Hui Im lalu bercerita tentang pertentangan antara keluarganya dengan Ang-kin Kai-pang, dan tentang fitnah yang dilontarkan Ang-kin Kai-pang kepada ayahnya sehingga ayahnya dituduh pemberontak.
"Kalau tidak ada Toako Si Han Beng dan gurunya, kiranya saya pun tak mungkin dapat selamat. Bahkan Ayah dan Susiok juga diselamatkan oleh Toako Han Beng dan gurunya, akan tetapi mereka berdua tewas karena luka-luka mereka. Karena saya tidak mempunyai tempat tinggal lagi, tidak mempunyai keluarga, maka satu-satunya tujuan adalah datang kepada Paman dan Toako Han Beng demikian baiknya untuk mengantar saya sampai ke sini."
Suara Hui Im mengandung kedukaan, akan tetapi ia tidak lagi menangis. Sejak melakukan perjalanan dengan Han Beng, ia banyak mendengar tentang isi kehidupan dan ia pun telah pandai mengubah sikap yang keliru.
"Hemmm, engkau melakukan perjalanan sejauh itu, selama berhari-hari, berdua saja dengan pemuda ini, Hui Im? Itu namanya tidak sopan dan tidak pantas!" isteri Tang Gu It berkata dengan alis berkerut dan mulutnya meruncing tanda bahwa hatinya tidak senang.
"Benar, Bibi. Habis dengan siapa? Toako Han Beng ini penolong saya dan dia suka mengantar..."
"Memang kurang pantas kalau seorang gadis melakukan perjalanan jauh yang berhari-hari lamanya bersama seorang pemuda bukan sanak keluarga," kata pula Ciok An.
Mendengar ucapan calon ibu mertua dan calon suami itu, Hui im tidak mau membantah, hanya menundukkan mukanya dengan alis berkerut.
"Sudahlah! Biarpun tidak pantas, akan tetapi kalau keadaan memaksa, mau bagaimana lagi? Apakah kalian menganggap bahwa lebih baik Hui Im melakukan perjalanan seorang diri? Lebih tidak pantas lagi, juga tidak aman," kata Tang Gu It. "Hui Im, syukurlah kalau engkau selamat. Tidak perlu engkau bersedih. Tinggallah di sini dan setengah tahun kemudian, pernikahan antara engkau dan Ciok An kami rayakan di sini."
"Aih, kalau saja aku berada di sana, Im-moi, tentu tidak akan terjadi malapetaka menimpa keluarga Ayahmu. Aku akan lebih dulu membasmi perkumpulan pengemis-pengemis hina itu sebelum mereka dapat bertindak jahat!" kata Ciok n kepada tunangannya. "Jaman sekarang ini memang kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang, Moi-moi. Lihat saja tadi, Si Kiu-bwe-houw Gan Lok. Namanya saja besar, akan tetapi dia bukan lain hanyalah seorang pemeras. Untung ada aku! Benarkah engkau tidak menemui halangan sesuatu ketika engkau pergi meninggalkan kota raja kesini, Moi-moi. Tidak ada yang berbuat jahat kepadamu?"
Hui Im memandang kepada tunangannya, dan menggeleng kepala. "Tidak terjadi apa-apa..."
"Benarkah? Tidak ada misalnya laki-laki yang mengganggu dan menggodamu?" Ciok An melirik ke arah Han Beng. "Engkau seorang gadis muda yang cantik menarik, Moi-moi. Aku tidak akan merasa heran kalau banyak pria tergila-gila kepadamu dan mencoba untuk berbuat kurang ajar kepadamu!"
Hui Im maklum bahwa tunangannya itu diam-diam secara tidak langsung merasa cemburu kepada Han Beng. la mengerutkan alisnya dan kini mengangkat muka memandang tajam kepada Ciok An.
"Koko! Apakah engkau menuduh aku berbuat yang tidak-tidak, melakukan hal yang tidak sopan dan tidak tahu malu dalam perjalananku ke sini?" Ia mengajukan pertanyaan ini dengan pandang mata tajam dan suara meninggi.
"Aih, tentu saja, Moi-moi. Tentu saja engkau tidak melakukan sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi, biasanya laki-laki yang suka kurang ajar kepada wanita. Dan engkau melakukan perjalanan berhari-hari bersama seorang laki-laki asing..."
"Koko! Toako ini adalah Si Han Beng, seorang pendekar sejati! Dia adalah murid dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin-Ciang Kai-ong! Sedikit. pun dia tidak pernah memperlihatkan sikap yang buruk kepadaku!"
"Hemmm, seorang pendekar sejati, ya?" Ciok An memandang kepada Han Beng dengan mata dipicingkan.
"Ciok An!" kini Tang Gu It membentak puteranya. "Bersikaplah wajar dan hormat kepada tamu! Bagaimanapun juga, Si-taihiap (Pendekar Besar Si) telah menyelamatkan calon isterimu! Si-taihiap, harap maafkan kami dan kami berterima asih sekali kepadamu."
Sejak tadi Han Beng telah merasa marah sekali. Hatinya terasa panas bukan main. Dia memang sudah merasa terpukul batinnya ketika melihat Hui Im bertemu dengan tunangannya, biarpun Dihiburnya perasaannya sendiri bahwa gadis itu memiliki seorang calon suami mg amat baik, tampan kaya raya, dan gagah perkasa. Karena itulah, maka tadi diam-diam membantu Ciok An megalahkan Gan Lok.
Akan tetapi kini, dia hanya mendengar kata-kata yang amat tidak enak dan melihat sikap yang amat memandang rendah kepadanya. Dan sikap Tang Gu It yang merendah itu pun amat yang merendah itu pun amat dibuat-buat, atau mungkin karena mendengar nama kedua orang gurunya. Hatinya terasa panas sekali dan kalau bukan untuk Hui Im, tentu sudah sejak tadi dia pergi.
Ibu Ciok An agaknya juga menyadari bahwa suaminya marah dan menegur puteranya, maka ia pun hendak bersikap baik. "Benar, Ciok An. Pemuda ini sudah mengantar calon isterimu sampai ke sini dengan selamat. Sebaiknya engkau cepat mengambil perak beberapa puluh tail untuk diberikan kepadanya sebagai imbalan dan uang lelah!"
Han Beng tidak dapat menahan lagi. Dia bangkit berdiri dengan kedua telapak tangan masih berada di atas meja, lalu memandang kepada Hui Im tanpa menjawab semua kata-kata dari keluarga tuan rumah itu. "Siauw-moi, engkau tahu benar bahwa aku mengantarmu sampai kesini tanpa pamrih apa pun. Aku sudah merasa berbahagia sekali bahwa engkau telah bertemu dengan keluarga calon suamimu dengan selamat. Aku tidak minta imbalan upah apa pun, akan tetapi aku pun tidak sudi untuk dipandang rendah oleh siapa pun! Nah, engkau sudah tiba di tempat tujuan, Siauw-moi, maka perkenankan aku pergi sekarang."
"Nanti dulu, Toako! Ah, jangan engkau pergi dengan perasaan tidak enak seperti itu. Kau... kau maafkanlah semuanya, Toako. Semua ini hanya kesalah-pahaman belaka. Toako, aku minta, dengan hormat dan sangat, sudilah engkau hadir pada perayaan pernikahanku tengah tahun mendatang."
Mereka berdiri dan saling pandang. Han Beng melihat betapa sepasang mata yang indah itu memandang kepada penuh permohonan, bahkan kedua mata itu basah dengan air mata. Han Beng terasa lemas dan dia pun mengangguk. "Kalau Tuhan memperkenan, aku tentu akan datang. Nah, selamat tinggal, Adik Souw Hui Im!"
Setelah berkata demikian, semua orang yang duduk di situ hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh pemuda itu sudah lenyap dari situ! Tentu saja Tang Gu It, isterinya dan Ciok An terkejut bukan main. Mereka memandang ke arah pintu depan, namun tidak nampak lagi bayangan Han Beng dan tiba-tiba Tang Gu It menuding kearah meja yang tadi dihadapi Han Beng dengan telunjuk gemetar. Ciok An dan ibunya memandang, juga Hui Im. Dan meja di mana tadi ditekan oleh kedua telapak tangan Han Beng, nampak ada tanda dua telapak tangan dan papan meja itu hangus dan masih mengepulkan sedikit asap!
Agaknya, saking marahnya dan menahan perasaannya, Han Beng menyalurkan kekuatannya melalui kedua telapak tangan dan sin-kang itu mendatangkan hawa panas yang sampai membakar papan meja!
"Ahhhhh...!" Ciok An berseru dan wajahnya berubah pucat. Dia memandang kepada tunangannya. "Im-moi... dia... dia begitu sakti kah...?"
Gadis itu menundukkan mukanya agar jangan nampak kedukaan membayangkan diwajahnya dan dengan perlahan ia mengangguk, "la memang seorang pendekar sakti, seperti seekor naga sakti..."
Tang Gu It menarik napas panjang. "Nah, sekarang terbukalah matamu, Ciok An. Jangan mudah memandang rendah orang lain. Tadi pun aku sudah terkejut mendengar bahwa dia murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong! Tahukah engkau siapa kedua orang sakti itu? Mereka adalah dua orang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw, karena itu tadi pun aku segera menyebutnya taihiap. Akan tetapi engkau sudah tidak tahu diri, masih saja merendahkannya. Bahkan ingin memberi hadiah uang kepada seorang pendekar sakti! Sungguh menggelikan dan memalukan sekali!"
Keluarga itu masih belum hilang kagetnya dan sejak hari itu, mereka tidak pernah lagi menyebut nama Han Beng, apalagi membicarakan persangkaan buruk kepada pendekar itu. Sikap mereka terhadap Hui Im juga menjadi baik dan hal ini sedikit banyak menghibur hati gadis itu yang merasa kehilangan sekali setelah Han Beng pergi. Baru ia yakin benar bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada pendekar itu.
Akan tetapi apa daya? Sejak kecil ia sudah ditunangkan dengan Tang Ciok An dan tidak mungkin ia mengubah kenyataan ini. Pertama, ia harus mentaati keputusan ayahnya, apalagi setelah ayahnya meninggal dunia, ia harus lebih mentaatinya lagi. Pesan seorang yang sudah meninggal dunia adalah pesanan yang suci dan harus ditaati.
Kedua, ia sudah ditampung oleh keluarga tunangannya, dan bagaimanapun juga, calon ayah mertuanya adalah pamannya sendiri pula. Ia tidak mempunyai tempat lain atau keluarga lain yang dapat ditumpangi. Dan ke tiga, harus diakuinya bahwa pilihan orang tuanya itu pun tidak keliru, tidak mengecewakan. Ia sudah harus merasa beruntung mendapatkan seorang calon suami seperti Tang Ciok An, Dia ganteng, tampan, gagah perkasa, kaya raya. Mau apa lagi?
Kehidupan ini akan terisi penuh konflik kalau kita membiarkan diri kita dicengkeram oleh pikiran yang sudah bergelimang nafsu. Nafsu selalu melahiran keinginan-keinginan akan hal-hal buruk! Yang baik dan menyenangkan hanyalah apa yang diinginkan itu! Mempunyai ini, ingin yang itu sehingga yang ini nampak tidak ada daya tariknya. Mendapatkan yang itu, menginginkan yang ini, dan demikian selanjutnya. Hanya orang yang menyerahkan segala-galanya kepada kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat menerima apa yang ada tanpa penilaian!
Apa pun yang datang menimpa dirinya, apa pun yang didapatkan dari hasil usahanya, dianggapnya sebagai suatu anugerah dari Tuhan, sebagai suatu kemurahan dari Tuhan sehingga diterima dengan hati penuh keikhlasan, penuh penyerahan diri dan penuh ketawakalan. Biasanya, setiap mulut mengatakan bahwa dia ber-Tuhan, bahwa dia percaya kepada Tuhan.
Akan tetapi buktinya? Kalau orang benar-benar ber-Tuhan hanya mulut saja yang mengakuinya, melainkan jauh di lubuk hatinya, didalam dasar batinnya, harus ada kepercayaan itu. Kepercayaan yang mendalam ini yang akan mendatangkan peyerahan, keikhlasan, dan kalau apa pun yang menimpa diri dianggap sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, maka senyum ini takkan pernah meninggalkan mulut.
Yang ada hanya rasa terima kasih dan syukur Tuhan Yang Maha Kasih. Dan kalau sudah begitu penderitaan lain tidak ada lagidan penderitaan batin tidak ada lagi dan penderitaan lahir pun tidak meninggalkan bekas, seperti awan lalu. Kepercayaan yang mendalam ini yang akan mendatangkan kekuasaan Tuhan bekerja di luar dan di dalam diri karena kekuasaan Tuhan meliputi seluruh alam, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang paling kecil sampai yang paling besar, paling rendah sampai paling tinggi, yang paling dalam dan paling luar, pendeknya tidak ada apa pun di alam mayapada ini yang tidak diliputi kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih!
Dan kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, maka segalanya akan wajai dan sempurna! Yang menimbulkan baik buruk, suka duka dan segala macam pertentangan adalah penilaian yang timbul dari nafsu. Dan hanya kekuasaan Tuhan ini sajalah yang akan mampu menundukkan nafsu sehingga menjadi jinak dan berman faat bagi kehidupan manusia, bukan lagi sebagai perusak, melainkan sebagai pembantu dan alat mempertahankan hidup.
"Omitohud, sejak dahulu, para to-su memang berhati palsu. Pada lahirnya saja kelihatan halus dan baik budi, akan tetapi di sebelah dalamnya kotor dan curang!" Seorang di antara sepuluh orang hwesio yang berada di puncak itu berseru, sedangkan sembilan orang hwesio lainnya mengangguk-angguk menyetujui.
"Sian-cai...! Para hwesio seharusnya dapat mengekang musuh yang paling besar dalam kehidupan ini, yaitu nafsu amarah. Kenapa sudah mencukur gundul rambutnya dan sudah mengenakan jubah kuning masih mudah dikuasai nafsu amarah sehingga menyebar fitnah buruk kepada orang atau pihak lain?" seorang di antara sembilan orang tosu itu pun membantah dan kini delapan orang rekannya yang mengangguk-angguk membenarkan.
Puncak bukit itu datar dan ditumbuhi rumput yang subur. Mereka, sepuluh orang hwesio dan sembilan orang tosu itu duduk saling berhadapan, pihak hwesio satu garis dan berhadapan dengan mereka, pihak tosu juga satu garis. Mereka terdiri dari orang-orang yang sudah tua, sedikitnya berusia enam puluh tahun. Para hwesio itu mengenakan jubah kuning dan berkepala gundul, sedangkan para tosu mengenakan jubah putih dengan rambut diikat ke atas. Jelas dari sikap mereka bahwa kedua pihak saling mencela dan dalam pandangan mata mereka nampak api kemarah yang menjurus kepada kebencian.
"Siapa yang marah dan siapa yang menyebar fitnah?" bentak seorang antara para hwesio itu sebagai lawan. "Kami tidak menuruti nafsu amarah dan tidak menyebar fitnah, melainkan bicara seperti apa adanya saja! Golongan kalian para tosulah yang tukang sebar fitnah! Kalau tidak karena fitnah seorang tosu, yaitu Cun Bin Tosu, apakah kuil Siauw-lim-si sampai terbakar dan banyak jatuh korban yang tidak berdosa? Nah, apakah kini kalian para tosu masih mencoba untuk menyangkal kenyataan itu?"
"Siancai... kami tidak menyangka adanya orang seperti Cun Bin Tosu. seperti juga kami tidak menyangkal adanya banyak tosu yang melakukan perbuatan yang sesat. Akan tetapi, apa hubungannya hal itu dengan kami? Apakah kesalahan seorang tosu harus dipikul dosanya oleh seluruh tosu di permukaan bumi ini? Apakah di dunia ini tidak ada seorang pun hwesio yang menyeleweng? Dan kalau ada, apakah juga kesalahan seorang hwesio itu harus ditanggung oleh seluruh hwesio di permukaan bumi? Kalau begitu halnya, maka kesalahan tiap orang manusia juga harus ditanggung dosanya oleh kita semua, karena bukankah kita semua ini juga manusia! Jadi, kesalahan Cun Bin Tosu itu juga harus ditanggung oleh kita semua, juga oleh kalian para hwesio karena Cun Bin Tosu seorang manusia, seperti kita semua, termasuk kalian juga."
"Omitohud! Sejak dahulu para tosu memang pandai bicara, seperti perempuan, pandai memutarbalikkan kenyataan. Sekarang tidak perlu banyak cakap lagi. Kita adalah orang-orang yang sejak kecil sudah mempelajari ilmu, oleh Karena itu, daripada mengadu lemasnya lidah palsunya kata-kata, mari kita buktikan siapa di antara kita yang lebih jantan dan lebih gagah!" berkata demikian, hwesio yang jadi juru bicara itu bangkit berdiri, diikuti oleh sembilan orang temannya.
Melihat ini, sembilan orang tosu juga serentak bangkit dan kedua pihak sudah siap untuk saling hantam dan saling serang untuk menyudahi percekcokan tadi. Sudah lama sekali terjadi permusuhan antara hwesio dan para tosu. Hal ini terjadi semenjak kuil Siauw-lim-si dibakar oleh pasukan pemerintah. Pihak para hwesio selalu menyesalkan peristiwa itu dan karena memang seorang tosu yang menjadi mata-mata pasukan pemerintah, yaitu Cun Bin Tosu yang akhirnya tewas dalam pertempuran para hwesio dan murid Siauw-lim-si, maka di dalam hati para hwesio terkandung dendam kepada para tosu.
Permusuhan ini semakin lama semakin menjadi sehingga menjadi permusuhan terbuka di mana setiap perjumpaan antara seorang hwesio dengan seorang tosu pasti menimbulkan percekcokan, saling mengejek sehingga berakhir dengan perkelahian. Sudah ada beberapa orang jatuh menjadi korban dalam permusuhan itu.
Akhirnya, para pimpinan hwesio dan para pimpinan tosu mengadakan keputusan untuk mengakhiri permusuhan itu dengan jalan mengadakan pertemuan antara para pimpinan di puncak bukit Kijang itu. Kedua pihak, yaitu para pimpinan yang sudah lebih luas pandangannya dan lebih matang menyerap pelajaran agama masing-masing melihat betapa tidak benarnya permusuhan itu, dan mereka bermufakat untuk mengadakan peremuan di puncak itu.
Akan tetapi, kembali mereka dikuasai nafsu dan pertemuan yang dimaksudkan untuk mencari perdamaian itu berakhir dengan percekcokan yang semakin memanas dan akhirnya kedua pihak siap untuk saling serang dan saling bunuh!
Betapapun pandainya seseorang, betapapun tinggi ilmunya, pada saat nafsu mencengkeram dan menguasainya, maka akan hilanglah semua pertimbangannya, lenyap semua kebijaksanaannya. Yang ada hanyalah menyalanya nafsu jalang yang menuntut pemuasan melalui kemenangan dan tercapainya keinginan.
Nafsu memang terbawa sejak lahir dan nafsu merupakan alat yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya dunia ini. Karena itu, usaha manusia yang melihat betapa berbahayanya nafsu, bermacam-macam. Ada yang berusaha menundukkan nafsu melalui tapa, melalui latihan-latihan pernapasan, samadhi, melalui penyiksaan diri, pengurangan makanan dan sebagainya lagi.
Namun, semua, itu masih tidak keluar dari lingkaran nafsu, karena semua usaha itu mengandung suatu keinginan. Hasilnya hanya pengurangan saja, itu pun hanya sementara. Merupakan pengekangan saja terhadap nafsu. Pengekangan ini buka berarti sudah dapat menguasai nafsu sepenuhnya. Usaha melenyapkan nafsu Tidak mungkin!
Nafsu tak mungkin dilenyapkan dari kehidupan kita, karena kehidupan ini ada karena nafsu, bagaikan nyala api membutuhkan bahan bakar. Melenyapkan nafsu berarti melenyapkap keadaan badan dan berarti mati! Selama masih hidup, manusia tidak mungkin dapat meninggalkan nafsu. Nafsu itu suatu keperluan untuk hidup. Namun, kalau nafsu dibiarkan menguasai batin, maka dia akan menyeret kita ke dalam penyelewengan.
Nafsu adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan dan satu-satunya yang dapat mengatur agar nafsu dapat sesuai dengan kehidupan kita, dapat menjadi alat yang baik dan bukan menjadi majikan yang merajalela, yang dapat menundukkannya hanyalah kekuasaan Tuhan! Dan kekuasaan Tuhan dalam diri akan bekerja dengan sempurna kalau kita dengan sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri dengan ikhlas, dengan penuh ketawakal.
Kalau kita membiasakan diri setiap saat teringat akan kekuasaan Tuhan, maka kita pun akan terbimbing oleh kekuasaan yang maha hebat itu. Dan nafsu-nafsu akan menyingkir dan menduduki tempat masing-masing dengan teratur. Tanpa kekuasaan Tuhan, betapapun kita berusaha, maka hasilnya pun hanya akan tipis sekali dan hanya untuk sementara karena usaha kita itu pun hanya di dalam lingkungan akal budi, dan pikiran padahal pikiran dan akal budi sudah bergelimangan dengan nafsu!
Ketika sepuluh orang hwesio dan sembilan orang tosu sudah bangkit diri, kesemuanya sudah dikuasai nafsu amarah dan siap untuk saling serang dan saling membunuh, seorang di antara para hwesio itu berseru dengan suaranya yang lantang.
"Saudara semua, tahan dulu senjata Pinceng hendak bicara!"
Suaranya lantang dan berwibawa, semua hwesio yang melihat siapa yang akan bicara, merangkap kedua tangan depan dada dan berseru.
"Omitohud...! dan mereka pun mundur.
Yang bicara itu adalah Thian Gi Hwesio, seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar berusia tujuh puluh tahun, dan dia ter kenal dengan wataknya yang terbuka jujur dan galak. Thian Gi Hwesio tentu saja amat terkenal dan disegani oleh para rekannya karena dia adalah wakil ketua dari kuil Siauw-lim-si yang terbakar itu. Juga para tosu mengenalnya, maka merekapun mendengarkan dengan penuh perhatian, ingin tahu apa yang akan dikatakan hwesio yang Jangkung menjadi korban dalam peristiwa kebakaran Siauw-lim-si itu.
Thian Gi Hwesio melintangkan senjata toyanya dan dia memandang kepada para tosu di depannya. "Para To-yu (Sobat) sekalian. Kita semua sudah melihat bahwa tidak mungkin diadakan perdamaian tanpa adu kepandaian di antara para hwesio dan tosu. Akan tetapi kita pun tahu betapa kelirunya hal ini. Tidak ada permusuhan di antara para tosu dan para hwesio. Mereka itu hanya terseret oleh setia kawanan belaka. Oleh karena itu, kita sebagai golongan lebih tua, sebaiknya tidak membiarkan para murid kita saling hantam dan saling serang tanpa alasan yang sehat. Maka, sekarang pin-ceng maju mewakili para hwesio untuk menyelesaikan urusan pertikaian yang berkepanjangan ini melalui adu kepandaian yang sehat dan adil, seperti yang sudah sepatutnya dilakukan oleh orang-orang yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Harap para To-yu mengajuk seorang wakil dari para tosu dan biarlah pertandingan ini akan menentukan siapa di antara kedua golongan yang benar dan lebih kuat. Yang kalah tidak diperbolehkan menuntut balas atau mendendam!"
"Siancai...! Ucapan Thian Gi Hwesio memang tepat, akan tetapi siapa yang dapat menanggung kalau sesudah ada pertadingan adu kepandaian antara dua orang wakil ini lalu tidak ada lagi murid yang saling berkelahi?" tentu dengan seruan seorang di antara para tosu.
"Bagi pinceng, sekali sudah berjanji akan dipegang sampai mati!" Thian Hwesio berseru.
"Andaikata ada murid atau hwesio yang kelak melanggar janji, pinceng sendiri yang akan menghajarnya!"
"Sian-cai...! Kami semua percaya akan kejujuran dan kegagahan bekas wakil ketua Siauw-lim-si! Akan tetapi ucapan itu lebih mudah dikeluarkan mulut daripada dilaksanakan. Bagaimana seorang saja akan mampu menjaga agar janji itu dilaksanakan di seluruh negeri?"
Ucapan ini disambut dengan suara setuju oleh semua tosu, bahkan diantara para hwesio sendiri juga melihat betapa sukarnya janji itu dipenuhi kelak. Bagaimana mungkin Thian Gi iHwesio atau dibantu oleh mereka semua, sepuluh orang hwesio akan mampu menjaga seluruh hwesio yang jumlahnya ratusan ribu itu agar menepati janji yang dadakan hari ini? Pula, apakah seluruh hwesio telah menyatakan persetujuannya atas janji yang dikeluarkan oleh Thian Gi Hwesio?
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang, "Harap para Locianpwe menyadari akan buruknya permusuhan dan dapat menghabiskan sampai di sini saja"
Mendengar ucapan yang nyaring itu, para hwesio dan para tosu menoleh dan Mereka melihat munculnya seorang pemuda dari balik batang pohon yang tumbuh tidak jauh dari padang rumput itu. mereka semua heran. Mereka sembilan belas orang adalah orang-orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi akan tetapi bagaimana tidak ada seorangpun yang tahu akan kehadiran pemuda itu?
Apakah karena mereka semua terlalu tegang dan mencurahkan seluruh perhatian kepada urusan mereka, ataukah memang pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi? Pemuda itu tidak terlalu mengesankan. Pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, nampak sederhana sekali, dengan pakaian seperti seorang pemuda petani saja.
"Siancai...! Dari manakah datangnya seorang pemuda yang begini. la berani mencampuri urusan gawat orang-orang tua?" bentak seorang di antara para tosu.
Akan tetapi Thian Gi Hwesio yang tadi pun nampak ragu-ragu setelah usulnya dibantah, memandang tajam. "Omitohud...! Orang muda yang gagah. Siapakah engkau dan apa maksud ucapanmu tadi?"
Han Beng, pemuda itu, memberi hormat kepada semua pendeta itu, lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Saya hanyalah seorang pemuda biasa yang lebetulan lewat di sini dan melihat, juga mendengar semua perbantahan antara Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua Gagah Sekalian). Saya merasa ikut prihatin, akan tetapi, semua pendapat dari para lo-cianpwe itu menurut saya, tidak akan dapat membuka jalan keluar. Bahkan akan semakin membesarkan nyala api permusuhan dan dendam."
Thian Gi Hwesio mengerutkan alisnya yang tebal dan melintangkan toyanya. "Hemmm, orang muda yang lancang mulut! Agaknya engkau berani mencela kami tentu sudah mempunyai kebijaksanaan yang lebih patut. Nah, katakanlah bagaimana cara yang baik menurut pendapatmu?"
"Cu-wi Lo-cian-pwe bukan orang-orang muda dan merupakan orang-orang yag dipenuhi kebijaksanaan. Sepatutnya Cu-wi sudah mengetahui bahwa semua permusuhan, dendam kebencian, bukan datang dari luar melainkan datang dari dalam batin masing-masing. Oleh karena itu, melenyapkan permusuhan tidak mungkin dilakukan dengan cara menundukkan musuh yang berada di luar. Yang penting adalah mengalahkan musuh yang berada di dalam diri sendiri! Cu-wi Lo-cian-pwe dan sekalian pengikutnya, para hwesio dan para tosu yar terhormat, seyogianya mawas diri masing-masing dan mengenyahkan semua dendam kebencian dari hati masing-masing, kalau sudah begitu, dengan sendirinya dak mungkin ada permusuhan. Kalau di dalam sudah padam, tidak mungkin menjalar dan membakar keluar. Nah, sukarnya kalau mulai detik ini juga Cu-wi masing-masing memadamkan api dalam itu dan dengan demikian tiada lagi permusuhan dan dendam?"
Omitohud...! Enak saja memang kalau bicara, orang muda!" kata Thian di Hwesio. "Tidak ada kebakaran tanpa sebab, tidak ada dendam tanpa sebab! Bagaimana pinceng dan kawan-kawan mampu meniadakan dendam kalau teringat akan pembasmian kuil Siauw-lim-si?”
"Siancai... omonganmu memang tepat sekali, orang muda. Akan tetapi tanpa adanya penyelesaian sekarang, bagaimana mungkin kita merasa aman dan tenteram di masa mendatang? Pertikaian ini memang sudah seharusnya diselesaikan sekarang juga, kalau perlu melalui pengorbanan!" kata seorang tosu.
Han Beng tersenyum. Sudah baik kalau kedua pihak dari orang-orang tua yang kaku itu mau mendengarkan ucapannya, setidaknya dia telah memberi bahan renungan untuk mereka yang sedang dikuasai nafsu dendam dan amarah.
"Maafkan saya yang muda dan bodoh, Cu-wi Lo-cian-pwe. Bukankah hidup ini sekarang? Kemarin dan masa lalu hanyalah hal-hal yang lewat, sudah lapuk dan sudah mati, perlu apa dipikirkan dan dikenang lagi? Adapun masa depan dan hari esok adalah hal-hal yang belum akan hanya khayalan dan gambaran pikiran, perlu apa dibayangkan? Yang penting adalah sekarang ini, saat ini. Memang, tidak ada perubahan tanpa pengorbanan dan dalam hal ini, yang menjadi korban adalah perasaan sendiri, bukan mengorbankan orang lain."
"Omitohud...! Agaknya orang muda ini diam-diam memang berpihak kepada para tosu maka dia menghendaki agar kita melupakan semua urusan yang lalu. Kalau kita teringat betapa mendiang Thian Cu Hwesio, ketua Siauw-lim terpaksa membakar diri sampai mati gara-gara pengkhianatan mendiang Cun Bin Tosu, hati siapa tidak akan terbakar karena kejahatan tosu itu?" demikian seorang hwesio berseru marah.
Thian Gi Hwesio lalu berkata kepada Han Beng. "Sudah, minggirlah, orang muda dan jangan mencampuri urusan kami. Maksudmu baik, akan tetapi tidak tepat. Pergilah engkau!"
Berkata demikian, Thian Gi Hwesio menggerakkan tangan kirinya mendorong, tentu saja sambil mengerahkan sin-kang agar pemuda itu terkejut dan menyingkir. Akan tetapi, biarpun dari ujung lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat ke arah pemuda itu, ternyata sama sekali tidak membuat pemuda itu bergoyang, apalagi mundur dan terkejut! Pemuda itu tetap tenang saja, bahkan ujung lengan baju itu yang balik seperti bertemu dengan benda kuat yang menghalang tiupan angin dorongan tadi.
"Omitohud...! Kiranya engkau memiliki kepandaian juga? Pantas saja berani mencampuri urusan kami!" bentak Thia Gi Hwesio yang berhati keras dan galak. "Nah, majulah orang muda. Kalau memang engkau hendak memamerkan kepandaian, maju dan lawanlah pincei sebelum engkau melanjutkan kelancanganmu!"
Melihat sikap itu, Han Beng terkejut tak disangkanya bahwa usahanya mendamaikan kedua pihak yang bermusuhan itu diterima salah oleh kedua pihak pula. Bahkan kini ia ditantang oleh seorang hwesio yang kelihatannya galak dan lihai.
"Maaf, Lo-cian-pwe. Saya bermaksud untuk melerai, mendamaikan dan melenyapkan permusuhan, bukan menanambah permusuhan baru!"
"Kalau engkau tidak berani melawan pinceng, hayo cepat pergi dari sini!"
Pada saat itu, terdengar suara ketawa halus dan tiba-tiba saja munculah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakainnya sederhana sekali dari kain putih.
"Siancai... ini namanya orang-orang tua yang sepatutnya berguru kepada orang muda, akan tetapi merasa malu untuk mengakuinya!"
Para tosu yang tadinya sudah bediri dan siap untuk berkelahi, begitu Melihat tosu ini, cepat mereka lalu memberi hormat dengan membongkok, bahkan ada yang segera berlutut kembali. Juga Thian Gi Hwesio dan para hwesio lain ketika melihat tosu tua renta ini, mereka terkejut dan cepat memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
Akan tetapi, Thian Gi Hwesio mengerutkan alisnya karena ada rasa khawatir juga penasaran dalam hatinya melihat munculnya kakek ini. Biarpun kakek ini, yang terkenal dengan nama Pek I Tojin, merupakan seorang pertapa suci dari Thai-san yang agaknya tidak mungkin mau mencampuri urusan dunia akan tetapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang tosu dan tentu akan berpihak kepada para tosu! Dan kalau kakek ini campur tangan, maka keadaan pihaknya akan menjadi gawat.
Siapa yang tidak mengenal Pek I-Tojin, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa saja? Bahkan suhengnya sendiri, mendiang Thian Cu Hwesio, pernah mengatakan kepadanya bah untuk jaman itu, sukar dicari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Pek I Tojin. Mungkin hanya Hek Bin Hwesio saja, suheng dari Thian Cu Hwesio da lam perguruan kebatinan di Himalaya yang mampu mencapai tingkat itu.
Setelah memberi hormat, Thian Hwesio mewakili teman-temannya. "Omitohud, kiranya Lo-cian-pwe Pek I Tojin yang datang. Tidak tahu apakah kedatangan Lo-cian-pwe ini untuk membesarkan hati para tosu dan memberi pelajaran kepada kami?"
Pek I Tojin tertawa lembut mendengar ucapan itu. Dia bersikap lembut dan tenang. "Siancai, Thian Gi Hwesio sungguh masih saja penuh semangat. Apakah engkau sudah lupa ketika pinto datang bersama Hek Bin Hwesio melerai keributan antara hwesio dan para tosu? Pinto tidak berpihak siapa pun seperti juga Hek Bin Hwesio tidak berpihak siapa pun. Masing-masing melerai dan menahan golongan sendiri, itu baru benar, sesuai dengan petunjuk pemuda bijaksana ini bahwa perdamaian dimulai dari keadaan hati sendiri. Diri sendiri yang harus ditundukkan, bukan orang lain.”
Melihat munculnya Pek I Tojin, seorang datuk yang amat mereka hormati, para tosu tadinya berbesar hati. Akan tetapi mereka pun teringat betapa tokoh besar yang satu ini tidak suka akan pertentangan, maka tentu kedatangannya ini akan berakibat teguran bagi golongan sendiri. Oleh karena itu, seorang di antara paru tosu sudah cepat memberi hormat dan berkata,
"Lo-cian-pwe, kami ini para tosu mohon petunjuk karena kami didesak dan dimusuhi para hwesio yang marah-marah!"
"Siancai, tidak ada kemarahan tanpa sebab dan tidak ada perselisihan timbul kalau kedua pihak tidak saling serang. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah! Tak mungkin terjadi kebakaran kalau api tidak bertemu dengan bahan bakar. Para To-yu (sahabat), setelah pinto datang kalian minta petunjuk. Apakah benar kalian akan mentaati apa yang kunasihatkan?"
"Kami taat!" Serentak para tosu itu menjawab karena mereka percaya sepenuhnya kepada datuk besar itu.
"Nah, kalau kalian taat, sekarang juga kalian duduk bersila dan pasrah sepenuhnya. Kalau ada yang menyerang kalian, sampai membunuh kalian pun, kalian jangan bergerak dan jangan melawan!"
Tentu saja para tosu terbelalak. Mereka berhadapan dengan para hwesio yang sedang marah besar dan sudah siap untuk menyerang, bagaimana mungkin mereka harus berdiam diri, menyerang tanpa perlawanan biar dibunuh sekalipun?
"Akan tetapi bagaimana kalau para hwesio itu menyerang kami dan membunuhi kami, Lo-cian-pwe?"
Pek I Tojin tersenyum. "Adakah manusia membunuh manusia lain kalau Tuhan tidak menghendaki? Kalau sampai kalian mati terbunuh, anggap saja sebagai penebusan dosa yang dilakukan oleh kawan-kawan terdahulu. Biar pinto yang duduk terdepan!" Berkata demikian Pek I lojin juga duduk bersila di depan para tosu lainnya dan dia pun berkata kepada para hwesio dengan lembut dan senyum ramah. "Nah, Saudara-saudara para hwesio, sekarang para tosu sudah menyerah dan tidak akan melawan sedikitpun juga. Terserah kepada kalian apa yang akan kalian lakukan kepada diri kami," berkata demikian Pek I Tojin lalu memejamkan mata dengan mulut tersenyum dan agaknya sudah pulas dalam samadhi. Para tosu lainnya juga meniru perbuatan ini.
Para hwesio saling pandang dengan bingung. Jelas bahwa para tosu itu tidak lagi mau mengadakan perlawanan dengan kekerasan. Betapa mudahnya untuk melampiaskan nafsu amarah dan dendam. Tinggal menghajar saja mereka! Agaknya ada dua orang hwesio yang suah tidak sabar lagi. Melihat kesempatan baik itu terbuka, dua orang hwesio itu sudah bergerak dan melakukan serangan ke arah dua orang tosu yang bersila paling pinggir.
Melihat gerakan dua orang hwesio ini, tiba-tiba toya di tangan Thian Gi Hwesio bergerak dan menyelonong ke depan, mendahului dua orang hwesio itu yang terdorong da mereka terjengkang! Tentu saja dua orang hwesio itu terkejut, heran dan penasaran melihat betapa bekas wakil ketua Siauw-lim-si itu bahkan menyerang mereka untuk mencegah mereka menyerang musuh.
"Apa... apa artinya ini!" mereka berseru.
Wajah Thian Gi Hwesio menjadi merah sekali. "Tidak malukah kalian menyerang orang yang sudah tidak mau melawan? Sungguh perbuatan itu merupakan perbuatan pengecut dan tidak tahu malu! Kalau para tosu sudah tidak mau melawan, berarti mereka itu mengalah dan mengakui kesalahan rekan mereka. Kalau kita menyerang orang yang sudah tidak melawan, maka pihak kitalah yang menjadi sejahat-jahatnya orang! Pinceng melarang rekan-rekan kita untuk turun tangan terhadap para tosu yang tidak melawan. Mulai sekarang, kalau para Tosu tidak menggunakan kekerasan, kita tidak boleh menggunakan kekerasan! Lo-cian-pwe Pek I Tojin hendak menggunakan siasat yang lemah menundukkan yang keras, maka kita pun harus menggunakan kelemahan, bukan kekerasan dan menjadi kalah tanpa bertanding!"
Setelah berkata demikian, Thian Gi Hwesio memberi hormat kepada Pek I Tojin dan para tosu lainnya, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Sembilan orang hwesio lainnya juga mengikuti langkahnya itu sebentar saja mereka sudah meninggalkan puncak itu.
Setelah para hwesio pergi, Pek I Tojin membuka matanya. "Siancai...! Bagaimanapun juga, Thian Gi Hwesio Jelas berwatak keras itu masih memiliki kebijaksanaan."
Para tosu lainnya juga membuka mata mereka dan mereka itu merasa lega bahwa semua hwesio telah pergi.
"Nah, kalian melihat sendiri buktinya bahwa kekerasaan hanya dapat ditundukkan oleh kelunakan. Apakah kalian masih meragukan hukum Tuhan yang mutlak ini?"
Setelah berkata demikian Pek I Tojin kembali tersenyum dan ketika dia menggerakkan tubuhnya, nampak bayangan berkelebat dan dia pun lenyap dari situ. Para tosu memberi hormat ke arah lenyapnya Pek I Tojin kemudian mereka memandang kepada Han Beng yang sejak tadi menonton saja. Seorang di antara mereka menjura.
"Orang muda, terima kasih atas bijaksanaanmu tadi." Setelah berkata demikian, para tosu juga pergi, mengambil arah lain dari arah yang diambil para hwesio.
Namun, didalan hatinya, Han Beng masih menaruh curiga. Tadi, sikap para hwesio masih penasaran, apalagi orang yang ditangkis oleh Thian Ci Hwesio. Siapa tahu mereka itu masih belum dapat melenyapkan dendam. Maka, dengan perasaan tidak enak, Han Beng la berlari menuruni puncak, membayangi para hwesio yang turun menuju ke arah barat.
Para hwesio itu berjalan dengan langkah lebar, akan tetapi dengan mudah Han Beng dapat menyusul dan membayangi mereka. Mereka berjalan tanpa bicara. Ketika mereka tiba di tepi sebelah hutan dan Han Beng sudah mulai saja bosan membayangi mereka karena selain mereka tidak bicara, juga agaknya tidak ada sesuatu yang patut dicurigai, tiba-tiba dari dalam hutan muncul kurang lebih dua puluh orang tosu yang memegang senjata dan tanpa banyak cakap lagi dua puluh orang tosu itu telah menyerang sepuluh orang hwesio itu.
Tentu saja para hwesio menjadi marah. Mereka tadi memang hanya karena terpaksa oleh sikap Pek I Tojin saja menahan diri dan tidak menyerang para tosu yang tidak mau melawan. Kini, melihat dua puluh orang tosu muncul dari dalam hutan dan agaknya memang sengaja menghadang mereka dan menyerang dengan senjata pedang dan golok, sepuluh orang hwesio itu menjadi marah dan mereka pun mengantuk, dipimpin oleh Thian Gi Hwesio yang bersenjatakan toya...!
"Kalau tidak ada Toako Si Han Beng dan gurunya, kiranya saya pun tak mungkin dapat selamat. Bahkan Ayah dan Susiok juga diselamatkan oleh Toako Han Beng dan gurunya, akan tetapi mereka berdua tewas karena luka-luka mereka. Karena saya tidak mempunyai tempat tinggal lagi, tidak mempunyai keluarga, maka satu-satunya tujuan adalah datang kepada Paman dan Toako Han Beng demikian baiknya untuk mengantar saya sampai ke sini."
Suara Hui Im mengandung kedukaan, akan tetapi ia tidak lagi menangis. Sejak melakukan perjalanan dengan Han Beng, ia banyak mendengar tentang isi kehidupan dan ia pun telah pandai mengubah sikap yang keliru.
"Hemmm, engkau melakukan perjalanan sejauh itu, selama berhari-hari, berdua saja dengan pemuda ini, Hui Im? Itu namanya tidak sopan dan tidak pantas!" isteri Tang Gu It berkata dengan alis berkerut dan mulutnya meruncing tanda bahwa hatinya tidak senang.
"Benar, Bibi. Habis dengan siapa? Toako Han Beng ini penolong saya dan dia suka mengantar..."
"Memang kurang pantas kalau seorang gadis melakukan perjalanan jauh yang berhari-hari lamanya bersama seorang pemuda bukan sanak keluarga," kata pula Ciok An.
Mendengar ucapan calon ibu mertua dan calon suami itu, Hui im tidak mau membantah, hanya menundukkan mukanya dengan alis berkerut.
"Sudahlah! Biarpun tidak pantas, akan tetapi kalau keadaan memaksa, mau bagaimana lagi? Apakah kalian menganggap bahwa lebih baik Hui Im melakukan perjalanan seorang diri? Lebih tidak pantas lagi, juga tidak aman," kata Tang Gu It. "Hui Im, syukurlah kalau engkau selamat. Tidak perlu engkau bersedih. Tinggallah di sini dan setengah tahun kemudian, pernikahan antara engkau dan Ciok An kami rayakan di sini."
"Aih, kalau saja aku berada di sana, Im-moi, tentu tidak akan terjadi malapetaka menimpa keluarga Ayahmu. Aku akan lebih dulu membasmi perkumpulan pengemis-pengemis hina itu sebelum mereka dapat bertindak jahat!" kata Ciok n kepada tunangannya. "Jaman sekarang ini memang kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang, Moi-moi. Lihat saja tadi, Si Kiu-bwe-houw Gan Lok. Namanya saja besar, akan tetapi dia bukan lain hanyalah seorang pemeras. Untung ada aku! Benarkah engkau tidak menemui halangan sesuatu ketika engkau pergi meninggalkan kota raja kesini, Moi-moi. Tidak ada yang berbuat jahat kepadamu?"
Hui Im memandang kepada tunangannya, dan menggeleng kepala. "Tidak terjadi apa-apa..."
"Benarkah? Tidak ada misalnya laki-laki yang mengganggu dan menggodamu?" Ciok An melirik ke arah Han Beng. "Engkau seorang gadis muda yang cantik menarik, Moi-moi. Aku tidak akan merasa heran kalau banyak pria tergila-gila kepadamu dan mencoba untuk berbuat kurang ajar kepadamu!"
Hui Im maklum bahwa tunangannya itu diam-diam secara tidak langsung merasa cemburu kepada Han Beng. la mengerutkan alisnya dan kini mengangkat muka memandang tajam kepada Ciok An.
"Koko! Apakah engkau menuduh aku berbuat yang tidak-tidak, melakukan hal yang tidak sopan dan tidak tahu malu dalam perjalananku ke sini?" Ia mengajukan pertanyaan ini dengan pandang mata tajam dan suara meninggi.
"Aih, tentu saja, Moi-moi. Tentu saja engkau tidak melakukan sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi, biasanya laki-laki yang suka kurang ajar kepada wanita. Dan engkau melakukan perjalanan berhari-hari bersama seorang laki-laki asing..."
"Koko! Toako ini adalah Si Han Beng, seorang pendekar sejati! Dia adalah murid dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin-Ciang Kai-ong! Sedikit. pun dia tidak pernah memperlihatkan sikap yang buruk kepadaku!"
"Hemmm, seorang pendekar sejati, ya?" Ciok An memandang kepada Han Beng dengan mata dipicingkan.
"Ciok An!" kini Tang Gu It membentak puteranya. "Bersikaplah wajar dan hormat kepada tamu! Bagaimanapun juga, Si-taihiap (Pendekar Besar Si) telah menyelamatkan calon isterimu! Si-taihiap, harap maafkan kami dan kami berterima asih sekali kepadamu."
Sejak tadi Han Beng telah merasa marah sekali. Hatinya terasa panas bukan main. Dia memang sudah merasa terpukul batinnya ketika melihat Hui Im bertemu dengan tunangannya, biarpun Dihiburnya perasaannya sendiri bahwa gadis itu memiliki seorang calon suami mg amat baik, tampan kaya raya, dan gagah perkasa. Karena itulah, maka tadi diam-diam membantu Ciok An megalahkan Gan Lok.
Akan tetapi kini, dia hanya mendengar kata-kata yang amat tidak enak dan melihat sikap yang amat memandang rendah kepadanya. Dan sikap Tang Gu It yang merendah itu pun amat yang merendah itu pun amat dibuat-buat, atau mungkin karena mendengar nama kedua orang gurunya. Hatinya terasa panas sekali dan kalau bukan untuk Hui Im, tentu sudah sejak tadi dia pergi.
Ibu Ciok An agaknya juga menyadari bahwa suaminya marah dan menegur puteranya, maka ia pun hendak bersikap baik. "Benar, Ciok An. Pemuda ini sudah mengantar calon isterimu sampai ke sini dengan selamat. Sebaiknya engkau cepat mengambil perak beberapa puluh tail untuk diberikan kepadanya sebagai imbalan dan uang lelah!"
Han Beng tidak dapat menahan lagi. Dia bangkit berdiri dengan kedua telapak tangan masih berada di atas meja, lalu memandang kepada Hui Im tanpa menjawab semua kata-kata dari keluarga tuan rumah itu. "Siauw-moi, engkau tahu benar bahwa aku mengantarmu sampai kesini tanpa pamrih apa pun. Aku sudah merasa berbahagia sekali bahwa engkau telah bertemu dengan keluarga calon suamimu dengan selamat. Aku tidak minta imbalan upah apa pun, akan tetapi aku pun tidak sudi untuk dipandang rendah oleh siapa pun! Nah, engkau sudah tiba di tempat tujuan, Siauw-moi, maka perkenankan aku pergi sekarang."
"Nanti dulu, Toako! Ah, jangan engkau pergi dengan perasaan tidak enak seperti itu. Kau... kau maafkanlah semuanya, Toako. Semua ini hanya kesalah-pahaman belaka. Toako, aku minta, dengan hormat dan sangat, sudilah engkau hadir pada perayaan pernikahanku tengah tahun mendatang."
Mereka berdiri dan saling pandang. Han Beng melihat betapa sepasang mata yang indah itu memandang kepada penuh permohonan, bahkan kedua mata itu basah dengan air mata. Han Beng terasa lemas dan dia pun mengangguk. "Kalau Tuhan memperkenan, aku tentu akan datang. Nah, selamat tinggal, Adik Souw Hui Im!"
Setelah berkata demikian, semua orang yang duduk di situ hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh pemuda itu sudah lenyap dari situ! Tentu saja Tang Gu It, isterinya dan Ciok An terkejut bukan main. Mereka memandang ke arah pintu depan, namun tidak nampak lagi bayangan Han Beng dan tiba-tiba Tang Gu It menuding kearah meja yang tadi dihadapi Han Beng dengan telunjuk gemetar. Ciok An dan ibunya memandang, juga Hui Im. Dan meja di mana tadi ditekan oleh kedua telapak tangan Han Beng, nampak ada tanda dua telapak tangan dan papan meja itu hangus dan masih mengepulkan sedikit asap!
Agaknya, saking marahnya dan menahan perasaannya, Han Beng menyalurkan kekuatannya melalui kedua telapak tangan dan sin-kang itu mendatangkan hawa panas yang sampai membakar papan meja!
"Ahhhhh...!" Ciok An berseru dan wajahnya berubah pucat. Dia memandang kepada tunangannya. "Im-moi... dia... dia begitu sakti kah...?"
Gadis itu menundukkan mukanya agar jangan nampak kedukaan membayangkan diwajahnya dan dengan perlahan ia mengangguk, "la memang seorang pendekar sakti, seperti seekor naga sakti..."
Tang Gu It menarik napas panjang. "Nah, sekarang terbukalah matamu, Ciok An. Jangan mudah memandang rendah orang lain. Tadi pun aku sudah terkejut mendengar bahwa dia murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong! Tahukah engkau siapa kedua orang sakti itu? Mereka adalah dua orang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw, karena itu tadi pun aku segera menyebutnya taihiap. Akan tetapi engkau sudah tidak tahu diri, masih saja merendahkannya. Bahkan ingin memberi hadiah uang kepada seorang pendekar sakti! Sungguh menggelikan dan memalukan sekali!"
Keluarga itu masih belum hilang kagetnya dan sejak hari itu, mereka tidak pernah lagi menyebut nama Han Beng, apalagi membicarakan persangkaan buruk kepada pendekar itu. Sikap mereka terhadap Hui Im juga menjadi baik dan hal ini sedikit banyak menghibur hati gadis itu yang merasa kehilangan sekali setelah Han Beng pergi. Baru ia yakin benar bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada pendekar itu.
Akan tetapi apa daya? Sejak kecil ia sudah ditunangkan dengan Tang Ciok An dan tidak mungkin ia mengubah kenyataan ini. Pertama, ia harus mentaati keputusan ayahnya, apalagi setelah ayahnya meninggal dunia, ia harus lebih mentaatinya lagi. Pesan seorang yang sudah meninggal dunia adalah pesanan yang suci dan harus ditaati.
Kedua, ia sudah ditampung oleh keluarga tunangannya, dan bagaimanapun juga, calon ayah mertuanya adalah pamannya sendiri pula. Ia tidak mempunyai tempat lain atau keluarga lain yang dapat ditumpangi. Dan ke tiga, harus diakuinya bahwa pilihan orang tuanya itu pun tidak keliru, tidak mengecewakan. Ia sudah harus merasa beruntung mendapatkan seorang calon suami seperti Tang Ciok An, Dia ganteng, tampan, gagah perkasa, kaya raya. Mau apa lagi?
Kehidupan ini akan terisi penuh konflik kalau kita membiarkan diri kita dicengkeram oleh pikiran yang sudah bergelimang nafsu. Nafsu selalu melahiran keinginan-keinginan akan hal-hal buruk! Yang baik dan menyenangkan hanyalah apa yang diinginkan itu! Mempunyai ini, ingin yang itu sehingga yang ini nampak tidak ada daya tariknya. Mendapatkan yang itu, menginginkan yang ini, dan demikian selanjutnya. Hanya orang yang menyerahkan segala-galanya kepada kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat menerima apa yang ada tanpa penilaian!
Apa pun yang datang menimpa dirinya, apa pun yang didapatkan dari hasil usahanya, dianggapnya sebagai suatu anugerah dari Tuhan, sebagai suatu kemurahan dari Tuhan sehingga diterima dengan hati penuh keikhlasan, penuh penyerahan diri dan penuh ketawakalan. Biasanya, setiap mulut mengatakan bahwa dia ber-Tuhan, bahwa dia percaya kepada Tuhan.
Akan tetapi buktinya? Kalau orang benar-benar ber-Tuhan hanya mulut saja yang mengakuinya, melainkan jauh di lubuk hatinya, didalam dasar batinnya, harus ada kepercayaan itu. Kepercayaan yang mendalam ini yang akan mendatangkan peyerahan, keikhlasan, dan kalau apa pun yang menimpa diri dianggap sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, maka senyum ini takkan pernah meninggalkan mulut.
Yang ada hanya rasa terima kasih dan syukur Tuhan Yang Maha Kasih. Dan kalau sudah begitu penderitaan lain tidak ada lagidan penderitaan batin tidak ada lagi dan penderitaan lahir pun tidak meninggalkan bekas, seperti awan lalu. Kepercayaan yang mendalam ini yang akan mendatangkan kekuasaan Tuhan bekerja di luar dan di dalam diri karena kekuasaan Tuhan meliputi seluruh alam, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang paling kecil sampai yang paling besar, paling rendah sampai paling tinggi, yang paling dalam dan paling luar, pendeknya tidak ada apa pun di alam mayapada ini yang tidak diliputi kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih!
Dan kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, maka segalanya akan wajai dan sempurna! Yang menimbulkan baik buruk, suka duka dan segala macam pertentangan adalah penilaian yang timbul dari nafsu. Dan hanya kekuasaan Tuhan ini sajalah yang akan mampu menundukkan nafsu sehingga menjadi jinak dan berman faat bagi kehidupan manusia, bukan lagi sebagai perusak, melainkan sebagai pembantu dan alat mempertahankan hidup.
********************
"Omitohud, sejak dahulu, para to-su memang berhati palsu. Pada lahirnya saja kelihatan halus dan baik budi, akan tetapi di sebelah dalamnya kotor dan curang!" Seorang di antara sepuluh orang hwesio yang berada di puncak itu berseru, sedangkan sembilan orang hwesio lainnya mengangguk-angguk menyetujui.
"Sian-cai...! Para hwesio seharusnya dapat mengekang musuh yang paling besar dalam kehidupan ini, yaitu nafsu amarah. Kenapa sudah mencukur gundul rambutnya dan sudah mengenakan jubah kuning masih mudah dikuasai nafsu amarah sehingga menyebar fitnah buruk kepada orang atau pihak lain?" seorang di antara sembilan orang tosu itu pun membantah dan kini delapan orang rekannya yang mengangguk-angguk membenarkan.
Puncak bukit itu datar dan ditumbuhi rumput yang subur. Mereka, sepuluh orang hwesio dan sembilan orang tosu itu duduk saling berhadapan, pihak hwesio satu garis dan berhadapan dengan mereka, pihak tosu juga satu garis. Mereka terdiri dari orang-orang yang sudah tua, sedikitnya berusia enam puluh tahun. Para hwesio itu mengenakan jubah kuning dan berkepala gundul, sedangkan para tosu mengenakan jubah putih dengan rambut diikat ke atas. Jelas dari sikap mereka bahwa kedua pihak saling mencela dan dalam pandangan mata mereka nampak api kemarah yang menjurus kepada kebencian.
"Siapa yang marah dan siapa yang menyebar fitnah?" bentak seorang antara para hwesio itu sebagai lawan. "Kami tidak menuruti nafsu amarah dan tidak menyebar fitnah, melainkan bicara seperti apa adanya saja! Golongan kalian para tosulah yang tukang sebar fitnah! Kalau tidak karena fitnah seorang tosu, yaitu Cun Bin Tosu, apakah kuil Siauw-lim-si sampai terbakar dan banyak jatuh korban yang tidak berdosa? Nah, apakah kini kalian para tosu masih mencoba untuk menyangkal kenyataan itu?"
"Siancai... kami tidak menyangka adanya orang seperti Cun Bin Tosu. seperti juga kami tidak menyangkal adanya banyak tosu yang melakukan perbuatan yang sesat. Akan tetapi, apa hubungannya hal itu dengan kami? Apakah kesalahan seorang tosu harus dipikul dosanya oleh seluruh tosu di permukaan bumi ini? Apakah di dunia ini tidak ada seorang pun hwesio yang menyeleweng? Dan kalau ada, apakah juga kesalahan seorang hwesio itu harus ditanggung oleh seluruh hwesio di permukaan bumi? Kalau begitu halnya, maka kesalahan tiap orang manusia juga harus ditanggung dosanya oleh kita semua, karena bukankah kita semua ini juga manusia! Jadi, kesalahan Cun Bin Tosu itu juga harus ditanggung oleh kita semua, juga oleh kalian para hwesio karena Cun Bin Tosu seorang manusia, seperti kita semua, termasuk kalian juga."
"Omitohud! Sejak dahulu para tosu memang pandai bicara, seperti perempuan, pandai memutarbalikkan kenyataan. Sekarang tidak perlu banyak cakap lagi. Kita adalah orang-orang yang sejak kecil sudah mempelajari ilmu, oleh Karena itu, daripada mengadu lemasnya lidah palsunya kata-kata, mari kita buktikan siapa di antara kita yang lebih jantan dan lebih gagah!" berkata demikian, hwesio yang jadi juru bicara itu bangkit berdiri, diikuti oleh sembilan orang temannya.
Melihat ini, sembilan orang tosu juga serentak bangkit dan kedua pihak sudah siap untuk saling hantam dan saling serang untuk menyudahi percekcokan tadi. Sudah lama sekali terjadi permusuhan antara hwesio dan para tosu. Hal ini terjadi semenjak kuil Siauw-lim-si dibakar oleh pasukan pemerintah. Pihak para hwesio selalu menyesalkan peristiwa itu dan karena memang seorang tosu yang menjadi mata-mata pasukan pemerintah, yaitu Cun Bin Tosu yang akhirnya tewas dalam pertempuran para hwesio dan murid Siauw-lim-si, maka di dalam hati para hwesio terkandung dendam kepada para tosu.
Permusuhan ini semakin lama semakin menjadi sehingga menjadi permusuhan terbuka di mana setiap perjumpaan antara seorang hwesio dengan seorang tosu pasti menimbulkan percekcokan, saling mengejek sehingga berakhir dengan perkelahian. Sudah ada beberapa orang jatuh menjadi korban dalam permusuhan itu.
Akhirnya, para pimpinan hwesio dan para pimpinan tosu mengadakan keputusan untuk mengakhiri permusuhan itu dengan jalan mengadakan pertemuan antara para pimpinan di puncak bukit Kijang itu. Kedua pihak, yaitu para pimpinan yang sudah lebih luas pandangannya dan lebih matang menyerap pelajaran agama masing-masing melihat betapa tidak benarnya permusuhan itu, dan mereka bermufakat untuk mengadakan peremuan di puncak itu.
Akan tetapi, kembali mereka dikuasai nafsu dan pertemuan yang dimaksudkan untuk mencari perdamaian itu berakhir dengan percekcokan yang semakin memanas dan akhirnya kedua pihak siap untuk saling serang dan saling bunuh!
Betapapun pandainya seseorang, betapapun tinggi ilmunya, pada saat nafsu mencengkeram dan menguasainya, maka akan hilanglah semua pertimbangannya, lenyap semua kebijaksanaannya. Yang ada hanyalah menyalanya nafsu jalang yang menuntut pemuasan melalui kemenangan dan tercapainya keinginan.
Nafsu memang terbawa sejak lahir dan nafsu merupakan alat yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya dunia ini. Karena itu, usaha manusia yang melihat betapa berbahayanya nafsu, bermacam-macam. Ada yang berusaha menundukkan nafsu melalui tapa, melalui latihan-latihan pernapasan, samadhi, melalui penyiksaan diri, pengurangan makanan dan sebagainya lagi.
Namun, semua, itu masih tidak keluar dari lingkaran nafsu, karena semua usaha itu mengandung suatu keinginan. Hasilnya hanya pengurangan saja, itu pun hanya sementara. Merupakan pengekangan saja terhadap nafsu. Pengekangan ini buka berarti sudah dapat menguasai nafsu sepenuhnya. Usaha melenyapkan nafsu Tidak mungkin!
Nafsu tak mungkin dilenyapkan dari kehidupan kita, karena kehidupan ini ada karena nafsu, bagaikan nyala api membutuhkan bahan bakar. Melenyapkan nafsu berarti melenyapkap keadaan badan dan berarti mati! Selama masih hidup, manusia tidak mungkin dapat meninggalkan nafsu. Nafsu itu suatu keperluan untuk hidup. Namun, kalau nafsu dibiarkan menguasai batin, maka dia akan menyeret kita ke dalam penyelewengan.
Nafsu adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan dan satu-satunya yang dapat mengatur agar nafsu dapat sesuai dengan kehidupan kita, dapat menjadi alat yang baik dan bukan menjadi majikan yang merajalela, yang dapat menundukkannya hanyalah kekuasaan Tuhan! Dan kekuasaan Tuhan dalam diri akan bekerja dengan sempurna kalau kita dengan sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri dengan ikhlas, dengan penuh ketawakal.
Kalau kita membiasakan diri setiap saat teringat akan kekuasaan Tuhan, maka kita pun akan terbimbing oleh kekuasaan yang maha hebat itu. Dan nafsu-nafsu akan menyingkir dan menduduki tempat masing-masing dengan teratur. Tanpa kekuasaan Tuhan, betapapun kita berusaha, maka hasilnya pun hanya akan tipis sekali dan hanya untuk sementara karena usaha kita itu pun hanya di dalam lingkungan akal budi, dan pikiran padahal pikiran dan akal budi sudah bergelimangan dengan nafsu!
Ketika sepuluh orang hwesio dan sembilan orang tosu sudah bangkit diri, kesemuanya sudah dikuasai nafsu amarah dan siap untuk saling serang dan saling membunuh, seorang di antara para hwesio itu berseru dengan suaranya yang lantang.
"Saudara semua, tahan dulu senjata Pinceng hendak bicara!"
Suaranya lantang dan berwibawa, semua hwesio yang melihat siapa yang akan bicara, merangkap kedua tangan depan dada dan berseru.
"Omitohud...! dan mereka pun mundur.
Yang bicara itu adalah Thian Gi Hwesio, seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar berusia tujuh puluh tahun, dan dia ter kenal dengan wataknya yang terbuka jujur dan galak. Thian Gi Hwesio tentu saja amat terkenal dan disegani oleh para rekannya karena dia adalah wakil ketua dari kuil Siauw-lim-si yang terbakar itu. Juga para tosu mengenalnya, maka merekapun mendengarkan dengan penuh perhatian, ingin tahu apa yang akan dikatakan hwesio yang Jangkung menjadi korban dalam peristiwa kebakaran Siauw-lim-si itu.
Thian Gi Hwesio melintangkan senjata toyanya dan dia memandang kepada para tosu di depannya. "Para To-yu (Sobat) sekalian. Kita semua sudah melihat bahwa tidak mungkin diadakan perdamaian tanpa adu kepandaian di antara para hwesio dan tosu. Akan tetapi kita pun tahu betapa kelirunya hal ini. Tidak ada permusuhan di antara para tosu dan para hwesio. Mereka itu hanya terseret oleh setia kawanan belaka. Oleh karena itu, kita sebagai golongan lebih tua, sebaiknya tidak membiarkan para murid kita saling hantam dan saling serang tanpa alasan yang sehat. Maka, sekarang pin-ceng maju mewakili para hwesio untuk menyelesaikan urusan pertikaian yang berkepanjangan ini melalui adu kepandaian yang sehat dan adil, seperti yang sudah sepatutnya dilakukan oleh orang-orang yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Harap para To-yu mengajuk seorang wakil dari para tosu dan biarlah pertandingan ini akan menentukan siapa di antara kedua golongan yang benar dan lebih kuat. Yang kalah tidak diperbolehkan menuntut balas atau mendendam!"
"Siancai...! Ucapan Thian Gi Hwesio memang tepat, akan tetapi siapa yang dapat menanggung kalau sesudah ada pertadingan adu kepandaian antara dua orang wakil ini lalu tidak ada lagi murid yang saling berkelahi?" tentu dengan seruan seorang di antara para tosu.
"Bagi pinceng, sekali sudah berjanji akan dipegang sampai mati!" Thian Hwesio berseru.
"Andaikata ada murid atau hwesio yang kelak melanggar janji, pinceng sendiri yang akan menghajarnya!"
"Sian-cai...! Kami semua percaya akan kejujuran dan kegagahan bekas wakil ketua Siauw-lim-si! Akan tetapi ucapan itu lebih mudah dikeluarkan mulut daripada dilaksanakan. Bagaimana seorang saja akan mampu menjaga agar janji itu dilaksanakan di seluruh negeri?"
Ucapan ini disambut dengan suara setuju oleh semua tosu, bahkan diantara para hwesio sendiri juga melihat betapa sukarnya janji itu dipenuhi kelak. Bagaimana mungkin Thian Gi iHwesio atau dibantu oleh mereka semua, sepuluh orang hwesio akan mampu menjaga seluruh hwesio yang jumlahnya ratusan ribu itu agar menepati janji yang dadakan hari ini? Pula, apakah seluruh hwesio telah menyatakan persetujuannya atas janji yang dikeluarkan oleh Thian Gi Hwesio?
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang, "Harap para Locianpwe menyadari akan buruknya permusuhan dan dapat menghabiskan sampai di sini saja"
Mendengar ucapan yang nyaring itu, para hwesio dan para tosu menoleh dan Mereka melihat munculnya seorang pemuda dari balik batang pohon yang tumbuh tidak jauh dari padang rumput itu. mereka semua heran. Mereka sembilan belas orang adalah orang-orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi akan tetapi bagaimana tidak ada seorangpun yang tahu akan kehadiran pemuda itu?
Apakah karena mereka semua terlalu tegang dan mencurahkan seluruh perhatian kepada urusan mereka, ataukah memang pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi? Pemuda itu tidak terlalu mengesankan. Pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, nampak sederhana sekali, dengan pakaian seperti seorang pemuda petani saja.
"Siancai...! Dari manakah datangnya seorang pemuda yang begini. la berani mencampuri urusan gawat orang-orang tua?" bentak seorang di antara para tosu.
Akan tetapi Thian Gi Hwesio yang tadi pun nampak ragu-ragu setelah usulnya dibantah, memandang tajam. "Omitohud...! Orang muda yang gagah. Siapakah engkau dan apa maksud ucapanmu tadi?"
Han Beng, pemuda itu, memberi hormat kepada semua pendeta itu, lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Saya hanyalah seorang pemuda biasa yang lebetulan lewat di sini dan melihat, juga mendengar semua perbantahan antara Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua Gagah Sekalian). Saya merasa ikut prihatin, akan tetapi, semua pendapat dari para lo-cianpwe itu menurut saya, tidak akan dapat membuka jalan keluar. Bahkan akan semakin membesarkan nyala api permusuhan dan dendam."
Thian Gi Hwesio mengerutkan alisnya yang tebal dan melintangkan toyanya. "Hemmm, orang muda yang lancang mulut! Agaknya engkau berani mencela kami tentu sudah mempunyai kebijaksanaan yang lebih patut. Nah, katakanlah bagaimana cara yang baik menurut pendapatmu?"
"Cu-wi Lo-cian-pwe bukan orang-orang muda dan merupakan orang-orang yag dipenuhi kebijaksanaan. Sepatutnya Cu-wi sudah mengetahui bahwa semua permusuhan, dendam kebencian, bukan datang dari luar melainkan datang dari dalam batin masing-masing. Oleh karena itu, melenyapkan permusuhan tidak mungkin dilakukan dengan cara menundukkan musuh yang berada di luar. Yang penting adalah mengalahkan musuh yang berada di dalam diri sendiri! Cu-wi Lo-cian-pwe dan sekalian pengikutnya, para hwesio dan para tosu yar terhormat, seyogianya mawas diri masing-masing dan mengenyahkan semua dendam kebencian dari hati masing-masing, kalau sudah begitu, dengan sendirinya dak mungkin ada permusuhan. Kalau di dalam sudah padam, tidak mungkin menjalar dan membakar keluar. Nah, sukarnya kalau mulai detik ini juga Cu-wi masing-masing memadamkan api dalam itu dan dengan demikian tiada lagi permusuhan dan dendam?"
Omitohud...! Enak saja memang kalau bicara, orang muda!" kata Thian di Hwesio. "Tidak ada kebakaran tanpa sebab, tidak ada dendam tanpa sebab! Bagaimana pinceng dan kawan-kawan mampu meniadakan dendam kalau teringat akan pembasmian kuil Siauw-lim-si?”
"Siancai... omonganmu memang tepat sekali, orang muda. Akan tetapi tanpa adanya penyelesaian sekarang, bagaimana mungkin kita merasa aman dan tenteram di masa mendatang? Pertikaian ini memang sudah seharusnya diselesaikan sekarang juga, kalau perlu melalui pengorbanan!" kata seorang tosu.
Han Beng tersenyum. Sudah baik kalau kedua pihak dari orang-orang tua yang kaku itu mau mendengarkan ucapannya, setidaknya dia telah memberi bahan renungan untuk mereka yang sedang dikuasai nafsu dendam dan amarah.
"Maafkan saya yang muda dan bodoh, Cu-wi Lo-cian-pwe. Bukankah hidup ini sekarang? Kemarin dan masa lalu hanyalah hal-hal yang lewat, sudah lapuk dan sudah mati, perlu apa dipikirkan dan dikenang lagi? Adapun masa depan dan hari esok adalah hal-hal yang belum akan hanya khayalan dan gambaran pikiran, perlu apa dibayangkan? Yang penting adalah sekarang ini, saat ini. Memang, tidak ada perubahan tanpa pengorbanan dan dalam hal ini, yang menjadi korban adalah perasaan sendiri, bukan mengorbankan orang lain."
"Omitohud...! Agaknya orang muda ini diam-diam memang berpihak kepada para tosu maka dia menghendaki agar kita melupakan semua urusan yang lalu. Kalau kita teringat betapa mendiang Thian Cu Hwesio, ketua Siauw-lim terpaksa membakar diri sampai mati gara-gara pengkhianatan mendiang Cun Bin Tosu, hati siapa tidak akan terbakar karena kejahatan tosu itu?" demikian seorang hwesio berseru marah.
Thian Gi Hwesio lalu berkata kepada Han Beng. "Sudah, minggirlah, orang muda dan jangan mencampuri urusan kami. Maksudmu baik, akan tetapi tidak tepat. Pergilah engkau!"
Berkata demikian, Thian Gi Hwesio menggerakkan tangan kirinya mendorong, tentu saja sambil mengerahkan sin-kang agar pemuda itu terkejut dan menyingkir. Akan tetapi, biarpun dari ujung lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat ke arah pemuda itu, ternyata sama sekali tidak membuat pemuda itu bergoyang, apalagi mundur dan terkejut! Pemuda itu tetap tenang saja, bahkan ujung lengan baju itu yang balik seperti bertemu dengan benda kuat yang menghalang tiupan angin dorongan tadi.
"Omitohud...! Kiranya engkau memiliki kepandaian juga? Pantas saja berani mencampuri urusan kami!" bentak Thia Gi Hwesio yang berhati keras dan galak. "Nah, majulah orang muda. Kalau memang engkau hendak memamerkan kepandaian, maju dan lawanlah pincei sebelum engkau melanjutkan kelancanganmu!"
Melihat sikap itu, Han Beng terkejut tak disangkanya bahwa usahanya mendamaikan kedua pihak yang bermusuhan itu diterima salah oleh kedua pihak pula. Bahkan kini ia ditantang oleh seorang hwesio yang kelihatannya galak dan lihai.
"Maaf, Lo-cian-pwe. Saya bermaksud untuk melerai, mendamaikan dan melenyapkan permusuhan, bukan menanambah permusuhan baru!"
"Kalau engkau tidak berani melawan pinceng, hayo cepat pergi dari sini!"
Pada saat itu, terdengar suara ketawa halus dan tiba-tiba saja munculah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakainnya sederhana sekali dari kain putih.
"Siancai... ini namanya orang-orang tua yang sepatutnya berguru kepada orang muda, akan tetapi merasa malu untuk mengakuinya!"
Para tosu yang tadinya sudah bediri dan siap untuk berkelahi, begitu Melihat tosu ini, cepat mereka lalu memberi hormat dengan membongkok, bahkan ada yang segera berlutut kembali. Juga Thian Gi Hwesio dan para hwesio lain ketika melihat tosu tua renta ini, mereka terkejut dan cepat memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
Akan tetapi, Thian Gi Hwesio mengerutkan alisnya karena ada rasa khawatir juga penasaran dalam hatinya melihat munculnya kakek ini. Biarpun kakek ini, yang terkenal dengan nama Pek I Tojin, merupakan seorang pertapa suci dari Thai-san yang agaknya tidak mungkin mau mencampuri urusan dunia akan tetapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang tosu dan tentu akan berpihak kepada para tosu! Dan kalau kakek ini campur tangan, maka keadaan pihaknya akan menjadi gawat.
Siapa yang tidak mengenal Pek I-Tojin, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa saja? Bahkan suhengnya sendiri, mendiang Thian Cu Hwesio, pernah mengatakan kepadanya bah untuk jaman itu, sukar dicari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Pek I Tojin. Mungkin hanya Hek Bin Hwesio saja, suheng dari Thian Cu Hwesio da lam perguruan kebatinan di Himalaya yang mampu mencapai tingkat itu.
Setelah memberi hormat, Thian Hwesio mewakili teman-temannya. "Omitohud, kiranya Lo-cian-pwe Pek I Tojin yang datang. Tidak tahu apakah kedatangan Lo-cian-pwe ini untuk membesarkan hati para tosu dan memberi pelajaran kepada kami?"
Pek I Tojin tertawa lembut mendengar ucapan itu. Dia bersikap lembut dan tenang. "Siancai, Thian Gi Hwesio sungguh masih saja penuh semangat. Apakah engkau sudah lupa ketika pinto datang bersama Hek Bin Hwesio melerai keributan antara hwesio dan para tosu? Pinto tidak berpihak siapa pun seperti juga Hek Bin Hwesio tidak berpihak siapa pun. Masing-masing melerai dan menahan golongan sendiri, itu baru benar, sesuai dengan petunjuk pemuda bijaksana ini bahwa perdamaian dimulai dari keadaan hati sendiri. Diri sendiri yang harus ditundukkan, bukan orang lain.”
Melihat munculnya Pek I Tojin, seorang datuk yang amat mereka hormati, para tosu tadinya berbesar hati. Akan tetapi mereka pun teringat betapa tokoh besar yang satu ini tidak suka akan pertentangan, maka tentu kedatangannya ini akan berakibat teguran bagi golongan sendiri. Oleh karena itu, seorang di antara paru tosu sudah cepat memberi hormat dan berkata,
"Lo-cian-pwe, kami ini para tosu mohon petunjuk karena kami didesak dan dimusuhi para hwesio yang marah-marah!"
"Siancai, tidak ada kemarahan tanpa sebab dan tidak ada perselisihan timbul kalau kedua pihak tidak saling serang. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah! Tak mungkin terjadi kebakaran kalau api tidak bertemu dengan bahan bakar. Para To-yu (sahabat), setelah pinto datang kalian minta petunjuk. Apakah benar kalian akan mentaati apa yang kunasihatkan?"
"Kami taat!" Serentak para tosu itu menjawab karena mereka percaya sepenuhnya kepada datuk besar itu.
"Nah, kalau kalian taat, sekarang juga kalian duduk bersila dan pasrah sepenuhnya. Kalau ada yang menyerang kalian, sampai membunuh kalian pun, kalian jangan bergerak dan jangan melawan!"
Tentu saja para tosu terbelalak. Mereka berhadapan dengan para hwesio yang sedang marah besar dan sudah siap untuk menyerang, bagaimana mungkin mereka harus berdiam diri, menyerang tanpa perlawanan biar dibunuh sekalipun?
"Akan tetapi bagaimana kalau para hwesio itu menyerang kami dan membunuhi kami, Lo-cian-pwe?"
Pek I Tojin tersenyum. "Adakah manusia membunuh manusia lain kalau Tuhan tidak menghendaki? Kalau sampai kalian mati terbunuh, anggap saja sebagai penebusan dosa yang dilakukan oleh kawan-kawan terdahulu. Biar pinto yang duduk terdepan!" Berkata demikian Pek I lojin juga duduk bersila di depan para tosu lainnya dan dia pun berkata kepada para hwesio dengan lembut dan senyum ramah. "Nah, Saudara-saudara para hwesio, sekarang para tosu sudah menyerah dan tidak akan melawan sedikitpun juga. Terserah kepada kalian apa yang akan kalian lakukan kepada diri kami," berkata demikian Pek I Tojin lalu memejamkan mata dengan mulut tersenyum dan agaknya sudah pulas dalam samadhi. Para tosu lainnya juga meniru perbuatan ini.
Para hwesio saling pandang dengan bingung. Jelas bahwa para tosu itu tidak lagi mau mengadakan perlawanan dengan kekerasan. Betapa mudahnya untuk melampiaskan nafsu amarah dan dendam. Tinggal menghajar saja mereka! Agaknya ada dua orang hwesio yang suah tidak sabar lagi. Melihat kesempatan baik itu terbuka, dua orang hwesio itu sudah bergerak dan melakukan serangan ke arah dua orang tosu yang bersila paling pinggir.
Melihat gerakan dua orang hwesio ini, tiba-tiba toya di tangan Thian Gi Hwesio bergerak dan menyelonong ke depan, mendahului dua orang hwesio itu yang terdorong da mereka terjengkang! Tentu saja dua orang hwesio itu terkejut, heran dan penasaran melihat betapa bekas wakil ketua Siauw-lim-si itu bahkan menyerang mereka untuk mencegah mereka menyerang musuh.
"Apa... apa artinya ini!" mereka berseru.
Wajah Thian Gi Hwesio menjadi merah sekali. "Tidak malukah kalian menyerang orang yang sudah tidak mau melawan? Sungguh perbuatan itu merupakan perbuatan pengecut dan tidak tahu malu! Kalau para tosu sudah tidak mau melawan, berarti mereka itu mengalah dan mengakui kesalahan rekan mereka. Kalau kita menyerang orang yang sudah tidak melawan, maka pihak kitalah yang menjadi sejahat-jahatnya orang! Pinceng melarang rekan-rekan kita untuk turun tangan terhadap para tosu yang tidak melawan. Mulai sekarang, kalau para Tosu tidak menggunakan kekerasan, kita tidak boleh menggunakan kekerasan! Lo-cian-pwe Pek I Tojin hendak menggunakan siasat yang lemah menundukkan yang keras, maka kita pun harus menggunakan kelemahan, bukan kekerasan dan menjadi kalah tanpa bertanding!"
Setelah berkata demikian, Thian Gi Hwesio memberi hormat kepada Pek I Tojin dan para tosu lainnya, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Sembilan orang hwesio lainnya juga mengikuti langkahnya itu sebentar saja mereka sudah meninggalkan puncak itu.
Setelah para hwesio pergi, Pek I Tojin membuka matanya. "Siancai...! Bagaimanapun juga, Thian Gi Hwesio Jelas berwatak keras itu masih memiliki kebijaksanaan."
Para tosu lainnya juga membuka mata mereka dan mereka itu merasa lega bahwa semua hwesio telah pergi.
"Nah, kalian melihat sendiri buktinya bahwa kekerasaan hanya dapat ditundukkan oleh kelunakan. Apakah kalian masih meragukan hukum Tuhan yang mutlak ini?"
Setelah berkata demikian Pek I Tojin kembali tersenyum dan ketika dia menggerakkan tubuhnya, nampak bayangan berkelebat dan dia pun lenyap dari situ. Para tosu memberi hormat ke arah lenyapnya Pek I Tojin kemudian mereka memandang kepada Han Beng yang sejak tadi menonton saja. Seorang di antara mereka menjura.
"Orang muda, terima kasih atas bijaksanaanmu tadi." Setelah berkata demikian, para tosu juga pergi, mengambil arah lain dari arah yang diambil para hwesio.
Namun, didalan hatinya, Han Beng masih menaruh curiga. Tadi, sikap para hwesio masih penasaran, apalagi orang yang ditangkis oleh Thian Ci Hwesio. Siapa tahu mereka itu masih belum dapat melenyapkan dendam. Maka, dengan perasaan tidak enak, Han Beng la berlari menuruni puncak, membayangi para hwesio yang turun menuju ke arah barat.
Para hwesio itu berjalan dengan langkah lebar, akan tetapi dengan mudah Han Beng dapat menyusul dan membayangi mereka. Mereka berjalan tanpa bicara. Ketika mereka tiba di tepi sebelah hutan dan Han Beng sudah mulai saja bosan membayangi mereka karena selain mereka tidak bicara, juga agaknya tidak ada sesuatu yang patut dicurigai, tiba-tiba dari dalam hutan muncul kurang lebih dua puluh orang tosu yang memegang senjata dan tanpa banyak cakap lagi dua puluh orang tosu itu telah menyerang sepuluh orang hwesio itu.
Tentu saja para hwesio menjadi marah. Mereka tadi memang hanya karena terpaksa oleh sikap Pek I Tojin saja menahan diri dan tidak menyerang para tosu yang tidak mau melawan. Kini, melihat dua puluh orang tosu muncul dari dalam hutan dan agaknya memang sengaja menghadang mereka dan menyerang dengan senjata pedang dan golok, sepuluh orang hwesio itu menjadi marah dan mereka pun mengantuk, dipimpin oleh Thian Gi Hwesio yang bersenjatakan toya...!