Thian Ki memasuki sebuah hutan kecil di tepi sungai dan kota Sin-yang sudah dekat. Tembok kota sudah nampak dari hutan itu. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh isak tangis wanita. Bulu tengkuk meremang. Bagaimana mungkin ada seorang wanita menangis dalam hutan yang biarpun kecil akan tetapi liar dan agaknya jarang didatangi manusia? Jangan-jangan suara siluman yang didengarnya, karena menurut dongeng, di hutan-hutan yang lebat seringkali terdapat banyak siluman yang suka menyamar menjadi wanita!
Biarpun demikian, dia tetap saja membelokkan langkahnya menghampir arah suara tangis itu. Dari balik semak-semak, Thian Ki mengintai dengan heran. Yang menangis itu adalah seorang wanita muda. Usianya sekitar tigapuluh tiga tahun, akan tetapi ia masih nampak cantik jelita walaupun agak kurus dan mukanya pucat. Diantara isak tangisnya, wanita itu mengeluh.
"Ayah... ibu... anakmu sudah tidak tahan lagi hidup lebih lama di dunia... tolonglah, ibu dan ayah, aku hendak menyusul kalian..."
Setelah menangis tersedu-sedu, wanita itu mencabut sebatang pisau yang mengkilap karena tajam dan runcing, dan sekuat tenaga menggerakkan pisau itu untuk ditusukkan ke dadanya sendiri. Akan tetapi ia menjerit karena tiba-tiba tangan yang memegang pisau itu seperti lumpuh dan pisau itu terlepas dari pegangan tangannya! Ia mendengar langkah kaki dan menoleh dengan wajah pucat dan matanya terbelalak ketika melihat Thian Ki melangkah menghampirinya.
"Ahhhh...!" Wanita itu nampak terkejut dan takut sekali, sehingga Thian Ki cepat menghiburnya.
"Nyonya, harap jangan takut. Aku datang untuk menolongmu, bukan mengganggumu," katanya dan diapun duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah, berhadapan dengan wanita itu yang masih duduk bersimpuh.
"Kau... kau bukan suruhan... suamiku...?" tanya wanita itu dengan lirih.
Thian Ki menggeleng kepalanya dan memandangnya. Dari pertanyaan itu saja dia dapat mengambil kesimpulan, bahwa wanita ini takut kepada suaminya dan mungkin sekali ia hendak membunuh diri karena ulah suaminya, dan bahwa wanita ini sudah ditinggal mati ayah dan ibunya.
"Nyonya, aku tidak mengenalmu dan tidak mengenal siapa suamimu. Aku hanya kebetulan saja lewat dan melihat engkau melakukan perbuatan nekat, terpaksa aku mencegahnya. Maafkan kelancanganku."
"Kalau begitu, aku mohon kepadamu, tinggalkan aku sendiri, biarkan aku mati menyusul orang tuaku, aku tidak ingin hidup lagi, tidak ingin perpanjang penderitaan yang sudah tak dapat kutahankan lagi..."
wanita itu menangis dan hendak meraih pisaunya yang tadi terlepas dan kini berada di dekatnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja pisau itu lenyap dan telah berada di tangan Thian Ki. "Orang muda, bunuhlah aku dengan pisau itu... aku ingin mati...!"
"Tidak, nyonya, engkau tidak boleh mati..."
"Orang muda, apa kau kira akan dapat mencegah aku mengakhiri hidupku? Sekarang engkau dapat saja memaksaku untuk tidak membunuh diri, akan tetapi setelah kita berpisah, mudah saja bagiku untuk membunuh diri. Menggantung diri, terjun ke jurang, minum racun, membenturkan kepalaku ke batu, banyak jalan untuk membunuh diri!"
Wanita itu kini merasa marah dan penasaran melihat pemuda yang tidak dikenalnya berkeras hendak menghalanginya mengakhiri penderitaan hidupnya.
"Maafkan aku, nyonya. Akan tetapi, niatmu itu sungguh salah sekali. Selain engkau akan berdosa kepada Pemberi Hidup, juga usahamu mengakhiri penderitaan itu akan sia-sia belaka. Apakah kaukira bahwa kematian itu mengakhiri penderitaan. Kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan ini, nyonya, dan penderitaan tidak akan hapus begitu saja setelah kita mati. Bahkan mungkin di sana menanti penderitaan yang jauh lebih hebat daripada penderitaan sewaktu hidup?"
Wanita itu menyusut air matanya dan kini ia mengangkat muka, menatap wajah Thian Ki. Ketika pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, ia terkejut dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan orang biasa.
"Orang muda, kau kira aku tidak tahu akan semua itu? Aku juga pernah membaca kitab. Akan tetapi, aku yakin tidak ada penderitaan yang lebih berat daripada yang kualami selagi hidup ini. Aku ingin mengakhiri semua ini."
"Nyonya yang baik, hidup memang merupakan medan perjuangan yang berisi suka dan duka, kemudahan atau kesukaran. Kalau sewaktu kita menghadapi kesukaran, tidak semestinya kalau kita pergi menghindarinya, melarikan diri dari kesulitan. Kita harus berdaya upaya untuk menghadapinya, menanggulanginya dan mengatasinya. Karena itu, kesukaran apapun yang kauhadapi, sepatutnya kalau engkau melawannya, nyonya, bukan melarikan diri dengan jalan membunuh diri. Dan aku berjanji, aku akan membantumu menanggulangi kesukaranmu. Katakanlah, mengapa engkau menjadi berduka dan putus harapan?"
Wanita itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Tidak ada gunanya, orang muda. Aku tidak ingin engkau, seorang yang tidak kukenal sama sekali, terseret dan celaka pula karena hendak menolongku. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan dapat menolongku, orang muda."
Thian Ki tersenyum. Dia tidak menyalahkan wanita ini kalau tidak percaya padanya. Dan ketidak-percayaan ini pasti ada hubungannya dengan keadaan wanita itu. Wanita itu tentu mengira bahwa tidak ada orang yang akan mampu menolongnya dan ini berarti bahwa yang membuat dia berduka itu tentulah keadaan yang amat gawat, orang-orang yang agaknya sukar dikalahkan atau ditundukkan.
"Nyonya, harap jangan memandang rendah kepadaku. Kalau aku menawarkan bantuan, tentu sudah kuperhitungkan dan aku yakin akan kesanggupanku. Aku mampu melawan orang yang bagaimana jahat dan lihai pun!"
Dia sengaja bicara sombong untuk menggugah kepercayaan wanita itu kepadanya, atau setidaknya untuk menarik perhatiannya. Usahanya berhasil. Wanita itu kini mengamatinya penuh perhatian, matanya yang merah dan masih basah itu, bagaikan matahari yang baru mulai terlepas dari selimut awan tebal, kini nampak agak bercahaya dengan harapan.
"Kau... kau... seorang pendekar?" tanyanya, penuh harapan.
Kalau dalam keadaan biasa, tidak mungkin dia mau mengaku bahwa dia seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia harus mengaku untuk membesarkan hati wanita yang putus asa itu.
"Nyonya, aku Coa Thian Ki selalu menjunjung tinggi kegagahan, membela kebenaran dan keadilan dan menentang kejahatan, mengandalkan ilmu kepandaian yang kupelajari sejak kecil. Nah, percayalah kepadaku bahwa aku akan sanggup menolongmu dari tangan orang jahat, dan ceritakan apa yang menjadi penderitaanmu sampai membuatmu putus asa nyonya."
Agaknya kini timbul kepercayaan di hati wanita itu. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, iapun memperkenalkan dirinya. "Namaku Li Ai Yin, mendiang ayahku adalah Pangeran Li Siu Ti..."
"Ahhh...!" Thian Ki berseru, terkejut. "Kalau begitu... nyonya adalah seorang putri bangsawan istana dan... apakah mendiang ayah nyonya adalah Pangeran Tua yang kabarnya..." Thian Ki meragu untuk melanjutkan.
Li Ai Yin mengangguk. "Benar, ayahku sekeluarga telah dijatuhi hukuman mati karena memberontak terhadap Kaisar, enambelas tahun yang lalu. Hanya aku seorang yang berhasil lolos dari hukuman mati karena aku dilarikan oleh... suamiku... dan tinggal di Sin-yang sampai sekarang."
"Kalau begitu, nyonya termasuk beruntung, dapat meloloskan diri bersama suami nyonya. Lalu kenapa sekarang..."
"Mula-mula memang aku berbahagia dengan suamiku yang tadinya bekerja sebagai pengawal ayah. Kami saling mencinta dan aku menganggap dia orang yang paling gagah perkasa dan paling baik di dunia ini. Walaupun kami belum mempunyai anak, namun aku tetap berbahagia dan setia kepadanya, membantu semua usahanya yang dimulai dari bawah kembali. Kemudian, dia berhasil mendirikan perkumpulan Koai-liong-pang (Perkumpulan Naga Setan) di Sin-yang. Perkumpulan itu menjadi besar dan berpengaruh, dan membuat kami hidup serba cukup, bahkan kaya. Akan tetapi, barulah nampak belangnya dan baru kuketahui siapa sebenarnya suamiku yang tadinya kuanggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa itu. Ternyata dia seorang yang berhati palsu, kejam dan juga mata keranjang. Betapa sakitnya hatiku melihat dia bertindak keji, merampas anak gadis atau isteri orang, memperkosanya di depan mataku, dan dia memperlakukan aku sebagai bujang saja, bahkan seringkali aku dia pukuli dan siksa, demi menyenangkan selir-selirnya. Ahh, untuk apa aku hidup terus seperti itu? Hari ini aku mendapat kesempatan lolos keluar dan menuju ke hutan ini untuk membunuh diri, karena kalau di rumah, aku tidak akan mendapat kesempatan. Engkau... bagaimana mungkin dapat menolongku orang muda? Engkau hanya seorang diri, selain suamiku itu amat sakti, juga dia mempunyai anak buah yang banyak, tidak kurang dari limapuluh orang dan kesemuanya jahat dan kejam. Aku tidak ingin engkau celaka kalau menolongku dan menentang mereka."
Thian Ki merasa iba sekali. Seorang puteri pangeran, bahkan masih adik sepupu kaisar yang sekarang, yang ketika kecil tentu hidup serba mewah dan dimuliakan orang, sekarang merasa sengsara karena keliru memilih suami dan ingin membunuh diri. Mendengar bahwa suami wanita itu sakti, pendiri Koai-liong-pang, hati Thian Ki tertarik sekali.
"Nyonya, siapakah suami nyonya itu?"
"Pertanyaanmu membuktikan bahwa engkau bukan orang dari daerah Sin-yang. Karena kalau demikian halnya, pasti engkau tahu siapa ketua Koai-liong-pang. Namanya Can Hong San."
Thian Ki merasa terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Tentu saja dia tahu siapa Can Hong San itu! Ibunya telah menceritakan nama tokoh besar dan datuk persilatan, dan menurut ibunya, Can Hong San adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong pendiri perkumpulan penyembah Thian-te Kwi-ong (Raja Setan Langit Bumi).
Can Hong San, menurut ibunya, amat lihai akan tetapi juga amat jahat. Bahkan orang itu merupakan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang dan dia pula yang membunuh ayah kandungnya, Coa Siang Lee, dalam penyerbuan itu. Can Hong San adalah pembunuh ayahnya dan dia suami nyonya ini!
"Jangan khawatir, nyonya. Aku siap untuk menolongmu. Nah, katakan saja, apa yang harus kulakukan untuk menolong nyonya?"
Wanita itu termenung, dan sebelum ia menjawab, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan Thian Ki berkata, "Duduk sajalah, nyonya. Ada beberapa orang datang ke sini, biarkan aku yang menghadapi mereka."
"Aih, celaka... mereka pastilah orang-orang yang disuruh suamiku untuk mencariku. Mereka itu lihai dan kejam sekali. Larilah, orang muda, tinggalkan aku sendiri!" Ai Yin yang sudah putus asa itu tidak ingin melihat orang lain dibunuh karena membelanya.
"Tenanglah, nyonya. Aku akan menghajar mereka kalau mereka berani mengganggumu."
Muncullah empat orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan bersikap bengis. Mereka berteriak-teriak ketika melihat Li Ai Yin. "Itu ia di sana!"
"Bersama seorang pemuda lagi! Tentu pemuda itu biang keladinya sehingga ia melarikan diri!"
Dengan tenang sekali Thian Ki berdiri menghadang ke depan Ai Yin, akan tetapi sebelum dia bicara, dia didahului Ai Yin yang berkata dengan lantang. "Mau apa kalian mencariku? Pergi dan jangan ganggu aku!"
Suaranya terdengar memerintah dan hal ini wajar karena empat orang itu adalah para pembantu suaminya. Akan tetapi, Ai Yin melihat perubahan besar dari sikap mereka. Biasanya, mereka menghormatinya sebagai isteri ketua mereka, akan tetapi sekarang mereka tertawa ha-ha-hi-hi mendengar bentakan wanita itu.
"Kami diutus pang-cu (ketua) untuk mencari, nyonya," kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal.
"Pergilah kalian, aku tidak mau pulang. Katakan kepada ketua kalian bahwa aku tidak sudi pulang, dan lebih baik aku mati daripada harus kembali ke sana!" Suaranya penuh kemarahan dan kebencian.
Akan tetapi, empat orang itu tetap tertawa-tawa, menyeringai dengan sikap kurang ajar, sama sekali tidak menghormati nyonya ketua mereka. Si kumis tebal yang agaknya menjadi pembicara dan pemimpin mereka, melangkah maju dan matanya melotot seperti hendak menelan nyonya itu bulat-bulat. "Heh-heh, nyonya manis, kami tidak disuruh menjemputmu, melainkan disuruh membunuhmu, ha-ha-ha!"
Akan tetapi ancaman yang disusul tawa empat orang itu, sama sekali tidak membuat sang nyonya menjadi ketakutan seperti yang mereka duga. Ai Yin bahkan bangkit berdiri dan menegakkan leher menatap mereka dengan pandang mata menantang.
"Bunuhlah, lebih baik aku mati daripada harus kembali ke sana!"
Empat orang itu tertegun, dan untuk melenyapkan rasa kecelik itu, si kumis tebal tertawa lagi. "Ha-ha-ha, kami tidak akan membunuh begitu saja, manis. Kami akan bersenang senang dulu denganmu, nyonya manis!"
"Jahanam busuk, berani kau...!!" Ai Yin membentak dan mukanya berubah merah saking marahnya.
Empat orang itu tertawa. "Sayang kalau dibunuh begitu saja. Sudah lama engkau membuat kami seringkali mengilar. Marilah, manis, mari bersenang-senang dengan kami!"
Ketika empat orang itu melangkah maju untuk menangkap Ai Yin, Thian Ki sudah maju menghadang. "Empat orang laki-laki pengecut dan rendahbudi, beraninya hanya mengganggu wanita lemah!" kata Thian Ki, suaranya dingin akan tetapi pandang matanya bernyala.
"Eh, eh...! Siapa kau, anak kecil berani mencampuri urusan orang? Apa engkau sudah bosan hidup?"
"Kalian ini manusia-manusia yang sudah dikuasai iblis yang sudah bosan hidup kalau kalian tidak cepat pergi dan jangan mengganggu nyonya ini," kata Thian Ki.
Mata si kumis tebal melotot dan hampir dia tidak percaya ada seorang pemuda berani bersikap dan berkata seperti itu kepadanya! Seluruh penduduk kota Sin-yang dan sekitarnya, tak seorangpun berani bersikap kasar kepadanya!
"Bocah gila, apa engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan aku, Harimau Kumis Tebal?" bentaknya dan mengamangkan tinju kanannya yang sebesar kepala anak-anak itu ke arah Thian Ki.
"Hemm, manusia sombong. Aku akan membuat engkau menjadi anjing tanpa kumis!"
Kemarahan si kumis tebal tak dapat ditahan lagi. "Jahanam!" bentaknya dan dengan gerengan seperti beruang marah, diapun menyerang Thian Ki sedangkan tiga orang lainnya hanya menonton sambil menyeringai, karena mereka semua yakin bahwa dalam segebrakan saja rekan mereka akan dapat melumatkan tubuh pemuda itu dan mereka ingin menikmati tontonan itu.
"Wuuuut...!" Kepalan tinju besar itu menyambar ke arah muka Thian Ki. Akan tetapi dengan gerakan otomatis dan mudah sekali Thian Ki menarik mukanya ke belakang pada saat tinju itu hampir menyentuh pipinya, dan pada saat tinju itu lewat di depan mukanya, tangannya yang kiri menyambar ke arah pipi lawan.
"Plakk...!! Aduhh...!" Si kumis tebal hampir tersungkur, dan dia meludahkan beberapa buah gigi bercampur darah keluar dari mulutnya, meringis dan kemarahannya meluap.
"Jahanam...!" bentaknya pelo karena mulutnya membengkak, dan begitu tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang golok dan mengamuk seperti orang gila, menghujankan bacokan golok ke arah Thian Ki. Akan tetapi, yang nampak olehnya hanya bayangan berkelebatan ke kanan kiri. Dia menyerang dengan ngawur saja, mengejar bayangan itu dengan sabetan goloknya.
Tiba-tiba, lengan kanannya terpukul dari samping membuat lengan itu terasa lumpuh dan nyeri, dan goloknya terlepas. Tangan kanan Thian Ki sudah menyambar ke arah muka lawan dan sekali renggut terdengar suara "brett..." disusul jerit kesakitan dan kini si kumis tebal sudah kehilangan kumisnya dan di tempat itu kini nampak kulit di bawah hidung itu terobek dan berdarah! Si pemilik kumis mendesis-desis saking nyerinya, juga nyeri hatinya karena dia kehilangan kumis yang dia banggakan. Tiga orang kawannya terkejut bukan main, juga marah melihat betapa kawan mereka dihina, dan mereka bertiga sudah mencabut golok dan mengepung Thian Ki.
Sebaliknya, Ai Yin berdiri terbelalak kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda itu dapat membuat Harimau Kumis Tebal yang merupakan pembantu suaminya yang paling lihai, paling galak dan paling kejam, sama sekali tidak berdaya dan dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja. Timbul harapan dan kepercayaan dalam hatinya bahwa pemuda ini akan dapat menolongnya. Akan tetapi tetap saja dia merasa khawatir karena kini tiga orang itu sudah berteriak-teriak sambil menyerang Thian Ki yang bertangan kosong dengan golok mereka.
Kalau saja Thian Ki belum digembleng mendiang neneknya selama dua tahun dan belum menguasai tenaga saktinya yang beracun, tentu sekali tampar saja dia dapat membuat lawan tewas dengai tubuh keracunan. Akan tetapi kini dia telah dapat menguasai tenaga itu sehingga dia mampu "menyimpan" hawa beracun itu dan hawa itu tidak akan bergerak keluar kalau tidak dikehendakinya.
Hanya tentu saja, darahnya masih mengandung racun mengerikan sehingga siapa yang menyerangnya dengan pukulan bertenaga sin-kang, atau mencengkeramnya, orang itu akan keracunan, seperti halnya Cin Cin. Untuk melenyapkan ini, tidak ada jalan lain kecuali membersihkan darahnya dan yang dapat melakukan hal ini hanyalah orang yang benar-benar sakti.
Kini, menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tentu saja tidak membuat Thian Ki repot. Tingkat ilmu silatnya yang dia dapatkan dari ajaran ayah tirinya, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian tiga orang itu, maka begitu dia menggerakkan tubuhnya, maka bayangannya berkelebatan di antara gulungan sinar tiga batang golok para pengeroyok. Gerakan kedua tangannya jauh lebih cepat ketimbang gerakan tiga batang golok lawan.
Thian Ki tidak ingin berkelahi terlalu lama menghadapi orang-orang kasar itu, maka begitu Harimau Kumis Tebal yang kini tidak berkumis itu terjun pula ke dalam medan perkelahian, menahan nyeri pada mukanya dan membacokkan goloknya dengan nekat, Thian Ki sudah mengeluarkan bentakan melengking empat kali dan akibatnya, empat orang itu terpelanting ke kanan kiri, golok mereka terpental entah ke mana dan tulang lengan kanan mereka semua patah-patah! Barulah empat orang itu terkejut dan jerih, dan tanpa diperintah lagi mereka lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu, tidak berani menoleh lagi!
Ketika Thian Ki menoleh ke arah wanita itu, dengan kaget dia melihat wanita sudah berlutut di depannya. "Taihiap... terima kasih, taihiap. Sekarang aku percaya... taihiap kiranya yang akan dapat menolongku..." katanya terharu.
"Aih, nyonya. Jangan begitu, bangkitlah dan jangan menghormatiku secara berlebihan. Engkau seorang puteri bangsawan, bangkitlah..." Terpaksa Thian Ki menyentuh kedua pundak wanita itu dan Ai Yin merasakan getaran hebat yang membuat ia terpaksa bangkit duduk. Kemudian iapun kembali duduk berhadapan dengan Thian Ki di bawah pohon besar itu.
"Nah, sekarang katakanlah, pertolongan apa yang harus kuberikan kepadamu, nyonya? Apakah engkau menghendaki aku menemui suamimu dan memaksanya agar dia bersikap baik kepadamu?"
"Tidak, tidak! Dan jangan sebut aku nyonya, taihiap. Namaku Li Ai Yin, dan aku bukan lagi puteri bangsawan, juga bukan lagi isteri ketua Koai-liong-pang. Aku tidak sudi lagi kembali kepadanya, lebih baik aku mati daripada harus kembali kepadanya..."
"Akan tetapi, kalau dia berjanji akan bersikap baik kepadamu?"
"Tidak, tidak mungkin! Dia seorang perayu yang palsu, andaikata engkau dapat memaksanya untuk bersikap baik kepadaku, tentu itu hanya tipuan belaka, dan kalau engkau sudah tidak ada, dia pasti akan melampiaskan dendamnya kepadaku. Dia perayu dan kejam seperti iblis, taihiap."
"Nyonya, kalau engkau tidak ingin kusebut nyonya, jangan sebut aku tai-hiap. Namaku Coa Thian Ki, rasanya kikuk kalau engkau menyebut aku taihiap."
"Baiklah, siauw-te (adik)... padahal engkau memang pantas disebut pendekar besar. Aku berterima kasih sekali, dan agaknya engkaulah harapanku satu-satunya. Hanya engkau yang kiranya akan dapat membebaskan aku dari derita ini."
"Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Ai Yin?" tanya Thian Ki yang kini tanpa ragu menyebut enci kepada wanita itu. "Kalau engkau tidak ingin kembali kepada suamimu, lalu apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?"
"Terserah kepadamu, Coa-siauwte. Terserah apa yang akan kaulakukan. Aku hanya ingin hidup terbebas dari Can Hong San. Aku ingin hidup sendiri tanpa terancam oleh dia dan anak buahnya. Mereka itu kejam sekali, bukan hanya kepadaku, akan tetapi kepada rakyat daerah Sin-yang. Ah, engkau tidak tahu apa saja yang mereka lakukan siauwte."
Ai Yin lalu menceritakan tentang semua sepak terjang suaminya. Setelah terjadi penyerbuan pasukan istana kepada Pangeran Tua Li Siu Ti yang diketahui hendak memberontak, Ai Yin diajak pergi melarikan diri oleh Can Hong San. Wanita ini menurut saja, karena ia telah dikuasai oleh bekas pembantu ayahnya itu, telah menyerahkan diri di luar kesadarannya. Dalam pelarian ini, Can Hong San bersikap baik dan mencinta padanya, maka agak terhiburlah hatinya.
Setelah merantau berpindah-pindah tempat karena takut akan pengejaran dan pencarian dari kota raja, akhirnya beberapa tahun kemudian mereka menetap di Sin-yang. Keadaan sudah aman dan tidak ada pencarian, maka Can Hong San mulai menata hidupnya. Mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, dia menaklukkan para tokoh kangouw dan para jagoan di daerah Sin-yang, dan ketika dia mendirikan perkumpulan yang diberi nama Koai-liong-pang, banyak jagoan yang suka menjadi anak buahnya.
Dan perkumpulan ini dalam waktu singkat menundukkan para jagoan, menguasai semua tempat pelesir dan kemaksiatan dengan memungut semacam "pajak" yang besar. Sebentar saja, nama Koai-liong-pang ditakuti orang dan pemilik segala macam perusahaan, terutama sekali yang bersangkutan dengan hiburan tidak berani membantah dan membayar uang pajak atau sumbangan yang dikatakan sebagai biaya penjagaan keamanan.
Siapa yang tidak mau membayar, tentu akan menjadi tidak aman lagi. Sebentar saja Can Hong San menjadi kaya raya dan setelah memperoleh kekayaan dan kedudukan atau kuasa, mulailah nampak belangnya terhadap Li Ai Yin yang menjadi isterinya.
"Dia mengambil banyak gadis, bahkan isteri orang, sebagai selir paksaan, bahkan sering dia memaksa seorang wanita di dalam kamar kami, di depan mataku sendiri. Kalau aku mencela, dia memukul dan menyiksaku. Pernah dia dengan terus terang mengatakan bahwa dahulu dia mempersuntingku bukan karena cinta, melainkan karena ingin menjadi mantu pangeran. Sekarang, setelah keluarga ayah hancur, dan aku bukan lagi puteri pangeran, diapun tidak membutuhkan aku lagi. Ahh, siaute, bertahun-tahun aku harus menahan diri terhadap siksaan lahir bathin itu. Penderitaan itu sampai dipuncaknya ketika malam tadi dia memberikan aku kepada para pembantunya! Aku tidak sudi dan karena para anak buahnya masih segan kepadaku, maka aku masih mampu mempertahankan kehormatanku dan pagi ini aku melarikan diri ke sini."
"Betapa kejam dan jahatnya!" Thian Ki berseru sambil mengepal tinju.
"Untung bahwa dalam pernikahanku dengannya, kami belum mempunyai keturunan, Coa-siauwte. Nah, sekarang engkau tentu mengerti bahwa satu-satunya keinginanku hanya agar aku dapat terbebas darinya. Aku hanya mau melanjutkan hidup ini kalau terbebas dari cengkeraman manusia iblis itu."
Thian Ki mengangguk-angguk. Dia mengerti. Li Ai Yin ini bukan seorang isteri yang tidak setia kepada suami. "Baiklah, enci Ai Yin. Gerombolan Koai-liong-pang itu tidak boleh dibiarkan saja merajalela dan mencelakai penduduk. Hal ini harus dilaporkan kepada yang berwajib. Mari kau ikut denganku, enci."
Thian Ki lalu mengajak Ai Yin memasuki kota Sin-yang. Wanita itu tentu saja ketakutan, khawatir kalau sampai diganggu anak buah suaminya, akan tetapi agaknya pihak Koai-liong-pang terlalu kaget mendengar akan nasib tiga orang pembantu utama ketua mereka yang bertemu seorang pemuda yang amat lihai, sehingga Thian Ki dan Ai Yin tidak sempat diganggu sampai mereka tiba di gedung pembesar setempat, yaitu rumah dan kantor kepala daerah Sin-yang yang bernama Gan Hok.
Gan-taijin adalah seorang yang berusia limapuluh tahun, dan dialah pejabat pemerintah yang paling tinggi kedudukannya di Sin-yang. Seperti kebanyakan pejabat pemerintah di masa itu, Gan-taijin juga seorang pejabat yang kurang memperhatikan keadaan atau kehidupan rakyatnya, hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya sendiri saja.
Maka, dia tidak begitu tahu akan sepak terjang Koai-liong-pang, bahkan andaikata tahupun, asalkan para anggota Koai-liong-pang tidak mengganggu pemerintah, dan lebih-lebih kalau perkumpulan itu membayar pajak dan sumbangan yang besar, diapun akan pura-pura tidak tahu saja.
Karena dia tidak mengenal Thian Ki dan Ai Yin, maka diapun menyambut kedatangan mereka dengan sikap dingin dan acuh saja. "Hemm, siapakah kalian dan ada urusan apakah sepagi ini sudah mengganggu kesibukanku?" tegurnya dengan sikap ketus.
Thian Ki mengerutkan alisnya. Sudah terlampau sering dia melihat pembesar yang seperti ini sikapnya, memandang rendah orang lain, akan tetapi bersikap manis kepada orang yang datang membawa hadiah yang besar.
"Maafkan kalau kami mengganggu, Taijin," kata Thian Ki dengan sikap tenang. "Saya bernama Coa Thian Ki dan ini adalah kakak perempuan saya yang bernama... Coa Ai Yin. Kami sedang melakukan perjalanan dan kebetulan lewat di Sin-yang. Dan di kota Taijin ini, kami melihat seorang buronan kota raja, bahkan dia telah menyusun kekuatan di kota ini. Kalau hal ini sampai diketahui Sri baginda, tentu nama baik Taijin akan tercemar."
Seketika wajah pembesar itu menjadi pucat. Kalau ada yang ditakuti, maka satu satunya adalah kota raja, di mana terdapat kaisar dan para atasannya! Sekali gerakan telunjuk para atasan, akan hancurlah kedudukannya dan kehidupannya.
"Apa kau bilang? Seorang buronan di kota ini!? Siapa dia? Hayo ceritakan dengan jelas dan jangan melempar fitnah kepada orang!" bentak pembesar itu dan para pembantunya yang hadir juga terbelalak heran dan terkejut.
Thian Ki tetap tenang. "Ingatkah Taijin akan peristiwa yang terjadi di kota raja enambelas tahun yang lalu ketika Pangeran Tua Li Siu Ti sekeluarga dihukum karena dia melakukan pemberontakan?"
"Tentu saja! Akan tetapi apa hubungannya dengan kota ini?"
"Begini, Taijin. Di antara para pembantu utama mendiang Pangeran Tua yang memberontak, pembantu yang paling lihai, telah berhasil meloloskan diri dan sampai sekarang belum tertangkap. Dan kami melihat buronan itu sekarang menjadi penduduk Sin-yang, bahkan memiliki pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau hal ini diketahui kota raja, bukankah Taijin akan dituduh bersekongkol dengan buronan itu dan melindunginya?" Thian Ki lalu memberi isyarat kepada Ai Yin dan mereka bangkit. "Akan tetapi kalau Taijin tidak percaya kepada kami, sudahlah, kami akan melanjutkan perjalanan dan semua akibat silakan Taijin tanggung sendiri!"
"Hei... eh, nanti dulu... orang muda, jangan tergesa-gesa dan silakan duduk." Pembesar itu tergopoh-gopoh mencegah Thian Ki dan Ai Yin pergi. Kedua "Kakak beradik" itupun duduk kembali dan kini sikap pembesar itu menjadi lain. Dia memerintahkan pembantunya untuk memanggil komandan pasukan keamanan yang segera muncul, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah berusia empatpuluh tahun lebih. Mereka semua duduk mendengarkan laporan Thian Ki.
"Taijin, orang itu bernama Can Hong San, ketika menjadi pembantu mendiang Pangeran Tua dia memakai nama Siauw Can. Dan dia sekarang berhasil menghimpun para tokoh kangouw, para penjahat keji mendirikan perkumpulan Koai-liong-pang di kota ini!"
Gan-taijin terbelalak. "Koai-liong-pang? Akan tetapi... sikap mereka selama ini baik-baik saja, tidak pernah mengganggu petugas pemerintah, bahkan amat baik..." tiba-tiba pejabat itu diam karena ingat bahwa tidak semestinya dia menceritakan kebaikan Koai-liong-pang yang suka memberi sumbangan dan hadiah yang cukup banyak! "Maksudku... koai-liong-pang tidak pernah memusuhi kami."
"Mungkin saja begitu, Taijin, karena Can Hong San itu memang licik sekali. Akan tetapi tidak tahukah Taijin akan sepak terjang para anggota Koai-liong-pang termasuk pimpinannya? Mereka seringkali mengganggu penduduk, melakukan pemerasan, bahkan tidak segan merampas barang orang, juga sudah sering mereka memaksa gadis bahkan isteri orang, menjadi selir mereka. Mereka melakukan perkosaan dan penindasan."
Wajah pembesar itu berubah. Berita ini sungguh amat mengejutkan hatinya. Dia menoleh kepada komandan pasukan keamanan. "Benarkan itu, Lui ciangkun?" tanyanya.
Komandan itu menghela napas panjang. "Memang Koai-liong-pang tidak pernah memusuhi kita, Taijin, akan tetapi mereka memang menguasai semua tempat hiburan, dan memungut pajak dari toko-toko besar. Semua ini pernah saya laporkan kepada Taijin, akan tetapi karena mereka tidak memusuhi kita, Taijin tidak memerintahkan menindak mereka..."
"Brakk!" Pembesar itu memukul meja dengan telapak tangannya. "Lui-ciangkun, kalau kami tahu dia itu buronan kota raja, tentu kami sudah sejak dulu menyuruh engkau menangkapnya. Kenapa kau tidak tahu bahwa dia itu bekas pemberontak? Hayo kerahkan pasukanmu dan tangkapi mereka semua, kalau melawan, gempur dan bunuh mereka agar kita tidak dianggap bersekongkol dengan pemberontak. Kau tahu hukumannya kalau kita dianggap membantu pemberontak? Tolol kau!"
Komandan itu memberi hormat. "Siap melaksanakan perintah, Taijin!"
"Taijin, Can Hong San itu lihai bukan main. Saya khawatir kalau-kalau dia akan dapat lolos lagi seperti ketika terjadi pembasmian pemberontak di kota raja. Karena itu biar saya yang menghadapinya dan menangkapnya, akan tetapi saya menitipkan kakak perempuan saya ini agar ia aman dari balas dendam Can Hong San yang kami laporkan kepada Tai-jin."
"Baik, baik, silakan masuk, nona." Pembesar itu memberi isyarat kepada seorang pembantu yang segera mengantar Ai Yin masuk ke dalam gedung itu. Pembesar itu tentu saja senang dititipi Ai Yin karena wanita itu bahkan seolah menjadi jaminan akan kebenaran laporan yang disampaikan adiknya!
Thian Ki mendampingi Lui-ciangkun yang memimpin hampir tiga ratus orang perajuritnya dan gegerlah kota Sin-yang ketika melihat pasukan keamanan mengepung rumah besar yang menjadi pusat Koai-liong-pang. Yang lebih kaget lagi adalah Can Hong San dan para pembantunya. Dengan membawa pedang pusakanya, dan diiringkan para pembantunya, dan para anggota Koai-liong-pang yang ketika itu berada di situ kurang lebih tiga puluh orang, sedangkan yang lainnya berada di luar melaksanakan tugas mengumpulkan sumbangan, dia keluar dengan tabah.
Can Hong San menganggap bahwa selama ini sudah banyak dia memberi sogokan hadiah kepada semua petugas pemerintah di Sin-yang, maka tidak mungkin dia akan diganggu. Setelah tiba di luar pintu depan, Can Hong San diam-diam terkejut melihat banyaknya perajurit yang mengepung rumahnya. Dan seorang pembantunya, yaitu seorang di antara mereka yang pagi tadi hendak menangkap Ai Yin di dalam hutan menyentuh lengannya.
"Pangcu, itu dia pemuda yang tadi menolong nyonya."
Can Hong San mengerutkan alisnya, memandang kepada Thian Ki yang berdiri di antara para perwira yang berada di depan pasukan. Dia tidak mengenal pemuda itu dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar tegang. Isterinya, Li Ai Yin telah diselamatkan pemuda itu dan diajak pergi, dan sekarang pasukan keamanan Sin-yang mengepung rumahnya. Apakah Ai Yin telah mengkhianatinya? Akan tetapi, melihat bahwa komandan itu adalah Lui-ciangkun yang tentu saja sudah dikenalnya, diapun menenangkan hatinya dan segera melangkah maju menghadapi komandan itu dan tersenyum ramah.
"Aih, kiranya Lui-ciangkun yang datang. Apakah yang terjadi, ciangkun? Kenapa ciangkun memimpin pasukan keamanan? Apakah terjadi kerusuhan? Kalau begitu, biar kami akan membantumu!"
Thian Ki memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tampan menarik pikirnya. Usianya tentu sudah empatpuluh tahun lebih, namun masih nampak perkasa dan tampan. Hidungnya mancung dan besar, dan bibirnya merah bergairah seperti bibir wanita. Akan tetapi matanya mengandung kecerdikan yang luar biasa. Biji mata itu bergerak-gerak ke kanan kiri, dan sinarnya tajam, bahkan mencorong ketika mengerling kepadanya. Seorang yang amat berbahaya, pikirnya. Sikapnya ketika menyambut Lui-ciangkun itu saja sudah menunjukkan kelicikannya.
Sikap itu membuat Lui-ciangkun nampak agak tersipu. Bagaimanapun juga, dia sendiri adalah seorang di antara sekian banyaknya petugas penting memiliki kedudukan yang pernah menikmati hadiah dari ketua Koai-liong-pang ini! Biarpun dia sendiri tidak pernah membantu perkumpulan itu berbuat kejahatan, namun selama ini dia memang, seperti para pembesar lain, agak memejamkan mata pura-pura tidak tahu apa yang telah mereka perbuat.
Akan tetapi, mengingat akan kemarahan dan perintah atasannya, apalagi di situ terdapat Thian-Ki sebagai saksi, dan mengingat pula bahwa orang yang nampak ramah dan baik ini adalah seorang kaki tangan pemberontak dan menjadi buronan kota raja, diapun memandang dengan bengis dan suaranyapun lantang dan tegas.
"Can Hong San, kami datang sebagai utusan pemerintah untuk menangkap engkau dan anak buahmu. Koai-liong-pang harus dibubarkan dan ditutup!"
Tentu saja Can Hong San menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan lantang itu. Seketika dia dapat menduga apa yang mungkin terjadi dan jantungnya berdebar keras. Tak salah lagi, pikirnya, setelah ditolong pemuda itu, tentu isterinya telah menceritakan segalanya tentang dirinya kepada pemuda itu, dan pemuda itu yang melapor kepada kepala daerah, maka kini pemerintah daerah mengirim pasukan untuk menangkapnya dan membubarkan perkumpulannya. Dia marah sekali, akan tetapi masih berusaha untuk membela diri dan berpura-pura kaget.
"Ahh, Lui-ciangkun. Apa alasannya? Bukankah selama ini perkumpulan kami bersahabat dengan pemerintah? Bukankah kami juga membantu mengamankan daerah ini dari gangguan penjahat? Kenapa tiba-tiba ciangkun hendak membubarkan Koai-liong-pang dan menangkap kami?"
Mendengar pertanyaan itu, Lui-ciangkun menjadi semakin tidak enak hati. Maka, dia menoleh kepada Thian Ki yang berdiri di sampingnya, lalu berkata lirih, "Coa-sicu, engkau saja yang menjelaskan kepadanya."
Thian Ki merasa khawatir kalau-kalau perwira atau komandan pasukan keamanan ini akan terdesak oleh ucapan ketua Koai-liong-pang itu, karena jelas kalah wibawa, maka dia melangkah maju dan berkata dengan suara lantang. "Can Hong San, pasukan pemerintah ini ditugaskan untuk menangkap kalian semua dan membubarkan Koai-1iong-pang karena engkau adalah bekas pemberontak yang menjadi orang buronan pemerintah. Lebih baik kalian menyerah dari pada harus dipergunakan kekerasan.
Can Hong San melotot, "Orang muda, siapa engkau yang begini lancang? Dan berani engkau melempar fitnah kepada kami? Lui-ciangkun, pemuda ini melontarkan fitnah keji! Kami berbaik dengan pemerintah dan membantu pemerintah, bagaimana dikatakan memberontak? Jahanam ini memfitnah! Jangan percaya kepadanya, Lui-ciangkun. Dialah pengacau yang seharusnya ditangkap, karena dia telah melarikan isteri saya! Nah, dengarlah baik-baik, Lui-ciangkun. Pemuda ini telah berjinah dengan isteri saya dan ketika kami hendak menangkapnya, dia melawan, melukai beberapa orang anggota kami, kemudian melarikan isteri saya!"
Tentu saja Lui-ciangkun terbelalak kaget dan kini memandang kepada Thian Ki penuh keraguan. Kalau benar apa yang dikatakan ketua Koai-liong-pang itu, berarti mereka semua telah dipermainkan pemuda asing ini! Dan pemuda ini memang datang menghadap kepala daerah bersama seorang wanita cantik, dan baru sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah isteri sang ketua ini. Pernah satu kali dia melihat wanita itu, ketika dia dan para pejabat lain di Sin-yang menghadiri sebuah pesta yang diselenggarakan oleh Koai-liong-pang.
"Ciangkun, saya akan menjawab semua itu. Penjahat yang satu ini memang licik sekali," kata Thian Ki melihat keraguan di mata komandan itu, lalu diapun berkata dengan lantang sehingga terdengar oleh semua anak buah Koai-liong-pang dan para perajurit yang mengepung tempat itu.
"Can Hong San, tidak perlu engkau bersilat lidah dan memutar-balikkan kenyataan! Ingatlah kami telah mengetahui semua rahasiamu. Belasan tahun yang lalu engkau sudah ditangkap dan dihukum oleh Kerajaan Sui sebagai seorang penjahat dan pemberontak. Setelah Kerajaan Tang berdiri engkau lolos dari penjara dan membantu Pangeran Cian Bu Ong melakukan pemberontakan, bahkan engkau dan kawan-kawanmu yang menyerbu dan membunuh para pendekar Hek-houw-pang yang membantu pemerintah. Setelah pemberontakan Pangeran Cian Bu Ong gagal, engkau berhasil menjadi pengawal pribadi Pangeran Tua Li Siu Ti yang memberontak pula dan yang dihancurkan oleh pemerintah. Akan tetapi engkau dapat lolos dan membentuk Koai-liong-pang di tempat ini. Dan engkau semakin jahat! Engkau dan anak buahmu menguasai semua tempat hiburan, memeras para pedagang, bahkan tidak segan menculik dan meraperkosa wanita, baik isteri orang maupun gadis. Dan isterimu sendiri bukan saja kau sia-siakan, kau siksa dan hina, bahkan engkau memberikannya kepada anak buahmu untuk dipermainkan. Ia melarikan diri dan di dalam hutan, ia mencoba untuk menggantung diri! Aku datang menyelamatkannya, lalu datang empat orang pembantumu yang kau suruh untuk mengejar dan menangkapnya, dan kau berikan isterimu itu kepada mereka. Aku melindungi nyonya itu dan mengalahkan orang-orangmu. Nah, masihkah engkau hendak menyangkal? Kalau engkau benar merasa difitnah dan tidak berdosa, menyerah sajalah agar Gan-taijin dapat mengirimmu ke kota raja dan di sana engkau akan diadili."
Mendengar tuduhan panjang dari pemuda itu wajah Can Hong San sebentar pucat sebentar merah. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui semua itu? Bahkan isterinya sendiri tidak tahu bahwa dia pernah membantu Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak! Kalau tentang sepak terjang Koai-liong-pang, tentu isterinya yang telah membocorkannya.
"Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu? Siapa engkau?" bentaknya marah.
"Namaku Coa Thian Ki dan ayahku menjadi seorang di antara korban di tanganmu ketika engkau dan kawan-kawanmu membantu Pangeran Cian Bu Ong dan menyerbu Hek-houw-pang di dusun Ta-bun-cung!"
"Kau... tentu isteriku yang telah mengkhianatiku. Aku harus membunuhnya, dan sebelum itu, aku akan membunuhmu lebih dulu!"
Karena sudah tidak melihat kemungkinan untuk menyangkal lagi. Can Hong San menjadi nekat dan diapun menerjang ke depan, mengirim serangan kilat. Karena sudah mendengar dari para pembantunya bahwa pemuda ini lihai sekali, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya yang dipakai untuk nama perkumpulannya, yaitu Koai-liong-kun (Silat Naga Setan). Tangan kirinya yang membentuk cakar naga itu menyambar dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul cepat mencengkeram ke arah dada dengan tenaga yang dikerahkan sepenuhnya.
Thian Ki mengenal jurus ampuh dan berbahaya, maka diapun cepat menarik kepala ke belakang dan menggeser kaki ke kiri, lalu tangan kanannya sendiri dengan jari terbuka dihantamkan menyambut cengkeraman tangan kanan lawan ke arah dadanya itu. Melihat pemuda itu berani menyambut tangan kanannya, Can Hong San khawatir kalau jari-jari tangannya tidak kuat menahan telapak tangan lawan, maka dia sudah mengepal jari-jarinya sehingga kini yang bertemu dengan telapak tangan Thian Ki adalah kepalan tangan kanannya.
"Wuuuuuuuutttt... desss...!!" Kepalan tangan kanan Can Hong San yang didorong tenaga sinkang amat kuat itu, yang dapat menjebolkan tembok, merobohkan pohon bahkan menghancurkan batu, kini bertumbuk pada telapak tangan Thian Ki yang tetap tidak mau mempergunakan kelebihannya, yaitu hawa beracun di tubuhnya.
Akibat benturan dua tenaga dahsyat itu, tubuh Can Hong San terdorong ke belakang sampai tiga langkah, sedangkan tubuh Thian Ki hanya bergoyang-goyang saja. Tentu saja hal ini membuat Can Hong San terkejut setengah mati. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda mampu menahan cengkeramannya, bahkan tangkisan itu dapat membuat dia sampai melangkah mundur sedangkan pemuda itu kuat tegak berdiri dan hanya bergoyang-goyang? Ini tidak mungkin!
Selama hidupnya, hanya beberapa orang saja yang mampu menandingi kekuatannya, yaitu para pendekar yang terkenal di dunia persilatan seperti Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng atau isterinya yang bernama Giok Cu, dan Pangeran Cian Bu Ong. Dengan perasaan penasaran dan marah, juga nekat karena dia telah tersudut dan akan ditangkap pasukan, dia mencabut pedangnya, pedang Koai-liong-kiam, dan tangan kiri mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya. Itulah senjatanya yang ampuh, pedang dan suling.
"Jahanam busuk, kau harus mampus di tanganku!" bentaknya sambil memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar dengan kedua lutut ditekuk, dan sepasang senjata itu bersilang di atas kepalanya, matanya mencorong menatap lawan.
Karena tahu bahwa lawannya lihai dan berbahaya. Thian Ki juga mengeluarkan pedangnya dan begitu pedang dicabut, nampak sinar hitam yang menyeramkan seolah pedang itu mengandung hawa dingin yang dahsyat. Itulah pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis), pedang berwarna Hitam milik ibunya yang diberikan kepadanya sebagai bekal ketika dia berangkat melaksanakan dua tugasnya.
Pertama, dia harus mencari orang-orang pandai untuk membersihkan darahnya agar dia dapat menikah tanpa membahayakan nyawa isterinya, dan kedua, dia harus mencari dan mendapatkan pedang pusaka Liong-cu-kiam seperti yang dikehendaki ayah tirinya atau gurunya. Kini Thian Ki juga memasang kuda-kuda berhadapan dengan Can Hong San, dan ingatannya mulai bekerja, perlahan-lahan terbayanglah semua peristiwa yang lalu, ketika dia masih kecil.
Lamat-lamat saja ia teringat betapa ketika dia masih kecil sekali, mungkin baru berusia empat tahun, dalam kamar mereka, yaitu kamar dia, ibu dan ayahnya, masuk seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang amat lihai. Penjahat cabul itu menyanderanya, dan dengan mengancam akan membunuhnya, memaksa ibunya menotok ayahnya sehingga tidak mampu bergerak, kemudian memaksa ibunya untuk melayaninya dan mau digaulinya!
Dalam keadaan yang amat gawat itu muncul Si Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng menyelamatkan ibunya dari aib dan ayahnya dari maut. Dan orang jahat cabul itu bukan lain adalah Can Hong San ini! Kemudian, ketika dia berusia lima enam tahun, dua tahun sesudah itu, ketika dia diajak ayah ibunya berkunjung ke Hek-houw-pang di Ta-bun-cung, dan perkumpulan itu diserbu oleh para pembantu Pangeran Cian Bu Ong, ayahnya tewas dan ibunya ditangkap pula oleh Can Hong San ini!
Semua itu kini membayang di benaknya, membuat sepasang mata Thian Ki mencorong. Biarpun kini ibunya menjadi isteri Cian Bu Ong yang ternyata merupakan seorang gagah perkasa dan yang selain menjadi ayah tirinya juga menjadi gurunya, namun tentu dia akan memilih kehidupan dahulu, bersama ayah kandungnya. Melihat pedang hitam di tangan pemuda itu, Hong San mengerutkan alisnya.
"Heii, bukankah itu pedang Ban-tok Hek-kiam? Pedang itu milik seorang wanita, puteri mendiang Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun). Apa hubunganmu dengan Sim Lan Ci?"
"Can Hong San, kejahatanmu bertumpuk sehingga engkau lupakan semua perbuatanmu yang terkutuk. Engkau membunuh ayahku ketika menyerbu Hek-houw-pang dan engkau menawan ibu kandungku dan aku. Sekarang, engkau harus menebus semua dosamu itu!"
Hong San terbelalak dan suaranya agak gemetar ketika dia bertanya, "Kau... kau... tok-tong (anak beracun) itu?"
Thian Ki tersenyum. "Biarpun dengan mudah aku dapat menggunakan hawa beracun untuk membunuhmu, akan tetapi aku tidak akan mempergunakannya. Aku akan menaklukkanmu dengan ilmu silat, bukan dengan racun. Majulah, manusia berhati iblis!"
Diam-diam Can Hong San gentar bukan main. Anak ini, dalam usia lima atau enam tahun, pernah membuat dia bergidik ngeri karena bocah yang belum mengenal ilmu silat itu telah menewaskan beberapa orang rekannya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menjadi tokoh-tokoh kang-ouw terkenal seperti Thio Ki Lok dan Gulana, dua orang di antara para pembantu Cian Bu Ong yang tewas oleh anak beracun ini, hanya karena Gulana digigit tengkuknya, dan Thio Ki Lok mencengkeram punggung anak itu.
Anak Beracun! Dalam usia lima enam tahun saja sudah mampu membunuh orang-orang yang tangguh, apalagi sekarang! Dan diapun teringat ketika mereka mengadu tangan tadi, betapa dia terdorong ke belakang oleh kekuatan yang amat dahsyat. Can Hong San gentar dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya.
"Serbu...!"
Anak buah Koai-liong-pang mencabut senjata dan dengan nekat mereka menerjang maju, disambut oleh Lui-ciangkun yang menggerakkan pasukannya. Terjadilah pertempuran berat sebelah karena pihak pasukan sepuluh kali lebih banyak dibandingkan anak buah Koai-liong-pang. Biarpun para anggota itu merupakan jagoan-jagoan pilihan, namun tiap orang dikeroyok sepuluh, bagaimana mungkin mereka akan mampu bertahan.
Sementara itu, Can Hong San sudah bertanding melawan Thian Ki. Pedang dan suling di tangan Hong San mengamuk, suara pedangnya bercuitan, suara sulingnya berdengung-dengung.
Memang hebat sekali ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Hong San telah memiliki ilmu yang matang. Namun, sekali ini dia terkejut bukan main. Tubuh lawannya tidak nampak, yang nampak hanya gulungan sinar hitam yang berdesing-desing, seolah-olah ribuan lebah yang menyerangnya. Ketika Hong San melihat betapa para anak buahnya mulai berjatuhan, dia merasa gentar sekali.
Baru belasan jurus saja dia bertanding melawan Thian Ki, dia maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tanpa mempergunakan hawa beracun di tubuhnya sekalipun, pemuda itu merupakan lawan yang amat berbahaya dan amat sukarlah baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kalau sampai para perajurit mengepung ketat dan dia harus menandingi pemuda ini, dia akan celaka dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meloloskan diri.
"Hyaattttt...!!" Dia menyerang dengan pedangnya , membabat ke arah kedua kaki Thian Ki sambil menggulingkan diri di atas tanah. Thian Ki meloncat ke belakang, dan sebatang suling dengan kecepatan seperti anak panah, meluncur ke arah dadanya dari jarak dekat. Itulah suling di tangan kiri Hong San yang dilontarkan dengan pengerahan tenaga.
"Trakkkk !!" Suling itu patah-patah bertemu dengan pedang hitam di tangan Thian Ki. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hong San untuk melompat dari medan pertempuran yang sedang berlangsung. Thian Ki mengejar, akan tetapi lawannya itu menyelinap dan hilang di dalam keadaan yang sedang kacau itu.
Hong San terus berlari sambil membabat siapa saja yang menghalanginya. Banyak perajurit berjatuhan ketika Can Hong San membuka jalan darah mencari kebebasan, dan akhirnya dia dapat melarikan diri dari tempat itu, terus berlari ke luar kota Sin-yang. Hal ini mudah dia lakukan karena penduduk kota sedang ketakutan dan kacau karena adanya penyerbuan pasukan ke pusat Koai-liong-pang.
Melihat Can Hong San melarikan diri, Thian Ki tidak mau membiarkan begitu saja, diapun melakukan pengejaran. Biarpun agak terlambat, namun dapat memperoleh keterangan dan menemukan jejak lawan yang melarikan diri ke luar kota melalui pintu gerbang selatan. Thian Ki segera melakukan pengejaran. Sebelah selatan Sin-yang merupakan daerah tandus yang jarang ditempati orang, maka jalan menuju ke selatan selain buruk dan tidak terpelihara, juga sunyi dan berbukit-bukit, namun tanahnya agak tandus mengandung kapur.
Akan tetapi, setelah keluar kota, tidak nampak seorangpun dan sudah setengah jam dia mengejar, tidak nampak ada orang lewat. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, berlari-lari dari depan. Mereka kelihatan ketakutan.
"Paman, ada apakah? Kalian kelihatan ketakutan!" kata Thian Ki.
"Di sana ada orang berkelahi. Seorang laki-laki melawan seorang wanita. Kami takut terbawa-bawa, maka kami melarikan diri."
Mendengar keterangan itu, Thian Ki meloncat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja tiga orang petani sederhana itu menjadi semakin ketakutan dan mereka berlari tunggang langgang menuju kota Sin-yang. Belum jauh Thian Ki berlari cepat, di sebuah tikungan dia melihat dua orang yang sedang berkelahi dengan serunya. Yang seorang jelas adalah Can Hong San, yang kini hanya menggunakan pedangnya, karena sulingnya tadi telah dia pergunakan untuk menyerang Thian Ki dengan sambitan.
Akan tetapi ketika Thian Ki melihat siapa yang menjadi lawan Hong San, dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang. Lawan itu seorang wanita, seorang gadis yang mempergunakan sebatang pedang bersinar hijau dan yang gerakannya tangkas dan dahsyat, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas pergelangan.
"Cin Cin...!" Thian Ki menahan teriakan hatinya ketika mengenal gadis itu. Dia termangu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pertandingan antara kedua orang itu seru dan yang membuat dia tertegun dan heran adalah ketika melihat betapa gerakan kedua orang itu sama! Mereka jelas memainkan satu macam ilmu pedang yang sama, bahkan gulungan sinar pedang sama, yaitu sama-sama hijau.
Bagaimana Cin Cin dapat berkelahi dengan Hong San di tempat itu? Ketika tadi Can Hong San berhasil keluar dari pintu gerbang kota Sin-yang, dia merasa lega karena tidak terkejar Thian Ki. Akan tetapi di samping kelegaan hati bahwa dia dapat meloloskan diri, tentu saja terdapat kemarahan, penasaran dan kesedihan. Dia telah mendapatkan kedudukan yang lumayan, hidupnya sudah enak dan mewah, biarpun tidak seperti dulu ketika menjadi pembantu Pangeran Tua.
Akan tetapi sekarang dia kehilangan segala-galanya, isterinya yang sudah membosankannya, selir-selir yang banyak, harta bendanya, perkumpulannya, kehilangan teman dan penghibur hidupnya, kehilangan harta bendanya, kehilangan kedudukannya. Semua itu gara-gara si anak beracun! Dan teringat betapa munculnya pemuda itu karena ulah Li Ai Yin, dia merasa menyesal mengapa tidak dulu-dulu dia melenyapkan wanita yang sudah tidak ada gunanya baginya itu.
Hatinya lega ketika tiba di luar kota, di tempat sunyi, dan tiba-tiba saja wajahnya berseri-seri ketika dia melihat seorang wanita berjalan dari depan. Makin dekat, semakin berseri wajahnya dan lupalah dia akan semua kehilangannya, karena gadis itu ternyata cantik jelita, manis bukan kepalang! Ah, agaknya para dewa telah menolongnya, mengantarkan seorang penghibur kepadanya.
Wanita itu akan menjadi penghiburnya, menggantikan semua kehilangannya. Wanita itu seorang gadis muda, usianya kurang lebih duapuluh satu tahun, berjalan seperti melamun dan tangan kirinya dimasukkan ke dalam baju, tangan kanan melenggang perlahan dan seolah ia tidak melihat Can Hong San.
"Aih, nona manis, kenapa berjalan seorang diri di tempat yang sunyi ini, dan kenapa pula melamun? Engkau masih muda dan cantik jelita, masa depanmu cerah, kenapa membiarkan diri tenggelam ke dalam lamunan duka?" Hong San berkata dengan gayanya yang memang menarik.
Gadis itu adalah Cin Cin! Mendengar ucapan yang merayu itu akan tetapi tidak kasar, dengan kata-kata lembut, ia mengangkat muka memandang dan hatinya semakin tertarik melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki yang jantan gagah dan tampan, dan usianya empatpuluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak muda dan menarik. Hanya saja, pandang matanya itu mengandung cahaya yang aneh dan sekali pandang saja Cin Cin tahu bahwa ia berhadapan dengan orang yang mempunyai wibawa dan kekuatan.
"Paman, kenapa engkau usil menegur seorang gadis yang berjalan seorang diri di tengah jalan? Apakah engkau hendak kurang ajar?"
Can Hong San tertawa. "Ha-ha, jangan khawatir, nona. Aku Can Hong San bukan laki-laki yang kurang ajar kepada wanita! Aku bahkan selalu ingin menyenangkan seorang wanita cantik sepertimu ini dan..."
Hong San tidak melanjutkan rayuannya karena melihat betapa gadis itu tiba-tiba saja memandang dengan sinar mata mencorong, bahkan begitu tangan kanannya bergerak, gadis itu telah mencabut sebatang pedang dan nampak sinar hijau berkelebat. Melihat pedang itu, mata Can Hong San semakin terbelalak lebar.
"Engkau bernama Can Hong San, putera mendiang Cui-beng Sai-kong?" tanya Cin Cin dengan suara lantang.
Hong San tertegun. Jarang ada orang yang mengetahui bahwa mendiang ayahnya bernama atau berjuluk Cui Beng Sai-kong, akan tetapi gadis ini anehnya mengetahui hal itu! Dan ketika gadis itu bergerak tadi, tangan kirinya juga keluar dari dalam baju dan ternyata bahwa tangan itu buntung sebatas pergelangan! Melihat tangan kiri buntung itu, makin yakin hati Hong San bahwa dia belum pernah bertemu dengan gadis ini dan sama sekali tak mengenalnya.
Akan tetapi, menghadapi seorang gadis yang buntung tangan kirinya, tentu saja dia tidak takut sama sekali. Bahkan hatinya makin tertarik, karena biarpun tangan kiri gadis itu buntung, hal itu tidak terlalu mengurangi daya tariknya, bahkan menambah titik menyentuh perasaan mendatangkan iba dan memperdalam kasih sayang. Apalagi gadis itu memegang pedang yang membuat dia terkejut dan terheran-heran.
"Benar sekali, nona. Siapakah nona dan bagaimana dapat mengetahui julukan ayahku?"
"Bagus! Can Hong San, bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku. Aku Kam Cin, sengaja mencarimu untuk membunuhmu!"
"Eh, nanti dulu, nona manis. Boleh saja engkau membunuhku, akan tetapi katakan dulu apakah alasannya, agar kalau aku mati di tanganmu, aku tidak akan menjadi setan penasaran."
"Ada dua hal yang membuat aku bertekad untuk membunuhmu. Pertama, karena engkau merupakan seorang penjahat keji yang pernah membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang di Ta-bun-cung. Aku adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang terbunuh dalam penyerbuan kejam itu. Dan ke dua, aku mentaati perintah guruku untuk membunuhmu karena engkau telah membunuh suhengnya, yaitu ayahmu sendiri."
"Gurumu adik seperguruan mendiang ayahku? Ahhh... jadi engkau ini agaknya murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan? Pantas engkau memegang sebatang Koai-liong-kiam! Ha-ha-ha, mari kita bertaruh. Kalau aku kalah olehmu, tentu saja engkau akan membunuhku. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku sebagai kekasihku, sampai aku merasa bosan kepadamu!"
Kedua pipi Cin Cin menjadi merah sekali dan matanya mencorong. "Jahanam busuk, engkau layak mati seribu kali!" dan ia pun sudah menyerang dengan pedangnya sehingga nampak sinar hijau meluncur cepat.
Hong San meloncat ke belakang dan di lain saat, dia sudah mencabut pedangnya yang berbentuk persis sama dengan pedang di tangan Cin Cin, juga ketika dia gerakkan, mengeluarkan sinar kehijauan. Memang pedang itu sama. Mendiang Cui-beng Sai-kong Can Siok, selain lihai ilmu silatnya dan pendiri Thian-te Kwi-ong yang disembah-sembah, juga seorang ahli pembuat pedang. Dialah yang membuat pedang Koai-liong-kiam untuk sumoinya dan sebatang lagi untuk puteranya. Maka, setelah Cin Cin dan Hong San bertemu dan bertanding, keduanya menggunakan pedang yang sama segala-galanya, karena memang merupakan pedang kembar buatan mendiang Cui-beng Sai-kong.
Ketika Hong San menggerakkan pedangnya, maka ilmu pedang merekapun sama. Tentu saja perkelahian mati-matian itu nampak seperti latihan saja, karena keduanya mempergunakan ilmu pedang yang sama. Hanya, Hong San lebih matang karena lebih berpengalaman, juga dia memiliki tenaga sin-kang yang agak lebih unggul, sehingga setelah mereka bertanding mati-matian selama limapuluh jurus, Cin Cin mulai terdesak.
Pada saat itulah Thian Ki tiba dan pemuda ini menyelinap dan mendekati kedua orang yang bertanding itu, mengintai dari belakang semak-semak yang terdekat. Dia melihat betapa Cin Cin terdesak, akan tetapi dia masih ragu-ragu. Kalau dia keluar membantu, apakah gadis itu tidak akan bertambah marah dan benci kepadanya?
Akan tetapi, tiba-tiba Hong San memperkuat serangannya dan hampir saja leher gadis itu tertusuk pedang. Cin Cin masih dapat mengelak ke samping, akan tetapi karena sanggul rambutnya terlepas, sebagian ujung rambutnya terbabat pedang dan berhamburan! Hong San tertawa dan mendesak, bermaksud menawan gadis itu hidup-hidup. Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Thian Ki telah menyerangnya dari samping sambil berseru,
"Can Hong San iblis jahat!"
Hong San kaget setengah mati. Tak disangkanya pemuda beracun yang ditakutinya itu dapat muncul begitu tiba-tiba. Sinar hitam Cui-mo Hek-kiam menyambar dahsyat dan Hong San terpaksa menjatuhkan diri ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi pedang di tangan Cin Cin sudah menyambutnya dengan cepat sekali.
"Wuuuttt... crakkk!" Hong San berteriak kesakitan dan tangan kirinya buntung sebatas siku!
Karena rasa nyeri yang luar biasa, Hong San menjadi marah. Terdengar suara tangis dari kerongkongannya dan diapun menubruk dengan pedangnya, menyerang Cin Cin seperti orang gila.
"Trangg...!!" Cin Cin menangkis dan gadis ini terhuyung ke belakang. Dalam keadaan marah dan nekat itu, agaknya tenaga Hong San bertambah kuat. Kini Hong San tertawa bergelak. Dia sudah menjadi gila, hal yang memang agaknya sejak dahulu telah mencengkeram batinnya. Sejak muda, Hong San memang memiliki kelainan, wataknya berubah-ubah, kadang seperti pendekar, kadang teramat kejam, kadang mudah menangis dan tertawa. Kalau dia seorang yang berbatin normal, kiranya tidak mungkin dia membunuh ayah kandungnya sendiri!
Kini, setelah tertawa bergelak. Hong San kembali menyerang Cin Cin. Dia tidak memperdulikan lengan kiri yang buntung sebatas siku dan yang masih bercucuran darah. Gerakan tubuhnya membuat darah itu berceceran dan menyambar ke mana-mana, membuat Cin Cin merasa ngeri dan meloncat terus ke belakang, terdesak. Kembali Thian Ki maju membantu. Sebuah dorongan tangan kirinya membuat Hong San terhuyung ke samping dan kesempatan ini dipergunakan Cin Cin untuk menggerakkan lagi pedangnya.
"Singggg... cappp!" Pedangnya sekali ini terbenam ke dalam lambung Hong San, akan tetapi cepat gadis itu mencabut pedangnya kembali dan meloncat ke belakang karena Hong San dengan nekat, seolah tidak merasakan bahwa lambungnya sudah ditembus pedang gadis itu, dia menubruk dan mengayunkan pedangnya ke arah Cin Cin.
Melihat Cin Cin mundur, Hong San hendak mengejar, akan tetapi mendadak dia terkulai. Darah bercucuran dari lambung dan siku kiri yang buntung. Dia menggelepar seperti ayam disembelih dan tak lama kemudian diapun tewas dengan mata terbelalak. Thian Ki menghampiri mayat itu, menggunakan jari tangan untuk menutupkan kedua mata yang terbelalak dan diapun bangkit berdiri lagi, memandang kepada Cin Cin, lalu memandang kepada mayat itu dan menghela napas panjang.
"Cin Cin..." katanya lirih karena dia masih gelisah sekali kalau-kalau gadis itu masih marah dan semakin marah kepadanya.
Cin Cin menatap wajah Thian Ki, sinar mata itu mencorong dan mengandung kemarahan. "Kau...? Kenapa engkau membantuku? Aku tidak butuh bantuanmu dan tidak minta kau bantu!" suaranya terdengar ketus.
"Maaf, Cin Cin, aku tidak membantumu, hanya..."
"Cukup! Sudah jelas bahwa engkau tadi menyerangnya dan karena seranganmu maka aku berhasil membunuhnya. Kalau engkau tidak membantu, mungkin aku yang menggeletak mati. bukan dia. Akan tetapi, aku lebih senang mati di tangannya daripada menang karena bantuanmu. Engkau membuntungi tanganku, sekarang bahkan datang untuk menghinaku dengan bantuanmu!"
Gadis itu marah sekali dan suaranya menggetar, mengandungi tangis. Thian Ki memandang dengan penuh iba, diapun menundukkan muka dengan sedih...
Biarpun demikian, dia tetap saja membelokkan langkahnya menghampir arah suara tangis itu. Dari balik semak-semak, Thian Ki mengintai dengan heran. Yang menangis itu adalah seorang wanita muda. Usianya sekitar tigapuluh tiga tahun, akan tetapi ia masih nampak cantik jelita walaupun agak kurus dan mukanya pucat. Diantara isak tangisnya, wanita itu mengeluh.
"Ayah... ibu... anakmu sudah tidak tahan lagi hidup lebih lama di dunia... tolonglah, ibu dan ayah, aku hendak menyusul kalian..."
Setelah menangis tersedu-sedu, wanita itu mencabut sebatang pisau yang mengkilap karena tajam dan runcing, dan sekuat tenaga menggerakkan pisau itu untuk ditusukkan ke dadanya sendiri. Akan tetapi ia menjerit karena tiba-tiba tangan yang memegang pisau itu seperti lumpuh dan pisau itu terlepas dari pegangan tangannya! Ia mendengar langkah kaki dan menoleh dengan wajah pucat dan matanya terbelalak ketika melihat Thian Ki melangkah menghampirinya.
"Ahhhh...!" Wanita itu nampak terkejut dan takut sekali, sehingga Thian Ki cepat menghiburnya.
"Nyonya, harap jangan takut. Aku datang untuk menolongmu, bukan mengganggumu," katanya dan diapun duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah, berhadapan dengan wanita itu yang masih duduk bersimpuh.
"Kau... kau bukan suruhan... suamiku...?" tanya wanita itu dengan lirih.
Thian Ki menggeleng kepalanya dan memandangnya. Dari pertanyaan itu saja dia dapat mengambil kesimpulan, bahwa wanita ini takut kepada suaminya dan mungkin sekali ia hendak membunuh diri karena ulah suaminya, dan bahwa wanita ini sudah ditinggal mati ayah dan ibunya.
"Nyonya, aku tidak mengenalmu dan tidak mengenal siapa suamimu. Aku hanya kebetulan saja lewat dan melihat engkau melakukan perbuatan nekat, terpaksa aku mencegahnya. Maafkan kelancanganku."
"Kalau begitu, aku mohon kepadamu, tinggalkan aku sendiri, biarkan aku mati menyusul orang tuaku, aku tidak ingin hidup lagi, tidak ingin perpanjang penderitaan yang sudah tak dapat kutahankan lagi..."
wanita itu menangis dan hendak meraih pisaunya yang tadi terlepas dan kini berada di dekatnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja pisau itu lenyap dan telah berada di tangan Thian Ki. "Orang muda, bunuhlah aku dengan pisau itu... aku ingin mati...!"
"Tidak, nyonya, engkau tidak boleh mati..."
"Orang muda, apa kau kira akan dapat mencegah aku mengakhiri hidupku? Sekarang engkau dapat saja memaksaku untuk tidak membunuh diri, akan tetapi setelah kita berpisah, mudah saja bagiku untuk membunuh diri. Menggantung diri, terjun ke jurang, minum racun, membenturkan kepalaku ke batu, banyak jalan untuk membunuh diri!"
Wanita itu kini merasa marah dan penasaran melihat pemuda yang tidak dikenalnya berkeras hendak menghalanginya mengakhiri penderitaan hidupnya.
"Maafkan aku, nyonya. Akan tetapi, niatmu itu sungguh salah sekali. Selain engkau akan berdosa kepada Pemberi Hidup, juga usahamu mengakhiri penderitaan itu akan sia-sia belaka. Apakah kaukira bahwa kematian itu mengakhiri penderitaan. Kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan ini, nyonya, dan penderitaan tidak akan hapus begitu saja setelah kita mati. Bahkan mungkin di sana menanti penderitaan yang jauh lebih hebat daripada penderitaan sewaktu hidup?"
Wanita itu menyusut air matanya dan kini ia mengangkat muka, menatap wajah Thian Ki. Ketika pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, ia terkejut dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan orang biasa.
"Orang muda, kau kira aku tidak tahu akan semua itu? Aku juga pernah membaca kitab. Akan tetapi, aku yakin tidak ada penderitaan yang lebih berat daripada yang kualami selagi hidup ini. Aku ingin mengakhiri semua ini."
"Nyonya yang baik, hidup memang merupakan medan perjuangan yang berisi suka dan duka, kemudahan atau kesukaran. Kalau sewaktu kita menghadapi kesukaran, tidak semestinya kalau kita pergi menghindarinya, melarikan diri dari kesulitan. Kita harus berdaya upaya untuk menghadapinya, menanggulanginya dan mengatasinya. Karena itu, kesukaran apapun yang kauhadapi, sepatutnya kalau engkau melawannya, nyonya, bukan melarikan diri dengan jalan membunuh diri. Dan aku berjanji, aku akan membantumu menanggulangi kesukaranmu. Katakanlah, mengapa engkau menjadi berduka dan putus harapan?"
Wanita itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Tidak ada gunanya, orang muda. Aku tidak ingin engkau, seorang yang tidak kukenal sama sekali, terseret dan celaka pula karena hendak menolongku. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan dapat menolongku, orang muda."
Thian Ki tersenyum. Dia tidak menyalahkan wanita ini kalau tidak percaya padanya. Dan ketidak-percayaan ini pasti ada hubungannya dengan keadaan wanita itu. Wanita itu tentu mengira bahwa tidak ada orang yang akan mampu menolongnya dan ini berarti bahwa yang membuat dia berduka itu tentulah keadaan yang amat gawat, orang-orang yang agaknya sukar dikalahkan atau ditundukkan.
"Nyonya, harap jangan memandang rendah kepadaku. Kalau aku menawarkan bantuan, tentu sudah kuperhitungkan dan aku yakin akan kesanggupanku. Aku mampu melawan orang yang bagaimana jahat dan lihai pun!"
Dia sengaja bicara sombong untuk menggugah kepercayaan wanita itu kepadanya, atau setidaknya untuk menarik perhatiannya. Usahanya berhasil. Wanita itu kini mengamatinya penuh perhatian, matanya yang merah dan masih basah itu, bagaikan matahari yang baru mulai terlepas dari selimut awan tebal, kini nampak agak bercahaya dengan harapan.
"Kau... kau... seorang pendekar?" tanyanya, penuh harapan.
Kalau dalam keadaan biasa, tidak mungkin dia mau mengaku bahwa dia seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia harus mengaku untuk membesarkan hati wanita yang putus asa itu.
"Nyonya, aku Coa Thian Ki selalu menjunjung tinggi kegagahan, membela kebenaran dan keadilan dan menentang kejahatan, mengandalkan ilmu kepandaian yang kupelajari sejak kecil. Nah, percayalah kepadaku bahwa aku akan sanggup menolongmu dari tangan orang jahat, dan ceritakan apa yang menjadi penderitaanmu sampai membuatmu putus asa nyonya."
Agaknya kini timbul kepercayaan di hati wanita itu. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, iapun memperkenalkan dirinya. "Namaku Li Ai Yin, mendiang ayahku adalah Pangeran Li Siu Ti..."
"Ahhh...!" Thian Ki berseru, terkejut. "Kalau begitu... nyonya adalah seorang putri bangsawan istana dan... apakah mendiang ayah nyonya adalah Pangeran Tua yang kabarnya..." Thian Ki meragu untuk melanjutkan.
Li Ai Yin mengangguk. "Benar, ayahku sekeluarga telah dijatuhi hukuman mati karena memberontak terhadap Kaisar, enambelas tahun yang lalu. Hanya aku seorang yang berhasil lolos dari hukuman mati karena aku dilarikan oleh... suamiku... dan tinggal di Sin-yang sampai sekarang."
"Kalau begitu, nyonya termasuk beruntung, dapat meloloskan diri bersama suami nyonya. Lalu kenapa sekarang..."
"Mula-mula memang aku berbahagia dengan suamiku yang tadinya bekerja sebagai pengawal ayah. Kami saling mencinta dan aku menganggap dia orang yang paling gagah perkasa dan paling baik di dunia ini. Walaupun kami belum mempunyai anak, namun aku tetap berbahagia dan setia kepadanya, membantu semua usahanya yang dimulai dari bawah kembali. Kemudian, dia berhasil mendirikan perkumpulan Koai-liong-pang (Perkumpulan Naga Setan) di Sin-yang. Perkumpulan itu menjadi besar dan berpengaruh, dan membuat kami hidup serba cukup, bahkan kaya. Akan tetapi, barulah nampak belangnya dan baru kuketahui siapa sebenarnya suamiku yang tadinya kuanggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa itu. Ternyata dia seorang yang berhati palsu, kejam dan juga mata keranjang. Betapa sakitnya hatiku melihat dia bertindak keji, merampas anak gadis atau isteri orang, memperkosanya di depan mataku, dan dia memperlakukan aku sebagai bujang saja, bahkan seringkali aku dia pukuli dan siksa, demi menyenangkan selir-selirnya. Ahh, untuk apa aku hidup terus seperti itu? Hari ini aku mendapat kesempatan lolos keluar dan menuju ke hutan ini untuk membunuh diri, karena kalau di rumah, aku tidak akan mendapat kesempatan. Engkau... bagaimana mungkin dapat menolongku orang muda? Engkau hanya seorang diri, selain suamiku itu amat sakti, juga dia mempunyai anak buah yang banyak, tidak kurang dari limapuluh orang dan kesemuanya jahat dan kejam. Aku tidak ingin engkau celaka kalau menolongku dan menentang mereka."
Thian Ki merasa iba sekali. Seorang puteri pangeran, bahkan masih adik sepupu kaisar yang sekarang, yang ketika kecil tentu hidup serba mewah dan dimuliakan orang, sekarang merasa sengsara karena keliru memilih suami dan ingin membunuh diri. Mendengar bahwa suami wanita itu sakti, pendiri Koai-liong-pang, hati Thian Ki tertarik sekali.
"Nyonya, siapakah suami nyonya itu?"
"Pertanyaanmu membuktikan bahwa engkau bukan orang dari daerah Sin-yang. Karena kalau demikian halnya, pasti engkau tahu siapa ketua Koai-liong-pang. Namanya Can Hong San."
Thian Ki merasa terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Tentu saja dia tahu siapa Can Hong San itu! Ibunya telah menceritakan nama tokoh besar dan datuk persilatan, dan menurut ibunya, Can Hong San adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong pendiri perkumpulan penyembah Thian-te Kwi-ong (Raja Setan Langit Bumi).
Can Hong San, menurut ibunya, amat lihai akan tetapi juga amat jahat. Bahkan orang itu merupakan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang dan dia pula yang membunuh ayah kandungnya, Coa Siang Lee, dalam penyerbuan itu. Can Hong San adalah pembunuh ayahnya dan dia suami nyonya ini!
"Jangan khawatir, nyonya. Aku siap untuk menolongmu. Nah, katakan saja, apa yang harus kulakukan untuk menolong nyonya?"
Wanita itu termenung, dan sebelum ia menjawab, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan Thian Ki berkata, "Duduk sajalah, nyonya. Ada beberapa orang datang ke sini, biarkan aku yang menghadapi mereka."
"Aih, celaka... mereka pastilah orang-orang yang disuruh suamiku untuk mencariku. Mereka itu lihai dan kejam sekali. Larilah, orang muda, tinggalkan aku sendiri!" Ai Yin yang sudah putus asa itu tidak ingin melihat orang lain dibunuh karena membelanya.
"Tenanglah, nyonya. Aku akan menghajar mereka kalau mereka berani mengganggumu."
Muncullah empat orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan bersikap bengis. Mereka berteriak-teriak ketika melihat Li Ai Yin. "Itu ia di sana!"
"Bersama seorang pemuda lagi! Tentu pemuda itu biang keladinya sehingga ia melarikan diri!"
Dengan tenang sekali Thian Ki berdiri menghadang ke depan Ai Yin, akan tetapi sebelum dia bicara, dia didahului Ai Yin yang berkata dengan lantang. "Mau apa kalian mencariku? Pergi dan jangan ganggu aku!"
Suaranya terdengar memerintah dan hal ini wajar karena empat orang itu adalah para pembantu suaminya. Akan tetapi, Ai Yin melihat perubahan besar dari sikap mereka. Biasanya, mereka menghormatinya sebagai isteri ketua mereka, akan tetapi sekarang mereka tertawa ha-ha-hi-hi mendengar bentakan wanita itu.
"Kami diutus pang-cu (ketua) untuk mencari, nyonya," kata seorang di antara mereka yang berkumis tebal.
"Pergilah kalian, aku tidak mau pulang. Katakan kepada ketua kalian bahwa aku tidak sudi pulang, dan lebih baik aku mati daripada harus kembali ke sana!" Suaranya penuh kemarahan dan kebencian.
Akan tetapi, empat orang itu tetap tertawa-tawa, menyeringai dengan sikap kurang ajar, sama sekali tidak menghormati nyonya ketua mereka. Si kumis tebal yang agaknya menjadi pembicara dan pemimpin mereka, melangkah maju dan matanya melotot seperti hendak menelan nyonya itu bulat-bulat. "Heh-heh, nyonya manis, kami tidak disuruh menjemputmu, melainkan disuruh membunuhmu, ha-ha-ha!"
Akan tetapi ancaman yang disusul tawa empat orang itu, sama sekali tidak membuat sang nyonya menjadi ketakutan seperti yang mereka duga. Ai Yin bahkan bangkit berdiri dan menegakkan leher menatap mereka dengan pandang mata menantang.
"Bunuhlah, lebih baik aku mati daripada harus kembali ke sana!"
Empat orang itu tertegun, dan untuk melenyapkan rasa kecelik itu, si kumis tebal tertawa lagi. "Ha-ha-ha, kami tidak akan membunuh begitu saja, manis. Kami akan bersenang senang dulu denganmu, nyonya manis!"
"Jahanam busuk, berani kau...!!" Ai Yin membentak dan mukanya berubah merah saking marahnya.
Empat orang itu tertawa. "Sayang kalau dibunuh begitu saja. Sudah lama engkau membuat kami seringkali mengilar. Marilah, manis, mari bersenang-senang dengan kami!"
Ketika empat orang itu melangkah maju untuk menangkap Ai Yin, Thian Ki sudah maju menghadang. "Empat orang laki-laki pengecut dan rendahbudi, beraninya hanya mengganggu wanita lemah!" kata Thian Ki, suaranya dingin akan tetapi pandang matanya bernyala.
"Eh, eh...! Siapa kau, anak kecil berani mencampuri urusan orang? Apa engkau sudah bosan hidup?"
"Kalian ini manusia-manusia yang sudah dikuasai iblis yang sudah bosan hidup kalau kalian tidak cepat pergi dan jangan mengganggu nyonya ini," kata Thian Ki.
Mata si kumis tebal melotot dan hampir dia tidak percaya ada seorang pemuda berani bersikap dan berkata seperti itu kepadanya! Seluruh penduduk kota Sin-yang dan sekitarnya, tak seorangpun berani bersikap kasar kepadanya!
"Bocah gila, apa engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan aku, Harimau Kumis Tebal?" bentaknya dan mengamangkan tinju kanannya yang sebesar kepala anak-anak itu ke arah Thian Ki.
"Hemm, manusia sombong. Aku akan membuat engkau menjadi anjing tanpa kumis!"
Kemarahan si kumis tebal tak dapat ditahan lagi. "Jahanam!" bentaknya dan dengan gerengan seperti beruang marah, diapun menyerang Thian Ki sedangkan tiga orang lainnya hanya menonton sambil menyeringai, karena mereka semua yakin bahwa dalam segebrakan saja rekan mereka akan dapat melumatkan tubuh pemuda itu dan mereka ingin menikmati tontonan itu.
"Wuuuut...!" Kepalan tinju besar itu menyambar ke arah muka Thian Ki. Akan tetapi dengan gerakan otomatis dan mudah sekali Thian Ki menarik mukanya ke belakang pada saat tinju itu hampir menyentuh pipinya, dan pada saat tinju itu lewat di depan mukanya, tangannya yang kiri menyambar ke arah pipi lawan.
"Plakk...!! Aduhh...!" Si kumis tebal hampir tersungkur, dan dia meludahkan beberapa buah gigi bercampur darah keluar dari mulutnya, meringis dan kemarahannya meluap.
"Jahanam...!" bentaknya pelo karena mulutnya membengkak, dan begitu tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut sebatang golok dan mengamuk seperti orang gila, menghujankan bacokan golok ke arah Thian Ki. Akan tetapi, yang nampak olehnya hanya bayangan berkelebatan ke kanan kiri. Dia menyerang dengan ngawur saja, mengejar bayangan itu dengan sabetan goloknya.
Tiba-tiba, lengan kanannya terpukul dari samping membuat lengan itu terasa lumpuh dan nyeri, dan goloknya terlepas. Tangan kanan Thian Ki sudah menyambar ke arah muka lawan dan sekali renggut terdengar suara "brett..." disusul jerit kesakitan dan kini si kumis tebal sudah kehilangan kumisnya dan di tempat itu kini nampak kulit di bawah hidung itu terobek dan berdarah! Si pemilik kumis mendesis-desis saking nyerinya, juga nyeri hatinya karena dia kehilangan kumis yang dia banggakan. Tiga orang kawannya terkejut bukan main, juga marah melihat betapa kawan mereka dihina, dan mereka bertiga sudah mencabut golok dan mengepung Thian Ki.
Sebaliknya, Ai Yin berdiri terbelalak kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda itu dapat membuat Harimau Kumis Tebal yang merupakan pembantu suaminya yang paling lihai, paling galak dan paling kejam, sama sekali tidak berdaya dan dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja. Timbul harapan dan kepercayaan dalam hatinya bahwa pemuda ini akan dapat menolongnya. Akan tetapi tetap saja dia merasa khawatir karena kini tiga orang itu sudah berteriak-teriak sambil menyerang Thian Ki yang bertangan kosong dengan golok mereka.
Kalau saja Thian Ki belum digembleng mendiang neneknya selama dua tahun dan belum menguasai tenaga saktinya yang beracun, tentu sekali tampar saja dia dapat membuat lawan tewas dengai tubuh keracunan. Akan tetapi kini dia telah dapat menguasai tenaga itu sehingga dia mampu "menyimpan" hawa beracun itu dan hawa itu tidak akan bergerak keluar kalau tidak dikehendakinya.
Hanya tentu saja, darahnya masih mengandung racun mengerikan sehingga siapa yang menyerangnya dengan pukulan bertenaga sin-kang, atau mencengkeramnya, orang itu akan keracunan, seperti halnya Cin Cin. Untuk melenyapkan ini, tidak ada jalan lain kecuali membersihkan darahnya dan yang dapat melakukan hal ini hanyalah orang yang benar-benar sakti.
Kini, menghadapi pengeroyokan tiga orang itu, tentu saja tidak membuat Thian Ki repot. Tingkat ilmu silatnya yang dia dapatkan dari ajaran ayah tirinya, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian tiga orang itu, maka begitu dia menggerakkan tubuhnya, maka bayangannya berkelebatan di antara gulungan sinar tiga batang golok para pengeroyok. Gerakan kedua tangannya jauh lebih cepat ketimbang gerakan tiga batang golok lawan.
Thian Ki tidak ingin berkelahi terlalu lama menghadapi orang-orang kasar itu, maka begitu Harimau Kumis Tebal yang kini tidak berkumis itu terjun pula ke dalam medan perkelahian, menahan nyeri pada mukanya dan membacokkan goloknya dengan nekat, Thian Ki sudah mengeluarkan bentakan melengking empat kali dan akibatnya, empat orang itu terpelanting ke kanan kiri, golok mereka terpental entah ke mana dan tulang lengan kanan mereka semua patah-patah! Barulah empat orang itu terkejut dan jerih, dan tanpa diperintah lagi mereka lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu, tidak berani menoleh lagi!
Ketika Thian Ki menoleh ke arah wanita itu, dengan kaget dia melihat wanita sudah berlutut di depannya. "Taihiap... terima kasih, taihiap. Sekarang aku percaya... taihiap kiranya yang akan dapat menolongku..." katanya terharu.
"Aih, nyonya. Jangan begitu, bangkitlah dan jangan menghormatiku secara berlebihan. Engkau seorang puteri bangsawan, bangkitlah..." Terpaksa Thian Ki menyentuh kedua pundak wanita itu dan Ai Yin merasakan getaran hebat yang membuat ia terpaksa bangkit duduk. Kemudian iapun kembali duduk berhadapan dengan Thian Ki di bawah pohon besar itu.
"Nah, sekarang katakanlah, pertolongan apa yang harus kuberikan kepadamu, nyonya? Apakah engkau menghendaki aku menemui suamimu dan memaksanya agar dia bersikap baik kepadamu?"
"Tidak, tidak! Dan jangan sebut aku nyonya, taihiap. Namaku Li Ai Yin, dan aku bukan lagi puteri bangsawan, juga bukan lagi isteri ketua Koai-liong-pang. Aku tidak sudi lagi kembali kepadanya, lebih baik aku mati daripada harus kembali kepadanya..."
"Akan tetapi, kalau dia berjanji akan bersikap baik kepadamu?"
"Tidak, tidak mungkin! Dia seorang perayu yang palsu, andaikata engkau dapat memaksanya untuk bersikap baik kepadaku, tentu itu hanya tipuan belaka, dan kalau engkau sudah tidak ada, dia pasti akan melampiaskan dendamnya kepadaku. Dia perayu dan kejam seperti iblis, taihiap."
"Nyonya, kalau engkau tidak ingin kusebut nyonya, jangan sebut aku tai-hiap. Namaku Coa Thian Ki, rasanya kikuk kalau engkau menyebut aku taihiap."
"Baiklah, siauw-te (adik)... padahal engkau memang pantas disebut pendekar besar. Aku berterima kasih sekali, dan agaknya engkaulah harapanku satu-satunya. Hanya engkau yang kiranya akan dapat membebaskan aku dari derita ini."
"Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Ai Yin?" tanya Thian Ki yang kini tanpa ragu menyebut enci kepada wanita itu. "Kalau engkau tidak ingin kembali kepada suamimu, lalu apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?"
"Terserah kepadamu, Coa-siauwte. Terserah apa yang akan kaulakukan. Aku hanya ingin hidup terbebas dari Can Hong San. Aku ingin hidup sendiri tanpa terancam oleh dia dan anak buahnya. Mereka itu kejam sekali, bukan hanya kepadaku, akan tetapi kepada rakyat daerah Sin-yang. Ah, engkau tidak tahu apa saja yang mereka lakukan siauwte."
Ai Yin lalu menceritakan tentang semua sepak terjang suaminya. Setelah terjadi penyerbuan pasukan istana kepada Pangeran Tua Li Siu Ti yang diketahui hendak memberontak, Ai Yin diajak pergi melarikan diri oleh Can Hong San. Wanita ini menurut saja, karena ia telah dikuasai oleh bekas pembantu ayahnya itu, telah menyerahkan diri di luar kesadarannya. Dalam pelarian ini, Can Hong San bersikap baik dan mencinta padanya, maka agak terhiburlah hatinya.
Setelah merantau berpindah-pindah tempat karena takut akan pengejaran dan pencarian dari kota raja, akhirnya beberapa tahun kemudian mereka menetap di Sin-yang. Keadaan sudah aman dan tidak ada pencarian, maka Can Hong San mulai menata hidupnya. Mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, dia menaklukkan para tokoh kangouw dan para jagoan di daerah Sin-yang, dan ketika dia mendirikan perkumpulan yang diberi nama Koai-liong-pang, banyak jagoan yang suka menjadi anak buahnya.
Dan perkumpulan ini dalam waktu singkat menundukkan para jagoan, menguasai semua tempat pelesir dan kemaksiatan dengan memungut semacam "pajak" yang besar. Sebentar saja, nama Koai-liong-pang ditakuti orang dan pemilik segala macam perusahaan, terutama sekali yang bersangkutan dengan hiburan tidak berani membantah dan membayar uang pajak atau sumbangan yang dikatakan sebagai biaya penjagaan keamanan.
Siapa yang tidak mau membayar, tentu akan menjadi tidak aman lagi. Sebentar saja Can Hong San menjadi kaya raya dan setelah memperoleh kekayaan dan kedudukan atau kuasa, mulailah nampak belangnya terhadap Li Ai Yin yang menjadi isterinya.
"Dia mengambil banyak gadis, bahkan isteri orang, sebagai selir paksaan, bahkan sering dia memaksa seorang wanita di dalam kamar kami, di depan mataku sendiri. Kalau aku mencela, dia memukul dan menyiksaku. Pernah dia dengan terus terang mengatakan bahwa dahulu dia mempersuntingku bukan karena cinta, melainkan karena ingin menjadi mantu pangeran. Sekarang, setelah keluarga ayah hancur, dan aku bukan lagi puteri pangeran, diapun tidak membutuhkan aku lagi. Ahh, siaute, bertahun-tahun aku harus menahan diri terhadap siksaan lahir bathin itu. Penderitaan itu sampai dipuncaknya ketika malam tadi dia memberikan aku kepada para pembantunya! Aku tidak sudi dan karena para anak buahnya masih segan kepadaku, maka aku masih mampu mempertahankan kehormatanku dan pagi ini aku melarikan diri ke sini."
"Betapa kejam dan jahatnya!" Thian Ki berseru sambil mengepal tinju.
"Untung bahwa dalam pernikahanku dengannya, kami belum mempunyai keturunan, Coa-siauwte. Nah, sekarang engkau tentu mengerti bahwa satu-satunya keinginanku hanya agar aku dapat terbebas darinya. Aku hanya mau melanjutkan hidup ini kalau terbebas dari cengkeraman manusia iblis itu."
Thian Ki mengangguk-angguk. Dia mengerti. Li Ai Yin ini bukan seorang isteri yang tidak setia kepada suami. "Baiklah, enci Ai Yin. Gerombolan Koai-liong-pang itu tidak boleh dibiarkan saja merajalela dan mencelakai penduduk. Hal ini harus dilaporkan kepada yang berwajib. Mari kau ikut denganku, enci."
Thian Ki lalu mengajak Ai Yin memasuki kota Sin-yang. Wanita itu tentu saja ketakutan, khawatir kalau sampai diganggu anak buah suaminya, akan tetapi agaknya pihak Koai-liong-pang terlalu kaget mendengar akan nasib tiga orang pembantu utama ketua mereka yang bertemu seorang pemuda yang amat lihai, sehingga Thian Ki dan Ai Yin tidak sempat diganggu sampai mereka tiba di gedung pembesar setempat, yaitu rumah dan kantor kepala daerah Sin-yang yang bernama Gan Hok.
Gan-taijin adalah seorang yang berusia limapuluh tahun, dan dialah pejabat pemerintah yang paling tinggi kedudukannya di Sin-yang. Seperti kebanyakan pejabat pemerintah di masa itu, Gan-taijin juga seorang pejabat yang kurang memperhatikan keadaan atau kehidupan rakyatnya, hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya sendiri saja.
Maka, dia tidak begitu tahu akan sepak terjang Koai-liong-pang, bahkan andaikata tahupun, asalkan para anggota Koai-liong-pang tidak mengganggu pemerintah, dan lebih-lebih kalau perkumpulan itu membayar pajak dan sumbangan yang besar, diapun akan pura-pura tidak tahu saja.
Karena dia tidak mengenal Thian Ki dan Ai Yin, maka diapun menyambut kedatangan mereka dengan sikap dingin dan acuh saja. "Hemm, siapakah kalian dan ada urusan apakah sepagi ini sudah mengganggu kesibukanku?" tegurnya dengan sikap ketus.
Thian Ki mengerutkan alisnya. Sudah terlampau sering dia melihat pembesar yang seperti ini sikapnya, memandang rendah orang lain, akan tetapi bersikap manis kepada orang yang datang membawa hadiah yang besar.
"Maafkan kalau kami mengganggu, Taijin," kata Thian Ki dengan sikap tenang. "Saya bernama Coa Thian Ki dan ini adalah kakak perempuan saya yang bernama... Coa Ai Yin. Kami sedang melakukan perjalanan dan kebetulan lewat di Sin-yang. Dan di kota Taijin ini, kami melihat seorang buronan kota raja, bahkan dia telah menyusun kekuatan di kota ini. Kalau hal ini sampai diketahui Sri baginda, tentu nama baik Taijin akan tercemar."
Seketika wajah pembesar itu menjadi pucat. Kalau ada yang ditakuti, maka satu satunya adalah kota raja, di mana terdapat kaisar dan para atasannya! Sekali gerakan telunjuk para atasan, akan hancurlah kedudukannya dan kehidupannya.
"Apa kau bilang? Seorang buronan di kota ini!? Siapa dia? Hayo ceritakan dengan jelas dan jangan melempar fitnah kepada orang!" bentak pembesar itu dan para pembantunya yang hadir juga terbelalak heran dan terkejut.
Thian Ki tetap tenang. "Ingatkah Taijin akan peristiwa yang terjadi di kota raja enambelas tahun yang lalu ketika Pangeran Tua Li Siu Ti sekeluarga dihukum karena dia melakukan pemberontakan?"
"Tentu saja! Akan tetapi apa hubungannya dengan kota ini?"
"Begini, Taijin. Di antara para pembantu utama mendiang Pangeran Tua yang memberontak, pembantu yang paling lihai, telah berhasil meloloskan diri dan sampai sekarang belum tertangkap. Dan kami melihat buronan itu sekarang menjadi penduduk Sin-yang, bahkan memiliki pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau hal ini diketahui kota raja, bukankah Taijin akan dituduh bersekongkol dengan buronan itu dan melindunginya?" Thian Ki lalu memberi isyarat kepada Ai Yin dan mereka bangkit. "Akan tetapi kalau Taijin tidak percaya kepada kami, sudahlah, kami akan melanjutkan perjalanan dan semua akibat silakan Taijin tanggung sendiri!"
"Hei... eh, nanti dulu... orang muda, jangan tergesa-gesa dan silakan duduk." Pembesar itu tergopoh-gopoh mencegah Thian Ki dan Ai Yin pergi. Kedua "Kakak beradik" itupun duduk kembali dan kini sikap pembesar itu menjadi lain. Dia memerintahkan pembantunya untuk memanggil komandan pasukan keamanan yang segera muncul, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah berusia empatpuluh tahun lebih. Mereka semua duduk mendengarkan laporan Thian Ki.
"Taijin, orang itu bernama Can Hong San, ketika menjadi pembantu mendiang Pangeran Tua dia memakai nama Siauw Can. Dan dia sekarang berhasil menghimpun para tokoh kangouw, para penjahat keji mendirikan perkumpulan Koai-liong-pang di kota ini!"
Gan-taijin terbelalak. "Koai-liong-pang? Akan tetapi... sikap mereka selama ini baik-baik saja, tidak pernah mengganggu petugas pemerintah, bahkan amat baik..." tiba-tiba pejabat itu diam karena ingat bahwa tidak semestinya dia menceritakan kebaikan Koai-liong-pang yang suka memberi sumbangan dan hadiah yang cukup banyak! "Maksudku... koai-liong-pang tidak pernah memusuhi kami."
"Mungkin saja begitu, Taijin, karena Can Hong San itu memang licik sekali. Akan tetapi tidak tahukah Taijin akan sepak terjang para anggota Koai-liong-pang termasuk pimpinannya? Mereka seringkali mengganggu penduduk, melakukan pemerasan, bahkan tidak segan merampas barang orang, juga sudah sering mereka memaksa gadis bahkan isteri orang, menjadi selir mereka. Mereka melakukan perkosaan dan penindasan."
Wajah pembesar itu berubah. Berita ini sungguh amat mengejutkan hatinya. Dia menoleh kepada komandan pasukan keamanan. "Benarkan itu, Lui ciangkun?" tanyanya.
Komandan itu menghela napas panjang. "Memang Koai-liong-pang tidak pernah memusuhi kita, Taijin, akan tetapi mereka memang menguasai semua tempat hiburan, dan memungut pajak dari toko-toko besar. Semua ini pernah saya laporkan kepada Taijin, akan tetapi karena mereka tidak memusuhi kita, Taijin tidak memerintahkan menindak mereka..."
"Brakk!" Pembesar itu memukul meja dengan telapak tangannya. "Lui-ciangkun, kalau kami tahu dia itu buronan kota raja, tentu kami sudah sejak dulu menyuruh engkau menangkapnya. Kenapa kau tidak tahu bahwa dia itu bekas pemberontak? Hayo kerahkan pasukanmu dan tangkapi mereka semua, kalau melawan, gempur dan bunuh mereka agar kita tidak dianggap bersekongkol dengan pemberontak. Kau tahu hukumannya kalau kita dianggap membantu pemberontak? Tolol kau!"
Komandan itu memberi hormat. "Siap melaksanakan perintah, Taijin!"
"Taijin, Can Hong San itu lihai bukan main. Saya khawatir kalau-kalau dia akan dapat lolos lagi seperti ketika terjadi pembasmian pemberontak di kota raja. Karena itu biar saya yang menghadapinya dan menangkapnya, akan tetapi saya menitipkan kakak perempuan saya ini agar ia aman dari balas dendam Can Hong San yang kami laporkan kepada Tai-jin."
"Baik, baik, silakan masuk, nona." Pembesar itu memberi isyarat kepada seorang pembantu yang segera mengantar Ai Yin masuk ke dalam gedung itu. Pembesar itu tentu saja senang dititipi Ai Yin karena wanita itu bahkan seolah menjadi jaminan akan kebenaran laporan yang disampaikan adiknya!
Thian Ki mendampingi Lui-ciangkun yang memimpin hampir tiga ratus orang perajuritnya dan gegerlah kota Sin-yang ketika melihat pasukan keamanan mengepung rumah besar yang menjadi pusat Koai-liong-pang. Yang lebih kaget lagi adalah Can Hong San dan para pembantunya. Dengan membawa pedang pusakanya, dan diiringkan para pembantunya, dan para anggota Koai-liong-pang yang ketika itu berada di situ kurang lebih tiga puluh orang, sedangkan yang lainnya berada di luar melaksanakan tugas mengumpulkan sumbangan, dia keluar dengan tabah.
Can Hong San menganggap bahwa selama ini sudah banyak dia memberi sogokan hadiah kepada semua petugas pemerintah di Sin-yang, maka tidak mungkin dia akan diganggu. Setelah tiba di luar pintu depan, Can Hong San diam-diam terkejut melihat banyaknya perajurit yang mengepung rumahnya. Dan seorang pembantunya, yaitu seorang di antara mereka yang pagi tadi hendak menangkap Ai Yin di dalam hutan menyentuh lengannya.
"Pangcu, itu dia pemuda yang tadi menolong nyonya."
Can Hong San mengerutkan alisnya, memandang kepada Thian Ki yang berdiri di antara para perwira yang berada di depan pasukan. Dia tidak mengenal pemuda itu dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar tegang. Isterinya, Li Ai Yin telah diselamatkan pemuda itu dan diajak pergi, dan sekarang pasukan keamanan Sin-yang mengepung rumahnya. Apakah Ai Yin telah mengkhianatinya? Akan tetapi, melihat bahwa komandan itu adalah Lui-ciangkun yang tentu saja sudah dikenalnya, diapun menenangkan hatinya dan segera melangkah maju menghadapi komandan itu dan tersenyum ramah.
"Aih, kiranya Lui-ciangkun yang datang. Apakah yang terjadi, ciangkun? Kenapa ciangkun memimpin pasukan keamanan? Apakah terjadi kerusuhan? Kalau begitu, biar kami akan membantumu!"
Thian Ki memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang gagah perkasa dan tampan menarik pikirnya. Usianya tentu sudah empatpuluh tahun lebih, namun masih nampak perkasa dan tampan. Hidungnya mancung dan besar, dan bibirnya merah bergairah seperti bibir wanita. Akan tetapi matanya mengandung kecerdikan yang luar biasa. Biji mata itu bergerak-gerak ke kanan kiri, dan sinarnya tajam, bahkan mencorong ketika mengerling kepadanya. Seorang yang amat berbahaya, pikirnya. Sikapnya ketika menyambut Lui-ciangkun itu saja sudah menunjukkan kelicikannya.
Sikap itu membuat Lui-ciangkun nampak agak tersipu. Bagaimanapun juga, dia sendiri adalah seorang di antara sekian banyaknya petugas penting memiliki kedudukan yang pernah menikmati hadiah dari ketua Koai-liong-pang ini! Biarpun dia sendiri tidak pernah membantu perkumpulan itu berbuat kejahatan, namun selama ini dia memang, seperti para pembesar lain, agak memejamkan mata pura-pura tidak tahu apa yang telah mereka perbuat.
Akan tetapi, mengingat akan kemarahan dan perintah atasannya, apalagi di situ terdapat Thian-Ki sebagai saksi, dan mengingat pula bahwa orang yang nampak ramah dan baik ini adalah seorang kaki tangan pemberontak dan menjadi buronan kota raja, diapun memandang dengan bengis dan suaranyapun lantang dan tegas.
"Can Hong San, kami datang sebagai utusan pemerintah untuk menangkap engkau dan anak buahmu. Koai-liong-pang harus dibubarkan dan ditutup!"
Tentu saja Can Hong San menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan lantang itu. Seketika dia dapat menduga apa yang mungkin terjadi dan jantungnya berdebar keras. Tak salah lagi, pikirnya, setelah ditolong pemuda itu, tentu isterinya telah menceritakan segalanya tentang dirinya kepada pemuda itu, dan pemuda itu yang melapor kepada kepala daerah, maka kini pemerintah daerah mengirim pasukan untuk menangkapnya dan membubarkan perkumpulannya. Dia marah sekali, akan tetapi masih berusaha untuk membela diri dan berpura-pura kaget.
"Ahh, Lui-ciangkun. Apa alasannya? Bukankah selama ini perkumpulan kami bersahabat dengan pemerintah? Bukankah kami juga membantu mengamankan daerah ini dari gangguan penjahat? Kenapa tiba-tiba ciangkun hendak membubarkan Koai-liong-pang dan menangkap kami?"
Mendengar pertanyaan itu, Lui-ciangkun menjadi semakin tidak enak hati. Maka, dia menoleh kepada Thian Ki yang berdiri di sampingnya, lalu berkata lirih, "Coa-sicu, engkau saja yang menjelaskan kepadanya."
Thian Ki merasa khawatir kalau-kalau perwira atau komandan pasukan keamanan ini akan terdesak oleh ucapan ketua Koai-liong-pang itu, karena jelas kalah wibawa, maka dia melangkah maju dan berkata dengan suara lantang. "Can Hong San, pasukan pemerintah ini ditugaskan untuk menangkap kalian semua dan membubarkan Koai-1iong-pang karena engkau adalah bekas pemberontak yang menjadi orang buronan pemerintah. Lebih baik kalian menyerah dari pada harus dipergunakan kekerasan.
Can Hong San melotot, "Orang muda, siapa engkau yang begini lancang? Dan berani engkau melempar fitnah kepada kami? Lui-ciangkun, pemuda ini melontarkan fitnah keji! Kami berbaik dengan pemerintah dan membantu pemerintah, bagaimana dikatakan memberontak? Jahanam ini memfitnah! Jangan percaya kepadanya, Lui-ciangkun. Dialah pengacau yang seharusnya ditangkap, karena dia telah melarikan isteri saya! Nah, dengarlah baik-baik, Lui-ciangkun. Pemuda ini telah berjinah dengan isteri saya dan ketika kami hendak menangkapnya, dia melawan, melukai beberapa orang anggota kami, kemudian melarikan isteri saya!"
Tentu saja Lui-ciangkun terbelalak kaget dan kini memandang kepada Thian Ki penuh keraguan. Kalau benar apa yang dikatakan ketua Koai-liong-pang itu, berarti mereka semua telah dipermainkan pemuda asing ini! Dan pemuda ini memang datang menghadap kepala daerah bersama seorang wanita cantik, dan baru sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah isteri sang ketua ini. Pernah satu kali dia melihat wanita itu, ketika dia dan para pejabat lain di Sin-yang menghadiri sebuah pesta yang diselenggarakan oleh Koai-liong-pang.
"Ciangkun, saya akan menjawab semua itu. Penjahat yang satu ini memang licik sekali," kata Thian Ki melihat keraguan di mata komandan itu, lalu diapun berkata dengan lantang sehingga terdengar oleh semua anak buah Koai-liong-pang dan para perajurit yang mengepung tempat itu.
"Can Hong San, tidak perlu engkau bersilat lidah dan memutar-balikkan kenyataan! Ingatlah kami telah mengetahui semua rahasiamu. Belasan tahun yang lalu engkau sudah ditangkap dan dihukum oleh Kerajaan Sui sebagai seorang penjahat dan pemberontak. Setelah Kerajaan Tang berdiri engkau lolos dari penjara dan membantu Pangeran Cian Bu Ong melakukan pemberontakan, bahkan engkau dan kawan-kawanmu yang menyerbu dan membunuh para pendekar Hek-houw-pang yang membantu pemerintah. Setelah pemberontakan Pangeran Cian Bu Ong gagal, engkau berhasil menjadi pengawal pribadi Pangeran Tua Li Siu Ti yang memberontak pula dan yang dihancurkan oleh pemerintah. Akan tetapi engkau dapat lolos dan membentuk Koai-liong-pang di tempat ini. Dan engkau semakin jahat! Engkau dan anak buahmu menguasai semua tempat hiburan, memeras para pedagang, bahkan tidak segan menculik dan meraperkosa wanita, baik isteri orang maupun gadis. Dan isterimu sendiri bukan saja kau sia-siakan, kau siksa dan hina, bahkan engkau memberikannya kepada anak buahmu untuk dipermainkan. Ia melarikan diri dan di dalam hutan, ia mencoba untuk menggantung diri! Aku datang menyelamatkannya, lalu datang empat orang pembantumu yang kau suruh untuk mengejar dan menangkapnya, dan kau berikan isterimu itu kepada mereka. Aku melindungi nyonya itu dan mengalahkan orang-orangmu. Nah, masihkah engkau hendak menyangkal? Kalau engkau benar merasa difitnah dan tidak berdosa, menyerah sajalah agar Gan-taijin dapat mengirimmu ke kota raja dan di sana engkau akan diadili."
Mendengar tuduhan panjang dari pemuda itu wajah Can Hong San sebentar pucat sebentar merah. Bagaimana pemuda ini dapat mengetahui semua itu? Bahkan isterinya sendiri tidak tahu bahwa dia pernah membantu Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak! Kalau tentang sepak terjang Koai-liong-pang, tentu isterinya yang telah membocorkannya.
"Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu? Siapa engkau?" bentaknya marah.
"Namaku Coa Thian Ki dan ayahku menjadi seorang di antara korban di tanganmu ketika engkau dan kawan-kawanmu membantu Pangeran Cian Bu Ong dan menyerbu Hek-houw-pang di dusun Ta-bun-cung!"
"Kau... tentu isteriku yang telah mengkhianatiku. Aku harus membunuhnya, dan sebelum itu, aku akan membunuhmu lebih dulu!"
Karena sudah tidak melihat kemungkinan untuk menyangkal lagi. Can Hong San menjadi nekat dan diapun menerjang ke depan, mengirim serangan kilat. Karena sudah mendengar dari para pembantunya bahwa pemuda ini lihai sekali, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya yang dipakai untuk nama perkumpulannya, yaitu Koai-liong-kun (Silat Naga Setan). Tangan kirinya yang membentuk cakar naga itu menyambar dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawan, sedangkan tangan kanannya menyusul cepat mencengkeram ke arah dada dengan tenaga yang dikerahkan sepenuhnya.
Thian Ki mengenal jurus ampuh dan berbahaya, maka diapun cepat menarik kepala ke belakang dan menggeser kaki ke kiri, lalu tangan kanannya sendiri dengan jari terbuka dihantamkan menyambut cengkeraman tangan kanan lawan ke arah dadanya itu. Melihat pemuda itu berani menyambut tangan kanannya, Can Hong San khawatir kalau jari-jari tangannya tidak kuat menahan telapak tangan lawan, maka dia sudah mengepal jari-jarinya sehingga kini yang bertemu dengan telapak tangan Thian Ki adalah kepalan tangan kanannya.
"Wuuuuuuuutttt... desss...!!" Kepalan tangan kanan Can Hong San yang didorong tenaga sinkang amat kuat itu, yang dapat menjebolkan tembok, merobohkan pohon bahkan menghancurkan batu, kini bertumbuk pada telapak tangan Thian Ki yang tetap tidak mau mempergunakan kelebihannya, yaitu hawa beracun di tubuhnya.
Akibat benturan dua tenaga dahsyat itu, tubuh Can Hong San terdorong ke belakang sampai tiga langkah, sedangkan tubuh Thian Ki hanya bergoyang-goyang saja. Tentu saja hal ini membuat Can Hong San terkejut setengah mati. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda mampu menahan cengkeramannya, bahkan tangkisan itu dapat membuat dia sampai melangkah mundur sedangkan pemuda itu kuat tegak berdiri dan hanya bergoyang-goyang? Ini tidak mungkin!
Selama hidupnya, hanya beberapa orang saja yang mampu menandingi kekuatannya, yaitu para pendekar yang terkenal di dunia persilatan seperti Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng atau isterinya yang bernama Giok Cu, dan Pangeran Cian Bu Ong. Dengan perasaan penasaran dan marah, juga nekat karena dia telah tersudut dan akan ditangkap pasukan, dia mencabut pedangnya, pedang Koai-liong-kiam, dan tangan kiri mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya. Itulah senjatanya yang ampuh, pedang dan suling.
"Jahanam busuk, kau harus mampus di tanganku!" bentaknya sambil memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar dengan kedua lutut ditekuk, dan sepasang senjata itu bersilang di atas kepalanya, matanya mencorong menatap lawan.
Karena tahu bahwa lawannya lihai dan berbahaya. Thian Ki juga mengeluarkan pedangnya dan begitu pedang dicabut, nampak sinar hitam yang menyeramkan seolah pedang itu mengandung hawa dingin yang dahsyat. Itulah pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis), pedang berwarna Hitam milik ibunya yang diberikan kepadanya sebagai bekal ketika dia berangkat melaksanakan dua tugasnya.
Pertama, dia harus mencari orang-orang pandai untuk membersihkan darahnya agar dia dapat menikah tanpa membahayakan nyawa isterinya, dan kedua, dia harus mencari dan mendapatkan pedang pusaka Liong-cu-kiam seperti yang dikehendaki ayah tirinya atau gurunya. Kini Thian Ki juga memasang kuda-kuda berhadapan dengan Can Hong San, dan ingatannya mulai bekerja, perlahan-lahan terbayanglah semua peristiwa yang lalu, ketika dia masih kecil.
Lamat-lamat saja ia teringat betapa ketika dia masih kecil sekali, mungkin baru berusia empat tahun, dalam kamar mereka, yaitu kamar dia, ibu dan ayahnya, masuk seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang amat lihai. Penjahat cabul itu menyanderanya, dan dengan mengancam akan membunuhnya, memaksa ibunya menotok ayahnya sehingga tidak mampu bergerak, kemudian memaksa ibunya untuk melayaninya dan mau digaulinya!
Dalam keadaan yang amat gawat itu muncul Si Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng menyelamatkan ibunya dari aib dan ayahnya dari maut. Dan orang jahat cabul itu bukan lain adalah Can Hong San ini! Kemudian, ketika dia berusia lima enam tahun, dua tahun sesudah itu, ketika dia diajak ayah ibunya berkunjung ke Hek-houw-pang di Ta-bun-cung, dan perkumpulan itu diserbu oleh para pembantu Pangeran Cian Bu Ong, ayahnya tewas dan ibunya ditangkap pula oleh Can Hong San ini!
Semua itu kini membayang di benaknya, membuat sepasang mata Thian Ki mencorong. Biarpun kini ibunya menjadi isteri Cian Bu Ong yang ternyata merupakan seorang gagah perkasa dan yang selain menjadi ayah tirinya juga menjadi gurunya, namun tentu dia akan memilih kehidupan dahulu, bersama ayah kandungnya. Melihat pedang hitam di tangan pemuda itu, Hong San mengerutkan alisnya.
"Heii, bukankah itu pedang Ban-tok Hek-kiam? Pedang itu milik seorang wanita, puteri mendiang Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun). Apa hubunganmu dengan Sim Lan Ci?"
"Can Hong San, kejahatanmu bertumpuk sehingga engkau lupakan semua perbuatanmu yang terkutuk. Engkau membunuh ayahku ketika menyerbu Hek-houw-pang dan engkau menawan ibu kandungku dan aku. Sekarang, engkau harus menebus semua dosamu itu!"
Hong San terbelalak dan suaranya agak gemetar ketika dia bertanya, "Kau... kau... tok-tong (anak beracun) itu?"
Thian Ki tersenyum. "Biarpun dengan mudah aku dapat menggunakan hawa beracun untuk membunuhmu, akan tetapi aku tidak akan mempergunakannya. Aku akan menaklukkanmu dengan ilmu silat, bukan dengan racun. Majulah, manusia berhati iblis!"
Diam-diam Can Hong San gentar bukan main. Anak ini, dalam usia lima atau enam tahun, pernah membuat dia bergidik ngeri karena bocah yang belum mengenal ilmu silat itu telah menewaskan beberapa orang rekannya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menjadi tokoh-tokoh kang-ouw terkenal seperti Thio Ki Lok dan Gulana, dua orang di antara para pembantu Cian Bu Ong yang tewas oleh anak beracun ini, hanya karena Gulana digigit tengkuknya, dan Thio Ki Lok mencengkeram punggung anak itu.
Anak Beracun! Dalam usia lima enam tahun saja sudah mampu membunuh orang-orang yang tangguh, apalagi sekarang! Dan diapun teringat ketika mereka mengadu tangan tadi, betapa dia terdorong ke belakang oleh kekuatan yang amat dahsyat. Can Hong San gentar dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya.
"Serbu...!"
Anak buah Koai-liong-pang mencabut senjata dan dengan nekat mereka menerjang maju, disambut oleh Lui-ciangkun yang menggerakkan pasukannya. Terjadilah pertempuran berat sebelah karena pihak pasukan sepuluh kali lebih banyak dibandingkan anak buah Koai-liong-pang. Biarpun para anggota itu merupakan jagoan-jagoan pilihan, namun tiap orang dikeroyok sepuluh, bagaimana mungkin mereka akan mampu bertahan.
Sementara itu, Can Hong San sudah bertanding melawan Thian Ki. Pedang dan suling di tangan Hong San mengamuk, suara pedangnya bercuitan, suara sulingnya berdengung-dengung.
Memang hebat sekali ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Hong San telah memiliki ilmu yang matang. Namun, sekali ini dia terkejut bukan main. Tubuh lawannya tidak nampak, yang nampak hanya gulungan sinar hitam yang berdesing-desing, seolah-olah ribuan lebah yang menyerangnya. Ketika Hong San melihat betapa para anak buahnya mulai berjatuhan, dia merasa gentar sekali.
Baru belasan jurus saja dia bertanding melawan Thian Ki, dia maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tanpa mempergunakan hawa beracun di tubuhnya sekalipun, pemuda itu merupakan lawan yang amat berbahaya dan amat sukarlah baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kalau sampai para perajurit mengepung ketat dan dia harus menandingi pemuda ini, dia akan celaka dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meloloskan diri.
"Hyaattttt...!!" Dia menyerang dengan pedangnya , membabat ke arah kedua kaki Thian Ki sambil menggulingkan diri di atas tanah. Thian Ki meloncat ke belakang, dan sebatang suling dengan kecepatan seperti anak panah, meluncur ke arah dadanya dari jarak dekat. Itulah suling di tangan kiri Hong San yang dilontarkan dengan pengerahan tenaga.
"Trakkkk !!" Suling itu patah-patah bertemu dengan pedang hitam di tangan Thian Ki. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hong San untuk melompat dari medan pertempuran yang sedang berlangsung. Thian Ki mengejar, akan tetapi lawannya itu menyelinap dan hilang di dalam keadaan yang sedang kacau itu.
Hong San terus berlari sambil membabat siapa saja yang menghalanginya. Banyak perajurit berjatuhan ketika Can Hong San membuka jalan darah mencari kebebasan, dan akhirnya dia dapat melarikan diri dari tempat itu, terus berlari ke luar kota Sin-yang. Hal ini mudah dia lakukan karena penduduk kota sedang ketakutan dan kacau karena adanya penyerbuan pasukan ke pusat Koai-liong-pang.
Melihat Can Hong San melarikan diri, Thian Ki tidak mau membiarkan begitu saja, diapun melakukan pengejaran. Biarpun agak terlambat, namun dapat memperoleh keterangan dan menemukan jejak lawan yang melarikan diri ke luar kota melalui pintu gerbang selatan. Thian Ki segera melakukan pengejaran. Sebelah selatan Sin-yang merupakan daerah tandus yang jarang ditempati orang, maka jalan menuju ke selatan selain buruk dan tidak terpelihara, juga sunyi dan berbukit-bukit, namun tanahnya agak tandus mengandung kapur.
Akan tetapi, setelah keluar kota, tidak nampak seorangpun dan sudah setengah jam dia mengejar, tidak nampak ada orang lewat. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat tiga orang laki-laki yang berpakaian seperti petani, berlari-lari dari depan. Mereka kelihatan ketakutan.
"Paman, ada apakah? Kalian kelihatan ketakutan!" kata Thian Ki.
"Di sana ada orang berkelahi. Seorang laki-laki melawan seorang wanita. Kami takut terbawa-bawa, maka kami melarikan diri."
Mendengar keterangan itu, Thian Ki meloncat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja tiga orang petani sederhana itu menjadi semakin ketakutan dan mereka berlari tunggang langgang menuju kota Sin-yang. Belum jauh Thian Ki berlari cepat, di sebuah tikungan dia melihat dua orang yang sedang berkelahi dengan serunya. Yang seorang jelas adalah Can Hong San, yang kini hanya menggunakan pedangnya, karena sulingnya tadi telah dia pergunakan untuk menyerang Thian Ki dengan sambitan.
Akan tetapi ketika Thian Ki melihat siapa yang menjadi lawan Hong San, dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang. Lawan itu seorang wanita, seorang gadis yang mempergunakan sebatang pedang bersinar hijau dan yang gerakannya tangkas dan dahsyat, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas pergelangan.
"Cin Cin...!" Thian Ki menahan teriakan hatinya ketika mengenal gadis itu. Dia termangu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pertandingan antara kedua orang itu seru dan yang membuat dia tertegun dan heran adalah ketika melihat betapa gerakan kedua orang itu sama! Mereka jelas memainkan satu macam ilmu pedang yang sama, bahkan gulungan sinar pedang sama, yaitu sama-sama hijau.
Bagaimana Cin Cin dapat berkelahi dengan Hong San di tempat itu? Ketika tadi Can Hong San berhasil keluar dari pintu gerbang kota Sin-yang, dia merasa lega karena tidak terkejar Thian Ki. Akan tetapi di samping kelegaan hati bahwa dia dapat meloloskan diri, tentu saja terdapat kemarahan, penasaran dan kesedihan. Dia telah mendapatkan kedudukan yang lumayan, hidupnya sudah enak dan mewah, biarpun tidak seperti dulu ketika menjadi pembantu Pangeran Tua.
Akan tetapi sekarang dia kehilangan segala-galanya, isterinya yang sudah membosankannya, selir-selir yang banyak, harta bendanya, perkumpulannya, kehilangan teman dan penghibur hidupnya, kehilangan harta bendanya, kehilangan kedudukannya. Semua itu gara-gara si anak beracun! Dan teringat betapa munculnya pemuda itu karena ulah Li Ai Yin, dia merasa menyesal mengapa tidak dulu-dulu dia melenyapkan wanita yang sudah tidak ada gunanya baginya itu.
Hatinya lega ketika tiba di luar kota, di tempat sunyi, dan tiba-tiba saja wajahnya berseri-seri ketika dia melihat seorang wanita berjalan dari depan. Makin dekat, semakin berseri wajahnya dan lupalah dia akan semua kehilangannya, karena gadis itu ternyata cantik jelita, manis bukan kepalang! Ah, agaknya para dewa telah menolongnya, mengantarkan seorang penghibur kepadanya.
Wanita itu akan menjadi penghiburnya, menggantikan semua kehilangannya. Wanita itu seorang gadis muda, usianya kurang lebih duapuluh satu tahun, berjalan seperti melamun dan tangan kirinya dimasukkan ke dalam baju, tangan kanan melenggang perlahan dan seolah ia tidak melihat Can Hong San.
"Aih, nona manis, kenapa berjalan seorang diri di tempat yang sunyi ini, dan kenapa pula melamun? Engkau masih muda dan cantik jelita, masa depanmu cerah, kenapa membiarkan diri tenggelam ke dalam lamunan duka?" Hong San berkata dengan gayanya yang memang menarik.
Gadis itu adalah Cin Cin! Mendengar ucapan yang merayu itu akan tetapi tidak kasar, dengan kata-kata lembut, ia mengangkat muka memandang dan hatinya semakin tertarik melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki yang jantan gagah dan tampan, dan usianya empatpuluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak muda dan menarik. Hanya saja, pandang matanya itu mengandung cahaya yang aneh dan sekali pandang saja Cin Cin tahu bahwa ia berhadapan dengan orang yang mempunyai wibawa dan kekuatan.
"Paman, kenapa engkau usil menegur seorang gadis yang berjalan seorang diri di tengah jalan? Apakah engkau hendak kurang ajar?"
Can Hong San tertawa. "Ha-ha, jangan khawatir, nona. Aku Can Hong San bukan laki-laki yang kurang ajar kepada wanita! Aku bahkan selalu ingin menyenangkan seorang wanita cantik sepertimu ini dan..."
Hong San tidak melanjutkan rayuannya karena melihat betapa gadis itu tiba-tiba saja memandang dengan sinar mata mencorong, bahkan begitu tangan kanannya bergerak, gadis itu telah mencabut sebatang pedang dan nampak sinar hijau berkelebat. Melihat pedang itu, mata Can Hong San semakin terbelalak lebar.
"Engkau bernama Can Hong San, putera mendiang Cui-beng Sai-kong?" tanya Cin Cin dengan suara lantang.
Hong San tertegun. Jarang ada orang yang mengetahui bahwa mendiang ayahnya bernama atau berjuluk Cui Beng Sai-kong, akan tetapi gadis ini anehnya mengetahui hal itu! Dan ketika gadis itu bergerak tadi, tangan kirinya juga keluar dari dalam baju dan ternyata bahwa tangan itu buntung sebatas pergelangan! Melihat tangan kiri buntung itu, makin yakin hati Hong San bahwa dia belum pernah bertemu dengan gadis ini dan sama sekali tak mengenalnya.
Akan tetapi, menghadapi seorang gadis yang buntung tangan kirinya, tentu saja dia tidak takut sama sekali. Bahkan hatinya makin tertarik, karena biarpun tangan kiri gadis itu buntung, hal itu tidak terlalu mengurangi daya tariknya, bahkan menambah titik menyentuh perasaan mendatangkan iba dan memperdalam kasih sayang. Apalagi gadis itu memegang pedang yang membuat dia terkejut dan terheran-heran.
"Benar sekali, nona. Siapakah nona dan bagaimana dapat mengetahui julukan ayahku?"
"Bagus! Can Hong San, bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku. Aku Kam Cin, sengaja mencarimu untuk membunuhmu!"
"Eh, nanti dulu, nona manis. Boleh saja engkau membunuhku, akan tetapi katakan dulu apakah alasannya, agar kalau aku mati di tanganmu, aku tidak akan menjadi setan penasaran."
"Ada dua hal yang membuat aku bertekad untuk membunuhmu. Pertama, karena engkau merupakan seorang penjahat keji yang pernah membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang di Ta-bun-cung. Aku adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang terbunuh dalam penyerbuan kejam itu. Dan ke dua, aku mentaati perintah guruku untuk membunuhmu karena engkau telah membunuh suhengnya, yaitu ayahmu sendiri."
"Gurumu adik seperguruan mendiang ayahku? Ahhh... jadi engkau ini agaknya murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan? Pantas engkau memegang sebatang Koai-liong-kiam! Ha-ha-ha, mari kita bertaruh. Kalau aku kalah olehmu, tentu saja engkau akan membunuhku. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku sebagai kekasihku, sampai aku merasa bosan kepadamu!"
Kedua pipi Cin Cin menjadi merah sekali dan matanya mencorong. "Jahanam busuk, engkau layak mati seribu kali!" dan ia pun sudah menyerang dengan pedangnya sehingga nampak sinar hijau meluncur cepat.
Hong San meloncat ke belakang dan di lain saat, dia sudah mencabut pedangnya yang berbentuk persis sama dengan pedang di tangan Cin Cin, juga ketika dia gerakkan, mengeluarkan sinar kehijauan. Memang pedang itu sama. Mendiang Cui-beng Sai-kong Can Siok, selain lihai ilmu silatnya dan pendiri Thian-te Kwi-ong yang disembah-sembah, juga seorang ahli pembuat pedang. Dialah yang membuat pedang Koai-liong-kiam untuk sumoinya dan sebatang lagi untuk puteranya. Maka, setelah Cin Cin dan Hong San bertemu dan bertanding, keduanya menggunakan pedang yang sama segala-galanya, karena memang merupakan pedang kembar buatan mendiang Cui-beng Sai-kong.
Ketika Hong San menggerakkan pedangnya, maka ilmu pedang merekapun sama. Tentu saja perkelahian mati-matian itu nampak seperti latihan saja, karena keduanya mempergunakan ilmu pedang yang sama. Hanya, Hong San lebih matang karena lebih berpengalaman, juga dia memiliki tenaga sin-kang yang agak lebih unggul, sehingga setelah mereka bertanding mati-matian selama limapuluh jurus, Cin Cin mulai terdesak.
Pada saat itulah Thian Ki tiba dan pemuda ini menyelinap dan mendekati kedua orang yang bertanding itu, mengintai dari belakang semak-semak yang terdekat. Dia melihat betapa Cin Cin terdesak, akan tetapi dia masih ragu-ragu. Kalau dia keluar membantu, apakah gadis itu tidak akan bertambah marah dan benci kepadanya?
Akan tetapi, tiba-tiba Hong San memperkuat serangannya dan hampir saja leher gadis itu tertusuk pedang. Cin Cin masih dapat mengelak ke samping, akan tetapi karena sanggul rambutnya terlepas, sebagian ujung rambutnya terbabat pedang dan berhamburan! Hong San tertawa dan mendesak, bermaksud menawan gadis itu hidup-hidup. Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Thian Ki telah menyerangnya dari samping sambil berseru,
"Can Hong San iblis jahat!"
Hong San kaget setengah mati. Tak disangkanya pemuda beracun yang ditakutinya itu dapat muncul begitu tiba-tiba. Sinar hitam Cui-mo Hek-kiam menyambar dahsyat dan Hong San terpaksa menjatuhkan diri ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi pedang di tangan Cin Cin sudah menyambutnya dengan cepat sekali.
"Wuuuttt... crakkk!" Hong San berteriak kesakitan dan tangan kirinya buntung sebatas siku!
Karena rasa nyeri yang luar biasa, Hong San menjadi marah. Terdengar suara tangis dari kerongkongannya dan diapun menubruk dengan pedangnya, menyerang Cin Cin seperti orang gila.
"Trangg...!!" Cin Cin menangkis dan gadis ini terhuyung ke belakang. Dalam keadaan marah dan nekat itu, agaknya tenaga Hong San bertambah kuat. Kini Hong San tertawa bergelak. Dia sudah menjadi gila, hal yang memang agaknya sejak dahulu telah mencengkeram batinnya. Sejak muda, Hong San memang memiliki kelainan, wataknya berubah-ubah, kadang seperti pendekar, kadang teramat kejam, kadang mudah menangis dan tertawa. Kalau dia seorang yang berbatin normal, kiranya tidak mungkin dia membunuh ayah kandungnya sendiri!
Kini, setelah tertawa bergelak. Hong San kembali menyerang Cin Cin. Dia tidak memperdulikan lengan kiri yang buntung sebatas siku dan yang masih bercucuran darah. Gerakan tubuhnya membuat darah itu berceceran dan menyambar ke mana-mana, membuat Cin Cin merasa ngeri dan meloncat terus ke belakang, terdesak. Kembali Thian Ki maju membantu. Sebuah dorongan tangan kirinya membuat Hong San terhuyung ke samping dan kesempatan ini dipergunakan Cin Cin untuk menggerakkan lagi pedangnya.
"Singggg... cappp!" Pedangnya sekali ini terbenam ke dalam lambung Hong San, akan tetapi cepat gadis itu mencabut pedangnya kembali dan meloncat ke belakang karena Hong San dengan nekat, seolah tidak merasakan bahwa lambungnya sudah ditembus pedang gadis itu, dia menubruk dan mengayunkan pedangnya ke arah Cin Cin.
Melihat Cin Cin mundur, Hong San hendak mengejar, akan tetapi mendadak dia terkulai. Darah bercucuran dari lambung dan siku kiri yang buntung. Dia menggelepar seperti ayam disembelih dan tak lama kemudian diapun tewas dengan mata terbelalak. Thian Ki menghampiri mayat itu, menggunakan jari tangan untuk menutupkan kedua mata yang terbelalak dan diapun bangkit berdiri lagi, memandang kepada Cin Cin, lalu memandang kepada mayat itu dan menghela napas panjang.
"Cin Cin..." katanya lirih karena dia masih gelisah sekali kalau-kalau gadis itu masih marah dan semakin marah kepadanya.
Cin Cin menatap wajah Thian Ki, sinar mata itu mencorong dan mengandung kemarahan. "Kau...? Kenapa engkau membantuku? Aku tidak butuh bantuanmu dan tidak minta kau bantu!" suaranya terdengar ketus.
"Maaf, Cin Cin, aku tidak membantumu, hanya..."
"Cukup! Sudah jelas bahwa engkau tadi menyerangnya dan karena seranganmu maka aku berhasil membunuhnya. Kalau engkau tidak membantu, mungkin aku yang menggeletak mati. bukan dia. Akan tetapi, aku lebih senang mati di tangannya daripada menang karena bantuanmu. Engkau membuntungi tanganku, sekarang bahkan datang untuk menghinaku dengan bantuanmu!"
Gadis itu marah sekali dan suaranya menggetar, mengandungi tangis. Thian Ki memandang dengan penuh iba, diapun menundukkan muka dengan sedih...