Thian-cu Hwesio mengerutkan alisnya. Dia tahu siapa yang dimaksudkan oleh panglima itu. Tentu para murid Siauw-lim-pai yang berdatangan tadi. Agaknya panglima itu telah mempunyai mata-mata yang melapor akan kedatangan para murid Siauw-lim-pai dari situ.
"Ciong Ciangkun, pinceng tidak lihat adanya seorang pun pemberontak di kuil ini. Ciangkun mendapatkan keterangan palsu. Tidak ada pemberontak di dalam kuil kami!"
"Bohong! Harap engkau tidak membela para pemberontak itu, Lo-suhu kalau kau ingin melihat vihara ini selamat!"
"Pinceng tidak berbohong, Ciangkun Memang tidak ada seorang pun pemberontak di dalam kuil ini!"
Ciong Ciangkun terbelalak. Hwesio tua itu tidak mungkin berbohong, pikirnya. Dia mengenal benar Thian-cu Hwesio dan yakin bahwa ketua Siauw-lim-pai itu tidak mungkin bicara bohong, maka dia pun menoleh kepada seseorang yang ikut dengan rombongan, perwira masuk. Orang ini bukan seorang perwira, melainkan seorang yang berpakaian seperti pendeta, seorang tosu! Ketika melihat perwira tinggi itu memandang kepadanya, orang itu lalu maju kedepan, suaranya lantang ketika telunjuknya menuding kearah Thian-cu Hwesio.
"Thian-cu Hwesio, sungguh tidak pantas sekali engkau, sebagai seorang ketua yang berkedudukan tinggi, masih hendak melindungi kaum pemberontak dan bicara bohong! Pinto melihat dengan mata kepala sendiri bahwa para pemberontak itu memasuki kuil sejak pagi tadi, dan engkau berani mengatakan bahwa di dalam kuil tidak ada pemberontak?”
Thian-cu Hwesio memandang kepada Tosu itu dan sinar matanya seperti mencorong. "Omitohud... kiranya ada ularnya di bawah rumput! To-tiang, siapapun juga adanya engkau, pinceng jelaskan sekali lagi bahwa di dalam kuil ini tidak pemberontak dan tidak ada penjilat!"
Wajah tosu itu berubah merah karena dia merasa disindir dengan sebutan penjilat. "Siancai...! Sungguh seorang Hwesio yang sudah tua akan tetapi, pandai berdusta. Thian-cu Hwesio, kalau memang engkau tidak berbohong, beranikah engkau bersumpah bahwa di dalam kuil ini tidak ada pemberontak bersembunyi?"
"Ucapan seorang hwesio tidak pernah berbohong. Tidak perlu bersumpah akan tetapi pinceng menyatakan sekali lagi bahwa di dalam kuil ini tidak seorang pun pemberontak!"
"Thian-cu Hwesio!" Tosu itu kini berseru marah. "Siauw-lim-pai sungguh tidak mengenal budi! Dibaiki oleh pemerintah malah kini menentang pemerintah. Begitukah pelajaran agamamu? Tidak mengenal budi orang?"
“Totiang, dengarlah baik-baik. Dalam pelajaran kami, tidak ada sebutan hutang budi! Kalau ada murid kami yang menentang, jelas bahwa yang ditentangnya itu adalah orang-orang yang tidak benar! Siapa pun dia, biar yang pernah melepas budi sekalipun, kalau bertindak jahat tentu akan ditentang oleh murid-murid kami. Seorang yang berhutang budi lalu membantu penolongnya itu melakukan kejahatan, jelas bukan orang baik, hanya seorang penjilat yang berbahaya. Kami tidak biasa begitu! Kami tidak ingin melibatkan diri dalam karma dengan hutang piutang budi dan dendam!"
"Ciong Ciangkun, sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi dengan pendeta tua yang pandai berbohong ini. Lebih baik lakukan penggeledahan ke dalam kuil. Pinto yakin mereka berada di dalam. Kalau sampai pinto berbohong dan mereka berada di dalam, kepala pinto menjadi penggantinya!"
Mendengar ucapan tosu itu, Ciong Ciangkun kembali bersemangat. Dia pun melangkah maju dan dengan nada mengancam dia berkata kepada Thian-cu Hwesio, "Lo-suhu, sekali lagi kuperingatkan kepadamu agar menyerahkan para pemberontak itu baik-baik kepadaku. Engkau dengarlah, Lo-suhu. Lihat ini, datang atas nama pemerintah, atas nama Kaisar! Aku telah mendapat perintah untuk menangkap para pemberontak! Aku datang bukan atas namaku sendiri, melainkan sebagai wakil pemerintah, wakil yang menjunjung perintah Kaisar sendiri!"
Dia memperlihatkan leng-ho (bendera perintah kaisar) kepada Thian-cu Hwesio yang diam-diam menjadi tekejut sekali. Kalau kaisar yang memberi perintah, berarti hancurlah Siauw-lim-si! Akan tetapi, bagaimana mungkin menyerahkan para murid Siauw-lim sebagai pemberontak? Dan dia tidak pernah berbohong. Dalam pandangan para murid itu bukan pemberontak! Mereka menentang para petugas yang menindas rakyat, bukan berarti memberontak kepada pemerintah untuk menggulingkan Kaisar dan merampas kedudukan! Biarpun wajahnya berubah pucat dan dia cepat memberi hormat kepada bendera tanda kekuasaan yang diberikan Kaisar itu, dia menggeleng kepala.
"Maaf, Ciong Ciangkun, di dalam kuil ini tidak ada pemberontaknya, tidak ada seorang pun pemberontak di antara kami!"
Tosu itu tiba-tiba berteriak. "Hwesoi tua, jangan mengelabuhi kami! Para pemberontak itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang datang pagi hari tadi dan kini berada di dalam kuil! Hayo katakan bahwa tidak ada murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan hwesio di dalam kuil!"
Tosu ini memang cerdik dan dia mengerti mengapa ketua Siauw-lim-pai yang tidak pernah berbohong itu berani berkukuh mengatakan bahwa tidak ada pemberontak di dalam kuil. Tentu saja, ketua itu tidak menganggap para murridnya pemberontak maka dia berani berkata demikian.
Kini Thian-cu Hwesio yang menundukkan mukanya. "Omitohud... tentu saja ada murid-murid kami di dalam kuil, akan tetapi mereka bukan pemberontak."
Ciong Ciangkun juga baru menyadari, maka dia pun melangkah maju lagi makin dekat. "Losuhu, minggirlah biarkan kami masuk untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan!" Dan memberi isyarat ke belakang dan masuklah pasukannya ke dalam sehingga memenuhi pekarangan depan dan bagian depan serambi itu, mereka siap dengan senjata mereka.
Tahulah Thian-cu Hwesio bahwa saat terakhir telah tiba di mana dia harus mengambil keputusan, yaitu menyerahkan para muridnya untuk ditangkap sebagai pemberontak, atau mempertahankan kehormatan Siauw-lim-pai yang hendak dilanggar. Kini Ciong Ciangkun para pembantunya sudah bergerak melangkah maju, agaknya hendak memaksa memasuki kuil.
"Tahan !" bentak Thian-cu Hwesio.
Ciong Ciangkun menghentikan langkahnya, lalu membentak, "Thian-cu Hwesio, apakah engkau hendak melawan utusan Kaisar dan menjadi pemberontak pula?”
Wajah Thian-cu Hwesio kini menjadi merah sekali, matanya mencorong ketika dia berkata, "Ciong Ciangkun, engkau tentu tahu bahwa pinceng dan seluruh murid Siauw-lim-pai bukanlah pemberontak. Kalau andaikata ada di antara Murid pinceng yang melawan petugas pemerintah, itu bukan berarti melawan pemerintah, melainkan karena Si petugas yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan mengandalkan kekuasaan yang ada padanya! Memang ada murid-murid Siauw-lim-pai yang berada dalam kuil, akan tetapi sama sekali bukan pemberontak. Vihara kami adalah tempat ibadah yang suci, tidak dapat di masuki sembarang orang saja. Oleh karena itu, sesuai dengan peraturan vihara pinceng melarang siapapun juga untuk memasukinya."
"Thian-cu Hwesio, ingat, kami adalah petugas yang mewakili pemerintah, membawa perintah Kaisar! Kami akan menggeledah ke dalam kuil!"
“Maaf, pinceng melarangnya!" kata Thian-cu Hwesio.
"Bagus! Itu namanya pemberontak. Kalau kami memaksa masuk, engkau akan menyerang kami?"
Para murid Siauw-lim-pai sudah loncatan dan berbaris melintang, menutup jalan masuk dan sikap mereka sudah jelas. Mereka akan mempertahankan vihara mereka mati-matian, kalau perlu dengan pertumpahan darah, tetapi Thian-cu Hwesio membentak lima muridnya.
"Kalian mundur!"
Mendengar bentakan ini, para murid terkejut terpaksa mereka mundur, walaupun mereka merasa penasaran mengapa ketua mereka menahan mereka dan menyatakan mundur. Bukankah sudah jelas bahwa panglima kerajaan itu mempunyai buruk terhadap Siauw-lim-pai?
Dengan sikap tenang, Thian-cu Hwesio menghadapi para perwira itu, lalu berkata kepada seorang murid dibelakang "Ambilkan seguci minyak bakar!"
Biarpun murid itu merasa heran tidak mengerti, namun dia cepat mentaati perintah gurunya dan tak lama kemudian, Thian-cu Hwesio menerima guci minyak itu. Tanpa ragu lagi, dia menyiramkan minyak ke atas kepalanya sehingga minyak membasahi seluruh tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.
"Ciong Ciangkun, pin-ceng bukan pemberontak, juga semua murid Siauw-lim-Si bukan pemberontak. Biarpun pemerintah telah membantu kami dengan pembangunan kuil ini, namun seluruh vihara ini adalah milik kami dan menjadi hak kami. Oleh karena itu, sekali lagi pin-ceng minta agar Ciangkun dan semua pasukan meninggalkan tempat ini, dan Pin-ceng akan menghadap Sribaginda Kaisar di kotaraja untuk menerima keputusan beliau. Akan tetapi kalau Ciangkun berkeras hendak melanggar hak kami dan memasuki vihara, apalagi menangkap murid-murid Siauw-lim-pai, terpaksa kami melarangnya."
"Kami membawa surat perintah, membawa kekuasaan dari Kaisar! Biarpun kalian melarang, kami akan tetap masuk dan menangkapi para pemberontak!" kata Ciong Ciangkun.
"Kalau begitu, pinceng akan membakar diri untuk memprotes tindakan Ciangkun, dan untuk menyatakan bahwa kami sungguh bukan pemberontak."
"Ha, silakan!" kata Ciong Ciangkun sudah marah karena dia merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu pemberontak dan menentang kebijaksai pemerintah membuat terusan yang merupakan pekerjaan besar dan penting itu.
Thian-cu Hwesio berseru lirih, "Omitohud..." lalu mulutnya berkemak-kemik membaca doa dan tongkatnya dia pukulkan dengan kerasnya ke atas lantai depan kakinya. Pukulan itu sedemikian kerasnya sehingga mengeluarkan bara api yang menyambar kaki pendeta yang basah oleh minyak bakar. Seketika api bernyala dan dengan cepatnya lidah api menjilat ke atas dan berkobar-kobar.
"Suhuuuuu!" Beberapa orang mirid kepala Siauw-lim-pai terkejut dan berloncatan ke depan untuk menyelamatkan guru mereka, akan tetapi Thian Hwesio yang masih berdiri tegak berseru dengan suara nyaring.
"Berhenti! Biarkan pinceng menjadi korban demi kebersihan nama Siauw-Lim-Si. Akan tetapi ingat pesan pinceng. Para Murid Siauw-lim-pai selamanya bukanlah pemberontak-pemberontak, melainkan para Pendekar yang selalu menentang kejahatan menjadi pelindung rakyat tertindas!" Setelah berkata demikian, Thian-cu Hwehio roboh dan tubuhnya terus terbakar sampai hangus.
Sementara itu,Ciong Ciangkun sudah memberi aba-aba Kepada pasukannya untuk menyerbu kedalam. Melihat ini, para murid Siauw-Lim-pai berloncatan menghadang. "Ha, jadi kalian benar hendak melawan dan memberontak?" bentak perwira itu.
“Tidak, kami mempertahankan hak kami!"
Ciong Ciangkun memberi isyarat dan pasukannya lalu menyerang, disambut oleh para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah pertempuran yang hebat di ruangan depan vihara Siauw-lim-si. Disaksikan api yang masih bernyala-nyala membakar tubuh Thian-cu Hwesio, para murid Siauw-lim-pai mengamuk.
Juga murid bukan pendeta yang tadi bersembunyi di dalam, ketika mendengar bahwa guru mereka membakar diri' kini pasukan menyerbu dan bertempur melawan para saudara mereka yang ada diluar, kini berlarian keluar terjun kedalam medan pertempuran sehingga pertempuran menjadi semakin sengit.
Seorang di antara para murid kepala yang bukan hwesio itu bernama Lie Koan-Tek, seorang pendekar gagah perkasa berasal dari Hok-kian. Dia memiliki pandaian tinggi karena sudah menguasai semua ilmu dari Siauw-lim-pai dan merupakan seorang di antara para pendekar yang membela rakyat yang di paksa untuk bekerja rodi di proyek penggalian terusan, bahkan oleh para murid Siauw-lim-pai lainnya dia dianggap seorang suheng yang dipercaya kepemimpinannya.
Sejak tadi, Lie Koan Tek yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu mengintai ke luar dan dia lihat semua yang telah terjadi. Karena itu, begitu dia dan teman-temannya menyerbu keluar, dia lalu menerjang orang yang agaknya menjadi mata-mata pasukan pemerintah. Dengan geramnya dia menyerang tosu itu dengan senjatanya yang, tadinya melilit pinggangnya, yaitu sebatang rantai baja.
Tosu kurus kering yang giginya ompongg di bagian depannya itu adalah Cun-bin Tosu, seorang tosu yang memang di¬gunakan oleh para tosu yang memu¬suhi Siauw-lim-si untuk menjadi mata-mata Ciong Ciangkun. Melihat seorang pria gagah perkasa menyerangnya dengan rantai baja, Cun Bin Tosu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menyambut dengan pedangnya.
"Tranggg!" Bunga api berpijar ketika rantai bertemu pedang, dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Namun Lie Koan Tek menyerang terus dengan semakin dahsyat sehingga terpaksa tosu itu pun memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang sangat sengit antara kedua orang ini.
Ciong Ciangkun sendiri sudah memimpin para perwira pembantunya yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, untuk menyerang para murid Siauw-li pai, dibantu oleh pasukan mereka sehingga tempat itu menjadi hiruk pik uk oleh pertempuran, sementara api masih bernyala membakar tubuh Thian-cu Hwesio.
Para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, oleh karena itu, Ciong Ciangkun dan kawan-kawannya merasa kewalahan. Apala karena mereka tidak mungkin dapat mengerahkan seluruh pasukan mereka yang masih berada di luar. Tempat di serambi depan itu terlalu sempit untuk suatu pertempuran terbuka di mana lima ratus orang pasukan itu dapat terjun semua.
Kini, yang terjun dalam pertempuran itu tidak lebih dari dua ratus orang pasukan saja, menghadapi kurang lebih enam puluh orang murid Siau-lim-pai. Murid-murid Siauw-lim ini, lihai, apalagi barisan Lo-han-dengan toya ditangan mereka merupakan barisan silat yang amat tangguh. Mulailah anggauta pasukan berjatuhan terluka atau tewas oleh senjata di tangan para murid Siauw-lim-pai.
Perkelahian antara Lie Koan Tek melawan Cun Bin Tosu berjalan amat seru. Tidak ada anggauta pasukan yang membantu tosu itu. Hal ini tidaklah aneh. Para anggauta pasukan tentu saja hanya membantu para perwira, dan tosu itu tidak mereka kenal, maka mereka tidak mau membantunya. Maka, perkelahian antara Lie Koan Tek dan Cun Bin Tosu berjalan seru tanpa pengeroyokan, satu lawan satu.
Cun Bin Tosu terdesak hebat dan biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, tetap saja gulungan sinar rantai baja di tangan Lie Koan Tek mendesak dan menghimpitnya sehingga tosu itu terpaksa main mundur dan hanya dapat memutar pedang untuk menangkis dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran kedua ujung rantai baja di tangan lawannya.
"Singgggg!" Tosu itu mencoba untuk membalas ketika mendapatkan kesempatan. Pedangnya meluncur dan menyambar kearah tenggorokan lawan dengan tusukan kilat yang kuat dan cepat Lie Koan Tek miringkan tubuh menggeser kaki menjauh, rantai bajanya menyambar seperti ular ke arah pedang dan berhasil melibat pedang itu dengan ujung Rantai. Cun Bin Tosu terkejut dan barusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Lie Koan Tek untuk menendang kakinya ke arah lutut kaki kiri lawan.
"Dukkk!" Tubuh tosu itu terjungkal. Dia terpaksa melepaskan pedangnya yang masih dilibat ujung rantai, lalu bergulingan menjauh. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, rantai itu melepaskan pedang dari libatannya dan pedang meluncur ke arah tubuh yang bergulingan.
"Ceppp!" Pedang menancap, memasuki lambung sampai hampir tembus, tewaslah Cun Bin Tosu.
Melihat betapa pasukannya tidak mampu mendesak lawan, dan banyak anggauta pasukan yang roboh, sedangkan para pembantunya juga terdesak dan ada yang menderita luka-luka, terpaksa Ciong Ciangkun memberi aba-aba agar pasukannya mundur. Dia sendiri mengajak para pembantunya untuk melarikan diri ke luar dari pekarangan vihara itu, masuk ke dalam pasukan yang masih menjaga di luar.
Para Murid Siauw-lim-pai tidak berani mengejar karena jumlah pasukan yang berada di luar banyak sekali, sedangkan jumlah mereka yang kurang lebih enam puluh orang itu kini sudah berkurang, karena ada beberapa orang murid yang terluka, bahkan ada yang tewas, dalam pertempuran itu, walaupun jumlah lawan yang luka atau tewas lebih banyak lagi. Mereka lalu mengurus jenazah Thian-cu Hwesio yang sudah menjadi arang, juga mengurus suadara-saudara yang tewas, dan merawat mereka yang terluka sambil bersiap-siap.
Ciong Ciangkun tidak tinggal diam. Dia mundur hanya untuk mengatur siasat. Dia tahu betapa lihainya orang-orang Siauw-lim-pai. Kalau dia menyerbu dalam, akan sukar dapat mengalahkan para pendekar itu. Bertempur secara kucing-kucingan begitu tidak akan menang, karena dia tidak dapat mengerahkan pasukan untuk mengeroyok seperti kalau bertempur di tempat terbuka. Jalan satu-satunya adalah memancing murid Siauw-lim-pai itu keluar dari Vihara mereka, atau memaksa mereka keluar! Dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan api!
"Siapkan barisan panah berapi!" teriaknya. Para pembantunya segera mereka persiapkan barisan panah berapi. Setelah mengatur pasukannya, Ciong Ciangkun yang merupakan seorang ahli siasat perang itu lalu mengadakan penyerbuan. Sekali ini, yang menyerbu vihara adalah anak-anak panah dan diantaranya banyak anak panah berapi. Sementara itu, pasukannya mengepung vihara luar.
Siasatnya itu berhasil dengan baik. Sebentar saja vihara itu terbakar! Tentu saja para murid Siauw-lim-pai tidak mungkin dapat tinggal terus di dalam vihara. Mereka juga berusaha memadamkan kebakaran-kebakaran itu, namun mereka kalah cepat oleh api yang mulai berkobar besar di segala jurusan. Para murid itu menjadi kacau balau dan terpaksa berlarian keluar untuk menyelamatkan diri. Setiba mereka di luar, mereka disambut oleh pasukan pemerintah yang mengeroyok mereka!
Kini terjadilah pertempuran mati-matan. Para murid Siauw-lim-pai itu kini membela diri untuk mempertahankan hidup mereka. Akan tetapi jumlah Musuh terlalu banyak, dan hati para murid Siauw-lim-pai ini sudah terlampau jeri sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi nekat untuk bertempur sampai mati!
Ketika Hek-bin Hwesio dan Pek I Lojin yang mendahului para hwesio dan tosu yang berlarian ke kuil Siauw-lim-mereka berdua bertemu dengan Lie Koan Tek dan lima orang sutenya. Enam orang murid utama Siauw-lim-pai ini keadaan luka-luka dan mereka segera menjatuhkan diri berlutut ketika mereka melihat Hek-bin Hwesio yang mereka tahu adalah suheng dan juga sahabat dari mendiang Thian-cu Hwesio.
"Lo-cian-pwe, malapetaka menimpa Siauw-lim-si" kata Lie Koan Tek dengan keringat bercucuran bercampur mata dan darah dari luka di lehernya.
Hek-bin Hwesio mengangkat muka memandang ke puncak bukit. Api berkobar besar di puncak sana dan dia dapat menduga apa yang terjadi. "Omitohud, vihara Siauw-li terbakar? Apa yang telah terjadi?"
"Vihara diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya, dikepalai Ciong Ciangkun yang ditemani seorang tosu yang melaporkan bahwa kami adalah pemberontak-pemberontak!" Bekata demikian, Lie Koan Tek memandang kepada Pek I Tojin dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Siancai... siancai...!” Pek Ilojin hanya merangkap kedua tangan didepan dada.
Melihat sikap murid utama Sia-lim--pai itu, Hek-bin Hwesio segera berkata, "Jangan membenci para tosu, orang muda yang gagah. Baru saja pertikaian antara para hwesio dan para tosu sudah dapat dilerai dan didamaikan, berkat Kebijaksanaan Pek I Tojin ini. Segala permusuhan antara kedua pihak mulai sekarang harus dilenyapkan...”
“Akan tetapi, Lo-cian-pwe, kebakaran Siauw-lim-pai akibat serbuan pasukan pemerintah adalah karena hasutan mereka itu..."
"Andaikata benar demikian, kalian tidak boleh lalu memusuhi semua tosu! kesalahan seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membenci semua golongannya. Itu tidak adil namanya. Kesalahan seseorang adalah tanggung jawab orang itu sendiri, bukan tanggung jawabnya, atau golongannya, atau sukunya, atau bangsanya. Kau lihat, itu para saudaramu dan Susiokmu datang bersama dengan para tosu yang hendak membantu Vihara Siauw-lim-si!"
Rombongan Thian Gi Hwesio bersama para muridnya dan para tosu yang tadinya menjadi musuh, datang ke tempat itu.
"Lie Koan Tek, apa yang terjadi Kenapa vihara kita terbakar dan di mana Suheng Thian-cu Hwesio?" tanya Thian Gi Hwesio dengan muka pucat.
"Celaka, Susiok" Lie Koan Tek dan lima orang sutenya menangis. "Vihar dibakar, kami diserbu pasukan yang dipimpin Ciong Ciangkun, dan Suhu... Suhu telah tewas membakar diri...”
Lie Koan Tek dengan suara sedih lalu menceritakan semua yang terjadi, dan m nutup ceritanya dengan suara lirih. “...hanya teecu berenam yang sempat lolos agaknya semua... semua saudara telah tewas..."
"Omitohud!" Thian Gi Hwesio tebelalak, mukanya pucat sekali dan dia pun roboh pingsan!
Setelah Thian Gi Hwesio sadar, Lie Koan Tek lalu menceritakan tentang pingsan terakhir Thian-cu Hwesio bahwa semua murid Siauw-lim-pai tidak boleh memberontak, karena mereka adalah pendekar-pendekar yang menentang kejahaatan dan membela rakyat jelata yang terrtindas.
"Omitohud, betapa bijaksana mendiang Thian-cu Hwesio. Pinceng girang mendengar kebijaksanaannya itu di saat terakhir hidupnya. Sesungguhnyalah, bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur, sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dan apa pun yang terjadi, semua itu sudah menurut garisnya yang benar,baik dan sempurna, walaupun akal budi kadang-kadang mengherankan semua itu. Jalan pikiran dan akal budi kita sama sekali tidak mampu untuk menjenguk inti dari arti yang paling meneluri dari setiap persoalan. Kita haya melihat kulitnya saja, luarnya saja dan kadang-kadang merasa betapa janggal dan tidak adilnya peristiwa yang terjadi. Kalau kita mampu menerima segala sesuatu, mengembalikan kepada kebijaksanaan dan kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka tidak ada permasalahan apa pun juga," kata Hek-bin Hwesio.
"Siancai" Apa yang dikatakan oleh sahabatku Hek-bin Hwesio memang tepat sekali. Kewajiban kita manusia hidup hanyalah berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan kekotoran dari diri lahir batin, namun segala keputusan berada di tangan Yang Maha Kuasa. Yang sudah mati biarlah mati, akan tetapi yang hidup berkewajiban untuk melanjutkan hidup ini melalui jalan benar. Vihara yang sudah musnah dapat saja sekali waktu dibangun kembali, permusuhan yang pernah terjadi dapat saja dilenyapkan dan diganti perdamaian. Tidak perlu ada dendam yang hanya akan meracuni batin kita dan mendatangkan kekeruhan saja,” kata Pek I Tojin.
Apa yang diucapkan kedua orang sakti ini memang benar. Jalan kehidupan kita ini penuh liku-liku, penuh perubahan dan kadang-kadang terjadi hal-hal yang menimpa diri kita yang kelihatan amat janggal, amat sukar dimengerti sebab-sebabnya. Jalan yang ditempuh oleh Tuhan sungguh penuh rahasia, gaib, kadang-kadang begitu jauhnya tak terjangkau oleh alam pikiran dan akal kita.
Ada kalanya terjadi peristiwa yang menurut pertimbangan dan perhitungan akal kita, nampak janggal, bahkan nampak tidak adil! Akal pikiran kita melihat betapa seseorang yang kita anggap jahat dan patut dikutuk, bahkan hidup penuh kemuliaan, berkedudukan tinggi, terhormat, kaya raya, sehat dan selamat.
Sebaliknya, akal pikiran kita melihat betapa seseorang yang kita anggap baik dan patut dipuji, hidupnya serba kekurangan dan sengsara, tertindas, terhina, miskin dan papa! Kita melihat pembesar yang hidupnya penuh korupsi, makmur dan nampak senang, sebaliknya pembesar yang hidupnya jujur dan adil, nampak hidup serba kekurangan dan sama sekali tidak makmur.
Kita melihat orang yang kita nilai baik hidup berpenyakitan sebaliknya orang yang kita lihat dan kita nilai buruk dan kotor, hidup sehat! Apalagi biasanya kita menilai diri kita ini sudah cukup baiik, sudah cukup mentaati hukum agama, sudah cukup berusaha menjadi orang yang baik, akan tetapi kita merasa betapa hidup kita selalu sengsara! ini menimbulkan kekecewaan dan penasaran!
Kita lupa bahwa jalan pikiran hanyalah mendasarkan semua itu dengan nilai kebendaan, nilai kesenangan nafsu badani yang hanya sementara sifatnya. Kita tidak tahu bahwa di dalam batin orang yang kelihatan kaya raya dan senang, belum tentu berbahaya sebaliknya di dalam batin seorang petani miskin, belum tentu sengsara. Pikiran kita hanya merupakan gudang pengetahuan dan pengalaman.
Pikiran akalnya tidak mungkin dapat menjangkau dan mengerti jalan yang diambil Tuhan. Kita tidak mempunyai kekuasaan apa pun atas diri kita sendiri sekalipun. Jalan satu-satunya hanyalah menyerahkan segalanya kepada-Nya. Apapun yang kehendaki-Nya, pasti baik dan benar, walaupun bagi akal pikiran kita kadang-kadang dianggap buruk dan salah.
Hanya orang yang mampu menerima segala suatu sebagai kehendak Tuhan, menerima segala apa sebagai suatu kenyataan yang wajar, sebagai apa adanya, tanpa keluhan, tanpa protes, tanpa penasaran atau kekecewaan, hanya orang seperti inlah yang dapat tersentuh sinar Kasih, dan dapat merasakan apa yang kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan!
Sisa-sisa murid Siauw-lim-pai terpaksa melarikan diri ceral-berai, menyadari hidup masing-masing. Siauw-lim-telah terbakar habis, rata dengan tanah,namun semangat kependekaran para muridnya masih tetap utuh dan dimana pun mereka berada, mereka selalu mengulurkan tangan untuk membela kaum lemah tertindas, dan menentang perbuatan jahat dalam bentuk apa pun dan dilakukan oleh siapapun...
"Ciong Ciangkun, pinceng tidak lihat adanya seorang pun pemberontak di kuil ini. Ciangkun mendapatkan keterangan palsu. Tidak ada pemberontak di dalam kuil kami!"
"Bohong! Harap engkau tidak membela para pemberontak itu, Lo-suhu kalau kau ingin melihat vihara ini selamat!"
"Pinceng tidak berbohong, Ciangkun Memang tidak ada seorang pun pemberontak di dalam kuil ini!"
Ciong Ciangkun terbelalak. Hwesio tua itu tidak mungkin berbohong, pikirnya. Dia mengenal benar Thian-cu Hwesio dan yakin bahwa ketua Siauw-lim-pai itu tidak mungkin bicara bohong, maka dia pun menoleh kepada seseorang yang ikut dengan rombongan, perwira masuk. Orang ini bukan seorang perwira, melainkan seorang yang berpakaian seperti pendeta, seorang tosu! Ketika melihat perwira tinggi itu memandang kepadanya, orang itu lalu maju kedepan, suaranya lantang ketika telunjuknya menuding kearah Thian-cu Hwesio.
"Thian-cu Hwesio, sungguh tidak pantas sekali engkau, sebagai seorang ketua yang berkedudukan tinggi, masih hendak melindungi kaum pemberontak dan bicara bohong! Pinto melihat dengan mata kepala sendiri bahwa para pemberontak itu memasuki kuil sejak pagi tadi, dan engkau berani mengatakan bahwa di dalam kuil tidak ada pemberontak?”
Thian-cu Hwesio memandang kepada Tosu itu dan sinar matanya seperti mencorong. "Omitohud... kiranya ada ularnya di bawah rumput! To-tiang, siapapun juga adanya engkau, pinceng jelaskan sekali lagi bahwa di dalam kuil ini tidak pemberontak dan tidak ada penjilat!"
Wajah tosu itu berubah merah karena dia merasa disindir dengan sebutan penjilat. "Siancai...! Sungguh seorang Hwesio yang sudah tua akan tetapi, pandai berdusta. Thian-cu Hwesio, kalau memang engkau tidak berbohong, beranikah engkau bersumpah bahwa di dalam kuil ini tidak ada pemberontak bersembunyi?"
"Ucapan seorang hwesio tidak pernah berbohong. Tidak perlu bersumpah akan tetapi pinceng menyatakan sekali lagi bahwa di dalam kuil ini tidak seorang pun pemberontak!"
"Thian-cu Hwesio!" Tosu itu kini berseru marah. "Siauw-lim-pai sungguh tidak mengenal budi! Dibaiki oleh pemerintah malah kini menentang pemerintah. Begitukah pelajaran agamamu? Tidak mengenal budi orang?"
“Totiang, dengarlah baik-baik. Dalam pelajaran kami, tidak ada sebutan hutang budi! Kalau ada murid kami yang menentang, jelas bahwa yang ditentangnya itu adalah orang-orang yang tidak benar! Siapa pun dia, biar yang pernah melepas budi sekalipun, kalau bertindak jahat tentu akan ditentang oleh murid-murid kami. Seorang yang berhutang budi lalu membantu penolongnya itu melakukan kejahatan, jelas bukan orang baik, hanya seorang penjilat yang berbahaya. Kami tidak biasa begitu! Kami tidak ingin melibatkan diri dalam karma dengan hutang piutang budi dan dendam!"
"Ciong Ciangkun, sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi dengan pendeta tua yang pandai berbohong ini. Lebih baik lakukan penggeledahan ke dalam kuil. Pinto yakin mereka berada di dalam. Kalau sampai pinto berbohong dan mereka berada di dalam, kepala pinto menjadi penggantinya!"
Mendengar ucapan tosu itu, Ciong Ciangkun kembali bersemangat. Dia pun melangkah maju dan dengan nada mengancam dia berkata kepada Thian-cu Hwesio, "Lo-suhu, sekali lagi kuperingatkan kepadamu agar menyerahkan para pemberontak itu baik-baik kepadaku. Engkau dengarlah, Lo-suhu. Lihat ini, datang atas nama pemerintah, atas nama Kaisar! Aku telah mendapat perintah untuk menangkap para pemberontak! Aku datang bukan atas namaku sendiri, melainkan sebagai wakil pemerintah, wakil yang menjunjung perintah Kaisar sendiri!"
Dia memperlihatkan leng-ho (bendera perintah kaisar) kepada Thian-cu Hwesio yang diam-diam menjadi tekejut sekali. Kalau kaisar yang memberi perintah, berarti hancurlah Siauw-lim-si! Akan tetapi, bagaimana mungkin menyerahkan para murid Siauw-lim sebagai pemberontak? Dan dia tidak pernah berbohong. Dalam pandangan para murid itu bukan pemberontak! Mereka menentang para petugas yang menindas rakyat, bukan berarti memberontak kepada pemerintah untuk menggulingkan Kaisar dan merampas kedudukan! Biarpun wajahnya berubah pucat dan dia cepat memberi hormat kepada bendera tanda kekuasaan yang diberikan Kaisar itu, dia menggeleng kepala.
"Maaf, Ciong Ciangkun, di dalam kuil ini tidak ada pemberontaknya, tidak ada seorang pun pemberontak di antara kami!"
Tosu itu tiba-tiba berteriak. "Hwesoi tua, jangan mengelabuhi kami! Para pemberontak itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang datang pagi hari tadi dan kini berada di dalam kuil! Hayo katakan bahwa tidak ada murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan hwesio di dalam kuil!"
Tosu ini memang cerdik dan dia mengerti mengapa ketua Siauw-lim-pai yang tidak pernah berbohong itu berani berkukuh mengatakan bahwa tidak ada pemberontak di dalam kuil. Tentu saja, ketua itu tidak menganggap para murridnya pemberontak maka dia berani berkata demikian.
Kini Thian-cu Hwesio yang menundukkan mukanya. "Omitohud... tentu saja ada murid-murid kami di dalam kuil, akan tetapi mereka bukan pemberontak."
Ciong Ciangkun juga baru menyadari, maka dia pun melangkah maju lagi makin dekat. "Losuhu, minggirlah biarkan kami masuk untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan!" Dan memberi isyarat ke belakang dan masuklah pasukannya ke dalam sehingga memenuhi pekarangan depan dan bagian depan serambi itu, mereka siap dengan senjata mereka.
Tahulah Thian-cu Hwesio bahwa saat terakhir telah tiba di mana dia harus mengambil keputusan, yaitu menyerahkan para muridnya untuk ditangkap sebagai pemberontak, atau mempertahankan kehormatan Siauw-lim-pai yang hendak dilanggar. Kini Ciong Ciangkun para pembantunya sudah bergerak melangkah maju, agaknya hendak memaksa memasuki kuil.
"Tahan !" bentak Thian-cu Hwesio.
Ciong Ciangkun menghentikan langkahnya, lalu membentak, "Thian-cu Hwesio, apakah engkau hendak melawan utusan Kaisar dan menjadi pemberontak pula?”
Wajah Thian-cu Hwesio kini menjadi merah sekali, matanya mencorong ketika dia berkata, "Ciong Ciangkun, engkau tentu tahu bahwa pinceng dan seluruh murid Siauw-lim-pai bukanlah pemberontak. Kalau andaikata ada di antara Murid pinceng yang melawan petugas pemerintah, itu bukan berarti melawan pemerintah, melainkan karena Si petugas yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan mengandalkan kekuasaan yang ada padanya! Memang ada murid-murid Siauw-lim-pai yang berada dalam kuil, akan tetapi sama sekali bukan pemberontak. Vihara kami adalah tempat ibadah yang suci, tidak dapat di masuki sembarang orang saja. Oleh karena itu, sesuai dengan peraturan vihara pinceng melarang siapapun juga untuk memasukinya."
"Thian-cu Hwesio, ingat, kami adalah petugas yang mewakili pemerintah, membawa perintah Kaisar! Kami akan menggeledah ke dalam kuil!"
“Maaf, pinceng melarangnya!" kata Thian-cu Hwesio.
"Bagus! Itu namanya pemberontak. Kalau kami memaksa masuk, engkau akan menyerang kami?"
Para murid Siauw-lim-pai sudah loncatan dan berbaris melintang, menutup jalan masuk dan sikap mereka sudah jelas. Mereka akan mempertahankan vihara mereka mati-matian, kalau perlu dengan pertumpahan darah, tetapi Thian-cu Hwesio membentak lima muridnya.
"Kalian mundur!"
Mendengar bentakan ini, para murid terkejut terpaksa mereka mundur, walaupun mereka merasa penasaran mengapa ketua mereka menahan mereka dan menyatakan mundur. Bukankah sudah jelas bahwa panglima kerajaan itu mempunyai buruk terhadap Siauw-lim-pai?
Dengan sikap tenang, Thian-cu Hwesio menghadapi para perwira itu, lalu berkata kepada seorang murid dibelakang "Ambilkan seguci minyak bakar!"
Biarpun murid itu merasa heran tidak mengerti, namun dia cepat mentaati perintah gurunya dan tak lama kemudian, Thian-cu Hwesio menerima guci minyak itu. Tanpa ragu lagi, dia menyiramkan minyak ke atas kepalanya sehingga minyak membasahi seluruh tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.
"Ciong Ciangkun, pin-ceng bukan pemberontak, juga semua murid Siauw-lim-Si bukan pemberontak. Biarpun pemerintah telah membantu kami dengan pembangunan kuil ini, namun seluruh vihara ini adalah milik kami dan menjadi hak kami. Oleh karena itu, sekali lagi pin-ceng minta agar Ciangkun dan semua pasukan meninggalkan tempat ini, dan Pin-ceng akan menghadap Sribaginda Kaisar di kotaraja untuk menerima keputusan beliau. Akan tetapi kalau Ciangkun berkeras hendak melanggar hak kami dan memasuki vihara, apalagi menangkap murid-murid Siauw-lim-pai, terpaksa kami melarangnya."
"Kami membawa surat perintah, membawa kekuasaan dari Kaisar! Biarpun kalian melarang, kami akan tetap masuk dan menangkapi para pemberontak!" kata Ciong Ciangkun.
"Kalau begitu, pinceng akan membakar diri untuk memprotes tindakan Ciangkun, dan untuk menyatakan bahwa kami sungguh bukan pemberontak."
"Ha, silakan!" kata Ciong Ciangkun sudah marah karena dia merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu pemberontak dan menentang kebijaksai pemerintah membuat terusan yang merupakan pekerjaan besar dan penting itu.
Thian-cu Hwesio berseru lirih, "Omitohud..." lalu mulutnya berkemak-kemik membaca doa dan tongkatnya dia pukulkan dengan kerasnya ke atas lantai depan kakinya. Pukulan itu sedemikian kerasnya sehingga mengeluarkan bara api yang menyambar kaki pendeta yang basah oleh minyak bakar. Seketika api bernyala dan dengan cepatnya lidah api menjilat ke atas dan berkobar-kobar.
"Suhuuuuu!" Beberapa orang mirid kepala Siauw-lim-pai terkejut dan berloncatan ke depan untuk menyelamatkan guru mereka, akan tetapi Thian Hwesio yang masih berdiri tegak berseru dengan suara nyaring.
"Berhenti! Biarkan pinceng menjadi korban demi kebersihan nama Siauw-Lim-Si. Akan tetapi ingat pesan pinceng. Para Murid Siauw-lim-pai selamanya bukanlah pemberontak-pemberontak, melainkan para Pendekar yang selalu menentang kejahatan menjadi pelindung rakyat tertindas!" Setelah berkata demikian, Thian-cu Hwehio roboh dan tubuhnya terus terbakar sampai hangus.
Sementara itu,Ciong Ciangkun sudah memberi aba-aba Kepada pasukannya untuk menyerbu kedalam. Melihat ini, para murid Siauw-Lim-pai berloncatan menghadang. "Ha, jadi kalian benar hendak melawan dan memberontak?" bentak perwira itu.
“Tidak, kami mempertahankan hak kami!"
Ciong Ciangkun memberi isyarat dan pasukannya lalu menyerang, disambut oleh para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah pertempuran yang hebat di ruangan depan vihara Siauw-lim-si. Disaksikan api yang masih bernyala-nyala membakar tubuh Thian-cu Hwesio, para murid Siauw-lim-pai mengamuk.
Juga murid bukan pendeta yang tadi bersembunyi di dalam, ketika mendengar bahwa guru mereka membakar diri' kini pasukan menyerbu dan bertempur melawan para saudara mereka yang ada diluar, kini berlarian keluar terjun kedalam medan pertempuran sehingga pertempuran menjadi semakin sengit.
Seorang di antara para murid kepala yang bukan hwesio itu bernama Lie Koan-Tek, seorang pendekar gagah perkasa berasal dari Hok-kian. Dia memiliki pandaian tinggi karena sudah menguasai semua ilmu dari Siauw-lim-pai dan merupakan seorang di antara para pendekar yang membela rakyat yang di paksa untuk bekerja rodi di proyek penggalian terusan, bahkan oleh para murid Siauw-lim-pai lainnya dia dianggap seorang suheng yang dipercaya kepemimpinannya.
Sejak tadi, Lie Koan Tek yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu mengintai ke luar dan dia lihat semua yang telah terjadi. Karena itu, begitu dia dan teman-temannya menyerbu keluar, dia lalu menerjang orang yang agaknya menjadi mata-mata pasukan pemerintah. Dengan geramnya dia menyerang tosu itu dengan senjatanya yang, tadinya melilit pinggangnya, yaitu sebatang rantai baja.
Tosu kurus kering yang giginya ompongg di bagian depannya itu adalah Cun-bin Tosu, seorang tosu yang memang di¬gunakan oleh para tosu yang memu¬suhi Siauw-lim-si untuk menjadi mata-mata Ciong Ciangkun. Melihat seorang pria gagah perkasa menyerangnya dengan rantai baja, Cun Bin Tosu yang juga memiliki kepandaian tinggi itu menyambut dengan pedangnya.
"Tranggg!" Bunga api berpijar ketika rantai bertemu pedang, dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Namun Lie Koan Tek menyerang terus dengan semakin dahsyat sehingga terpaksa tosu itu pun memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang sangat sengit antara kedua orang ini.
Ciong Ciangkun sendiri sudah memimpin para perwira pembantunya yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, untuk menyerang para murid Siauw-li pai, dibantu oleh pasukan mereka sehingga tempat itu menjadi hiruk pik uk oleh pertempuran, sementara api masih bernyala membakar tubuh Thian-cu Hwesio.
Para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, oleh karena itu, Ciong Ciangkun dan kawan-kawannya merasa kewalahan. Apala karena mereka tidak mungkin dapat mengerahkan seluruh pasukan mereka yang masih berada di luar. Tempat di serambi depan itu terlalu sempit untuk suatu pertempuran terbuka di mana lima ratus orang pasukan itu dapat terjun semua.
Kini, yang terjun dalam pertempuran itu tidak lebih dari dua ratus orang pasukan saja, menghadapi kurang lebih enam puluh orang murid Siau-lim-pai. Murid-murid Siauw-lim ini, lihai, apalagi barisan Lo-han-dengan toya ditangan mereka merupakan barisan silat yang amat tangguh. Mulailah anggauta pasukan berjatuhan terluka atau tewas oleh senjata di tangan para murid Siauw-lim-pai.
Perkelahian antara Lie Koan Tek melawan Cun Bin Tosu berjalan amat seru. Tidak ada anggauta pasukan yang membantu tosu itu. Hal ini tidaklah aneh. Para anggauta pasukan tentu saja hanya membantu para perwira, dan tosu itu tidak mereka kenal, maka mereka tidak mau membantunya. Maka, perkelahian antara Lie Koan Tek dan Cun Bin Tosu berjalan seru tanpa pengeroyokan, satu lawan satu.
Cun Bin Tosu terdesak hebat dan biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, tetap saja gulungan sinar rantai baja di tangan Lie Koan Tek mendesak dan menghimpitnya sehingga tosu itu terpaksa main mundur dan hanya dapat memutar pedang untuk menangkis dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran kedua ujung rantai baja di tangan lawannya.
"Singgggg!" Tosu itu mencoba untuk membalas ketika mendapatkan kesempatan. Pedangnya meluncur dan menyambar kearah tenggorokan lawan dengan tusukan kilat yang kuat dan cepat Lie Koan Tek miringkan tubuh menggeser kaki menjauh, rantai bajanya menyambar seperti ular ke arah pedang dan berhasil melibat pedang itu dengan ujung Rantai. Cun Bin Tosu terkejut dan barusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Lie Koan Tek untuk menendang kakinya ke arah lutut kaki kiri lawan.
"Dukkk!" Tubuh tosu itu terjungkal. Dia terpaksa melepaskan pedangnya yang masih dilibat ujung rantai, lalu bergulingan menjauh. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, rantai itu melepaskan pedang dari libatannya dan pedang meluncur ke arah tubuh yang bergulingan.
"Ceppp!" Pedang menancap, memasuki lambung sampai hampir tembus, tewaslah Cun Bin Tosu.
Melihat betapa pasukannya tidak mampu mendesak lawan, dan banyak anggauta pasukan yang roboh, sedangkan para pembantunya juga terdesak dan ada yang menderita luka-luka, terpaksa Ciong Ciangkun memberi aba-aba agar pasukannya mundur. Dia sendiri mengajak para pembantunya untuk melarikan diri ke luar dari pekarangan vihara itu, masuk ke dalam pasukan yang masih menjaga di luar.
Para Murid Siauw-lim-pai tidak berani mengejar karena jumlah pasukan yang berada di luar banyak sekali, sedangkan jumlah mereka yang kurang lebih enam puluh orang itu kini sudah berkurang, karena ada beberapa orang murid yang terluka, bahkan ada yang tewas, dalam pertempuran itu, walaupun jumlah lawan yang luka atau tewas lebih banyak lagi. Mereka lalu mengurus jenazah Thian-cu Hwesio yang sudah menjadi arang, juga mengurus suadara-saudara yang tewas, dan merawat mereka yang terluka sambil bersiap-siap.
Ciong Ciangkun tidak tinggal diam. Dia mundur hanya untuk mengatur siasat. Dia tahu betapa lihainya orang-orang Siauw-lim-pai. Kalau dia menyerbu dalam, akan sukar dapat mengalahkan para pendekar itu. Bertempur secara kucing-kucingan begitu tidak akan menang, karena dia tidak dapat mengerahkan pasukan untuk mengeroyok seperti kalau bertempur di tempat terbuka. Jalan satu-satunya adalah memancing murid Siauw-lim-pai itu keluar dari Vihara mereka, atau memaksa mereka keluar! Dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan api!
"Siapkan barisan panah berapi!" teriaknya. Para pembantunya segera mereka persiapkan barisan panah berapi. Setelah mengatur pasukannya, Ciong Ciangkun yang merupakan seorang ahli siasat perang itu lalu mengadakan penyerbuan. Sekali ini, yang menyerbu vihara adalah anak-anak panah dan diantaranya banyak anak panah berapi. Sementara itu, pasukannya mengepung vihara luar.
Siasatnya itu berhasil dengan baik. Sebentar saja vihara itu terbakar! Tentu saja para murid Siauw-lim-pai tidak mungkin dapat tinggal terus di dalam vihara. Mereka juga berusaha memadamkan kebakaran-kebakaran itu, namun mereka kalah cepat oleh api yang mulai berkobar besar di segala jurusan. Para murid itu menjadi kacau balau dan terpaksa berlarian keluar untuk menyelamatkan diri. Setiba mereka di luar, mereka disambut oleh pasukan pemerintah yang mengeroyok mereka!
Kini terjadilah pertempuran mati-matan. Para murid Siauw-lim-pai itu kini membela diri untuk mempertahankan hidup mereka. Akan tetapi jumlah Musuh terlalu banyak, dan hati para murid Siauw-lim-pai ini sudah terlampau jeri sehingga kebanyakan di antara mereka menjadi nekat untuk bertempur sampai mati!
Ketika Hek-bin Hwesio dan Pek I Lojin yang mendahului para hwesio dan tosu yang berlarian ke kuil Siauw-lim-mereka berdua bertemu dengan Lie Koan Tek dan lima orang sutenya. Enam orang murid utama Siauw-lim-pai ini keadaan luka-luka dan mereka segera menjatuhkan diri berlutut ketika mereka melihat Hek-bin Hwesio yang mereka tahu adalah suheng dan juga sahabat dari mendiang Thian-cu Hwesio.
"Lo-cian-pwe, malapetaka menimpa Siauw-lim-si" kata Lie Koan Tek dengan keringat bercucuran bercampur mata dan darah dari luka di lehernya.
Hek-bin Hwesio mengangkat muka memandang ke puncak bukit. Api berkobar besar di puncak sana dan dia dapat menduga apa yang terjadi. "Omitohud, vihara Siauw-li terbakar? Apa yang telah terjadi?"
"Vihara diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya, dikepalai Ciong Ciangkun yang ditemani seorang tosu yang melaporkan bahwa kami adalah pemberontak-pemberontak!" Bekata demikian, Lie Koan Tek memandang kepada Pek I Tojin dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Siancai... siancai...!” Pek Ilojin hanya merangkap kedua tangan didepan dada.
Melihat sikap murid utama Sia-lim--pai itu, Hek-bin Hwesio segera berkata, "Jangan membenci para tosu, orang muda yang gagah. Baru saja pertikaian antara para hwesio dan para tosu sudah dapat dilerai dan didamaikan, berkat Kebijaksanaan Pek I Tojin ini. Segala permusuhan antara kedua pihak mulai sekarang harus dilenyapkan...”
“Akan tetapi, Lo-cian-pwe, kebakaran Siauw-lim-pai akibat serbuan pasukan pemerintah adalah karena hasutan mereka itu..."
"Andaikata benar demikian, kalian tidak boleh lalu memusuhi semua tosu! kesalahan seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membenci semua golongannya. Itu tidak adil namanya. Kesalahan seseorang adalah tanggung jawab orang itu sendiri, bukan tanggung jawabnya, atau golongannya, atau sukunya, atau bangsanya. Kau lihat, itu para saudaramu dan Susiokmu datang bersama dengan para tosu yang hendak membantu Vihara Siauw-lim-si!"
Rombongan Thian Gi Hwesio bersama para muridnya dan para tosu yang tadinya menjadi musuh, datang ke tempat itu.
"Lie Koan Tek, apa yang terjadi Kenapa vihara kita terbakar dan di mana Suheng Thian-cu Hwesio?" tanya Thian Gi Hwesio dengan muka pucat.
"Celaka, Susiok" Lie Koan Tek dan lima orang sutenya menangis. "Vihar dibakar, kami diserbu pasukan yang dipimpin Ciong Ciangkun, dan Suhu... Suhu telah tewas membakar diri...”
Lie Koan Tek dengan suara sedih lalu menceritakan semua yang terjadi, dan m nutup ceritanya dengan suara lirih. “...hanya teecu berenam yang sempat lolos agaknya semua... semua saudara telah tewas..."
"Omitohud!" Thian Gi Hwesio tebelalak, mukanya pucat sekali dan dia pun roboh pingsan!
Setelah Thian Gi Hwesio sadar, Lie Koan Tek lalu menceritakan tentang pingsan terakhir Thian-cu Hwesio bahwa semua murid Siauw-lim-pai tidak boleh memberontak, karena mereka adalah pendekar-pendekar yang menentang kejahaatan dan membela rakyat jelata yang terrtindas.
"Omitohud, betapa bijaksana mendiang Thian-cu Hwesio. Pinceng girang mendengar kebijaksanaannya itu di saat terakhir hidupnya. Sesungguhnyalah, bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur, sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dan apa pun yang terjadi, semua itu sudah menurut garisnya yang benar,baik dan sempurna, walaupun akal budi kadang-kadang mengherankan semua itu. Jalan pikiran dan akal budi kita sama sekali tidak mampu untuk menjenguk inti dari arti yang paling meneluri dari setiap persoalan. Kita haya melihat kulitnya saja, luarnya saja dan kadang-kadang merasa betapa janggal dan tidak adilnya peristiwa yang terjadi. Kalau kita mampu menerima segala sesuatu, mengembalikan kepada kebijaksanaan dan kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka tidak ada permasalahan apa pun juga," kata Hek-bin Hwesio.
"Siancai" Apa yang dikatakan oleh sahabatku Hek-bin Hwesio memang tepat sekali. Kewajiban kita manusia hidup hanyalah berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan kekotoran dari diri lahir batin, namun segala keputusan berada di tangan Yang Maha Kuasa. Yang sudah mati biarlah mati, akan tetapi yang hidup berkewajiban untuk melanjutkan hidup ini melalui jalan benar. Vihara yang sudah musnah dapat saja sekali waktu dibangun kembali, permusuhan yang pernah terjadi dapat saja dilenyapkan dan diganti perdamaian. Tidak perlu ada dendam yang hanya akan meracuni batin kita dan mendatangkan kekeruhan saja,” kata Pek I Tojin.
********************
Apa yang diucapkan kedua orang sakti ini memang benar. Jalan kehidupan kita ini penuh liku-liku, penuh perubahan dan kadang-kadang terjadi hal-hal yang menimpa diri kita yang kelihatan amat janggal, amat sukar dimengerti sebab-sebabnya. Jalan yang ditempuh oleh Tuhan sungguh penuh rahasia, gaib, kadang-kadang begitu jauhnya tak terjangkau oleh alam pikiran dan akal kita.
Ada kalanya terjadi peristiwa yang menurut pertimbangan dan perhitungan akal kita, nampak janggal, bahkan nampak tidak adil! Akal pikiran kita melihat betapa seseorang yang kita anggap jahat dan patut dikutuk, bahkan hidup penuh kemuliaan, berkedudukan tinggi, terhormat, kaya raya, sehat dan selamat.
Sebaliknya, akal pikiran kita melihat betapa seseorang yang kita anggap baik dan patut dipuji, hidupnya serba kekurangan dan sengsara, tertindas, terhina, miskin dan papa! Kita melihat pembesar yang hidupnya penuh korupsi, makmur dan nampak senang, sebaliknya pembesar yang hidupnya jujur dan adil, nampak hidup serba kekurangan dan sama sekali tidak makmur.
Kita melihat orang yang kita nilai baik hidup berpenyakitan sebaliknya orang yang kita lihat dan kita nilai buruk dan kotor, hidup sehat! Apalagi biasanya kita menilai diri kita ini sudah cukup baiik, sudah cukup mentaati hukum agama, sudah cukup berusaha menjadi orang yang baik, akan tetapi kita merasa betapa hidup kita selalu sengsara! ini menimbulkan kekecewaan dan penasaran!
Kita lupa bahwa jalan pikiran hanyalah mendasarkan semua itu dengan nilai kebendaan, nilai kesenangan nafsu badani yang hanya sementara sifatnya. Kita tidak tahu bahwa di dalam batin orang yang kelihatan kaya raya dan senang, belum tentu berbahaya sebaliknya di dalam batin seorang petani miskin, belum tentu sengsara. Pikiran kita hanya merupakan gudang pengetahuan dan pengalaman.
Pikiran akalnya tidak mungkin dapat menjangkau dan mengerti jalan yang diambil Tuhan. Kita tidak mempunyai kekuasaan apa pun atas diri kita sendiri sekalipun. Jalan satu-satunya hanyalah menyerahkan segalanya kepada-Nya. Apapun yang kehendaki-Nya, pasti baik dan benar, walaupun bagi akal pikiran kita kadang-kadang dianggap buruk dan salah.
Hanya orang yang mampu menerima segala suatu sebagai kehendak Tuhan, menerima segala apa sebagai suatu kenyataan yang wajar, sebagai apa adanya, tanpa keluhan, tanpa protes, tanpa penasaran atau kekecewaan, hanya orang seperti inlah yang dapat tersentuh sinar Kasih, dan dapat merasakan apa yang kita sebut-sebut sebagai kebahagiaan!
Sisa-sisa murid Siauw-lim-pai terpaksa melarikan diri ceral-berai, menyadari hidup masing-masing. Siauw-lim-telah terbakar habis, rata dengan tanah,namun semangat kependekaran para muridnya masih tetap utuh dan dimana pun mereka berada, mereka selalu mengulurkan tangan untuk membela kaum lemah tertindas, dan menentang perbuatan jahat dalam bentuk apa pun dan dilakukan oleh siapapun...