"Hemm, kalau saja tidak terjadi hal itu kepadamu, tentu sekarang ini engkau yang kubuntungi lengannya, bukan anak buah perempuan itu!" hardiknya.
Wajah nenek itu menjadi pucat dan iapun menjatuhkan diri berlutut lagi di depan kaki Cin Cin. "Maafkan aku... li-hiap, maafkan aku. Memang aku dahulu bersalah kepadamu... akan tetapi... orang telah menjual dirimu kepadaku... maafkan aku..." Ia menangis lagi.
"Bangkit dan duduklah! Sekarang dengar baik-baik. Kau panggil ke sini semua gadis yang ditahan di sini, juga para pelacur yang menjadi anak buahmu. Suruh mereka berkumpul sekarang juga di sini. Cepat!"
Bergegas nenek itu terseok dan terbongkok masuk ke dalam dan tak lama kemudian ia muncul kembali, diikuti oleh lima belas orang gadis manis yang berpakaian sebagai gadis dusun dan sepuluh orang gadis yang pesolek dan berpakaian indah. Agaknya para penghuni rumah pelesir itu sudah mendengar akan peristiwa hebat terjadi disitu, maka begitu berhadapan dengan Cin Cin yang masih duduk dengan tenangnya, limabelas orang gadis dusun itu serentak menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Cin sambil menangis dan mohon pertolongannya.
Cin Cin mengangkat kedua tangannya, "Bangkitlah kalian semua dan jangan menangis. Sekarang coba kalian ceritakan, seorang demi seorang, bagaimana kalian dapat berada di tempat ini..."
Merekapun bercerita bahwa mereka dibujuk oleh anak buah Nyonya Lu dan kadang oleh nyonya cantik itu sendiri, untuk diberi pekerjaan pada seorang hartawan atau bangsawan. Orang tua mereka dan mereka terbujuk dan mau dibawa pergi, dan tidak tahunya mereka ditahan di rumah ini dan di paksa untuk menjadi calon pelacur. Mereka diancam bahwa kalau tidak menurut, mereka akan disiksa bahkan diancam akan dilaporkan kepada yang berwajib karena menipu, dengan tuduhan bahwa mereka dan orang tua mereka telah memiliki hutang yang banyak.
"Cia Ma, sekarang keluarkan semua harta milikmu, kirim pulang semua gadis ini ke dusun masing-masing dan bekali uang sekucupnya. Laksanakan hari ini juga!" kata Cin Cin.
Kemudian Cin Cin juga bertanya kepada sepuluh orang gadis yang telah menjadi pelacur di tempat itu. Mereka yang ingin melanjutkan pekerjaan mereka sebagai pelacur tanpa dipaksa siapapun, ia tidak ambil perduli. Akan tetapi di antara mereka yang ingin terlepas dari cengkeraman mucikari dan ingin pulang, iapun memerintahkan Cia Ma untuk mengirim mereka pulang ke dusun masing-masing dan dibekali uang sekucupnya. Cin Cin sendiri yang mengatur pemberian bekal uang, dan melihat bahwa Cia Ma benar-benar melaksanakan perintahnya. Tentu saja para gadis itu menjadi girang bukan main dan berterima kasih.
Setelah semua itu dilaksanakan dan Cin Cin tinggal di situ untuk mengawasi pelaksanaan sampai menginap semalam, ia memanggil Cia Ma yang nampak lesu dan lemas karena semua harta miliknya dibagi-bagi dan diberikan sebagai bekal kepada para gadis yang dipulangkan ke dusun masing-masing.
"Cia Ma, engkau sudah tua, dan dengan sisa hartamu, engkau dapat hidup menganggur sampai mati. Mulai hari ini, tutup rumah pelesir ini. Kalau lain hari aku lewat di sini dan melihat bahwa rumah pelesir ini masih kau buka dan engkau menyeret gadis-gadis dusun menjadi pelacur, menjadi sumber keuntunganmu dengan memaksa mereka menggunakan berbagai cara, aku akan membakar rumahmu ini dan kulemparkan engkau hidup-hidup dalam kobaran apinya!"
Sambil menangis Cia Ma berjanji, bersumpah dan sekali ini ia tidak bermain-main. Baru saja ia terhindar dari malapetaka. Selama setahun, semenjak kekuasaannya dirampas Bi Tok Siocia, ia hidup bagaikan orang hukuman, sengsara dan tersiksa. Dan kini melihat betapa Cin Cin yang biar tangan kirinya buntung kini menjadi seorang pendekar wanita yang demikian sakti, yang membuntungi tangan sepuluh orang tukang pukul, bahkan berhasil mengusir Bi Tok Siocia, mengeluarkan ancaman seperti itu, ia bergidik dan benar-benar takut dan ngeri. Ia bertobat.
Setelah membereskan urusan di rumah pelesir Ang-hwa di mana ia dahulu pernah tinggal, dalam sehari membasmi rumah pelesir itu dan mengubahnya menjadi sebuah rumah tinggal janda tua Cia Ma yang tidak lagi mau melakukan pekerjaan hina seperti semula, Cin Cin meninggalkan kota Ji-goan dan pergi ke Lok-yang. Ia ingin mencari ibunya dulu sampai dapat ia temukan. Kini ia dapat mencari lebih mudah setelah mengetahui bahwa ibunya telah menjadi isteri Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai yang cukup terkenal itu.
Setelah bertemu dengan ibunya, baru ia akan kembali kepada subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, untuk melaporkan kegagalannya membunuh Pangeran Cian Bu Ong seperti yang dipesankan gurunya, iapun belum dapat menemukan musuh gurunya yang ke dua, yaitu Can Hong San yang membunuh suheng dari subonya yang bernama Can Siok. Sebetulnya ia merasa malu untuk bertemu subonya.
Pertama ia belum dapat menemukan Can Hong San, pembunuh ayahnya sendiri, yaitu Can Siok suheng subonya. Ke dua, ia gagal untuk membunuh Pangeran Cian Bu Ong, bahkan kehilangan sebelah tangannya dalam usahanya itu. Akan tetapi bagaimanapun juga, kalau ia sudah dapat bertemu ibunya, ia harus melapor kepada subonya.
Berita tentang rumah pelesir Ang-hwa di kota Ji-goan itu segera tersiar dengan cepat luas. Dalam berita itu dikabarkan bahwa rumah pelesir itu diserbu seorang gadis cantik yang bertangan buntung, namun lihai bukan main dan bahwa rumah pelesir itu dibubarkan dan semua gadisnya dipulangkan oleh pendekar wanita itu. Berita ini tentu saja menggemparkan, karena belum pernah terjadi seorang pendekar wanita mencampuri urusan rumah pelesir dan membebaskan para pelacur!
Berita itu tersiar cepat dan luas sampai ke kota Lok-yang. Sejak tersiarnya berita itu, rumah-rumah pelesir di berbagai kota yang berdekatan terutama di Lok-yang di mana terdapat banyak rumah pelesir, menambah jumlah tukang pukul mereka untuk menjaga kemungkinan kalau kalau tempat merekapun akan diserbu oleh pendekar wanita tangan buntung itu. Tidak ada yang tahu siapa nama pendekar wanita itu, karena berita itu hanya mengabarkan bahwa pendekar ini buntung tangan kirinya.
Sepasang suami isteri yang bermalam di sebuah hotel di kota Lok-yang, mendengar pula akan berta itu. Mereka merasa tertarik dan pada sore itu mereka bercakap-cakap di kamar mereka, membicarakan berita yang cukup menggemparkan itu.
"Sungguh aneh sekali berita itu, kita harus menyelidikinya!" berulang-ulang sang suami berkata kepada isterinya, sambil mondar-mandir menggendong kedua tangan di belakang pinggulnya.
Isterinya mengikuti gerakan dan langkah suaminya dengan pandang matanya, lalu tersenyum geli dan bertanya, "Sejak mendengar berita itu, engkau nampak gelisah dan selalu memikirkannya. Apa sih yang aneh dengan berita itu?"
Suami itu tinggi besar dan gagah, brewokan namun rapi, usianya enampuluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kokoh dan gagah. Dia bukan lain adalah Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai bersama isterinya, yaitu Coa Liu Hwa yang kini telah berusia empatpuluh enam tahun, namun masih tetap cantik. Mereka berdua memang sedang berada di Lok-yang setelah menemui Lai Kun dan mendengar bahwa ketika Lai Kun mengantarkan anak Coa Liu Hwa, yaitu Kam Cin, ke rumah Huang-ho Sin liong Si Han Beng, di dalam perjalanan dekat Lok-yang, anak itu hilang, mungkin terbawa para perampok.
"Apakah engkau tidak merasa aneh? Mana pernah ada seorang pendekar wanita menyerbu rumah pelesir dan membebaskan para pelacur? Seolah ia tidak mempunyai pekerjaan lain saja. Biasanya, mendekati rumah begituan saja merupakan pantang bagi seorang pendekar wanita yang menjaga nama baiknya. Pula, kabarnya pendekar wanita yang buntung tangan kirinya itu lihai sekali, kabarnya malah ia telah mengalahkan Bi Tok Siocia yang tadinya menguasai rumah pelacuran itu. Ini menarik sekali!"
"Siapa sih Bi Tok Siocia itu?" tanya Coa Liu Hwa.
"Seorang tokoh sesat yang belum lama muncul. Akan tetapi kabarnya ia adalah putera atau murid dari datuk besar di Liong-san, yaitu Ouw Kok Sian."
"Aihh, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita," kata wanita itu. "Nanti dulu, jangan tergesa mengatakan tidak ada hubungannya. Aku yakin bahwa kalau sampai ada seorang pendekar wanita yang demikian lihai mengamuk di rumah pelesir, hal itu tentu berarti bahwa ia mempunyai urusan dengan tempat itu, berarti ia marah dan membenci tempat itu. Kemudian, kita teringat bahwa anakmu hilang di sekitar daerah ini. Nah, bukankah menarik sekali untuk menyelidiki siapa pendekar wanita itu?"
Coa Liu Hwa terbelalak dan suaranya gemetar ketika ia bertanya, "Kau pikir ia itu Cin Cin...?"
Suaminya menggeleng kepala. "Aku tidak menduga sejauh itu. Akan tetapi setidaknya, peristiwa itu menarik sekali dan siapa tahu pendekar wanita itu mempunyai hubungan atau mengetahui dimana adanya anakmu yang hilang."
"Kalau begitu, mari kita cari ia sekarang juga!"
Mendengar ini, Lie Koan Tek tersenyum, dan diam-diam ia merasa kasihan kepada isterinya yang telah kehilangan puterinya dan amat merindukannya. "Sekarang sudah malam, ke mana kita akan mencarinya? Besok saja pagi-pagi kita berangkat melakukan penyelidikan. Kurasa, tidak begitu sukar untuk mencari seorang gadis cantik yang tangan kirinya buntung."
Coa Liu Hwa menyetujui, akan tetapi malam itu ia gelisah tak dapat tidur karena memikirkan puterinya. Apalagi ketika ia membayangkan betapa puterinya itu kini buntung tangan kirinya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri ini sudah meninggalkan rumah penginapan. Mereka hendak pergi ke kota Ji-goan di mana terjadi peristiwa di rumah pelesir Ang-hwa seperti yang mereka dengar beritanya itu dan hendak memulai pencarian mereka dari sana. Pagi itu suasana di jalan raya masih sunyi, dan ketika mereka berjalan sampai di pintu gerbang, hanya ada beberapa orang berlalu-lalang melalui pintu gerbang sebelah selatan.
Tiba-tiba Lie Koan Tek merasa betapa tangannya dipegang isterinya dan jari tangan isterinya mencengkeram tangannya kuat-kuat. Hampir dia berteriak kaget, akan tetapi ketika dia memandang isterinya, dia melihat Lui Hwa terbelalak memandang ke depan. Dia cepat ikut pula memandang dan ternyata yang menarik perhatian isterinya adalah seorang gadis yang berjalan perlahan memasuki pintu gerbang itu.
Seorang gadis yang cantik manis, akan tetapi yang pada hari yang sunyi itu berjalan seorang diri dengan langkah perlahan dan muka ditundukkan tanpa memperdulikan keadaan sekeliling, seolah ia sedang tenggelam dalam lamunan. Memang sejak ia kehilangan tangannya yang dibuntungi Thian Ki, walaupun ia telah dapat mengatasi kedukaannya, namun Cin Cin yang tadinya tidak pernah melamun dan yang selalu berwatak riang jenaka dan lincah itu, kini seringkali termenung seorang diri.
Ia tadinya merasa amat benci dan mendendam kepada Thian Ki. Yang teringat hanya bahwa pemuda itu telah membuntungi tangan kirinya. Akan tetapi kemudian, setelah panasnya hati yang mengeruhkan pikirannya mereda dan ia mempertimbangkannya, iapun menyadari bahwa Thian Ki bukan sengaja membuntungi tangan kirinya, melainkan terpaksa melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya. Thian Ki adalah seorang tok-tong (anak beracun)!
Tubuhnya beracun, sehingga siapapun yang menyerangnya, akan menyerang tubuh yang beracun dan menjadi keracunan. Ketika tangan kirinya mencengkeram pundak Thian Ki, hawa beracun memasuki tangannya dan agaknya racun itu sedemikian jahatnya sehingga tidak mungkin dapat dilenyapkan dari tangannya. Kalau Thian Ki tidak cepat membuntungi tangan kirinya, racun itu akan menjalar naik dan kalau sampai ke jantungnya, iapun pasti akan tewas.
Masih terbayang wajah Thian Ki yang pucat dan matanya yang penuh kedukaan setelah membuntungi tangan kirinya itu! Anehnya, sejak itu, tak pernah ia mampu melupakan Thian Ki! Mula-mula, wajah pemuda itu selalu teringat olehnya dengan perasaan mengandung benci, namun lambat laun, kebencian itu semakin berkurang oleh pengertian.
Suami isteri Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa memandang kepada gadis itu penuh perhatian, terutama sekali Liu Hwa. Ketika mereka melihat gadis itu berjalan sambil menundukkan muka seperti sedang tenggelam dalam renungan, tangan kirinya dimasukkan dalam saku jubahnya, mereka hampir yakin bahwa inilah gadis pendekar yang mereka cari itu. Kalau bukan gadis pendekar tangan kiri buntung, mengapa gadis itu menyembunyikan tangan kirinya ke dalam saku jubahnya?
"Bagaimana? Apakah wajahnya...!?" Tanya Lie Koan Tek berbisik.
Isterinya menggeleng kepala ragu. "Entahlah, sudah enambelas tahun aku tidak bertemu dengannya. Bagaimana aku dapat mengenalnya? Ketika itu, usianya baru lima tahun..."
Melihat kesedihan membayang pada wajah isterinya, Lie Koan Tek lalu memegang tangan isterinya dan berkata, "Mari kita bayangi gadis itu!"
Isterinya hanya mengangguk dan merekapun memasuki kembali kota Lok-yang, diam-diam membayangi gadis itu dengan hati penuh keraguan.
Sebetulnya, setelah apa yang ia lakukan di kota Ji-goan, hati Cin Cin sedikit banyak merasa puas. Bukan saja ia telah memberi hukuman kepada Cia Ma seperti yang telah ia inginkan, bahkan yang lebih memuaskan hatinya, ia dapat membebaskan banyak gadis dusun sebelum terlambat, dapat menghajar para tukang pukul, dan terutama sekali, ia dapat menyadarkan kembali Cia Ma sehingga nenek itu bertobat dan akan menebus dosa dengan mengubah jalan hidupnya.
Biarpun Cia Ma pernah menahannya dan bahkan pernah memukulinya, akan tetapi harus ia akui bahwa Cia Ma juga pernah bersikap lembut dan ramah kepadanya. Ia diberi pakaian indah, ia dipaksa untuk belajar kesenian, menari dan bernyanyi, sungguhpun semua itu diberikan kepadanya, agar harganya naik di mata calon pembelinya!
Urusannya dengan Cia Ma yang selama ia belajar ilmu, menjadi satu di antara dendamnya, telah beres. Kini tinggal mencari ibunya, baru setelah itu, ia akan mencari Coa Hong San untuk melaksanakan perintah subonya, atau kembali kepadanya untuk melaporkan tentang kegagalannya membunuh Pangeran Cian Bu Ong. Ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk dari Ji-goan menuju ke Lok-yang. Kini ia merasa lelah dan juga perutnya terasa lapar.
Ketika ia memasuki kota Lok-yang yang masih sepi, tiba-tiba hidungnya disambar bau sedap masakan. Ia menoleh dan melihat sebuah rumah makan kecil di tepi jalan. Agaknya dari sanalah datangnya uap yang sedap tadi. Rasa laparnya semakin menggila ketika sedap masakan menyerang hidungnya dan iapun segera menghampiri rumah makan itu.
Pelayan tunggal di rumah makan itu menghampiri ketika Cin Cin duduk di bangku menghadapi meja. "Nona hendak makan apakah?" tanyanya sambil membersihkan meja itu dengan kain yang selalu disampirkan di pundaknya. Sikapnya sederhana dan sopan, maka hati Cin Cin juga merasa senang. Seringkali ia harus mulai menghadapi makanan di rumah makan dengan hati jengkel karena sikap pelayannya yang genit dan kurang ajar.
"Aku ingin makan bubur ayam dan minum panas yang tidak terlalu pahit," katanya.
Pelayan itu mengangguk dan memesankan makanan itu kepada tukang masak, kemudian dia bergegas menyambut tamu lain yang duduk di sebelah luar, yaitu Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa. Karena memang bubur ayam di Lo-yang terkenal lezat, suami isteri itupun memesan bubur ayam dan air tea. Cin Cin yang bersikap acuh terhadap sekelilingnya, tidak tahu bahwa sejak memasuki kota Lok-yang, suami isteri itu selalu membayanginya, bahkan kini duduk tak jauh darinya, di sebelah luar sedangkan ia duduk di sebelah dalam rumah makan itu.
Ketika pelayan menghidangkan pesanannya, Cin bertanya. "Apakah kalian menyewakan kamar di sini?"
Pada waktu itu, biasanya rumah makan juga menyewakan kamar-kamar, semacam losmen kecil. "Ah, kebetulan sekali, masih ada kamar kosong di loteng, nona."
"Bagus, suruh bersihkan sebuah kamar di loteng untukku. Aku akan tinggal di sini beberapa hari," katanya sambil mulai makan bubur ayam yang masih mengepul panas.
Lie Koan Tek dan isterinya mendengar gadis itu memesan kamar, dan merekapun mulai makan bubur ayam. Mereka melihat pelayan tadi menghampiri si gadis dan mengatakan bahwa kamar telah siap, yaitu kamar nomor dua di loteng. Lie Koan Tek dan isterinya kini merasa yakin bahwa gadis itulah yang membuat geger di kota Ji-goan.
Kini, setelah mulai makan, Cin Cin mengeluarkan lengan kirinya yang buntung sehingga semua orang dapat melihat bahwa lengan kirinya buntung dan ujung lengan itu dibalut kain putih bersih. Dan agaknya bukan hanya Lie Koan Tek dan isterinya yang melihat kenyataan itu. Beberapa orang yang sedang sarapan di rumah makan saling berbisik. Namun gadis itu acuh saja dan melanjutkan sarapannya.
Coa Liu Hwa mengamati gadis itu. Mulut dan matanya seperti Cin Cin, pikirnya. Akan tetapi Cin Cin tidak buntung lengannya, dan kalau gadis itu puterinya, maka telah terjadi perubahan yang luar biasa. Hatinya perih rasanya ketika melihat betapa gadis itu menggunakan sendok menyuapi mulut sendiri dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kini disembunyikan di bawah meja.
Empat orang laki-laki yang baru saja memasuki rumah makan itu dan kebetulan melihat Cin Cin mengeluarkan lengan buntungnya, nampak terkejut. Mereka adalah Lok-yang Su-liong (Empat Naga dari Lok-yang), yaitu empat orang saudara jagoan yang boleh dibilang menguasai daerah Lok-yang, menjadi orang yang dianggap kepala di antara semua golongan hitam.
Seluruh tempat maksiat, rumah pelesir, rumah judi, bahkan perusahaan keamanan di kota itu selalu memberi upeti kepadanya, akan tetapi, semenjak munculnya Bi Tok Siocia, kekuasaan mereka tertekan dan mereka berempat juga ditundukkan oleh iblis betina itu sehingga mereka menjadi pembantu-pembantu Bi Tok Sio cia.
Kini, mendengar bahwa Bi Tok Siocia dikalahkan seorang pendekar dan melarikan diri, empat orang jagoan ini merasa mendapatkan kekuasaan mereka kembali dan pagi hari itu, mereka memulai dengan pesta merayakan kembalinya kekuasaan mereka itu dengan sarapan pagi di rumah makan.
Ketika mereka duduk, kebetulan hidangan untuk Cin Cin dikeluarkan pelayan dan gadis itu terpaksa mengeluarkan lengan kirinya yang buntung dan yang tadinya ia sembunyikan saja di saku jubahnya. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati empat orang jagoan itu. Baru semalam mereka mendengar bahwa Bi Tok Siocia dipaksa melarikan diri oleh seorang gadis pendekar yang buntung lengan kirinya, kini di rumah makan itu, mereka melihat seorang gadis yang lengan kirinya buntung sedang makan bubur ayam!
Timbul perasaan khawatir di hati empat orang jagoan itu. Jangan-jangan gadis itu seperti juga Bi Tok Siocia, hendak menguasai semua rumah pelesir dan rumah perjudian! Jangan-jangan mereka berempat kembali hanya akan menjadi pembantu saja. Melihat betapa gadis itu sederhana saja seorang diri, bertangan sebelah buntung, tidak mempunyai banyak anak buah seperti halnya Bi Tok Siocia, maka empat orang itu memandang rendah dan sengaja hendak mencari gara-gara agar gadis itu merasa takut dan segera pergi dari kota Lok-yang, tidak lagi merupakan ancaman baginya.
"Heii, twako, kabarnya ada gadis berlengan buntung yang hendak menjagoi di daerah kita. Benarkah itu?" tanya seorang di antara mereka pada orang pertama dari Lok-yang Su-liong, yaitu seorang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh jangkung kurus seperti pemadatan. Dua orang rekannya mengeluarkan suara tawa dari hidung secara mengejek dan mereka semua melirik ke arah Cin Cin yang masih makan bubur dengan tenangnya.
"Kabarnya ia seorang pendekar!" kata orang ke dua. "Kalau ia benar pendekar, sebaiknya jangan terlalu lama berada di sini."
"Belum tentu pendekar. Siapa tahu kalau ia hanya seorang tokoh lain yang ingin merajai di rumah ini," kata pula orang ke tiga. Kini si jangkung mengeluarkan suara dan suaranya memang serasi dengan tubuhnya yang jangkung kurus. Suaranya kecil seperti suara wanita.
"Hemm, kalau ia ingin menjagoi, berarti ia belum mendengar nama Lok-yang Su-liong! Kalau ia cerdik, sebaiknya ia tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw di sini, karena ia tentu akan berhadapan dengan kita dan dengan banyak saudara kita yang lain."
Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa saling pandang, mereka berdua maklum benar bahwa empat orang jagoan itu sedang mencari gara-gara terhadap gadis lengan buntung yang masih makan dengan sikap tenang dan santai itu. Mereka mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja karena mungkin dalam percakapan antara gadis itu dan empat orang berandal ini akan terungkap siapa adanya gadis itu, benar ia Cin Cin seperti yang mereka duga ataukah bukan. Mereka pura-pura tidak melihat dan melanjutkan makan bubur, akan tetapi diam-diam menaruh perhatian terhadap gadis itu.
Tentu saja Cin Cin maklum bahwa dirinya yang dimaksud dalam percakapan orang itu, akan tetapi ia tidak mau mencari perkara, ia ingat akan pesan subonya bahwa ia tidak boleh mencari perkara dan membuat permusuhan. Ia tidak mengenal mereka dan ia dapat menduga bahwa mungkin mereka adalah pimpinan penjahat di kota Lok-yang ini yang sudah mendengar akan sepak-terjangnya di rumah pelesir Ang-hwa di kota Ji-goan.
Ia tidak perduli karena andaikata ia tidak ada hubungan dengan Cia Ma atau andaikata ia tidak melihat delapan orang gadis dusun dalam kereta, iapun tidak akan usil mencari perkara dengan rumah pelesir itu. Iapun mengambil keputusan untuk diam saja tidak menanggapi mereka, asalkan mereka tidak mengganggunya, baik dengan omongan maupun dengan perbuatan.
Akan tetapi, Lok-yang Su-liong adalah tokoh-tokoh sesat, maka seperti para tokoh sesat lainnya, watak mereka sombong. Mereka sudah terbiasa memaksakan kehendak dengan kekerasan, dan apabila orang tidak melawan mereka, mereka anggap bahwa orang itu takut terhadap mereka!
Kini, melihat betapa gadis lengan buntung itu diam saja, melirikpun tidak, mereka mempunyai dua macam dugaan. Pertama, gadis itu bukan pendekar wanita yang telah mengusir Bi Tok Siocia, dan ke dua, kalau benar ia pendekar wanita itu, tentu merasa jerih untuk berlagak di kota Lok-yang dan takut terhadap mereka!
Sementara itu, Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa diam-diam merasa mendongkol sekali melihat sikap empat orang itu. Mereka belum yakin bahwa gadis itu adalah orang yang mereka cari, akan tetapi melihat gadis itu diam saja dan empat orang itu mengeluarkan ejekan-ejekan, tentu saja mereka berpihak kepada si gadis lengan buntung. Bahkan Liu Hwa merasa amat penasaran. Gadis itu tadi menunduk saja, seperti tenggelam dalam lamunan penuh duka, maka tidak pernah memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tentu gadis itu belum melihatnya. Kalau gadis itu memang benar anaknya, tentu akan mengenalnya. Bagai seorang wanita yang sudah menjadi ibu seperti dirinya, waktu enambelas tahun tidak akan mendatangkan banyak perubahan, berbeda dengan perbedaan antara seorang kanak-kanak berusia lima tahun yang kini menjadi seorang gadis berusia dua puluh satu tahun! Ia tentu tidak banyak berubah dan Cin Cin pasti akan mengenalnya.
"Eh, twako! Jangan-jangan pendekar wanita buntung itu juga gagu atau tuli, ha-ha-ha!" seorang di antara empat jagoan itu mengeluarkan ucapan yang nyaring dan penuh ejekan, jelas ditujukan kepada gadis buntung itu karena mereka berempat memandang ke arah gadis itu sambil tertawa-tawa.
Andaikata gadis itu bukan puterinya sekalipun, sikap empat orang ini cukup membuat hati Coa Liu Hwa menjadi panas dan marah. Sebelum dicegah suaminya yang ia tahu amat sabar dan tenang, dari tempat duduknya iapun berkata dengan nada suara lantang.
"Bubur ayam di rumah makan ini enak dan air tehnya juga sedap, hanya sayang sekali ada empat ekor lalat besar yang bau busuk dan suaranya memualkan perutku! Dan ada empat ekor cacing mengaku naga, sungguh menjemukan sekali!"
Lie Koan Tek terkejut akan tetapi tidak mampu mencegah isterinya yang sudah bicara dengan suara dan nada keras itu. Juga Cin Cin terkejut, bukan saja oleh kata-kata itu, melainkan terutama sekali oleh suara itu. Ia masih mengenal suara itu dan iapun melirik. Hampir saja ia melonjak dari tempat duduknya ketika ia mengerling dan melihat wanita yang duduk di luar itu. Akan tetapi, melihat wanita itu duduk dengan seorang pria berusia enampuluhan tahun yang tinggi besar berewok dan amat gagah perkasa, iapun menahan diri dan pura-pura tidak mengenal.
Ibunya! Jelas ia tidak ragu lagi. Wanita itu adalah ibunya dan pria yang duduk di sebelahnya itu siapa lagi kalau bukan pendekar Siauw-lim-pai yang bernama Lie Koan Tek, yang kini menjadi suami ibunya! Perasaan haru dan gembira dalam hati Cin Cin segera tertutup oleh rasa sesal dan cemburu. Semenjak dusun Ta-bun-cung di mana perkumpulan Hek- houw-pang diserbu penjahat sehingga ayahnya, Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang tewas, ibunya entah pergi ke mana.
Kemudian, ia sendiri menderita kehidupan yang amat pahit dan hampir saja celaka di tangan Cia Ma! Kalau tidak bertemu dengan Tung-hai Mo-li, mungkin ia kini telah dipaksa menjadi pelacur! Ia hidup menderita, dan ibunya! Ibunya yang kematian suami itu bahkan telah menggandeng seorang pria baru, suami baru! Ia menderita sengsara dan ibunya malah bersenang-senang. Kemarahan ini yang membuat Cin Cin diam saja, pura-pura tidak mengenal ibunya sendiri. Padahal sebelum pertemuan ini, ia amat merindukan ibunya.
Empat orang jagoan itu serentak bangkit dari tempat duduk mereka dan memutar tubuh memandang ke arah wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap mereka. Dan mereka melihat wanita yang setengah tua, sudah mendekati limapuluh tahun namun masih cantik dan gagah, duduk memandang kepada mereka dengan senyum mengejek, sedangkan di dekat wanita itu duduk seorang laki-laki gagah perkasa yang nampak tenang dan masih makan bubur ayamnya. Sebaliknya, wanita itu memandang kepada mereka dengan bibir tersenyum mengejek mata menantang!
Coa Liu Hwa merasa kecewa sekali karena tadi ia memperhatikan ke arah gadis buntung dan melihat betapa gadis itu mengerling kepadanya. Akan tetapi, gadis itu tenang saja dan agaknya sama sekali tidak mengenalnya! Kalau begitu, gadis itu bukan Cin Cin, bukan puterinya! Ingin ia menangis rasanya, begitu kecewa dan penasaran. Maka rasa penasaran ini ia tumpahkan kepada empat orang itu, tidak perduli betapa suaminya mencegahnya dengan pandang mata.
"Heii, kalian empat orang sialan! Mau apa engkau melotot dan memandang kepadaku? Apakah kalian menantang?"
Tentu saja Lie Koan Tek terkejut bukan main. Biasanya, isterinya agak pendiam dan tidak suka mencari perkara. Dia dapat menduga tentu isterinya bersikap seperti itu untuk memancing perhatian gadis buntung itu. Diapun melihat betapa gadis itu bersikap acuh saja. Padahal kalau benar gadis itu puteri isterinya, tentu kini telah mengenal ibu kandungnya.
Si jangkung kurus yang menjadi orang pertama dari Lok-yang Su-Liong, tak dapat menahan kemarahannya yang berkobar sejak pertama kali Liu Hwa bicara tadi. "Heii, nyonya! Apakah engkau menghina kami Lok-yang Sui-liong? Siapakah engkau berani bersikap begini kurang ajar kepada kami?"
Liu Hwa juga bangkit berdiri dan bertolak pinggang, sikap yang sungguh aneh dan asing bagi Lie Koan Tek, akan tetapi diapun dapat menduga bahwa perubahan sikap isterinya ini semata-mata ingin menarik perhatian gadis itu.
"Hemm, kalian berjuluk demikian besar, Empat ekor Naga Lok-yang, akan tetapi sikap kalian menghina orang seperti cacing-cacing tanah saja! Seolah-olah di dunia ini tidak ada orang berani kepada kalian. Aku seorang murid Hek-houw-pang sama sekali tidak takut!"
Biarpun ia bicara kepada empat orang itu, ketika mengatakan bahwa ia murid Hek-houw-pang, ia melirik ke arah gadis buntung itu, akan tetapi gadis itupun masih tetap duduk dengan tenang.
"Perempuan sombong!" Seorang di antara Lok-yang Su-liong membentak. Dia berusia empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan merupakan orang termuda di antara mereka, juga wataknya mata keranjang. "Kalau saja engkau duapuluh tahun lebih muda, tentu akan kuhukum dengan menemaniku selama beberapa malam, ha-ha-ha!" Tiga orang kawannya juga tertawa-tawa.
Kini Lie Koan Tek bangkit berdiri dan memandang ke arah empat orang itu. "Sudah lama aku mendengar nama Lok-yang Su-liong sebagai penjahat-penjahat kecil di kota Lok-yang yang suka berbuat jahat. Kiranya, kalian selain jahat juga pengecut dan beraninya hanya menghina wanita-wanita saja, walaupun isteriku ini kalau kubiarkan tentu akan dapat membunuh kalian dengan mudahnya!"
Empat orang itu kini meninggalkan meja mereka dan dengan sikap mengancam mereka menghampiri suami isteri itu. Si tinggi kurus menudingkan telunjuknya kepada Liu Hwa dan menghardik kepada Lie Koan Tek,
"Isterimu ini yang lebih dahulu menghina kami! Tidak tahukah kalian bahwa kami Lok-yang Sui-liong adalah pimpinan semua tokoh kangouw di daerah ini? Isterimu yang bersikap tidak patut!"
"Kalian sendiri menghina seorang gadis dan masih berani menuduh aku yang menghina orang?" bentak Liu Hwa penuh semangat. Kini ia melihat betapa gadis buntung itu memutar tubuh memperhatikan mereka, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis yang disangka puterinya itu, gadis itu mengalihkan pandang matanya!
"Kalau isteriku telah bersikap kasar, harap dimaafkan, akan tetapi kami harap agar su-wi berempat juga tidak mengganggu orang lain lagi."
"Hemm, lagakmu seperti seorang pendekar! Siapa sih engkau?" bentak si tinggi kurus kepada Lie Koan Tek.
"Sejak dahulu sampai sekarang namaku Lie Koan Tek. Aku bukan pendekar, akan tetapi kalau ada orang bertindak sewenang-wenang, sudah menjadi kewajibanku untuk menentangnya."
Pada saat itu pemilik rumah makan datang tergopoh-gopoh dan memberi hormat kepada empat orang itu dengan tubuh ditekuk hampir patah. "Cuwi-eng-hiong (Orang gagah sekalian) mohon ampun dan tidak berkelahi di sini, agar tempat kami tidak menjadi rusak dan porak-poranda."
Si tinggi kurus mendengus. Baginya juga tidak enak berkelahi di situ, karena penuh dengan meja kursi, membuat dia dan tiga orang saudaranya tidak leluasa bergerak. "Huh, jangan khawatir. Sediakan saja masakan istimewa untuk kami berempat pesta nanti setelah kami memberi hajaran kepada orang ini." Kemudian dia menghadapi Lie Koan Tek lagi dan berkata, "Namamu Lie Koan Tek? Pernah aku mendengar nama Lie Koan Tek tokoh Siauw-lim-pai. Engkaukah orangnya?"
"Aku memang murid Siauw-lim-pai bernama Lie Koan Tek," kata pendekar itu dengan sikap tenang.
"Bagus! Sudah lama juga kami mendengar nama Lie Koan Tek sebagai seorang yang gatal tangan dan suka usil mencampuri urusan orang lain. Mari kita keluar kalau memang engkau berani melawan kami!" tantang si tinggi kurus dengan cerdik karena dia sengaja menantang dengan sebutan kami, berarti mereka berempat yang menantang, bukan dia seorang. Empat orang itu hendak melangkah keluar, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan halus.
"Siapa di antara empat Lok-yang Su-liong yang tadi menyebut-nyebut tentang tangan buntung?"
Yang bicara itu adalah Cin Cin dan semua orang menengok dan memandang kepadanya. Gadis itu masih duduk dan memegang sepasang sumpit bambunya, agaknya sudah selesai makan dan tadi menggunakan sepasang sumpit di tangan kanan untuk makan kacang.
"Aku yang mengatakan!" kata orang muda yang perutnya gendut.
"Aku juga. Habis kau mau apa?" kata pula orang ke tiga yang matanya sipit hampir terpejam.
"Mulutmu busuk!" bentak gadis itu dan sekali tangan kanannya bergerak, sepasang sumpit itu meluncur bagaikan anak panah.
Demikian cepatnya luncuran sumpit itu sehingga biarpun kedua orang itu berusaha mengelak, tetap saja masing-masing jadi korban sumpit yang menembus dari pipi sebelah ke pipi yang lain! Sumpit itu seperti ditusukkan dari pipi, menembus rongga mulut dan keluar dari pipi yang lain! Tentu saja kedua orang itu terkejut, kesakitan dan mengeluarkan suara aneh karena mereka tidak mampu menggerakkan mulut yang sudah ditusuk sumpit. Hendak dicabut, takut kalau terlalu nyeri, didiamkan saja juga sakit!
Orang pertama yang tinggi kurus cepat maju dan dua kali tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang sumpit itu dari pipi dua orang adik seperguruannya. Dua orang yang terluka itu menggunakan kedua tangan menutupi pipi yang berlubang dan mengucurkan darah. Si tinggi kurus dan orang ke dua yang pipinya terdapat tanda luka codet, sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sebelum mereka meloncat untuk menyerang gadis buntung itu, Lie Koan Tek dan isterinya sudah mencabut senjata mereka pula.
Lie Koan Tek melolos rantai baja yang dijadikan sabuk, sedangkan isterinya mencabut pedang. Melihat sepasang suami isteri itu menghadang di depan mereka, si tinggi kurus dan si codet maju menyerang. Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa menyambut dengan senjata mereka dan terjadilah perkelahian di ruangan makan itu. Namun, ternyata dua orang jagoan itu sama sekali bukan lawan Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa yang semenjak menjadi isteri pendekar Siauw-lim-pai itu telah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat.
Belum juga sepuluh jurus, rantai baja di tangan Lie Koan Tek telah merobohkan lawan, dengan tulang kaki patah dan tak mampu bangkit kembali. Beberapa jurus kemudian, isterinya juga dapat membuat lawan terpelanting dengan luka bacokan pada pundak kirinya. Empat orang Lok-yang Su-liong itu tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, keluar dari rumah makan sambil terhuyung dan saling bantu, terutama sekali si tinggi kurus yang patah tulang kakinya, terpaksa harus diseret dan terpincang-pincang.
Lie Koan Tek menghampiri pemilik rumah makan. "Berapa kerugianmu akibat perkelahian tadi, akan kuganti."
"Tidak perlu... tidak usah, taihiap. Akan tetapi kami khawatir sekali karena Lok-yang Su-liong itu mempunyai kawan yang banyak jumlahnya. Bagaimana kalau mereka datang membalas dendam?"
"Jangan takut. Kami akan melindungimu."
"Sobat, tahukah engkau di mana nona yang tadi duduk makan di sana?" tiba-tiba Liu Hwa bertanya kepada pengurus rumah makan itu karena tidak melihat lagi adanya gadis yang disangka puterinya itu.
"Nona itu...? Ia tentu kembali ke kamarnya karena ia tadi memesan kamar di loteng untuk bermalam."
"Kamipun akan bermalam di sini," kata Koan Tek cepat. "Nomor berapa kamar nona tadi? Kami ingin bicara dengannya."
"Kamar nomor dua di loteng, taihiap." Pengurus itu lalu mempersilakan suami isteri yang amat dihormatinya karena telah berhasil mengusir Lok-yang Su-liong yang ditakuti, untuk naik ke loteng dan mereka mendapatkan sebuah kamar terbesar di loteng itu, yaitu kamar nomor lima, terpisah tiga kamar dari kamar nomor dua yang dihuni oleh Cin Cin.
Memang benar perkiraan pengurus rumah makan tadi. Ketika suami isteri itu menyambut serangan penjahat itu, Cin Cin maklum bahwa mereka tidak merlukan bantuan, maka diam-diam ia menyelinap dan meninggalkan ruangan itu, naik ke loteng dan masuk ke dalam kamarnya. Di kamarnya, ia duduk termenung di tepi pembaringan, kedua matanya basah namun ia menahan tangisnya. Ia merasa dadanya sesak dan juga panas sekali.
Tidak salah lagi. Wanita itu adalah ibunya, ibu kandungnya yang selama belasan tahun ini dirindukannya, yang seringkali membuat ia menangis seorang diri sambil memeluk guling. Akan tetapi, kalau tadinya ia membayangkan pertemuan yang mengharukan dan membahagiakan dengan ibunya, sama-sama menangis dan mengenang ayahnya, kini ibunya muncul bersama seorang pria yang sama sekali asing baginya, akan tetapi yang telah menjadi pengganti ayahnya!
Cin Cin menangis tanpa suara. Terjadi pergolakan hebat di dadanya, antara sayang dan benci, antara rindu dan kecewa, antara keinginan kuat untuk merangkul ibunya dan menjauhkan diri dari ibunya! Hanya satu hal yang membuat hatinya agak terhibur. Ibunya nampak sehat dan gembira, juga nampak cantik seperti dahulu. Dan ibunya juga bersikap sebagai seorang pendekar wanita yang berani menentang kejahatan. Demikian pula suami ibunya, atau ayah tirinya, ternyata memperlihatkan sikap seorang pendekar perkasa yang terkenal sebagai tokoh Siauw-lim-pai.
Tidak, ia tidak akan menemui ibunya sebelum perasaan yang tidak menentu berkecamuk di hati nya. Selama hatinya masih terasa kacau dan penuh pertentangan, ia tidak akan memperlihatkan diri kepada ibunya. Akan tetapi, setelah kini bertemu, untuk meninggalkan ibunya ia tidak sanggup. Maka, iapun mengambil keputusan untuk pindah dari situ, untuk membayangi dan mengikuti perjalanan ibu dan ayah tirinya itu secara diam-diam, sampai tiba saatnya ia merasa yakin untuk bertemu dengan ibunya.
Demikianlah, percuma saja suami isteri isteri itu mengamati kamar Cin Cin sampai sehari penuh. Tidak pernah mereka melihat gadis itu keluar kamar, bahkan sampai malampun mereka tidak melihatnya. Mereka tidak berani mengganggu malam itu. Bagaimanapun juga, kini sudah menipis dugaan mereka bahwa gadis itu adalah Cin Cin. Gadis itu memang lihai bukan main. Sepasang sumpit yang disambitkan saja demikian tepat menembusi pipi dua orang lawan.
Akan tetapi, kalau gadis itu benar Cin Cin, sudah pasti ia akan mengenal ibunya. Tidak, gadis itu pasti bukan Cin Cin dan hal ini membuat hati Liu Hwa kecewa bukan main. Akan tetapi ia dan suaminya masih mempunyai harapan untuk berkenalan dengan gadis itu dan siapa tahu gadis perkasa itu dapat memberi petunjuk di mana adanya gadis yang mereka cari.
Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berani menghampiri kamar nomor dua dan mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Sampai diperkuat ketukannya, tetap saja tidak ada jawaban. Seorang pelayan menghampiri mereka dan berkata,
"Tidak ada gunanya ji-wi (kalian) mengetuk pintu itu. Biar digedor sampai bagaimanapun tidak akan ada yang membukanya karena kamar itu kosong."
"Ehh? Kosong? Bukankah kemarin ditinggali nona..."
"Nona yang buntung tangan kirinya itu, toanio? Memang benar, akan tetapi malam tadi ia membuat perhitungan, membayar semua sewa kamar dan harga makanan, lalu pergi dengan cepat."
Suami isteri itu terkejut. "Kemana ia pergi?" Liu Hwa bertanya akan tetapi pelayan itu menggeleng kepala.
Tentu saja suami isteri itu merasa menyesal sekali mengapa tidak kemarin saja mereka mengunjungi nona itu. Sekarang ia telah pergi dan kemana mereka harus mencarinya?
"Kita ke kota Ji-goan saja, kita menyelidiki ke sana, siapa tahu terdapat jejak anakmu disana." Lie Koan Tek menghibur isterinya yang kelihatan kecewa sekali.
Setelah membayar semua perhitungan, suami isteri itu bergegas meninggalkan kota Lok-yang dan menuju ke sungai Huang-ho untuk menyeberang ke kota Ji-goan yang terletak di sebelah utara Huang-ho. Akan tetapi, ketika mereka tiba di jalan dekat hutan di lembah sungai Huang-ho, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang agaknya sengaja menghadang di depan mereka.
"Harap ji-wi berhenti sebentar, aku ingin bicara," kata pemuda itu. Sikapnya cukup sopan akan tetapi suaranya terdengar dingin dan kaku seolah menyembunyikan kemarahan.
Suami isteri itu memandang heran. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun, tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan, matanya tajam mencorong dan dagunya tebal, bibirnya mengandung senyuman sinis dan telinganya agak kecil dan pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi.
"Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah yang ingin kaubicarakan dengan kami?" Lie Koan Tek bertanya. Pendekar ini cukup berpengalaman dan dia dapat menduga bahwa pemuda yang menghadang ini pasti bukan pemuda sembarangan.
"Bukankah paman yang bernama Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai?" tanya pemuda itu yang bukan lain adalah The Siong Ki, murid Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng!
Seperti telah kita ketahui, Siong Ki berkunjung ke pusat Hek-houw-pang dan di sana dia bahkan bertemu dengan Cin Cin. Akan tetapi seperti juga Cin Cin, dia menolak ketika hendak diangkat menjadi ketua Hek-houw-pang. Dia meninggalkan Hek-houw-pang untuk melaksanakan tugas yang diberikan gurunya kepadanya, yaitu mencari Bi Lan yang telah menculik puteri suhunya.
Suhu dan subonya memang sudah berpesan kepadanya agar dia tidak sembarangan membalas dendam kepada Lie Koan Tek, melainkan diharuskan melakukan penyelidikan lebih mendalam tentang kematian ayahnya. Diapun tidak bermaksud membunuh Lie Koan Tek, akan tetapi ingin bicara tentang kematian ayahnya, dan diapun teringat akan keterangan gurunya bahwa Bi Lan adalah keponakan Lie Koan Tek, maka besar kemungkinan pendekar Siauw-lim-pai ini dapat memberitahu kepadanya di mana adanya Kwa Bi Lan.
Demikianlah, ketika dia mendengar berita tentang keributan yang dilakukan pendekar wanita tangan kiri buntung di Ji-goan, dia dapat menduga bahwa pendekar itu tentulah Cin Cin. Dia tertarik dan mengikuti jejak Cin Cin sampai ke Lok-yang dan di sana dia melihat Lie Koan Tek dan bibi-gurunya, Coa Liu Hwa. Tentu saja dia menjadi girang sekali dan segera dia menanti saat baik untuk bertemu dengan mereka. Itulah sebabnya, ketika melihat suami isteri itu keluar dari Lok yang, dia mendahului menghadang di tempat sunyi itu.
"Benar, namaku Lie Koan Tek. Siapakah, engkau orang muda?"
"Nanti dulu! Aku... seperti mengenal pemuda ini!" kata Coa Liu Hwa sambil mengamati wajah yang tampan itu.
"Bibi benar. Aku adalah The Siong Ki, putera mendiang ayah The Ci Kok. Pernah aku ikut bibi menjadi murid, akan tetapi aku lalu pergi. Akan tetapi bukan itu yang penting. Aku ingin bicara dengan paman Lie Koan Tek!" kembali suaranya terdengar dingin.
"Siong Ki... ah, benar engkau Siong Ki...! Engkau sudah dewasa sekarang..."
"Hemm, orang muda. Apa yang akan kaubicarakan dengan aku?" Lie Koan Tek bertanya.
"Paman, aku hanya ingin bertanya apakah benar engkau yang dahulu telah membunuh ayahku, yaitu The Ci Kok seorang murid Hek-houw-pang? Jawab sejujurnya, paman. Benarkah engkau yang membunuhnya?"
Lie Koan Tek mengerutkan alisnya. Pertanyaan itu mengingatkannya kembali akan peristiwa yang amat tidak enak itu. Ketika itu, secara terpaksa karena dibebaskan dari penjara oleh Cian Bu Ong, dia menjadi pembantu Cian Bu Ong dan dia ikut pula menyerbu dusun Ta-bun-cung di mana Hek-houw-pang dimusuhi Cian Bu Ong karena tidak mau bersekutu untuk memberontak terhadap pemerintah. Kalau dia teringat akan peristiwa itu, dia merasa menyesal bukan main walaupun dalam penyerbuan itu, tidak seperti yang lain, dia sama sekali tidak melakukan pembunuhan, hanya merobohkan saja para anggota Hek-houw-pang tanpa membunuh.
Dengan tegas dia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak membunuh ayahmu, aku tidak membunuh siapapun dari Hek-houw-pang!"
Jawaban itu memanaskan hati Siong Ki. "Paman, engkau dikenal sebagai pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, kenapa tidak berani menanggung akibat dari perbuatan sendiri dan hendak mengingkari perbuatan sendiri? Bukankah paman juga ikut membantu gerombolan yang menyerbu Hek-houw-pang? Bahkan paman telah merampas pula bibi Coa Liu Hwa, isteri ketua Hek-houw-pang menjadi isteri paman sekarang?"
"Siong Ki!" Coa Liu Hwa membentak marah.
"Sebaiknya kalau bibi tidak mencampuri karena hal ini hanya akan mendatangkan rasa malu saja kepada bibi sendiri. Aku bicara dengan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang dan menghendaki jawaban sejujurnya dari Lie Koan Tek!"
"Orang muda, jangan engkau bersikap kasar terhadap isteriku. Ia tidak bersalah, dan tentang penyerbuan ke Hek-houw-pang itu, aku tidak menyangkal. Akan tetapi, aku hanya merobohkan saja para pengeroyok dan sama sekali tidak membunuh orang. Aku hanya terpaksa menyerang Hek-houw-pang karena..."
"Cukup! Biarpun engkau tidak membunuh ayahku dan tidak membunuh seorangpun dari Hek-houw-pang, namun engkau mengaku sudah ikut menyerbu dan merobohkan anak buah Hek-houw-pang. Nah, sekarang aku, keturunan murid Hek-houw-pang, menantangmu untuk mengadu kepandaian. Hendak kulihat sampai di mana kepandaian orang yang pernah mengacaukan Hek-houw-pang dan mendatangkan malapetaka kepada seluruh anggota Hek-houw-pang, bahkan kini secara tak bermalu telah memperisteri bekas isteri ketuanya. Cabutlah senjatamu, Lie Koan Tek!"
Siong Ki mencabut pedangnya dan tampaklah sebatang pedang yang tua dan tumpul, namun mengandung sinar yang dingin redup seperti sinar bintang. Itulah Seng-kang-kiam (Pedang Baja Bintang) yang ampuh, milik Bu Giok Cu yang dititipkannya kepada murid itu untuk dipakai mencari Si Hong Lan yang lenyap diculik Kwa Bi Lan.
Bagaimanapun juga, Lie Koan Tek adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia tidak ingin mengingkari perbuatannya sendiri. Memang dia ikut menyerbu Hek-houw-pang. Dia kini harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu. Juga dia ditantang, sebagai seorang pendekar, tentu saja pantang mundur kalau ditantang.
"Baiklah, orang muda. Aku tidak akan lari dari tanggung-jawab!" katanya dan diapun sudah melolos sabuk rantai bajanya dan bersiap.
”Siong Ki, jangan...!!" Coa Liu Hwa mencoba untuk mencegah.
"Bibi sudah mengkhianati Hek-houw-pang, harap jangan ikut campur!" kata pemuda itu dengan suara ketus.
"Orang muda, engkau terlalu menghina isteriku!" Lie Koan Tek berseru marah. "Kalau engkau hendak menyerangku, majulah!"
Siong Ki segera menggerakkan pedangnya menyerang dan begitu dia menyerang, Lie Koan Tek terkejut karena serangan itu selain cepat bagaikan kilat menyambar, juga mendatangkan hawa yang amat kuat. Dia memutar sabuk rantai bajanya menangkis sambil mengerahkan tenaga pula.
"Tranggg!!!" Pertemuan antara pedang tumpul dan rantai baja itu sedemikian kuatnya sehingga menggetarkan tubuh Liu Hwa yang menonton dengan cemas, dan ia melihat betapa suaminya terhuyung ke belakang, sedangkan pemuda itu tetap tegak. Ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal tenaga sin-kang, pemuda itu lebih kuat! Juga Lie Koan Tek memaklumi hal ini, maka dia bersikap hati-hati.
Siong Ki merasa mendapat angin. Dia tersenyum mengejek, "Lie Koan Tek, kalau dulu engkau tidak membunuh orang-orang Hek-houw-pang, sekarangpun, melihat muka bibi Liu Hwa, aku tidak akan membunuhmu, hanya akan memberi hajaran kepadamu sebagai hukuman!" Setelah berkata demikian dia menyerang dengan dahsyat dan bertubi-tubi.
Pedangnya lenyap menjadi gulungan sinar yang berkilauan. Lie Koan Tek juga menggerakkan rantai baja itu untuk membentuk benteng perlawanan yang kokoh, karena dia maklum bahwa menghadapi pedang yang ampuh dan ilmu pedang hebat itu, dia akan cepat roboh kalau membalas.
Melihat suaminya terdesak dan terancam, Liu Hwa tidak mungkin dapat berdiam diri saja. Iapun mencabut pedangnya menerjang ke depan sambil berteriak, "Siong Ki, engkau tidak boleh menghina suamiku!"
Siong Ki memutar pedangnya menangkis dan mengejek, "Bagus, sekarang pengkhianatanmu sudah lengkap, bibi Liu Hwa, dan biarlah aku mewakili arwah suamimu untuk memberi pelajaran kepadamu pula!" Pedangnya bergerak cepat secara luar biasa sekali dan terdengar Liu Hwa berseru kesakitan lalu terhuyung ke belakang karena pangkal lengan kanannya terluka oleh ujung pedang lawan.
Melihat isterinya terluka, Lie Koan Tek lalu memutar rantai bajanya menyerang dengan dahsyat sehingga terpaksa Siong Ki menangkis sambil mundur dan tersenyum mengejek. "Biarlah hari ini orang-orang yang berdosa menerima hukumannya!" katanya dan kembali pedangnya bergerak luar biasa sekali, membuat Lie Koan Tek menjadi bingung dan biarpun dia sudah memutar rantai bajanya dengan cepat, tetap saja pundaknya terkena ujung pedang lawan dan dia terhuyung dan pundak kirinya berdarah.
Siong Ki tertawa. "Ha-ha-ha, kalian rasakan sekarang! Lie Koan Tek dan engkau bibi Liu kalau kalian mau mengakui kesalahan kalian di hadapanku, aku akan mengampuni kalian dan membebaskan kalian. Akan tetapi kalau kalian tidak mengakui kesalahan, terpaksa aku akan memberi hajaran lebih keras lagi."
Suami isteri itu saling pandang. Bagi orang yang menghargai kegagahan seperti mereka, merendahkan diri dan kehormatan merupakan pantangan. Hampir berbareng mereka berseru, "Kami tidak sudi!"
Wajah Siong Ki menjadi merah saking marahnya. "Hemm, orang-orang tak bermalu masih mempertahankan kehormatan? Kalau begitu, biar kuberi pelajaran yang lebih pahit lagi. Siapkan senjata kalian!"
Suami isteri itu telah berdiri berdampingan dengan senjata di tangan, siap untuk melawan sampai mati.
"Hyaaaaatttt...!" Tubuh Siong Ki menerjang dahsyat dan pedangnya menyambar bagaikan kilat.
"Tranggg...!!" Siong Ki terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan mengandung hawa dingin. Ketika dia meloncat ke belakang karena merasa tangannya tergetar hebat dan memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah Cin Cin!
"Kau...?"
Akan tetapi Cin Cin tidak memberi kesempatan lagi kepada Siong Ki untuk bicara, karena ia segera menyerang dengan dahsyat bukan main, sehingga terpaksa Siong Ki harus memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Serangan yang dilakukan Cin Cin amat hebatnya dan setiap kali mereka beradu pedang, Siong Ki merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat. Dia melompat agak jauh ke belakang.
"Aku... aku tidak ingin berkelahi denganmu, aku hanya akan memberi pelajaran..."
Kembali Siong Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena begitu tangan kiri Cin Cin bergerak, belasan batang jarum yang bersinar menyambar ke arah tubuh pemuda itu. Siong Ki terkejut dan cepat melompat jauh ke kiri. Kalau Cin Cin maju membela ibunya dan dia dikeroyok tiga, sudah pasti dia akan terancam bahaya. Melawan Cin Cin seorangpun belum tentu dia menang, maka mengingat bahwa dia telah melukai Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa, yang tentu akan membuat Cin Cin marah sekali, dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri!
Cin Cin tidak mengejarnya, hanya berdiri mematung, memandang ke arah perginya pemuda itu membelakangi suami isteri itu dengan sikap acuh. Coa Liu Hwa dan suaminya saling pandang, kemudian Liu Hwa yang kini timbul pula harapan dan dugaannya bahwa gadis itu adalah puterinya, segera menghampiri dan menegur dengan suara gemetar.
"Kau... kau... Kam Cin? Cin Cin...?"
Mendengar suara ibunya memanggilnya, Cin Cin merasa jantungnya seperti diremas. Betapa inginnya menubruk dan merangkul ibunya yang selama ini amat dirindukannya, akan tetapi di situ ada Lie Koan Tek dan ia masih merasa penasaran. Dengan perlahan ia memutar tubuh menghadapi ibunya, mukanya menjadi pucat akan tetapi sikapnya masih dingin dan ia hanya menatap wajah ibunya, tanpa menjawab dan tanpa memperlihatkan gejolak perasaannya.
Liu Hwa yang kini tidak ragu lagi bahwa gadis ini adalah puterinya yang hilang, berkata lagi, suaranya bercampur isak, "...Cin Cin... lupakah engkau kepadaku? Lupakah... engkau pada.... ibumu...? Aku ibumu..."
"Bukan! Engkau bukan ibuku!" Cin Cin berseru dengan suara lantang seperti berteriak, karena suaranya itu memang langsung keluar dari perasaan hatinya.
"Cin Cin! Engkau pasti Cin Cin anakku! Aku ibumu, anakku..." Liu Hwa berkata dengan air mata bercucuran, namun ia masih belum berani mendekat, karena sebelum gadis itu mengaku bahwa ia benar Cin Cin, tentu saja ia belum yakin benar.
"Hemm, kalau benar engkau ini ibuku, kenapa engkau membiarkan anakmu hidup terlantar sendiri sampai belasan tahun, sedangkan engkau sendiri bersenang-senang dan enak-enakan menikah lagi dengan seorang laki-laki lain? Mana ada seorang ibu seperti itu? Melupakan suami yang tewas melupakan anak yang hilang, sebaliknya bersenang-senang sendiri?"
Liu Hwa yang mendengar ucapan penuh penyesalan itu, merasa betapa dadanya seperti ditusuk-tusuk, ia hanya dapat membelalakkan mata memandang kepada anaknya dengan air mata bercucuran.
Melihat ini, Lie Koan Tek maju dan berkata dengan suara tegas. "Nona, engkau tidak berhak bicara seperti itu kepada isteriku!"
Kini Cin Cin menoleh kepadanya dan tersenyum mengejek. "Bagus! Engkau merasa dirimu besar karena engkau terkenal sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai dan bersikap gagah? Huh, menurut pendengaranku tadi, engkau ikut menyerbu Hek-houw-pang dan ikut membasmi Hek-houw-pang, kemudian engkau membunuh ketua Hek-houw-pang dan melarikan isterinya, lalu memaksa isteri ketua Hek-houw-pang menjadi isterimu! Dan sekarang engkau masih gagah-gagahan berlagak membelanya? Pendekar macam apa engkau ini?"
"Cin Cin... ahhh... Cin Cin... jangan berkata demikian..." Liu Hwa menjerit, terkulai dan pingsan dalam rangkulan suaminya yang cepat meloncat mendekatinya.
Lie Koan Tek memondong tubuh yang pingsan itu, menoleh kepada Cin Cin dan bertanya, "Beginikah sikap seorang anak yang baik, membalas budi seorang ibu kandung dengan sikap sekejam ini? Kalau ia sampai mati, maka engkaulah pembunuh ibu sendiri!"
Setelah berkata demikian, Lie Koan Tek membawa isterinya ke bawah sebatang pohon di mana tumbuh rumput tebal dan merebahkan tubuh Liu Hwa di atas rumput, lalu menotok beberapa jalan darah dan mengelus tengkuknya. Liu Hwa kini bernapas lembut dan teratur, agaknya ia tertidur. Ketika Lie Koan Tek melihat gadis itu mengikutinya dan kini duduk di atas akar pohon sambil memandang isterinya dengan bingung, diapun bertanya dengan suara kaku.
"Kenapa engkau mendekat? Apakah engkau masih penasaran dan hendak membunuh aku dan isteriku? Silakan kalau begitu."
Akan tetapi, melihat ibunya roboh pingsan agaknya semua kemarahannya lenyap atau setidaknya mereda dari hati Cin Cin. Ingin ia menubruk dan menangisi ibunya, akan tetapi panasnya hati membuat ia masih menahan perasaannya dan ia memandang kepada Lie Koan Tek.
"Mengingat namamu yang besar sebagai pendekar Siauw-lim-pai, demi kehormatan Siauw-lim-pai, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan mengapa pula ibuku sampai dapat menjadi isterimu!"
Koan Tek maklum bahwa semua harus diceritakan kepada gadis ini untuk mengobati hati itu yang agaknya terluka hebat. Sambil duduk di atas rumput, berhadapan dengan gadis bertangan kiri buntung itu, Koan Tek menceritakan keadaan dirinya.
"Nona, engkau tentu sudah mendengar akan malapetaka yang menimpa Siauw-lim-pai belasan tahun yang lalu, bukan? Kuil kami dibakar dan Siauw-lim-pai dibasmi pasukan pemerintah, ketika itu masih Kerajaan Su. Nah, hampir semua anggota Siauw-lim-pai tewas, hanya aku dan beberapa orang saudara yang lolos. Akan tetapi aku menjadi orang buruan dan akhirnya aku tertangkap dan menjadi orang hukuman."
Cin Cin mengangguk-angguk, hatinya tertarik karena ia memang sudah mendengar kisah pembasmian Siauw-lim-pai oleh pemerintah Kerajaan Sui.
"Ketika Kerajaan Sui jatuh, seorang pangeran membebaskan aku dan beberapa orang hukuman lain, dengan syarat bahwa kami yang dibebaskan harus menjadi para pembantunya. Karena ingin bebas, kami setuju. Kemudian Kerajaan Sui yang jatuh diganti oleh Kerajaan Tang. Pangeran yang menjadi majikan kami itu lalu mengadakan gerakan pemberontakan terhadap kerajaan baru dan kami membantunya. Namun usaha itu gagal. Ketika pangeran itu membujuk Hek-houw-pang untuk bersekutu dengannya, Hek-houw-pang menolak dan demikianlah kami disuruh menyerbu Hek-houw-pang. Aku sendiri tidak setuju dengan gerakan itu, maka aku hanya membela diri ketika dikeroyok orang-orang Hek-houw-pang, merobohkan pengeroyok tanpa membunuh siapapun. Nona boleh percaya atau tidak, akan tetapi sesungguhnya demikianlah. Ketika melihat isteri ketua Hek-houw-pang terancam dan tentu akan tewas seperti suaminya, aku merasa kasihan dan aku lalu melarikannya agar ia tidak sampai tewas seperti yang lain."
Cin Cin mendengus. "Huh, kenapa engkau menolongnya dan membiarkan orang-orang lain terbunuh? Tentu engkau tertarik oleh kecantikannya bukan?"
Wajah Koan Tek berubah kemerahan. "Aku tidak perlu menyangkal. Memang aku tertarik oleh kecantikannya, walaupun aku belum pernah menikah dan tidak pernah tertarik oleh kecantikan wanita. Akan tetapi, hal itu belum kusadari sebelumnya, dan aku melarikannya karena dengan demikian para pembantu pangeran itu tentu tidak akan melarangku dan mengira bahwa aku tertarik oleh wanita itu dan sengaja melarikannya. Padahal, aku melakukan hal itu agar aku terhindar dari keharusan melawan orang-orang yang kutahu tidak bersalah. Nah, setelah aku melarikannya, membawanya ke tempat aman, kemudian aku melepaskannya. Kami berpisah, akan tetapi aku merasa kasihan dan tidak tega lalu membayanginya. Ternyata kekhawatiranku terbukti. Ia tertawan kepala gerombolan dan nyaris diperkosa. Untung bahwa aku masih membayanginya, maka aku berhasil membunuh kepala gerombolan."
Cin Cin mendengarkan saja, belum percaya sepenuhnya sambil membayangkan keadaan ibunya ketika itu. Melihat gadis itu mendengarkan penuh perhatian tanpa bicara, Koan Tek menghela napas panjang. Dia tidak akan menyalahkan kalau gadis itu tida k percaya kepadanya. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya dengan sejujurnya, sesuai dengan wataknya.
"Ketika ibumu berkunjung ke Ta-bun-cung, ia mendengar bahwa suaminya telah tewas di samping banyak tokoh Hek-houw-pang lainnya, dan iapun mendengar bahwa engkau diantar seorang sute suaminya pergi mencari pendekar sakti Si Han Heng di dusun Hong-cun. Maka, ia pun meninggalkan dusun dan di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang di antara rekanku, anak buah sang pangeran dan tentu ia akan tertawan atau terbunuh kalau saja aku tidak datang menyelamatkannya pula. Aku lalu mengantarkannya untuk mencari puterinya dan demikianlah, kami saling jatuh cinta dan kami menikah."
"Cin Cin..."
Dua orang itu menengok dan ternyata Coa Liu Hwa baru saja terbangun dari tidur dan ia bangkit duduk, lalu menangis ketika melihat Cin Cin masih duduk di situ berhadapan dengan suaminya.
"Cin Cin, engkau masih belum mengakui aku sebagai ibumu...?" Wanita itu meratap sambil memandang gadis itu dengan sinar mata penuh harap.
"Ceritakanlah dulu riwayatmu sampai engkau menikah dengan paman ini dan tidak memperdulikan aku," kata Cin Cin, kemarahannya sudah tinggal sedikit setelah mendengar keterangan Lie Koan Tek, hanya tinggal perasaan penasaran saja.
"Cin Cin, ketika terjadi serbuan gerombolan di Ta-bun-cung, seperti semua orang Hek-houw-pang, di samping ayahmu, akupun melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi pihak kita jauh kalah kuat. Ayahmu tewas dan masih banyak lagi, para murid Hek-houw-pang hampir habis, bahkan Coa Siang Lee yang menjadi tamu kehormatan. Aku sendri tentu akan tewas kalau saja aku tidak ditangkap oleh dia ini dan dilarikan keluar dari dusun."
"Hemm, dan dia merupakan seorang di antara para penyerbu dan pembasmi Hek-houw-pang!" cela Cin Cin.
"Dia sudah menceritakan segalanya, Cin Cin. Dia terpaksa melakukan itu, akan tetapi dia tidak membunuh siapapun. Bahkan penyerbuan di Hek-houw-pang itu yang membuat dia lalu nekat meninggalkan pangeran pemberontak itu. Aku juga merasa sungkan dan tidak ingin bertemu lagi dengannya. Ketika aku berkunjung ke dusun kita dan bersembahyang, aku melihat Siong Ki yang kehilangan orang tuanya, dan dia minta agar menjadi muridku dan ikut denganku. Aku mengajak dia meninggalkan dusun melalui arah lain agar jangan bertemu dia. Akan tetapi, kami berdua bertemu dengan seorang di antara para penyerbu dan aku tentu akan celaka kalau saja dia ini tidak muncul dan menolongku. Dalam perkelahian itu, Siong Ki melarikan diri dan tak pernah kulihat lagi sampai tadi muncul dan hendak membunuh dia."
"Dan engkau sama sekali tidak perduli kepadaku!" Cin Cin bertanya, penasaran sekali...
Wajah nenek itu menjadi pucat dan iapun menjatuhkan diri berlutut lagi di depan kaki Cin Cin. "Maafkan aku... li-hiap, maafkan aku. Memang aku dahulu bersalah kepadamu... akan tetapi... orang telah menjual dirimu kepadaku... maafkan aku..." Ia menangis lagi.
"Bangkit dan duduklah! Sekarang dengar baik-baik. Kau panggil ke sini semua gadis yang ditahan di sini, juga para pelacur yang menjadi anak buahmu. Suruh mereka berkumpul sekarang juga di sini. Cepat!"
Bergegas nenek itu terseok dan terbongkok masuk ke dalam dan tak lama kemudian ia muncul kembali, diikuti oleh lima belas orang gadis manis yang berpakaian sebagai gadis dusun dan sepuluh orang gadis yang pesolek dan berpakaian indah. Agaknya para penghuni rumah pelesir itu sudah mendengar akan peristiwa hebat terjadi disitu, maka begitu berhadapan dengan Cin Cin yang masih duduk dengan tenangnya, limabelas orang gadis dusun itu serentak menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Cin sambil menangis dan mohon pertolongannya.
Cin Cin mengangkat kedua tangannya, "Bangkitlah kalian semua dan jangan menangis. Sekarang coba kalian ceritakan, seorang demi seorang, bagaimana kalian dapat berada di tempat ini..."
Merekapun bercerita bahwa mereka dibujuk oleh anak buah Nyonya Lu dan kadang oleh nyonya cantik itu sendiri, untuk diberi pekerjaan pada seorang hartawan atau bangsawan. Orang tua mereka dan mereka terbujuk dan mau dibawa pergi, dan tidak tahunya mereka ditahan di rumah ini dan di paksa untuk menjadi calon pelacur. Mereka diancam bahwa kalau tidak menurut, mereka akan disiksa bahkan diancam akan dilaporkan kepada yang berwajib karena menipu, dengan tuduhan bahwa mereka dan orang tua mereka telah memiliki hutang yang banyak.
"Cia Ma, sekarang keluarkan semua harta milikmu, kirim pulang semua gadis ini ke dusun masing-masing dan bekali uang sekucupnya. Laksanakan hari ini juga!" kata Cin Cin.
Kemudian Cin Cin juga bertanya kepada sepuluh orang gadis yang telah menjadi pelacur di tempat itu. Mereka yang ingin melanjutkan pekerjaan mereka sebagai pelacur tanpa dipaksa siapapun, ia tidak ambil perduli. Akan tetapi di antara mereka yang ingin terlepas dari cengkeraman mucikari dan ingin pulang, iapun memerintahkan Cia Ma untuk mengirim mereka pulang ke dusun masing-masing dan dibekali uang sekucupnya. Cin Cin sendiri yang mengatur pemberian bekal uang, dan melihat bahwa Cia Ma benar-benar melaksanakan perintahnya. Tentu saja para gadis itu menjadi girang bukan main dan berterima kasih.
Setelah semua itu dilaksanakan dan Cin Cin tinggal di situ untuk mengawasi pelaksanaan sampai menginap semalam, ia memanggil Cia Ma yang nampak lesu dan lemas karena semua harta miliknya dibagi-bagi dan diberikan sebagai bekal kepada para gadis yang dipulangkan ke dusun masing-masing.
"Cia Ma, engkau sudah tua, dan dengan sisa hartamu, engkau dapat hidup menganggur sampai mati. Mulai hari ini, tutup rumah pelesir ini. Kalau lain hari aku lewat di sini dan melihat bahwa rumah pelesir ini masih kau buka dan engkau menyeret gadis-gadis dusun menjadi pelacur, menjadi sumber keuntunganmu dengan memaksa mereka menggunakan berbagai cara, aku akan membakar rumahmu ini dan kulemparkan engkau hidup-hidup dalam kobaran apinya!"
Sambil menangis Cia Ma berjanji, bersumpah dan sekali ini ia tidak bermain-main. Baru saja ia terhindar dari malapetaka. Selama setahun, semenjak kekuasaannya dirampas Bi Tok Siocia, ia hidup bagaikan orang hukuman, sengsara dan tersiksa. Dan kini melihat betapa Cin Cin yang biar tangan kirinya buntung kini menjadi seorang pendekar wanita yang demikian sakti, yang membuntungi tangan sepuluh orang tukang pukul, bahkan berhasil mengusir Bi Tok Siocia, mengeluarkan ancaman seperti itu, ia bergidik dan benar-benar takut dan ngeri. Ia bertobat.
Setelah membereskan urusan di rumah pelesir Ang-hwa di mana ia dahulu pernah tinggal, dalam sehari membasmi rumah pelesir itu dan mengubahnya menjadi sebuah rumah tinggal janda tua Cia Ma yang tidak lagi mau melakukan pekerjaan hina seperti semula, Cin Cin meninggalkan kota Ji-goan dan pergi ke Lok-yang. Ia ingin mencari ibunya dulu sampai dapat ia temukan. Kini ia dapat mencari lebih mudah setelah mengetahui bahwa ibunya telah menjadi isteri Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai yang cukup terkenal itu.
Setelah bertemu dengan ibunya, baru ia akan kembali kepada subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, untuk melaporkan kegagalannya membunuh Pangeran Cian Bu Ong seperti yang dipesankan gurunya, iapun belum dapat menemukan musuh gurunya yang ke dua, yaitu Can Hong San yang membunuh suheng dari subonya yang bernama Can Siok. Sebetulnya ia merasa malu untuk bertemu subonya.
Pertama ia belum dapat menemukan Can Hong San, pembunuh ayahnya sendiri, yaitu Can Siok suheng subonya. Ke dua, ia gagal untuk membunuh Pangeran Cian Bu Ong, bahkan kehilangan sebelah tangannya dalam usahanya itu. Akan tetapi bagaimanapun juga, kalau ia sudah dapat bertemu ibunya, ia harus melapor kepada subonya.
********************
Berita tentang rumah pelesir Ang-hwa di kota Ji-goan itu segera tersiar dengan cepat luas. Dalam berita itu dikabarkan bahwa rumah pelesir itu diserbu seorang gadis cantik yang bertangan buntung, namun lihai bukan main dan bahwa rumah pelesir itu dibubarkan dan semua gadisnya dipulangkan oleh pendekar wanita itu. Berita ini tentu saja menggemparkan, karena belum pernah terjadi seorang pendekar wanita mencampuri urusan rumah pelesir dan membebaskan para pelacur!
Berita itu tersiar cepat dan luas sampai ke kota Lok-yang. Sejak tersiarnya berita itu, rumah-rumah pelesir di berbagai kota yang berdekatan terutama di Lok-yang di mana terdapat banyak rumah pelesir, menambah jumlah tukang pukul mereka untuk menjaga kemungkinan kalau kalau tempat merekapun akan diserbu oleh pendekar wanita tangan buntung itu. Tidak ada yang tahu siapa nama pendekar wanita itu, karena berita itu hanya mengabarkan bahwa pendekar ini buntung tangan kirinya.
Sepasang suami isteri yang bermalam di sebuah hotel di kota Lok-yang, mendengar pula akan berta itu. Mereka merasa tertarik dan pada sore itu mereka bercakap-cakap di kamar mereka, membicarakan berita yang cukup menggemparkan itu.
"Sungguh aneh sekali berita itu, kita harus menyelidikinya!" berulang-ulang sang suami berkata kepada isterinya, sambil mondar-mandir menggendong kedua tangan di belakang pinggulnya.
Isterinya mengikuti gerakan dan langkah suaminya dengan pandang matanya, lalu tersenyum geli dan bertanya, "Sejak mendengar berita itu, engkau nampak gelisah dan selalu memikirkannya. Apa sih yang aneh dengan berita itu?"
Suami itu tinggi besar dan gagah, brewokan namun rapi, usianya enampuluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kokoh dan gagah. Dia bukan lain adalah Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai bersama isterinya, yaitu Coa Liu Hwa yang kini telah berusia empatpuluh enam tahun, namun masih tetap cantik. Mereka berdua memang sedang berada di Lok-yang setelah menemui Lai Kun dan mendengar bahwa ketika Lai Kun mengantarkan anak Coa Liu Hwa, yaitu Kam Cin, ke rumah Huang-ho Sin liong Si Han Beng, di dalam perjalanan dekat Lok-yang, anak itu hilang, mungkin terbawa para perampok.
"Apakah engkau tidak merasa aneh? Mana pernah ada seorang pendekar wanita menyerbu rumah pelesir dan membebaskan para pelacur? Seolah ia tidak mempunyai pekerjaan lain saja. Biasanya, mendekati rumah begituan saja merupakan pantang bagi seorang pendekar wanita yang menjaga nama baiknya. Pula, kabarnya pendekar wanita yang buntung tangan kirinya itu lihai sekali, kabarnya malah ia telah mengalahkan Bi Tok Siocia yang tadinya menguasai rumah pelacuran itu. Ini menarik sekali!"
"Siapa sih Bi Tok Siocia itu?" tanya Coa Liu Hwa.
"Seorang tokoh sesat yang belum lama muncul. Akan tetapi kabarnya ia adalah putera atau murid dari datuk besar di Liong-san, yaitu Ouw Kok Sian."
"Aihh, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita," kata wanita itu. "Nanti dulu, jangan tergesa mengatakan tidak ada hubungannya. Aku yakin bahwa kalau sampai ada seorang pendekar wanita yang demikian lihai mengamuk di rumah pelesir, hal itu tentu berarti bahwa ia mempunyai urusan dengan tempat itu, berarti ia marah dan membenci tempat itu. Kemudian, kita teringat bahwa anakmu hilang di sekitar daerah ini. Nah, bukankah menarik sekali untuk menyelidiki siapa pendekar wanita itu?"
Coa Liu Hwa terbelalak dan suaranya gemetar ketika ia bertanya, "Kau pikir ia itu Cin Cin...?"
Suaminya menggeleng kepala. "Aku tidak menduga sejauh itu. Akan tetapi setidaknya, peristiwa itu menarik sekali dan siapa tahu pendekar wanita itu mempunyai hubungan atau mengetahui dimana adanya anakmu yang hilang."
"Kalau begitu, mari kita cari ia sekarang juga!"
Mendengar ini, Lie Koan Tek tersenyum, dan diam-diam ia merasa kasihan kepada isterinya yang telah kehilangan puterinya dan amat merindukannya. "Sekarang sudah malam, ke mana kita akan mencarinya? Besok saja pagi-pagi kita berangkat melakukan penyelidikan. Kurasa, tidak begitu sukar untuk mencari seorang gadis cantik yang tangan kirinya buntung."
Coa Liu Hwa menyetujui, akan tetapi malam itu ia gelisah tak dapat tidur karena memikirkan puterinya. Apalagi ketika ia membayangkan betapa puterinya itu kini buntung tangan kirinya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri ini sudah meninggalkan rumah penginapan. Mereka hendak pergi ke kota Ji-goan di mana terjadi peristiwa di rumah pelesir Ang-hwa seperti yang mereka dengar beritanya itu dan hendak memulai pencarian mereka dari sana. Pagi itu suasana di jalan raya masih sunyi, dan ketika mereka berjalan sampai di pintu gerbang, hanya ada beberapa orang berlalu-lalang melalui pintu gerbang sebelah selatan.
Tiba-tiba Lie Koan Tek merasa betapa tangannya dipegang isterinya dan jari tangan isterinya mencengkeram tangannya kuat-kuat. Hampir dia berteriak kaget, akan tetapi ketika dia memandang isterinya, dia melihat Lui Hwa terbelalak memandang ke depan. Dia cepat ikut pula memandang dan ternyata yang menarik perhatian isterinya adalah seorang gadis yang berjalan perlahan memasuki pintu gerbang itu.
Seorang gadis yang cantik manis, akan tetapi yang pada hari yang sunyi itu berjalan seorang diri dengan langkah perlahan dan muka ditundukkan tanpa memperdulikan keadaan sekeliling, seolah ia sedang tenggelam dalam lamunan. Memang sejak ia kehilangan tangannya yang dibuntungi Thian Ki, walaupun ia telah dapat mengatasi kedukaannya, namun Cin Cin yang tadinya tidak pernah melamun dan yang selalu berwatak riang jenaka dan lincah itu, kini seringkali termenung seorang diri.
Ia tadinya merasa amat benci dan mendendam kepada Thian Ki. Yang teringat hanya bahwa pemuda itu telah membuntungi tangan kirinya. Akan tetapi kemudian, setelah panasnya hati yang mengeruhkan pikirannya mereda dan ia mempertimbangkannya, iapun menyadari bahwa Thian Ki bukan sengaja membuntungi tangan kirinya, melainkan terpaksa melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya. Thian Ki adalah seorang tok-tong (anak beracun)!
Tubuhnya beracun, sehingga siapapun yang menyerangnya, akan menyerang tubuh yang beracun dan menjadi keracunan. Ketika tangan kirinya mencengkeram pundak Thian Ki, hawa beracun memasuki tangannya dan agaknya racun itu sedemikian jahatnya sehingga tidak mungkin dapat dilenyapkan dari tangannya. Kalau Thian Ki tidak cepat membuntungi tangan kirinya, racun itu akan menjalar naik dan kalau sampai ke jantungnya, iapun pasti akan tewas.
Masih terbayang wajah Thian Ki yang pucat dan matanya yang penuh kedukaan setelah membuntungi tangan kirinya itu! Anehnya, sejak itu, tak pernah ia mampu melupakan Thian Ki! Mula-mula, wajah pemuda itu selalu teringat olehnya dengan perasaan mengandung benci, namun lambat laun, kebencian itu semakin berkurang oleh pengertian.
Suami isteri Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa memandang kepada gadis itu penuh perhatian, terutama sekali Liu Hwa. Ketika mereka melihat gadis itu berjalan sambil menundukkan muka seperti sedang tenggelam dalam renungan, tangan kirinya dimasukkan dalam saku jubahnya, mereka hampir yakin bahwa inilah gadis pendekar yang mereka cari itu. Kalau bukan gadis pendekar tangan kiri buntung, mengapa gadis itu menyembunyikan tangan kirinya ke dalam saku jubahnya?
"Bagaimana? Apakah wajahnya...!?" Tanya Lie Koan Tek berbisik.
Isterinya menggeleng kepala ragu. "Entahlah, sudah enambelas tahun aku tidak bertemu dengannya. Bagaimana aku dapat mengenalnya? Ketika itu, usianya baru lima tahun..."
Melihat kesedihan membayang pada wajah isterinya, Lie Koan Tek lalu memegang tangan isterinya dan berkata, "Mari kita bayangi gadis itu!"
Isterinya hanya mengangguk dan merekapun memasuki kembali kota Lok-yang, diam-diam membayangi gadis itu dengan hati penuh keraguan.
Sebetulnya, setelah apa yang ia lakukan di kota Ji-goan, hati Cin Cin sedikit banyak merasa puas. Bukan saja ia telah memberi hukuman kepada Cia Ma seperti yang telah ia inginkan, bahkan yang lebih memuaskan hatinya, ia dapat membebaskan banyak gadis dusun sebelum terlambat, dapat menghajar para tukang pukul, dan terutama sekali, ia dapat menyadarkan kembali Cia Ma sehingga nenek itu bertobat dan akan menebus dosa dengan mengubah jalan hidupnya.
Biarpun Cia Ma pernah menahannya dan bahkan pernah memukulinya, akan tetapi harus ia akui bahwa Cia Ma juga pernah bersikap lembut dan ramah kepadanya. Ia diberi pakaian indah, ia dipaksa untuk belajar kesenian, menari dan bernyanyi, sungguhpun semua itu diberikan kepadanya, agar harganya naik di mata calon pembelinya!
Urusannya dengan Cia Ma yang selama ia belajar ilmu, menjadi satu di antara dendamnya, telah beres. Kini tinggal mencari ibunya, baru setelah itu, ia akan mencari Coa Hong San untuk melaksanakan perintah subonya, atau kembali kepadanya untuk melaporkan tentang kegagalannya membunuh Pangeran Cian Bu Ong. Ia telah melakukan perjalanan semalam suntuk dari Ji-goan menuju ke Lok-yang. Kini ia merasa lelah dan juga perutnya terasa lapar.
Ketika ia memasuki kota Lok-yang yang masih sepi, tiba-tiba hidungnya disambar bau sedap masakan. Ia menoleh dan melihat sebuah rumah makan kecil di tepi jalan. Agaknya dari sanalah datangnya uap yang sedap tadi. Rasa laparnya semakin menggila ketika sedap masakan menyerang hidungnya dan iapun segera menghampiri rumah makan itu.
Pelayan tunggal di rumah makan itu menghampiri ketika Cin Cin duduk di bangku menghadapi meja. "Nona hendak makan apakah?" tanyanya sambil membersihkan meja itu dengan kain yang selalu disampirkan di pundaknya. Sikapnya sederhana dan sopan, maka hati Cin Cin juga merasa senang. Seringkali ia harus mulai menghadapi makanan di rumah makan dengan hati jengkel karena sikap pelayannya yang genit dan kurang ajar.
"Aku ingin makan bubur ayam dan minum panas yang tidak terlalu pahit," katanya.
Pelayan itu mengangguk dan memesankan makanan itu kepada tukang masak, kemudian dia bergegas menyambut tamu lain yang duduk di sebelah luar, yaitu Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa. Karena memang bubur ayam di Lo-yang terkenal lezat, suami isteri itupun memesan bubur ayam dan air tea. Cin Cin yang bersikap acuh terhadap sekelilingnya, tidak tahu bahwa sejak memasuki kota Lok-yang, suami isteri itu selalu membayanginya, bahkan kini duduk tak jauh darinya, di sebelah luar sedangkan ia duduk di sebelah dalam rumah makan itu.
Ketika pelayan menghidangkan pesanannya, Cin bertanya. "Apakah kalian menyewakan kamar di sini?"
Pada waktu itu, biasanya rumah makan juga menyewakan kamar-kamar, semacam losmen kecil. "Ah, kebetulan sekali, masih ada kamar kosong di loteng, nona."
"Bagus, suruh bersihkan sebuah kamar di loteng untukku. Aku akan tinggal di sini beberapa hari," katanya sambil mulai makan bubur ayam yang masih mengepul panas.
Lie Koan Tek dan isterinya mendengar gadis itu memesan kamar, dan merekapun mulai makan bubur ayam. Mereka melihat pelayan tadi menghampiri si gadis dan mengatakan bahwa kamar telah siap, yaitu kamar nomor dua di loteng. Lie Koan Tek dan isterinya kini merasa yakin bahwa gadis itulah yang membuat geger di kota Ji-goan.
Kini, setelah mulai makan, Cin Cin mengeluarkan lengan kirinya yang buntung sehingga semua orang dapat melihat bahwa lengan kirinya buntung dan ujung lengan itu dibalut kain putih bersih. Dan agaknya bukan hanya Lie Koan Tek dan isterinya yang melihat kenyataan itu. Beberapa orang yang sedang sarapan di rumah makan saling berbisik. Namun gadis itu acuh saja dan melanjutkan sarapannya.
Coa Liu Hwa mengamati gadis itu. Mulut dan matanya seperti Cin Cin, pikirnya. Akan tetapi Cin Cin tidak buntung lengannya, dan kalau gadis itu puterinya, maka telah terjadi perubahan yang luar biasa. Hatinya perih rasanya ketika melihat betapa gadis itu menggunakan sendok menyuapi mulut sendiri dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kini disembunyikan di bawah meja.
Empat orang laki-laki yang baru saja memasuki rumah makan itu dan kebetulan melihat Cin Cin mengeluarkan lengan buntungnya, nampak terkejut. Mereka adalah Lok-yang Su-liong (Empat Naga dari Lok-yang), yaitu empat orang saudara jagoan yang boleh dibilang menguasai daerah Lok-yang, menjadi orang yang dianggap kepala di antara semua golongan hitam.
Seluruh tempat maksiat, rumah pelesir, rumah judi, bahkan perusahaan keamanan di kota itu selalu memberi upeti kepadanya, akan tetapi, semenjak munculnya Bi Tok Siocia, kekuasaan mereka tertekan dan mereka berempat juga ditundukkan oleh iblis betina itu sehingga mereka menjadi pembantu-pembantu Bi Tok Sio cia.
Kini, mendengar bahwa Bi Tok Siocia dikalahkan seorang pendekar dan melarikan diri, empat orang jagoan ini merasa mendapatkan kekuasaan mereka kembali dan pagi hari itu, mereka memulai dengan pesta merayakan kembalinya kekuasaan mereka itu dengan sarapan pagi di rumah makan.
Ketika mereka duduk, kebetulan hidangan untuk Cin Cin dikeluarkan pelayan dan gadis itu terpaksa mengeluarkan lengan kirinya yang buntung dan yang tadinya ia sembunyikan saja di saku jubahnya. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati empat orang jagoan itu. Baru semalam mereka mendengar bahwa Bi Tok Siocia dipaksa melarikan diri oleh seorang gadis pendekar yang buntung lengan kirinya, kini di rumah makan itu, mereka melihat seorang gadis yang lengan kirinya buntung sedang makan bubur ayam!
Timbul perasaan khawatir di hati empat orang jagoan itu. Jangan-jangan gadis itu seperti juga Bi Tok Siocia, hendak menguasai semua rumah pelesir dan rumah perjudian! Jangan-jangan mereka berempat kembali hanya akan menjadi pembantu saja. Melihat betapa gadis itu sederhana saja seorang diri, bertangan sebelah buntung, tidak mempunyai banyak anak buah seperti halnya Bi Tok Siocia, maka empat orang itu memandang rendah dan sengaja hendak mencari gara-gara agar gadis itu merasa takut dan segera pergi dari kota Lok-yang, tidak lagi merupakan ancaman baginya.
"Heii, twako, kabarnya ada gadis berlengan buntung yang hendak menjagoi di daerah kita. Benarkah itu?" tanya seorang di antara mereka pada orang pertama dari Lok-yang Su-liong, yaitu seorang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh jangkung kurus seperti pemadatan. Dua orang rekannya mengeluarkan suara tawa dari hidung secara mengejek dan mereka semua melirik ke arah Cin Cin yang masih makan bubur dengan tenangnya.
"Kabarnya ia seorang pendekar!" kata orang ke dua. "Kalau ia benar pendekar, sebaiknya jangan terlalu lama berada di sini."
"Belum tentu pendekar. Siapa tahu kalau ia hanya seorang tokoh lain yang ingin merajai di rumah ini," kata pula orang ke tiga. Kini si jangkung mengeluarkan suara dan suaranya memang serasi dengan tubuhnya yang jangkung kurus. Suaranya kecil seperti suara wanita.
"Hemm, kalau ia ingin menjagoi, berarti ia belum mendengar nama Lok-yang Su-liong! Kalau ia cerdik, sebaiknya ia tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw di sini, karena ia tentu akan berhadapan dengan kita dan dengan banyak saudara kita yang lain."
Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa saling pandang, mereka berdua maklum benar bahwa empat orang jagoan itu sedang mencari gara-gara terhadap gadis lengan buntung yang masih makan dengan sikap tenang dan santai itu. Mereka mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja karena mungkin dalam percakapan antara gadis itu dan empat orang berandal ini akan terungkap siapa adanya gadis itu, benar ia Cin Cin seperti yang mereka duga ataukah bukan. Mereka pura-pura tidak melihat dan melanjutkan makan bubur, akan tetapi diam-diam menaruh perhatian terhadap gadis itu.
Tentu saja Cin Cin maklum bahwa dirinya yang dimaksud dalam percakapan orang itu, akan tetapi ia tidak mau mencari perkara, ia ingat akan pesan subonya bahwa ia tidak boleh mencari perkara dan membuat permusuhan. Ia tidak mengenal mereka dan ia dapat menduga bahwa mungkin mereka adalah pimpinan penjahat di kota Lok-yang ini yang sudah mendengar akan sepak-terjangnya di rumah pelesir Ang-hwa di kota Ji-goan.
Ia tidak perduli karena andaikata ia tidak ada hubungan dengan Cia Ma atau andaikata ia tidak melihat delapan orang gadis dusun dalam kereta, iapun tidak akan usil mencari perkara dengan rumah pelesir itu. Iapun mengambil keputusan untuk diam saja tidak menanggapi mereka, asalkan mereka tidak mengganggunya, baik dengan omongan maupun dengan perbuatan.
Akan tetapi, Lok-yang Su-liong adalah tokoh-tokoh sesat, maka seperti para tokoh sesat lainnya, watak mereka sombong. Mereka sudah terbiasa memaksakan kehendak dengan kekerasan, dan apabila orang tidak melawan mereka, mereka anggap bahwa orang itu takut terhadap mereka!
Kini, melihat betapa gadis lengan buntung itu diam saja, melirikpun tidak, mereka mempunyai dua macam dugaan. Pertama, gadis itu bukan pendekar wanita yang telah mengusir Bi Tok Siocia, dan ke dua, kalau benar ia pendekar wanita itu, tentu merasa jerih untuk berlagak di kota Lok-yang dan takut terhadap mereka!
Sementara itu, Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa diam-diam merasa mendongkol sekali melihat sikap empat orang itu. Mereka belum yakin bahwa gadis itu adalah orang yang mereka cari, akan tetapi melihat gadis itu diam saja dan empat orang itu mengeluarkan ejekan-ejekan, tentu saja mereka berpihak kepada si gadis lengan buntung. Bahkan Liu Hwa merasa amat penasaran. Gadis itu tadi menunduk saja, seperti tenggelam dalam lamunan penuh duka, maka tidak pernah memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tentu gadis itu belum melihatnya. Kalau gadis itu memang benar anaknya, tentu akan mengenalnya. Bagai seorang wanita yang sudah menjadi ibu seperti dirinya, waktu enambelas tahun tidak akan mendatangkan banyak perubahan, berbeda dengan perbedaan antara seorang kanak-kanak berusia lima tahun yang kini menjadi seorang gadis berusia dua puluh satu tahun! Ia tentu tidak banyak berubah dan Cin Cin pasti akan mengenalnya.
"Eh, twako! Jangan-jangan pendekar wanita buntung itu juga gagu atau tuli, ha-ha-ha!" seorang di antara empat jagoan itu mengeluarkan ucapan yang nyaring dan penuh ejekan, jelas ditujukan kepada gadis buntung itu karena mereka berempat memandang ke arah gadis itu sambil tertawa-tawa.
Andaikata gadis itu bukan puterinya sekalipun, sikap empat orang ini cukup membuat hati Coa Liu Hwa menjadi panas dan marah. Sebelum dicegah suaminya yang ia tahu amat sabar dan tenang, dari tempat duduknya iapun berkata dengan nada suara lantang.
"Bubur ayam di rumah makan ini enak dan air tehnya juga sedap, hanya sayang sekali ada empat ekor lalat besar yang bau busuk dan suaranya memualkan perutku! Dan ada empat ekor cacing mengaku naga, sungguh menjemukan sekali!"
Lie Koan Tek terkejut akan tetapi tidak mampu mencegah isterinya yang sudah bicara dengan suara dan nada keras itu. Juga Cin Cin terkejut, bukan saja oleh kata-kata itu, melainkan terutama sekali oleh suara itu. Ia masih mengenal suara itu dan iapun melirik. Hampir saja ia melonjak dari tempat duduknya ketika ia mengerling dan melihat wanita yang duduk di luar itu. Akan tetapi, melihat wanita itu duduk dengan seorang pria berusia enampuluhan tahun yang tinggi besar berewok dan amat gagah perkasa, iapun menahan diri dan pura-pura tidak mengenal.
Ibunya! Jelas ia tidak ragu lagi. Wanita itu adalah ibunya dan pria yang duduk di sebelahnya itu siapa lagi kalau bukan pendekar Siauw-lim-pai yang bernama Lie Koan Tek, yang kini menjadi suami ibunya! Perasaan haru dan gembira dalam hati Cin Cin segera tertutup oleh rasa sesal dan cemburu. Semenjak dusun Ta-bun-cung di mana perkumpulan Hek- houw-pang diserbu penjahat sehingga ayahnya, Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang tewas, ibunya entah pergi ke mana.
Kemudian, ia sendiri menderita kehidupan yang amat pahit dan hampir saja celaka di tangan Cia Ma! Kalau tidak bertemu dengan Tung-hai Mo-li, mungkin ia kini telah dipaksa menjadi pelacur! Ia hidup menderita, dan ibunya! Ibunya yang kematian suami itu bahkan telah menggandeng seorang pria baru, suami baru! Ia menderita sengsara dan ibunya malah bersenang-senang. Kemarahan ini yang membuat Cin Cin diam saja, pura-pura tidak mengenal ibunya sendiri. Padahal sebelum pertemuan ini, ia amat merindukan ibunya.
Empat orang jagoan itu serentak bangkit dari tempat duduk mereka dan memutar tubuh memandang ke arah wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap mereka. Dan mereka melihat wanita yang setengah tua, sudah mendekati limapuluh tahun namun masih cantik dan gagah, duduk memandang kepada mereka dengan senyum mengejek, sedangkan di dekat wanita itu duduk seorang laki-laki gagah perkasa yang nampak tenang dan masih makan bubur ayamnya. Sebaliknya, wanita itu memandang kepada mereka dengan bibir tersenyum mengejek mata menantang!
Coa Liu Hwa merasa kecewa sekali karena tadi ia memperhatikan ke arah gadis buntung dan melihat betapa gadis itu mengerling kepadanya. Akan tetapi, gadis itu tenang saja dan agaknya sama sekali tidak mengenalnya! Kalau begitu, gadis itu bukan Cin Cin, bukan puterinya! Ingin ia menangis rasanya, begitu kecewa dan penasaran. Maka rasa penasaran ini ia tumpahkan kepada empat orang itu, tidak perduli betapa suaminya mencegahnya dengan pandang mata.
"Heii, kalian empat orang sialan! Mau apa engkau melotot dan memandang kepadaku? Apakah kalian menantang?"
Tentu saja Lie Koan Tek terkejut bukan main. Biasanya, isterinya agak pendiam dan tidak suka mencari perkara. Dia dapat menduga tentu isterinya bersikap seperti itu untuk memancing perhatian gadis buntung itu. Diapun melihat betapa gadis itu bersikap acuh saja. Padahal kalau benar gadis itu puteri isterinya, tentu kini telah mengenal ibu kandungnya.
Si jangkung kurus yang menjadi orang pertama dari Lok-yang Su-Liong, tak dapat menahan kemarahannya yang berkobar sejak pertama kali Liu Hwa bicara tadi. "Heii, nyonya! Apakah engkau menghina kami Lok-yang Sui-liong? Siapakah engkau berani bersikap begini kurang ajar kepada kami?"
Liu Hwa juga bangkit berdiri dan bertolak pinggang, sikap yang sungguh aneh dan asing bagi Lie Koan Tek, akan tetapi diapun dapat menduga bahwa perubahan sikap isterinya ini semata-mata ingin menarik perhatian gadis itu.
"Hemm, kalian berjuluk demikian besar, Empat ekor Naga Lok-yang, akan tetapi sikap kalian menghina orang seperti cacing-cacing tanah saja! Seolah-olah di dunia ini tidak ada orang berani kepada kalian. Aku seorang murid Hek-houw-pang sama sekali tidak takut!"
Biarpun ia bicara kepada empat orang itu, ketika mengatakan bahwa ia murid Hek-houw-pang, ia melirik ke arah gadis buntung itu, akan tetapi gadis itupun masih tetap duduk dengan tenang.
"Perempuan sombong!" Seorang di antara Lok-yang Su-liong membentak. Dia berusia empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan merupakan orang termuda di antara mereka, juga wataknya mata keranjang. "Kalau saja engkau duapuluh tahun lebih muda, tentu akan kuhukum dengan menemaniku selama beberapa malam, ha-ha-ha!" Tiga orang kawannya juga tertawa-tawa.
Kini Lie Koan Tek bangkit berdiri dan memandang ke arah empat orang itu. "Sudah lama aku mendengar nama Lok-yang Su-liong sebagai penjahat-penjahat kecil di kota Lok-yang yang suka berbuat jahat. Kiranya, kalian selain jahat juga pengecut dan beraninya hanya menghina wanita-wanita saja, walaupun isteriku ini kalau kubiarkan tentu akan dapat membunuh kalian dengan mudahnya!"
Empat orang itu kini meninggalkan meja mereka dan dengan sikap mengancam mereka menghampiri suami isteri itu. Si tinggi kurus menudingkan telunjuknya kepada Liu Hwa dan menghardik kepada Lie Koan Tek,
"Isterimu ini yang lebih dahulu menghina kami! Tidak tahukah kalian bahwa kami Lok-yang Sui-liong adalah pimpinan semua tokoh kangouw di daerah ini? Isterimu yang bersikap tidak patut!"
"Kalian sendiri menghina seorang gadis dan masih berani menuduh aku yang menghina orang?" bentak Liu Hwa penuh semangat. Kini ia melihat betapa gadis buntung itu memutar tubuh memperhatikan mereka, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis yang disangka puterinya itu, gadis itu mengalihkan pandang matanya!
"Kalau isteriku telah bersikap kasar, harap dimaafkan, akan tetapi kami harap agar su-wi berempat juga tidak mengganggu orang lain lagi."
"Hemm, lagakmu seperti seorang pendekar! Siapa sih engkau?" bentak si tinggi kurus kepada Lie Koan Tek.
"Sejak dahulu sampai sekarang namaku Lie Koan Tek. Aku bukan pendekar, akan tetapi kalau ada orang bertindak sewenang-wenang, sudah menjadi kewajibanku untuk menentangnya."
Pada saat itu pemilik rumah makan datang tergopoh-gopoh dan memberi hormat kepada empat orang itu dengan tubuh ditekuk hampir patah. "Cuwi-eng-hiong (Orang gagah sekalian) mohon ampun dan tidak berkelahi di sini, agar tempat kami tidak menjadi rusak dan porak-poranda."
Si tinggi kurus mendengus. Baginya juga tidak enak berkelahi di situ, karena penuh dengan meja kursi, membuat dia dan tiga orang saudaranya tidak leluasa bergerak. "Huh, jangan khawatir. Sediakan saja masakan istimewa untuk kami berempat pesta nanti setelah kami memberi hajaran kepada orang ini." Kemudian dia menghadapi Lie Koan Tek lagi dan berkata, "Namamu Lie Koan Tek? Pernah aku mendengar nama Lie Koan Tek tokoh Siauw-lim-pai. Engkaukah orangnya?"
"Aku memang murid Siauw-lim-pai bernama Lie Koan Tek," kata pendekar itu dengan sikap tenang.
"Bagus! Sudah lama juga kami mendengar nama Lie Koan Tek sebagai seorang yang gatal tangan dan suka usil mencampuri urusan orang lain. Mari kita keluar kalau memang engkau berani melawan kami!" tantang si tinggi kurus dengan cerdik karena dia sengaja menantang dengan sebutan kami, berarti mereka berempat yang menantang, bukan dia seorang. Empat orang itu hendak melangkah keluar, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan halus.
"Siapa di antara empat Lok-yang Su-liong yang tadi menyebut-nyebut tentang tangan buntung?"
Yang bicara itu adalah Cin Cin dan semua orang menengok dan memandang kepadanya. Gadis itu masih duduk dan memegang sepasang sumpit bambunya, agaknya sudah selesai makan dan tadi menggunakan sepasang sumpit di tangan kanan untuk makan kacang.
"Aku yang mengatakan!" kata orang muda yang perutnya gendut.
"Aku juga. Habis kau mau apa?" kata pula orang ke tiga yang matanya sipit hampir terpejam.
"Mulutmu busuk!" bentak gadis itu dan sekali tangan kanannya bergerak, sepasang sumpit itu meluncur bagaikan anak panah.
Demikian cepatnya luncuran sumpit itu sehingga biarpun kedua orang itu berusaha mengelak, tetap saja masing-masing jadi korban sumpit yang menembus dari pipi sebelah ke pipi yang lain! Sumpit itu seperti ditusukkan dari pipi, menembus rongga mulut dan keluar dari pipi yang lain! Tentu saja kedua orang itu terkejut, kesakitan dan mengeluarkan suara aneh karena mereka tidak mampu menggerakkan mulut yang sudah ditusuk sumpit. Hendak dicabut, takut kalau terlalu nyeri, didiamkan saja juga sakit!
Orang pertama yang tinggi kurus cepat maju dan dua kali tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang sumpit itu dari pipi dua orang adik seperguruannya. Dua orang yang terluka itu menggunakan kedua tangan menutupi pipi yang berlubang dan mengucurkan darah. Si tinggi kurus dan orang ke dua yang pipinya terdapat tanda luka codet, sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi sebelum mereka meloncat untuk menyerang gadis buntung itu, Lie Koan Tek dan isterinya sudah mencabut senjata mereka pula.
Lie Koan Tek melolos rantai baja yang dijadikan sabuk, sedangkan isterinya mencabut pedang. Melihat sepasang suami isteri itu menghadang di depan mereka, si tinggi kurus dan si codet maju menyerang. Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa menyambut dengan senjata mereka dan terjadilah perkelahian di ruangan makan itu. Namun, ternyata dua orang jagoan itu sama sekali bukan lawan Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa yang semenjak menjadi isteri pendekar Siauw-lim-pai itu telah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat.
Belum juga sepuluh jurus, rantai baja di tangan Lie Koan Tek telah merobohkan lawan, dengan tulang kaki patah dan tak mampu bangkit kembali. Beberapa jurus kemudian, isterinya juga dapat membuat lawan terpelanting dengan luka bacokan pada pundak kirinya. Empat orang Lok-yang Su-liong itu tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, keluar dari rumah makan sambil terhuyung dan saling bantu, terutama sekali si tinggi kurus yang patah tulang kakinya, terpaksa harus diseret dan terpincang-pincang.
Lie Koan Tek menghampiri pemilik rumah makan. "Berapa kerugianmu akibat perkelahian tadi, akan kuganti."
"Tidak perlu... tidak usah, taihiap. Akan tetapi kami khawatir sekali karena Lok-yang Su-liong itu mempunyai kawan yang banyak jumlahnya. Bagaimana kalau mereka datang membalas dendam?"
"Jangan takut. Kami akan melindungimu."
"Sobat, tahukah engkau di mana nona yang tadi duduk makan di sana?" tiba-tiba Liu Hwa bertanya kepada pengurus rumah makan itu karena tidak melihat lagi adanya gadis yang disangka puterinya itu.
"Nona itu...? Ia tentu kembali ke kamarnya karena ia tadi memesan kamar di loteng untuk bermalam."
"Kamipun akan bermalam di sini," kata Koan Tek cepat. "Nomor berapa kamar nona tadi? Kami ingin bicara dengannya."
"Kamar nomor dua di loteng, taihiap." Pengurus itu lalu mempersilakan suami isteri yang amat dihormatinya karena telah berhasil mengusir Lok-yang Su-liong yang ditakuti, untuk naik ke loteng dan mereka mendapatkan sebuah kamar terbesar di loteng itu, yaitu kamar nomor lima, terpisah tiga kamar dari kamar nomor dua yang dihuni oleh Cin Cin.
Memang benar perkiraan pengurus rumah makan tadi. Ketika suami isteri itu menyambut serangan penjahat itu, Cin Cin maklum bahwa mereka tidak merlukan bantuan, maka diam-diam ia menyelinap dan meninggalkan ruangan itu, naik ke loteng dan masuk ke dalam kamarnya. Di kamarnya, ia duduk termenung di tepi pembaringan, kedua matanya basah namun ia menahan tangisnya. Ia merasa dadanya sesak dan juga panas sekali.
Tidak salah lagi. Wanita itu adalah ibunya, ibu kandungnya yang selama belasan tahun ini dirindukannya, yang seringkali membuat ia menangis seorang diri sambil memeluk guling. Akan tetapi, kalau tadinya ia membayangkan pertemuan yang mengharukan dan membahagiakan dengan ibunya, sama-sama menangis dan mengenang ayahnya, kini ibunya muncul bersama seorang pria yang sama sekali asing baginya, akan tetapi yang telah menjadi pengganti ayahnya!
Cin Cin menangis tanpa suara. Terjadi pergolakan hebat di dadanya, antara sayang dan benci, antara rindu dan kecewa, antara keinginan kuat untuk merangkul ibunya dan menjauhkan diri dari ibunya! Hanya satu hal yang membuat hatinya agak terhibur. Ibunya nampak sehat dan gembira, juga nampak cantik seperti dahulu. Dan ibunya juga bersikap sebagai seorang pendekar wanita yang berani menentang kejahatan. Demikian pula suami ibunya, atau ayah tirinya, ternyata memperlihatkan sikap seorang pendekar perkasa yang terkenal sebagai tokoh Siauw-lim-pai.
Tidak, ia tidak akan menemui ibunya sebelum perasaan yang tidak menentu berkecamuk di hati nya. Selama hatinya masih terasa kacau dan penuh pertentangan, ia tidak akan memperlihatkan diri kepada ibunya. Akan tetapi, setelah kini bertemu, untuk meninggalkan ibunya ia tidak sanggup. Maka, iapun mengambil keputusan untuk pindah dari situ, untuk membayangi dan mengikuti perjalanan ibu dan ayah tirinya itu secara diam-diam, sampai tiba saatnya ia merasa yakin untuk bertemu dengan ibunya.
Demikianlah, percuma saja suami isteri isteri itu mengamati kamar Cin Cin sampai sehari penuh. Tidak pernah mereka melihat gadis itu keluar kamar, bahkan sampai malampun mereka tidak melihatnya. Mereka tidak berani mengganggu malam itu. Bagaimanapun juga, kini sudah menipis dugaan mereka bahwa gadis itu adalah Cin Cin. Gadis itu memang lihai bukan main. Sepasang sumpit yang disambitkan saja demikian tepat menembusi pipi dua orang lawan.
Akan tetapi, kalau gadis itu benar Cin Cin, sudah pasti ia akan mengenal ibunya. Tidak, gadis itu pasti bukan Cin Cin dan hal ini membuat hati Liu Hwa kecewa bukan main. Akan tetapi ia dan suaminya masih mempunyai harapan untuk berkenalan dengan gadis itu dan siapa tahu gadis perkasa itu dapat memberi petunjuk di mana adanya gadis yang mereka cari.
Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berani menghampiri kamar nomor dua dan mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Sampai diperkuat ketukannya, tetap saja tidak ada jawaban. Seorang pelayan menghampiri mereka dan berkata,
"Tidak ada gunanya ji-wi (kalian) mengetuk pintu itu. Biar digedor sampai bagaimanapun tidak akan ada yang membukanya karena kamar itu kosong."
"Ehh? Kosong? Bukankah kemarin ditinggali nona..."
"Nona yang buntung tangan kirinya itu, toanio? Memang benar, akan tetapi malam tadi ia membuat perhitungan, membayar semua sewa kamar dan harga makanan, lalu pergi dengan cepat."
Suami isteri itu terkejut. "Kemana ia pergi?" Liu Hwa bertanya akan tetapi pelayan itu menggeleng kepala.
Tentu saja suami isteri itu merasa menyesal sekali mengapa tidak kemarin saja mereka mengunjungi nona itu. Sekarang ia telah pergi dan kemana mereka harus mencarinya?
"Kita ke kota Ji-goan saja, kita menyelidiki ke sana, siapa tahu terdapat jejak anakmu disana." Lie Koan Tek menghibur isterinya yang kelihatan kecewa sekali.
Setelah membayar semua perhitungan, suami isteri itu bergegas meninggalkan kota Lok-yang dan menuju ke sungai Huang-ho untuk menyeberang ke kota Ji-goan yang terletak di sebelah utara Huang-ho. Akan tetapi, ketika mereka tiba di jalan dekat hutan di lembah sungai Huang-ho, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang agaknya sengaja menghadang di depan mereka.
"Harap ji-wi berhenti sebentar, aku ingin bicara," kata pemuda itu. Sikapnya cukup sopan akan tetapi suaranya terdengar dingin dan kaku seolah menyembunyikan kemarahan.
Suami isteri itu memandang heran. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun, tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan, matanya tajam mencorong dan dagunya tebal, bibirnya mengandung senyuman sinis dan telinganya agak kecil dan pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi.
"Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah yang ingin kaubicarakan dengan kami?" Lie Koan Tek bertanya. Pendekar ini cukup berpengalaman dan dia dapat menduga bahwa pemuda yang menghadang ini pasti bukan pemuda sembarangan.
"Bukankah paman yang bernama Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai?" tanya pemuda itu yang bukan lain adalah The Siong Ki, murid Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng!
Seperti telah kita ketahui, Siong Ki berkunjung ke pusat Hek-houw-pang dan di sana dia bahkan bertemu dengan Cin Cin. Akan tetapi seperti juga Cin Cin, dia menolak ketika hendak diangkat menjadi ketua Hek-houw-pang. Dia meninggalkan Hek-houw-pang untuk melaksanakan tugas yang diberikan gurunya kepadanya, yaitu mencari Bi Lan yang telah menculik puteri suhunya.
Suhu dan subonya memang sudah berpesan kepadanya agar dia tidak sembarangan membalas dendam kepada Lie Koan Tek, melainkan diharuskan melakukan penyelidikan lebih mendalam tentang kematian ayahnya. Diapun tidak bermaksud membunuh Lie Koan Tek, akan tetapi ingin bicara tentang kematian ayahnya, dan diapun teringat akan keterangan gurunya bahwa Bi Lan adalah keponakan Lie Koan Tek, maka besar kemungkinan pendekar Siauw-lim-pai ini dapat memberitahu kepadanya di mana adanya Kwa Bi Lan.
Demikianlah, ketika dia mendengar berita tentang keributan yang dilakukan pendekar wanita tangan kiri buntung di Ji-goan, dia dapat menduga bahwa pendekar itu tentulah Cin Cin. Dia tertarik dan mengikuti jejak Cin Cin sampai ke Lok-yang dan di sana dia melihat Lie Koan Tek dan bibi-gurunya, Coa Liu Hwa. Tentu saja dia menjadi girang sekali dan segera dia menanti saat baik untuk bertemu dengan mereka. Itulah sebabnya, ketika melihat suami isteri itu keluar dari Lok yang, dia mendahului menghadang di tempat sunyi itu.
"Benar, namaku Lie Koan Tek. Siapakah, engkau orang muda?"
"Nanti dulu! Aku... seperti mengenal pemuda ini!" kata Coa Liu Hwa sambil mengamati wajah yang tampan itu.
"Bibi benar. Aku adalah The Siong Ki, putera mendiang ayah The Ci Kok. Pernah aku ikut bibi menjadi murid, akan tetapi aku lalu pergi. Akan tetapi bukan itu yang penting. Aku ingin bicara dengan paman Lie Koan Tek!" kembali suaranya terdengar dingin.
"Siong Ki... ah, benar engkau Siong Ki...! Engkau sudah dewasa sekarang..."
"Hemm, orang muda. Apa yang akan kaubicarakan dengan aku?" Lie Koan Tek bertanya.
"Paman, aku hanya ingin bertanya apakah benar engkau yang dahulu telah membunuh ayahku, yaitu The Ci Kok seorang murid Hek-houw-pang? Jawab sejujurnya, paman. Benarkah engkau yang membunuhnya?"
Lie Koan Tek mengerutkan alisnya. Pertanyaan itu mengingatkannya kembali akan peristiwa yang amat tidak enak itu. Ketika itu, secara terpaksa karena dibebaskan dari penjara oleh Cian Bu Ong, dia menjadi pembantu Cian Bu Ong dan dia ikut pula menyerbu dusun Ta-bun-cung di mana Hek-houw-pang dimusuhi Cian Bu Ong karena tidak mau bersekutu untuk memberontak terhadap pemerintah. Kalau dia teringat akan peristiwa itu, dia merasa menyesal bukan main walaupun dalam penyerbuan itu, tidak seperti yang lain, dia sama sekali tidak melakukan pembunuhan, hanya merobohkan saja para anggota Hek-houw-pang tanpa membunuh.
Dengan tegas dia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak membunuh ayahmu, aku tidak membunuh siapapun dari Hek-houw-pang!"
Jawaban itu memanaskan hati Siong Ki. "Paman, engkau dikenal sebagai pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, kenapa tidak berani menanggung akibat dari perbuatan sendiri dan hendak mengingkari perbuatan sendiri? Bukankah paman juga ikut membantu gerombolan yang menyerbu Hek-houw-pang? Bahkan paman telah merampas pula bibi Coa Liu Hwa, isteri ketua Hek-houw-pang menjadi isteri paman sekarang?"
"Siong Ki!" Coa Liu Hwa membentak marah.
"Sebaiknya kalau bibi tidak mencampuri karena hal ini hanya akan mendatangkan rasa malu saja kepada bibi sendiri. Aku bicara dengan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang dan menghendaki jawaban sejujurnya dari Lie Koan Tek!"
"Orang muda, jangan engkau bersikap kasar terhadap isteriku. Ia tidak bersalah, dan tentang penyerbuan ke Hek-houw-pang itu, aku tidak menyangkal. Akan tetapi, aku hanya merobohkan saja para pengeroyok dan sama sekali tidak membunuh orang. Aku hanya terpaksa menyerang Hek-houw-pang karena..."
"Cukup! Biarpun engkau tidak membunuh ayahku dan tidak membunuh seorangpun dari Hek-houw-pang, namun engkau mengaku sudah ikut menyerbu dan merobohkan anak buah Hek-houw-pang. Nah, sekarang aku, keturunan murid Hek-houw-pang, menantangmu untuk mengadu kepandaian. Hendak kulihat sampai di mana kepandaian orang yang pernah mengacaukan Hek-houw-pang dan mendatangkan malapetaka kepada seluruh anggota Hek-houw-pang, bahkan kini secara tak bermalu telah memperisteri bekas isteri ketuanya. Cabutlah senjatamu, Lie Koan Tek!"
Siong Ki mencabut pedangnya dan tampaklah sebatang pedang yang tua dan tumpul, namun mengandung sinar yang dingin redup seperti sinar bintang. Itulah Seng-kang-kiam (Pedang Baja Bintang) yang ampuh, milik Bu Giok Cu yang dititipkannya kepada murid itu untuk dipakai mencari Si Hong Lan yang lenyap diculik Kwa Bi Lan.
Bagaimanapun juga, Lie Koan Tek adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia tidak ingin mengingkari perbuatannya sendiri. Memang dia ikut menyerbu Hek-houw-pang. Dia kini harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu. Juga dia ditantang, sebagai seorang pendekar, tentu saja pantang mundur kalau ditantang.
"Baiklah, orang muda. Aku tidak akan lari dari tanggung-jawab!" katanya dan diapun sudah melolos sabuk rantai bajanya dan bersiap.
”Siong Ki, jangan...!!" Coa Liu Hwa mencoba untuk mencegah.
"Bibi sudah mengkhianati Hek-houw-pang, harap jangan ikut campur!" kata pemuda itu dengan suara ketus.
"Orang muda, engkau terlalu menghina isteriku!" Lie Koan Tek berseru marah. "Kalau engkau hendak menyerangku, majulah!"
Siong Ki segera menggerakkan pedangnya menyerang dan begitu dia menyerang, Lie Koan Tek terkejut karena serangan itu selain cepat bagaikan kilat menyambar, juga mendatangkan hawa yang amat kuat. Dia memutar sabuk rantai bajanya menangkis sambil mengerahkan tenaga pula.
"Tranggg!!!" Pertemuan antara pedang tumpul dan rantai baja itu sedemikian kuatnya sehingga menggetarkan tubuh Liu Hwa yang menonton dengan cemas, dan ia melihat betapa suaminya terhuyung ke belakang, sedangkan pemuda itu tetap tegak. Ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal tenaga sin-kang, pemuda itu lebih kuat! Juga Lie Koan Tek memaklumi hal ini, maka dia bersikap hati-hati.
Siong Ki merasa mendapat angin. Dia tersenyum mengejek, "Lie Koan Tek, kalau dulu engkau tidak membunuh orang-orang Hek-houw-pang, sekarangpun, melihat muka bibi Liu Hwa, aku tidak akan membunuhmu, hanya akan memberi hajaran kepadamu sebagai hukuman!" Setelah berkata demikian dia menyerang dengan dahsyat dan bertubi-tubi.
Pedangnya lenyap menjadi gulungan sinar yang berkilauan. Lie Koan Tek juga menggerakkan rantai baja itu untuk membentuk benteng perlawanan yang kokoh, karena dia maklum bahwa menghadapi pedang yang ampuh dan ilmu pedang hebat itu, dia akan cepat roboh kalau membalas.
Melihat suaminya terdesak dan terancam, Liu Hwa tidak mungkin dapat berdiam diri saja. Iapun mencabut pedangnya menerjang ke depan sambil berteriak, "Siong Ki, engkau tidak boleh menghina suamiku!"
Siong Ki memutar pedangnya menangkis dan mengejek, "Bagus, sekarang pengkhianatanmu sudah lengkap, bibi Liu Hwa, dan biarlah aku mewakili arwah suamimu untuk memberi pelajaran kepadamu pula!" Pedangnya bergerak cepat secara luar biasa sekali dan terdengar Liu Hwa berseru kesakitan lalu terhuyung ke belakang karena pangkal lengan kanannya terluka oleh ujung pedang lawan.
Melihat isterinya terluka, Lie Koan Tek lalu memutar rantai bajanya menyerang dengan dahsyat sehingga terpaksa Siong Ki menangkis sambil mundur dan tersenyum mengejek. "Biarlah hari ini orang-orang yang berdosa menerima hukumannya!" katanya dan kembali pedangnya bergerak luar biasa sekali, membuat Lie Koan Tek menjadi bingung dan biarpun dia sudah memutar rantai bajanya dengan cepat, tetap saja pundaknya terkena ujung pedang lawan dan dia terhuyung dan pundak kirinya berdarah.
Siong Ki tertawa. "Ha-ha-ha, kalian rasakan sekarang! Lie Koan Tek dan engkau bibi Liu kalau kalian mau mengakui kesalahan kalian di hadapanku, aku akan mengampuni kalian dan membebaskan kalian. Akan tetapi kalau kalian tidak mengakui kesalahan, terpaksa aku akan memberi hajaran lebih keras lagi."
Suami isteri itu saling pandang. Bagi orang yang menghargai kegagahan seperti mereka, merendahkan diri dan kehormatan merupakan pantangan. Hampir berbareng mereka berseru, "Kami tidak sudi!"
Wajah Siong Ki menjadi merah saking marahnya. "Hemm, orang-orang tak bermalu masih mempertahankan kehormatan? Kalau begitu, biar kuberi pelajaran yang lebih pahit lagi. Siapkan senjata kalian!"
Suami isteri itu telah berdiri berdampingan dengan senjata di tangan, siap untuk melawan sampai mati.
"Hyaaaaatttt...!" Tubuh Siong Ki menerjang dahsyat dan pedangnya menyambar bagaikan kilat.
"Tranggg...!!" Siong Ki terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan mengandung hawa dingin. Ketika dia meloncat ke belakang karena merasa tangannya tergetar hebat dan memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah Cin Cin!
"Kau...?"
Akan tetapi Cin Cin tidak memberi kesempatan lagi kepada Siong Ki untuk bicara, karena ia segera menyerang dengan dahsyat bukan main, sehingga terpaksa Siong Ki harus memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Serangan yang dilakukan Cin Cin amat hebatnya dan setiap kali mereka beradu pedang, Siong Ki merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat. Dia melompat agak jauh ke belakang.
"Aku... aku tidak ingin berkelahi denganmu, aku hanya akan memberi pelajaran..."
Kembali Siong Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena begitu tangan kiri Cin Cin bergerak, belasan batang jarum yang bersinar menyambar ke arah tubuh pemuda itu. Siong Ki terkejut dan cepat melompat jauh ke kiri. Kalau Cin Cin maju membela ibunya dan dia dikeroyok tiga, sudah pasti dia akan terancam bahaya. Melawan Cin Cin seorangpun belum tentu dia menang, maka mengingat bahwa dia telah melukai Lie Koan Tek dan Coa Liu Hwa, yang tentu akan membuat Cin Cin marah sekali, dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri!
Cin Cin tidak mengejarnya, hanya berdiri mematung, memandang ke arah perginya pemuda itu membelakangi suami isteri itu dengan sikap acuh. Coa Liu Hwa dan suaminya saling pandang, kemudian Liu Hwa yang kini timbul pula harapan dan dugaannya bahwa gadis itu adalah puterinya, segera menghampiri dan menegur dengan suara gemetar.
"Kau... kau... Kam Cin? Cin Cin...?"
Mendengar suara ibunya memanggilnya, Cin Cin merasa jantungnya seperti diremas. Betapa inginnya menubruk dan merangkul ibunya yang selama ini amat dirindukannya, akan tetapi di situ ada Lie Koan Tek dan ia masih merasa penasaran. Dengan perlahan ia memutar tubuh menghadapi ibunya, mukanya menjadi pucat akan tetapi sikapnya masih dingin dan ia hanya menatap wajah ibunya, tanpa menjawab dan tanpa memperlihatkan gejolak perasaannya.
Liu Hwa yang kini tidak ragu lagi bahwa gadis ini adalah puterinya yang hilang, berkata lagi, suaranya bercampur isak, "...Cin Cin... lupakah engkau kepadaku? Lupakah... engkau pada.... ibumu...? Aku ibumu..."
"Bukan! Engkau bukan ibuku!" Cin Cin berseru dengan suara lantang seperti berteriak, karena suaranya itu memang langsung keluar dari perasaan hatinya.
"Cin Cin! Engkau pasti Cin Cin anakku! Aku ibumu, anakku..." Liu Hwa berkata dengan air mata bercucuran, namun ia masih belum berani mendekat, karena sebelum gadis itu mengaku bahwa ia benar Cin Cin, tentu saja ia belum yakin benar.
"Hemm, kalau benar engkau ini ibuku, kenapa engkau membiarkan anakmu hidup terlantar sendiri sampai belasan tahun, sedangkan engkau sendiri bersenang-senang dan enak-enakan menikah lagi dengan seorang laki-laki lain? Mana ada seorang ibu seperti itu? Melupakan suami yang tewas melupakan anak yang hilang, sebaliknya bersenang-senang sendiri?"
Liu Hwa yang mendengar ucapan penuh penyesalan itu, merasa betapa dadanya seperti ditusuk-tusuk, ia hanya dapat membelalakkan mata memandang kepada anaknya dengan air mata bercucuran.
Melihat ini, Lie Koan Tek maju dan berkata dengan suara tegas. "Nona, engkau tidak berhak bicara seperti itu kepada isteriku!"
Kini Cin Cin menoleh kepadanya dan tersenyum mengejek. "Bagus! Engkau merasa dirimu besar karena engkau terkenal sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai dan bersikap gagah? Huh, menurut pendengaranku tadi, engkau ikut menyerbu Hek-houw-pang dan ikut membasmi Hek-houw-pang, kemudian engkau membunuh ketua Hek-houw-pang dan melarikan isterinya, lalu memaksa isteri ketua Hek-houw-pang menjadi isterimu! Dan sekarang engkau masih gagah-gagahan berlagak membelanya? Pendekar macam apa engkau ini?"
"Cin Cin... ahhh... Cin Cin... jangan berkata demikian..." Liu Hwa menjerit, terkulai dan pingsan dalam rangkulan suaminya yang cepat meloncat mendekatinya.
Lie Koan Tek memondong tubuh yang pingsan itu, menoleh kepada Cin Cin dan bertanya, "Beginikah sikap seorang anak yang baik, membalas budi seorang ibu kandung dengan sikap sekejam ini? Kalau ia sampai mati, maka engkaulah pembunuh ibu sendiri!"
Setelah berkata demikian, Lie Koan Tek membawa isterinya ke bawah sebatang pohon di mana tumbuh rumput tebal dan merebahkan tubuh Liu Hwa di atas rumput, lalu menotok beberapa jalan darah dan mengelus tengkuknya. Liu Hwa kini bernapas lembut dan teratur, agaknya ia tertidur. Ketika Lie Koan Tek melihat gadis itu mengikutinya dan kini duduk di atas akar pohon sambil memandang isterinya dengan bingung, diapun bertanya dengan suara kaku.
"Kenapa engkau mendekat? Apakah engkau masih penasaran dan hendak membunuh aku dan isteriku? Silakan kalau begitu."
Akan tetapi, melihat ibunya roboh pingsan agaknya semua kemarahannya lenyap atau setidaknya mereda dari hati Cin Cin. Ingin ia menubruk dan menangisi ibunya, akan tetapi panasnya hati membuat ia masih menahan perasaannya dan ia memandang kepada Lie Koan Tek.
"Mengingat namamu yang besar sebagai pendekar Siauw-lim-pai, demi kehormatan Siauw-lim-pai, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan mengapa pula ibuku sampai dapat menjadi isterimu!"
Koan Tek maklum bahwa semua harus diceritakan kepada gadis ini untuk mengobati hati itu yang agaknya terluka hebat. Sambil duduk di atas rumput, berhadapan dengan gadis bertangan kiri buntung itu, Koan Tek menceritakan keadaan dirinya.
"Nona, engkau tentu sudah mendengar akan malapetaka yang menimpa Siauw-lim-pai belasan tahun yang lalu, bukan? Kuil kami dibakar dan Siauw-lim-pai dibasmi pasukan pemerintah, ketika itu masih Kerajaan Su. Nah, hampir semua anggota Siauw-lim-pai tewas, hanya aku dan beberapa orang saudara yang lolos. Akan tetapi aku menjadi orang buruan dan akhirnya aku tertangkap dan menjadi orang hukuman."
Cin Cin mengangguk-angguk, hatinya tertarik karena ia memang sudah mendengar kisah pembasmian Siauw-lim-pai oleh pemerintah Kerajaan Sui.
"Ketika Kerajaan Sui jatuh, seorang pangeran membebaskan aku dan beberapa orang hukuman lain, dengan syarat bahwa kami yang dibebaskan harus menjadi para pembantunya. Karena ingin bebas, kami setuju. Kemudian Kerajaan Sui yang jatuh diganti oleh Kerajaan Tang. Pangeran yang menjadi majikan kami itu lalu mengadakan gerakan pemberontakan terhadap kerajaan baru dan kami membantunya. Namun usaha itu gagal. Ketika pangeran itu membujuk Hek-houw-pang untuk bersekutu dengannya, Hek-houw-pang menolak dan demikianlah kami disuruh menyerbu Hek-houw-pang. Aku sendiri tidak setuju dengan gerakan itu, maka aku hanya membela diri ketika dikeroyok orang-orang Hek-houw-pang, merobohkan pengeroyok tanpa membunuh siapapun. Nona boleh percaya atau tidak, akan tetapi sesungguhnya demikianlah. Ketika melihat isteri ketua Hek-houw-pang terancam dan tentu akan tewas seperti suaminya, aku merasa kasihan dan aku lalu melarikannya agar ia tidak sampai tewas seperti yang lain."
Cin Cin mendengus. "Huh, kenapa engkau menolongnya dan membiarkan orang-orang lain terbunuh? Tentu engkau tertarik oleh kecantikannya bukan?"
Wajah Koan Tek berubah kemerahan. "Aku tidak perlu menyangkal. Memang aku tertarik oleh kecantikannya, walaupun aku belum pernah menikah dan tidak pernah tertarik oleh kecantikan wanita. Akan tetapi, hal itu belum kusadari sebelumnya, dan aku melarikannya karena dengan demikian para pembantu pangeran itu tentu tidak akan melarangku dan mengira bahwa aku tertarik oleh wanita itu dan sengaja melarikannya. Padahal, aku melakukan hal itu agar aku terhindar dari keharusan melawan orang-orang yang kutahu tidak bersalah. Nah, setelah aku melarikannya, membawanya ke tempat aman, kemudian aku melepaskannya. Kami berpisah, akan tetapi aku merasa kasihan dan tidak tega lalu membayanginya. Ternyata kekhawatiranku terbukti. Ia tertawan kepala gerombolan dan nyaris diperkosa. Untung bahwa aku masih membayanginya, maka aku berhasil membunuh kepala gerombolan."
Cin Cin mendengarkan saja, belum percaya sepenuhnya sambil membayangkan keadaan ibunya ketika itu. Melihat gadis itu mendengarkan penuh perhatian tanpa bicara, Koan Tek menghela napas panjang. Dia tidak akan menyalahkan kalau gadis itu tida k percaya kepadanya. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya dengan sejujurnya, sesuai dengan wataknya.
"Ketika ibumu berkunjung ke Ta-bun-cung, ia mendengar bahwa suaminya telah tewas di samping banyak tokoh Hek-houw-pang lainnya, dan iapun mendengar bahwa engkau diantar seorang sute suaminya pergi mencari pendekar sakti Si Han Heng di dusun Hong-cun. Maka, ia pun meninggalkan dusun dan di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang di antara rekanku, anak buah sang pangeran dan tentu ia akan tertawan atau terbunuh kalau saja aku tidak datang menyelamatkannya pula. Aku lalu mengantarkannya untuk mencari puterinya dan demikianlah, kami saling jatuh cinta dan kami menikah."
"Cin Cin..."
Dua orang itu menengok dan ternyata Coa Liu Hwa baru saja terbangun dari tidur dan ia bangkit duduk, lalu menangis ketika melihat Cin Cin masih duduk di situ berhadapan dengan suaminya.
"Cin Cin, engkau masih belum mengakui aku sebagai ibumu...?" Wanita itu meratap sambil memandang gadis itu dengan sinar mata penuh harap.
"Ceritakanlah dulu riwayatmu sampai engkau menikah dengan paman ini dan tidak memperdulikan aku," kata Cin Cin, kemarahannya sudah tinggal sedikit setelah mendengar keterangan Lie Koan Tek, hanya tinggal perasaan penasaran saja.
"Cin Cin, ketika terjadi serbuan gerombolan di Ta-bun-cung, seperti semua orang Hek-houw-pang, di samping ayahmu, akupun melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi pihak kita jauh kalah kuat. Ayahmu tewas dan masih banyak lagi, para murid Hek-houw-pang hampir habis, bahkan Coa Siang Lee yang menjadi tamu kehormatan. Aku sendri tentu akan tewas kalau saja aku tidak ditangkap oleh dia ini dan dilarikan keluar dari dusun."
"Hemm, dan dia merupakan seorang di antara para penyerbu dan pembasmi Hek-houw-pang!" cela Cin Cin.
"Dia sudah menceritakan segalanya, Cin Cin. Dia terpaksa melakukan itu, akan tetapi dia tidak membunuh siapapun. Bahkan penyerbuan di Hek-houw-pang itu yang membuat dia lalu nekat meninggalkan pangeran pemberontak itu. Aku juga merasa sungkan dan tidak ingin bertemu lagi dengannya. Ketika aku berkunjung ke dusun kita dan bersembahyang, aku melihat Siong Ki yang kehilangan orang tuanya, dan dia minta agar menjadi muridku dan ikut denganku. Aku mengajak dia meninggalkan dusun melalui arah lain agar jangan bertemu dia. Akan tetapi, kami berdua bertemu dengan seorang di antara para penyerbu dan aku tentu akan celaka kalau saja dia ini tidak muncul dan menolongku. Dalam perkelahian itu, Siong Ki melarikan diri dan tak pernah kulihat lagi sampai tadi muncul dan hendak membunuh dia."
"Dan engkau sama sekali tidak perduli kepadaku!" Cin Cin bertanya, penasaran sekali...