SEPERTI kita ketahui di bagian depan kisah ini, Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci menjadi suami isteri sebagai akibat dari perbuatan Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Coa Sia Lee berusaha membalas dendam atas kematian Coa Kun Tian, ayah kandungnya dibunuh oleh Liu Bhok Ki. Adapun Sim Lan Ci juga berusaha membalas dendam kepada Sin-tiauw Liu Bhok Ki atas kematian Phang Hui Cu, bibinya yang menjadi isteri Liu Bhok Ki kemudian dibunuh sendiri oleh pendekar itu karena isteri itu berjina dengan Coa Kun Tian.
Akan tetapi, usaha mereka yang kebetulan bersama-sama tidak di rumah kediaman Liu Bhok Ki, juga sama sekali karena bukan Liu Bhok Ki yang terbunuh oleh mereka, sebaliknya mereka berdua yang roboh dan menjadi tawanan Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang perkasa itu! Liu Bhok Ki tidak membunuh mereka. Pendekar aneh ini mempunyai cara yang aneh tersendiri untuk “menghukum" dua orang keturunan dari mendiang isteri dan pacar isterinya itu, yaitu dia membius mereka, memberi minuman yang mengandung obat perangsang berahi dan membiarkan Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci melakukan hubungan badan.
Akan tetapi, kedua orang muda yang di bawah pengaruh obat perangsang itu setelah melakukan hubungan badan di luar kesadaran masing-masing, saling jatuh cinta dan mengambil keputusan untuk melanjutkan hubungan itu dengan menjadi suami isteri. Justeru inilah yang dikehendaki Liu Bhok Ki agar kelak dia memperoleh kesempatan membalas dendam, yaitu merusak hubungan suami isteri itu dan menghancurkan kebahagiaan mereka seperti yang telah menimpa dirinya.
Seperti diceritakan di bagian depan, Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci yang telah bersepakat untuk menjadi suami Isteri, menghadap keluarga Coa Siang Lee. Namun, keluarga Coa yang menjadi , pimpinan Hek-houw-pang menjadi marah dan sama sekali tidak setuju kalau Siang Lee menjadi suami puteri Ban-Tok Mo-li! Sepasang orang muda itu lalu pergi menemui Ban-tok Mo-li, namun datuk sesat, iblis betina yang kejam dan aneh ini pun marah-marah, bahkan hampir membunuh Siang Lee, kemudian mengusir puterinya bersama pria yang dipilih puterinya itu.
Demikianlah, Coa Siang Lee dan Lan Ci lalu pergi. Mereka berdua tentu saja merasa menyesal sekali melihat sikap keluarga masing-masing dan mereka pergi ke daerah yang asing sama sekali di mana mereka hidup baru sebagai suami isteri yang saling mencinta, akan tetapi mereka menyembunyikan kepandaian dan hidup sebagai sepasang suami isteri petani biasa! Mereka bahkan mulai membenci ilmu silat. Bukan karena keluarga mereka itu tokoh-tokoh persilatan maka membenci perjodohan itu? Masing-masing mempertahankan nama dan saling bermusuhan!
Setelah sepuluh tahun menjadi suami isteri, barulah Sim Lan Ci mengandung. Mereka tentu saja merasa berbahagia sekali akan tetapi juga merasa khawatir kalau-kalau anak mereka kelak akan penjadi korban kekerasaan kehidupan kaum persilatan. Maka mereka lalu bersumpah untuk tidak memperkenalkan anak mereka pada dunia persilatan, sama sekali tidak ingin anak mereka mempelajari ilmu silat! Kegembiraan mereka menjadi semakin besar ketika kandungan itu kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat sekali!
Demikianlah, pada sore hari itu, setelah sehari tadi sibuk memimpin buruh tani menuai padi gandum mereka yang subur, suami isteri ini mengaso di miman sebelah kanan rumah mereka, melihat Thian Ki, putera mereka yang berusia tiga tahun itu berlari-larian mengejar kupu-kupu. Biarpun suami isteri itu keturunan orang-orang pandai, bahkan mereka berdua telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka berdua yang sudah kurang lebih dua belas tahun tidak pernah lagi berurusan dengan dunia kang-ouw, mereka menjadi lengah.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada seorang laki-laki muda yang pakaiannya indah pesolek, mengenakan sebuah topi caping lebar yang sama sekali nyembunyikan wajahnya yang tampan beberapa kali lewat di depan rumah mereka. Wajah tampan itu selalu mengintai dari balik capingnya kalau lewat dari rumah itu, dan sepasang mata yang tajam mencorong mengintai ke arah Sim Lan Ci, ibu muda yang cantik dan miliki bentuk tubuh yang masih nampak padat menggairahkan itu. Memang Lan Ci memiliki wajah yang cantik jelita dan menarik sekali.
Laki-laki muda bercaping lebar itu bukan lain adalah Can Hong San. wajahnya yang tampan berseri dan biasanya dihias senyuman ketika akhirnya dia lewat lagi lalu meninggalkan tempat itu, tangan kanan dikepal dan dipukul-pukulkan perlahan pada telapak tangan kiri. Di dalam hatinya, dia sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan, wanita yang amat menarik hatinya itu malam ini!
Dia sedang mencari Lui Seng cu yang berjuluk Hek-houw Tao-to. Lui Seng Cu itu adalah murid mendiang gurunya atau ayah kandungnya, bahkan Lui seng Cu merupakan murid yang ditugaskan untuk menyebarkan aliran baru yang dirintis gurunya, yaitu pemujaan Thian-Te Kwi-ong. Dari suhengnya inilah dia akan mencari tahu tentang kegiatan guruya atau ayahnya akhir-akhir ini. Dan dalam perjalanannya mencari jejak suhengnya itulah Hong San tiba di dusun itu dan kebetulan melihat Sim Lan Ci, ibu muda yang telah menggerakkan hatinya dan membangkitkan gairah berahinya.
Juga suami isteri yang sedang gembira melihat tingkah anak mereka yang mungil itu sama sekali tidak tahu bahwa ada pula sepasang mata yang sejak di mengintai mereka dari balik sebatang pohon, tak jauh dari situ pula. Sepasang mata yang kadang-kadang lembut, kadang-kadang mencorong dahsyat. Mata dari seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah tampan dan gagah.
Itulah wajah pendekar muda yang mulai terkenal namanya dengan julukan Sin-Iiong, bahkan akhir-akhir ini menjadi Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) karena dia sering muncul sepanjang Sungai Huang-ho dan seringkali dia muncul, tentu ada saja penjahat yang terjungkal dan dihajar bahkan banyak gerombolan penjahat dibasminya. Sepak terjangnya sebagai seekor naga sakti saja. Dia adalah Si Han Beng.
Seperti kita ketahui, setelah bersama Pek I Tojin dia membasmi gerombolan yang diketuai "bengcu" Cui beng Sai-kong, Han Beng lalu ikut Pek I Tojin ke Thai-san untuk menerima geimblengan kakek sakti itu. Selama kurang lebih setahun dia digembleng kakek itu dan karena dia memang telah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang gurunya terdahulu, yaitu Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong, maka oleh kakek sakti itu dia hanya dilatih untuk memperdalam dan mematangkan ilmu-ilmunya, juga untuk mempelajari sin-kang yang lebih mendalam dan kuat.
Setelah lewat setahun, dia turun gunung dan teringat akan pesan gurunya yang pertama, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Dia telah berjanji kepada gurunya itu untuk membalaskan dendam gurunya kepada dua orang suami isteri yang bernama Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Tidak mudah baginya untuk mencari jejak suami isteri itu, akan tetapi akhirnya, setelah dia berkunjung ke perkumpulan Hek-houw-pang mencari keterangan, dengan mengaku sebagai seorang kenalan Coa Siang Lee, dia berhasil memperoleh keterangan di mana kiranya suami isteri itu berada.
Ternyata bahwa diam-diam keluarga Coa selalu menyelidiki dan mengikuti keadaan kehidupan Coa Siang Lee. Biarpun Coa Song, ketua Hek-houw-ang, kakek Coa Siang Lee, masih marah melihat cucunya itu menikah dengan puteri Ban-tok Mo-li, namun dia merasa girang bahwa menurut penyelidikan para anak buahnya, Coa Siang Lee tidak terseret keluarga isterinya menjadi penjahat, melainkan hidup dengan tenang dan damai di dusun, menjadi petani. Namun, dia masih belum menghubungi cucunya itu, walaupun diam-diam mencalonkan cucunya sebagai penggantinya kelak memimpin Hek-houw-pang.
Setelah memperoleh keterangan dari Hek-houw-pang, Han Beng lalu pergi berkunjung ke dusun itu dan menemukan suami isteri itu yang pada sore hari itu sedang bergembira bersama putera mereka di dalam taman. Sejak tadi Han Beng melakukan pengintaian dan terjadilah keraguan di dalam hatinya. Mereka adalah sepasang suami isteri yang demikian berbahagia dengan putera mereka, hidup tenteram penuh damai di dusun kecil itu!
Suhunya memberi tugas kepadanya untuk menghancurkan kebahagiaan rumah tangga mereka! Bahkan suhunya memesan agar dia menghancurkan cinta kasih antara suami isteri ini, dengan cara apapun, kalau perlu dia boleh merayu agar isteri atau bahkan memperkosanya! Gila, Suhunya memang sudah menjadi seperti gila oleh dendam! Suhunya, seorang pendekar sakti yang gagah perkasa, menjadi lemah dan gila oleh duka dan dendam. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan yang demikian keji?
Andaikata dia menemukan suami isteri ini sebagai orang-orang jahat, masih mudah baginya untuk membalaskan dendam suhunya, walaupun tentu saja bukan dengan cara yang dikehendaki suhunya. Dia dapat membasmi suami isteri ini sebagai penjahat-penjahat yang layak dibasmi. Tapi, mereka berdua hidup begini tenteram dan penuh damai, berbahagia dengan putera mereka. Akan tetapi, siapa tahu, pikirnya.
Banyak penjahat yang dari luar nampaknya hidup damai dan tenteram. Pikiran terakhir ini membuat Han Beng mengambil keputusan untuk terus membayangi mereka, agar dia dapat yakin bagaimana sesungguhnya keadaan suami isteri yang agaknya amat dibenci suhunya itu. Dia menyelinap semakin dekat untuk mendengarkan prrcakapan antara mereka.
"Betapa indahnya hari ini..." kata Sim Lan Ci sambil memegang tangan suaminya penuh kasih sayang.
Coa Siang Lee menggenggam tangan isterinya, lalu menengok ke arah barat "Memang indah sekali. Lihat langit di barat itu, berwarna-warni demikian indahnya, seolah di balik sanalah terdapat sorga seperti dalam dongeng itu."
"Sungguh berbahagia sekali hatiku. Memiliki engkau sebagai suami dan Thian Ki sebagai anak... ahhh, aku merasa sebagai orang yang paling kaya di dunia ini, paling berbahagia...!"
Coa Siang Lee tersenyum dan mengelus rambut kepala isterinya yang kini bersandar di dadanya. "Perasaan bahagia dalam hati selalu membuat segala suatu nampak indah, Ci-moi. Dan mudah-mudahan saja anak kita akan selalu dapat hidup berbahagia seperti ini, penuh damai, tenteram, dan tidak pernah mengenal permusuhan, kebencian dan kekerasan seperti yang pernah kita alami dahulu."
"Engkau benar, Lee-ko. Aku pun akan menentang keras kalau Thian Ki dipernalkan dengan dunia kita dahulu. Engkau masih mending, karena engkau terlahir di dalam keluarga pendekar. Walaupun engkau juga bergelimang dengan ilmu silat dan kekerasan, namun setidaknya untuk menentang kejahatan, sebaliknya aku..."
"Sudahlah, kenangan masa lalu hanya akan mendatangkan sesal dan duka saja. yang penting, sekarang kita hidup sebagai petani-petani yang berbahagia, dan yang lebih penting lagi, kita akan mendidik putera kita menjadi seorang yang terpelajar, bijaksana, dan dia hanya akan mengenal cinta kasih, tidak mengenal kebencian, tidak mengenal silat dan tidak mengenal kekerasan dan bermusuhan."
Han Beng meninggalkan suami isteri itu, menjauhkan diri dengan hati semakin dipenuhi keraguan. Suami isteri itu kini telah menjadi sepasang suami isteri yang hidup berbahagia, juga memiliki pandangan hidup yang demikian baik! Mereka berdua bahkan ingin menghapus semua kenangan masa lalu, menjadi petani-petani sederhana, bahkan merencanakan untuk mendidik putera mereka menjadi orang yang jauh ilmu silat!
Dan dia harus menghancurkan kebahagiaan dua orang itu? Bahkan tiga orang bersama putera mereka? Sungguh gila! Tidak, dia tidak akan melakukan hal yang keji itu. Akan tetapi bagaimana dengan janjinya terhadap gurunya? dia teringat akan sikap gurunya yang amat keji terhadap dua buah kepala manusia itu dan dia bergidik. Gurunya su guh gila karena dendam. Dan guru itu mengambilnya sebagai murid hanya agar dia suka membalaskan dendam kepada keturunan dua orang yang pernah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, yaitu suami isteri yang sekarang berada di taman itu.
Keraguan yang membuat hati Han Beng merasa bimbang ini akhirnya membuat dia khawatir untuk mengintai terus, bayangan suhunya, yang telah demikian baik kepadanya, semua budi yang dilimpahkan suhunya kepadanya, sejak suhunya menyelamatkannya dari ancaman maut di Sungai Huang-ho, lalu betapa suhunya mendidik dan menggemblengnya dengan kesungguhan hati selama lima tahun dan suhunya tidak pernah minta belas jasa.
Suhunya hanya membuat dia berjanji untuk memenuhi pesannya itu, hanya satu saja permintaannya, yaitu membalas dendam kepada suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, dan kini dia ragu-ragu, bahkan condong untuk tidak memenuhi pesan suhunya. Kalau dia berada di situ lebih lama lagi, dia kha¬watir kalau pikirannya akan berubah lagi. Tanpa diketahui suami isteri dan anak tereka, diapun meninggalkan tempat pengintaiannya.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci membawa anak mereka memasuki rumah selelah senja melarut dan malam hampir tiba. Mereka hidup bertiga saja, tanpa Pembantu di dalam rumah mereka yang tidak berapa besar namun yang bersih dan rapi. Hanya ada dua buah kamar dalam rumah itu, kamar suami isteri dan kamar untuk anak mereka den pintu tembusan antara dua kamar. Mereka lalu makan malam dan setelah selesai makan malam, Sim Lan Ci membersikan meja makan dan mencuci mangkok, piring, sedangkan Coa Siang Lee mengajak Thian Ki bermain-main di ruang tengah.
Sehabis makan malam tadi, mereka membersihkan mulut dan gigi, suatu kebiasaan yang dipakai oleh Sim Lan Ci sejak ia masih kecil. Ibu kandung Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, biarpun usianya sudah setengah abad lebih, masih nampak cantik dengan gigi yang putih rapi karena ibunya juga mempunyai kebiasaan membersihkan mulut dan gigi setiap kali mau tidur dan kebiasaan menurun kepada Sim Lan Ci. Nyonya muda itu kini menularkan kebiasaan yang amat baik kepada suaminya dan juga kepada anaknya.
Malam itu hawa udara amat dinginnya. Biarpun bulan sedang purnama sehingga dunia diluar rumah amatlah indah dan romantisnya, namun jarang ada penghuni dusun yang mau keluar meninggalkan kamar mereka yang hangat karena diluar, hawa dingin menusuk tulang, bahkan mereka itu tidur sore-sore. Demikian pula dengan keluarga Coa Siang . Mereka berdua sudah berada di kamar putera mereka, dan keduanya meninabobok putera tersayang itu dengan nyanyian dan dongeng.
Setelah Thian Ki akhirnya tidur pulas ayah ibunya menyelimutinya, meniggalkan kamar putera mereka itu dengan membiarkan sebuah pelita kecil bernyala di sudut kamar, lalu mereka sambil bergandengan tangan lalu memasuki kamar mereka sendiri yang bersambung dengan kamar putera mereka.
Akan tetapi, begitu tiba di dalam kamar mereka, suami isteri itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat karena mereka melihat bahwa di atas pembaringan mereka telah duduk seorang laki-laki muda yang mengenakan caping lebar!
Pemuda itu menurunkan capingnya ke belakang dan kini dia memandang kepada suami isteri itu sambil tersenyum. Wajah pemuda itu sungguh tampan ketika tersenyum, dia nampak semakin ganteng dan melihat pakaiannya, mudah diduga bahwa dia seorang sastrawan atau setidaknya seorang pelajar! Sebuah buntalan berada di atas meja.
"Siapa engkau?" Coa Siang Lee tanya dengan suara kaku dan alis berkerut. "Dan mau apa engkau datangi kamar kami?"
"Bagaimana engkau dapat masuk sini?" Sim Lan Ci juga bertanya. Wajah pemuda ini tadi mengerling ke kanan dan melihat betapa jendela dan pintu masih tertutup, lalu bagaimana orang muda ini dapat berada di dalam kamarnya tanpa ia dan suaminya mendengar, suara sedikit pun?
Pemuda itu tersenyum makin lebar sepasang matanya berbinar-binar penuh kegembiraan, mata yang sejak tadi ditujukan kepada Sim Lan Ci sedemikian rupa sehingga ibu muda ini merasa seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya, membuatnya bergidik, akan tetapi juga marah.
"Manis, aku datang karena aku jatuh cinta padamu ketika melihat engkau di taman tadi." katanya dengan sikap biasa saja seolah-olah dia mengeluarkan ucapan yang wajar.
Tentu saja seketika wajah suami isteri itu menjadi merah padam. Coa Siang Lee melangkah maju dan membentak, "Engkau ini seorang yang gila atau memang sengaja hendak mengganggu kami! ayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu datang seperti ini?"
Kini sepasang mata itu ditujukan kepada Siang Lee yang menjadi terkejut melihat mata itu mencorong. "Aku tidak butuh denganmu!" kata pemuda itu degan sikap yang angkuh sekali. "Keluarlah engkau dari kamar ini, aku hanya ingin meminjam isterimu untuk malam ini!"
Coa Siang Lee terbelalak dan Lan Ci bahkan mengeluarkan jerit kecil. Kemarahan mereka tidaklah sebesar keheranan mereka mendengar ucapan seperti itu. Kiranya hanya orang yang berotak miring saja yang mampu bicara seperti itu, hendak meminjam isteri orang dan menyuruh suaminya keluar dari kamarnya sendiri! Akan tetapi, setelah keheranan itu lewat, kemarahan membawa wajah Siang Lee merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Selama dua belas tahun mereka tinggal di dalam dusun itu, tidak pernah satu kali mereka terlibat urusan kekerasan, dan mereka sama sekali tidak pernah mempergunakan ilmu silat mereka, bahkan untuk berkelahi maupun hanya sebagai latihan. Dan malam ini, muncul seorang pemuda yang demikian beraninya melakukan penghinaan secara luar biasa sekali. Sikap pemuda itu membuat mereka dua saling pandang dan merasa curiga.
"Sobat, katakan siapa engkau mengapa engkau sengaja datang untuk mengganggu kami yang tidak mengenalmu! Siapakah yang menyuruh engkau bersikap seperti ini terhadap kami?"
Sim Lan Ci kini bicara dan sikapnya tidak lagi seperti seorang wanita biasa, melainkan ia sudah kembali bersikap seperti dulu, seorang wanita gemblengan yang sudah biasa menghadapi kekerasan.
Sikap ini membuat pemuda yang bukan lain adalah Can Hong San itu berdiri dan memandang heran. Mana mungkin ada seorang wanita dusun bersikap gagah ini? Akan tetapi, melihat wanita yang digilainya itu dapat bersikap segagah itu, dia menjadi semakin tertarik dan kembali dia tersenyum.
"Manis, engkaulah yang menyuruh aku datang malam ini. Sore tadi aku kebetulan lewat di luar taman dan melihat engkau demikian cantik jelita dan manis... hmmmmm, aku merasa seperti ditarik besi semberani dan di sinilah aku sekarang! Mari, Manis, mari kau layanilah gairahku..." Dia mengembangkan kedua lengan seperti hendak memeluk!
Suami isteri itu tidak dapat menahan kesabaran mereka lebih lama lagi. "Manusia gila! Engkau sungguh kurang ajar dan patut dihajar!" bentak Coa Siang Lee yang sudah mengirim tamparan keras kearah mulut pemuda itu.
Tamparan Coa Siang Lee bukan tamparan biasa, melainkan tamparan yang amat kuat karena biarpun selama belasan tahun pria ini tidak pernah berlatih, namun dia memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan memang ilmunya sudah mendarah daging dalam dirinya.
Diam-diam Can Hong San terkejut bukan main. Tadinya dia mengira bahwa suami isteri itu hanyalah orang-orang dusun biasa. Sungguh tidak disangkanya bahwa "petani" itu mampu menamparnya dengan kekuatan sedahsyat itu! Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan lihai. Akan tetapi, dengan tenang saja dia sengaja mengangkat lengan untuk menangkis, tentu saja diam-diam mengerahkan pula tenaga sin-kangnya.
"Dukkk...!" Akibat tangkisan ini, tubuh Coa Siang Lee terpelanting! Bukan main heran dan kagetnya Siang Lee. sungguh tak disangkanya bahwa orang yang amat kurang ajar dan mendekati gila ini memiliki tenaga yang sedemikian hebatnya! Maka, tanpa banyak cakap lagi karena dia kini maklum bahwa orang itu memang sengaja datang untuk mencari keributan, dia lalu maju menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari ilmu silat Hek-houw-pang. Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan gerakannya selain cepat, juga penuh tenaga dasyat, mencengkeram kesana-sini dibagian tubuh berbahaya dari lawan.
"Aha, kiranya engkau bukan petani dusun biasa, melainkan seorang ahli silat yang agaknya menyembunyikan diri di sini!" Hong San berseru heran, akan tetapi dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dengan amat lincahnya, mengelak, menangkis dan membalas serangan lawan.
Terjadilah perkelahian yang seru di dalam kamar itu. Namun, Siang Lee merasa semakin kaget khawatir karena dia mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda bercaping lebar ini! Sim Lan Ci juga melihat betapa suaminya tidak akan menang menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan pemuda yang luar biasa lihainya itu! Tentu sengaja datang mencari mereka untuk membunuh!
Tidak banyak terdapat orang selihai ini di dunia kang-ouw, pikirnya dan tidak mungkin hanya kebetulan saja datang di tempat itu, melihatnya tergila-gila kepadanya. Diam-diam nyonya ini lalu menuju ke sebuah almari mana ia masih menyimpan beberapa buah senjata rahasianya yang sudah belasan tahun tidak pernah dipergunakannya.
Untung bahwa di dalam kantung itu masih terdapat empat batang Toat-beng tok-piauw (Piauw Beracun Pencabut Nyawa). Cepat ia mengambilnya dan menyambit-nyambitkan empat batang piauw itu dengan hati-hati agar jangan mengenai suaminya sambil berteriak nyaring.
"Lee-ko, mundur! Jahanam busuk, makanlah piauw-ku!"
Terdengar suara bersiutan ketika empat batang piauw itu menyambar, dan Siang Lee sudah melompat ke belakang, empat batang senjata rahasia beracun itu menyambar dengan cepat sekali ke arah tubuh Hong San, namun betapa kagetnya hati nyonya muda itu ketika tiba-tiba saja tubuh pemuda bercaping lebar itu berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakangnya, menyentuh pinggulnya dengan jari tangan, mencubit pinggul itu.
“Ihhh!" la membalik dan seperti seekor singa betina mengamuk ia pun menyerang dengan ilmu silat Ban-tok-hwa-im yang amat dahsyat!
Diam-diam Hong San semakin kagum dan terkejut. Kiranya wanita ini memiliki ilmu silat yang leih lihai daripada suaminya! Juga Siang Lee sudah maju menerjang dan Hong San dikeroyok suami isteri itu di dalam kamar yang tidak begitu luas. Barulah Hong San merasa kecelik terkejut. Dia maklum bahwa kalau menandingi suami isteri itu satu demi satu dia masih sanggup untuk menang. Akan tetapi dikeroyok dua oleh suami isteri yang lihai ini, sungguh amat berbahaya baginya.
Namun, dia bukan orang yang suka mengaku kalah. Apalagi, hasratnya menjadi semakin bernyala-nyala setelah kini dia melihat bahwa wanita yang membuatnya tergila-gila itu bukan sekedar cantik manis saja, melainkan juga amat lihai! Dia semakin tergila-gila dan mengambil keputusan bahwa harus memiliki wanita itu.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci mengeroyok pemuda itu, kini menjadi yakin bahwa pemuda ini memang datang bukan sekedar tertarik oleh kecantikan Lan Ci, melainkan tentu mempunyai tujuan yang sudah direncanakan untuk mencelakan mereka. Mereka merasa menyesal sekali mengapa selama ini mereka lengah sehingga bukan saja mereka tidak pernah berlatih silat sehingga tentu saja gerakan mereka tidaklah selincah dahulu, akan tetapi juga mereka telah menyimpan pedang mereka dan sudah lupa lagi dimana mereka menyimpan senjata mereka itu. Kalau mereka kini dapat memegang senjata pedang mereka, kiranya mereka akan dapat mengalahkan musuhnya dengan cepat.
Betapapun juga, suami isteri yang memang lihai itu mulai dapat mendesak Hong San. Mereka berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kehormatan, sebaliknya, Hong San hanya main-main saja karena memang maksudnya bukan memusuhi suami isteri itu, melainkan "meminjam" sang isteri! Biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka namun dikeroyok dua oleh suami isteri yang nekat itu dia menjadi kewalahan juga.
"Ayah... Ibu...!" Tiba-tiba terdengar suara anak kecil ini dan yang muncul di pintu tembusan adalah Thian Ki, anak laki-laki berusia tiga tahun itu. agaknya dia terbangun karena suara ribut-ribut.
"Thian Ki...! Kembali kekamarmu...!" Sim Lan Ci berseru kaget bukan main, namun terlambat.
Melihat munculnya anak itu, Hong San yang cerdik seperti setan itu sudah menyambut ke belakang dan tahu-tahu anak itu telah berada dalam pondongannya. Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi sekali Hong San menekan tengkuknya, anak itu terkulai lemas, tertotok dan tak mampu bergerak atau berteriak lagi.
Melihat anak mereka berada dalam cengkeram penjahat itu, suami isteri yang tadinya mengamuk itu, terpaksa menahan gerakan mereka dan memandang dengan mata terbelalak dan pucat.
"Kembalikan anakku...!" Sim Lan berseru, siap untuk menubruk maju.
"Heittttt... tenanglah, manis. Apakah kalian menghendaki aku membanting anak ini di depan kaki kalian sampai remuk, baru kemudian kubunuh kalian?” Hong San mengancam dan mengangkat anak itu, siap untuk membantingnya.
"Jangan... jangan lakukan itu...!" Siang Lee berseru, wajahnya semakin pucat. "Apakah yang kau kehendaki sebenarnya? Siapakah engkau? Jangan membunuh anak kami yang tidak berdosa!"
"Aku tidak akan membunuh anak mungil ini kalau kalian menurut kata-kataku. Akan tetapi, sedikit saja kalian membuat gerakan mencurigakan atau tidak menurut perintahku, tentu aku akan membanting remuk anak mungil ini!"
"Jangan bunuh dia... katakan yang harus kami lakukan!" kata Sim Lan Ci, juga merasa khawatir dan merasa tidak berdaya sama sekali setelah, puteranya ditawan.
"Bagus, Manis. Nah, perintahku pertama, kau totok jalan darah suami agar dia tidak mampu bergerak lagi kemudian ikat kaki tangannya di tiang sudut kamar itu."
Sepasang mata Sim Lan Ci terbelalak, alisnya berkerut dan tentu saja ia tidak setuju, akan tetapi tidak berani terang-terangan menolak. Melihat sikap ragu-ragu wanita itu, Hong San mengancam, “Cepat lakukan perintahku, atau kau lebih suka melihat anakmu ini kubanting?"
"Ci-moi, lakukanlah perintahnya." kata Siang Lee yang merasa tidak berdaya dan amat mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang terjatuh ke tangan orang yang agaknya sinting itu.
Lan Ci menghampiri suaminya, pandang matanya sayu dan menderita sekali. “Maafkan aku..." bisiknya dan ia pun menotok jalan darah di pundak suaminya.
Seketika tubuh itu lemas dan tentu roboh kalau tidak cepat ditangkap oleh Lan Ci yang memapahnya, menariknya ke tiang di sudut kamar. Dengan hati tidak karuan rasanya, Lan Ci terpaksa mengikat kaki tangan suaminya pada tiang itu, menghadap ke arah kamar karena ia ingin suaminya tetap waspada walaupun untuk sementara tidak mampu bergerak.
"Ha-ha, jangan mencoba menipu aku, Manis. Aku adalah seorang ahli totok jalan darah, tahu? Hayo totok lagi jalan darah thian hu-hiat agar dia tidak dapat lepas pula dari totokan, lalu ikat dia!"
Lan Ci terkejut. Akalnya ketahuan dan hal ini hanya membuktikan betapa lihainya lawan itu. Memang tadi ia menotok lemas suaminya, hanya totokan hanya sementara saja, dan dalam beberapa menit suaminya akan pulih kembali. Terpaksa ia melaksanakan perintah dan sekarang keadaan suaminya benar-benar lemas dan tidak mampu bergerak untuk waktu sedikitnya dua jam! Karena merasa percuma untuk menipu, ia pun mengikat kaki tangan suaminya dengan sabuk sutera yang kuat.
"Sudah kulaksanakan perintahmu, karang bebaskan anakku!" kata Sim Ci.
Pemuda itu menyeringai dan bair pun dia tampan, namun pada saat itu bagi Lan Ci dia kelihatan seperti iblis yang menyeramkan. Sim Lan Ci sendiri adalah puteri Ban-tok Mo-li. Sudah biasa melihat kekejaman-kekejaman walau pun ia sendiri tidak berbakat untuk menjadi jahat. Namun karena sekarang ia yang menjadi korbannya, maka ia merasa begitu marahnya sehingga kalau saja bidak teringat akan keselamatan puteranya, ingin rasanya ia menyerang dan mengadu nyawa dengan pemuda itu.
"Heh-heh-heh, sudah kukatakan. Aku datang bukan untuk membunuh kalian. Manis. Kalau aku ingin membunuh kalian, apa sukarnya? Aku hanya tergila-gila kepadamu, Manis. Aku tidak akan membunuh kalian bertiga kalau engkau bersikap manis padaku. Nah, sekarang perintahku ke dua. Tanggalkan semua pakaianmu!"
Sepasang mata itu terbelalak dan kedua pipi Lan Ci berubah merah lagi. Ada hawa keluar dari dadanya yang membuat ia ingin sekali menerjang laki-laki yang menghinanya itu. "Jahanam keparat! Engkau hendak menghinaku... memperkosaku di depan suamiku dan anakku? Keparat, iblis...!"
"Ingat, aku banting anakmu kalau engkau bergerak menyerang!" Hong San berseru dan mengangkat tubuh Thian Ki "Aku tidak ingin memperkosamu, aku ingin engkau melayani aku dengan penuh kemesraan dan kasih sayang!"
Aku tidak sudi...!" Lan Ci berteriak. "Lebih baik aku mati!"
"Engkau tidak akan mati, Manis. Akan tetapi anakmu ini yang akan remuk kepalanya, dan engkau akhirnya akan jatuh pula ke dalam pelukanku, walau untuk itu aku harus melakukan paksaan. Nah, lihat kepala anakmu akan hancur dan otaknya berantakan!"
"Tunggu...! Jangan bunuh anakku!" siang Lee berseru dengan lemah. "Ci-moi... lakukanlah apa yang dikehendakinya" katanya dan suaranya mengandung isak saking marah dan tidak berdaya.
Sim Lan Ci membelalakkan matanya kepada suaminya. "Apa? Engkau suamiku sendiri, engkau satu-satunya pria yang kucinta, engkau menyuruh aku membiarkan diriku dihinanya? Kemudian, kalau dia sudah menggauli di depan matamu, lalu kelak engkau memandang rendah padaku, ya? Engkau menghinaku, engkau bahkan akan membenciku...!"
"Tidak, isteriku! Sama sekali tidak. Kalau hanya untuk keselamatan diriku sampai mati pun aku tidak rela melihat engkau disentuhnya. Akan tetapi untuk Thian Ki...! Ingat Thian Ki anak kita satu-satunya...! Dia tidak boleh mati konyol begitu saja!"
Sim Lan Ci menjadi lemas. Ia mandang ke kanan kiri bagaikan seekor kelinci yang sudah disudutkan, siap diterkam harimau. Ia tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi melihat anaknya diangkat tinggi-tinggi itu, ia merasa hatinya seperti hancur luluh.
"Baiklah... baiklah...!" Ia berbisik dan terdengar isak tertahan. "Aku turut perintahmu, akan tetapi... kau bebas dulu anakku... lepaskan dia..."
"Ha-ha-ha, kau kira aku ini anak kecil yang mudah kautipu begitu saja? Namanya menjual barang, belum memberi dan memperlihatkan barangnya sudah mau minta bayarannya! Hayo kau tanggalkan dulu pakaian itu satu demi satu, dan aku akan membebaskan anakmu!"
Sim Lan Ci merasa bahwa ia berada di dalam cengkeraman seorang gila, atau seorang yang luar biasa jahatnya, kejamnya, akan tetapi juga amat cerdiknya. Bicara dengan orang seperti itu, tidak ada gunanya, juga akan menyakitkan hati saja kalau mencoba untuk mengakalinya. Maka, dengan hati penuh kemarahan sehingga tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena marah, mulailah ia menanggalkan pakaiannya, di depan penjahat muda yang gila itu, juga di depan suaminya yang memandang tidak berdaya.
"Bagus... bagus... ah, sudah kuduga... engkau memiliki tubuh yang hebat sekali...! Ah, engkau sungguh manis..." Hong San terbelalak, matanya mengeluarkan sinar aneh dan hidungnya mendengus seperti seekor kuda, napasnya terengah.
Lan Ci tidak peduli, menanggalkan pakaian seolah-olah disitu tidak ada seorang pun yang memandangnya, seperti kalau ia sedang hendak mandi saja. "Sudah, kulaksanakan perintahmu, karang bebaskan anakku, berikan kepadaku!" kata Sim Lan Ci.
Hong San tertawa. "Ha-ha-ha, aku masih belum selesai denganmu, Manis, Masih belum selesai, bahkan baru mulai... akan tetapi aku pun bukan orang yang tidak memegang janji. Nah, ini anakmu sudah kulepaskan, akan tetapi engkau naiklah ke atas pembaringan itu. Engkau harus melayani aku dengan suka rela, dengan mesra... ah, aku sungguh semakin tergila-gila padamu, Manis...!"
Hong San benar saja melepas Thian Ki yang tidak mampu bergerak itu ke atas lantai, di mana anak itu menggeletak tak mampu bergerak, hanya memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Kemudian, dia menghampiri Lan Ci.
Wanita ini maklum apa yang akan dilakukan penjahat yang seperti iblis gila Itu. Kalau ia menolak, tetap saja anaknya berada dalam bahaya. Ia harus pura-pura menurut, dan nanti di atas pembaringan, masih ada kesempatan baginya untuk mengadu nyawa. Yang penting, anaknya haruslah benar-benar bebas dari ancaman maut lebih dulu.
Maka, ia pun mundur dan duduk di tepi pembaringan, seolah-olah menanti Hong San yang bagaikan seekor harimau menghampiri seekor kelinci gemuk yang sudah menyerah, dan gairah di dalam hati penjahat muda Ini semakin bergelora karena dia pun mengira bahwa sekali ini wanita manis itu telah benar-benar menyerah dan takluk kepadanya.
Sementara itu, sejak tadi Coa Siang Lee menjadi penonton yang tidak berdaya. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan hatinya. Dia melihat puteranya terancam maut tanpa mampu melindungi, kini dia bahkan disuruh melihat isterinya tercinta akan diperkosa orang dan dia sama sekali tidak mampu bergerak! Ingin dia memaki, ingin dia berteriak, ingin dia menangis, namun dia tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, bahkan kalau penjahat itu marah jangan-jangan Thian Ki akan dibunuhnya lebih dulu...!
Akan tetapi, usaha mereka yang kebetulan bersama-sama tidak di rumah kediaman Liu Bhok Ki, juga sama sekali karena bukan Liu Bhok Ki yang terbunuh oleh mereka, sebaliknya mereka berdua yang roboh dan menjadi tawanan Sin-tiauw Liu Bhok Ki yang perkasa itu! Liu Bhok Ki tidak membunuh mereka. Pendekar aneh ini mempunyai cara yang aneh tersendiri untuk “menghukum" dua orang keturunan dari mendiang isteri dan pacar isterinya itu, yaitu dia membius mereka, memberi minuman yang mengandung obat perangsang berahi dan membiarkan Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci melakukan hubungan badan.
Akan tetapi, kedua orang muda yang di bawah pengaruh obat perangsang itu setelah melakukan hubungan badan di luar kesadaran masing-masing, saling jatuh cinta dan mengambil keputusan untuk melanjutkan hubungan itu dengan menjadi suami isteri. Justeru inilah yang dikehendaki Liu Bhok Ki agar kelak dia memperoleh kesempatan membalas dendam, yaitu merusak hubungan suami isteri itu dan menghancurkan kebahagiaan mereka seperti yang telah menimpa dirinya.
Seperti diceritakan di bagian depan, Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci yang telah bersepakat untuk menjadi suami Isteri, menghadap keluarga Coa Siang Lee. Namun, keluarga Coa yang menjadi , pimpinan Hek-houw-pang menjadi marah dan sama sekali tidak setuju kalau Siang Lee menjadi suami puteri Ban-Tok Mo-li! Sepasang orang muda itu lalu pergi menemui Ban-tok Mo-li, namun datuk sesat, iblis betina yang kejam dan aneh ini pun marah-marah, bahkan hampir membunuh Siang Lee, kemudian mengusir puterinya bersama pria yang dipilih puterinya itu.
Demikianlah, Coa Siang Lee dan Lan Ci lalu pergi. Mereka berdua tentu saja merasa menyesal sekali melihat sikap keluarga masing-masing dan mereka pergi ke daerah yang asing sama sekali di mana mereka hidup baru sebagai suami isteri yang saling mencinta, akan tetapi mereka menyembunyikan kepandaian dan hidup sebagai sepasang suami isteri petani biasa! Mereka bahkan mulai membenci ilmu silat. Bukan karena keluarga mereka itu tokoh-tokoh persilatan maka membenci perjodohan itu? Masing-masing mempertahankan nama dan saling bermusuhan!
Setelah sepuluh tahun menjadi suami isteri, barulah Sim Lan Ci mengandung. Mereka tentu saja merasa berbahagia sekali akan tetapi juga merasa khawatir kalau-kalau anak mereka kelak akan penjadi korban kekerasaan kehidupan kaum persilatan. Maka mereka lalu bersumpah untuk tidak memperkenalkan anak mereka pada dunia persilatan, sama sekali tidak ingin anak mereka mempelajari ilmu silat! Kegembiraan mereka menjadi semakin besar ketika kandungan itu kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat sekali!
Demikianlah, pada sore hari itu, setelah sehari tadi sibuk memimpin buruh tani menuai padi gandum mereka yang subur, suami isteri ini mengaso di miman sebelah kanan rumah mereka, melihat Thian Ki, putera mereka yang berusia tiga tahun itu berlari-larian mengejar kupu-kupu. Biarpun suami isteri itu keturunan orang-orang pandai, bahkan mereka berdua telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka berdua yang sudah kurang lebih dua belas tahun tidak pernah lagi berurusan dengan dunia kang-ouw, mereka menjadi lengah.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada seorang laki-laki muda yang pakaiannya indah pesolek, mengenakan sebuah topi caping lebar yang sama sekali nyembunyikan wajahnya yang tampan beberapa kali lewat di depan rumah mereka. Wajah tampan itu selalu mengintai dari balik capingnya kalau lewat dari rumah itu, dan sepasang mata yang tajam mencorong mengintai ke arah Sim Lan Ci, ibu muda yang cantik dan miliki bentuk tubuh yang masih nampak padat menggairahkan itu. Memang Lan Ci memiliki wajah yang cantik jelita dan menarik sekali.
Laki-laki muda bercaping lebar itu bukan lain adalah Can Hong San. wajahnya yang tampan berseri dan biasanya dihias senyuman ketika akhirnya dia lewat lagi lalu meninggalkan tempat itu, tangan kanan dikepal dan dipukul-pukulkan perlahan pada telapak tangan kiri. Di dalam hatinya, dia sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan, wanita yang amat menarik hatinya itu malam ini!
Dia sedang mencari Lui Seng cu yang berjuluk Hek-houw Tao-to. Lui Seng Cu itu adalah murid mendiang gurunya atau ayah kandungnya, bahkan Lui seng Cu merupakan murid yang ditugaskan untuk menyebarkan aliran baru yang dirintis gurunya, yaitu pemujaan Thian-Te Kwi-ong. Dari suhengnya inilah dia akan mencari tahu tentang kegiatan guruya atau ayahnya akhir-akhir ini. Dan dalam perjalanannya mencari jejak suhengnya itulah Hong San tiba di dusun itu dan kebetulan melihat Sim Lan Ci, ibu muda yang telah menggerakkan hatinya dan membangkitkan gairah berahinya.
Juga suami isteri yang sedang gembira melihat tingkah anak mereka yang mungil itu sama sekali tidak tahu bahwa ada pula sepasang mata yang sejak di mengintai mereka dari balik sebatang pohon, tak jauh dari situ pula. Sepasang mata yang kadang-kadang lembut, kadang-kadang mencorong dahsyat. Mata dari seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah tampan dan gagah.
Itulah wajah pendekar muda yang mulai terkenal namanya dengan julukan Sin-Iiong, bahkan akhir-akhir ini menjadi Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) karena dia sering muncul sepanjang Sungai Huang-ho dan seringkali dia muncul, tentu ada saja penjahat yang terjungkal dan dihajar bahkan banyak gerombolan penjahat dibasminya. Sepak terjangnya sebagai seekor naga sakti saja. Dia adalah Si Han Beng.
Seperti kita ketahui, setelah bersama Pek I Tojin dia membasmi gerombolan yang diketuai "bengcu" Cui beng Sai-kong, Han Beng lalu ikut Pek I Tojin ke Thai-san untuk menerima geimblengan kakek sakti itu. Selama kurang lebih setahun dia digembleng kakek itu dan karena dia memang telah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang gurunya terdahulu, yaitu Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong, maka oleh kakek sakti itu dia hanya dilatih untuk memperdalam dan mematangkan ilmu-ilmunya, juga untuk mempelajari sin-kang yang lebih mendalam dan kuat.
Setelah lewat setahun, dia turun gunung dan teringat akan pesan gurunya yang pertama, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Dia telah berjanji kepada gurunya itu untuk membalaskan dendam gurunya kepada dua orang suami isteri yang bernama Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Tidak mudah baginya untuk mencari jejak suami isteri itu, akan tetapi akhirnya, setelah dia berkunjung ke perkumpulan Hek-houw-pang mencari keterangan, dengan mengaku sebagai seorang kenalan Coa Siang Lee, dia berhasil memperoleh keterangan di mana kiranya suami isteri itu berada.
Ternyata bahwa diam-diam keluarga Coa selalu menyelidiki dan mengikuti keadaan kehidupan Coa Siang Lee. Biarpun Coa Song, ketua Hek-houw-ang, kakek Coa Siang Lee, masih marah melihat cucunya itu menikah dengan puteri Ban-tok Mo-li, namun dia merasa girang bahwa menurut penyelidikan para anak buahnya, Coa Siang Lee tidak terseret keluarga isterinya menjadi penjahat, melainkan hidup dengan tenang dan damai di dusun, menjadi petani. Namun, dia masih belum menghubungi cucunya itu, walaupun diam-diam mencalonkan cucunya sebagai penggantinya kelak memimpin Hek-houw-pang.
Setelah memperoleh keterangan dari Hek-houw-pang, Han Beng lalu pergi berkunjung ke dusun itu dan menemukan suami isteri itu yang pada sore hari itu sedang bergembira bersama putera mereka di dalam taman. Sejak tadi Han Beng melakukan pengintaian dan terjadilah keraguan di dalam hatinya. Mereka adalah sepasang suami isteri yang demikian berbahagia dengan putera mereka, hidup tenteram penuh damai di dusun kecil itu!
Suhunya memberi tugas kepadanya untuk menghancurkan kebahagiaan rumah tangga mereka! Bahkan suhunya memesan agar dia menghancurkan cinta kasih antara suami isteri ini, dengan cara apapun, kalau perlu dia boleh merayu agar isteri atau bahkan memperkosanya! Gila, Suhunya memang sudah menjadi seperti gila oleh dendam! Suhunya, seorang pendekar sakti yang gagah perkasa, menjadi lemah dan gila oleh duka dan dendam. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan yang demikian keji?
Andaikata dia menemukan suami isteri ini sebagai orang-orang jahat, masih mudah baginya untuk membalaskan dendam suhunya, walaupun tentu saja bukan dengan cara yang dikehendaki suhunya. Dia dapat membasmi suami isteri ini sebagai penjahat-penjahat yang layak dibasmi. Tapi, mereka berdua hidup begini tenteram dan penuh damai, berbahagia dengan putera mereka. Akan tetapi, siapa tahu, pikirnya.
Banyak penjahat yang dari luar nampaknya hidup damai dan tenteram. Pikiran terakhir ini membuat Han Beng mengambil keputusan untuk terus membayangi mereka, agar dia dapat yakin bagaimana sesungguhnya keadaan suami isteri yang agaknya amat dibenci suhunya itu. Dia menyelinap semakin dekat untuk mendengarkan prrcakapan antara mereka.
"Betapa indahnya hari ini..." kata Sim Lan Ci sambil memegang tangan suaminya penuh kasih sayang.
Coa Siang Lee menggenggam tangan isterinya, lalu menengok ke arah barat "Memang indah sekali. Lihat langit di barat itu, berwarna-warni demikian indahnya, seolah di balik sanalah terdapat sorga seperti dalam dongeng itu."
"Sungguh berbahagia sekali hatiku. Memiliki engkau sebagai suami dan Thian Ki sebagai anak... ahhh, aku merasa sebagai orang yang paling kaya di dunia ini, paling berbahagia...!"
Coa Siang Lee tersenyum dan mengelus rambut kepala isterinya yang kini bersandar di dadanya. "Perasaan bahagia dalam hati selalu membuat segala suatu nampak indah, Ci-moi. Dan mudah-mudahan saja anak kita akan selalu dapat hidup berbahagia seperti ini, penuh damai, tenteram, dan tidak pernah mengenal permusuhan, kebencian dan kekerasan seperti yang pernah kita alami dahulu."
"Engkau benar, Lee-ko. Aku pun akan menentang keras kalau Thian Ki dipernalkan dengan dunia kita dahulu. Engkau masih mending, karena engkau terlahir di dalam keluarga pendekar. Walaupun engkau juga bergelimang dengan ilmu silat dan kekerasan, namun setidaknya untuk menentang kejahatan, sebaliknya aku..."
"Sudahlah, kenangan masa lalu hanya akan mendatangkan sesal dan duka saja. yang penting, sekarang kita hidup sebagai petani-petani yang berbahagia, dan yang lebih penting lagi, kita akan mendidik putera kita menjadi seorang yang terpelajar, bijaksana, dan dia hanya akan mengenal cinta kasih, tidak mengenal kebencian, tidak mengenal silat dan tidak mengenal kekerasan dan bermusuhan."
Han Beng meninggalkan suami isteri itu, menjauhkan diri dengan hati semakin dipenuhi keraguan. Suami isteri itu kini telah menjadi sepasang suami isteri yang hidup berbahagia, juga memiliki pandangan hidup yang demikian baik! Mereka berdua bahkan ingin menghapus semua kenangan masa lalu, menjadi petani-petani sederhana, bahkan merencanakan untuk mendidik putera mereka menjadi orang yang jauh ilmu silat!
Dan dia harus menghancurkan kebahagiaan dua orang itu? Bahkan tiga orang bersama putera mereka? Sungguh gila! Tidak, dia tidak akan melakukan hal yang keji itu. Akan tetapi bagaimana dengan janjinya terhadap gurunya? dia teringat akan sikap gurunya yang amat keji terhadap dua buah kepala manusia itu dan dia bergidik. Gurunya su guh gila karena dendam. Dan guru itu mengambilnya sebagai murid hanya agar dia suka membalaskan dendam kepada keturunan dua orang yang pernah menghancurkan kebahagiaan hidupnya, yaitu suami isteri yang sekarang berada di taman itu.
Keraguan yang membuat hati Han Beng merasa bimbang ini akhirnya membuat dia khawatir untuk mengintai terus, bayangan suhunya, yang telah demikian baik kepadanya, semua budi yang dilimpahkan suhunya kepadanya, sejak suhunya menyelamatkannya dari ancaman maut di Sungai Huang-ho, lalu betapa suhunya mendidik dan menggemblengnya dengan kesungguhan hati selama lima tahun dan suhunya tidak pernah minta belas jasa.
Suhunya hanya membuat dia berjanji untuk memenuhi pesannya itu, hanya satu saja permintaannya, yaitu membalas dendam kepada suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci, dan kini dia ragu-ragu, bahkan condong untuk tidak memenuhi pesan suhunya. Kalau dia berada di situ lebih lama lagi, dia kha¬watir kalau pikirannya akan berubah lagi. Tanpa diketahui suami isteri dan anak tereka, diapun meninggalkan tempat pengintaiannya.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci membawa anak mereka memasuki rumah selelah senja melarut dan malam hampir tiba. Mereka hidup bertiga saja, tanpa Pembantu di dalam rumah mereka yang tidak berapa besar namun yang bersih dan rapi. Hanya ada dua buah kamar dalam rumah itu, kamar suami isteri dan kamar untuk anak mereka den pintu tembusan antara dua kamar. Mereka lalu makan malam dan setelah selesai makan malam, Sim Lan Ci membersikan meja makan dan mencuci mangkok, piring, sedangkan Coa Siang Lee mengajak Thian Ki bermain-main di ruang tengah.
Sehabis makan malam tadi, mereka membersihkan mulut dan gigi, suatu kebiasaan yang dipakai oleh Sim Lan Ci sejak ia masih kecil. Ibu kandung Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, biarpun usianya sudah setengah abad lebih, masih nampak cantik dengan gigi yang putih rapi karena ibunya juga mempunyai kebiasaan membersihkan mulut dan gigi setiap kali mau tidur dan kebiasaan menurun kepada Sim Lan Ci. Nyonya muda itu kini menularkan kebiasaan yang amat baik kepada suaminya dan juga kepada anaknya.
Malam itu hawa udara amat dinginnya. Biarpun bulan sedang purnama sehingga dunia diluar rumah amatlah indah dan romantisnya, namun jarang ada penghuni dusun yang mau keluar meninggalkan kamar mereka yang hangat karena diluar, hawa dingin menusuk tulang, bahkan mereka itu tidur sore-sore. Demikian pula dengan keluarga Coa Siang . Mereka berdua sudah berada di kamar putera mereka, dan keduanya meninabobok putera tersayang itu dengan nyanyian dan dongeng.
Setelah Thian Ki akhirnya tidur pulas ayah ibunya menyelimutinya, meniggalkan kamar putera mereka itu dengan membiarkan sebuah pelita kecil bernyala di sudut kamar, lalu mereka sambil bergandengan tangan lalu memasuki kamar mereka sendiri yang bersambung dengan kamar putera mereka.
Akan tetapi, begitu tiba di dalam kamar mereka, suami isteri itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat karena mereka melihat bahwa di atas pembaringan mereka telah duduk seorang laki-laki muda yang mengenakan caping lebar!
Pemuda itu menurunkan capingnya ke belakang dan kini dia memandang kepada suami isteri itu sambil tersenyum. Wajah pemuda itu sungguh tampan ketika tersenyum, dia nampak semakin ganteng dan melihat pakaiannya, mudah diduga bahwa dia seorang sastrawan atau setidaknya seorang pelajar! Sebuah buntalan berada di atas meja.
"Siapa engkau?" Coa Siang Lee tanya dengan suara kaku dan alis berkerut. "Dan mau apa engkau datangi kamar kami?"
"Bagaimana engkau dapat masuk sini?" Sim Lan Ci juga bertanya. Wajah pemuda ini tadi mengerling ke kanan dan melihat betapa jendela dan pintu masih tertutup, lalu bagaimana orang muda ini dapat berada di dalam kamarnya tanpa ia dan suaminya mendengar, suara sedikit pun?
Pemuda itu tersenyum makin lebar sepasang matanya berbinar-binar penuh kegembiraan, mata yang sejak tadi ditujukan kepada Sim Lan Ci sedemikian rupa sehingga ibu muda ini merasa seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya, membuatnya bergidik, akan tetapi juga marah.
"Manis, aku datang karena aku jatuh cinta padamu ketika melihat engkau di taman tadi." katanya dengan sikap biasa saja seolah-olah dia mengeluarkan ucapan yang wajar.
Tentu saja seketika wajah suami isteri itu menjadi merah padam. Coa Siang Lee melangkah maju dan membentak, "Engkau ini seorang yang gila atau memang sengaja hendak mengganggu kami! ayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu datang seperti ini?"
Kini sepasang mata itu ditujukan kepada Siang Lee yang menjadi terkejut melihat mata itu mencorong. "Aku tidak butuh denganmu!" kata pemuda itu degan sikap yang angkuh sekali. "Keluarlah engkau dari kamar ini, aku hanya ingin meminjam isterimu untuk malam ini!"
Coa Siang Lee terbelalak dan Lan Ci bahkan mengeluarkan jerit kecil. Kemarahan mereka tidaklah sebesar keheranan mereka mendengar ucapan seperti itu. Kiranya hanya orang yang berotak miring saja yang mampu bicara seperti itu, hendak meminjam isteri orang dan menyuruh suaminya keluar dari kamarnya sendiri! Akan tetapi, setelah keheranan itu lewat, kemarahan membawa wajah Siang Lee merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Selama dua belas tahun mereka tinggal di dalam dusun itu, tidak pernah satu kali mereka terlibat urusan kekerasan, dan mereka sama sekali tidak pernah mempergunakan ilmu silat mereka, bahkan untuk berkelahi maupun hanya sebagai latihan. Dan malam ini, muncul seorang pemuda yang demikian beraninya melakukan penghinaan secara luar biasa sekali. Sikap pemuda itu membuat mereka dua saling pandang dan merasa curiga.
"Sobat, katakan siapa engkau mengapa engkau sengaja datang untuk mengganggu kami yang tidak mengenalmu! Siapakah yang menyuruh engkau bersikap seperti ini terhadap kami?"
Sim Lan Ci kini bicara dan sikapnya tidak lagi seperti seorang wanita biasa, melainkan ia sudah kembali bersikap seperti dulu, seorang wanita gemblengan yang sudah biasa menghadapi kekerasan.
Sikap ini membuat pemuda yang bukan lain adalah Can Hong San itu berdiri dan memandang heran. Mana mungkin ada seorang wanita dusun bersikap gagah ini? Akan tetapi, melihat wanita yang digilainya itu dapat bersikap segagah itu, dia menjadi semakin tertarik dan kembali dia tersenyum.
"Manis, engkaulah yang menyuruh aku datang malam ini. Sore tadi aku kebetulan lewat di luar taman dan melihat engkau demikian cantik jelita dan manis... hmmmmm, aku merasa seperti ditarik besi semberani dan di sinilah aku sekarang! Mari, Manis, mari kau layanilah gairahku..." Dia mengembangkan kedua lengan seperti hendak memeluk!
Suami isteri itu tidak dapat menahan kesabaran mereka lebih lama lagi. "Manusia gila! Engkau sungguh kurang ajar dan patut dihajar!" bentak Coa Siang Lee yang sudah mengirim tamparan keras kearah mulut pemuda itu.
Tamparan Coa Siang Lee bukan tamparan biasa, melainkan tamparan yang amat kuat karena biarpun selama belasan tahun pria ini tidak pernah berlatih, namun dia memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan memang ilmunya sudah mendarah daging dalam dirinya.
Diam-diam Can Hong San terkejut bukan main. Tadinya dia mengira bahwa suami isteri itu hanyalah orang-orang dusun biasa. Sungguh tidak disangkanya bahwa "petani" itu mampu menamparnya dengan kekuatan sedahsyat itu! Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan lihai. Akan tetapi, dengan tenang saja dia sengaja mengangkat lengan untuk menangkis, tentu saja diam-diam mengerahkan pula tenaga sin-kangnya.
"Dukkk...!" Akibat tangkisan ini, tubuh Coa Siang Lee terpelanting! Bukan main heran dan kagetnya Siang Lee. sungguh tak disangkanya bahwa orang yang amat kurang ajar dan mendekati gila ini memiliki tenaga yang sedemikian hebatnya! Maka, tanpa banyak cakap lagi karena dia kini maklum bahwa orang itu memang sengaja datang untuk mencari keributan, dia lalu maju menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari ilmu silat Hek-houw-pang. Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan gerakannya selain cepat, juga penuh tenaga dasyat, mencengkeram kesana-sini dibagian tubuh berbahaya dari lawan.
"Aha, kiranya engkau bukan petani dusun biasa, melainkan seorang ahli silat yang agaknya menyembunyikan diri di sini!" Hong San berseru heran, akan tetapi dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dengan amat lincahnya, mengelak, menangkis dan membalas serangan lawan.
Terjadilah perkelahian yang seru di dalam kamar itu. Namun, Siang Lee merasa semakin kaget khawatir karena dia mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda bercaping lebar ini! Sim Lan Ci juga melihat betapa suaminya tidak akan menang menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan pemuda yang luar biasa lihainya itu! Tentu sengaja datang mencari mereka untuk membunuh!
Tidak banyak terdapat orang selihai ini di dunia kang-ouw, pikirnya dan tidak mungkin hanya kebetulan saja datang di tempat itu, melihatnya tergila-gila kepadanya. Diam-diam nyonya ini lalu menuju ke sebuah almari mana ia masih menyimpan beberapa buah senjata rahasianya yang sudah belasan tahun tidak pernah dipergunakannya.
Untung bahwa di dalam kantung itu masih terdapat empat batang Toat-beng tok-piauw (Piauw Beracun Pencabut Nyawa). Cepat ia mengambilnya dan menyambit-nyambitkan empat batang piauw itu dengan hati-hati agar jangan mengenai suaminya sambil berteriak nyaring.
"Lee-ko, mundur! Jahanam busuk, makanlah piauw-ku!"
Terdengar suara bersiutan ketika empat batang piauw itu menyambar, dan Siang Lee sudah melompat ke belakang, empat batang senjata rahasia beracun itu menyambar dengan cepat sekali ke arah tubuh Hong San, namun betapa kagetnya hati nyonya muda itu ketika tiba-tiba saja tubuh pemuda bercaping lebar itu berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakangnya, menyentuh pinggulnya dengan jari tangan, mencubit pinggul itu.
“Ihhh!" la membalik dan seperti seekor singa betina mengamuk ia pun menyerang dengan ilmu silat Ban-tok-hwa-im yang amat dahsyat!
Diam-diam Hong San semakin kagum dan terkejut. Kiranya wanita ini memiliki ilmu silat yang leih lihai daripada suaminya! Juga Siang Lee sudah maju menerjang dan Hong San dikeroyok suami isteri itu di dalam kamar yang tidak begitu luas. Barulah Hong San merasa kecelik terkejut. Dia maklum bahwa kalau menandingi suami isteri itu satu demi satu dia masih sanggup untuk menang. Akan tetapi dikeroyok dua oleh suami isteri yang lihai ini, sungguh amat berbahaya baginya.
Namun, dia bukan orang yang suka mengaku kalah. Apalagi, hasratnya menjadi semakin bernyala-nyala setelah kini dia melihat bahwa wanita yang membuatnya tergila-gila itu bukan sekedar cantik manis saja, melainkan juga amat lihai! Dia semakin tergila-gila dan mengambil keputusan bahwa harus memiliki wanita itu.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci mengeroyok pemuda itu, kini menjadi yakin bahwa pemuda ini memang datang bukan sekedar tertarik oleh kecantikan Lan Ci, melainkan tentu mempunyai tujuan yang sudah direncanakan untuk mencelakan mereka. Mereka merasa menyesal sekali mengapa selama ini mereka lengah sehingga bukan saja mereka tidak pernah berlatih silat sehingga tentu saja gerakan mereka tidaklah selincah dahulu, akan tetapi juga mereka telah menyimpan pedang mereka dan sudah lupa lagi dimana mereka menyimpan senjata mereka itu. Kalau mereka kini dapat memegang senjata pedang mereka, kiranya mereka akan dapat mengalahkan musuhnya dengan cepat.
Betapapun juga, suami isteri yang memang lihai itu mulai dapat mendesak Hong San. Mereka berkelahi mati-matian untuk mempertahankan kehormatan, sebaliknya, Hong San hanya main-main saja karena memang maksudnya bukan memusuhi suami isteri itu, melainkan "meminjam" sang isteri! Biarpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka namun dikeroyok dua oleh suami isteri yang nekat itu dia menjadi kewalahan juga.
"Ayah... Ibu...!" Tiba-tiba terdengar suara anak kecil ini dan yang muncul di pintu tembusan adalah Thian Ki, anak laki-laki berusia tiga tahun itu. agaknya dia terbangun karena suara ribut-ribut.
"Thian Ki...! Kembali kekamarmu...!" Sim Lan Ci berseru kaget bukan main, namun terlambat.
Melihat munculnya anak itu, Hong San yang cerdik seperti setan itu sudah menyambut ke belakang dan tahu-tahu anak itu telah berada dalam pondongannya. Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi sekali Hong San menekan tengkuknya, anak itu terkulai lemas, tertotok dan tak mampu bergerak atau berteriak lagi.
Melihat anak mereka berada dalam cengkeram penjahat itu, suami isteri yang tadinya mengamuk itu, terpaksa menahan gerakan mereka dan memandang dengan mata terbelalak dan pucat.
"Kembalikan anakku...!" Sim Lan berseru, siap untuk menubruk maju.
"Heittttt... tenanglah, manis. Apakah kalian menghendaki aku membanting anak ini di depan kaki kalian sampai remuk, baru kemudian kubunuh kalian?” Hong San mengancam dan mengangkat anak itu, siap untuk membantingnya.
"Jangan... jangan lakukan itu...!" Siang Lee berseru, wajahnya semakin pucat. "Apakah yang kau kehendaki sebenarnya? Siapakah engkau? Jangan membunuh anak kami yang tidak berdosa!"
"Aku tidak akan membunuh anak mungil ini kalau kalian menurut kata-kataku. Akan tetapi, sedikit saja kalian membuat gerakan mencurigakan atau tidak menurut perintahku, tentu aku akan membanting remuk anak mungil ini!"
"Jangan bunuh dia... katakan yang harus kami lakukan!" kata Sim Lan Ci, juga merasa khawatir dan merasa tidak berdaya sama sekali setelah, puteranya ditawan.
"Bagus, Manis. Nah, perintahku pertama, kau totok jalan darah suami agar dia tidak mampu bergerak lagi kemudian ikat kaki tangannya di tiang sudut kamar itu."
Sepasang mata Sim Lan Ci terbelalak, alisnya berkerut dan tentu saja ia tidak setuju, akan tetapi tidak berani terang-terangan menolak. Melihat sikap ragu-ragu wanita itu, Hong San mengancam, “Cepat lakukan perintahku, atau kau lebih suka melihat anakmu ini kubanting?"
"Ci-moi, lakukanlah perintahnya." kata Siang Lee yang merasa tidak berdaya dan amat mengkhawatirkan keselamatan anaknya yang terjatuh ke tangan orang yang agaknya sinting itu.
Lan Ci menghampiri suaminya, pandang matanya sayu dan menderita sekali. “Maafkan aku..." bisiknya dan ia pun menotok jalan darah di pundak suaminya.
Seketika tubuh itu lemas dan tentu roboh kalau tidak cepat ditangkap oleh Lan Ci yang memapahnya, menariknya ke tiang di sudut kamar. Dengan hati tidak karuan rasanya, Lan Ci terpaksa mengikat kaki tangan suaminya pada tiang itu, menghadap ke arah kamar karena ia ingin suaminya tetap waspada walaupun untuk sementara tidak mampu bergerak.
"Ha-ha, jangan mencoba menipu aku, Manis. Aku adalah seorang ahli totok jalan darah, tahu? Hayo totok lagi jalan darah thian hu-hiat agar dia tidak dapat lepas pula dari totokan, lalu ikat dia!"
Lan Ci terkejut. Akalnya ketahuan dan hal ini hanya membuktikan betapa lihainya lawan itu. Memang tadi ia menotok lemas suaminya, hanya totokan hanya sementara saja, dan dalam beberapa menit suaminya akan pulih kembali. Terpaksa ia melaksanakan perintah dan sekarang keadaan suaminya benar-benar lemas dan tidak mampu bergerak untuk waktu sedikitnya dua jam! Karena merasa percuma untuk menipu, ia pun mengikat kaki tangan suaminya dengan sabuk sutera yang kuat.
"Sudah kulaksanakan perintahmu, karang bebaskan anakku!" kata Sim Ci.
Pemuda itu menyeringai dan bair pun dia tampan, namun pada saat itu bagi Lan Ci dia kelihatan seperti iblis yang menyeramkan. Sim Lan Ci sendiri adalah puteri Ban-tok Mo-li. Sudah biasa melihat kekejaman-kekejaman walau pun ia sendiri tidak berbakat untuk menjadi jahat. Namun karena sekarang ia yang menjadi korbannya, maka ia merasa begitu marahnya sehingga kalau saja bidak teringat akan keselamatan puteranya, ingin rasanya ia menyerang dan mengadu nyawa dengan pemuda itu.
"Heh-heh-heh, sudah kukatakan. Aku datang bukan untuk membunuh kalian. Manis. Kalau aku ingin membunuh kalian, apa sukarnya? Aku hanya tergila-gila kepadamu, Manis. Aku tidak akan membunuh kalian bertiga kalau engkau bersikap manis padaku. Nah, sekarang perintahku ke dua. Tanggalkan semua pakaianmu!"
Sepasang mata itu terbelalak dan kedua pipi Lan Ci berubah merah lagi. Ada hawa keluar dari dadanya yang membuat ia ingin sekali menerjang laki-laki yang menghinanya itu. "Jahanam keparat! Engkau hendak menghinaku... memperkosaku di depan suamiku dan anakku? Keparat, iblis...!"
"Ingat, aku banting anakmu kalau engkau bergerak menyerang!" Hong San berseru dan mengangkat tubuh Thian Ki "Aku tidak ingin memperkosamu, aku ingin engkau melayani aku dengan penuh kemesraan dan kasih sayang!"
Aku tidak sudi...!" Lan Ci berteriak. "Lebih baik aku mati!"
"Engkau tidak akan mati, Manis. Akan tetapi anakmu ini yang akan remuk kepalanya, dan engkau akhirnya akan jatuh pula ke dalam pelukanku, walau untuk itu aku harus melakukan paksaan. Nah, lihat kepala anakmu akan hancur dan otaknya berantakan!"
"Tunggu...! Jangan bunuh anakku!" siang Lee berseru dengan lemah. "Ci-moi... lakukanlah apa yang dikehendakinya" katanya dan suaranya mengandung isak saking marah dan tidak berdaya.
Sim Lan Ci membelalakkan matanya kepada suaminya. "Apa? Engkau suamiku sendiri, engkau satu-satunya pria yang kucinta, engkau menyuruh aku membiarkan diriku dihinanya? Kemudian, kalau dia sudah menggauli di depan matamu, lalu kelak engkau memandang rendah padaku, ya? Engkau menghinaku, engkau bahkan akan membenciku...!"
"Tidak, isteriku! Sama sekali tidak. Kalau hanya untuk keselamatan diriku sampai mati pun aku tidak rela melihat engkau disentuhnya. Akan tetapi untuk Thian Ki...! Ingat Thian Ki anak kita satu-satunya...! Dia tidak boleh mati konyol begitu saja!"
Sim Lan Ci menjadi lemas. Ia mandang ke kanan kiri bagaikan seekor kelinci yang sudah disudutkan, siap diterkam harimau. Ia tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi melihat anaknya diangkat tinggi-tinggi itu, ia merasa hatinya seperti hancur luluh.
"Baiklah... baiklah...!" Ia berbisik dan terdengar isak tertahan. "Aku turut perintahmu, akan tetapi... kau bebas dulu anakku... lepaskan dia..."
"Ha-ha-ha, kau kira aku ini anak kecil yang mudah kautipu begitu saja? Namanya menjual barang, belum memberi dan memperlihatkan barangnya sudah mau minta bayarannya! Hayo kau tanggalkan dulu pakaian itu satu demi satu, dan aku akan membebaskan anakmu!"
Sim Lan Ci merasa bahwa ia berada di dalam cengkeraman seorang gila, atau seorang yang luar biasa jahatnya, kejamnya, akan tetapi juga amat cerdiknya. Bicara dengan orang seperti itu, tidak ada gunanya, juga akan menyakitkan hati saja kalau mencoba untuk mengakalinya. Maka, dengan hati penuh kemarahan sehingga tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena marah, mulailah ia menanggalkan pakaiannya, di depan penjahat muda yang gila itu, juga di depan suaminya yang memandang tidak berdaya.
"Bagus... bagus... ah, sudah kuduga... engkau memiliki tubuh yang hebat sekali...! Ah, engkau sungguh manis..." Hong San terbelalak, matanya mengeluarkan sinar aneh dan hidungnya mendengus seperti seekor kuda, napasnya terengah.
Lan Ci tidak peduli, menanggalkan pakaian seolah-olah disitu tidak ada seorang pun yang memandangnya, seperti kalau ia sedang hendak mandi saja. "Sudah, kulaksanakan perintahmu, karang bebaskan anakku, berikan kepadaku!" kata Sim Lan Ci.
Hong San tertawa. "Ha-ha-ha, aku masih belum selesai denganmu, Manis, Masih belum selesai, bahkan baru mulai... akan tetapi aku pun bukan orang yang tidak memegang janji. Nah, ini anakmu sudah kulepaskan, akan tetapi engkau naiklah ke atas pembaringan itu. Engkau harus melayani aku dengan suka rela, dengan mesra... ah, aku sungguh semakin tergila-gila padamu, Manis...!"
Hong San benar saja melepas Thian Ki yang tidak mampu bergerak itu ke atas lantai, di mana anak itu menggeletak tak mampu bergerak, hanya memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Kemudian, dia menghampiri Lan Ci.
Wanita ini maklum apa yang akan dilakukan penjahat yang seperti iblis gila Itu. Kalau ia menolak, tetap saja anaknya berada dalam bahaya. Ia harus pura-pura menurut, dan nanti di atas pembaringan, masih ada kesempatan baginya untuk mengadu nyawa. Yang penting, anaknya haruslah benar-benar bebas dari ancaman maut lebih dulu.
Maka, ia pun mundur dan duduk di tepi pembaringan, seolah-olah menanti Hong San yang bagaikan seekor harimau menghampiri seekor kelinci gemuk yang sudah menyerah, dan gairah di dalam hati penjahat muda Ini semakin bergelora karena dia pun mengira bahwa sekali ini wanita manis itu telah benar-benar menyerah dan takluk kepadanya.
Sementara itu, sejak tadi Coa Siang Lee menjadi penonton yang tidak berdaya. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan hatinya. Dia melihat puteranya terancam maut tanpa mampu melindungi, kini dia bahkan disuruh melihat isterinya tercinta akan diperkosa orang dan dia sama sekali tidak mampu bergerak! Ingin dia memaki, ingin dia berteriak, ingin dia menangis, namun dia tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, bahkan kalau penjahat itu marah jangan-jangan Thian Ki akan dibunuhnya lebih dulu...!