"Lai-suheng (Kakak seperguruan Lai)..." wanita itu berkata lembut, berdiri di bawah serambi.
Kalau saja cuaca tidak remang-remang, tentu akan nampak betapa wajah Lai Kun seketika menjadi pucat sekali. Tentu saja dia segera mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Coa Liu Hwa. Isteri mendiang suhengnya, Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang dan yang membuat dia gelisah adalah karena mengingat bahwa wanita itu adalah ibu kandung Cin Cin. Segera ia mengambil keputusan nekat. Sekali melompat, dia telah berada di pekarangan, di depan wanita itu.
"Siapa kau! Aku tidak mempunyai sumoi sepertimu!" katanya galak.
"Suheng, benarkah engkau tidak mengenal aku?" Tanya wanita itu mendekat.
"Ah, engkau tentu penjahat yang mengaku-aku saudara. enyahlah dari sini!" teriak Lai Kun dan dia sudah menerjang dengan pukulan ke arah leher Coa Liu Hwa! Pukulannya keras karena ketua Hek-houw-pang ini ingin sekali pukul merobohkan orang yang dianggapnya berbahaya itu.
"Ihh...!" Coa Liu Hwa menggeser kakinya dengan tenang, tangan kirinya menangkis.
"Dukk!" tangan Lai Kun terpental, membuat ketua Hek-houw-pang ini terkejut bukan main. Akan tetapi ia mengirim pukulan lagi bertubi-tubi. Agaknya dia berusaha keras untuk merobohkan lawan dengan serangkaian pukulan. Dia ingat benar bahwa sumoinya atau puteri gurunya ini dahulu kalah jauh dalam hal ilmu silat, apalagi tenaga darinya. Maka dia merasa yakin bahwa serangkaian pukulan yang dilakukan ini pasti akan merobohkan Coa Liu Hwa, karena dia menggunakan jurus dari ilmu silat Hek-houw-pang yang paling diandalkan dan ampuh.
Akan tetapi, wanita itu dengan sigapnya menangkis dan mengelak, gerakannya ringan dan mantap, kemudian pada menjelang akhir rangkaian serangan itu, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu meluncur dan jari tangannya menotok pada pundaknya. Lai Kun hanya merasa tubuhnya kesemutan dan tidak mampu bergerak lagi. Dia telah ditotok secara luar biasa oleh sumoinya yang dahulu kalah jauh olehnya itu!
Coa Liu Hwa tersenyum dan dengan sikap ramah ia lalu menepuk-nepuk pundak Lai kun. "Lai-suheng, pandanglah baik-baik siapa aku? Mustahil engkau sudah lupa padaku?"
Begitu pundaknya ditepuk-tepuk Lai Kun dapat bergerak lagi! Dia terbelalak dan maklum bahwa sumoinya tidak berniat buruk terhadap dirinya, bahkan tidak ingin membikin malu. Pada saat itu, isterinya sudah menghampiri dan menegur suaminya.
"Kenapa engkau marah-marah dan menyambut tamu dengan serangan? Biarkan ia bicara dan memperkenalkan diri, menceritakan apa keperluannya mengunjungi kita."
Liu Hwa memandang kepada wanita itu, lalu kepada dua orang anak laki-laki yang masih duduk di kursi. "Aih, bukankah engkau ini Ci Nio, puteri kusir Ci Hoat? Ci Nio, tidak ingat lagikah engkau padaku?"
Isteri Lai Kun yang bernama Ci Nio itu mengamati, kemudian dengan kaget dan gembira dia berseru. "Bukankah engkau bibi Coa Liu Hwa?" Kepada suaminya ia berteriak. "Ini bibi Coa Liu Hwa, ibu Cin Cin!"
Tentu saja Lai Kun sudah tahu. Karena dia mengenal Liu Hwa, maka dia tadi menyerangnya. Dia teringat akan perbuatannya terhadap puteri wanita ini. Dia telah menjual Cin Cin kepada rumah pelesir, dan karena takut dan mengira kedatangan bekas sumoinya ini tentu akan menuntut, maka dia tadi mendahului dengan serangkaian serangan. Kini, melihat betapa sumoinya telah menjadi orang yang lihai, diapun pura-pura baru mengenalnya.
"Aih, kiranya Coa-sumoi...!" teriaknya, matanya memancarkan keheranan. "Silakan, sumoi, silakan duduk..." Lai-pangcu tampak gugup.
Liu Hwa tersenyum. "Nanti dulu, aku tidak sendirian!" katanya dan ia menoleh, lalu mengangkat lengan kiri ke atas memberi isyarat. Tak lama kemudian, dari luar pagar muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Laki-laki itu berusia enampuluh tahun, namun masih nampak gagah, bertubuh tinggi besar dan tegap, mukanya dihias cambang bauk yang rapi.
"Lai-suheng, ini adalah... suamiku, namanya Lie Koan Tek!" Liu Hwa memperkenalkan, lalu kepada suaminya ia berkata, "Ini adalah su-heng Lai Kun yang sekarang menjadi pang-cu baru dari Hek-houw-pang. Dan mereka adalah... anak dan isterimu bukan, suheng?"
Lai Kun mengangguk-angguk dan cepat dia dan isterinya membalas penghormatan suami Liu Hwa. "Saudara... Lie Koan Tek... aku seperti... pernah mendengar nama itu..." kata Lai Kun yang masih gugup dan tegang hatinya.
Liu Hwa tersenyum mengangguk, "Suamiku adalah Lie Koan Tek yang kau maksudkan itu, suheng, tokoh Siau-lim-pai yang terkenal..."
"Ah, maaf, maaf! Kami bersikap kurang hormat..." kata Lai Kun, gentar bukan main. Kini tahulah dia mengapa tadi dia kalah oleh sumoinya yang dahulu dia yakin tidak akan mampu menandinginya. Kiranya sumoinya telah menjadi isteri pendekar yang terkenal itu!
"Harap jangan sungkan, Lai pangcu," kata Lie Koan Tek.
"Mari, silakan duduk. Aku harus memberi tahu kepada semua anggota Hek-houw-pang. Kedatanganmu harus disambut meriah, sumoi."
"Jangan, suheng! Aku datang bukan untuk itu, melainkan ada keperluan pribadi," kata Liu Hwa dan ia bersama suaminya lalu mengambil tempat duduk. "Aku memang sengaja datang di malam hari begini agar tidak perlu kalian ramai-ramai menyambut dan setelah mendapat keterangan yang kuperlukan darimu, aku akan segera pergi dari sini..."
"Keperluan pribadi apakah, sumoi? Katakanlah, tentu kami akan membantumu sekuat tenaga." Dalam hatinya tentu saja Lai Kun sudah dapat menduga apa yang akan ditanyakan wanita itu, akan tetapi dia pura-pura bertanya dan diam-diam dia bersiap mengatur jawaban.
"Aku hanya ingin bertanya padamu tentang anakku Cin Cin. Bukankah Lai-suheng yang dulu mengantarnya untuk berguru kepada toa-ko (Kakak) Si Han Beng, Naga Sakti Sungai Kuning di dusun Hong-Cun?"
Kalau saja Lai Kun belum siap dan belum memperhitungkan bahwa tamunya tentu akan bertanya demikian, mungkin dia akan terkejut dan bingung karena akan merasa ditodong dengan pertanyaan itu. Akan tetapi dia bersikap tenang. Tidak ada orang tahu tentang peristiwa antara dia dan Cin Cin itu, dan ketika dia pulang dahulu, dia sudah menceritakan kepada semua orang tentang Cin Cin. Kini dengan sikap tenang dia menghela napas panjang.
"Sudah sejak dahulu aku mengkhawatirkan bahwa pada suatu hari, engkau akan bertanya seperti ini kepadaku, sumoi, dan aku terpaksa harus menjawab dan memberitahukan berita yang tidak menyenangkan kepadamu."
"Lai-suheng, apa yang terjadi? Ceritakanlah!" desak Liu Hwa, wajahnya berubah dan hatinya merasa tidak enak.
"Seperti sudah berulang kali kuceritakan pada semua anggota Hek-houw-pang, aku mentaati pesan mendiang suhu Coa Song untuk mengantar Cin Cin ke Hong-cun. Perjalanan kami tadinya lancar walaupun di sepanjang perjalanan Cin Cin rewel tidak mau diajak ke Hong-cun, akan tetapi mendesak aku agar mencarimu, sumoi. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana, maka aku membujuknya mengatakan bahwa kami akan mencarimu. Tentu saja aku terus menuju ke Hong-cun. Akan tetapi, di dalam perjalanan itu, kami dihadang gerombolan perampok. Aku melakukan perlawanan mati-matian dan akhirnya berhasil merobohkan beberapa orang perampok dan lainnya melarikan diri. Akan tetapi Cin Cin yang tadinya menonton di bawah pohon, tahu-tahu telah lenyap. Tentu ia melarikan diri karena memang tidak mau kuajak ke Hong-cun dan sempatan itu agaknya ia pergunakan untuk melarikan diri. Aku mencarinya sampai berbulan-bulan, namun sayang, aku tidak dapat menemukan jejaknya. Terpaksa, dengan hati sedih aku kembali ke sini dan menceritakan hal itu kepada para anggota Hek-houw-pang."
Sejak tadi Liu Hwa tidak pernah mengganggu cerita Lai Kun, hanya mendengarkan saja dengan hati yang sedih. Selama ini, sejak menjadi isteri Lie Koan Tek dan hidup berbahagia dengan suaminya yang amat menyayanginya, ia menghibur hatinya dengan anggapan bahwa tentu puterinya, Kam Cin, telah menjadi murid Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan menjadi seorang gadis yang pandai. Siapa kira, mendengar cerita Lai Kun, semua angan-angannya itu membuyar, diganti kedukaan dan kekhawatiran.
"Cin Cin anakku..." Liu Hwa mengeluh, akan tetapi ia mengeraskan hatimya dan tidak menangis, apa lagi ketika merasa betapa tangannya di pegang suaminya.
"Sumoi, maafkan aku telah gagal mengantar Cin Cin ke Hong-cun..." kata Lai Kun, nada suaranya menyesal.
"Bukan salahmu, suheng. Akan tetapi, katakan siapa perampok itu, atau siapa pemimpinnya."
"Aku tidak tahu, mereka tidak memperkenalkan nama, sumoi."
"Hemm, kalau begitu, dimana terjadinya?"
Menghadapi pertanyaan tiba-tiba ini, Lai Kun agak terkejut dan dengan suara ragu dia menjawab. "Di... kota... eh, Lok-yang... ya di Lok-yang." Hampir saja dalam kegugupannya dia menyebut kota Ji-goan, di mana Cin Cin dia jual ke rumah pelesir! Untung dia teringat dan masih sempat menyebut Lok-yang, kota besar di seberang sungai Kuning sebelah selatan.
Liu Hwa bangkit berdiri dan berkata kepada suaminya. "Mari kita pergi," dan kepada Lai Kun ia berkata, "Lai-suheng, kami akan pergi. Terima kasih atas keteranganmu. Mudah-mudahan engkau akan baik-baik menjaga Hek-houw-pang, jangan sampai ada anak buah yang melakukan penyelewengan. Aku sudah mendengar semua tentang Hek-houw-pang yang menerima anugerah dari kaisar, dan aku berterima kasih kepadamu atas pimpinanmu yang baik."
"Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah? Apakah engkau dan suamimu tidak tinggal saja di sini dan membantu Hek-houw-pang?" kata Lai Kun.
"Terima kasih, suheng. Aku tidak mungkin tinggal di sini, aku harus ikut suamiku. Nah, selamat tinggal." Liu Hwa dan suaminya memberi hormat yang dibalas oleh Lai Kun dan isterinya, kemudian mereka berdua melangkah keluar dan menghilang di kegelapan malam.
Sampai lama Lai Kun berdiri tertegun, memandang ke dalam kegelapan, ke arah mereka pergi dan pikirannya melamun jauh. Timbul penyesalan besar dalam hatinya kalau ia teringat akan perbuatannya menjual Cin Cin kepada rumah pelesir dahulu. Kenapa tadi dia menyebut Lok-yang? Lok-yang dekat dengan Ji-goan, dan bagaimana kalau Liu Hwa melakukan penyelidikan ke sana dan bertemu Cin Cin? Lai Kun menyesal bukan main. Pada dasarnya dia bukan orang jahat. Kalau dulu dia menjual Cin Cin adalah karena Cin Cin rewel dan membuat perjalanan itu melelahkan. Juga dia teringat pada Sui Su. pelacur yang mampu menghiburnya ketika hatinya sedang risau. Dia bukan berniat jahat terhadap Cin Cin, melainkan dia ingin terbebas dari keadaan yang menjengkelkan hatinya.
Nafsu daya rendah adalah setan yang selalu mempengaruhi hati akal pikiran kita. Nafsu daya rendah yang diikut-sertakan kepada kita ketika kita dilahirkan sebagai manusia, pada hakekatnya diberikan sebagai anugerah, agar dapat membantu kita dalam kehidupan kita sebagai manusia di dunia. Akan tetapi, daya rendah berusaha sekuatnya untuk menguasai kita, menjadi nafsu yang mencengkeram dan memutar balikkan keadaan sehingga bukan lagi kita menjadi majikan dan daya rendah menjadi hamba atau alat, sebaliknya kita yang menjadi budak, diperalat oleh nafsu.
Setan ini memang licik bukan main sehingga akal pikiran kita dibikin buta. Kadang kesadaran dalam diri, hati nurani kita, memperingatkan kita akan suatu perbuatan yang tidak baik, tidak benar. Namun nafsu daya rendah yang memperoleh keuntungan dari perbuatan itu, yaitu untuk melampiaskan kehendak nafsu, dengan cerdiknya menjadi pokrol untuk membela perbuatan itu, untuk membenarkan perbuatan itu.
Bisikan-bisikan berupa alasan-alasan yang nampaknya tepat dan kuat dihembuskan nafsu ke dalam pertimbangan kita bahwa perbuatan itu benar atau tidak salah, atau kesalahan terpaksa dan sebagainya lagi. Tidak ada seorangpun manusia yang benar-benar TIDAK TAHU, bahwa perbuatannya jahat dan tidak benar, namun dia tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mencegah perbuatannya sendiri!
Demikian kuatnya nafsu mencengkeram kita. Setiap pencuri pasti tahu bahwa mencuri itu tidak baik. Setiap pembunuh pasti tahu bahwa membunuh itu berdosa besar, dan masih banyak macam kejahatan di dunia ini yang dilakukan orang, dan semua orang yang melakukannya pasti tahu bahwa perbuatannya itu tidak baik, tidak benar atau berdosa, namun tetap saja dilakukannya! Kenapa demikian?
Karena nafsu telah mencengkeram seluruh dirinya, hati akal pikirannya, sehingga suara hati nurani menjadi lemah, tenggelam ke dalam suara setan yang membela dan membenarkan perbuatan itu dengan seribu satu macam alasan. Setiap orang pasti merasakan hal ini. Penyesalan selalu datang kalau akibat buruk datang menimpa. Dan setan membisikkan lagi cara-cara untuk menyelamatkan diri, dengan cara apapun juga!
Banyak di antara kita yang mendengar bisikan hati nuraninya sendiri dan menyesali perbuatannya, ingin menaklukkan nafsu-nafsunya. Namun selalu saja gagal. Mengapa demikian? Karena YANG INGIN menaklukkan nafsu itu bukan lain adalah NAFSU ITU SENDIRI! Yang ingin bertobat karena perbuatan dosa adalah si pembuat dosa itu sendiri, dengan dasar bahwa perbuatannya itu mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan dia ingin terbebas dari malapetaka itu.
Perbuatan dosa itu dilakukan karena dorongan nafsu ingin senang, dan penyesalan, lalu keinginan bertobat itupun didorong nafsu yang ingin senang karena terhindar dari akibat yang tidak menyenangkan.! Lingkaran setan ini terjadi setiap hari dan setiap saat dalam diri kita. Maka, terjadilah pengulangan. Hari ini berbuat salah, besok menyesal dan bertobat. Besok lalu berbuat salah lagi, bertobat dan menyesal lagi.
Demikian seterusnya karena lingkaran setan itu berputar terus. Nafsu tidak mungkin dimatikan, tidak mungkin dibuang dari diri kita, karena kalau hal itu dilakukan, kita akan mati, atau kita tidak akan menjadi manusia lagi. Nafsu daya rendah mutlak perlu bagi kehidupan kita, seperti api pada motor, seperti kuda pada kereta. Segala kemajuan hidup duniawi adalah karena jasa nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran. Namun, segala macam kejahatan yang kita lakukan pun akibat dorongan nafsu daya rendah.
Lalu kalau begitu bagaimana? Nafsu penting bagi kehidupan kita, akan tetapi nafsu juga menyeret kita ke dalam perbuatan dosa! Hidup ini baru sesuai dengan kodratnya kalau nafsu menjadi alat kita, bukan kita menjadi alat nafsu. Nafsu harus kembali kepada tempat, kedudukan dan fungsinya yang semula, yaitu menjadi budak atau alat kita! Tapi bagaimana? Kalau usaha kita menundukkan nafsu juga merupakan usaha nafsu, lalu siapa ang akan dapat mengembalikan nafsu pada tempatnya semula? Hanya Yang Menciptakannya!
Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur itu, membebaskan kita dari cengkeraman nafsu. Dan kekuasaan Tuhan bekerja kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, menyerah dengan penuh keikhlasan, ketawakalan, kesabaran. Tuhan Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Tuhan mengetahui apa yang yang terbaik untuk kita. Tuhan mengetahui apa yang berada di dalam lubuk hati kita. Kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja mutlak! Dan tidak ada hal yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tuhan.
Menyerah! Kata yang sederhana, mudah diucapkan dan mudah dimengerti. Namun, tidaklah begitu mudah untuk dilaksanakan. Kalau penyerahan itu masih merupakan penyerahan dari hati akal pikiran, maka di situ terkandung nafsu dan penyerahan seperti itu sudah pasti berpamrih pula! Menyerah agar begini agar begitu, pendeknya agar mendapatkan keuntungan atau kesenangan, agar menghindarkan kerugian atau kesusahan.
Ini bukan penyerahan namanya, melainkan usaha nafsu untuk mendapatkan sesuatu, dan penyerahan hanya dijadikan alat atau cara saja. Dan kalau nafsu yang berusaha, maka pasti syaitan yang datang. Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan tanpa pamrih tertentu. Penyerahan berarti mati di depan Tuhan, dan kekuasaan Tuhan yang membangkitkan kita kembali.
Sebagai manusia lain, bukan pula budak syaitan nafsu, melainkan hamba Tuhan! Kalau sudah begini, maka tidak ada masalah lagi, karena apapun yang terjadi pada diri kita, sudah dikehendaki Tuhan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita, yang ada hanyalah puji syukur kepadaNya.
Penyesalan yang dirasakan Lai Kun hanya penyesalan karena kini dia merasakan akibat dari perbuatannya, yang menimbulkan perasaan takut. Penyesalan macam ini seperti orang yang memberi kompres dingin kepada luka untuk menghilangkan rasa nyeri akibat luka itu, tanpa dapat menyembuhkan luka itu sendiri.
Lai Kun tidak berani mengakui kesalahannya terhadap siapapun, terhadap isterinya tidak, apalagi terhadap Coa Liu Hwa ibu Cin Cin. Dia menyimpannya sebagai rahasia pribadinya, dan justru inilah yang membuat dia selalu merasa gelisah. Andaikata di depan Liu Hwa dia berani berterus terang mengakui kesalahannya, dengan siap menanggung segala akibat daripada perbuatannya, bertanggung jawab, maka tentu kegelisahannya tidak akan ada lagi.
Gadis yang cantik jelita itu berdiri di tepi sungai Kuning yang luas seperti anak lautan. Perutnya terasa lapar sekali dan ketika ia berdiri di tempat sunyi itu sambil termenung, agak kesal karena tidak nampak perumahan di situ, apalagi penjual makanan, ia melihat meluncurnya beberapa ekor ikan bersisik kuning dan merah di tepi sungai. Matanya segera bersinar-sinar, wajahnya gembira dan lidahnya yang merah terjulur ke luar menjilati bibirnya yang merah basah.
Ia mengilar melihat ikan-ikan itu, karena ia mengenal bahwa ikan itu semacam ikan emas yang amat lezat dagingnya. Perutnya sedang lapar, di situ tidak ada orang, tidak ada penjual makanan, akan tetapi ada ikan yang gemuk dan gurih dagingnya berenang lewat seperti mengejek dan menggodanya! Tidak ada pancing, tidak ada jala, tidak ada benda untuk menangkap ikan itu.
Cin Cin, gadis jelita itu, menengok ke kanan kiri dan belakang. Tidak nampak orang di situ. Sunyi dan jauh dari keramaian orang, juga di atas air itu tidak nampak perahu. Hanya nampak layar perahu-perahu yang jauh di sana, perahu para nelayan mencari ikan. Hari sudah menjelang senja, tak lama lagi hari akan menjadi gelap sehingga akan semakin sukar mencari makanan. Ia tidak mau melewati malam itu dengan perut tersiksa lapar. Dan iapun perlu membersihkan diri setelah hari itu melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan kulit tubuhnya penuh debu yang bercampur keringat mendatangkan rasa gerah dan lekat.
Setelah yakin di situ tidak ada orang lain, tanpa ragu lagi Cin Cin menanggalkan pakaiannya satu demi satu dan ditumpuknya pakaian itu di balik semak-semak. Iapun bertelanjang bulat, meloncat ke dalam air dengan luncuran seperti seekor ikan lumba-lumba! Tidak banyak air muncrat dan tidak menimbulkan banyak suara ketika tubuhnya menusuk dan masuk ke dalam air dengan kedua lengan dan kepala lebih dahulu.
Cin Cin memang memiliki keahlian renang bermain dalam air seperti seekor ikan. Mungkin seperti dialah ikan duyung yang terkenal dalam dongeng itu. Rambutnya tadi dilepas dari sanggul dan rambut itu terurai panjang, lebat dan lembut. Ia menyelam dan tak lama kemudian ia sudah berhasil menangkap dua ekor ikan sebesar lengannya sendiri, seekor bersisik kuning dan seekor bersisik kemerahan, keduanya dengan perut berwarna putih. Ikan-ikan yang gemuk berdaging tebal!
Dibawanya dua ekor ikan itu ke darat dan dibiarkan menggelepar di balik semak, lalu ia pun masuk lagi ke air dan mandi. Betapa sejuk dan segarnya air itu. Lenyap semua rasa lelah dan gerah. Terasa nyaman, bersih dan segar. Iapun menggosok-gosok kulit tubuhnya sambil duduk di atas batu yang menonjol keluar dari air, dan dengan sendirinya mulutnya bersenandung lirih.
Kalau tubuh terasa nyaman dan hati akal pikiran tidak dibebani persoalan, maka akan timbul perasaan bahagia yang membuat orang condong untuk bersenandung! Demikianlah agaknya yang mendorong orang untuk bersenandung di waktu mandi. Keseimbangan rasa nyaman tubuh dan rasa tenang batin ini mendatangkan keseimbangan yang membuat hidup di saat itu terasa nikmat.
Cin Cin sama sekali tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengamatinya dari balik batu besar. Mata seorang pria, seorang pemuda yang sebaya dengannya, seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tegap. Mula-mula ketika mendengar suara senandung, pemuda itu tertarik dan berindap menghampiri.
Setelah dia melihat apa yang bersenandung itu, seorang gadis bertelanjang bulat duduk di atas batu dan membersihkan tubuh dengan menggosok-gosoknya. Dengan rambut yang panjang terurai, sebagian menutupi dadanya menyembunyikan sepasang bukit dada dan warna rambut yang hitam membuat kulit tubuh itu nampak semakin putih mulus, wajah yang manis dan riang.
Pemuda itu terbelalak, kemudian mukanya menjadi kemerahan dan diapun terpesona. Bukan gairah nafsu yang terbayang dalam pandang matanya, melainkan keheranan dan ketakjuban, seperti seseorang melihat mahluk lain dari luar angkasa, seperti seorang melihat bidadari mandi di tepi sungai. Memang, gadis itu seperti mahluk aneh bagi pemuda itu karena selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang gadis dewasa berurai rambut dan bertelanjang bulat seperti itu!
Karena selama ini, biarpun usianya sudah duapuluh satu tahun, tidak pernah terlintas dalam benaknya hal-yang ada hubungannya dengan birahi, maka dia tidak melihat hal-hal yang menimbulkan rangsangan nafsu birahi, dan pandang matanya penuh dengan pesona dan keheranan, terpesona karena penglihatan itu amat indah baginya, juga amat mengherankan.
Saking heran dan terpesona, pemuda itu lupa diri untuk bersembunyi dengan hati-hati. Dia kini berdiri dan nampak dari dada ke atas di baik batu itu, tidak tahu bahwa yang diintainya adalah seorang gadis yang memiliki ketajaman dan kepekaan rasa dan pandangan yang lain daripada orang lain. Pandang mata yang penuh perhatian dan perasaan memiliki getaran yang kuat sekali, apa lagi bagi seorang sepeka Cin Cin perasaannya. Ia merasakan getaran itu yang membuatnya menengok dan... dua pasang mata bertemu pandang.
Sekilas saja karena kepala pemuda yang tadi nongol di balik batu lenyap lagi dan Cin Cin juga tidak memperlihatkan suatu sikap yang menunjukkan bahwa ia telah melihat adanya seorang pengintai. Ia menekan kemarahannya, dan dengan tenang gadis itu turun ke air, sekali lagi membiarkan kegerahan dan keletihan larut bersama debu di tubuh terbawa air, dan iapun berenang ke balik semak, mengenakan pakaiannya dan menggelung rambutnya sejadinya saja agar cepat.
Namun dari balik semak ia memperhatikan dan tahu bahwa si pengintai itu masih berada di balik batu besar. Awas, engkau, laki-laki kurang ajar, gumamnya dalam hati. Setelah semua pakaian bersih yang diambilnya dari buntalan dipakainya, juga sepatunya, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat dan seperti seekor burung garuda tubuhnya melayang ke balik batu besar.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda yang tadi mengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis yang tadi disangka bidadari atau ikan duyung atau mahluk dari dunia lain, dapat meloncat seperti terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depannya dalam pakaian lengkap walaupun agak acak-acakan karena terburu-buru dan rambutnya yang digelung sederhana itu masih meneteskan air. Wajah yang masih agak basah itu segar kemerahan, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mencorong penuh kemarahan.
"Laki-laki kurang ajar! Berani engkau mengintai orang mandi, ya? Apakah nyawamu rangkap? Ah engkau sudah bosan hidup?"
Aduh manisnya, aduh galaknya! Demikian keluh pemuda itu, tidak kelihatan takut melainkan malu-malu dan mukanya juga menjadi kemerahan. Dia mengangkat ke dua tangan ke depan dada memberi hormat, matanya yang tajam bersinar itu menatap wajah Cin Cin dengan lembut dan penuh penyesalan.
"Harap nona suka memaafkan saya. Saya kebetulan lewat dan mendengar suara senandung tadi membuat saya tertarik dan ingin melihat siapa yang bersenandung, tidak menyangka sama sekali bahwa ada seorang gadis sedang mandi di sana. Sekali lagi, maafkan kelancangan saya, nona."
Sikap pemuda itu lembut dan sopan, dan di dalam suaranya terkandung penyesalan yang tidak dibuat-buat. Akan tetapi ia masih merasa penasaran. Laki-laki ini sudah melihat ia bertelanjang bulat. Tidak mungkin hal seperti itu dibiarkan saja hanya dengan maaf! Alangkah enaknya!
"Hem, kebetulan lewat dan kebetulan melihat. Mengapa engkau tadi memandang dengan melotot?" tanyanya dengan suara bengis.
Pemuda itu menjadi semakin gugup dan wajahnya semakin merah. "Aku... saya... eh... Aku tadi... terkejut dan heran, terpesona karena mengira ada..."
"Ada apa? Aku bukan setan, bukan iblis, bukan siluman? Hayo katakan, kaukira ada apa?" kembali Cin Cin membentak.
"...tadinya kukira nona... ehh, seorang bidadari dari kahyangan..."
Cin Cin terbelalak, mengira pemuda itu berolok-olok, akan tetapi melihat pandang mata yang jujur itu nampaknya sungguh sungguh dan entah mengapa tiba-tiba saja hatinya merasa senang sekali. Entah senang karena wajah yang tampan dan simpatik itu, entah karena sinar mata yang tajam bersinar itu, ataukah karena pujian itu. Pujian tidak langsung. Ia disangka bidadari kahyangan!
Hati siapa tidak akan terasa ayem tenteram, gembira bangga, menggembung seperti katak terkejut, kalau disangka bidadari? Bidadari adalah mahluk wanita yang cantik jelita, sakti dan bijaksana Akan tetapi kegembiraan itu hanya menyelinap di hati Cin Cin dan hanya mencuat keluar melalui sinar matanya saja. Mulutnya masih dicemberutkan.
"Hemm, enak saja engkau mengintai orang mandi, lalu minta maaf begitu saja. Engkau yang enak, aku yang muak. Lain kali engkau akan memukul orang, menghina orang, atau membunuh orang lalu minta maaf dan sudah, ya? Enaknya!"
Aduh galak benar, pikir pemuda itu. Dia menahan senyumnya karena maklum bahwa senyum geli hatinya akan dapat disalah-tafsirkan pula, disangka senyum mentertawakan. Bisa lebih runyam lagi. Kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Maaf..."
"Sudahlah, jangan berulang kali memberi hormat merangkap kedua tangan di depan dada lalu membungkuk-bungkuk. Memangnya sekarang ini hari sincia (tahun baru) untuk saling memberi selamat! Memangnya aku ini sedang merayakan sesuatu, maka engkau terus-terusan memberi salam? Katakan saja apa maumu, jangan banyak maaf segala. Sebelum kau minta, maafku kepadamu sudah habis!"
Pemuda itu terbelalak, namun hatinya tertarik sekali. Selama hidupnya dia tidak banyak bergaul dengan gadis-gadis cantik, dan biarpun ada gadis cantik yang juga galak, akan tetapi agaknya tidak segalak dan sebengal yang satu ini.
"Baiklah, aku tidak lagi minta maaf. Akan tetapi, aku sudah merasa bersalah dan apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya, sikap dan nada suaranya merendah.
"Engkau harus dihukum!" Suaranya begitu mantap seperti seorang hakim mengetukkan palu pada keputusan sidang pengadilan menjatuhkan hukuman pada pesakitan.
"Baik, aku sudah bersalah dan aku siap menerima hukumannya," kata pemuda itu dan sikapnya yang tenang mulai menarik hati dan mengejutkan Cin Cin.
"Orang bilang, hutang uang membayar uang, utang budi membayar budi. Itu baru adil namanya. Engkau tadi melihat aku mandi, sekarang hukumannya harus kau tebus dengan keadaan yang sama. Engkau mandi dan aku yang melihatnya!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali Cin Cin sudah menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan mendorongnya ke sungai. Pemuda itu terkejut, agaknya tidak melawan dan tubuhnya terlempar ke air.
"Byuuur...!" Air muncrat tinggi ketika pemuda itu terbanting ke air dengan pinggul terlebih dahulu. Cin Cin tertawa terkekeh-kekeh melihat pemuda itu gelagapan, tenggelam lalu muncul dan menyemburkan air dari mulutnya. Ia kini nampak seperti seorang anak kecil menerima mainan baru, demikian gembira dan wajahnya berseri-seri segar.
"Nah, rasakan kamu! Mandilah sepuasnya sampai bersih!" katanya dan sekali berkelebat Cin Cin sudah lenyap dari tepi sungai itu.
Tinggal pemuda itu yang berenang ke tepi bersungut-sungut. "Sialan!" katanya kepada diri sendiri sambil memandang ke bekas tempat gadis itu tadi berdiri, lalu diapun berenang ke batu yang tadi diduduki Cin Cin, naik dan duduk di situ. Pakaian dan rambutnya basah kuyup. "Sial hari ini bertemu dengan... bidadari cantik manis akan tetapi galaknya seperti setan!"
Dia melepaskan tekukan rambutnya dan memeras air dari rambutnya, akan tetapi air itu malah menyiram ke bajunya. "Huh, kepalang basah!" katanya lagi dan diapun memandang ke kanan kiri. Sunyi, ia menanggalkan pakaiannya yang basah, juga sepatunya, memeras baju dan celana, menuangkan air keluar sepatunya dan merentangkan baju, celana dan sepatunya di atas batu. Dengan bertelanjang bulat diapun kini mandi sekalian sambil menanti pakaian dan sepatunya tertiup angin dan agak kering.
Dan dia menemukan kenyataan betapa segarnya mandi di situ. Gadis itu benar! Memang menyenangkan sekali air di situ. Dasarnya berbatu dan berpasir, dan airnya cukup jernih. Tempatnya sunyi sepi. Setelah merasa agak dingin, dia berenang kembali ke batu tadi, baik ke atas batu dan meraih pakaian hendak dipakainya sambil berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Tiba-tiba matanya melihat sebuah buntalan di dekat semak-semak, dan setumpuk pakaian. Gadis itu! Benar saja, terdengar suara cekikikan tawanya dan tiba-tiba gadis itu muncul di balik semak-semak.
Memang tadi Cin Cin sudah pergi, akan tetapi ia teringat bahwa buntalan dan pakaiannya yang kotor masih berada di balik semak-semak, maka ia kembali ke situ untuk mengambilnya. Kebetulan ketika ia datang melihat pemuda yang tadi dilemparkannya ke sungai kini berdiri bertelanjang bulat di atas batu yang tadi, sehingga ia melihat semuanya. Ia terbelalak, terkejut, terheran, akan tetapi juga geli maka tertawalah ia.
"Heiii, engkau...??" Pemuda itu melepaskan bajunya dan menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya, mukanya menjadi panas karena malu. "Jangan melihat aku!"
Gadis itu masih tertawa cekikikan, lalu mengambil buntalan dan pakaiannya, memandang lagi kepada pemuda itu sambil tersenyum nakal. "Siapa yang melihatmu? Aku datang kembali untuk mengambil pakaianku yang tertinggal, bukan untuk mengintaimu. Akan tetapi kebetulan begini, ini namanya adil, hutangmu lunas sudah! Hi-hi-hik, engkau... jelek amat, seperti... monyet... hi-hik!" Dan Cin Cin meloncat pergi bersama pakaiannya.
Pemuda itu menghela napas panjang. Ketika tadi dia tergesa-gesa menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusar, dia melepaskan baju yang dipegangnya dan baju itu terjatuh ke air dan hanyut. Entah di mana sekarang. Terpaksa dia hanya mengenakan celana dan sepatunya saja, lalu pergi dari situ tanpa memakai baju, mengomel panjang pendek.
"Huh, ia bilang adil. Padahal aku mengatakan ia seperti bidadari dan ia sebaliknya menyebut aku seperti monyet! Sialan!"
Melihat sebuah rumah kecil sederhana di tepi dusun dan seorang wanita setengah tua di depan rumah, di atas bangku bambu, Cin Cin segera menghampiri dan dengan sikap ramah dan sopan ia bertanya. "Bibi, aku seorang pejalan yang kemalaman di sini. Apakah engkau dapat menunjukkan tempat di mana aku boleh menumpang untuk malam ini? Aku bersedia membayar uang sewanya semalam."
Wanita itu berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi nampaknya sudah lebih tua, agak bongkok dan jelas ia miskin. "Nona mau membayar sewa? Aih, nona, aku akan senang sekali engkau menumpang di sini dan memberi sekedar uang kepadaku... aku amat membutuhkan itu..."
Cin Cin mengerutkan alisnya. Rumah itu hanya gubuk kecil dan sederhana, tentu bukan merupakan tempat yang enak untuk bermalam. Akan tetapi, kalau wanita itu membutuhkan uang. "Bibi, dengan siapa engkau tinggal disini?"
Wajah itu nampak sedih sekali. Di bawah sinar lampu gantung kecil, wajah itu nampak penuh kerut merut. "Aku seorang janda, nona. Anakku hanya seorang, laki-laki, akan tetapi put-hauw (durhaka), sudah lima tahun pergi ke kota mencari pekerjaan, sampai sekarang tidak pernah pulang, tidak pernah memberi kabar. Aih, dasar nasibku yang amat buruk..."
Wajah Cin Cin berseri. "Engkau hanya tinggal seorang diri di sini? Kalau begitu, aku suka bermalam di sini. Jangan khawatir, aku akan memberi uang sewa yang cukup banyak, bibi..."
Wanita itu menjadi gembira. "Aih, terima kasih, nona. Silakan masuk. Biarpun jelek, rumah ini kujaga bersih dan tempat tidur anakku juga selalu kubersihkan walau tidak pernah dipakai. Siapa tahu sekali waktu, pada saat yang baik, dia pulang!"
Cin Cin dan wanita itu memasuki rumah gubuk dan benar seperti yang dikatakan nenek itu. Biarpun kecil, dan jelek, akan tetapi dalam rumah itu rapi dan bersih. Sebuah rumah dengan perabot murahan namun terawat dan bersih, jauh lebih menyenangkan daripada perabot rumah mewah dalam gedung besar yang tidak terawat dan kotor. Begitu memasuki rumah, Cin Cin merasa senang.
Gubuk itu memiliki dua buah kamar yang kecil dan ia memperoleh kamar putera wanita itu, kamar kecil namun terawat dan bersih pula. Alas tempat tidur sudah ada tambalannya, akan tetapi bersih sekali. Legalah hatinya dan dalam hati ia berjanji besok pagi akan memberi uang yang lebih banyak daripada uang sewa kamar hotel besar kepada wanita itu.
"Nah, di sinilah kamarmu, nona. Kalau mau tinggal di sini berapa lamapun aku akan merasa senang sekali, selain mendapatkan uang sekedarnya juga mendapatkan teman dalam hidupku yang kesepian ini. Silakan beristirahat, nona, aku akan membuatkan minuman teh dan... eh, makanan malam sekedarnya..."
Melihat keraguan itu, Cin Cin segera mengeluarkan sepotong perak dan memberikannya kepada wanita itu. "Bibi, ini untuk berbelanja membeli hidangan makan malam, eh, kalau ada... aku ingin sekali makan daging ikan emas kuning dan merah." Katanya, teringat akan dua ekor ikan yang ditangkapnya dan yang tertinggal di tepi sungai karena perjumpaannya dengan pemuda pengintai itu.
Dan ketika wanita itu pergi sambil membungkuk-bungkuk senang menerima uangnya. Cin Cin tak dapat menahan kekeh gelinya membayangkan kembali pemuda yang berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Akan tetapi tak lama kemudian, kekehnya terpecahkan oleh pikirannya. Aneh, bayangan pemuda itu selalu terbayang dan ia tidak mampu menggusirnya, terutama sekali pandang matanya yang begitu tajam.
Setelah makan hidangan nasi dan masak ikan yang disuguhkan nyonya rumah, Cin Cin secara iseng bertanya, "Bibi, apakah engkau mengenal seorang pangeran yang tinggal di sekitar lembah Huang-ho?"
Wanita itu membelalakkan mata dan tersenyum geli sehingga nampak mulutnya yang ompong, "Walah, engkau aneh sekali, nona! Aku ini hanya seorang perempuan dusun yang bodoh dan miskin, bagaimana mungkin mengenal seorang pangeran? Wah, melihatpun belum pernah. Apakah nona mengenal seorang pangeran? Pangeran sungguhan? Hebat sekali! Siapa namanya, nona?"
Cin Cin memang tidak mengharapkan mendapat keterangan dari wanita itu. Ia tadipun bertanya secara iseng saja. Siapa tahu wanita itu demikian gembira mendengar pertanyaan tentang pangeran. Sambil lalu iapun menjawab tanpa mengharapkan apa-apa. "Namanya Pangeran Cian Bu Ong." Ia seperti menjawab kepada diri sendiri agar tidak melupakan nama yang dipesan oleh gurunya itu. Ia melanjutkan keterangan yang ia dengar dari gurunya. seperti menghafal. "Orangnya gagah, tinggi besar, mukanya kemerahan, usianya enam puluh lebih..."
"Ehhh? Nanti dulu nona. Di sini tidak pernah ada pangeran, akan tetapi cung-cu (kepala dusun ) kami. Cian-wangwe (hartawan Cian) mirip yang kauceritakan itu. Tinggi besar, gagah, muka kemerahan dan usianya enampuluh tahun lebih."
Tentu saja Cin Cin menjadi tertarik dan ia mengamati wajah wanita itu penuh selidik. "Hartawan Cian? Dari mana dia datang? Apakah selama ini dia memang penduduk dusun ini?"
"Tidak, nona. Dia pendatang baru, kaya raya dan dermawan. Kami semua suka kepadanya dan menghormatinya, bahkan akupun sudah sering menerima bantuan darinya. Karena itu kami semua memilih dia menjadi kepala dusun. Dia she Cian dan namanya... hemm, kalau tidak salah Bu. Ya, Cian Bu... akan tetapi lebih terkenal dengan sebutan Cian-wangwe (hartawan Cian) atau Cian cungcu (Lurah-Cian)..."
"Cian Bu...??" Berdebar rasa jantung Cin Cin. Besar sekali kemungkinannya. Mengapa begitu kebetulan? Yang dicarinya pangeran Cian Bu Ong dan di sini ia mendengar tentang lurah Cian Bu yang keadaannya mirip pangeran yang dicari. "Bagaimana keadaan keluarganya?" Ia mencari tahu lebih lanjut karena timbul harapannya sekarang untuk menemukan musuh besar gurunya.
"Keluarganya amat baik, nona. Isterinya jauh lebih muda, sekitar empatpuluh lima tahun lebih sedikit, cantik jelita dan manis budi, pakaiannya selalu serba hitam. Mereka mempunyai dua orang anak yang telah dewasa, seorang pemuda dan adiknya, seorang gadis. Tampan dan cantik, juga baik budi."
"Engkau yakin benar lurah Cian Bu itu bukan bekas pangeran?" tanya Cin Cin seperti kepada diri sendiri. Tentang isteri dan anak-anak orang itu ia tidak tertarik.
"Bagaimana aku tahu, nona? Keluarga Cian itu pindah ke dusun ini sebagai keluarga hartawan, membangun rumah besar dan bersikap baik kepada kami semua, suka menolong orang, baik dengan barang ataupun dengan pengobatan. Mereka pandai mengobati orang sakit."
Keterangan ini semakin menarik hati Cin Cin. Besar kemungkinan keluarga itu ahli silat yang pandai mengobati, hal itu tidak aneh. Dan kalau orang she Cian itu memang ahli silat, maka dugaannya semakin kuat bahwa dia adalah bekas pengeran yang dicarinya. "Apakah mereka pandai ilmu silat?" ia bertanya lagi.
"Ilmu silat? Mana aku tahu, nona? Puteranya yang kami sebut Cian Kongcu (tuan muda Cian) dan Cian Siocia (Nona muda Cian) kelihatan sehat dan gagah, entah mereka bisa silat atau tidak, aku idak tahu."
Keterangan itu cukup bagi Cin Cin. "Di mana rumah mereka, bibi?"
"Mudah sekali dicari. Di ujung dusun sebelah barat ini, dan rumah mereka adalah satu-satunya gedung besar yang berada di dusun ini."
Cin Cin tidak bertanya lagi. Ia membantu wanita itu mencuci mangkok piring biarpun nyonya rumah mencegahnya, lalu ia membersihkan mulut dan memasuki kamar, merebahkan diri seperti orang hendak tidur. Nyonya rumah itu yang menyangka ia tentu lelah, membiarkannya tidur dan ia sendiripun memasuki kamarnya.
Tentu saja Cin Cin tidak tidur. Keterangan wanita itu tentang lurah Cian Bu amat menarik hatinya dan ia mengambil keputusan untuk menyelidik. Kalau lurah itu bukan Pangeran Cian Bu Ong pun tidak mengapa, akan tetapi kalau benar orang yang dicarinya, alangkah beruntungnya. Tak disangkanya akan demikian mudahnya mencari orang yang oleh gurunya hanya dikatakan tinggal di sekitar lembah Huang-ho. Padahal lembah itu panjang dan luasnya tak terukur lagi. Apalagi hanya setahun, biar lima tahunpun belun tentu ia akan mampu menemukan orangnya!
Wanita pemilik gubuk itu belum tidur ketika Cin Cin keluar dari kamarnya. Ketika ia bertanya, Cin Cin menjawab bahwa ia ingin berjalan-jalan sebentar. Wanita itupun tidak bertanya lagi dan Cin Cin keluar dari rumah kecil itu dan berjalan-jalan di jalan dusun yang lumayan baiknya. Agaknya dusun itu memang sebuah dusun yang maju, mungkin berkat bimbingan kepala dusunnya itu. Jalan-jalan di situ rata dan bersih, rumah-rumahnya walaupun rumah dusun, seperti rumah wanita yang ditumpanginya tadi, nampak bersih pula, dengan ruangan yang teratur. Memang.
sesungguhnyalah, semua mahluk itu membutuhkan bimbingan seorang pemimpin. Masyarakat tanpa pemimpin akan menjadi kacau balau, seperti juga segala kelompok binatang hutan pasti mempunyai pemimpinnya. Bukankan Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Kasih, juga sekaligus menjadi Pemimpin Agung seluruh ciptaannya?
Dusun itu cukup besar, dengan lampu penerangan sederhana di depan setiap rumah sehingga jalan itu tidak gelap benar. Di langit banyak bintang. Malam itu amat indah dengan hawa udara yang sejuk. Tanah di lembah Huang-ho memang terkenal subur dan pohon-pohonan, tanam-tanaman di dusun itu nampak subur pula.
Ada beberapa kedai minuman dan kedai penjual segala macam keperluan sehari-hari yang masih buka. Akan tetapi lalu lintas sudah sepi. Memang di dusun kurang sekali adanya hiburan malam, tontonan dan keramaian malam seperti di kota, maka penduduk dusun jarang yang bergadang di luar rumah.
Seperti yang diterangkan pemilik gubuk tadi, mudah saja mencari rumah lurah Cian tanpa bertanya-tanya. Setelah menyusuri jalan ke barat dan tiba di ujung dusun, nampaklah sebuah gedung. Kalau di kota, gedung itu termasuk sedang saja, akan tetapi di dusun itu nampak megah dan mewah. Tidak baik mengganggu kedamaian dusun ini, pikir Cin Cin. Bagaimana kalau lurah itu bukan pangeran yang dicarinya?
Melihat betapa penerangan di depan gedung itu masih terang, dan ada seorang gadis nampak duduk seorang diri di situ, Cin Cin mengambil keputusan untuk berkunjung secara baik-baik saja. Kalau kemudian ia bertemu muka dengan lurah Cian dan mendapat keterangan bahwa benar dia orang yang dicarinya, baru dia akan turun tangan membunuhnya seperti pesan gurunya. Kalau ternyata bukan pangeran yang dicarinya, kunjungannya tentu tidak akan mendatangkan keributan dan gangguan.
Ketika Cin Cin memasuki pekarangan yang juga menjadi taman bunga yang indah dan sunyi itu, gadis yang duduk melamun di atas kursi, di ruang depan, mengangkat muka dan segera bangkit berdiri ketika melihat ada orang memasuki pekarangan. Setelah berdiri, nampak oleh Cin Cin betapa gadis itu memiliki tubuh yang ramping padat, dan wajahnya manis sekali. Cara ia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menunjukkan bahwa gadis itu memiliki gerakan yang gesit dan bertenaga, mungkin bukan ahli silat lihai, akan tetapi setidaknya bukan seorang gadis yang lemah, pikir Cin Cin yang memandang penuh perhatian.
Gadis itu adalah Cian Kui Eng. Ia sedang duduk melamun, memikirkan ulah suhengnya yang tadinya ia anggap sebagai kakak kandungnya itu. Biarpun kini ia tahu bahwa kakaknya, Thian Ki, bukan kakak kandung, bahkan bukan kakak tiri, dan lebih tepat disebut suheng (kakak seperguruan), namun karena sejak kecil ia sudah menyebut koko (kakak), maka sampai sekarangpun ia masih menyebutnya koko. Sore tadi ulah kakaknya itu amat aneh. Dia pulang hanya memakai celana dan sepatu tanpa baju! Dengan bertelanjang dada Thian Ki pulang sambil menenteng dua ekor ikan emas kuning dan merah yang gemuk!
Tentu saja ia dan ibunya, atau lebih tepat lagi ibu tirinya yang menyambut kedatangan Thian Ki itu menjadi terheran-heran dan bertanya kenapa pemuda itu pulang bertelanjang dada dan membawa dua ekor ikan. Dan jawaban kakaknya membuat ia tetap merasa aneh sampai sekarang. Kakaknya menjawab, dengan muka menunduk dan tidak lancar bahwa kakaknya melihat dua ekor ikan itu, lalu membuka baju, terjun dan menangkap dua ekor ikan itu.
Akan tetapi ketika dia mengejar dua ekor ikan itu, bajunya terbawa angin, jatuh ke air sungai dan hanyut tanpa dia ketahui. Jawaban yang dianggapnya janggal karena selamanya belum pernah Thian Ki mengejar-ngejar ikan sampai terjun ke sungai! Dan cara kakaknya menjawab juga tidak lancar, seperti orang berbohong, padahal kakaknya tidak pernah membohong!
Ibunya bersikap tidak curiga bahkan tertawa geli, akan tetapi senang melihat dua ekor ikan yang gemuk itu, yang segera dibawa ibunya ke dapur. Dan tadi kakaknya menyusul ayahnya yang pergi ke dusun lain untuk mengadakan rapat mengenai para nelayan sungai dengan kepala-kepala dusun yang lain, dan sampai sekarang belum pulang. Ia menanti mereka di serambi depan sambil duduk melamun ketika muncul seorang gadis memasuki pekarangan rumahnya.
Kui Eng mengerutkan alisnya ketika melihat bahwa gadis cantik yang menghampirinya itu membawa pedang di punggungnya. Jelas gadis ini bukan gadis dusun, dan melihat pedang itu, tentu ia seorang wanita kang-ouw, pikirnya. Hal ini sesungguhnya tidak terlalu aneh baginya, mengingat bahwa ayahnya dan ibunya adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, seperti juga ia sendiri dan kakaknya. Akan tetapi mengapa tamu ini datang malam-malam?
"Selamat malam, apakah engkau ini yang disebut Cian Siocia?" tamu itu bertanya. Melihat sikap tamunya yang terbuka dan ramah, lenyap perasaan tidak senang dari hati Kui Eng. Gadis ini juga memiliki watak yang lincah jenaka dan terbuka, walaupun ia juga tabah, berani dan kadang galak.
"Benar, aku Cian Kui Eng. Enci siapa dan apa keperluanmu berkunjung ke rumah kami?"
Hemm, gadis ini tidak kampungan, pikir Cin Cin. Terbuka dan jujur, dan sama sekali tidak pemalu. Lebih pantas seorang gadis kangouw! Tebal dugaannya bahwa ia datang ke alamat tepat. Iapun menjawab sejujurnya. "Orang memanggil aku Cin Cin, dan aku datang ke sini untuk mencari ayahmu. Bukankah dia she Cian?"
"Tentu saja dia she Cian. Engkau tahu aku disebut Cian Siocia (nona muda Cian), siapa lagi she (nama keturunan) ayahku kalau bukan Cian. Mau apa sih engkau malam-malam begini datang mencari ayah?"
Hemm, ia mulai curiga dan mulai kasar, pikir Cin Cin, hatinya juga mulai panas. Kalau betul ayah gadis ini musuh besar gurunya, berarti gadis inipun boleh dianggap musuh!
"Kedatanganku ini ada urusan penting dengan ayahmu dan tidak dapat kukatakan kepada orang lain biar engkau ini puterinya sekalipun. Bukankah nama ayahmu Cian Bu...?"
"Benar, ayahku lurah di dusun ini!" jawab Kui Eng agak ketus karena sang tamu tidak mau memberitahukan keperluannya datang berkunjung.
"Dan dia dahulu seorang pangeran bernama Cian Bu Ong bukan?" tanya Cin Cin tiba-tiba dan dengan pandang mata menusuk penuh selidik.
Kembali Kui Eng mengerutkan alisnya. Ayah ibunya sudah berulang kali melarang ia bicara tentang ayahnya sebagai Pangeran Cian Bu Ong, karena hal itu berbahaya sekali, dapat membuat ayahnya ditangkap oleh pemerintah sebagai seorang buronan atau bekas pemberontak!
"Hai, Cin Cin, apa perlunya engkau bertanya-tanya tentang keadaan ayahku? Dia boleh jadi ini atau itu, apa hubungannya denganmu dan engkau mau apa? Ayahku adalah ayahku, lurah dusun ini dan engkau atau siapa saja tidak berhak untuk bertanya-tanya tentang urusan pribadinya! Mau apa engkau sebenarnya?" kini Kui Eng bertolak pinggang, matanya melotot.
"Nona Cian yang manis, kalau ayahmu itu benar Pangeran Cian Bu Ong, aku datang untuk membunuhnya!" kata Cin Cin, tidak kalah bengisnya.
"Heii! Enak saja engkau membuka mulutmu yang lancang! Apa kau kira setelah engkau membawa-bawa pedang, engkau dapat menakut-nakuti aku seperti anak kecil saja? Baik ayahku seorang lurah, pangeran atau raja sekalipun, engkau tidak patut mengancamnya seperti itu. Mungkin engkau seorang gila. Pergi dari sini atau aku akan menampar mulutmu biar rontok semua gigimu!"
Cin Cin adalah seorang wanita yang keras hati. Mendengar ucapan ini, tentu saja perutnya terasa panas. "Cian Kui Eng, sombong amat engkau. Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa!"
"Engkau yang sombong! Engkaupun tidak tahu nona mu ini orang macam apa! Habis kau mau apa?" bentak Kui Eng.
"Engkau juga mau apa kalau aku akan membunuh Pangeran Cian Bu Ong?"
"Kau mau membunuh pangeran atau raja bukan urusanku, akan tetapi kalau engkau menghina ayahku, engkau akan mampus di tanganku."
"Heh-heh, nona cilik, hendak kulihat bagaimana engkau akan membikin aku mampus!" tantang Cin Cin.
Kui Eng menggerakkan kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan Cin Cin. Kini kedua orang itu saling berhadapan dalam jarak dua meter, saling melotot dengan muka merah dan dari hidung mereka mengembus uap panas. "Pergi kau, kalau tidak, terpaksa aku akan memukulmu!"
"Jangan banyak mulut, pukullah kalau berani!" tantang Cin Cin.
"Sombong, lihat pukulanku!" Kui Eng memberi peringatan dan ia pun maju menyerang dengan tamparan tangan kiri. Tangan itu menyambar cepat dan kuat sekali ke arah muka Cin Cin.
Melihat betapa tamparan itu membawa angin pukulan yang dahsyat, maklumlah bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Cin Cin cepat menarik tubuh ke belakang sehingga tamparaan itu mengenai angin kosong. Akan tetapi kaki kanan Kui Eng sudah menyambar pula dengan tendangan maut ke arah perutnya!
"Hemm, ganas juga engkau!" seru Cin Cin dan iapun terpaksa meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari tendangan itu. Ia pun segera membalas, melangkah maju sambil mendorong kearah dada lawan. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki gerakan yang tidak kalah gesitnya, sehingga dorongannya itupun hanya mengenai angin kosong. Kembali Kui Eng sudah menyerang dari samping sebagai balasan, tangannya mencengkeram ke arah pundak kiri Cin Cin. Karena ingin menguji tenaga lawan, Cin Cin memutar lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkk!" Dua buah lengan yang kecil mungil berkulit halus, namun yang keduanya mengandung tenaga dalam yang amat kuat itu bertemu dan keduanya terpental ke belakang! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak, karena kini keduanya menyadari bahwa lawan benar-benar tangguh dan mereka memiliki tenaga sin-kang yang seimbang!
Kembali mereka saling hantam dan saling tendang bagaikan dua ekor singa betina mengamuk. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Cin Cin masih lebih menang setingkat. Biarpun keduanya digembleng oleh guru yang sakti, namun ketika kecilnya, Kui Eng yang merasa menjadi puteri pangeran, agak manja dan kadang malas berlatih. Berbeda dengan Cin Cin yang mengandung sakit hati karena kehancuran keluarganya, ia berlatih dengan tekun sekali untuk dapat membalas dendamnya.
Akan tetapi, menghadapi Kui Eng, Cin Cin tidak mau menghabiskan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Ia tidak ingin membunuh Kui Eng, karena belum mengetahui dengan pasti apakah ia berada di tempat musuh besar gurunya ataukah tidak. Ia belum yakin benar apakah ayah lawannya ini Pangeran Cian Bu Ong atau hanya seorang lurah kaya yang bernama Cian Bu saja. Sebaliknya, melihat orang mengancam ayahnya, Kui Eng menjadi marah sekali dan ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga keadaan mereka menjadi berimbang.
Biarpun demikian, karena memang kalah tingkat. setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Kui Eng terdesak mundur. Pada saat itu, dari dalam rumah bermunculan para pembantu rumah tangga dan mereka segera lari ke dalam untuk melapor kepada nyonya majikan mereka.
Sim Lan Ci berlari keluar sambil membawa pedangnya, yaitu pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pemburu Iblis)! Melihat puterinya terdesak oleh seorang gadis cantik lain yang memiliki serangan ganas dan kuat, ia terkejut. Kepandaian puterinya sudah hebat, dan jarang ada orang mampu menandinginya, akan tetapi kini ia melihat jelas betapa puteri tirinya itu terdesak oleh lawannya.
"Tahan dulu, hentikan perkelahian ini!" teriaknya sambil meloncat ke depan dan melihat puterinya terancam sebuah tamparan lawan, ia pun menangkis tamparan itu.
"Plak!" Keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan tergetar hebat. Mengertilah Sim Lan Ci mengapa puterinya terdesak. Gadis ini memang lihai sekali dan merupakan seorang lawan tangguh. Di lain pihak, melihat bayangan berkelebat dan seorang wanita setengah tua cantik jelita menangkis tamparannya membuat lengannya tergetar hebat.
Cin Cin juga meloncat kebelakang dan memandang penuh perhatian. Ia sudah mendengar keterangan dari pemilik rumah yang ditumpangi bahwa lurah Cian Bu memiliki seorang isteri cantik yang selalu berpakaian hitam. Iapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini isteri sang lurah dan ibu dari gadis ramping yang menjadi lawannya tadi.
Makin kuat dugaannya bahwa ia tidak tiba di alamat yang keliru. Pasti mereka ini keluarga Pangeran Cian Bu Ong karena gurunya memesan agar ia berhati-hati karena Pangeran Cian Bu Ong memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan ternyata keluarganya, isteri dan puterinya, juga amat lihai. Akan tetapi, melihat wajah wanita berpakaian serba hitam itu, ia tertegun. Ia merasa mengenal wanita ini!
Ya, ia mengenalnya dengan baik karena wanita ini dan suaminya dan puteranya menjadi tamu yang amat menarik perhatian dan yang disambut dengan meriah oleh seluruh keluarga Hek-houw-pang! Dengan melongo Cin Cin mengamati nyonya berpakaian hitam itu, mengingat-ingat. Tak salah lagi pikirnya. Wanita ini adalah bibinya sendiri, isteri dari pamannya yang bernama Coa Siang Lee, saudara sepupu ibunya sendiri yang bernama Coa Liu Hwa.
Dan ia ingat benar bahwa wanita ini bernama Sim Lan Ci, dan putera mereka bernama Coa Thian Ki. Akan tetapi... kenapa ia berada disini dan menjadi keluarga lurah Cian Bu atau mungkin Pangeran Cian Bu Ong? Di lain pihak, Sim Lan Ci juga mengingat-ingat karena merasa sudah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa di mana dan kapan. Hanya wajah gadis cantik itu adalah wajah yang tidak asing baginya.
"Nona, kenapa engkau menyerang puteriku? Kui Eng, kenapa engkau berkelahi dengan nona ini?" tanya Sim Lan Ci kepada mereka berdua.
"Ibu, Iblis betina ini datang menghina ayah! Ia hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng marah sekali.
Tentu saja Sim Lan Ci menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang wanita yang banyak pengalamannya di dunia kangouw, iapun dapat menduga bahwa tentu gadis ini mempunyai alasan yang kuat maka berani datang untuk membunuh suaminya! Dan alasan itu pasti ada hubungannya dengan pangeran Cian Bu Ong, karena selama menjadi lurah Cian Bu, suaminya tidak mempunyai musuh besar.
"Nona, kenapa nona hendak membunuh suamiku, lurah Cian Bu di dusun ini?" ia bertanya, sengaja menekankan kepada sebutan lurah.
"Lurah...?" kata Cin Cin meragu. "Nyonya, aku datang bukan hendak membunuh lurah Cian Bu atau siapapun, melainkan hendak bertanya apakah lurah Cian Bu itu Pangeran Cian Bu Ong. Kalau dia Pangeran Cian Bu Ong. aku akan membunuhnya dan siapapun juga tidak dapat menghalangiku!"
Sim Lan Ci memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi ia dapat menguasai guncangan dan debaran jantungnya dan bersikap tenang. "Nona, siapakah engkau sebenarnya?" Ia mengamati wajah itu. "Aku seperti pernah mengenalmu..."
"Aku juga. Bibi mirip benar dengan seorang wanita yang kukenal baik, sama wajah, pakaian dan suaranya, seperti Bibi Sim Lan Ci."
Wajah Sim Lan Ci berubah pucat. "Jadi kau... siapakah kau..."
"Ibu, namanya Cin Cin," kata Kui Eng cepat.
"Cin Cin...? Engkau puteri ketua Hek-hou-pang? Engkau... Kam Cin?"
"Benar! Aih, tidak kusangka dapat bertemu dengan bibi di sini. Akan tetapi aku menghadapi urusan genting, bibi. Tolonglah bibi beritahu sebenarnya siapa lurah Cian Bu itu. Benarkah dia Pangeran Cian Bu Ong?" tanya Cin Cin dan matanya mencorong, menatap tajam wajah wanita itu penuh selidik.
"Tapi kenapa...?" Ucapan Sim Lan Ci ini dipotong suara lain.
"Apakah yang terjadi di sini? Siapakah ia ini dan... ohhh...!" Pemuda itu terkejut ketika Cin Cin menoleh dan memandang kepadanya. Gadis yang dilihatnya bertelanjang bulat di tepi sungai itu!
Cin Cin tersenyum mengejek ketika melihat Thian Ki. "Hemm, kiranya engkau monyet jelek berada di sini pula. Mau apa kau mencampuri urusan kami!"
"Koko, ia datang hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng.
"Ehhnh...?" Thian Ki terkejut sekali.
"Thian Ki, nona ini adalah Kam Cin puteri ketua Hek-houw-pang, saudara misanmu sendiri!" kata Sim Lan Ci.
"Cin Cin...??"
"Thian Ki...??"
Teriakan Thian Ki dan Cin Cin hampir berbareng dan mereka saling pandang, lalu perlahan-lahan muka keduanya berubah kemerahan karena mereka teringat betapa mereka pernah saling melihat dalam keadaan telanjang bulat, teringat akan peristiwa ditepi sungai Huang-ho.
"Cin Cin, engkau tidak boleh membunuh ayah!"
"Ayah? Bukankah ayahmu, paman Coa Siang Lee, telah tewas ketika Hek-houw-pang diserbu gerombolan?"
"Yang kumaksudkan... dia... ayah tiriku..." kata Thian Ki, mukanya merah.
Cin Cin mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada Sim Lan Ci yang menundukkan muka. Peristiwa ini sama sekali tak pernah disangkanya datangnya begitu tiba-tiba dan ia dihadapkan kepada kenangan masa lalu. Cin Cin mengangguk-angguk dan senyumnya sinis.
"Hemm, mengerti aku sekarang. Kiranya setelah ditinggal mati paman Coa Siang Lee, bibi Sim Lan Ci telah menikah lagi dengan... lurah Cian Bu... atau Pangeran Cian Bu Ong si pemberontak?"
"Cin Cin...!" teriak Thian Ki, sedih melihat ibunya dicaci.
"Iblis betina busuk!" bentak Kui Eng marah. Cin Cin menoleh kepada Thian Ki. "Engkau hendak membela ayah tirimu? Kalau begitu, benar makianku bahwa engkau monyet buruk. Majulah!" Dan Cin Cin sudah memasang kuda-kuda. siap menghadapi pengeroyokan tiga orang itu.
"Tahan...!" terdengar bentakan dan suara ini demikian berpengaruh sehingga mengejutkan hati Cin Cin.
Gadis itu cepat melangkah mundur lalu menghadapi orang yang datang dari sebelah kanannya. Dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar, berjenggot panjang rapi, berwajah merah dan usianya tentu mendekati tujuhpuluh tahun, namun masih nampak gagah perkasa dan kokoh seperti batu karang.
Tidak ragu lagi hatinya bahwa dia tentu berhadapan dengan Pangeran Cian Bu Ong, karena laki-laki ini di waktu mudanya tentulah ganteng dan gagah perkasa sehingga tidak mengherankan kalau gurunya jatuh cinta. Tidak mungkin ada seorang lurah memiliki wibawa seperti ini...
Kalau saja cuaca tidak remang-remang, tentu akan nampak betapa wajah Lai Kun seketika menjadi pucat sekali. Tentu saja dia segera mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Coa Liu Hwa. Isteri mendiang suhengnya, Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang dan yang membuat dia gelisah adalah karena mengingat bahwa wanita itu adalah ibu kandung Cin Cin. Segera ia mengambil keputusan nekat. Sekali melompat, dia telah berada di pekarangan, di depan wanita itu.
"Siapa kau! Aku tidak mempunyai sumoi sepertimu!" katanya galak.
"Suheng, benarkah engkau tidak mengenal aku?" Tanya wanita itu mendekat.
"Ah, engkau tentu penjahat yang mengaku-aku saudara. enyahlah dari sini!" teriak Lai Kun dan dia sudah menerjang dengan pukulan ke arah leher Coa Liu Hwa! Pukulannya keras karena ketua Hek-houw-pang ini ingin sekali pukul merobohkan orang yang dianggapnya berbahaya itu.
"Ihh...!" Coa Liu Hwa menggeser kakinya dengan tenang, tangan kirinya menangkis.
"Dukk!" tangan Lai Kun terpental, membuat ketua Hek-houw-pang ini terkejut bukan main. Akan tetapi ia mengirim pukulan lagi bertubi-tubi. Agaknya dia berusaha keras untuk merobohkan lawan dengan serangkaian pukulan. Dia ingat benar bahwa sumoinya atau puteri gurunya ini dahulu kalah jauh dalam hal ilmu silat, apalagi tenaga darinya. Maka dia merasa yakin bahwa serangkaian pukulan yang dilakukan ini pasti akan merobohkan Coa Liu Hwa, karena dia menggunakan jurus dari ilmu silat Hek-houw-pang yang paling diandalkan dan ampuh.
Akan tetapi, wanita itu dengan sigapnya menangkis dan mengelak, gerakannya ringan dan mantap, kemudian pada menjelang akhir rangkaian serangan itu, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu meluncur dan jari tangannya menotok pada pundaknya. Lai Kun hanya merasa tubuhnya kesemutan dan tidak mampu bergerak lagi. Dia telah ditotok secara luar biasa oleh sumoinya yang dahulu kalah jauh olehnya itu!
Coa Liu Hwa tersenyum dan dengan sikap ramah ia lalu menepuk-nepuk pundak Lai kun. "Lai-suheng, pandanglah baik-baik siapa aku? Mustahil engkau sudah lupa padaku?"
Begitu pundaknya ditepuk-tepuk Lai Kun dapat bergerak lagi! Dia terbelalak dan maklum bahwa sumoinya tidak berniat buruk terhadap dirinya, bahkan tidak ingin membikin malu. Pada saat itu, isterinya sudah menghampiri dan menegur suaminya.
"Kenapa engkau marah-marah dan menyambut tamu dengan serangan? Biarkan ia bicara dan memperkenalkan diri, menceritakan apa keperluannya mengunjungi kita."
Liu Hwa memandang kepada wanita itu, lalu kepada dua orang anak laki-laki yang masih duduk di kursi. "Aih, bukankah engkau ini Ci Nio, puteri kusir Ci Hoat? Ci Nio, tidak ingat lagikah engkau padaku?"
Isteri Lai Kun yang bernama Ci Nio itu mengamati, kemudian dengan kaget dan gembira dia berseru. "Bukankah engkau bibi Coa Liu Hwa?" Kepada suaminya ia berteriak. "Ini bibi Coa Liu Hwa, ibu Cin Cin!"
Tentu saja Lai Kun sudah tahu. Karena dia mengenal Liu Hwa, maka dia tadi menyerangnya. Dia teringat akan perbuatannya terhadap puteri wanita ini. Dia telah menjual Cin Cin kepada rumah pelesir, dan karena takut dan mengira kedatangan bekas sumoinya ini tentu akan menuntut, maka dia tadi mendahului dengan serangkaian serangan. Kini, melihat betapa sumoinya telah menjadi orang yang lihai, diapun pura-pura baru mengenalnya.
"Aih, kiranya Coa-sumoi...!" teriaknya, matanya memancarkan keheranan. "Silakan, sumoi, silakan duduk..." Lai-pangcu tampak gugup.
Liu Hwa tersenyum. "Nanti dulu, aku tidak sendirian!" katanya dan ia menoleh, lalu mengangkat lengan kiri ke atas memberi isyarat. Tak lama kemudian, dari luar pagar muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Laki-laki itu berusia enampuluh tahun, namun masih nampak gagah, bertubuh tinggi besar dan tegap, mukanya dihias cambang bauk yang rapi.
"Lai-suheng, ini adalah... suamiku, namanya Lie Koan Tek!" Liu Hwa memperkenalkan, lalu kepada suaminya ia berkata, "Ini adalah su-heng Lai Kun yang sekarang menjadi pang-cu baru dari Hek-houw-pang. Dan mereka adalah... anak dan isterimu bukan, suheng?"
Lai Kun mengangguk-angguk dan cepat dia dan isterinya membalas penghormatan suami Liu Hwa. "Saudara... Lie Koan Tek... aku seperti... pernah mendengar nama itu..." kata Lai Kun yang masih gugup dan tegang hatinya.
Liu Hwa tersenyum mengangguk, "Suamiku adalah Lie Koan Tek yang kau maksudkan itu, suheng, tokoh Siau-lim-pai yang terkenal..."
"Ah, maaf, maaf! Kami bersikap kurang hormat..." kata Lai Kun, gentar bukan main. Kini tahulah dia mengapa tadi dia kalah oleh sumoinya yang dahulu dia yakin tidak akan mampu menandinginya. Kiranya sumoinya telah menjadi isteri pendekar yang terkenal itu!
"Harap jangan sungkan, Lai pangcu," kata Lie Koan Tek.
"Mari, silakan duduk. Aku harus memberi tahu kepada semua anggota Hek-houw-pang. Kedatanganmu harus disambut meriah, sumoi."
"Jangan, suheng! Aku datang bukan untuk itu, melainkan ada keperluan pribadi," kata Liu Hwa dan ia bersama suaminya lalu mengambil tempat duduk. "Aku memang sengaja datang di malam hari begini agar tidak perlu kalian ramai-ramai menyambut dan setelah mendapat keterangan yang kuperlukan darimu, aku akan segera pergi dari sini..."
"Keperluan pribadi apakah, sumoi? Katakanlah, tentu kami akan membantumu sekuat tenaga." Dalam hatinya tentu saja Lai Kun sudah dapat menduga apa yang akan ditanyakan wanita itu, akan tetapi dia pura-pura bertanya dan diam-diam dia bersiap mengatur jawaban.
"Aku hanya ingin bertanya padamu tentang anakku Cin Cin. Bukankah Lai-suheng yang dulu mengantarnya untuk berguru kepada toa-ko (Kakak) Si Han Beng, Naga Sakti Sungai Kuning di dusun Hong-Cun?"
Kalau saja Lai Kun belum siap dan belum memperhitungkan bahwa tamunya tentu akan bertanya demikian, mungkin dia akan terkejut dan bingung karena akan merasa ditodong dengan pertanyaan itu. Akan tetapi dia bersikap tenang. Tidak ada orang tahu tentang peristiwa antara dia dan Cin Cin itu, dan ketika dia pulang dahulu, dia sudah menceritakan kepada semua orang tentang Cin Cin. Kini dengan sikap tenang dia menghela napas panjang.
"Sudah sejak dahulu aku mengkhawatirkan bahwa pada suatu hari, engkau akan bertanya seperti ini kepadaku, sumoi, dan aku terpaksa harus menjawab dan memberitahukan berita yang tidak menyenangkan kepadamu."
"Lai-suheng, apa yang terjadi? Ceritakanlah!" desak Liu Hwa, wajahnya berubah dan hatinya merasa tidak enak.
"Seperti sudah berulang kali kuceritakan pada semua anggota Hek-houw-pang, aku mentaati pesan mendiang suhu Coa Song untuk mengantar Cin Cin ke Hong-cun. Perjalanan kami tadinya lancar walaupun di sepanjang perjalanan Cin Cin rewel tidak mau diajak ke Hong-cun, akan tetapi mendesak aku agar mencarimu, sumoi. Aku tidak tahu harus mencarimu ke mana, maka aku membujuknya mengatakan bahwa kami akan mencarimu. Tentu saja aku terus menuju ke Hong-cun. Akan tetapi, di dalam perjalanan itu, kami dihadang gerombolan perampok. Aku melakukan perlawanan mati-matian dan akhirnya berhasil merobohkan beberapa orang perampok dan lainnya melarikan diri. Akan tetapi Cin Cin yang tadinya menonton di bawah pohon, tahu-tahu telah lenyap. Tentu ia melarikan diri karena memang tidak mau kuajak ke Hong-cun dan sempatan itu agaknya ia pergunakan untuk melarikan diri. Aku mencarinya sampai berbulan-bulan, namun sayang, aku tidak dapat menemukan jejaknya. Terpaksa, dengan hati sedih aku kembali ke sini dan menceritakan hal itu kepada para anggota Hek-houw-pang."
Sejak tadi Liu Hwa tidak pernah mengganggu cerita Lai Kun, hanya mendengarkan saja dengan hati yang sedih. Selama ini, sejak menjadi isteri Lie Koan Tek dan hidup berbahagia dengan suaminya yang amat menyayanginya, ia menghibur hatinya dengan anggapan bahwa tentu puterinya, Kam Cin, telah menjadi murid Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan menjadi seorang gadis yang pandai. Siapa kira, mendengar cerita Lai Kun, semua angan-angannya itu membuyar, diganti kedukaan dan kekhawatiran.
"Cin Cin anakku..." Liu Hwa mengeluh, akan tetapi ia mengeraskan hatimya dan tidak menangis, apa lagi ketika merasa betapa tangannya di pegang suaminya.
"Sumoi, maafkan aku telah gagal mengantar Cin Cin ke Hong-cun..." kata Lai Kun, nada suaranya menyesal.
"Bukan salahmu, suheng. Akan tetapi, katakan siapa perampok itu, atau siapa pemimpinnya."
"Aku tidak tahu, mereka tidak memperkenalkan nama, sumoi."
"Hemm, kalau begitu, dimana terjadinya?"
Menghadapi pertanyaan tiba-tiba ini, Lai Kun agak terkejut dan dengan suara ragu dia menjawab. "Di... kota... eh, Lok-yang... ya di Lok-yang." Hampir saja dalam kegugupannya dia menyebut kota Ji-goan, di mana Cin Cin dia jual ke rumah pelesir! Untung dia teringat dan masih sempat menyebut Lok-yang, kota besar di seberang sungai Kuning sebelah selatan.
Liu Hwa bangkit berdiri dan berkata kepada suaminya. "Mari kita pergi," dan kepada Lai Kun ia berkata, "Lai-suheng, kami akan pergi. Terima kasih atas keteranganmu. Mudah-mudahan engkau akan baik-baik menjaga Hek-houw-pang, jangan sampai ada anak buah yang melakukan penyelewengan. Aku sudah mendengar semua tentang Hek-houw-pang yang menerima anugerah dari kaisar, dan aku berterima kasih kepadamu atas pimpinanmu yang baik."
"Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah? Apakah engkau dan suamimu tidak tinggal saja di sini dan membantu Hek-houw-pang?" kata Lai Kun.
"Terima kasih, suheng. Aku tidak mungkin tinggal di sini, aku harus ikut suamiku. Nah, selamat tinggal." Liu Hwa dan suaminya memberi hormat yang dibalas oleh Lai Kun dan isterinya, kemudian mereka berdua melangkah keluar dan menghilang di kegelapan malam.
Sampai lama Lai Kun berdiri tertegun, memandang ke dalam kegelapan, ke arah mereka pergi dan pikirannya melamun jauh. Timbul penyesalan besar dalam hatinya kalau ia teringat akan perbuatannya menjual Cin Cin kepada rumah pelesir dahulu. Kenapa tadi dia menyebut Lok-yang? Lok-yang dekat dengan Ji-goan, dan bagaimana kalau Liu Hwa melakukan penyelidikan ke sana dan bertemu Cin Cin? Lai Kun menyesal bukan main. Pada dasarnya dia bukan orang jahat. Kalau dulu dia menjual Cin Cin adalah karena Cin Cin rewel dan membuat perjalanan itu melelahkan. Juga dia teringat pada Sui Su. pelacur yang mampu menghiburnya ketika hatinya sedang risau. Dia bukan berniat jahat terhadap Cin Cin, melainkan dia ingin terbebas dari keadaan yang menjengkelkan hatinya.
Nafsu daya rendah adalah setan yang selalu mempengaruhi hati akal pikiran kita. Nafsu daya rendah yang diikut-sertakan kepada kita ketika kita dilahirkan sebagai manusia, pada hakekatnya diberikan sebagai anugerah, agar dapat membantu kita dalam kehidupan kita sebagai manusia di dunia. Akan tetapi, daya rendah berusaha sekuatnya untuk menguasai kita, menjadi nafsu yang mencengkeram dan memutar balikkan keadaan sehingga bukan lagi kita menjadi majikan dan daya rendah menjadi hamba atau alat, sebaliknya kita yang menjadi budak, diperalat oleh nafsu.
Setan ini memang licik bukan main sehingga akal pikiran kita dibikin buta. Kadang kesadaran dalam diri, hati nurani kita, memperingatkan kita akan suatu perbuatan yang tidak baik, tidak benar. Namun nafsu daya rendah yang memperoleh keuntungan dari perbuatan itu, yaitu untuk melampiaskan kehendak nafsu, dengan cerdiknya menjadi pokrol untuk membela perbuatan itu, untuk membenarkan perbuatan itu.
Bisikan-bisikan berupa alasan-alasan yang nampaknya tepat dan kuat dihembuskan nafsu ke dalam pertimbangan kita bahwa perbuatan itu benar atau tidak salah, atau kesalahan terpaksa dan sebagainya lagi. Tidak ada seorangpun manusia yang benar-benar TIDAK TAHU, bahwa perbuatannya jahat dan tidak benar, namun dia tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mencegah perbuatannya sendiri!
Demikian kuatnya nafsu mencengkeram kita. Setiap pencuri pasti tahu bahwa mencuri itu tidak baik. Setiap pembunuh pasti tahu bahwa membunuh itu berdosa besar, dan masih banyak macam kejahatan di dunia ini yang dilakukan orang, dan semua orang yang melakukannya pasti tahu bahwa perbuatannya itu tidak baik, tidak benar atau berdosa, namun tetap saja dilakukannya! Kenapa demikian?
Karena nafsu telah mencengkeram seluruh dirinya, hati akal pikirannya, sehingga suara hati nurani menjadi lemah, tenggelam ke dalam suara setan yang membela dan membenarkan perbuatan itu dengan seribu satu macam alasan. Setiap orang pasti merasakan hal ini. Penyesalan selalu datang kalau akibat buruk datang menimpa. Dan setan membisikkan lagi cara-cara untuk menyelamatkan diri, dengan cara apapun juga!
Banyak di antara kita yang mendengar bisikan hati nuraninya sendiri dan menyesali perbuatannya, ingin menaklukkan nafsu-nafsunya. Namun selalu saja gagal. Mengapa demikian? Karena YANG INGIN menaklukkan nafsu itu bukan lain adalah NAFSU ITU SENDIRI! Yang ingin bertobat karena perbuatan dosa adalah si pembuat dosa itu sendiri, dengan dasar bahwa perbuatannya itu mendatangkan malapetaka bagi dirinya dan dia ingin terbebas dari malapetaka itu.
Perbuatan dosa itu dilakukan karena dorongan nafsu ingin senang, dan penyesalan, lalu keinginan bertobat itupun didorong nafsu yang ingin senang karena terhindar dari akibat yang tidak menyenangkan.! Lingkaran setan ini terjadi setiap hari dan setiap saat dalam diri kita. Maka, terjadilah pengulangan. Hari ini berbuat salah, besok menyesal dan bertobat. Besok lalu berbuat salah lagi, bertobat dan menyesal lagi.
Demikian seterusnya karena lingkaran setan itu berputar terus. Nafsu tidak mungkin dimatikan, tidak mungkin dibuang dari diri kita, karena kalau hal itu dilakukan, kita akan mati, atau kita tidak akan menjadi manusia lagi. Nafsu daya rendah mutlak perlu bagi kehidupan kita, seperti api pada motor, seperti kuda pada kereta. Segala kemajuan hidup duniawi adalah karena jasa nafsu yang bekerja sama dengan hati akal pikiran. Namun, segala macam kejahatan yang kita lakukan pun akibat dorongan nafsu daya rendah.
Lalu kalau begitu bagaimana? Nafsu penting bagi kehidupan kita, akan tetapi nafsu juga menyeret kita ke dalam perbuatan dosa! Hidup ini baru sesuai dengan kodratnya kalau nafsu menjadi alat kita, bukan kita menjadi alat nafsu. Nafsu harus kembali kepada tempat, kedudukan dan fungsinya yang semula, yaitu menjadi budak atau alat kita! Tapi bagaimana? Kalau usaha kita menundukkan nafsu juga merupakan usaha nafsu, lalu siapa ang akan dapat mengembalikan nafsu pada tempatnya semula? Hanya Yang Menciptakannya!
Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur itu, membebaskan kita dari cengkeraman nafsu. Dan kekuasaan Tuhan bekerja kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, menyerah dengan penuh keikhlasan, ketawakalan, kesabaran. Tuhan Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Tuhan mengetahui apa yang yang terbaik untuk kita. Tuhan mengetahui apa yang berada di dalam lubuk hati kita. Kalau kita menyerah dengan seluruh jiwa raga kita, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja mutlak! Dan tidak ada hal yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tuhan.
Menyerah! Kata yang sederhana, mudah diucapkan dan mudah dimengerti. Namun, tidaklah begitu mudah untuk dilaksanakan. Kalau penyerahan itu masih merupakan penyerahan dari hati akal pikiran, maka di situ terkandung nafsu dan penyerahan seperti itu sudah pasti berpamrih pula! Menyerah agar begini agar begitu, pendeknya agar mendapatkan keuntungan atau kesenangan, agar menghindarkan kerugian atau kesusahan.
Ini bukan penyerahan namanya, melainkan usaha nafsu untuk mendapatkan sesuatu, dan penyerahan hanya dijadikan alat atau cara saja. Dan kalau nafsu yang berusaha, maka pasti syaitan yang datang. Penyerahan dalam hal ini adalah penyerahan tanpa pamrih tertentu. Penyerahan berarti mati di depan Tuhan, dan kekuasaan Tuhan yang membangkitkan kita kembali.
Sebagai manusia lain, bukan pula budak syaitan nafsu, melainkan hamba Tuhan! Kalau sudah begini, maka tidak ada masalah lagi, karena apapun yang terjadi pada diri kita, sudah dikehendaki Tuhan dan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita, yang ada hanyalah puji syukur kepadaNya.
Penyesalan yang dirasakan Lai Kun hanya penyesalan karena kini dia merasakan akibat dari perbuatannya, yang menimbulkan perasaan takut. Penyesalan macam ini seperti orang yang memberi kompres dingin kepada luka untuk menghilangkan rasa nyeri akibat luka itu, tanpa dapat menyembuhkan luka itu sendiri.
Lai Kun tidak berani mengakui kesalahannya terhadap siapapun, terhadap isterinya tidak, apalagi terhadap Coa Liu Hwa ibu Cin Cin. Dia menyimpannya sebagai rahasia pribadinya, dan justru inilah yang membuat dia selalu merasa gelisah. Andaikata di depan Liu Hwa dia berani berterus terang mengakui kesalahannya, dengan siap menanggung segala akibat daripada perbuatannya, bertanggung jawab, maka tentu kegelisahannya tidak akan ada lagi.
********************
Gadis yang cantik jelita itu berdiri di tepi sungai Kuning yang luas seperti anak lautan. Perutnya terasa lapar sekali dan ketika ia berdiri di tempat sunyi itu sambil termenung, agak kesal karena tidak nampak perumahan di situ, apalagi penjual makanan, ia melihat meluncurnya beberapa ekor ikan bersisik kuning dan merah di tepi sungai. Matanya segera bersinar-sinar, wajahnya gembira dan lidahnya yang merah terjulur ke luar menjilati bibirnya yang merah basah.
Ia mengilar melihat ikan-ikan itu, karena ia mengenal bahwa ikan itu semacam ikan emas yang amat lezat dagingnya. Perutnya sedang lapar, di situ tidak ada orang, tidak ada penjual makanan, akan tetapi ada ikan yang gemuk dan gurih dagingnya berenang lewat seperti mengejek dan menggodanya! Tidak ada pancing, tidak ada jala, tidak ada benda untuk menangkap ikan itu.
Cin Cin, gadis jelita itu, menengok ke kanan kiri dan belakang. Tidak nampak orang di situ. Sunyi dan jauh dari keramaian orang, juga di atas air itu tidak nampak perahu. Hanya nampak layar perahu-perahu yang jauh di sana, perahu para nelayan mencari ikan. Hari sudah menjelang senja, tak lama lagi hari akan menjadi gelap sehingga akan semakin sukar mencari makanan. Ia tidak mau melewati malam itu dengan perut tersiksa lapar. Dan iapun perlu membersihkan diri setelah hari itu melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan kulit tubuhnya penuh debu yang bercampur keringat mendatangkan rasa gerah dan lekat.
Setelah yakin di situ tidak ada orang lain, tanpa ragu lagi Cin Cin menanggalkan pakaiannya satu demi satu dan ditumpuknya pakaian itu di balik semak-semak. Iapun bertelanjang bulat, meloncat ke dalam air dengan luncuran seperti seekor ikan lumba-lumba! Tidak banyak air muncrat dan tidak menimbulkan banyak suara ketika tubuhnya menusuk dan masuk ke dalam air dengan kedua lengan dan kepala lebih dahulu.
Cin Cin memang memiliki keahlian renang bermain dalam air seperti seekor ikan. Mungkin seperti dialah ikan duyung yang terkenal dalam dongeng itu. Rambutnya tadi dilepas dari sanggul dan rambut itu terurai panjang, lebat dan lembut. Ia menyelam dan tak lama kemudian ia sudah berhasil menangkap dua ekor ikan sebesar lengannya sendiri, seekor bersisik kuning dan seekor bersisik kemerahan, keduanya dengan perut berwarna putih. Ikan-ikan yang gemuk berdaging tebal!
Dibawanya dua ekor ikan itu ke darat dan dibiarkan menggelepar di balik semak, lalu ia pun masuk lagi ke air dan mandi. Betapa sejuk dan segarnya air itu. Lenyap semua rasa lelah dan gerah. Terasa nyaman, bersih dan segar. Iapun menggosok-gosok kulit tubuhnya sambil duduk di atas batu yang menonjol keluar dari air, dan dengan sendirinya mulutnya bersenandung lirih.
Kalau tubuh terasa nyaman dan hati akal pikiran tidak dibebani persoalan, maka akan timbul perasaan bahagia yang membuat orang condong untuk bersenandung! Demikianlah agaknya yang mendorong orang untuk bersenandung di waktu mandi. Keseimbangan rasa nyaman tubuh dan rasa tenang batin ini mendatangkan keseimbangan yang membuat hidup di saat itu terasa nikmat.
Cin Cin sama sekali tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengamatinya dari balik batu besar. Mata seorang pria, seorang pemuda yang sebaya dengannya, seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tegap. Mula-mula ketika mendengar suara senandung, pemuda itu tertarik dan berindap menghampiri.
Setelah dia melihat apa yang bersenandung itu, seorang gadis bertelanjang bulat duduk di atas batu dan membersihkan tubuh dengan menggosok-gosoknya. Dengan rambut yang panjang terurai, sebagian menutupi dadanya menyembunyikan sepasang bukit dada dan warna rambut yang hitam membuat kulit tubuh itu nampak semakin putih mulus, wajah yang manis dan riang.
Pemuda itu terbelalak, kemudian mukanya menjadi kemerahan dan diapun terpesona. Bukan gairah nafsu yang terbayang dalam pandang matanya, melainkan keheranan dan ketakjuban, seperti seseorang melihat mahluk lain dari luar angkasa, seperti seorang melihat bidadari mandi di tepi sungai. Memang, gadis itu seperti mahluk aneh bagi pemuda itu karena selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang gadis dewasa berurai rambut dan bertelanjang bulat seperti itu!
Karena selama ini, biarpun usianya sudah duapuluh satu tahun, tidak pernah terlintas dalam benaknya hal-yang ada hubungannya dengan birahi, maka dia tidak melihat hal-hal yang menimbulkan rangsangan nafsu birahi, dan pandang matanya penuh dengan pesona dan keheranan, terpesona karena penglihatan itu amat indah baginya, juga amat mengherankan.
Saking heran dan terpesona, pemuda itu lupa diri untuk bersembunyi dengan hati-hati. Dia kini berdiri dan nampak dari dada ke atas di baik batu itu, tidak tahu bahwa yang diintainya adalah seorang gadis yang memiliki ketajaman dan kepekaan rasa dan pandangan yang lain daripada orang lain. Pandang mata yang penuh perhatian dan perasaan memiliki getaran yang kuat sekali, apa lagi bagi seorang sepeka Cin Cin perasaannya. Ia merasakan getaran itu yang membuatnya menengok dan... dua pasang mata bertemu pandang.
Sekilas saja karena kepala pemuda yang tadi nongol di balik batu lenyap lagi dan Cin Cin juga tidak memperlihatkan suatu sikap yang menunjukkan bahwa ia telah melihat adanya seorang pengintai. Ia menekan kemarahannya, dan dengan tenang gadis itu turun ke air, sekali lagi membiarkan kegerahan dan keletihan larut bersama debu di tubuh terbawa air, dan iapun berenang ke balik semak, mengenakan pakaiannya dan menggelung rambutnya sejadinya saja agar cepat.
Namun dari balik semak ia memperhatikan dan tahu bahwa si pengintai itu masih berada di balik batu besar. Awas, engkau, laki-laki kurang ajar, gumamnya dalam hati. Setelah semua pakaian bersih yang diambilnya dari buntalan dipakainya, juga sepatunya, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat dan seperti seekor burung garuda tubuhnya melayang ke balik batu besar.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda yang tadi mengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis yang tadi disangka bidadari atau ikan duyung atau mahluk dari dunia lain, dapat meloncat seperti terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depannya dalam pakaian lengkap walaupun agak acak-acakan karena terburu-buru dan rambutnya yang digelung sederhana itu masih meneteskan air. Wajah yang masih agak basah itu segar kemerahan, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mencorong penuh kemarahan.
"Laki-laki kurang ajar! Berani engkau mengintai orang mandi, ya? Apakah nyawamu rangkap? Ah engkau sudah bosan hidup?"
Aduh manisnya, aduh galaknya! Demikian keluh pemuda itu, tidak kelihatan takut melainkan malu-malu dan mukanya juga menjadi kemerahan. Dia mengangkat ke dua tangan ke depan dada memberi hormat, matanya yang tajam bersinar itu menatap wajah Cin Cin dengan lembut dan penuh penyesalan.
"Harap nona suka memaafkan saya. Saya kebetulan lewat dan mendengar suara senandung tadi membuat saya tertarik dan ingin melihat siapa yang bersenandung, tidak menyangka sama sekali bahwa ada seorang gadis sedang mandi di sana. Sekali lagi, maafkan kelancangan saya, nona."
Sikap pemuda itu lembut dan sopan, dan di dalam suaranya terkandung penyesalan yang tidak dibuat-buat. Akan tetapi ia masih merasa penasaran. Laki-laki ini sudah melihat ia bertelanjang bulat. Tidak mungkin hal seperti itu dibiarkan saja hanya dengan maaf! Alangkah enaknya!
"Hem, kebetulan lewat dan kebetulan melihat. Mengapa engkau tadi memandang dengan melotot?" tanyanya dengan suara bengis.
Pemuda itu menjadi semakin gugup dan wajahnya semakin merah. "Aku... saya... eh... Aku tadi... terkejut dan heran, terpesona karena mengira ada..."
"Ada apa? Aku bukan setan, bukan iblis, bukan siluman? Hayo katakan, kaukira ada apa?" kembali Cin Cin membentak.
"...tadinya kukira nona... ehh, seorang bidadari dari kahyangan..."
Cin Cin terbelalak, mengira pemuda itu berolok-olok, akan tetapi melihat pandang mata yang jujur itu nampaknya sungguh sungguh dan entah mengapa tiba-tiba saja hatinya merasa senang sekali. Entah senang karena wajah yang tampan dan simpatik itu, entah karena sinar mata yang tajam bersinar itu, ataukah karena pujian itu. Pujian tidak langsung. Ia disangka bidadari kahyangan!
Hati siapa tidak akan terasa ayem tenteram, gembira bangga, menggembung seperti katak terkejut, kalau disangka bidadari? Bidadari adalah mahluk wanita yang cantik jelita, sakti dan bijaksana Akan tetapi kegembiraan itu hanya menyelinap di hati Cin Cin dan hanya mencuat keluar melalui sinar matanya saja. Mulutnya masih dicemberutkan.
"Hemm, enak saja engkau mengintai orang mandi, lalu minta maaf begitu saja. Engkau yang enak, aku yang muak. Lain kali engkau akan memukul orang, menghina orang, atau membunuh orang lalu minta maaf dan sudah, ya? Enaknya!"
Aduh galak benar, pikir pemuda itu. Dia menahan senyumnya karena maklum bahwa senyum geli hatinya akan dapat disalah-tafsirkan pula, disangka senyum mentertawakan. Bisa lebih runyam lagi. Kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Maaf..."
"Sudahlah, jangan berulang kali memberi hormat merangkap kedua tangan di depan dada lalu membungkuk-bungkuk. Memangnya sekarang ini hari sincia (tahun baru) untuk saling memberi selamat! Memangnya aku ini sedang merayakan sesuatu, maka engkau terus-terusan memberi salam? Katakan saja apa maumu, jangan banyak maaf segala. Sebelum kau minta, maafku kepadamu sudah habis!"
Pemuda itu terbelalak, namun hatinya tertarik sekali. Selama hidupnya dia tidak banyak bergaul dengan gadis-gadis cantik, dan biarpun ada gadis cantik yang juga galak, akan tetapi agaknya tidak segalak dan sebengal yang satu ini.
"Baiklah, aku tidak lagi minta maaf. Akan tetapi, aku sudah merasa bersalah dan apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya, sikap dan nada suaranya merendah.
"Engkau harus dihukum!" Suaranya begitu mantap seperti seorang hakim mengetukkan palu pada keputusan sidang pengadilan menjatuhkan hukuman pada pesakitan.
"Baik, aku sudah bersalah dan aku siap menerima hukumannya," kata pemuda itu dan sikapnya yang tenang mulai menarik hati dan mengejutkan Cin Cin.
"Orang bilang, hutang uang membayar uang, utang budi membayar budi. Itu baru adil namanya. Engkau tadi melihat aku mandi, sekarang hukumannya harus kau tebus dengan keadaan yang sama. Engkau mandi dan aku yang melihatnya!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali Cin Cin sudah menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan mendorongnya ke sungai. Pemuda itu terkejut, agaknya tidak melawan dan tubuhnya terlempar ke air.
"Byuuur...!" Air muncrat tinggi ketika pemuda itu terbanting ke air dengan pinggul terlebih dahulu. Cin Cin tertawa terkekeh-kekeh melihat pemuda itu gelagapan, tenggelam lalu muncul dan menyemburkan air dari mulutnya. Ia kini nampak seperti seorang anak kecil menerima mainan baru, demikian gembira dan wajahnya berseri-seri segar.
"Nah, rasakan kamu! Mandilah sepuasnya sampai bersih!" katanya dan sekali berkelebat Cin Cin sudah lenyap dari tepi sungai itu.
Tinggal pemuda itu yang berenang ke tepi bersungut-sungut. "Sialan!" katanya kepada diri sendiri sambil memandang ke bekas tempat gadis itu tadi berdiri, lalu diapun berenang ke batu yang tadi diduduki Cin Cin, naik dan duduk di situ. Pakaian dan rambutnya basah kuyup. "Sial hari ini bertemu dengan... bidadari cantik manis akan tetapi galaknya seperti setan!"
Dia melepaskan tekukan rambutnya dan memeras air dari rambutnya, akan tetapi air itu malah menyiram ke bajunya. "Huh, kepalang basah!" katanya lagi dan diapun memandang ke kanan kiri. Sunyi, ia menanggalkan pakaiannya yang basah, juga sepatunya, memeras baju dan celana, menuangkan air keluar sepatunya dan merentangkan baju, celana dan sepatunya di atas batu. Dengan bertelanjang bulat diapun kini mandi sekalian sambil menanti pakaian dan sepatunya tertiup angin dan agak kering.
Dan dia menemukan kenyataan betapa segarnya mandi di situ. Gadis itu benar! Memang menyenangkan sekali air di situ. Dasarnya berbatu dan berpasir, dan airnya cukup jernih. Tempatnya sunyi sepi. Setelah merasa agak dingin, dia berenang kembali ke batu tadi, baik ke atas batu dan meraih pakaian hendak dipakainya sambil berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Tiba-tiba matanya melihat sebuah buntalan di dekat semak-semak, dan setumpuk pakaian. Gadis itu! Benar saja, terdengar suara cekikikan tawanya dan tiba-tiba gadis itu muncul di balik semak-semak.
Memang tadi Cin Cin sudah pergi, akan tetapi ia teringat bahwa buntalan dan pakaiannya yang kotor masih berada di balik semak-semak, maka ia kembali ke situ untuk mengambilnya. Kebetulan ketika ia datang melihat pemuda yang tadi dilemparkannya ke sungai kini berdiri bertelanjang bulat di atas batu yang tadi, sehingga ia melihat semuanya. Ia terbelalak, terkejut, terheran, akan tetapi juga geli maka tertawalah ia.
"Heiii, engkau...??" Pemuda itu melepaskan bajunya dan menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya, mukanya menjadi panas karena malu. "Jangan melihat aku!"
Gadis itu masih tertawa cekikikan, lalu mengambil buntalan dan pakaiannya, memandang lagi kepada pemuda itu sambil tersenyum nakal. "Siapa yang melihatmu? Aku datang kembali untuk mengambil pakaianku yang tertinggal, bukan untuk mengintaimu. Akan tetapi kebetulan begini, ini namanya adil, hutangmu lunas sudah! Hi-hi-hik, engkau... jelek amat, seperti... monyet... hi-hik!" Dan Cin Cin meloncat pergi bersama pakaiannya.
Pemuda itu menghela napas panjang. Ketika tadi dia tergesa-gesa menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusar, dia melepaskan baju yang dipegangnya dan baju itu terjatuh ke air dan hanyut. Entah di mana sekarang. Terpaksa dia hanya mengenakan celana dan sepatunya saja, lalu pergi dari situ tanpa memakai baju, mengomel panjang pendek.
"Huh, ia bilang adil. Padahal aku mengatakan ia seperti bidadari dan ia sebaliknya menyebut aku seperti monyet! Sialan!"
********************
Cin Cin berhenti di bawah sebatang pohon, membereskan pakaian yang tadi dipakai secara tergesa-gesa, menyanggul lagi rambutnya dan dihias tusuk sanggul perak, mengambil kalung mutiara yang indah dari buntalan pakaiannya, memakai kalung itu, kemudian mengeluarkan pula Koai-Liong-kiam (Pedang Naga Siluman) dari buntalan dan menggantungkan pedang itu di punggungnya, mengambil buntalan pakaian dan menggendongnya pula, kemudian dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke sebuah dusun di tepi sungai yang tadi di lihatnya dari jauh sinar lampu-lampu dusun itu.Melihat sebuah rumah kecil sederhana di tepi dusun dan seorang wanita setengah tua di depan rumah, di atas bangku bambu, Cin Cin segera menghampiri dan dengan sikap ramah dan sopan ia bertanya. "Bibi, aku seorang pejalan yang kemalaman di sini. Apakah engkau dapat menunjukkan tempat di mana aku boleh menumpang untuk malam ini? Aku bersedia membayar uang sewanya semalam."
Wanita itu berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi nampaknya sudah lebih tua, agak bongkok dan jelas ia miskin. "Nona mau membayar sewa? Aih, nona, aku akan senang sekali engkau menumpang di sini dan memberi sekedar uang kepadaku... aku amat membutuhkan itu..."
Cin Cin mengerutkan alisnya. Rumah itu hanya gubuk kecil dan sederhana, tentu bukan merupakan tempat yang enak untuk bermalam. Akan tetapi, kalau wanita itu membutuhkan uang. "Bibi, dengan siapa engkau tinggal disini?"
Wajah itu nampak sedih sekali. Di bawah sinar lampu gantung kecil, wajah itu nampak penuh kerut merut. "Aku seorang janda, nona. Anakku hanya seorang, laki-laki, akan tetapi put-hauw (durhaka), sudah lima tahun pergi ke kota mencari pekerjaan, sampai sekarang tidak pernah pulang, tidak pernah memberi kabar. Aih, dasar nasibku yang amat buruk..."
Wajah Cin Cin berseri. "Engkau hanya tinggal seorang diri di sini? Kalau begitu, aku suka bermalam di sini. Jangan khawatir, aku akan memberi uang sewa yang cukup banyak, bibi..."
Wanita itu menjadi gembira. "Aih, terima kasih, nona. Silakan masuk. Biarpun jelek, rumah ini kujaga bersih dan tempat tidur anakku juga selalu kubersihkan walau tidak pernah dipakai. Siapa tahu sekali waktu, pada saat yang baik, dia pulang!"
Cin Cin dan wanita itu memasuki rumah gubuk dan benar seperti yang dikatakan nenek itu. Biarpun kecil, dan jelek, akan tetapi dalam rumah itu rapi dan bersih. Sebuah rumah dengan perabot murahan namun terawat dan bersih, jauh lebih menyenangkan daripada perabot rumah mewah dalam gedung besar yang tidak terawat dan kotor. Begitu memasuki rumah, Cin Cin merasa senang.
Gubuk itu memiliki dua buah kamar yang kecil dan ia memperoleh kamar putera wanita itu, kamar kecil namun terawat dan bersih pula. Alas tempat tidur sudah ada tambalannya, akan tetapi bersih sekali. Legalah hatinya dan dalam hati ia berjanji besok pagi akan memberi uang yang lebih banyak daripada uang sewa kamar hotel besar kepada wanita itu.
"Nah, di sinilah kamarmu, nona. Kalau mau tinggal di sini berapa lamapun aku akan merasa senang sekali, selain mendapatkan uang sekedarnya juga mendapatkan teman dalam hidupku yang kesepian ini. Silakan beristirahat, nona, aku akan membuatkan minuman teh dan... eh, makanan malam sekedarnya..."
Melihat keraguan itu, Cin Cin segera mengeluarkan sepotong perak dan memberikannya kepada wanita itu. "Bibi, ini untuk berbelanja membeli hidangan makan malam, eh, kalau ada... aku ingin sekali makan daging ikan emas kuning dan merah." Katanya, teringat akan dua ekor ikan yang ditangkapnya dan yang tertinggal di tepi sungai karena perjumpaannya dengan pemuda pengintai itu.
Dan ketika wanita itu pergi sambil membungkuk-bungkuk senang menerima uangnya. Cin Cin tak dapat menahan kekeh gelinya membayangkan kembali pemuda yang berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Akan tetapi tak lama kemudian, kekehnya terpecahkan oleh pikirannya. Aneh, bayangan pemuda itu selalu terbayang dan ia tidak mampu menggusirnya, terutama sekali pandang matanya yang begitu tajam.
Setelah makan hidangan nasi dan masak ikan yang disuguhkan nyonya rumah, Cin Cin secara iseng bertanya, "Bibi, apakah engkau mengenal seorang pangeran yang tinggal di sekitar lembah Huang-ho?"
Wanita itu membelalakkan mata dan tersenyum geli sehingga nampak mulutnya yang ompong, "Walah, engkau aneh sekali, nona! Aku ini hanya seorang perempuan dusun yang bodoh dan miskin, bagaimana mungkin mengenal seorang pangeran? Wah, melihatpun belum pernah. Apakah nona mengenal seorang pangeran? Pangeran sungguhan? Hebat sekali! Siapa namanya, nona?"
Cin Cin memang tidak mengharapkan mendapat keterangan dari wanita itu. Ia tadipun bertanya secara iseng saja. Siapa tahu wanita itu demikian gembira mendengar pertanyaan tentang pangeran. Sambil lalu iapun menjawab tanpa mengharapkan apa-apa. "Namanya Pangeran Cian Bu Ong." Ia seperti menjawab kepada diri sendiri agar tidak melupakan nama yang dipesan oleh gurunya itu. Ia melanjutkan keterangan yang ia dengar dari gurunya. seperti menghafal. "Orangnya gagah, tinggi besar, mukanya kemerahan, usianya enam puluh lebih..."
"Ehhh? Nanti dulu nona. Di sini tidak pernah ada pangeran, akan tetapi cung-cu (kepala dusun ) kami. Cian-wangwe (hartawan Cian) mirip yang kauceritakan itu. Tinggi besar, gagah, muka kemerahan dan usianya enampuluh tahun lebih."
Tentu saja Cin Cin menjadi tertarik dan ia mengamati wajah wanita itu penuh selidik. "Hartawan Cian? Dari mana dia datang? Apakah selama ini dia memang penduduk dusun ini?"
"Tidak, nona. Dia pendatang baru, kaya raya dan dermawan. Kami semua suka kepadanya dan menghormatinya, bahkan akupun sudah sering menerima bantuan darinya. Karena itu kami semua memilih dia menjadi kepala dusun. Dia she Cian dan namanya... hemm, kalau tidak salah Bu. Ya, Cian Bu... akan tetapi lebih terkenal dengan sebutan Cian-wangwe (hartawan Cian) atau Cian cungcu (Lurah-Cian)..."
"Cian Bu...??" Berdebar rasa jantung Cin Cin. Besar sekali kemungkinannya. Mengapa begitu kebetulan? Yang dicarinya pangeran Cian Bu Ong dan di sini ia mendengar tentang lurah Cian Bu yang keadaannya mirip pangeran yang dicari. "Bagaimana keadaan keluarganya?" Ia mencari tahu lebih lanjut karena timbul harapannya sekarang untuk menemukan musuh besar gurunya.
"Keluarganya amat baik, nona. Isterinya jauh lebih muda, sekitar empatpuluh lima tahun lebih sedikit, cantik jelita dan manis budi, pakaiannya selalu serba hitam. Mereka mempunyai dua orang anak yang telah dewasa, seorang pemuda dan adiknya, seorang gadis. Tampan dan cantik, juga baik budi."
"Engkau yakin benar lurah Cian Bu itu bukan bekas pangeran?" tanya Cin Cin seperti kepada diri sendiri. Tentang isteri dan anak-anak orang itu ia tidak tertarik.
"Bagaimana aku tahu, nona? Keluarga Cian itu pindah ke dusun ini sebagai keluarga hartawan, membangun rumah besar dan bersikap baik kepada kami semua, suka menolong orang, baik dengan barang ataupun dengan pengobatan. Mereka pandai mengobati orang sakit."
Keterangan ini semakin menarik hati Cin Cin. Besar kemungkinan keluarga itu ahli silat yang pandai mengobati, hal itu tidak aneh. Dan kalau orang she Cian itu memang ahli silat, maka dugaannya semakin kuat bahwa dia adalah bekas pengeran yang dicarinya. "Apakah mereka pandai ilmu silat?" ia bertanya lagi.
"Ilmu silat? Mana aku tahu, nona? Puteranya yang kami sebut Cian Kongcu (tuan muda Cian) dan Cian Siocia (Nona muda Cian) kelihatan sehat dan gagah, entah mereka bisa silat atau tidak, aku idak tahu."
Keterangan itu cukup bagi Cin Cin. "Di mana rumah mereka, bibi?"
"Mudah sekali dicari. Di ujung dusun sebelah barat ini, dan rumah mereka adalah satu-satunya gedung besar yang berada di dusun ini."
Cin Cin tidak bertanya lagi. Ia membantu wanita itu mencuci mangkok piring biarpun nyonya rumah mencegahnya, lalu ia membersihkan mulut dan memasuki kamar, merebahkan diri seperti orang hendak tidur. Nyonya rumah itu yang menyangka ia tentu lelah, membiarkannya tidur dan ia sendiripun memasuki kamarnya.
Tentu saja Cin Cin tidak tidur. Keterangan wanita itu tentang lurah Cian Bu amat menarik hatinya dan ia mengambil keputusan untuk menyelidik. Kalau lurah itu bukan Pangeran Cian Bu Ong pun tidak mengapa, akan tetapi kalau benar orang yang dicarinya, alangkah beruntungnya. Tak disangkanya akan demikian mudahnya mencari orang yang oleh gurunya hanya dikatakan tinggal di sekitar lembah Huang-ho. Padahal lembah itu panjang dan luasnya tak terukur lagi. Apalagi hanya setahun, biar lima tahunpun belun tentu ia akan mampu menemukan orangnya!
Wanita pemilik gubuk itu belum tidur ketika Cin Cin keluar dari kamarnya. Ketika ia bertanya, Cin Cin menjawab bahwa ia ingin berjalan-jalan sebentar. Wanita itupun tidak bertanya lagi dan Cin Cin keluar dari rumah kecil itu dan berjalan-jalan di jalan dusun yang lumayan baiknya. Agaknya dusun itu memang sebuah dusun yang maju, mungkin berkat bimbingan kepala dusunnya itu. Jalan-jalan di situ rata dan bersih, rumah-rumahnya walaupun rumah dusun, seperti rumah wanita yang ditumpanginya tadi, nampak bersih pula, dengan ruangan yang teratur. Memang.
sesungguhnyalah, semua mahluk itu membutuhkan bimbingan seorang pemimpin. Masyarakat tanpa pemimpin akan menjadi kacau balau, seperti juga segala kelompok binatang hutan pasti mempunyai pemimpinnya. Bukankan Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Kasih, juga sekaligus menjadi Pemimpin Agung seluruh ciptaannya?
Dusun itu cukup besar, dengan lampu penerangan sederhana di depan setiap rumah sehingga jalan itu tidak gelap benar. Di langit banyak bintang. Malam itu amat indah dengan hawa udara yang sejuk. Tanah di lembah Huang-ho memang terkenal subur dan pohon-pohonan, tanam-tanaman di dusun itu nampak subur pula.
Ada beberapa kedai minuman dan kedai penjual segala macam keperluan sehari-hari yang masih buka. Akan tetapi lalu lintas sudah sepi. Memang di dusun kurang sekali adanya hiburan malam, tontonan dan keramaian malam seperti di kota, maka penduduk dusun jarang yang bergadang di luar rumah.
Seperti yang diterangkan pemilik gubuk tadi, mudah saja mencari rumah lurah Cian tanpa bertanya-tanya. Setelah menyusuri jalan ke barat dan tiba di ujung dusun, nampaklah sebuah gedung. Kalau di kota, gedung itu termasuk sedang saja, akan tetapi di dusun itu nampak megah dan mewah. Tidak baik mengganggu kedamaian dusun ini, pikir Cin Cin. Bagaimana kalau lurah itu bukan pangeran yang dicarinya?
Melihat betapa penerangan di depan gedung itu masih terang, dan ada seorang gadis nampak duduk seorang diri di situ, Cin Cin mengambil keputusan untuk berkunjung secara baik-baik saja. Kalau kemudian ia bertemu muka dengan lurah Cian dan mendapat keterangan bahwa benar dia orang yang dicarinya, baru dia akan turun tangan membunuhnya seperti pesan gurunya. Kalau ternyata bukan pangeran yang dicarinya, kunjungannya tentu tidak akan mendatangkan keributan dan gangguan.
Ketika Cin Cin memasuki pekarangan yang juga menjadi taman bunga yang indah dan sunyi itu, gadis yang duduk melamun di atas kursi, di ruang depan, mengangkat muka dan segera bangkit berdiri ketika melihat ada orang memasuki pekarangan. Setelah berdiri, nampak oleh Cin Cin betapa gadis itu memiliki tubuh yang ramping padat, dan wajahnya manis sekali. Cara ia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menunjukkan bahwa gadis itu memiliki gerakan yang gesit dan bertenaga, mungkin bukan ahli silat lihai, akan tetapi setidaknya bukan seorang gadis yang lemah, pikir Cin Cin yang memandang penuh perhatian.
Gadis itu adalah Cian Kui Eng. Ia sedang duduk melamun, memikirkan ulah suhengnya yang tadinya ia anggap sebagai kakak kandungnya itu. Biarpun kini ia tahu bahwa kakaknya, Thian Ki, bukan kakak kandung, bahkan bukan kakak tiri, dan lebih tepat disebut suheng (kakak seperguruan), namun karena sejak kecil ia sudah menyebut koko (kakak), maka sampai sekarangpun ia masih menyebutnya koko. Sore tadi ulah kakaknya itu amat aneh. Dia pulang hanya memakai celana dan sepatu tanpa baju! Dengan bertelanjang dada Thian Ki pulang sambil menenteng dua ekor ikan emas kuning dan merah yang gemuk!
Tentu saja ia dan ibunya, atau lebih tepat lagi ibu tirinya yang menyambut kedatangan Thian Ki itu menjadi terheran-heran dan bertanya kenapa pemuda itu pulang bertelanjang dada dan membawa dua ekor ikan. Dan jawaban kakaknya membuat ia tetap merasa aneh sampai sekarang. Kakaknya menjawab, dengan muka menunduk dan tidak lancar bahwa kakaknya melihat dua ekor ikan itu, lalu membuka baju, terjun dan menangkap dua ekor ikan itu.
Akan tetapi ketika dia mengejar dua ekor ikan itu, bajunya terbawa angin, jatuh ke air sungai dan hanyut tanpa dia ketahui. Jawaban yang dianggapnya janggal karena selamanya belum pernah Thian Ki mengejar-ngejar ikan sampai terjun ke sungai! Dan cara kakaknya menjawab juga tidak lancar, seperti orang berbohong, padahal kakaknya tidak pernah membohong!
Ibunya bersikap tidak curiga bahkan tertawa geli, akan tetapi senang melihat dua ekor ikan yang gemuk itu, yang segera dibawa ibunya ke dapur. Dan tadi kakaknya menyusul ayahnya yang pergi ke dusun lain untuk mengadakan rapat mengenai para nelayan sungai dengan kepala-kepala dusun yang lain, dan sampai sekarang belum pulang. Ia menanti mereka di serambi depan sambil duduk melamun ketika muncul seorang gadis memasuki pekarangan rumahnya.
Kui Eng mengerutkan alisnya ketika melihat bahwa gadis cantik yang menghampirinya itu membawa pedang di punggungnya. Jelas gadis ini bukan gadis dusun, dan melihat pedang itu, tentu ia seorang wanita kang-ouw, pikirnya. Hal ini sesungguhnya tidak terlalu aneh baginya, mengingat bahwa ayahnya dan ibunya adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, seperti juga ia sendiri dan kakaknya. Akan tetapi mengapa tamu ini datang malam-malam?
"Selamat malam, apakah engkau ini yang disebut Cian Siocia?" tamu itu bertanya. Melihat sikap tamunya yang terbuka dan ramah, lenyap perasaan tidak senang dari hati Kui Eng. Gadis ini juga memiliki watak yang lincah jenaka dan terbuka, walaupun ia juga tabah, berani dan kadang galak.
"Benar, aku Cian Kui Eng. Enci siapa dan apa keperluanmu berkunjung ke rumah kami?"
Hemm, gadis ini tidak kampungan, pikir Cin Cin. Terbuka dan jujur, dan sama sekali tidak pemalu. Lebih pantas seorang gadis kangouw! Tebal dugaannya bahwa ia datang ke alamat tepat. Iapun menjawab sejujurnya. "Orang memanggil aku Cin Cin, dan aku datang ke sini untuk mencari ayahmu. Bukankah dia she Cian?"
"Tentu saja dia she Cian. Engkau tahu aku disebut Cian Siocia (nona muda Cian), siapa lagi she (nama keturunan) ayahku kalau bukan Cian. Mau apa sih engkau malam-malam begini datang mencari ayah?"
Hemm, ia mulai curiga dan mulai kasar, pikir Cin Cin, hatinya juga mulai panas. Kalau betul ayah gadis ini musuh besar gurunya, berarti gadis inipun boleh dianggap musuh!
"Kedatanganku ini ada urusan penting dengan ayahmu dan tidak dapat kukatakan kepada orang lain biar engkau ini puterinya sekalipun. Bukankah nama ayahmu Cian Bu...?"
"Benar, ayahku lurah di dusun ini!" jawab Kui Eng agak ketus karena sang tamu tidak mau memberitahukan keperluannya datang berkunjung.
"Dan dia dahulu seorang pangeran bernama Cian Bu Ong bukan?" tanya Cin Cin tiba-tiba dan dengan pandang mata menusuk penuh selidik.
Kembali Kui Eng mengerutkan alisnya. Ayah ibunya sudah berulang kali melarang ia bicara tentang ayahnya sebagai Pangeran Cian Bu Ong, karena hal itu berbahaya sekali, dapat membuat ayahnya ditangkap oleh pemerintah sebagai seorang buronan atau bekas pemberontak!
"Hai, Cin Cin, apa perlunya engkau bertanya-tanya tentang keadaan ayahku? Dia boleh jadi ini atau itu, apa hubungannya denganmu dan engkau mau apa? Ayahku adalah ayahku, lurah dusun ini dan engkau atau siapa saja tidak berhak untuk bertanya-tanya tentang urusan pribadinya! Mau apa engkau sebenarnya?" kini Kui Eng bertolak pinggang, matanya melotot.
"Nona Cian yang manis, kalau ayahmu itu benar Pangeran Cian Bu Ong, aku datang untuk membunuhnya!" kata Cin Cin, tidak kalah bengisnya.
"Heii! Enak saja engkau membuka mulutmu yang lancang! Apa kau kira setelah engkau membawa-bawa pedang, engkau dapat menakut-nakuti aku seperti anak kecil saja? Baik ayahku seorang lurah, pangeran atau raja sekalipun, engkau tidak patut mengancamnya seperti itu. Mungkin engkau seorang gila. Pergi dari sini atau aku akan menampar mulutmu biar rontok semua gigimu!"
Cin Cin adalah seorang wanita yang keras hati. Mendengar ucapan ini, tentu saja perutnya terasa panas. "Cian Kui Eng, sombong amat engkau. Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa!"
"Engkau yang sombong! Engkaupun tidak tahu nona mu ini orang macam apa! Habis kau mau apa?" bentak Kui Eng.
"Engkau juga mau apa kalau aku akan membunuh Pangeran Cian Bu Ong?"
"Kau mau membunuh pangeran atau raja bukan urusanku, akan tetapi kalau engkau menghina ayahku, engkau akan mampus di tanganku."
"Heh-heh, nona cilik, hendak kulihat bagaimana engkau akan membikin aku mampus!" tantang Cin Cin.
Kui Eng menggerakkan kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan Cin Cin. Kini kedua orang itu saling berhadapan dalam jarak dua meter, saling melotot dengan muka merah dan dari hidung mereka mengembus uap panas. "Pergi kau, kalau tidak, terpaksa aku akan memukulmu!"
"Jangan banyak mulut, pukullah kalau berani!" tantang Cin Cin.
"Sombong, lihat pukulanku!" Kui Eng memberi peringatan dan ia pun maju menyerang dengan tamparan tangan kiri. Tangan itu menyambar cepat dan kuat sekali ke arah muka Cin Cin.
Melihat betapa tamparan itu membawa angin pukulan yang dahsyat, maklumlah bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Cin Cin cepat menarik tubuh ke belakang sehingga tamparaan itu mengenai angin kosong. Akan tetapi kaki kanan Kui Eng sudah menyambar pula dengan tendangan maut ke arah perutnya!
"Hemm, ganas juga engkau!" seru Cin Cin dan iapun terpaksa meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari tendangan itu. Ia pun segera membalas, melangkah maju sambil mendorong kearah dada lawan. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki gerakan yang tidak kalah gesitnya, sehingga dorongannya itupun hanya mengenai angin kosong. Kembali Kui Eng sudah menyerang dari samping sebagai balasan, tangannya mencengkeram ke arah pundak kiri Cin Cin. Karena ingin menguji tenaga lawan, Cin Cin memutar lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkk!" Dua buah lengan yang kecil mungil berkulit halus, namun yang keduanya mengandung tenaga dalam yang amat kuat itu bertemu dan keduanya terpental ke belakang! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak, karena kini keduanya menyadari bahwa lawan benar-benar tangguh dan mereka memiliki tenaga sin-kang yang seimbang!
Kembali mereka saling hantam dan saling tendang bagaikan dua ekor singa betina mengamuk. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Cin Cin masih lebih menang setingkat. Biarpun keduanya digembleng oleh guru yang sakti, namun ketika kecilnya, Kui Eng yang merasa menjadi puteri pangeran, agak manja dan kadang malas berlatih. Berbeda dengan Cin Cin yang mengandung sakit hati karena kehancuran keluarganya, ia berlatih dengan tekun sekali untuk dapat membalas dendamnya.
Akan tetapi, menghadapi Kui Eng, Cin Cin tidak mau menghabiskan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Ia tidak ingin membunuh Kui Eng, karena belum mengetahui dengan pasti apakah ia berada di tempat musuh besar gurunya ataukah tidak. Ia belum yakin benar apakah ayah lawannya ini Pangeran Cian Bu Ong atau hanya seorang lurah kaya yang bernama Cian Bu saja. Sebaliknya, melihat orang mengancam ayahnya, Kui Eng menjadi marah sekali dan ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga keadaan mereka menjadi berimbang.
Biarpun demikian, karena memang kalah tingkat. setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Kui Eng terdesak mundur. Pada saat itu, dari dalam rumah bermunculan para pembantu rumah tangga dan mereka segera lari ke dalam untuk melapor kepada nyonya majikan mereka.
Sim Lan Ci berlari keluar sambil membawa pedangnya, yaitu pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pemburu Iblis)! Melihat puterinya terdesak oleh seorang gadis cantik lain yang memiliki serangan ganas dan kuat, ia terkejut. Kepandaian puterinya sudah hebat, dan jarang ada orang mampu menandinginya, akan tetapi kini ia melihat jelas betapa puteri tirinya itu terdesak oleh lawannya.
"Tahan dulu, hentikan perkelahian ini!" teriaknya sambil meloncat ke depan dan melihat puterinya terancam sebuah tamparan lawan, ia pun menangkis tamparan itu.
"Plak!" Keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan tergetar hebat. Mengertilah Sim Lan Ci mengapa puterinya terdesak. Gadis ini memang lihai sekali dan merupakan seorang lawan tangguh. Di lain pihak, melihat bayangan berkelebat dan seorang wanita setengah tua cantik jelita menangkis tamparannya membuat lengannya tergetar hebat.
Cin Cin juga meloncat kebelakang dan memandang penuh perhatian. Ia sudah mendengar keterangan dari pemilik rumah yang ditumpangi bahwa lurah Cian Bu memiliki seorang isteri cantik yang selalu berpakaian hitam. Iapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini isteri sang lurah dan ibu dari gadis ramping yang menjadi lawannya tadi.
Makin kuat dugaannya bahwa ia tidak tiba di alamat yang keliru. Pasti mereka ini keluarga Pangeran Cian Bu Ong karena gurunya memesan agar ia berhati-hati karena Pangeran Cian Bu Ong memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan ternyata keluarganya, isteri dan puterinya, juga amat lihai. Akan tetapi, melihat wajah wanita berpakaian serba hitam itu, ia tertegun. Ia merasa mengenal wanita ini!
Ya, ia mengenalnya dengan baik karena wanita ini dan suaminya dan puteranya menjadi tamu yang amat menarik perhatian dan yang disambut dengan meriah oleh seluruh keluarga Hek-houw-pang! Dengan melongo Cin Cin mengamati nyonya berpakaian hitam itu, mengingat-ingat. Tak salah lagi pikirnya. Wanita ini adalah bibinya sendiri, isteri dari pamannya yang bernama Coa Siang Lee, saudara sepupu ibunya sendiri yang bernama Coa Liu Hwa.
Dan ia ingat benar bahwa wanita ini bernama Sim Lan Ci, dan putera mereka bernama Coa Thian Ki. Akan tetapi... kenapa ia berada disini dan menjadi keluarga lurah Cian Bu atau mungkin Pangeran Cian Bu Ong? Di lain pihak, Sim Lan Ci juga mengingat-ingat karena merasa sudah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa di mana dan kapan. Hanya wajah gadis cantik itu adalah wajah yang tidak asing baginya.
"Nona, kenapa engkau menyerang puteriku? Kui Eng, kenapa engkau berkelahi dengan nona ini?" tanya Sim Lan Ci kepada mereka berdua.
"Ibu, Iblis betina ini datang menghina ayah! Ia hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng marah sekali.
Tentu saja Sim Lan Ci menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang wanita yang banyak pengalamannya di dunia kangouw, iapun dapat menduga bahwa tentu gadis ini mempunyai alasan yang kuat maka berani datang untuk membunuh suaminya! Dan alasan itu pasti ada hubungannya dengan pangeran Cian Bu Ong, karena selama menjadi lurah Cian Bu, suaminya tidak mempunyai musuh besar.
"Nona, kenapa nona hendak membunuh suamiku, lurah Cian Bu di dusun ini?" ia bertanya, sengaja menekankan kepada sebutan lurah.
"Lurah...?" kata Cin Cin meragu. "Nyonya, aku datang bukan hendak membunuh lurah Cian Bu atau siapapun, melainkan hendak bertanya apakah lurah Cian Bu itu Pangeran Cian Bu Ong. Kalau dia Pangeran Cian Bu Ong. aku akan membunuhnya dan siapapun juga tidak dapat menghalangiku!"
Sim Lan Ci memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi ia dapat menguasai guncangan dan debaran jantungnya dan bersikap tenang. "Nona, siapakah engkau sebenarnya?" Ia mengamati wajah itu. "Aku seperti pernah mengenalmu..."
"Aku juga. Bibi mirip benar dengan seorang wanita yang kukenal baik, sama wajah, pakaian dan suaranya, seperti Bibi Sim Lan Ci."
Wajah Sim Lan Ci berubah pucat. "Jadi kau... siapakah kau..."
"Ibu, namanya Cin Cin," kata Kui Eng cepat.
"Cin Cin...? Engkau puteri ketua Hek-hou-pang? Engkau... Kam Cin?"
"Benar! Aih, tidak kusangka dapat bertemu dengan bibi di sini. Akan tetapi aku menghadapi urusan genting, bibi. Tolonglah bibi beritahu sebenarnya siapa lurah Cian Bu itu. Benarkah dia Pangeran Cian Bu Ong?" tanya Cin Cin dan matanya mencorong, menatap tajam wajah wanita itu penuh selidik.
"Tapi kenapa...?" Ucapan Sim Lan Ci ini dipotong suara lain.
"Apakah yang terjadi di sini? Siapakah ia ini dan... ohhh...!" Pemuda itu terkejut ketika Cin Cin menoleh dan memandang kepadanya. Gadis yang dilihatnya bertelanjang bulat di tepi sungai itu!
Cin Cin tersenyum mengejek ketika melihat Thian Ki. "Hemm, kiranya engkau monyet jelek berada di sini pula. Mau apa kau mencampuri urusan kami!"
"Koko, ia datang hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng.
"Ehhnh...?" Thian Ki terkejut sekali.
"Thian Ki, nona ini adalah Kam Cin puteri ketua Hek-houw-pang, saudara misanmu sendiri!" kata Sim Lan Ci.
"Cin Cin...??"
"Thian Ki...??"
Teriakan Thian Ki dan Cin Cin hampir berbareng dan mereka saling pandang, lalu perlahan-lahan muka keduanya berubah kemerahan karena mereka teringat betapa mereka pernah saling melihat dalam keadaan telanjang bulat, teringat akan peristiwa ditepi sungai Huang-ho.
"Cin Cin, engkau tidak boleh membunuh ayah!"
"Ayah? Bukankah ayahmu, paman Coa Siang Lee, telah tewas ketika Hek-houw-pang diserbu gerombolan?"
"Yang kumaksudkan... dia... ayah tiriku..." kata Thian Ki, mukanya merah.
Cin Cin mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada Sim Lan Ci yang menundukkan muka. Peristiwa ini sama sekali tak pernah disangkanya datangnya begitu tiba-tiba dan ia dihadapkan kepada kenangan masa lalu. Cin Cin mengangguk-angguk dan senyumnya sinis.
"Hemm, mengerti aku sekarang. Kiranya setelah ditinggal mati paman Coa Siang Lee, bibi Sim Lan Ci telah menikah lagi dengan... lurah Cian Bu... atau Pangeran Cian Bu Ong si pemberontak?"
"Cin Cin...!" teriak Thian Ki, sedih melihat ibunya dicaci.
"Iblis betina busuk!" bentak Kui Eng marah. Cin Cin menoleh kepada Thian Ki. "Engkau hendak membela ayah tirimu? Kalau begitu, benar makianku bahwa engkau monyet buruk. Majulah!" Dan Cin Cin sudah memasang kuda-kuda. siap menghadapi pengeroyokan tiga orang itu.
"Tahan...!" terdengar bentakan dan suara ini demikian berpengaruh sehingga mengejutkan hati Cin Cin.
Gadis itu cepat melangkah mundur lalu menghadapi orang yang datang dari sebelah kanannya. Dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar, berjenggot panjang rapi, berwajah merah dan usianya tentu mendekati tujuhpuluh tahun, namun masih nampak gagah perkasa dan kokoh seperti batu karang.
Tidak ragu lagi hatinya bahwa dia tentu berhadapan dengan Pangeran Cian Bu Ong, karena laki-laki ini di waktu mudanya tentulah ganteng dan gagah perkasa sehingga tidak mengherankan kalau gurunya jatuh cinta. Tidak mungkin ada seorang lurah memiliki wibawa seperti ini...