KETIKA mereka memasuki sebuah kota yang pertama, Hui Im berkata kepada Han Beng, "Beng-twako, tunggu sebentar, ya? Aku ingin sekali memasuki toko itu."
Tanpa memberi kesempatan kepada Han Beng, gadis itu sudah melangkah memasuki sebuah toko yang menjual pakaian. Melihat ini, Han Beng menahan senyumnya. Bagaimanapun juga, temannya itu hanya seorang wanita! Agaknya me mang wanita suka berbelanja. Hanya dia merasa heran bahwa gadis itu berani berbelanja, yang berarti gadis itu mempunyai uang, padahal gadis itu terpaksa meninggalkan rumah secara mendadak.
Ternyata tidak berapa lama Hui Im memasuki toko. Dari luar toko, agak jauh karena dia tidak ingin disangka hendak mengemis, Han Beng menunggu dan dia melihat gadis itu keluar dari toko membawa sebuah buntalan dan Hui lm menghampirinya sambil tersenyum. Memang Hui Im memiliki watak yang periang sehingga agaknya ia sudah dimengusir kedukaannya dan kini ia lalu memperlihatkan wajah cerah.
"Wah, engkau memborong pakaian Im-moi?"
Gadis itu hanya mengangguk, kita cepat keluar kota, aku ingin segera mencoba pakaian ini!" katanya.
Kembali Han Beng tersenyum. Agaknya memang semua wanita suka akan pakaian indah, pikirnya dan mereka lalu cepat keluar dari kota itu. Setelah mereka tiba di tempat sunyi di mana tidak nampak ada seorang pun yang lewat, Hui mengajak Han Beng berhenti di dekat sebuah gubuk di tengah sawah tepi jalan.
"Berhenti dulu, Twako. Di sini engkau dapat mencoba pakaian ini. Nah, kau gantilah pakaianmu, aku sudah ingin sekali melihat engkau mengenakan pakaian ini!"
Han Beng tertegun ketika gadis itu mendorongkan buntalan ke dalam kedua lengannya yang terpaksa menerimanya Dia merasa bingung, dan sejenak di hatinya bengong, tidak tahu apa yang dimaksudkan gadis itu karena dia tadinya membayangkan bahwa Hui Im akan segera berganti pakaian indah!
"Apa… apa ini…? Apa maksudmu, Im-moi?"
Gadis itu tersenyum, agak lebar sehingga deretan gigi putih nampak sedikit. "Aku tadi masuk toko untuk membeli pakaian, Twako. Pakaian untukmu, dua stel. Lihat, pakaianmu robek-robek dan sudah kumal, perlu diganti, bukan?"
Gadis itu kini mendorong-dorong Han Beng untuk memasuki gubuk itu. Biarpun wajahnya berubah merah, namun sambil tersenyum Han Beng terpaksa masuki gubuk itu. Hui Im tinggal di luar. Ternyata, setelah membuka buntalan Han Beng melihat dua stel pakaian sederhana namun kuat dan berwarna biru polos. Dia menanggalkan pakaian jembelnya dan memakai pakaian baru. Alisnya agak berkerut. Mengapa gadis itu membeli pakaian untuknya? Kelirukah dugaannya dan sesungguhnya gadis itu merasa malu berjalan dengan seorang pengemis?
Ketika dia keluar dari gubuk itu, Hui Im memandang kepadanya dan wajah gadis itu berseri, sepasang matanya menyinarkan kekaguman. "Aih, Twako, engkau kelihatan tampan dan gagah sekali serunya gembira.
Akan tetapi Han Beng tidak nampak gembira, sebaliknya mengamati wajah gadis itu. "Siauw-moi," katanya dengan agak kaku. "Katakanlah, mengapa engkau memberi pakaian kepadaku? Kenapa engkau membelinya untukku? Apakah engkau merasa malu berjalan bersama seorang yang berpakaian seperti seorang jembel?"
Sepasang mata yang tadinya bersih? sinar penuh kegembiraan itu terbelalak dan wajah yang tadinya berseri gembira dan kemerahan itu kini tiba-tiba berubah pucat. "Ah, tidak… tidak… harap jangan salah duga, Twako. Ah, kau maafkanlah aku, sama sekali bukan maksudku membelikan pakaian karena aku malu berjalan denganmu. Hanya... kukira… pakaianmu sudah begitu kotor dan tidak pantas…"
Melihat kegugupan gadis itu, Han Beng merasa kasihan dan dia sesalkan kecurigaannya sendiri. "Sudahlah, Siauw-si, aku pun percaya bahwa engkau tidak melakukannya karena malu. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat membelinya? Bukankah engkau tidak sempat membawa uang ketika meninggalkan rumah orang tuamu?"
Hui Im mengeluarkan segenggam uang dari saku bajunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya meraba leher sendiri. "Aku tadi… menjual kalung emasku pada pemilik toko, Twako dan ini kelebihan uangnya."
Han Beng merasa terharu sekali. Gadis ini menjual kalungnya untuk membelikan pakaian untuknya! Di samping keharuan itu, juga dia merasa malu. Bukankah dia membawa bekal emas dari gurunya? Cukup untuk membeli keperluan apa pun juga, dan dia melihat bahwa gadis itu tidak mempunyai bekal pakaian kecuali yang dikenakan pada tubuhnya. Sungguh kasihan.
Kadang-kadang, hampir sehari penuh gadis itu "bersembunyi" kalau bertemu sungai di dalam tempat sunyi, selain mandi juga untuk mencuci pakaian satu-satunya itu kemudian menanti sampai kering, baru dipakainya kembali dan berani muncul di depannya. Dan gadis yang telah menjual kalungnya itu hanya membeli pakaian untuk dia sama sekali tidak membeli untuk dir sendiri.
"Im-moi…"
"Ya…? Engkau tidak marah, Twako?" tanya Si Gadis khawatir.
Han Beng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak, kenapa marah? Akan tetapi sekarang mari kita kembali ki kota itu, Siauw-moi."
"Eh? Kembali ke sana? Untuk apa Twako?"
"Hayolah, aku ada keperluan penting di sana, tadi aku lupa." ajak Han Beng.
Dan seperti biasa, Hui Im hanya menyetujui dan tanpa banyak cakap lagi ia mengikuti Han Beng memasuki kota tadi. Akan tetapi, ia merasa heran dan khawatir ketika Han Beng mengajaknya memasuki toko di mana ia membeli pakaian untuk Han Beng tadi! Jangan-jangan pemuda itu hendak mengembalikan pakaian yang dibelinya? Akan tetapi tidak! Han Beng menarik tangannya dan menunjuk ke arah beberapa stel pakaian wanita yang digantung di sudut.
"Siauw-moi, yang berwarna hijau muda dan biru-kuning itu tentu pantas sekali untukmu!"
Barulah Hui Im merasa lega, wajahnya kemerahan dan ia pun tersenyum-senyum malu. "Terserah kepadamu saja, Twako," katanya dan ia pun pergi ke sudut lain di mana dijual segala keperluan pakaian pria.
Dengan jantung berdebar dan perasaan bahagia bukan main, Hui Im lalu memilih sepatu, kaus kaki, pakaian dalam, saputangan dan segala keperluan pakaian pria untuk dibelinya. Uang sisa penjualan kalung tadi masih cukup banyak dan pemilik toko yang mengenal Hui Im yang tadi menjual kalung, segera menghampirinya. Dia tadi melihat betapa Hui Im masuk bersama seorang pemuda ganteng, maka sambil tersenyum-senyum pemilik toko yang sudah setengah tua itu cepat menghampiri Hui Im.
"Nona, kalau Nona hendak memilihkan pakaian suami Nona itu…”
Hui Im mengerutkan alisnya, aku tetapi tidak marah. "Aku belum bersuami dia itu sahabatku!" katanya singkat.
"Aih, maafkan saya, Nona. Saya kira sahabatmu ganteng itu akan pantas sekali kalau memakai pakaian ini, dan yang ini… dan sabuk ini tentu menarik sekali…"
Sebagai seorang pedagang yang luwes, pemilik toko itu berhasil menarik hati Hui Im sehingga gadis itu memborongkan semua sisa uangnya untuk bermacam pakaian pria. Di bagian lain, Han Beng juga membeli banyak pakaian untuk Hui Im, dan pengurus toko yang juga amat cerdik banyak membantunya memilih segala macam pakaian. Dia sama sekali tidak mengerti tentang pakaian wanita, apalagi pakaian dalam, maka pengurus toko itulah yang membantunya.
Ketika keduanya keluar dari toko masing-masing membawa sebuah buntalan besar dan keduanya saling pandang sambil tersenyum-senyum! Dan tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan sunyi, bagaikan dua orang anak kecil baru saja menerima hadiah dan kini membuka buntalan dan mengagumi semua hadiah pakaian itu, Han Beng dan Hui Im tertawa-tawa gembira sambil mengagumi pakaian mereka.
"Aih, tentu banyak sekali uang yang kau keluarkan untuk membeli semua ini, Twako!"
"Tidak lebih banyak daripada yang kau keluarkan, Siauw-moi!"
"Aduh, indah sekali celana dan baju ini! Engkau pandai sekali memilih untukku, Twako. Terima kasih banyak!"
"Engkau pun pandai memilih untukku siauw-moi… heiii, kenapa engkau?" Han Beng terkejut melihat betapa Hui Im tiba-tiba menangis, duduk di atas tanah sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan terisak-isak. "Kenapa engkau menangis, Siauw-moi…?" Han Beng berlutut didekatnya, khawatir kalau-kalau dia telah menyinggung perasaan gadis itu.
Sampai beberapa lamanya Hui Im tidak mampu menjawab, hanya sesenggukan dan Han Beng membiarkannya saja, menanti sampai gadis itu menjadi tenang kembali. Setelah Hui Im dapat menguasai dirinya, Han Beng berkata dengan suara lembut,
"Siauw-moi, sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang menyusahkah, hatimu sehingga engkau menangis tadi."
Sepasang mata yang bening itu agak memerah ketika memandang pada Han Beng. "Maafkan aku, Twako. Akan tetapi semua kebaikanmu membuat aku teringat bahwa hanya engkaulah satu-satunya orang yang baik kepadaku, mengingatkan aku bahwa aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini."
Han Beng tersenyum. "Jangan lupa, Siauw-moi, bahwa engkau masih mempunyai seorang Pamanmu yang kini sedang kita cari. Dia adalah anggauta keluargamu yang terdekat, dan tentu di samping Pamanmu masih ada keluarganya yang juga merupakan sanakmu. Tak lama lagi engkau akan mempunyai banyak orang yang menyayangmu."
Hui Im menarik napas panjang. "Mudah-mudahan begitu, Twako. Sesungguhnya, Paman Tang Gu It itu bukan hanya kakak dari mendiang Ibuku, akan tetapi juga... calon Ayah Mertuaku…"
"Hemmm… begitukah?" Han Beng menahan kejutan dalam hatinya mendengar bahwa gadis itu telah menjadi calon mantu orang!
Justeru kenyataan inilah yang membuat Hui lm tadi menangis. Gadis ini teringat bahwa ia tidak bebas lagi, ia adalah tunangan orang calon isteri dari seorang yang baru dijumpainya dua kali ketika ia masih kecil berusia kurang dari sepuluh tahun! Ia tidak tahu lagi bagaimana sekarang wajah dari Tang Ciok An, tunangannya itu. Membayangkan bahwa ia tidak mengenal tunangannya, tidak tahu apakah tunangannya itu sebaik dan selembut Han Beng, inilah yang membuat ia tadi menangis.
"Kami ditunangkan sejak aku usia tujuh atau delapan tahun, Twako. Dan sejak sepuluh tahun yang lalu aku tidak pernah lagi bertemu dengan putera Pamanku itu."
Han Beng sudah dapat menguasai perasaan hatinya yang tadi terasa tidak enak, bahkan pedih. Dia memaksa diri tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar gembira. "Wah, kalau begitu, engkau tentu akan disambut dengan penuh kebahagiaan oleh mereka, Siauw-moi! Kalau mereka itu mendengar akan nasibmu yang buruk, tentu keluarga tunanganmu itu akan merasa kasihan dan semakin sayang padamu. Hayo, kita percepat perjalanan ini. Aku ingin sekali melihat engkau disambut dengan bahagia oleh mereka!"
Kini, dengan mengenakan pakaian baru yang bersih, dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Hubungan mereka semakin akrab dan keduanya saling cocok, menemukan kebaikan-kebaikan baru pada diri masing-masing, dan mereka saling mengagumi, saling suka, merasa senasib sependeritaan.
Han Beng merasa kasihan sekali kepada Hui Im, juga mendapat kenyataan betapa gadis ini memang berwatak baik, ramah dan menyenangkan. Sebaliknya, Hui Ini juga amat kagum kepada Han Beng, merasa berhutang budi, bukan saja karena pemuda ini pernah menolong dan menyelamatkannya, juga budi Han Beng ketika mengantarnya mencari pamannya merupakan budi yang amat besar karena pemuda itu di sepanjang perjalanan memperlihatkan sikap yang amat ramah, sopan dan baik sekali.
Seorang kakak kandung belum tentu akan sebaik ini sikapnya. Diam-diam Hui Im merasa suka dan tertarik sekali, akan tetapi setiap kali ia teringat bahwa dirinya sudah ada yang punya, bahwa ia telah terikat perjodohan dengan pemuda lain, ia menahan diri dan hendak melupakan perasaannya yang sedang tumbuh terhadap Han Beng. Tidak, bantahnya pada diri sendiri, ia tidak boleh mengharapkan yang tidak-tidak! Ia adalah seorang calon isteri pemuda Iain.
Akan tetapi, kadang-kadang di waktu malam, kalau mereka berdua tidur di dalam hutan, di kuil tua ataupun rumah penginapan dimana Han Beng lalu menyewa dua buah kamar yang berdampingan, Hui Im suka menangis seorang diri. Ia merasa khawatir sekali. Khawatir kalau-kalau tunangannya merupakan seorang pemuda yang tidak menyenangkan, tidak sebaik Han Beng, atau kalau-kalau ia akan kehilangan Han Beng!
Kelopak Cinta takkan berbunga oleh sekadar tarikan daya kemilaunya emas permata, mulianya kedudukan dan nama tampan dan cantiknya rupa, halusnya tutur sapa, baiknya budi bahasa!
Cinta adalah sinar matahari, harumnya bunga setaman-sari, embun lembut di pagi hari.
Cinta itu Keindahan. Cinta itu Kebenaran. Cinta itu Kenyataan. Cinta itu TUHAN!!!
Kita tinggalkan dulu Han Beng yang dengantar Hui Im mencari paman atau calon ayah mertuanya di kota Pei-Shen yang cukup jauh, dan mari kita tengok keadaan Bu Giok Cu, dara lincah jenaka dan nakal manja yang jatuh ke tangan seorang iblis betina seperti Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu dan menjadi murid kesayangannya itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Giok Cu hampir saja menjadi korban kecabulan dua orang murid datuk dari Liong-san yang bernama Oui Kok Sian. Untung bahwa muncul Ban tok Mo-li menyelamatkannya. Ban-tok Mo-li membunuh Gak Su dan setelah Ouw Kok Sian mintakan ampun untuk muridnya yang ke dua, yaitu Ji Ban To, Ban-tok Mo-li mengampuni dan memberi obat untuk menyembuhkan luka yang di derita Ji Ban To akibat pukulannya.
Dan setelah peristiwa itu, Giok Cu yang berusia lima belas tahun berlatih silat ini makin tekun karena ia tahu bahwa untuk dapat hidup aman, ia harus meniliki ilmu setinggi-tingginya untuk melindung diri sendiri. Akan tetapi ada satu hal yang membuat hati Giok Cu merasa tidak suka sekali, bahkan ia membenci orang yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupannya bersama subonya.
Orang itu adalah Lui Seng Cu yang berjuluk Hok-ouw Toa-to itu, bekas perampok tunggal yang kini menjadi penyembah Thian-te Kwi-ong dan yang sudah mempengaruhi hati Ban-tok Mo-li sehingga subonya itu kini ikut pula menjadi penyembah patung Thian-te Kwi-ong untuk mencari ilmu awet muda dan panjang umur!
Dan agaknya, Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia menempel Ban-tok Mo-li dan kini senang sekali pria itu datang bertamu dan kalau datang, tinggal di situ sedikitnya sepekan, dan jelas bahwa dia menjadi kekasih baru dari Ban-tok Mo-li yang amat percaya dan amat memanjakan tamunya atau kekasihnya ini!
Ban-tok Mo-li adalah seorang wanita yang walaupun usianya sudah lima puluh tahun namun masih cantik pesolek, mewah dan kaya raya. Tentu saja Lui Seng Cu merasa betah tinggal di rumah iblis betina ini karena dia bisa memperoleh segala-galanya untuk memuaskan nafsu-nafsunya.
Di lain pihak, Ban-tok Mo-li juga rupanya sudah tergila-gila kepada pria Hok-houw Lui Seng Cu memang seorang yang berpengalaman, biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, namun berwajah ganteng, dengan tubuh yang tinggi tegap dan nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya.
Yang membuat Giok Cu merasa tidak senang adalah karena sikap Lui Seng Cu terhadap dirinya. Kurang ajar! Hanya itulah menurut anggapannya. Sepasang mata itu memandang dengan cabul, senyumnya juga dimaksudkan untuk memikat, kata-katanya selalu mengandung sindiran kotor dan sinar mata orang itu kadang-kadang aneh dan menakutkan, bahkan kadang-kadang melalui sinar matanya, beberapa kali ia masih seperti tertarik dan seperti dipaksa untuk bertekuk lutut kepada pria itu.
Yang membuat hati Giok Cu menjadi makin tidak senang adalah peristiwa mengerikan yang beberapa kali terjadi sejak Lui Seng Cu sering datang dan berdiam di rumah gurunya. Agaknya tidak cukup satu kali saja pemimpin agama baru itu mengharuskan Ban-tok Mo-li mengorbankan nyawa sepasang orang muda. Semenjak itu, sudah dua kali gurunya dan Lui Seng Cu menculik seorang muda dan seorang gadis, dan kemudian, pada keesokan harinya, Giok Cu melihat pasang orang muda itu telah menjadi mayat dan diam-diam dikubur di kebun belakang oleh para pelayan subonya yang selalu mentaati perintah subonya.
Para pelayan wanita itu pun menimbulkan perasaan tidak suka dan jijik di dalam hati Giok Cu. Mereka itu, biarpun masih muda dan cantik-cantik, namun telah menjadi hamba-hamba nafsu sehingga mereka itu bersedia dengan penuh kegembiraan untuk melayani para tamu ia yang bermalam di rumah Ban-tok Mo-li, tentu saja atas persetujuan, bahkan atas perintah Ban-tok Mo-li.
Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa memang demikianlah watak gurunya. Segala macam kecabulan yang dilakukan gurunya dan para pelayannya, bagi gurunya merupakan hal biasa saja, pengisi waktu senggang atau semacam iseng-iseng untuk mencari kesenangan!
Melihat semua itu, sudah lama kali tumbuh kebencian di dalam Giok Cu. la memang membutuhkan bimbingan subonya dalam ilmu silat, melihat betapa subonya sayang kepadanya, ada pula rasa sayang di dalam hatinya terhadap wanita iblis itu. Akan tetapi, sepak terjang subonya sungguh mendatangkan rasa muak dan benci di dalan hatinya.
Kini, hati Giok Cu kembali merasa penasaran dan juga gemas sekali. Lu Seng Cu kembali datang bertamu dan seperti biasa, pria itu selalu berada di dalam kamar subonya. Kalau ada tamu ini, subonya juga jarang keluar, sehingga tidak memberi petunjuk lebih lanjut dalam ilmu silat yang sedang dilatihnya. Dan yang lebih menjengkelkan hatinya, malam itu kembali subonya dan Lui Seng Cu menculik sepasang orang muda yang mereka bawa masuk ke dalam kamar!
la harus menyelamatkan dua orang muda itu, tekad hatinya. Akan tetapi, bagaimana? Kalau dia mempergunakan kekerasan, bagaimana mungkin akan berhasil? Ia tidak akan mampu melawan subonya, juga tidak akan menang melawan Lui Seng Cu! Membujuk subonya dengan halus? Hasilnya hanya dampratan dan makian yang hanya akan lebih menyakitkan hatinya.
Akan tetapi, ia tahu bahwa sepasang orang muda itu tentu akan menjadi mayat pada keesokan harinya dan akan dikubur di dalam kebun belakang yang luas itu! Tidak, ia harus mencegah terjadinya pembunuhan lagi, pembunuhan sepasang orang muda yang sama sekali tidak berdosa! Ia harus mencari akal dan mencegah pembunuhan itu, apapun resikonya.
Malam itu sunyi dan menyeramkan. Udara dingin sehingga para pelayan w¬nita yang belasan orang banyaknya, yang juga bertugas sebagai penjaga, malam itu agak malas untuk meronda. Apalagi, siapa yang akan berani mengganggu rumah kediaman majikan mereka? Yang berjaga hanya dua orang wanita, dan mereka pun sudah duduk melenggut di ruangan depan, di serambi depan yang mereka jadikan sebagai pusat penjagaan di waktu malam.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh nyala api yang cukup besar, di sebelah kanan bangunan. Gudang telah terbakar dan api sudah bernyala tinggi!
"Kebakaran! Kebakaran…!" Mereka berteriak-teriak sambil membangunkan teman-teman mereka, menggedur kamar mereka di belakang. Para wanita itu menjadi gugup dan panik, segera mencari air untuk memadamkan kebakaran yang sudah membesar itu.
Keributan itu pun membuat Ban-tok Mo-li dan tamunya, Hok-houw Toa-to Lu Seng Cu, berlarian keluar dari dalam kamar. Mereka menduga bahwa tentu ada musuh yang menyerbu dan membakar gudang. Mereka sama sekali tidak tahu betapa ketika mereka berlarian keluar kamar, ada bayangan hitam menyelinap masuk ke dalam kamar itu dengan gerakan yang cekatan sekali. Bayangan ini bukan lain adalah Giok Cu yang telah menggunakan akal membakar gudang untuk menolong dua orang muda yang diculik gurunya dan tamu gurunya.
Ketika berada di dalam kamar gurunya, kamar yang sudah dikenalnya, dengan pembaringan yang lebar dan perlengkapan yang mewah itu, Giok Cu terbelalak mukanya berubah merah. Hampir ia tidak dapat melihat keadaan itu lebih lama lagi dan meninggalkan kamar, kalau saja ia tidak ingat bahwa ia masuk kamar ini untuk menyelamatkan orang.
Ia melihat betapa dua orang muda itu, yang usianya masih muda sekali kurang lebih enam belas tahun, berada di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan tidak mampu bergerak karena tertotok. Gadis remaja itu hanya memandang dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran, sedangkan pemudanya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketakutan!
Giok Cu cepat menotok mereka, membebaskan mereka dari pengaruh totokan sehingga keduanya mampu bergerak kembali.
"Sssttt, jangan berisik. Cepat pakai pakaian kalian dan ikuti aku. Aku akan membebaskan kalian dari sini!" bisik Gi Cu.
Dua orang muda itu tentu saja menjadi gugup dan secepatnya mereka mengenakan pakaian mereka dan tak lama kemudian mereka sudah mengikuti Gi Cu keluar dari dalam kamar, lalu melarikan diri melalui kebun belakang yang sunyi. Mereka melihat betapa orang-orang sedang sibuk memadamkan kebakaran besar di samping rumah.
Karena tidak sabar lagi melihat betapa gadis remaja itu sukar berlari karena tubuhnya menggigil ketakutan, Gi Cu menggendongnya, dan berlarilah sambil menarik tangan pemuda itu yang juga ketakutan. Mereka menghilang ditelan kegelapan malam.
Giok Cu tidak memberi kesempa kepada pemuda itu untuk beristirahat sejenak pun. Biarpun pemuda itu sudah terengah-engah, ia memaksanya berlari terus. Kini ia menurunkan gadis yang digendongnya dan mengajak mereka berdua lari memasuki hutan kemudian, di dalam kegelapan yang membuta, Giok Cu terus menarik tangan mereka untuk pergi semakin jauh. Ia sendiri sudah hafal akan jalan setapak di hutan itu, maka ia mampu menjadi petunjuk jalan dalam cuaca yang gelap itu, hanya diterangi bintang-bintang di langit, itu pun masih dihalangi oleh daun-daun pohon yang lebat.
Baru pada keesokan harinya, ketika matahari pagi mulai mengirim sinarnya untuk mengusir kegelapan malam, terpaksa Giok Cu berhenti karena gadis dan pemuda remaja itu sudah tidak kuat lagi dan mereka berdua sudah menjatuhkan diri di atas rumput. Gadis remaja itu menangis dan pemuda itu pun merintih! ketika keduanya berlutut di depan Giok Cu.
"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap (Pendekar Wanita) yang telah menyelamatkan nyawa saya…" kata muda itu.
"Li-hiap, engkau telah membebas kan saya dari ancaman maut yang amat mengerikan, sampai mati saya tidak akan melupakan budi ini " kata gadis itu.
Giok Cu mengangkat kedua tangannya dengan tidak sabar. "Sudahlah, tidak ada gunanya semua ini. Aku tidak minta terima kasih, akan tetapi aku minta agar kalian berdua bangkit lagi dan melanjutkan pelarian ini. Kita masih harus lari jauh untuk benar-benar dapat bebas dari ancaman maut ini!"
Giok Cu sama sekali tidak takut akan keselamatan diri sendiri. Yang ditakutinya adalah kalau sampai gurunya dan Lui Seng Cu dapat menyusul mereka, tentu kedua orang muda ini akan ditangkap kembali dan ia sama sekali tidak akan mampu melindungi mereka.
"Tapi, kaki saya… lecet-lecet dan nyeri…" keluh pemuda itu.
"Dan saya sudah tidak kuat lagi, Li-hiap…" kata yang gadis.
"Kalian harus kuat! Hayo, kita lari lagi!" kata Giok Cu menyambar lengan mereka untuk melarikan diri.
Dua orang muda itu merintih, mengeluh, tersaruk-saruk dan jatuh bangun, akan tetapi Ciok Cu tidak peduli dan terus menyeret tubuh mereka. Tiba-tiba ada sebatang tongkat menyelonong dan menghalang di depan Giok Cu. Ketika Giok Cu mengangkat muka memandang, kiranya yang memegang tongkat itu adalah hwesio yang tua renta usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun.
Hwesio ini kulitnya hitam sekali seperti pantat kwali hangus, perutnya gendut bukan main seperti kerbau hamil, akan tetapi muka yang hitam itu memiliki sepasang mata yang ramah, mencorong, dan mulutnya selalu tersenyum-senyum.
"Omitohud…! Seorang gadis remaja yang begini manis dan gagahnya, ternyata memiliki watak yang amat jahat suka menyiksa orang lain! Nona, sungguh amat tidak baik kalau kau lanjutkan menyiksa dua orang ini yang sudah kehabisan tenaga, kau paksa dan kau seret untuk berjalan, bahkan berlari. Dimana prikemanusiaanmu?"
Giok Cu adalah seorang yang galak, apalagi sekarang ia merasa tidak bersalah, disangka yang bukan-bukan oleh seorang kakek tua renta berkepala gundut yang perutnya gendut. Ia membe¬lalakkan matanya, memandang penuh kemarahan dan ia menudingkan telunjuknya ke arah perut yang gendut itu.
"Hwesio tua! Apa kau kira prikemanusiaan sudah diborong semua oleh hwesio-hwesio gendut seperti engkau? Apa kau kira perutmu yang gendut itu terlalu penuh oleh kebaikan dan prikemanusiaan sehingga manusia macam aku tidak mengenalnya lagi? Hayo minggir dan jangan menghalang di tengah jalan!"
Mulut itu tersenyum semakin lebar. "Ha-ha-ha, bukan main galaknya! Pantas sekali, wataknya galak dan perbuatannya pun kejam. Kenapa sih engkau menyeret-nyeret kedua orang muda ini. Nona? Apa kesalahan mereka?"
Giok Cu semakin mendongkol. "Hwesio tua, buka telingamu baik-baik dan dengar omonganku! Semua urusan kami bertiga ini tidak ada sangkut pautnya dengan seorang tua renta seperti engkau! Minggir atau terpaksa aku tidak akan sungkan lagi terhadap seorang tua renta!"
"Sian-cai… seorang anak perempuan yang berjantung naga! Eh, Nona Kecil, kalau pinceng (aku) tidak mau minggir, lalu apa yang akan kaulaku kepada pinceng?"
"Aku akan mendorongmu sampai engkau jatuh!" Giok Cu mengancam.
"Ho-ho-ho, bagus sekali. Pinceng tidak mau minggir sebelum engkau melepaskan dan membebaskan kedua orang anak yang sudah kehabisan tenaga itu!"
Kini Giok Cu benar-benar marah tidak dapat menahan dirinya lagi. melepaskan lengan kedua orang remaja itu, lalu mengerahkan tenaga sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya kearah perut yang gendut itu. Kakek gendut itu tidak mengelak atau menang bahkan mendorong perutnya yang gendut ke depan, seperti sengaja menyerahkan perutnya untuk dipukul atau didorong.
"Plukkk!" Kedua telapak tangan Giok Cu mengenai perut itu dan ia terkejut bukan main. Ia merasa seolah-olah mencorong agar-agar yang lunak dan yang menyedot semua tenaga dorongnya sehingga tenaganya lenyap dan sama sekali tidak berhasil, seperti mendorong air saja...!
Tanpa memberi kesempatan kepada Han Beng, gadis itu sudah melangkah memasuki sebuah toko yang menjual pakaian. Melihat ini, Han Beng menahan senyumnya. Bagaimanapun juga, temannya itu hanya seorang wanita! Agaknya me mang wanita suka berbelanja. Hanya dia merasa heran bahwa gadis itu berani berbelanja, yang berarti gadis itu mempunyai uang, padahal gadis itu terpaksa meninggalkan rumah secara mendadak.
Ternyata tidak berapa lama Hui Im memasuki toko. Dari luar toko, agak jauh karena dia tidak ingin disangka hendak mengemis, Han Beng menunggu dan dia melihat gadis itu keluar dari toko membawa sebuah buntalan dan Hui lm menghampirinya sambil tersenyum. Memang Hui Im memiliki watak yang periang sehingga agaknya ia sudah dimengusir kedukaannya dan kini ia lalu memperlihatkan wajah cerah.
"Wah, engkau memborong pakaian Im-moi?"
Gadis itu hanya mengangguk, kita cepat keluar kota, aku ingin segera mencoba pakaian ini!" katanya.
Kembali Han Beng tersenyum. Agaknya memang semua wanita suka akan pakaian indah, pikirnya dan mereka lalu cepat keluar dari kota itu. Setelah mereka tiba di tempat sunyi di mana tidak nampak ada seorang pun yang lewat, Hui mengajak Han Beng berhenti di dekat sebuah gubuk di tengah sawah tepi jalan.
"Berhenti dulu, Twako. Di sini engkau dapat mencoba pakaian ini. Nah, kau gantilah pakaianmu, aku sudah ingin sekali melihat engkau mengenakan pakaian ini!"
Han Beng tertegun ketika gadis itu mendorongkan buntalan ke dalam kedua lengannya yang terpaksa menerimanya Dia merasa bingung, dan sejenak di hatinya bengong, tidak tahu apa yang dimaksudkan gadis itu karena dia tadinya membayangkan bahwa Hui Im akan segera berganti pakaian indah!
"Apa… apa ini…? Apa maksudmu, Im-moi?"
Gadis itu tersenyum, agak lebar sehingga deretan gigi putih nampak sedikit. "Aku tadi masuk toko untuk membeli pakaian, Twako. Pakaian untukmu, dua stel. Lihat, pakaianmu robek-robek dan sudah kumal, perlu diganti, bukan?"
Gadis itu kini mendorong-dorong Han Beng untuk memasuki gubuk itu. Biarpun wajahnya berubah merah, namun sambil tersenyum Han Beng terpaksa masuki gubuk itu. Hui Im tinggal di luar. Ternyata, setelah membuka buntalan Han Beng melihat dua stel pakaian sederhana namun kuat dan berwarna biru polos. Dia menanggalkan pakaian jembelnya dan memakai pakaian baru. Alisnya agak berkerut. Mengapa gadis itu membeli pakaian untuknya? Kelirukah dugaannya dan sesungguhnya gadis itu merasa malu berjalan dengan seorang pengemis?
Ketika dia keluar dari gubuk itu, Hui Im memandang kepadanya dan wajah gadis itu berseri, sepasang matanya menyinarkan kekaguman. "Aih, Twako, engkau kelihatan tampan dan gagah sekali serunya gembira.
Akan tetapi Han Beng tidak nampak gembira, sebaliknya mengamati wajah gadis itu. "Siauw-moi," katanya dengan agak kaku. "Katakanlah, mengapa engkau memberi pakaian kepadaku? Kenapa engkau membelinya untukku? Apakah engkau merasa malu berjalan bersama seorang yang berpakaian seperti seorang jembel?"
Sepasang mata yang tadinya bersih? sinar penuh kegembiraan itu terbelalak dan wajah yang tadinya berseri gembira dan kemerahan itu kini tiba-tiba berubah pucat. "Ah, tidak… tidak… harap jangan salah duga, Twako. Ah, kau maafkanlah aku, sama sekali bukan maksudku membelikan pakaian karena aku malu berjalan denganmu. Hanya... kukira… pakaianmu sudah begitu kotor dan tidak pantas…"
Melihat kegugupan gadis itu, Han Beng merasa kasihan dan dia sesalkan kecurigaannya sendiri. "Sudahlah, Siauw-si, aku pun percaya bahwa engkau tidak melakukannya karena malu. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat membelinya? Bukankah engkau tidak sempat membawa uang ketika meninggalkan rumah orang tuamu?"
Hui Im mengeluarkan segenggam uang dari saku bajunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya meraba leher sendiri. "Aku tadi… menjual kalung emasku pada pemilik toko, Twako dan ini kelebihan uangnya."
Han Beng merasa terharu sekali. Gadis ini menjual kalungnya untuk membelikan pakaian untuknya! Di samping keharuan itu, juga dia merasa malu. Bukankah dia membawa bekal emas dari gurunya? Cukup untuk membeli keperluan apa pun juga, dan dia melihat bahwa gadis itu tidak mempunyai bekal pakaian kecuali yang dikenakan pada tubuhnya. Sungguh kasihan.
Kadang-kadang, hampir sehari penuh gadis itu "bersembunyi" kalau bertemu sungai di dalam tempat sunyi, selain mandi juga untuk mencuci pakaian satu-satunya itu kemudian menanti sampai kering, baru dipakainya kembali dan berani muncul di depannya. Dan gadis yang telah menjual kalungnya itu hanya membeli pakaian untuk dia sama sekali tidak membeli untuk dir sendiri.
"Im-moi…"
"Ya…? Engkau tidak marah, Twako?" tanya Si Gadis khawatir.
Han Beng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak, kenapa marah? Akan tetapi sekarang mari kita kembali ki kota itu, Siauw-moi."
"Eh? Kembali ke sana? Untuk apa Twako?"
"Hayolah, aku ada keperluan penting di sana, tadi aku lupa." ajak Han Beng.
Dan seperti biasa, Hui Im hanya menyetujui dan tanpa banyak cakap lagi ia mengikuti Han Beng memasuki kota tadi. Akan tetapi, ia merasa heran dan khawatir ketika Han Beng mengajaknya memasuki toko di mana ia membeli pakaian untuk Han Beng tadi! Jangan-jangan pemuda itu hendak mengembalikan pakaian yang dibelinya? Akan tetapi tidak! Han Beng menarik tangannya dan menunjuk ke arah beberapa stel pakaian wanita yang digantung di sudut.
"Siauw-moi, yang berwarna hijau muda dan biru-kuning itu tentu pantas sekali untukmu!"
Barulah Hui Im merasa lega, wajahnya kemerahan dan ia pun tersenyum-senyum malu. "Terserah kepadamu saja, Twako," katanya dan ia pun pergi ke sudut lain di mana dijual segala keperluan pakaian pria.
Dengan jantung berdebar dan perasaan bahagia bukan main, Hui Im lalu memilih sepatu, kaus kaki, pakaian dalam, saputangan dan segala keperluan pakaian pria untuk dibelinya. Uang sisa penjualan kalung tadi masih cukup banyak dan pemilik toko yang mengenal Hui Im yang tadi menjual kalung, segera menghampirinya. Dia tadi melihat betapa Hui Im masuk bersama seorang pemuda ganteng, maka sambil tersenyum-senyum pemilik toko yang sudah setengah tua itu cepat menghampiri Hui Im.
"Nona, kalau Nona hendak memilihkan pakaian suami Nona itu…”
Hui Im mengerutkan alisnya, aku tetapi tidak marah. "Aku belum bersuami dia itu sahabatku!" katanya singkat.
"Aih, maafkan saya, Nona. Saya kira sahabatmu ganteng itu akan pantas sekali kalau memakai pakaian ini, dan yang ini… dan sabuk ini tentu menarik sekali…"
Sebagai seorang pedagang yang luwes, pemilik toko itu berhasil menarik hati Hui Im sehingga gadis itu memborongkan semua sisa uangnya untuk bermacam pakaian pria. Di bagian lain, Han Beng juga membeli banyak pakaian untuk Hui Im, dan pengurus toko yang juga amat cerdik banyak membantunya memilih segala macam pakaian. Dia sama sekali tidak mengerti tentang pakaian wanita, apalagi pakaian dalam, maka pengurus toko itulah yang membantunya.
Ketika keduanya keluar dari toko masing-masing membawa sebuah buntalan besar dan keduanya saling pandang sambil tersenyum-senyum! Dan tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan sunyi, bagaikan dua orang anak kecil baru saja menerima hadiah dan kini membuka buntalan dan mengagumi semua hadiah pakaian itu, Han Beng dan Hui Im tertawa-tawa gembira sambil mengagumi pakaian mereka.
"Aih, tentu banyak sekali uang yang kau keluarkan untuk membeli semua ini, Twako!"
"Tidak lebih banyak daripada yang kau keluarkan, Siauw-moi!"
"Aduh, indah sekali celana dan baju ini! Engkau pandai sekali memilih untukku, Twako. Terima kasih banyak!"
"Engkau pun pandai memilih untukku siauw-moi… heiii, kenapa engkau?" Han Beng terkejut melihat betapa Hui Im tiba-tiba menangis, duduk di atas tanah sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan terisak-isak. "Kenapa engkau menangis, Siauw-moi…?" Han Beng berlutut didekatnya, khawatir kalau-kalau dia telah menyinggung perasaan gadis itu.
Sampai beberapa lamanya Hui Im tidak mampu menjawab, hanya sesenggukan dan Han Beng membiarkannya saja, menanti sampai gadis itu menjadi tenang kembali. Setelah Hui Im dapat menguasai dirinya, Han Beng berkata dengan suara lembut,
"Siauw-moi, sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang menyusahkah, hatimu sehingga engkau menangis tadi."
Sepasang mata yang bening itu agak memerah ketika memandang pada Han Beng. "Maafkan aku, Twako. Akan tetapi semua kebaikanmu membuat aku teringat bahwa hanya engkaulah satu-satunya orang yang baik kepadaku, mengingatkan aku bahwa aku tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini."
Han Beng tersenyum. "Jangan lupa, Siauw-moi, bahwa engkau masih mempunyai seorang Pamanmu yang kini sedang kita cari. Dia adalah anggauta keluargamu yang terdekat, dan tentu di samping Pamanmu masih ada keluarganya yang juga merupakan sanakmu. Tak lama lagi engkau akan mempunyai banyak orang yang menyayangmu."
Hui Im menarik napas panjang. "Mudah-mudahan begitu, Twako. Sesungguhnya, Paman Tang Gu It itu bukan hanya kakak dari mendiang Ibuku, akan tetapi juga... calon Ayah Mertuaku…"
"Hemmm… begitukah?" Han Beng menahan kejutan dalam hatinya mendengar bahwa gadis itu telah menjadi calon mantu orang!
Justeru kenyataan inilah yang membuat Hui lm tadi menangis. Gadis ini teringat bahwa ia tidak bebas lagi, ia adalah tunangan orang calon isteri dari seorang yang baru dijumpainya dua kali ketika ia masih kecil berusia kurang dari sepuluh tahun! Ia tidak tahu lagi bagaimana sekarang wajah dari Tang Ciok An, tunangannya itu. Membayangkan bahwa ia tidak mengenal tunangannya, tidak tahu apakah tunangannya itu sebaik dan selembut Han Beng, inilah yang membuat ia tadi menangis.
"Kami ditunangkan sejak aku usia tujuh atau delapan tahun, Twako. Dan sejak sepuluh tahun yang lalu aku tidak pernah lagi bertemu dengan putera Pamanku itu."
Han Beng sudah dapat menguasai perasaan hatinya yang tadi terasa tidak enak, bahkan pedih. Dia memaksa diri tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar gembira. "Wah, kalau begitu, engkau tentu akan disambut dengan penuh kebahagiaan oleh mereka, Siauw-moi! Kalau mereka itu mendengar akan nasibmu yang buruk, tentu keluarga tunanganmu itu akan merasa kasihan dan semakin sayang padamu. Hayo, kita percepat perjalanan ini. Aku ingin sekali melihat engkau disambut dengan bahagia oleh mereka!"
Kini, dengan mengenakan pakaian baru yang bersih, dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Hubungan mereka semakin akrab dan keduanya saling cocok, menemukan kebaikan-kebaikan baru pada diri masing-masing, dan mereka saling mengagumi, saling suka, merasa senasib sependeritaan.
Han Beng merasa kasihan sekali kepada Hui Im, juga mendapat kenyataan betapa gadis ini memang berwatak baik, ramah dan menyenangkan. Sebaliknya, Hui Ini juga amat kagum kepada Han Beng, merasa berhutang budi, bukan saja karena pemuda ini pernah menolong dan menyelamatkannya, juga budi Han Beng ketika mengantarnya mencari pamannya merupakan budi yang amat besar karena pemuda itu di sepanjang perjalanan memperlihatkan sikap yang amat ramah, sopan dan baik sekali.
Seorang kakak kandung belum tentu akan sebaik ini sikapnya. Diam-diam Hui Im merasa suka dan tertarik sekali, akan tetapi setiap kali ia teringat bahwa dirinya sudah ada yang punya, bahwa ia telah terikat perjodohan dengan pemuda lain, ia menahan diri dan hendak melupakan perasaannya yang sedang tumbuh terhadap Han Beng. Tidak, bantahnya pada diri sendiri, ia tidak boleh mengharapkan yang tidak-tidak! Ia adalah seorang calon isteri pemuda Iain.
Akan tetapi, kadang-kadang di waktu malam, kalau mereka berdua tidur di dalam hutan, di kuil tua ataupun rumah penginapan dimana Han Beng lalu menyewa dua buah kamar yang berdampingan, Hui Im suka menangis seorang diri. Ia merasa khawatir sekali. Khawatir kalau-kalau tunangannya merupakan seorang pemuda yang tidak menyenangkan, tidak sebaik Han Beng, atau kalau-kalau ia akan kehilangan Han Beng!
Kelopak Cinta takkan berbunga oleh sekadar tarikan daya kemilaunya emas permata, mulianya kedudukan dan nama tampan dan cantiknya rupa, halusnya tutur sapa, baiknya budi bahasa!
Cinta adalah sinar matahari, harumnya bunga setaman-sari, embun lembut di pagi hari.
Cinta itu Keindahan. Cinta itu Kebenaran. Cinta itu Kenyataan. Cinta itu TUHAN!!!
********************
Kita tinggalkan dulu Han Beng yang dengantar Hui Im mencari paman atau calon ayah mertuanya di kota Pei-Shen yang cukup jauh, dan mari kita tengok keadaan Bu Giok Cu, dara lincah jenaka dan nakal manja yang jatuh ke tangan seorang iblis betina seperti Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu dan menjadi murid kesayangannya itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Giok Cu hampir saja menjadi korban kecabulan dua orang murid datuk dari Liong-san yang bernama Oui Kok Sian. Untung bahwa muncul Ban tok Mo-li menyelamatkannya. Ban-tok Mo-li membunuh Gak Su dan setelah Ouw Kok Sian mintakan ampun untuk muridnya yang ke dua, yaitu Ji Ban To, Ban-tok Mo-li mengampuni dan memberi obat untuk menyembuhkan luka yang di derita Ji Ban To akibat pukulannya.
Dan setelah peristiwa itu, Giok Cu yang berusia lima belas tahun berlatih silat ini makin tekun karena ia tahu bahwa untuk dapat hidup aman, ia harus meniliki ilmu setinggi-tingginya untuk melindung diri sendiri. Akan tetapi ada satu hal yang membuat hati Giok Cu merasa tidak suka sekali, bahkan ia membenci orang yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupannya bersama subonya.
Orang itu adalah Lui Seng Cu yang berjuluk Hok-ouw Toa-to itu, bekas perampok tunggal yang kini menjadi penyembah Thian-te Kwi-ong dan yang sudah mempengaruhi hati Ban-tok Mo-li sehingga subonya itu kini ikut pula menjadi penyembah patung Thian-te Kwi-ong untuk mencari ilmu awet muda dan panjang umur!
Dan agaknya, Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia menempel Ban-tok Mo-li dan kini senang sekali pria itu datang bertamu dan kalau datang, tinggal di situ sedikitnya sepekan, dan jelas bahwa dia menjadi kekasih baru dari Ban-tok Mo-li yang amat percaya dan amat memanjakan tamunya atau kekasihnya ini!
Ban-tok Mo-li adalah seorang wanita yang walaupun usianya sudah lima puluh tahun namun masih cantik pesolek, mewah dan kaya raya. Tentu saja Lui Seng Cu merasa betah tinggal di rumah iblis betina ini karena dia bisa memperoleh segala-galanya untuk memuaskan nafsu-nafsunya.
Di lain pihak, Ban-tok Mo-li juga rupanya sudah tergila-gila kepada pria Hok-houw Lui Seng Cu memang seorang yang berpengalaman, biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, namun berwajah ganteng, dengan tubuh yang tinggi tegap dan nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya.
Yang membuat Giok Cu merasa tidak senang adalah karena sikap Lui Seng Cu terhadap dirinya. Kurang ajar! Hanya itulah menurut anggapannya. Sepasang mata itu memandang dengan cabul, senyumnya juga dimaksudkan untuk memikat, kata-katanya selalu mengandung sindiran kotor dan sinar mata orang itu kadang-kadang aneh dan menakutkan, bahkan kadang-kadang melalui sinar matanya, beberapa kali ia masih seperti tertarik dan seperti dipaksa untuk bertekuk lutut kepada pria itu.
Yang membuat hati Giok Cu menjadi makin tidak senang adalah peristiwa mengerikan yang beberapa kali terjadi sejak Lui Seng Cu sering datang dan berdiam di rumah gurunya. Agaknya tidak cukup satu kali saja pemimpin agama baru itu mengharuskan Ban-tok Mo-li mengorbankan nyawa sepasang orang muda. Semenjak itu, sudah dua kali gurunya dan Lui Seng Cu menculik seorang muda dan seorang gadis, dan kemudian, pada keesokan harinya, Giok Cu melihat pasang orang muda itu telah menjadi mayat dan diam-diam dikubur di kebun belakang oleh para pelayan subonya yang selalu mentaati perintah subonya.
Para pelayan wanita itu pun menimbulkan perasaan tidak suka dan jijik di dalam hati Giok Cu. Mereka itu, biarpun masih muda dan cantik-cantik, namun telah menjadi hamba-hamba nafsu sehingga mereka itu bersedia dengan penuh kegembiraan untuk melayani para tamu ia yang bermalam di rumah Ban-tok Mo-li, tentu saja atas persetujuan, bahkan atas perintah Ban-tok Mo-li.
Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa memang demikianlah watak gurunya. Segala macam kecabulan yang dilakukan gurunya dan para pelayannya, bagi gurunya merupakan hal biasa saja, pengisi waktu senggang atau semacam iseng-iseng untuk mencari kesenangan!
Melihat semua itu, sudah lama kali tumbuh kebencian di dalam Giok Cu. la memang membutuhkan bimbingan subonya dalam ilmu silat, melihat betapa subonya sayang kepadanya, ada pula rasa sayang di dalam hatinya terhadap wanita iblis itu. Akan tetapi, sepak terjang subonya sungguh mendatangkan rasa muak dan benci di dalan hatinya.
Kini, hati Giok Cu kembali merasa penasaran dan juga gemas sekali. Lu Seng Cu kembali datang bertamu dan seperti biasa, pria itu selalu berada di dalam kamar subonya. Kalau ada tamu ini, subonya juga jarang keluar, sehingga tidak memberi petunjuk lebih lanjut dalam ilmu silat yang sedang dilatihnya. Dan yang lebih menjengkelkan hatinya, malam itu kembali subonya dan Lui Seng Cu menculik sepasang orang muda yang mereka bawa masuk ke dalam kamar!
la harus menyelamatkan dua orang muda itu, tekad hatinya. Akan tetapi, bagaimana? Kalau dia mempergunakan kekerasan, bagaimana mungkin akan berhasil? Ia tidak akan mampu melawan subonya, juga tidak akan menang melawan Lui Seng Cu! Membujuk subonya dengan halus? Hasilnya hanya dampratan dan makian yang hanya akan lebih menyakitkan hatinya.
Akan tetapi, ia tahu bahwa sepasang orang muda itu tentu akan menjadi mayat pada keesokan harinya dan akan dikubur di dalam kebun belakang yang luas itu! Tidak, ia harus mencegah terjadinya pembunuhan lagi, pembunuhan sepasang orang muda yang sama sekali tidak berdosa! Ia harus mencari akal dan mencegah pembunuhan itu, apapun resikonya.
Malam itu sunyi dan menyeramkan. Udara dingin sehingga para pelayan w¬nita yang belasan orang banyaknya, yang juga bertugas sebagai penjaga, malam itu agak malas untuk meronda. Apalagi, siapa yang akan berani mengganggu rumah kediaman majikan mereka? Yang berjaga hanya dua orang wanita, dan mereka pun sudah duduk melenggut di ruangan depan, di serambi depan yang mereka jadikan sebagai pusat penjagaan di waktu malam.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh nyala api yang cukup besar, di sebelah kanan bangunan. Gudang telah terbakar dan api sudah bernyala tinggi!
"Kebakaran! Kebakaran…!" Mereka berteriak-teriak sambil membangunkan teman-teman mereka, menggedur kamar mereka di belakang. Para wanita itu menjadi gugup dan panik, segera mencari air untuk memadamkan kebakaran yang sudah membesar itu.
Keributan itu pun membuat Ban-tok Mo-li dan tamunya, Hok-houw Toa-to Lu Seng Cu, berlarian keluar dari dalam kamar. Mereka menduga bahwa tentu ada musuh yang menyerbu dan membakar gudang. Mereka sama sekali tidak tahu betapa ketika mereka berlarian keluar kamar, ada bayangan hitam menyelinap masuk ke dalam kamar itu dengan gerakan yang cekatan sekali. Bayangan ini bukan lain adalah Giok Cu yang telah menggunakan akal membakar gudang untuk menolong dua orang muda yang diculik gurunya dan tamu gurunya.
Ketika berada di dalam kamar gurunya, kamar yang sudah dikenalnya, dengan pembaringan yang lebar dan perlengkapan yang mewah itu, Giok Cu terbelalak mukanya berubah merah. Hampir ia tidak dapat melihat keadaan itu lebih lama lagi dan meninggalkan kamar, kalau saja ia tidak ingat bahwa ia masuk kamar ini untuk menyelamatkan orang.
Ia melihat betapa dua orang muda itu, yang usianya masih muda sekali kurang lebih enam belas tahun, berada di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan tidak mampu bergerak karena tertotok. Gadis remaja itu hanya memandang dengan mata terbelalak dan air mata bercucuran, sedangkan pemudanya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketakutan!
Giok Cu cepat menotok mereka, membebaskan mereka dari pengaruh totokan sehingga keduanya mampu bergerak kembali.
"Sssttt, jangan berisik. Cepat pakai pakaian kalian dan ikuti aku. Aku akan membebaskan kalian dari sini!" bisik Gi Cu.
Dua orang muda itu tentu saja menjadi gugup dan secepatnya mereka mengenakan pakaian mereka dan tak lama kemudian mereka sudah mengikuti Gi Cu keluar dari dalam kamar, lalu melarikan diri melalui kebun belakang yang sunyi. Mereka melihat betapa orang-orang sedang sibuk memadamkan kebakaran besar di samping rumah.
Karena tidak sabar lagi melihat betapa gadis remaja itu sukar berlari karena tubuhnya menggigil ketakutan, Gi Cu menggendongnya, dan berlarilah sambil menarik tangan pemuda itu yang juga ketakutan. Mereka menghilang ditelan kegelapan malam.
Giok Cu tidak memberi kesempa kepada pemuda itu untuk beristirahat sejenak pun. Biarpun pemuda itu sudah terengah-engah, ia memaksanya berlari terus. Kini ia menurunkan gadis yang digendongnya dan mengajak mereka berdua lari memasuki hutan kemudian, di dalam kegelapan yang membuta, Giok Cu terus menarik tangan mereka untuk pergi semakin jauh. Ia sendiri sudah hafal akan jalan setapak di hutan itu, maka ia mampu menjadi petunjuk jalan dalam cuaca yang gelap itu, hanya diterangi bintang-bintang di langit, itu pun masih dihalangi oleh daun-daun pohon yang lebat.
Baru pada keesokan harinya, ketika matahari pagi mulai mengirim sinarnya untuk mengusir kegelapan malam, terpaksa Giok Cu berhenti karena gadis dan pemuda remaja itu sudah tidak kuat lagi dan mereka berdua sudah menjatuhkan diri di atas rumput. Gadis remaja itu menangis dan pemuda itu pun merintih! ketika keduanya berlutut di depan Giok Cu.
"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap (Pendekar Wanita) yang telah menyelamatkan nyawa saya…" kata muda itu.
"Li-hiap, engkau telah membebas kan saya dari ancaman maut yang amat mengerikan, sampai mati saya tidak akan melupakan budi ini " kata gadis itu.
Giok Cu mengangkat kedua tangannya dengan tidak sabar. "Sudahlah, tidak ada gunanya semua ini. Aku tidak minta terima kasih, akan tetapi aku minta agar kalian berdua bangkit lagi dan melanjutkan pelarian ini. Kita masih harus lari jauh untuk benar-benar dapat bebas dari ancaman maut ini!"
Giok Cu sama sekali tidak takut akan keselamatan diri sendiri. Yang ditakutinya adalah kalau sampai gurunya dan Lui Seng Cu dapat menyusul mereka, tentu kedua orang muda ini akan ditangkap kembali dan ia sama sekali tidak akan mampu melindungi mereka.
"Tapi, kaki saya… lecet-lecet dan nyeri…" keluh pemuda itu.
"Dan saya sudah tidak kuat lagi, Li-hiap…" kata yang gadis.
"Kalian harus kuat! Hayo, kita lari lagi!" kata Giok Cu menyambar lengan mereka untuk melarikan diri.
Dua orang muda itu merintih, mengeluh, tersaruk-saruk dan jatuh bangun, akan tetapi Ciok Cu tidak peduli dan terus menyeret tubuh mereka. Tiba-tiba ada sebatang tongkat menyelonong dan menghalang di depan Giok Cu. Ketika Giok Cu mengangkat muka memandang, kiranya yang memegang tongkat itu adalah hwesio yang tua renta usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun.
Hwesio ini kulitnya hitam sekali seperti pantat kwali hangus, perutnya gendut bukan main seperti kerbau hamil, akan tetapi muka yang hitam itu memiliki sepasang mata yang ramah, mencorong, dan mulutnya selalu tersenyum-senyum.
"Omitohud…! Seorang gadis remaja yang begini manis dan gagahnya, ternyata memiliki watak yang amat jahat suka menyiksa orang lain! Nona, sungguh amat tidak baik kalau kau lanjutkan menyiksa dua orang ini yang sudah kehabisan tenaga, kau paksa dan kau seret untuk berjalan, bahkan berlari. Dimana prikemanusiaanmu?"
Giok Cu adalah seorang yang galak, apalagi sekarang ia merasa tidak bersalah, disangka yang bukan-bukan oleh seorang kakek tua renta berkepala gundut yang perutnya gendut. Ia membe¬lalakkan matanya, memandang penuh kemarahan dan ia menudingkan telunjuknya ke arah perut yang gendut itu.
"Hwesio tua! Apa kau kira prikemanusiaan sudah diborong semua oleh hwesio-hwesio gendut seperti engkau? Apa kau kira perutmu yang gendut itu terlalu penuh oleh kebaikan dan prikemanusiaan sehingga manusia macam aku tidak mengenalnya lagi? Hayo minggir dan jangan menghalang di tengah jalan!"
Mulut itu tersenyum semakin lebar. "Ha-ha-ha, bukan main galaknya! Pantas sekali, wataknya galak dan perbuatannya pun kejam. Kenapa sih engkau menyeret-nyeret kedua orang muda ini. Nona? Apa kesalahan mereka?"
Giok Cu semakin mendongkol. "Hwesio tua, buka telingamu baik-baik dan dengar omonganku! Semua urusan kami bertiga ini tidak ada sangkut pautnya dengan seorang tua renta seperti engkau! Minggir atau terpaksa aku tidak akan sungkan lagi terhadap seorang tua renta!"
"Sian-cai… seorang anak perempuan yang berjantung naga! Eh, Nona Kecil, kalau pinceng (aku) tidak mau minggir, lalu apa yang akan kaulaku kepada pinceng?"
"Aku akan mendorongmu sampai engkau jatuh!" Giok Cu mengancam.
"Ho-ho-ho, bagus sekali. Pinceng tidak mau minggir sebelum engkau melepaskan dan membebaskan kedua orang anak yang sudah kehabisan tenaga itu!"
Kini Giok Cu benar-benar marah tidak dapat menahan dirinya lagi. melepaskan lengan kedua orang remaja itu, lalu mengerahkan tenaga sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya kearah perut yang gendut itu. Kakek gendut itu tidak mengelak atau menang bahkan mendorong perutnya yang gendut ke depan, seperti sengaja menyerahkan perutnya untuk dipukul atau didorong.
"Plukkk!" Kedua telapak tangan Giok Cu mengenai perut itu dan ia terkejut bukan main. Ia merasa seolah-olah mencorong agar-agar yang lunak dan yang menyedot semua tenaga dorongnya sehingga tenaganya lenyap dan sama sekali tidak berhasil, seperti mendorong air saja...!