AKAN tetapi, Giok Cu adalah seorang dia yang keras hati. la masih belum mau menerima kenyataan bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, melainkan mengira bahwa hwesio itu memang emiliki perut yang luar biasa sehingga tidak dapat diserang dengan dorongan tenaga sin-kang.
"Hemmm, engkau mencari penyakit sendiri!" katanya dan kini tangan kirinya memukul dengan telapak tangannya yang berubah menjadi kehitaman! Itulah tamparan yang mengandung hawa beracun! Memang inilah satu di antara watak yang mewarisi Giok Cu dari gurunya, yaitu ganas terhadap lawan! Tamparan itu merupakan ilmu pukulan beracun yang berbahaya. Melihat ini, kakek gundul itu agaknya tidak mengetahuinya, hanya mulutnya saja yang menyeringai dan matanya terbelalak kaget.
"Omitohud… sungguh tak terkira kekejiannya…!"
"Dukkk!" Tangan yang menampar itu bertemu dada yang banyak dagingnya, akan tetapi sama sekali tidak lunak seperti perut tadi, melainkan keras seperi baja sehingga Giok Cu merasa telapak tangannya nyeri dan panas, sebaliknya, kakek itu seperti tidak merasakan pukulan beracun itu!
Kini Giok Cu menjadi marah sekali, dan ia mulai menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang pandai. Akan tetapi, kakek atau nenek, karena menentangnya, berarti musuhnya yang harus dirobohkan agar ia dapat melanjutkan pelariannya bersama dua orang muda itu. Siapa tahu kakek ini mempunyai niat yang jahat! Tanpa banyak cakap lagi, ia pun lalu menyerang! dengan dahsyatnya, tangan kanan mencakar ke arah kedua mata lawan, tangan kiri mencengkeram ke arah lambung!
"Omitohud… seperti harimau muda yang ganas…!"
Kakek itu menggerakkan tongkatnya, mendorong kearah kedua kaki Giok Cu dan... tubuh gadis itu terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah! Giok Cu terbelalak seperti dalam mimpi saja ia tadi terpelanting. Karena kepalanya terasa pening, ia mengguncang-guncang kepalanya mengusir kepeningan sebelum bangkit berdiri lagi.
Sementara itu, dua orang muda yang melihat betapa penolong mereka itu berkelahi dan dibuat jatuh bangun oleh hwesio tua, cepat mereka menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Lo-suhu, harap jangan ganggu penolong kami…!" kata yang pria.
"Lo-suhu, Li-hiap itu mengajak kami dari dari ancaman bahaya maut. Ia menolong kami, bukan menyiksa!" kata yang wanita.
"Ahhh? Ehhh?" Hwesio tua muka hitam itu terbelalak. "Omitohud… apa yang telah pinceng lakukan ini…?"
Kepeningan sudah meninggalkan kepala Giok Cu dan ia sudah melangkah maju untuk melawan kakek itu lagi. Akan tetapi pada saat itu, nampak dua bayangan berkelebat dan disusul bentakan nyaring,
"Giok Cu…!!"
Gadis itu terkejut setengah mati ketika mengenal suara subonya. Ia menoleh dan ternyata Ban-tok Mo-li dan Hok houw Toa-to Lui Seng Cu sudah berdiri situ dengan mata menyinarkan marahan. Sementara itu, dua orang muda yang masih berlutut, kini terbelalak dan memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Gadis itu malah sudah mulai menangis sesenggukan saking ketakutan Hwesio tua bermuka hitam memandangi semua ini dengan alis terangkat dan sinar mata melirik ke sana-sini penuh selidik.
Ban-tok Mo-li marah bukan main, Ketika semalam terjadi kebakaran besar pada gudang di samping rumahnya, ia mengira ada penyerbuan musuh, maka bersama Lui Seng Cu ia keluar dai membantu para pelayan memadamkan api yang berkobar besar. Untung api dapat dipadamkan sebelum melahap bangunan induk. Akan tetapi tidak nampak tanda-tanda adanya penyerbuan musuh sehingga Ban-tok Mo-li merasa terheran-heran. Juga ia merasa heran mengapa muridnya, Bu Giok Cu, tidak muncul membantu orang-orang memadamkan api.
Setelah ia dan Lui Seng Cu kembali ke kamar, barulah ia tahu! Dua orang muda yang mereka culik telah lenyap dan juga Giok Cu tidak berada di dalam kamarnya! Ia pun teringat ketika muridnya itu pernah menentang akan dikorbankannya dua orang muda, maka siapa lagi kalau bukan muridnya yang kini menghalangi hendaknya dan membebaskan dua orang muda itu?
Malam tadi ia pun sudah melakukan pengejaran, akan tetapi karena malam gelap, ia pun menunda pengejarannya sampai keesokan harinya. Bersama Lui Seng Cu ia melakukan pengejaran secepatnya. Tidak sukar bagi dua orang datuk yang berpengalaman ini untuk menemukan jejak langkah tiga orang itu dan mengejar secepatnya sehingga akhirnya mereka dapat menyusul Giok Cu bersama dua orang muda yang hendak dibebaskannya.
"Giok Cu, apakah engkau hendak lawan dan memusuhi aku, gurumu diri? Engkau membakar gudang dan membawa lari dua orang tawananku! yang menjadi, kehendakmu? Engkau hendak menentang aku, ya?" bentak Ba tok Mo-li marah sekali dan pandang matanya kepada muridnya yang biasanya penuh kasih sayang itu kini panas membakar, penuh kebencian.
Giok Cu maklum bahwa ia tidak berdaya. Yang dikhawatirkannya terjadi dan ia menyesal sekali mengapa dua orang yang coba ditolongnya itu demikian lemah sehingga tidak mampu berlari cepat, dan ia pun melirik ke arah hwesio gendut itu penuh sesal, seolah-olah sinar matanya menyalahkan hwesio itu yang menghambat pelariannya. Kemudian ia menghadapi subonya, sikapnya sama sekali tidak takut-takut, bahkan ia seperti orang nekat, siap untuk menerima hukuman apapun juga tanpa takut.
"Aku tidak menentang Subo, akan tetapi aku menentang tindakan Subo yang terbujuk orang jahat dan kejam, yaitu dia itu!" Dia menuding kepada Lui Seng Cu. "Subo membunuhi orang-orang muda tanpa dosa secara tidak tahu malu. Aku hanya ingin mencegah Subo melakukan kekejian seperti itu, maka aku sengaja membakar gudang dan mencoba melarikan korban-korban ini. Habis, kalau membujuk Subo dengan kata-kata halus tentu akan percuma saja!"
"Giok Cu! Selama lima tahun lebih aku mendidikmu, merawatmu seperti anak sendiri, dan inikah balasanmu kepadaku? Apakah engkau sudah bosan hidup? Kau ingin melihat aku membunuhmu?"
"Wah, jangan dibunuh, Mo-li. Sayang kalau dibunuh. Serahkan saja padaku dan aku dapat menjinakkan anak manis ini!" kata Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu sambil menyeringai dan memandang Giok Cu dengan sinar mata yang amat dibenci gadis itu. Sinar mata penuh kecabulan dan teringat akan keadaan dua orang muda tadi di dalam kamar subonya, ia bergidik.
"Subo, aku lebih suka seratus kali kau bunuh daripada menyerah kepada iblis busuk itu!" bentak Giok Cu sambil memandang kepada Lui Seng Cu dengan mata penuh kebencian.
Ia amat membenci orang itu karena orang itulah yang telah merusak gurunya, membuat gurunya menjadi seorang yang amat kejam. Memang tadinya ia pun tidak dapat mengatakan bahwa gurunya seorang baik baik, akan tetapi setelah subonya menjadi pengikut Lui Seng Cu, menjadi penyembah Thian-te Kwi-ong, gurunya menjadi semakin kejam luar biasa!
"Keparat!" Ban-tok Mo-li memaksa muridnya. "Seekor anjing pun akan memiliki kesetiaan kalau diberi makan setiap hari, akan tetapi engkau, yang kuperlakukan sebagai anak sendiri dan murid, kini malah hendak menentang aku. Engkau lebih rendah daripada seekor anjing! Lui Seng Cu, kuserahkan ia padamu!"
Mendengar ucapan gurunya itu, Giok Cu menjadi marah bukan main. Bukan marah oleh makian itu, melainkan marah karena ia diserahkan kepada pria yang amat dibencinya itu. "Orang she Lui keparat jahanam!" teriaknya. "Engkau hanya akan dapat menjamahku setelah aku menjadi mayat!" Dan ia pun memasang kuda-kuda, siap untuk melawan mati-matian.
Lui Seng Cu tersenyum gembira. Hatinya girang bukan main. Sudah lama dia tergila-gila kepada gadis remaja yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar ini. Akan tetapi, dia tidak berani karena gadis itu murid Ban-tok Mo-li. sekarang, dalam kemarahannya, Ban-tok Mo-li menyerahkan gadis itu kepadanya!
"Bu Giok Cu, engkau cantik dan segar bagaikan seekor kuda betina liar yang amat berharga untuk ditundukkan! Engkau akan menjadi kudaku yang cantik yang jinak, yang penurut akan tetapi juga kudaku yang kuat dan liar! Ha-ha-ha, manis lihatlah, pandanglah aku. Aku bukan musuhmu, aku sahabat baikmu dengan niat hati yang baik. Senyumlah padaku dan jangan memusuhi aku, sayang…"
Suaranya mengandung getaran aneh dan sungguh luar biasa sekali. Tarikan wajah yang penuh kebencian itu perlahan-lahan lenyap dari muka Giok Cu. Pandang matanya berubah sedikit demi sedikit, menjadi redup seperti api mulai kehabisan minyak, dan mulutnya mulai tersenyum!
Pada saat itu terdengar seruan lembut, "Omitohud… kekuasaan iblis selalu ada saja di mana-mana mengganggu kehidupan manusia. Nona Kecil, mundurlah!"
Tiba-tiba saja, seolah-olah kepalanya disiram air dingin, Giok Cu sadar akan keadaannya dan ia terkejut sekali. Pada saat itu, tangan Lui Seng Cu sudah dijulurkan untuk menangkapnya akan tetapi mendadak tubuh Giok Cu tertarik kebelakang. Kiranya tangan hwesio bermuka hitam telah mencengkeram leher bajunya dan menarik tubuh Giok Cu kebelakang.
"Nona, engkau jagalah baik-baik ke dua orang muda itu, dan biarkan pinceng menghadapi mereka yang sesat ini!”
Giok Cu bukan seorang gadis remaja yang bodoh. Ia tahu bahwa hwesio muka itam itu tentu seorang yang sakti, dan Ia sadar pula bahwa kalau ia maju serang diri, ia tidak akan mampu menandingi gurunya sendiri dan Lui Seng Cu. Tentu saja, secara aneh ia sudah hampir tertawan! Maka, ia pun cepat menghampiri dua orang muda yang masih berlutut, dan ia pun berdiri di belakang mereka, siap melindungi mereka!
Matanya memandang ke arah hwesio muka hitam dan dua orang calon lawannya dengan hati berdebar tegang. Ia maklum benar betapa lihainya gurunya, juga betapa lihainya Lui Seng Cu. Akan mampukah hwesio tua renta muka hitam itu menandingi mereka?
Melihat betapa hwesio tua renta bermuka hitam itu berani melindungi Giok Cu dan menentang mereka, Lui Seng Cu mengerutkan alisnya. Dia lalu melangkah maju menghadapi hwesio itu, dan Ban-tok Mo-li mendiamkannya saja, hendak melihat dulu sampai di mana kekuatan hwesio tua renta itu. Hok-houw Toa-to Lui SengCu juga ingin menghadapi hwesio itu dengan perbantahan dan ilmu sihir, maka begitu berhadapan dekat dengan hwesio itu dia lalu menegur dengan suara lantang.
"Dengan pendeta dari kuil manakah, dan dengan siapakah kami berdua, Lui Seng Cu dan Phang Bi Cu, berhadapan? Harap Lo-suhu suka memperkenalkan diri kepada kami."
Hwesio berperut gendut itu terkekeh, matanya berseri. "Omitohud… kiranya engkau pun dapat bersikap lembut, walau sikapmu itu meliputi lahir batin. Alangkah baiknya dan tentu tidak aka mudah menyeleweng, ha-ha-ha! Nama pinceng? Lihat muka pinceng yang, buruk dan hitam dan engkau akan mengenal nama pin-ceng. Orang menyebut Pin-ceng Hek-bin Hwesio (Pendeta Muka litam)."
Hwesio ini adalah seorang yang sakti, akan tetapi dia tidak pernah mencampuri urusan duniawi, maka namanya tidak dikenal di dunia persilatan Seperti telah kita ketahui, Hek-bin Hwe sio ini adalah suheng dari mendiang Thian Cu Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang membakar diri ketika kuil itu diserbu pasukan pemerintah.
Karena tidak mengenal nama ini, Lui Seng Cu tentu saja memandang rendah. Dia adalah seorang datuk sesat yang terkenal dan juga mengenal nama-nama orang sakti di dunia persilatan. Akan tetapi tentu saja dia tidak mengenal Hek-bin Hwesio yang merupakan seorang pertapa yang suka merantau di Pegunungan Himalaya dan negara-negara bagian barat.
"Hek-bin Hwesio? Hem, biarpun mukamu hitam dan mungkin hatimu juga hitam, akan tetapi engkau mencukur rambut dan mengenakan jubah pendeta. Setidaknya engkau tentu tahu akan peraturan, tahu pula bahwa mencampuri urusan orang lain merupa kan hal yang amat tercela dan tentu tidak akan dilakukan oleh seorang yang sudah berani menjadi pendeta! Akan tetapi mengapa engkau, yang sudah tua dan tentu berpengalaman ini, sekarang lancang mencampuri urusan kami? Kami berurusan dengan seorang murid kami, dan dua orang anggauta perkumpulan kami sendiri, harap engkau orang tua tidak mencampurinya!"
Sepasang mata itu terbelalak dari mulutnya tertawa lebar. "Ha-ha-ha-ha ha! Sungguh lucu sekali, lucu bukan main! Bagaimana mungkin seorang murid berani menentang gurunya? Hal ini hanya ada dua kemungkinan! Si murid itu meinjadi jahat dan tidak mentaati perintah gurunya yang baik! Atau, si guru itu jahat akan tetapi muridnya tetap menjaga diri dan berpihak kepada yang benar, sehingga terpaksa ia menentang gurunya yang jahat. Nah, di antara dua kemungkinan ini, mana yang benar? Pin-ceng tadi mendengar bahwa Nona Cilik itu menentang gurunya yang hendak membunuh dua orang yang tidak berdosa! Berarti bahwa Nona itu, biarpun bergaul dengan para tokoh sesat, tetap ia bersih dan murni seperti setangkai bunga teratai di antara pecomberan, tetap bersih! Karena itu, apa anehnya kalau pin-ceng membelanya?"
Lui Seng Cu menjadi marah. Kiranya hwesio tua renta ini berbeda dengan para hwesio lainnya. Para hwesio biasanya pendiam dan suka mengalah, tidak pandai bicara. Akan tetapi hwesio tua muka hitam ini ternyata tukang ngobrol dan pandai berdebat! Baru beberapa kali tukar bicara saja dia sudah terdesak dan sukar untuk menjawab.
"Hek-bin Hwesio! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, pemimpin penganut penyembah Thian-te Kwi-ong! Lihat aku, pandang mataku, dan berlututlah engkau! Aku perintahkan engkau, demi nama Thian-te Kwi-ong yang sakti, berlututlah engkau wahai hwesio!!"
Dalam suara itu terkandung getaran yang amat hebat dan kuat, yang membuat Giok Cu merasa betapa lututnya gemetar. Tadi, dengan tenaga setengahnya saja, Lui Seng Cu hampir berhasil menyuruh Giok Cu tunduk dan menuruti kehendaknya. Kini dia mempergunakan hampir seluruh kekuatan sihirnya, bahkan menggunakan nama Thian-te Kwi-ong sebagai ilmu hitam, untuk menyerang dan menundukkan hwesio tua muka hitam!
Akan tetapi, Hek-bin Hwesio yang, diserang dengan ilmu hitam itu yang hanya terkekeh saja, lalu berkata dengan suara lantang sambil tertawa. "Ha-ha-ha! Omitohud… pinceng tidak memerintah, akan tetapi kalau engkau memang ingin berlutut, silakan, Hok-houw Toa-to!"
Sungguh aneh karena tiba-tiba saja Lui Seng Cu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap hwesio itu! Melihat ini tentu saja Giok Cu menjadi terheran-heran. Penglihatan itu sedemikian lucunya sehingga mau tidak mau ia pun tertawa. Mendengar gadis itu tertawa Hek-bin Hwesio menengok sambil tertawa pula, senang karena gadis yang tak disangkanya jahat akan tetapi yang ternyata gagah perkasa dan berbudi mulia itu ternyata juga memiliki watak periang. Karena dia menengok, maka Lui Seng Cu yang tadinya terpukul oleh kekuatan sihirnya sendiri yang membali menjadi sadar, apalagi karena Ban-to Mo-li sudah mengguncang pundaknya dengan mendongkol.
"Engkau ini apa-apaan sih?" bentak Ban-tok Mo-li yang ikut merasa malu melihat kawannya bertindak seperti seorang badut.
Lui Seng Cu meloncat berdiri dan dia sudah mencabut golok besarnya, mukanya berubah merah karena marahnya. Ban-tok Mo-li juga sudah mencabut senjata yang ampuh, yaitu sebuah kipas di tangan kiri dan sebatang pedang di tangan kanan. Tanpa banyak cakap lagi dua orang ini sudah maju menyerang Hek-bin Hwesio dengan ganas sekali. Ban-tok Mo-li menggerakkan kipasnya dan dari kedua ujung gagang kipasnya meluncur jarum-jarum beracun yang amat berbahaya, yang mendahului serangan totokannya dengan gagang kipas, disusul tusukan-tusukan pedangnya.
Juga Lui Seng Cu sudah memutar goloknya sehingga nampak sinar golok bergulung-gulung. Dia memang dijuluki Hok houw Toa-to (Golok Besar Penaluk Harimau), tentu saja dia seorang ahli sila golok yang pandai, maka goloknya mengeluarkan suara berdesing-desing ketik menyambar-nyambar dalam gulungan sinar yang menyilaukan.
"Losuhu, awas senjata rahasia jarum beracun!" Tiba-tiba Giok Cu berseru. Ia tentu saja mengenal kipas dari subonya dan tahu betapa berbahayanya jarum-jarum kipas itu yang dilepas dari jarak dekat dan tidak nampak saking lembut dan cepatnya.
"Ha-ha-ha, ia yang menabur benih, ia yang menuai!" Berkata demikian, hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya dan jarum-jarum halus itu disambar angin dan membalik, kini menyerang ke arah pemiliknya!
Tentu saja Ban-tok Mo-li terkejut bukan main. Cepat ia melempar diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah, tidak peduli betapa perbuatan itu membuat pakaiannya menjadi kotor! Ia bergidik dan tidak berani lagi mempergunakan senjata rahasia yang dapat membalik dan "makan nyonya" itu. Ia menyerang dengan gagang kipas dan pedangnya, membantu Lui Seng Cu mengeroyok hwesio tua muka hitam.
Terjadilah perkelahian yang seru dan menegangkan hati Giok Cu. Inilah saat yang ditakutinya. Mampukah hwesio tua itu menahan dua orang lawan yang demikian tangguhnya?
Akan tetapi, terjadi hal yang lucu. Hwesio tua itu hanya memegang sebatang tongkat yang butut dan rapuh, sebatang dahan atau ranting pohon yang sudah rapuh, dan selanjutnya hanya menjaga diri dengan kebutan lengan bajunya yang lebar. Akan tetapi, tiga macam senjata lawan itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya, selalu menyeleweng, atau bahkan membalik kena sambaran angin kebutan ujung lengan baju, sedangkan tongkat bututnya beberapa kali hampir menusuk hidung Lui Seng Cu dan mata Ban-tok Mo-li.
Tentu saja Giok Cu menjadi kagum bukan main dan juga hatinya girang karena kini ia tidak khawatir lagi. Dua orang muda itu tentu akan dapat bebas dari ancaman maut di tangan subonya dan Lui Seng Cu. Dugaan Giok Cu memang tidak keliru. Hek-bin Hwesio memang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dua orang lawannya.
Biarpun senjatanya hanya ujung lengan jubah yang lebar dan sebatang tongkat butut, namun dua orang lawannya tidak mampu berbuat sesuatu. Semua serangan mereka bertemu dengan ujung lengan baju, bahkan kalau ujung lengan baju itu bertemu langsung dengan pedang atau golok, maka dua senjata itu hampir terlepas dari pegangan tangan pemiliknya! Karena itu, baik Ban-tok Mo-li maupun Lui Seng Cu tidak berani lagi mengadu senjata mereka secara langsung dengan ujung lengan jubah yang lebar itu, dan mereka pun terdesak oleh tongkat butut.
"Omitohud…! Kalian sungguh jahat, akan tetapi masih untung karena pinceng lihat belum tiba saatnya kalian mati, dan pinceng seorang yang pantang membunuh. Nah, pergilah kalian dari sini dan jangan ulangi lagi kejahatan kalian kalau ingin selamat!"
Berkata demikian, tiba-tiba kedua lengan bajunya mengebut keras dan ujung tongkatnya menusuk-nusuk. Kedua orang itu terkejut, terhuyung dan pada saat itu, kaki Hek-bin Hwesio menendang. Dua kali berturut-turut dai menendang.
"Desss!!! Desssss!!"
Tendangannya itu kuat bukan main dan tubuh kedua orang itu seperti dua butir bola yang ditendang, melambung ke atas dan melayang sampai jauh, kemudian jatuh ke atas tanah. Biarpun keduanya sudah mengerahkan gin-kang, tetap saja tubuh mereka terbanting dan terguling-guling. Keduanya terkejut setengah mati. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang begini tangguhnya. Maka, seperti dikomando saja, begitu mereka mampu bangkit berdiri, keduanya sudah lari tunggang langgang tanpa menoleh lagi, ketakutan seperti melihat setan!
Dengan gembira sekali Giok Cu menghampiri kakek itu, memandang dengan penuh kagum kepada wajah yang tua dan hitam namun selalu tersenyum itu. "Wah, engkau sungguh hebat sekali, Kek! Engkau sakti dan pandai bukan main sampai dua orang seperti Subo dan iblis She Lui itu lari tunggang-langgang! Kalau saja aku dapat menjadi muridmu, Kakek yang baik, aku akan merasa berbahagia sekali!”
Hek-bin Hwesio melihat bakat yang amat baik, watak yang baik pula dan walaupun selama ini agaknya menjadi murid iblis betina, namun buktinya ia malah menentang guru sendiri, menyelamatkan calon korban gurunya, hal ini saja membuktikan bahwa pada dasarnya, gadis remaja ini memiliki watak pendekar yang gagah.
Apalagi wajah yang cerah dan sepasang mata yang penuh semangat, cerah dan periang itu sungguh cocok sekali dengan wataknya sendiri, maka hati Hek-bin Hwesio tertarik sekali. Dia sudah amat tua, tak lama lagi tentu mati, lalu untuk apa semua ilmu yang pernah dipelajarinya selama puluhan tahun itu? Dia belum pernah mengangkat murid, dan bukankah pertemuannya dengan gadis remaja ini merupakan suatu jodoh yang sudah ditentukan oleh Tuhan?
"Heh-heh-heh, Nona Kecil. Beginikah sikap orang yang ingin menjadi murid?"
Mendengar ucapan itu, sepasang mata Giok Cu terbelalak dan ia mengeluarkan teriakan seperti bersorak girang. Tadinya ia hanya iseng-iseng saja berkata demikian, sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu suka menerimanya sebagai murid. Maka, setelah mengeluarkan teriakan bersorak, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ka kek muka hitam itu, dekat sekali sehingga hidungnya hampir mencium jari kaki.
"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih dan menghaturkan hormat!"
Melihat sikap ini dan mendengar ucapan yang amat menghormat itu, Hek-bin Hwesio tertawa bergelak. Perutnya! yang gendut itu terguncang-guncang dan bergerak-gerak seperti bayi tua dalam kandungan!
"Hua-ha-ha-ha, anak baik, pinceng tidak mengajarkan seorang murid untuk menjadi penjilat! Bersikaplah biasa saja, jangan berlebihan. Dalam hidup ini, kita harus bersikap wajar, tidak pura-pura, tidak berlebihan karena berlebihan ini menyeret kita ke dalam ketidakwajaran! Kalau sudah tidak wajar, berarti menyembunyikan pamrih dan pinceng tidak ingin melihat murid pinceng menjadi penjilat!"
Giok Cu terkejut sekali dan seperti disengat kelabang ia pun meloncat bangun dan berdiri dengan sikap masih hormat. "Teecu akan mentaati semua perintah dan petunjuk Suhu!"
Bukan main girangnya hati Hek-bin Hwesio. Anak perempuan ini memang hebat, pikirnya. Sayang ia telah mempelajari ilmu-ilmu sesat yang ganas. Maka, diam-diam dia mengambil keputusan untuk memperbaiki ilmu-ilmu itu sehingga menjadi ilmu yang kuat dan hebat, akan tetapi berkurang sifat ganas dan kejamnya.
"Sekarang ceritakan apa yang terjadi, siapa kedua orang muda ini dan mengapa pula engkau menentang Subomu sendiri!" kata Hek-bin Hwesio.
Giok Cu lalu bercerita, singkat dan jelas tentang subonya yang terbujuk oleh Liu Seng Cu menjadi penyembah Thian Kwi-ong dan sudah beberapa kali mengorbankan beberapa orang muda laki-laki dan perempuan.
"Teecu tidak tahan melihat hal itu, maka malam tadi ketika Subo dan orang she Lui itu kembali menculik sepasang orang muda, teecu lalu membakar gudang dan selagi semua orang memadamkan api, teecu membawa lari mereka, berdua ini. Akan tetapi, ternyata teecu dapat disusul Subo dan tentu teecu dan kedua orang muda itu akan celaka kalau saja Suhu tidak muncul menyelamatkan kami."
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan terhadap mereka itu?"
"Teecu akan mengantar mereka pulang."
Hwesio itu mengangguk-angguk dam dia duduk bersila di bawah pohon, berkata sambil tersenyum ramah. "Baik, kau lakukan tugasmu itu, pinceng akan menantimu di sini."
Giok Cu lalu mengajak muda mudi itu untuk kembali ke dusun mereka. Melihat sikap muridnya yang wajar saja, sama sekali tidak memperlihatkan kekhawatiran, diam-diam Hek-bin Hwesio semakin kagum. Muridnya itu sungguh memiliki hati yang luar biasa tabahnya. Ia tidak takut kalau kalau tugasnya mengantar pulang muda-mudi itu akan dihadang oleh subonya dan Lui Seng Cu! Tentu saja dia tidak tega begitu saja dan diam-diam kakek ini membayangi perjalanan Giok Cu dari jauh.
Sebetulnya, Giok Cu bukan hanya tabah tanpa perhitungan. Ia cerdik sekali. Kalau ia berani mengantar dua orang muda itu kembali ke dusun tanpa khawatir akan dihadang oleh subonya, bukan karena ia berani menghadapi ancaman bahaya itu, melainkan karena ia sudah memperhitungkan bahwa subonya dan Lui Seng Cu yang baru saja menerima hajaran hebat dari Hek-bin Hwesio, sudah pasti tidak akan berani sembarangan keluar dan melakukan kejahatan lagi untuk sementara waktu ini.
Mereka tentu menjadi jerih, maklum bahwa kepandaian mereka sama sekali tidak mampu m nandingi kesaktian Hek-bin Hwesio. Selain ini, juga gadis cerdik ini memperhitungkan bahwa tidak mungkin suhunya yang baru itu akan membiarkan saja ia terancam bahaya, la sudah hampir merasa yakin bahwa suhunya tentu akan membayanginya dan melindunginya!
Giok Cu disambut dengan gembira oleh para penduduk dusun ketika ia mengiringkan dua orang muda yang lenyap diculik "iblis" seperti yang dipercaya oleh para penduduk dusun itu. Giok Cu menasehatkan mereka agar bekerja sama dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bahaya dari orang-orang jahat. Setelah itu, ia pun meninggalkan mereka dan kembali ke dalam hutan di mana ia mendapatkan suhunya masih duduk bersila dalam samadhi!
Anehnya, biar dalam samadhi, tetap saja mulut gurunya itu tersenyum lebar! Ia tidak berani mengganggu suhunya, melainkan seger duduk bersila tak jauh dari situ dan ikut bersamadhi. la bersamadhi seperti biasa, seperti diajarkan oleh subonya. Bersamadhi dengan satu tujuan tertentu, yaitu untuk menghimpun kekuatan batin dan membangkitkan tenaga sakti dari pusar. Akan tetapi, tiba-tiba saja, selagi ia hampir tenggelam dalam samadhi, ia mendengar suara yang besar dan dalam dari Hek-Bin Hwesio.
"Samadhi berarti memasuki keheningan jiwa raga. Buang semua pamrih dan tujuan, biarkan diri kosong dan curahkan semua kesadaran kepada penyerahan diri lahir batin kepada Tuhan, Kekuasaan yang terdapat di luar dan di dalam dirimu. Kosong tenang hening…"
Giok Cu mentaati petunjuk ini, membuang semua keinginan mencapai suatu tujuan dan ia tenggelam ke dalam keheningan, membiarkan dirinya diseret arus yang amat halus, yang menghanyutkannya dan ia membiarkan dirinya dengan pasrah, pasrah kepada Tuhan dan andaikata pada saat itu nyawanya dicabut sekalipun, karena ia sudah menyerahkan diri, maka ia pun tidak merasa takut. Kurang lebih sejam kemudian, suara panggilan yang lapat-lapat menyadarkan Giok Cu dari samadhinya. Masih suara Hek-bin Hwesio berkata dengar lembut.
"Tenaga sakti dari pusar selalu dihamburkan keluar melalui sembilan lubang dalam tubuh kita. Karena itu, perlu kita melatih diri untuk menutup lubang-lubang itu dari dalam. Sekarang kita melatih diri untuk menutup lubang yang paling bawah, lubang dubur. Tarik napas sedalam mungkin, sampai sepenuhnya, lalu tahan sekuatnya, tanpa paksaan, sesudah itu, keluarkan napas perlahan-lahan dan pada saat keluarkan napas, tutuplah lubang dubur, pertahankan dan tutup terus sampai napas habis dikeluarkan, lalu tahan dalam keadaan tanpa napas, lubang dubur terus ditutup rapat-rapat. Setelah bernapas kembali, baru buka lubang dubur dan ulangi seperti tadi. Cukup tujuh kali setiap kali latihan."
Giok Cu mentaati semua petunjuk gurunya dan mulailah ia menerima latihan pernapasan dan semadhi yang jauh berbeda dengan latihan yang diterima dari subonya.
Matahari sudah condong ke barat ketika Hek-bin Hwesio mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Mulai hari itu, Giok Cu menjadi murid Hek-bin Hwesio, meninggalkan rumah Ban-tok Mo-li berikut seluruh pakaiannya. Ia mengembara bersama Hek-bin Hwesio, mempelajari ilmu-ilmu, hidup sederhana seperti pertapa, mengunjungi Himalaya dan tempat-tempat lain yang selama ini hanya didengarnya sebagai dongeng saja.
Selama lima tahun kurang lebih ia menerima gemblengan Hek-bin Hwesio dan kini Giok Cu telah berubah sama sekali. Bukan lagi gadis remaja yang berwatak keras dan ganas, bahkan dapat bersikap kejam terhadap musuh-musuhnya, tidak mengenal ampun. Kini ia telah menjadi seorang gadis dewasa, berusia kurang lebih dua puluh tahun yang cantik manis namun sederhana dan yang masih tinggal hanyalah sikapnya yang riang gembira dan jenaka walaupun di balik kejenakaannya itu terdapat watak yaraj mendalam dan seperti watak orang yang telah matang dalam gemblengan pengalaman hidup.
Pada suatu pagi, Giok Cu yang sudah dewasa turun gunung sebagai se¬rang gadis yang berpakaian sederhana tanpa membawa senjata, nampaknya lemah lembut dan hanya sinar matanya yang mencorong itu saja yang menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang gadis "biasa". Gurunya yang sudah amat tua itu menyatakan bahwa sudah tiba saatnya Giok Cu turun gunung dan tiba saatnya mereka berpisahan karena Hek-bin Hwesio ingin bertapa sampai maut datang menjemputnya.
Nampaknya saja gadis cantik manis ini tidak bersenjata, akan tetapi sesungguhnya, di balik bajunya, terselip dipinggangnya, ia mempunyai sebatang pedang. Pedang yang amat aneh! Sarung dan gagang itu cukupi indah, dengan ukir-ukiran burung Hong, dengan ronce-ronce merah. Akan tetapi kalau pedang itu dicabut dari sarungnya, orang tentu akan mentertawakannya. Pedang itu buruk sekali! Terbuat dari baja yang warnanya kelabu dan kotor nampaknya, buatannya pun pletat-pletot tidak halus, dan yang lebih jelek lagi, pedang itu tumpul, tidak runcing dan tidak tajam! Pedang itu pemberian Hek-bin Hwesio kepada muridnya!
"Jagalah baik-baik pedang ini, Giok Cu. Namanya Hong-pokiam, dan memang sengaja dibuat tidak tajam dan tidak tumpul untuk mengingatkan pemakainya bahwa senjata ini bukan dibuat untuk membunuh orang. Gagang dan sarungnya indah akan tetapi terbuat dari tembaga disepuh emas, pedangnya sendiri jelek sekali namun terbuat dari baja yang sukar dicari bandingnya. Ini untuk mengingatkan bahwa yang amat indah di luar itu hanyalah palsu, yang terpenting adalah dalamnya. Lebih baik jelek sederhana namun bermanfaat daripada gemilang dan mewah namun tidak ada gunanya."
Ketika suhunya menyatakan agar ia turun gunung, Giok Cu berlutut di depan kaki suhunya. Ia memang telah berubah sama sekali, bukan hanya karena gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi melainkan terutama sekali gemblengan batin dari suhunya.
"Suhu, mengapa teecu tidak boleh tinggal bertapa di sini atau menjadi seorang nikouw (pendeta wanita) dan hidup di kuil? Teecu melihat betapa dunia ini penuh dengan dosa. Kalau teecu memasuki dunia ramai, bagaimana teecu dapat mencegah terjadinya perbuatan dosa? Teecu tentu akan terseret hanyut dalam arus pertentangan antara baik buruk, dan kalau teecu berpihak kepada yang baik, dengan sendirinya teecu akan menentang dan berlawanan dengan yang jahat. Teecu ingin membaktikan diri kepada Tuhan dan hidup tenang tentram di pegunungan, dalam sebuah kuil atau gua."
Gurunya tertawa bcrgelak. "Itu akan menyalahi garis hidupmu, Giok Cu. Tidak, engkau tidak berbakat menjadi nikouw. Tugasmu sebagai orang yang memiliki ilmu silat amatlah banyaknya dan juga amat penting. Kini, kejahatan merajalela, rakyat hidup sengsara karena pemerintah yang lemah tidak mampu melindungi mereka. Bahkan kaki tangan pemerintah sendiri yang melakukan penyelewengan menambah beban rakyat dengan adanya kerja paksa dan korupsi. Banyak pejabat bersekutu dengan penjahat, banyak pemuka agama bahkan tidak segan menumpuk dosa demi menari kemuliaan melalui kedudukan dan harta. Tidak, muridku. Engkau harus terjun ke dunia ramai dan engkau harus melaksanakan tugas sebagai seorang pendekar, melindungi mereka yang terancam bahaya, membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang dikuasai nafsu iblis untuk menyebar kejahatan. Pesan pinceng, kalau engkau bertemu dengan para murid Siauw-Iim-pai, bantulah mereka. Biarpun mereka memusuhi pemerintah, akan tetapi pinceng tahu bahwa para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela rakyat tertindas."
Demikianlah, akhirnya Giok Cu turun gunung seorang diri, meninggalkan gurunya dengan siapa ia telah hidup selama hampir lima tahun.
Kota Pei-shen terletak di Lembah Sungai Kuning, di Propinsi Shantung. Kota ini cukup besar dan ramai, bahkan terkenal sebagai kota yang banyak menjual rempah-rempah. Banyak pedagang rempah-rempah yang kaya di kota ini dan satu di antara pedagang rempah-rempah yang juga memiliki sebuah toko cita di sebelah toko rempah-rempah, adalah Tang Gu it, seorang pedagang berusia lima puluh tahun.
Tang Gu it bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang hidup kaya raya, akan tetapi dia dikenal sebag seorang ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, di kota Pei-shen, dia disegani karena dua hal, pertama karena dia kaya raya dan juga dermawan, dan kedua karena dia lihai dalam ilmu silat.
Pernah seorang diri pedagang ini melumpuhkan segerombolan perampok terdiri dari belasan orang yang berani mengacau di pinggiran kota, dan sejak itu namanya semakin terkenal dan keamanan kota Pei-shen, sebagian disebabkan oleh nama besarnya sebagai seorang jago silai yang tangguh.
Karena dia memiliki dua buah toko vang cukup besar dan sibuk, maka Tang Gu It mempunyai belasan orang pegawai yang bekerja di kedua toko itu. Rumah keluarganya yang cukup besar berada di belakang kedua toko itu. Di sini hanya tinggal dia, isterinya dan putera tunggalnya yang bernama Tang Ciok An, seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun akan tetapi belum menikah.
Tentu saja ada beberapa orang pelayan keluarga itu yang juga tinggal di situ, di beberapa buah kamar di bagian belakang bangunan. Sebuah taman yang luas dan penuh bunga indah dan kolam ikan penuh teratai berada di belakang rumah. Pendeknya, keluarga itu hidup serba kecukupan dan nampaknya berbahagia.
Memang sesungguhnya demikian, aka tetapi ada satu hal yang menjadi pikiran bagi Tang Gu It, yaitu tentang pernikahan puteranya. Puteranya itu, Tan Ciok An, sejak kecil sudah ia tunangkan dengan puteri tunggal adik perempuannya, Souw Hui Im yang kini sudah berusia delapan belas tahun dan tinggal bersama ayahnya yang sudah menjadi duda di kota raja.
Karena dia merasa bahwa usia ke dua orang muda itu sudah lebih dari cukup, yaitu puteranya sendiri berusi dua puluh lima tahun sedangkan calon mantunya itu sudah delapan belas tahun, maka beberapa hari yang lalu, dia bersama beberapa orang pengikutnya membawa kereta berkunjung ke kota raja untuk menentukan hari pernikahan mereka. Tentu saja dia membawa segala macam hadiah yang cukup mewah sebagaimana mestinya, hampir sekereta penuh!
Akan tetapi, setelah tiba di rumah adik iparnya itu, yaitu Souw Ku Tiong yang membuka toko obat di kota raja, dia mendengar malapetaka yang menimpa keluarga adik iparnya. Adik iparnya itu bersama seorang sutenya telah tewas ketika rumah itu diserbu pasukan pemerintah dengan tuduhan pem¬berontak! Sedangkan puterinya, Souw Hui Im, dikabarkan orang hilang tak tentu rimbanya!
Tentu saja Tang Gu It menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, bahkan tidak berani lama-lama tinggal di kota raja, takut kalau-kalau dia akan tersangkut. Bagaimanapun juga, dia mengenal adik iparnya dan tahu bahwa Souw Kun Tiong memang seorang murid Siauw-lim-pai yang oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak!
Adik iparnya itu dituduh pemberontak tentu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, pikirnya dengan hati tidak enak. Bagaimana tidak kalau dia sendiri pun pernah menjadi murid di kuil Siauw-lim-pai, walaupun hanya untuk dua tahun saja. Kalau ini diketahui oleh mereka yang membasmi keluarga Souw, tentu keluarganya sendiri akan terancam bahaya maut!
Dengan hati yang gelisah Tang Gu It pulang ke Pei-shen, membawa kembali barang-barang hadiah yang tadinya akan diserahkan kepada adik iparnya. Dia merasa amat gelisah memikirkan nasib Souw Hui lm, calon mantunya. Kemanakah perginya gadis itu? Pergi melarikan diri ataukah ditangkap musuh? Dilarikan orang? Tidak ada yang mampu memberitahu karena dia tidak berani banyak bertanya di kota raja. Setelah tiba di rumah, dia pun menceritakan tentang pengalamannya di kota raja kepada isteri dan puteranya...
"Hemmm, engkau mencari penyakit sendiri!" katanya dan kini tangan kirinya memukul dengan telapak tangannya yang berubah menjadi kehitaman! Itulah tamparan yang mengandung hawa beracun! Memang inilah satu di antara watak yang mewarisi Giok Cu dari gurunya, yaitu ganas terhadap lawan! Tamparan itu merupakan ilmu pukulan beracun yang berbahaya. Melihat ini, kakek gundul itu agaknya tidak mengetahuinya, hanya mulutnya saja yang menyeringai dan matanya terbelalak kaget.
"Omitohud… sungguh tak terkira kekejiannya…!"
"Dukkk!" Tangan yang menampar itu bertemu dada yang banyak dagingnya, akan tetapi sama sekali tidak lunak seperti perut tadi, melainkan keras seperi baja sehingga Giok Cu merasa telapak tangannya nyeri dan panas, sebaliknya, kakek itu seperti tidak merasakan pukulan beracun itu!
Kini Giok Cu menjadi marah sekali, dan ia mulai menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang pandai. Akan tetapi, kakek atau nenek, karena menentangnya, berarti musuhnya yang harus dirobohkan agar ia dapat melanjutkan pelariannya bersama dua orang muda itu. Siapa tahu kakek ini mempunyai niat yang jahat! Tanpa banyak cakap lagi, ia pun lalu menyerang! dengan dahsyatnya, tangan kanan mencakar ke arah kedua mata lawan, tangan kiri mencengkeram ke arah lambung!
"Omitohud… seperti harimau muda yang ganas…!"
Kakek itu menggerakkan tongkatnya, mendorong kearah kedua kaki Giok Cu dan... tubuh gadis itu terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah! Giok Cu terbelalak seperti dalam mimpi saja ia tadi terpelanting. Karena kepalanya terasa pening, ia mengguncang-guncang kepalanya mengusir kepeningan sebelum bangkit berdiri lagi.
Sementara itu, dua orang muda yang melihat betapa penolong mereka itu berkelahi dan dibuat jatuh bangun oleh hwesio tua, cepat mereka menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Lo-suhu, harap jangan ganggu penolong kami…!" kata yang pria.
"Lo-suhu, Li-hiap itu mengajak kami dari dari ancaman bahaya maut. Ia menolong kami, bukan menyiksa!" kata yang wanita.
"Ahhh? Ehhh?" Hwesio tua muka hitam itu terbelalak. "Omitohud… apa yang telah pinceng lakukan ini…?"
Kepeningan sudah meninggalkan kepala Giok Cu dan ia sudah melangkah maju untuk melawan kakek itu lagi. Akan tetapi pada saat itu, nampak dua bayangan berkelebat dan disusul bentakan nyaring,
"Giok Cu…!!"
Gadis itu terkejut setengah mati ketika mengenal suara subonya. Ia menoleh dan ternyata Ban-tok Mo-li dan Hok houw Toa-to Lui Seng Cu sudah berdiri situ dengan mata menyinarkan marahan. Sementara itu, dua orang muda yang masih berlutut, kini terbelalak dan memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Gadis itu malah sudah mulai menangis sesenggukan saking ketakutan Hwesio tua bermuka hitam memandangi semua ini dengan alis terangkat dan sinar mata melirik ke sana-sini penuh selidik.
Ban-tok Mo-li marah bukan main, Ketika semalam terjadi kebakaran besar pada gudang di samping rumahnya, ia mengira ada penyerbuan musuh, maka bersama Lui Seng Cu ia keluar dai membantu para pelayan memadamkan api yang berkobar besar. Untung api dapat dipadamkan sebelum melahap bangunan induk. Akan tetapi tidak nampak tanda-tanda adanya penyerbuan musuh sehingga Ban-tok Mo-li merasa terheran-heran. Juga ia merasa heran mengapa muridnya, Bu Giok Cu, tidak muncul membantu orang-orang memadamkan api.
Setelah ia dan Lui Seng Cu kembali ke kamar, barulah ia tahu! Dua orang muda yang mereka culik telah lenyap dan juga Giok Cu tidak berada di dalam kamarnya! Ia pun teringat ketika muridnya itu pernah menentang akan dikorbankannya dua orang muda, maka siapa lagi kalau bukan muridnya yang kini menghalangi hendaknya dan membebaskan dua orang muda itu?
Malam tadi ia pun sudah melakukan pengejaran, akan tetapi karena malam gelap, ia pun menunda pengejarannya sampai keesokan harinya. Bersama Lui Seng Cu ia melakukan pengejaran secepatnya. Tidak sukar bagi dua orang datuk yang berpengalaman ini untuk menemukan jejak langkah tiga orang itu dan mengejar secepatnya sehingga akhirnya mereka dapat menyusul Giok Cu bersama dua orang muda yang hendak dibebaskannya.
"Giok Cu, apakah engkau hendak lawan dan memusuhi aku, gurumu diri? Engkau membakar gudang dan membawa lari dua orang tawananku! yang menjadi, kehendakmu? Engkau hendak menentang aku, ya?" bentak Ba tok Mo-li marah sekali dan pandang matanya kepada muridnya yang biasanya penuh kasih sayang itu kini panas membakar, penuh kebencian.
Giok Cu maklum bahwa ia tidak berdaya. Yang dikhawatirkannya terjadi dan ia menyesal sekali mengapa dua orang yang coba ditolongnya itu demikian lemah sehingga tidak mampu berlari cepat, dan ia pun melirik ke arah hwesio gendut itu penuh sesal, seolah-olah sinar matanya menyalahkan hwesio itu yang menghambat pelariannya. Kemudian ia menghadapi subonya, sikapnya sama sekali tidak takut-takut, bahkan ia seperti orang nekat, siap untuk menerima hukuman apapun juga tanpa takut.
"Aku tidak menentang Subo, akan tetapi aku menentang tindakan Subo yang terbujuk orang jahat dan kejam, yaitu dia itu!" Dia menuding kepada Lui Seng Cu. "Subo membunuhi orang-orang muda tanpa dosa secara tidak tahu malu. Aku hanya ingin mencegah Subo melakukan kekejian seperti itu, maka aku sengaja membakar gudang dan mencoba melarikan korban-korban ini. Habis, kalau membujuk Subo dengan kata-kata halus tentu akan percuma saja!"
"Giok Cu! Selama lima tahun lebih aku mendidikmu, merawatmu seperti anak sendiri, dan inikah balasanmu kepadaku? Apakah engkau sudah bosan hidup? Kau ingin melihat aku membunuhmu?"
"Wah, jangan dibunuh, Mo-li. Sayang kalau dibunuh. Serahkan saja padaku dan aku dapat menjinakkan anak manis ini!" kata Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu sambil menyeringai dan memandang Giok Cu dengan sinar mata yang amat dibenci gadis itu. Sinar mata penuh kecabulan dan teringat akan keadaan dua orang muda tadi di dalam kamar subonya, ia bergidik.
"Subo, aku lebih suka seratus kali kau bunuh daripada menyerah kepada iblis busuk itu!" bentak Giok Cu sambil memandang kepada Lui Seng Cu dengan mata penuh kebencian.
Ia amat membenci orang itu karena orang itulah yang telah merusak gurunya, membuat gurunya menjadi seorang yang amat kejam. Memang tadinya ia pun tidak dapat mengatakan bahwa gurunya seorang baik baik, akan tetapi setelah subonya menjadi pengikut Lui Seng Cu, menjadi penyembah Thian-te Kwi-ong, gurunya menjadi semakin kejam luar biasa!
"Keparat!" Ban-tok Mo-li memaksa muridnya. "Seekor anjing pun akan memiliki kesetiaan kalau diberi makan setiap hari, akan tetapi engkau, yang kuperlakukan sebagai anak sendiri dan murid, kini malah hendak menentang aku. Engkau lebih rendah daripada seekor anjing! Lui Seng Cu, kuserahkan ia padamu!"
Mendengar ucapan gurunya itu, Giok Cu menjadi marah bukan main. Bukan marah oleh makian itu, melainkan marah karena ia diserahkan kepada pria yang amat dibencinya itu. "Orang she Lui keparat jahanam!" teriaknya. "Engkau hanya akan dapat menjamahku setelah aku menjadi mayat!" Dan ia pun memasang kuda-kuda, siap untuk melawan mati-matian.
Lui Seng Cu tersenyum gembira. Hatinya girang bukan main. Sudah lama dia tergila-gila kepada gadis remaja yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar ini. Akan tetapi, dia tidak berani karena gadis itu murid Ban-tok Mo-li. sekarang, dalam kemarahannya, Ban-tok Mo-li menyerahkan gadis itu kepadanya!
"Bu Giok Cu, engkau cantik dan segar bagaikan seekor kuda betina liar yang amat berharga untuk ditundukkan! Engkau akan menjadi kudaku yang cantik yang jinak, yang penurut akan tetapi juga kudaku yang kuat dan liar! Ha-ha-ha, manis lihatlah, pandanglah aku. Aku bukan musuhmu, aku sahabat baikmu dengan niat hati yang baik. Senyumlah padaku dan jangan memusuhi aku, sayang…"
Suaranya mengandung getaran aneh dan sungguh luar biasa sekali. Tarikan wajah yang penuh kebencian itu perlahan-lahan lenyap dari muka Giok Cu. Pandang matanya berubah sedikit demi sedikit, menjadi redup seperti api mulai kehabisan minyak, dan mulutnya mulai tersenyum!
Pada saat itu terdengar seruan lembut, "Omitohud… kekuasaan iblis selalu ada saja di mana-mana mengganggu kehidupan manusia. Nona Kecil, mundurlah!"
Tiba-tiba saja, seolah-olah kepalanya disiram air dingin, Giok Cu sadar akan keadaannya dan ia terkejut sekali. Pada saat itu, tangan Lui Seng Cu sudah dijulurkan untuk menangkapnya akan tetapi mendadak tubuh Giok Cu tertarik kebelakang. Kiranya tangan hwesio bermuka hitam telah mencengkeram leher bajunya dan menarik tubuh Giok Cu kebelakang.
"Nona, engkau jagalah baik-baik ke dua orang muda itu, dan biarkan pinceng menghadapi mereka yang sesat ini!”
Giok Cu bukan seorang gadis remaja yang bodoh. Ia tahu bahwa hwesio muka itam itu tentu seorang yang sakti, dan Ia sadar pula bahwa kalau ia maju serang diri, ia tidak akan mampu menandingi gurunya sendiri dan Lui Seng Cu. Tentu saja, secara aneh ia sudah hampir tertawan! Maka, ia pun cepat menghampiri dua orang muda yang masih berlutut, dan ia pun berdiri di belakang mereka, siap melindungi mereka!
Matanya memandang ke arah hwesio muka hitam dan dua orang calon lawannya dengan hati berdebar tegang. Ia maklum benar betapa lihainya gurunya, juga betapa lihainya Lui Seng Cu. Akan mampukah hwesio tua renta muka hitam itu menandingi mereka?
Melihat betapa hwesio tua renta bermuka hitam itu berani melindungi Giok Cu dan menentang mereka, Lui Seng Cu mengerutkan alisnya. Dia lalu melangkah maju menghadapi hwesio itu, dan Ban-tok Mo-li mendiamkannya saja, hendak melihat dulu sampai di mana kekuatan hwesio tua renta itu. Hok-houw Toa-to Lui SengCu juga ingin menghadapi hwesio itu dengan perbantahan dan ilmu sihir, maka begitu berhadapan dekat dengan hwesio itu dia lalu menegur dengan suara lantang.
"Dengan pendeta dari kuil manakah, dan dengan siapakah kami berdua, Lui Seng Cu dan Phang Bi Cu, berhadapan? Harap Lo-suhu suka memperkenalkan diri kepada kami."
Hwesio berperut gendut itu terkekeh, matanya berseri. "Omitohud… kiranya engkau pun dapat bersikap lembut, walau sikapmu itu meliputi lahir batin. Alangkah baiknya dan tentu tidak aka mudah menyeleweng, ha-ha-ha! Nama pinceng? Lihat muka pinceng yang, buruk dan hitam dan engkau akan mengenal nama pin-ceng. Orang menyebut Pin-ceng Hek-bin Hwesio (Pendeta Muka litam)."
Hwesio ini adalah seorang yang sakti, akan tetapi dia tidak pernah mencampuri urusan duniawi, maka namanya tidak dikenal di dunia persilatan Seperti telah kita ketahui, Hek-bin Hwe sio ini adalah suheng dari mendiang Thian Cu Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang membakar diri ketika kuil itu diserbu pasukan pemerintah.
Karena tidak mengenal nama ini, Lui Seng Cu tentu saja memandang rendah. Dia adalah seorang datuk sesat yang terkenal dan juga mengenal nama-nama orang sakti di dunia persilatan. Akan tetapi tentu saja dia tidak mengenal Hek-bin Hwesio yang merupakan seorang pertapa yang suka merantau di Pegunungan Himalaya dan negara-negara bagian barat.
"Hek-bin Hwesio? Hem, biarpun mukamu hitam dan mungkin hatimu juga hitam, akan tetapi engkau mencukur rambut dan mengenakan jubah pendeta. Setidaknya engkau tentu tahu akan peraturan, tahu pula bahwa mencampuri urusan orang lain merupa kan hal yang amat tercela dan tentu tidak akan dilakukan oleh seorang yang sudah berani menjadi pendeta! Akan tetapi mengapa engkau, yang sudah tua dan tentu berpengalaman ini, sekarang lancang mencampuri urusan kami? Kami berurusan dengan seorang murid kami, dan dua orang anggauta perkumpulan kami sendiri, harap engkau orang tua tidak mencampurinya!"
Sepasang mata itu terbelalak dari mulutnya tertawa lebar. "Ha-ha-ha-ha ha! Sungguh lucu sekali, lucu bukan main! Bagaimana mungkin seorang murid berani menentang gurunya? Hal ini hanya ada dua kemungkinan! Si murid itu meinjadi jahat dan tidak mentaati perintah gurunya yang baik! Atau, si guru itu jahat akan tetapi muridnya tetap menjaga diri dan berpihak kepada yang benar, sehingga terpaksa ia menentang gurunya yang jahat. Nah, di antara dua kemungkinan ini, mana yang benar? Pin-ceng tadi mendengar bahwa Nona Cilik itu menentang gurunya yang hendak membunuh dua orang yang tidak berdosa! Berarti bahwa Nona itu, biarpun bergaul dengan para tokoh sesat, tetap ia bersih dan murni seperti setangkai bunga teratai di antara pecomberan, tetap bersih! Karena itu, apa anehnya kalau pin-ceng membelanya?"
Lui Seng Cu menjadi marah. Kiranya hwesio tua renta ini berbeda dengan para hwesio lainnya. Para hwesio biasanya pendiam dan suka mengalah, tidak pandai bicara. Akan tetapi hwesio tua muka hitam ini ternyata tukang ngobrol dan pandai berdebat! Baru beberapa kali tukar bicara saja dia sudah terdesak dan sukar untuk menjawab.
"Hek-bin Hwesio! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, pemimpin penganut penyembah Thian-te Kwi-ong! Lihat aku, pandang mataku, dan berlututlah engkau! Aku perintahkan engkau, demi nama Thian-te Kwi-ong yang sakti, berlututlah engkau wahai hwesio!!"
Dalam suara itu terkandung getaran yang amat hebat dan kuat, yang membuat Giok Cu merasa betapa lututnya gemetar. Tadi, dengan tenaga setengahnya saja, Lui Seng Cu hampir berhasil menyuruh Giok Cu tunduk dan menuruti kehendaknya. Kini dia mempergunakan hampir seluruh kekuatan sihirnya, bahkan menggunakan nama Thian-te Kwi-ong sebagai ilmu hitam, untuk menyerang dan menundukkan hwesio tua muka hitam!
Akan tetapi, Hek-bin Hwesio yang, diserang dengan ilmu hitam itu yang hanya terkekeh saja, lalu berkata dengan suara lantang sambil tertawa. "Ha-ha-ha! Omitohud… pinceng tidak memerintah, akan tetapi kalau engkau memang ingin berlutut, silakan, Hok-houw Toa-to!"
Sungguh aneh karena tiba-tiba saja Lui Seng Cu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap hwesio itu! Melihat ini tentu saja Giok Cu menjadi terheran-heran. Penglihatan itu sedemikian lucunya sehingga mau tidak mau ia pun tertawa. Mendengar gadis itu tertawa Hek-bin Hwesio menengok sambil tertawa pula, senang karena gadis yang tak disangkanya jahat akan tetapi yang ternyata gagah perkasa dan berbudi mulia itu ternyata juga memiliki watak periang. Karena dia menengok, maka Lui Seng Cu yang tadinya terpukul oleh kekuatan sihirnya sendiri yang membali menjadi sadar, apalagi karena Ban-to Mo-li sudah mengguncang pundaknya dengan mendongkol.
"Engkau ini apa-apaan sih?" bentak Ban-tok Mo-li yang ikut merasa malu melihat kawannya bertindak seperti seorang badut.
Lui Seng Cu meloncat berdiri dan dia sudah mencabut golok besarnya, mukanya berubah merah karena marahnya. Ban-tok Mo-li juga sudah mencabut senjata yang ampuh, yaitu sebuah kipas di tangan kiri dan sebatang pedang di tangan kanan. Tanpa banyak cakap lagi dua orang ini sudah maju menyerang Hek-bin Hwesio dengan ganas sekali. Ban-tok Mo-li menggerakkan kipasnya dan dari kedua ujung gagang kipasnya meluncur jarum-jarum beracun yang amat berbahaya, yang mendahului serangan totokannya dengan gagang kipas, disusul tusukan-tusukan pedangnya.
Juga Lui Seng Cu sudah memutar goloknya sehingga nampak sinar golok bergulung-gulung. Dia memang dijuluki Hok houw Toa-to (Golok Besar Penaluk Harimau), tentu saja dia seorang ahli sila golok yang pandai, maka goloknya mengeluarkan suara berdesing-desing ketik menyambar-nyambar dalam gulungan sinar yang menyilaukan.
"Losuhu, awas senjata rahasia jarum beracun!" Tiba-tiba Giok Cu berseru. Ia tentu saja mengenal kipas dari subonya dan tahu betapa berbahayanya jarum-jarum kipas itu yang dilepas dari jarak dekat dan tidak nampak saking lembut dan cepatnya.
"Ha-ha-ha, ia yang menabur benih, ia yang menuai!" Berkata demikian, hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya dan jarum-jarum halus itu disambar angin dan membalik, kini menyerang ke arah pemiliknya!
Tentu saja Ban-tok Mo-li terkejut bukan main. Cepat ia melempar diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah, tidak peduli betapa perbuatan itu membuat pakaiannya menjadi kotor! Ia bergidik dan tidak berani lagi mempergunakan senjata rahasia yang dapat membalik dan "makan nyonya" itu. Ia menyerang dengan gagang kipas dan pedangnya, membantu Lui Seng Cu mengeroyok hwesio tua muka hitam.
Terjadilah perkelahian yang seru dan menegangkan hati Giok Cu. Inilah saat yang ditakutinya. Mampukah hwesio tua itu menahan dua orang lawan yang demikian tangguhnya?
Akan tetapi, terjadi hal yang lucu. Hwesio tua itu hanya memegang sebatang tongkat yang butut dan rapuh, sebatang dahan atau ranting pohon yang sudah rapuh, dan selanjutnya hanya menjaga diri dengan kebutan lengan bajunya yang lebar. Akan tetapi, tiga macam senjata lawan itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya, selalu menyeleweng, atau bahkan membalik kena sambaran angin kebutan ujung lengan baju, sedangkan tongkat bututnya beberapa kali hampir menusuk hidung Lui Seng Cu dan mata Ban-tok Mo-li.
Tentu saja Giok Cu menjadi kagum bukan main dan juga hatinya girang karena kini ia tidak khawatir lagi. Dua orang muda itu tentu akan dapat bebas dari ancaman maut di tangan subonya dan Lui Seng Cu. Dugaan Giok Cu memang tidak keliru. Hek-bin Hwesio memang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dua orang lawannya.
Biarpun senjatanya hanya ujung lengan jubah yang lebar dan sebatang tongkat butut, namun dua orang lawannya tidak mampu berbuat sesuatu. Semua serangan mereka bertemu dengan ujung lengan baju, bahkan kalau ujung lengan baju itu bertemu langsung dengan pedang atau golok, maka dua senjata itu hampir terlepas dari pegangan tangan pemiliknya! Karena itu, baik Ban-tok Mo-li maupun Lui Seng Cu tidak berani lagi mengadu senjata mereka secara langsung dengan ujung lengan jubah yang lebar itu, dan mereka pun terdesak oleh tongkat butut.
"Omitohud…! Kalian sungguh jahat, akan tetapi masih untung karena pinceng lihat belum tiba saatnya kalian mati, dan pinceng seorang yang pantang membunuh. Nah, pergilah kalian dari sini dan jangan ulangi lagi kejahatan kalian kalau ingin selamat!"
Berkata demikian, tiba-tiba kedua lengan bajunya mengebut keras dan ujung tongkatnya menusuk-nusuk. Kedua orang itu terkejut, terhuyung dan pada saat itu, kaki Hek-bin Hwesio menendang. Dua kali berturut-turut dai menendang.
"Desss!!! Desssss!!"
Tendangannya itu kuat bukan main dan tubuh kedua orang itu seperti dua butir bola yang ditendang, melambung ke atas dan melayang sampai jauh, kemudian jatuh ke atas tanah. Biarpun keduanya sudah mengerahkan gin-kang, tetap saja tubuh mereka terbanting dan terguling-guling. Keduanya terkejut setengah mati. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang begini tangguhnya. Maka, seperti dikomando saja, begitu mereka mampu bangkit berdiri, keduanya sudah lari tunggang langgang tanpa menoleh lagi, ketakutan seperti melihat setan!
Dengan gembira sekali Giok Cu menghampiri kakek itu, memandang dengan penuh kagum kepada wajah yang tua dan hitam namun selalu tersenyum itu. "Wah, engkau sungguh hebat sekali, Kek! Engkau sakti dan pandai bukan main sampai dua orang seperti Subo dan iblis She Lui itu lari tunggang-langgang! Kalau saja aku dapat menjadi muridmu, Kakek yang baik, aku akan merasa berbahagia sekali!”
Hek-bin Hwesio melihat bakat yang amat baik, watak yang baik pula dan walaupun selama ini agaknya menjadi murid iblis betina, namun buktinya ia malah menentang guru sendiri, menyelamatkan calon korban gurunya, hal ini saja membuktikan bahwa pada dasarnya, gadis remaja ini memiliki watak pendekar yang gagah.
Apalagi wajah yang cerah dan sepasang mata yang penuh semangat, cerah dan periang itu sungguh cocok sekali dengan wataknya sendiri, maka hati Hek-bin Hwesio tertarik sekali. Dia sudah amat tua, tak lama lagi tentu mati, lalu untuk apa semua ilmu yang pernah dipelajarinya selama puluhan tahun itu? Dia belum pernah mengangkat murid, dan bukankah pertemuannya dengan gadis remaja ini merupakan suatu jodoh yang sudah ditentukan oleh Tuhan?
"Heh-heh-heh, Nona Kecil. Beginikah sikap orang yang ingin menjadi murid?"
Mendengar ucapan itu, sepasang mata Giok Cu terbelalak dan ia mengeluarkan teriakan seperti bersorak girang. Tadinya ia hanya iseng-iseng saja berkata demikian, sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu suka menerimanya sebagai murid. Maka, setelah mengeluarkan teriakan bersorak, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ka kek muka hitam itu, dekat sekali sehingga hidungnya hampir mencium jari kaki.
"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih dan menghaturkan hormat!"
Melihat sikap ini dan mendengar ucapan yang amat menghormat itu, Hek-bin Hwesio tertawa bergelak. Perutnya! yang gendut itu terguncang-guncang dan bergerak-gerak seperti bayi tua dalam kandungan!
"Hua-ha-ha-ha, anak baik, pinceng tidak mengajarkan seorang murid untuk menjadi penjilat! Bersikaplah biasa saja, jangan berlebihan. Dalam hidup ini, kita harus bersikap wajar, tidak pura-pura, tidak berlebihan karena berlebihan ini menyeret kita ke dalam ketidakwajaran! Kalau sudah tidak wajar, berarti menyembunyikan pamrih dan pinceng tidak ingin melihat murid pinceng menjadi penjilat!"
Giok Cu terkejut sekali dan seperti disengat kelabang ia pun meloncat bangun dan berdiri dengan sikap masih hormat. "Teecu akan mentaati semua perintah dan petunjuk Suhu!"
Bukan main girangnya hati Hek-bin Hwesio. Anak perempuan ini memang hebat, pikirnya. Sayang ia telah mempelajari ilmu-ilmu sesat yang ganas. Maka, diam-diam dia mengambil keputusan untuk memperbaiki ilmu-ilmu itu sehingga menjadi ilmu yang kuat dan hebat, akan tetapi berkurang sifat ganas dan kejamnya.
"Sekarang ceritakan apa yang terjadi, siapa kedua orang muda ini dan mengapa pula engkau menentang Subomu sendiri!" kata Hek-bin Hwesio.
Giok Cu lalu bercerita, singkat dan jelas tentang subonya yang terbujuk oleh Liu Seng Cu menjadi penyembah Thian Kwi-ong dan sudah beberapa kali mengorbankan beberapa orang muda laki-laki dan perempuan.
"Teecu tidak tahan melihat hal itu, maka malam tadi ketika Subo dan orang she Lui itu kembali menculik sepasang orang muda, teecu lalu membakar gudang dan selagi semua orang memadamkan api, teecu membawa lari mereka, berdua ini. Akan tetapi, ternyata teecu dapat disusul Subo dan tentu teecu dan kedua orang muda itu akan celaka kalau saja Suhu tidak muncul menyelamatkan kami."
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan terhadap mereka itu?"
"Teecu akan mengantar mereka pulang."
Hwesio itu mengangguk-angguk dam dia duduk bersila di bawah pohon, berkata sambil tersenyum ramah. "Baik, kau lakukan tugasmu itu, pinceng akan menantimu di sini."
Giok Cu lalu mengajak muda mudi itu untuk kembali ke dusun mereka. Melihat sikap muridnya yang wajar saja, sama sekali tidak memperlihatkan kekhawatiran, diam-diam Hek-bin Hwesio semakin kagum. Muridnya itu sungguh memiliki hati yang luar biasa tabahnya. Ia tidak takut kalau kalau tugasnya mengantar pulang muda-mudi itu akan dihadang oleh subonya dan Lui Seng Cu! Tentu saja dia tidak tega begitu saja dan diam-diam kakek ini membayangi perjalanan Giok Cu dari jauh.
Sebetulnya, Giok Cu bukan hanya tabah tanpa perhitungan. Ia cerdik sekali. Kalau ia berani mengantar dua orang muda itu kembali ke dusun tanpa khawatir akan dihadang oleh subonya, bukan karena ia berani menghadapi ancaman bahaya itu, melainkan karena ia sudah memperhitungkan bahwa subonya dan Lui Seng Cu yang baru saja menerima hajaran hebat dari Hek-bin Hwesio, sudah pasti tidak akan berani sembarangan keluar dan melakukan kejahatan lagi untuk sementara waktu ini.
Mereka tentu menjadi jerih, maklum bahwa kepandaian mereka sama sekali tidak mampu m nandingi kesaktian Hek-bin Hwesio. Selain ini, juga gadis cerdik ini memperhitungkan bahwa tidak mungkin suhunya yang baru itu akan membiarkan saja ia terancam bahaya, la sudah hampir merasa yakin bahwa suhunya tentu akan membayanginya dan melindunginya!
Giok Cu disambut dengan gembira oleh para penduduk dusun ketika ia mengiringkan dua orang muda yang lenyap diculik "iblis" seperti yang dipercaya oleh para penduduk dusun itu. Giok Cu menasehatkan mereka agar bekerja sama dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bahaya dari orang-orang jahat. Setelah itu, ia pun meninggalkan mereka dan kembali ke dalam hutan di mana ia mendapatkan suhunya masih duduk bersila dalam samadhi!
Anehnya, biar dalam samadhi, tetap saja mulut gurunya itu tersenyum lebar! Ia tidak berani mengganggu suhunya, melainkan seger duduk bersila tak jauh dari situ dan ikut bersamadhi. la bersamadhi seperti biasa, seperti diajarkan oleh subonya. Bersamadhi dengan satu tujuan tertentu, yaitu untuk menghimpun kekuatan batin dan membangkitkan tenaga sakti dari pusar. Akan tetapi, tiba-tiba saja, selagi ia hampir tenggelam dalam samadhi, ia mendengar suara yang besar dan dalam dari Hek-Bin Hwesio.
"Samadhi berarti memasuki keheningan jiwa raga. Buang semua pamrih dan tujuan, biarkan diri kosong dan curahkan semua kesadaran kepada penyerahan diri lahir batin kepada Tuhan, Kekuasaan yang terdapat di luar dan di dalam dirimu. Kosong tenang hening…"
Giok Cu mentaati petunjuk ini, membuang semua keinginan mencapai suatu tujuan dan ia tenggelam ke dalam keheningan, membiarkan dirinya diseret arus yang amat halus, yang menghanyutkannya dan ia membiarkan dirinya dengan pasrah, pasrah kepada Tuhan dan andaikata pada saat itu nyawanya dicabut sekalipun, karena ia sudah menyerahkan diri, maka ia pun tidak merasa takut. Kurang lebih sejam kemudian, suara panggilan yang lapat-lapat menyadarkan Giok Cu dari samadhinya. Masih suara Hek-bin Hwesio berkata dengar lembut.
"Tenaga sakti dari pusar selalu dihamburkan keluar melalui sembilan lubang dalam tubuh kita. Karena itu, perlu kita melatih diri untuk menutup lubang-lubang itu dari dalam. Sekarang kita melatih diri untuk menutup lubang yang paling bawah, lubang dubur. Tarik napas sedalam mungkin, sampai sepenuhnya, lalu tahan sekuatnya, tanpa paksaan, sesudah itu, keluarkan napas perlahan-lahan dan pada saat keluarkan napas, tutuplah lubang dubur, pertahankan dan tutup terus sampai napas habis dikeluarkan, lalu tahan dalam keadaan tanpa napas, lubang dubur terus ditutup rapat-rapat. Setelah bernapas kembali, baru buka lubang dubur dan ulangi seperti tadi. Cukup tujuh kali setiap kali latihan."
Giok Cu mentaati semua petunjuk gurunya dan mulailah ia menerima latihan pernapasan dan semadhi yang jauh berbeda dengan latihan yang diterima dari subonya.
Matahari sudah condong ke barat ketika Hek-bin Hwesio mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Mulai hari itu, Giok Cu menjadi murid Hek-bin Hwesio, meninggalkan rumah Ban-tok Mo-li berikut seluruh pakaiannya. Ia mengembara bersama Hek-bin Hwesio, mempelajari ilmu-ilmu, hidup sederhana seperti pertapa, mengunjungi Himalaya dan tempat-tempat lain yang selama ini hanya didengarnya sebagai dongeng saja.
Selama lima tahun kurang lebih ia menerima gemblengan Hek-bin Hwesio dan kini Giok Cu telah berubah sama sekali. Bukan lagi gadis remaja yang berwatak keras dan ganas, bahkan dapat bersikap kejam terhadap musuh-musuhnya, tidak mengenal ampun. Kini ia telah menjadi seorang gadis dewasa, berusia kurang lebih dua puluh tahun yang cantik manis namun sederhana dan yang masih tinggal hanyalah sikapnya yang riang gembira dan jenaka walaupun di balik kejenakaannya itu terdapat watak yaraj mendalam dan seperti watak orang yang telah matang dalam gemblengan pengalaman hidup.
Pada suatu pagi, Giok Cu yang sudah dewasa turun gunung sebagai se¬rang gadis yang berpakaian sederhana tanpa membawa senjata, nampaknya lemah lembut dan hanya sinar matanya yang mencorong itu saja yang menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang gadis "biasa". Gurunya yang sudah amat tua itu menyatakan bahwa sudah tiba saatnya Giok Cu turun gunung dan tiba saatnya mereka berpisahan karena Hek-bin Hwesio ingin bertapa sampai maut datang menjemputnya.
Nampaknya saja gadis cantik manis ini tidak bersenjata, akan tetapi sesungguhnya, di balik bajunya, terselip dipinggangnya, ia mempunyai sebatang pedang. Pedang yang amat aneh! Sarung dan gagang itu cukupi indah, dengan ukir-ukiran burung Hong, dengan ronce-ronce merah. Akan tetapi kalau pedang itu dicabut dari sarungnya, orang tentu akan mentertawakannya. Pedang itu buruk sekali! Terbuat dari baja yang warnanya kelabu dan kotor nampaknya, buatannya pun pletat-pletot tidak halus, dan yang lebih jelek lagi, pedang itu tumpul, tidak runcing dan tidak tajam! Pedang itu pemberian Hek-bin Hwesio kepada muridnya!
"Jagalah baik-baik pedang ini, Giok Cu. Namanya Hong-pokiam, dan memang sengaja dibuat tidak tajam dan tidak tumpul untuk mengingatkan pemakainya bahwa senjata ini bukan dibuat untuk membunuh orang. Gagang dan sarungnya indah akan tetapi terbuat dari tembaga disepuh emas, pedangnya sendiri jelek sekali namun terbuat dari baja yang sukar dicari bandingnya. Ini untuk mengingatkan bahwa yang amat indah di luar itu hanyalah palsu, yang terpenting adalah dalamnya. Lebih baik jelek sederhana namun bermanfaat daripada gemilang dan mewah namun tidak ada gunanya."
Ketika suhunya menyatakan agar ia turun gunung, Giok Cu berlutut di depan kaki suhunya. Ia memang telah berubah sama sekali, bukan hanya karena gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi melainkan terutama sekali gemblengan batin dari suhunya.
"Suhu, mengapa teecu tidak boleh tinggal bertapa di sini atau menjadi seorang nikouw (pendeta wanita) dan hidup di kuil? Teecu melihat betapa dunia ini penuh dengan dosa. Kalau teecu memasuki dunia ramai, bagaimana teecu dapat mencegah terjadinya perbuatan dosa? Teecu tentu akan terseret hanyut dalam arus pertentangan antara baik buruk, dan kalau teecu berpihak kepada yang baik, dengan sendirinya teecu akan menentang dan berlawanan dengan yang jahat. Teecu ingin membaktikan diri kepada Tuhan dan hidup tenang tentram di pegunungan, dalam sebuah kuil atau gua."
Gurunya tertawa bcrgelak. "Itu akan menyalahi garis hidupmu, Giok Cu. Tidak, engkau tidak berbakat menjadi nikouw. Tugasmu sebagai orang yang memiliki ilmu silat amatlah banyaknya dan juga amat penting. Kini, kejahatan merajalela, rakyat hidup sengsara karena pemerintah yang lemah tidak mampu melindungi mereka. Bahkan kaki tangan pemerintah sendiri yang melakukan penyelewengan menambah beban rakyat dengan adanya kerja paksa dan korupsi. Banyak pejabat bersekutu dengan penjahat, banyak pemuka agama bahkan tidak segan menumpuk dosa demi menari kemuliaan melalui kedudukan dan harta. Tidak, muridku. Engkau harus terjun ke dunia ramai dan engkau harus melaksanakan tugas sebagai seorang pendekar, melindungi mereka yang terancam bahaya, membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang dikuasai nafsu iblis untuk menyebar kejahatan. Pesan pinceng, kalau engkau bertemu dengan para murid Siauw-Iim-pai, bantulah mereka. Biarpun mereka memusuhi pemerintah, akan tetapi pinceng tahu bahwa para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela rakyat tertindas."
Demikianlah, akhirnya Giok Cu turun gunung seorang diri, meninggalkan gurunya dengan siapa ia telah hidup selama hampir lima tahun.
********************
Kota Pei-shen terletak di Lembah Sungai Kuning, di Propinsi Shantung. Kota ini cukup besar dan ramai, bahkan terkenal sebagai kota yang banyak menjual rempah-rempah. Banyak pedagang rempah-rempah yang kaya di kota ini dan satu di antara pedagang rempah-rempah yang juga memiliki sebuah toko cita di sebelah toko rempah-rempah, adalah Tang Gu it, seorang pedagang berusia lima puluh tahun.
Tang Gu it bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang hidup kaya raya, akan tetapi dia dikenal sebag seorang ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, di kota Pei-shen, dia disegani karena dua hal, pertama karena dia kaya raya dan juga dermawan, dan kedua karena dia lihai dalam ilmu silat.
Pernah seorang diri pedagang ini melumpuhkan segerombolan perampok terdiri dari belasan orang yang berani mengacau di pinggiran kota, dan sejak itu namanya semakin terkenal dan keamanan kota Pei-shen, sebagian disebabkan oleh nama besarnya sebagai seorang jago silai yang tangguh.
Karena dia memiliki dua buah toko vang cukup besar dan sibuk, maka Tang Gu It mempunyai belasan orang pegawai yang bekerja di kedua toko itu. Rumah keluarganya yang cukup besar berada di belakang kedua toko itu. Di sini hanya tinggal dia, isterinya dan putera tunggalnya yang bernama Tang Ciok An, seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun akan tetapi belum menikah.
Tentu saja ada beberapa orang pelayan keluarga itu yang juga tinggal di situ, di beberapa buah kamar di bagian belakang bangunan. Sebuah taman yang luas dan penuh bunga indah dan kolam ikan penuh teratai berada di belakang rumah. Pendeknya, keluarga itu hidup serba kecukupan dan nampaknya berbahagia.
Memang sesungguhnya demikian, aka tetapi ada satu hal yang menjadi pikiran bagi Tang Gu It, yaitu tentang pernikahan puteranya. Puteranya itu, Tan Ciok An, sejak kecil sudah ia tunangkan dengan puteri tunggal adik perempuannya, Souw Hui Im yang kini sudah berusia delapan belas tahun dan tinggal bersama ayahnya yang sudah menjadi duda di kota raja.
Karena dia merasa bahwa usia ke dua orang muda itu sudah lebih dari cukup, yaitu puteranya sendiri berusi dua puluh lima tahun sedangkan calon mantunya itu sudah delapan belas tahun, maka beberapa hari yang lalu, dia bersama beberapa orang pengikutnya membawa kereta berkunjung ke kota raja untuk menentukan hari pernikahan mereka. Tentu saja dia membawa segala macam hadiah yang cukup mewah sebagaimana mestinya, hampir sekereta penuh!
Akan tetapi, setelah tiba di rumah adik iparnya itu, yaitu Souw Ku Tiong yang membuka toko obat di kota raja, dia mendengar malapetaka yang menimpa keluarga adik iparnya. Adik iparnya itu bersama seorang sutenya telah tewas ketika rumah itu diserbu pasukan pemerintah dengan tuduhan pem¬berontak! Sedangkan puterinya, Souw Hui Im, dikabarkan orang hilang tak tentu rimbanya!
Tentu saja Tang Gu It menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, bahkan tidak berani lama-lama tinggal di kota raja, takut kalau-kalau dia akan tersangkut. Bagaimanapun juga, dia mengenal adik iparnya dan tahu bahwa Souw Kun Tiong memang seorang murid Siauw-lim-pai yang oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak!
Adik iparnya itu dituduh pemberontak tentu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, pikirnya dengan hati tidak enak. Bagaimana tidak kalau dia sendiri pun pernah menjadi murid di kuil Siauw-lim-pai, walaupun hanya untuk dua tahun saja. Kalau ini diketahui oleh mereka yang membasmi keluarga Souw, tentu keluarganya sendiri akan terancam bahaya maut!
Dengan hati yang gelisah Tang Gu It pulang ke Pei-shen, membawa kembali barang-barang hadiah yang tadinya akan diserahkan kepada adik iparnya. Dia merasa amat gelisah memikirkan nasib Souw Hui lm, calon mantunya. Kemanakah perginya gadis itu? Pergi melarikan diri ataukah ditangkap musuh? Dilarikan orang? Tidak ada yang mampu memberitahu karena dia tidak berani banyak bertanya di kota raja. Setelah tiba di rumah, dia pun menceritakan tentang pengalamannya di kota raja kepada isteri dan puteranya...