Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 29

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Naga Sakti Sungai Kuning Jilid 29
Sonny Ogawa
Hong San kini sudah tiba dekat sekali dengan Lan Ci, dan napasnya semakin memburu dan seluruh tubuhnya seolah-olah kebakaran, bahkan Lan Ci dapat merasakan betapa hawa panas keluar dari tubuh pemuda yang seperti iblis gila itu.

"Hemmm, aku tidak ingin menotokmu, aku ingin engkau hidup dalam pelukanku, ingin engkau menyerahkan diri dengan mesra, dengan suka rela. Aku cinta padamu, Manis...“

Pada saat pemuda itu masih bicara dan berada dalam keadaan penuh nafsu sehingga seperti sebuah balon akan meledak itu, Lan Ci yang sudah siap si sejak tadi, tiba-tiba saja mengirim pukulan ke arah perut Hong San sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Pukulan Itu adalah pukulan beracun yang amat hebat dan sekali terkena pukulan itu biar seorang yang bagaimanapun lihainyn, jangan harap akan dapat hidup lagi. Isi perutnya tentu akan hangus dan membusuk oleh hawa beracun yang amat hebat.

Namun, Hong San memang seorang yang amat cerdik. Biarpun dia dikuasai nafsu berahi yang memuncak pada saat itu, namun dia tidak pernah lengah dan tetap waspada. Hal ini adalah karena dia pun telah maklum bahwa wanita itu amat lihai. Andaikata dia tidak tahu akan hal ini, mungkin saja dia telah terkena pukulan maut itu. Dia tahu bahwa wanita itu lihai sekali, memiliki senjata rahasia dan pukulan beracun yang bahkan lebih berbahaya daripada suami wanita itu.

Maka, biarpun seluruh tubuhnya dikuasai hawa nafsu, tetap saja dia waspada dan begitu Lan Ci menggerakan.tangan memukul, tubuhnya sudah berkelebat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu tidak mengenai sasaran! Tentu saja Lan Ci kaget bukan nain karena dia mengkhawatirkan putranya. Pada saat itu, tiba-tiba daun jendela diterobos tubuh orang dari luar, dan sesosok bayangan berkelebat ke dalam kamar.

"Selamatkan anak itu!" terdengar suara yang tenang dan bayangan itu sudah menerjang kearah Hong San dengan dorongan tangan kanan yang datangkan angin keras.

"Wuuuuuttttt...!" Telapak tangan orang itu mendorong dan Hong San terkejut sekali, merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat menerjang. Dia pun cepat mengerahkan tenaga menangkis.

"Desss...!!" Akibat benturan kedua lengan ini, Hong San terhuyung dan hampir terpelanting! Akan tetapi, penyerang itu, seorang pemuda tinggi besar gagah, juga terhuyung.

Hong San jadi gentar. Baru suami isteri itu kalau mengeroyoknya, dia sudah kewalahan. Kalau kini muncul seorang yang agaknya bahkan jauh lebih lihai dari mereka berarti dia akan celaka. Maka, tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya sudah berkelebat lenyap. Dia meloncat keluar melalui jendela yang sudah terbuka, tidak seperti ketika masuk ke kamar itu dia tadi membongkar genteng.

"Hemmm, jahanam keparat, hendak lari ke mana kau?" Pemuda Tinggi Besar melompat pula menerobos jendela dan mengejarnya.

Sementara itu, begitu mendengar suara pemuda tinggi besar tadi, Lan Ci sudah melompat, tidak peduli akan keadaan tubuhnya yang telanjang bulat, dan menyambar puteranya, cepat membebaskan puteranya dari totokan. Anak itu segera menangis dalam pondongannya. Lan Ci cepat menghampiri suaminya, membebaskan totokan pada tubuh suaminya dan membantunya melepaskan ikatan.

"Kau pondong dulu Thian Ki, aku akan mengenakan pakaian!" kata Lan Ci. Cepat ia mengenakan pakaiannya kembali, kemudian bersama suaminya, sambil menggendong Thian Ki, dan kini masing-masing membawa pedang mereka, suami isteri itu telah berloncatan keluar dan melakukan pengejaran.

Sementara itu, ketika Hong San melihat bahwa pemuda tinggi besar itu mengejar, dia merasa penasaran sekali. Kini dia berada di luar rumah, di tempat yang luas, maka tidak berbahaya sekali kalau dikeroyok. Dia penasaran belum dapat menandingi pemuda tinggi besar yang telah mencampuri urusannya dan telah mengganggu kesenangannya. Bayangkan saja, tadi wanita manis sudah berada di depannya, bagaikan potong daging sudah berada di bibir tinggal menelannya saja dan muncul orang usil itu yang menggagalkan segalanya!

Maka, dia pun segera menghentikan larinya dan mempersiapkan pedang di tangan kanan dan suling ditangan kiri. Dia memang suka bermain suling, pandai meniup suling menyanyikan lagu-lagu yang merdu, akan tetapi dia pandai pula mempergunakan musik tiup itu untuk mengimbangi pemainan pedangnya!

Begitu pemuda itu muncul, Hong menyerangnya dengan tusukan pedang diikuti sambaran suling yang mengeluarkan suara melengking nyaring! Pemuda tinggi besar itu kagum melihat gerakan lawan dan cepat dia menjatuhkan diri ke belakang, bergulingan dan ketika dia meloncat bangun, dia sudah memegang sepotong dahan pohon kering yang dipungutnya ketika dia bergulingan tadi. Hong San tersenyum menyeringai melihat lawannya memegang sebatang tongkat sederhana sebagai senjata. Mampus kau, pikirnya.

Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang pendekar sembarangan saja. Dia berhadapan dengan Huang-ho Sin-liong! Dan tongkat di tangan pendekar itu dapat menjadi senjata yang amat ampuh, karena dia sudah mewarisi ilmu dari seorang di antara guru-guruya, yaitu Sin-ciang Kai-ong dan ilmu itu adalah Ilmu Tongkat Dewa Mabuk!

Bukan itu saja, Huang-ho Sin-liong Si Han Beng ini telah menerima gemblengan dari seorang kakek sakti, yaitu Pek I Tojin. Biarpun gemblengan itu tidak lebih dari satu tahun, namun gemblengan tu telah mematangkan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari dua orang gurunya, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin ciang Kai-ong, di samping tenaga saktinya bertambah kuat bukan main.

Seperti kita ketahui, Han Beng telah menemukan rumah Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Sore tadi, seperti juga Hong San, dia melihat betapa suami isteri itu bersama anak mereka hidup berbahagia dan sedang bergembira dalam taman. Keadaan suami isteri itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu. Dia merasa tidak sanggup memenuhi janjinya kepada gurunya untuk menghancurkan kebahagiaan suami isteri itu, apalagi dengan cara mengusahakan agar isteri muda itu melakukan penyelewengan dengannya!

Dalam keadaan ragu-ragu itulah dia meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, kalau dia tidak mau melaksanakan pesan dan perintah gurunya, berarti dia telah mengingkari janji. Hal ini amat menggelisahkan hatinya dan membuatnya tidak dapat tidur malam itu. Dia bermalam di rumah seorang petani di luar dusun.

Kemudian muncul pikiran. Siapa tahu kalau-kalau suami isteri yang menurut gurunya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi itu diam-diam melakukan perbuatan jahat. Kalau benar demikian, berarti ada jalan baginya untuk menentang mereka. Dan sebaiknya kalau malam itu dia melakukan penyelidikan. Demikianlah, tanpa menyangka bahwa di rumah suami isteri itu terjadi peristiwa yang hebat, dia pergi ke rumah itu, baru setelah dia mengintai ke dalam, dia melihat dan mendengar semuanya!

Betapa suami isteri yang tadinya mengeroyok seorang pemuda bercaping lebar yang amat lihai itu menjadi tidak berdaya setelah pemuda bercaping lebar itu menangkap anak mereka. Dari percakapan itu, diam-diam dia merasa kagum. Suami itu adalah seorang yang gagah perkasa, dan isterinya amat setia. Hanya mereka itu terpaksa menyerah karena si penjahat kejam telah menguasai anak mereka!

Dan di saat terakhir, Han Beng melihat betapa isteri yang setia itu tidak menyerah begitu saja, melainkan setelah melihat anaknya dilepaskan dengan nekat dan mati-matian ia pun melakukan perlawanan. Melihat itu. Han Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Dia menerobos jendela lalu menyerang si penjahat yang ternyata memang amat lihai, hal itu dibuktikannya dari benturan antara tanngan mereka.

Dan kini, ketika dia mengejar, penjahat itu telah menantinya dan menyerangnya dengan pedang suling. Gerakan serangannya juga a cepat dan dahsyat sekali. Jalan satu-satunya bagi Han Beng untuk menyelamatkan diri hanyalah membuang diri bergulingan, sambil menyambar sebatang tongkat di atas tanah.

Kini mereka saling berhadapan. Hong San masih menyeringai, tersenyum mengejek melihat lawan hanya bersenjatakan tongkat butut. Sebaliknya, Han Beng memandang kagum. Pemuda di depannya itu nampak gagah perkasa. Biarpun wajah itu hanya diterangi sinar bulan purnama, juga dibantu penerangan lampu gantung di luar rumah, namun jelas nampak bahwa pemuda di depannya ini orang yang ganteng, gerak-geriknya halus, wajah yang selalu tersenyum dengan tarikan muka yang menarik. Tentu banyak di antara para wanita yang jatuh hati kalau bertemu dengan pemuda itu.

Akan tetapi, mengapa wataknya demikian kotor dan kejamnya ketika dia menginginkan Sim Lan Ci, wanita yang sudah bersuami dan berputera itu? Diam-diam dia bergidik membayangkan kekejaman yang diperlihatkan pemuda ini tadi, memaksa seorang ibu untuk menyerahkan diri dengan mengancam anaknya yang masih kecil, dan membiarkan si suami dalam keadaan terikat menjadi menonton pula! Hanya orang yang wataknya seperti iblis saja yang memiliki kekejaman seperti itu.

Cerita silat serial Naga Sakti Sungai Kuning karya kho ping hoo

Setelah saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata, tiba-tiba saja Hong san menerjang ke depan lagi, kini pedangnya diputar sangat cepat dan di seling tusukan sulingnya yang melakukan totokan pada jalan darah di tubuh lawan.

"Sing-sing-wuuuuuttttt...!"

Serangan bertubi-tubi itu dielakkan dengan mudah oleh Han Beng. Kemudian, ketika untuk kesekian kalinya pedang itu menyambar ke arah lehernya, dia mengelak dengan menekuk lutut kirinya dalam-dalam, saat itu juga, tongkatnya menyambar ke arah lutut kiri lawan. kalau terkena sasaran, tentu sambungan lutut akan terlepas!

Namun, Hong San juga sudah mengelak dengan meloncat ke atas dan kembali pedangnya menyambar kini membacok dari atas mengarah kepala Han Beng, disusul tusukan suling ke arah leher. Kembali Han Beng mengelak dengan loncatan ke belakang, lalu dengan gerakan berputar, tongkatnya terayun-ayun hendak memukul lawan.

Melihat gerakan ini, Hong San yang tinggi hati itu tertawa. Gerakan itu sungguh lucu dan buruk, seolah-olah di gerakkan oleh orang sinting atau orang yang mabuk. Akan tetapi, baru saja tertawa, suara ketawanya berubah menjadi seruan tertahan karena kaget.

"Bukkk!" Pinggulnya terkena hantaman tongkat itu! Sungguh aneh dan sukar dipercaya. Gerakan tadi demikian canggung dan kaku, sehingga dia menjadi lengah, mengira bahwa pukulan itu tentu tidak akan mengenai dirinya karena dia sudah menggeser kaki ke kanan dan pedangnya sudah menusuk lagi ke arah lambung lawan. Gerakan yang seperti orang mabuk itu dilanjutkan. Lawannya yang tinggi besar terhuyung, akan tetapi pedangnya tidak mengenai sasaran dan sebaliknya, tongkat itu tahu-tahu menyeleweng dan menggebuk pinggulnya!

Tentu saja Hong San menjadi marah bukan main. Dia tidak tahu bahwa memang yang dimainkan oleh lawan adalah Ilmu Tongkat Dewa Mabuk. Justeru dalam gerakan yang terhuyung, lucu dan buruk itulah letak keampuhan ilmu dari Sin-Ciang Kai-ong itu. Gerakan yang seperti orang mabuk itu membuat lawan menjadi lengah dan memandang rendah!

Akan tetapi di samping kemarahannya, juga Hong San mulai merasa gentar. Apalagi ketika itu, dia melihat suami isteri tadi sudah berlarian keluar membawa pedang di tangan. Tahulah dia bahwa kalau dia melanjutkan perlawanan, dia akan celaka di tempat itu. Maka, melihat betapa lawan yang telah menggebuk pinggulnya itu tidak mendesak, dia pun lalu meloncat jauh dan melarikan di secepatnya.

"Jahanam busuk, kau hendak lari mana?" Coa Siang Lee berseru dan mengejar.

"Kita kejar dan bunuh iblis itu!" kata pula Sim Lan Ci.

"Harap Ji-wi (Kalian) tidak mengejarnya. Hal itu amat berbahaya bagi Ji-wi, terutama bagi putera Ji-wi!" kata Han Beng.

Mendengar itu, suami isteri itu menghentikan langkah mereka dan kini mereka berdua menghampiri Han Beng penuh kagum. Mereka tadi telah melihat betapa pemuda tinggi besar ini telah menyelamatkan mereka dari keadaan yang amat gawat, dari malapetaka yang mengerikan, yang mungkin bagi seorang wanita lebih hebat daripada maut! Bahkan mungkin akan menimbulkan kehancuran kebahagiaan keluarga itu.

Dan mereka pun melihat betapa hanya dengan sebatang tongkat saja, pemuda tinggi besar itu mampu membuat penjahat tadi melarikan diri. Padahal, penjahat tadi memiliki ilmu silat yang amat hebat! Saking terharu mengingat akan hebatnya ancaman bahaya tadi, Coa Siang Lee lalu menuntun tangan isteri dan anaknya, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Beng!

"Tai-hiap, kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu...!"

Han Beng menjadi sungkan sekali dan cepat dia membangunkan mereka dan berkata, "Harap Ji-wi tidak melakukan sesungkanan seperti ini! Sudah semestinya kita menentang orang-orang jahat. Mari kita bicara di dalam saja, hawa udara terlalu dingin dan dapat membuat anak kalian masuk angin."

Suami isteri itu nampak gembira bukan main karena Han Beng sudi singgah di rumah mereka. Mereka memasuki rumah dan duduklah Han Beng dan Siang Lee di ruangan dalam, sedangkan Sim Lan Ci minta diri untuk menemani Thian Ki tidur kembali. Melihat sikap kedua suami isteri itu demikian sopan dan halus, kembali Han Beng condong merasa suka kepada mereka dan merasa heran bagaimana suhunya yang gagah perkasa menghendaki kehancuran kedua orang yang nampak baik-baik ini.

"Apakah yang telah terjadi di sini dan siapa sebenarnya pemuda bercaping lebar yarg amat lihai tadi itu?" Han Beng segera mengajukan pertanyaan ini begi mereka duduk menghadapi meja.

Siang Lee menarik napas panjang "Sungguh kami sendiri tidak mengenalnya, Tai-hiap. Menurut pengakuannya, kebetulan lewat saja... ah, sungguh aneh sekali peristiwa malam ini, muncul penjahat yang kebetulan lewat, kemudian muncul pula penolong yang kebetul lewat."

Han Beng tersenyum. "Juga amat kebetulan bahwa yang diganggu penjahat itu bukanlah suami isteri petani biasa melainkan suami isteri yang memiliki Ilmu kepandaian tinggi."

"Tidak ada harganya untuk dipuji, Tai-hiap. Buktinya, kalau tidak ada Tai-hiap, entah apa jadinya dengan kami. Kami akui bahwa kami memang pernah mempelajari ilmu silat, cukup mendalam, akan tetapi selama dua belas tahun ini kami tidak pernah bersilat, baik berkelahi maupun latihan. Kami hidup aman dan tenteram di tempat ini, siapa sangka malam ini hampir terjadi malapetakan. Perkenalkan, Taihiap. Saya bernama Coa Kiang Lee dan isteri saya tadi Sim Lan Ci. Anak kami tadi bernama Coa Thian Ki. Seperti saya katakan tadi, sejak dua belas tahun yang lalu kami berdua meninggalkan dunia persilatan dan tidak mempunyai sedikit pun keinginan untuk melibatkan diri dengan urusan kang-ouw. Kami tidak ingin mengajarkan ilmu silat kepada anak tunggal kami, agar dia tidak perlu melibatkan diri dalam kekerasaan dan permusuhan. Maka, sungguh kami merasa penasaran sekali melihat munculnya penjahat yang amat lihai tadi." Dia berhenti sebentar, lalu memandang wajah Han Beng penuh kagum dan berkata, "Tai-hiap masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Kalau boleh saya mengetahui nama besar Tai-hiap "

"Namaku Si Han Beng dan harap Coa Toako tidak bersikap sungkan dan menyebutku tai-hiap, membuat aku merasa canggung dan tidak enak saja."

Coa Siang Lee makin kagum terhadap pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu. Masih begitu muda bukan saja sudah lihai bukan main, akan tetapi juga sudah pandai merendahkan diri, tanda dari kerendahan hati. Dia pun merasa girang sekali di balik kekhawatirannya karena peristiwa tadi.

"Baiklah, Siauw-te (Adik). Sebenarnya, seorang dengan kepandaian sepertimu, sudah sepatutnya disebut tai-hiap (pendekar besar), akan tetapi karena engkau merasa canggung, biarlah kusebut Siauw-te. Terus terang saja, kami sama sekali tidak pernah mengenal orang tadi, dan karena sudah belas tahun kami menjauhkan diri dari dunia kang-ouw, maka munculnya orang lihai itu pun kami tidak ketahui. Engkau yang tentu sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw, barangkali mengenal dia, Siauw te?”

Han Beng menggeleng kepalanya, sedikit memincingkan matanya suatu kebiasaan kalau dia berpikir-pikir. "Tidak, aku pun tidak pernah melihatnya. Akan tapi jelas bahwa dia seorang penjahat cabul!" sambungnya gemas.

"Kukira bukan hanya penjahat cabul, Siauw-te," Coa Siang Lee membantah, Kami merasa curiga bahwa dia memang datang dengan sengaja untuk memusuhi kami sekeluarga."

"Kurasa memang demikian, dan aku dapat menduga siapa dia!" Tiba-tiba terdengar suara Sim Lan Ci yang muncul dari kamar. Puteranya sudah tidur kembali dan ketika ia keluar, ia mendengar ucapan suaminya, maka ia lalu menjawab, mendengar ucapan itu, Han Beng dan Siang Lee cepat memandang dengan mata bertanya.

Lan Ci duduk di dekat suaminya yang segera menegurnya. "Bagaimana engkau bisa tahu siapa dia? Sedangkan Siauw-te Si Han Beng ini saja yang amat ini tidak mengenalnya, apalagi engkau yang selama belasan tahun tidak pernah meninggalkan dusun ini?"

"Aku juga tidak tahu, akan tetapi dapat menduganya. Lee-koko, lupakah engkau kepada orang yang amat membenci kita, yang ingin melihat kita lebih menderita daripada kematian sendiri?"

"Kau maksudkan Sin-tiauw Liu Bhok Ki?" tanya suaminya, kini nampak teringat dan terkejut pula. Mereka saling pandang sehingga tidak melihat betapa wajah tamu mereka berubah dan nampak kaget pula mendengar ucapan nyonya rumah itu.

"Siapa lagi kalau bukan Kakek Iblis yang jahat itu? Hanya dialah seorang dunia ini yang amat membenci kita dan dia akan girang sekali melihat kita hancur atau terbasmi, termasuk anak kita. Aku hampir yakin bahwa pemuda bercaping itu tentulah utusannya, entah pembantunya atau muridnya!"

"Ah, engkau benar, isteriku! Memang masuk akal sekali pendapatmu itu. Melihat kelihaiannya, agaknya memang dia itu orangnya kakek jahat Sin-tiauw Liu Bhok Ki!"

"Bukan! Dia sama sekali bukan murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki, dan kakek yang gagah perkasa itu tidak membenci kalian, tidak ingin membunuh kalian!"

Mendengar ucapan Han Beng itu, Siang Lee dan Lan Ci cepat memandang kepadanya dan mereka merasa heran sekali "Siauw-te, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak mengenal pemuda bercaping itu, bagaimana sekarang bisa tahu bahwa dia bukan murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki?"

"Karena murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki hanya ada seorang saja, yaitu aku sendiri."

"Ahhh...!" Suami isteri itu berseru kaget dan keduanya bangkit dari tempat duduk mereka, memandang kepada Han Beng dengan mata terbelalak.

Akan tapi Han Beng tersenyum dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar tereka tenang. "Sekarang harap Ji-wi suka menceritakan, mengapa Ji-wi menganggap bahwa orang tadi murid Suhu dan mengapa pula Ji-wi agaknya membenci Suhu dan menyebutnya kakek iblis. Aku sebagai muridnya berhak mengetahuinya, bukan?"

Siang Lee menarik napas panjang juga isterinya dan mereka berdua lalu duduk kembali. "Maafkan kami, Siauw-te. Bukan maksud kami menghina Suhumu, akan tetapi memang sungguh orang tua itu bagi kami amatlah jahatnya bahkan sebetulnya kamilah yang sepatutnya mendendam sakit hati kepadanya. Akan tetapi karena kejahatannya terhadap kami itu berakhir dengan baik dan membahagiakan bagi kami, maka kami mencoba untuk melupakan dia, dan karena kami masih takut terhadap dia, maka selama ini kami mengasingkan diri di dusun sunyi ini."

Hati Han Beng semakin tertarik. "Ceritakanlah, Toako. Ceritakan saja apa adanya dengan terus terang, tidak perlu merasa sungkan kepadaku karena sudah dapat mempertimbangkan mana benar dan mana salah. Kalau tidak demikian, tentu aku tidak akan membantu kalian tadi, bukan? Apalagi karena sebelumnya aku pun sudah tahu bahwa kalianlah yang dicari oleh Suhu."

Kembali dua orang itu terkejut mendengar bahwa mereka dicari oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki, akan tetapi karena sikap Han Beng jelas baik, tidak memusuhi mereka bahkan telah menyelamatkan mereka, maka mereka pun tidak merasa ragu lagi untuk menceritakan semua yang mereka alami ketika mereka menyerbu tempat tinggal Liu Bhok Ki, sekitar dua belas tahun yang lalu.

"Mendiang Ayahku bernama Coa Kun Tian, putera Hek-houw-pang di dusun Ta-bun-cung. Sungguh tidak beruntung sekali Ayah jatuh cinta kepada isteri Liu Bhok Ki yang bernama Phang Hui Cu. Mereka saling jatuh cinta dan melihat bahwa isterinya dan Ayahku saling mencinta, Liu Bhok Ki marah sekali, lalu dia membunuh Ayahku dan isterinya sendiri. Kalau saja hal itu cukup sampai di situ, kiranya aku pun akan memaklumi keadaan dan menyadari bahwa kematian Ayahku adalah karena kesalahan sendiri. Akan tetapi, ternyata tidak demikian Kakek yang kejam itu memenggal kepala Ayahku, memberi obat pengawet menggantungkan kepala Ayahku itu rumahnya! Mendengar ini, pada suatu hari, dua belas tahun yang lalu, mendatangi rumahnya untuk membalas dendam atas kematian dan penghinaan terhadap kepala jenazah Ayahku. Dan pada waktu aku tiba di sana, aku bertemu dengan isteriku ini."

"Aku pun hendak membalas dendam atas kematian Bibiku, yaitu Phang Hui Cu. Kepala Bibiku juga diawetkan dalam sebuah botol besar, direndam anggur seperti juga kepala kekasih Bibiku iti Kuanggap perbuatannya itu amat keterlaluan dan menghina sekali!"

Siang Lee melanjutkan. "Kami berdua mengeroyoknya, akan tetapi kami kalah dan dia berhasil merobohkan kami. Akan tetapi, kami tidak dibunuhnya! Dia memiliki rencana yang lebih kejam lagi untuk memuaskan hatinya. Kami diberi obat perangsang sehingga di luar kesadaran kami, kami melakukan hubungan suami isteri! Baiknya kami memang saling tertarik dan saling mencinta, maka kami melanjutkan hubungan itu dengan ikatan suami isteri. Akan tetapi akibatnya, aku diusir oleh Kakekku di Hek-bouw-pang, dan ketika kami berkunjung ke Ibu isteriku, kami pun diusir. Maka, kami lalu menyembunyikan diri di sini dan kini sudah mempunyai seorang anak laki-laki."

"Akan tetapi, kenapa Suhu melakukan hal itu? Kenapa Suhu ingin melihat kalian menjadi suami isteri kalau memang dia membenci kalian?" tanya Han teng, tidak mengerti.

"Hal itu hanya membuktikan betapa besarnya kebenciannya terhadap kami. Dia ingin kami menjadi suami isteri untuk kemudian dia dapat menghancurkannya, seperti rumah tangganya sendiri yang hancur karena hubungan antara mendiang Ayah dan mendiang isterinya sendiri."

"Tapi... tapi, dua orang musuhnya itu sudah terbunuh. Mengapa kalian yang harus dibalas seperti itu?"

Kini Lan Ci yang menjawab, "Karena wajah suamiku mirip dengan mendiang, Ayahnya, dan wajahku mirip dengan mendiang Bibiku. Dia seolah-olah ingin melihat Coa Kun Tian dan Phang Hui Cu hidup kembali, menjadi suami isteri agar dia dapat membalas dengan gangguan yang sama, yaitu membikin pernikahan itu menjadi hancur berantakan."

Diam-diam Han Beng bergidik. Dan percaya akan keterangan mereka karena dia sendiri melihat betapa dua buah tengkorak manusia itu masih disimpan suhunya dan akhirnya dia yang memintanya dan menguburkannya. Suhunya memang telah menjadi seperti gila oleh rasa cemburu yang berkobar menjadi dendam kebencian selebar lautan!

Han Beng menarik napas panjang. "Aihhh, sungguh aku merasa menyesal sekali. Dan Suhu mengutus aku yang harus menghancurkan rumah tangga dan kehahagiaan kalian! Mana mungkin aku lakukan hal yang sekeji itu?"

Suami isteri itu saling pandang dan merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Kalau saja pemuda perkasa ini melaksanakan perintah suhunya, bagaimana mereka akan mampu menyelamatkan diri? Memang belum tentu pemuda ini akan mampu membujuk rayu dan menjatuhkan hati Lan Ci yang mencinta suaminya dan memiliki kesetiaan, tidak seperti mendiang bibinya. Akan tetapi kalau pemuda ini menggunakan kekerasan, bagaimana mereka akan mampu menghindarkan diri?

"Dan engkau tidak mengganggu kami sama sekali, bahkan menyelamatkan kami dari malapetaka, Si-siauwte? Sungguh untuk itu, kami merasa berterima kasih dan hutang budi kami semakin mendalam."

"Tidak perlu berterima kasih, Toako. Aku hanya melakukan hal yang wajar dan semestinya saja. Aku belajar silat bukan untuk melakukan kejahatan, bahkan sebaliknya, aku harus menentang kejahatan, dari mana pun juga datangnya!"

"Bagus! Omongan besar! Kiranya aku telah memelihara anak harimau, setelah besar hendak menerkam aku sendiri!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak berkelebat bayangan orang.

"Suhu...!"

"Liu Bhok Ki...!" Suami isteri itu pun berseru kaget setengah mati melihat munculnya kakek yang tinggi besar itu. Akan tetapi kakek itu berdiri tegak dan memandang kepada muridnya dengan sepasang mata terbelalak penuh kemarahan. Han Beng bersikap tenang dan dengan hormat dia pun lalu rnenjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Si Han Beng!" bentak Kakek itu dengan suara menggeledek. "Tahukah engkau siapa aku?"

Sambil memberi hormat dan berlutut Han Beng menjawab, "Suhu adalah Sin tiauw Liu Bhok Ki, guru tee-cu (murid) yang bijaksana."

"Hemmm, kalau engkau masih ingat apa pesanku kepadamu terhadap dua orang suami isteri itu?"

"Teecu masih ingat, Suhu. Suhu mengutus teecu untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga ini."

"Murid gila! Lalu mengapa tidak segera kaulakukan itu?"

"Maaf, Suhu, teecu melihat bahwa mereka adalah orang baik-baik, saling mencinta dan saling setia. Karena itu teecu tidak dapat melaksanakan tugas yang Suhu berikan kepada teecu." jawaban ini diucapkan dengan suara tenang sedikit pun tidak memperlihatkan bahwa murid itu merasa takut.

Marahlah kakek gagah perkasa yan berwatak keras itu. "Bagus! Kiranya engkau berubah menjadi seorang yang berhati lemah dan lunak sekali! Kalau engkau tidak sanggup menghancurkan mereka, biarlah aku yang akan membunuh sendiri mereka!"

Setelah berkata demikian, tiba-tiba sekali tubuh kakek tinggi besar itu meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung rajawali menyambar calon mangsanya, dia sudah menerkam dan menyerang Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Serangan itu dahsyat bukan main karena dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dalam jurus maut dari Hui-tiauw Sut-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) itu.

Betapapun lihainya suami isteri itu, kiranya menghadapi jurus maut ini mereka akan sukar untuk dapat menghindarkan diri. Dan menangkis serangan itu berarti mereka harus menghadapi gelombang tenaga yang amat dahsyat. Mereka tentu akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang parah kalau melakukan tangkisan.

"Wuuuuuttttt! Desssss.!!!"

Tubuh Sin-tiauw Liu Bhok Ki terpental dan hampir terpelanting, namun Han Beng yang menangkis serangan itu pun terjengkang sampai terguling-guling karena memang dia tadi tidak berani mengerahkan tenaga terlalu kuat agar tidak melukai gurunya. Dia tidak rela melihat gurunya menyerang suami isteri itu dengan jurus maut yang dia tahu amat berbahaya, maka cepat dia menangkis serangan itu dari samping.

Liu Bhok Ki sudah berdiri tegak lagi dan kini mukanya berubah merah, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang kepada muridnya yang kembali sudah berlutut di depan kakinya. "Si Han Beng! Apa yang kaulakukan ini? Engkau hendak melawan aku dan melindungi dua orang musuhku ini?"

"Maaf, Suhu. Sama sekali teecu tidak berani melawan Suhu dan teecu buta melindungi Coa-toako dan isterinya, melainkan teecu harus mencegah Suhunya melakukan perbuatan yang tidak benar. Suhu, mereka ini bukanlah musuh Suhu. Bukankah dua orang musuh Suhu telah Suhu bunuh selama bertahun-tahun, Suhu bahkan telah menyiksa tengkorak mereka? Dua orang ini sama sekali tidak bersalah kepada Suhu. Karena itu, Suhu teecu mohon agar Suhu menyadari kekeliruan tindakan ini, agar Suhu dapat membuang jauh cemburu dan dendam yang tidak pada tempatnya."

Sepasang mata itu semakin terbelalak marah. "Apa? Engkau berani bicara seperti itu? Bagus! Engkau murid murtad engkau sudah berpihak kepada musuh oleh karena itu, engkau pun kini menjadi musuhku. Aku akan bunuh dulu engkau, baru mereka!" Berkata demikian kaki kakek itu menendang.

"Desss...!" Tubuh pemuda itu terpental dan terbanting keras. Akan tetapi Han Beng yang sama sekali tidak melawan itu, sudah bangkit duduk, lalu berlutut kembali ke arah suhunya, memberi hormat tanpa mengusap darah yang keluar dari ujung bibirnya.

Melihat keadaan itu, Coa Siang Lee menggandeng tangan isterinya dan cepat mereka berlutut di depan kaki Liu Bhok Ki, menghalangi kakek itu menghajar muridnya.

"Lo-cian-pwe, dia adalah penyelamat nyawa kami. Jangan Lo-cian-pwe membunuh dia. Kalau Lo-cian-pwe menghentikan nyawa kami, silakan, kami menyerahkan nyawa kami kepadamu!"

Melihat dua orang suami isteri itu berlutut di depan kakinya dan minta dibunuh untuk menyelamatkan Han Beng! Liu Bhok Ki menjadi bengong. Pada saat itu, terdengar suara anak kecil.

"Ayah... Ibu...!" dan muncullah Thian Ki. Anak itu mencari-cari dengan pandang mata nya. Ketika melihat mereka itu berlutut di depan kaki seorang kakek yang tinggi besar, Thian Ki lalu berlari menghampiri mereka, dan dia pun ikut-ikutan berlutut di depan kakek itu!

Melihat ini, Sin-tiauw Liu Bhok Ki menjadi semakin bengong. Tadinya di melihat Coa Siang Lee sebagai Coa Ku Tian dan Sim Lan Ci sebagai Phang Hui Cu, akan tetapi kini dia melihat mereka sebagai sepasang suami isteri dengan seorang anak mereka.

"Lo-cian-pwe, kami ibu ayah dan anak menyerah kepada Lo-cian-pwe, dan mohon Lo-cian-pwe suka mengampuni Adik Si Han Beng." kata Sim Lan Ci.

Hati kakek itu seperti ditusuk-tusuk rasanya. Dia menunduk dan memandang mereka, dan kebetulan Thian K i menengadah. Pandang mata mereka bertemu dan seketika Sin-tiauw Liu Bhok Ki menjadi lemas. Entah daya kekuatan apa yang terkandung dalam sepasang mata anak berusia tiga tahun itu!

Mata yang bebas dari perasaan hati dan akal pikiran, sepasang mata yang menyinarkan suatu yang suci, seperti mata malaikat, atau mata yang mengandung sinar mata kasih dan kekuasaan Tuhan, yang ampuh melumpuhkan dan mencairkan semua kekerasan yang menggumpal di dalam hati Sin-tiauw Liu Bhok Ki!

Pada saat pertemuan pandang mata itu, seketika Liu Bhok Ki menyadari akan semua sepak terjangnya yang dipenuhi nafsu dendam kebencian yang timbul dari cemburu. Baru dia merasa betapa jahat dan kejamnya dia selama ini dan tak dapat ditahannya lagi, kakek itu meringis sampai mengguguk...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.