SEJAK pagi, sudah berdatangan para anggauta dari luar daerah Ceng-touw utusan dari cabang-cabang, dan berdatangan pula para undangan, yaitu tokoh-tokoh kang-ouw yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang. Di antara mereka yang mendapat tempat kehormatan di panggung bersama dua orang ketua itu adalah para sahabat lama seperti Siang koan Bok dengan puteranya Siangkoan Tek, Ouw Kok Sian dengan muridnya Ban To dan masih banyak lagi.
Dua orang murid utama Thian-te-pangcu Lui Seng Cu, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So menjadi penyambut para tamu undangan itu dan mereka berdua mempersilakan para tamu yang terpilih untuk duduk di panggung kehormatan. Yang lainnya duduk di kursi sebelah bawah bersama utusan dari cabang-cabang, kemudian paling belakang duduk para anggauta Thian-te-pang.
Di atas panggung yang luas itu, selain kursi para pengurus dan para undangan yang mendapat tempat kehormatan juga terdapat sebuah meja sembahyang besar penuh dengan hidangan sembahyang dan di belakang meja berdirilah sebuah patung yang menyeramkan, yaitu patung Thian-te Kwi-ong yang mereka sembah dan puja.
Dengan sikap ramah pang-cu dan kauw-cu yang duduk sebelah menyebelah di atas panggung menyambut para tamu yang sebelum dipersilakan duduk lebih dahulu memberi hormat kepada mereka sambil mengucapkan selamat. Sebagai Thian-te Pang-cu, Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu nampak anggun berwibawa. Dalam usianya yang sudah hampir enam puluh tahun itu, wanita ini masih nampak muda dan cantik.
Hal ini dibantu sekali oleh wataknya yang pesolek, dengan pakai serba indah terbuat dari sutera yang mahal, rambutnya yang disanggul ke atas dihiasi perhiasan emas permata dan sambil tersenyum-senyum manis nenek itu duduk mengipasi dirinya dengan sebuah kipas yang dipegang di tangan kirinya. Setiap kali menerima kehormatan dari tamu yang baru tiba, ia menutup kipas itu dan membalas penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan dada.
Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang masih cantik dan pesolek, dan kipas itu nampaknya seperti perlengkapan pakaian saja atau untuk bergaya. Akan tetapi, bagi yang sudah mengenal siapa Ban-tok Mo-li, akan memandang kipas yang indah itu dengan hati ngeri dan gentar. Mereka tahu bahwa kipas di tangan wanita itu merupakan sebuah senjata yang ampuh dan berbahaya sekali.
Di sebelah kanan Ban-tok Mo-li duk Lui Seng Cu yang berjuluk Hok-hoi Toa-to dan yang menjadi Thian-te Kauw-Cu atau Kepala Agama. Dia mengenakan pakaian jubah kuning yang juga terbuat dari sutera mahal, dan rambutnya yang masih nampak hitam itu diikat dengan kain sutera putih. Kakek ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih muda. Hal ini yang dipakai untuk berpropaganda bahwa penyembah Thian-te Kwi-ong akan diberkahi umur panjang dan awet muda. Dengan sikap yang dibuat-buat seperti sikap seorang alim, dia menyambut para tamu yang datang mengucapkan selamat kepadanya.
Akhirnya tibalah saatnya upacara dimulai. Pertama-tama akan diadakan sembahyangan besar-besaran. Seorang di antara murid-murid Thian-te-pang sudah membakar ujung hio-swa dan kedua orang ketua itu sudah bangkit dari tempat duduk mereka. Akan tetapi pada saat itu, di depan tempat perayaan, tepat di tengah-tengah lorong yang menuju ke situ, nampak asap tebal mengepul setelah terdengar suara ledakan keras.
Tentu saja semua orang menjadi kaget, tidak terkecuali dua orang ketua itu. Mereka sudah berloncatan menuju ke halaman itu. Akan tetapi, setelah asap tebal itu perlahan-lahan buyar tertiup angin dan akhirnya terbang ke udara, di situ tidak nampak sesuatu. Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang menimbulkan ledakan yang diikuti asap tebal itu. Tidak nampak seorang pun di situ yang asing bagi mereka.
Lui Seng Cu saling pandang dengan Phang Bi Cu. Kedua orang ketua ini terkejut dan heran. Akan tetapi diam-diam Lui Seng Cu merasa ngeri. Asap tebal itu mengingatkan dia akan gurunya, yaitu Cui-beng Sai-kong. Akan tetapi, tidak mungkin gurunya muncul seperti itu, apalagi sekarang tidak nampak seorang pun manusia di dalam asap tebal itu.
Semenjak gagal dalam usahanya mengadu domba antara para to-su dan para hwesio, Cui-beng Sai-kong melarikan diri dan tak pernah pula Lui Seng Cu mendengar tentang gurunya itu, apalagi bertemu. Dan dia pun segera melegakan hatinya. Andai kata benar gurunya yang datang, dia tidak perlu takut karena bukankah selama ini dia berjasa dengan mengembangkan Thian-te-kauw yang didirikan oleh Cui-beng Sai-kong?
Setelah masing-masing menerima segenggam hio-swa (dupa biting) dari seorang petugas, dua orang ketua itu menghadap ke arah patung Thian-te Kwi-ong di belakang meja sembahyang untuk mulai sembahyang, disaksikan oleh semua tamu dan juga para anggauta Thian-te-kauw yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah patung intuk ikut menghormati patung itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara yang datangnya dari patung itu!
“Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, engkau telah mengkhianati Thian-te Kwi-ong!"
Tentu saja Lui Seng Cu dan juga Ban-tok Mo-li terkejut bukan main. Bahkan Lui Seng Cu menatap patung itu dengan muka berubah pucat, dan timbul lagi dugaannya bahwa gurunya tentu telah hadir di situ walaupun belum memperlihatkan diri. Agaknya gurunya bersembunyi di balik patung itu, maka dengan sikap hormat dia menghadap ke arah patung dan berkata, suaranya lirih.
"Suhu yang mulia harap suka memperlihatkan diri dan mendengarkan keterangan teecu. Sama sekali teecu (murid) tidak pernah mengkhianati Thian-te Kwi-ong."
"Hemmm, masih hendak menyangkal? Engkau mengangkat dirimu sendiri menjadi kauw-cu, engkau bahkan mendirikan Thian-te-pang dan mengangkat seorang wanita menjadi pang-cu, bukankah itu mengkhianati pendiri Thian-te-kauw?"
Lui Seng Cu menjadi semakin ketakutan. "Harap Suhu ampunkan teecu, karena teecu tidak tahu ke mana harus mencari Suhu, maka teecu bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Suhu. Teecu tidak bermaksud hendak mengkhianati...”
"Aku bukan Suhumu!" kata suara itu dan tiba-tiba dari belakang patung nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di atas meja sembahyang telah berdiri seorang pemuda tampan!
Terkejut dan marahlah Lui Seng Cu yang merasa dipermainkan, apalagi melihat pemuda itu berani berdiri di atas meja yang dikeramatkan! "Siapa engkau?" bentaknya marah.
Hong San tersenyum mengejek. Dia tadi menggunakan peledak mendatangkan asap tebal untuk mencari kesempatan menyelinap tanpa diketahui orang dan bersembunyi di balik patung. Kini dia berdiri tegak dan memandang kepada Lui Seng Cu, matanya mencorong tajam dan terdengar suaranya lantang, terdengar oleh semua anggauta dan tamu yang hadir di tempat itu.
"Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan seluruh penganut Thian-te-kauw, dengarlah baik-baik. Pendiri Thian-te-kauw, yaitu yang mulia Cui-beng Sai-kong Can Siok telah meninggalkan dunia ini dan telah bersatu dengan junjungan kita Thian-te Kwi-ong! Dan sebagai pengganti atau penerusnya, ada seorang puteranya, yaitu aku sendiri. Namaku Can Hong San dan mendiang ayah Can Siok telah mewariskan kepemimpinan Thian-te-kauw kepadaku. Akulah yang berhak memimpin Thian-te-kauw dan menunjuk para pimpinan yang membantuku. Li, Seng Cu telah bertindak lancang tanpa perkenanku yang melanjutkan kepemimpinan Ayahku!"
Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu pernah mendengar dari Cui-beng Sai-kong bahwa gurunya itu memang mempunya seorang putera, akan tetapi dia tidak pernah bertemu dengan putera suhunya itu. Suhunya berasal dari tempat yang amat jauh, yaitu di Pegunungan Himalaya dan ketika dia bertemu dengannya orang sakti itu sedang dalam perantauan. Dia tidak pernah mendapat kesempatan berkunjung ke tempat asal gurunya itu.
Kini, mendengar bahwa pemuda tampan itu mengaku putera Cui-ben Sai-kong, apalagi katanya berhak untuk meneruskan kepimpinan Cui-beng Sai kong yang dikatakan telah bersatu dengan Thian-te Kwi-ong atau telah meninggal dunia, tentu saja dia tidak mau menerima semudah itu. Apalagi dia telah dipermainkan dan direndahkan di depan semua anggauta dan para tamu, oleh seorang pemuda asing!
Pemuda ini berani memaki dia sebagai seorang pengkhianat. Padahal, dialah kauw-cu dari Thian-te-kauw, orang nomor satu dari perkumpulan agama itu. Kalau yang muncul ini gurunya, Cui-beng Sai-kong, tentu dia mau tunduk karena gurunya itu selain sakti, juga terbukti bahwa gurunya dapat mengubah dirinya menjadi dewa atau raja iblis presis seperti patung itu. Maka, marahlah hatinya dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang berdiri secara kurang ajar di atas meja sembahyang itu.
"Orang muda sombong dan lancang!" bentaknya dengan suara mengguntur, "tidak kusangkal bahwa pendiri Thian-te-kauw adalah Suhuku Cui-beng Sai-kong, akan tetapi beliau yang memberi tugas kepadaku untuk menyebar-luaskan dan mengembangkan Thian-te-kauw. Karena beliau tidak ada, hanya akulah yang berhak menjadi kauw-cu! Engkau ini orang muda sombong berani mengaku sebagai putera Suhu! Sungguh kurang ajar!" Dia lalu memberi aba-aba kepada para murid utama, "Kepung dan tangkap jahanam yang telah menghina agama kita ini!"
Dua puluh lebih murid tingkat atas perkumpulan itu sudah maju dan bergerak mengepung. Akan tetapi dengan gerakan yang indah dan cepat seperti burung terbang saja, tubuh Hong San sudah melayang turun dari atas meja sembahyang dan berdiri di tengah ruangan, menghadapi tuan rumah dan para tamu agung yang duduk di atas panggung kehormatan.
"Lui Seng Cu, beginikah sikap seorang kauw-cu? Hanya garang kalau menyuruh anak buah mengeroyok? Aku bukan musuh Thian-te-pang, bahkan aku pemimpin besarnya, menggantikan kedudukan Ayahku, maka aku tidak melawan anak buah Thian-te-pang, kecuali kalau mereka itu memang patut dijatuhi hukuman. Biarlah para Saudara yang gagah dan hadir di sini menjadi saksi. Aku Can Hong San adalah putera pendiri Thian-te-kauw, maka tentu aku akan mampu mengalahkan engkau yang hanya dua tahun saja dilatih silat oleh mendiang Ayahku. Kalau aku kalah olehmu, engkau berhak menjadi pemimpin Thian-te-kauw dan aku akan mundur. Akan tetapi kalau engkau kalah olehku, itu membuktikan bahwa keteranganku tadi semua benar."
"Suhu, biar teecu (murid) yang menghajar bocah sombong ini!" terdengar teriakan dan dua orang pemuda berloncatan dari kursi mereka menghadapi Hong San.
Mereka itu adalah dua orang murid utama Lui Seng Cu, yaitu Siok Boan yang berusia dua puluh delapan tahun, berperut gendut dan bertubuh gagah namun mukanya kekanak-kanakan, dan sutenya bernama Poa Kian So yang bertubuh pendek dan hidungnya pesek sekali. Mereka adalah dua orang murid andalan Lui Seng Cu. Melihat guru mereka yang kini berkedudukan tinggi sebagai kauw-cu itu dihina oleh seorang pemuda asing, mereka sudah marah sekali dan tanpa diperintah mereka maju mewakili guru mereka untuk menghajar pemuda sombong itu.
"Aku akan bantu kalian menghajar bocah kurang ajar itu!" terdengar bentakan lain dan seorang pemuda yang bertubuh kurus kering dan bermuka pucat meloncat maju pula. Pemuda kurus kering berusia dua puluh tujuh tahun ini adalah Ji Ban To, murid dari datuk sesat Ouw Kok Sian yang juga hadir ditempat itu bersama murid utamanya ini.
Sebetulnya antara Ouw Kok Sian dan Luj Seng Cu hanya ada hubungan kenalan yang saling menyegani saja dan tidak sepatutnya kalau Ji Ban To yang datang mengikuti gurunya sebagai tamu kini langsung turun tangan membantu tua rumah menghadapi seorang lawan. Kalau hal ini dilakukan oleh Ji Ban To adalah karena pemuda ini melihat betapa di situ hadir pula banyak murid wanita Thian te-kaw, dan hampir semua murid atas anggauta wanita ini masih muda dan cantik, juga rata-rata bersikap genit.
Inilah yang mendorongnya untuk terjun ke dalam pertentangan itu, untuk menjual lagak dan memamerkan kepandaian di depan para anggauta Thian-te-kau terutama para anggauta wanitanya.
Melihat muridnya maju tanpa perintahnya Ouw Kok Sian hanya mengerutkan alis akan tetapi tidak melarang karena dia pun ingin melihat muridnya berjasa. Dia melihat betapa Thian-te-kauw makin banyak pengikutnya dan Thian-te-pang menjadi perkumpulan yang kuat dan kaya raya, maka amat baik untuk mendekati perkumpulan ini.
Melihat majunya tiga orang pemuda ini, seorang pemuda lain yang juga duduk sebagai tamu terhormat di atas panggung, hanya tersenyum, senyum mengejek. Dia adalah seorang pemuda tinggi kurus yang berwajah tampan dan berpakaian mewah. Seorang pesolek yang berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Pemuda ini bernama Siangkoan Tek, yang datang bersama ayahnya pula, yaitu Siangkoan Bok, majikan Pulau Hiu yang terkenal sebagai datuk para bajak laut di sepanjang pantai Shantung.
Siangkoan Tek seorang pemuda pesolek yang mata keranjang. Dia pun, seperti Ji Ban to ingin memamerkan kepandaian dan membuat jasa di Thian-te-pang untuk menarik perhatian para anggauta perempuan perkumpulan itu. Akan tetapi Siangkoan Tek memiliki watak yang angkuh. Dia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi daripada tiga orang pemuda itu yang sudah menjadi kenalannya sejak lama. Dia tidak mau merendahkan diri dengan melakukan pengeroyokan.
Sementara itu, melihat tiga orang pemuda itu menghadapinya dengan sikap menantang, Hong San tersenyum mengejek. Dia bertanya kepada dua orang pemuda yang maju lebih dulu. "Apakah kalian berdua murid Lui Sei Cu dan kalian juga anggauta Thian-te kauw?"
"Benar sekali!" jawab Siok Boan tegas. "Karena itu, kami mewakili Su dan Thian-te-kauw untuk menghajarmu!"
"Bagaimana dengan engkau? Apakah engkau juga anggauta Thian-te-kauw? Hong San bertanya kepada Ji Ban To.
Ji Ban To menggeleng kepala. "Aku adalah seorang tamu, murid dari Suhu Ouw Kok Sian yang menjadi tamu kehormatan. Sebagai seorang tamu yang baik, aku tidak dapat tinggal diam saja melihat tuan rumah dihina orang, namaku Ji Ban To!" Ketika mengeluarkan kata-kata ini, pemuda kurus kering itu membusungkan dadanya yang kerempeng sambil mengerling ke arah tempat duduk para gadis anggauta Thian-te-kauw yang manis-manis itu.
Hong San tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, kalian ini seperti cucu-cucu muridku yang hendak melawan kakek guru. Nah, majulah, hendak kulihat sampai di mana kemajuan kepandaian cucu-cucuku!"
Mendengar ucapan itu, tiga orang pemuda itu menjadi marah bukan main. Mereka dianggap cucu-cucu murid! Tidak ada penghinaan yang lebih hebat daripada itu, karena dipandang rendah sekali.
"Can Hong San manusia sombong, sambutlah serangan kami!" bentak Siok Boan yang mendahului sutenya, menyerang dengan dahsyat sekali, menghantamkan kepalan tangan kanan ke arah kepala Hong San. Sutenya, Poa Kian So, juga mengeluarkan bentakan dan menyerang pula dari samping kiri dengan ccngkeraman tangan kiri ke arah dada Hong San.
Menghadapi serangan dua orang ini Hong San mengelak dua kali dan pada saat itu, Ji Ban To memekik dan kaki kanannya menendang. Kaki itu kurus hanya tulang dibungkus kulit, akan tetapi karena terlatih dan tendangan itu memang dahsyat, maka tidak boleh dipandang ringan. Hong San juga mengelak dengan miringkan tubuhnya. Dia membiarkan tiga orang pengeroyoknya mengepung dan melancarkan serangan bertubi kepadanya.
Semua serangan itu dengan mudah dapat dia gagalkan dengan elakan atau tangkisan. Dia belum mempergunakan kepandaiannya, belum mengerahkan tenaga sin-kangnya sehingga kelihatannya perkelahian itu berjalan seru, bahkan nampaknya Hong San di desak terus oleh tiga orang pengeroyoknya sehingga tidak sempat membalasnya. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Tiga orang itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh dibawah tingkat kepandaian Hong San. Kalau tadi dia mengejek bahwa mereka itu seperti cucu-cucu muridnya, ejekan ini bukan hanya kosong belaka. Tingkat kepandaian Hong San memang sudah tinggi, sebanding dengan tingkat kepandaian mendiang Cui-beng Sai-kong, maka tingkat kepandaian tiga orang pemuda itu memang pantas menjadi cucu muridnya.
Kalau Hong San tidak cepat merobohkan tiga orang lawannya, hal itu bukan karena dia beriktikad baik atau menaruh hati kasihan kepada mereka, sama sekali tidak. Hanya dia ingin mendatangkan kesan yang mendalam bahwa dia benar seorang pemimpin yang bukan saja mampu menundukkan anggautanya, juga mampu bersikap murah, seperti seorang guru besar terhadap muridnya.
Karena dia tidak menonjolkan diri, maka dalam penglihatan para murid Thian-te-kauw yang tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi, nampaknya Hong San terdesak terus oleh tiga orang itu tanpa mampu membalas serangan sehingga mulailah para anggauta itu bersorak memberi semangat kepada dua orang kakak seperguruan mereka dan seorang tamu yang membela tuan rumah. Bahkan Siangkoan Tek, yang tingkat kepandaiannya sudah jauh melampaui tingkat dua orang murid Thian-te-kauw itu, tertipu pula. Dia menganggap bahwa kepandaian pemuda yang datang mengacau itu tidak berapa tinggi!
Akan tetapi mereka yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, seperti Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, Siangkoan Bok, Ouw Kok Sian dan masih ada beberapa orang lagi di pihak tamu undangan, diam-diam terkejut. Mereka ini melihat betapa Hong San seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya, hanya mengelak atau menangkis dan sengaja tidak mau membalas! Dan yang membuat mereka terkejut adalah kecepatan gerakan pemuda itu. Beberapa serangan para pengeroyok itu nampaknya pasti akan mengenai tubuhnya akan tetapi pada detik terakhir, dia menggerakkan tubuhnya dan serangan itu luput!
Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut dan merasa penasaran sekali. Sudah jelas bahwa orang yang mereka keroyok itu tidak mampu membalas, nampak repot sekali mengelak dan menangkis, akan tetapi anehnya, tidak sebuah pun pukulan yang mengenai sasaran, bahkan menyentuh pun tidak mampu! Mereka menjadi semakin penasaran dan menyerang semakin ganas dan cepat, seolah mereka bertiga itu berlumba untuk lebih dahulu merobohkan lawan yang mereka keroyok.
Akan tetapi, Hong San yang sudah merasa cukup menahan serangan mereka, tiba-tiba menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali. Dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat. Ketika dia mengembangkan kedua lengannya dengan gerakan mendorong sambil mengeluarkan seruan keras, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar dan terus terpelanting sampai ke bawah panggung!
"Bocah sombong, terpaksa aku turun tangan menghajarmu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua orang melihat bahwa Siangkoan Tek, seorang di antara tamu kehormatan, telah meloncat di depan Hong San deng pedang telanjang di tangannya. Ayahnya Siangkoan Bok terkejut melihat ini akan tetapi dia tidak sempat mencegahnya, dan karena puteranya sudah maju, tentu akan memalukan sekali dan menjatuhkan nama besarnya kalau dia menyuruh anaknya mundur kembali. Maka, dia pun hanya menonton dengan penuh perhatian siap setiap saat untuk melindungi puteranya.
Melihat seorang pemuda tinggi kurus dan tampan pesolek berdiri di depannya dengan pedang di tangan, Hong San bertanya, "Apakah engkau juga seorang cucu muridku?"
Siangkoan Tek memandang dengan mata melotot. "Aku Siangkoan Tek bukan anggauta atau murid Thian-te pang, akan tetapi sebagai seorang tamu yang dihormati, aku tidak bisa membiarkan saja engkau membikin kacau di sini. Kalau engkau memang sudah bosan hidup keluarkan senjatamu dan lawanlah pedangku!"
Berkata demikian, Siangkoan Tek mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara mendesing disertai kilatan sinar pedang. Pemuda ini tidak boleh disamakan dengan tiga orang pemuda yang baru saja kalah tadi. Dia sudah menguasai semua ilmu ayahnya dengan baik sehingga tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat ayahnya. Ini pula yang membuat ayahnya membiarkan dia menghadapi pemuda yang dianggap pengacau itu, karena bagaimanapun juga, Siangkoan Bok percaya akan kemampuan puteranya.
Hong San teringat akan keterangan yang pernah dia dengar dari ayahnya. "Aku pernah mendengar nama besar Majikan Pulau Hiu yang bernama Siangkoan liok, tidak tahu apakah engkau ada hubungan dengan dia, Sobat?"
Siangkoan Tek membusungkan dadanya. "Beliau adalah Ayahku!"
"Aha! Pantas engkau begini gagah. Aku akan merasa senang sekali kalau kelak Thian-te-pang mendapat bantuan seorang muda seperti engkau!"
"Tidak perlu banyak cakap, keluarkan senjatamu dan lawanlah aku!" Siang-koan Tek kembali membentak. Kalau bukan di tempat ramai dan disaksikan banyak orang, tentu dia sudah menyerang lawan yang tidak bersenjata itu agar cepat dia dapat merobohkannya.
Hong San tidak gentar menghadapi pedang di tangan Siangkoan Tek, akan tetapi dia pun maklum bahwa perbuatannya yang nekat ini tentu akan mendapat tentangan dari semua orang, maka di harus memperlihatkan ilmu kepandaiannya untuk menundukkan mereka semua. Dengan sikap tenang dia pun mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.
"Aku sudah siap berpi-bu (mengadu ilmu silat) dengan siapa saja yang tidak mau mengakui bahwa akulah yang paling berhak memimpin Thian-te-kauw sebagai penerus mendiang Ayahku, Cui-beng Sai-kong Can Siok! Dan untuk menghadapi senjatamu, aku cukup mempergunakan suling ini!" Setelah berkata demikian, Hong San menempelkan suling itu di bibirnya dan dia pun meniup dan memainkan sebuah lagu rakyat melalui suara sulingnya yang merdu.
Semua orang merasa heran dan juga terkejut. Benarkah pemuda itu demikian lihainya sehingga berani menghadapi Siangkoan Tek yang lihai dengan pedangnya itu, hanya dengan sebatang suling? Apalagi, dia kini meniup sulingnya itu, seperti memandang rendah lawan dan mempermainkannya.
Siangkoan Tek adalah seorang yang sudah biasa bertindak sewenang-wenang dan curang. Dia sudah menantang, dan lawan sudah mengeluarkan suling yang diakuinya sebagai senjata, maka dia pun tidak membuang waktu lagi. Melihat lawan meniup suling dengan asyik dan seolah-olah tidak menghiraukan dirinya itu, dia merasa dipandang rendah, akan tetapi juga melihat kesempatan baik. Maka, dia segera menggerakkan pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang. Pedangnya mendatangkan sinar menyilaukan mata ketika menyambar dan membacok ke arah leher Hong San!
Hong San menanti sampai pedang itu menyambar dekat, baru dia menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah dan pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dan sambil mengelak itu, dia masih terus meniup sulingnya, melanjutkan nyanyian lagu rakyat itu. Siangkoan Tek menghujankan serangan bertubi-tubi, menusuk membacok membabat dari segala jurusan, susul menyusul, namun semua itu dapat dielakkan oleh Hong San tanpa banyak kesulitan dan dia masih terus melanjutkan permainan sulingnya.
Baru setelah lagu itu selesai dimainkan dengan sulingnya, dia menggerakkan sulingnya untuk menangkis pedang dari samping, lalu membalas dengan totokakan-totokan ke arah jalan darah. Serangannya cepat dan tidak terduga sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Siangkoan Tek mulai terdesak!
"Tranggggg! Cringgggg...!"
Bunga api berpijar-pijar ketika pedang berkali-kali hertemu dengan suling dan akibatnya, tubuh Siangkoan Tek terhuyung dan pedangnya hampir terlepas dari tangan. Baru dia terkejut bukan main. Juga semua orang yang hadir di situ terkejut, Siangkoan Bok bukan hanya terkejut, melainkan juga amat khawatir karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang menggunakan suling sebagai senjata itu benar-benar lihai bukan main dan puteranya itu terancam bahaya. Oleh karena itu, tanpa malu-malu lagi, dia pun meloncat dari tempat duduknya. Pada saat itu suling di tangan Hong San mengirim totokan ke arah pundak Siangkoan Tek dan hampir mengenai sasaran.
"Tranggggg...!!" Suling itu tertahan oleh sebatang pedang yang digerakkan di tangan Siangkoan Bok.
Melihat munculnya seorang kakek bertubuh pendek tegap dengan muka hitam, Hong San meloncat ke belakang. "Maaf, apakah Paman juga seorang tokoh Thian-te-pang?" tanyanya.
"Hemm, aku hanya seorang tamu, engkau sudah mengenal namaku tadi. Aku Majikan Pulau Hiu."
"Ah, kiranya orang tua gagah pemilik Pulau Hiu!" kata Hong San dan dia memandang heran. Kakek ini memiliki wajah begini buruk, akan tetapi puteranya demikian tampannya.
"Ayah, kita hajar saja manusia sombong ini, untuk apa bicara lebih banyak..." teriak Siangkoan Tek yang berbesar hati lagi melihat majunya ayahnya.
"Aku sudah banyak mendengar tentang majikan Pulau Hiu, dan kalau aku memimpin Thian-te-kauw, tentu aku ingin menarik Paman sebagai seorang sahabat kata pula Hong San.
"Sombong! Siapa percaya bahwa engkau pemimpin Thian-te-kauw? Lihat pedangku!" Siangkoan Tek yang sudah marah sekali karena merasa penasaran dan malu bahwa dia sama sekali tidak mampu mengalahkan lawannya, kini menyerang, diikuti ayahnya yang juga sudah menggerakkan pedangnya.
"Hemmm, kalian ini Ayah dan anak agaknya harus mengenal dulu siapa aku sebetulnya!" kata Hong San sambil memutar sulingnya menyambut serangan dua orang lawannya itu.
Biarpun dikeroyok dua, Hong San masih saja mengenakan caping merahnya yang lebar, dan kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan suara melengking-lengking seolah-olah suling itu yang ditiupnya. Dan ayah bersama puteranya dari Pulau Hiu itu segera terdesak dan dua sinar pedang mereka terimpit oleh sinar suling yang menjadi semakin kuat.
Sejak tadi Ouw Kok Sian menonton dengan hati panas. Muridnya, Ji Ban To tadi terlempar ke bawah panggung. Biarpun tidak menderita luka parah, namun peristiwa itu tentu saja merupakan suatu tamparan yang memalukan bagi dia sebagai gurunya. Melihat betapa Siangkoan Bok sudah maju menghadapi pemuda pengacau itu, dia merasa tidak enak kalau harus berdiam diri.
Pertama, dia harus memperlihatkan setia kawan dan membantu Thian-te-pang, dan ke dua, dia harus membalaskan penghinaan atas diri muridnya tadi. Sekali meloncat, Ouw Kok Sian sudah terjun ke medan perkelahian sambil menggerakkan sepasang goloknya. Dia seorang yang mengandalkan keahlian bersilat sepasang golok.
Hong San cepat menangkis ketika ada sinar golok menyambar. Terdengar suara nyaring dan nampak bunga api berpijar dan Ouw Kok Sian terkejut sekali karena tangkisan suling itu hampir saja membuat golok kanannya terlepas dari tangannya.
"Heiii, tahan dulu! Siapakah Paman yang ikut menentangku? Apakah seorang tokoh Thian-te-pang?" tanya Hong San.
"Aku Ouw Kok Sian dari Pegunungan Liong san, seorang tamu yang tidak saja melihat orang mengacau dalam pesta tuan rumah!" jawab Ouw Kok Sian sambil menyerang lagi. Siangkoan Bok dan Siangkoan Tek juga sudah menerjang maju dengan marahnya.
"Ha-ha-ha, sekarang mulai ramai..." Hong San tertawa. "Akan tetapi, aku pingin menarik Raja Pegunungan Liong, san sebagai sahabat, bukan menjadi musuh. Baik, aku melayani kalian bertiga main-main sebentar!" Setelah berkata demikian, Hong San kembali bergerak cepat dan tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang dibungkus gulungan sinar sulingnya.
Tiga orang lawannya terkejut dan bingung, namun mereka menyerang membabi-buta ke arah bayangan itu. Hong San tidak mau main-main lagi. Tiga orang pengeroyoknya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga orang pemuda yang pertama kali mengeroyoknya. Apalagi sekarang mereka itu memegang senjata dan dia tidak ingin melukai mereka. Terpaksa dia harus mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berkelebatan, menghindarkan diri dari Sambaran senjata mereka dan membalas dengan totokan-totokan yang dapat merobohkan akan tetapi tidak sampai mematikan atau melukai dengan parah.
Wajah Lui Seng Cu berubah agak pucat. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Bok atau Ouw Kok Sian tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Pemuda pengacau itu ternyata tidak membual saja. Dia sungguh lihai bukan main. Jelaslah baginya bahwa kalau dia seorang diri saja menghadapi pemuda itu, dia tentu akan kalah! Juga Ban-tok Mo-li mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh lihai sekali. Ia sendiri tentu akan kewalahan kalau menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Akan tetapi pemuda itu enak-enak saja, nampaknya bukan hanya dapat mendesak tiga orang pengeroyoknya, juga seperti mempermainkan mereka.
Lui Seng Cu memberi isyarat kepa Ban-tok Mo-li untuk maju mengeroyok lawan yang berbahaya itu. Ban-tok Mo-li mengerutkan alisnya. Bagi iblis betina ini sungguh memalukan kalau sebagai seorang pangcu ia harus mengeroyok seorang pemuda! Apalagi, nama Ban-tok Mo-li sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. la pun percaya akan kepandaiannya sendiri yang masih lebih tinggi dibandingkan Lui Seng Cu. Akan tetap karena yang mengajaknya adalah rekannya, ia merasa tidak enak untuk menolak dan mereka berdua sudah bangkit berdiri lalu berloncatan ke tengah panggung.
Melihat betapa dua orang ketua itu sudah maju, diam-diam Hong San merasa ragu juga. Dia tidak takut kepada mereka, akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti mengerahkan seluruh anak buah Thian-te-pang untuk mengeroyoknya? Kalau sudah demikian, dengan sendirinya dia dianggap sebagai musuh Thian-te-Pang dan hal ini sama sekali tidak dikehendakinya. Dia ingin agar mereka menerimanya dengan baik, dan untuk itu dia harus dapat meyakinkan mereka.
"Hok-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li! Kalian berani menentangku? Lihat baik-baik, siapa aku ini!" tiba-tiba tubuh pemuda itu lenyap menjadi sesosok bayangan yang meloncat kebelakang meja sembahyang dan menghilang dibalik patung Thian-te Kwi-ong! Ketika lima orang pengeroyok itu hendak menjenguk ke balik meja, tiba-tiba terdengar ledakan dan nampak asap tebal menutupi patung dan meja sembahyang.
Semua orang terkejut bukan main dan mereka terbelalak memandang ke arah asap tebal. Ketika perlahan-lahan asap itu membuyar, nampaklah betapa patung sebesar orang itu sudah berdiri di atas meja sembahyang! Atau lebih tepat, patung itu masih berada di tempatnya yang tadi akan tetapi ada kembarannya yang kini mendadak hidup dan berdiri di atas meja!
Wajah Lui Seng Cu menjadi semakin pucat. Hanya gurunyalah yang mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Maka, tanpa ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas panggung menghadap ke arah "patung hidup" di atas meja sembahyang itu, sambil menangguk-anggukkan kepala ke atas lantai panggung.
"Hamba Lui Seng Cu mengaku bersalah, mohon ampun...!"
Ban-tok Mo-Ii terkejut, demikian pula seluruh anggauta Thian-te-kauw. Kalau Sang Kauw-cu (Kepala Agama) sendiri sudah begitu menghormati mahluk itu mereka tidak ragu lagi bahwa tentu itulah penjelmaan Thian-te Kwi-ong! Ban tok Mo-Ii dan para anggauta juga segera menjatuhkan diri berlutut menghadap patung hidup itu. Para tamu juga terkejut dan mereka semua bangkit berdiri, tidak menjatuhkan diri berlutut namun berdiri dengan sikap hormat. Siangkoan Bok, Siangkoan Tek, dan Ouw Kok Sian juga cepat mundur dan berdiri dengan sikap hormat dan bingung. Mereka juga heran sekali melihat betapa patung itu kini menjadi dua dan yang sebuah lagi hidup!
Memang patung hidup itu mengenakan pakaian seperti yang dipakai pemuda pengacau tadi, akan tetapi wajahnya jelas berubah menjadi wajah patung Thian-te Kwi-ong. Tadinya mereka menduga bahwa tentu pemuda pengacau itu yang mengenakan kedok, akan tetapi setelah mengamati penuh ketelitian, mereka mau percaya bahwa itu bukan semacam topeng, melainkan wajah yang sesungguhnya karena wajah itu hidup, tidak mati seperti topeng atau kedok!
Kini patung hidup itu mengembangkan kedua lengannya ke depan dan terdengar suaranya, suara yang parau besar dan dalam, tidak seperti suara pemuda tadi. Suaranya aneh dan penuh wibawa.
"Para pemujaku, dengarlah baik-baik dan taati perintahku! Cui-beng Sai-kong Can Siok telah kupanggil karena aku membutuhkannya dalam kerajaanku! Dan aku menunjuk puteranya, Can Hong San, kini menjadi penggantinya memimpin kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar lagi ledakan dan nampak lagi asap hitam tebal. Ketika asap menbuyar, patung hidup itu sudah lenyap dan yang nampak adalah Can Hong San yang sudah berdiri di atas meja sembahyang. Dengan gerakan indah pemuda itu melompat turun dari atas meja, menghadapi Lui Seng Cu dan Bani tok Mo-Ii. Dua orang pimpinan Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan sejenak mereka mengamati wajar Hong San. Pemuda ini pui tersenyum dan terdengar suaranya lantang gembira.
"Apakah kalian masih belum mau percaya? Thian te Kwi-ong sendiri yang berkenan memberitahu kalian! Aku adalah Can Hong San, aku putra tunggal mendiang Cui beng Sai-kong Can Siok dan aku yang ditugaskan untuk menjadi penggantinya."
Lalu dia memandang kepada Siangkoan Bok, Sjangkean Tek dau Ouw Kok Sian sambil berkata, "Aku sungguh tidak ingin bermusuhan dengan Sam-wi, melainkan ingin bersahabat. Silakan sam-wi mundur kembali ke tempat masing-masing karena urusan ini adalah urusan pribadi antara para pimpinan Thian-te-kauw."
Tiga orang itu belum sampai dirobohkan, jadi belum kehilangan muka. Akan tetapi mereka maklum kalau tadi dilanjutkan, mereka pun akan roboh. Kini, mereka mendapatkan kesempatan baik untuk mundur tanpa kehilangan muka, karena urusan pribadi antara para pimpinan Thian-te-kauw memang tidak sepatutnya mereka ikut mencampuri. Mereka pun kembali ke tempat duduk masing-masing dan yang berdiri di panggung hanya tinggal dua orang ketua itu yang berhadapan dengan Hong San.
Sejenak Hong San saling tatap dengan dua orang ketua itu dan dia tahu bahwa biarpun mereka berdua kini agaknya percaya kepadanya, namun masih terdapat keraguan dan ketidak-puasan. "Bagaimana sekarang pendapat kalian? Apakah kalian sudah percaya kepadaku dan mau mengakui aku sebagai pengganti Cui-beng Sai-kong dan memimpin Thian-te-kauw?" tanya Hong San den sikap tenang, ramah dan suara lembut.
"Hemmm, bagaimana kami harus menjawab?" Lui Seng Cu menjawab. "Memang kami sudah menyaksikan sendiri bahwa engkau dapat mengubah diri menjadi pujaan kami Thian-te Kwi-ong, akan tetapi... engkau masih begini muda, sedangkan memimpin Thian-te-kauw membutuhkan seorang yang sudah berpengalaman agar perkumpulan ini dapat meperoleh kemajuan."
"Juga seorang ketua harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga akan mampu menjaga nama dan kehormatan perkumpulan yang diasuhnya..." sambung Ban-tok Mo-li.
Hong San tersenyum. "Pendapat kalian berdua memang benar. Aku pun berpendapat demikian. Oleh karena itu, aku tidak ingin menurunkan kalian dari kedudukan kalian yang sekarang. Hok-hou Toa-to tetap menjadi Kauw-cu dan Ban tok Mo-li tetap menjadi Thian-te Pang cu. Akan tetapi kalian berdua berada dibawah pengawasan dan kekuasaanku, karena aku yang menjadi pemimpin umum. Pekerjaan sehari-hari boleh kalian laksanakan, akan tetapi segala hal yang penting harus lebih dahulu mendapat persetujuanku. Dan tentang ilmu kepandaian, kalau yang kuperlihatkan tadi belum meyakinkan hati kalian, nah, kalian boleh maju sendiri untuk mengujiku"
Berkata demikian, tangan kanan Hong San bergerak dan tahu-tahu dia telah memegang sebatang pedang di tangan kanan, dan sulingnya masih berada di tangan kirinya.
"Lui Seng Cu, engkau terkenal dengan julukan Hok-houw Toa-to, ingin sekali aku mencoba kehebatan golok besarmu dan melihat sampai di mana kemajuanmu menerima bimbingan ilmu silat dari Ayahku!" katanya dan kini suaranya mengandung wibawa dan tegas, tidak lagi bersikap seperti orang bermain-main seperti tadi.
Lui Seng Cu juga tidak berani mengajak Ban-tok Mo-li untuk melakukan pengeroyokan lagi. Bagaimanapun juga, dia sudah hampir merasa yakin bahwa pemuda ini memang pengganti Cui-be Sai-kong, entah puteranya entah muridnya, namun buktinya mampu mengubah diri menjadi raja iblis itu. Dan kesempatan mengadu ilmu silat ini pun memberi kesempatan baginya untuk membuktikan apakah benar pemuda ini putera gurunya, karena kalau hal ini benar tentu pemuda itu mengenal ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Cui-beng kong.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Lui Seng Cu sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Sebelum menjadi murid Cui-beng Sai-kong, Lui Seng Cu sudah menjadi perampok tunggal yang di takuti. Karena kebetulan saja, yaitu berjumpa dengan Cui-beng Sai-kong dan hendak merampoknya, maka dia berkenalan dengan pendiri Thian-te-kauw itu. Denga mudah dia dikalahkan dan sejak itula dia menjadi pengikut dan menerima pelajaran dan Cui-beng Sai-kong. Bukan hanya tentang penyembahan Thian kui-mo, akan tetapi sedikit ilmu sihir dan juga ilmu silat Koai-liong-kun (Silat Naga Setan).
"Lui Seng Cu, engkau boleh mulai menyerangku!" kata Hong San. Nada suaranya sudah memerintah.
"Lihat serangan!" Lui Seng Cu berseru.
Biarpun kauw-cu ini nampaknya sudah percaya dan tunduk kepada Hong San namun ketika dia menyerang tahulah Hong San bahwa sebenarnya di dalam hatinya kauw-cu ini masih merasa penasaran. Dalam serangan itu terkandung kemaarahan dan kebencian sehingga serangan itu merupakan gerakan dahsyat yang amat berbahaya dan mematikan, liong San dapat mengerti kemarahan Kauw-cu ini. Bagaimanapun juga, tentu orang yang sudah berpengalaman ini masih merasa penasaran kalau harus mempunyai atasan seorang pemuda seperti dia!
Maka, dia pun ingin memamerkan kepandaiannya. Melihat serangan golok itu, dia tahu bahwa dari ayahnya, kauw-Cu ini hanya menerima pelajaran Koai-Liong kiam saja yang agaknya kini di sesuaikan dengan gerakan golok. Dia memutar pedangnya, dengan jurus-jurus dari ilmu pedang Koai-liong kiam dan karena memang tingkat kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi.
Maka Liu Seng Cu seolah-olah menghadapi sebuah dinding baja yang amat kuat, yang menolak seluruh jurus serangannya! Dia pun mengenal gerakan pedang pemuda itu yang memainkan ilmu pedang Koai liong kiam, akan tetapi demikian hebatnya permainan itu sehingga pandangan matanya menjadi silau dan dia seperti berhadapan dengan dinding baja yang sudah ditembus!
Setelah lewat tiga puluh jurus, habislah sudah semua jurus Koai liong kiam dia mainkan untuk menyerang, pemuda itu dan kini dia pun yakin bahwa memang pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu dari gurunya, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi juga ilmu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Biarpun tidak banyak, dia pernah mempelajari ilmu sihir. Belum tentu pemuda ini mengenal sihir pula dan kalau demikian halnya.
Betapapun lihainya ilmu silat pemuda ini, kalau sampai dapat dia kuasai dengan sihirnya, maka dia akan mampu menundukkannya! Di samping harapan ini, juga dia dapat mempergunakannya sebagai ujian sampai di mana pemuda ini mewarisi ilmu-ilmu dari Cui-beng Sai-kong yang diakui sebagai ayahnya itu.
"Can Hong San, berlututlah engkau!" tiba-tiba kauw-cu itu membentak sambil mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya.
Semua anggauta Thian-te-kauw memandang dengan hati tegang. Mereka semua tahu bahwa kauw-cu mereka memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan dia dapat memaksa setiap orang dengan perintah sihirnya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka duga. Pemuda yang memegang pedang dan suling itu sama sekali tidak berlutut, bahkan dia berkata dengan suara yang nyaring.
"Engkaulah yang berlutut di depanku, Lui Seng Cu!"
Dan kauw-cu itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hong San! Lui Seng Cu terkejut bukan main. Tadi pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya dan ketika pemuda itu menjawab, dia sama sekali tidak merasakan kekuatan sihir yang memaksanya untuk berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja dua buah lututnya disambar ujung suling dan itulah yang memaksanya jatuh berlutut karena kedua kakinya terasa lumpuh...!
Dua orang murid utama Thian-te-pangcu Lui Seng Cu, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So menjadi penyambut para tamu undangan itu dan mereka berdua mempersilakan para tamu yang terpilih untuk duduk di panggung kehormatan. Yang lainnya duduk di kursi sebelah bawah bersama utusan dari cabang-cabang, kemudian paling belakang duduk para anggauta Thian-te-pang.
Di atas panggung yang luas itu, selain kursi para pengurus dan para undangan yang mendapat tempat kehormatan juga terdapat sebuah meja sembahyang besar penuh dengan hidangan sembahyang dan di belakang meja berdirilah sebuah patung yang menyeramkan, yaitu patung Thian-te Kwi-ong yang mereka sembah dan puja.
Dengan sikap ramah pang-cu dan kauw-cu yang duduk sebelah menyebelah di atas panggung menyambut para tamu yang sebelum dipersilakan duduk lebih dahulu memberi hormat kepada mereka sambil mengucapkan selamat. Sebagai Thian-te Pang-cu, Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu nampak anggun berwibawa. Dalam usianya yang sudah hampir enam puluh tahun itu, wanita ini masih nampak muda dan cantik.
Hal ini dibantu sekali oleh wataknya yang pesolek, dengan pakai serba indah terbuat dari sutera yang mahal, rambutnya yang disanggul ke atas dihiasi perhiasan emas permata dan sambil tersenyum-senyum manis nenek itu duduk mengipasi dirinya dengan sebuah kipas yang dipegang di tangan kirinya. Setiap kali menerima kehormatan dari tamu yang baru tiba, ia menutup kipas itu dan membalas penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan dada.
Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang masih cantik dan pesolek, dan kipas itu nampaknya seperti perlengkapan pakaian saja atau untuk bergaya. Akan tetapi, bagi yang sudah mengenal siapa Ban-tok Mo-li, akan memandang kipas yang indah itu dengan hati ngeri dan gentar. Mereka tahu bahwa kipas di tangan wanita itu merupakan sebuah senjata yang ampuh dan berbahaya sekali.
Di sebelah kanan Ban-tok Mo-li duk Lui Seng Cu yang berjuluk Hok-hoi Toa-to dan yang menjadi Thian-te Kauw-Cu atau Kepala Agama. Dia mengenakan pakaian jubah kuning yang juga terbuat dari sutera mahal, dan rambutnya yang masih nampak hitam itu diikat dengan kain sutera putih. Kakek ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih muda. Hal ini yang dipakai untuk berpropaganda bahwa penyembah Thian-te Kwi-ong akan diberkahi umur panjang dan awet muda. Dengan sikap yang dibuat-buat seperti sikap seorang alim, dia menyambut para tamu yang datang mengucapkan selamat kepadanya.
Akhirnya tibalah saatnya upacara dimulai. Pertama-tama akan diadakan sembahyangan besar-besaran. Seorang di antara murid-murid Thian-te-pang sudah membakar ujung hio-swa dan kedua orang ketua itu sudah bangkit dari tempat duduk mereka. Akan tetapi pada saat itu, di depan tempat perayaan, tepat di tengah-tengah lorong yang menuju ke situ, nampak asap tebal mengepul setelah terdengar suara ledakan keras.
Tentu saja semua orang menjadi kaget, tidak terkecuali dua orang ketua itu. Mereka sudah berloncatan menuju ke halaman itu. Akan tetapi, setelah asap tebal itu perlahan-lahan buyar tertiup angin dan akhirnya terbang ke udara, di situ tidak nampak sesuatu. Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang menimbulkan ledakan yang diikuti asap tebal itu. Tidak nampak seorang pun di situ yang asing bagi mereka.
Lui Seng Cu saling pandang dengan Phang Bi Cu. Kedua orang ketua ini terkejut dan heran. Akan tetapi diam-diam Lui Seng Cu merasa ngeri. Asap tebal itu mengingatkan dia akan gurunya, yaitu Cui-beng Sai-kong. Akan tetapi, tidak mungkin gurunya muncul seperti itu, apalagi sekarang tidak nampak seorang pun manusia di dalam asap tebal itu.
Semenjak gagal dalam usahanya mengadu domba antara para to-su dan para hwesio, Cui-beng Sai-kong melarikan diri dan tak pernah pula Lui Seng Cu mendengar tentang gurunya itu, apalagi bertemu. Dan dia pun segera melegakan hatinya. Andai kata benar gurunya yang datang, dia tidak perlu takut karena bukankah selama ini dia berjasa dengan mengembangkan Thian-te-kauw yang didirikan oleh Cui-beng Sai-kong?
Setelah masing-masing menerima segenggam hio-swa (dupa biting) dari seorang petugas, dua orang ketua itu menghadap ke arah patung Thian-te Kwi-ong di belakang meja sembahyang untuk mulai sembahyang, disaksikan oleh semua tamu dan juga para anggauta Thian-te-kauw yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah patung intuk ikut menghormati patung itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara yang datangnya dari patung itu!
“Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, engkau telah mengkhianati Thian-te Kwi-ong!"
Tentu saja Lui Seng Cu dan juga Ban-tok Mo-li terkejut bukan main. Bahkan Lui Seng Cu menatap patung itu dengan muka berubah pucat, dan timbul lagi dugaannya bahwa gurunya tentu telah hadir di situ walaupun belum memperlihatkan diri. Agaknya gurunya bersembunyi di balik patung itu, maka dengan sikap hormat dia menghadap ke arah patung dan berkata, suaranya lirih.
"Suhu yang mulia harap suka memperlihatkan diri dan mendengarkan keterangan teecu. Sama sekali teecu (murid) tidak pernah mengkhianati Thian-te Kwi-ong."
"Hemmm, masih hendak menyangkal? Engkau mengangkat dirimu sendiri menjadi kauw-cu, engkau bahkan mendirikan Thian-te-pang dan mengangkat seorang wanita menjadi pang-cu, bukankah itu mengkhianati pendiri Thian-te-kauw?"
Lui Seng Cu menjadi semakin ketakutan. "Harap Suhu ampunkan teecu, karena teecu tidak tahu ke mana harus mencari Suhu, maka teecu bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Suhu. Teecu tidak bermaksud hendak mengkhianati...”
"Aku bukan Suhumu!" kata suara itu dan tiba-tiba dari belakang patung nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di atas meja sembahyang telah berdiri seorang pemuda tampan!
Terkejut dan marahlah Lui Seng Cu yang merasa dipermainkan, apalagi melihat pemuda itu berani berdiri di atas meja yang dikeramatkan! "Siapa engkau?" bentaknya marah.
Hong San tersenyum mengejek. Dia tadi menggunakan peledak mendatangkan asap tebal untuk mencari kesempatan menyelinap tanpa diketahui orang dan bersembunyi di balik patung. Kini dia berdiri tegak dan memandang kepada Lui Seng Cu, matanya mencorong tajam dan terdengar suaranya lantang, terdengar oleh semua anggauta dan tamu yang hadir di tempat itu.
"Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan seluruh penganut Thian-te-kauw, dengarlah baik-baik. Pendiri Thian-te-kauw, yaitu yang mulia Cui-beng Sai-kong Can Siok telah meninggalkan dunia ini dan telah bersatu dengan junjungan kita Thian-te Kwi-ong! Dan sebagai pengganti atau penerusnya, ada seorang puteranya, yaitu aku sendiri. Namaku Can Hong San dan mendiang ayah Can Siok telah mewariskan kepemimpinan Thian-te-kauw kepadaku. Akulah yang berhak memimpin Thian-te-kauw dan menunjuk para pimpinan yang membantuku. Li, Seng Cu telah bertindak lancang tanpa perkenanku yang melanjutkan kepemimpinan Ayahku!"
Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu pernah mendengar dari Cui-beng Sai-kong bahwa gurunya itu memang mempunya seorang putera, akan tetapi dia tidak pernah bertemu dengan putera suhunya itu. Suhunya berasal dari tempat yang amat jauh, yaitu di Pegunungan Himalaya dan ketika dia bertemu dengannya orang sakti itu sedang dalam perantauan. Dia tidak pernah mendapat kesempatan berkunjung ke tempat asal gurunya itu.
Kini, mendengar bahwa pemuda tampan itu mengaku putera Cui-ben Sai-kong, apalagi katanya berhak untuk meneruskan kepimpinan Cui-beng Sai kong yang dikatakan telah bersatu dengan Thian-te Kwi-ong atau telah meninggal dunia, tentu saja dia tidak mau menerima semudah itu. Apalagi dia telah dipermainkan dan direndahkan di depan semua anggauta dan para tamu, oleh seorang pemuda asing!
Pemuda ini berani memaki dia sebagai seorang pengkhianat. Padahal, dialah kauw-cu dari Thian-te-kauw, orang nomor satu dari perkumpulan agama itu. Kalau yang muncul ini gurunya, Cui-beng Sai-kong, tentu dia mau tunduk karena gurunya itu selain sakti, juga terbukti bahwa gurunya dapat mengubah dirinya menjadi dewa atau raja iblis presis seperti patung itu. Maka, marahlah hatinya dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang berdiri secara kurang ajar di atas meja sembahyang itu.
"Orang muda sombong dan lancang!" bentaknya dengan suara mengguntur, "tidak kusangkal bahwa pendiri Thian-te-kauw adalah Suhuku Cui-beng Sai-kong, akan tetapi beliau yang memberi tugas kepadaku untuk menyebar-luaskan dan mengembangkan Thian-te-kauw. Karena beliau tidak ada, hanya akulah yang berhak menjadi kauw-cu! Engkau ini orang muda sombong berani mengaku sebagai putera Suhu! Sungguh kurang ajar!" Dia lalu memberi aba-aba kepada para murid utama, "Kepung dan tangkap jahanam yang telah menghina agama kita ini!"
Dua puluh lebih murid tingkat atas perkumpulan itu sudah maju dan bergerak mengepung. Akan tetapi dengan gerakan yang indah dan cepat seperti burung terbang saja, tubuh Hong San sudah melayang turun dari atas meja sembahyang dan berdiri di tengah ruangan, menghadapi tuan rumah dan para tamu agung yang duduk di atas panggung kehormatan.
"Lui Seng Cu, beginikah sikap seorang kauw-cu? Hanya garang kalau menyuruh anak buah mengeroyok? Aku bukan musuh Thian-te-pang, bahkan aku pemimpin besarnya, menggantikan kedudukan Ayahku, maka aku tidak melawan anak buah Thian-te-pang, kecuali kalau mereka itu memang patut dijatuhi hukuman. Biarlah para Saudara yang gagah dan hadir di sini menjadi saksi. Aku Can Hong San adalah putera pendiri Thian-te-kauw, maka tentu aku akan mampu mengalahkan engkau yang hanya dua tahun saja dilatih silat oleh mendiang Ayahku. Kalau aku kalah olehmu, engkau berhak menjadi pemimpin Thian-te-kauw dan aku akan mundur. Akan tetapi kalau engkau kalah olehku, itu membuktikan bahwa keteranganku tadi semua benar."
"Suhu, biar teecu (murid) yang menghajar bocah sombong ini!" terdengar teriakan dan dua orang pemuda berloncatan dari kursi mereka menghadapi Hong San.
Mereka itu adalah dua orang murid utama Lui Seng Cu, yaitu Siok Boan yang berusia dua puluh delapan tahun, berperut gendut dan bertubuh gagah namun mukanya kekanak-kanakan, dan sutenya bernama Poa Kian So yang bertubuh pendek dan hidungnya pesek sekali. Mereka adalah dua orang murid andalan Lui Seng Cu. Melihat guru mereka yang kini berkedudukan tinggi sebagai kauw-cu itu dihina oleh seorang pemuda asing, mereka sudah marah sekali dan tanpa diperintah mereka maju mewakili guru mereka untuk menghajar pemuda sombong itu.
"Aku akan bantu kalian menghajar bocah kurang ajar itu!" terdengar bentakan lain dan seorang pemuda yang bertubuh kurus kering dan bermuka pucat meloncat maju pula. Pemuda kurus kering berusia dua puluh tujuh tahun ini adalah Ji Ban To, murid dari datuk sesat Ouw Kok Sian yang juga hadir ditempat itu bersama murid utamanya ini.
Sebetulnya antara Ouw Kok Sian dan Luj Seng Cu hanya ada hubungan kenalan yang saling menyegani saja dan tidak sepatutnya kalau Ji Ban To yang datang mengikuti gurunya sebagai tamu kini langsung turun tangan membantu tua rumah menghadapi seorang lawan. Kalau hal ini dilakukan oleh Ji Ban To adalah karena pemuda ini melihat betapa di situ hadir pula banyak murid wanita Thian te-kaw, dan hampir semua murid atas anggauta wanita ini masih muda dan cantik, juga rata-rata bersikap genit.
Inilah yang mendorongnya untuk terjun ke dalam pertentangan itu, untuk menjual lagak dan memamerkan kepandaian di depan para anggauta Thian-te-kau terutama para anggauta wanitanya.
Melihat muridnya maju tanpa perintahnya Ouw Kok Sian hanya mengerutkan alis akan tetapi tidak melarang karena dia pun ingin melihat muridnya berjasa. Dia melihat betapa Thian-te-kauw makin banyak pengikutnya dan Thian-te-pang menjadi perkumpulan yang kuat dan kaya raya, maka amat baik untuk mendekati perkumpulan ini.
Melihat majunya tiga orang pemuda ini, seorang pemuda lain yang juga duduk sebagai tamu terhormat di atas panggung, hanya tersenyum, senyum mengejek. Dia adalah seorang pemuda tinggi kurus yang berwajah tampan dan berpakaian mewah. Seorang pesolek yang berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Pemuda ini bernama Siangkoan Tek, yang datang bersama ayahnya pula, yaitu Siangkoan Bok, majikan Pulau Hiu yang terkenal sebagai datuk para bajak laut di sepanjang pantai Shantung.
Siangkoan Tek seorang pemuda pesolek yang mata keranjang. Dia pun, seperti Ji Ban to ingin memamerkan kepandaian dan membuat jasa di Thian-te-pang untuk menarik perhatian para anggauta perempuan perkumpulan itu. Akan tetapi Siangkoan Tek memiliki watak yang angkuh. Dia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi daripada tiga orang pemuda itu yang sudah menjadi kenalannya sejak lama. Dia tidak mau merendahkan diri dengan melakukan pengeroyokan.
Sementara itu, melihat tiga orang pemuda itu menghadapinya dengan sikap menantang, Hong San tersenyum mengejek. Dia bertanya kepada dua orang pemuda yang maju lebih dulu. "Apakah kalian berdua murid Lui Sei Cu dan kalian juga anggauta Thian-te kauw?"
"Benar sekali!" jawab Siok Boan tegas. "Karena itu, kami mewakili Su dan Thian-te-kauw untuk menghajarmu!"
"Bagaimana dengan engkau? Apakah engkau juga anggauta Thian-te-kauw? Hong San bertanya kepada Ji Ban To.
Ji Ban To menggeleng kepala. "Aku adalah seorang tamu, murid dari Suhu Ouw Kok Sian yang menjadi tamu kehormatan. Sebagai seorang tamu yang baik, aku tidak dapat tinggal diam saja melihat tuan rumah dihina orang, namaku Ji Ban To!" Ketika mengeluarkan kata-kata ini, pemuda kurus kering itu membusungkan dadanya yang kerempeng sambil mengerling ke arah tempat duduk para gadis anggauta Thian-te-kauw yang manis-manis itu.
Hong San tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, kalian ini seperti cucu-cucu muridku yang hendak melawan kakek guru. Nah, majulah, hendak kulihat sampai di mana kemajuan kepandaian cucu-cucuku!"
Mendengar ucapan itu, tiga orang pemuda itu menjadi marah bukan main. Mereka dianggap cucu-cucu murid! Tidak ada penghinaan yang lebih hebat daripada itu, karena dipandang rendah sekali.
"Can Hong San manusia sombong, sambutlah serangan kami!" bentak Siok Boan yang mendahului sutenya, menyerang dengan dahsyat sekali, menghantamkan kepalan tangan kanan ke arah kepala Hong San. Sutenya, Poa Kian So, juga mengeluarkan bentakan dan menyerang pula dari samping kiri dengan ccngkeraman tangan kiri ke arah dada Hong San.
Menghadapi serangan dua orang ini Hong San mengelak dua kali dan pada saat itu, Ji Ban To memekik dan kaki kanannya menendang. Kaki itu kurus hanya tulang dibungkus kulit, akan tetapi karena terlatih dan tendangan itu memang dahsyat, maka tidak boleh dipandang ringan. Hong San juga mengelak dengan miringkan tubuhnya. Dia membiarkan tiga orang pengeroyoknya mengepung dan melancarkan serangan bertubi kepadanya.
Semua serangan itu dengan mudah dapat dia gagalkan dengan elakan atau tangkisan. Dia belum mempergunakan kepandaiannya, belum mengerahkan tenaga sin-kangnya sehingga kelihatannya perkelahian itu berjalan seru, bahkan nampaknya Hong San di desak terus oleh tiga orang pengeroyoknya sehingga tidak sempat membalasnya. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Tiga orang itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh dibawah tingkat kepandaian Hong San. Kalau tadi dia mengejek bahwa mereka itu seperti cucu-cucu muridnya, ejekan ini bukan hanya kosong belaka. Tingkat kepandaian Hong San memang sudah tinggi, sebanding dengan tingkat kepandaian mendiang Cui-beng Sai-kong, maka tingkat kepandaian tiga orang pemuda itu memang pantas menjadi cucu muridnya.
Kalau Hong San tidak cepat merobohkan tiga orang lawannya, hal itu bukan karena dia beriktikad baik atau menaruh hati kasihan kepada mereka, sama sekali tidak. Hanya dia ingin mendatangkan kesan yang mendalam bahwa dia benar seorang pemimpin yang bukan saja mampu menundukkan anggautanya, juga mampu bersikap murah, seperti seorang guru besar terhadap muridnya.
Karena dia tidak menonjolkan diri, maka dalam penglihatan para murid Thian-te-kauw yang tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi, nampaknya Hong San terdesak terus oleh tiga orang itu tanpa mampu membalas serangan sehingga mulailah para anggauta itu bersorak memberi semangat kepada dua orang kakak seperguruan mereka dan seorang tamu yang membela tuan rumah. Bahkan Siangkoan Tek, yang tingkat kepandaiannya sudah jauh melampaui tingkat dua orang murid Thian-te-kauw itu, tertipu pula. Dia menganggap bahwa kepandaian pemuda yang datang mengacau itu tidak berapa tinggi!
Akan tetapi mereka yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, seperti Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, Siangkoan Bok, Ouw Kok Sian dan masih ada beberapa orang lagi di pihak tamu undangan, diam-diam terkejut. Mereka ini melihat betapa Hong San seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya, hanya mengelak atau menangkis dan sengaja tidak mau membalas! Dan yang membuat mereka terkejut adalah kecepatan gerakan pemuda itu. Beberapa serangan para pengeroyok itu nampaknya pasti akan mengenai tubuhnya akan tetapi pada detik terakhir, dia menggerakkan tubuhnya dan serangan itu luput!
Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut dan merasa penasaran sekali. Sudah jelas bahwa orang yang mereka keroyok itu tidak mampu membalas, nampak repot sekali mengelak dan menangkis, akan tetapi anehnya, tidak sebuah pun pukulan yang mengenai sasaran, bahkan menyentuh pun tidak mampu! Mereka menjadi semakin penasaran dan menyerang semakin ganas dan cepat, seolah mereka bertiga itu berlumba untuk lebih dahulu merobohkan lawan yang mereka keroyok.
Akan tetapi, Hong San yang sudah merasa cukup menahan serangan mereka, tiba-tiba menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali. Dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat. Ketika dia mengembangkan kedua lengannya dengan gerakan mendorong sambil mengeluarkan seruan keras, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar dan terus terpelanting sampai ke bawah panggung!
"Bocah sombong, terpaksa aku turun tangan menghajarmu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua orang melihat bahwa Siangkoan Tek, seorang di antara tamu kehormatan, telah meloncat di depan Hong San deng pedang telanjang di tangannya. Ayahnya Siangkoan Bok terkejut melihat ini akan tetapi dia tidak sempat mencegahnya, dan karena puteranya sudah maju, tentu akan memalukan sekali dan menjatuhkan nama besarnya kalau dia menyuruh anaknya mundur kembali. Maka, dia pun hanya menonton dengan penuh perhatian siap setiap saat untuk melindungi puteranya.
Melihat seorang pemuda tinggi kurus dan tampan pesolek berdiri di depannya dengan pedang di tangan, Hong San bertanya, "Apakah engkau juga seorang cucu muridku?"
Siangkoan Tek memandang dengan mata melotot. "Aku Siangkoan Tek bukan anggauta atau murid Thian-te pang, akan tetapi sebagai seorang tamu yang dihormati, aku tidak bisa membiarkan saja engkau membikin kacau di sini. Kalau engkau memang sudah bosan hidup keluarkan senjatamu dan lawanlah pedangku!"
Berkata demikian, Siangkoan Tek mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara mendesing disertai kilatan sinar pedang. Pemuda ini tidak boleh disamakan dengan tiga orang pemuda yang baru saja kalah tadi. Dia sudah menguasai semua ilmu ayahnya dengan baik sehingga tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat ayahnya. Ini pula yang membuat ayahnya membiarkan dia menghadapi pemuda yang dianggap pengacau itu, karena bagaimanapun juga, Siangkoan Bok percaya akan kemampuan puteranya.
Hong San teringat akan keterangan yang pernah dia dengar dari ayahnya. "Aku pernah mendengar nama besar Majikan Pulau Hiu yang bernama Siangkoan liok, tidak tahu apakah engkau ada hubungan dengan dia, Sobat?"
Siangkoan Tek membusungkan dadanya. "Beliau adalah Ayahku!"
"Aha! Pantas engkau begini gagah. Aku akan merasa senang sekali kalau kelak Thian-te-pang mendapat bantuan seorang muda seperti engkau!"
"Tidak perlu banyak cakap, keluarkan senjatamu dan lawanlah aku!" Siang-koan Tek kembali membentak. Kalau bukan di tempat ramai dan disaksikan banyak orang, tentu dia sudah menyerang lawan yang tidak bersenjata itu agar cepat dia dapat merobohkannya.
Hong San tidak gentar menghadapi pedang di tangan Siangkoan Tek, akan tetapi dia pun maklum bahwa perbuatannya yang nekat ini tentu akan mendapat tentangan dari semua orang, maka di harus memperlihatkan ilmu kepandaiannya untuk menundukkan mereka semua. Dengan sikap tenang dia pun mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.
"Aku sudah siap berpi-bu (mengadu ilmu silat) dengan siapa saja yang tidak mau mengakui bahwa akulah yang paling berhak memimpin Thian-te-kauw sebagai penerus mendiang Ayahku, Cui-beng Sai-kong Can Siok! Dan untuk menghadapi senjatamu, aku cukup mempergunakan suling ini!" Setelah berkata demikian, Hong San menempelkan suling itu di bibirnya dan dia pun meniup dan memainkan sebuah lagu rakyat melalui suara sulingnya yang merdu.
Semua orang merasa heran dan juga terkejut. Benarkah pemuda itu demikian lihainya sehingga berani menghadapi Siangkoan Tek yang lihai dengan pedangnya itu, hanya dengan sebatang suling? Apalagi, dia kini meniup sulingnya itu, seperti memandang rendah lawan dan mempermainkannya.
Siangkoan Tek adalah seorang yang sudah biasa bertindak sewenang-wenang dan curang. Dia sudah menantang, dan lawan sudah mengeluarkan suling yang diakuinya sebagai senjata, maka dia pun tidak membuang waktu lagi. Melihat lawan meniup suling dengan asyik dan seolah-olah tidak menghiraukan dirinya itu, dia merasa dipandang rendah, akan tetapi juga melihat kesempatan baik. Maka, dia segera menggerakkan pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang. Pedangnya mendatangkan sinar menyilaukan mata ketika menyambar dan membacok ke arah leher Hong San!
Hong San menanti sampai pedang itu menyambar dekat, baru dia menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah dan pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dan sambil mengelak itu, dia masih terus meniup sulingnya, melanjutkan nyanyian lagu rakyat itu. Siangkoan Tek menghujankan serangan bertubi-tubi, menusuk membacok membabat dari segala jurusan, susul menyusul, namun semua itu dapat dielakkan oleh Hong San tanpa banyak kesulitan dan dia masih terus melanjutkan permainan sulingnya.
Baru setelah lagu itu selesai dimainkan dengan sulingnya, dia menggerakkan sulingnya untuk menangkis pedang dari samping, lalu membalas dengan totokakan-totokan ke arah jalan darah. Serangannya cepat dan tidak terduga sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Siangkoan Tek mulai terdesak!
"Tranggggg! Cringgggg...!"
Bunga api berpijar-pijar ketika pedang berkali-kali hertemu dengan suling dan akibatnya, tubuh Siangkoan Tek terhuyung dan pedangnya hampir terlepas dari tangan. Baru dia terkejut bukan main. Juga semua orang yang hadir di situ terkejut, Siangkoan Bok bukan hanya terkejut, melainkan juga amat khawatir karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang menggunakan suling sebagai senjata itu benar-benar lihai bukan main dan puteranya itu terancam bahaya. Oleh karena itu, tanpa malu-malu lagi, dia pun meloncat dari tempat duduknya. Pada saat itu suling di tangan Hong San mengirim totokan ke arah pundak Siangkoan Tek dan hampir mengenai sasaran.
"Tranggggg...!!" Suling itu tertahan oleh sebatang pedang yang digerakkan di tangan Siangkoan Bok.
Melihat munculnya seorang kakek bertubuh pendek tegap dengan muka hitam, Hong San meloncat ke belakang. "Maaf, apakah Paman juga seorang tokoh Thian-te-pang?" tanyanya.
"Hemm, aku hanya seorang tamu, engkau sudah mengenal namaku tadi. Aku Majikan Pulau Hiu."
"Ah, kiranya orang tua gagah pemilik Pulau Hiu!" kata Hong San dan dia memandang heran. Kakek ini memiliki wajah begini buruk, akan tetapi puteranya demikian tampannya.
"Ayah, kita hajar saja manusia sombong ini, untuk apa bicara lebih banyak..." teriak Siangkoan Tek yang berbesar hati lagi melihat majunya ayahnya.
"Aku sudah banyak mendengar tentang majikan Pulau Hiu, dan kalau aku memimpin Thian-te-kauw, tentu aku ingin menarik Paman sebagai seorang sahabat kata pula Hong San.
"Sombong! Siapa percaya bahwa engkau pemimpin Thian-te-kauw? Lihat pedangku!" Siangkoan Tek yang sudah marah sekali karena merasa penasaran dan malu bahwa dia sama sekali tidak mampu mengalahkan lawannya, kini menyerang, diikuti ayahnya yang juga sudah menggerakkan pedangnya.
"Hemmm, kalian ini Ayah dan anak agaknya harus mengenal dulu siapa aku sebetulnya!" kata Hong San sambil memutar sulingnya menyambut serangan dua orang lawannya itu.
Biarpun dikeroyok dua, Hong San masih saja mengenakan caping merahnya yang lebar, dan kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan suara melengking-lengking seolah-olah suling itu yang ditiupnya. Dan ayah bersama puteranya dari Pulau Hiu itu segera terdesak dan dua sinar pedang mereka terimpit oleh sinar suling yang menjadi semakin kuat.
Sejak tadi Ouw Kok Sian menonton dengan hati panas. Muridnya, Ji Ban To tadi terlempar ke bawah panggung. Biarpun tidak menderita luka parah, namun peristiwa itu tentu saja merupakan suatu tamparan yang memalukan bagi dia sebagai gurunya. Melihat betapa Siangkoan Bok sudah maju menghadapi pemuda pengacau itu, dia merasa tidak enak kalau harus berdiam diri.
Pertama, dia harus memperlihatkan setia kawan dan membantu Thian-te-pang, dan ke dua, dia harus membalaskan penghinaan atas diri muridnya tadi. Sekali meloncat, Ouw Kok Sian sudah terjun ke medan perkelahian sambil menggerakkan sepasang goloknya. Dia seorang yang mengandalkan keahlian bersilat sepasang golok.
Hong San cepat menangkis ketika ada sinar golok menyambar. Terdengar suara nyaring dan nampak bunga api berpijar dan Ouw Kok Sian terkejut sekali karena tangkisan suling itu hampir saja membuat golok kanannya terlepas dari tangannya.
"Heiii, tahan dulu! Siapakah Paman yang ikut menentangku? Apakah seorang tokoh Thian-te-pang?" tanya Hong San.
"Aku Ouw Kok Sian dari Pegunungan Liong san, seorang tamu yang tidak saja melihat orang mengacau dalam pesta tuan rumah!" jawab Ouw Kok Sian sambil menyerang lagi. Siangkoan Bok dan Siangkoan Tek juga sudah menerjang maju dengan marahnya.
"Ha-ha-ha, sekarang mulai ramai..." Hong San tertawa. "Akan tetapi, aku pingin menarik Raja Pegunungan Liong, san sebagai sahabat, bukan menjadi musuh. Baik, aku melayani kalian bertiga main-main sebentar!" Setelah berkata demikian, Hong San kembali bergerak cepat dan tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang dibungkus gulungan sinar sulingnya.
Tiga orang lawannya terkejut dan bingung, namun mereka menyerang membabi-buta ke arah bayangan itu. Hong San tidak mau main-main lagi. Tiga orang pengeroyoknya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga orang pemuda yang pertama kali mengeroyoknya. Apalagi sekarang mereka itu memegang senjata dan dia tidak ingin melukai mereka. Terpaksa dia harus mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berkelebatan, menghindarkan diri dari Sambaran senjata mereka dan membalas dengan totokan-totokan yang dapat merobohkan akan tetapi tidak sampai mematikan atau melukai dengan parah.
Wajah Lui Seng Cu berubah agak pucat. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Bok atau Ouw Kok Sian tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Pemuda pengacau itu ternyata tidak membual saja. Dia sungguh lihai bukan main. Jelaslah baginya bahwa kalau dia seorang diri saja menghadapi pemuda itu, dia tentu akan kalah! Juga Ban-tok Mo-li mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh lihai sekali. Ia sendiri tentu akan kewalahan kalau menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Akan tetapi pemuda itu enak-enak saja, nampaknya bukan hanya dapat mendesak tiga orang pengeroyoknya, juga seperti mempermainkan mereka.
Lui Seng Cu memberi isyarat kepa Ban-tok Mo-li untuk maju mengeroyok lawan yang berbahaya itu. Ban-tok Mo-li mengerutkan alisnya. Bagi iblis betina ini sungguh memalukan kalau sebagai seorang pangcu ia harus mengeroyok seorang pemuda! Apalagi, nama Ban-tok Mo-li sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. la pun percaya akan kepandaiannya sendiri yang masih lebih tinggi dibandingkan Lui Seng Cu. Akan tetap karena yang mengajaknya adalah rekannya, ia merasa tidak enak untuk menolak dan mereka berdua sudah bangkit berdiri lalu berloncatan ke tengah panggung.
Melihat betapa dua orang ketua itu sudah maju, diam-diam Hong San merasa ragu juga. Dia tidak takut kepada mereka, akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti mengerahkan seluruh anak buah Thian-te-pang untuk mengeroyoknya? Kalau sudah demikian, dengan sendirinya dia dianggap sebagai musuh Thian-te-Pang dan hal ini sama sekali tidak dikehendakinya. Dia ingin agar mereka menerimanya dengan baik, dan untuk itu dia harus dapat meyakinkan mereka.
"Hok-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li! Kalian berani menentangku? Lihat baik-baik, siapa aku ini!" tiba-tiba tubuh pemuda itu lenyap menjadi sesosok bayangan yang meloncat kebelakang meja sembahyang dan menghilang dibalik patung Thian-te Kwi-ong! Ketika lima orang pengeroyok itu hendak menjenguk ke balik meja, tiba-tiba terdengar ledakan dan nampak asap tebal menutupi patung dan meja sembahyang.
Semua orang terkejut bukan main dan mereka terbelalak memandang ke arah asap tebal. Ketika perlahan-lahan asap itu membuyar, nampaklah betapa patung sebesar orang itu sudah berdiri di atas meja sembahyang! Atau lebih tepat, patung itu masih berada di tempatnya yang tadi akan tetapi ada kembarannya yang kini mendadak hidup dan berdiri di atas meja!
Wajah Lui Seng Cu menjadi semakin pucat. Hanya gurunyalah yang mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Maka, tanpa ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas panggung menghadap ke arah "patung hidup" di atas meja sembahyang itu, sambil menangguk-anggukkan kepala ke atas lantai panggung.
"Hamba Lui Seng Cu mengaku bersalah, mohon ampun...!"
Ban-tok Mo-Ii terkejut, demikian pula seluruh anggauta Thian-te-kauw. Kalau Sang Kauw-cu (Kepala Agama) sendiri sudah begitu menghormati mahluk itu mereka tidak ragu lagi bahwa tentu itulah penjelmaan Thian-te Kwi-ong! Ban tok Mo-Ii dan para anggauta juga segera menjatuhkan diri berlutut menghadap patung hidup itu. Para tamu juga terkejut dan mereka semua bangkit berdiri, tidak menjatuhkan diri berlutut namun berdiri dengan sikap hormat. Siangkoan Bok, Siangkoan Tek, dan Ouw Kok Sian juga cepat mundur dan berdiri dengan sikap hormat dan bingung. Mereka juga heran sekali melihat betapa patung itu kini menjadi dua dan yang sebuah lagi hidup!
Memang patung hidup itu mengenakan pakaian seperti yang dipakai pemuda pengacau tadi, akan tetapi wajahnya jelas berubah menjadi wajah patung Thian-te Kwi-ong. Tadinya mereka menduga bahwa tentu pemuda pengacau itu yang mengenakan kedok, akan tetapi setelah mengamati penuh ketelitian, mereka mau percaya bahwa itu bukan semacam topeng, melainkan wajah yang sesungguhnya karena wajah itu hidup, tidak mati seperti topeng atau kedok!
Kini patung hidup itu mengembangkan kedua lengannya ke depan dan terdengar suaranya, suara yang parau besar dan dalam, tidak seperti suara pemuda tadi. Suaranya aneh dan penuh wibawa.
"Para pemujaku, dengarlah baik-baik dan taati perintahku! Cui-beng Sai-kong Can Siok telah kupanggil karena aku membutuhkannya dalam kerajaanku! Dan aku menunjuk puteranya, Can Hong San, kini menjadi penggantinya memimpin kalian semua!"
Tiba-tiba terdengar lagi ledakan dan nampak lagi asap hitam tebal. Ketika asap menbuyar, patung hidup itu sudah lenyap dan yang nampak adalah Can Hong San yang sudah berdiri di atas meja sembahyang. Dengan gerakan indah pemuda itu melompat turun dari atas meja, menghadapi Lui Seng Cu dan Bani tok Mo-Ii. Dua orang pimpinan Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan sejenak mereka mengamati wajar Hong San. Pemuda ini pui tersenyum dan terdengar suaranya lantang gembira.
"Apakah kalian masih belum mau percaya? Thian te Kwi-ong sendiri yang berkenan memberitahu kalian! Aku adalah Can Hong San, aku putra tunggal mendiang Cui beng Sai-kong Can Siok dan aku yang ditugaskan untuk menjadi penggantinya."
Lalu dia memandang kepada Siangkoan Bok, Sjangkean Tek dau Ouw Kok Sian sambil berkata, "Aku sungguh tidak ingin bermusuhan dengan Sam-wi, melainkan ingin bersahabat. Silakan sam-wi mundur kembali ke tempat masing-masing karena urusan ini adalah urusan pribadi antara para pimpinan Thian-te-kauw."
Tiga orang itu belum sampai dirobohkan, jadi belum kehilangan muka. Akan tetapi mereka maklum kalau tadi dilanjutkan, mereka pun akan roboh. Kini, mereka mendapatkan kesempatan baik untuk mundur tanpa kehilangan muka, karena urusan pribadi antara para pimpinan Thian-te-kauw memang tidak sepatutnya mereka ikut mencampuri. Mereka pun kembali ke tempat duduk masing-masing dan yang berdiri di panggung hanya tinggal dua orang ketua itu yang berhadapan dengan Hong San.
Sejenak Hong San saling tatap dengan dua orang ketua itu dan dia tahu bahwa biarpun mereka berdua kini agaknya percaya kepadanya, namun masih terdapat keraguan dan ketidak-puasan. "Bagaimana sekarang pendapat kalian? Apakah kalian sudah percaya kepadaku dan mau mengakui aku sebagai pengganti Cui-beng Sai-kong dan memimpin Thian-te-kauw?" tanya Hong San den sikap tenang, ramah dan suara lembut.
"Hemmm, bagaimana kami harus menjawab?" Lui Seng Cu menjawab. "Memang kami sudah menyaksikan sendiri bahwa engkau dapat mengubah diri menjadi pujaan kami Thian-te Kwi-ong, akan tetapi... engkau masih begini muda, sedangkan memimpin Thian-te-kauw membutuhkan seorang yang sudah berpengalaman agar perkumpulan ini dapat meperoleh kemajuan."
"Juga seorang ketua harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga akan mampu menjaga nama dan kehormatan perkumpulan yang diasuhnya..." sambung Ban-tok Mo-li.
Hong San tersenyum. "Pendapat kalian berdua memang benar. Aku pun berpendapat demikian. Oleh karena itu, aku tidak ingin menurunkan kalian dari kedudukan kalian yang sekarang. Hok-hou Toa-to tetap menjadi Kauw-cu dan Ban tok Mo-li tetap menjadi Thian-te Pang cu. Akan tetapi kalian berdua berada dibawah pengawasan dan kekuasaanku, karena aku yang menjadi pemimpin umum. Pekerjaan sehari-hari boleh kalian laksanakan, akan tetapi segala hal yang penting harus lebih dahulu mendapat persetujuanku. Dan tentang ilmu kepandaian, kalau yang kuperlihatkan tadi belum meyakinkan hati kalian, nah, kalian boleh maju sendiri untuk mengujiku"
Berkata demikian, tangan kanan Hong San bergerak dan tahu-tahu dia telah memegang sebatang pedang di tangan kanan, dan sulingnya masih berada di tangan kirinya.
"Lui Seng Cu, engkau terkenal dengan julukan Hok-houw Toa-to, ingin sekali aku mencoba kehebatan golok besarmu dan melihat sampai di mana kemajuanmu menerima bimbingan ilmu silat dari Ayahku!" katanya dan kini suaranya mengandung wibawa dan tegas, tidak lagi bersikap seperti orang bermain-main seperti tadi.
Lui Seng Cu juga tidak berani mengajak Ban-tok Mo-li untuk melakukan pengeroyokan lagi. Bagaimanapun juga, dia sudah hampir merasa yakin bahwa pemuda ini memang pengganti Cui-be Sai-kong, entah puteranya entah muridnya, namun buktinya mampu mengubah diri menjadi raja iblis itu. Dan kesempatan mengadu ilmu silat ini pun memberi kesempatan baginya untuk membuktikan apakah benar pemuda ini putera gurunya, karena kalau hal ini benar tentu pemuda itu mengenal ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Cui-beng kong.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Lui Seng Cu sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Sebelum menjadi murid Cui-beng Sai-kong, Lui Seng Cu sudah menjadi perampok tunggal yang di takuti. Karena kebetulan saja, yaitu berjumpa dengan Cui-beng Sai-kong dan hendak merampoknya, maka dia berkenalan dengan pendiri Thian-te-kauw itu. Denga mudah dia dikalahkan dan sejak itula dia menjadi pengikut dan menerima pelajaran dan Cui-beng Sai-kong. Bukan hanya tentang penyembahan Thian kui-mo, akan tetapi sedikit ilmu sihir dan juga ilmu silat Koai-liong-kun (Silat Naga Setan).
"Lui Seng Cu, engkau boleh mulai menyerangku!" kata Hong San. Nada suaranya sudah memerintah.
"Lihat serangan!" Lui Seng Cu berseru.
Biarpun kauw-cu ini nampaknya sudah percaya dan tunduk kepada Hong San namun ketika dia menyerang tahulah Hong San bahwa sebenarnya di dalam hatinya kauw-cu ini masih merasa penasaran. Dalam serangan itu terkandung kemaarahan dan kebencian sehingga serangan itu merupakan gerakan dahsyat yang amat berbahaya dan mematikan, liong San dapat mengerti kemarahan Kauw-cu ini. Bagaimanapun juga, tentu orang yang sudah berpengalaman ini masih merasa penasaran kalau harus mempunyai atasan seorang pemuda seperti dia!
Maka, dia pun ingin memamerkan kepandaiannya. Melihat serangan golok itu, dia tahu bahwa dari ayahnya, kauw-Cu ini hanya menerima pelajaran Koai-Liong kiam saja yang agaknya kini di sesuaikan dengan gerakan golok. Dia memutar pedangnya, dengan jurus-jurus dari ilmu pedang Koai-liong kiam dan karena memang tingkat kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi.
Maka Liu Seng Cu seolah-olah menghadapi sebuah dinding baja yang amat kuat, yang menolak seluruh jurus serangannya! Dia pun mengenal gerakan pedang pemuda itu yang memainkan ilmu pedang Koai liong kiam, akan tetapi demikian hebatnya permainan itu sehingga pandangan matanya menjadi silau dan dia seperti berhadapan dengan dinding baja yang sudah ditembus!
Setelah lewat tiga puluh jurus, habislah sudah semua jurus Koai liong kiam dia mainkan untuk menyerang, pemuda itu dan kini dia pun yakin bahwa memang pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu dari gurunya, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi juga ilmu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Biarpun tidak banyak, dia pernah mempelajari ilmu sihir. Belum tentu pemuda ini mengenal sihir pula dan kalau demikian halnya.
Betapapun lihainya ilmu silat pemuda ini, kalau sampai dapat dia kuasai dengan sihirnya, maka dia akan mampu menundukkannya! Di samping harapan ini, juga dia dapat mempergunakannya sebagai ujian sampai di mana pemuda ini mewarisi ilmu-ilmu dari Cui-beng Sai-kong yang diakui sebagai ayahnya itu.
"Can Hong San, berlututlah engkau!" tiba-tiba kauw-cu itu membentak sambil mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya.
Semua anggauta Thian-te-kauw memandang dengan hati tegang. Mereka semua tahu bahwa kauw-cu mereka memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan dia dapat memaksa setiap orang dengan perintah sihirnya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka duga. Pemuda yang memegang pedang dan suling itu sama sekali tidak berlutut, bahkan dia berkata dengan suara yang nyaring.
"Engkaulah yang berlutut di depanku, Lui Seng Cu!"
Dan kauw-cu itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hong San! Lui Seng Cu terkejut bukan main. Tadi pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya dan ketika pemuda itu menjawab, dia sama sekali tidak merasakan kekuatan sihir yang memaksanya untuk berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja dua buah lututnya disambar ujung suling dan itulah yang memaksanya jatuh berlutut karena kedua kakinya terasa lumpuh...!