SEORANG kakek berusia lima puluh tujuh tahun, berdiri di bawah pohon menyilangkan kedua tangan di atas dada dan pandangan matanya tak pernah berkedip, mengikuti semua gerakan pemuuda itu. Kakek ini pun tinggi besar dan gagah perkasa, dan ada kelembutan ketika dia tersenyum gembira sambil mengangguk-anggukkan kepala, nampak puas sekali melihat gerakan silat pemuda itu. Angin pukulan pemuda itu menyambar-nyambar, menggerakkan pakaian dan rambut Si Kakek, juga membuat ujung ranting pohon dengan daun-daunnya bergoyang-goyang, membuat daun-daun kuning rontok.
Mereka adalah Sin-tiauw Liu Bhok Ki muridnya, Si Han Beng. Seperti kita ketahui, Si Rajawali Sakti Liu Bhok Ki itu membawa muridnya ke puncak Kim-hong-san di lembah Sungai Huang-ho, dimana dia menggembleng muridnya dengan penuh ketekunan. Kalau saja Han Beng seorang anak biasa, tentu tidak mungkin dalam waktu lima tahun akan mampu menguasai ilmu-ilmu silat tinggi gurunya itu dengan baik. Akan tetapi, setelah minum darah "anak naga", Han Beng bukan lagi seorang anak biasa. Di dalam tubuhnya mengalir tenaga sakti yang amat hebat, bahkan pada dasarnya jauh lebih kuat daripada tenaga sakti gurunya sendiri!
Percampuran antara racun darah ular itu dan racun dari pukulan dan goresan kuku Ban-tok Mo-Ii telah menciptakan suatu kekuatan yang amat dahsyat di dalam diri dan dengan bekal ini, di samping kecerdikan dan bakatnya, maka tidak sukar bagi Han Beng untuk menyerap dan menguasai ilmu-ilmu dari Liu Bhok Ki, Si Rajawali Sakti.
Dan apa yang di latihnya di pagi hari itu adalah ilmu simpanan dari gurunya, yaitu silat Hun-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali terbang) yang mengangkat tinggi nama besar Liu Bhok Ki sebagai Sin tiauw (Rajawali Sakti). Selain ilmu silat paling hebat dari Liu Bhok Ki ini, juga Han Beng telah mewarisi ilmu-ilmu silat lainnya, termasuk ilmu memainkan sabuk atau ikat pinggang sebagai senjata.
Setelah selesai berlatih Hui tiauw Sin-kun, Han Beng lalu berhenti mengdap suhunya. Dia duduk di atas tanah, sedangkan gurunya kini duduk di atas sebuah batu besar di bawah pohon itu dan kakek itu kelihatan gembira sekali.
"Bagus, Han Beng muridku. Sungguh latihanmu tadi amat baik, tiada cacatnya sedikitpun. Itulah Hui tiauw Sin-kun yang kau mainkan dengan sempurna. Dan ketahuilah bahwa dengan ilmu silat itu aku dijuluki orang Sin-tiauw. Akan tetapi, engkau lebih pantas berjuluk Sin-Iiong (Naga Sakti), mengingat bahwa di tubuhmu mengalir darah naga."
"Semua hasil yang teecu capai ini berrkat bimbingan Suhu. Terima kasih atas semua kebaikan Suhu kepada teecu."
"Bagus! Kalau engkau ingat budi berarti engkau tentu tidak akan melupakan janjimu sebagai syarat menjadi muridku dahulu. Masih ingatkah engkau siapa yang harus kau cari dan kau hancurkan hidupnya untuk membalaskan dendam gurumu ini?"
"Masih Suhu. Mereka adalah Coa Siang Lee, keturunan ketua Hek-houw-pang di Ta-bun-cung dekat Poyang di utara Sungai Huang-ho, dan isterinya yang bernama Sim Lan Ci."
"Bagus sekali, muridku. Dengan demikian tidak akan sia-sia aku mendidikmu selama lima tahun ini. Akan tetapi kini telah lima tahun engkau menjadi muridku dan seluruh ilmu yang kumiliki telah kuberikan kepadamu, bukan hanya ilmu silat, juga ilmu pengobatan, cara untuk menjatuhkan Sim Lan dengan pengaruh obat, kalau engkau gagal menggunakan cara yang wajar. Dan sudah tiba janjiku kepada Sin-ciang Kai-ong untuk menyerahkan engkau kepadanya agar engkau menerima didikan darinya selama lima tahun pula."
Han Beng memberi hormat. "Teecu mentaati semua perintah Suhu. Akan tetapi sebelum berpisah, teecu mempunyai sebuah permintaan kepada Suhu, dan teecu harap Suhu suka meluluskan permintaan teecu ini."
Liu Bhok K i tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau mempunyai permintaan? Apakah itu, muridku? Terus terang saja, aku tidak mempunyai pusaka apa pun. Sabukku ini pun sabuk biasa, dan pusakaku hanyalah ilmu-ilmu yang sudah kuberikan kepadamu. Aku tidak melihat..."
"Ada pusaka yang amat teecu inginan dari Suhu."
"Eh? Pusaka, yang mana itu? Katakanlah, tentu akan kuberikan kepadamu, muridku."
"Benarkah? Apa yang teecu minta han Suhu berikan kepada teecu?"
"Tentu saja! Engkau satu-satunya yang terdekat dengan aku, Han Beng, dan terus terang saja, aku merasa puas mempunyai murid seperti engkau. Katakan, pusaka apakah itu yang kau maksudkan?"
"Dua buah kepala itu, Suhu."
Sepasang mata pendekar itu terbelalak. "Hahhhhh...? Dua dua buah kepala itu? Kepala Coa Kun Tian dan Phang Hui Cu? Mau... mau apa engkau dengan dua buah kepala itu? Untuk apa kau minta?"
"Untuk teecu kuburkan, Suhu."
"Ahhh " Liu Bhok Ki meloncat turun dari atas batu, tubuhnya menggiggil, mukanya merah dan dia mengepal kedua tangannya, memandang kepada Han Beng. "Si Han Beng! Apa maksudmu dengan itu? Engkau hendak menguburkan dua buah kepala itu? Engkau hendak membuat aku melupakan dendamku? Dengan demikian, berarti bahwa engkau telah melupakan janjimu, tidak akan melaksanakan pembalasan sakit hatiku terhadap Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci?"
Han Beng memberi hormat, sikapnya tetap tenang, tanda bahwa pemuda remaja berusia tujuh belas tahun ini tentu mempunyai batin yang kuat, mampu menahan perasaan sehingga dia selalu bersikap tenang, tidak dipengaruhi perasaan. "Harap Suhu jangan salah sangka. Apa yang telah teecu janjikan kepada Suhu, pasti teecu penuhi, hanya berhasil atau tidak kita sama melihat saja nanti. Teecu ingin agar dua buah kepala itu dikubur, karena sungguh tidak tepat sekali apa yang Suhu lakukan selama ini terhadap dua buah kepala itu. Suhu menyiksa diri sendiri dan menyiksa dua buah kepala yang tidak berdosa.
"Aku menyiksa diri? Bodoh kau! justru aku membalas dendam sakit hati, aku merasa puas melihat mereka itu! Dan kaubilang dua buah kepala itu tidak berdosa? Mereka telah menghancurkan kehahagiaan hidupku, dan kau masih mengatakan mereka tidak berdosa?"
"Harap Suhu tenang agar dapat berpikir secara luas dan mendalam, Suhu. Teecu melihat betapa Suhu menyiksa diri sendiri dengan adanya dua buah kepala itu. Dengan adanya mereka, Suhu akan setiap saat teringat dan menderita sakit hati. Di dunia ini, tidak ada kedukaan yang tidak akan lenyap dihapus waktu, Suhu. Akan tetapi Suhu selalu meghadapi dua buah kepala itu sehingga setiap saat teringat dan berduka, bukankah itu berarti Suhu menyiksa diri sendiri? Dan tentang dosa kedua buah kepala itu, benarkah dua buah kepala itu yang berdosa? Bukankah perbuatan itu dimulai dari pikiran dan hati, sedangkan badan hanya melakukan saja keinginan batin? Jelas bahwa dua buah kepala itu hanya sebagian saja dari badan, maka tidak berdosa setelah mati Suhu. Mengapa Suhu menyiksa dan menghukum badan yang tidak bersalah apa-apa? Badan yang sudah mati sama dengan tanah, disiksa bagaimanapun tidak akan merasakan apa-apa lagi. Hati teecu merasa penasaran sekali karena apa yang dilakukan Suhu ini sungguh kejam, sungguh tidak berperikemanusiaan sehingga tidak selayaknya dilakukan seorang pendekar gagah perkasa seperti Suhu."
Wajah yang tadinya merah itu kini berubah pucat, matanya terbelalak, tapi dia masih marah sekali. "Kau... kau bilang aku kejam dan tidak berprikemanusiaan? Andaikata benar begitu, itu hanya sebagai hukuman saja terhadap mereka berdua. Apakah mereka berdua itu tidak kejam dan tak mengenal perikemanusiaan dengan perbuat zina mereka yang menghancurkan kebahagiaan hidupku?"
"Suhu, kalau orang lain mengganggu kita dengan kekejaman, apakah kita pun harus membalasnya dengan kekejaman? Kalau sudah begitu, lalu siapa yang kejam dan siapa yang tidak? Siapa yang jahat dan siapa pula yang baik? Siapa penjahat dan siapa pula pendekar?"
Liu Bhok Ki yang tadinya marah besar, seketika merasa tubuhnya lemas dan dia pun menjatuhkan diri terduduk di atas batu, termenung dengan muka pucat seperti patung. Dia merasa seperti di lolosi seluruh otot dan urat di tubuhnya.
Han Beng sambil berlutut memberi hormat. "Suhu, maafkan teecu, bukan teecu kurang ajar dan ingin melawan dan membantah Suhu, melainkan karena perasaan cinta dan hormat teccu unuk menghentikan perbuatan Suhu yang tidak layak ini. Teecu yakin Suhu seorang yang berjiwa pendekar dan gagah perkasa bukan seorang yang berjiwa rendah, kejam dan tidak berperikemanusiaan."
"Sudahlah... sudahlah... kau ambil dua buah kepala itu dan kau kubur mereka.., sudah, jangan bicara lagi"
Han Beng memberi hormat sekali lagi, "Terima kasih, Suhu."
Dia lalu bangkit dan memasuki pondok, sejenak mengamati dua buah kepala itu, yang satu berada di dalam botol arak dan yang sebuah lagi tergantung dan terayun-ayun di tengah ruangan. Melihat betapa dua buah kepala itu mulutnya seperti tersenyum akan tetapi matanya tanpa cahaya memandang jauh seperti pandang orang berduka, dia bergidik. Cepat turunkannya kepala Coa KunTian itu dan dikeluarkannya kepala Phang Hui kemudian dia membungkus dua buah pala itu menjadi satu dalam sehelai kain putih, dan membawanya keluar.
Dia memang sudah merencanakan untuk mengubur dua buah kepala itu di bawah pohon cemara di puncak Pegunungan Kin-hong-san, maka kini dia membawa Dua buah kepala itu ke sana. Digalinya sebuah lubang yang dalamnya satu setengah meter, di antara dua batang pohon delima di bawah naungan cemara yang tinggi. Kemudian, dengan hati-hatti dan penuh hormat dia meletakkan buntalan dua buah kepala itu ke dalam lubang dan mulutnya berbisik,
"Harap Ji-wi kini dapat mengaso dengan tenang dan maafkanlah apa yang diperbuat oleh guruku selama ini."
Pada saat itu, Liu Bhok Ki menangis ketika dari balik sebuah batu besar dia mengintai dan melihat muridnya mengubur kedua buah kepala itu. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa kini dia tidak memiliki apa-apa lagi. Kini baru terasa olehnya betapa dua buah kepala itu menjadi milik satu-satunya baginya, bahkan dua buah kepala itu yang membuat dia masih berani menghadapi hidup, merasakan suka dan duka dari kehidupan ini melalui kedua buah kepala itu.
Dari dua buah kepala itu dapat merasakan kepuasan dan kemanisan balas dendam, juga merasakan kedukaan karena putus cinta, merasai cemburu yang menggerogoti hatinya kemudian manisnya pembalasan terha mereka. Dan kini, dua buah kepala yang seolah-olah menangisi hidupnya siang malam itu telah diambil darinya dikuburkan. Dan dia merasa seolah-olah baru sekarang dia kematian isteri tercinta, seolah-olah melihat jenazah isterinya dikubur dan bahwa selamanya dia akan kehilangan isterinya itu!
Maka tak tertahankan lagi, dia menangis sampai air matanya bercucuran membanjiri kedua pipinya. Dia menahan diri agar tangisnya tidak sampai terdengar oleh muridnya, dan cepat-cepat dia pergi dari situ, kemudian sesenggukan di dalam pondoknya.
Setelah selesai mengubur dua buah kepala itu, menguruknya dengan tanah dan menaruh sebongkah batu besar depan kuburan, Han Beng lalu kembali ke pondok untuk berkemas. Dia melihat suhunya duduk bersila di tengah ruangan pondok itu sambil memejamkan dua matanya. Melihat ini, dia tidak berani mengganggu dan dia lalu memasuki kamarnya, mengumpulkan pakaian dan membungkusnya menjadi sebuah buntalan. Diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia pun keluar dari dalam kamar.
Suhunya masih duduk bersila seperti tadi, kedua mata terpejam. Han Beng tetap tidak berani mengganggu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut didepan suhunya, menanti sampai orang tua itu sadar dari samadhinya. Lebih dari tiga jam Han Beng berlutut di depan gurunya, dengan penuh kesabaran dia menanti sampai suhunya bangun dari samadhinya.
Sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau kehilangan kesabaran. Kalau suhunya tidak sadar sampai sehari semalam pun, dia akan tetap menunggu, karena dia harus berpamit dari gurunya sebelum meninggalkan tempat itu. Gurunya selama ini amat dikasihinya, dan menjadi pengganti orang tuanya. Sin-tiauw Lin Bhok Ki bagi Han Beng merupakan guru, orang tua, juga sahabat. Di dalam dunia ini, hanya orang tua itulah satu-satunya manusia yang dekat dengannya. Karena itu, bagaima mungkin dia meninggalkan gurunya ini tanpa pamit?
Akhirnya, terdengar gurunya berkata, "Han Beng..."
Han Beng cepat mengangkat mukanya, memandang kepada suhunya yang sudah membuka mata dan tersenyum kepadanya. Han Beng mengamati wajah gurunya dan dia pun merasa jantungnya seperti ditusuk karena terharu, Wajah itu membayangkan kedukaan mendalam, bahkan nampak jauh lebih tua dibandingkan kemarin! Seolah-olah ada awan kedukaan hebat yang menyelubungi wajah itu, namun mulut itu tersenyum kepadanya! Dia merasakan adanya suatu pertentangan di dalam batin gurunya, dan dia berpikir bahwa hal itu tentu muncul karena ulahnya meminta dua buah kepala dan yang telah dikuburkannya. Diam-diam dia merasa dosa kepada gurunya.
"Han Beng, tahukah engkau betapa permintaanmu yang telah kululuskan tapi seolah-olah mencabut semangat hidupku? Aku merasa betapa hidupku menjadi kosong tak berarti, seolah-olah dua buah kepala itu pergi membawa seluruh semangatku."
Han Beng semakin terharu dan dia pun memberi hormat sambil berlutut. "Suhu, ampunkan teecu karena sesungguhnya bukan demikian maksud teecu, melainkan untuk menolong Suhu terbebas daripada penderitaan batin."
Gurunya tersenyum, senyum yang amat mengharukan karena senyum itu amatlah pahitnya. "Tidak mengapa, Han Beng. Salahku sendiri. Ketahuilah bahwa tanpa kusadari, aku telah terikat secara batiniah kepada dua buah kepala itu, seolah-olah dua buah kepala itu menjadi pengganti isteriku yang tercinta. Dan sekarang setelah berpisah, aku merasa kehilangan sekali. Akan tetapi biarlah, mungkin engkau benar, setelah aku mengalami kepahitan yang sedemikian hebat ini, mungkin lambat laun Sang Waktu akan menjadi penyembuh yang mujizat. Hanya pesanku kepadamu, Han Beng, karena engkau masih muda, hati-hatilah, terutama terhadap wanita. Jangan mudah menyerahkan hati cintamu, dan andaikata engkau tidak dapat mengelak lagi dan jatuh cinta jangan engkau mengikatkan batinmu padanya agar kalau sekali waktu ia meninggalkanmu, kalau ia melakukan penyelewengan dengan pria lain, hatimu tidak akan hancur binasa! Kalau batinmu tidak terikat oleh seorang wanita sewaktu ia menyeleweng dengan pria lain, engkau akan menerimanya den penuh kesadaran dan keikhlasan, sadar bahwa cinta antara pria dan wanita tidak dapat bertepuk tangan sebelah, kalau ia jatuh cinta kepada pria lain, arti cintanya padamu sudah luntur engkau tidak mungkin dapat memaksanya untuk tetap mencintaimu dan jangan menoleh kepada pria lain."
Han Beng yang baru berusia tujuh belas tahun itu sudah dapat menangkap apa yang dimaksudkan suhunya, dan dia pun maklum bahwa suhunya sedang menderita goncangan hebat dalam batinnya sehingga ucapannya itu condong ke arah pelampiasan duka dan penghiburan diri sendiri. Betapapun juga, dia dapat merasakan kebenaran. Memang, ikatan mendatangkan derita sengsara batin karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perlahan dan kalau hati terikat, maka perpisahan itu akan mendatangkan rasa sengsara dan duka.
Han Beng lalu berpamit kepada gurunya yang merasakan keharuan karena dia harus berpisah dari murid yang disayangnya ini. Baru saja dia kehilang dua buah kepala yang menjadi pengganti isterinya, kini dia harus berpisah lagi dari muridnya yang tersayang. Namun, dia melihat kenyataan bahwa perpisahan itu memang tidak dapat dihindarkan lagi.
“Pergilah, Han Beng. Masih ingat engkau ke mana harus mencari gurumu yang baru, yaitu Sin-ciang Kai-ong Jangan lupa, carilah dia di daerah Propinsi Hok-kian. Di sana dia menjadi raja jembel dan siapapun tentu akan mengenalnya dan dapat menunjukkan mana engkau dapat menemuinya. Sampaikan salamku kepadanya!"
Han Beng lalu berangkat, mengendong buntalan pakaiannya di punggung dan melangkah dengan tegap dan ringan menuruni bukit Kim-hong-san. Ketika dia tiba di lereng yang berhutan, tiba-tiba muncul seorang yang memakai kedok mukanya, berpakaian serba hitam tanpa banyak cakap lagi orang ini sudah menyerangnya dengan membabi-buta, Melihat gerakan orang itu, Han Beng terkejut karena selain gerakannya ringan dan gesit sekali, juga pukulan-pukulannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat! Dia pun cepat mengelak. Setelah beberapa kali mengelak dan menangkis dia mendapat kenyataan bahwa orang itu memang memiliki sin-kang yang amat kuat. Dia meloncat jauh belakang.
"Heiiiii, berhenti dulu, Sobat! Mengapa engkau menyerangku dan apakah kesalahanku padamu?"
Sebagai jawaban, orang itu hanya meloncat dan menyerangnya lagi, kini lebih hebat lagi. Pukulannya merupakan serangan maut karena tangan yang menyambar ke arah kepalanya itu mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apalagi kepala manusia! Dia pun mulai merasa penasaran oan segera di tangkisnya pukulan itu dengan lengannya sambil mengerahkan sin-kang di tubuhnya.
"Dukkk!" Penyerang itu terdorong mundur dan giranglah hati Han Beng melihat kenyataan bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih lebih unggul sedikit. Hal ini membesarkan hatinya dan dia pun mulai balas menyerang! Akan tetapi, betapa gesitnya gerakan orang itu dan agaknya semua jurus seranganan tidak membuat orang itu menjadi gugup dan bahkan dapat mengimbanginya dengan serangan-serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Mereka berkelahi dengan sungg sungguh, dan Han Beng sudah mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya selama lima tahun itu, namun tidak ada yang dapat menembus benteng pertahanan lawannya itu. Dia merasa penasaran sekali dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, Han Beng lalu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun.
Akan tetapi, kembali dia tertegun karena orang itu agaknya mengenal pula ilmu silatnya ini dan dengan mudah dapat mengelak dengan tepat sekali. Padahal ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun ini gerakan amat cepat dan tidak terduga-duga. Bagaimana mungkin orang ini dapat mengelak sedemikian mudahnya? Tentu sudah mengenal ilmu silatnya ini. Sudah mengenal! Hanya gurunya yang mengenalnya.
Han Beng meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran sebuah tendangan dan dia mengamati orang itu. Perawakannya tinggi besar! Ah, siapa lagi kalau bukan gurunya? Biarpun memakai topeng dan mengenakan pakaian hitam, namun bentuk tubuh itu bentuk tubuh gurunya, dan lebih meyakinkan lagi, orang itu mengenal semua ilmu silatnya!
Tahulah dia bahwa gurunya sendiri yang agaknya hendak mengujinya, maka dia pun ingin menyenangkan hati gurunya dan menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan Hui-tiauw Sin-kun dengan sebaik mungkin!
Didesak sehebat itu, orang bertopeng itu pun mulai memainkan ilmu silat yang sama. Terjadilah serang-menyerang yang amat seru, dan dalam pertandingan ini, Han Beng merasa betapa biarpun dia menang sedikit dalam hal tenaga sakti, namun dia kalah matang dalam gerakan silatnya.
"Plak-plak!"
Dua kali kedua tangan mereka bertemu dan tubuh orang bertopeng itu terdorong ke samping, akan tetapi tangannya sempat meluncur dan tahu-tahu buntalan pakaian Han Beng dapat direnggutnya lepas dari punggung pemuda itu!
Han Beng menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, tcccu mengaku kalah!"
Orang itu berhenti, merenggut topengnya dan ternyata Liu Bhok Ki. Dilemparnya buntalan itu kepada Han Beng dan dia mengusap keringatnya yang membasahi muka dan leher, lalu menarik napas panjang.
"Siapa bilang kau kalah? Aku hanya menang sedikit dalam hal kematangan ilmu silat kita, akan tetapi kalau engkau berkelahi sungguh-sungguh, aku takkan kuat bertahan. Lihat, tubuhku sudah berkeringat. Han Beng, engkau hati-hatilah di dalam perjalananmu, jangan sembarangan mempergunakan Hui-tiauw Sin-kun kalau tidak terdesak sekali. Juga jangan engkau terlalu ringan tangan melukai, apalagi membunuh orang.
"Semua petunjuk dan nasihat Suhu sudah tertanam dalam ingatan teecu dan tentu teecu akan mentaatinya."
"Nah, pergilah cepat, muridku, pergilah sebelum kedukaan sempat menyentuh hatiku karena perpisahan ini!" suara Liu Bhok Ki terdengar keras.
Han Beng maklum akan kepedihan hati gurunya, maka dia pun segera bangkit berdiri, memberi hormat sekali lagi lalu pergi dari situ dengan langkah lebar memasuki hutan agar cepat lenyap dari pandang mata gurunya.
Sinar matahari pagi mulai mengusiri kabut-kabut yang menyelubungi dusun Ki-hyan-tung. Burung-burung dan ayam jantan menyambut sinar matahari dengan kicau dan kokok mereka saling bersahutan dan penuh keriangan. Lampu-lampu yang tergantung di depan rumah-rumah kecil di dusun itu sudah mulai dipadamkan, dan sebagai gantinya, nampak asap mengepul dari dapur.
Para ibu sudah mulai memasak air, siap membuatkan minuman hangat dan sarapan untuk keluarganya. Di sana-sini terdengar teriakan ibu-ibu yang tidak sabar kepada anak-anaknya, tangis anak kecil dan teriakan anak-anak yang nyaring, gerutu para ayah dengan suara parau.
Sinar matahari mulai menghidupkan dusun itu bukan saja menggugah para penduduknya untuk mulai bekerja, dan burung-burung juga segala macam binatang, akan tetapi juga menggugah pohon-pohon besar kecil setelah mereka ini terlelap dan dingin. Para petani mulai mempersiapkan diri untuk bekerja di sawah ladang menanti sarapan sekedarnya, setidnya minuman untuk menghangatkan perut, yang sudah berpuasa semalam suntuk.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan sekelompok orang yang berpakaian perajurit seragam masuk ke dalam perkampungan itu di atas kuda mereka. Jumlah mereka ada lima puluh orang dikepalai seorang komandandan bersama dua orang pembantunya. Begitu memasuki dusun, mereka mengambil sikap mengurung, menjaga di semua penjuru, terutama di empat pintu dusun.
Mendengar derap kaki banyak kuda memasuki perkampungan mereka, para petani saling pandang dengan muka berubah. Entah siapa yang membisikkah lebih dahulu, akan tetapi kini mereka semua berbisik dengan muka ketakutan.
"Hek-i-wi...!"
Hek-i-wi (Pasukan Pakaian Hitam) sudah amat terkenal dan amat ditakuti oleh orang-orang di pedusunan. Hek-i-wi adalah pasukan yang perajuritnya berpakaian serba hitam dan tugas mereka adalah mencari dan mengumpulkan tenaga-tenaga dari rakyat jelata untuk di jadikan tenaga pekerja membangun terusan Besar. Karena pasukan Hek-i-ki menduduki tempat yang tinggi dan kekuasaan yang mutlak, bahkan para komandannya diberi hak untuk bertindak terhadap rakyat yang membangkang, maka tentu saja mereka amat ditakuti.
kekuasaan memang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi manusia. Sekali memegang kekuasaan, orang akan lupa diri dan meremehkan orang lain. Dari kekuasaan ini timbul bermacam perbuatan yang buruk dan jahat.
Orang-orang yang merasa khawatir kalau-kalau dia akan diambil dan dijadikan pekerja paksa, tidak segan-segan untuk melakukan penyuapan atau penyogokan kepada para komandan dan perajurit pasukan Hek-i-wi! Bukan hanya menyogok dengan harta milik, bahkan ada pula yang menyerahkan anak gadisnya kalau mereka melihat betapa komandan pasukan atau para perwiranya tertarik kepada anak gadisnya itu.
Biarpun pemerintah sediri mengambil kebijaksanaan untuk mengaji para pekerja, namun dalam pelaksanaannya, gaji-gaji itu tertahan dilenyap entah di tangan yang mana antara ribuan petugas itu,dan para pekerja itu bekerja tanpa digaji, bahkan ransum mereka pun dikurangi sehingaa banyak di antara mereka yang mati kelelahan atau kelaparan.
Hal ini makin menakutkan rakyat sehingga biar yang miskin sekalipun, selalu ingin menghindarkan diri agar jangan sampai diambil dan dipaksa untuk bekerja di Terusan itu. Begitu nama Hek-i-wi dibisikan, para penduduk dusun Ki-hyan-tung jadi geger! Para ibu menangis, anak-anak bersembunyi di kolong-kolong di kakus-kakus dengan tubuh menggigil para gadis yang bersembunyi karena mereka mendengar betapa perajurit Hek-i-Wi itu kasar dan mata keranjang, tak pernah melewatkan dan membiarkan saja seorang gadis dusun tanpa diganggunya.
Dan para pria dusun itu berserabutan lari keluar dari rumah dengan maksud melarikan diri keluar dari dusun agar tidak ketahuan dan tidak tertangkap. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka melihat betapa dusun itu telah dikepung dan mereka yang mencoba melarikan diri bertemu dengan cambuk-cambuk yang melecut dan tendangan kaki bersepatu yang kuat dan membuat mereka roboh terrguling! Suasana menjadi semakin gempar.
"Semua penduduk dusun ini keluar dan berkumpul di sini!" berkali-kali beberapa orang perwira berseru dengan suara lantang.
"Yang melarikan diri atau melawan akan dibunuh!"
"Laki-laki di sini dan semua perempuan dan kanak-kanak di sebelah sana!"
Dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan, semua penghuni terpaksa keluar dari rumah dan tempat persembunyian mereka. Mereka sudah medengar betapa beberapa buah dusun dibakar oleh Hek-i-wi hanya untuk memaksa para penghuninya keluar dari tempat persembunyian mereka!
Setelah semua orang berkumpul, yang pria berkelompok dikiri, yang wanita bersama anak-anak berkelompok di kanan, komandan pasukan itu berseru, "Kalian jangan takut! Kami melaksana tugas dari pemerintah untuk memberi pekerjaan kepada kalian. Kalian akan digaji dan diberi makan cukup! Juga para wanita yang terpilih akan mendapat pekerjaan dan hidup yang menyenangkan!!
Kini para pembantu komandan ini melakukan pemilihan. Pria-pria muda dan kuat, segera dipisahkan dan kedua tangan mereka dipasang borgol dengan rantai panjang. Dan segera lima puluh orang lebih pria diborgol dengan rantai yang sambung menyambung, dan ada lima belas wanita muda, baik gadis maupun sudah menikah, dipilih pula dan mereka ini dipaksa untuk memisahkan diri, lalu disuruh naik ke dalam sebuah gerobak yang sudah dipersiapkan.
Para wanita menangis, baik mereka yang dibawa maupun mereka yang ditinggalkan. Para gadis dan wanita muda itu sudah mendengar bahwa mereka yang terpilih itu akan mendapatkan pekerjaan, akan tetapi pekerjaan yang hina dan mereka akan dipaksa melayani para perajurit seperti pelacur! Dan mereka yang sudah dibawa pergi, belum pernah ada yang kembali ke dusun mereka. Juga jarang sekali ada pria yang kembali ke dusun telah mereka terpilih untuk bekerja di terusan.
Dengan diiringi jerit tangis, baik dari mereka yang menjadi tawanan maupun dari mereka yang ditinggal, pasukan Hek-i-wi itu menggiring para tawanan keluar dari dusun itu. Bunyi cambuk mereka meledak-ledak untuk menakut-nakuti mereka, dan untuk memaksa mereka yang hendak mogok untuk terus berjalan. Bagaikan sekumpulan hewan ternak yang baru dibeli, lima puluh orang laki-laki dusun itu digiring keluar dari dusun mereka, meninggalkan keluarga, rumah dan dusun mereka, mungkin untuk selamanya.
Menurut peraturan pemerintah pada waktu itu, tidak ada kerja paksa, ya ada ialah kerja wajib di mana rakyat dikenakan wajib bekerja membuat Terusan itu selama seratus hari, dan ini pun diberi gaji dan makan. Ada pula diterima wanita yang bekerja dan digaji, namun secara suka rela, untuk bekerja di dapur umum pembuatan Terusan.
Akan tetapi, sudah menjadi penyakit umum bahwa pelaksanaan suatu perintah lalu menyimpang daripada asalperitah itu sendiri. Kerja wajib menjadi keja paksa, gaji dikebiri bahkan dihilangkan sama sekali, wanita-wanita dikumpulkan dan dipaksa bekerja, bukan dengan pembuatan Terusan melainkan demi pemuasan nafsu binatang mereka!
Tak dapat disangkal bahwa di antara para petugas terdapat pula orang-orang bersih dan yang benar-benar melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Akan tetapi apakah artinya susu secangkir kalau dimasukkan ke dalam kolam yang penuh dengan air kotoran? Takkan nampak keputihan dan kebersihan susu, bahkan akan ikut menjadi kotor! Yang sedikit itu akan lenyap terselimuti yang banyak.
Komandan pasukan Hek-i-wi yang memasuki dusun Ki-nyan-tung ini bernama Bak Lok Sek, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa, bertelinga gajah dan dia memiliki ilmu silat liang-to (sepasang golok) yang amat dahsyat sehingga ditakuti banyak orang.
Juga dua orang perwira yang membantuya merupakan orang-orang pilihan dengan ilmu silat tinggi. Bahkan pasukan yang dipimpin oleh Ban Lok Sek ini merupakan pasukan pilihan, terdiri dari prajurit-prajurit yang pandai ilmu silat. Dengan pasukan istimewanya ini, Ban lok Sek menjadi raja kecil yang dapat memaksakan kehendaknya sesuka hatinya, tanpa ada yang berani menentangnya. Karena terbukti bahwa pasukan pimpinan Ban Lok Sek ini yang selalu berhasil membawa banyak tenaga baru yang patuh, maka atasannya tidak terlalu memusingkan tentang berita bahwa Ban Lok Sek dan pasukannya yang kejam terhadap rakyat.
Orang-orang dusun yang dijadikan seperti tawanan itu terhuyung-huyung berjalan di bawah ancaman cambuk-cambuk yang kadang-kadang menyentuh kulit dan menggigit, debu mengepul bawah kaki kuda-kuda yang ditunggangi pasukan itu, dan di tengah-tengah pasukan itu terdengar isak tangis para wanita yang berhimpitan di dalam gerobak yang ditarik dua ekor kuda.
Mereka yang ditinggalkan, yaitu kakek-kakek, nenek-nenak, wanita yang tidak terpilih, kanak-kanak, berkelompok di dalam dusun dan mereka itu menangis dan ratap, menangisi anak, suami, ayah, isteri atau puteri mereka yang dijadikan tawanan.
Ketika rombongan pasukan berkuda tiba di luar dusun, tiba-tiba terjadi kekacauan di barisan depan. Semua perajurit segera memacu kuda untuk melihat apa yang terjadi, dan mereka itu terkejut dan marah sekali melihat berapa orang kawan mereka sudah terjungkal dari atas kuda, dan kelihatan ada lima orang laki-laki gagah perkasa mengutik dengan pedang mereka. Agaknya amukan lima orang pria perkasa itulah yang membuat terjungkalnya lima orang prajurit terdepan. Mereka adalah jago-jagoan dari Siauw-lim-pai!
Seperti kita ketahui, kuil Siauw hm-si dibakar dan banyak pendekar Siauw-lim-pai yang tewas dalam pertempuran besar ketika Siauw-lim-si diserbu oleh pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai melakukan perlawanan dengan hati duka karena ketua mereka telah membakar diri sampai tewas untuk memprotes tindakan pemerintah itu, dan hanya ada enam orang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dalam keadaan luka-luka.
Mereka lalu bergabung dengan para murid Siauw-lim-pai yang kebetulan berada di luar kuil dan Tidak ikut terbasmi. Para murid yang berhasil lolos itu dipimpin oleh Lie Koan Tek, pendeta Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, semenjak terjadi pembakaran kuil itu. Para pendekar Siauw lim pai hidup seorang buruan, berpencar dan Thian Hwesio sendiri, sute dari ketua Siauw-lim-pai yang membakar diri, bersembunyi di daerah selatan.
Lima orang laki-laki yang kini menyerbu pasukan yang menawan penduduk dusun Ki-nyan-tung, adalah para pendekar Siauw-lim-pai yang kebetulan lewat di dekat dusun itu. Mereka melihat apa yang terjadi dan marahlah para pendekar ini, lalu mereka mencabut pedang dan menyerang pasukan pemerintah yang bertindak sewenang-wenang itu.
Biar para pendekar ini telah kehilangan kuil dan pusat asrama mereka, namun mereka sama sekali tidak kehilangan watak kependekaran mereka, dan dengan penuh semangat mereka menyerang pasukan untuk membela para penduduk dusun yang dijadikan tawanan itu.
Tentu perwira perajurit menjadi marah melihat betapa beberapa orang kawan mereka roboh dengan luka berat, bahkan ada yang tewas. Mereka lalu menyerbu dan mengepung, mengeroyok lima orang pendekar itu dengan senjata golok dan teriak mereka, juga komandan Ban Lok Sek bersama dua orang perwira pembantunya yang lihai, sudah terjun ke dalam pertempuran itu.
Lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu terkejut ketika melihat Gerakan sepasang golok di tangan komandan itu! Mereka mengenal ilmu golok pasangan dari Siauw-lim-pai!
"Engkau murid Siauw-lim-pai!" bentak seorang di antara para pendekar Siau-lim-pai!
Ban Lok Sek tertawa dan mendengus dengan penuh ejekan. "Huh, siapa murid Siaw-lim pai yang memberontak? Memang pernah aku mempelajari ilmu golok dari Siauw-lim-pai, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku murid Siauw lim-pai!" berkata demikian, dia mendesak orang yang menjadi lawannya.
Juga dua orang perwira pembantunya menggerakkan golok mereka dan dibantu oleh pulahan orang perajurit, betapapun lihainya lima orang pendekar Siauw-Iim-pai itu, mereka mulai terdesak hebat! Namun, dengan gigih mereka melakukan perlawanan, memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh dari ancaman puluhan batang senjata yang menyambar-nyambar ganas. Karena banyaknya pengeroyok lima orang pendekar itu sukar untuk dapat membalas.
Mereka tidak memperoleh kesempatan lagi, dan terpak hanya membela diri saja tanpa tanpa membalas. Mereka berlima akhirnya te kena bacokan-bacokan dan mulai menderita luka-luka, walaupun luka ringan karena mereka memang memiliki tubuh yang kuat terlindung kekebalan, gerakan lincah dan juga putaran pedang mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan maut.
Bagaimanapun juga, kalau dilanjutkan tak lama lagi tentu lima orang pendekar itu akan roboh dan tewas di bawah pengeroyokan demikian banyaknya lawan. Mereka maklum akan hal ini, namun mereka tidak merasa gentar. Jiwa kependekaran mereka membuat mereka pantang mundur dalam menghadapi kejahatan dan penindasan. Mereka hendak menolong orang-orang dusun itu dengan taruhan nyawa mereka sendiri...
Mereka adalah Sin-tiauw Liu Bhok Ki muridnya, Si Han Beng. Seperti kita ketahui, Si Rajawali Sakti Liu Bhok Ki itu membawa muridnya ke puncak Kim-hong-san di lembah Sungai Huang-ho, dimana dia menggembleng muridnya dengan penuh ketekunan. Kalau saja Han Beng seorang anak biasa, tentu tidak mungkin dalam waktu lima tahun akan mampu menguasai ilmu-ilmu silat tinggi gurunya itu dengan baik. Akan tetapi, setelah minum darah "anak naga", Han Beng bukan lagi seorang anak biasa. Di dalam tubuhnya mengalir tenaga sakti yang amat hebat, bahkan pada dasarnya jauh lebih kuat daripada tenaga sakti gurunya sendiri!
Percampuran antara racun darah ular itu dan racun dari pukulan dan goresan kuku Ban-tok Mo-Ii telah menciptakan suatu kekuatan yang amat dahsyat di dalam diri dan dengan bekal ini, di samping kecerdikan dan bakatnya, maka tidak sukar bagi Han Beng untuk menyerap dan menguasai ilmu-ilmu dari Liu Bhok Ki, Si Rajawali Sakti.
Dan apa yang di latihnya di pagi hari itu adalah ilmu simpanan dari gurunya, yaitu silat Hun-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali terbang) yang mengangkat tinggi nama besar Liu Bhok Ki sebagai Sin tiauw (Rajawali Sakti). Selain ilmu silat paling hebat dari Liu Bhok Ki ini, juga Han Beng telah mewarisi ilmu-ilmu silat lainnya, termasuk ilmu memainkan sabuk atau ikat pinggang sebagai senjata.
Setelah selesai berlatih Hui tiauw Sin-kun, Han Beng lalu berhenti mengdap suhunya. Dia duduk di atas tanah, sedangkan gurunya kini duduk di atas sebuah batu besar di bawah pohon itu dan kakek itu kelihatan gembira sekali.
"Bagus, Han Beng muridku. Sungguh latihanmu tadi amat baik, tiada cacatnya sedikitpun. Itulah Hui tiauw Sin-kun yang kau mainkan dengan sempurna. Dan ketahuilah bahwa dengan ilmu silat itu aku dijuluki orang Sin-tiauw. Akan tetapi, engkau lebih pantas berjuluk Sin-Iiong (Naga Sakti), mengingat bahwa di tubuhmu mengalir darah naga."
"Semua hasil yang teecu capai ini berrkat bimbingan Suhu. Terima kasih atas semua kebaikan Suhu kepada teecu."
"Bagus! Kalau engkau ingat budi berarti engkau tentu tidak akan melupakan janjimu sebagai syarat menjadi muridku dahulu. Masih ingatkah engkau siapa yang harus kau cari dan kau hancurkan hidupnya untuk membalaskan dendam gurumu ini?"
"Masih Suhu. Mereka adalah Coa Siang Lee, keturunan ketua Hek-houw-pang di Ta-bun-cung dekat Poyang di utara Sungai Huang-ho, dan isterinya yang bernama Sim Lan Ci."
"Bagus sekali, muridku. Dengan demikian tidak akan sia-sia aku mendidikmu selama lima tahun ini. Akan tetapi kini telah lima tahun engkau menjadi muridku dan seluruh ilmu yang kumiliki telah kuberikan kepadamu, bukan hanya ilmu silat, juga ilmu pengobatan, cara untuk menjatuhkan Sim Lan dengan pengaruh obat, kalau engkau gagal menggunakan cara yang wajar. Dan sudah tiba janjiku kepada Sin-ciang Kai-ong untuk menyerahkan engkau kepadanya agar engkau menerima didikan darinya selama lima tahun pula."
Han Beng memberi hormat. "Teecu mentaati semua perintah Suhu. Akan tetapi sebelum berpisah, teecu mempunyai sebuah permintaan kepada Suhu, dan teecu harap Suhu suka meluluskan permintaan teecu ini."
Liu Bhok K i tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau mempunyai permintaan? Apakah itu, muridku? Terus terang saja, aku tidak mempunyai pusaka apa pun. Sabukku ini pun sabuk biasa, dan pusakaku hanyalah ilmu-ilmu yang sudah kuberikan kepadamu. Aku tidak melihat..."
"Ada pusaka yang amat teecu inginan dari Suhu."
"Eh? Pusaka, yang mana itu? Katakanlah, tentu akan kuberikan kepadamu, muridku."
"Benarkah? Apa yang teecu minta han Suhu berikan kepada teecu?"
"Tentu saja! Engkau satu-satunya yang terdekat dengan aku, Han Beng, dan terus terang saja, aku merasa puas mempunyai murid seperti engkau. Katakan, pusaka apakah itu yang kau maksudkan?"
"Dua buah kepala itu, Suhu."
Sepasang mata pendekar itu terbelalak. "Hahhhhh...? Dua dua buah kepala itu? Kepala Coa Kun Tian dan Phang Hui Cu? Mau... mau apa engkau dengan dua buah kepala itu? Untuk apa kau minta?"
"Untuk teecu kuburkan, Suhu."
"Ahhh " Liu Bhok Ki meloncat turun dari atas batu, tubuhnya menggiggil, mukanya merah dan dia mengepal kedua tangannya, memandang kepada Han Beng. "Si Han Beng! Apa maksudmu dengan itu? Engkau hendak menguburkan dua buah kepala itu? Engkau hendak membuat aku melupakan dendamku? Dengan demikian, berarti bahwa engkau telah melupakan janjimu, tidak akan melaksanakan pembalasan sakit hatiku terhadap Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci?"
Han Beng memberi hormat, sikapnya tetap tenang, tanda bahwa pemuda remaja berusia tujuh belas tahun ini tentu mempunyai batin yang kuat, mampu menahan perasaan sehingga dia selalu bersikap tenang, tidak dipengaruhi perasaan. "Harap Suhu jangan salah sangka. Apa yang telah teecu janjikan kepada Suhu, pasti teecu penuhi, hanya berhasil atau tidak kita sama melihat saja nanti. Teecu ingin agar dua buah kepala itu dikubur, karena sungguh tidak tepat sekali apa yang Suhu lakukan selama ini terhadap dua buah kepala itu. Suhu menyiksa diri sendiri dan menyiksa dua buah kepala yang tidak berdosa.
"Aku menyiksa diri? Bodoh kau! justru aku membalas dendam sakit hati, aku merasa puas melihat mereka itu! Dan kaubilang dua buah kepala itu tidak berdosa? Mereka telah menghancurkan kehahagiaan hidupku, dan kau masih mengatakan mereka tidak berdosa?"
"Harap Suhu tenang agar dapat berpikir secara luas dan mendalam, Suhu. Teecu melihat betapa Suhu menyiksa diri sendiri dengan adanya dua buah kepala itu. Dengan adanya mereka, Suhu akan setiap saat teringat dan menderita sakit hati. Di dunia ini, tidak ada kedukaan yang tidak akan lenyap dihapus waktu, Suhu. Akan tetapi Suhu selalu meghadapi dua buah kepala itu sehingga setiap saat teringat dan berduka, bukankah itu berarti Suhu menyiksa diri sendiri? Dan tentang dosa kedua buah kepala itu, benarkah dua buah kepala itu yang berdosa? Bukankah perbuatan itu dimulai dari pikiran dan hati, sedangkan badan hanya melakukan saja keinginan batin? Jelas bahwa dua buah kepala itu hanya sebagian saja dari badan, maka tidak berdosa setelah mati Suhu. Mengapa Suhu menyiksa dan menghukum badan yang tidak bersalah apa-apa? Badan yang sudah mati sama dengan tanah, disiksa bagaimanapun tidak akan merasakan apa-apa lagi. Hati teecu merasa penasaran sekali karena apa yang dilakukan Suhu ini sungguh kejam, sungguh tidak berperikemanusiaan sehingga tidak selayaknya dilakukan seorang pendekar gagah perkasa seperti Suhu."
Wajah yang tadinya merah itu kini berubah pucat, matanya terbelalak, tapi dia masih marah sekali. "Kau... kau bilang aku kejam dan tidak berprikemanusiaan? Andaikata benar begitu, itu hanya sebagai hukuman saja terhadap mereka berdua. Apakah mereka berdua itu tidak kejam dan tak mengenal perikemanusiaan dengan perbuat zina mereka yang menghancurkan kebahagiaan hidupku?"
"Suhu, kalau orang lain mengganggu kita dengan kekejaman, apakah kita pun harus membalasnya dengan kekejaman? Kalau sudah begitu, lalu siapa yang kejam dan siapa yang tidak? Siapa yang jahat dan siapa pula yang baik? Siapa penjahat dan siapa pula pendekar?"
Liu Bhok Ki yang tadinya marah besar, seketika merasa tubuhnya lemas dan dia pun menjatuhkan diri terduduk di atas batu, termenung dengan muka pucat seperti patung. Dia merasa seperti di lolosi seluruh otot dan urat di tubuhnya.
Han Beng sambil berlutut memberi hormat. "Suhu, maafkan teecu, bukan teecu kurang ajar dan ingin melawan dan membantah Suhu, melainkan karena perasaan cinta dan hormat teccu unuk menghentikan perbuatan Suhu yang tidak layak ini. Teecu yakin Suhu seorang yang berjiwa pendekar dan gagah perkasa bukan seorang yang berjiwa rendah, kejam dan tidak berperikemanusiaan."
"Sudahlah... sudahlah... kau ambil dua buah kepala itu dan kau kubur mereka.., sudah, jangan bicara lagi"
Han Beng memberi hormat sekali lagi, "Terima kasih, Suhu."
Dia lalu bangkit dan memasuki pondok, sejenak mengamati dua buah kepala itu, yang satu berada di dalam botol arak dan yang sebuah lagi tergantung dan terayun-ayun di tengah ruangan. Melihat betapa dua buah kepala itu mulutnya seperti tersenyum akan tetapi matanya tanpa cahaya memandang jauh seperti pandang orang berduka, dia bergidik. Cepat turunkannya kepala Coa KunTian itu dan dikeluarkannya kepala Phang Hui kemudian dia membungkus dua buah pala itu menjadi satu dalam sehelai kain putih, dan membawanya keluar.
Dia memang sudah merencanakan untuk mengubur dua buah kepala itu di bawah pohon cemara di puncak Pegunungan Kin-hong-san, maka kini dia membawa Dua buah kepala itu ke sana. Digalinya sebuah lubang yang dalamnya satu setengah meter, di antara dua batang pohon delima di bawah naungan cemara yang tinggi. Kemudian, dengan hati-hatti dan penuh hormat dia meletakkan buntalan dua buah kepala itu ke dalam lubang dan mulutnya berbisik,
"Harap Ji-wi kini dapat mengaso dengan tenang dan maafkanlah apa yang diperbuat oleh guruku selama ini."
Pada saat itu, Liu Bhok Ki menangis ketika dari balik sebuah batu besar dia mengintai dan melihat muridnya mengubur kedua buah kepala itu. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa kini dia tidak memiliki apa-apa lagi. Kini baru terasa olehnya betapa dua buah kepala itu menjadi milik satu-satunya baginya, bahkan dua buah kepala itu yang membuat dia masih berani menghadapi hidup, merasakan suka dan duka dari kehidupan ini melalui kedua buah kepala itu.
Dari dua buah kepala itu dapat merasakan kepuasan dan kemanisan balas dendam, juga merasakan kedukaan karena putus cinta, merasai cemburu yang menggerogoti hatinya kemudian manisnya pembalasan terha mereka. Dan kini, dua buah kepala yang seolah-olah menangisi hidupnya siang malam itu telah diambil darinya dikuburkan. Dan dia merasa seolah-olah baru sekarang dia kematian isteri tercinta, seolah-olah melihat jenazah isterinya dikubur dan bahwa selamanya dia akan kehilangan isterinya itu!
Maka tak tertahankan lagi, dia menangis sampai air matanya bercucuran membanjiri kedua pipinya. Dia menahan diri agar tangisnya tidak sampai terdengar oleh muridnya, dan cepat-cepat dia pergi dari situ, kemudian sesenggukan di dalam pondoknya.
Setelah selesai mengubur dua buah kepala itu, menguruknya dengan tanah dan menaruh sebongkah batu besar depan kuburan, Han Beng lalu kembali ke pondok untuk berkemas. Dia melihat suhunya duduk bersila di tengah ruangan pondok itu sambil memejamkan dua matanya. Melihat ini, dia tidak berani mengganggu dan dia lalu memasuki kamarnya, mengumpulkan pakaian dan membungkusnya menjadi sebuah buntalan. Diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia pun keluar dari dalam kamar.
Suhunya masih duduk bersila seperti tadi, kedua mata terpejam. Han Beng tetap tidak berani mengganggu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut didepan suhunya, menanti sampai orang tua itu sadar dari samadhinya. Lebih dari tiga jam Han Beng berlutut di depan gurunya, dengan penuh kesabaran dia menanti sampai suhunya bangun dari samadhinya.
Sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau kehilangan kesabaran. Kalau suhunya tidak sadar sampai sehari semalam pun, dia akan tetap menunggu, karena dia harus berpamit dari gurunya sebelum meninggalkan tempat itu. Gurunya selama ini amat dikasihinya, dan menjadi pengganti orang tuanya. Sin-tiauw Lin Bhok Ki bagi Han Beng merupakan guru, orang tua, juga sahabat. Di dalam dunia ini, hanya orang tua itulah satu-satunya manusia yang dekat dengannya. Karena itu, bagaima mungkin dia meninggalkan gurunya ini tanpa pamit?
Akhirnya, terdengar gurunya berkata, "Han Beng..."
Han Beng cepat mengangkat mukanya, memandang kepada suhunya yang sudah membuka mata dan tersenyum kepadanya. Han Beng mengamati wajah gurunya dan dia pun merasa jantungnya seperti ditusuk karena terharu, Wajah itu membayangkan kedukaan mendalam, bahkan nampak jauh lebih tua dibandingkan kemarin! Seolah-olah ada awan kedukaan hebat yang menyelubungi wajah itu, namun mulut itu tersenyum kepadanya! Dia merasakan adanya suatu pertentangan di dalam batin gurunya, dan dia berpikir bahwa hal itu tentu muncul karena ulahnya meminta dua buah kepala dan yang telah dikuburkannya. Diam-diam dia merasa dosa kepada gurunya.
"Han Beng, tahukah engkau betapa permintaanmu yang telah kululuskan tapi seolah-olah mencabut semangat hidupku? Aku merasa betapa hidupku menjadi kosong tak berarti, seolah-olah dua buah kepala itu pergi membawa seluruh semangatku."
Han Beng semakin terharu dan dia pun memberi hormat sambil berlutut. "Suhu, ampunkan teecu karena sesungguhnya bukan demikian maksud teecu, melainkan untuk menolong Suhu terbebas daripada penderitaan batin."
Gurunya tersenyum, senyum yang amat mengharukan karena senyum itu amatlah pahitnya. "Tidak mengapa, Han Beng. Salahku sendiri. Ketahuilah bahwa tanpa kusadari, aku telah terikat secara batiniah kepada dua buah kepala itu, seolah-olah dua buah kepala itu menjadi pengganti isteriku yang tercinta. Dan sekarang setelah berpisah, aku merasa kehilangan sekali. Akan tetapi biarlah, mungkin engkau benar, setelah aku mengalami kepahitan yang sedemikian hebat ini, mungkin lambat laun Sang Waktu akan menjadi penyembuh yang mujizat. Hanya pesanku kepadamu, Han Beng, karena engkau masih muda, hati-hatilah, terutama terhadap wanita. Jangan mudah menyerahkan hati cintamu, dan andaikata engkau tidak dapat mengelak lagi dan jatuh cinta jangan engkau mengikatkan batinmu padanya agar kalau sekali waktu ia meninggalkanmu, kalau ia melakukan penyelewengan dengan pria lain, hatimu tidak akan hancur binasa! Kalau batinmu tidak terikat oleh seorang wanita sewaktu ia menyeleweng dengan pria lain, engkau akan menerimanya den penuh kesadaran dan keikhlasan, sadar bahwa cinta antara pria dan wanita tidak dapat bertepuk tangan sebelah, kalau ia jatuh cinta kepada pria lain, arti cintanya padamu sudah luntur engkau tidak mungkin dapat memaksanya untuk tetap mencintaimu dan jangan menoleh kepada pria lain."
Han Beng yang baru berusia tujuh belas tahun itu sudah dapat menangkap apa yang dimaksudkan suhunya, dan dia pun maklum bahwa suhunya sedang menderita goncangan hebat dalam batinnya sehingga ucapannya itu condong ke arah pelampiasan duka dan penghiburan diri sendiri. Betapapun juga, dia dapat merasakan kebenaran. Memang, ikatan mendatangkan derita sengsara batin karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Setiap pertemuan pasti berakhir dengan perlahan dan kalau hati terikat, maka perpisahan itu akan mendatangkan rasa sengsara dan duka.
Han Beng lalu berpamit kepada gurunya yang merasakan keharuan karena dia harus berpisah dari murid yang disayangnya ini. Baru saja dia kehilang dua buah kepala yang menjadi pengganti isterinya, kini dia harus berpisah lagi dari muridnya yang tersayang. Namun, dia melihat kenyataan bahwa perpisahan itu memang tidak dapat dihindarkan lagi.
“Pergilah, Han Beng. Masih ingat engkau ke mana harus mencari gurumu yang baru, yaitu Sin-ciang Kai-ong Jangan lupa, carilah dia di daerah Propinsi Hok-kian. Di sana dia menjadi raja jembel dan siapapun tentu akan mengenalnya dan dapat menunjukkan mana engkau dapat menemuinya. Sampaikan salamku kepadanya!"
Han Beng lalu berangkat, mengendong buntalan pakaiannya di punggung dan melangkah dengan tegap dan ringan menuruni bukit Kim-hong-san. Ketika dia tiba di lereng yang berhutan, tiba-tiba muncul seorang yang memakai kedok mukanya, berpakaian serba hitam tanpa banyak cakap lagi orang ini sudah menyerangnya dengan membabi-buta, Melihat gerakan orang itu, Han Beng terkejut karena selain gerakannya ringan dan gesit sekali, juga pukulan-pukulannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat! Dia pun cepat mengelak. Setelah beberapa kali mengelak dan menangkis dia mendapat kenyataan bahwa orang itu memang memiliki sin-kang yang amat kuat. Dia meloncat jauh belakang.
"Heiiiii, berhenti dulu, Sobat! Mengapa engkau menyerangku dan apakah kesalahanku padamu?"
Sebagai jawaban, orang itu hanya meloncat dan menyerangnya lagi, kini lebih hebat lagi. Pukulannya merupakan serangan maut karena tangan yang menyambar ke arah kepalanya itu mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apalagi kepala manusia! Dia pun mulai merasa penasaran oan segera di tangkisnya pukulan itu dengan lengannya sambil mengerahkan sin-kang di tubuhnya.
"Dukkk!" Penyerang itu terdorong mundur dan giranglah hati Han Beng melihat kenyataan bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih lebih unggul sedikit. Hal ini membesarkan hatinya dan dia pun mulai balas menyerang! Akan tetapi, betapa gesitnya gerakan orang itu dan agaknya semua jurus seranganan tidak membuat orang itu menjadi gugup dan bahkan dapat mengimbanginya dengan serangan-serangan balasan yang tak kalah hebatnya!
Mereka berkelahi dengan sungg sungguh, dan Han Beng sudah mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya selama lima tahun itu, namun tidak ada yang dapat menembus benteng pertahanan lawannya itu. Dia merasa penasaran sekali dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, Han Beng lalu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun.
Akan tetapi, kembali dia tertegun karena orang itu agaknya mengenal pula ilmu silatnya ini dan dengan mudah dapat mengelak dengan tepat sekali. Padahal ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun ini gerakan amat cepat dan tidak terduga-duga. Bagaimana mungkin orang ini dapat mengelak sedemikian mudahnya? Tentu sudah mengenal ilmu silatnya ini. Sudah mengenal! Hanya gurunya yang mengenalnya.
Han Beng meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran sebuah tendangan dan dia mengamati orang itu. Perawakannya tinggi besar! Ah, siapa lagi kalau bukan gurunya? Biarpun memakai topeng dan mengenakan pakaian hitam, namun bentuk tubuh itu bentuk tubuh gurunya, dan lebih meyakinkan lagi, orang itu mengenal semua ilmu silatnya!
Tahulah dia bahwa gurunya sendiri yang agaknya hendak mengujinya, maka dia pun ingin menyenangkan hati gurunya dan menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan Hui-tiauw Sin-kun dengan sebaik mungkin!
Didesak sehebat itu, orang bertopeng itu pun mulai memainkan ilmu silat yang sama. Terjadilah serang-menyerang yang amat seru, dan dalam pertandingan ini, Han Beng merasa betapa biarpun dia menang sedikit dalam hal tenaga sakti, namun dia kalah matang dalam gerakan silatnya.
"Plak-plak!"
Dua kali kedua tangan mereka bertemu dan tubuh orang bertopeng itu terdorong ke samping, akan tetapi tangannya sempat meluncur dan tahu-tahu buntalan pakaian Han Beng dapat direnggutnya lepas dari punggung pemuda itu!
Han Beng menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, tcccu mengaku kalah!"
Orang itu berhenti, merenggut topengnya dan ternyata Liu Bhok Ki. Dilemparnya buntalan itu kepada Han Beng dan dia mengusap keringatnya yang membasahi muka dan leher, lalu menarik napas panjang.
"Siapa bilang kau kalah? Aku hanya menang sedikit dalam hal kematangan ilmu silat kita, akan tetapi kalau engkau berkelahi sungguh-sungguh, aku takkan kuat bertahan. Lihat, tubuhku sudah berkeringat. Han Beng, engkau hati-hatilah di dalam perjalananmu, jangan sembarangan mempergunakan Hui-tiauw Sin-kun kalau tidak terdesak sekali. Juga jangan engkau terlalu ringan tangan melukai, apalagi membunuh orang.
"Semua petunjuk dan nasihat Suhu sudah tertanam dalam ingatan teecu dan tentu teecu akan mentaatinya."
"Nah, pergilah cepat, muridku, pergilah sebelum kedukaan sempat menyentuh hatiku karena perpisahan ini!" suara Liu Bhok Ki terdengar keras.
Han Beng maklum akan kepedihan hati gurunya, maka dia pun segera bangkit berdiri, memberi hormat sekali lagi lalu pergi dari situ dengan langkah lebar memasuki hutan agar cepat lenyap dari pandang mata gurunya.
********************
Sinar matahari pagi mulai mengusiri kabut-kabut yang menyelubungi dusun Ki-hyan-tung. Burung-burung dan ayam jantan menyambut sinar matahari dengan kicau dan kokok mereka saling bersahutan dan penuh keriangan. Lampu-lampu yang tergantung di depan rumah-rumah kecil di dusun itu sudah mulai dipadamkan, dan sebagai gantinya, nampak asap mengepul dari dapur.
Para ibu sudah mulai memasak air, siap membuatkan minuman hangat dan sarapan untuk keluarganya. Di sana-sini terdengar teriakan ibu-ibu yang tidak sabar kepada anak-anaknya, tangis anak kecil dan teriakan anak-anak yang nyaring, gerutu para ayah dengan suara parau.
Sinar matahari mulai menghidupkan dusun itu bukan saja menggugah para penduduknya untuk mulai bekerja, dan burung-burung juga segala macam binatang, akan tetapi juga menggugah pohon-pohon besar kecil setelah mereka ini terlelap dan dingin. Para petani mulai mempersiapkan diri untuk bekerja di sawah ladang menanti sarapan sekedarnya, setidnya minuman untuk menghangatkan perut, yang sudah berpuasa semalam suntuk.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan sekelompok orang yang berpakaian perajurit seragam masuk ke dalam perkampungan itu di atas kuda mereka. Jumlah mereka ada lima puluh orang dikepalai seorang komandandan bersama dua orang pembantunya. Begitu memasuki dusun, mereka mengambil sikap mengurung, menjaga di semua penjuru, terutama di empat pintu dusun.
Mendengar derap kaki banyak kuda memasuki perkampungan mereka, para petani saling pandang dengan muka berubah. Entah siapa yang membisikkah lebih dahulu, akan tetapi kini mereka semua berbisik dengan muka ketakutan.
"Hek-i-wi...!"
Hek-i-wi (Pasukan Pakaian Hitam) sudah amat terkenal dan amat ditakuti oleh orang-orang di pedusunan. Hek-i-wi adalah pasukan yang perajuritnya berpakaian serba hitam dan tugas mereka adalah mencari dan mengumpulkan tenaga-tenaga dari rakyat jelata untuk di jadikan tenaga pekerja membangun terusan Besar. Karena pasukan Hek-i-ki menduduki tempat yang tinggi dan kekuasaan yang mutlak, bahkan para komandannya diberi hak untuk bertindak terhadap rakyat yang membangkang, maka tentu saja mereka amat ditakuti.
kekuasaan memang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi manusia. Sekali memegang kekuasaan, orang akan lupa diri dan meremehkan orang lain. Dari kekuasaan ini timbul bermacam perbuatan yang buruk dan jahat.
Orang-orang yang merasa khawatir kalau-kalau dia akan diambil dan dijadikan pekerja paksa, tidak segan-segan untuk melakukan penyuapan atau penyogokan kepada para komandan dan perajurit pasukan Hek-i-wi! Bukan hanya menyogok dengan harta milik, bahkan ada pula yang menyerahkan anak gadisnya kalau mereka melihat betapa komandan pasukan atau para perwiranya tertarik kepada anak gadisnya itu.
Biarpun pemerintah sediri mengambil kebijaksanaan untuk mengaji para pekerja, namun dalam pelaksanaannya, gaji-gaji itu tertahan dilenyap entah di tangan yang mana antara ribuan petugas itu,dan para pekerja itu bekerja tanpa digaji, bahkan ransum mereka pun dikurangi sehingaa banyak di antara mereka yang mati kelelahan atau kelaparan.
Hal ini makin menakutkan rakyat sehingga biar yang miskin sekalipun, selalu ingin menghindarkan diri agar jangan sampai diambil dan dipaksa untuk bekerja di Terusan itu. Begitu nama Hek-i-wi dibisikan, para penduduk dusun Ki-hyan-tung jadi geger! Para ibu menangis, anak-anak bersembunyi di kolong-kolong di kakus-kakus dengan tubuh menggigil para gadis yang bersembunyi karena mereka mendengar betapa perajurit Hek-i-Wi itu kasar dan mata keranjang, tak pernah melewatkan dan membiarkan saja seorang gadis dusun tanpa diganggunya.
Dan para pria dusun itu berserabutan lari keluar dari rumah dengan maksud melarikan diri keluar dari dusun agar tidak ketahuan dan tidak tertangkap. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka melihat betapa dusun itu telah dikepung dan mereka yang mencoba melarikan diri bertemu dengan cambuk-cambuk yang melecut dan tendangan kaki bersepatu yang kuat dan membuat mereka roboh terrguling! Suasana menjadi semakin gempar.
"Semua penduduk dusun ini keluar dan berkumpul di sini!" berkali-kali beberapa orang perwira berseru dengan suara lantang.
"Yang melarikan diri atau melawan akan dibunuh!"
"Laki-laki di sini dan semua perempuan dan kanak-kanak di sebelah sana!"
Dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan, semua penghuni terpaksa keluar dari rumah dan tempat persembunyian mereka. Mereka sudah medengar betapa beberapa buah dusun dibakar oleh Hek-i-wi hanya untuk memaksa para penghuninya keluar dari tempat persembunyian mereka!
Setelah semua orang berkumpul, yang pria berkelompok dikiri, yang wanita bersama anak-anak berkelompok di kanan, komandan pasukan itu berseru, "Kalian jangan takut! Kami melaksana tugas dari pemerintah untuk memberi pekerjaan kepada kalian. Kalian akan digaji dan diberi makan cukup! Juga para wanita yang terpilih akan mendapat pekerjaan dan hidup yang menyenangkan!!
Kini para pembantu komandan ini melakukan pemilihan. Pria-pria muda dan kuat, segera dipisahkan dan kedua tangan mereka dipasang borgol dengan rantai panjang. Dan segera lima puluh orang lebih pria diborgol dengan rantai yang sambung menyambung, dan ada lima belas wanita muda, baik gadis maupun sudah menikah, dipilih pula dan mereka ini dipaksa untuk memisahkan diri, lalu disuruh naik ke dalam sebuah gerobak yang sudah dipersiapkan.
Para wanita menangis, baik mereka yang dibawa maupun mereka yang ditinggalkan. Para gadis dan wanita muda itu sudah mendengar bahwa mereka yang terpilih itu akan mendapatkan pekerjaan, akan tetapi pekerjaan yang hina dan mereka akan dipaksa melayani para perajurit seperti pelacur! Dan mereka yang sudah dibawa pergi, belum pernah ada yang kembali ke dusun mereka. Juga jarang sekali ada pria yang kembali ke dusun telah mereka terpilih untuk bekerja di terusan.
Dengan diiringi jerit tangis, baik dari mereka yang menjadi tawanan maupun dari mereka yang ditinggal, pasukan Hek-i-wi itu menggiring para tawanan keluar dari dusun itu. Bunyi cambuk mereka meledak-ledak untuk menakut-nakuti mereka, dan untuk memaksa mereka yang hendak mogok untuk terus berjalan. Bagaikan sekumpulan hewan ternak yang baru dibeli, lima puluh orang laki-laki dusun itu digiring keluar dari dusun mereka, meninggalkan keluarga, rumah dan dusun mereka, mungkin untuk selamanya.
Menurut peraturan pemerintah pada waktu itu, tidak ada kerja paksa, ya ada ialah kerja wajib di mana rakyat dikenakan wajib bekerja membuat Terusan itu selama seratus hari, dan ini pun diberi gaji dan makan. Ada pula diterima wanita yang bekerja dan digaji, namun secara suka rela, untuk bekerja di dapur umum pembuatan Terusan.
Akan tetapi, sudah menjadi penyakit umum bahwa pelaksanaan suatu perintah lalu menyimpang daripada asalperitah itu sendiri. Kerja wajib menjadi keja paksa, gaji dikebiri bahkan dihilangkan sama sekali, wanita-wanita dikumpulkan dan dipaksa bekerja, bukan dengan pembuatan Terusan melainkan demi pemuasan nafsu binatang mereka!
Tak dapat disangkal bahwa di antara para petugas terdapat pula orang-orang bersih dan yang benar-benar melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Akan tetapi apakah artinya susu secangkir kalau dimasukkan ke dalam kolam yang penuh dengan air kotoran? Takkan nampak keputihan dan kebersihan susu, bahkan akan ikut menjadi kotor! Yang sedikit itu akan lenyap terselimuti yang banyak.
Komandan pasukan Hek-i-wi yang memasuki dusun Ki-nyan-tung ini bernama Bak Lok Sek, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa, bertelinga gajah dan dia memiliki ilmu silat liang-to (sepasang golok) yang amat dahsyat sehingga ditakuti banyak orang.
Juga dua orang perwira yang membantuya merupakan orang-orang pilihan dengan ilmu silat tinggi. Bahkan pasukan yang dipimpin oleh Ban Lok Sek ini merupakan pasukan pilihan, terdiri dari prajurit-prajurit yang pandai ilmu silat. Dengan pasukan istimewanya ini, Ban lok Sek menjadi raja kecil yang dapat memaksakan kehendaknya sesuka hatinya, tanpa ada yang berani menentangnya. Karena terbukti bahwa pasukan pimpinan Ban Lok Sek ini yang selalu berhasil membawa banyak tenaga baru yang patuh, maka atasannya tidak terlalu memusingkan tentang berita bahwa Ban Lok Sek dan pasukannya yang kejam terhadap rakyat.
Orang-orang dusun yang dijadikan seperti tawanan itu terhuyung-huyung berjalan di bawah ancaman cambuk-cambuk yang kadang-kadang menyentuh kulit dan menggigit, debu mengepul bawah kaki kuda-kuda yang ditunggangi pasukan itu, dan di tengah-tengah pasukan itu terdengar isak tangis para wanita yang berhimpitan di dalam gerobak yang ditarik dua ekor kuda.
Mereka yang ditinggalkan, yaitu kakek-kakek, nenek-nenak, wanita yang tidak terpilih, kanak-kanak, berkelompok di dalam dusun dan mereka itu menangis dan ratap, menangisi anak, suami, ayah, isteri atau puteri mereka yang dijadikan tawanan.
Ketika rombongan pasukan berkuda tiba di luar dusun, tiba-tiba terjadi kekacauan di barisan depan. Semua perajurit segera memacu kuda untuk melihat apa yang terjadi, dan mereka itu terkejut dan marah sekali melihat berapa orang kawan mereka sudah terjungkal dari atas kuda, dan kelihatan ada lima orang laki-laki gagah perkasa mengutik dengan pedang mereka. Agaknya amukan lima orang pria perkasa itulah yang membuat terjungkalnya lima orang prajurit terdepan. Mereka adalah jago-jagoan dari Siauw-lim-pai!
Seperti kita ketahui, kuil Siauw hm-si dibakar dan banyak pendekar Siauw-lim-pai yang tewas dalam pertempuran besar ketika Siauw-lim-si diserbu oleh pasukan pemerintah. Para murid Siauw-lim-pai melakukan perlawanan dengan hati duka karena ketua mereka telah membakar diri sampai tewas untuk memprotes tindakan pemerintah itu, dan hanya ada enam orang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dalam keadaan luka-luka.
Mereka lalu bergabung dengan para murid Siauw-lim-pai yang kebetulan berada di luar kuil dan Tidak ikut terbasmi. Para murid yang berhasil lolos itu dipimpin oleh Lie Koan Tek, pendeta Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, semenjak terjadi pembakaran kuil itu. Para pendekar Siauw lim pai hidup seorang buruan, berpencar dan Thian Hwesio sendiri, sute dari ketua Siauw-lim-pai yang membakar diri, bersembunyi di daerah selatan.
Lima orang laki-laki yang kini menyerbu pasukan yang menawan penduduk dusun Ki-nyan-tung, adalah para pendekar Siauw-lim-pai yang kebetulan lewat di dekat dusun itu. Mereka melihat apa yang terjadi dan marahlah para pendekar ini, lalu mereka mencabut pedang dan menyerang pasukan pemerintah yang bertindak sewenang-wenang itu.
Biar para pendekar ini telah kehilangan kuil dan pusat asrama mereka, namun mereka sama sekali tidak kehilangan watak kependekaran mereka, dan dengan penuh semangat mereka menyerang pasukan untuk membela para penduduk dusun yang dijadikan tawanan itu.
Tentu perwira perajurit menjadi marah melihat betapa beberapa orang kawan mereka roboh dengan luka berat, bahkan ada yang tewas. Mereka lalu menyerbu dan mengepung, mengeroyok lima orang pendekar itu dengan senjata golok dan teriak mereka, juga komandan Ban Lok Sek bersama dua orang perwira pembantunya yang lihai, sudah terjun ke dalam pertempuran itu.
Lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu terkejut ketika melihat Gerakan sepasang golok di tangan komandan itu! Mereka mengenal ilmu golok pasangan dari Siauw-lim-pai!
"Engkau murid Siauw-lim-pai!" bentak seorang di antara para pendekar Siau-lim-pai!
Ban Lok Sek tertawa dan mendengus dengan penuh ejekan. "Huh, siapa murid Siaw-lim pai yang memberontak? Memang pernah aku mempelajari ilmu golok dari Siauw-lim-pai, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku murid Siauw lim-pai!" berkata demikian, dia mendesak orang yang menjadi lawannya.
Juga dua orang perwira pembantunya menggerakkan golok mereka dan dibantu oleh pulahan orang perajurit, betapapun lihainya lima orang pendekar Siauw-Iim-pai itu, mereka mulai terdesak hebat! Namun, dengan gigih mereka melakukan perlawanan, memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh dari ancaman puluhan batang senjata yang menyambar-nyambar ganas. Karena banyaknya pengeroyok lima orang pendekar itu sukar untuk dapat membalas.
Mereka tidak memperoleh kesempatan lagi, dan terpak hanya membela diri saja tanpa tanpa membalas. Mereka berlima akhirnya te kena bacokan-bacokan dan mulai menderita luka-luka, walaupun luka ringan karena mereka memang memiliki tubuh yang kuat terlindung kekebalan, gerakan lincah dan juga putaran pedang mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan maut.
Bagaimanapun juga, kalau dilanjutkan tak lama lagi tentu lima orang pendekar itu akan roboh dan tewas di bawah pengeroyokan demikian banyaknya lawan. Mereka maklum akan hal ini, namun mereka tidak merasa gentar. Jiwa kependekaran mereka membuat mereka pantang mundur dalam menghadapi kejahatan dan penindasan. Mereka hendak menolong orang-orang dusun itu dengan taruhan nyawa mereka sendiri...