Bu Couw Hwa segera merasakan kepahitan oleh kenyataan bahwa jalan hidupnya tidaklah semulus seperti yang ia citakan. Ia hanya mendapatkan sedikit perubahan dari peristiwa dalam kamar mandi itu. Ia dipindahkan dari kedudukan pembersih kamar mandi menjadi dayang sebelah dalam. Akan tetapi, kenaikan kedudukan ini tidak ada artinya baginya.
Kini hanya diketahui semua penghuni bagian puteri itu bahwa ia adalah seorang di antara dayang yang pernah mendapat "kehormatan" melayani kaisar! Itu saja. Hanya beberapa kali saja ia dipanggil untuk melayani kaisar di tempat tidurnya. Setelah itu, Kaisar Tang Tai Cung seolah melupakannya! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya, selama beberapa kali melayani kaisar itu, ia tidak berhasil mengandung.
Akan tetapi, Bu Couw Hwa adalah seorang wanita yang sejak kecil memiliki hati yang keras dan semangat yang besar. Ia tidak pernah turun semangat, bahkan segala kegagalan dianggapnya sebagai pupuk bagi semangatnya untuk mencapai apa yang dicitakannya. Kalau perlu, ia berani menempuh segala cara dan jalan demi tercapainya cita-citanya.
Setelah melihat betapa Kaisar Tang Tai Cung yang pembosan itu acuh saja terhadap dirinya, iapun mencari sasaran lain. Banyak memang pria yang dapat dijadikan sasaran olehnya. Para pengawal atau komandan pengawal, bahkan pejabat-pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar dan sering bertemu dengannya. Namun, ia bukanlah seorang wanita yang mudah puas. Cita-citanya setinggi langit.
Segala macam pria yang berkedudukan tinggi itu tidak ada artinya baginya. Ia harus mencapai puncaknya! Orang ke dua setelah Kaisar Tang Tai Cung yang dianggapnya akan mampu mengangkatnya ke tempat tertinggi, adalah Pangeran Li Hong, putera mahkota! Pangeran ini berusia duapuluh tahun, tentu saja jauh lebih menarik daripada ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung yang sudah berusia empatpuluh tahun.
Kembali Bu Couw Hwa mengatur siasat. Sebagai seorang dayang yang dipercaya membersihkan kamar-kamar, tentu saja banyak kesempatan baginya untuk menyambar barang-barang berharga yang berserakan dan tidak pernah diteliti oleh para permaisuri dan selir. Mudah saja bagi Bu Couw Hwa untuk mencuri barang-barang perhiasan berharga dan benda-benda ini ia pergunakan untuk mendekati para thai-kam. Dengan menyogok sana sini akhirnya para thai-kam dapat mengatur suatu pertemuan yang seolah-olah tidak disengaja antara ia dan Pangeran Mahkota Li Hong di dalam taman.
Pada suatu malam terang bulan, ketika Pangeran Mahkota Li Hong sedang berjalan-jalan seorang diri di taman besar istana, hanya ditemani dua orang thai-kam kepercayaan, tiba-tiba ia mendengar suara yang-kim (siter) yang nyaring. Lalu suara itu disusul kemerduan suara seorang wanita yang bernyanyi. Mendengar ini, Pangeran Li Hong menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
Nyanyian itu amat terkenal, nyanyian rakyat yang menceritakan tentang seekor burung merak yang merindukan seekor burung dewata, betapa sang merak merasa rendah diri dan buruk dibandingkan sang burung dewata, namun betapa rindunya untuk berdekatan dengan raja burung itu. Entah karena isi nyanyian itu atau merdunya suara dan yang-kim atau karena malam terang bulan di taman mendengar nyanyian itu merupakan perpaduan yang amat indah, namun pangeran yang masih muda itu merasa tertarik dan kagum sekali.
"Siapa yang bernyanyi itu?" tanyanya sambil memandang ke arah sebuah pondok kecil mungil yang berada di dalam taman, darimana suara itu terdengar.
Tentu saja dua orang thai-kam itu tahu siapa pemilik suara itu, karena merekalah yang mengatur pertemuan ini, akan tetapi mereka tidak mau mengaku dan mengatakan bahwa mungkin seorang dua orang dayang yang sedang bertugas di situ membersihkan pondok yang menjadi tempat peristirahatan para puteri.
"Akan tetapi itu hanya dugaan hamba saja pangeran," kata pula orang kedua, "setahu kami tidak ada dayang istana yang memiliki suara semerdu itu dan keahlian memainkan yang-kim seindah itu."
Tentu saja hati sang pangeran menjadi semakin tertarik, maka ketika dua orang thai-kam itu mengajak dia untuk mengintai melalui belakang pondok, diapun tersenyum dan mengikuti mereka. Semua ini memang sudah diatur oleh Bu Couw Hwa dan dua orang thai-kam itu. Ketika sang pangeran bersama dua orang thai-kam mengintai melalui pondok belakang, mereka melihat seorang gadis cantik jelita sedang duduk seorang diri memainkan yang-kim karena nyanyian itu telah selesai.
Gadis itu cantik manis dan jari-jari tangannya yang lentik bergerak menari-nari dengan indahnya di atas yang-kim, mukanya agak diangkat seolah gadis itu sedang memandang bulan di langit dengan mata yang redup sayu, dengan mulut yang setengah terbuka. Bukan main indahnya penglihatan itu. Melihat seorang gadis cantik jelita bermain yang-kim, di taman bunga dalam terang bulan, sungguh suatu keindahan seperti yang terkandung dalam sajak yang indah.
Hati sang pangeran seketika terpikat. Suasana itu mendatangkan ketentraman dan kelembutan yang penuh damai, menimbulkan gairah romantika yang syahdu dan darah mudanya bergejolak. Melihat bahwa gadis itu mengenakan pakaian seperti seorang dayang, maka keberanian sang pangeran meningkat. Kalau wanita itu seorang selir ayahnya, tentu saja dia tidak akan berani menggodanya.
Akan tetapi seorang dayang hanyalah seorang pelayan, walaupun banyak selir berasal dari dayang. Bersama dua orang thai-kam yang di percayanya itu, diapun memasuki pondok itu dari pintu belakang dan menghampiri gadis yang masih memainkan yang-kim lirih-lirih sambil melamun.
"Nona, suaramu indah sekali." Pangeran Li Hong memuji setelah berada dekat di belakang gadis itu.
Dengan permainan sandiwara yang baik sekali, gadis itu melepaskan yang-kimnya saking kaget, memutar tubuhnya, terbelalak dan membuka mulut secara manis sekali, mengangkat kedua tangan ke atas, lupa bahwa baju depannya setengah terbuka sehingga nampak sebagian dadanya yang mulus dan putih, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Yang mulia Pangeran... hamba... hamba mohon maaf... hamba tidak tahu akan kehadiran paduka... hamba siap menerima hukuman mati..." katanya dengan suara yang merdu dan seperti orang yang ketakutan, suaranya berdesah dan berbisik.
Pangeran Li Hong tertawa, semakin kagum karena setelah berada dekat, dia melihat bahwa gadis ini memang cantik sekali dan keharuman khas keluar dari tubuhnya. Padahal gadis ini baru selesai bekerja agaknya, setelah membersihkan pondok itu dan beristirahat, tentu tidak mempersiapkan diri, tidak mempersolek diri.
Bajunyapun setengah terbuka dan rambutnya kusut. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kekusutan pada diri Bu Couw Hwa itu adalah kekusutan 'teratur'
"Ha-ha-ha, nona, jangan takut. Engkau tidak bersalah apa-apa, aku tadi hanya tertarik oleh suaramu yang merdu dan permainan yang-kimmu yang indah. Aku ingin mendengar lebih banyak. Mainkanlah yang-kim itu dan bernyanyilah untukku."
"Aiih, ampunkan hamba, pangeran. Bagaima hamba berani memperdengarkan suara hamba yang parau dan permainan yang-kim hamba yang ngawur? Hamba hanya seorang dayang..."
"Jangan merendahkan dirimu, eh, siapa namamu?"
Bukan main girangnya rasa hati Bu Couw Hwa. Perhatian dari pangeran itu menunjukkan bahwa siasatnya mulai berhasil. Umpannya mulai disambar kakap! "Nama hamba Bu Couw Hwa, pangeran."
"Bagus, Couw Hwa, atau kusebut saja engkau Hwa Hwa!" Pangeran itu tertawa lagi, girang karena wajah gadis itu demikian cerah dan ramah sehingga menimbulkan suasana yang gembira. Dia lalu memerintahkan kedua orang thai-kam. "Cepat ambilkan arak dan makanan, aku ingin makan malam di sini. Hwa Hwa, maukah engkau melayaniku makan malam di sini?"
"Mau? Aiiih, pangeran. Hamba merasa seperti kejatuhan bintang, mendapat kehormatan besar sekali. Tentu saja hamba suka sekali. Biar hamba bersihkan dulu meja dan dan hamba ganti dengan kain penutup yang baru!"
Dengan gerakan lincah, lenggang yang membuat pinggulnya yang bulat besar seperti menari-nari, gadis itu mengerjakan persiapan untuk makan malam sang pangeran. Setiap gerak geriknya diikuti pandang mata pangeran muda itu yang menjadi semakin terpesona.
"Aku harus dapat menaikkan harga diriku," demikian sambil membersihkan dan merapikan meja, gadis itu berpikir. "Kalau kujual murah, tentu akhirnya sebentar saja dia akan lupa padaku."
Bu Couw Hwa memang cerdik luar biasa. Ia mempergunakan siasat memikat pangeran mahkota bukan sekedar merupakan petualangan cinta belaka. Sama sekali tidak! Ia memiliki tujuan yang lebih inggi lagi, mempunyai cita-cita yang muluk. Usahanya terhadap Kaisar gagal setengah jalan, maka kini ia menempuh jalan lain, melalui Pangeran Mahkota!
Tak lama kemudian, pangeran itu makan minum di dalam kamar, dilayani Bu Couw Hwa, kemudian gadis itupun beberapa kali memainkan yang-kim dan bernyanyi, bahkan mengajak pangeran itu bercakap-cakap tentang seni suara dan seni sastra, karena iapun pandai membuat sajak atau syair berpasangan yang mengandung makna dalam.
Mendengar bahwa usia gadis itu baru menjelang tujuh belas tahun, sang pangeran menjadi semakin kagum. Akan tetapi ketika dia mulai memperlihatkan gejolak berahinya, dengan lembut Bu Couw Hwa menolaknya. Dengan halus dan lembut! Tentu saja sang pangeran menjadi penasaran bukan main. Penolakan yang halus itu sama sekali tidak membuatnya marah, bahkan membuat berahinya semakin berkobar seperti api disiram minyak.
Wanita muda itu tetap bersikap manis, bersikap amat menyayang dan hormat sehingga sang pangeran merasa dimanja. Dengan sikapnya, Bu Couw Hwa jelas menyatakan perasaan hatinya yang jatuh cinta kepada junjungan itu. Kerling matanya, senyumnya, gerakan tubuhnya, suaranya, semua jelas membayangkan bahwa ia mencinta sang pangeran. Akan tetapi kalau pangeran itu hendak menyentuhnya, ia dengan halus dan sopan menjauhkan diri dan pandang matanya nampak sayu dan sedih! Ia seperti jinak-jinak merpati yang membuat pangeran menjadi semakin terpikat.
Akhirnya setelah jelas bahwa wanita itu tidak bersedia melayaninya bercinta, sang pangeran meninggalkan tempat itu, diantar senyum dan kerling penuh kasih oleh Bu Couw Hwa. Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggalnya sendiri itulah sang pangeran menyatakan keheranannya.
"Ia begitu dekat, akan tetapi begitu jauh," ratap pangeran itu kepada dua orang kepercayaannya. "Ia seperti menantang, akan tetapi selalu menghindar. Ia jelas mencintaku, akan tetapi tak ingin kujamah. Mengapa begitu, seolah ia menyiksaku?"
Dua orang thai-kam itu saling lirik dan tersenyum, diam-diam kagum sekali kepada gadis itu. Seorang wanita muda yang luar biasa, seperti minuman arak yang amat baik, lembut memabokkan, akan tetapi tidak terasa oleh yang mabok. Tepat seperti yang telah diatur oleh Bu Couw Hwa yang telah menyogok mereka dengan banyak benda berharga, mereka lalu berkata bahwa dayang itu pernah menjadi dayang kesayangan Kaisar, bahkan telah beberapa kali mendapat kehormatan melayani kaisar.
"Mungkin karena ia tidak ingin membuat paduka melakukan kesalahan, maka ia sengaja menahan diri dan menghindar, yany mulia," kata mereka.
"Ahh... begitukah? Sungguh ia seorang wanita yang baik dan lembut hati, setia dan juga tidak ingin melihat aku melakukan kesalahan. Akan tetapi ia hanya seorang dayang, belum diangkat menjadi selir ayahanda kaisar, bukan?"
"Demikianlah, yang mulia. Ia masih belum menjadi selir yang sah."
"Kalau begitu, ia masih seorang dayang, dan bukan suatu pelanggaran dosa kalau terjadi hubungan antara kami," pangeran yang sudah tergila-gila itu membela diri.
"Memang sesungguhnya demikian, pangeran. Apa lagi yang mulia Sribaginda terlalu sibuk sehingga hampir melupakannya, karena itulah maka ia tadi menyanyikan lagu kerinduan. Paduka dapat menduga, siapa yang disebut sebagai burung Hong yang dirindukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan Sribaginda?"
Dua orang thai-kam itu tersenyum. "Yang mulia Pangeran, ia menjadi kekasih Sribaginda hanya selama beberapa kali saja dan menurut keterangannya hal itupun terjadi selagi Sribaginda dalam keadaan terlalu banyak minum anggur, sehingga pertama kalinya terjadi di kamar mandi di mana Bu Couw Hwa bertugas membersihkan kamar mandi. Tidak, bukan Yang Mulia Sribaginda Kaisar yang dimaksudkan sebagai burung Hong yang dirindukannya dalam nyanyian tadi, melainkan paduka."
"Ehh? Bagaimana engkau bisa tahu?" pangeran itu bertanya, curiga.
"Yang Mulia, pernah ketika bertemu dengan hamba, ia mengatakan bahwa betapa bahagianya hamba menjadi pelayan paduka, selalu dekat dengan paduka. Nah, bukankah itu suatu bukti bahwa diam-diam ia memuja paduka? Pula, bukankah nama burung itu sama dengan nama paduka?"
Bukan main girangnya hati Pangeran Li Hong mendengar ini. Dan selanjutnya, atas bantuan dua orang thai-kam itu yang mengharapkan banyak hadiah, diaturlah pertemuan-pertemuan selanjutnya antara Pangeran Li Hong dan Bu Couw Hwa. Bu Couw Hwa cerdik luar biasa. Ia bersikap jatuh cinta dan tergila-gila kepada sang pangeran.
Akan tetapi, ia mohon agar hubungan itu dirahasiakan, katanya untuk menjaga agar jangan sampai kaisar mendengar dan akan menyalahkan mereka. Juga dari kedua thai-kam itu ia menerima ramuan obat untuk mencegah agar dalam hubungannya dengan sang pangeran, ia tidak sampai hamil. Ia memikat dan mengikat cinta kasih sang pangeran, dan untuk itu ia bersikap cerdik sekali.
Ia sengaja menjual mahal, sengaja tidak selalu memenuhi permintaan sang pangeran untuk mengadakan pertemuan, dengan berbagai alasan yang masuk akal. Hal ini ia lakukan untuk membuat sang pangeran tetap rindu kepadanya. Setelah semalam melayani dengan seluruh kemampuannya untuk membuat sang pangeran mabok kepayang, ia selalu menjauhkan diri sampai berminggu-minggu.
Hal ini membuat Pangeran Li Hong yang masih muda itu benar-benar menjadi tergila-gila. Bu Couw Hwa mulai membuat ikatan-ikatan, seperti seekor laba-laba menjaring seekor belalang, dengan benang-benang halus lembut namun kokoh kuat sehingga sang belalang tidak merasa bahwa ia masuk ke dalam perangkap!
"Sudahlah, Thian Ki. Engkau tidak salah. Gadis itu yang mencari gara-gara sendiri. Kalau ia tidak berniat membunuhmu dan mencengkeram pundakmu, tentu ia tidak akan keracunan dan kalau engkau membuntungi pergelangan tangannya, hal itu kaulakukan justru untuk menyelamatkan nyawanya dari kematian. Kenapa engkau menyesali diri seperti ini, berhari-hari tidak mau makan minum sampai tubuhmu menjadi kurus kering, wajahmu pucat dan engkau seperti seorang yang kehilangan semangatnya?"
Tegur ibunya, Sim Lan Ci yang telah mendengar semua tentang pertandingan antara suaminya dan Kam Cin, kemudian tentang Kam Cin menyerang puteranya sehingga gadis itu keracunan dan pergelangan tangannya dibuntungi puteranya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
Thian Ki tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya. Sejak peristiwa itu, dia tidak pernah dapat melupakan bayangan Cin Cin dengan tangan kirinya yang buntung, tak dapat melupakan betapa dia yang membuntungi tangan gadis itu, dan selalu wajah Cin Cin ketika memandang kepadanya untuk yang terakhir kali membayanginya sampai ke dalam mimpi. Hal ini membuat dia merasa menyesal bukan main. Apalagi kalau dia teringat ketika pernah bersama ayah bundanya menjadi tamu di rumah Cin Cin. Kedukaan ini membuat dia lupa makan lupa tidur.
"Selain engkau tidak bersalah, Cin Cin itu jahat bukan main, koko! Kenapa orang seperti itu koko ingat terus? Ia telah menghina kita, ia telah berniat membunuh ayah, bahkan membunuhmu. Apakan engkau takut kalau ia mendendam kepadamu karena engkau membuntungi tangannya? Jangan takut, aku akan membantumu membasminya kalau ia berani mencoba untuk membalas dendam!" kata Kui Eng dengan hati panas.
Entah bagaimana ia sendiri tidak tahu, setelah ia mengetahui bahwa ia bukan anak kandung Sim Lan Ci, tidak mempunyai hubungan keluarga atau darah dengan Thian Ki, pandangannya terhadap pemuda itu berubah sama sekali. Sejak kecil ia memang amat sayang kepada kakaknya ini, akan tetapi sekarang, setelah mengetahui bahwa Thian Ki bukan apa-apa melainkan orang lain, kesayangannya sebagai adik terhadap kakak kandung berubah menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap pria! Maka, melihat Thian Ki begitu murung dan berduka karena seorang gadis lain, apa lagi gadis itu musuh besar ayah kandungnya, ia merasa cemburu dan marah.
Thian Ki memandang adiknya sejenak, lalu menunduk lagi dan menghela napas panjang, dia tidak menjawab. Dia menyadari bahwa dia tidak bersalah tentang buntungnya tangan Cin Cin, namun betapapun juga, buntungnya tangan itu adalah karena dia. Gadis itu keracunan karena tubuhnya beracun dan biarpun dia menyelamatkan nyawa gadis itu dengan membuntungi tangannya, tetap saja dialah yang membuntungi tangan itu! Dan dia tidak mungkin dapat melupakan sinar mata dan tarikan wajah Cin Cin ketika gadis itu memandang kepada lengannya yang buntung dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Thian Ki, aku merasa kecewa dan malu melihat sikapmu ini!" tiba-tiba terdengar suara Cian Bu Ong yang menggelegar dan penuh kewibawaan. "Sikapmu ini hanya pantas dimiliki seorang laki-laki yang lemah dan cengeng! Segalanya sudah terjadi dan sebagai laki-laki yang gagah engkau harus berani menghadapi kenyataan, harus berani bertanggung-jawab atas semua yang telah kaulakukan! Engkau tidak pantas disebut orang gagah kalau bersikap seperti ini, memalukan saja. Padahal, sekarang engkau telah selesai belajar dan sudah tiba saatnya engkau terjun ke dunia persilatan sebagai seorang pendekar, sebagai seorang gagah agar tidak sia-sia semua pelajaran yang telah kau pelajari selama ini. Agar tidak sia-sia engkau hidup sebagai seorang manusia di dunia ini."
Ucapan Cian Bu Ong itu seperti sengat lebah, seperti siraman air dingin, membuat Thian Ki tersadar. Dia mengangkat mukanya yang pucat dan memandang kepada ayah tirinya, juga gurunya, dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan ayah tirinya dan ibunya, kedua matanya basah, akan tetapi dia tidak menangis.
"Ayah, ibu, maafkan aku yang lemah ini. Semua kata-kata ayah, ibu dan adik Kui Eng benar. Sekarang aku menyadari bahwa sikapku ini sungguh sikap seorang pengecut yang hendak melarikan diri dari kenyataan hidup. Maafkan aku."
Ibunya, Sim Lan Ci, memaklumi apa yang terdapat di hati puteranya, maka iapun merangkul puteranya dengan hati terharu. Sejak kecil, ia sendiri dan mendiang suaminya, Coa Siang Lee, yang mendidik anak ini agar menjauhkan diri dari segala kekerasan, sengaja tidak mengajarkan ilmu silat bahkan menanamkan dalam hatinya agar menjauhi kekerasan.
Akan tetapi ia dijadikan seorang tok tong (anak beracun) oleh mendiang neneknya yang bermaksud agar sang cucu kelak menjadi seorang jagoan tanpa tanding! Karena sudah terlanjur memiliki tubuh beracun, sehingga di luar kehendaknya beberapa orang tokoh dunia persilatan tewas ketika mencoba untuk membunuh dan menyerangnya, maka kemudian setelah menjadi putera tiri Cian Bu Ong, Thian Ki belajar ilmu silat tinggi. Namun, ia tahu bahwa di dasar hati Thian Ki masih terdapat kelembutan itu. Dia tidak ingin melukai orang, apa lagi membunuhnya. Dan kini, secara terpaksa dia membuntungi tangan Cin Cin, seorang gadis yang pernah akrab dengannya ketika masih sama-sama kecil.
"Sudahlah, anakku. Bangkitlah dan jangan lagi membiarkan dirimu tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan. Ayahmu benar. Engkau seorang laki-laki yang seharusnya bersikap gagah dan jantan," kata ibu ini.
Thian Ki bangkit dan duduk kembali. Ketika dia mengangkat muka memandang ayah tirinya, ibunya dan Kui Eng, matanya sudah mengeluarkan sinar, tidak lagi muram dan layu seperti sebelumnya.
"Yang terpenting adalah pengamatan diri, Thian Ki. Carilah dalam dirimu sendiri dan lihat kenyataan apa yang telah terjadi. Kalau dalam peristiwa itu engkau merasa bahwa engkau telah melakukan kesalahan, maka engkau harus bertekad untuk mengubah kesalahan itu dan tidak mengulanginya kelak. Sebaliknya, kalau engkau tidak merasa melakukan suatu kesalahan, jangan engkau takut menghadapi segala akibatnya. Dalam peristiwa yang telah terjadi itu, aku tidak melihat kesalahan dalam tindakanmu Akan tetapi andaikata akibatnya tidak menguntungkan, andaikata gadis itu mendendam kepadamu, engkau harus berani menghadapi kenyataan itu dengan modal utama, yaitu keyakinan bahwa engkau tidak melakukan kesalahan. Itu saja!"
Thian Ki mengangguk-angguk. Terbayang semua peristiwa itu. Mula-mula dia turun tangan untuk mencegah Cin Cin membunuh ayah tirinya, yang tadinya sudah mengalah terhadap gadis itu. Tentu saja perbuatannya ini tidak salah karena tidak mengandung niat buruk di hatinya ketika dia menyelamatkan ayahnya. Akan tetapi Cin Cin bahkan menyerangnya. Diapun hanya membela diri, sama sekali tidak bermaksud untuk melukai gadis itu.
Akan tetapi kenyataannya menjadi lain dari yang dia kehendaki. Gadis itu mencengkeram pundaknya, dan di luar kesadarannya, tanpa disengaja karena otomatis hawa beracun di tubuhnya bergerak tak terkendali untuk melindungi pundak yang dicengkeram, tangan Cin Cin keracunan. Racun itu akan menjalar dan menewaskan Cin Cin, tanpa ada obat yang akan mampu menolongnya.
Oleh karena itu, dia cepat membuntungi tangan beracun itu demi keselamatan nyawa Cin Cin. Memang tidak ada kebencian mendorong semua perbuatannya itu. Hanya nasib yang menentukan demikian. Sudah digariskan. Sudah menjadi kehendak Tuhan. Dia harus berani menghadapi segala akibatnya.
Dia teringat akan sikap ayah tirinya. Ayah tirinya menghadapi pula akibat dari perbuatannya ketika muda, yaitu mengenai urusan pribadinya dengan Tung-hai Mo-li Bhok Sui lan. Dan kini ayah tirinya menanggung akibatnya. Akan tetapi dengan sikap yang gagah, tidak ingin melibatkan keluarganya. Semua akibat ditanggungnya sendiri, tanpa memperlihatkan penyesalan atau kecengengan.
Sesal dan duka hanya mendatangkan kekeruhan pikiran dan hati, sama sekali tidak ada manfaatnya, sama sekali tidak akan dapat mengubah keadaan. Dia bahkan harus bertindak tegas untuk meluruskan yang bengkok, menjernihkan yang keruh. Dia harus dapat menemukan Cin Cin dan memberi penjelasan.
Syukur kalau gadis itu dapat melihat kenyataan, kalau tidakpun dia harus berani menghadapi apa saja yang akan menjadi akibat dari peristiwa itu. Memang segala sesuatu Tuhan yang menentukan akan tetapi dia harus berikhtiar, harus berusaha ke arah kebaikan dan melalui jalan kebenaran.
"Terima kasih, ayah. Kini aku mengerti benar dan harap ayah suka memberi tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya."
Wajah bekas pangeran itu berseri. Thian Ki memang bukan keturunannya, bukan darah dagingnya, namun dia merasa sayang kepada anak ini, menaruh harapan besar dalam diri anak ini. "Engkau sudah selesai belajar, Thian Ki. Pada saat ini, semua ilmuku sudah kuberikan kepadamu. Dalam hal ilmu silat, engkau sudah setingkat denganku, hanya mungkin kalah pengalaman saja. Akan tetapi kekalahan itu dapat kau tutup dengan keadaan dirimu yang mengandung hawa beracun. Kalau kita berkelahi benar-benar, aku sendiri tidak akan mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang untuk apa engkau yang sudah dewasa ini menghabiskan waktu sia-sia saja di tempat ini? Terjunlah ke dunia kang-ouw, perlihatkan dirimu sebagai seorang manusia yang berguna, bagi diri sendiri, bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi rakyat."
"Jadilah seorang pendekar yang berbudi baik, anakku. Kau bela yang lemah tertindas, kau tentang yang kuat dan jahat, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali engkau terlibat dalam urusan pemerintah, jangan terlibat dalam urusan pemberontakan," kata ibunya yang mengerling ke arah suaminya.
Cian Bu Ong tidak merasa tersinggung, bahkan tersenyum lebar dan menghela napas dalam-dalam. "Ibumu benar, Thian Ki. Dahulu aku dikuasai nafsu yang membuat aku bercita-cita terlalu muluk, tidak mau melihat kenyataan bahwa Kerajaan Sui telah runtuh dan Kerajaan Tang telah bangkit dan lahir menjadi penggantinya. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kerajaan demi Kerajaan bangkit dan jatuh, seperti juga manusia, satu demi satu lahir dan mati. Tidak mungkin menentang garis yang sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan). Usahaku melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan baru Tang hanya mendatangkan malapetaka bagi keluargaku, bagi aku sendiri dan banyak orang lain. Biarlah keadaanku itu menjadi contoh bagimu."
"Thian Ki, engkau tentu masih ingat akan pesan nenekmu, bukan? Nah, jangan lupa, dalam perantauanmu mencari pengalaman, pergilah engkau ke dusun Hong-cun di tepi Sungai Kuning, temui kakak angkat mendiang ayah kandungmu, yaitu Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng dan isterinya yang bernama Bu Giok Cu. Dari merekalah engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio, dua orang yang akan mampu membebaskanmu dari hawa beracun di tubuhmu. Atau mungkin juga suami isteri itu akan mau dan mampu menolongmu."
"Baik, ibu, akan kuperhatikan pesan ibu."
"Nah, sebaiknya engkau berkemas dan siap untuk segera berangkat meluaskan pengalamanmu, Thian Ki," kata pula ayah tirinya.
"Aku akan ikut pergi merantau bersama kakak Thian Ki!" tiba-tiba Kui Eng berkata.
Suami isteri itu saling pandang dan Sim Lan Ci cepat berkata. "Aih, tidak mungkin engkau melakukan perjalanan bersama Thian Ki, Kui Eng!"
Kui Eng mengangkat muka memandang wajah ibu tirinya, lalu wajah ayahnya dan melihat betapa ayahnya menggeleng kepala. Kui Eng mengerutkan alisnya, cemberut dan berkata, "Hemm, aku mengerti apa yang dipikirkan ayah dan ibu! Aku sudah berusia duapuluh tahun dan aku mengerti bahwa tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda, apalagi kalau mereka itu bukan saudara sekandung. Akan tetapi, ayah dan ibu. Bukankah sejak kecil aku sudah menganggap koko sebagai kakak kandungku sendiri? Semua orangpun menganggap kami berdua kakak beradik, maka apa salahnya melakukan perjalanan berdua?"
Sim Lan Ci yang merasa bahwa gadis itu bukan puteri kandungnya, merasa tidak berdaya dan iapun hanya memandang kepada suaminya, menyerahkan keputusannya kepada suaminya. Cian Bu On menggeleng kepalanya dan suaranya tegas ketika akhirnya dia berkata,
"Kui Eng, engkau tidak boleh pergi mengikuti kakakmu. Dia hendak meluaskan pengalamannya dan terutama sekali, hendak mencari penawar hawa beracun di tubuhnya. Apalagi, dengan adanya rencana kami, ayah ibumu, maka makin tidak boleh kalian'melakukan perjalanan berdua."
Kui Eng masih mengerutkan alisnya. "Aih, ayah sungguh aneh. Rencana apa yang menyebabkan aku tidak boleh pergi bersama koko?"
Suami isteri itu kembali saling pandang. Mereka berdua sudah sepakat untuk menjodohkan kedua orang anak mereka itu. Hanya ada hal yang membuat mereka sangsi dan sampai sekarang, setelah Thian Ki berusia duapuluh satu tahun dan Kui Eng berusia duapuluh tahun, mereka belum dapat memberi tahu mereka, karena keadaan Thian Ki. Dalam keadaan bertubuh seperti itu, penuh dengan hawa beracun, mereka tahu bahwa Thian Ki tidak boleh mendekati wanita.
Siapapun yang berhubungan sebagai suami isteri dengan dia, pasti akan tewas. Kini, Kui Eng sudah dewasa benar, bagaimanapun juga, gadis itu dan juga Thian Ki harus diberitahu. Bagi Kui Eng, agar gadis itu tahu bahwa ia sudah mempunyai calon suami, dan bagi Thian Ki, hal itu tentu akan menjadi pendorong agar dia cepat mencari orang yang dapat membersihkan hawa beracun dari tubuhnya.
Setelah saling pandang dengan isterinya dan mendapat isyarat persetujuannya, Cian Bu Ong dengan suara mantap berkata, "Rencana kami adalah untuk menjodohkan kalian menjadi suami isteri."
Hening sejenak, keheningan yang mencekam karena kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar keputusan yang keluar dari mulut Cian Bu Ong itu. Terlalu tiba-tiba datangnya, merupakan kejutan yang tak pernah mereka duga. Bagi Kui Eng, merupakan kejutan yang menyusup ke jantung dan tulang sumsumnya, karena diam-diam ia memang sudah jatuh cinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria kepada pemuda yang selama ini ia anggap sebagai kakak kandungnya itu.
Akan tetapi, karena iapun sama sekali tidak menyangka bahwa ayah dan ibunya merencanakan perjodohan itu, iapun terkejut dan sejenak ia tertegun, lalu wajahnya yang manis itu berubah menjadi merah sekali. Tanpa dapat ditahan lagi, ia menoleh memandang kepada Thian Ki dan kebetulan pemuda itupun menoleh kepadanya.
Sejenak dua pasang mata bertemu pandang dan segalanya nampak berobah dalam pandang mata mereka setelah mendengar keputusan itu. Kui Eng tidak dapat menahan lagi dan menunduk dengan wajah makin memerah sampai ke lehernya, sedangkan Thian Ki juga menundukkan mukanya yang menjadi merah.
"Aiih, ayah...!" Kui Eng yang menjadi salah tingkah itu merasa tidak kuat untuk berada disitu lebih lama saking malunya. Sambil mengeluarkan suara yang terdengar seperti setengah tawa dan setengah isak, ia pun melompat pergi meninggalkan ruangan itu, memasuki kamarnya sendiri.
Tinggal Thian Ki yang masih duduk menundukkan mukanya di depan ayah dan ibunya, seperti orang bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
"Thian Ki, bagaimana pendapatmu dengan keputusan ayahmu?" tiba-tiba ibunya bertanya untuk menuntun kembali pemuda itu ke dalam ketenangan!
Thian Ki mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya, kemudian dia menghela napas panjang. Selama ini, belum pernah masuk dalam gagasannya tentang diri Kui Eng, apalagi sebagai calon isteri. Bahkan belum pernah dia memikirkan wanita, tahu bahwa dia sama sekali tidak boleh berdekatan dengan wanita. Mendengar bahwa dia ditunangkan dengan Kui Eng membuat dia terkejut dan heran, juga bingung mengapa ayah ibunya mengambil keputusan seperti itu.
Dia memang sayang kepada Kui Eng, amat sayang kepadanya. Namun, kasih sayangnya itu adalah kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Dia sudah tahu bahwa Kui Eng bukan adik tiri, bukan pula adik sendiri, melainkan orang lain, tidak ada hubungan darah sama sekali, akan tetapi karena mereka berdua bergaul sejak kecil, maka dia sudah terlanjur mencinta Kui Eng sebagai adiknya.
"Ibu, bagaimana mungkin ini? Tubuhku..."
"Tubuhmu dapat dibersihkan dari racun asal engkau dapat memperoleh pertolongan pamanmu Naga Sakti Sungai Kuning, Thian Ki," ibunya memotong. "Tentu saja pernikahanmu dengan Kui Eng baru akan kami rayakan dan resmikan setelah engkau terbebas dari hawa beracun itu."
"Aku sendiri akan ikut berusaha mencarikan obat bagimu, Thian Ki. Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan sebelah barat, di pegunungan Himalaya terdapat semacam rumput merah yang dinamakan Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah) dan yang dapat membersihkan tubuh dari segala macam pengaruh racun. Aku akan mencarinya di sana, sedangkan engkau mencari dan mengunjungi Naga Sakti Sungai Kuning."
"Akan tetapi, ayah dan ibu. Bukan hanya itu yang yang menjadi pikiranku. Semua orang telah menganggap bahwa aku dan Eng-moi adalah kakak beradik, bagaimana mungkin kami berjodoh? Apa nanti pendapat dan anggapan orang-orang kalau mendengar hal itu!"
Cian Bu Ong tertawa bergelak dan memandang kepada isterinya. "Ha-ha-ha, betapa sama benar bantahanmu itu dengan bantahan ibumu. Lama kami memperbincangkan hal ini dan pendapat ibumu sama pula dengan apa yang kau katakan tadi. Akan tetapi akhirnya ibumu menyadari. Kuharap engkau akan dapat menyadari pula, Thian Ki. Kehidupan kita adalah milik kita pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Hidup kita tidak dapat kita gantungkan kepada pendapat orang lain, Thian Ki."
"Maaf, ayah. Memang benar demikian, akan tetapi mungkinkah kita hidup tanpa memperdulikan anggapan umum? Kita hidup di masyarakat, ayah, bagaimana mungkin kita mengabaikan pendapat dan peraturan umum. Kalau umum menganggap aku dan Eng-moi kakak beradik, lalu mereka mendengar bahwa kami menjadi suami isteri, bukankah hal itu akan aib yang menodai nama baik keluarga kita semua?"
"Ha-ha-ha, terlampau picik pandangan itu, Thian Ki. Pendapat dan hukum yang berlaku pada masyarakat tentu saja berdasarkan kenyataan, jadi kenyataan inilah yang harus kita pegang. Bagaimana kenyataannya antara engkau dan adikmu? Kalian bukan saudara, tidak ada hubungan darah sama sekali. Itulah kenyataannya! Kalau umum berpendapat lain, itu adalah kesalahan mereka sendiri. Apakah kalau umum berpendapat keliru, kitapun harus ikut-ikutan dan menganggap benar saja kekeliruan mereka itu? Tidak, Thian Ki. Yang terpenting bagi kita adalah bahwa kita harus memiliki pendirian. Kalau kita memang benar, dan hal ini tidak dapat kita berbohong kepada diri sendiri, maka kita tidak perlu takut akan pendapat umum. Andaikata seluruh dunia menudingmu sebagai pencuri, hal itu adalah masalah mereka asalkan engkau tidak pernah mencuri. Sebaliknya, andaikata tak seorangpun mengetahui bahwa engkau mencuri, namun itu menjadi masalahmu kalau engkau benar-benar melakukan pencurian. Mengertikah engkau, Thian Ki?"
"Aku mengerti, ayah. Akan tetapi, pendapat umum tentang kami ini bukan fitnah, melainkan timbul karena selama ini aku dan Eng-moi bergaul sebagai kakak beradik. Jadi kalau mereka menganggap kami kakak beradik, itu bukan kesalahan mereka."
Kembali Cian Bu Ong tertawa. "Hal itu mudah saja diubah. Mulai sekarang, engkau jangan menyebut ayah kepadaku, melainkan suhu (guru). Dan sebaliknya, Kui Eng menyebut ibumu bukan lagi ibu, melainkan subo (Ibu guru). Kenyataannya memang demikian, bukan? Engkau adalah muridku, dan Kui Eng juga banyak menerima pelajaran dari subonya. Dan mulai sekarang, umum akan kami beritahu bahwa kalian bukan kakak beradik. Nah, beres, bukan?"
Thian Ki tidak dapat membantah lagi. Memang ayahnya atau suhunya itu benar. Yang penting adalah kenyataannya, bukan dugaan atau sangkaan orang, Betapapun juga, dia masih nanar. Kui Eng menjadi tunangannya dan kelak menjadi isterinya? Sukar sekali membayangkan hal ini terjadi dan mulai detik itu, terjadi perubahan besar dalam pandangannya terhadap Kui Eng.
"Sekarang berkemaslah, Thian Ki. Engkau harus pergi mengunjungi pamanmu Si Han Beng di Hong-cun. Makin cepat engkau terbebas dari racun itu semakin baik," kata ibunya.
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya ayahnya atau yang mulai sekarang harus dia sebut sebagai gurunya.
"Teecu akan berangkat secepatnya, besok pagi-pagi, suhu." kata Thian Ki tanpa ragu menyebut guru kepada orang yang selama ini disebutnya sebagai ayah.
Cian Bu Ong tertawa girang. Sebutan ini menunjukkan betapa taatnya pemuda ini, juga menandakan bahwa pemuda ini menerima usul dia dan isterinya. "Bagus, aku girang sekali, Thian Ki. Engkaulah muridku yang amat membesarkan hatiku."
"Terima kasih, suhu."
"Mari aku membantumu berkemas, Thian Ki," kata ibunya.
Ibu dan anak itu lalu memasuki kamar Thian Ki, mempersiapkan keberangkatan pemuda itu untuk merantau. Selain mempersiapkan buntalan pakaian dan uang secukupnya, juga ibu itu membekali banyak nasihat kepada puteranya, menceritakan tentang para tokoh dunia kangouw, tentang peraturan orang-orang kangouw dan memesan agar dia berhati-hati.
"Engkau harus berhati-hati dan waspada terhadap tiga macam orang, anakku. Mereka kelihatan sebagai orang-orang yang lemah, namun kalau mereka sudah berkepandaian, mereka merupakan lawan-lawan yang amat berbahaya. Mereka adalah para pengemis, para pendeta dan para sastrawan, baik pria maupun wanita. Jangan sekali-kali memandang rendah kepada orang-orang yang nampaknya lemah. Orang-orang yang bertubuh kokoh kuat biasanya mengandalkan kekuatan mereka dan lawan macam ini mudah ditanggulangi. Akan tetapi orang-orang yang kelihatan lemah tadi dapat mengalahkan kekuatan otot dan tulang." Demikian antara lain ibu itu berpesan kepada puteranya.
"Saya masih ingat akan semua pesan ibu dan suhu, ibu. Harap ibu jangan khawatir karena ibupun tahu bahwa aku tidak suka bermusuhan."
"Kalau engkau berhasil bertemu dengan pamanmu Si Han Beng dan bibimu Bu Giok Cu, sampaikan salam ibumu dan engkau boleh menceritakan semua keadaan ibumu semenjak ditinggal mati ayahmu. Mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan budiman dan dari mereka engkau akan dapat menerima banyak petunjuk."
Sejak memasuki kamarnya, Kui Eng tidak pernah kelihatan lagi oleh Thian Ki, seolah gadis itu sengaja menghindar darinya. Hal ini meresahkan hati Thian Ki. Dia merasa seolah dialah yang menjadi sebab gadis itu merasa canggung dan malu. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat pergi sebelum berpamit kepada gadis yang disayangnya sejak mereka masih kanak-kanak itu.
Kalau dia membayangkan kembali semua itu, ketika mereka masih kanak-kanak, ketika mereka bermain bersama, berlatih silat bersama, bahkan ketika Kui Eng suka marah dan manja, dan dia selalu mengalah sebagai seorang kakak yang menyayang, menjaga dan melindunginya, memang sukar sekali membayangkan kelak mereka menjadi suami isteri!
Bahkan ketika keluarga itu makan malam, Kui Eng tidak muncul dan menurut ibunya, Kui Eng merasa lelah dan makan di dalam kamarnya dilayani pembantu dan tidak meninggalkan kamarnya. Cian Bu Ong hanya tertawa senang mendengar ini karena sikap Kui Eng itu dianggapnya bahwa gadis itu malu-malu kepada Thian Ki dan sikap malu-malu seorang gadis kepada calon suaminya diartikan bahwa Kui Eng tidak menolak dan suka menjadi calon isteri Thian Ki. Akan tetapi Thian Ki sendiri merasa khawatir walaupun hal ini tidak diucapkannya.
Sim Lan Ci tahu akan isi hati puteranya walaupun pemuda itu tidak mengucapkan sesuatu. Maka, pada malam hari itu, ia mengetuk pintu kamar puteranya. Ketika Thian Ki membuka daun pintu dan melihat ibunya yang datang berkunjung, dia hendak bicara, akan tetapi Sim Lan Ci memberi isyarat agar puteranya tidak mengeluarkan suara, lalu la berbisik,
"Kalau engkau ingin menemui Kui Eng dan berpamit, cepat pergilah ke kebun belakang." Setelah berbisik demikian, ibu ini kembali ke kamarnya.
Kebun belakang itu sunyi, namun cuaca amat indahnya karena bulan sudah berada di atas kepala dan langit bersih. Sinar bulan yang lembut menyapu permukaan bumi dan bermain-main pada daun-daun pohon, mendatangkan perpaduan yang manis antara cahaya lembut dan bayang-bayang kelabu. Kui Eng duduk di atas bangku panjang, melamun dan menengadah memandangi bulan yang ditemani beberapa buah bintang yang suram di sana-sini.
"Eng-moi..." Thian Ki yang menghampiri dari belakang itu kini berdiri sekitar empat meter dari tempat gadis itu duduk, memanggil lirih agar degup jantungnya yang menggetarkan suaranya tidak kentara.
Kui Eng tidak merasa kaget dan ia menoleh, berkata lirih, "Koko...?" lalu menundukkan mukanya.
Thian Ki merasa aneh. Biasanya, Kui Eng adalah seorang gadis yang lincah, jenaka, berani dan galak. Akan tetapi sekarang menjadi begitu jinak dan malu-malu? Diapun membayangkan gadis itu seperti biasanya, seperti adiknya dan dengan hati ringan dia mendekati, lalu duduk di ujung bangku seperti biasa kalau mereka duduk di situ bersama-sama.
"Eng-moi, engkau kenapakah" Thian Ki bertanya. "Engkau tidak enak badan dan lelah?"
Kui Eng mengerling dari bawah karena mukanya masih menunduk, jari-jari tangannya utak-atik memilin ujung bajunya. "Siapa bilang?"
"Ibu," kata Thian Ki.
"Dan engkau besok akan pergi pagi-pagi, koko?"
"Benar, siapa bilang?"
"Ibu... eh, maksudku subo, ibumu..." kata gadis itu.
Maka tahulah Thian Ki bahwa ibunya telah memberitahukan segalanya, juga bahwa mulai saat itu Kui Eng harus menyebut subo kepada ibunya. "Dan ia pula yang memberitahu bahwa engkau nampak gelisah dan ingin sekali bertemu denganku. Benarkah?"
Kini Kui Eng mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan keduanya merasa aneh sekali, seperti saling berhadapan dengan seorang yang asing dan baru pertama kali dijumpai dan dikenal.
"Benar, Eng-moi."
"Kenapa? Mau apa engkau ingin bertemu denganku?"
"Kui Eng, bagaimana aku dapat pergi sebelum pamit darimu Eng-moi, kenapa sejak ayah... eh, suhu mengumumkan perjodohan kita, engkau lalu bersembunyi dan tidak mau bertemu denganku? Eng-moi, aku akan merasa susah sekali kalau persoalan itu membuat engkau marah dan tidak suka kepadaku."
"Aku tidak marah, juga bukan tidak suka kepadamu."
"Lalu kenapa engkau seperti menjauhkan diri sejak tadi, Eng-moi. Dan kalau ibu tidak memberi tahu, agaknya engkau tidak akan keluar. Ibu pula yang memberi tahu bahwa engkau berada di sini maka aku datang menemuimu."
Kui Eng kembali menunduk dan di bawah sinar bulan yang lembut kuning kehijauan, nampak perubahan pada warna muka gadis itu.
"Kenapa, Eng-moi?" Thian Ki mendesak.
Pertanyaan ini dijawab dengan pertanyaan pula oleh Kui Eng." Koko, katakanlah apakah engkau sayang kepadaku?"
Kalau saja pertanyaan ini diajukan Kui Eng kemarin, tentu Thian Ki akan menyambutnya dengan tawa dan menggoda. Sekarang, terdengarnya demikian aneh pertanyaan itu! Akan tetapi, Thian Ki menenangkan hatinya yang terguncang dan berdebar, lalu tersenyum. "Tentu saja, Eng-moi. Aku sangat sayang kepadamu."
"Engkau sayang kepadaku setelah apa yang dikatakan oleh ayah tadi?" Kini gadis itu kembali mengangkat muka dan sinar matanya seperti hendak menembus keremangan cuaca dan menembus dada Thian Ki menjenguk isi hatinya.
"Tentu saja, Eng-moi. Bagiku, menjadi calon jodohmu atau bukan, aku tetap sayang kepadamu. Di dunia ini hanya ada tiga orang yang kusayang, yaitu ibuku, suhu, dan engkaulah."
"Dan Cin Cin?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
Thian Ki terkejut dan juga heran. "Cin Cin? Ah, kau maksudkan Kam Cin itu? Aku hanya kasihan kepadanya, Eng-moi. Kenapa engkau sebut dia?"
"Aku hanya bertanya."
"Tidak, aku tidak menyayang orang lain seperti sayangku kepada kalian bertiga."
"Sayangmu kepadaku masih seperti yang sudah sudah?"
"Tentu."
"Seperti sayangnya seorang kakak kepada adiknya."
"Eh, ya, tentu..."
"Dan engkau tidak cinta padaku?"
Kalau saja Thian Ki bercermin pada saat itu dan melihat wajahnya sendiri, tentu dia akan melihat betapa wajahnya nampak bodoh dan tolol saat itu. Matanya terbuka lebar dan kosong, mulutnya ternganga dan wajahnya seperti wajah seorang anak kecil yang ditanya tentang soal hitungan yang sulit.
"Ehh... ohh... apa sih bedanya antara sayang dan cinta? Aku jadi bingung, Eng-moi."
Kui Eng mengerutkan alisnya dan wajahnya nampak kecewa sekali. Mulutnya cemberut. Ia sendiri tidak mengerti, karena ia pun tidak mempunyai pengalaman. Hanya terasa benar oleh kewanitaannya bahwa besar sekali bedanya antara kedua perasaan dalam hatinya terhadap Thian Ki sebelum dan sesudah ia mendengar bahwa pemuda itu bukanlah kakak kandungnya, bahkan bukan pula kakak tirinya, melainkan orang lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali.
Sejak itulah ia memandang Thian Ki dengan mata dan hati yang berubah, dan kesayangannya sebagai adikpun berubah pula. Kalau tadinya ia membayangkan Thian Ki sebagai seorang kakak yang baik dan dapat diandalkan, sesudah itu ia selalu membayangkan Thian Ki dengan jantung berdebar, mulai ia memperhatikan dan menemukan ketampanan dan kejantanan dalam diri pemuda itu!
Cinta kasih asmara memang aneh. Jelas jauh bedanya antara cinta antara kakak beradik dengan cinta antara seorang wanita dan seorang pria. Cinta antara pria dan wanita adalah cinta asmara, cinta yang mengandung berahi satu kepada yang lain, berbeda dengan cinta seorang adik wanita terhadap kakak prianya yang jauh dari perasaan berahi. Hal ini memang sudah merupakan pembawaan, merupakan anugerah dari Tuhan yang disertakan kepada setiap orang manusia, pria maupun wanita.
Nafsu atau gairah berahi memang ada pada setiap orang, bahkan pada setiap mahluk, karena nafsu berahi itu mutlak penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk itu sendiri. Nafsu berahi yang mendorong dua mahluk berlainan jenis untuk saling tertarik, saling mendekati, kemudian,saling mencinta. Nafsu berahi mendorong seorang pria dan seorang wanita untuk bersatu sehingga dari persatuan ini terlahir keturunan dan perkembangan-biakan pun tidak akan terputus.
Tidak demikian dengan cinta antara pria dari wanita yang menjadi saudara kandung. Kalaupun timbul gairah berahi di antara keduanya, maka jelas bahwa hal itu tidaklah wajar bagi manusia, tidak semestinya dan kalau dilanggar tentu akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik. Nafsu, dalam bentuk apapun juga, kalau sudah menguasai manusia, tentu akan menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak wajar dan tidak benar.
Di samping semua daya rendah yang menimbulkan nafsu, pada manusia disertakan pula akal budi. Akal budi inilah yang membuat kita dapat mengerti mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk. Akal budi ini yang membuat manusia menjadi mahluk yang paling tinggi derajatnya di antara segala mahluk di dunia ini, juga menjadi mahluk yang paling kuat dan paling kuasa.
Tanpa akal budi, manusia akan menjadi mahluk yang paling lemah, kita tidak akan menang melawan seekor kucing sekalipun, karena kucing masih memiliki taring dan kuku tajam. Apalagi melawan binatang yang lebih kuat dan lebih besar. Kitapun tanpa akal budi akan mudah sakit dan mati karena kita tidak akan mempunyai tempat dan pakaian untuk berlindung.
Akal budi bekerja sama dengan nafsu daya rendah yang menjadi pendorongnya, memungkinkan kita membuat segala macam benda keperluan hidup kita di dunia ini, memungkinkan kita menikmati hidup ini. Akal budi pula yang membuat kita dapat membedakan segala sesuatu, mempertimbangkan segala sesuatu, dan akal budi yang melahirkan Ilmu-Ilmu, peradaban, kebudayaan dan lain sebagainya yang menjadi isi kehidupan manusia.
"Kalau engkau cinta padaku, koko, engkau tentu tidak akan meninggalkan aku, engkau tentu tidak akan suka berpisah dariku," kata Kui Eng dengan suara lirih.
"Itukah sebabnya mengapa engkau murung dan ingin ikut pergi denganku?" tanya Thian Ki.
Kui Eng mengangguk. "Sejak aku mendengar bahwa di antara kita tidak ada hubungan darah sama sekali, aku... aku tidak ingin berpisah darimu, koko. Dan itu pula yang membuat aku... merasa benci kepada Cin Cin. Aku tidak ingin engkau mengasihi gadis lain, memikirkan gadis lain, melindungi gadis lain. Aku hanya ingin engkau untukku seorang..."
Thian Ki tertegun. Itukah cinta? Dia tidak mengerti. Dia belum merasakan hal yang seperti dirasakan oleh Kui Eng terhadap dirinya. Belum terasa olehnya keinginan agar Kui Eng tak pernah berpisah darinya, atau agar Kui Eng menjadi miliknya, hanya untuk dia seorang. Barangkali belum bersemi apa yang dinamakan cinta itu di hatinya terhadap Kui Eng. Atau barangkali dia yang bodoh. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menjawab dan memberi alasan, karena pandang mata Kui Eng tetap menuntut agar dia menjawab, apakah dia juga mencinta Kui Eng seperti yang dirasakan gadis itu kepadanya.
"Eng-moi, engkau tentu tahu bahwa aku pergi untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman. Juga aku perlu sekali mencari adik angkat mendiang ayahku, yaitu Naga Sakti Sungai Kuning, paman Si Han Beng, untuk minta tolong agar hawa beracun di tubuhku dapat dipunahkan. Engkau tentu sudah tahu pula bahwa selama hawa beracun ini tidak lenyap dari tubuhku, aku tidak bolen menikah. Oleh karena itu, sebelum keadaanku ini tertolong, aku sama sekali tidak dapat memikirkan tentang perjodohan."
Kui Eng mengangguk, lalu menundukkan mukanya, menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan yang membayang di mukanya. "Aku mengerti, koko. Jadi, engkau akan pergi? Kapan engkau akan pergi?"
"Aku sudah berkemas, siap berangkat, besok pagi-pagi."
"Besok pagi-pagi? Ahh...!" Kui Eng terkejut. "Aku akan merasa kesepian sekali, koko. Ketika engkau kami tinggalkan di rumah nenekmu dahulu itu dan kita saling berpisah hampir dua tahun, aku merasa tersiksa setengah mati. Dan sekarang, engkau yang akan meninggalkan aku, dan aku tidak boleh ikut denganmu..." Suara gadis itu menjadi gemetar seperti akan menangis.
"Eng moi, aku tidak akan lama pergi. Setelah berhasil, aku pasti akan segera kembali."
"Engkau tidak akan melupakan aku, bukan? Engkau berjanji tidak akan melupakan aku?"
Thian Ki tersenyum dan memegang pundak gadis itu, seperti yang sudah-sudah kalau dia menghibur gadis ini. "Jangan khawatir, aku tidak akan pernah melupakanmu."
Kui Eng terisak, bangkit lalu berlari meninggalkan Thian Ki yang masih sempat mendengar ia terisak. Sampai lama pemuda ini duduk di atas bangku, berulang kali menghela napas panjang. Kini dia yakin bahwa Kui Eng mencintanya, dan mengharapkan kelak menjadi isterinya! Dia merasa bangga dan senang, akan tetapi juga bingung dan ragu. Dia merasa senang dan bangga dicinta seorang gadis hebat seperti Kui Eng, akan tetapi adakah perasaan cinta yang sama dalam hatinya terhadap Kui Eng? Dia sudah terlanjur menyayangnya seperti seorang adik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Ki sudah berpamit kepada ibunya dan suhunya. Kedua orang tua itupun pagi-pagi sekali sudah bangun, karena mereka hendak melihat Thian Ki pergi. Thian Ki menggendong sebuah buntalan yang cukup besar, terisi pakaian dan uang, di punggungnya. Pemuda ini tidak pernah membawa senjata walaupun dia telah mempelajari cara menggunakan delapan belas macam senjata dengan mahir.
Suhu dan ibunya duduk di beranda ketika pemuda itu berpamit. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kedua orang tua itu, mohon diri dan mohon doa restu. Dengan kedua mata basah, Sim Lan Ci mengelus kepala puteranya. Kini baru ia menyadari bahwa puteranya telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Telah menjadi seorang pria yang gagah dan yang siap untuk terjun ke dalam dunia ramai seorang diri, siap untuk mandiri dan sudah dibekali kepandaian yang hebat. Dia tidak merasa khawatir. Puteranya kini menjadi seorang yang amat lihai, jauh lebih lihai dibandingkan ia sendiri, atau mendiang ayah pemuda itu. Mungkin kini telah memiliki kepandaian setingkat dengan gurunya.
"Thian Ki, doa restuku selalu menyertaimu. Engkau berhati-hatilah, nak. Jangan sekali-kali engkau takabur. Walaupun engkau kini telah menguasai banyak ilmu silat yang cukup untuk membela diri, namun ingatlah selalu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang selain amat lihai, juga suka mempergunakan siasat yang curang dan licik. Jangan menonjolkan diri dan mencari permusuhan. Aku doakan semoga engkau dapat bertemu dengan pamanmu Si Han Beng. Syukurlah kalau dia dapat mengobatimu sampai engkau terbebas dari racun, karena kalau engkau terpaksa harus mencari Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio pekerjaan itu sungguh amar sukar. Kedua orang sakti itu bagaikan dewa, sukar dicari bayangannya. Dan jangan lupa singgah di dusun Ta-bun-cung mengunjungi keluarga Coa yang memimpin Hek-houw-pang, menengok keadaan keluarga mendiang ayah kandungmu."
"Baik, ibu. Semua nasihat dan pesan ibu akan kulaksanakan," jawab Thian Ki.
"Semua pesan ibumu memang harus kau taati, Thian Ki. Engkau tentu masih ingat akan nama-nama dan keadaan para tokoh di dunia persilatan seperti yang pernah kuceritakan kepadamu," kata Cian Bu Ong. "Engkau boleh merantau untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, akan tetapi ada satu hal yang aku ingin engkau lakukan untukku."
Selama menjadi putera tiri dan murid bekas pangeran itu, belum pernah Cian Bu Ong menyuruh Thian Ki melaksanakan suatu tugas tertentu, maka kini mendengar ini, Thian Ki merasa girang sekali. "Katakanlah, suhu. Apakah yang harus kulakukan untuk suhu?" biarpun masih agak merasa janggal dan kaku, Thian Ki mulai memanggil bekas pangeran itu dengan sebutan suhu, tidak lagi ayah seperti yang sudah, memenuhi permintaan Cian Bu Ong yang menjodohkannya dengan Cian Kui Eng.
"Hanya ada satu pekerjaan yang ingin kulihat engkau melakukannya untukku, akan tetapi pekerjaan ini cukup berbahaya, Thian Ki. Ketahuilah, dahulu ketika aku masih menjadi seorang pangeran, aku mempunyai banyak pusaka. Akan tetapi di antara semua pusaka itu, yang paling kusayangi adalah sebatang pedang yang disebut Liong-cu-kiam (Pedang Mustika Naga). Ketika terjadi perang dan kota raja diserbu, semua benda pusaka milikku itu terampas musuh. Aku telah mendengar bahwa pedangku Liong-cu-kiam itu kini berada di gudang pusaka istana kaisar, menjadi satu di antara benda-benda pusaka rampasan. Nah, aku minta agar engkau singgah di kota raja, mencoba untuk mengambil kembali pedangku Liong-cu-kiam itu dari gudang pusaka di kota raja."
"Aih, akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Sim Lan Ci cemas.
Suaminya tersenyum. Kalau saja bukan isterinya tercinta yang mengatakan demikian, mungkin bekas pangeran ini akan marah. Seruan itu sama saja dengan memandang rendah muridnya, anak tirinya bahkan calon mantunya!
"Thian Ki bukan kanak-kanak lagi dan aku yakin dia akan mampu melakukannya. Kalau saja aku sendiri tidak dikenal oleh banyak orang di kota raja, agaknya tentu aku sendiri yang akan mengambil benda pusakaku itu."
"Suhu, aku akan melaksanakan pesan suhu itu. Ibu, harap jangan khawatir. Aku akan berhati hati sekali karena aku tahu bahwa di kota raja, apalagi di gudang pusaka, tentu penjagaannya kuat sekali."
Setelah menerima pesan dan nasehat kedua orang tua itu, Thian ki berangkat. Kedua orang tua itupun berpesan wanti-wanti agar perantauannya ini paling lama dua tahun, dia harus pulang. Sebetulnya, hati Thian Ki agak berat untuk berangkat karena dia belum melihat Kui Eng keluar menemuinya. Kenapa gadis itu tidak keluar dan melihat dia berangkat? Apakah Kui Eng marah kepadanya karena dia hendak pergi meninggalkannya? Untuk bertanya kepada ibunya atau gurunya tentu saja dia merasa malu, karena kini Kui Eng bukan lagi sebagai adiknya, melainkan tunangannya, calon isterinya.
Ketika dengan hati agak berat dia meninggalkan dusun dan keluar dari pintu gerbang dusun itu, hari masih pagi sekali dan cuaca masih agak remang, hawanya dingin dan suasana masih amat sunyi karena para penduduk dusun belum berangkat ke sawah ladang mereka. Tiba-tiba wajahnya berseri ketika ia melihat sesosok bayangan berdiri menghadang perjalanannya, di luar dusun itu.
"Eng-moi...!!" dia berseru sambil melangkah cepat menghampiri gadis itu yang berdiri di tengah jalan. "Eng-moi, pantas saja sejak tadi aku tidak melihat engkau muncul dari kamarmu. Kiranya engkau malah sudah berada di sini!"
Gadis itu tersenyum. Memang manis sekali Kui Eng. Sepagi itu, biarpun belum mandi, belum bersolek, rambutnya masih kusut, demikian pula pakaiannya belum diganti yang baru, namun kecantikannya nampak lebih asli, tanpa bedak tanpa gincu.
"Koko, apakah engkau mengharapkan aku keluar menemuimu?"
"Tentu saja. Bukankah aku akan pergi? Hatiku merasa tidak enak sekali tadi, terpaksa meninggalkan rumah sebelum sempat berpamit denganmu yang kukira masih tidur."
Hati Kui Eng merasa gembira bukan main. "Koko Thian Ki, tahukah engkau bahwa malam tadi aku tidak pernah tidur barang sekejappun? Dan tadi, lewat tengah malam, aku sudah turun dari pembaringan dan diam-diam aku sibuk di dapur."
"Lewat tengah malam sibuk di dapur? Untuk apa?" tanya Thian Ki heran.
"Untuk membuat ini!" katanya dan gadis itu memperlihatkan bungkusan-bungkusan kepada Thian Ki, wajahnya tersipu namun berseri gembira. "Aku menyembelih ayam dan menggorengnya, memasaknya seperti kesukaanmu, dan memanggang roti... untuk bekalmu di jalan, koko. Turunkanlah buntalanmu itu agar kumasukkan bungkusan ini ke dalam buntalanmu."
Dengan hati terharu Thian Ki menurunkan buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada Kui Eng. Gadis itu membuka buntalan, menaruh bungkusan makanan ke dalam buntalan dan tiba-tiba ia berkata dengan suara yang sedih.
"Koko, engkau akan pergi merantau seorang diri. Bagaimana kalau pakaianmu kotor dan robek-robek? Siapa yang akan mencuci pakaianmu dan menjahit yang robek? Aih, kalau aku boleh pergi bersamamu, tentu aku yang akan mencuci pakaianmu, memasakkan makanan untukmu, dan menjahit pakaianmu yang robek."
Thian Ki menerima kembali buntalan pakaiannya dan menalikan di punggungnya seperti tadi. Tercium olehnya bau masakan daging ayam yang sedap, dan terasa betapa bungkusan makanan yang kini berada dalam buntalan di punggungnya itu masih hangat.
"Eng-moi, engkau baik sekali. Terima kasih atas kebaikanmu ini, Eng-moi. Aku pergi takkan lama. Ibu dan suhu memesan agar paling lama aku pergi dua tahun, harus sudah pulang."
"Dua tahun? Aih, lama amat, koko! Aku... lalu aku bagaimana...?"
Mendengar suara gadis itu tergetar seperti hendak menangis, Thian Ki yang tidak ingin diantar tangis segera berkata sambil tersenyum. "Aih adik yang manis, mana kelincahanmu yang biasa? Engkau biasanya lincah jenaka dan tidak cengeng..."
"Akupun tidak cengeng!" Kui Eng berkata dan membalikkan tubuh, berdiri membelakangi Thian Ki. "Koko, engkau berangkatlah, pergilah!"
"Eng-moi, jagalah ibu dan suhu baik-baik selama aku tidak berada di rumah. Nah, Eng-moi, aku pergi sekarang. Selamat tinggal."
Kui Eng tidak menjawab, bahkan tidak lagi menengok. Karena mengira bahwa gadis itu tidak mau melihat dia pergi, Thian Ki melangkah meninggalkannya. Akan tetapi baru lima langkah, dia berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia mendengar tangis tertahan dan ketika dia menengok, dia melihat gadis itu menangis, mencoba untuk tidak bersuara, akan tetapi kedua pundaknya bergoyang-goyang, kepalanya menunduk dan kedua tangannya menutupi mukanya...
Kini hanya diketahui semua penghuni bagian puteri itu bahwa ia adalah seorang di antara dayang yang pernah mendapat "kehormatan" melayani kaisar! Itu saja. Hanya beberapa kali saja ia dipanggil untuk melayani kaisar di tempat tidurnya. Setelah itu, Kaisar Tang Tai Cung seolah melupakannya! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya, selama beberapa kali melayani kaisar itu, ia tidak berhasil mengandung.
Akan tetapi, Bu Couw Hwa adalah seorang wanita yang sejak kecil memiliki hati yang keras dan semangat yang besar. Ia tidak pernah turun semangat, bahkan segala kegagalan dianggapnya sebagai pupuk bagi semangatnya untuk mencapai apa yang dicitakannya. Kalau perlu, ia berani menempuh segala cara dan jalan demi tercapainya cita-citanya.
Setelah melihat betapa Kaisar Tang Tai Cung yang pembosan itu acuh saja terhadap dirinya, iapun mencari sasaran lain. Banyak memang pria yang dapat dijadikan sasaran olehnya. Para pengawal atau komandan pengawal, bahkan pejabat-pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar dan sering bertemu dengannya. Namun, ia bukanlah seorang wanita yang mudah puas. Cita-citanya setinggi langit.
Segala macam pria yang berkedudukan tinggi itu tidak ada artinya baginya. Ia harus mencapai puncaknya! Orang ke dua setelah Kaisar Tang Tai Cung yang dianggapnya akan mampu mengangkatnya ke tempat tertinggi, adalah Pangeran Li Hong, putera mahkota! Pangeran ini berusia duapuluh tahun, tentu saja jauh lebih menarik daripada ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung yang sudah berusia empatpuluh tahun.
Kembali Bu Couw Hwa mengatur siasat. Sebagai seorang dayang yang dipercaya membersihkan kamar-kamar, tentu saja banyak kesempatan baginya untuk menyambar barang-barang berharga yang berserakan dan tidak pernah diteliti oleh para permaisuri dan selir. Mudah saja bagi Bu Couw Hwa untuk mencuri barang-barang perhiasan berharga dan benda-benda ini ia pergunakan untuk mendekati para thai-kam. Dengan menyogok sana sini akhirnya para thai-kam dapat mengatur suatu pertemuan yang seolah-olah tidak disengaja antara ia dan Pangeran Mahkota Li Hong di dalam taman.
Pada suatu malam terang bulan, ketika Pangeran Mahkota Li Hong sedang berjalan-jalan seorang diri di taman besar istana, hanya ditemani dua orang thai-kam kepercayaan, tiba-tiba ia mendengar suara yang-kim (siter) yang nyaring. Lalu suara itu disusul kemerduan suara seorang wanita yang bernyanyi. Mendengar ini, Pangeran Li Hong menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
Nyanyian itu amat terkenal, nyanyian rakyat yang menceritakan tentang seekor burung merak yang merindukan seekor burung dewata, betapa sang merak merasa rendah diri dan buruk dibandingkan sang burung dewata, namun betapa rindunya untuk berdekatan dengan raja burung itu. Entah karena isi nyanyian itu atau merdunya suara dan yang-kim atau karena malam terang bulan di taman mendengar nyanyian itu merupakan perpaduan yang amat indah, namun pangeran yang masih muda itu merasa tertarik dan kagum sekali.
"Siapa yang bernyanyi itu?" tanyanya sambil memandang ke arah sebuah pondok kecil mungil yang berada di dalam taman, darimana suara itu terdengar.
Tentu saja dua orang thai-kam itu tahu siapa pemilik suara itu, karena merekalah yang mengatur pertemuan ini, akan tetapi mereka tidak mau mengaku dan mengatakan bahwa mungkin seorang dua orang dayang yang sedang bertugas di situ membersihkan pondok yang menjadi tempat peristirahatan para puteri.
"Akan tetapi itu hanya dugaan hamba saja pangeran," kata pula orang kedua, "setahu kami tidak ada dayang istana yang memiliki suara semerdu itu dan keahlian memainkan yang-kim seindah itu."
Tentu saja hati sang pangeran menjadi semakin tertarik, maka ketika dua orang thai-kam itu mengajak dia untuk mengintai melalui belakang pondok, diapun tersenyum dan mengikuti mereka. Semua ini memang sudah diatur oleh Bu Couw Hwa dan dua orang thai-kam itu. Ketika sang pangeran bersama dua orang thai-kam mengintai melalui pondok belakang, mereka melihat seorang gadis cantik jelita sedang duduk seorang diri memainkan yang-kim karena nyanyian itu telah selesai.
Gadis itu cantik manis dan jari-jari tangannya yang lentik bergerak menari-nari dengan indahnya di atas yang-kim, mukanya agak diangkat seolah gadis itu sedang memandang bulan di langit dengan mata yang redup sayu, dengan mulut yang setengah terbuka. Bukan main indahnya penglihatan itu. Melihat seorang gadis cantik jelita bermain yang-kim, di taman bunga dalam terang bulan, sungguh suatu keindahan seperti yang terkandung dalam sajak yang indah.
Hati sang pangeran seketika terpikat. Suasana itu mendatangkan ketentraman dan kelembutan yang penuh damai, menimbulkan gairah romantika yang syahdu dan darah mudanya bergejolak. Melihat bahwa gadis itu mengenakan pakaian seperti seorang dayang, maka keberanian sang pangeran meningkat. Kalau wanita itu seorang selir ayahnya, tentu saja dia tidak akan berani menggodanya.
Akan tetapi seorang dayang hanyalah seorang pelayan, walaupun banyak selir berasal dari dayang. Bersama dua orang thai-kam yang di percayanya itu, diapun memasuki pondok itu dari pintu belakang dan menghampiri gadis yang masih memainkan yang-kim lirih-lirih sambil melamun.
"Nona, suaramu indah sekali." Pangeran Li Hong memuji setelah berada dekat di belakang gadis itu.
Dengan permainan sandiwara yang baik sekali, gadis itu melepaskan yang-kimnya saking kaget, memutar tubuhnya, terbelalak dan membuka mulut secara manis sekali, mengangkat kedua tangan ke atas, lupa bahwa baju depannya setengah terbuka sehingga nampak sebagian dadanya yang mulus dan putih, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Yang mulia Pangeran... hamba... hamba mohon maaf... hamba tidak tahu akan kehadiran paduka... hamba siap menerima hukuman mati..." katanya dengan suara yang merdu dan seperti orang yang ketakutan, suaranya berdesah dan berbisik.
Pangeran Li Hong tertawa, semakin kagum karena setelah berada dekat, dia melihat bahwa gadis ini memang cantik sekali dan keharuman khas keluar dari tubuhnya. Padahal gadis ini baru selesai bekerja agaknya, setelah membersihkan pondok itu dan beristirahat, tentu tidak mempersiapkan diri, tidak mempersolek diri.
Bajunyapun setengah terbuka dan rambutnya kusut. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa kekusutan pada diri Bu Couw Hwa itu adalah kekusutan 'teratur'
"Ha-ha-ha, nona, jangan takut. Engkau tidak bersalah apa-apa, aku tadi hanya tertarik oleh suaramu yang merdu dan permainan yang-kimmu yang indah. Aku ingin mendengar lebih banyak. Mainkanlah yang-kim itu dan bernyanyilah untukku."
"Aiih, ampunkan hamba, pangeran. Bagaima hamba berani memperdengarkan suara hamba yang parau dan permainan yang-kim hamba yang ngawur? Hamba hanya seorang dayang..."
"Jangan merendahkan dirimu, eh, siapa namamu?"
Bukan main girangnya rasa hati Bu Couw Hwa. Perhatian dari pangeran itu menunjukkan bahwa siasatnya mulai berhasil. Umpannya mulai disambar kakap! "Nama hamba Bu Couw Hwa, pangeran."
"Bagus, Couw Hwa, atau kusebut saja engkau Hwa Hwa!" Pangeran itu tertawa lagi, girang karena wajah gadis itu demikian cerah dan ramah sehingga menimbulkan suasana yang gembira. Dia lalu memerintahkan kedua orang thai-kam. "Cepat ambilkan arak dan makanan, aku ingin makan malam di sini. Hwa Hwa, maukah engkau melayaniku makan malam di sini?"
"Mau? Aiiih, pangeran. Hamba merasa seperti kejatuhan bintang, mendapat kehormatan besar sekali. Tentu saja hamba suka sekali. Biar hamba bersihkan dulu meja dan dan hamba ganti dengan kain penutup yang baru!"
Dengan gerakan lincah, lenggang yang membuat pinggulnya yang bulat besar seperti menari-nari, gadis itu mengerjakan persiapan untuk makan malam sang pangeran. Setiap gerak geriknya diikuti pandang mata pangeran muda itu yang menjadi semakin terpesona.
"Aku harus dapat menaikkan harga diriku," demikian sambil membersihkan dan merapikan meja, gadis itu berpikir. "Kalau kujual murah, tentu akhirnya sebentar saja dia akan lupa padaku."
Bu Couw Hwa memang cerdik luar biasa. Ia mempergunakan siasat memikat pangeran mahkota bukan sekedar merupakan petualangan cinta belaka. Sama sekali tidak! Ia memiliki tujuan yang lebih inggi lagi, mempunyai cita-cita yang muluk. Usahanya terhadap Kaisar gagal setengah jalan, maka kini ia menempuh jalan lain, melalui Pangeran Mahkota!
Tak lama kemudian, pangeran itu makan minum di dalam kamar, dilayani Bu Couw Hwa, kemudian gadis itupun beberapa kali memainkan yang-kim dan bernyanyi, bahkan mengajak pangeran itu bercakap-cakap tentang seni suara dan seni sastra, karena iapun pandai membuat sajak atau syair berpasangan yang mengandung makna dalam.
Mendengar bahwa usia gadis itu baru menjelang tujuh belas tahun, sang pangeran menjadi semakin kagum. Akan tetapi ketika dia mulai memperlihatkan gejolak berahinya, dengan lembut Bu Couw Hwa menolaknya. Dengan halus dan lembut! Tentu saja sang pangeran menjadi penasaran bukan main. Penolakan yang halus itu sama sekali tidak membuatnya marah, bahkan membuat berahinya semakin berkobar seperti api disiram minyak.
Wanita muda itu tetap bersikap manis, bersikap amat menyayang dan hormat sehingga sang pangeran merasa dimanja. Dengan sikapnya, Bu Couw Hwa jelas menyatakan perasaan hatinya yang jatuh cinta kepada junjungan itu. Kerling matanya, senyumnya, gerakan tubuhnya, suaranya, semua jelas membayangkan bahwa ia mencinta sang pangeran. Akan tetapi kalau pangeran itu hendak menyentuhnya, ia dengan halus dan sopan menjauhkan diri dan pandang matanya nampak sayu dan sedih! Ia seperti jinak-jinak merpati yang membuat pangeran menjadi semakin terpikat.
Akhirnya setelah jelas bahwa wanita itu tidak bersedia melayaninya bercinta, sang pangeran meninggalkan tempat itu, diantar senyum dan kerling penuh kasih oleh Bu Couw Hwa. Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggalnya sendiri itulah sang pangeran menyatakan keheranannya.
"Ia begitu dekat, akan tetapi begitu jauh," ratap pangeran itu kepada dua orang kepercayaannya. "Ia seperti menantang, akan tetapi selalu menghindar. Ia jelas mencintaku, akan tetapi tak ingin kujamah. Mengapa begitu, seolah ia menyiksaku?"
Dua orang thai-kam itu saling lirik dan tersenyum, diam-diam kagum sekali kepada gadis itu. Seorang wanita muda yang luar biasa, seperti minuman arak yang amat baik, lembut memabokkan, akan tetapi tidak terasa oleh yang mabok. Tepat seperti yang telah diatur oleh Bu Couw Hwa yang telah menyogok mereka dengan banyak benda berharga, mereka lalu berkata bahwa dayang itu pernah menjadi dayang kesayangan Kaisar, bahkan telah beberapa kali mendapat kehormatan melayani kaisar.
"Mungkin karena ia tidak ingin membuat paduka melakukan kesalahan, maka ia sengaja menahan diri dan menghindar, yany mulia," kata mereka.
"Ahh... begitukah? Sungguh ia seorang wanita yang baik dan lembut hati, setia dan juga tidak ingin melihat aku melakukan kesalahan. Akan tetapi ia hanya seorang dayang, belum diangkat menjadi selir ayahanda kaisar, bukan?"
"Demikianlah, yang mulia. Ia masih belum menjadi selir yang sah."
"Kalau begitu, ia masih seorang dayang, dan bukan suatu pelanggaran dosa kalau terjadi hubungan antara kami," pangeran yang sudah tergila-gila itu membela diri.
"Memang sesungguhnya demikian, pangeran. Apa lagi yang mulia Sribaginda terlalu sibuk sehingga hampir melupakannya, karena itulah maka ia tadi menyanyikan lagu kerinduan. Paduka dapat menduga, siapa yang disebut sebagai burung Hong yang dirindukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan Sribaginda?"
Dua orang thai-kam itu tersenyum. "Yang mulia Pangeran, ia menjadi kekasih Sribaginda hanya selama beberapa kali saja dan menurut keterangannya hal itupun terjadi selagi Sribaginda dalam keadaan terlalu banyak minum anggur, sehingga pertama kalinya terjadi di kamar mandi di mana Bu Couw Hwa bertugas membersihkan kamar mandi. Tidak, bukan Yang Mulia Sribaginda Kaisar yang dimaksudkan sebagai burung Hong yang dirindukannya dalam nyanyian tadi, melainkan paduka."
"Ehh? Bagaimana engkau bisa tahu?" pangeran itu bertanya, curiga.
"Yang Mulia, pernah ketika bertemu dengan hamba, ia mengatakan bahwa betapa bahagianya hamba menjadi pelayan paduka, selalu dekat dengan paduka. Nah, bukankah itu suatu bukti bahwa diam-diam ia memuja paduka? Pula, bukankah nama burung itu sama dengan nama paduka?"
Bukan main girangnya hati Pangeran Li Hong mendengar ini. Dan selanjutnya, atas bantuan dua orang thai-kam itu yang mengharapkan banyak hadiah, diaturlah pertemuan-pertemuan selanjutnya antara Pangeran Li Hong dan Bu Couw Hwa. Bu Couw Hwa cerdik luar biasa. Ia bersikap jatuh cinta dan tergila-gila kepada sang pangeran.
Akan tetapi, ia mohon agar hubungan itu dirahasiakan, katanya untuk menjaga agar jangan sampai kaisar mendengar dan akan menyalahkan mereka. Juga dari kedua thai-kam itu ia menerima ramuan obat untuk mencegah agar dalam hubungannya dengan sang pangeran, ia tidak sampai hamil. Ia memikat dan mengikat cinta kasih sang pangeran, dan untuk itu ia bersikap cerdik sekali.
Ia sengaja menjual mahal, sengaja tidak selalu memenuhi permintaan sang pangeran untuk mengadakan pertemuan, dengan berbagai alasan yang masuk akal. Hal ini ia lakukan untuk membuat sang pangeran tetap rindu kepadanya. Setelah semalam melayani dengan seluruh kemampuannya untuk membuat sang pangeran mabok kepayang, ia selalu menjauhkan diri sampai berminggu-minggu.
Hal ini membuat Pangeran Li Hong yang masih muda itu benar-benar menjadi tergila-gila. Bu Couw Hwa mulai membuat ikatan-ikatan, seperti seekor laba-laba menjaring seekor belalang, dengan benang-benang halus lembut namun kokoh kuat sehingga sang belalang tidak merasa bahwa ia masuk ke dalam perangkap!
********************
"Sudahlah, Thian Ki. Engkau tidak salah. Gadis itu yang mencari gara-gara sendiri. Kalau ia tidak berniat membunuhmu dan mencengkeram pundakmu, tentu ia tidak akan keracunan dan kalau engkau membuntungi pergelangan tangannya, hal itu kaulakukan justru untuk menyelamatkan nyawanya dari kematian. Kenapa engkau menyesali diri seperti ini, berhari-hari tidak mau makan minum sampai tubuhmu menjadi kurus kering, wajahmu pucat dan engkau seperti seorang yang kehilangan semangatnya?"
Tegur ibunya, Sim Lan Ci yang telah mendengar semua tentang pertandingan antara suaminya dan Kam Cin, kemudian tentang Kam Cin menyerang puteranya sehingga gadis itu keracunan dan pergelangan tangannya dibuntungi puteranya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
Thian Ki tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya. Sejak peristiwa itu, dia tidak pernah dapat melupakan bayangan Cin Cin dengan tangan kirinya yang buntung, tak dapat melupakan betapa dia yang membuntungi tangan gadis itu, dan selalu wajah Cin Cin ketika memandang kepadanya untuk yang terakhir kali membayanginya sampai ke dalam mimpi. Hal ini membuat dia merasa menyesal bukan main. Apalagi kalau dia teringat ketika pernah bersama ayah bundanya menjadi tamu di rumah Cin Cin. Kedukaan ini membuat dia lupa makan lupa tidur.
"Selain engkau tidak bersalah, Cin Cin itu jahat bukan main, koko! Kenapa orang seperti itu koko ingat terus? Ia telah menghina kita, ia telah berniat membunuh ayah, bahkan membunuhmu. Apakan engkau takut kalau ia mendendam kepadamu karena engkau membuntungi tangannya? Jangan takut, aku akan membantumu membasminya kalau ia berani mencoba untuk membalas dendam!" kata Kui Eng dengan hati panas.
Entah bagaimana ia sendiri tidak tahu, setelah ia mengetahui bahwa ia bukan anak kandung Sim Lan Ci, tidak mempunyai hubungan keluarga atau darah dengan Thian Ki, pandangannya terhadap pemuda itu berubah sama sekali. Sejak kecil ia memang amat sayang kepada kakaknya ini, akan tetapi sekarang, setelah mengetahui bahwa Thian Ki bukan apa-apa melainkan orang lain, kesayangannya sebagai adik terhadap kakak kandung berubah menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap pria! Maka, melihat Thian Ki begitu murung dan berduka karena seorang gadis lain, apa lagi gadis itu musuh besar ayah kandungnya, ia merasa cemburu dan marah.
Thian Ki memandang adiknya sejenak, lalu menunduk lagi dan menghela napas panjang, dia tidak menjawab. Dia menyadari bahwa dia tidak bersalah tentang buntungnya tangan Cin Cin, namun betapapun juga, buntungnya tangan itu adalah karena dia. Gadis itu keracunan karena tubuhnya beracun dan biarpun dia menyelamatkan nyawa gadis itu dengan membuntungi tangannya, tetap saja dialah yang membuntungi tangan itu! Dan dia tidak mungkin dapat melupakan sinar mata dan tarikan wajah Cin Cin ketika gadis itu memandang kepada lengannya yang buntung dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Thian Ki, aku merasa kecewa dan malu melihat sikapmu ini!" tiba-tiba terdengar suara Cian Bu Ong yang menggelegar dan penuh kewibawaan. "Sikapmu ini hanya pantas dimiliki seorang laki-laki yang lemah dan cengeng! Segalanya sudah terjadi dan sebagai laki-laki yang gagah engkau harus berani menghadapi kenyataan, harus berani bertanggung-jawab atas semua yang telah kaulakukan! Engkau tidak pantas disebut orang gagah kalau bersikap seperti ini, memalukan saja. Padahal, sekarang engkau telah selesai belajar dan sudah tiba saatnya engkau terjun ke dunia persilatan sebagai seorang pendekar, sebagai seorang gagah agar tidak sia-sia semua pelajaran yang telah kau pelajari selama ini. Agar tidak sia-sia engkau hidup sebagai seorang manusia di dunia ini."
Ucapan Cian Bu Ong itu seperti sengat lebah, seperti siraman air dingin, membuat Thian Ki tersadar. Dia mengangkat mukanya yang pucat dan memandang kepada ayah tirinya, juga gurunya, dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan ayah tirinya dan ibunya, kedua matanya basah, akan tetapi dia tidak menangis.
"Ayah, ibu, maafkan aku yang lemah ini. Semua kata-kata ayah, ibu dan adik Kui Eng benar. Sekarang aku menyadari bahwa sikapku ini sungguh sikap seorang pengecut yang hendak melarikan diri dari kenyataan hidup. Maafkan aku."
Ibunya, Sim Lan Ci, memaklumi apa yang terdapat di hati puteranya, maka iapun merangkul puteranya dengan hati terharu. Sejak kecil, ia sendiri dan mendiang suaminya, Coa Siang Lee, yang mendidik anak ini agar menjauhkan diri dari segala kekerasan, sengaja tidak mengajarkan ilmu silat bahkan menanamkan dalam hatinya agar menjauhi kekerasan.
Akan tetapi ia dijadikan seorang tok tong (anak beracun) oleh mendiang neneknya yang bermaksud agar sang cucu kelak menjadi seorang jagoan tanpa tanding! Karena sudah terlanjur memiliki tubuh beracun, sehingga di luar kehendaknya beberapa orang tokoh dunia persilatan tewas ketika mencoba untuk membunuh dan menyerangnya, maka kemudian setelah menjadi putera tiri Cian Bu Ong, Thian Ki belajar ilmu silat tinggi. Namun, ia tahu bahwa di dasar hati Thian Ki masih terdapat kelembutan itu. Dia tidak ingin melukai orang, apa lagi membunuhnya. Dan kini, secara terpaksa dia membuntungi tangan Cin Cin, seorang gadis yang pernah akrab dengannya ketika masih sama-sama kecil.
"Sudahlah, anakku. Bangkitlah dan jangan lagi membiarkan dirimu tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan. Ayahmu benar. Engkau seorang laki-laki yang seharusnya bersikap gagah dan jantan," kata ibu ini.
Thian Ki bangkit dan duduk kembali. Ketika dia mengangkat muka memandang ayah tirinya, ibunya dan Kui Eng, matanya sudah mengeluarkan sinar, tidak lagi muram dan layu seperti sebelumnya.
"Yang terpenting adalah pengamatan diri, Thian Ki. Carilah dalam dirimu sendiri dan lihat kenyataan apa yang telah terjadi. Kalau dalam peristiwa itu engkau merasa bahwa engkau telah melakukan kesalahan, maka engkau harus bertekad untuk mengubah kesalahan itu dan tidak mengulanginya kelak. Sebaliknya, kalau engkau tidak merasa melakukan suatu kesalahan, jangan engkau takut menghadapi segala akibatnya. Dalam peristiwa yang telah terjadi itu, aku tidak melihat kesalahan dalam tindakanmu Akan tetapi andaikata akibatnya tidak menguntungkan, andaikata gadis itu mendendam kepadamu, engkau harus berani menghadapi kenyataan itu dengan modal utama, yaitu keyakinan bahwa engkau tidak melakukan kesalahan. Itu saja!"
Thian Ki mengangguk-angguk. Terbayang semua peristiwa itu. Mula-mula dia turun tangan untuk mencegah Cin Cin membunuh ayah tirinya, yang tadinya sudah mengalah terhadap gadis itu. Tentu saja perbuatannya ini tidak salah karena tidak mengandung niat buruk di hatinya ketika dia menyelamatkan ayahnya. Akan tetapi Cin Cin bahkan menyerangnya. Diapun hanya membela diri, sama sekali tidak bermaksud untuk melukai gadis itu.
Akan tetapi kenyataannya menjadi lain dari yang dia kehendaki. Gadis itu mencengkeram pundaknya, dan di luar kesadarannya, tanpa disengaja karena otomatis hawa beracun di tubuhnya bergerak tak terkendali untuk melindungi pundak yang dicengkeram, tangan Cin Cin keracunan. Racun itu akan menjalar dan menewaskan Cin Cin, tanpa ada obat yang akan mampu menolongnya.
Oleh karena itu, dia cepat membuntungi tangan beracun itu demi keselamatan nyawa Cin Cin. Memang tidak ada kebencian mendorong semua perbuatannya itu. Hanya nasib yang menentukan demikian. Sudah digariskan. Sudah menjadi kehendak Tuhan. Dia harus berani menghadapi segala akibatnya.
Dia teringat akan sikap ayah tirinya. Ayah tirinya menghadapi pula akibat dari perbuatannya ketika muda, yaitu mengenai urusan pribadinya dengan Tung-hai Mo-li Bhok Sui lan. Dan kini ayah tirinya menanggung akibatnya. Akan tetapi dengan sikap yang gagah, tidak ingin melibatkan keluarganya. Semua akibat ditanggungnya sendiri, tanpa memperlihatkan penyesalan atau kecengengan.
Sesal dan duka hanya mendatangkan kekeruhan pikiran dan hati, sama sekali tidak ada manfaatnya, sama sekali tidak akan dapat mengubah keadaan. Dia bahkan harus bertindak tegas untuk meluruskan yang bengkok, menjernihkan yang keruh. Dia harus dapat menemukan Cin Cin dan memberi penjelasan.
Syukur kalau gadis itu dapat melihat kenyataan, kalau tidakpun dia harus berani menghadapi apa saja yang akan menjadi akibat dari peristiwa itu. Memang segala sesuatu Tuhan yang menentukan akan tetapi dia harus berikhtiar, harus berusaha ke arah kebaikan dan melalui jalan kebenaran.
"Terima kasih, ayah. Kini aku mengerti benar dan harap ayah suka memberi tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya."
Wajah bekas pangeran itu berseri. Thian Ki memang bukan keturunannya, bukan darah dagingnya, namun dia merasa sayang kepada anak ini, menaruh harapan besar dalam diri anak ini. "Engkau sudah selesai belajar, Thian Ki. Pada saat ini, semua ilmuku sudah kuberikan kepadamu. Dalam hal ilmu silat, engkau sudah setingkat denganku, hanya mungkin kalah pengalaman saja. Akan tetapi kekalahan itu dapat kau tutup dengan keadaan dirimu yang mengandung hawa beracun. Kalau kita berkelahi benar-benar, aku sendiri tidak akan mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang untuk apa engkau yang sudah dewasa ini menghabiskan waktu sia-sia saja di tempat ini? Terjunlah ke dunia kang-ouw, perlihatkan dirimu sebagai seorang manusia yang berguna, bagi diri sendiri, bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi rakyat."
"Jadilah seorang pendekar yang berbudi baik, anakku. Kau bela yang lemah tertindas, kau tentang yang kuat dan jahat, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali engkau terlibat dalam urusan pemerintah, jangan terlibat dalam urusan pemberontakan," kata ibunya yang mengerling ke arah suaminya.
Cian Bu Ong tidak merasa tersinggung, bahkan tersenyum lebar dan menghela napas dalam-dalam. "Ibumu benar, Thian Ki. Dahulu aku dikuasai nafsu yang membuat aku bercita-cita terlalu muluk, tidak mau melihat kenyataan bahwa Kerajaan Sui telah runtuh dan Kerajaan Tang telah bangkit dan lahir menjadi penggantinya. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Kerajaan demi Kerajaan bangkit dan jatuh, seperti juga manusia, satu demi satu lahir dan mati. Tidak mungkin menentang garis yang sudah ditentukan oleh Thian (Tuhan). Usahaku melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan baru Tang hanya mendatangkan malapetaka bagi keluargaku, bagi aku sendiri dan banyak orang lain. Biarlah keadaanku itu menjadi contoh bagimu."
"Thian Ki, engkau tentu masih ingat akan pesan nenekmu, bukan? Nah, jangan lupa, dalam perantauanmu mencari pengalaman, pergilah engkau ke dusun Hong-cun di tepi Sungai Kuning, temui kakak angkat mendiang ayah kandungmu, yaitu Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng dan isterinya yang bernama Bu Giok Cu. Dari merekalah engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio, dua orang yang akan mampu membebaskanmu dari hawa beracun di tubuhmu. Atau mungkin juga suami isteri itu akan mau dan mampu menolongmu."
"Baik, ibu, akan kuperhatikan pesan ibu."
"Nah, sebaiknya engkau berkemas dan siap untuk segera berangkat meluaskan pengalamanmu, Thian Ki," kata pula ayah tirinya.
"Aku akan ikut pergi merantau bersama kakak Thian Ki!" tiba-tiba Kui Eng berkata.
Suami isteri itu saling pandang dan Sim Lan Ci cepat berkata. "Aih, tidak mungkin engkau melakukan perjalanan bersama Thian Ki, Kui Eng!"
Kui Eng mengangkat muka memandang wajah ibu tirinya, lalu wajah ayahnya dan melihat betapa ayahnya menggeleng kepala. Kui Eng mengerutkan alisnya, cemberut dan berkata, "Hemm, aku mengerti apa yang dipikirkan ayah dan ibu! Aku sudah berusia duapuluh tahun dan aku mengerti bahwa tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda, apalagi kalau mereka itu bukan saudara sekandung. Akan tetapi, ayah dan ibu. Bukankah sejak kecil aku sudah menganggap koko sebagai kakak kandungku sendiri? Semua orangpun menganggap kami berdua kakak beradik, maka apa salahnya melakukan perjalanan berdua?"
Sim Lan Ci yang merasa bahwa gadis itu bukan puteri kandungnya, merasa tidak berdaya dan iapun hanya memandang kepada suaminya, menyerahkan keputusannya kepada suaminya. Cian Bu On menggeleng kepalanya dan suaranya tegas ketika akhirnya dia berkata,
"Kui Eng, engkau tidak boleh pergi mengikuti kakakmu. Dia hendak meluaskan pengalamannya dan terutama sekali, hendak mencari penawar hawa beracun di tubuhnya. Apalagi, dengan adanya rencana kami, ayah ibumu, maka makin tidak boleh kalian'melakukan perjalanan berdua."
Kui Eng masih mengerutkan alisnya. "Aih, ayah sungguh aneh. Rencana apa yang menyebabkan aku tidak boleh pergi bersama koko?"
Suami isteri itu kembali saling pandang. Mereka berdua sudah sepakat untuk menjodohkan kedua orang anak mereka itu. Hanya ada hal yang membuat mereka sangsi dan sampai sekarang, setelah Thian Ki berusia duapuluh satu tahun dan Kui Eng berusia duapuluh tahun, mereka belum dapat memberi tahu mereka, karena keadaan Thian Ki. Dalam keadaan bertubuh seperti itu, penuh dengan hawa beracun, mereka tahu bahwa Thian Ki tidak boleh mendekati wanita.
Siapapun yang berhubungan sebagai suami isteri dengan dia, pasti akan tewas. Kini, Kui Eng sudah dewasa benar, bagaimanapun juga, gadis itu dan juga Thian Ki harus diberitahu. Bagi Kui Eng, agar gadis itu tahu bahwa ia sudah mempunyai calon suami, dan bagi Thian Ki, hal itu tentu akan menjadi pendorong agar dia cepat mencari orang yang dapat membersihkan hawa beracun dari tubuhnya.
Setelah saling pandang dengan isterinya dan mendapat isyarat persetujuannya, Cian Bu Ong dengan suara mantap berkata, "Rencana kami adalah untuk menjodohkan kalian menjadi suami isteri."
Hening sejenak, keheningan yang mencekam karena kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar keputusan yang keluar dari mulut Cian Bu Ong itu. Terlalu tiba-tiba datangnya, merupakan kejutan yang tak pernah mereka duga. Bagi Kui Eng, merupakan kejutan yang menyusup ke jantung dan tulang sumsumnya, karena diam-diam ia memang sudah jatuh cinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria kepada pemuda yang selama ini ia anggap sebagai kakak kandungnya itu.
Akan tetapi, karena iapun sama sekali tidak menyangka bahwa ayah dan ibunya merencanakan perjodohan itu, iapun terkejut dan sejenak ia tertegun, lalu wajahnya yang manis itu berubah menjadi merah sekali. Tanpa dapat ditahan lagi, ia menoleh memandang kepada Thian Ki dan kebetulan pemuda itupun menoleh kepadanya.
Sejenak dua pasang mata bertemu pandang dan segalanya nampak berobah dalam pandang mata mereka setelah mendengar keputusan itu. Kui Eng tidak dapat menahan lagi dan menunduk dengan wajah makin memerah sampai ke lehernya, sedangkan Thian Ki juga menundukkan mukanya yang menjadi merah.
"Aiih, ayah...!" Kui Eng yang menjadi salah tingkah itu merasa tidak kuat untuk berada disitu lebih lama saking malunya. Sambil mengeluarkan suara yang terdengar seperti setengah tawa dan setengah isak, ia pun melompat pergi meninggalkan ruangan itu, memasuki kamarnya sendiri.
Tinggal Thian Ki yang masih duduk menundukkan mukanya di depan ayah dan ibunya, seperti orang bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
"Thian Ki, bagaimana pendapatmu dengan keputusan ayahmu?" tiba-tiba ibunya bertanya untuk menuntun kembali pemuda itu ke dalam ketenangan!
Thian Ki mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya, kemudian dia menghela napas panjang. Selama ini, belum pernah masuk dalam gagasannya tentang diri Kui Eng, apalagi sebagai calon isteri. Bahkan belum pernah dia memikirkan wanita, tahu bahwa dia sama sekali tidak boleh berdekatan dengan wanita. Mendengar bahwa dia ditunangkan dengan Kui Eng membuat dia terkejut dan heran, juga bingung mengapa ayah ibunya mengambil keputusan seperti itu.
Dia memang sayang kepada Kui Eng, amat sayang kepadanya. Namun, kasih sayangnya itu adalah kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Dia sudah tahu bahwa Kui Eng bukan adik tiri, bukan pula adik sendiri, melainkan orang lain, tidak ada hubungan darah sama sekali, akan tetapi karena mereka berdua bergaul sejak kecil, maka dia sudah terlanjur mencinta Kui Eng sebagai adiknya.
"Ibu, bagaimana mungkin ini? Tubuhku..."
"Tubuhmu dapat dibersihkan dari racun asal engkau dapat memperoleh pertolongan pamanmu Naga Sakti Sungai Kuning, Thian Ki," ibunya memotong. "Tentu saja pernikahanmu dengan Kui Eng baru akan kami rayakan dan resmikan setelah engkau terbebas dari hawa beracun itu."
"Aku sendiri akan ikut berusaha mencarikan obat bagimu, Thian Ki. Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan sebelah barat, di pegunungan Himalaya terdapat semacam rumput merah yang dinamakan Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah) dan yang dapat membersihkan tubuh dari segala macam pengaruh racun. Aku akan mencarinya di sana, sedangkan engkau mencari dan mengunjungi Naga Sakti Sungai Kuning."
"Akan tetapi, ayah dan ibu. Bukan hanya itu yang yang menjadi pikiranku. Semua orang telah menganggap bahwa aku dan Eng-moi adalah kakak beradik, bagaimana mungkin kami berjodoh? Apa nanti pendapat dan anggapan orang-orang kalau mendengar hal itu!"
Cian Bu Ong tertawa bergelak dan memandang kepada isterinya. "Ha-ha-ha, betapa sama benar bantahanmu itu dengan bantahan ibumu. Lama kami memperbincangkan hal ini dan pendapat ibumu sama pula dengan apa yang kau katakan tadi. Akan tetapi akhirnya ibumu menyadari. Kuharap engkau akan dapat menyadari pula, Thian Ki. Kehidupan kita adalah milik kita pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Hidup kita tidak dapat kita gantungkan kepada pendapat orang lain, Thian Ki."
"Maaf, ayah. Memang benar demikian, akan tetapi mungkinkah kita hidup tanpa memperdulikan anggapan umum? Kita hidup di masyarakat, ayah, bagaimana mungkin kita mengabaikan pendapat dan peraturan umum. Kalau umum menganggap aku dan Eng-moi kakak beradik, lalu mereka mendengar bahwa kami menjadi suami isteri, bukankah hal itu akan aib yang menodai nama baik keluarga kita semua?"
"Ha-ha-ha, terlampau picik pandangan itu, Thian Ki. Pendapat dan hukum yang berlaku pada masyarakat tentu saja berdasarkan kenyataan, jadi kenyataan inilah yang harus kita pegang. Bagaimana kenyataannya antara engkau dan adikmu? Kalian bukan saudara, tidak ada hubungan darah sama sekali. Itulah kenyataannya! Kalau umum berpendapat lain, itu adalah kesalahan mereka sendiri. Apakah kalau umum berpendapat keliru, kitapun harus ikut-ikutan dan menganggap benar saja kekeliruan mereka itu? Tidak, Thian Ki. Yang terpenting bagi kita adalah bahwa kita harus memiliki pendirian. Kalau kita memang benar, dan hal ini tidak dapat kita berbohong kepada diri sendiri, maka kita tidak perlu takut akan pendapat umum. Andaikata seluruh dunia menudingmu sebagai pencuri, hal itu adalah masalah mereka asalkan engkau tidak pernah mencuri. Sebaliknya, andaikata tak seorangpun mengetahui bahwa engkau mencuri, namun itu menjadi masalahmu kalau engkau benar-benar melakukan pencurian. Mengertikah engkau, Thian Ki?"
"Aku mengerti, ayah. Akan tetapi, pendapat umum tentang kami ini bukan fitnah, melainkan timbul karena selama ini aku dan Eng-moi bergaul sebagai kakak beradik. Jadi kalau mereka menganggap kami kakak beradik, itu bukan kesalahan mereka."
Kembali Cian Bu Ong tertawa. "Hal itu mudah saja diubah. Mulai sekarang, engkau jangan menyebut ayah kepadaku, melainkan suhu (guru). Dan sebaliknya, Kui Eng menyebut ibumu bukan lagi ibu, melainkan subo (Ibu guru). Kenyataannya memang demikian, bukan? Engkau adalah muridku, dan Kui Eng juga banyak menerima pelajaran dari subonya. Dan mulai sekarang, umum akan kami beritahu bahwa kalian bukan kakak beradik. Nah, beres, bukan?"
Thian Ki tidak dapat membantah lagi. Memang ayahnya atau suhunya itu benar. Yang penting adalah kenyataannya, bukan dugaan atau sangkaan orang, Betapapun juga, dia masih nanar. Kui Eng menjadi tunangannya dan kelak menjadi isterinya? Sukar sekali membayangkan hal ini terjadi dan mulai detik itu, terjadi perubahan besar dalam pandangannya terhadap Kui Eng.
"Sekarang berkemaslah, Thian Ki. Engkau harus pergi mengunjungi pamanmu Si Han Beng di Hong-cun. Makin cepat engkau terbebas dari racun itu semakin baik," kata ibunya.
"Kapan engkau akan berangkat?" tanya ayahnya atau yang mulai sekarang harus dia sebut sebagai gurunya.
"Teecu akan berangkat secepatnya, besok pagi-pagi, suhu." kata Thian Ki tanpa ragu menyebut guru kepada orang yang selama ini disebutnya sebagai ayah.
Cian Bu Ong tertawa girang. Sebutan ini menunjukkan betapa taatnya pemuda ini, juga menandakan bahwa pemuda ini menerima usul dia dan isterinya. "Bagus, aku girang sekali, Thian Ki. Engkaulah muridku yang amat membesarkan hatiku."
"Terima kasih, suhu."
"Mari aku membantumu berkemas, Thian Ki," kata ibunya.
Ibu dan anak itu lalu memasuki kamar Thian Ki, mempersiapkan keberangkatan pemuda itu untuk merantau. Selain mempersiapkan buntalan pakaian dan uang secukupnya, juga ibu itu membekali banyak nasihat kepada puteranya, menceritakan tentang para tokoh dunia kangouw, tentang peraturan orang-orang kangouw dan memesan agar dia berhati-hati.
"Engkau harus berhati-hati dan waspada terhadap tiga macam orang, anakku. Mereka kelihatan sebagai orang-orang yang lemah, namun kalau mereka sudah berkepandaian, mereka merupakan lawan-lawan yang amat berbahaya. Mereka adalah para pengemis, para pendeta dan para sastrawan, baik pria maupun wanita. Jangan sekali-kali memandang rendah kepada orang-orang yang nampaknya lemah. Orang-orang yang bertubuh kokoh kuat biasanya mengandalkan kekuatan mereka dan lawan macam ini mudah ditanggulangi. Akan tetapi orang-orang yang kelihatan lemah tadi dapat mengalahkan kekuatan otot dan tulang." Demikian antara lain ibu itu berpesan kepada puteranya.
"Saya masih ingat akan semua pesan ibu dan suhu, ibu. Harap ibu jangan khawatir karena ibupun tahu bahwa aku tidak suka bermusuhan."
"Kalau engkau berhasil bertemu dengan pamanmu Si Han Beng dan bibimu Bu Giok Cu, sampaikan salam ibumu dan engkau boleh menceritakan semua keadaan ibumu semenjak ditinggal mati ayahmu. Mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan budiman dan dari mereka engkau akan dapat menerima banyak petunjuk."
Sejak memasuki kamarnya, Kui Eng tidak pernah kelihatan lagi oleh Thian Ki, seolah gadis itu sengaja menghindar darinya. Hal ini meresahkan hati Thian Ki. Dia merasa seolah dialah yang menjadi sebab gadis itu merasa canggung dan malu. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat pergi sebelum berpamit kepada gadis yang disayangnya sejak mereka masih kanak-kanak itu.
Kalau dia membayangkan kembali semua itu, ketika mereka masih kanak-kanak, ketika mereka bermain bersama, berlatih silat bersama, bahkan ketika Kui Eng suka marah dan manja, dan dia selalu mengalah sebagai seorang kakak yang menyayang, menjaga dan melindunginya, memang sukar sekali membayangkan kelak mereka menjadi suami isteri!
Bahkan ketika keluarga itu makan malam, Kui Eng tidak muncul dan menurut ibunya, Kui Eng merasa lelah dan makan di dalam kamarnya dilayani pembantu dan tidak meninggalkan kamarnya. Cian Bu Ong hanya tertawa senang mendengar ini karena sikap Kui Eng itu dianggapnya bahwa gadis itu malu-malu kepada Thian Ki dan sikap malu-malu seorang gadis kepada calon suaminya diartikan bahwa Kui Eng tidak menolak dan suka menjadi calon isteri Thian Ki. Akan tetapi Thian Ki sendiri merasa khawatir walaupun hal ini tidak diucapkannya.
Sim Lan Ci tahu akan isi hati puteranya walaupun pemuda itu tidak mengucapkan sesuatu. Maka, pada malam hari itu, ia mengetuk pintu kamar puteranya. Ketika Thian Ki membuka daun pintu dan melihat ibunya yang datang berkunjung, dia hendak bicara, akan tetapi Sim Lan Ci memberi isyarat agar puteranya tidak mengeluarkan suara, lalu la berbisik,
"Kalau engkau ingin menemui Kui Eng dan berpamit, cepat pergilah ke kebun belakang." Setelah berbisik demikian, ibu ini kembali ke kamarnya.
Kebun belakang itu sunyi, namun cuaca amat indahnya karena bulan sudah berada di atas kepala dan langit bersih. Sinar bulan yang lembut menyapu permukaan bumi dan bermain-main pada daun-daun pohon, mendatangkan perpaduan yang manis antara cahaya lembut dan bayang-bayang kelabu. Kui Eng duduk di atas bangku panjang, melamun dan menengadah memandangi bulan yang ditemani beberapa buah bintang yang suram di sana-sini.
"Eng-moi..." Thian Ki yang menghampiri dari belakang itu kini berdiri sekitar empat meter dari tempat gadis itu duduk, memanggil lirih agar degup jantungnya yang menggetarkan suaranya tidak kentara.
Kui Eng tidak merasa kaget dan ia menoleh, berkata lirih, "Koko...?" lalu menundukkan mukanya.
Thian Ki merasa aneh. Biasanya, Kui Eng adalah seorang gadis yang lincah, jenaka, berani dan galak. Akan tetapi sekarang menjadi begitu jinak dan malu-malu? Diapun membayangkan gadis itu seperti biasanya, seperti adiknya dan dengan hati ringan dia mendekati, lalu duduk di ujung bangku seperti biasa kalau mereka duduk di situ bersama-sama.
"Eng-moi, engkau kenapakah" Thian Ki bertanya. "Engkau tidak enak badan dan lelah?"
Kui Eng mengerling dari bawah karena mukanya masih menunduk, jari-jari tangannya utak-atik memilin ujung bajunya. "Siapa bilang?"
"Ibu," kata Thian Ki.
"Dan engkau besok akan pergi pagi-pagi, koko?"
"Benar, siapa bilang?"
"Ibu... eh, maksudku subo, ibumu..." kata gadis itu.
Maka tahulah Thian Ki bahwa ibunya telah memberitahukan segalanya, juga bahwa mulai saat itu Kui Eng harus menyebut subo kepada ibunya. "Dan ia pula yang memberitahu bahwa engkau nampak gelisah dan ingin sekali bertemu denganku. Benarkah?"
Kini Kui Eng mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan keduanya merasa aneh sekali, seperti saling berhadapan dengan seorang yang asing dan baru pertama kali dijumpai dan dikenal.
"Benar, Eng-moi."
"Kenapa? Mau apa engkau ingin bertemu denganku?"
"Kui Eng, bagaimana aku dapat pergi sebelum pamit darimu Eng-moi, kenapa sejak ayah... eh, suhu mengumumkan perjodohan kita, engkau lalu bersembunyi dan tidak mau bertemu denganku? Eng-moi, aku akan merasa susah sekali kalau persoalan itu membuat engkau marah dan tidak suka kepadaku."
"Aku tidak marah, juga bukan tidak suka kepadamu."
"Lalu kenapa engkau seperti menjauhkan diri sejak tadi, Eng-moi. Dan kalau ibu tidak memberi tahu, agaknya engkau tidak akan keluar. Ibu pula yang memberi tahu bahwa engkau berada di sini maka aku datang menemuimu."
Kui Eng kembali menunduk dan di bawah sinar bulan yang lembut kuning kehijauan, nampak perubahan pada warna muka gadis itu.
"Kenapa, Eng-moi?" Thian Ki mendesak.
Pertanyaan ini dijawab dengan pertanyaan pula oleh Kui Eng." Koko, katakanlah apakah engkau sayang kepadaku?"
Kalau saja pertanyaan ini diajukan Kui Eng kemarin, tentu Thian Ki akan menyambutnya dengan tawa dan menggoda. Sekarang, terdengarnya demikian aneh pertanyaan itu! Akan tetapi, Thian Ki menenangkan hatinya yang terguncang dan berdebar, lalu tersenyum. "Tentu saja, Eng-moi. Aku sangat sayang kepadamu."
"Engkau sayang kepadaku setelah apa yang dikatakan oleh ayah tadi?" Kini gadis itu kembali mengangkat muka dan sinar matanya seperti hendak menembus keremangan cuaca dan menembus dada Thian Ki menjenguk isi hatinya.
"Tentu saja, Eng-moi. Bagiku, menjadi calon jodohmu atau bukan, aku tetap sayang kepadamu. Di dunia ini hanya ada tiga orang yang kusayang, yaitu ibuku, suhu, dan engkaulah."
"Dan Cin Cin?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
Thian Ki terkejut dan juga heran. "Cin Cin? Ah, kau maksudkan Kam Cin itu? Aku hanya kasihan kepadanya, Eng-moi. Kenapa engkau sebut dia?"
"Aku hanya bertanya."
"Tidak, aku tidak menyayang orang lain seperti sayangku kepada kalian bertiga."
"Sayangmu kepadaku masih seperti yang sudah sudah?"
"Tentu."
"Seperti sayangnya seorang kakak kepada adiknya."
"Eh, ya, tentu..."
"Dan engkau tidak cinta padaku?"
Kalau saja Thian Ki bercermin pada saat itu dan melihat wajahnya sendiri, tentu dia akan melihat betapa wajahnya nampak bodoh dan tolol saat itu. Matanya terbuka lebar dan kosong, mulutnya ternganga dan wajahnya seperti wajah seorang anak kecil yang ditanya tentang soal hitungan yang sulit.
"Ehh... ohh... apa sih bedanya antara sayang dan cinta? Aku jadi bingung, Eng-moi."
Kui Eng mengerutkan alisnya dan wajahnya nampak kecewa sekali. Mulutnya cemberut. Ia sendiri tidak mengerti, karena ia pun tidak mempunyai pengalaman. Hanya terasa benar oleh kewanitaannya bahwa besar sekali bedanya antara kedua perasaan dalam hatinya terhadap Thian Ki sebelum dan sesudah ia mendengar bahwa pemuda itu bukanlah kakak kandungnya, bahkan bukan pula kakak tirinya, melainkan orang lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali.
Sejak itulah ia memandang Thian Ki dengan mata dan hati yang berubah, dan kesayangannya sebagai adikpun berubah pula. Kalau tadinya ia membayangkan Thian Ki sebagai seorang kakak yang baik dan dapat diandalkan, sesudah itu ia selalu membayangkan Thian Ki dengan jantung berdebar, mulai ia memperhatikan dan menemukan ketampanan dan kejantanan dalam diri pemuda itu!
Cinta kasih asmara memang aneh. Jelas jauh bedanya antara cinta antara kakak beradik dengan cinta antara seorang wanita dan seorang pria. Cinta antara pria dan wanita adalah cinta asmara, cinta yang mengandung berahi satu kepada yang lain, berbeda dengan cinta seorang adik wanita terhadap kakak prianya yang jauh dari perasaan berahi. Hal ini memang sudah merupakan pembawaan, merupakan anugerah dari Tuhan yang disertakan kepada setiap orang manusia, pria maupun wanita.
Nafsu atau gairah berahi memang ada pada setiap orang, bahkan pada setiap mahluk, karena nafsu berahi itu mutlak penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk itu sendiri. Nafsu berahi yang mendorong dua mahluk berlainan jenis untuk saling tertarik, saling mendekati, kemudian,saling mencinta. Nafsu berahi mendorong seorang pria dan seorang wanita untuk bersatu sehingga dari persatuan ini terlahir keturunan dan perkembangan-biakan pun tidak akan terputus.
Tidak demikian dengan cinta antara pria dari wanita yang menjadi saudara kandung. Kalaupun timbul gairah berahi di antara keduanya, maka jelas bahwa hal itu tidaklah wajar bagi manusia, tidak semestinya dan kalau dilanggar tentu akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik. Nafsu, dalam bentuk apapun juga, kalau sudah menguasai manusia, tentu akan menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak wajar dan tidak benar.
Di samping semua daya rendah yang menimbulkan nafsu, pada manusia disertakan pula akal budi. Akal budi inilah yang membuat kita dapat mengerti mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk. Akal budi ini yang membuat manusia menjadi mahluk yang paling tinggi derajatnya di antara segala mahluk di dunia ini, juga menjadi mahluk yang paling kuat dan paling kuasa.
Tanpa akal budi, manusia akan menjadi mahluk yang paling lemah, kita tidak akan menang melawan seekor kucing sekalipun, karena kucing masih memiliki taring dan kuku tajam. Apalagi melawan binatang yang lebih kuat dan lebih besar. Kitapun tanpa akal budi akan mudah sakit dan mati karena kita tidak akan mempunyai tempat dan pakaian untuk berlindung.
Akal budi bekerja sama dengan nafsu daya rendah yang menjadi pendorongnya, memungkinkan kita membuat segala macam benda keperluan hidup kita di dunia ini, memungkinkan kita menikmati hidup ini. Akal budi pula yang membuat kita dapat membedakan segala sesuatu, mempertimbangkan segala sesuatu, dan akal budi yang melahirkan Ilmu-Ilmu, peradaban, kebudayaan dan lain sebagainya yang menjadi isi kehidupan manusia.
"Kalau engkau cinta padaku, koko, engkau tentu tidak akan meninggalkan aku, engkau tentu tidak akan suka berpisah dariku," kata Kui Eng dengan suara lirih.
"Itukah sebabnya mengapa engkau murung dan ingin ikut pergi denganku?" tanya Thian Ki.
Kui Eng mengangguk. "Sejak aku mendengar bahwa di antara kita tidak ada hubungan darah sama sekali, aku... aku tidak ingin berpisah darimu, koko. Dan itu pula yang membuat aku... merasa benci kepada Cin Cin. Aku tidak ingin engkau mengasihi gadis lain, memikirkan gadis lain, melindungi gadis lain. Aku hanya ingin engkau untukku seorang..."
Thian Ki tertegun. Itukah cinta? Dia tidak mengerti. Dia belum merasakan hal yang seperti dirasakan oleh Kui Eng terhadap dirinya. Belum terasa olehnya keinginan agar Kui Eng tak pernah berpisah darinya, atau agar Kui Eng menjadi miliknya, hanya untuk dia seorang. Barangkali belum bersemi apa yang dinamakan cinta itu di hatinya terhadap Kui Eng. Atau barangkali dia yang bodoh. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menjawab dan memberi alasan, karena pandang mata Kui Eng tetap menuntut agar dia menjawab, apakah dia juga mencinta Kui Eng seperti yang dirasakan gadis itu kepadanya.
"Eng-moi, engkau tentu tahu bahwa aku pergi untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman. Juga aku perlu sekali mencari adik angkat mendiang ayahku, yaitu Naga Sakti Sungai Kuning, paman Si Han Beng, untuk minta tolong agar hawa beracun di tubuhku dapat dipunahkan. Engkau tentu sudah tahu pula bahwa selama hawa beracun ini tidak lenyap dari tubuhku, aku tidak bolen menikah. Oleh karena itu, sebelum keadaanku ini tertolong, aku sama sekali tidak dapat memikirkan tentang perjodohan."
Kui Eng mengangguk, lalu menundukkan mukanya, menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan yang membayang di mukanya. "Aku mengerti, koko. Jadi, engkau akan pergi? Kapan engkau akan pergi?"
"Aku sudah berkemas, siap berangkat, besok pagi-pagi."
"Besok pagi-pagi? Ahh...!" Kui Eng terkejut. "Aku akan merasa kesepian sekali, koko. Ketika engkau kami tinggalkan di rumah nenekmu dahulu itu dan kita saling berpisah hampir dua tahun, aku merasa tersiksa setengah mati. Dan sekarang, engkau yang akan meninggalkan aku, dan aku tidak boleh ikut denganmu..." Suara gadis itu menjadi gemetar seperti akan menangis.
"Eng moi, aku tidak akan lama pergi. Setelah berhasil, aku pasti akan segera kembali."
"Engkau tidak akan melupakan aku, bukan? Engkau berjanji tidak akan melupakan aku?"
Thian Ki tersenyum dan memegang pundak gadis itu, seperti yang sudah-sudah kalau dia menghibur gadis ini. "Jangan khawatir, aku tidak akan pernah melupakanmu."
Kui Eng terisak, bangkit lalu berlari meninggalkan Thian Ki yang masih sempat mendengar ia terisak. Sampai lama pemuda ini duduk di atas bangku, berulang kali menghela napas panjang. Kini dia yakin bahwa Kui Eng mencintanya, dan mengharapkan kelak menjadi isterinya! Dia merasa bangga dan senang, akan tetapi juga bingung dan ragu. Dia merasa senang dan bangga dicinta seorang gadis hebat seperti Kui Eng, akan tetapi adakah perasaan cinta yang sama dalam hatinya terhadap Kui Eng? Dia sudah terlanjur menyayangnya seperti seorang adik!
********************
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Ki sudah berpamit kepada ibunya dan suhunya. Kedua orang tua itupun pagi-pagi sekali sudah bangun, karena mereka hendak melihat Thian Ki pergi. Thian Ki menggendong sebuah buntalan yang cukup besar, terisi pakaian dan uang, di punggungnya. Pemuda ini tidak pernah membawa senjata walaupun dia telah mempelajari cara menggunakan delapan belas macam senjata dengan mahir.
Suhu dan ibunya duduk di beranda ketika pemuda itu berpamit. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kedua orang tua itu, mohon diri dan mohon doa restu. Dengan kedua mata basah, Sim Lan Ci mengelus kepala puteranya. Kini baru ia menyadari bahwa puteranya telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Telah menjadi seorang pria yang gagah dan yang siap untuk terjun ke dalam dunia ramai seorang diri, siap untuk mandiri dan sudah dibekali kepandaian yang hebat. Dia tidak merasa khawatir. Puteranya kini menjadi seorang yang amat lihai, jauh lebih lihai dibandingkan ia sendiri, atau mendiang ayah pemuda itu. Mungkin kini telah memiliki kepandaian setingkat dengan gurunya.
"Thian Ki, doa restuku selalu menyertaimu. Engkau berhati-hatilah, nak. Jangan sekali-kali engkau takabur. Walaupun engkau kini telah menguasai banyak ilmu silat yang cukup untuk membela diri, namun ingatlah selalu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang selain amat lihai, juga suka mempergunakan siasat yang curang dan licik. Jangan menonjolkan diri dan mencari permusuhan. Aku doakan semoga engkau dapat bertemu dengan pamanmu Si Han Beng. Syukurlah kalau dia dapat mengobatimu sampai engkau terbebas dari racun, karena kalau engkau terpaksa harus mencari Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio pekerjaan itu sungguh amar sukar. Kedua orang sakti itu bagaikan dewa, sukar dicari bayangannya. Dan jangan lupa singgah di dusun Ta-bun-cung mengunjungi keluarga Coa yang memimpin Hek-houw-pang, menengok keadaan keluarga mendiang ayah kandungmu."
"Baik, ibu. Semua nasihat dan pesan ibu akan kulaksanakan," jawab Thian Ki.
"Semua pesan ibumu memang harus kau taati, Thian Ki. Engkau tentu masih ingat akan nama-nama dan keadaan para tokoh di dunia persilatan seperti yang pernah kuceritakan kepadamu," kata Cian Bu Ong. "Engkau boleh merantau untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, akan tetapi ada satu hal yang aku ingin engkau lakukan untukku."
Selama menjadi putera tiri dan murid bekas pangeran itu, belum pernah Cian Bu Ong menyuruh Thian Ki melaksanakan suatu tugas tertentu, maka kini mendengar ini, Thian Ki merasa girang sekali. "Katakanlah, suhu. Apakah yang harus kulakukan untuk suhu?" biarpun masih agak merasa janggal dan kaku, Thian Ki mulai memanggil bekas pangeran itu dengan sebutan suhu, tidak lagi ayah seperti yang sudah, memenuhi permintaan Cian Bu Ong yang menjodohkannya dengan Cian Kui Eng.
"Hanya ada satu pekerjaan yang ingin kulihat engkau melakukannya untukku, akan tetapi pekerjaan ini cukup berbahaya, Thian Ki. Ketahuilah, dahulu ketika aku masih menjadi seorang pangeran, aku mempunyai banyak pusaka. Akan tetapi di antara semua pusaka itu, yang paling kusayangi adalah sebatang pedang yang disebut Liong-cu-kiam (Pedang Mustika Naga). Ketika terjadi perang dan kota raja diserbu, semua benda pusaka milikku itu terampas musuh. Aku telah mendengar bahwa pedangku Liong-cu-kiam itu kini berada di gudang pusaka istana kaisar, menjadi satu di antara benda-benda pusaka rampasan. Nah, aku minta agar engkau singgah di kota raja, mencoba untuk mengambil kembali pedangku Liong-cu-kiam itu dari gudang pusaka di kota raja."
"Aih, akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Sim Lan Ci cemas.
Suaminya tersenyum. Kalau saja bukan isterinya tercinta yang mengatakan demikian, mungkin bekas pangeran ini akan marah. Seruan itu sama saja dengan memandang rendah muridnya, anak tirinya bahkan calon mantunya!
"Thian Ki bukan kanak-kanak lagi dan aku yakin dia akan mampu melakukannya. Kalau saja aku sendiri tidak dikenal oleh banyak orang di kota raja, agaknya tentu aku sendiri yang akan mengambil benda pusakaku itu."
"Suhu, aku akan melaksanakan pesan suhu itu. Ibu, harap jangan khawatir. Aku akan berhati hati sekali karena aku tahu bahwa di kota raja, apalagi di gudang pusaka, tentu penjagaannya kuat sekali."
Setelah menerima pesan dan nasehat kedua orang tua itu, Thian ki berangkat. Kedua orang tua itupun berpesan wanti-wanti agar perantauannya ini paling lama dua tahun, dia harus pulang. Sebetulnya, hati Thian Ki agak berat untuk berangkat karena dia belum melihat Kui Eng keluar menemuinya. Kenapa gadis itu tidak keluar dan melihat dia berangkat? Apakah Kui Eng marah kepadanya karena dia hendak pergi meninggalkannya? Untuk bertanya kepada ibunya atau gurunya tentu saja dia merasa malu, karena kini Kui Eng bukan lagi sebagai adiknya, melainkan tunangannya, calon isterinya.
Ketika dengan hati agak berat dia meninggalkan dusun dan keluar dari pintu gerbang dusun itu, hari masih pagi sekali dan cuaca masih agak remang, hawanya dingin dan suasana masih amat sunyi karena para penduduk dusun belum berangkat ke sawah ladang mereka. Tiba-tiba wajahnya berseri ketika ia melihat sesosok bayangan berdiri menghadang perjalanannya, di luar dusun itu.
"Eng-moi...!!" dia berseru sambil melangkah cepat menghampiri gadis itu yang berdiri di tengah jalan. "Eng-moi, pantas saja sejak tadi aku tidak melihat engkau muncul dari kamarmu. Kiranya engkau malah sudah berada di sini!"
Gadis itu tersenyum. Memang manis sekali Kui Eng. Sepagi itu, biarpun belum mandi, belum bersolek, rambutnya masih kusut, demikian pula pakaiannya belum diganti yang baru, namun kecantikannya nampak lebih asli, tanpa bedak tanpa gincu.
"Koko, apakah engkau mengharapkan aku keluar menemuimu?"
"Tentu saja. Bukankah aku akan pergi? Hatiku merasa tidak enak sekali tadi, terpaksa meninggalkan rumah sebelum sempat berpamit denganmu yang kukira masih tidur."
Hati Kui Eng merasa gembira bukan main. "Koko Thian Ki, tahukah engkau bahwa malam tadi aku tidak pernah tidur barang sekejappun? Dan tadi, lewat tengah malam, aku sudah turun dari pembaringan dan diam-diam aku sibuk di dapur."
"Lewat tengah malam sibuk di dapur? Untuk apa?" tanya Thian Ki heran.
"Untuk membuat ini!" katanya dan gadis itu memperlihatkan bungkusan-bungkusan kepada Thian Ki, wajahnya tersipu namun berseri gembira. "Aku menyembelih ayam dan menggorengnya, memasaknya seperti kesukaanmu, dan memanggang roti... untuk bekalmu di jalan, koko. Turunkanlah buntalanmu itu agar kumasukkan bungkusan ini ke dalam buntalanmu."
Dengan hati terharu Thian Ki menurunkan buntalan pakaiannya dan menyerahkannya kepada Kui Eng. Gadis itu membuka buntalan, menaruh bungkusan makanan ke dalam buntalan dan tiba-tiba ia berkata dengan suara yang sedih.
"Koko, engkau akan pergi merantau seorang diri. Bagaimana kalau pakaianmu kotor dan robek-robek? Siapa yang akan mencuci pakaianmu dan menjahit yang robek? Aih, kalau aku boleh pergi bersamamu, tentu aku yang akan mencuci pakaianmu, memasakkan makanan untukmu, dan menjahit pakaianmu yang robek."
Thian Ki menerima kembali buntalan pakaiannya dan menalikan di punggungnya seperti tadi. Tercium olehnya bau masakan daging ayam yang sedap, dan terasa betapa bungkusan makanan yang kini berada dalam buntalan di punggungnya itu masih hangat.
"Eng-moi, engkau baik sekali. Terima kasih atas kebaikanmu ini, Eng-moi. Aku pergi takkan lama. Ibu dan suhu memesan agar paling lama aku pergi dua tahun, harus sudah pulang."
"Dua tahun? Aih, lama amat, koko! Aku... lalu aku bagaimana...?"
Mendengar suara gadis itu tergetar seperti hendak menangis, Thian Ki yang tidak ingin diantar tangis segera berkata sambil tersenyum. "Aih adik yang manis, mana kelincahanmu yang biasa? Engkau biasanya lincah jenaka dan tidak cengeng..."
"Akupun tidak cengeng!" Kui Eng berkata dan membalikkan tubuh, berdiri membelakangi Thian Ki. "Koko, engkau berangkatlah, pergilah!"
"Eng-moi, jagalah ibu dan suhu baik-baik selama aku tidak berada di rumah. Nah, Eng-moi, aku pergi sekarang. Selamat tinggal."
Kui Eng tidak menjawab, bahkan tidak lagi menengok. Karena mengira bahwa gadis itu tidak mau melihat dia pergi, Thian Ki melangkah meninggalkannya. Akan tetapi baru lima langkah, dia berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia mendengar tangis tertahan dan ketika dia menengok, dia melihat gadis itu menangis, mencoba untuk tidak bersuara, akan tetapi kedua pundaknya bergoyang-goyang, kepalanya menunduk dan kedua tangannya menutupi mukanya...