"Memang indah dan cantik sekali, nona kecil. Seperti engkau..."
Kui Eng menengok dan alisnya berkerut. Ia masih belum tahu bahwa ucapan itu mengandung kekurang-ajaran, akan tetapi ia tidak suka lengannya disentuh jari-jari tangan yang panjang itu. Kalau dalam keadaan biasa, tentu ia sudah mendamprat orang itu, akan tetapi ia teringat akan pesan ayahnya dan iapun menarik lengannya yang terpegang.
"Aku tidak bicara denganmu," katanya ketus dan iapun menjauhkan diri beberapa langkah. Si muka kuda menyeringai.
"Aih, galaknya, akan tetapi bertambah manis. Jangan marah, anak manis." Kini tangan itu bergerak mengusap ke arah dagu dan pipi Kui Eng.
Tentu saja Kui Eng marah sekali, akan tetapi ia masih menahan sabar. Ia miringkan kepalanya sehingga hanya dagunya saja tersentuh dan ia melangkah mundur lagi. "Jangan sentuh aku!" katanya, masih menahan sabar.
Si muka kuda itu mengira bahwa Kui Eng ketakutan, maka iapun menjulurkan kedua tangannya lagi. "Jangan takut, sayang, aku tidak akan menyakitimu. Marilah ikut dengan kami." Dan tiba-tiba saja si muka kuda itu sudah menangkap lengan kiri Kui Eng.
Anak yang tidak menyangka-nyangka ini, dan pula tidak ingin menggunakan kekerasan, tiba-tiba sudah ditarik dan berada dalam pondongan si muka kuda! Kui Eng memiliki dasar watak yang keras, galak dan tak mengenal takut. Kalau sejak tadi ia hanya bersabar saja hal itu adalah karena ia mengingat pesan ayahnya. Akan tetapi, kesabarannya terbatas sekali. Begitu merasa dirinya dipondong dan pemondongnya menggerakkan kaki hendak lari, ia menjadi marah bukan main!
"Heii, jangan larikan adikku!" Thian Ki berteriak, akan tetapi diapun ragu untuk turun tangan, mengingat pesan ayahnya.
"Jahanam kau! Anjing kau!" Kui Eng memaki dan tangan kirinya menjambak rambut si muka kuda, tangan kanannya menampar.
"Plakk! Aduuuhh...!" Si muka kuda merasa kepalanya seperti dihantam palu godam sehingga pondongannya terlepas. Kui Eng sudah meloncat turun. Si Muka kuda marah bukan main. Pipi kirinya bengkak oleh tamparan tadi dan dia kini menghampiri Kui Eng dengan mata berapi. Juga kawannya yang tinggi besar bermuka bopeng menghampiri dari lain jurusan.
"Bocah setan binal!" si muka kuda menubruk. Akan tetapi sekarang Kui Eng sudah naik pitam. Dengan gesit ia mengelak, menggeser tubuh ke kiri dan begitu si muka kuda menerkam luput, kakinya menendang dua kali beruntun dengan cepat sekali dan tubuh si muka kuda terlempar ke dalam air kolam!
"Byuuuuuurr...!"
Si tinggi besar terbelalak, lalu menerkam dengan marah. Kui Eng mengelak lagi. Akan tetapi si tinggi besar ini rupanya menyadari bahwa anak perempuan remaja itu bukan anak biasa, melainkan memiliki gerakan silat yang cepat, iapun membalik dan kakinya yang besar dan panjang itu mencuat, melakukan tendangan. Sungguh keji sekali, seorang laki-laki tinggi besar seperti itu menendang seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Kalau tendangan itu mengenai sasaran, tentu tubuh Kui Eng akan terlempar jauh dan mungkin akan tewas seketika.
Namun, sejak kecil Kui Eng telah menerima gemblengan seorang sakti seperti ayahnya sendiri, juga ia dilatih oleh ibunya yang lihai pula. Tendangan yang amat kuat dan cepat itu dengan mudah dapat ia elakkan, kemudian ia membalik dan kakinya menendang belakang lutut kanan lawan.
"Plakk?" dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar yang belakang lututnya ditendang itu terpaksa jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Pada saat itu, kaki kanan Kui Eng menggantikan kaki kiri, menyambar dan tepat mengenai pelipis kiri si tinggi besar bermuka bopeng.
"Plaak...!" si tinggi besar mengeluh dan tubuhnya terpelanting.
Kui Eng tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mengejar dan kembali kakinya menendang, dua kali tendangan dan tubuh si tinggi besar juga terlempar ke dalam kolam menyusul temannya!
Pada saat itu, Cian Bu dan Sim Lan Ci sudah tiba pula di situ, demikian pula mereka yang sedang berada di dalam taman, datang berlari-larian ketika mendengar ada perkelahian di dekat kolam ikan. Cian Bu sudah menangkap tangan puterinya dan ditariknya dari situ, diajak pergi diikuti oleh Sim Lan Ci dan Thian Ki. Mereka berempat tidak berkata sesuatu.
Dan semua orang yang tiba di tepi kolam, memandang ke arah dua orang yang masih berada di dalam kolam itu. Kemudian orang jadi geger ketika dua orang itu tidak keluar dari dalam kolam dan ketika diperiksa, ternyata mereka telah tewas! Ada luka sebesar kuku ibu jari tangan di dahi mereka dan darah mengucur dari luka itu. Agaknya mereka tewas seketika!
Tidak ada seorangpun di antara mereka tahu apa yang telah terjadi. Yang tadi berada di dekat situ hanya melihat betapa dua orang yang tewas di kolam itu tadi menyerang seorang anak perempuan yang kini telah lenyap entah ke mana. Mereka yang tadi kebetulan dekat melihat betapa anak perempuan itu hanya mengelak ke sana sini kemudian menendang-nendang dan dua orang itu terlempar ke dalam kolam. Akan tetapi, mustahil kalau tendangan anak perempuan itu dapat menimbulkan luka di dahi yang menewaskan kedua orang yang nampaknya kuat dan jagoan itu.
Cian Bu dan keluarganya tiba kembali di rumah penginapan dan mereka berempat berkumpul di kamar yang ditempati Sim Lan Ci dan Kui Eng. Setelah tiba di dalam kamar itu, barulah mereka saling pandang dan Thian Ki yang sejak tadi menahan-nahan perasaannya, segera berkata kepada ayahnya sambil menatap tajam wajah orang tua itu.
"Ayah, kenapa ayah membunuh mereka?"
Mendengar ini, Kui Eng terkejut dan anak perempuan itupun memutar tubuh memandang ayahnya. "Benarkah ayah telah membunuh mereka? Bagus! Mereka memang layak dibunuh. Mereka dua orang yang jahat sekali!" Wajah anak perempuan itu kelihatan girang bukan main.
"Kui Eng, jangan sekejam itu! Thian Ki menegur adiknya. "Mereka itu memang jahat karena hendak mengganggumu, akan tetapi kalau kita bunuh mereka bukankah itu lebih jahat lagi namanya?"
"Thian Ki, engkau melihatnya?" Cian Bu bertanya dan pandang matanya kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa anak itu akan melihat perbuatannya tadi, padahal dia hampir yakin bahwa yang tahu hanyalah dia dan isterinya saja. Tempat itu gelap dan gerakannya amat cepat, juga benda yang dipergunakan untuk membunuh itu terlalu kecil untuk dapat dilihat orang ketika meluncur cepat ke arah dua orang di kolam itu. Akan tetapi Thian Ki mengetahuinya!
Ini saja membuktikan bahwa anaknya yang juga muridnya ini memang berbakat sekali dan telah memiliki ketajaman pandang mata yang melebihi ahli silat biasa. Bahkan Kui Eng saja yang tingkat kepandaiannya tidak berbeda jauh dibandingkan Thian Ki, tidak dapat melihatnya.
"Aku hanya melihat berkelebatnya dua sinar hitam kecil ke arah mereka, dan melihat mereka tewas, akan tetapi aku tidak tahu siapa yang membunuh mereka dengan sambitan itu, tidak tahu pula benda apa yang membunuh mereka. Akan tetapi setelah aku melihat baju ayah, tahulah aku bahwa ayah yang telah membunuh mereka. Ada dua buah kancing baju ayah yang hilang."
Cian Bu menunduk dan melihat kancing bajunya, demikian pula isterinya dan Kui Eng. "Aih, kiranya ayah membunuh mereka dengan dua buah kancing baju ayah? Hemm, sayang kancingnya, ayah. Penjahat seperti mereka lebih pantas dibunuh memakai batu saja!" kata Kui Eng.
"Akan tetapi, demikian besarkah dosa mereka sehingga mereka itu harus dibunuh?" Thian Ki bertanya lagi, penuh rasa penasaran. Selama tujuh tahun ini, dia tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang gagah perkasa dan tidak pernah membunuh orang lain. Akan tetapi kenapa sekarang begitu ringan tangan membunuh dua orang yang walaupun bersalah, namun kesalahannya belum cukup hebat untuk dihukum mati?
"Thian Ki, masihkah engkau belum mengerti. Ayahmu terpaksa membunuh mereka agar mereka tidak akan menyiarkan berita tentang keluarga kita," kata Sim Lan Ci.
"Tapi... tapi mengapa...?"
"Thian Ki, engkau tadi melihat sendiri betapa adikmu telah mengalahkan dua orang itu melempar mereka ke kolam. Hal ini merupakan peristiwa luar biasa bagi mereka dan mereka tentu akan menyiarkan berita tentang Kui Eng kepada umum dan hal ini tentu akan menarik perhatian orang. Orang-orang akan tertarik dan ingin tahu siapa anak perempuan yang mampu mengalahkan dua orang jagoan itu dan siapa pula orang tuanya, gurunya. Dan kalau sudah begitu, perjalanan kita tidak akan menyenangkan lagi, bahkan penuh bahaya dan kehidupan kita tidak dapat tenang lagi."
"Ah, lagi-lagi akulah yang bersalah!" Kui Eng berkata dengan alis berkerut. "Kalau saja aku tidak melempar mereka ke dalam kolam! Ayah sudah memesan agar aku bersabar dan mengalah, akan tetapi bagaimana aku dapat mengalah kalau mereka hendak menculikku?"
Sim Lan Ci merangkul puterinya. "Engkau tidak bersalah, Kui Eng. Perlawananmu tadi memang sudah tepat. Kesabaran tentu ada batasnya. Memang agaknya sudah seharusnya begini. Thian Ki, ayahmu membunuh mereka bukan karena perbuatan mereka tadi, melainkan untuk menyelamatkan keluarga kita dari ancaman bahaya. Kuharap engkau dapat mengerti."
Thian Ki menundukkan mukanya. "Aku mengerti, ibu. Ayah, maafkan aku." Akan tetapi di dalam hatinya, tetap saja anak ini merasa penasaran dan tidak senang karena dianggapnya perbuatan ayahnya itu terlalu kejam, mudah saja membunuh orang walaupun dengan dalih demi keselamatan keluarga mereka. Bahaya itu kan belum datang mengancam? Ayahnya amat tidak menghargai nyawa ocang lain!
Betapapun juga, tepat seperti dikatakan Cian Bu. Setelah dua orang itu tewas tanpa ada orang lain mengetahui sebabnya, perjalanan mereka tidak mendapat gangguan lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cian Bu dan keluarganya sudah meninggalkan kota Wuhan, melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Mo-kim-cung yang merupakan sebuah dusun kecil di kaki Bukit Ular.
Sim Lan Ci segera mengajak keluarganya menuju ke rumahnya yang tujuh tahun yang lalu ia tinggalkan dalam pengawasan seorang pembantu wanita yang sudah lama bekerja pada mereka. Tentu saja ia juga memesan kepada ibunya, yaitu Lo Nikouw di kuil Thian-ho-tang di luar dusun agar mengamat-amati rumahnya selama ia dan suaminya pergi.
Ketika pada senja hari itu mereka tiba depan rumah Lan Ci, mereka melihat sebuah rumah yang kotor tidak terawat, jendela dan daun pintunya tertutup rapat-rapat, bahkan gelangan daun pintu dirantai dari luar, tanda bahwa rumah itu kosong. Lan Ci termangu-mangu melihat betapa pekarangan yang dahulu dirawatnya baik-baik dan penuh bunga itu kini menjadi kotor dan buruk. Juga rumah itu kotor dan banyak genteng yang pecah dan temboknya sudah penuh jamur kehijauan. Seperti rumah hantu!
Thian Ki juga berdiri termangu di depan rumah itu. Terbayanglah dalam ingatannya ketika tujuh tahun yang lalu dia hidup di tempat ini. Masih teringat semua keadaan di luar dan di dalam rumah. Betapa senangnya dia dahulu memanjat pohon di samping rumah itu atau berlari-larian dan bermain dengan teman-teman sedusun. Dia pernah jatuh di sebelah kanan rumah itu, di selokan kecil yang dibuat ayahnya untuk mengalirkan air ke taman bunga. Dan sekarang, keadaan di pekarangan dan taman itu amat menyedihkan. Juga rumah itu nampak demikian tua dan kotor. Semua ini membuat dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya demikian lembut dan baik dan tak terasa ke dua mata Thian Ki menjadi basah.
Sim Lan Ci sudah menghampiri rumah tetangga terdekat. Suami isteri petani tua itu menyambutnya di depan pintu dan mereka segera mengenal Sim Lan Ci yang bersama suaminya memang amat dikenal di dusun itu sebagai orang-orang yang suka menolong. Dari tetangganya ini Lan Ci mendengar betapa pembantu yang diserahi tugas menjaga rumah telah pulang ke dusunnya sendiri karena terlalu lama majikannya tidak pulang. Rumah beserta isinya oleh pelayan itu diserahkan kepada Lo Nikouw yang menutup rumah itu.
"Apakah Lo Nikouw masih tinggal di kuil Thian-ho-tang?" tanya Lan Ci dengan hati terharu. Suami isteri itu mengangguk. Sim Lan Ci lalu mengucapkan terima kasih dan bersama keluarganya ia lalu pergi ke luar dusun, ke kuil Thian-ho-tang itu.
Senja telah lewat dan cuaca sudah remang ketika mereka tiba di luar kuil Thian-ho-tang. Kuil ini kecil saja, berdiri terpencil di tempat yang sunyi. Akan tetapi dari luar nampak bahwa kuil itu sudah dipasangi lampu-lampu dan bahkan meja sembahyang di ruangan depan juga dipasangi lilin. Namun suasana di kuil itu nampak sunyi sekali seolah tidak ada penghuninya. Agaknya ibu masih juga tinggal menyendiri di kuil ini, pikir Sim Lan Ci dan iapun berjalan paling depan ketika mereka memasuki kuil.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara lembut dari dalam kuil. Suara itu lembut namun berwibawa dan Lan Ci menahan langkahnya, diikuti oleh suaminya dan dua orang anak mereka. Mereka berhenti di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
"Siapakah tamu yang memasuki kuil ini? Beritahukan dulu nama kalian dan apa perlunya datang berkunjung." Suara itu kembali terdengar lembut berwibawa dan biarpun singkat, tidak terdengar galak.
"Ibu, aku Lan Ci, anakmu datang berkunjung," kata Sim Lan Ci dan betapapun keras hati wanita ini, tetap saja ia terharu dan suaranya agak gemetar. Hening sejenak di dalam kuil. Kemudian suara itu terdengar lagi, masih lembut berwibawa.
"Omitohud... semoga hamba dibebaskan daripada keterikatan! Pin-ni (aku) tidak mempunyai anak. Anak tunggal pin-ni sudah bertahun-tahun meninggalkan pin-ni tanpa kabar, pin-ni menganggap ia sudah mati..."
"Nenek...!" Thian Ki berseru.
"Omitohud... kau... kau... Thian Ki cucuku!?"
Dari dalam muncullah seorang nenek. Ia sudah tua, sedikitnya tujuhpuluh lima tahun usianya, dan mukanya sudah terhias keriput, terutama di kanan kiri kedua matanya dan di sekitar mulutnya. Akan tetapi tubuhnya masih tegak dan gesit, sinar matanya masih tajam, pakaiannya bersih dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan, tangan kiri memegang seuntai tasbeh. Sepasang mata itu ditujukan ke arah Thian Ki, lalu ia menyelipkan kebutan di pinggang, mengantongi tasbehnya dan mengembangkan kedua lengannya.
"Thian Ki cucuku...!"
"Nenek...!" Thian Ki lari menghampiri dan nenek itu merangkulnya. Biarpun usianya baru dua belas tahun, tubuh Thian Ki sudah hampir sama dengan neneknya.
Dan Nikouw yang kepalanya gundul licin itu menangis, lalu berulang-ulang menyebut nama Sang Buddha. "Cucuku... ah. Thian Ki, betapa rinduku kepadamu. Omitohud... semoga diampuni kelemahanku ini..."
Kemudian ia teringat dan mengangkat muka, memandang kepada Sim Lan Ci yang berdiri tak jauh didepannya. Sejenak pandang mata nenek itu mengamati Lan Ci, kemudian terdengar suaranya yang lembut namun kering dan tegas.
"Betapa kejamnya engkau! Engkau memisahkan Thian Ki dari pin-ni, pergi tanpa memberi kabar lama sekali sampai bertahun-tahun. Engkau menyiksa hati pin-ni. Begitukah cara seorang anak membalas budi orang tua!"
"Ibu, ibu tidak tahu apa yang telah terjadi menimpa diri kami. Ibu sendiri amat tega, membuat Thian Ki menjadi seorang tok-tong. Ibu telah merusak hidupnya, dan ibu masih dapat mencela aku kejam?"
"Omitohud... siapa bilang aku kejam? Pin-ni menggemblengnya menjadi tok-tong agar kelak tidak ada orang yang berani mengganggunya, agar dia dapat menjadi orang gagah yang tak terkalahkan kelak, agar dia merajai di dunia persilatan dan mengangkat nama besar orang-orang yang menurunkannya. Neneknya pernah menjadi Ban-tok Mo-li, sudah sepantasnya kalau dia menjadi tok-tong."
"Tapi, ibu. Biarpun tidak disengaja, dalam usianya yang baru lima enam tahun dia sudah membunuh banyak orang dengan racun yang berada di tubuhnya!" teriak Lan Ci yang kini menjadi marah karena teringat akan keadaan puteranya. "Lihat, dia sampai tidak berani sembarangan menyentuh orang lain, takut kalau sampai membunuhnya. Bukankah ini berarti ibu menyiksanya!?"
"Omitohud, semua itu salahmu sendiri, Lan Ci. Kenapa engkau memisahkannya dari pin-ni. Pin-ni belum selesai dengan cucuku ini. Akan pin-ni bimbing dia dan latih dia sehingga racun di tubuhnya hanya akan menjadi senjata kalau diperlukan."
"Bagus sekali kalau begitu. Sudah kukatakan bahwa hanya yang membuat dia menjadi tok-tong sajalah yang akan mampu membimbing dia menguasai dirinya." kata Cian Bu dengan girang mendengar ucapan nenek itu.
Lo Nikouw mengangkat muka memandang kepada Cian Bu. Sepasang matanya mencorong ketika ia mengamati pria itu penuh selidik, lalu ia bertanya. "Siapa orang ini?"
Thian Ki yang menjawab cepat. "Nenek, dia adalah guruku, juga ayahku!"
Kini pandang mata nenek itu terbelalak dan ketika ia menoleh ke arah puterinya yang tadi merasa canggung untuk menjawab. "Ayahmu...? Apa artinya ini?"
Kini Lan Ci sudah dapat menenangkan hatinya dan ia pun menghampiri ibunya dan berkata dengan suara tenang. "Ibu, dengarlah baik-baik. Ketika kami pergi ke Ta-bun-cung tujuh tahun yang lalu dan berada di markas Hek-houw-pang, di sana terjadi penyerbuan... musuh-musuh Hek-houw-pang. Tentu saja kami membela dan dalam pertempuran itu, Coa Siang Lee tewas, di samping ketua Hek houw-pang dan banyak tokohnya. Pihak musuh amat kuatnya. Aku sendiri bersama Thian Ki tertawan musuh dan tentu kami berdua akan celaka atau setidaknya akan menderita kesengsaraan kalau saja kami tidak ditolong oleh... dia yang kemudian menjadi suamiku! Dia sendiri... seluruh keluarganya, isterinya, semua juga tewas di tangan pasukan pemerintah, dia sendirian, dan aku... kemudian kami menikah."
Lo Nikouw mengerutkan alisnya. Yang membuat ia tidak suka bukan karena puterinya menikah dengan laki-laki tinggi besar bermuka merah ini. Baginya, tidak perduli ia siapa yang menjadi suami Lan Ci. Akan tetapi ia tidak senang mendengar bahwa Thian Ki menjadi murid pria ini!
"Tidak perduli dia menjadi suamimu, akan tetapi bagaimana dia berani lancang menjadi guru Thian Ki? Harus pin-ni lihat dulu apakah pantas dia menjadi guru cucuku!"
Berkata demikian nenek itu melepaskan Thian Ki dan sekali kakinya bergerak, seperti memakai sepatu roda saja dengan ringan ia telah bergeser ke depan Cian Bu dan tangannya sudah mencabut kebutannya.
"Sambutlah ini!" Tangannya bergerak, terdengar suaara angin menyambar bersiut dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika kebutan berbulu putih itu menyambar ke arah tubuh Cian Bu dan ujungnya telah mematuk-matuk, merupakan totokan totokan yang amat cepat dan kuat sehingga berbahaya sekali bagi yang diserang.
Sim Lan Ci terkejut bukan main, akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada suaminya. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian suaminya tidak kalah dibandingkan ibunya, dan ia sudah menceritakan kepada suaminya tentang keadaan ibunya, tentang ilmu-ilmu yang mengandung racun berbahaya sehingga suaminya tentu akan berhati-hati dan mampu menjaga diri. Dan ia percaya pula bahwa suaminya tentu tidak akan mencelakai ibunya.
Sementara itu, Thian Ki dan Kui Eng hanya menonton. Akan tetapi, kalau Thian Ki hanya bingung melihat ayahnya dan neneknya bertanding, Kui Eng berdiri dengan muka berubah pucat dan bukan dua orang yang bertanding itu yang dipandang, melainkan pandang matanya bergantian menatap wajah Sim Lan Ci dan Thian Ki. Ketika ibu kandungnya tewas ditangan pasukan yang mengeroyok, ia masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Yang diingatnya adalah bahwa ibunya adalah Sim Lan Ci, ayahnya adalah Cian Bu dan Thian Ki adalah kakaknya. Itu saja.
Akan tetapi percakapan tadi membuat ia pusing tujuh keliling! Agaknya ayahnya bertemu dengan ibunya setelah ibunya menjadi janda dan telah mempunyai anak, yaitu Thian Ki. Dan seperti yang didengarnya tadi, ayahnya juga kematian isterinya. Lalu ia sendiri siapa? Anak siapa? Ia anak bawaan ibunya ataukah bawaan ayahnya? Membayangkan bahwa ia hanya anak tiri dari satu di antara kedua orang itu, ingin ia menjerit-jerit dan wajahnya menjadi pucat.
Sambaran kebutan ke arah jalan darah di tubuh Cian Bu dapat dielakkan dengan loncatan belakang. Akan tetapi agaknya nenek itu masih belum puas, ia meloncat ke depan, menyerang lagi dan kini lebih hebat serangannya. Suara kebutannya sampai mencicit mengerikan ketika bulu-bulu kebutan itu meluncur dengan cepat sekali.
Cian Bu maklum bahwa nenek itu hanya menguji. Akan tetapi ujian yang dilakukan seorang bekas datuk sesat seperti Ban-tok Mo-li ini bukan sembarangan ujian. Kalau dia tidak hati-hati, bisa saja ujian itu berakhir dengan kematiannya. Dia dapat menduga pula bahwa ujung bulu-bulu kebutan itu tentulah mengandung racun.
Maka, untuk mengakhiri ujian itu, dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Diam diam dia mengerahkan sin-kang dan membuat telapak tangannya panas seperti api membara dan ketika kebutan menyambar lewat karena dia mengelak, dia cepat menangkap ujung kebutan itu dengan tangan.
"Plakk!" Ujung kebutan dapat ditangkap. Lo Nikouw menarik kebutannya dan Cian Bu mempertahankan. Sejenak tarik-menarik. Lo Nikouw tersenyum karena mengira bahwa lawannya tentu akan keracunan ketika telapak tangannya mencengkeram dan menggenggam bulu-bulu kebutannya.
Akan tetapi ia terbelalak karena ujung kebutan itu mengeluarkan asap dan ia pun hampir terjengkang karena bulu kebutannya tiba-tiba putus dan ujungnya hangus seperti terbakar dalam genggaman tangan lawan. Cian bu membersihkan telapak tangannya yang penuh abu hitam, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Ilmu kepandaian lo-cian-pwe Ban-tok Mo-li memang hebat sekali. Saya mengaku kalah." Kalau Cian Bu bersikap hormat dan mengalah, hal ini semata-mata karena cintanya kepada Lan Ci, karena dia berhadapan dengan ibu kandung isterinya tercinta itu. Andaikata tidak demikian, tentu dia akan bersikap bahkan bertindak lain. Dahulu dia merupakan seorang pangeran yang angkuh dan tinggi hati!
Wajah Lo Nikouw berubah kemerahan, akan tapi hatinya mulai suka melihat pria yang lihai itu merendahkan diri dan bersikap hormat kepadanya. Ini merupakan seorang mantu yang hebat, pikirnya, dan sungguh tidak mengecewakan mempunyai seorang mantu yang tingkat kepandaiannya tidak kalah olehnya! Jauh lebih hebat dari pada Coa Siang Lee yang dipandangnya rendah.
"Omitohud... siapakah engkau sebenarnya?"
Sim Lan Ci yang merasa girang melihat suaminya mampu membuat ibunya tunduk, mendahului suaminya dengan suara bangga, "Ibu, namanya Cian Bu, dahulu dia bernama Pangeran Cian Bu Ong!"
Nenek itu membelalakkan matanya. "Omitohud... kiranya Pangeran Cian Bu Ong yang terkenal itu! Ah, pin-ni sudah sejak dahulu mendengar nama besar pangeran!"
Cian Bu membungkuk. "Harap ibu jangan terlalu memuji. Sekarang saya bukan pangeran lagi, melainkan orang biasa yang bernama Cian Bu."
Mendengar bekas pangeran itu menyebutnya ibu tanpa ragu-ragu lagi, hati nenek ini menjadi semakin senang dan bangga. Seorang pangeran, biarpun hanya bekas, menyebutnya ibu! "Hemm, kiranya suamimu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Lan Ci," katanya dan suaranya terhadap puterinya kini lembut ramah. "Baik sekali kalau Thian Ki menjadi muridnya. Akan tetapi sudah ada dia sebagai gurunya kenapa kalian bawa lagi Thian Ki kepada pin-ni?"
"Ibu, kami amat khawatir terhadap keadaan Thian Ki. Kalau dia mengerahkan sedikit saja tenaga, maka tubuhnya mengandung racun yang mematikan. Kalau hal ini dibiarkan, bisa suatu saat tanpa disengaja dia akan membunuh aku, adiknya atau siapa saja," kata Lan Ci.
"Kami tidak tahu bagaimana harus mengajarnya agar dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa beracun itu, apa lagi melenyapkannya. Saya sendiri tidak berani coba-coba, takut kalau-kalau keliru bahkan membahayakan nyawanya sendiri! Oleh karena itu, tidak ada lain jalan bagi kami kecuali membawanya ke sini," kata Cian Bu.
Nenek itu tersenyum lebar. "Omitohud, akhirnya cucuku dikembalikan juga kepada pin-ni. Baik, pin-ni akan membimbingnya agar dia dapat menguasai dirinya, dapat mengendalikan hawa beracun itu, dengan syarat bahwa dia harus ditinggalkan sendiri di sini bersama pin-ni untuk waktu satu sampai dua tahun! Tinggalkan dia di sini, setelah selesai pelajarannya, kelak pin-ni akan mengantarkan dia pulang ke rumah kalian."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Cian Bu bertanya kepada Thian Ki. "Thian Ki, bagaimana pendapatmu? Maukah engkau kami tinggalkan di sini seperti yang dikehendaki nenekmu?"
Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku mau, ayah. Aku ingin terbebas dari siksaan ini."
"Nenek, akupun ingin dijadikan tok-li (perempuan beracun)! Jadikan aku anak beracun seperti toako!" Tiba-tiba Kui Eng berlari mendekati nenek itu dan memegang tangannya.
Lo Nikouw memandang anak perempuan itu. "Hemm, inikah anakmu dengan suamimu yang sekarang, Lan Ci?" Lalu ia mengerutkan alisnya. "Tapi, kalian baru menikah tujuh tahun dan anak ini sedikitnya berusia sepuluh tahun."
"Nek, usiaku sudah sebelas tahun. Aku pasti bukan anak mereka, entah anak siapa aku ini," kata Kui Eng dan tiba-tiba saja ia menangis seperti air yang membanjir karena tanggulnya bobol.
"Kui Eng. jangan bicara tidak karuan!" bentak Cian Bu. "Engkau masih kecil ketika ibu kandungmu terbunuh, dan sejak itu engkau menjadi anak ibumu yang sekarang. Apakah ibumu ini kurang menyayangmu?"
Kui Eng menoleh ke arah ibunya dan melihat betapa Sim Lan Ci memandangnya dengan sinar mata sedih, ia pun lari menghampiri dan merangkul ibunya. Ibu dan anak itu saling berangkulan karena terasa benar dalam hati mereka betapa mereka sejak dahulu saling mencinta.
"Omitohud... dua orang dengan anak masing masing telah menjadi satu keluarga yang rukun dan saling menyayang. Pin-ni ikut merasa girang. Dan seperti yang pin-ni katakan tadi tinggalkan Thian Ki di sini dan kalau sudah selesai pelajarannya, pin-ni akan antarkan dia pulang."
"Aku ikut kakak Thian Ki!" Kui Eng merengek kepada ibunya.
"Tidak, Kui Eng. Kalau engkau tinggal pula di sini, lalu bagaimana ayah dan ibumu? Tentu akan amat kesepian dirumah."
"Aku ingin ikut toako!" anak perempuan itu membantah.
"Kui Eng, engkau bukan anak kecil lagi! Engkau telah menjadi seorang gadis cilik dan pelajaranmu belum selesai. Masih banyak yang harus kau pelajari dariku. Pula, tidak baik seorang gadis hidup menyendiri jauh dari orang tua," kata ayahnya.
"Ayah, aku tidak menyendiri, akan tetapi bersama kakakku! Apa salahnya?"
"Hemm, engkau sudah hampir dewasa, tentu engkau tahu bahwa biarpun kalian saling menyayang sebagai kakak dan adik, akan tetapi tidak ada hubungan darah di antara kalian. Bagamana akan kata orang kalau tahu akan hal itu? Engkau harus pulang bersama kami. Kakakmu tinggal di sini untuk mempelajari ilmu mengendalikan racun, berarti sama dengan berobat agar dia dapat hidup normal."
Diingatkan demikian, Kui Eng memandang pada Thian Ki dan sekarang pandangannya berubah! Thian Ki bukan kakaknya! Bahkan kakak tiripun bukan, berlainan ayah berlainan ibu. Orang lain!
"Eng-moi (adik Eng), kau pulanglah bersama ayah dan ibu. Kelak akupun akan pulang setelah latihanku di sini selesai," kata Thian Ki membantu ayah ibunya membujuk.
Kui Eng cemberut dan tidak menangis lagi. Ia membanting kakinya ketika bangkit berdiri. "Baiklah, baiklah! Engkau tidak senang kalau aku ikut denganmu, ya? Aku memang bukan adikmu, bukan apa-apa..."
"Kui Eng, bagaimanapun juga, Thian Ki adalah suhengmu!" ayahnya memperingatkan.
Setelah dibujuk-bujuk dan dihibur-hibur barulah Kui Eng mengalah. Keluarga itu tinggal di kuil Thian-ho-tang selama tiga hari dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lan Ci untuk menjual rumah dan tanahnya, mengangkut prabot rumah yang dikehendaki ibunya ke kuil itu.
Ketika suami isteri itu dan Kui Eng hendak pergi meninggalkan kuil dan pulang, Lan Ci dan Cian Bu meninggalkan uang yang cukup untuk keperluan Lo Nikouw dan Thian Ki yang akan tinggal di situ selama kurang lebih dua tahun. Kemudian mereka bertiga berangkat pergi, diantar oleh Lo Nikouw dan Thian Ki sampai di kaki bukit.
Dari puterinya, Lo Nikouw sudah mendengar semua tentang pengalaman puterinya dan cucunya semenjak meninggalkan dusun Mo-kin-cung. Ia juga sudah mendengar betapa cucunya membunuh beberapa orang tanpa disengaja, karena racun ditubuhnya bekerja ketika orang-orang itu menyerangnya. Setelah tiba di rumah, ia memeriksa tubuh cucunya, bukan saja memeriksa jalan darah, menggigit sedikit rambut kepalanya, juga mengeluarkan sedikit darah dengan tusukan jarum. Setelah memeriksa, ia mengangguk-angguk.
"Bagus, engkau telah benar-benar menjadi seorang tok-tong. Ayah ibumu memberi juluk Tok-liong (Naga Beracun), memang tepat sekali. Kalau engkau kelak memiliki kepandaian tinggi, engkau menjadi gagah perkasa seperti seekor naga, dan engkau menjadi semakin hebat karena naga itu beracun! Akan terkabul idaman hatiku, terkabul pula cita-cita ayahmu Cian Bu yang gagah perkasa itu, karena engkau akan menjadi seorang gagah yang tidak terkalahkan!"
"Akan tetapi aku tidak ingin membunuh orang, nek! Lebih baik bersihkan saja tubuhku dari racun itu. Singkirkan semua hawa beracun karena aku tidak suka menjadi tok-tong, tidak suka jadi naga beracun." Dia menatap wajah neneknya dan melanjutkan, "Aku tidak suka menjadi seorang jahat, nek. Apakah nenek yang telah menjadi pendeta ini menghendaki aku kelak menjadi seorang pembunuh yang jahat?"
"Omitohud... tentu saja tidak, Thian Ki. Dahulu di waktu muda, memang pin-ni seorang pembunuh yang tiada duanya lagi, heh-heh. Pin-ni dijuluki Ban-tok Mo-li dan tidak ada seorangpun tokoh kangouw yang tidak mengenal nama pin-ni! Akan tetapi, pin-ni juga sudah merasakan akibatnya. Perbuatan jahat, lambat atau cepat, pasti akan menghasilkan buahnya yang teramat pahit. Pin-ni telah menyadari semua itu, pin-ni telah bertobat dan mohon ampun dari Yang Maha Pengampun. Kalau pin-ni sengaja membuat tubuhmu menjadi beracun, hal itu pin-ni lakukan bukan dengan maksud agar engkau menjadi jahat, melainkan agar engkau menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang pandai dan amat berbahaya, Thian Ki..."
"Aih, nenekku yang baik. Hampir aku tidak percaya bahwa engkau dahulu adalah seorang datuk sesat yang berjuluk Ban-tok Mo-li! Jahat sekalikah engkau ketika muda, nek?"
"Omitohud, semoga Tuhan mengampuniku. Bukan jahat lagi, cucuku. Lebih daripada yang jahat. Tidak ada kejahatan yang tidak pernah kulakukan!"
Thian Ki menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. Tentu saja sukar baginya membayangkan neneknya yang kini demikian penuh kelembutan dan keramahan, pernah menjadi seorang iblis betina yang kejam. Bukankah ayah dan ibunya dahulu juga mendidiknya menjadi orang yang baik dan menjauhi kekerasan? Baru setelah ibunya menikah dengan ayah tirinya yang sekarang ini dia mengenal ilmu silat di bawah gemblengan ayah tirinya.
"Nek, kalau nenek dahulu menjadi tokoh sesat, kalau begitu... tentu musuh nenek terdiri dari para pendekar dan tokoh persilatan yang baik? Begitukah?"
"Omitohud... tentu saja... tentu saja begitu. Kalau pin-ni dulu jahat, tentu saja musuh-musuh pin-ni adalah tokoh tokoh yang baik. Itu sudah sewajarnya, bukan? Akan tetapi pin-ni dulu, tidak mengenal apa itu baik atau buruk. Pendeknya siapa saja yang tidak sependapat dengan pin-ni, tentu menjadi musuh pin-ni tidak perduli dia itu pendekar budiman ataukah perampok jahat! Musuh pin-ni sudah tak terhitung banyaknya. Terima kasih Tuhan bahwa pin-ni sekarang telah menjadi nikouw, sehingga tidak ada bekas musuh yang masih ingat dan mengenal pin-ni, sudahlah. Thian Ki. Pendeknya, engkau tidak boleh menjadi orang jahat. Engkau harus menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan, menjadi jagoan nomor satu yang selain menjunjung tinggi nama keluarga, juga dengan perbuatan gagah dan benar akan dapat sedikitnya mengurangi kekotoran yang menempel pada nama nenekmu ini. Nah, sekarang engkau harus bekerja keras, berlatih untuk dapat menguasai hawa beracun yang berada di dalam tubuhmu."
"Akan tetapi, nek. Kalau mungkin, aku ingin sekali agar aku tidak lagi menjadi tok-tong, agar darahku tidak beracun, agar hawa beracun yang berada dalam tubuhku lenyap, karena aku tidak ingin orang lain menjadi korban karena racun yang berada dalam tubuhku."
Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Omitohud, dengan susah payah pin-ni membuat engkau menjadi tok-tong dengan maksud agar engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia, menjadi seorang pendekar tak terkalahkan, dan engkau minta agar engkau pulih kembali menjadi anak biasa? Tidak mungkin, Thian Ki, kecuali kalau ada sedikitnya sepuluh orang yang menyedot racun itu dari tubuhmu. Akan tetapi itu berarti bahwa engkau akan mengorbankan nyawa sepuluh orang."
"Aku tidak mau kalau begitu, nek! Lebih baik racun itu membunuhku dari pada harus membunuh sepuluh orang!"
"Akupun tidak menghendaki demikian, cucuku. Oleh karena itu, aku akan mengajarkan cara agar engkau menguasai racun itu di tubuhmu, sehingga engkau dapat membuat racun itu mengendap dan tidak membahayakan orang lain. Setelah engkau dapat menguasainya, racun itu baru bekerja setelah engkau mengerahkan tenagamu. Akan tetapi engkau tidak boleh menikah, Thian Ki, karena setiap kali engkau menikah, isterimu itu akan mati keracunan dan merupakan orang pertama yang akan menyedot racun dari tubuhmu."
"Nek, apakah tidak ada jalan lain untuk membebaskan aku dari racun ini?"
"Hanya dengan bantuan orang yang sakti, cucuku. Yang memiliki sin-kang yang sudah sempurna bahkan yang lebih kuat daripada ayah tirimu yang tangguh itu. Dan di dunia ini, orang seperti yang kumaksudkan itu jarang dapat dijumpai. Seingatku hanya ada dua orang saja yang mungkin sekali dapat membantumu. Mereka adalah Pek I Tojin, tosu pertapa dari Thai-san dan ke dua adalah Hek Bin Hwesio, hwesio perantau di pegunungan Himalaya. Akan tetapi, siapa yang dapat mencari dua orang sakti seperti itu? Mereka seperti dewa dan andaikata dapat jumpa sekalipun, belum tentu mereka mau mencampuri urusan dunia."
"Wah, susah benar kalau begitu mencari mereka, nek. Akan tetapi kelak aku akan mencari mereka. Apakah mereka tidak mempunyai murid-murid yang sekiranya telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, nek?"
"Setahuku, murid paling baik dan terkenal dari Pek I Tojin adalah Huangho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. sedangkan murid terbaik dari Hek Bin Hwesio adalah isteri pendekar itu, yang bernama Bu Giok Cu. Nama suami isteri ini terkenal sekali, terutama di sepanjang lembah sungai Huang-ho. Dan mereka tinggal pula di tepi sungai Huang-ho, di sebuah dusun yang disebut Hong-cun. Akan tetapi, pin-ni tidak yakin apakah mereka berdua itu akan dapat menolongmu, atau akan mau melakukannya. Pin-ni kira hanya Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio saja yang akan mampu melakukannya."
Diam-diam Thian Ki mencatat nama orang-orang yang disebut oleh neneknya. Mulai hari itu diapun berlatih dengan tekun di bawah bimbingan neneknya, berlatih untuk menguasai hawa beracun yang menguasai tubuhnya. Setelah berlatih yang sebagian besar adalah latihan samadhi dan pernapasan, barulah Thian Ki mengerti mengapa neneknya minta dia tinggal satu dua tahun di situ. Ternyata latihan menguasai hawa beracun itu tidaklah mudah!
Dan salah sedikit saja akan membahayakan dirinya sendiri. Racun di tubuhnya itu akan dapat mendatangkan akibat sampingan yang hebat, seperti rusaknya jantungnya atau bahkan rusaknya isi kepalanya. Dia dapat menjadi gila, lemah atau bahkan tewas. Hawa beracun yang berada di tubuhnya, bahkan yang sudah mengalir di darahnya, yang membuat rambut dan kukunya, bahkan ludahnya, mengandung racun yang dapat mematikan orang lain, bagaikan ular berbisa yang liar dan yang tidak dapat keluar dari tubuhnya.
Karena neneknya tidak mampu mengeluarkan racun itu, maka ular liar itu harus dapat ditundukkan dan dijinakkan, sehingga biarpun berada di dalam tubuhnya, namun dia dapat mengatur agar kalau tidak diperlukan, ular liar berupa racun itu dapat "tidur" di dalam pusarnya. Thian Ki yang ingin membuat dirinya tidak "berbahaya" seperti yang sudah, berlatih dengan tekun sekali, sehingga lewat satu setengah tahun dia sudah berhasil dan mampu menguasai hawa beracun di dalam tubuhnya.
Hawa beracun itu sudah jinak dan berdiam di pusarnya. Dalam keadaan hawa itu tertidur, dia dapat melakukan apa saja tanpa mengusik hawa beracun itu, kecuali tentu saja menggunakan sin-kang. Kalau dia mengerahkan tenaga dalam, maka otomatis hawa beracun tidur itu akan bangkit dan menerobos keluar melalui gerakannya yang mengandung tenaga dalam, tentu saja akibatnya akan membahayakan nyawa lawan.
Kalau dia mengerahkan tenaga sin-kang untuk menggugah hawa beracun itu, maka hawa beracun itu akan menyebar di seluruh tubuhnya dan jangankan pukulannya, baru rambut, kuku, dan ludahnya saja mengandung racun yang cukup untuk membunuh orang. Sekali gores dengan kukunya saja, kalau kulit orang terluka dan berdarah, maka racun dari kukunya akan membunuh orang itu.
"Sudah cukup, cucuku," nenek itu terkekeh gembira. "Omitohud... betapa senangnya hatiku. Engkau memang berbakat sekali, Thian Ki. Belum dua tahun engkau telah mampu menguasai hawa beracun di tubuhmu. Engkau sekarang baru tepat berjuluk Tok-liong (Naga Beracun). Besok kuantar engkau pulang, aku ingin mengunjungi ibumu dan mantuku yang gagah perkasa..."
Tentu saja Thian Ki juga girang mendengar ini. Dia sudah merasa rindu kepada ibunya, kepada ayah tirinya dan terutama kepada Cian Kui Eng. "Aku juga senang sekali, nek dan terima kasih atas bimbinganmu. Aku senang sekali bahwa kini aku tidak takut lagi bergaul dengan sumoi, dan tidak takut pula untuk melayaninya berlatih silat."
Nikouw tua itu mengangguk-angguk dan merangkap kedua tangan di depan dada, menarik napas panjang dan matanya dipejamkan, mukanya ditengadahkan. "Omitohud, semoga Sang Buddha akan memberi bimbingan kepada cucuku sehingga kelak dia akan dapat mencuci bersih nama neneknya. Thian Ki, ingat! Jangan sekali-kali engkau mempergunakan hawa beracun ditubuhmu untuk perbuatan jahat! Biarpun tubuhmu beracun, namun hatimu haruslah bersih dari pada segala kejahatan."
"Aku mengerti, nek..."
Nenek dan cucunya ini berkemas, siap untuk berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Mo-kin-cung menuju ke tempat tinggal Cian Bu Ong atau sekarang sekarang kita kenal dengan nama baru, yaitu Cian Bu yang tinggal sebagai hartawan, dermawan dan kepala dusun Ke-cung di kaki Bukit Emas.
Sore hari itu Thian Ki membantu neneknya membersihkan kuil. Nenek itu ingin agar kuil itu bersih sebelum ditinggalkan, karena selama beberapa hari kuil itu akan ditinggalkan dan tidak ada yang akan membersihkannya. Selagi mereka asyik membersihkan kuil, tiba-tiba mereka mendengar suara banyak orang di luar kuil.
"Omitohud, siapa yang berkunjung ke kuil sore-sore begini?" kata Lo Nikouw lirih. Ia hampir tidak pernah kedatangan tamu kecuali orang-orang dusun yang datang untuk minta obat atau minta berkah atau mau sembahyang. Akan tetapi, pada saat itu, terdengar teriakan dari luar yang amat mengejutkan hati Thian Ki.
"Iblis betina, keluarlah untuk menerima hukuman!"
Dengan mata terbelalak Thian Ki memandang kepada neneknya. Nikouw tua itupun terkejut, namun sikapnya tenang saja, bahkan bibirnya tersenyum. "Omitohud, agaknya serapat-rapatnya bungkusan barang busuk, akhirnya akan tercium juga baunya. Thian Ki, engkau tinggallah saja di sini dan jangan keluar, biar pin-ni yang menghadapi mereka. Ingat, apapun yang terjadi, engkau harus pulang ke rumah orang tuamu. Mengerti?"
Dengan jantung masih berdebar tegang Thian Ki mengangguk. Nenek itupun melangkah keluar dan sikapnya sungguh tenang, senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Nenek berusia enampuluh enam tahun itu nampak seperti berusia empat puluh tahun saja,dan kepalanya yang gundul itu nampak kulitnya putih bersih dan mengkilap.
Dahulu, ketika ia masih muda dan bernama Phang Bi Cu berjuluk Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), selain tubuhnya beracun dan ia memiliki banyak macam pukulan beracun, juga ia selalu membawa kipas dan kebutan yang menyembunyikan pedang. Akan tetapi sekarang, semenjak menjadi nikouw, ia tidak pernah lagi membawa senjata apapun.
Dengan jantung berdebar tegang, Thian Ki cepat menyelinap ke depan dan dia mengintai dari balik jendela depan. Dia melihat neneknya keluar dengan langkah tenang dan wajah berseri, dan dengan hati khawatir dia melihat bahwa di luar telah berdiri sepuluh orang laki-laki yang rata-rata nampak gagah dan marah. Mereka terdiri dari orang-orang yang usianya empatpuluh tahun ke atas, ada yang berpakaian seperti seorang tosu ada pula hwesio dan ada yang berpakaian seperti orang dari dunia persilatan. Rata-rata mereka membawa senjata.
Ketika Lo Nikouw keluar dan bertemu dengan sepuluh orang itu, mereka nampak terkejut dan juga meragu. Akan tetapi hwesio yang bermuka merah dan usianya kurang lebih limapuluh tahun, sudah melintangkan sebatang toya hitam di depan dada lalu memutar toya dan menancapkan toya di depan kakinya.
"Omitohud, biar engkau sudah menyamar sebagai nikouw sekalipun tidak ada gunanya. Ban-tok Mo-li. Kami akhirnya dapat menemukan tempat persembunyianmu dan dapat menuntut balas atas kejahatanmu!"
"Siancai...! Ban-tok Mo-li sudah menumpuk dosa terlampau banyak. Biar menjadi nikouw sampai seribu kali, bagaimana mungkin dapat mencuci bersih dosa-dosanya?" kata tosu yang usianya juga sekitar limapuluh tahun.
Ada dua orang hwesio dan dua orang tosu di situ, mereka ini sudah siap menyerang dan sinar mata mereka memandang penuh kebencian kepada Lo Nikouw. Adapun enam orang yang lain, yang berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw, juga tidak kalah galaknya. Mereka terbagi menjadi dua golongan, masing-masing tiga orang. Yang tiga orang berpakaian serba hijau, sedangkan tiga orang yang lain, yang mengenakan baju putih dengan celana bermacam warna, mempunyai gambar seekor naga melingkar di dada mereka.
"Ban-tok Mo-li, kami dari Pulau Hiu datang untuk mencabut nyawamu!" kata seorang dari mereka yang berpakaian hijau.
"Ban-tok Mo-li, lebih baik engkau menyerah kepada kami untuk kami seret ke hadapan majikan kami di Bukit Naga!" kata seorang di antara mereka yang memakai tanda gambar naga di dada.
Menghadapi sepuluh orang yang kelihatan marah dan penuh kebencian itu, Lo Nikouw tersenyum ramah dan sikapnya masih tetap tenang. Hal ini membuat Thian Ki yang mengintai dari dalam merasa heran. Kalau neneknya bekas seorang datuk yang amat jahat, bagaimana mungkin dapat bersikap sesabar dan setenang itu? Dia sendiri yang sejak kecil digembleng orang tuanya agar tidak suka akan kekerasan, kini hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat dan mendengar sikap sepuluh orang itu yang memaki-maki neneknya dan mengancam hendak membunuhnya.
"Omitohud, kalau kalian berenam haus darah, pin-ni masih dapat mengerti. Akan tetapi mengapa dua orang hwesio dan dua orang tosu juga dapat haus darah seperti kalian berempat?" tanyanya sambil memandang kepada empat orang pendeta itu.
"Ban-tok Mo-li, ketahuilah bahwa pin-to berdua adalah tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai yang datang untuk membasmimu," kata seorang tosu.
"Omitohud, biarpun kepalamu gundul dan engkau mengenakan jubah nikouw, tidak akan dapat mengelabui pin-ceng berdua. Pinceng adalah murid Siauw-lim-pai dari daerah selatan. Mendengar akan kejahatanmu, pin-ceng merasa berkewajiban untuk ikut membasmi."
Lo Nikouw tersenyum. "Hemm, kalian berempat bukanlah pendeta-pendeta yang baik! Kalian hanya budak-budak nafsu amarah dan dendam kebencian seperti yang lain, sehingga percuma saja kalian mengenakan jubah pendeta. Ketahuilah oleh kalian bersama bahwa Ban-tok Mo-li sudah tidak ada lagi, sudah mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw."
"Ha-ha-ha. Ban-tok Mo-li, engkau seperti seekor harimau yang mengenakan bulu domba! Kami sudah menyelidiki dan yakin bahwa engkau adalah Ban-tok Mo-li. Apakah engkau yang dahulu terkenal jahat dan keji, sekarang telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya?"
"Omitohud..." Lo Nikouw merangkap kedua lengan didepan dada, memejamkan kedua matanya. "Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sudah lama mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw dan kalau kematian pin-ni dapat meringankan dosa Ban tok Mo-li, pin-ni siap untuk berkorban..."
Setelah berkata demikian, Nikouw tua itu lalu duduk bersila di atas tanah pekarangan kuil itu dengan kedua tangan masih dirangkap di depan dada, tubuh tegak dan mata terpejam seperti sebuah arca.
Sepuluh orang itu kini mengepung dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing. Thian Ki yang mengintai di dalam, terbelalak dan mukanya berubah pucat. Apa yang harus dia lakukan? Membela neneknya? Bukankah neneknya telah menceritakan bahwa neneknya dahulu seorang yang teramat jahat, yang telah membunuh banyak orang tak berdosa, yang telah melakukan kejahatan apapun saja. Dan kalau sepuluh orang itu datang membalas dendam atau menghukum kejahatannya, perlukah neneknya dibela?
Ibunya berulang kali mengatakan bahwa membela orang jahat sama saja dengan membela kejahatannya dan menjadi penjahat pula! Dan tanpa menggunakan hawa beracun di tubuhnya, diapun belum tentu akan mampu melawan dan menandingi orang itu. Menggunakan hawa beracun berarti membunuh mereka!
Tidak, dia tidak mau menjadi pembunuh, apalagi sepuluh orang yang memusuhi neneknya itu tentu saja orang-orang dari golongan bersih yang menentang neneknya sebagai sumber kejahatan. Tidak, dia tidak boleh membela. Akan tetapi, neneknya seorang sakti, tidak mungkin dapat dibunuh begitu saja! Biarpun kelihatan duduk bersila dan memejamkan mata, dia tahu benar bahwa sekali neneknya bergerak, tentu akan ada lawan yang roboh dan tewas keracunan!
Demikianlah pula pendapat sepuluh orang itu. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang sudah berpengalaman dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di antara mereka ada yang pernah mengenal Ban-tok Mo-li dan tahu benar akan kelihaian iblis betina itu, dan yang belum pernah bertemu juga sudah banyak mendengar akan kelihaian Iblis Betina Selaksa Racun ini. Maka, mereka tidak berani turun tangan dengan lancang.
"Hati-hati, kalau ia menyebar racun, kita dapat celaka semua." kata seorang di antara mereka.
Sampai lama, sepuluh orang itu hanya melangkah dengan hati-hati, mengelilingi Lo Nikouw yang masih duduk bersila tak bergerak sedikitpun. Wajahnya masih cerah dihias senyum dan ia nampak sabar dan tenang, sedikitpun tidak nampak bayangan rasa takut di wajahnya.
Setelah belasan kali mengelilingi nikouw itu dan tidak ada reaksi apapun, timbul keberanian di hati seorang di antara anak buah Pulau Hiu. Dia seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat, di tangannya nampak sebatang tombak pengait yang biasa dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan besar.
"Biar kucoba dulu dengan ini, baru kita semua turun tangan," katanya sambil mengangkat tombaknya ke atas kepala.
Semua orang memandang dan mengangguk, yang berada di bagian belakang Lo Nikouw segera lari ke samping agar tidak menjadi sasaran tombak berkait. Anak buah Pulau Hiu itu lalu mengerahkan tenaganya dan dari jarak tidak lebih dari enam meter dia melontarkan tombaknya ke arah dada Lo Nikouw!
Biasanya, kalau dia menombak ikan besar, jarak antara dia dan sasarannya sampai belasan meter, dan tombak itu gagangnya diikat dengan tali pula. Sekarang, jaraknya hanya enam meter dan tidak ada tali, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya luncuran tombak yang dilontarkannya.
"Singgg... cappppp...!" Tombak itu menancap dan menembus dada Lo Nikouw!
"Omitohud...!" Dari mulut Lo Nikouw keluar seruan lemah dan tubuhnya yang bersila terjengkang, akan tetapi tidak terus telentang karena tubuh itu tertahan ujung tombak yang sampai menembus punggungnya!
Melihat ini, sembilan orang yang lain tercengang, akan tetapi juga timbul keberanian di hati mereka dan sembilan macam senjata turun bagaikan hujan menimpa tubuh yang sudah sekarat itu. Dalam sekejap mata, tubuh Lo Nikouw yang sama sekali tidak melawan itu telah menjadi onggokan daging dan tulang yang berlepotan darah! Lehernya putus dan kepalanya menggelinding tak jauh dari onggokan daging itu. Lo Nikouw tewas tercincang tanpa melakukan perlawanan sedikitpun juga.
Thian Ki terbelalak dan tak dapat bertahan lagi. Dia mengeluh dan terkulai pingsan di belakang jendela. Dia tidak tahu betapa sepuluh orang kangouw itu memasuki kuil, mencari-cari dan melihat dia terkulai pingsan, mereka tidak mengganggunya. Juga kuil itu tidak dirusak. Agaknya mereka mencari kalau-kalau terdapat teman atau anak buah Ban-tok Mo-li yang kini menjadi Lo Nikouw itu.
Akan tetapi mereka tidak menemukan siapapun kecuali seorang anak laki-laki yang pingsan. Mereka lalu pergi dengan hati bertanya-tanya dan mulai merasa ragu dan menyesal. Benarkah yang mereka bunuh tadi Ban-tok Mo-li? Bagaimana kalau nikouw itu bukan Ban-tok Mo-li melainkan seorang pendeta wanita yang lemah dan suci? Meremang bulu tengkuk mereka kalau mereka membayangkan kemungkinan ini!
Senja telah lewat dan malam mulai tiba ketika Thian Ki siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dia teringat akan peristiwa tadi. Bukan mimpi, pikirnya dan dia tidak sedang tidur. Dia menggeletak di atas lantai di balik jendela! Dia cepat melompat berdiri dan melihat keluar remang-remang di luar, hampir gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat onggokan daging dan kepala neneknya tak jauh dari situ!
"Nenek...!" Dia berteriak dan melompat keluar dari jendela, lari kepekarangan. "Nenek...!"
Dia berteriak lagi dan menubruk kepala itu, kepala neneknya yang matanya masih terpejam dan mulutnya masih tersenyum! Dia mengambll kepala itu memegang dengan kedua tangan, dilihatnya baik-baik. Kepala neneknya! Dengan leher putus dan berlepotan darah. Neneknya!
"Nenek...!" Dia mendekap kepala itu dan menangis, membawa kepala itu ke depan onggokan daging bekas tubuh neneknya, mendekap kepala sambil berlutut dan menangis terisak-isak. Terbayang semua peristiwa tadi, betapa neneknya dihujani senjata, dicincang tanpa melawan sedikitpun. Dia tidak perduli akan dinginnya hawa malam yang mulai tiba bersama semilirnya angin dan munculnya bintang-bintang dilangit.
Dia berlutut sambil menangis dan setelah lebih dari sejam menangis sehingga air matanya kering, dia masih berlutut mendekap kepala neneknya dan termenung teringat akan kehidupan bersama neneknya selama satu setengah tahun ini. Dan teringatlah dia akan pesan neneknya beberapa bulan yang lalu, seolah-olah neneknya sudah mendapat firasat ia akan meninggal dunia tak lama lagi.
"Cucuku yang pin-ni sayang, engkaulah satu-satunya orang yang kucinta, Thian Ki. Dan kepadamulah pin-ni meninggalkan pesan ini. Kalau kelak pin-ni meninggal dunia, bakarlah jasad pin-ni menjadi abu, kemudian bagi menjadi empat abuku. Seperempat bagian kuburlah di dalam tanah, seperempat lagi hanyutkan ke lautan, seperempat lagi taburkan dari puncak bukit biar terbawa angin, dan yang seperempat lagi lemparkan ke unggun besar biar ditelan api lagi sampai habis..."
Ketika itu, dia merasa heran dan bertanya mengapa neneknya meninggalkan pesan seperti itu dan apa maksudnya. Neneknya lalu menjelaskan maksud dan pesannya itu. Ia mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat unsur dan ia ingin tubuhnya dikembalikan ke asalnya, yaitu kepada api, air, angin dan tanah. Dan agar pelaksanaannya mudah, maka ia minta jenazahnya agar dibakar menjadi abu sehingga akan mudah bagi Thian Ki mengembalikan abu itu kepada api, air, angin dan tanah.
Teringat akan pesan neneknya itu, Thian Ki menghentikan renungannya dan diapun dengan penuh hormat dan hati-hati meletakkan kepala neneknya di atas onggokan daging. Dia masuk ke kuil, mengambil sehelai selimut neneknya, dan kembali ke pekarangan sambil membawa obor. Setelah menancapkan gagang obor di tanah sehingga pekarangan itu cukup terang, dia lalu mengumpulkan onggokan datang dan tulang bersama kepala itu ke atas selimut dan dibungkusnya baik-baik.
Kemudian dia mengumpulkan kayu kering, ditumpuknya kayu-kayu kering itu menjadi tumpukan setinggi hampir sama dengan tinggi tubuhnya, menyiramnya dengan minyak, kemudian mengambil sebuah kotak dari kuil, memasukkan buntalan daging dan kepala ke dalam kotak dan dibakarnyalah tumpukan kayu itu.
Thian Ki berlutut menghadap api unggun membakar sisa jenazah neneknya. Kemudian dia duduk bersila, menanti sampai tumpukan kayu, peti dan isinya terbakar habis. Pembakaran jenazah itu memakan waktu sampai setengah malam. Lewat tengah malam barulah api padam. Thian Ki tetap duduk bersila di pekarangan itu, di dekat tumpukan abu, sampai pagi. Dia ingin mengumpulkan abu neneknya setelah malam lewat, karena pekerjaan itu harus dilakukan di waktu terang cuaca.
Setelah matahari pagi muncul, barulah Thian Ki mengambil sehelai selimut lain, dan mulailah dia membongkar tumpukan abu. Mudah saja membedakan abu jenazah neneknya dengan abu kayu dan petinya, karena abu jenazah itu lembut, putih dan berat. Dikumpulkannya abu itu dan dibuntalnya dalam selimut dengan mata merah karena dia tidak dapat menahan keharuan hatinya.
"Nek, orang sedunia boleh menganggap nenek jahat, akan tetapi aku yakin bahwa nenek tidak jahat atau setidaknya nenek sudah menebus semua kesesatan nenek. Mereka itulah yang jahat, mereka yang menganggap diri mereka bersih dan baik, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka yang dianggap jahat, tidak memperdulikan niat baik mereka yang ingin kembali ke jalan benar. Nek, engkau akan selalu kukenang sebagai seorang manusia baik, gagah perkasa dan menghadapi kematian dengan senyum pasrah kepada Tuhan."
Thian Ki tidak pernah dapat melupakan senyum di wajah kepala neneknya yang terpisah dari badannya itu. Senyum pasrah! Setelah semua abu jenazah terkumpul di selimut, diapun pergi meninggalkan kuil, membawa buntalan pakaian dan untaian terisi abu jenazah. Dia harus memenuhi pesan neneknya. Akan tetapi dia teringat kepada ibunya. Bagaimanapun juga dia harus membawa abu jenazah itu kepada ibunya lebih dahulu. Kasihan ibunya yang tidak tahu akan nasib neneknya. Setelah mendapat perkenan ibunya, baru dia akan memenuhi pesan neneknya. Dengan hati penuh duka dia lalu berangkat meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Ke-cung.
Tentu saja kedatangan Thian Ki yang membawa cerita menyedihkan tentang kematian Lo Nikouw disambut tangis oleh Sim Lan Ci. Wanita ini mendekap buntalan abu jenazah dan menangis tersedu-sedu. Bagaimanapun juga, Lo Nikouw adalah ibu kandungnya. Cian Bu yang amat mencinta isterinya. menepuk-nepuk pundak isterinya dan berkata dengan suaranya yang tenang dan dalam.
"Sudahlah, isteriku. Ibumu sudah meninggal dunia sebagai seorang pendeta tulen, penuh kesabaran, penuh kepasrahan. Engkau sepatutnya bangga karena ibumu, walaupun dahulu pernah menjadi datuk sesat, kini telah meninggal sebagai seorang yang tidak lagi diperhamba nafsunya. Kita sembahyangi saja dengan khidmat, mendoakan agar arwahnya diterima dan di ampuni Tuhan, sebelum abu itu dikembalikan ke asalnya seperti yang dipesannya kepada Thian Ki."
Mereka mengatur meja sembahyang, menaruh abu di atas meja, lalu mengadakan upacara sembahyang. Sementara itu Kui Eng mendekati Thian Ki dan minta kepada suhengnya ini untuk menceritakan kembali sejelasnya tentang kematian Lo Nikouw. Kini gadis cilik itu telah berusia hampir sebelas tahun, dan sikapnya terhadap Thian Ki masih manis dan ramah seperti dahulu, hanya bedanya, ada sikap malu-malu bahkan kadang canggung kalau Thian Ki kebetulan menatap agak terlalu lama.
Thian Ki sendiri sudah berusia empatbelas tahun dan dia memang amat menyayang adiknya ini, yang sejak kecil dia tahu bukan adiknya sendiri, bukan pula adik tiri, melainkan orang lain atau kalau adikpun, adik seperguruan.
"Suheng, apakah engkau sudah berhasil melenyapkan racun dari tubuhmu? Apakah sekarang kukumu masih mengandung racun?" setelah mendengar cerita ulang tentang Lo Nikouw, Kui Eng bertanya mememandang ke arah tangan Thian Ki.
Thian Ki tersenyum dan tahu bahwa ibunya, juga ayah tirinya juga memperhatikan, agaknya menanti jawaban darinya. Tadi dia belum sempat bercerita tentang dirinya sendiri karena sibuk menceritakan peristiwa yang menimpa neneknya. Dia memandang kepada ibunya, ayah tirinya kemudian kepada sumoinya dan berkata sambil tersenyum.
"Nenek telah menggemblengku setiap hari dan akhirnya aku dapat menguasai hawa beracun di tubuhku, sumoi. Akan tetapi, nenek tidak dapat mengusahakan lenyapnya hawa beracun dari tubuhku, apa lagi ia memang tidak menghendaki hal itu terjadi."
Sepasang mata yang tajam dan jeli itu terbuka lebar, bibir yang merah dan berbentuk indah itu merekah dalam senyum setelah sejak tadi tak pernah senyum untuk ikut berkabung atas kematian Lo Nikouw. "Aihh, kalau begitu, mulai sekarang kita dapat berlatih silat tanpa khawatir aku akan menjadi korban keracunan tubuhmu?"
Thian Ki mengangguk sambil tersenyum. "Kalau sekedar berlatih saja tidak mengapa, sumoi. Akan tetapi tidak boleh mempergunakan sin-kang karena kalau aku mengerahkan tenaga dalam, hawa beracun itu dapat bekerja dan tentu akan membahayakan dirimu."
"Bagus, ha ha ha, bagus sekali!" Kata Cian Bu sambil tertawa gembira. "Kalau mulai sekarang engkau memperdalam latihanmu sehingga engkau dapat menguasai semua ilmu simpananku, maka beberapa tahun lagi saja, tidak akan mudah mencari orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkanmu, Thian Ki! Ha-ha, aku akan merasa bangga sekali!”
Akan tetapi Sim Lan Ci tidak kelihatan segembira suaminya. Alisnya berkerut dan ia berkata dengan suara yang terdengar menegur suaminya. "Apakah dalam hidup ini, hanya nama besar saja yang terutama? Apakah Thian Ki selama hidupnya harus menjadi seorang manusia beracun, hanya mencari nama besar di dunia persilatan dan dia tidak berhak untuk membentuk rumah tangga, tidak berhak untuk menikah dan mendapat keturunan?"
Suaminya tidak mampu menjawab, akan tetapi Kui Eng yang lincah itu cepat berseru "Aihhh, kenapa tidak boleh, ibu? Apa salahnya kalau suheng menikah? Bukankah dia kini sudah mampu menguasai hawa beracun di tubuhnya?"
Lan Ci menghela napas panjang. Ia tadi lupa bahwa di situ terdapat puteri tirinya. Akan tetapi mengingat bahwa Kui Eng sudah menjelang dewasa, iapun berkata dengan hati-hati.
"Kui Eng, kakakmu ini hanya mampu menguasai hawa beracun sehingga kalau dia tidak mempergunakan sin-kang, racun itu dapat mengendap dan tidak bekerja. Akan tetapi, dia sama sekali tidak boleh menikah sebelum hawa beracun itu bersih dari tubuhnya, karena kalau dia melakukan hal itu isterinya akan keracunan dan lambat laun akan mati keracunan..."
Kui Eng menengok dan alisnya berkerut. Ia masih belum tahu bahwa ucapan itu mengandung kekurang-ajaran, akan tetapi ia tidak suka lengannya disentuh jari-jari tangan yang panjang itu. Kalau dalam keadaan biasa, tentu ia sudah mendamprat orang itu, akan tetapi ia teringat akan pesan ayahnya dan iapun menarik lengannya yang terpegang.
"Aku tidak bicara denganmu," katanya ketus dan iapun menjauhkan diri beberapa langkah. Si muka kuda menyeringai.
"Aih, galaknya, akan tetapi bertambah manis. Jangan marah, anak manis." Kini tangan itu bergerak mengusap ke arah dagu dan pipi Kui Eng.
Tentu saja Kui Eng marah sekali, akan tetapi ia masih menahan sabar. Ia miringkan kepalanya sehingga hanya dagunya saja tersentuh dan ia melangkah mundur lagi. "Jangan sentuh aku!" katanya, masih menahan sabar.
Si muka kuda itu mengira bahwa Kui Eng ketakutan, maka iapun menjulurkan kedua tangannya lagi. "Jangan takut, sayang, aku tidak akan menyakitimu. Marilah ikut dengan kami." Dan tiba-tiba saja si muka kuda itu sudah menangkap lengan kiri Kui Eng.
Anak yang tidak menyangka-nyangka ini, dan pula tidak ingin menggunakan kekerasan, tiba-tiba sudah ditarik dan berada dalam pondongan si muka kuda! Kui Eng memiliki dasar watak yang keras, galak dan tak mengenal takut. Kalau sejak tadi ia hanya bersabar saja hal itu adalah karena ia mengingat pesan ayahnya. Akan tetapi, kesabarannya terbatas sekali. Begitu merasa dirinya dipondong dan pemondongnya menggerakkan kaki hendak lari, ia menjadi marah bukan main!
"Heii, jangan larikan adikku!" Thian Ki berteriak, akan tetapi diapun ragu untuk turun tangan, mengingat pesan ayahnya.
"Jahanam kau! Anjing kau!" Kui Eng memaki dan tangan kirinya menjambak rambut si muka kuda, tangan kanannya menampar.
"Plakk! Aduuuhh...!" Si muka kuda merasa kepalanya seperti dihantam palu godam sehingga pondongannya terlepas. Kui Eng sudah meloncat turun. Si Muka kuda marah bukan main. Pipi kirinya bengkak oleh tamparan tadi dan dia kini menghampiri Kui Eng dengan mata berapi. Juga kawannya yang tinggi besar bermuka bopeng menghampiri dari lain jurusan.
"Bocah setan binal!" si muka kuda menubruk. Akan tetapi sekarang Kui Eng sudah naik pitam. Dengan gesit ia mengelak, menggeser tubuh ke kiri dan begitu si muka kuda menerkam luput, kakinya menendang dua kali beruntun dengan cepat sekali dan tubuh si muka kuda terlempar ke dalam air kolam!
"Byuuuuuurr...!"
Si tinggi besar terbelalak, lalu menerkam dengan marah. Kui Eng mengelak lagi. Akan tetapi si tinggi besar ini rupanya menyadari bahwa anak perempuan remaja itu bukan anak biasa, melainkan memiliki gerakan silat yang cepat, iapun membalik dan kakinya yang besar dan panjang itu mencuat, melakukan tendangan. Sungguh keji sekali, seorang laki-laki tinggi besar seperti itu menendang seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Kalau tendangan itu mengenai sasaran, tentu tubuh Kui Eng akan terlempar jauh dan mungkin akan tewas seketika.
Namun, sejak kecil Kui Eng telah menerima gemblengan seorang sakti seperti ayahnya sendiri, juga ia dilatih oleh ibunya yang lihai pula. Tendangan yang amat kuat dan cepat itu dengan mudah dapat ia elakkan, kemudian ia membalik dan kakinya menendang belakang lutut kanan lawan.
"Plakk?" dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar yang belakang lututnya ditendang itu terpaksa jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Pada saat itu, kaki kanan Kui Eng menggantikan kaki kiri, menyambar dan tepat mengenai pelipis kiri si tinggi besar bermuka bopeng.
"Plaak...!" si tinggi besar mengeluh dan tubuhnya terpelanting.
Kui Eng tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mengejar dan kembali kakinya menendang, dua kali tendangan dan tubuh si tinggi besar juga terlempar ke dalam kolam menyusul temannya!
Pada saat itu, Cian Bu dan Sim Lan Ci sudah tiba pula di situ, demikian pula mereka yang sedang berada di dalam taman, datang berlari-larian ketika mendengar ada perkelahian di dekat kolam ikan. Cian Bu sudah menangkap tangan puterinya dan ditariknya dari situ, diajak pergi diikuti oleh Sim Lan Ci dan Thian Ki. Mereka berempat tidak berkata sesuatu.
Dan semua orang yang tiba di tepi kolam, memandang ke arah dua orang yang masih berada di dalam kolam itu. Kemudian orang jadi geger ketika dua orang itu tidak keluar dari dalam kolam dan ketika diperiksa, ternyata mereka telah tewas! Ada luka sebesar kuku ibu jari tangan di dahi mereka dan darah mengucur dari luka itu. Agaknya mereka tewas seketika!
Tidak ada seorangpun di antara mereka tahu apa yang telah terjadi. Yang tadi berada di dekat situ hanya melihat betapa dua orang yang tewas di kolam itu tadi menyerang seorang anak perempuan yang kini telah lenyap entah ke mana. Mereka yang tadi kebetulan dekat melihat betapa anak perempuan itu hanya mengelak ke sana sini kemudian menendang-nendang dan dua orang itu terlempar ke dalam kolam. Akan tetapi, mustahil kalau tendangan anak perempuan itu dapat menimbulkan luka di dahi yang menewaskan kedua orang yang nampaknya kuat dan jagoan itu.
Cian Bu dan keluarganya tiba kembali di rumah penginapan dan mereka berempat berkumpul di kamar yang ditempati Sim Lan Ci dan Kui Eng. Setelah tiba di dalam kamar itu, barulah mereka saling pandang dan Thian Ki yang sejak tadi menahan-nahan perasaannya, segera berkata kepada ayahnya sambil menatap tajam wajah orang tua itu.
"Ayah, kenapa ayah membunuh mereka?"
Mendengar ini, Kui Eng terkejut dan anak perempuan itupun memutar tubuh memandang ayahnya. "Benarkah ayah telah membunuh mereka? Bagus! Mereka memang layak dibunuh. Mereka dua orang yang jahat sekali!" Wajah anak perempuan itu kelihatan girang bukan main.
"Kui Eng, jangan sekejam itu! Thian Ki menegur adiknya. "Mereka itu memang jahat karena hendak mengganggumu, akan tetapi kalau kita bunuh mereka bukankah itu lebih jahat lagi namanya?"
"Thian Ki, engkau melihatnya?" Cian Bu bertanya dan pandang matanya kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa anak itu akan melihat perbuatannya tadi, padahal dia hampir yakin bahwa yang tahu hanyalah dia dan isterinya saja. Tempat itu gelap dan gerakannya amat cepat, juga benda yang dipergunakan untuk membunuh itu terlalu kecil untuk dapat dilihat orang ketika meluncur cepat ke arah dua orang di kolam itu. Akan tetapi Thian Ki mengetahuinya!
Ini saja membuktikan bahwa anaknya yang juga muridnya ini memang berbakat sekali dan telah memiliki ketajaman pandang mata yang melebihi ahli silat biasa. Bahkan Kui Eng saja yang tingkat kepandaiannya tidak berbeda jauh dibandingkan Thian Ki, tidak dapat melihatnya.
"Aku hanya melihat berkelebatnya dua sinar hitam kecil ke arah mereka, dan melihat mereka tewas, akan tetapi aku tidak tahu siapa yang membunuh mereka dengan sambitan itu, tidak tahu pula benda apa yang membunuh mereka. Akan tetapi setelah aku melihat baju ayah, tahulah aku bahwa ayah yang telah membunuh mereka. Ada dua buah kancing baju ayah yang hilang."
Cian Bu menunduk dan melihat kancing bajunya, demikian pula isterinya dan Kui Eng. "Aih, kiranya ayah membunuh mereka dengan dua buah kancing baju ayah? Hemm, sayang kancingnya, ayah. Penjahat seperti mereka lebih pantas dibunuh memakai batu saja!" kata Kui Eng.
"Akan tetapi, demikian besarkah dosa mereka sehingga mereka itu harus dibunuh?" Thian Ki bertanya lagi, penuh rasa penasaran. Selama tujuh tahun ini, dia tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang gagah perkasa dan tidak pernah membunuh orang lain. Akan tetapi kenapa sekarang begitu ringan tangan membunuh dua orang yang walaupun bersalah, namun kesalahannya belum cukup hebat untuk dihukum mati?
"Thian Ki, masihkah engkau belum mengerti. Ayahmu terpaksa membunuh mereka agar mereka tidak akan menyiarkan berita tentang keluarga kita," kata Sim Lan Ci.
"Tapi... tapi mengapa...?"
"Thian Ki, engkau tadi melihat sendiri betapa adikmu telah mengalahkan dua orang itu melempar mereka ke kolam. Hal ini merupakan peristiwa luar biasa bagi mereka dan mereka tentu akan menyiarkan berita tentang Kui Eng kepada umum dan hal ini tentu akan menarik perhatian orang. Orang-orang akan tertarik dan ingin tahu siapa anak perempuan yang mampu mengalahkan dua orang jagoan itu dan siapa pula orang tuanya, gurunya. Dan kalau sudah begitu, perjalanan kita tidak akan menyenangkan lagi, bahkan penuh bahaya dan kehidupan kita tidak dapat tenang lagi."
"Ah, lagi-lagi akulah yang bersalah!" Kui Eng berkata dengan alis berkerut. "Kalau saja aku tidak melempar mereka ke dalam kolam! Ayah sudah memesan agar aku bersabar dan mengalah, akan tetapi bagaimana aku dapat mengalah kalau mereka hendak menculikku?"
Sim Lan Ci merangkul puterinya. "Engkau tidak bersalah, Kui Eng. Perlawananmu tadi memang sudah tepat. Kesabaran tentu ada batasnya. Memang agaknya sudah seharusnya begini. Thian Ki, ayahmu membunuh mereka bukan karena perbuatan mereka tadi, melainkan untuk menyelamatkan keluarga kita dari ancaman bahaya. Kuharap engkau dapat mengerti."
Thian Ki menundukkan mukanya. "Aku mengerti, ibu. Ayah, maafkan aku." Akan tetapi di dalam hatinya, tetap saja anak ini merasa penasaran dan tidak senang karena dianggapnya perbuatan ayahnya itu terlalu kejam, mudah saja membunuh orang walaupun dengan dalih demi keselamatan keluarga mereka. Bahaya itu kan belum datang mengancam? Ayahnya amat tidak menghargai nyawa ocang lain!
Betapapun juga, tepat seperti dikatakan Cian Bu. Setelah dua orang itu tewas tanpa ada orang lain mengetahui sebabnya, perjalanan mereka tidak mendapat gangguan lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cian Bu dan keluarganya sudah meninggalkan kota Wuhan, melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Mo-kim-cung yang merupakan sebuah dusun kecil di kaki Bukit Ular.
Sim Lan Ci segera mengajak keluarganya menuju ke rumahnya yang tujuh tahun yang lalu ia tinggalkan dalam pengawasan seorang pembantu wanita yang sudah lama bekerja pada mereka. Tentu saja ia juga memesan kepada ibunya, yaitu Lo Nikouw di kuil Thian-ho-tang di luar dusun agar mengamat-amati rumahnya selama ia dan suaminya pergi.
Ketika pada senja hari itu mereka tiba depan rumah Lan Ci, mereka melihat sebuah rumah yang kotor tidak terawat, jendela dan daun pintunya tertutup rapat-rapat, bahkan gelangan daun pintu dirantai dari luar, tanda bahwa rumah itu kosong. Lan Ci termangu-mangu melihat betapa pekarangan yang dahulu dirawatnya baik-baik dan penuh bunga itu kini menjadi kotor dan buruk. Juga rumah itu kotor dan banyak genteng yang pecah dan temboknya sudah penuh jamur kehijauan. Seperti rumah hantu!
Thian Ki juga berdiri termangu di depan rumah itu. Terbayanglah dalam ingatannya ketika tujuh tahun yang lalu dia hidup di tempat ini. Masih teringat semua keadaan di luar dan di dalam rumah. Betapa senangnya dia dahulu memanjat pohon di samping rumah itu atau berlari-larian dan bermain dengan teman-teman sedusun. Dia pernah jatuh di sebelah kanan rumah itu, di selokan kecil yang dibuat ayahnya untuk mengalirkan air ke taman bunga. Dan sekarang, keadaan di pekarangan dan taman itu amat menyedihkan. Juga rumah itu nampak demikian tua dan kotor. Semua ini membuat dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya demikian lembut dan baik dan tak terasa ke dua mata Thian Ki menjadi basah.
Sim Lan Ci sudah menghampiri rumah tetangga terdekat. Suami isteri petani tua itu menyambutnya di depan pintu dan mereka segera mengenal Sim Lan Ci yang bersama suaminya memang amat dikenal di dusun itu sebagai orang-orang yang suka menolong. Dari tetangganya ini Lan Ci mendengar betapa pembantu yang diserahi tugas menjaga rumah telah pulang ke dusunnya sendiri karena terlalu lama majikannya tidak pulang. Rumah beserta isinya oleh pelayan itu diserahkan kepada Lo Nikouw yang menutup rumah itu.
"Apakah Lo Nikouw masih tinggal di kuil Thian-ho-tang?" tanya Lan Ci dengan hati terharu. Suami isteri itu mengangguk. Sim Lan Ci lalu mengucapkan terima kasih dan bersama keluarganya ia lalu pergi ke luar dusun, ke kuil Thian-ho-tang itu.
Senja telah lewat dan cuaca sudah remang ketika mereka tiba di luar kuil Thian-ho-tang. Kuil ini kecil saja, berdiri terpencil di tempat yang sunyi. Akan tetapi dari luar nampak bahwa kuil itu sudah dipasangi lampu-lampu dan bahkan meja sembahyang di ruangan depan juga dipasangi lilin. Namun suasana di kuil itu nampak sunyi sekali seolah tidak ada penghuninya. Agaknya ibu masih juga tinggal menyendiri di kuil ini, pikir Sim Lan Ci dan iapun berjalan paling depan ketika mereka memasuki kuil.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara lembut dari dalam kuil. Suara itu lembut namun berwibawa dan Lan Ci menahan langkahnya, diikuti oleh suaminya dan dua orang anak mereka. Mereka berhenti di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
"Siapakah tamu yang memasuki kuil ini? Beritahukan dulu nama kalian dan apa perlunya datang berkunjung." Suara itu kembali terdengar lembut berwibawa dan biarpun singkat, tidak terdengar galak.
"Ibu, aku Lan Ci, anakmu datang berkunjung," kata Sim Lan Ci dan betapapun keras hati wanita ini, tetap saja ia terharu dan suaranya agak gemetar. Hening sejenak di dalam kuil. Kemudian suara itu terdengar lagi, masih lembut berwibawa.
"Omitohud... semoga hamba dibebaskan daripada keterikatan! Pin-ni (aku) tidak mempunyai anak. Anak tunggal pin-ni sudah bertahun-tahun meninggalkan pin-ni tanpa kabar, pin-ni menganggap ia sudah mati..."
"Nenek...!" Thian Ki berseru.
"Omitohud... kau... kau... Thian Ki cucuku!?"
Dari dalam muncullah seorang nenek. Ia sudah tua, sedikitnya tujuhpuluh lima tahun usianya, dan mukanya sudah terhias keriput, terutama di kanan kiri kedua matanya dan di sekitar mulutnya. Akan tetapi tubuhnya masih tegak dan gesit, sinar matanya masih tajam, pakaiannya bersih dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan, tangan kiri memegang seuntai tasbeh. Sepasang mata itu ditujukan ke arah Thian Ki, lalu ia menyelipkan kebutan di pinggang, mengantongi tasbehnya dan mengembangkan kedua lengannya.
"Thian Ki cucuku...!"
"Nenek...!" Thian Ki lari menghampiri dan nenek itu merangkulnya. Biarpun usianya baru dua belas tahun, tubuh Thian Ki sudah hampir sama dengan neneknya.
Dan Nikouw yang kepalanya gundul licin itu menangis, lalu berulang-ulang menyebut nama Sang Buddha. "Cucuku... ah. Thian Ki, betapa rinduku kepadamu. Omitohud... semoga diampuni kelemahanku ini..."
Kemudian ia teringat dan mengangkat muka, memandang kepada Sim Lan Ci yang berdiri tak jauh didepannya. Sejenak pandang mata nenek itu mengamati Lan Ci, kemudian terdengar suaranya yang lembut namun kering dan tegas.
"Betapa kejamnya engkau! Engkau memisahkan Thian Ki dari pin-ni, pergi tanpa memberi kabar lama sekali sampai bertahun-tahun. Engkau menyiksa hati pin-ni. Begitukah cara seorang anak membalas budi orang tua!"
"Ibu, ibu tidak tahu apa yang telah terjadi menimpa diri kami. Ibu sendiri amat tega, membuat Thian Ki menjadi seorang tok-tong. Ibu telah merusak hidupnya, dan ibu masih dapat mencela aku kejam?"
"Omitohud... siapa bilang aku kejam? Pin-ni menggemblengnya menjadi tok-tong agar kelak tidak ada orang yang berani mengganggunya, agar dia dapat menjadi orang gagah yang tak terkalahkan kelak, agar dia merajai di dunia persilatan dan mengangkat nama besar orang-orang yang menurunkannya. Neneknya pernah menjadi Ban-tok Mo-li, sudah sepantasnya kalau dia menjadi tok-tong."
"Tapi, ibu. Biarpun tidak disengaja, dalam usianya yang baru lima enam tahun dia sudah membunuh banyak orang dengan racun yang berada di tubuhnya!" teriak Lan Ci yang kini menjadi marah karena teringat akan keadaan puteranya. "Lihat, dia sampai tidak berani sembarangan menyentuh orang lain, takut kalau sampai membunuhnya. Bukankah ini berarti ibu menyiksanya!?"
"Omitohud, semua itu salahmu sendiri, Lan Ci. Kenapa engkau memisahkannya dari pin-ni. Pin-ni belum selesai dengan cucuku ini. Akan pin-ni bimbing dia dan latih dia sehingga racun di tubuhnya hanya akan menjadi senjata kalau diperlukan."
"Bagus sekali kalau begitu. Sudah kukatakan bahwa hanya yang membuat dia menjadi tok-tong sajalah yang akan mampu membimbing dia menguasai dirinya." kata Cian Bu dengan girang mendengar ucapan nenek itu.
Lo Nikouw mengangkat muka memandang kepada Cian Bu. Sepasang matanya mencorong ketika ia mengamati pria itu penuh selidik, lalu ia bertanya. "Siapa orang ini?"
Thian Ki yang menjawab cepat. "Nenek, dia adalah guruku, juga ayahku!"
Kini pandang mata nenek itu terbelalak dan ketika ia menoleh ke arah puterinya yang tadi merasa canggung untuk menjawab. "Ayahmu...? Apa artinya ini?"
Kini Lan Ci sudah dapat menenangkan hatinya dan ia pun menghampiri ibunya dan berkata dengan suara tenang. "Ibu, dengarlah baik-baik. Ketika kami pergi ke Ta-bun-cung tujuh tahun yang lalu dan berada di markas Hek-houw-pang, di sana terjadi penyerbuan... musuh-musuh Hek-houw-pang. Tentu saja kami membela dan dalam pertempuran itu, Coa Siang Lee tewas, di samping ketua Hek houw-pang dan banyak tokohnya. Pihak musuh amat kuatnya. Aku sendiri bersama Thian Ki tertawan musuh dan tentu kami berdua akan celaka atau setidaknya akan menderita kesengsaraan kalau saja kami tidak ditolong oleh... dia yang kemudian menjadi suamiku! Dia sendiri... seluruh keluarganya, isterinya, semua juga tewas di tangan pasukan pemerintah, dia sendirian, dan aku... kemudian kami menikah."
Lo Nikouw mengerutkan alisnya. Yang membuat ia tidak suka bukan karena puterinya menikah dengan laki-laki tinggi besar bermuka merah ini. Baginya, tidak perduli ia siapa yang menjadi suami Lan Ci. Akan tetapi ia tidak senang mendengar bahwa Thian Ki menjadi murid pria ini!
"Tidak perduli dia menjadi suamimu, akan tetapi bagaimana dia berani lancang menjadi guru Thian Ki? Harus pin-ni lihat dulu apakah pantas dia menjadi guru cucuku!"
Berkata demikian nenek itu melepaskan Thian Ki dan sekali kakinya bergerak, seperti memakai sepatu roda saja dengan ringan ia telah bergeser ke depan Cian Bu dan tangannya sudah mencabut kebutannya.
"Sambutlah ini!" Tangannya bergerak, terdengar suaara angin menyambar bersiut dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika kebutan berbulu putih itu menyambar ke arah tubuh Cian Bu dan ujungnya telah mematuk-matuk, merupakan totokan totokan yang amat cepat dan kuat sehingga berbahaya sekali bagi yang diserang.
Sim Lan Ci terkejut bukan main, akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada suaminya. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian suaminya tidak kalah dibandingkan ibunya, dan ia sudah menceritakan kepada suaminya tentang keadaan ibunya, tentang ilmu-ilmu yang mengandung racun berbahaya sehingga suaminya tentu akan berhati-hati dan mampu menjaga diri. Dan ia percaya pula bahwa suaminya tentu tidak akan mencelakai ibunya.
Sementara itu, Thian Ki dan Kui Eng hanya menonton. Akan tetapi, kalau Thian Ki hanya bingung melihat ayahnya dan neneknya bertanding, Kui Eng berdiri dengan muka berubah pucat dan bukan dua orang yang bertanding itu yang dipandang, melainkan pandang matanya bergantian menatap wajah Sim Lan Ci dan Thian Ki. Ketika ibu kandungnya tewas ditangan pasukan yang mengeroyok, ia masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Yang diingatnya adalah bahwa ibunya adalah Sim Lan Ci, ayahnya adalah Cian Bu dan Thian Ki adalah kakaknya. Itu saja.
Akan tetapi percakapan tadi membuat ia pusing tujuh keliling! Agaknya ayahnya bertemu dengan ibunya setelah ibunya menjadi janda dan telah mempunyai anak, yaitu Thian Ki. Dan seperti yang didengarnya tadi, ayahnya juga kematian isterinya. Lalu ia sendiri siapa? Anak siapa? Ia anak bawaan ibunya ataukah bawaan ayahnya? Membayangkan bahwa ia hanya anak tiri dari satu di antara kedua orang itu, ingin ia menjerit-jerit dan wajahnya menjadi pucat.
Sambaran kebutan ke arah jalan darah di tubuh Cian Bu dapat dielakkan dengan loncatan belakang. Akan tetapi agaknya nenek itu masih belum puas, ia meloncat ke depan, menyerang lagi dan kini lebih hebat serangannya. Suara kebutannya sampai mencicit mengerikan ketika bulu-bulu kebutan itu meluncur dengan cepat sekali.
Cian Bu maklum bahwa nenek itu hanya menguji. Akan tetapi ujian yang dilakukan seorang bekas datuk sesat seperti Ban-tok Mo-li ini bukan sembarangan ujian. Kalau dia tidak hati-hati, bisa saja ujian itu berakhir dengan kematiannya. Dia dapat menduga pula bahwa ujung bulu-bulu kebutan itu tentulah mengandung racun.
Maka, untuk mengakhiri ujian itu, dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Diam diam dia mengerahkan sin-kang dan membuat telapak tangannya panas seperti api membara dan ketika kebutan menyambar lewat karena dia mengelak, dia cepat menangkap ujung kebutan itu dengan tangan.
"Plakk!" Ujung kebutan dapat ditangkap. Lo Nikouw menarik kebutannya dan Cian Bu mempertahankan. Sejenak tarik-menarik. Lo Nikouw tersenyum karena mengira bahwa lawannya tentu akan keracunan ketika telapak tangannya mencengkeram dan menggenggam bulu-bulu kebutannya.
Akan tetapi ia terbelalak karena ujung kebutan itu mengeluarkan asap dan ia pun hampir terjengkang karena bulu kebutannya tiba-tiba putus dan ujungnya hangus seperti terbakar dalam genggaman tangan lawan. Cian bu membersihkan telapak tangannya yang penuh abu hitam, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Ilmu kepandaian lo-cian-pwe Ban-tok Mo-li memang hebat sekali. Saya mengaku kalah." Kalau Cian Bu bersikap hormat dan mengalah, hal ini semata-mata karena cintanya kepada Lan Ci, karena dia berhadapan dengan ibu kandung isterinya tercinta itu. Andaikata tidak demikian, tentu dia akan bersikap bahkan bertindak lain. Dahulu dia merupakan seorang pangeran yang angkuh dan tinggi hati!
Wajah Lo Nikouw berubah kemerahan, akan tapi hatinya mulai suka melihat pria yang lihai itu merendahkan diri dan bersikap hormat kepadanya. Ini merupakan seorang mantu yang hebat, pikirnya, dan sungguh tidak mengecewakan mempunyai seorang mantu yang tingkat kepandaiannya tidak kalah olehnya! Jauh lebih hebat dari pada Coa Siang Lee yang dipandangnya rendah.
"Omitohud... siapakah engkau sebenarnya?"
Sim Lan Ci yang merasa girang melihat suaminya mampu membuat ibunya tunduk, mendahului suaminya dengan suara bangga, "Ibu, namanya Cian Bu, dahulu dia bernama Pangeran Cian Bu Ong!"
Nenek itu membelalakkan matanya. "Omitohud... kiranya Pangeran Cian Bu Ong yang terkenal itu! Ah, pin-ni sudah sejak dahulu mendengar nama besar pangeran!"
Cian Bu membungkuk. "Harap ibu jangan terlalu memuji. Sekarang saya bukan pangeran lagi, melainkan orang biasa yang bernama Cian Bu."
Mendengar bekas pangeran itu menyebutnya ibu tanpa ragu-ragu lagi, hati nenek ini menjadi semakin senang dan bangga. Seorang pangeran, biarpun hanya bekas, menyebutnya ibu! "Hemm, kiranya suamimu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Lan Ci," katanya dan suaranya terhadap puterinya kini lembut ramah. "Baik sekali kalau Thian Ki menjadi muridnya. Akan tetapi sudah ada dia sebagai gurunya kenapa kalian bawa lagi Thian Ki kepada pin-ni?"
"Ibu, kami amat khawatir terhadap keadaan Thian Ki. Kalau dia mengerahkan sedikit saja tenaga, maka tubuhnya mengandung racun yang mematikan. Kalau hal ini dibiarkan, bisa suatu saat tanpa disengaja dia akan membunuh aku, adiknya atau siapa saja," kata Lan Ci.
"Kami tidak tahu bagaimana harus mengajarnya agar dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa beracun itu, apa lagi melenyapkannya. Saya sendiri tidak berani coba-coba, takut kalau-kalau keliru bahkan membahayakan nyawanya sendiri! Oleh karena itu, tidak ada lain jalan bagi kami kecuali membawanya ke sini," kata Cian Bu.
Nenek itu tersenyum lebar. "Omitohud, akhirnya cucuku dikembalikan juga kepada pin-ni. Baik, pin-ni akan membimbingnya agar dia dapat menguasai dirinya, dapat mengendalikan hawa beracun itu, dengan syarat bahwa dia harus ditinggalkan sendiri di sini bersama pin-ni untuk waktu satu sampai dua tahun! Tinggalkan dia di sini, setelah selesai pelajarannya, kelak pin-ni akan mengantarkan dia pulang ke rumah kalian."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Cian Bu bertanya kepada Thian Ki. "Thian Ki, bagaimana pendapatmu? Maukah engkau kami tinggalkan di sini seperti yang dikehendaki nenekmu?"
Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku mau, ayah. Aku ingin terbebas dari siksaan ini."
"Nenek, akupun ingin dijadikan tok-li (perempuan beracun)! Jadikan aku anak beracun seperti toako!" Tiba-tiba Kui Eng berlari mendekati nenek itu dan memegang tangannya.
Lo Nikouw memandang anak perempuan itu. "Hemm, inikah anakmu dengan suamimu yang sekarang, Lan Ci?" Lalu ia mengerutkan alisnya. "Tapi, kalian baru menikah tujuh tahun dan anak ini sedikitnya berusia sepuluh tahun."
"Nek, usiaku sudah sebelas tahun. Aku pasti bukan anak mereka, entah anak siapa aku ini," kata Kui Eng dan tiba-tiba saja ia menangis seperti air yang membanjir karena tanggulnya bobol.
"Kui Eng. jangan bicara tidak karuan!" bentak Cian Bu. "Engkau masih kecil ketika ibu kandungmu terbunuh, dan sejak itu engkau menjadi anak ibumu yang sekarang. Apakah ibumu ini kurang menyayangmu?"
Kui Eng menoleh ke arah ibunya dan melihat betapa Sim Lan Ci memandangnya dengan sinar mata sedih, ia pun lari menghampiri dan merangkul ibunya. Ibu dan anak itu saling berangkulan karena terasa benar dalam hati mereka betapa mereka sejak dahulu saling mencinta.
"Omitohud... dua orang dengan anak masing masing telah menjadi satu keluarga yang rukun dan saling menyayang. Pin-ni ikut merasa girang. Dan seperti yang pin-ni katakan tadi tinggalkan Thian Ki di sini dan kalau sudah selesai pelajarannya, pin-ni akan antarkan dia pulang."
"Aku ikut kakak Thian Ki!" Kui Eng merengek kepada ibunya.
"Tidak, Kui Eng. Kalau engkau tinggal pula di sini, lalu bagaimana ayah dan ibumu? Tentu akan amat kesepian dirumah."
"Aku ingin ikut toako!" anak perempuan itu membantah.
"Kui Eng, engkau bukan anak kecil lagi! Engkau telah menjadi seorang gadis cilik dan pelajaranmu belum selesai. Masih banyak yang harus kau pelajari dariku. Pula, tidak baik seorang gadis hidup menyendiri jauh dari orang tua," kata ayahnya.
"Ayah, aku tidak menyendiri, akan tetapi bersama kakakku! Apa salahnya?"
"Hemm, engkau sudah hampir dewasa, tentu engkau tahu bahwa biarpun kalian saling menyayang sebagai kakak dan adik, akan tetapi tidak ada hubungan darah di antara kalian. Bagamana akan kata orang kalau tahu akan hal itu? Engkau harus pulang bersama kami. Kakakmu tinggal di sini untuk mempelajari ilmu mengendalikan racun, berarti sama dengan berobat agar dia dapat hidup normal."
Diingatkan demikian, Kui Eng memandang pada Thian Ki dan sekarang pandangannya berubah! Thian Ki bukan kakaknya! Bahkan kakak tiripun bukan, berlainan ayah berlainan ibu. Orang lain!
"Eng-moi (adik Eng), kau pulanglah bersama ayah dan ibu. Kelak akupun akan pulang setelah latihanku di sini selesai," kata Thian Ki membantu ayah ibunya membujuk.
Kui Eng cemberut dan tidak menangis lagi. Ia membanting kakinya ketika bangkit berdiri. "Baiklah, baiklah! Engkau tidak senang kalau aku ikut denganmu, ya? Aku memang bukan adikmu, bukan apa-apa..."
"Kui Eng, bagaimanapun juga, Thian Ki adalah suhengmu!" ayahnya memperingatkan.
Setelah dibujuk-bujuk dan dihibur-hibur barulah Kui Eng mengalah. Keluarga itu tinggal di kuil Thian-ho-tang selama tiga hari dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lan Ci untuk menjual rumah dan tanahnya, mengangkut prabot rumah yang dikehendaki ibunya ke kuil itu.
Ketika suami isteri itu dan Kui Eng hendak pergi meninggalkan kuil dan pulang, Lan Ci dan Cian Bu meninggalkan uang yang cukup untuk keperluan Lo Nikouw dan Thian Ki yang akan tinggal di situ selama kurang lebih dua tahun. Kemudian mereka bertiga berangkat pergi, diantar oleh Lo Nikouw dan Thian Ki sampai di kaki bukit.
********************
Dari puterinya, Lo Nikouw sudah mendengar semua tentang pengalaman puterinya dan cucunya semenjak meninggalkan dusun Mo-kin-cung. Ia juga sudah mendengar betapa cucunya membunuh beberapa orang tanpa disengaja, karena racun ditubuhnya bekerja ketika orang-orang itu menyerangnya. Setelah tiba di rumah, ia memeriksa tubuh cucunya, bukan saja memeriksa jalan darah, menggigit sedikit rambut kepalanya, juga mengeluarkan sedikit darah dengan tusukan jarum. Setelah memeriksa, ia mengangguk-angguk.
"Bagus, engkau telah benar-benar menjadi seorang tok-tong. Ayah ibumu memberi juluk Tok-liong (Naga Beracun), memang tepat sekali. Kalau engkau kelak memiliki kepandaian tinggi, engkau menjadi gagah perkasa seperti seekor naga, dan engkau menjadi semakin hebat karena naga itu beracun! Akan terkabul idaman hatiku, terkabul pula cita-cita ayahmu Cian Bu yang gagah perkasa itu, karena engkau akan menjadi seorang gagah yang tidak terkalahkan!"
"Akan tetapi aku tidak ingin membunuh orang, nek! Lebih baik bersihkan saja tubuhku dari racun itu. Singkirkan semua hawa beracun karena aku tidak suka menjadi tok-tong, tidak suka jadi naga beracun." Dia menatap wajah neneknya dan melanjutkan, "Aku tidak suka menjadi seorang jahat, nek. Apakah nenek yang telah menjadi pendeta ini menghendaki aku kelak menjadi seorang pembunuh yang jahat?"
"Omitohud... tentu saja tidak, Thian Ki. Dahulu di waktu muda, memang pin-ni seorang pembunuh yang tiada duanya lagi, heh-heh. Pin-ni dijuluki Ban-tok Mo-li dan tidak ada seorangpun tokoh kangouw yang tidak mengenal nama pin-ni! Akan tetapi, pin-ni juga sudah merasakan akibatnya. Perbuatan jahat, lambat atau cepat, pasti akan menghasilkan buahnya yang teramat pahit. Pin-ni telah menyadari semua itu, pin-ni telah bertobat dan mohon ampun dari Yang Maha Pengampun. Kalau pin-ni sengaja membuat tubuhmu menjadi beracun, hal itu pin-ni lakukan bukan dengan maksud agar engkau menjadi jahat, melainkan agar engkau menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang pandai dan amat berbahaya, Thian Ki..."
"Aih, nenekku yang baik. Hampir aku tidak percaya bahwa engkau dahulu adalah seorang datuk sesat yang berjuluk Ban-tok Mo-li! Jahat sekalikah engkau ketika muda, nek?"
"Omitohud, semoga Tuhan mengampuniku. Bukan jahat lagi, cucuku. Lebih daripada yang jahat. Tidak ada kejahatan yang tidak pernah kulakukan!"
Thian Ki menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. Tentu saja sukar baginya membayangkan neneknya yang kini demikian penuh kelembutan dan keramahan, pernah menjadi seorang iblis betina yang kejam. Bukankah ayah dan ibunya dahulu juga mendidiknya menjadi orang yang baik dan menjauhi kekerasan? Baru setelah ibunya menikah dengan ayah tirinya yang sekarang ini dia mengenal ilmu silat di bawah gemblengan ayah tirinya.
"Nek, kalau nenek dahulu menjadi tokoh sesat, kalau begitu... tentu musuh nenek terdiri dari para pendekar dan tokoh persilatan yang baik? Begitukah?"
"Omitohud... tentu saja... tentu saja begitu. Kalau pin-ni dulu jahat, tentu saja musuh-musuh pin-ni adalah tokoh tokoh yang baik. Itu sudah sewajarnya, bukan? Akan tetapi pin-ni dulu, tidak mengenal apa itu baik atau buruk. Pendeknya siapa saja yang tidak sependapat dengan pin-ni, tentu menjadi musuh pin-ni tidak perduli dia itu pendekar budiman ataukah perampok jahat! Musuh pin-ni sudah tak terhitung banyaknya. Terima kasih Tuhan bahwa pin-ni sekarang telah menjadi nikouw, sehingga tidak ada bekas musuh yang masih ingat dan mengenal pin-ni, sudahlah. Thian Ki. Pendeknya, engkau tidak boleh menjadi orang jahat. Engkau harus menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan, menjadi jagoan nomor satu yang selain menjunjung tinggi nama keluarga, juga dengan perbuatan gagah dan benar akan dapat sedikitnya mengurangi kekotoran yang menempel pada nama nenekmu ini. Nah, sekarang engkau harus bekerja keras, berlatih untuk dapat menguasai hawa beracun yang berada di dalam tubuhmu."
"Akan tetapi, nek. Kalau mungkin, aku ingin sekali agar aku tidak lagi menjadi tok-tong, agar darahku tidak beracun, agar hawa beracun yang berada dalam tubuhku lenyap, karena aku tidak ingin orang lain menjadi korban karena racun yang berada dalam tubuhku."
Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Omitohud, dengan susah payah pin-ni membuat engkau menjadi tok-tong dengan maksud agar engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia, menjadi seorang pendekar tak terkalahkan, dan engkau minta agar engkau pulih kembali menjadi anak biasa? Tidak mungkin, Thian Ki, kecuali kalau ada sedikitnya sepuluh orang yang menyedot racun itu dari tubuhmu. Akan tetapi itu berarti bahwa engkau akan mengorbankan nyawa sepuluh orang."
"Aku tidak mau kalau begitu, nek! Lebih baik racun itu membunuhku dari pada harus membunuh sepuluh orang!"
"Akupun tidak menghendaki demikian, cucuku. Oleh karena itu, aku akan mengajarkan cara agar engkau menguasai racun itu di tubuhmu, sehingga engkau dapat membuat racun itu mengendap dan tidak membahayakan orang lain. Setelah engkau dapat menguasainya, racun itu baru bekerja setelah engkau mengerahkan tenagamu. Akan tetapi engkau tidak boleh menikah, Thian Ki, karena setiap kali engkau menikah, isterimu itu akan mati keracunan dan merupakan orang pertama yang akan menyedot racun dari tubuhmu."
"Nek, apakah tidak ada jalan lain untuk membebaskan aku dari racun ini?"
"Hanya dengan bantuan orang yang sakti, cucuku. Yang memiliki sin-kang yang sudah sempurna bahkan yang lebih kuat daripada ayah tirimu yang tangguh itu. Dan di dunia ini, orang seperti yang kumaksudkan itu jarang dapat dijumpai. Seingatku hanya ada dua orang saja yang mungkin sekali dapat membantumu. Mereka adalah Pek I Tojin, tosu pertapa dari Thai-san dan ke dua adalah Hek Bin Hwesio, hwesio perantau di pegunungan Himalaya. Akan tetapi, siapa yang dapat mencari dua orang sakti seperti itu? Mereka seperti dewa dan andaikata dapat jumpa sekalipun, belum tentu mereka mau mencampuri urusan dunia."
"Wah, susah benar kalau begitu mencari mereka, nek. Akan tetapi kelak aku akan mencari mereka. Apakah mereka tidak mempunyai murid-murid yang sekiranya telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, nek?"
"Setahuku, murid paling baik dan terkenal dari Pek I Tojin adalah Huangho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. sedangkan murid terbaik dari Hek Bin Hwesio adalah isteri pendekar itu, yang bernama Bu Giok Cu. Nama suami isteri ini terkenal sekali, terutama di sepanjang lembah sungai Huang-ho. Dan mereka tinggal pula di tepi sungai Huang-ho, di sebuah dusun yang disebut Hong-cun. Akan tetapi, pin-ni tidak yakin apakah mereka berdua itu akan dapat menolongmu, atau akan mau melakukannya. Pin-ni kira hanya Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio saja yang akan mampu melakukannya."
Diam-diam Thian Ki mencatat nama orang-orang yang disebut oleh neneknya. Mulai hari itu diapun berlatih dengan tekun di bawah bimbingan neneknya, berlatih untuk menguasai hawa beracun yang menguasai tubuhnya. Setelah berlatih yang sebagian besar adalah latihan samadhi dan pernapasan, barulah Thian Ki mengerti mengapa neneknya minta dia tinggal satu dua tahun di situ. Ternyata latihan menguasai hawa beracun itu tidaklah mudah!
Dan salah sedikit saja akan membahayakan dirinya sendiri. Racun di tubuhnya itu akan dapat mendatangkan akibat sampingan yang hebat, seperti rusaknya jantungnya atau bahkan rusaknya isi kepalanya. Dia dapat menjadi gila, lemah atau bahkan tewas. Hawa beracun yang berada di tubuhnya, bahkan yang sudah mengalir di darahnya, yang membuat rambut dan kukunya, bahkan ludahnya, mengandung racun yang dapat mematikan orang lain, bagaikan ular berbisa yang liar dan yang tidak dapat keluar dari tubuhnya.
Karena neneknya tidak mampu mengeluarkan racun itu, maka ular liar itu harus dapat ditundukkan dan dijinakkan, sehingga biarpun berada di dalam tubuhnya, namun dia dapat mengatur agar kalau tidak diperlukan, ular liar berupa racun itu dapat "tidur" di dalam pusarnya. Thian Ki yang ingin membuat dirinya tidak "berbahaya" seperti yang sudah, berlatih dengan tekun sekali, sehingga lewat satu setengah tahun dia sudah berhasil dan mampu menguasai hawa beracun di dalam tubuhnya.
Hawa beracun itu sudah jinak dan berdiam di pusarnya. Dalam keadaan hawa itu tertidur, dia dapat melakukan apa saja tanpa mengusik hawa beracun itu, kecuali tentu saja menggunakan sin-kang. Kalau dia mengerahkan tenaga dalam, maka otomatis hawa beracun tidur itu akan bangkit dan menerobos keluar melalui gerakannya yang mengandung tenaga dalam, tentu saja akibatnya akan membahayakan nyawa lawan.
Kalau dia mengerahkan tenaga sin-kang untuk menggugah hawa beracun itu, maka hawa beracun itu akan menyebar di seluruh tubuhnya dan jangankan pukulannya, baru rambut, kuku, dan ludahnya saja mengandung racun yang cukup untuk membunuh orang. Sekali gores dengan kukunya saja, kalau kulit orang terluka dan berdarah, maka racun dari kukunya akan membunuh orang itu.
"Sudah cukup, cucuku," nenek itu terkekeh gembira. "Omitohud... betapa senangnya hatiku. Engkau memang berbakat sekali, Thian Ki. Belum dua tahun engkau telah mampu menguasai hawa beracun di tubuhmu. Engkau sekarang baru tepat berjuluk Tok-liong (Naga Beracun). Besok kuantar engkau pulang, aku ingin mengunjungi ibumu dan mantuku yang gagah perkasa..."
Tentu saja Thian Ki juga girang mendengar ini. Dia sudah merasa rindu kepada ibunya, kepada ayah tirinya dan terutama kepada Cian Kui Eng. "Aku juga senang sekali, nek dan terima kasih atas bimbinganmu. Aku senang sekali bahwa kini aku tidak takut lagi bergaul dengan sumoi, dan tidak takut pula untuk melayaninya berlatih silat."
Nikouw tua itu mengangguk-angguk dan merangkap kedua tangan di depan dada, menarik napas panjang dan matanya dipejamkan, mukanya ditengadahkan. "Omitohud, semoga Sang Buddha akan memberi bimbingan kepada cucuku sehingga kelak dia akan dapat mencuci bersih nama neneknya. Thian Ki, ingat! Jangan sekali-kali engkau mempergunakan hawa beracun ditubuhmu untuk perbuatan jahat! Biarpun tubuhmu beracun, namun hatimu haruslah bersih dari pada segala kejahatan."
"Aku mengerti, nek..."
Nenek dan cucunya ini berkemas, siap untuk berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Mo-kin-cung menuju ke tempat tinggal Cian Bu Ong atau sekarang sekarang kita kenal dengan nama baru, yaitu Cian Bu yang tinggal sebagai hartawan, dermawan dan kepala dusun Ke-cung di kaki Bukit Emas.
Sore hari itu Thian Ki membantu neneknya membersihkan kuil. Nenek itu ingin agar kuil itu bersih sebelum ditinggalkan, karena selama beberapa hari kuil itu akan ditinggalkan dan tidak ada yang akan membersihkannya. Selagi mereka asyik membersihkan kuil, tiba-tiba mereka mendengar suara banyak orang di luar kuil.
"Omitohud, siapa yang berkunjung ke kuil sore-sore begini?" kata Lo Nikouw lirih. Ia hampir tidak pernah kedatangan tamu kecuali orang-orang dusun yang datang untuk minta obat atau minta berkah atau mau sembahyang. Akan tetapi, pada saat itu, terdengar teriakan dari luar yang amat mengejutkan hati Thian Ki.
"Iblis betina, keluarlah untuk menerima hukuman!"
Dengan mata terbelalak Thian Ki memandang kepada neneknya. Nikouw tua itupun terkejut, namun sikapnya tenang saja, bahkan bibirnya tersenyum. "Omitohud, agaknya serapat-rapatnya bungkusan barang busuk, akhirnya akan tercium juga baunya. Thian Ki, engkau tinggallah saja di sini dan jangan keluar, biar pin-ni yang menghadapi mereka. Ingat, apapun yang terjadi, engkau harus pulang ke rumah orang tuamu. Mengerti?"
Dengan jantung masih berdebar tegang Thian Ki mengangguk. Nenek itupun melangkah keluar dan sikapnya sungguh tenang, senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Nenek berusia enampuluh enam tahun itu nampak seperti berusia empat puluh tahun saja,dan kepalanya yang gundul itu nampak kulitnya putih bersih dan mengkilap.
Dahulu, ketika ia masih muda dan bernama Phang Bi Cu berjuluk Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), selain tubuhnya beracun dan ia memiliki banyak macam pukulan beracun, juga ia selalu membawa kipas dan kebutan yang menyembunyikan pedang. Akan tetapi sekarang, semenjak menjadi nikouw, ia tidak pernah lagi membawa senjata apapun.
Dengan jantung berdebar tegang, Thian Ki cepat menyelinap ke depan dan dia mengintai dari balik jendela depan. Dia melihat neneknya keluar dengan langkah tenang dan wajah berseri, dan dengan hati khawatir dia melihat bahwa di luar telah berdiri sepuluh orang laki-laki yang rata-rata nampak gagah dan marah. Mereka terdiri dari orang-orang yang usianya empatpuluh tahun ke atas, ada yang berpakaian seperti seorang tosu ada pula hwesio dan ada yang berpakaian seperti orang dari dunia persilatan. Rata-rata mereka membawa senjata.
Ketika Lo Nikouw keluar dan bertemu dengan sepuluh orang itu, mereka nampak terkejut dan juga meragu. Akan tetapi hwesio yang bermuka merah dan usianya kurang lebih limapuluh tahun, sudah melintangkan sebatang toya hitam di depan dada lalu memutar toya dan menancapkan toya di depan kakinya.
"Omitohud, biar engkau sudah menyamar sebagai nikouw sekalipun tidak ada gunanya. Ban-tok Mo-li. Kami akhirnya dapat menemukan tempat persembunyianmu dan dapat menuntut balas atas kejahatanmu!"
"Siancai...! Ban-tok Mo-li sudah menumpuk dosa terlampau banyak. Biar menjadi nikouw sampai seribu kali, bagaimana mungkin dapat mencuci bersih dosa-dosanya?" kata tosu yang usianya juga sekitar limapuluh tahun.
Ada dua orang hwesio dan dua orang tosu di situ, mereka ini sudah siap menyerang dan sinar mata mereka memandang penuh kebencian kepada Lo Nikouw. Adapun enam orang yang lain, yang berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw, juga tidak kalah galaknya. Mereka terbagi menjadi dua golongan, masing-masing tiga orang. Yang tiga orang berpakaian serba hijau, sedangkan tiga orang yang lain, yang mengenakan baju putih dengan celana bermacam warna, mempunyai gambar seekor naga melingkar di dada mereka.
"Ban-tok Mo-li, kami dari Pulau Hiu datang untuk mencabut nyawamu!" kata seorang dari mereka yang berpakaian hijau.
"Ban-tok Mo-li, lebih baik engkau menyerah kepada kami untuk kami seret ke hadapan majikan kami di Bukit Naga!" kata seorang di antara mereka yang memakai tanda gambar naga di dada.
Menghadapi sepuluh orang yang kelihatan marah dan penuh kebencian itu, Lo Nikouw tersenyum ramah dan sikapnya masih tetap tenang. Hal ini membuat Thian Ki yang mengintai dari dalam merasa heran. Kalau neneknya bekas seorang datuk yang amat jahat, bagaimana mungkin dapat bersikap sesabar dan setenang itu? Dia sendiri yang sejak kecil digembleng orang tuanya agar tidak suka akan kekerasan, kini hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat dan mendengar sikap sepuluh orang itu yang memaki-maki neneknya dan mengancam hendak membunuhnya.
"Omitohud, kalau kalian berenam haus darah, pin-ni masih dapat mengerti. Akan tetapi mengapa dua orang hwesio dan dua orang tosu juga dapat haus darah seperti kalian berempat?" tanyanya sambil memandang kepada empat orang pendeta itu.
"Ban-tok Mo-li, ketahuilah bahwa pin-to berdua adalah tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai yang datang untuk membasmimu," kata seorang tosu.
"Omitohud, biarpun kepalamu gundul dan engkau mengenakan jubah nikouw, tidak akan dapat mengelabui pin-ceng berdua. Pinceng adalah murid Siauw-lim-pai dari daerah selatan. Mendengar akan kejahatanmu, pin-ceng merasa berkewajiban untuk ikut membasmi."
Lo Nikouw tersenyum. "Hemm, kalian berempat bukanlah pendeta-pendeta yang baik! Kalian hanya budak-budak nafsu amarah dan dendam kebencian seperti yang lain, sehingga percuma saja kalian mengenakan jubah pendeta. Ketahuilah oleh kalian bersama bahwa Ban-tok Mo-li sudah tidak ada lagi, sudah mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw."
"Ha-ha-ha. Ban-tok Mo-li, engkau seperti seekor harimau yang mengenakan bulu domba! Kami sudah menyelidiki dan yakin bahwa engkau adalah Ban-tok Mo-li. Apakah engkau yang dahulu terkenal jahat dan keji, sekarang telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya?"
"Omitohud..." Lo Nikouw merangkap kedua lengan didepan dada, memejamkan kedua matanya. "Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sudah lama mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw dan kalau kematian pin-ni dapat meringankan dosa Ban tok Mo-li, pin-ni siap untuk berkorban..."
Setelah berkata demikian, Nikouw tua itu lalu duduk bersila di atas tanah pekarangan kuil itu dengan kedua tangan masih dirangkap di depan dada, tubuh tegak dan mata terpejam seperti sebuah arca.
Sepuluh orang itu kini mengepung dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing. Thian Ki yang mengintai di dalam, terbelalak dan mukanya berubah pucat. Apa yang harus dia lakukan? Membela neneknya? Bukankah neneknya telah menceritakan bahwa neneknya dahulu seorang yang teramat jahat, yang telah membunuh banyak orang tak berdosa, yang telah melakukan kejahatan apapun saja. Dan kalau sepuluh orang itu datang membalas dendam atau menghukum kejahatannya, perlukah neneknya dibela?
Ibunya berulang kali mengatakan bahwa membela orang jahat sama saja dengan membela kejahatannya dan menjadi penjahat pula! Dan tanpa menggunakan hawa beracun di tubuhnya, diapun belum tentu akan mampu melawan dan menandingi orang itu. Menggunakan hawa beracun berarti membunuh mereka!
Tidak, dia tidak mau menjadi pembunuh, apalagi sepuluh orang yang memusuhi neneknya itu tentu saja orang-orang dari golongan bersih yang menentang neneknya sebagai sumber kejahatan. Tidak, dia tidak boleh membela. Akan tetapi, neneknya seorang sakti, tidak mungkin dapat dibunuh begitu saja! Biarpun kelihatan duduk bersila dan memejamkan mata, dia tahu benar bahwa sekali neneknya bergerak, tentu akan ada lawan yang roboh dan tewas keracunan!
Demikianlah pula pendapat sepuluh orang itu. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang sudah berpengalaman dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di antara mereka ada yang pernah mengenal Ban-tok Mo-li dan tahu benar akan kelihaian iblis betina itu, dan yang belum pernah bertemu juga sudah banyak mendengar akan kelihaian Iblis Betina Selaksa Racun ini. Maka, mereka tidak berani turun tangan dengan lancang.
"Hati-hati, kalau ia menyebar racun, kita dapat celaka semua." kata seorang di antara mereka.
Sampai lama, sepuluh orang itu hanya melangkah dengan hati-hati, mengelilingi Lo Nikouw yang masih duduk bersila tak bergerak sedikitpun. Wajahnya masih cerah dihias senyum dan ia nampak sabar dan tenang, sedikitpun tidak nampak bayangan rasa takut di wajahnya.
Setelah belasan kali mengelilingi nikouw itu dan tidak ada reaksi apapun, timbul keberanian di hati seorang di antara anak buah Pulau Hiu. Dia seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat, di tangannya nampak sebatang tombak pengait yang biasa dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan besar.
"Biar kucoba dulu dengan ini, baru kita semua turun tangan," katanya sambil mengangkat tombaknya ke atas kepala.
Semua orang memandang dan mengangguk, yang berada di bagian belakang Lo Nikouw segera lari ke samping agar tidak menjadi sasaran tombak berkait. Anak buah Pulau Hiu itu lalu mengerahkan tenaganya dan dari jarak tidak lebih dari enam meter dia melontarkan tombaknya ke arah dada Lo Nikouw!
Biasanya, kalau dia menombak ikan besar, jarak antara dia dan sasarannya sampai belasan meter, dan tombak itu gagangnya diikat dengan tali pula. Sekarang, jaraknya hanya enam meter dan tidak ada tali, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya luncuran tombak yang dilontarkannya.
"Singgg... cappppp...!" Tombak itu menancap dan menembus dada Lo Nikouw!
"Omitohud...!" Dari mulut Lo Nikouw keluar seruan lemah dan tubuhnya yang bersila terjengkang, akan tetapi tidak terus telentang karena tubuh itu tertahan ujung tombak yang sampai menembus punggungnya!
Melihat ini, sembilan orang yang lain tercengang, akan tetapi juga timbul keberanian di hati mereka dan sembilan macam senjata turun bagaikan hujan menimpa tubuh yang sudah sekarat itu. Dalam sekejap mata, tubuh Lo Nikouw yang sama sekali tidak melawan itu telah menjadi onggokan daging dan tulang yang berlepotan darah! Lehernya putus dan kepalanya menggelinding tak jauh dari onggokan daging itu. Lo Nikouw tewas tercincang tanpa melakukan perlawanan sedikitpun juga.
Thian Ki terbelalak dan tak dapat bertahan lagi. Dia mengeluh dan terkulai pingsan di belakang jendela. Dia tidak tahu betapa sepuluh orang kangouw itu memasuki kuil, mencari-cari dan melihat dia terkulai pingsan, mereka tidak mengganggunya. Juga kuil itu tidak dirusak. Agaknya mereka mencari kalau-kalau terdapat teman atau anak buah Ban-tok Mo-li yang kini menjadi Lo Nikouw itu.
Akan tetapi mereka tidak menemukan siapapun kecuali seorang anak laki-laki yang pingsan. Mereka lalu pergi dengan hati bertanya-tanya dan mulai merasa ragu dan menyesal. Benarkah yang mereka bunuh tadi Ban-tok Mo-li? Bagaimana kalau nikouw itu bukan Ban-tok Mo-li melainkan seorang pendeta wanita yang lemah dan suci? Meremang bulu tengkuk mereka kalau mereka membayangkan kemungkinan ini!
Senja telah lewat dan malam mulai tiba ketika Thian Ki siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dia teringat akan peristiwa tadi. Bukan mimpi, pikirnya dan dia tidak sedang tidur. Dia menggeletak di atas lantai di balik jendela! Dia cepat melompat berdiri dan melihat keluar remang-remang di luar, hampir gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat onggokan daging dan kepala neneknya tak jauh dari situ!
"Nenek...!" Dia berteriak dan melompat keluar dari jendela, lari kepekarangan. "Nenek...!"
Dia berteriak lagi dan menubruk kepala itu, kepala neneknya yang matanya masih terpejam dan mulutnya masih tersenyum! Dia mengambll kepala itu memegang dengan kedua tangan, dilihatnya baik-baik. Kepala neneknya! Dengan leher putus dan berlepotan darah. Neneknya!
"Nenek...!" Dia mendekap kepala itu dan menangis, membawa kepala itu ke depan onggokan daging bekas tubuh neneknya, mendekap kepala sambil berlutut dan menangis terisak-isak. Terbayang semua peristiwa tadi, betapa neneknya dihujani senjata, dicincang tanpa melawan sedikitpun. Dia tidak perduli akan dinginnya hawa malam yang mulai tiba bersama semilirnya angin dan munculnya bintang-bintang dilangit.
Dia berlutut sambil menangis dan setelah lebih dari sejam menangis sehingga air matanya kering, dia masih berlutut mendekap kepala neneknya dan termenung teringat akan kehidupan bersama neneknya selama satu setengah tahun ini. Dan teringatlah dia akan pesan neneknya beberapa bulan yang lalu, seolah-olah neneknya sudah mendapat firasat ia akan meninggal dunia tak lama lagi.
"Cucuku yang pin-ni sayang, engkaulah satu-satunya orang yang kucinta, Thian Ki. Dan kepadamulah pin-ni meninggalkan pesan ini. Kalau kelak pin-ni meninggal dunia, bakarlah jasad pin-ni menjadi abu, kemudian bagi menjadi empat abuku. Seperempat bagian kuburlah di dalam tanah, seperempat lagi hanyutkan ke lautan, seperempat lagi taburkan dari puncak bukit biar terbawa angin, dan yang seperempat lagi lemparkan ke unggun besar biar ditelan api lagi sampai habis..."
Ketika itu, dia merasa heran dan bertanya mengapa neneknya meninggalkan pesan seperti itu dan apa maksudnya. Neneknya lalu menjelaskan maksud dan pesannya itu. Ia mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat unsur dan ia ingin tubuhnya dikembalikan ke asalnya, yaitu kepada api, air, angin dan tanah. Dan agar pelaksanaannya mudah, maka ia minta jenazahnya agar dibakar menjadi abu sehingga akan mudah bagi Thian Ki mengembalikan abu itu kepada api, air, angin dan tanah.
Teringat akan pesan neneknya itu, Thian Ki menghentikan renungannya dan diapun dengan penuh hormat dan hati-hati meletakkan kepala neneknya di atas onggokan daging. Dia masuk ke kuil, mengambil sehelai selimut neneknya, dan kembali ke pekarangan sambil membawa obor. Setelah menancapkan gagang obor di tanah sehingga pekarangan itu cukup terang, dia lalu mengumpulkan onggokan datang dan tulang bersama kepala itu ke atas selimut dan dibungkusnya baik-baik.
Kemudian dia mengumpulkan kayu kering, ditumpuknya kayu-kayu kering itu menjadi tumpukan setinggi hampir sama dengan tinggi tubuhnya, menyiramnya dengan minyak, kemudian mengambil sebuah kotak dari kuil, memasukkan buntalan daging dan kepala ke dalam kotak dan dibakarnyalah tumpukan kayu itu.
Thian Ki berlutut menghadap api unggun membakar sisa jenazah neneknya. Kemudian dia duduk bersila, menanti sampai tumpukan kayu, peti dan isinya terbakar habis. Pembakaran jenazah itu memakan waktu sampai setengah malam. Lewat tengah malam barulah api padam. Thian Ki tetap duduk bersila di pekarangan itu, di dekat tumpukan abu, sampai pagi. Dia ingin mengumpulkan abu neneknya setelah malam lewat, karena pekerjaan itu harus dilakukan di waktu terang cuaca.
Setelah matahari pagi muncul, barulah Thian Ki mengambil sehelai selimut lain, dan mulailah dia membongkar tumpukan abu. Mudah saja membedakan abu jenazah neneknya dengan abu kayu dan petinya, karena abu jenazah itu lembut, putih dan berat. Dikumpulkannya abu itu dan dibuntalnya dalam selimut dengan mata merah karena dia tidak dapat menahan keharuan hatinya.
"Nek, orang sedunia boleh menganggap nenek jahat, akan tetapi aku yakin bahwa nenek tidak jahat atau setidaknya nenek sudah menebus semua kesesatan nenek. Mereka itulah yang jahat, mereka yang menganggap diri mereka bersih dan baik, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka yang dianggap jahat, tidak memperdulikan niat baik mereka yang ingin kembali ke jalan benar. Nek, engkau akan selalu kukenang sebagai seorang manusia baik, gagah perkasa dan menghadapi kematian dengan senyum pasrah kepada Tuhan."
Thian Ki tidak pernah dapat melupakan senyum di wajah kepala neneknya yang terpisah dari badannya itu. Senyum pasrah! Setelah semua abu jenazah terkumpul di selimut, diapun pergi meninggalkan kuil, membawa buntalan pakaian dan untaian terisi abu jenazah. Dia harus memenuhi pesan neneknya. Akan tetapi dia teringat kepada ibunya. Bagaimanapun juga dia harus membawa abu jenazah itu kepada ibunya lebih dahulu. Kasihan ibunya yang tidak tahu akan nasib neneknya. Setelah mendapat perkenan ibunya, baru dia akan memenuhi pesan neneknya. Dengan hati penuh duka dia lalu berangkat meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Ke-cung.
Tentu saja kedatangan Thian Ki yang membawa cerita menyedihkan tentang kematian Lo Nikouw disambut tangis oleh Sim Lan Ci. Wanita ini mendekap buntalan abu jenazah dan menangis tersedu-sedu. Bagaimanapun juga, Lo Nikouw adalah ibu kandungnya. Cian Bu yang amat mencinta isterinya. menepuk-nepuk pundak isterinya dan berkata dengan suaranya yang tenang dan dalam.
"Sudahlah, isteriku. Ibumu sudah meninggal dunia sebagai seorang pendeta tulen, penuh kesabaran, penuh kepasrahan. Engkau sepatutnya bangga karena ibumu, walaupun dahulu pernah menjadi datuk sesat, kini telah meninggal sebagai seorang yang tidak lagi diperhamba nafsunya. Kita sembahyangi saja dengan khidmat, mendoakan agar arwahnya diterima dan di ampuni Tuhan, sebelum abu itu dikembalikan ke asalnya seperti yang dipesannya kepada Thian Ki."
Mereka mengatur meja sembahyang, menaruh abu di atas meja, lalu mengadakan upacara sembahyang. Sementara itu Kui Eng mendekati Thian Ki dan minta kepada suhengnya ini untuk menceritakan kembali sejelasnya tentang kematian Lo Nikouw. Kini gadis cilik itu telah berusia hampir sebelas tahun, dan sikapnya terhadap Thian Ki masih manis dan ramah seperti dahulu, hanya bedanya, ada sikap malu-malu bahkan kadang canggung kalau Thian Ki kebetulan menatap agak terlalu lama.
Thian Ki sendiri sudah berusia empatbelas tahun dan dia memang amat menyayang adiknya ini, yang sejak kecil dia tahu bukan adiknya sendiri, bukan pula adik tiri, melainkan orang lain atau kalau adikpun, adik seperguruan.
"Suheng, apakah engkau sudah berhasil melenyapkan racun dari tubuhmu? Apakah sekarang kukumu masih mengandung racun?" setelah mendengar cerita ulang tentang Lo Nikouw, Kui Eng bertanya mememandang ke arah tangan Thian Ki.
Thian Ki tersenyum dan tahu bahwa ibunya, juga ayah tirinya juga memperhatikan, agaknya menanti jawaban darinya. Tadi dia belum sempat bercerita tentang dirinya sendiri karena sibuk menceritakan peristiwa yang menimpa neneknya. Dia memandang kepada ibunya, ayah tirinya kemudian kepada sumoinya dan berkata sambil tersenyum.
"Nenek telah menggemblengku setiap hari dan akhirnya aku dapat menguasai hawa beracun di tubuhku, sumoi. Akan tetapi, nenek tidak dapat mengusahakan lenyapnya hawa beracun dari tubuhku, apa lagi ia memang tidak menghendaki hal itu terjadi."
Sepasang mata yang tajam dan jeli itu terbuka lebar, bibir yang merah dan berbentuk indah itu merekah dalam senyum setelah sejak tadi tak pernah senyum untuk ikut berkabung atas kematian Lo Nikouw. "Aihh, kalau begitu, mulai sekarang kita dapat berlatih silat tanpa khawatir aku akan menjadi korban keracunan tubuhmu?"
Thian Ki mengangguk sambil tersenyum. "Kalau sekedar berlatih saja tidak mengapa, sumoi. Akan tetapi tidak boleh mempergunakan sin-kang karena kalau aku mengerahkan tenaga dalam, hawa beracun itu dapat bekerja dan tentu akan membahayakan dirimu."
"Bagus, ha ha ha, bagus sekali!" Kata Cian Bu sambil tertawa gembira. "Kalau mulai sekarang engkau memperdalam latihanmu sehingga engkau dapat menguasai semua ilmu simpananku, maka beberapa tahun lagi saja, tidak akan mudah mencari orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkanmu, Thian Ki! Ha-ha, aku akan merasa bangga sekali!”
Akan tetapi Sim Lan Ci tidak kelihatan segembira suaminya. Alisnya berkerut dan ia berkata dengan suara yang terdengar menegur suaminya. "Apakah dalam hidup ini, hanya nama besar saja yang terutama? Apakah Thian Ki selama hidupnya harus menjadi seorang manusia beracun, hanya mencari nama besar di dunia persilatan dan dia tidak berhak untuk membentuk rumah tangga, tidak berhak untuk menikah dan mendapat keturunan?"
Suaminya tidak mampu menjawab, akan tetapi Kui Eng yang lincah itu cepat berseru "Aihhh, kenapa tidak boleh, ibu? Apa salahnya kalau suheng menikah? Bukankah dia kini sudah mampu menguasai hawa beracun di tubuhnya?"
Lan Ci menghela napas panjang. Ia tadi lupa bahwa di situ terdapat puteri tirinya. Akan tetapi mengingat bahwa Kui Eng sudah menjelang dewasa, iapun berkata dengan hati-hati.
"Kui Eng, kakakmu ini hanya mampu menguasai hawa beracun sehingga kalau dia tidak mempergunakan sin-kang, racun itu dapat mengendap dan tidak bekerja. Akan tetapi, dia sama sekali tidak boleh menikah sebelum hawa beracun itu bersih dari tubuhnya, karena kalau dia melakukan hal itu isterinya akan keracunan dan lambat laun akan mati keracunan..."