Hong Lan berlutut menghadap Kaisar Tang Tai Cung. Gadis ini menangis dan berulang-ulang kaisar menghela napas panjang. "Hong Lan, engkau tentu dapat merasakan bahwa sejak dahulu aku selalu menyayangmu seperti puteriku sendiri. Bahkan seluruh penghuni istana, seluruh keluargaku menyayangimu, bukan?"
"Hamba tidak menyangkal, Yang Mulia, dan hamba berterima kasih sekali."
Kaisar Tang Tai Cung mengelus jenggotnya, menghela napas lagi mendengar ucapan gadis itu, karena dia melihat perubahan pada sikap Hong Lan yang biasanya menyebut dia ayah, kini menyebut Yang Mulia. "Hong Lan, ibumu telah berjasa besar dan banyak sekali kepadaku, dan biarpun ia sudah meninggal dunia, kami telah menganugerahkan sebutan pahlawan kepadanya. Engkaupun berjasa ketika ada pembunuh menyerang, akan tetapi kenapa engkau menolak pemberian pahala?"
"Mohon seribu ampun, Yang Mulia. Sejak kecil, hamba telah menerima limpahan budi kebaikan dan kasih sayang dari paduka, sudah sepantasnya kalau hamba membela paduka dan tidak ada pahala lebih besar daripada kasih sayang yang selama ini hamba rasakan di sini. Hamba menghadap paduka untuk mohon diri, dan ada pula permohonan yang hamba amat harapkan akan paduka kabulkan Yang Mulia."
"Katakanlah, apa yang kau minta, Hong Lan. Aku pasti akan memenuhi semua permintaanmu."
"Hamba mohon agar paduka suka memberitahu kepada hamba, siapakah orang tua hamba. Seperti dipesankan mendiang ibu, paduka mengetahuinya dan hamba disuruh bertanya kepada paduka. Dan permohonan ke dua, hamba mohon paduka ijinkan meninggalkan istana untuk pergi mencari orang tua hamba."
Kaisar mengangguk-angguk. "Permintaanmu itu memang sudah sepantasnya. Selama belasan tahun ibumu merahasiakan keadaan dirimu hanya karena ia teramat sayang padamu, juga aku amat sayang padamu, Hong Lan. Sekarang, setelah engkau mengetahui akan rahasia itu, baiklah akan kujelaskan sesuai seperti yang pernah diceritakan ibumu kepadaku. Ketika engkau berusia dua tahun, kau diculik oleh Kwa Bi Lan dari orang tuamu, dibawa merantau dan akhirnya ketika ibumu menjadi pengawal pribadiku, engkau terbawa pula masuk ke istana, dan ketika ibumu menjadi selirku, dengan sendirinya engkau menjadi anakku. Nah, dengarlah baik-baik, ayahmu bukan orang sembarangan, Hong Lan. Dia adalah seorang pendekar sakti yang terkenal di dunia persilatan, berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) bernama Si Han Beng dan dia bersama isterinya tinggal di dusun Hong-cun yang terletak di Lembah Sungai Kuning."
Hong Lan merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Ayahnya adalah seorang pendekar sakti! Akan tetapi mengapa ibunya... ibu angkatnya itu, menculiknya dari orang tuanya? Dan kalau ayahnya seorang pendekar sakti, kenapa tidak mengejar penculik itu dan mencarinya sampai dapat ditemukan?
Melihat gadis itu mengerutkan alisnya dan nampak meragu, kaisar berkata, "Hong Lan, apakah ada yang hendak kau tanyakan kepadaku?"
"Ampun, Yang Mulia. Akan tetapi... kenapa ibu menculik hamba? Dan kenapa pula kalau orang tua hamba itu sakti, tidak merebut kembali anak mereka yang diculik?"
Kaisar Tang Tai Cung tersenyum. "Itu merupakan rahasia Kwa Bi Lan dan akupun tidak tahu. Sebaiknya engkau tanyakan saja kepada orang tuamu itu, Hong Lan."
"Yang Mulia, hamba mohon diri untuk pergi mencari orang tua hamba itu!"
Melihat gadis itu penuh semangat, Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-angguk. Memang ada sesuatu pada diri gadis ini yang mengagumkan. Biarpun sejak kecil ia hidup sebagai puteri kaisar, hidup di istana yang serba mewah dan dimuliakan orang, namun ia tidak menjadi seorang puteri yang manja. Masih jelas nampak darah pendekar di tubuhnya, dari sikapnya, dari pandang matanya.
Kaisar ini teringat akan anak-anaknya sendiri dan diapun diam-diam mengeluh. Putera-putera kandungnya hanya pandai saling bersaing dan memperebutkan kekuasaan, puteri-puterinya hanya pandai bersolek dan bermanja. Justeru Hong Lan, bukan darah dagingnya, menjadi seorang gadis yang berjiwa pendekar. Dia sendiri, andaikata tidak menjadi kaisar, tentu menjadi seorang pendekar pula dan mungkin keturunannya tidak seperti sekarang ini.
"Baiklah, anakku. Aku akan tetap menganggapmu sebagai anakku, Hong Lan. Engkau boleh pergi dan bawalah semua barang-barangmu yang berharga. Ketahuilah bahwa dalam perjalanan jauh, engkau membutuhkan biaya, dan berhati hatilah karena di luar istana terdapat banyak orang jahat yang mungkin akan mengganggumu."
Di dalam hatinya, Hong Lan hendak membantah dan mengatakan bahwa di dalam istanapun terdapat banyak orang jahat, akan tetapi ia menahan diri. Sekarang ia tidak boleh bersikap seperti biasanya terhadap kaisar. "Terima kasih, Yang Mulia. Hamba sudah bersiap-siap dan hamba akan menyamar sebagai seorang pria agar perjalanan hamba lancar dan tidak mengalami banyak gangguan."
Kaisar tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya, nampak gembira sekali. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau memang berjiwa petualang! Ha-ha, membayangkan engkau menjadi pria dan mengembara seorang diri. Alangkah senangnya dan gembiranya kalau aku dapat menyertaimu, bertualang di dunia bebas! Akan tetapi, tidak mungkin. Aku telah terikat oleh singgasana ini...! Berangkatlah, anakku, berangkatlah dan jagalah dirimu baik-baik."
"Harap Yang Mulia suka menjaga diri baik-baik pula..." kata Hong Lan terharu. "Hamba mohon diri..."
Hong Lan bangkit dan hendak pergi, akan tetapi baru beberapa langkah, Kaisar Tang Tai Cung memanggilnya. "Hong Lan, berhenti duju!" Gadis itu menahan langkahnya, lalu memutar tubuh memandang kepada kaisar. "Kesinilah!"
Hong Lan melangkah ragu, mendekati. "Lan Lan, aku ingin sebelum engkau pergi, engkau sebutlah aku seperti dahulu. Sebutlah aku ayah, karena sesungguhnya, di dalam batinku aku mengakui bahwa engkau anakku. Sebutlah, mungkin untuk terakhir kali, Hong Lan."
Sepasang mata gadis itu menjadi kemerahan dan menahan-nahan diri agar tidak menangis, lalu memaksa diri untuk berkata lirih, "Ayahanda..."
"Lan Lan...!" Kaisar itu meraih dan Hong Lan dan sudah dirangkulnya dan diciumnya dahi puterinya itu, seperti yang biasa dia lakukan.
Dan kini Hong Lan tidak dapat menahan tangisnya lagi, iapun merasa amat sayang kepada kaisar dan tahu betapa kaisar memiliki banyak sekali musuh dalam selimut, banyak yang iri, banyak yang menginginkan kedudukannya, dan kini terpaksa ia meninggalkan kaisar, setelah ibunya meninggal.
Tiba-tiba Kaisar Tang Tai Cung melepaskan rangkulannya dan mendorong lembut tubuh puterinya, lalu tertawa bergelak. "Haii! Apa-apaan ini? Kita bertangisan seperti dua orang yang lemah dan cengeng! Memalukan! Engkau seorang pendekar wanita, Lan Lan, tidak boleh menangis. Pula setelah engkau menyamar pria, engkau sama sekali tidak boleh menangis, akan ketahuan orang!"
Biarpun kedua matanya basah, kaisar itu tertawa bergelak dan Hong Lan juga tertawa. "Selamat tinggal... ayah..."
"Selamat jalan, anakku. Sampaikan salam kepada orang tuamu dan katakan bahwa aku, Li Si Bin, sangat mengagumi mereka dan telah mendengar akan nama besar mereka."
Pergilah Hong Lan dengan langkah tegap meninggalkan ruangan itu, untuk berkemas dan mulai melakukan perjalanannya mencari orang tua kandungnya.
Pangeran Li Seng Cun dihukum buang bersama semua keluarganya, dan kaki tangannya dihukum mati. Diam-diam hal ini tidak disetujui oleh Bu Mei Ling, dayang yang berjasa itu, yang semenjak hari itu diangkat menjadi selir resmi Kaisar. Tentu saja ia tidak berani berkata sesuatu, hanya di dalam hatinya ia khawatir bahwa orang-orang yang sudah berkhianat itu, para pemberontak itu, kalau hanya dihukum buang, tentu masih mempunyai kesempatan untuk menyusun kekuatan dan kelak memberontak lagi!
Tidak sukar bagi Thian Ki dan Cin Cin untuk menemukan rumah orang yang mereka cari. Setiap orang di dusun Hong-cun, bahkan di dusun-dusun lain di wilayah itu, tahu belaka di mana tempat tinggal Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan isterinya. Suami isteri pendekar sakti ini tinggal di dusun yang sunyi, bahkan mereka hidup sebagai petani dan tidak pernah mencampuri urusan ramai, walaupun mereka berdua tidak pernah lalai berlatih silat.
Latihan ini amat penting bagi mereka, bukan hanya untuk menjaga kondisi tubuh agar tidak hilang terbuang saja ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari selama bertahun-tahun. Bahkan suami isteri ini, bersama-sama mulai mengkombinasikan ilmu-ilmu mereka untuk merangkai ilmu silat baru yang khas milik keluarga mereka!
Diam-diam Thian Ki dan Cin Cin kagum sekali melihat keadaan rumah pendekar itu. Tidak jauh bedanya dengan rumah-rumah di dusun Hong-cun, sederhana saja namun amat bersih dan sedap dipandang karena terpelihara baik-baik. Rumah itu memiliki pekarangan yang luas, yang ditanami berbagai macam tanaman obat dengan hiasan tanaman bunga di sana-sini. Burung-burung berterbangan dan berkicau di pohon-pohon sekeliling rumah mendatangkan suasana yang tenang, tenteram dan damai, sedikitpun tidak membayangkan kekerasan seperti yang biasa menghiasai kehidupan seorang pendekar.
Sejam yang lalu sebelum Thian Ki dan Cin Cin tiba di luar pekarangan rumah itu, Si Han Beng dan isterinya, Bu Giok Cu, baru saja pulang dari ladang dimana mereka bekerja sejak pagi sampai siang dan kini mereka berdua baru saja selesai makan siang. Ketika A-kiu, satu-satunya pelayan mereka yang bekerja sebagai pembantu untuk memelihara taman dan kebun, melapor bahwa di luar ada dua orang muda yang ingin bertemu, Si Han Beng dan istrinya saling pandang.
"Siapakah mereka? Apakah penduduk dusun ini atau dusun tetangga?" tanya Bu Giok Cu kepada pembantunya.
"Bukan, li-hiap, mereka sama sekali bukan penduduk dusun, bukan petani karena keduanya membawa pedang di punggung. Mereka masih muda, dan yang wanita buntung tangan kirinya." Pembantu itu sudah biasa menyebut tai-hiap kepada Si Han Beng dan menyebut li-hiap kepada Bu Giok Cu.
Kembali suami isteri itu saling pandang, kemudian mereka berdua berjalan keluar untuk menemui tamu mereka. Ketika mereka tiba di luar pintu depan, mereka melihat seorang pemuda dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya. Mereka memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak merasa kenal kepada dua orang muda itu. Pemuda itu berpakaian sederhana dan ringkas, sikapnya tenang sekali dan mukanya tidak terlalu tampan namun ganteng dan jantan, gerak-geriknya lembut dan tidak nampak seperti seorang ahli silat tangguh.
Adapun gadis yang berdiri di sebelahnya itu lebih menarik perhatian, cantik dan pakaiannya juga sederhana ringkas, namun setiap gerak-geriknya membayangkan kegagahan dan keberanian, matanya mencorong menatap suami isteri pendekar itu tanpa sungkan-sungkan, dan biarpun tangan kirinya buntung sebatas pergelangan, namun ia masih nampak gagah berwibawa. Dilihat sepintas lalu saja dapat diduga bahwa gadis ini telah menguasai ilmu silat secara mendalam dan memiliki ketangguhan.
Sementara itu, Thian Ki memandang kepada suami isteri itu dengan kagum. Biarpun ketika bertemu dengan pendekar sakti itu, dia baru berusia empat lima tahun, akan tetapi dia masih mengenal pamannya itu. Pendekar Si Han Beng adalah adik angkat mendiang ayahnya, Coa Siang Lee. Bahkan dia masih ingat baik-baik kepada Bu Giok Cu, isteri pendekar sakti itu. Dahulu, ayah dan ibunya yang menjadi wali, menikahkan pasangan suami isteri ini!
Maka, kini berhadapan dengan suami isteri yang dikaguminya itu, yang berpakaian sebagai petani-petani biasa, Thian Ki tertegun penuh kagum dan seperti terpukau dan tidak dapat mengeluarkan suara. Adapun Cin Cin yang melihat suami isteri yang oleh Thian Ki dikabarkan sebagai suami isteri pendekar, bahkan dahulu seluruh orang Hek-houw-pang memuji-mujinya, bahkan ia sendiri oleh mendiang kakeknya dikirim kepada suami isteri ini untuk menjadi murid, kini tertegun karena kecewa. Kiranya suami isteri pendekar sakti itu sama sekali tidak meyakinkan penampilan mereka, hanya petani biasa!
Melihat sepasang orang muda itu tertegun. Bu Giok Cu yang berwatak lincah tersenyum ramah. "Aih, aih...! Kalian ini datang hendak menemui kami, mempunyai keperluan ataukah sekedar hanya ingin menjadi penonton? Kami berdua bukan tontonan aneh, kenapa kalian bengong seperti itu?" Suara ini ramah dan nadanya bergurau.
Thian Ki segera memberi hormat. "Paman Si Han Beng, bibi Bu Giok Cu, kuharap selama ini paman dan bibi mendapat berkah Tuhan dan dalam keadaan sehat dan selamat."
Melihat pemuda yang demikian sopan dan kata-katanya demikian enak didengar, Si Han Beng menoleh kepada isterinya sambil mengangkat alis, seolah bertanya siapa pemuda yang ramah itu. Akan tetapi isterinya menggeleng kepala, dan mereka kembali memandang kepada pemuda dan gadis itu.
Kini Thian Ki yang tersenyum. "Agaknya paman dan bibi yang mulia telah lupa kepadaku? Aku adalah Coa Thian Ki..."
"Aihhh...!!" Si Han Beng berseru. "Putera mendiang kakak Coa Siang Lee...?"
"Ah, benar dia! Anak yang dulu tidak suka belajar silat itu!" kata pula Bu Giok Cu yang kini teringat. "Akan tetapi lihat, dia sekarang membawa-bawa pedang!"
Suami isteri itu gembira sekali. Si Han Beng memegang tangan kanan Thian Ki dan Bu Giok Cu memegang tangan kirinya. Pemuda itu merasa terharu bukan main. Biarpun tanpa banyak cakap, dan melalui pegangan tangan kedua orang suami isteri itu, dia merasakan getaran kasih sayang yang membuat dia ingin menangis. Pantas saja kalau ayah ibunya pernah terkagum-kagum dan amat menghormati suami isteri pendekar ini. Kiranya dari hati mereka terpancar kasih sayang yang murni.
"Thian Ki, engkau telah menjadi seorang pemuda yang jantan!" kata Bu Giok Cu gembira. "Dan ini, siapakah nona ini?" Kini suami isteri itu melepaskan kedua tangan Thian Ki dan mereka menghadapi gadis yang buntung tangan kirinya.
"Paman, bibi, adik ini bukan orang lain. Ia adalah Kam Cin, puteri paman Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang yang dahulu pernah dikirim ke sini untuk menjadi murid paman dan bibi."
"Aihhhh...! Engkaukah anak itu?" Bu Giok Cu mendekat dan memegang pundak gadis itu dengan akrab. "Kami di sini sudah mendengar semua yang terjadi di Ta-bun-cung, apa yang menimpa keluarga Hek-houw-pang. Kami mendengar pula dari murid kami The Siong Ki tentang dirimu, Cin Cin. Katanya engkau diajak oleh seorang susiokmu, diantar ke sini, akan tetapi kenapa engkau tidak sampai di sini?"
"Bibi, panjang ceritanya," kata Cin Cin.
"Ah, mari kita masuk, kita bicara di dalam!" kata Si Han Beng.
Isterinya pun baru ingat akan hal itu dan mereka semua memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah bercakap-cakap di ruangan tamu yang berada di depan sebelah kiri rumah. Dari jendela yang terbuka dapat nampak taman bunga yang terawat baik. Tanah di lembah Huang-ho itu memang subur.
Di ruangan itu, suami isteri pendekar sungai Huang-ho mendengarkan cerita Cin Cin tentang dirinya yang tidak jadi menjadi murid mereka karena kecurangan Lai Kun yang kemudian menjadi ketua Hek-houw-pang dan sekarang telah membunuh diri. Akan tetapi Cin Cin tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Cin.
Mendengar cerita itu, Si Han Beng menghela napas panjang. "Ahh, sungguh tidak kusangka Hek-houw-pang bernasib begitu buruk sehingga ayah kalian berdua tewas ketika Hek-houw-pang diserbu musuh. Aku tidak merasa heran mendengar bahwa di antara para penyerbu itu terdapat Can Hong San, seorang yang memang sejak dahulu berwatak jahat bukan main seperti setan. Akan tetapi yang membuat aku merasa bingung adalah ketika mendengar bahwa di antara mereka terdapat pula Lie Koan Tek, padahal dia adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bagaimana mungkin dia bekerja sama dengan para tokoh sesat, melakukan penyerbuan kepada Hek-houw-pang?"
"Paman, Can Hong San telah tewas di tangan Cin Cin ini," kata Thian Ki.
Suami isteri itu terbelalak. "Engkau? Engkau mampu membunuh Can Hong San? Bukan main...!" kata Bu Giok Cu, terkejut, heran dan hampir tidak dapat percaya. Tingkat kepandaian Can Hong San sudah amat tinggi, bahkan ia sendiripun hanya dapat mengimbangi dan sukar untuk dapat mengalahkannya. Mungkin hanya suaminya saja yang akan mampu mengalahkan Can Hong San, dan gadis muda yang buntung tangan kirinya ini dapat membunuhnya!
"Ah, kalau tidak dibantu oleh Thian Ki, belum tentu aku akan mampu menewaskannya. Dia memang tangguh luar biasa," kata Cin Cin merendah. "Dan Lie Koan Tek yang paman sebut-sebut tadi kini telah menjadi ayah tiriku."
"Ehhh? Apa pula ini?" Bu Giok Cu berseru kaget dan heran. "Kau maksudkan, ibumu... yang telah menjadi janda itu kini menikah dengan Lie Koan Tek, seorang di antara mereka yang menyerbu Hek-houw-pang?"
"Dan ayahmu tewas dalam penyerbuan itu!" kata pula Si Han Beng heran.
Cin Cin menghela napas panjang. "Paman dan bibi, tadinya akupun merasa penasaran sekali kepada ibu, dan aku pernah amat marah dan membencinya ketika mendengar ia menikah dengan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang, seorang di antara mereka yang menyebabkan kematian ayahku. Akan tetapi setelah aku bertemu dengan mereka, dengan ibuku dan dengan Lie Koan Tek, baru aku tahu akan duduknya perkara dan aku tidak menyalahkan ayah tiriku."
Dengan singkat Cin Cin lalu menceritakan tentang Lie Koan Tek yang dibebaskan dari penjara oleh Cian Bu Ong bersama Can Hong San dan yang lain-lain dengan syarat mereka itu akan membantunya merebut kembali tahta Kerajaan Sui yang dijatuhkan oleh Kerajaan Tang. Kemudian, ketika Cian Bu Ong menyuruh para pembantunya menyerbu Hek-houw-pang yang dianggap membantu pemerintah baru, Lie Koan Tek terpaksa ikut menyerbu. Akan tetapi, dia tidak ingin melakukan pembunuhan, dan ketika melihat ibunya terancam, dia menolongnya dan membawanya pergi dari dusun yang sedang diserbu itu.
"Lie Koan Tek bukan penjahat, dia hanya terpaksa ikut dalam penyerbuan. Akan tetapi semenjak itu, dia tidak kembali kepada Cian Bu Ong dan melarikan diri bersama ibu. Akhirnya, ibu juga menyadari keadaan pendekar Siauw-lim-pai itu dan menerima pinangannya." Cin Cin menundukkan mukanya dan kedua pipinya agak kemerahan.
Melihat ini, Bu Giok Cu segera menghiburnya. "Kalau begitu, ibumu tidak bersalah, dan memang kamipun mengenal siapa Lie Koan Tek itu. Dia seorang pendekar Siauw-lim-pai dan memang dia pernah ditangkap pemerintah karena Siauw-lim-pai ketika itu dituduh memberontak. Yang menjadi biang keladi penyerbuan dan penghancuran Hek-houw-pang adalah bekas Pangeran Cian Bu Ong itulah! Dialah yang jahat!"
Cin Cin mengerling kepada Thian Ki dan pemuda itu segera berkata, "Bibi dan paman harap mengetahui bahwa Pangeran Cian Bu Ong itu sekarang telah menjadi ayah tiriku pula..."
Kini suami isteri itu benar-benar melonjak saking kaget dan herannya. Mereka menatap wajah Thian Ki dan pandang mata mereka tajam menembus penuh selidik. "Bagaimana mungkin ini?" teriak Si Han Beng penasaran. "Kakak iparku Sim Lan Ci setelah ditinggal mati kakakku Coa Siang Lee malah menikah dengan bekas pangeran yang telah membasmi Hek-houw-pang dan menyebabkan kematian suaminya? Tidak mungkin! Aku mengenalnya sebagai seorang yang mencinta suaminya dan..." Tiba-tiba dia terdiam ketika bertemu pandang mata dengan isterinya.
Dalam pandang mata itu, isterinya seperti mengingatkan dia. Memang benar, betapapun juga, Sim Lan Ci adalah puteri mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang pernah menjadi iblis betina yang amat kejam dan jahat! Biarpun nampak baik, akan tetapi siapa tahu ia menuruni watak ibunya?
Thian Ki menghela napas panjang dan melihat pandang mata Si Han Beng kepadanya, diapun berkata, "Aku tidak menyalahkan paman dan bibi kalau menjadi heran dan menyalahkan ibu. Akan tetapi, sungguhnya ibu tidaklah seperti yang dikira orang. Ia tetap seorang ibu yang baik dan ia amat mencinta mendiang ayah. Dan kalau ia kini menjadi isteri ayah tiriku Cian Bu Ong, hal itupun tidak mengherankan. Ayah tiriku itupun seorang gagah perkasa yang amat baik, sama sekali bukan orang jahat, dan agaknya ia memang patut mendapat kekaguman dan kesayangan ibuku." Lalu Thian Ki menceritakan tentang diri Cian Bu Ong. "Dia seorang pahlawan sejati, tentu saja pahlawan Kerajaan Sui yang dirobohkan Kerajaan Tang. Dia tentu saja menganggap Kerajaan Tang sebagai pemberontak dan sebagai seorang pahlawan Sui, dia berusaha sekuat tenaga untuk merebut kembali tahta Kerajaan Sui yang telah jatuh. Namun dia gagal. Peristiwa di Hek-houw-pang itu terjadi bukan karena dia mempunyai permusuhan pribadi dengan Hek-houw-pang melainkan melihat Hek-houw-pang memihak Kerajaan baru dan membantu kerajaan baru untuk menangkap dia yang dianggap pemberontak oleh Kerajaan Tang, maka terjadilah penyerbuan itu. Saya kira paman dan bibi yang bijaksana akan dapat mempertimbangkan dengan adil tentang kesediaan ibuku menjadi isteri bekas Pangeran Cian Bu Ong."
Si Han Beng saling pandang dengan Bu Giok Cu dan pendekar ini mengangguk-angguk. "Yaaah, begitulah perang! Perang merupakan peristiwa keji yang menimbulkan banyak hal yang keji pula. Kalau ada dua pihak berperang, maka terjadilah pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Apa yang dianggap baik oleh satu pihak, tentu dianggap buruk oleh pihak lain, tergantung dari penilaian, pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan. Kiranya yang menghancurkan Hek-houw-pang adalah perang. Ini nasib namanya dan kalau kita ingin mencari biang keladinya dan menyalahkannya, maka yang bersalah adalah perang. Sekarang aku mengerti dan tidak heran lagi mengapa ibumu menjadi isteri bekas pangeran itu, Thian Ki."
"Perang memang kotor dan keji, Thian Ki," kata Bu Giok Cu, "Dan tidak mungkin kita bicara tentang dendam kalau ada yang jatuh tewas sebagai korban perang. Perang melibatkan sebuah kerajaan, melibatkan rakyat. Tidak mungkin kita mendendam kepada sebuah kerajaan berikut semua rakyatnya, dan kalau terjadi bunuh membunuh, maka semua itu dilakukan karena dorongan perang, bukan karena dendam pribadi."
"Maaf, paman dan bibi. Bukankah The Siong Ki itu murid paman dan bibi?"
"Benar, tentu kalian telah mengenalnya karena orang tuanya juga menjadi korban ketika Hek-houw-pang diserbu," jawab Si Han Beng.
"Apakah dia tidak berada di sini?" tanya pula Cin Cin dan wajahnya mulai menjadi merah, matanya bersinar marah.
Melihat ini, Bu Giok Cu segera bertanya. "Engkau mencari dia? Kenapakah? Dia belum kembali."
"Aku mencarinya untuk menantangnya! Dia telah berbuat jahat, menyerang dan melukai ibuku dan ayah tiriku!"
Kembali suami isteri pendekar itu terkejut Kedatangan dua orang muda ini merupakan kejutan yang membawa banyak kejutan pula "Ehh! Apa yang telah dia perbuat?' tanya Si Han Beng. "Kenapa dia menyerang ibumu dan ayah tirimu?"
"Dia menuduh ayah tiriku yang membunuh ayahnya dalam penyerbuan di Hek-houw-pang dan dia menghina karena ibu menjadi isteri Lie Koan Tek, dan kalau aku tidak muncul, mungkin ibuku dan ayah tiriku celaka di tangannya. Aku datang dan melawannya, akan tetapi dia melarikan diri!"
"Ah, lancang sekali anak itu!" kata Bu Giok Cu mengerutkan alisnya, "Hemmm, kalau dia pulang, aku akan menegurnya dengan keras dan akan menyuruh dia minta maaf kepada ibumu dan ayah tirimu, Cin Cin," kata Si Han Beng, diam-diam merasa heran mengapa muridnya bertindak selancang itu, padahal dia sudah memesan agar muridnya itu tidak mendendam kepada siapapun.
Pada saat itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang wanita cantik muncul di luar jendela ruangan itu, pakaiannya dari sutera serba putih sehingga ia nampak cantik dan anggun seperti seorang dewi. Namun sepasang matanya mencorong dingin dan menyeramkan ketika ia memandang ke arah Cin Cin.
"Subo...!" Gadis itu berseru kaget bukan main ketika melihat gurunya tiba-tiba berdiri di luar jendela ruangan itu.
"Keluarlah, aku mau bicara!" kata wanita itu dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari luar jendela itu.
"Maaf, aku mau menemui subo dulu!" kata Cin Cin dan iapun melangkah keluar meninggalkan ruangan itu.
Thian Ki juga bangkit dan mengikutinya keluar karena kebetulan sekali, diapun ingin menemui guru Cin Cin untuk membujuknya agar tidak melibatkan Cin Cin dalam urusan pribadinya dengan Cian Bu Ong. Suami isteri itu mengerutkan alis, saling pandang, lalu keduanya bangkit dan perlahan-lahan mereka melangkah keluar.
Di pekarangan luar yang luas, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan berdiri tegak dan Cin Cin berlutut di depannya. Wanita cantik itu kelihatan mengerutkan alisnya dan pandangannya menyapu keadaan muridnya, berhenti sebentar pada tangan kiri yang buntung. Ia sama sekali tidak perduli ketika melihat seorang pemuda keluar dari pintu rumah itu, kemudian sepasang suami isteri berpakaian petani keluar pula, seolah mereka bertiga itu hanya bayangan baginya, tiga orang yang tidak masuk hitungan!
"Cin Cin, bagaimana dengan tugas-tugas yang kuberikan kepadamu? Sudahkah engkau melaksanakannya?" terdengar ia berkata, suaranya dingin.
Diam-diam Thian Ki memakinya dalam hati. Sungguh wanita iblis, melihat keadaan muridnya yang kehilangan tangan kiri, tidak menanyakan tentang tangan itu akan tetapi yang ditanyakan adalah pelaksanaan tugas!
"Teecu sudah berhasil membunuh Can Hong San dengan pedang ini, subo..."
"Berikan pedang itu kepadaku!"
Cin Cin melepaskan tali pedangnya dan menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada gurunya. Tung-hai Mo-li mencabut Koai-liong-kiam dan nampak sinar kehijauan. Ia memeriksa pedang dan melihat adanya bekas darah, maka ia mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang langit.
"Suheng, tenanglah engkau di sana, anakmu yang durjana dan murtad itu telah mampus!" katanya dan iapun menyimpan kembali pedangnya, lalu mengikatkan di punggung. "Dan bagaimana dengan Cian Bu Ong? Sudahkah engkau membunuhnya?"
Cin Cin menundukkan mukanya. "Teecu menemukannya dan menantangnya, akan tetapi teecu telah gagal, subo."
"Gagal? Engkau telah gagal dan berani melapor kepadaku? Sudah kukatakan bahwa sebelum engkau berhasil melaksanakan tugas-tugas itu, engkau tidak boleh bertemu dan melaporkan kepadaku."
"Maaf, subo. Teecu... akan mencarinya dan mencoba lagi, dengan taruhan nyawa teecu..."
"Hemm, kau kehilangan tangan kirimu dalam usaha membunuhnya itu?"
"Benar, subo."
"Huh! Kau tidak ada gunanya! Pergilah dan cari dia, bunuh dia, kalau perlu dengan taruhan tanganmu yang kanan atau nyawamu!"
"Nanti dulu...!" Bu Giok Cu tidak tahan lagi mendengar dan ia sudah menghampiri Tung-hai Mo-li. "Sikapmu ini sungguh keterlaluan!"
Tung-hai Mo-li menoleh dan memandang kepada Bu Giok Cu dengan alis berkerut. "Huh, engkau perempuan tani tidak usah mencampuri urusan pribadi antara aku dan muridku, atau kubuntungi lehermu.”
Selama ini Bu Giok Cu hidup tenteram dan ia telah memupuk kesabaran, akan tetapi sikap dan ucapan Tung-hai Mo-li itu seperti api yang amat panas membakarnya. Mukanya menjadi kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Aku tidak mencampuri urusan siapa-siapa. Akan tetapi Kam Cin ini adalah tamu kami, bahkan masih ada hubungan keluarga dengan kami. Engkau tidak pantas menekannya seperti itu. Kalau benar engkau ini gurunya, kenapa sikapmu seperti iblis betina terhadap musuhnya, bukan seperti guru terhadap murid? Ia telah kehilangan tangan kirinya karena hendak melaksanakan perintahmu, dan engkau bukan bersyukur, bahkan menekan dan menghinanya. Engkau ini bukan manusia."
"Perempuan dusun busuk! Mampuslah!" Tangan Tung-hai Mo-li bergerak menyambar. Tamparan itu dahsyat sekali, dapat menghancurkan batu karang, apalagi rahang seorang wanita dusun, tentu akan hancur lebur terkena tamparan itu.
"Wuuuuttt!" Tung-hai Mo-li tertegun karena tamparan itu luput! Kemarahannya memuncak dan kini tubuhnya berkelebat. Nampak bayangan putih dan ia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubi. Akan tetapi, ia kecele kalau mengira akan mampu merobohkan perempuan dusun itu dengan mudah!
Tubuh Bu Giok Cu berubah menjadi bayangan hitam karena pakaiannya serba hitam dan semua pukulan Tung-hai Mo-li luput! Ketika wanita iblis itu mengerahkan seluruh tenaga ke dalam kedua tangannya dan mengirim pukulan beruntun dengan dorongan telapak tangan, Bu Giok Cu menyambut dengan gerakan serupa.
"Plak! Plakk!"
Dua pasang tangan bertemu dan akibatnya, kedua orang wanita itu terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Tung-hai Mo-li terbelalak memandang perempuan dusun itu dan Bu Giok Cu juga memandang sambil tersenyum mengejek. Ia telah membuktikan bahwa wanita galak itu tidak mampu mengalahkannya, jangankan membunuhnya!
Berubah pandangan Tung-hai Mo-li terhadap perempuan dusun itu. "Siapa engkau...?" bentaknya marah. "Jangan mati tanpa nama!" Ia menghunus pedang yang tadi diterimanya dari Cin Cin dan nampak sinar hijau.
"Mo-li, tenanglah dan harap sabar. Kami tidak ingin bermusuhan denganmu atau siapapun juga." kata Si Han Beng sambil melangkah maju melerai.
Mendengar laki-laki dusun itu menyebutnya Mo-li, Tung-hai Mo-li menghadapinya dan memandang tajam. "Engkau mengenalku?"
Si Han Beng tersenyum. "Tadinya memang tidak, akan tetapi setelah engkau tadi mencabut pedang dan menyerang isteriku, aku dapat menduga bahwa engkau tentulah Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, datuk dari pantai timur, bukan?"
Tung-hai Mo-li makin kaget. Laki-laki dusun ini mengenalnya, mengenal pedangnya dan mengenal imu silatnya! "Siapakah engkau?"
"Tung-hai Mo-li, kami suami isteri hanyalah orang-orang dusun seperti katamu tadi, bukan tokoh terkenal seperti engkau. Namaku Si Han Beng dan ini adalah isteriku dan seperti yang dikatakan tadi, nona Kam Cin adalah tamu kami dan tentu saja kami melarang siapapun mengganggu termasuk engkau sebagai gurunya yang tidak adil."
"Kau... kau... Huang-ho Sing-liong!" Tung-hai Mo-li berseru kaget.
Si Han Beng tersenyum. "Hanya orang-orang bodoh saja yang memberi julukan semuluk itu. Aku hanya petani dusun biasa."
Tentu saja Tung-hai Mo-li merasa malu bukan main. Ia tadi telah menganggap suami isteri pendekar besar ini sebagai petani dusun! Akan tetapi ia seorang datuk besar, maka tentu saja ia merasa malu kalau harus mengakui kesombongannya. Ia melintangkan pedangnya di depan dada.
"Huang-ho Sin-liong! Engkau sendiri seorang tokoh dunia persilatan, tentu engkau dan isterimu tahu akan peraturan dan kesopanan dunia kang-ouw, yaitu bahwa seseorang tidak dibenarkan mencampuri urusan antara guru dan muridnya, karena hal itu merupakan urusan pribadi!"
"Nanti dulu, Mo-li!" Bu Giok Cu berseru, tak kalah pedasnya. "Engkau seperti kata peribahasa dapat melihat kuman di rambut orang lain, akan tetapi tidak dapat melihat kutu busuk di kepala sendiri! Engkau tadi memasuki pekarangan orang, mengintai dari jendela ruangan orang tanpa permisi. Apakah itu juga sikap yang dibenarkan antara orang gagah? Dan ketahuilah bahwa kami memiliki hubungan dekat dengan keluarga Hek-houw-pang, maka Cin Cin, puteri ketua Hek-houw-pang ini dapat kami anggap sebagai keponakan sendiri. Tentu kami tidak mau sembarangan orang menghinanya!"
Tung-hai Mo-li merasa kalah bicara dengan nyonya cantik yang lincah itu, maka untuk menutupi kekalahannya, ia menantang, "Kalau begitu, mari kita selesaikan dengan pedang! Kita lihat siapa yang salah pasti kalah!"
"Engkau menantangku!" Bu Giok Cu tersenyum mengejek. "Jangan mengira bahwa aku perempuan dusun takut kepada pedangmu dan julukanmu itu, julukan kosong melompong dan pedang itu hanya untuk menakut-nakuti ular di sawah saja! Majulah!"
Akan tetapi, Si Han Beng segera melangkah maju menengahi, "Isteriku, mundurlah. Kalau dua ekor singa betina berkelahi, pasti ada salah satu yang akan tewas, dan aku tidak ingin melihat engkau melakukan pembunuhan! Biarlah aku yang menyambut tantangannya."
Bu Giok Cu tertawa. "Hi-hik, engkau tahu saja bahwa aku yang akan keluar sebagai pemenang dan ia yang akan tewas. Akan tetapi, kalau kau yang maju, tentu ia tidak akan berani. Aku mendengar bahwa yang julukannya Tung-hai Mo-li orangnya penakut dan pengecut!"
Hampir Thian Ki tak dapat menahan tawanya. Nyonya rumah ini sungguh hebat. Lidahnya lebih tajam daripada pedang pusaka dan dengan ucapannya itu, tentu saja ia telah menyudutkan Tung-hai Mo-li. Dan memang benar. Tung-hai Mo-li menjadi pucat saking marahnya.
"Huang-ho Sin-liong, siapa takut padamu? Biar kubunuh dulu engkau, baru isterimu yang bermulut busuk itu!" Setelah berkata demikian wanita ini menggerakkan pedangnya. Gerakan itu amat cepatnya, pedang diputar menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung dan sinar ini menyambar ke arah Si Han Beng!
Pendekar ini mengenal serangan yang amat ganas dan dahsyat, maka diapun menggerakkan tubuhnya dan memainkan Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang). Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu silat itu ketika dimainkan mendiang Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, gurunya yang pertama, jauh berbeda. Si Han Beng telah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga dia jauh lebih cepat dan kuat dalam ilmu itu dibandingkan gurunya dahulu. Tubuhnya bagaikan seekor burung rajawali, mencelat ke udara dan semua serangan pedang bersinar hijau itu tidak mengenai sasaran, bahkan kini tubuhnya dari atas meluncur ke bawah dengan gerakan yang aneh dan cepat.
Tung-hai Mo-li yang selama ini memandang rendah semua lawannya, terkejut bukan main dan cepat ia menggerakkan pedang menyambut bayangan yang meluncur dari atas itu. Akan tetapi, sambaran angin dari atas membuat ia terhuyung dan terpaksa ia melempar tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun, ia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang menjadi kotor.
Ia luput dari sambaran Si Naga Sungai Kuning, akan tetapi pakaiannya menjadi kotor dan ia tahu bahwa menghadapi suami isteri yang amat lihai itu, ia dapat membahayakan dirinya sendiri. Ia melihat pendekar itu sudah berdiri lagi dengan sikap amat tenang, terlalu tenang sehingga ia tahu bahwa orang ini memang benar-benar berbahaya sekali.
"Mo-li, kenapa berhenti?" Bu Giok Cu mengejek. "Belum lecet kulitmu, belum terluka dagingnya, dan engkau sudah menghentikan pertandingan!”
Tung-hai Mo-li boleh jadi angkuh, akan tetapi ia bukan seorang tolol. Ia tahu bahwa kalau ia melayani, ia akan celaka di tangan suami isteri yang kelihatan seperti sepasang petani dusun itu.
"Aku datang untuk berurusan dengan muridku, bukan dengan kalian!" katanya ketus. "Lain kali kalau aku ada urusan dengan kalian, aku akan sengaja mendatangi kalian. Nah, Cin Cin, engkau sudah gagal melaksanakan tugas. Engkau sudah kehilangan tangan kiri, dibuntungi jahanam Cian Bu Ong. Apakah engkau akan tinggal diam saja? Dendam kita kepada Cian Bu Ong kini menjadi semakin mendalam dengan buntungnya tanganmu. Mari ikut aku pergi menemuinya dan membunuhnya!"
"Nanti dulu, lo-cianpwe. Yang membuntungi tangan kiri adik Kam Cin bukan Cian Bu Ong, melainkan aku!"
Si Han Beng dan Bu Giok Cu sendiri terkejut bukan main mendengar pengakuan itu, dan mereka berdua hanya menonton dengan heran. Tung-hai Mo-li yang mendengar pengakuan itu, menjadi merah mukanya, dan semua kemarahan kini ditujukan kepada pemuda itu.
"Siapa engkau?" bentaknya marah.
"Namaku Coa Thian Ki, masih saudara misan adik Kam Cin."
"Kenapa engkau membuntungi tangan muridku?"
"Maaf, lo-cianpwe, hal itu kulakukan untuk menyelamatkan nyawanya karena tangannya telah keracunan hebat."
Tung-hai Mo-li menoleh kepada muridnya dan menyerahkan pedang telanjang di tangannya kepada Cin Cin. "Cin Cin, cepat kau balas perbuatannya, kau buntungi kedua tangannya! Dia harus membayar hutang berikut bunganya. Cepat!"
Akan tetapi Cin Cin tidak mau menerima pedang Koai-liong-kiam itu dan ia berkata, "Subo apa yang dikatakannya benar. Thian Ki membuntungi tangan kiri teecu untuk menyelamatkan teecu. Kalau dia tidak melakukan itu, sekarang teecu tentu sudah mati."
"Huh, apapun alasannya, dia telah membuntungi tanganmu. Katakan, kenapa tanganmu sampai terkena racun?"
Cin Cin terpaksa berterus terang. "Ketika teecu menyerang Cian Bu Ong untuk membunuhnya seperti yang subo kehendaki, Thian Ki mencegahku, sehingga aku berbalik menyerangnya. Aku mencengkeram pundaknya dan keracunan hebat."
"Keparat, engkau bukan saja membuntungi tangan muridku, bahkan engkau membela jahanam Cian Bu Ong, ya?" bentak Tung-hai Mo-li sambil menghadapi Thian Ki dengan marah sekali.
"Tentu saja, lo-cianpwe karena Cian Bu Ong adalah ayahku, juga guruku. Kuharap lo-cianpwe dapat bersikap adil. Kalau lo-cianpwe mendendam kepada bekas pangeran itu, bukankah hal itu merupakan urusan pribadi? Urusan percintaan antara lo-cianpwe dan Pangeran Cian Bu Ong merupakan urusan yang sangat pribadi dan rahasia, dan kalau lo-cianpwe hendak membalas dendam, sudah sepatutnya kalau lo-cianpwe melakukannya sendiri. Kenapa lo-cianpwe menyuruh Cin Cin membunuhnya? Cin Cin bukan lawannya, tidak akan berhasil. Apakah lo-cianpwe sengaja membiarkan Cin Cin tewas di tangan musuh yang lebih tangguh? Atau... barangkali lo-cianpwe sendiri takut menghadapi ayahku? Harap lo-cianpwe tidak melibatkan Cin Cin dalam urusan pribadi itu, agar lo-cianpwe tidak menjadi bahan tertawaan dunia kangouw!"
Wajah wanita itu menjadi pucat saking marahnya. "Kau... kau... kau anak dan murid Cian Bu Ong? Dan engkau membuntungi tangan muridku? Bagus! Aku pasti akan membunuh Cian Bu Ong, akan tetapi aku akan lebih dulu membunuh muridnya!"
Thian Ki tersenyum. "Hemm, sekarang aku mengerti kenapa ayahku dahulu tidak mau menikah dengan lo-cianpwe, walaupun lo-cianpwe seorang wanita yang cantik dan lihai. Watak lo-cianpwe itulah!"
"Jahanam busuk, anak setan! Aku tantang engkau, hayo cabut pedangmu dan kuantar engkau ke neraka!"
"Lo-cianpwe menantangku? Aku tidak akan mundur atau lari," kata Thian Ki sambil meraba pedangnya. "Cin Cin, maafkan aku kalau aku melawan gurumu."
"Nanti dulu!" Bu Giok Cu berseru. Ia khawatir sekali melihat Thian Ki hendak menyambut tantangan datuk wanita itu. Ia tahu bahwa tingkat kepandaian Tung-hai Mo-li tidak jauh selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Bagaimana mungkin Thian Ki sanggup menandinginya? Pemuda itu sama saja dengan membunuh diri.
"Tung-hai Mo-li, tidak malukah engkau? Lawanmu adalah aku atau suamiku, bukan seorang bocah! Hayo kau tantang aku atau suamiku, bukan menantang seorang yang pantasnya menjadi anakmu atau muridmu!"
"Hem, kiranya pendekar besar Huang-ho Sin-liong dan isterinya hanyalah dua orang dusun yang usil, yang suka mencampuri urusan orang lain secara tidak tahu malu! Aku menantang murid Cian Bu Ong, musuh besarku, aku hendak membunuhnya karena dia putera dan murid Cian Bu Ong, dan dia sudah membuntung tangan muridku. Apakah kalian begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusanku ini?"
Si Han Beng melangkah maju. "lsteriku, mundurlah..." Dia lalu memandang wajah Tung-hai Mo-li, dengan sinar mata mencorong yang demikian tajam sehingga datuk wanita itu sendiri menjadi gentar. Mata pendekar itu seperti sepasang mata seekor naga sakti, berapi!
"Tung-hai Mo-li, engkau berhak menantang siapapun juga di dunia ini dan kalau yang kau tantang sudah menyambut untuk bertanding denganmu, kami tentu saja tidak akan mencampuri. Akan tetapi kalau yang kau tantang menolak lalu engkau memaksa dan hendak membunuhnya, demi Tuhan, aku Si Han Beng yang akan mencegahmu, mengerti? Thian Ki, sebaiknya jangan kau sambut tantangannya. Ia bukan lawanmu."
"Paman dan bibi, harap tidak khawatir. Aku akan menyambut tantangannya, demi ayah dan guruku, juga demi Cin Cin karena ia sejak kecil diperalat oleh wanita iblis ini, dibesarkan dan dilatih ilmu silat hanya untuk disuruh membunuh bekas kekasihnya, karena ia sendiri tidak berani maju. Juga demi paman dan bibi yang dipandang rendah dan demi aku sendiri yang ditantangnya. Akan percuma saja kalau selama ini belajar ilmu, kini ditantang oleh seorang wanita jahat aku tidak berani menandinginya. Tung-hai Mo-li, aku sudah siap, majulah!"
Berkata demikian, Thian Ki mencabut pedangnya, pedang yang berwarna hitam. Nampak sinar hitam yang mengerikan ketika pedang itu dicabut, dan suami isteri pendekar itu mengenal Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis] yang dahulu merupakan pedang milik Sim Lan Ci, ibu pemuda itu. Sebatang pedang yang ampuh dan mengandung racun hebat karena pedang itu telah ditangani oleh mendiang Ban-tok Mo-li, nenek dari Thian Ki!
Diam-diam Tung-hai Mo-li juga terkejut melihat pedang hitam di tangan pemuda itu. Akan tetapi, sesuai dengan wataknya, tentu saja ia memandang rendah kepada seorang pemuda. Betapapun lihainya, kalau hanya seorang pemuda seperti itu, biar maju sepuluh orangpun ia tidak akan gentar!
"Bocah setan, sambut ini dan mampuslah!" bentaknya dan wanita itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Sinar pedang kehijauan bergulung-gulung menyambar ke arah Thian Ki.
Pemuda ini dengan tenang menggerakkan pedangnya dan nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan ketika kedua pedang bertemu di udara, terdengar suara nyaring dan nampak bunga api berpijar. Tung-hai Mo-li merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan iapun terkejut, tidak berani memandang rendah lagi dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan jurus-jurus terampuh untuk mendesak.
Namun, Thian Ki mampu mengimbanginya dengan baik. Pemuda ini sudah menguasai semua ilmu yang diajarkan Cian Bu Ong kepadanya, sehingga melawan dia tidak ada bedanya dengan melawan bekas pangeran itu sendiri. Bahkan pemuda ini lebih hebat lagi karena tubuhnya beracun!
Si Han Beng dan Bu Giok Cu yang menonton pertandingan itu, diam-diam merasa kagum bukan main. Tak pernah mereka dapat membayangkan betapa anak yang dahulu oleh orang tuanya sengaja dijauhkan dari ilmu silat, kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Jelas pemuda itu tidak akan kalah menandingi Tung-hai Mo-li, bahkan perlahan-lahan, setelah lewat tigapuluh jurus yang penuh dengan penyerangan silih berganti dengan serunya, Thian Ki mulai dapat mendesak lawannya. Gulungan sinar hijau pedang Koai-liong-kiam mulai menyempit, sedangkan gulungan sinar hitam pedang Cui-mo Hek-kiam menjadi semakin melebar.
Tung-hai Mo-li menjadi panik juga. Seujung rambutpun ia tidak pernah mengira bahwa ia menemukan lawan yang amat tangguh dalam diri pemuda itu! Demikian tangguhnya sehingga kini ia malah terdesak hebat. Ternyata, baik dalam hal kecepatan dan keringanan tubuh, maupun dalam tenaga, pemuda itu lebih unggul darinya. Ia semakin penasaran melihat Cin Cin diam saja, tidak berusaha untuk membantunya. Akan tetapi, hal itupun akan sia-sia karena di sana terdapat suami isteri pendekar yang tentu tidak akan tinggal diam kalau Cin Cin bergerak membantunya.
Karena penasaran, tiba-tiba ia mengeluarkan lengkingan panjang, tubuhnya membuat gerakan memutar dan pedangnya menyambar dari samping dengan pengerahan seluruh tenaganya. Itulah jurus Loai-liong-tiauw-wi (Naga Siluman Menyabetkan Ekornya) dari Koai-liong-kiam-sut dan jurus ini menang berbahaya sekali. Putaran tubuh itu menambah dahsyatnya tenaga dari tangan yang menggerakkan pedang. Melihat ini, Thian Ki menyambut dengan tangkisan pedangnya, bukan menangkis langsung dari depan, melainkan lebih condong menghantam dari atas ke bawah sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Trakk...!" Pedang Koai-liong-kiam yang menjadi pedang pusaka andalan Tung-hai Mo-li itu patah menjadi dua potong! Tentu saja wanita ini terkejut bukan main, mukanya pucat memandang kepada pedang sepotong yang masih berada di tangannya. Pedang itu tinggal sepertiga lagi, yang duapertiga sudah jatuh dan menancap ke atas tanah.
"Setan...!" Ia memaki dan ia membuang sisa pedang itu ke atas tanah pula.
Thian Ki juga menyarungkan pedangnya. Dia merasa menyesal telah merusak pedang lawan. "Tung-hai Mo-li, maafkan aku telah mematahkan pedangmu," katanya dengan suara yang jujur, bukan untuk mengejek.
"Huh!" Tung-hai Mo-li membuang muka dan menoleh kepada muridnya yang masih berdiri di pinggir. "Cin Cin, hayo ikut denganku. Kita pergi!"
Cin Cin memandang kepada Thian Ki, meragu dan merasa serba salah. "Subo..." Ia berkata lirih, bimbang.
"Cin Cin, ingat! Kalau tidak ada subomu ini, apa akan jadinya dengan dirimu belasan tahun yang lalu? Aku menyelamatkanmu, merawatmu, mendidikmu! Aku gurumu, pengganti orang tuamu, dan sekarang aku perintahkan engkau untuk ikut denganku!"
Cin Cin kembali menoleh kepada Thian Ki, akan tetapi kakinya sudah melangkah ke arah subonya. "Cin Cin, ingat, gurumu amat jahat, hanya ingin mempergunakanmu demi kepentingannya sendiri, tanpa memperdulikan keselamatanmu!" kata Thian Ki garang. "Ia tidak perduli engkau akan mati atau hidup. Ia seorang yang amat keji, dahulu merawat dan mendidikmu hanya dengan tujuan keuntungan dirinya sendiri. Cin Cin, engkau sudah menemukan kembali ibumu, tinggalkan iblis betina itu dan kembali kepada ibumu!"
"Coa Thian Ki, engkau tidak berhak mencampuri urusan kami!" Tung-hai Mo-li membentak marah, akan tetapi tidak berani bersikap galak lagi.
"Aku lebih berhak atas dirinya daripada engkau, Tung-hai Mo-li. Engkau tidak menyayangnya, melainkan hanya mempergunakannya. Akan tetapi di sini terdapat ibunya yang menyayangnya, ayah tirinya yang juga mengasihinya, dan di sini ada aku, saudara misannya, akan tetapi juga laki-laki yang mencintanya. Aku tidak akan membiarkan engkau membawanya pergi, kalau perlu akan kupertahankan dengan nyawaku!"
Wajah Cin Cin berubah pucat, matanya terbelalak, lalu wajah itu menjadi merah sekali. Thian Ki telah mengaku mencintanya di depan subonya, di depan Huang-ho Sin-liong dan isterinya secara terbuka!
"Cin Cin! Hayo ikut bersamaku!" bentak Tung-hai Mo-li, wajahnya merah sekali seperti udang direbus saking marahnya.
"Jangan pergi, Cin Cin. Aku yang bertanggung jawab!" kata Thian Ki.
"Subo... teecu akan pergi... bersama Thian Ki..." kata Cin Cin, suaranya lirih dan mukanya kemerahan.
Tung-hai Mo-li melangkah maju menghampiri muridnya, akan tetapi bayangan Thian Ki berkelebat dan dia sudah menghadang di depan gadis itu.
"Tung-hai Mo-li, mulai sekarang, akulah yang akan melindungi Cin Cin dari tekanan siapapun juga!" katanya gagah.
"Kau... kau...!" Tiba-tiba Tung-hai Mo-li menggerakkan tangannya menyerang, mencengkeram dengan tangan kiri ke arah muka Thian Ki dan tangan kanannya menghantam dada. Namun, dengan tangkasnya Thian Ki melompat ke samping sambil menangkis sehingga serangan kedua tangan itu gagal.
"Subo, jangan...!!" Cin Cin berteriak.
Sebetulnya teriakan itu keluar dari hatinya yang mengkhawatirkan subonya yang berani menyerang dengan tangan kosong. Thian Ki adalah seorang Tok-tong (anak beracun) dan tubuhnya penuh hawa beracun. Ia sendiri kehilangan tangan kirinya karena berani mencengkeram pundak Thian Ki.
Tung-hai Mo-li menyerang lagi, kedua tangannya mencengkeram dengan gerakan cepat sekali. Ilmu Liong-jiau-kun (silat cakar naga) memang merupakan ilmu silat tangan kosong yang khas dari iblis betina itu, disamping ilmu pedang Koai-liong-kiam. Ketika menyerang dan mencengkeram pundak Thian Ki, Cin Cin juga menggunakan ilmu cengkeraman ini. Ilmu cengkeram dari Tung-hai Mo-li memang hebat, gerakannya aneh dan cepatnya luar biasa, membuat lawan tidak sempat lagi untuk mengikuti perkembangan gerakan itu tanpa membalas.
Kalau Thian Ki masih tidak mau membunuh atau merobohkan Tung-hai Mo-li, hal itu karena dia menjaga perasaan Cin Cin, yang dia tahu merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Tadi, ketika bertanding pedang, diapun hanya mematahkan pedang lawan tanpa melukainya. Kini, melihat serangan yang bertubi-tubi, diapun hanya mengelak dan menangkis, dan inilah kesalahannya. Dia tidak tahu betapa hebatnya ilmu cengkeraman Liong-jiau-kun itu, maka tiba-tiba saja lengannya, di bawah siku, telah kena dicengkeram tangan kanan Tung-hai Mo-li.
"Brett...!" Lengan baju kiri Thian Ki robek dan kuku tangan wanita itu sudah mencengkeram lengan Thian Ki. Akan tetapi, bukan Thian Ki yang berteriak, melainkan wanita itu sendiri. Ia menjerit dan terjengkang, lalu melompat bangun memegang tangan kanannya yang telah berubah menghitam pada ke lima jari tangannya!
"Kau... kau... beracun..."
"Subo, dia memang seorang tok-tong! Subo, cepat buntungi tangan subo, racun itu akan menjalar naik!" teriak Cin Cin.
Akan tetapi Tung-hai Mo-li melotot kepadanya, lalu mendengus dan sekali berkelebat iapun sudah meninggalkan tempat itu.
"Subo...!!" Cin Cin berteriak memanggil dan suaranya mengandung isak karena duka dan penyesalan.
Thian Ki menghampirinya. "Cin Cin, maafkan aku. Aku tidak bermaksud..."
"Bukan salahmu, Thian Ki. Subo menjadi korban karena kesalahannya sendiri, seperti juga aku."
Si Han Beng dan Bu Giok Cu juga terkejut bukan main melihat betapa tangan Tung-hai Mo-li menjadi keracunan hebat begitu mencengkeram lengan Thian Ki. Apalagi mendengar teriakan Cin Cin bahwa Thian Ki seorang tok-tong!
"Thian Ki! Benarkah engkau seorang tok-tong dan tubuhmu mengandung racun?" tanya Si Han Beng dengan alis berkerut.
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba Thian Ki menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Han Beng. "Memang benar, paman, dan karena itulah maka aku datang menghadap paman dan bibi."
"Tapi, bagaimana mungkin itu? Ayah ibumu dahulu bahkan menjauhkan dirimu dari ilmu silat!" kata pula pendekar Naga Sakti Sungai Kuning itu.
"Mari kita bicara di dalam agar Thian Ki dapat menceritakan tentang dirinya. Engkau juga masuklah, Cin Cin. Kami sungguh gembira sekali melihat engkau tidak mengikut gurumu."
"Bibi saya... saya seorang murid murtad..." kata gadis itu dengan sedih dan menundukkan mukanya.
"Sama sekali tidak, Cin Cin!" kata Si Han Beng dan suaranya tegas. "Justru karena engkau menyadari keadaan gurumu yang jahat dan engkau tidak mau mengikuti jejaknya, merupakan suatu kebijaksanaan darimu. Jangankan seorang guru, biar orang tua sendiri sekalipun, kalau melakukan kejahatan, tidak pantas untuk dijadikan contoh. Gurumu itu seorang datuk sesat, tentu saja semua tindakannya hanya didasari kepentingan diri pribadi, dan kalau engkau secara membuta mentaatinya, berarti engkau bodoh dan ikut terseret ke dalam kesesatan. Sungguh tidak sesuai dengan watak ayah dan ibu kandungmu yang menjadi pendekar!"
"Terima kasih, paman," kata Cin Cin, agak lega mendengar ucapan itu. Sebetulnya, kalau ia berterus terang, yang membuat ia nekat membelakangi gurunya adalah Thian Ki! Begitu mendengar pengakuan cinta dari Thian Ki tadi, ia sudah mengambil keputusan untuk menentang siapa saja agar dapat hidup bersama Thian Ki untuk selamanya!
Mereka memasuki rumah kembali, ke dalam ruangan yang tadi. "Jadi kalau begitu, buntungnya tangan kiri Cin Cin juga karena tubuhmu yang beracun?" tanya Bu Giok Cu.
"Benar, bibi," kata Cin Cin, mendahului Thian Ki karena ia tidak ingin pemuda itu dipersalahkan. "Akan tetapi dia tidak bersalah, aku sendiri yang bersalah, bibi. Ketika memenuhi perintah subo aku menyerang Pangeran Cian Bu Ong. Thian Ki membela pangeran itu dan aku menjadi marah. Kami bertanding dan aku terdesak, lalu aku mempergunakan cengkeraman tangan kiriku melukai pundaknya, dan akibatnya tanganku keracunan. Melihat tanganku menghitam, Thian Ki cepat menggunakan pedang membuntungi tangan kiriku, untuk menyelamatkan nyawaku."
"Perbuatan itu membuat aku merasa menyesal untuk selamanya, paman dan bibi. Sebetulnya, Pangeran Cian Bu Ong tidak kalah melawan Cin Cin, tetapi dia mengalah dan aku tidak ingin melihat Cin Cin membunuh suhu yang tidak bersalah dan yang mengalah. Ketika mudanya, memang suhu dan Bhok Sui Lan itu saling mencinta. Akan tetapi, ketika mendapat kenyataan bahwa Bhok Sui Lan seorang tokoh sesat, suhu yang ketika itu seorang pangeran, menjaga nama baik keluarga kerajaan dan memutuskan hubungan. Ternyata perbuatan itu membuat Bhok Sui Lan mendendam dan memperdalam ilmu-ilmunya sampai menjadi Tung-hai Mo-li, kemudian ia mendidik Cin Cin untuk disuruh membunuh Pangeran Cian Bu Ong yang telah menjadi suami ibuku."
Suami isteri itu saling pandang dan Si Han Beng menghela napas panjang. "Hemm, begitulah perputaran nasib kehidupan manusia. Sekarang, ceritakan bagaimana engkau sampai menjadi seorang tok-tong, Thian Ki. Keadaan yang sungguh berlawanan dengan cita-cita ayah dan ibu kandungmu yang akan menjauhkan dirimu dari ilmu silat dan kekerasan."
"Mendiang nenek yang membuat saya menjadi tok-tong, paman dan bibi."
"Maksudmu, nenekmu Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang telah menjadi Lo-nikouw di kuil Thian-ho-tong itu?"
"Benar, paman."
Thian Ki lalu menceritakan betapa dia dititipkan kepada neneknya dan neneknya lah yang mengolah dirinya sehingga menjadi tok tong. Tubuhnya menjadi beracunan, sehingga ketika dia berusia lima tahunpun dia sudah membuat orang-orang tangguh tewas karena memukulnya. Kemudian diceritakannya semua pengalamannya sebagai murid ayah tirinya dan diapun akhirnya minta bantuan neneknya agar diberi pelajaran ilmu yang dapat mengendalikan hawa beracun dari tubuhnya.
"Akan tetapi mendiang nenek tidak mampu membersihkan hawa beracun dari tubuhku, paman. Menurut nenek, aku tidak boleh menikah selama hidupku, karena kalau aku menikah, isteriku akan tewas keracunan, padahal aku..." Dia menoleh dan saling pandang dengan Cin-Cin.
Suami isteri itupun saling pandang dan merasa terharu. Si Han Beng menghela napas panjang. "Kami dapat menyelami perasaan nenekmu, Thian Ki. Memang ia dahulu terkenal dengan julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), seorang ahli racun yang tiada duanya di dunia persilatan. Dan dia menjadikan engkau seorang tok-tong itu bukan bermaksud membuatmu tersiksa, melainkan ia ingin agar engkau menjadi orang yang paling lihai dan tak terkalahkan."
Thian Ki menghela napas panjang. "Akupun tidak menyalahkan mendiang nenek, paman. Bagaimanapun juga, nenek telah berusaha menebus semua dosanya dengan nyawanya."
Dia lalu menceritakan tentang pengeroyokan yang dilakukan orang-orang kang-ouw terhadap Lo-nikouw karena orang-orang kangouw itu mengetahui bahwa nikouw itu adalah Ban-tok Mo-li yang dianggap sebagai iblis betina.
"Nenek sama sekali tidak melakukan perlawanan sehingga ia tewas dibawah hujan senjata orang-orang kang-ouw."
Kembali suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. "Hemm, siapa bermain air akan basah dan bermain api akan kepanasan, sudah wajar sekali. Mendiang nenekmu sejak mudanya berkecimpung di dunia kangouw dan melakukan banyak sekali perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Karena itulah, maka kami berduapun lebih suka tinggal di tempat sunyi ini, sedapat mungkin menjauhkan diri dari kekerasan dan permusuhan."
"Dan dahulu, ketika engkau masih kecil, kedua orang tuamu yang sudah menyadari betapa kehidupan orang-orang yang menguasai ilmu silat adalah kehidupan penuh kekerasan dan permusuhan, mereka sengaja tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu dan kamipun sebenarnya menyetujui pendapat mereka. Akan tetapi, siapa kira, engkau bukan menjadi seorang yang lemah, bahkan kini menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki tubuh beracun yang amat berbahaya bagi lawan." kata pula Bu Giok Cu.
Thian Ki menarik napas panjang dengan muka muram. "Karena itulah, paman dan bibi, aku menghadap paman berdua untuk mohon pertolongan, karena mendiang nenek pernah berpesan kepadaku, bahwa di dunia ini, hanya ada dua orang yang kira-kira akan mampu melenyapkan pengaruh hawa beracun dari tubuhku dan membebaskan aku dari keadaan menjadi manusia beracun, dan mereka itu adalah yang terhormat lo-cianpwe Pek I Tojin guru paman dan Lo-cianpwe Hek Bin Hwesio guru bibi. Dan ibuku mengatakan bahwa kalau aku tidak dapat menemukan kedua orang lo-cianpwe itu, mungkin paman dan bibi akan dapat menolongku. Karena itu, paman dan bibi yang budiman, tolonglah karena seperti telah kukatakan kepada Tung-hai Mo-li tadi, aku mencinta Cin Cin dan mengharapkan ia menjadi isteriku."
Kembali Cin Cin menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Jantungnya berdebar keras. Sejak pertemuan yang pertama kali, walaupun pertemuan itu dalam suasana yang aneh dan mereka tidak saling mengenal, namun ia sudah amat tertarik kepada Thian Ki dan dalam pertemuan selanjutnya, walaupun pertemuan yang lebih tidak menyenangkan karena ternyata Thian Ki murid Cian Bu Ong dan memihak gurunya, ia sudah jatuh cinta.
Kemudian, terjadi pembuntungan tangan kirinya itu oleh Thian Ki, peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Ia tidak akan pernah melupakan pemuda itu, dan kini, dalam waktu singkat, Thian Ki secara terbuka, di depan orang-orang lain, bukan saja telah mengaku cinta kepadanya, bahkan juga menyatakan harapannya untuk memperisterinya!
Walaupun tidak langsung kepadanya, namun baginya sama saja, berarti pemuda itu telah menyatakan cintanya dan telah meminangnya sebagai isteri.! Dan tanpa menjawabpun ia dapat mendengar sendiri jawaban hatinya, yaitu bahwa iapun mencinta Thian Ki dan menerima pinangan itu dengan hati penuh kebahagiaan.
Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok saling pandang. Mereka maklum bahwa memang tidak mudah menghalau pergi hawa beracun yang telah membuat Thian Ki menjadi seorang manusia beracun. Akan tetapi, mengingat hubungan mereka dengan mendiang Coa Siang Lee, ayah pemuda itu, mereka merasa berkewajiban untuk mencobanya, dengan penuh kesungguhan hati.
"Baiklah, Thian Ki. Kami akan mencobanya, akan tetapi jangan mengharapkan terlalu banyak karena benar seperti apa yang dikatakan mendiang nenekmu, agaknya hanya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti kedua orang guru kami itu saja yang akan cukup kuat untuk mengusir hawa beracun dari tubuhmu yang sudah ditanamkan ke dalam tubuhmu sejak engkau masih kanak-kanak."
Tiba-tiba Thian Ki bangkit dari tempat duduknya, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap suami isteri itu. "Paman dan bibi ternyata benar seperti dikatakan ibuku, paman dan bibi adalah suami isteri pendekar yang budiman, dan aku Coa Thian Ki merasa kagum dan berterima kasih sekali."
"Hushh. bangkitlah, Thian Ki," kata Bu Giok Cu sambil tersenyum. "Kita seperti orang lain saja! Bukankah mendiang ayahmu adalah kakak angkat pamanmu Si Han Beng? Di antara keluarga sendiri, kenapa mesti banyak sungkan."
"Benar bibimu, Thian Ki. Bangkit dan duduklah," kata Si Han Beng.
Thian Ki duduk kembali, hatinya merasa amat gembira dan penuh harapan. Akan tetapi dia ingat akan sesuatu dan cepat berkata, "Maaf, paman dan bibi. Betapa aku terlalu memikirkan diri sendiri sehingga aku lupa akan sesuatu. Aku pernah mendengar bahwa paman dan bibi mempunyai seorang puteri, dimanakah puteri paman dan bibi itu? Ingin sekali kami bertemu dan berkenalan...!"
"Hamba tidak menyangkal, Yang Mulia, dan hamba berterima kasih sekali."
Kaisar Tang Tai Cung mengelus jenggotnya, menghela napas lagi mendengar ucapan gadis itu, karena dia melihat perubahan pada sikap Hong Lan yang biasanya menyebut dia ayah, kini menyebut Yang Mulia. "Hong Lan, ibumu telah berjasa besar dan banyak sekali kepadaku, dan biarpun ia sudah meninggal dunia, kami telah menganugerahkan sebutan pahlawan kepadanya. Engkaupun berjasa ketika ada pembunuh menyerang, akan tetapi kenapa engkau menolak pemberian pahala?"
"Mohon seribu ampun, Yang Mulia. Sejak kecil, hamba telah menerima limpahan budi kebaikan dan kasih sayang dari paduka, sudah sepantasnya kalau hamba membela paduka dan tidak ada pahala lebih besar daripada kasih sayang yang selama ini hamba rasakan di sini. Hamba menghadap paduka untuk mohon diri, dan ada pula permohonan yang hamba amat harapkan akan paduka kabulkan Yang Mulia."
"Katakanlah, apa yang kau minta, Hong Lan. Aku pasti akan memenuhi semua permintaanmu."
"Hamba mohon agar paduka suka memberitahu kepada hamba, siapakah orang tua hamba. Seperti dipesankan mendiang ibu, paduka mengetahuinya dan hamba disuruh bertanya kepada paduka. Dan permohonan ke dua, hamba mohon paduka ijinkan meninggalkan istana untuk pergi mencari orang tua hamba."
Kaisar mengangguk-angguk. "Permintaanmu itu memang sudah sepantasnya. Selama belasan tahun ibumu merahasiakan keadaan dirimu hanya karena ia teramat sayang padamu, juga aku amat sayang padamu, Hong Lan. Sekarang, setelah engkau mengetahui akan rahasia itu, baiklah akan kujelaskan sesuai seperti yang pernah diceritakan ibumu kepadaku. Ketika engkau berusia dua tahun, kau diculik oleh Kwa Bi Lan dari orang tuamu, dibawa merantau dan akhirnya ketika ibumu menjadi pengawal pribadiku, engkau terbawa pula masuk ke istana, dan ketika ibumu menjadi selirku, dengan sendirinya engkau menjadi anakku. Nah, dengarlah baik-baik, ayahmu bukan orang sembarangan, Hong Lan. Dia adalah seorang pendekar sakti yang terkenal di dunia persilatan, berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) bernama Si Han Beng dan dia bersama isterinya tinggal di dusun Hong-cun yang terletak di Lembah Sungai Kuning."
Hong Lan merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Ayahnya adalah seorang pendekar sakti! Akan tetapi mengapa ibunya... ibu angkatnya itu, menculiknya dari orang tuanya? Dan kalau ayahnya seorang pendekar sakti, kenapa tidak mengejar penculik itu dan mencarinya sampai dapat ditemukan?
Melihat gadis itu mengerutkan alisnya dan nampak meragu, kaisar berkata, "Hong Lan, apakah ada yang hendak kau tanyakan kepadaku?"
"Ampun, Yang Mulia. Akan tetapi... kenapa ibu menculik hamba? Dan kenapa pula kalau orang tua hamba itu sakti, tidak merebut kembali anak mereka yang diculik?"
Kaisar Tang Tai Cung tersenyum. "Itu merupakan rahasia Kwa Bi Lan dan akupun tidak tahu. Sebaiknya engkau tanyakan saja kepada orang tuamu itu, Hong Lan."
"Yang Mulia, hamba mohon diri untuk pergi mencari orang tua hamba itu!"
Melihat gadis itu penuh semangat, Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-angguk. Memang ada sesuatu pada diri gadis ini yang mengagumkan. Biarpun sejak kecil ia hidup sebagai puteri kaisar, hidup di istana yang serba mewah dan dimuliakan orang, namun ia tidak menjadi seorang puteri yang manja. Masih jelas nampak darah pendekar di tubuhnya, dari sikapnya, dari pandang matanya.
Kaisar ini teringat akan anak-anaknya sendiri dan diapun diam-diam mengeluh. Putera-putera kandungnya hanya pandai saling bersaing dan memperebutkan kekuasaan, puteri-puterinya hanya pandai bersolek dan bermanja. Justeru Hong Lan, bukan darah dagingnya, menjadi seorang gadis yang berjiwa pendekar. Dia sendiri, andaikata tidak menjadi kaisar, tentu menjadi seorang pendekar pula dan mungkin keturunannya tidak seperti sekarang ini.
"Baiklah, anakku. Aku akan tetap menganggapmu sebagai anakku, Hong Lan. Engkau boleh pergi dan bawalah semua barang-barangmu yang berharga. Ketahuilah bahwa dalam perjalanan jauh, engkau membutuhkan biaya, dan berhati hatilah karena di luar istana terdapat banyak orang jahat yang mungkin akan mengganggumu."
Di dalam hatinya, Hong Lan hendak membantah dan mengatakan bahwa di dalam istanapun terdapat banyak orang jahat, akan tetapi ia menahan diri. Sekarang ia tidak boleh bersikap seperti biasanya terhadap kaisar. "Terima kasih, Yang Mulia. Hamba sudah bersiap-siap dan hamba akan menyamar sebagai seorang pria agar perjalanan hamba lancar dan tidak mengalami banyak gangguan."
Kaisar tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya, nampak gembira sekali. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau memang berjiwa petualang! Ha-ha, membayangkan engkau menjadi pria dan mengembara seorang diri. Alangkah senangnya dan gembiranya kalau aku dapat menyertaimu, bertualang di dunia bebas! Akan tetapi, tidak mungkin. Aku telah terikat oleh singgasana ini...! Berangkatlah, anakku, berangkatlah dan jagalah dirimu baik-baik."
"Harap Yang Mulia suka menjaga diri baik-baik pula..." kata Hong Lan terharu. "Hamba mohon diri..."
Hong Lan bangkit dan hendak pergi, akan tetapi baru beberapa langkah, Kaisar Tang Tai Cung memanggilnya. "Hong Lan, berhenti duju!" Gadis itu menahan langkahnya, lalu memutar tubuh memandang kepada kaisar. "Kesinilah!"
Hong Lan melangkah ragu, mendekati. "Lan Lan, aku ingin sebelum engkau pergi, engkau sebutlah aku seperti dahulu. Sebutlah aku ayah, karena sesungguhnya, di dalam batinku aku mengakui bahwa engkau anakku. Sebutlah, mungkin untuk terakhir kali, Hong Lan."
Sepasang mata gadis itu menjadi kemerahan dan menahan-nahan diri agar tidak menangis, lalu memaksa diri untuk berkata lirih, "Ayahanda..."
"Lan Lan...!" Kaisar itu meraih dan Hong Lan dan sudah dirangkulnya dan diciumnya dahi puterinya itu, seperti yang biasa dia lakukan.
Dan kini Hong Lan tidak dapat menahan tangisnya lagi, iapun merasa amat sayang kepada kaisar dan tahu betapa kaisar memiliki banyak sekali musuh dalam selimut, banyak yang iri, banyak yang menginginkan kedudukannya, dan kini terpaksa ia meninggalkan kaisar, setelah ibunya meninggal.
Tiba-tiba Kaisar Tang Tai Cung melepaskan rangkulannya dan mendorong lembut tubuh puterinya, lalu tertawa bergelak. "Haii! Apa-apaan ini? Kita bertangisan seperti dua orang yang lemah dan cengeng! Memalukan! Engkau seorang pendekar wanita, Lan Lan, tidak boleh menangis. Pula setelah engkau menyamar pria, engkau sama sekali tidak boleh menangis, akan ketahuan orang!"
Biarpun kedua matanya basah, kaisar itu tertawa bergelak dan Hong Lan juga tertawa. "Selamat tinggal... ayah..."
"Selamat jalan, anakku. Sampaikan salam kepada orang tuamu dan katakan bahwa aku, Li Si Bin, sangat mengagumi mereka dan telah mendengar akan nama besar mereka."
Pergilah Hong Lan dengan langkah tegap meninggalkan ruangan itu, untuk berkemas dan mulai melakukan perjalanannya mencari orang tua kandungnya.
********************
Pangeran Li Seng Cun dihukum buang bersama semua keluarganya, dan kaki tangannya dihukum mati. Diam-diam hal ini tidak disetujui oleh Bu Mei Ling, dayang yang berjasa itu, yang semenjak hari itu diangkat menjadi selir resmi Kaisar. Tentu saja ia tidak berani berkata sesuatu, hanya di dalam hatinya ia khawatir bahwa orang-orang yang sudah berkhianat itu, para pemberontak itu, kalau hanya dihukum buang, tentu masih mempunyai kesempatan untuk menyusun kekuatan dan kelak memberontak lagi!
********************
Tidak sukar bagi Thian Ki dan Cin Cin untuk menemukan rumah orang yang mereka cari. Setiap orang di dusun Hong-cun, bahkan di dusun-dusun lain di wilayah itu, tahu belaka di mana tempat tinggal Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan isterinya. Suami isteri pendekar sakti ini tinggal di dusun yang sunyi, bahkan mereka hidup sebagai petani dan tidak pernah mencampuri urusan ramai, walaupun mereka berdua tidak pernah lalai berlatih silat.
Latihan ini amat penting bagi mereka, bukan hanya untuk menjaga kondisi tubuh agar tidak hilang terbuang saja ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari selama bertahun-tahun. Bahkan suami isteri ini, bersama-sama mulai mengkombinasikan ilmu-ilmu mereka untuk merangkai ilmu silat baru yang khas milik keluarga mereka!
Diam-diam Thian Ki dan Cin Cin kagum sekali melihat keadaan rumah pendekar itu. Tidak jauh bedanya dengan rumah-rumah di dusun Hong-cun, sederhana saja namun amat bersih dan sedap dipandang karena terpelihara baik-baik. Rumah itu memiliki pekarangan yang luas, yang ditanami berbagai macam tanaman obat dengan hiasan tanaman bunga di sana-sini. Burung-burung berterbangan dan berkicau di pohon-pohon sekeliling rumah mendatangkan suasana yang tenang, tenteram dan damai, sedikitpun tidak membayangkan kekerasan seperti yang biasa menghiasai kehidupan seorang pendekar.
Sejam yang lalu sebelum Thian Ki dan Cin Cin tiba di luar pekarangan rumah itu, Si Han Beng dan isterinya, Bu Giok Cu, baru saja pulang dari ladang dimana mereka bekerja sejak pagi sampai siang dan kini mereka berdua baru saja selesai makan siang. Ketika A-kiu, satu-satunya pelayan mereka yang bekerja sebagai pembantu untuk memelihara taman dan kebun, melapor bahwa di luar ada dua orang muda yang ingin bertemu, Si Han Beng dan istrinya saling pandang.
"Siapakah mereka? Apakah penduduk dusun ini atau dusun tetangga?" tanya Bu Giok Cu kepada pembantunya.
"Bukan, li-hiap, mereka sama sekali bukan penduduk dusun, bukan petani karena keduanya membawa pedang di punggung. Mereka masih muda, dan yang wanita buntung tangan kirinya." Pembantu itu sudah biasa menyebut tai-hiap kepada Si Han Beng dan menyebut li-hiap kepada Bu Giok Cu.
Kembali suami isteri itu saling pandang, kemudian mereka berdua berjalan keluar untuk menemui tamu mereka. Ketika mereka tiba di luar pintu depan, mereka melihat seorang pemuda dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya. Mereka memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak merasa kenal kepada dua orang muda itu. Pemuda itu berpakaian sederhana dan ringkas, sikapnya tenang sekali dan mukanya tidak terlalu tampan namun ganteng dan jantan, gerak-geriknya lembut dan tidak nampak seperti seorang ahli silat tangguh.
Adapun gadis yang berdiri di sebelahnya itu lebih menarik perhatian, cantik dan pakaiannya juga sederhana ringkas, namun setiap gerak-geriknya membayangkan kegagahan dan keberanian, matanya mencorong menatap suami isteri pendekar itu tanpa sungkan-sungkan, dan biarpun tangan kirinya buntung sebatas pergelangan, namun ia masih nampak gagah berwibawa. Dilihat sepintas lalu saja dapat diduga bahwa gadis ini telah menguasai ilmu silat secara mendalam dan memiliki ketangguhan.
Sementara itu, Thian Ki memandang kepada suami isteri itu dengan kagum. Biarpun ketika bertemu dengan pendekar sakti itu, dia baru berusia empat lima tahun, akan tetapi dia masih mengenal pamannya itu. Pendekar Si Han Beng adalah adik angkat mendiang ayahnya, Coa Siang Lee. Bahkan dia masih ingat baik-baik kepada Bu Giok Cu, isteri pendekar sakti itu. Dahulu, ayah dan ibunya yang menjadi wali, menikahkan pasangan suami isteri ini!
Maka, kini berhadapan dengan suami isteri yang dikaguminya itu, yang berpakaian sebagai petani-petani biasa, Thian Ki tertegun penuh kagum dan seperti terpukau dan tidak dapat mengeluarkan suara. Adapun Cin Cin yang melihat suami isteri yang oleh Thian Ki dikabarkan sebagai suami isteri pendekar, bahkan dahulu seluruh orang Hek-houw-pang memuji-mujinya, bahkan ia sendiri oleh mendiang kakeknya dikirim kepada suami isteri ini untuk menjadi murid, kini tertegun karena kecewa. Kiranya suami isteri pendekar sakti itu sama sekali tidak meyakinkan penampilan mereka, hanya petani biasa!
Melihat sepasang orang muda itu tertegun. Bu Giok Cu yang berwatak lincah tersenyum ramah. "Aih, aih...! Kalian ini datang hendak menemui kami, mempunyai keperluan ataukah sekedar hanya ingin menjadi penonton? Kami berdua bukan tontonan aneh, kenapa kalian bengong seperti itu?" Suara ini ramah dan nadanya bergurau.
Thian Ki segera memberi hormat. "Paman Si Han Beng, bibi Bu Giok Cu, kuharap selama ini paman dan bibi mendapat berkah Tuhan dan dalam keadaan sehat dan selamat."
Melihat pemuda yang demikian sopan dan kata-katanya demikian enak didengar, Si Han Beng menoleh kepada isterinya sambil mengangkat alis, seolah bertanya siapa pemuda yang ramah itu. Akan tetapi isterinya menggeleng kepala, dan mereka kembali memandang kepada pemuda dan gadis itu.
Kini Thian Ki yang tersenyum. "Agaknya paman dan bibi yang mulia telah lupa kepadaku? Aku adalah Coa Thian Ki..."
"Aihhh...!!" Si Han Beng berseru. "Putera mendiang kakak Coa Siang Lee...?"
"Ah, benar dia! Anak yang dulu tidak suka belajar silat itu!" kata pula Bu Giok Cu yang kini teringat. "Akan tetapi lihat, dia sekarang membawa-bawa pedang!"
Suami isteri itu gembira sekali. Si Han Beng memegang tangan kanan Thian Ki dan Bu Giok Cu memegang tangan kirinya. Pemuda itu merasa terharu bukan main. Biarpun tanpa banyak cakap, dan melalui pegangan tangan kedua orang suami isteri itu, dia merasakan getaran kasih sayang yang membuat dia ingin menangis. Pantas saja kalau ayah ibunya pernah terkagum-kagum dan amat menghormati suami isteri pendekar ini. Kiranya dari hati mereka terpancar kasih sayang yang murni.
"Thian Ki, engkau telah menjadi seorang pemuda yang jantan!" kata Bu Giok Cu gembira. "Dan ini, siapakah nona ini?" Kini suami isteri itu melepaskan kedua tangan Thian Ki dan mereka menghadapi gadis yang buntung tangan kirinya.
"Paman, bibi, adik ini bukan orang lain. Ia adalah Kam Cin, puteri paman Kam Seng Hin ketua Hek-houw-pang yang dahulu pernah dikirim ke sini untuk menjadi murid paman dan bibi."
"Aihhhh...! Engkaukah anak itu?" Bu Giok Cu mendekat dan memegang pundak gadis itu dengan akrab. "Kami di sini sudah mendengar semua yang terjadi di Ta-bun-cung, apa yang menimpa keluarga Hek-houw-pang. Kami mendengar pula dari murid kami The Siong Ki tentang dirimu, Cin Cin. Katanya engkau diajak oleh seorang susiokmu, diantar ke sini, akan tetapi kenapa engkau tidak sampai di sini?"
"Bibi, panjang ceritanya," kata Cin Cin.
"Ah, mari kita masuk, kita bicara di dalam!" kata Si Han Beng.
Isterinya pun baru ingat akan hal itu dan mereka semua memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah bercakap-cakap di ruangan tamu yang berada di depan sebelah kiri rumah. Dari jendela yang terbuka dapat nampak taman bunga yang terawat baik. Tanah di lembah Huang-ho itu memang subur.
Di ruangan itu, suami isteri pendekar sungai Huang-ho mendengarkan cerita Cin Cin tentang dirinya yang tidak jadi menjadi murid mereka karena kecurangan Lai Kun yang kemudian menjadi ketua Hek-houw-pang dan sekarang telah membunuh diri. Akan tetapi Cin Cin tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi murid Tung-hai Mo-li Bhok Sui Cin.
Mendengar cerita itu, Si Han Beng menghela napas panjang. "Ahh, sungguh tidak kusangka Hek-houw-pang bernasib begitu buruk sehingga ayah kalian berdua tewas ketika Hek-houw-pang diserbu musuh. Aku tidak merasa heran mendengar bahwa di antara para penyerbu itu terdapat Can Hong San, seorang yang memang sejak dahulu berwatak jahat bukan main seperti setan. Akan tetapi yang membuat aku merasa bingung adalah ketika mendengar bahwa di antara mereka terdapat pula Lie Koan Tek, padahal dia adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa. Bagaimana mungkin dia bekerja sama dengan para tokoh sesat, melakukan penyerbuan kepada Hek-houw-pang?"
"Paman, Can Hong San telah tewas di tangan Cin Cin ini," kata Thian Ki.
Suami isteri itu terbelalak. "Engkau? Engkau mampu membunuh Can Hong San? Bukan main...!" kata Bu Giok Cu, terkejut, heran dan hampir tidak dapat percaya. Tingkat kepandaian Can Hong San sudah amat tinggi, bahkan ia sendiripun hanya dapat mengimbangi dan sukar untuk dapat mengalahkannya. Mungkin hanya suaminya saja yang akan mampu mengalahkan Can Hong San, dan gadis muda yang buntung tangan kirinya ini dapat membunuhnya!
"Ah, kalau tidak dibantu oleh Thian Ki, belum tentu aku akan mampu menewaskannya. Dia memang tangguh luar biasa," kata Cin Cin merendah. "Dan Lie Koan Tek yang paman sebut-sebut tadi kini telah menjadi ayah tiriku."
"Ehhh? Apa pula ini?" Bu Giok Cu berseru kaget dan heran. "Kau maksudkan, ibumu... yang telah menjadi janda itu kini menikah dengan Lie Koan Tek, seorang di antara mereka yang menyerbu Hek-houw-pang?"
"Dan ayahmu tewas dalam penyerbuan itu!" kata pula Si Han Beng heran.
Cin Cin menghela napas panjang. "Paman dan bibi, tadinya akupun merasa penasaran sekali kepada ibu, dan aku pernah amat marah dan membencinya ketika mendengar ia menikah dengan seorang di antara para penyerbu Hek-houw-pang, seorang di antara mereka yang menyebabkan kematian ayahku. Akan tetapi setelah aku bertemu dengan mereka, dengan ibuku dan dengan Lie Koan Tek, baru aku tahu akan duduknya perkara dan aku tidak menyalahkan ayah tiriku."
Dengan singkat Cin Cin lalu menceritakan tentang Lie Koan Tek yang dibebaskan dari penjara oleh Cian Bu Ong bersama Can Hong San dan yang lain-lain dengan syarat mereka itu akan membantunya merebut kembali tahta Kerajaan Sui yang dijatuhkan oleh Kerajaan Tang. Kemudian, ketika Cian Bu Ong menyuruh para pembantunya menyerbu Hek-houw-pang yang dianggap membantu pemerintah baru, Lie Koan Tek terpaksa ikut menyerbu. Akan tetapi, dia tidak ingin melakukan pembunuhan, dan ketika melihat ibunya terancam, dia menolongnya dan membawanya pergi dari dusun yang sedang diserbu itu.
"Lie Koan Tek bukan penjahat, dia hanya terpaksa ikut dalam penyerbuan. Akan tetapi semenjak itu, dia tidak kembali kepada Cian Bu Ong dan melarikan diri bersama ibu. Akhirnya, ibu juga menyadari keadaan pendekar Siauw-lim-pai itu dan menerima pinangannya." Cin Cin menundukkan mukanya dan kedua pipinya agak kemerahan.
Melihat ini, Bu Giok Cu segera menghiburnya. "Kalau begitu, ibumu tidak bersalah, dan memang kamipun mengenal siapa Lie Koan Tek itu. Dia seorang pendekar Siauw-lim-pai dan memang dia pernah ditangkap pemerintah karena Siauw-lim-pai ketika itu dituduh memberontak. Yang menjadi biang keladi penyerbuan dan penghancuran Hek-houw-pang adalah bekas Pangeran Cian Bu Ong itulah! Dialah yang jahat!"
Cin Cin mengerling kepada Thian Ki dan pemuda itu segera berkata, "Bibi dan paman harap mengetahui bahwa Pangeran Cian Bu Ong itu sekarang telah menjadi ayah tiriku pula..."
Kini suami isteri itu benar-benar melonjak saking kaget dan herannya. Mereka menatap wajah Thian Ki dan pandang mata mereka tajam menembus penuh selidik. "Bagaimana mungkin ini?" teriak Si Han Beng penasaran. "Kakak iparku Sim Lan Ci setelah ditinggal mati kakakku Coa Siang Lee malah menikah dengan bekas pangeran yang telah membasmi Hek-houw-pang dan menyebabkan kematian suaminya? Tidak mungkin! Aku mengenalnya sebagai seorang yang mencinta suaminya dan..." Tiba-tiba dia terdiam ketika bertemu pandang mata dengan isterinya.
Dalam pandang mata itu, isterinya seperti mengingatkan dia. Memang benar, betapapun juga, Sim Lan Ci adalah puteri mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang pernah menjadi iblis betina yang amat kejam dan jahat! Biarpun nampak baik, akan tetapi siapa tahu ia menuruni watak ibunya?
Thian Ki menghela napas panjang dan melihat pandang mata Si Han Beng kepadanya, diapun berkata, "Aku tidak menyalahkan paman dan bibi kalau menjadi heran dan menyalahkan ibu. Akan tetapi, sungguhnya ibu tidaklah seperti yang dikira orang. Ia tetap seorang ibu yang baik dan ia amat mencinta mendiang ayah. Dan kalau ia kini menjadi isteri ayah tiriku Cian Bu Ong, hal itupun tidak mengherankan. Ayah tiriku itupun seorang gagah perkasa yang amat baik, sama sekali bukan orang jahat, dan agaknya ia memang patut mendapat kekaguman dan kesayangan ibuku." Lalu Thian Ki menceritakan tentang diri Cian Bu Ong. "Dia seorang pahlawan sejati, tentu saja pahlawan Kerajaan Sui yang dirobohkan Kerajaan Tang. Dia tentu saja menganggap Kerajaan Tang sebagai pemberontak dan sebagai seorang pahlawan Sui, dia berusaha sekuat tenaga untuk merebut kembali tahta Kerajaan Sui yang telah jatuh. Namun dia gagal. Peristiwa di Hek-houw-pang itu terjadi bukan karena dia mempunyai permusuhan pribadi dengan Hek-houw-pang melainkan melihat Hek-houw-pang memihak Kerajaan baru dan membantu kerajaan baru untuk menangkap dia yang dianggap pemberontak oleh Kerajaan Tang, maka terjadilah penyerbuan itu. Saya kira paman dan bibi yang bijaksana akan dapat mempertimbangkan dengan adil tentang kesediaan ibuku menjadi isteri bekas Pangeran Cian Bu Ong."
Si Han Beng saling pandang dengan Bu Giok Cu dan pendekar ini mengangguk-angguk. "Yaaah, begitulah perang! Perang merupakan peristiwa keji yang menimbulkan banyak hal yang keji pula. Kalau ada dua pihak berperang, maka terjadilah pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Apa yang dianggap baik oleh satu pihak, tentu dianggap buruk oleh pihak lain, tergantung dari penilaian, pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan. Kiranya yang menghancurkan Hek-houw-pang adalah perang. Ini nasib namanya dan kalau kita ingin mencari biang keladinya dan menyalahkannya, maka yang bersalah adalah perang. Sekarang aku mengerti dan tidak heran lagi mengapa ibumu menjadi isteri bekas pangeran itu, Thian Ki."
"Perang memang kotor dan keji, Thian Ki," kata Bu Giok Cu, "Dan tidak mungkin kita bicara tentang dendam kalau ada yang jatuh tewas sebagai korban perang. Perang melibatkan sebuah kerajaan, melibatkan rakyat. Tidak mungkin kita mendendam kepada sebuah kerajaan berikut semua rakyatnya, dan kalau terjadi bunuh membunuh, maka semua itu dilakukan karena dorongan perang, bukan karena dendam pribadi."
"Maaf, paman dan bibi. Bukankah The Siong Ki itu murid paman dan bibi?"
"Benar, tentu kalian telah mengenalnya karena orang tuanya juga menjadi korban ketika Hek-houw-pang diserbu," jawab Si Han Beng.
"Apakah dia tidak berada di sini?" tanya pula Cin Cin dan wajahnya mulai menjadi merah, matanya bersinar marah.
Melihat ini, Bu Giok Cu segera bertanya. "Engkau mencari dia? Kenapakah? Dia belum kembali."
"Aku mencarinya untuk menantangnya! Dia telah berbuat jahat, menyerang dan melukai ibuku dan ayah tiriku!"
Kembali suami isteri pendekar itu terkejut Kedatangan dua orang muda ini merupakan kejutan yang membawa banyak kejutan pula "Ehh! Apa yang telah dia perbuat?' tanya Si Han Beng. "Kenapa dia menyerang ibumu dan ayah tirimu?"
"Dia menuduh ayah tiriku yang membunuh ayahnya dalam penyerbuan di Hek-houw-pang dan dia menghina karena ibu menjadi isteri Lie Koan Tek, dan kalau aku tidak muncul, mungkin ibuku dan ayah tiriku celaka di tangannya. Aku datang dan melawannya, akan tetapi dia melarikan diri!"
"Ah, lancang sekali anak itu!" kata Bu Giok Cu mengerutkan alisnya, "Hemmm, kalau dia pulang, aku akan menegurnya dengan keras dan akan menyuruh dia minta maaf kepada ibumu dan ayah tirimu, Cin Cin," kata Si Han Beng, diam-diam merasa heran mengapa muridnya bertindak selancang itu, padahal dia sudah memesan agar muridnya itu tidak mendendam kepada siapapun.
Pada saat itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang wanita cantik muncul di luar jendela ruangan itu, pakaiannya dari sutera serba putih sehingga ia nampak cantik dan anggun seperti seorang dewi. Namun sepasang matanya mencorong dingin dan menyeramkan ketika ia memandang ke arah Cin Cin.
"Subo...!" Gadis itu berseru kaget bukan main ketika melihat gurunya tiba-tiba berdiri di luar jendela ruangan itu.
"Keluarlah, aku mau bicara!" kata wanita itu dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari luar jendela itu.
"Maaf, aku mau menemui subo dulu!" kata Cin Cin dan iapun melangkah keluar meninggalkan ruangan itu.
Thian Ki juga bangkit dan mengikutinya keluar karena kebetulan sekali, diapun ingin menemui guru Cin Cin untuk membujuknya agar tidak melibatkan Cin Cin dalam urusan pribadinya dengan Cian Bu Ong. Suami isteri itu mengerutkan alis, saling pandang, lalu keduanya bangkit dan perlahan-lahan mereka melangkah keluar.
Di pekarangan luar yang luas, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan berdiri tegak dan Cin Cin berlutut di depannya. Wanita cantik itu kelihatan mengerutkan alisnya dan pandangannya menyapu keadaan muridnya, berhenti sebentar pada tangan kiri yang buntung. Ia sama sekali tidak perduli ketika melihat seorang pemuda keluar dari pintu rumah itu, kemudian sepasang suami isteri berpakaian petani keluar pula, seolah mereka bertiga itu hanya bayangan baginya, tiga orang yang tidak masuk hitungan!
"Cin Cin, bagaimana dengan tugas-tugas yang kuberikan kepadamu? Sudahkah engkau melaksanakannya?" terdengar ia berkata, suaranya dingin.
Diam-diam Thian Ki memakinya dalam hati. Sungguh wanita iblis, melihat keadaan muridnya yang kehilangan tangan kiri, tidak menanyakan tentang tangan itu akan tetapi yang ditanyakan adalah pelaksanaan tugas!
"Teecu sudah berhasil membunuh Can Hong San dengan pedang ini, subo..."
"Berikan pedang itu kepadaku!"
Cin Cin melepaskan tali pedangnya dan menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada gurunya. Tung-hai Mo-li mencabut Koai-liong-kiam dan nampak sinar kehijauan. Ia memeriksa pedang dan melihat adanya bekas darah, maka ia mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandang langit.
"Suheng, tenanglah engkau di sana, anakmu yang durjana dan murtad itu telah mampus!" katanya dan iapun menyimpan kembali pedangnya, lalu mengikatkan di punggung. "Dan bagaimana dengan Cian Bu Ong? Sudahkah engkau membunuhnya?"
Cin Cin menundukkan mukanya. "Teecu menemukannya dan menantangnya, akan tetapi teecu telah gagal, subo."
"Gagal? Engkau telah gagal dan berani melapor kepadaku? Sudah kukatakan bahwa sebelum engkau berhasil melaksanakan tugas-tugas itu, engkau tidak boleh bertemu dan melaporkan kepadaku."
"Maaf, subo. Teecu... akan mencarinya dan mencoba lagi, dengan taruhan nyawa teecu..."
"Hemm, kau kehilangan tangan kirimu dalam usaha membunuhnya itu?"
"Benar, subo."
"Huh! Kau tidak ada gunanya! Pergilah dan cari dia, bunuh dia, kalau perlu dengan taruhan tanganmu yang kanan atau nyawamu!"
"Nanti dulu...!" Bu Giok Cu tidak tahan lagi mendengar dan ia sudah menghampiri Tung-hai Mo-li. "Sikapmu ini sungguh keterlaluan!"
Tung-hai Mo-li menoleh dan memandang kepada Bu Giok Cu dengan alis berkerut. "Huh, engkau perempuan tani tidak usah mencampuri urusan pribadi antara aku dan muridku, atau kubuntungi lehermu.”
Selama ini Bu Giok Cu hidup tenteram dan ia telah memupuk kesabaran, akan tetapi sikap dan ucapan Tung-hai Mo-li itu seperti api yang amat panas membakarnya. Mukanya menjadi kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Aku tidak mencampuri urusan siapa-siapa. Akan tetapi Kam Cin ini adalah tamu kami, bahkan masih ada hubungan keluarga dengan kami. Engkau tidak pantas menekannya seperti itu. Kalau benar engkau ini gurunya, kenapa sikapmu seperti iblis betina terhadap musuhnya, bukan seperti guru terhadap murid? Ia telah kehilangan tangan kirinya karena hendak melaksanakan perintahmu, dan engkau bukan bersyukur, bahkan menekan dan menghinanya. Engkau ini bukan manusia."
"Perempuan dusun busuk! Mampuslah!" Tangan Tung-hai Mo-li bergerak menyambar. Tamparan itu dahsyat sekali, dapat menghancurkan batu karang, apalagi rahang seorang wanita dusun, tentu akan hancur lebur terkena tamparan itu.
"Wuuuuttt!" Tung-hai Mo-li tertegun karena tamparan itu luput! Kemarahannya memuncak dan kini tubuhnya berkelebat. Nampak bayangan putih dan ia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubi. Akan tetapi, ia kecele kalau mengira akan mampu merobohkan perempuan dusun itu dengan mudah!
Tubuh Bu Giok Cu berubah menjadi bayangan hitam karena pakaiannya serba hitam dan semua pukulan Tung-hai Mo-li luput! Ketika wanita iblis itu mengerahkan seluruh tenaga ke dalam kedua tangannya dan mengirim pukulan beruntun dengan dorongan telapak tangan, Bu Giok Cu menyambut dengan gerakan serupa.
"Plak! Plakk!"
Dua pasang tangan bertemu dan akibatnya, kedua orang wanita itu terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Tung-hai Mo-li terbelalak memandang perempuan dusun itu dan Bu Giok Cu juga memandang sambil tersenyum mengejek. Ia telah membuktikan bahwa wanita galak itu tidak mampu mengalahkannya, jangankan membunuhnya!
Berubah pandangan Tung-hai Mo-li terhadap perempuan dusun itu. "Siapa engkau...?" bentaknya marah. "Jangan mati tanpa nama!" Ia menghunus pedang yang tadi diterimanya dari Cin Cin dan nampak sinar hijau.
"Mo-li, tenanglah dan harap sabar. Kami tidak ingin bermusuhan denganmu atau siapapun juga." kata Si Han Beng sambil melangkah maju melerai.
Mendengar laki-laki dusun itu menyebutnya Mo-li, Tung-hai Mo-li menghadapinya dan memandang tajam. "Engkau mengenalku?"
Si Han Beng tersenyum. "Tadinya memang tidak, akan tetapi setelah engkau tadi mencabut pedang dan menyerang isteriku, aku dapat menduga bahwa engkau tentulah Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, datuk dari pantai timur, bukan?"
Tung-hai Mo-li makin kaget. Laki-laki dusun ini mengenalnya, mengenal pedangnya dan mengenal imu silatnya! "Siapakah engkau?"
"Tung-hai Mo-li, kami suami isteri hanyalah orang-orang dusun seperti katamu tadi, bukan tokoh terkenal seperti engkau. Namaku Si Han Beng dan ini adalah isteriku dan seperti yang dikatakan tadi, nona Kam Cin adalah tamu kami dan tentu saja kami melarang siapapun mengganggu termasuk engkau sebagai gurunya yang tidak adil."
"Kau... kau... Huang-ho Sing-liong!" Tung-hai Mo-li berseru kaget.
Si Han Beng tersenyum. "Hanya orang-orang bodoh saja yang memberi julukan semuluk itu. Aku hanya petani dusun biasa."
Tentu saja Tung-hai Mo-li merasa malu bukan main. Ia tadi telah menganggap suami isteri pendekar besar ini sebagai petani dusun! Akan tetapi ia seorang datuk besar, maka tentu saja ia merasa malu kalau harus mengakui kesombongannya. Ia melintangkan pedangnya di depan dada.
"Huang-ho Sin-liong! Engkau sendiri seorang tokoh dunia persilatan, tentu engkau dan isterimu tahu akan peraturan dan kesopanan dunia kang-ouw, yaitu bahwa seseorang tidak dibenarkan mencampuri urusan antara guru dan muridnya, karena hal itu merupakan urusan pribadi!"
"Nanti dulu, Mo-li!" Bu Giok Cu berseru, tak kalah pedasnya. "Engkau seperti kata peribahasa dapat melihat kuman di rambut orang lain, akan tetapi tidak dapat melihat kutu busuk di kepala sendiri! Engkau tadi memasuki pekarangan orang, mengintai dari jendela ruangan orang tanpa permisi. Apakah itu juga sikap yang dibenarkan antara orang gagah? Dan ketahuilah bahwa kami memiliki hubungan dekat dengan keluarga Hek-houw-pang, maka Cin Cin, puteri ketua Hek-houw-pang ini dapat kami anggap sebagai keponakan sendiri. Tentu kami tidak mau sembarangan orang menghinanya!"
Tung-hai Mo-li merasa kalah bicara dengan nyonya cantik yang lincah itu, maka untuk menutupi kekalahannya, ia menantang, "Kalau begitu, mari kita selesaikan dengan pedang! Kita lihat siapa yang salah pasti kalah!"
"Engkau menantangku!" Bu Giok Cu tersenyum mengejek. "Jangan mengira bahwa aku perempuan dusun takut kepada pedangmu dan julukanmu itu, julukan kosong melompong dan pedang itu hanya untuk menakut-nakuti ular di sawah saja! Majulah!"
Akan tetapi, Si Han Beng segera melangkah maju menengahi, "Isteriku, mundurlah. Kalau dua ekor singa betina berkelahi, pasti ada salah satu yang akan tewas, dan aku tidak ingin melihat engkau melakukan pembunuhan! Biarlah aku yang menyambut tantangannya."
Bu Giok Cu tertawa. "Hi-hik, engkau tahu saja bahwa aku yang akan keluar sebagai pemenang dan ia yang akan tewas. Akan tetapi, kalau kau yang maju, tentu ia tidak akan berani. Aku mendengar bahwa yang julukannya Tung-hai Mo-li orangnya penakut dan pengecut!"
Hampir Thian Ki tak dapat menahan tawanya. Nyonya rumah ini sungguh hebat. Lidahnya lebih tajam daripada pedang pusaka dan dengan ucapannya itu, tentu saja ia telah menyudutkan Tung-hai Mo-li. Dan memang benar. Tung-hai Mo-li menjadi pucat saking marahnya.
"Huang-ho Sin-liong, siapa takut padamu? Biar kubunuh dulu engkau, baru isterimu yang bermulut busuk itu!" Setelah berkata demikian wanita ini menggerakkan pedangnya. Gerakan itu amat cepatnya, pedang diputar menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung dan sinar ini menyambar ke arah Si Han Beng!
Pendekar ini mengenal serangan yang amat ganas dan dahsyat, maka diapun menggerakkan tubuhnya dan memainkan Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang). Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu silat itu ketika dimainkan mendiang Rajawali Sakti Liu Bhok Ki, gurunya yang pertama, jauh berbeda. Si Han Beng telah memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga dia jauh lebih cepat dan kuat dalam ilmu itu dibandingkan gurunya dahulu. Tubuhnya bagaikan seekor burung rajawali, mencelat ke udara dan semua serangan pedang bersinar hijau itu tidak mengenai sasaran, bahkan kini tubuhnya dari atas meluncur ke bawah dengan gerakan yang aneh dan cepat.
Tung-hai Mo-li yang selama ini memandang rendah semua lawannya, terkejut bukan main dan cepat ia menggerakkan pedang menyambut bayangan yang meluncur dari atas itu. Akan tetapi, sambaran angin dari atas membuat ia terhuyung dan terpaksa ia melempar tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun, ia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang menjadi kotor.
Ia luput dari sambaran Si Naga Sungai Kuning, akan tetapi pakaiannya menjadi kotor dan ia tahu bahwa menghadapi suami isteri yang amat lihai itu, ia dapat membahayakan dirinya sendiri. Ia melihat pendekar itu sudah berdiri lagi dengan sikap amat tenang, terlalu tenang sehingga ia tahu bahwa orang ini memang benar-benar berbahaya sekali.
"Mo-li, kenapa berhenti?" Bu Giok Cu mengejek. "Belum lecet kulitmu, belum terluka dagingnya, dan engkau sudah menghentikan pertandingan!”
Tung-hai Mo-li boleh jadi angkuh, akan tetapi ia bukan seorang tolol. Ia tahu bahwa kalau ia melayani, ia akan celaka di tangan suami isteri yang kelihatan seperti sepasang petani dusun itu.
"Aku datang untuk berurusan dengan muridku, bukan dengan kalian!" katanya ketus. "Lain kali kalau aku ada urusan dengan kalian, aku akan sengaja mendatangi kalian. Nah, Cin Cin, engkau sudah gagal melaksanakan tugas. Engkau sudah kehilangan tangan kiri, dibuntungi jahanam Cian Bu Ong. Apakah engkau akan tinggal diam saja? Dendam kita kepada Cian Bu Ong kini menjadi semakin mendalam dengan buntungnya tanganmu. Mari ikut aku pergi menemuinya dan membunuhnya!"
"Nanti dulu, lo-cianpwe. Yang membuntungi tangan kiri adik Kam Cin bukan Cian Bu Ong, melainkan aku!"
Si Han Beng dan Bu Giok Cu sendiri terkejut bukan main mendengar pengakuan itu, dan mereka berdua hanya menonton dengan heran. Tung-hai Mo-li yang mendengar pengakuan itu, menjadi merah mukanya, dan semua kemarahan kini ditujukan kepada pemuda itu.
"Siapa engkau?" bentaknya marah.
"Namaku Coa Thian Ki, masih saudara misan adik Kam Cin."
"Kenapa engkau membuntungi tangan muridku?"
"Maaf, lo-cianpwe, hal itu kulakukan untuk menyelamatkan nyawanya karena tangannya telah keracunan hebat."
Tung-hai Mo-li menoleh kepada muridnya dan menyerahkan pedang telanjang di tangannya kepada Cin Cin. "Cin Cin, cepat kau balas perbuatannya, kau buntungi kedua tangannya! Dia harus membayar hutang berikut bunganya. Cepat!"
Akan tetapi Cin Cin tidak mau menerima pedang Koai-liong-kiam itu dan ia berkata, "Subo apa yang dikatakannya benar. Thian Ki membuntungi tangan kiri teecu untuk menyelamatkan teecu. Kalau dia tidak melakukan itu, sekarang teecu tentu sudah mati."
"Huh, apapun alasannya, dia telah membuntungi tanganmu. Katakan, kenapa tanganmu sampai terkena racun?"
Cin Cin terpaksa berterus terang. "Ketika teecu menyerang Cian Bu Ong untuk membunuhnya seperti yang subo kehendaki, Thian Ki mencegahku, sehingga aku berbalik menyerangnya. Aku mencengkeram pundaknya dan keracunan hebat."
"Keparat, engkau bukan saja membuntungi tangan muridku, bahkan engkau membela jahanam Cian Bu Ong, ya?" bentak Tung-hai Mo-li sambil menghadapi Thian Ki dengan marah sekali.
"Tentu saja, lo-cianpwe karena Cian Bu Ong adalah ayahku, juga guruku. Kuharap lo-cianpwe dapat bersikap adil. Kalau lo-cianpwe mendendam kepada bekas pangeran itu, bukankah hal itu merupakan urusan pribadi? Urusan percintaan antara lo-cianpwe dan Pangeran Cian Bu Ong merupakan urusan yang sangat pribadi dan rahasia, dan kalau lo-cianpwe hendak membalas dendam, sudah sepatutnya kalau lo-cianpwe melakukannya sendiri. Kenapa lo-cianpwe menyuruh Cin Cin membunuhnya? Cin Cin bukan lawannya, tidak akan berhasil. Apakah lo-cianpwe sengaja membiarkan Cin Cin tewas di tangan musuh yang lebih tangguh? Atau... barangkali lo-cianpwe sendiri takut menghadapi ayahku? Harap lo-cianpwe tidak melibatkan Cin Cin dalam urusan pribadi itu, agar lo-cianpwe tidak menjadi bahan tertawaan dunia kangouw!"
Wajah wanita itu menjadi pucat saking marahnya. "Kau... kau... kau anak dan murid Cian Bu Ong? Dan engkau membuntungi tangan muridku? Bagus! Aku pasti akan membunuh Cian Bu Ong, akan tetapi aku akan lebih dulu membunuh muridnya!"
Thian Ki tersenyum. "Hemm, sekarang aku mengerti kenapa ayahku dahulu tidak mau menikah dengan lo-cianpwe, walaupun lo-cianpwe seorang wanita yang cantik dan lihai. Watak lo-cianpwe itulah!"
"Jahanam busuk, anak setan! Aku tantang engkau, hayo cabut pedangmu dan kuantar engkau ke neraka!"
"Lo-cianpwe menantangku? Aku tidak akan mundur atau lari," kata Thian Ki sambil meraba pedangnya. "Cin Cin, maafkan aku kalau aku melawan gurumu."
"Nanti dulu!" Bu Giok Cu berseru. Ia khawatir sekali melihat Thian Ki hendak menyambut tantangan datuk wanita itu. Ia tahu bahwa tingkat kepandaian Tung-hai Mo-li tidak jauh selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Bagaimana mungkin Thian Ki sanggup menandinginya? Pemuda itu sama saja dengan membunuh diri.
"Tung-hai Mo-li, tidak malukah engkau? Lawanmu adalah aku atau suamiku, bukan seorang bocah! Hayo kau tantang aku atau suamiku, bukan menantang seorang yang pantasnya menjadi anakmu atau muridmu!"
"Hem, kiranya pendekar besar Huang-ho Sin-liong dan isterinya hanyalah dua orang dusun yang usil, yang suka mencampuri urusan orang lain secara tidak tahu malu! Aku menantang murid Cian Bu Ong, musuh besarku, aku hendak membunuhnya karena dia putera dan murid Cian Bu Ong, dan dia sudah membuntung tangan muridku. Apakah kalian begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusanku ini?"
Si Han Beng melangkah maju. "lsteriku, mundurlah..." Dia lalu memandang wajah Tung-hai Mo-li, dengan sinar mata mencorong yang demikian tajam sehingga datuk wanita itu sendiri menjadi gentar. Mata pendekar itu seperti sepasang mata seekor naga sakti, berapi!
"Tung-hai Mo-li, engkau berhak menantang siapapun juga di dunia ini dan kalau yang kau tantang sudah menyambut untuk bertanding denganmu, kami tentu saja tidak akan mencampuri. Akan tetapi kalau yang kau tantang menolak lalu engkau memaksa dan hendak membunuhnya, demi Tuhan, aku Si Han Beng yang akan mencegahmu, mengerti? Thian Ki, sebaiknya jangan kau sambut tantangannya. Ia bukan lawanmu."
"Paman dan bibi, harap tidak khawatir. Aku akan menyambut tantangannya, demi ayah dan guruku, juga demi Cin Cin karena ia sejak kecil diperalat oleh wanita iblis ini, dibesarkan dan dilatih ilmu silat hanya untuk disuruh membunuh bekas kekasihnya, karena ia sendiri tidak berani maju. Juga demi paman dan bibi yang dipandang rendah dan demi aku sendiri yang ditantangnya. Akan percuma saja kalau selama ini belajar ilmu, kini ditantang oleh seorang wanita jahat aku tidak berani menandinginya. Tung-hai Mo-li, aku sudah siap, majulah!"
Berkata demikian, Thian Ki mencabut pedangnya, pedang yang berwarna hitam. Nampak sinar hitam yang mengerikan ketika pedang itu dicabut, dan suami isteri pendekar itu mengenal Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis] yang dahulu merupakan pedang milik Sim Lan Ci, ibu pemuda itu. Sebatang pedang yang ampuh dan mengandung racun hebat karena pedang itu telah ditangani oleh mendiang Ban-tok Mo-li, nenek dari Thian Ki!
Diam-diam Tung-hai Mo-li juga terkejut melihat pedang hitam di tangan pemuda itu. Akan tetapi, sesuai dengan wataknya, tentu saja ia memandang rendah kepada seorang pemuda. Betapapun lihainya, kalau hanya seorang pemuda seperti itu, biar maju sepuluh orangpun ia tidak akan gentar!
"Bocah setan, sambut ini dan mampuslah!" bentaknya dan wanita itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Sinar pedang kehijauan bergulung-gulung menyambar ke arah Thian Ki.
Pemuda ini dengan tenang menggerakkan pedangnya dan nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan ketika kedua pedang bertemu di udara, terdengar suara nyaring dan nampak bunga api berpijar. Tung-hai Mo-li merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan iapun terkejut, tidak berani memandang rendah lagi dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan jurus-jurus terampuh untuk mendesak.
Namun, Thian Ki mampu mengimbanginya dengan baik. Pemuda ini sudah menguasai semua ilmu yang diajarkan Cian Bu Ong kepadanya, sehingga melawan dia tidak ada bedanya dengan melawan bekas pangeran itu sendiri. Bahkan pemuda ini lebih hebat lagi karena tubuhnya beracun!
Si Han Beng dan Bu Giok Cu yang menonton pertandingan itu, diam-diam merasa kagum bukan main. Tak pernah mereka dapat membayangkan betapa anak yang dahulu oleh orang tuanya sengaja dijauhkan dari ilmu silat, kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Jelas pemuda itu tidak akan kalah menandingi Tung-hai Mo-li, bahkan perlahan-lahan, setelah lewat tigapuluh jurus yang penuh dengan penyerangan silih berganti dengan serunya, Thian Ki mulai dapat mendesak lawannya. Gulungan sinar hijau pedang Koai-liong-kiam mulai menyempit, sedangkan gulungan sinar hitam pedang Cui-mo Hek-kiam menjadi semakin melebar.
Tung-hai Mo-li menjadi panik juga. Seujung rambutpun ia tidak pernah mengira bahwa ia menemukan lawan yang amat tangguh dalam diri pemuda itu! Demikian tangguhnya sehingga kini ia malah terdesak hebat. Ternyata, baik dalam hal kecepatan dan keringanan tubuh, maupun dalam tenaga, pemuda itu lebih unggul darinya. Ia semakin penasaran melihat Cin Cin diam saja, tidak berusaha untuk membantunya. Akan tetapi, hal itupun akan sia-sia karena di sana terdapat suami isteri pendekar yang tentu tidak akan tinggal diam kalau Cin Cin bergerak membantunya.
Karena penasaran, tiba-tiba ia mengeluarkan lengkingan panjang, tubuhnya membuat gerakan memutar dan pedangnya menyambar dari samping dengan pengerahan seluruh tenaganya. Itulah jurus Loai-liong-tiauw-wi (Naga Siluman Menyabetkan Ekornya) dari Koai-liong-kiam-sut dan jurus ini menang berbahaya sekali. Putaran tubuh itu menambah dahsyatnya tenaga dari tangan yang menggerakkan pedang. Melihat ini, Thian Ki menyambut dengan tangkisan pedangnya, bukan menangkis langsung dari depan, melainkan lebih condong menghantam dari atas ke bawah sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Trakk...!" Pedang Koai-liong-kiam yang menjadi pedang pusaka andalan Tung-hai Mo-li itu patah menjadi dua potong! Tentu saja wanita ini terkejut bukan main, mukanya pucat memandang kepada pedang sepotong yang masih berada di tangannya. Pedang itu tinggal sepertiga lagi, yang duapertiga sudah jatuh dan menancap ke atas tanah.
"Setan...!" Ia memaki dan ia membuang sisa pedang itu ke atas tanah pula.
Thian Ki juga menyarungkan pedangnya. Dia merasa menyesal telah merusak pedang lawan. "Tung-hai Mo-li, maafkan aku telah mematahkan pedangmu," katanya dengan suara yang jujur, bukan untuk mengejek.
"Huh!" Tung-hai Mo-li membuang muka dan menoleh kepada muridnya yang masih berdiri di pinggir. "Cin Cin, hayo ikut denganku. Kita pergi!"
Cin Cin memandang kepada Thian Ki, meragu dan merasa serba salah. "Subo..." Ia berkata lirih, bimbang.
"Cin Cin, ingat! Kalau tidak ada subomu ini, apa akan jadinya dengan dirimu belasan tahun yang lalu? Aku menyelamatkanmu, merawatmu, mendidikmu! Aku gurumu, pengganti orang tuamu, dan sekarang aku perintahkan engkau untuk ikut denganku!"
Cin Cin kembali menoleh kepada Thian Ki, akan tetapi kakinya sudah melangkah ke arah subonya. "Cin Cin, ingat, gurumu amat jahat, hanya ingin mempergunakanmu demi kepentingannya sendiri, tanpa memperdulikan keselamatanmu!" kata Thian Ki garang. "Ia tidak perduli engkau akan mati atau hidup. Ia seorang yang amat keji, dahulu merawat dan mendidikmu hanya dengan tujuan keuntungan dirinya sendiri. Cin Cin, engkau sudah menemukan kembali ibumu, tinggalkan iblis betina itu dan kembali kepada ibumu!"
"Coa Thian Ki, engkau tidak berhak mencampuri urusan kami!" Tung-hai Mo-li membentak marah, akan tetapi tidak berani bersikap galak lagi.
"Aku lebih berhak atas dirinya daripada engkau, Tung-hai Mo-li. Engkau tidak menyayangnya, melainkan hanya mempergunakannya. Akan tetapi di sini terdapat ibunya yang menyayangnya, ayah tirinya yang juga mengasihinya, dan di sini ada aku, saudara misannya, akan tetapi juga laki-laki yang mencintanya. Aku tidak akan membiarkan engkau membawanya pergi, kalau perlu akan kupertahankan dengan nyawaku!"
Wajah Cin Cin berubah pucat, matanya terbelalak, lalu wajah itu menjadi merah sekali. Thian Ki telah mengaku mencintanya di depan subonya, di depan Huang-ho Sin-liong dan isterinya secara terbuka!
"Cin Cin! Hayo ikut bersamaku!" bentak Tung-hai Mo-li, wajahnya merah sekali seperti udang direbus saking marahnya.
"Jangan pergi, Cin Cin. Aku yang bertanggung jawab!" kata Thian Ki.
"Subo... teecu akan pergi... bersama Thian Ki..." kata Cin Cin, suaranya lirih dan mukanya kemerahan.
Tung-hai Mo-li melangkah maju menghampiri muridnya, akan tetapi bayangan Thian Ki berkelebat dan dia sudah menghadang di depan gadis itu.
"Tung-hai Mo-li, mulai sekarang, akulah yang akan melindungi Cin Cin dari tekanan siapapun juga!" katanya gagah.
"Kau... kau...!" Tiba-tiba Tung-hai Mo-li menggerakkan tangannya menyerang, mencengkeram dengan tangan kiri ke arah muka Thian Ki dan tangan kanannya menghantam dada. Namun, dengan tangkasnya Thian Ki melompat ke samping sambil menangkis sehingga serangan kedua tangan itu gagal.
"Subo, jangan...!!" Cin Cin berteriak.
Sebetulnya teriakan itu keluar dari hatinya yang mengkhawatirkan subonya yang berani menyerang dengan tangan kosong. Thian Ki adalah seorang Tok-tong (anak beracun) dan tubuhnya penuh hawa beracun. Ia sendiri kehilangan tangan kirinya karena berani mencengkeram pundak Thian Ki.
Tung-hai Mo-li menyerang lagi, kedua tangannya mencengkeram dengan gerakan cepat sekali. Ilmu Liong-jiau-kun (silat cakar naga) memang merupakan ilmu silat tangan kosong yang khas dari iblis betina itu, disamping ilmu pedang Koai-liong-kiam. Ketika menyerang dan mencengkeram pundak Thian Ki, Cin Cin juga menggunakan ilmu cengkeraman ini. Ilmu cengkeram dari Tung-hai Mo-li memang hebat, gerakannya aneh dan cepatnya luar biasa, membuat lawan tidak sempat lagi untuk mengikuti perkembangan gerakan itu tanpa membalas.
Kalau Thian Ki masih tidak mau membunuh atau merobohkan Tung-hai Mo-li, hal itu karena dia menjaga perasaan Cin Cin, yang dia tahu merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Tadi, ketika bertanding pedang, diapun hanya mematahkan pedang lawan tanpa melukainya. Kini, melihat serangan yang bertubi-tubi, diapun hanya mengelak dan menangkis, dan inilah kesalahannya. Dia tidak tahu betapa hebatnya ilmu cengkeraman Liong-jiau-kun itu, maka tiba-tiba saja lengannya, di bawah siku, telah kena dicengkeram tangan kanan Tung-hai Mo-li.
"Brett...!" Lengan baju kiri Thian Ki robek dan kuku tangan wanita itu sudah mencengkeram lengan Thian Ki. Akan tetapi, bukan Thian Ki yang berteriak, melainkan wanita itu sendiri. Ia menjerit dan terjengkang, lalu melompat bangun memegang tangan kanannya yang telah berubah menghitam pada ke lima jari tangannya!
"Kau... kau... beracun..."
"Subo, dia memang seorang tok-tong! Subo, cepat buntungi tangan subo, racun itu akan menjalar naik!" teriak Cin Cin.
Akan tetapi Tung-hai Mo-li melotot kepadanya, lalu mendengus dan sekali berkelebat iapun sudah meninggalkan tempat itu.
"Subo...!!" Cin Cin berteriak memanggil dan suaranya mengandung isak karena duka dan penyesalan.
Thian Ki menghampirinya. "Cin Cin, maafkan aku. Aku tidak bermaksud..."
"Bukan salahmu, Thian Ki. Subo menjadi korban karena kesalahannya sendiri, seperti juga aku."
Si Han Beng dan Bu Giok Cu juga terkejut bukan main melihat betapa tangan Tung-hai Mo-li menjadi keracunan hebat begitu mencengkeram lengan Thian Ki. Apalagi mendengar teriakan Cin Cin bahwa Thian Ki seorang tok-tong!
"Thian Ki! Benarkah engkau seorang tok-tong dan tubuhmu mengandung racun?" tanya Si Han Beng dengan alis berkerut.
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba Thian Ki menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Han Beng. "Memang benar, paman, dan karena itulah maka aku datang menghadap paman dan bibi."
"Tapi, bagaimana mungkin itu? Ayah ibumu dahulu bahkan menjauhkan dirimu dari ilmu silat!" kata pula pendekar Naga Sakti Sungai Kuning itu.
"Mari kita bicara di dalam agar Thian Ki dapat menceritakan tentang dirinya. Engkau juga masuklah, Cin Cin. Kami sungguh gembira sekali melihat engkau tidak mengikut gurumu."
"Bibi saya... saya seorang murid murtad..." kata gadis itu dengan sedih dan menundukkan mukanya.
"Sama sekali tidak, Cin Cin!" kata Si Han Beng dan suaranya tegas. "Justru karena engkau menyadari keadaan gurumu yang jahat dan engkau tidak mau mengikuti jejaknya, merupakan suatu kebijaksanaan darimu. Jangankan seorang guru, biar orang tua sendiri sekalipun, kalau melakukan kejahatan, tidak pantas untuk dijadikan contoh. Gurumu itu seorang datuk sesat, tentu saja semua tindakannya hanya didasari kepentingan diri pribadi, dan kalau engkau secara membuta mentaatinya, berarti engkau bodoh dan ikut terseret ke dalam kesesatan. Sungguh tidak sesuai dengan watak ayah dan ibu kandungmu yang menjadi pendekar!"
"Terima kasih, paman," kata Cin Cin, agak lega mendengar ucapan itu. Sebetulnya, kalau ia berterus terang, yang membuat ia nekat membelakangi gurunya adalah Thian Ki! Begitu mendengar pengakuan cinta dari Thian Ki tadi, ia sudah mengambil keputusan untuk menentang siapa saja agar dapat hidup bersama Thian Ki untuk selamanya!
Mereka memasuki rumah kembali, ke dalam ruangan yang tadi. "Jadi kalau begitu, buntungnya tangan kiri Cin Cin juga karena tubuhmu yang beracun?" tanya Bu Giok Cu.
"Benar, bibi," kata Cin Cin, mendahului Thian Ki karena ia tidak ingin pemuda itu dipersalahkan. "Akan tetapi dia tidak bersalah, aku sendiri yang bersalah, bibi. Ketika memenuhi perintah subo aku menyerang Pangeran Cian Bu Ong. Thian Ki membela pangeran itu dan aku menjadi marah. Kami bertanding dan aku terdesak, lalu aku mempergunakan cengkeraman tangan kiriku melukai pundaknya, dan akibatnya tanganku keracunan. Melihat tanganku menghitam, Thian Ki cepat menggunakan pedang membuntungi tangan kiriku, untuk menyelamatkan nyawaku."
"Perbuatan itu membuat aku merasa menyesal untuk selamanya, paman dan bibi. Sebetulnya, Pangeran Cian Bu Ong tidak kalah melawan Cin Cin, tetapi dia mengalah dan aku tidak ingin melihat Cin Cin membunuh suhu yang tidak bersalah dan yang mengalah. Ketika mudanya, memang suhu dan Bhok Sui Lan itu saling mencinta. Akan tetapi, ketika mendapat kenyataan bahwa Bhok Sui Lan seorang tokoh sesat, suhu yang ketika itu seorang pangeran, menjaga nama baik keluarga kerajaan dan memutuskan hubungan. Ternyata perbuatan itu membuat Bhok Sui Lan mendendam dan memperdalam ilmu-ilmunya sampai menjadi Tung-hai Mo-li, kemudian ia mendidik Cin Cin untuk disuruh membunuh Pangeran Cian Bu Ong yang telah menjadi suami ibuku."
Suami isteri itu saling pandang dan Si Han Beng menghela napas panjang. "Hemm, begitulah perputaran nasib kehidupan manusia. Sekarang, ceritakan bagaimana engkau sampai menjadi seorang tok-tong, Thian Ki. Keadaan yang sungguh berlawanan dengan cita-cita ayah dan ibu kandungmu yang akan menjauhkan dirimu dari ilmu silat dan kekerasan."
"Mendiang nenek yang membuat saya menjadi tok-tong, paman dan bibi."
"Maksudmu, nenekmu Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang telah menjadi Lo-nikouw di kuil Thian-ho-tong itu?"
"Benar, paman."
Thian Ki lalu menceritakan betapa dia dititipkan kepada neneknya dan neneknya lah yang mengolah dirinya sehingga menjadi tok tong. Tubuhnya menjadi beracunan, sehingga ketika dia berusia lima tahunpun dia sudah membuat orang-orang tangguh tewas karena memukulnya. Kemudian diceritakannya semua pengalamannya sebagai murid ayah tirinya dan diapun akhirnya minta bantuan neneknya agar diberi pelajaran ilmu yang dapat mengendalikan hawa beracun dari tubuhnya.
"Akan tetapi mendiang nenek tidak mampu membersihkan hawa beracun dari tubuhku, paman. Menurut nenek, aku tidak boleh menikah selama hidupku, karena kalau aku menikah, isteriku akan tewas keracunan, padahal aku..." Dia menoleh dan saling pandang dengan Cin-Cin.
Suami isteri itupun saling pandang dan merasa terharu. Si Han Beng menghela napas panjang. "Kami dapat menyelami perasaan nenekmu, Thian Ki. Memang ia dahulu terkenal dengan julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), seorang ahli racun yang tiada duanya di dunia persilatan. Dan dia menjadikan engkau seorang tok-tong itu bukan bermaksud membuatmu tersiksa, melainkan ia ingin agar engkau menjadi orang yang paling lihai dan tak terkalahkan."
Thian Ki menghela napas panjang. "Akupun tidak menyalahkan mendiang nenek, paman. Bagaimanapun juga, nenek telah berusaha menebus semua dosanya dengan nyawanya."
Dia lalu menceritakan tentang pengeroyokan yang dilakukan orang-orang kang-ouw terhadap Lo-nikouw karena orang-orang kangouw itu mengetahui bahwa nikouw itu adalah Ban-tok Mo-li yang dianggap sebagai iblis betina.
"Nenek sama sekali tidak melakukan perlawanan sehingga ia tewas dibawah hujan senjata orang-orang kang-ouw."
Kembali suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. "Hemm, siapa bermain air akan basah dan bermain api akan kepanasan, sudah wajar sekali. Mendiang nenekmu sejak mudanya berkecimpung di dunia kangouw dan melakukan banyak sekali perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Karena itulah, maka kami berduapun lebih suka tinggal di tempat sunyi ini, sedapat mungkin menjauhkan diri dari kekerasan dan permusuhan."
"Dan dahulu, ketika engkau masih kecil, kedua orang tuamu yang sudah menyadari betapa kehidupan orang-orang yang menguasai ilmu silat adalah kehidupan penuh kekerasan dan permusuhan, mereka sengaja tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu dan kamipun sebenarnya menyetujui pendapat mereka. Akan tetapi, siapa kira, engkau bukan menjadi seorang yang lemah, bahkan kini menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki tubuh beracun yang amat berbahaya bagi lawan." kata pula Bu Giok Cu.
Thian Ki menarik napas panjang dengan muka muram. "Karena itulah, paman dan bibi, aku menghadap paman berdua untuk mohon pertolongan, karena mendiang nenek pernah berpesan kepadaku, bahwa di dunia ini, hanya ada dua orang yang kira-kira akan mampu melenyapkan pengaruh hawa beracun dari tubuhku dan membebaskan aku dari keadaan menjadi manusia beracun, dan mereka itu adalah yang terhormat lo-cianpwe Pek I Tojin guru paman dan Lo-cianpwe Hek Bin Hwesio guru bibi. Dan ibuku mengatakan bahwa kalau aku tidak dapat menemukan kedua orang lo-cianpwe itu, mungkin paman dan bibi akan dapat menolongku. Karena itu, paman dan bibi yang budiman, tolonglah karena seperti telah kukatakan kepada Tung-hai Mo-li tadi, aku mencinta Cin Cin dan mengharapkan ia menjadi isteriku."
Kembali Cin Cin menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Jantungnya berdebar keras. Sejak pertemuan yang pertama kali, walaupun pertemuan itu dalam suasana yang aneh dan mereka tidak saling mengenal, namun ia sudah amat tertarik kepada Thian Ki dan dalam pertemuan selanjutnya, walaupun pertemuan yang lebih tidak menyenangkan karena ternyata Thian Ki murid Cian Bu Ong dan memihak gurunya, ia sudah jatuh cinta.
Kemudian, terjadi pembuntungan tangan kirinya itu oleh Thian Ki, peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Ia tidak akan pernah melupakan pemuda itu, dan kini, dalam waktu singkat, Thian Ki secara terbuka, di depan orang-orang lain, bukan saja telah mengaku cinta kepadanya, bahkan juga menyatakan harapannya untuk memperisterinya!
Walaupun tidak langsung kepadanya, namun baginya sama saja, berarti pemuda itu telah menyatakan cintanya dan telah meminangnya sebagai isteri.! Dan tanpa menjawabpun ia dapat mendengar sendiri jawaban hatinya, yaitu bahwa iapun mencinta Thian Ki dan menerima pinangan itu dengan hati penuh kebahagiaan.
Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok saling pandang. Mereka maklum bahwa memang tidak mudah menghalau pergi hawa beracun yang telah membuat Thian Ki menjadi seorang manusia beracun. Akan tetapi, mengingat hubungan mereka dengan mendiang Coa Siang Lee, ayah pemuda itu, mereka merasa berkewajiban untuk mencobanya, dengan penuh kesungguhan hati.
"Baiklah, Thian Ki. Kami akan mencobanya, akan tetapi jangan mengharapkan terlalu banyak karena benar seperti apa yang dikatakan mendiang nenekmu, agaknya hanya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti kedua orang guru kami itu saja yang akan cukup kuat untuk mengusir hawa beracun dari tubuhmu yang sudah ditanamkan ke dalam tubuhmu sejak engkau masih kanak-kanak."
Tiba-tiba Thian Ki bangkit dari tempat duduknya, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap suami isteri itu. "Paman dan bibi ternyata benar seperti dikatakan ibuku, paman dan bibi adalah suami isteri pendekar yang budiman, dan aku Coa Thian Ki merasa kagum dan berterima kasih sekali."
"Hushh. bangkitlah, Thian Ki," kata Bu Giok Cu sambil tersenyum. "Kita seperti orang lain saja! Bukankah mendiang ayahmu adalah kakak angkat pamanmu Si Han Beng? Di antara keluarga sendiri, kenapa mesti banyak sungkan."
"Benar bibimu, Thian Ki. Bangkit dan duduklah," kata Si Han Beng.
Thian Ki duduk kembali, hatinya merasa amat gembira dan penuh harapan. Akan tetapi dia ingat akan sesuatu dan cepat berkata, "Maaf, paman dan bibi. Betapa aku terlalu memikirkan diri sendiri sehingga aku lupa akan sesuatu. Aku pernah mendengar bahwa paman dan bibi mempunyai seorang puteri, dimanakah puteri paman dan bibi itu? Ingin sekali kami bertemu dan berkenalan...!"