"Nona, aku sudah mendengar bahwa engkau mencari Pangeran Cian Bu Ong untuk membunuhnya. Nah katakan, kenapa engkau hendak membunuh Pangeran Cian Bu Ong, apa kesalahannya kepadamu?"
Cin Cin menatap tajam wajah yang jantan itu dan bertanya. "Apakah engkau Pangeran Cian Bu Ong?"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum. "Aku bukan seorang pengecut. Kalau aku menyembunyikan nama dari umum, hal itu hanya agar keluargaku dapat hidup dengan tenteram. Akan tetapi kalau ada yang memusuhiku secara pribadi, aku tidak akan lari bersembunyi atau mengelak. Aku memang bekas Pangeran Cian Bu Ong. Nah, katakan kenapa engkau hendak membunuhku!"
Cin Cin melepaskan kalung mutiara dari lehernya, lalu melemparkan kalung itu ke arah Cian Bu Ong sambil berseru. "Cian Bu Ong, lihat benda ini dan engkau akan tahu mengapa aku hendak membunuhmu!"
Tentu saja ia menyambitkan kalung itu dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga yang nampak hanya sinar putih berkilau menyambar ke arah muka pria tua itu. Namun, dengan tenang saja Cian Bu Ong menyambut benda itu, walaupun di dalam hatinya diam-diam dia terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya sambitan ketika benda itu disambutnya. Dan ketika dia melihat benda itu, sebuah untaian kalung dari mutiara yang besar-besar dan indah, matanya terbelalak.
"Sui Lan...!" gumamnya seperti dalam mimpi dan terbayanglah semua pengalaman hidupnya di waktu dia masih muda. Dia pernah bertemu de ngan seorang gadis yang mendatangkan rasa kagum dalam hatinya, bukan hanya oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi juga karena gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi disamping ilmunya bermain dalam air.
Gadis itupun kagum kepadanya dan mereka saling jatuh cinta. Demikian besar cinta gadis itu kepadanya sehingga gadis itu menyelam ke dalam lautan yang berbahaya, mengumpulkan banyak mutiara pilihan dan membuat kalung dari untaian mutiara yang amat berharga, lalu memberikan kalung itu kepadanya sebagai tanda cinta!
Demikian terharu hatinya oleh hadiah ini sehingga dia pernah mengatakan bahwa dia akan menghargai kalung itu seperti nyawanya sendiri. Mereka saling jatuh cinta, bahkan gadis yang bernama Bhok Sui Lan itu sudah menyerahkan diri kepadanya. Hal ini saja sebetulnya sudah mendatangkan sedikit kekecewaan di dalam hatinya. Betapa mudahnya Sui Lan menyerahkan diri kepadanya, walaupun hal itu dianggapnya sebagai pernyataan cinta kasih yang tulus.
Mereka memang sudah bersepakat untuk menikah. Akan tetapi kemudian dia mendengar bahwa Bhok Sui Lan adalah seorang gadis kang-ouw yang termasuk golongan sesat, atau golongan hitam. Gadis itu datang dari keluarga para tokoh sesat yang terkenal, dari golongan manusia yang berwatak iblis. Tidak pernah mau mengenal peraturan dan selalu mendatangkan kekacauan dengan perbuatan mereka yang teramat keji dan jahat.
Hal ini membuat dia memaksa hatinya yang mencinta untuk meninggalkan dan melupakan Sui Lan dan diapun menikah dengan gadis lain. Dia adalah seorang pangeran yang bercita-cita tinggi, kalau mungkin dapat menggantikan kedudukan kaisar. Bagaimana mungkin seorang calon kaisar menikah dengan seorang gadis golongan sesat yang jahat? Hal itu tentu akan mencemarkan seluruh nama keluarga Kerajaan Sui!
Dia mengembalikan kalung mutiara itu kepada Sui Lan, kemudian meninggalkan gadis itu dan diapun tidak takut menghadapi Sui Lan walaupun gadis itu lihai karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Pula dia seorang pangeran yang memiliki banyak jagoan dan banyak pengawal sehingga gadis itu sama sekali tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mengganggunya.
Dia sudah hampir melupakan Sui Lan karena hal itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Dan hari ini, tiba-tiba saja seorang gadis datang mengembalikan kalung itu kepadanya dan mengatakan hendak membunuhnya! Dia mengamati kalung itu, menyebut nama bekas kekasihnya dan mengangkat muka lagi memandang kepada Cin Cin, gadis itu tersenyum mengejek.
"Nona, apa hubunganmu dengan Sui Lan? Bukan Bhok Sui Lan sekarang telah terkenal dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis Betina Lautan Timur)?" tanyanya, suaranya masih tenang walaupun hatinya terasa tegang.
"Bagus kalau engkau masih ingat nama subo Bhok Sui Lan! Aku adalah muridnya dan ia mengutusku untuk menukar kalung itu dengan nyawamu."
Mendengar ini, Kui Eng membentak, "Perempuan iblis, siapa takut padamu? Ibu, koko, mari kita basmi siluman jahat ini!"
Akan tetapi Cian Bu Ong mengangkat tangan atas. "Kalian tidak boleh mencampuri. Ini adalah urusan pribadiku, urusan ketika aku masih muda dan kalian belum ada bersamaku."
Mendengar ucapan bekas pangeran itu, Sim Lan Ci, Thian Ki dan Kui Eng tidak berani bicara lagi, hanya menjadi penonton yang berhati tegang. Cian Bu Ong lalu berkata kepada Cin Cin, suaranya berwibawa.
"Nona, aku memang ada urusan dengan gurumu. Kalau ia mendendam kepadaku kenapa bukan ia sendiri yang datang membuat perhitungan denganku di sini? Kenapa harus engkau, seorang gadis muda yang mencari keributan di sini?"
"Cian Bu Ong, hal itu adalah urusan antara kami guru dan murid. Aku mewakili subo untuk membalas dendam ini. Aku bukan orang yang suka cari keributan dan tidak suka membuat kekacauan. Juga aku bukan seorang yang curang. Kalau engkau tidak menghendaki keributan di dusunmu ini, dan agar engkau dapat bersiap-siap menghadapiku, biarlah kuberi waktu sampai besok sore. Setelah matahari condong ke barat, aku menantimu untuk membuat perhitungan diluar dusun sebelah barat di tepi sungai. Nah, selamat malam!" Setelah berkata demikian, Cin Cin membalikkan tubuhnya meninggalkan pekarangan itu dengan langkah gagah.
Kui Eng yang merasa penasaran sudah melangkah maju hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang oleh ayahnya. "Jangan kejar, biarkan ia pergi."
Sim Lan Ci yang sejak tadi hanya menjadi penonton dan pendengar, mengerutkan alisnya dan kini iapun bertanya kepada suaminya. "Sebenarnya siapa sih itu Tung-hai Mo li Bhok Sui Lan dan mengapa ia mengirim muridnya untuk menukar kalung mutiara itu dengan nyawamu?"
Lurah Cian Bu atau bekas Pangeran Cian Bu Ong itu menghela napas panjang. Sambil mempermainkan kalung mutiara itu diapun berkata, "Mari kita masuk ke dalam dan akan kuceritakan semua kepada kalian, agar kalian tahu apa yang telah terjadi dan mengapa hari ini terjadi peristiwa yang membuat kalian semua merasa heran dan penasaran itu."
Mereka berempat masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, duduk mengelilingi meja besar, bekas pangeran itu menceritakan riwayatnya dengan Bhok Sui Lan. Sebagai penutup ceritanya dia berkata,
"Memang tadinya kami saling mencinta, bahkan kami sudah bersepakat untuk menikah. Akan tetapi setelah aku tahu latar belakang kehidupannya, bagaimana mungkin aku yang ketika itu seorang Pangeran yang mendambakan kedudukan sebagai kaisar dapat menikah dengan seorang gadis dari keluarga para tokoh sesat yang amat jahat dan yang namanya sudah tercemar? Aku mengembalikan kalung pemberiannya ini dan mengucapkan selamat berpisah. Tidak kusangka selama ini ia menyimpan dendam padaku."
Karena urusan cinta gagal itu terjadi ketika suaminya masih muda dahulu, jauh sebelum bertemu dengannya, maka Sim Lan Ci juga tidak merasa tersinggung. Ia hanya ikut menyesal dan bertanya, "Kalau memang ia mendendam, kenapa tidak sejak dahulu ia membalas dendamnya kepadamu?"
Cian Bu tersenyum. "Tentu saja ia tidak berani. Selain ketika itu ilmunya tidak akan menang melawanku, juga sebagai pangeran tentu saja aku mempunyai banyak pengawal yang pandai."
"Tapi sekarang?" tanya isterinya.
Cian Bu menghela napas panjang. "Entahlah, tetapi melihat gerakan gadis tadi, jelas kini Tung-hai Mo-li tentu telah memperdalam kepandaiannya. Tadi kulihat engkau dan Thian Ki seperti telah mengenalnya, benarkah?"
"Benar, kami mengenalnya. Ia bernama Kam Cin dan biasa dipanggil Cin Cin. Ia puteri ketua Hek-houw-pang yang tewas pula ketika terjadi penyerbuan malam itu..." Sim Lan Ci teringat akan keterlibatan suaminya dalam penyerbuan itu dan menahan ucapannya.
"Tapi kenapa tiba-tiba ia muncul sebagai murid Tung-hai Mo-li?" tanya Cian Bu sambil mengerutkan alisnya yang tebal. Bagaimanapun juga, ayah gadis itu, ketua Hek-houw-pang, tewas oleh lima orang anak buahnya. Kalau gadis itu mengetahuinya, bukan untuk subonya saja ia datang hendak membunuhnya, juga tentu untuk membalas kematian ayahnya!
"Kami juga tidak mengerti. Ketika aku kembali ke dusun Ta-bun-cung dulu itu, kami mendengar bahwa Cin Cin diantar oleh susioknya (paman gurunya) untuk menjadi murid Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. Entah bagaimana kini tiba-tiba saja ia muncul sebagai murid Tung-hai Mo-li."
Bekas pangeran itu mengangguk-angguk dan meraba dagunya yang ditumbuhi jenggot yang terawat rapi. Kalau gadis itu murid Huang-ho Sin-liong tidak aneh kalau ia lihai sekali. Akan tetapi ia mengakui Tung-hai Mo-li sebagai gurunya.
"Bagaimanapun juga, aku melihat bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah. Buktinya, ia memberi waktu kepadaku untuk bersiap sampai besok sore."
"Engkau hendak menandinginya?" tanya isterinya khawatir.
"Engkau khawatir aku kalah?"
Sim Lan Ci menggeleng kepala. Ia maklum akan kemampuan suaminya dan ia tadi sudah melihat kelihaian Cin Cin. Bagaimanapun juga, sukar dapat dipercaya kalau gadis itu akan mampu mengalahkan suaminya.
"Aku justeru khawatir engkau membunuhnya hingga permusuhan akan menjadi semakin parah padahal, biarpun agak jauh, tetap saja ia masih keponakanku dan saudara misan Thian Ki."
Cian Bu tersenyum. "Engkau kira aku ini orang macam apa hendak membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawanku? Jangan khawatir, aku tidak akan mencelakainya. Kalau memang Sui Lan hendak membalas dendam kepadaku, ia harus datang sendiri. Tidak menyuruh orang lain."
Diam-diam bekas pangeran ini merasa terharu karena dia mengenal betul watak Sui Lan. Wanita itu bukan seorang penakut, bahkan sangat pemberani. Kalau ia mengutus muridnya, hal itu pasti bukan karena ia takut maju sendiri. Satu-satunya sebab yang dapat menyebabkan Sui Lan tidak datang sendiri adalah bahwa ia masih mencintanya! Sui Lan agaknya tidak pernah melupakannya, menaruh dendam akan tetapi tidak mau turun tangan sendiri karena agaknya yakin bahwa kalau berhadapan muka, Sui Lan tidak akan tega mencelakainya karena masih mencintanya.
Malam itu, Cian Bu tidur nyenyak, sedikitpun agaknya tidak memikirkan tentang tantangan Cin Cin untuk membuat perhitungan besok sore. Akan tetapi sebaliknya, Sim Lan Ci dan Thian Ki tidak dapat tidur, merasa gelisah membayangkan apa yang akan terjadi esok. Ketika malam itu Sim Lan Ci menyelinap dari dari dalam kamarnya, meninggalkan suaminya yang sedang tidur nyenyak, ia mendapatkan puteranya duduk termenung seorang diri di ruangan belakang.
Melihat ibunya. Thian Ki segera menyambut dengan pertanyaan, "Kenapa ibu belum tidur?"
"Kulihat engkaupun belum tidur masih melamun di sini, Thian Ki. Agaknya pikiran kita sama. Engkau juga memikirkan Cin Cin, bukan?"
"Benar, ibu. Aku khawatir sekali membayangkan apa yang akan terjadi besok sore."
"Thian Ki, tadi agaknya Cin Cin telah mengenalmu. Mengapa ia memakimu sebagai monyet jelek?"
Wajah Thian Ki berubah kemerahan. Tentu saja dia merasa malu untuk menceritakan peristiwa itu kepada ibunya, dan dia tidak tahu harus menjawab bagaimana sehingga dia menunduk saja.
"Thian Ki, apakah ada kaitannya dengan ketika engkau pulang bertelanjang dada membawa dua ekor ikan itu?"
Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Ibunya adalah seorang wanita yang cerdik sekali, bagaimanapun sukar untuk membohonginya. Dia harus menceritakan pertemuannya dengan Cin Cin, tentu saja tanpa menyebut dan menyinggung tentang dia dan Cin Cin saling melihat masing-masing bertelanjang bulat!
"Benar, ibu. Akan tetapi ketika kami saling jumpa di tepi sungai itu, kami tidak saling mengenal. Ketika itu aku hendak mandi dan sudah membuka baju, ketika aku melihat dua ekor ikan itu menggelepar di balik semak. Aku menangkap dua ekor ikan itu. Tidak tahunya, ia muncul dan marah-marah, mengatakan bahwa aku hendak mencuri ikan miliknya. Lalu sebagai gantinya, ia dengan marah membuang bajuku yang sudah kutanggalkan ke tengah sungai sampai hanyut, lalu ia memaki aku monyet jelek dan pergi..."
Terpaksa Thian Ki berbohong dan mengubah kejadian yang sebenarnya kepada ibunya, karena bagaimanapun tentu saja dia merasa malu untuk bicara terus terang tentang ketelanjangan itu. Ibunya mendengarkan penuh perhatian dan menarik napas panjang.
"Hemm, ia masih lincah, jenaka dan pemberani seperti dahulu, hanya kini bertambah galak dan lihai. Thian Ki, bagaimanapun juga, kita harus mencegah terjadinya perkelahian antara ia dan ayahmu."
"Akan tetapi bagaimana caranya, ibu? Ayah sudah mengatakan bahwa itu urusan pribadinya dan kita tidak boleh mencampuri. Ayah benar dan aku tidak berani untuk membujuknya."
"Engkau harus dapat membujuk Cin Cin agar membatalkan perkelahiannya dengan ayahmu. Kalau aku yang membujuk, kurang baik. Engkaulah yang lebih dekat dengannya, karena ayahmu adalah saudara sepupu ibunya. Engkau bujuklah ia agar tidak melanjutkan kehendaknya menantang ayahmu."
Thian Ki membayangkan Cin Cin yang demikian galak terhadap dirinya dan diam-diam dia merasa jerih juga. Gadis itu demikian galak seperti harimau betina. Akan tetapi, ketika itu Cin Cin belum mengetahui bahwa dia adalah Thian Ki. Mungkin kini sikapnya berubah lebih lunak, mengingat betapa dulu, ketika dia menjadi tamu keluarga gadis itu bersama ayah ibunya, mereka adalah saudara misan yang bersahabat karib.
"Baiklah, ibu. Akan kucoba besok. Akan kucari Cin Cin sebelum ayah pergi ke sana menyambut tantangannya."
Setelah bicara dengan Thian Ki, agak legalah hati Sim Lan Ci dan wanita inipun kembali ke kamarnya dan tidur di samping suaminya. Thian Ki juga memasuki kamarnya dan semalam itu dia gelisah, membayangkan pertemuannya dengan Cin Cin dan mencari-cari cara dan jalan untuk membujuk gadis itu tanpa dapat menemukan cara terbaik sampai akhirnya dia kelelahan dan tertidur menjelang pagi.
Sejak tengah hari. Thian Ki sudah berkeliaran di sepanjang tepi sungai sebelah barat sungai Kuning untuk mencari Cin Cin. Dia sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu semalam tidur di rumah milik janda miskin di ujung dusun, dan gadis yang berhati-hati itu tidak mau keluar dari rumah sebelum matahari mulai condong ke barat. Ketika siang hari itu Thian Ki tiba di tepi sungai tentu saja dia tidak dapat menemukan Cin Cin yang masih berada di rumah kecil itu bersama wanita pemilik rumah, bahkan masak-masak bersama wanita itu yang merasa suka sekali kepada gadis itu.
Sambil masak berdua di dapur, wanita yang mulai merasa suka sekali kepada Cin Cin berkata, "Nona, kalau aku boleh bertanya, apakah nona sudah... eh, sudah menikah atau bertunangan? Maafkan pertanyaanku, aku tidak bermaksud untuk bersikap kurang ajar."
"Ah, tidak mengapa, bibi. Aku belum menikah, juga tidak bertunangan. Kenapa sih bibi menanyakan hal itu? Apakah bibi ingin mengambilku sebagai mantu untuk dijodohkan dengan puteramu yang pergi tak pernah memberi kabar itu?"
Wanita itu tersipu. "Aih, nona harap jangan mengolok-olok. Orang seperti kami ini mana pantas untuk menarik nona menjadi anggota keluarga? Bukan itu maksudku tadi, aku kagum dan suka kepadamu, dan aku hanya ingin tahu saja. Kalau seorang gadis seperti nona ini, paling tidak harus berjodoh dengan seorang pemuda yang pilihan, seperti... seperti misalnya Cian Kongcu itu."
"Cian Kongcu...?"
"Maksudku, putera lurah kami itu..."
Cin Cin teringat dan terbayanglah wajah Thian Ki, bukan hanya wajahnya, melainkan seluruh tubuh pemuda yang pernah dilihatnya telanjang bulat itu dan iapun tertawa. "Monyet... monyet jelek itu."
Kini wanita itu yang memandang dengan mata terbelalak. "Monyet jelek? Nona, putera lurah Cian amat tampan dan gagah, juga manis budi walaupun agak pendiam."
"Sudahlah, bibi, jangan bicara tentang orang lain. Masakannya sudah matang dan perutku sudah lapar. Mari kita makan."
Demikianlah, ketika matahari sudah condong ke barat dan Cin Cin meninggalkan rumah kecil itu menuju ke tepi sungai di luar dusun, ucapan wanita itu terngiang lagi di telinganya dan diapun melangkah sambil melamun. Teringatlah kenangan lama, ketika Thian Ki bersama ayah ibunya menjadi tamu orang tuanya. Betapa orangtuanya dan seluruh keluarga Hek-houw-pang menghormati para tamu itu, dan betapa ia dan Thian Ki telah bersahabat baik.
Kemudian, teringat pula ia akan pertemuannya dengan pemuda itu di tepi sungai dan mau tak mau ia tersenyum geli. Akan tetapi hanya sebentar karena ia segera teringat lagi bahwa kini Thian Ki yang dulu bukan lagi Thian Ki yang sekarang. Sekarang dia adalah anak tiri Cian Bu Ong, musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya! Heran ia memikirkan bagaimana ibu Thian Ki yang ditinggal mati suaminya itu kini tahu-tahu telah menjadi isteri bekas pangeran itu.
"Cin Cin..."
Gadis itu terkejut dan sadar dari lamunannya, menahan langkahnya dan tahu-tahu Thian Ki telah berada di depannya. Ia mengerutkan alis, heran dan juga penasaran karena yang ia nantikan adalah Cian Bu Ong, bukan Thian Ki.
"Hem, kiranya engkau. Mau apa engkau menghadangku?" tanyanya dengan sikap dan suara yang ketus.
Thian Ki melangkah maju mendekat. "Cin Cin, aku adalah Thian Ki, saudara misan dan sahabatmu..."
Cin Cin mundur dua langkah. "Jangan mendekat! Engkau bukan lagi Thian Ki putera paman Coa Siang Lee, melainkan Thian Ki anak musuh besarku Cian Bu Ong!"
Sedih sekali hati Thian Ki melihat sikap mendengar ucapan itu. "Cin Cin, bersikaplah adil. Memang benar bahwa ibuku telah menjadi janda dan kini telah menjadi isteri bekas pangeran Cian Bu Ong, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa ibu dan aku menjadi musuhmu. Pula, engkau sendiri tidak mempunyai permusuhan apapun dengan ayah tiriku itu. Cin Cin, dengarlah baik-baik, urusan antara ayah tiriku dan gurumu, urusan itu adalah urusan pribadi, urusan mereka berdua, tidak ada hubungannya dengan kita. Mereka dahulu saling mencinta, akan tetapi kemudian ayah tiriku terpaksa meninggalkannya, dan sama sekali bukan kesalahan ayah tiriku..."
Cin Cin melotot dan mukanya kemerahan,sinar matanya berkilat. "Huh, kalian laki-laki memang mau enaknya sendiri saja! Guruku di waktu gadis telah menyerahkan segala-galanya kepada Cian Bu Ong, mencintanya dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi Cian Bu Ong malah meninggalkannya dan menikah dengan gadis lain. Apa ini bukan perbuatan yang khianat dan hina? Guruku sejak itu hidup merana, tidak pernah menikah lagi. Tidak pernah berdekatan lagi dengan laki-laki lain, seluruh sisa hidupnya dipergunakan untuk memperdalam ilmu agar kelak dapat membalas dendam kepada Cian Bu Ong. Dan sekarang engkau, anak tiri Cian Bu Ong, mengatakan bahwa dia tidak bersalah. Apakah guruku yang disia-siakan itu yang salah? Jawab!"
Diberondong serangan kata-kata itu, Thian Ki agak gelagapan juga. Dia memang seorang yang tidak begitu pandai bicara, bahkan condong pendiam. Kalau kini dia dapat mengeluarkan banyak kata-kata, hal itu adalah karena rasa khawatirnya, bukan terhadap ayah tirinya yang dia tahu seorang sakti, melainkan terhadap Cin Cin.
"Gurumu juga tidak bersalah, Cin Cin. Akan tetapi ayah tiriku juga tidak bersalah. Mereka, sebagai dua orang kekasih, mereka telah menjadi korban keadaan. Mereka memang saling mencinta dan sudah bermaksud untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi kemudian Pangeran Cian Bu Ong mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah seorang anggota keluarga tokoh-tokoh sesat yang tersohor karena kejahatan dan kekejaman mereka. Sebagai seorang pangeran yang bercita-cita menjadi kaisar, tentu saja Pangeran Cian Bu Ong tidak ingin mencemarkan nama keluarga kerajaan dengan menikahi kekasihnya itu, maka terpaksa dia meninggalkannya."
"Alasan kosong! Buktinya dia sekarang tidak menjadi kaisar, malah menjadi lurah saja, dan berganti nama pula.! Thian Ki, jangan engkau mencampuri urusanku. Apapun alasannya, Cian Bu Ong telah menghancurkan kehidupan guruku, dan guruku mengutus aku untuk membunuhnya, maka hal itu akan kulakukan dan siapapun tidak boleh menghalangiku!"
"Cin Cin, jangan kau lanjutkan niatmu yang sia-sia itu..."
"Apa? Engkau berani melarangku? Engkau hendak membela ayah tirimu itu ya?"
"Bukan membela, Cin Cin. Dia tidak perlu dibela. Aku mencegah perkelahian ini karena aku tidak ingin melihat engkau cedera atau tewas. Ayah tiriku itu seorang yang sakti, Cin Cin. Engkau bukan lawannya."
Ucapan ini bagaikan minyak disiramkan kepada api, membuat Cin Cin menjadi semakin marah. "Kau kira aku takut? Untuk membela guruku, aku akan mempertaruhkan nyawaku! Dan aku hendak melihat sampai dimana kehebatan laki-laki yang telah merusaak kehidupan guruku itu! Jangan engkau mencampuri!" Cin Cin bertolak pinggang menghadapi Thian-Ki dengan sikap marah sekali. "Kenapa dia tidak datang? Apakah Cian Bu Ong hanya seorang pengecut yang mengirim putera tirinya untuk membujuk agar aku mau mundur?"
Thian Ki tidak menjawab, bahkan mundur beberapa langkah karena dia tahu bahwa ayah tirinya sudah berada di situ. "Nona. aku sudah berada di sini!" terdengar suara Cian Bu Ong yang berwibawa dan tenang. Kemudian dia berkata kepada Thian Ki. "Thian Ki, sudah kukatakan bahwa ini urusan pribadi, engkau tak boleh mencampuri."
"Maafkan saya, ayah," kata Thian Ki dengan hati terpukul dan dia hanya berdiri menjadi penonton, jantungnya berdebar tegang.
"Bagus engkau sudah datang, Cian Bu Ong!" kata Cin Cin.
"Maaf, aku tidak tahu bahwa Thian Ki telah mendahuluiku. Nah, aku sudah siap sekarang, nona."
"Singgg...!!" Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut Koai-liong-kiam dari sarung pedang. Pedang pusaka yang ampuh itu merupakan sebatang pedang yang tajam dan bentuknya seperti seekor naga.
"Cian Bu Ong, keluarkan senjatamu!" bentak Cin Cin dan dengan gagahnya dan ia sudah memasang kuda-kuda dengan pedang di tangan.
Cian Bu Ong tetap bersikap tenang. Teringat dia kepada bekas kekasihnya, Bhok Sui Lan yang dulu juga merupakan seorang yang lihai mempergunakan pedang, bahkan diapun teringat bahwa itu adalah pedang milik kekasihnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa gadis ini memang murid bekas kekasihnya itu.
"Hemm, Koai-liong-kiam. Ingin aku melihat sampai di mana kemajuan Sui Lan melalui muridnya. Aku tidak perlu mempergunakan senjata, nona. Mulailah, aku sudah siap sedia."
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus di tanganku!" teriak Cin Cin dan iapun menyerang dengan pedangnya, menerjang bagaikan angin badai mengamuk. Gerakan pedangnya memang dahsyat bukan main. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh dan lihai sekali, maka begitu menyerang ia telah memainkan ilmu pedang Koay-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dahsyat.
Cian Bu Ong mengenal ilmu pedang ini, akan tetapi diapun tahu bahwa ilmu pedang itu selama puluhan tahun ini tentu telah diperhebat oleh Bhok Sui Lan, maka diapun tidak memandang rendah dan cepat menggerakkan kedua tangannya. Lengan bajunya yang lebar itu menyambar-nyambar mengeluarkan angin kuat dan agaknya kedua lengan baju yang panjang dan lebar itulah yang dipergunakan Cian Bu Ong untuk menghadapi pedang lawan.
Thian Ki yang masih berdiri di situ sebagai penonton, melihat dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia melihat bahwa Cin Cin memang hebat bukan main, apalagi dengan pedangnya yang ampuh itu. Pantas kalau Kui Eng tidak mampu menandinginya. Dia sendiripun agaknya tidak akan mudah menang. Cin Cin telah menjadi seorang gadis yang hebat sekali ilmu silatnya, juga galak dan ganas!
Akan tetapi, dia juga melihat gerakan ayah tirinya dan mulailah dia merasa khawatir. Betapapun hebat ilmu pedang gadis itu, namun ternyata dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah setingkat oleh Cian Bu Ong. Setiap kali ujung pedang bertemu ujung lengan baju, pedang itu terpental dan nampak gadis itu seperti orang terkejut. Hanya kelincahan gadis itu yang membuat mereka menjadi seimbang, karena tentu saja Cian Bu yang sudah tua tidak mampu menyamai kecepatan gerakan gadis semuda dan selincah Cin Cin.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat hati Thian Ki merasa lega, dan juga heran. Dia maklum bahwa kalau Cian Bu Ong menghendaki, dengan kelebihan tenaga sin-kangnya, dia akan mampu mendesak bahkan merobohkan lawannya. Akan tetapi ternyata bekas pangeran itu tidak melakukan hal itu. Ini hanya membuktikan bahwa Cian Bu Ong telah sengaja mengalah!
Dan sikap mengalah ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa ayah tirinya itu masih mempunyai perasaan cinta terhadap guru Cin Cin, yaitu Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan! Atau setidaknya, ayah tirinya menyadari kesalahannya terhadap Bhok Sui Lan maka sekarang sengaja mengalah terhadap muridnya.
Cin Cin yang merasa penasaran sekali tidak mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong itu dengan pedangnya, tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring dan melengking, tubuhnya berputar cepat sekali dan pedangnya digetarkan, ujung pedang menjadi banyak dan bertubi-tubi menusuk ke arah bagian-bagian paling berbahaya dari tubuh lawan. Sekali saja ujung pedang itu berhasil mengenai sasaran, tentu Cian Bu Ong, betapapun lihainya, akan roboh dan tewas!
Melihat ini, timbul pula kekhawatiran dalam hati Thian Ki. Serangan gadis itu teramat berbahaya walaupun dengan serangan itu Cin Cin membuka pula pertahanannya, kalau ayah tirinya terus mengalah, serangan itu dapat mencelakakannya . Akan tetapi, ia tidak dapat turun tangan mencampuri karena selain dia tidak ingin menyinggung hati ayah tirinya. juga dia tidak ingin membikin marah hati Cin Cin.
Gadis itu tidaklah jahat walaupun telah menjadi murid seorang tokoh sesat. Ia hanya taat dan setia kepada gurunya, dan kini bertekad membunuh Cian Bu Ong demi gurunya, bukan karena dendam pribadi. Kebenciannya ternadap Cian Bu Ong juga hal yang sewajarnya karena sebagai seorang wanita, tentu saja ia tidak senang mendengar gurunya menderita dalam hidupnya karena disia-siakan oleh bekas kekasihnya.
Karena desakan serangan bertubi-tubi itu, tubuh Cian Bu Ong terjengkang, akan tetapi bagai binatang trenggiling, dia bergulingan ke kiri dan sambil meloncat, diapun menggerakkan kedua lengan bajunya, diputar bagaikan dua buah kitiran menyambar ke arah gulungan sinar pedang.
"Plakkk!" keras sekali ujung lengan baju itu bergerak, yang satu menahan ujung pedang, yang lain menotok ke arah pergelangan tangan Cin Cin. Tak dapat dicegah lagi, tangan kanan Cin Cin yang seperti lumpuh seketika itu melepaskan pedangnya, akan tetapi gadis yang lihai itu masih sempat menggerakkan kakinya menendang ke arah dada lawan.
Pandang mata Thian Ki yang terlatih menangkap gerakan kaki ini dan melihat pula betapa ayah tirinya masih sempat menghindar kalau ia kehendaki. Namun bekas pangeran itu agaknya memang sengaja memperlambat gerakannya dan dadanya masih terkena tendangan itu.
"Dukk!" Tubuh Cian Bu Ong terjengkang dan terbanting keras. Dia bangkit duduk, meringis kesakitan akan tetapi tersenyum dan berkata, "Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat...!"
Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat dan menyambar pedangnya yang tadi terlepas dan secepat kilat ia menyerang Cian Bu Ong yang masih duduk dan belum bangkit berdiri itu. Bekas pangeran itu terkejut, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis itu sedemikian ganasnya, menyerang ia yang sudah terkena tendangan.
"Plakk!" lengan tangan Cin Cin yang memegang pedang ditepuk dari samping dan gadis terkejut bukan main karena merasa betapa seluruh lengannya tergetar dan dengan sendirinya tusukan pedangnya ke arah Cian Bu Ong itu menyamping dan tidak mengenai sasaran. Ketika ia menengok, ia melihat bahwa yang menghalanginya adalah Thian Ki. Matanya melotot dan kedua pipinya menjadi kemerahan.
"Coa Thian Ki! Engkau berani menghalangi aku membunuh musuh besarku!" bentaknya.
"Sabar dan tenanglah, Cin Cin. Tidak tahukah engkau betapa tadi ayah telah bersikap mengalah kepadamu? Kalau dia menghendaki, tentu engkau tadi telah dirobohkan. Dia sudah mengalah, bahkan menerima tendanganmu dengan sengaja. Mengapa engkau begini nekat untuk menyerang selagi dia belum siap?"
"Tidak perduli! Dia atau aku yang harus mati di sini, dan kalau engkau membelanya, berarti engkau menjadi musuh besarku dan harus mati pula!" setelah membentak demikian, Cin Cin menggunakan pedangnya menyerang Thian Ki dengan ganasnya!
Tentu saja Thian Ki tidak ingin menjadi mangsa pedang di tangan Cin Cin yang sedang marah itu. Dia mengelak dan terpaksa balas menyerang karena kalau tidak, tentu dia tidak mampu bertahan terus. Diapun menggunakan ilmu silat yang sama seperti dimainkan ayah tirinya tadi, dan menggunakan kedua ujung lengan baju untuk senjata.
Walaupun kedua ujung lengan bajunya tidak selebar lengan baju ayah tirinya, namun Thian Ki memiliki gerakan yang lebih cepat. Pula, dia memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat pula, bahkan lebih kuat dari ayah tirinya berkat kemampuannya menguasai hawa beracun yang ada di dalam tubuhnya, ilmu yang dia dapatkan dari mendiang Lo Nikouw atau yang dahulunya adalah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, neneknya.
Diam-diam Cin Cin terkejut bukan main. Dalam kemarahannya tadi melihat Thian Ki membela ayah tirinya, ia kecewa dan penasaran sekali dan hendak membunuh siapa saja yang membela musuh besarnya. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Thian Ki ternyata tak kalah lihainya dibandingkan Cian Bu Ong! Dia terkejut, heran dan kagum, akan tetapi kemarahan dan rasa penasarannya memuncak.
Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan mengerahkan seluruh tenaga, menggunakan ilmu pedang Koai-liong-kiamsut yang memang dahsyat itu. Diam-diam Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Gadis ini memang tangguh bukan main dan sukar memang menundukkannya tanpa meruntuhkan pedangnya. Kalau dia membuat pedang itu terlepas, hal itu tentu akan membuat Cin Cin menjadi semakin marah. Akan tetapi kalau tidak demikian, bagaimana mungkin menundukkan gadis yang lihai dan ganas ini?
Satu-satunya jalan adalah mencontoh ayah tirinya tadi. Menjatuhkan pedang dari tangan Cin Cin dan membiarkan dirinya terkena tendangannya yang lihai. Kalau dia mengerahkan sin-kang, tentu tendangan itu tidak akan melukainya, seperti yang dilakukan ayah tirinya tadi.
"Haiiiiitttt...!" Cin Cin menyerang semakin ganas.
"Cukup, Cin Cin!" Thian Ki membentak dan tiba-tiba saja kedua ujung lengan bajunya menangkap dan membelit ujung pedang, lalu tangan kirinya meluncur keluar dari ujung lengan baju dan menotok jalan darah di bawah siku lengan gadis itu.
"Ihhh...!" Untuk ke dua kalinya terpaksa Cin Cin melepaskan pedangnya, akan tetapi dengan kemarahan meluap, dan dengan nekat tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah leher di atas pundak kanan Thian Ki.
Serangan itu demikian tiba-tiba sehingga mengejutkan Thian Ki yang tadinya mengharapkan gadis itu akan menendangnya seperti yang dilakukannya kepada Cian Bu Ong. Ia cepat menarik tubuh atas ke belakang namun Cin Cin sudah menguasai ilmu yang membuat lengannya dapat memanjang beberapa inci, sehingga biarpun tangannya tidak dapat mencapai leher, masih mampu mencengkeram pundak kanan Thian Ki. Kelima jari tangannya berubah seperti baja dan kuku-kuku tangannya mencengkeram bagai lima batang pisau tajam runcing, lima jari tangan kiri itu menancap dan masuk ke dalam daging di pundak Thian Ki.
"Ahhh...!" Thian Ki terkejut setengah mati, bukan karena luka di pundaknya, melainkan karena secara otomatis, tanpa dapat dicegah lagi, hawa beracun di tubuhnya bekerja menyambut jari-jari tangan yang memasuki daging pundaknya itu.
"Aihhhhhhh...!" Cin Cin menjerit cepat menarik kembali tangan kirinya dan ia terbelalak memandang kepada tangan kirinya yang telah menghitam seluruh jari tangannya. Kemudian terbelalak pula ia memandang kepada Thian Ki, "Kau... kau...!"
Wajah Thian Ki berubah pucat sekali ketika memandang ke arah tangan kiri gadis itu. Dia tahu bahwa nyawa Cin Cin terancam bahaya maut. Hawa beracun yang ditanamkan oleh mendiang neneknya ke dalam tubuhnya adalah racun yang amat dahsyat, bahkan belum dapat ditemukan pemunahnya.
Hawa beracun yang membuat ke lima jari tangan Cin Cin menghitam itu akan menjalar terus ke atas daan kalau sudah sampai ke jantung, gadis itu tak akan dapat diselamatkan lagi. Jalan satu-satunya hanyalah... Thian Ki tidak sempat banyak berpikir lagi. Yang terpenting saat itu adalah menyelamatkan nyawa Cin Cin. Secepat kilat dia menyambar pedang Cin Cin yang tadi terlepas dan berada di atas tanah, bagaikan kilat pedang itu menyambar ke arah tangan Cin Cin yang kini memegang lengan kirinya dengan tangan kanan sambil terbelalak.
"Singgg... crakkk!" tepat sekali pedang itu membabat ke arah pergelangan tangan kiri Cin Cin dan tangan itupun buntung sebatas pergelang tangan tangan.
"Aduhhhhhh...!" Cin Cin terpelanting, akan tetapi ia cepat bangkit kembali, memandang lengan kirinya yang buntung sebatas pergelangan dengan mata terbuka lebar.
"Cin Cin... maafkan aku... maafkan aku...!"
Thian Ki berkata seperti meratap dan seperti orang jijik dia membuang pedang itu ke tas tanah kembali. Pedang yang baru saja membuntungi pergelangan tangan kiri Cin Cin menancap di atas tanah, gagangnya bergoyang-goyang seperti mengejek.
"Nona, biar kuobati luka di lenganmu..." Cian Bu Ong berkata pula sambil menghampiri Cin Cin.
"Jangan mendekat!" Cin Cin berteriak, suaranya bercampur isak dan biarpun ia tidak menangis, akan tetapi air mata bercucuran dari kedua matanya. Ia menggunakan jari tangan kanannya untuk menotok jalan darah di dekat siku dan memijit bagian jalan darah dekat pergelangan yang buntung untuk menghentikan darah keluar dari luka.
Kemudian ia mencabut pedang yang menancap di atas tanah, menyarungkan pedangnya kembali, mengambil sehelai saputangan dan dengan tangan terlindung saputangan, ia memungut tangan kirinya yang buntung menghitam itu. Semua ini dilakukannya dengan amat tenang sehingga mengerikan bagi Thian Ki. Setelah menyimpan buntalan tangan hitam ia menatap tajam wajah Thian Ki.
"Coa Thian Ki, akan tiba saatnya engkau membayar untuk semua ini!"
"Cin Cin, maafkan aku... aku tidak sengaja..."
Namun Cin Cin tidak memperdulikannya dan kini memandang kepada Cian Bu Ong. "Cian Bu Ong sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kelak aku masih akan menebus kekalahan ini. Sebelum kau mati untuk membayar dosamu terhadap subo, aku tidak akan berhenti berusaha." Setelah berkata demikian, sekali loncat gadis itu lenyap dari situ.
"Aahhhhh... Cin Cin...!" Thian Ki menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya. Ia tidak menangis, akan tetapi dia merasa ngeri membayangkan peristiwa tadi sehingga ia menutup muka seolah dia tidak ingin melihat kenangannya, ia sama sekali tidak memperdulikan pundaknya yang terluka dan bercucuran darah.
"Sudahlah, Thian Ki. Semua itu telah terjadi dan aku tahu bahwa engkau tidak bersalah. Gadis itu buntung tangannya karena ulahnya sendiri. Hanya satu hal yang membuat aku menyesal. Bhok Sui Lan tentu akan semakin benci dan dendam kepadaku. Dan aku menyesal mengapa engkau tidak menurut pemintaanku agar tidak mencampuri urusan ini."
"Maaf, ayah. Akan tetapi melihat ayah tadi terancam, bagaimana aku dapat tinggal diam saja?"
Kakek yang masih nampak gagah itu tersenyum dan menghela napas. "Memang karmaku yang buruk. Segala yang kusentuh selalu gagal. Kalau saja tadi tidak ada engkau dan aku tewas di tangan gadis itu, segalanya akan selesai dan beres, tiada dendam mendendam dan hutang piutang lagi. Akan tetapi sekarang, dendam bertumpuk."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu menghampiri Thian Ki, menotok sekitar pundak untuk menghentikan darah keluar, dan mengeluarkan obat bubuk dari sakunya. Setelah mengobati luka di pundak putera tirinya, Cian Bu Ong tanpa banyak cakap lagi lalu berjalan pulang, diikuti dari belakang oleh Thian Ki yang berjalan sambil menundukkan mukanya dan tidak mengeluarkan kata-kata pula. Kedua orang ini tenggelam dalam renungan mereka sendiri, renungan yang menyedihkan.
Puteri Li Hong Lan amat terkenal dan disuka semua orang di lingkungan Istana. Bahkan selir kaisar, para dayang, dan permaisuri sendiri suka kepadanya. Gadis yang berusia delapanbelas tahun ini memang pandai membawa diri. Ia cantik jelita, dengan wajah bulat telur, dagu meruncing dan kulit putih kemerahan. Sepasang pipinya, terutama bibirnya, selalu merah tanpa menggunakan alat kecantikan. Rambutnya hitam panjang berombak.
Alisnya seperti dilukis, sepasang matanya seperti sepasang bintang kejora, hidungnya mancung terutama sekali mulutnya teramat manis, dengan bibir merah basah dan terhias lesung pipi di kanan kiri. Kalau bibir itu tersenyum, mata dan seluruh bagian wajah itu seperti membayangkan senyun pula, cerah, jenaka dan lincah. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita, juga gadis itu memiliki bentuk tubuh yang mempesona dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan.
Semua kecantikan ini menjadi semakin cemerlang karena iapun memiliki otak yang sehat dan cerdas sehingga setelah berusia delapanbelas tahun. Li Hong Lan terkenal sebagai seorang gadis yang menguasai ilmu silat tinggi, juga ilmu sastra yang mendalam, ahli pula dalam segala kesenian, ahli menari, memainkan yang-kim dan meniup suling. Dan kalau bernyanyi, suaranya juga merdu. Pendeknya Li Hong Lan merupakan kebanggaan Istana, merupakan kebanggaan Kaisar Tang Tai Cung, yaitu julukan Pangeran Li Si Bin (627 - 649) setelah ia menjadi kaisar.
Ibunya, yang sesungguhnya bukan apa-apanya, yaitu Kwa Bi Lan, telah belasan tahun menjadi selir Kaisar Tang Tai Cung, semenjak kaisar ini masih menjadi pangeran. Kaisar Tang Tai Cung mencinta selirnya ini, yang selain menjadi selir, juga menjadi pengawal pribadinya. Akan tetapi ada satu hal saja yang mengecewakan hati Kaisar Tang Tai Cung, yaitu bahwa Kwa Bi Lan sendiri tidak menurunkan anak untuknya. Memang Bi Lan membawa Hong Lan, akan tetapi gadis yang menjadi puteri Istana yang membanggakan ini, bagaimanapun juga bukan anaknya sendiri, bahkan bukan pula anak kandung Kwa Bi Lan!
Setelah belasan tahun tinggal sebagai selir kaisar di istana, kini Kwa Bi Lan telah berusia empatpuluh tahun, dan Kaisar Tang Tai Cung juga sebaya. Wanita ini tidak lagi bertugas sebagai pengawal pribadi karena kedudukannya adalah selir kaisar yang tadinya terkasih dan terpandang. Akan tetapi telah beberapa bulan ini terjadi perubahan besar dalam kehidupannya sebagai seorang selir.
Kwa Bi Lan menjadi selir kaisar yang dahulunya masih pangeran, bukan karena tertarik oleh kedudukan seorang pangeran mahkota, seperti hampir semua selir dan dayang kaisar, melainkan karena dengan kesungguhan hati ia jatuh cinta kepada Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi Kaisar Tang Tai Cung. Ia bertemu dan saling jatuh cinta dengan Pangeran Li Si Bin setelah ia menjadi seorang janda tanpa anak, hanya membawa Hong Lan sebagai anak angkat. Maka, iapun tidak terlalu mengharapkan kedudukan atau kemuliaan, melainkan mengharapkan kasih sayang dari pria yang dicintanya dan yang kini menjadi suaminya.
Iapun maklum bahwa suaminya adalah seorang pangeran mahkota dan kini menjadi seorang kaisar, maka betapapun perih rasa hatinya melihat suaminya memiliki sejumlah selir, dayang di samping seorang permaisuri, iapun menahan diri dan pasrah karena maklum bahwa kehidupan seorang kaisar tentu saja tidak dapat disamakan dengan pria biasa yang menjadi suami. Tidak mungkin ia memonopoli kasih sayang Kaisar Tang Tai Cung, harus membagi kasih pria itu dengan selir dan dayang yang banyak jumlahnya, juga harus bersabar kalau suaminya itu sibuk dengan urusan pemerintahan sehingga jarang dapat dekat dengannya.
Akan tetapi, telah berbulan-bulan lamanya kaisar seolah lupa kepadanya! Ia merasa disia-siakan. Kaisar tidak pernah datang ke kamarnya, tidak pernah berkunjung, bahkan kalau bertemupun seolah kaisar tidak melihatnya! Ia amat merindukan orang yang dicintanya, namun kaisar agaknya telah lupa kepadanya.
Pada malam hari itu, Kwa Bi Lan duduk seorang diri di pendapa tempat tinggalnya yang cukup indah menyenangkan, lengkap dengan perabot rumah yang serba indah. Namun, keindahan segala macam benda itu tidak lagi terasa indah olehnya. Keindahan memang hanya dapat dirasakan kalau barang itu masih baru dimilikinya. Kalau sudah menjadi miliknya, maka akan timbul kebosanan! Apakah iapun hanya dianggap sebagai benda yang membosankan oleh suaminya, sang kaisar?
Ia teringat akan mendiang suaminya yang pertama, yang juga menjadi gurunya, yaitu mendiang Sin tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki. Dan mengenang pria ini, walaupun pria ini jauh lebih tua darinya, suami pertama ini berusia enampuluh tahun lebih dan ia sendiri baru duapuluh tahun dan ketika menjadi isteri pria itu ia masih seorang gadis, namun kini terkenanglah ia betapa besar kasih sayang suami pertama itu kepada dirinya. Kasih sayang yang dirasakannya sampai suami itu meninggal dunia.
Terkenang akan suami pertama itu, dan teringat akan dirinya yang kini seperti dilupakan oleh suaminya yang ke dua, yaitu sang kaisar, Kwa Bi Lan tak dapat menahan kesedihannya lagi dan air mata menuruni kedua pipinya yang masih nampak segar dan halus. Wanita ini memang masih cantik jelita dalam usianya yang sudah mendekati empatpuluh tahun itu.
Akan tetapi ia segera menahan hatinya dan menghapus air matanya. Tidak baik kalau sampai terlihat oleh dayang, apalagi oleh puterinya. Sebagai selir seorang kaisar sungguh akan memalukan sekali kalau memperlihatkan kedukaan ketika kaisar lama tidak datang berkunjung. Nasib seperti ini, ia tahu diderita oleh semua selir kaisar!
Tiba-tiba kesunyian malam yang syahdu itu dipecahkan suara yang-kim yang dimainkan oleh jari-jari tangan yang amat pandai. Suara yang-kim itu berdenting-denting naik turun, kemudian diikuti suara nyanyian yang merdu. Tahulah ia bahwa yang memainkan yang-kim sambil bernyanyi itu adalah Hong Lan, dan secercah senyum menghias bibir wanita itu. Untung ada Hong-Lan di sampingnya!
Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri itulah yang selalu memberinya semangat hidup untuk menghadapi segala macam kepahitan. Dan iapun mendengarkan nyanyian itu penuh perhatian. Akan tetapi, semakin didengarkan, perlahan-lahan air matanya semakin banyak bercucuran. Puterinya itu menyanyikan lagu yang amat sedih, lagu seorang isteri yang ditinggal mati suaminya! Mengapa begini kebetulan?
Suara nyanyian itu bahkan kini menyayat-nyayat hatinya yang sudah terluka, perih dan pedih rasanya dan iapun menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya pada bantal. Kwa Bi Lan tidak tahu bahwa suara yang-kim dan nyanyian itu sudah lama berhenti, tidak tahu pula bahwa Hong Lan memasuki kamarnya dengan langkah ringan sehingga tidak menimbulkan suara.
"Ibu, tidak biasanya ibu sudah tidur sebelum larut malam. Apakah ibu tidak sehat?" Gadis itu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak ibunya yang rebah menelungkup.
Kwa Bi Lan terkejut, berusaha untuk mengusap sisa air matanya sebelum bangkit duduk. Akan tetapi wajahnya yang pucat, pipinya yang basah dan sepasang matanya yang merah agak membengkak membuat Hong Lan terkejut bukan main. Gadis itu segera merangkul ibunya.
"Aih, ibu menangis? Kenapakah, ibu? Belum pernah aku melihat ibu menangis!" Hong Lan terkejut dan juga heran. "Apakah ibu sakit?"
Bi Lan tersenyum dan menggeleng kepala. Akan tetapi senyumnya pahit sekali. "Tidak, anakku. Ibu tidak sakit..."
"Kalau begitu ibu berduka? Kenapa, ibu?"
Bi Lan sudah mampu menguasai dirinya. "Lan Lan, aku tadi terharu mendengar permainan yang-kim dan suara nyanyianmu, lagu itu sedih sekali dan tak terasa ibu menangis."
Hong Lan menciumi pipi ibunya yang masih basah. "Ibu sudah sering mendengar aku menyanyikan lagu itu dan biasanya ibu tidak apa-apa. Ibu, aku tahu mengapa ibu bersedih. Tentu karena ayahanda kaisar, bukan? Aku sudah cukup dewasa, ibu dan aku mengetahui kehidupan selir-selir. Bukan hanya ibu saja yang menderita kesepian seperti sekarang ini. Banyak sudah para bibi selir lainnya yang mengeluh kepadaku tentang kesepian mereka karena ayahanda tidak pernah datang lagi mengunjungi mereka. Ibu, sudah beberapa bulan ini sribaginda tidak datang berkunjung. Karena itu ibu merasa berduka, bukan?"
Bi Lan menundukkan mukanya. Percuma saja membantah dan berpura-pura. Anaknya ini terlampau cerdik untuk dapat dibohongi begitu saja. Ia menghela napas panjang lalu berkata membela, "Ayahmu terlalu sibuk, Hong Lan. Beliau bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan yang amat banyak..."
"Aku tahu, ibu. Banyak tugas dan banyak isteri! Dahulu, paling lama dua tiga hari sekali ayahanda datang dan bermalam di sini. Sekarang berbulan-bulan sudah beliau tidak pernah nampak, tidak pernah menjenguk ibu."
Bi Lan merangkul anaknya. "Terimalah keadaan ini dengan hati lapang, anakku. Memang beginilah kehidupan seorang selir seperti ibumu. Sribaginda masih termasuk seorang suami yang baik, karena kita selalu dicukupi segala kebutuhan kita, bukan?"
"Inilah salahnya, ibu. Para wanita yang menjadi selir raja selalu menerima keadaan, menerima nasib. Beginilah jadinya. Sekali waktu, kalau kebetulan aku bertemu ayahanda, akan kuingatkan beliau bahwa ibu menanti beliau di sini dengan hati setia dan berduka."
"Eihh, jangan, Lan Lan! Beliau akan marah kepadamu!"
Melihat kekhawatiran ibunya, Lan Lan tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku tidak akan bicara sekarang, untuk sementara ini aku akan menahan diri, akan tetapi ibu juga tidak boleh menangis dan berduka lagi," katanya manja.
Kwa Bi Lan tersenyum dan menciumi kedua pipi anaknya. Terima kasih kepada Tuhan, pikirnya, bahwa aku mempunyai Hong Lan. Andaikata tidak ada anaknya ini, ia tahu bahwa ia pasti tidak kan betah lagi tinggal di istana.
"Lihat, ibumu sudah tidak bersedih lagi, kan? Mari kita latihan silat!" Bi Lan meloncat turun dari pembaringan, menarik tangan anaknya dan keduanya berlari-lari sambil tertawa ke ruangan berlatih silat yang memang terdapat di tempat tinggal ibu dan anak ini. Tak lama kemudian, ibu dan anak ini sudah berlatih silat, bertangan kosong, lalu bertanding pedang dan diam-diam Kwa Bi Lan merasa gembira dan bangga, juga kagum karena ia mendapat kenyataan bahwa puterinya itu kini sudah maju sekali. Ia sendiri sukar mengalahkannya.
Hal ini adalah karena Hong Lan pandai membujuk para jagoan istana untuk menurunkan satu dua ilmu silat mereka yang paling tangguh kepadanya. Dan Bi Lan sendiri juga menggembleng puterinya ini dan menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada Hong Lan. Para dayang dan pembantu yang kebetulan melihat ibu dan anaknya itu berlatih silat di waktu malam seperti itu, hanya menggeleng-geleng kepala dengan heran dan kagum.
Kaisar Tang Tai Cung adalah seorang manusia biasa, seorang pria dengan segala kelebihan dan kekurangannya seperti orang lain, dengan kelemahannya. Ketika mudanya, semangat untuk berjuang membesarkan Kerajaan Tang membuat dia hanya memperhatikan urusan negara, dan nampaknya tidak begitu tertarik akan segala macam kesenangan!
Akan tetapi, setelah dia menjadi kaisar dan keadaan pemerintahannya lancar, mulailah semangat yang tadinya dikerahkan untuk perjuangan itu mencari sasaran lain, yaitu melampiaskan nafsu mencari kesenangan. Kemewahan dia sudah mempunyai berlimpahan, kehormatan, kemuliaan dan kekuasaan sudah berada di tangannya. Kebutuhan manusia terbatas sekali, akan tetapi keinginan yang didorong oleh nafsu angkara murka membuat seseorang tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Mulailah dia tergoda oleh nafsu berahinya sendiri.
Selirnya yang banyak mulai membosankan, demikian pula para dayangnya yang setiap saat dengan senang hati siap untuk melayani segala kehendaknya. Nafsu yang dituruti dan dimanjakan tidak pernah menjadi kenyang, tidak pernah merasa puas, bahkan semakin banyak tuntutannya. Demikian pula dengan nafsu yang mencengkeram diri Tang Tai Cung. Dia selalu haus akan wajah wanita yang baru, sehingga entah sudah berapa banyak gadis yang menjadi kekasihnya hanya untuk waktu sebulan dua bulan saja, lalu dia mulai mencari yang lain.
Seperti biasa, di dekat orang yang berkuasa besar, selalu merangkak banyak kaum penjilat yang ingin membonceng kekuasaannya, dengan cara menjilat dan menyenangkan hati atasannya, tentu saja demi keuntungan pribadinya. Demikian pula dengan Kaisar Tang Tai Cung. Banyak pejabat tinggi, terutama para thaikam (pelayan pria kebiri) yang mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati sang kaisar, dengan mencarikan gadis-gadis cantik dari daerah-daerah. Dan pada masa itu, tidak ada seorangpun gadis yang tidak dengan hati gembira menerima pengangkatan menjadi dayang di istana!
Menjadi dayang berarti derajat mereka naik beberapa tingkat, apalagi kalau sampai dapat menyenangkan hati kaisar dan diambil selir! Ada harapan kelak menjadi permaisuri. Satu di antara dayang istana yang dimasukkan oleh para penjilat itu, dan memasukkan seorang gadis inipun berarti menerima hadiah yang tidak sedikit dari orang tua si gadis, yang mau menyerahkan seluruh milik mereka, asal anak gadis mereka diterima menjadi dayang, adalah seorang dari dusun yang bernama Bu Couw Hwa.
Ia sudah mempersiapkan diri menjadi dayang. Usianya baru enambelas tahun, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekarnya, memiliki wajah cantik manis dan bentuk tubuh yang sedang mekar, terutama sekali pinggulnya yang berbentuk indah dan besar, dan ia sudah mempersiapkan diri dengan segala tata-cara tentang sikap dan kelakuan seorang dayang istana yang baik. Bahkan ia mempelajari segala macam kesenian dan cara-cara untuk menyenangkan hati seorang pria junjungannya.
Akan tetapi ketika ia berhasil dimasukkan ke dalam istana, terlalu banyak saingan terdapat di istana. Terlalu banyak dayang istana yang cantik-cantik sehingga Bu Couw Hwa merasa kecil dan rendah diri. Bagaimana mungkin ia, seorang dara desa, mampu bersaing melawan sekian banyaknya dayang cantik untuk menawan perhatian dan hati Kaisar? Apalagi begitu tiba di situ, ia sudah melihat kenyataan betapa setiap orang thai-kam dan petugas di situ amat haus akan sogokan. Tanpa menyogok sana sini, tidak mungkin ia mampu mendekati Kaisar! Bahkan ia mendapatkan tugas yang paling rendah, yaitu dayang pembersih kamar mandi dan kakus milik kaisar!
Couw Hwa menerima pekerjaan ini dengan hati sabar. Ia menanti kesempatan yang baik dan mulai melakukan pendekatan dengan para thai-kam yang dekat dengan kaisar. Sampai harus habis semua perhiasan dan bekalnya, juga gajinya yang ia tabung, untuk menyenangkan hati para thai-kam. Gadis yang amat cerdik ini, yang menjadi dayang bukan sekedar mencari pekerjaan, melainkan untuk mencapai tujuan atau cita-citanya yang amat muluk, mengatur siasat dengan rapi dan licin.
Setelah dapat mendekati thai-kam, maka dengan bantuan para thai-kam, pada suatu senja thai-kam yang bertugas memberi isyarat kepada Bu Couw Hwa. Gadis ini cepat memperhalus wajahnya dengan bedak tipis, menggosok mukanya dengan handuk yang dibasahi air panas, menggosok keras-keras sehingga kedua pipinya menjadi kemerahan dan berbau harum oleh air yang dicampuri air mawar, mengenakan baju yang agak longgar di bagian dada, sehingga kalau ia membungkuk, orang akan dapat melihat bukit dadanya yang menonjol lembut.
Rambutnya yang hitam berombak itu dibiarkan agak kusut, terutama di bagian dahi sehingga anak rambut yang halus sekali melingkar-lingkar di dahi, di pelipis, dan di belakang telinga, melingkar-lingkar halus seperti benang sutera yang kekeringan. Setelah itu, cepat ia mendahului masuk ke kamar mandi pada saat para thai-kam memberi isyarat bahwa kaisar berkenan mempergunakan kamar mandi itu. Seperti tidak disengaja, gadis itu terkejut ketika selagi ia membersihkan kamar mandi, kaisar muncul di pintu kamar mandi.
"Aihh... banswe-ban-banswe..." serunya lirih sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar Tang Tai Cung.
Kaisar yang usianya sudah kurang lebih empatpuluh tahun itu tersenyum melihat seorang dayang sedang membersihkan kamar mandi. Dia membiarkan dayang itu berlutut dan diapun membuang air kecil di tempat yang disediakan untuk itu, tidak perduli betapa dayang itu masih berlutut di situ dan biarpun tidak melihatnya, setidaknya suara air kencingnya terdengar. Setelah selesai, Kaisar Tang Tai Cung membereskan celananya dan membalikkan tubuh. Dayang itu masih berlutut di situ dengan muka menunduk, takut dan malu-malu.
"Heii kau, ambilkan air untuk aku mencuci tangan," perintahnya.
Bu Couw Hwa dengan jantung berdebar tegang segera mengambil sepanci air harum. Inilah kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, sejak menginjakkan kaki di lantai istana. Harus ia pergunakan baik-baik, pikir hati kecilnya yang cerdik. Dengan jalan berjongkok ia menghampiri Kaisar yang masih berdiri, lalu berlutut dan mengangkat panci air itu ke atas kepala, mukanya tetap menunduk, akan tetapi matanya melirik ke arah dadanya.
Bagus, pikirnya, karena ia mengangkat kedua tangannya yang memegang panci air, baju di dadanya terbuka dengan lebar dan memperlihatkan dua lengkung bukit dadanya yang indah. Kaisar Tang Tai Cung mencuci tangannya dengan menunduk. Tentu saja, dengan sendirinya, pandang matanya bertemu dengan sepasang bukit yang menonjol dan nampak di balik baju yang terbuka sedikit itu.
"Angkat mukamu, aku ingin melihatmu," kata Kaisar Tang Tai Cung yang mulai tertarik.
Dengan gaya yang sudah lama dilatihnya. Bu Couw Hwa mengangkat mukanya, muka yang amat manis, senyum malu-malu yang memperlihatkan lesung pipinya, dengan mata yang mengerling ke atas, bibir yang akan terbuka menantang, cuping hidung yang berkembang kempis, lalu ia menunduk kembali, maklum bahwa penglihatan sekilas itu akan jauh lebih memikat daripada kalau ia berlama-lama membiarkan sang kaisar menatap wajahnya.
Darah tersirap ke kepala dan gairah sang Kaisarpun timbul. "Siapa namamu, kenapa aku tidak pernah melihat dayang secantik engkau di sini?"
"Ampun, Sri baginda. Hamba selalu bertugas di sini, dan hamba tidak berani memperlihatkan diri tanpa diperintah."
Suara gadis itupun sudah diatur dan dilatih lama, maka terdengar merdu dan juga menyenangkan. Sang kaisar yang sudah terpikat itu mengambil panci dari kedua tangan Bu Couw Hwa, meletakkan panci itu ke atas meja dan ia memegang kedua tangan gadis itu dan ditariknya untuk berdiri. Bentuk tubuh yang indah itu, dengan lekuk lengkung menggairahkan, dilalap pandang matanya, dan hidungnya juga mencium keharuman yang khas keluar dari rambut dan dada dayang itu.
Tanpa banyak upacara lagi, tanpa banyak cakap lagi. Kaisar Tang Tai Cung yang telah menjadi hamba nafsu berahinya, merangkul Bu Couw Hwa dan menuntunnya ke dipan yang memang menjadi perlengkapan kamar mandi yang luas itu dan di situlah tercapai apa yang diidamkam hati Bu Couw Hwa, terlaksana semua yang telah dicitakan, yaitu ia berhasil memikat hati kaisar dan menyerahkan tubuhnya melayani kaisar demi memperoleh kedudukan yang tinggi.
Setelah terjadi peristiwa itu, wajah Bu Couw Hwa selalu berseri penuh kegembiraan, pandang matanya bersinar-sinar penuh harapan. Pasti akan tercapai seperti yang direncanakan, yaitu ia yang telah menyerahkan diri melayani sang kaisar, akan segera diangkat menjadi seorang di antara selir yang berjumlah tujuhpuluh dua itu, menggantikan seorang di antara para selir yang akan dipersilakan mundur, dan kalau sudah menjadi seorang selir, maka semakin dekat lagi tujuan yang menjadi cita-cita terakhir, yaitu menjadi permaisuri ke tiga, ke dua atau pertama! Apalagi kalau ia dapat melahirkan seorang putera!
Cita-cita adalah kata yang halus dan indah yang artinya tidak lain hanyalah keinginan! Dan keinginan manusia tidak pernah ada batasnya, makin diberi semakin mekar berkembang, karena keinginan adalah ulah nafsu daya rendah. Keinginan adalah pengejaran akan sesuatu yang belum dimilikinya.
Pengejaran seperti ini biasanya hanya mempunyai dua akibat. Kalau tercapai, sebentar saja apa yang dikejarnya mati-matian itu akan membosankan dan sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan seperti yang dibayangkan semula dan kalau tidak tercapai, timbullah kekecewaan dan kedukaan.
Sesuatu yang belum dimilikinya yang dikejar-kejar, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang amat indah, sesuatu yang akan mendatangkan kebahagiaan. Akan tetapi setelah sesuatu itu dapat dimiliki, maka memudarlah bayangan-bayangan yang muluk akan keindahan dan kebahagiaan itu, karena nafsu daya rendah sudah mendorong lagi kepada kita untuk mengejar sesuatu yang lain, yang belum kita miliki.
Karena itu, berbahagialah orang yang dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Tidak terseret nafsu daya rendah yang tiada putusnya menarik kita untuk selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki, membuat kita menjadi angkara murka dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada. Kalau sudah begini, hiduppun merupakan penderitaan, kekecewaan, kebosanan, yang takkan berhenti.
Orang yang kaya raya, yang sebelum kaya membayangkan betapa akan bahagianya setelah dia dapat menjadi kaya, mulai menderita karena kekayaannya. Bermacam masalah yang meresahkan, membingungkan dan menyedihkan timbul karena adanya kekayaan yang berlimpah. Orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengetahuanpun tidak sebahagia seperti yang dibayangkan ketika dia sedang mengejar ilmu pengetahuan itu. Dia seperti terhimpit oleh ilmu pengetahuannya sendiri.
Demikian pula orang yang berkedudukan. Tadinya kedudukan dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai kebahagiaan, akan tetapi setelah kedudukan diperolehnya, justeru kedudukannya itulah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaannya. Kita terbelenggu oleh apa yang kita kejar, karena kita diperhamba oleh apa yang kita kejar sendiri.
Cin Cin menatap tajam wajah yang jantan itu dan bertanya. "Apakah engkau Pangeran Cian Bu Ong?"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum. "Aku bukan seorang pengecut. Kalau aku menyembunyikan nama dari umum, hal itu hanya agar keluargaku dapat hidup dengan tenteram. Akan tetapi kalau ada yang memusuhiku secara pribadi, aku tidak akan lari bersembunyi atau mengelak. Aku memang bekas Pangeran Cian Bu Ong. Nah, katakan kenapa engkau hendak membunuhku!"
Cin Cin melepaskan kalung mutiara dari lehernya, lalu melemparkan kalung itu ke arah Cian Bu Ong sambil berseru. "Cian Bu Ong, lihat benda ini dan engkau akan tahu mengapa aku hendak membunuhmu!"
Tentu saja ia menyambitkan kalung itu dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga yang nampak hanya sinar putih berkilau menyambar ke arah muka pria tua itu. Namun, dengan tenang saja Cian Bu Ong menyambut benda itu, walaupun di dalam hatinya diam-diam dia terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya sambitan ketika benda itu disambutnya. Dan ketika dia melihat benda itu, sebuah untaian kalung dari mutiara yang besar-besar dan indah, matanya terbelalak.
"Sui Lan...!" gumamnya seperti dalam mimpi dan terbayanglah semua pengalaman hidupnya di waktu dia masih muda. Dia pernah bertemu de ngan seorang gadis yang mendatangkan rasa kagum dalam hatinya, bukan hanya oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi juga karena gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi disamping ilmunya bermain dalam air.
Gadis itupun kagum kepadanya dan mereka saling jatuh cinta. Demikian besar cinta gadis itu kepadanya sehingga gadis itu menyelam ke dalam lautan yang berbahaya, mengumpulkan banyak mutiara pilihan dan membuat kalung dari untaian mutiara yang amat berharga, lalu memberikan kalung itu kepadanya sebagai tanda cinta!
Demikian terharu hatinya oleh hadiah ini sehingga dia pernah mengatakan bahwa dia akan menghargai kalung itu seperti nyawanya sendiri. Mereka saling jatuh cinta, bahkan gadis yang bernama Bhok Sui Lan itu sudah menyerahkan diri kepadanya. Hal ini saja sebetulnya sudah mendatangkan sedikit kekecewaan di dalam hatinya. Betapa mudahnya Sui Lan menyerahkan diri kepadanya, walaupun hal itu dianggapnya sebagai pernyataan cinta kasih yang tulus.
Mereka memang sudah bersepakat untuk menikah. Akan tetapi kemudian dia mendengar bahwa Bhok Sui Lan adalah seorang gadis kang-ouw yang termasuk golongan sesat, atau golongan hitam. Gadis itu datang dari keluarga para tokoh sesat yang terkenal, dari golongan manusia yang berwatak iblis. Tidak pernah mau mengenal peraturan dan selalu mendatangkan kekacauan dengan perbuatan mereka yang teramat keji dan jahat.
Hal ini membuat dia memaksa hatinya yang mencinta untuk meninggalkan dan melupakan Sui Lan dan diapun menikah dengan gadis lain. Dia adalah seorang pangeran yang bercita-cita tinggi, kalau mungkin dapat menggantikan kedudukan kaisar. Bagaimana mungkin seorang calon kaisar menikah dengan seorang gadis golongan sesat yang jahat? Hal itu tentu akan mencemarkan seluruh nama keluarga Kerajaan Sui!
Dia mengembalikan kalung mutiara itu kepada Sui Lan, kemudian meninggalkan gadis itu dan diapun tidak takut menghadapi Sui Lan walaupun gadis itu lihai karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Pula dia seorang pangeran yang memiliki banyak jagoan dan banyak pengawal sehingga gadis itu sama sekali tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mengganggunya.
Dia sudah hampir melupakan Sui Lan karena hal itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Dan hari ini, tiba-tiba saja seorang gadis datang mengembalikan kalung itu kepadanya dan mengatakan hendak membunuhnya! Dia mengamati kalung itu, menyebut nama bekas kekasihnya dan mengangkat muka lagi memandang kepada Cin Cin, gadis itu tersenyum mengejek.
"Nona, apa hubunganmu dengan Sui Lan? Bukan Bhok Sui Lan sekarang telah terkenal dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis Betina Lautan Timur)?" tanyanya, suaranya masih tenang walaupun hatinya terasa tegang.
"Bagus kalau engkau masih ingat nama subo Bhok Sui Lan! Aku adalah muridnya dan ia mengutusku untuk menukar kalung itu dengan nyawamu."
Mendengar ini, Kui Eng membentak, "Perempuan iblis, siapa takut padamu? Ibu, koko, mari kita basmi siluman jahat ini!"
Akan tetapi Cian Bu Ong mengangkat tangan atas. "Kalian tidak boleh mencampuri. Ini adalah urusan pribadiku, urusan ketika aku masih muda dan kalian belum ada bersamaku."
Mendengar ucapan bekas pangeran itu, Sim Lan Ci, Thian Ki dan Kui Eng tidak berani bicara lagi, hanya menjadi penonton yang berhati tegang. Cian Bu Ong lalu berkata kepada Cin Cin, suaranya berwibawa.
"Nona, aku memang ada urusan dengan gurumu. Kalau ia mendendam kepadaku kenapa bukan ia sendiri yang datang membuat perhitungan denganku di sini? Kenapa harus engkau, seorang gadis muda yang mencari keributan di sini?"
"Cian Bu Ong, hal itu adalah urusan antara kami guru dan murid. Aku mewakili subo untuk membalas dendam ini. Aku bukan orang yang suka cari keributan dan tidak suka membuat kekacauan. Juga aku bukan seorang yang curang. Kalau engkau tidak menghendaki keributan di dusunmu ini, dan agar engkau dapat bersiap-siap menghadapiku, biarlah kuberi waktu sampai besok sore. Setelah matahari condong ke barat, aku menantimu untuk membuat perhitungan diluar dusun sebelah barat di tepi sungai. Nah, selamat malam!" Setelah berkata demikian, Cin Cin membalikkan tubuhnya meninggalkan pekarangan itu dengan langkah gagah.
Kui Eng yang merasa penasaran sudah melangkah maju hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang oleh ayahnya. "Jangan kejar, biarkan ia pergi."
Sim Lan Ci yang sejak tadi hanya menjadi penonton dan pendengar, mengerutkan alisnya dan kini iapun bertanya kepada suaminya. "Sebenarnya siapa sih itu Tung-hai Mo li Bhok Sui Lan dan mengapa ia mengirim muridnya untuk menukar kalung mutiara itu dengan nyawamu?"
Lurah Cian Bu atau bekas Pangeran Cian Bu Ong itu menghela napas panjang. Sambil mempermainkan kalung mutiara itu diapun berkata, "Mari kita masuk ke dalam dan akan kuceritakan semua kepada kalian, agar kalian tahu apa yang telah terjadi dan mengapa hari ini terjadi peristiwa yang membuat kalian semua merasa heran dan penasaran itu."
Mereka berempat masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, duduk mengelilingi meja besar, bekas pangeran itu menceritakan riwayatnya dengan Bhok Sui Lan. Sebagai penutup ceritanya dia berkata,
"Memang tadinya kami saling mencinta, bahkan kami sudah bersepakat untuk menikah. Akan tetapi setelah aku tahu latar belakang kehidupannya, bagaimana mungkin aku yang ketika itu seorang Pangeran yang mendambakan kedudukan sebagai kaisar dapat menikah dengan seorang gadis dari keluarga para tokoh sesat yang amat jahat dan yang namanya sudah tercemar? Aku mengembalikan kalung pemberiannya ini dan mengucapkan selamat berpisah. Tidak kusangka selama ini ia menyimpan dendam padaku."
Karena urusan cinta gagal itu terjadi ketika suaminya masih muda dahulu, jauh sebelum bertemu dengannya, maka Sim Lan Ci juga tidak merasa tersinggung. Ia hanya ikut menyesal dan bertanya, "Kalau memang ia mendendam, kenapa tidak sejak dahulu ia membalas dendamnya kepadamu?"
Cian Bu tersenyum. "Tentu saja ia tidak berani. Selain ketika itu ilmunya tidak akan menang melawanku, juga sebagai pangeran tentu saja aku mempunyai banyak pengawal yang pandai."
"Tapi sekarang?" tanya isterinya.
Cian Bu menghela napas panjang. "Entahlah, tetapi melihat gerakan gadis tadi, jelas kini Tung-hai Mo-li tentu telah memperdalam kepandaiannya. Tadi kulihat engkau dan Thian Ki seperti telah mengenalnya, benarkah?"
"Benar, kami mengenalnya. Ia bernama Kam Cin dan biasa dipanggil Cin Cin. Ia puteri ketua Hek-houw-pang yang tewas pula ketika terjadi penyerbuan malam itu..." Sim Lan Ci teringat akan keterlibatan suaminya dalam penyerbuan itu dan menahan ucapannya.
"Tapi kenapa tiba-tiba ia muncul sebagai murid Tung-hai Mo-li?" tanya Cian Bu sambil mengerutkan alisnya yang tebal. Bagaimanapun juga, ayah gadis itu, ketua Hek-houw-pang, tewas oleh lima orang anak buahnya. Kalau gadis itu mengetahuinya, bukan untuk subonya saja ia datang hendak membunuhnya, juga tentu untuk membalas kematian ayahnya!
"Kami juga tidak mengerti. Ketika aku kembali ke dusun Ta-bun-cung dulu itu, kami mendengar bahwa Cin Cin diantar oleh susioknya (paman gurunya) untuk menjadi murid Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. Entah bagaimana kini tiba-tiba saja ia muncul sebagai murid Tung-hai Mo-li."
Bekas pangeran itu mengangguk-angguk dan meraba dagunya yang ditumbuhi jenggot yang terawat rapi. Kalau gadis itu murid Huang-ho Sin-liong tidak aneh kalau ia lihai sekali. Akan tetapi ia mengakui Tung-hai Mo-li sebagai gurunya.
"Bagaimanapun juga, aku melihat bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah. Buktinya, ia memberi waktu kepadaku untuk bersiap sampai besok sore."
"Engkau hendak menandinginya?" tanya isterinya khawatir.
"Engkau khawatir aku kalah?"
Sim Lan Ci menggeleng kepala. Ia maklum akan kemampuan suaminya dan ia tadi sudah melihat kelihaian Cin Cin. Bagaimanapun juga, sukar dapat dipercaya kalau gadis itu akan mampu mengalahkan suaminya.
"Aku justeru khawatir engkau membunuhnya hingga permusuhan akan menjadi semakin parah padahal, biarpun agak jauh, tetap saja ia masih keponakanku dan saudara misan Thian Ki."
Cian Bu tersenyum. "Engkau kira aku ini orang macam apa hendak membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawanku? Jangan khawatir, aku tidak akan mencelakainya. Kalau memang Sui Lan hendak membalas dendam kepadaku, ia harus datang sendiri. Tidak menyuruh orang lain."
Diam-diam bekas pangeran ini merasa terharu karena dia mengenal betul watak Sui Lan. Wanita itu bukan seorang penakut, bahkan sangat pemberani. Kalau ia mengutus muridnya, hal itu pasti bukan karena ia takut maju sendiri. Satu-satunya sebab yang dapat menyebabkan Sui Lan tidak datang sendiri adalah bahwa ia masih mencintanya! Sui Lan agaknya tidak pernah melupakannya, menaruh dendam akan tetapi tidak mau turun tangan sendiri karena agaknya yakin bahwa kalau berhadapan muka, Sui Lan tidak akan tega mencelakainya karena masih mencintanya.
Malam itu, Cian Bu tidur nyenyak, sedikitpun agaknya tidak memikirkan tentang tantangan Cin Cin untuk membuat perhitungan besok sore. Akan tetapi sebaliknya, Sim Lan Ci dan Thian Ki tidak dapat tidur, merasa gelisah membayangkan apa yang akan terjadi esok. Ketika malam itu Sim Lan Ci menyelinap dari dari dalam kamarnya, meninggalkan suaminya yang sedang tidur nyenyak, ia mendapatkan puteranya duduk termenung seorang diri di ruangan belakang.
Melihat ibunya. Thian Ki segera menyambut dengan pertanyaan, "Kenapa ibu belum tidur?"
"Kulihat engkaupun belum tidur masih melamun di sini, Thian Ki. Agaknya pikiran kita sama. Engkau juga memikirkan Cin Cin, bukan?"
"Benar, ibu. Aku khawatir sekali membayangkan apa yang akan terjadi besok sore."
"Thian Ki, tadi agaknya Cin Cin telah mengenalmu. Mengapa ia memakimu sebagai monyet jelek?"
Wajah Thian Ki berubah kemerahan. Tentu saja dia merasa malu untuk menceritakan peristiwa itu kepada ibunya, dan dia tidak tahu harus menjawab bagaimana sehingga dia menunduk saja.
"Thian Ki, apakah ada kaitannya dengan ketika engkau pulang bertelanjang dada membawa dua ekor ikan itu?"
Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Ibunya adalah seorang wanita yang cerdik sekali, bagaimanapun sukar untuk membohonginya. Dia harus menceritakan pertemuannya dengan Cin Cin, tentu saja tanpa menyebut dan menyinggung tentang dia dan Cin Cin saling melihat masing-masing bertelanjang bulat!
"Benar, ibu. Akan tetapi ketika kami saling jumpa di tepi sungai itu, kami tidak saling mengenal. Ketika itu aku hendak mandi dan sudah membuka baju, ketika aku melihat dua ekor ikan itu menggelepar di balik semak. Aku menangkap dua ekor ikan itu. Tidak tahunya, ia muncul dan marah-marah, mengatakan bahwa aku hendak mencuri ikan miliknya. Lalu sebagai gantinya, ia dengan marah membuang bajuku yang sudah kutanggalkan ke tengah sungai sampai hanyut, lalu ia memaki aku monyet jelek dan pergi..."
Terpaksa Thian Ki berbohong dan mengubah kejadian yang sebenarnya kepada ibunya, karena bagaimanapun tentu saja dia merasa malu untuk bicara terus terang tentang ketelanjangan itu. Ibunya mendengarkan penuh perhatian dan menarik napas panjang.
"Hemm, ia masih lincah, jenaka dan pemberani seperti dahulu, hanya kini bertambah galak dan lihai. Thian Ki, bagaimanapun juga, kita harus mencegah terjadinya perkelahian antara ia dan ayahmu."
"Akan tetapi bagaimana caranya, ibu? Ayah sudah mengatakan bahwa itu urusan pribadinya dan kita tidak boleh mencampuri. Ayah benar dan aku tidak berani untuk membujuknya."
"Engkau harus dapat membujuk Cin Cin agar membatalkan perkelahiannya dengan ayahmu. Kalau aku yang membujuk, kurang baik. Engkaulah yang lebih dekat dengannya, karena ayahmu adalah saudara sepupu ibunya. Engkau bujuklah ia agar tidak melanjutkan kehendaknya menantang ayahmu."
Thian Ki membayangkan Cin Cin yang demikian galak terhadap dirinya dan diam-diam dia merasa jerih juga. Gadis itu demikian galak seperti harimau betina. Akan tetapi, ketika itu Cin Cin belum mengetahui bahwa dia adalah Thian Ki. Mungkin kini sikapnya berubah lebih lunak, mengingat betapa dulu, ketika dia menjadi tamu keluarga gadis itu bersama ayah ibunya, mereka adalah saudara misan yang bersahabat karib.
"Baiklah, ibu. Akan kucoba besok. Akan kucari Cin Cin sebelum ayah pergi ke sana menyambut tantangannya."
Setelah bicara dengan Thian Ki, agak legalah hati Sim Lan Ci dan wanita inipun kembali ke kamarnya dan tidur di samping suaminya. Thian Ki juga memasuki kamarnya dan semalam itu dia gelisah, membayangkan pertemuannya dengan Cin Cin dan mencari-cari cara dan jalan untuk membujuk gadis itu tanpa dapat menemukan cara terbaik sampai akhirnya dia kelelahan dan tertidur menjelang pagi.
Sejak tengah hari. Thian Ki sudah berkeliaran di sepanjang tepi sungai sebelah barat sungai Kuning untuk mencari Cin Cin. Dia sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu semalam tidur di rumah milik janda miskin di ujung dusun, dan gadis yang berhati-hati itu tidak mau keluar dari rumah sebelum matahari mulai condong ke barat. Ketika siang hari itu Thian Ki tiba di tepi sungai tentu saja dia tidak dapat menemukan Cin Cin yang masih berada di rumah kecil itu bersama wanita pemilik rumah, bahkan masak-masak bersama wanita itu yang merasa suka sekali kepada gadis itu.
Sambil masak berdua di dapur, wanita yang mulai merasa suka sekali kepada Cin Cin berkata, "Nona, kalau aku boleh bertanya, apakah nona sudah... eh, sudah menikah atau bertunangan? Maafkan pertanyaanku, aku tidak bermaksud untuk bersikap kurang ajar."
"Ah, tidak mengapa, bibi. Aku belum menikah, juga tidak bertunangan. Kenapa sih bibi menanyakan hal itu? Apakah bibi ingin mengambilku sebagai mantu untuk dijodohkan dengan puteramu yang pergi tak pernah memberi kabar itu?"
Wanita itu tersipu. "Aih, nona harap jangan mengolok-olok. Orang seperti kami ini mana pantas untuk menarik nona menjadi anggota keluarga? Bukan itu maksudku tadi, aku kagum dan suka kepadamu, dan aku hanya ingin tahu saja. Kalau seorang gadis seperti nona ini, paling tidak harus berjodoh dengan seorang pemuda yang pilihan, seperti... seperti misalnya Cian Kongcu itu."
"Cian Kongcu...?"
"Maksudku, putera lurah kami itu..."
Cin Cin teringat dan terbayanglah wajah Thian Ki, bukan hanya wajahnya, melainkan seluruh tubuh pemuda yang pernah dilihatnya telanjang bulat itu dan iapun tertawa. "Monyet... monyet jelek itu."
Kini wanita itu yang memandang dengan mata terbelalak. "Monyet jelek? Nona, putera lurah Cian amat tampan dan gagah, juga manis budi walaupun agak pendiam."
"Sudahlah, bibi, jangan bicara tentang orang lain. Masakannya sudah matang dan perutku sudah lapar. Mari kita makan."
Demikianlah, ketika matahari sudah condong ke barat dan Cin Cin meninggalkan rumah kecil itu menuju ke tepi sungai di luar dusun, ucapan wanita itu terngiang lagi di telinganya dan diapun melangkah sambil melamun. Teringatlah kenangan lama, ketika Thian Ki bersama ayah ibunya menjadi tamu orang tuanya. Betapa orangtuanya dan seluruh keluarga Hek-houw-pang menghormati para tamu itu, dan betapa ia dan Thian Ki telah bersahabat baik.
Kemudian, teringat pula ia akan pertemuannya dengan pemuda itu di tepi sungai dan mau tak mau ia tersenyum geli. Akan tetapi hanya sebentar karena ia segera teringat lagi bahwa kini Thian Ki yang dulu bukan lagi Thian Ki yang sekarang. Sekarang dia adalah anak tiri Cian Bu Ong, musuh besar gurunya yang harus dibunuhnya! Heran ia memikirkan bagaimana ibu Thian Ki yang ditinggal mati suaminya itu kini tahu-tahu telah menjadi isteri bekas pangeran itu.
"Cin Cin..."
Gadis itu terkejut dan sadar dari lamunannya, menahan langkahnya dan tahu-tahu Thian Ki telah berada di depannya. Ia mengerutkan alis, heran dan juga penasaran karena yang ia nantikan adalah Cian Bu Ong, bukan Thian Ki.
"Hem, kiranya engkau. Mau apa engkau menghadangku?" tanyanya dengan sikap dan suara yang ketus.
Thian Ki melangkah maju mendekat. "Cin Cin, aku adalah Thian Ki, saudara misan dan sahabatmu..."
Cin Cin mundur dua langkah. "Jangan mendekat! Engkau bukan lagi Thian Ki putera paman Coa Siang Lee, melainkan Thian Ki anak musuh besarku Cian Bu Ong!"
Sedih sekali hati Thian Ki melihat sikap mendengar ucapan itu. "Cin Cin, bersikaplah adil. Memang benar bahwa ibuku telah menjadi janda dan kini telah menjadi isteri bekas pangeran Cian Bu Ong, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa ibu dan aku menjadi musuhmu. Pula, engkau sendiri tidak mempunyai permusuhan apapun dengan ayah tiriku itu. Cin Cin, dengarlah baik-baik, urusan antara ayah tiriku dan gurumu, urusan itu adalah urusan pribadi, urusan mereka berdua, tidak ada hubungannya dengan kita. Mereka dahulu saling mencinta, akan tetapi kemudian ayah tiriku terpaksa meninggalkannya, dan sama sekali bukan kesalahan ayah tiriku..."
Cin Cin melotot dan mukanya kemerahan,sinar matanya berkilat. "Huh, kalian laki-laki memang mau enaknya sendiri saja! Guruku di waktu gadis telah menyerahkan segala-galanya kepada Cian Bu Ong, mencintanya dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi Cian Bu Ong malah meninggalkannya dan menikah dengan gadis lain. Apa ini bukan perbuatan yang khianat dan hina? Guruku sejak itu hidup merana, tidak pernah menikah lagi. Tidak pernah berdekatan lagi dengan laki-laki lain, seluruh sisa hidupnya dipergunakan untuk memperdalam ilmu agar kelak dapat membalas dendam kepada Cian Bu Ong. Dan sekarang engkau, anak tiri Cian Bu Ong, mengatakan bahwa dia tidak bersalah. Apakah guruku yang disia-siakan itu yang salah? Jawab!"
Diberondong serangan kata-kata itu, Thian Ki agak gelagapan juga. Dia memang seorang yang tidak begitu pandai bicara, bahkan condong pendiam. Kalau kini dia dapat mengeluarkan banyak kata-kata, hal itu adalah karena rasa khawatirnya, bukan terhadap ayah tirinya yang dia tahu seorang sakti, melainkan terhadap Cin Cin.
"Gurumu juga tidak bersalah, Cin Cin. Akan tetapi ayah tiriku juga tidak bersalah. Mereka, sebagai dua orang kekasih, mereka telah menjadi korban keadaan. Mereka memang saling mencinta dan sudah bermaksud untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi kemudian Pangeran Cian Bu Ong mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu adalah seorang anggota keluarga tokoh-tokoh sesat yang tersohor karena kejahatan dan kekejaman mereka. Sebagai seorang pangeran yang bercita-cita menjadi kaisar, tentu saja Pangeran Cian Bu Ong tidak ingin mencemarkan nama keluarga kerajaan dengan menikahi kekasihnya itu, maka terpaksa dia meninggalkannya."
"Alasan kosong! Buktinya dia sekarang tidak menjadi kaisar, malah menjadi lurah saja, dan berganti nama pula.! Thian Ki, jangan engkau mencampuri urusanku. Apapun alasannya, Cian Bu Ong telah menghancurkan kehidupan guruku, dan guruku mengutus aku untuk membunuhnya, maka hal itu akan kulakukan dan siapapun tidak boleh menghalangiku!"
"Cin Cin, jangan kau lanjutkan niatmu yang sia-sia itu..."
"Apa? Engkau berani melarangku? Engkau hendak membela ayah tirimu itu ya?"
"Bukan membela, Cin Cin. Dia tidak perlu dibela. Aku mencegah perkelahian ini karena aku tidak ingin melihat engkau cedera atau tewas. Ayah tiriku itu seorang yang sakti, Cin Cin. Engkau bukan lawannya."
Ucapan ini bagaikan minyak disiramkan kepada api, membuat Cin Cin menjadi semakin marah. "Kau kira aku takut? Untuk membela guruku, aku akan mempertaruhkan nyawaku! Dan aku hendak melihat sampai dimana kehebatan laki-laki yang telah merusaak kehidupan guruku itu! Jangan engkau mencampuri!" Cin Cin bertolak pinggang menghadapi Thian-Ki dengan sikap marah sekali. "Kenapa dia tidak datang? Apakah Cian Bu Ong hanya seorang pengecut yang mengirim putera tirinya untuk membujuk agar aku mau mundur?"
Thian Ki tidak menjawab, bahkan mundur beberapa langkah karena dia tahu bahwa ayah tirinya sudah berada di situ. "Nona. aku sudah berada di sini!" terdengar suara Cian Bu Ong yang berwibawa dan tenang. Kemudian dia berkata kepada Thian Ki. "Thian Ki, sudah kukatakan bahwa ini urusan pribadi, engkau tak boleh mencampuri."
"Maafkan saya, ayah," kata Thian Ki dengan hati terpukul dan dia hanya berdiri menjadi penonton, jantungnya berdebar tegang.
"Bagus engkau sudah datang, Cian Bu Ong!" kata Cin Cin.
"Maaf, aku tidak tahu bahwa Thian Ki telah mendahuluiku. Nah, aku sudah siap sekarang, nona."
"Singgg...!!" Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut Koai-liong-kiam dari sarung pedang. Pedang pusaka yang ampuh itu merupakan sebatang pedang yang tajam dan bentuknya seperti seekor naga.
"Cian Bu Ong, keluarkan senjatamu!" bentak Cin Cin dan dengan gagahnya dan ia sudah memasang kuda-kuda dengan pedang di tangan.
Cian Bu Ong tetap bersikap tenang. Teringat dia kepada bekas kekasihnya, Bhok Sui Lan yang dulu juga merupakan seorang yang lihai mempergunakan pedang, bahkan diapun teringat bahwa itu adalah pedang milik kekasihnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa gadis ini memang murid bekas kekasihnya itu.
"Hemm, Koai-liong-kiam. Ingin aku melihat sampai di mana kemajuan Sui Lan melalui muridnya. Aku tidak perlu mempergunakan senjata, nona. Mulailah, aku sudah siap sedia."
"Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus di tanganku!" teriak Cin Cin dan iapun menyerang dengan pedangnya, menerjang bagaikan angin badai mengamuk. Gerakan pedangnya memang dahsyat bukan main. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh dan lihai sekali, maka begitu menyerang ia telah memainkan ilmu pedang Koay-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dahsyat.
Cian Bu Ong mengenal ilmu pedang ini, akan tetapi diapun tahu bahwa ilmu pedang itu selama puluhan tahun ini tentu telah diperhebat oleh Bhok Sui Lan, maka diapun tidak memandang rendah dan cepat menggerakkan kedua tangannya. Lengan bajunya yang lebar itu menyambar-nyambar mengeluarkan angin kuat dan agaknya kedua lengan baju yang panjang dan lebar itulah yang dipergunakan Cian Bu Ong untuk menghadapi pedang lawan.
Thian Ki yang masih berdiri di situ sebagai penonton, melihat dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia melihat bahwa Cin Cin memang hebat bukan main, apalagi dengan pedangnya yang ampuh itu. Pantas kalau Kui Eng tidak mampu menandinginya. Dia sendiripun agaknya tidak akan mudah menang. Cin Cin telah menjadi seorang gadis yang hebat sekali ilmu silatnya, juga galak dan ganas!
Akan tetapi, dia juga melihat gerakan ayah tirinya dan mulailah dia merasa khawatir. Betapapun hebat ilmu pedang gadis itu, namun ternyata dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah setingkat oleh Cian Bu Ong. Setiap kali ujung pedang bertemu ujung lengan baju, pedang itu terpental dan nampak gadis itu seperti orang terkejut. Hanya kelincahan gadis itu yang membuat mereka menjadi seimbang, karena tentu saja Cian Bu yang sudah tua tidak mampu menyamai kecepatan gerakan gadis semuda dan selincah Cin Cin.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat hati Thian Ki merasa lega, dan juga heran. Dia maklum bahwa kalau Cian Bu Ong menghendaki, dengan kelebihan tenaga sin-kangnya, dia akan mampu mendesak bahkan merobohkan lawannya. Akan tetapi ternyata bekas pangeran itu tidak melakukan hal itu. Ini hanya membuktikan bahwa Cian Bu Ong telah sengaja mengalah!
Dan sikap mengalah ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa ayah tirinya itu masih mempunyai perasaan cinta terhadap guru Cin Cin, yaitu Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan! Atau setidaknya, ayah tirinya menyadari kesalahannya terhadap Bhok Sui Lan maka sekarang sengaja mengalah terhadap muridnya.
Cin Cin yang merasa penasaran sekali tidak mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong itu dengan pedangnya, tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring dan melengking, tubuhnya berputar cepat sekali dan pedangnya digetarkan, ujung pedang menjadi banyak dan bertubi-tubi menusuk ke arah bagian-bagian paling berbahaya dari tubuh lawan. Sekali saja ujung pedang itu berhasil mengenai sasaran, tentu Cian Bu Ong, betapapun lihainya, akan roboh dan tewas!
Melihat ini, timbul pula kekhawatiran dalam hati Thian Ki. Serangan gadis itu teramat berbahaya walaupun dengan serangan itu Cin Cin membuka pula pertahanannya, kalau ayah tirinya terus mengalah, serangan itu dapat mencelakakannya . Akan tetapi, ia tidak dapat turun tangan mencampuri karena selain dia tidak ingin menyinggung hati ayah tirinya. juga dia tidak ingin membikin marah hati Cin Cin.
Gadis itu tidaklah jahat walaupun telah menjadi murid seorang tokoh sesat. Ia hanya taat dan setia kepada gurunya, dan kini bertekad membunuh Cian Bu Ong demi gurunya, bukan karena dendam pribadi. Kebenciannya ternadap Cian Bu Ong juga hal yang sewajarnya karena sebagai seorang wanita, tentu saja ia tidak senang mendengar gurunya menderita dalam hidupnya karena disia-siakan oleh bekas kekasihnya.
Karena desakan serangan bertubi-tubi itu, tubuh Cian Bu Ong terjengkang, akan tetapi bagai binatang trenggiling, dia bergulingan ke kiri dan sambil meloncat, diapun menggerakkan kedua lengan bajunya, diputar bagaikan dua buah kitiran menyambar ke arah gulungan sinar pedang.
"Plakkk!" keras sekali ujung lengan baju itu bergerak, yang satu menahan ujung pedang, yang lain menotok ke arah pergelangan tangan Cin Cin. Tak dapat dicegah lagi, tangan kanan Cin Cin yang seperti lumpuh seketika itu melepaskan pedangnya, akan tetapi gadis yang lihai itu masih sempat menggerakkan kakinya menendang ke arah dada lawan.
Pandang mata Thian Ki yang terlatih menangkap gerakan kaki ini dan melihat pula betapa ayah tirinya masih sempat menghindar kalau ia kehendaki. Namun bekas pangeran itu agaknya memang sengaja memperlambat gerakannya dan dadanya masih terkena tendangan itu.
"Dukk!" Tubuh Cian Bu Ong terjengkang dan terbanting keras. Dia bangkit duduk, meringis kesakitan akan tetapi tersenyum dan berkata, "Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat...!"
Akan tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat dan menyambar pedangnya yang tadi terlepas dan secepat kilat ia menyerang Cian Bu Ong yang masih duduk dan belum bangkit berdiri itu. Bekas pangeran itu terkejut, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis itu sedemikian ganasnya, menyerang ia yang sudah terkena tendangan.
"Plakk!" lengan tangan Cin Cin yang memegang pedang ditepuk dari samping dan gadis terkejut bukan main karena merasa betapa seluruh lengannya tergetar dan dengan sendirinya tusukan pedangnya ke arah Cian Bu Ong itu menyamping dan tidak mengenai sasaran. Ketika ia menengok, ia melihat bahwa yang menghalanginya adalah Thian Ki. Matanya melotot dan kedua pipinya menjadi kemerahan.
"Coa Thian Ki! Engkau berani menghalangi aku membunuh musuh besarku!" bentaknya.
"Sabar dan tenanglah, Cin Cin. Tidak tahukah engkau betapa tadi ayah telah bersikap mengalah kepadamu? Kalau dia menghendaki, tentu engkau tadi telah dirobohkan. Dia sudah mengalah, bahkan menerima tendanganmu dengan sengaja. Mengapa engkau begini nekat untuk menyerang selagi dia belum siap?"
"Tidak perduli! Dia atau aku yang harus mati di sini, dan kalau engkau membelanya, berarti engkau menjadi musuh besarku dan harus mati pula!" setelah membentak demikian, Cin Cin menggunakan pedangnya menyerang Thian Ki dengan ganasnya!
Tentu saja Thian Ki tidak ingin menjadi mangsa pedang di tangan Cin Cin yang sedang marah itu. Dia mengelak dan terpaksa balas menyerang karena kalau tidak, tentu dia tidak mampu bertahan terus. Diapun menggunakan ilmu silat yang sama seperti dimainkan ayah tirinya tadi, dan menggunakan kedua ujung lengan baju untuk senjata.
Walaupun kedua ujung lengan bajunya tidak selebar lengan baju ayah tirinya, namun Thian Ki memiliki gerakan yang lebih cepat. Pula, dia memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat pula, bahkan lebih kuat dari ayah tirinya berkat kemampuannya menguasai hawa beracun yang ada di dalam tubuhnya, ilmu yang dia dapatkan dari mendiang Lo Nikouw atau yang dahulunya adalah Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, neneknya.
Diam-diam Cin Cin terkejut bukan main. Dalam kemarahannya tadi melihat Thian Ki membela ayah tirinya, ia kecewa dan penasaran sekali dan hendak membunuh siapa saja yang membela musuh besarnya. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Thian Ki ternyata tak kalah lihainya dibandingkan Cian Bu Ong! Dia terkejut, heran dan kagum, akan tetapi kemarahan dan rasa penasarannya memuncak.
Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan mengerahkan seluruh tenaga, menggunakan ilmu pedang Koai-liong-kiamsut yang memang dahsyat itu. Diam-diam Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Gadis ini memang tangguh bukan main dan sukar memang menundukkannya tanpa meruntuhkan pedangnya. Kalau dia membuat pedang itu terlepas, hal itu tentu akan membuat Cin Cin menjadi semakin marah. Akan tetapi kalau tidak demikian, bagaimana mungkin menundukkan gadis yang lihai dan ganas ini?
Satu-satunya jalan adalah mencontoh ayah tirinya tadi. Menjatuhkan pedang dari tangan Cin Cin dan membiarkan dirinya terkena tendangannya yang lihai. Kalau dia mengerahkan sin-kang, tentu tendangan itu tidak akan melukainya, seperti yang dilakukan ayah tirinya tadi.
"Haiiiiitttt...!" Cin Cin menyerang semakin ganas.
"Cukup, Cin Cin!" Thian Ki membentak dan tiba-tiba saja kedua ujung lengan bajunya menangkap dan membelit ujung pedang, lalu tangan kirinya meluncur keluar dari ujung lengan baju dan menotok jalan darah di bawah siku lengan gadis itu.
"Ihhh...!" Untuk ke dua kalinya terpaksa Cin Cin melepaskan pedangnya, akan tetapi dengan kemarahan meluap, dan dengan nekat tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah leher di atas pundak kanan Thian Ki.
Serangan itu demikian tiba-tiba sehingga mengejutkan Thian Ki yang tadinya mengharapkan gadis itu akan menendangnya seperti yang dilakukannya kepada Cian Bu Ong. Ia cepat menarik tubuh atas ke belakang namun Cin Cin sudah menguasai ilmu yang membuat lengannya dapat memanjang beberapa inci, sehingga biarpun tangannya tidak dapat mencapai leher, masih mampu mencengkeram pundak kanan Thian Ki. Kelima jari tangannya berubah seperti baja dan kuku-kuku tangannya mencengkeram bagai lima batang pisau tajam runcing, lima jari tangan kiri itu menancap dan masuk ke dalam daging di pundak Thian Ki.
"Ahhh...!" Thian Ki terkejut setengah mati, bukan karena luka di pundaknya, melainkan karena secara otomatis, tanpa dapat dicegah lagi, hawa beracun di tubuhnya bekerja menyambut jari-jari tangan yang memasuki daging pundaknya itu.
"Aihhhhhhh...!" Cin Cin menjerit cepat menarik kembali tangan kirinya dan ia terbelalak memandang kepada tangan kirinya yang telah menghitam seluruh jari tangannya. Kemudian terbelalak pula ia memandang kepada Thian Ki, "Kau... kau...!"
Wajah Thian Ki berubah pucat sekali ketika memandang ke arah tangan kiri gadis itu. Dia tahu bahwa nyawa Cin Cin terancam bahaya maut. Hawa beracun yang ditanamkan oleh mendiang neneknya ke dalam tubuhnya adalah racun yang amat dahsyat, bahkan belum dapat ditemukan pemunahnya.
Hawa beracun yang membuat ke lima jari tangan Cin Cin menghitam itu akan menjalar terus ke atas daan kalau sudah sampai ke jantung, gadis itu tak akan dapat diselamatkan lagi. Jalan satu-satunya hanyalah... Thian Ki tidak sempat banyak berpikir lagi. Yang terpenting saat itu adalah menyelamatkan nyawa Cin Cin. Secepat kilat dia menyambar pedang Cin Cin yang tadi terlepas dan berada di atas tanah, bagaikan kilat pedang itu menyambar ke arah tangan Cin Cin yang kini memegang lengan kirinya dengan tangan kanan sambil terbelalak.
"Singgg... crakkk!" tepat sekali pedang itu membabat ke arah pergelangan tangan kiri Cin Cin dan tangan itupun buntung sebatas pergelang tangan tangan.
"Aduhhhhhh...!" Cin Cin terpelanting, akan tetapi ia cepat bangkit kembali, memandang lengan kirinya yang buntung sebatas pergelangan dengan mata terbuka lebar.
"Cin Cin... maafkan aku... maafkan aku...!"
Thian Ki berkata seperti meratap dan seperti orang jijik dia membuang pedang itu ke tas tanah kembali. Pedang yang baru saja membuntungi pergelangan tangan kiri Cin Cin menancap di atas tanah, gagangnya bergoyang-goyang seperti mengejek.
"Nona, biar kuobati luka di lenganmu..." Cian Bu Ong berkata pula sambil menghampiri Cin Cin.
"Jangan mendekat!" Cin Cin berteriak, suaranya bercampur isak dan biarpun ia tidak menangis, akan tetapi air mata bercucuran dari kedua matanya. Ia menggunakan jari tangan kanannya untuk menotok jalan darah di dekat siku dan memijit bagian jalan darah dekat pergelangan yang buntung untuk menghentikan darah keluar dari luka.
Kemudian ia mencabut pedang yang menancap di atas tanah, menyarungkan pedangnya kembali, mengambil sehelai saputangan dan dengan tangan terlindung saputangan, ia memungut tangan kirinya yang buntung menghitam itu. Semua ini dilakukannya dengan amat tenang sehingga mengerikan bagi Thian Ki. Setelah menyimpan buntalan tangan hitam ia menatap tajam wajah Thian Ki.
"Coa Thian Ki, akan tiba saatnya engkau membayar untuk semua ini!"
"Cin Cin, maafkan aku... aku tidak sengaja..."
Namun Cin Cin tidak memperdulikannya dan kini memandang kepada Cian Bu Ong. "Cian Bu Ong sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kelak aku masih akan menebus kekalahan ini. Sebelum kau mati untuk membayar dosamu terhadap subo, aku tidak akan berhenti berusaha." Setelah berkata demikian, sekali loncat gadis itu lenyap dari situ.
"Aahhhhh... Cin Cin...!" Thian Ki menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya. Ia tidak menangis, akan tetapi dia merasa ngeri membayangkan peristiwa tadi sehingga ia menutup muka seolah dia tidak ingin melihat kenangannya, ia sama sekali tidak memperdulikan pundaknya yang terluka dan bercucuran darah.
"Sudahlah, Thian Ki. Semua itu telah terjadi dan aku tahu bahwa engkau tidak bersalah. Gadis itu buntung tangannya karena ulahnya sendiri. Hanya satu hal yang membuat aku menyesal. Bhok Sui Lan tentu akan semakin benci dan dendam kepadaku. Dan aku menyesal mengapa engkau tidak menurut pemintaanku agar tidak mencampuri urusan ini."
"Maaf, ayah. Akan tetapi melihat ayah tadi terancam, bagaimana aku dapat tinggal diam saja?"
Kakek yang masih nampak gagah itu tersenyum dan menghela napas. "Memang karmaku yang buruk. Segala yang kusentuh selalu gagal. Kalau saja tadi tidak ada engkau dan aku tewas di tangan gadis itu, segalanya akan selesai dan beres, tiada dendam mendendam dan hutang piutang lagi. Akan tetapi sekarang, dendam bertumpuk."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu menghampiri Thian Ki, menotok sekitar pundak untuk menghentikan darah keluar, dan mengeluarkan obat bubuk dari sakunya. Setelah mengobati luka di pundak putera tirinya, Cian Bu Ong tanpa banyak cakap lagi lalu berjalan pulang, diikuti dari belakang oleh Thian Ki yang berjalan sambil menundukkan mukanya dan tidak mengeluarkan kata-kata pula. Kedua orang ini tenggelam dalam renungan mereka sendiri, renungan yang menyedihkan.
********************
Puteri Li Hong Lan amat terkenal dan disuka semua orang di lingkungan Istana. Bahkan selir kaisar, para dayang, dan permaisuri sendiri suka kepadanya. Gadis yang berusia delapanbelas tahun ini memang pandai membawa diri. Ia cantik jelita, dengan wajah bulat telur, dagu meruncing dan kulit putih kemerahan. Sepasang pipinya, terutama bibirnya, selalu merah tanpa menggunakan alat kecantikan. Rambutnya hitam panjang berombak.
Alisnya seperti dilukis, sepasang matanya seperti sepasang bintang kejora, hidungnya mancung terutama sekali mulutnya teramat manis, dengan bibir merah basah dan terhias lesung pipi di kanan kiri. Kalau bibir itu tersenyum, mata dan seluruh bagian wajah itu seperti membayangkan senyun pula, cerah, jenaka dan lincah. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita, juga gadis itu memiliki bentuk tubuh yang mempesona dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan.
Semua kecantikan ini menjadi semakin cemerlang karena iapun memiliki otak yang sehat dan cerdas sehingga setelah berusia delapanbelas tahun. Li Hong Lan terkenal sebagai seorang gadis yang menguasai ilmu silat tinggi, juga ilmu sastra yang mendalam, ahli pula dalam segala kesenian, ahli menari, memainkan yang-kim dan meniup suling. Dan kalau bernyanyi, suaranya juga merdu. Pendeknya Li Hong Lan merupakan kebanggaan Istana, merupakan kebanggaan Kaisar Tang Tai Cung, yaitu julukan Pangeran Li Si Bin (627 - 649) setelah ia menjadi kaisar.
Ibunya, yang sesungguhnya bukan apa-apanya, yaitu Kwa Bi Lan, telah belasan tahun menjadi selir Kaisar Tang Tai Cung, semenjak kaisar ini masih menjadi pangeran. Kaisar Tang Tai Cung mencinta selirnya ini, yang selain menjadi selir, juga menjadi pengawal pribadinya. Akan tetapi ada satu hal saja yang mengecewakan hati Kaisar Tang Tai Cung, yaitu bahwa Kwa Bi Lan sendiri tidak menurunkan anak untuknya. Memang Bi Lan membawa Hong Lan, akan tetapi gadis yang menjadi puteri Istana yang membanggakan ini, bagaimanapun juga bukan anaknya sendiri, bahkan bukan pula anak kandung Kwa Bi Lan!
Setelah belasan tahun tinggal sebagai selir kaisar di istana, kini Kwa Bi Lan telah berusia empatpuluh tahun, dan Kaisar Tang Tai Cung juga sebaya. Wanita ini tidak lagi bertugas sebagai pengawal pribadi karena kedudukannya adalah selir kaisar yang tadinya terkasih dan terpandang. Akan tetapi telah beberapa bulan ini terjadi perubahan besar dalam kehidupannya sebagai seorang selir.
Kwa Bi Lan menjadi selir kaisar yang dahulunya masih pangeran, bukan karena tertarik oleh kedudukan seorang pangeran mahkota, seperti hampir semua selir dan dayang kaisar, melainkan karena dengan kesungguhan hati ia jatuh cinta kepada Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi Kaisar Tang Tai Cung. Ia bertemu dan saling jatuh cinta dengan Pangeran Li Si Bin setelah ia menjadi seorang janda tanpa anak, hanya membawa Hong Lan sebagai anak angkat. Maka, iapun tidak terlalu mengharapkan kedudukan atau kemuliaan, melainkan mengharapkan kasih sayang dari pria yang dicintanya dan yang kini menjadi suaminya.
Iapun maklum bahwa suaminya adalah seorang pangeran mahkota dan kini menjadi seorang kaisar, maka betapapun perih rasa hatinya melihat suaminya memiliki sejumlah selir, dayang di samping seorang permaisuri, iapun menahan diri dan pasrah karena maklum bahwa kehidupan seorang kaisar tentu saja tidak dapat disamakan dengan pria biasa yang menjadi suami. Tidak mungkin ia memonopoli kasih sayang Kaisar Tang Tai Cung, harus membagi kasih pria itu dengan selir dan dayang yang banyak jumlahnya, juga harus bersabar kalau suaminya itu sibuk dengan urusan pemerintahan sehingga jarang dapat dekat dengannya.
Akan tetapi, telah berbulan-bulan lamanya kaisar seolah lupa kepadanya! Ia merasa disia-siakan. Kaisar tidak pernah datang ke kamarnya, tidak pernah berkunjung, bahkan kalau bertemupun seolah kaisar tidak melihatnya! Ia amat merindukan orang yang dicintanya, namun kaisar agaknya telah lupa kepadanya.
Pada malam hari itu, Kwa Bi Lan duduk seorang diri di pendapa tempat tinggalnya yang cukup indah menyenangkan, lengkap dengan perabot rumah yang serba indah. Namun, keindahan segala macam benda itu tidak lagi terasa indah olehnya. Keindahan memang hanya dapat dirasakan kalau barang itu masih baru dimilikinya. Kalau sudah menjadi miliknya, maka akan timbul kebosanan! Apakah iapun hanya dianggap sebagai benda yang membosankan oleh suaminya, sang kaisar?
Ia teringat akan mendiang suaminya yang pertama, yang juga menjadi gurunya, yaitu mendiang Sin tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki. Dan mengenang pria ini, walaupun pria ini jauh lebih tua darinya, suami pertama ini berusia enampuluh tahun lebih dan ia sendiri baru duapuluh tahun dan ketika menjadi isteri pria itu ia masih seorang gadis, namun kini terkenanglah ia betapa besar kasih sayang suami pertama itu kepada dirinya. Kasih sayang yang dirasakannya sampai suami itu meninggal dunia.
Terkenang akan suami pertama itu, dan teringat akan dirinya yang kini seperti dilupakan oleh suaminya yang ke dua, yaitu sang kaisar, Kwa Bi Lan tak dapat menahan kesedihannya lagi dan air mata menuruni kedua pipinya yang masih nampak segar dan halus. Wanita ini memang masih cantik jelita dalam usianya yang sudah mendekati empatpuluh tahun itu.
Akan tetapi ia segera menahan hatinya dan menghapus air matanya. Tidak baik kalau sampai terlihat oleh dayang, apalagi oleh puterinya. Sebagai selir seorang kaisar sungguh akan memalukan sekali kalau memperlihatkan kedukaan ketika kaisar lama tidak datang berkunjung. Nasib seperti ini, ia tahu diderita oleh semua selir kaisar!
Tiba-tiba kesunyian malam yang syahdu itu dipecahkan suara yang-kim yang dimainkan oleh jari-jari tangan yang amat pandai. Suara yang-kim itu berdenting-denting naik turun, kemudian diikuti suara nyanyian yang merdu. Tahulah ia bahwa yang memainkan yang-kim sambil bernyanyi itu adalah Hong Lan, dan secercah senyum menghias bibir wanita itu. Untung ada Hong-Lan di sampingnya!
Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri itulah yang selalu memberinya semangat hidup untuk menghadapi segala macam kepahitan. Dan iapun mendengarkan nyanyian itu penuh perhatian. Akan tetapi, semakin didengarkan, perlahan-lahan air matanya semakin banyak bercucuran. Puterinya itu menyanyikan lagu yang amat sedih, lagu seorang isteri yang ditinggal mati suaminya! Mengapa begini kebetulan?
Suara nyanyian itu bahkan kini menyayat-nyayat hatinya yang sudah terluka, perih dan pedih rasanya dan iapun menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan mukanya pada bantal. Kwa Bi Lan tidak tahu bahwa suara yang-kim dan nyanyian itu sudah lama berhenti, tidak tahu pula bahwa Hong Lan memasuki kamarnya dengan langkah ringan sehingga tidak menimbulkan suara.
"Ibu, tidak biasanya ibu sudah tidur sebelum larut malam. Apakah ibu tidak sehat?" Gadis itu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak ibunya yang rebah menelungkup.
Kwa Bi Lan terkejut, berusaha untuk mengusap sisa air matanya sebelum bangkit duduk. Akan tetapi wajahnya yang pucat, pipinya yang basah dan sepasang matanya yang merah agak membengkak membuat Hong Lan terkejut bukan main. Gadis itu segera merangkul ibunya.
"Aih, ibu menangis? Kenapakah, ibu? Belum pernah aku melihat ibu menangis!" Hong Lan terkejut dan juga heran. "Apakah ibu sakit?"
Bi Lan tersenyum dan menggeleng kepala. Akan tetapi senyumnya pahit sekali. "Tidak, anakku. Ibu tidak sakit..."
"Kalau begitu ibu berduka? Kenapa, ibu?"
Bi Lan sudah mampu menguasai dirinya. "Lan Lan, aku tadi terharu mendengar permainan yang-kim dan suara nyanyianmu, lagu itu sedih sekali dan tak terasa ibu menangis."
Hong Lan menciumi pipi ibunya yang masih basah. "Ibu sudah sering mendengar aku menyanyikan lagu itu dan biasanya ibu tidak apa-apa. Ibu, aku tahu mengapa ibu bersedih. Tentu karena ayahanda kaisar, bukan? Aku sudah cukup dewasa, ibu dan aku mengetahui kehidupan selir-selir. Bukan hanya ibu saja yang menderita kesepian seperti sekarang ini. Banyak sudah para bibi selir lainnya yang mengeluh kepadaku tentang kesepian mereka karena ayahanda tidak pernah datang lagi mengunjungi mereka. Ibu, sudah beberapa bulan ini sribaginda tidak datang berkunjung. Karena itu ibu merasa berduka, bukan?"
Bi Lan menundukkan mukanya. Percuma saja membantah dan berpura-pura. Anaknya ini terlampau cerdik untuk dapat dibohongi begitu saja. Ia menghela napas panjang lalu berkata membela, "Ayahmu terlalu sibuk, Hong Lan. Beliau bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan yang amat banyak..."
"Aku tahu, ibu. Banyak tugas dan banyak isteri! Dahulu, paling lama dua tiga hari sekali ayahanda datang dan bermalam di sini. Sekarang berbulan-bulan sudah beliau tidak pernah nampak, tidak pernah menjenguk ibu."
Bi Lan merangkul anaknya. "Terimalah keadaan ini dengan hati lapang, anakku. Memang beginilah kehidupan seorang selir seperti ibumu. Sribaginda masih termasuk seorang suami yang baik, karena kita selalu dicukupi segala kebutuhan kita, bukan?"
"Inilah salahnya, ibu. Para wanita yang menjadi selir raja selalu menerima keadaan, menerima nasib. Beginilah jadinya. Sekali waktu, kalau kebetulan aku bertemu ayahanda, akan kuingatkan beliau bahwa ibu menanti beliau di sini dengan hati setia dan berduka."
"Eihh, jangan, Lan Lan! Beliau akan marah kepadamu!"
Melihat kekhawatiran ibunya, Lan Lan tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku tidak akan bicara sekarang, untuk sementara ini aku akan menahan diri, akan tetapi ibu juga tidak boleh menangis dan berduka lagi," katanya manja.
Kwa Bi Lan tersenyum dan menciumi kedua pipi anaknya. Terima kasih kepada Tuhan, pikirnya, bahwa aku mempunyai Hong Lan. Andaikata tidak ada anaknya ini, ia tahu bahwa ia pasti tidak kan betah lagi tinggal di istana.
"Lihat, ibumu sudah tidak bersedih lagi, kan? Mari kita latihan silat!" Bi Lan meloncat turun dari pembaringan, menarik tangan anaknya dan keduanya berlari-lari sambil tertawa ke ruangan berlatih silat yang memang terdapat di tempat tinggal ibu dan anak ini. Tak lama kemudian, ibu dan anak ini sudah berlatih silat, bertangan kosong, lalu bertanding pedang dan diam-diam Kwa Bi Lan merasa gembira dan bangga, juga kagum karena ia mendapat kenyataan bahwa puterinya itu kini sudah maju sekali. Ia sendiri sukar mengalahkannya.
Hal ini adalah karena Hong Lan pandai membujuk para jagoan istana untuk menurunkan satu dua ilmu silat mereka yang paling tangguh kepadanya. Dan Bi Lan sendiri juga menggembleng puterinya ini dan menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada Hong Lan. Para dayang dan pembantu yang kebetulan melihat ibu dan anaknya itu berlatih silat di waktu malam seperti itu, hanya menggeleng-geleng kepala dengan heran dan kagum.
Kaisar Tang Tai Cung adalah seorang manusia biasa, seorang pria dengan segala kelebihan dan kekurangannya seperti orang lain, dengan kelemahannya. Ketika mudanya, semangat untuk berjuang membesarkan Kerajaan Tang membuat dia hanya memperhatikan urusan negara, dan nampaknya tidak begitu tertarik akan segala macam kesenangan!
Akan tetapi, setelah dia menjadi kaisar dan keadaan pemerintahannya lancar, mulailah semangat yang tadinya dikerahkan untuk perjuangan itu mencari sasaran lain, yaitu melampiaskan nafsu mencari kesenangan. Kemewahan dia sudah mempunyai berlimpahan, kehormatan, kemuliaan dan kekuasaan sudah berada di tangannya. Kebutuhan manusia terbatas sekali, akan tetapi keinginan yang didorong oleh nafsu angkara murka membuat seseorang tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Mulailah dia tergoda oleh nafsu berahinya sendiri.
Selirnya yang banyak mulai membosankan, demikian pula para dayangnya yang setiap saat dengan senang hati siap untuk melayani segala kehendaknya. Nafsu yang dituruti dan dimanjakan tidak pernah menjadi kenyang, tidak pernah merasa puas, bahkan semakin banyak tuntutannya. Demikian pula dengan nafsu yang mencengkeram diri Tang Tai Cung. Dia selalu haus akan wajah wanita yang baru, sehingga entah sudah berapa banyak gadis yang menjadi kekasihnya hanya untuk waktu sebulan dua bulan saja, lalu dia mulai mencari yang lain.
Seperti biasa, di dekat orang yang berkuasa besar, selalu merangkak banyak kaum penjilat yang ingin membonceng kekuasaannya, dengan cara menjilat dan menyenangkan hati atasannya, tentu saja demi keuntungan pribadinya. Demikian pula dengan Kaisar Tang Tai Cung. Banyak pejabat tinggi, terutama para thaikam (pelayan pria kebiri) yang mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati sang kaisar, dengan mencarikan gadis-gadis cantik dari daerah-daerah. Dan pada masa itu, tidak ada seorangpun gadis yang tidak dengan hati gembira menerima pengangkatan menjadi dayang di istana!
Menjadi dayang berarti derajat mereka naik beberapa tingkat, apalagi kalau sampai dapat menyenangkan hati kaisar dan diambil selir! Ada harapan kelak menjadi permaisuri. Satu di antara dayang istana yang dimasukkan oleh para penjilat itu, dan memasukkan seorang gadis inipun berarti menerima hadiah yang tidak sedikit dari orang tua si gadis, yang mau menyerahkan seluruh milik mereka, asal anak gadis mereka diterima menjadi dayang, adalah seorang dari dusun yang bernama Bu Couw Hwa.
Ia sudah mempersiapkan diri menjadi dayang. Usianya baru enambelas tahun, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekarnya, memiliki wajah cantik manis dan bentuk tubuh yang sedang mekar, terutama sekali pinggulnya yang berbentuk indah dan besar, dan ia sudah mempersiapkan diri dengan segala tata-cara tentang sikap dan kelakuan seorang dayang istana yang baik. Bahkan ia mempelajari segala macam kesenian dan cara-cara untuk menyenangkan hati seorang pria junjungannya.
Akan tetapi ketika ia berhasil dimasukkan ke dalam istana, terlalu banyak saingan terdapat di istana. Terlalu banyak dayang istana yang cantik-cantik sehingga Bu Couw Hwa merasa kecil dan rendah diri. Bagaimana mungkin ia, seorang dara desa, mampu bersaing melawan sekian banyaknya dayang cantik untuk menawan perhatian dan hati Kaisar? Apalagi begitu tiba di situ, ia sudah melihat kenyataan betapa setiap orang thai-kam dan petugas di situ amat haus akan sogokan. Tanpa menyogok sana sini, tidak mungkin ia mampu mendekati Kaisar! Bahkan ia mendapatkan tugas yang paling rendah, yaitu dayang pembersih kamar mandi dan kakus milik kaisar!
Couw Hwa menerima pekerjaan ini dengan hati sabar. Ia menanti kesempatan yang baik dan mulai melakukan pendekatan dengan para thai-kam yang dekat dengan kaisar. Sampai harus habis semua perhiasan dan bekalnya, juga gajinya yang ia tabung, untuk menyenangkan hati para thai-kam. Gadis yang amat cerdik ini, yang menjadi dayang bukan sekedar mencari pekerjaan, melainkan untuk mencapai tujuan atau cita-citanya yang amat muluk, mengatur siasat dengan rapi dan licin.
Setelah dapat mendekati thai-kam, maka dengan bantuan para thai-kam, pada suatu senja thai-kam yang bertugas memberi isyarat kepada Bu Couw Hwa. Gadis ini cepat memperhalus wajahnya dengan bedak tipis, menggosok mukanya dengan handuk yang dibasahi air panas, menggosok keras-keras sehingga kedua pipinya menjadi kemerahan dan berbau harum oleh air yang dicampuri air mawar, mengenakan baju yang agak longgar di bagian dada, sehingga kalau ia membungkuk, orang akan dapat melihat bukit dadanya yang menonjol lembut.
Rambutnya yang hitam berombak itu dibiarkan agak kusut, terutama di bagian dahi sehingga anak rambut yang halus sekali melingkar-lingkar di dahi, di pelipis, dan di belakang telinga, melingkar-lingkar halus seperti benang sutera yang kekeringan. Setelah itu, cepat ia mendahului masuk ke kamar mandi pada saat para thai-kam memberi isyarat bahwa kaisar berkenan mempergunakan kamar mandi itu. Seperti tidak disengaja, gadis itu terkejut ketika selagi ia membersihkan kamar mandi, kaisar muncul di pintu kamar mandi.
"Aihh... banswe-ban-banswe..." serunya lirih sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kaisar Tang Tai Cung.
Kaisar yang usianya sudah kurang lebih empatpuluh tahun itu tersenyum melihat seorang dayang sedang membersihkan kamar mandi. Dia membiarkan dayang itu berlutut dan diapun membuang air kecil di tempat yang disediakan untuk itu, tidak perduli betapa dayang itu masih berlutut di situ dan biarpun tidak melihatnya, setidaknya suara air kencingnya terdengar. Setelah selesai, Kaisar Tang Tai Cung membereskan celananya dan membalikkan tubuh. Dayang itu masih berlutut di situ dengan muka menunduk, takut dan malu-malu.
"Heii kau, ambilkan air untuk aku mencuci tangan," perintahnya.
Bu Couw Hwa dengan jantung berdebar tegang segera mengambil sepanci air harum. Inilah kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, sejak menginjakkan kaki di lantai istana. Harus ia pergunakan baik-baik, pikir hati kecilnya yang cerdik. Dengan jalan berjongkok ia menghampiri Kaisar yang masih berdiri, lalu berlutut dan mengangkat panci air itu ke atas kepala, mukanya tetap menunduk, akan tetapi matanya melirik ke arah dadanya.
Bagus, pikirnya, karena ia mengangkat kedua tangannya yang memegang panci air, baju di dadanya terbuka dengan lebar dan memperlihatkan dua lengkung bukit dadanya yang indah. Kaisar Tang Tai Cung mencuci tangannya dengan menunduk. Tentu saja, dengan sendirinya, pandang matanya bertemu dengan sepasang bukit yang menonjol dan nampak di balik baju yang terbuka sedikit itu.
"Angkat mukamu, aku ingin melihatmu," kata Kaisar Tang Tai Cung yang mulai tertarik.
Dengan gaya yang sudah lama dilatihnya. Bu Couw Hwa mengangkat mukanya, muka yang amat manis, senyum malu-malu yang memperlihatkan lesung pipinya, dengan mata yang mengerling ke atas, bibir yang akan terbuka menantang, cuping hidung yang berkembang kempis, lalu ia menunduk kembali, maklum bahwa penglihatan sekilas itu akan jauh lebih memikat daripada kalau ia berlama-lama membiarkan sang kaisar menatap wajahnya.
Darah tersirap ke kepala dan gairah sang Kaisarpun timbul. "Siapa namamu, kenapa aku tidak pernah melihat dayang secantik engkau di sini?"
"Ampun, Sri baginda. Hamba selalu bertugas di sini, dan hamba tidak berani memperlihatkan diri tanpa diperintah."
Suara gadis itupun sudah diatur dan dilatih lama, maka terdengar merdu dan juga menyenangkan. Sang kaisar yang sudah terpikat itu mengambil panci dari kedua tangan Bu Couw Hwa, meletakkan panci itu ke atas meja dan ia memegang kedua tangan gadis itu dan ditariknya untuk berdiri. Bentuk tubuh yang indah itu, dengan lekuk lengkung menggairahkan, dilalap pandang matanya, dan hidungnya juga mencium keharuman yang khas keluar dari rambut dan dada dayang itu.
Tanpa banyak upacara lagi, tanpa banyak cakap lagi. Kaisar Tang Tai Cung yang telah menjadi hamba nafsu berahinya, merangkul Bu Couw Hwa dan menuntunnya ke dipan yang memang menjadi perlengkapan kamar mandi yang luas itu dan di situlah tercapai apa yang diidamkam hati Bu Couw Hwa, terlaksana semua yang telah dicitakan, yaitu ia berhasil memikat hati kaisar dan menyerahkan tubuhnya melayani kaisar demi memperoleh kedudukan yang tinggi.
Setelah terjadi peristiwa itu, wajah Bu Couw Hwa selalu berseri penuh kegembiraan, pandang matanya bersinar-sinar penuh harapan. Pasti akan tercapai seperti yang direncanakan, yaitu ia yang telah menyerahkan diri melayani sang kaisar, akan segera diangkat menjadi seorang di antara selir yang berjumlah tujuhpuluh dua itu, menggantikan seorang di antara para selir yang akan dipersilakan mundur, dan kalau sudah menjadi seorang selir, maka semakin dekat lagi tujuan yang menjadi cita-cita terakhir, yaitu menjadi permaisuri ke tiga, ke dua atau pertama! Apalagi kalau ia dapat melahirkan seorang putera!
Cita-cita adalah kata yang halus dan indah yang artinya tidak lain hanyalah keinginan! Dan keinginan manusia tidak pernah ada batasnya, makin diberi semakin mekar berkembang, karena keinginan adalah ulah nafsu daya rendah. Keinginan adalah pengejaran akan sesuatu yang belum dimilikinya.
Pengejaran seperti ini biasanya hanya mempunyai dua akibat. Kalau tercapai, sebentar saja apa yang dikejarnya mati-matian itu akan membosankan dan sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan seperti yang dibayangkan semula dan kalau tidak tercapai, timbullah kekecewaan dan kedukaan.
Sesuatu yang belum dimilikinya yang dikejar-kejar, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang amat indah, sesuatu yang akan mendatangkan kebahagiaan. Akan tetapi setelah sesuatu itu dapat dimiliki, maka memudarlah bayangan-bayangan yang muluk akan keindahan dan kebahagiaan itu, karena nafsu daya rendah sudah mendorong lagi kepada kita untuk mengejar sesuatu yang lain, yang belum kita miliki.
Karena itu, berbahagialah orang yang dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Tidak terseret nafsu daya rendah yang tiada putusnya menarik kita untuk selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki, membuat kita menjadi angkara murka dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada. Kalau sudah begini, hiduppun merupakan penderitaan, kekecewaan, kebosanan, yang takkan berhenti.
Orang yang kaya raya, yang sebelum kaya membayangkan betapa akan bahagianya setelah dia dapat menjadi kaya, mulai menderita karena kekayaannya. Bermacam masalah yang meresahkan, membingungkan dan menyedihkan timbul karena adanya kekayaan yang berlimpah. Orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengetahuanpun tidak sebahagia seperti yang dibayangkan ketika dia sedang mengejar ilmu pengetahuan itu. Dia seperti terhimpit oleh ilmu pengetahuannya sendiri.
Demikian pula orang yang berkedudukan. Tadinya kedudukan dianggap sebagai sarana utama untuk mencapai kebahagiaan, akan tetapi setelah kedudukan diperolehnya, justeru kedudukannya itulah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaannya. Kita terbelenggu oleh apa yang kita kejar, karena kita diperhamba oleh apa yang kita kejar sendiri.