Cui Siong kini memberi hormat kepada Han Beng. "Tai-hiap, apakah Tai-hap lupa kepadaku?"
Han Beng terkejut disebut tai-hiap (pendekar besar). Dia mengerutkan alisnya. "Maaf, saya tidak mengenal… Dan perkenankan saya mengantarkan obat ini kepada guruku…"
"Bukankah Tai-hiap yang bernama Han Beng?" Cui Siong melanjutkan cepat-cepat dan lirih agar tidak terdengar orang lain. Han Beng kembali terkejut.
"Tai-hiap tentu belum lupa, lima tahun yang lalu, di dusun Ki-nyan-tung. Bukankah kita pernah bekerja sama membela rakyat dusun itu dari tekanan Hek-i-wi…?"
"Ohhh…!" kini Han Beng teringat. Kiranya orang ini adalah satu di antara lima orang murid Siauw lim-pai yang mengamuk dan membela penduduk dusun itu. "Kiranya Tuan adalah…"
"Namaku Gui Siong, Tai-hiap. Dan kalau boleh saya bertanya, siapakah yang sakit?"
"Guruku, dia Sin-ciang Kai-ong…"
"Ahhh! Jadi beliau itu menjadi guru Tai-hiap? Suheng, dengarkah Suheng sekarang? Kita harus berkunjung dan memberi hormat kepada Lo-cian-pwe itu, dan mengundang mereka ke sini untuk beristirahat dan berobat, sambil bercakap-cakap!"
Kini Souw Sian-seng baru yakin dan ia pun cepat memberi hormat kepada Han Beng. "Maafkan kami, Tai-hiap. Sudah lama mendengar nama besar Tai-hiap dan Lo-cian-pwe Sian-ciang Kai-ong. Marilah kami antar Tai-hiap menemui guru Tai-hiap."
Han Beng mengangguk, merasa tidak enak berada lebih lama di tempat itu. Dia lalu menghadapi Souw Hui Im dan menjura, "Sekali lagi, terima kasih, Nona." Dan pergilah dia bersama dua orang itu menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah barat.
Hui Im sejak tadi bengong saja seperti telah berubah menjadi patung! Bahkan ketika Han Beng bicara kepadanya, ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu seperti seorang yang melihat munculnya dewa di siang hari! Tentu saja ia pun seperti ayahnya pernah mendengar cerita susiok-nya Gui Siong tentang munculnya seorang pendekar muda yang dijuluki Sin-Liong (Naga Sakti) bernama Sin Han Beng yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi gunung, juga ia pernah mendengar akan nama Sin-ciang Kai-ong yang namanya menjulang setinggi langit. Dan pada itu kini, ia telah memberi sedekah obat kepada Sin-liong itu, untuk mengobati gurunya yang ternyata adalah Sin-ciang Kai-ong!
Seperti seorang anak kecil, ia pun berlompatan masuk kedalam tokonya, wajahnya riang gembira namun kadang-kadang jantungnya berdebar dan mukanya berubah merah ketika teringat kepada wajah Han Beng!
Sin-ciang Kai-ong memang jatuh sakit. Tubuhnya seperti menjadi medan perang antara panas dan dingin. Kadang-kadang dia merasa tubuhnya panas seperti dibakar, kadang-kadang dingin seperti akan membeku, dan kalau sudah datang batuknya, maka batuknya itu susul menyusul dan terus menerus membuat dadanya terasa sesak!
Akhirnya terpaksa dia dan muridnya yang tiba di kota raja, menghentikan perantauan mereka dan Sin-ciang Kai-ong tinggal di sebuah kuil tua yang tidak terpakai lagi, di sebuah bukit di sebelah barat kota raja. Siang hari itu, terdengar dia terbatuk-batuk sehingga dia tidak tahu bahwa muridnya dan dua orang laki-laki memasuki kuil tua itu.
"Suhu...!" kata Han Beng sambil berlulut di depan suhunya yang rebah miring menghadapi dinding.
"Ah, kau sudah datang, Han Beng… ukh-ukh-uhh!"
"Suhu, teecu datang bersama dua orang yang ingin menghadap Suhu."
Sin-ciang Kai-ong bangkit dan memutar tubuhnya, melihat dua orang yang telah duduk bersila di situ dengan sikap hormat. Souw Sian-seng dan Gui Siong segera memberi hormat kepada pengemis tua itu.
"Lo-cian-pwe, saya Souw Kun Tiong seorang murid luar Siauw-lim-pai."
"Saya sutenya, Lo-cian-pwe, bernama Gui Siong dan saya pernah berjumpa dengan Lo-cian-pwe ketika bersama-sama membela penduduk Ki-nyan-tung. Saya seorang murid Siauw-lim-pai."
Sin-ciang Kai-ong, biarpun kelihatan bahwa dia sedang menderita sakit wajahnya pucat dan mukanya penuh keringat, nampak gembira ketika mendengar pengakuan mereka itu.
"Ah, kiranya orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang datang! Selamat datang, selamat datang! Hei Han Beng bagaimana engkau sampai dapat bertemu mereka dan membawa mereka ke tempat kita yang kotor ini?"
Han Beng lalu menceritakan tentang peristiwa ketika dia minta obat kepada puteri Souw Sian-seng tadi selanjutnya pertemuannya dengan So Sian-seng dan Gui Siong. Mendengar ini, Sin-ciang Kai-ong mengerutkan alisnya.
"Ah, bagaimana mungkin itu? Ang-kin Kai-pang adalah perkumpulan pengemis di kota raja yang dipimpin oleh Koai-tung Sin-kai, bukan?" Pertanyaan ini bukan oleh kakek jembel itu kepada Han Beng dan dua orang murid Siauw-lim-pai.
"Benar sekali, Lo-cian-pwe. Koai Tung Sin-kai adalah ketua dari "Ang-kin Kai-pang," kata Souw Sian-seng.
"Nahhh! Aku sudah mengenal baik orang itu! Dan dia bukan orang jahat sama sekali, bahkan dia menjunjung tinggi kebenaran dan bahkan menentang kejahatan dan penindasan. Bagaimana seorang anak muridnya dapat bersikap seperti itu?"
"Memang benar sekali apa yang Lo-cian-pwe katakan. Memang dahulu Ang-kin Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang baik. Biarpun anggauta-anggotanya mengemis, akan tetapi tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan suka membantu kalau rakyat diperas dan ditekan oleh mereka yang berkuasa. Akan tetapi akhir-akhir ini, sudah kurang lebih setahun lamanya, anggauta Ang-kin Kai-pang berubah. Banyak anggauta baru dan mereka ini bersikap tidak lagi sebagai pengemis, melainkan lebih mirip penodong, perampok dan tukang-tukang pukul. Tak ada yang berani menentang karena selain di antara mereka terdapat banyak orang lihai, juga mereka dekat dengan para pembesar yang berpangkat tinggi."
Kemudian, Souw Sian-seng membujuk Sin-ciang Kai-ong untuk beristirahat saja di rumahnya agar lebih terawat dan dekat dengan ahli dan obat-obatannya. Setelah Gui Siong ikut membujuk, akhirnya Sin-ciang Kai-ong menerima undangan ini dan pergilah mereka berempat ke rumah Souw Sian-seng. Rumahnya menjadi satu dengan toko obatnya, di bagian belakang dan cukup luas.
Bukan main girangnya rasa hati Hui Im ketika menerima dua orang tamunya itu. Sinar matanya yang bening itu kadang-kadang menyambar ke arah Han Beng, sinar matanya yang tajam bersinar akan tetapi kalau bertemu pandang, ia pun menunduk dan sikapnya malu-malu. Han Beng sendiri kagum bukan main kepada gadis itu, kagum dan juga suka karena gadis cantik itu selain gagah perkasa, lihai dan pemberani, juga berhati lembut dan suka menolong.
Souw Sian-seng yang duda itu menjamu Sin-ciang Kai-ong dan muridnya dengan hati gembira. Dia telah memeriksa keadaan tubuh kakek jembel itu dan dengan lega mendapatkan bahwa penyakitnya tidaklah berbahaya, penyakit biasa yang suka mengganggu orang lanjut usia. Dengan istirahat dan pengobatan yang cepat, dalam waktu beberapa hari saja kakek itu akan pulih kembali kesehatannya, apalagi dia memiliki tubuh yang amat kuat.
Akan tetapi, selagi pihak tuan rumah menjamu Han Beng dan gurunya, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar toko yang sudah ditutup pada sore hari itu. Seorang pelayan berlari memasuki ruangan makan dengan muka pucat dan melapor kepada Souw Sian-seng dengan suara gagap.
"Celaka, Loya… orang-orang Ang-Kin Kai-pang dan sepasukan perajurit keamanan… berada di depan rumah…!"
Mendengar ini, Souw Kun Tiong cepat keluar, diikuti oleh Souw Hui Im juga Gui Siong. Han Beng dan gurunya saling pandang, kemudian Sin-ciang Kai-ong yang sudah mendengar keterangan muridnya tentang peristiwa dengan Ang-kin Kai-pang itu menyatakan kekhawatirannya.
"Aih, kalau sampai keluarga Souw tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kita, sungguh membuat hatiku merasa tidak enak sekali. Kita harus turun bertanggung jawab, Han Beng. Mari kita keluar!"
Ketika guru dan murid ini keluar, ternyata bagian depan rumah itu telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian pengemis sabuk merah, juga ada dua puluh orang lebih perajurit keamanan yang dipimpin seorang perwira. Mereka mendengar perdebatan antara Souw Sian-seng dan para pimpinan pengemis juga terdengar suara perwira itu membentak-bentak.
"Orang she Souw! Engkau berani menyembunyikan mata-mata pemberontak! Hayo keluarkan orang itu dan berikan kepada kami, dan kalian sekeluarga juga harus ikut ke benteng untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!"
Souw Sian-seng membantah dengan suara lantang. "Ciangkun, harap tidak mendengarkan fitnah keji. Selama bertahun-tahun, kami keluarga Souw tinggal dengan aman dan damai di sini, tidak pernah membuat kekacauan dan siapakah yang tidak mengenal kami sebagai ahli pengobatan yang sudah banyak menolong orang sakit? Bahkan di antara para perwira dalam benteng sudah banyak yang kami sembuhkan…"
"Bohong, Ciangkun! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai!" tiba-tiba seorang di antara para pimpinan pengemis itu berseru.
Kagetlah Souw Sian-eng. Dia tahu bahwa keadaannya menjadi semakin gawat kalau orang-orang itu sudah tahu bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, apalagi mengingat bahwa sutenya yang berada di sebelahnya itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang lolos dari kuil Siauw-lim-pai yang dibakar.
"Memang kuakui bahwa ilmu silatku bersumber dari ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi ilmu silat mana yang tidak bersumber dari sana? Aku, bukan murid…"
"Ciangkun, orang kurus bermata lebar itu seorang di antara murid Siau lim-pai yang memberontak! Aku ingat benar! Dia seorang di antara lima murid Siauw-lim-pai yang mengamuk di Ki-nyan-tung!"
Kini Gui Siong yang terkejut. Dia adalah seorang buruan, dan dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, hanya dia menyesal sekali bahwa kini suhengnya yang hidup aman di kota raja ini akan menanggung akibat dari persembunyiannya di situ. Pada saat itu, Han Beng dan Sin-ciang Kai-ong muncul. Melihat mereka! perajurit yang tadi berteriak segera mengenal mereka.
"Nah, itu dia yang membantu para murid Siauw-lim-pai! Pengemis tua itu yang menendang roboh padaku, dan pemuda tinggi besar itu ikut mengamuk!"
Kini tidak ada jalan lain lagi untuk menyangkal. Souw Sian-seng memang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan semenjak Gui Siong berada tempat tinggalnya. Kini, dia sudah meloncat ke depan sambil mencabut pedangnya, langsung saja menyerang pengemis yang tadi membocorkan rahasianya sebagai murid Siauw-lim-pai.
Pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, akan tetapi tongkat itu patah dan pedang di tangan Souw Sian-seng sudah melukai pundaknya sehingga dia jatuh terguling dan berteriak kesakitan. Segera ada banyak sekali tongkat yang mengeroyok tabib itu. Melihat suhengnya sudah mengamuk, Gui Siong yang merasa betapa kehadirannya yang menyebabkan keributan itu, segera mencabut pula pedangnya dan mengamuk.
"Ayah, mari kita hajar anjing-anjing jahat ini!" Hui Im juga membentak dan dia pun sudah melompat ke depan, mengenakan pedang yang sudah dipersiapkannya untuk membantu ayah dan susioknya.
Memang sementara keributan pagi tadi dengan orang-orang Ang-kin Kai-pang, keluarga ini sudah mempersiapkan pedang agar setiap saat dapat membela diri. Melihat betapa pihak tuan rumah sudah terjun ke dalam perkelahian dan dikeroyok banyak orang yang rata-rata lihai, Han Beng menoleh kepada gurunya.
"Suhu, apa yang harus teecu lakukan?" Selama ini suhunya itu selalu menekankan bahwa dia harus hidup sebagai seorang pendekar yang menentang para penindas dan penjahat, akan tetapi suhunya juga berpesan agar dia tidak memusuhi pemerintah karena kalau dicap pemberontak maka akan sukarlah mencari tempat yang aman bagi kehidupannya.
Sin-ciang Kai-ong menarik napas panjang. "Wah, agaknya Ang-kin Kai-ong yang telah bersekutu dengan pasukan keamanan dan kalau pembesar sudah bersekutu dengan orang-orang yang jahat dan menyeleweng, sungguh tidak tahu lagi aku apa yang harus kita lakukan. Akan tetapi, jelas bahwa keluarga Souw terancam maka kita harus menolong dan menyelamatkan mereka."
Pernyataan suhunya ini amat ditunggu-tunggu oleh Han Beng, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu terjun kedalam gelanggang perkelahian, dengan tamparan dan tendangannya dia merobohkan tiga orang pengeroyok yang membikin repot Hui Im. Selanjutnya ia melindungi gadis itu dari pengeroyokan.
Sin-ciang Kai-ong masih ragu-ragu. Dia sudah tua dan sedang tidak sehat, menggunakan tenaga untuk berkelahi dapat membahayakan nyawanya sendiri. Pula, dia pun tahu bahwa kedaan amatlah berbahaya. Mereka itu relawan pasukan pemerintah, berarti pemberontak, dan perkelahian itu terjadi di kota raja! Dalam waktu singkat saja tentu akan bermunculan ratusan atau mungkin ribuan pasukan keamanan. Dan di kota raja menjadi gudang dari para perwira tinggi yang memiliki kepandaian tinggi!
Akan tetapi, keraguannya lenyap ketika dia melihat betapa tubuh Souw Sian-seng dan Cui Siong sudah berlumuran darah oleh luka-luka yang mereka derita. Walaupun kedua suheng dan sute ini mengamuk, namun para pengeroyok mereka itu pun rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, dan dikeroyok demikian banyaknya, akhirnya mereka pasti luka-luka.
"Han Beng! Nona! Kalian tolong Souw enghiong dan Cui-enghiong melarikan diri, biar aku yang menahan mereka..."
Tiba-tiba kakek ini terjun ke dalam pertempuran dan dengan gerakan kedua lengan bajunya yang tambal-tambalan dia menyapu roboh beberapa orang. Gerakan kakek ini memang hebat bukan main. Kedua lengan bajunya yang lebar itu mengeluarkan angin yang bagaikan badai. Baru terkena anginnya saja, orang-orang yang berada dekat dengannya terpelanting roboh, apalagi yang sampai tercium ujung lengan baju. Tenaga sakti yang keluar dari kedua lengannya amat dahsyat.
Juga amukan Han Beng yang bertangan kosong itu hampir sama dengan suhunya, kalau tidak malah lebih hebat lagi. Pemuda ini selama lima tahun telah warisi ilmu kepandaian Sin-ciang Kai-ong setelah dia mewarisi ilmu kepandaian Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Tamparan dan tendangannya pasti merobohkan seorang lawan, walaupun mereka itu sudah mencoba untuk mengelak dan menangkisnya. Tangkisan senjata tajam tidak dipedulikan oleh Han Beng. Senjata yang bertemu dengan lengan atau kakinya terpental diikuti robohnya pemilik senjata itu.
Mendengar seruan gurunya, Han Beng juga maklum. Kalau dilanjutkan, tentu akan datang bala bantuan yang amat banyak karena mereka berada di kota raja. Kalau sampai lambat melarikan diri, dapat berbahaya sekali.
"Nona, mari kita larikan Ayahmu dan paman Gurumu!" katanya.
Hui Im yang tadinya repot menghadapi pengeroyokan banyak orang, kemudian keadaannya menjadi ringan setelah pemuda perkasa itu mengamuk di sebelahnya dan melindunginya, mengangguk karena ia pun melihat betapa ayahnya dan susioknya telah menderita luka-luka berdarah. Keduanya lalu cepat mengamuk mendekap dua orang yang luka-luka itu.
Ketika Han Beng tiba di situ, dia melihat keadaan Souw Sian-seng sudah payah dan terhuyung-huyung. Maka dia pun cepat menangkap tubuh orang tua itu, memanggulnya, dan mempergunakan pedangnya untuk melindungi diri mereka, juga melindungi Hui Im yang sudah menggandeng tangan susioknya diajak lari. Jalan untuk lari sudah terbuka karena Sin-ciang Kai-ong sudah mengamuk lebih dahulu membuka jalan. Larilah mereka, Han Beng memondong tubuh Souw Sian-sen dan Hui Im menggandeng dan menarik susioknya yang juga sudah terhuyung huyung.
Sin-ciang Kai-ong menghalangi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran. Dengan kedua lengan bajunya dia merobohkan lebih dari dua puluh orang, dan sisanya, yaitu perwira pasukan dan beberapa orang pimpinan Ang kin Kai-pang masih mengepung dan mengeroyoknya. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang dahsyat, seperti harimau mengancam, dan belasan orang yang mengeroyok itu terkejut, merasa kaki mereka seperti mendadak lumpuh dan mereka tidak mampu mempertahankan diri ketika kedua lengan baju itu menyambar nyambar.
Mereka berpelantingan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin ciang Kai-ong untuk meloncat jauh dan pergi menyusul muridnya dan yang lain lainnya. Dia tahu ke mana Han Beng membawa mereka. Tentu ke hutan lebat di mana terdapat kuburan kuno yang pernah menjadi tempat tinggal selama dua hari di luar kota raja.
Benar saja dugaannya. Han Beng, Hui Im, Souw Sian-seng dan Gui Siong memang berada di tempat itu. Akan tetapi ketika Sin-ciang Kai-ong tiba di situ, mendapatkan bahwa dua orang yang terluka parah itu telah meninggal dunia dan Hui Im memeluki jenazah ayahnya sambil menangis sedangkan Han Beng duduk bersila termangu-mangu. Kakek ini menarik napas panjang berulang-ulang lalu ikut bersila di dekat Han Beng menghadapi dua jenazah yang rebah telentang. Melihat Sin-ciang Kai-ong, Hui Im merintih dan berlutut di depan kakek itu.
"Lo-cian-pwe… Ayah dan Susiok tewas…!" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya sudah meledak-ledak, membuatnya sesenggukan.
"Tenanglah, Nona. Nyawa manusia berada di dalam tangan Tuhan, maka setiap kematian memang sudah dikehendaki oleh Tuhan. Kita hanya dapat merima kenyataan ini, Nona."
"Nona, semua ini adalah karena kesalahanku!" kata Han Beng penuh semangat. "Akulah yang bersalah, kalau aku tidak minta bantuan, mengemis obat kepada Nona, tentu tidak akan terjadi semua ini…" Han Beng merasa menyesal bukan main.
"Tidak, Tai-hiap. Engkau tidak bersalah. Bahkan engkau telah membantu kami sehingga engkau dimusuhi oleh pasukan keamanan."
"Sudahlah, tidak perlu mencari kambing hitam dalam suatu peristiwa, yang penting kini kita harus cepat menyempurnakan dua jenazah ini dan mengurus mereka baik-baik. Kebetulan di sini adalah daerah pemakaman kuno. Kalau tidak cepat-cepat dan kita terlambat mereka tentu akan melakukan pengejaran sehingga kita tidak sempat lagi untuk mengurus jenazah-jenazah ini. Kita bicara nanti setelah pemakaman."
Mereka bertiga lalu menggali dua buah lubang tak jauh dari makam kuno itu untuk mengubur jenazah Souw Kun Tiong dan Gui Siong. Sambil bekerja menggali tanah kemudian mengubur jenazah ayahnya dan susioknya, tiada hentinya Hui Im menangis, walaupun dara ini sudah menahan diri untuk bersikap tenang. Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Setelah mereka berhasil mengubur kedua jenazah itu, Hui Im berlutut depan makan ayahnya sambil menangis sesenggukan. Han Beng menghiburnya.
"Sudahlah, Nona. Saya kira tidak perlu lagi Nona menyiksa diri, karena Ayahmu dan Susiokmu sudah dipanggil kembali oleh Tuhan Yang Maha Kuasa."
Hui Im tetap saja menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Nona Souw, yang kau tangisi itu Ayahmu ataukan dirimu sendiri?" tiba-tiba Sin-ciang Kai-ong bertanya, biarpun mulutnya tersenyum-senyum namun bicaranya bersungguh-sungguh.
Han Beng sendiri kaget mendengar pertanyaan yang aneh dan dianggapnya menyinggung perasaan itu. Mendengar pertanyaan ini, Hui Im menghentikan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan mata merah agak membengkak.
"Bagaimana Lo-cian-pwe dapat bertanya seperti itu? Tentu saja saya menangisi Ayah…"
"Benarkah itu? Coba amati diri sendiri dan pikirkan baik-baik, Nona. Bagaimana engkau dapat menangisi Ayahmu yang sudah meninggal dunia? Dia telah terbebas dari segala macam penderitaan hidup, sudah meninggalkan tubuh yang selalu menjadi permainan suka dan duka, mengapa pula engkau menangisinya? Bukankah engkau menangis karena mengingat akan keadaanmu sendiri yang ditinggal pergi selamanya oleh Ayahmu yang kau cinta? Bukankah tangismu itu timbul dari perasaan iba kepada dirimu sendiri?"
Han Beng yang mendengarkan itu merasa heran. Selama lima tahun suhunya lebih banyak bersikap seperti orang yang kurang waras, selalu bergurau dan kadang-kadang amat nyaris jarang sekali suhunya bersikap sungguh-sungguh seperti sekarang ini, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran dari hatinya karena dianggapnya tidak wajar!
Sementara itu, Hui Im tadinya menjadi merah mukanya karena penasaran akan tetapi ketika ia mengingatkan dan mengamati diri sendiri, nampaklah olehnya betapa tepatnya ucapan kekek itu. Memang ia menangisi diri sendiri yang ditinggal ayahnya, sehinga kini ia hidup sebatangkara, dan melihat keadaan, tentu ia tidak akan dapat kembali lagi ke rumahnya yang akan disita oleh pasukan keamanan. Ia kehilangan segala-galanya! Satu-satu keluarganya adalah ayahnya. Ia kehilangan ayahnya, susioknya, dan seluruh harta bendanya, bahkan rumahnya. Ia menjadi yatim piatu yang sebatangkara, tidak memiliki lagi tempat tinggal dan harta benda.
"Tapi saya merasa kasihan kepada Ayah. Gara-gara perbuatan saya maka Ayah sampai menderita, dikeroyok sehingga tewas "
"Ketika Ayahmu dikeroyok dan menderita luka-luka, memang dia sengsara dan sepatutnya kalau engkau iba kepadanya. Akan tetapi sekarang? Ayahmu sudah tidak menderita apa-apa lagi, setidaknya tubuhnya tidak lagi merasakan apa-apa, tidak menderita. Tentang jiwanya, siapa yang tahu? Kalau kita tidak tahu bagaimana keadaannya, bagaimana mungkin kita merasa kasihan? Siapa tahu dia sekarang berbahagia, mudah-mudahan saja begitu."
Hui Im yang mempergunakan pikiran untuk mempertimbangkan ucapan kakek itu, tanpa disadarinya sendiri telah berhenti menangis! "Saya dapat mengerti apa yang Lo-cian-pwe maksudkan sekarang. Memang saya menangisi diri sendiri, akan tetapi apa salahnya Lo-cian-pwe? Baru saja saya kehilangan segalanya. Ayah dan Susiok tewas, saya tidak mungkin pulang ke rumah yang tentu disita pemerintah. Saya kehilangan segala-galanya, hidup yatim piatu dan sebatangkara tidak memiliki apa-apa. Siapakah orangnya yang tidak akan berduka?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa. Han Beng mengerutkan alisnya. Wah, gurunya kini agaknya kambuh kembali, datang lagi penyakit lamanya, dan dia takut kalau-kalau gadis itu akan tersinggung. Hui Im tidak tersinggung melainkan heran memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu. Pandang matanya menegur dan bertanya mengapa kakek itu tertawa seperti itu melihat ia sedang dilanda kesengsaraan!
"Ha-ha-ha-ha, Nona yang baik hati, ke mana perginya kedukaanmu tadi? Engkau tidak menangis lagi, tidak ada lagi kedukaan membayang di wajahmu! Mengapa? Heh-heh, karena duka itu hanya permainan pikiranmu sendiri saja. Pikiranmu itu mengingat-ingat akan keadaanmu, semua kehilangan dan penderitaan, maka muncullah iba diri dan engkau pun menangis, merasa sengsara, begitu pikiranmu beralih dan memperhatikan percakapan dengan aku, maka hilang pula kedukaan itu tanpa bekas! Nanti kalau kau ingat lagi, engkau akan berduka lagi."
Hui Im mengerutkan alisnya, melihat kebenaran yang tersembunyi dalam ucapan kakek itu. "Akan tetapi, Lo-cian-we, apakah tidak boleh saya berduka?"
"Bukan tidak boleh, hanya apakah gunanya berduka, Nona? Hidup penuh penderitaan kalau kita membiarkan pikiran berkuasa. Segala yang terjadi adalah suatu kewajaran. Ayahmu tewas, hartamu habis, semua itu wajar, karena semua itu terjadi atas kehendak Tuhan! Dan semua kehendak Tuhan terjadilah! Tidak ada kekuasaan apa pun yang akan mampu mencegahnya. Dan Tuhan Maha Kasih Segala kehendak-Nya yang terjadi adalah adil dan baik, demi kebaikan kita! Hanya kita tidak mengerti akan rasa yang tersembunyi dibalik semua peristiwa itu. Percayalah kepada Tuhan anak baik, dan serahkan segalanya kepada Tuhan. Apa yang nampak ini semua hanya seperti mimpi belaka, seperti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat akan meletus dan lenyap. Semua tidak kekal, hanya sementara saja, maka jangan kaget kalau sewaktu-waktu semua ini akan lenyap meninggalkan kita. Bahkan tubuh ini pun tidak kekal, kita harus siap untuk sewaktu-waktu meningalkannya! Jadi, apa yang perlu disalahkan? Tidak ada! Ha-ha-ha, tidak ada yang patut disusahkan, kita bahkan harus selalu gembira, melihat tontonan yang amat menarik ini, tontonan kehidupan manusia."
Han Beng menundukkan muka. Alangkah bijaksananya gurunya itu, walaupun sikapnya seperti orang sinting. Dia dapat mengerti akan semua ucapan tadi, dan dia merasa betapa kecilnya lirihnya, betapa lemah dan tidak berarti, bahkan tidak berdaya dalam kekuasaan Alam Semesta.
"Lo-cian-pwe, apakah kalau sudah begitu, kalau kita sudah percaya sepenuhnya kepada Tuhan, sudah pasrah segalanya kepada Tuhan, kita akan selamat? Apa perlunya kita berobat kalau sakit, menghindar kalau ada bahaya mengancam? Bukankah kita lalu menjadi diam saja dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan?" Dalam pertanyaan ini terkandung rasa penasaran. Maklum, seorang pdis muda seperti Hui Im, tidak mudah menangkap inti dari semua ucapan kakek itu yang mengandung makna dalam sekali.
Mendengar pertanyaan gadis itu, Sin-Ciang Kai-ong kembali tertawa. "Ha-ha-ha, bukan begitu, Nona. Kita diciptakan sebagai mahluk hidup yang bergerak, kita wajib untuk berikhtiar, menjaga dan memelihara diri, namun dengan dasar iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau kita sakit, sudah menjadi kewajiban kita untuk berikhtiar mencari penyembuhannya dengan pengobatan, namun dasarnya harus iman penyerahan kepada Tuhan. Apapun yang ditentukan Tuhan, tidak perlu diterima dengan penasaran! Itulah iman! Dunia hanya permainan pikiran. Susah senang hanya timbul karena pikiran ini menimbang-nimbang, membanding-bandingkan memperhitungkan untung rugi yang semuanya bersumber kepada si-AKU! padahal, siapakah si-AKU ini? Siapakah AKU ini? Pernahkah Nona mempertanyakan hal ini kepada diri sendiri! Han Beng, pernahkah engkau bertanya kepada diri sendiri siapakah dirimu dan siapakah engkau?"
Han Beng terbelalak memandang gurunya. Belum pernah dia bertanya seperti itu, dan mengapa pula harus bertanya? Apakah gurunya ini sudah kumat lagi sintingnya? Kenapa orang harus bertanya siapa dirinya? Siapakah aku ini?
Karena dia dan Hui Im tidak menjawab pertanyaan itu, Sin-ciang Kai ong yang agaknya juga tidak mengharapkan jawaban, lalu bernyanyi! "Siapakah AKU ini? AKU bukanlah tubuh yang rapuh ini. AKU bukanlah pikiran yang kacau ini. AKU bukanlah perasaan yang berubah-ubah ini. AKU bukanlah akal budi yang curang ini. Semua itu hanyalah alat bagiku. Sangkar rumah tempat tinggalku sementara. Semua itu akan menjadi tua. Lalu lemah tak berdaya, lalu mati, kembali pada debu hampa! Siapakah AKU ini? Sepercik api yang merindukan Matahari. Setetes air yang merindukan samudera"
Setelah menyanyikan sajak itu, Sin-Ciang Kai-ong lalu tertawa terkekeh-kekeh seperti mendengar sesuatu yang amat lucu. Akan tetapi pada saat itu pendengaran Han Beng yang tajam dapat menangkap gerakan atau langkah kaki banyak orang dari jauh, juga suara mereka bicara. Tadinya Han Beng dan gurunya menasehati agar Hui Im tinggal saja di tempat persembunyiannya, tidak ikut mereka yang berkunjung ke sarang Ang-kin Kai-pang. Akan tetapi gadis itu memaksa.
"Aku kehilangan segala-galanya karena Ang-kin Kai-pang, oleh karena itu, baik dibantu oleh Ji-wi (Kalian) atau tidak, aku pasti akan menuntut balas dan menyerbu sarang Ang-kin Kai pang dengan taruhan nyawa!"
Guru dan murid itu terpaksa membiarkan Hui Im ikut, walaupun hadirnya gadis itu menambah beban bagi mereka yang harus melindunginya. Ketika mereka melihat bahwa penjagaan di tempat, itu hanya dipusatkan di pintu depan, Sin-ciang Kai-ong berbisik kepada muridnya dan Hui Im bahwa mereka akan memasuki sarang itu dari tembok belakang. Pagar tembok itu cukup tinggi dan Hui Im memandang dengan ragu-ragu.
"Aku… kukira… aku tidak mampu melompatinya" katanya lirih kepada Han Beng.
"Mari kubantu, Nona. Peganglah tanganku erat-erat!" Han Beng berkata kemudian memberi isyarat agar mereka meloncat berbareng.
Dengan pengerahan tenaganya, mudah saja baginya untuk menambah tenaga loncatan Hui lm sehingga keduanya melayang ke atas pagar tembok lalu turun ke sebelah dalam. Akan tetapi, begitu tiba di dalam pagar tembok, kakek jembel itu memberi isyarat agar mereka tidak mengeluarkan suara.
Ternyata rumah itu dijaga ketat sekali, bahkan dikepung penjaga. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi mereka untuk menyelinap masuk tanpa diketahui dan kalau ketahuan tentu semua anggota Ang-kin Kai-pang akan melakukan pengeroyokan sehingga mereka tidak sempat melakukan penyelidikan. Maka Sin-Ciang Kai-ong lalu memberi isyarat kepada muridnya dan Hui Im untuk keluar lagi.
"Kita datang saja dari pintu," katanya.
"Tapi, Suhu. Mereka sudah mengenal kita, tentu mereka akan menyambut dengan pengeroyokan pula."
"Hemmm, andaikata dikeroyok pun kalau di luar kita lebih leluasa dan tidak ada bahaya alat-alat jebakan. Syukur kalau Koai-tung Sin-kai masih mengingat akan persahabatan antara kami dan mau keluar menemuiku."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi sama sekali bukan karena takut, Han Beng dan Hui im mengikuti jejak jembel itu yang berjalan menuju ke pintu gerbang di mana terdapat banyak sekali anggauta Ang-kin Kai-pang. Ketika mereka bertiga tiba di depan pintu gerbang dan para pengemis itu melihat mereka, tentu saja para anggauta Ang-kin Kai-pang itu menjadi geger. Mereka segera mengenal tiga orang itu dan segera menghadapinya dengan senjata tajam seperti golok, pedang, tombak dan lain-lain. Sebagian pula memegang tongkat pengemis mereka dengan sikap mengancam. Akan tetapi, Sin-ciang Kai-ong menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha-ha, kalian jangan panik jangan ribut. Aku datang untuk menemui sahabat baikku, Koai-tung Sin-kai, untuk membicarakan kesalahpahaman antara kita tadi. Katakanlah kepadanya bahwa sahabat baiknya yang bernama Sin-ciang Kai-ong datang untuk bicara dengan dia!"
"Sin-ciang Kai-ong…?" terdengar seruan-seruan di antara mereka dengan kaget.
Tentu saja nama ini tidak asing bagi mereka, dan mereka pun merasa jerih. Kiranya kakek jembel yang amat sakti dan yang membuat mereka tadi kocar-kacir adalah Sin-ciang Kai-ong. Raja Pengemis dari Propinsi Hok-kian itu! Pantas demikian lihainya, pikir mereka, kini menjadi ragu-ragu untuk lancang tangan.
"Hayo cepat kabarkan padanya, ataukah kalian mau main-main lagi dengan kami? Akan tetapi hati-hati, sekali ini aku tidak akan menggunakan tangan lunak terhadap kalian!" Dengan ancaman ini, Sin-ciang Kai-ong berhasil membuat mereka semua menjadi jerih beberapa orang lalu lari ke dalam membuat laporan...
Han Beng terkejut disebut tai-hiap (pendekar besar). Dia mengerutkan alisnya. "Maaf, saya tidak mengenal… Dan perkenankan saya mengantarkan obat ini kepada guruku…"
"Bukankah Tai-hiap yang bernama Han Beng?" Cui Siong melanjutkan cepat-cepat dan lirih agar tidak terdengar orang lain. Han Beng kembali terkejut.
"Tai-hiap tentu belum lupa, lima tahun yang lalu, di dusun Ki-nyan-tung. Bukankah kita pernah bekerja sama membela rakyat dusun itu dari tekanan Hek-i-wi…?"
"Ohhh…!" kini Han Beng teringat. Kiranya orang ini adalah satu di antara lima orang murid Siauw lim-pai yang mengamuk dan membela penduduk dusun itu. "Kiranya Tuan adalah…"
"Namaku Gui Siong, Tai-hiap. Dan kalau boleh saya bertanya, siapakah yang sakit?"
"Guruku, dia Sin-ciang Kai-ong…"
"Ahhh! Jadi beliau itu menjadi guru Tai-hiap? Suheng, dengarkah Suheng sekarang? Kita harus berkunjung dan memberi hormat kepada Lo-cian-pwe itu, dan mengundang mereka ke sini untuk beristirahat dan berobat, sambil bercakap-cakap!"
Kini Souw Sian-seng baru yakin dan ia pun cepat memberi hormat kepada Han Beng. "Maafkan kami, Tai-hiap. Sudah lama mendengar nama besar Tai-hiap dan Lo-cian-pwe Sian-ciang Kai-ong. Marilah kami antar Tai-hiap menemui guru Tai-hiap."
Han Beng mengangguk, merasa tidak enak berada lebih lama di tempat itu. Dia lalu menghadapi Souw Hui Im dan menjura, "Sekali lagi, terima kasih, Nona." Dan pergilah dia bersama dua orang itu menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah barat.
Hui Im sejak tadi bengong saja seperti telah berubah menjadi patung! Bahkan ketika Han Beng bicara kepadanya, ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu seperti seorang yang melihat munculnya dewa di siang hari! Tentu saja ia pun seperti ayahnya pernah mendengar cerita susiok-nya Gui Siong tentang munculnya seorang pendekar muda yang dijuluki Sin-Liong (Naga Sakti) bernama Sin Han Beng yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi gunung, juga ia pernah mendengar akan nama Sin-ciang Kai-ong yang namanya menjulang setinggi langit. Dan pada itu kini, ia telah memberi sedekah obat kepada Sin-liong itu, untuk mengobati gurunya yang ternyata adalah Sin-ciang Kai-ong!
Seperti seorang anak kecil, ia pun berlompatan masuk kedalam tokonya, wajahnya riang gembira namun kadang-kadang jantungnya berdebar dan mukanya berubah merah ketika teringat kepada wajah Han Beng!
********************
Sin-ciang Kai-ong memang jatuh sakit. Tubuhnya seperti menjadi medan perang antara panas dan dingin. Kadang-kadang dia merasa tubuhnya panas seperti dibakar, kadang-kadang dingin seperti akan membeku, dan kalau sudah datang batuknya, maka batuknya itu susul menyusul dan terus menerus membuat dadanya terasa sesak!
Akhirnya terpaksa dia dan muridnya yang tiba di kota raja, menghentikan perantauan mereka dan Sin-ciang Kai-ong tinggal di sebuah kuil tua yang tidak terpakai lagi, di sebuah bukit di sebelah barat kota raja. Siang hari itu, terdengar dia terbatuk-batuk sehingga dia tidak tahu bahwa muridnya dan dua orang laki-laki memasuki kuil tua itu.
"Suhu...!" kata Han Beng sambil berlulut di depan suhunya yang rebah miring menghadapi dinding.
"Ah, kau sudah datang, Han Beng… ukh-ukh-uhh!"
"Suhu, teecu datang bersama dua orang yang ingin menghadap Suhu."
Sin-ciang Kai-ong bangkit dan memutar tubuhnya, melihat dua orang yang telah duduk bersila di situ dengan sikap hormat. Souw Sian-seng dan Gui Siong segera memberi hormat kepada pengemis tua itu.
"Lo-cian-pwe, saya Souw Kun Tiong seorang murid luar Siauw-lim-pai."
"Saya sutenya, Lo-cian-pwe, bernama Gui Siong dan saya pernah berjumpa dengan Lo-cian-pwe ketika bersama-sama membela penduduk Ki-nyan-tung. Saya seorang murid Siauw-lim-pai."
Sin-ciang Kai-ong, biarpun kelihatan bahwa dia sedang menderita sakit wajahnya pucat dan mukanya penuh keringat, nampak gembira ketika mendengar pengakuan mereka itu.
"Ah, kiranya orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang datang! Selamat datang, selamat datang! Hei Han Beng bagaimana engkau sampai dapat bertemu mereka dan membawa mereka ke tempat kita yang kotor ini?"
Han Beng lalu menceritakan tentang peristiwa ketika dia minta obat kepada puteri Souw Sian-seng tadi selanjutnya pertemuannya dengan So Sian-seng dan Gui Siong. Mendengar ini, Sin-ciang Kai-ong mengerutkan alisnya.
"Ah, bagaimana mungkin itu? Ang-kin Kai-pang adalah perkumpulan pengemis di kota raja yang dipimpin oleh Koai-tung Sin-kai, bukan?" Pertanyaan ini bukan oleh kakek jembel itu kepada Han Beng dan dua orang murid Siauw-lim-pai.
"Benar sekali, Lo-cian-pwe. Koai Tung Sin-kai adalah ketua dari "Ang-kin Kai-pang," kata Souw Sian-seng.
"Nahhh! Aku sudah mengenal baik orang itu! Dan dia bukan orang jahat sama sekali, bahkan dia menjunjung tinggi kebenaran dan bahkan menentang kejahatan dan penindasan. Bagaimana seorang anak muridnya dapat bersikap seperti itu?"
"Memang benar sekali apa yang Lo-cian-pwe katakan. Memang dahulu Ang-kin Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang baik. Biarpun anggauta-anggotanya mengemis, akan tetapi tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan suka membantu kalau rakyat diperas dan ditekan oleh mereka yang berkuasa. Akan tetapi akhir-akhir ini, sudah kurang lebih setahun lamanya, anggauta Ang-kin Kai-pang berubah. Banyak anggauta baru dan mereka ini bersikap tidak lagi sebagai pengemis, melainkan lebih mirip penodong, perampok dan tukang-tukang pukul. Tak ada yang berani menentang karena selain di antara mereka terdapat banyak orang lihai, juga mereka dekat dengan para pembesar yang berpangkat tinggi."
Kemudian, Souw Sian-seng membujuk Sin-ciang Kai-ong untuk beristirahat saja di rumahnya agar lebih terawat dan dekat dengan ahli dan obat-obatannya. Setelah Gui Siong ikut membujuk, akhirnya Sin-ciang Kai-ong menerima undangan ini dan pergilah mereka berempat ke rumah Souw Sian-seng. Rumahnya menjadi satu dengan toko obatnya, di bagian belakang dan cukup luas.
Bukan main girangnya rasa hati Hui Im ketika menerima dua orang tamunya itu. Sinar matanya yang bening itu kadang-kadang menyambar ke arah Han Beng, sinar matanya yang tajam bersinar akan tetapi kalau bertemu pandang, ia pun menunduk dan sikapnya malu-malu. Han Beng sendiri kagum bukan main kepada gadis itu, kagum dan juga suka karena gadis cantik itu selain gagah perkasa, lihai dan pemberani, juga berhati lembut dan suka menolong.
Souw Sian-seng yang duda itu menjamu Sin-ciang Kai-ong dan muridnya dengan hati gembira. Dia telah memeriksa keadaan tubuh kakek jembel itu dan dengan lega mendapatkan bahwa penyakitnya tidaklah berbahaya, penyakit biasa yang suka mengganggu orang lanjut usia. Dengan istirahat dan pengobatan yang cepat, dalam waktu beberapa hari saja kakek itu akan pulih kembali kesehatannya, apalagi dia memiliki tubuh yang amat kuat.
Akan tetapi, selagi pihak tuan rumah menjamu Han Beng dan gurunya, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar toko yang sudah ditutup pada sore hari itu. Seorang pelayan berlari memasuki ruangan makan dengan muka pucat dan melapor kepada Souw Sian-seng dengan suara gagap.
"Celaka, Loya… orang-orang Ang-Kin Kai-pang dan sepasukan perajurit keamanan… berada di depan rumah…!"
Mendengar ini, Souw Kun Tiong cepat keluar, diikuti oleh Souw Hui Im juga Gui Siong. Han Beng dan gurunya saling pandang, kemudian Sin-ciang Kai-ong yang sudah mendengar keterangan muridnya tentang peristiwa dengan Ang-kin Kai-pang itu menyatakan kekhawatirannya.
"Aih, kalau sampai keluarga Souw tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kita, sungguh membuat hatiku merasa tidak enak sekali. Kita harus turun bertanggung jawab, Han Beng. Mari kita keluar!"
Ketika guru dan murid ini keluar, ternyata bagian depan rumah itu telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian pengemis sabuk merah, juga ada dua puluh orang lebih perajurit keamanan yang dipimpin seorang perwira. Mereka mendengar perdebatan antara Souw Sian-seng dan para pimpinan pengemis juga terdengar suara perwira itu membentak-bentak.
"Orang she Souw! Engkau berani menyembunyikan mata-mata pemberontak! Hayo keluarkan orang itu dan berikan kepada kami, dan kalian sekeluarga juga harus ikut ke benteng untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!"
Souw Sian-seng membantah dengan suara lantang. "Ciangkun, harap tidak mendengarkan fitnah keji. Selama bertahun-tahun, kami keluarga Souw tinggal dengan aman dan damai di sini, tidak pernah membuat kekacauan dan siapakah yang tidak mengenal kami sebagai ahli pengobatan yang sudah banyak menolong orang sakit? Bahkan di antara para perwira dalam benteng sudah banyak yang kami sembuhkan…"
"Bohong, Ciangkun! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai!" tiba-tiba seorang di antara para pimpinan pengemis itu berseru.
Kagetlah Souw Sian-eng. Dia tahu bahwa keadaannya menjadi semakin gawat kalau orang-orang itu sudah tahu bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, apalagi mengingat bahwa sutenya yang berada di sebelahnya itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang lolos dari kuil Siauw-lim-pai yang dibakar.
"Memang kuakui bahwa ilmu silatku bersumber dari ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi ilmu silat mana yang tidak bersumber dari sana? Aku, bukan murid…"
"Ciangkun, orang kurus bermata lebar itu seorang di antara murid Siau lim-pai yang memberontak! Aku ingat benar! Dia seorang di antara lima murid Siauw-lim-pai yang mengamuk di Ki-nyan-tung!"
Kini Gui Siong yang terkejut. Dia adalah seorang buruan, dan dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, hanya dia menyesal sekali bahwa kini suhengnya yang hidup aman di kota raja ini akan menanggung akibat dari persembunyiannya di situ. Pada saat itu, Han Beng dan Sin-ciang Kai-ong muncul. Melihat mereka! perajurit yang tadi berteriak segera mengenal mereka.
"Nah, itu dia yang membantu para murid Siauw-lim-pai! Pengemis tua itu yang menendang roboh padaku, dan pemuda tinggi besar itu ikut mengamuk!"
Kini tidak ada jalan lain lagi untuk menyangkal. Souw Sian-seng memang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan semenjak Gui Siong berada tempat tinggalnya. Kini, dia sudah meloncat ke depan sambil mencabut pedangnya, langsung saja menyerang pengemis yang tadi membocorkan rahasianya sebagai murid Siauw-lim-pai.
Pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, akan tetapi tongkat itu patah dan pedang di tangan Souw Sian-seng sudah melukai pundaknya sehingga dia jatuh terguling dan berteriak kesakitan. Segera ada banyak sekali tongkat yang mengeroyok tabib itu. Melihat suhengnya sudah mengamuk, Gui Siong yang merasa betapa kehadirannya yang menyebabkan keributan itu, segera mencabut pula pedangnya dan mengamuk.
"Ayah, mari kita hajar anjing-anjing jahat ini!" Hui Im juga membentak dan dia pun sudah melompat ke depan, mengenakan pedang yang sudah dipersiapkannya untuk membantu ayah dan susioknya.
Memang sementara keributan pagi tadi dengan orang-orang Ang-kin Kai-pang, keluarga ini sudah mempersiapkan pedang agar setiap saat dapat membela diri. Melihat betapa pihak tuan rumah sudah terjun ke dalam perkelahian dan dikeroyok banyak orang yang rata-rata lihai, Han Beng menoleh kepada gurunya.
"Suhu, apa yang harus teecu lakukan?" Selama ini suhunya itu selalu menekankan bahwa dia harus hidup sebagai seorang pendekar yang menentang para penindas dan penjahat, akan tetapi suhunya juga berpesan agar dia tidak memusuhi pemerintah karena kalau dicap pemberontak maka akan sukarlah mencari tempat yang aman bagi kehidupannya.
Sin-ciang Kai-ong menarik napas panjang. "Wah, agaknya Ang-kin Kai-ong yang telah bersekutu dengan pasukan keamanan dan kalau pembesar sudah bersekutu dengan orang-orang yang jahat dan menyeleweng, sungguh tidak tahu lagi aku apa yang harus kita lakukan. Akan tetapi, jelas bahwa keluarga Souw terancam maka kita harus menolong dan menyelamatkan mereka."
Pernyataan suhunya ini amat ditunggu-tunggu oleh Han Beng, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu terjun kedalam gelanggang perkelahian, dengan tamparan dan tendangannya dia merobohkan tiga orang pengeroyok yang membikin repot Hui Im. Selanjutnya ia melindungi gadis itu dari pengeroyokan.
Sin-ciang Kai-ong masih ragu-ragu. Dia sudah tua dan sedang tidak sehat, menggunakan tenaga untuk berkelahi dapat membahayakan nyawanya sendiri. Pula, dia pun tahu bahwa kedaan amatlah berbahaya. Mereka itu relawan pasukan pemerintah, berarti pemberontak, dan perkelahian itu terjadi di kota raja! Dalam waktu singkat saja tentu akan bermunculan ratusan atau mungkin ribuan pasukan keamanan. Dan di kota raja menjadi gudang dari para perwira tinggi yang memiliki kepandaian tinggi!
Akan tetapi, keraguannya lenyap ketika dia melihat betapa tubuh Souw Sian-seng dan Cui Siong sudah berlumuran darah oleh luka-luka yang mereka derita. Walaupun kedua suheng dan sute ini mengamuk, namun para pengeroyok mereka itu pun rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, dan dikeroyok demikian banyaknya, akhirnya mereka pasti luka-luka.
"Han Beng! Nona! Kalian tolong Souw enghiong dan Cui-enghiong melarikan diri, biar aku yang menahan mereka..."
Tiba-tiba kakek ini terjun ke dalam pertempuran dan dengan gerakan kedua lengan bajunya yang tambal-tambalan dia menyapu roboh beberapa orang. Gerakan kakek ini memang hebat bukan main. Kedua lengan bajunya yang lebar itu mengeluarkan angin yang bagaikan badai. Baru terkena anginnya saja, orang-orang yang berada dekat dengannya terpelanting roboh, apalagi yang sampai tercium ujung lengan baju. Tenaga sakti yang keluar dari kedua lengannya amat dahsyat.
Juga amukan Han Beng yang bertangan kosong itu hampir sama dengan suhunya, kalau tidak malah lebih hebat lagi. Pemuda ini selama lima tahun telah warisi ilmu kepandaian Sin-ciang Kai-ong setelah dia mewarisi ilmu kepandaian Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Tamparan dan tendangannya pasti merobohkan seorang lawan, walaupun mereka itu sudah mencoba untuk mengelak dan menangkisnya. Tangkisan senjata tajam tidak dipedulikan oleh Han Beng. Senjata yang bertemu dengan lengan atau kakinya terpental diikuti robohnya pemilik senjata itu.
Mendengar seruan gurunya, Han Beng juga maklum. Kalau dilanjutkan, tentu akan datang bala bantuan yang amat banyak karena mereka berada di kota raja. Kalau sampai lambat melarikan diri, dapat berbahaya sekali.
"Nona, mari kita larikan Ayahmu dan paman Gurumu!" katanya.
Hui Im yang tadinya repot menghadapi pengeroyokan banyak orang, kemudian keadaannya menjadi ringan setelah pemuda perkasa itu mengamuk di sebelahnya dan melindunginya, mengangguk karena ia pun melihat betapa ayahnya dan susioknya telah menderita luka-luka berdarah. Keduanya lalu cepat mengamuk mendekap dua orang yang luka-luka itu.
Ketika Han Beng tiba di situ, dia melihat keadaan Souw Sian-seng sudah payah dan terhuyung-huyung. Maka dia pun cepat menangkap tubuh orang tua itu, memanggulnya, dan mempergunakan pedangnya untuk melindungi diri mereka, juga melindungi Hui Im yang sudah menggandeng tangan susioknya diajak lari. Jalan untuk lari sudah terbuka karena Sin-ciang Kai-ong sudah mengamuk lebih dahulu membuka jalan. Larilah mereka, Han Beng memondong tubuh Souw Sian-sen dan Hui Im menggandeng dan menarik susioknya yang juga sudah terhuyung huyung.
Sin-ciang Kai-ong menghalangi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran. Dengan kedua lengan bajunya dia merobohkan lebih dari dua puluh orang, dan sisanya, yaitu perwira pasukan dan beberapa orang pimpinan Ang kin Kai-pang masih mengepung dan mengeroyoknya. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang dahsyat, seperti harimau mengancam, dan belasan orang yang mengeroyok itu terkejut, merasa kaki mereka seperti mendadak lumpuh dan mereka tidak mampu mempertahankan diri ketika kedua lengan baju itu menyambar nyambar.
Mereka berpelantingan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin ciang Kai-ong untuk meloncat jauh dan pergi menyusul muridnya dan yang lain lainnya. Dia tahu ke mana Han Beng membawa mereka. Tentu ke hutan lebat di mana terdapat kuburan kuno yang pernah menjadi tempat tinggal selama dua hari di luar kota raja.
Benar saja dugaannya. Han Beng, Hui Im, Souw Sian-seng dan Gui Siong memang berada di tempat itu. Akan tetapi ketika Sin-ciang Kai-ong tiba di situ, mendapatkan bahwa dua orang yang terluka parah itu telah meninggal dunia dan Hui Im memeluki jenazah ayahnya sambil menangis sedangkan Han Beng duduk bersila termangu-mangu. Kakek ini menarik napas panjang berulang-ulang lalu ikut bersila di dekat Han Beng menghadapi dua jenazah yang rebah telentang. Melihat Sin-ciang Kai-ong, Hui Im merintih dan berlutut di depan kakek itu.
"Lo-cian-pwe… Ayah dan Susiok tewas…!" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya sudah meledak-ledak, membuatnya sesenggukan.
"Tenanglah, Nona. Nyawa manusia berada di dalam tangan Tuhan, maka setiap kematian memang sudah dikehendaki oleh Tuhan. Kita hanya dapat merima kenyataan ini, Nona."
"Nona, semua ini adalah karena kesalahanku!" kata Han Beng penuh semangat. "Akulah yang bersalah, kalau aku tidak minta bantuan, mengemis obat kepada Nona, tentu tidak akan terjadi semua ini…" Han Beng merasa menyesal bukan main.
"Tidak, Tai-hiap. Engkau tidak bersalah. Bahkan engkau telah membantu kami sehingga engkau dimusuhi oleh pasukan keamanan."
"Sudahlah, tidak perlu mencari kambing hitam dalam suatu peristiwa, yang penting kini kita harus cepat menyempurnakan dua jenazah ini dan mengurus mereka baik-baik. Kebetulan di sini adalah daerah pemakaman kuno. Kalau tidak cepat-cepat dan kita terlambat mereka tentu akan melakukan pengejaran sehingga kita tidak sempat lagi untuk mengurus jenazah-jenazah ini. Kita bicara nanti setelah pemakaman."
Mereka bertiga lalu menggali dua buah lubang tak jauh dari makam kuno itu untuk mengubur jenazah Souw Kun Tiong dan Gui Siong. Sambil bekerja menggali tanah kemudian mengubur jenazah ayahnya dan susioknya, tiada hentinya Hui Im menangis, walaupun dara ini sudah menahan diri untuk bersikap tenang. Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Setelah mereka berhasil mengubur kedua jenazah itu, Hui Im berlutut depan makan ayahnya sambil menangis sesenggukan. Han Beng menghiburnya.
"Sudahlah, Nona. Saya kira tidak perlu lagi Nona menyiksa diri, karena Ayahmu dan Susiokmu sudah dipanggil kembali oleh Tuhan Yang Maha Kuasa."
Hui Im tetap saja menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Nona Souw, yang kau tangisi itu Ayahmu ataukan dirimu sendiri?" tiba-tiba Sin-ciang Kai-ong bertanya, biarpun mulutnya tersenyum-senyum namun bicaranya bersungguh-sungguh.
Han Beng sendiri kaget mendengar pertanyaan yang aneh dan dianggapnya menyinggung perasaan itu. Mendengar pertanyaan ini, Hui Im menghentikan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan mata merah agak membengkak.
"Bagaimana Lo-cian-pwe dapat bertanya seperti itu? Tentu saja saya menangisi Ayah…"
"Benarkah itu? Coba amati diri sendiri dan pikirkan baik-baik, Nona. Bagaimana engkau dapat menangisi Ayahmu yang sudah meninggal dunia? Dia telah terbebas dari segala macam penderitaan hidup, sudah meninggalkan tubuh yang selalu menjadi permainan suka dan duka, mengapa pula engkau menangisinya? Bukankah engkau menangis karena mengingat akan keadaanmu sendiri yang ditinggal pergi selamanya oleh Ayahmu yang kau cinta? Bukankah tangismu itu timbul dari perasaan iba kepada dirimu sendiri?"
Han Beng yang mendengarkan itu merasa heran. Selama lima tahun suhunya lebih banyak bersikap seperti orang yang kurang waras, selalu bergurau dan kadang-kadang amat nyaris jarang sekali suhunya bersikap sungguh-sungguh seperti sekarang ini, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran dari hatinya karena dianggapnya tidak wajar!
Sementara itu, Hui Im tadinya menjadi merah mukanya karena penasaran akan tetapi ketika ia mengingatkan dan mengamati diri sendiri, nampaklah olehnya betapa tepatnya ucapan kekek itu. Memang ia menangisi diri sendiri yang ditinggal ayahnya, sehinga kini ia hidup sebatangkara, dan melihat keadaan, tentu ia tidak akan dapat kembali lagi ke rumahnya yang akan disita oleh pasukan keamanan. Ia kehilangan segala-galanya! Satu-satu keluarganya adalah ayahnya. Ia kehilangan ayahnya, susioknya, dan seluruh harta bendanya, bahkan rumahnya. Ia menjadi yatim piatu yang sebatangkara, tidak memiliki lagi tempat tinggal dan harta benda.
"Tapi saya merasa kasihan kepada Ayah. Gara-gara perbuatan saya maka Ayah sampai menderita, dikeroyok sehingga tewas "
"Ketika Ayahmu dikeroyok dan menderita luka-luka, memang dia sengsara dan sepatutnya kalau engkau iba kepadanya. Akan tetapi sekarang? Ayahmu sudah tidak menderita apa-apa lagi, setidaknya tubuhnya tidak lagi merasakan apa-apa, tidak menderita. Tentang jiwanya, siapa yang tahu? Kalau kita tidak tahu bagaimana keadaannya, bagaimana mungkin kita merasa kasihan? Siapa tahu dia sekarang berbahagia, mudah-mudahan saja begitu."
Hui Im yang mempergunakan pikiran untuk mempertimbangkan ucapan kakek itu, tanpa disadarinya sendiri telah berhenti menangis! "Saya dapat mengerti apa yang Lo-cian-pwe maksudkan sekarang. Memang saya menangisi diri sendiri, akan tetapi apa salahnya Lo-cian-pwe? Baru saja saya kehilangan segalanya. Ayah dan Susiok tewas, saya tidak mungkin pulang ke rumah yang tentu disita pemerintah. Saya kehilangan segala-galanya, hidup yatim piatu dan sebatangkara tidak memiliki apa-apa. Siapakah orangnya yang tidak akan berduka?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa. Han Beng mengerutkan alisnya. Wah, gurunya kini agaknya kambuh kembali, datang lagi penyakit lamanya, dan dia takut kalau-kalau gadis itu akan tersinggung. Hui Im tidak tersinggung melainkan heran memandang kepada kakek yang tertawa-tawa itu. Pandang matanya menegur dan bertanya mengapa kakek itu tertawa seperti itu melihat ia sedang dilanda kesengsaraan!
"Ha-ha-ha-ha, Nona yang baik hati, ke mana perginya kedukaanmu tadi? Engkau tidak menangis lagi, tidak ada lagi kedukaan membayang di wajahmu! Mengapa? Heh-heh, karena duka itu hanya permainan pikiranmu sendiri saja. Pikiranmu itu mengingat-ingat akan keadaanmu, semua kehilangan dan penderitaan, maka muncullah iba diri dan engkau pun menangis, merasa sengsara, begitu pikiranmu beralih dan memperhatikan percakapan dengan aku, maka hilang pula kedukaan itu tanpa bekas! Nanti kalau kau ingat lagi, engkau akan berduka lagi."
Hui Im mengerutkan alisnya, melihat kebenaran yang tersembunyi dalam ucapan kakek itu. "Akan tetapi, Lo-cian-we, apakah tidak boleh saya berduka?"
"Bukan tidak boleh, hanya apakah gunanya berduka, Nona? Hidup penuh penderitaan kalau kita membiarkan pikiran berkuasa. Segala yang terjadi adalah suatu kewajaran. Ayahmu tewas, hartamu habis, semua itu wajar, karena semua itu terjadi atas kehendak Tuhan! Dan semua kehendak Tuhan terjadilah! Tidak ada kekuasaan apa pun yang akan mampu mencegahnya. Dan Tuhan Maha Kasih Segala kehendak-Nya yang terjadi adalah adil dan baik, demi kebaikan kita! Hanya kita tidak mengerti akan rasa yang tersembunyi dibalik semua peristiwa itu. Percayalah kepada Tuhan anak baik, dan serahkan segalanya kepada Tuhan. Apa yang nampak ini semua hanya seperti mimpi belaka, seperti gelembung-gelembung sabun yang setiap saat akan meletus dan lenyap. Semua tidak kekal, hanya sementara saja, maka jangan kaget kalau sewaktu-waktu semua ini akan lenyap meninggalkan kita. Bahkan tubuh ini pun tidak kekal, kita harus siap untuk sewaktu-waktu meningalkannya! Jadi, apa yang perlu disalahkan? Tidak ada! Ha-ha-ha, tidak ada yang patut disusahkan, kita bahkan harus selalu gembira, melihat tontonan yang amat menarik ini, tontonan kehidupan manusia."
Han Beng menundukkan muka. Alangkah bijaksananya gurunya itu, walaupun sikapnya seperti orang sinting. Dia dapat mengerti akan semua ucapan tadi, dan dia merasa betapa kecilnya lirihnya, betapa lemah dan tidak berarti, bahkan tidak berdaya dalam kekuasaan Alam Semesta.
"Lo-cian-pwe, apakah kalau sudah begitu, kalau kita sudah percaya sepenuhnya kepada Tuhan, sudah pasrah segalanya kepada Tuhan, kita akan selamat? Apa perlunya kita berobat kalau sakit, menghindar kalau ada bahaya mengancam? Bukankah kita lalu menjadi diam saja dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan?" Dalam pertanyaan ini terkandung rasa penasaran. Maklum, seorang pdis muda seperti Hui Im, tidak mudah menangkap inti dari semua ucapan kakek itu yang mengandung makna dalam sekali.
Mendengar pertanyaan gadis itu, Sin-Ciang Kai-ong kembali tertawa. "Ha-ha-ha, bukan begitu, Nona. Kita diciptakan sebagai mahluk hidup yang bergerak, kita wajib untuk berikhtiar, menjaga dan memelihara diri, namun dengan dasar iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau kita sakit, sudah menjadi kewajiban kita untuk berikhtiar mencari penyembuhannya dengan pengobatan, namun dasarnya harus iman penyerahan kepada Tuhan. Apapun yang ditentukan Tuhan, tidak perlu diterima dengan penasaran! Itulah iman! Dunia hanya permainan pikiran. Susah senang hanya timbul karena pikiran ini menimbang-nimbang, membanding-bandingkan memperhitungkan untung rugi yang semuanya bersumber kepada si-AKU! padahal, siapakah si-AKU ini? Siapakah AKU ini? Pernahkah Nona mempertanyakan hal ini kepada diri sendiri! Han Beng, pernahkah engkau bertanya kepada diri sendiri siapakah dirimu dan siapakah engkau?"
Han Beng terbelalak memandang gurunya. Belum pernah dia bertanya seperti itu, dan mengapa pula harus bertanya? Apakah gurunya ini sudah kumat lagi sintingnya? Kenapa orang harus bertanya siapa dirinya? Siapakah aku ini?
Karena dia dan Hui Im tidak menjawab pertanyaan itu, Sin-ciang Kai ong yang agaknya juga tidak mengharapkan jawaban, lalu bernyanyi! "Siapakah AKU ini? AKU bukanlah tubuh yang rapuh ini. AKU bukanlah pikiran yang kacau ini. AKU bukanlah perasaan yang berubah-ubah ini. AKU bukanlah akal budi yang curang ini. Semua itu hanyalah alat bagiku. Sangkar rumah tempat tinggalku sementara. Semua itu akan menjadi tua. Lalu lemah tak berdaya, lalu mati, kembali pada debu hampa! Siapakah AKU ini? Sepercik api yang merindukan Matahari. Setetes air yang merindukan samudera"
Setelah menyanyikan sajak itu, Sin-Ciang Kai-ong lalu tertawa terkekeh-kekeh seperti mendengar sesuatu yang amat lucu. Akan tetapi pada saat itu pendengaran Han Beng yang tajam dapat menangkap gerakan atau langkah kaki banyak orang dari jauh, juga suara mereka bicara. Tadinya Han Beng dan gurunya menasehati agar Hui Im tinggal saja di tempat persembunyiannya, tidak ikut mereka yang berkunjung ke sarang Ang-kin Kai-pang. Akan tetapi gadis itu memaksa.
"Aku kehilangan segala-galanya karena Ang-kin Kai-pang, oleh karena itu, baik dibantu oleh Ji-wi (Kalian) atau tidak, aku pasti akan menuntut balas dan menyerbu sarang Ang-kin Kai pang dengan taruhan nyawa!"
Guru dan murid itu terpaksa membiarkan Hui Im ikut, walaupun hadirnya gadis itu menambah beban bagi mereka yang harus melindunginya. Ketika mereka melihat bahwa penjagaan di tempat, itu hanya dipusatkan di pintu depan, Sin-ciang Kai-ong berbisik kepada muridnya dan Hui Im bahwa mereka akan memasuki sarang itu dari tembok belakang. Pagar tembok itu cukup tinggi dan Hui Im memandang dengan ragu-ragu.
"Aku… kukira… aku tidak mampu melompatinya" katanya lirih kepada Han Beng.
"Mari kubantu, Nona. Peganglah tanganku erat-erat!" Han Beng berkata kemudian memberi isyarat agar mereka meloncat berbareng.
Dengan pengerahan tenaganya, mudah saja baginya untuk menambah tenaga loncatan Hui lm sehingga keduanya melayang ke atas pagar tembok lalu turun ke sebelah dalam. Akan tetapi, begitu tiba di dalam pagar tembok, kakek jembel itu memberi isyarat agar mereka tidak mengeluarkan suara.
Ternyata rumah itu dijaga ketat sekali, bahkan dikepung penjaga. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi mereka untuk menyelinap masuk tanpa diketahui dan kalau ketahuan tentu semua anggota Ang-kin Kai-pang akan melakukan pengeroyokan sehingga mereka tidak sempat melakukan penyelidikan. Maka Sin-Ciang Kai-ong lalu memberi isyarat kepada muridnya dan Hui Im untuk keluar lagi.
"Kita datang saja dari pintu," katanya.
"Tapi, Suhu. Mereka sudah mengenal kita, tentu mereka akan menyambut dengan pengeroyokan pula."
"Hemmm, andaikata dikeroyok pun kalau di luar kita lebih leluasa dan tidak ada bahaya alat-alat jebakan. Syukur kalau Koai-tung Sin-kai masih mengingat akan persahabatan antara kami dan mau keluar menemuiku."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi sama sekali bukan karena takut, Han Beng dan Hui im mengikuti jejak jembel itu yang berjalan menuju ke pintu gerbang di mana terdapat banyak sekali anggauta Ang-kin Kai-pang. Ketika mereka bertiga tiba di depan pintu gerbang dan para pengemis itu melihat mereka, tentu saja para anggauta Ang-kin Kai-pang itu menjadi geger. Mereka segera mengenal tiga orang itu dan segera menghadapinya dengan senjata tajam seperti golok, pedang, tombak dan lain-lain. Sebagian pula memegang tongkat pengemis mereka dengan sikap mengancam. Akan tetapi, Sin-ciang Kai-ong menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha-ha, kalian jangan panik jangan ribut. Aku datang untuk menemui sahabat baikku, Koai-tung Sin-kai, untuk membicarakan kesalahpahaman antara kita tadi. Katakanlah kepadanya bahwa sahabat baiknya yang bernama Sin-ciang Kai-ong datang untuk bicara dengan dia!"
"Sin-ciang Kai-ong…?" terdengar seruan-seruan di antara mereka dengan kaget.
Tentu saja nama ini tidak asing bagi mereka, dan mereka pun merasa jerih. Kiranya kakek jembel yang amat sakti dan yang membuat mereka tadi kocar-kacir adalah Sin-ciang Kai-ong. Raja Pengemis dari Propinsi Hok-kian itu! Pantas demikian lihainya, pikir mereka, kini menjadi ragu-ragu untuk lancang tangan.
"Hayo cepat kabarkan padanya, ataukah kalian mau main-main lagi dengan kami? Akan tetapi hati-hati, sekali ini aku tidak akan menggunakan tangan lunak terhadap kalian!" Dengan ancaman ini, Sin-ciang Kai-ong berhasil membuat mereka semua menjadi jerih beberapa orang lalu lari ke dalam membuat laporan...