DALAM keadaan yang amat berbahaya itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar. Pemuda ini bukan lain adalah Han Beng. Dari jauh sudahdia tertarik oleh suara hiruk pikuk yang bertempur. Biarpun dia sudah menerima pesan suhunya agar tidak mencampuri urusan orang lain, namun hatinya tertarik dan dia cepat berlari menuju ke arah suara keributan itu.
Dan dia melihat puluhan orang dusun yang dibelenggu dan diikat dengan rantai panjang, melihat pula belasan orang wanita muda yang berhimpitan di dalam gerobak, dan lima orang gagah yang keroyok oleh puluhan orang perajurit dan lima orang itu telah menderita luka-luka. Melihat ini, Han Beng yang cerdik segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
Dia sendiri ketika masih kecil, lima tahun yang lalu, terpaksa harus lari mengungsi bersama ayah ibunya, karena ayahnya takut dijadikan pekerja paksa oleh pasukan pemerintah. Kini, melihat betapa puluhan orang petani dibelenggu, dan wanita-wanita muda ditawan, dia dapat menduga bahwa tentu para petani itu akan dijadikan pekerja paksa. Dan lima orang gagah itu tentulah orang-orang berhati pendekar yang hendak membela puluhan orang petani itu.
"Berhenti...! Harap hentikan perkelahian ini!" Han Beng membentak sambil mengerahkan khi-kangnya.
Suaranya melengking nyaring, mengejut semua orang dan lima orang pendekar Siauw lim pai itu mendapatkan kesempatan untuk berloncatan mundur karena para pengeroyok mereka terkejut dan menahan senjata.
"Ciang-kun, kenapakah orang-orang itu diborgol dan wanita-wanita itu tawan? Hendak dibawa ke manakah mereka, dan apa kesalahan mereka?" tanya Han Beng kepada Ban Lok Sek yang berpakaian perwira walaupun juga seragamnya itu berwarna hitam.
"Mereka ditangkap untuk dijadikan pekerja paksa membuat Terusan, dan wanita-wanita itu akan mereka perkosa, dan kami berlima mencoba untuk menolong para tawanan!" seorang pendekar Siauw lim pai cepat memberi keterangan agar pihak pasukan tidak sempat berbohong.
Mendengar ini, Ban Lok Sek yang sudah marah sekali karena ada orang berani mencampuri, menggerakkan sepasang goloknya dan menudingkan golok kanan ke arah muka Han Beng. "Bocah sombong, jangan mencampuri urusan pemerintah! Mereka itu akan diberi pekerjaan sebagai wajib kerja dan lima orang penjahat ini hendak memberontak dan menentang pemerintah! Apakah engkau juga hendak memberontak terhadap kami pasukan pemerintah?"
"Hemmm, kalau hendak memberi pekerjaan kepada para petani, bukan demikian caranya. Bukan seperti hewan digiring ke pejagalan! Dan wanita-wanita itu, mereka menangis, berarti mereka pergi karena kalian paksa..."
"Bunuh pemberontak ini!" bentak Ban Lok Sek marah.
Seorang perwira pembantunya yang lihai dalam permainan silat pedang, sudah menerjang Han Beng dengan tusukan pedang kearah pemuda remaja itu. Dia memandang rendah kepada Han Beng karena biarpun pemuda itu bertubuh tinggi besar, namun wajahnya masih menunjukkan bahwa dia masih remaja. Tusukan pedang itu cerpat sekali, hanya nampak sinar pedang kelebatan ke depan, menyambar kearah dada Han Beng.
Han Beng melihat berkelebatnya sinar pedang ke arah dada. Dengan tenang dia miringkan tubuhnya sehingga sinar pedang itu meluncur ke sisi tubuhnya dan sekali melangkah ke belakang, telah menjauhkan diri. Akan tetapi, luputnya serangan pertama itu membuat Perwira menjadi penasaran dan dia pun membalikkan pedangnya, kini pedang berubah menjadi sinar yang membabat arah leher Han Beng!
Tahulah Han Beng bahwa orang ini memang bersungguh-sungguh menyerangnya untuk membunuhnya. Dia sudah merendahkan tubuh, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan begitu pedang lewat, tangannya mendorong ke depan. Tangan itu tidak mencapai dada lawan, namun perwira itu merasa betapa ada tenaga yang hebat disertai angin mendorong dadanya sehigga dia hampir terjengkang, terhuyung-huyung kebelakang!
Terkejutlah perwira itu dan dia pun sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi mengenal orang lihai. Dia tidak lagi berani memandang rendah dan sambil mengeluarkan seruan dahsyat dia menyerang lagi ke depan sambil memutar pedangnya.
Namun, Han Beng menyambutnya dengan memutar tangan dan sebelum pedang dapat menyentuhnya, lebih dulu Han Beng sudah mengetuk lengan yang memegang pedang dari samping. Pedang itu terlepas dan tangan Han Beng meluncur terus menampar ke arah pundak kanan lawan.
"Plakkk!" Perwira itu terjungkal dan tidak bangkit kembali karena roboh pingsan.
Melihat ini, Ban Lok Sek terkejut juga marah. Dia lalu berteriak kepada perwira pembantu yang ke dua, lalu dia sendiri menggerakkan sepasang goloknya menerjang dan menyerang Han Beng dibantu oleh perwira ke dua yang memegang sebatang ruyung, masih dibantu lagi oleh beberapa orang perajurit.
Lima orang pendekar Siauw-lim menjadi gembira dan semangat mereka bangkit kembali melihat betapa permuda yang baru datang ini ternyata lihai sekali. Mereka yang sudah luka-luka kembali memutar pedang mereka lalu mengamuk. Karena kini Ban Lok Sek pembantu ke dua sedang mengeroyok Han Beng sedangkan pembantu pertama masih pingsan, maka para pendekar Siauw-lim-pai itu tidak menemukan lawan berarti dan biarpun dikeroyok oleh puluhan orang perajurit, mereka itu dapat membabat mereka sehingga banyak di antara para perajurit yang roboh.
Melihat betapa lima orang pendekar itu mengamuk Han Beng segera berseru, "Saudara-saudara harap membebaskan para tawanan dan melindungi mereka!"
Melihat betapa pemuda remaja yang amat lihai itu sama sekali tidak kelihatan terdesak oleh para pengeroyoknya bahkan masih sempat mengingatkan mereka, lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu lalu meninggalkan pasukan yang sudah mulai gentar itu, dan membebaskan para tawanan pria dan wanita, lalu mengawal mereka kembali ke dalam dusun.
Sementara itu, Han Beng dikeroyok oleh puluhan orang perajurit, dipimpin oleh Ban Lok Sek sendiri bersama seorang perwira pembantunya. Han Beng mengamuk membagi-bagi tamparan dan tendangan dan para pengeroyok itu seperti sekawanan semut mengeroyok seekor jengkerik. Banyak pengeroyok yang terlempar ke sana-sini, ada yang mengerang kesakitan, ada yang pingsan, ada pula yang mampu bangkit dan mengeroyok kembali.
Akan tetapi tidak seorang pun yang tewas. Han Beng tidak biasa membunuh orang. Biarpun gurunya seorang yang keras hati dan bertangan besi, namun Han Beng tidak mewarisi watak gurunya itu. Dia tidak mengenal para pengeroyok ini, bertemu pun satu kali, bagaimana mungkin dia begitu mudah membunuh orang?
Biarpun mereka ini bertindak kejam terhadap rakyat dusun itu, namun mereka ini bagaimanapun juga hanyalah petugas pelaksana saja.Yang menjadi biang keladi adalah atasan mereka, dan dalam hal tindakan setempat itu, tentu panglima dan perwira yang memimpin mereka ini yang tidak benar! Tiba-tiba Han Beng mengeluar suara melengking dan tubuhnya mencelat ke atas seperti terbang saja dan dari atas, tubuhnya menukik turun dan luncur ke arah kepala Ban Lok Sek perwira pembantunya!
Perwira pembantu yang memegang ruyung itu terkejut, menghantamkan ruyungnya ke atas mengararah kepala pemuda yang meluncur dari atas bagaikan seekor burung rajawali marah itu. Memang, Han Beng yang dikeroyok banyak orang itu dan tidak ingin membunuh para pengeroyok dan hanya ingin menghajar dua orang pimpinan itu, telah menggunakan satu jurus dari Hui-Tiauw Sin-kun yang membuat tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika tubuhnya meluncur bawah, dia melihat datangnya serangan ruyung dari bawah. Disambutnya ruyung itu dengan telapak tangan dan membalik, menghantam ke arah kepala perwira itu sendiri! Perwira itu terkejut, berteriak dan cepat miringkan kepalanya.
”Desssss!" Pundaknya masih terkena hantaman ruyungnya sendiri dan dia pun roboh pingsan dengan tulang pundak retak!
Melihat ini, Ban Lok Sek marah bukan main dan sepasang goloknya sudah putar cepat menyerang Han Beng sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Han Beng mengelak sambil berloncatan ke sana-sini, kedua tangannya menangkis dari kanan kiri pula, sikapnya seperti seekor burung rajawali yang menggunakan kelincahan gerakannya dan kedua sayap untuk menampar dari kanan kiri.
Tiba-tiba, dengan kecepatan kilat, Han Beng berhasil menendang tangan kiri pimpinan pasukan itu dan golok yang dipegangnya terlepas karena tangannya seperti remuk terkena tendangan. Tangan Han Beng menyambut dan memukul ke arah golok yang terlepas dan golok itu meluncur bagaikan anak panah menuju ke tubuh Ban Lok Sek.
"Cappp!" Tanpa dapat dihindarkan lagi, golok itu sudah menembus dada Ban Lok Sek yang mengeluarkan teriakan parau dan tubuhnya roboh mandi darah oleh goloknya sendiri.
Han Beng agak bergidik. Baru sekali ini dia membunuh orang dan dia terbelalak memandang. Pada saat itu, sebatang tombak menusuknya dari belakang, meluncur ke arah lambungnya. Karena Han Beng masih memandang kepada mayat Ban Lok Sek dengan bengong, kewaspadaannya lenyap dan dia tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancamnya. Baru setelah ujung tombak itu merobek baju dan sedikit kulitnya, dia terkejut dan dengan gerkan otomatis dia miringkan tubuh sambil mengerahkan tenaganya untuk melindungi lambung yang tertusuk.
Biarpun tombak itu menjadi menyeleweng namun kulit lambungnya berikut sedikit daging di bawah kulit telah robek dan darah pun membasahi bajunya. Han Beng menendang dan pemegang tombak itu terlempar sampai lima meter terbanting keras, tak mampu bangkit kembali.
Melihat betapa pemuda remaja yang lihai itu telah terluka dan darah membasahi bajunya, para perajurit menjadi bersemangat seperti gerombolan ikan mencium darah. Mereka berteriak-teriak dan menghujamkan senjata pada tubuh Han Beng. Betapapun lihainya, dikeroyok oleh puluhan orang yang haus darah ini, Han Beng yang tidak ingin membunuh mereka, menjadi repot juga!
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, anjing-anjing hina sungguh tak tahu malu, mengeroyok orang pemuda yang tidak ingin membunuh mereka!"
Dan muncullah seorang kakek yang pakaiannya tambal tambalan dan berkembang-kembang akan tetapi bersih, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, memegang sebatang tongkat butut! Dengan gaya seperti seorang memukuli segerombolan anjing dengan tongkat, pengemis tua itu mengamuk, tongkatnya menggebuk sana-sini dan setiap kali tongkatnya bergerak, pasti ada pingsan yang kena hantam, atau punggung, semua senjata yang mencoba untuk menangkis, terpental beterbangan dan sebentar saja para perajurit itu menjadi kacau balau, banyak yang mengusap punggung atau pinggul sambil berteriak-teriak kesakitan!
Melihat munculnya kakek yang lihai itu, Han Beng merasa gembira bukan main. Dia segera mengenal pakaian dan tongkat itu, dia segera menggerakkan kaki tangan menendang dan menampar merobohkan beberapa orang mengeroyok. "Suhu!" teriaknya.
"Ehhh?" Gembel tua itu menghentikan gerakan tongkatnya dan menoleh.
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang perajurit untuk membacokkan golok mereka, yang seorang membacok kepala yang kedua membacok pinggang. Kakek itu agaknya tidak melihat datangnya dua serangan ini. Setelah golok itu menyambar dekat sekali, baru dia menggerakkan tangan kirinya menyambut golok yang membacok pinggang, menerima golok itu dengan tangan kosong, sedangkan yang menyambar kepalanya dibiarkannya saja!
"Takkk!" Golok itu tepat mengenai kepala, akan tetapi terpental dan bakkan terlepas dan tangan Si pemegng, sedangkan kakek itu hanya mengusap kepalanya seperti yang kegatalan. Adapun golok yang disambut tangan kirinya, seperti terjepit baja dan pemilik golok mencoba untuk membetot dan menariknya, namun sia-sia. Ketika kakek tiba-tiba melepaskan golok itu sambil mendorongnya, tentu saja pemilik golok itu terjengkang dan kepalanya terbentur batu sehingga dia pingsan ketika.
"Heiii, jangan ngawur! Aku tidak mempunyai murid seperti engkau! Muridku berada bersama Sin-tiauw Liu Bhok Ki, di puncak Kim-hong-san!"
"Anak itu adalah teceu sendiri, Suhu! Teecu adalah Sie Han Beng, murid Suhu Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang sedang mencari Suhu untuk memenuhi janji antara Suhu berdua!"
"Heh? Benarkah? Aku pun sedang mencarimu! Dan kita bertemu di sini, ha-ha-ha-ha! Mari kita hajar anjing-anjing ini!"
Han Beng semakin gembira dan bersama gurunya yang baru itu dia mengamuk, dan makin banyak pula perajurit yang roboh. Belasan orang sisa perajurit yang melihat ini, menjadi gentar dan mereka pun melarikan diri, meninggalkan teman-teman yang terluka dan pingsan.
Kakek itu memang Sin-ciang Kai-ong. Hatinya girang bukan main melihat calon muridnya yang kini telah menjadi seorang pendekar muda remaja yang hebat! Setelah semua perajurit melarikan diri, meninggalkan mereka yang luka atau pingsan, dia lalu mengajak murid itu memasuki dusun Ki-nyan-tung.
Lima orang pendekar Siauw-lim-pai segera memberi hormat kepada Sin-cia Kai-ong dan Han Beng, memperkenalkan diri mereka sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang membela rakyat yang hendak dijadikan pekerja paksa. Sin-cia Kai-ong mengangguk-angguk dan mengacungkan jempol tangan kanannya.
"Hebat! Aku sudah mendengar tentang dibakarnya Siauw-lim-si oleh pasukan pemerintah. Sungguh pemerintah seperti dipimpin orang-orang buta, tidak tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah perkumpulan yang amat baik dan besar dan dapat bermanfaat sekali bagi kemajuan pemerintah. Hemmm, biarpun Siauw-lim-si telah terbakar, namun murid-muridnya tak pernah kehilangan kegagahannya! Han Beng, kau lihat baik-baik dan contohlah para pendekar Siauw lim-pai ini. Biarpun mengalami kepahitan bahkan pusat mereka dihancurkan pemerintah, mereka tidak pernah kehilangan semangat dan jiwa kependekaran mereka!"
Setelah berunding, lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu lalu mengatur agar seluruh penghuni Ki-nyan-tung itu mengungsi dan berpencaran, pindah ke lain dusun-dusun agar terhindar dari balas dendam pasukan pemerintah kelak. Sedangkan Sin-ciang Kai-ong lalu mengajak Han Beng meninggalkan tempat itu. Dan mulai hari itu, Raja Jembel ini mulai menggembleng Han Beng sebagai muridnya yang disayangnya.
Gadis berusia lima belas tahun itu cantik mungil. Wajahnya yang berdagu runcing itu amat manisnya, dengan kulit yang putih kemerahan, hanya memakai bedak tipis, dan merah pipinya bukan karena gincu melainkan karena sehat bagaikan setangkai bunga yang belum mekar. Bibirnya juga merah basah tanpa pemerah bibir.
Alisnya seperti dilukis, melengkung indah melindungi sepasang mata yang bersinar terang lincah, sepasang mata yang memandang dunia ini dengan penuh gairah, mata yang bening jeli bagaikan sepasang bintang. Pakaiannya indah, bahkan mewah dari sutera mahal, berkembang kuning dengan dasar merah muda, warna kesukaan gadis remaja itu.
Gadis yang memiliki bentuk tubuh ramping dengan pinggang kecil, tubuh yang belum matang benar, sedang tumbuh namun sudah menjanjikan tubuh yang indah padat berisi dengan kulit putih mulus, ia bukan lain adalah Giok Cu!
Seperti telah diceritakan bagian depan, Giok Cu dibawa pergi oleh Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu ke tempat tinggal iblis betina itu di tepi kota Ce-touw di Propinsi Shantung, hidup bersama wanita itu dan belasan orang pelayan wanita yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Karena Giok Cu seorang anak perempuan yang cantik manis, cerdik dan bocah jenaka, nakal manja, juga berbakat sekali dalam ilmu silat, pandai ketika diajar ilmu surat, maka gurunya semakin lama semakin sayang padanya, apalagi karena Ban-tok Mo-li Phang Bi cu telah kehilangan puteri tunggalnya, yaitu Sim Lan Ci, yang tidak menurut dan nekat menikah dengan Coa Siang Lee putera ketua Hek-houw-pang, Ban-Tok Mo-li melihat Giok Cu sebagai pengganti puterinya, la bukan hanya menganggap Giok Cu sebagai murid, melainkan seperti puteri kandungnya sendiri!
Karena ia takut kehilangan Giok Cu seperti ia kehilangan Lan Ci, maka begitu menjadi muridnya, Giok Cu telah dipasangi racun dengan tusukan jarum di lengan kirinya, di bawah siku. Tusukan jarum yang sudah diberi obat beracun itu meninggalkan bekas titik merah seperti tahi lalat kecil di bawah siku lengan kiri, dan tanda merah itu akan lenyap kalau Giok Cu kehilangan keperawanannya, dan akibatnya dalam satu bulan Gadis itu pun akan kehilangan nyawanya!
Ban-tok Mo-li sengaja memasang racun ini pada diri muridnya agar muridnya itu tidak berdekatan dan tidak menikah dengan pria sehingga selama akan berada didekatnya! la tidak rela kalau muridnya itu menjadi milik orang lain. Memang, jalan pikiran seorang iblis betina seperti Ban-tok Mo-li memang aneh dan tidak lumrah manusia biasa. Cinta kasihnya penuh dengan nafsu mementingkan diri sendiri, penuh dengan keakuan. Orang yang cintanya hari menjadi alat untuk memuaskan dan menyenangkan dirinya.
Ketika dipasangi racun titik merah itu, Giok Cu baru berusia sepuluh tahun. Ia tidak tahu apa-apa, maka pemasangan itu tidak dipedulikan benar. Bahkan ketika ia mulai remaja, sampai berlima belas tahun, ia masih belum memusingkan tanda tahi lalat merah itu. tetap lincah jenaka dan rajin belajar sehingga seusia itu, ia telah pandai menulis sajak dan tentang ilmu silatnya bukan hanya semua pelayan wanita rumah gurunya itu tidak ada yang mampu menandinginya, bahkan di antara kawan-kawan gurunya, yaitu orang-orang kang-ouw, tidak ada yang berani memandang rendah dan mengenal ia sebagai seorang gadis remaja yang ganas dan kedua tangan yang mungil itu dapat menyebar maut dengan mudah!
Giok Cu bagaikan setangkai bunga yang hidup di rawa-rawa yang kotor dan beracun. Gurunya, yang menganggapnya seperti puteri sendiri, amat memanjakannya. Akan tetapi, pergaulan gurunya adalah dengan orang-orang kang-ouw, orang-orang kasar dan kejam, palsu dan bahaya. Gurunya tidak pernah mau bergaul dengan rakyat jelata yang dipandangnya amat rendah. Banyak tokoh sesat berdatangan ke rumah gurunya, berkunjung dan mereka itu kadang-kadang berpesta pora melampaui batas!
Bahkan gurunya yang biasanya nampak angkuh dan dingin itu, kalau sudah bertemu seorang rekan yang menyenangkan hati, sikap tidak tahu malu, bahkan tidak segan-segan untuk bercumbu di depan siapapun, bahkan di depan Giok Cu! Karena semua ini, kadang-kadang di dalam hati Giok Cu timbul rasa benci dan muak! Bagaikan setangkai bunga, Giok Cu seperti bunga teratai, biarpun hidup di rawa berlumpur, tetap bersih berseri!
Hal ini adalah karena ketika ikut dengan Ban tok Mo-li, ia telah berusia sepulu tahun dan ia sudah diajar kesusilaan oleh mendiang ayahnya, seorang lurah di Kong-cung. Pelajaran yang diterima dari ayah ibunya itu telah mengakar dibatinnya sehingga kini, walaupun pergaulannya dengan orang-orang kang-ouw yang kasar dan kadang-kadang cabul, ia tidak sampai ketularan penyakit itu.
Pada waktu itu, Ban-tok Mo-li sedang menjamu kunjungan belasan orang rekannya, yaitu tokoh-tokoh dunia sesat. Di antara para tokoh sesat itu terdapat beberapa orang tokoh muda yang pandang matanya membuat Giok Cu merasa muak. Mata mereka itu seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat kalau memandang kepadanya, bahkan ada yang seperti menelusuri dan meraba-raba dengan pandang mata mereka!
Mula-mud Giok Cu memang merasa bangga dari sengaja ia menggoda dengan sikapnya yang lincah Jenaka sehingga mereka menjadi semakin terpesona. Giok Cu sengaja menggerak-gerakkan tubuhnya, meliuk-liuk dan menonjolkan dadanya yang sudah mulai membusung, mengobral senyumnya yang amat manis sehingga para tokoh sesat muda itu seperti tergila-gila. Akan tetapi, lama-kelamaan Giok Cu menjadi bosan juga dan siang hari itu ia meninggalkan rumah gurunya, meninggalkan para tamu yang sedang dijamu itu untuk pergi ke tepi laut yang berada tak jauh dari kota itu.
Ceng-touw memang terletak di tepi laut, menghadapi Lautan Kuning. Bahkan selama lima tahun ini, Giok Cu berkenalan dengan seorang kakek nelayan yang pandai sekali berenang. Kakek itu sayang kepadanya dan ia mengajarkan ilmu bermain di dalam air kepada Giok Cu. Kini Giok Cu juga pandai sekali berenang, menyelam ke dalam air bahkan pandai menangkap ikan begitu saja di dalam air, menyambar dengan kedua tangannya!
Kini kakek itu telah meninggal dunia, setahun yang lalu dan Giok Cu merasa kehilangan. Namun, ia telah mewarisi ilmu di dalam air yang diajarkan kakek nelayan itu dan seringkali para nelayan sendiri merasa kagum kalau melihat Giok Cu berenang, menyelam di menangkap ikan! Tidak ada seorangpun di antara para nelayan itu, yang sejak kecil berkecimpung di lautan, dapat mengatasi Giok Cu dalam hal bermain dalam air.
Pantai itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun. Para nelayan sudah berangkat sejak pagi tadi, layar mereka ada yang nampak dari pantai itu, merupakan titik-titik hitam kecil. Kala para nelayan sedang berada di tengah lautan, pantai itu memang sunyi. Kalau para nelayan pulang, barulah ramai pantai itu menjadi seperti pasar di mana orang-orang dari kota berdatangan untuk membeli ikan yang masih segar.
Giok Cu duduk di atas pasir yang lembut putih kekuningan. Angin laut bertiup kencang, membuat rambutnya awut-awutan. Bau air laut segar dan melegakan dada. Giok Cu menghirup udara dalam-dalam, merasa dadanya mekar dan hawa sejuk hangat memasuki paru-parunya. Ia bangkit berdiri dan mengatur pernapasan seperti diajarkan oleh mendiang kakek nelayan.
la berdiri tegak, kedua kaki agak terpentang, lalu ia mengembangkan kedua tangan dari depan ke atas sambil menarik napas sebanyaknya sampai kedua paru-parunya penuh sesak, dadanya mengembang besar. Setelah paru-parunya tidak dapat menampung lagi, dengan kedua tangan tetap di atas, ia menahan napas, kemudian mengerahkan tenaga untuk menekan dada dan mengembangkan perutnya. Dadanya mengempis dan perutnya mengembang, seolah-olah hawa yang berada di dadanya itu turun ke perut!
Ia lakukan ini beberapa kali, kemudian ia mengempiskan perut mengembangkan dada kembali dan mengeluarkan napas perlahan-lahan sampai habis sama sekali, sampai kedua paru-parunya kempis sama sekali. Diulangnya beberapa kali, lalu ia mengambil napas dengan cara yang sebaliknya. Ketika menarik napas, ia bukan mengembangkan dada melainkan mengembangkan perutnya, seolah-olah hawa itu disedotnya ke dalam perut sampai sepenuhnya. Kemudian, ia menarik napas dan "mengoper" hawa di perut itu naik ke dada, turun lagi dan akhirnya pun membuang napas perlahan-lahan seperti tadi, dari perut.
Melihat kanan kiri tidak ada orang, timbul keinginannya untuk bermain-main di pantai itu. Dari rumah memang ia sudah membawa ganti pakaian. Pakaian pengganti itu ia letakkan di atas pantai yang tidak tersentuh air, ditindih dengan batu agar tidak terbawa kabur angin, kemudian melepas sepatunya, melepas tusuk konde dan hiasan rambut, dan berlarilah ia hanya mengenakan pakaian dalam yang ringkas berwarna merah muda, dan di lain saat ia telah meloncat ke dalam air yang bergelombang!
Terdengar gadis remaja itu tertawa-tawa riang seorang diri ketika bermain-main dengan ombak. Kalau ada ombak datang bergulung-gulung, ia meloncat dan menyambut gelombang itu, menyelam ke bawah gelombang, kemudian muncul dibelakangnya. Rasanya seperti bermain-main dengan kawan-kawan yang akrab, yang merangkulnya, menggelitiknya, dan mengajaknya bermain-main dengan gembira sekali. Air yang dingin sejuk itu sungguh nyaman terasa membungkus kulitnya.
Ia juga kuat sekali menyelam. Bahkan jauh lebih kuat daripada mendiang kakek nelayan yang menjadi gurunya. Hal ini adalah karena Giok Cu telah menerima gemblengan dari Ban-tok Mo-li dan telah menghimpun tenaga sakti. Sinkangnya membuat ia mampu menahan napas sampai jauh lebih lama daripada guru renangnya sendiri, apalagi dibandingkan orang lain.
Orang akan berdebar tegang dan khawatir kalau melihat gadis remaja ini menyelam dan mengejar ikan di dalam air. Rasanya seperti berjam-jam walaupun sesungguhnya hanya kurang lebih sepuluh menit saja. Akan tetap sepuluh menit ini sudah merupakan hal yang hebat dan jarang ada orang mampu melakukannya.
Dan gadis ini memang cerdik sekali, pandai mencari akal. la "menciptakan" sendiri alat untuk bernapas di dalam air, yaitu sebatang jerami panjang yang tengahnya berlubang, ujung batang itu dipasangi kayu kering sehingga terapung terus, dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam mulutnya. Dengan alat ini, ia mampu menyelam sampai lama sekali karena ia dapat menghirup udara lewat batang jerami itu!
Sampai sejam lebih lamanya Giok Cu bermain di lautan itu. Akhirnya ia merasa cukup puas dan berenang ke tepi. Akan tetapi, alangkah kaget dan dongkolnya ketika ia melihat seorang pemuda duduk di dekat tempat ia menaruh pakaian penggantinya tadi. Dan yang lebih menjengkelkan hatinya lagi, pemuda itu dikenalnya sebagai pemuda yang paling genit dan ceriwis di antara semua orang muda yang kini menjadi tamu gurunya selama beberapa hari ini.
Bahkan ia tahu pula bahwa pemuda itu bernama Siangkoan Tek, putera dari Siangkoan Bok yang merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu, seorang yang kabarnya kaya raya dan berpengaruh, ia mempunyai banyak anak buah dan menjadi bajak laut yang amat disegani dan ditakuti?
Siangkoan Tek itu seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang mata keranjang, tinggi kurus namun tampan dan pesolek. Pemuda itu ceriwis dan genit juga cabul dan sudah seringkali menggodanya, bahkan pernah beberapa kali didampratnya! Namun gurunya adalah sahabat baik ayah pemuda itu, bahkan sikap gurunya terhadap pemuda tampan ini pun kadang memuakkan hati Giok Cu.
Mau apa pemuda itu berada di pantai dan mendekati pakaian penggantinya yang ditindih batu di atas pasir itu? Giok Cu keluar dari dalam air dan berjalan di atas pasir menuju ke tempat pemuda itu duduk di atas pasir. Akan tetapi ia teringat akan pakaiannya yang basah, pakaian dalam lagi di dalam keadaan basah itu pakaiannya melekat dan mencetak tubuhnya, membuat tubuhnya membayang dan nampak lekuk lengkungnya.
Perasaan rikuh dan malu membuat wajah Giok Cu kemerahan apalagi melihat pemuda itu memandang kepadanya dengan mata melotot seolah-olah biji kedua matanya hampir melompat keluar dan mulutnya ternganga. Pandang mata itu menyapu dan seperti mencengkeram beberapa bagian tubuhnya sehingga bagian-bagian tertentu itu terasa seperti digelitik.
"Kenapa engkau memandang seperti itu, sampai biji matamu mau copot!" bentaknya marah.
Yang dibentak malah tersenyum, lalu menarik napas panjang, seolah-olah baru sadar dari mimpi yang amat indah. “Aduhai… Adik Giok Cu… engkau sungguh cantik jelita tubuhmu itu… ah, aku bisa gila kalau tidak kau beri cium satu kali saja pada mulutmu…!"
Sepasang mata yang jeli dan bening itu seperti memancarkan sinar berapi. "Siangkoan Tek, mulutmu sungguh busuk!"
"Eiiit, eiiit, engkau baru berusia lima belas tahun dan aku sudah dua puluh tahun, Nona Manis, sepatutnya engkau menyebut aku toako seperti yang sudah-sudah. Bukankah gurumu sendiri menyuruh engkau menyebut toako kepadaku?"
"Toako hidungmu! Siapa sudi menyebutmu toako? Engkau berhati kotor, mata keranjang, hidung belang, genit dan ceriwis! Hayo cepat kau pergi dari situ dan tinggalkan aku sendirian. Aku mau berganti pakaian kering!"
Kembali sepasang mata yang nakal itu menjelajahi tubuh Giok Cu, membuat gadis itu ingin sekali menutupi tubuhnya bagian depan dengan tangan atau pakaian kering.
"Aduh, bukan main indahnya tubuhmu," pemuda itu terang-terangan menelan ludah. "Bagaimana kalau aku yang menggantikan pakaianmu?" Dia mengambil pakaian kering itu dari bawah tindihan batu.
"Berikan pakaianku, engkau keparat!" Giok Cu sudah marah sekali dan memaki.
"Aduh, bukan main! Kalau marah mulutmu cemberut matamu terbelak semakin cantik saja. Siauw-moi, aku cinta padamu, dan aku akan minta pada Ayahku untuk meminangmu menjadi isteriku. Siauw-moi, berilah aku sebuah ciuman saja dan aku akan pergi tidak mengganggumu lagi."
"Ngaco! Siangkoan Tek, sekali lagi, berikan pakaianku dan pergi dari sini!"
"Pakaian ini?" Dia mendekatkan pakaian itu ke depan mukanya dan menyedotnya. "Aih, wangiiiiii…! Kau mau pakaian ini? Boleh, ditukar dulu dengan ciuman satu kali!"
"Jahanam busuk, engkau mau menghinaku?" bentak Giok Cu, kini tak dapat lagi ia menahan kemarahannya, dan dengan cepat ia sudah menerjang dengan tangan kanan memukul ke arah muka Siangkoan Tek, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pakaian yang dibawa pemuda itu.
"Wuuuuuttttt! Siuuuuuttttt!"
Kedua tangan gadis remaja itu mengandung tenaga pukulan yang cukup dahsyat karena selama lima tahun ini ia telah banyak mempelajari ilmu-ilmu silat dari gurunya, dan sudah berhasil menghimpun sin-kang yang kuat, apalagi karena ia pernah minum darah "anak naga" itu walaupun tidak begitu banyak.
Namun, Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang tingkat ilmu silatnya sudah cukup tinggi, masih setingkat lebih tinggi dibandingkan Giok Cu, apalagi dia sudah mempunyai banyak pengalaman berkelahi ketika dia memimpin anak buah ayahnya membajak kapal dan perahu di tengah lautan dan bertempur melawan pemilik kapal yang dibajak.
"Eiiiiittttt… heeeiiiii… sayang tidak kena, Nona Manis!" Dengan cekatan, Siangkoan Tek melompat ke samping untuk menghindarkan diri, dan mengangkat pakaian itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. "Hayo tukar pakaian ini dengan ciuman di mulutmu. Satu kali saja..."
"Jahanam busuk, kubunuh engkau Giok Cu membentak dan ia terus menyerang lagi dengan lebih ganas.
Namun kembali pemuda itu dapat mengelak dengan berlompatan, dia pun sudah berapa kali mengelak dari terkaman terjangan gadis itu. Kemudian, melihat betapa gadis itu cukup lincah dan merupakan lawan yang cukup berbahaya, lalu menyelipkan pakaian Giok Cu itu di ikat pinggangnya, dan dia melayani Giok Cu dengan kedua tangannya. Kini dia bukan hanya mengelak, melainkan kadang-kadang menangkis dan setiap kali menangkis, dia sengaja mengusap lengan gadis itu.
"Aduh halusnya, mulusnya, hangat lagi…!"
Giok Cu semakin marah. Tiba-tiba dia mencengkeram dengan lengan kirinya ke arah muka Siangkoan Tek, sedangkan tangan kanannya, dengan kecepatan kilat menonjok ke arah lambung. Serangan ini hebat sekali, namun agaknya Siangkoan Tek sudah dapat menduganya. Dia menangkis cengkeraman ke mukanya, lalu menangkap tangan yang menonjok, ditariknya tangan itu dan diciumnya sampai berbunyi "ngok"!
"Jahanam busuk, anjing kau, buaya kau, monyet kau!" Giok Cu memaki-maki sambil sibuk mengusapi tangan yang dicium tadi dengan ujung pakaiannya yang basah.
Melihat ulah gadis itu, Siangkoan Tek tertawa geli. "Aih, baru tangannya sudah sedap sekali dicium, apalagi bibirnya...!"
Dan dia melihat puluhan orang dusun yang dibelenggu dan diikat dengan rantai panjang, melihat pula belasan orang wanita muda yang berhimpitan di dalam gerobak, dan lima orang gagah yang keroyok oleh puluhan orang perajurit dan lima orang itu telah menderita luka-luka. Melihat ini, Han Beng yang cerdik segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
Dia sendiri ketika masih kecil, lima tahun yang lalu, terpaksa harus lari mengungsi bersama ayah ibunya, karena ayahnya takut dijadikan pekerja paksa oleh pasukan pemerintah. Kini, melihat betapa puluhan orang petani dibelenggu, dan wanita-wanita muda ditawan, dia dapat menduga bahwa tentu para petani itu akan dijadikan pekerja paksa. Dan lima orang gagah itu tentulah orang-orang berhati pendekar yang hendak membela puluhan orang petani itu.
"Berhenti...! Harap hentikan perkelahian ini!" Han Beng membentak sambil mengerahkan khi-kangnya.
Suaranya melengking nyaring, mengejut semua orang dan lima orang pendekar Siauw lim pai itu mendapatkan kesempatan untuk berloncatan mundur karena para pengeroyok mereka terkejut dan menahan senjata.
"Ciang-kun, kenapakah orang-orang itu diborgol dan wanita-wanita itu tawan? Hendak dibawa ke manakah mereka, dan apa kesalahan mereka?" tanya Han Beng kepada Ban Lok Sek yang berpakaian perwira walaupun juga seragamnya itu berwarna hitam.
"Mereka ditangkap untuk dijadikan pekerja paksa membuat Terusan, dan wanita-wanita itu akan mereka perkosa, dan kami berlima mencoba untuk menolong para tawanan!" seorang pendekar Siauw lim pai cepat memberi keterangan agar pihak pasukan tidak sempat berbohong.
Mendengar ini, Ban Lok Sek yang sudah marah sekali karena ada orang berani mencampuri, menggerakkan sepasang goloknya dan menudingkan golok kanan ke arah muka Han Beng. "Bocah sombong, jangan mencampuri urusan pemerintah! Mereka itu akan diberi pekerjaan sebagai wajib kerja dan lima orang penjahat ini hendak memberontak dan menentang pemerintah! Apakah engkau juga hendak memberontak terhadap kami pasukan pemerintah?"
"Hemmm, kalau hendak memberi pekerjaan kepada para petani, bukan demikian caranya. Bukan seperti hewan digiring ke pejagalan! Dan wanita-wanita itu, mereka menangis, berarti mereka pergi karena kalian paksa..."
"Bunuh pemberontak ini!" bentak Ban Lok Sek marah.
Seorang perwira pembantunya yang lihai dalam permainan silat pedang, sudah menerjang Han Beng dengan tusukan pedang kearah pemuda remaja itu. Dia memandang rendah kepada Han Beng karena biarpun pemuda itu bertubuh tinggi besar, namun wajahnya masih menunjukkan bahwa dia masih remaja. Tusukan pedang itu cerpat sekali, hanya nampak sinar pedang kelebatan ke depan, menyambar kearah dada Han Beng.
Han Beng melihat berkelebatnya sinar pedang ke arah dada. Dengan tenang dia miringkan tubuhnya sehingga sinar pedang itu meluncur ke sisi tubuhnya dan sekali melangkah ke belakang, telah menjauhkan diri. Akan tetapi, luputnya serangan pertama itu membuat Perwira menjadi penasaran dan dia pun membalikkan pedangnya, kini pedang berubah menjadi sinar yang membabat arah leher Han Beng!
Tahulah Han Beng bahwa orang ini memang bersungguh-sungguh menyerangnya untuk membunuhnya. Dia sudah merendahkan tubuh, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan begitu pedang lewat, tangannya mendorong ke depan. Tangan itu tidak mencapai dada lawan, namun perwira itu merasa betapa ada tenaga yang hebat disertai angin mendorong dadanya sehigga dia hampir terjengkang, terhuyung-huyung kebelakang!
Terkejutlah perwira itu dan dia pun sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi mengenal orang lihai. Dia tidak lagi berani memandang rendah dan sambil mengeluarkan seruan dahsyat dia menyerang lagi ke depan sambil memutar pedangnya.
Namun, Han Beng menyambutnya dengan memutar tangan dan sebelum pedang dapat menyentuhnya, lebih dulu Han Beng sudah mengetuk lengan yang memegang pedang dari samping. Pedang itu terlepas dan tangan Han Beng meluncur terus menampar ke arah pundak kanan lawan.
"Plakkk!" Perwira itu terjungkal dan tidak bangkit kembali karena roboh pingsan.
Melihat ini, Ban Lok Sek terkejut juga marah. Dia lalu berteriak kepada perwira pembantu yang ke dua, lalu dia sendiri menggerakkan sepasang goloknya menerjang dan menyerang Han Beng dibantu oleh perwira ke dua yang memegang sebatang ruyung, masih dibantu lagi oleh beberapa orang perajurit.
Lima orang pendekar Siauw-lim menjadi gembira dan semangat mereka bangkit kembali melihat betapa permuda yang baru datang ini ternyata lihai sekali. Mereka yang sudah luka-luka kembali memutar pedang mereka lalu mengamuk. Karena kini Ban Lok Sek pembantu ke dua sedang mengeroyok Han Beng sedangkan pembantu pertama masih pingsan, maka para pendekar Siauw-lim-pai itu tidak menemukan lawan berarti dan biarpun dikeroyok oleh puluhan orang perajurit, mereka itu dapat membabat mereka sehingga banyak di antara para perajurit yang roboh.
Melihat betapa lima orang pendekar itu mengamuk Han Beng segera berseru, "Saudara-saudara harap membebaskan para tawanan dan melindungi mereka!"
Melihat betapa pemuda remaja yang amat lihai itu sama sekali tidak kelihatan terdesak oleh para pengeroyoknya bahkan masih sempat mengingatkan mereka, lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu lalu meninggalkan pasukan yang sudah mulai gentar itu, dan membebaskan para tawanan pria dan wanita, lalu mengawal mereka kembali ke dalam dusun.
Sementara itu, Han Beng dikeroyok oleh puluhan orang perajurit, dipimpin oleh Ban Lok Sek sendiri bersama seorang perwira pembantunya. Han Beng mengamuk membagi-bagi tamparan dan tendangan dan para pengeroyok itu seperti sekawanan semut mengeroyok seekor jengkerik. Banyak pengeroyok yang terlempar ke sana-sini, ada yang mengerang kesakitan, ada yang pingsan, ada pula yang mampu bangkit dan mengeroyok kembali.
Akan tetapi tidak seorang pun yang tewas. Han Beng tidak biasa membunuh orang. Biarpun gurunya seorang yang keras hati dan bertangan besi, namun Han Beng tidak mewarisi watak gurunya itu. Dia tidak mengenal para pengeroyok ini, bertemu pun satu kali, bagaimana mungkin dia begitu mudah membunuh orang?
Biarpun mereka ini bertindak kejam terhadap rakyat dusun itu, namun mereka ini bagaimanapun juga hanyalah petugas pelaksana saja.Yang menjadi biang keladi adalah atasan mereka, dan dalam hal tindakan setempat itu, tentu panglima dan perwira yang memimpin mereka ini yang tidak benar! Tiba-tiba Han Beng mengeluar suara melengking dan tubuhnya mencelat ke atas seperti terbang saja dan dari atas, tubuhnya menukik turun dan luncur ke arah kepala Ban Lok Sek perwira pembantunya!
Perwira pembantu yang memegang ruyung itu terkejut, menghantamkan ruyungnya ke atas mengararah kepala pemuda yang meluncur dari atas bagaikan seekor burung rajawali marah itu. Memang, Han Beng yang dikeroyok banyak orang itu dan tidak ingin membunuh para pengeroyok dan hanya ingin menghajar dua orang pimpinan itu, telah menggunakan satu jurus dari Hui-Tiauw Sin-kun yang membuat tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika tubuhnya meluncur bawah, dia melihat datangnya serangan ruyung dari bawah. Disambutnya ruyung itu dengan telapak tangan dan membalik, menghantam ke arah kepala perwira itu sendiri! Perwira itu terkejut, berteriak dan cepat miringkan kepalanya.
”Desssss!" Pundaknya masih terkena hantaman ruyungnya sendiri dan dia pun roboh pingsan dengan tulang pundak retak!
Melihat ini, Ban Lok Sek marah bukan main dan sepasang goloknya sudah putar cepat menyerang Han Beng sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Han Beng mengelak sambil berloncatan ke sana-sini, kedua tangannya menangkis dari kanan kiri pula, sikapnya seperti seekor burung rajawali yang menggunakan kelincahan gerakannya dan kedua sayap untuk menampar dari kanan kiri.
Tiba-tiba, dengan kecepatan kilat, Han Beng berhasil menendang tangan kiri pimpinan pasukan itu dan golok yang dipegangnya terlepas karena tangannya seperti remuk terkena tendangan. Tangan Han Beng menyambut dan memukul ke arah golok yang terlepas dan golok itu meluncur bagaikan anak panah menuju ke tubuh Ban Lok Sek.
"Cappp!" Tanpa dapat dihindarkan lagi, golok itu sudah menembus dada Ban Lok Sek yang mengeluarkan teriakan parau dan tubuhnya roboh mandi darah oleh goloknya sendiri.
Han Beng agak bergidik. Baru sekali ini dia membunuh orang dan dia terbelalak memandang. Pada saat itu, sebatang tombak menusuknya dari belakang, meluncur ke arah lambungnya. Karena Han Beng masih memandang kepada mayat Ban Lok Sek dengan bengong, kewaspadaannya lenyap dan dia tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancamnya. Baru setelah ujung tombak itu merobek baju dan sedikit kulitnya, dia terkejut dan dengan gerkan otomatis dia miringkan tubuh sambil mengerahkan tenaganya untuk melindungi lambung yang tertusuk.
Biarpun tombak itu menjadi menyeleweng namun kulit lambungnya berikut sedikit daging di bawah kulit telah robek dan darah pun membasahi bajunya. Han Beng menendang dan pemegang tombak itu terlempar sampai lima meter terbanting keras, tak mampu bangkit kembali.
Melihat betapa pemuda remaja yang lihai itu telah terluka dan darah membasahi bajunya, para perajurit menjadi bersemangat seperti gerombolan ikan mencium darah. Mereka berteriak-teriak dan menghujamkan senjata pada tubuh Han Beng. Betapapun lihainya, dikeroyok oleh puluhan orang yang haus darah ini, Han Beng yang tidak ingin membunuh mereka, menjadi repot juga!
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, anjing-anjing hina sungguh tak tahu malu, mengeroyok orang pemuda yang tidak ingin membunuh mereka!"
Dan muncullah seorang kakek yang pakaiannya tambal tambalan dan berkembang-kembang akan tetapi bersih, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, memegang sebatang tongkat butut! Dengan gaya seperti seorang memukuli segerombolan anjing dengan tongkat, pengemis tua itu mengamuk, tongkatnya menggebuk sana-sini dan setiap kali tongkatnya bergerak, pasti ada pingsan yang kena hantam, atau punggung, semua senjata yang mencoba untuk menangkis, terpental beterbangan dan sebentar saja para perajurit itu menjadi kacau balau, banyak yang mengusap punggung atau pinggul sambil berteriak-teriak kesakitan!
Melihat munculnya kakek yang lihai itu, Han Beng merasa gembira bukan main. Dia segera mengenal pakaian dan tongkat itu, dia segera menggerakkan kaki tangan menendang dan menampar merobohkan beberapa orang mengeroyok. "Suhu!" teriaknya.
"Ehhh?" Gembel tua itu menghentikan gerakan tongkatnya dan menoleh.
Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang perajurit untuk membacokkan golok mereka, yang seorang membacok kepala yang kedua membacok pinggang. Kakek itu agaknya tidak melihat datangnya dua serangan ini. Setelah golok itu menyambar dekat sekali, baru dia menggerakkan tangan kirinya menyambut golok yang membacok pinggang, menerima golok itu dengan tangan kosong, sedangkan yang menyambar kepalanya dibiarkannya saja!
"Takkk!" Golok itu tepat mengenai kepala, akan tetapi terpental dan bakkan terlepas dan tangan Si pemegng, sedangkan kakek itu hanya mengusap kepalanya seperti yang kegatalan. Adapun golok yang disambut tangan kirinya, seperti terjepit baja dan pemilik golok mencoba untuk membetot dan menariknya, namun sia-sia. Ketika kakek tiba-tiba melepaskan golok itu sambil mendorongnya, tentu saja pemilik golok itu terjengkang dan kepalanya terbentur batu sehingga dia pingsan ketika.
"Heiii, jangan ngawur! Aku tidak mempunyai murid seperti engkau! Muridku berada bersama Sin-tiauw Liu Bhok Ki, di puncak Kim-hong-san!"
"Anak itu adalah teceu sendiri, Suhu! Teecu adalah Sie Han Beng, murid Suhu Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang sedang mencari Suhu untuk memenuhi janji antara Suhu berdua!"
"Heh? Benarkah? Aku pun sedang mencarimu! Dan kita bertemu di sini, ha-ha-ha-ha! Mari kita hajar anjing-anjing ini!"
Han Beng semakin gembira dan bersama gurunya yang baru itu dia mengamuk, dan makin banyak pula perajurit yang roboh. Belasan orang sisa perajurit yang melihat ini, menjadi gentar dan mereka pun melarikan diri, meninggalkan teman-teman yang terluka dan pingsan.
Kakek itu memang Sin-ciang Kai-ong. Hatinya girang bukan main melihat calon muridnya yang kini telah menjadi seorang pendekar muda remaja yang hebat! Setelah semua perajurit melarikan diri, meninggalkan mereka yang luka atau pingsan, dia lalu mengajak murid itu memasuki dusun Ki-nyan-tung.
Lima orang pendekar Siauw-lim-pai segera memberi hormat kepada Sin-cia Kai-ong dan Han Beng, memperkenalkan diri mereka sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang membela rakyat yang hendak dijadikan pekerja paksa. Sin-cia Kai-ong mengangguk-angguk dan mengacungkan jempol tangan kanannya.
"Hebat! Aku sudah mendengar tentang dibakarnya Siauw-lim-si oleh pasukan pemerintah. Sungguh pemerintah seperti dipimpin orang-orang buta, tidak tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah perkumpulan yang amat baik dan besar dan dapat bermanfaat sekali bagi kemajuan pemerintah. Hemmm, biarpun Siauw-lim-si telah terbakar, namun murid-muridnya tak pernah kehilangan kegagahannya! Han Beng, kau lihat baik-baik dan contohlah para pendekar Siauw lim-pai ini. Biarpun mengalami kepahitan bahkan pusat mereka dihancurkan pemerintah, mereka tidak pernah kehilangan semangat dan jiwa kependekaran mereka!"
Setelah berunding, lima orang pendekar Siauw-lim-pai itu lalu mengatur agar seluruh penghuni Ki-nyan-tung itu mengungsi dan berpencaran, pindah ke lain dusun-dusun agar terhindar dari balas dendam pasukan pemerintah kelak. Sedangkan Sin-ciang Kai-ong lalu mengajak Han Beng meninggalkan tempat itu. Dan mulai hari itu, Raja Jembel ini mulai menggembleng Han Beng sebagai muridnya yang disayangnya.
********************
Gadis berusia lima belas tahun itu cantik mungil. Wajahnya yang berdagu runcing itu amat manisnya, dengan kulit yang putih kemerahan, hanya memakai bedak tipis, dan merah pipinya bukan karena gincu melainkan karena sehat bagaikan setangkai bunga yang belum mekar. Bibirnya juga merah basah tanpa pemerah bibir.
Alisnya seperti dilukis, melengkung indah melindungi sepasang mata yang bersinar terang lincah, sepasang mata yang memandang dunia ini dengan penuh gairah, mata yang bening jeli bagaikan sepasang bintang. Pakaiannya indah, bahkan mewah dari sutera mahal, berkembang kuning dengan dasar merah muda, warna kesukaan gadis remaja itu.
Gadis yang memiliki bentuk tubuh ramping dengan pinggang kecil, tubuh yang belum matang benar, sedang tumbuh namun sudah menjanjikan tubuh yang indah padat berisi dengan kulit putih mulus, ia bukan lain adalah Giok Cu!
Seperti telah diceritakan bagian depan, Giok Cu dibawa pergi oleh Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu ke tempat tinggal iblis betina itu di tepi kota Ce-touw di Propinsi Shantung, hidup bersama wanita itu dan belasan orang pelayan wanita yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Karena Giok Cu seorang anak perempuan yang cantik manis, cerdik dan bocah jenaka, nakal manja, juga berbakat sekali dalam ilmu silat, pandai ketika diajar ilmu surat, maka gurunya semakin lama semakin sayang padanya, apalagi karena Ban-tok Mo-li Phang Bi cu telah kehilangan puteri tunggalnya, yaitu Sim Lan Ci, yang tidak menurut dan nekat menikah dengan Coa Siang Lee putera ketua Hek-houw-pang, Ban-Tok Mo-li melihat Giok Cu sebagai pengganti puterinya, la bukan hanya menganggap Giok Cu sebagai murid, melainkan seperti puteri kandungnya sendiri!
Karena ia takut kehilangan Giok Cu seperti ia kehilangan Lan Ci, maka begitu menjadi muridnya, Giok Cu telah dipasangi racun dengan tusukan jarum di lengan kirinya, di bawah siku. Tusukan jarum yang sudah diberi obat beracun itu meninggalkan bekas titik merah seperti tahi lalat kecil di bawah siku lengan kiri, dan tanda merah itu akan lenyap kalau Giok Cu kehilangan keperawanannya, dan akibatnya dalam satu bulan Gadis itu pun akan kehilangan nyawanya!
Ban-tok Mo-li sengaja memasang racun ini pada diri muridnya agar muridnya itu tidak berdekatan dan tidak menikah dengan pria sehingga selama akan berada didekatnya! la tidak rela kalau muridnya itu menjadi milik orang lain. Memang, jalan pikiran seorang iblis betina seperti Ban-tok Mo-li memang aneh dan tidak lumrah manusia biasa. Cinta kasihnya penuh dengan nafsu mementingkan diri sendiri, penuh dengan keakuan. Orang yang cintanya hari menjadi alat untuk memuaskan dan menyenangkan dirinya.
Ketika dipasangi racun titik merah itu, Giok Cu baru berusia sepuluh tahun. Ia tidak tahu apa-apa, maka pemasangan itu tidak dipedulikan benar. Bahkan ketika ia mulai remaja, sampai berlima belas tahun, ia masih belum memusingkan tanda tahi lalat merah itu. tetap lincah jenaka dan rajin belajar sehingga seusia itu, ia telah pandai menulis sajak dan tentang ilmu silatnya bukan hanya semua pelayan wanita rumah gurunya itu tidak ada yang mampu menandinginya, bahkan di antara kawan-kawan gurunya, yaitu orang-orang kang-ouw, tidak ada yang berani memandang rendah dan mengenal ia sebagai seorang gadis remaja yang ganas dan kedua tangan yang mungil itu dapat menyebar maut dengan mudah!
Giok Cu bagaikan setangkai bunga yang hidup di rawa-rawa yang kotor dan beracun. Gurunya, yang menganggapnya seperti puteri sendiri, amat memanjakannya. Akan tetapi, pergaulan gurunya adalah dengan orang-orang kang-ouw, orang-orang kasar dan kejam, palsu dan bahaya. Gurunya tidak pernah mau bergaul dengan rakyat jelata yang dipandangnya amat rendah. Banyak tokoh sesat berdatangan ke rumah gurunya, berkunjung dan mereka itu kadang-kadang berpesta pora melampaui batas!
Bahkan gurunya yang biasanya nampak angkuh dan dingin itu, kalau sudah bertemu seorang rekan yang menyenangkan hati, sikap tidak tahu malu, bahkan tidak segan-segan untuk bercumbu di depan siapapun, bahkan di depan Giok Cu! Karena semua ini, kadang-kadang di dalam hati Giok Cu timbul rasa benci dan muak! Bagaikan setangkai bunga, Giok Cu seperti bunga teratai, biarpun hidup di rawa berlumpur, tetap bersih berseri!
Hal ini adalah karena ketika ikut dengan Ban tok Mo-li, ia telah berusia sepulu tahun dan ia sudah diajar kesusilaan oleh mendiang ayahnya, seorang lurah di Kong-cung. Pelajaran yang diterima dari ayah ibunya itu telah mengakar dibatinnya sehingga kini, walaupun pergaulannya dengan orang-orang kang-ouw yang kasar dan kadang-kadang cabul, ia tidak sampai ketularan penyakit itu.
Pada waktu itu, Ban-tok Mo-li sedang menjamu kunjungan belasan orang rekannya, yaitu tokoh-tokoh dunia sesat. Di antara para tokoh sesat itu terdapat beberapa orang tokoh muda yang pandang matanya membuat Giok Cu merasa muak. Mata mereka itu seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat kalau memandang kepadanya, bahkan ada yang seperti menelusuri dan meraba-raba dengan pandang mata mereka!
Mula-mud Giok Cu memang merasa bangga dari sengaja ia menggoda dengan sikapnya yang lincah Jenaka sehingga mereka menjadi semakin terpesona. Giok Cu sengaja menggerak-gerakkan tubuhnya, meliuk-liuk dan menonjolkan dadanya yang sudah mulai membusung, mengobral senyumnya yang amat manis sehingga para tokoh sesat muda itu seperti tergila-gila. Akan tetapi, lama-kelamaan Giok Cu menjadi bosan juga dan siang hari itu ia meninggalkan rumah gurunya, meninggalkan para tamu yang sedang dijamu itu untuk pergi ke tepi laut yang berada tak jauh dari kota itu.
Ceng-touw memang terletak di tepi laut, menghadapi Lautan Kuning. Bahkan selama lima tahun ini, Giok Cu berkenalan dengan seorang kakek nelayan yang pandai sekali berenang. Kakek itu sayang kepadanya dan ia mengajarkan ilmu bermain di dalam air kepada Giok Cu. Kini Giok Cu juga pandai sekali berenang, menyelam ke dalam air bahkan pandai menangkap ikan begitu saja di dalam air, menyambar dengan kedua tangannya!
Kini kakek itu telah meninggal dunia, setahun yang lalu dan Giok Cu merasa kehilangan. Namun, ia telah mewarisi ilmu di dalam air yang diajarkan kakek nelayan itu dan seringkali para nelayan sendiri merasa kagum kalau melihat Giok Cu berenang, menyelam di menangkap ikan! Tidak ada seorangpun di antara para nelayan itu, yang sejak kecil berkecimpung di lautan, dapat mengatasi Giok Cu dalam hal bermain dalam air.
Pantai itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun. Para nelayan sudah berangkat sejak pagi tadi, layar mereka ada yang nampak dari pantai itu, merupakan titik-titik hitam kecil. Kala para nelayan sedang berada di tengah lautan, pantai itu memang sunyi. Kalau para nelayan pulang, barulah ramai pantai itu menjadi seperti pasar di mana orang-orang dari kota berdatangan untuk membeli ikan yang masih segar.
Giok Cu duduk di atas pasir yang lembut putih kekuningan. Angin laut bertiup kencang, membuat rambutnya awut-awutan. Bau air laut segar dan melegakan dada. Giok Cu menghirup udara dalam-dalam, merasa dadanya mekar dan hawa sejuk hangat memasuki paru-parunya. Ia bangkit berdiri dan mengatur pernapasan seperti diajarkan oleh mendiang kakek nelayan.
la berdiri tegak, kedua kaki agak terpentang, lalu ia mengembangkan kedua tangan dari depan ke atas sambil menarik napas sebanyaknya sampai kedua paru-parunya penuh sesak, dadanya mengembang besar. Setelah paru-parunya tidak dapat menampung lagi, dengan kedua tangan tetap di atas, ia menahan napas, kemudian mengerahkan tenaga untuk menekan dada dan mengembangkan perutnya. Dadanya mengempis dan perutnya mengembang, seolah-olah hawa yang berada di dadanya itu turun ke perut!
Ia lakukan ini beberapa kali, kemudian ia mengempiskan perut mengembangkan dada kembali dan mengeluarkan napas perlahan-lahan sampai habis sama sekali, sampai kedua paru-parunya kempis sama sekali. Diulangnya beberapa kali, lalu ia mengambil napas dengan cara yang sebaliknya. Ketika menarik napas, ia bukan mengembangkan dada melainkan mengembangkan perutnya, seolah-olah hawa itu disedotnya ke dalam perut sampai sepenuhnya. Kemudian, ia menarik napas dan "mengoper" hawa di perut itu naik ke dada, turun lagi dan akhirnya pun membuang napas perlahan-lahan seperti tadi, dari perut.
Melihat kanan kiri tidak ada orang, timbul keinginannya untuk bermain-main di pantai itu. Dari rumah memang ia sudah membawa ganti pakaian. Pakaian pengganti itu ia letakkan di atas pantai yang tidak tersentuh air, ditindih dengan batu agar tidak terbawa kabur angin, kemudian melepas sepatunya, melepas tusuk konde dan hiasan rambut, dan berlarilah ia hanya mengenakan pakaian dalam yang ringkas berwarna merah muda, dan di lain saat ia telah meloncat ke dalam air yang bergelombang!
Terdengar gadis remaja itu tertawa-tawa riang seorang diri ketika bermain-main dengan ombak. Kalau ada ombak datang bergulung-gulung, ia meloncat dan menyambut gelombang itu, menyelam ke bawah gelombang, kemudian muncul dibelakangnya. Rasanya seperti bermain-main dengan kawan-kawan yang akrab, yang merangkulnya, menggelitiknya, dan mengajaknya bermain-main dengan gembira sekali. Air yang dingin sejuk itu sungguh nyaman terasa membungkus kulitnya.
Ia juga kuat sekali menyelam. Bahkan jauh lebih kuat daripada mendiang kakek nelayan yang menjadi gurunya. Hal ini adalah karena Giok Cu telah menerima gemblengan dari Ban-tok Mo-li dan telah menghimpun tenaga sakti. Sinkangnya membuat ia mampu menahan napas sampai jauh lebih lama daripada guru renangnya sendiri, apalagi dibandingkan orang lain.
Orang akan berdebar tegang dan khawatir kalau melihat gadis remaja ini menyelam dan mengejar ikan di dalam air. Rasanya seperti berjam-jam walaupun sesungguhnya hanya kurang lebih sepuluh menit saja. Akan tetap sepuluh menit ini sudah merupakan hal yang hebat dan jarang ada orang mampu melakukannya.
Dan gadis ini memang cerdik sekali, pandai mencari akal. la "menciptakan" sendiri alat untuk bernapas di dalam air, yaitu sebatang jerami panjang yang tengahnya berlubang, ujung batang itu dipasangi kayu kering sehingga terapung terus, dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam mulutnya. Dengan alat ini, ia mampu menyelam sampai lama sekali karena ia dapat menghirup udara lewat batang jerami itu!
Sampai sejam lebih lamanya Giok Cu bermain di lautan itu. Akhirnya ia merasa cukup puas dan berenang ke tepi. Akan tetapi, alangkah kaget dan dongkolnya ketika ia melihat seorang pemuda duduk di dekat tempat ia menaruh pakaian penggantinya tadi. Dan yang lebih menjengkelkan hatinya lagi, pemuda itu dikenalnya sebagai pemuda yang paling genit dan ceriwis di antara semua orang muda yang kini menjadi tamu gurunya selama beberapa hari ini.
Bahkan ia tahu pula bahwa pemuda itu bernama Siangkoan Tek, putera dari Siangkoan Bok yang merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu, seorang yang kabarnya kaya raya dan berpengaruh, ia mempunyai banyak anak buah dan menjadi bajak laut yang amat disegani dan ditakuti?
Siangkoan Tek itu seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang mata keranjang, tinggi kurus namun tampan dan pesolek. Pemuda itu ceriwis dan genit juga cabul dan sudah seringkali menggodanya, bahkan pernah beberapa kali didampratnya! Namun gurunya adalah sahabat baik ayah pemuda itu, bahkan sikap gurunya terhadap pemuda tampan ini pun kadang memuakkan hati Giok Cu.
Mau apa pemuda itu berada di pantai dan mendekati pakaian penggantinya yang ditindih batu di atas pasir itu? Giok Cu keluar dari dalam air dan berjalan di atas pasir menuju ke tempat pemuda itu duduk di atas pasir. Akan tetapi ia teringat akan pakaiannya yang basah, pakaian dalam lagi di dalam keadaan basah itu pakaiannya melekat dan mencetak tubuhnya, membuat tubuhnya membayang dan nampak lekuk lengkungnya.
Perasaan rikuh dan malu membuat wajah Giok Cu kemerahan apalagi melihat pemuda itu memandang kepadanya dengan mata melotot seolah-olah biji kedua matanya hampir melompat keluar dan mulutnya ternganga. Pandang mata itu menyapu dan seperti mencengkeram beberapa bagian tubuhnya sehingga bagian-bagian tertentu itu terasa seperti digelitik.
"Kenapa engkau memandang seperti itu, sampai biji matamu mau copot!" bentaknya marah.
Yang dibentak malah tersenyum, lalu menarik napas panjang, seolah-olah baru sadar dari mimpi yang amat indah. “Aduhai… Adik Giok Cu… engkau sungguh cantik jelita tubuhmu itu… ah, aku bisa gila kalau tidak kau beri cium satu kali saja pada mulutmu…!"
Sepasang mata yang jeli dan bening itu seperti memancarkan sinar berapi. "Siangkoan Tek, mulutmu sungguh busuk!"
"Eiiit, eiiit, engkau baru berusia lima belas tahun dan aku sudah dua puluh tahun, Nona Manis, sepatutnya engkau menyebut aku toako seperti yang sudah-sudah. Bukankah gurumu sendiri menyuruh engkau menyebut toako kepadaku?"
"Toako hidungmu! Siapa sudi menyebutmu toako? Engkau berhati kotor, mata keranjang, hidung belang, genit dan ceriwis! Hayo cepat kau pergi dari situ dan tinggalkan aku sendirian. Aku mau berganti pakaian kering!"
Kembali sepasang mata yang nakal itu menjelajahi tubuh Giok Cu, membuat gadis itu ingin sekali menutupi tubuhnya bagian depan dengan tangan atau pakaian kering.
"Aduh, bukan main indahnya tubuhmu," pemuda itu terang-terangan menelan ludah. "Bagaimana kalau aku yang menggantikan pakaianmu?" Dia mengambil pakaian kering itu dari bawah tindihan batu.
"Berikan pakaianku, engkau keparat!" Giok Cu sudah marah sekali dan memaki.
"Aduh, bukan main! Kalau marah mulutmu cemberut matamu terbelak semakin cantik saja. Siauw-moi, aku cinta padamu, dan aku akan minta pada Ayahku untuk meminangmu menjadi isteriku. Siauw-moi, berilah aku sebuah ciuman saja dan aku akan pergi tidak mengganggumu lagi."
"Ngaco! Siangkoan Tek, sekali lagi, berikan pakaianku dan pergi dari sini!"
"Pakaian ini?" Dia mendekatkan pakaian itu ke depan mukanya dan menyedotnya. "Aih, wangiiiiii…! Kau mau pakaian ini? Boleh, ditukar dulu dengan ciuman satu kali!"
"Jahanam busuk, engkau mau menghinaku?" bentak Giok Cu, kini tak dapat lagi ia menahan kemarahannya, dan dengan cepat ia sudah menerjang dengan tangan kanan memukul ke arah muka Siangkoan Tek, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pakaian yang dibawa pemuda itu.
"Wuuuuuttttt! Siuuuuuttttt!"
Kedua tangan gadis remaja itu mengandung tenaga pukulan yang cukup dahsyat karena selama lima tahun ini ia telah banyak mempelajari ilmu-ilmu silat dari gurunya, dan sudah berhasil menghimpun sin-kang yang kuat, apalagi karena ia pernah minum darah "anak naga" itu walaupun tidak begitu banyak.
Namun, Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang tingkat ilmu silatnya sudah cukup tinggi, masih setingkat lebih tinggi dibandingkan Giok Cu, apalagi dia sudah mempunyai banyak pengalaman berkelahi ketika dia memimpin anak buah ayahnya membajak kapal dan perahu di tengah lautan dan bertempur melawan pemilik kapal yang dibajak.
"Eiiiiittttt… heeeiiiii… sayang tidak kena, Nona Manis!" Dengan cekatan, Siangkoan Tek melompat ke samping untuk menghindarkan diri, dan mengangkat pakaian itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. "Hayo tukar pakaian ini dengan ciuman di mulutmu. Satu kali saja..."
"Jahanam busuk, kubunuh engkau Giok Cu membentak dan ia terus menyerang lagi dengan lebih ganas.
Namun kembali pemuda itu dapat mengelak dengan berlompatan, dia pun sudah berapa kali mengelak dari terkaman terjangan gadis itu. Kemudian, melihat betapa gadis itu cukup lincah dan merupakan lawan yang cukup berbahaya, lalu menyelipkan pakaian Giok Cu itu di ikat pinggangnya, dan dia melayani Giok Cu dengan kedua tangannya. Kini dia bukan hanya mengelak, melainkan kadang-kadang menangkis dan setiap kali menangkis, dia sengaja mengusap lengan gadis itu.
"Aduh halusnya, mulusnya, hangat lagi…!"
Giok Cu semakin marah. Tiba-tiba dia mencengkeram dengan lengan kirinya ke arah muka Siangkoan Tek, sedangkan tangan kanannya, dengan kecepatan kilat menonjok ke arah lambung. Serangan ini hebat sekali, namun agaknya Siangkoan Tek sudah dapat menduganya. Dia menangkis cengkeraman ke mukanya, lalu menangkap tangan yang menonjok, ditariknya tangan itu dan diciumnya sampai berbunyi "ngok"!
"Jahanam busuk, anjing kau, buaya kau, monyet kau!" Giok Cu memaki-maki sambil sibuk mengusapi tangan yang dicium tadi dengan ujung pakaiannya yang basah.
Melihat ulah gadis itu, Siangkoan Tek tertawa geli. "Aih, baru tangannya sudah sedap sekali dicium, apalagi bibirnya...!"