"Coa hujin (Nyonya Coa)...! Dan engkau kongcu (tuan muda)! Ah, kalian masih selamat? Syukur kepada Thian kalian masih selamat..." dan orang itupun mengusap air matanya yang mengalir turun.
"Paman, kenapa rumah ini sekarang kosong? Ceritakan semua akibat dari penyerbuan para penjahat itu! Cepat ceritakan!" Lan Ci tidak sabar lagi. Rumah itu nampak kosong dan sepi, bahkan perabot-perabot rumahpun banyak yang hilang. Baru beberapa hari saja ia tinggal di situ dan sekarang semua telah berubah.
"Hujin... suamimu telah... gugur..."
"Aku sudah tahu. Ceritakan siapa lagi yang gugur dan bagaimana akhirnya dengan serbuan para penjahat itu?"
"Tigapuluh lebih anggota Hek-houw-pang tewas, termasuk... kongcu Coa Siang Lee dan juga pangcu (ketua) Kam Seng Hin. Juga lo-cian-pwe Coa Song..."
"Aih! Kong-kong juga...?" Lan Ci berseru kaget karena ia tidak melihat kakek itu ikut berkelahi melawan penjahat.
"Lo-cianpwe meninggal dunia karena duka."
"Ah, dimana isteri pangcu dan puteranya?"
"Sungguh menyedihkan sekali, hujin. Isteri pangcu dilarikan penjahat...!"
"Dan bagaimana dengan Cin Cin?" Thian Ki yang sejak tadi mendengarkan dengan sedih, bertanya. "Di mana Cin Cin?"
"Sebelum meninggal dunia, lo-cianpwe Coa Song memesan agar anak itu diajak ke dusun Hong-san, diserahkan kepada Huang-ho Sin liong Si Han Beng untuk dididik. Sekarang telah berangkat dua hari yang lalu. Dan lo-cian-pwe Coa Song juga membubarkan Hek-houw-pang. Semua murid telah meninggalkan dusun ini karena takut kalau-kalau para penjahat yang lihai itu datang kembali. Perabot rumah ini banyak dijual untuk biaya pemakaman dan semua harta sesuai dengan pesan lo-cian-pwe Coa Song, telah dibagi-bagi di antara para anggota."
"Ahhhh...!" Lan Ci merasa jantungnya seperti ditusuk. Perih sekali rasanya dan sungguh aneh, ia teringat pada pendekar tinggi besar yang telah menolongnya dan baru sekarang ia teringat bahwa ia belum mengenal penolongnya itu! Betapa sama benar penderitaan antara ia dan penolongnya itu. Penolongnya kehilangan isteri dan keluarganya, hanya tinggal hidup berdua dengan puterinya, sedangkan ia juga kehilangan suami dan keluarga suaminya, dan iapun hidup berdua dengan Thian Ki.
"Thian Ki...!" Ia merangkul putranya, dan ia teringat akan keadaan puteranya. Susah payah ia dan mendiang suaminya mendidik Thian Ki menjadi seorang anak yang tidak mengenal ilmu silat, tidak mengenal kekerasan. Akan tetapi ternyata putera mereka itu menjadi Tok-tong, dan biarpun tidak disengaja, puteranya itu telah membunuh tiga orang jagoan lihai dengan tubuhnya yang beracun!
"Ibu, kenapa terjadi hal ini? Kenapa ayah dan para anggota Hek-houw-pang dibunuhi orang? Siapa pembunuh ayah? Dia jahat sekali dan sepatutnya dia dihukum!"
Mendengar ucapan ini, Lan Ci mencium pipi puteranya tanpa menjawab, bahkan ia menoleh kepada pelayan itu. "Paman, dimana suamiku dimakamkan? Juga di mana kong-kong dimakamkan?"
"Mereka semua dimakamkan di tanah kuburan luar dusun ini, dan sudah diberi tanda papan nama di depan makam-makam yang banyak itu. Mudah untuk mencarinya. Mari kuantarkan..."
"Tidak usah, paman. Katakan di sebelah mana tanah kuburan itu berada?"
Pelayan itu menunjuk ke utara. "Di sebelah utara dusun, dekat pintu gerbang utara."
"Terima kasih, paman. Kami hendak bersembahyang di sana." Lan Ci lalu bangkit dan bertanya lagi. "Apakah pakaian kami di kamar sana itu masih ada paman?"
"Masih, nyonya. Kami tidak berani mengganggu dan semua masih lengkap."
Lan Ci memasuki kamar di rumah itu, kamar yang tadinya ia pakai dengan suaminya. Melihat pembaringan itu, kursi- kursi itu, air matanya bercucuran, rasanya suaminya masih berada di situ, rebah di pembaringan itu, duduk di kursi itu. Melihat ibunya menangis, Thian Ki yang baru berusia lima tahun itu agaknya mengerti dan dia mendekati ibunya, merangkul pinggang ibunya.
"Ibu, ayah sudah tidak ada. Untuk apa ditangisi lagi?"
"Thian Ki...!" Ibunya merangkul dan tangisnya semakin keras, akan tetapi tak lama kemudian ia mampu menekan perasaannya. Ia memilih pakaiannya lalu berganti pakaian, menggulung jubah milik penolongnya dan menjadikan satu dengan pakaiannya yang dibuntal kain kuning. Pakaian Thian Ki juga dibuntal menjadi buntalan lain untuk dibawa anak itu sendiri. Kemudian merekapun keluar dan menuju ke tanah kuburan.
Dari pelayan itu, Lan Ci mendapatkan kelebihan sisa hio (dupa biting) untuk keperluan sembahyang. Tanah kuburan itu sunyi dan menyeramkan walaupun hari telah menjelang siang. Betapa tidak menyeramkan melihat tanah kuburan yang penuh dengan kuburan baru sebanyak itu? Biarpun Lan Ci seorang wanita yang gemblengan, bahkan ia puteri seorang datuk sesat yang keras hati, namun sejak menjadi istri Siang Lee dan hidup sebagai petani yang tenang dan tenteram, perasaannya peka dan kini ia tidak dapat menahan air matanya yang terus bercucuran.
Melihat deretan makam yang amat banyak itu, hatinya terasa sedih bukan main. Akhirnya ia dapat menemukan makam suaminya yang mengapit makam kakek Coa Song, sedangkan di sebelah lain adalah makam Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang. Melihat makam suaminya, Lan Ci membayangkan segala kebaikan suaminya dan kedua lututnya menjadi lemas. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan makam itu, memeluk gundukan tanah sambil menangis menyedihkan sekali sampai sesenggukan. Kata-kata yang tidak jelas keluar dari mulutnya, bercampur isak tangisnya.
Thian Ki juga menjatuhkan diri berlutut di samping ibunya. Kadang dia menoleh memandang wajah ibunya yang ditutupi kedua tangan, lalu menoleh memandang gundukan tanah yang masih baru. Wajah ibunya yang basah air mata itu kini menjadi kotor terkena tanah, membuat wajah itu nampak menyedihkan sekali. Thian Ki mengerutkan alisnya dan tidak berani bicara. Dia dapat merasakan betapa sedihnya hati ibunya, dan dia merasa kasihan sekali kepada ibunya.
Akan tetapi tetap saja dia berpendapat bahwa tidak ada gunanya menangisi kematian ayahnya. Ditangisi bagaimanapun juga, ayahnya tidak akan dapat bangun kembali. Setelah agak lama dia hanya membiarkan saja ibunya menangis dan berkeluh kesah, merintih-rintih dengan suara yang tidak jelas apa maknanya, akhirnya Thian Ki menyentuh lengan ibunya.
"Ibu, apakah lilin dan hio ini tidak dinyalakan dan dibakar?"
Mendengar pertanyaan puteranya itu, barulah Lan Ci sadar bahwa ia terseret kedukaan dan iapun menoleh kepada puteranya, menyusut air matanya dan mencoba untuk tersenyum, senyum yang bahkan nampak amat mengharukan dan sedih.
"Kau nyalakan lilinnya dan pasang di depan makam ayahmu dan kakek buyutmu, Thian Ki. Ibu yang akan membakar hio-nya."
Ibu dan anak itu lalu bersembahyang di depan makam Coa Siang Lee dan makam kakek Coa Song, kemudian keduanya duduk di depan makam Coa Siang Lee sambil termenung.
Hidup dikuasai pikiran dan suka-duka merupakan permainan pikiran. Jarang sekali pikiran dalam keadaan hening tidak terpengaruh suka ataupun duka. Pikiran selalu mengejar kesukaan, menjauhi kedukaan. Namun, suka-duka merupakan dua permukaan dari mata uang yang sama, tak terpisahkan. Dimana ada suka di sana pasti ada duka, seperti terang dan gelap, siang dan malam, merupakan pasangan yang membuat kehidupan pikiran menjadi lengkap.
Pikiran seperti air samudra, tak pernah diam, selalu berubah. Oleh karena itu, tidak ada keadaan pikiran yang abadi. Sukapun hanya sementara, demikian pula duka, walaupun biasanya, duka lebih panjang usianya dibandingkan suka. Bahkan suka biasanya berekor duka, walaupun duka belum tentu disambung suka. Apa yang hari ini mendatangkan kesukaan, besok sudah berubah mendatangkan kedukaan. Keadaannya tidaklah berubah. Keadaan apa adanya merupakan kenyataan yang tidak berubah.
Yang berubah adalah keadaan pikiran kita sehingga karena dasar pemikirannya berubah, maka penilaiannya juga berubah-ubah. Yang hari ini menyenangkan pikiran, besok dapat berubah menjadi menyusahkan. Kalau nafsu yang memperdaya hati akal pikiran sudah mencengkeram kita, maka kita selalu tenggelam, baik dalam suka maupun dalam duka. Dikala suka, kita dapat menjadi mabok kesenangan dan lupa diri, sebaliknya, di waktu duka kitapun menjadi mabok kedukaan dan merana. Keduanya merupakan keadaan di mana kita dipermainkan oleh nafsu melalui hati akal pikiran kita.
Bagaimana kita dapat mencari jalan keluar dari lingkaran setan ini? Bagaimana kita dapat terbebas dari nafsu hati dan akal pikiran? Siapa yang bertanya ini? Siapa yang ingin bebas dari nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran? Jelas bahwa yang bertanya adalah pikiran juga, pikiran yang sama yang bergelimang nafsu. Melihat bahwa nafsu mendatangkan ketidakbahagiaan, maka pikiran lalu ingin agar bebas dari nafsu.
Bagaimana mungkin nafsu dapat bebas dari dirinya sendiri? Semua usaha yang dilakukan nafsu tentu mengandung pamrih menyenangkan diri sendiri, membebaskan diri dari susah. Dengan usaha ini, berarti kita terjatuh ke dalam lingkaran setan yang sama, atau bahkan lebih kuat!
Kiranya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali MENYERAH! Menyerah kepada Tuhan, kepada Sang Maha Pencipta, Maha kuasa dan Maha Kasih! Kita ini, berikut hati dan akal pikiran, berikut nafsu-nafsu kita, kita ini seluruhnya diciptakan oleh kekuasaan Tuhan! Maka, tidak ada yang lebih benar dari pada menyerahkan segala-galanya kepada yang mengadakan kita, yang menciptakan kita. Di waktu mengalami suka, kita selalu ingat dan bersyukur kepadaNya sehingga tidak mabok.
Di waktu mengalami duka, kita selalu ingat dan menyerah padaNya sehingga tidak tenggelam. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang mampu meluruskan yang bengkok dalam batin kita, membersihkan yang kotor. Setiap kehendak Tuhan jadilah! Bukan pikiran yang ingin menyerah karena kalau demikian tentu ada pamrih yang tersembunyi di balik penyerahan itu. Nafsu selalu berpamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri.
Tidak ada si AKU atau pikiran yang ingin menyerah. Yang ada hanya penyerahan itu saja, titik. Seolah-olah mati di depan Tuhan. Nah kalau nafsu hati dan akal pikiran tidak bekerja lagi, maka segalanya terserah kepada Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Kasih, dan hanya kekuasaaNya sajalah yang akan mampu mengadakan atau menjadikan yang tidak mungkin bagi pikiran.
"Ibu, kita sekarang akan kemana?" tiba-tiba Thian Ki berkata, suaranya yang lirih memecah kesunyian dan menarik kembali semangat ibunya yang melayang-layang.
Lan Ci memandang anaknya. Thian Ki mendekati ibunya dan menggunakan tangannya untuk membersihkan tanah dari wajah ibunya. "Ke mana lagi kalau tidak pulang! Kita pulang ke Mo-kim-cung, Thian Ki!"
Anak itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, dirumah sudah tidak ada ayah! Aku tidak suka kembali ke sana, akan selalu teringat kepada ayah."
Lan Ci menarik napas panjang. Ia juga merasa ragu untuk tinggal di dusunnya itu, dekat dengan ibunya! Bersusah-payah ia menjaga agar anak tunggalnya tidak mengenal kekerasan, akan tetapi setelah ibunya tiba dan menjadi nikouw di kuil Thian-ho-tang, anaknya malah dijadikan Tok-tong oleh ibunya! Kalau ia mengajak Thian Ki kembali ke sana, tidak urung ibunya tentu akan berusaha keras agar Thian Ki mempelajari ilmu-ilmu yang keji dan anaknya ini kelak akan menjadi seorang manusia racun yang amat berbahaya bagi kehidupan orang lain.
"Thian Ki, malapetaka yang menimpa kita ini mengingatkan aku bahwa mungkin sekali aku telah keliru mendidikmu. Sejak kecil, ayahmu dan aku yang pandai ilmu silat selalu berusaha agar engkau tidak mempelajari ilmu silat. Bahkan kami bertahun-tahun hidup sebagai petani yang penuh damai. Siapa tahu, di sini kita bertemu malapetaka! Andaikata ayahmu dan aku lebih terlatih, belum tentu ayahmu tewas. Dan engkau sendiri... ah, engkau bahkan telah menewaskan tiga orang tokoh persilatan yang lihai."
"Ibu, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Aku tidak bermaksud membunuh orang. Aku hanya ingin menolongmu, aku hanya menggigit, dan yang lain itu hanya mencengkeram aku, kenapa mereka semua roboh dan tewas? Ibu pernah mengatakan kepadaku bahwa aku sakit, tubuhku beracun dan kalau aku mendekati wanita, ia akan mati. Apakah itu sebabnya maka tiga orang itu tewas, ibu. Dan kalau benar begitu, mengapa tubuhku beracun?"
Lan Ci merangkul puteranya. "Thian Ki, kelak engkau akan mengerti sendiri. Aku harus mencarikan obat untukmu, untuk melenyapkan racun itu dari tubuhmu."
"Ibu, didunia ini terdapat begitu banyak orang jahat. Mereka telah membunuh ayah, membunuh para paman Hek-houw-pang, bahkan hampir membunuh ibu dan aku. Mereka tidak dapat membunuhku karena tubuhku beracun. Kalau ibu hendak melenyapkan racun dari tubuhku, bukankah kalau ada orang jahat, aku akan mudah mereka bunuh?"
"Ha, tepat sekali ucapanmu itu, Thian Ki!" Tiba-tiba Pangeran Cian Bu Ong muncul bersama puterinya.
"Thian Ki...!" Kui Eng berseru gembira dan segera menghampiri Thian Ki dan memegang tangan anak itu.
Melihat munculnya penolongnya, Lan Ci cepat memberi hormat. "Mengapa tai-hiap mengatakan bahwa ucapan Thian Ki tepat? Tidak mungkin dia dibiarkan begitu saja, menjadi Tok-tong dan membahayakan nyawa setiap orang yang berdekatan dengannya. Bahkan sekarang juga, nyawa puterimu dapat terancam bahaya, tai-hiap."
Mendengar ucapan ibunya, Thian Ki terkejut dan cepat dia melepaskan tangannya yang saling gandeng dengan tangan Kui Eng. Akan tetapi Kui Eng memegang lagi tangan Thian Ki.
"Kui Eng, lepaskan tanganku. Tubuhku beracun dan engkau dapat celaka keracunan!" kata Thian Ki, kembali melepaskan tangannya.
"Aah, engkau tentu tidak akan mencelakai aku, tentu aku tidak akan keracunan. Aku tidak takut berdekatan denganmu, Thian Ki."
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, walaupun senyumnya masih nampak pahit karena hatinya masih tertekan kedukaan. "Anakku benar, Lan Ci. Justru kekuatan dahsyat dalam diri Thian Ki harus dipelihara, dirawat dan dipupuk. Kalau dia dapat menguasainya, tentu dia tidak akan mencelakai orang tanpa disengaja. Aku ingin mengajarkan dia untuk menguasai kekuatan dahsyat itu dan mengajarkan semua ilmuku, bersama Kui Eng."
Lan Ci cepat memberi hormat. "Harap Thai-hiap memaafkan saya. Sesungguhnya, sejak kecil Thian Ki tidak pernah kami ajari ilmu silat dan tidak memperkenalkan dia dengan kehidupan dunia persilatan."
"Sungguh aneh sekali. Engkau dan suamimu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Kenapa tidak diwariskan kepada anak tunggal kalian?"
"Kami ingin agar anak kami hidup dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, jauh dari kekerasan dan permusuhan seperti yang dialami para ahli silat," kata Lan Ci dengan tegas.
"Aih, nyonya muda. Alangkah lucunya omonganmu itu. Engkau tidak mengajarkan ilmu silat kepada puteramu, ingin agar dia hidup dalam keadaan tenang tenteram. Akan tetapi apa yang telah terjadi? Masih kecil saja dia tertimpa malapetaka! Ayahnya tewas, ibunya hampir celaka, dan dia sendiri, kalau tidak memiliki kekuatan beracun itu tentu sudah tewas pula!"
"Kalau tidak ada tai-hiap yang menolong, memang kami ibu dan anak tentu telah tewas," kata Lan Ci, ia bergidik membayangkan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya ketika itu.
"Sim Lan Ci, engkau seorang ahli silat, kenapa pendirianmu seperti itu? Karena mungkin engkau dahulu hidup penuh kekerasan dan permusuhan, maka engkau hendak menjauhkan puteramu dari ilmu silat? Ingatlah, seorang ahli silat setidaknya dapat membela diri, bahkan dapat mempergunakan ilmunya untuk membela yang lemah, untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan jiwa seorang pendekar dan pahlawan. Kalaupun dia tewas dalam pertempuran, maka dia mati seperti orang gagah. Sebaliknya, seorang lemah akan selalu ditindas dan ditekan tanpa mampu membela diri sehingga kalau sampai dia mati, maka dia akan mati konyol! Matinya seorang pendekar adalah matinya seekor harimau, sebaliknya matinya seorang yang lemah seperti matinya seekor babi. Aku ingin mengambil Thian Ki sebagai murid, kuharap engkau tidak menolak, kalau engkau tidak ingin anakmu kelak membunuh lebih banyak orang lagi tanpa sengaja."
"Tapi... tapi... saya akan mencarikan obat penawar racun dalam tubuhnya Lan Ci mencoba untuk membantah dengan lemah.
"Nyonya muda, dari gerakanmu dan pukulanmu, aku tahu bahwa engkau seorang ahli pukulan beracun. Aku telah memeriksa keadaan puteramu dan aku tahu bahwa tidak ada obat apapun di dunia ini yang akan mampu membersihkan racun dari tubuh puteramu, kecuali kalau dia menularkan atau memindahkan racun itu kepada banyak wanita yang akan menjadi korban. Seluruh darahnya telah mengandung racun, dari ujung rambut sampai ke jari kakinya. Satu-satunya cara untuk menghindarkan dia menjadi pembunuh besar kepada semua orang yang dekat dengannya, hanya dengan memberinya ilmu agar dia dapat menguasai kekuatan itu dan hanya menggunakan kekuatan itu kalau diperlukan saja."
Sejak tadi Thian Ki mendengarkan percakapan antara ibunya dan laki-laki gagah itu. Dia masih kecil, akan tetapi dia memang cerdas dan dapat mempertimbangkan apa yang dibicarakan tadi.
"Ibu, aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku harus dapat menguasai racun ini!" lalu dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cian Bu Ong sambil berkata, "Suhu, teecu (murid) akan mentaati semua perintah suhu!"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, "Bagus, Thian Ki. Mulai sekarang engkau menjadi muridku, menjadi suheng dari Kui Eng. Kalian berdua akan kugembleng menjadi orang-orang yang berguna kelak." Lalu pangeran itu menoleh kepada Lan Ci. "Kuharap sekali engkau sekarang tidak akan berkeberatan lagi, Lan Ci."
Sebetulnya, Lan Ci merasa berhutang budi kepada penolongnya itu, yang bukan saja telah menyelamatkannya dari bahaya maut, menyelamatkan kehormatannya, akan tetapi juga yang selalu bersikap ramah dan baik, bahkan akrab sekali dengan sebutan yang kadang-kadang menyebut namanya begitu saja. Diapun tahu bahwa penolongnya ini seorang sakti, dan bahwa puteranya tentu akan menjadi seorang yang berilmu tinggi kalau menjadi muridnya. Akan tetapi iapun tidak ingin berpisah dari puteranya.
"Tentu saja saya merasa senang dan berterima kasih kalau tai-hiap sudi mendidik Thian Ki. Akan tetapi dia anak tunggal saya, dan saya hanya mempunyai dia seorang. Bagaimana mungkin saya dapat berpisah darinya, Tai-hiap?"
"Kenapa harus berpisah? Sim Lan Ci, kau tidak perlu berpisah dengan anakmu. Engkau ikut bersama kami, bahkan engkau dapat ikut membantu aku dan mendidik anakmu."
Mendengar penawaran ini, di dalam hatinya Lan Ci merasa girang sekali. Kalau ia tidak berpisah dengan puteranya, maka tidak ada hal lain lagi yang perlu dirisaukan. Hanya saja ia seorang wanita, bahkan janda pula. Dan penolongnya seorang pria, dan duda! Akan janggal sekali nampaknya kalau ia mengikuti penolongnya itu, walaupun penolongnya sudah menjadi guru puteranya. Dan ia tidak ingin berpisah dari puteranya.
"Tapi... tapi..." Ia meragu, menerima merasa sungkan dan malu, menolak juga tidak berani.
"Ibu," kata Thian Ki dengan suara Iantang. "Kenapa ibu menolak? Suhu bermaksud baik sekali. Aku dapat mempelajari ilmu tanpa harus berpisah dari ibu."
"Aih, engkau ini enak saja bicara. Kita hanya akan menjadi beban dan akan memberatkan gurumu saja!" kata Lan Ci sambil melirik puteranya dengan sikap menegur.
"Sama sekali tidak, bibi dan Thian Ki, eh... suheng! Ayahku seorang yang kaya raya, kalau hanya ditambah dengan kalian berdua, sama sekali tidak berat!" Tiba-tiba Kui Eng berkata.
"Nah, sumoi Kui Eng sudah berkata begitu, ibu, walaupun aku tidak mengerti bagaimana suhu dapat menjadi seorang yang kaya raya. Padahal keluarga suhu telah dihancurkan orang, hartanya dirampok, tidak banyak bedanya dengan kita."
"Suheng, engkau tahu apa? Ayahku adalah seorang pangeran, di mana-mana mempunyai rumah gedung!" kata pula Kui Eng.
"Hushh, Kui Eng. Jangan membual kau!" ayahnya menegur.
Akan tetapi ucapan anak perempuan itu amat mengejutkan hati Lan Ci. Ia terbelalak melihat wajah penolongnya, raut wajah yang tampan gagah penuh wibawa, memang pantas menjadi wajah seorang pangeran! "Paduka... paduka seorang pangeran? Bolehkah saya mengetahui siapa nama paduka?"
Pangeran Cian Bun Ong menghela napas panjang. Mereka masih duduk di depan makam, di atas batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu. Keadaan di keliling itu sunyi. "Memang sudah sepantasnya kalau kita saling mengenal lebih dekat lagi, karena puteramu telah menjadi muridku, akupun hanya tahu bahwa engkau bernama Sim Lan Ci, keluarga dari pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi melihat gerakan ilmu silatmu, jelas engkau bukan murid Hek-houw-pang."
"Yang keluarga Hek-houw-pang adalah mendiang suami saya. Dia adalah keturunan para pemimpin atau ketua Hek-houw-pang, yaitu keluarga Coa."
"Oh, begitukah? Pantas ilmu silatmu berbeda." Pangeran itu lalu memandang kepada Thian Ki dan Kui Eng. "Thian Ki, kau ajak sumoimu pergi bermain-main ke ujung tanah kuburan di sana. Jangan terlalu jauh. Aku ingin bicara dengan ibumu dan anak-anak tidak boleh ikut mendengarkan."
"Baik, suhu. Mari, sumoi!" kata Thian Ki sambil menggandeng tangan Kui Eng. Mereka pergi meninggalkan dua orang tua itu dan memetik bunga liar yang bertumbuhan di sudut tanah kuburan.
"Nah, sekarang lebih leluasa kita bicara. Tidak semua hal boleh didengar oleh anak-anak kita."
Lan Ci mengangguk, membenarkan. "Ilmu silatmu selain berbeda, juga mengandung hawa pukulan beracun. Siapakah gurumu?" pangeran itu kembali bertanya. Demikian pandainya dia mengatur percakapan sehingga Lan Ci tidak sadar bahwa pertanyaan tentang nama pangeran itu sama sekali belum terjawab, bahkan kini orang itu yang menguras keterangan darinya.
"Guru saya adalah ibu kandung saya sendiri." Ia terpaksa mengaku.
"Ah, kiranya begitu? Siapakah nama ibumu? Tentu ia seorang tokoh dunia persilatan yang amat terkenal..."
Sungguh tidak enak rasanya memperkenalkan ibunya, seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Biarlah penolongnya ini tahu segala tentang dirinya, tentang Thian Ki yang sudah menjadi muridnya. "Dahulu ibu bernama Phang Bi Cu, berjuluk Ban-tok Mo-li akan tetapi sekarang telah menjadi seorang Ni-kouw."
Benar seperti dugaannya, penolongnya itu nampak terkejut sekali. Nama ibunya terlalu tersohor untuk tidak dikenal orang. "Ban-tok Mo-li? Ibumu Ban tok Mo-li? Aahh, sekarang aku mengerti mengapa anakmu menjadi Tok-tong. Ibumu seorang wanita yang amat lihai dan nama besarnya sudah lama sekali kudengar!" Pangeran itu memandang kagum, lalu cepat menyambung dengan pertanyaan, " Dan ayahmu?"
"Ayah telah tiada sejak saya kecil sekali. Saya tidak ingat lagi. Paduka belum menceritakan siapa sebenarnya paduka."
"Memang aku seorang bekas pangeran. Namaku Cian Bu Ong..."
Lan Ci melompat berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang kepada laki-laki itu dan kedua tangannya dikepal. "Paduka Pangeran Cian Bu Ong? Jadi... paduka ini yang mengirim lima orang penjahat yang telah membasmi Hek-houw-pang dan membunuh suami saya?"
"Duduklah, nyonya, duduk dan tenanglah agar anak-anak kita tidak menjadi kaget " katanya dan sungguh aneh, suara lembut dan berwibawa itu membuat Lan Ci menjadi tenang kembali dan iapun kini sudah duduk lagi, walaupun pandang matanya penuh selidik dan mengandung kemarahan.
"Siapakah yang melempar fitnah itu dan mengatakan bahwa aku yang membasmi Hek-houw-pang?"
"Bukan fitnah! Lima orang penjahat itu sendiri yang mengaku. Ketika mereka muncul di dusun Ta-bun-cung, mereka mencari ketua atau pimpinan Hek-houw-pang untuk dipanggil menghadap Pangeran Cian Bu Ong. Padahal Pangeran Cian Bu Ong adalah seorang pemberontak yang menjadi buruan pemerintah, maka tentu saja Hek-houw-pang tidak mau, bahkan hendak menangkap lima orang itu sehingga terjadi pertempuran. Jadi paduka ini seorang pemberontak yang telah mengutus pembunuh-pembunuh itu untuk membasmi Hek-houw-pang?"
Pangeran itu menghela napas panjang. "Nanti dulu, nyonya. Beginilah nasib orang yang kalah. Dengarkan dulu keteranganku, baru nanti engkau boleh menilai. Tidak kusangkal bahwa aku telah melakukan perlawanan terhadap pemerintah baru. Akan tetapi coba pertimbangkan, siapakah sesungguhnya yang memberontak? Aku adalah seorang pangeran dari Kerajaan Sui, saudara dari mendiang Kaisar Yang Ti. Pemberontakan yang dipimpin Li Si Bin dan ayahnya berhasil menjatuhkan Kerajaan Sui. Sebagai seorang pangeran, aku berjuang melawan pemberontak yang mendirikan kerajaan baru. Nah, siapakah yang pemberontak? Justeru aku menentang pemberontak! Dan kami kalah. Aku menjadi pelarian bersama keluargaku. Kalau orang sudah kalah, selalu menjadi bulan-bulanan fitnah, dijadikan keranjang sampah untuk menampung semua kekotoran dan kesalahan pihak lain. Tidaklah mengherankan kalau lima orang penjahat itu mempergunakan namaku, agar pasukan keamanan mencariku, bukan mereka. Engkau melihat sendiri bagaimana sikapku ketika menolongmu. Aku membunuh anak buah penjahat. Bahkan keluargaku juga terbasmi oleh pasukan keamanan. Nyonya muda Lan Ci, apakah engkau sekarang masih tega untuk menuduh aku menjadi pembasmi keluarga Hek-houw-pang? Aku sudah cukup menderita, maka kalau engkau sekarang menuduhku jahat, maka penderitaanku lengkaplah, bahkan berlebihan, kalau engkau menganggap aku yang menyuruh bunuh suamimu, nah, di depan makam suamimu ini, engkau boleh membalas dendam, boleh membunuhku dan aku tidak akan melawan. Aku hanya titip puteriku, Kui Eng..."
Luluh semua kekerasan di hati Lan Ci mendengar keterangan itu. Semua keterangan itu masuk akal. Pangeran ini bahkan seorang pahlawan yang gigih menentang pemberontak yang menjatuhkan Kerajaan Sui. Kalau kini dia dicap pemberontak, hal itu hanya karena Kerajaan Sui telah jatuh. Dengan demikian memang sukar mengatakan siapa yang memberontak kepada siapa! Apa lagi melihat wajah yang gagah itu menjadi muram oleh kedukaan, Lan Ci teringat akan nasibnya sendiri dan ia menunduk lalu berkata lirih,
"Maafkan saya, pangeran. Saya percaya kepada paduka."
Wajah yang muram itu menjadi cerah kembali, dan senyum kegembiraan tersembul di wajah Pangeran Cian Bu Ong. "Syukurlah, Lan Ci. Syukurlah masih ada orang yang percaya kepadaku. Mari kita cepat pergi dari sini. Kalau sampai ketahuan pasukan keamanan, tentu kita akan terancam bahaya. Kita harus menyelamatkan Kui Eng dan Thian Ki."
"Ke mana kita akan pergi, pangeran?"
"Di perbatasan utara, di sebuah lereng bukit ada sebuah dusun besar orang-orong suku bangsa Hui. Di sana aku mempunyai sebuah rumah. Dan di sana kita akan aman dari jangkauan pengejaran pasukan pemerintah Tang."
Mereka memanggil dua orang yang sedang bermain-main itu dan berangkatlah mereka meninggalkan tanah kuburan, menuju ke utara. Pangeran Cian Bu Ong menjadi penunjuk jalan dan dia mengambil jalan melalui bukit dan lembah, melalui hutan-hutan yang sunyi. Dan di sepanjang perjalanan Sim Lan Ci menjadi semakin kagum dan tertarik karena sikap pangeran itu sungguh lembut, halus dan sopan. Iapun diam-diam menyerahkan nasibnya dan puteranya ke tangan pria yang berwibawa itu.
"Lepaskan aku... atau bunuh saja aku. Biarkan aku mati menyusul suamiku...!" Wanita itu meronta-ronta dalam pondongan Lie Koan Tek ketika pengaruh totokan membuatnya mampu bergerak kembali
Mereka tiba di dalam sebuah hutan. Lie Koan Tek melepaskan pondongannya dan wanita itu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Wanita itu adalah Poa Liu Hwa, isteri Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang. Ketika lima orang penjahat lihai menyerbu Hek-houw-pang, ia membantu suaminya. Melihat suaminya roboh dan tewas, nyonya muda ini mengamuk dengan pedangnya, nekat menyerang penjahat lihai.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkulai lemas, tertotok dan dibawa lari oleh seorang di antara lima penjahat itu. Kini ia berada di tangan seorang penjahat lihai dan melawanpun tidak ada gunanya. Teringat akan kematian suaminya, teringat pula akan nasib puteranya yang entah bagaimana, Poa Liu Hwa hanya dapat menangis sedih.
"Tenanglah, nyonya, dan harap jangan salah sangka. Aku sengaja melarikanmu dengan dua maksud..."
"Huh, penjahat keji macam engkau, maksudmu tentu keji dan jahat! Lebih baik bunuh saja aku!" Liu Hwa berseru marah.
"Diam dulu dan dengarkan keteranganku" Lie Koan Tek membentak marah.
Agaknya. Liu Hwa dapat menangkap kekerasan dan ketegasan dalam suara itu dan iapun menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, memandang dengan mata basah, akan tetapi dengan sinar kebencian seolah hendak membakar. Melihat wanita itu sudah agak tenang dan mau menghentikan tangisnya, Lie Koan Tek menghela napas panjang.
"Tidak ada yang lebih menyakitkan hati dari pada tuduhan orang bahwa aku keji, jahat dan sudah menjadi seorang penjahat. Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Koan Tek, aku seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan."
Liu Hwa terkejut, juga heran. Tentu saja ia pernah mendengar nama Lie Koan Tek, murid Siauw-lim-pai yang gagah-perkasa, yang merupakan sisa para tokoh Siauw-lim-pai yang berhasil lolos ketika kuil Siauw-lim-si dibakar oleh pasukan pemerintah Kerajaan Sui, beberapa tahun yang lalu. Semua orang gagah di dunia persilatan memuji dan kagum kepada Lie Koan Tek dan lima orang saudaranya.
"Tapi... tapi kenapa engkau ikut menyerbu Hek-houw-pang dan menawanku?"
"Dengar saja dulu baik-baik. Engkau mungkin tidak tahu. Aku adalah seorang yang dimusuhi Kerajaan Sui, dan karena aku selalu menentang kesewenang-wenangan para pembesar Sui, akhirnya aku terkepung dan tertawan, lalu dihukum penjara. Ketika kerajaan itu jatuh oleh pasukan Li Si Bin yang memberontak, aku masih di dalam penjara. Lalu aku dibebaskan oleh Pangeran Cian Bu Ong yang sebaliknya sebagai balasannya minta kepadaku untuk membantunya melawan pemberontak Li Si Bin yang sudah berhasil mendirikan Kerajaan Tang. Mula-mula aku menyetujuinya karena aku sendiri biarpun dimusuhi Kerajaan Sui juga menentang pemberontakan. Akan tetapi, ketika kami diperintah oleh Pangeran Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw pang yang membantu pemerintah pemberontak, aku melihat kegagahan orang-orang Hek-houw-pang dan melihat kekejian para rekanku. Timbullah kesadaranku bahwa orang-orang yang membantu Pangeran Cian Bu Ong adalah orang-orang jahat. Apalagi melihat suamimu ketua Hek-houw-pang terbunuh, dan engkau terancam, aku lalu turun tangan melarikanmu, dengan hanya satu niat saja, yaitu menyelamatkanmu."
"Aku tidak butuh kauselamatkan! Aku tidak takut mati, bahkan aku ingin mati bersama suamiku!" Liu Hwa berseru lalu iapun bangkit dan lari meninggalkan Koan Tek.
"Haiii, nyonya, engkau hendak pergi ke mana?" Koan Tek meloncat dan mengejar.
"Perduli apa denganmu?" Wanita itu membalik dan menegur, penuh kemarahan. Walaupun ia percaya akan keterangan Lie Koan Tek tadi, tetap saja kebenciannya tidak hilang karena ia menganggap bahwa pria ini menjadi satu di antara sebab tewasnya suaminya.
"Aku... aku memang tidak ada sangkutan denganmu, tapi... amat berbahaya untuk melakukan perjalanan sendiri kembali ke dusunmu. Bagaimana kalau sampai engkau bertemu dengan anak buah Pangeran Cian Bu Ong?"
"Aku tidak takut. Aku akan melawan sampai napas terakhir!" nyonya muda itu menjawab tegas.
Koan Tek kagum. Wanita ini memang gagah, pikirnya, walaupun ilmu silatnya tidak begitu tangguh. "Engkau sudah nekat, nyonya. Engkau bukan lawan mereka. Sebaiknya engkau menanti satu dua hari sebelum kembali ke dusunmu."
"Tidak! Aku harus pergi sekarang juga. Aku harus mencari anakku!"
"Anakmu? Ahh, jadi ada anakmu tertinggal di dusun?" Kini hati Lie Koan Tek merasa khawatir bukan main. Kasihan wanita ini. Suaminya tewas dan ia masih meninggalkan anak di dusun yang dihancurkan anak buah Pangeran Cian Bu Ong itu.
Kini Liu Hwa mengangguk dan hampir ia menangis lagi ketika teringat akan puteranya. "Anak tunggalku, Kam Cin yang baru berusia lima tahun, entah bagaimana nasibnya. Aku harus mencarinya sekarang juga," katanya dan iapun lari lagi.
Sejenak Lie Koan Tek termangu. Hatinya makin iba terhadap wanita itu dan setelah menarik napas panjang dia pun lari membayangi. Pendekar perkasa ini merasa heran sekali kepada dirinya sendiri. Entah mengapa. Baru sekarang ini dia merasa tertarik dan kasihan sekali kepada seorang wanita! Seorang janda yang mempunyai anak lagi! Sungguh aneh. Akan tetapi dia hanya mengikuti perasaan hatinya dan membayangi karena dia tahu bahwa wanita itu melakukan perjalanan yang penuh bahaya.
Apa yang dikhawatirkan pendekar Siauw-lim-pai itu memang tidak berlebihan. Ketika para penjahat di sekitar dusun Ta-bun-cung mendengar bahwa Hek-houw-pang terbasmi, ketuanya tewas, bahkan kakek Coa juga tewas dan semua anggota Hek-houw-pang meninggalkan dusun karena perkumpulan orang gagah itu dibubarkan, mereka bagaikan gerombolan tikus yang ditinggalkan kucing-kucing penjaga! Mereka seperti berpesta-pora dan menjadi berani.
Matahari telah naik tinggi ketika Liu Hwa tiba di bukit terdekat dengan dusun Ta-bun-cung. Ia tahu bahwa di balik bukit itulah terletak dusunnya. Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, namun ia memaksa diri untuk berjalan terus. Kekhawatiran akan puteranya membuatnya dapat bertahan.
Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng bukit itu, di jalan tikungan yang tertutup tebing bukit, tiba-tiba ia di kejutkan oleh munculnya banyak orang yang segera mengepungnya. Tidak kurang lari duapuluh orang laki-laki yang sikapnya kasar, mengepung dan memandang kepadanya dengan mata seperti binatang buas yang kelaparan, mulut mereka menyeringai kurang ajar. Mereka semua memegang senjata golok, pedang atau ruyung dan sikap mereka buas.
"Aha, bukankah ini nyonya ketua Hek-houw-pang yang terhormat?"
"Dan cantik manis? Lihat kedua pipinya segar kemerahan!"
"Ha-ha-ha, nyonya muda yang segar dan molek! Di mana suamimu?"
"Hei, nyonya ketua. Dimana sekarang Hek-houw-pang?"
Melihat orang-orang itu mulai mendekat dan tangan mereka mulai jahil dan kurang ajar, ada yang hendak mengelus dagunya, ada yang hendak menyentuh tubuhnya, Liu Hwa menangkis sambil berkata keras membentak,
"Heii! Kalian mau apa? Minggir atau terpaksa akan kubunuh kalian semua!"
Ternyata suara nyonya muda ini masih cukup berwibawa sehingga beberapa orang yang kurang kuat nyalinya, melangkah mundur sambil menyeringai.
"Biar kuhadapi si manis ini!" tiba-tiba terdengar suara parau dan seorang yang bertubuh tinggi besar melangkah maju menghadapi Liu Hwa.
Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, suaranya parau dan ketika Liu Hwa mengangkat muka memandang, diam-diam nyonya ini merasa ngeri. Wajah laki-laki ini memang menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, agaknya tidak pernah dicuci apalagi disisir, sehingga nampak kotor dan jorok sekali. Mukanya kasar, dengan bintik-bintik hitam dan nampak keras seperti kulit buaya, hidungnya besar dan mulutnya lebar.
Yang lebih menyeramkan adalah matanya. Mata itu tinggal sebelah kanan saja karena yang kiri terpejam dan agaknya tidak ada biji matanya lagi. Liu Hwa teringat sekarang. Biarpun belum pernah melihat orangnya, namun pernah suaminya dan para anggota Hek-houw-pang bercerita tentang seorang perampok ganas yang berjuluk It-gan Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu). Perampok ini pernah merajalela di luar daerah Ta-bun-cung, akan tetapi setelah Hek-houw-pang membuat gerakan pembersihan, dia tidak berani muncul. Agaknya sekarang dia mengumpulkan penjahat-penjahat lain untuk dipimpin menjadi gerombolan perampok.
"Ha-ha-ha, manis. Ketua Hek-houw-pang sudah mampus, dan Hek-houw-pang sendiri sudah bubar. Daripada menjadi seorang janda kembang yang terlantar lebih baik engkau menjadi isteriku, he heh-heh!"
Berkata demikian, dia menjuIurkan lengan kanannya yang panjang dan besar, dan tangannya hendak merangkul leher Liu Hwa. Akan tetapi nyonya ini mengelak dan menepiskan tangan tangan mata satu itu dengan pengerahan tenaga.
"Plakk!" Tangan penjahat itu terpental. "Aku tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu!"
"Mati? Ha-ha, sayang kalau orang semanis engkau mati. Engkau sudi atau tidak, mau atau tidak, harus menjadi isteri It-gan Tiat-gu, heh-heh-heh!"
Dan tiba-tiba si mata satu itu menubruk bagaikan seekor beruang menubruk kambing. Poa Liu Hwa mengelak dengan loncatan ke kiri, lalu kaki kanannya mencuat dalam sebuah tendangan ke arah perut raksasa mata satu itu. Akan tetapi, Tiat-gu atau Si Kerbau Besi itu ternyata cukup lihai. Tangannya bergerak menangkis tendangan itu dan tangan kanan kembali mencengkeram ke arah pundak Liu Hwa. Liu Hwa terpaksa meloncat lagi ke belakang dan diam-diam terkejut karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, tanda bahwa raksasa mata satu itu memiliki tenaga seperti seekor kerbau!
Ketika ia meloncat ke belakang dua orang anggota gerombolan menyergapnya. Liu Hwa membalik dan kaki tangannya bergerak, menendang dan menampar. Dua orang anggota gerombolan itu jatuh tersungkur. Akan tetapi lebih banyak orang lagi mengeroyoknya, semua dengan tangan kosong karena mereka ingin membantu pemimpin mereka menangkap calon korban ini, bukan hendak melukai atau membunuhnya.
"Tikus-tikus busuk!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan bagaikan seekor garuda menyambar dari angkasa, Lie Koan Tek sudah terjun ke dalam perkelahian itu dan dia mengamuk. Sekali dia menerjang, dua orang perampok terpelanting keras. Melihat ini, para perampok segera menggunakan senjata mereka untuk mengepung dan mengeroyok. Pendekar Siauw-lim-pai itupun melolos rantai bajanya yang dipakai sebagai ikat pinggang, dan diapun memutar rantai baja itu, mengamuk di antara pengeroyokan banyak orang.
Melihat munculnya seorang pria yang gagah perkasa, It-gan Tiat-gu segera menubruk Liu Hwa dari belakang dan karena pada saat itu Liu Hwa sedang menghadapi pengeroyokan dua orang maka ia tidak mampu mengelak. Kedua lengan Kerbau Besi telah merangkulnya dan karena tenaga kepala perampok itu memang besar, Liu Hwa sama sekali tidak mampu berkutik. It-gan Tiat-gu sudah menotoknya dan memanggul tubuh Liu Hwa yang menjadi lemas, dan kepala perampok ini menyelinap pergi, menggunakan kesempatan selagi Lie Koan Tek sibuk menghadapi pengeroyok yang banyak jumlahnya.
Karena sibuk menghadapi pengeroyokan kurang lebih duapuluh orang yang semuanya bersenjata tajam, Lie Koan Tek sendiri tentu saja tidak sempat untuk memperhatikan Liu Hwa. Dia mengamuk dan memutar rantai bajanya, merobohkan bayak pengeroyok sehingga para perampok menjadi gentar. Sisanya yang belum roboh lalu melarikan diri cerai-berai ke segala jurusan. Baru setelah para perampok pergi, Lie Koan Tek mendapat kenyataan bahwa Liu Hwa tidak berada di situ! Dia menjadi bingung. Hendak mengejar ke mana? Para perampok itu lari ke empat penjuru!
Apakah Liu Hwa telah berhasil melarikan diri ketika dia datang menyerbu para penjahat itu? Mengingat akan kemungkinan ini, dia lalu cepat mendaki bukit dan pergi ke dusun Ta-bun-cung. Sebagai seorang di antara para penyerbu dusun itu malam tadi, tentu saja dia tidak berani memasuki dusun secara terang-terangan. Dia menanti sampai hari menjadi gelap, baru dia melakukan penyelidikan. Diam-diam dia merasa menyesal juga mendapat keterangan bahwa puluhan orang anggota Hek-houw-pang telah tewas dalam pertempuran ketika anak buah Pangeran Cian Bu Ong datang menyerbu.
Biarpun dia tidak bersungguh-sungguh membantu pangeran itu, dia tetap merasa ikut berdosa. Dia tidak menyelidiki terlalu banyak mengenai Hek-houw-pang. Yang dicarinya hanya Liu Hwa. Kalau nyonya muda itu sudah kembali ke dusun, hatinya akan merasa lega dan diapun akan pergi tanpa menemuinya. Akan tetapi, betapa bingung hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Poa Liu Hwa tidak pernah pulang! Nyonya muda itu telah lenyap.! Masih baik kalau lenyapnya itu karena ia telah pergi dan tidak ingin kembali ke dusun, akan tetapi bagaimana kalau sampai ia tertawan penjahat?
Lie Koan Tek cepat meninggalkan dusun itu dan kembali memasuki hutan di lereng bukit, di mana siang tadi dia membantu Liu Hwa yang dikepung penjahat. Akan tetapi hutan itu sunyi saja. Dia tidak tidur semalam suntuk melainkan menjelajahi bukit itu, namun tidak menemukan jejak, bahkan tidak bertemu dengan seorangpun manusia. Agaknya anggota gerombolan perampok yang dia robohkan dalam keadaan terluka atau tewas sudah diangkut pergi kawan-kawan mereka.
Terpaksa pada keesokan harinya, dia menuruni bukit dan menuju ke dusun yang nampak paling dekat di kaki bukit. Dia menjelajahi dusun-dusun dan akhirnya, pada hari ke tiga ketika dia memasuki sebuah dusun, dia melihat lima orang sedang ribut dengan pemilik rumah yang cukup besar di dusun itu. Ia melihat lima orang itu memukuli tuan rumah, dan yang lain sedang mengangkut barang-barang berharga dari rumah itu.
Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin mempunyai luka melintang di mukanya dan teringatlah Lie Koan Tek bahwa orang itu pernah dilihatnya di antara para pengeroyoknya ketika ia menolong Liu Hwa malam itu. Cepat ia lari menghampiri dan tanpa banyak cakap lagi dia menerjang si codet yang sedang memukuli tuan rumah.
"Plakk!" Dipukul pundaknya, si codet terpelanting. Tentu saja dia marah sekali dan mencabut golok, lalu meloncat bangun dan hendak menyerang pemukulnya. Akan tetapi, begitu dia mengenal Koan Tek, mukanya yang codet menjadi pucat. Dia mengenal pendekar ini yang membuat dia dan belasan orang kawannya lari tunggang-langgang tiga hari yang lalu. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat lari lagi, maka terpaksa dia memberanikan diri dan menyerang dengan bacokan goloknya ke arah kepala Koan Tek. Pendekar ini menggeser kaki sehingga tubuhnya miring dan ketika golok lawan meluncur lewat di samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangan memukul pundak kanan lawan.
"Krekkk!" Tulang pundak itu hancur. Golok terlepas dan si codet yang berteriak kesakitan hendak melarikan diri. Akan tetapi sebuah tendangan membuat sambungan lutut kanannya terlepas dan diapun roboh tak mampu bangkit lagi, hanya duduk dan mengaduh-aduh dengan muka pucat ketakutan.
Lie Koan Tek tidak berhenti sampai disitu saja. Dia berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan ketika empat orang penjahat yang lain roboh terpukul olehnya. Ada yang remuk tulang lengan atau kakinya, ada yang benjol-benjol kepalanya atau matang biru mukanya. Akan tetapi mereka semua tidak mampu melarikan diri lagi dan hanya mengaduh-aduh, ada pula yang pingsan.
Lie Koan Tek tidak memperdulikan penduduk yang datang berlarian ke tempat itu, juga tidak memperdulikan anggota perampok yang lain. Dia menyeret tubuh si codet dan membawanya lari keluar dari dusun. Si codet merintih-rintih ketakutan dan minta-minta ampun, Namun Koan Tek tidak perduli dan terus menyeretnya keluar dusun sampai tiba di tempat sepi, baru dia melepaskan cengkeramannya sehingga tubuh si codet terhempas ke atas tanah.
"Ampun... ampunkan hamba... taihiap..." kata si codet sambil berlutut menyembah-nyembah.
"Mudah saja mengampuni dan membunuhmu, akan tetapi cepat katakan di mana adanya nyonya yang kalian rampok tiga hari yang lalu itu. Katakan dengan sejujurnya kalau engkau tak ingin kusiksa sampai mati!"
"Ampun, tai-hiap. Bukan saya yang mengganggunya, akan tetapi nyonya itu dibawa pergi oleh toako... ampunkan saya..."
"Siapa itu toako?"
"It-gan Tiat-gu..."
"Di mana dia sekarang? Nyonya itu dibawa ke mana? Hayo katakan sejujurnya."
"Mungkin ke sarangnya yang baru... Saya... saya hanya menjadi pembantunya sementara saja, dan malam itu... dia pergi melarikan nyonya itu..."
"Hemm, cepat antarkan aku kesarangnya!"
"Jauh sekali, tai-hiap, perjalanan sehari penuh..."
"Cerewet! Kau ingin mampus!" Koan Tek menendang dan tubuh orang itu terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
Dia mengerang dan merangkak bangun. "Ampun, saya... saya mau mengantarkan tai-hiap, tapi... saya takut, tentu dia akan marah kepada saya dan membunuh saya."
"Huh, ada aku di sini, tidak perlu takut. Kalau engkau mengantar aku sampai berhasil menemukan nyonya itu, aku akan mencegah dia membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau tidak memenuhi permintaanku, engkau akan kusiksa sampai mati. Hayo cepat!"
Si codet itu takut sekali dan diapun cepat bangkit lalu menjadi penunjuk jalan. Lie Koan Tek berjalan dibelakangnya dan mendorong-dorongnya sehingga si codet, walaupun menderita nyeri di pundaknya, terpaksa berlari-lari.
Untung bahwa karena gelisah memikirkan keselamatan Poa Liu Hwa, Koan Tek memaksa si codet berlari-lari sehingga dia tidak datang terlambat. Karena kepala perampok yang berjuluk It-Gan Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu) itu, setelah berhasil melarikan Liu Hwa dan meninggalkan Koan Tek dikeroyok anak buahnya, melakukan perjalanan yang santai menuju ke sarangnya, puncak sebuah bukit yang sunyi. Dia telah menotok wanita tawanannya itu hingga Liu Hwa tidak mampu meronta, tidak mampu pula berteriak.
Dengan hati bangga dan girang, si mata satu itu memondong tubuh Liu Hwa, dibawa ke sarangnya dengan jalan kaki biasa saja tidak berlari-lari. Dia bangga karena telah berhasil menawan isteri ketua Hek-houw-pang dan akan memaksa wanita itu menjadi isterinya. Masih ada belasan orang anak buahnya di sarang itu. Mereka menyambut kedatangan It-gan Tiat-gu dengan gembira apa lagi ketika melihat bahwa wanita yang ditawan pemimpin mereka adalah isteri ketua Hek-houw-pang!
"Siapkan pesta. Malam ini aku akan menikah dengan isteri ketua Hek-houw-pang. Ha ha-ha!" It-gan Tiat-gu berkata lantang kepada anak buahnya dengan bangga, dan anak buahnya yang belasan orang itupun tertawa gembira.
Karena It-gan Tiat-gu hanya berjalan, sedangkan si codet yang didorong oleh Koan Tek itu berlari-lari, maka tidak jauh selisih waktu antara kedatangan It-gan Tiat-gu dan mereka berdua di puncak bukit itu. Mereka tiba di puncak itu pada sore hari dan segera belasan orang anak buah Kerbau Besi Mata Satu yang tentu saja mengenal si codet sebagai rekan mereka. Melihat si codet datang sambil meringis kesakitan dan memegangi pundaknya, mereka segera merubungnya dan bertanya-tanya. Si codet maklum bahwa sedikit saja ia mengkhianati pendekar yang menawannya, pendekar itu tentu akan membunuhnya.
Maka ketika kawan-kawannya membanjirinya dengan pertanyaan, dia menggerakkan tangan dengan tidak sabar. "Sudahlah, jangan banyak bertanya dulu. Aku ingin menghadap toako, dimana dia? Aku akan melaporkan sesuatu yang amat penting."
"Aihhh, toako sedang bersenang-senang dengan calon isterinya, jangan diganggu!" kata seorang di antara mereka sambil menunjuk ke arah sebuah pondok tak jauh dari situ.
"Malam nanti kita pesta untuk pernikahan toako, ha-ha-ha!" kata yang lain.
Mendengar ini, tanpa menanti lagi Lie Koan Tek meloncat ke depan pondok dan sekali tendang, daun pintu pondok itu roboh dan diapun menyerbu ke dalam. Apa yang dilihatnya di dalam kamar pondok itu membuat wajah Koan Tek jadi merah saking marahnya. Dia melihat Liu Hwa rebah telentang dalam kedaan tertotok dan pakaiannya tidak karuan, karena It-gan Tiat-gu sedang terkekeh-kekeh sambil mulai membukai pakaian wanita itu.
"Ehh?" It-gan Tiat-gu terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu pondok jebol. Dia meloncat sambil menyambar senjatanya, sebatang golok yang tadi ditaruh di atas meja. Dia terkejut ketika mengenal pria yang tadi mengamuk dan dikeroyok oleh anak buahnya.
"Jahanam busuk!" Koan Tek membentak dan biarpun lawan memegang golok dia tidak takut dan bahkan Koan Tek yang menyerang dengan dahsyatnya.
Mata Satu menyambutnya dengan bacokan golok ke arah kepalanya. Koan Tek miringkan tubuh menghindar, dan tangannya terus melanjutkan serangannya dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada It-gan Tiat-gu. Kepala perampok itu mengelak dengan loncatan kesamping dan goloknya berkelebat, kini membabat ke arah pinggang tokoh Siauw-lim-pai itu. Koan Tek yang sudah marah bukan main melihat penjahat ini tadi nyaris memperkosa wanita yang selalu berada dalam ingatannya itu, menyambut serangan golok dengan tendangan kaki dari samping.
"Trangggg...!" Golok terlepas dan membentur dinding. It-gan Tiat-gu terkejut bukan main dan merasa jerih, hendak melarikan diri. Akan tetapi Koan Tek mendahuluinya dengan tendangan yang mengenai belakang lututnya, kepala perampok itupun terpelanting. Sebelum dia sempat bangun, kaki Koan Tek menyusulkan tendangan yang diarahkan ketengkuknya.
"Krekkkk!" Patahlah tulang leher It-gan Tiat-gu dan diapun tewas seketika. Pada saat itu, anak buah perampok sudah menyerbu dari luar pondok.
Koan Tek cepat meloncat ke dekat pembaringan dan sekali tangannya bergerak, bebaslah totokan pada diri Liu Hwa. Sebelum wanita ini sempat berkata sesuatu, Koan Tek sudah meloncat keluar lagi dan mengamuklah dia dikeroyok belasan orang anak buah perampok itu. Dia melihat bahwa si codet yang tadi dipaksanya mengantar telah tewas, tentu dibunuh oleh rekan-rekannya sendiri setelah dia lari menjebol daun pintu tadi.
Lie Koan Tek mengamuk dan biarpun ia bertangan kosong, belasan orang anak buah perampok itu bukan tandingannya. Mereka kocar-kacir dan lebih-lebih ketika Liu Hwa muncul dari dalam pondok memegang sebatang golok milik It-gan Tiat-gu. Kini pakaian Liu Hwa telah rapi kembali dan dengan golok di tangan, wanita ini mengamuk membantu Koan Tek. Tentu saja para perampok menjadi gentar dan merekapun lari cerai-berai meninggalkan yang terluka.
Mereka saling pandang, berhadapan dalam jarak tiga meter. Lalu tiba-tiba Liu Hwa melepaskan goloknya, lari menghampiri Koan Tek dan menjatuhkan diri sambil menangis. Koan Tek cepat menyambutnya, memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri, melarangnya berlutut. Liu Hwa kini menangis di atas dada pendekar Siauw-lim-pai itu. Hampir saja kepala perampok mata satu itu memperkosanya. Ia sudah tidak berdaya sama sekali. Dalam saat terakhir, muncul pula pendekar Siauw-lim-pai ini menyelamatkannya.
Ia begitu bersyukur, terharu dan juga bersedih karena ia teringat lagi akan keadaannya yang kehilangan seluruh keluarganya, maka ia lupa diri dan menangis di atas dada yang bidang itu. Koan Tek juga seperti lupa, dengan sendirinya mendekap dan mengelus rambutnya dengan perasaan penuh kasih sayang! Setelah menumpahkan perasaan haru dan dukanya, Liu Hwa sadar akan dirinya dan iapun melepaskan diri, melangkah dua tindak kebelakang dan mukanya berubah merah sekali.
"Ahhh... apa yang kulakukan... aih, tai-hiap, maafkan aku... aku telah membuat bajumu basah..." katanya memandang kepada baju pendekar itu yang basah di bagian dada oleh air matanya.
Koan Tek tersenyum. "Tidak apa, engkau memang perlu dapat menangis sepuas hatimu, nyonya. Nah, marilah kita melanjutkan perjalanan. Kuantar engkau sampai ke dusunmu."
Liu Hwa mengangguk dan merekapun kini meninggalkan bukit itu, menuju dusun Ta-bun-cung. Malam telah tiba ketika mereka tiba di luar dusun, dan di luar pintu gerbang yang nampak sunyi, Koan Tek berhenti.
"Nyonya, pergilah engkau ke dalam. Aku lebih baik menanti saja di sini. Mereka tentu mengenaliku sebagai seorang di antara para penyerbu, dan mereka akan menyerangku."
"Tidak, tai-hiap. Mari masuk saja, biar aku yang akan memberi penjelasan kepada mereka nanti," kata Liu Hwa.
kan tetapi Koan Tek merasa tidak enak. Memang kalau dia ingat akan peristiwa yang terjadi di dusun itu, betapa dia membantu para penjahat untuk membasmi Hek-houw-pang, dia merasa menyesal bukan main dan merasa malu kepada dirinya sendiri. "Aku menanti saja di sini. Kalau engkau perlu bertemu dengan aku besok, aku akan berada di sini."
Terpaksa Liu Hwa meninggalkan pendekar Siauw-lim-pai itu dan memasuki dusun Ta-bun-cung yang nampak sunyi. Akan tetapi begitu ada orang melihatnya, orang itu segera berseru akan munculnya nyonya ketua Hek-houw-pang dan semua orangpun berlarian keluar menyambut. Dan hujan tangispun terjadi. Liu Hwa menangis lagi mendengar betapa banyaknya korban jatuh. Bahkan Coa Siang Lee yang menjadi tamu, juga yang menjadi ahli waris keluarga Coa yang selalu menjadi ketua perkumpulan itu, ikut tewas. Demikian pula Coa Song, kakek yang dihormatinya itu.
Malam hari itu juga, Liu Hwa membawa perlengkapan sembahyang dan ia bersembahyang di depan makam suaminya. Ia tidak mau ditemani orang lain, bahkan ia menyuruh semua orang yang mengantarnya untuk meninggalkannya agar ia dapat meratapi nasibnya di depan kuburan suaminya. Ia hanya mempunyai satu saja hiburan, yaitu bahwa puteranya, Cin Cin, selamat dan kini menurut pesan terakhir kakek Coa Song, Cin Cin diantar oleh Lai Kun, sute suaminya, untuk menjadi murid pendekar sakti Si Han Beng yang berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning).
la bersembahyang bukan saja di depan makam suaminya, juga ia bersembahyang di depan makam kakek Coa Song dan di depan makam Coa Siang Lee, bahkan ia menyembahyangi makam para murid atau anggota Hek-houw-pang yang tewas dalam serbuan itu. Ketika ia menghampiri makam yang paling ujung sambil membawa hioswa (dupa biting) dan sekeranjang kembang, ia melihat sesosok tubuh kecil melingkar di depan makam itu. Ternyata ada seorang anak laki-laki yang usianya paling banyak enam tahun rebah miring dan melingkar di atas tanah, agaknya tertidur!
Liu Hwa memandang ke arah makam itu. Sinar bulan cukup terang dan tulisan huruf-huruf di atas kayu yang sementara dipasang sebagai nisan itu cukup besar. Ia membaca nama korban itu. Ah, kiranya itu makam The Ci Kok, seorang anggota Hek-houw-pang tingkat atas. The Ci Kok bahkan menjadi suheng dari suaminya yang memiliki kepandaian seimbang dengan suaminya. Kalau Kam Seng Hin yang dipilih menjadi ketua adalah karena The Ci Kok ini orangnya pendiam dan agak bodoh. Kiranya dia juga tewas!
Kini Liu Hwa dapat menduga siapa anak kecil itu dan hatinya seperti ditusuk. Anak itu tentu The Siong Ki putera suheng suaminya itu. Iapun tahu bahwa ibu anak itu telah tiada sejak anak itu masih kecil sekali. Berarti bahwa anak itu kini menjadi seorang anak yatim piatu.
"Siong Ki... Siong Ki...! Bangunlah, jangan tidur di sini, nak!" katanya lembut sambil mengguncang pundak anak itu.
Akan tetapi, anak itu tidak terbangun. Betapa kuatpun dia mengguncang, tetap saja anak itu tidak terjaga. la mulai curiga, lalu memeriksanya. Anak itu seperti dalam keadaan tidur, akan tetapi kini ia tahu bahwa anak itu sebenarnya jatuh pingsan! Makin tertusuk rasa hati Liu Hwa. Diletakkannya bunga dan dupa di atas makam dan ia lalu mengangkat dan memangku anak itu, mengurut tengkuk dan dadanya. Akhirnya, anak itu menggeliat lalu menggumam.
"Ayah... ayah... jangan tinggalkan Siong Ki sendirian, ayah...! Jahanam, aku akan membunuh kalian semua!" Anak itu meronta bangkit dan dengan kedua tangan terkepal dia menyerang Liu Hwa!
Dengan hati terharu sekali Liu Hwa menangkap pukulan-pukulan itu dengan lembut sambil berkata, "Siong Ki, lihatlah siapa aku ini..."
"Tidak perduli engkau siapa, setan atau iblis. Aku tidak takut! Biar kau membunuhku, aku tidak takut. Aku ingin mati dan bersama ayah dan ibuku!" Dan dia menyerang terus.
Setelah Liu Hwa menangkap kedua lengannya dan merangkulnya, baru anak itu mengamati Liu Hwa dan diapun merangkul dan menangis, "Bibi... ah. bibi...! Aku... aku ingin mati saja, bibi...!"
Biarpun hatinya sendiri seperti diremas-remas, penuh kedukaan dan keharuan yang membuat ia ingin menjerit-jerit dan menangis seperti anak kecil, akan tetapi Liu Hwa menahan perasaannya, menggigit gigi sendiri dan merapatkan bibir dengan kuat-kuat sambil merangkul anak itu. Kemudian ia bicara...
"Paman, kenapa rumah ini sekarang kosong? Ceritakan semua akibat dari penyerbuan para penjahat itu! Cepat ceritakan!" Lan Ci tidak sabar lagi. Rumah itu nampak kosong dan sepi, bahkan perabot-perabot rumahpun banyak yang hilang. Baru beberapa hari saja ia tinggal di situ dan sekarang semua telah berubah.
"Hujin... suamimu telah... gugur..."
"Aku sudah tahu. Ceritakan siapa lagi yang gugur dan bagaimana akhirnya dengan serbuan para penjahat itu?"
"Tigapuluh lebih anggota Hek-houw-pang tewas, termasuk... kongcu Coa Siang Lee dan juga pangcu (ketua) Kam Seng Hin. Juga lo-cian-pwe Coa Song..."
"Aih! Kong-kong juga...?" Lan Ci berseru kaget karena ia tidak melihat kakek itu ikut berkelahi melawan penjahat.
"Lo-cianpwe meninggal dunia karena duka."
"Ah, dimana isteri pangcu dan puteranya?"
"Sungguh menyedihkan sekali, hujin. Isteri pangcu dilarikan penjahat...!"
"Dan bagaimana dengan Cin Cin?" Thian Ki yang sejak tadi mendengarkan dengan sedih, bertanya. "Di mana Cin Cin?"
"Sebelum meninggal dunia, lo-cianpwe Coa Song memesan agar anak itu diajak ke dusun Hong-san, diserahkan kepada Huang-ho Sin liong Si Han Beng untuk dididik. Sekarang telah berangkat dua hari yang lalu. Dan lo-cian-pwe Coa Song juga membubarkan Hek-houw-pang. Semua murid telah meninggalkan dusun ini karena takut kalau-kalau para penjahat yang lihai itu datang kembali. Perabot rumah ini banyak dijual untuk biaya pemakaman dan semua harta sesuai dengan pesan lo-cian-pwe Coa Song, telah dibagi-bagi di antara para anggota."
"Ahhhh...!" Lan Ci merasa jantungnya seperti ditusuk. Perih sekali rasanya dan sungguh aneh, ia teringat pada pendekar tinggi besar yang telah menolongnya dan baru sekarang ia teringat bahwa ia belum mengenal penolongnya itu! Betapa sama benar penderitaan antara ia dan penolongnya itu. Penolongnya kehilangan isteri dan keluarganya, hanya tinggal hidup berdua dengan puterinya, sedangkan ia juga kehilangan suami dan keluarga suaminya, dan iapun hidup berdua dengan Thian Ki.
"Thian Ki...!" Ia merangkul putranya, dan ia teringat akan keadaan puteranya. Susah payah ia dan mendiang suaminya mendidik Thian Ki menjadi seorang anak yang tidak mengenal ilmu silat, tidak mengenal kekerasan. Akan tetapi ternyata putera mereka itu menjadi Tok-tong, dan biarpun tidak disengaja, puteranya itu telah membunuh tiga orang jagoan lihai dengan tubuhnya yang beracun!
"Ibu, kenapa terjadi hal ini? Kenapa ayah dan para anggota Hek-houw-pang dibunuhi orang? Siapa pembunuh ayah? Dia jahat sekali dan sepatutnya dia dihukum!"
Mendengar ucapan ini, Lan Ci mencium pipi puteranya tanpa menjawab, bahkan ia menoleh kepada pelayan itu. "Paman, dimana suamiku dimakamkan? Juga di mana kong-kong dimakamkan?"
"Mereka semua dimakamkan di tanah kuburan luar dusun ini, dan sudah diberi tanda papan nama di depan makam-makam yang banyak itu. Mudah untuk mencarinya. Mari kuantarkan..."
"Tidak usah, paman. Katakan di sebelah mana tanah kuburan itu berada?"
Pelayan itu menunjuk ke utara. "Di sebelah utara dusun, dekat pintu gerbang utara."
"Terima kasih, paman. Kami hendak bersembahyang di sana." Lan Ci lalu bangkit dan bertanya lagi. "Apakah pakaian kami di kamar sana itu masih ada paman?"
"Masih, nyonya. Kami tidak berani mengganggu dan semua masih lengkap."
Lan Ci memasuki kamar di rumah itu, kamar yang tadinya ia pakai dengan suaminya. Melihat pembaringan itu, kursi- kursi itu, air matanya bercucuran, rasanya suaminya masih berada di situ, rebah di pembaringan itu, duduk di kursi itu. Melihat ibunya menangis, Thian Ki yang baru berusia lima tahun itu agaknya mengerti dan dia mendekati ibunya, merangkul pinggang ibunya.
"Ibu, ayah sudah tidak ada. Untuk apa ditangisi lagi?"
"Thian Ki...!" Ibunya merangkul dan tangisnya semakin keras, akan tetapi tak lama kemudian ia mampu menekan perasaannya. Ia memilih pakaiannya lalu berganti pakaian, menggulung jubah milik penolongnya dan menjadikan satu dengan pakaiannya yang dibuntal kain kuning. Pakaian Thian Ki juga dibuntal menjadi buntalan lain untuk dibawa anak itu sendiri. Kemudian merekapun keluar dan menuju ke tanah kuburan.
Dari pelayan itu, Lan Ci mendapatkan kelebihan sisa hio (dupa biting) untuk keperluan sembahyang. Tanah kuburan itu sunyi dan menyeramkan walaupun hari telah menjelang siang. Betapa tidak menyeramkan melihat tanah kuburan yang penuh dengan kuburan baru sebanyak itu? Biarpun Lan Ci seorang wanita yang gemblengan, bahkan ia puteri seorang datuk sesat yang keras hati, namun sejak menjadi istri Siang Lee dan hidup sebagai petani yang tenang dan tenteram, perasaannya peka dan kini ia tidak dapat menahan air matanya yang terus bercucuran.
Melihat deretan makam yang amat banyak itu, hatinya terasa sedih bukan main. Akhirnya ia dapat menemukan makam suaminya yang mengapit makam kakek Coa Song, sedangkan di sebelah lain adalah makam Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang. Melihat makam suaminya, Lan Ci membayangkan segala kebaikan suaminya dan kedua lututnya menjadi lemas. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan makam itu, memeluk gundukan tanah sambil menangis menyedihkan sekali sampai sesenggukan. Kata-kata yang tidak jelas keluar dari mulutnya, bercampur isak tangisnya.
Thian Ki juga menjatuhkan diri berlutut di samping ibunya. Kadang dia menoleh memandang wajah ibunya yang ditutupi kedua tangan, lalu menoleh memandang gundukan tanah yang masih baru. Wajah ibunya yang basah air mata itu kini menjadi kotor terkena tanah, membuat wajah itu nampak menyedihkan sekali. Thian Ki mengerutkan alisnya dan tidak berani bicara. Dia dapat merasakan betapa sedihnya hati ibunya, dan dia merasa kasihan sekali kepada ibunya.
Akan tetapi tetap saja dia berpendapat bahwa tidak ada gunanya menangisi kematian ayahnya. Ditangisi bagaimanapun juga, ayahnya tidak akan dapat bangun kembali. Setelah agak lama dia hanya membiarkan saja ibunya menangis dan berkeluh kesah, merintih-rintih dengan suara yang tidak jelas apa maknanya, akhirnya Thian Ki menyentuh lengan ibunya.
"Ibu, apakah lilin dan hio ini tidak dinyalakan dan dibakar?"
Mendengar pertanyaan puteranya itu, barulah Lan Ci sadar bahwa ia terseret kedukaan dan iapun menoleh kepada puteranya, menyusut air matanya dan mencoba untuk tersenyum, senyum yang bahkan nampak amat mengharukan dan sedih.
"Kau nyalakan lilinnya dan pasang di depan makam ayahmu dan kakek buyutmu, Thian Ki. Ibu yang akan membakar hio-nya."
Ibu dan anak itu lalu bersembahyang di depan makam Coa Siang Lee dan makam kakek Coa Song, kemudian keduanya duduk di depan makam Coa Siang Lee sambil termenung.
Hidup dikuasai pikiran dan suka-duka merupakan permainan pikiran. Jarang sekali pikiran dalam keadaan hening tidak terpengaruh suka ataupun duka. Pikiran selalu mengejar kesukaan, menjauhi kedukaan. Namun, suka-duka merupakan dua permukaan dari mata uang yang sama, tak terpisahkan. Dimana ada suka di sana pasti ada duka, seperti terang dan gelap, siang dan malam, merupakan pasangan yang membuat kehidupan pikiran menjadi lengkap.
Pikiran seperti air samudra, tak pernah diam, selalu berubah. Oleh karena itu, tidak ada keadaan pikiran yang abadi. Sukapun hanya sementara, demikian pula duka, walaupun biasanya, duka lebih panjang usianya dibandingkan suka. Bahkan suka biasanya berekor duka, walaupun duka belum tentu disambung suka. Apa yang hari ini mendatangkan kesukaan, besok sudah berubah mendatangkan kedukaan. Keadaannya tidaklah berubah. Keadaan apa adanya merupakan kenyataan yang tidak berubah.
Yang berubah adalah keadaan pikiran kita sehingga karena dasar pemikirannya berubah, maka penilaiannya juga berubah-ubah. Yang hari ini menyenangkan pikiran, besok dapat berubah menjadi menyusahkan. Kalau nafsu yang memperdaya hati akal pikiran sudah mencengkeram kita, maka kita selalu tenggelam, baik dalam suka maupun dalam duka. Dikala suka, kita dapat menjadi mabok kesenangan dan lupa diri, sebaliknya, di waktu duka kitapun menjadi mabok kedukaan dan merana. Keduanya merupakan keadaan di mana kita dipermainkan oleh nafsu melalui hati akal pikiran kita.
Bagaimana kita dapat mencari jalan keluar dari lingkaran setan ini? Bagaimana kita dapat terbebas dari nafsu hati dan akal pikiran? Siapa yang bertanya ini? Siapa yang ingin bebas dari nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran? Jelas bahwa yang bertanya adalah pikiran juga, pikiran yang sama yang bergelimang nafsu. Melihat bahwa nafsu mendatangkan ketidakbahagiaan, maka pikiran lalu ingin agar bebas dari nafsu.
Bagaimana mungkin nafsu dapat bebas dari dirinya sendiri? Semua usaha yang dilakukan nafsu tentu mengandung pamrih menyenangkan diri sendiri, membebaskan diri dari susah. Dengan usaha ini, berarti kita terjatuh ke dalam lingkaran setan yang sama, atau bahkan lebih kuat!
Kiranya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali MENYERAH! Menyerah kepada Tuhan, kepada Sang Maha Pencipta, Maha kuasa dan Maha Kasih! Kita ini, berikut hati dan akal pikiran, berikut nafsu-nafsu kita, kita ini seluruhnya diciptakan oleh kekuasaan Tuhan! Maka, tidak ada yang lebih benar dari pada menyerahkan segala-galanya kepada yang mengadakan kita, yang menciptakan kita. Di waktu mengalami suka, kita selalu ingat dan bersyukur kepadaNya sehingga tidak mabok.
Di waktu mengalami duka, kita selalu ingat dan menyerah padaNya sehingga tidak tenggelam. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang mampu meluruskan yang bengkok dalam batin kita, membersihkan yang kotor. Setiap kehendak Tuhan jadilah! Bukan pikiran yang ingin menyerah karena kalau demikian tentu ada pamrih yang tersembunyi di balik penyerahan itu. Nafsu selalu berpamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri.
Tidak ada si AKU atau pikiran yang ingin menyerah. Yang ada hanya penyerahan itu saja, titik. Seolah-olah mati di depan Tuhan. Nah kalau nafsu hati dan akal pikiran tidak bekerja lagi, maka segalanya terserah kepada Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Kasih, dan hanya kekuasaaNya sajalah yang akan mampu mengadakan atau menjadikan yang tidak mungkin bagi pikiran.
"Ibu, kita sekarang akan kemana?" tiba-tiba Thian Ki berkata, suaranya yang lirih memecah kesunyian dan menarik kembali semangat ibunya yang melayang-layang.
Lan Ci memandang anaknya. Thian Ki mendekati ibunya dan menggunakan tangannya untuk membersihkan tanah dari wajah ibunya. "Ke mana lagi kalau tidak pulang! Kita pulang ke Mo-kim-cung, Thian Ki!"
Anak itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, dirumah sudah tidak ada ayah! Aku tidak suka kembali ke sana, akan selalu teringat kepada ayah."
Lan Ci menarik napas panjang. Ia juga merasa ragu untuk tinggal di dusunnya itu, dekat dengan ibunya! Bersusah-payah ia menjaga agar anak tunggalnya tidak mengenal kekerasan, akan tetapi setelah ibunya tiba dan menjadi nikouw di kuil Thian-ho-tang, anaknya malah dijadikan Tok-tong oleh ibunya! Kalau ia mengajak Thian Ki kembali ke sana, tidak urung ibunya tentu akan berusaha keras agar Thian Ki mempelajari ilmu-ilmu yang keji dan anaknya ini kelak akan menjadi seorang manusia racun yang amat berbahaya bagi kehidupan orang lain.
"Thian Ki, malapetaka yang menimpa kita ini mengingatkan aku bahwa mungkin sekali aku telah keliru mendidikmu. Sejak kecil, ayahmu dan aku yang pandai ilmu silat selalu berusaha agar engkau tidak mempelajari ilmu silat. Bahkan kami bertahun-tahun hidup sebagai petani yang penuh damai. Siapa tahu, di sini kita bertemu malapetaka! Andaikata ayahmu dan aku lebih terlatih, belum tentu ayahmu tewas. Dan engkau sendiri... ah, engkau bahkan telah menewaskan tiga orang tokoh persilatan yang lihai."
"Ibu, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Aku tidak bermaksud membunuh orang. Aku hanya ingin menolongmu, aku hanya menggigit, dan yang lain itu hanya mencengkeram aku, kenapa mereka semua roboh dan tewas? Ibu pernah mengatakan kepadaku bahwa aku sakit, tubuhku beracun dan kalau aku mendekati wanita, ia akan mati. Apakah itu sebabnya maka tiga orang itu tewas, ibu. Dan kalau benar begitu, mengapa tubuhku beracun?"
Lan Ci merangkul puteranya. "Thian Ki, kelak engkau akan mengerti sendiri. Aku harus mencarikan obat untukmu, untuk melenyapkan racun itu dari tubuhmu."
"Ibu, didunia ini terdapat begitu banyak orang jahat. Mereka telah membunuh ayah, membunuh para paman Hek-houw-pang, bahkan hampir membunuh ibu dan aku. Mereka tidak dapat membunuhku karena tubuhku beracun. Kalau ibu hendak melenyapkan racun dari tubuhku, bukankah kalau ada orang jahat, aku akan mudah mereka bunuh?"
"Ha, tepat sekali ucapanmu itu, Thian Ki!" Tiba-tiba Pangeran Cian Bu Ong muncul bersama puterinya.
"Thian Ki...!" Kui Eng berseru gembira dan segera menghampiri Thian Ki dan memegang tangan anak itu.
Melihat munculnya penolongnya, Lan Ci cepat memberi hormat. "Mengapa tai-hiap mengatakan bahwa ucapan Thian Ki tepat? Tidak mungkin dia dibiarkan begitu saja, menjadi Tok-tong dan membahayakan nyawa setiap orang yang berdekatan dengannya. Bahkan sekarang juga, nyawa puterimu dapat terancam bahaya, tai-hiap."
Mendengar ucapan ibunya, Thian Ki terkejut dan cepat dia melepaskan tangannya yang saling gandeng dengan tangan Kui Eng. Akan tetapi Kui Eng memegang lagi tangan Thian Ki.
"Kui Eng, lepaskan tanganku. Tubuhku beracun dan engkau dapat celaka keracunan!" kata Thian Ki, kembali melepaskan tangannya.
"Aah, engkau tentu tidak akan mencelakai aku, tentu aku tidak akan keracunan. Aku tidak takut berdekatan denganmu, Thian Ki."
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, walaupun senyumnya masih nampak pahit karena hatinya masih tertekan kedukaan. "Anakku benar, Lan Ci. Justru kekuatan dahsyat dalam diri Thian Ki harus dipelihara, dirawat dan dipupuk. Kalau dia dapat menguasainya, tentu dia tidak akan mencelakai orang tanpa disengaja. Aku ingin mengajarkan dia untuk menguasai kekuatan dahsyat itu dan mengajarkan semua ilmuku, bersama Kui Eng."
Lan Ci cepat memberi hormat. "Harap Thai-hiap memaafkan saya. Sesungguhnya, sejak kecil Thian Ki tidak pernah kami ajari ilmu silat dan tidak memperkenalkan dia dengan kehidupan dunia persilatan."
"Sungguh aneh sekali. Engkau dan suamimu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Kenapa tidak diwariskan kepada anak tunggal kalian?"
"Kami ingin agar anak kami hidup dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, jauh dari kekerasan dan permusuhan seperti yang dialami para ahli silat," kata Lan Ci dengan tegas.
"Aih, nyonya muda. Alangkah lucunya omonganmu itu. Engkau tidak mengajarkan ilmu silat kepada puteramu, ingin agar dia hidup dalam keadaan tenang tenteram. Akan tetapi apa yang telah terjadi? Masih kecil saja dia tertimpa malapetaka! Ayahnya tewas, ibunya hampir celaka, dan dia sendiri, kalau tidak memiliki kekuatan beracun itu tentu sudah tewas pula!"
"Kalau tidak ada tai-hiap yang menolong, memang kami ibu dan anak tentu telah tewas," kata Lan Ci, ia bergidik membayangkan bahaya mengerikan yang mengancam dirinya ketika itu.
"Sim Lan Ci, engkau seorang ahli silat, kenapa pendirianmu seperti itu? Karena mungkin engkau dahulu hidup penuh kekerasan dan permusuhan, maka engkau hendak menjauhkan puteramu dari ilmu silat? Ingatlah, seorang ahli silat setidaknya dapat membela diri, bahkan dapat mempergunakan ilmunya untuk membela yang lemah, untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan jiwa seorang pendekar dan pahlawan. Kalaupun dia tewas dalam pertempuran, maka dia mati seperti orang gagah. Sebaliknya, seorang lemah akan selalu ditindas dan ditekan tanpa mampu membela diri sehingga kalau sampai dia mati, maka dia akan mati konyol! Matinya seorang pendekar adalah matinya seekor harimau, sebaliknya matinya seorang yang lemah seperti matinya seekor babi. Aku ingin mengambil Thian Ki sebagai murid, kuharap engkau tidak menolak, kalau engkau tidak ingin anakmu kelak membunuh lebih banyak orang lagi tanpa sengaja."
"Tapi... tapi... saya akan mencarikan obat penawar racun dalam tubuhnya Lan Ci mencoba untuk membantah dengan lemah.
"Nyonya muda, dari gerakanmu dan pukulanmu, aku tahu bahwa engkau seorang ahli pukulan beracun. Aku telah memeriksa keadaan puteramu dan aku tahu bahwa tidak ada obat apapun di dunia ini yang akan mampu membersihkan racun dari tubuh puteramu, kecuali kalau dia menularkan atau memindahkan racun itu kepada banyak wanita yang akan menjadi korban. Seluruh darahnya telah mengandung racun, dari ujung rambut sampai ke jari kakinya. Satu-satunya cara untuk menghindarkan dia menjadi pembunuh besar kepada semua orang yang dekat dengannya, hanya dengan memberinya ilmu agar dia dapat menguasai kekuatan itu dan hanya menggunakan kekuatan itu kalau diperlukan saja."
Sejak tadi Thian Ki mendengarkan percakapan antara ibunya dan laki-laki gagah itu. Dia masih kecil, akan tetapi dia memang cerdas dan dapat mempertimbangkan apa yang dibicarakan tadi.
"Ibu, aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku harus dapat menguasai racun ini!" lalu dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cian Bu Ong sambil berkata, "Suhu, teecu (murid) akan mentaati semua perintah suhu!"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, "Bagus, Thian Ki. Mulai sekarang engkau menjadi muridku, menjadi suheng dari Kui Eng. Kalian berdua akan kugembleng menjadi orang-orang yang berguna kelak." Lalu pangeran itu menoleh kepada Lan Ci. "Kuharap sekali engkau sekarang tidak akan berkeberatan lagi, Lan Ci."
Sebetulnya, Lan Ci merasa berhutang budi kepada penolongnya itu, yang bukan saja telah menyelamatkannya dari bahaya maut, menyelamatkan kehormatannya, akan tetapi juga yang selalu bersikap ramah dan baik, bahkan akrab sekali dengan sebutan yang kadang-kadang menyebut namanya begitu saja. Diapun tahu bahwa penolongnya ini seorang sakti, dan bahwa puteranya tentu akan menjadi seorang yang berilmu tinggi kalau menjadi muridnya. Akan tetapi iapun tidak ingin berpisah dari puteranya.
"Tentu saja saya merasa senang dan berterima kasih kalau tai-hiap sudi mendidik Thian Ki. Akan tetapi dia anak tunggal saya, dan saya hanya mempunyai dia seorang. Bagaimana mungkin saya dapat berpisah darinya, Tai-hiap?"
"Kenapa harus berpisah? Sim Lan Ci, kau tidak perlu berpisah dengan anakmu. Engkau ikut bersama kami, bahkan engkau dapat ikut membantu aku dan mendidik anakmu."
Mendengar penawaran ini, di dalam hatinya Lan Ci merasa girang sekali. Kalau ia tidak berpisah dengan puteranya, maka tidak ada hal lain lagi yang perlu dirisaukan. Hanya saja ia seorang wanita, bahkan janda pula. Dan penolongnya seorang pria, dan duda! Akan janggal sekali nampaknya kalau ia mengikuti penolongnya itu, walaupun penolongnya sudah menjadi guru puteranya. Dan ia tidak ingin berpisah dari puteranya.
"Tapi... tapi..." Ia meragu, menerima merasa sungkan dan malu, menolak juga tidak berani.
"Ibu," kata Thian Ki dengan suara Iantang. "Kenapa ibu menolak? Suhu bermaksud baik sekali. Aku dapat mempelajari ilmu tanpa harus berpisah dari ibu."
"Aih, engkau ini enak saja bicara. Kita hanya akan menjadi beban dan akan memberatkan gurumu saja!" kata Lan Ci sambil melirik puteranya dengan sikap menegur.
"Sama sekali tidak, bibi dan Thian Ki, eh... suheng! Ayahku seorang yang kaya raya, kalau hanya ditambah dengan kalian berdua, sama sekali tidak berat!" Tiba-tiba Kui Eng berkata.
"Nah, sumoi Kui Eng sudah berkata begitu, ibu, walaupun aku tidak mengerti bagaimana suhu dapat menjadi seorang yang kaya raya. Padahal keluarga suhu telah dihancurkan orang, hartanya dirampok, tidak banyak bedanya dengan kita."
"Suheng, engkau tahu apa? Ayahku adalah seorang pangeran, di mana-mana mempunyai rumah gedung!" kata pula Kui Eng.
"Hushh, Kui Eng. Jangan membual kau!" ayahnya menegur.
Akan tetapi ucapan anak perempuan itu amat mengejutkan hati Lan Ci. Ia terbelalak melihat wajah penolongnya, raut wajah yang tampan gagah penuh wibawa, memang pantas menjadi wajah seorang pangeran! "Paduka... paduka seorang pangeran? Bolehkah saya mengetahui siapa nama paduka?"
Pangeran Cian Bun Ong menghela napas panjang. Mereka masih duduk di depan makam, di atas batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu. Keadaan di keliling itu sunyi. "Memang sudah sepantasnya kalau kita saling mengenal lebih dekat lagi, karena puteramu telah menjadi muridku, akupun hanya tahu bahwa engkau bernama Sim Lan Ci, keluarga dari pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi melihat gerakan ilmu silatmu, jelas engkau bukan murid Hek-houw-pang."
"Yang keluarga Hek-houw-pang adalah mendiang suami saya. Dia adalah keturunan para pemimpin atau ketua Hek-houw-pang, yaitu keluarga Coa."
"Oh, begitukah? Pantas ilmu silatmu berbeda." Pangeran itu lalu memandang kepada Thian Ki dan Kui Eng. "Thian Ki, kau ajak sumoimu pergi bermain-main ke ujung tanah kuburan di sana. Jangan terlalu jauh. Aku ingin bicara dengan ibumu dan anak-anak tidak boleh ikut mendengarkan."
"Baik, suhu. Mari, sumoi!" kata Thian Ki sambil menggandeng tangan Kui Eng. Mereka pergi meninggalkan dua orang tua itu dan memetik bunga liar yang bertumbuhan di sudut tanah kuburan.
"Nah, sekarang lebih leluasa kita bicara. Tidak semua hal boleh didengar oleh anak-anak kita."
Lan Ci mengangguk, membenarkan. "Ilmu silatmu selain berbeda, juga mengandung hawa pukulan beracun. Siapakah gurumu?" pangeran itu kembali bertanya. Demikian pandainya dia mengatur percakapan sehingga Lan Ci tidak sadar bahwa pertanyaan tentang nama pangeran itu sama sekali belum terjawab, bahkan kini orang itu yang menguras keterangan darinya.
"Guru saya adalah ibu kandung saya sendiri." Ia terpaksa mengaku.
"Ah, kiranya begitu? Siapakah nama ibumu? Tentu ia seorang tokoh dunia persilatan yang amat terkenal..."
Sungguh tidak enak rasanya memperkenalkan ibunya, seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Biarlah penolongnya ini tahu segala tentang dirinya, tentang Thian Ki yang sudah menjadi muridnya. "Dahulu ibu bernama Phang Bi Cu, berjuluk Ban-tok Mo-li akan tetapi sekarang telah menjadi seorang Ni-kouw."
Benar seperti dugaannya, penolongnya itu nampak terkejut sekali. Nama ibunya terlalu tersohor untuk tidak dikenal orang. "Ban-tok Mo-li? Ibumu Ban tok Mo-li? Aahh, sekarang aku mengerti mengapa anakmu menjadi Tok-tong. Ibumu seorang wanita yang amat lihai dan nama besarnya sudah lama sekali kudengar!" Pangeran itu memandang kagum, lalu cepat menyambung dengan pertanyaan, " Dan ayahmu?"
"Ayah telah tiada sejak saya kecil sekali. Saya tidak ingat lagi. Paduka belum menceritakan siapa sebenarnya paduka."
"Memang aku seorang bekas pangeran. Namaku Cian Bu Ong..."
Lan Ci melompat berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang kepada laki-laki itu dan kedua tangannya dikepal. "Paduka Pangeran Cian Bu Ong? Jadi... paduka ini yang mengirim lima orang penjahat yang telah membasmi Hek-houw-pang dan membunuh suami saya?"
"Duduklah, nyonya, duduk dan tenanglah agar anak-anak kita tidak menjadi kaget " katanya dan sungguh aneh, suara lembut dan berwibawa itu membuat Lan Ci menjadi tenang kembali dan iapun kini sudah duduk lagi, walaupun pandang matanya penuh selidik dan mengandung kemarahan.
"Siapakah yang melempar fitnah itu dan mengatakan bahwa aku yang membasmi Hek-houw-pang?"
"Bukan fitnah! Lima orang penjahat itu sendiri yang mengaku. Ketika mereka muncul di dusun Ta-bun-cung, mereka mencari ketua atau pimpinan Hek-houw-pang untuk dipanggil menghadap Pangeran Cian Bu Ong. Padahal Pangeran Cian Bu Ong adalah seorang pemberontak yang menjadi buruan pemerintah, maka tentu saja Hek-houw-pang tidak mau, bahkan hendak menangkap lima orang itu sehingga terjadi pertempuran. Jadi paduka ini seorang pemberontak yang telah mengutus pembunuh-pembunuh itu untuk membasmi Hek-houw-pang?"
Pangeran itu menghela napas panjang. "Nanti dulu, nyonya. Beginilah nasib orang yang kalah. Dengarkan dulu keteranganku, baru nanti engkau boleh menilai. Tidak kusangkal bahwa aku telah melakukan perlawanan terhadap pemerintah baru. Akan tetapi coba pertimbangkan, siapakah sesungguhnya yang memberontak? Aku adalah seorang pangeran dari Kerajaan Sui, saudara dari mendiang Kaisar Yang Ti. Pemberontakan yang dipimpin Li Si Bin dan ayahnya berhasil menjatuhkan Kerajaan Sui. Sebagai seorang pangeran, aku berjuang melawan pemberontak yang mendirikan kerajaan baru. Nah, siapakah yang pemberontak? Justeru aku menentang pemberontak! Dan kami kalah. Aku menjadi pelarian bersama keluargaku. Kalau orang sudah kalah, selalu menjadi bulan-bulanan fitnah, dijadikan keranjang sampah untuk menampung semua kekotoran dan kesalahan pihak lain. Tidaklah mengherankan kalau lima orang penjahat itu mempergunakan namaku, agar pasukan keamanan mencariku, bukan mereka. Engkau melihat sendiri bagaimana sikapku ketika menolongmu. Aku membunuh anak buah penjahat. Bahkan keluargaku juga terbasmi oleh pasukan keamanan. Nyonya muda Lan Ci, apakah engkau sekarang masih tega untuk menuduh aku menjadi pembasmi keluarga Hek-houw-pang? Aku sudah cukup menderita, maka kalau engkau sekarang menuduhku jahat, maka penderitaanku lengkaplah, bahkan berlebihan, kalau engkau menganggap aku yang menyuruh bunuh suamimu, nah, di depan makam suamimu ini, engkau boleh membalas dendam, boleh membunuhku dan aku tidak akan melawan. Aku hanya titip puteriku, Kui Eng..."
Luluh semua kekerasan di hati Lan Ci mendengar keterangan itu. Semua keterangan itu masuk akal. Pangeran ini bahkan seorang pahlawan yang gigih menentang pemberontak yang menjatuhkan Kerajaan Sui. Kalau kini dia dicap pemberontak, hal itu hanya karena Kerajaan Sui telah jatuh. Dengan demikian memang sukar mengatakan siapa yang memberontak kepada siapa! Apa lagi melihat wajah yang gagah itu menjadi muram oleh kedukaan, Lan Ci teringat akan nasibnya sendiri dan ia menunduk lalu berkata lirih,
"Maafkan saya, pangeran. Saya percaya kepada paduka."
Wajah yang muram itu menjadi cerah kembali, dan senyum kegembiraan tersembul di wajah Pangeran Cian Bu Ong. "Syukurlah, Lan Ci. Syukurlah masih ada orang yang percaya kepadaku. Mari kita cepat pergi dari sini. Kalau sampai ketahuan pasukan keamanan, tentu kita akan terancam bahaya. Kita harus menyelamatkan Kui Eng dan Thian Ki."
"Ke mana kita akan pergi, pangeran?"
"Di perbatasan utara, di sebuah lereng bukit ada sebuah dusun besar orang-orong suku bangsa Hui. Di sana aku mempunyai sebuah rumah. Dan di sana kita akan aman dari jangkauan pengejaran pasukan pemerintah Tang."
Mereka memanggil dua orang yang sedang bermain-main itu dan berangkatlah mereka meninggalkan tanah kuburan, menuju ke utara. Pangeran Cian Bu Ong menjadi penunjuk jalan dan dia mengambil jalan melalui bukit dan lembah, melalui hutan-hutan yang sunyi. Dan di sepanjang perjalanan Sim Lan Ci menjadi semakin kagum dan tertarik karena sikap pangeran itu sungguh lembut, halus dan sopan. Iapun diam-diam menyerahkan nasibnya dan puteranya ke tangan pria yang berwibawa itu.
********************
"Lepaskan aku... atau bunuh saja aku. Biarkan aku mati menyusul suamiku...!" Wanita itu meronta-ronta dalam pondongan Lie Koan Tek ketika pengaruh totokan membuatnya mampu bergerak kembali
Mereka tiba di dalam sebuah hutan. Lie Koan Tek melepaskan pondongannya dan wanita itu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Wanita itu adalah Poa Liu Hwa, isteri Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang. Ketika lima orang penjahat lihai menyerbu Hek-houw-pang, ia membantu suaminya. Melihat suaminya roboh dan tewas, nyonya muda ini mengamuk dengan pedangnya, nekat menyerang penjahat lihai.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkulai lemas, tertotok dan dibawa lari oleh seorang di antara lima penjahat itu. Kini ia berada di tangan seorang penjahat lihai dan melawanpun tidak ada gunanya. Teringat akan kematian suaminya, teringat pula akan nasib puteranya yang entah bagaimana, Poa Liu Hwa hanya dapat menangis sedih.
"Tenanglah, nyonya, dan harap jangan salah sangka. Aku sengaja melarikanmu dengan dua maksud..."
"Huh, penjahat keji macam engkau, maksudmu tentu keji dan jahat! Lebih baik bunuh saja aku!" Liu Hwa berseru marah.
"Diam dulu dan dengarkan keteranganku" Lie Koan Tek membentak marah.
Agaknya. Liu Hwa dapat menangkap kekerasan dan ketegasan dalam suara itu dan iapun menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, memandang dengan mata basah, akan tetapi dengan sinar kebencian seolah hendak membakar. Melihat wanita itu sudah agak tenang dan mau menghentikan tangisnya, Lie Koan Tek menghela napas panjang.
"Tidak ada yang lebih menyakitkan hati dari pada tuduhan orang bahwa aku keji, jahat dan sudah menjadi seorang penjahat. Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Koan Tek, aku seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan."
Liu Hwa terkejut, juga heran. Tentu saja ia pernah mendengar nama Lie Koan Tek, murid Siauw-lim-pai yang gagah-perkasa, yang merupakan sisa para tokoh Siauw-lim-pai yang berhasil lolos ketika kuil Siauw-lim-si dibakar oleh pasukan pemerintah Kerajaan Sui, beberapa tahun yang lalu. Semua orang gagah di dunia persilatan memuji dan kagum kepada Lie Koan Tek dan lima orang saudaranya.
"Tapi... tapi kenapa engkau ikut menyerbu Hek-houw-pang dan menawanku?"
"Dengar saja dulu baik-baik. Engkau mungkin tidak tahu. Aku adalah seorang yang dimusuhi Kerajaan Sui, dan karena aku selalu menentang kesewenang-wenangan para pembesar Sui, akhirnya aku terkepung dan tertawan, lalu dihukum penjara. Ketika kerajaan itu jatuh oleh pasukan Li Si Bin yang memberontak, aku masih di dalam penjara. Lalu aku dibebaskan oleh Pangeran Cian Bu Ong yang sebaliknya sebagai balasannya minta kepadaku untuk membantunya melawan pemberontak Li Si Bin yang sudah berhasil mendirikan Kerajaan Tang. Mula-mula aku menyetujuinya karena aku sendiri biarpun dimusuhi Kerajaan Sui juga menentang pemberontakan. Akan tetapi, ketika kami diperintah oleh Pangeran Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw pang yang membantu pemerintah pemberontak, aku melihat kegagahan orang-orang Hek-houw-pang dan melihat kekejian para rekanku. Timbullah kesadaranku bahwa orang-orang yang membantu Pangeran Cian Bu Ong adalah orang-orang jahat. Apalagi melihat suamimu ketua Hek-houw-pang terbunuh, dan engkau terancam, aku lalu turun tangan melarikanmu, dengan hanya satu niat saja, yaitu menyelamatkanmu."
"Aku tidak butuh kauselamatkan! Aku tidak takut mati, bahkan aku ingin mati bersama suamiku!" Liu Hwa berseru lalu iapun bangkit dan lari meninggalkan Koan Tek.
"Haiii, nyonya, engkau hendak pergi ke mana?" Koan Tek meloncat dan mengejar.
"Perduli apa denganmu?" Wanita itu membalik dan menegur, penuh kemarahan. Walaupun ia percaya akan keterangan Lie Koan Tek tadi, tetap saja kebenciannya tidak hilang karena ia menganggap bahwa pria ini menjadi satu di antara sebab tewasnya suaminya.
"Aku... aku memang tidak ada sangkutan denganmu, tapi... amat berbahaya untuk melakukan perjalanan sendiri kembali ke dusunmu. Bagaimana kalau sampai engkau bertemu dengan anak buah Pangeran Cian Bu Ong?"
"Aku tidak takut. Aku akan melawan sampai napas terakhir!" nyonya muda itu menjawab tegas.
Koan Tek kagum. Wanita ini memang gagah, pikirnya, walaupun ilmu silatnya tidak begitu tangguh. "Engkau sudah nekat, nyonya. Engkau bukan lawan mereka. Sebaiknya engkau menanti satu dua hari sebelum kembali ke dusunmu."
"Tidak! Aku harus pergi sekarang juga. Aku harus mencari anakku!"
"Anakmu? Ahh, jadi ada anakmu tertinggal di dusun?" Kini hati Lie Koan Tek merasa khawatir bukan main. Kasihan wanita ini. Suaminya tewas dan ia masih meninggalkan anak di dusun yang dihancurkan anak buah Pangeran Cian Bu Ong itu.
Kini Liu Hwa mengangguk dan hampir ia menangis lagi ketika teringat akan puteranya. "Anak tunggalku, Kam Cin yang baru berusia lima tahun, entah bagaimana nasibnya. Aku harus mencarinya sekarang juga," katanya dan iapun lari lagi.
Sejenak Lie Koan Tek termangu. Hatinya makin iba terhadap wanita itu dan setelah menarik napas panjang dia pun lari membayangi. Pendekar perkasa ini merasa heran sekali kepada dirinya sendiri. Entah mengapa. Baru sekarang ini dia merasa tertarik dan kasihan sekali kepada seorang wanita! Seorang janda yang mempunyai anak lagi! Sungguh aneh. Akan tetapi dia hanya mengikuti perasaan hatinya dan membayangi karena dia tahu bahwa wanita itu melakukan perjalanan yang penuh bahaya.
Apa yang dikhawatirkan pendekar Siauw-lim-pai itu memang tidak berlebihan. Ketika para penjahat di sekitar dusun Ta-bun-cung mendengar bahwa Hek-houw-pang terbasmi, ketuanya tewas, bahkan kakek Coa juga tewas dan semua anggota Hek-houw-pang meninggalkan dusun karena perkumpulan orang gagah itu dibubarkan, mereka bagaikan gerombolan tikus yang ditinggalkan kucing-kucing penjaga! Mereka seperti berpesta-pora dan menjadi berani.
Matahari telah naik tinggi ketika Liu Hwa tiba di bukit terdekat dengan dusun Ta-bun-cung. Ia tahu bahwa di balik bukit itulah terletak dusunnya. Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, namun ia memaksa diri untuk berjalan terus. Kekhawatiran akan puteranya membuatnya dapat bertahan.
Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng bukit itu, di jalan tikungan yang tertutup tebing bukit, tiba-tiba ia di kejutkan oleh munculnya banyak orang yang segera mengepungnya. Tidak kurang lari duapuluh orang laki-laki yang sikapnya kasar, mengepung dan memandang kepadanya dengan mata seperti binatang buas yang kelaparan, mulut mereka menyeringai kurang ajar. Mereka semua memegang senjata golok, pedang atau ruyung dan sikap mereka buas.
"Aha, bukankah ini nyonya ketua Hek-houw-pang yang terhormat?"
"Dan cantik manis? Lihat kedua pipinya segar kemerahan!"
"Ha-ha-ha, nyonya muda yang segar dan molek! Di mana suamimu?"
"Hei, nyonya ketua. Dimana sekarang Hek-houw-pang?"
Melihat orang-orang itu mulai mendekat dan tangan mereka mulai jahil dan kurang ajar, ada yang hendak mengelus dagunya, ada yang hendak menyentuh tubuhnya, Liu Hwa menangkis sambil berkata keras membentak,
"Heii! Kalian mau apa? Minggir atau terpaksa akan kubunuh kalian semua!"
Ternyata suara nyonya muda ini masih cukup berwibawa sehingga beberapa orang yang kurang kuat nyalinya, melangkah mundur sambil menyeringai.
"Biar kuhadapi si manis ini!" tiba-tiba terdengar suara parau dan seorang yang bertubuh tinggi besar melangkah maju menghadapi Liu Hwa.
Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, suaranya parau dan ketika Liu Hwa mengangkat muka memandang, diam-diam nyonya ini merasa ngeri. Wajah laki-laki ini memang menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, agaknya tidak pernah dicuci apalagi disisir, sehingga nampak kotor dan jorok sekali. Mukanya kasar, dengan bintik-bintik hitam dan nampak keras seperti kulit buaya, hidungnya besar dan mulutnya lebar.
Yang lebih menyeramkan adalah matanya. Mata itu tinggal sebelah kanan saja karena yang kiri terpejam dan agaknya tidak ada biji matanya lagi. Liu Hwa teringat sekarang. Biarpun belum pernah melihat orangnya, namun pernah suaminya dan para anggota Hek-houw-pang bercerita tentang seorang perampok ganas yang berjuluk It-gan Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu). Perampok ini pernah merajalela di luar daerah Ta-bun-cung, akan tetapi setelah Hek-houw-pang membuat gerakan pembersihan, dia tidak berani muncul. Agaknya sekarang dia mengumpulkan penjahat-penjahat lain untuk dipimpin menjadi gerombolan perampok.
"Ha-ha-ha, manis. Ketua Hek-houw-pang sudah mampus, dan Hek-houw-pang sendiri sudah bubar. Daripada menjadi seorang janda kembang yang terlantar lebih baik engkau menjadi isteriku, he heh-heh!"
Berkata demikian, dia menjuIurkan lengan kanannya yang panjang dan besar, dan tangannya hendak merangkul leher Liu Hwa. Akan tetapi nyonya ini mengelak dan menepiskan tangan tangan mata satu itu dengan pengerahan tenaga.
"Plakk!" Tangan penjahat itu terpental. "Aku tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu!"
"Mati? Ha-ha, sayang kalau orang semanis engkau mati. Engkau sudi atau tidak, mau atau tidak, harus menjadi isteri It-gan Tiat-gu, heh-heh-heh!"
Dan tiba-tiba si mata satu itu menubruk bagaikan seekor beruang menubruk kambing. Poa Liu Hwa mengelak dengan loncatan ke kiri, lalu kaki kanannya mencuat dalam sebuah tendangan ke arah perut raksasa mata satu itu. Akan tetapi, Tiat-gu atau Si Kerbau Besi itu ternyata cukup lihai. Tangannya bergerak menangkis tendangan itu dan tangan kanan kembali mencengkeram ke arah pundak Liu Hwa. Liu Hwa terpaksa meloncat lagi ke belakang dan diam-diam terkejut karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, tanda bahwa raksasa mata satu itu memiliki tenaga seperti seekor kerbau!
Ketika ia meloncat ke belakang dua orang anggota gerombolan menyergapnya. Liu Hwa membalik dan kaki tangannya bergerak, menendang dan menampar. Dua orang anggota gerombolan itu jatuh tersungkur. Akan tetapi lebih banyak orang lagi mengeroyoknya, semua dengan tangan kosong karena mereka ingin membantu pemimpin mereka menangkap calon korban ini, bukan hendak melukai atau membunuhnya.
"Tikus-tikus busuk!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan bagaikan seekor garuda menyambar dari angkasa, Lie Koan Tek sudah terjun ke dalam perkelahian itu dan dia mengamuk. Sekali dia menerjang, dua orang perampok terpelanting keras. Melihat ini, para perampok segera menggunakan senjata mereka untuk mengepung dan mengeroyok. Pendekar Siauw-lim-pai itupun melolos rantai bajanya yang dipakai sebagai ikat pinggang, dan diapun memutar rantai baja itu, mengamuk di antara pengeroyokan banyak orang.
Melihat munculnya seorang pria yang gagah perkasa, It-gan Tiat-gu segera menubruk Liu Hwa dari belakang dan karena pada saat itu Liu Hwa sedang menghadapi pengeroyokan dua orang maka ia tidak mampu mengelak. Kedua lengan Kerbau Besi telah merangkulnya dan karena tenaga kepala perampok itu memang besar, Liu Hwa sama sekali tidak mampu berkutik. It-gan Tiat-gu sudah menotoknya dan memanggul tubuh Liu Hwa yang menjadi lemas, dan kepala perampok ini menyelinap pergi, menggunakan kesempatan selagi Lie Koan Tek sibuk menghadapi pengeroyok yang banyak jumlahnya.
Karena sibuk menghadapi pengeroyokan kurang lebih duapuluh orang yang semuanya bersenjata tajam, Lie Koan Tek sendiri tentu saja tidak sempat untuk memperhatikan Liu Hwa. Dia mengamuk dan memutar rantai bajanya, merobohkan bayak pengeroyok sehingga para perampok menjadi gentar. Sisanya yang belum roboh lalu melarikan diri cerai-berai ke segala jurusan. Baru setelah para perampok pergi, Lie Koan Tek mendapat kenyataan bahwa Liu Hwa tidak berada di situ! Dia menjadi bingung. Hendak mengejar ke mana? Para perampok itu lari ke empat penjuru!
Apakah Liu Hwa telah berhasil melarikan diri ketika dia datang menyerbu para penjahat itu? Mengingat akan kemungkinan ini, dia lalu cepat mendaki bukit dan pergi ke dusun Ta-bun-cung. Sebagai seorang di antara para penyerbu dusun itu malam tadi, tentu saja dia tidak berani memasuki dusun secara terang-terangan. Dia menanti sampai hari menjadi gelap, baru dia melakukan penyelidikan. Diam-diam dia merasa menyesal juga mendapat keterangan bahwa puluhan orang anggota Hek-houw-pang telah tewas dalam pertempuran ketika anak buah Pangeran Cian Bu Ong datang menyerbu.
Biarpun dia tidak bersungguh-sungguh membantu pangeran itu, dia tetap merasa ikut berdosa. Dia tidak menyelidiki terlalu banyak mengenai Hek-houw-pang. Yang dicarinya hanya Liu Hwa. Kalau nyonya muda itu sudah kembali ke dusun, hatinya akan merasa lega dan diapun akan pergi tanpa menemuinya. Akan tetapi, betapa bingung hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Poa Liu Hwa tidak pernah pulang! Nyonya muda itu telah lenyap.! Masih baik kalau lenyapnya itu karena ia telah pergi dan tidak ingin kembali ke dusun, akan tetapi bagaimana kalau sampai ia tertawan penjahat?
Lie Koan Tek cepat meninggalkan dusun itu dan kembali memasuki hutan di lereng bukit, di mana siang tadi dia membantu Liu Hwa yang dikepung penjahat. Akan tetapi hutan itu sunyi saja. Dia tidak tidur semalam suntuk melainkan menjelajahi bukit itu, namun tidak menemukan jejak, bahkan tidak bertemu dengan seorangpun manusia. Agaknya anggota gerombolan perampok yang dia robohkan dalam keadaan terluka atau tewas sudah diangkut pergi kawan-kawan mereka.
Terpaksa pada keesokan harinya, dia menuruni bukit dan menuju ke dusun yang nampak paling dekat di kaki bukit. Dia menjelajahi dusun-dusun dan akhirnya, pada hari ke tiga ketika dia memasuki sebuah dusun, dia melihat lima orang sedang ribut dengan pemilik rumah yang cukup besar di dusun itu. Ia melihat lima orang itu memukuli tuan rumah, dan yang lain sedang mengangkut barang-barang berharga dari rumah itu.
Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin mempunyai luka melintang di mukanya dan teringatlah Lie Koan Tek bahwa orang itu pernah dilihatnya di antara para pengeroyoknya ketika ia menolong Liu Hwa malam itu. Cepat ia lari menghampiri dan tanpa banyak cakap lagi dia menerjang si codet yang sedang memukuli tuan rumah.
"Plakk!" Dipukul pundaknya, si codet terpelanting. Tentu saja dia marah sekali dan mencabut golok, lalu meloncat bangun dan hendak menyerang pemukulnya. Akan tetapi, begitu dia mengenal Koan Tek, mukanya yang codet menjadi pucat. Dia mengenal pendekar ini yang membuat dia dan belasan orang kawannya lari tunggang-langgang tiga hari yang lalu. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat lari lagi, maka terpaksa dia memberanikan diri dan menyerang dengan bacokan goloknya ke arah kepala Koan Tek. Pendekar ini menggeser kaki sehingga tubuhnya miring dan ketika golok lawan meluncur lewat di samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangan memukul pundak kanan lawan.
"Krekkk!" Tulang pundak itu hancur. Golok terlepas dan si codet yang berteriak kesakitan hendak melarikan diri. Akan tetapi sebuah tendangan membuat sambungan lutut kanannya terlepas dan diapun roboh tak mampu bangkit lagi, hanya duduk dan mengaduh-aduh dengan muka pucat ketakutan.
Lie Koan Tek tidak berhenti sampai disitu saja. Dia berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan ketika empat orang penjahat yang lain roboh terpukul olehnya. Ada yang remuk tulang lengan atau kakinya, ada yang benjol-benjol kepalanya atau matang biru mukanya. Akan tetapi mereka semua tidak mampu melarikan diri lagi dan hanya mengaduh-aduh, ada pula yang pingsan.
Lie Koan Tek tidak memperdulikan penduduk yang datang berlarian ke tempat itu, juga tidak memperdulikan anggota perampok yang lain. Dia menyeret tubuh si codet dan membawanya lari keluar dari dusun. Si codet merintih-rintih ketakutan dan minta-minta ampun, Namun Koan Tek tidak perduli dan terus menyeretnya keluar dusun sampai tiba di tempat sepi, baru dia melepaskan cengkeramannya sehingga tubuh si codet terhempas ke atas tanah.
"Ampun... ampunkan hamba... taihiap..." kata si codet sambil berlutut menyembah-nyembah.
"Mudah saja mengampuni dan membunuhmu, akan tetapi cepat katakan di mana adanya nyonya yang kalian rampok tiga hari yang lalu itu. Katakan dengan sejujurnya kalau engkau tak ingin kusiksa sampai mati!"
"Ampun, tai-hiap. Bukan saya yang mengganggunya, akan tetapi nyonya itu dibawa pergi oleh toako... ampunkan saya..."
"Siapa itu toako?"
"It-gan Tiat-gu..."
"Di mana dia sekarang? Nyonya itu dibawa ke mana? Hayo katakan sejujurnya."
"Mungkin ke sarangnya yang baru... Saya... saya hanya menjadi pembantunya sementara saja, dan malam itu... dia pergi melarikan nyonya itu..."
"Hemm, cepat antarkan aku kesarangnya!"
"Jauh sekali, tai-hiap, perjalanan sehari penuh..."
"Cerewet! Kau ingin mampus!" Koan Tek menendang dan tubuh orang itu terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
Dia mengerang dan merangkak bangun. "Ampun, saya... saya mau mengantarkan tai-hiap, tapi... saya takut, tentu dia akan marah kepada saya dan membunuh saya."
"Huh, ada aku di sini, tidak perlu takut. Kalau engkau mengantar aku sampai berhasil menemukan nyonya itu, aku akan mencegah dia membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau tidak memenuhi permintaanku, engkau akan kusiksa sampai mati. Hayo cepat!"
Si codet itu takut sekali dan diapun cepat bangkit lalu menjadi penunjuk jalan. Lie Koan Tek berjalan dibelakangnya dan mendorong-dorongnya sehingga si codet, walaupun menderita nyeri di pundaknya, terpaksa berlari-lari.
Untung bahwa karena gelisah memikirkan keselamatan Poa Liu Hwa, Koan Tek memaksa si codet berlari-lari sehingga dia tidak datang terlambat. Karena kepala perampok yang berjuluk It-Gan Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu) itu, setelah berhasil melarikan Liu Hwa dan meninggalkan Koan Tek dikeroyok anak buahnya, melakukan perjalanan yang santai menuju ke sarangnya, puncak sebuah bukit yang sunyi. Dia telah menotok wanita tawanannya itu hingga Liu Hwa tidak mampu meronta, tidak mampu pula berteriak.
Dengan hati bangga dan girang, si mata satu itu memondong tubuh Liu Hwa, dibawa ke sarangnya dengan jalan kaki biasa saja tidak berlari-lari. Dia bangga karena telah berhasil menawan isteri ketua Hek-houw-pang dan akan memaksa wanita itu menjadi isterinya. Masih ada belasan orang anak buahnya di sarang itu. Mereka menyambut kedatangan It-gan Tiat-gu dengan gembira apa lagi ketika melihat bahwa wanita yang ditawan pemimpin mereka adalah isteri ketua Hek-houw-pang!
"Siapkan pesta. Malam ini aku akan menikah dengan isteri ketua Hek-houw-pang. Ha ha-ha!" It-gan Tiat-gu berkata lantang kepada anak buahnya dengan bangga, dan anak buahnya yang belasan orang itupun tertawa gembira.
Karena It-gan Tiat-gu hanya berjalan, sedangkan si codet yang didorong oleh Koan Tek itu berlari-lari, maka tidak jauh selisih waktu antara kedatangan It-gan Tiat-gu dan mereka berdua di puncak bukit itu. Mereka tiba di puncak itu pada sore hari dan segera belasan orang anak buah Kerbau Besi Mata Satu yang tentu saja mengenal si codet sebagai rekan mereka. Melihat si codet datang sambil meringis kesakitan dan memegangi pundaknya, mereka segera merubungnya dan bertanya-tanya. Si codet maklum bahwa sedikit saja ia mengkhianati pendekar yang menawannya, pendekar itu tentu akan membunuhnya.
Maka ketika kawan-kawannya membanjirinya dengan pertanyaan, dia menggerakkan tangan dengan tidak sabar. "Sudahlah, jangan banyak bertanya dulu. Aku ingin menghadap toako, dimana dia? Aku akan melaporkan sesuatu yang amat penting."
"Aihhh, toako sedang bersenang-senang dengan calon isterinya, jangan diganggu!" kata seorang di antara mereka sambil menunjuk ke arah sebuah pondok tak jauh dari situ.
"Malam nanti kita pesta untuk pernikahan toako, ha-ha-ha!" kata yang lain.
Mendengar ini, tanpa menanti lagi Lie Koan Tek meloncat ke depan pondok dan sekali tendang, daun pintu pondok itu roboh dan diapun menyerbu ke dalam. Apa yang dilihatnya di dalam kamar pondok itu membuat wajah Koan Tek jadi merah saking marahnya. Dia melihat Liu Hwa rebah telentang dalam kedaan tertotok dan pakaiannya tidak karuan, karena It-gan Tiat-gu sedang terkekeh-kekeh sambil mulai membukai pakaian wanita itu.
"Ehh?" It-gan Tiat-gu terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu pondok jebol. Dia meloncat sambil menyambar senjatanya, sebatang golok yang tadi ditaruh di atas meja. Dia terkejut ketika mengenal pria yang tadi mengamuk dan dikeroyok oleh anak buahnya.
"Jahanam busuk!" Koan Tek membentak dan biarpun lawan memegang golok dia tidak takut dan bahkan Koan Tek yang menyerang dengan dahsyatnya.
Mata Satu menyambutnya dengan bacokan golok ke arah kepalanya. Koan Tek miringkan tubuh menghindar, dan tangannya terus melanjutkan serangannya dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada It-gan Tiat-gu. Kepala perampok itu mengelak dengan loncatan kesamping dan goloknya berkelebat, kini membabat ke arah pinggang tokoh Siauw-lim-pai itu. Koan Tek yang sudah marah bukan main melihat penjahat ini tadi nyaris memperkosa wanita yang selalu berada dalam ingatannya itu, menyambut serangan golok dengan tendangan kaki dari samping.
"Trangggg...!" Golok terlepas dan membentur dinding. It-gan Tiat-gu terkejut bukan main dan merasa jerih, hendak melarikan diri. Akan tetapi Koan Tek mendahuluinya dengan tendangan yang mengenai belakang lututnya, kepala perampok itupun terpelanting. Sebelum dia sempat bangun, kaki Koan Tek menyusulkan tendangan yang diarahkan ketengkuknya.
"Krekkkk!" Patahlah tulang leher It-gan Tiat-gu dan diapun tewas seketika. Pada saat itu, anak buah perampok sudah menyerbu dari luar pondok.
Koan Tek cepat meloncat ke dekat pembaringan dan sekali tangannya bergerak, bebaslah totokan pada diri Liu Hwa. Sebelum wanita ini sempat berkata sesuatu, Koan Tek sudah meloncat keluar lagi dan mengamuklah dia dikeroyok belasan orang anak buah perampok itu. Dia melihat bahwa si codet yang tadi dipaksanya mengantar telah tewas, tentu dibunuh oleh rekan-rekannya sendiri setelah dia lari menjebol daun pintu tadi.
Lie Koan Tek mengamuk dan biarpun ia bertangan kosong, belasan orang anak buah perampok itu bukan tandingannya. Mereka kocar-kacir dan lebih-lebih ketika Liu Hwa muncul dari dalam pondok memegang sebatang golok milik It-gan Tiat-gu. Kini pakaian Liu Hwa telah rapi kembali dan dengan golok di tangan, wanita ini mengamuk membantu Koan Tek. Tentu saja para perampok menjadi gentar dan merekapun lari cerai-berai meninggalkan yang terluka.
Mereka saling pandang, berhadapan dalam jarak tiga meter. Lalu tiba-tiba Liu Hwa melepaskan goloknya, lari menghampiri Koan Tek dan menjatuhkan diri sambil menangis. Koan Tek cepat menyambutnya, memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri, melarangnya berlutut. Liu Hwa kini menangis di atas dada pendekar Siauw-lim-pai itu. Hampir saja kepala perampok mata satu itu memperkosanya. Ia sudah tidak berdaya sama sekali. Dalam saat terakhir, muncul pula pendekar Siauw-lim-pai ini menyelamatkannya.
Ia begitu bersyukur, terharu dan juga bersedih karena ia teringat lagi akan keadaannya yang kehilangan seluruh keluarganya, maka ia lupa diri dan menangis di atas dada yang bidang itu. Koan Tek juga seperti lupa, dengan sendirinya mendekap dan mengelus rambutnya dengan perasaan penuh kasih sayang! Setelah menumpahkan perasaan haru dan dukanya, Liu Hwa sadar akan dirinya dan iapun melepaskan diri, melangkah dua tindak kebelakang dan mukanya berubah merah sekali.
"Ahhh... apa yang kulakukan... aih, tai-hiap, maafkan aku... aku telah membuat bajumu basah..." katanya memandang kepada baju pendekar itu yang basah di bagian dada oleh air matanya.
Koan Tek tersenyum. "Tidak apa, engkau memang perlu dapat menangis sepuas hatimu, nyonya. Nah, marilah kita melanjutkan perjalanan. Kuantar engkau sampai ke dusunmu."
Liu Hwa mengangguk dan merekapun kini meninggalkan bukit itu, menuju dusun Ta-bun-cung. Malam telah tiba ketika mereka tiba di luar dusun, dan di luar pintu gerbang yang nampak sunyi, Koan Tek berhenti.
"Nyonya, pergilah engkau ke dalam. Aku lebih baik menanti saja di sini. Mereka tentu mengenaliku sebagai seorang di antara para penyerbu, dan mereka akan menyerangku."
"Tidak, tai-hiap. Mari masuk saja, biar aku yang akan memberi penjelasan kepada mereka nanti," kata Liu Hwa.
kan tetapi Koan Tek merasa tidak enak. Memang kalau dia ingat akan peristiwa yang terjadi di dusun itu, betapa dia membantu para penjahat untuk membasmi Hek-houw-pang, dia merasa menyesal bukan main dan merasa malu kepada dirinya sendiri. "Aku menanti saja di sini. Kalau engkau perlu bertemu dengan aku besok, aku akan berada di sini."
Terpaksa Liu Hwa meninggalkan pendekar Siauw-lim-pai itu dan memasuki dusun Ta-bun-cung yang nampak sunyi. Akan tetapi begitu ada orang melihatnya, orang itu segera berseru akan munculnya nyonya ketua Hek-houw-pang dan semua orangpun berlarian keluar menyambut. Dan hujan tangispun terjadi. Liu Hwa menangis lagi mendengar betapa banyaknya korban jatuh. Bahkan Coa Siang Lee yang menjadi tamu, juga yang menjadi ahli waris keluarga Coa yang selalu menjadi ketua perkumpulan itu, ikut tewas. Demikian pula Coa Song, kakek yang dihormatinya itu.
Malam hari itu juga, Liu Hwa membawa perlengkapan sembahyang dan ia bersembahyang di depan makam suaminya. Ia tidak mau ditemani orang lain, bahkan ia menyuruh semua orang yang mengantarnya untuk meninggalkannya agar ia dapat meratapi nasibnya di depan kuburan suaminya. Ia hanya mempunyai satu saja hiburan, yaitu bahwa puteranya, Cin Cin, selamat dan kini menurut pesan terakhir kakek Coa Song, Cin Cin diantar oleh Lai Kun, sute suaminya, untuk menjadi murid pendekar sakti Si Han Beng yang berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning).
la bersembahyang bukan saja di depan makam suaminya, juga ia bersembahyang di depan makam kakek Coa Song dan di depan makam Coa Siang Lee, bahkan ia menyembahyangi makam para murid atau anggota Hek-houw-pang yang tewas dalam serbuan itu. Ketika ia menghampiri makam yang paling ujung sambil membawa hioswa (dupa biting) dan sekeranjang kembang, ia melihat sesosok tubuh kecil melingkar di depan makam itu. Ternyata ada seorang anak laki-laki yang usianya paling banyak enam tahun rebah miring dan melingkar di atas tanah, agaknya tertidur!
Liu Hwa memandang ke arah makam itu. Sinar bulan cukup terang dan tulisan huruf-huruf di atas kayu yang sementara dipasang sebagai nisan itu cukup besar. Ia membaca nama korban itu. Ah, kiranya itu makam The Ci Kok, seorang anggota Hek-houw-pang tingkat atas. The Ci Kok bahkan menjadi suheng dari suaminya yang memiliki kepandaian seimbang dengan suaminya. Kalau Kam Seng Hin yang dipilih menjadi ketua adalah karena The Ci Kok ini orangnya pendiam dan agak bodoh. Kiranya dia juga tewas!
Kini Liu Hwa dapat menduga siapa anak kecil itu dan hatinya seperti ditusuk. Anak itu tentu The Siong Ki putera suheng suaminya itu. Iapun tahu bahwa ibu anak itu telah tiada sejak anak itu masih kecil sekali. Berarti bahwa anak itu kini menjadi seorang anak yatim piatu.
"Siong Ki... Siong Ki...! Bangunlah, jangan tidur di sini, nak!" katanya lembut sambil mengguncang pundak anak itu.
Akan tetapi, anak itu tidak terbangun. Betapa kuatpun dia mengguncang, tetap saja anak itu tidak terjaga. la mulai curiga, lalu memeriksanya. Anak itu seperti dalam keadaan tidur, akan tetapi kini ia tahu bahwa anak itu sebenarnya jatuh pingsan! Makin tertusuk rasa hati Liu Hwa. Diletakkannya bunga dan dupa di atas makam dan ia lalu mengangkat dan memangku anak itu, mengurut tengkuk dan dadanya. Akhirnya, anak itu menggeliat lalu menggumam.
"Ayah... ayah... jangan tinggalkan Siong Ki sendirian, ayah...! Jahanam, aku akan membunuh kalian semua!" Anak itu meronta bangkit dan dengan kedua tangan terkepal dia menyerang Liu Hwa!
Dengan hati terharu sekali Liu Hwa menangkap pukulan-pukulan itu dengan lembut sambil berkata, "Siong Ki, lihatlah siapa aku ini..."
"Tidak perduli engkau siapa, setan atau iblis. Aku tidak takut! Biar kau membunuhku, aku tidak takut. Aku ingin mati dan bersama ayah dan ibuku!" Dan dia menyerang terus.
Setelah Liu Hwa menangkap kedua lengannya dan merangkulnya, baru anak itu mengamati Liu Hwa dan diapun merangkul dan menangis, "Bibi... ah. bibi...! Aku... aku ingin mati saja, bibi...!"
Biarpun hatinya sendiri seperti diremas-remas, penuh kedukaan dan keharuan yang membuat ia ingin menjerit-jerit dan menangis seperti anak kecil, akan tetapi Liu Hwa menahan perasaannya, menggigit gigi sendiri dan merapatkan bibir dengan kuat-kuat sambil merangkul anak itu. Kemudian ia bicara...