"Pangcu, aku datang bukan untuk memamerkan kepandaianku, melainkan untuk membuktikan apakah benar Hek-houw-pang dipimpin oleh orang yang berilmu tinggi, sehingga menjadi sebuah perkumpulan yang kuat dan terkenal. Kalau sudah membuktikan sendiri, barulah aku percaya dan aku mau menyerahkan bingkisan kepada Hek-houw-pang untuk menghormatinya."
Ia berhenti sebentar, lalu memandang ke sekeliling, ke arah semua tamu yang kini mulai memperhatikan kemunculan gadis yang bicara keras terhadap ketua Hek-houw-pang itu.
"Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau pangcu takut melawanku, terpaksa aku pergi dan akan mengabarkan bahwa Hek-houw-pang dipimpin oleh seorang pengecut."
"Pangcu, biarkan aku yang menghadapinya!" teriak beberapa orang tokoh Hek-houw-pang merasa penasaran dan marah mendengar ketua mereka ditantang dan dianggap pengecut oleh seorang gadis yang buntung tangan kirinya.
Akan tetapi Lai Kun mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka untuk duduk kembali. Pada waktu itu, Thio Pa bangkit dan menghampiri Cin Cin, sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata dengan suara lantang.
"Nona, kalau nona mendendam terhadap empat orang anggota Hek-houw-pang kemarin itu, maka akulah yang bertanggung jawab karena mereka itu adalah murid-muridku. Pangcu tidak tahu menahu tentang itu. Oleh karena itu, harap nona jangan mengganggu pangcu yang sedang merayakan ulang tahun perkumpulan kami. Kalau nona hendak menguji biarlah aku Thio Pa yang maju melayani nona! Pangcu kami adalah suhengku, maka kalau nona dapat mengalahkan aku, sama saja dengan dapat mengalahkan suheng..."
Cin Cin memandang kepada laki-laki setengah tua itu dan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Paman Thio Pa, aku sudah tahu bahwa engkau seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa dan patut menjadi pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi aku belum tahu sampai di mana kehebatan pangcu dari Hek-houw-pang. Ketahuilah semua yang mendengarkan ucapanku ini, aku sama sekali bukan menantang pangcu Hek-houw-pang karena urusan empat orang yang kurang ajar itu. Tidak, aku menantang pangcu untuk melihat sampai di mana kepandaiannya, setelah itu baru aku akan memperkenalkan diri."
Karena berkali-kali ditantang oleh gadis itu, di depan banyak orang pula, apalagi gadis itu mengatakan banwa kalau dia tidak berani berarti dia seorang pengecut, bangkit juga kemarahan di hati Lai Kun.
"Nona, sungguh engkau terlalu mendesak. Karena engkau datang sebagai tamu, maka tidak baik kalau tuan rumah menolak permintaan tamu. Baiklah, mari kita bermain-main sebentar untuk memeriahkan pesta perkumpulan kami."
Cin Cin sudah melompat ke atas panggung yang sengaja didirikan di ruangan tempat pesta itu. Panggung ini sedianya untuk pertunjukan tarian dan nyanyian, dan para pemusik sudah bersiap-siap dengan alat musik mereka, bahkan tadi sudah sempat memperdengarkan lagu-lagu merdu namun belum ada yang menari atau menyanyi karena saatnya belum tiba. Melihat betapa panggung itu akan dijadikan tempat pi-bu (pertandingan silat) maka para pemusik cepat-cepat turun melalui tangga.
Cin Cin berdiri di tengah panggung yang kosong itu dan dengan suara lantang, terdengar oleh semua tamu yang kini memandang dengan hati tegang, ia berkata, "Pangcu dari Hek-houw-pang, ingin sekali aku membuktikan sendiri kehebatan pemimpin Hek-houw-pang yang terkenal!"
Lai Kun sudah menjadi marah. Anak perempuan itu terlalu sombong, sama sekali tidak memandang kepada Hek-houw-pang, bahkan lagaknya meremehkan dia. Kalau dia tidak melayani, tentu namanya sebagai ketua Hek-houw-pang akan menjadi buah tertawaan orang-orang dunia persilatan.
"Nona, kami datang memenuhi tantanganmu!"serunya lantang dan tubuhnya melayang ke atas panggung pula. Kini mereka sudah saling berhadapan dan melihat senyum dan pandang mata gadis cantik itu, kembali Lai Kun mendapat perasaan seolah dia tidak asing dengan gadis ini. Akan tetapi begitu melihat tangan kiri yang buntung itu, diapun membantah lagi perasaannya sendiri dan yakin bahwa dia tidak pernah mengenal seorang gadis yang buntung tangan kirinya. Diapun sudah siap siaga, berdiri di depan gadis itu dengan sikap berwibawa seorang ketua perkumpulan besar.
Melihat gadis itu kini menaruh buntalan kain hijau di sudut panggung, dan melihat betapa buntalan itu menonjol panjang, Lai Kun dapat menduga bahwa gadis itu menyimpan sebatang pedang dalam buntalannya. Maka, sebagai sikap seorang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, diapun bertanya.
"Nona, dalam pi-bu ini, apakah nona hendak menggunakan senjata? Silakan keluarkan pedangmu kalau nona menghendaki demikian, akan kuhadapi dengan tangan kosong saja." Ucapannya lembut namun lantang dan terdengar oleh semua orang. Tentu saja ucapan ini dimaksudkan untuk membalik pandangan rendah dari gadis itu terhadap dirinya.
"Pangcu, sudah kukatakan tadi bahwa aku hanya ingin melihat sampai di mana kelihaianmu. Aku tidak ingin membunuhmu, kenapa harus menggunakan senjata? Sebaliknya, kalau pangcu ingin membalaskan empat orang murid Hek-houw-pang yang kuhajar kemarin, silakan kalau hendak menggunakan pedang. Aku tidak takut menghadapi senjatamu dengan tangan kosong!"
Betapa sombongnya! Bahkan tangannyapun hanya tinggal sebuah, akan tetapi gadis itu menantang untuk menghadapi senjata ketua Hek-houw-pang dengan sebelah tangan saja! Wajah Lai Kun berubah kemerahan. Gadis ini ternyata memiliki mulut yang tajam pula, pandai bicara sehingga dia merasa tersudut. Maklum bahwa kalau saling serang dengan kata-kata dia akan terdesak dan kalah, Lai Kun lalu berseru dengan nyaring dan berwibawa,
"Nona, kita sudah saling berhadapan di sini. Nah, kalau engkau hendak menantang bertanding, maju dan mulailah!"
Cin Cin tersenyum gembira. Inilah saatnya yang ia tunggu-tunggu, inilah saat pelaksanaan, inilah dendam yang telah menekan batinnya selama bertahun-tahun. Tak disangkanya sama sekali bahwa Lai Kun kini telah menjadi ketua Hek-houw-pang, menggantikan ayahnya yang telah tewas, sungguh tidak berhak orang itu menjadi ketua Hek-houw-pang.
Pertama, karena dia bukan keturun keluarga Coa yang menjadi pendiri dan pimpinan Hek-houw-pang. Ayahnya adalah mantu dari keluarga Coa. Dan kedua, orang seperti Lai Kun ini tidak pantas memimpin Hek-houw-pang. Dia seorang pengecut dan berwatak rendah, tega menjual keponakan yang dipercayakan ke rumah pelacuran!
"Bagus, bersiaplah engkau, Lai Kun!" teriak gadis ini mengejutkan semua orang karena tiba-tiba saja gadis itu tidak menyebut pangcu lagi, melainkan nama ketua itu begitu saja.
Tentu saja Lai Kun marah bukan main, maka melihat gadis itu menampar dengan tangan kanan, diapun mengerahkan semua tenaga sin-kangnya untuk menangkis. Maksudnya sekali tangkis dia akan membuat gadis terpelanting karena kalah tenaga.
"Dukkk!" Dua buah lengan itu bertemu dengan kerasnya dan akibatnya bukan Cin Cin yang terpelanting, melainkan Lai Kun yang terpental dan terhuyung karena kuda-kudanya tidak kuat menahan gempuran tenaga dahsyat dari lengan kecil gadis itu!
"Ahh...!" Tentu saja Lai Kun terkejut bukan main dan para pimpinan Hek-houw-pang juga para tamu mengira bahwa ketua itu mengalah dan tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Lai Kun benar-benar terkejut karena maklum bahwa dia kalah jauh dalam hal tenaga sin-kang. Karena tahu bahwa lawannya ternyata amat kuat, Lai Kun cepat menggerakkan tubuhnya dan melakukan penyerangan dengan sungguh-sungguh. Tentu saja dia segera memainkan silat andalan perkumpulannya, yaitu Hek-houw-kun (Silat Macan Hitam) yang menjadi ciri khas dan nama dari perkumpulan itu. Gerakannya kuat dan ganas, seperti seekor harimau hitam yang buas.
Namun, dibandingkan Cin Cin, tingkat kepandaian ketua ini masih terlalu jauh di bawahnya. Dengan mudah saja Cin Cin menghindarkan diri dari serangkaian serangan bertubi itu, bahkan setiap kali ia menangkis, tubuh Lai Kun terpental dan tergetar. Baru delapan jurus saja, tiba-tiba tubuh Lai Kun terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kiri Cin Cin yang secara aneh melayang dari samping mengenai dadanya.
"Dessss... bukkk!"
Pinggul ketua Hek-ouw-pang itu terbanting keras ke atas panggung dan terdengar seruan-seruan kaget. Karena malu, Lai Kun menahan rasa nyeri dan cepat meloncat bangun dan menyerang lagi dengan nekat. Dia telah dihina di depan orang banyak. Sebagai ketua Hek-houw-pang, dia roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus! Maka, dia menyerang mati-matian. Baru tiga jurus dia menyerang, sebuah tamparan tangan kanan Cin Cin kembali membuat dia terpelanting keras dan sejenak tidak mampu bangkit karena kepalanya terasa pening oleh tamparan yang mengenai lehernya tadi.
Dia menjadi semakin marah dan penasaran. Lebih baik mati daripada dihina seperti ini, tekadnya dan setelah nanarnya hilang, dia meloncat dan menyerang lagi dengan nekat, hanya untuk roboh terjengkang kembali karena disambut tendangan Cin Cin. Tiga kali ketua itu roboh dan Cin Cin berdiri tegak dengan tenang dan senyum simpul.
"Begini sajakah kepandaian ketua Hek-houw-pang? Kalau begini, engkau tidak pantas menjadi ketua Hek-houw-pang, Lai Kun!" terdengar gadis itu berseru yang membuat marah para pimpinan Hek-houw-pang, juga membuat heran para tamu yang hadir.
Para sute dari ketua itu menjadi bingung. Mereka maklum bahwa kalau ketua itu sendiri dibuat permainan oleh gadis itu, apalagi mereka, pasti bukan tandingan gadis buntung itu. Dan untuk melakukan pengeroyokan, tentu saja hal itu akan membuat hancur nama besar Hek-houw-pang, maka mereka hanya dapat memandang dengan muka pucat.
Lai Kun yang merasa terhina sekali, menjadi nekat dan dia ingin melawan sampai mati! Maka dia merangkak bangun dan biarpun tubuhnya masih terhuyung, dia berusaha keras untuk menyerang lagi, walau pandang matanya berkunang. Dia menerjang membabi buta dan sambil tersenyum mengejek Cin Cin sudah siap menyambutnya dengan tendangan. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tubuh Lai Kun yang tadinya terhuyung dan siap menerima tendangan itu tertarik ke belakang sehingga tendangan Cin Cin luput.
"Ehh...?" Lai Kun memandang dan ternyata yang menarik lengannya ke belakang sehingga luput dari tendangan lawan adalah pemuda yang baru tiba, yaitu Siong Ki!
Merasa dirinya dikeroyok, marahlah Cin Cin. "Bagus, ketua Hek-houw pang curang dan hanya berani mengeroyok, terpaksa kuberi hajaran!"
Ia menampar dengan gerakan kilat ke arah muka Lai Kun, akan tetapi Siong Ki tidak membiarkan saja gadis yang dianggapnya liar itu memukul paman gurunya. Diapun menangkis dan karena tadi dia melihat betapa lihainya gadis itu, ketika menangkis diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya.
”Dukk!" Keduanya terkejut karena merasa betapa kuatnya tenaga masing-masing dan mereka merasa tangan mereka tergetar hebat. Mereka saling pandang dengan mata mencorong.
"Hemm, orang orang Hek-houw-pang hanya pandai menggunakan pengeroyokan. Akan tetapi aku tidak takut! Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusanku dengan ketua Hek-houw-pang yang hendak mengadu ilmu?" bentak Cin Cin marah.
Siong Ki mengerutkan alisnya. "Nona, semua orang juga tahu bahwa ketua Hek-houw-pang telah mengalah kepadamu. Kenapa engkau sebagai tamu begitu tidak tahu diri dan mendesaknya terus? Begitukah kelakuan seorang gagah?" dia menghardik marah.
Lai Kun telah dapat menguasai dirinya. "Siong Ki, mundurlah dan biarlah aku yang menghadapi nona ini." Bagaimanapun juga, sebagai ketua Hek-houw-pang dia harus bertanggung jawab dan kalau dia mengandalkan murid keponakannya ini, berarti dia takut.
Sementara itu ketika Cin Cin mendengar Lai Kun menyebut nama pemuda tinggi tegap dan tampan yang memiliki tenaga sin-kang yang jauh lebih kuat daripada tenaga Lai Kun, ia terbelalak. Siong Ki! Sahabatnya bermain-main sejak mereka berdua masih sama-sama kecil. Ia ingat betul. The Siong Ki ini adalah putera supenya. The Ci Kok, seorang di antara tokoh Hek¬houw-pang yang juga gugur dalam penyerbuan musuh. The Ci Kok adalah saudara seperguruan dan sahabat baik ayahnya, dan ia sendiri adalah sahabat baik Siong Ki ketika masih kecil.
"Hem, kiranya engkau The Siong Ki? Bagus sekali! Siong Ki, tidak malukah engkau terhadap arwah ayahmu, mendiang supek The Ci Kok? Engkau kini membantu seorang pengecut besar yang jahat, yang entah dengan cara bagaimana telah dapat menjadi ketua Hek-houw-pang! Lai Kun adalah seorang yang curang, kejam dan jahat!
Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara lantang sekali, maka semua orang mendengarnya, dan kini Siong Ki terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Mata itu! Mulut itu! "Kau... kau... Cin Cin...!" katanya gagap saking terkejut dan herannya.
"Kam Cin...!"
"Cin Cin...!" terdengar seruan-seruan dari mulut para tokoh lama Hek-houw-pang yang kini mengenal puteri mendiang Kam Seng Hin yang dahulu menjadi ketua Hek-houw-pang.
Sementara itu, wajah Lai Kun berubah pucat bagaikan mayat ketika diapun kini mengenal Cin Cin.! Cin Cin pantas saja kalau gadis itu amat membencinya! Kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar penuh rasa malu dan takut.
"Cin Cin, kenapa engkau menuduh sekeji itu?" Siong Ki berteriak membantah. "Akupun baru tiba, baru sekarang sempat pulang ke sini dan aku melihat betapa Hek-houw-pang memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan paman guru Lai Kun! Kenapa engkau datang-datang menghina dan mencaci-maki susiok Lai Kun? Kenapa? Engkau dahulu tidak seperti ini. Cin Cin!"
Gadis itu memandang wajah Siong Ki dan tersenyum mengejek. "Kenapa? Hemm, kenapa engkau tidak tanya saja kepada yang bersangkutan? Lai Kun memang nampak berhasil, akan tetapi sebetulnya dia hanya menari-nari di atas mayat para tokoh Hek-houw-pang, termasuk mayat ayahmu sendiri! Dia seorang pengecut, keji dan jahat dan bahkan bukan saja tidak pantas menjadi ketua Hek-houw-pang, bahkan menjadi anggota Hek-houw-pang pun dia tidak pantas!"
"Cin Cin, apa alasanmu menuduh sekeji itu?" Siong Ki berseru penasaran.
"Siong Ki, akupun sudah mendengar akan kemajuan Hek-houw-pang. Akan tetapi, kenapa pemerintah membantunya, dan banyak pihak mendukung dan mengagumi Hek-houw-pang? Karena perjuangan para pimpinan Hek-houw-pang yang dahulu. Lai Kun sendiri, apa sih jasanya? Dia hanya menemukan hadiah jasa mereka yang gugur! Dia telah menipu kalian, dia orang jahat!"
"Nanti dulu, Cin Cin. Engkau masih mengenalku, bukan? Ketika engkau masih kecil, aku sering menggodamu." Thio Pa juga berseru sambil menghampiri gadis itu.
"Tentu saja aku mengenalmu, paman Thio Pa!" kata Cin Cin. "Sejak malam tadi aku sudah mengenalmu. Engkau seorang di antara sute mendiang ayahku yang baik dan jujur, dan engkaulah yang jauh lebih pantas menjadi ketua Hek-houw-pang daripada si jahat ini!" Cin Cin menudingkan telunjuknya kepada Lai Kun yang sejak tadi menundukkan muka saja.
"Cin Cin, keponakanku yang baik. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami seluruh warga Hek-houw-pang merasa gembira dan bangga, anakku. Akan tetapi, kenapa engkau bersikap begini terhadap suheng Lai Kun? Apa alasannya maka engkau memaki dan mengatakan dia jahat?"
Kini Cin Cin memandang ke sekeliling, lalu berkata dengan suara meninggi, "Semua orang yang memiliki telinga, dengarkanlah keteranganku ini. Lihat ini dia yang mengaku diri sebagai ketua Hek-houw-pang, yang terpandang oleh seluruh manusia sebagai orang yang berjasa dan gagah berani dan budiman, lihat baik-baik. Dimana kegagahannya? Lihat, dia hanya menunduk. Heii, Lai Kun, coba kau mengangkat mukamu dan pandanglah dunia, lalu katakan terus terang apa yang telah kau lakukan dahulu!"
Semua orang kini memandang kepada Lai Kun, termasuk isteri dan kedua orang puteranya yang wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan semua orang terheren-heran. Lai Kun tetap menunduk, mukanya pucat sekali, nampak lunglai.
"Cin Cin, demi Tuhan, apa yang telah dia lakukan maka engkau menghinanya seperti ini?" Siong Ki hampir tidak sabar lagi melihat betapa gadis itu menyiksa Lai Kun dengan sikap dan kata-katanya.
Cin Cin tidak memperdulikan Siong Ki, lalu berseru lagi. "Dia terlalu pengecut untuk mengakui perbuatannya. Paman Thio Pa, coba katakan, apa yang diceritakan oleh Lai Kun kepada kalian semua tentang diriku, ketika enambelas tahun yang lalu dia mengantarku untuk menjadi murid Hung-ho Sin-liong Si Han Beng?"
Biarpun bingung dan ragu, terpaksa Thio Pa menjawab, "Lai-suheng mengatakan bahwa ketika dia mengantarmu ke sana, di Lok-yang kalian diserbu perampok. Lai-suheng melawan para perampok dan engkau melarikan diri. Setelah berhari-hari dicari tidak dia temukan, maka dia kembali ke sini dan engkau menghilang."
"Hemm, sudah kuduga. Sekarang dengarlah kalian semua baik-baik. Lai Kun memang mengantarku menuju ke Hong-cun, akan tetapi ketika tiba kota Ji-goan, dia bersekongkol dengan seorang pelacur dan dia telah menjual aku pada seorang mucikari, menjual aku ke rumah pelacuran di Ji-goan!"
Terdengar seruan-seruan kaget, heran dan tidak percaya. Siong Ki sendiri terbelalak memandang kepada Lai Kun. demikian pula para tokoh Hek-houw-pang yang lain. Akan tetapi Lai Kun tetap menunduk.
"Dia telah menjual aku dan kalau saja aku tidak menggunakan akalku sendiri, kemudian ditolong oleh guruku yang sakti, tentu kini aku telah menjadi seorang pelacur hina atau sudah membunuh diri! Nah, sekarang aku tidak membunuhnya, hanya menelanjangi perbuatan kotor dan rendah itu dalam kesempatan ini, apakah orang masih mengatakan bahwa aku kejam?"
Terdengar tangis isteri Lai Kun, dan semua orang memandang kepada Lai Kun dengan alis berkerut. Kam Cin atau Cin Cin adalah puteri mendiang Coa Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, dan ia merupakan keturunan dari keluarga Coa, walaupun sebagai cucu luar. Dan ia telah dijual kepada rumah pelacuran oleh Lai Kun, orang yang mereka anggap terhormat dan pantas menjadi pimpinan mereka itu.
Pandang mata begitu banyak orang kepadanya, dirasakan seperti ujung ratusan pedang yang menodongnya dan membuatnya tersudut. Lai Kun sudah lama menyesali perbuatannya itu, namun dia tidak berani menceritakannya kepada siapapun, tidak berani mengakui perbuatannya. Kini, semua itu terbongkar dan dia tidak mungkin dapat mengelak, tak mungkin dapat menyangkal karena Cin Cin sendiri telah berdiri di situ sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi.
Hukuman ini terlampau berat baginya, lebih berat daripada hukuman mati sekalipun. Namanya telah hancur. Kehormatannya telah lenyap dan dari seorang ketua yang disegani, dihormati semua orang, kini dia menjadi seorang pengkhianat dan pengecut yang akan dipandang rendah selamanya.
"Aku telah berdosa...!!" Tiba-tiba ia berteriak, tangannya bergerak dan diapun roboh dengan jari-jari tangan kanan menancap di kepalanya sendiri. Isterinya dan dua orang anaknya menjerit dan menubruk tubuh yang sudah menjadi mayat itu karena Lai Kun tewas seketika.
Tentu saja pesta itu menjadi bubar. Para tamu merasa sungkan dan ikut prihatin, lalu mereka membubarkan diri, bahkan tidak sempat berpamit karena bingung siapa yang harus dipamiti dalam keadaan seperti itu. Seluruh Hek-houw-pang berkabung, bukan hanya karena kematian Lai Kun, akan tetapi terutama sekali karena terbongkarnya perbuatan ketua Hek-houw-pang itu sungguh merupakan tamparan bagi Hek-houw-pang, mencemarkan nama baik perkumpulan itu.
Karena menjadi murid Tung-hai Mo-li yang berwatak dingin dan keras, maka pada lahirnya Cin Cin kadang bersikap dingin dan juga tegas, bahkan dapat menjadi ganas. Namun di dasar batinnya sebetulnya ia memiliki perasaan yang halus dan mudah merasa iba kepada orang lain. Ketika ia disambut oleh para tokoh Hek-houw-pang dengan baik dan hormat sebagai seorang anak hilang yang kini pulang, apalagi mengingat ia adalah keturunan terakhir dari keluarga Coa dan telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, Cin Cin menanggapi dengan tenang dan dingin saja.
Akan tetapi ia merasa iba kepada isteri Lai Kun dan kedua orang puteranya yang belum dewasa. Melihat wanita itu bersama kedua orang puteranya menangisi jenazah Lai Kun, ia menghampiri mereka. Semua orang memandang cemas, khawatir kalau-kalau gadis itu akan melampiaskan dendamnya pada keluarga Lai Kun. Juga isteri Lai Kun memandang dengan ketakutan ketika melihat Cin Cin mendekatinya. Akan tetapi Cin Cin menyentuh pundaknya dan berkata.
"Bibi, maafkanlah aku. Bukan maksudku menyusahkan hati bibi yang tidak kukenal, juga kedua orang adik ini. Bukan pula maksudku membuat paman Lai Kun membunuh diri, aku hanya ingin membalas perlakuannya yang amat keji terhadap diriku dahulu."
Wanita itu memandang dengan mata basah sinar matanya memandang heran akan tetapi disusul keharuan. "Aku... aku... tahu memang suamiku yang bersalah. Tak kusangka dia sekeji itu... aih, tak kusangka sama sekali. Mudah-mudahan kelak aku dapat mendidik kedua orang puteraku agar tidak memiliki watak seperti ayah mereka..."
Perkabungan atas kematian Lai Kun itu merupakan pula penyambutan atas pulangnya Cin Cin dan Siong Ki. Terutama Cin Cin yang boleh dibilang menjadi nona rumah di Hek-houw-pang mengingat ia adalah keturunan keluarga pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi, karena ia sendiri merasa rikuh telah menjadi sebab sehingga Hek-houw-pang berkabung, Cin Cin tidak mau lama tinggal di situ.
"Para paman, bibi dan saudara-saudara di Hek-houw-pang. Aku tidak dapat tinggal lama di sini."
"Akan tetapi, engkau belum lama tiba, belum sempat kita bicara. Kami ingin sekali mendengar pengalamanmu sejak pergi dari sini!" kata seorang wanita tua yang dahulu sering mengasuh Cin Cin.
"Cin Cin, kami semua sudah sepakat untuk mengangkat engkau menjadi ketua baru Hek-houw-pang," kata pula Thio Pa.
"Benar sekali kata-kata susiok Thio Pa. Cin Cin," kata pula Siong Ki. "Engkau yang paling tepat menjadi ketua Hek-houw-pang. Selain engkau memang keturunan dari para pimpinan Hek-houw-pang, juga engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di bawah pimpinanmu, tentu Hek-houw-pang akan menjadi semakin kuat."
Semua orang menyatakan setuju, akan tetapi Cin Cin menggeleng kepala dan memandang kepada Siong Ki. "Siong Ki , tidak perlu engkau memujiku seolah engkau sendiri tidak memiliki kemampuan. Padahal, melihat dari tangkisanmu tadi saja, aku tahu bahwa engkau kini telah menjadi seorang yang amat lihai. Belum tentu aku akan mampu mengalahkanmu. Siapakah gurumu, Siong Ki."
"Guruku adalah beliau yang tadinya akan menjadi gurumu, Cin Cin, yaitu Huang-ho Sin-liong."
"Aihhh...!" Mata yang indah itu terbelalak. "Sungguh beruntung engkau, dan betapa malangnya aku. Aku yang dikirim ke sana hampir celaka dan gagal menjadi muridnya, sedangkan engkau malah menjadi muridnya. Pantas engkau hebat. Paman Thio Pa, ada calon ketua Hek-houw-pang yang hebat di sini. The Siong Ki inilah yang paling tepat menjadi ketua. Aku sendiri akan pergi sekarang juga."
"Cin Cin, kenapa tergesa-gesa? Engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak mencari ibuku. Apakah ada yang tahu di mana sekarang ibu berada?"
"Ah, Ibumu? Beliau telah menjadi guruku yang pertama sekali..." kata Siong Ki.
Mendengar ini Cin Cin memandang heran. "Gurumu?"
"Benar Cin Cin. Bahkan aku telah mengikuti ibumu yang hendak mencarimu. Akan tetapi dalam perjalanan, kami diserang penjahat dan berpisah. Aku terlunta-lunta dan teringat akan Huang-ho Sin liong, maka aku melakukan perjalanan yang jauh itu dan akhirnya berhasil sampai ke Hong-cun dan diterima sebagai murid."
"Tahukah engkau di mana ibu sekarang?" Siong Ki menggeleng kepala.
"Cin Cin, ibumu telah menikah lagi kata Thio Pa dengan suara lirih dan berhati-hati. Namun, tetap saja Cin Cin terkejut bukan main, wajahnya berubah kemerahan dan ia membalikkan tubuh menghadapi Thio Pa dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Menikah...? Di... dimana ibu sekarang?" tanyanya dengan suaranya terdengar lirih.
Thio Pa menggeleng kepalanya. "Ibumu dan suaminya pernah datang ke sini dan mencarimu, akan tetapi mereka tidak mengatakan dimana mereka tinggal. Juga hanya sebentar saja mereka datang menemui mendiang suheng Lai Kun," kata Thio Pa singkat dan agaknya dia juga merasa tidak enak hati untuk membicarakan ibu gadis itu yang telah menikah lagi.
Suasana menjadi hening, semua orang terdiam karena mereka semua maklum betapa berita itu tentu mendatangkan perasaan yang amat tidak enak dalam hati gadis yang perkasa itu. Juga tidak seorangpun berani bertanya mengapa tangan kiri Cin Cin buntung. Mereka semua merasa jerih dan takut terhadap gadis yang ganas dan amat lihai itu.
Sejenak Cin Cin termenung, tenggelam dalam lamunan. Ia membayangkan betapa ibunya yang selama ini dirindukannya, kini telah bersanding dengan seorang pria lain, bukan ayahnya yang telah tewas. Pria lain! Dan mungkin telah mempunyai anak-anak lain pula! Sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan pahit ini. Hatinya terasa panas, iapun memandang kepada Thio Pa, sinar matanya mencorong tajam penuh selidik sehingga menggetarkan hati orang yang dipandangnya.
"Paman Thio Pa, katakan, siapakah suami ibu itu?"
Biarpun hatinya merasa tidak enak, terpaksa Thio Pa mengaku. "Suaminya yang baru adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai bernama Lie Koan Tek!"
"Ahhh...!" Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Siong Ki dan Cin Cin. Biarpun hampir sama bunyinya, namun seruan itu dikeluarkan oleh dua hati yang berlainan perasaannya. Siong Ki terkejut bukan main mendengar nama Lie Koan Tek yang dianggap sebagai seorang pendekar yang menyeleweng, karena telah membantu pemberontak menyerbu Hek-houw-pang, orang yang telah membunuh ayahnya, dan sekarang malah menjadi suami Coa Liu Hwa, bekas isteri ketua Hek-houw-pang yang tewas!
Adapun Cin Cin terkejut karena iapun sudah mendengar nama pendekar ini. Bagaimana ibunya tiba-tiba dapat menjadi isteri pendekar Siauw-lim pai itu? Kalau sudah diketahui bahwa ibunya menjadi isteri pendekar itu, agaknya tidak terlalu sukar untuk mencarinya karena nama besar pendekar itu membuat dia mudah dicari dan ditemukan. Karena iapun merasa tidak enak dan bahkan canggung dan malu mendengar ibunya menikah lagi, Cin Cin tidak mau banyak bicara lagi. Cin Cin lalu berkata singkat,
"Selamat tinggal, aku mau pergi sekarang!" Dan ia pun melompat keluar dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ, diiringi pandang mata kagum dari semua orang.
"Paman dan bibi, akupun harus pergi sekarang," kata Siong Ki dan ucapan ini mengejutkan semua orang.
"Eh, nanti dulu, Siong Ki. Kenapa engkau pun ikut-ikutan hendak pergi? Kami belum mendengar semua pengalamanmu..." kata Thio Pa.
"Sebaiknya engkau tinggal di sini dan menjadi ketua Hek-houw-pang," kata pula seorang paman lain.
"Terima kasih, akan tetapi aku masih mempunyai tugas penting dari suhu. Kelak, kalau semua urusanku telah beres, aku akan datang lagi. Selamat tinggal!"
Pemuda itupun berkelebat dan lenyap dari situ. Orang-orang Hek-houw-pang menghela napas panjang. Dua orang muda yang belasan tahun meninggalkan Hek-houw-pang, telah kembali sebagai orang-orang yang amat lihai, yang sedianya akan dapat memperkuat Hek-houw-pang dengan menjadi ketua. Akan tetapi, mereka pergi lagi dan tak dapat dicegah.
Akhirnya, setelah semua urusan perkabungan penguburan jenazah Lai Kun selesai, mereka mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dan karena Thio Pa merupakan saudara tertua, maka Thio Pa dipilih menjadi ketua Hek-houw-pang menggantikan Lai Kun yang telah tewas.
"Bibi, harap jangan khawatir. Cin-taijin (pembesar Cin) yang kumaksudkan ini adalah seorang pejabat tinggi dan penting di Lok-yang. berkuasa dan kaya raya. Yang mengutusku adalah Cin hu-jin (nyonya Cin), isterinya yang tertua. Keluarga itu membutuhkan pembantu wanita yang bersih dan rajin, dan aku melihat puterimu Alian dan Akim itu tepat untuk menjadi pembantu di sana. Pembantu wanita di keluarga itu hampir sama dengan dayang di istana kaisar, akan hidup mewah dan terhormat,"
Demikian antara lain bujukan seorang wanita berusia tigapuluhan tahun kepada seorang ibu di dusun itu. Ibu itu berusia limapuluhan tahun, seorang janda yang mempunyai dua orang puteri yang sudah menjelang dewasa. Alian berusia tujuhbelas tahun, sedangkan adiknya, Akim berusia limabelas tahun. Sebagai gadis-gadis dusun, kakak beradik ini sederhana dan polos.
Namun, mereka memiliki kulit yang bersih dan putih, dengan wajah yang segar bagaikan bunga mawar tersiram embun pagi dan tubuh yang padat dan kuat karena terbiasa bekerja berat sejak kecil. Biarpun sederhana, namun bentuk wajah mereka manis dan kalau saja mereka mengenakan pakaian yang bersih dan indah, wajah mereka dirias, tentu mereka akan menjadi gadis-gadis yang menarik hati.
"Akan tetapi, toanio. Aku hidup menjanda, miskin dan hanya mempunyai dua orang anak itu. Kalau mereka semua pergi, lalu dengan siapa aku hidup? Memang aku ingin melihat mereka senang dan berkecukupan, akan tetapi seorang saja dari mereka, toanio. Yang seorang boleh kauajak bekerja pada pembesar itu, dan yang kecil biar tinggal di rumah menemaniku."
"Aku membutuhkan dua orang bibi. Bukankah kalau mereka pergi berdua, berarti mereka tidak akan kesepian dan ada temannya? Bibi jangan khawatir, kalau mereka pergi, bibi dapat membayar seorang pembantu..."
"Aihhh, toanio sungguh bicara yang bukan-bukan. Untuk makan sendiri saja sulit, bagaimana dapat membayar pembantu?"
"Kalau dua orang anak bibi bekerja di Lok-yang, bibi tidak akan menjadi miskin lagi. Lihat, Cin hujin telah menyuruh aku meninggalkan uang untuk dua orang puterimu, dan dengan uang ini, engkau dapat hidup dan membayar pembantu selama satu tahun. Dan sebelum uang ini habis, kedua orang anakmu tentu sudah pulang, karena setiap tahun baru mereka diperbolehkan pulang, membawa pakaian dan uang untuk bibi. Dan tahun baru tinggal tujuh bulan lagi."
Wanita yang berpakaian mewah itu mengeluarkan sebuah kantung dan membuka kantung itu sehingga nampak beberapa potong uang perak yang berkilauan. Wanita berpakaian mewah dan pesolek itu mengaku sebagai Lu-toanio (nyonya Lu) utusan keluarga pembesar dari kota Lok-yang yang datang ke dusun itu untuk mencari pembantu wanita. Ia membutuhkan banyak gadis pembantu dan dengan dua orang puteri wanita tua itu, ia telah berhasil mengumpulkan delapan orang gadis dusun yang berusia antara empatbelas sampai tujuhbelas tahun.
Akhirnya, setelah dibujuk dan diberi uang yang cukup banyak bagi orang miskin seperti janda itu, ibu Alian dan Akim menyetujui. Pada hari itu juga, Alian dan Akim bersama enam orang gadis lain dari dusun yang berdekatan di daerah itu, dibawa ke Lok-yang dengan sebuah kereta besar yang ditarik empat ekor kuda.
Akan tetapi, di luar pengetahuan delapan orang gadis dusun yang tidak pernah pergi jauh, bahkan tidak pernah meninggalkan dusun mereka, kereta itu tidak menuju ke Lok-yang, melainkan membelok ke kota Ji-goan, tak jauh dari Lok-yang.
Ketika kereta memasuki pintu gerbang kota Ji-goan, kebetulan seorang gadis cantik berdiri di situ. Ia memandang ke arah kereta yang memasuki pintu gerbang dengan perlahan itu dengan sikap acuh. Gadis ini adalah Kam Cin atau Cin Cin. Setelah meninggalkan Hek-houw-pang, ia pergi untuk mencari ibunya yang kabarnya kini telah menjadi isteri dari Lie Koan Tek, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai.
Ia masih bingung menerima berita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menerima atau mengerti mengapa ibunya menikah lagi, walaupun berita bahwa ibunya menikah dengan pendekar Siauw-lim-pai membuat ia merasa bangga juga. Ia harus dapat mencari ibunya dan bertemu dengan ibunya agar ibunya dapat memberi penjelasan akan pernikahannya lagi yang membuat ia bingung itu.
Cin Cin tadinya hanya merasa heran melihat kereta itu tersingkap tirainya dan ternyata penumpangnya adalah banyak gadis dusun yang manis-manis dan masih remaja. Akan tetapi ketika ia mendengar percakapan yang didengarnya ketika kereta lewat perlahan, ia tertarik.
"Lu-toanio, apakah kita sudah tiba di kota Lok-yang?" Ia mendengar seorang di antara gadis-gadis itu bertanya.
"Benar, manis. Ini kota Lok-yang, kalian semua akan senang tinggal di kota ini." jawab seorang wanita yang pesolek dan berpakaian mewah itu.
Delapan orang gadis itu nampak bergembira dan mereka memuji-muji apa saja yang kelihatan di tepi jalan kota Ji-goan itu, rumah-rumah yang megah dan besar, toko-toko dan pakaian orang-orang yang berlalu lalang.
Mendengar percakapan itu, tentu saja hati Cin Cin segera merasa tertarik sekali dan ia memandang ke arah kereta penuh perhatian, bahkan ia lalu berjalan mengikuti kereta itu yang bergerak perlahan memasuki kota. Jelas bahwa delapan orang gadis itu adalah gadis-gadis dusun yang sederhana dan bodoh, akan tetapi mereka itu manis-manis dan amatlah aneh melihat gadis-gadis dusun sederhana dan manis itu naik sebuah kereta mewah, ditemani seorang wanita pesolek dan cantik genit yang usianya sekitar tigapuluh tahun. Jelas bahwa gadis-gadis itu belum pernah melihat kota Ji-goan, akan tetapi kenapa mereka mengira Ji-goan adalah Lok-yang dan yang agaknya wanita pesolek itu menipu mereka?
Teringatlah Cin Cin akan sepak-terjang para penjahat yang memancing gadis-gadis dusun ke kota untuk kemudian dipaksa menjadi pelacur. Mengingat ini, Cin Cin terkenang kembali kepada pengalamannya ketika kecil, dan hatinya terasa panas. Memang ia pergi ke Ji-goan untuk mencari Cia Ma, mucikari gembrot yang dulu pernah menahannya setelah membelinya dari mendiang Lai Kun.
Karena menduga bahwa para gadis dusun itu tentu tertipu dan terancam bahaya, maka Cin Cin terus membayangi kereta itu dan jantungnya berdebar tegang, juga wajahnya menjadi merah karena marah ketika ia melihat kereta itu berhenti di pekarangan sebuah rumah bercat merah. Itulah rumah pelesir Ang-hwa (Bunga Merah) di mana ia dahulu disekap ketika ia dijual oleh paman guru Lai Kun, kepada nenek gembrot Cia Ma.
Dengan hati-hati agar jangan ketahuan, Cin Cin menyelinap masuk ke pekarangan itu dan bersembunyi di belakang pohon, mengintai. Ia melihat betapa wanita pesolek itu turun dan menyuruh delapan orang gadis itu turun pula.
"Apakah ini rumah Cin-taijin (Pembesar Cin)?" terdengar seorang gadis bertanya.
"Atau barangkali ini rumah, Kiu-wan-gwe (Hartawan Kiu di mana aku akan bekerja?"
Para gadis itu bertanya-tanya apakah mereka tiba di rumah di mana mereka dijanjikan untuk bekerja. Wanita pesolek itu tertawa. "Aih, kenapa tergesa-gesa? Ini adalah rumah penampungan. Apakah pantas kalau aku menghadapkan kalian ke majikan-majikan kalian dalam keadaan begini? Kalian harus belajar dulu bagaimana harus bersikap dan bekerja di rumah majikan kalian masing-masing, dan juga kalian harus mengenakan pakaian yang baru dan baik, harus merias diri agar jangan kelihatan kotor dan dusun."
Para gadis itu kelihatan girang, lalu mereka digiring masuk ke dalam rumah besar yang amat dikenal oleh Cin Cin itu. Sambil menahan kemarahannya, Cin Cin lalu muncul dari balik batang pohon itu dan berjalan menuju ke ruangan depan. Segera muncul empat orang laki-laki tinggi besar yang bersikap galak, akan tetapi tersenyum-senyum ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis cantik sekali, yang menyembunyikan tangan kirinya ke dalam saku jubahnya yang lebar.
"Heii, nona manis, berhenti! Siapakah engkau dan mau apa datang ke tempat ini?"
"Apakah engkau dipesan oleh Cia Ma untuk melayani seorang hartawan?"
Cin Cin dapat menduga bahwa empat orang ini tentulah tukang-tukang pukul yang bekerja pada Cia-ma. Dahulu ketika gurunya menolongnya, gurunya telah membunuh dua orang tukang pukul berjuluk Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) juga kusir kereta. Empat orang yang usianya sekitar tigapuluh tahun ini tentu tukang-tukang pukul baru yang tidak pernah dikenalnya.
Cin Cin sudah dapat menekan kedukaannya karena kehilangan tangan kiri, dan kini ia sudah dapat lagi menguasai dirinya dan mendapatkan kembali sifatnya yang periang, jenaka, pemberani dan pandai bicara. Melihat sikap empat orang jagoan tukang pukul itu, iapun tersenyum manis.
"Namaku Kam Cin dan aku ingin bertemu dengan Cia Ma karena ada urusan penting sekali hendak kubicarakan," kata Cin Cin.
Empat orang itu saling pandang. Nona ini tentu seorang pelacur kelas tinggi, pikir mereka. Tidak ada seorangpun di antara anak buah Cia Ma dapat menandingi kecantikan gadis ini. Wajahnya yang manis demikian segar, bagaikan setangkai bunga yang baru mekar dan segar oleh air embun. Tidak seperti para anak buah Cia Ma yang bagaikan bunga-bunga sudah layu walaupun usia mereka masih muda-muda, wajah mereka yang cantik itu rata-rata agak pucat, pandang mata mereka kosong sayu tanpa semangat, senyum mereka palsu dibuat-buat.
Mereka tidak berani terlalu kurang ajar karena seorang pelacur yang laris dan mempunyai hubungan dengan para hartawan dan bangsawan dapat menjadi musuh yang amat berbahaya. Seorang di antara mereka lalu masuk ke dalam untuk melapor kepada Cia Ma.
Mendapat laporan bahwa ada seorang gadis cantik jelita mencarinya dengan keperluan penting, Cia Ma tentu saja tertarik sekali. Sejak muda, dagangannya adalah wanita cantik, maka mendengar ada seorang gadis cantik jelita datang berkunjung, ia melihat seolah keuntungan besar yang datang mengunjunginya.
Cin Cin hampir tidak mengenal nenek yang keluar terbongkok-bongkok, didampingi wanita cantik pesolek yang tadi mengantar delapan orang gadis dusun. Nenek itu memang wajahnya seperti Cia Ma yang dahulu, akan tetapi kalau dulu Cia Ma bertubuh gendut dan sehat, kini tubuhnya nampak kurus dan kelihatan tua sekali.
Memang usianya kini sekitar enampuluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan jauh lebih tua, tubuhnya bongkok dan wajahnya yang keriputan itu nampak menyedihkan. Cin Cin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa. Orang yang pernah menyiksanya dan yang dibencinya itu kini menjadi seorang nenek.yang tak berdaya, lemah dan agaknya menderita!
"Engkaukah Cia Ma yang dahulu gendut itu! Pemilik rumah pelesir Ang-hwa ini?" Cin Cin bertanya dengan ragu.
Cia Ma agaknya tidak kuat berdiri teralu lama. Ia lalu duduk di atas kursi diikuti oleh wanita cantik yang duduk di sebelahnya, dan wanita cantik itu yang berkata kepada Cin Cin, "Nona, silakan duduk."
Cin Cin duduk dan masih menyembunyikan tangan kiri ke dalam lipatan jubahnya, di mana pedangnya juga tersembunyi. "Aku datang mencari Cia Ma. Katakanlah, nek, apakah benar engkau ini Cia Ma pemilik rumah pelesir Ang-hwa?" Cin Cin mengulang kembali, "Cia Ma yang kukenal dahulu bertubuh gendut."
Kini Cia Ma bicara dan begitu ia mengeluarkan kata-kata. Cin Cin tidak ragu lagi bahwa ia memang berhadapan dengan wanita yang dicarinya. "Nona, siapakah engkau? Rasanya aku belum pernah mengenalmu, dan aku memang benar Cia Ma pemilik rumah pelesir ini. Memang dahulu aku gemuk sekali, akan tetapi sekarang aku sudah tua, lemah dan berpenyakitan. Tentang rumah pelesir ini, sesungguhnya, sejak setahun yang lalu aku hanya..."
"Jangan bicara tentang itu!" tiba-tiba wanita cantik yang duduk di sebelahnya berkata. Diam-diam Cin Cin merasa heran sekali karena wanita cantik itu bicara dengan menghardik. Kalau ia merupakan pembantu Cia Ma, tidak mungkin berani menghardik seperti itu. Dan Cia Ma kelihatan takut terhadapnya, setelah dihardik, menghentikan kata-katanya dan menundukkan mukanya yang kelihatan takut dan sedih.
"Cia Ma, lupakah engkau kepadaku? Tigabelas tahun yang lalu aku pernah tinggal di sini, ketika itu aku suka ikut dalam pertunjukan menari dan bernyanyi. Lupakah engkau kepada Cin Cin!"
Sepasang mata yang sayup itu terbelalak dan mulutnya ternganga, lalu nenek itu berkata sambil mengamati wajah Cin Cin penuh perhatian. "Cin Cin...? Ah. benar, engkau Cin Cin, yang... melarikan diri dulu itu..."
"Benar, Cia Ma, aku Cin Cin yang dulu itu!" kata Cin Cin, tersenyum mengejek melihat nenek itu kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak ketakutan.
"Mau... mau apa engkau datang ke sini...?" Nenek itu bertanya, suaranya gemetar karena ia teringat betapa anak ini tiga belas tahun yang lalu melarikan diri dan membunuh dua orang kepercayaannya, yaitu Pek-gu dan Hek-gu, bahkan membunuh kusir kereta dan melarikan keretanya. Dan karena gadis ini pula, ia harus berurusan dengan pejabat tinggi yang telah membeli Cin Cin dan hampir saja ia dijebloskan ke penjara kalau saja ia tidak menguras hartanya untuk melakukan penyogokan sehingga bebas dari hukuman.
"Engkau tahu bahwa aku mempunyai banyak perhitungan denganmu, Cia Ma. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang itu, aku ingin bertanya lebih dulu tentang delapan gadis dusun yang baru saja dibawa masuk ke sini. Siapa mereka dan mau diapakan mereka itu? Dipaksa menjadi pelacur seperti yang biasa kau lakukan dahulu?"
Cia Ma mengerutkan alisnya. "Cin Cin, perlu apa engkau bertanya tentang itu? Apakah engkau ingin melanjutkan pekerjaanmu dahulu dan tinggal disini?"
Wajah Cin Cin berubah merah. "Cia Ma, engkau kerbau betina tua busuk! Kalau tidak melihat engkau kini telah menjadi lemah dan hampir mati, tentu sudah kutampar sampai hancur mulutmu yang busuk itu!"
"Heii, bocah sombong! Kau kira dirimu ini siapa, berani bersikap seperti ini disini? Kalau kau ingin menjadi pelacur di sini, bersikaplah yang baik. Kalau tidak, lalu perduli apa engkau dengan rumah pelesir Bunga Merah ini?" bentak wanita pesolek yang duduk di dekat Cia Ma dan kini iapun bangkit berdiri dan sikapnya angkuh bukan main.
Cin Cin tersenyum. "Siapa pula engkau? Aku bicara dengan Cia Ma, bukan dengan pelacur tua macam engkau!"
"Keparat, akulah pengurus tempat ini!" wanita itu membentak marah karena dimaki pelacur tua.
"Aha, begitukah kiranya? Cia Ma, engkau sudah terlalu tua dan menyerahkan kekuasaan ke orang yang lebih muda? Apakah ini anakmu, muridmu, adikmu? Heii, pelacur tua, apakah engkau yang sudah tidak laku kemudian menggantikan Cia Ma sebagai mucikari? Engkau tadi mencari dan menipu gadis-gadis dusun untuk kaupaksa menjadi pelacur?"
"Bukan urusanmu!" bentak wanita itu.
"Tentu saja urusanku. Aku akan mengobrak-abrik tempat maksiat, neraka bagi para gadis ini!" Cin Cin membentak.
"Berani kau!" Wanita pesolek itu membentak dan iapun sudah bergerak ke depan dan melompati meja menyerang Cin Cin dengan gerakan yang cukup tangkas.
Diam-diam Cin Cin merasa heran. Kiranya perempuan pesolek yang kini menggantikan Cia Ma adalah seorang yang tidak lemah, melainkan seorang yang memiliki silat cukup baik. Akan tetapi tentu saja tidak ada artinya bagi Cin Cin. Melihat perempuan itu menerjang sambil meloncat, kedua tangan membentuk cakar untuk mencakar muka, ia memutar tubuh dan begitu tubuh penyerangnya meluncur lewat, tangan kanannya bergerak menjambak rambut wanita itu, lalu tubuh itu ia putar-putar sampai si pemilik rambut menjerit-jerit kesakitan dan ketakutan.
"Lepaskan aku... aihh, lepaskan aku...!" Perempuan itu menjerit-jerit karena tidak berdaya dan merasa ngeri tubuhnya diputar-putar seperti gasing itu.
"Baik, kulepaskan kau!" kata Cin-cin dan ia melepaskan jambakan tangannya pada rambut itu dan tubuh perempuan itupun melayang dan membentur dinding ruangan depan itu.
"Brakkkk...!" Iapun terkulai dan pingsan.
Melihat ini, empat orang tukang pukul tadi menjadi marah sekali dan tanpa diperintah lagi sudah mencabut golok masing-masing dan mengepung Cin Cin. Sementara itu, Cia Ma hanya memandang dengan wajah pucat, akan tetapi tidak seperti dulu, kini ia tidak nampak galak, bahkan ia bangkit dan mundur ketakutan sampai tubuhnya merapat di sudut ruangan itu.
Sikap nenek ini membuat Cin Cin berkurang kemarahannya terhadap Cia Ma. Sebetulnya ia datang untuk menghajar Cia Ma dan anak buahnya, untuk membasmi rumah pelesir yang merupakan neraka bagi banyak gadis muda itu. Akan tetapi, kini sikap Cia Ma seperti orang yang tertekan, bahkan ia takut menghadapi wanita cantik yang pingsan itu.
Kini banyak wanita cantik keluar dan terbelalak melihat Cin Cin berdiri dikepung empat orang tukang pukul yang nampak bengis. Ada pula beberapa orang laki-laki yang menjadi tamu rumah pelesir itu. Juga bermunculan empat orang tukang pukul lagi yang merasa heran, mengapa empat orang rekan mereka, dengan golok di tangan mengepung seorang wanita cantik.
"Apa yang terjadi?" tanya seorang tukang pukul bermuka hitam yang menjadi kepala dari semua tukang pukul di situ.
"Ia telah memukul Kui-toanio (Nyonya Besar Kui)," kata seorang di antara empat pengepung itu.
"Hehhh, kalian memalukan saja. Masa menghadapi seorang gadis saja kalian harus menggunakan golok? Aku tidak ingin melihat pembunuhan dan terlibat perkara. Hayo simpan golok kalian dan kujadikan perlombaan. Gadis ini memang perlu di hajar. Siapa di antara kalian semua yang dapat menangkapnya akan kumintakan hadiah kepada Siocia."
Mendengar ucapan ini, tujuh orang tukang pukul anak buah si muka hitam tertawa-tawa dan maju mengepung, bahkan tiga orang tamu yang melihat betapa cantik jelitanya gadis yang hendak ditangkap, ikut-ikutan pula maju untuk sekedar mencoba untuk dapat menangkap dan merangkul gadis cantik itu.
Cin Cin berdiri dengan sikap tenang saja. Begitu dua orang menerjang maju untuk menangkapnya, kakinya bergerak dua kali menyambut dan tubuh dua orang itu terjengkang! Yang lain-lain menjadi terkejut dan penasaran. Serentak mereka maju berlomba untuk menangkap gadis yang masih nampak tenang itu. Melihat pandang mata dan sikap mereka yang kurang ajar, Cin Cin menjadi marah.
Ia terpaksa mengeluarkan tangan kirinya dari balik lipatan jubahnya dan kini ia menghadapi pengeroyokan banyak orang dengan gerakan kaki tangannya. Ia membagi-bagi pukulan dan tendangan, akan tetapi membatasi tenaganya karena ia tidak ingin membunuh orang, apalagi mengingat bahwa orang-orang ini hanyalah antek-antek pemilik rumah pelesir itu.
Begitu cepat gerakan tubuh Cin Cin sehingga para pengeroyoknya tidak melihat tubuhnya, hanya melihat bayangan menyambar-nyambar dan merekapun roboh terpelanting dan dalam waktu beberapa detik saja, mereka semua sudah roboh malang melintang dalam ruangan itu, membuat meja kursi berserakan. Para pelacur menjerit-jerit, para tamu juga terbelalak heran melihat betapa seorang gadis cantik dapat merobohkan demikian banyaknya pengeroyok.
Si muka hitam, kepala tukang pukul itu, menjadi penasaran dan marah sekali. Kalau tadi dia melarang anak buahnya mengeroyok Cin Cin dengan golok, kini dia sendiri mencabut goloknya dan matanya terbelalak melihat bahwa gadis itu ternyata tidak mempunyai tangan kiri. Tangan kirinya buntung sebatas pergelangan tangan dan ujung lengan yang buntung itu dibalut kain putih bersih.
"Gadis buntung, apa maksudmu membuat kekacauan di sini!" bentaknya sambil mengamangkan goloknya.
"Membasmi manusia-manusia iblis macam engkau!" Jawab Cin Cin.
Mendengar ini, si muka hitam marah dan diapun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Namun, dengan mudah Cin Cin miringkan tubuh mengelak dan pada saat golok menyambar lewat. Jari-jari tangan kanannya menusuk ke arah iga lawan.
"Krekk!" Dua batang tulang iga patah-patah dan si muka hitam terpelanting roboh, mengaduh-aduh mendekap iganya dan tak dapat bangkit kembali, sedangkan goloknya yang terpental sudah disambar oleh tangan kanan Cin Cin!
Tujuh orang tukang pukul yang tadi berpelantingan, kini sudah mengeroyok Cin Cin dengan golok mereka. Cin Cin memutar goloknya, nampak gulungan sinar dan para pengeroyoknya mengaduh-aduh, golok mereka terpental dan mereka terpaksa mundur karena lengan kanan mereka luka berdarah oleh sambaran sinar golok di tangan Cin Cin.
"Mundur semua!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Dan Cin Cin mengangkat muka memandang. Ia terheran melihat seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Penampilannya amat berwibawa dan matang, akan tetapi wajahnya yang cantik pesolek itu masih nampak muda, seperti tak jauh bedanya dengan usianya sendiri. Wanita itu kelihatannya baru berusia paling banyak dua puluh lima tahun, wajahnya lonjong dan manis sekali, dengan kulit putih mulus dan sepasang mata jeli dan senyum yang genit.
Tubuhnya ramping padat yang sengaja ditonjolkan di balik pakaian yang terbuat dari sutera tipis dan ketat. Ketika jubahnya yang longgar dan lebar itu tersingkap, bukan hanya nampak pinggangnya yang ramping dan tubuhnya yang padat, juga nampak sebatang golok kecil terselip di pinggangnya, menunjukkan bahwa wanita cantik ini jelas bukan seorang wanita lemah. Wanita itupun kini berdiri berhadapan dengan Cin Cin dan mengamati Cin Cin penuh perhatian dari rambut sampai ke kaki dan agak lama pandang matanya terhenti di ujung lengan kiri Cin Cin yang buntung.
Kedua orang wanita itu saling pandang bagaikan dua ekor singa betina yang siap bertarung dan kini saling mempelajari dan saling menilai dengan pandang mata berkilat. Para tukang pukul, para pelacur dan para tamu menjauhkan diri dan menonton dengan hati tegang. Kemudian, wanita cantik itu bertanya, suaranya terdengar nyaring dan merdu, namun mengandung penuh ejekan dan memandang rendah.
"Bocah buntung, siapakah engkau? Wajahmu cukup cantik, tubumu cukup indah, juga usiamu masih muda. Kalau saja tangan kirimu tidak buntung, tentu kami menerima engkau bekerja di sini!"
Mendengar ini, Cin Cin yang merasa heran bagaimana muncul seorang wanita seperti ini di rumah pelesir itu, teringat akan sikap Cia Ma yang ketakutan, lalu ia menjawab, suaranya ringan dan jenaka seperti biasa yang memang menjadi wataknya, disertai senyum manis.
"Namaku Kam Cin dan aku datang untuk membebaskan para gadis dusun yang dijebak di sini, juga untuk membasmi tempat maksiat yang merupakan neraka bagi para gadis muda ini. Dan siapakah engkau? Apakah engkau seorang di antara para pelacur di sini?"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mereka yang menonton dari tempat aman, bahkan ada seorang tukang pukul berkata, "Perempuan buntung itu mencari mati!"
Akan tetapi, Cin Cin bersikap tenang dan memandang kepada wanita itu dengan senyum dan pandang mata mengejek untuk membalas sikap congkaknya tadi. Dan ia kagum melihat betapa wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apapun, hanya matanya berkilat dan senyumnya semakin genit.
"Bocah buntung, sungguh engkau sombong, seperti seekor burung yang baru belajar terbang! Ketahuilah bahwa aku yang disebut di dunia kang-ouw sebagai Bi Tok Siocia (Nona Racun Cantik)!"
Ia berhenti sebentar untuk melihat tanggapan gadis buntung itu dan ia memandang heran melihat betapa gadis buntung itu sama sekali tidak kaget mendengar nama julukannya yang dianggapnya telah amat terkenal dan menggetarkan dunia persilatan itu. Dengan penasaran ia cepat menambahkan,
"Ayahku adalah majikan Liong-san (Bukit Naga), datuk besar Ouw kok Sian!" Kini ia bukan saja merasa heran, juga penasaran karena gadis buntung inipun sama sekali tidak terkesan oleh nama ayahnya.
Sebetulnya Cin Cin pernah mendengar nama datuk itu dari gurunya. Biarpun ia belum pernah mendengar nama Bi Tok Siocia, namun dari gurunya ia pernah mendengar tentang nama para datuk perslatan, juga tentang Ouw Kok Sian, datuk yang menguasai daerah pegunungan Liong-san. Akan tetapi ia sengaja tidak memperlihatkan sikap mengenalnya, sehingga membuat wanita cantik itu semakin penasaran.
Andaikata gadis buntung itu tidak mengenalnya, hal itu masih pantas karena ia belum lama merajalela di dunia persilatan. Akan tetapi nama besar ayahnya! Kalau gadis buntung ini tidak mengenal nama ayahnya, hal ini hanya membuktikan bahwa si buntung ini bukan orang kang-ouw dan tidak mempunyai pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Tentu saja disamping penasaran, iapun semakin memandang rendah.
"Kam Cin, engkau bocah lancang dan tak tahu diri!" bentak Bi Tok Siocia. "Cepat engkau berlutut minta ampun, dan aku hanya akan menghukum dengan bekerja di sini selama satu bulan. Kalau tidak, terpaksa aku akan membuntungi tanganmu yang satu lagi!"
"Bi Tok Siocia, terus terang saja, aku datang untuk berurusan dengan Cia Ma. Kenapa engkau mencampuri, bahkan seolah-olah engkau yang berkuasa di sini? Apakah sekarang Cia Ma sudah pensiun dan yang menjadi mucikari baru adalah engkau!"
"Aku penguasa di sini dan engkau tidak perlu tahu! Hayo cepat berlutut atau aku akan menyuruh orang-orangku untuk menangkapmu dan membuntungi tangan kananmu!"
Cin Cin melirik. Kini delapan orang tukang pukul yang tadi sudah siap dengan golok mereka, bahkan ditambah dua orang lagi yang nampak bengis. Ia tersenyum. "Mereka itukah orang-orangmu? Kalau mereka berani maju hendak membuntungi tangan kananku, jangan salahkan aku kalau tangan mereka sendiri yang akan buntung!"
Bi Tok Siocia memberi isyarat kepada anak buahnya. "Siapa yang dapat membuntungi tangan kanannya, akan kuberi hadiah besar!"
Mendengar ini, serentak sepuluh orang laki-laki yang sudah terbiasa mempergunakan kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka itu, menyerang dengan golok mereka terhadap Cin Cin.
Dengan sikap tenang, mulut masih tersenyum Cin Cin memungut kembali golok rampasannya yang tadi ia lepaskan ke atas lantai dan begitu ia menggerakkan golok itu, nampak sekali lagi gulungan sinar berkilauan yang membuat para pengeroyoknya terkejut dan bingung, karena bayangan gadis itu lenyap terbungkus gulungan sinar golok.
Kemudian, terdengar jerit mengaduh, disusul golok-golok beterbangan, darah muncrat dan potongan tangan-tangan jatuh ke lantai. Dalam waktu berapa menit saja, sepuluh orang pengeroyok itu telah mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi tangan kanan yang telah buntung sebatas pergelangan, persis seperti tangan Cin Cin, hanya mereka itu kehilangan tangan kanan!
Cin Cin menghadap ke arah Bi Tok Siocia, melempar golok rampasannya ke atas lantai dan berkata dengan nada mengejek, "Sudah kukatakan, siapa hendak membuntungi tanganku, berarti akan kehilangan tangannya sendiri!"
Bukan main marahnya hati Bi Tok Siocia, akan tetapi diam-diam iapun terkejut. Dari gerakan golok gadis buntung itu, ia dapat melihat bahwa gadis itu memang lihai sekali dan memiliki gerakan yang amat ganas dan dahsyat. "Bocah sombong! Engkau dari partai mana dan siapa gurumu?''
Cin Cin tersenyum mengejek. "Aku tidak berpartai, dan siapa guruku tidak perlu kau kenal. Guruku terlalu mulia untuk dikenal oleh seorang seperti engkau!"
"Keparat busuk, engkau sombong dan sudah bosan hidup!" Iapun mencabut sepasang goloknya yang tipis dan kecil, namun berkilauan saking tajamnya. "Hayo keluarkan senjatamu!" ia membentak sambil memutar sepasang goloknya sehingga nampak dua gulungan sinar yang berbelit-belit dan menyambar-nyambar.
Cin Cin maklum bahwa lawannya tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok tadi, maka iapun menggerakkan tangan kanannya ke balik jubahnya dan nampaklah sebatang pedang yang berkilauan dan bentuknya seperti naga. Melihat Cin Cin sudah mencabut sebatang pedang, wanita cantik itu mengeluarkan seruan nyaring dan iapun sudah menyerang dengan ganasnya.
Cin Cin menggerakkan pedangnya menyambut dan segera di ruangan depan itu terjadi pertandingan yang membuat semua orang tertegun dengan hati penuh ketegangan. Bayangan dua orang wanita itu tidak dapat terlihat oleh mereka karena saking cepatnya gerakan mereka. Bayangan merah terbungkus gulungan sinar pedang dan golok sehingga sukar dibedakan di antara mereka. Para pengeroyok yang kehilangan tangan kanan itu saling membalut di antara mereka dan masih terdengar mereka merintih dan mengeluh. Tentu saja tak seorangpun di antara mereka berani maju lagi.
Kini, Bi Tok Siocia benar-benar terkejut! Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis buntung yang tidak mengenal namanya, dan agaknya tidak pula mengenal nama ayahnya, yang nampaknya belum berpengalaman di dunia kangouw, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya! Bukan hanya ilmu pedangnya ganas dan dahsyat, dan tenaga sin-kang gadis buntung itu bahkan terlalu kuat baginya, juga pedang di tangan gadis itu mengingatkan ia akan seorang tokoh yang pernah ia dengar dari ayahnya.
"Tranggg...! Cringgg...!" Sepasang golok itu bertemu pedang dan tubuh Bi Tok Siocia meloncat ke belakang.
"Tahan!" serunya nyaring. "Apa hubunganmu dengan Tung-hai Mo-li?"
"Hem, sudah kukatakan, engkau tidak berhak untuk mengenal nama suboku!"
Wajah Bi Tok Siocia berubah. "Aih, kalau engkau murid Tung-hai Mo-li, berarti kita segolongan. Kita tidak semestinya bermusuhan!"
Cin Cin tersenyum mengejek. "Siapapun yang menipu dan menjebak gadis-gadis dusun untuk dijadikan pelacur, tentu akan kumusuhi!"
Bi Tok Siocia menggerakkan kedua pundaknya dan menyimpan sepasang goloknya. "Terserah, aku tidak ingin mencampuri lagi. Subomu kenal baik ayah, kalau aku memusuhimu, tentu ayah akan marah kepadaku," katanya dan sekali ia meloncat. Bi Tok Siocia lenyap dari situ, entah ke mana.
Melihat betapa pemimpin mereka melarikan diri, para tukang pukul yang kehilangan tangan kanan itu serentak menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat, takut kalau mereka akan dibunuh gadis buntung yang amat lihai itu.
"Lihiap, ampunkan kami..." kata si muka hitam mewakili teman-temannya.
"Pergilah kalian, dan ingat. Kalau lain kali aku melihat seorang yang buntung tangan kanannya melakukan kejahatan, akan kubuntungi pula lehernya!"
Mendengar ucapan ini, sepuluh orang tukang pukul itu lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan golok dan tangan mereka yang berserakan di lantai.
Cia Ma yang tadi juga menyaksikan semua itu, kini tergopoh-gopoh menghampiri Cin Cin dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Cin sambil menangis. "Aih, tidak kusangka... engkau, Cin Cin... engkau telah menolongku."
Cin Cin mengerutkan alisnya. "Cia Ma, aku kesini bukan untuk menolongmu, melainkan untuk menghajarmu! Engkau manusia jahat, siapa yang ingin menolongmu?"
Nenek itu menangis, "Tapi... tapi... engkau telah mengusir iblis-iblis itu dari sini"
Cin Cin maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu di sini. "Suruh bersihkan ruangan ini, baru kita bicara."
Cia Ma cepat memanggil para pelayan dan memerintahkan mereka membersihkan tempat itu dan ia sendiri mengajak Cin Cin untuk duduk dan bicara di dalam. Setelah mereka duduk di dalam, Cin Cin berkata, suaranya ketus karena ia masih tak senang mengingat akan semua pengalamannya dahulu dengan nenek ini.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang terjadi dan mengapa perempuan tadi berada di sini menguasai tempat ini."
"Terjadinya sudah setahun yang lalu. Pada suatu hari, perempuan yang minta disebut Siocia itu datang ke sini dan memaksa aku menyerahkan rumah ini dan semua isinya kepadanya. Ia bahkan membunuh para pembantuku, dan menyiksaku, memperlakukan aku sebagai seorang tahanan, bahkan kadang memukuliku..." dan nenek itu menangis lagi.
Cin Cin tersenyum di dalam hatinya. Kini ia mengerti. Kiranya Bi Tok Siocia, iblis betina itu, telah mengambil alih kekuasaan di tempat ini demi keuntungannya sendiri. Hal itu berarti bahwa Cia Ma terhukum dan tersiksa. Sebelum ia turun tangan, nenek ini sudah menderita siksaan dari orang lain yang lebih jahat lagi...
Ia berhenti sebentar, lalu memandang ke sekeliling, ke arah semua tamu yang kini mulai memperhatikan kemunculan gadis yang bicara keras terhadap ketua Hek-houw-pang itu.
"Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau pangcu takut melawanku, terpaksa aku pergi dan akan mengabarkan bahwa Hek-houw-pang dipimpin oleh seorang pengecut."
"Pangcu, biarkan aku yang menghadapinya!" teriak beberapa orang tokoh Hek-houw-pang merasa penasaran dan marah mendengar ketua mereka ditantang dan dianggap pengecut oleh seorang gadis yang buntung tangan kirinya.
Akan tetapi Lai Kun mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka untuk duduk kembali. Pada waktu itu, Thio Pa bangkit dan menghampiri Cin Cin, sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata dengan suara lantang.
"Nona, kalau nona mendendam terhadap empat orang anggota Hek-houw-pang kemarin itu, maka akulah yang bertanggung jawab karena mereka itu adalah murid-muridku. Pangcu tidak tahu menahu tentang itu. Oleh karena itu, harap nona jangan mengganggu pangcu yang sedang merayakan ulang tahun perkumpulan kami. Kalau nona hendak menguji biarlah aku Thio Pa yang maju melayani nona! Pangcu kami adalah suhengku, maka kalau nona dapat mengalahkan aku, sama saja dengan dapat mengalahkan suheng..."
Cin Cin memandang kepada laki-laki setengah tua itu dan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Paman Thio Pa, aku sudah tahu bahwa engkau seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa dan patut menjadi pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi aku belum tahu sampai di mana kehebatan pangcu dari Hek-houw-pang. Ketahuilah semua yang mendengarkan ucapanku ini, aku sama sekali bukan menantang pangcu Hek-houw-pang karena urusan empat orang yang kurang ajar itu. Tidak, aku menantang pangcu untuk melihat sampai di mana kepandaiannya, setelah itu baru aku akan memperkenalkan diri."
Karena berkali-kali ditantang oleh gadis itu, di depan banyak orang pula, apalagi gadis itu mengatakan banwa kalau dia tidak berani berarti dia seorang pengecut, bangkit juga kemarahan di hati Lai Kun.
"Nona, sungguh engkau terlalu mendesak. Karena engkau datang sebagai tamu, maka tidak baik kalau tuan rumah menolak permintaan tamu. Baiklah, mari kita bermain-main sebentar untuk memeriahkan pesta perkumpulan kami."
Cin Cin sudah melompat ke atas panggung yang sengaja didirikan di ruangan tempat pesta itu. Panggung ini sedianya untuk pertunjukan tarian dan nyanyian, dan para pemusik sudah bersiap-siap dengan alat musik mereka, bahkan tadi sudah sempat memperdengarkan lagu-lagu merdu namun belum ada yang menari atau menyanyi karena saatnya belum tiba. Melihat betapa panggung itu akan dijadikan tempat pi-bu (pertandingan silat) maka para pemusik cepat-cepat turun melalui tangga.
Cin Cin berdiri di tengah panggung yang kosong itu dan dengan suara lantang, terdengar oleh semua tamu yang kini memandang dengan hati tegang, ia berkata, "Pangcu dari Hek-houw-pang, ingin sekali aku membuktikan sendiri kehebatan pemimpin Hek-houw-pang yang terkenal!"
Lai Kun sudah menjadi marah. Anak perempuan itu terlalu sombong, sama sekali tidak memandang kepada Hek-houw-pang, bahkan lagaknya meremehkan dia. Kalau dia tidak melayani, tentu namanya sebagai ketua Hek-houw-pang akan menjadi buah tertawaan orang-orang dunia persilatan.
"Nona, kami datang memenuhi tantanganmu!"serunya lantang dan tubuhnya melayang ke atas panggung pula. Kini mereka sudah saling berhadapan dan melihat senyum dan pandang mata gadis cantik itu, kembali Lai Kun mendapat perasaan seolah dia tidak asing dengan gadis ini. Akan tetapi begitu melihat tangan kiri yang buntung itu, diapun membantah lagi perasaannya sendiri dan yakin bahwa dia tidak pernah mengenal seorang gadis yang buntung tangan kirinya. Diapun sudah siap siaga, berdiri di depan gadis itu dengan sikap berwibawa seorang ketua perkumpulan besar.
Melihat gadis itu kini menaruh buntalan kain hijau di sudut panggung, dan melihat betapa buntalan itu menonjol panjang, Lai Kun dapat menduga bahwa gadis itu menyimpan sebatang pedang dalam buntalannya. Maka, sebagai sikap seorang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, diapun bertanya.
"Nona, dalam pi-bu ini, apakah nona hendak menggunakan senjata? Silakan keluarkan pedangmu kalau nona menghendaki demikian, akan kuhadapi dengan tangan kosong saja." Ucapannya lembut namun lantang dan terdengar oleh semua orang. Tentu saja ucapan ini dimaksudkan untuk membalik pandangan rendah dari gadis itu terhadap dirinya.
"Pangcu, sudah kukatakan tadi bahwa aku hanya ingin melihat sampai di mana kelihaianmu. Aku tidak ingin membunuhmu, kenapa harus menggunakan senjata? Sebaliknya, kalau pangcu ingin membalaskan empat orang murid Hek-houw-pang yang kuhajar kemarin, silakan kalau hendak menggunakan pedang. Aku tidak takut menghadapi senjatamu dengan tangan kosong!"
Betapa sombongnya! Bahkan tangannyapun hanya tinggal sebuah, akan tetapi gadis itu menantang untuk menghadapi senjata ketua Hek-houw-pang dengan sebelah tangan saja! Wajah Lai Kun berubah kemerahan. Gadis ini ternyata memiliki mulut yang tajam pula, pandai bicara sehingga dia merasa tersudut. Maklum bahwa kalau saling serang dengan kata-kata dia akan terdesak dan kalah, Lai Kun lalu berseru dengan nyaring dan berwibawa,
"Nona, kita sudah saling berhadapan di sini. Nah, kalau engkau hendak menantang bertanding, maju dan mulailah!"
Cin Cin tersenyum gembira. Inilah saatnya yang ia tunggu-tunggu, inilah saat pelaksanaan, inilah dendam yang telah menekan batinnya selama bertahun-tahun. Tak disangkanya sama sekali bahwa Lai Kun kini telah menjadi ketua Hek-houw-pang, menggantikan ayahnya yang telah tewas, sungguh tidak berhak orang itu menjadi ketua Hek-houw-pang.
Pertama, karena dia bukan keturun keluarga Coa yang menjadi pendiri dan pimpinan Hek-houw-pang. Ayahnya adalah mantu dari keluarga Coa. Dan kedua, orang seperti Lai Kun ini tidak pantas memimpin Hek-houw-pang. Dia seorang pengecut dan berwatak rendah, tega menjual keponakan yang dipercayakan ke rumah pelacuran!
"Bagus, bersiaplah engkau, Lai Kun!" teriak gadis ini mengejutkan semua orang karena tiba-tiba saja gadis itu tidak menyebut pangcu lagi, melainkan nama ketua itu begitu saja.
Tentu saja Lai Kun marah bukan main, maka melihat gadis itu menampar dengan tangan kanan, diapun mengerahkan semua tenaga sin-kangnya untuk menangkis. Maksudnya sekali tangkis dia akan membuat gadis terpelanting karena kalah tenaga.
"Dukkk!" Dua buah lengan itu bertemu dengan kerasnya dan akibatnya bukan Cin Cin yang terpelanting, melainkan Lai Kun yang terpental dan terhuyung karena kuda-kudanya tidak kuat menahan gempuran tenaga dahsyat dari lengan kecil gadis itu!
"Ahh...!" Tentu saja Lai Kun terkejut bukan main dan para pimpinan Hek-houw-pang juga para tamu mengira bahwa ketua itu mengalah dan tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Lai Kun benar-benar terkejut karena maklum bahwa dia kalah jauh dalam hal tenaga sin-kang. Karena tahu bahwa lawannya ternyata amat kuat, Lai Kun cepat menggerakkan tubuhnya dan melakukan penyerangan dengan sungguh-sungguh. Tentu saja dia segera memainkan silat andalan perkumpulannya, yaitu Hek-houw-kun (Silat Macan Hitam) yang menjadi ciri khas dan nama dari perkumpulan itu. Gerakannya kuat dan ganas, seperti seekor harimau hitam yang buas.
Namun, dibandingkan Cin Cin, tingkat kepandaian ketua ini masih terlalu jauh di bawahnya. Dengan mudah saja Cin Cin menghindarkan diri dari serangkaian serangan bertubi itu, bahkan setiap kali ia menangkis, tubuh Lai Kun terpental dan tergetar. Baru delapan jurus saja, tiba-tiba tubuh Lai Kun terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kiri Cin Cin yang secara aneh melayang dari samping mengenai dadanya.
"Dessss... bukkk!"
Pinggul ketua Hek-ouw-pang itu terbanting keras ke atas panggung dan terdengar seruan-seruan kaget. Karena malu, Lai Kun menahan rasa nyeri dan cepat meloncat bangun dan menyerang lagi dengan nekat. Dia telah dihina di depan orang banyak. Sebagai ketua Hek-houw-pang, dia roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus! Maka, dia menyerang mati-matian. Baru tiga jurus dia menyerang, sebuah tamparan tangan kanan Cin Cin kembali membuat dia terpelanting keras dan sejenak tidak mampu bangkit karena kepalanya terasa pening oleh tamparan yang mengenai lehernya tadi.
Dia menjadi semakin marah dan penasaran. Lebih baik mati daripada dihina seperti ini, tekadnya dan setelah nanarnya hilang, dia meloncat dan menyerang lagi dengan nekat, hanya untuk roboh terjengkang kembali karena disambut tendangan Cin Cin. Tiga kali ketua itu roboh dan Cin Cin berdiri tegak dengan tenang dan senyum simpul.
"Begini sajakah kepandaian ketua Hek-houw-pang? Kalau begini, engkau tidak pantas menjadi ketua Hek-houw-pang, Lai Kun!" terdengar gadis itu berseru yang membuat marah para pimpinan Hek-houw-pang, juga membuat heran para tamu yang hadir.
Para sute dari ketua itu menjadi bingung. Mereka maklum bahwa kalau ketua itu sendiri dibuat permainan oleh gadis itu, apalagi mereka, pasti bukan tandingan gadis buntung itu. Dan untuk melakukan pengeroyokan, tentu saja hal itu akan membuat hancur nama besar Hek-houw-pang, maka mereka hanya dapat memandang dengan muka pucat.
Lai Kun yang merasa terhina sekali, menjadi nekat dan dia ingin melawan sampai mati! Maka dia merangkak bangun dan biarpun tubuhnya masih terhuyung, dia berusaha keras untuk menyerang lagi, walau pandang matanya berkunang. Dia menerjang membabi buta dan sambil tersenyum mengejek Cin Cin sudah siap menyambutnya dengan tendangan. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tubuh Lai Kun yang tadinya terhuyung dan siap menerima tendangan itu tertarik ke belakang sehingga tendangan Cin Cin luput.
"Ehh...?" Lai Kun memandang dan ternyata yang menarik lengannya ke belakang sehingga luput dari tendangan lawan adalah pemuda yang baru tiba, yaitu Siong Ki!
Merasa dirinya dikeroyok, marahlah Cin Cin. "Bagus, ketua Hek-houw pang curang dan hanya berani mengeroyok, terpaksa kuberi hajaran!"
Ia menampar dengan gerakan kilat ke arah muka Lai Kun, akan tetapi Siong Ki tidak membiarkan saja gadis yang dianggapnya liar itu memukul paman gurunya. Diapun menangkis dan karena tadi dia melihat betapa lihainya gadis itu, ketika menangkis diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya.
”Dukk!" Keduanya terkejut karena merasa betapa kuatnya tenaga masing-masing dan mereka merasa tangan mereka tergetar hebat. Mereka saling pandang dengan mata mencorong.
"Hemm, orang orang Hek-houw-pang hanya pandai menggunakan pengeroyokan. Akan tetapi aku tidak takut! Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusanku dengan ketua Hek-houw-pang yang hendak mengadu ilmu?" bentak Cin Cin marah.
Siong Ki mengerutkan alisnya. "Nona, semua orang juga tahu bahwa ketua Hek-houw-pang telah mengalah kepadamu. Kenapa engkau sebagai tamu begitu tidak tahu diri dan mendesaknya terus? Begitukah kelakuan seorang gagah?" dia menghardik marah.
Lai Kun telah dapat menguasai dirinya. "Siong Ki, mundurlah dan biarlah aku yang menghadapi nona ini." Bagaimanapun juga, sebagai ketua Hek-houw-pang dia harus bertanggung jawab dan kalau dia mengandalkan murid keponakannya ini, berarti dia takut.
Sementara itu ketika Cin Cin mendengar Lai Kun menyebut nama pemuda tinggi tegap dan tampan yang memiliki tenaga sin-kang yang jauh lebih kuat daripada tenaga Lai Kun, ia terbelalak. Siong Ki! Sahabatnya bermain-main sejak mereka berdua masih sama-sama kecil. Ia ingat betul. The Siong Ki ini adalah putera supenya. The Ci Kok, seorang di antara tokoh Hek¬houw-pang yang juga gugur dalam penyerbuan musuh. The Ci Kok adalah saudara seperguruan dan sahabat baik ayahnya, dan ia sendiri adalah sahabat baik Siong Ki ketika masih kecil.
"Hem, kiranya engkau The Siong Ki? Bagus sekali! Siong Ki, tidak malukah engkau terhadap arwah ayahmu, mendiang supek The Ci Kok? Engkau kini membantu seorang pengecut besar yang jahat, yang entah dengan cara bagaimana telah dapat menjadi ketua Hek-houw-pang! Lai Kun adalah seorang yang curang, kejam dan jahat!
Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara lantang sekali, maka semua orang mendengarnya, dan kini Siong Ki terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Mata itu! Mulut itu! "Kau... kau... Cin Cin...!" katanya gagap saking terkejut dan herannya.
"Kam Cin...!"
"Cin Cin...!" terdengar seruan-seruan dari mulut para tokoh lama Hek-houw-pang yang kini mengenal puteri mendiang Kam Seng Hin yang dahulu menjadi ketua Hek-houw-pang.
Sementara itu, wajah Lai Kun berubah pucat bagaikan mayat ketika diapun kini mengenal Cin Cin.! Cin Cin pantas saja kalau gadis itu amat membencinya! Kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar penuh rasa malu dan takut.
"Cin Cin, kenapa engkau menuduh sekeji itu?" Siong Ki berteriak membantah. "Akupun baru tiba, baru sekarang sempat pulang ke sini dan aku melihat betapa Hek-houw-pang memperoleh kemajuan pesat di bawah pimpinan paman guru Lai Kun! Kenapa engkau datang-datang menghina dan mencaci-maki susiok Lai Kun? Kenapa? Engkau dahulu tidak seperti ini. Cin Cin!"
Gadis itu memandang wajah Siong Ki dan tersenyum mengejek. "Kenapa? Hemm, kenapa engkau tidak tanya saja kepada yang bersangkutan? Lai Kun memang nampak berhasil, akan tetapi sebetulnya dia hanya menari-nari di atas mayat para tokoh Hek-houw-pang, termasuk mayat ayahmu sendiri! Dia seorang pengecut, keji dan jahat dan bahkan bukan saja tidak pantas menjadi ketua Hek-houw-pang, bahkan menjadi anggota Hek-houw-pang pun dia tidak pantas!"
"Cin Cin, apa alasanmu menuduh sekeji itu?" Siong Ki berseru penasaran.
"Siong Ki, akupun sudah mendengar akan kemajuan Hek-houw-pang. Akan tetapi, kenapa pemerintah membantunya, dan banyak pihak mendukung dan mengagumi Hek-houw-pang? Karena perjuangan para pimpinan Hek-houw-pang yang dahulu. Lai Kun sendiri, apa sih jasanya? Dia hanya menemukan hadiah jasa mereka yang gugur! Dia telah menipu kalian, dia orang jahat!"
"Nanti dulu, Cin Cin. Engkau masih mengenalku, bukan? Ketika engkau masih kecil, aku sering menggodamu." Thio Pa juga berseru sambil menghampiri gadis itu.
"Tentu saja aku mengenalmu, paman Thio Pa!" kata Cin Cin. "Sejak malam tadi aku sudah mengenalmu. Engkau seorang di antara sute mendiang ayahku yang baik dan jujur, dan engkaulah yang jauh lebih pantas menjadi ketua Hek-houw-pang daripada si jahat ini!" Cin Cin menudingkan telunjuknya kepada Lai Kun yang sejak tadi menundukkan muka saja.
"Cin Cin, keponakanku yang baik. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami seluruh warga Hek-houw-pang merasa gembira dan bangga, anakku. Akan tetapi, kenapa engkau bersikap begini terhadap suheng Lai Kun? Apa alasannya maka engkau memaki dan mengatakan dia jahat?"
Kini Cin Cin memandang ke sekeliling, lalu berkata dengan suara meninggi, "Semua orang yang memiliki telinga, dengarkanlah keteranganku ini. Lihat ini dia yang mengaku diri sebagai ketua Hek-houw-pang, yang terpandang oleh seluruh manusia sebagai orang yang berjasa dan gagah berani dan budiman, lihat baik-baik. Dimana kegagahannya? Lihat, dia hanya menunduk. Heii, Lai Kun, coba kau mengangkat mukamu dan pandanglah dunia, lalu katakan terus terang apa yang telah kau lakukan dahulu!"
Semua orang kini memandang kepada Lai Kun, termasuk isteri dan kedua orang puteranya yang wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan semua orang terheren-heran. Lai Kun tetap menunduk, mukanya pucat sekali, nampak lunglai.
"Cin Cin, demi Tuhan, apa yang telah dia lakukan maka engkau menghinanya seperti ini?" Siong Ki hampir tidak sabar lagi melihat betapa gadis itu menyiksa Lai Kun dengan sikap dan kata-katanya.
Cin Cin tidak memperdulikan Siong Ki, lalu berseru lagi. "Dia terlalu pengecut untuk mengakui perbuatannya. Paman Thio Pa, coba katakan, apa yang diceritakan oleh Lai Kun kepada kalian semua tentang diriku, ketika enambelas tahun yang lalu dia mengantarku untuk menjadi murid Hung-ho Sin-liong Si Han Beng?"
Biarpun bingung dan ragu, terpaksa Thio Pa menjawab, "Lai-suheng mengatakan bahwa ketika dia mengantarmu ke sana, di Lok-yang kalian diserbu perampok. Lai-suheng melawan para perampok dan engkau melarikan diri. Setelah berhari-hari dicari tidak dia temukan, maka dia kembali ke sini dan engkau menghilang."
"Hemm, sudah kuduga. Sekarang dengarlah kalian semua baik-baik. Lai Kun memang mengantarku menuju ke Hong-cun, akan tetapi ketika tiba kota Ji-goan, dia bersekongkol dengan seorang pelacur dan dia telah menjual aku pada seorang mucikari, menjual aku ke rumah pelacuran di Ji-goan!"
Terdengar seruan-seruan kaget, heran dan tidak percaya. Siong Ki sendiri terbelalak memandang kepada Lai Kun. demikian pula para tokoh Hek-houw-pang yang lain. Akan tetapi Lai Kun tetap menunduk.
"Dia telah menjual aku dan kalau saja aku tidak menggunakan akalku sendiri, kemudian ditolong oleh guruku yang sakti, tentu kini aku telah menjadi seorang pelacur hina atau sudah membunuh diri! Nah, sekarang aku tidak membunuhnya, hanya menelanjangi perbuatan kotor dan rendah itu dalam kesempatan ini, apakah orang masih mengatakan bahwa aku kejam?"
Terdengar tangis isteri Lai Kun, dan semua orang memandang kepada Lai Kun dengan alis berkerut. Kam Cin atau Cin Cin adalah puteri mendiang Coa Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, dan ia merupakan keturunan dari keluarga Coa, walaupun sebagai cucu luar. Dan ia telah dijual kepada rumah pelacuran oleh Lai Kun, orang yang mereka anggap terhormat dan pantas menjadi pimpinan mereka itu.
Pandang mata begitu banyak orang kepadanya, dirasakan seperti ujung ratusan pedang yang menodongnya dan membuatnya tersudut. Lai Kun sudah lama menyesali perbuatannya itu, namun dia tidak berani menceritakannya kepada siapapun, tidak berani mengakui perbuatannya. Kini, semua itu terbongkar dan dia tidak mungkin dapat mengelak, tak mungkin dapat menyangkal karena Cin Cin sendiri telah berdiri di situ sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi.
Hukuman ini terlampau berat baginya, lebih berat daripada hukuman mati sekalipun. Namanya telah hancur. Kehormatannya telah lenyap dan dari seorang ketua yang disegani, dihormati semua orang, kini dia menjadi seorang pengkhianat dan pengecut yang akan dipandang rendah selamanya.
"Aku telah berdosa...!!" Tiba-tiba ia berteriak, tangannya bergerak dan diapun roboh dengan jari-jari tangan kanan menancap di kepalanya sendiri. Isterinya dan dua orang anaknya menjerit dan menubruk tubuh yang sudah menjadi mayat itu karena Lai Kun tewas seketika.
Tentu saja pesta itu menjadi bubar. Para tamu merasa sungkan dan ikut prihatin, lalu mereka membubarkan diri, bahkan tidak sempat berpamit karena bingung siapa yang harus dipamiti dalam keadaan seperti itu. Seluruh Hek-houw-pang berkabung, bukan hanya karena kematian Lai Kun, akan tetapi terutama sekali karena terbongkarnya perbuatan ketua Hek-houw-pang itu sungguh merupakan tamparan bagi Hek-houw-pang, mencemarkan nama baik perkumpulan itu.
Karena menjadi murid Tung-hai Mo-li yang berwatak dingin dan keras, maka pada lahirnya Cin Cin kadang bersikap dingin dan juga tegas, bahkan dapat menjadi ganas. Namun di dasar batinnya sebetulnya ia memiliki perasaan yang halus dan mudah merasa iba kepada orang lain. Ketika ia disambut oleh para tokoh Hek-houw-pang dengan baik dan hormat sebagai seorang anak hilang yang kini pulang, apalagi mengingat ia adalah keturunan terakhir dari keluarga Coa dan telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, Cin Cin menanggapi dengan tenang dan dingin saja.
Akan tetapi ia merasa iba kepada isteri Lai Kun dan kedua orang puteranya yang belum dewasa. Melihat wanita itu bersama kedua orang puteranya menangisi jenazah Lai Kun, ia menghampiri mereka. Semua orang memandang cemas, khawatir kalau-kalau gadis itu akan melampiaskan dendamnya pada keluarga Lai Kun. Juga isteri Lai Kun memandang dengan ketakutan ketika melihat Cin Cin mendekatinya. Akan tetapi Cin Cin menyentuh pundaknya dan berkata.
"Bibi, maafkanlah aku. Bukan maksudku menyusahkan hati bibi yang tidak kukenal, juga kedua orang adik ini. Bukan pula maksudku membuat paman Lai Kun membunuh diri, aku hanya ingin membalas perlakuannya yang amat keji terhadap diriku dahulu."
Wanita itu memandang dengan mata basah sinar matanya memandang heran akan tetapi disusul keharuan. "Aku... aku... tahu memang suamiku yang bersalah. Tak kusangka dia sekeji itu... aih, tak kusangka sama sekali. Mudah-mudahan kelak aku dapat mendidik kedua orang puteraku agar tidak memiliki watak seperti ayah mereka..."
Perkabungan atas kematian Lai Kun itu merupakan pula penyambutan atas pulangnya Cin Cin dan Siong Ki. Terutama Cin Cin yang boleh dibilang menjadi nona rumah di Hek-houw-pang mengingat ia adalah keturunan keluarga pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi, karena ia sendiri merasa rikuh telah menjadi sebab sehingga Hek-houw-pang berkabung, Cin Cin tidak mau lama tinggal di situ.
"Para paman, bibi dan saudara-saudara di Hek-houw-pang. Aku tidak dapat tinggal lama di sini."
"Akan tetapi, engkau belum lama tiba, belum sempat kita bicara. Kami ingin sekali mendengar pengalamanmu sejak pergi dari sini!" kata seorang wanita tua yang dahulu sering mengasuh Cin Cin.
"Cin Cin, kami semua sudah sepakat untuk mengangkat engkau menjadi ketua baru Hek-houw-pang," kata pula Thio Pa.
"Benar sekali kata-kata susiok Thio Pa. Cin Cin," kata pula Siong Ki. "Engkau yang paling tepat menjadi ketua Hek-houw-pang. Selain engkau memang keturunan dari para pimpinan Hek-houw-pang, juga engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di bawah pimpinanmu, tentu Hek-houw-pang akan menjadi semakin kuat."
Semua orang menyatakan setuju, akan tetapi Cin Cin menggeleng kepala dan memandang kepada Siong Ki. "Siong Ki , tidak perlu engkau memujiku seolah engkau sendiri tidak memiliki kemampuan. Padahal, melihat dari tangkisanmu tadi saja, aku tahu bahwa engkau kini telah menjadi seorang yang amat lihai. Belum tentu aku akan mampu mengalahkanmu. Siapakah gurumu, Siong Ki."
"Guruku adalah beliau yang tadinya akan menjadi gurumu, Cin Cin, yaitu Huang-ho Sin-liong."
"Aihhh...!" Mata yang indah itu terbelalak. "Sungguh beruntung engkau, dan betapa malangnya aku. Aku yang dikirim ke sana hampir celaka dan gagal menjadi muridnya, sedangkan engkau malah menjadi muridnya. Pantas engkau hebat. Paman Thio Pa, ada calon ketua Hek-houw-pang yang hebat di sini. The Siong Ki inilah yang paling tepat menjadi ketua. Aku sendiri akan pergi sekarang juga."
"Cin Cin, kenapa tergesa-gesa? Engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak mencari ibuku. Apakah ada yang tahu di mana sekarang ibu berada?"
"Ah, Ibumu? Beliau telah menjadi guruku yang pertama sekali..." kata Siong Ki.
Mendengar ini Cin Cin memandang heran. "Gurumu?"
"Benar Cin Cin. Bahkan aku telah mengikuti ibumu yang hendak mencarimu. Akan tetapi dalam perjalanan, kami diserang penjahat dan berpisah. Aku terlunta-lunta dan teringat akan Huang-ho Sin liong, maka aku melakukan perjalanan yang jauh itu dan akhirnya berhasil sampai ke Hong-cun dan diterima sebagai murid."
"Tahukah engkau di mana ibu sekarang?" Siong Ki menggeleng kepala.
"Cin Cin, ibumu telah menikah lagi kata Thio Pa dengan suara lirih dan berhati-hati. Namun, tetap saja Cin Cin terkejut bukan main, wajahnya berubah kemerahan dan ia membalikkan tubuh menghadapi Thio Pa dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Menikah...? Di... dimana ibu sekarang?" tanyanya dengan suaranya terdengar lirih.
Thio Pa menggeleng kepalanya. "Ibumu dan suaminya pernah datang ke sini dan mencarimu, akan tetapi mereka tidak mengatakan dimana mereka tinggal. Juga hanya sebentar saja mereka datang menemui mendiang suheng Lai Kun," kata Thio Pa singkat dan agaknya dia juga merasa tidak enak hati untuk membicarakan ibu gadis itu yang telah menikah lagi.
Suasana menjadi hening, semua orang terdiam karena mereka semua maklum betapa berita itu tentu mendatangkan perasaan yang amat tidak enak dalam hati gadis yang perkasa itu. Juga tidak seorangpun berani bertanya mengapa tangan kiri Cin Cin buntung. Mereka semua merasa jerih dan takut terhadap gadis yang ganas dan amat lihai itu.
Sejenak Cin Cin termenung, tenggelam dalam lamunan. Ia membayangkan betapa ibunya yang selama ini dirindukannya, kini telah bersanding dengan seorang pria lain, bukan ayahnya yang telah tewas. Pria lain! Dan mungkin telah mempunyai anak-anak lain pula! Sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan pahit ini. Hatinya terasa panas, iapun memandang kepada Thio Pa, sinar matanya mencorong tajam penuh selidik sehingga menggetarkan hati orang yang dipandangnya.
"Paman Thio Pa, katakan, siapakah suami ibu itu?"
Biarpun hatinya merasa tidak enak, terpaksa Thio Pa mengaku. "Suaminya yang baru adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai bernama Lie Koan Tek!"
"Ahhh...!" Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Siong Ki dan Cin Cin. Biarpun hampir sama bunyinya, namun seruan itu dikeluarkan oleh dua hati yang berlainan perasaannya. Siong Ki terkejut bukan main mendengar nama Lie Koan Tek yang dianggap sebagai seorang pendekar yang menyeleweng, karena telah membantu pemberontak menyerbu Hek-houw-pang, orang yang telah membunuh ayahnya, dan sekarang malah menjadi suami Coa Liu Hwa, bekas isteri ketua Hek-houw-pang yang tewas!
Adapun Cin Cin terkejut karena iapun sudah mendengar nama pendekar ini. Bagaimana ibunya tiba-tiba dapat menjadi isteri pendekar Siauw-lim pai itu? Kalau sudah diketahui bahwa ibunya menjadi isteri pendekar itu, agaknya tidak terlalu sukar untuk mencarinya karena nama besar pendekar itu membuat dia mudah dicari dan ditemukan. Karena iapun merasa tidak enak dan bahkan canggung dan malu mendengar ibunya menikah lagi, Cin Cin tidak mau banyak bicara lagi. Cin Cin lalu berkata singkat,
"Selamat tinggal, aku mau pergi sekarang!" Dan ia pun melompat keluar dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ, diiringi pandang mata kagum dari semua orang.
"Paman dan bibi, akupun harus pergi sekarang," kata Siong Ki dan ucapan ini mengejutkan semua orang.
"Eh, nanti dulu, Siong Ki. Kenapa engkau pun ikut-ikutan hendak pergi? Kami belum mendengar semua pengalamanmu..." kata Thio Pa.
"Sebaiknya engkau tinggal di sini dan menjadi ketua Hek-houw-pang," kata pula seorang paman lain.
"Terima kasih, akan tetapi aku masih mempunyai tugas penting dari suhu. Kelak, kalau semua urusanku telah beres, aku akan datang lagi. Selamat tinggal!"
Pemuda itupun berkelebat dan lenyap dari situ. Orang-orang Hek-houw-pang menghela napas panjang. Dua orang muda yang belasan tahun meninggalkan Hek-houw-pang, telah kembali sebagai orang-orang yang amat lihai, yang sedianya akan dapat memperkuat Hek-houw-pang dengan menjadi ketua. Akan tetapi, mereka pergi lagi dan tak dapat dicegah.
Akhirnya, setelah semua urusan perkabungan penguburan jenazah Lai Kun selesai, mereka mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dan karena Thio Pa merupakan saudara tertua, maka Thio Pa dipilih menjadi ketua Hek-houw-pang menggantikan Lai Kun yang telah tewas.
********************
"Bibi, harap jangan khawatir. Cin-taijin (pembesar Cin) yang kumaksudkan ini adalah seorang pejabat tinggi dan penting di Lok-yang. berkuasa dan kaya raya. Yang mengutusku adalah Cin hu-jin (nyonya Cin), isterinya yang tertua. Keluarga itu membutuhkan pembantu wanita yang bersih dan rajin, dan aku melihat puterimu Alian dan Akim itu tepat untuk menjadi pembantu di sana. Pembantu wanita di keluarga itu hampir sama dengan dayang di istana kaisar, akan hidup mewah dan terhormat,"
Demikian antara lain bujukan seorang wanita berusia tigapuluhan tahun kepada seorang ibu di dusun itu. Ibu itu berusia limapuluhan tahun, seorang janda yang mempunyai dua orang puteri yang sudah menjelang dewasa. Alian berusia tujuhbelas tahun, sedangkan adiknya, Akim berusia limabelas tahun. Sebagai gadis-gadis dusun, kakak beradik ini sederhana dan polos.
Namun, mereka memiliki kulit yang bersih dan putih, dengan wajah yang segar bagaikan bunga mawar tersiram embun pagi dan tubuh yang padat dan kuat karena terbiasa bekerja berat sejak kecil. Biarpun sederhana, namun bentuk wajah mereka manis dan kalau saja mereka mengenakan pakaian yang bersih dan indah, wajah mereka dirias, tentu mereka akan menjadi gadis-gadis yang menarik hati.
"Akan tetapi, toanio. Aku hidup menjanda, miskin dan hanya mempunyai dua orang anak itu. Kalau mereka semua pergi, lalu dengan siapa aku hidup? Memang aku ingin melihat mereka senang dan berkecukupan, akan tetapi seorang saja dari mereka, toanio. Yang seorang boleh kauajak bekerja pada pembesar itu, dan yang kecil biar tinggal di rumah menemaniku."
"Aku membutuhkan dua orang bibi. Bukankah kalau mereka pergi berdua, berarti mereka tidak akan kesepian dan ada temannya? Bibi jangan khawatir, kalau mereka pergi, bibi dapat membayar seorang pembantu..."
"Aihhh, toanio sungguh bicara yang bukan-bukan. Untuk makan sendiri saja sulit, bagaimana dapat membayar pembantu?"
"Kalau dua orang anak bibi bekerja di Lok-yang, bibi tidak akan menjadi miskin lagi. Lihat, Cin hujin telah menyuruh aku meninggalkan uang untuk dua orang puterimu, dan dengan uang ini, engkau dapat hidup dan membayar pembantu selama satu tahun. Dan sebelum uang ini habis, kedua orang anakmu tentu sudah pulang, karena setiap tahun baru mereka diperbolehkan pulang, membawa pakaian dan uang untuk bibi. Dan tahun baru tinggal tujuh bulan lagi."
Wanita yang berpakaian mewah itu mengeluarkan sebuah kantung dan membuka kantung itu sehingga nampak beberapa potong uang perak yang berkilauan. Wanita berpakaian mewah dan pesolek itu mengaku sebagai Lu-toanio (nyonya Lu) utusan keluarga pembesar dari kota Lok-yang yang datang ke dusun itu untuk mencari pembantu wanita. Ia membutuhkan banyak gadis pembantu dan dengan dua orang puteri wanita tua itu, ia telah berhasil mengumpulkan delapan orang gadis dusun yang berusia antara empatbelas sampai tujuhbelas tahun.
Akhirnya, setelah dibujuk dan diberi uang yang cukup banyak bagi orang miskin seperti janda itu, ibu Alian dan Akim menyetujui. Pada hari itu juga, Alian dan Akim bersama enam orang gadis lain dari dusun yang berdekatan di daerah itu, dibawa ke Lok-yang dengan sebuah kereta besar yang ditarik empat ekor kuda.
Akan tetapi, di luar pengetahuan delapan orang gadis dusun yang tidak pernah pergi jauh, bahkan tidak pernah meninggalkan dusun mereka, kereta itu tidak menuju ke Lok-yang, melainkan membelok ke kota Ji-goan, tak jauh dari Lok-yang.
Ketika kereta memasuki pintu gerbang kota Ji-goan, kebetulan seorang gadis cantik berdiri di situ. Ia memandang ke arah kereta yang memasuki pintu gerbang dengan perlahan itu dengan sikap acuh. Gadis ini adalah Kam Cin atau Cin Cin. Setelah meninggalkan Hek-houw-pang, ia pergi untuk mencari ibunya yang kabarnya kini telah menjadi isteri dari Lie Koan Tek, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai.
Ia masih bingung menerima berita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menerima atau mengerti mengapa ibunya menikah lagi, walaupun berita bahwa ibunya menikah dengan pendekar Siauw-lim-pai membuat ia merasa bangga juga. Ia harus dapat mencari ibunya dan bertemu dengan ibunya agar ibunya dapat memberi penjelasan akan pernikahannya lagi yang membuat ia bingung itu.
Cin Cin tadinya hanya merasa heran melihat kereta itu tersingkap tirainya dan ternyata penumpangnya adalah banyak gadis dusun yang manis-manis dan masih remaja. Akan tetapi ketika ia mendengar percakapan yang didengarnya ketika kereta lewat perlahan, ia tertarik.
"Lu-toanio, apakah kita sudah tiba di kota Lok-yang?" Ia mendengar seorang di antara gadis-gadis itu bertanya.
"Benar, manis. Ini kota Lok-yang, kalian semua akan senang tinggal di kota ini." jawab seorang wanita yang pesolek dan berpakaian mewah itu.
Delapan orang gadis itu nampak bergembira dan mereka memuji-muji apa saja yang kelihatan di tepi jalan kota Ji-goan itu, rumah-rumah yang megah dan besar, toko-toko dan pakaian orang-orang yang berlalu lalang.
Mendengar percakapan itu, tentu saja hati Cin Cin segera merasa tertarik sekali dan ia memandang ke arah kereta penuh perhatian, bahkan ia lalu berjalan mengikuti kereta itu yang bergerak perlahan memasuki kota. Jelas bahwa delapan orang gadis itu adalah gadis-gadis dusun yang sederhana dan bodoh, akan tetapi mereka itu manis-manis dan amatlah aneh melihat gadis-gadis dusun sederhana dan manis itu naik sebuah kereta mewah, ditemani seorang wanita pesolek dan cantik genit yang usianya sekitar tigapuluh tahun. Jelas bahwa gadis-gadis itu belum pernah melihat kota Ji-goan, akan tetapi kenapa mereka mengira Ji-goan adalah Lok-yang dan yang agaknya wanita pesolek itu menipu mereka?
Teringatlah Cin Cin akan sepak-terjang para penjahat yang memancing gadis-gadis dusun ke kota untuk kemudian dipaksa menjadi pelacur. Mengingat ini, Cin Cin terkenang kembali kepada pengalamannya ketika kecil, dan hatinya terasa panas. Memang ia pergi ke Ji-goan untuk mencari Cia Ma, mucikari gembrot yang dulu pernah menahannya setelah membelinya dari mendiang Lai Kun.
Karena menduga bahwa para gadis dusun itu tentu tertipu dan terancam bahaya, maka Cin Cin terus membayangi kereta itu dan jantungnya berdebar tegang, juga wajahnya menjadi merah karena marah ketika ia melihat kereta itu berhenti di pekarangan sebuah rumah bercat merah. Itulah rumah pelesir Ang-hwa (Bunga Merah) di mana ia dahulu disekap ketika ia dijual oleh paman guru Lai Kun, kepada nenek gembrot Cia Ma.
Dengan hati-hati agar jangan ketahuan, Cin Cin menyelinap masuk ke pekarangan itu dan bersembunyi di belakang pohon, mengintai. Ia melihat betapa wanita pesolek itu turun dan menyuruh delapan orang gadis itu turun pula.
"Apakah ini rumah Cin-taijin (Pembesar Cin)?" terdengar seorang gadis bertanya.
"Atau barangkali ini rumah, Kiu-wan-gwe (Hartawan Kiu di mana aku akan bekerja?"
Para gadis itu bertanya-tanya apakah mereka tiba di rumah di mana mereka dijanjikan untuk bekerja. Wanita pesolek itu tertawa. "Aih, kenapa tergesa-gesa? Ini adalah rumah penampungan. Apakah pantas kalau aku menghadapkan kalian ke majikan-majikan kalian dalam keadaan begini? Kalian harus belajar dulu bagaimana harus bersikap dan bekerja di rumah majikan kalian masing-masing, dan juga kalian harus mengenakan pakaian yang baru dan baik, harus merias diri agar jangan kelihatan kotor dan dusun."
Para gadis itu kelihatan girang, lalu mereka digiring masuk ke dalam rumah besar yang amat dikenal oleh Cin Cin itu. Sambil menahan kemarahannya, Cin Cin lalu muncul dari balik batang pohon itu dan berjalan menuju ke ruangan depan. Segera muncul empat orang laki-laki tinggi besar yang bersikap galak, akan tetapi tersenyum-senyum ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis cantik sekali, yang menyembunyikan tangan kirinya ke dalam saku jubahnya yang lebar.
"Heii, nona manis, berhenti! Siapakah engkau dan mau apa datang ke tempat ini?"
"Apakah engkau dipesan oleh Cia Ma untuk melayani seorang hartawan?"
Cin Cin dapat menduga bahwa empat orang ini tentulah tukang-tukang pukul yang bekerja pada Cia-ma. Dahulu ketika gurunya menolongnya, gurunya telah membunuh dua orang tukang pukul berjuluk Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) juga kusir kereta. Empat orang yang usianya sekitar tigapuluh tahun ini tentu tukang-tukang pukul baru yang tidak pernah dikenalnya.
Cin Cin sudah dapat menekan kedukaannya karena kehilangan tangan kiri, dan kini ia sudah dapat lagi menguasai dirinya dan mendapatkan kembali sifatnya yang periang, jenaka, pemberani dan pandai bicara. Melihat sikap empat orang jagoan tukang pukul itu, iapun tersenyum manis.
"Namaku Kam Cin dan aku ingin bertemu dengan Cia Ma karena ada urusan penting sekali hendak kubicarakan," kata Cin Cin.
Empat orang itu saling pandang. Nona ini tentu seorang pelacur kelas tinggi, pikir mereka. Tidak ada seorangpun di antara anak buah Cia Ma dapat menandingi kecantikan gadis ini. Wajahnya yang manis demikian segar, bagaikan setangkai bunga yang baru mekar dan segar oleh air embun. Tidak seperti para anak buah Cia Ma yang bagaikan bunga-bunga sudah layu walaupun usia mereka masih muda-muda, wajah mereka yang cantik itu rata-rata agak pucat, pandang mata mereka kosong sayu tanpa semangat, senyum mereka palsu dibuat-buat.
Mereka tidak berani terlalu kurang ajar karena seorang pelacur yang laris dan mempunyai hubungan dengan para hartawan dan bangsawan dapat menjadi musuh yang amat berbahaya. Seorang di antara mereka lalu masuk ke dalam untuk melapor kepada Cia Ma.
Mendapat laporan bahwa ada seorang gadis cantik jelita mencarinya dengan keperluan penting, Cia Ma tentu saja tertarik sekali. Sejak muda, dagangannya adalah wanita cantik, maka mendengar ada seorang gadis cantik jelita datang berkunjung, ia melihat seolah keuntungan besar yang datang mengunjunginya.
Cin Cin hampir tidak mengenal nenek yang keluar terbongkok-bongkok, didampingi wanita cantik pesolek yang tadi mengantar delapan orang gadis dusun. Nenek itu memang wajahnya seperti Cia Ma yang dahulu, akan tetapi kalau dulu Cia Ma bertubuh gendut dan sehat, kini tubuhnya nampak kurus dan kelihatan tua sekali.
Memang usianya kini sekitar enampuluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan jauh lebih tua, tubuhnya bongkok dan wajahnya yang keriputan itu nampak menyedihkan. Cin Cin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa. Orang yang pernah menyiksanya dan yang dibencinya itu kini menjadi seorang nenek.yang tak berdaya, lemah dan agaknya menderita!
"Engkaukah Cia Ma yang dahulu gendut itu! Pemilik rumah pelesir Ang-hwa ini?" Cin Cin bertanya dengan ragu.
Cia Ma agaknya tidak kuat berdiri teralu lama. Ia lalu duduk di atas kursi diikuti oleh wanita cantik yang duduk di sebelahnya, dan wanita cantik itu yang berkata kepada Cin Cin, "Nona, silakan duduk."
Cin Cin duduk dan masih menyembunyikan tangan kiri ke dalam lipatan jubahnya, di mana pedangnya juga tersembunyi. "Aku datang mencari Cia Ma. Katakanlah, nek, apakah benar engkau ini Cia Ma pemilik rumah pelesir Ang-hwa?" Cin Cin mengulang kembali, "Cia Ma yang kukenal dahulu bertubuh gendut."
Kini Cia Ma bicara dan begitu ia mengeluarkan kata-kata. Cin Cin tidak ragu lagi bahwa ia memang berhadapan dengan wanita yang dicarinya. "Nona, siapakah engkau? Rasanya aku belum pernah mengenalmu, dan aku memang benar Cia Ma pemilik rumah pelesir ini. Memang dahulu aku gemuk sekali, akan tetapi sekarang aku sudah tua, lemah dan berpenyakitan. Tentang rumah pelesir ini, sesungguhnya, sejak setahun yang lalu aku hanya..."
"Jangan bicara tentang itu!" tiba-tiba wanita cantik yang duduk di sebelahnya berkata. Diam-diam Cin Cin merasa heran sekali karena wanita cantik itu bicara dengan menghardik. Kalau ia merupakan pembantu Cia Ma, tidak mungkin berani menghardik seperti itu. Dan Cia Ma kelihatan takut terhadapnya, setelah dihardik, menghentikan kata-katanya dan menundukkan mukanya yang kelihatan takut dan sedih.
"Cia Ma, lupakah engkau kepadaku? Tigabelas tahun yang lalu aku pernah tinggal di sini, ketika itu aku suka ikut dalam pertunjukan menari dan bernyanyi. Lupakah engkau kepada Cin Cin!"
Sepasang mata yang sayup itu terbelalak dan mulutnya ternganga, lalu nenek itu berkata sambil mengamati wajah Cin Cin penuh perhatian. "Cin Cin...? Ah. benar, engkau Cin Cin, yang... melarikan diri dulu itu..."
"Benar, Cia Ma, aku Cin Cin yang dulu itu!" kata Cin Cin, tersenyum mengejek melihat nenek itu kini memandang kepadanya dengan mata terbelalak ketakutan.
"Mau... mau apa engkau datang ke sini...?" Nenek itu bertanya, suaranya gemetar karena ia teringat betapa anak ini tiga belas tahun yang lalu melarikan diri dan membunuh dua orang kepercayaannya, yaitu Pek-gu dan Hek-gu, bahkan membunuh kusir kereta dan melarikan keretanya. Dan karena gadis ini pula, ia harus berurusan dengan pejabat tinggi yang telah membeli Cin Cin dan hampir saja ia dijebloskan ke penjara kalau saja ia tidak menguras hartanya untuk melakukan penyogokan sehingga bebas dari hukuman.
"Engkau tahu bahwa aku mempunyai banyak perhitungan denganmu, Cia Ma. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang itu, aku ingin bertanya lebih dulu tentang delapan gadis dusun yang baru saja dibawa masuk ke sini. Siapa mereka dan mau diapakan mereka itu? Dipaksa menjadi pelacur seperti yang biasa kau lakukan dahulu?"
Cia Ma mengerutkan alisnya. "Cin Cin, perlu apa engkau bertanya tentang itu? Apakah engkau ingin melanjutkan pekerjaanmu dahulu dan tinggal disini?"
Wajah Cin Cin berubah merah. "Cia Ma, engkau kerbau betina tua busuk! Kalau tidak melihat engkau kini telah menjadi lemah dan hampir mati, tentu sudah kutampar sampai hancur mulutmu yang busuk itu!"
"Heii, bocah sombong! Kau kira dirimu ini siapa, berani bersikap seperti ini disini? Kalau kau ingin menjadi pelacur di sini, bersikaplah yang baik. Kalau tidak, lalu perduli apa engkau dengan rumah pelesir Bunga Merah ini?" bentak wanita pesolek yang duduk di dekat Cia Ma dan kini iapun bangkit berdiri dan sikapnya angkuh bukan main.
Cin Cin tersenyum. "Siapa pula engkau? Aku bicara dengan Cia Ma, bukan dengan pelacur tua macam engkau!"
"Keparat, akulah pengurus tempat ini!" wanita itu membentak marah karena dimaki pelacur tua.
"Aha, begitukah kiranya? Cia Ma, engkau sudah terlalu tua dan menyerahkan kekuasaan ke orang yang lebih muda? Apakah ini anakmu, muridmu, adikmu? Heii, pelacur tua, apakah engkau yang sudah tidak laku kemudian menggantikan Cia Ma sebagai mucikari? Engkau tadi mencari dan menipu gadis-gadis dusun untuk kaupaksa menjadi pelacur?"
"Bukan urusanmu!" bentak wanita itu.
"Tentu saja urusanku. Aku akan mengobrak-abrik tempat maksiat, neraka bagi para gadis ini!" Cin Cin membentak.
"Berani kau!" Wanita pesolek itu membentak dan iapun sudah bergerak ke depan dan melompati meja menyerang Cin Cin dengan gerakan yang cukup tangkas.
Diam-diam Cin Cin merasa heran. Kiranya perempuan pesolek yang kini menggantikan Cia Ma adalah seorang yang tidak lemah, melainkan seorang yang memiliki silat cukup baik. Akan tetapi tentu saja tidak ada artinya bagi Cin Cin. Melihat perempuan itu menerjang sambil meloncat, kedua tangan membentuk cakar untuk mencakar muka, ia memutar tubuh dan begitu tubuh penyerangnya meluncur lewat, tangan kanannya bergerak menjambak rambut wanita itu, lalu tubuh itu ia putar-putar sampai si pemilik rambut menjerit-jerit kesakitan dan ketakutan.
"Lepaskan aku... aihh, lepaskan aku...!" Perempuan itu menjerit-jerit karena tidak berdaya dan merasa ngeri tubuhnya diputar-putar seperti gasing itu.
"Baik, kulepaskan kau!" kata Cin-cin dan ia melepaskan jambakan tangannya pada rambut itu dan tubuh perempuan itupun melayang dan membentur dinding ruangan depan itu.
"Brakkkk...!" Iapun terkulai dan pingsan.
Melihat ini, empat orang tukang pukul tadi menjadi marah sekali dan tanpa diperintah lagi sudah mencabut golok masing-masing dan mengepung Cin Cin. Sementara itu, Cia Ma hanya memandang dengan wajah pucat, akan tetapi tidak seperti dulu, kini ia tidak nampak galak, bahkan ia bangkit dan mundur ketakutan sampai tubuhnya merapat di sudut ruangan itu.
Sikap nenek ini membuat Cin Cin berkurang kemarahannya terhadap Cia Ma. Sebetulnya ia datang untuk menghajar Cia Ma dan anak buahnya, untuk membasmi rumah pelesir yang merupakan neraka bagi banyak gadis muda itu. Akan tetapi, kini sikap Cia Ma seperti orang yang tertekan, bahkan ia takut menghadapi wanita cantik yang pingsan itu.
Kini banyak wanita cantik keluar dan terbelalak melihat Cin Cin berdiri dikepung empat orang tukang pukul yang nampak bengis. Ada pula beberapa orang laki-laki yang menjadi tamu rumah pelesir itu. Juga bermunculan empat orang tukang pukul lagi yang merasa heran, mengapa empat orang rekan mereka, dengan golok di tangan mengepung seorang wanita cantik.
"Apa yang terjadi?" tanya seorang tukang pukul bermuka hitam yang menjadi kepala dari semua tukang pukul di situ.
"Ia telah memukul Kui-toanio (Nyonya Besar Kui)," kata seorang di antara empat pengepung itu.
"Hehhh, kalian memalukan saja. Masa menghadapi seorang gadis saja kalian harus menggunakan golok? Aku tidak ingin melihat pembunuhan dan terlibat perkara. Hayo simpan golok kalian dan kujadikan perlombaan. Gadis ini memang perlu di hajar. Siapa di antara kalian semua yang dapat menangkapnya akan kumintakan hadiah kepada Siocia."
Mendengar ucapan ini, tujuh orang tukang pukul anak buah si muka hitam tertawa-tawa dan maju mengepung, bahkan tiga orang tamu yang melihat betapa cantik jelitanya gadis yang hendak ditangkap, ikut-ikutan pula maju untuk sekedar mencoba untuk dapat menangkap dan merangkul gadis cantik itu.
Cin Cin berdiri dengan sikap tenang saja. Begitu dua orang menerjang maju untuk menangkapnya, kakinya bergerak dua kali menyambut dan tubuh dua orang itu terjengkang! Yang lain-lain menjadi terkejut dan penasaran. Serentak mereka maju berlomba untuk menangkap gadis yang masih nampak tenang itu. Melihat pandang mata dan sikap mereka yang kurang ajar, Cin Cin menjadi marah.
Ia terpaksa mengeluarkan tangan kirinya dari balik lipatan jubahnya dan kini ia menghadapi pengeroyokan banyak orang dengan gerakan kaki tangannya. Ia membagi-bagi pukulan dan tendangan, akan tetapi membatasi tenaganya karena ia tidak ingin membunuh orang, apalagi mengingat bahwa orang-orang ini hanyalah antek-antek pemilik rumah pelesir itu.
Begitu cepat gerakan tubuh Cin Cin sehingga para pengeroyoknya tidak melihat tubuhnya, hanya melihat bayangan menyambar-nyambar dan merekapun roboh terpelanting dan dalam waktu beberapa detik saja, mereka semua sudah roboh malang melintang dalam ruangan itu, membuat meja kursi berserakan. Para pelacur menjerit-jerit, para tamu juga terbelalak heran melihat betapa seorang gadis cantik dapat merobohkan demikian banyaknya pengeroyok.
Si muka hitam, kepala tukang pukul itu, menjadi penasaran dan marah sekali. Kalau tadi dia melarang anak buahnya mengeroyok Cin Cin dengan golok, kini dia sendiri mencabut goloknya dan matanya terbelalak melihat bahwa gadis itu ternyata tidak mempunyai tangan kiri. Tangan kirinya buntung sebatas pergelangan tangan dan ujung lengan yang buntung itu dibalut kain putih bersih.
"Gadis buntung, apa maksudmu membuat kekacauan di sini!" bentaknya sambil mengamangkan goloknya.
"Membasmi manusia-manusia iblis macam engkau!" Jawab Cin Cin.
Mendengar ini, si muka hitam marah dan diapun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Namun, dengan mudah Cin Cin miringkan tubuh mengelak dan pada saat golok menyambar lewat. Jari-jari tangan kanannya menusuk ke arah iga lawan.
"Krekk!" Dua batang tulang iga patah-patah dan si muka hitam terpelanting roboh, mengaduh-aduh mendekap iganya dan tak dapat bangkit kembali, sedangkan goloknya yang terpental sudah disambar oleh tangan kanan Cin Cin!
Tujuh orang tukang pukul yang tadi berpelantingan, kini sudah mengeroyok Cin Cin dengan golok mereka. Cin Cin memutar goloknya, nampak gulungan sinar dan para pengeroyoknya mengaduh-aduh, golok mereka terpental dan mereka terpaksa mundur karena lengan kanan mereka luka berdarah oleh sambaran sinar golok di tangan Cin Cin.
"Mundur semua!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Dan Cin Cin mengangkat muka memandang. Ia terheran melihat seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Penampilannya amat berwibawa dan matang, akan tetapi wajahnya yang cantik pesolek itu masih nampak muda, seperti tak jauh bedanya dengan usianya sendiri. Wanita itu kelihatannya baru berusia paling banyak dua puluh lima tahun, wajahnya lonjong dan manis sekali, dengan kulit putih mulus dan sepasang mata jeli dan senyum yang genit.
Tubuhnya ramping padat yang sengaja ditonjolkan di balik pakaian yang terbuat dari sutera tipis dan ketat. Ketika jubahnya yang longgar dan lebar itu tersingkap, bukan hanya nampak pinggangnya yang ramping dan tubuhnya yang padat, juga nampak sebatang golok kecil terselip di pinggangnya, menunjukkan bahwa wanita cantik ini jelas bukan seorang wanita lemah. Wanita itupun kini berdiri berhadapan dengan Cin Cin dan mengamati Cin Cin penuh perhatian dari rambut sampai ke kaki dan agak lama pandang matanya terhenti di ujung lengan kiri Cin Cin yang buntung.
Kedua orang wanita itu saling pandang bagaikan dua ekor singa betina yang siap bertarung dan kini saling mempelajari dan saling menilai dengan pandang mata berkilat. Para tukang pukul, para pelacur dan para tamu menjauhkan diri dan menonton dengan hati tegang. Kemudian, wanita cantik itu bertanya, suaranya terdengar nyaring dan merdu, namun mengandung penuh ejekan dan memandang rendah.
"Bocah buntung, siapakah engkau? Wajahmu cukup cantik, tubumu cukup indah, juga usiamu masih muda. Kalau saja tangan kirimu tidak buntung, tentu kami menerima engkau bekerja di sini!"
Mendengar ini, Cin Cin yang merasa heran bagaimana muncul seorang wanita seperti ini di rumah pelesir itu, teringat akan sikap Cia Ma yang ketakutan, lalu ia menjawab, suaranya ringan dan jenaka seperti biasa yang memang menjadi wataknya, disertai senyum manis.
"Namaku Kam Cin dan aku datang untuk membebaskan para gadis dusun yang dijebak di sini, juga untuk membasmi tempat maksiat yang merupakan neraka bagi para gadis muda ini. Dan siapakah engkau? Apakah engkau seorang di antara para pelacur di sini?"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mereka yang menonton dari tempat aman, bahkan ada seorang tukang pukul berkata, "Perempuan buntung itu mencari mati!"
Akan tetapi, Cin Cin bersikap tenang dan memandang kepada wanita itu dengan senyum dan pandang mata mengejek untuk membalas sikap congkaknya tadi. Dan ia kagum melihat betapa wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apapun, hanya matanya berkilat dan senyumnya semakin genit.
"Bocah buntung, sungguh engkau sombong, seperti seekor burung yang baru belajar terbang! Ketahuilah bahwa aku yang disebut di dunia kang-ouw sebagai Bi Tok Siocia (Nona Racun Cantik)!"
Ia berhenti sebentar untuk melihat tanggapan gadis buntung itu dan ia memandang heran melihat betapa gadis buntung itu sama sekali tidak kaget mendengar nama julukannya yang dianggapnya telah amat terkenal dan menggetarkan dunia persilatan itu. Dengan penasaran ia cepat menambahkan,
"Ayahku adalah majikan Liong-san (Bukit Naga), datuk besar Ouw kok Sian!" Kini ia bukan saja merasa heran, juga penasaran karena gadis buntung inipun sama sekali tidak terkesan oleh nama ayahnya.
Sebetulnya Cin Cin pernah mendengar nama datuk itu dari gurunya. Biarpun ia belum pernah mendengar nama Bi Tok Siocia, namun dari gurunya ia pernah mendengar tentang nama para datuk perslatan, juga tentang Ouw Kok Sian, datuk yang menguasai daerah pegunungan Liong-san. Akan tetapi ia sengaja tidak memperlihatkan sikap mengenalnya, sehingga membuat wanita cantik itu semakin penasaran.
Andaikata gadis buntung itu tidak mengenalnya, hal itu masih pantas karena ia belum lama merajalela di dunia persilatan. Akan tetapi nama besar ayahnya! Kalau gadis buntung ini tidak mengenal nama ayahnya, hal ini hanya membuktikan bahwa si buntung ini bukan orang kang-ouw dan tidak mempunyai pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Tentu saja disamping penasaran, iapun semakin memandang rendah.
"Kam Cin, engkau bocah lancang dan tak tahu diri!" bentak Bi Tok Siocia. "Cepat engkau berlutut minta ampun, dan aku hanya akan menghukum dengan bekerja di sini selama satu bulan. Kalau tidak, terpaksa aku akan membuntungi tanganmu yang satu lagi!"
"Bi Tok Siocia, terus terang saja, aku datang untuk berurusan dengan Cia Ma. Kenapa engkau mencampuri, bahkan seolah-olah engkau yang berkuasa di sini? Apakah sekarang Cia Ma sudah pensiun dan yang menjadi mucikari baru adalah engkau!"
"Aku penguasa di sini dan engkau tidak perlu tahu! Hayo cepat berlutut atau aku akan menyuruh orang-orangku untuk menangkapmu dan membuntungi tangan kananmu!"
Cin Cin melirik. Kini delapan orang tukang pukul yang tadi sudah siap dengan golok mereka, bahkan ditambah dua orang lagi yang nampak bengis. Ia tersenyum. "Mereka itukah orang-orangmu? Kalau mereka berani maju hendak membuntungi tangan kananku, jangan salahkan aku kalau tangan mereka sendiri yang akan buntung!"
Bi Tok Siocia memberi isyarat kepada anak buahnya. "Siapa yang dapat membuntungi tangan kanannya, akan kuberi hadiah besar!"
Mendengar ini, serentak sepuluh orang laki-laki yang sudah terbiasa mempergunakan kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka itu, menyerang dengan golok mereka terhadap Cin Cin.
Dengan sikap tenang, mulut masih tersenyum Cin Cin memungut kembali golok rampasannya yang tadi ia lepaskan ke atas lantai dan begitu ia menggerakkan golok itu, nampak sekali lagi gulungan sinar berkilauan yang membuat para pengeroyoknya terkejut dan bingung, karena bayangan gadis itu lenyap terbungkus gulungan sinar golok.
Kemudian, terdengar jerit mengaduh, disusul golok-golok beterbangan, darah muncrat dan potongan tangan-tangan jatuh ke lantai. Dalam waktu berapa menit saja, sepuluh orang pengeroyok itu telah mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi tangan kanan yang telah buntung sebatas pergelangan, persis seperti tangan Cin Cin, hanya mereka itu kehilangan tangan kanan!
Cin Cin menghadap ke arah Bi Tok Siocia, melempar golok rampasannya ke atas lantai dan berkata dengan nada mengejek, "Sudah kukatakan, siapa hendak membuntungi tanganku, berarti akan kehilangan tangannya sendiri!"
Bukan main marahnya hati Bi Tok Siocia, akan tetapi diam-diam iapun terkejut. Dari gerakan golok gadis buntung itu, ia dapat melihat bahwa gadis itu memang lihai sekali dan memiliki gerakan yang amat ganas dan dahsyat. "Bocah sombong! Engkau dari partai mana dan siapa gurumu?''
Cin Cin tersenyum mengejek. "Aku tidak berpartai, dan siapa guruku tidak perlu kau kenal. Guruku terlalu mulia untuk dikenal oleh seorang seperti engkau!"
"Keparat busuk, engkau sombong dan sudah bosan hidup!" Iapun mencabut sepasang goloknya yang tipis dan kecil, namun berkilauan saking tajamnya. "Hayo keluarkan senjatamu!" ia membentak sambil memutar sepasang goloknya sehingga nampak dua gulungan sinar yang berbelit-belit dan menyambar-nyambar.
Cin Cin maklum bahwa lawannya tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok tadi, maka iapun menggerakkan tangan kanannya ke balik jubahnya dan nampaklah sebatang pedang yang berkilauan dan bentuknya seperti naga. Melihat Cin Cin sudah mencabut sebatang pedang, wanita cantik itu mengeluarkan seruan nyaring dan iapun sudah menyerang dengan ganasnya.
Cin Cin menggerakkan pedangnya menyambut dan segera di ruangan depan itu terjadi pertandingan yang membuat semua orang tertegun dengan hati penuh ketegangan. Bayangan dua orang wanita itu tidak dapat terlihat oleh mereka karena saking cepatnya gerakan mereka. Bayangan merah terbungkus gulungan sinar pedang dan golok sehingga sukar dibedakan di antara mereka. Para pengeroyok yang kehilangan tangan kanan itu saling membalut di antara mereka dan masih terdengar mereka merintih dan mengeluh. Tentu saja tak seorangpun di antara mereka berani maju lagi.
Kini, Bi Tok Siocia benar-benar terkejut! Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis buntung yang tidak mengenal namanya, dan agaknya tidak pula mengenal nama ayahnya, yang nampaknya belum berpengalaman di dunia kangouw, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya! Bukan hanya ilmu pedangnya ganas dan dahsyat, dan tenaga sin-kang gadis buntung itu bahkan terlalu kuat baginya, juga pedang di tangan gadis itu mengingatkan ia akan seorang tokoh yang pernah ia dengar dari ayahnya.
"Tranggg...! Cringgg...!" Sepasang golok itu bertemu pedang dan tubuh Bi Tok Siocia meloncat ke belakang.
"Tahan!" serunya nyaring. "Apa hubunganmu dengan Tung-hai Mo-li?"
"Hem, sudah kukatakan, engkau tidak berhak untuk mengenal nama suboku!"
Wajah Bi Tok Siocia berubah. "Aih, kalau engkau murid Tung-hai Mo-li, berarti kita segolongan. Kita tidak semestinya bermusuhan!"
Cin Cin tersenyum mengejek. "Siapapun yang menipu dan menjebak gadis-gadis dusun untuk dijadikan pelacur, tentu akan kumusuhi!"
Bi Tok Siocia menggerakkan kedua pundaknya dan menyimpan sepasang goloknya. "Terserah, aku tidak ingin mencampuri lagi. Subomu kenal baik ayah, kalau aku memusuhimu, tentu ayah akan marah kepadaku," katanya dan sekali ia meloncat. Bi Tok Siocia lenyap dari situ, entah ke mana.
Melihat betapa pemimpin mereka melarikan diri, para tukang pukul yang kehilangan tangan kanan itu serentak menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat, takut kalau mereka akan dibunuh gadis buntung yang amat lihai itu.
"Lihiap, ampunkan kami..." kata si muka hitam mewakili teman-temannya.
"Pergilah kalian, dan ingat. Kalau lain kali aku melihat seorang yang buntung tangan kanannya melakukan kejahatan, akan kubuntungi pula lehernya!"
Mendengar ucapan ini, sepuluh orang tukang pukul itu lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan golok dan tangan mereka yang berserakan di lantai.
Cia Ma yang tadi juga menyaksikan semua itu, kini tergopoh-gopoh menghampiri Cin Cin dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Cin sambil menangis. "Aih, tidak kusangka... engkau, Cin Cin... engkau telah menolongku."
Cin Cin mengerutkan alisnya. "Cia Ma, aku kesini bukan untuk menolongmu, melainkan untuk menghajarmu! Engkau manusia jahat, siapa yang ingin menolongmu?"
Nenek itu menangis, "Tapi... tapi... engkau telah mengusir iblis-iblis itu dari sini"
Cin Cin maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu di sini. "Suruh bersihkan ruangan ini, baru kita bicara."
Cia Ma cepat memanggil para pelayan dan memerintahkan mereka membersihkan tempat itu dan ia sendiri mengajak Cin Cin untuk duduk dan bicara di dalam. Setelah mereka duduk di dalam, Cin Cin berkata, suaranya ketus karena ia masih tak senang mengingat akan semua pengalamannya dahulu dengan nenek ini.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang terjadi dan mengapa perempuan tadi berada di sini menguasai tempat ini."
"Terjadinya sudah setahun yang lalu. Pada suatu hari, perempuan yang minta disebut Siocia itu datang ke sini dan memaksa aku menyerahkan rumah ini dan semua isinya kepadanya. Ia bahkan membunuh para pembantuku, dan menyiksaku, memperlakukan aku sebagai seorang tahanan, bahkan kadang memukuliku..." dan nenek itu menangis lagi.
Cin Cin tersenyum di dalam hatinya. Kini ia mengerti. Kiranya Bi Tok Siocia, iblis betina itu, telah mengambil alih kekuasaan di tempat ini demi keuntungannya sendiri. Hal itu berarti bahwa Cia Ma terhukum dan tersiksa. Sebelum ia turun tangan, nenek ini sudah menderita siksaan dari orang lain yang lebih jahat lagi...