"Cin Cin. jangan membikin aku marah. Engkau memang anak yang tidak mengenal budi. Selama tiga tahun aku memperlakukan engkau seperti anak sendiri. Entah berapa banyaknya biaya yang kukeluarkan untuk keperluanmu. Dan sekarang, sebagai ibu yang baik, aku telah mencarikan tempat yang terhormat dan baik untukmu. Bahkan ibu kandungmu sendiri belum tentu akan mampu mencarikan tempat yang demikian mulia untukmu. Dan engkau berani menolak?"
“Terserah pendapatmu, Cia Ma. Pendeknya, aku tidak mau diserahkan kepada pembesar itu atau kepada siapapun. Kalau engkau sudah tidak mau aku tinggal di sini, biarlah aku pergi mencari ibuku." Cin Cin bersikeras.
Cia Ma kini tidak berpura-pura lagi, tidak bersikap manis dan lembut seperti biasa. Ia marah-marah dan percekcokan itu segera terdengar oleh Coa Tai-Jin yang segera memerintahkan pengawalnya untuk bersiap-siap meninggalkan tempat pelesir itu. Dia merasa malu kalau selagi dia berada di situ terjadi percekcokan. Pengawalnya segera mendatangi Cia Ma, menegurnya karena keributan itu.
"Tidak perlu ribut-ribut. Besok harus kau antarkan anak perempuan itu ke Lok-yang, ke gedung Coa Tai-Jin. Beliau tidak ingin mendengar ribut-ribut. Awas, kalau sampai gagal, engkau akan dihukum berat!"
Menggigil tubuh Cia Ma mendengar ancaman itu dan iapun mengangguk-angguk seperti ayam makan jagung. Rombongan pembesar itu segera meninggalkan rumah pelesir Ang-hwa dan setelah rombongan pergi, Cia Ma mengeluarkan semua rasa hatinya yang panas dan penuh kemarahan terhadap Cin Cin.
Ia mengurung gadis cilik itu di dalam kamarnya dan menyuruh tukang-tukang pukulnya untuk menjaga agar anak itu jangan sampai melarikan diri. Kemudian, ia membuat persiapan, menyewa sebuah kereta dan mempersiapkan pasukan pengawal yang terdiri dari sepuluh orang, dengan Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) sebagai pemimpin.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-gu dan Pek-gu memaksa Cin Cin yang sudah didandani sebagai seorang puteri naik ke dalam kereta. Anak itu meronta dan melawan, akan tetapi dua orang tukang pukul itu meringkusnya dan memondongnya ke dalam kereta.
Karena khawatir anak itu memberontak terus, Hek-gu lalu tinggal di dalam kereta, sedangkan Pek-gu yang memimpin pasukan terdiri dari sepuluh orang tukang pukul itu. Kereta lalu dijalankan, meninggalkan Cia Ma yang sambil senyum-senyum menghitung lagi uang yang ia terima dari Coa Tai-Jin.
"Lepaskan aku! Aku tidak sudi diberikan pembesar itu!"
Cin Cin mencoba untuk meloncat keluar dari dalam kereta, akan tetapi Hek-gu menangkap kedua lengannya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi apa dayanya seorang anak perempuan berusia delapan tahun menghadapi seorang tukang pukul yang kuat seperti Hek-gu. Kedua lengan itu dipegang oleh tangan kiri dan tidak mampu meronta lagi, apa lagi melepaskan diri.
"Heran, setelah terdidik selama tiga tahun engkau kelihatan seperti seorang gadis cilik yang lemah lembut dan pandai menari, ternyata pada dasarnya masih liar," kata Hek-gu dan karena tidak ingin selama dalam perjalanan harus menjaga anak itu dan meringkusnya terus menerus, dia lalu mengeluarkan sabuk sutera dan mengikat kedua lengan anak itu dengan sabuk sutera.
"Nah, engkau tidak akan dapat meronta lagi sekarang," katanya setelah mengikat pula kedua kaki Cin Cin dan mendorong anak itu terduduk di sudut bangku kereta. Dia sendiri lalu melendut di sudut lain, merasa aman karena gadis cilik itu kini tidak dapat membuat ulah lagi. Nanti kalau sudah dekat kota raja, dia harus melepaskan ikatan kakai-tangan Cin Cin. Tentu saja tidak berani dia menghadapkan gadis cilik itu dengan kaki tangan terbelenggu kepada Coa Tai-Jin.
Setelah tiba di tepi selatan Sungai Huang-ho, perjalanan dilanjutkan dengan penyeberangan sungai itu, menggunakan perahu besar. Cin Cin masih dibelenggu dan belenggu kedua tangannya baru dilepas kalau ia dipersilakan untuk makan dan minum. Akan tetapi, anak itu selalu menolak, tidak mau makan atau minum walaupun kini ia diam saja, tidak memberontak lagi. Anak ini maklum bahwa memberontak tidak ada artinya. Ia harus mencari jalan untuk melarikan diri, mencari lowongan kesempatan setiap saat.
Di seberang utara, orang-orang yang disuruh oleh Cia Ma telah siap dengan sebuah kereta lain yang akan membawa Cin Cin dan pengawalnya ke kota raja. Ketika malam tiba, rombongan itu bermalam di sebuah rumah penginapan di kota kecil seperti direncanakan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat lagi. Perjalanan itu cukup jauh, memakan waktu tiga hari tiga malam.
Pada hari ke tiga, kereta berjalan cepat memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Cin Cin nampak tertidur di sudut bangku kereta. Kaki tangannya tetap terbelenggu. Hek-gu kini diganti oleh Pek-gu yang duduk di kereta, sedangkan Hek-gu menunggang kuda seperti pengawal lainnya. Pek-gu yang merasa amat lelah, setelah kini mendapat kesempatan duduk di dalam kereta, apalagi melihat Cin Cin yang dijaganya nampak pulas, diapun merasa mengantuk sekali dan melenggut di sudut bangku yang lain. Dia sama sekali tidak tahu betapa bulu mata anak perempuan itu mulai bergerak-gerak dan sepasang mata yang bening itu mengintai dari balik pelupuk mata yang direnggangkan!
Karena Cin Cin tidak lagi memperlihatkan sikap memberontak, dan nampak lelah sekali karena selama tiga hari ia hanya makan dua tiga kali saja, maka baik Hek-gu maupun Pek-gu menjadi lengah. Mereka menganggap bahwa kini gadis cilik itu telah menyerah dan menerima nasib. Pula apa yang dapat dilakukan anak itu? Melarikan diri jelas tidak mungkin!
Karena kelengahan ini, maka ikatan kedua kaki dan tangannya tidak sekuat dulu. Dengan tekun dan sabar, Cin Cin berusaha membuka ikatan kedua kakinya dengan cara membungkuk dan menggunakan kedua tangannya. Ia berhasil. Ikatannya terlepas. Untuk melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan, tidak mungkin karena jari-jarinya tidak dapat mencapai simpul di pergelangan tangannya. Yang penting kedua kakiku bebas, pikir anak itu. Ia harus melarikan diri sebelum kereta tiba ditempat ramai. Apa lagi setelah memasuki kotaraja, tidak mungkin sama sekali melarikan diri. Sekaranglah saatnya, pikirnya.
Kereta berada di jalan sunyi di tengah hutan dan kedua kakinya sudah bebas. Ia melihat betapa Pek-gu tidur nyenyak, terbukti dari dengkurnya. Cin Cin mengintai dari balik tirai kereta. Hek-gu bersama empat orang pengawal menunggang kuda berada di depan kereta, sedangkan empat orang penjaga lain menunggang kuda di belakang kereta. Kereta itu sendiri ditarik oleh dua ekor kuda, dikendalikan oleh seorang kusir. Sekaranglah saatnya, pikir anak itu. Sekarang atau terlambat!
Ia menanti sampai kereta itu melambat karena harus mendaki sebuah jalan tanjakan di antara semak belukar dan pohon-pohon cemara. Dengan cekatan Cin Cin lalu meloncat keluar dari kereta, dan karena kereta itu sedang berjalan lambat, ia dapat meloncat dengan mudah di sebelah kiri kereta. Sebagai seorang anak yang dahulu pernah mempelajari dasar ilmu silat, loncatan itu tidak membuat Cin Cin terjatuh. Ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, ia lalu lari menyusup ke balik semak belukar!
"Heii! Anak itu lari! Kejar..!" teriak para pengawal yang berada dibelakang kereta.
Teriakan itu mengejutkan Hek-gu yang berada di depan kereta. Pek-gu yang tadinya tertidur, kini terbangun dan kagetlah dia ketika tidak melihat anak perempuan itu di depannya. Diapun meloncat keluar dan bersama para pengawal, diapun melakukan pengejaran. Karena anak itu mengambil jalan diantara semak dan pohon, sepuluh orang pengawal itupun berloncatan turun dari atas kuda mereka dan melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Mereka tentu saja memandang rendah kepada anak perempuan itu, dan menganggap hal itu seperti main-main saja. Mereka mengejar sambil berteriak dan tertawa-tawa, seperti sekawanan anjing serigala mengejar seekor domba!
Memang amat sukar bagi Cin Cin untuk dapat meloloskan diri dari kejaran sepuluh orang tukang pukul itu. Dalam keadaan biasa sekalipun, ia pasti akan dapat tersusul dan ditangkap kembali. Apa lagi kini ia lari dengan kedua tangan masih terikat di depan tubuh sehingga hal ini tentu saja mengurangi kecepatan larinya, karena gerakannya menjadi canggung. Beberapa kali ia terjerembab, akan tetapi dengan nekat anak perempuan ini bangkit lagi dan lari sekuat tenaga.
Belum ada setengah mil Cin Cin melarikan diri, Pek-gu yang marah sekali karena anak perempuan itu melarikan diri ketika dia menjaganya di dalam kereta, telah dapat menangkap pundaknya dari belakang. Cin Cin membalik dan memukulkan tangannya ke arah orang yang menangkapnya. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, Pek-gu telah menangkap pergelangan kedua tangan itu.
"Anak setan, kalau tidak ingat pesan Cia Ma, engkau sudah kupukul!" bentak Pek-gu marah dan diapun memanggul tubuh Cin Cin di atas pundaknya, pengawal lain mentertawakan Pek-gu, akan tetapi Hek-gu menegur kawannya.
"Apa kau ingin kehilangan kepalamu. Menjaga sampai tidak tahu anak itu lari."
"Kujamin sekarang ia tidak akan dapat lari lagi dariku, sampai kita tiba di kota raja." kata Pek-gu mendongkol bukan main kepada Cin Cin.
"Lepaskan aku! Kalian anjing-anjing busuk. Lepaskan aku atau bunuh saja aku.!" Cin Cin berteriak-teriak, akan tetapi ia tidak dapat meronta lagi, kecuali menggeliat-geliat di atas pondongan pundak Pek-gu.
Sepuluh orang itu sambil tertawa-tawa berjalan kembali ke arah jalan di mana kereta itu masih menunggu. Tiba-tiba terdengar suara merdu tanpa kelihatan orangnya, suara seorang wanita.
"Anjing-anjing busuk, apakah kalian tuli? Ia minta dilepaskan, apakah kalian tidak mendengarnya?"
Sepuluh orang itu tentu saja terkejut dan juga heran. Mereka memandang ke kanan kiri dan tidak melihat seorangpun. Di antara mereka sudah menjadi takut dan merasa seram karena menyangka bahwa yang bicara itu tentu setan penunggu hutan! Akan tetapi, Hek-gu dan Pek-gu adalah dua orang jagoan yang tidak mengenal takut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing dan Hek-gu membentak,
"Siapakah yang bicara tadi? Keluar perlihatkan dirimu kalau engkau memang manusia dan bukan setan!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa lirih yang merdu dan nampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping. Sukar menaksir usia wanita ini, nampaknya tidak lebih dari tigapuluh tahun. Rambutnya digelung seperti rambut puteri bangsawan. Pakaiannya dari sutera putih yang halus dan bersih. Sebatang pedang tergantung di punggung, dan pinggang yang ramping itu dililit sehelai cambuk hitam yang seperti ular. Ia tersenyum lebar, nampak deretan giginya berkilat putih, namun sepasang matanya mencorong dan mengandung keganasan yang mengerikan!
"Anak perempuan yang berani, mengapa engkau menjadi tawanan anjing-anjing busuk ini?" terdengar ia bertanya kepada Cin Cin dan semua pengawal itu mengenal suaranya yang tadi terdengar sebelum orangnya nampak.
Biarpun ia dipondong dengan muka di punggung Pek-gu, Cin Cin dapat memutar leher dan melihat wanita cantik itu. Sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah seorang yang lihai, seperti ibu Thian Ki, Sim Lan Ci. Maka, timbullah harapan baginya untuk dapat tertolong dari tangan para tukang pukul ini.
"Bibi yang baik, kau tolonglah aku. Aku akan dijual kepada seorang pembesar di kota raja oleh anjing-anjing buduk ini!"
Wanita cantik itu bukanlah sembarang wanita. Kalau saja Hek-gu dan Pek-gu tahu dengan siapa mereka berhadapan tentu mereka akan lari tunggang-langgang. Nama wanita itu, yaitu nama julukannya, sudah tersohor di seluruh daerah timur, bahkan sampai ke kota raja. Akan tetapi, wanita ini memang jarang muncul di dunia ramai, tidak mau sembarangan memperkenalkan diri.
Padahal ia merupakan seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian yang tinggi. Biarpun nampaknya baru berusia tigapuluhan tahun, namun sesungguhnya usianya sudah limapuluh tahun. Ia terkenal dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis betina Laut Timur), dan namanya adalah Bhok Sui Lan. Namanya demikian tersohor di bagian timur, sehingga semua orang kangouw mengenal nama itu dan takut kepadanya. Oleh karena itu, ia hidup bagaikan seorang ratu di antara para tokoh kangouw, dan dari dunia sesat ia menerima sumbangan dan hadiah yang membuat hidupnya kecukupan sebagai orang wanita yang kaya raya.
Mendengar ucapan Cin Cin, Tung-hai Mo-li mengerutkan alisnya, "Hei, anjing muka putih, engkau sudah mendengar ucapan anak itu? Lepaskan ia sekarang juga!"
"Bibi yang gagah, orang ini bukan anjing muka putih, melainkan Pek-gu (Kerbau Putih)." kata Cin Cin yang timbul keberaniannya.
"Hemm, dia lebih pantas menjadi anjing daripada kerbau," kata pula wanita cantik itu.
Tentu saja Pek-gu marah sekali mendengar ejekan-ejekan itu. Akan tetapi karena yang mengejek dan memakinya adalah seorang wanita cantik, sejak tadi ia bengong dan terkagum kagum. Kini ia melangkah maju dan berkata,
"Ha-ha,manis. Lebih baik engkau menjadi isteriku, daripada engkau mencampuri urusan kami. Sayang kalau kulitmu yang putih mulus itu sampai terluka oleh golokku."
Sepasang mata itu mencorong. "Engkau.. bangkai anjing!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan.
Melihat wanita itu menyerang dengan tangan kosong, Pek-gu memandang rendah. Akan tetapi karena dia tidak ingin Cin Cin dirampas orang, hal yang akan membuat dia dua kali kehilangan anak yang dijaganya, dia mengelebatkan goloknya untuk membabat tangan wanita berpakaian putih itu, tentu saja hanya dengan gerakan ancaman.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan yang menggerakkan golok itu terasa lumpuh, disambar jari tangan wanita itu dan di lain saat, entah secara bagaimana dia tidak tahu, karena gerakan wanita itu terlalu cepat baginya, tubuh Cin Cin sudah terlepas dari atas pundaknya dan anak perempuan itu tahu-tahu telah berdiri di samping wanita baju putih itu!
Kini Pek-gu marah sekali. Dia tidak perduli akan kecantikan wanita baju putih itu. Diputarnya goloknya di kepala dan diapun berteriak, "Kembalikan anak itu kepadaku!"
"Bangkai anjing!" Mo-li (Iblis betina) berseru lembut dan ia bergerak maju memapak Pek-gu yang menyerang dengan bacokan golok. Tangan yang kecil halus itu diangkat menyambut golok dengan begitu saja ia menangkap golok yang nyambar kepalanya. Golok itu berhenti seperti tersedot dan sebelum Pek-gu tahu apa yang terjadi, tangan kiri Mo-li sudah menampar dadanya.
"Plakk!" Tamparan itu kelihatannya tidak keras, akan tetapi akibatnya hebat karena tubuh Pek-gu terjengkang dan ia berkelojotan sebentar lalu terdiam. Tewas dan baju di dadanya seperti terbakar dan nampak bekas telapak tangan di sana!
Tentu saja Hek-gu terkejut dan marah sekali, demikian pula kawan-kawannya. Sembilan orang itu, dengan senjata masing-masing, sudah maju mengeroyok Mo-li. Bagaikan seekor kupu-kupu menari-nari di antara bunga-bunga di taman, tubuh yang berpakaian putih itu berloncatan atau seperti beterbangan dan berturut-turut sembilan orang tukang pukul itu roboh tanpa mengeluarkan suara dan mereka tidak dapat bangun kembali karena setiap kali terkena pukulan, mereka roboh dan tewas!
Semua itu terjadi dalam waktu yang amat singkat sehingga Cin Cin memandang dengan bengong. Kemudian, anak yang cerdik itu merasa yakin bahwa wanita berpakaian putih itu adalah seorang yang sakti, jauh lebih lihai dibandingkan bibi Sim Lan Ci yang pernah ia kagumi.
Ia cepat menghampiri wanita itu dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua kaki wanita itu. "Bibi, selain menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu, aku juga mohon sudilah bibi menerimaku sebagai murid bibi." Tanpa menanti jawaban, langsung saja Cin Cin memberi hormat sambil berlutut sebagaimana layaknya seorang murid memberi hormat kepada gurunya.
"Hemm. kenapa sebelum kuterima kau sebagai murid, engkau sudah menghormatiku sebagai gurumu?"
"Karena aku yakin subo (ibu guru pasti akan menerimaku sebagai murid)!"
Mo-li mengerutkan alisnya. "Eh, bagaimana engkau bisa yakin?"
"Subo telah bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan anjing-anjing ini. Apa artinya pertolongan itu kalau subo tidak menerimaku sebagai murid. Semua jerih payah subo tadi akan sia-sia belaka. Karena itu, aku yakin bahwa subo tentu menolongku untuk menerimaku sebagai murid."
Sepasang mata yang jeli itu terbelalak, kemudian wajah cantik itu membayangkan senyum gembira. Tung-hai Mo-li adalah seorang wanita aneh, seorang datuk sesat. Maka, melihat watak anak perempuan yang tabah, lincah, pandai bicara dan ugal-ugalan ini, timbul rasa suka di hatinya. Ia memang tidak pernah mau menerima murid, dan begitu bertemu dengan Cin Cin, melihat betapa anak perempuan yang tidak berdaya itu berani memaki-maki segerombolan pengawal yang kasar dan jahat, hatinya tertarik dan ia merasa suka sekali.
Dan ucapan anak itu memang benar. Kalau tidak tertarik dan tidak suka kepada anak itu, untuk apa ia turun tangan membunuh sepuluh orang pengawal tadi? Biasanya, ia tidak suka mencampuri urusan orang dan tidak perduli apakah ada kejahatan terjadi di depan hidungnya atau tidak, selama peristiwa itu tidak menyangkut dirinya!
"Siapakah engkau? Dan kenapa engkau menjadi tawanan mereka ini? Ceritakan semua, singkat saja. Aku ingin mengetahui riwayatmu."
"Namaku Kam Cin, biasa disebut Cin Cin, usiaku sekarang delapan tahun. Tiga tahun yang lalu ayahku dibunuh penjahat, ibuku diculik penjahat, seluruh keluargaku dibasmi gerombolan penjahat. Seorang sute dari ayahku mendapat tugas untuk membawa aku pergi mengungsi, akan tetapi di kota Ji-goan, paman yang culas itu menjual aku kepada Cia Ma, pemilik rumah pelesir Ang-hwa. Di sana aku dipelihara dan dididik selama tiga tahun dan hari ini aku oleh Cia Ma dijual kepada seorang pembesar Coa di kota raja. Sepuluh orang ini mengawalku ke rumah pembesar itu dan di tempat ini, aku melihat kesempatan untuk melarikan diri."
Mo-li mendengarkan dengan kagum dan ia melihat sabuk sutera yang masih mengikat kedua tangan gadis kecil itu. "Kenapa baru sekarang engkau melarikan diri dan sampai tiga tahun tinggal rumah kotor itu?" tanyanya ragu.
"Begini, bibi, eh. subo. Ketika aku oleh paman jahanam itu dijual kepada Cia Ma, aku sudah memberontak dan melawan, bahkan aku sempat melarikan diri. Akan tetapi aku tertangkap kembali dan aku lalu menggunakan siasat untuk menurut dan tidak memberontak. Dengan demikian. selain mendapatkan perlakukan wajar, aku diajar pula membaca, menulis dan lain kesenian, dan aku memperoleh kebebasan. Aku selalu mencari kesempatan baik. Siapa kira, nenek gendut itu menjualku kepada pembesar itu. Maka, dalam perjalanan aku nekat mencoba untuk melarikan diri."
Mo-li mengangguk-angguk. Ia suka kepada anak ini, tertarik melihat sikapnya, akan tetapi ia tidak tertarik mendengar riwayatnya, tidak ingin tahu siapa keluarga anak ini yang katanya dibasmi orang jahat. "Baiklah, kalau engkau mau belajar dengan rajin, aku mau mengajarkan ilmuku kepadamu. Akan tetapi sekali saja engkau mengecewakan hatiku atau bermalas-malasan, engkau akan kubunuh!"
Diam-diam bergidik juga hati Cin Cin mendengar ancaman ini, dan ia yang menjadi puteri ketua perkumpulan orang gagah Hek-houw-pang dan banyak mendengar tentang orang-orang kangouw yang aneh, dapat menduga bahwa wanita cantik ini tentu seorang tokoh sesat.
"Baik, subo. Aku akan selalu mentaati perintah subo."
"Nah. majulah ke sini!" kata Mo-li dan begitu Cin Cin melangkah maju, tangannya bergerak.
Cin Cin hanya merasa ada renggutan pada tali yang mengikat kedua tnngannya dan tali sabuk sutera itupun putus! Ia semakin kagum. Gurunya itu tidak kelihatan menyentuh sabuk sutera itu, akan tetapi sabuk itu putus.
"Mari kita pergi!" kata pula Mo-li dengan singkat.
"Nanti dulu, subo."
"Ehh?" Mo-li memandang dengan alis berkerut, matanya mencorong.
Kembali Cin Cin merasa ngeri. Ia harus berhati-hati menghadapi gurunya ini. Salah-salah sekali tangan gurunya bergerak, belum ia tahu apa yang terjadi, ia sudah menggeletak dan tewas seperti sepuluh orang itu!
"Subo, disana masih ada kusir kereta. Apakah dia dibiarkan saja menjadi saksi semua ini?" Ia menuding ke arah jalan di mana nampak sebuah kereta. Pada saat itu, terdengar suara dari kereta itu.
"Heiii! Kenapa lama amat menangkap anak itu? Kalian cepat kembali ke sini agar dapat melanjutkan perjalanan!" Itulah suara kusir kereta.
"Mari kita ke sana!" kata Mo-li sambil berlari ke arah jalan itu, diikuti oleh Cin Cin.
Kusir kereta memandang heran ketika melihat anak perempuan itu datang bersama seorang wanita cantik dan tidak nampak seorangpun di antara pengawal yang melakukan pengejaran tadi. Ketika Mo-li tiba didepannya, kusir itu memandang heran dan kagum.
"Siapa engkau? Mana mereka dan apa yang terjadi?"
Baru saja dia menutup mulutnya, dia terpelanting roboh dari atas kereta, terjungkal dan tewas seketika. Dengan tenang Mo-li berpaling kepada Cin Cin. "Apakah masih ada lagi di antara mereka?"
Cin Cin menelan ludah. Kalau sepuluh orang tadi roboh dibunuh, ia tidak merasa ngeri bahkan bersyukur karena mereka merupakan ancaman baginya. Akan tetapi selama dalam perjalanan kusir kereta itu tidak pernah bersikap galak dan tingkah lakunya tidak seperti sepuluh orang tukang pukul itu. Melihat dia dibunuh seperti itu oleh gurunya, mau tidak mau ia merasa ngeri juga.
Gurunya ini mengingatkan ia akan para penjahat yang mengamuk di Hek-houw-pang. Sekejam mereka, kalau tidak lebih kejam lagi malah. Akan tetapi ia perlu mempelajari ilmu silat tinggi. Kelak ia harus mencari para pembunuh ayahnya, dan mencari penjahat yang menculik ibunya. Tanpa ilmu yang tinggi, ia hanya akan menjadi beban penghinaan orang lain. Ia kelak juga harus mencari Lai Kun, untuk menghukumnya.
Mo-li memilih dua ekor kuda terbaik di antara kuda-kuda yang berada di situ, kemudian mengajak muridnya naik kuda dan pergi dari situ. Ia sama sekali tidak bicara, dan Cin Cin juga tidak bertanya apa-apa, hanya mengikuti gurunya.
The Siong Ki baru berusia enam tahun, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan pemberani. Dalam usia sekecil itu, dia telah kehilangan ayah ibunya. Bahkan dalam keadaan putus asa ditinggalkan orang tuanya, harapannya timbul ketika dia bertemu Poa Liu Hwa, istri pangcu (ketua) Hek-houw pang dan dia diangkat murid oleh Poa Liu Hwa. Akan tetapi, harapan itu hancur kembali ketika dia melihat betapa subo (ibu guru) itu bukan seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi.
Bahkan menghadapi musuhnya menjadi tidak berdaya, dan hal ini mengecewakan hatinya. Apa lagi ketika muncul laki-laki tinggi besar bernama Lie Koan Tek itu, yang menurut keterangan dari pria muda tampan yang menyerang subonya, adalah pembunuh ayahnya, dia diam-diam segera meninggalkan tempat subonya berkelahi. Dia harus pergi, mencari guru yang lebih tangguh dan dia tahu ke mana harus mencari guru yang sakti.
Dia teringat akan pendekar sakti Si Han Beng yang berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning), yang bertempat tinggal di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho. Dia tahu bahwa Kam Cin atau Cin Cin, puteri subonya itu sendiri diantar oleh paman gurunya, Lai Kun untuk mengungsi ke Hong-cun dan menjadi murid pendekar sakti itu. Dia akan menyusul ke sana dan dia akan mohon agar diterima menjadi murid, bersama Cin Cin!
Untuk menjamin keselamatannya dalam perjalanan, Siong Ki sengaja membiarkan pakaiannya compang-camping seperti seorang anak jembel. Dengan demikian tidak ada orang yang suka mendekatinya apa lagi mengganggunya. Gangguan orang lain selalu hanya karena yang diganggu memiliki kelebihan, yaitu keindahan pakaian dan uang, ketampanan atau kecantikan wajah, kepandaian dan sebagainya yang menimbulkan iri hati dalam hati orang lain. Siapa yang akan mengganggu seorang anak jembel yang kotor, miskin, bodoh dan papa? Padahal, Siong Ki menyimpan perak cukup banyak, bahkan sedikit emas, untuk bekal.
Dengan cara menghemat, juga tidak sampai ketahuan orang lain kalau dia membelanjakannya, dia dapat melakukan perjalan yang amat jauh itu dengan selamat. Beberapa bulan kemudian, tibalah ia di lembah Huang-ho dan dengan bertanya-tanya, akhirnya dapat juga ia memperoleh keterangan di mana adanya dusun Hong-cun, tempat tinggal pendekar sakti Si Han Beng itu.
Tentu saja ia cukup cerdik untuk tidak menyebut-nyebut nama pendekar itu, karena hal ini akan menimbulkan kecurigaan dan menarik perhatian orang. Tentu mengherankan kalau seorang anak pengemis bertanya-tanya tentang seorang pendekar sakti seperti Huang-ho Sin-liong Si Han Beng itu!
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan lama karena dia mencari-cari dan bertanya-tanya sepanjang jalan, pada siang hari itu Siong Ki berhasil tiba di pekarangan depan rumah pendekar sakti Si Han Beng. Tentu saja setelah tiba di dusun Hong-cun, amat mudah bagi Siong Ki mencari rumah besar itu. Semua orang mengenal keluarga Si ini.
Si Han Beng adalah seorang pendekar sakti, walaupun dia dan keluarganya hidup sederhana sebagai petani di dusun itu. Melihat keadaan keluarganya yang hidup sederhana, tentu tidak ada orang yang menyangka bahwa dia adalah Naga Sakti Sungai Huang-ho yang namanya pernah menggemparkan dunia kangouw, terutama di sepanjang sungai besar itu.
Si Han Beng masih muda, baru dua puluh tujuh tahun usianya, namun dia sudah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa. Tubuhnya tinggi besar dan gagah, wajahnya tampan dan sikapnya pendiam. Pakaiannya sederhana seperti petani biasa. Satu-satunya yang menunjukkan bahwa dia seorang pendekar sakti barangkali adalah matanya. Mata itu mencorong seperti mata seekor seekor naga! Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Si Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, dari Raja Pengemis Sin-ciang Kai-ong, dan terakhir sekali dari pertapa sakti Pek I Tojin. Tidak mengherankan kalau Si Han Beng memiliki ilmu kepandaian yang bebat.
Isterinya juga seorang pendekar wanita yang tingkat kepandaiannya hampir menandingi suaminya. Isterinya bernama Bu Giok Cu, baru berusia duapuluh lima tahun. Wanita ini cantik jelita, lincah jenaka dan cerdik. Ia pernah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dan ganas dari Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), kemudian digembleng oleh Hek Bin Hwesio, seorang pendeta Siauw-Lim-pai yang suka mengembara dan yang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Tiga tahun mereka menikah dan mereka mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Si Hong Lan dengan panggilan sehari-hari Lan Lan. Anak itu kini sudah dua tahun usianya. Seorang anak yang sehat dan mungil.
Dengan jantung berdebar karena tegang, harap-harap cemas, Siong Ki berdiri di pekarangan rumah keluarga Si. Dia mengharapkan akan melihat Kam Cin di situ. Kalau saja Cin Cin yang lebih dahulu keluar dan melihatnya, tentu anak perempuan itu akan mengenalnya. Karena mereka adalah kawan bermain sejak kecil. Dan perjumpaan itu tentu akan memudahkan dia untuk menghadap pendekar sakti Si Han Beng, untuk mohon agar diterima sebagai murid, seperti halnya Cin Cin.
Akan tetapi yang keluar adalah seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti pelayan. Melihat seorang anak laki-laki berpakaian jembel berdiri di pekarangan, laki-laki itu menghampiri dan menegurnya.
"Mau apa engkau berdiri di sini? Ayo cepat pergi, anak malas!"
Siong Ki mengamati orang itu. Pasti bukan pendekar sakti Si Han Beng pikirnya. Menurut cerita yang didenngarnya, pendekar besar itu belum ada tiga puluh tahun usianya, sedangkan pria ini sedikitnya tentu empat puluh tahun. Dan teguran itu demikian kakunya, begitu bertemu, tanpa alasan dia dimaki sebagai anak malas.
"Paman, aku bukan anak pemalas," ia membantah.
Orang itu mendekat dan matanya memancarkan kemarahan. "Apa? Engkau bukan anak pemalas? Lihat pakaianmu. Engkau seorang pengemis, bukan? Semua pengemis yang bertubuh sehat dan tidak cacat adalah pemalas! Tidak mau bekerja. Engkau tentu bukan anak dusun ini, karena di sini tidak ada pengemis. Hayo cepat pergi, jangan berdiri saja di pekarangan ini. Lebih baik engkau segera keluar dari dusun ini karena takkan ada seorangpun suka memberi derma kepada seorang pemalas!"
Wajah Siong Ki berubah kemerahan. Dia marah sekali, akan tetapi dia masih dapat menahan kesabarannya, karena tengingat bahwa dia telah berada di pekarangan rumah pendekar yang dia harapkan suka menerimanya sebagai murid.
"Paman, kuharap paman jangan menilai seseorang dari pakaiannya. Aku melakukan perjalanan jauh dan demi keamanan di dalam perjalanan, aku sengaja mengenakan pakaian yang butut agar disangka pengemis dan tidak diganggu orang. Aku bukan pemalas, dan tidak pernah minta-minta, paman. Kalau paman tidak percaya, ini masih ada sisa bekalku untuk biaya perjalananku."
Dia mengeluarkan kantung kecil di mana masih ada dua potong emas dan beberapa potong perak. Ketika dia membuka kantong kecil itu dan memperlihatkan isinya orang itu tercengang, akan tetapi pandang matanya terhadap Siong Ki berubah. Kini penuh perhatian dan tertarik.
"Hemm, anak yang aneh, siapakah kau dan mengapa pula engkau datang ke sini?"
"Panjang ceritanya, paman. Aku datang ke sini untuk menghadap tai-hiap (Pendekar besar) Si Han Beng. Kalau paman seorang di antara para penghuni rumah ini, kuharap paman suka memberitahukan kepada Si-taihiap bahwa aku mohon menghadap."
"Nanti dulu, tidak begitu mudah untuk bertemu dengan Si-taihiap, apalagi seorang anak kecil seperti engkau. Katakan dulu siapa nama mu, dan dari mana engkau datang sehingga aku akan mempertimbangkan apakah sudah pantas kulaporkan kepadanya tentang kunjunganmu."
Kini tahulah Siong Ki bahwa orang ini adalah seorang pelayan, atau setidaknya seorang pembantu dari keluarga Si, maka giranglah hatinya dan diapun bersikap lebih ramah dan sopan. "Paman yang baik, terima kasih sebelumnya atas kebaikanmu. Namaku adalah The Siong Ki. Harap paman laporkan kepada Si Tai-hiap bahwa ayahku adalah murid Hek-houw-pang, suheng dari ketua Hek-houw-pang dan bahwa kedatanganku membawa berita yang amat penting tentang Hek-houw-pang. Kukira Si tai-hiap nanti sudi untuk menerimaku menghadap, paman."
Pembantu itu mengangguk-angguk, "Aku pernah mendengar tentang Hek-houw-pang. Baik, akan kulaporkan kepada Taihiap. Kau tunggulah di sini, Siong Ki."
"Terima kasih, paman."
Pembantu itu masuk ke dalam melalui pintu samping dari mana tadi dia keluar dan Siong Ki menanti dengan jantung berdebar tegang. Kalau Cin Cin sudah berada di situ, tentu keluarga Si sudah mendengar tentang malapetaka yang menimpa Hek-houw-pang, dan namanya tentu akan dikenal Cin Cin dan mereka tentu akan menerimanya dengan baik.
Andaikata Cin Cin belum tiba di situ, hal yang tidak mungkin karena tentu anak perempuan yang diantar oleh susioknya Lai Kun, tentu dapat melakukan perjalanan lebih cepat darinya, maka dengan mendengar nama Hek houw-pang, pendekar itu tentu akan tertarik pula dan suka menerimanya.
Dugaan Siong Ki memang benar. Begitu Si Han Beng dan isterinya, Bu Giok Cu, mendengar laporan pembantu mereka bahwa di luar ada seorang anak laki-laki berusia enam tujuh tahun bernama The Siong Ki yang mengaku sebagai murid keponakan ketua Hek-houw-pang, suami isteri pendekar itu segera keluar menyambut. Bu Giok Cu menggendong putrinya, Lan Lan yang berusia dua tahun lebih. Akan tetapi, suami isteri itu merasa heran ketika melihat bahwa yang berada di luar hanya seorang anak laki-laki yang melihat keadaan diri dan pakaiannya, jelas seorang jembel atau pengemis kotor!
Pembantu mereka tadi tidak atau belum menceritakan keadaan anak itu. Melihat munculnya seorang pria muda tinggi besar dan gagah yang pakaiannya sederhana seperti petani, bersama seorang wanita menggendong anak perempuan berusia dua tahun, dan wanita itu cantik dan bermata tajam, Siong Ki tidak merasa ragu lagi. Tentu ini yang bernama Si Han Beng dan berjuluk Naga Sakti Sungai Huangho itu! Tanpa ragu lagi ia lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.
"Saya The Siong Ki menghaturkan hormat saya kepada Tai-hiap Si Han Beng berdua, dan mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu taihiap."
Si Han Beng dan Bu Giok Cu saling pandang. Sikap anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang jembel biasa. "Anak baik, kami tidak mengenalmu. Benarkah engkau dari Hek-houw-pang? Kalau benar demikian, mengapa engkau datang kesini minta berjumpa dengan kami?"
Siong Ki masih berlutut. "Taihiap ayah saya bernama The Ci Kok dan dia adalah suheng dari Hek-houw-pang Pangcu Kam Seng Hin. Hek-houw-pang tertimpa malapetaka, tentu taihiap berdua sudah mendengar akan hal itu dari adik Cin Cin."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Bu Giok Cu yang berkata, "Apa maksudmu, Siong Ki? Siapa itu Cin Cin? Kami belum mendengar apa-apa tentang Hek-houw-pang."
Suaminya cepat menambahkan. "Siong mari kita masuk ke dalam dan kau ceritakan apa yang telah terjadi."
Bukan main girangnya hati Siong Ki. Seperti telah digambarkannya, ternyata suami isteri pendekar itu ramah. Dia mengikuti mereka masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu dan diam-diam dia merasa heran mengapa tidak nampak Cin Cin keluar menyambutnya. Apa lagi tadi isteri pendekar itu mengatakan tidak mengenal Cin Cin. Sungguh aneh! Ini berarti bahwa Cin Cin belum tiba di tempat itu. Mereka memasuki ruangan dalam dan Giok Cu menyuruh Siong Ki duduk lalu berkata,
"Engkau lapar dan ingin makan dulu sebelum bercerita?" Suaminya mengangguk membenarkan karena diapun merasa kasihan kepada anak yang keadaannya seperti seorang anak jembel itu.
Wajah Siong Ki berubah merah dan diam-diam dia merasa mendongkol juga. Akan tetapi dia dapat memaklumi. Suami isteri ini tentu menganggap dia telah menjadi pengemis yang terlantar dan kelaparan. "Terima kasih, tadi saya sudah membeli sarapan pagi sebelum berkunjung ke sini."
Mendengar ini, suami isteri itu kembali saling pandang. Seorang anak jembel membeli sarapan pagi? Ganjil sekali! "Hemm, engkau mempunyai uang untuk membeli sarapan?" tanya Han Beng yang merasa heran.
Dengan tenang Siong Ki mengeluarkan lagi kantung kain dan membuka kantung itu memperlihatkan isinya. Suami isteri itu terbelalak. Emas dan perak dalam kantung itu memang cukup untuk membeli makanan selama berbulan-bulan!
"Hemm, engkau mempunyai uang akan tetapi mengenakan pakaian jembel? Siong Ki, apa artinya ini dan mengapa pula engkau meninggalkan Hek-houw-pang dan melakukan perjalanan jauh sampai ke sini?"
"Taihiap, sebelum saya menjawab, harap beri tahukan lebih dulu kepada saya, apakah adik Kam Cin, puteri susiok, yaitu ketua Hek-houw-pang, belum tiba di sini?"
Suami isteri itu menggeleng kepala, Si Han Beng memang tidak mempunyai hubungan dengan Hek-houw-pang, akan tetapi karena dia merupakan adik angkat dari Coa Siang Lee, dan Siang Lee adalah keturunan keluarga Coa yang menjadi pimpinan Hek-houw-pang, maka dia mengenal Hek-houw-pang.
"Tidak ada dari Hek-houw-pang yang datang ke sini sebelum engkau. Siong Ki duduklah yang baik dan ceritakan segala apa yang terjadi di Hek-houw-pang. Kaubilang tadi Hek-houw-pang tertimpa malapetaka?"
Siong Ki lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa Hek-houw-pang diserbu gerombolan pemberontak, anak buah pemberontak Cian Bu Ong, karena Hek-houw-pang membantu pemerintahan kerajaan baru untuk mengamankan daerah.
"Dalam penyerbuan yang dilakukan oleh penjahat-penjahat yang berkepandaian tinggi itu, hampir semua anggota Hek-houw-pang terbasmi dan tewas. Pangcu Kam Seng Hin sendiri tewas. Juga ayah saya, The Ci Kok, suheng dari pangcu, tewas oleh gerombolan sehingga saya menjadi yatim-piatu karena ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Di antara puluhan orang anggota Hek-houw-pang yang tewas, juga terdapat susiok (paman guru) Coa Siang Lee yang kebetulan datang bertamu bersama isteri dan puteranya..."
"Ahhh...!!" Si Han Beng berseru kaget bukan main mendengar bahwa kakak angkatnya juga tewas dalam pertempuran ketika Hek-houw-pang diserbu para pemberontak. "Kanda Coa Siang Lee tewas...? Bagaimana dengan isterinya, enci Sim Lan Ci dan putera mereka. Coa Thian Ki?"
"Menurut keterangan yang melihatnya, ibu dan anak itu diculik dan dilarikan penjahat."
"Ahhhh...!" Si Han Beng semakin terkejut dan juga khawatir mendengar ini. "Dan bagaimana dengan kakek Coa Song...?"
"Kakek meninggal dunia karena duka dan sakit setelah terjadi peristiwa yang mendatangkan malapetaka bagi Hek-houw-pang itu. Sebelum meninggal, kakek Coa Song berpesan agar cucunya, yaitu adik Kam Cin yang selamat dari pembasmian itu, diantar ke sini untuk berguru kepada ji-wi. Yang mengantarkan adik Cin Cin adalah susiok Lai Kun. Sungguh aneh sekali mengapa mereka belum juga tiba di sini, sedangkan saya yang berangkat beberapa hari kemudian dan melakukan perjalanan sukar dan lambat, bisa sampai di sini lebih dulu."
"Siong Ki, engkau yang sudah yatim piatu, mengapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu di Ta-bun-cung dan bersusah payah datang ke tempat ini yang sangat jauh?" Si Han Beng bertanya sambil memandang tajam.
Mendengar pertanyaan ini, Siong Ki tampak sedih sekali. "Taihiap, tadinya saya ingin membunuh diri saja di depan makam ayah. Saya sudah putus asa, tidak mempunyai keluarga lagi, dan untuk membalas kematian ayah dan semua saudara Hek-houw-pang, saya tidak memiliki kemampuan. Ketika saya berada di makam, tiba-tiba muncul bibi Poa Liu Hoa, yaitu isteri mendiang susiok Kam Seng Hin. Ia membujuk saya dan saya mau diangkat menjadi muridnya. Lalu kami pergi, hendak menyusul adik Cin Cin ke sini. Akan tetapi di tengah perjalanan kami bertemu dengan perampok dan melihat bibi Poa Liu Hwa tidak mampu melawan para penjahat, saya pikir tidak ada gunanya menjadi muridnya. Maka, saya lalu melarikan diri dan seorang diri melakukan perjalanan ke sini. Agar aman dalam perjalanan, saya menyamar sebagai seorang pengemis, dan menggunakan uang peninggalan ayah, saya akhirnya dapat menghadap taihiap disini."
Kembali suami isteri itu saling pandang. Diam-diam mereka merasa kagum. Seorang anak berusia enam tujuh tahun berani menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri saja dan berhasil mencapai tujuan. Ini membutuhkan keberanian dan keteguhan hati, besarnya semangat dan tahan uji. Seorang anak yang baik.
"Dan apa maksudmu datang menghadap kami di sini?" tanya pula Han Beng.
Mendengar pertanyaan ini, Siong Ki tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Beng dan menangis. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena dia sudah dapat menguatkan hatinya lalu berkata, "Saya mohon taihiap sudi menerima saya sebagai murid. Tujuan hidup saya hanya satu, yaitu kelak kalau sudah memiliki kepandaian, saya akan mencari para pembunuh ayah dan pembasmi Hek-houw-pang untuk membalas dendam. Saya mau bekerja apa saja, menjadi pelayan, pembantu atau apa saja, asal taihiap sudi menerima saya menjadi murid."
Kembali suami isteri itu saling pandang. Sebetulnya, mereka tidak mempunyai niat untuk menerima murid. Mereka mengambil keputusan untuk mewariskan semua kepandaian mereka kelak kepada Lan Lan, puteri dan anak mereka satu-satunya, kecuali kalau kelak mereka mendapatkan anak lagi. Mereka hanya akan menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada anak-anak mereka.
Akan tetapi, melihat kesungguhan hati Siong Ki, dan mengingat akan nasib anak itu, hati Han Beng merasa tidak tega untuk menolaknya. Apa lagi, anak itu baik dan teguh hati, tabah dan kelak dapat menjadi pengasuh dan kawan bermain Lan Lan yang membutuhkan contoh anak lain yang lebih tua dan yang berwatak baik. Maka diapun memberi isyarat dengan mata pada isterinya, kemudian berkata dengan suara yang tegas.
"The Siong Ki, melihat keadaanmu aku dapat menerimamu sebagai murid, hanya dengan beberapa syarat. Sanggupkah engkau memenuhi syarat-syarat itu, mentaatinya dan sanggup menerima hukumannya kalau melanggar?"
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang dalam hati anak itu. Dia lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahinya di lantai. "Teecu (murid) The Siong Ki bersumpah bahwa teecu akan mentaati semua perintah suhu akan memenuhi semua syarat yang suhu ajukan dan sanggup pula menerima hukumannya kalau kelak teecu melanggar."
Si Han Beng tersenyum. Wajahnya cerah. Anak ini tanpa diminta bahkan telah bersumpah. Hal ini membuktikan kesungguhan hatinya. "Dengar baik-baik syaratku. Pertama semua ceritamu tentang keadaan dirimu tadi tidak bohong dan benar. Kedua, engkau harus belajar dengan rajin dan mentaati semua perintahku. Ke tiga, engkau tidak boleh mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan kepadamu untuk berbuat jahat dan sewenang-wenang. Ke empat, engkau harus dapat menjadi teladan anak kami Si Hong Lan ini, menyayang dan mengasuhnya, dan kelak membantu dan melindunginya seperti adikmu sendiri. Nah, kalau engkau melanggar satu di antara empat syarat itu, kelak aku akan menghukummu dan mencabut semua ilmu darimu dengan membuatmu cacat seumur hidup!"
Tanpa ragu Siong Ki mengangguk. "Teecu sanggup memenuhi semua syarat itu dan menanggung hukumannya kalau melanggar!"
"Bagus! Mulai saat ini, aku adalah suhumu. Akan tetapi ingat, hanya aku yang menjadi gurumu. Isteriku tidak akan mengajarmu, dan engkau panggil bibi kepadanya, bukan subo (ibu guru)!"
"Baik, suhu."
Han Beng sengaja mengeluarkan janji itu, karena dia berhati-hati. Kelak bagaimanapun juga, tingkat kepandaian anak-anaknya harus lebih tinggi daripada tingkat kepandaian muridnya. Sehingga kalau dia dan isterinya sudah tidak ada, anak-anaknya akan mampu mengendalikan muridnya kalau-kalau dia menyeleweng.
Kalau dia seorang diri yang mengajarkan ilmu kepada Siong Ki sedangkan anak-anak mereka kelak menerima gemblengan dari dia dan isterinya maka tentu Siong Ki tidak akan mampu menandingi anak mereka yang menguasai ilmu gabungan mereka, biarpun andaikata Siong Ki memiliki bakat yang lebih baik. Ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian isterinya jauh berbeda, dari dua aliran yang sama sekali berbeda dan memiliki kehebatan masing-masing.
Demikianlah, mulai hari itu, Siong Ki menjadi murid Si Han Beng dan tinggal di rumah pendekar itu. Dan dia memang merupakan seorang anak yang amat menyenangkan hati Si Han Beng dan Bu Giok Cu karena dia rajin bukan main. Dia mau mengerjakan apa saja, membereskan rumah dan pekarangan, bekerja di sawah ladang, bahkan mengajak Lan Lan bermain. Maka, Han Beng juga dengan sungguh hati mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Siong Ki.
Tentang malapetaka yang menimpa Hek-houw-pang Han Beng dan Giok Cu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka ikut prihatin dan malam itu juga, Han Beng membuat sembahyang untuk arwah kakak angkatnya, Coa Siang Lee, dan mengundang pendeta dari kuil untuk mengatur upacaranya. Hanya itu yang dapat dia lakukan.
Ketika Kerajaan Sui jatuh oleh pemberontakan Li Si Bin dalam tahun 614 dan kaisar terakhir Kerajaan Sui yang bernama Yang Ti melarikan diri ke daerah Yang-couw dan kemudian dibunuh oleh kaum pemberontak, maka Li Si Bin lalu mendirikan wangsa baru, yaitu kerajaan Tang. Li Si Bin pula yang membujuk ayahnya yang bernama Li Goan, untuk naik tahta menjadi kaisar pertama dari kerajaan baru Tang, dan berjuluk Kaisar Tang Kao Cu.
Ada dua hal yang menjadi tujuan dari siasat Li Si Bin mengangkat ayahnya sebagai kaisar ini. Pertama, untuk darma-bakti kepada ayahnya dan hal seperti ini amat dihargai oleh rakyat dan kedua, dia akan dapat lebih memusatkan tenaga, waktu dan perhatiann untuk memimpin pasukannya menaklukkan seluruh daerah.
Kalau dia yang menjadi kaisar, tentu dia tidak begitu leluasa melakukan perang terhadap para pemberontak yang mula-mula tidak mau mengakui kerajaan baru Tang sebagai yang dipertuan. Akan tetapi, dengan ayahnya menjadi kaisar yang mengatur roda pemerintahan, sedangkan dia sendiri menjadi panglima besar yang menggerakkan aksi-aksi pembersihan, maka dia dapat bekerja sepenuh hati.
Siasat ini berhasil baik. Dalam waktu beberapa tahun saja, seluruh wilayah kekuasaan yang tadinya dimiliki Kerajaan Sui, telah dapat direbutnya dan semua pemberontak atau sisa-sisa kekuatan yang masih setia terhadap Kerajaan Sui yang sudah runtuh, atau kekuatan-kekuatan yang ingin berdiri sendiri dan tidak mau tunduk kepada kerajaan baru Tang, dapat dihancurkan dan ditundukkan.
Bahkan semua perlawanan yang dilakukan oleh Cian Bu Ong, bekas pangeran kerajaan Sui, dapat pula dilumpuhkan, Pangeran Cian Bu Ong kekurangan pendukung, maka tidak mungkin dia dapat melawan kekuatan pasukan besar Kerajaan Tang. Akhirnya, Pangeran Cian Bu Ong terpaksa melarikan diri dan menghentikan usahanya untuk menegakkan kembali kerajaan Sui.
Sim Lan Ci yang sudah kematian suaminya, ketika melihat bahwa Pangeran Cian Bu Ong benar-benar seorang pangeran yang setia kepada Kerajaan Sui dan berusaha menegakkan kembali kerajaan itu, membantu sekuat tenaga. Sim Lan Ci merasa berhutang budi kepada pangeran ini, dan karena Pangeran Cian Bu Ong bersikap sopan dan baik kepadanya, bahkan bersikap menyayang kepada puteranya, Coa Thian Ki yang diangkat menjadi murid pangeran itu, ikut pula melarikan diri mengungsi bersama sang Pangeran ke barat, ke daerah perbatasan Tibet di mana kekuasaan Kerajaan Tang tidaklah begitu kuat.
Pangeran Cian Bu Ong tinggal di sebuah lereng bukit dimana dia membangun sebuah rumah besaa dan hidup dengan aman. Biarpun pangeran ini dapat hidup serba kecukupan karena dia membawa harta yang cukup banyak, namun setelah pindah ke daerah barat itu bersama Sim Lan Ci dan Thian Ki, setiap hari dia hanya termenung di dalam taman bunga yang dibuatnya sendiri. Pangeran yang berusia lima puluh dua tahun ini setiap hari hanya membaca sajak sambil minum arak di taman, atau duduk melamun di ruangan belakang.
Tubuhnya yang tinggi besar itu mulai kurus, mukanya yang biasanya kemerahan menjadi agak pucat dan sinar matanya selalu redup. Kekalahan yang dideritanya, dan mengingat akan runtuhnya Kerajaan Sui dan terbasminya keluarga kaisar, juga terbunuhnya keluarganya sehingga kini hanya tinggal Cian Kui Eng seorang, anak perempuannya yang baru berusia empat tahun dan yang amat dekat dengan Sim Lan Ci. Dia hidup kesepian dan patah semangat.
Sim Lan Ci merasa suka dan juga kasihan sekali kepada pangeran itu. Kalau dibiarkan, ia khawatir pangeran itu akan jatuh sakit. Padahal, waktu itu, ia sendiri seperti kapal kehilangan kemudi, dan hanya pangeran itu yang dipandangnya sebagai juru mudi dan penentu arah hidupnya. Kini, melihat pangeran itu dalam keadaan seperti itu, tenggelam setiap hari dalam kedukaan, tentu saja ia merasa khawatir dan ikut berduka.
Pada suatu senja, ia tidak dapat menahan lagi hatinya ketika melihat Pangeran Cian Bu Ong kembali termenung dan duduk seperti arca di bangku dalam taman. Bukan sedang menulis sajak, tidak pula bersamadhi atau membaca kitab, melainkan termenung seperti patung. Bahkan pangeran yang memiliki kesaktian itu demikian tenggelam dalam renungannya sehingga tidak tahu bahwa Sim Lan Ci memasuki taman dan menghampirinya dengan langkah ringan.
Dalam usianya yang tiga puluh tahun lebih, Sim Lan Ci masih cantik, bahkan lebih cantik karena ia telah menjadi seorang wanita yang masak, digembleng pengalaman manis dan pahit silih berganti. Kalau dulu, sejak gadis ia suka mengenakan pakaian sutera hitam, kini kebiasaan itu diubahnya sejak suaminya tewas. Ia kini selalu mengenakan pakaian dari sutera putih, seolah hendak berkabung selama hidupnya untuk kematian suaminya tercinta!
Ketika ia menghampiri Pangeran Cian Bu Ong dari samping, melihat wajah pangeran itu, ia merasa terharu. Jarang ia dapat mengamati wajah pangeran itu, dan sekarang ia mendapatkan kesempatan, karena Pangeran itu seperti patung, tidak menengok sehingga ia berani mengamati wajah itu. Wajah yang jantan, penuh daya tarik karena membayangkan kekuatan dan kewibawaan sekaligus kelembutan yang diperlunak lagi oleh garis-garis kedukaan. Sudah lama dia membiarkan rambut dan kumis jenggotnya tidak terpelihara awut-awutan, namun tidak mengurangi kejantanannya. Seorang pria yang kuat, yang bersemangat, dan aneh, disamping ilmu kepandaian yang tinggi.
"Pangeran..." Sim Lan Ci memanggil lirih, sambil berhenti dan berdiri dalam jarak tiga meter dari pangeran itu.
Pangeran Cian Bu Ong menoleh perlahan dan mencoba untuk tersenyum ketika melihat siapa yang memanggilnya. "Ah, kiranya engkau, nyonya Sim," katanya lembut. "Ada keperluan apakah engkau mencariku? Aku tidak ingin makan malam sekarang, engkau ajaklah Thian Ki dan Kui Eng untuk makan malam lebih dulu. Nanti kalau sudah lapar, aku akan makan sendiri."
Akan tetapi, Sim Lan Ci tidak pergi, masih berdiri di situ dan memandang kepada Pangeran Cian Bu Ong dengan hati terharu dan merasa kasihan sekali. Pangeran ini selalu bersikap sopan dan halus budi, bahkan selalu menyebutnya nyonya. "Pangeran..."
Senyum itu getir sekali dan Cian Bu Ong mengangkat tangan kirinya ke atas seperti hendak menangkis. "Nyonya yang baik, hentikanlah sebutan itu! Setiap kali aku mendengar sebutan pangeran hatiku seperti ditusuk rasanya. Tidak, aku bukan pangeran lagi. Sudah lama aku bukan pangeran, melainkan pemberontak bagi Kerajaan Tang yang baru, pemberontak yang gagal dan sekarang bahkan hanya menjadi seorang buruan, seorang pelarian..."
Sim Lan Ci merasa ikut pedih hatinya mendengar ucapan itu. "Baiklah, kalau begitu saya akan menyebut Lo-cian-pwe..."
"Aih, jangan nyonya. Aku bukanlah seorang datuk atau tokoh besar di dunia persilatan."
"Kalau begitu, akan saya sebut Cian taihiap (pendekar besar Cian)..."
"Hemm, orang seperti aku ini mana pantas menjadi pendekar besar? Lebih senang hatiku kalau kau sebut aku toako (kakak besar) saja."
"Baiklah, toako. Cian-toako, terimalah hormat adikmu." Lan Ci memberi hormat dengan sikap hormat dan sungguh-sungguh. Karena memberi hormat sambil menunduk, Lan Ci tidak melihat betapa wajah pria itu yang selama beberapa lama ini selalu suram tiba-tiba menjadi cerah berseri.
"Terima kasih, aku senang sekali mendengar sebutan toa-ko itu, nyonya Sim..."
"Aih, toako! Mana ada seorang toako menyebut nyonya kepada adiknya?" Lan Ci cepat menegur sambil tersenyum.
Sepasang mata bekas pangeran itu terbelalak dan senyumnya berkembang menjadi tawa yang bergelak-gelak. Dia bagaikan seorang yang telah menemukan kembali semangatnya dan wanita muda itu memandang dengan hati terharu dan penuh rasa senang.
"Sim Lan Ci, adikku yang baik. Sungguh aku berterima kasih kepadamu, kau telah mendatangkan kebahagiaan besar di dalam hatiku, Ci-moi (adik Ci) dan kuharap engkau tidak akan mencabut kembali harapan dan kebahagiaanku."
"Toako, akupun merasa berbahagia melihat toako dapat tertawa gembira. Selama ini, aku ikut prihatin melihat keadaanmu yang selalu tenggelam dalam duka. Karena itu pula maka aku ingin menemuimu dan bicara denganmu ketika melihat engkau melamun di sini seperti setiap hari kau lakukan, toako. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa peristiwa buruk yang menimpa diri kita, tidak perlu dan tidak ada gunanya kalau kita sedihkan setiap hari! Hidup memang merupakan permainan suka dan duka, kita harus menerima kedua hal itu dengan tabah dan lapang dada. Tentu engkau ingat pula akan keadaan diriku, pangeran... eh toako! Akupun kehilangan keluargaku, dan hidupku bersama Thian Ki sekarang hanya bersandar kepada kemuliaan hatimu belaka. Kalau engkau yang menjadi sandaran kami tenggelam dalam duka, bagaimana pula dengan hati kami. Kami akan kehilangan pegangan..."
Bekas pangeran itu menatap wajah Lan Ci. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat dan seperti hendak saling menjenguk isi hati masing-masing. Sim Lan Ci melihat sinar kagum dan kelembutan yang mengharukan berpencar keluar dari mata yang tajam itu. Baru sekarang ia melihat bekas pangeran itu memandang kepadanya seperti itu, seperti mata pria memandang wanita, dan sepasang pipinya berubah kemerahan yang membuat ia menundukkan mukanya.
"Moi-moi Sim Lan Ci, terima kasih... ah, terima kasih. Engkau telah mengembalikan harapan dan semangatku untuk hidup. Engkau membuka mata hatiku bahwa hidupku masih berguna, karena masih ada orang-orang yang membutuhkan aku. Engkau dan anakmu..."
"Juga Kui Eng, toako." Lan Ci melanjutkan. "Juga manusia-manusia lain di dunia ini karena toako adalah seorang yang budiman dan dermawan. Tenaga dan kemampuanmu masih dibutuhkan banyak orang."
"Tidak, aku hanya mengutamakan engkau, anakmu dan anakku. Aku masih kalian butuhkan?"
"Tentu saja, toako!" Jawab Lan Ci cepat.
"Akupun membutuhkan kalian, terutama engkau. Aku butuh perhatianmu, butuh sentuhan kasih sayang... ah moi-moi Sim Lan Ci, terus terang saja aku sayang kepada anakmu, dan kini tumbuh perasaan cinta di hatiku terhadapmu. Engkau telah memulihkan semangatku, nah, sekarang aku meminangmu, Lan Ci. Maukah engkau menjadi isteriku?"
Sepasang mata Lan Ci terbelalak, mukanya berubah pucat, lalu merah kembali. Lamaran itu datangnya sekonyong-konyong, tak diduganya sama sekali seperti serangan yang amat dahsyat, mengerikan dan membuatnya sejenak bengong terlongong, hanya menatap wajah bekas Pangeran itu tanpa mampu mengeluarkan suara jawaban!
Cian Bu Ong mengangguk-angguk dan tersenyum. "Aku dapat mengerti akan keheranan dan kekagetanmu, Ci-moi. Nampaknya tidak sopan dan tidak pada tempatnya aku melamar seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya. Bahkan aku sendiri yang melamar juga baru saja ditinggal mati isteriku. Akan tetapi, kalau kita saling membutuhkan, apalagi halangannya? Anakmu kusayang seperti anakku sendiri, dan aku tahu bahwa engkau menyayang Kui Eng seperti anakmu sendiri. Adakah cara yang lebih baik daripada kita bergabung menjadi sebuah keluarga yang berbahagia?"
"Tapi... tapi pangeran... eh, Cian-toako... aku masih berkabung, bahkan toako juga..."
"Aku mengerti, moi-moi. Berkabung hanya merupakan tata-cara untuk memperlihatkan kepada umum bahwa kita berduka ditinggal mati orang tercinta. Akan tetapi, berkabung yang sesungguhnya ada di dalam perasaan hati, bukan pakaian. Betapapun juga, aku memberi waktu kepadamu sampai setahun sejak ditinggal mati suamimu. Sekarang telah lewat beberapa bulan, tinggal dua bulan lagi. Nah, biarlah dua bulan kemudian, setelah setahun berkabung engkau memberi jawaban kepadaku. Sekarang, untuk sementara kita lupakan saja lamaranku itu! Aih, perutku terasa lapar sekali sekarang, moi-moi, mari kita makan. Kau cari anak-anak kita, aku akan mandi dulu."
Bukan main girangnya hati Lan Ci. Girang dan berterima kasih. Girang melihat pangeran itu kini mempunyai semangat dan gairah lagi, mengajak makan dan mau mandi, dan berterima kasih bahwa pangeran itu memberi waktu dua bulan lagi kepadanya untuk berpikir-pikir dan mempertimbangkan tentang lamaran itu. Betapa bijaksananya!
Ia lalu lari meninggalkan taman dan pergi mencari Thian Ki dan Kui Eng. Ia melihat mereka bermain-main di kebun belakang rumah. Dilihatnya Thian Ki sedang turun dari sebatang pohon sedangkan Kui Eng berdiri di bawah pohon itu. Karena ingin melihat bagaimana kedua orang anak itu bergaul, Lan Ci menyelinap ke balik semak dan mengintai. Thian Ki turun dan membawa sebuah sarang burung yang kosong.
"Nah, kau lihat sendiri, Kui Eng. Seperti kukatakan tadi, sarang burung ini sudah kosong. Telurnya telah menetas dan anak burung itu sudah pandai terbang," kata Thian Ki kepada Kui Eng sambil memperlihatkan sarang burung kosong yang dibawanya turun dari pohon.
Kui Eng membanting-banting kakinya dan merengek manja. Anak berusia empat tahun lebih itu memang manja sekali. Thian Ki yang baru berusia enam tahun itu sudah pandai mengasuh Kui Eng, bahkan amat sayang kepada anak perempuan itu.
"Aih, jangan marah, adikku yang manis," katanya sambil merangkul dan menuntunnya duduk di atas akar pohon. "Lihat, biarpun sarang burung itu kosong, akan tetapi aku membawakan batu-batu sungai yang indah untukmu."
Ia mengeluarkan beberapa buah batu kecil yang berbentuk bulat dan warnanya mengkilap indah. Kui Eng yang tadinya merengek, menerima mainan itu dengan wajah cerah dan iapun merangkul Thian Ki.
"Suheng (kakak seperguruan), engkau baik sekali. Aku sayang padamu...!"
“Terserah pendapatmu, Cia Ma. Pendeknya, aku tidak mau diserahkan kepada pembesar itu atau kepada siapapun. Kalau engkau sudah tidak mau aku tinggal di sini, biarlah aku pergi mencari ibuku." Cin Cin bersikeras.
Cia Ma kini tidak berpura-pura lagi, tidak bersikap manis dan lembut seperti biasa. Ia marah-marah dan percekcokan itu segera terdengar oleh Coa Tai-Jin yang segera memerintahkan pengawalnya untuk bersiap-siap meninggalkan tempat pelesir itu. Dia merasa malu kalau selagi dia berada di situ terjadi percekcokan. Pengawalnya segera mendatangi Cia Ma, menegurnya karena keributan itu.
"Tidak perlu ribut-ribut. Besok harus kau antarkan anak perempuan itu ke Lok-yang, ke gedung Coa Tai-Jin. Beliau tidak ingin mendengar ribut-ribut. Awas, kalau sampai gagal, engkau akan dihukum berat!"
Menggigil tubuh Cia Ma mendengar ancaman itu dan iapun mengangguk-angguk seperti ayam makan jagung. Rombongan pembesar itu segera meninggalkan rumah pelesir Ang-hwa dan setelah rombongan pergi, Cia Ma mengeluarkan semua rasa hatinya yang panas dan penuh kemarahan terhadap Cin Cin.
Ia mengurung gadis cilik itu di dalam kamarnya dan menyuruh tukang-tukang pukulnya untuk menjaga agar anak itu jangan sampai melarikan diri. Kemudian, ia membuat persiapan, menyewa sebuah kereta dan mempersiapkan pasukan pengawal yang terdiri dari sepuluh orang, dengan Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) sebagai pemimpin.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-gu dan Pek-gu memaksa Cin Cin yang sudah didandani sebagai seorang puteri naik ke dalam kereta. Anak itu meronta dan melawan, akan tetapi dua orang tukang pukul itu meringkusnya dan memondongnya ke dalam kereta.
Karena khawatir anak itu memberontak terus, Hek-gu lalu tinggal di dalam kereta, sedangkan Pek-gu yang memimpin pasukan terdiri dari sepuluh orang tukang pukul itu. Kereta lalu dijalankan, meninggalkan Cia Ma yang sambil senyum-senyum menghitung lagi uang yang ia terima dari Coa Tai-Jin.
********************
"Lepaskan aku! Aku tidak sudi diberikan pembesar itu!"
Cin Cin mencoba untuk meloncat keluar dari dalam kereta, akan tetapi Hek-gu menangkap kedua lengannya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi apa dayanya seorang anak perempuan berusia delapan tahun menghadapi seorang tukang pukul yang kuat seperti Hek-gu. Kedua lengan itu dipegang oleh tangan kiri dan tidak mampu meronta lagi, apa lagi melepaskan diri.
"Heran, setelah terdidik selama tiga tahun engkau kelihatan seperti seorang gadis cilik yang lemah lembut dan pandai menari, ternyata pada dasarnya masih liar," kata Hek-gu dan karena tidak ingin selama dalam perjalanan harus menjaga anak itu dan meringkusnya terus menerus, dia lalu mengeluarkan sabuk sutera dan mengikat kedua lengan anak itu dengan sabuk sutera.
"Nah, engkau tidak akan dapat meronta lagi sekarang," katanya setelah mengikat pula kedua kaki Cin Cin dan mendorong anak itu terduduk di sudut bangku kereta. Dia sendiri lalu melendut di sudut lain, merasa aman karena gadis cilik itu kini tidak dapat membuat ulah lagi. Nanti kalau sudah dekat kota raja, dia harus melepaskan ikatan kakai-tangan Cin Cin. Tentu saja tidak berani dia menghadapkan gadis cilik itu dengan kaki tangan terbelenggu kepada Coa Tai-Jin.
Setelah tiba di tepi selatan Sungai Huang-ho, perjalanan dilanjutkan dengan penyeberangan sungai itu, menggunakan perahu besar. Cin Cin masih dibelenggu dan belenggu kedua tangannya baru dilepas kalau ia dipersilakan untuk makan dan minum. Akan tetapi, anak itu selalu menolak, tidak mau makan atau minum walaupun kini ia diam saja, tidak memberontak lagi. Anak ini maklum bahwa memberontak tidak ada artinya. Ia harus mencari jalan untuk melarikan diri, mencari lowongan kesempatan setiap saat.
Di seberang utara, orang-orang yang disuruh oleh Cia Ma telah siap dengan sebuah kereta lain yang akan membawa Cin Cin dan pengawalnya ke kota raja. Ketika malam tiba, rombongan itu bermalam di sebuah rumah penginapan di kota kecil seperti direncanakan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat lagi. Perjalanan itu cukup jauh, memakan waktu tiga hari tiga malam.
Pada hari ke tiga, kereta berjalan cepat memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Cin Cin nampak tertidur di sudut bangku kereta. Kaki tangannya tetap terbelenggu. Hek-gu kini diganti oleh Pek-gu yang duduk di kereta, sedangkan Hek-gu menunggang kuda seperti pengawal lainnya. Pek-gu yang merasa amat lelah, setelah kini mendapat kesempatan duduk di dalam kereta, apalagi melihat Cin Cin yang dijaganya nampak pulas, diapun merasa mengantuk sekali dan melenggut di sudut bangku yang lain. Dia sama sekali tidak tahu betapa bulu mata anak perempuan itu mulai bergerak-gerak dan sepasang mata yang bening itu mengintai dari balik pelupuk mata yang direnggangkan!
Karena Cin Cin tidak lagi memperlihatkan sikap memberontak, dan nampak lelah sekali karena selama tiga hari ia hanya makan dua tiga kali saja, maka baik Hek-gu maupun Pek-gu menjadi lengah. Mereka menganggap bahwa kini gadis cilik itu telah menyerah dan menerima nasib. Pula apa yang dapat dilakukan anak itu? Melarikan diri jelas tidak mungkin!
Karena kelengahan ini, maka ikatan kedua kaki dan tangannya tidak sekuat dulu. Dengan tekun dan sabar, Cin Cin berusaha membuka ikatan kedua kakinya dengan cara membungkuk dan menggunakan kedua tangannya. Ia berhasil. Ikatannya terlepas. Untuk melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan, tidak mungkin karena jari-jarinya tidak dapat mencapai simpul di pergelangan tangannya. Yang penting kedua kakiku bebas, pikir anak itu. Ia harus melarikan diri sebelum kereta tiba ditempat ramai. Apa lagi setelah memasuki kotaraja, tidak mungkin sama sekali melarikan diri. Sekaranglah saatnya, pikirnya.
Kereta berada di jalan sunyi di tengah hutan dan kedua kakinya sudah bebas. Ia melihat betapa Pek-gu tidur nyenyak, terbukti dari dengkurnya. Cin Cin mengintai dari balik tirai kereta. Hek-gu bersama empat orang pengawal menunggang kuda berada di depan kereta, sedangkan empat orang penjaga lain menunggang kuda di belakang kereta. Kereta itu sendiri ditarik oleh dua ekor kuda, dikendalikan oleh seorang kusir. Sekaranglah saatnya, pikir anak itu. Sekarang atau terlambat!
Ia menanti sampai kereta itu melambat karena harus mendaki sebuah jalan tanjakan di antara semak belukar dan pohon-pohon cemara. Dengan cekatan Cin Cin lalu meloncat keluar dari kereta, dan karena kereta itu sedang berjalan lambat, ia dapat meloncat dengan mudah di sebelah kiri kereta. Sebagai seorang anak yang dahulu pernah mempelajari dasar ilmu silat, loncatan itu tidak membuat Cin Cin terjatuh. Ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, ia lalu lari menyusup ke balik semak belukar!
"Heii! Anak itu lari! Kejar..!" teriak para pengawal yang berada dibelakang kereta.
Teriakan itu mengejutkan Hek-gu yang berada di depan kereta. Pek-gu yang tadinya tertidur, kini terbangun dan kagetlah dia ketika tidak melihat anak perempuan itu di depannya. Diapun meloncat keluar dan bersama para pengawal, diapun melakukan pengejaran. Karena anak itu mengambil jalan diantara semak dan pohon, sepuluh orang pengawal itupun berloncatan turun dari atas kuda mereka dan melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Mereka tentu saja memandang rendah kepada anak perempuan itu, dan menganggap hal itu seperti main-main saja. Mereka mengejar sambil berteriak dan tertawa-tawa, seperti sekawanan anjing serigala mengejar seekor domba!
Memang amat sukar bagi Cin Cin untuk dapat meloloskan diri dari kejaran sepuluh orang tukang pukul itu. Dalam keadaan biasa sekalipun, ia pasti akan dapat tersusul dan ditangkap kembali. Apa lagi kini ia lari dengan kedua tangan masih terikat di depan tubuh sehingga hal ini tentu saja mengurangi kecepatan larinya, karena gerakannya menjadi canggung. Beberapa kali ia terjerembab, akan tetapi dengan nekat anak perempuan ini bangkit lagi dan lari sekuat tenaga.
Belum ada setengah mil Cin Cin melarikan diri, Pek-gu yang marah sekali karena anak perempuan itu melarikan diri ketika dia menjaganya di dalam kereta, telah dapat menangkap pundaknya dari belakang. Cin Cin membalik dan memukulkan tangannya ke arah orang yang menangkapnya. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, Pek-gu telah menangkap pergelangan kedua tangan itu.
"Anak setan, kalau tidak ingat pesan Cia Ma, engkau sudah kupukul!" bentak Pek-gu marah dan diapun memanggul tubuh Cin Cin di atas pundaknya, pengawal lain mentertawakan Pek-gu, akan tetapi Hek-gu menegur kawannya.
"Apa kau ingin kehilangan kepalamu. Menjaga sampai tidak tahu anak itu lari."
"Kujamin sekarang ia tidak akan dapat lari lagi dariku, sampai kita tiba di kota raja." kata Pek-gu mendongkol bukan main kepada Cin Cin.
"Lepaskan aku! Kalian anjing-anjing busuk. Lepaskan aku atau bunuh saja aku.!" Cin Cin berteriak-teriak, akan tetapi ia tidak dapat meronta lagi, kecuali menggeliat-geliat di atas pondongan pundak Pek-gu.
Sepuluh orang itu sambil tertawa-tawa berjalan kembali ke arah jalan di mana kereta itu masih menunggu. Tiba-tiba terdengar suara merdu tanpa kelihatan orangnya, suara seorang wanita.
"Anjing-anjing busuk, apakah kalian tuli? Ia minta dilepaskan, apakah kalian tidak mendengarnya?"
Sepuluh orang itu tentu saja terkejut dan juga heran. Mereka memandang ke kanan kiri dan tidak melihat seorangpun. Di antara mereka sudah menjadi takut dan merasa seram karena menyangka bahwa yang bicara itu tentu setan penunggu hutan! Akan tetapi, Hek-gu dan Pek-gu adalah dua orang jagoan yang tidak mengenal takut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing dan Hek-gu membentak,
"Siapakah yang bicara tadi? Keluar perlihatkan dirimu kalau engkau memang manusia dan bukan setan!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa lirih yang merdu dan nampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping. Sukar menaksir usia wanita ini, nampaknya tidak lebih dari tigapuluh tahun. Rambutnya digelung seperti rambut puteri bangsawan. Pakaiannya dari sutera putih yang halus dan bersih. Sebatang pedang tergantung di punggung, dan pinggang yang ramping itu dililit sehelai cambuk hitam yang seperti ular. Ia tersenyum lebar, nampak deretan giginya berkilat putih, namun sepasang matanya mencorong dan mengandung keganasan yang mengerikan!
"Anak perempuan yang berani, mengapa engkau menjadi tawanan anjing-anjing busuk ini?" terdengar ia bertanya kepada Cin Cin dan semua pengawal itu mengenal suaranya yang tadi terdengar sebelum orangnya nampak.
Biarpun ia dipondong dengan muka di punggung Pek-gu, Cin Cin dapat memutar leher dan melihat wanita cantik itu. Sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah seorang yang lihai, seperti ibu Thian Ki, Sim Lan Ci. Maka, timbullah harapan baginya untuk dapat tertolong dari tangan para tukang pukul ini.
"Bibi yang baik, kau tolonglah aku. Aku akan dijual kepada seorang pembesar di kota raja oleh anjing-anjing buduk ini!"
Wanita cantik itu bukanlah sembarang wanita. Kalau saja Hek-gu dan Pek-gu tahu dengan siapa mereka berhadapan tentu mereka akan lari tunggang-langgang. Nama wanita itu, yaitu nama julukannya, sudah tersohor di seluruh daerah timur, bahkan sampai ke kota raja. Akan tetapi, wanita ini memang jarang muncul di dunia ramai, tidak mau sembarangan memperkenalkan diri.
Padahal ia merupakan seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian yang tinggi. Biarpun nampaknya baru berusia tigapuluhan tahun, namun sesungguhnya usianya sudah limapuluh tahun. Ia terkenal dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis betina Laut Timur), dan namanya adalah Bhok Sui Lan. Namanya demikian tersohor di bagian timur, sehingga semua orang kangouw mengenal nama itu dan takut kepadanya. Oleh karena itu, ia hidup bagaikan seorang ratu di antara para tokoh kangouw, dan dari dunia sesat ia menerima sumbangan dan hadiah yang membuat hidupnya kecukupan sebagai orang wanita yang kaya raya.
Mendengar ucapan Cin Cin, Tung-hai Mo-li mengerutkan alisnya, "Hei, anjing muka putih, engkau sudah mendengar ucapan anak itu? Lepaskan ia sekarang juga!"
"Bibi yang gagah, orang ini bukan anjing muka putih, melainkan Pek-gu (Kerbau Putih)." kata Cin Cin yang timbul keberaniannya.
"Hemm, dia lebih pantas menjadi anjing daripada kerbau," kata pula wanita cantik itu.
Tentu saja Pek-gu marah sekali mendengar ejekan-ejekan itu. Akan tetapi karena yang mengejek dan memakinya adalah seorang wanita cantik, sejak tadi ia bengong dan terkagum kagum. Kini ia melangkah maju dan berkata,
"Ha-ha,manis. Lebih baik engkau menjadi isteriku, daripada engkau mencampuri urusan kami. Sayang kalau kulitmu yang putih mulus itu sampai terluka oleh golokku."
Sepasang mata itu mencorong. "Engkau.. bangkai anjing!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan.
Melihat wanita itu menyerang dengan tangan kosong, Pek-gu memandang rendah. Akan tetapi karena dia tidak ingin Cin Cin dirampas orang, hal yang akan membuat dia dua kali kehilangan anak yang dijaganya, dia mengelebatkan goloknya untuk membabat tangan wanita berpakaian putih itu, tentu saja hanya dengan gerakan ancaman.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan yang menggerakkan golok itu terasa lumpuh, disambar jari tangan wanita itu dan di lain saat, entah secara bagaimana dia tidak tahu, karena gerakan wanita itu terlalu cepat baginya, tubuh Cin Cin sudah terlepas dari atas pundaknya dan anak perempuan itu tahu-tahu telah berdiri di samping wanita baju putih itu!
Kini Pek-gu marah sekali. Dia tidak perduli akan kecantikan wanita baju putih itu. Diputarnya goloknya di kepala dan diapun berteriak, "Kembalikan anak itu kepadaku!"
"Bangkai anjing!" Mo-li (Iblis betina) berseru lembut dan ia bergerak maju memapak Pek-gu yang menyerang dengan bacokan golok. Tangan yang kecil halus itu diangkat menyambut golok dengan begitu saja ia menangkap golok yang nyambar kepalanya. Golok itu berhenti seperti tersedot dan sebelum Pek-gu tahu apa yang terjadi, tangan kiri Mo-li sudah menampar dadanya.
"Plakk!" Tamparan itu kelihatannya tidak keras, akan tetapi akibatnya hebat karena tubuh Pek-gu terjengkang dan ia berkelojotan sebentar lalu terdiam. Tewas dan baju di dadanya seperti terbakar dan nampak bekas telapak tangan di sana!
Tentu saja Hek-gu terkejut dan marah sekali, demikian pula kawan-kawannya. Sembilan orang itu, dengan senjata masing-masing, sudah maju mengeroyok Mo-li. Bagaikan seekor kupu-kupu menari-nari di antara bunga-bunga di taman, tubuh yang berpakaian putih itu berloncatan atau seperti beterbangan dan berturut-turut sembilan orang tukang pukul itu roboh tanpa mengeluarkan suara dan mereka tidak dapat bangun kembali karena setiap kali terkena pukulan, mereka roboh dan tewas!
Semua itu terjadi dalam waktu yang amat singkat sehingga Cin Cin memandang dengan bengong. Kemudian, anak yang cerdik itu merasa yakin bahwa wanita berpakaian putih itu adalah seorang yang sakti, jauh lebih lihai dibandingkan bibi Sim Lan Ci yang pernah ia kagumi.
Ia cepat menghampiri wanita itu dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua kaki wanita itu. "Bibi, selain menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu, aku juga mohon sudilah bibi menerimaku sebagai murid bibi." Tanpa menanti jawaban, langsung saja Cin Cin memberi hormat sambil berlutut sebagaimana layaknya seorang murid memberi hormat kepada gurunya.
"Hemm. kenapa sebelum kuterima kau sebagai murid, engkau sudah menghormatiku sebagai gurumu?"
"Karena aku yakin subo (ibu guru pasti akan menerimaku sebagai murid)!"
Mo-li mengerutkan alisnya. "Eh, bagaimana engkau bisa yakin?"
"Subo telah bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan anjing-anjing ini. Apa artinya pertolongan itu kalau subo tidak menerimaku sebagai murid. Semua jerih payah subo tadi akan sia-sia belaka. Karena itu, aku yakin bahwa subo tentu menolongku untuk menerimaku sebagai murid."
Sepasang mata yang jeli itu terbelalak, kemudian wajah cantik itu membayangkan senyum gembira. Tung-hai Mo-li adalah seorang wanita aneh, seorang datuk sesat. Maka, melihat watak anak perempuan yang tabah, lincah, pandai bicara dan ugal-ugalan ini, timbul rasa suka di hatinya. Ia memang tidak pernah mau menerima murid, dan begitu bertemu dengan Cin Cin, melihat betapa anak perempuan yang tidak berdaya itu berani memaki-maki segerombolan pengawal yang kasar dan jahat, hatinya tertarik dan ia merasa suka sekali.
Dan ucapan anak itu memang benar. Kalau tidak tertarik dan tidak suka kepada anak itu, untuk apa ia turun tangan membunuh sepuluh orang pengawal tadi? Biasanya, ia tidak suka mencampuri urusan orang dan tidak perduli apakah ada kejahatan terjadi di depan hidungnya atau tidak, selama peristiwa itu tidak menyangkut dirinya!
"Siapakah engkau? Dan kenapa engkau menjadi tawanan mereka ini? Ceritakan semua, singkat saja. Aku ingin mengetahui riwayatmu."
"Namaku Kam Cin, biasa disebut Cin Cin, usiaku sekarang delapan tahun. Tiga tahun yang lalu ayahku dibunuh penjahat, ibuku diculik penjahat, seluruh keluargaku dibasmi gerombolan penjahat. Seorang sute dari ayahku mendapat tugas untuk membawa aku pergi mengungsi, akan tetapi di kota Ji-goan, paman yang culas itu menjual aku kepada Cia Ma, pemilik rumah pelesir Ang-hwa. Di sana aku dipelihara dan dididik selama tiga tahun dan hari ini aku oleh Cia Ma dijual kepada seorang pembesar Coa di kota raja. Sepuluh orang ini mengawalku ke rumah pembesar itu dan di tempat ini, aku melihat kesempatan untuk melarikan diri."
Mo-li mendengarkan dengan kagum dan ia melihat sabuk sutera yang masih mengikat kedua tangan gadis kecil itu. "Kenapa baru sekarang engkau melarikan diri dan sampai tiga tahun tinggal rumah kotor itu?" tanyanya ragu.
"Begini, bibi, eh. subo. Ketika aku oleh paman jahanam itu dijual kepada Cia Ma, aku sudah memberontak dan melawan, bahkan aku sempat melarikan diri. Akan tetapi aku tertangkap kembali dan aku lalu menggunakan siasat untuk menurut dan tidak memberontak. Dengan demikian. selain mendapatkan perlakukan wajar, aku diajar pula membaca, menulis dan lain kesenian, dan aku memperoleh kebebasan. Aku selalu mencari kesempatan baik. Siapa kira, nenek gendut itu menjualku kepada pembesar itu. Maka, dalam perjalanan aku nekat mencoba untuk melarikan diri."
Mo-li mengangguk-angguk. Ia suka kepada anak ini, tertarik melihat sikapnya, akan tetapi ia tidak tertarik mendengar riwayatnya, tidak ingin tahu siapa keluarga anak ini yang katanya dibasmi orang jahat. "Baiklah, kalau engkau mau belajar dengan rajin, aku mau mengajarkan ilmuku kepadamu. Akan tetapi sekali saja engkau mengecewakan hatiku atau bermalas-malasan, engkau akan kubunuh!"
Diam-diam bergidik juga hati Cin Cin mendengar ancaman ini, dan ia yang menjadi puteri ketua perkumpulan orang gagah Hek-houw-pang dan banyak mendengar tentang orang-orang kangouw yang aneh, dapat menduga bahwa wanita cantik ini tentu seorang tokoh sesat.
"Baik, subo. Aku akan selalu mentaati perintah subo."
"Nah. majulah ke sini!" kata Mo-li dan begitu Cin Cin melangkah maju, tangannya bergerak.
Cin Cin hanya merasa ada renggutan pada tali yang mengikat kedua tnngannya dan tali sabuk sutera itupun putus! Ia semakin kagum. Gurunya itu tidak kelihatan menyentuh sabuk sutera itu, akan tetapi sabuk itu putus.
"Mari kita pergi!" kata pula Mo-li dengan singkat.
"Nanti dulu, subo."
"Ehh?" Mo-li memandang dengan alis berkerut, matanya mencorong.
Kembali Cin Cin merasa ngeri. Ia harus berhati-hati menghadapi gurunya ini. Salah-salah sekali tangan gurunya bergerak, belum ia tahu apa yang terjadi, ia sudah menggeletak dan tewas seperti sepuluh orang itu!
"Subo, disana masih ada kusir kereta. Apakah dia dibiarkan saja menjadi saksi semua ini?" Ia menuding ke arah jalan di mana nampak sebuah kereta. Pada saat itu, terdengar suara dari kereta itu.
"Heiii! Kenapa lama amat menangkap anak itu? Kalian cepat kembali ke sini agar dapat melanjutkan perjalanan!" Itulah suara kusir kereta.
"Mari kita ke sana!" kata Mo-li sambil berlari ke arah jalan itu, diikuti oleh Cin Cin.
Kusir kereta memandang heran ketika melihat anak perempuan itu datang bersama seorang wanita cantik dan tidak nampak seorangpun di antara pengawal yang melakukan pengejaran tadi. Ketika Mo-li tiba didepannya, kusir itu memandang heran dan kagum.
"Siapa engkau? Mana mereka dan apa yang terjadi?"
Baru saja dia menutup mulutnya, dia terpelanting roboh dari atas kereta, terjungkal dan tewas seketika. Dengan tenang Mo-li berpaling kepada Cin Cin. "Apakah masih ada lagi di antara mereka?"
Cin Cin menelan ludah. Kalau sepuluh orang tadi roboh dibunuh, ia tidak merasa ngeri bahkan bersyukur karena mereka merupakan ancaman baginya. Akan tetapi selama dalam perjalanan kusir kereta itu tidak pernah bersikap galak dan tingkah lakunya tidak seperti sepuluh orang tukang pukul itu. Melihat dia dibunuh seperti itu oleh gurunya, mau tidak mau ia merasa ngeri juga.
Gurunya ini mengingatkan ia akan para penjahat yang mengamuk di Hek-houw-pang. Sekejam mereka, kalau tidak lebih kejam lagi malah. Akan tetapi ia perlu mempelajari ilmu silat tinggi. Kelak ia harus mencari para pembunuh ayahnya, dan mencari penjahat yang menculik ibunya. Tanpa ilmu yang tinggi, ia hanya akan menjadi beban penghinaan orang lain. Ia kelak juga harus mencari Lai Kun, untuk menghukumnya.
Mo-li memilih dua ekor kuda terbaik di antara kuda-kuda yang berada di situ, kemudian mengajak muridnya naik kuda dan pergi dari situ. Ia sama sekali tidak bicara, dan Cin Cin juga tidak bertanya apa-apa, hanya mengikuti gurunya.
********************
The Siong Ki baru berusia enam tahun, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan pemberani. Dalam usia sekecil itu, dia telah kehilangan ayah ibunya. Bahkan dalam keadaan putus asa ditinggalkan orang tuanya, harapannya timbul ketika dia bertemu Poa Liu Hwa, istri pangcu (ketua) Hek-houw pang dan dia diangkat murid oleh Poa Liu Hwa. Akan tetapi, harapan itu hancur kembali ketika dia melihat betapa subo (ibu guru) itu bukan seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi.
Bahkan menghadapi musuhnya menjadi tidak berdaya, dan hal ini mengecewakan hatinya. Apa lagi ketika muncul laki-laki tinggi besar bernama Lie Koan Tek itu, yang menurut keterangan dari pria muda tampan yang menyerang subonya, adalah pembunuh ayahnya, dia diam-diam segera meninggalkan tempat subonya berkelahi. Dia harus pergi, mencari guru yang lebih tangguh dan dia tahu ke mana harus mencari guru yang sakti.
Dia teringat akan pendekar sakti Si Han Beng yang berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning), yang bertempat tinggal di dusun Hong-cun di lembah Huang-ho. Dia tahu bahwa Kam Cin atau Cin Cin, puteri subonya itu sendiri diantar oleh paman gurunya, Lai Kun untuk mengungsi ke Hong-cun dan menjadi murid pendekar sakti itu. Dia akan menyusul ke sana dan dia akan mohon agar diterima menjadi murid, bersama Cin Cin!
Untuk menjamin keselamatannya dalam perjalanan, Siong Ki sengaja membiarkan pakaiannya compang-camping seperti seorang anak jembel. Dengan demikian tidak ada orang yang suka mendekatinya apa lagi mengganggunya. Gangguan orang lain selalu hanya karena yang diganggu memiliki kelebihan, yaitu keindahan pakaian dan uang, ketampanan atau kecantikan wajah, kepandaian dan sebagainya yang menimbulkan iri hati dalam hati orang lain. Siapa yang akan mengganggu seorang anak jembel yang kotor, miskin, bodoh dan papa? Padahal, Siong Ki menyimpan perak cukup banyak, bahkan sedikit emas, untuk bekal.
Dengan cara menghemat, juga tidak sampai ketahuan orang lain kalau dia membelanjakannya, dia dapat melakukan perjalan yang amat jauh itu dengan selamat. Beberapa bulan kemudian, tibalah ia di lembah Huang-ho dan dengan bertanya-tanya, akhirnya dapat juga ia memperoleh keterangan di mana adanya dusun Hong-cun, tempat tinggal pendekar sakti Si Han Beng itu.
Tentu saja ia cukup cerdik untuk tidak menyebut-nyebut nama pendekar itu, karena hal ini akan menimbulkan kecurigaan dan menarik perhatian orang. Tentu mengherankan kalau seorang anak pengemis bertanya-tanya tentang seorang pendekar sakti seperti Huang-ho Sin-liong Si Han Beng itu!
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan lama karena dia mencari-cari dan bertanya-tanya sepanjang jalan, pada siang hari itu Siong Ki berhasil tiba di pekarangan depan rumah pendekar sakti Si Han Beng. Tentu saja setelah tiba di dusun Hong-cun, amat mudah bagi Siong Ki mencari rumah besar itu. Semua orang mengenal keluarga Si ini.
Si Han Beng adalah seorang pendekar sakti, walaupun dia dan keluarganya hidup sederhana sebagai petani di dusun itu. Melihat keadaan keluarganya yang hidup sederhana, tentu tidak ada orang yang menyangka bahwa dia adalah Naga Sakti Sungai Huang-ho yang namanya pernah menggemparkan dunia kangouw, terutama di sepanjang sungai besar itu.
Si Han Beng masih muda, baru dua puluh tujuh tahun usianya, namun dia sudah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa. Tubuhnya tinggi besar dan gagah, wajahnya tampan dan sikapnya pendiam. Pakaiannya sederhana seperti petani biasa. Satu-satunya yang menunjukkan bahwa dia seorang pendekar sakti barangkali adalah matanya. Mata itu mencorong seperti mata seekor seekor naga! Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Si Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, dari Raja Pengemis Sin-ciang Kai-ong, dan terakhir sekali dari pertapa sakti Pek I Tojin. Tidak mengherankan kalau Si Han Beng memiliki ilmu kepandaian yang bebat.
Isterinya juga seorang pendekar wanita yang tingkat kepandaiannya hampir menandingi suaminya. Isterinya bernama Bu Giok Cu, baru berusia duapuluh lima tahun. Wanita ini cantik jelita, lincah jenaka dan cerdik. Ia pernah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dan ganas dari Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), kemudian digembleng oleh Hek Bin Hwesio, seorang pendeta Siauw-Lim-pai yang suka mengembara dan yang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Tiga tahun mereka menikah dan mereka mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Si Hong Lan dengan panggilan sehari-hari Lan Lan. Anak itu kini sudah dua tahun usianya. Seorang anak yang sehat dan mungil.
Dengan jantung berdebar karena tegang, harap-harap cemas, Siong Ki berdiri di pekarangan rumah keluarga Si. Dia mengharapkan akan melihat Kam Cin di situ. Kalau saja Cin Cin yang lebih dahulu keluar dan melihatnya, tentu anak perempuan itu akan mengenalnya. Karena mereka adalah kawan bermain sejak kecil. Dan perjumpaan itu tentu akan memudahkan dia untuk menghadap pendekar sakti Si Han Beng, untuk mohon agar diterima sebagai murid, seperti halnya Cin Cin.
Akan tetapi yang keluar adalah seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti pelayan. Melihat seorang anak laki-laki berpakaian jembel berdiri di pekarangan, laki-laki itu menghampiri dan menegurnya.
"Mau apa engkau berdiri di sini? Ayo cepat pergi, anak malas!"
Siong Ki mengamati orang itu. Pasti bukan pendekar sakti Si Han Beng pikirnya. Menurut cerita yang didenngarnya, pendekar besar itu belum ada tiga puluh tahun usianya, sedangkan pria ini sedikitnya tentu empat puluh tahun. Dan teguran itu demikian kakunya, begitu bertemu, tanpa alasan dia dimaki sebagai anak malas.
"Paman, aku bukan anak pemalas," ia membantah.
Orang itu mendekat dan matanya memancarkan kemarahan. "Apa? Engkau bukan anak pemalas? Lihat pakaianmu. Engkau seorang pengemis, bukan? Semua pengemis yang bertubuh sehat dan tidak cacat adalah pemalas! Tidak mau bekerja. Engkau tentu bukan anak dusun ini, karena di sini tidak ada pengemis. Hayo cepat pergi, jangan berdiri saja di pekarangan ini. Lebih baik engkau segera keluar dari dusun ini karena takkan ada seorangpun suka memberi derma kepada seorang pemalas!"
Wajah Siong Ki berubah kemerahan. Dia marah sekali, akan tetapi dia masih dapat menahan kesabarannya, karena tengingat bahwa dia telah berada di pekarangan rumah pendekar yang dia harapkan suka menerimanya sebagai murid.
"Paman, kuharap paman jangan menilai seseorang dari pakaiannya. Aku melakukan perjalanan jauh dan demi keamanan di dalam perjalanan, aku sengaja mengenakan pakaian yang butut agar disangka pengemis dan tidak diganggu orang. Aku bukan pemalas, dan tidak pernah minta-minta, paman. Kalau paman tidak percaya, ini masih ada sisa bekalku untuk biaya perjalananku."
Dia mengeluarkan kantung kecil di mana masih ada dua potong emas dan beberapa potong perak. Ketika dia membuka kantong kecil itu dan memperlihatkan isinya orang itu tercengang, akan tetapi pandang matanya terhadap Siong Ki berubah. Kini penuh perhatian dan tertarik.
"Hemm, anak yang aneh, siapakah kau dan mengapa pula engkau datang ke sini?"
"Panjang ceritanya, paman. Aku datang ke sini untuk menghadap tai-hiap (Pendekar besar) Si Han Beng. Kalau paman seorang di antara para penghuni rumah ini, kuharap paman suka memberitahukan kepada Si-taihiap bahwa aku mohon menghadap."
"Nanti dulu, tidak begitu mudah untuk bertemu dengan Si-taihiap, apalagi seorang anak kecil seperti engkau. Katakan dulu siapa nama mu, dan dari mana engkau datang sehingga aku akan mempertimbangkan apakah sudah pantas kulaporkan kepadanya tentang kunjunganmu."
Kini tahulah Siong Ki bahwa orang ini adalah seorang pelayan, atau setidaknya seorang pembantu dari keluarga Si, maka giranglah hatinya dan diapun bersikap lebih ramah dan sopan. "Paman yang baik, terima kasih sebelumnya atas kebaikanmu. Namaku adalah The Siong Ki. Harap paman laporkan kepada Si Tai-hiap bahwa ayahku adalah murid Hek-houw-pang, suheng dari ketua Hek-houw-pang dan bahwa kedatanganku membawa berita yang amat penting tentang Hek-houw-pang. Kukira Si tai-hiap nanti sudi untuk menerimaku menghadap, paman."
Pembantu itu mengangguk-angguk, "Aku pernah mendengar tentang Hek-houw-pang. Baik, akan kulaporkan kepada Taihiap. Kau tunggulah di sini, Siong Ki."
"Terima kasih, paman."
Pembantu itu masuk ke dalam melalui pintu samping dari mana tadi dia keluar dan Siong Ki menanti dengan jantung berdebar tegang. Kalau Cin Cin sudah berada di situ, tentu keluarga Si sudah mendengar tentang malapetaka yang menimpa Hek-houw-pang, dan namanya tentu akan dikenal Cin Cin dan mereka tentu akan menerimanya dengan baik.
Andaikata Cin Cin belum tiba di situ, hal yang tidak mungkin karena tentu anak perempuan yang diantar oleh susioknya Lai Kun, tentu dapat melakukan perjalanan lebih cepat darinya, maka dengan mendengar nama Hek houw-pang, pendekar itu tentu akan tertarik pula dan suka menerimanya.
Dugaan Siong Ki memang benar. Begitu Si Han Beng dan isterinya, Bu Giok Cu, mendengar laporan pembantu mereka bahwa di luar ada seorang anak laki-laki berusia enam tujuh tahun bernama The Siong Ki yang mengaku sebagai murid keponakan ketua Hek-houw-pang, suami isteri pendekar itu segera keluar menyambut. Bu Giok Cu menggendong putrinya, Lan Lan yang berusia dua tahun lebih. Akan tetapi, suami isteri itu merasa heran ketika melihat bahwa yang berada di luar hanya seorang anak laki-laki yang melihat keadaan diri dan pakaiannya, jelas seorang jembel atau pengemis kotor!
Pembantu mereka tadi tidak atau belum menceritakan keadaan anak itu. Melihat munculnya seorang pria muda tinggi besar dan gagah yang pakaiannya sederhana seperti petani, bersama seorang wanita menggendong anak perempuan berusia dua tahun, dan wanita itu cantik dan bermata tajam, Siong Ki tidak merasa ragu lagi. Tentu ini yang bernama Si Han Beng dan berjuluk Naga Sakti Sungai Huangho itu! Tanpa ragu lagi ia lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.
"Saya The Siong Ki menghaturkan hormat saya kepada Tai-hiap Si Han Beng berdua, dan mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu taihiap."
Si Han Beng dan Bu Giok Cu saling pandang. Sikap anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang jembel biasa. "Anak baik, kami tidak mengenalmu. Benarkah engkau dari Hek-houw-pang? Kalau benar demikian, mengapa engkau datang kesini minta berjumpa dengan kami?"
Siong Ki masih berlutut. "Taihiap ayah saya bernama The Ci Kok dan dia adalah suheng dari Hek-houw-pang Pangcu Kam Seng Hin. Hek-houw-pang tertimpa malapetaka, tentu taihiap berdua sudah mendengar akan hal itu dari adik Cin Cin."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Bu Giok Cu yang berkata, "Apa maksudmu, Siong Ki? Siapa itu Cin Cin? Kami belum mendengar apa-apa tentang Hek-houw-pang."
Suaminya cepat menambahkan. "Siong mari kita masuk ke dalam dan kau ceritakan apa yang telah terjadi."
Bukan main girangnya hati Siong Ki. Seperti telah digambarkannya, ternyata suami isteri pendekar itu ramah. Dia mengikuti mereka masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu dan diam-diam dia merasa heran mengapa tidak nampak Cin Cin keluar menyambutnya. Apa lagi tadi isteri pendekar itu mengatakan tidak mengenal Cin Cin. Sungguh aneh! Ini berarti bahwa Cin Cin belum tiba di tempat itu. Mereka memasuki ruangan dalam dan Giok Cu menyuruh Siong Ki duduk lalu berkata,
"Engkau lapar dan ingin makan dulu sebelum bercerita?" Suaminya mengangguk membenarkan karena diapun merasa kasihan kepada anak yang keadaannya seperti seorang anak jembel itu.
Wajah Siong Ki berubah merah dan diam-diam dia merasa mendongkol juga. Akan tetapi dia dapat memaklumi. Suami isteri ini tentu menganggap dia telah menjadi pengemis yang terlantar dan kelaparan. "Terima kasih, tadi saya sudah membeli sarapan pagi sebelum berkunjung ke sini."
Mendengar ini, suami isteri itu kembali saling pandang. Seorang anak jembel membeli sarapan pagi? Ganjil sekali! "Hemm, engkau mempunyai uang untuk membeli sarapan?" tanya Han Beng yang merasa heran.
Dengan tenang Siong Ki mengeluarkan lagi kantung kain dan membuka kantung itu memperlihatkan isinya. Suami isteri itu terbelalak. Emas dan perak dalam kantung itu memang cukup untuk membeli makanan selama berbulan-bulan!
"Hemm, engkau mempunyai uang akan tetapi mengenakan pakaian jembel? Siong Ki, apa artinya ini dan mengapa pula engkau meninggalkan Hek-houw-pang dan melakukan perjalanan jauh sampai ke sini?"
"Taihiap, sebelum saya menjawab, harap beri tahukan lebih dulu kepada saya, apakah adik Kam Cin, puteri susiok, yaitu ketua Hek-houw-pang, belum tiba di sini?"
Suami isteri itu menggeleng kepala, Si Han Beng memang tidak mempunyai hubungan dengan Hek-houw-pang, akan tetapi karena dia merupakan adik angkat dari Coa Siang Lee, dan Siang Lee adalah keturunan keluarga Coa yang menjadi pimpinan Hek-houw-pang, maka dia mengenal Hek-houw-pang.
"Tidak ada dari Hek-houw-pang yang datang ke sini sebelum engkau. Siong Ki duduklah yang baik dan ceritakan segala apa yang terjadi di Hek-houw-pang. Kaubilang tadi Hek-houw-pang tertimpa malapetaka?"
Siong Ki lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi, betapa Hek-houw-pang diserbu gerombolan pemberontak, anak buah pemberontak Cian Bu Ong, karena Hek-houw-pang membantu pemerintahan kerajaan baru untuk mengamankan daerah.
"Dalam penyerbuan yang dilakukan oleh penjahat-penjahat yang berkepandaian tinggi itu, hampir semua anggota Hek-houw-pang terbasmi dan tewas. Pangcu Kam Seng Hin sendiri tewas. Juga ayah saya, The Ci Kok, suheng dari pangcu, tewas oleh gerombolan sehingga saya menjadi yatim-piatu karena ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Di antara puluhan orang anggota Hek-houw-pang yang tewas, juga terdapat susiok (paman guru) Coa Siang Lee yang kebetulan datang bertamu bersama isteri dan puteranya..."
"Ahhh...!!" Si Han Beng berseru kaget bukan main mendengar bahwa kakak angkatnya juga tewas dalam pertempuran ketika Hek-houw-pang diserbu para pemberontak. "Kanda Coa Siang Lee tewas...? Bagaimana dengan isterinya, enci Sim Lan Ci dan putera mereka. Coa Thian Ki?"
"Menurut keterangan yang melihatnya, ibu dan anak itu diculik dan dilarikan penjahat."
"Ahhhh...!" Si Han Beng semakin terkejut dan juga khawatir mendengar ini. "Dan bagaimana dengan kakek Coa Song...?"
"Kakek meninggal dunia karena duka dan sakit setelah terjadi peristiwa yang mendatangkan malapetaka bagi Hek-houw-pang itu. Sebelum meninggal, kakek Coa Song berpesan agar cucunya, yaitu adik Kam Cin yang selamat dari pembasmian itu, diantar ke sini untuk berguru kepada ji-wi. Yang mengantarkan adik Cin Cin adalah susiok Lai Kun. Sungguh aneh sekali mengapa mereka belum juga tiba di sini, sedangkan saya yang berangkat beberapa hari kemudian dan melakukan perjalanan sukar dan lambat, bisa sampai di sini lebih dulu."
"Siong Ki, engkau yang sudah yatim piatu, mengapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu di Ta-bun-cung dan bersusah payah datang ke tempat ini yang sangat jauh?" Si Han Beng bertanya sambil memandang tajam.
Mendengar pertanyaan ini, Siong Ki tampak sedih sekali. "Taihiap, tadinya saya ingin membunuh diri saja di depan makam ayah. Saya sudah putus asa, tidak mempunyai keluarga lagi, dan untuk membalas kematian ayah dan semua saudara Hek-houw-pang, saya tidak memiliki kemampuan. Ketika saya berada di makam, tiba-tiba muncul bibi Poa Liu Hoa, yaitu isteri mendiang susiok Kam Seng Hin. Ia membujuk saya dan saya mau diangkat menjadi muridnya. Lalu kami pergi, hendak menyusul adik Cin Cin ke sini. Akan tetapi di tengah perjalanan kami bertemu dengan perampok dan melihat bibi Poa Liu Hwa tidak mampu melawan para penjahat, saya pikir tidak ada gunanya menjadi muridnya. Maka, saya lalu melarikan diri dan seorang diri melakukan perjalanan ke sini. Agar aman dalam perjalanan, saya menyamar sebagai seorang pengemis, dan menggunakan uang peninggalan ayah, saya akhirnya dapat menghadap taihiap disini."
Kembali suami isteri itu saling pandang. Diam-diam mereka merasa kagum. Seorang anak berusia enam tujuh tahun berani menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri saja dan berhasil mencapai tujuan. Ini membutuhkan keberanian dan keteguhan hati, besarnya semangat dan tahan uji. Seorang anak yang baik.
"Dan apa maksudmu datang menghadap kami di sini?" tanya pula Han Beng.
Mendengar pertanyaan ini, Siong Ki tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Beng dan menangis. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena dia sudah dapat menguatkan hatinya lalu berkata, "Saya mohon taihiap sudi menerima saya sebagai murid. Tujuan hidup saya hanya satu, yaitu kelak kalau sudah memiliki kepandaian, saya akan mencari para pembunuh ayah dan pembasmi Hek-houw-pang untuk membalas dendam. Saya mau bekerja apa saja, menjadi pelayan, pembantu atau apa saja, asal taihiap sudi menerima saya menjadi murid."
Kembali suami isteri itu saling pandang. Sebetulnya, mereka tidak mempunyai niat untuk menerima murid. Mereka mengambil keputusan untuk mewariskan semua kepandaian mereka kelak kepada Lan Lan, puteri dan anak mereka satu-satunya, kecuali kalau kelak mereka mendapatkan anak lagi. Mereka hanya akan menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada anak-anak mereka.
Akan tetapi, melihat kesungguhan hati Siong Ki, dan mengingat akan nasib anak itu, hati Han Beng merasa tidak tega untuk menolaknya. Apa lagi, anak itu baik dan teguh hati, tabah dan kelak dapat menjadi pengasuh dan kawan bermain Lan Lan yang membutuhkan contoh anak lain yang lebih tua dan yang berwatak baik. Maka diapun memberi isyarat dengan mata pada isterinya, kemudian berkata dengan suara yang tegas.
"The Siong Ki, melihat keadaanmu aku dapat menerimamu sebagai murid, hanya dengan beberapa syarat. Sanggupkah engkau memenuhi syarat-syarat itu, mentaatinya dan sanggup menerima hukumannya kalau melanggar?"
Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang dalam hati anak itu. Dia lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahinya di lantai. "Teecu (murid) The Siong Ki bersumpah bahwa teecu akan mentaati semua perintah suhu akan memenuhi semua syarat yang suhu ajukan dan sanggup pula menerima hukumannya kalau kelak teecu melanggar."
Si Han Beng tersenyum. Wajahnya cerah. Anak ini tanpa diminta bahkan telah bersumpah. Hal ini membuktikan kesungguhan hatinya. "Dengar baik-baik syaratku. Pertama semua ceritamu tentang keadaan dirimu tadi tidak bohong dan benar. Kedua, engkau harus belajar dengan rajin dan mentaati semua perintahku. Ke tiga, engkau tidak boleh mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan kepadamu untuk berbuat jahat dan sewenang-wenang. Ke empat, engkau harus dapat menjadi teladan anak kami Si Hong Lan ini, menyayang dan mengasuhnya, dan kelak membantu dan melindunginya seperti adikmu sendiri. Nah, kalau engkau melanggar satu di antara empat syarat itu, kelak aku akan menghukummu dan mencabut semua ilmu darimu dengan membuatmu cacat seumur hidup!"
Tanpa ragu Siong Ki mengangguk. "Teecu sanggup memenuhi semua syarat itu dan menanggung hukumannya kalau melanggar!"
"Bagus! Mulai saat ini, aku adalah suhumu. Akan tetapi ingat, hanya aku yang menjadi gurumu. Isteriku tidak akan mengajarmu, dan engkau panggil bibi kepadanya, bukan subo (ibu guru)!"
"Baik, suhu."
Han Beng sengaja mengeluarkan janji itu, karena dia berhati-hati. Kelak bagaimanapun juga, tingkat kepandaian anak-anaknya harus lebih tinggi daripada tingkat kepandaian muridnya. Sehingga kalau dia dan isterinya sudah tidak ada, anak-anaknya akan mampu mengendalikan muridnya kalau-kalau dia menyeleweng.
Kalau dia seorang diri yang mengajarkan ilmu kepada Siong Ki sedangkan anak-anak mereka kelak menerima gemblengan dari dia dan isterinya maka tentu Siong Ki tidak akan mampu menandingi anak mereka yang menguasai ilmu gabungan mereka, biarpun andaikata Siong Ki memiliki bakat yang lebih baik. Ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian isterinya jauh berbeda, dari dua aliran yang sama sekali berbeda dan memiliki kehebatan masing-masing.
Demikianlah, mulai hari itu, Siong Ki menjadi murid Si Han Beng dan tinggal di rumah pendekar itu. Dan dia memang merupakan seorang anak yang amat menyenangkan hati Si Han Beng dan Bu Giok Cu karena dia rajin bukan main. Dia mau mengerjakan apa saja, membereskan rumah dan pekarangan, bekerja di sawah ladang, bahkan mengajak Lan Lan bermain. Maka, Han Beng juga dengan sungguh hati mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Siong Ki.
Tentang malapetaka yang menimpa Hek-houw-pang Han Beng dan Giok Cu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka ikut prihatin dan malam itu juga, Han Beng membuat sembahyang untuk arwah kakak angkatnya, Coa Siang Lee, dan mengundang pendeta dari kuil untuk mengatur upacaranya. Hanya itu yang dapat dia lakukan.
********************
Ketika Kerajaan Sui jatuh oleh pemberontakan Li Si Bin dalam tahun 614 dan kaisar terakhir Kerajaan Sui yang bernama Yang Ti melarikan diri ke daerah Yang-couw dan kemudian dibunuh oleh kaum pemberontak, maka Li Si Bin lalu mendirikan wangsa baru, yaitu kerajaan Tang. Li Si Bin pula yang membujuk ayahnya yang bernama Li Goan, untuk naik tahta menjadi kaisar pertama dari kerajaan baru Tang, dan berjuluk Kaisar Tang Kao Cu.
Ada dua hal yang menjadi tujuan dari siasat Li Si Bin mengangkat ayahnya sebagai kaisar ini. Pertama, untuk darma-bakti kepada ayahnya dan hal seperti ini amat dihargai oleh rakyat dan kedua, dia akan dapat lebih memusatkan tenaga, waktu dan perhatiann untuk memimpin pasukannya menaklukkan seluruh daerah.
Kalau dia yang menjadi kaisar, tentu dia tidak begitu leluasa melakukan perang terhadap para pemberontak yang mula-mula tidak mau mengakui kerajaan baru Tang sebagai yang dipertuan. Akan tetapi, dengan ayahnya menjadi kaisar yang mengatur roda pemerintahan, sedangkan dia sendiri menjadi panglima besar yang menggerakkan aksi-aksi pembersihan, maka dia dapat bekerja sepenuh hati.
Siasat ini berhasil baik. Dalam waktu beberapa tahun saja, seluruh wilayah kekuasaan yang tadinya dimiliki Kerajaan Sui, telah dapat direbutnya dan semua pemberontak atau sisa-sisa kekuatan yang masih setia terhadap Kerajaan Sui yang sudah runtuh, atau kekuatan-kekuatan yang ingin berdiri sendiri dan tidak mau tunduk kepada kerajaan baru Tang, dapat dihancurkan dan ditundukkan.
Bahkan semua perlawanan yang dilakukan oleh Cian Bu Ong, bekas pangeran kerajaan Sui, dapat pula dilumpuhkan, Pangeran Cian Bu Ong kekurangan pendukung, maka tidak mungkin dia dapat melawan kekuatan pasukan besar Kerajaan Tang. Akhirnya, Pangeran Cian Bu Ong terpaksa melarikan diri dan menghentikan usahanya untuk menegakkan kembali kerajaan Sui.
Sim Lan Ci yang sudah kematian suaminya, ketika melihat bahwa Pangeran Cian Bu Ong benar-benar seorang pangeran yang setia kepada Kerajaan Sui dan berusaha menegakkan kembali kerajaan itu, membantu sekuat tenaga. Sim Lan Ci merasa berhutang budi kepada pangeran ini, dan karena Pangeran Cian Bu Ong bersikap sopan dan baik kepadanya, bahkan bersikap menyayang kepada puteranya, Coa Thian Ki yang diangkat menjadi murid pangeran itu, ikut pula melarikan diri mengungsi bersama sang Pangeran ke barat, ke daerah perbatasan Tibet di mana kekuasaan Kerajaan Tang tidaklah begitu kuat.
Pangeran Cian Bu Ong tinggal di sebuah lereng bukit dimana dia membangun sebuah rumah besaa dan hidup dengan aman. Biarpun pangeran ini dapat hidup serba kecukupan karena dia membawa harta yang cukup banyak, namun setelah pindah ke daerah barat itu bersama Sim Lan Ci dan Thian Ki, setiap hari dia hanya termenung di dalam taman bunga yang dibuatnya sendiri. Pangeran yang berusia lima puluh dua tahun ini setiap hari hanya membaca sajak sambil minum arak di taman, atau duduk melamun di ruangan belakang.
Tubuhnya yang tinggi besar itu mulai kurus, mukanya yang biasanya kemerahan menjadi agak pucat dan sinar matanya selalu redup. Kekalahan yang dideritanya, dan mengingat akan runtuhnya Kerajaan Sui dan terbasminya keluarga kaisar, juga terbunuhnya keluarganya sehingga kini hanya tinggal Cian Kui Eng seorang, anak perempuannya yang baru berusia empat tahun dan yang amat dekat dengan Sim Lan Ci. Dia hidup kesepian dan patah semangat.
Sim Lan Ci merasa suka dan juga kasihan sekali kepada pangeran itu. Kalau dibiarkan, ia khawatir pangeran itu akan jatuh sakit. Padahal, waktu itu, ia sendiri seperti kapal kehilangan kemudi, dan hanya pangeran itu yang dipandangnya sebagai juru mudi dan penentu arah hidupnya. Kini, melihat pangeran itu dalam keadaan seperti itu, tenggelam setiap hari dalam kedukaan, tentu saja ia merasa khawatir dan ikut berduka.
Pada suatu senja, ia tidak dapat menahan lagi hatinya ketika melihat Pangeran Cian Bu Ong kembali termenung dan duduk seperti arca di bangku dalam taman. Bukan sedang menulis sajak, tidak pula bersamadhi atau membaca kitab, melainkan termenung seperti patung. Bahkan pangeran yang memiliki kesaktian itu demikian tenggelam dalam renungannya sehingga tidak tahu bahwa Sim Lan Ci memasuki taman dan menghampirinya dengan langkah ringan.
Dalam usianya yang tiga puluh tahun lebih, Sim Lan Ci masih cantik, bahkan lebih cantik karena ia telah menjadi seorang wanita yang masak, digembleng pengalaman manis dan pahit silih berganti. Kalau dulu, sejak gadis ia suka mengenakan pakaian sutera hitam, kini kebiasaan itu diubahnya sejak suaminya tewas. Ia kini selalu mengenakan pakaian dari sutera putih, seolah hendak berkabung selama hidupnya untuk kematian suaminya tercinta!
Ketika ia menghampiri Pangeran Cian Bu Ong dari samping, melihat wajah pangeran itu, ia merasa terharu. Jarang ia dapat mengamati wajah pangeran itu, dan sekarang ia mendapatkan kesempatan, karena Pangeran itu seperti patung, tidak menengok sehingga ia berani mengamati wajah itu. Wajah yang jantan, penuh daya tarik karena membayangkan kekuatan dan kewibawaan sekaligus kelembutan yang diperlunak lagi oleh garis-garis kedukaan. Sudah lama dia membiarkan rambut dan kumis jenggotnya tidak terpelihara awut-awutan, namun tidak mengurangi kejantanannya. Seorang pria yang kuat, yang bersemangat, dan aneh, disamping ilmu kepandaian yang tinggi.
"Pangeran..." Sim Lan Ci memanggil lirih, sambil berhenti dan berdiri dalam jarak tiga meter dari pangeran itu.
Pangeran Cian Bu Ong menoleh perlahan dan mencoba untuk tersenyum ketika melihat siapa yang memanggilnya. "Ah, kiranya engkau, nyonya Sim," katanya lembut. "Ada keperluan apakah engkau mencariku? Aku tidak ingin makan malam sekarang, engkau ajaklah Thian Ki dan Kui Eng untuk makan malam lebih dulu. Nanti kalau sudah lapar, aku akan makan sendiri."
Akan tetapi, Sim Lan Ci tidak pergi, masih berdiri di situ dan memandang kepada Pangeran Cian Bu Ong dengan hati terharu dan merasa kasihan sekali. Pangeran ini selalu bersikap sopan dan halus budi, bahkan selalu menyebutnya nyonya. "Pangeran..."
Senyum itu getir sekali dan Cian Bu Ong mengangkat tangan kirinya ke atas seperti hendak menangkis. "Nyonya yang baik, hentikanlah sebutan itu! Setiap kali aku mendengar sebutan pangeran hatiku seperti ditusuk rasanya. Tidak, aku bukan pangeran lagi. Sudah lama aku bukan pangeran, melainkan pemberontak bagi Kerajaan Tang yang baru, pemberontak yang gagal dan sekarang bahkan hanya menjadi seorang buruan, seorang pelarian..."
Sim Lan Ci merasa ikut pedih hatinya mendengar ucapan itu. "Baiklah, kalau begitu saya akan menyebut Lo-cian-pwe..."
"Aih, jangan nyonya. Aku bukanlah seorang datuk atau tokoh besar di dunia persilatan."
"Kalau begitu, akan saya sebut Cian taihiap (pendekar besar Cian)..."
"Hemm, orang seperti aku ini mana pantas menjadi pendekar besar? Lebih senang hatiku kalau kau sebut aku toako (kakak besar) saja."
"Baiklah, toako. Cian-toako, terimalah hormat adikmu." Lan Ci memberi hormat dengan sikap hormat dan sungguh-sungguh. Karena memberi hormat sambil menunduk, Lan Ci tidak melihat betapa wajah pria itu yang selama beberapa lama ini selalu suram tiba-tiba menjadi cerah berseri.
"Terima kasih, aku senang sekali mendengar sebutan toa-ko itu, nyonya Sim..."
"Aih, toako! Mana ada seorang toako menyebut nyonya kepada adiknya?" Lan Ci cepat menegur sambil tersenyum.
Sepasang mata bekas pangeran itu terbelalak dan senyumnya berkembang menjadi tawa yang bergelak-gelak. Dia bagaikan seorang yang telah menemukan kembali semangatnya dan wanita muda itu memandang dengan hati terharu dan penuh rasa senang.
"Sim Lan Ci, adikku yang baik. Sungguh aku berterima kasih kepadamu, kau telah mendatangkan kebahagiaan besar di dalam hatiku, Ci-moi (adik Ci) dan kuharap engkau tidak akan mencabut kembali harapan dan kebahagiaanku."
"Toako, akupun merasa berbahagia melihat toako dapat tertawa gembira. Selama ini, aku ikut prihatin melihat keadaanmu yang selalu tenggelam dalam duka. Karena itu pula maka aku ingin menemuimu dan bicara denganmu ketika melihat engkau melamun di sini seperti setiap hari kau lakukan, toako. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa peristiwa buruk yang menimpa diri kita, tidak perlu dan tidak ada gunanya kalau kita sedihkan setiap hari! Hidup memang merupakan permainan suka dan duka, kita harus menerima kedua hal itu dengan tabah dan lapang dada. Tentu engkau ingat pula akan keadaan diriku, pangeran... eh toako! Akupun kehilangan keluargaku, dan hidupku bersama Thian Ki sekarang hanya bersandar kepada kemuliaan hatimu belaka. Kalau engkau yang menjadi sandaran kami tenggelam dalam duka, bagaimana pula dengan hati kami. Kami akan kehilangan pegangan..."
Bekas pangeran itu menatap wajah Lan Ci. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat dan seperti hendak saling menjenguk isi hati masing-masing. Sim Lan Ci melihat sinar kagum dan kelembutan yang mengharukan berpencar keluar dari mata yang tajam itu. Baru sekarang ia melihat bekas pangeran itu memandang kepadanya seperti itu, seperti mata pria memandang wanita, dan sepasang pipinya berubah kemerahan yang membuat ia menundukkan mukanya.
"Moi-moi Sim Lan Ci, terima kasih... ah, terima kasih. Engkau telah mengembalikan harapan dan semangatku untuk hidup. Engkau membuka mata hatiku bahwa hidupku masih berguna, karena masih ada orang-orang yang membutuhkan aku. Engkau dan anakmu..."
"Juga Kui Eng, toako." Lan Ci melanjutkan. "Juga manusia-manusia lain di dunia ini karena toako adalah seorang yang budiman dan dermawan. Tenaga dan kemampuanmu masih dibutuhkan banyak orang."
"Tidak, aku hanya mengutamakan engkau, anakmu dan anakku. Aku masih kalian butuhkan?"
"Tentu saja, toako!" Jawab Lan Ci cepat.
"Akupun membutuhkan kalian, terutama engkau. Aku butuh perhatianmu, butuh sentuhan kasih sayang... ah moi-moi Sim Lan Ci, terus terang saja aku sayang kepada anakmu, dan kini tumbuh perasaan cinta di hatiku terhadapmu. Engkau telah memulihkan semangatku, nah, sekarang aku meminangmu, Lan Ci. Maukah engkau menjadi isteriku?"
Sepasang mata Lan Ci terbelalak, mukanya berubah pucat, lalu merah kembali. Lamaran itu datangnya sekonyong-konyong, tak diduganya sama sekali seperti serangan yang amat dahsyat, mengerikan dan membuatnya sejenak bengong terlongong, hanya menatap wajah bekas Pangeran itu tanpa mampu mengeluarkan suara jawaban!
Cian Bu Ong mengangguk-angguk dan tersenyum. "Aku dapat mengerti akan keheranan dan kekagetanmu, Ci-moi. Nampaknya tidak sopan dan tidak pada tempatnya aku melamar seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya. Bahkan aku sendiri yang melamar juga baru saja ditinggal mati isteriku. Akan tetapi, kalau kita saling membutuhkan, apalagi halangannya? Anakmu kusayang seperti anakku sendiri, dan aku tahu bahwa engkau menyayang Kui Eng seperti anakmu sendiri. Adakah cara yang lebih baik daripada kita bergabung menjadi sebuah keluarga yang berbahagia?"
"Tapi... tapi pangeran... eh, Cian-toako... aku masih berkabung, bahkan toako juga..."
"Aku mengerti, moi-moi. Berkabung hanya merupakan tata-cara untuk memperlihatkan kepada umum bahwa kita berduka ditinggal mati orang tercinta. Akan tetapi, berkabung yang sesungguhnya ada di dalam perasaan hati, bukan pakaian. Betapapun juga, aku memberi waktu kepadamu sampai setahun sejak ditinggal mati suamimu. Sekarang telah lewat beberapa bulan, tinggal dua bulan lagi. Nah, biarlah dua bulan kemudian, setelah setahun berkabung engkau memberi jawaban kepadaku. Sekarang, untuk sementara kita lupakan saja lamaranku itu! Aih, perutku terasa lapar sekali sekarang, moi-moi, mari kita makan. Kau cari anak-anak kita, aku akan mandi dulu."
Bukan main girangnya hati Lan Ci. Girang dan berterima kasih. Girang melihat pangeran itu kini mempunyai semangat dan gairah lagi, mengajak makan dan mau mandi, dan berterima kasih bahwa pangeran itu memberi waktu dua bulan lagi kepadanya untuk berpikir-pikir dan mempertimbangkan tentang lamaran itu. Betapa bijaksananya!
Ia lalu lari meninggalkan taman dan pergi mencari Thian Ki dan Kui Eng. Ia melihat mereka bermain-main di kebun belakang rumah. Dilihatnya Thian Ki sedang turun dari sebatang pohon sedangkan Kui Eng berdiri di bawah pohon itu. Karena ingin melihat bagaimana kedua orang anak itu bergaul, Lan Ci menyelinap ke balik semak dan mengintai. Thian Ki turun dan membawa sebuah sarang burung yang kosong.
"Nah, kau lihat sendiri, Kui Eng. Seperti kukatakan tadi, sarang burung ini sudah kosong. Telurnya telah menetas dan anak burung itu sudah pandai terbang," kata Thian Ki kepada Kui Eng sambil memperlihatkan sarang burung kosong yang dibawanya turun dari pohon.
Kui Eng membanting-banting kakinya dan merengek manja. Anak berusia empat tahun lebih itu memang manja sekali. Thian Ki yang baru berusia enam tahun itu sudah pandai mengasuh Kui Eng, bahkan amat sayang kepada anak perempuan itu.
"Aih, jangan marah, adikku yang manis," katanya sambil merangkul dan menuntunnya duduk di atas akar pohon. "Lihat, biarpun sarang burung itu kosong, akan tetapi aku membawakan batu-batu sungai yang indah untukmu."
Ia mengeluarkan beberapa buah batu kecil yang berbentuk bulat dan warnanya mengkilap indah. Kui Eng yang tadinya merengek, menerima mainan itu dengan wajah cerah dan iapun merangkul Thian Ki.
"Suheng (kakak seperguruan), engkau baik sekali. Aku sayang padamu...!"