"Ihh..." Kui Eng menatap wajah suhengnya dengan mata terbelalak, lalu berkata kepada ayahnya, "Ayah, kalau begitu, sungguh kejam! Ayah harus berusaha untuk membersihkan tubuh suheng dari racun itu!"
Cian Bu menarik napas panjang. Kini dia pun mulai melihat betapa ambisinya itu tanpa dia sadari mengancam kebahagian hidup Thian Ki yang dia sayang seperti anak sendiri. "Memang, untuk mencapai sesuatu yang puncak, kadang-kadang kita harus berkorban. Kui Eng, biarpun ayahmu telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi, akan tetapi mengenai racun, aku masih kalah ahli dibandingkan ibumu. Kalau mendiang nenekmu saja yang mampu membuat Thian Ki menjadi tok-tong tidak mampu membersihkan racun itu dari tubuh Thian Ki, bagaimana aku akan mampu melakukannya? Tidak, aku tidak mampu melakukannya."
Thian Ki melamun, ingat akan pengakuan neneknya dan dia merasa perlu menyampaikan penyesalan neneknya itu kepada ibunya dan ayah tirinya. "Pernah nenek menyatakan kepadaku yang menurut nenek merupakan penyesalan yang terlambat dan karena itu tidak ada gunanya."
"Ceritakan, apa yang ibu katakan kepadamu Thian Ki," kata ibunya dan Cian Bu juga mengangguk-angguk kepadanya, menyetujui permintaan isterinya.
"Nenek mengatakan bahwa kini ia melihat kesalahannya. Apa yang terjadi pada diriku adalah akibat daripada mengejar suatu segi saja dari kehidupan ini. Kehidupan ini, menurut nenek merupakan kesatuan dari banyak hal yang kesemuanya penting, yang kesemuanya menuntut kita untuk memperhatikan dan memenuhinya. Menurut nenek, banyak hal itu, termasuk makan, pakaian, tempat tinggal dan segala benda keperluan hidup lainnya, juga kedudukan dan nama baik, kesehatan dan sebagainya. Menurut nenek, semua itu perlu untuk dilaksanakan agar kesemuanya dapat maju dengan baik, berimbang. Kalau kita hanya mementingkan yang satu dan melupakan yang lain, maka akibatnya hanya merugikan kita sendiri. Nenek hanya mementingkan nama besar, ingin menjadikan aku sebagai tok-tong yang kelak akan dapat menjadi jagoan nomor satu yang akan mengangkat namanya pula. Karena terlalu mementingkan hal ini, nenek melupakan yang lain, sehingga akhirnya aku menjadi korban."
Kui Eng tidak mengerti apa yang tersembunyi dalam ucapan itu, akan tetapi Lan Ci dan Cian Bu mengerti. Mereka mengangguk-angguk dan terutama sekali Cian Bu bekas pangeran itu mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh nenek Lo Nikouw. Dia sudah mengalamainya sendiri. Pernah dia mengejar cita-cita menegakkan kembali kerajaan Sui yang sudah runtuh dan untuk itu, dia melupakan segala hal lain, sehingga akhirnya, demi pengejaran cita-cita itu, dia mengorbankan segalanya, bahkan keluarganya terbasmi habis.
Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dia lakukan, yang pernah dilakukan Lo Nikouw. Orang mengejar dan saling memperebukan harta, seolah harta itulah kepentingan mutlak bagi hidupnya, sehingga orang lupa diri, melakukan hal-hal buruk dan jahat, lupa bahwa harta itu pada suatu saat akan terasa tidak ada artinya sama sekali.
Betapapun kayanya seseorang, kalau dia dilanda sakit parah, maka harta tidak akan menarik lagi baginya, yang lebih menarik adalah kesehatan badannya, sehingga dia akan bersiap mengorbankan seluruh hartanya demi kesembuhannya. Demikian pula dengan orang yang mencapai kedudukan tertinggi yang pada mulanya amat dipentingkan, sehingga dia melupakan yang lain, mendapatkan kedudukan itu dengan jalan memperebutkannya dengan manusia yang lain, kalau perlu saling bunuh membunuh.
Pada akhirnya, suatu saat dia akan mendapat kenyataan pahit, bahwa kedudukan yang tadinya diperebutkan dengan taruhan nyawa itu tidak membahagiakan hatinya, bahkan mungkin menyesengsarakan. Betapa banyaknya hartawan kaya raya yang tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya, selalu merasa kurang, bahkan ada perasaan khawatir kalau-kalau harta miliknya akan berkurang dan habis. Membayangkan dirinya ditinggalkan seluruh hartanya, menjadi orang miskin, merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya.
Banyak pula pejabat tinggi yang memiliki kedudukan yang mulia, disanjung dipuja dan dihormati, pada suatu saat akan jatuh dan nama yang tadinya disanjung-sanjung berbalik dicaci maki. Andaikata tidak demikian, sedikitnya dia selalu gelisah, khawatir kehilangan kedudukannya dan membayangkan kehilangan kedudukan itu merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya.
"Thian Ki, apakah mendiang ibu tidak meninggalkan pesan kepadamu, tidak memberi tahu bagaimana caranya agar engkau dapat terbebas dari racun di tubuhmu? Apakah di dunia ini tidak ada obatnya dan tidak ada orang yang akan mampu membersihkan racun dari tubuhmu itu?" Tanya Lan Ci yang menoleh dan memandang ke arah meja sembahyang dimana abu jenazah ibunya berada.
Mendengar pertanyaan ibunya itu, Thian Ki menghela napas panjang. "Hal itu sudah kutanyakan kepada nenek, ibu... dan nenek mengatakan bahwa di dunia ini jarang ada orang yang cukup kuat untuk dapat mengusir racun dari tubuhku dan nenek hanya mengenal dua orang yang mungkin saja dapat, karena mereka adalah orang-orang yang sakti."
"Siapa mereka, Thian Ki?" Tanya ibunya penuh harap.
"Seorang bernama Pek I Tojin dari Thai-san dan seorang lagi bernama Hek Bin Hwesio dari Himalaya."
"Ahh! Dua nama besar yang sudah sejak dahulu kukagumi, bahkan pernah aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk bicara soal ilmu silat dan kalau mungkin saling mengukur dan menguji ilmu kepandaian!" seru Cian Bu.
"Dan menurut keterangan mendiang nenek, dua tokoh sakti itu mempunyai murid. Pek I Tojin mempunyai murid bernama Si Han Beng berjuluk Huang-ho Sin-liong dan Hek Bin Hwesio mempunyai murid bernama Bu Giok Cu, isteri dari Naga Sakti Sungai Kuning itu."
"Aih, apakah engkau tidak ingat kepada pendekar itu, Thian Ki?" Lan Ci bertanya.
Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku tidak lupa kepada paman Si Han Beng, ibu. Aku masih ingat kepadanya. Bukankah dia kakak angkat dari mendiang ayah?"
"Aha, jadi Naga Sakti Sungai Kuning yang terkenal itu adalah murid Pek I Tojin dan isterinya murid Hek Bin Hwesio? Dan lebih lagi, pendekar itu adalah kakak angkat mendiang suamimu?" Tanya Cian Bu kepada Lan Ci, "Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
Sim Lan Ci memandang kepada suaminya dan menarik napas panjang. "Coa Siang Lee sudah meninggal dunia, aku tidak ingin membicarakannya lagi, tidak ingin mengenang masa lalu. Karena itulah aku tidak pernah bercerita tentang persaudaraan itu."
Suaminya mengangguk dan tersenyum ramah. Pengakuan itu saja sudah membuktikan bahwa isterinya tidak ingin menyinggung perasaannya dengan bercerita tentang suaminya yang pertama.
"Kalau begitu, masih ada harapan bagimu Thian Ki. Engkau berlatih dengan tekun. Kalau sudah matang ilmu kepandaianmu, kelak engkau dapat mencari kedua orang sakti itu untuk minta bantuan mereka, dan kiranya engkau dapat bertanya kepada Naga Sakti Sungai Kuning dimana adanya kedua orang sakti itu berada."
"Baik, ayah..." kata Thian Ki.
"Juga untuk melaksanakan pesan terakhir nenekmu, sebaiknya dilakukan kelak saja kalau engkau sudah selesai belajar dan melakukan perjalanan. Sementara ini, biarlah abu jenazah nenekmu kita rawat dan kita sembahyangi agar ibumu mendapat kesempatan untuk berbakti."
Lan Ci setuju sekali dengan usul suaminya itu.
"Suheng, kelak aku akan membantumu mencari orang-orang sakti itu agar engkau dapat disembuhkan!" tiba-tiba Kui Eng berkata. "Ayah dan ibu, boleh bukan kelak aku ikut suheng dan membantunya?"
Suami isteri itu saling pandang. Lan Ci hanya mengangguk, akan tetapi Cian Bu berkata, "Merantau di dunia kangouw merupakan perjalanan yang amat berbahaya, oleh karena itu engkau harus berlatih dengan giat, Kui Eng. Hanya kalau engkau kuanggap cukup kuat dan cukup pandai, aku akan membolehkan engkau membantu suhengmu. Kalau engkau malas sehingga engkau kurang kuat, lebih baik engkau berdiam di rumah yang aman."
Gadis cilik itu bangkit berdiri dan menghadapi ayahnya dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar. "Wah, ayah terlalu memandang rendah padaku! Lihat saja, aku pasti tidak kalah melawan suheng!"
Cian Bu dan isterinya tersenyum, juga Thian Ki tersenyum dan berkata, "Engkau memang pandai, sumoi, kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh, mana mungkin aku akan dapat menandingimu?"
Demikianlah mulai hari itu, Thian Ki dan Kui Eng seperti berlomba dan bersaing dalam mempelajari ilmu-ilmu dari Cian Bu sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat sekali.
Pagi itu akan nampak biasa saja bagi para nelayan dan mereka yang tinggal di pantai laut karena merupakan pemandangan yang berulang-ulang mereka lihat. Betapa indahnya sesuatu, kalau setiap hari dilihat, apalagi kalau dimiliki, maka keindahan itu akan semakin memudar, bahkan aklhirnya lenyap tak terasakan lagi. Hal ini dirasakan oleh mereka yang tinggal di tepi pantai.
Orang yang datang dari pedalaman, dari darat, begitu tiba di pantai akan mengagumi keindahan pemandangan lautan dengan takjub, akan tetapi para nelayan akan mendengarkan dengan heran, karena bagi mereka, tidak terasa lagi adanya keindahan itu! Sebaliknya, kalau nelayan yang biasa hidup di lautan dan di pantai-pantai sunyi itu datang ke kota, mereka akan terkagum-kagum melihat keramaian kota.
Padahal bagi orang kota, keramaian kota yang dianggap indah oleh sang nelayan itu bahkan sebaliknya akan dianggap mengganggu! Hanya bagi batin yang bebas dan bersih daripada gambar-gambar yang diukir ingatan sajalah yang akan dapat melihat segala sesuatu sebagai baru, dapat menikmati keindahan setiap hari, setiap saat.
Pagi itu matahari amat cerahnya, muncul di permukaan air laut sebelah timur, tak terhalang segumpal awanpun, membentuk garis emas di permukaan laut yang masih tenang. Suara air laut bermain di pantai, berdesir di atas pasir, menggelegar garang pada batu karang, bergulung-gulung dan susul-menyusul, meninggalkan suara dahsyat disusul suara gemerisik yang makin melemah sampai pada titik sunyi hening.
Sejenak saja, karena sudah datang bergulung lagi ombak baru yang membawa pula suara gemuruh. Setiap kali ombak itu baru, tak pernah sama dengan yang sudah atau yang akan datang menyusul. Air yang dihempaskan pada batu karang menimbulkan uap dan ketika tertembus sinar matahari yang mulai menguat, membentuk pelangi lemah.
Para nelayan sudah berdatangan pagi tadi sebelum matahari terbit, dan kini pantai itu ditinggalkan orang. Hanya nampak perahu-perahu diseret jauh ke pantai. Pasir pantai nampak lembut dan halus diusap air berulang kali, putih keabu-abuan. Setiap kali air tipis mendarat, pasir itu menjadi basah, akan tetapi air itu cepat diserap dan pasir nampak kering kembali.
Kalau ada saat itu ada orang yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan mengira bahwa pagi hari itu, dengan sinar matahari pagi sebagai tangga, telah turun seorang dewi kahyangan yang kini bermain-main di tepi pantai! Dari jauh, hanya nampak bentuk tubuh yang amat indah, yang sempurna lekuk lengkungnya, dan pakaian yang basah dan menempel ketat itu membuat ia nampak dari jauh seperti telanjang.
Kedua kaki nan panjang, pinggangnya ramping, pinggulnya menggunung dan dadanya membukit kembar. Rambutnya terurai lepas di belakang punggung, sampai ke pinggul. Sungguh, pantasnya ia seorang dewi kahyangan atau seorang puteri ratu lautan! Sebenarnya ia manusia biasa, seorang dara yang memang memiliki bentuk tubuh yang indah. Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, usianya sekitar sembilan belas tahun.
Ia berpakaian lengkap walaupun dari sutera tipis, dan karena pakaian itu basah, maka pakaian itu menempel ketat di tubuhnya. Wajahnya manis, dan ia berlari-lari di sepanjang pantai, membiarkan ombak menjilat tubuhnya sampai ke paha. Ia tertawa-tawa seorang diri, dan suara tawanya lenyap ditelan gemuruh ombak. Wajahnya manis, kulitnya putih mulus dan kemerahan karena sinar matahari, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Ketika ombak yang besar, yang datang setiap lima enam kali sekali, diseling ombak-ombak yang kecil, dara itu berteriak gembira dan iapun menyongsong datangnya ombak yang tingginya tidak kurang dari lima meter itu dan begitu ombak datang menggulung dirinya, iapun meloncat dan menerjang ombak bagaikan seekor ikan lumba-lumba! Tubuhnya lenyap ditelan ombak dan sampai ombak itu memecah dan menipis di pantai, agak jauh ke darat sampai mendekati perahu-perahu yang diikat di darat, dara itu tidak nampak lagi!
Kalau ada yang melihat peristiwa itu terjadi, tentu akan menahan napas dan khawatir sekali, mengira bahwa dara itu tentu tenggelam, terseret ombak ke tengah atau mungkin juga diterkam ikan hiu! Semua orang tentu akan menduga demikian, mengingat bahwa lama sekali dara itu tidak muncul lagi. Manusia biasa saja tidak mungkin dapat menyelam sampai selama itu. Kalau gadis itu manusia biasa, tentu ia diterkam hiu atau tenggelam atau mati, atau kalau ia masih hidup, berarti ia bukan manusia, melainkan dewi laut!
Kemudian, dari arah tengah, seperti seekor ikan saja, dara itu nampak berenang ke tepi. Cepat sekali renangnya, meluncur tanpa mengeluarkan bunyi, seperti ikan lumba-lumba asli. Dan nampak riang gembira, tertawa-tawa dan bermain dengan air. Ombak besar datang dari belakangnya, mendorongnya sehingga renangnya semakin cepat. Akhirnya, ombak menerkamnya ke atas pasir, di air yang hanya sedalam lutut.
Iapun akhirnya meninggalkan air, tiba di pasir yang kering, agak terengah dan sambil tertawa iapun menjatuhkan diri ke atas pasir dan terlentang. Kedua kakinya terpentang, kedua lengannya terkembang di atas kepala, wajahnya segar, rambutnya riap-riapan, sebagian menutup dada dan sebagian menutup muka membelit leher. Bukan main cantiknya. Manis, jelita menggairahkan!
Sinar matahari yang mulai menguning cahayanya itu mendatangkan rasa hangat yang amat nyaman. Dan angin semilir, angin yang juga hangat, membuat dara itu terlena oleh kantuk dan tak lama kemudian iapun sudah tertidur. Mulutnya masih setengah terbuka seperti orang tersenyum, napasnya lembut dan panjang, dada yang membusung itu turun naik.
Dara yang tidur pulas di bawah sinar matahari pagi itu sama sekali tidak tahu betapa ada sebuah perahu hijau datang bersama ombak dari tengah, menuju ke pantai itu. Jelas bukan perahu nelayan, karena semua nelayan sudah pulang pagi-pagi tadi seperti biasanya, dan dara itupun tahu akan kebiasaan itu. Ia tahu bahwa saat itu tidak akan ada nelayan di pantai, maka ia dapat berenang dengan bebas tanpa dilihat siapapun.
Dan model perahu hijau itupun berbeda dengan perahu nelayan yang mempunyai bentuk agak lebar, karena para nelayan membutuhkan ruangan untuk tempat hasil tangkapan mereka. Perahu hijau itu sempit dan panjang meruncing, dibantu kayu atau bambu runcing di kanan kirinya, dan mempunyai tiang layar. Layarnya yang juga berwarna hijau telah digulung, dan kini enam orang penumpang perahu mendayung perahu mereka dengan gerakan teratur, berirama dan kuat sekali, membuat perahu mereka meluncur cepat ke pantai.
Dara itu masih enak tidur terlentang ketika enam orang itu menyeret perahu mereka ke darat, bahkan ketika mereka menahan seruan kaget , heran dan kagum, kemudian mereka berenam berdiri mengepung dara yang masih tidur terlentang dengan pandang mata seperti singa kehausan melahap seluruh tubuh yang terlentang itu, ia masih tetap tidur dengan napas yang lembut.
"Bukan main cantiknya...!"
"Manis sekali!"
"Tubuhnya... amboiiiii...!"
"Tak kusangka di dusun pantai ini terdapat gadis sejelita ini."
"Wah, kalau semua perempuan di pantai ini secantik dia, untung kita!"
"Mari kita undi, siapa yang berhak menjadi orang pertama!"
Orang pertama dari mereka, yang bertubuh tinggi kurus seperti cicak kering, akan tetapi kumisnya melintang panjang dengan kedua ujung berjuntai ke bawah, segera berkata, "Hushh, apakah kalian mencari penyakit? Siapa orangnya yang tidak mengilar melihatnya, akan tetapi kita tidak boleh mencari penyakit. Kalau ada yang melihat kita lalu semua penduduk keluar, kita akan celaka, bahkan mungkin akan pergi dengan tangan hampa."
"Habis bagaimana? Bukankah kita datang ke sini untuk menyelidiki keadaan? Dan ini... si jelita ini, adalah hadiah untuk kita!"
"Tolol!" bentak si cicak kering. "Kita hanya menyelidik dan ternyata melihat perahu-perahu para nelayan itu, dusun ini cukup makmur untuk menjadi mangsa kita. Dan agaknya banyak pula terdapat perempuan cantik. Yang ini kita tangkap dan kita bawa pulang untuk oleh-oleh. Tentu majikan kita akan senang sekali, apalagi majikan muda kita. Kita perlu membawa teman-teman yang cukup banyak untuk menyerbu. Lihat, perahu mereka lebih dari duapuluh buah banyaknya, tentu sedikitnya ada seratus orang laki-laki muda di sini. Terlampau berat bagi kita berenam untuk menghadapi mereka. Nah, mari kita tangkap dan bawa anak ayam ini ke perahu!"
Bagaikan menerima komando, enam orang ini seperti berubah menjadi enam ekor anjing pemburu menghadapi domba betina muda yang gemuk! Mereka berenam seperti berlomba, menubruk ke arah gadis yang telentang tidur itu, ingin lebih dahulu mendekap dan meringkusnya, merasakan kehangatan tubuh yang molek.
"Bress...!" Enam orang itu berteriak-teriak kaget karena dara yang mereka tubruk itu tiba-tiba saja menghilang! Mereka tadi melihat jelas betapa gadis itu masih tidur terlentang, dan ketika mereka menubruk dari semua jurusan tampak bayangan berkelebat dan mereka saling tubruk, saling beradu kepala dan tangan dan gadis itu telah lenyap!
Selagi mereka kaget dan heran, terdengar suara tawa renyah dan mereka cepat berloncatan berdiri, memutar tubuh menghadapi orang tertawa. Kiranya gadis itu telah berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa bebas. Tidak seperti gadis dusun atau kota biasa yang kalau tertawa tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani kelihatan giginya, gadis ini tertawa terkekeh membuka mulut dengan bebas sehingga nampak sepasang bibirnya merekah, memperlihatkan rongga mulut yang merah tua dan gusi merah muda di tengah deretan gigi yang putih rapih seperti mutiara diatur.
"Heh-heh-heh, lucu sekali! Kalian ini siapakah? Pakaian kalian serba hijau, kalian bukan orang sini. Mau apa kalian datang ke sini dan mengganggu aku yang sedang tidur lelap?"
Enam orang itu saling pandang. Sedang tidur lelap kenapa ketika ditubruk dapat lenyap? Manusiakah gadis ini? Atau dewi penjaga lautan? Akan tetapi si cicak kering yang merasa dia bersama lima rekannya dan merasa bahwa dia menjadi pemimpin rombongan itu, mengusir keraguan hatinya. Dia melangkah maju ke depan.
"Nona, kami memang bukan orang sini. Kami datang karena melihat nona yang demikian cantik seperti bidadari. Kami ingin nona ikut bersama kami!" Si cicak kering sudah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mengepung.
Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak kelihatan gentar, seolah-olah keenam orang laki-laki yang sikapnya seperti serigala itu dianggapnya sebagai anjing-anjing yang jinak saja. Dara itu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Aih, begitukah? Kalian hendak mengajak aku kemana? Siapakah kalian? Perkenalkan diri dulu agar aku dapat mempertimbangkan apakah aku akan memenuhi undangan kalian atau tidak."
Melihat sikap gadis itu yang ramah dan tidak marah, enam orang laki-laki itu merasa senang sekali. Si cicak kering yang merasa dirinya paling unggul di antara teman-temannya karena memang dia yang bertugas sebagai pimpinan, membusungkan dadanya. Akan tetapi karena dada itu memang kerempeng dan tipis, dibusungkan bukan nampak besar, melainkan melengkung seperti batang kangkung.
"Nona yang cantik, ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang gagah penghuni Pulau Hiu! Nona kami undang untuk berkunjung ke pulau kami dan berkenalan dengan majikan kami. Majikan muda kami, Siangkoan Kongcu (Tuan muda Siangkoan) adalah seorang pemuda yang gagah, ganteng, tampan dan kaya raya, tentu akan dapat menghargai seorang cantik jelita seperti nona."
Sepasang mata yang jeli itu nampak bersinar-sinar. "Pulau Hiu? Baru sekarang aku mendengarnya! Majikannya she Siangkoan? Dimana sih letaknya pulau itu?" Kini gadis itu menerawang ke arah lautan seperti hendak mencari di mana letaknya pulau itu.
"Tidak jauh dari sini, nona. Hanya pelayaran setengah hari menuju ke utara. Pulau Hiu kami terletak di seberang pantai Shantung."
"Setengah hari? Kalau begitu pulang pergi hanya sehari dan sore nanti aku dapat pulang kesini?" Gadis itu dalam bicarapun demikian polosnya seperti juga ketika tertawa, dan juga tanpa malu-malu di depan enam orang pria itu, walaupun pakaiannya yang tipis dan ketat itu kini berkibar tertiup angin laut sehingga bentuk tubuhnya tercetak jelas.
Enam orang itu saling pandang dan tertawa. Dalam hati mereka menertawakan gadis yang mereka anggap dusun dan tolol itu. Tentu saja kalau gadis itu sudah mereka bawa, ia tidak akan kembali ke tempat ini, pikir mereka.
"Tentu saja, sore nanti engkau dapat pulang nona manis," kata pula si cicak kering, lalu ia mengerling ke arah lima orang teman-temannya yang tersenyum-senyum.
"Kalau begitu, aku mau ikut!" gadis itu berkata dan suaranya seperti bersorak gembira. "Aku ingin melihat Pulau Hiu. Apakah disana banyak ikan hiunya?"
"Banyak, nona!" jawab seorang di antara mereka. "Ada hiu berkaki dua..."
"Hiu berkaki dua?" gadis itu terbelalak dan semua orang tertawa.
"Aih, temanku ini hanya berkelakar, nona," kata si cicak kering. "Yang dia maksudkan adalah hiu yang mempunyai sirip besar-besar dan gemuk."
Gadis itu bertepuk tangan. "Aku suka sekali sirip hiu! Enak sekali, apalagi kalau dimasak dengan jahe!" Ia menjulurkan lidahnya yang merah segar, menjilati bibir bawah.
Enam orang itu menelan ludah dan kalamenjing mereka naik turun. Saking terpesona penuh gairah, mereka sampai tidak merasa aneh bahwa gadis pantai ini pernah makan makanan sirip hiu yang hanya menjadi makanan para hartawan kaya karena mahalnya.
"Mari kita berangkat nona. Jangan sampai engkau nanti kemalaman kalau pulang." kata si cicak kering sambil menggandeng tangan gadis itu.
Gadis jelita itu tidak menolak,dan ia tersenyum-senyum melihat enam orang itu mendorong perahu ke air. Tak lama kemudian, ia sudah duduk di perahu yang didayung enam orang itu ke tengah, melewati gelombang besar. Dapat dibayangkan betapa gembiranya enam orang itu melihat korban mereka menyerah sedemikian mudahnya. Terlalu mudah!
Dan gadis itu terlalu cantik untuk membuat mereka dapat menahan diri. Mulailah mereka mengeluarkan kata-kata tidak senonoh, bahkan si cicak kering yang menjadi pimpinan, kini melepaskan dayung karena perahu itu mulai didorong layar yang sudah dikembangkan dan diapun duduk di dekat nona itu, merapat.
"Nona manis, siapakah namamu?" Tanya si cicak kering, mukanya sedemikian dekatnya sehingga gadis itu mengerutkan alisnya, karena dari mulut si cicak kering itu mengeluarkan bau busuk seperti bangkai.
"Ihh, kalau bicara jangan dekat-dekat!" gadis itu menegur dan menggeser pinggulnya menjauh.
"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu, nona manis. Engkau akan kami hadiahkan kepada kongcu, akan tetapi sebelum tiba di pulau, kita duduk merapat begini kan hangat dan lebih enak?" Mendengar ucapan itu, lima rekannya tertawa bergelak. "Kalau bicara dekat-dekat kenapa sih, manis?"
Gadis itu menggunakan tangan menutupi hidungnya. "Mulutmu bau bangkai!"
Meledak lima orang itu tertawa, dan si cicak kering terbelalak, mukanya berubah merah sekali. Belum pernah selama hidupnya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dari seorang gadis muda! "Nona, mulutmu lancang sekali, untuk itu kau harus dihukum. Hayo kau cium aku dengan mulutmu itu pada mulutku. Kalau engkau tidak mau, kami tidak akan membawamu kepada majikan kami, melainkan akan kami makan sendiri di perahu ini, kemudian engkau akan kami lemparkan ke air agar menjadi makanan hiu!" Berkata demikian, si cicak kering menjulurkan kedua tangannya merangkul gadis itu dan hendak memaksakan ciuman.
Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara tawa nyaring, ia bangkit berdiri dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ia telah menyambar kedua tangan si cicak kering yang hendak menangkapnya dan sekali ia membuat gerakan melontarkan tubuh si cicak kering itu terlempar ke atas tiang layar!
Si cicak kering berteriak kaget dan ketakutan, akan tetapi dia dapat menjangkau ujung tiang layar dan memeluk tiang itu dengan era-erat, sehingga dari bawah dia kelihatan seperti seekor kera! Melihat ini, lima orang rekannya terbelalak, akan tetapi gadis itu, seperti seorang anak kecil yang nakal, menghampiri tiang layar dan dengan tangan kirinya ia mendorong dan mengguncang tiang layar itu. Sungguh hebat, tiang itu terguncang keras dan tubuh si cicak kering tentu saja ikut terguncang keras dan akhirnya dia tidak dapat bertahan lagi, tubuhnya terlepas dari ujung tiang layar dan terlempar ke luar perahu.
"Byurr...!" tubuhnya ditelan gelombang lautan.
Kini kelima orang anak buah Pulau Hiu itu terkejut dan juga marah. Barulah mereka menyadari bahwa gadis yang kelihatan bloon ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga kuat. Mereka serentak menyerang untuk menangkap dan meringkus. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa, gadis itu kini menggerakkan kaki tangannya dan lima orang itu disambar tamparan dan tendangan, tubuh mereka terlempar keluar perahu dan satu demi satu tercebur ke dalam lautan!
"He-he-he-he, kiranya kalian hanya tikus-tikus lautan!"
Gadis itu bertepuk tangan dengan girang, lalu memegang kemudi layar, hendak mengarahkan perahu untuk meluncur kembali ke pantai yang sudah nampak jauh dari situ. Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu terguncang lalu miring dan rebah, layarnya menyentuh air! Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak menjadi kaget atau takut, bahkan ia tertawa.
"Heh-heh, kalian hendak main-main di air, ya? Boleh, boleh!" dan iapun meloncat dari perahu yang miring itu ke dalam air.
Enam orang itu adalah anak buah Pulau Hiu, bajak-bajak laut yang tentu saja merupakan ahli-ahli renang yang pandai. Melihat gadis itu berani meloncat ke air, hati mereka girang sekali. Terutama si cicak kering yang ingin membalas dendam, tubuhnya meluncur cepat ke arah gadis itu. Ingin ia menangkap, meringkus dan menyeret gadis itu ke dalam air agar kehabisan napas dan menyerah.
Akan tetapi, ketika dia tiba di dekat gadis dan menerkam, tiba-tiba saja gadis itu lenyap. Persis seperti ketika diterkam di darat tadi. Hanya bedanya, kalau tadi gadis itu menggunakan gerakan kilat meloncat ke atas menghindar dari terkaman enam orang, kini ia menyelam ke bawah dan lenyap!
Dan tiba-tiba si cicak kering terbelalak, akan tetapi dia tidak sempat berteriak karena tubuhnya sudah lenyap terseret ke bawah seperti diseret ikan hiu. Memang tadinya diapun menyangka demikian ketika tiba-tiba kedua kakinya ada yang menangkap dan dia terseret ke bawah. Akan tetapi di dalam air dia melihat bahwa yang menangkap kakinya adalah gadis tadi! Gadis itu ternyata dapat bergerak seperti ikan di dalam air, rambutnya terlepas dari sanggul dan kini riap-riapan. Sungguh ia seperti dongeng ikan duyung yang membuat si cicak kering merasa ngeri.
Dicobanya untuk melepaskan kedua kakinya, namun sia-sia dan dia terpaksa harus menahan pernapasannya. Tentu saja dia kuat menahan napas di air karena terlatih, akan tetapi ternyata dia terus diseret ke bawah dan batas waktunya sudah melampaui ketahannya. Gadis itu seolah-olah berubah menjadi ikan yang tidak perlu bernapas di permukaan air!
Mulailah si cicak kering gelagapan. Dia masih melihat tubuh teman-temannya meluncur dan mengejarnya, tentu hendak menolongnya. Akan tetapi gadis itu tiba-tiba menyeretnya naik ke atas sampai kepalanya tersembul di atas. Si cicak kering megap-megap, seperti ikan yang dilempar ke darat, dadanya seperti akan pecah rasanya dan pada saat itu tubuhnya sudah terayun dan diputar-putar seperti gasing!
Dara itu masih memegang kedua kakinya dan kini tubuhnya diputar di atas air, seolah-olah tubuhnya itu hanya seringan sepotong kayu saja. Kemudian gadis itu melepaskan pegangan pada kedua kakinya dan tubuh si cicak kering melayang sampai amat jauh, jatuh terbanting ke air lagi dalam keadaan nanar dan hampir pingsan.
Kini kelima orang itupun mengeroyok. Terjadi perkelahian di air yang tidak seimbang dan tidak lama. Gadis itu sungguh luar biasa, mampu bergerak di air seperti ikan, sukar ditangkap. Sebaliknya tamparan-tamparannya membuat lima orang itu gelagapan, bahkan ada yang pingsan dan tenggelam. Akhirnya, para pengeroyok itu tidak ada yang berani mendekat, sibuk hendak menolong teman yang pingsan tenggelam.
Gadis itu sendiri sambil terkekeh lalu menyambar sebatang dayung yang terapung, memukul ke arah tiang layar perahu. Terdengar suara keras dan tiang itupun patah! Kemudian, dengan tenaga yang luar biasa, ia membalikkan perahu dan meloncat ke dalam perahu, mendayung perahu itu ke pantai meninggalkan enam orang yang masih terapung-apung dipermainkan gelombang lautan. Mereka dapat mendengar suara tawa merdu gadis itu, akan tetapi bagi pendengaran mereka, sama sekali tidak merdu menyenangkan, melainkan mengerikan. Mereka merasa seolah-olah baru berjumpa dengan iblis lautan yang amat ganas!
Setelah tiba di pantai, gadis itu menyeret perahu hijau ke darat. Tiba-tiba nampak sesosok bayangan putih berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita yang berpakaian serba putih dari sutera halus. Wanita ini sudah berumur enampuluh tahun lebih, akan tetapi ia masih langsing, sehingga orang akan mengira bahwa usianya baru sekitar empatpuluh tahun saja. Ia berdiri tegak memandang kepada gadis itu yang kini menghadapi wanita itu sambil tersenyum gembira.
"Subo, aku mendapatkan sebuah perahu milik enam orang yang kutinggalkan di sana," katanya sambil menunjuk ke tengah lautan.
Wanita itu mengerutkan alisnya. Ia cantik akan tetapi sikapnya dingin, bahkan wajahnya seperti diliputi mendung, tidak secerah wajah muridnya. Kalau ada orang kangouw melihatnya, tentu orang itu akan terkejut ketakutan, karena wanita itu bukanlah wanita sembarangan. Ia adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai dan berwatak aneh, tidak berpihak kepada yang baik maupun yang buruk. Bukan golongan putih, maupun hitam, pendekar maupun penjahat.
Ia terkenal sebagai datuk di timur, dan di sepanjang pantai, namanya sudah banyak dikenal orang kangouw, dan ditakuti, walaupun ia jarang mau mencampuri urusan orang kangouw di daerah itu. Wanita ini bukan lain adalah Tung-hai Mo-li (Iblis betina laut Timur) Bhok Sui Lan! Dan gadis jelita yang lincah dan ugal-ugalan itu bukan lain adalah Cin Cin atau Kam Cin.
Seperti kita ketahui, empat belas tahun yang lalu, ketika ia berusia lima tahun, Cin Cin mengalami malapetaka. Ayah kandungnya, yaitu Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, tewas ketika Cian Bu Ong mengutus para pembantunya menyerbu. Kemudian Cin Cin atau nama lengkapnya Kam Cin dikirim ke dusun Hong-cun, tempat tinggal Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng, agar menjadi murid pendekar itu. Ia diantarkan oleh susiok (paman gurunya) bernama Lai Kun. Akan tetapi dalam perjalanan, Lai Kun menyeleweng, menjual murid keponakan itu kepada seorang mucikari!
Cin Cin yang ayahnya telah tewas dan ibunya dilarikan penyerbu dusun mereka, jatuh ke tangan mucikari. Kemudian, setelah beberapa tahun lamanya tinggal di situ dan dipelihara oleh sang mucikari untuk dipersiapkan menjadi seorang pelacur, Cin Cin melarikan diri, dikejar oleh para jagoan rumah pelesir itu dan akhirnya Cin Cin ditolong oleh Tung-hai Mo-li yang membunuh semua pengejar itu, kemudian mengambil Cin Cin sebagai muridnya.
Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mengajak Cin Cin ke pantai Laut Kuning dan menurunkan semua kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Bahkan ilmu di air ia ajarkan, sehingga Cin Cin kini telah menjadi seorang dara berusia sembilan belas tahun yang amat lihai, baik ilmu silatnya, tenaga sin-kangnya dan ilmunya bermain di air. Cin Cin cantik manis, jelita dan menggairahkan. Akan tetapi selain ilmu-ilmu yang ia warisi dari Tung-hai Mo-li, ia juga mewarisi wataknya yang aneh!
Watak yang acuh terhadap orang lain, hidup seenaknya, semaunya, tidak terikat oleh segala macam norma dan peraturan umum! Bahkan seperti juga subonya Cin Cin jarang bergaul dengan orang lain. Para gadis di pedusunan pantai yang dijumpainya dan dikenalinya, tak lama kemudian menghindar karena mereka semua merasa takut dan segan kepada Cin Cin, bukan hanya karena Cin Cin berwatak aneh, akan tetapi juga karena gadis ini memiliki kelihaian yang menggiriskan hati.
Pernah ada tiga pemuda dusun yang jatuh hati kepadanya, memperlihatkan sikap manis dan seperti biasa, tiga orang pemuda itu memperlihatkan sikap berani, merayu dan memikat. Bagi gadis lain, kalau memang ia tidak suka, tentu ia akan menolak dan menghindar saja. Akan tetapi Cin Cin tidak sama dengan gadis-gadis lain. Ia merasa diremehkan, marah dan iapun mematahkan kaki tangan tiga orang pemuda itu dan meninggalkan mereka merintih-rintih di tepi jalan!
Bukan hanya satu kali itu Cin Cin menghajar laki-laki yang terlalu berani dan dianggapnya kurang ajar kepadanya. Ada pula yang tewas karena laki-laki itu tidak sopan dan berusaha merangkulnya. Sekali tangan Cin Cin menampar dan mengenai pelipisnya, laki-laki itu roboh dan nyawanya melayang!
Akan tetapi, kalau ia tidak marah dan hatinya sedang gembira, Cin Cin dapat bersikap ramah kepada siapa saja. Ia memang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan gembira, hanya menjadi aneh karena dididik oleh seorang datuk wanita yang aneh. Dan selama ini, Cin Cin tidak pernah lupa bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang tewas di tangan orang-orang yang menyerbu perkampungan Hek-houw-pang, bahkan ibunya diculik oleh penyerbu.
Diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa akan dicarinya pembunuh ayahnya dan penculik ibunya, dan ia hanya menanti ijin dari subonya. Biarpun wataknya ugal-ugalan, keras dan berani, namun terhadap subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, Cin Cin bersikap lembut, taat dan menyayang. Hal ini bukan saja karena ia berhutang budi, dan karena gurunya memang menyayang kepadanya, dan bersikap baik saja, akan tetapi terutama sekali karena ia tahu benar bahwa subonya adalah seorang wanita yang menderita kesengsaraan batin yang hebat.
Ia sendiri tidak tahu mengapa, karena subonya tidak pernah mau bercerita dan mengatakan belum waktunya bercerita, akan tetapi seringkali ia melihat subonya dengan diam-diam sedang menangis dan merintih sampai semalam suntuk! Dan ia tahu pula bahwa subonya tidak mempunyai keluarga seorangpun, hidup sebatangkara dan agaknya tidak pernah menikah atau sudah cerai. Maka, ia merasa iba kepada subonya, dan karena perasaan inilah ia ingin membalas budi subonya dengan menyenangkan hatinya, yaitu dengan jalan mentaati semua perintahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mendekati perahu itu dan mengamatinya. Ketika ia melihat perahu itu bercat hijau dan ada ukiran berbentuk ikan hiu di kepala perahu, ia mengerutkan alisnya. "Hemm, Kalau begitu tidak keliru dugaanku perahu ini milik Pulau Hiu."
"Aihh, subo tahu? Memang benar milik Pulau Hiu, subo. enam orang pemiliknya adalah anak buah Pulau Hiu!" seru Cin Cin heran.
Mendengar ini, Tung-hai Mo-li lalu duduk di ujung perahu yang kering, memandang ke arah lautan yang tadi ditunjuk muridnya. Tidak kelihatan apa-apa kecuali gelombang besar dan buih di puncak ombak, lalu ia menatap wajah muridnya dan berkata, "Cin Cin, ceritakan apa yang terjadi antara engkau dan enam orang dari Pulau Hiu itu."
Cin Cin lalu menceritakan dengan sikap lincah jenaka tentang pertemuannya dnegan enam orang itu, betapa mereka mengajaknya ke Pulau Hiu dan betapa mereka mengganggunya sehingga ia marah dan melempar-lemparkan mereka ke air dan ia kembali membawa perahu mereka. Setelah Cin Cin menyelesaikan ceritanya, Tung-hai Mo-li menarik napas panjang.
"Hemm, sejak dahulu memang orang-orang Pulau Hiu merupakan bajak-bajak laut. Aku tidak pernah mencampuri pekerjaan mereka, akan tetapi kenapa sekarang mereka berani mengganggu penduduk di daratan? Kunjungan mereka ke daerah ini sudah pasti mengandung maksud tertentu. Agaknya tua Bangka Siangkoan Bok itu sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa anak buahnya akan bertemu dengan murid Tung-hai Mo-li!"
"Subo, siapakah Siangkoan Bok itu? Dan orang-orang macam apakah yang menghuni Pulau Hiu? Aku mendengar mereka bicara tentang Siangkoan Kongcu, majikan muda Pulau Hiu. Agaknya subo sudah mengenal mereka."
"Majikan Pulau Hiu bernama Siangkoan Bok, seorang kakek yang kini tentu sudah tua sekali, tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun usianya. Dia hidup sebagai majikan Pulau Hiu di seberang pantai daerah Shantung itu, sebagai seorang hartawan yang kaya raya, juga kekuasaannya besar karena dia menjadi datuk dari para bajak laut di Lautan Kuning. Anak buahnya banyak, di antaranya tentu saja enam orang yang kau jumpai itu. Sebetulnya Siangkoan Bok sendiri tidak melakukan pembajakan dan anak buahnya juga tidak, akan tetapi karena dia merupakan datuk bajak laut dan anak buahnya merupakan bekas para bajak, tentu saja kaang-kadang merekapun menjadi gatal tangan dan melakukan pembajakan."
"Hemm, kiranya hanya bajak-bajak laut yang hina," Cin Cin mencibirkan bibirnya yang merah. "Kalau tahu mereka bajak, tadi tentu sudah kubunuh semua. Dan siapakah yang mereka sebut Siangkoan Kongcu, subo?"
Gurunya menggeleng kepala. "Setahuku, dahulu memang ada putera Siangkoan Bok bernama Siangkon Tek. Akan tetapi dia sudah tewas. Tentu yang disebut Siangkoan Kongcu itu puteranya yang lain, karena kabarnya Siangkoan Bok mempunyai banyak isteri yang cantik, dan mungkin saja dia mempunyai banyak keturunan."
"Hemm, aku ingin sekali berkunjung ke pulau Hiu, subo. Akan ku obrak-abrik pulau bajak itu!"
Tung-hai Mo-li mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menatap wajah muridnya. Melihat ini, Cin Cin terkejut dan mendekati subonya, duduk di perahu dan memegang tangan subonya. "Maaf, subo. Kenapa subo kelihatan marah?"
"Engkau ini mencari gara-gara saja! Apa perlunya mencari perkara dengan pulau Hiu? Engkau mempunyai tugas lain yang jauh lebih penting!"
Wajah Cin Cin berseri dan matanya bersinar-sinar. "Subo! Apakah subo maksudkan sudah tiba saatnya aku boleh melaksanakan tugasku itu? Tentu saja aku tidak akan pernah lupa. Aku akan ke dusun Ta-bun-cung, ke Hek-houw-pang dan menyelidiki siapa pembunuh ayahku, siapa pula yang menculik ibuku. Aku akan mencari ibuku, aku akan membunuh para penyerbu Ta-bun-cung itu, aku..."
Cin Cin menghentikan ucapannya ketika melihat gurunya mengangkat tangan memberi isyarat agar ia diam. Ia melihat gurunya masih mengerutkan alis dan kelihatan tidak senang.
"Cin Cin, engkau hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Engkau sedikitpun tidak pernah memikirkan kebutuhanku."
Cin Cin merangkul gurunya. Memang hubungannya dengan gurunya seperti anak dengan ibunya saja, mesra dan akrab, tidak berhormat-hormat seperti murid terhadap guru lain. "Subo, maafkanlah aku. Tentu saja aku memikirkan, bahkan mementingkan kebutuhan subo. Katakan, apa yang dapat kulakukan untukmu, subo? Tentu perintah subo akan kulaksanakan lebih dulu, setelah itu, barulah aku akan mengurus diriku sendiri."
"Nah, begitu baru muridku yang baik," kata Tung-hai Mo-li dan ia pun merangkul leher muridnya dan mencium kedua pipinya. Cin Cin balas mencium dan dalam jarak dekat itu ia dapat melihat betapa wajah subonya masih amat cantik, kedua pipinya halus dan putih kemerahan tanpa bedak dan pemerah.
"Aih, subo cantik sekali. Kenapa secantik ini subo tidak menikah?"
Ditanya demikian, Tung-hai Mo-li melepaskan rangkulannya dan ia menarik napas panjang. "Inilah salah satu di antara hal yang kuminta engkau membalaskan untukku, Cin Cin. Aku hidup menderita dan tidak pernah mau mendekati pria sejak muda karena ulah seorang laki-laki!"
Cin Cin memandang heran. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang berulah sehingga menghancurkan hati subonya? Kenapa subonya tidak membunuh saja laki-laki itu dan membiarkan dirinya tenggelam dalam duka? "Subo, siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan? Ceritakan kepadaku, subo. Aku berjanji akan melaksanakan segala perintah subo dan akan kubalaskan semua sakit hati subo."
"Ada dua orang yang kuingin engkau mencarinya dan membunuh mereka untuk aku. Dan untuk itu, dengarkan dulu ringkasan riwayat hidupku."
Cin Cin mendengarkan penuh perhatian. Selama sepuluh tahun lebih ia hidup bersama subonya dan belum pernah ia mendengar riwayat subonya. Agaknya subonya mempunyai riwayat yang menyedihkan. "Ceritakan, subo," katanya lirih sambil mengamati wajah subonya.
Mereka duduk di atas perahu hijau itu, di pantai yang sunyi. Matahari sudah naik agak tinggi, menyinarkan cahayanya yang hangat menggigit.
"Mari kita duduk di bawah pohon di sana, lebih teduh di sana," kata Tung-hai Mo-li dan mereka lalu meninggalkan perahu, duduk di bawah pohon yang agak jauh dari pantai, duduk berhadapan di atas akar pohon itu yang menonjol di permukaan tanah.
"Sejak kecil aku sudah yatim piatu," Tung-hai Mo-li memulai dengan riwayatnya.
Cin Cin tertegun. Ia sendiri sudah kehilangan ayah, akan tetapi mungkin ibunya masih hidup. Dibandingkan dengan subonya, ia masih lebih beruntung!
"Sejak kecil sebatangkara dan merantau sebagai pengemis. Untung bertemu dengan seorang pengemis tua yang mau membimbingku. Aku mulai belajar ilmu silat dengan giat sekali. Berganti-ganti guru sampai aku dewasa. Kemudian aku bertemu dengan seorang guru yang pandai dan bersama seorang suhengku, aku belajar silat darinya. Suhengku itu bernama Can Siok dan setelah tua dia berjuluk Cui-beng Sai-kong. Akan tetapi, setelah aku dewasa dan merantau seorang diri dengan bekal kepandaian yang cukup, aku berpisah dari suheng, pada waktu guru kami meninggal dunia. Kami mengambil jalan masing-masing dan nasib membawaku ke kotaraja." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar dan mengingat-ingat.
"Sejak kecil subo sudah menderita," komentar Cin Cin. Lupa bahwa nasibnya sendiripun tidak lebih baik.
"Di kotaraja itulah aku bertemu seorang pangeran. Dia gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang hebat. Kami saling tertarik dan akhirnya kami saling jatuh cinta..."
Tung-hai Mo-li menghela napas panjang dan Cin Cin mengamati wajah subonya sambil tersenyum. Tentu subonya amat cantik ketika gadis, dan sudah sepantasnya kalau subonya itu jatuh cinta dengan seorang pangeran!
"Aih, tentu pangeran itu gagah dan tampan sekali, maka subo sampai jatuh cinta padanya," kata Cin Cin tanpa sungkan-sungkan lagi. "Subo menikah...?"
Tung-hai Mo-li tersenyum dan baru sekarang ia melihat subonya tersenyum! Bukan main manisnya kalau tersenyum, akan tetapi hanya sebentar saja karena senyum itu berubah pahit. "Pangeran itu mempunyai cita-cita yang amat besar. Dia adalah adik kaisar, dan ia bercita-cita kelak akan menggantikan kakaknya menjadi kaisar. Karena itu, dia tidak mau mengambil aku, seorang wanita biasa, bahkan seorang wanita kangouw menjadi isterinya yang sah! Dia harus menjaga nama, dan dia bahkan akan menikah dengan seorang puteri. Aku hanya akan dijadikan selir..."
"Hemm, lalu bagaimana, subo?"
"Tentu saja aku tidak sudi! Kami sudah saling bersumpah dan aku... aku telah menyerahkan diri. Dia sudah berjanji akan mengambilku sebagai isterinya, tidak tahunya hanya akan dijadikan selir. Aku tidak mau dan aku meninggalkan dia!" Wajah yang masih cantik itu nampak berduka sekali dan ia memejamkan mata.
Cin Cin mengerutkan alisnya. Betapa besar cinta kasih subonya kepada pangeran itu, pikirnya. Buktinya, sampai sekarang, subonya sama sekali tidak mau berjalan lagi dengan pria lain! "Subo, apakah subo mendendam sakit hati kepada pangeran ini? Apakah aku harus mencari dia dan membalaskan sakit hati subo?"
Tung-hai Mo-li membuka mata dan mengangguk. "Puluhan tahun aku memperdalam ilmu dengan harapan pada suatu hari, murid yang kuwarisi ilmu-ilmuku akan dapat mewakili aku untuk membalas sakit hati yang kuderita selama puluhan tahun ini, dan engkaulah orangnya yang kuharapkan akan dapat membuat aku mati dengan mata terpejam, Cin Cin."
"Akan tetapi, subo dengan kepandaian yang subo miliki, apa sukarnya bagi subo untuk membunuh orang itu? Kenapa subo menanti sampai puluhan tahun dan membiarkan hati menderita dendam selama itu?"
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Biarpun dia juga bukan orang lemah, bahkan ketika kami saling berpibu dia lebih tangguh dariku, akan tetapi aku terus dengan giat memperdalam ilmuku dan mungkin sekarang aku dapat menandingi dan mengalahkannya. Akan tetapi, aku sudah tua dan... aku kuatir, kalau aku berhadapan dengan dia, hatiku akan menjadi lemah dan usaha membalas dendamku tidak akan terlaksana. Oleh karena itulah aku menggemblengmu mati-matian, Cin Cin."
"Aku akan mencari pangeran itu dan membunuhnya, subo. Siapa namanya dan dimana aku dapat mencarinya?"
"Namanya Pangeran Cian Bu Ong, dahulu dia adik kaisar Kerajaan Sui. Akan tetapi kerajaan Sui telah jatuh dan diganti kerajaan Tang. Setelah kerajaan Sui jatuh, aku mendengar dia beberapa kali mengusahakan pemberontakan untuk mendirikan kembali kerajaan Sui, akan tetapi semua usahanya gagal. Aku telah menyelidiki dan bertanya-tanya, dan mendengar bahwa dia suka kelihatan di sepanjang lembah sungai Kuning. Ke lembah itulah engkau dapat mencarinya. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali, mukanya kemerahan. Dia sekarang kalau masih hidup tentu sudah tua pula, karena dia lebih tua setahun dariku. Sekarang usianya tentu sudah enampuluh lima tahun lebih."
"Aku akan mencarinya, subo. Dan siapakah orang kedua yang harus kucari?"
"Dia bukan musuh pribadiku. Akan tetapi, hatiku sakit karena dia telah membunuh suhengku, padahal dia itu adalah putera suhengku sendiri. Anak durhaka itu harus dihukum dan dibunuh. Suhengku itu amat sayang kepadaku, bahkan dialah yang lebih banyak membimbingku dahulu dan dia menganggap aku seperti adik kandungnya sendiri. Suhengku itu bernama Can Siok dan dahulu berjuluk Cui-beng Sai-kong dan seperti telah kuceritakan tadi, sejak dewasa kami saling berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri. Hanya sewaktu-waktu saja kami saling jumpa, aku mengunjunginya atau dia mencariku. Dia menemukan agama baru, yaitu menyembah Thian-te Kwi-ong dan dia memiliki ilmu sihir yang hebat. Suhengku mempunyai seorang putera yang bernama Can Hong San, dari isterinya yang berasal dari puteri Nepal. Dan anak durhaka itu pada suatu hari membunuh ayah kandungnya sendiri. Aku merasa sedih sekali mendengar nasib suheng dan kuminta engkau kelak mencari Can Hong San dan membunuhnya!"
"Di mana aku dapat mencari Can Hong San itu, subo?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu dimana dia berada. Akan tetapi kau ingat saja namanya dan karena dia seorang tokoh sesat, kukira namanya dikenal oleh dunia kangouw dan engkau kelak dapat melakukan penyelidikan." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar, lalu mengeluarkan seuntai kalung mutiara yang amat indahnya. "Kau bawa ini dan kalau engkau bertemu dengan Pangeran Cian Bu Ong, berikan ini kepadanya dengan pesan dariku, bahwa dia harus menukar kalung ini dengan nyawanya, seperti yang pernah dia janjikan kepadaku dahulu. Mutiara-mutiara ini kudapatkan sendiri dengan menyelam di lautan yang paling dalam, memilih yang terbaik dan menguntainya menjadi kalung untuk kuserahkan kepada pria yang kucinta itu. Dia menerima dengan gembira dan berjanji bahwa kalung itu akan disimpannya dan disayangnya seperti nyawanya sendiri. Akan tetapi, ketika dia hendak meninggalkan aku, dia mengembalikan kalung ini kepadaku..."
Kedua mata Tung-hai Mo-li menjadi merah dan basah dengan air mata. Ia membalikkan tubuh dan membelakangi Cin Cin yang menerima kalung mutiara itu, agaknya ia tidak ingin dilihat menangis dan ketika membalikkan tubuh itu, ia menghapus air matanya. "Nah, itulah pesanku kepadamu, Cin Cin. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menunaikan tugas-tugas itu?" Tanya Tung-hai Mo-li yang sudah menghadapi lagi muridnya.
Cin Cin mengalungkan kalung mutiara itu di lehernya. "Subo, aku berjanji akan mencari dan membunuh Pangeran Cian Bu Ong dan Can Hong San!" katanya dengan penuh semangat.
Tung-hai Mo-li bangkit berdiri, wajahnya nampak lega dan berseri. Ia lalu melepaskan tali pengikat sarung pedangnya dari punggungnya, menyerahkan pedang dan sarungnya itu kepada Cin Cin. "Nah, kau terimalah Koai-liong-kiam ini, Cin Cin. Aku ingin engkau membunuh mereka dengan pedang ini. Akan tetapi jangan sekali-kali mengurangi kewaspadaan, Cin Cin. Dua orang itu bukan merupakan lawan yang ringan. Akan tetapi aku yakin bahwa kalau engkau menggunakan pedang ini dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianmu, engkau akan berhasil."
"Baiklah subo. Aku akan melaksanakan perintah subo dan mudah-mudahan saja aku akan berhasil dan tidak mengecewakan subo."
"Aku percaya padamu, Cin Cin, dan berhati-hatilah. Engkau tentu masih ingat akan nama para tokoh di dunia persilatan yang pernah kuceritakan kepadamu. Jangan memandang rendah lawan, dan jangan mencari perkara. Bersikaplah seperti murid terkasih seorang datuk, tidak seperti perempuan petualang yang mengandalkan kepandaian lalu bersikap congkak dan menyebar bibit permusuhan dimana-mana."
Cin Cin merangkul gurunya, "Aku mengerti subo. Dan kapan aku harus berangkat?"
"Hari ini juga. Mari kita pulang, engkau cepat berkemas dan hari ini juga meninggalkan rumah kita."
Mereka lalu bergandengan tangan menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil di luar dusun nelayan, tak jauh dari pantai. Mereka jalan bergandengan tangan seperti kakak beradik saja, tidak seperti guru dan murid dan melihat dari belakang, takkan ada yang menduga bahwa seorang di antara mereka adalah seorang wanita yang usianya sudah enampuluh tahun lebih!
"Berhasil atau tidak, dalam waktu setahun engkau sudah harus kembali ke sini," demikian pesan Tung-hai Mo-li ketika mengantar muridnya pergi sampai ke luar daerah perbukitan di sepanjang pantai itu. Ketika gadis itu dengan pedang di pinggang dan buntalan pakaian di pundak meninggalkannya, Tung-hai Mo-li termenung, betapa semangatnya seperti terbawa pergi, ia mencintai gadis itu seperti anaknya sendiri.
Cin Cin yang melangkah dengan cepat juga tidak ingin terlihat menangis oleh gurunya. Ketika ia meninggalkan gurunya, ia merasa begitu sedih dan kasihan kepada gurunya yang amat disayangnya itu. Biarpun gurunya seorang datuk, namun terhadap dirinya, Tung-hai Mo-li amat baik dan menyayangnya, maka dianggapnya gurunya seperti pengganti orang tuanya.
Bagaimanapun juga, ia masih ingat bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang, perkumpulan orang-orang gagah, maka tentu saja ia tidak boleh menjadi seorang yang jahat. Gadis itu melangkah tanpa menoleh lagi, menuju ke utara, ke sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Untuk mencari Pangeran Cian Bu Ong, subonya hanya memberitahu bahwa bekas pangeran itu tinggal di lembah Sungai Kuning.
Dusun Ta-bun-cung sekarang nampak ramai dan makmur. Hal ini adalah berkat perkumpulan Hek-houw-pang yang kini telah berdiri kembali setelah dihancurkan oleh para penyerbu utusan Pangeran Cian Bu Ong kurang lebih empatbelas tahun yang lalu. Ketika malam itu terjadi penyerbuan, banyak tokoh Hek-houw-pang yang tewas. Ketika itu ketuanya, Kam Seng Hin, tewas. Juga sutenya yang bernama The Ci Kok, disamping banyak lagi anggota Hek-houw-pang. Bahkan kakek Coa Song, sesepuh Hek-houw-pang, meninggal dunia karena kaget dan berduka melihat hancurnya Hek-houw-pang.
Cucunya yang sudah lama meninggalkan Hek-houw-pang, yaitu Coa Siang Lee, yang kebetulan berada di situ ketika perkumpulan itu diserbu, juga tewas pula ketika membela Hek-houw-pang. Lebih hebat lagi, isteri ketua Kam Seng Hin, yaitu Coa Liu Hwa diculik penjahat, demikian pula isteri Coa Siang Lee, yaitu Sim Lan Ci, lenyap bersama puteranya Coa Thian Ki. Keluarga Hek-houw-pang cerai berai tidak keruan, bahkan sejak terjadi penyerbuan malam itu sampai matinya kakek Coa Song, Hek-houw-pang boleh dibilang telah mati. Para anggotanya tidak berani lagi bergerak, apalagi karena sudah tidak ada yang memimpin.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, muncullah Lai Kun, seorang di antara para sute dari mendiang ketua Hek-houw-pang. Lai Kun adalah sute termuda dari Kam Seng Hin dan dialah yang mendapat tugas untuk mengantar Kam Cin, puteri ketua itu ke Hong-cun, agar puteri ketua itu menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning. Dia bercerita kepada para rekannya bahwa di sepanjang jalan Kam Cin atau Cin CIn menangis, menyatakan tidak mau pergi ke Hong-cun, akan tetapi mengajak paman gurunya itu untuk mencari ibunya yang hilang diculik penyerbu.
"Aku dapat mencegah ia lari dan membujuknya. Akan tetapi pada suatu malam, kami diserbu gerombolan perampok. Ketika aku melawan pengeroyokan perampok itulah Cin Cin melarikan diri dan lenyap. Aku sudah mencari sampai berbulan-bulan tanpa hasil, akhirnya aku pulang," demikian Lai Kun bercerita. Tentu saja cerita itu bohong, karena seperti yang kita ketahui, dia telah menjual Cin Cin ke rumah pelacuran!
Sebagai saudara muda ketua Hek-houw-pang yang sudah tewas, Lai Kun berhak menggantikannya. Dia berusaha mengumpulkan para anggota Hek-houw-pang, kemudian perlahan-lahan dia memimpin para anggotanya untuk membangun kembali Hek-houw-pang. Dia berhasil mengumpulkan kurang lebih limapuluh orang, dan mulai mendirikan perusahaan pengawalan barang dengan bendera Hek-houw-pang. Mulailah perkumpulan itu berkembang dan mendapat kepercayaan.
Apalagi ketika pejabat daerah melapor ke kotaraja tentang Hek-houw-pang, perkumpulan yang dengan gigih membela pemerintah Tang, sehingga dibasmi oleh anak buah pemberontak Pangeran Cian Bu Ong, maka peristiwa itu masuk dalam catatan petugas di istana. Ketika Pangeran Li Si Bin, tujuh tahun kemudian menggantikan kedudukan ayahnya menjadi kasisar Tang Tai Cung, dia memeriksa semua catatan itu dan mendengar tentang Hek-how-pang, kaisar inipun segera mengambil kebijaksanaan.
Kaisar berkenan memberi hadiah kepada Hek-houw-pang, melalui pembesar daerah dan Hek-houw-pang menerima bangunan baru yang besar di Ta-bun-cung, juga menerima hadiah kereta untuk pekerjaan mengawal barang, disamping dua losin ekor kuda pilihan, uang dan terutama sekali, nama baik. Peristiwa itu membuat nama Hek-houw-pang semakin terkenal dan dipercaya pedagang. Siapa yang tidak percaya kepada perkumpulan yang telah mendapat pengakuan dan hadiah dari kaisar sendiri?
Demikianlah, dusun Ta-bun-cung ikut menjadi makmur berkat perkembangan Hek-houw-pang. Dan Lai Kun, ketua baru Hek-houw-pang, berusaha keras untuk membuat perkumpulan itu semakin maju. Dia kini menjadi seorang ketua yang terhormat dan terkenal. Dan sejak dia menjadi ketua Hek-houw-pang, Lai Kun menikah dan kini mempunyai dua orang anak laki-laki berusia sepuluh dan delapan tahun.
Dia hidup terhormat, kecukupan, berbahagia dengan keluarga. Kalaupun kadang-kadang dia teringat kepada Cin Cin dan diam-diam dia menyesali perbuatannya, dia cepat mengusir kenangan itu sebagai sebuah mimpi buruk yang amat mengganggunya. Tak seorangpun tahu akan peristiwa itu dan Cin Cin sudah dianggap lenyap atau mati oleh semua anggota Hek-houw-pang, walaupun kadang-kadang Lai Kun termenung dan ada perasaan khawatir apabila dia teringat kepada Cin Cin.
Empat belas tahun telah lewat sejak peristiwa pembasmian Hek-houw-pang dan kini dusun Ta-bun-cung sudah berubah banyak. Banyak terdapat toko dan kedai makan minum dan para penghuninya yang dahulu sebagian besar hanyalah petani-petani miskin yang pakaian dan rumahnya butut, kini pakaian mereka jauh lebih baik, karena penghasilan mereka baik. Perdaganganpun mulai ramai dan semua orang memuji ketua Hek-houw-pang yang kini dipanggil Lai-pangcu (Ketua Lai). Bahkan Lai Kun diangkat sebagai ketua atau kepala dusun Ta-bun-cung oleh penduduk.
Pada suatu senja, Lai-pangcu bersama isterinya, seorang wanita penghuni dusun itu juga yang berwajah cantik, duduk minum-minum sambil menikmati makan kecil di serambi depan. Dua orang putera mereka sehat-sehat dan sebagai putera ketua Hek-houw-pang, tentu saja dua orang anak laki-laki itu dilatih ilmu silat. Akan tetapi karena ayah mereka menghendaki agar kelak mereka dapat menduduki pangkat, keduanya juga diharuskan mempelajari ilmu baca tulis secara mendalam. Untuk itu, Lai-pangcu sengaja mendatangkan seorang sasterawan dari kota untuk mengajar kedua orang puteranya.
Hari mulai gelap dan seorang pelayan menyalakan lampu-lampu di rumah, juga lampu tembok yang berada di serambi depan, di mana keluarga itu sedang minum teh. Pelayan itu tidak berani berlama di situ, setelah menyalakan lampu segera ia masuk kembali karena tidak ingin mengganggu majikannya sekeluarga yang sedang santai.
Isteri Lai Kun seorang wanita yang lembut dan kedua puteranya juga merupakan anak-anak yang pandai dan patuh. Lai Kun merasa berbahagia sekali. Dia kini telah berusia limapuluh empat, tubuhnya yang dahulu kurus itu kini telah berubah gemuk, sehingga hidungnya yang dulu nampak besar karena mukanya kurus, sekarang kelihatan serasi.
"Ayah, ada tamu...!" seorang puteranya menuding ke pintu pagar.
Lai Kun dan isterinya memandang dan benar saja, di dalam cuaca yang remang-remang itu nampak seorang wanita yang bertubuh ramping memasuki pekarangan lewat pintu pagar dan kini melangkah dengan tenang menghampiri serambi di mana mereka duduk. Lai Kun cepat bangkit, diikuti isterinya...
Cian Bu menarik napas panjang. Kini dia pun mulai melihat betapa ambisinya itu tanpa dia sadari mengancam kebahagian hidup Thian Ki yang dia sayang seperti anak sendiri. "Memang, untuk mencapai sesuatu yang puncak, kadang-kadang kita harus berkorban. Kui Eng, biarpun ayahmu telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi, akan tetapi mengenai racun, aku masih kalah ahli dibandingkan ibumu. Kalau mendiang nenekmu saja yang mampu membuat Thian Ki menjadi tok-tong tidak mampu membersihkan racun itu dari tubuh Thian Ki, bagaimana aku akan mampu melakukannya? Tidak, aku tidak mampu melakukannya."
Thian Ki melamun, ingat akan pengakuan neneknya dan dia merasa perlu menyampaikan penyesalan neneknya itu kepada ibunya dan ayah tirinya. "Pernah nenek menyatakan kepadaku yang menurut nenek merupakan penyesalan yang terlambat dan karena itu tidak ada gunanya."
"Ceritakan, apa yang ibu katakan kepadamu Thian Ki," kata ibunya dan Cian Bu juga mengangguk-angguk kepadanya, menyetujui permintaan isterinya.
"Nenek mengatakan bahwa kini ia melihat kesalahannya. Apa yang terjadi pada diriku adalah akibat daripada mengejar suatu segi saja dari kehidupan ini. Kehidupan ini, menurut nenek merupakan kesatuan dari banyak hal yang kesemuanya penting, yang kesemuanya menuntut kita untuk memperhatikan dan memenuhinya. Menurut nenek, banyak hal itu, termasuk makan, pakaian, tempat tinggal dan segala benda keperluan hidup lainnya, juga kedudukan dan nama baik, kesehatan dan sebagainya. Menurut nenek, semua itu perlu untuk dilaksanakan agar kesemuanya dapat maju dengan baik, berimbang. Kalau kita hanya mementingkan yang satu dan melupakan yang lain, maka akibatnya hanya merugikan kita sendiri. Nenek hanya mementingkan nama besar, ingin menjadikan aku sebagai tok-tong yang kelak akan dapat menjadi jagoan nomor satu yang akan mengangkat namanya pula. Karena terlalu mementingkan hal ini, nenek melupakan yang lain, sehingga akhirnya aku menjadi korban."
Kui Eng tidak mengerti apa yang tersembunyi dalam ucapan itu, akan tetapi Lan Ci dan Cian Bu mengerti. Mereka mengangguk-angguk dan terutama sekali Cian Bu bekas pangeran itu mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh nenek Lo Nikouw. Dia sudah mengalamainya sendiri. Pernah dia mengejar cita-cita menegakkan kembali kerajaan Sui yang sudah runtuh dan untuk itu, dia melupakan segala hal lain, sehingga akhirnya, demi pengejaran cita-cita itu, dia mengorbankan segalanya, bahkan keluarganya terbasmi habis.
Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dia lakukan, yang pernah dilakukan Lo Nikouw. Orang mengejar dan saling memperebukan harta, seolah harta itulah kepentingan mutlak bagi hidupnya, sehingga orang lupa diri, melakukan hal-hal buruk dan jahat, lupa bahwa harta itu pada suatu saat akan terasa tidak ada artinya sama sekali.
Betapapun kayanya seseorang, kalau dia dilanda sakit parah, maka harta tidak akan menarik lagi baginya, yang lebih menarik adalah kesehatan badannya, sehingga dia akan bersiap mengorbankan seluruh hartanya demi kesembuhannya. Demikian pula dengan orang yang mencapai kedudukan tertinggi yang pada mulanya amat dipentingkan, sehingga dia melupakan yang lain, mendapatkan kedudukan itu dengan jalan memperebutkannya dengan manusia yang lain, kalau perlu saling bunuh membunuh.
Pada akhirnya, suatu saat dia akan mendapat kenyataan pahit, bahwa kedudukan yang tadinya diperebutkan dengan taruhan nyawa itu tidak membahagiakan hatinya, bahkan mungkin menyesengsarakan. Betapa banyaknya hartawan kaya raya yang tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya, selalu merasa kurang, bahkan ada perasaan khawatir kalau-kalau harta miliknya akan berkurang dan habis. Membayangkan dirinya ditinggalkan seluruh hartanya, menjadi orang miskin, merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya.
Banyak pula pejabat tinggi yang memiliki kedudukan yang mulia, disanjung dipuja dan dihormati, pada suatu saat akan jatuh dan nama yang tadinya disanjung-sanjung berbalik dicaci maki. Andaikata tidak demikian, sedikitnya dia selalu gelisah, khawatir kehilangan kedudukannya dan membayangkan kehilangan kedudukan itu merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya.
"Thian Ki, apakah mendiang ibu tidak meninggalkan pesan kepadamu, tidak memberi tahu bagaimana caranya agar engkau dapat terbebas dari racun di tubuhmu? Apakah di dunia ini tidak ada obatnya dan tidak ada orang yang akan mampu membersihkan racun dari tubuhmu itu?" Tanya Lan Ci yang menoleh dan memandang ke arah meja sembahyang dimana abu jenazah ibunya berada.
Mendengar pertanyaan ibunya itu, Thian Ki menghela napas panjang. "Hal itu sudah kutanyakan kepada nenek, ibu... dan nenek mengatakan bahwa di dunia ini jarang ada orang yang cukup kuat untuk dapat mengusir racun dari tubuhku dan nenek hanya mengenal dua orang yang mungkin saja dapat, karena mereka adalah orang-orang yang sakti."
"Siapa mereka, Thian Ki?" Tanya ibunya penuh harap.
"Seorang bernama Pek I Tojin dari Thai-san dan seorang lagi bernama Hek Bin Hwesio dari Himalaya."
"Ahh! Dua nama besar yang sudah sejak dahulu kukagumi, bahkan pernah aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk bicara soal ilmu silat dan kalau mungkin saling mengukur dan menguji ilmu kepandaian!" seru Cian Bu.
"Dan menurut keterangan mendiang nenek, dua tokoh sakti itu mempunyai murid. Pek I Tojin mempunyai murid bernama Si Han Beng berjuluk Huang-ho Sin-liong dan Hek Bin Hwesio mempunyai murid bernama Bu Giok Cu, isteri dari Naga Sakti Sungai Kuning itu."
"Aih, apakah engkau tidak ingat kepada pendekar itu, Thian Ki?" Lan Ci bertanya.
Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku tidak lupa kepada paman Si Han Beng, ibu. Aku masih ingat kepadanya. Bukankah dia kakak angkat dari mendiang ayah?"
"Aha, jadi Naga Sakti Sungai Kuning yang terkenal itu adalah murid Pek I Tojin dan isterinya murid Hek Bin Hwesio? Dan lebih lagi, pendekar itu adalah kakak angkat mendiang suamimu?" Tanya Cian Bu kepada Lan Ci, "Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
Sim Lan Ci memandang kepada suaminya dan menarik napas panjang. "Coa Siang Lee sudah meninggal dunia, aku tidak ingin membicarakannya lagi, tidak ingin mengenang masa lalu. Karena itulah aku tidak pernah bercerita tentang persaudaraan itu."
Suaminya mengangguk dan tersenyum ramah. Pengakuan itu saja sudah membuktikan bahwa isterinya tidak ingin menyinggung perasaannya dengan bercerita tentang suaminya yang pertama.
"Kalau begitu, masih ada harapan bagimu Thian Ki. Engkau berlatih dengan tekun. Kalau sudah matang ilmu kepandaianmu, kelak engkau dapat mencari kedua orang sakti itu untuk minta bantuan mereka, dan kiranya engkau dapat bertanya kepada Naga Sakti Sungai Kuning dimana adanya kedua orang sakti itu berada."
"Baik, ayah..." kata Thian Ki.
"Juga untuk melaksanakan pesan terakhir nenekmu, sebaiknya dilakukan kelak saja kalau engkau sudah selesai belajar dan melakukan perjalanan. Sementara ini, biarlah abu jenazah nenekmu kita rawat dan kita sembahyangi agar ibumu mendapat kesempatan untuk berbakti."
Lan Ci setuju sekali dengan usul suaminya itu.
"Suheng, kelak aku akan membantumu mencari orang-orang sakti itu agar engkau dapat disembuhkan!" tiba-tiba Kui Eng berkata. "Ayah dan ibu, boleh bukan kelak aku ikut suheng dan membantunya?"
Suami isteri itu saling pandang. Lan Ci hanya mengangguk, akan tetapi Cian Bu berkata, "Merantau di dunia kangouw merupakan perjalanan yang amat berbahaya, oleh karena itu engkau harus berlatih dengan giat, Kui Eng. Hanya kalau engkau kuanggap cukup kuat dan cukup pandai, aku akan membolehkan engkau membantu suhengmu. Kalau engkau malas sehingga engkau kurang kuat, lebih baik engkau berdiam di rumah yang aman."
Gadis cilik itu bangkit berdiri dan menghadapi ayahnya dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar. "Wah, ayah terlalu memandang rendah padaku! Lihat saja, aku pasti tidak kalah melawan suheng!"
Cian Bu dan isterinya tersenyum, juga Thian Ki tersenyum dan berkata, "Engkau memang pandai, sumoi, kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh, mana mungkin aku akan dapat menandingimu?"
Demikianlah mulai hari itu, Thian Ki dan Kui Eng seperti berlomba dan bersaing dalam mempelajari ilmu-ilmu dari Cian Bu sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat sekali.
********************
Pagi itu akan nampak biasa saja bagi para nelayan dan mereka yang tinggal di pantai laut karena merupakan pemandangan yang berulang-ulang mereka lihat. Betapa indahnya sesuatu, kalau setiap hari dilihat, apalagi kalau dimiliki, maka keindahan itu akan semakin memudar, bahkan aklhirnya lenyap tak terasakan lagi. Hal ini dirasakan oleh mereka yang tinggal di tepi pantai.
Orang yang datang dari pedalaman, dari darat, begitu tiba di pantai akan mengagumi keindahan pemandangan lautan dengan takjub, akan tetapi para nelayan akan mendengarkan dengan heran, karena bagi mereka, tidak terasa lagi adanya keindahan itu! Sebaliknya, kalau nelayan yang biasa hidup di lautan dan di pantai-pantai sunyi itu datang ke kota, mereka akan terkagum-kagum melihat keramaian kota.
Padahal bagi orang kota, keramaian kota yang dianggap indah oleh sang nelayan itu bahkan sebaliknya akan dianggap mengganggu! Hanya bagi batin yang bebas dan bersih daripada gambar-gambar yang diukir ingatan sajalah yang akan dapat melihat segala sesuatu sebagai baru, dapat menikmati keindahan setiap hari, setiap saat.
Pagi itu matahari amat cerahnya, muncul di permukaan air laut sebelah timur, tak terhalang segumpal awanpun, membentuk garis emas di permukaan laut yang masih tenang. Suara air laut bermain di pantai, berdesir di atas pasir, menggelegar garang pada batu karang, bergulung-gulung dan susul-menyusul, meninggalkan suara dahsyat disusul suara gemerisik yang makin melemah sampai pada titik sunyi hening.
Sejenak saja, karena sudah datang bergulung lagi ombak baru yang membawa pula suara gemuruh. Setiap kali ombak itu baru, tak pernah sama dengan yang sudah atau yang akan datang menyusul. Air yang dihempaskan pada batu karang menimbulkan uap dan ketika tertembus sinar matahari yang mulai menguat, membentuk pelangi lemah.
Para nelayan sudah berdatangan pagi tadi sebelum matahari terbit, dan kini pantai itu ditinggalkan orang. Hanya nampak perahu-perahu diseret jauh ke pantai. Pasir pantai nampak lembut dan halus diusap air berulang kali, putih keabu-abuan. Setiap kali air tipis mendarat, pasir itu menjadi basah, akan tetapi air itu cepat diserap dan pasir nampak kering kembali.
Kalau ada saat itu ada orang yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan mengira bahwa pagi hari itu, dengan sinar matahari pagi sebagai tangga, telah turun seorang dewi kahyangan yang kini bermain-main di tepi pantai! Dari jauh, hanya nampak bentuk tubuh yang amat indah, yang sempurna lekuk lengkungnya, dan pakaian yang basah dan menempel ketat itu membuat ia nampak dari jauh seperti telanjang.
Kedua kaki nan panjang, pinggangnya ramping, pinggulnya menggunung dan dadanya membukit kembar. Rambutnya terurai lepas di belakang punggung, sampai ke pinggul. Sungguh, pantasnya ia seorang dewi kahyangan atau seorang puteri ratu lautan! Sebenarnya ia manusia biasa, seorang dara yang memang memiliki bentuk tubuh yang indah. Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, usianya sekitar sembilan belas tahun.
Ia berpakaian lengkap walaupun dari sutera tipis, dan karena pakaian itu basah, maka pakaian itu menempel ketat di tubuhnya. Wajahnya manis, dan ia berlari-lari di sepanjang pantai, membiarkan ombak menjilat tubuhnya sampai ke paha. Ia tertawa-tawa seorang diri, dan suara tawanya lenyap ditelan gemuruh ombak. Wajahnya manis, kulitnya putih mulus dan kemerahan karena sinar matahari, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Ketika ombak yang besar, yang datang setiap lima enam kali sekali, diseling ombak-ombak yang kecil, dara itu berteriak gembira dan iapun menyongsong datangnya ombak yang tingginya tidak kurang dari lima meter itu dan begitu ombak datang menggulung dirinya, iapun meloncat dan menerjang ombak bagaikan seekor ikan lumba-lumba! Tubuhnya lenyap ditelan ombak dan sampai ombak itu memecah dan menipis di pantai, agak jauh ke darat sampai mendekati perahu-perahu yang diikat di darat, dara itu tidak nampak lagi!
Kalau ada yang melihat peristiwa itu terjadi, tentu akan menahan napas dan khawatir sekali, mengira bahwa dara itu tentu tenggelam, terseret ombak ke tengah atau mungkin juga diterkam ikan hiu! Semua orang tentu akan menduga demikian, mengingat bahwa lama sekali dara itu tidak muncul lagi. Manusia biasa saja tidak mungkin dapat menyelam sampai selama itu. Kalau gadis itu manusia biasa, tentu ia diterkam hiu atau tenggelam atau mati, atau kalau ia masih hidup, berarti ia bukan manusia, melainkan dewi laut!
Kemudian, dari arah tengah, seperti seekor ikan saja, dara itu nampak berenang ke tepi. Cepat sekali renangnya, meluncur tanpa mengeluarkan bunyi, seperti ikan lumba-lumba asli. Dan nampak riang gembira, tertawa-tawa dan bermain dengan air. Ombak besar datang dari belakangnya, mendorongnya sehingga renangnya semakin cepat. Akhirnya, ombak menerkamnya ke atas pasir, di air yang hanya sedalam lutut.
Iapun akhirnya meninggalkan air, tiba di pasir yang kering, agak terengah dan sambil tertawa iapun menjatuhkan diri ke atas pasir dan terlentang. Kedua kakinya terpentang, kedua lengannya terkembang di atas kepala, wajahnya segar, rambutnya riap-riapan, sebagian menutup dada dan sebagian menutup muka membelit leher. Bukan main cantiknya. Manis, jelita menggairahkan!
Sinar matahari yang mulai menguning cahayanya itu mendatangkan rasa hangat yang amat nyaman. Dan angin semilir, angin yang juga hangat, membuat dara itu terlena oleh kantuk dan tak lama kemudian iapun sudah tertidur. Mulutnya masih setengah terbuka seperti orang tersenyum, napasnya lembut dan panjang, dada yang membusung itu turun naik.
Dara yang tidur pulas di bawah sinar matahari pagi itu sama sekali tidak tahu betapa ada sebuah perahu hijau datang bersama ombak dari tengah, menuju ke pantai itu. Jelas bukan perahu nelayan, karena semua nelayan sudah pulang pagi-pagi tadi seperti biasanya, dan dara itupun tahu akan kebiasaan itu. Ia tahu bahwa saat itu tidak akan ada nelayan di pantai, maka ia dapat berenang dengan bebas tanpa dilihat siapapun.
Dan model perahu hijau itupun berbeda dengan perahu nelayan yang mempunyai bentuk agak lebar, karena para nelayan membutuhkan ruangan untuk tempat hasil tangkapan mereka. Perahu hijau itu sempit dan panjang meruncing, dibantu kayu atau bambu runcing di kanan kirinya, dan mempunyai tiang layar. Layarnya yang juga berwarna hijau telah digulung, dan kini enam orang penumpang perahu mendayung perahu mereka dengan gerakan teratur, berirama dan kuat sekali, membuat perahu mereka meluncur cepat ke pantai.
Dara itu masih enak tidur terlentang ketika enam orang itu menyeret perahu mereka ke darat, bahkan ketika mereka menahan seruan kaget , heran dan kagum, kemudian mereka berenam berdiri mengepung dara yang masih tidur terlentang dengan pandang mata seperti singa kehausan melahap seluruh tubuh yang terlentang itu, ia masih tetap tidur dengan napas yang lembut.
"Bukan main cantiknya...!"
"Manis sekali!"
"Tubuhnya... amboiiiii...!"
"Tak kusangka di dusun pantai ini terdapat gadis sejelita ini."
"Wah, kalau semua perempuan di pantai ini secantik dia, untung kita!"
"Mari kita undi, siapa yang berhak menjadi orang pertama!"
Orang pertama dari mereka, yang bertubuh tinggi kurus seperti cicak kering, akan tetapi kumisnya melintang panjang dengan kedua ujung berjuntai ke bawah, segera berkata, "Hushh, apakah kalian mencari penyakit? Siapa orangnya yang tidak mengilar melihatnya, akan tetapi kita tidak boleh mencari penyakit. Kalau ada yang melihat kita lalu semua penduduk keluar, kita akan celaka, bahkan mungkin akan pergi dengan tangan hampa."
"Habis bagaimana? Bukankah kita datang ke sini untuk menyelidiki keadaan? Dan ini... si jelita ini, adalah hadiah untuk kita!"
"Tolol!" bentak si cicak kering. "Kita hanya menyelidik dan ternyata melihat perahu-perahu para nelayan itu, dusun ini cukup makmur untuk menjadi mangsa kita. Dan agaknya banyak pula terdapat perempuan cantik. Yang ini kita tangkap dan kita bawa pulang untuk oleh-oleh. Tentu majikan kita akan senang sekali, apalagi majikan muda kita. Kita perlu membawa teman-teman yang cukup banyak untuk menyerbu. Lihat, perahu mereka lebih dari duapuluh buah banyaknya, tentu sedikitnya ada seratus orang laki-laki muda di sini. Terlampau berat bagi kita berenam untuk menghadapi mereka. Nah, mari kita tangkap dan bawa anak ayam ini ke perahu!"
Bagaikan menerima komando, enam orang ini seperti berubah menjadi enam ekor anjing pemburu menghadapi domba betina muda yang gemuk! Mereka berenam seperti berlomba, menubruk ke arah gadis yang telentang tidur itu, ingin lebih dahulu mendekap dan meringkusnya, merasakan kehangatan tubuh yang molek.
"Bress...!" Enam orang itu berteriak-teriak kaget karena dara yang mereka tubruk itu tiba-tiba saja menghilang! Mereka tadi melihat jelas betapa gadis itu masih tidur terlentang, dan ketika mereka menubruk dari semua jurusan tampak bayangan berkelebat dan mereka saling tubruk, saling beradu kepala dan tangan dan gadis itu telah lenyap!
Selagi mereka kaget dan heran, terdengar suara tawa renyah dan mereka cepat berloncatan berdiri, memutar tubuh menghadapi orang tertawa. Kiranya gadis itu telah berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa bebas. Tidak seperti gadis dusun atau kota biasa yang kalau tertawa tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani kelihatan giginya, gadis ini tertawa terkekeh membuka mulut dengan bebas sehingga nampak sepasang bibirnya merekah, memperlihatkan rongga mulut yang merah tua dan gusi merah muda di tengah deretan gigi yang putih rapih seperti mutiara diatur.
"Heh-heh-heh, lucu sekali! Kalian ini siapakah? Pakaian kalian serba hijau, kalian bukan orang sini. Mau apa kalian datang ke sini dan mengganggu aku yang sedang tidur lelap?"
Enam orang itu saling pandang. Sedang tidur lelap kenapa ketika ditubruk dapat lenyap? Manusiakah gadis ini? Atau dewi penjaga lautan? Akan tetapi si cicak kering yang merasa dia bersama lima rekannya dan merasa bahwa dia menjadi pemimpin rombongan itu, mengusir keraguan hatinya. Dia melangkah maju ke depan.
"Nona, kami memang bukan orang sini. Kami datang karena melihat nona yang demikian cantik seperti bidadari. Kami ingin nona ikut bersama kami!" Si cicak kering sudah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mengepung.
Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak kelihatan gentar, seolah-olah keenam orang laki-laki yang sikapnya seperti serigala itu dianggapnya sebagai anjing-anjing yang jinak saja. Dara itu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Aih, begitukah? Kalian hendak mengajak aku kemana? Siapakah kalian? Perkenalkan diri dulu agar aku dapat mempertimbangkan apakah aku akan memenuhi undangan kalian atau tidak."
Melihat sikap gadis itu yang ramah dan tidak marah, enam orang laki-laki itu merasa senang sekali. Si cicak kering yang merasa dirinya paling unggul di antara teman-temannya karena memang dia yang bertugas sebagai pimpinan, membusungkan dadanya. Akan tetapi karena dada itu memang kerempeng dan tipis, dibusungkan bukan nampak besar, melainkan melengkung seperti batang kangkung.
"Nona yang cantik, ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang gagah penghuni Pulau Hiu! Nona kami undang untuk berkunjung ke pulau kami dan berkenalan dengan majikan kami. Majikan muda kami, Siangkoan Kongcu (Tuan muda Siangkoan) adalah seorang pemuda yang gagah, ganteng, tampan dan kaya raya, tentu akan dapat menghargai seorang cantik jelita seperti nona."
Sepasang mata yang jeli itu nampak bersinar-sinar. "Pulau Hiu? Baru sekarang aku mendengarnya! Majikannya she Siangkoan? Dimana sih letaknya pulau itu?" Kini gadis itu menerawang ke arah lautan seperti hendak mencari di mana letaknya pulau itu.
"Tidak jauh dari sini, nona. Hanya pelayaran setengah hari menuju ke utara. Pulau Hiu kami terletak di seberang pantai Shantung."
"Setengah hari? Kalau begitu pulang pergi hanya sehari dan sore nanti aku dapat pulang kesini?" Gadis itu dalam bicarapun demikian polosnya seperti juga ketika tertawa, dan juga tanpa malu-malu di depan enam orang pria itu, walaupun pakaiannya yang tipis dan ketat itu kini berkibar tertiup angin laut sehingga bentuk tubuhnya tercetak jelas.
Enam orang itu saling pandang dan tertawa. Dalam hati mereka menertawakan gadis yang mereka anggap dusun dan tolol itu. Tentu saja kalau gadis itu sudah mereka bawa, ia tidak akan kembali ke tempat ini, pikir mereka.
"Tentu saja, sore nanti engkau dapat pulang nona manis," kata pula si cicak kering, lalu ia mengerling ke arah lima orang teman-temannya yang tersenyum-senyum.
"Kalau begitu, aku mau ikut!" gadis itu berkata dan suaranya seperti bersorak gembira. "Aku ingin melihat Pulau Hiu. Apakah disana banyak ikan hiunya?"
"Banyak, nona!" jawab seorang di antara mereka. "Ada hiu berkaki dua..."
"Hiu berkaki dua?" gadis itu terbelalak dan semua orang tertawa.
"Aih, temanku ini hanya berkelakar, nona," kata si cicak kering. "Yang dia maksudkan adalah hiu yang mempunyai sirip besar-besar dan gemuk."
Gadis itu bertepuk tangan. "Aku suka sekali sirip hiu! Enak sekali, apalagi kalau dimasak dengan jahe!" Ia menjulurkan lidahnya yang merah segar, menjilati bibir bawah.
Enam orang itu menelan ludah dan kalamenjing mereka naik turun. Saking terpesona penuh gairah, mereka sampai tidak merasa aneh bahwa gadis pantai ini pernah makan makanan sirip hiu yang hanya menjadi makanan para hartawan kaya karena mahalnya.
"Mari kita berangkat nona. Jangan sampai engkau nanti kemalaman kalau pulang." kata si cicak kering sambil menggandeng tangan gadis itu.
Gadis jelita itu tidak menolak,dan ia tersenyum-senyum melihat enam orang itu mendorong perahu ke air. Tak lama kemudian, ia sudah duduk di perahu yang didayung enam orang itu ke tengah, melewati gelombang besar. Dapat dibayangkan betapa gembiranya enam orang itu melihat korban mereka menyerah sedemikian mudahnya. Terlalu mudah!
Dan gadis itu terlalu cantik untuk membuat mereka dapat menahan diri. Mulailah mereka mengeluarkan kata-kata tidak senonoh, bahkan si cicak kering yang menjadi pimpinan, kini melepaskan dayung karena perahu itu mulai didorong layar yang sudah dikembangkan dan diapun duduk di dekat nona itu, merapat.
"Nona manis, siapakah namamu?" Tanya si cicak kering, mukanya sedemikian dekatnya sehingga gadis itu mengerutkan alisnya, karena dari mulut si cicak kering itu mengeluarkan bau busuk seperti bangkai.
"Ihh, kalau bicara jangan dekat-dekat!" gadis itu menegur dan menggeser pinggulnya menjauh.
"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu, nona manis. Engkau akan kami hadiahkan kepada kongcu, akan tetapi sebelum tiba di pulau, kita duduk merapat begini kan hangat dan lebih enak?" Mendengar ucapan itu, lima rekannya tertawa bergelak. "Kalau bicara dekat-dekat kenapa sih, manis?"
Gadis itu menggunakan tangan menutupi hidungnya. "Mulutmu bau bangkai!"
Meledak lima orang itu tertawa, dan si cicak kering terbelalak, mukanya berubah merah sekali. Belum pernah selama hidupnya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dari seorang gadis muda! "Nona, mulutmu lancang sekali, untuk itu kau harus dihukum. Hayo kau cium aku dengan mulutmu itu pada mulutku. Kalau engkau tidak mau, kami tidak akan membawamu kepada majikan kami, melainkan akan kami makan sendiri di perahu ini, kemudian engkau akan kami lemparkan ke air agar menjadi makanan hiu!" Berkata demikian, si cicak kering menjulurkan kedua tangannya merangkul gadis itu dan hendak memaksakan ciuman.
Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara tawa nyaring, ia bangkit berdiri dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ia telah menyambar kedua tangan si cicak kering yang hendak menangkapnya dan sekali ia membuat gerakan melontarkan tubuh si cicak kering itu terlempar ke atas tiang layar!
Si cicak kering berteriak kaget dan ketakutan, akan tetapi dia dapat menjangkau ujung tiang layar dan memeluk tiang itu dengan era-erat, sehingga dari bawah dia kelihatan seperti seekor kera! Melihat ini, lima orang rekannya terbelalak, akan tetapi gadis itu, seperti seorang anak kecil yang nakal, menghampiri tiang layar dan dengan tangan kirinya ia mendorong dan mengguncang tiang layar itu. Sungguh hebat, tiang itu terguncang keras dan tubuh si cicak kering tentu saja ikut terguncang keras dan akhirnya dia tidak dapat bertahan lagi, tubuhnya terlepas dari ujung tiang layar dan terlempar ke luar perahu.
"Byurr...!" tubuhnya ditelan gelombang lautan.
Kini kelima orang anak buah Pulau Hiu itu terkejut dan juga marah. Barulah mereka menyadari bahwa gadis yang kelihatan bloon ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga kuat. Mereka serentak menyerang untuk menangkap dan meringkus. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa, gadis itu kini menggerakkan kaki tangannya dan lima orang itu disambar tamparan dan tendangan, tubuh mereka terlempar keluar perahu dan satu demi satu tercebur ke dalam lautan!
"He-he-he-he, kiranya kalian hanya tikus-tikus lautan!"
Gadis itu bertepuk tangan dengan girang, lalu memegang kemudi layar, hendak mengarahkan perahu untuk meluncur kembali ke pantai yang sudah nampak jauh dari situ. Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu terguncang lalu miring dan rebah, layarnya menyentuh air! Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak menjadi kaget atau takut, bahkan ia tertawa.
"Heh-heh, kalian hendak main-main di air, ya? Boleh, boleh!" dan iapun meloncat dari perahu yang miring itu ke dalam air.
Enam orang itu adalah anak buah Pulau Hiu, bajak-bajak laut yang tentu saja merupakan ahli-ahli renang yang pandai. Melihat gadis itu berani meloncat ke air, hati mereka girang sekali. Terutama si cicak kering yang ingin membalas dendam, tubuhnya meluncur cepat ke arah gadis itu. Ingin ia menangkap, meringkus dan menyeret gadis itu ke dalam air agar kehabisan napas dan menyerah.
Akan tetapi, ketika dia tiba di dekat gadis dan menerkam, tiba-tiba saja gadis itu lenyap. Persis seperti ketika diterkam di darat tadi. Hanya bedanya, kalau tadi gadis itu menggunakan gerakan kilat meloncat ke atas menghindar dari terkaman enam orang, kini ia menyelam ke bawah dan lenyap!
Dan tiba-tiba si cicak kering terbelalak, akan tetapi dia tidak sempat berteriak karena tubuhnya sudah lenyap terseret ke bawah seperti diseret ikan hiu. Memang tadinya diapun menyangka demikian ketika tiba-tiba kedua kakinya ada yang menangkap dan dia terseret ke bawah. Akan tetapi di dalam air dia melihat bahwa yang menangkap kakinya adalah gadis tadi! Gadis itu ternyata dapat bergerak seperti ikan di dalam air, rambutnya terlepas dari sanggul dan kini riap-riapan. Sungguh ia seperti dongeng ikan duyung yang membuat si cicak kering merasa ngeri.
Dicobanya untuk melepaskan kedua kakinya, namun sia-sia dan dia terpaksa harus menahan pernapasannya. Tentu saja dia kuat menahan napas di air karena terlatih, akan tetapi ternyata dia terus diseret ke bawah dan batas waktunya sudah melampaui ketahannya. Gadis itu seolah-olah berubah menjadi ikan yang tidak perlu bernapas di permukaan air!
Mulailah si cicak kering gelagapan. Dia masih melihat tubuh teman-temannya meluncur dan mengejarnya, tentu hendak menolongnya. Akan tetapi gadis itu tiba-tiba menyeretnya naik ke atas sampai kepalanya tersembul di atas. Si cicak kering megap-megap, seperti ikan yang dilempar ke darat, dadanya seperti akan pecah rasanya dan pada saat itu tubuhnya sudah terayun dan diputar-putar seperti gasing!
Dara itu masih memegang kedua kakinya dan kini tubuhnya diputar di atas air, seolah-olah tubuhnya itu hanya seringan sepotong kayu saja. Kemudian gadis itu melepaskan pegangan pada kedua kakinya dan tubuh si cicak kering melayang sampai amat jauh, jatuh terbanting ke air lagi dalam keadaan nanar dan hampir pingsan.
Kini kelima orang itupun mengeroyok. Terjadi perkelahian di air yang tidak seimbang dan tidak lama. Gadis itu sungguh luar biasa, mampu bergerak di air seperti ikan, sukar ditangkap. Sebaliknya tamparan-tamparannya membuat lima orang itu gelagapan, bahkan ada yang pingsan dan tenggelam. Akhirnya, para pengeroyok itu tidak ada yang berani mendekat, sibuk hendak menolong teman yang pingsan tenggelam.
Gadis itu sendiri sambil terkekeh lalu menyambar sebatang dayung yang terapung, memukul ke arah tiang layar perahu. Terdengar suara keras dan tiang itupun patah! Kemudian, dengan tenaga yang luar biasa, ia membalikkan perahu dan meloncat ke dalam perahu, mendayung perahu itu ke pantai meninggalkan enam orang yang masih terapung-apung dipermainkan gelombang lautan. Mereka dapat mendengar suara tawa merdu gadis itu, akan tetapi bagi pendengaran mereka, sama sekali tidak merdu menyenangkan, melainkan mengerikan. Mereka merasa seolah-olah baru berjumpa dengan iblis lautan yang amat ganas!
Setelah tiba di pantai, gadis itu menyeret perahu hijau ke darat. Tiba-tiba nampak sesosok bayangan putih berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita yang berpakaian serba putih dari sutera halus. Wanita ini sudah berumur enampuluh tahun lebih, akan tetapi ia masih langsing, sehingga orang akan mengira bahwa usianya baru sekitar empatpuluh tahun saja. Ia berdiri tegak memandang kepada gadis itu yang kini menghadapi wanita itu sambil tersenyum gembira.
"Subo, aku mendapatkan sebuah perahu milik enam orang yang kutinggalkan di sana," katanya sambil menunjuk ke tengah lautan.
Wanita itu mengerutkan alisnya. Ia cantik akan tetapi sikapnya dingin, bahkan wajahnya seperti diliputi mendung, tidak secerah wajah muridnya. Kalau ada orang kangouw melihatnya, tentu orang itu akan terkejut ketakutan, karena wanita itu bukanlah wanita sembarangan. Ia adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai dan berwatak aneh, tidak berpihak kepada yang baik maupun yang buruk. Bukan golongan putih, maupun hitam, pendekar maupun penjahat.
Ia terkenal sebagai datuk di timur, dan di sepanjang pantai, namanya sudah banyak dikenal orang kangouw, dan ditakuti, walaupun ia jarang mau mencampuri urusan orang kangouw di daerah itu. Wanita ini bukan lain adalah Tung-hai Mo-li (Iblis betina laut Timur) Bhok Sui Lan! Dan gadis jelita yang lincah dan ugal-ugalan itu bukan lain adalah Cin Cin atau Kam Cin.
Seperti kita ketahui, empat belas tahun yang lalu, ketika ia berusia lima tahun, Cin Cin mengalami malapetaka. Ayah kandungnya, yaitu Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, tewas ketika Cian Bu Ong mengutus para pembantunya menyerbu. Kemudian Cin Cin atau nama lengkapnya Kam Cin dikirim ke dusun Hong-cun, tempat tinggal Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng, agar menjadi murid pendekar itu. Ia diantarkan oleh susiok (paman gurunya) bernama Lai Kun. Akan tetapi dalam perjalanan, Lai Kun menyeleweng, menjual murid keponakan itu kepada seorang mucikari!
Cin Cin yang ayahnya telah tewas dan ibunya dilarikan penyerbu dusun mereka, jatuh ke tangan mucikari. Kemudian, setelah beberapa tahun lamanya tinggal di situ dan dipelihara oleh sang mucikari untuk dipersiapkan menjadi seorang pelacur, Cin Cin melarikan diri, dikejar oleh para jagoan rumah pelesir itu dan akhirnya Cin Cin ditolong oleh Tung-hai Mo-li yang membunuh semua pengejar itu, kemudian mengambil Cin Cin sebagai muridnya.
Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mengajak Cin Cin ke pantai Laut Kuning dan menurunkan semua kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Bahkan ilmu di air ia ajarkan, sehingga Cin Cin kini telah menjadi seorang dara berusia sembilan belas tahun yang amat lihai, baik ilmu silatnya, tenaga sin-kangnya dan ilmunya bermain di air. Cin Cin cantik manis, jelita dan menggairahkan. Akan tetapi selain ilmu-ilmu yang ia warisi dari Tung-hai Mo-li, ia juga mewarisi wataknya yang aneh!
Watak yang acuh terhadap orang lain, hidup seenaknya, semaunya, tidak terikat oleh segala macam norma dan peraturan umum! Bahkan seperti juga subonya Cin Cin jarang bergaul dengan orang lain. Para gadis di pedusunan pantai yang dijumpainya dan dikenalinya, tak lama kemudian menghindar karena mereka semua merasa takut dan segan kepada Cin Cin, bukan hanya karena Cin Cin berwatak aneh, akan tetapi juga karena gadis ini memiliki kelihaian yang menggiriskan hati.
Pernah ada tiga pemuda dusun yang jatuh hati kepadanya, memperlihatkan sikap manis dan seperti biasa, tiga orang pemuda itu memperlihatkan sikap berani, merayu dan memikat. Bagi gadis lain, kalau memang ia tidak suka, tentu ia akan menolak dan menghindar saja. Akan tetapi Cin Cin tidak sama dengan gadis-gadis lain. Ia merasa diremehkan, marah dan iapun mematahkan kaki tangan tiga orang pemuda itu dan meninggalkan mereka merintih-rintih di tepi jalan!
Bukan hanya satu kali itu Cin Cin menghajar laki-laki yang terlalu berani dan dianggapnya kurang ajar kepadanya. Ada pula yang tewas karena laki-laki itu tidak sopan dan berusaha merangkulnya. Sekali tangan Cin Cin menampar dan mengenai pelipisnya, laki-laki itu roboh dan nyawanya melayang!
Akan tetapi, kalau ia tidak marah dan hatinya sedang gembira, Cin Cin dapat bersikap ramah kepada siapa saja. Ia memang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan gembira, hanya menjadi aneh karena dididik oleh seorang datuk wanita yang aneh. Dan selama ini, Cin Cin tidak pernah lupa bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang tewas di tangan orang-orang yang menyerbu perkampungan Hek-houw-pang, bahkan ibunya diculik oleh penyerbu.
Diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa akan dicarinya pembunuh ayahnya dan penculik ibunya, dan ia hanya menanti ijin dari subonya. Biarpun wataknya ugal-ugalan, keras dan berani, namun terhadap subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, Cin Cin bersikap lembut, taat dan menyayang. Hal ini bukan saja karena ia berhutang budi, dan karena gurunya memang menyayang kepadanya, dan bersikap baik saja, akan tetapi terutama sekali karena ia tahu benar bahwa subonya adalah seorang wanita yang menderita kesengsaraan batin yang hebat.
Ia sendiri tidak tahu mengapa, karena subonya tidak pernah mau bercerita dan mengatakan belum waktunya bercerita, akan tetapi seringkali ia melihat subonya dengan diam-diam sedang menangis dan merintih sampai semalam suntuk! Dan ia tahu pula bahwa subonya tidak mempunyai keluarga seorangpun, hidup sebatangkara dan agaknya tidak pernah menikah atau sudah cerai. Maka, ia merasa iba kepada subonya, dan karena perasaan inilah ia ingin membalas budi subonya dengan menyenangkan hatinya, yaitu dengan jalan mentaati semua perintahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mendekati perahu itu dan mengamatinya. Ketika ia melihat perahu itu bercat hijau dan ada ukiran berbentuk ikan hiu di kepala perahu, ia mengerutkan alisnya. "Hemm, Kalau begitu tidak keliru dugaanku perahu ini milik Pulau Hiu."
"Aihh, subo tahu? Memang benar milik Pulau Hiu, subo. enam orang pemiliknya adalah anak buah Pulau Hiu!" seru Cin Cin heran.
Mendengar ini, Tung-hai Mo-li lalu duduk di ujung perahu yang kering, memandang ke arah lautan yang tadi ditunjuk muridnya. Tidak kelihatan apa-apa kecuali gelombang besar dan buih di puncak ombak, lalu ia menatap wajah muridnya dan berkata, "Cin Cin, ceritakan apa yang terjadi antara engkau dan enam orang dari Pulau Hiu itu."
Cin Cin lalu menceritakan dengan sikap lincah jenaka tentang pertemuannya dnegan enam orang itu, betapa mereka mengajaknya ke Pulau Hiu dan betapa mereka mengganggunya sehingga ia marah dan melempar-lemparkan mereka ke air dan ia kembali membawa perahu mereka. Setelah Cin Cin menyelesaikan ceritanya, Tung-hai Mo-li menarik napas panjang.
"Hemm, sejak dahulu memang orang-orang Pulau Hiu merupakan bajak-bajak laut. Aku tidak pernah mencampuri pekerjaan mereka, akan tetapi kenapa sekarang mereka berani mengganggu penduduk di daratan? Kunjungan mereka ke daerah ini sudah pasti mengandung maksud tertentu. Agaknya tua Bangka Siangkoan Bok itu sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa anak buahnya akan bertemu dengan murid Tung-hai Mo-li!"
"Subo, siapakah Siangkoan Bok itu? Dan orang-orang macam apakah yang menghuni Pulau Hiu? Aku mendengar mereka bicara tentang Siangkoan Kongcu, majikan muda Pulau Hiu. Agaknya subo sudah mengenal mereka."
"Majikan Pulau Hiu bernama Siangkoan Bok, seorang kakek yang kini tentu sudah tua sekali, tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun usianya. Dia hidup sebagai majikan Pulau Hiu di seberang pantai daerah Shantung itu, sebagai seorang hartawan yang kaya raya, juga kekuasaannya besar karena dia menjadi datuk dari para bajak laut di Lautan Kuning. Anak buahnya banyak, di antaranya tentu saja enam orang yang kau jumpai itu. Sebetulnya Siangkoan Bok sendiri tidak melakukan pembajakan dan anak buahnya juga tidak, akan tetapi karena dia merupakan datuk bajak laut dan anak buahnya merupakan bekas para bajak, tentu saja kaang-kadang merekapun menjadi gatal tangan dan melakukan pembajakan."
"Hemm, kiranya hanya bajak-bajak laut yang hina," Cin Cin mencibirkan bibirnya yang merah. "Kalau tahu mereka bajak, tadi tentu sudah kubunuh semua. Dan siapakah yang mereka sebut Siangkoan Kongcu, subo?"
Gurunya menggeleng kepala. "Setahuku, dahulu memang ada putera Siangkoan Bok bernama Siangkon Tek. Akan tetapi dia sudah tewas. Tentu yang disebut Siangkoan Kongcu itu puteranya yang lain, karena kabarnya Siangkoan Bok mempunyai banyak isteri yang cantik, dan mungkin saja dia mempunyai banyak keturunan."
"Hemm, aku ingin sekali berkunjung ke pulau Hiu, subo. Akan ku obrak-abrik pulau bajak itu!"
Tung-hai Mo-li mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menatap wajah muridnya. Melihat ini, Cin Cin terkejut dan mendekati subonya, duduk di perahu dan memegang tangan subonya. "Maaf, subo. Kenapa subo kelihatan marah?"
"Engkau ini mencari gara-gara saja! Apa perlunya mencari perkara dengan pulau Hiu? Engkau mempunyai tugas lain yang jauh lebih penting!"
Wajah Cin Cin berseri dan matanya bersinar-sinar. "Subo! Apakah subo maksudkan sudah tiba saatnya aku boleh melaksanakan tugasku itu? Tentu saja aku tidak akan pernah lupa. Aku akan ke dusun Ta-bun-cung, ke Hek-houw-pang dan menyelidiki siapa pembunuh ayahku, siapa pula yang menculik ibuku. Aku akan mencari ibuku, aku akan membunuh para penyerbu Ta-bun-cung itu, aku..."
Cin Cin menghentikan ucapannya ketika melihat gurunya mengangkat tangan memberi isyarat agar ia diam. Ia melihat gurunya masih mengerutkan alis dan kelihatan tidak senang.
"Cin Cin, engkau hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Engkau sedikitpun tidak pernah memikirkan kebutuhanku."
Cin Cin merangkul gurunya. Memang hubungannya dengan gurunya seperti anak dengan ibunya saja, mesra dan akrab, tidak berhormat-hormat seperti murid terhadap guru lain. "Subo, maafkanlah aku. Tentu saja aku memikirkan, bahkan mementingkan kebutuhan subo. Katakan, apa yang dapat kulakukan untukmu, subo? Tentu perintah subo akan kulaksanakan lebih dulu, setelah itu, barulah aku akan mengurus diriku sendiri."
"Nah, begitu baru muridku yang baik," kata Tung-hai Mo-li dan ia pun merangkul leher muridnya dan mencium kedua pipinya. Cin Cin balas mencium dan dalam jarak dekat itu ia dapat melihat betapa wajah subonya masih amat cantik, kedua pipinya halus dan putih kemerahan tanpa bedak dan pemerah.
"Aih, subo cantik sekali. Kenapa secantik ini subo tidak menikah?"
Ditanya demikian, Tung-hai Mo-li melepaskan rangkulannya dan ia menarik napas panjang. "Inilah salah satu di antara hal yang kuminta engkau membalaskan untukku, Cin Cin. Aku hidup menderita dan tidak pernah mau mendekati pria sejak muda karena ulah seorang laki-laki!"
Cin Cin memandang heran. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang berulah sehingga menghancurkan hati subonya? Kenapa subonya tidak membunuh saja laki-laki itu dan membiarkan dirinya tenggelam dalam duka? "Subo, siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan? Ceritakan kepadaku, subo. Aku berjanji akan melaksanakan segala perintah subo dan akan kubalaskan semua sakit hati subo."
"Ada dua orang yang kuingin engkau mencarinya dan membunuh mereka untuk aku. Dan untuk itu, dengarkan dulu ringkasan riwayat hidupku."
Cin Cin mendengarkan penuh perhatian. Selama sepuluh tahun lebih ia hidup bersama subonya dan belum pernah ia mendengar riwayat subonya. Agaknya subonya mempunyai riwayat yang menyedihkan. "Ceritakan, subo," katanya lirih sambil mengamati wajah subonya.
Mereka duduk di atas perahu hijau itu, di pantai yang sunyi. Matahari sudah naik agak tinggi, menyinarkan cahayanya yang hangat menggigit.
"Mari kita duduk di bawah pohon di sana, lebih teduh di sana," kata Tung-hai Mo-li dan mereka lalu meninggalkan perahu, duduk di bawah pohon yang agak jauh dari pantai, duduk berhadapan di atas akar pohon itu yang menonjol di permukaan tanah.
"Sejak kecil aku sudah yatim piatu," Tung-hai Mo-li memulai dengan riwayatnya.
Cin Cin tertegun. Ia sendiri sudah kehilangan ayah, akan tetapi mungkin ibunya masih hidup. Dibandingkan dengan subonya, ia masih lebih beruntung!
"Sejak kecil sebatangkara dan merantau sebagai pengemis. Untung bertemu dengan seorang pengemis tua yang mau membimbingku. Aku mulai belajar ilmu silat dengan giat sekali. Berganti-ganti guru sampai aku dewasa. Kemudian aku bertemu dengan seorang guru yang pandai dan bersama seorang suhengku, aku belajar silat darinya. Suhengku itu bernama Can Siok dan setelah tua dia berjuluk Cui-beng Sai-kong. Akan tetapi, setelah aku dewasa dan merantau seorang diri dengan bekal kepandaian yang cukup, aku berpisah dari suheng, pada waktu guru kami meninggal dunia. Kami mengambil jalan masing-masing dan nasib membawaku ke kotaraja." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar dan mengingat-ingat.
"Sejak kecil subo sudah menderita," komentar Cin Cin. Lupa bahwa nasibnya sendiripun tidak lebih baik.
"Di kotaraja itulah aku bertemu seorang pangeran. Dia gagah perkasa dan memiliki ilmu silat yang hebat. Kami saling tertarik dan akhirnya kami saling jatuh cinta..."
Tung-hai Mo-li menghela napas panjang dan Cin Cin mengamati wajah subonya sambil tersenyum. Tentu subonya amat cantik ketika gadis, dan sudah sepantasnya kalau subonya itu jatuh cinta dengan seorang pangeran!
"Aih, tentu pangeran itu gagah dan tampan sekali, maka subo sampai jatuh cinta padanya," kata Cin Cin tanpa sungkan-sungkan lagi. "Subo menikah...?"
Tung-hai Mo-li tersenyum dan baru sekarang ia melihat subonya tersenyum! Bukan main manisnya kalau tersenyum, akan tetapi hanya sebentar saja karena senyum itu berubah pahit. "Pangeran itu mempunyai cita-cita yang amat besar. Dia adalah adik kaisar, dan ia bercita-cita kelak akan menggantikan kakaknya menjadi kaisar. Karena itu, dia tidak mau mengambil aku, seorang wanita biasa, bahkan seorang wanita kangouw menjadi isterinya yang sah! Dia harus menjaga nama, dan dia bahkan akan menikah dengan seorang puteri. Aku hanya akan dijadikan selir..."
"Hemm, lalu bagaimana, subo?"
"Tentu saja aku tidak sudi! Kami sudah saling bersumpah dan aku... aku telah menyerahkan diri. Dia sudah berjanji akan mengambilku sebagai isterinya, tidak tahunya hanya akan dijadikan selir. Aku tidak mau dan aku meninggalkan dia!" Wajah yang masih cantik itu nampak berduka sekali dan ia memejamkan mata.
Cin Cin mengerutkan alisnya. Betapa besar cinta kasih subonya kepada pangeran itu, pikirnya. Buktinya, sampai sekarang, subonya sama sekali tidak mau berjalan lagi dengan pria lain! "Subo, apakah subo mendendam sakit hati kepada pangeran ini? Apakah aku harus mencari dia dan membalaskan sakit hati subo?"
Tung-hai Mo-li membuka mata dan mengangguk. "Puluhan tahun aku memperdalam ilmu dengan harapan pada suatu hari, murid yang kuwarisi ilmu-ilmuku akan dapat mewakili aku untuk membalas sakit hati yang kuderita selama puluhan tahun ini, dan engkaulah orangnya yang kuharapkan akan dapat membuat aku mati dengan mata terpejam, Cin Cin."
"Akan tetapi, subo dengan kepandaian yang subo miliki, apa sukarnya bagi subo untuk membunuh orang itu? Kenapa subo menanti sampai puluhan tahun dan membiarkan hati menderita dendam selama itu?"
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Biarpun dia juga bukan orang lemah, bahkan ketika kami saling berpibu dia lebih tangguh dariku, akan tetapi aku terus dengan giat memperdalam ilmuku dan mungkin sekarang aku dapat menandingi dan mengalahkannya. Akan tetapi, aku sudah tua dan... aku kuatir, kalau aku berhadapan dengan dia, hatiku akan menjadi lemah dan usaha membalas dendamku tidak akan terlaksana. Oleh karena itulah aku menggemblengmu mati-matian, Cin Cin."
"Aku akan mencari pangeran itu dan membunuhnya, subo. Siapa namanya dan dimana aku dapat mencarinya?"
"Namanya Pangeran Cian Bu Ong, dahulu dia adik kaisar Kerajaan Sui. Akan tetapi kerajaan Sui telah jatuh dan diganti kerajaan Tang. Setelah kerajaan Sui jatuh, aku mendengar dia beberapa kali mengusahakan pemberontakan untuk mendirikan kembali kerajaan Sui, akan tetapi semua usahanya gagal. Aku telah menyelidiki dan bertanya-tanya, dan mendengar bahwa dia suka kelihatan di sepanjang lembah sungai Kuning. Ke lembah itulah engkau dapat mencarinya. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali, mukanya kemerahan. Dia sekarang kalau masih hidup tentu sudah tua pula, karena dia lebih tua setahun dariku. Sekarang usianya tentu sudah enampuluh lima tahun lebih."
"Aku akan mencarinya, subo. Dan siapakah orang kedua yang harus kucari?"
"Dia bukan musuh pribadiku. Akan tetapi, hatiku sakit karena dia telah membunuh suhengku, padahal dia itu adalah putera suhengku sendiri. Anak durhaka itu harus dihukum dan dibunuh. Suhengku itu amat sayang kepadaku, bahkan dialah yang lebih banyak membimbingku dahulu dan dia menganggap aku seperti adik kandungnya sendiri. Suhengku itu bernama Can Siok dan dahulu berjuluk Cui-beng Sai-kong dan seperti telah kuceritakan tadi, sejak dewasa kami saling berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri. Hanya sewaktu-waktu saja kami saling jumpa, aku mengunjunginya atau dia mencariku. Dia menemukan agama baru, yaitu menyembah Thian-te Kwi-ong dan dia memiliki ilmu sihir yang hebat. Suhengku mempunyai seorang putera yang bernama Can Hong San, dari isterinya yang berasal dari puteri Nepal. Dan anak durhaka itu pada suatu hari membunuh ayah kandungnya sendiri. Aku merasa sedih sekali mendengar nasib suheng dan kuminta engkau kelak mencari Can Hong San dan membunuhnya!"
"Di mana aku dapat mencari Can Hong San itu, subo?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu dimana dia berada. Akan tetapi kau ingat saja namanya dan karena dia seorang tokoh sesat, kukira namanya dikenal oleh dunia kangouw dan engkau kelak dapat melakukan penyelidikan." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar, lalu mengeluarkan seuntai kalung mutiara yang amat indahnya. "Kau bawa ini dan kalau engkau bertemu dengan Pangeran Cian Bu Ong, berikan ini kepadanya dengan pesan dariku, bahwa dia harus menukar kalung ini dengan nyawanya, seperti yang pernah dia janjikan kepadaku dahulu. Mutiara-mutiara ini kudapatkan sendiri dengan menyelam di lautan yang paling dalam, memilih yang terbaik dan menguntainya menjadi kalung untuk kuserahkan kepada pria yang kucinta itu. Dia menerima dengan gembira dan berjanji bahwa kalung itu akan disimpannya dan disayangnya seperti nyawanya sendiri. Akan tetapi, ketika dia hendak meninggalkan aku, dia mengembalikan kalung ini kepadaku..."
Kedua mata Tung-hai Mo-li menjadi merah dan basah dengan air mata. Ia membalikkan tubuh dan membelakangi Cin Cin yang menerima kalung mutiara itu, agaknya ia tidak ingin dilihat menangis dan ketika membalikkan tubuh itu, ia menghapus air matanya. "Nah, itulah pesanku kepadamu, Cin Cin. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menunaikan tugas-tugas itu?" Tanya Tung-hai Mo-li yang sudah menghadapi lagi muridnya.
Cin Cin mengalungkan kalung mutiara itu di lehernya. "Subo, aku berjanji akan mencari dan membunuh Pangeran Cian Bu Ong dan Can Hong San!" katanya dengan penuh semangat.
Tung-hai Mo-li bangkit berdiri, wajahnya nampak lega dan berseri. Ia lalu melepaskan tali pengikat sarung pedangnya dari punggungnya, menyerahkan pedang dan sarungnya itu kepada Cin Cin. "Nah, kau terimalah Koai-liong-kiam ini, Cin Cin. Aku ingin engkau membunuh mereka dengan pedang ini. Akan tetapi jangan sekali-kali mengurangi kewaspadaan, Cin Cin. Dua orang itu bukan merupakan lawan yang ringan. Akan tetapi aku yakin bahwa kalau engkau menggunakan pedang ini dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianmu, engkau akan berhasil."
"Baiklah subo. Aku akan melaksanakan perintah subo dan mudah-mudahan saja aku akan berhasil dan tidak mengecewakan subo."
"Aku percaya padamu, Cin Cin, dan berhati-hatilah. Engkau tentu masih ingat akan nama para tokoh di dunia persilatan yang pernah kuceritakan kepadamu. Jangan memandang rendah lawan, dan jangan mencari perkara. Bersikaplah seperti murid terkasih seorang datuk, tidak seperti perempuan petualang yang mengandalkan kepandaian lalu bersikap congkak dan menyebar bibit permusuhan dimana-mana."
Cin Cin merangkul gurunya, "Aku mengerti subo. Dan kapan aku harus berangkat?"
"Hari ini juga. Mari kita pulang, engkau cepat berkemas dan hari ini juga meninggalkan rumah kita."
Mereka lalu bergandengan tangan menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil di luar dusun nelayan, tak jauh dari pantai. Mereka jalan bergandengan tangan seperti kakak beradik saja, tidak seperti guru dan murid dan melihat dari belakang, takkan ada yang menduga bahwa seorang di antara mereka adalah seorang wanita yang usianya sudah enampuluh tahun lebih!
"Berhasil atau tidak, dalam waktu setahun engkau sudah harus kembali ke sini," demikian pesan Tung-hai Mo-li ketika mengantar muridnya pergi sampai ke luar daerah perbukitan di sepanjang pantai itu. Ketika gadis itu dengan pedang di pinggang dan buntalan pakaian di pundak meninggalkannya, Tung-hai Mo-li termenung, betapa semangatnya seperti terbawa pergi, ia mencintai gadis itu seperti anaknya sendiri.
Cin Cin yang melangkah dengan cepat juga tidak ingin terlihat menangis oleh gurunya. Ketika ia meninggalkan gurunya, ia merasa begitu sedih dan kasihan kepada gurunya yang amat disayangnya itu. Biarpun gurunya seorang datuk, namun terhadap dirinya, Tung-hai Mo-li amat baik dan menyayangnya, maka dianggapnya gurunya seperti pengganti orang tuanya.
Bagaimanapun juga, ia masih ingat bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang, perkumpulan orang-orang gagah, maka tentu saja ia tidak boleh menjadi seorang yang jahat. Gadis itu melangkah tanpa menoleh lagi, menuju ke utara, ke sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Untuk mencari Pangeran Cian Bu Ong, subonya hanya memberitahu bahwa bekas pangeran itu tinggal di lembah Sungai Kuning.
********************
Dusun Ta-bun-cung sekarang nampak ramai dan makmur. Hal ini adalah berkat perkumpulan Hek-houw-pang yang kini telah berdiri kembali setelah dihancurkan oleh para penyerbu utusan Pangeran Cian Bu Ong kurang lebih empatbelas tahun yang lalu. Ketika malam itu terjadi penyerbuan, banyak tokoh Hek-houw-pang yang tewas. Ketika itu ketuanya, Kam Seng Hin, tewas. Juga sutenya yang bernama The Ci Kok, disamping banyak lagi anggota Hek-houw-pang. Bahkan kakek Coa Song, sesepuh Hek-houw-pang, meninggal dunia karena kaget dan berduka melihat hancurnya Hek-houw-pang.
Cucunya yang sudah lama meninggalkan Hek-houw-pang, yaitu Coa Siang Lee, yang kebetulan berada di situ ketika perkumpulan itu diserbu, juga tewas pula ketika membela Hek-houw-pang. Lebih hebat lagi, isteri ketua Kam Seng Hin, yaitu Coa Liu Hwa diculik penjahat, demikian pula isteri Coa Siang Lee, yaitu Sim Lan Ci, lenyap bersama puteranya Coa Thian Ki. Keluarga Hek-houw-pang cerai berai tidak keruan, bahkan sejak terjadi penyerbuan malam itu sampai matinya kakek Coa Song, Hek-houw-pang boleh dibilang telah mati. Para anggotanya tidak berani lagi bergerak, apalagi karena sudah tidak ada yang memimpin.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, muncullah Lai Kun, seorang di antara para sute dari mendiang ketua Hek-houw-pang. Lai Kun adalah sute termuda dari Kam Seng Hin dan dialah yang mendapat tugas untuk mengantar Kam Cin, puteri ketua itu ke Hong-cun, agar puteri ketua itu menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning. Dia bercerita kepada para rekannya bahwa di sepanjang jalan Kam Cin atau Cin CIn menangis, menyatakan tidak mau pergi ke Hong-cun, akan tetapi mengajak paman gurunya itu untuk mencari ibunya yang hilang diculik penyerbu.
"Aku dapat mencegah ia lari dan membujuknya. Akan tetapi pada suatu malam, kami diserbu gerombolan perampok. Ketika aku melawan pengeroyokan perampok itulah Cin Cin melarikan diri dan lenyap. Aku sudah mencari sampai berbulan-bulan tanpa hasil, akhirnya aku pulang," demikian Lai Kun bercerita. Tentu saja cerita itu bohong, karena seperti yang kita ketahui, dia telah menjual Cin Cin ke rumah pelacuran!
Sebagai saudara muda ketua Hek-houw-pang yang sudah tewas, Lai Kun berhak menggantikannya. Dia berusaha mengumpulkan para anggota Hek-houw-pang, kemudian perlahan-lahan dia memimpin para anggotanya untuk membangun kembali Hek-houw-pang. Dia berhasil mengumpulkan kurang lebih limapuluh orang, dan mulai mendirikan perusahaan pengawalan barang dengan bendera Hek-houw-pang. Mulailah perkumpulan itu berkembang dan mendapat kepercayaan.
Apalagi ketika pejabat daerah melapor ke kotaraja tentang Hek-houw-pang, perkumpulan yang dengan gigih membela pemerintah Tang, sehingga dibasmi oleh anak buah pemberontak Pangeran Cian Bu Ong, maka peristiwa itu masuk dalam catatan petugas di istana. Ketika Pangeran Li Si Bin, tujuh tahun kemudian menggantikan kedudukan ayahnya menjadi kasisar Tang Tai Cung, dia memeriksa semua catatan itu dan mendengar tentang Hek-how-pang, kaisar inipun segera mengambil kebijaksanaan.
Kaisar berkenan memberi hadiah kepada Hek-houw-pang, melalui pembesar daerah dan Hek-houw-pang menerima bangunan baru yang besar di Ta-bun-cung, juga menerima hadiah kereta untuk pekerjaan mengawal barang, disamping dua losin ekor kuda pilihan, uang dan terutama sekali, nama baik. Peristiwa itu membuat nama Hek-houw-pang semakin terkenal dan dipercaya pedagang. Siapa yang tidak percaya kepada perkumpulan yang telah mendapat pengakuan dan hadiah dari kaisar sendiri?
Demikianlah, dusun Ta-bun-cung ikut menjadi makmur berkat perkembangan Hek-houw-pang. Dan Lai Kun, ketua baru Hek-houw-pang, berusaha keras untuk membuat perkumpulan itu semakin maju. Dia kini menjadi seorang ketua yang terhormat dan terkenal. Dan sejak dia menjadi ketua Hek-houw-pang, Lai Kun menikah dan kini mempunyai dua orang anak laki-laki berusia sepuluh dan delapan tahun.
Dia hidup terhormat, kecukupan, berbahagia dengan keluarga. Kalaupun kadang-kadang dia teringat kepada Cin Cin dan diam-diam dia menyesali perbuatannya, dia cepat mengusir kenangan itu sebagai sebuah mimpi buruk yang amat mengganggunya. Tak seorangpun tahu akan peristiwa itu dan Cin Cin sudah dianggap lenyap atau mati oleh semua anggota Hek-houw-pang, walaupun kadang-kadang Lai Kun termenung dan ada perasaan khawatir apabila dia teringat kepada Cin Cin.
Empat belas tahun telah lewat sejak peristiwa pembasmian Hek-houw-pang dan kini dusun Ta-bun-cung sudah berubah banyak. Banyak terdapat toko dan kedai makan minum dan para penghuninya yang dahulu sebagian besar hanyalah petani-petani miskin yang pakaian dan rumahnya butut, kini pakaian mereka jauh lebih baik, karena penghasilan mereka baik. Perdaganganpun mulai ramai dan semua orang memuji ketua Hek-houw-pang yang kini dipanggil Lai-pangcu (Ketua Lai). Bahkan Lai Kun diangkat sebagai ketua atau kepala dusun Ta-bun-cung oleh penduduk.
Pada suatu senja, Lai-pangcu bersama isterinya, seorang wanita penghuni dusun itu juga yang berwajah cantik, duduk minum-minum sambil menikmati makan kecil di serambi depan. Dua orang putera mereka sehat-sehat dan sebagai putera ketua Hek-houw-pang, tentu saja dua orang anak laki-laki itu dilatih ilmu silat. Akan tetapi karena ayah mereka menghendaki agar kelak mereka dapat menduduki pangkat, keduanya juga diharuskan mempelajari ilmu baca tulis secara mendalam. Untuk itu, Lai-pangcu sengaja mendatangkan seorang sasterawan dari kota untuk mengajar kedua orang puteranya.
Hari mulai gelap dan seorang pelayan menyalakan lampu-lampu di rumah, juga lampu tembok yang berada di serambi depan, di mana keluarga itu sedang minum teh. Pelayan itu tidak berani berlama di situ, setelah menyalakan lampu segera ia masuk kembali karena tidak ingin mengganggu majikannya sekeluarga yang sedang santai.
Isteri Lai Kun seorang wanita yang lembut dan kedua puteranya juga merupakan anak-anak yang pandai dan patuh. Lai Kun merasa berbahagia sekali. Dia kini telah berusia limapuluh empat, tubuhnya yang dahulu kurus itu kini telah berubah gemuk, sehingga hidungnya yang dulu nampak besar karena mukanya kurus, sekarang kelihatan serasi.
"Ayah, ada tamu...!" seorang puteranya menuding ke pintu pagar.
Lai Kun dan isterinya memandang dan benar saja, di dalam cuaca yang remang-remang itu nampak seorang wanita yang bertubuh ramping memasuki pekarangan lewat pintu pagar dan kini melangkah dengan tenang menghampiri serambi di mana mereka duduk. Lai Kun cepat bangkit, diikuti isterinya...