PADA saat itu terdengar suara pertempuran di luar. Hong San dan para pembantunya hendak lari keluar, akan tetapi beberapa orang anak buah lari masuk dalam keadaan luka.
"Celaka, Kongcu... sebagian besar teman telah menyerah kita jauh kalah banyak... dan rumah ini sudah di kepung ketat!!" Baru saja dia bicara demikian, sebatang panah meluncur dari luar dan dia pun roboh. Dan kini di ambang pintu ruangan yang luas itu muncullah seorang perwira tinggi yang berwajah keren.
"Yap Ciangkun...!" Han Beng memanggil, juga Giok Cu mengenal panglima itu.
Yap Ciangkun mengangguk dan tersenyum. "Kiranya Ji-wi masih selamat. Syukurlah dan rumah ini sudah kami kepung. Para pimpinan perkumpulan jahat ini harus kami tangkap semua!"
"Nanti dulu, Yap Ciangkun!" kata Giok Cu. "Sebelum Ciangkun melakukan penangkapan, aku ingin menyelesaikan urusan pribadiku dengan Ban-tok Mo-li!"
Yap Ciangkun mengerutkan alisnya, akan tetapi mengingat akan kelihaian gadis itu, dia pun mengangguk. "Baiklah, Li-hiap." Dia lalu memberi isyarat kepada pasukannya untuk siap dengan anak panah mereka untuk melindungi Giok Cu.
Melihat ini, Can Hong San tertawa tergelak. Pemuda ini amat cerdik dan dia pun melihat bahwa kini sukarlah baginya untuk dapat meloloskan diri. Menerjang keluar sama dengan bunuh diri, oleh karena itu satu-satunya jalan haruslah membela diri secara gagah.
"Ha-ha-ha, kalian ini mengakunya saja pendekar gagah, akan tetapi ternyata hanyalah pengecut-pengecut yang berlindung di belakang pasukan pemerintah. Pendekar macam apakah itu? Si Han Beng, engkau dijuluki orang Huang-ho Sin-liong, Naga Sakti Sungai Kuning. Kiranya nama itu hanya kosong belaka karena kenyataannya kini engkau hanya menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah. Kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding dengan taruhan nyawa. Kalau engkau kalah olehku, aku berhak untuk hidup dan harus dibiarkan lolos tanpa gangguan. Sebaliknya kalau aku kalah, biarlah kubayar dengan nyawa!"
Han Beng adalah seorang pemuda yang pada dasarnya berwatak pendiam dan tidak pandai bicara. Biarpun dia tahu bahwa Hong San membual dan memutar balikkan kenyataan, namun dia tidak pandai membalas dan hanya berkata tenang.
"Sesuka engkau hendak berkata apa, Can Hong San. Yang jelas, aku tidak mendatangkan pasukan, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu..."
"Hong San, manusia pengecut yang bermulut busuk!" Giok Cu memotong percakapan Han Beng yang tenang itu dengan suaranya yang lantang. "Siapa percaya omonganmu yang berbau busuk penuh kebohongan itu? Aku dan Han Beng datang ke sini untuk berurusan pribadi dengan Ban-tok Mo-li, dan engkau mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok, bahkan menggunakan asap pembius menangkap kami. Siapa yang pengecut? sekarang, setelah engkau melihat pihakmu tidak berdaya, engkau berlagak sebagai orang gagah! Cih, alangkah tebalnya mukamu, dapat mengeluarkan kata-kata dan memperlihatkan sikap semacam itu. Han Beng, sambut tantangannya itu dan binasakan saja manusia iblis ini, karena kalau dibiarkan hidup, dia pun hanya akan menyebar kejahatan diantara manusia. Dan engkau, Ban-tok Mo-li, engkau telah membunuh Ayah Ibuku yang tidak berdosa. Majulah dan terimalah pembalasanku agar arwah Ayah Ibu dapat tenang!"
Menghadapi Giok Cu yang lincah galak dan pandai bicara itu, Hong San tak mampu bersuara lagi. Mukanya berubah sebentar merah sebentar pucat karena bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada marah, dan malu, ada pula benci, akan tetapi juga takut. Bagaimanapun juga dia adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong Can Siok, pendiri Thian-te-pang yang besar. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang disegani dan ditakuti dunia kang-ouw, oleh karena itu, bagaimanapun juga dia harus memperlihatkan sikap yang gagah!
"Sing-singgggg...!" Nampak sinar berkelebat ketika tangan kanannya mencabut pedang sedangkan tangan kirinya mencabut suling. Dia memang nampak gagah sekali. Can Hong San memiliki ketampanan yang khas karena ada darah Nepal mengalir di tubuhnya. Hidungnya terlalu mancung dan matanya yang lebar itu terlalu hitam. Hidung mancung yang agak besar dan bibir yang merah itu menunjukkan betapa dia memiliki gairah nafsu yang besar.
Melihat ini, Yap Ciangkun berseru dengan suaranya yang berwibawa, "Can Hong San, menyerahlah untuk kami tangkap karena engkau menggerakkan Thian-Te-Pang melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Tidak perlu melawan karena pasukanku telah mengepung dan semua anak buahmu telah menakluk!"
"Yap Ciangkun, perkenankanlah kami menghadapi para penjahat ini dengan cara kami sendiri, yaitu sesuai dengan peraturan di dunia persilatan."
"Maksudmu bagaimana, Tai-hiap?" Tanya Yap Ciangkun.
"Can Hong San menantangku, maka terpaksa harus kulayani. Juga Bu Giok Cu mempunyai urusan dengan Ban-tok Mo-li dan Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu. Maka, kami berdua ingin menyelesaikan urusan ini melalui pertandingan silat."
Yap Ciangkun mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi justeru mereka bertiga itulah pucuk pimpinan perkumpulan sesat ini yang harus kami tangkap dan kami seret ke pengadilan. Kalau mereka mati, bagaimana kami dapat menuntut mereka?"
"Omitohud, jangan khawatir, Ciangkun." kata Hen Bin Hwesio sambil terkekeh. "Ada pin-ceng (aku) di sini dan ada pula Pek I Tojin, tidak akan yang mati, ha-ha-ha!"
"Benar, kami dua orang tua tidak suka melihat pembunuhan. Kami yang akan mencegah agar jangan ada pembunuhan." kata Pek I Tojin.
Biarpun di dalam hatinya Giok tidak setuju dengan pendapat gurunya akan tetapi ia tidak berani membantah. Ia harus membunuh Ban-tok Mo-li untuk membalas kematian ayah ibunya.
Yap Ciangkun mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu, akan tetapi anak buah yang lain itu harus ditangkap dulu!" Dia lalu memberi isyarat kepada pasukan pengawalnya untuk menangkap semua orang kecuali Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, dan Can Hong San.
Merasa bahwa mereka pun memiliki kepandaian, Siangkoan Tek mencabut pedangnya. Juga Ji Ban To, murid Ouw kok Sian, telah mencabut sepasang golaknya. Dua orang pemuda lain, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So, murid-murid Lui Seng Cu, juga sudah siap dengan senjata golok di tangan. Empat orang pemuda ini agaknya tidak mau menyerah begitu saja. Mereka adalah murid-murid datuk sesat, tentu saja merasa malu kalau harus menyerah tanpa melawan.
Melihat sikap empat orang itu, Bu Giok Cu maklum bahwa dua belas orang pengawal Yap Ciangkun belum tentu akan mampu menandingi mereka, maka ia pun berkata, "Yap Ciangkun, biar aku yang menangkapkan empat ekor anjing kecil ini untukmu!"
Giok Cu menerima pedang tumpul Seng-kang-kiam dari tangan Hek Bin Hwesio, kemudian ia pun maju menghampiri empat orang pemuda yang sudah siap itu. Melihat ini, Han Beng merasa tidak tega. Kalau dikeroyok empat, berbahaya juga bagi Giok Cu, maka dia pun melangkah maju. "Biar aku membantu Giok Cu!"
Melihat para lawannya memegang senjata tajam, Han Beng yang tidak biasa menggunakan senjata tajam, melolos sabuk suteranya. Dia telah mewarisi llmu sabuk dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan biarpun sabuk sutera itu lemas dan lunak, namun di tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh.
Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu akan nama besar Huang-ho Sin-liong Si Han Beng maka belum apa-apa dia sudah merasa jerih untuk menghadapi pendekar itu. Terhadap Bu Giok Cu dia tidak begitu gentar karena sepanjang pengetahuannya gadis itu hanyalah murid Ban-tok Mo li. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu telah menjadi murid Hek Bin Hwesio yang membuat ia menjadi jauh lebih lihai daripada ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo-li.
Karena menganggap bahwa lebih menguntungkan kalau bertanding melawan Giok Cu, maka sambil mengeluarkann bentakan nyaring dia sudah menggerakkan pedangnya menyerang Giok Cu. Ji Ban To meniru Siangkoa Tek dan dia pun sudah menggerakkan pasang goloknya, membantu Siangkoan Tek dan mengeroyok Giok Cu. Gadis itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya.
"Huh, monyet-monyet kecil, memang sudah sejak dahulu kalian harus kuhajar!" Dan dia pun menggerakkan pedang tumpulnya untuk menyambut serangan dua orang pemuda.
"Trang-trang-tranggggg...!"
Pedang yang tumpul itu berkelebat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata oleh dua orang pemuda itu dan mereka terkejut setengah mati ketika merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata seperti lumpuh. Kekejutan mereka bertambah ketika mereka melihat betapa senjata mereka itu patah ujungnya!
Giok Cu tersenyum mengejek menatap wajah mereka yang berubah pucat itu. "Hi-hik, kalian takut? Hayo berlutut dan menyerah menjadi tawanan Yap Ciangkun!"
Siangkoan Tek adalah putera tokoh sesat Siangkoan Bok yang terkenal sebagai majikan Pulau Hiu. Dia sudah menganggap diri sendiri sebagai seorang tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja dia memiliki keangkuhan dan biarpun dia memang gentar menghadapi pedang butut yang ternyata ampuh itu tentu saja dia tidak sudi untuk berlutut dan menyerah sedemikian mudahnya.
Demikian pula dengan Ji Ban To, murid Ouw Kok Sian seorang tokoh yang menguasai daerah Pegunungan Liong san Dia merasa penasaran sekali dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang lagi dengan sepasang goloknya yang sudah buntung ujungnya. Siangkoan Tek juga membantunya dan tiga batang senjata itu berkelebatan mendesing-desing, menyerang Giok Cu bagaikan hujan lebat. Namun gadis ini tersenyum mengejek, dengan amat mudahnya menghindarkan diri dengan loncatan ke sana-sini.
Sementara itu, Siok Boan dan Poa Kian So, dua orang murid Lui Seng Cu tentu saja merasa malu kalau harus menyerah begitu saja. Apalagi mereka melihat guru mereka yang menjadi kauw-cu dari Thian-te-kauw, masih berdiri tegak dan menantang. Mereka adalah murid Kauw-cu, tentu saja kedudukan mereka cukup tinggi dan terhormat di perkumpulan itu.
Kini, melihat majunya Giok Cu dan Han Beng, mereka berdua lalu menggerakkan golok besar di tangan mereka, mengeroyok Han Beng yang hanya memegang sehelai sabuk sutera putih. Dari kanan kiri mereka menyerang golok mereka berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Han Beng.
Pemuda tinggi besar ini dengan sikap tenang menghindarkan diri dengan geseran-geseran kaki yang amat gesit. Kalau dia menghendaki tentu dengan sekali pukul dia akan mampu merobohkan bahkan menebaskan dua orang lawan yang terlalu lemah baginya itu, namun dia tidak ingin membunuh orang, hanya ingin membantu Yap Ciangkun untuk menangkap mereka. Oleh karena itu, dia pun hanya mengelak ke sana-sini sambil menannti kesempatan baik untuk membuat mereka berdua itu tidak berdaya tanpa harus melukai mereka.
Dalam hal ini, Han Beng yang berhati-hati agar tidak melukai lawan kalah cepat dengan Giok Cu. Giok sendiri tidak mau membunuh dua orang pengeroyoknya karena memang dia berjanji membantu Yap Ciangkun hanya untuk menangkap para pimpinan Thian te-pang, akan tetapi ia bukan pantas melukai, bahkan ingin menghajar ke dua orang pemuda yang pernah bersikap kurang ajar terhadap dirinya.
Kalau membayangkan perbuatan dua orang pengeroyoknya itu, Siangkoan Tek dan Ji Ban To ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo li, ingin rasanya ia membunuh mereka! Siangkoan Tek pernah mengganggunya secara keterlaluan hingga terpaksa ia menggunakan akal memancing Siangkoan Tek yang ketika itu lebih lihai darinya untuk masuk laut. Ia lebih pandai berenang maka menyeret Siangkoan Tek ke laut dan perutnya kembung.
Apalagi Ji Ban To Bersama sutenya, mendiang Cak Su, berberdua pernah menangkapnya dan ingin memperkosanya. Untung muncul Ban tok Mo-Ii yang membunuh Cak Su melukai Ji Ban To. Mengingat perbuatan mereka itu saja, ingin benar rasanya menghajar mereka sampai sepuas hatinya. Akan tetapi, Giok Cu masih tahu bahwa di situ hadir Hek Bin Hwesio gurunya yang telah berhasil merubah sifatnya yang tadinya ganas dan keras. Ia rasa tidak enak dan malu kepada gurunya itu kalau sampai ia bertindak terkeras terhadap dua orang pengeroyoknya itu.
"Hyaaaaattttt...!!" Tiba-tiba Giok Cu mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedang tumpul di tangannya nyambar dengan amat cepatnya.
"Trak! Trak! Trak!"
Dua orang pengeoyok itu mengeluarkan seruan kaget karena senjata mereka kini buntung dan hanya tinggal gagangnya saja. Sebelum mereka sempat menenangkan hati, tangan kiri Giok Cu telah menampar pundak mereka. Terdengar bunyi tulang patah dan dua orang itu terpelanting dan tangan kiri memegang pundak kanan yang terasa nyeri bukan main karena tulang pundak kanan mereka telah remuk oleh tamparan tangan Giok Cu tadi. Empat orang perajurit pengawal segera maju dan meringkus mereka, membelenggu tangan mereka dan membawa mereka keluar.
Melihat betapa Giok Cu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya, Han Beng merasa tidak enak. Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, sabuk sutera putih di tangannya menyambar tahu-tahu telah membelit golok besar dua orang kakak beradik seperguruan dan sekali tarik, golok mereka telah terlepas dari pemiliknya. Setelah lepaskan golok-golok itu ke samping kembali sabuk itu berkelebat dua kali.
Kini menjadi seperti tongkat dan ujungnya menotok jalan darah di dada kedua orang lawan. Siok Boan dan Poa Kian mengeluh dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi karena telah tertotok! Dengan cepat empat orang pengawal menyeret mereka keluar dari ruangan itu.
Kini, Giok Cu dan Han Beng berhadapan dengan Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, dan Can Hong San. Giok Cu yang tak ingin kedahuluan Han Beng karena ia ingin sekali menghadapi Ban-tok Mo-li, segera melangkah maju.
"Kalian bertiga adalah tokoh-tokoh utama Thian-kauw dan Thian-te-pang. Nah, sekarang aku yang maju lebih dulu. Siapa di antara kalian bertiga yang ingin melawati aku? Kutantang Ban-tok Mo-li untuk melawan aku!"
"Dan aku menantang Can Hong San untuk melawan aku!" kata Han Beng mendahului, maklum bahwa di antara mereka bertiga, Hong San yang paling pandai.
"Kalian tidak mengandalkan pengeroyokan?" Ban-tok Mo-li bertanya dengan sikap curiga.
"Ban-tok Mo-li, kami bukanlah orang-orang berjiwa pengecut macam kalian?" Giok Cu membentak marah. "Kita bertanding satu lawan satu, tidak ada yang boleh dibantu orang lain. Di sini ada Suhu ku Hek Bin Hwesio yang menjadi saksi, dan ada pula Yap Ciangkun dan para perajurit yang menjadi saksi!"
"Bagus! Kalau begitu, engkau akan mampus di tanganku!" bentak Ban-tok Mo-Ii yang sudah menjadi nekat karena ia pun tidak melihat jalan keluar.
"Nanti dulu, Pangcu!" kata Lui Seng Cu sambil maju ke depan. "Sebelum Pangcu yang maju, biarlah aku sebagai Kauw-cu (Kepala Agama) dari Thian-te-kauw yang lebih dulu maju. Bu Giok Cu, kutantang engkau untuk bertanding melawanku kalau engkau berani!"
Lui Seng Cu juga sudah putus asa melihat betapa tempat itu telah dikepung oleh pasukan apalagi di situ terdapat dua orang kakek yang sakti. Dia tidak akan dapat melarikan diri, oleh karena itu, dia pun ingin melawan sampai akhir dan daripada melawan yang paling akhir, sendirian saja lebih baik dia maju lebih dulu selagi masih ada teman-temannya.
"Bagus! Aku memang ingin sekali menghajarmu, Lui Seng Cu. Engkau dahulu adalah seorang perampok jahat kemudian engkaulah yang menyeret Ban Tok Mo-li sehingga ia ikut-ikutan dalam perkumpulan iblis Thian-te-kauw itu. Majulah!"
Lui Seng Cu maklum bahwa Giok Cu sekarang tidak boleh disamakan dengan Giok Cu dahulu ketika masih menjadi murid Ban-tok Mo-Ii. Tadi pun dia sudah melihat kelihaian gadis itu ketika merobohkan Siangkoan Tek dan Ji Ban To secara mudah, hal ini saja sudah membuktikan bahwa Giok Cu amat lihai. Namun dia mengandalkan kekuatan sihirnya sebagai kauw-cu Thian-te-kauw, mengandalan pula pengalamannya yang tentu sudah lebih luas dan banyak dibandingkan gadis itu.
Dengan golok besar di tangan, ia pun maju menghadapi Giok Cu. Akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berdiri tegak, golok besarnya diacungkan ke arah Giok Cu, matanya memandang terbelalak tak pernah berkedip, dan mulutnya berkemak-kemik. Dia membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menguasai gadis itu. Sihir ini biasa dia pergunakan untuk mempengaruhi korban-korban sembahyangan sehingga korban itu akan lupa diri dan menurut saja apa yang akan dilakukan atas dirinya.
Giok Cu yang melihat sikap Kauw cu itu, tadinya merasa geli, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya lemas. Pada saat itu, terdengar suara tertawa dari Hek Bin Hwesio.
"Ha-ha-ha-ha, omitohud... lawanmu itu seperti anjing saja pandai menggonggong, Giok Cu. Berhati-hatilah engkau!"
Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang terbelalak akan tetapi juga merasa geli karena tiba-tiba saja Lui Seng Cu mengeluarkan suara dan dari mulutnya.
"Hung-hung-huk-huk-huk!" Suara itu presis suara anjing yang marah, menggonggong dan menyalak-nyalak.
Giok Cu tertawa dan suara ketawa ini agaknya yang menyadarkan Lui Seng Cu. Wajah Kauw-cu ini seketika menjadi pucat ketika dia menoleh kearah Hek Bin Hwesio dan tahulah dia bahwa di depan hwesio hitam itu, dia sama sekali tidak berdaya. Kiranya hwesio tua itu tahu bahwa dia mempergunakan ilmu bilur dan sihir itu bahkan membalik dan menghantam dirinya sendiri sehingga di luar kesadarannya dia tadi menggonggong seperti anjing. Tentu saja hal ini amat memalukan. Wajah yang pucat kini berubah menjadi kemerahan dan tanpa banyak cakap lagi, tanpa mengeluarkan peringatan, dia telah mengayun golok besarnya dan menyerang Giok Cu!
"Singgggg...!" Golok besar itu menyambar diatas kepala Giok Cu karena ketika golok itu membabat leher, gadis itu cepat merendahkan tubuhnya sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, sebagai susulan, kaki Lui Seng Cu menendang dengan kuatnya ke arah bawah pusar.
"Ihhhhh!" Giok Cu marah sekali dan ia pun meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan yang sifatnya tidak sopan itu. Agaknya Lui Seng Cu sudah tidak mengindahkan lagi aturan, dia menyerang mati-matian dan hendak mempergunakan segala cara untuk mencari kemenangan. Kini goloknya sudah menyambar-nyambar lagi dengan ganasnya.
Biarpun ia memegang sebatang pedang pusaka, yaitu pedang Seng-kan kiam yang walaupun nampak butut tumpul namun ampuh bukan main, namun ia terlalu cerdik untuk menggunakan pedangnya menangkis golok lawan. Golok itu tebal dan berat, juga tenaga Seng Cu amat besar, ilmu goloknya ganas dan dahsyat sehingga tidak percuma dia berjuluk Hok-houw Toa-to (Golok Besar Penaluk Harimau).
Kalau menangkis dan mengadu tenaga, biar pedangnya tidak mungkin dapat rusak namun ada bahaya pedangnya akan terlepas dari pegangan. Untuk membuntungi golok itu pun bukan hal yang mudah mengingat golok itu tebal dan berat juga ia menduga bahwa tentu golok itu terbuat dari baja yang baik dan tidak mudah dirusakkan.
Giok Cu kini mempergunakan ilmunya, meringankan tubuh, mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari semua sambaran golok, dan setiap ada kesempaian, pedangnya meluncur dan mengirim serangan balasan yang juga amat berbahaya bagi lawan.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat, seru dan menegangkan hati. Karena ilmu golok Lui Seng Cu memang ganas, maka nampaknya saja dia lebih baik menyerang, menekan dan mendesak gadis itu sehingga Yap Ciangkun dan merasa pengawalnya memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Namun Han Beng, Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio menonton dengan sikap tenang saja. Mereka bertiga maklum bahwa Giok Cu masih lebih unggul dan tidak akan kalah. Mereka mengerti bahwa gadis itu menyayangi pedangnya agar tidak sampai rusak kalau beradu dengan golok yang besar dan berat itu.
Lui Seng Cu sendiri yang merasa betapa beratnya menghadapi gadis itu. Terlalu lincah gerakan gadis itu baginya, terlalu cepat sehingga dia merasa seperti mengejar bayangannya sendiri. Goloknya tak pernah dapat menyentuh lawan, padahal dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga kini napasnya mulai memburu dan tenaganya mulai berkurang. Sebaliknya, gadis itu semakin gesit saja sehingga pandang mata mulai kabur.
Tiba-tiba Giok Cu mengubah geraknya, pedangnya membuat gerakan melengkung dan pada saat golok di tangan Lui Seng Cu meluncur lewat, pedang tumpul itu menusuk ke arah lengan ya memegang golok.
"Aughhh...!" Lui Seng Cu berseru keras dan tak mungkin dapat mempertahankan goloknya lagi karena lengan kanannya tiba-tiba kehilangan tenaga sama sekali. Pedang tumpul itu hanya membuat lengan itu lumpuh saja, karena Giok Cu teringat akan ucapan Hek Bin Hwesio bahwa di situ tidak akan terjadi pembunuhan. Kakinya bergerak menendang ke arah lutut dan robohlah Lui Seng Cu. Sambungan lutut kanannya terlepas dan dia tidak mampu bangkit kembali. Empat orang pengawal segera maju dan membelenggu kedua lengannya belakang dan membawanya pergi.
"Ban-tok Mo-li, sekarang maju engkau!" Giok Cu menantang, suaranya jelas mengandung kemarahan dan dendam.
"Giok Cu, engkau mengasolah dulu, aku yang maju!" kata Han Beng yang melompat ke depan. "Can Hong San, majulah, mari kita bermain-main sejenak!"
Melihat betapa Lui Seng Cu roboh, hati Hong San sudah menjadi gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menghadapi Han Beng dengan suling dan pedangnya. Sikapnya gagah dan dia nampak tenang saja, seolah-olah dia percaya akan kemampuan diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong dan memiliki kepandaian tinggi. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa gentar menghadapi Si Han Beng. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda tinggi besar itu, akan tetapi tidak ada jalan lain untuk menghindari pertandingan ini.
"Lihat pedang!" bentaknya dengan sikap gagah. Pedangnya menyambar diikuti gerakan suling yang menotok ke arah dada.
"Bagus!" Han Beng berseru sambil mengelak, kagum juga karena serangan itu selain indah juga berbahaya. Akan tetapi, baru saja dia mengelak, sinar pedang dan sinar suling itu sudah menyambar-nyambar lagi. Demikian cepatnya gerakan serangan Hong San, susul-menyusul dan sambung-menyambung. Terpaksa Han Beng meloncat ke belakang untuk melepaskan diri dari desakan serangan beruntun itu.
"Han Beng, pakailah pedangku!" Giok Cu berseru sambil melemparkan pedangnya ke arah Han Beng.
Sebenarnya Han Beng tidak perlu meminjam pedang, akan tetapi karena Giok Cu telah melemparkan pedangnya kepadanya, terpaksa dia menerimanya. "Terima kasih, Giok Cu." katanya.
Hong San mempergunakan kesempatan selagi Han Beng menyambut pedang yang dilontarkan itu, menyerang dengan sulingnya, menotok ke arah tengkuk Han Beng yang baru menoleh untuk menyambar pedang yang melayang ke arahnya. Biarpun dia tidak melihat serangan ini, namun pendengaran Han Beng amat tajam dan dia tahu bahwa tengkuknya terancam, maka dia melempar tubuh ke samping sambil tangannya menyambar pedang lalu bergulingan dan melompat berdiri lagi dengan pedang Seng-kang-Kiam di tangan.
Hong San merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah menyerang lagi dengan pedang dan suling, gerakannya semakin cepat dan dahsyat. Namun kini Han Beng memutar Seng-kang-kiam dan ada sinar dingin yang menyilaukan mata melindungi tubuhnya.
"Tranggggg...!" Nampak bunga api berpijar dan Hong San cepat menarik kembali pedangnya. Untung bahwa yang dipegang juga bukan pedang murahan, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang baik sehingga tidak sampai rusak ketika mengalami benturan sedikit tadi. Namun dia sudah menarik sulingnya dan ia pun tidak berani mengadu pedang secara langsung.
Sementara itu, ketika melibat Giok C0u meminjamkan pedangnya kepada Han Beng, Ban-tok Mo-li yang berwatak curang dan licik itu melihat kcsempatan baik baginya. Kalau ada rasa gentar dihatinya terhadap Giok Cu, hal itu terutama sekali disebabkan pedang pusaka tumpul yang amat ampuh itu. Kini gadis itu telah meminjamkan pedangnya yang ia takuti kepada Han Beng, suatu kesempatan yang baik sekali baginya, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat ke depan, ke dekat Giok Cu dengan pedang Ang-tok Po-kian di tangan kanan dan kipas di tangan kiri!
"Bu Giok Cu murid murtad! Engkau tadi menantangku, nah, kalau engkau memang bukan pengecut, majulah dan terimalah kematianmu di tanganku!" Kemudian, cepat ia menyimpan pedang dan kipasnya kembali, pedangnya ia masukkan ke sarung pedang di pinggang kipasnya ia selipkan di ikat pinggangnya lalu berkata, "Lihat, aku pun tidak menggunakan senjata. Sambutlah seranganku!" Dan ia segera menyerang dengan kukunya. Kuku jari tangan wanita itu mengandung racun yang amat jahat.
Hal ini tentu saja diketahui dengan baik oleh Giok Cu, bahkan ia pernah mempelajari ilmu beracun itu. Kukunya sendiri pun dapat ia pergunakan kukunya serangan beracun, bahkan ludahnya pun dapat ia pergunakan untuk mencelakai orang. Akan tetapi semenjak menjadi murid Hek-bin Hwesio, ia tidak mau mempergunakan ilmu sesat itu. Kini bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh ayah bundanya itu menyerangnya dengan pukulan beracun!
Ia cepat bergerak mengelak dan mengandalkan kegesitannya untuk melawan Ban-tok Mo-li. la tidak menduga akan kelicikan Ban Tok Mo-li yang sengaja menyimpan senjatanya dan menyerangnya dengan tangan kosong. Hal ini untuk memancing agar Giok Cu menerima serangannya. Kalau perlu, setiap saat ia dapat mempergunakan pedang dan kipasnya, sedangkan Giok Cu tetap bertangan kosong!
Han Beng melihat betapa Giok Cu diserang secara hebat oleh Ban-tok Mo-li. Kalau Ban-tok Mo-li menyerang dengan tangan kosong, dia tidak khawatir gadis itu akan kalah. Akan tetapi Ban-tok Mo-li memiliki senjata lengkap, sedangkan Giok Cu telah meminjamkan pedangnya kepadanya! Dia sendiri sebenarnya tidak membutuhkan senjata untuk melawan Hong San.
Maka, ketika Hong San membacokkan pedang ke arah kepalanya, dia cepat menyambut dengan Seng-kang-kiam, mengerahkan tenaga sin-kang untuk membuat kedua pedang melekat, lalu pada saat lawan menusukkan suling ke arah dadanya, dia tidak mengelak melainkan menyambut dengan tangkapan tangan kirinya. Sekali dan mengerahkan tenaga memutar pergelangan tangan, suling itu telah dapat dirampasnya dan kakinya menendang.
Hong San terkejut dan cepat melompat ke belakang pada saat tendangan melayang karena dia merasa betapa pedangnya yang tadi menempel di pedang lawan dapat ditariknya lepas.
"Giok Cu, pergunakan pedangmu!" Han Beng berseru.
Mendengar ini, Giok Cu meloncat kebelakang dan menyambar pedang yang dilontarkan oleh Han Beng. Bukan main marahnya Ban-tok Mo-Li melihat gadis itu telah memegang kembali pedangnya. Akan tetapi ia menyembunyikan rasa jerihnya dan ia pun mencabut pedang dan kipasnya.
"Bagus, Engkau hendak bertanding menggunakan senjata? Lebih cepat engkau mampus di ujung senjataku!" la pun segera menyerang. Pedangnya mengeluarkan sinar merah ketika digerakkan, namun sinar merah itu tertahan oleh sinar kehijauan dari pedang di tangan Giok Cu.
"Sit-sittttt...!" Jarum-jarum lembut menyambar dari gagang kipas. Akan tetapi akal ini merupakan permainan kanak-kanak bagi Giok Cu yang sudah mengenal benar penggunaan jarum-jarum teracun dari kipas itu, maka dengan mudah ia mengelak ke kiri dan pedangnya sudah membalas dengan serangan kilat yang membuat Ban-tok Mo-li harus cepat melempar diri ke belakang sambil memutar pedang.
Sementara itu, kini Can Hong San yang kehilangan sulingnya, menjadi marah dan menyerang Han Beng dengan pedangnya. Hatinya agak besar melihat Han-Beng tidak lagi memegang pedang tumpul ampuh itu, melainkan hanya memegang suling yang dirampas darinya. Akan tetapi, begitu Han Beng menggerakkan sulingnya, Hong San terkejut bukan main dan tahu-tahu suling itu telah rnenghantam punggungnya.
"Plakkk!" Dia terhuyung dan terkejut. Kiranya Han Beng dapat menarik suling itu sebagai senjata tongkat yang luar biasa anehnya. Hal ini sebetulnya tidak aneh. Han Beng telah menguasai ilmu tongkat yang dia pelajari dari Sin ciang Kai-ong, yaitu ilmu tongkat yang disebut Tongkat Dewa Mabuk. Gerakannya aneh, akan tetapi lihai bukan main kelihatannya kacau balau akan tetapi tahu-tahu ujung suling yang dimainkan sebagai tongkat itu telah mencuri gerakan dan menyelonong ke punggungnya!
Andaikata Han Beng hanya mempelajar ilmu silat dari Sin-tiauw Liu Bhok dan Sin-ciang Kai-ong saja, belum tentu akan mampu menandingi Can Hong San yang amat lihai itu. Akan tetapi, Han Beng telah digembleng oleh Pek I Tojin, seorang kakek yang sakti sehingga biar tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan Hong San.
Hong San merasa marah dan penasaran sekali ketika punggungnya kena hantam suling. Dia membalik dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan sedangkan tangan kirinya menyusulkan tamparan atau dorongan ke arah kepala, namun, dengan mudah Han Beng mengelak dengan menggeser kaki ke kiri, kemudian sulingnya membuat gerakan melingkar dan tubuhnya meliuk aneh, tahu-tahu ujung suling sudah menetek pinggul kiri lawan.
"Dukkk!" Hong San hampir terpelanting karena kaki kirinya terasa lumpuh, akan tetapi dia masih mampu melompat dan memutar tubuhnya, turun ke tanah dengan kaki kanan sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk memulihkan kaki kiri yang terasa lumpuh. Dia kini merasa kaget bukan main, juga amat marah. Kemarahan yang membuat dia menjadi nekat karena dia maklum bahwa lawannya sungguh amat lihai.
Diputarnya pedangnya sehingga nampak sinar bergulung-gulung dan dia pun menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan jurus-jurus maut dan tidak begitu mempedulikan segala pertahanan. Ini serangan orang yang sudah nekat dan hendak mengadu nyawa. Baginya hanya menang atau kalah, karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah oleh lawan.
Menghadapi orang yang sudah nekat seperti itu, Han Beng harus berhati-hati sekali. Orang yang nekat amat berbahaya karena semua daya kekuatannya ditujukan untuk menyerang. Han Beng mengerahkan sin-kang dan memutar tongkatnya atau sulingnya menyambut sinar pedang. Begitu pedang bertemu tongkat pedang itu ikut terputar karena tenaga sin-kang Hong San kalah kuat, makin lama semakin cepat berputar dan akhirnya, begitu Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring, pedang itu terlepas dari tangan Hong San dan terlempar jauh!
Hong San terkejut sekali, akan tetapi dia masih nekat, dan menerjang dengan pukulan tangan kosong, memainkan ilmu silat Koai-liong-kun yang dahsyat. Han Beng menggerakkan suling itu dan tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Hong San, ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah lawan, ujung suling telah mendahuluinya, menotok pergelangan tangan itu sehingga tangan kirinya lumpuh seketika.
"Aaaghhhhh!" Hong San membentak dan tangan kanannya membuat gerakan berputar, lalu menghantam kedepan dengan pukulan yang dahsyat sekali, di dahului oleh uap hitam, menyambar kearah Han Beng. Itulah pukulan Cui-beng-Ciang (Tangan Pengejar Roh) yang amat ampuh dan jahat. Jarang ada lawan yang kuat menahan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang yang mengandung kekuatan sihir ini, bahkan uap hitam itu saja sudah cukup membuat orang pingsan karena mengandung racun.
Han Beng mengenal pukulan dahsyat, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti yang dilatihnya dari Pek I Tojin.
"Desss...!" Dua tenaga sakti yang ampuh bertemu melalui telapak tangan itu dan tubuh Hong San terpental kebelakang lalu terbanting roboh. Dia pingsan seketika sedangkan Han Beng agak terengah.
Pada saat itu, Giok Cu sudah mendesak Ban-tok Mo-li dengan pedang tumpulnya. Kipas di tangan kiri iblis betina itu sudah tidak nampak lagi karena sudah patah-patah bertemu dengan Seng-kang Kiam dan kini Ban-tok Mo-li dengan matian-matian melawan dengan Ang-tok Po-kiam la telah mengerahkan semua ilmunya, Namun satu demi satu dapat dipunahkan oleh Giok Cu, bahkan kini gadis itu mulai mendesaknya dengan hebat.
"Plakkk! Ini untuk Ayah!" Tangan kiri Giok Cu menampar pipi kanan Ban-tok Mo-li. Wanita ini menjerit lirih dan terhuyung, akan tetapi tamparan itu memang diberikan untuk menghajar, bukan untuk membunuh, maka pipi yang kena tampar itu hanya matang biru dan membengkak, akan tetapi tamparan itu tidak merobohkan.
Dengan kemarahan meluap yang membuat ia menjadi nekat, Ban-tok Mo-Li memutar pedangnya sehingga nampak gulungan sinar merah dari Ang-tok Po-Kiam yang menyerang dengan ganas, namun, kini Giok Cu sudah menguasai keadaan dan memang tingkat kepandaianya masih jauh lebih tinggi kalau dibandingkan bekas gurunya itu, maka dengan mudah saja gagang pedang tumpulnya membuat sinar merah itu tiba-tiba saja kehilangan daya ampuhnya.
"Trakkkkk... cusss!"
Ini untuk Ibu!" kata pula Giok Cu dan kembali Ban-tok Mo-li terhuyung dan jeritannya makin keras karena kini pedang pusakanya patah menjadi dua potong dan paha kirinya disambar ujung pedang Seng-kang-kiam sehingga celananya robek dan kulit pahanya robek pula.
"Sekarang bersiaplah untuk menghadap Ayah dan Ibu!" teriak Giok Cu.
Akan tetapi pada saat itu, Han Beng melompat ke depan dan sabuk sutera putihnya menyambar ke arah pedang yang sudah meluncur menyerang Ban-tok Mo-li. "Giok Cu, tahan...!" serunya ujung sabuknya melibat pedang gadis itu menahan gerakannya.
"Ihhh, engkau kenapa, Han Beng? Kenapa menghalangiku membunuh iblis betina pembunuh Ayah dan Ibuku ini?"
"Maaf, Giok Cu. Ingatlah bahwa ia pernah baik kepadamu dan puterinya... adalah isteri dari Kakak angkatku..."
Memang tadi ketika melihat gadis itu hendak membunuh Ban-tok Mo-li, Han Beng teringat akan Coa Siang Lee Sim Lan Ci, puteri Ban-tok Mo-li. menjadi tidak tega dan mencegah Giok Cu membunuh iblis betina yang sudah tidak berdaya itu. Ketika Giok Cu hendak membantah tiba-tiba terdengar suara ketawa berwibawa dan mengejutkan hati Giok Cu.
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud...! la jahat karena membunuh Ayah Ibumu, Giok Cu. Kalau sekarang engkau membunuhnya apa bedanya antara ia dan engkau? sama-sama pembunuh jahat!"
Pada saat itu, Giok Cu tertegun dan lalu memutar tubuh dan menghadapi Hek Bin Hwesio. "Suhu !" serunya dengan dua mata basah.
"Haiiiiittttt...!!" Tiba-tiba, mendapatkan kesempatan baik ini, Ban-tok Mo-Li menubruk dan menyerang Giok Cu dari belakang. Kedua tangannya dengan bentuk cakar mencengkeram kearah kepala dan punggung Giok Cu. Serangan maut, karena semua kuku jari tangannya itu mengandung racun mematikan.
"Desssss...!" Han Beng yang cukup waspada, menyambut serangan itu dari samping dengan tamparan tangannya yang mengenai pundak iblis betina itu. Ban Tok-Mo-li terpelanting dan roboh pingsan. Empat orang pengawal cepat maju dan membelenggunya lalu membawanya keluar dari ruangan itu.
"Siancai...!" Pek I Tojin berseru sambil merangkap kedua tangan depan dada. "Hek Bin Hwesio sungguh telah memperoleh kemajuan, dapat mencegah pembunuhan. Memang, menyadarkan penjahat adalah perbuatan mulia, membunuh orang jahat adalah perbuatan kejam, hanya Tuhan yang berkuasa menentukan mati hidupnya setiap orang manusia.."
Yap Ciangkun mengucapkan terima kasih kepada Han Beng dan Giok Cu, dia membawa semua tawanan pergi meninggalkan tempat itu. Hek Bin Hwesio dan Pek I Tojin meninggalkan bekas sarang Thian-te-pang yang kini telah diduduki oleh pasukan pemerintah. Dengan bijaksana Yap Ciangkun menyuruh pasukan untuk memulangkan semua wanita yang menjadi korban perkumpulan agama sesat itu ke tempat asal masing-masing...
"Celaka, Kongcu... sebagian besar teman telah menyerah kita jauh kalah banyak... dan rumah ini sudah di kepung ketat!!" Baru saja dia bicara demikian, sebatang panah meluncur dari luar dan dia pun roboh. Dan kini di ambang pintu ruangan yang luas itu muncullah seorang perwira tinggi yang berwajah keren.
"Yap Ciangkun...!" Han Beng memanggil, juga Giok Cu mengenal panglima itu.
Yap Ciangkun mengangguk dan tersenyum. "Kiranya Ji-wi masih selamat. Syukurlah dan rumah ini sudah kami kepung. Para pimpinan perkumpulan jahat ini harus kami tangkap semua!"
"Nanti dulu, Yap Ciangkun!" kata Giok Cu. "Sebelum Ciangkun melakukan penangkapan, aku ingin menyelesaikan urusan pribadiku dengan Ban-tok Mo-li!"
Yap Ciangkun mengerutkan alisnya, akan tetapi mengingat akan kelihaian gadis itu, dia pun mengangguk. "Baiklah, Li-hiap." Dia lalu memberi isyarat kepada pasukannya untuk siap dengan anak panah mereka untuk melindungi Giok Cu.
Melihat ini, Can Hong San tertawa tergelak. Pemuda ini amat cerdik dan dia pun melihat bahwa kini sukarlah baginya untuk dapat meloloskan diri. Menerjang keluar sama dengan bunuh diri, oleh karena itu satu-satunya jalan haruslah membela diri secara gagah.
"Ha-ha-ha, kalian ini mengakunya saja pendekar gagah, akan tetapi ternyata hanyalah pengecut-pengecut yang berlindung di belakang pasukan pemerintah. Pendekar macam apakah itu? Si Han Beng, engkau dijuluki orang Huang-ho Sin-liong, Naga Sakti Sungai Kuning. Kiranya nama itu hanya kosong belaka karena kenyataannya kini engkau hanya menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah. Kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding dengan taruhan nyawa. Kalau engkau kalah olehku, aku berhak untuk hidup dan harus dibiarkan lolos tanpa gangguan. Sebaliknya kalau aku kalah, biarlah kubayar dengan nyawa!"
Han Beng adalah seorang pemuda yang pada dasarnya berwatak pendiam dan tidak pandai bicara. Biarpun dia tahu bahwa Hong San membual dan memutar balikkan kenyataan, namun dia tidak pandai membalas dan hanya berkata tenang.
"Sesuka engkau hendak berkata apa, Can Hong San. Yang jelas, aku tidak mendatangkan pasukan, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu..."
"Hong San, manusia pengecut yang bermulut busuk!" Giok Cu memotong percakapan Han Beng yang tenang itu dengan suaranya yang lantang. "Siapa percaya omonganmu yang berbau busuk penuh kebohongan itu? Aku dan Han Beng datang ke sini untuk berurusan pribadi dengan Ban-tok Mo-li, dan engkau mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok, bahkan menggunakan asap pembius menangkap kami. Siapa yang pengecut? sekarang, setelah engkau melihat pihakmu tidak berdaya, engkau berlagak sebagai orang gagah! Cih, alangkah tebalnya mukamu, dapat mengeluarkan kata-kata dan memperlihatkan sikap semacam itu. Han Beng, sambut tantangannya itu dan binasakan saja manusia iblis ini, karena kalau dibiarkan hidup, dia pun hanya akan menyebar kejahatan diantara manusia. Dan engkau, Ban-tok Mo-li, engkau telah membunuh Ayah Ibuku yang tidak berdosa. Majulah dan terimalah pembalasanku agar arwah Ayah Ibu dapat tenang!"
Menghadapi Giok Cu yang lincah galak dan pandai bicara itu, Hong San tak mampu bersuara lagi. Mukanya berubah sebentar merah sebentar pucat karena bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada marah, dan malu, ada pula benci, akan tetapi juga takut. Bagaimanapun juga dia adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong Can Siok, pendiri Thian-te-pang yang besar. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang disegani dan ditakuti dunia kang-ouw, oleh karena itu, bagaimanapun juga dia harus memperlihatkan sikap yang gagah!
"Sing-singgggg...!" Nampak sinar berkelebat ketika tangan kanannya mencabut pedang sedangkan tangan kirinya mencabut suling. Dia memang nampak gagah sekali. Can Hong San memiliki ketampanan yang khas karena ada darah Nepal mengalir di tubuhnya. Hidungnya terlalu mancung dan matanya yang lebar itu terlalu hitam. Hidung mancung yang agak besar dan bibir yang merah itu menunjukkan betapa dia memiliki gairah nafsu yang besar.
Melihat ini, Yap Ciangkun berseru dengan suaranya yang berwibawa, "Can Hong San, menyerahlah untuk kami tangkap karena engkau menggerakkan Thian-Te-Pang melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Tidak perlu melawan karena pasukanku telah mengepung dan semua anak buahmu telah menakluk!"
"Yap Ciangkun, perkenankanlah kami menghadapi para penjahat ini dengan cara kami sendiri, yaitu sesuai dengan peraturan di dunia persilatan."
"Maksudmu bagaimana, Tai-hiap?" Tanya Yap Ciangkun.
"Can Hong San menantangku, maka terpaksa harus kulayani. Juga Bu Giok Cu mempunyai urusan dengan Ban-tok Mo-li dan Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu. Maka, kami berdua ingin menyelesaikan urusan ini melalui pertandingan silat."
Yap Ciangkun mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi justeru mereka bertiga itulah pucuk pimpinan perkumpulan sesat ini yang harus kami tangkap dan kami seret ke pengadilan. Kalau mereka mati, bagaimana kami dapat menuntut mereka?"
"Omitohud, jangan khawatir, Ciangkun." kata Hen Bin Hwesio sambil terkekeh. "Ada pin-ceng (aku) di sini dan ada pula Pek I Tojin, tidak akan yang mati, ha-ha-ha!"
"Benar, kami dua orang tua tidak suka melihat pembunuhan. Kami yang akan mencegah agar jangan ada pembunuhan." kata Pek I Tojin.
Biarpun di dalam hatinya Giok tidak setuju dengan pendapat gurunya akan tetapi ia tidak berani membantah. Ia harus membunuh Ban-tok Mo-li untuk membalas kematian ayah ibunya.
Yap Ciangkun mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu, akan tetapi anak buah yang lain itu harus ditangkap dulu!" Dia lalu memberi isyarat kepada pasukan pengawalnya untuk menangkap semua orang kecuali Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, dan Can Hong San.
Merasa bahwa mereka pun memiliki kepandaian, Siangkoan Tek mencabut pedangnya. Juga Ji Ban To, murid Ouw kok Sian, telah mencabut sepasang golaknya. Dua orang pemuda lain, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So, murid-murid Lui Seng Cu, juga sudah siap dengan senjata golok di tangan. Empat orang pemuda ini agaknya tidak mau menyerah begitu saja. Mereka adalah murid-murid datuk sesat, tentu saja merasa malu kalau harus menyerah tanpa melawan.
Melihat sikap empat orang itu, Bu Giok Cu maklum bahwa dua belas orang pengawal Yap Ciangkun belum tentu akan mampu menandingi mereka, maka ia pun berkata, "Yap Ciangkun, biar aku yang menangkapkan empat ekor anjing kecil ini untukmu!"
Giok Cu menerima pedang tumpul Seng-kang-kiam dari tangan Hek Bin Hwesio, kemudian ia pun maju menghampiri empat orang pemuda yang sudah siap itu. Melihat ini, Han Beng merasa tidak tega. Kalau dikeroyok empat, berbahaya juga bagi Giok Cu, maka dia pun melangkah maju. "Biar aku membantu Giok Cu!"
Melihat para lawannya memegang senjata tajam, Han Beng yang tidak biasa menggunakan senjata tajam, melolos sabuk suteranya. Dia telah mewarisi llmu sabuk dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan biarpun sabuk sutera itu lemas dan lunak, namun di tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh.
Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu akan nama besar Huang-ho Sin-liong Si Han Beng maka belum apa-apa dia sudah merasa jerih untuk menghadapi pendekar itu. Terhadap Bu Giok Cu dia tidak begitu gentar karena sepanjang pengetahuannya gadis itu hanyalah murid Ban-tok Mo li. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu telah menjadi murid Hek Bin Hwesio yang membuat ia menjadi jauh lebih lihai daripada ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo-li.
Karena menganggap bahwa lebih menguntungkan kalau bertanding melawan Giok Cu, maka sambil mengeluarkann bentakan nyaring dia sudah menggerakkan pedangnya menyerang Giok Cu. Ji Ban To meniru Siangkoa Tek dan dia pun sudah menggerakkan pasang goloknya, membantu Siangkoan Tek dan mengeroyok Giok Cu. Gadis itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya.
"Huh, monyet-monyet kecil, memang sudah sejak dahulu kalian harus kuhajar!" Dan dia pun menggerakkan pedang tumpulnya untuk menyambut serangan dua orang pemuda.
"Trang-trang-tranggggg...!"
Pedang yang tumpul itu berkelebat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata oleh dua orang pemuda itu dan mereka terkejut setengah mati ketika merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata seperti lumpuh. Kekejutan mereka bertambah ketika mereka melihat betapa senjata mereka itu patah ujungnya!
Giok Cu tersenyum mengejek menatap wajah mereka yang berubah pucat itu. "Hi-hik, kalian takut? Hayo berlutut dan menyerah menjadi tawanan Yap Ciangkun!"
Siangkoan Tek adalah putera tokoh sesat Siangkoan Bok yang terkenal sebagai majikan Pulau Hiu. Dia sudah menganggap diri sendiri sebagai seorang tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja dia memiliki keangkuhan dan biarpun dia memang gentar menghadapi pedang butut yang ternyata ampuh itu tentu saja dia tidak sudi untuk berlutut dan menyerah sedemikian mudahnya.
Demikian pula dengan Ji Ban To, murid Ouw Kok Sian seorang tokoh yang menguasai daerah Pegunungan Liong san Dia merasa penasaran sekali dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang lagi dengan sepasang goloknya yang sudah buntung ujungnya. Siangkoan Tek juga membantunya dan tiga batang senjata itu berkelebatan mendesing-desing, menyerang Giok Cu bagaikan hujan lebat. Namun gadis ini tersenyum mengejek, dengan amat mudahnya menghindarkan diri dengan loncatan ke sana-sini.
Sementara itu, Siok Boan dan Poa Kian So, dua orang murid Lui Seng Cu tentu saja merasa malu kalau harus menyerah begitu saja. Apalagi mereka melihat guru mereka yang menjadi kauw-cu dari Thian-te-kauw, masih berdiri tegak dan menantang. Mereka adalah murid Kauw-cu, tentu saja kedudukan mereka cukup tinggi dan terhormat di perkumpulan itu.
Kini, melihat majunya Giok Cu dan Han Beng, mereka berdua lalu menggerakkan golok besar di tangan mereka, mengeroyok Han Beng yang hanya memegang sehelai sabuk sutera putih. Dari kanan kiri mereka menyerang golok mereka berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Han Beng.
Pemuda tinggi besar ini dengan sikap tenang menghindarkan diri dengan geseran-geseran kaki yang amat gesit. Kalau dia menghendaki tentu dengan sekali pukul dia akan mampu merobohkan bahkan menebaskan dua orang lawan yang terlalu lemah baginya itu, namun dia tidak ingin membunuh orang, hanya ingin membantu Yap Ciangkun untuk menangkap mereka. Oleh karena itu, dia pun hanya mengelak ke sana-sini sambil menannti kesempatan baik untuk membuat mereka berdua itu tidak berdaya tanpa harus melukai mereka.
Dalam hal ini, Han Beng yang berhati-hati agar tidak melukai lawan kalah cepat dengan Giok Cu. Giok sendiri tidak mau membunuh dua orang pengeroyoknya karena memang dia berjanji membantu Yap Ciangkun hanya untuk menangkap para pimpinan Thian te-pang, akan tetapi ia bukan pantas melukai, bahkan ingin menghajar ke dua orang pemuda yang pernah bersikap kurang ajar terhadap dirinya.
Kalau membayangkan perbuatan dua orang pengeroyoknya itu, Siangkoan Tek dan Ji Ban To ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo li, ingin rasanya ia membunuh mereka! Siangkoan Tek pernah mengganggunya secara keterlaluan hingga terpaksa ia menggunakan akal memancing Siangkoan Tek yang ketika itu lebih lihai darinya untuk masuk laut. Ia lebih pandai berenang maka menyeret Siangkoan Tek ke laut dan perutnya kembung.
Apalagi Ji Ban To Bersama sutenya, mendiang Cak Su, berberdua pernah menangkapnya dan ingin memperkosanya. Untung muncul Ban tok Mo-Ii yang membunuh Cak Su melukai Ji Ban To. Mengingat perbuatan mereka itu saja, ingin benar rasanya menghajar mereka sampai sepuas hatinya. Akan tetapi, Giok Cu masih tahu bahwa di situ hadir Hek Bin Hwesio gurunya yang telah berhasil merubah sifatnya yang tadinya ganas dan keras. Ia rasa tidak enak dan malu kepada gurunya itu kalau sampai ia bertindak terkeras terhadap dua orang pengeroyoknya itu.
"Hyaaaaattttt...!!" Tiba-tiba Giok Cu mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedang tumpul di tangannya nyambar dengan amat cepatnya.
"Trak! Trak! Trak!"
Dua orang pengeoyok itu mengeluarkan seruan kaget karena senjata mereka kini buntung dan hanya tinggal gagangnya saja. Sebelum mereka sempat menenangkan hati, tangan kiri Giok Cu telah menampar pundak mereka. Terdengar bunyi tulang patah dan dua orang itu terpelanting dan tangan kiri memegang pundak kanan yang terasa nyeri bukan main karena tulang pundak kanan mereka telah remuk oleh tamparan tangan Giok Cu tadi. Empat orang perajurit pengawal segera maju dan meringkus mereka, membelenggu tangan mereka dan membawa mereka keluar.
Melihat betapa Giok Cu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya, Han Beng merasa tidak enak. Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, sabuk sutera putih di tangannya menyambar tahu-tahu telah membelit golok besar dua orang kakak beradik seperguruan dan sekali tarik, golok mereka telah terlepas dari pemiliknya. Setelah lepaskan golok-golok itu ke samping kembali sabuk itu berkelebat dua kali.
Kini menjadi seperti tongkat dan ujungnya menotok jalan darah di dada kedua orang lawan. Siok Boan dan Poa Kian mengeluh dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi karena telah tertotok! Dengan cepat empat orang pengawal menyeret mereka keluar dari ruangan itu.
Kini, Giok Cu dan Han Beng berhadapan dengan Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, dan Can Hong San. Giok Cu yang tak ingin kedahuluan Han Beng karena ia ingin sekali menghadapi Ban-tok Mo-li, segera melangkah maju.
"Kalian bertiga adalah tokoh-tokoh utama Thian-kauw dan Thian-te-pang. Nah, sekarang aku yang maju lebih dulu. Siapa di antara kalian bertiga yang ingin melawati aku? Kutantang Ban-tok Mo-li untuk melawan aku!"
"Dan aku menantang Can Hong San untuk melawan aku!" kata Han Beng mendahului, maklum bahwa di antara mereka bertiga, Hong San yang paling pandai.
"Kalian tidak mengandalkan pengeroyokan?" Ban-tok Mo-li bertanya dengan sikap curiga.
"Ban-tok Mo-li, kami bukanlah orang-orang berjiwa pengecut macam kalian?" Giok Cu membentak marah. "Kita bertanding satu lawan satu, tidak ada yang boleh dibantu orang lain. Di sini ada Suhu ku Hek Bin Hwesio yang menjadi saksi, dan ada pula Yap Ciangkun dan para perajurit yang menjadi saksi!"
"Bagus! Kalau begitu, engkau akan mampus di tanganku!" bentak Ban-tok Mo-Ii yang sudah menjadi nekat karena ia pun tidak melihat jalan keluar.
"Nanti dulu, Pangcu!" kata Lui Seng Cu sambil maju ke depan. "Sebelum Pangcu yang maju, biarlah aku sebagai Kauw-cu (Kepala Agama) dari Thian-te-kauw yang lebih dulu maju. Bu Giok Cu, kutantang engkau untuk bertanding melawanku kalau engkau berani!"
Lui Seng Cu juga sudah putus asa melihat betapa tempat itu telah dikepung oleh pasukan apalagi di situ terdapat dua orang kakek yang sakti. Dia tidak akan dapat melarikan diri, oleh karena itu, dia pun ingin melawan sampai akhir dan daripada melawan yang paling akhir, sendirian saja lebih baik dia maju lebih dulu selagi masih ada teman-temannya.
"Bagus! Aku memang ingin sekali menghajarmu, Lui Seng Cu. Engkau dahulu adalah seorang perampok jahat kemudian engkaulah yang menyeret Ban Tok Mo-li sehingga ia ikut-ikutan dalam perkumpulan iblis Thian-te-kauw itu. Majulah!"
Lui Seng Cu maklum bahwa Giok Cu sekarang tidak boleh disamakan dengan Giok Cu dahulu ketika masih menjadi murid Ban-tok Mo-Ii. Tadi pun dia sudah melihat kelihaian gadis itu ketika merobohkan Siangkoan Tek dan Ji Ban To secara mudah, hal ini saja sudah membuktikan bahwa Giok Cu amat lihai. Namun dia mengandalkan kekuatan sihirnya sebagai kauw-cu Thian-te-kauw, mengandalan pula pengalamannya yang tentu sudah lebih luas dan banyak dibandingkan gadis itu.
Dengan golok besar di tangan, ia pun maju menghadapi Giok Cu. Akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berdiri tegak, golok besarnya diacungkan ke arah Giok Cu, matanya memandang terbelalak tak pernah berkedip, dan mulutnya berkemak-kemik. Dia membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menguasai gadis itu. Sihir ini biasa dia pergunakan untuk mempengaruhi korban-korban sembahyangan sehingga korban itu akan lupa diri dan menurut saja apa yang akan dilakukan atas dirinya.
Giok Cu yang melihat sikap Kauw cu itu, tadinya merasa geli, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya lemas. Pada saat itu, terdengar suara tertawa dari Hek Bin Hwesio.
"Ha-ha-ha-ha, omitohud... lawanmu itu seperti anjing saja pandai menggonggong, Giok Cu. Berhati-hatilah engkau!"
Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang terbelalak akan tetapi juga merasa geli karena tiba-tiba saja Lui Seng Cu mengeluarkan suara dan dari mulutnya.
"Hung-hung-huk-huk-huk!" Suara itu presis suara anjing yang marah, menggonggong dan menyalak-nyalak.
Giok Cu tertawa dan suara ketawa ini agaknya yang menyadarkan Lui Seng Cu. Wajah Kauw-cu ini seketika menjadi pucat ketika dia menoleh kearah Hek Bin Hwesio dan tahulah dia bahwa di depan hwesio hitam itu, dia sama sekali tidak berdaya. Kiranya hwesio tua itu tahu bahwa dia mempergunakan ilmu bilur dan sihir itu bahkan membalik dan menghantam dirinya sendiri sehingga di luar kesadarannya dia tadi menggonggong seperti anjing. Tentu saja hal ini amat memalukan. Wajah yang pucat kini berubah menjadi kemerahan dan tanpa banyak cakap lagi, tanpa mengeluarkan peringatan, dia telah mengayun golok besarnya dan menyerang Giok Cu!
"Singgggg...!" Golok besar itu menyambar diatas kepala Giok Cu karena ketika golok itu membabat leher, gadis itu cepat merendahkan tubuhnya sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, sebagai susulan, kaki Lui Seng Cu menendang dengan kuatnya ke arah bawah pusar.
"Ihhhhh!" Giok Cu marah sekali dan ia pun meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan yang sifatnya tidak sopan itu. Agaknya Lui Seng Cu sudah tidak mengindahkan lagi aturan, dia menyerang mati-matian dan hendak mempergunakan segala cara untuk mencari kemenangan. Kini goloknya sudah menyambar-nyambar lagi dengan ganasnya.
Biarpun ia memegang sebatang pedang pusaka, yaitu pedang Seng-kan kiam yang walaupun nampak butut tumpul namun ampuh bukan main, namun ia terlalu cerdik untuk menggunakan pedangnya menangkis golok lawan. Golok itu tebal dan berat, juga tenaga Seng Cu amat besar, ilmu goloknya ganas dan dahsyat sehingga tidak percuma dia berjuluk Hok-houw Toa-to (Golok Besar Penaluk Harimau).
Kalau menangkis dan mengadu tenaga, biar pedangnya tidak mungkin dapat rusak namun ada bahaya pedangnya akan terlepas dari pegangan. Untuk membuntungi golok itu pun bukan hal yang mudah mengingat golok itu tebal dan berat juga ia menduga bahwa tentu golok itu terbuat dari baja yang baik dan tidak mudah dirusakkan.
Giok Cu kini mempergunakan ilmunya, meringankan tubuh, mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari semua sambaran golok, dan setiap ada kesempaian, pedangnya meluncur dan mengirim serangan balasan yang juga amat berbahaya bagi lawan.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat, seru dan menegangkan hati. Karena ilmu golok Lui Seng Cu memang ganas, maka nampaknya saja dia lebih baik menyerang, menekan dan mendesak gadis itu sehingga Yap Ciangkun dan merasa pengawalnya memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Namun Han Beng, Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio menonton dengan sikap tenang saja. Mereka bertiga maklum bahwa Giok Cu masih lebih unggul dan tidak akan kalah. Mereka mengerti bahwa gadis itu menyayangi pedangnya agar tidak sampai rusak kalau beradu dengan golok yang besar dan berat itu.
Lui Seng Cu sendiri yang merasa betapa beratnya menghadapi gadis itu. Terlalu lincah gerakan gadis itu baginya, terlalu cepat sehingga dia merasa seperti mengejar bayangannya sendiri. Goloknya tak pernah dapat menyentuh lawan, padahal dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga kini napasnya mulai memburu dan tenaganya mulai berkurang. Sebaliknya, gadis itu semakin gesit saja sehingga pandang mata mulai kabur.
Tiba-tiba Giok Cu mengubah geraknya, pedangnya membuat gerakan melengkung dan pada saat golok di tangan Lui Seng Cu meluncur lewat, pedang tumpul itu menusuk ke arah lengan ya memegang golok.
"Aughhh...!" Lui Seng Cu berseru keras dan tak mungkin dapat mempertahankan goloknya lagi karena lengan kanannya tiba-tiba kehilangan tenaga sama sekali. Pedang tumpul itu hanya membuat lengan itu lumpuh saja, karena Giok Cu teringat akan ucapan Hek Bin Hwesio bahwa di situ tidak akan terjadi pembunuhan. Kakinya bergerak menendang ke arah lutut dan robohlah Lui Seng Cu. Sambungan lutut kanannya terlepas dan dia tidak mampu bangkit kembali. Empat orang pengawal segera maju dan membelenggu kedua lengannya belakang dan membawanya pergi.
"Ban-tok Mo-li, sekarang maju engkau!" Giok Cu menantang, suaranya jelas mengandung kemarahan dan dendam.
"Giok Cu, engkau mengasolah dulu, aku yang maju!" kata Han Beng yang melompat ke depan. "Can Hong San, majulah, mari kita bermain-main sejenak!"
Melihat betapa Lui Seng Cu roboh, hati Hong San sudah menjadi gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menghadapi Han Beng dengan suling dan pedangnya. Sikapnya gagah dan dia nampak tenang saja, seolah-olah dia percaya akan kemampuan diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong dan memiliki kepandaian tinggi. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa gentar menghadapi Si Han Beng. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda tinggi besar itu, akan tetapi tidak ada jalan lain untuk menghindari pertandingan ini.
"Lihat pedang!" bentaknya dengan sikap gagah. Pedangnya menyambar diikuti gerakan suling yang menotok ke arah dada.
"Bagus!" Han Beng berseru sambil mengelak, kagum juga karena serangan itu selain indah juga berbahaya. Akan tetapi, baru saja dia mengelak, sinar pedang dan sinar suling itu sudah menyambar-nyambar lagi. Demikian cepatnya gerakan serangan Hong San, susul-menyusul dan sambung-menyambung. Terpaksa Han Beng meloncat ke belakang untuk melepaskan diri dari desakan serangan beruntun itu.
"Han Beng, pakailah pedangku!" Giok Cu berseru sambil melemparkan pedangnya ke arah Han Beng.
Sebenarnya Han Beng tidak perlu meminjam pedang, akan tetapi karena Giok Cu telah melemparkan pedangnya kepadanya, terpaksa dia menerimanya. "Terima kasih, Giok Cu." katanya.
Hong San mempergunakan kesempatan selagi Han Beng menyambut pedang yang dilontarkan itu, menyerang dengan sulingnya, menotok ke arah tengkuk Han Beng yang baru menoleh untuk menyambar pedang yang melayang ke arahnya. Biarpun dia tidak melihat serangan ini, namun pendengaran Han Beng amat tajam dan dia tahu bahwa tengkuknya terancam, maka dia melempar tubuh ke samping sambil tangannya menyambar pedang lalu bergulingan dan melompat berdiri lagi dengan pedang Seng-kang-Kiam di tangan.
Hong San merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah menyerang lagi dengan pedang dan suling, gerakannya semakin cepat dan dahsyat. Namun kini Han Beng memutar Seng-kang-kiam dan ada sinar dingin yang menyilaukan mata melindungi tubuhnya.
"Tranggggg...!" Nampak bunga api berpijar dan Hong San cepat menarik kembali pedangnya. Untung bahwa yang dipegang juga bukan pedang murahan, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang baik sehingga tidak sampai rusak ketika mengalami benturan sedikit tadi. Namun dia sudah menarik sulingnya dan ia pun tidak berani mengadu pedang secara langsung.
Sementara itu, ketika melibat Giok C0u meminjamkan pedangnya kepada Han Beng, Ban-tok Mo-li yang berwatak curang dan licik itu melihat kcsempatan baik baginya. Kalau ada rasa gentar dihatinya terhadap Giok Cu, hal itu terutama sekali disebabkan pedang pusaka tumpul yang amat ampuh itu. Kini gadis itu telah meminjamkan pedangnya yang ia takuti kepada Han Beng, suatu kesempatan yang baik sekali baginya, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat ke depan, ke dekat Giok Cu dengan pedang Ang-tok Po-kian di tangan kanan dan kipas di tangan kiri!
"Bu Giok Cu murid murtad! Engkau tadi menantangku, nah, kalau engkau memang bukan pengecut, majulah dan terimalah kematianmu di tanganku!" Kemudian, cepat ia menyimpan pedang dan kipasnya kembali, pedangnya ia masukkan ke sarung pedang di pinggang kipasnya ia selipkan di ikat pinggangnya lalu berkata, "Lihat, aku pun tidak menggunakan senjata. Sambutlah seranganku!" Dan ia segera menyerang dengan kukunya. Kuku jari tangan wanita itu mengandung racun yang amat jahat.
Hal ini tentu saja diketahui dengan baik oleh Giok Cu, bahkan ia pernah mempelajari ilmu beracun itu. Kukunya sendiri pun dapat ia pergunakan kukunya serangan beracun, bahkan ludahnya pun dapat ia pergunakan untuk mencelakai orang. Akan tetapi semenjak menjadi murid Hek-bin Hwesio, ia tidak mau mempergunakan ilmu sesat itu. Kini bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh ayah bundanya itu menyerangnya dengan pukulan beracun!
Ia cepat bergerak mengelak dan mengandalkan kegesitannya untuk melawan Ban-tok Mo-li. la tidak menduga akan kelicikan Ban Tok Mo-li yang sengaja menyimpan senjatanya dan menyerangnya dengan tangan kosong. Hal ini untuk memancing agar Giok Cu menerima serangannya. Kalau perlu, setiap saat ia dapat mempergunakan pedang dan kipasnya, sedangkan Giok Cu tetap bertangan kosong!
Han Beng melihat betapa Giok Cu diserang secara hebat oleh Ban-tok Mo-li. Kalau Ban-tok Mo-li menyerang dengan tangan kosong, dia tidak khawatir gadis itu akan kalah. Akan tetapi Ban-tok Mo-li memiliki senjata lengkap, sedangkan Giok Cu telah meminjamkan pedangnya kepadanya! Dia sendiri sebenarnya tidak membutuhkan senjata untuk melawan Hong San.
Maka, ketika Hong San membacokkan pedang ke arah kepalanya, dia cepat menyambut dengan Seng-kang-kiam, mengerahkan tenaga sin-kang untuk membuat kedua pedang melekat, lalu pada saat lawan menusukkan suling ke arah dadanya, dia tidak mengelak melainkan menyambut dengan tangkapan tangan kirinya. Sekali dan mengerahkan tenaga memutar pergelangan tangan, suling itu telah dapat dirampasnya dan kakinya menendang.
Hong San terkejut dan cepat melompat ke belakang pada saat tendangan melayang karena dia merasa betapa pedangnya yang tadi menempel di pedang lawan dapat ditariknya lepas.
"Giok Cu, pergunakan pedangmu!" Han Beng berseru.
Mendengar ini, Giok Cu meloncat kebelakang dan menyambar pedang yang dilontarkan oleh Han Beng. Bukan main marahnya Ban-tok Mo-Li melihat gadis itu telah memegang kembali pedangnya. Akan tetapi ia menyembunyikan rasa jerihnya dan ia pun mencabut pedang dan kipasnya.
"Bagus, Engkau hendak bertanding menggunakan senjata? Lebih cepat engkau mampus di ujung senjataku!" la pun segera menyerang. Pedangnya mengeluarkan sinar merah ketika digerakkan, namun sinar merah itu tertahan oleh sinar kehijauan dari pedang di tangan Giok Cu.
"Sit-sittttt...!" Jarum-jarum lembut menyambar dari gagang kipas. Akan tetapi akal ini merupakan permainan kanak-kanak bagi Giok Cu yang sudah mengenal benar penggunaan jarum-jarum teracun dari kipas itu, maka dengan mudah ia mengelak ke kiri dan pedangnya sudah membalas dengan serangan kilat yang membuat Ban-tok Mo-li harus cepat melempar diri ke belakang sambil memutar pedang.
Sementara itu, kini Can Hong San yang kehilangan sulingnya, menjadi marah dan menyerang Han Beng dengan pedangnya. Hatinya agak besar melihat Han-Beng tidak lagi memegang pedang tumpul ampuh itu, melainkan hanya memegang suling yang dirampas darinya. Akan tetapi, begitu Han Beng menggerakkan sulingnya, Hong San terkejut bukan main dan tahu-tahu suling itu telah rnenghantam punggungnya.
"Plakkk!" Dia terhuyung dan terkejut. Kiranya Han Beng dapat menarik suling itu sebagai senjata tongkat yang luar biasa anehnya. Hal ini sebetulnya tidak aneh. Han Beng telah menguasai ilmu tongkat yang dia pelajari dari Sin ciang Kai-ong, yaitu ilmu tongkat yang disebut Tongkat Dewa Mabuk. Gerakannya aneh, akan tetapi lihai bukan main kelihatannya kacau balau akan tetapi tahu-tahu ujung suling yang dimainkan sebagai tongkat itu telah mencuri gerakan dan menyelonong ke punggungnya!
Andaikata Han Beng hanya mempelajar ilmu silat dari Sin-tiauw Liu Bhok dan Sin-ciang Kai-ong saja, belum tentu akan mampu menandingi Can Hong San yang amat lihai itu. Akan tetapi, Han Beng telah digembleng oleh Pek I Tojin, seorang kakek yang sakti sehingga biar tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan Hong San.
Hong San merasa marah dan penasaran sekali ketika punggungnya kena hantam suling. Dia membalik dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan sedangkan tangan kirinya menyusulkan tamparan atau dorongan ke arah kepala, namun, dengan mudah Han Beng mengelak dengan menggeser kaki ke kiri, kemudian sulingnya membuat gerakan melingkar dan tubuhnya meliuk aneh, tahu-tahu ujung suling sudah menetek pinggul kiri lawan.
"Dukkk!" Hong San hampir terpelanting karena kaki kirinya terasa lumpuh, akan tetapi dia masih mampu melompat dan memutar tubuhnya, turun ke tanah dengan kaki kanan sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk memulihkan kaki kiri yang terasa lumpuh. Dia kini merasa kaget bukan main, juga amat marah. Kemarahan yang membuat dia menjadi nekat karena dia maklum bahwa lawannya sungguh amat lihai.
Diputarnya pedangnya sehingga nampak sinar bergulung-gulung dan dia pun menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan jurus-jurus maut dan tidak begitu mempedulikan segala pertahanan. Ini serangan orang yang sudah nekat dan hendak mengadu nyawa. Baginya hanya menang atau kalah, karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah oleh lawan.
Menghadapi orang yang sudah nekat seperti itu, Han Beng harus berhati-hati sekali. Orang yang nekat amat berbahaya karena semua daya kekuatannya ditujukan untuk menyerang. Han Beng mengerahkan sin-kang dan memutar tongkatnya atau sulingnya menyambut sinar pedang. Begitu pedang bertemu tongkat pedang itu ikut terputar karena tenaga sin-kang Hong San kalah kuat, makin lama semakin cepat berputar dan akhirnya, begitu Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring, pedang itu terlepas dari tangan Hong San dan terlempar jauh!
Hong San terkejut sekali, akan tetapi dia masih nekat, dan menerjang dengan pukulan tangan kosong, memainkan ilmu silat Koai-liong-kun yang dahsyat. Han Beng menggerakkan suling itu dan tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Hong San, ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah lawan, ujung suling telah mendahuluinya, menotok pergelangan tangan itu sehingga tangan kirinya lumpuh seketika.
"Aaaghhhhh!" Hong San membentak dan tangan kanannya membuat gerakan berputar, lalu menghantam kedepan dengan pukulan yang dahsyat sekali, di dahului oleh uap hitam, menyambar kearah Han Beng. Itulah pukulan Cui-beng-Ciang (Tangan Pengejar Roh) yang amat ampuh dan jahat. Jarang ada lawan yang kuat menahan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang yang mengandung kekuatan sihir ini, bahkan uap hitam itu saja sudah cukup membuat orang pingsan karena mengandung racun.
Han Beng mengenal pukulan dahsyat, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti yang dilatihnya dari Pek I Tojin.
"Desss...!" Dua tenaga sakti yang ampuh bertemu melalui telapak tangan itu dan tubuh Hong San terpental kebelakang lalu terbanting roboh. Dia pingsan seketika sedangkan Han Beng agak terengah.
Pada saat itu, Giok Cu sudah mendesak Ban-tok Mo-li dengan pedang tumpulnya. Kipas di tangan kiri iblis betina itu sudah tidak nampak lagi karena sudah patah-patah bertemu dengan Seng-kang Kiam dan kini Ban-tok Mo-li dengan matian-matian melawan dengan Ang-tok Po-kiam la telah mengerahkan semua ilmunya, Namun satu demi satu dapat dipunahkan oleh Giok Cu, bahkan kini gadis itu mulai mendesaknya dengan hebat.
"Plakkk! Ini untuk Ayah!" Tangan kiri Giok Cu menampar pipi kanan Ban-tok Mo-li. Wanita ini menjerit lirih dan terhuyung, akan tetapi tamparan itu memang diberikan untuk menghajar, bukan untuk membunuh, maka pipi yang kena tampar itu hanya matang biru dan membengkak, akan tetapi tamparan itu tidak merobohkan.
Dengan kemarahan meluap yang membuat ia menjadi nekat, Ban-tok Mo-Li memutar pedangnya sehingga nampak gulungan sinar merah dari Ang-tok Po-Kiam yang menyerang dengan ganas, namun, kini Giok Cu sudah menguasai keadaan dan memang tingkat kepandaianya masih jauh lebih tinggi kalau dibandingkan bekas gurunya itu, maka dengan mudah saja gagang pedang tumpulnya membuat sinar merah itu tiba-tiba saja kehilangan daya ampuhnya.
"Trakkkkk... cusss!"
Ini untuk Ibu!" kata pula Giok Cu dan kembali Ban-tok Mo-li terhuyung dan jeritannya makin keras karena kini pedang pusakanya patah menjadi dua potong dan paha kirinya disambar ujung pedang Seng-kang-kiam sehingga celananya robek dan kulit pahanya robek pula.
"Sekarang bersiaplah untuk menghadap Ayah dan Ibu!" teriak Giok Cu.
Akan tetapi pada saat itu, Han Beng melompat ke depan dan sabuk sutera putihnya menyambar ke arah pedang yang sudah meluncur menyerang Ban-tok Mo-li. "Giok Cu, tahan...!" serunya ujung sabuknya melibat pedang gadis itu menahan gerakannya.
"Ihhh, engkau kenapa, Han Beng? Kenapa menghalangiku membunuh iblis betina pembunuh Ayah dan Ibuku ini?"
"Maaf, Giok Cu. Ingatlah bahwa ia pernah baik kepadamu dan puterinya... adalah isteri dari Kakak angkatku..."
Memang tadi ketika melihat gadis itu hendak membunuh Ban-tok Mo-li, Han Beng teringat akan Coa Siang Lee Sim Lan Ci, puteri Ban-tok Mo-li. menjadi tidak tega dan mencegah Giok Cu membunuh iblis betina yang sudah tidak berdaya itu. Ketika Giok Cu hendak membantah tiba-tiba terdengar suara ketawa berwibawa dan mengejutkan hati Giok Cu.
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud...! la jahat karena membunuh Ayah Ibumu, Giok Cu. Kalau sekarang engkau membunuhnya apa bedanya antara ia dan engkau? sama-sama pembunuh jahat!"
Pada saat itu, Giok Cu tertegun dan lalu memutar tubuh dan menghadapi Hek Bin Hwesio. "Suhu !" serunya dengan dua mata basah.
"Haiiiiittttt...!!" Tiba-tiba, mendapatkan kesempatan baik ini, Ban-tok Mo-Li menubruk dan menyerang Giok Cu dari belakang. Kedua tangannya dengan bentuk cakar mencengkeram kearah kepala dan punggung Giok Cu. Serangan maut, karena semua kuku jari tangannya itu mengandung racun mematikan.
"Desssss...!" Han Beng yang cukup waspada, menyambut serangan itu dari samping dengan tamparan tangannya yang mengenai pundak iblis betina itu. Ban Tok-Mo-li terpelanting dan roboh pingsan. Empat orang pengawal cepat maju dan membelenggunya lalu membawanya keluar dari ruangan itu.
"Siancai...!" Pek I Tojin berseru sambil merangkap kedua tangan depan dada. "Hek Bin Hwesio sungguh telah memperoleh kemajuan, dapat mencegah pembunuhan. Memang, menyadarkan penjahat adalah perbuatan mulia, membunuh orang jahat adalah perbuatan kejam, hanya Tuhan yang berkuasa menentukan mati hidupnya setiap orang manusia.."
Yap Ciangkun mengucapkan terima kasih kepada Han Beng dan Giok Cu, dia membawa semua tawanan pergi meninggalkan tempat itu. Hek Bin Hwesio dan Pek I Tojin meninggalkan bekas sarang Thian-te-pang yang kini telah diduduki oleh pasukan pemerintah. Dengan bijaksana Yap Ciangkun menyuruh pasukan untuk memulangkan semua wanita yang menjadi korban perkumpulan agama sesat itu ke tempat asal masing-masing...