"Engkau tentu tahu bahwa aku tidak sengaja membuntungi tanganmu, melainkan untuk mencegah engkau mati keracunan, dan sekarangpun aku bukan datang sengaja membantumu. Akan tetapi, kalau engkau merasa sakit hati, kalau engkau tetap menganggap aku bersalah, akupun rela menerima pembalasanmu, Cin Cin. Aku... demi Tuhan, aku merasa menyesal sekali mengenai peristiwa itu, aku menyebabkan engkau kehilangan tangan kiri. Aku menyesal sekali dan engkau boleh menghukumku untuk itu..."
"Coa Thian Ki, engkau tentu tahu, hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa. Engkau berhutang tangan kepadaku, harus membayar dengan tangan kirimu pula!" Gadis itu mengamangkan pedangnya, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tergetar dan wajahnya nampak pucat.
Thian Ki tersenyum sedih. Setelah kini dia berhadapan dengan Cin Cin, dia semakin yakin bahwa dia mencinta gadis ini! Dia rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan gadis ini. Entah mengapa, ada sesuatu pada diri Cin Cin yang amat menarik hatinya, mempesonakan, menimbulkan rasa sayang, iba dan haru. Diapun menjulurkan lengan kirinya ke depan, berkata lembut.
"Silakan, Cin Cin. Kalau itu yang kau kehendaki, ini tangan kiriku!" katanya dengan sikap tenang dan suaranya yang lembut itu mengandung kesungguhan dan ketegasan.
Sejenak Cin Cin memandang nanar ke arah tangan yang dijulurkan itu, tidak percaya bahwa pemuda itu begitu saja menyerahkan tangannya untuk dibuntungi! Ia mengeluarkan suara aneh, seperti isak tertahan di kerongkongannya, lalu diangkatnya pedangnya ke atas, dan kini ia menatap wajah Thian Ki, seolah hendak bertanya apakah pemuda itu benar-benar rela tangannya ia buntungi dan ia melihat Thian Ki tersenyum rela.
Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga dan membacokkan pedangnya ke arah pergelangan tangan kiri Thian Ki yang sudah dijulurkan. Akan tetapi sebelum pedang itu menyambar turun, ia mengeluh, gemetar pedangnya terlepas dan tangan kanannya memegang pundak kiri, dan Cin Cin terhuyung dan terkulai, tentu akan roboh kalau saja Thian Ki tidak cepat menahan dan merangkul punggungnya.
"Cin Cin, kau kenapakah...?" Dengan khawatir Thian Ki lalu membantu gadis itu rebah di atas rumput. Cin Cin menyeringai menahan rasa nyeri dan ia merintih dalam keadaan setengah sadar.
Melihat gadis itu menggeliat dan merintih, dan tangan kanannya memegangi pundak kiri, Thian Ki khawatir sekali. Apakah racun dari tubuhnya dahulu masih juga menjalar naik dari lengan? Tanpa banyak membuang waktu lagi, dia lalu merobek sedikit baju di bagian pundak kanan gadis itu untuk memeriksanya. Dan di sana, di depan tulang pundak, nampak ada titik hitam kebiruan sebesar ibu jari!
Bukan, bukan karena racun tubuhnya, dia berpikir. Pula, kalau yang bekerja itu racun dari tubuhnya, tentu tidak sampai selama ini gadis itu bertahan hidup. Dia memeriksa lebih teliti dan mengerti bahwa gadis itu telah terkena totokan jari beracun yang cukup ganas.
"Cin Cin, engkau terluka!" katanya, akan tetapi Cin Cin tidak menjawab. Gadis itu telah pingsan.
Kebetulan malah, pikir Thian Ki. Kalau Cin Cin dalam keadaan sadar, gadis yang masih marah dan sakit hati kepadanya itu, tentu tidak mau dia obati! Kini, dalam keadaan pingsan, gadis itu tentu tidak tahu apa yang terjadi dan dia dapat cepat mencoba untuk menghilangkan pengaruh totokan beracun itu. Tentu ketika tadi berkelahi melawan Can Hong San, gadis itu telah terkena totokan Hong San yang lihai dan menderita luka dalam keracunan.
Thian Ki membuka kancing baju Cin Cin, dengan hati-hati menyingkap bagian pundak, menjaga jangan sampai dia menyingkap bagian dada sehingga titik hitam di depan tulang pundak itu nampak nyata sekali pada kulit yang putih kuning mulus itu. Lalu sambil duduk bersila di dekat tubuh Cin Cin, dia mengerahkan sin-kang, menempelkan telapak tangan kirinya di bawah titik hitam, lalu jari tangan kanannya mengurut di seputar titik yang semakin lama semakin membesar, namun warnan hitamnya menjadi pucat.
Kemudian dia menempelkan telapak tangan kanan tepat di atas titik yang membesar itu, dan mengerahkan tenaga sin-kang utnuk menyedot hawa beracun. Karena tubuhnya sendiri merupakan sumber racun, maka dengan mudah racun dari Cin Cin dapat tersedot keluar, seperti air yang terjun ke dalam telaga. Penambahan sedikit hawa beracun dari pundak Cin Cin itu tidak ada artinya bagi Thian Ki. Cin Cin mengeluh dan membuka mata. Ia berseru kaget dan bangkit sambil menggerakkan tangan menampar ke arah muka Thian Ki yang tidak mengelak.
"Plakkk!!" Pipi kiri Thian Ki terkena tamparan tangan Cin Cin, demikian kerasnya tamparan itu sampai membuat Thian Ki terpelanting dan ketika dia bangkit berdiri, pipi kirinya membengkak merah kebiruan! Dia melihat betapa Cin Cin sudah mengancingkan lagi bajunya dan wajah gadis itu merah sekali, matanya berapi-api.
"Jahanam busuk kau, Thian Ki! Tak kusangka bahwa putera mendiang Paman Coa Siang Lee dan Bibi Sim Lan Ci menjadi seorang berhati keji, kotor dan hina seperti engkau! Aku dalam keadaan pingsan dan engkau berani berbuat hina dan kurang ajar kepadaku? Alangkah rendahnya..."
"Tenanglah, Cin Cin. Tenanglah karena kemarahan membuat engkau tidak mampu mempertimbangkan dengan baik. Aku sama sekali tidak melakukan kesesatan, sama sekali tidak bermaksud rendah dan keji, melainkan terpaksa melakukan hal itu..."
"Thian Ki! Dahulu ketika membuntungi tanganku, engkau memakai alasan bahwa aku keracunan dan engkau terpaksa membuntungi tangan kiriku. Sekarang, alasan apalagi yang akan kau kemukakan sehingga engkau terpaksa membuka kancing bajuku dan meraba... melakukan kekurangajaran seperti tadi?"
"Dengarlah baik-baik. Engkau tadi hendak membuntungi tangan kiriku sebagai hukuman, lalu tiba-tiba engkau roboh dan memegangi pundak kirimu, lalu pingsan, bukan? Nah, ketika aku memeriksamu, ternyata memang engkau keracunan, di pundak kirimu. Aku terpaksa membuka kancing bajumu bagian atas untuk dapat mengobatimu. Sekarang, racun itu telah lenyap, dan sebagai upah pengobatanku, engkau malah menamparku dan memaki, menuduh yang bukan-bukan. Rabalah pundakmu, tentu sudah tidak terasa lagi kenyerian tadi."
Cin Cin menggunakan jari tangan kanannya untuk meraba pundak kirinya. Tadi memang amat nyeri di sana, akan tetapi sekarang sudah tidak lagi. Ia meragu. Agaknya pemuda itu tidak berbohong dan sekarang ia teringat bahwa tadi ketika ia berkelahi melawan Can Hong San, ia memang terkena totokan jari tangan kiri musuh itu, yang mula-mula tidak terasa terlalu nyeri, akan tetapi tadi ketika ia hendak membuntungi tangan kiri Thian Ki, tiba-tiba pundak itu terasa nyeri bukan main sampai menusuk ke jantung dan kepala.
"Nah, sekarang engkau baru percaya, bukan. Atau engkau masih tidak percaya? Kalau begitu boleh kau lakukan apa saja untuk melampiaskan dendammu kepadaku, Cin Cin. Kalau tamparan ini masih belum cukup, boleh kau lakukan apa saja. Nah, ini kedua tanganku yang tadi menyedot hawa beracun dari pundakmu," Thian Ki menjulurkan kedua tangannya ke arah Cin Cin.
Cin Cin memandang ke arah kedua tangan itu, lalu mengangkat pandang matanya, menatap wajah Thian Ki. Dua pasang mata bertemu dan bertautan dan perlahan-lahan, kedua mata Cin Cin menjadi basah. Lalu Cin Cin menundukkan mukanya dan suaranya terdengar lirih berbisik ketika ia berkata, "Maafkan aku..."
Wajah Thian Ki berseri. Mendengar gadis itu minta maaf, berarti menyadari kesalahannya, mendatangkan perasaan yang amat berbahagia didalam hatinya. Sikap gadi itu membuktikan bahwa perkiraannya benar.
Cin Cin, biar telah mempelajari ilmu dari guru yang sesat, terbukti bahwa ilmu pedangnya, bahkan pedangnya juga sama dengan ilmu pedang dan pedang Can Hong San, namun ternyata gadis itu hanya mewarisi kegalakan dan kekerasan saja, namun pada dasarnya masih memiliki kegagahan dan pribadi luhur sehingga berani mengakui kesalahan.
"Tidak Cin Cin, engkau tidak bersalah dan tidak ada yang dapat dimaafkan. Akulah yang bersalah, dan aku minta maaf padamu. Karena kecerobohanku, engkau menderita, dan aku hanya menimbulkan prasangka dan kesan buruk saja kepadamu."
"Thian Ki, aku memusuhi ayah tirimu, dan sekarang, baru saja aku membalas pertolonganmu dengan tamparan dan kata-kata keji. Kenapa engkau masih bersikap baik kepadaku? Kenapa engkau begitu baik kepadaku?" sepasang mata itu kini mengamati wajah Thian Ki penuh selidik.
Thian Ki tersenyum. "Aih, Cin Cin. Andaikata engkau bukan Cin Cin puteri mendiang paman Kam Seng Hin, andaikata di antara kita tidak ada hubungan apapun sejak kecil, aku tetap akan menolongmu. Bukankah menolong siapa saja yang terancam bahaya merupakan kewajiban kita sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat?"
"Ibuku pernah mengatakan bahwa mungkin engkau menjadi anak beracun karena nenekmu, yaitu mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Benarkah engkau menjadi tok-tong (anak beracun)?"
"Ibumu memang bijaksana dan pandai, dugaannya tepat. Memang aku telah dibuat menjadi tok-tong oleh mendiang nenekku, diluar pengetahuanku ketika aku masih kecil. Karena itulah, ketika engkau mencengkeram pundakku, tanpa dapat kucegah lagi, engkau keracunan pada tangan kirimu. Ketika hal itu terjadi, aku sama sekali tidak berdaya mencegahnya, Cin Cin."
"Hemm, sudahlah, jangan bicara lagi tentang hal itu. Tadi kau mengatakan bahwa engkau membantuku melawan Can Hong San juga bukan sengaja membantu, apa maksudmu?"
"Aku memang sedang mengejarnya. Dia merupakan seorang pelarian, karena tadi pasukan keamanan Sin-yang sedang menyerbu perkumpulan Koai-liong-pang yang didirikan oleh Can Hong San ini. Dia berhasil melarikan diri, maka aku mengejarnya dan melihat dia berkelahi denganmu di sini."
Dengan singkat Thian Ki bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan Li Ai Yin dan tentang Hong San, didengarkan penuh perhatian oleh Cin Cin. Gadis itu lalu memandang ke arah mayat Can Hong San, dalam hati merasa puas karena tugas yang diperintahkan subonya telah berhasil ia laksanakan, yaitu membunuh Can Hong San seperti yang dikehendaki ibunya.
"Hemm, hatiku puas sudah, tugas pertamaku sudah dapat terlaksana..." ia menoleh ke arah Thian Ki. "...hei, apa yang sedang kau lakukan itu?" tanyanya melihat Thian Ki mempergunakan pedangnya untuk menggali tanah.
"Aku menggali tanah untuk mengubur jenazah Can Hong San."
"Hemm, orang sejahat itu!" cela Cin Cin.
"Dia ikut menjadi sebab kematian ayahku dan hancurnya Hek-houw-pang, dia bahkan membunuh ayahnya sendiri!"
Thian Ki menghela napas panjang. "Memang, ketika hidupnya dia telah tersesat, menjadi hamba dari nafsu-nafsu rendah. Ayah kandungku juga tewas di tangannya dan aku melihat dia melakukan banyak kejahatan. Akan tetapi itu terjadi ketika dia masih hidup. Sekarang dia sudah mati, mengubur mayat sendiripun tidak mampu. Tidak sampai hatiku membiarkan mayatnya terlantar."
Dia melanjutkan pekerjaaannya. Sejenak Cin Cin hanya menonton saja, akan tetapi mendadak ia mengambil pedang yang tadi terlepas dari tangan Can Hong San, lalu membantu Thian Ki menggali tanah dengan pedang itu! Thian Ki diam saja, kalau bicara khawatir menyinggung, akan tetapi diam-diam dia merasa gembira sekali. Ini masih Cin Cin yang dahulu, seorang anak yang pada dasarnya memiliki watak yang baik.
Dia masih ingat ketika berkunjung ke Hek-houw-pang dulu, Cin Cin adalah seorang anak yang lincah jenaka, periang, tabah dan pandai bicara. Kalau sekarang ia nampak begitu dingin, keras dan pendiam, tentu karena gemblengan gurunya, seorang datuk sesat, dan mungkin ditambah lagi karena terbuntungnya tangan kirinya. Kasihan sekali! Aku akan mencoba untuk membahagiakanmu, Cin Cin, bisik hatinya, mengembalikan seperti dahulu!
Setelah selesai menguburkan jenazah itu secara sederhana, Cin Cin menyimpan pedang Koai-liong-kiam milik Can Hong San. Akan ia kembalikan kepada gurunya, katanya kepada Thian Ki. Mereka lalu mengaso, duduk di bawah sebatang pohon dimana terdapat sumber air yang menjadikan sungai kecil yang airnya jernih, dimana tadi mereka mencuci tangan dan muka setelah tangan mereka berlepotan tanah.
Thian Ki semakin terharu melihat cara Cin Cin mencuci tangan kanannya, menggosok-gosokkan jari tangan itu kepada rumput dan ilalang di dekat sumber air. Ingin sekali dia menolong membersihkan tangan itu, akan tetapi dia tidak berani, takut kalau-kalau hal itu akan membuat Cin Cin tersinggung dan teringat akan kebuntungan tangan kirinya. Mereka duduk berhadapan, duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah, saling berhadapan.
"Thian Ki, sekarang aku ingin mendengarkan pengalamanmu sejak kita dipisahkan oleh penyerbuan ke Ta-bun-cung itu," kata Cin Cin yang agaknya sudah dapat menghapus rasa benci dan dendam kepada Thian Ki.
Thian Ki menceritakan semua pengalamannya, mulai dari malam penyerbuan itu, dimana tanpa sengaja dia telah menewaskan dua orang penyerbu dengan keadaan tubuhnya yang beracun, betapa kemudian dia dan ibunya ditawan dan dilarikan oleh Can Hong San dan Gan Lui, yang menjadi pembantu Cian Bu Ong dan diserahkan kepada bekas pangeran itu.
Kemudian diceritakannya pula dengan jelas untuk menghapus salah sangka gadis itu terhadap ibunya, kenapa ibunya akhirnya menjadi isteri Cian Bu Ong dan dia menjadi anak tiri dan juga murid. Tentu saja dia tidak menceritakan bahwa dia telah ditentukan menjadi calon suami Cian Kui Eng, saudara tiri dan juga adik seperguruannya.
Cin Cin mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menyela, akan tetapi setelah Thian Ki selesai bercerita, ia berkata penasaran, "Aku merasa heran sekali kenapa bibi Sim Lan Ci yang dahulu kuanggap sebagai seorang wanita bijaksana dan gagah perkasa, mau menjadi isteri Cian Bu Ong, padahal bukankah Cian Bu Ong yang menjadi biang keladi kehancuran Hek-houw-pang dan menewskan ayah kita?"
"Akupun tadinya merasa penasaran, akan tetapi setelah mengetahui segalanya dengan jelas, aku tidak dapat menyalahkan ibu. Ayah telah meninggal dunia, dan ibu menjadi janda. Cian Bu Ong adalah seorang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan bijaksana. Memang tidak dapat disangkal bahwa dia yang menyuruh para pembantunya untuk menyerbu Hek-houw-pang, akan tetapi hal itu ada alasannya yang amat kuat. Dia adalah seorang pangeran Kerajaan Sui yang digulingkan oleh Li Si Bin yang kemudian mendirikan kerajaan Tang. Tentu saja dalam pandangan Cian Bu Ong, kerajaan Tang adalah kerajaan yang dibangun oleh pemberontak kerajaan Sui. Karena itu, sudah jamak kalau ia berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Sui dan memusuhi kerajaan Tang. Kemudian dia mendengar bahwa Hek-houw-pang adalah sebuah perkumpulan yang mendukung kerajaan Tang, maka tentu saja dia menganggap Hek-houw-pang sebagai musuhnya dan menyuruh para pembantunya melakukan penyerbuan. Dia bukan orang jahat, Cin Cin. Dia hanya menjadi korban dari perang, korban keadaan yang menjadikan dia seperti itu. Nah, sekarnag kuharap engkau suka menceritakan pengalamanmu sejak malam itu."
Cin Cin menghela napas. Wajahnya yang cantik itu menjadi muram dan sampai beberapa saat lamanya ia tidak bicara. Akan tetapi Thian Ki tidak mendesak, hanya menanti dan akhirnya Cin Cin menceritakan semua yang dialaminya. Ia menceritakan betapa ayahnya tewas dan ibunya lenyap dilarikan penyerbu. Kemudian betapa ia, oleh kakeknya dikirim ke dusun Hong-cun untuk menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng, dan kepergiannya diantar oleh paman gurunya, yaitu Lai Kun.
Betapa di dalam perjalanan ia dijual oleh Lai Kun kepada seorang mucikari dan betapa ia disiksa dan dipaksa untuk belajar segala macam kesenian, dipersiapkan untuk kelak menjadi seorang pelacur kalau sudah dewasa. Betapa kemudian ia berhasil melarikan diri dan dikejar tukang-tukang pukul, akan tetapi ia ditolong oleh Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan dan menjadi muridnya.
"Begitulah, aku mempelajari segala macam ilmu dari su-bo, kemudian su-bo memberi tugas kepadaku, yaitu untuk mencari Can Hong San dan membunuhnya, karena Can Hong San telah membunuh ayahnya sendiri, Cui-beng Sai-kong Can Slok, yang menjadi suheng dari su-bo. Dan juga agar aku membunuh Cian Bu Ong, karena bekas pangeran itu telah menghancurkan kehidupan subo dengan menyia-nyiakan dan mengkhianati cinta mereka. Akan tetapi, usahaku membunuh Cian Bu Ong gagal karena engkau Thian Ki, dan usahaku membunuh Can Hong San berhasil karena engkau pula. Inilah nasib..." gadis itu termenung.
Thian Ki menghela napas. Dia takkan pernah bebas dari penyesalan kalau mengingat akan buntungnya tangan Cin Cin karena dia itu. "Dan engkau belum bertemu ibumu?"
Cin Cin mengerutkan alisnya dan cemberut. "Sudah, dan itulah yang membuat hatiku jengkel, biarpun sekarang aku sudah mengerti mengapa ibuku menikah lagi dengan dia!"
"Ibumu menikah? Dengan siapakah?" Tanya Thian Ki heran. Betapa sama nasib gadis ini dengan nasibnya. Ibu mereka kehilangan suami ketika Hek-houw-pang diserbu, dan kini ibu mereka yang sudah menjadi janda telah menikah lagi!
"Itulah yang tadinya membuat aku jengkel. Kalau ibumu menikah dengan Pangeran Cian Bu Ong, maka ibuku menikah dengan pembantunya, seorang di antara mereka yang dahulu menyerbu Hek-houw-pang!"
"Ahh...!! Thian Ki benar-benar terkejut mendengar ini. Ibu Cin Cin? Bibi Coa Liu Hwa yang cantik dan lemah lembut itu? Akan tetapi dia tidask berani bertanya lagi, khawatir menyinggung.
"Setelah aku mendengar penuturan ibuku dan ayah tiriku, aku tidak menyalahkan mereka, bahkan aku bangga karena suami ibu sekarang adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal, yaitu Lie Koan Tek." Lalu Cin Cin menceritakan tentang pengalaman ibunya sehingga menjadi isteri pendekar itu. Thian Ki mengangguk-angguk, merasa lega karena ibu Cin Cin tidak melakukan hal yang memalukan.
"Aku sudah mendengar akan nama besar ayah tirimu itu, Cin Cin."
Keduanya diam agak lama, kemudian Cin Cin menghela napas panjang dan berkata, "Aku heran sekali, kenapa ibu kita menikah lagi? Aku sekarang hanya mempunyai ibu seorang, akan tetapi ia telah menikah dengan pria lain, dan aku merasa seperti kehilangan ibuku. Ia mengecewakan hatiku, padahal aku amat mencintanya. Apakah engkau juga tidak berpikir begitu, Thian Ki?"
Thian Ki diam sejenak. Kalau dia mau jujur, memang ada perasaan tidak enak itu. Tentu dia akan merasa jauh lebih berbahagia kalau ibunya masih bersanding dengan ayahnya, walau itu tidak mungkin. Dia menarik napas panjang. "Cin Cin, kalau kita selalu mementingkan perasaan sendiri, kurasa dalam hidup ini kita akan selalu menghadapi hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan, karena apa yang kita senangi belum tentu disenangi orang lain, walau oleh ibu kita sendiri sekalipun. Sebaliknya, apa yang disenangi orang lain, termasuk ibu kita, belum tentu kita senangi. Karena itu, kita harus memiliki cinta kasih, Cin Cin. Dan cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang yang kita cinta. Bukankah begitu?"
Cin Cin diam saja. Ini merupakan hal baru baginya. Semenjak ia dewasa, ia hanya mendengar dan melihat segala tentang hidup ini dari gurunya, dan pandangan gurunya lain sama sekali dari apa yang diucapkan Thian Ki. Bagi gurunya, yang terpenting adalah perasaan sendiri, diri sendiri, sehingga segala sepak terjang dalam hidup hanya didasari kepentingan diri sendiri!
Apa yang diucapkan oleh Thian Ki, kalimat terakhir, yaitu bahwa cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang yang kita cinta, merupakan ucapan yang teramat penting untuk ditelaah oleh kita semua. Bukan hanya menyangkut cinta kasih pada umumnya yang dianggap hanya merupakan perasaan timbal balik antar insan berlawanan jenis, antara pria dan wanita, melainkan juga mencakup cinta kasih antara orang tua dan anak, timbal balik.
Betapa sering terjadi konflik atau pertentangan batin antara orang tua dan anak, padahal kedua pihak berani bersumpah saling mencinta! Kalau benar ada cinta kasih di antara orang tua dan anak secara timbal balik bagaimana mungkin sampai terjadi konflik batin antara mereka?
Konflik batin antara yang tua dan yang muda menimbulkan suatu celah atau jurang pemisah antara orang tua dengan anaknya sendiri. Yang tua menganggap anak mereka bandel dan murtad, mengecewakan dan tidak mentaati orang tua, sedangkan yang muda menganggap orang tua mereka itu kuno, kolot, terlalu mengekang, terlalu menggurui, menjadi penghalang kesenangan, dan sebagainya. Maka terjadilah konflik yang menghancurkan sendi-sendi cinta kasih di antara mereka.
Mengapa begitu? Kalau, kita singkirkan dulu perasaan keakuan, mementingan diri sendiri, dan menarik diri sebagai orang luar, bukan anak bukan orang tua, lalu menjenguk isi hati kedua pihak, mungkin akan nampak jelas bagi kita mengapa terjadi konflik seperti itu. Konflik terjadi karena bentrokan kepentingan, bentrokan selera, bentrokan pandangan hidup.
Kedua pihak, baik orang tua maupun anak, lupa bahwa alam pikiran yang tua dan yang muda berbeda jauh. Yang tua lupa bahwa kebiasaan hidup ini mengalami perubahan dan kukuh berpegang kepada nilai-nilai yang sudah dianggap mapan, nilai-nilai lama, tanpa memperdulikan adanya perubahan nilai.
Penilaian selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Orang tua selalu mengandalkan pengalaman sebagai senjata untuk memamerkan kelebihannya kepada si anak, lupa bahwa pengalaman itu adalah pengalaman dahulu dan kalau dia tidak mau mengikuti perkembangan jaman, dia bahkan akan ketinggalan dan sama sekali tidak berpengalaman dalam hal-hal baru yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, si anak juga lupa bahwa orang tuanya adalah orang-orang yang pandangan hidupnya terikat masa lalu.
Dari bentrokan ini timbullah konflik. Jarang terdapat orang tua yang tidak mengikatkan diri kepada masa lalu, melainkan arif mengikuti perkembangan jaman sehingga waspada terhadap perubahan nilai-nilai, seperti jarangnya anak yang mau memaklumi keadaan orang tuanya, lupa bahwa dengan cara mereka sendiri, orang tuanya sebetulnya bermaksud baik bagi dirinya, hanya caranya saja yang menimbulkan konflik.
Semua pertentangan itu akan lenyap kalau orang tua mencinta dengan tulus, dalam arti kata bukan mencinta dengan pamrih kepentingan dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti membahagiakan yang dicinta, bukan menuntut sesuatu dari yang dicinta! Cinta yang menuntut balas, yang berpamrih, adalah cinta nafsu, yang mempergunakan cinta demi mencapai kesenangan hati sendiri, dan cinta macam ini pasti menimbulkan konflik batin.
Cinta kepada anak berarti memberi kebebasan kepada anak, seperti membiarkan tunas tumbuh menjadi pohon, bebas terkena sinar matahari dan tersiram hujan, dan orang tua hanya mengamati, menjaga-tanpa mengatur, tanpa memaksakan kehendak. Orang tua turun tangan hanya kalau melihat perkembangan pertumbuhan itu tidak benar atau terancam, seperti orang menjaga tanaman dan membersihkannya dari ulat, memberi pupuk, mencabut rumput liar, akan tetapi tidak mencampuri pertumbuhan itu sendiri. Cinta kasih bukan berarti mengikat!
Dilain pihak, anak-anak harus selalu menyadari sepenuhnya bahwa dengan cara apapun, orang tua tetap menyayang anak-anak, baik cara itu dianggap benar atau keliru, dan dasar kesadaran ini harus menjadi pengingat bahwa mereka sepatutnya berterima kasih dan tidak menyakiti hati orang tuanya. Kalau kepada orang tua sendiri tidak menyayang, bagaimana mungkin dapat menyayang orang lain?
Ibu adalah manusia yang paling besar kasihnya terhadap dirinya, sesudah itu baru ayah. Kalau kepada ayah ibu tidak dapat menaruh hati kasih sayang, maka cinta kasih kepada orang lain tentu saja patut di ragukan! Memang tidak mudah bagi orang tua maupun anaknya untuk mengatasi nafsu sendiri yang menimbulkan kekecewaan, kemarahan sehingga si orang tua tidak menyumpahi anaknya dan si anak tidak menyumpahi orang tua.
Dalam keadaan dicengkeram nafsu amarah, manusia dapat melakukan apa saja. Namun, kesukaran itu pasti akan mudah diatasi kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kalau kita pasrah dan mohon bimbingan kekuasaan Tuhan. Karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menundukkan nafsu-nafsu daya rendah yang menyesatkan kita.
Sampai lama Cin Cin menunduk saja, kemudian mengangkat muka menatap wajah Thian Ki yang kebetulan juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu lagi untuk kesekian kalinya dan bertaut.
"Thian Ki, sekarang aku tidak lagi dendam padamu, dan aku menyadari sepenuhnya bahwa perbuatanmu membuntungi tanganku dahulu terpaksa kau lakukan dan aku sendiri yang bersalah telah mencengkeram pundakmu, karena aku tidak tahu bahwa tubuhmu beracun. Ini yang namanya nasib, dan aku tidak menyalahkanmu lagi."
"Terima kasih, Cin Cin. Seolah-olah batu besar yang sejak peristiwa itu menindih hatiku, kini terangkat, membuat dadaku lapang. Terima kasih!"
"Akan tetapi ada sebuah permintaanku dan kuharap engkau tidak menolak, karena penolakanmu tentu akan membuat aku tidak dapat menerimamu sebagai sahabatku lagi, seperti ketika dahulu di Hek-houw-pang."
"Permintaan apakah itu, Cin Cin? Aku pasti akan memenuhinya!" kata Thian Ki gembira.
"Aku pasti akan mencari dan menantang Cian Bu Ong, dan kuharap engkau tidak akan mencampurinya lagi." Setelah berkata demikian, Cin Cin menatap wajah pemuda itu dengan pandang tajam menyelidik.
"Cin Cin, setelah mengetahui bahwa perbuatan Cian Bu Ong itu hanya merupakan akibat perang, engkau masih mendendam kepadanya karena penyerbuan terhadap Hek-houw-pang itu?"
Cin Cin menggeleng kepala dengan tegas. "Tidak, Thian Ki. Aku menyadari bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan Hek-houw-pang. Akan tetapi aku harus melaksanakan tugas yang diberikan su-bo kepadaku. Sejak kecil aku ditolong, dipelihara dan dididik su-bo, sudah selayaknya kalau sekarang aku membalas budinya dengan melaksanakan perintahnya. Aku akan membunuh Cian Bu Ong untuk mentaati perintah subo." Melihat kerut alis pemuda itu, Cin Cin menambahkan, suaranya mengandung tantangan, "Engkau tidak setuju dan hendak membela ayah tiri dan gurumu?"
"Tidak, Cin Cin. Aku hanya akan membela orang yang lemah dan tidak bersalah. Akan tetapi dua hal yang patut kaurenungkan dan kau pertimbangkan dengan baik sebelum bertindak sejauh itu. Pertama, tingkat kepandaian Cian Bu Ong amat tinggi dan engkau tidak akan dapat menang, Cin Cin."
"Aku tidak takut! Kalau aku tidak berhasil melaksanakan tugas itu, biar aku mati di tangannyapun aku tidak merasa penasaran!" kata Cin Cin dengan nekat.
"Aku percaya akan kegagahan dan keberanianmu, Cin Cin. Akan tetapi, kalau kita sudah tahu bahwa kita tidak akan menang melawan seorang musuh,, akan tetapi kita nekat dan tewas di tangannya, bukankah itu mati konyol namanya? Sama dengan bunuh diri."
"Aku tidak peduli, Thian Ki. Aku rela dalam menjalankan tugas mentaati perintah subo."
"Baiklah, sekarang hal yang ke dua. Urusan antara su-bomu dan Cian Bu Ong adalah urusan yang amat pribadi, urusan cinta kasih di antara mereka. Dalam urusan cinta kasih antara seorang pria dan seorang wanita, sebetulnya tidak boleh dicampuri siapapun juga, karena itu adalah urusan hati yang hanya dapat diselami oleh kedua pihak yang bersangkutan. Rasanya janggal dan tidak pantas kalau ada yang mencampuri, apalagi yang mencampuri urusan cinta antara kedua orang itu adalah murid sendiri. Coba renungkan baik-baik, Cin Cin, dan sadarilah bahwa aku mengemukakan kedua hal ini demi kebaikanmu, bukan untuk membela Cian Bu Ong."
Cin Cin menunduk dan alisnya berkerut. Ia tahu bahwa pencegahan yang dilakukan Thian Ki itu adalah untuk menjaga agar ia tidak sampai tewas atau terluka oleh Cian Bu Ong yang memang harus ia akui jauh lebih lihai darinya. Akan tetapi, masalah ke dua yang diajukan Thian Ki itu yang menarik hatinya. Menurut subo-nya, ia sakit hati terhadap Cian Bu Ong yang dahulu menjadi kekasihnya, karena Cian Bu Ong menyia-nyiakan, meninggalkannya.
Dan perbuatan pangeran itu adalah karena dia mengetahui akan keadaan subo-nya sebagai seorang tokoh sesat, dan terpaksa dilakukan karena pangeran itu memiliki cita-cita besar menjadi kaisar dan tentu saja akan mencemarkan nama baiknya kalau dia berhubungan dengan seorang wanita sesat. Subo-nya mendendam dan menghendaki kematian Cian Bu Ong, akan tetapi kenapa subonya menyuruhnya? Padahal, subonya tentu tahu betapa lihainya Cian Bu Ong! Kalau subonya merasa sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri sejak dulu?
"Thian Ki, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Ia bertanya lirih, hatinya mulai terasa bimbang. "Tentu tidak mungkin kalau aku kembali kepada subo menyatakan ketidak-sanggupanku!"
"Cin Cin, engkau telah dapat menunaikan tugas yang diperintahkan subomu dengan baik, sudah berhasil membunuh Can Hong San, bahkan engkau sudah pula menemukan Cian Bu Ong dan menyerangnya, walaupun engkau tidak berhasil. Nah, engkau dapat melaporkan semua itu kepada subomu. Aku akan menemanimu menghadap subomu, dan aku yang mencoba membujuknya agar ia menghadapi sendiri Cian Bu Ong."
"Ahh! Ia tentu akan marah sekali kepadaku, juga kepadamu dan mungkin ia akan menyerangmu, Thian Ki!"
"Belum tentu, Cin Cin. Andaikata demikian, aku dapat melindungi diriku. Aku dapat menduga bahwa tentu subomu itu masih mencinta Cian Bu Ong. Inilah sebabnya mengapa ia tidak dapat turun tangan sendiri untuk membunuh bekas kekasihnya itu, melainkan menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kepandaian. Mungkin dengan penjelasanku, ia akan sadar dan tidak lagi menyuruhmu membunuh Cian Bu Ong."
Kembali Cin Cin terdiam sampai agak lama, hatinya bimbang, akan tetapi usul itupun amat menarik hatinya. Pertama, iapun ingin sekali melihat bagaimana nanti tanggapan subonya terhadap pemuda ini. Dan ke dua, ini yang membuat jantungnya berdebar, pemuda ini hendak menemaninya pulang, berarti, mereka akan melakukan perjalanan berdua!
Entah bagaimana, sejak tangannya buntung oleh Thian Ki, ia tidak pernah mampu melupakan pemuda itu. Kadang ia teringat dengan hati penuh kebencian, penuh dendam karena pemuda itu telah membuntungi tangannya. Akan tetapi ada kalanya, ia teringat dengan perasaan kagum kepada pemuda itu, juga perasaan setia-kawan dan senasib. Sekarang, setelah pemuda itu membantunya sehingga ia berhasil membunuh Can Hong San, Thian Ki hendak menemaninya menemui subonya.
"Baiklah, Thian Ki. Akan tetapi kalau engkau tidak berhasil membujuknya, kalau subo tetap dengan perintahnya, terpaksa aku akan mencari Cian Bu Ong dan mencoba untuk membunuhnya, dan engkau jangan mencampurinya lagi. Juga kuperingatkan bahwa subo amat benci kepada pria sebagai akibat perbuatan Cian Bu Ong, maka kalau ia bersikap tidak manis kepadamu, jangan menyalahkan aku."
Thian Ki memandang dengan wajah berseri. Hatinya merasa gembira bukan main, bukan hanya karena dia diperbolehkan melakukan perjalanan bersama gadis itu, melainkan terutama sekali karena dia diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu demi kebaikan gadis itu dan hal ini tentu saja dapat mengobati penyesalannya terhadap diri sendiri yang mengakibatkan Cin Cin kehilangan tangan kirinya.
"Aku tidak biasa menyalahkan orang lain Cin Cin. Aku lebih suka menyalahkan diriku sendiri daripada menimpakan kesalahan kepada orang lain."
"Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Perjalananan kita cukup jauh."
Thian Ki bertanya di mana Tung-hai Mo-li tinggal dan ketika mendengar bahwa guru Cin Cin tinggal di pantai timur, dia berkata, "Ah, kalau begitu, perjalanan kita akan melewati dusun Hong cun di tepi Huang-ho. Kita dapat singgah di rumah Paman Si Han Beng, karena aku harus menemui paman Si Han Beng berdua!"
"Maksudmu Paman Si Han Beng Si Naga Sakti Sungai Kuning?" tanya Cin Cin heran dan teringatlah ia betapa tadinya, kakeknya menyuruh Lai Kun mengantarnya kepada pendekar itu untuk menjadi muridnya.
"Benar, siapa lagi kalau bukan dia?"
"Hem, kalau saja Paman Lai Kun tidak berkhianat dan tidak menjualku di tengah perjalanan, agaknya sekarang aku telah menjadi murid pendekar besar itu. Tapi, mau apakah kita singgah ke sana, Thian Ki?" Perasaan hati Cin Cin tidak nyaman juga mendengar mereka akan singgah di rumah suami isteri pendekar yang namanya terkenal di dunia persilatan itu.
"Cin Cin, Paman Si Han Beng adalah adik angkat mendiang ayahku, maka dapat dianggap dia keluarga kami sendiri, akan tetapi bukan itu yang penting. Aku harus menghadap suami isteri pendekar itu, karena hanya mereka berdua saja yang akan mampu memberi petunjuk kepadaku agar aku terbebas dari cengkeraman racun di tubuhku."
Cin Cin membelalakkan matanya yang indah. Semua perasaan penasaran dan tak senang kepada Thian Ki agaknya sudah terhapus dan ia sudah pulih kembali seperti sebelum tangannya buntung. "Aihh, engkau ini sungguh aneh, Thian Ki! Aku dan semua orang tentu akan senang sekali jika dapat menjadi anak beracun sepertimu. Tidak akan terkalahkan oleh siapapun juga! Akan tetapi engkau malah ingin membuang racun itu dari tubuhmu. Bagaimana ini?"
Thian Ki tersenyum dan apa yang dia pikirkan saat itu keluar dari mulutnya, "Ah, engkau mengingatkan aku kepada Kui Eng. Iapun ingin menjadi beracun seperti aku!"
"Kui Eng? Siapa itu? Seorang gadis...?"
"Engkau sudah pernah bertemu dengannya, bahkan bertanding dengannya. Ia adalah adik tiriku dan sumoi-ku."
"Ahh, puteri Cian Bu Ong itu? Akan tetapi, kukira bukan hanya aku dan ia yang ingin menjadi beracun sepertimu. Setiap orang ahli silat akan merasa bangga sekali kalau..."
"Ah, engkau hanya memperhitungkan enaknya saja, tidak mau tahu tentang tidak enaknya. Cin Cin. Bayangkan saja, dengan racun terkutuk ini, tanpa disengaja aku telah membuat engkau kehilangan tangan kirimu. Enakkah itu? Kalau yang terkena begitu orang jahat atau musuh, masih mending, akan tetapi kalau orang sendiri? Selain itu, dengan keadaan seperti aku ini, aku tidak... tidak... boleh menikah."
Kembali mata yang indah itu terbelalak, kini terkejut. "Ehh! Kenapa begitu?"
"Karena, kalau aku menikah..." Thian Ki agak tergagap karena bicara tentang pernikahan membuat dia enggan dan malu. "...wanita yang menikah dengan aku akan mati keracunan."
"Ahhh...!" Kini Cin Cin memandang kepada Thian Ki dengan mata terbelalak, dan sinar matanya yang tadinya terkejut, perlahan-lahan mengandung sinar iba. "Kalau begitu... engkau seperti kena kutuk..."
"Begitulah, maka aku harus berusaha menghilangkan pengaruh racun ini dari tubuhku. Mendiang nenek yang menjadikan aku anak beracun juga tidak mampu melenyapkan racun ini, dan menurut keterangannya, yang mampu hanya orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, seperti Pek I Tojin guru Paman Si Han Beng dan Hek Bin Hwesio guru Bibi Bu Giok Cu. Bahkan menurut mendiang nenek, mungkin saja suami isteri pendekar itu sendiripun sudah cukup untuk dapat melenyapkan racun dari tubuhku."
"Ah, kalau begitu, memang perlu sekali singgah ke sana, Thian Ki! Engkau harus disembuhkan. Mari kita berangkat, akupun ingin bertemu suami isteri pendekar yang dipilih kakek untuk menjadi guruku itu, dan aku ingin bicara dengan mereka tentang murid mereka."
Melihat gadis itu bangkit lalu melangkah pergi, Thian Ki juga mengikutinya. Mereka berjalan keluar dari jalan simpangan itu, menuju ke jalan besar yang masih sunyi.
"Cin Cin, kau tadi menyinggung tentang murid Huang-ho Sin-liong? Siapakah dia?"
"Thian Ki, ingatkah engkau kepada The Siong Ki?"
"The Siong Ki, siapakah itu? Aku tidak ingat nama itu."
"Dia teman kita bermain-main ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung ke Hek-houw-pang dulu itu. Dia putera supek The Ci Kok..."
"Ahhh, anak yang jangkung dan yang... eh telinganya kecil itu?"
Cin Cin tersenyum dan Thian Ki terpesona. Baru sekarang dia melihat gadis ini tersenyum dan seolah-olah matahari baru muncul dari balik awan mendung yang tebal, mengusir semua kegelapan dan kemuraman! "Benar dia, Thian Ki. Aih, betapa aku selalu menggodanya dan mengatakan dia bertelinga tikus, dan dia marah-marah." Gadis itu kini tersenyum lebar sehingga nampak sedikit deretan giginya yang putih dan rapi, juga lekuk-lekuk di kedua pipinya nampak, membuat wajah itu menjadi manis sekali.
"Jadi dia yang menjadi murid Paman Si Han Beng? Ah, tentu dia lihai sekali dan di mana engkau bertemu dengan dia, Cin Cin?"
"Dia memang lihai, akan tetapi kiraku aku masih mampu menandinginya. Kau tahu, dua kali aku bertemu dengan dia, dan dua kali pula aku sempat bertanding dengannya, walau hanya beberapa jurus saja." Cin Cin lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Siong Ki di Hek-houw-pang. Kemudian yang ke dua kalinya ketika ia membela ibu kandung dan ayah tirinya yang hampir celaka di tangan Siong Ki.
"Penyerangannya terhadap ibuku itulah yang membuat hatiku merasa penasaran dan aku akan sampaikan kepada Huang-ho Sin-liong dan isterinya! Kalau dia berada di sana, aku akan menegur langsung dan menantangnya!"
"Aih, Cin Cin. Bagaimanapun juga, antara engkau dan dia masih ada hubungan persaudaraan lewat Hek-houw-pang, kenapa urusan kecil dibesar-besarkan?"
"Urusan kecil? Kalau dia menyerang ayah tiriku karena dia menganggap ayah tiriku dahulu membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang yang mengakibatkan supek The Ci Kok tewas, hal itu masih biasa dan aku tidak akan mencampurinya. Akan tetapi melihat ayah tiriku dalam bahaya, tentu ibuku membela dan Siong Ki telah berani melukai pangkal lengan kanan ibuku! Kalau aku tidak muncul di saat itu, siapa tahu dia akan membunuh ibuku pula. Hemm, kalau dia berada di rumah Huang-ho Sin-liong, aku akan beberkan semua ini dan kalau dia tidak mau mengakui kesalahannya dan minta maaf, aku akan menantangnya, membalaskan ibuku!"
Thian Ki menghela napas panjang. Dia tahu Cin Cin menjadi seorang gadis yang keras karena gemblengan hidup sejak kecil, yang teramat pahit. Akan tetapi pada dasarnya, ia seorang gadis yang baik hati. Dan memang Siong Ki keterlaluan kalau berani melukai ibu gadis ini.
"Aku yakin bahwa Paman Si Han Beng dan isterinya, suami isteri pendekar yang bijaksana itu akan dapat mengambil tindakan kalau memang murid mereka bersalah. Huang-ho Sin-liong terkenal bukan saja karena kelihaiannya, akan tetapi juga kegagahan dan kebijaksanannya."
Dia menghibur dan sebentar saja, wajah Cin Cin yang tadinya keruh kini menjadi jernih dan cerah kembali. Mereka melanjutkan perjalanan dan benar saja seperti dugaan dan harapan Thian Ki, setelah melakukan perjalanan dua tiga hari saja, gadis itu menjadi seorang kawan yang akrab, lincah dan selalu bergembira.
Bukan hanya Pangeran Tua Li Siu Ti, yaitu paman dari Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi Kaisar Tung Tai Cung menggantikan ayahnya saja yang pernah memberontak sehingga dihukum mati seluruh keluarganya, juga pada awal Kerajaan Tang itu, telah berulang kali terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran dan keluarga Kaisar. Pendiri Kerajaan Tang, sesungguhnya adalah Pangeran Li Si Bin, walaupun sebagai kaisar pertama, yang diangkat adalah ayahnya, yaitu Li Goan, yang tadinya kepala daerah Shansi dan yang berjuluk Kaisar Tang Kao Cu (618 - 627).
Semenjak Kerajaan Tang berdiri, sudah berulang kali terjadi perebutan kekuasaan, namun semua kerusuhan itu dapat dipadamkan oleh Pangeran Li Si Bin yang sejak mudanya memang merupakan seorang yang gagah perkasa, pandai ilmu silat dan ilmu perang juga amat bijaksana. Ketika Pangeran Li Si Bin menjadi Kaisar Tang Tai Cung menggantikan ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung (627 - 649) dengan penuh semangat membangun Kerajaan Tang sehingga menjadi semakin kuat dan makmur.
Dia menjadi kaisar dalam usia duapuluh enam tahun dan sepuluh tahun kemudian, kerajaan Tang berkembang menjadi Kerajaan yang kuat dan diakui oleh para negara tetangga. Akan tetapi, setelah para pangeran putera Kaisar Tang Tai Cung mulai dewasa, kembali terjadi gejala persaingan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran itu! Hal ini membuat Kaisar Tang Tai Cung menjadi pusing dan marah.
Sudah ada beberapa orang pangeran, putera-puteranya sendiri, terpaksa diasingkan ke perbatasan barat dan utara, karena mereka saling bermusuhan memperebutkan kedudukan sebagai pangeran mahkota. Akhirnya, Kaisar memilih Pangeran Li Hong yang berwatak pendiam, tidak pernah ikut bersaing memperebutkan kedudukan, seorang pangeran yang tampan, namun tidak cerdik dan bahkan wataknya lemah. Selain itu, kelemahan menyolok dari Pangeran Li Hong adalah wataknya yang mata keranjang. Kaisar Tang Tai Cung tahu akan hal ini, dan dia merasa prihatin sekali. Akan tetapi tidak ada pilihan lain!
Kalau dia mengangkat seorang di antara putera-puteranya yang saling bermusuhan karena memperebutkan kedudukan menjadi pangeran mahkota, pasti akan timbul pertentangan dan bentrokan hebat, terjadi perpecahan di antara keluarganya sendiri. Dia berusaha untuk menggembleng pangeran mahkota itu dengan mengundang guru-guru silat maupun sastra. Akan tetapi, memang Pangeran Mahkota Li Hong tidak berbakat, juga kurang semangat, maka dalam kedua macam ilmu itupun dia sama sekali tidak mendapatkan kemajuan.
Kwa Bi Lan, yang menjadi selir Kaisar Tang Tai Cung semenjak kaisar masih Pangeran Li Si Bin, melihat semua perkembangan ini. Ia sendiri sama sekali tidak tertarik akan urusan pemerintahan. Kalau ia sampai mau menjadi selir pangeran yang kini menjadi kaisar, hal itu sama sekali bukan karena ia berambisi untuk memperoleh kedudukan dan kemuliaan. Sama sekali tidak!
Ia seorang wanita yang berjiwa pendekar dan ketika ia sebagai seorang janda muda tanpa anak menerima pinangan Pangeran Li Si Bin adalah karena memang tertarik dan kagum kepada pangeran yang perkasa itu. Akan tetapi, setelah pangeran itu menjadi kaisar, sebagian besar waktu dan perhatian Kaisar Tang Tai Cung dikerahkan untuk urusan pemerintahan, untuk mengemudikan pemerintahan dan memakmurkan negara.
Mulailah Kwa Bi Lan mulai kesepian dan kehidupan di dalam istana itu dirasakannya menyiksa jiwanya yang biasanya bertualang dan bebas. Apalagi ketika Kaisar Tang Tai Cung tergila-gila kepada seorang dayang baru yang bernama Bu Couw Hwa, kaisar itu tidak lagi pernah datang berkunjung kepadanya, baik untuk bermalam di kamarnya atau untuk berbincang-bincang.
Hong Lan atau Lan Lan, yang kini menjadi puteri Istana dengan nama Li Hong Lan, dapat merasakan kedukaan ibunya. Ia telah menjadi seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang lincah jenaka, cantik jelita dan juga pandai ilmu silat, sastra dan seni! Ia menjadi seorang puteri yang dicinta oleh semua penghuni istana, dari kaisar sampai kepada dayang dan thai-kam (orang kebiri). Bahkan para guru silat yang atas perintah kaisar mengajarkan silat kepadanya juga amat sayang kepada murid yang berbakat ini.
Para pangeranpun, yang tentu saja tahu bahwa Hong Lan adalah seorang anak bawaan Kwa Bi Lan dan bukan puteri kandung kaisar, juga menganggap Lan Lan sebagai adik mereka sendiri dan bersikap menyayang kepadanya. Namun, semua ini tidak membuat Lan Lan menjadi manja atau besar kepala. Ibunya selalu menekankan watak yang sederhana dan rendah hati, dan ibunya selalu mengingatkan agar ia tidak menjadi seorang gadis sombong, dengan menceritakan bahwa ibunya dahulu seorang gadis dari rakyat biasa.
Akan tetapi, Kwa Bi Lan tidak pernah menceritakan bahwa Lan Lan bukan puteri kandung kaisar, walaupun ia tahu bahwa hal ini kelak tidak akan dapat ditutupi lagi dan pasti suatu hari Lan Lan akan mendengar sendiri bahwa ia bukan anak kandung kaisar, melainkan ikut ibunya yang menjadi selir kaisar setelah menjadi janda.
Biarlah ia kelak mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kaisar, akan tetapi ia tidak akan pernah tahu bahwa ia bukan anak kandungku, pikir Kwa Bi Lan dan kalau sudah memikirkan hal ini, hatinya meraasa cemas dan khawatir. Bagaimanapun juga, Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning dan isrerinya adalah suami isteri pendekar yang sakti, dan bukan tidak mungkin suatu waktu mereka muncul menuntut kembalinya anak mereka itu.
Pada suatu pagi, Hong Lan telah berada di taman samping istana yang biasanya sunyi dan berlatih silat pedang seorang diri di tempat latihan yang dibangun di tengah taman itu. Tempat itu merupakan tempat terbuka, beratap tanpa dinding, dengan lantai dari batu putih mengkilap, sebuah ruangan kosong yang hanya berisi beberapa buah bangku. Tempat ini amat menyenangkan untuk duduk berangin-angin sambil menikmati keindahan taman, juga amat tepat untuk berlatih silat, tempat berteduh dari panas atau hujan.
Sungguh mengagumkan sekali melihat Hong Lan berlatih silat pedang di tempat itu. Dara berusia delapan belas tahun ini memang cantik manis dan karena suka berolah raga, maka tubuhnya padat dan indah. Ketika ia bermain silat pedang, gerakan-gerakannya selain lentur dan cepat, juga indah seperti seorang penari yang ahli.
Namun di balik keindahan ini terkandung bahaya bagi lawannya. Pedang itu kadang berdesing-desing suaranya, kadang tidak bersuara seperti angin lalu, adakalanya tidak nampak pedangnya, hanya nampak bayangan putih bergulung-gulung, adakalanya pula nampak pedang seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya.
Puteri ini memang hebat, sejak kecil sudah suka sekali mempelajari ilmu silat, tekun dan berbakat sehingga seluruh kepandaian silat yang dikuasai ibunya, telah dikuasainya semua, bahkan ia masih menerima pelajaran dari guru-guru silat istana sehingga dalam usia delapan belas, ia bahkan lebih lihai dibandingkan ibunya. Biasanya, kalau berlatih silat di tempat itu, Hong Lan ditemani ibunya, atau gurunya yang lain.
Ia tidak begitu suka bergaul rapat dengan saudara-saudara tirinya, yaitu para pangeran, melihat betapa di antara para pangeran itu terdapat persaingan dan permusuhan karena memperebutkan kekuasaan. Ia tahu pula bahwa hampir semua pangeran mempunyai jagoan masing-masing, mempunyai pengikut masing-masing yang hendak membonceng pengaruh dan kedudukan pangeran, masing-masing mengharapkan majikan mereka kelak menggantikan kedudukan kaisar sehingga mereka akan memperoleh bagian pula.
Karena itu, Hong Lan muak dengan keadaan itu dan iapun lebih suka menyendiri. Hanya pangeran mahkota saja yang dianggapnya benar-benar seperti kakaknya sendiri, walau sikap kakak tirinya yang kadang terlalu mesra dan terlalu dekat itu membuatnya risi dan rikuh juga. Namun, hanya Pangeran Li Hong, atau ketika kecilnya disebut Li Ci, yang nampaknya tenang-tenang saja dan tidak mau bermusuhan dengan saudara-saudara tirinya untuk memperebutkan kekuasaan.
Diapun agaknya maklum bahwa sebagai pangeran lebih muda, dia tidak akan dipilih. Akan tetapi kenyataannya, karena para pangeran lain berlomba memperebutkan kedudukan, Kaisar Tang Tai Cung bahkan memilih dia menjadi Pangeran Mahkota, calon penggantinya kelak kalau dia sudah tiada! Akan tetapi, pengangkatan inipun agaknya disambut dengan acuh saja oleh Pangeran Li Ci atau Li Hong. Dia lebih suka bermain-main dengan para dayang dan puteri, karena hanya kalau berdekatan dan bergaul ramah, dengan wanita cantik sajalah hatinya dapat merasa bahagia!
Akan tetapi pagi hari itu, Hong Lan berlatih seorang diri. Ibunya masih tidur. Ia tahu bahwa terjadi perubahan besar dalam sikap ibunya. Dahulu, ibunya cekatan dan selalu bergembira, akan tetapi akhir-akhir ini, ibunya lebih banyak merenung dengan wajah murung. Bahkan di waktu malam sering bergadang di dalam kamar, membaca dan termenung saja, sehingga paginya agak terlambat bangun. Juga ibunya malas berlatih silat. Ia tahu penyebabnya. Ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung, selama beberapa bulan ini seperti melupakan ibunya, tidak pernah datang berkunjung untuk bermalam atau bercakap-cakap.
Itulah yang membuat, ibunya menjadi murung. Dan Hong Lan juga tahu mengapa ayahnya tidak pernah muncul. Ayahnya sedang tergila-gila kepada seorang dayang muda cantik, dan selain itu, juga ayahnya sedang tertarik akan ilmu gaib, terutama yang ada hubungannya dengan ilmu membuat umur panjang! Ia mendengar bahwa ayahnya mengadakan hubungan dengan seorang tosu ahli ilmu gaib atau ilmu sihir, untuk mempelajari ilmu membuat usia menjadi panjang, bahkan kalau mungkin, dapat hidup selamanya tidak dapat mati!
Tiba-tiba Hong Lan melompat dan menyelinap ke balik rumpun bunga yang berdaun lebat. Ia mendekam di balik semak-semak ini untuk bersembunyi, karena lapat-lapat ia mendengar suara orang menuju ke situ. Pada saat itu ia tidak ingin diganggu orang lain, maka iapun bersembunyi agar tidak ada yang melihatnya.
Ketika suara orang-orang itu semakin dekat, ternyata yang melangkah perlahan-lahan adalah ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung dan seorang tosu yang bertubuh tinggi bermuka merah. Hong Lan tertarik dan hampir tidak bernapas, ia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang lihai, dan ia mendengar pula bahwa tosu inipun seorang sakti, maka ia khawatir kalau sampai ia ketahuan. Dari balik semak-semak, ia menghampiri mereka berdua.
Ayahnya, Sribaginda Kaisar, sudah nampak tua, padahal usianya belum ada limapuluh tahun. Semua pertengkaran antara para pangeran membuat kaisar ini banyak menderita sedih dan jengkel, membuat kesehatannya mundur dan garis-garis kepahitan menggores di wajahnya yang tampan dan gagah. Tubuhnya masih nampak kokoh dan gesit, akan tetapi ayahnya itu agaknya sudah kehilangan gairah penuh semangat pada pandang matanya yang kini nampak sayu. Hong Lan sudah mendengar akan pengaruh seorang tosu ahli sihir atas diri ayahnya, akan tetapi belum pernah ia melihat orangnya.
Kini, melihat seorang tosu dengan jubah longgar dan ada gambar pat-kwa (segi delapan) simbol Im-yang (Positip Negatip) di dada, segera ia dapat menduga bahwa tentu ini tosu yang kabarnya berjuluk Im Yang Seng cu itu! Seorang pria yang bertubuh tinggi tegap, lebih tinggi sedikit daripada ayahnya, mukanya merah dan kumis jenggotnya yang memutih itu jarang dan pelipis wajahnya aneh, mulutnya terhias senyum akan tetapi pandang matanya demikian dingin tanpa perasaan! Mereka berdua melangkah perlahan berdampingan dan tidak nampak ada pengawal seorangpun.
Memang ayahnya tidak pernah mengajak pengawal kalau berjalan-jalan di dalam lingkungan istana. Ayahnya adalah seorang ahli silat yang tangguh, maka tidak membutuhkan perlindungan pengawal. Ketika mereka tiba di depan ruangan terbuka itu, mereka berhenti dan Kaisar memberi isyarat agar mereka mengaso dan duduk di bangku yang paling depan. Hong Lan berada di belakang mereka, di balik semak-semak, tidak dapat melihat wajah mereka, namun dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.
"To-tiang, berapa lama lagikah obat panjang usia yang sedang kau buat itu? Kami sudah tidak sabar menanti. Sudah dua bulan engkau membuatnya, sampai sekarang belum juga selesai."
"Harap paduka bersabar, Sribaginda. Pembuatan obat itu tidak mudah, harus makan waktu seratus hari. Bersabarlah kurang lebih sebulan lagi dan pinto pasti akan menyerahkan obat itu kepada paduka. Tentu saja keberhasilan usaha manusia tergantung dari kehendak Langit dan Bumi, karena hanya keselarasan Langit dan Bumi saja yang dapat menghidupkan segala sesuatu. Yang wajib kita lakukan, disamping usaha semampunya, adalah menyerah kepada kekuasaan Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, yang merisaukan hati hamba adalah hasil penelitian hamba terhadap bintang-bintang di langit malam tadi. Cuaca cerah, langit bersih dan tidak terganggu sinar bulan sehingga bintang-bintang nampak jelas dan mereka bicara banyak mengenai kerajaan paduka."
"Ahhh! Apa yang dikatakan bintang-bintang terhadap kerajaan kami, to-tiang? Hatiku selalu risau kalau memikirkan keadaan kerajaan, melihat betapa tidak ada pangeran yang kuanggap cukup bijaksana dan memenuhi syarat untuk menjadi penggantiku. Beberapa orang puteraku yang kuanggap cukup kuat dan pandai, ternyata berhati bengkok dan saling bermusuhan, sehingga terpaksa kami membuangnya keluar kota raja. Hanya Pangeran Li Ci saja yang memiliki watak baik, akan tetapi dia seorang laki-laki yang lemah dan kurang semangat. Terpaksa, karena hanya itulah satu-satunya jalan, kami mengangkatnya menjadi Pangeran Mahkota. Bagaimana menurut perhitungan semalam to-tiang? Kami ingin sekali mengetahui nasib kerajaan kami."
"Sian-cai...! Nasib memang telah digariskan, namun segalanya tergantung dari usaha kita, karena yang kita ketahui hanyalah hasil atau gagalnya usaha kita. Jalannya nasib merupakan rahasia bagi kita, dapat dijenguk, namun tetap tidak dapat dimengerti. Menurut perhitungan hasil semalam melalui bintang-bintang, Kerajaan Tang masih dapat berjaya dan bertahan sampai ratusan tahun, sedikitnya tigaratus tahun lagi."
Kaisar memandang tosu itu dengan wajah berseri. "Bagus! Terima kasih kepada Bumi dan Langit yang akan mempertahankan keturunan kami sampai tiga ratus tahun!"
"Siancai...! Bagaimanapun juga, tidak ada hari cerah tanpa mendung, tidak ada siang tanpa malam, tidak ada kemujuran tanpa diselingi kemalangan. Hidup memang harus diisi gelap dan terang, senang dan susah, dan demikian pula dengan kerajaan paduka. Bahkan dalam waktu satu keturunan saja, kekuasaan kerajaan akan dipegang oleh orang lain marga, bukan marga Li yang akan mengendalikan pemerintahan, melainkan marga Bu."
"Apa...?!?" Ini tidak mungkin! Aku akan bertindak!" teriak kaisar dengan marah.
"Siancai, siancai...! Harap paduka suka menenangkan hati. Kemarahan dan kekhawatiran hanya akan menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan paduka yang sudah mundur, karena paduka banyak memusingkan soal para pangeran. Tentu saja paduka berhak untuk bertindak, justeru manusia dituntut untuk bertindak dan berikhtiar, akan tetapi hendaknya paduka tidak lupa akan hokum alam dan tidak bertindak menuruti nafsu saja."
Kaisar menahan kemarahan hatinya. Biar kepada tosu ini sekalipun, dia harus merahasiakan, tindakan apa yang akan diambilnya, maka diapun membelokkan percakapan. "Bagaimana dengan putera mahkota? Akan baikkah nasibnya dan mampukah dia mengatur pemerintahan menggantikan kami?"
Tosu itu tersenyum. "Harap paduka jangan khawatir. Menurut perhitungan bintang semalam, bintang putera paduka itu cemerlang. Pangeran Li Hong atau Li Ci kelak akan memerintah sampai puluhan tahun dengan baik!"
"Aihh...! Luar biasa! Bagaimana mungkin terjadi hal yang sebaik itu, padahal kami selalu meragukan kemampuannya? Dia lemah dan tidak cerdas, juga kurang semangat!"
"Sribaginda, kecakapan seseorang masih tidak begitu besar pengaruhnya terhadap dirinya melebihi pengaruh nasib. Sang Pangeran bernasib baik sehingga beliau akan selalu memperoleh pendukung dan pembantu yang setia dan baik, dan karena bantuan inilah yang membuat dia dapat berkuasa sampai puluhan tahun lamanya, dan negara akan menjadi makmur dan tenteram, juga agama berkembang pesat. Agama Buddha akan memegang peranan penting dalam pemerintahan putera paduka."
"Dan tadi kau katakan bahwa ada marga yang Bu yang menguasai..."
"Harap paduka tenang saja. Kalaupun ada marga yang memegang kendali pemerintahan, bukan berarti bahwa marga Li tersingkir. Siapa tahu marga Bu malah yang menjadi pendamping dan pembantu. Ini hanya Bumi dan Langit yang tahu, dan Yang Maha Pengatur yang akan mengatur semua itu. Usaha apapun yang kita lakukan, tidak akan mampu mengubah ketentuan yang telah digariskan, Yang Mulia."
"Hemm, aku khawatir sekali melihat kelemahan Li Ci! Kalau saja aku diberi umur panjang, aku akan dapat mencegah marga apapun juga menguasai keturunanku! To-tiang, cepat selesaikan obat panjang umur itu. Aku ingin hidup seribu tahun lagi agar dapat menjaga kekuasaan keturunanku!" Mereka bangkit dan berjalan pergi perlahan-lahan.
Hong Lan tertegun di tempat persembunyiannya. Diam-diam ia merasa ngeri, merasakan pergolakan yang mempengaruhi suasana di istana. Perebutan kekuasaan! Agaknya setiap orang di istana telah kejangkitan penyakit itu. Berlomba untuk meraih kekuasaan, persaingan, permusuhan dan kebencian!
Manusia saling bermusuhan dan hal ini berlangsung terus, agaknya sejak manusia-manusia pertama diciptakan sampai sekarang! Manusia saling bermusuhan, saling berlomba dan berebut kekuasaan, berebutan harta. Mengapa demikian? Semua ini adalah pengaruh iblis, pengaruh setan yang hendak menguasai manusia. Iblis mempergunakan daya-daya rendah yang ada pada diri manusia untuk menyeret manusia agar menyeleweng dari jalan hidup seperti yang dikehendaki Tuhan Maha Pencipta.
Mungkin timbul pertanyaan: Apa dan bagaimana yang dikehendaki Tuhan itu dan bagaimana kita dapat menentukan bahwa itu adalah kehendak Tuhan? Menjawab pertanyaan seperti ini hanya mengandalkan pikiran adalah tidak mungkin, atau jawaban itu hanya akan menimbulkan perdebatan dan pertentangan belaka. Untuk menjawab pertanyaan di atas, menimbulkan pertanyaan lain tentang ada dan tidaknya Tuhan!
Inipun bukan suatu pertanyaan untuk dijawab oleh otak kita. Ada atau tidaknya Tuhan merupakan kepercayaan atau ketidak percayaan saja, karena tidak mungkin membuktikan keberadaan Tuhan melalui panca-indera. Namun kekuasaan Tuhan dapat dibuktikan. Seluruh jagad mayapada beserta semua isinya ini, jelas ada, dapat dilihat, didengar dan dicium. Kalau ada, tentu ada yang mengadakannya! Nah, Yang Mengadakan inilah yang kita sebut Tuhan!
Kekuasaan Tuhan nampak jelas di mana-mana, bahkan dalam diri kita sendiri. Dari setiap helai bulu di tubuh kita, rambut dan kuku, semua itu tumbuh tanpa kita tumbuhkan. Jadi, ADA yang menumbuhkan, dan inilah kekuasaan Tuhan! Kemampuan lalat dan burung terbang di udara, kemampuan ikan hidup di air, cacing di dalam tanah, semua itu karena kekuasaan Tuhan yang mengaturnya. Dan kekuasaan itu kita namakan HIDUP atau kehidupan.
Lalu, bagaimana kita dapat menentukan bahwa semua itu merupakan kekuasaan Tuhan? Siapakah Tuhan? Pria atau wanita? Satu ataukah banyak? Dimana tempat tinggalnya? Semua pertanyaan otak atau pikiran ini sama sekali tidak tepat untuk dijawab. Nama bagi Yang Maha Kuasa atau Maha Pencipta itu hanyalah sebutan yang kita pakai saja menurut bahasa masing-masing. Kekuasaan Tuhan berada di manapun juga, dan kekuasaanNya bekerja melalui sinar matahari, udara, air, api, tanah sehingga memberi kehidupan.
Pikiran tidak mungkin mengukur kebesaran Tuhan! Tidak mungkin dapat membayangkan. Kita ini merupakan satu di antara mahluk ciptaan Tuhan. Walaupun merupakan mahluk yang paling lengkap dan sempurna, berikut hati dan pikiran, dilengkapi akal budi, namun tetap saja serba terbatas. Mata kitapun terbatas, tidak dapat melihat benda yang lebih lembut daripada ukuran mata. Pendengaran, penciuman, juga hati akal pikiran, semua terbatas. Bagaimana mungkin yang serba terbatas ini mengukur YANG TIDAK TERBATAS?
Pikiran ini hanyalah gudang yang isinya hanya tumpukan pengalaman. Kita hanya dapat mengenal hal-hal atau sesuatu yang pernah kita kenal, kita ketahui. Kalau kita disuruh mencari seseorang, tentu pikiran mencari-cari dalam gudang itu dan mencari-cari bayangan orang itu. Kalau kita pernah bertemu dengannya, pernah mengenalnya atau mengetahui bagaimana rupanya, siapa namanya, tentu kita dapat mencarinya.
Akan tetapi bagaimana kita dapat mencari seseorang yang sama sekali tidak kita ketahui, tak pernah kita kenal, baik rupanya, namanya atau tempat tinggalnya? Tidak mungkin, bukan? Baru mencari orang yang tidak kita kenal saja, tidak mungkin. Bagaimana pikiran ini, yang hanya merupakan gudang benda-benda lapuk, dapat menemukan atau mencari Tuhan?
Yang akan kita temukan tentulah Tuhan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita, gambaran yang kita dapat tentang Tuhan, dan jelas bahwa yang kita temukan itu hanyalah sebuah bayangan belaka dari angan-angan kita sendiri. Baru membayangkan bentuk udara, bentuk api, atau bentuk air saja sudah tidak mungkin bagi kita. Yang dapat kita bayangkan adalah bentuk air dalam wadahnya, bentuk api dalam nyalanya, bentuk udara dalam tekanannya. Apalagi membayangkan bentuk Yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua itu! Tidak mungkin!
Disini letaknya peran dari iman. Tuhan hanya dapat disentuh dengan iman! Dengan kesadaran bahwa Tuhan itu Ada karena kekuasaannya ada dan terbukti. Dan kalau sudah begitu, keimanan membawa kita kepada kepercayaan akan wahyu Tuhan yang dilimpahkan kepada manusia melalui manusia pula, manusia yang sudah dipilihnya, untuk memimpin manusia agar menjauhi kejahatan dan melakukan kebajikan. Melakukan kebaikan dalam kerukunan bersama antar manusia untuk mempertahankan keberadaan manusia. Dan kebaikan inilah yang kita terima sebagai kehendak Tuhan!
Atau, kalau ada manusia dilahirkan di tempat di mana belum ada peradaban, belum ada pengertian tentang wahyu dinamakan agama, tetap saja manusia memiliki kesadaran akan adanya kekuatan yang berada di luar batas kemampuannya. Manusia, dari pengalamannya, akan mengakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, di luar jangkauan akal pikiran manusia, kekuasaan yang akan menghukum manusia melalui bencana alam dan sebagainya...
"Coa Thian Ki, engkau tentu tahu, hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa. Engkau berhutang tangan kepadaku, harus membayar dengan tangan kirimu pula!" Gadis itu mengamangkan pedangnya, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tergetar dan wajahnya nampak pucat.
Thian Ki tersenyum sedih. Setelah kini dia berhadapan dengan Cin Cin, dia semakin yakin bahwa dia mencinta gadis ini! Dia rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan gadis ini. Entah mengapa, ada sesuatu pada diri Cin Cin yang amat menarik hatinya, mempesonakan, menimbulkan rasa sayang, iba dan haru. Diapun menjulurkan lengan kirinya ke depan, berkata lembut.
"Silakan, Cin Cin. Kalau itu yang kau kehendaki, ini tangan kiriku!" katanya dengan sikap tenang dan suaranya yang lembut itu mengandung kesungguhan dan ketegasan.
Sejenak Cin Cin memandang nanar ke arah tangan yang dijulurkan itu, tidak percaya bahwa pemuda itu begitu saja menyerahkan tangannya untuk dibuntungi! Ia mengeluarkan suara aneh, seperti isak tertahan di kerongkongannya, lalu diangkatnya pedangnya ke atas, dan kini ia menatap wajah Thian Ki, seolah hendak bertanya apakah pemuda itu benar-benar rela tangannya ia buntungi dan ia melihat Thian Ki tersenyum rela.
Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga dan membacokkan pedangnya ke arah pergelangan tangan kiri Thian Ki yang sudah dijulurkan. Akan tetapi sebelum pedang itu menyambar turun, ia mengeluh, gemetar pedangnya terlepas dan tangan kanannya memegang pundak kiri, dan Cin Cin terhuyung dan terkulai, tentu akan roboh kalau saja Thian Ki tidak cepat menahan dan merangkul punggungnya.
"Cin Cin, kau kenapakah...?" Dengan khawatir Thian Ki lalu membantu gadis itu rebah di atas rumput. Cin Cin menyeringai menahan rasa nyeri dan ia merintih dalam keadaan setengah sadar.
Melihat gadis itu menggeliat dan merintih, dan tangan kanannya memegangi pundak kiri, Thian Ki khawatir sekali. Apakah racun dari tubuhnya dahulu masih juga menjalar naik dari lengan? Tanpa banyak membuang waktu lagi, dia lalu merobek sedikit baju di bagian pundak kanan gadis itu untuk memeriksanya. Dan di sana, di depan tulang pundak, nampak ada titik hitam kebiruan sebesar ibu jari!
Bukan, bukan karena racun tubuhnya, dia berpikir. Pula, kalau yang bekerja itu racun dari tubuhnya, tentu tidak sampai selama ini gadis itu bertahan hidup. Dia memeriksa lebih teliti dan mengerti bahwa gadis itu telah terkena totokan jari beracun yang cukup ganas.
"Cin Cin, engkau terluka!" katanya, akan tetapi Cin Cin tidak menjawab. Gadis itu telah pingsan.
Kebetulan malah, pikir Thian Ki. Kalau Cin Cin dalam keadaan sadar, gadis yang masih marah dan sakit hati kepadanya itu, tentu tidak mau dia obati! Kini, dalam keadaan pingsan, gadis itu tentu tidak tahu apa yang terjadi dan dia dapat cepat mencoba untuk menghilangkan pengaruh totokan beracun itu. Tentu ketika tadi berkelahi melawan Can Hong San, gadis itu telah terkena totokan Hong San yang lihai dan menderita luka dalam keracunan.
Thian Ki membuka kancing baju Cin Cin, dengan hati-hati menyingkap bagian pundak, menjaga jangan sampai dia menyingkap bagian dada sehingga titik hitam di depan tulang pundak itu nampak nyata sekali pada kulit yang putih kuning mulus itu. Lalu sambil duduk bersila di dekat tubuh Cin Cin, dia mengerahkan sin-kang, menempelkan telapak tangan kirinya di bawah titik hitam, lalu jari tangan kanannya mengurut di seputar titik yang semakin lama semakin membesar, namun warnan hitamnya menjadi pucat.
Kemudian dia menempelkan telapak tangan kanan tepat di atas titik yang membesar itu, dan mengerahkan tenaga sin-kang utnuk menyedot hawa beracun. Karena tubuhnya sendiri merupakan sumber racun, maka dengan mudah racun dari Cin Cin dapat tersedot keluar, seperti air yang terjun ke dalam telaga. Penambahan sedikit hawa beracun dari pundak Cin Cin itu tidak ada artinya bagi Thian Ki. Cin Cin mengeluh dan membuka mata. Ia berseru kaget dan bangkit sambil menggerakkan tangan menampar ke arah muka Thian Ki yang tidak mengelak.
"Plakkk!!" Pipi kiri Thian Ki terkena tamparan tangan Cin Cin, demikian kerasnya tamparan itu sampai membuat Thian Ki terpelanting dan ketika dia bangkit berdiri, pipi kirinya membengkak merah kebiruan! Dia melihat betapa Cin Cin sudah mengancingkan lagi bajunya dan wajah gadis itu merah sekali, matanya berapi-api.
"Jahanam busuk kau, Thian Ki! Tak kusangka bahwa putera mendiang Paman Coa Siang Lee dan Bibi Sim Lan Ci menjadi seorang berhati keji, kotor dan hina seperti engkau! Aku dalam keadaan pingsan dan engkau berani berbuat hina dan kurang ajar kepadaku? Alangkah rendahnya..."
"Tenanglah, Cin Cin. Tenanglah karena kemarahan membuat engkau tidak mampu mempertimbangkan dengan baik. Aku sama sekali tidak melakukan kesesatan, sama sekali tidak bermaksud rendah dan keji, melainkan terpaksa melakukan hal itu..."
"Thian Ki! Dahulu ketika membuntungi tanganku, engkau memakai alasan bahwa aku keracunan dan engkau terpaksa membuntungi tangan kiriku. Sekarang, alasan apalagi yang akan kau kemukakan sehingga engkau terpaksa membuka kancing bajuku dan meraba... melakukan kekurangajaran seperti tadi?"
"Dengarlah baik-baik. Engkau tadi hendak membuntungi tangan kiriku sebagai hukuman, lalu tiba-tiba engkau roboh dan memegangi pundak kirimu, lalu pingsan, bukan? Nah, ketika aku memeriksamu, ternyata memang engkau keracunan, di pundak kirimu. Aku terpaksa membuka kancing bajumu bagian atas untuk dapat mengobatimu. Sekarang, racun itu telah lenyap, dan sebagai upah pengobatanku, engkau malah menamparku dan memaki, menuduh yang bukan-bukan. Rabalah pundakmu, tentu sudah tidak terasa lagi kenyerian tadi."
Cin Cin menggunakan jari tangan kanannya untuk meraba pundak kirinya. Tadi memang amat nyeri di sana, akan tetapi sekarang sudah tidak lagi. Ia meragu. Agaknya pemuda itu tidak berbohong dan sekarang ia teringat bahwa tadi ketika ia berkelahi melawan Can Hong San, ia memang terkena totokan jari tangan kiri musuh itu, yang mula-mula tidak terasa terlalu nyeri, akan tetapi tadi ketika ia hendak membuntungi tangan kiri Thian Ki, tiba-tiba pundak itu terasa nyeri bukan main sampai menusuk ke jantung dan kepala.
"Nah, sekarang engkau baru percaya, bukan. Atau engkau masih tidak percaya? Kalau begitu boleh kau lakukan apa saja untuk melampiaskan dendammu kepadaku, Cin Cin. Kalau tamparan ini masih belum cukup, boleh kau lakukan apa saja. Nah, ini kedua tanganku yang tadi menyedot hawa beracun dari pundakmu," Thian Ki menjulurkan kedua tangannya ke arah Cin Cin.
Cin Cin memandang ke arah kedua tangan itu, lalu mengangkat pandang matanya, menatap wajah Thian Ki. Dua pasang mata bertemu dan bertautan dan perlahan-lahan, kedua mata Cin Cin menjadi basah. Lalu Cin Cin menundukkan mukanya dan suaranya terdengar lirih berbisik ketika ia berkata, "Maafkan aku..."
Wajah Thian Ki berseri. Mendengar gadis itu minta maaf, berarti menyadari kesalahannya, mendatangkan perasaan yang amat berbahagia didalam hatinya. Sikap gadi itu membuktikan bahwa perkiraannya benar.
Cin Cin, biar telah mempelajari ilmu dari guru yang sesat, terbukti bahwa ilmu pedangnya, bahkan pedangnya juga sama dengan ilmu pedang dan pedang Can Hong San, namun ternyata gadis itu hanya mewarisi kegalakan dan kekerasan saja, namun pada dasarnya masih memiliki kegagahan dan pribadi luhur sehingga berani mengakui kesalahan.
"Tidak Cin Cin, engkau tidak bersalah dan tidak ada yang dapat dimaafkan. Akulah yang bersalah, dan aku minta maaf padamu. Karena kecerobohanku, engkau menderita, dan aku hanya menimbulkan prasangka dan kesan buruk saja kepadamu."
"Thian Ki, aku memusuhi ayah tirimu, dan sekarang, baru saja aku membalas pertolonganmu dengan tamparan dan kata-kata keji. Kenapa engkau masih bersikap baik kepadaku? Kenapa engkau begitu baik kepadaku?" sepasang mata itu kini mengamati wajah Thian Ki penuh selidik.
Thian Ki tersenyum. "Aih, Cin Cin. Andaikata engkau bukan Cin Cin puteri mendiang paman Kam Seng Hin, andaikata di antara kita tidak ada hubungan apapun sejak kecil, aku tetap akan menolongmu. Bukankah menolong siapa saja yang terancam bahaya merupakan kewajiban kita sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat?"
"Ibuku pernah mengatakan bahwa mungkin engkau menjadi anak beracun karena nenekmu, yaitu mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu. Benarkah engkau menjadi tok-tong (anak beracun)?"
"Ibumu memang bijaksana dan pandai, dugaannya tepat. Memang aku telah dibuat menjadi tok-tong oleh mendiang nenekku, diluar pengetahuanku ketika aku masih kecil. Karena itulah, ketika engkau mencengkeram pundakku, tanpa dapat kucegah lagi, engkau keracunan pada tangan kirimu. Ketika hal itu terjadi, aku sama sekali tidak berdaya mencegahnya, Cin Cin."
"Hemm, sudahlah, jangan bicara lagi tentang hal itu. Tadi kau mengatakan bahwa engkau membantuku melawan Can Hong San juga bukan sengaja membantu, apa maksudmu?"
"Aku memang sedang mengejarnya. Dia merupakan seorang pelarian, karena tadi pasukan keamanan Sin-yang sedang menyerbu perkumpulan Koai-liong-pang yang didirikan oleh Can Hong San ini. Dia berhasil melarikan diri, maka aku mengejarnya dan melihat dia berkelahi denganmu di sini."
Dengan singkat Thian Ki bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan Li Ai Yin dan tentang Hong San, didengarkan penuh perhatian oleh Cin Cin. Gadis itu lalu memandang ke arah mayat Can Hong San, dalam hati merasa puas karena tugas yang diperintahkan subonya telah berhasil ia laksanakan, yaitu membunuh Can Hong San seperti yang dikehendaki ibunya.
"Hemm, hatiku puas sudah, tugas pertamaku sudah dapat terlaksana..." ia menoleh ke arah Thian Ki. "...hei, apa yang sedang kau lakukan itu?" tanyanya melihat Thian Ki mempergunakan pedangnya untuk menggali tanah.
"Aku menggali tanah untuk mengubur jenazah Can Hong San."
"Hemm, orang sejahat itu!" cela Cin Cin.
"Dia ikut menjadi sebab kematian ayahku dan hancurnya Hek-houw-pang, dia bahkan membunuh ayahnya sendiri!"
Thian Ki menghela napas panjang. "Memang, ketika hidupnya dia telah tersesat, menjadi hamba dari nafsu-nafsu rendah. Ayah kandungku juga tewas di tangannya dan aku melihat dia melakukan banyak kejahatan. Akan tetapi itu terjadi ketika dia masih hidup. Sekarang dia sudah mati, mengubur mayat sendiripun tidak mampu. Tidak sampai hatiku membiarkan mayatnya terlantar."
Dia melanjutkan pekerjaaannya. Sejenak Cin Cin hanya menonton saja, akan tetapi mendadak ia mengambil pedang yang tadi terlepas dari tangan Can Hong San, lalu membantu Thian Ki menggali tanah dengan pedang itu! Thian Ki diam saja, kalau bicara khawatir menyinggung, akan tetapi diam-diam dia merasa gembira sekali. Ini masih Cin Cin yang dahulu, seorang anak yang pada dasarnya memiliki watak yang baik.
Dia masih ingat ketika berkunjung ke Hek-houw-pang dulu, Cin Cin adalah seorang anak yang lincah jenaka, periang, tabah dan pandai bicara. Kalau sekarang ia nampak begitu dingin, keras dan pendiam, tentu karena gemblengan gurunya, seorang datuk sesat, dan mungkin ditambah lagi karena terbuntungnya tangan kirinya. Kasihan sekali! Aku akan mencoba untuk membahagiakanmu, Cin Cin, bisik hatinya, mengembalikan seperti dahulu!
Setelah selesai menguburkan jenazah itu secara sederhana, Cin Cin menyimpan pedang Koai-liong-kiam milik Can Hong San. Akan ia kembalikan kepada gurunya, katanya kepada Thian Ki. Mereka lalu mengaso, duduk di bawah sebatang pohon dimana terdapat sumber air yang menjadikan sungai kecil yang airnya jernih, dimana tadi mereka mencuci tangan dan muka setelah tangan mereka berlepotan tanah.
Thian Ki semakin terharu melihat cara Cin Cin mencuci tangan kanannya, menggosok-gosokkan jari tangan itu kepada rumput dan ilalang di dekat sumber air. Ingin sekali dia menolong membersihkan tangan itu, akan tetapi dia tidak berani, takut kalau-kalau hal itu akan membuat Cin Cin tersinggung dan teringat akan kebuntungan tangan kirinya. Mereka duduk berhadapan, duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah, saling berhadapan.
"Thian Ki, sekarang aku ingin mendengarkan pengalamanmu sejak kita dipisahkan oleh penyerbuan ke Ta-bun-cung itu," kata Cin Cin yang agaknya sudah dapat menghapus rasa benci dan dendam kepada Thian Ki.
Thian Ki menceritakan semua pengalamannya, mulai dari malam penyerbuan itu, dimana tanpa sengaja dia telah menewaskan dua orang penyerbu dengan keadaan tubuhnya yang beracun, betapa kemudian dia dan ibunya ditawan dan dilarikan oleh Can Hong San dan Gan Lui, yang menjadi pembantu Cian Bu Ong dan diserahkan kepada bekas pangeran itu.
Kemudian diceritakannya pula dengan jelas untuk menghapus salah sangka gadis itu terhadap ibunya, kenapa ibunya akhirnya menjadi isteri Cian Bu Ong dan dia menjadi anak tiri dan juga murid. Tentu saja dia tidak menceritakan bahwa dia telah ditentukan menjadi calon suami Cian Kui Eng, saudara tiri dan juga adik seperguruannya.
Cin Cin mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menyela, akan tetapi setelah Thian Ki selesai bercerita, ia berkata penasaran, "Aku merasa heran sekali kenapa bibi Sim Lan Ci yang dahulu kuanggap sebagai seorang wanita bijaksana dan gagah perkasa, mau menjadi isteri Cian Bu Ong, padahal bukankah Cian Bu Ong yang menjadi biang keladi kehancuran Hek-houw-pang dan menewskan ayah kita?"
"Akupun tadinya merasa penasaran, akan tetapi setelah mengetahui segalanya dengan jelas, aku tidak dapat menyalahkan ibu. Ayah telah meninggal dunia, dan ibu menjadi janda. Cian Bu Ong adalah seorang yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan bijaksana. Memang tidak dapat disangkal bahwa dia yang menyuruh para pembantunya untuk menyerbu Hek-houw-pang, akan tetapi hal itu ada alasannya yang amat kuat. Dia adalah seorang pangeran Kerajaan Sui yang digulingkan oleh Li Si Bin yang kemudian mendirikan kerajaan Tang. Tentu saja dalam pandangan Cian Bu Ong, kerajaan Tang adalah kerajaan yang dibangun oleh pemberontak kerajaan Sui. Karena itu, sudah jamak kalau ia berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Sui dan memusuhi kerajaan Tang. Kemudian dia mendengar bahwa Hek-houw-pang adalah sebuah perkumpulan yang mendukung kerajaan Tang, maka tentu saja dia menganggap Hek-houw-pang sebagai musuhnya dan menyuruh para pembantunya melakukan penyerbuan. Dia bukan orang jahat, Cin Cin. Dia hanya menjadi korban dari perang, korban keadaan yang menjadikan dia seperti itu. Nah, sekarnag kuharap engkau suka menceritakan pengalamanmu sejak malam itu."
Cin Cin menghela napas. Wajahnya yang cantik itu menjadi muram dan sampai beberapa saat lamanya ia tidak bicara. Akan tetapi Thian Ki tidak mendesak, hanya menanti dan akhirnya Cin Cin menceritakan semua yang dialaminya. Ia menceritakan betapa ayahnya tewas dan ibunya lenyap dilarikan penyerbu. Kemudian betapa ia, oleh kakeknya dikirim ke dusun Hong-cun untuk menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning Si Han Beng, dan kepergiannya diantar oleh paman gurunya, yaitu Lai Kun.
Betapa di dalam perjalanan ia dijual oleh Lai Kun kepada seorang mucikari dan betapa ia disiksa dan dipaksa untuk belajar segala macam kesenian, dipersiapkan untuk kelak menjadi seorang pelacur kalau sudah dewasa. Betapa kemudian ia berhasil melarikan diri dan dikejar tukang-tukang pukul, akan tetapi ia ditolong oleh Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan dan menjadi muridnya.
"Begitulah, aku mempelajari segala macam ilmu dari su-bo, kemudian su-bo memberi tugas kepadaku, yaitu untuk mencari Can Hong San dan membunuhnya, karena Can Hong San telah membunuh ayahnya sendiri, Cui-beng Sai-kong Can Slok, yang menjadi suheng dari su-bo. Dan juga agar aku membunuh Cian Bu Ong, karena bekas pangeran itu telah menghancurkan kehidupan subo dengan menyia-nyiakan dan mengkhianati cinta mereka. Akan tetapi, usahaku membunuh Cian Bu Ong gagal karena engkau Thian Ki, dan usahaku membunuh Can Hong San berhasil karena engkau pula. Inilah nasib..." gadis itu termenung.
Thian Ki menghela napas. Dia takkan pernah bebas dari penyesalan kalau mengingat akan buntungnya tangan Cin Cin karena dia itu. "Dan engkau belum bertemu ibumu?"
Cin Cin mengerutkan alisnya dan cemberut. "Sudah, dan itulah yang membuat hatiku jengkel, biarpun sekarang aku sudah mengerti mengapa ibuku menikah lagi dengan dia!"
"Ibumu menikah? Dengan siapakah?" Tanya Thian Ki heran. Betapa sama nasib gadis ini dengan nasibnya. Ibu mereka kehilangan suami ketika Hek-houw-pang diserbu, dan kini ibu mereka yang sudah menjadi janda telah menikah lagi!
"Itulah yang tadinya membuat aku jengkel. Kalau ibumu menikah dengan Pangeran Cian Bu Ong, maka ibuku menikah dengan pembantunya, seorang di antara mereka yang dahulu menyerbu Hek-houw-pang!"
"Ahh...!! Thian Ki benar-benar terkejut mendengar ini. Ibu Cin Cin? Bibi Coa Liu Hwa yang cantik dan lemah lembut itu? Akan tetapi dia tidask berani bertanya lagi, khawatir menyinggung.
"Setelah aku mendengar penuturan ibuku dan ayah tiriku, aku tidak menyalahkan mereka, bahkan aku bangga karena suami ibu sekarang adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal, yaitu Lie Koan Tek." Lalu Cin Cin menceritakan tentang pengalaman ibunya sehingga menjadi isteri pendekar itu. Thian Ki mengangguk-angguk, merasa lega karena ibu Cin Cin tidak melakukan hal yang memalukan.
"Aku sudah mendengar akan nama besar ayah tirimu itu, Cin Cin."
Keduanya diam agak lama, kemudian Cin Cin menghela napas panjang dan berkata, "Aku heran sekali, kenapa ibu kita menikah lagi? Aku sekarang hanya mempunyai ibu seorang, akan tetapi ia telah menikah dengan pria lain, dan aku merasa seperti kehilangan ibuku. Ia mengecewakan hatiku, padahal aku amat mencintanya. Apakah engkau juga tidak berpikir begitu, Thian Ki?"
Thian Ki diam sejenak. Kalau dia mau jujur, memang ada perasaan tidak enak itu. Tentu dia akan merasa jauh lebih berbahagia kalau ibunya masih bersanding dengan ayahnya, walau itu tidak mungkin. Dia menarik napas panjang. "Cin Cin, kalau kita selalu mementingkan perasaan sendiri, kurasa dalam hidup ini kita akan selalu menghadapi hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan, karena apa yang kita senangi belum tentu disenangi orang lain, walau oleh ibu kita sendiri sekalipun. Sebaliknya, apa yang disenangi orang lain, termasuk ibu kita, belum tentu kita senangi. Karena itu, kita harus memiliki cinta kasih, Cin Cin. Dan cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang yang kita cinta. Bukankah begitu?"
Cin Cin diam saja. Ini merupakan hal baru baginya. Semenjak ia dewasa, ia hanya mendengar dan melihat segala tentang hidup ini dari gurunya, dan pandangan gurunya lain sama sekali dari apa yang diucapkan Thian Ki. Bagi gurunya, yang terpenting adalah perasaan sendiri, diri sendiri, sehingga segala sepak terjang dalam hidup hanya didasari kepentingan diri sendiri!
Apa yang diucapkan oleh Thian Ki, kalimat terakhir, yaitu bahwa cinta kasih bukan berarti menuntut kesenangan hati kita sendiri dari orang yang kita cinta, merupakan ucapan yang teramat penting untuk ditelaah oleh kita semua. Bukan hanya menyangkut cinta kasih pada umumnya yang dianggap hanya merupakan perasaan timbal balik antar insan berlawanan jenis, antara pria dan wanita, melainkan juga mencakup cinta kasih antara orang tua dan anak, timbal balik.
Betapa sering terjadi konflik atau pertentangan batin antara orang tua dan anak, padahal kedua pihak berani bersumpah saling mencinta! Kalau benar ada cinta kasih di antara orang tua dan anak secara timbal balik bagaimana mungkin sampai terjadi konflik batin antara mereka?
Konflik batin antara yang tua dan yang muda menimbulkan suatu celah atau jurang pemisah antara orang tua dengan anaknya sendiri. Yang tua menganggap anak mereka bandel dan murtad, mengecewakan dan tidak mentaati orang tua, sedangkan yang muda menganggap orang tua mereka itu kuno, kolot, terlalu mengekang, terlalu menggurui, menjadi penghalang kesenangan, dan sebagainya. Maka terjadilah konflik yang menghancurkan sendi-sendi cinta kasih di antara mereka.
Mengapa begitu? Kalau, kita singkirkan dulu perasaan keakuan, mementingan diri sendiri, dan menarik diri sebagai orang luar, bukan anak bukan orang tua, lalu menjenguk isi hati kedua pihak, mungkin akan nampak jelas bagi kita mengapa terjadi konflik seperti itu. Konflik terjadi karena bentrokan kepentingan, bentrokan selera, bentrokan pandangan hidup.
Kedua pihak, baik orang tua maupun anak, lupa bahwa alam pikiran yang tua dan yang muda berbeda jauh. Yang tua lupa bahwa kebiasaan hidup ini mengalami perubahan dan kukuh berpegang kepada nilai-nilai yang sudah dianggap mapan, nilai-nilai lama, tanpa memperdulikan adanya perubahan nilai.
Penilaian selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Orang tua selalu mengandalkan pengalaman sebagai senjata untuk memamerkan kelebihannya kepada si anak, lupa bahwa pengalaman itu adalah pengalaman dahulu dan kalau dia tidak mau mengikuti perkembangan jaman, dia bahkan akan ketinggalan dan sama sekali tidak berpengalaman dalam hal-hal baru yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, si anak juga lupa bahwa orang tuanya adalah orang-orang yang pandangan hidupnya terikat masa lalu.
Dari bentrokan ini timbullah konflik. Jarang terdapat orang tua yang tidak mengikatkan diri kepada masa lalu, melainkan arif mengikuti perkembangan jaman sehingga waspada terhadap perubahan nilai-nilai, seperti jarangnya anak yang mau memaklumi keadaan orang tuanya, lupa bahwa dengan cara mereka sendiri, orang tuanya sebetulnya bermaksud baik bagi dirinya, hanya caranya saja yang menimbulkan konflik.
Semua pertentangan itu akan lenyap kalau orang tua mencinta dengan tulus, dalam arti kata bukan mencinta dengan pamrih kepentingan dan kesenangan hati sendiri. Mencinta berarti membahagiakan yang dicinta, bukan menuntut sesuatu dari yang dicinta! Cinta yang menuntut balas, yang berpamrih, adalah cinta nafsu, yang mempergunakan cinta demi mencapai kesenangan hati sendiri, dan cinta macam ini pasti menimbulkan konflik batin.
Cinta kepada anak berarti memberi kebebasan kepada anak, seperti membiarkan tunas tumbuh menjadi pohon, bebas terkena sinar matahari dan tersiram hujan, dan orang tua hanya mengamati, menjaga-tanpa mengatur, tanpa memaksakan kehendak. Orang tua turun tangan hanya kalau melihat perkembangan pertumbuhan itu tidak benar atau terancam, seperti orang menjaga tanaman dan membersihkannya dari ulat, memberi pupuk, mencabut rumput liar, akan tetapi tidak mencampuri pertumbuhan itu sendiri. Cinta kasih bukan berarti mengikat!
Dilain pihak, anak-anak harus selalu menyadari sepenuhnya bahwa dengan cara apapun, orang tua tetap menyayang anak-anak, baik cara itu dianggap benar atau keliru, dan dasar kesadaran ini harus menjadi pengingat bahwa mereka sepatutnya berterima kasih dan tidak menyakiti hati orang tuanya. Kalau kepada orang tua sendiri tidak menyayang, bagaimana mungkin dapat menyayang orang lain?
Ibu adalah manusia yang paling besar kasihnya terhadap dirinya, sesudah itu baru ayah. Kalau kepada ayah ibu tidak dapat menaruh hati kasih sayang, maka cinta kasih kepada orang lain tentu saja patut di ragukan! Memang tidak mudah bagi orang tua maupun anaknya untuk mengatasi nafsu sendiri yang menimbulkan kekecewaan, kemarahan sehingga si orang tua tidak menyumpahi anaknya dan si anak tidak menyumpahi orang tua.
Dalam keadaan dicengkeram nafsu amarah, manusia dapat melakukan apa saja. Namun, kesukaran itu pasti akan mudah diatasi kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kalau kita pasrah dan mohon bimbingan kekuasaan Tuhan. Karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menundukkan nafsu-nafsu daya rendah yang menyesatkan kita.
Sampai lama Cin Cin menunduk saja, kemudian mengangkat muka menatap wajah Thian Ki yang kebetulan juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu lagi untuk kesekian kalinya dan bertaut.
"Thian Ki, sekarang aku tidak lagi dendam padamu, dan aku menyadari sepenuhnya bahwa perbuatanmu membuntungi tanganku dahulu terpaksa kau lakukan dan aku sendiri yang bersalah telah mencengkeram pundakmu, karena aku tidak tahu bahwa tubuhmu beracun. Ini yang namanya nasib, dan aku tidak menyalahkanmu lagi."
"Terima kasih, Cin Cin. Seolah-olah batu besar yang sejak peristiwa itu menindih hatiku, kini terangkat, membuat dadaku lapang. Terima kasih!"
"Akan tetapi ada sebuah permintaanku dan kuharap engkau tidak menolak, karena penolakanmu tentu akan membuat aku tidak dapat menerimamu sebagai sahabatku lagi, seperti ketika dahulu di Hek-houw-pang."
"Permintaan apakah itu, Cin Cin? Aku pasti akan memenuhinya!" kata Thian Ki gembira.
"Aku pasti akan mencari dan menantang Cian Bu Ong, dan kuharap engkau tidak akan mencampurinya lagi." Setelah berkata demikian, Cin Cin menatap wajah pemuda itu dengan pandang tajam menyelidik.
"Cin Cin, setelah mengetahui bahwa perbuatan Cian Bu Ong itu hanya merupakan akibat perang, engkau masih mendendam kepadanya karena penyerbuan terhadap Hek-houw-pang itu?"
Cin Cin menggeleng kepala dengan tegas. "Tidak, Thian Ki. Aku menyadari bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan Hek-houw-pang. Akan tetapi aku harus melaksanakan tugas yang diberikan su-bo kepadaku. Sejak kecil aku ditolong, dipelihara dan dididik su-bo, sudah selayaknya kalau sekarang aku membalas budinya dengan melaksanakan perintahnya. Aku akan membunuh Cian Bu Ong untuk mentaati perintah subo." Melihat kerut alis pemuda itu, Cin Cin menambahkan, suaranya mengandung tantangan, "Engkau tidak setuju dan hendak membela ayah tiri dan gurumu?"
"Tidak, Cin Cin. Aku hanya akan membela orang yang lemah dan tidak bersalah. Akan tetapi dua hal yang patut kaurenungkan dan kau pertimbangkan dengan baik sebelum bertindak sejauh itu. Pertama, tingkat kepandaian Cian Bu Ong amat tinggi dan engkau tidak akan dapat menang, Cin Cin."
"Aku tidak takut! Kalau aku tidak berhasil melaksanakan tugas itu, biar aku mati di tangannyapun aku tidak merasa penasaran!" kata Cin Cin dengan nekat.
"Aku percaya akan kegagahan dan keberanianmu, Cin Cin. Akan tetapi, kalau kita sudah tahu bahwa kita tidak akan menang melawan seorang musuh,, akan tetapi kita nekat dan tewas di tangannya, bukankah itu mati konyol namanya? Sama dengan bunuh diri."
"Aku tidak peduli, Thian Ki. Aku rela dalam menjalankan tugas mentaati perintah subo."
"Baiklah, sekarang hal yang ke dua. Urusan antara su-bomu dan Cian Bu Ong adalah urusan yang amat pribadi, urusan cinta kasih di antara mereka. Dalam urusan cinta kasih antara seorang pria dan seorang wanita, sebetulnya tidak boleh dicampuri siapapun juga, karena itu adalah urusan hati yang hanya dapat diselami oleh kedua pihak yang bersangkutan. Rasanya janggal dan tidak pantas kalau ada yang mencampuri, apalagi yang mencampuri urusan cinta antara kedua orang itu adalah murid sendiri. Coba renungkan baik-baik, Cin Cin, dan sadarilah bahwa aku mengemukakan kedua hal ini demi kebaikanmu, bukan untuk membela Cian Bu Ong."
Cin Cin menunduk dan alisnya berkerut. Ia tahu bahwa pencegahan yang dilakukan Thian Ki itu adalah untuk menjaga agar ia tidak sampai tewas atau terluka oleh Cian Bu Ong yang memang harus ia akui jauh lebih lihai darinya. Akan tetapi, masalah ke dua yang diajukan Thian Ki itu yang menarik hatinya. Menurut subo-nya, ia sakit hati terhadap Cian Bu Ong yang dahulu menjadi kekasihnya, karena Cian Bu Ong menyia-nyiakan, meninggalkannya.
Dan perbuatan pangeran itu adalah karena dia mengetahui akan keadaan subo-nya sebagai seorang tokoh sesat, dan terpaksa dilakukan karena pangeran itu memiliki cita-cita besar menjadi kaisar dan tentu saja akan mencemarkan nama baiknya kalau dia berhubungan dengan seorang wanita sesat. Subo-nya mendendam dan menghendaki kematian Cian Bu Ong, akan tetapi kenapa subonya menyuruhnya? Padahal, subonya tentu tahu betapa lihainya Cian Bu Ong! Kalau subonya merasa sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri sejak dulu?
"Thian Ki, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" Ia bertanya lirih, hatinya mulai terasa bimbang. "Tentu tidak mungkin kalau aku kembali kepada subo menyatakan ketidak-sanggupanku!"
"Cin Cin, engkau telah dapat menunaikan tugas yang diperintahkan subomu dengan baik, sudah berhasil membunuh Can Hong San, bahkan engkau sudah pula menemukan Cian Bu Ong dan menyerangnya, walaupun engkau tidak berhasil. Nah, engkau dapat melaporkan semua itu kepada subomu. Aku akan menemanimu menghadap subomu, dan aku yang mencoba membujuknya agar ia menghadapi sendiri Cian Bu Ong."
"Ahh! Ia tentu akan marah sekali kepadaku, juga kepadamu dan mungkin ia akan menyerangmu, Thian Ki!"
"Belum tentu, Cin Cin. Andaikata demikian, aku dapat melindungi diriku. Aku dapat menduga bahwa tentu subomu itu masih mencinta Cian Bu Ong. Inilah sebabnya mengapa ia tidak dapat turun tangan sendiri untuk membunuh bekas kekasihnya itu, melainkan menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kepandaian. Mungkin dengan penjelasanku, ia akan sadar dan tidak lagi menyuruhmu membunuh Cian Bu Ong."
Kembali Cin Cin terdiam sampai agak lama, hatinya bimbang, akan tetapi usul itupun amat menarik hatinya. Pertama, iapun ingin sekali melihat bagaimana nanti tanggapan subonya terhadap pemuda ini. Dan ke dua, ini yang membuat jantungnya berdebar, pemuda ini hendak menemaninya pulang, berarti, mereka akan melakukan perjalanan berdua!
Entah bagaimana, sejak tangannya buntung oleh Thian Ki, ia tidak pernah mampu melupakan pemuda itu. Kadang ia teringat dengan hati penuh kebencian, penuh dendam karena pemuda itu telah membuntungi tangannya. Akan tetapi ada kalanya, ia teringat dengan perasaan kagum kepada pemuda itu, juga perasaan setia-kawan dan senasib. Sekarang, setelah pemuda itu membantunya sehingga ia berhasil membunuh Can Hong San, Thian Ki hendak menemaninya menemui subonya.
"Baiklah, Thian Ki. Akan tetapi kalau engkau tidak berhasil membujuknya, kalau subo tetap dengan perintahnya, terpaksa aku akan mencari Cian Bu Ong dan mencoba untuk membunuhnya, dan engkau jangan mencampurinya lagi. Juga kuperingatkan bahwa subo amat benci kepada pria sebagai akibat perbuatan Cian Bu Ong, maka kalau ia bersikap tidak manis kepadamu, jangan menyalahkan aku."
Thian Ki memandang dengan wajah berseri. Hatinya merasa gembira bukan main, bukan hanya karena dia diperbolehkan melakukan perjalanan bersama gadis itu, melainkan terutama sekali karena dia diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu demi kebaikan gadis itu dan hal ini tentu saja dapat mengobati penyesalannya terhadap diri sendiri yang mengakibatkan Cin Cin kehilangan tangan kirinya.
"Aku tidak biasa menyalahkan orang lain Cin Cin. Aku lebih suka menyalahkan diriku sendiri daripada menimpakan kesalahan kepada orang lain."
"Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Perjalananan kita cukup jauh."
Thian Ki bertanya di mana Tung-hai Mo-li tinggal dan ketika mendengar bahwa guru Cin Cin tinggal di pantai timur, dia berkata, "Ah, kalau begitu, perjalanan kita akan melewati dusun Hong cun di tepi Huang-ho. Kita dapat singgah di rumah Paman Si Han Beng, karena aku harus menemui paman Si Han Beng berdua!"
"Maksudmu Paman Si Han Beng Si Naga Sakti Sungai Kuning?" tanya Cin Cin heran dan teringatlah ia betapa tadinya, kakeknya menyuruh Lai Kun mengantarnya kepada pendekar itu untuk menjadi muridnya.
"Benar, siapa lagi kalau bukan dia?"
"Hem, kalau saja Paman Lai Kun tidak berkhianat dan tidak menjualku di tengah perjalanan, agaknya sekarang aku telah menjadi murid pendekar besar itu. Tapi, mau apakah kita singgah ke sana, Thian Ki?" Perasaan hati Cin Cin tidak nyaman juga mendengar mereka akan singgah di rumah suami isteri pendekar yang namanya terkenal di dunia persilatan itu.
"Cin Cin, Paman Si Han Beng adalah adik angkat mendiang ayahku, maka dapat dianggap dia keluarga kami sendiri, akan tetapi bukan itu yang penting. Aku harus menghadap suami isteri pendekar itu, karena hanya mereka berdua saja yang akan mampu memberi petunjuk kepadaku agar aku terbebas dari cengkeraman racun di tubuhku."
Cin Cin membelalakkan matanya yang indah. Semua perasaan penasaran dan tak senang kepada Thian Ki agaknya sudah terhapus dan ia sudah pulih kembali seperti sebelum tangannya buntung. "Aihh, engkau ini sungguh aneh, Thian Ki! Aku dan semua orang tentu akan senang sekali jika dapat menjadi anak beracun sepertimu. Tidak akan terkalahkan oleh siapapun juga! Akan tetapi engkau malah ingin membuang racun itu dari tubuhmu. Bagaimana ini?"
Thian Ki tersenyum dan apa yang dia pikirkan saat itu keluar dari mulutnya, "Ah, engkau mengingatkan aku kepada Kui Eng. Iapun ingin menjadi beracun seperti aku!"
"Kui Eng? Siapa itu? Seorang gadis...?"
"Engkau sudah pernah bertemu dengannya, bahkan bertanding dengannya. Ia adalah adik tiriku dan sumoi-ku."
"Ahh, puteri Cian Bu Ong itu? Akan tetapi, kukira bukan hanya aku dan ia yang ingin menjadi beracun sepertimu. Setiap orang ahli silat akan merasa bangga sekali kalau..."
"Ah, engkau hanya memperhitungkan enaknya saja, tidak mau tahu tentang tidak enaknya. Cin Cin. Bayangkan saja, dengan racun terkutuk ini, tanpa disengaja aku telah membuat engkau kehilangan tangan kirimu. Enakkah itu? Kalau yang terkena begitu orang jahat atau musuh, masih mending, akan tetapi kalau orang sendiri? Selain itu, dengan keadaan seperti aku ini, aku tidak... tidak... boleh menikah."
Kembali mata yang indah itu terbelalak, kini terkejut. "Ehh! Kenapa begitu?"
"Karena, kalau aku menikah..." Thian Ki agak tergagap karena bicara tentang pernikahan membuat dia enggan dan malu. "...wanita yang menikah dengan aku akan mati keracunan."
"Ahhh...!" Kini Cin Cin memandang kepada Thian Ki dengan mata terbelalak, dan sinar matanya yang tadinya terkejut, perlahan-lahan mengandung sinar iba. "Kalau begitu... engkau seperti kena kutuk..."
"Begitulah, maka aku harus berusaha menghilangkan pengaruh racun ini dari tubuhku. Mendiang nenek yang menjadikan aku anak beracun juga tidak mampu melenyapkan racun ini, dan menurut keterangannya, yang mampu hanya orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, seperti Pek I Tojin guru Paman Si Han Beng dan Hek Bin Hwesio guru Bibi Bu Giok Cu. Bahkan menurut mendiang nenek, mungkin saja suami isteri pendekar itu sendiripun sudah cukup untuk dapat melenyapkan racun dari tubuhku."
"Ah, kalau begitu, memang perlu sekali singgah ke sana, Thian Ki! Engkau harus disembuhkan. Mari kita berangkat, akupun ingin bertemu suami isteri pendekar yang dipilih kakek untuk menjadi guruku itu, dan aku ingin bicara dengan mereka tentang murid mereka."
Melihat gadis itu bangkit lalu melangkah pergi, Thian Ki juga mengikutinya. Mereka berjalan keluar dari jalan simpangan itu, menuju ke jalan besar yang masih sunyi.
"Cin Cin, kau tadi menyinggung tentang murid Huang-ho Sin-liong? Siapakah dia?"
"Thian Ki, ingatkah engkau kepada The Siong Ki?"
"The Siong Ki, siapakah itu? Aku tidak ingat nama itu."
"Dia teman kita bermain-main ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung ke Hek-houw-pang dulu itu. Dia putera supek The Ci Kok..."
"Ahhh, anak yang jangkung dan yang... eh telinganya kecil itu?"
Cin Cin tersenyum dan Thian Ki terpesona. Baru sekarang dia melihat gadis ini tersenyum dan seolah-olah matahari baru muncul dari balik awan mendung yang tebal, mengusir semua kegelapan dan kemuraman! "Benar dia, Thian Ki. Aih, betapa aku selalu menggodanya dan mengatakan dia bertelinga tikus, dan dia marah-marah." Gadis itu kini tersenyum lebar sehingga nampak sedikit deretan giginya yang putih dan rapi, juga lekuk-lekuk di kedua pipinya nampak, membuat wajah itu menjadi manis sekali.
"Jadi dia yang menjadi murid Paman Si Han Beng? Ah, tentu dia lihai sekali dan di mana engkau bertemu dengan dia, Cin Cin?"
"Dia memang lihai, akan tetapi kiraku aku masih mampu menandinginya. Kau tahu, dua kali aku bertemu dengan dia, dan dua kali pula aku sempat bertanding dengannya, walau hanya beberapa jurus saja." Cin Cin lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Siong Ki di Hek-houw-pang. Kemudian yang ke dua kalinya ketika ia membela ibu kandung dan ayah tirinya yang hampir celaka di tangan Siong Ki.
"Penyerangannya terhadap ibuku itulah yang membuat hatiku merasa penasaran dan aku akan sampaikan kepada Huang-ho Sin-liong dan isterinya! Kalau dia berada di sana, aku akan menegur langsung dan menantangnya!"
"Aih, Cin Cin. Bagaimanapun juga, antara engkau dan dia masih ada hubungan persaudaraan lewat Hek-houw-pang, kenapa urusan kecil dibesar-besarkan?"
"Urusan kecil? Kalau dia menyerang ayah tiriku karena dia menganggap ayah tiriku dahulu membantu Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw-pang yang mengakibatkan supek The Ci Kok tewas, hal itu masih biasa dan aku tidak akan mencampurinya. Akan tetapi melihat ayah tiriku dalam bahaya, tentu ibuku membela dan Siong Ki telah berani melukai pangkal lengan kanan ibuku! Kalau aku tidak muncul di saat itu, siapa tahu dia akan membunuh ibuku pula. Hemm, kalau dia berada di rumah Huang-ho Sin-liong, aku akan beberkan semua ini dan kalau dia tidak mau mengakui kesalahannya dan minta maaf, aku akan menantangnya, membalaskan ibuku!"
Thian Ki menghela napas panjang. Dia tahu Cin Cin menjadi seorang gadis yang keras karena gemblengan hidup sejak kecil, yang teramat pahit. Akan tetapi pada dasarnya, ia seorang gadis yang baik hati. Dan memang Siong Ki keterlaluan kalau berani melukai ibu gadis ini.
"Aku yakin bahwa Paman Si Han Beng dan isterinya, suami isteri pendekar yang bijaksana itu akan dapat mengambil tindakan kalau memang murid mereka bersalah. Huang-ho Sin-liong terkenal bukan saja karena kelihaiannya, akan tetapi juga kegagahan dan kebijaksanannya."
Dia menghibur dan sebentar saja, wajah Cin Cin yang tadinya keruh kini menjadi jernih dan cerah kembali. Mereka melanjutkan perjalanan dan benar saja seperti dugaan dan harapan Thian Ki, setelah melakukan perjalanan dua tiga hari saja, gadis itu menjadi seorang kawan yang akrab, lincah dan selalu bergembira.
********************
Bukan hanya Pangeran Tua Li Siu Ti, yaitu paman dari Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi Kaisar Tung Tai Cung menggantikan ayahnya saja yang pernah memberontak sehingga dihukum mati seluruh keluarganya, juga pada awal Kerajaan Tang itu, telah berulang kali terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran dan keluarga Kaisar. Pendiri Kerajaan Tang, sesungguhnya adalah Pangeran Li Si Bin, walaupun sebagai kaisar pertama, yang diangkat adalah ayahnya, yaitu Li Goan, yang tadinya kepala daerah Shansi dan yang berjuluk Kaisar Tang Kao Cu (618 - 627).
Semenjak Kerajaan Tang berdiri, sudah berulang kali terjadi perebutan kekuasaan, namun semua kerusuhan itu dapat dipadamkan oleh Pangeran Li Si Bin yang sejak mudanya memang merupakan seorang yang gagah perkasa, pandai ilmu silat dan ilmu perang juga amat bijaksana. Ketika Pangeran Li Si Bin menjadi Kaisar Tang Tai Cung menggantikan ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung (627 - 649) dengan penuh semangat membangun Kerajaan Tang sehingga menjadi semakin kuat dan makmur.
Dia menjadi kaisar dalam usia duapuluh enam tahun dan sepuluh tahun kemudian, kerajaan Tang berkembang menjadi Kerajaan yang kuat dan diakui oleh para negara tetangga. Akan tetapi, setelah para pangeran putera Kaisar Tang Tai Cung mulai dewasa, kembali terjadi gejala persaingan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran itu! Hal ini membuat Kaisar Tang Tai Cung menjadi pusing dan marah.
Sudah ada beberapa orang pangeran, putera-puteranya sendiri, terpaksa diasingkan ke perbatasan barat dan utara, karena mereka saling bermusuhan memperebutkan kedudukan sebagai pangeran mahkota. Akhirnya, Kaisar memilih Pangeran Li Hong yang berwatak pendiam, tidak pernah ikut bersaing memperebutkan kedudukan, seorang pangeran yang tampan, namun tidak cerdik dan bahkan wataknya lemah. Selain itu, kelemahan menyolok dari Pangeran Li Hong adalah wataknya yang mata keranjang. Kaisar Tang Tai Cung tahu akan hal ini, dan dia merasa prihatin sekali. Akan tetapi tidak ada pilihan lain!
Kalau dia mengangkat seorang di antara putera-puteranya yang saling bermusuhan karena memperebutkan kedudukan menjadi pangeran mahkota, pasti akan timbul pertentangan dan bentrokan hebat, terjadi perpecahan di antara keluarganya sendiri. Dia berusaha untuk menggembleng pangeran mahkota itu dengan mengundang guru-guru silat maupun sastra. Akan tetapi, memang Pangeran Mahkota Li Hong tidak berbakat, juga kurang semangat, maka dalam kedua macam ilmu itupun dia sama sekali tidak mendapatkan kemajuan.
Kwa Bi Lan, yang menjadi selir Kaisar Tang Tai Cung semenjak kaisar masih Pangeran Li Si Bin, melihat semua perkembangan ini. Ia sendiri sama sekali tidak tertarik akan urusan pemerintahan. Kalau ia sampai mau menjadi selir pangeran yang kini menjadi kaisar, hal itu sama sekali bukan karena ia berambisi untuk memperoleh kedudukan dan kemuliaan. Sama sekali tidak!
Ia seorang wanita yang berjiwa pendekar dan ketika ia sebagai seorang janda muda tanpa anak menerima pinangan Pangeran Li Si Bin adalah karena memang tertarik dan kagum kepada pangeran yang perkasa itu. Akan tetapi, setelah pangeran itu menjadi kaisar, sebagian besar waktu dan perhatian Kaisar Tang Tai Cung dikerahkan untuk urusan pemerintahan, untuk mengemudikan pemerintahan dan memakmurkan negara.
Mulailah Kwa Bi Lan mulai kesepian dan kehidupan di dalam istana itu dirasakannya menyiksa jiwanya yang biasanya bertualang dan bebas. Apalagi ketika Kaisar Tang Tai Cung tergila-gila kepada seorang dayang baru yang bernama Bu Couw Hwa, kaisar itu tidak lagi pernah datang berkunjung kepadanya, baik untuk bermalam di kamarnya atau untuk berbincang-bincang.
Hong Lan atau Lan Lan, yang kini menjadi puteri Istana dengan nama Li Hong Lan, dapat merasakan kedukaan ibunya. Ia telah menjadi seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang lincah jenaka, cantik jelita dan juga pandai ilmu silat, sastra dan seni! Ia menjadi seorang puteri yang dicinta oleh semua penghuni istana, dari kaisar sampai kepada dayang dan thai-kam (orang kebiri). Bahkan para guru silat yang atas perintah kaisar mengajarkan silat kepadanya juga amat sayang kepada murid yang berbakat ini.
Para pangeranpun, yang tentu saja tahu bahwa Hong Lan adalah seorang anak bawaan Kwa Bi Lan dan bukan puteri kandung kaisar, juga menganggap Lan Lan sebagai adik mereka sendiri dan bersikap menyayang kepadanya. Namun, semua ini tidak membuat Lan Lan menjadi manja atau besar kepala. Ibunya selalu menekankan watak yang sederhana dan rendah hati, dan ibunya selalu mengingatkan agar ia tidak menjadi seorang gadis sombong, dengan menceritakan bahwa ibunya dahulu seorang gadis dari rakyat biasa.
Akan tetapi, Kwa Bi Lan tidak pernah menceritakan bahwa Lan Lan bukan puteri kandung kaisar, walaupun ia tahu bahwa hal ini kelak tidak akan dapat ditutupi lagi dan pasti suatu hari Lan Lan akan mendengar sendiri bahwa ia bukan anak kandung kaisar, melainkan ikut ibunya yang menjadi selir kaisar setelah menjadi janda.
Biarlah ia kelak mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kaisar, akan tetapi ia tidak akan pernah tahu bahwa ia bukan anak kandungku, pikir Kwa Bi Lan dan kalau sudah memikirkan hal ini, hatinya meraasa cemas dan khawatir. Bagaimanapun juga, Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning dan isrerinya adalah suami isteri pendekar yang sakti, dan bukan tidak mungkin suatu waktu mereka muncul menuntut kembalinya anak mereka itu.
Pada suatu pagi, Hong Lan telah berada di taman samping istana yang biasanya sunyi dan berlatih silat pedang seorang diri di tempat latihan yang dibangun di tengah taman itu. Tempat itu merupakan tempat terbuka, beratap tanpa dinding, dengan lantai dari batu putih mengkilap, sebuah ruangan kosong yang hanya berisi beberapa buah bangku. Tempat ini amat menyenangkan untuk duduk berangin-angin sambil menikmati keindahan taman, juga amat tepat untuk berlatih silat, tempat berteduh dari panas atau hujan.
Sungguh mengagumkan sekali melihat Hong Lan berlatih silat pedang di tempat itu. Dara berusia delapan belas tahun ini memang cantik manis dan karena suka berolah raga, maka tubuhnya padat dan indah. Ketika ia bermain silat pedang, gerakan-gerakannya selain lentur dan cepat, juga indah seperti seorang penari yang ahli.
Namun di balik keindahan ini terkandung bahaya bagi lawannya. Pedang itu kadang berdesing-desing suaranya, kadang tidak bersuara seperti angin lalu, adakalanya tidak nampak pedangnya, hanya nampak bayangan putih bergulung-gulung, adakalanya pula nampak pedang seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya.
Puteri ini memang hebat, sejak kecil sudah suka sekali mempelajari ilmu silat, tekun dan berbakat sehingga seluruh kepandaian silat yang dikuasai ibunya, telah dikuasainya semua, bahkan ia masih menerima pelajaran dari guru-guru silat istana sehingga dalam usia delapan belas, ia bahkan lebih lihai dibandingkan ibunya. Biasanya, kalau berlatih silat di tempat itu, Hong Lan ditemani ibunya, atau gurunya yang lain.
Ia tidak begitu suka bergaul rapat dengan saudara-saudara tirinya, yaitu para pangeran, melihat betapa di antara para pangeran itu terdapat persaingan dan permusuhan karena memperebutkan kekuasaan. Ia tahu pula bahwa hampir semua pangeran mempunyai jagoan masing-masing, mempunyai pengikut masing-masing yang hendak membonceng pengaruh dan kedudukan pangeran, masing-masing mengharapkan majikan mereka kelak menggantikan kedudukan kaisar sehingga mereka akan memperoleh bagian pula.
Karena itu, Hong Lan muak dengan keadaan itu dan iapun lebih suka menyendiri. Hanya pangeran mahkota saja yang dianggapnya benar-benar seperti kakaknya sendiri, walau sikap kakak tirinya yang kadang terlalu mesra dan terlalu dekat itu membuatnya risi dan rikuh juga. Namun, hanya Pangeran Li Hong, atau ketika kecilnya disebut Li Ci, yang nampaknya tenang-tenang saja dan tidak mau bermusuhan dengan saudara-saudara tirinya untuk memperebutkan kekuasaan.
Diapun agaknya maklum bahwa sebagai pangeran lebih muda, dia tidak akan dipilih. Akan tetapi kenyataannya, karena para pangeran lain berlomba memperebutkan kedudukan, Kaisar Tang Tai Cung bahkan memilih dia menjadi Pangeran Mahkota, calon penggantinya kelak kalau dia sudah tiada! Akan tetapi, pengangkatan inipun agaknya disambut dengan acuh saja oleh Pangeran Li Ci atau Li Hong. Dia lebih suka bermain-main dengan para dayang dan puteri, karena hanya kalau berdekatan dan bergaul ramah, dengan wanita cantik sajalah hatinya dapat merasa bahagia!
Akan tetapi pagi hari itu, Hong Lan berlatih seorang diri. Ibunya masih tidur. Ia tahu bahwa terjadi perubahan besar dalam sikap ibunya. Dahulu, ibunya cekatan dan selalu bergembira, akan tetapi akhir-akhir ini, ibunya lebih banyak merenung dengan wajah murung. Bahkan di waktu malam sering bergadang di dalam kamar, membaca dan termenung saja, sehingga paginya agak terlambat bangun. Juga ibunya malas berlatih silat. Ia tahu penyebabnya. Ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung, selama beberapa bulan ini seperti melupakan ibunya, tidak pernah datang berkunjung untuk bermalam atau bercakap-cakap.
Itulah yang membuat, ibunya menjadi murung. Dan Hong Lan juga tahu mengapa ayahnya tidak pernah muncul. Ayahnya sedang tergila-gila kepada seorang dayang muda cantik, dan selain itu, juga ayahnya sedang tertarik akan ilmu gaib, terutama yang ada hubungannya dengan ilmu membuat umur panjang! Ia mendengar bahwa ayahnya mengadakan hubungan dengan seorang tosu ahli ilmu gaib atau ilmu sihir, untuk mempelajari ilmu membuat usia menjadi panjang, bahkan kalau mungkin, dapat hidup selamanya tidak dapat mati!
Tiba-tiba Hong Lan melompat dan menyelinap ke balik rumpun bunga yang berdaun lebat. Ia mendekam di balik semak-semak ini untuk bersembunyi, karena lapat-lapat ia mendengar suara orang menuju ke situ. Pada saat itu ia tidak ingin diganggu orang lain, maka iapun bersembunyi agar tidak ada yang melihatnya.
Ketika suara orang-orang itu semakin dekat, ternyata yang melangkah perlahan-lahan adalah ayahnya, Kaisar Tang Tai Cung dan seorang tosu yang bertubuh tinggi bermuka merah. Hong Lan tertarik dan hampir tidak bernapas, ia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang lihai, dan ia mendengar pula bahwa tosu inipun seorang sakti, maka ia khawatir kalau sampai ia ketahuan. Dari balik semak-semak, ia menghampiri mereka berdua.
Ayahnya, Sribaginda Kaisar, sudah nampak tua, padahal usianya belum ada limapuluh tahun. Semua pertengkaran antara para pangeran membuat kaisar ini banyak menderita sedih dan jengkel, membuat kesehatannya mundur dan garis-garis kepahitan menggores di wajahnya yang tampan dan gagah. Tubuhnya masih nampak kokoh dan gesit, akan tetapi ayahnya itu agaknya sudah kehilangan gairah penuh semangat pada pandang matanya yang kini nampak sayu. Hong Lan sudah mendengar akan pengaruh seorang tosu ahli sihir atas diri ayahnya, akan tetapi belum pernah ia melihat orangnya.
Kini, melihat seorang tosu dengan jubah longgar dan ada gambar pat-kwa (segi delapan) simbol Im-yang (Positip Negatip) di dada, segera ia dapat menduga bahwa tentu ini tosu yang kabarnya berjuluk Im Yang Seng cu itu! Seorang pria yang bertubuh tinggi tegap, lebih tinggi sedikit daripada ayahnya, mukanya merah dan kumis jenggotnya yang memutih itu jarang dan pelipis wajahnya aneh, mulutnya terhias senyum akan tetapi pandang matanya demikian dingin tanpa perasaan! Mereka berdua melangkah perlahan berdampingan dan tidak nampak ada pengawal seorangpun.
Memang ayahnya tidak pernah mengajak pengawal kalau berjalan-jalan di dalam lingkungan istana. Ayahnya adalah seorang ahli silat yang tangguh, maka tidak membutuhkan perlindungan pengawal. Ketika mereka tiba di depan ruangan terbuka itu, mereka berhenti dan Kaisar memberi isyarat agar mereka mengaso dan duduk di bangku yang paling depan. Hong Lan berada di belakang mereka, di balik semak-semak, tidak dapat melihat wajah mereka, namun dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.
"To-tiang, berapa lama lagikah obat panjang usia yang sedang kau buat itu? Kami sudah tidak sabar menanti. Sudah dua bulan engkau membuatnya, sampai sekarang belum juga selesai."
"Harap paduka bersabar, Sribaginda. Pembuatan obat itu tidak mudah, harus makan waktu seratus hari. Bersabarlah kurang lebih sebulan lagi dan pinto pasti akan menyerahkan obat itu kepada paduka. Tentu saja keberhasilan usaha manusia tergantung dari kehendak Langit dan Bumi, karena hanya keselarasan Langit dan Bumi saja yang dapat menghidupkan segala sesuatu. Yang wajib kita lakukan, disamping usaha semampunya, adalah menyerah kepada kekuasaan Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, yang merisaukan hati hamba adalah hasil penelitian hamba terhadap bintang-bintang di langit malam tadi. Cuaca cerah, langit bersih dan tidak terganggu sinar bulan sehingga bintang-bintang nampak jelas dan mereka bicara banyak mengenai kerajaan paduka."
"Ahhh! Apa yang dikatakan bintang-bintang terhadap kerajaan kami, to-tiang? Hatiku selalu risau kalau memikirkan keadaan kerajaan, melihat betapa tidak ada pangeran yang kuanggap cukup bijaksana dan memenuhi syarat untuk menjadi penggantiku. Beberapa orang puteraku yang kuanggap cukup kuat dan pandai, ternyata berhati bengkok dan saling bermusuhan, sehingga terpaksa kami membuangnya keluar kota raja. Hanya Pangeran Li Ci saja yang memiliki watak baik, akan tetapi dia seorang laki-laki yang lemah dan kurang semangat. Terpaksa, karena hanya itulah satu-satunya jalan, kami mengangkatnya menjadi Pangeran Mahkota. Bagaimana menurut perhitungan semalam to-tiang? Kami ingin sekali mengetahui nasib kerajaan kami."
"Sian-cai...! Nasib memang telah digariskan, namun segalanya tergantung dari usaha kita, karena yang kita ketahui hanyalah hasil atau gagalnya usaha kita. Jalannya nasib merupakan rahasia bagi kita, dapat dijenguk, namun tetap tidak dapat dimengerti. Menurut perhitungan hasil semalam melalui bintang-bintang, Kerajaan Tang masih dapat berjaya dan bertahan sampai ratusan tahun, sedikitnya tigaratus tahun lagi."
Kaisar memandang tosu itu dengan wajah berseri. "Bagus! Terima kasih kepada Bumi dan Langit yang akan mempertahankan keturunan kami sampai tiga ratus tahun!"
"Siancai...! Bagaimanapun juga, tidak ada hari cerah tanpa mendung, tidak ada siang tanpa malam, tidak ada kemujuran tanpa diselingi kemalangan. Hidup memang harus diisi gelap dan terang, senang dan susah, dan demikian pula dengan kerajaan paduka. Bahkan dalam waktu satu keturunan saja, kekuasaan kerajaan akan dipegang oleh orang lain marga, bukan marga Li yang akan mengendalikan pemerintahan, melainkan marga Bu."
"Apa...?!?" Ini tidak mungkin! Aku akan bertindak!" teriak kaisar dengan marah.
"Siancai, siancai...! Harap paduka suka menenangkan hati. Kemarahan dan kekhawatiran hanya akan menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan paduka yang sudah mundur, karena paduka banyak memusingkan soal para pangeran. Tentu saja paduka berhak untuk bertindak, justeru manusia dituntut untuk bertindak dan berikhtiar, akan tetapi hendaknya paduka tidak lupa akan hokum alam dan tidak bertindak menuruti nafsu saja."
Kaisar menahan kemarahan hatinya. Biar kepada tosu ini sekalipun, dia harus merahasiakan, tindakan apa yang akan diambilnya, maka diapun membelokkan percakapan. "Bagaimana dengan putera mahkota? Akan baikkah nasibnya dan mampukah dia mengatur pemerintahan menggantikan kami?"
Tosu itu tersenyum. "Harap paduka jangan khawatir. Menurut perhitungan bintang semalam, bintang putera paduka itu cemerlang. Pangeran Li Hong atau Li Ci kelak akan memerintah sampai puluhan tahun dengan baik!"
"Aihh...! Luar biasa! Bagaimana mungkin terjadi hal yang sebaik itu, padahal kami selalu meragukan kemampuannya? Dia lemah dan tidak cerdas, juga kurang semangat!"
"Sribaginda, kecakapan seseorang masih tidak begitu besar pengaruhnya terhadap dirinya melebihi pengaruh nasib. Sang Pangeran bernasib baik sehingga beliau akan selalu memperoleh pendukung dan pembantu yang setia dan baik, dan karena bantuan inilah yang membuat dia dapat berkuasa sampai puluhan tahun lamanya, dan negara akan menjadi makmur dan tenteram, juga agama berkembang pesat. Agama Buddha akan memegang peranan penting dalam pemerintahan putera paduka."
"Dan tadi kau katakan bahwa ada marga yang Bu yang menguasai..."
"Harap paduka tenang saja. Kalaupun ada marga yang memegang kendali pemerintahan, bukan berarti bahwa marga Li tersingkir. Siapa tahu marga Bu malah yang menjadi pendamping dan pembantu. Ini hanya Bumi dan Langit yang tahu, dan Yang Maha Pengatur yang akan mengatur semua itu. Usaha apapun yang kita lakukan, tidak akan mampu mengubah ketentuan yang telah digariskan, Yang Mulia."
"Hemm, aku khawatir sekali melihat kelemahan Li Ci! Kalau saja aku diberi umur panjang, aku akan dapat mencegah marga apapun juga menguasai keturunanku! To-tiang, cepat selesaikan obat panjang umur itu. Aku ingin hidup seribu tahun lagi agar dapat menjaga kekuasaan keturunanku!" Mereka bangkit dan berjalan pergi perlahan-lahan.
Hong Lan tertegun di tempat persembunyiannya. Diam-diam ia merasa ngeri, merasakan pergolakan yang mempengaruhi suasana di istana. Perebutan kekuasaan! Agaknya setiap orang di istana telah kejangkitan penyakit itu. Berlomba untuk meraih kekuasaan, persaingan, permusuhan dan kebencian!
Manusia saling bermusuhan dan hal ini berlangsung terus, agaknya sejak manusia-manusia pertama diciptakan sampai sekarang! Manusia saling bermusuhan, saling berlomba dan berebut kekuasaan, berebutan harta. Mengapa demikian? Semua ini adalah pengaruh iblis, pengaruh setan yang hendak menguasai manusia. Iblis mempergunakan daya-daya rendah yang ada pada diri manusia untuk menyeret manusia agar menyeleweng dari jalan hidup seperti yang dikehendaki Tuhan Maha Pencipta.
Mungkin timbul pertanyaan: Apa dan bagaimana yang dikehendaki Tuhan itu dan bagaimana kita dapat menentukan bahwa itu adalah kehendak Tuhan? Menjawab pertanyaan seperti ini hanya mengandalkan pikiran adalah tidak mungkin, atau jawaban itu hanya akan menimbulkan perdebatan dan pertentangan belaka. Untuk menjawab pertanyaan di atas, menimbulkan pertanyaan lain tentang ada dan tidaknya Tuhan!
Inipun bukan suatu pertanyaan untuk dijawab oleh otak kita. Ada atau tidaknya Tuhan merupakan kepercayaan atau ketidak percayaan saja, karena tidak mungkin membuktikan keberadaan Tuhan melalui panca-indera. Namun kekuasaan Tuhan dapat dibuktikan. Seluruh jagad mayapada beserta semua isinya ini, jelas ada, dapat dilihat, didengar dan dicium. Kalau ada, tentu ada yang mengadakannya! Nah, Yang Mengadakan inilah yang kita sebut Tuhan!
Kekuasaan Tuhan nampak jelas di mana-mana, bahkan dalam diri kita sendiri. Dari setiap helai bulu di tubuh kita, rambut dan kuku, semua itu tumbuh tanpa kita tumbuhkan. Jadi, ADA yang menumbuhkan, dan inilah kekuasaan Tuhan! Kemampuan lalat dan burung terbang di udara, kemampuan ikan hidup di air, cacing di dalam tanah, semua itu karena kekuasaan Tuhan yang mengaturnya. Dan kekuasaan itu kita namakan HIDUP atau kehidupan.
Lalu, bagaimana kita dapat menentukan bahwa semua itu merupakan kekuasaan Tuhan? Siapakah Tuhan? Pria atau wanita? Satu ataukah banyak? Dimana tempat tinggalnya? Semua pertanyaan otak atau pikiran ini sama sekali tidak tepat untuk dijawab. Nama bagi Yang Maha Kuasa atau Maha Pencipta itu hanyalah sebutan yang kita pakai saja menurut bahasa masing-masing. Kekuasaan Tuhan berada di manapun juga, dan kekuasaanNya bekerja melalui sinar matahari, udara, air, api, tanah sehingga memberi kehidupan.
Pikiran tidak mungkin mengukur kebesaran Tuhan! Tidak mungkin dapat membayangkan. Kita ini merupakan satu di antara mahluk ciptaan Tuhan. Walaupun merupakan mahluk yang paling lengkap dan sempurna, berikut hati dan pikiran, dilengkapi akal budi, namun tetap saja serba terbatas. Mata kitapun terbatas, tidak dapat melihat benda yang lebih lembut daripada ukuran mata. Pendengaran, penciuman, juga hati akal pikiran, semua terbatas. Bagaimana mungkin yang serba terbatas ini mengukur YANG TIDAK TERBATAS?
Pikiran ini hanyalah gudang yang isinya hanya tumpukan pengalaman. Kita hanya dapat mengenal hal-hal atau sesuatu yang pernah kita kenal, kita ketahui. Kalau kita disuruh mencari seseorang, tentu pikiran mencari-cari dalam gudang itu dan mencari-cari bayangan orang itu. Kalau kita pernah bertemu dengannya, pernah mengenalnya atau mengetahui bagaimana rupanya, siapa namanya, tentu kita dapat mencarinya.
Akan tetapi bagaimana kita dapat mencari seseorang yang sama sekali tidak kita ketahui, tak pernah kita kenal, baik rupanya, namanya atau tempat tinggalnya? Tidak mungkin, bukan? Baru mencari orang yang tidak kita kenal saja, tidak mungkin. Bagaimana pikiran ini, yang hanya merupakan gudang benda-benda lapuk, dapat menemukan atau mencari Tuhan?
Yang akan kita temukan tentulah Tuhan yang sudah terbentuk dalam pikiran kita, gambaran yang kita dapat tentang Tuhan, dan jelas bahwa yang kita temukan itu hanyalah sebuah bayangan belaka dari angan-angan kita sendiri. Baru membayangkan bentuk udara, bentuk api, atau bentuk air saja sudah tidak mungkin bagi kita. Yang dapat kita bayangkan adalah bentuk air dalam wadahnya, bentuk api dalam nyalanya, bentuk udara dalam tekanannya. Apalagi membayangkan bentuk Yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua itu! Tidak mungkin!
Disini letaknya peran dari iman. Tuhan hanya dapat disentuh dengan iman! Dengan kesadaran bahwa Tuhan itu Ada karena kekuasaannya ada dan terbukti. Dan kalau sudah begitu, keimanan membawa kita kepada kepercayaan akan wahyu Tuhan yang dilimpahkan kepada manusia melalui manusia pula, manusia yang sudah dipilihnya, untuk memimpin manusia agar menjauhi kejahatan dan melakukan kebajikan. Melakukan kebaikan dalam kerukunan bersama antar manusia untuk mempertahankan keberadaan manusia. Dan kebaikan inilah yang kita terima sebagai kehendak Tuhan!
Atau, kalau ada manusia dilahirkan di tempat di mana belum ada peradaban, belum ada pengertian tentang wahyu dinamakan agama, tetap saja manusia memiliki kesadaran akan adanya kekuatan yang berada di luar batas kemampuannya. Manusia, dari pengalamannya, akan mengakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, di luar jangkauan akal pikiran manusia, kekuasaan yang akan menghukum manusia melalui bencana alam dan sebagainya...