Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 15

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 15
Sonny Ogawa
BIARPUN ia marah sekali, Giok bukan anak bodoh dan ia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat merampas pakaiannya itu. "Siangkoan Tek, awas kau! Kalau kau lanjutkan kekurangajaranmu, kalau tidak segera kau kembalikan pakaian itu, aku akan lapor kepada guruku engkau akan disiksa dan dibunuhnya!"

Akan tetapi, mendengar ancaman ini, pemuda itu malah tertawa. "Ibu gurumu? Ha-ha-ha, ia akan mentertawakanmu, Siauw-moi. Aku sudah sejak beberapa hari yang lalu saling berciuman dengan gurumu. Kalau aku boleh menciumnya, mengapa aku tidak boleh menciummu? Dan aku percaya ia akan lebih senang kalau aku yang mengajarimu cinta, daripada pria lain. Gurumu tentu akan senang sekali mempunyai mantu aku, dengan demikian aku akan selalu dekat pula dengannya!"

Giok Cu tidak berapa mengerti apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu dengan ucapan tadi, akan tetapi mendengar bahwa gurunya membiarkan dirinya dimaklumi pemuda ini, mukanya berubah merah dan hatinya merasa muak sekali.

"Sudahlah, kalau engkau menghendaki pakaian itu, boleh kau rampas. Memang engkau anak bajak laut, biasanya hanya merampok. Aku akan mencari pakaian lain!" Berkata demikian, Giok Cu melompat hendak pergi meninggalkan pemuda itu.

Akan tetapi ada bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu pemuda itu sudah menghadang. Jelas bahwa dalam gin-kang ia juga masih kalah jauh!

"Siangkoan Tek, mau apa engkau menghadangku? Aku mau pergi, jangan menghadangku!"

"Tidak boleh, Nona Manis. Belum boleh pergi. Engkau masih hutang ciuman yang harus kau bayar. Marilah, mari beri aku ciuman dan aku akan membantumu berganti pakaian kering, kemudian kita bersama menghadap gurumu dan Ayahku untuk membicarakan urusan perjodohan kita. Aku cinta padamu, Siau moi."

"Sialan!" Giok Cu membentak dan pun terpaksa menyerang lagi. Akan tetapi sekali ini, Siangkoan Tek bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan membalas dengan serangan berupa colekan, cubitan dan rabaan! Biar bukan merupakan serangan pukulan berbahaya, namun bahkan membuat gadis repot sekali karena tentu saja ia tidak sudi dicolek, dicubit atau diraba secara demikian kurang ajarnya! Hampir ia menangis saking marah dan jengkelnya karena setelah lewat belasan jurus, belum juga ia mampu memukul pemuda itu sedangkan beberapa kali dada dan pinggangnya kena dicolek dan diraba!

Tiba-tiba, gadis itu mengeluarkan suara melengking nyaring, kedua tanggannya melakukan serangan dorongan den telapak tangan terbuka ke arah lawan. Itulah jurus dari ilmu silat tok Hwa-kun (Silat Kembang Selai Racun) ciptaan Ban-tok Mo-li yang amat hebat dan dahsyat! Sebetulnya, ilmu silat Ini merupakan ilmu simpanan dan tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan saja.

Kalau kini Giok Cu mempergunakannya, hal itu membuktikan bahwa ia memang sudah marah sekali terhadap pemuda itu. Serangan ini adalah serangan maut, karena pukulan dengan kedua tangan terbuka itu mengandung hawa beracun. Biarpun Giok Cu belum menguasai ilmu ini sepenuhnya, namun pukulannya itu tidak boleh dipandang ringan dan cukup berbahaya untuk membunuh lawan...!

Siangkoan Tek mengenal pukulan ampuh. Dia mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi dengan kecepatan luar biasa dia sudah melempar tubuhnya ke samping sehingga dorongan kedua tangan Giok Cu itu luput. Kaki pemuda itu mencuat dan menyentuh lutut Giok Cu. Kini gadis itu yang mengeluarkan seruan kaget dan sebelah kakinya jatuh berlutut. Tiba-tiba kedua lengan pemuda itu sudah memeluknya dan muka pemuda itu mendekat, mulut diruncingkan siap untuk mengecupup mulutnya!

Giok Cu menarik tubuh atas ke belakang, menjauh dan kedua matanya terbelalak penuh rasa jijik dan ngeri, akan tetapi mulutnya diruncingkan itu terus mengikuti mukanya dan mengejar untuk mencium, sedangkan pelukan kedua lengan itu erat sekali, membuat ia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya yang ikut pula dilingkari lengan Siangkoan Tek. Kini muka itu sudah dekat sekali, bahka napas yang panas pemuda itu sudah terasa menghembus di pipinya, membuat Giok Cu merasa tengkuknya meremang saking ngerinya.

"Cuhhh! Cuhhhhh!!" Dua kali Giok meludah ke arah muka yang dekat itu. Muka Siangkoan Tek basah semua disiram ludah! Pertama mengenai mulut dan hidungnya, yang ke dua kalinya mengenai antara kedua matanya sehingga kedua matanya terpaksa dipejamkan. Saat itu dipergunakan oleh Giok Cu untuk memukul dengan kepalan tangan ke arah perut pemuda itu.

"Ngekkkkk!" Pukulan itu tidak dapat dilakukan terlalu keras karena jaraknya yang amat dekat, namun cukup membuat Siangkoan Tek menjadi mulas dan rangkulannya terlepas. Giok Cu meloncat ke belakang. Siangkoan Tek membungkuk memegangi perutnya, lalu mengangkat muka dan matanya yang memandang Giok Cu menjadi beringas.

"Hemmm, ludahmu manis rasanya. Akan tetapi pukulanmu memulaskan perutku. Untuk itu, engkau harus mengobatinya dengan lima kali ciuman!" Tiba-tiba dia menubruk maju, gerakannya demikian cepat sehingga hampir saja pundak Giok Cu kena dicengkeram. Gadis tu menggerakkan tubuh mengelak sehingga cengkeraman itu hanya menyerempet pakaian saja.

"Brettttt…!" Baju di bagian pundak itu robek dan karena baju itu adalah baju dalam, maka di sebelah dalamnya tidak ada pakaian lain sehingga begitu robek, nampaklah kulit pundak dan bagian kulit dada yang membukit, halus dan mulus. Giok Cu meloncat dan melarikan diri, akan tetapi karena ia berada di tepi laut, larinya bahkan menuju ke laut.

"Duhai… Indahnya pundak dan dadamu, Siauw-moi!" kata pemuda itu sambil mengejar. Giok Cu berlari terus ke lautan, ditertawai oleh Siangkoa Tek.

"Hendak lari ke mana kau? Ke laut Ha-ha-ha, mana mungkin engkau akan berdiam terus di lautan? Kesinilah manis dan mari kita bersenang-senang!"

Akan tetapi Giok Cu tidak peduli dan melihat betapa pemuda itu terus mengejarnya, ia pun lalu melarikan diri terus ke laut yang semakin dalam lalu ia pun berenang dan menyelam!

Sebagai seorang putera to-cu (Majikan pulau) dan ia pun hidup di atas sebuah pulau, tentu saja Siangkoan Tek juga pandai berenang. Akan tetapi kepandaiannya dalam hal renang ini biasa biasa saja, seperti orang biasa. Dibandingkan dengan Giok Cu, tentu saja dia kalah jauh. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis itu adalah seorang ahli bermain dalam air yang amat pandai. Dia hanya tertawa dan menghadang di lautan yang agak pinggir, yang dalamnya hanya sebatas pinggangnya.

Setelah Giok Cu muncul kembali, pemuda itu tertawa bergelak. "Ha-ha, hendak kulihat sampai berapa lama engkau dapat bertahan di situ. Eh, Siauw-moi, tahukah engkau bahwa kalau air laut pasang begini, ikan-ikan hiu biasanya suka bermain-main ke tepi pantai? Awas, jangan-jangan kakimu yang mungil itu akan lenyap sebuah dicaplok hiu, kan sayang!"

Berdebar rasa jantung di dada Giok Cu. Sebagai seorang murid mendiang kakek nelayan yang pandai, pernah ia mendengar dari gurunya itu bahwa ucapan pemuda itu bukan sekedar menakut-nakutinya saja. Kalau sampai benar terjadi ada ikan-ikan hiu bermain-main di situ, celakalah ia! Ia pun mencari akal untuk mengalahkan pemuda yang nakal dan lihai itu, dan tiba-tiba ia menjerit.

"Aduhhhhh…, kakiku… ah, kakiku yang kanan kejang…!" Ia menyelam, muncul kembali dan terengah-engah, wajahnya menunjukkan kesakitan.

Tadinya, Siangkoan Tek hanya mentertawakannya saja, mengira gadis itu berpura-pura. Akan tetapi melihat betapa gadis itu gelagapan minum air laut, dan mukanya terbelalak ketakutan, tenggelam timbul, dia menjadi khawatir. Tentu saja dia tahu bahwa kejang kaki di waktu berenang di laut amatlah berbahaya. Apalagi kalau kekejangan itu menjalar ke perut. Dia melemparkan pakaian kering yang dipegangnya dan tanpa membuka sepatunya atau jubahnya lagi, pemuda yang mengkhawatirkan gadis yang dicintainya itu tenggelam, lalu berlari ke depan dan meloncat ke dalam gulungan ombak dan berenang secepatnya menuju ke arah gadis yang mulai hanya agak ke tengah itu.

"Siauw-moi…! Pertahankan dengan kedua lenganmu agar tubuhmu tidak sampai tenggelam!" teriaknya. "Tekuk pergelangan kakimu ke atas sekuat tenaga… jangan khawatir, aku datang menolongmu!"

"Toako… Cepat... ah, aku tidak kuat lagi..." terdengar suara gadis itu memohon.

Besarlah rasa hati Siangkoan Tek mendengar gadis itu menyebutnya toako. Hem, sudah terbayangkan olehnya betapa nanti kalau gadis itu sudah ditolongnya dan didukungnya ke pantai, gadis itu akan bersyukur dan berterima kasih sekali dan tentang ciuman yang dia harapkan, tidak perlu lagi dia minta apalagi dia paksakan. Tentu dengan suka rela gadis itu akan memberinya ciuman seratus kali! Dengan penuh semangat Siangkoan Tek mempercepat renangnya menuju ke arah gadis yang tenggelam timbul itu.

Ketika dia sudah tiba dekat, tangannya menjangkau untuk menangkap lengan Giok Cu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh Giok Cu tenggelam dan lenyap! Tentu saja Siangkoan Tek menjadi gugup dan dia pun cepat menyelam untuk mencari gadis itu. Dan pada saat itu, dia merasa betapa kakinya ada yang menangkap dan tubuhnya ditarik dengan kuat sekali ke bawah.

Di dalam air, Siangkoan Tek hanya melihat bayangan yang panjang. Jantungnya berdebar tegang. Jangan-jangan ada ikan hiu yang menggigit kedua kakinya. Akan tetapi tidak ada rasa nyeri dan dia berusaha melepaskan tangkapan itu dengan mengguncang-guncang kedua kakinya. Sia-sia belaka, tangkapan atau gigitan yang tidak nyeri itu tidak terlepas dan biarpun dia berusaha untuk menggunakan kedua lengan agar tubuhnya timbul kembali ke atas, usahanya juga gagal.

Apa pun yang telah menangk kedua kakinya itu ternyata amat kuat dan tubuhnya terus ditahan sehingga tidak dapat naik ke atas. Siangkoan Tek mengangguk-angguk. Dia dapat menduga Sungguh anak itu nakal dan manja sekali pikirnya sambil menahan senyum. Siapa lagi kalau bukan Giok Cu yang Bermain-main dengan dia? Gadis itu tadi tentu hanya pura-pura dan menjebaknya. Kini gadis itu memegangi kedua kakinya dan menahannya di bawah air! Tenaga orang memang dapat menjadi besar sekali dalam air, hal itu adalah karena tubuhnya sendiri menjadi ringan di dalam air maka pegangan gadis itu amat kuatnya sehingga tidak dapat dia melepaskannya.

Akan tetapi dia tidak khawatir. Kalau dia harus menahan napas di dalam air, gadis itu pun sama saja! Dan tentu ia akan lebih kuat bertahan dibandingkan gadis itu! Bukankah gadis itu yang tadi lebih dulu menyelam? Dia pun menahan napasnya, mengharapkan gadis itu akan cepat melepaskan kakinya karena tentu gadis itu tidak kuat bertahan terlalu lama dan akan melepaskan kakinya ntuk muncul kepermukaan air dan bernapas.

Akan tetapi sekali ini, perhitungan Siangkoan Tek meleset! Sampai lama sekali gadis itu belum juga mau melepaskan kakinya! Dia sudah menahan napas sampai dadanya terasa hampir meledak! Dia tidak kuat lagi menahan dan saking takutnya mati kehabisan napas di dalam air, dia meronta sepenuh tenaga. Rontaannya ini berhasil. Sebelah kakinya lepas dan dia pun menendang dengan kaki yang bebas itu kearah tangan yang masih memegangi kaki yang ke dua.

Akhirnya, pada saat terakhir di mana dia sudah terpaksa menelan air, kedua kakinya terlepas dan dia pun meluncur atas. Begitu kepalanya tersembul kelu dari permukaan air, dalam keadaan hampir pingsan Siangkoan Tek menghirup napas terengah-engah, dadanya nyeri. Dia tidak tahu bahwa Giok Cu juga menyembulkan kepala di belakangnya. Gadis itu menghirup napas, tidak terengah-engah seperti dia, dan Giok Cu menyelam kembali. Wajahnya tersenyum, matanya berkilat-kilat.

"Ehhh, auuuppp…!" Tubuh Siangkoan Tek kembali terbetot ke dalam air. Dia meronta sekuat tenaga, kakinya terlepas dari pegangan Giok Cu, mukanya tersembul lagi dan dia gelagapan, bernapas dan tak dapat dihindarkan lagi ada air laut memasuki perutnya.

"Eh, jangan Siauw-moi…!" Dia berteriak akan tetapi kembali tubuhnya diseret ke bawah! Terjadilah pergulatan di air. Siangkoan Tek berusaha muncul kembali, Giok Cu berusaha menyeretnya ke bawah! Siangkoan Tek gelagapan, beberapa kali minum air laut dan berusaha untuk melawan. Namun gadis itu sungguh lincah sekali di dalam air, seperti seekor ikan saja!

Tenaga Siangkoan Tek makin lama semakin lemah akhirnya dia pun pingsan! Giok Cu masih teringat kepada gurunya. Kalau dibiarkan pemuda ini mati, tentu gurunya akan marah sekali padanya. Dan kemarahan gurunya dapat saja berarti ia akan dibunuh atau disiksa! Sudah seringkali ia melihat gurunya marah dan menyiksa atau membunuh orang, dan diam-diam Giok Cu menggigil ngeri. Pula, ia pun tidak ingin membunuh Siangkoan Tek ini.

Memang dia kurang ajar, akan tetapi bukankah dia hanya menyatakan cintanya dan tadi hanya ingin mencium? Pula bukankah ketika ia berpura-pura kejang tadi, Siangkoan Tek berusaha menolongnya, tanpa melepas jubah dan sepatu? Hal ini saja menunjukkan bahwa Siangkoan Tek yang genit dan ceriwis mata keranjang dan cabul itu memang benar mencintanya. Tidak, ia tidak akan membiarkan pemuda itu mampus!

Diseretnya tubuh pemuda yang pingsa itu ke tepi. Diseret dengan menjambak rambutnya dan membiarkan muka pemuda itu terapung menengadah. Setelah tiba di pantai, diseretnya pemuda itu pada rambutnya sampai berada di atas pasir pantai lalu ditelungkupkan dan diinjak punggung bagian perut. Banyak air keluar dari mulut dan hidung pemuda itu sehingga perutnya yang tadinya menggembung menjadi kempis kembali.

Giok Cu mengamati sebentar. Pemuda itu bernapas, biarpun terengah-engah. Dia tidak akan mati, pikir Giok Cu dengan hati lega dan puas. Lega karena ia telah berhasil lolos dari gangguan pemuda itu, dan puas karena ia telah mampu membalas dan memberi hajaran tanpa harus membunuh pemuda ini. la segera mengambil pakaian keringnya dan di belakang sebongkah batu besar, ia berganti pakaian.

Ketika melihat bajunya yang robek di bagian dada dan karena pergulatan di lautan tadi robeknya menjadi semakin lebar sehingga nampak sebagian dadanya, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah kembali kepada Siangkoan Tek. Pemuda itu sungguh kurang ajar, pikirnya.

Setelah ia berganti pakaian kering, teringat akan perbuatan pemuda itu yang hampir menelanjanginya, ia lalu menghampiri pemuda yang masih belum sadar betul itu, dan beberapa kali ia mencengkeram ke arah pakaian lalu merenggutnya, kemudian meninggalkan Siangkoan Tek dalam keadaan hampir telanjang dan tengah pingsan di tempat itu!

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Ketika Giok Cu pulang menuju ke kota Ceng-touw, ia harus melalui sebuah jalan yang sunyi berbukit. Tempat sunyi ini biasanya menjadi tempat berkumpul para nelayan untuk membetulkan jala dan menjemur jala. Di situ hanya ada beberapa buah gubuk, akan tetapi pada saat itu, tidak nampak seorang pun di tempat itu.

Giok Cu berjalan dengan hati gembira. Pemuda itu pasti tidak akan berani lagi mengganggu dirinya! Pengalaman pahit itu tentu membuat Siangkoan Tek menjadi jera. Ia tidak tahu bahwa semenjak di pantai tadi, ada empat pasang mata yang menyaksikan semua yang terjadi, bahkan ketika ia berganti pakaian di belakang batu besar, empat pasang mata itu mengintainya dengan pandang mata penuh nafsu iblis.

Selagi Giok Cu berjalan santai di tempat yang sunyi itu, tiba-tiba nampak empat orang pemuda berloncatan dari balik sebuah gubuk, Giok Cu mengerutkan alisnya ketika ia mengenal empat orang pemuda yang seperti juga Singkoan Tek, menjadi tamu dari gurunya. Tidak seperti Siangkoan Tek yang datang bersama ayahnya, empat orang pemuda ini adalah murid-murid dari dua orang tokoh kang-ouw yang juga terkenal dan menjadi rekan gurunya. Ia malah sudah diperkenalkan dengan mereka dengan guru-guru mereka.

Pemuda yang kurus kering dengan muka pucat berusia dua puluh tahun itu bernama Ban To, dan pemuda yang mukanya tampan akan tetapi bopeng (cacat bekas cacar) itu bernama Gak Su. Mereka adalah suheng dan sute, murid dari Kok Sian, seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal pula. Ouw Kok Sian seolah-olah menjadi raja kecil, raja kaum sesat dan berkuasa di daerah Pegunungan Liong-san, di mana dia hidup sebagai seorang yang berkuasa dan kaya raya, dengan rumah gedung yang didirikannya di puncak sebuah bukit di pegunungan itu. Ouw Kok Sian ini berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, dengan mata lebar mulut besar dan mukanya berbentuk segi empat.

Dua orang pemuda yang lain bernama Siok Boan, yang bertubuh gendut dengan muka seperti kanak-kanak, dan Poa Kian So yang pendek dengan hidung pendek pesek pula. Mereka ini suheng dan sute, murid dari Lui Seng Cu yang berjuluk Hok-houw Toa-to (Golok Besar Penakluk Harimau), seorang berusia lima puluh tahun dan terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang ditakuti. Akan tetapi dia kini telah mengundurkan diri dan menjadi seorang di antara pimpinan suatu aliran kepercayaan baru yaitu para penyembah Thian-te Kwi-ong (Raja Setan Langit Bumi), yang katanya dapat membuat orang menjadi kaya raya, sakti dan panjang umur!

Demikianlah, melihat empat orang pemuda ini tiba-tiba muncul dan menghadangnya, Giok Cu mengerutkan alisnya. Seperti juga Siangkoan Tek, empat orang pemuda yang menjadi tamu gurunya ini bersikap amat manis kepadanya, terlalu manis bahkan menjilat-jilat dan jelas merayu, kadang-kadang kurang ajar. Mengingat akan pengalamannya yang baru saja mengancam keselamatannya, Giok Cu yang tidak ingin pula mengalami hal tidak enak di tempat sunyi itu, lalu tersenyum manis dan menegur mereka lebih dulu.

"Selamat pagi! Cu-wi Toa-ko (Para Kakak) hendak pergi ke manakah?"

Empat orang pemuda itu memandang kagum dan mata mereka mengandung nafsu berahi. Hal ini adalah karena mereka tadi melihat pergulatan Giok Cu dan Siangkoan Tek, kemudian mereka, melihat pula betapa Giok Cu berganti pakaian di belakang batu, lalu betapa gadis itu menelanjangi Siangkoan Tek Kini, gadis yang memang membuat mereka tergila-gila itu berdiri di depan mereka sambil tersenyum manis. Dalam pandangan mata empat orang pemuda ini, mereka yang masih teringat akan penglihatan tadi seolah-olah gadis itu berdiri di depan mereka tanpa pakaian!

"Siauw-moi-moi Giok Cu, engkau tampak segar dan cantik jelita, juga rambutmu masih basah. Dari manakah engkau?" tanya Siok Boan sambil terseyum simpul.

Biarpun hatinya mendongkol oleh puji-pujian yang sifatnya merayu ini, namun Giok Cu menahan sabar dan ia pun menjawab, suaranya masih lincah dan manja. Digerakkannya kepalanya agar rambut yang terurai basah itu pindah ke atas pundak bagian depan, terjuntai panjang sampai ke perutnya, kemudian jari-jari tangannya mempermainkan ujung rambut yang halus itu.

"Aku baru pulang dari mandi di laut. kalian hendak ke manakah?"

"Mandi di laut? Dengan siapakah, nona Manis?" tanya Ji Ban To yang kurus kering dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, bahkan kakinya melangkah maju mendekat.

Melihat ini Giok Cu melangkah mundur, seolah tak disengaja. "Dengan siapa? Tentu saja seorang diri, dengan siapa lagi?" jawab Giok Cu.

Empat orang itu tertawa bersama dan Giok Cu memandang dengan alis semakin berkerut. "Kenapa kalian tertawa?" tanyanya, mulai marah.

"Ha-ha-ha!" Gak Su yang tampan akan tetapi bopeng itu kini tertawa. "Engkau mandi sendiri saja, Siauw-moi? bagus, lalu siapa itu pemuda yang bergelut denganmu di lautan sampai hampir mampus, dan siapa pula pria yang kau telanjangi tadi? Sesudah engkau… eh, berganti pakaian di belakang batu besar?"

Wajah Giok Cu berubah dan ia mandang mereka dengan mata terbelalak. "Kalian… kalian melihat itu semuanya?" Tentu saja mereka melihatnya pikirnya cepat, kalau tidak, mana mungkin Si Bopeng ini dapat bercerita seperti itu? "Salahnya sendiri! Siangkoan Tek sungguh tak tahu diri dan hendak kurang ajar kepadaku, maka aku telah menghajarnya! Sudahlah, urusan itu tidak ada sangkut pautnya dengan kalian, harap jangan mencampurinya!" berkata demikian, Giok Cu lalu meloncat dan melarikan diri untuk pulang ke rumah gurunya.

Empat orang itu tertawa. "Heiii, Siauw-moi, aku pun ingin engkau telanjangi seperti Siangkoan Tek! Kapan engkau mau menelanjangi aku? Ha-ha-ha!" Ji Ban to yang kurus kering dan pucat itu berteriak.

Giok Cu pura-pura tidak mendengar saja dan ia terus saja berlari. Hatinya merasa tidak enak. Mereka telah melihatnya tadi. Dan orang-orang macam mereka itu tentu tidak akan tinggal diam. Siapa tahu mereka akan melaporkan hal itu kepada subonya dan kepada ayah Siangkoan Tek, dan ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau kedua orang tua itu mendengar akan apa yang dilakukannya pada Siangkoan Tek.

Ia merasa yakin bahwa Siangkoan Tek sendiri tidak akan mau bercerita kepada siapapun juga. Pemuda itu angkuh dan tinggi hati, dan di antara para pemuda yang saat itu menjadi tamu subonya, boleh dibilang SiangkoanTek yang paling menonjol, paling tampan dan bahkan paling kaya, juga dapat diduga memiliki ilmu kepandaian paling tinggi. Bagaimana mungkin dia akan bercerita bahwa dia telah dipermainkan dan dihajar, bahkan dihina oleh seorang gadis remaja?

Empat orang pemuda itu sambil tertawa-tawa meninggalkan tempat itu, bahkan kini mereka mempergunakan ilmu berlari cepat keluar dari kota menuju ke utara. Menjelang senja, empat orang pemuda itu telah kembali ke Ceng-touw dan dua orang di antara mereka, yaitu Siok Boan dan Pao Kian So, murid-murid Hok-houw Toa-to Seng Cu, kini memanggul sebuah karung, sedangkan dua orang kawan mereka, yaitu Ji Ban To dan Gak su, dua orang murid Ouw Kok Sian, mengikuti saja dari belakang. Ketika mereka tiba di hutan terakhir, dekat dengan kota Ceng-touw, hutan yang kecil saja namun sunyi, terdengar lagi suara Ji Ban To yang merengek sejak tadi.

"Saudara Siok Boan, "harap engkau! jangan bersikap pelit seperti itu, dan kekanak-kanakan. Gadis ini tidak urung akan dikorbankan, mengapa tidak boleh kami pinjam sebentar saja?"

"Benar sekali! Sayang ia dikorbankan! begitu saja, biarkan kami berdua menikmatinya kalau kalian berdua tidak mau. Ingat, tadi kami pun telah membantu kalian menangkap dua orang ini! Gak Su yang mukanya bopeng mendukung suhengnya. Dua orang murid dari Ouw Kok Sian ini merasa penasaran sekali karena sejak tadi permintaan mereka ditolak oleh dua orang rekan itu. Padahal ketika menculik pemuda dan gadis dari dusun itu, mereka berdua telah membantu.

"Sudah kukatakan sejak tadi, yang ini sama sekali tidak boleh diganggu, pemuda yang dikorbankan harus perjaka tulen seperti juga gadisnya harus perawan tulen. Kalau Suhu mengetahui bahwa gadis itu tidak perawan lagi, tentu kami berdua yang akan menerima hukuman dan kemarahan Suhu," bantah Siok Boan tegas.

"Bagaimana gurumu akan dapat mengetahuinya? Kita serahkan keduanya dalam keadaan mulus. Percayalah, kami berdua akan berlaku hati-hati sekali. Berikan ia sebentar kepada kami, dan tak lama kemudian akan kami kembalikan ia dalam keadaan utuh!" desak Ji Ban To.

"Benar sekali kata Suheng! Sayang gadis semanis itu dibiarkan lewat begitu saja tanpa dinikmati. Serahkan ia kepada kami, Saudara Siok Boan!" Gak Su juga mendesak.

Kini Poa Kian So, murid ke dua dari Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, melangkah maju dengan muka merah. Dia memanggul karung ke dua dan kini dengan sikap marah dia berkata kepada dua orang pemuda itu. "Kalian ini sungguh nekat! Apakah kalian belum pernah berdekatan dengan wanita maka demikian dekat seperti kelaparan? Masih banyak gadis lain yang dapat kalian tangkap bukan yang ini! Apa sih hebatnya perawan dusun ini? Dibandingkan dengan Nona Giok Cu, tentu bukan apa-apanya!"

Siok Boan membujuk dua orang temannya itu. "Sudahlah, kalian harus tahu bahwa kita membawa tugas penting dan sekarang kita tentu telah dinanti-nanti oleh para Lo-cianpwe. Apakah kalian ingin tugas kita ini gagal hanya karena kalian haus akan gadis ini? Sute benar, masih banyak gadis lain di dunia ini, jangan kalian mengacaukan upacara suci malam ini."

Ji Ban To dan sutenya, Gak Su saling pandang dan biarpun mereka merasa kecewa sekali, namun mereka tidak berani memaksa. Kalau mereka memaksa mereka bukan takut untuk bentrok dengan Siok Boan dan Poa Kian So, akan tetapi semua tokoh yang menanti dirumah Ban-tok Mo-li tentu akan menyalahkan mereka berdua. Bahkan suhu mereka pun akan marah kepada mereka.

Akan tetapi, penolakan kedua orang murid Hok-houw Toa-to yang bertindak sebagai pimpinan upacara pengorbanan kepada Raja Setan itu membuat mereka menjadi semakin bergairah kalau mengingat Giok Cu. Memang, dibandingkan dengan Giok Cu, perawan desa itu tidak ada artinya! Mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan dan hari telah menjadi senja ketika mereka tiba di rumah besar dan mewah itu.

Ternyata para lo-cian-pwe telah menanti mereka. Mereka semua telah berkumpul di ruangan berlatih silat yang berada di bagian belakang rumah itu, dengan semua jendela dibuka dan nampak mereka semua telah duduk bersila di atas lantai yang bertilamkan permadani. Ban-tok Mo-li sebagai nyonya rumah duduk bersanding dengan Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu yang bertindak sebagai pimpinan upacara. Nampak pula Ouw Kok Sian, "raja" Pegunungan Liong-san yang bertubuh tinggi besar seperti seorang raksasa, duduk tak jauh dari nyonya rumah, di sebelah kirinya.

Adapun di sebelah kanan Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, duduk Siangkoan Bok, majikan Pulau Hiu, disamping puteranya, Siangkoa Tek. Selain tiga orang tokoh sesat yan merupakan tamu kehormatan dari Ba tok Mo-li, masih ada belasan tokoh sesat lainnya yang sengaja diundang untuk meramaikan upacara itu dan mereka semua duduk bersila di ruangan silat yang luas itu, membentuk lingkaran punggung mereka dekat dengan dinding.

Di tengah ruangan itu terdapat meja sembahyang yang sudah dipasangi lilin dan bermacam masakan, juga buah-buahan dan bunga-bunga, dan di belakang meja sembahyang itu terdapat sebuah meja lain yang panjangnya dua meter lebarnya satu setengah meter. Meja itu ditilami kain putih dan di kepala meja itu terdapat dua buah bantal putih! Meja itu agaknya menjadi semacam pembaringan!

Hiasan bunga-bunga dan mengepulnya dupa harum, ditambah penerangan yang suram karena hanya penerangan lilin saja sedangkan di luar sudah mulai gelap membuat suasana menjadi menyeramkan. Apalagi ketika Hok-ho Toa-to Lui Seng Cu bangkit dari tempat duduknya. Orang tinggi tegap ini mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat pinggang putih dan ikat kepala putih pula, tidak bersepatu dan rambutnya ibiarkan riap-riapan sehingga dia kelihatan menyeramkan seperti setan!

Lui Seng Cu yang bertugas sebagai pimpinan upacara itu menambah dupa harum sehingga asap harum mengepul semakin tebal. Di antara para tokoh sesat itu ada yang diikuti oleh para murid atau anak buah yang jumlahnya semua ada dua puluh orang lebih, dan mereka ini duduk bersila pula di belakang guru atau pimpinan mereka.

Sejak tadi Giok Cu mengamati semua itu. Ia melihat betapa Siangkoan Tek sering melirik kepadanya. Ia pun melirik dan sungguh aneh sekali. Pemuda yang tadi pagi hampir mati ia seret ke dalam air lautan itu kini nampak tersenyum-senyum kalau memandang kedadanya, sama sekali tidak kelihatan marah atau mendongkol. Juga ayah pemuda itu kelihatan tenang saja sehingga hati Giok Cu merasa lega. Jelas bahwa pemuda itu tentu tidak menceritakan peristiwa pagi tadi kepada siapapun juga seperti telah diduganya.

Bahkan ketika pandang mata mereka saling bertemu, Siangkoan Tek menjura dengan tubuh agak dibongkokkan lalu tersenyum dan tangannya mengelus perutnya, seolah-olah hendak menceritakan betapa perutnya menjadi tidak enak karena menelan banyak air laut! Giok Cu yang berwatak lincah jenaka itu tidak dapat menahan geli hatinya dan ia pun menutupi mulut untuk menyembunyikai tawanya, akan tetapi justeru menutupi mulut dengan tangan itu menunjukkan bahwa ia merasa geli dan tersenyum.

Bagaimana juga, pemuda yang genit mata keranjang dan kurang ajar itu, mempunyai watak yang tidak terlalu buruk dan agaknya tidak pendendam. Ataukah karena sedang tergila-gila kepadanya? Atau memang pemuda itu amat mencintanya. Wajah Giok Cu terasa panas dan ia tahu bahwa wajahnya tentu menjadi merah maka ia menundukkan muka.

Sebenarnya, apakah yang sedang di lakukan oleh para tokoh sesat di dalam Iian-bu-thia dari rumah Ban-tok Mo-li itu? Tadi Giok Cu sudah pula bertanya kepada subonya, akan tetapi subonya menjawab singkat bahwa akan diadakan suatu upacara penting yang akan dipimpin oleh Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, dan bahwa ia tidak perlu banyak bertanya, hanya boleh nonton saja.

"Dan ingat engkau, Giok Cu, apa pun yang terjadi di sini, engkau hanya boleh nonton dan sama sekali tidak boleh mencampuri!"

Hati Giok Cu sudah menjadi kecut mendengar pesan ini. Biasanya, kalau gurunya berpesan seperti itu, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Dulu pernah gurunya itu membunuhi belasan orang yang dianggap musuh dan ia pun sebelumnya sudah dipesan agar jangan mencampuri. Pernah pula gurunya menawan tiga orang dan disiksanya sampai mati, juga ia dipesan agar jangan mencampuri. Bahkan kalau gurunya menawan dan mengeram pemuda-pemuda tampan, ia pun dihardik dan tidak boleh bertanya-tanya! Maka kini ia pun hanya duduk di belakang gurunya nonton saja dengan hati tegang.

Kiranya, baik Ban-tok Mo-li mau pun para tokoh sesat lainnya terbujuk dan tertarik kepada aliran kepercayaan baru yang dianut oleh Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu. Menurut penuturan Lui Seng Cu kepada para rekannya aliran kepercayaan baru ini berpusat disumber atau pusat dari Huang-ho (Sungai Kuning), yaitu di lereng Pegunungan Bayan-san di bagian selatan Propinsi Cing-hai. Di pegunungan itulah munculnya aliran kepercayaan baru ini, dipimpin oleh pendeta-pendeta pertapa yang sakti. Dan aliran kepercayaan baru ini dinamakan Thian-te-kauw (Agama Langit Bumi) dan yang disembah adalah yang disebut Thian-te Kwi-ong (Raja Setan Langit Bumi)!

Menurut keterangan Lui Seng Cu, biarpun yang disembah itu hanya sebuah yang dibentuk sebagai sebuah arca, namun roh yang disembah itu sudah sering muncul di depan para penyembahnya. Bahkan pemuja yang sunguh-sungguh dapat berhubungan dengan Thian-te Kwi-ong dan mendapatkan pelajaran langsung! Amat banyak orang tertarik kepada kepercayaan baru ini karena imbalan yang dijanjikan, yaitu selain pemuja dapat menjadi kaya-raya secara aneh, juga dapat menjadi lebih sakti, dan terutama sekali, ini yang banyak menarik orang untuk menjadi pemuja, yaitu orang dapat menjadi panjang umur.

Agaknya janji paling akhir ini pula yang menarik hati Ban-tok Mo-li! la tidak menginginkan kekayaan karena sudah kaya, juga dalam hal kesaktian, ia sudah cukup sakti sehingga jarang menemui tanding, akan tetapi, melihat betapa usianya menjadi semakin bertambah, betapa usia tua merayap datang tanpa dapat dihindarkan lagi, ingin ia memiliki ilmu umur panjang! Dan untuk memperoleh satu di antara ketiga keuntungan ini, harta benda, kesaktian atau umur panjang, orang tidak segan-segan untuk menyerahkan korban dalam bentuk apa pun juga.

Dan pada malam hari ini, tepat dengan waktu bulan purnama, Ban-tok Mo-Ii, dengan perantaraan Lui Seng Cu, masuk menjadi anggauta atau pemuja baru. Untuk itu, akan diadakan sembahyangan dan tentu saja untuk meyakinkan kepada Thian-te Kwi-ong bahwa niatnya itu beri sungguh-sungguh, ia pun diharuskan mempersembahkan korban dan untuk itu, Lui Seng Cu mau membantunya dengan mengutus dua orang muridnya untuk mencari korban itu.

Dua orang muridnya sudah terlatih untuk ini, dan selain dua orang muridnya, juga dua orang murid Ouw Kok Sian diminta membantunya. Ouw Kok Sian sendiri, majikan Pegunungan Liong-san, juga amat tertarik dan ingin pula dia mempunyai umur panjang. Akan tetapi dia masih agak ragu-ragu maka ia ingin menyaksikan dulu betapa Ban-tok Mo-Ii melakukan upacara itu. Kalau keraguannya sudah hilang, tentu dia pun akan masuk menjadi anggauta aliran kepercayaan baru itu.

Saat yang ditunggu-tunggu tiba ketika terdengar langkah-langkah kaki dari luar ruangan itu. Setelah dua orang pelayan wanita melaporkan kepada Ban-tok Mo-li, muncullah empat orang pemuda itu, yaitu dua orang murid Hok-houw Toa-to yang masing-masing memanggul sebuah karung, dan dua orang murid Ouw Kok Sian yang mengikuti mereka dari belakang. Melihat dua orang muridnya yang datang memanggul dua buah karung itu, Lui Seng Cu memandang dengan wajah berseri.

"Aha, kalian sudah pulang dan berhasil? Baiklah, letakkan mereka itu di atas meja korban, yang pria di kiri yang wanita di kanan..."

Siok Boan dan Poa Kian So menurunkan dua buah karung yang mereka panggul, kemudian dengan dibantu Ji Ban To dan Cak Su yang agaknya tidak mau kalah memperlihatkan jasa mereka, empat orang pemuda itu mengeluarkan dua sosok tubuh dari dalam karung! Kiranya karung-karung itu berisi seorang pemuda dan seorang gadis remaja. Keduanya berusia kurang lebih lima belas tahun, dan biarpun pakaian mereka seperti orang-orang dusun, namun baik pemuda maupun wanita itu berkulit bersih dan wajah mereka tampan dan manis.

"Buang pakaian mereka yang kotor, aku sendiri yang akan membersihkan mereka dan mengenakan pakaian kebesaran!" kata pula Lui Seng Cu dengan suara bangga penuh kewibawaan seorang yang "lebih tahu" daripada yang lain.

Dua orang murid itu menurut dan mulai menanggalkan pakaian pemuda dari gadis yang telah mereka telentangkan berjajar di atas pembaringan itu. Ternyata dua orang itu tidak mampu bergerak karena jalan darah mereka telah tertotok. Si Pemuda nampak ketakutan dan gadis itu terbelalak dengan air mata bercucuran, namun mereka tidak mampu menggerakkan kaki tangan.

Ji Ban To dan Gak Su tidak mau ketinggalan dan mereka berdua membantu pula penanggalan pakaian itu. Tidak mengherankan kalau dua orang pemuda yang memang sudah "haus darah" itu sibuk dengan penanggalan pakaian Si Gadis bukan Si Pemuda dan mereka memperggunakan kesempatan ini untuk meraba, mencolek, mengelus.

"Jangan kotori tubuh suci itu dengan colekan-colekan!" tiba-tiba Lui Seng Cu membentak.

Ji Ban To dan Gak Su tersipu malu, wajah mereka menjadi kemerahan, apalagi ketika para hadirin menahan tawa dan tersenyum simpul melihat kegenitan mereka tadi. Lebih mendongkol lagi ketika dengan tangannya, Lui Seng Cu menyuruh mereka berempat pergi meninggalkan pemuda dan gadis yang kini telentang di atas pembaringan dengan telanjang bulat itu.

Lui Seng Cu menghampiri dua orang calon korban, memeriksa di bawah penerangan lilin dan dia mengangguk-angguk. "Bagus, pilihan dua orang muridku memang tepat. Mereka mulus dan bersih, masih suci. Akan tetapi, tubuh mereka perlu disucikan dan dibersihkan lengan air bunga suci, baru mereka akan diterima dengan gembira oleh yang mulia Thian-te Kwi-ong!"

Kini Lui Seng Cu lalu membakar seikat dupa biting, lalu melakukan sembahyangan di depan meja sembahyang mana terdapat sebuah arca batu yang menyeramkan. Arca itu melukiskan si orang pria yang wajahnya seperti singa, matanya melotot dan mulutnya menyeringai, tubuhnya kokoh kuat. Tinggi arca itu hanya dua kaki, namun nampak menyeramkan sekali.

Setelah bersembahyang, Lui Seng Cu membawa seikat dupa biting itu ke dekat pembaringan, menghembus asap yang keluar dari dupa itu ke arah muka dan tubuh kedua orang muda yang telentang di atas pembaringan. Dia lalu menancapkan seikat dupa itu di atas meja dan ruangan itu pun kini penuh dengan asap yang baunya harum akan tetapi juga mengerikan.

Agaknya dupa itu pun bukan dupa harum biasa, melainkan dupa istimewa dan khas dibuat untuk upacara ini. Kemudian d ambilnya sebuah tempayan air dan kembang-kembang bermacam-macam, kemudian dengan sikap seperti orang suci, Lui Seng Cu mendekati pembaringan dan mulai mencuci tubuh perjaka dan perawan itu dengan air kembang.

Para pemuda yang berada di situ, kecuali Siangkoan Tek, memandang dengan jakun naik turun melihat betapa tangan kanan Hok-houw Toa-to itu mencuci dan mengusap seperti membelai tubuh dara itu! Akan tetapi, Lui Seng Cu sebagai seorang pemuja yang sudah lama dan percaya, sama sekali tidak terangsang ketika melakukan pemandian itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.