"Aku pernah menyewa kamar ini selama seminggu. Tidurkanlah anakmu, di sini tenang." kata Hong San.
Dengan hati lega dan berterima kasih Bi Lan lalu memasuki kamar itu, menidurkan Lan Lan di atas pembaringan dan melepaskan buntalannya, meletakkannya di atas meja. Setelah menyalakan sebatang lilin lagi untuk menambah penerangan di kamar itu, iapun keluar dari dalam kamar.
"Baik, kongcu, aku akan berusaha mendapatkan apa yang kau cari itu. Nah, aku akan pergi sekarang juga. Nyonya, beristirahatlah, saya hendak pergi dulu mencarikan kuda dan kereta yang dipesan kongcu." Petani itu menjura ke arah Bi Lan, lalu keluar dari pondok, menutupkan daun pintunya dengan hati-hati dari luar.
Bi Lan kini duduk menghadapi meja bersama Hong San setelah pemuda itu mempersilakannya duduk. Mereka saling berpandangan, dan keduanya kagum. Di bawah sinar lampu yang remang-remang mereka saling mengagumi wajah masing-masing. Hong San melihat betapa wajah yang bulat itu berkulit putih mulus, juga leher dan tangan itu. Putih mulus yang wajar. Hidung yang mancung kecil itu mungil dan mata itu bagaikan sepasang bintang, gemerlapan tajam.
Di lain pihak, Bi Lan juga kagum. Pemuda yang usianya sekitar duapuluh tujuh tahun itu memang tampan dan gagah. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, sederhana namun bersih. Caping lebar yang tadi dipergunakannya, kini tergantung di dinding. Wajah itu jantan. Hidungnya mancung dan besar, matanya tajam agak terlalu hitam, dan bibirnya kemerahan seperti bibir wanita, akan tetapi lebih besar dan penuh gairah. Kulitnya agak coklat dan wajah itu membayangkan ketampanan orang dari daerah barat. Hal ini tidak aneh karena Can Hong San memang berdarah Nepal. Ibu kandungnya seorang puteri Nepal!
"Nah, sekarang kuharap engkau suka memperkenalkan dirimu, nyonya, tentu saja kalau engkau percaya kepadaku."
Bi Lan menarik napas panjang. "Tentu saja aku percaya kepadamu, tai-hiap...!"
"Nanti dulu, nyonya!" Hong San menghentikan dengan mengangkat tangan kanan ke atas. "Harap engkau tidak menyebut aku tai-hiap, sungguh hanya membuat aku merasa malu dan canggung!" Lalu ia menatap tajam wajah yang manis itu. "Maukah engkau menyebut aku toako (kakak) saja? Namaku Hong San dan aku sama sekali tidak suka disebut tai-hiap (pendekar besar), apa lagi oleh seorang wanita perkasa seperti nyonya."
Bi Lan tersenyum. "Hemm, engkau melarangku menyebutmu tai-hiap, akan tetapi engkau sendiri menyebut aku nyonya! Seharusnya aku menyebut tuan kepadamu, akan tetapi engkau ingin aku menyebut toako. Kalau aku menyebut kakak, apa sebutan seorang kakak terhadap adiknya?"
Hong San tertawa gembira. Biarpun tidak banyak bicara, ternyata wanita ini dapat diajak berkelakar. "Baiklah, aku akan menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Aneh, seorang kakak tidak tahu nama adiknya!"
"Toako, namaku Bi Lan, Kwa Bi Lan."
"Hemmm, nama yang indah sekali!"
"Kiranya selain gagah perkasa, engkau juga seorang perayu, toako. Namaku biasa saja engkau katakan indah."
"Maaf, Lan-moi. Aku bukan bermaksud merayu, hanya... ah, sudahlah, aku hanya berkelakar, lanjutkan bicaramu."
"Bicara apa lagi? Sudah kuperkenalkan namaku. Aku Kwa Bi Lan dan anakku itu, namanya Lan Lan."
"Dan siapa nama suamimu? Di mana tempat tinggalmu dan kenapa engkau melakukan perjalanan berdua saja dengan anakmu yang masih kecil? Darimana dan hendak ke manakah engkau pergi, Lan-moi?"
Bi Lan melirik ke arah wajah pemuda itu, tersenyum sedih. Orang ini demikian memperhatikan dirinya dan pertanyaannya datang seperti banjir saja. "Toako, engkau ingin tahu segalanya, akan tetapi engkau tidak mau menceritakan segalanya tentang dirimu sendiri. Engkau hanya memperkenalkan namamu, dan akupun sudah membalas dengan memperkenalkan nama kami. Kalau ingin mendengar tentang keadaan dan keluargaku, tidakkah sepatutnya kalau seorang laki-laki lebih dahulu menceritakan tentang dirinya?"
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau kalah, itu tandanya engkau belum percaya benar kepadaku. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang diriku, akan tetapi tidak ada yang menarik tentang diriku. Aku berusia duapuluh tujuh tahun, aku hidup sebatangkara, belum pernah menikah, yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga seorangpun. Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Seorang kelana yang tidak mempunyai apa-apa. Guruku adalah ayahku sendiri yang sudah meninggal dunia, bernama Can Siok. Selama ini aku hanya mengembara, kemana saja hati dan kaki ini membawaku. Nah, hanya inilah cerita tentang diriku, Lan-moi. Sama sekali tidak menarik, bukan?"
Bi Lan mendengarkan dengan heran. Seorang pemuda yang begini tampan gagah, berilmu tinggi, usianya sudah sangat dewasa, kenapa hidup seorang diri saja dan tidak menikah? Tentu seorang pendekar petualang ynng selalu ingin hidup bebas!
"Eh? Kenapa engkau diam saja, Lan-moi? Aku sudah siap mendengarkan cerita tentang dirimu!"
Bi Lan menghela napas panjang. "Kalau engkau mengatakan bahwa riwayatmu tidak menarik, sebaliknya riwayatku lebih buruk lagi, malah hanya menyedihkan saja."
"Yang sudah lalu hanya menjadi kenangan, Lan-moi, tidak ada gunanya disedihkan lagi. Nah, ceritakanlah, aku ingin sekali mendengar agar perkenalan antara kita menjadi lebih akrab."
"Akupun hidup berdua saja dengan anakku Lan Lan. Sekarang inipun aku masih belum mempunyai tempat tinggal yang tetap." Bi Lan berhenti seolah-olah cerita tentang dirinya habis sekian saja.
"Tapi, suamimu...?" Hong San mendesak. "Dan siapa pula gurumu, orang tuamu?"
"Kedua orang tuaku sudah lama meninggal dunia. Dan suamiku, dia juga guruku sendiri, dia sudah meninggal dunia..."
Mendengar suara yang mengandung duka itu, Hong San menarik napas panjang dan diam-diam dia menekan perasaan girangnya mendengar bahwa wanita ini adalah seorang janda! "Aih, maafkan pertanyaanku tadi, Lan-moi. Siapa kira, semuda ini engkau telah ditinggal mati suami dan hidup berdua saja dengan seorang puteri. Kalau boleh aku bertanya, siapakah nama mendiang suamimu? Kalau dia menjadi gurumu, tentu dia lihai sekali."
"Nama mendiang suami dan juga guruku adalah Liu Bhok Ki..."
Hong San terbelalak dan dia demikian terkejut sehingga bangkit berdiri dari kursinya. "Dia...? Kau maksudkan Sin-tiauw (Si Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki?"
Melihat kekagetan pemuda itu, Bi Lan tidak merasa heran. Nama besar mendiang suaminya memang amat terkenal di dunia persilatan. Iapun mengangguk bangga.
"Aihhhh, pantas kalau begitu," kata Hong San sambil duduk kembali dan memandang kagum. "Pantas kalau engkau memiliki ilmu silat yang lihai. Kiranya murid dan juga isteri Si Rajawali Sakti. Akan tetapi, maaf Lan-moi. Kulihat tadi dalam gerakan silatmu ada dasar ilmu silat Siauw-lim-pai."
"Penglihatanmu tajam sekali, toako dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaianmu sudah sangat tinggi. Memang, sebelum aku menjadi murid suamiku, aku pernah mempelajari ilmu silat Siau-lim-pai."
"Hebat...! Murid Siauw-lim-pai yang kemudian menjadi murid Si Rajawali Sakti! Aku girang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Lan-moi! Lalu kemana engkau hendak pergi?"
Sampai lama Bi Lan berdiam diri. Ia sendiri tidak dapat menjawab karena memang ia tidak tahu kemana ia akan pergi! Ia telah menculik Lan Lan dan ia tidak berani kembali ke rumah suaminya di Kim-hong-san, karena tentu Si Han Beng dan Bu Giok Cu akan mencari anak mereka dan mengejarnya kesana! Dan ia pasti tidak akan mampu mempertahankan kalau mereka itu merampas Lan Lan.
Ilmu kepandaian mereka terlampau tinggi baginya. Melawan Bu Giok Cu saja ia tidak akan menang, apalagi melawan Si Han Beng dan lebih-lebih menghadapi mereka berdua! Dan ia sudah jatuh cinta kepada anak itu yang kini menyebut ibu kepadanya. Ia tidak mempunyai suatu tempat untuk pergi, maka pertanyaaan Hong San membuat ia bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kemudian ia teringat kepada pamannya Lie Koan Tek. Daripada tidak dapat menjawab, dia lalu berkata.
"Aku masih mempunyai seorang paman, saudara dari mendiang ibuku. Aku akan mencari pamanku itu, toako."
"Siapakah pamanmu itu?"
"Dia seorang tokoh Siauw-lim-pai namanya Lie Koan Tek."
"Lie Koan Tek...?" Hong San terbelalak. Terbayanglah kini ketika dia bertempur melawan Lie Koan Tek, dikeroyok oleh Poa Liu Hwa isteri mendiang Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang, kemudian muncul seorang gadis perkasa dan... Hong San terbelalak. "Ahhhhh....!!"
Dia meloncat dari tempat duduknya, bangkit berdiri dan memandang kepada Bi Lan dengan kaget. Inilah gadis yang dulu membantu Lie Koan Tek dan Poa Liu Hwa!
"Ada apakah, toako? Engkau kelihatan terkejut sekali."
Hong Sen cepat mengerahkan tenaga untuk menenangkan hatinya dan wajahnya yang tadi berubah agak pucat itu menjadi merah kembali. Dia bukan terkejut mendengar nama Lie Koan Tek, melainkan terkejut ketika teringat bahwa gadis inilah yang dulu pernah membantu Lio Koan Tek mengeroyoknya. Tak dapat dia membayangkan bagaimana akan sikap wanita ini kalau mengenalnya!
"Aku memang terkejut mendengar nama pamanmu. Tentu saja aku mengenal nama itu. Yang mengejutkan adalah karena engkau hendak mencarinya. Padahal menurut pendengaranku, pamanmu adalah seorang pelarian dan buruan pemerintah! Kabarnya dia telah melarikan diri dari penjara, bahkan membantu gerakan pemberontak. Bagaimana engkau akan mencari pamanmu yang sedang diburu pemerintah?"
Bi Lan menarik napas panjang. Tentu saja ia tahu akan hal itu dan kalau tadi ia mengatakan hendak mencari pamannya, hal itu dilakukan hanya agar dapat menjawab pertanyaan Hong San saja. "Aku tahu akan hal itu, toako. Akan tetapi... aku tidak tahu lain tempat lagi yang dapat kuharapkan menjadi tempat tinggalku. Aku akan berkelana saja..." katanya sedih.
Hong San tersenyum. Dia sudah mampu menguasai dirinya lagi. Jelas bahwa Bi Lan tidak ingat kepadanya. Pertemuan antara mereka hanya terjadi sebentar saja, dan itupun dalam pertempuran, sehingga wanita ini tidak mengenal dan tidak mengingatnya sama sekali. Betapapun juga, dia harus berhati-hati dan ada sesuatu yang tidak nyaman rasanya di hati setelah dia mengetahui siapa wanita ini. Kalau sampai Bi Lan mengenalnya!
"Lan-moi, kalau engkau hidup seorang diri, kiranya tiada salahnya menjadi seorang pengelana seperti aku ini. Akan tetapi ingat, engkau mempunyai seorang puteri yang masih kecil. Tidak mungkin akan mengajaknya berkelana tanpa tujuan? Tidak baik bagi pendidikan puterimu."
"Aku mengerti, toako. Akan tetapi apa dayaku? Aku tidak tahu ke mana harus pergi."
Hening sejenak. Hong San tidak mau tergesa-gesa. Dia harus mengakui bahwa setelah kini wanita itu duduk di depannya, dekat dan di bawah sinar lampu sehingga dia dapat mengamati wajah itu dengan jelas. Setelah wanita itu bicara, apalagi setelah mendengar bahwa wanita itu seorang janda muda yang hidup sebatangkara, hatinya semakin tertarik dan dia tahu bahwa sekali ini dia jatuh cinta!
Belum pernah perasaan seperti ini menguasai hatinya. Biasanya terhadap wanita cantik, hanya berahinya yang timbul. Akan tetapi sekali ini lain. Dia ingin memiliki Bi Lan seluruhnya dan sepenuhnya, untuk selamanya. Dia ingin menyenangkan hati wanita ini, membahagiakannya, dan dia ingin berdampingan selamanya! Dia ingin membuat wajah yang manis ini selalu tersenyum dan cerah berseri. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Kalau janda ini sampai dapat menjenguk dan mengetahui latar belakang kehidupannya! Dia ngeri membayangkan akibatnya.
Tiba-tiba dia seperti dipaksa oleh sesuatu mengangkat mukanya menatap wanita itu. Dan ternyata wanita itupun sedang memandang kepadanya. Agaknya pandang mata wanita itulah yang tadi menyentuh perasaannya dan membuatnya mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertaut sejenak, lalu Bi Lan menundukkan mukanya.
"Lan-moi, apakah engkau percaya kepadaku?" tiba-tiba Hong San bertanya.
"Eh? Kenapa, toako? Tentu saja aku percaya padamu. Engkau adalah penolongku."
"Kita baru saja bertemu, engkau belum mengenal benar siapa diriku, dan orang macam apa adanya aku. Mungkin saja aku ini seorang penipu, seorang penjahat..."
"Aih, jangan mengada-ada, toako. Aku yakin bahwa engkau seorang yang baik budi, gagah perkasa, dan..."
"Belum tentu, Lan-moi. Di dunia ini, di mana ada manusia sempurna tanpa salah? Akupun, sebagai manusia biasa, pernah melakukan kesalahan, pernah tersesat dan berdosa..."
"Sudahlah, toako. Apa sebetulnya yang hendak kau katakan maka engkau bertanya apakah aku percaya kepadamu? Aku percaya! Nah, lalu apa?"
Hong San menelan ludah. Baru sekarang dia merasa begini gugup dan tegang! "Begini, Lan-moi... Biarpun kita baru saja saling bertemu secara kebetulan dan saling berkenalan, namun rasanya bagiku engkau seorang sahabat lama dan kita saling percaya. Engkau dan puterimu hidup sebatangkara, dan akupun demikian. Maukah engkau kalau aku mencarikan sebuah tempat tinggal untuk engkau dan anakmu di mana engkau akan hidup dengan tenang dan tenteram?"
Sejenak Bi Lan hanya memandang wajah pemuda itu. Sungguh luar biasa kalau ada kenalan baru hendak menolongnya seperti itu! Ia merasa terharu, akan tetapi juga heran. "Can-toako, kita baru saja berkenalan dan engkau sudah bersikap begini baik kepada kami. Seorang anggota keluarga sendiri belum tentu sebaik engkau! Kenapa engkau begini baik kepada kami dan ingin mencarikan tempat tinggal untuk kami? Kenapa, toako?"
Menghadapi sepasang mata yang bersinar tajam, yang memandangnya penuh selidik ini, Hong San tidak tahan menentang terlalu lama. Dia khawatir kalau sinar mata itu akan mampu menjenguk dan melihat latar belakang kehidupannya yang lalu! Dia lalu menunduk, menghela napas panjang beberapa kali sebelum menjawab dengun sukar.
"Kenapa aku ingin menolongmu? Ah kenapa, ya? Mungkin karena aku merasa kasihan sekali kepadamu dan kepada puterimu, Lan-moi. Sejak kita saling jumpa ketika engkau dikeroyok perampok itu sudah timbul perasaan yang luar biasa dalam hatiku. Aku tidak berani mengatakan... eh, cinta, itu akan terlalu lancang karena kita baru saja berkenalan. Akan tetapi, aku merasa kasihan dan ingin menolongmu, membantumu, membahagiakan engkau dan anakmu, Lan-moi. Maafkan kelancanganku ini..."
Sejenak Bi Lan berdiam diri, menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Ia meneliti perasaan sendiri, merasa kagum kepada laki-laki ini, kagum dan berterima kasih. Akan tetapi laki-laki ini menyinggung soal cinta dan untuk itu, ia harus menjenguk lebih dalam dan ini membutuhkan waktu untuk dapat menentukan.
"Toako, tidak perlu meminta maaf. Orang-orang seperti kita memang sebaiknya kalau berterus terang secara jujur," katanya.
"Terima kasih, Lan-moi. Memang sebaiknya begitu, aku tadi hanya takut kalau sampai menyinggung perasaanmu. Aku tidak berani mengatakan cinta karena selama ini aku belum pernah jatuh cinta kepada seorang wanitapun. Banyak wanita yang menarik, akan tetapi belum pernah aku merasakan jatuh cinta. Akan tetapi yang jelas, aku merasa kasihan dan sayang kepadamu. Terimalah uluran tanganku untuk membantumu, Lan-moi. Tentu saja, kalau engkau percaya kepadaku. Kalau engkau tidak percaya dan menyangka ada maksud tertentu yang buruk dalam hatiku terhadap dirimu, tentu aku tidak akan berani memaksamu."
Kalaupun ada keraguan di hati Bi Lan, maka keraguan itu tentu akan lenyap setelah mendengar ucapan pemuda itu yang demikian "jujur" dan meyakinkan. "Bagaimana aku berani menolak niat baikmu, toako? Apa lagi engkau tadi sudah menyuruh pemilik rumah ini mencarikan kuda dan kereta. Aku berterima kasih dan menerima uluran tanganmu, akan tetapi dengan satu syarat, yaitu bahwa kalau kelak aku merasa tidak cocok dengan tempat itu atau denganmu, aku akan membawa anakku pergi mengambil jalanku sendiri, dan harap engkau tidak menuduh aku tidak mengenal budi."
Hong San tertawa dengan gembira, wajahnya berseri. "Tentu saja, Lan-moi. Tentu saja engkau bebas untuk menentukan langkahmu sendiri. Aku sudah merasa cukup bangga dan puas bahwa kau dapat mempercayaiku!"
Pemilik rumah itu datang memberi laporan bahwa ada seorang penduduk dusun yang mau menjual kudanya, adapun keretanya dapat dibeli di kota Peng-lu. Karena pembelian mendadak dan tergesa-gesa, tentu saja Hong San harus membayar hampir dua kali lipat harga umum. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebuah kereta meninggalkan dusun itu, dikusiri oleh Hong San. Bi Lan dan Lan Lan duduk di dalam kereta yang dilarikan dengan cepat. Mereka menuju ke kota raja!
"Akan tetapi, kenapa ke kota raja? Apakah engkau mempunyai keluarga di sana, toako? Ataukah sahabat?" Bi Lan bertanya ketika malam itu mereka berhenti di sebuah dusun di luar kota raja Tiang-an.
"Di kota raja yang ramai kita dapat dengan mudah mencari rumah tinggal yang baik, Lan-moi. Juga daerah paling aman sekarang ini adalah di kota raja. Selain itu, di kota besar ini kita akan dapat mencari penghasilan dengan mudah. Aku sendiri dapat berdagang, atau juga mencoba untuk mendapatkan kedudukan."
Bi Lan diam saja. Ia tidak dapat banyak memilih dan menyerahkan saja pada pemuda ini. Sikap yang selalu sopan dan ramah dari pemuda ini memang membuat ia percaya sepenuhnya. Akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah ia dapat membalas kasih sayang pemuda itu kepadanya. Ada sesuatu yang membuatnya ragu. Pemuda ini seperti menyimpan suatu rahasia, dan kadang sikapnya aneh dan tidak wajar. Juga, sepasang mata yang terlalu hitam dari pemuda itu kadang-kadang membuatnya merasa ngeri. Kadang-kadang ia seperti melihat sinar yang aneh, penuh kekejaman. Kadang sinar yang dingin dan acuh, akan tetapi segera berubah lagi menjadi ramah, memancar dari sepasang mata itu.
"Lan-moi, sebelum kita memasuki kota raja, ada sesuatu yang perlu kau tahui dan aku memerlukan bantuanmu."
Setelah mereka agak lama berdiam diri Hong San bicara dengan suara halus dan lirih, seolah dia tidak ingin ada orang lain mendengar ucapannya. Bi Lan mengerutkan alisnya dan mengangkat muka, memandang kepada pemuda itu. Sinar mata pemuda itu nampak mengandung kecerdikan, akan tetapi juga kekhawatiran.
"Ada apakah, toako? Katakanlah, dan tentu saja aku siap membantumu."
"Ketahuilah, Lan-moi, bahwa kerajaan Tang yang sekarang ini, yang baru tiga empat tahun berdiri, dahulunya merupakan pemberontak-pemberontak terhadap Kerajaan Sui."
"Tentu saja," kata Bi Lan. "Setiap kerajaan atau pemerintahan baru yang merebut pemerintahan lama tadinya adalah pemberontak."
"Nah, ketika Panglima Li Si Bin memimpin pasukan pemberontak, aku pernah membantu pasukan Kerajaan Sui untuk menentang pemberontak. Akan tetapi pasukan pemerintah gagal dan kalah. Kaisar Yang Ti melarikan diri dan akupun meninggalkan pasukan pemerintah."
Bi Lan tidak merasa heran. Dalam suasana perang saudara seperti itu, banyak orang terlibat, dan diapun tahu bahwa banyak pendekar yang dahulu membantu Kerajaan Sui untuk melawan pemberontak yang kemudian memperoleh kemenangan dan kini menjadi Kerajaan Tang yang baru."
"Lalu mengapa, toako? Hal itu adalah wajar saja."
"Akan tetapi, namaku telah dikenal oleh mereka, Lan-moi. Karena kini mereka yang berkuasa, maka tentu akan ditangkap sebagai sisa pengikut kaisar lama, kalau mereka mengetahui bahwa aku berada di kota raja."
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Kalau sudah begitu, kenapa engkau malah mengajakku ke kota raja, toako?"
"Kurasa Panglima Li Si Bin dan ayahnya yang kini menjadi Kaisar Tang Kao Cu, hanya mengenal namaku saja, tidak pernah melihat orangnya. Kalau aku berganti nama, kiraku tidak akan ada yang tahu bahwa aku dahulu membantu kerajaan Sui untuk menentang mereka. Karena itu, aku mengharapkan bantuanmu Lan-moi, agar engkau memaklumi pergantian namaku. Aku akan menggunakan nama Siauw Can saja sehingga engkau masih tetap menyebutku Can-toako."
Bi Lan tersenyum. "Baik, toako. Nama baru itu sebetulnya tidak baru. Siauw Can berarti Can Muda, jadi engkau masih tetap mempergunakan nama keturunmu, hanya nama kecil Hong San saja yang tidak kau pergunakan."
"Engkau benar, Lan-moi. Akan tetapi dengan menggunakan nama Siauw Can, orang akan menganggap bahwa nama keturunanku adalah Siauw, dan nama kecilku Can. Dengan demikian, akan aman, bukan?"
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka meninggalkan dusun itu. Seperti biasa, Hong San atau sekarang kita sebut saja Siauw Can menjadi kusir. Bi Lan dan Lan Lan berada di dalam kereta. Sengaja Bi Lan membuka tirai pintu agar dia dan Lan Lan dapat melihat keadaan di sepanjang jalan. Makin mendekati pintu gerbang kota raja, semakin ramailah jalan raya itu.
Agaknya para penduduk dusun banyak yang membawa barang dagangan mereka, hasil sawah ladang dan hasil sungai ke pasar di kota raja. Para petani yang memikul barang dagangan mereka atau yang mendorong dengan kereta, berbondong-bondong memasuki pintu gerbang selatan. Banyak pula wanita dusun yang membawa barang dagangan, ada yang memikul, ada yang membawa keranjang.
Siauw Can menjalankan keretanya perlahan-lahan. Jalan raya menuju ke kota raja itu cukup lebar, akan tetapi karena banyaknya orang yang lalu lalang berbondong-bondong, dia harus menjalankan keretanya dengan hati-hati. Tiba-tiba nampak betapa orang-orang itu mempercepat jalan mereka, bahkan nampak tergesa-gesa dan wajah mereka membayangkan ketakutan. Melihat hal ini, Bi Lan berkata dari dalam kereta.
"Can-toako, apakah yang terjadi? Orang-orang itu nampak ketakutan!"
Siauw Can membawa keretanya ke tepi jalan dan berhenti. "Akupun tidak tahu mengapa, Lan-moi. Biar kutanyakan kepada mereka."
Dari atas keretanya Siauw Can lalu bertanya kepada seorang petani yang memikul ketelanya. "Paman, apakah yang terjadi? Kenapa kalian kelihatan ketakutan?"
Petani itu menengok, akan tetapi tidak menjawab, melainkan dengan telunjuk kirinya dia menuding ke arah depan dan melanjutkan perjalanannya dengan tergesa-gesa. Siauw Can dan Bi Lan memandang ke arah yang ditunjuk. Mereka kini melihat serombongan orang, tujuh orang jumlahnya, berjalan melenggang sambil tertawa-tawa.
Mereka itu bukan orang Han, karena pakaian mereka berbeda. Berjubah panjang dengan sepatu kulit yang tinggi, dan kepala merekapun tertutup topi bulu. Mereka adalah orang-orang Turki! Di pinggang mereka tergantung golok melengkung. Rata-rata mereka berwajah tampan dengan kumis melintang, usia antara tigapuluh sampai empat puluh tahun. Seorang di antara mereka yang berusia empatpuluhan tahun, dengan codet atau bekas luka di pipi kanan, memegang sebatang cambuk hitam.
Agaknya mereka inilah yang menimbulkan suasana ketakutan karena semua orang yang menuju ke kota raja dan berpapasan dengan tujuh orang ini, semua lalu minggir dan bahkan menyeberang untuk mengambil sisi lain agar jangan sampai berpapasan dekat dengan tujuh orang itu. Seorang petani yang membawa sepikul kentang, berhenti di dekat kereta. Dia sudah tua, usianya sudah enampuluh tahun lebih. Dia berhenti untuk menghapus keringatnya. Seluruh tubuh atas yang tidak berbaju itu penuh keringat, juga wajah petani itu nampak gelisah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Can untuk turun dari atas kereta mendekati petani itu.
"Paman, kami bukan orang sini. Tolong beri tahu kenapa semua orang ketakutan melihat tujuh orang asing itu?" tanyanya.
Dengan wajah ketakutan petani itu memandang kepada Siauw Can, kemudian menjenguk ke dalam kereta. "Kalau begitu, sebaiknya kongcu cepat pergi dari sini, membawa kereta ini jauh-jauh. Mereka itu orang orang Turki yang sering membikin ribut, apalagi urusan wanita cantik!" Dengan tergesa-gesa diapun cepat memikul dagangannya, menyeberang dan melanjutkan perjalanannya.
"Tar-tar-tarrr..." terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, disusul jerit suara wanita.
Siauw Can dan Bi Lan cepat mengangkat muka memandang. Kiranya si codet pemegang cambuk tadi telah menggerakkan cambuk secara luar biasa sekali. Cambuk itu menyambar-nyambar ke arah seorang wanita dusun, masih muda, antara duapuluh lima tahun usianya, dengan wajah sederhana. Cambuk itu menyambar-nyambar tanpa melukai wanita itu, akan tetapi merobek-robek baju atasnya sehingga kini wanita itu menjerit-jerit dengan tubuh atas telanjang bulat! Tentu saja ia menggunakan kedua lengan untuk memeluk dadanya, berlari ketakutan sambil menangis. Tujuh orang itu tertawa bergelak melihat hal itu, seolah-olah melihat sesuatu yang lucu.
"Bedebah...!" Bi Lan menyumpah dengan muka berubah merah sekali. Kini mengertilah ia mengapa semua orang ketakutan melihat tujuh orang asing itu. Kiranya mereka adalah orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang tanpa ada yang berani menentang! Ia pun menduga bahwa wanita tadi memang hanya dihina saja, dibuat lelucon. Andaikata wanita itu cantik, tentu akan lain jadinya dan ngeri ia membayangkan apa yang pernah dilakukan tujuh orang ini terhadap wanita dusun yang cantik.
Bi Lan memaki sambil meloncat turun dari kereta. Suaranya terdengar oleh tujuh orang itu dan mereka menengok. Sejenak mereka itu tertegun, tak mengira di tempat itu akan melihat seorang wanita muda secantik itu turun dari kereta. Kemudian, mereka bicara dan tertawa-tawa. Entah apa yang mereka bicarakan, Bi Lan tidak mengerti karena mereka mempergunakan Bahasa Turki. Sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menghampiri Bi Lan yang memondong Lan Lan.
Si codet, yang agaknya menjadi pemimpin rombongan orang Turki itu, kini menghadapi Bi Lan dan matanya yang bulat dan hitam itu seperti hendak menelan wanita di depannya bulat-bulat. Agaknya mereka juga melihat bahwa wanita cantik itu bukan keluarga pejabat karena selain kereta itu kereta biasa, juga tidak ada pengawal, dan kusirnya seorang pemuda berpakaian biasa. Kalau terhadap keluarga pejabat, tentu mereka tidak akan berani bertindak sembarangan.
"Nona manis, dari mana dan hendak ke mana? Marilah kami menjadi pengantar dan pengawal nona!" katanya dengan logat yang aneh dan lucu.
"Heh-heh, nona boleh pilih di antara kami, siapa yang berkenan di hati nona? Pilih saja aku yang paling jantan di antara kami, ha-ha-ha" kata orang ke dua. Orang ini memang nampak jantan, dengan kumis yang indah dan jenggot yang terpelihara rapi, tumbuh dari bawah telinga dengan lebat sekali!
"Kalian ini orang-orang biadab! Kalian tadi menghina seorang wanita, dan sekarang berani mengganggu aku? Agaknya kalian memang sudah bosan hidup, ya? Anjing-anjing liar, pergilah sebelum aku menghajar kalian!" Bi Lan masih menahan kesabarannya karena Siauw Can berkedip kepadanya minta agar ia bersabar.
Tentu saja ucapan Bi Lan membuat tujuh orang itu terbelalak. Belum pernah ada orang, apa lagi wanita, berani menghina mereka, memaki mereka seperti itu! Si codet memberi kesempatan kepada si brewok tadi dalam bahasa mereka, dan sambil menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih berkilat si brewok melangkah maju mendekati Bi Lan. Wanita ini maklum bahwa tentu tujuh orang itu akan membuat ribut, maka ia lalu menyerahkan Lan Lan kepada Siauw Can.
"Can toako, tolong kau pondong dulu Lan Lan, aku akan menghajar anjing-anjing keparat ini!"
Melihat betapa wajah Bi Lan sudah menjadi merah sekali dan sinar matanya mencorong, Siauw Can khawatir kalau-kalau Bi Lan melakukan pembunuhan sehingga akan menggegerkan kota raja. Dia menerima Lan Lan dan berkata, "Jangan lupa diri sampai membunuh, Lan-moi."
Bi Lan tersenyum. Biarpun ia marah sekali, akan tetapi iapun maklum bahwa melakukan pembunuhan di tempat umum dekat kota raja tentu akan mendatangkan keributan. Ia tidak ingin menjadi pengacau dan dimusuhi petugas keamanan kota raja. Ia menggeleng. "Jangan khawatir, toako."
Si brewok kini sudah makin mendekat. "Nona manis, aku akan memaafkan kelancangan mulutmu tadi asal engkau mau menciumku."
"Enak saja!" tiba-tiba si codet membentak. "Ia harus mencium kita bertujuh bergantian, baru kita mau memaafkannya.!"
Si brewok tertawa. "Nah, kau dengar sendiri, manis. Memang sudah untungmu hari ini, akan diciumi tujuh orang laki-laki jantan perkasa, ha ha ha! Nah, aku akan menciummu lebih dahulu!" Si brewok mengembangkan kedua lengannya yang panjang, dan dari kanan kiri, kedua tangannya menyambar hendak merangkul tubuh Bi Lan.
"Wuuuuuttt...!" Si brewok merangkul dan rangkulan itu hanya mengenai tempat kosong karena Bi Lan dengan kecepatan luar biasa telah dapat mengelak. Si brewok membalik dan hendak menubruk lagi, akan tetapi Bi Lan mendahuluinya dengan loncatan ke depan dan kakinya menyambar.
"Ciumlah sepatuku ini...!"
"Plok!" Ujung sepatu kiri Bi Lan menendang tepat mengenal hidung yang panjang besar dan melengkung itu. Si brewok terjengkang dan ketika dia bangkit kembali dia memegangi hidungnya yang bocor berdarah! Si brewok ini menjadi korban kelancangannya sendiri. Karena terlalu memandang rendah Bi Lan yang disangkanya seorang wanita lemah yang hanya galak saja, maka hidungnya hampir pecah oleh tendangan wanita perkasa itu.
Tentu saja kawan-kawannya menjadi marah dan merekapun berteriak-teriak untuk berlomba untuk menangkap Bi Lan. Hanya si codet yang masih berdiri saja dengan pecut diputar-putar dan matanya mengamati kawan-kawannya yang berlomba untuk menangkap Bi Lan. Kalau wanita itu tertangkap, akan diikat dengan cambuknya dan dilarikan ke tempat tinggal mereka.
Wanita itu harus dihukum karena telah berani menghina bahkan melukai si brewok. Akan tetapi, ia terbelalak dan baru menyadari bahwa Bi Lan bukan wanita biasa. Biarpun dikeroyok lima orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar, dapat bergerak cepat dan bertenaga besar pula, namun wanita itu memiliki gerakan seperti seekor burung walet saja cepatnya, berkelebatan di antara lima orang pengeroyoknya.
Sambil mengelak mengandalkan kegesitan tubuhnya, Bi Lan yang marah kepada orang-orang kasar itu membagi-bagi tamparan dan tendangan. Lima orang Turki itu sebetulnya bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah anggota pasukan Turki, pasukan pedang bengkok yang ganas dan kuat dalam perang. Namun, mereka terlalu memandang rendah Bi Lan, dan juga sekali ini mereka bertemu dengan seorang lawan ahli silat tingkat tinggi yang lihai sekali. Maka, dalam beberapa gebrakan saja merekapun terkena tamparan atau tendangan, sehingga satu demi satu terpelanting.
"Tar-tar-tarrrr...!!" Si codet yang marah sekali melihat anak buahnya dikalahkan seorang wanita muda, menggerakkan cambuk panjangnya. Cambuk hitam itu terbuat dari kulit dan selain panjang, juga lemas dan kuat sekali. Cambuk ini tadi telah mencabik-cabik baju seorang wanita dusun tanpa melukai kulitnya. Hal itu menunjukkan bahwa si codet ini memang ahli dalam memainkan cambuk.
Bi Lan bersikap tenang. Ketika ujung cambuk menyambar ke arah dadanya, ia menggeser kaki ke samping sehingga ujung cambuk itu luput. Si codet menjadi semakin beringas. Tangannya bergerak lebih kuat dan cepat. Cambuknya kini menyambar-nyambar bagaikan seekor ular panjang yang hidup.
Bi Lan tetap mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan ke sana sini mengelak sambil memperhatikan gerakan cambuk. Setelah ia melihat perubahan gerakan cambuk ketika menyusulkan serangan baru, dengan gerakan melengkung ke atas, ia lalu mengelak lagi dan pada saat cambuk itu melengkung ke atas untuk menyambung serangan yang luput, ia telah mendahului dan menggunakan tangan kanan menangkap ujung cambuk! Bi Lan mengerahkan tenaga mempertahankan ketika si codet menarik cambuknya. Dengan kekuatan sin-kang. ujung cambuk itu seperti melekat pada tangannya dan dengan perhitungan yang tepat, tiba-tiba Bi Lan melepaskan cambuknya.
"Wuuutttt... tarr...!"
"Aduhhh...!" Si codet berteriak kesakitan karena dagunya dicium ujung cambuknya sendiri dengan kuatnya sehingga terluka dan berdarah!
Melihat ini, enam orang anak buahnya mencabut pedang bengkok mereka dan bersama si codet yang semakin marah mereka hendak mengeroyok Bi Lan dengan senjata di tangan.
"Serang, bunuh perempuan jahat ini!" Si codet memberi aba-aba dan ia sendiripun sudah memutar cambuknya dengan kemarahan meluap-luap. Luka di dagunya tidak ada artinya dibandingk luka di hatinya, karena dia merasa terhina dan malu sekali dikalahkan seorang wanita muda, di depan umum pula.
Bi Lan sudah siap siaga. Akan tetapi ketika tujuh orang itu mulai bergerak, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, didahului sinar menyilaukan mata. Terdengar suara senjata beradu, berdeting dan enam batang pedang bengkok itupun terpental dan terlepas dari tangan pemiliknya, sedangkan cambuk itupun terlepas. Tujuh orang itu terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanan yang terasa nyeri karena sambaran sinar suling di tangan Siauw Can!
Pemuda ini tidak melukai mereka hanya menotok dengan ujung sulingnya, ke arah tangan kanan mereka sehingga mereka terpaksa melepaskan senjata mereka dan terhuyung ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Lebih-lebih rasa kaget dan heran mereka ketika melihat bahwa yang membuat senjata mereka terlepas tadi adalah si kusir kereta, pemuda tampan itu yang tangan kirinya memondong anak perempuan kecil sedangkan tangan kanannya memegang sebatang suling!
Hanya dengan sulingnya, dan sambil memondong anak kecil, pemuda itu mampu membuat senjata mereka bertujuh terlepas! Hal ini saja sudah membayangkan betapa lihainya pemuda ini. Akan tetapi, tujuh orang Turki itu bukan hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian saja untuk memaksakan kemenangan, melainkan terutama mengandalkan kedudukan mereka! Biarpun mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu menang kalau berkelahi melawan wanita muda dan pemuda kusir yang lihai ini, namun mereka masih berani membentak.
"Kalian berani melawan kami, para anggota Pasukan Pedang Bengkok?" teriak si codet.
Pada saat itu, dari kelompok penonton yang memenuhi tempat itu, muncul seorang pria berusia lima puluhan tahun, berpakaian bangsawan. Pria ini sejak tadi ikut pula menonton dengan kagum dari atas kudanya dan kini dia meloncat turun, membiarkan kudanya dipegangi kendalinya oleh seorang pengawal dan diapun maju menghampiri tujuh orang itu.
"Kalian ini selalu mendatangkan keributan!" tegurnya. Ketika si codet dan kawan-kawannya melihat bangsawan itu, mereka memberi hormat dengan membungkukkan tubuh.
"Poa-taijin (pembesar Poa)...!” kata si codet sambil memberi hormat ditiru semua anak buahnya.
Pembesar yang bermata sipit itu berkata dengan suara mengandung teguran. "Kalian sungguh ceroboh, berani sekali mengganggu tai-hiap dan li-hiap ini! Tahukah kalian? Mereka ini adalah sanak keluarga dari Pangeran Tua Li yang baru tiba dari dusun!"
Tujuh orang Turki itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Si codet cepat memberi hormat kepada Siauw Can dan Bi Lan, kembali diikuti oleh keenam orang anak buahnya. "Mohon ji-wi (kalian) sudi memaafkan kami yang tidak mengenal ji-wi maka bersikap kurang hormat." Setelah berkata demikian, mereka bertujuh cepat memungut senjata mereka dan pergi dari situ dengan langkah lebar dan muka ditundukkan.
Melihat pembesar itu kini memandang kepada mereka sambil tersenyum ramah Siauw Can cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kami, tai-jin, akan tetapi kami tidak mengerti..."
Pembesar itu membuat gerakan dengan tangan menghentikan ucapan Siauw Can, lalu dia menoleh ke arah orang-orang yang masih berkerumun menonton di situ sambil membicarakan perkelahian tadi, memuji-muji Bi Lan dan Siauw Can.
"Hei, kalian menonton apa? Kami bukan tontonan, hayo pergi melanjutkan perjalanan dan pekerjaan kalian masing-masing!"
Mendengar bentakan seorang pembesar yang berpakaian mewah, para penonton itu menjadi takut dan merekapun bubar. Keadaan menjadi sunyi kembali dan pembesar itu mendekati Siauw Can.
"Tai-hiap, kalau kami tidak mencampuri, kalian tentu akan dikeroyok oleh ratusan orang anggota pasukan Turki itu. Akan tetapi di sini bukan tempat kita bicara. Marilah ikut dengan kami menghadap Pangeran Tua. Kalian tentu akan mendapatkan kedudukan yang pantas kalau suka membantu beliau."
Siauw Can saling pandang dengan Bi Lan. Sungguh merupakan peristiwa yang amat kebetulan dan amat menguntungkan mereka. Tanpa dicari, pekerjaan datang sendiri, bahkan mereka akan dihadapkan kepada seorang pangeran! Dan Siauw Can sudah tahu siapa Pangeran Tua! Adik kaisar! Tentu mereka akan dapat memperoleh kedudukan yang amat baik!
"Ingat, demi keselamatan kalian! Kalau kalian menolak dan melihat bahwa kalian bukan orang-orang Pangeran Tua, tentu orang-orang Turki itu tidak akan membiarkan kalian bebas dan kalian akan terancam bahaya besar." kata pembesar itu ketika melihat keraguan pada wajah si wanita cantik.
Siauw Can cepat memberi hormat. "Tai-jin, terus terang saja kami berdua hendak pergi ke kota raja memang untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan kami."
"Bagus! Kalau begitu cocok sekali. Kalian mencari pekerjaan dan Pangeran Tua memang sedang mencari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti kalian. Marilah ikut dengan kami. Namaku Poa Kiu dan aku orang kepercayaan Pangeran Tua Li Siu Ti."
"Tai-jin maksudkan adik dari Sri Baginda Kaisar?" tanya Siauw Can dengan girang.
"Siapa lagi kalau bukan beliau yang disebut Pangeran Tua? Nah, mari kalian ikuti rombonganku memasuki kota raja, pasti aman." Poa Tai-jin yang bernama Poa Kiu itu lalu menunggang kudanya, diikuti oleh enam orang pengawal dan Siauw Can cepat mengikuti dari belakang dengan keretanya.
Dari dalam kereta, Bi Lan bertanya kepada Siauw Can, "Can-toako , siapa sih orang-orang asing itu? Kenapa mereka merajalela di kota raja dan kenapa pula Poa Tai-jin mendiamkan saja mereka, hanya menegur dan tidak mengambil tindakan?"
"Aih, kiranya engkau belum tahu duduknya persoalan, Lan-moi," jawab Siauw Can lirih agar jangan terdengar orang lain. "Pasukan Turki merupakan rekan dari pasukan yang digerakkan oleh Panglima atau Pangeran Mahkota Li Si Bin, sehingga berhasil menggulingkan Kerajaan Sui dan mendirikan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, tentu saja orang-orang Turki itu menjadi besar kepala dan berani merajalela di sini. Mereka merasa telah berjasa pada pendirian Kerajaan Tang. Bahkan di antara tokoh-tokoh mereka banyak yang diangkat menjadi panglima dan pembesar-pembesar tinggi oleh Sribaginda Kaisar.”
"Tapi... mengapa begitu? Mengapa para pendiri Kerajaan Tang itu bersekutu dengan orang-orang Turki?"
"Hal itu tidaklah aneh. Ketahuilah bahwa pemimpin pemberontak yang menggulingkan Kerajaan Sui adalah Li Si Bin yang kini menjadi panglima besar dan pangeran mahkota. Dan dia adalah seorang peranakan Turki. Ayahnya, yang sekarang menjadi Kaisar Tang Kao Cu adalah seorang Han, akan tetapi ibunya adalah seorang wanita Turki, yang kini menduduki jabatan Permaisuri Muda. Nah sebagai seorang peranakan Turki, tentu saja hubungannya dengan bangsa Turki amat baik dan dia memang membutuhkan bantuan pasukan Turki untuk memenangkan perjuangannya menggulingkan Kerajaan Sui. Setelah berhasil, tentu saja bangsa Turki itu mendapat angin dan berani merajalela di sini."
Dengan singkat, di sepanjang perjalanan ke kota raja. Siauw Can menceritakan keadaan keluarga kaisar yang diketahuinya dengan baik. Dia menceritakan betapa yang paling berkuasa di kota raja adalah Panglima atau Putera Mahkota Li Si Bin, yang sebetulnya merupakan orang yang menjadi pemimpin besar dalam menggulingkan Kerajaan Sui.
Karena dia masih harus melakukan penertiban dan pembersihan, maka dia mengangkat ayahnya menjadi kaisar pertama Kerajaan Tang, yaitu kaisar yang sekarang berjuluk Kaisar Tang Kao Cu. Adapun Putra Mahkota Li Si Bin sendiri menjadi Panglima besar dan dialah yang berhasil menundukkan semua pemberontak, melakukan penertiban di mana-mana.
Setelah Li Si Bin berhasil, tentu saja otomatis keluarga Li mendapat anugerah, menjadi keluarga kaisar! Juga Li Si Bin tidak melupakan keluarga ibunya dari Turki dan banyak orang pandai dari Turki diberinya kedudukan untuk membantu lancarnya pemerintahan Tang yang baru. Di antara para keluarga Li, yang paling menonjol kedudukannya adalah adik kandung kaisar sendiri, atau paman dari Li Si Bin yang bernama Li Siu Ti. Paman inipun sudah berjasa membantu perjuangannya, maka setelah mereka berhasil mendirikan Kerajaan Tang, Li Siu Ti menjadi Pangeran Tua yang menjadi penasihat kaisar, bahkan mengepalai para pangeran sebagai wakil kaisar.
"Demikianlah, Lan-moi. Sekarang kita diundang ke sana! Kalau kita dapat bekerja kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, berarti bintang kita sedang terang! Dia merupakan orang yang paling berkuasa di istana, tentu saja sesudah kaisar dan putera mahkota!"
Bi Lan ikut merasa gembira. Ia pun ingin mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya agar ia mendapatkan tempat tinggal yang baik, serba bercukupan sehingga ia akan dapat mendidik Lan Lan dengan baik. Ia sudah hampir lupa bahwa Lan Lan adalah puteri Si Han Beng dan Bu Giok Cu. Ia merasa bahwa Lan Lan adalah anaknya sendiri dan segala yang ia lakukan adalah demi kepentingan Lan Lan yang amat disayangnya.
Gedung itu besar dan indah. Mungkin hanya kalah megahnya dengan istana kaisar saja. Hal ini saja membuktikan kebesaran penghuninya. Dan semua orang tahu belaka bahwa pemilik istana itu Pangeran Tua Li Siu Ti, adalah orang yang paling berkuasa sesudah kaisar dan putera mahkota atau panglima besar.
Pangeran Li Siu Ti, biarpun disebut Pangeran Tua sebagai tanda bahwa dia bukan putera kaisar, melainkan adiknya, belumlah tua benar. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan gagah, matanya membayangkan kecerdikan dan kadang-kadang mulutnya memiliki senyum yang penuh rahasia.
Sejak dia kebagian kemuliaan menjadi Pangeran Tua dan diangkat menjadi penasihat kakaknya yang menjadi kaisar, Pangeran Li Siu Ti telah membuat banyak jasa. Dia memang cerdik dan nasihatnya kepada kaisar selalu tepat. Banyak membantu kelancaran jalannya roda pemerintahan dari Kerajaan Tang yang baru itu.
Pangeran Li Siu Ti mempunyai seorang isteri dan lima orang selir. Akan tetapi, hanya dari selir ke dua saja dia mempunyai keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang pada waktu itu teluh menjadi seorang gadis remaja berusia tujuhbelas tahun, bernama Li Ai Tin. Puteri ini berwajah cantik, apalagi karena ia pandai dan suka bersolek. Bentuk tubuhnya yang ramping padat juga menggairahkan, sehingga banyak pemuda di kalangan bangsawan tergila-gila kepadanya.
Ketika rombongan Poa Kiu yang mengantar Siauw Can dan Bi Lan memasuki pekarangan yang luas dari gedung tempat tinggal Pangeran Tua, kedua orang ini melihat bahwa tempat itu terjaga oleh pasukan keamanan. Akan tetapi karena yang mengawal kereta adalah Poa Kiu yang dikenal oleh semua pengawal, maka kereta itu tidak ditahan dan dapat dijalankan sampai di bawah anak tangga beranda depan gedung itu.
Siauw Can dan Bi Lan diam-diam memperhatikan keadaaan tempat itu dan melihat bahwa di antara para anggota pasukan penjaga tidak nampak seorangpun bangsa Turki. Kepada kepala pengawal, Poa Kiu minta agar dikabarkan kepada Pangeran Tua bahwa dia mohon menghadap bersama dua orang tamu yang amat penting, guna dihadapkan kepada pangeran. Kepala pengawal tahu bahwa Poa Kiu adalah orang kepercayaan dan tangan kanan sang pangeran, maka tanpa banyak tanya lagi dia lalu langsung saja masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada majikannya.
Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul kembali dan mempersilakan Poa Kiu dan dua orang tamu itu langsung saja memasuki ruangan tamu di bagian kanan bangunan. Kalau tadi Bi Lan dan Siauw Can mengagumi pekarangan depan yang mempunyai taman amat indahnya, dan beranda depan yang luas dan dihias arca-arca singa dan naga, kini mereka menjadi makin kagum ketika memasuki lorong menuju ke ruangan tamu, didahului oleh kepala pengawal dan Poa Tai-jin.
Gedung itu memang indah sekali. Pot-pot tanaman bunga yang terukir indah, dengan tanaman bunga yang langka didapat. Guci-guci besar menghias sudut-sudut di sepanjang lorong, tempat-tempat lampu yang beraneka bentuk dan warna. Pilar-pilar yang terukir, tirai-tirai sutera, permadani dan pada dinding tergantung lukisan-lukisan dan tulisan huruf indah yang tak ternilai harganya.
Ketika mereka memasuki kamar tamu, Pangeran Tua Li Siu Ti sudah duduk di situ, di atas sebuah kursi yang berwarna merah. Di kanan kiri dan belakangnya berdiri selosin pengawal pribadi. Kepala pengawal itu menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kiri dan memberi hormat. Poa Kiu juga memberi hormat kepada atasannya dengan menjura dan membungkuk. Melihat ini, Siauw Can dan Bi Lan juga mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.
Dengan tangannya. Pangeran Li Siu Ti menyuruh kepala pengawal mundur, kemudian dia memandang kepada pembantu utamanya. "Poa Kiu, siapakah dua orang muda ini dan kenapa engkau membawa mereka menghadapku?"
Dalam pertanyaan ini terkandung teguran karena agaknya sang pangeran kecewa. Tadi kepala pengawal melaporkan bahwa Poa Kiu mohon menghadap bersama dua orang penting! Tidak tahunya hanya seorang pemuda sederhana dan seorang wanita muda yang memondong seorang anak perempuan!
"Ampun, pangeran," kata Poa Kiu. "Sekali ini saya membawa berita amat menggembirakan. Tanpa disengaja di tengah perjalanan, saya telah bertemu dengan dua orang pendekar ini yang tentu akan amat berguna bagi paduka. Mereka inilah orang-orang yang selama ini paduka cari, yang paduka butuhkan. Mereka berdua memiliki ilmu kepandain silat yang hebat."
Lalu Poa Kiu menceritakan kepada sang pangeran tentang sepak terjang Bi Lan dan Siauw Can ketika diganggu oleh tujuh orang Turki di jalan tadi. Sang pangeran mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi dia mengerutkan alis mengamati dua orang itu. Agaknya, sukar baginya untuk dapat mempercayai cerita itu.
Dua orang muda itu sama sekali tidak mengesankan sebagai orang-orang berilmu tingggi, apalagi wanita itu, yang masih muda, cantik dan kelihatan lemah lembut. Bagaimana mungkin dengan tangan kosong mampu mengalahkan tujuh orang Turki yang kuat-kuat itu? Dan pemuda itu dengan sebatang suling saja mampu melucuti senjata tujuh orang Turki itu? Tak masuk akal!
Akan tetapi pada saat itu, kepala pengawal datang menghadap dan melaporkan bahwa Raja Muda Baducin datang bertamu! Mendengar nama ini, wajah Pangeran Li Siu Ti berseri dan dia mengerling ke arah Poa Kiu.
"Bagus! Agaknya ini ada hubungannya dengan dua orang muda ini. Poa Kiu engkau ajak mereka keluar dari sini, tunggu di ruangan sebelah. Nanti kalau aku memberi isyarat memanggil, kalian masuklah ke sini."
Kemudian pangeran itu memerintahkan kepala pengawal untuk mempersilakan Raja Muda Baducin untuk memasuki ruangan tamu. Poa Kiu maklum akan apa yang dimaksudkan majikannya, maka diapun mengajak Siauw Can dan Bi Lan keluar melalui pintu samping dan menunggu di ruangan sebelah.
Tak lama kemudian, masuklah tiga orang ke dalam ruangan tamu itu. Yang menjadi tamu kehormatan adalah Raja Muda Baducin, seorang laki-laki bangsa Turki berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus. Matanya lebar dan tajam sekali, hidungnya seperti paruh kakaktua, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan kulitnya coklat mengarah hitam. Pakaiannya mewah dan kepalanya tertutup sorban putih dari sutera.
Orang yang menemaninya selalu berada di belakangnya arah kanan kiri dan sekali pandang saja orang akan mengetahui bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar. Wajah mereka, bentuk tubuh mereka, bahkan pakaian mereka, serupa dan sukarlah membedakan yang satu dengan yang lain.
Usia mereka sekitar empat puluh tahun, pakaian mereka seperti pakaian perwira perang, dan dipinggang mereka tergantung pedang bengkok yang ujung dan gagangnya terhias emas permata. Kumis mereka melintang panjang, melengkung ke atas, dan jenggot mereka dipotong agak pendek, membuat mereka tampak jantan dan kokoh kuat. Apalagi keduanya memang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, sehingga baru bertemu saja, orang akan merasa gentar.
Setelah saling bersalaman dan mempersilakan tamunya duduk; Raja Muda Baducin duduk di atas kursi dan dua orang kembar itu tetap saja berdiri di belakangnya, seperti juga selosin pengawal pribadi yang tetap berdiri di belakang Pangeran Li Siu Ti, Pangeran itu lalu berkata kepada kepala pengawal.
"Engkau boleh keluar dan sediakan minuman untuk pasukan pengawal Raja Muda!"
"Baik, Yang Mulia Pangeran!" kata kepala pengawal itu lalu keluar dari situ. Seperti biasa, kepala para orang Turki itu tentu saja datang dengan sepasukan pengawal yang tadi menanti di luar, sedangkan yang masuk hanya dia bersama dua orang pengawal pribadi yang setia.
Kalau saja orang melihat keadaan kedua "orang besar" ini beberapa tahun yang lalu, tentu apa yang dilihatnya sekarang ini mirip dengan pertunjukan panggung sandiwara saja. Baru beberapa tahun yang lalu, Pangeran Tua Li Siu Ti yang kini disebut yang mulia dan paduka yang mulia, hanyalah orang biasa saja, bahkan dari keluarga petani. Akan tetapi begitu sekarang keluarganya berhasil meraih tahta kerajaan, dia menjadi seorang bangsawan tinggi yang dimuliakan orang.
Juga orang yang kini disebut Raja Muda Baducin, tadinya adalah seorang kepala gerombolan orang Turki yang termasuk golongan hitam atau sesat yang di negerinya dimusuhi sendiri oleh pemerintahnya. Baducin dapat bersekutu dengan Li Si Bin dan membantu gerakan perwira muda itu sehingga berhasil menggulingkan Kerajaan Sui. Maka, sebagai balas jasa, setelah Li Si Bin berhasil, Baducin menerima anugerah, yaitu sebutan "raja muda" dan kedudukan yang mulia!
Dan kini dua orang yang berasal dari rakyat jelata ini, sekarang saling berhadapan seperti dua orang bangsawan tinggi, lengkap dengan semua peralatan dan peraturannya. Setelah gadis-gadis pelayan yang cantik datang menyuguhkan makanan dan minuman kepada tamu kehormatan itu, dan mereka berdua makan minum dengan gembira sambil memberi hormat dengan minum arak, barulah Pangeran Li Siu Ti menanyakan maksud kunjungan raja muda itu.
"Kunjungan paduka Raja Muda Baducin merupakan suatu kehormatan besar bagi kami, akan tetapi kunjungan yang mendadak ini agaknya membawa urusan penting. Atau hanya merupakan kunjungan iseng belaka untuk melepas rindu?" tanya sang pangeran dengan ramah.
Raja Muda Baducin tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang rapi. "Ha-ha-ha, tepat sekali apa yang diduga oleh Paduka Pangeran Tua. Orang yang selalu sibuk seperti kami ini mana ada kesempatan untuk membuang waktu hanya untuk iseng? Sesungguhnya kunjungan kami ini untuk mohon keterangan dari paduka tentang peristiwa yang amat tidak menyenangkan hati kami."
"Hemm, peristiwa apakah itu? Harap paduka segera menceritakan kepada kami."
"Begini, pangeran. Pagi tadi, tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok sedang mengadakan patroli di luar pintu gerbang kota raja. Mereka melihat sebuah kereta dan karena curiga mereka menghentikan kereta itu untuk melakukan pemeriksaan. Akan tetapi penumpang kereta itu, seorang pemuda dan seorang wanita muda, membantah dan terjadi percekcokan dan perkelahian. Akan tetapi, ketika anak buah kami hendak memberi hukuman kepada orang-orang yang menghina itu, muncul pembantu paduka, yaitu Poa Kiu. Dia mencegah anak buah kami bertindak dengan mengatakan bahwa dua orang itu adalah sanak keluarga paduka yang datang dari dusun. Dan tadi, mata-mata kami mengetahui bahwa dua orang itu memang datang ke gedung ini! Nah, setelah mendapatkan laporan itu, kami bergegas datang berkunjung untuk mohon penjelasan agar tidak sampai terjadi kesalah pahaman di antara kita."
Pangeran Li Siu Ti mengangguk-angguk dan tersenyum. Biarpun cerita yang didengarnya dari raja muda ini berbeda dengan yang didengarnya dari Poa Kiu, tentu saja dia lebih percaya kebenaran cerita pembantunya yang setia. Dan diapun maklum bahwa tentu orang-orang Turki itu tidak berterus terang kepada pimpinan mereka bahwa mereka telah dikalahkan pemuda dan wanita muda itu!
"Memang benar apa yang paduka dengar itu, karena memang mereka adalah masih sanak keluarga dengan kami, walaupun masih jauh. Mereka datang berkunjung untuk membantu pekerjaan kami. Menurut cerita mereka, memang terjadi kesalah-pahaman dengan tujuh orang anak buah paduka. Akan tetapi, keributan itu tidak sampai berakibat jauh, tidak ada pihak yang terluka parah atau tewas. Maka, kami harap paduka menghabiskan saja urusan di antara anak buah kita itu."
Raja Muda Baducin itu tertawa, "Ha-ha-ha, kalau memang mereka itu sanak keluarga paduka, tentu saja kami yang mohon maaf atas kelancangan anak buah kami. Hanya yang membuat kami merasa penasaran. Kabarnya kedua orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga anak buah kami menjadi permainan mereka."
Pangeran Li Siu Ti tersenyum bangga. "Memang kedua orang sanak jauh itu merupakan dua orang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi!"
"Bagus, kalau begitu, ingin sekali kami bertemu dan berkenalan dengan mereka, dan dapat melihat dengan mata kepala sendiri dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis, yang telah mampu mengalahkan tujuh orang anak buah pasukan Pedang Bengkok! Kalau mereka berada disini, dapatkah kami bertemu dengan mereka, pangeran?"
"Tentu saja boleh! Bahkan mereka berduapun berada di sini, akan tetapi untuk menghormati paduka, kami memerintahkan mereka menyingkir ke ruangan lain..."
Pangeran Li Siu Ti bertepuk tangan dan muncullah Poa Kiu diiringi Siauw Can dan Kwa Bi Lan yang memondong Lan Lan. Anak itu sedang makan kembang gula dengan asyiknya. Pangeran Tua segera memperkenalkan tamunya kepada dua orang muda itu, sedangkan Poa Kiu sudah menjura dengan sikap hormat.
"Tamu terhormat kita ini adalah Raja Muda Baducin yang mengepalai semua pasukan Turki yang berada di sini, dan beliau ingin berkenalan dengan kalian berdua."
Bi Lan sendiri meragu, dan andaikata tidak ada Siauw Can di situ, belum tentu dia mau memberi hormat kepada orang itu. Biarpun raja muda, ia adalah seorang Turki dan tadi pagi orang-orang Turki bersikap amat kasar dan menghina kepadanya. Bagaimana ia dapat memberi hormat? Akan tetapi, Siauw Can mendahuluinya dan pemuda ini memberi hormat dengan menjura, yang diturut pula oleh Bi Lan.
Sementara itu, melihat bahwa dua orang yang telah mengalahkan tujuh orang anak buahnya itu hanya seorang pemuda kerempeng dan seorang wanita muda cantik yang lemah lembut, hati Raja Muda Baducin menjadi semakin penasaran. "Aha, kiranya dua orang ini masih amat muda! Pantas saja lancang dan berani menghina tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok kami!" katanya.
Mendengar ini, Siauw Can cepat menjawab. "Paduka mendapat keterangan yang keliru. Kami berdua sama sekali tidak pernah menghina tujuh orang itu."
"Ho-ho-ho, kalian mengalahkan tujuh orang anggota Pedang Bengkok di jalan raya, disaksikan banyak orang kalian telah melucuti senjata pedang mereka dan memandang rendah mereka, bukankah itu penghinaan besar namanya! Kalau tidak muncul Poa Tai-jin, tentu telah terjadi perkelahian mati-matian!"
"Maafkan kami," kata pula Siauw Can mengalah.
"Ha-ha-ha, kalau kami tidak memaafkan, apa kami mau berkunjung ke sini? Kami justru kagum kepada kalian dan kami ingin menyaksikan sendiri sampai di mana kelihaian kalian berdua! Nah, di sini ada dua orang pengawalku. Kalau kalian berdua mampu mengalahkan dua orang pengawalku ini, aku akan memberi selamat kepada Pangeran Tua yang beruntung sekali mendapatkan pembantu-pembantu yang amat lihai!"
Itu merupakan tantangan terbuka! Bi Lan sudah menjadi merah wajahnya, akan tetapi Siauw Can yang cerdik memberi hormat ke arah Pangeran Li Siu Ti yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. "Kami berdua telah bekerja di sini maka kami tidak dapat melakukan apapun tanpa perintah dari Paduka Pangeran Tua! Kami berdua menanti perintah!"
Pangeran Li Siu Ti tersenyum lebar. Inilah kesempatan baginya untuk menguji kedua orang itu. Akan tetapi Poa Kiu merasa khawatir. Tentu saja dia sudah mengenal siapa dua orang pengawal pribadi Raja Muda Baducin ini. Dua orang raksasa kembar itu merupakan orang-orang yang paling kuat dan paling lihai di antara semua orang Turki yang berada di kota raja. Nama mereka Gondulam dan Gondalu, dua orang saudara kembar yang selain bertenaga gajah juga pandai ilmu gulat, pandai silat bahkan memiliki kekuatan sihir...!
Dengan hati lega dan berterima kasih Bi Lan lalu memasuki kamar itu, menidurkan Lan Lan di atas pembaringan dan melepaskan buntalannya, meletakkannya di atas meja. Setelah menyalakan sebatang lilin lagi untuk menambah penerangan di kamar itu, iapun keluar dari dalam kamar.
"Baik, kongcu, aku akan berusaha mendapatkan apa yang kau cari itu. Nah, aku akan pergi sekarang juga. Nyonya, beristirahatlah, saya hendak pergi dulu mencarikan kuda dan kereta yang dipesan kongcu." Petani itu menjura ke arah Bi Lan, lalu keluar dari pondok, menutupkan daun pintunya dengan hati-hati dari luar.
Bi Lan kini duduk menghadapi meja bersama Hong San setelah pemuda itu mempersilakannya duduk. Mereka saling berpandangan, dan keduanya kagum. Di bawah sinar lampu yang remang-remang mereka saling mengagumi wajah masing-masing. Hong San melihat betapa wajah yang bulat itu berkulit putih mulus, juga leher dan tangan itu. Putih mulus yang wajar. Hidung yang mancung kecil itu mungil dan mata itu bagaikan sepasang bintang, gemerlapan tajam.
Di lain pihak, Bi Lan juga kagum. Pemuda yang usianya sekitar duapuluh tujuh tahun itu memang tampan dan gagah. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, sederhana namun bersih. Caping lebar yang tadi dipergunakannya, kini tergantung di dinding. Wajah itu jantan. Hidungnya mancung dan besar, matanya tajam agak terlalu hitam, dan bibirnya kemerahan seperti bibir wanita, akan tetapi lebih besar dan penuh gairah. Kulitnya agak coklat dan wajah itu membayangkan ketampanan orang dari daerah barat. Hal ini tidak aneh karena Can Hong San memang berdarah Nepal. Ibu kandungnya seorang puteri Nepal!
"Nah, sekarang kuharap engkau suka memperkenalkan dirimu, nyonya, tentu saja kalau engkau percaya kepadaku."
Bi Lan menarik napas panjang. "Tentu saja aku percaya kepadamu, tai-hiap...!"
"Nanti dulu, nyonya!" Hong San menghentikan dengan mengangkat tangan kanan ke atas. "Harap engkau tidak menyebut aku tai-hiap, sungguh hanya membuat aku merasa malu dan canggung!" Lalu ia menatap tajam wajah yang manis itu. "Maukah engkau menyebut aku toako (kakak) saja? Namaku Hong San dan aku sama sekali tidak suka disebut tai-hiap (pendekar besar), apa lagi oleh seorang wanita perkasa seperti nyonya."
Bi Lan tersenyum. "Hemm, engkau melarangku menyebutmu tai-hiap, akan tetapi engkau sendiri menyebut aku nyonya! Seharusnya aku menyebut tuan kepadamu, akan tetapi engkau ingin aku menyebut toako. Kalau aku menyebut kakak, apa sebutan seorang kakak terhadap adiknya?"
Hong San tertawa gembira. Biarpun tidak banyak bicara, ternyata wanita ini dapat diajak berkelakar. "Baiklah, aku akan menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Aneh, seorang kakak tidak tahu nama adiknya!"
"Toako, namaku Bi Lan, Kwa Bi Lan."
"Hemmm, nama yang indah sekali!"
"Kiranya selain gagah perkasa, engkau juga seorang perayu, toako. Namaku biasa saja engkau katakan indah."
"Maaf, Lan-moi. Aku bukan bermaksud merayu, hanya... ah, sudahlah, aku hanya berkelakar, lanjutkan bicaramu."
"Bicara apa lagi? Sudah kuperkenalkan namaku. Aku Kwa Bi Lan dan anakku itu, namanya Lan Lan."
"Dan siapa nama suamimu? Di mana tempat tinggalmu dan kenapa engkau melakukan perjalanan berdua saja dengan anakmu yang masih kecil? Darimana dan hendak ke manakah engkau pergi, Lan-moi?"
Bi Lan melirik ke arah wajah pemuda itu, tersenyum sedih. Orang ini demikian memperhatikan dirinya dan pertanyaannya datang seperti banjir saja. "Toako, engkau ingin tahu segalanya, akan tetapi engkau tidak mau menceritakan segalanya tentang dirimu sendiri. Engkau hanya memperkenalkan namamu, dan akupun sudah membalas dengan memperkenalkan nama kami. Kalau ingin mendengar tentang keadaan dan keluargaku, tidakkah sepatutnya kalau seorang laki-laki lebih dahulu menceritakan tentang dirinya?"
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau kalah, itu tandanya engkau belum percaya benar kepadaku. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang diriku, akan tetapi tidak ada yang menarik tentang diriku. Aku berusia duapuluh tujuh tahun, aku hidup sebatangkara, belum pernah menikah, yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga seorangpun. Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Seorang kelana yang tidak mempunyai apa-apa. Guruku adalah ayahku sendiri yang sudah meninggal dunia, bernama Can Siok. Selama ini aku hanya mengembara, kemana saja hati dan kaki ini membawaku. Nah, hanya inilah cerita tentang diriku, Lan-moi. Sama sekali tidak menarik, bukan?"
Bi Lan mendengarkan dengan heran. Seorang pemuda yang begini tampan gagah, berilmu tinggi, usianya sudah sangat dewasa, kenapa hidup seorang diri saja dan tidak menikah? Tentu seorang pendekar petualang ynng selalu ingin hidup bebas!
"Eh? Kenapa engkau diam saja, Lan-moi? Aku sudah siap mendengarkan cerita tentang dirimu!"
Bi Lan menghela napas panjang. "Kalau engkau mengatakan bahwa riwayatmu tidak menarik, sebaliknya riwayatku lebih buruk lagi, malah hanya menyedihkan saja."
"Yang sudah lalu hanya menjadi kenangan, Lan-moi, tidak ada gunanya disedihkan lagi. Nah, ceritakanlah, aku ingin sekali mendengar agar perkenalan antara kita menjadi lebih akrab."
"Akupun hidup berdua saja dengan anakku Lan Lan. Sekarang inipun aku masih belum mempunyai tempat tinggal yang tetap." Bi Lan berhenti seolah-olah cerita tentang dirinya habis sekian saja.
"Tapi, suamimu...?" Hong San mendesak. "Dan siapa pula gurumu, orang tuamu?"
"Kedua orang tuaku sudah lama meninggal dunia. Dan suamiku, dia juga guruku sendiri, dia sudah meninggal dunia..."
Mendengar suara yang mengandung duka itu, Hong San menarik napas panjang dan diam-diam dia menekan perasaan girangnya mendengar bahwa wanita ini adalah seorang janda! "Aih, maafkan pertanyaanku tadi, Lan-moi. Siapa kira, semuda ini engkau telah ditinggal mati suami dan hidup berdua saja dengan seorang puteri. Kalau boleh aku bertanya, siapakah nama mendiang suamimu? Kalau dia menjadi gurumu, tentu dia lihai sekali."
"Nama mendiang suami dan juga guruku adalah Liu Bhok Ki..."
Hong San terbelalak dan dia demikian terkejut sehingga bangkit berdiri dari kursinya. "Dia...? Kau maksudkan Sin-tiauw (Si Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki?"
Melihat kekagetan pemuda itu, Bi Lan tidak merasa heran. Nama besar mendiang suaminya memang amat terkenal di dunia persilatan. Iapun mengangguk bangga.
"Aihhhh, pantas kalau begitu," kata Hong San sambil duduk kembali dan memandang kagum. "Pantas kalau engkau memiliki ilmu silat yang lihai. Kiranya murid dan juga isteri Si Rajawali Sakti. Akan tetapi, maaf Lan-moi. Kulihat tadi dalam gerakan silatmu ada dasar ilmu silat Siauw-lim-pai."
"Penglihatanmu tajam sekali, toako dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaianmu sudah sangat tinggi. Memang, sebelum aku menjadi murid suamiku, aku pernah mempelajari ilmu silat Siau-lim-pai."
"Hebat...! Murid Siauw-lim-pai yang kemudian menjadi murid Si Rajawali Sakti! Aku girang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Lan-moi! Lalu kemana engkau hendak pergi?"
Sampai lama Bi Lan berdiam diri. Ia sendiri tidak dapat menjawab karena memang ia tidak tahu kemana ia akan pergi! Ia telah menculik Lan Lan dan ia tidak berani kembali ke rumah suaminya di Kim-hong-san, karena tentu Si Han Beng dan Bu Giok Cu akan mencari anak mereka dan mengejarnya kesana! Dan ia pasti tidak akan mampu mempertahankan kalau mereka itu merampas Lan Lan.
Ilmu kepandaian mereka terlampau tinggi baginya. Melawan Bu Giok Cu saja ia tidak akan menang, apalagi melawan Si Han Beng dan lebih-lebih menghadapi mereka berdua! Dan ia sudah jatuh cinta kepada anak itu yang kini menyebut ibu kepadanya. Ia tidak mempunyai suatu tempat untuk pergi, maka pertanyaaan Hong San membuat ia bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kemudian ia teringat kepada pamannya Lie Koan Tek. Daripada tidak dapat menjawab, dia lalu berkata.
"Aku masih mempunyai seorang paman, saudara dari mendiang ibuku. Aku akan mencari pamanku itu, toako."
"Siapakah pamanmu itu?"
"Dia seorang tokoh Siauw-lim-pai namanya Lie Koan Tek."
"Lie Koan Tek...?" Hong San terbelalak. Terbayanglah kini ketika dia bertempur melawan Lie Koan Tek, dikeroyok oleh Poa Liu Hwa isteri mendiang Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang, kemudian muncul seorang gadis perkasa dan... Hong San terbelalak. "Ahhhhh....!!"
Dia meloncat dari tempat duduknya, bangkit berdiri dan memandang kepada Bi Lan dengan kaget. Inilah gadis yang dulu membantu Lie Koan Tek dan Poa Liu Hwa!
"Ada apakah, toako? Engkau kelihatan terkejut sekali."
Hong Sen cepat mengerahkan tenaga untuk menenangkan hatinya dan wajahnya yang tadi berubah agak pucat itu menjadi merah kembali. Dia bukan terkejut mendengar nama Lie Koan Tek, melainkan terkejut ketika teringat bahwa gadis inilah yang dulu pernah membantu Lio Koan Tek mengeroyoknya. Tak dapat dia membayangkan bagaimana akan sikap wanita ini kalau mengenalnya!
"Aku memang terkejut mendengar nama pamanmu. Tentu saja aku mengenal nama itu. Yang mengejutkan adalah karena engkau hendak mencarinya. Padahal menurut pendengaranku, pamanmu adalah seorang pelarian dan buruan pemerintah! Kabarnya dia telah melarikan diri dari penjara, bahkan membantu gerakan pemberontak. Bagaimana engkau akan mencari pamanmu yang sedang diburu pemerintah?"
Bi Lan menarik napas panjang. Tentu saja ia tahu akan hal itu dan kalau tadi ia mengatakan hendak mencari pamannya, hal itu dilakukan hanya agar dapat menjawab pertanyaan Hong San saja. "Aku tahu akan hal itu, toako. Akan tetapi... aku tidak tahu lain tempat lagi yang dapat kuharapkan menjadi tempat tinggalku. Aku akan berkelana saja..." katanya sedih.
Hong San tersenyum. Dia sudah mampu menguasai dirinya lagi. Jelas bahwa Bi Lan tidak ingat kepadanya. Pertemuan antara mereka hanya terjadi sebentar saja, dan itupun dalam pertempuran, sehingga wanita ini tidak mengenal dan tidak mengingatnya sama sekali. Betapapun juga, dia harus berhati-hati dan ada sesuatu yang tidak nyaman rasanya di hati setelah dia mengetahui siapa wanita ini. Kalau sampai Bi Lan mengenalnya!
"Lan-moi, kalau engkau hidup seorang diri, kiranya tiada salahnya menjadi seorang pengelana seperti aku ini. Akan tetapi ingat, engkau mempunyai seorang puteri yang masih kecil. Tidak mungkin akan mengajaknya berkelana tanpa tujuan? Tidak baik bagi pendidikan puterimu."
"Aku mengerti, toako. Akan tetapi apa dayaku? Aku tidak tahu ke mana harus pergi."
Hening sejenak. Hong San tidak mau tergesa-gesa. Dia harus mengakui bahwa setelah kini wanita itu duduk di depannya, dekat dan di bawah sinar lampu sehingga dia dapat mengamati wajah itu dengan jelas. Setelah wanita itu bicara, apalagi setelah mendengar bahwa wanita itu seorang janda muda yang hidup sebatangkara, hatinya semakin tertarik dan dia tahu bahwa sekali ini dia jatuh cinta!
Belum pernah perasaan seperti ini menguasai hatinya. Biasanya terhadap wanita cantik, hanya berahinya yang timbul. Akan tetapi sekali ini lain. Dia ingin memiliki Bi Lan seluruhnya dan sepenuhnya, untuk selamanya. Dia ingin menyenangkan hati wanita ini, membahagiakannya, dan dia ingin berdampingan selamanya! Dia ingin membuat wajah yang manis ini selalu tersenyum dan cerah berseri. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Kalau janda ini sampai dapat menjenguk dan mengetahui latar belakang kehidupannya! Dia ngeri membayangkan akibatnya.
Tiba-tiba dia seperti dipaksa oleh sesuatu mengangkat mukanya menatap wanita itu. Dan ternyata wanita itupun sedang memandang kepadanya. Agaknya pandang mata wanita itulah yang tadi menyentuh perasaannya dan membuatnya mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertaut sejenak, lalu Bi Lan menundukkan mukanya.
"Lan-moi, apakah engkau percaya kepadaku?" tiba-tiba Hong San bertanya.
"Eh? Kenapa, toako? Tentu saja aku percaya padamu. Engkau adalah penolongku."
"Kita baru saja bertemu, engkau belum mengenal benar siapa diriku, dan orang macam apa adanya aku. Mungkin saja aku ini seorang penipu, seorang penjahat..."
"Aih, jangan mengada-ada, toako. Aku yakin bahwa engkau seorang yang baik budi, gagah perkasa, dan..."
"Belum tentu, Lan-moi. Di dunia ini, di mana ada manusia sempurna tanpa salah? Akupun, sebagai manusia biasa, pernah melakukan kesalahan, pernah tersesat dan berdosa..."
"Sudahlah, toako. Apa sebetulnya yang hendak kau katakan maka engkau bertanya apakah aku percaya kepadamu? Aku percaya! Nah, lalu apa?"
Hong San menelan ludah. Baru sekarang dia merasa begini gugup dan tegang! "Begini, Lan-moi... Biarpun kita baru saja saling bertemu secara kebetulan dan saling berkenalan, namun rasanya bagiku engkau seorang sahabat lama dan kita saling percaya. Engkau dan puterimu hidup sebatangkara, dan akupun demikian. Maukah engkau kalau aku mencarikan sebuah tempat tinggal untuk engkau dan anakmu di mana engkau akan hidup dengan tenang dan tenteram?"
Sejenak Bi Lan hanya memandang wajah pemuda itu. Sungguh luar biasa kalau ada kenalan baru hendak menolongnya seperti itu! Ia merasa terharu, akan tetapi juga heran. "Can-toako, kita baru saja berkenalan dan engkau sudah bersikap begini baik kepada kami. Seorang anggota keluarga sendiri belum tentu sebaik engkau! Kenapa engkau begini baik kepada kami dan ingin mencarikan tempat tinggal untuk kami? Kenapa, toako?"
Menghadapi sepasang mata yang bersinar tajam, yang memandangnya penuh selidik ini, Hong San tidak tahan menentang terlalu lama. Dia khawatir kalau sinar mata itu akan mampu menjenguk dan melihat latar belakang kehidupannya yang lalu! Dia lalu menunduk, menghela napas panjang beberapa kali sebelum menjawab dengun sukar.
"Kenapa aku ingin menolongmu? Ah kenapa, ya? Mungkin karena aku merasa kasihan sekali kepadamu dan kepada puterimu, Lan-moi. Sejak kita saling jumpa ketika engkau dikeroyok perampok itu sudah timbul perasaan yang luar biasa dalam hatiku. Aku tidak berani mengatakan... eh, cinta, itu akan terlalu lancang karena kita baru saja berkenalan. Akan tetapi, aku merasa kasihan dan ingin menolongmu, membantumu, membahagiakan engkau dan anakmu, Lan-moi. Maafkan kelancanganku ini..."
Sejenak Bi Lan berdiam diri, menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Ia meneliti perasaan sendiri, merasa kagum kepada laki-laki ini, kagum dan berterima kasih. Akan tetapi laki-laki ini menyinggung soal cinta dan untuk itu, ia harus menjenguk lebih dalam dan ini membutuhkan waktu untuk dapat menentukan.
"Toako, tidak perlu meminta maaf. Orang-orang seperti kita memang sebaiknya kalau berterus terang secara jujur," katanya.
"Terima kasih, Lan-moi. Memang sebaiknya begitu, aku tadi hanya takut kalau sampai menyinggung perasaanmu. Aku tidak berani mengatakan cinta karena selama ini aku belum pernah jatuh cinta kepada seorang wanitapun. Banyak wanita yang menarik, akan tetapi belum pernah aku merasakan jatuh cinta. Akan tetapi yang jelas, aku merasa kasihan dan sayang kepadamu. Terimalah uluran tanganku untuk membantumu, Lan-moi. Tentu saja, kalau engkau percaya kepadaku. Kalau engkau tidak percaya dan menyangka ada maksud tertentu yang buruk dalam hatiku terhadap dirimu, tentu aku tidak akan berani memaksamu."
Kalaupun ada keraguan di hati Bi Lan, maka keraguan itu tentu akan lenyap setelah mendengar ucapan pemuda itu yang demikian "jujur" dan meyakinkan. "Bagaimana aku berani menolak niat baikmu, toako? Apa lagi engkau tadi sudah menyuruh pemilik rumah ini mencarikan kuda dan kereta. Aku berterima kasih dan menerima uluran tanganmu, akan tetapi dengan satu syarat, yaitu bahwa kalau kelak aku merasa tidak cocok dengan tempat itu atau denganmu, aku akan membawa anakku pergi mengambil jalanku sendiri, dan harap engkau tidak menuduh aku tidak mengenal budi."
Hong San tertawa dengan gembira, wajahnya berseri. "Tentu saja, Lan-moi. Tentu saja engkau bebas untuk menentukan langkahmu sendiri. Aku sudah merasa cukup bangga dan puas bahwa kau dapat mempercayaiku!"
Pemilik rumah itu datang memberi laporan bahwa ada seorang penduduk dusun yang mau menjual kudanya, adapun keretanya dapat dibeli di kota Peng-lu. Karena pembelian mendadak dan tergesa-gesa, tentu saja Hong San harus membayar hampir dua kali lipat harga umum. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebuah kereta meninggalkan dusun itu, dikusiri oleh Hong San. Bi Lan dan Lan Lan duduk di dalam kereta yang dilarikan dengan cepat. Mereka menuju ke kota raja!
"Akan tetapi, kenapa ke kota raja? Apakah engkau mempunyai keluarga di sana, toako? Ataukah sahabat?" Bi Lan bertanya ketika malam itu mereka berhenti di sebuah dusun di luar kota raja Tiang-an.
"Di kota raja yang ramai kita dapat dengan mudah mencari rumah tinggal yang baik, Lan-moi. Juga daerah paling aman sekarang ini adalah di kota raja. Selain itu, di kota besar ini kita akan dapat mencari penghasilan dengan mudah. Aku sendiri dapat berdagang, atau juga mencoba untuk mendapatkan kedudukan."
Bi Lan diam saja. Ia tidak dapat banyak memilih dan menyerahkan saja pada pemuda ini. Sikap yang selalu sopan dan ramah dari pemuda ini memang membuat ia percaya sepenuhnya. Akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah ia dapat membalas kasih sayang pemuda itu kepadanya. Ada sesuatu yang membuatnya ragu. Pemuda ini seperti menyimpan suatu rahasia, dan kadang sikapnya aneh dan tidak wajar. Juga, sepasang mata yang terlalu hitam dari pemuda itu kadang-kadang membuatnya merasa ngeri. Kadang-kadang ia seperti melihat sinar yang aneh, penuh kekejaman. Kadang sinar yang dingin dan acuh, akan tetapi segera berubah lagi menjadi ramah, memancar dari sepasang mata itu.
"Lan-moi, sebelum kita memasuki kota raja, ada sesuatu yang perlu kau tahui dan aku memerlukan bantuanmu."
Setelah mereka agak lama berdiam diri Hong San bicara dengan suara halus dan lirih, seolah dia tidak ingin ada orang lain mendengar ucapannya. Bi Lan mengerutkan alisnya dan mengangkat muka, memandang kepada pemuda itu. Sinar mata pemuda itu nampak mengandung kecerdikan, akan tetapi juga kekhawatiran.
"Ada apakah, toako? Katakanlah, dan tentu saja aku siap membantumu."
"Ketahuilah, Lan-moi, bahwa kerajaan Tang yang sekarang ini, yang baru tiga empat tahun berdiri, dahulunya merupakan pemberontak-pemberontak terhadap Kerajaan Sui."
"Tentu saja," kata Bi Lan. "Setiap kerajaan atau pemerintahan baru yang merebut pemerintahan lama tadinya adalah pemberontak."
"Nah, ketika Panglima Li Si Bin memimpin pasukan pemberontak, aku pernah membantu pasukan Kerajaan Sui untuk menentang pemberontak. Akan tetapi pasukan pemerintah gagal dan kalah. Kaisar Yang Ti melarikan diri dan akupun meninggalkan pasukan pemerintah."
Bi Lan tidak merasa heran. Dalam suasana perang saudara seperti itu, banyak orang terlibat, dan diapun tahu bahwa banyak pendekar yang dahulu membantu Kerajaan Sui untuk melawan pemberontak yang kemudian memperoleh kemenangan dan kini menjadi Kerajaan Tang yang baru."
"Lalu mengapa, toako? Hal itu adalah wajar saja."
"Akan tetapi, namaku telah dikenal oleh mereka, Lan-moi. Karena kini mereka yang berkuasa, maka tentu akan ditangkap sebagai sisa pengikut kaisar lama, kalau mereka mengetahui bahwa aku berada di kota raja."
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Kalau sudah begitu, kenapa engkau malah mengajakku ke kota raja, toako?"
"Kurasa Panglima Li Si Bin dan ayahnya yang kini menjadi Kaisar Tang Kao Cu, hanya mengenal namaku saja, tidak pernah melihat orangnya. Kalau aku berganti nama, kiraku tidak akan ada yang tahu bahwa aku dahulu membantu kerajaan Sui untuk menentang mereka. Karena itu, aku mengharapkan bantuanmu Lan-moi, agar engkau memaklumi pergantian namaku. Aku akan menggunakan nama Siauw Can saja sehingga engkau masih tetap menyebutku Can-toako."
Bi Lan tersenyum. "Baik, toako. Nama baru itu sebetulnya tidak baru. Siauw Can berarti Can Muda, jadi engkau masih tetap mempergunakan nama keturunmu, hanya nama kecil Hong San saja yang tidak kau pergunakan."
"Engkau benar, Lan-moi. Akan tetapi dengan menggunakan nama Siauw Can, orang akan menganggap bahwa nama keturunanku adalah Siauw, dan nama kecilku Can. Dengan demikian, akan aman, bukan?"
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka meninggalkan dusun itu. Seperti biasa, Hong San atau sekarang kita sebut saja Siauw Can menjadi kusir. Bi Lan dan Lan Lan berada di dalam kereta. Sengaja Bi Lan membuka tirai pintu agar dia dan Lan Lan dapat melihat keadaan di sepanjang jalan. Makin mendekati pintu gerbang kota raja, semakin ramailah jalan raya itu.
Agaknya para penduduk dusun banyak yang membawa barang dagangan mereka, hasil sawah ladang dan hasil sungai ke pasar di kota raja. Para petani yang memikul barang dagangan mereka atau yang mendorong dengan kereta, berbondong-bondong memasuki pintu gerbang selatan. Banyak pula wanita dusun yang membawa barang dagangan, ada yang memikul, ada yang membawa keranjang.
Siauw Can menjalankan keretanya perlahan-lahan. Jalan raya menuju ke kota raja itu cukup lebar, akan tetapi karena banyaknya orang yang lalu lalang berbondong-bondong, dia harus menjalankan keretanya dengan hati-hati. Tiba-tiba nampak betapa orang-orang itu mempercepat jalan mereka, bahkan nampak tergesa-gesa dan wajah mereka membayangkan ketakutan. Melihat hal ini, Bi Lan berkata dari dalam kereta.
"Can-toako, apakah yang terjadi? Orang-orang itu nampak ketakutan!"
Siauw Can membawa keretanya ke tepi jalan dan berhenti. "Akupun tidak tahu mengapa, Lan-moi. Biar kutanyakan kepada mereka."
Dari atas keretanya Siauw Can lalu bertanya kepada seorang petani yang memikul ketelanya. "Paman, apakah yang terjadi? Kenapa kalian kelihatan ketakutan?"
Petani itu menengok, akan tetapi tidak menjawab, melainkan dengan telunjuk kirinya dia menuding ke arah depan dan melanjutkan perjalanannya dengan tergesa-gesa. Siauw Can dan Bi Lan memandang ke arah yang ditunjuk. Mereka kini melihat serombongan orang, tujuh orang jumlahnya, berjalan melenggang sambil tertawa-tawa.
Mereka itu bukan orang Han, karena pakaian mereka berbeda. Berjubah panjang dengan sepatu kulit yang tinggi, dan kepala merekapun tertutup topi bulu. Mereka adalah orang-orang Turki! Di pinggang mereka tergantung golok melengkung. Rata-rata mereka berwajah tampan dengan kumis melintang, usia antara tigapuluh sampai empat puluh tahun. Seorang di antara mereka yang berusia empatpuluhan tahun, dengan codet atau bekas luka di pipi kanan, memegang sebatang cambuk hitam.
Agaknya mereka inilah yang menimbulkan suasana ketakutan karena semua orang yang menuju ke kota raja dan berpapasan dengan tujuh orang ini, semua lalu minggir dan bahkan menyeberang untuk mengambil sisi lain agar jangan sampai berpapasan dekat dengan tujuh orang itu. Seorang petani yang membawa sepikul kentang, berhenti di dekat kereta. Dia sudah tua, usianya sudah enampuluh tahun lebih. Dia berhenti untuk menghapus keringatnya. Seluruh tubuh atas yang tidak berbaju itu penuh keringat, juga wajah petani itu nampak gelisah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Can untuk turun dari atas kereta mendekati petani itu.
"Paman, kami bukan orang sini. Tolong beri tahu kenapa semua orang ketakutan melihat tujuh orang asing itu?" tanyanya.
Dengan wajah ketakutan petani itu memandang kepada Siauw Can, kemudian menjenguk ke dalam kereta. "Kalau begitu, sebaiknya kongcu cepat pergi dari sini, membawa kereta ini jauh-jauh. Mereka itu orang orang Turki yang sering membikin ribut, apalagi urusan wanita cantik!" Dengan tergesa-gesa diapun cepat memikul dagangannya, menyeberang dan melanjutkan perjalanannya.
"Tar-tar-tarrr..." terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, disusul jerit suara wanita.
Siauw Can dan Bi Lan cepat mengangkat muka memandang. Kiranya si codet pemegang cambuk tadi telah menggerakkan cambuk secara luar biasa sekali. Cambuk itu menyambar-nyambar ke arah seorang wanita dusun, masih muda, antara duapuluh lima tahun usianya, dengan wajah sederhana. Cambuk itu menyambar-nyambar tanpa melukai wanita itu, akan tetapi merobek-robek baju atasnya sehingga kini wanita itu menjerit-jerit dengan tubuh atas telanjang bulat! Tentu saja ia menggunakan kedua lengan untuk memeluk dadanya, berlari ketakutan sambil menangis. Tujuh orang itu tertawa bergelak melihat hal itu, seolah-olah melihat sesuatu yang lucu.
"Bedebah...!" Bi Lan menyumpah dengan muka berubah merah sekali. Kini mengertilah ia mengapa semua orang ketakutan melihat tujuh orang asing itu. Kiranya mereka adalah orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang tanpa ada yang berani menentang! Ia pun menduga bahwa wanita tadi memang hanya dihina saja, dibuat lelucon. Andaikata wanita itu cantik, tentu akan lain jadinya dan ngeri ia membayangkan apa yang pernah dilakukan tujuh orang ini terhadap wanita dusun yang cantik.
Bi Lan memaki sambil meloncat turun dari kereta. Suaranya terdengar oleh tujuh orang itu dan mereka menengok. Sejenak mereka itu tertegun, tak mengira di tempat itu akan melihat seorang wanita muda secantik itu turun dari kereta. Kemudian, mereka bicara dan tertawa-tawa. Entah apa yang mereka bicarakan, Bi Lan tidak mengerti karena mereka mempergunakan Bahasa Turki. Sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menghampiri Bi Lan yang memondong Lan Lan.
Si codet, yang agaknya menjadi pemimpin rombongan orang Turki itu, kini menghadapi Bi Lan dan matanya yang bulat dan hitam itu seperti hendak menelan wanita di depannya bulat-bulat. Agaknya mereka juga melihat bahwa wanita cantik itu bukan keluarga pejabat karena selain kereta itu kereta biasa, juga tidak ada pengawal, dan kusirnya seorang pemuda berpakaian biasa. Kalau terhadap keluarga pejabat, tentu mereka tidak akan berani bertindak sembarangan.
"Nona manis, dari mana dan hendak ke mana? Marilah kami menjadi pengantar dan pengawal nona!" katanya dengan logat yang aneh dan lucu.
"Heh-heh, nona boleh pilih di antara kami, siapa yang berkenan di hati nona? Pilih saja aku yang paling jantan di antara kami, ha-ha-ha" kata orang ke dua. Orang ini memang nampak jantan, dengan kumis yang indah dan jenggot yang terpelihara rapi, tumbuh dari bawah telinga dengan lebat sekali!
"Kalian ini orang-orang biadab! Kalian tadi menghina seorang wanita, dan sekarang berani mengganggu aku? Agaknya kalian memang sudah bosan hidup, ya? Anjing-anjing liar, pergilah sebelum aku menghajar kalian!" Bi Lan masih menahan kesabarannya karena Siauw Can berkedip kepadanya minta agar ia bersabar.
Tentu saja ucapan Bi Lan membuat tujuh orang itu terbelalak. Belum pernah ada orang, apa lagi wanita, berani menghina mereka, memaki mereka seperti itu! Si codet memberi kesempatan kepada si brewok tadi dalam bahasa mereka, dan sambil menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih berkilat si brewok melangkah maju mendekati Bi Lan. Wanita ini maklum bahwa tentu tujuh orang itu akan membuat ribut, maka ia lalu menyerahkan Lan Lan kepada Siauw Can.
"Can toako, tolong kau pondong dulu Lan Lan, aku akan menghajar anjing-anjing keparat ini!"
Melihat betapa wajah Bi Lan sudah menjadi merah sekali dan sinar matanya mencorong, Siauw Can khawatir kalau-kalau Bi Lan melakukan pembunuhan sehingga akan menggegerkan kota raja. Dia menerima Lan Lan dan berkata, "Jangan lupa diri sampai membunuh, Lan-moi."
Bi Lan tersenyum. Biarpun ia marah sekali, akan tetapi iapun maklum bahwa melakukan pembunuhan di tempat umum dekat kota raja tentu akan mendatangkan keributan. Ia tidak ingin menjadi pengacau dan dimusuhi petugas keamanan kota raja. Ia menggeleng. "Jangan khawatir, toako."
Si brewok kini sudah makin mendekat. "Nona manis, aku akan memaafkan kelancangan mulutmu tadi asal engkau mau menciumku."
"Enak saja!" tiba-tiba si codet membentak. "Ia harus mencium kita bertujuh bergantian, baru kita mau memaafkannya.!"
Si brewok tertawa. "Nah, kau dengar sendiri, manis. Memang sudah untungmu hari ini, akan diciumi tujuh orang laki-laki jantan perkasa, ha ha ha! Nah, aku akan menciummu lebih dahulu!" Si brewok mengembangkan kedua lengannya yang panjang, dan dari kanan kiri, kedua tangannya menyambar hendak merangkul tubuh Bi Lan.
"Wuuuuuttt...!" Si brewok merangkul dan rangkulan itu hanya mengenai tempat kosong karena Bi Lan dengan kecepatan luar biasa telah dapat mengelak. Si brewok membalik dan hendak menubruk lagi, akan tetapi Bi Lan mendahuluinya dengan loncatan ke depan dan kakinya menyambar.
"Ciumlah sepatuku ini...!"
"Plok!" Ujung sepatu kiri Bi Lan menendang tepat mengenal hidung yang panjang besar dan melengkung itu. Si brewok terjengkang dan ketika dia bangkit kembali dia memegangi hidungnya yang bocor berdarah! Si brewok ini menjadi korban kelancangannya sendiri. Karena terlalu memandang rendah Bi Lan yang disangkanya seorang wanita lemah yang hanya galak saja, maka hidungnya hampir pecah oleh tendangan wanita perkasa itu.
Tentu saja kawan-kawannya menjadi marah dan merekapun berteriak-teriak untuk berlomba untuk menangkap Bi Lan. Hanya si codet yang masih berdiri saja dengan pecut diputar-putar dan matanya mengamati kawan-kawannya yang berlomba untuk menangkap Bi Lan. Kalau wanita itu tertangkap, akan diikat dengan cambuknya dan dilarikan ke tempat tinggal mereka.
Wanita itu harus dihukum karena telah berani menghina bahkan melukai si brewok. Akan tetapi, ia terbelalak dan baru menyadari bahwa Bi Lan bukan wanita biasa. Biarpun dikeroyok lima orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar, dapat bergerak cepat dan bertenaga besar pula, namun wanita itu memiliki gerakan seperti seekor burung walet saja cepatnya, berkelebatan di antara lima orang pengeroyoknya.
Sambil mengelak mengandalkan kegesitan tubuhnya, Bi Lan yang marah kepada orang-orang kasar itu membagi-bagi tamparan dan tendangan. Lima orang Turki itu sebetulnya bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah anggota pasukan Turki, pasukan pedang bengkok yang ganas dan kuat dalam perang. Namun, mereka terlalu memandang rendah Bi Lan, dan juga sekali ini mereka bertemu dengan seorang lawan ahli silat tingkat tinggi yang lihai sekali. Maka, dalam beberapa gebrakan saja merekapun terkena tamparan atau tendangan, sehingga satu demi satu terpelanting.
"Tar-tar-tarrrr...!!" Si codet yang marah sekali melihat anak buahnya dikalahkan seorang wanita muda, menggerakkan cambuk panjangnya. Cambuk hitam itu terbuat dari kulit dan selain panjang, juga lemas dan kuat sekali. Cambuk ini tadi telah mencabik-cabik baju seorang wanita dusun tanpa melukai kulitnya. Hal itu menunjukkan bahwa si codet ini memang ahli dalam memainkan cambuk.
Bi Lan bersikap tenang. Ketika ujung cambuk menyambar ke arah dadanya, ia menggeser kaki ke samping sehingga ujung cambuk itu luput. Si codet menjadi semakin beringas. Tangannya bergerak lebih kuat dan cepat. Cambuknya kini menyambar-nyambar bagaikan seekor ular panjang yang hidup.
Bi Lan tetap mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan ke sana sini mengelak sambil memperhatikan gerakan cambuk. Setelah ia melihat perubahan gerakan cambuk ketika menyusulkan serangan baru, dengan gerakan melengkung ke atas, ia lalu mengelak lagi dan pada saat cambuk itu melengkung ke atas untuk menyambung serangan yang luput, ia telah mendahului dan menggunakan tangan kanan menangkap ujung cambuk! Bi Lan mengerahkan tenaga mempertahankan ketika si codet menarik cambuknya. Dengan kekuatan sin-kang. ujung cambuk itu seperti melekat pada tangannya dan dengan perhitungan yang tepat, tiba-tiba Bi Lan melepaskan cambuknya.
"Wuuutttt... tarr...!"
"Aduhhh...!" Si codet berteriak kesakitan karena dagunya dicium ujung cambuknya sendiri dengan kuatnya sehingga terluka dan berdarah!
Melihat ini, enam orang anak buahnya mencabut pedang bengkok mereka dan bersama si codet yang semakin marah mereka hendak mengeroyok Bi Lan dengan senjata di tangan.
"Serang, bunuh perempuan jahat ini!" Si codet memberi aba-aba dan ia sendiripun sudah memutar cambuknya dengan kemarahan meluap-luap. Luka di dagunya tidak ada artinya dibandingk luka di hatinya, karena dia merasa terhina dan malu sekali dikalahkan seorang wanita muda, di depan umum pula.
Bi Lan sudah siap siaga. Akan tetapi ketika tujuh orang itu mulai bergerak, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, didahului sinar menyilaukan mata. Terdengar suara senjata beradu, berdeting dan enam batang pedang bengkok itupun terpental dan terlepas dari tangan pemiliknya, sedangkan cambuk itupun terlepas. Tujuh orang itu terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanan yang terasa nyeri karena sambaran sinar suling di tangan Siauw Can!
Pemuda ini tidak melukai mereka hanya menotok dengan ujung sulingnya, ke arah tangan kanan mereka sehingga mereka terpaksa melepaskan senjata mereka dan terhuyung ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Lebih-lebih rasa kaget dan heran mereka ketika melihat bahwa yang membuat senjata mereka terlepas tadi adalah si kusir kereta, pemuda tampan itu yang tangan kirinya memondong anak perempuan kecil sedangkan tangan kanannya memegang sebatang suling!
Hanya dengan sulingnya, dan sambil memondong anak kecil, pemuda itu mampu membuat senjata mereka bertujuh terlepas! Hal ini saja sudah membayangkan betapa lihainya pemuda ini. Akan tetapi, tujuh orang Turki itu bukan hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian saja untuk memaksakan kemenangan, melainkan terutama mengandalkan kedudukan mereka! Biarpun mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu menang kalau berkelahi melawan wanita muda dan pemuda kusir yang lihai ini, namun mereka masih berani membentak.
"Kalian berani melawan kami, para anggota Pasukan Pedang Bengkok?" teriak si codet.
Pada saat itu, dari kelompok penonton yang memenuhi tempat itu, muncul seorang pria berusia lima puluhan tahun, berpakaian bangsawan. Pria ini sejak tadi ikut pula menonton dengan kagum dari atas kudanya dan kini dia meloncat turun, membiarkan kudanya dipegangi kendalinya oleh seorang pengawal dan diapun maju menghampiri tujuh orang itu.
"Kalian ini selalu mendatangkan keributan!" tegurnya. Ketika si codet dan kawan-kawannya melihat bangsawan itu, mereka memberi hormat dengan membungkukkan tubuh.
"Poa-taijin (pembesar Poa)...!” kata si codet sambil memberi hormat ditiru semua anak buahnya.
Pembesar yang bermata sipit itu berkata dengan suara mengandung teguran. "Kalian sungguh ceroboh, berani sekali mengganggu tai-hiap dan li-hiap ini! Tahukah kalian? Mereka ini adalah sanak keluarga dari Pangeran Tua Li yang baru tiba dari dusun!"
Tujuh orang Turki itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Si codet cepat memberi hormat kepada Siauw Can dan Bi Lan, kembali diikuti oleh keenam orang anak buahnya. "Mohon ji-wi (kalian) sudi memaafkan kami yang tidak mengenal ji-wi maka bersikap kurang hormat." Setelah berkata demikian, mereka bertujuh cepat memungut senjata mereka dan pergi dari situ dengan langkah lebar dan muka ditundukkan.
Melihat pembesar itu kini memandang kepada mereka sambil tersenyum ramah Siauw Can cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kami, tai-jin, akan tetapi kami tidak mengerti..."
Pembesar itu membuat gerakan dengan tangan menghentikan ucapan Siauw Can, lalu dia menoleh ke arah orang-orang yang masih berkerumun menonton di situ sambil membicarakan perkelahian tadi, memuji-muji Bi Lan dan Siauw Can.
"Hei, kalian menonton apa? Kami bukan tontonan, hayo pergi melanjutkan perjalanan dan pekerjaan kalian masing-masing!"
Mendengar bentakan seorang pembesar yang berpakaian mewah, para penonton itu menjadi takut dan merekapun bubar. Keadaan menjadi sunyi kembali dan pembesar itu mendekati Siauw Can.
"Tai-hiap, kalau kami tidak mencampuri, kalian tentu akan dikeroyok oleh ratusan orang anggota pasukan Turki itu. Akan tetapi di sini bukan tempat kita bicara. Marilah ikut dengan kami menghadap Pangeran Tua. Kalian tentu akan mendapatkan kedudukan yang pantas kalau suka membantu beliau."
Siauw Can saling pandang dengan Bi Lan. Sungguh merupakan peristiwa yang amat kebetulan dan amat menguntungkan mereka. Tanpa dicari, pekerjaan datang sendiri, bahkan mereka akan dihadapkan kepada seorang pangeran! Dan Siauw Can sudah tahu siapa Pangeran Tua! Adik kaisar! Tentu mereka akan dapat memperoleh kedudukan yang amat baik!
"Ingat, demi keselamatan kalian! Kalau kalian menolak dan melihat bahwa kalian bukan orang-orang Pangeran Tua, tentu orang-orang Turki itu tidak akan membiarkan kalian bebas dan kalian akan terancam bahaya besar." kata pembesar itu ketika melihat keraguan pada wajah si wanita cantik.
Siauw Can cepat memberi hormat. "Tai-jin, terus terang saja kami berdua hendak pergi ke kota raja memang untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan kami."
"Bagus! Kalau begitu cocok sekali. Kalian mencari pekerjaan dan Pangeran Tua memang sedang mencari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti kalian. Marilah ikut dengan kami. Namaku Poa Kiu dan aku orang kepercayaan Pangeran Tua Li Siu Ti."
"Tai-jin maksudkan adik dari Sri Baginda Kaisar?" tanya Siauw Can dengan girang.
"Siapa lagi kalau bukan beliau yang disebut Pangeran Tua? Nah, mari kalian ikuti rombonganku memasuki kota raja, pasti aman." Poa Tai-jin yang bernama Poa Kiu itu lalu menunggang kudanya, diikuti oleh enam orang pengawal dan Siauw Can cepat mengikuti dari belakang dengan keretanya.
Dari dalam kereta, Bi Lan bertanya kepada Siauw Can, "Can-toako , siapa sih orang-orang asing itu? Kenapa mereka merajalela di kota raja dan kenapa pula Poa Tai-jin mendiamkan saja mereka, hanya menegur dan tidak mengambil tindakan?"
"Aih, kiranya engkau belum tahu duduknya persoalan, Lan-moi," jawab Siauw Can lirih agar jangan terdengar orang lain. "Pasukan Turki merupakan rekan dari pasukan yang digerakkan oleh Panglima atau Pangeran Mahkota Li Si Bin, sehingga berhasil menggulingkan Kerajaan Sui dan mendirikan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, tentu saja orang-orang Turki itu menjadi besar kepala dan berani merajalela di sini. Mereka merasa telah berjasa pada pendirian Kerajaan Tang. Bahkan di antara tokoh-tokoh mereka banyak yang diangkat menjadi panglima dan pembesar-pembesar tinggi oleh Sribaginda Kaisar.”
"Tapi... mengapa begitu? Mengapa para pendiri Kerajaan Tang itu bersekutu dengan orang-orang Turki?"
"Hal itu tidaklah aneh. Ketahuilah bahwa pemimpin pemberontak yang menggulingkan Kerajaan Sui adalah Li Si Bin yang kini menjadi panglima besar dan pangeran mahkota. Dan dia adalah seorang peranakan Turki. Ayahnya, yang sekarang menjadi Kaisar Tang Kao Cu adalah seorang Han, akan tetapi ibunya adalah seorang wanita Turki, yang kini menduduki jabatan Permaisuri Muda. Nah sebagai seorang peranakan Turki, tentu saja hubungannya dengan bangsa Turki amat baik dan dia memang membutuhkan bantuan pasukan Turki untuk memenangkan perjuangannya menggulingkan Kerajaan Sui. Setelah berhasil, tentu saja bangsa Turki itu mendapat angin dan berani merajalela di sini."
Dengan singkat, di sepanjang perjalanan ke kota raja. Siauw Can menceritakan keadaan keluarga kaisar yang diketahuinya dengan baik. Dia menceritakan betapa yang paling berkuasa di kota raja adalah Panglima atau Putera Mahkota Li Si Bin, yang sebetulnya merupakan orang yang menjadi pemimpin besar dalam menggulingkan Kerajaan Sui.
Karena dia masih harus melakukan penertiban dan pembersihan, maka dia mengangkat ayahnya menjadi kaisar pertama Kerajaan Tang, yaitu kaisar yang sekarang berjuluk Kaisar Tang Kao Cu. Adapun Putra Mahkota Li Si Bin sendiri menjadi Panglima besar dan dialah yang berhasil menundukkan semua pemberontak, melakukan penertiban di mana-mana.
Setelah Li Si Bin berhasil, tentu saja otomatis keluarga Li mendapat anugerah, menjadi keluarga kaisar! Juga Li Si Bin tidak melupakan keluarga ibunya dari Turki dan banyak orang pandai dari Turki diberinya kedudukan untuk membantu lancarnya pemerintahan Tang yang baru. Di antara para keluarga Li, yang paling menonjol kedudukannya adalah adik kandung kaisar sendiri, atau paman dari Li Si Bin yang bernama Li Siu Ti. Paman inipun sudah berjasa membantu perjuangannya, maka setelah mereka berhasil mendirikan Kerajaan Tang, Li Siu Ti menjadi Pangeran Tua yang menjadi penasihat kaisar, bahkan mengepalai para pangeran sebagai wakil kaisar.
"Demikianlah, Lan-moi. Sekarang kita diundang ke sana! Kalau kita dapat bekerja kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, berarti bintang kita sedang terang! Dia merupakan orang yang paling berkuasa di istana, tentu saja sesudah kaisar dan putera mahkota!"
Bi Lan ikut merasa gembira. Ia pun ingin mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya agar ia mendapatkan tempat tinggal yang baik, serba bercukupan sehingga ia akan dapat mendidik Lan Lan dengan baik. Ia sudah hampir lupa bahwa Lan Lan adalah puteri Si Han Beng dan Bu Giok Cu. Ia merasa bahwa Lan Lan adalah anaknya sendiri dan segala yang ia lakukan adalah demi kepentingan Lan Lan yang amat disayangnya.
********************
Gedung itu besar dan indah. Mungkin hanya kalah megahnya dengan istana kaisar saja. Hal ini saja membuktikan kebesaran penghuninya. Dan semua orang tahu belaka bahwa pemilik istana itu Pangeran Tua Li Siu Ti, adalah orang yang paling berkuasa sesudah kaisar dan putera mahkota atau panglima besar.
Pangeran Li Siu Ti, biarpun disebut Pangeran Tua sebagai tanda bahwa dia bukan putera kaisar, melainkan adiknya, belumlah tua benar. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar dan gagah, matanya membayangkan kecerdikan dan kadang-kadang mulutnya memiliki senyum yang penuh rahasia.
Sejak dia kebagian kemuliaan menjadi Pangeran Tua dan diangkat menjadi penasihat kakaknya yang menjadi kaisar, Pangeran Li Siu Ti telah membuat banyak jasa. Dia memang cerdik dan nasihatnya kepada kaisar selalu tepat. Banyak membantu kelancaran jalannya roda pemerintahan dari Kerajaan Tang yang baru itu.
Pangeran Li Siu Ti mempunyai seorang isteri dan lima orang selir. Akan tetapi, hanya dari selir ke dua saja dia mempunyai keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang pada waktu itu teluh menjadi seorang gadis remaja berusia tujuhbelas tahun, bernama Li Ai Tin. Puteri ini berwajah cantik, apalagi karena ia pandai dan suka bersolek. Bentuk tubuhnya yang ramping padat juga menggairahkan, sehingga banyak pemuda di kalangan bangsawan tergila-gila kepadanya.
Ketika rombongan Poa Kiu yang mengantar Siauw Can dan Bi Lan memasuki pekarangan yang luas dari gedung tempat tinggal Pangeran Tua, kedua orang ini melihat bahwa tempat itu terjaga oleh pasukan keamanan. Akan tetapi karena yang mengawal kereta adalah Poa Kiu yang dikenal oleh semua pengawal, maka kereta itu tidak ditahan dan dapat dijalankan sampai di bawah anak tangga beranda depan gedung itu.
Siauw Can dan Bi Lan diam-diam memperhatikan keadaaan tempat itu dan melihat bahwa di antara para anggota pasukan penjaga tidak nampak seorangpun bangsa Turki. Kepada kepala pengawal, Poa Kiu minta agar dikabarkan kepada Pangeran Tua bahwa dia mohon menghadap bersama dua orang tamu yang amat penting, guna dihadapkan kepada pangeran. Kepala pengawal tahu bahwa Poa Kiu adalah orang kepercayaan dan tangan kanan sang pangeran, maka tanpa banyak tanya lagi dia lalu langsung saja masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada majikannya.
Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul kembali dan mempersilakan Poa Kiu dan dua orang tamu itu langsung saja memasuki ruangan tamu di bagian kanan bangunan. Kalau tadi Bi Lan dan Siauw Can mengagumi pekarangan depan yang mempunyai taman amat indahnya, dan beranda depan yang luas dan dihias arca-arca singa dan naga, kini mereka menjadi makin kagum ketika memasuki lorong menuju ke ruangan tamu, didahului oleh kepala pengawal dan Poa Tai-jin.
Gedung itu memang indah sekali. Pot-pot tanaman bunga yang terukir indah, dengan tanaman bunga yang langka didapat. Guci-guci besar menghias sudut-sudut di sepanjang lorong, tempat-tempat lampu yang beraneka bentuk dan warna. Pilar-pilar yang terukir, tirai-tirai sutera, permadani dan pada dinding tergantung lukisan-lukisan dan tulisan huruf indah yang tak ternilai harganya.
Ketika mereka memasuki kamar tamu, Pangeran Tua Li Siu Ti sudah duduk di situ, di atas sebuah kursi yang berwarna merah. Di kanan kiri dan belakangnya berdiri selosin pengawal pribadi. Kepala pengawal itu menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kiri dan memberi hormat. Poa Kiu juga memberi hormat kepada atasannya dengan menjura dan membungkuk. Melihat ini, Siauw Can dan Bi Lan juga mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.
Dengan tangannya. Pangeran Li Siu Ti menyuruh kepala pengawal mundur, kemudian dia memandang kepada pembantu utamanya. "Poa Kiu, siapakah dua orang muda ini dan kenapa engkau membawa mereka menghadapku?"
Dalam pertanyaan ini terkandung teguran karena agaknya sang pangeran kecewa. Tadi kepala pengawal melaporkan bahwa Poa Kiu mohon menghadap bersama dua orang penting! Tidak tahunya hanya seorang pemuda sederhana dan seorang wanita muda yang memondong seorang anak perempuan!
"Ampun, pangeran," kata Poa Kiu. "Sekali ini saya membawa berita amat menggembirakan. Tanpa disengaja di tengah perjalanan, saya telah bertemu dengan dua orang pendekar ini yang tentu akan amat berguna bagi paduka. Mereka inilah orang-orang yang selama ini paduka cari, yang paduka butuhkan. Mereka berdua memiliki ilmu kepandain silat yang hebat."
Lalu Poa Kiu menceritakan kepada sang pangeran tentang sepak terjang Bi Lan dan Siauw Can ketika diganggu oleh tujuh orang Turki di jalan tadi. Sang pangeran mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi dia mengerutkan alis mengamati dua orang itu. Agaknya, sukar baginya untuk dapat mempercayai cerita itu.
Dua orang muda itu sama sekali tidak mengesankan sebagai orang-orang berilmu tingggi, apalagi wanita itu, yang masih muda, cantik dan kelihatan lemah lembut. Bagaimana mungkin dengan tangan kosong mampu mengalahkan tujuh orang Turki yang kuat-kuat itu? Dan pemuda itu dengan sebatang suling saja mampu melucuti senjata tujuh orang Turki itu? Tak masuk akal!
Akan tetapi pada saat itu, kepala pengawal datang menghadap dan melaporkan bahwa Raja Muda Baducin datang bertamu! Mendengar nama ini, wajah Pangeran Li Siu Ti berseri dan dia mengerling ke arah Poa Kiu.
"Bagus! Agaknya ini ada hubungannya dengan dua orang muda ini. Poa Kiu engkau ajak mereka keluar dari sini, tunggu di ruangan sebelah. Nanti kalau aku memberi isyarat memanggil, kalian masuklah ke sini."
Kemudian pangeran itu memerintahkan kepala pengawal untuk mempersilakan Raja Muda Baducin untuk memasuki ruangan tamu. Poa Kiu maklum akan apa yang dimaksudkan majikannya, maka diapun mengajak Siauw Can dan Bi Lan keluar melalui pintu samping dan menunggu di ruangan sebelah.
Tak lama kemudian, masuklah tiga orang ke dalam ruangan tamu itu. Yang menjadi tamu kehormatan adalah Raja Muda Baducin, seorang laki-laki bangsa Turki berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus. Matanya lebar dan tajam sekali, hidungnya seperti paruh kakaktua, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan kulitnya coklat mengarah hitam. Pakaiannya mewah dan kepalanya tertutup sorban putih dari sutera.
Orang yang menemaninya selalu berada di belakangnya arah kanan kiri dan sekali pandang saja orang akan mengetahui bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar. Wajah mereka, bentuk tubuh mereka, bahkan pakaian mereka, serupa dan sukarlah membedakan yang satu dengan yang lain.
Usia mereka sekitar empat puluh tahun, pakaian mereka seperti pakaian perwira perang, dan dipinggang mereka tergantung pedang bengkok yang ujung dan gagangnya terhias emas permata. Kumis mereka melintang panjang, melengkung ke atas, dan jenggot mereka dipotong agak pendek, membuat mereka tampak jantan dan kokoh kuat. Apalagi keduanya memang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, sehingga baru bertemu saja, orang akan merasa gentar.
Setelah saling bersalaman dan mempersilakan tamunya duduk; Raja Muda Baducin duduk di atas kursi dan dua orang kembar itu tetap saja berdiri di belakangnya, seperti juga selosin pengawal pribadi yang tetap berdiri di belakang Pangeran Li Siu Ti, Pangeran itu lalu berkata kepada kepala pengawal.
"Engkau boleh keluar dan sediakan minuman untuk pasukan pengawal Raja Muda!"
"Baik, Yang Mulia Pangeran!" kata kepala pengawal itu lalu keluar dari situ. Seperti biasa, kepala para orang Turki itu tentu saja datang dengan sepasukan pengawal yang tadi menanti di luar, sedangkan yang masuk hanya dia bersama dua orang pengawal pribadi yang setia.
Kalau saja orang melihat keadaan kedua "orang besar" ini beberapa tahun yang lalu, tentu apa yang dilihatnya sekarang ini mirip dengan pertunjukan panggung sandiwara saja. Baru beberapa tahun yang lalu, Pangeran Tua Li Siu Ti yang kini disebut yang mulia dan paduka yang mulia, hanyalah orang biasa saja, bahkan dari keluarga petani. Akan tetapi begitu sekarang keluarganya berhasil meraih tahta kerajaan, dia menjadi seorang bangsawan tinggi yang dimuliakan orang.
Juga orang yang kini disebut Raja Muda Baducin, tadinya adalah seorang kepala gerombolan orang Turki yang termasuk golongan hitam atau sesat yang di negerinya dimusuhi sendiri oleh pemerintahnya. Baducin dapat bersekutu dengan Li Si Bin dan membantu gerakan perwira muda itu sehingga berhasil menggulingkan Kerajaan Sui. Maka, sebagai balas jasa, setelah Li Si Bin berhasil, Baducin menerima anugerah, yaitu sebutan "raja muda" dan kedudukan yang mulia!
Dan kini dua orang yang berasal dari rakyat jelata ini, sekarang saling berhadapan seperti dua orang bangsawan tinggi, lengkap dengan semua peralatan dan peraturannya. Setelah gadis-gadis pelayan yang cantik datang menyuguhkan makanan dan minuman kepada tamu kehormatan itu, dan mereka berdua makan minum dengan gembira sambil memberi hormat dengan minum arak, barulah Pangeran Li Siu Ti menanyakan maksud kunjungan raja muda itu.
"Kunjungan paduka Raja Muda Baducin merupakan suatu kehormatan besar bagi kami, akan tetapi kunjungan yang mendadak ini agaknya membawa urusan penting. Atau hanya merupakan kunjungan iseng belaka untuk melepas rindu?" tanya sang pangeran dengan ramah.
Raja Muda Baducin tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang rapi. "Ha-ha-ha, tepat sekali apa yang diduga oleh Paduka Pangeran Tua. Orang yang selalu sibuk seperti kami ini mana ada kesempatan untuk membuang waktu hanya untuk iseng? Sesungguhnya kunjungan kami ini untuk mohon keterangan dari paduka tentang peristiwa yang amat tidak menyenangkan hati kami."
"Hemm, peristiwa apakah itu? Harap paduka segera menceritakan kepada kami."
"Begini, pangeran. Pagi tadi, tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok sedang mengadakan patroli di luar pintu gerbang kota raja. Mereka melihat sebuah kereta dan karena curiga mereka menghentikan kereta itu untuk melakukan pemeriksaan. Akan tetapi penumpang kereta itu, seorang pemuda dan seorang wanita muda, membantah dan terjadi percekcokan dan perkelahian. Akan tetapi, ketika anak buah kami hendak memberi hukuman kepada orang-orang yang menghina itu, muncul pembantu paduka, yaitu Poa Kiu. Dia mencegah anak buah kami bertindak dengan mengatakan bahwa dua orang itu adalah sanak keluarga paduka yang datang dari dusun. Dan tadi, mata-mata kami mengetahui bahwa dua orang itu memang datang ke gedung ini! Nah, setelah mendapatkan laporan itu, kami bergegas datang berkunjung untuk mohon penjelasan agar tidak sampai terjadi kesalah pahaman di antara kita."
Pangeran Li Siu Ti mengangguk-angguk dan tersenyum. Biarpun cerita yang didengarnya dari raja muda ini berbeda dengan yang didengarnya dari Poa Kiu, tentu saja dia lebih percaya kebenaran cerita pembantunya yang setia. Dan diapun maklum bahwa tentu orang-orang Turki itu tidak berterus terang kepada pimpinan mereka bahwa mereka telah dikalahkan pemuda dan wanita muda itu!
"Memang benar apa yang paduka dengar itu, karena memang mereka adalah masih sanak keluarga dengan kami, walaupun masih jauh. Mereka datang berkunjung untuk membantu pekerjaan kami. Menurut cerita mereka, memang terjadi kesalah-pahaman dengan tujuh orang anak buah paduka. Akan tetapi, keributan itu tidak sampai berakibat jauh, tidak ada pihak yang terluka parah atau tewas. Maka, kami harap paduka menghabiskan saja urusan di antara anak buah kita itu."
Raja Muda Baducin itu tertawa, "Ha-ha-ha, kalau memang mereka itu sanak keluarga paduka, tentu saja kami yang mohon maaf atas kelancangan anak buah kami. Hanya yang membuat kami merasa penasaran. Kabarnya kedua orang muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga anak buah kami menjadi permainan mereka."
Pangeran Li Siu Ti tersenyum bangga. "Memang kedua orang sanak jauh itu merupakan dua orang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi!"
"Bagus, kalau begitu, ingin sekali kami bertemu dan berkenalan dengan mereka, dan dapat melihat dengan mata kepala sendiri dua orang muda, seorang pemuda dan seorang gadis, yang telah mampu mengalahkan tujuh orang anak buah pasukan Pedang Bengkok! Kalau mereka berada disini, dapatkah kami bertemu dengan mereka, pangeran?"
"Tentu saja boleh! Bahkan mereka berduapun berada di sini, akan tetapi untuk menghormati paduka, kami memerintahkan mereka menyingkir ke ruangan lain..."
Pangeran Li Siu Ti bertepuk tangan dan muncullah Poa Kiu diiringi Siauw Can dan Kwa Bi Lan yang memondong Lan Lan. Anak itu sedang makan kembang gula dengan asyiknya. Pangeran Tua segera memperkenalkan tamunya kepada dua orang muda itu, sedangkan Poa Kiu sudah menjura dengan sikap hormat.
"Tamu terhormat kita ini adalah Raja Muda Baducin yang mengepalai semua pasukan Turki yang berada di sini, dan beliau ingin berkenalan dengan kalian berdua."
Bi Lan sendiri meragu, dan andaikata tidak ada Siauw Can di situ, belum tentu dia mau memberi hormat kepada orang itu. Biarpun raja muda, ia adalah seorang Turki dan tadi pagi orang-orang Turki bersikap amat kasar dan menghina kepadanya. Bagaimana ia dapat memberi hormat? Akan tetapi, Siauw Can mendahuluinya dan pemuda ini memberi hormat dengan menjura, yang diturut pula oleh Bi Lan.
Sementara itu, melihat bahwa dua orang yang telah mengalahkan tujuh orang anak buahnya itu hanya seorang pemuda kerempeng dan seorang wanita muda cantik yang lemah lembut, hati Raja Muda Baducin menjadi semakin penasaran. "Aha, kiranya dua orang ini masih amat muda! Pantas saja lancang dan berani menghina tujuh orang anggota Pasukan Pedang Bengkok kami!" katanya.
Mendengar ini, Siauw Can cepat menjawab. "Paduka mendapat keterangan yang keliru. Kami berdua sama sekali tidak pernah menghina tujuh orang itu."
"Ho-ho-ho, kalian mengalahkan tujuh orang anggota Pedang Bengkok di jalan raya, disaksikan banyak orang kalian telah melucuti senjata pedang mereka dan memandang rendah mereka, bukankah itu penghinaan besar namanya! Kalau tidak muncul Poa Tai-jin, tentu telah terjadi perkelahian mati-matian!"
"Maafkan kami," kata pula Siauw Can mengalah.
"Ha-ha-ha, kalau kami tidak memaafkan, apa kami mau berkunjung ke sini? Kami justru kagum kepada kalian dan kami ingin menyaksikan sendiri sampai di mana kelihaian kalian berdua! Nah, di sini ada dua orang pengawalku. Kalau kalian berdua mampu mengalahkan dua orang pengawalku ini, aku akan memberi selamat kepada Pangeran Tua yang beruntung sekali mendapatkan pembantu-pembantu yang amat lihai!"
Itu merupakan tantangan terbuka! Bi Lan sudah menjadi merah wajahnya, akan tetapi Siauw Can yang cerdik memberi hormat ke arah Pangeran Li Siu Ti yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. "Kami berdua telah bekerja di sini maka kami tidak dapat melakukan apapun tanpa perintah dari Paduka Pangeran Tua! Kami berdua menanti perintah!"
Pangeran Li Siu Ti tersenyum lebar. Inilah kesempatan baginya untuk menguji kedua orang itu. Akan tetapi Poa Kiu merasa khawatir. Tentu saja dia sudah mengenal siapa dua orang pengawal pribadi Raja Muda Baducin ini. Dua orang raksasa kembar itu merupakan orang-orang yang paling kuat dan paling lihai di antara semua orang Turki yang berada di kota raja. Nama mereka Gondulam dan Gondalu, dua orang saudara kembar yang selain bertenaga gajah juga pandai ilmu gulat, pandai silat bahkan memiliki kekuatan sihir...!