolongan kalau ada yang sakit. Entah berapa banyaknya rakyat yang mati, belum lagi keluarganya yang menjadi terlantar karena terpaksa ditinggalkan. Kami menentang perlakuan tidak adil itu, yang kami tentang adalah para pelaksana itu, orang-orang yang korup dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan sebesarnya, menari di atas mayat rakyat jelata, beruntung di atas ratap tangis rakyat! Bagaimana menurut pendapat Suheng?"
Senyum di wajah hitam itu melebar. “Sute sendiri tentu sudah tahu sejelasnya bahwa segala macam bentuk kekerasanlah tidak benar. Pelaksanaan kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak akan mungkin mendatangkan hasil yang penuh kedamaian. Sute sendiri tahu bahwa betapapun baiknya tujuan, kalau pelaksanaannya tidak benar maka jadinya pun pasti tidak benar. Nah, kalau sekarang tujuan Sute yang baik itu mendatangkan sejahtera dan damai dari kehidupan rakyat, dilaksanakan dengan kekerasan, dengan perkelahian, bagaima mungkin hasilnya akan baik?”
"Omitohud... apa yang dikatakan Suheng memang benar dan pinceng dapat melihat kebenaran itu. Akan tetapi, apakah kita harus tinggal diam saja melihat rakyat ditindas, ditekan, diperas dan dibunuh?"
"Siancai Siancai Siancai... Masih perlu berheran-herankah kita melihat semua peristiwa itu, Sute? Tidak ada yang perlu diherankan, tidak ada yang patut disesalkan, walaupun bukan berarti bahwa kita akan tinggal berpangku tangan dan bermasa bodoh saja. Manusia wajib berikhtiar, Sute, namun segala pelaksanaan dan ikhtiar itu sendiri harus berada di jalan benar, bukan dengan kekerasan dan permusuhan. Tidakkah sebaiknya kalau misalnya Sute mengajukan pelaporan kepada Istana agar Kaisar sendiri mengetahui betapa para pelaksana pekerjaan besar itu melakukan penyelewengan?"
Thian-cu Hwesio menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. "Belum kami coba, Suheng. Akan tetapi kiranya akan percuma saja. Pertama, tidak mungkin membuat laporan langsung kepada Kaisar tanpa melalui para pembesar dan Menteri, dan melalui mereka tentu akan sia-sia belaka dan tidak akan sampai ke telinga Kaisar. Kedua, andaikata dapat sampai kepada Kaisar sekalipun, apakah Kaisar tidak lebih percaya kepada laporan para pembesar daripada laporan kita? Sudahlah, Suheng. Kurasa sepak terjang para murid kami tidak keliru, yaitu secara langsung membela rakyat dari penindasan para petug yang korup itu. Sekarang, ada hal lain yang lebih memprihatinkan hati pin-ceng."
"Omitohud... Sute, kenapa engkau mengisi hidupmu dengan keluh kesah dan keprihatinan belaka? Lihatlah baik-baik Sute, bukankah segala hal itu telah terjadi karena kehendak Yang Maha Kuasa. Kenapa harus dibuat penasaran? Kita mengetahui bahwa segala sesuatu di permukaan dunia ini tidak akan terlepas daripada lingkaran roda Karma. Kewajiban kita bukanlah mengubah kenyataan melainkan menyadarkan manusia agar masing-masing dapat memperbaiki jalan hidupnya, karena hanya diri sendiri yang akan mampu memperbaiki karma masing masing. Diri sendiri yang menanam diri sendiri yang memelihara, dan diri sendiri yang akan menuainya kelak. Sudahlah, semuanya itu sudah Sute ketahui, tidak perlu kuulang lagi. Sekarang coba ceritakan apakah hal lain yang lebih memprihatinkan hatimu itu, Sute?"
Kembali ketua Siauw-lim-pai itu menarik napas panjang. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu keagamaan semua yang diucapkan suhengnya itu sudah dimengertinya dengan baik. Namun, dia pun tahu bahwa bagaimanapun juga, dia tidak akan dapat membebaskan diri dari semua kerepotan batin seperti halnya suhengnya. Suhengnya hidup sebatang kara, bebas lepas di udara seperti seekor burung, tidak ada ikatan sama sekali, baik lahir maupun batin. Maka, lebih mudah bagi suhengnya untuk bebas dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi dia?
Dia menjadi ketua Siauw-lim-pai biarpun dia mengusahakan agar batinnya bebas, bagaimana' dia dapat terbebas dari kewajiban sebagai ketua? Bagaimana mungkin dia diam saja mendengar laporan para muridnya? Tidak, dia adalah manusia biasa yang masih penuh ikatan! Dan dia tahu, selama ada ikatan, maka AKU-nya masih merajalela karena aku itulah yang terikat dan suka mengikatkan diri, dan selama ada ikatan ini pasti hidupnya akan selalu penuh dengan konflik, dengan kekhawatiran, kekecewaan, kekerasan dan kedukaan. Kembali dia menghela napas panjang. Nasib ini juga karmanya?
"Tidak lain adalah pertentangannya makin menjadi dengan para penganut Agama To, Suheng.”
"Omitohud... itu penyakit lama kambuh kembali namanya! Sungguh ini lebih aneh lagi. Jelas bahwa kita adalah orang-orang beragama yang selalu menjauhi kekerasan, permusuhan dan menghapus kebencian. Demikian pula para penganut Agama To, pin-ceng yakin bahwa mereka pun adalah manusia-manusia yang mencari jalan terang melalui agamanya, ingin memperbaiki diri sendiri dan orang lain agar menjadi manusia yang berbudi. Akan tetapi, bagaimana sekarang antara mereka dan kita dua kelompok beragama yang gandrung akan kedamaian dan kesejahteraan hidup manusia, kini bahkan bermusuhan dan mengobarkan pertentangan dan permusuhan antara mereka sendiri?"
"Sekali ini mereka keterlaluan sekali, Suheng. Melihat betapa pihak kita menentang para pelaksana penggalian terusan dan menentang kesewenang-wenangan para petugas korup itu, mereka sengaja membantu para petugas itu dan menentang kita, bahkan merekalah yang mengatakan bahwa kita memberontak terhadap pemerintah. Mereka itu agaknya sengaja mempergunakan pertentangan antara pihak Siauw-lim-pai dan para tugas pemerintah, untuk mengadu Domba dan memburukkan nama Siauw-lim-pai kepada pemerintah. Bukankah hal itu berbahaya sekali bagi kita?”
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar Tiga orang berkelebat memasuki ruangan itu. Mereka adalah tiga orang laki-laki yang gagah perkasa, murid-murid Siauw-lim-pai dan begitu tiba di ruangan pondok di mana dua orang hwesio tua itu bercakap-cakap, mereka segera menjatuhkan diri berlutut.
"Harap Suhu dan Supek (Uwa Guru) memaafkan teecu bertiga kalau teecu mengganggu Ji-wi Suhu."
Thian-cu Hwesio memandang kepada tiga orang muridnya itu dengan alis berkerut, lalu memandang ke luar. "Kenapa kalian sudah datang menghadap? Bukankah pertemuan akan dimulai setelah tengah hari? Sekarang masih terlalu pagi dan kalau para murid sudah datang berkumpul semua, silakan mereka menununggu di ruang pertemuan. Nanti tengah hari pinceng akan ke sana."
"Memang para Suheng sudah datang berkumpul, Suhu, dan mereka pun sudah menanti, akan tetapi mereka tahu bahwa Suhu baru datang membuka pertemuan setelah tengah hari. Akan tetapi teecu bertiga memberanikan diri menghadap bukan karena itu, melainkan untuk melaporkan bahwa di bawah bukit terjadi bentrokan besar antara banyak Suheng yang dipimpin oleh Susiok, menghadapi sekelompok to-su. Mula-mula hanya merupakan perkelahian antara dua orang saja, akan tetapi kawan-kawan mereka berdatangan sehingga akhirnya Susiok sendiri bersama beberapa orang Suheng pergi ke sana. Karena khawatir, maka teecu, setelah berunding dengan para suheng yang masih berada di sini, segera menghadap Suhu untuk memberi laporan."
"Omitohud...! Tosu-tosu itu sungguh tidak tahu diri!" kata Thian-cu Hwesio dengan marah dan dia mengepal tinju.
Melihat sikap sutenya ini. Hek-bin Hwesio tersenyum. “Sute, tenanglah dan sebaiknya kalau sute membuka saja persidangan dengan para murid Siauw-lim-pai itu dan biar pin-ceng yang akan turun dan melihat apa yang terjadi di sana."
Thian-cu Hwesio mengangguk dengan hati lega. Kalau suhengnya itu yang maju, dia tidak khawatir lagi. Suhengnya itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, dan dia tahu bahwa para to-su itu bukan orang-orang yang boleh dipandang ringan.
"Baiklah, Suheng. Harap Suheng dapat mengatasi keadaan di sana."
Hek-bin Hwesio lalu keluar dari pondok tempat tinggal ketua Siauw-lim itu dan setelah memperoleh keterangan di bagian mana para tosu itu bertempur melawan para murid Siauw-lim-pai, lalu berkelebat dan lenyap dari depan para murid Siauw-lim-pai yang memandang kagum...
“Bagaimana, Han Beng. Sanggupkah engkau?” Liu Bhok Ki mendesak sambil menatap tajam wajah muridnya yang menunduk.
“Teecu… Sanggup,” kata Han Beng yang tidak mempunyai pilihan lain. Betapun juga, tadinya dia mengira bahwa dia ditugaskan membunuh orang dan hal ini sungguh amat tidak disukainya, akan tetapi ternyata perintah gurunya itu bukan untuk membunuh, melainkan untuk menjatuhkan hati seorang wanita, hal yang sama sekali asing baginya, bahkan membayangkan bagaimana saja dia pun tidak mampu.
Girang sekali Liu Bhok Ki mendengar ini. Amat girang sehingga dia merangkul anak itu dengan air mata basah. “Han Beng, muridku yang baik, ketahuilah bahwa itu merupakan satu-satunya harapanku dalam hidup ini. Kalau aku melihat mereka menderita seperti yang pernah kurasakan, maka biar mati pun aku akan dapat memejamkan mata dengan hati tenang. Aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu, muridku, sebagai balas jasa atas usahamu menghancurkan mereka kelak.”
Demikianlah, mulai hari itu, Han Beng menerima gemblengan dari Liu Bhok Ki. Anak ini memang telah memiliki tenaga dashyat sebagai akibat minum darah ular itu, dan dengan bimbingan yang amat bijaksana dan ahli dari Liu Bhok Ki, dia akhirnya mampu menguasai tenaga dashyat itu dan mengendalikaannya sehingga kalau dia mengerahkan tenaga itu, ketika dia berusia lima belas tahun, gurunya sendiri tidak mampu menandingi kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang terkandung dalam tubuhnya!
Cemburu merupakan satu di antara nafsu-nafsu yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri dan orang-orang lain. Cemburu merupakan akibat daripada penonjolan si-AKU merasa dirugikan, dihina, miliknya, yaitu orang yang dicintainya, diambil orang-orang yang dicintainya, berpaling kepada orang lain. Si-AKU merasa diabaikan, merasa dikecilkan dan diremehkan maka timbullah cemburu yang disusul dengan kemarahan dan dendam kebencian!
Api cemburu bisa bernyala besar sekali dan membakar segalanya. Api cemburu dapat mendatangkan kebakaran dalam batin, dan kalau cemburu sudah beranakkan dendam kebencian, maka mata akan menjadi buta dan segala pertmbangan akan lumpuh. Yang ada hanya nafsu membalas, membikin sengsara orang yang dibencinya itu. kalau sudah begini, muncullah perbuatan-perbuatan yang kejam dan tidak berprikemanusian, perbuatan yang hanya merupakan pelampiasan nafsu amarah dan dendam kebencian.
Kepandaian, kekayaan besar, kedudukan tinggi, tidak akan melindungi manusia daripada nafsu-nafsu ini, bahkan seringkali kelebihan-kelebihan itu memperbesar nyala nafsu. Satu-satunya pemadam nafsu apa pun hanyalah kesadaran, kewaspadaan yang akan memungkinkan datangnya sinar cinta kasih dan kebijaksanaan.
Sadar dan waspada akan segala hal yang terjadi di dalam dan di luar lahir batin, waspada akan semua gerak-gerik lahir batin, gerakan jasmani, gerakan panca indera, gerakan hati dan pikiran. Tidak lengah sebentar pun sehingga apabila pikiran berceloteh lalu menghidupkan si-AKU yang semakin menjadi-jadi dan merajalela sehingga membangkitkan nafsu-nafsu, maka hal ini pun akan berada dalm pengamatan yang penuh kesadaran dan kewaspadaan.
********************
Pembuatan terusan besar yang menyambung dua sungai besar Huang-ho dan Yang-ce, makin lama semakin terasa berat bagi rakyat jelata. Karena pekerjaan besar itu membutuhkan tenaga manusia yang sebanyak-banyaknya dan juga membutuhkan biaya besar yang keluar dari kantung pemerintah, maka timbulah hal-hal yang meresahkan rakyat, mana ada banyak uang yang dipermainkan, tentu timbul kecurangan-kecurangan.
Para pembesar yang mendapat tugas mencari tenaga baru dan membayar tenaga itu setelah melihat kesempatan lalu timbul kecurangan mereka dan banyak sekali uang yang sebetulnya diperuntukkan para tenaga pembuat terusan masuk ke kantung para pembesar. Rakyat yang takut terhadap pemerintah mudah digertak. Hanya sebagian saja upah yang menjadi hak mereka itu di terima oleh para pekerja. Upahnya sudah dikebiri oleh para pejabat, dan yang kecil sampai yang besar.
Pembesar yang kecil mencatut sedikit, yang besar mencatut semakin banyak dan rakyat pekerja hanya menerima sisanya saja. Bahkan banyak pula yang tidak dibayar seperti kerja rodi. Namun, mereka itu hanya dapat menangis dan mengeluh tidak berani melawan. Mula-mula, yang menjadi pekerja paksa tanpa dibayar adalah orang-orang hukuman yang dimanfaatkan tenaganya. Akan tetapi, melihat lubang ini, para pembesar dan pengurus pekerjaan besar itu lalu mempergunakan akal mereka yang busuk, memperlakukan rakyat seperti orang hukuman, memaksa rakyat bekerja tanpa dibayar, dan uangnya masuk ke dalam kantung mereka sendiri.
Ratapan rakyat ini tidak terdengar oleh pemerintah, akan tetapi terdengar oleh para pendekar. Dan pada waktu Itu, para pendekar adalah mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan watak yang bersih, jujur, adil dan pemberani. Dan pusat dari ilmu silat, sebagian besar terletak di dalam biara-biara dan tempat-tempat pertapaan. Terutama sekali di kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat dari Siauw-Lim-pai, sumber para ahli silat tingkat tinggi.
Seringkali para murid Siauw-lim-pai yang sudah menjadi pendekar di luar kuil, datang berkumpul untuk berunding dengan para tokoh Siauw-lim-pai, membicarakan tentang kesengsaraan rakyat yang timbul karena adanya pembuatan terusan yang mempergunakan tenaga ratusan ribu orang itu.
Pusat dari perkumpulan Siauw-li pai ini berada di kuil Siauw-lim-si yang besar, selain menjadi pusat perguruan silat tinggi, juga menjadi pusat penyebaran Agama Buddha. Kuil Siauw-li atau Siauw-lim-si ini berdiri di Siong-san sebuah gunung yang tanahnya subur yang juga dikenal dengan nama Cong san. Siong-san bukanlah gunung yang besar dan bukan pula pegunungan yang luas seperti Min-san, Cin-ling-san, Kun-lun-san dan masih banyak lagi.
Akan tetapi biarpun tidak berapa besar, nama Siong-san menjadi amat terkenal karena adanya vihara atau kuil Siauw-lim yang besar itu. Terutama sekali di dunia persilatan, nama Siauw-lim-si amat terkenal, disegani dan ditakuti karena di situ menjadi sumber ahli-ahli silat yang menjadi pendekar-pendekar kenamaan.
Kuil yang megah itu dibangun oleh seorang pendeta Buddha yang datang datang dari India untuk menyebar pelajaran Agama Buddha, dan pada mulanya hanya merupakan vihara di mana orang-orang belajar keagamaan. Para calon pendeta, calon penyebar pelajaran agama, dididik di dalam vihara ini.
Oleh karena pada zaman itu (sekitar tahun 500) merupakain jaman yang belum teratur, apalagi dengan adanya perang saudara yang tiada henti-hentinya sejak jaman Sam-Kok (Tiga Negara) (Tahun 221-265), maka perkembangan Agama Buddha pun menglami gangguan dalam suasana yang ser¬ba kacau ini.
Kemudian, sekitar tahun 520, muncullah seorang pendeta dari India pula yang memiliki kesaktian tinggi. Berbeda dengan pendeta To yang menjadi pendiri vihara Siauw-lim dan yang hanya seorang ahli tentang agama, Tat-mo Couw-su, pendeta dari India yang baru datang ini, memiliki kesaktian yang hebat.
Apalagi ketika dalam perantauannya dari See-thian (India) ke Tiongkok dia banyak mengembara di Himalaya, bertemu dengan para pertapa yang tinggi ilmunya dan dia senantiasa memperdalam ilmu-ilmunya, maka ketika tiba di vihara Siauw-lim, dia merupakan seorang pendeta Buddha yang amat tinggi ilmu kesaktiannya. Banyak sekali kisah yang aneh-aneh diceritakan orang turun temurun, terutama yang datang dari para hwesio (pendeta Buddha) di kuil Siau lim tentang tokoh Tat-mo Couw-su ini.
Ada yang mengatakan bahwa ketika berada di vihara Siauw-lim itu. Tat-Couw-su pernah menggali sumur dengan hanya menggunakan kedua tangannya sampai ada air muncrat keluar! Ada pula yang mengatakan bahwa dia membuat ukir-ukiran di atas dinding batu mengunakan jari tangannya melukiskan gerakan orang bersilat dalam berbagai jurus.
Bahkan ada cerita bahwa dia bertapa di kuil itu selama sembilan tahun untuk memperdalam ilmu-ilmunya. dan tubuhnya tercetak di atas batu tempat dia duduk, juga punggungnya tercetak di dinding batu yang menjadi sandarannya. Pendeknya, banyak sekali dongeng tentang Tat-mo Couw-su ini yang mencereritakan tentang kesaktiannya yang seperti dewa!
Bagaimanapun juga, harus diakui berdasarkan sejarah yang ada bahwa Tat-mo-Couw-su inilah yang menjadi pelopor adanya ilmu silat di dalam kuil Siauw-lim, yang kemudian menjadi terkenal sekali, bahkan menjadi sumber banyak macam ilmu silat yang ada di daratan Tiongkok.
Pada waktu sebelum Tat-mo Couw-su datang ke kuil Siauw-lim, tentu saja tidak ada murid atau pendeta kuil Itu yang mempelajari ilmu silat. Mereka belalah penganut-penganut agama yang Imtuh dan Agama Buddha mengajarkan cinta kasih, menjauhi pertentangan, per¬musuhan, apalagi kekerasaan. Sedangkan Ilmu silat adalah ilmu berkelahi! Tentu taja tidak ada hwesio yang mau mempelajari ilmu untuk memukul orang itu!
Akan tetapi pada suatu hari, Tat-mo Couw-su melihat betapa para pendeta dan murid di kuil Siauw-lim itu bertubuh lemah dan karena kelemahan tubuh ini mereka menjadi malas dan tidak betah duduk bersamadhi, lebih suka bermalas-malasan dan tidur. Karena tubuh yang lemah ini banyak pula diantara mereka yang terkena penyakit, selain itu, juga pada jaman itu banyak terjadi kerusuhan dan para penjahat itu agaknya tidak memandang bulu ketika melakukan kejahatan yang mengandalkan kekerasan.
Bahkan beberapa kali ki diserbu dan dirampok, para hwesio dianiaya, bahkan ada pula yang sampai dibunuh. Dua hal ini menggerakkan hati Tat-mo, yaitu nama pendeta ini yang kemudian ditambah sebutan Couw (Guru Besar), untuk memberi latihan kepada para pendeta dan murid Siau lim agar tubuh mereka menjadi sehat dan kuat.
Mula-mula pendeta yang sakti menciptakan semacam ilmu olah raga yang kalau dilatih dapat menyehatkan tubuh, bahkan memperkuat batin. Ilmu ini yang kemudian terkenal dengan sebutan it-kin-keng, ilmu gerakan yang melenturkan otot-otot, membersikan darah dan memperkuat tulang-tulang. It-kin-keng dibagi menjadi delapan belas gerakan pokok. Manfaat ilmu ini setingkat atau bahkan lebih tinggi dari gerakan dalam Yoga.
Selain ilmu It-kin-keng, juga Tat-mo Couw-su menciptakan ilmu silat untuk para hwesio yang bertugas jaga untuk menjaga kuil dari gangguan orang-orang jahat. Ilmu silat ini diberi nama Cap-pwe Lo-han-kun, juga terdiri dari delapan belas jurus. Lo-han-kun atau Silat Arhad ini memang diperuntukkan para hwesio, selain untuk memperkuat tubuh juga untuk dapat di pakai membela diri dan melindungi keamanan Kuil.
Itulah permulaan ilmu silat yang diajarkan kepada para hwesio di kuil Siauw-lim. Kemudian, melihat kegunaan dari ilmu-ilmu itu, maka para cerdik pandai tokoh-tokoh keagamaan Buddha memperkembangkan ilmu silat itu dan mulailah ilmu silat Siauw-lim memegang peran penting di dunia persilatan.
Latihan-latihan yang dilakukan para murid di kuil Siauw-lim terkenal amat berat, namun justeru latihan berat inilah yang membuat ilmu silat Siauw-lim terkenal sebagai ilmu yang kokoh kuat, dan murid yang lulus dari perguruan ini miliki ilmu silat yang sudah matang dengan tenaga yang boleh diandalkan. Banyak tokoh bermunculan dan ilmu silat siauw-lim terus berkembang, semakin banyak macamnya dan para cerdik pandai tiada hentinya mengerahkan segala bakat dan kepandaian mereka untuk menciptakan jurus-jurus baru.
Pada Pada jaman pemerintah Kaisar Li Wu Ti (502-549), seorang Kaisar dinasti Liang yang menjadi penganut Agama Buddha yang patuh, mempunyai hubungan dekat dengan Siauw-lim-si. Lagi ketika terjadi banyak kerusuhan pemberontakan di sana-sini, kaisar ini minta bantuan para ahli silat dari Siau lim-pai. Pada waktu itu, sudah banyak pendekar lihai yang menjadi murid Siauw-lim-pai, dan para pendekar ini berhasil baik sekali dalam penumpasan para perusuh.
Kaisar Liang Wu Ti merasa gembira dan berterima kasih, maka kaisar itu lalu memperluas bangunan vihaha Siauw-lim. Makin majulah vihara itu dan semakin banyak muridnya. Usaha menyebarkan Agama Buddha juga berkembang dengan baik dan memperoleh kemajuan pesat seperti juga pengembangan pelajaran ilmu silatnya. Semua ini karena dukungan Kaisar Liang Wu Ti yang juga beragama Buddha.
Akan tetapi, pemberontakan besar meletus ketika wangsa Sui, dipimpin oleh Yang Cien menyerbu ke utara dan menghancurkan kekuasaan dinasti Liang. Dalam perang ini, pihak Siauw-lim-pai membantu Kaisar Liang Wu Ti. Oleh karena itu, ketika Dinasti Liang kalah, Dinasti Baru dari Wangsa Sui membasmi semua Vihara agama Buddha, juga Siauw-lim-Si ikut dimusnahkan Para murid dan pendekar Siauw-lim-pai yang berhasil meloloskan diri, lari cerai berai dan para liwesio lari bersembunyi atau bertapa di puncak-puncak gunung dan di tempat-tempat sunyi.
Akan tetapi karena para pendekar siauw-lim-pai itu di mana-mana telah menyebar perbuatan yang gagah perkasa dan baik, akhirnya Kaisar Yang Cien mau mengampuni mereka dan bahkan memperkenankan kembali vihara Sia lim-si dibangun. Sampai Kaisar Yang Cien diganti oleh puteranya, yaitu Kaisar Yang Ti, keadaan Siauw-lim-si tetap baik walaupun Kaisar Yang Ti lebih condong medekati para to-su (pendeta) dari Agama To (Taoism) daripada Agama Buddha.
Sudah sejak lama terjadi semacam permusuhan antara para tokoh Agama Buddha dan para tokoh Agama To. ini terjadi karena adanya semacam persaingan dan iri hati. Kalau kaisar pemerintahnya mendekati Agama Budda maka pihak para to-su merasa iri hati, sebaliknya kalau kaisar mendekati pa to-su, maka para hwesio yang merasa iri hati dan tidak senang.
Iri hati ada suatu penyakit batin yang timbul dan penonjolan dan pementingan si-AKU pula. Pikiran ini membentuk si-AKU dibesar-besarkan, dipentingkan sedemikian rupa sehingga kalau diabaikan timbul perasaan iri hati dan kecewa. Kita sudah sedemikian egois, setiap saat selalu mementingkan diri pribadi sehingga segala hal-hal yang menyenangkan dan baik hendak kita monopoli, sedapat mungkin segalanya itu diperuntukkan diri sendiri.
Bahkan Tuhan Yang Maha Adil pun, ingin kita monopoli agar keadilan-Nya hanya untuk kita, demi kepentingan dan kesenangan kita, demikian pula kasih sayang dari Yang Maha Kasih ingin kita monopoli. Karena setiap perorangan memiliki sikap mementingkan diri sendiri masing-masing, maka tidaklah mengherankan apabila dunia ini penuh dengan permusuhan pribadi, permusuhan antara keluarga, antara golongan, antar suku dan antar bangsa. Bertabrakanlah kepentingan masing-masing dan menimbulkan konflik.
Permusuhan selalu mendatangkan dendam. Ketika Siauw-Lim-si dimusuhi kaisar dan pemerintah, bukan hanya jagoan-jagoan istana dan para panglima saja yang menyerbu Siauw-lim-si, akan tetapi di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh dari kalangan Agama To, yaitu para to-su yang membantu pemerintah.
Oleh karena itu, ketika pemerintah condong mendekati para hwesio, giliran to-su yang dimusuhi! Dendam mendendam yang tiada habisnya agaknya sudah menjadi pakaian manusia. Hanya kita sendiri yang mampu menanggalkannya dari diri kita masing-masing.
Kini keadaan kembali berubah, lihat betapa pelaksanaan pembuatan terusan itu mengorbankan banyak rakyat jelata, membikin sengsara rakyat dengan adanya kerja-paksa yang dilakukan oleh pembesar-pembesar daerah, dengan penjilatan ke atas atau korupsi, banyak pendekar Siauw-lim-pai menjadi penasaran. Mulailah terjadi penentang penentangan dari pihak Siauw-lim-si.
Para pendekar Siauw-lim-pai bentrok dengan pelaksana pengumpul tenaga rakyat. Di mana-mana terjadi perkelahian antara para pelaksana yang mempunyai jagoan-jagoan dengan para pendekar Siauw-lim-pai. Tentu saja hal ini terdengar oleh para pejabat dan mulai timbul perasaan tidak senang kepada Siauw-Lim-si. Inilah kesempatan yang amat baik bagi saingan para hwesio, yaitu para tosu. Para tosu yang tadinya merasa tersisih melihat akrabnya hubungan antara para hwesio dan pemerintah, kini melihat kesempatan baik sekali untuk maju ke depan.
Mereka berusaha untuk memperlebar jurang pemisah antara pemerintah dan pihak Siauw-lim-si, ada yang menghasut dan banyak yang membantu pemerintah dalam menghadapi para pendakar Siauw-lim-pai. Campur tangan dari para tosu ini tentu saja memperhebat pertentangan para para hwesio dan pendekar Siauw-Lim-pai dengan pihak pemerintah sehingga seringkah terjadi perkelahian besar-besaran yang menjatuhkan korban cukup banyak, terutama dipihak pasukan pemerintah.
Hal ini terdengar oleh pihak atasan, Kaisar yang mendengar oleh berita laporan bahwa orang-orang Siauw-lim-pai menentang kebijaksanaan pemerintah untuk membangun terusan besar, bahkan menyerang para pelaksana pekerjaan besar itu, tentu saja menjadi marah dan Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menghukum Siauw-lim-pai, membasmi mereka yang memberontak dan mcmusnahkan vihara besar Siauw-lim-si yang dulu dibangun dengan bantuan istana juga.
Pihak Siauw-lim-pai maklum akan keadaan yang amat gawat itu dan pada pagi hari itu, para pimpinan Siauw-lim-pai berkumpul di vihara. Pagi yang sunyi dan penuh ketegangan karena para pendekar murid-murid Siauw-lim-pai yang berdatangan membawa berita yang tidak menggembirakan, Vihara Siauw-lim itu memang luas sekali. Dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti benteng. Pintu gerbang depan besar dan tebal, selalu dijaga oleh murid-murid vihara. Di bagian dalamnya yang luas terdapat bermacam bangunan, dan cukup banyak.
Pada waktu itu, para pendekar murid Siauw-lim-pai yang sudah hidup di bagian kuil dan berdatangan ke situ, berduyun-duyun naik ke bukit kecil di dalam kompleks vihara. Bukit kecil itu tidak berapa tinggi, akan tetapi di puncaknya terdapat sebuah bangunan mungil. Disinilah tinggalnya pimpinan tertinggi dari kuil Siauw-lim-si, bahkan menjadi tokoh tertinggi dari perguruan Siauw-lim-pai pada umumnya.
Pondok mungil itu ternyata tidak berkamar, merupakan ruangan yang luas dan terbuka. Dua orang hwesio tua nampak duduk di atas dipan bundar, bersila dan berhadapan. Mereka itu sudah tua. sedikitnya tentu sudah tujuh puluh tahun usia mereka. Yang seorang bertubuh tinggi kurus dengan jubah kuning, mukanya bersih seperti kepalanya, tanpa ada rambut sedikit pun. Wajahnya pun dan matanya banyak menunduk, akan tetapi terbayang ketegasan dalam sinar mata dan dalam tarikan garis-garis di tepi mulut, di dagu dan di tepi kedua matanya.
Dia adalah ketua Siauw-Im-pai pada waktu itu, seorang hwesio yang sudah pernah mempelajari keagamaan di India, dan di samping itu juga telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari siauw-lim-pai. Julukannya adalah Thian-cu Hwesio, dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin yang jujur, adil, dan tegas maka disegani oleh semua murid Siauw-lim-pai.
Karena sudah merasa tua dan lebih suka bersamadhi, maka selama hampir dua tahun ini Thian-cu Hweslo hampir tidak pernah mencampuri urusan di luar kuil. Dia hanya bersamadhi di dalam kamarnya dan baru keluar dari kamar kalau dia merasa perlu untuk memberi penerangan tentang pelajar agama kepada para muridnya, atau adakalanya kalau hatinya sedang gembira dia mengamati para murid yang berlatih silat di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan memberi petunjuk kepada beberapa orang murid yang melakukan gerakan yang kurang sempurna.
Akan tetapi, selama beberapa hari ini, Thian-cu Hwesio kedatangan seorang tamu, yaitu seorang hwesio yang sebaya dengan dia. Hwesio ini adalah kakak seperguruannya, juga seorang pendeta Buddha yang banyak melakuka perantauan untuk kepentingan penyebaran Agama Buddha. Hwesio ini, karena terlalu banyak hidup di luar, kulitnya sampai berubah menghitam dan julukannya berubah Hek-bin Hwesio (Pendeta Muka Hitam) karena mukanya memang hitam sekali terbakar sinar matahari ketika merantau sampai bertahun-tahun di padang pasir di utara.
Puluhan tahun lamanya dia memperdalam ilmu-ilmunya di India, Nepal dan di Himalaya, dan di tempat terakhir itulah dia bertemu dengan Thian-Cu Hwesio dan sama-sama belajar dan seorang pertapa yang sakti sehingga Hek-bin Hwesio terhitung su-heng (kakak seperguruan) dari ketua Siauw-lim-pai itu.
Bukan main gembira rasa hati Thian-Cu Hwesio menerima kunjungan suhengnya ini dan beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap, bukan saja tentang perkembangan Agama Buddha, melainkan juga tentang kekacauan di antara rakyat sehubungan dengan adanya paksaan terhadap rakyat untuk bekerja menggali terusan.
“Bagaimana hati pin-ceng tidak akan merasa resah, Suheng. Biarpun sudah lama pinceng tidak pernah keluar dari kuil, akan tetapi banyak laporan para murid yang menceritakan tentang kesengsaraan rakyat jelata dengan adanya usaha pemerintah menggali terusan besar antara Sungai Huang-ho dan Ya-ce itu. Mau tidak mau, para murid Siauw-Lim-pai harus melindungi rakyat jelata dan karenanya seringkali terjadi bentrokan dengan para petugas pemerintah yang melaksanakan pengumpulan tenaga rakyat itu. Bukan bentrokan kecil-kecilan, bahkan sampai terjadi pertempuran yang menjatuhkan korban di kedua pihak. Sungguh hal ini memprihatinkan hati pin-ceng, Suheng," kata Thian Hwesio yang mengeluh karena ada pertentangan itu.
Hwesio tamu itu bertubuh gendut dengan perut besar bulat, kepalanya yang gundul itu pun bundar dan licin, mulutnya selalu tersenyum lebar seperti orang yang selalu gembira, sepasang matanya juga lembut dan ramah, akan tetapi sesuatu yang mencorong di dalam yang menunjukkan bahwa di balik muka yang kekanak-kanakan penuh senyum. Tubuh yang gendut seperti patung Ji-Lai-hud itu tersembunyi sesuatu yang dasyat dan amat kuat.
Memang Hek-Bin Hwesio yang mukanya hitam seperti pantat kuali ini seorang yang selalu ramah dan penuh senyum tawa, memandang dunia dan kehidupan manusia dari segi yang menggembirakan saja. Akan tetapi jangan dipandang rendah semua keramahan dan kelembutan itu karena hwesio tua ini sesungguhnya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dan lebih hebat dibandingkan dengan sutenya yang menjadi ketua Siauw-lim-pai. Mendengar keluhan sutenya, Hek-bin Hwesio tertawa, lalu membelalakkan matanya yang bundar itu, memandang sutenya.
"Sute, sebagai ketua Siauw-lim-pai, mengapa engkau membiarkan murid-muridmu menentang pemerintah? Bukanlah pemerintah pula yang telah bersikap baik dan murah hati kepada Siauw-lim-Si, membangun vihara ini dan bahkan memberi tanah yang luas?"
"Omitohud... tentu saja pin-ceng tidak akan melupakan itu... justeru karena itulah maka pin-ceng merasa prihatin dan hati menjadi resah suheng. Kami tidak menentang pemerintah, sama sekali tidak memusuhi pemerintah, kami cukup mengerti bahwa rencana pemerintah itu baik sekali. Menggali itu membangun terusan besar antara sungai Huang-ho dan Yang-ce memang amat besar manfaatnya, melancarkan lalu lintas perdagangan. Akan tetapi... pelaksanaannya itulah, Suheng! Pelaksanaannya menyimpang dari tujuannya yang baik. Bayangkan saja. Rakyat diperas tenaganya, dipaksa bekerja tanpa dibayar, bahkan menerima ransum yang sedikit sekali, tidak ada pengobatan dan tidak ada pertolongan kalau ada yang sakit. Entah berapa banyaknya rakyat yang mati, belum lagi keluarganya yang menjadi terlantar karena terpaksa ditinggalkan. Kami menentang perlakuan tidak adil itu, yang kami tentang adalah para pelaksana itu, orang-orang yang korup dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan sebesarnya, menari di atas mayat rakyat jelata, beruntung di atas ratap tangis rakyat! Bagaimana menurut pendapat Suheng?"
Senyum di wajah hitam itu melebar. “Sute sendiri tentu sudah tahu sejelasnya bahwa segala macam bentuk kekerasanlah tidak benar. Pelaksanaan kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak akan mungkin mendatangkan hasil yang penuh kedamaian. Sute sendiri tahu bahwa betapapun baiknya tujuan, kalau pelaksanaannya tidak benar maka jadinya pun pasti tidak benar. Nah, kalau sekarang tujuan Sute yang baik itu mendatangkan sejahtera dan damai dari kehidupan rakyat, dilaksanakan dengan kekerasan, dengan perkelahian, bagaima mungkin hasilnya akan baik?”
"Omitohud... apa yang dikatakan Suheng memang benar dan pinceng dapat melihat kebenaran itu. Akan tetapi, apakah kita harus tinggal diam saja melihat rakyat ditindas, ditekan, diperas dan dibunuh?"
"Siancai Siancai Siancai... Masih perlu berheran-herankah kita melihat semua peristiwa itu, Sute? Tidak ada yang perlu diherankan, tidak ada yang patut disesalkan, walaupun bukan berarti bahwa kita akan tinggal berpangku tangan dan bermasa bodoh saja. Manusia wajib berikhtiar, Sute, namun segala pelaksanaan dan ikhtiar itu sendiri harus berada di jalan benar, bukan dengan kekerasan dan permusuhan. Tidakkah sebaiknya kalau misalnya Sute mengajukan pelaporan kepada Istana agar Kaisar sendiri mengetahui betapa para pelaksana pekerjaan besar itu melakukan penyelewengan?"
Thian-cu Hwesio menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. "Belum kami coba, Suheng. Akan tetapi kiranya akan percuma saja. Pertama, tidak mungkin membuat laporan langsung kepada Kaisar tanpa melalui para pembesar dan Menteri, dan melalui mereka tentu akan sia-sia belaka dan tidak akan sampai ke telinga Kaisar. Kedua, andaikata dapat sampai kepada Kaisar sekalipun, apakah Kaisar tidak lebih percaya kepada laporan para pembesar daripada laporan kita? Sudahlah, Suheng. Kurasa sepak terjang para murid kami tidak keliru, yaitu secara langsung membela rakyat dari penindasan para petug yang korup itu. Sekarang, ada hal lain yang lebih memprihatinkan hati pin-ceng."
"Omitohud... Sute, kenapa engkau mengisi hidupmu dengan keluh kesah dan keprihatinan belaka? Lihatlah baik-baik Sute, bukankah segala hal itu telah terjadi karena kehendak Yang Maha Kuasa. Kenapa harus dibuat penasaran? Kita mengetahui bahwa segala sesuatu di permukaan dunia ini tidak akan terlepas daripada lingkaran roda Karma. Kewajiban kita bukanlah mengubah kenyataan melainkan menyadarkan manusia agar masing-masing dapat memperbaiki jalan hidupnya, karena hanya diri sendiri yang akan mampu memperbaiki karma masing masing. Diri sendiri yang menanam diri sendiri yang memelihara, dan diri sendiri yang akan menuainya kelak. Sudahlah, semuanya itu sudah Sute ketahui, tidak perlu kuulang lagi. Sekarang coba ceritakan apakah hal lain yang lebih memprihatinkan hatimu itu, Sute?"
Kembali ketua Siauw-lim-pai itu menarik napas panjang. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu keagamaan semua yang diucapkan suhengnya itu sudah dimengertinya dengan baik. Namun, dia pun tahu bahwa bagaimanapun juga, dia tidak akan dapat membebaskan diri dari semua kerepotan batin seperti halnya suhengnya. Suhengnya hidup sebatang kara, bebas lepas di udara seperti seekor burung, tidak ada ikatan sama sekali, baik lahir maupun batin. Maka, lebih mudah bagi suhengnya untuk bebas dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi dia?
Dia menjadi ketua Siauw-lim-pai biarpun dia mengusahakan agar batinnya bebas, bagaimana' dia dapat terbebas dari kewajiban sebagai ketua? Bagaimana mungkin dia diam saja mendengar laporan para muridnya? Tidak, dia adalah manusia biasa yang masih penuh ikatan! Dan dia tahu, selama ada ikatan, maka AKU-nya masih merajalela karena aku itulah yang terikat dan suka mengikatkan diri, dan selama ada ikatan ini pasti hidupnya akan selalu penuh dengan konflik, dengan kekhawatiran, kekecewaan, kekerasan dan kedukaan. Kembali dia menghela napas panjang. Nasib ini juga karmanya?
"Tidak lain adalah pertentangannya makin menjadi dengan para penganut Agama To, Suheng.”
"Omitohud... itu penyakit lama kambuh kembali namanya! Sungguh ini lebih aneh lagi. Jelas bahwa kita adalah orang-orang beragama yang selalu menjauhi kekerasan, permusuhan dan menghapus kebencian. Demikian pula para penganut Agama To, pin-ceng yakin bahwa mereka pun adalah manusia-manusia yang mencari jalan terang melalui agamanya, ingin memperbaiki diri sendiri dan orang lain agar menjadi manusia yang berbudi. Akan tetapi, bagaimana sekarang antara mereka dan kita dua kelompok beragama yang gandrung akan kedamaian dan kesejahteraan hidup manusia, kini bahkan bermusuhan dan mengobarkan pertentangan dan permusuhan antara mereka sendiri?"
"Sekali ini mereka keterlaluan sekali, Suheng. Melihat betapa pihak kita menentang para pelaksana penggalian terusan dan menentang kesewenang-wenangan para petugas korup itu, mereka sengaja membantu para petugas itu dan menentang kita, bahkan merekalah yang mengatakan bahwa kita memberontak terhadap pemerintah. Mereka itu agaknya sengaja mempergunakan pertentangan antara pihak Siauw-lim-pai dan para tugas pemerintah, untuk mengadu Domba dan memburukkan nama Siauw-lim-pai kepada pemerintah. Bukankah hal itu berbahaya sekali bagi kita?”
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar Tiga orang berkelebat memasuki ruangan itu. Mereka adalah tiga orang laki-laki yang gagah perkasa, murid-murid Siauw-lim-pai dan begitu tiba di ruangan pondok di mana dua orang hwesio tua itu bercakap-cakap, mereka segera menjatuhkan diri berlutut.
"Harap Suhu dan Supek (Uwa Guru) memaafkan teecu bertiga kalau teecu mengganggu Ji-wi Suhu."
Thian-cu Hwesio memandang kepada tiga orang muridnya itu dengan alis berkerut, lalu memandang ke luar. "Kenapa kalian sudah datang menghadap? Bukankah pertemuan akan dimulai setelah tengah hari? Sekarang masih terlalu pagi dan kalau para murid sudah datang berkumpul semua, silakan mereka menununggu di ruang pertemuan. Nanti tengah hari pinceng akan ke sana."
"Memang para Suheng sudah datang berkumpul, Suhu, dan mereka pun sudah menanti, akan tetapi mereka tahu bahwa Suhu baru datang membuka pertemuan setelah tengah hari. Akan tetapi teecu bertiga memberanikan diri menghadap bukan karena itu, melainkan untuk melaporkan bahwa di bawah bukit terjadi bentrokan besar antara banyak Suheng yang dipimpin oleh Susiok, menghadapi sekelompok to-su. Mula-mula hanya merupakan perkelahian antara dua orang saja, akan tetapi kawan-kawan mereka berdatangan sehingga akhirnya Susiok sendiri bersama beberapa orang Suheng pergi ke sana. Karena khawatir, maka teecu, setelah berunding dengan para suheng yang masih berada di sini, segera menghadap Suhu untuk memberi laporan."
"Omitohud...! Tosu-tosu itu sungguh tidak tahu diri!" kata Thian-cu Hwesio dengan marah dan dia mengepal tinju.
Melihat sikap sutenya ini. Hek-bin Hwesio tersenyum. “Sute, tenanglah dan sebaiknya kalau sute membuka saja persidangan dengan para murid Siauw-lim-pai itu dan biar pin-ceng yang akan turun dan melihat apa yang terjadi di sana."
Thian-cu Hwesio mengangguk dengan hati lega. Kalau suhengnya itu yang maju, dia tidak khawatir lagi. Suhengnya itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, dan dia tahu bahwa para to-su itu bukan orang-orang yang boleh dipandang ringan.
"Baiklah, Suheng. Harap Suheng dapat mengatasi keadaan di sana."
Hek-bin Hwesio lalu keluar dari pondok tempat tinggal ketua Siauw-lim itu dan setelah memperoleh keterangan di bagian mana para tosu itu bertempur melawan para murid Siauw-lim-pai, lalu berkelebat dan lenyap dari depan para murid Siauw-lim-pai yang memandang kagum...