TAK lama kemudian muncullah empat orang pengemis setengah tua yang sabuknya berwarna merah tua, tanda bahwa tingkatnya sudah tinggi. Meraka berempat itu menghadapi Sin-ciang Kai-ong dengan sikap hormat, lalu berkata,
"Pangcu (Ketua) kami mempersilakan Sam-wi untuk masuk dan menghadap beliau!"
"Heh-heh-heh, sejak kapan Koai-tu Sin-kai disebut beliau seperti seorang bangsawan tinggi saja? Heh-heh-heh ingin aku melihat mukanya kalau mendengar pertanyaanku ini."
Sambil terkekeh-kekeh kakek jembel itu jembel lalu mengajak Han Beng dan Hui Im untuk memasuki sarang Ang-kin Kai-pang. Tentu saja diam-diam Han Beng bersiap siaga menghadapi segala kemungkin karena siapa tahu, para pengemis hanya menjebak saja, seperti menggiring harimau ke dalam perangkap. Pemuda ini agak khawatir melihat suhunya. Suhunya itu sakit, panas dan batuk dan baru sempat makan obat satu kali saja di rumah keluarga Souw. Tentu kesehatannya belum pulih benar dan sekarang memasuki sarang harimau!
Empat orang pimpinan Ang-kin Kai-pang menjadi penunjuk jalan dan tiga yang tamu itu mengikuti mereka, memasuki sebuah ruangan besar di dalam bangunan. Ternyata isi bangunan itu mewah sekali sehingga berulang kali Sin-Cian Kai-ong mengeluarkan suara pujian.
"Wah, bukan main! Aku ini memasuki rumah para pengemis ataukah memasuki istana raja?"
Ruangan yang mereka masuki itu luas, dua puluh lima meter panjangnya lima belas meter lebarnya. Agaknya tempat ini dipergunakan untuk keperluan kalau banyak orang berkumpul, pesta, tempat atau juga berlatih silat. Di bagian pinggirnya terdapat sebuah meja panjang di mana nampak duduk lima belas orang, mengelilingi meja, dan di kepala meja duduk seorang kakek berjenggot panjang yang sikapnya berwibawa.
Begitu melihat kakek itu, Sin-ciang Kai-ong (Raja Pengemis Bertangan Sakti) segera menegur dengan suara gembira sekali, "Heiiiii! Sin-kai, sejak kapan engkau menjadi seorang raja yang kaya raya?"
Kakek itu berjuluk Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Setan) dan dia menyambut munculnya seorang "rekan" ini dengan sikap dingin saja tanpa bangkit berdiri, akan tetapi menjawab dengan cukup hormat,
"Ah, kiranya Kai-ong yang muncul. Silakan duduk, silakan duduk!"
Han Beng yang berpenglihatan tajam itu melihat betapa sinar mata suhunya berkilat aneh mendengar sambutan itu, namun suhunya yang agaknya melihat atau mendengar sesuatu yang tidak wajar itu bersikap biasa saja, dengan bebas dan tanpa sungkan-sungkan dia pun duduk di atas sebuah kursi kosong dan memberi isyarat kepada Han Beng dan Hui Im untuk mengambil tempat duduk pula.
Empat orang pengawal tadi mengundurkan diri dan keluar dari ruangan luas itu. Biarpun dalam ruangan itu hanya terdapat belasan orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang dikepalai Koai-tung Sin-kai, namun tiga orang tamu ini maklum bahwa di luar ruangan itu sudah siap puluhan bahwa mungkin ratusan anggauta perkumpulan itu yang Kalau perlu setiap saat dapat diperintahkan menyerbu dan mengeroyok mereka.
"Koai-tung, kami merasa menyesal sekali bahwa engkau dan muridmu telah menimbulkan keributan di kota raja. Kalau saja aku tidak ingat bahwa diantara kita masih ada hubungan persahabatan dan kita sama-sama menjadi pimpinan pengemis, tentu tadi kalian tidak kubiarkan masuk, dan sudah kusuruh tangkap!"
Ditegur seperti itu, Kai-ong tertawa tergelak. "Ha-ha-ha-ha, akal maling memang begitu, sebelum tertangkap lebih dulu teriak maling agar tertutup kesalahannya. Sin-kai, justeru kedatanganku ini untuk minta keterangan darimu! Muridku ini minta obat kepada toko obat milik Nona Souw ini, untuk mengobati aku yang sedang sakit. Akan tetapi muncul tiga orang anak buahmu yang melarang. Nona Souw memberi kepada muridku. Karena Nona Souw merasa terhina, maka ia lalu melawan tiga orang anak buahmu itu dan melarikan diri. Kemudian aku dan muridku diundang oleh keluarga Souw, dan tiba-tiba saja para pembantumu muncul bersama pasukan keamanan kota raja melakukan penyerbuan! Sekarang aku datang untuk bertanya kepadamu Sin-kai, apa artinya semua ini? Kenapa sikap anak buahmu jauh sekali dibandingkan dahulu?”
"Hemmm, tidak ada yang berubah dipihak kami, Kai-ong. Engkaulah yang berubah karena engkau bersekutu dengan para pemberontak Siauw-lim-pai untuk melawan pasukan pemerintah! Sudah menjadi peraturan kami bahwa seluruh kotaraja dan wilayahnya merupakan wilayah kami, dan pengemis dari mana pun juga yang hendak mengemis disini harus mendapatkan persetujuan kami lebih dulu! Hal ini untuk mencegah terjadinya perebutan dan kesalah pahaman. Akan tetapi muridmu mengemis tanpa lebih dulu memberitahukan kepada kami, tentu saja dilarang oleh para anggauta kami."
"Aha, begitukah? Dan engkau bersekutu dengan pasukan pemerintah untuk menindas rakyat?"
"Kai-ong!" Tiba-tiba Koai-tung Sin-kai bangkit berdiri dan belasan orang pembantunya juga bangkit berdiri, sikap mereka mengancam. "Lancang engkau bicara! Kami adalah golongan rakyat yang baik, bukan pemberontak, tentu saja berbaik dengan pemerintah. Kami tidak menindas rakyat, melainkan menentang para pemberontak. Aku masih menganggap engkau rekan, sama-sama pengemis, dan bahwa keributan itu kau lakukan tanpa sengaja dan karena tidak mengerti. Mengingat itu, berjanjilah bahwa engkau malam ini juga akan keluar dari kota raja dan tidak akan kembali lagi, dan aku akan membebaskan engkau dan muridmu."
Han Beng sudah merasa penasaran sekali, juga Hui Im yang memandang pada para pimpinan pengemis itu penuh kebencian mengingat bahwa merekalah yang menjadi penyebab hancurnya keluarganya dan kematian ayahnya. Akan tetapi, Kai-ong juga bangkit sambil tertawa bergelak.
"Bagus… bagus…! Ini adalah wilayahmu dan engkau yang berkuasa, Sin-kai, maka biarlah aku mengalah dan akan pergi dari kota raja ini. Nah, sampai jumpa!"
Pengemis tua ini lalu menbalikkan tubuhnya, memberi isyarat kepada Han Beng dan Hui Im yang masih penasaran untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu, langsung keluar dari dalam rumah besar itu. Setelah keluar dan ruangan baru nampak oleh mereka bahwa semua anggauta Kai-pang telah siap siaga dan jumlah mereka banyak kali, mungkin ada seratus orang!
Melihat ini, Han Beng diam-diam memuji kecerdikan gurunya, karena kalau harus berkelahi di dalam, di mana pihak tuan rumah sudah siap siaga, mereka sendiri yang akan menderita kerugian. Setelah keluar dari rumah itu, Kai-ong mengajak dua orang muda itu pergi ke tempat yang sunyi. Sekarang Han Beng memperoleh kesempatan untuk bertanya.
"Suhu, kenapa kita harus menuruti perintannya?"
Gurunya tertawa. "Ha-ha, itu bukan perintah dari Koai-tung Sin-kai, Han Beng."
"Bukan dia? Bukankah yang berjenggot panjang tadi, yang bicara dengan suhu, adalah Koai-tung dan Suhu juga menyebutnya Sin-kai?"
"Justeru sebutan itulah yang meyakinkan hatiku bahwa dia bukan Koai-tung Sin-kai dan aku sudah bersahabat erat sekali sehingga sebutan-sebutan antara kita sudah amat bebas. Aku menyebutnya Lo-koai (Setan Tua), bukan Sin-kai dan tadi sengaja aku menyebutnya demikian untuk melihat sambutannya. dan dia menyebut aku Kai-ong (Raja jembel) padahal biasanya dia menyebutku Lo-kai (Jembel Tua). Nah, bukankah itu merupakan bukti kuat bahwa bukan sahabatku itu? Memang wajahnya mirip, jenggotnya juga mirip, akan tetapi aku yakin bukan dia! Sinar matanya juga berbeda. Orang dapat memulas dan mengubah muka untuk menyamar, akan tetapi tidak mungkin mengubah sinar-mata."
“Ah, begitukah?" Han Beng terkejut, dan Hui Im juga kaget mendengar ini. "Lalu apa yang akan Suhu lakukan sekarang?"
"Aku yakin bahwa telah terjadi sesuatu di Ang-kin Kai-pang, sesuatu yang yan amat dirahasiakan mengenai diri Koai tung Sin-kai yang sesungguhnya. Ini tentu ada hubungannya dengan perubahan sikap para anggauta Ang-kin Kai-pang yang condong untuk menjadi sewenang-wenang. Malam ini juga aku akan melakukan penyelidikan, apa yang terjadi dengan Lo-koai dan di mana dia sekarang berada. Kalian berdua menunggu saja di dalam hutan ini karena lebih leluasa melakukan penyelidikan sendirian saja."
"Akan tetapi, Suhu sedang sakit, biarlah teecu saja yang melakukan penyelidikan," kata Han Beng.
Kai-ong melirik ke arah Hui Im lalu menggelengkan kepalanya. "Penyakitku tidak penting, akan tetapi karena aku yang mengenal Lo-koai yang aseli, maka sebaiknya aku yang pergi sendiri. Engkau dan Nona Souw bersembunyi dalam hutan ini dan engkau tentu dapat melindunginya kalau ada bahaya mengancam. Nah, aku pergi sekarang juga..."
Kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ, akan tetapi pendengarannya yang tajam dari Han Beng membuat dia mampu mendengar suara terbatuk-batuk itu dari jauh. Suhunya belum sembuh!
Setelah kakek itu pergi, Han Ben berdiri saling pandang dengan Hui Im. Sinar bulan memungkinkan mereka saling melihat wajah masing-masing, walaupun hanya remang-remang. Han Beng melihat gadis itu menunduk dan menarik napas panjang. Tentu teringat akan keadaannya dan duka melanda hatinya la pikirnya. Untuk mengalihkan perhatian dia lalu berkata,
"Nona, untuk mengusir nyamuk dan dingin, sebaiknya kita membuat api unggun."
"Apakah tidak berbahaya? Bagaimana kalau terlihat oleh musuh?"
"Saya kira tidak, Nona. Kalau memang pihak Ang-kin Kai-pang hendak menyerang kita, tentu sudah dilakukan tadi ketika kita berada di sana. Agaknya mereka itu ragu-ragu dan jerih menghadapi Suhu yang namanya sudah terkenal sekali."
Han Beng mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun. Mereka duduk menghadapi api unggun. "Engkau mengaso dan tidurlah, Nona, biar aku yang berjaga di sini sambil menanti kembalinya Suhu."
Gadis itu menggeleng kepala dan merenung memandangi api yang merah. "Bagaimana dalam keadaan seperti ini aku dapat tidur? Lo-cian-pwe sedang melakukan perjalanan berbahaya dan engkau sendiri juga melakukan penjagaan. Kalau kuingat, betapa bodohnya aku, Tai-hiap, mengira bahwa engkau seorang pengemis biasa. Tidak tahunya gurumu adalah seorang Lo-cian-pwe yang sakti dan engkau sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi."
"Ah, engkau terlalu memuji-muji Nona. Buktinya, aku tidak mampu melindungi Ayahmu dan Susiokmu sehingga mereka menjadi korban"
"Jumlah musuh terlalu banyak, Tai-hiap, dan Ayah bersama Susiok terlalu nekat. Mereka itu amat mendendam atas terbakarnya kuil Siauw-lim-si."
Keduanya berdiam diri sampai berapa lamanya, termenung memandang api unggun yang nyalanya merah keemasan. Tiba-tiba gadis itu mengangkat mukanya memandang. Mendengar gerak ini, Han Beng juga mengangkat muka Mereka saling pandang.
"Tai-hiap…"
"Nona, kuharap engkau jangan menyebut aku tai-hiap. Sungguh tidak enak hati ini mendengarnya. Lihat, aku hanya seorang pemuda jembel, sungguh menggelikan dan memalukan kalau terdengar orang lain seorang gadis seperti engkau menyebutku tai-hiap." Dia berhenti dan menatap wajah yang manis di bawah cahaya api unggun. "Namaku Han Beng, Nona."
Hui Im kelihatannya kebingungan, dan dengan gugup, seperti orang yang baru berkenalan dan saling memperkenalkan diri, ia pun menjawab. "Namaku Souw Hui Im… ah, lalu… aku harus menyebut apa?"
"Terserah, asal jangan tai-hiap saja!" jawab Han Beng sambil tersenyum.
"Bolehkah aku menyebutmu Toako (Kakak Besar)?"
"Tentu saja boleh," kata Han Beng dengan wajah berseri, "dan aku akan menyebutmu Siauw-moi (Adik Kecil)."
Sejenak mereka diam, hanya menunduk. Perubahan panggilan itu saja amat terkesan di dalam hati masing-masing dan membuat mereka merasa malu-malu dan sungkan. Memang dua orang muda Ini memiliki watak yang sama, yaitu pendiam sehingga sukarlah bagi mereka untuk memulai bicara, tidak tahu apa vang harus mereka bicarakan. Akhirnya, dengan menekan hatinya mengumpulkan keberanian, Hui Im berkata dengan suara lirih.
"Twako, engkau telah mengetahui keadaan diriku. Aku kini yatim piatu tidak mempunyai apa-apa lagi. Akan tetapi aku belum mengetahui riwayatmu Twako. Sudikah engkau menceritakannya kepadaku?"
Han Beng menarik napas panjang, Riwayatnya amat tidak menarik, akan tetapi dia teringat bahwa keadaannya yang mirip dengan keadaan gadis tentu akan dapat menghibur hati Hui membuka mata gadis itu bahwa ia tidak seorang diri saja hidup sebatangkara dunia ini, tidak mempunyai apa-apa! lalu dia memandang gadis itu dan tersenyum baru dia menjawab.
"Siauw-moi, keadaan diriku pun tidak banyak bedanya denganmu. Ayah ibuku telah tiada, tewas di tangan orang orang kang-ouw di Sungai Kuning ketika keluarga kami melarikan diri dari kerja paksa. Aku sendiri tidak tahu si pembunuh mereka, karena ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan anak naga di Sungai Huang-ho. Aku tidak mempunyai keluarga lagi, sebatangkara dan seperti kau lihat, aku hidup dengan guruku, dan kami hanyalah pengemis-pengemis miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal."
"Ahhhhh… kasihan sekali engkau, Twako," kata gadis itu dengan tulus.
"Sudahlah, Siauw-moi, tidak ada gunanya kita memupuk iba diri seperti katakan Suhu tadi. Iba diri hanya menumbuhkan duka dan kecil hati. Bagaimanapun juga, kita masih hidup dan dunia ini cukup luas, bukan? Matahari besok masih akan bersinar terang dan lihat, biairpun bulan mulai tenggelam, sebagai gantinya nampak begitu banyaknya bintang cemerlang di langit. Sesungguhnya kita tidak sebatangkara di dunia ini, Siauw-moi. Bukankah banyak terdapat manusia-manusia budiman di dunia ini yang dapat kita harapkan menjadi keluarga kita?"
Gadis itu mengangguk. "Engkau benar, Twako. Ah, kalau tidak bertemu dengan engkau dan Lo-cian-pwe, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Mungkin aku sudah putus asa menghadapi keadaan seperti ini."
"Sudahlah, Siauw-moi, lebih baik engkau beristirahat. Engkau perlu mengumpulkan tenaga. Siapa tahu, tenagamu dibutuhkan besok. Tidurlah, biar aku yang berjaga di sini."
Karena merasa dirinya lelah sekali dan seluruh tubuh terasa lemas karena duka, gadis itu mengangguk, merebahkan diri miring dan sebentar saja pun napasnya yang lembut menunjukkan bahwa ia telah jatuh tidur. Sampai lama Han Beng mengamati wajah yang tidur pulas itu, wajah manis yang seperti sinar api unggun dan hatinya tergetar. Dia sendiri tidak mengerti mengapa sejak pertemuan pertama kali, sejak di diberi obat oleh gadis itu, dia merasa tertarik sekali, ada rasa suka dan kagum, dan kedua perasaan itu kini tambah dengan rasa iba yang mendalam. Ada perasaan di dalam hatinya untuk menghiburnya, untuk menyenangkan hatinya, untuk membahagiakan hidupnya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Dia tidak mampu menjawabnya.
Sementara itu, dengan cepat Sin-Ciang Kai-ong lari meninggalkan muridnya, bukan karena tergesa-gesa, melainkan karena dia tidak ingin kalau batuknya terdengar oleh murid itu. Sejak tadi dia sudah menahan diri, menahan agar tidak terbatuk, padahal kerongkongannya gatal sekali dan napasnya sesak. Ia tahu bahwa kesehatannya memang belum pulih. Dia harus bertindak cepat. Rahasia yang menyelimuti Ang-kin Kai-Kai-pang dan yang agaknya membuat perkumpulan itu berubah menjadi jahat, harus dapat dibongkarnya.
Setelah tiba diluar tembok yang mengelilingi bangunan arang Ang-kin Kai-pang, dia lalu melakukan pengintaian. Kebetulan sekali dia melihat seorang anggauta perkumpulan itu yang bersabuk merah cerah, tanda bahwa dia bertingkat dua, keluar dari pintu gerbang. Diam-diam dia membayanginya dan pengemis yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu menuju ke sebuah rumah tak jauh dari sarang Ang-kin Kai-pang itu.
Pengemis itu berperut gendut bertubuh agak pendek, mukanya merah d hidungnya besar. Dia mengetuk jendela rumah itu, bukan mengetuk pintu. Hal ini saja menimbulkan kecurigaan di hati Sin-ciang Kai-ong dan dia melakukan pengintaian tak jauh dari situ.
"Siapa?" terdengar suara wanita dari dalam, lirih.
"Aku, Hong-moi, bukalah dan biarkan aku masuk."
"Ihhh, kenapa baru sekarang kau datang? Begini larut?" tegur suara warnita itu dan jendela belum juga dibuka.
"Gara-gara Sin-ciang Kai-ong keparat itu! Kami menjadi sibuk dan melakukkan penjagaan. Baru sekarang aku dapat meninggalkan gardu penjagaan, aku rindu kali padamu, bukalah jendelanya"
"Sudah terlalu larut, sebentar lagi suamiku pulang."
"Aaahhh, jangan khawatir. Sebentar saja. Bukalah dan biarkan aku masuk. Manis…"
Daun jendela dibuka dari dalam dan biarpun tubuhnya gemuk dengan perut gendut, laki-laki itu meloncat dengan gesitnya bagaikan seekor burung saja meluncur ke dalam melalui jendela yang segera ditutup kembali.
Akan tetapi, belum ada lima menit Si gendut itu memasuki rumah itu, pintu depan diketuk orang dengan kerasnya. Seorang pria mengetuk pintu rumahnya, berteriak kepada penghuni rumah itu untuk membuka pintunya. Sin-ciang Kai-ong mengintai dari atas genteng dan mendengar suara wanita tadi di dalam rumah.
"Celaka! Itu suamiku datang! Lekas kau pergi, aku akan membuka pintunya."
"Hemmm, jahanam itu! Berani dia mengganggu kesenanganku? Biar kuhajar sampai mampus dia!"
"Jangan…, jangan… dia itu suamiku…”
"Hemmm, jangan cerewet! Buka pintunya dan biarkan dia masuk!" pengemis gendut itu membentak.
Sin-ciang Kai-ong sudah melayang turun dan mengintai dekat pintu depan jika daun pintu dibuka dari dalam. Tiba-tiba, sesosok bayangan gendut melayang keluar dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala suami wanita yang baru datang itu.
"Trakkk!" bukan kepala suami itu yang remuk, melainkan tongkat itu patah-patah ditangkis oleh tongkat di tangan Sin-ciang Kaj-ong. Si Gendut terbelalak kaget, akan tetapi sebelum dia dapat bergerak, tangan kiri Sin-ciang Kai-ong sudah menyambar ke arah pundaknya dan dia pun terkulai lemas. Tentunya suami wanita itu menjadi terkejut dan terheran-heran. Sin-ciang Kai–ong menyeret pengemis gendut itu dan berkata kepada suami yang keheranan itu.
"Sebaiknya engkau jangan meninggalkan rumah di malam hari agar rumahmu tidak diganggu oleh orang-orang jahat..."
Berkata demikian, dia melompat membawa tubuh gendut itu seolah-olah memanggul benda yang ringan saja. Suami Isteri itu bengong karena dalam sekejap mata saja pengemis tua itu lenyap dari depan mereka.
"Hayo katakan, di mana adanya Koai-tung Sin-kai?" untuk ke tiga kalinya Si ciang Kai-ong membentak.
Pengemis gendut itu rebah telentang di depan di tepi sebuah hutan di luar kota. Pengemis gendut mencoba untuk menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat dia bergerak karena tubuhnya sudah lumpuh oleh totokan. Seperti tadi, dia menjawab,
"Sudah kukatakan bahwa Pangcu berada di Asrama! Buka kah tadi engkau datang berkunjung d melihat sendiri?"
Sikap Si Gendut itu masih angkuh karena dia mengira bahwa kakek jembel yang disebut Sin-cia Kai-ong dan namanya amat terkenal ini agaknya jerih terhadap ketuanya, Koai-tung Sin-kai.
"Engkau bohong!" Kakek itu membentak. "Dia bukan Koai-tung Sin-kai. Dia hanyalah ketua yang palsu! Yang kutanyakan, di mana Koai-tung Sin-kai yang aseli?"
Si Gendut membelalakkan matanya jelas nampak bahwa dia kaget bukan main. "Siapa bilang bahwa Pangcu kami palsu?"
"Tak perlu kau tahu siapa yang bilang, yang penting kau katakan di mana Pangcu yang aseli? Dan siapakah ketua palsu itu sebenarnya?"
Si Gendut memandang dengan wajah berubah pucat, lalu membuang muka kesamping dan berkata, "Aku tidak tahu!"
Sin-ciang Kai-ong menambah kayu kering pada api unggun di dekat mereka sehingga api bernyala tinggi dan sinar-menimpa Si Gendut yang pucat, kemudian, tiba-tiba tangan kiri kakek jembel itu bergerak, cepat bukan main dan dia sudah menotok dua kali, pertama ke arah leher, dan ke dua kalinya arah pundak.
Si Gendut terbelalak, mulutnya terbuka seperti hendak menjerit-jerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya, dan mukanya kini penuh kerut-kerut tanda bahwa dia menderita nyeri yang luar biasa hebatnya. Sin-ciang Kai-ong membiarkan dia menderita bebepa menit lamanya, lalu membebaskan totokannya sehingga rasa nyeri itu lenyap dan Si Gendut mampu bicara kembali.
"Nah, jawablah pertanyaanku dengan baik-baik. Di mana adanya pangcu yang aseli dan siapa pangcu yang palsu itu?"
Si Gendut itu kini menangis. Rasa nyeri dan tak berdaya membuat dia dipenuhi rasa takut, sedih, dan penasaran. "Aku… aku tidak berani… tidak berani menjawab…"
Dia sudah mengatakan tidak berani, bukan tidak tahu lagi dan ini merupakan kemajuan, pikir Sin-ciang Kai-ong. Tiba-tiba dia menyeret tubuh si Gendut, didekatkan pada api dan menarik lengannya, lalu membakar tangan kiri Si Gendut itu pada api unggun. Tercium bau sangit dan Si Gendut mengerang kesakitan. Ketika Sin-ciang Ka ong menarik kembali lengan itu, jari-jari tangan kiri Si Gendut melepuh hangus!
"Engkau masih belum berani jawab? Akan kubakar tubuhmu sedikit demi sedikit sampai habis terbakar!" kakek itu mengancam.
Si Gendut menjadi ketakutan. Ancaman bahaya dari ketuanya masih jauh, masih belum terasa, akan tetapi ancaman Sin-ciang Kai-ong ini sudah di depan mata dan sudah dirasakannya pula. "Baiklah… aku… aku mengaku…"
Dengan suara tersendat-sendat dia lalu menceritakan keadaan Ang-kin Kai-pang yang aneh.Kiranya telah terjadi hal-hal hebat di dalam asrama Ang-kin Kai-pang. Seorang musuh besar dari Koai-tung Sin-kai, yaitu seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Lam-Sin Hui Houw (Harimau Terbang dari Gunung Selatan), mendendam kepada Koai-tung Sin-kai yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang di kota raja. Pernah Si Harimau Terbang ini dihajar oleh Koai-tung Sin-kai dalam suatu bentrokan ketika datuk ini melakukan kejahatan di kota raja.
Dengan hati penuh dendam, si Harimau Terbang melarikan diri kembali ke selatan di mana dia menggembleng diri dan memperdalam ilmu silatnya. Sepuluh tahun kemudian, menjadi seorang yang amat lihai dengan belasan orang anak buahnya yang sudah terlatih dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi, kembalilah dia ke kota raja dan mengunjungi Ang-Kin Kai-pang.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil membalas kekalahannya, bahkan dia merobohkan Koai-tung Sin-kai, menangkapnya dan menawannya ke dalam tahanan di bawah tanah. Dia sendiri, dengan ilmu penyamaran yang telah dipelajarinya, lalu menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai menjadi orang yang berkuasa di perkumpulan Ang-kin Kai-pang itu.
Mulanya memang para anggauta perkumpulan itu merasa heran sekali akan perubahan sikap dan watak ketua mereka. Akan tetapi karena ketua mereka bersikap keras mereka pun tidak berani banyak bertanya. Apalagi ketua mereka itu mempunyai pembantu-pembantu yang amat lihai. Demikianlah, setahun yang lalu mulai terjadi perubahan besar dari perkumpulan pengemis itu.
"Ketua kami yang sekarang, yang menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai sesungguhnya adalah Lam-sin Hui-houw si Gendut mengakhiri ceritanya.
Sin-ciang Kai-ong mengangguk-angguk. Sudah diduganya demikian. "Akan tetapi di mana adanya Koai-tung Sin-kai yang aseli? Ditawan di mana?"
"Di dalam kamar bawah tanah," kata Si Gendut yang sudah terlanjur membuat pengakuan. Dia merasa kepalang tanggung dan diceritakanlah tentang keadaan penjara bawah tanah itu.
"Yang ditawan di situ selain Koai-tung Sin-kai, juga ada kurang lebih sebelas orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang megetahui rahasia itu dan yang memberontak terhadap ketua palsu..."
Setelah menguras pengakuan dari Si Gendut itu, Sin-ciang Kai-ong lalu menotoknya lagi dan meninggalkan Si Gendut dalam keadaan tak mampu bergerak itu di dalam hutan. Tentu saja Si Gendut ini ketakutan bukan main, bukan hanya takut kepada Lam-san Hui-houw yang rahasianya sudah dia buka, akan tetapi juga takut kalau-kalau muncul harimau atau binatang buas lainnya dan menerkam dia yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu.
Rasa takutnya ini ternyata kemudian menjadi kenyataan. Terdengar gerengan-gerengan dalam hutan itu dan kalau orang melihat di mana Si Gendut itu ditinggalkan, dan hanya akan menemukan sisa-sisa pakaian dan potongan-potongan badan yang tidak sampai tertelan oleh binatang buas dan kini potongan-potongan itu pun sedang diperebutkan antara beberapa ekor anjing hutan dan burung-burung gagak dan pemakan bangkai yang lain.
Sin-ciang Kai-ong sendiri lalu lari cepat menuju ke asrama Ang-Kin Kai-pang. Matahari pagi sudah mulai bersinar. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota raja, sesosok bayangan muncul dari balik pohon dan ternyata bayangan ini adalah Si Han Beng.
"Eh, engkau di sini?" tanya Sin-ciang Kai-ong. "Di mana Nona Souw?"
"Setelah Suhu pergi, teecu mengkhawatirkan keselamatan Suhu yang masih belum sehat benar. Nona Souw teecu suruh menanti di dalam hutan itu dan teecu menyusul ke sini."
"Bagus kalau begitu. Memang aku membutuhkan bantuanmu, Han Beng. Engkau tahu, sahabatku Koai-tung Sin-kai benar-benar mereka tawan dan yang kini bertindak sebagai Koai-tung Sin-kai adalah seorang datuk sesat dari selatan berjuluk Lam-san Hui-houw."
Kakek itu menceritakan apa yang didengarnya dari kaki tangan ketua palsu itu. Han Beng mendengarkan dengan heran dan juga kagum akan kecerdikan gurunya yang ternyata telah menduga tepat sekali.
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan dan apa yang harus teecu lakukan?"
"Aku akan mencoba untuk membebaskan sahabatku Koai-tung Sin-kai dan para pembantunya yang ditawan, dan engkau dapat membantuku, Han Beng."
Kakek itu lalu berunding dengan muridnya dan mengatur siasat agar dia berhasil membebaskan para tawanan itu dan membongkar rahasia kejahatan Lam-sar Hui-houw.
Munculnya Han Beng di depan asrama Ang-kin Kai-pang tentu saja menimbulkan keributan lagi pada perkumpulan itu. Belasan orang anggauta Ang-kin Kai-pang sudah menyambut dengan senjata di tangan, mengepung pemuda yang dianggap sebagai musuh besar atau biang-keladi keributan yang terjadi antara mereka dengan keluarga Souw. Mereka merasa heran dan penasaran bagaimana pemuda ini berani muncul lagi seorang diri...!
"Pangcu (Ketua) kami mempersilakan Sam-wi untuk masuk dan menghadap beliau!"
"Heh-heh-heh, sejak kapan Koai-tu Sin-kai disebut beliau seperti seorang bangsawan tinggi saja? Heh-heh-heh ingin aku melihat mukanya kalau mendengar pertanyaanku ini."
Sambil terkekeh-kekeh kakek jembel itu jembel lalu mengajak Han Beng dan Hui Im untuk memasuki sarang Ang-kin Kai-pang. Tentu saja diam-diam Han Beng bersiap siaga menghadapi segala kemungkin karena siapa tahu, para pengemis hanya menjebak saja, seperti menggiring harimau ke dalam perangkap. Pemuda ini agak khawatir melihat suhunya. Suhunya itu sakit, panas dan batuk dan baru sempat makan obat satu kali saja di rumah keluarga Souw. Tentu kesehatannya belum pulih benar dan sekarang memasuki sarang harimau!
Empat orang pimpinan Ang-kin Kai-pang menjadi penunjuk jalan dan tiga yang tamu itu mengikuti mereka, memasuki sebuah ruangan besar di dalam bangunan. Ternyata isi bangunan itu mewah sekali sehingga berulang kali Sin-Cian Kai-ong mengeluarkan suara pujian.
"Wah, bukan main! Aku ini memasuki rumah para pengemis ataukah memasuki istana raja?"
Ruangan yang mereka masuki itu luas, dua puluh lima meter panjangnya lima belas meter lebarnya. Agaknya tempat ini dipergunakan untuk keperluan kalau banyak orang berkumpul, pesta, tempat atau juga berlatih silat. Di bagian pinggirnya terdapat sebuah meja panjang di mana nampak duduk lima belas orang, mengelilingi meja, dan di kepala meja duduk seorang kakek berjenggot panjang yang sikapnya berwibawa.
Begitu melihat kakek itu, Sin-ciang Kai-ong (Raja Pengemis Bertangan Sakti) segera menegur dengan suara gembira sekali, "Heiiiii! Sin-kai, sejak kapan engkau menjadi seorang raja yang kaya raya?"
Kakek itu berjuluk Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Setan) dan dia menyambut munculnya seorang "rekan" ini dengan sikap dingin saja tanpa bangkit berdiri, akan tetapi menjawab dengan cukup hormat,
"Ah, kiranya Kai-ong yang muncul. Silakan duduk, silakan duduk!"
Han Beng yang berpenglihatan tajam itu melihat betapa sinar mata suhunya berkilat aneh mendengar sambutan itu, namun suhunya yang agaknya melihat atau mendengar sesuatu yang tidak wajar itu bersikap biasa saja, dengan bebas dan tanpa sungkan-sungkan dia pun duduk di atas sebuah kursi kosong dan memberi isyarat kepada Han Beng dan Hui Im untuk mengambil tempat duduk pula.
Empat orang pengawal tadi mengundurkan diri dan keluar dari ruangan luas itu. Biarpun dalam ruangan itu hanya terdapat belasan orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang dikepalai Koai-tung Sin-kai, namun tiga orang tamu ini maklum bahwa di luar ruangan itu sudah siap puluhan bahwa mungkin ratusan anggauta perkumpulan itu yang Kalau perlu setiap saat dapat diperintahkan menyerbu dan mengeroyok mereka.
"Koai-tung, kami merasa menyesal sekali bahwa engkau dan muridmu telah menimbulkan keributan di kota raja. Kalau saja aku tidak ingat bahwa diantara kita masih ada hubungan persahabatan dan kita sama-sama menjadi pimpinan pengemis, tentu tadi kalian tidak kubiarkan masuk, dan sudah kusuruh tangkap!"
Ditegur seperti itu, Kai-ong tertawa tergelak. "Ha-ha-ha-ha, akal maling memang begitu, sebelum tertangkap lebih dulu teriak maling agar tertutup kesalahannya. Sin-kai, justeru kedatanganku ini untuk minta keterangan darimu! Muridku ini minta obat kepada toko obat milik Nona Souw ini, untuk mengobati aku yang sedang sakit. Akan tetapi muncul tiga orang anak buahmu yang melarang. Nona Souw memberi kepada muridku. Karena Nona Souw merasa terhina, maka ia lalu melawan tiga orang anak buahmu itu dan melarikan diri. Kemudian aku dan muridku diundang oleh keluarga Souw, dan tiba-tiba saja para pembantumu muncul bersama pasukan keamanan kota raja melakukan penyerbuan! Sekarang aku datang untuk bertanya kepadamu Sin-kai, apa artinya semua ini? Kenapa sikap anak buahmu jauh sekali dibandingkan dahulu?”
"Hemmm, tidak ada yang berubah dipihak kami, Kai-ong. Engkaulah yang berubah karena engkau bersekutu dengan para pemberontak Siauw-lim-pai untuk melawan pasukan pemerintah! Sudah menjadi peraturan kami bahwa seluruh kotaraja dan wilayahnya merupakan wilayah kami, dan pengemis dari mana pun juga yang hendak mengemis disini harus mendapatkan persetujuan kami lebih dulu! Hal ini untuk mencegah terjadinya perebutan dan kesalah pahaman. Akan tetapi muridmu mengemis tanpa lebih dulu memberitahukan kepada kami, tentu saja dilarang oleh para anggauta kami."
"Aha, begitukah? Dan engkau bersekutu dengan pasukan pemerintah untuk menindas rakyat?"
"Kai-ong!" Tiba-tiba Koai-tung Sin-kai bangkit berdiri dan belasan orang pembantunya juga bangkit berdiri, sikap mereka mengancam. "Lancang engkau bicara! Kami adalah golongan rakyat yang baik, bukan pemberontak, tentu saja berbaik dengan pemerintah. Kami tidak menindas rakyat, melainkan menentang para pemberontak. Aku masih menganggap engkau rekan, sama-sama pengemis, dan bahwa keributan itu kau lakukan tanpa sengaja dan karena tidak mengerti. Mengingat itu, berjanjilah bahwa engkau malam ini juga akan keluar dari kota raja dan tidak akan kembali lagi, dan aku akan membebaskan engkau dan muridmu."
Han Beng sudah merasa penasaran sekali, juga Hui Im yang memandang pada para pimpinan pengemis itu penuh kebencian mengingat bahwa merekalah yang menjadi penyebab hancurnya keluarganya dan kematian ayahnya. Akan tetapi, Kai-ong juga bangkit sambil tertawa bergelak.
"Bagus… bagus…! Ini adalah wilayahmu dan engkau yang berkuasa, Sin-kai, maka biarlah aku mengalah dan akan pergi dari kota raja ini. Nah, sampai jumpa!"
Pengemis tua ini lalu menbalikkan tubuhnya, memberi isyarat kepada Han Beng dan Hui Im yang masih penasaran untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu, langsung keluar dari dalam rumah besar itu. Setelah keluar dan ruangan baru nampak oleh mereka bahwa semua anggauta Kai-pang telah siap siaga dan jumlah mereka banyak kali, mungkin ada seratus orang!
Melihat ini, Han Beng diam-diam memuji kecerdikan gurunya, karena kalau harus berkelahi di dalam, di mana pihak tuan rumah sudah siap siaga, mereka sendiri yang akan menderita kerugian. Setelah keluar dari rumah itu, Kai-ong mengajak dua orang muda itu pergi ke tempat yang sunyi. Sekarang Han Beng memperoleh kesempatan untuk bertanya.
"Suhu, kenapa kita harus menuruti perintannya?"
Gurunya tertawa. "Ha-ha, itu bukan perintah dari Koai-tung Sin-kai, Han Beng."
"Bukan dia? Bukankah yang berjenggot panjang tadi, yang bicara dengan suhu, adalah Koai-tung dan Suhu juga menyebutnya Sin-kai?"
"Justeru sebutan itulah yang meyakinkan hatiku bahwa dia bukan Koai-tung Sin-kai dan aku sudah bersahabat erat sekali sehingga sebutan-sebutan antara kita sudah amat bebas. Aku menyebutnya Lo-koai (Setan Tua), bukan Sin-kai dan tadi sengaja aku menyebutnya demikian untuk melihat sambutannya. dan dia menyebut aku Kai-ong (Raja jembel) padahal biasanya dia menyebutku Lo-kai (Jembel Tua). Nah, bukankah itu merupakan bukti kuat bahwa bukan sahabatku itu? Memang wajahnya mirip, jenggotnya juga mirip, akan tetapi aku yakin bukan dia! Sinar matanya juga berbeda. Orang dapat memulas dan mengubah muka untuk menyamar, akan tetapi tidak mungkin mengubah sinar-mata."
“Ah, begitukah?" Han Beng terkejut, dan Hui Im juga kaget mendengar ini. "Lalu apa yang akan Suhu lakukan sekarang?"
"Aku yakin bahwa telah terjadi sesuatu di Ang-kin Kai-pang, sesuatu yang yan amat dirahasiakan mengenai diri Koai tung Sin-kai yang sesungguhnya. Ini tentu ada hubungannya dengan perubahan sikap para anggauta Ang-kin Kai-pang yang condong untuk menjadi sewenang-wenang. Malam ini juga aku akan melakukan penyelidikan, apa yang terjadi dengan Lo-koai dan di mana dia sekarang berada. Kalian berdua menunggu saja di dalam hutan ini karena lebih leluasa melakukan penyelidikan sendirian saja."
"Akan tetapi, Suhu sedang sakit, biarlah teecu saja yang melakukan penyelidikan," kata Han Beng.
Kai-ong melirik ke arah Hui Im lalu menggelengkan kepalanya. "Penyakitku tidak penting, akan tetapi karena aku yang mengenal Lo-koai yang aseli, maka sebaiknya aku yang pergi sendiri. Engkau dan Nona Souw bersembunyi dalam hutan ini dan engkau tentu dapat melindunginya kalau ada bahaya mengancam. Nah, aku pergi sekarang juga..."
Kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ, akan tetapi pendengarannya yang tajam dari Han Beng membuat dia mampu mendengar suara terbatuk-batuk itu dari jauh. Suhunya belum sembuh!
Setelah kakek itu pergi, Han Ben berdiri saling pandang dengan Hui Im. Sinar bulan memungkinkan mereka saling melihat wajah masing-masing, walaupun hanya remang-remang. Han Beng melihat gadis itu menunduk dan menarik napas panjang. Tentu teringat akan keadaannya dan duka melanda hatinya la pikirnya. Untuk mengalihkan perhatian dia lalu berkata,
"Nona, untuk mengusir nyamuk dan dingin, sebaiknya kita membuat api unggun."
"Apakah tidak berbahaya? Bagaimana kalau terlihat oleh musuh?"
"Saya kira tidak, Nona. Kalau memang pihak Ang-kin Kai-pang hendak menyerang kita, tentu sudah dilakukan tadi ketika kita berada di sana. Agaknya mereka itu ragu-ragu dan jerih menghadapi Suhu yang namanya sudah terkenal sekali."
Han Beng mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun. Mereka duduk menghadapi api unggun. "Engkau mengaso dan tidurlah, Nona, biar aku yang berjaga di sini sambil menanti kembalinya Suhu."
Gadis itu menggeleng kepala dan merenung memandangi api yang merah. "Bagaimana dalam keadaan seperti ini aku dapat tidur? Lo-cian-pwe sedang melakukan perjalanan berbahaya dan engkau sendiri juga melakukan penjagaan. Kalau kuingat, betapa bodohnya aku, Tai-hiap, mengira bahwa engkau seorang pengemis biasa. Tidak tahunya gurumu adalah seorang Lo-cian-pwe yang sakti dan engkau sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi."
"Ah, engkau terlalu memuji-muji Nona. Buktinya, aku tidak mampu melindungi Ayahmu dan Susiokmu sehingga mereka menjadi korban"
"Jumlah musuh terlalu banyak, Tai-hiap, dan Ayah bersama Susiok terlalu nekat. Mereka itu amat mendendam atas terbakarnya kuil Siauw-lim-si."
Keduanya berdiam diri sampai berapa lamanya, termenung memandang api unggun yang nyalanya merah keemasan. Tiba-tiba gadis itu mengangkat mukanya memandang. Mendengar gerak ini, Han Beng juga mengangkat muka Mereka saling pandang.
"Tai-hiap…"
"Nona, kuharap engkau jangan menyebut aku tai-hiap. Sungguh tidak enak hati ini mendengarnya. Lihat, aku hanya seorang pemuda jembel, sungguh menggelikan dan memalukan kalau terdengar orang lain seorang gadis seperti engkau menyebutku tai-hiap." Dia berhenti dan menatap wajah yang manis di bawah cahaya api unggun. "Namaku Han Beng, Nona."
Hui Im kelihatannya kebingungan, dan dengan gugup, seperti orang yang baru berkenalan dan saling memperkenalkan diri, ia pun menjawab. "Namaku Souw Hui Im… ah, lalu… aku harus menyebut apa?"
"Terserah, asal jangan tai-hiap saja!" jawab Han Beng sambil tersenyum.
"Bolehkah aku menyebutmu Toako (Kakak Besar)?"
"Tentu saja boleh," kata Han Beng dengan wajah berseri, "dan aku akan menyebutmu Siauw-moi (Adik Kecil)."
Sejenak mereka diam, hanya menunduk. Perubahan panggilan itu saja amat terkesan di dalam hati masing-masing dan membuat mereka merasa malu-malu dan sungkan. Memang dua orang muda Ini memiliki watak yang sama, yaitu pendiam sehingga sukarlah bagi mereka untuk memulai bicara, tidak tahu apa vang harus mereka bicarakan. Akhirnya, dengan menekan hatinya mengumpulkan keberanian, Hui Im berkata dengan suara lirih.
"Twako, engkau telah mengetahui keadaan diriku. Aku kini yatim piatu tidak mempunyai apa-apa lagi. Akan tetapi aku belum mengetahui riwayatmu Twako. Sudikah engkau menceritakannya kepadaku?"
Han Beng menarik napas panjang, Riwayatnya amat tidak menarik, akan tetapi dia teringat bahwa keadaannya yang mirip dengan keadaan gadis tentu akan dapat menghibur hati Hui membuka mata gadis itu bahwa ia tidak seorang diri saja hidup sebatangkara dunia ini, tidak mempunyai apa-apa! lalu dia memandang gadis itu dan tersenyum baru dia menjawab.
"Siauw-moi, keadaan diriku pun tidak banyak bedanya denganmu. Ayah ibuku telah tiada, tewas di tangan orang orang kang-ouw di Sungai Kuning ketika keluarga kami melarikan diri dari kerja paksa. Aku sendiri tidak tahu si pembunuh mereka, karena ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan anak naga di Sungai Huang-ho. Aku tidak mempunyai keluarga lagi, sebatangkara dan seperti kau lihat, aku hidup dengan guruku, dan kami hanyalah pengemis-pengemis miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal."
"Ahhhhh… kasihan sekali engkau, Twako," kata gadis itu dengan tulus.
"Sudahlah, Siauw-moi, tidak ada gunanya kita memupuk iba diri seperti katakan Suhu tadi. Iba diri hanya menumbuhkan duka dan kecil hati. Bagaimanapun juga, kita masih hidup dan dunia ini cukup luas, bukan? Matahari besok masih akan bersinar terang dan lihat, biairpun bulan mulai tenggelam, sebagai gantinya nampak begitu banyaknya bintang cemerlang di langit. Sesungguhnya kita tidak sebatangkara di dunia ini, Siauw-moi. Bukankah banyak terdapat manusia-manusia budiman di dunia ini yang dapat kita harapkan menjadi keluarga kita?"
Gadis itu mengangguk. "Engkau benar, Twako. Ah, kalau tidak bertemu dengan engkau dan Lo-cian-pwe, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Mungkin aku sudah putus asa menghadapi keadaan seperti ini."
"Sudahlah, Siauw-moi, lebih baik engkau beristirahat. Engkau perlu mengumpulkan tenaga. Siapa tahu, tenagamu dibutuhkan besok. Tidurlah, biar aku yang berjaga di sini."
Karena merasa dirinya lelah sekali dan seluruh tubuh terasa lemas karena duka, gadis itu mengangguk, merebahkan diri miring dan sebentar saja pun napasnya yang lembut menunjukkan bahwa ia telah jatuh tidur. Sampai lama Han Beng mengamati wajah yang tidur pulas itu, wajah manis yang seperti sinar api unggun dan hatinya tergetar. Dia sendiri tidak mengerti mengapa sejak pertemuan pertama kali, sejak di diberi obat oleh gadis itu, dia merasa tertarik sekali, ada rasa suka dan kagum, dan kedua perasaan itu kini tambah dengan rasa iba yang mendalam. Ada perasaan di dalam hatinya untuk menghiburnya, untuk menyenangkan hatinya, untuk membahagiakan hidupnya. Apakah ini yang dinamakan cinta? Dia tidak mampu menjawabnya.
Sementara itu, dengan cepat Sin-Ciang Kai-ong lari meninggalkan muridnya, bukan karena tergesa-gesa, melainkan karena dia tidak ingin kalau batuknya terdengar oleh murid itu. Sejak tadi dia sudah menahan diri, menahan agar tidak terbatuk, padahal kerongkongannya gatal sekali dan napasnya sesak. Ia tahu bahwa kesehatannya memang belum pulih. Dia harus bertindak cepat. Rahasia yang menyelimuti Ang-kin Kai-Kai-pang dan yang agaknya membuat perkumpulan itu berubah menjadi jahat, harus dapat dibongkarnya.
Setelah tiba diluar tembok yang mengelilingi bangunan arang Ang-kin Kai-pang, dia lalu melakukan pengintaian. Kebetulan sekali dia melihat seorang anggauta perkumpulan itu yang bersabuk merah cerah, tanda bahwa dia bertingkat dua, keluar dari pintu gerbang. Diam-diam dia membayanginya dan pengemis yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu menuju ke sebuah rumah tak jauh dari sarang Ang-kin Kai-pang itu.
Pengemis itu berperut gendut bertubuh agak pendek, mukanya merah d hidungnya besar. Dia mengetuk jendela rumah itu, bukan mengetuk pintu. Hal ini saja menimbulkan kecurigaan di hati Sin-ciang Kai-ong dan dia melakukan pengintaian tak jauh dari situ.
"Siapa?" terdengar suara wanita dari dalam, lirih.
"Aku, Hong-moi, bukalah dan biarkan aku masuk."
"Ihhh, kenapa baru sekarang kau datang? Begini larut?" tegur suara warnita itu dan jendela belum juga dibuka.
"Gara-gara Sin-ciang Kai-ong keparat itu! Kami menjadi sibuk dan melakukkan penjagaan. Baru sekarang aku dapat meninggalkan gardu penjagaan, aku rindu kali padamu, bukalah jendelanya"
"Sudah terlalu larut, sebentar lagi suamiku pulang."
"Aaahhh, jangan khawatir. Sebentar saja. Bukalah dan biarkan aku masuk. Manis…"
Daun jendela dibuka dari dalam dan biarpun tubuhnya gemuk dengan perut gendut, laki-laki itu meloncat dengan gesitnya bagaikan seekor burung saja meluncur ke dalam melalui jendela yang segera ditutup kembali.
Akan tetapi, belum ada lima menit Si gendut itu memasuki rumah itu, pintu depan diketuk orang dengan kerasnya. Seorang pria mengetuk pintu rumahnya, berteriak kepada penghuni rumah itu untuk membuka pintunya. Sin-ciang Kai-ong mengintai dari atas genteng dan mendengar suara wanita tadi di dalam rumah.
"Celaka! Itu suamiku datang! Lekas kau pergi, aku akan membuka pintunya."
"Hemmm, jahanam itu! Berani dia mengganggu kesenanganku? Biar kuhajar sampai mampus dia!"
"Jangan…, jangan… dia itu suamiku…”
"Hemmm, jangan cerewet! Buka pintunya dan biarkan dia masuk!" pengemis gendut itu membentak.
Sin-ciang Kai-ong sudah melayang turun dan mengintai dekat pintu depan jika daun pintu dibuka dari dalam. Tiba-tiba, sesosok bayangan gendut melayang keluar dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala suami wanita yang baru datang itu.
"Trakkk!" bukan kepala suami itu yang remuk, melainkan tongkat itu patah-patah ditangkis oleh tongkat di tangan Sin-ciang Kaj-ong. Si Gendut terbelalak kaget, akan tetapi sebelum dia dapat bergerak, tangan kiri Sin-ciang Kai-ong sudah menyambar ke arah pundaknya dan dia pun terkulai lemas. Tentunya suami wanita itu menjadi terkejut dan terheran-heran. Sin-ciang Kai–ong menyeret pengemis gendut itu dan berkata kepada suami yang keheranan itu.
"Sebaiknya engkau jangan meninggalkan rumah di malam hari agar rumahmu tidak diganggu oleh orang-orang jahat..."
Berkata demikian, dia melompat membawa tubuh gendut itu seolah-olah memanggul benda yang ringan saja. Suami Isteri itu bengong karena dalam sekejap mata saja pengemis tua itu lenyap dari depan mereka.
"Hayo katakan, di mana adanya Koai-tung Sin-kai?" untuk ke tiga kalinya Si ciang Kai-ong membentak.
Pengemis gendut itu rebah telentang di depan di tepi sebuah hutan di luar kota. Pengemis gendut mencoba untuk menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat dia bergerak karena tubuhnya sudah lumpuh oleh totokan. Seperti tadi, dia menjawab,
"Sudah kukatakan bahwa Pangcu berada di Asrama! Buka kah tadi engkau datang berkunjung d melihat sendiri?"
Sikap Si Gendut itu masih angkuh karena dia mengira bahwa kakek jembel yang disebut Sin-cia Kai-ong dan namanya amat terkenal ini agaknya jerih terhadap ketuanya, Koai-tung Sin-kai.
"Engkau bohong!" Kakek itu membentak. "Dia bukan Koai-tung Sin-kai. Dia hanyalah ketua yang palsu! Yang kutanyakan, di mana Koai-tung Sin-kai yang aseli?"
Si Gendut membelalakkan matanya jelas nampak bahwa dia kaget bukan main. "Siapa bilang bahwa Pangcu kami palsu?"
"Tak perlu kau tahu siapa yang bilang, yang penting kau katakan di mana Pangcu yang aseli? Dan siapakah ketua palsu itu sebenarnya?"
Si Gendut memandang dengan wajah berubah pucat, lalu membuang muka kesamping dan berkata, "Aku tidak tahu!"
Sin-ciang Kai-ong menambah kayu kering pada api unggun di dekat mereka sehingga api bernyala tinggi dan sinar-menimpa Si Gendut yang pucat, kemudian, tiba-tiba tangan kiri kakek jembel itu bergerak, cepat bukan main dan dia sudah menotok dua kali, pertama ke arah leher, dan ke dua kalinya arah pundak.
Si Gendut terbelalak, mulutnya terbuka seperti hendak menjerit-jerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya, dan mukanya kini penuh kerut-kerut tanda bahwa dia menderita nyeri yang luar biasa hebatnya. Sin-ciang Kai-ong membiarkan dia menderita bebepa menit lamanya, lalu membebaskan totokannya sehingga rasa nyeri itu lenyap dan Si Gendut mampu bicara kembali.
"Nah, jawablah pertanyaanku dengan baik-baik. Di mana adanya pangcu yang aseli dan siapa pangcu yang palsu itu?"
Si Gendut itu kini menangis. Rasa nyeri dan tak berdaya membuat dia dipenuhi rasa takut, sedih, dan penasaran. "Aku… aku tidak berani… tidak berani menjawab…"
Dia sudah mengatakan tidak berani, bukan tidak tahu lagi dan ini merupakan kemajuan, pikir Sin-ciang Kai-ong. Tiba-tiba dia menyeret tubuh si Gendut, didekatkan pada api dan menarik lengannya, lalu membakar tangan kiri Si Gendut itu pada api unggun. Tercium bau sangit dan Si Gendut mengerang kesakitan. Ketika Sin-ciang Ka ong menarik kembali lengan itu, jari-jari tangan kiri Si Gendut melepuh hangus!
"Engkau masih belum berani jawab? Akan kubakar tubuhmu sedikit demi sedikit sampai habis terbakar!" kakek itu mengancam.
Si Gendut menjadi ketakutan. Ancaman bahaya dari ketuanya masih jauh, masih belum terasa, akan tetapi ancaman Sin-ciang Kai-ong ini sudah di depan mata dan sudah dirasakannya pula. "Baiklah… aku… aku mengaku…"
Dengan suara tersendat-sendat dia lalu menceritakan keadaan Ang-kin Kai-pang yang aneh.Kiranya telah terjadi hal-hal hebat di dalam asrama Ang-kin Kai-pang. Seorang musuh besar dari Koai-tung Sin-kai, yaitu seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Lam-Sin Hui Houw (Harimau Terbang dari Gunung Selatan), mendendam kepada Koai-tung Sin-kai yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang di kota raja. Pernah Si Harimau Terbang ini dihajar oleh Koai-tung Sin-kai dalam suatu bentrokan ketika datuk ini melakukan kejahatan di kota raja.
Dengan hati penuh dendam, si Harimau Terbang melarikan diri kembali ke selatan di mana dia menggembleng diri dan memperdalam ilmu silatnya. Sepuluh tahun kemudian, menjadi seorang yang amat lihai dengan belasan orang anak buahnya yang sudah terlatih dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi, kembalilah dia ke kota raja dan mengunjungi Ang-Kin Kai-pang.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil membalas kekalahannya, bahkan dia merobohkan Koai-tung Sin-kai, menangkapnya dan menawannya ke dalam tahanan di bawah tanah. Dia sendiri, dengan ilmu penyamaran yang telah dipelajarinya, lalu menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai menjadi orang yang berkuasa di perkumpulan Ang-kin Kai-pang itu.
Mulanya memang para anggauta perkumpulan itu merasa heran sekali akan perubahan sikap dan watak ketua mereka. Akan tetapi karena ketua mereka bersikap keras mereka pun tidak berani banyak bertanya. Apalagi ketua mereka itu mempunyai pembantu-pembantu yang amat lihai. Demikianlah, setahun yang lalu mulai terjadi perubahan besar dari perkumpulan pengemis itu.
"Ketua kami yang sekarang, yang menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai sesungguhnya adalah Lam-sin Hui-houw si Gendut mengakhiri ceritanya.
Sin-ciang Kai-ong mengangguk-angguk. Sudah diduganya demikian. "Akan tetapi di mana adanya Koai-tung Sin-kai yang aseli? Ditawan di mana?"
"Di dalam kamar bawah tanah," kata Si Gendut yang sudah terlanjur membuat pengakuan. Dia merasa kepalang tanggung dan diceritakanlah tentang keadaan penjara bawah tanah itu.
"Yang ditawan di situ selain Koai-tung Sin-kai, juga ada kurang lebih sebelas orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang megetahui rahasia itu dan yang memberontak terhadap ketua palsu..."
Setelah menguras pengakuan dari Si Gendut itu, Sin-ciang Kai-ong lalu menotoknya lagi dan meninggalkan Si Gendut dalam keadaan tak mampu bergerak itu di dalam hutan. Tentu saja Si Gendut ini ketakutan bukan main, bukan hanya takut kepada Lam-san Hui-houw yang rahasianya sudah dia buka, akan tetapi juga takut kalau-kalau muncul harimau atau binatang buas lainnya dan menerkam dia yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu.
Rasa takutnya ini ternyata kemudian menjadi kenyataan. Terdengar gerengan-gerengan dalam hutan itu dan kalau orang melihat di mana Si Gendut itu ditinggalkan, dan hanya akan menemukan sisa-sisa pakaian dan potongan-potongan badan yang tidak sampai tertelan oleh binatang buas dan kini potongan-potongan itu pun sedang diperebutkan antara beberapa ekor anjing hutan dan burung-burung gagak dan pemakan bangkai yang lain.
Sin-ciang Kai-ong sendiri lalu lari cepat menuju ke asrama Ang-Kin Kai-pang. Matahari pagi sudah mulai bersinar. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota raja, sesosok bayangan muncul dari balik pohon dan ternyata bayangan ini adalah Si Han Beng.
"Eh, engkau di sini?" tanya Sin-ciang Kai-ong. "Di mana Nona Souw?"
"Setelah Suhu pergi, teecu mengkhawatirkan keselamatan Suhu yang masih belum sehat benar. Nona Souw teecu suruh menanti di dalam hutan itu dan teecu menyusul ke sini."
"Bagus kalau begitu. Memang aku membutuhkan bantuanmu, Han Beng. Engkau tahu, sahabatku Koai-tung Sin-kai benar-benar mereka tawan dan yang kini bertindak sebagai Koai-tung Sin-kai adalah seorang datuk sesat dari selatan berjuluk Lam-san Hui-houw."
Kakek itu menceritakan apa yang didengarnya dari kaki tangan ketua palsu itu. Han Beng mendengarkan dengan heran dan juga kagum akan kecerdikan gurunya yang ternyata telah menduga tepat sekali.
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan dan apa yang harus teecu lakukan?"
"Aku akan mencoba untuk membebaskan sahabatku Koai-tung Sin-kai dan para pembantunya yang ditawan, dan engkau dapat membantuku, Han Beng."
Kakek itu lalu berunding dengan muridnya dan mengatur siasat agar dia berhasil membebaskan para tawanan itu dan membongkar rahasia kejahatan Lam-sar Hui-houw.
Munculnya Han Beng di depan asrama Ang-kin Kai-pang tentu saja menimbulkan keributan lagi pada perkumpulan itu. Belasan orang anggauta Ang-kin Kai-pang sudah menyambut dengan senjata di tangan, mengepung pemuda yang dianggap sebagai musuh besar atau biang-keladi keributan yang terjadi antara mereka dengan keluarga Souw. Mereka merasa heran dan penasaran bagaimana pemuda ini berani muncul lagi seorang diri...!