Dl LERENG yang indah dan sunyi, dibawah pohon yang rindang, siang itu mereka berempat duduk di atas akar pohon sambil bercakap-cakap.
"Han Beng," kata Pek I Tojm kepada muridnya. "Kami berdua, pinto dan Bin Hwesio, telah mengambil suatu kesepakatan mengenai engkau dan Nona Giok Cu ini, sebelum kami berdua pergi kami ingin mendengar dulu pendapat kalian. Bukankah begitu, Hek Bin Hwesio?"
"Ha-ha-ha, omitohud... kenapa engkau begitu sungkan, Pek I Tojin? Katakan saja apa yang menjadi isi hatimu, engkau sudah tahu bahwa pin-ceng menyetujui sepenuhnya, ha-ha-ha?"
"Suhu, apa sih yang Suhu bicarakan dengan Lo-cian-pwe?" tanya Giok Cu memandang kepada gurunya.
"Biar Pek I Tojin saja yang membicarakan karena dialah yang memiliki prasaran itu, prasaran yang baik sekali dan yang telah kusetujui sepenuhnya. Katakanlah, Pek I Tojin!"
Han Beng dan Giok Cu, juga Hek Bin Hwesio, kini menatap wajah tosu itu. Pek I Tojin adalah seorang kakek yang biasanya pendiam dan serius, tidak seperti Hek Bin Hwesio yang suka berkelakar dan tertawa. Akan tetapi sekali ini, Pek I Tojin nampak agak kemerahan menjawabnya, tanda bahwa apa yang akan dibicarakan mendatangkan ketegangan juga di hatinya.
Setelah berdehem dua kali, dia memandang kepada Han Beng dan Giok Cu lalu berkata, "Begini Han Beng dan Nona Bu Giok Cu, mengingat bahwa kalian berdua adalah anak-anak yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini. Oleh karena itulah, kami dua orang tua memberanikan diri mewakili kalian masing-masing sebagai guru dan juga pengganti orang tua, dan... eehhh...!" Agaknya sukar bagi tosu itu untuk melanjutkan kata-katanya yang mendadak macet. Dia menoleh kepada Hek Bin Hwesio, "Hek Bin Hwesio, kau bantulah aku!"
"Ha-ha-ha! Omitohud... engkau terlalu sungkan, Sahabat. Begini, Han Beng dan Giok Cu. Pek I Tojin mewakili Si Han Beng meminang Bu Giok Cu. Dan pinceng sebagai wakilmu, Giok Cu, pinceng merasa setuju sekali!"
Han Beng tidak merasa kaget dan dia menoleh ke arah Giok Cu yang juga mengerling kepadanya. Dua orang muda ini ingat betapa tadi, dalam keadaan terancam, nyawa mereka, mereka telah saling menyatakan perasaan hati masing-masing, saling menyatakan cinta! Dan kini guru-guru mereka menjodohkan mereka. Tentu saja mereka tidak merasa kaget, bahkan merasa berbahagia sekali.
"Bagaimana, Han Beng? Setujukah engkau kalau kujodohkan dengan Nona Bu Giok Cu?" tanya Pek I Tojin kepada muridnya.
Han Beng memandang wajah gurunya dan dengan wajah yang cerah dan berbahagia dia mengangguk, "Teecu setuju. Suhu."
"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan engkau, muridku? Setujukah engkau kalau pinangan Han Beng terhadap dirimu itu kuterima? Maukah engkau menjadi calon isteri Si Han Beng?"
Pada saat itu, Giok Cu merasa hatinya seperti diremas-remas, la teringat akan keadaan dirinya, teringat akan tahi lalat merah kecil di lengan kirinya, di bawah siku. Tahi lalat merah itu adalah penanaman racun yang dilakukan Ban tok Mo-li kepadanya dahulu. Kalau ia menyerahkan diri kepada seorang pria, begitu ia kehilangan keperawanannya, tanda tahi lalat merah itu pun akan lenyap, akan tetapi akibatnya, dalam waktu sebulan ia akan tewas karena racun yang amat hebat dan tidak ada obatnya akan bekerja membunuhnya!
Akan tetapi, didepan dua orang kakek itu bagaimana ia dapat membuka mulut menceritakan hal yang memalukan itu kepada Han Beng. Maka, khawatir di desak suhunya yang suka berkelakar, ia pun mengangguk tanda setuju tanpa da pat mengeluarkan suara karena ia haru menekan guncangan hatinya.
"Ha-ha, kenapa mendadak engkau menjadi seorang gadis pemalu, Giok Cu. Mana jawabanmu? Jawablah agar lega hati orang yang meminangmu!" kata Hek Bin Hwesio.
Dengan muka tunduk karena tidak ingin nampak mukanya yang berduka terpaksa Giok Cu menjawab lirih, "Teecu setuju!"
"Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! To-yu pinceng mengucapkan selamat kepadamu!"
"Sama-sama, pinto juga mengucapkan selamat kepadamu!" Dua orang kakek tu tersenyum dan saling memberi hormat.
"Nah, tentang upacara pernikahannya, kami serahkan kepada kalian berdua. Kami berdua akan berkelana dan menikmati keindahan Gunung Thai-san. Kelak kalau sudah ada ketentuan waktunya kalian boleh mencari kami ke Thai-san untuk memberitahu." kata Pek I Tojin lan bersama Hek Bin Hwesio, dia lalu pergi meninggalkan dua orang muda itu yang segera berlutut untuk mengantar kepergian guru mereka.
Setelah dua orang kakek itu lenyap, Han Beng bangkit berdiri, juga Giok Cu. Mereka berdiri berhadapan, saling pan¬dang dan Han Beng melangkah maju. "Giok Cu...!"
Han Beng yang merasa berbahagia sekali, bukan saja karena ikatan perjodohan antara mereka, akan tetapi juga teringat akan ucapan gadis tadi yang menyatakan cinta kepadanya, segera merangkul.
"Han Beng...!" Giok Cu membenamkan mukanya didada pemuda yang di cintainya.
"Giok Cu, kita saling mencinta, dan guru-guru kita menjodohkan kita. Betapa bahagianya rasa hatiku, Giok Cu... bisik Han Beng di dekat telinga gadis itu.
Dan tiba-tiba Giok Cu menangis tanpa mengangkat mukanya dari dada Han Beng. Air mata menembus baju dan membasahi dada pemuda itu. Han Beng terkejut, akan tetapi lalu tersenyum dan tangannya membelai rambut kepala kekasihnya. Tentu kekasihnya itu menangis karena bahagia, menangis karena terharu, barangkali teringat bahwa ia tidak mempunyai orang tua lagi. Dia menunduk dan mencium rambut itu, mencium dahi itu, lalu berbisik!
"Giok Cu, jangan berduka sayang. Memang kita berdua sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, akan tetapi kita kini saling memiliki bukan? Biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu dan engkau menjadi pengganti Ibuku! Dan kelak, kita pergi ke perkampungan keluarga kita, kita mencari keluarga orang tua kita yang masih ada. Bukankah berarti kita akan memiliki keluarga lagi?"
Akan tetapi, ucapan hiburan itu bahkan membuat Giok Cu semakin tersedu-sedu. Han Beng membiarkannya sebentar, lalu perlahan-lahan dia mengangkat dagu, disitu, menatap wajah yang nampak legitu sedih. Mata itu terpejam, akan tetapi setiap kali dibuka sedikit, air matanya mengalir keluar. Dengan hati penuh rasa haru dan sayang, akan tetapi juga khawatir, Han Beng mengecup pipi yang basah air mata itu sehingga terasa asin olehnya. Akan menyegarkan hati rasa itu andaikan hatinya tidak begitu hawatir, andaikan tangis itu tangis bahagia, bukan tangis yang demikian sedihnya.
"Giok Cu... Moi-moi sayang, hentikanlah tangismu dan katakan kepadaku, kenapa engkau begini sedih? Bukankah sepatutnya kita bergembira, berbahagia? Aiiih, Giok Cu, jangan katakan bahwa engkau berduka karena dijodohkan dengan aku..."
Tiba-tiba Giok Cu membuka matanya. Nampak kemerahan mata itu dan menggeleng kepala, mempererat rangkulannya. "Tidak, Han Beng, tidak! Jangan salah sangka... ah, aku... aku berhagia sekali menjadi jodohmu... akan tetapi aku... aku...”
"Engkau kenapa, sayang? Kenapa?"
Giok Cu menggeleng kepala dalam rangkulan pemuda itu. "Aku tidak bisa menjadi isterimu, Han Beng. Tidak mungkin... uhu-hu-hu...!"
"Ehhh?" Han Beng terkejut seper disengat lebah. "Kenapa, Giok Cu? Kenapa engkau berkata demikian?"
Giok Cu menggulung lengan baju kirinya dan melirik ke arah tanda bintik merah kecil di bawah siku kiri, lalu menangis lagi, membenamkan mukanya di dada kekasihnya. Han Beng menjadi seakin bingung. Berbagai macam dugaan timbul di dalam benaknya. Jelas bahwa kekasihnya sedih, bukan karena berjodoh dengan dia, melainkan oleh suatu sebab lain mengenai diri kekasihnya itu. Di mengerutkan alisnya. Apakah Giok hendak mengatakan bahwa ia bukan perawan lagi?
Hal itu bukan tidak mungkin, mengingat bahwa gadis itu pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li! Andaikata demikian, dia... dia tidak akan peduli! Han Beng mengatupkan giginya kuat-kuat. Dia mencinta Giok Cu, bukan mencinta keperawanannya! Atau ada hal lain? Bagaimanapun juga, Giok Cu harus bicara sejujurnya. Kalau tidak, dia akan selalu merasa tersiksa oleh segala macam dugaan yang sewaktu-waktu tentu akan timbul.
Dia lalu memegang kedua pundak Giok Cu, didorongnya lembut sehingga mereka saling berpandangan, kemudian dengan suara tenang namun tegas dia berkata, "Giok Cu, pandang padaku dan dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita adalah orang-orang yang menghargai kegagahan, bukan? Kita adalah orang-orang yang siap menghadapi kesukaran apapun juga, bukan orang-orang lemah yang cengeng, bukan? Aku pun tahu bahwa engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, bukan seorang gadis yang cengeng. Nah, usirlah semua perasaan sedih itu, kekasihku, sayangku, dan ceritakan kepadaku apa yang lelah terjadi maka engkau menjadi begini berduka setelah dijodohkan dengan aku."
Dengan lembut pula Giok Cu melepaskan kedua tangan, kekasihnya yang memegang kedua pundaknya, mengguraikan kedua ujung baju menyusut air matanya dan menghentikan tangisnya. Kemudian, dengan kedua mata merah, ia memandang Han Beng, mencoba untuk mengumpulkan kekuatan hatinya dan membuka mulut untuk memberi penjelasan.
"Han Beng... aku... aku... aku tidak pantas menjadi isterimu..." Ia berhenti lagi dan memejamkan mata karena tidak kuat melanjutkan.
"Lanjutkan, Giok Cu. Jelaskan mengapa? Mengapa engkau menganggap dirimu tidak pantas menjadi isteriku? Mengapa?"
Giok Cu menoleh ke kanan kiri. Para perajurit masih melakukan pembersihan dan menggeledah di semua tempat. "Han Beng, mari kita pergi dari sini bicara di tempat yang sepi."
Han Beng mengerti, menggandeng tangan kekasihnya yang terasa dingin lalu mereka keluar meninggalkan tempat itu. Langit di ufuk timur mulai kemerahan, tanda bahwa pagi akan segera muncul menggantikan malam. Mereka terus berjalan sampai mereka tiba di lereng bukit yang sepi. Han Beng mengajak kekasihnya menghampiri sebatang pohon besar di sana burung-burung sudah mulai sibuk menyambut datangnya fajar.
"Nah, disini sepi, Giok Cu. Keluarkanlah isi hatimu dan ceritakan segalanya kepadaku. Ingat, aku adalah orang yang kau cinta dan mencintamu, aku adalah calon suamimu, juga satu-satunya orang yang dapat kaupercaya. Nah, ceritakan semuanya!"
Mereka berdiri berhadapan, dekat. Giok Cu menatap wajah kekasihnya dalam keremangan subuh. "Han Beng, aku... aku..."
kembali gadis itu tidak sanggup melanjutkan. Ia tidak tega melihat bagaimana nanti pemuda itu menyambut keterangannya, la tidak tega melihat pembahan yang akan terjadi pada wajah yang dicintanya itu. Betapa wajah itu akan diselimuti kedukaan dan kekecewaan yang amat mendalam. Kalau ia memberi penjelasan, sama saja denga menusuk jantung kekasihnya dengan batang pedang berkarat! la tidak tega!
"Han Beng, aku... aku tidak mampu menerangkan..."
Kembali kedua tangan Han Beng menangkap kedua pangkal lengan kekasihnya dan mengguncangnya sedikit. "Giok Cu engkau harus mampu! Harus! Tidak boleh engkau membiarkan ada rahasia di antara kita!"
Dia benar, pikir Giok Cu. Dia benar, akan tetapi... "Han Beng, peluklah aku, sembunyikan mukaku agar aku dapat menceritakannya kepadamu..."
Dan iapun menjadi lemas dan tentu terhuyung kalau saja Han Beng tidak cepat memeluknya. Han Beng memondong tubuh yang lemas itu dan mengajaknya duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Dia setelah memangku gadis itu yang merebahkan kepalanya di dada yang bidang, menyembunyikan mukanya di dada itu. Kini dia tidak akan melihat perubahan pada wajah kekasihnya dan iapun mulai tenang, lalu dengan lirih, namun jelas, ia bercerita.
"Han Beng, sebelumnya kau maafkan aku. Maukah kau?"
Han Beng mencium rambut itu. "Tentu saja, bahkan tidak perlu ada maaf dariku karena apapun yang telah kau lakukan, kuanggap semua itu sudah berlalu dan tidak ada lagi. Nah, ceritakan."
"Dahulu, ketika kita saling berpisah, aku berusia sepuluh tahun!"
"Ya, ya, dan aku berusia dua belas tahun."
"Aku ditolong oleh Ban-tok Mo-li yang kemudian menjadi guruku."
"Dan aku menjadi murid Sin-tiauw Lim Bhok Ki yang dilanjutkan pula oleh Sin-ciang Kai-ong."
"Ketika aku dibawa pulang oleh Ban-tok Mo-li dan diambil murid, ia telah menggunakan jarum menusuk lenganku yang kiri ini. Lihat, Han Beng, kau lihat bintik merah kecil ini?"
Giok Cu menggulung lengan bajunya yang kiri dan mendekatkan lengannya. Lengan yang kecil penuh dan berkulit putih halus. Han Beng tak tahan untuk tidak menyentuh kulit dengan yang halus lembut itu dengan hidungnya.
"Lenganmu indah sekali, Giok Cu."
Giok Cu merasa betapa seluruh bulu di badannya meremang ketika lengannya dicium Han Beng, lalu menarik lengan itu. "Ihhh, Han Beng, dengarkan ceritaku dan pandanglah bintik merah bawah siku ini. Engkau melihatnya?"
"Aku melihatnya. Bintik merah itu menambah indah lenganmu."
"Hentikan rayuanmu itu dan dengar baik-baik. Bintik itu adalah akibat tusukan jarum dari Ban-tok Mo-li, jarum beracun yang jahat sekali!"
"Ehhhhh...!!" Kini seluruh kemesraan terbang dari kepala Han Beng dan dia memandang terbelalak, khawatir sekali. "Jarum beracun? Akan tetapi... hal itu tentu sudah terjadi belasan tahun yang lalu dan sampai sekarang engkau masih sehat kuat...”
"Racun itu baru akan bekerja kalau bintik itu lenyap, Han Beng."
"Ehhh? Dan sudah belasan tahun tidak lenyap, takut apa? Biarkan bintik itu tidak lenyap, tidak mengurangi keindahan lenganmu."
"Tapi, begitu bintik itu lenyap, dalam waktu sebulan nyawaku akan melayang dan tidak ada obat di dunia ini yang akan mampu menyelamatkan aku..."
"Tapi... tapi... bintik itu masih ada dan..."
"Ya, bintik merah itu akan lenyap kalau aku... aku tidak perawan lagi...”
"Ahhhhh...??!" Han Beng memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak. Baru kini dia mengerti mengapa tadi kekasihnya menangis! Kalau Giok Cu menikah dengan dia, kalau gadis itu menjadi isterinya, dalam waktu sebulan ia akan mati keracunan!
"Itulah sebabnya mengapa aku... aku tidak dapat menjadi isterimu, Han Beng..."
Tiba-tiba Han Beng meloncat berdiri dan menarik tangan gadis itu. Giok Cu juga meloncat berdiri dan memandang bingung. "Mari kita pergi sekarang juga”
"Ehhh? Ke mana?"
"Ke mana lagi? Menyusul Ban-tok Mo-li. la menjadi tawanan. Aku akan menemuinya dan memaksanya mengobatimu, memberi obat pemunah racun itu. Kalau ia menolak, akan kucabuti semua rambut di kepalanya, kucabuti semua kuku dari jari-jarinya, kucabuti semua otot-otot dari tubuhnya!"
Suara Han Beng mengandung desis dan Giok Cu yang ditarik ikut pula berlari, agak bergidik karena di dalam suara kekasihnya itu mengandung ancaman yang mengerikan bagi Ban-tok Mo-li. Agaknya kemarahan telah membuat Han Beng berubah menjadi kejam dan sadis, walaupun itu baru dalam kata-kata saja.
Mereka tidak bicara lagi, berlari cepat dan Giok Cu menyerahkan segalanya kepada kekasihnya. Hatinya terasa lega karena bagaimanapun juga, rahasia itu tidak ditanggungnya sendiri, kini telah dibuka kepada Han Beng. Bahkan calon suaminya itu yang kini mengambil alih darinya untuk mencarikan jalan keluarnya.
Hari telah siang ketika mereka tiba di benteng, disambut oleh Yap Ciangkun yang kelihatan lelah karena penyerbuan semalam. Akan tetapi ternyata kemuraman wajah Yap Ciangkun bukan hanya karena lelah, dan hal itu baru diketahui Han Beng dan Giok Cu ketika Han Beng bertanya tentang Ban-tok Mo-Ii.
"Kami harap agar Ciangkun mengijinkan kami bicara sebentar dengan Ban-tok Mo-li yang menjadi tawanan. Ada urusan pribadi yang amat penting hendak kami bicarakan dengan Ban-tok Mo-Ii..." kata Han Beng.
Mendengar ini, Yap Ciangkun menggebrak meja. "Inilah! Justeru baru saja kami memarahi para petugas, akan tetapi semua kesalahan terletak pada pundak empat orang penjaga yang sudah mati. Sungguh celaka! Sialan mereka itu!"
"Apa yang telah terjadi, Ciangkun?” tanya Giok Cu, bingung melihat ulah perwira tinggi itu.
"Semalam, Ban-tok Mo-li menjadi tawanan dan ditahan di dalam sel, dijaga oleh empat orang pengawal yang dapat dipercaya. Akan tetapi, pagi-pagi sekali tadi, sel itu terbuka, empat orang penjaga mati tanpa luka dan Ban-tok Mo-li telah lenyap dari dalam selnya."
"Ahhhhh...!!" Wajah Han Beng menjadi berubah agak pucat saking kaget dan kecewanya. "Bagaimana hal itu dapat terjadi?"
Yap Ciangkun mengepal tinju dan kelihatan marah dan penasaran sekali. "Tidak ada yang tahu bagaimana hal itu terjadi. Akan tetapi ada seorang perajurit yang malam hari itu, sebelum dia meninggalkan tugas jaga untuk bertugas di tempat lain, melihat betapa Ban-tok Mo-li bersikap manis dan akrab sekali dengan empat orang penjaga itu, nampak mesra. Tidak ada yang tahu. Tahu-tahu mereka berempat terdapat tewas di tempat penjagaan dan Ban-tok Mo-li sudah tidak berada di dalam tahanan. Pintu kamar tahananpun tidak rusak kuncinya, bukan dibuka dengan paksa."
Han Beng mengerutkan alisnya. "Apakah tidak ada kemungkinan tawanan itu dibantu orang dari luar yang meloloskarinya?"
"Segala kemungkinan memang ada, akan tetapi penjagaan amat ketat sehingga sukarlah bagi orang luar untuk dapat masuk tanpa diketahui. Setidaknya, empat orang yang bertugas jaga itu tentu mengadakan perlawanan mati-matian dan memberi tanda bahaya. Akan tetapi sama sekali tidak ada perlawanan, sama sekali tidak terdengar teriakan atau tanda bahaya lain."
"Maaf, Ciangkun. Bagaimana matinya empat orang itu? Adakah luka-luka atau tanda lain?"
Yap Ciangkun mengerutkan alis dan menggeleng-geleng kepala. "Memang aneh sekali. Tidak ada luka. Hanya dua diantara mereka mati dengan mulut biru menghitam..."
"Hemmm, ciuman maut...!" kata Giok Cu, tenang akan tetapi ia pun mengerutkan alisnya karena ia sudah dapat menduga bagaimana caranya iblis betina bekas gurunya itu berhasil meloloskan diri.
"Dua orang yang lain tewas dengar biru menghitam di leher dan pangkal paha mereka, seperti bekas terkena gigitan..."
"Hemmm, itu bekas kuku beracun!"
"Ehhh? Apa yang kau maksudkan dengan ciuman beracun dan kuku beracun, Li-hiap?" tanya perwira itu, heran.
"Ban-tok Mo-li adalah seorang iblis betina. Nama julukannya saja sudah menyebutkan keadaan dirinya. Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun) memiliki banyak ilmu beracun, di antaranya adalah ciuman beracun dan kuku beracun. sekali cium dan sekali gores dengan kuku sudah cukup untuk membunuh orang. Agaknya iblis betina itu mempergunakan kecantikannya untuk merayu sehingga ia berhasil keluar atau dikeluarkan dari kamar tahanan oleh empat orang penjaga itu.Ia pura-pura suka diajak bermesraan, lalu membunuh mereka dengan mudah selagi bermesraan."
Kalau bukan Giok Cu, gadis lain tentu akan bermerah muka dan segan memberi keterangan seperti itu. Akan tetapi Giok Cu adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh keadaan yang keras dan beraneka macam kehidupan.
"Hemmm, sungguh keji seperti iblis!" kata Yap Ciangkun.
"Mari kita mengejarnya!" Han Beng yang teringat akan keadaan kekasihnya, sudah menggandeng tangan gadis itu.
Dan keduanya meloncat pergi dengan amat cepatnya, membuat Yap Ciangkun merasa kagum bukan main. Dia lalu teringat akan tawanan yang lain. Mereka adalah orang-orang yang lihai, maka dia tidak ingin kehilangan tawanan lagi. Diperintahkan orang-orangnya untuk membelenggu kaki tangan para tawanan itu dan mengawal mereka dengan ketat sampai mereka itu dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Selama tiga hari tiga malam Han Beng hampir tidak pernah mau berhenti, mengajak Giok Cu untuk menjari jejak Ban-tok Mo-li. Namun, semua usahanya sia-sia belaka. Mereka tidak mampu menemukan jejak iblis betina itu. Ban-tok Mo-li lenyap tak meninggalkan jejak, seperti ditelan bumi!
Pada hari ke empat, pagi-pagi setelah semalam suntuk mereka mencari di perbukitan di tepi jurang atau tebing sungai Kuning, Giok Cu telah menjadi putus asa. Ia memandang Han Beng yang duduk bersila di tepi jurang dengan hati yang pilu. Ia merasa kasihan sekali kepada pemuda itu. Ia tahu betapa besarnya cinta Han Beng kepadanya sehingga pemuda itu seperti tidak mengenal lelah untuk dapat menemukan Ban-tok Mo-li, untuk dapat membebaskannya dari cengkeraman maut yang ditandai bintik merah di bawah siku lengan kirinya.
Kalau dia membiarkan dirinya menjadi isteri Han Beng, kemudian tewas dalam waktu sebulan, tentu Han Beng akan tenggelam dalam kedukaan yang hebat. Dan sekarang, merekapun gagal untuk menemukan Ban-tok Mo-li. Andaikata mereka dapat menemukannya sekalipun, belum tentu iblis betina itu mau memberikan obat penawarnya, itupun kalau ada obat seperti itu.
Ah, ia hanya menjadi beban, hanya menyusahkan Han Beng saja dengan ikatan perjodohan itu. Tidak, itu tidak boleh menyusahkan Han Beng. Ia terlalu sayang kepada pemuda itu. Biarlah dia memperoleh jodoh gadis lain yang sehat, yang akan membahagiakannya, bukan ia yang menderita penyakit maut, yang hanya akan menyusahkannya.
Giok Cu mengerling ke arah Han Beng. Pemuda itu masih duduk bersila dan agaknya tenggelam dalam siu-lian Rambutnya kusut, pakaiannya kusut, wajahnya menunjukkan kelelahan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Han Beng membuka matanya, terkejut mendengar suara angin itu. Dan dia menjadi lebih kaget ketika tidak melihat lagi Giok Cu berada di situ.
"Giok Cu..!!" Dia berteriak memanggil sambil meloncat berdiri. Tiada jawaban. "Giok Cu, di mana engkau?" Han Beng kini mencari ke sekeliling tempat itu sambil memanggil-manggil. Ketika menjenguk ke bawah tebing, dia bergidik membayangkan Giok Cu terjatuh ke sana. Akan tetapi dia tidak melihat apa-apa di bawah sana. Lalu dia berlari menuruni bukit karang itu.
"Giok Cu...!!!" Dia berteriak semakin keras. Suaranya melengking terbawa angin dan menimbulkan gema jauh dibawah sana. Wajah Han Beng menjadi pucat, hatinya gelisah sekali ketika sampai di bawah bukit, dia belum juga melihat bayangan Giok Cu.
"Giok Cu...! Kembalilah...! Aku tak sanggup hidup sendirian tanpa engkau...!" teriaknya berulang kali.
Dia berlari mendaki bukit di depan dan akhirnya dia melihat gadis itu dipuncak bukit batu karang itu, di tepi tebing yang lebih curam daripada yang tadi. Gadis itu menangis tersedu-sedan, berlutut hampir menelungkup. Agaknya teriakannya yang terakhir itu, yang diulang-ulang, terdengar oleh gadis itu dan teriakan itu yang menahannya, membuat kedua kakinya lemas dan iapun menjatuhkan diri berlutut di situ dan menangis tersedu-sedu.
"Giok Cu...!" Han Beng lari menghampiri, menubruk dan merangkul gadis itu yang menangis semakin menjadi-jadi Han Beng mendekap kepala itu ke dadanya, seolah takut kalau sampai kehilangan dan terlepaslagi. "Aih, Giok Cu kenapa engkau meninggalkan aku.. Kenapa...?"
Giok Cu terisak-isak. Ketika ia mengangkat muka memandang melalui genangan air matanya, ia melihat pemuda itu menangis! Hal ini membuat ia menjadi semakin terharu dan sedih. "Han Beng...!" Ia menjerit dan merangkul pemuda itu.
Mereka bertangisan dan berpelukan di tepi jurang yang curam itu. "Han Beng, lepaskan aku... biarkan aku pergi. Aku hanya menyusahkan saja, Han Beng. Aku tidak dapat menjadi isterimu..."
"Giok Cu, jangan putus harapan. Aku akan mencarikan obat untukmu, sampai dapat. Percayalah, aku akan dapat menolongmu, jangan engkau khawatir akan keselamatan dirimu, Giok Cu..."
Gadis itu menyusut air matanya. ”Han Beng, engkau salah sangka. Aku tidak takut mati. Aku rela mati setelah menjadi isterimu selama satu bulan. Aku rela dan aku tidak takut. Hanya aku... aku tidak tega membayangkan engkau menangisi kematianku, Han Beng. Tidak, lebih baik kita tidak menikah, engkau carilah gadis lain yang sehat..."
"Giok Cu! Kenapa engkau berkata demikian? Ucapanmu menusuk perasaanku. Hidup ini tidak ada artinya bagiku tanpa engkau di sisiku, Giok Cu."
"Tapi... tapi... kalau kita menikah... hanya sebulan kita berkumpul, lalu aku harus meninggalkan engkau untuk selamanya..."
"Tidak! Kita tetap berdampingan sampai kematian memisahkan kita, Giok Cu. Dan percayalah, sebelum engkau mendapatkan obat pemunah racun terkutuk itu, aku tidak akan menggaulimu. Bagiku, melihat engkau di dekatku dalam keadaan sehat saja sudah merupakan suatu kebahagiaan besar. Giok Cu, berjanjilah, engkau tidak akan meninggalkan aku lagi..!"
Mendengar ini, Giok Cu merangkul dan mencium pipi pemuda itu dengan penuh keharuan, lalu berbisik di dekat telinganya. "Aku berjanji, Koko (Kanda). Aku berjanji selamanya tidak akan meninggalkanmu lagi dan akan mentaati semua perintahmu..."
Han Beng bernapas lega, lega puas dan bahagia. Dia merangkul semakin erat. "Moi-moi (Adinda)... terima kasih..... terima kasih..."
Sampai lama mereka duduk berdekapan di tepi tebing itu. Ketika matahari muncul di bawah sana, muncul dari balik bukit jauh di seberang sungai, Han Beng menuding. "Lihat, Cu-moi, betapa indahnya fajar menyingsing. Lihat, masa depan yang cerah menanti kita, seperti munculnya Sang Surya. Kita tidak boleh putus asa. Kita harus berikhtiar dan kalau kita berusaha dengan kesungguhan hati, Thian pasti akan memberi jalan kepada kita."
Giok Cu mengangkat mukanya dari dada kekasihnya dan menengok. Ia mengeluarkan seruan kagum dan mereka duduk bersanding, menyambut munculnya sang matahari sambil duduk bersila dan mengatur pernapasan. Latihan seperti ini tidak asing bagi mereka karena dalam sinar matahari yang baru muncul terkandung kekuatan dahyat yang mereka coba tampung melalui pernapasan dan meditasi. Setelah matahari mulai menyengat kulit, barulah mereka menghentikan latihan itu.
"Ah, sekarang aku ingat. Ada jalan untuk mencari jejak Ban-tok Mo-li!" kata Han Beng.
"Bagaimana, Beng-koko? Apakah jalan itu?"
"Aku teringat akan Kakak angkatku, yaitu Coa Siang Lee dan isterinya, Sim Lan Ci."
Giok Cu memandang dengan wajah berseri, la pun baru teringat sekarang. "Ah, Suci Sim Lan Ci adalah puteri Ban-tok Mo-li! Benar, Koko, mungkin ia tahu ke mana Ban-tok Mo-li melarikan atau menyembunyikan diri..."
"Mari kita ke sana, Cu-moi." Han Beng bangkit berdiri sambi menggandeng tangan kekasihnya dan mereka pun menuruni bukit karang itu. Baru sekarang mereka merasa betapa tubuh mereka lelah bukan main, juga perut mereka lapar. Selama tiga hari ini mereka lupa makan lupa tidur ketika mencari-cari Ban-tok Mo-li.
"Kita cari dusun atau kota dulu, Koko. Perutku lapar sekali..."
Han Beng tersenyum dan mencium dahi kekasihnya. "Kasihan engkau, Giok Cu. Kita sampai lupa makan. Aku lapar. Mari, kita cari dusun dibawah sana, baru melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal Kakak angkatku Coa Sian Lee!"
Mereka menemukan dusun dan berhasil membeli makanan dan minuman sederhana. Setelah makan minum, baru mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang ringan dan awan kedukaan sudah lenyap dari wajah mereka...
"Han Beng," kata Pek I Tojm kepada muridnya. "Kami berdua, pinto dan Bin Hwesio, telah mengambil suatu kesepakatan mengenai engkau dan Nona Giok Cu ini, sebelum kami berdua pergi kami ingin mendengar dulu pendapat kalian. Bukankah begitu, Hek Bin Hwesio?"
"Ha-ha-ha, omitohud... kenapa engkau begitu sungkan, Pek I Tojin? Katakan saja apa yang menjadi isi hatimu, engkau sudah tahu bahwa pin-ceng menyetujui sepenuhnya, ha-ha-ha?"
"Suhu, apa sih yang Suhu bicarakan dengan Lo-cian-pwe?" tanya Giok Cu memandang kepada gurunya.
"Biar Pek I Tojin saja yang membicarakan karena dialah yang memiliki prasaran itu, prasaran yang baik sekali dan yang telah kusetujui sepenuhnya. Katakanlah, Pek I Tojin!"
Han Beng dan Giok Cu, juga Hek Bin Hwesio, kini menatap wajah tosu itu. Pek I Tojin adalah seorang kakek yang biasanya pendiam dan serius, tidak seperti Hek Bin Hwesio yang suka berkelakar dan tertawa. Akan tetapi sekali ini, Pek I Tojin nampak agak kemerahan menjawabnya, tanda bahwa apa yang akan dibicarakan mendatangkan ketegangan juga di hatinya.
Setelah berdehem dua kali, dia memandang kepada Han Beng dan Giok Cu lalu berkata, "Begini Han Beng dan Nona Bu Giok Cu, mengingat bahwa kalian berdua adalah anak-anak yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini. Oleh karena itulah, kami dua orang tua memberanikan diri mewakili kalian masing-masing sebagai guru dan juga pengganti orang tua, dan... eehhh...!" Agaknya sukar bagi tosu itu untuk melanjutkan kata-katanya yang mendadak macet. Dia menoleh kepada Hek Bin Hwesio, "Hek Bin Hwesio, kau bantulah aku!"
"Ha-ha-ha! Omitohud... engkau terlalu sungkan, Sahabat. Begini, Han Beng dan Giok Cu. Pek I Tojin mewakili Si Han Beng meminang Bu Giok Cu. Dan pinceng sebagai wakilmu, Giok Cu, pinceng merasa setuju sekali!"
Han Beng tidak merasa kaget dan dia menoleh ke arah Giok Cu yang juga mengerling kepadanya. Dua orang muda ini ingat betapa tadi, dalam keadaan terancam, nyawa mereka, mereka telah saling menyatakan perasaan hati masing-masing, saling menyatakan cinta! Dan kini guru-guru mereka menjodohkan mereka. Tentu saja mereka tidak merasa kaget, bahkan merasa berbahagia sekali.
"Bagaimana, Han Beng? Setujukah engkau kalau kujodohkan dengan Nona Bu Giok Cu?" tanya Pek I Tojin kepada muridnya.
Han Beng memandang wajah gurunya dan dengan wajah yang cerah dan berbahagia dia mengangguk, "Teecu setuju. Suhu."
"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan engkau, muridku? Setujukah engkau kalau pinangan Han Beng terhadap dirimu itu kuterima? Maukah engkau menjadi calon isteri Si Han Beng?"
Pada saat itu, Giok Cu merasa hatinya seperti diremas-remas, la teringat akan keadaan dirinya, teringat akan tahi lalat merah kecil di lengan kirinya, di bawah siku. Tahi lalat merah itu adalah penanaman racun yang dilakukan Ban tok Mo-li kepadanya dahulu. Kalau ia menyerahkan diri kepada seorang pria, begitu ia kehilangan keperawanannya, tanda tahi lalat merah itu pun akan lenyap, akan tetapi akibatnya, dalam waktu sebulan ia akan tewas karena racun yang amat hebat dan tidak ada obatnya akan bekerja membunuhnya!
Akan tetapi, didepan dua orang kakek itu bagaimana ia dapat membuka mulut menceritakan hal yang memalukan itu kepada Han Beng. Maka, khawatir di desak suhunya yang suka berkelakar, ia pun mengangguk tanda setuju tanpa da pat mengeluarkan suara karena ia haru menekan guncangan hatinya.
"Ha-ha, kenapa mendadak engkau menjadi seorang gadis pemalu, Giok Cu. Mana jawabanmu? Jawablah agar lega hati orang yang meminangmu!" kata Hek Bin Hwesio.
Dengan muka tunduk karena tidak ingin nampak mukanya yang berduka terpaksa Giok Cu menjawab lirih, "Teecu setuju!"
"Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! To-yu pinceng mengucapkan selamat kepadamu!"
"Sama-sama, pinto juga mengucapkan selamat kepadamu!" Dua orang kakek tu tersenyum dan saling memberi hormat.
"Nah, tentang upacara pernikahannya, kami serahkan kepada kalian berdua. Kami berdua akan berkelana dan menikmati keindahan Gunung Thai-san. Kelak kalau sudah ada ketentuan waktunya kalian boleh mencari kami ke Thai-san untuk memberitahu." kata Pek I Tojin lan bersama Hek Bin Hwesio, dia lalu pergi meninggalkan dua orang muda itu yang segera berlutut untuk mengantar kepergian guru mereka.
Setelah dua orang kakek itu lenyap, Han Beng bangkit berdiri, juga Giok Cu. Mereka berdiri berhadapan, saling pan¬dang dan Han Beng melangkah maju. "Giok Cu...!"
Han Beng yang merasa berbahagia sekali, bukan saja karena ikatan perjodohan antara mereka, akan tetapi juga teringat akan ucapan gadis tadi yang menyatakan cinta kepadanya, segera merangkul.
"Han Beng...!" Giok Cu membenamkan mukanya didada pemuda yang di cintainya.
"Giok Cu, kita saling mencinta, dan guru-guru kita menjodohkan kita. Betapa bahagianya rasa hatiku, Giok Cu... bisik Han Beng di dekat telinga gadis itu.
Dan tiba-tiba Giok Cu menangis tanpa mengangkat mukanya dari dada Han Beng. Air mata menembus baju dan membasahi dada pemuda itu. Han Beng terkejut, akan tetapi lalu tersenyum dan tangannya membelai rambut kepala kekasihnya. Tentu kekasihnya itu menangis karena bahagia, menangis karena terharu, barangkali teringat bahwa ia tidak mempunyai orang tua lagi. Dia menunduk dan mencium rambut itu, mencium dahi itu, lalu berbisik!
"Giok Cu, jangan berduka sayang. Memang kita berdua sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, akan tetapi kita kini saling memiliki bukan? Biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu dan engkau menjadi pengganti Ibuku! Dan kelak, kita pergi ke perkampungan keluarga kita, kita mencari keluarga orang tua kita yang masih ada. Bukankah berarti kita akan memiliki keluarga lagi?"
Akan tetapi, ucapan hiburan itu bahkan membuat Giok Cu semakin tersedu-sedu. Han Beng membiarkannya sebentar, lalu perlahan-lahan dia mengangkat dagu, disitu, menatap wajah yang nampak legitu sedih. Mata itu terpejam, akan tetapi setiap kali dibuka sedikit, air matanya mengalir keluar. Dengan hati penuh rasa haru dan sayang, akan tetapi juga khawatir, Han Beng mengecup pipi yang basah air mata itu sehingga terasa asin olehnya. Akan menyegarkan hati rasa itu andaikan hatinya tidak begitu hawatir, andaikan tangis itu tangis bahagia, bukan tangis yang demikian sedihnya.
"Giok Cu... Moi-moi sayang, hentikanlah tangismu dan katakan kepadaku, kenapa engkau begini sedih? Bukankah sepatutnya kita bergembira, berbahagia? Aiiih, Giok Cu, jangan katakan bahwa engkau berduka karena dijodohkan dengan aku..."
Tiba-tiba Giok Cu membuka matanya. Nampak kemerahan mata itu dan menggeleng kepala, mempererat rangkulannya. "Tidak, Han Beng, tidak! Jangan salah sangka... ah, aku... aku berhagia sekali menjadi jodohmu... akan tetapi aku... aku...”
"Engkau kenapa, sayang? Kenapa?"
Giok Cu menggeleng kepala dalam rangkulan pemuda itu. "Aku tidak bisa menjadi isterimu, Han Beng. Tidak mungkin... uhu-hu-hu...!"
"Ehhh?" Han Beng terkejut seper disengat lebah. "Kenapa, Giok Cu? Kenapa engkau berkata demikian?"
Giok Cu menggulung lengan baju kirinya dan melirik ke arah tanda bintik merah kecil di bawah siku kiri, lalu menangis lagi, membenamkan mukanya di dada kekasihnya. Han Beng menjadi seakin bingung. Berbagai macam dugaan timbul di dalam benaknya. Jelas bahwa kekasihnya sedih, bukan karena berjodoh dengan dia, melainkan oleh suatu sebab lain mengenai diri kekasihnya itu. Di mengerutkan alisnya. Apakah Giok hendak mengatakan bahwa ia bukan perawan lagi?
Hal itu bukan tidak mungkin, mengingat bahwa gadis itu pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li! Andaikata demikian, dia... dia tidak akan peduli! Han Beng mengatupkan giginya kuat-kuat. Dia mencinta Giok Cu, bukan mencinta keperawanannya! Atau ada hal lain? Bagaimanapun juga, Giok Cu harus bicara sejujurnya. Kalau tidak, dia akan selalu merasa tersiksa oleh segala macam dugaan yang sewaktu-waktu tentu akan timbul.
Dia lalu memegang kedua pundak Giok Cu, didorongnya lembut sehingga mereka saling berpandangan, kemudian dengan suara tenang namun tegas dia berkata, "Giok Cu, pandang padaku dan dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita adalah orang-orang yang menghargai kegagahan, bukan? Kita adalah orang-orang yang siap menghadapi kesukaran apapun juga, bukan orang-orang lemah yang cengeng, bukan? Aku pun tahu bahwa engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, bukan seorang gadis yang cengeng. Nah, usirlah semua perasaan sedih itu, kekasihku, sayangku, dan ceritakan kepadaku apa yang lelah terjadi maka engkau menjadi begini berduka setelah dijodohkan dengan aku."
Dengan lembut pula Giok Cu melepaskan kedua tangan, kekasihnya yang memegang kedua pundaknya, mengguraikan kedua ujung baju menyusut air matanya dan menghentikan tangisnya. Kemudian, dengan kedua mata merah, ia memandang Han Beng, mencoba untuk mengumpulkan kekuatan hatinya dan membuka mulut untuk memberi penjelasan.
"Han Beng... aku... aku... aku tidak pantas menjadi isterimu..." Ia berhenti lagi dan memejamkan mata karena tidak kuat melanjutkan.
"Lanjutkan, Giok Cu. Jelaskan mengapa? Mengapa engkau menganggap dirimu tidak pantas menjadi isteriku? Mengapa?"
Giok Cu menoleh ke kanan kiri. Para perajurit masih melakukan pembersihan dan menggeledah di semua tempat. "Han Beng, mari kita pergi dari sini bicara di tempat yang sepi."
Han Beng mengerti, menggandeng tangan kekasihnya yang terasa dingin lalu mereka keluar meninggalkan tempat itu. Langit di ufuk timur mulai kemerahan, tanda bahwa pagi akan segera muncul menggantikan malam. Mereka terus berjalan sampai mereka tiba di lereng bukit yang sepi. Han Beng mengajak kekasihnya menghampiri sebatang pohon besar di sana burung-burung sudah mulai sibuk menyambut datangnya fajar.
"Nah, disini sepi, Giok Cu. Keluarkanlah isi hatimu dan ceritakan segalanya kepadaku. Ingat, aku adalah orang yang kau cinta dan mencintamu, aku adalah calon suamimu, juga satu-satunya orang yang dapat kaupercaya. Nah, ceritakan semuanya!"
Mereka berdiri berhadapan, dekat. Giok Cu menatap wajah kekasihnya dalam keremangan subuh. "Han Beng, aku... aku..."
kembali gadis itu tidak sanggup melanjutkan. Ia tidak tega melihat bagaimana nanti pemuda itu menyambut keterangannya, la tidak tega melihat pembahan yang akan terjadi pada wajah yang dicintanya itu. Betapa wajah itu akan diselimuti kedukaan dan kekecewaan yang amat mendalam. Kalau ia memberi penjelasan, sama saja denga menusuk jantung kekasihnya dengan batang pedang berkarat! la tidak tega!
"Han Beng, aku... aku tidak mampu menerangkan..."
Kembali kedua tangan Han Beng menangkap kedua pangkal lengan kekasihnya dan mengguncangnya sedikit. "Giok Cu engkau harus mampu! Harus! Tidak boleh engkau membiarkan ada rahasia di antara kita!"
Dia benar, pikir Giok Cu. Dia benar, akan tetapi... "Han Beng, peluklah aku, sembunyikan mukaku agar aku dapat menceritakannya kepadamu..."
Dan iapun menjadi lemas dan tentu terhuyung kalau saja Han Beng tidak cepat memeluknya. Han Beng memondong tubuh yang lemas itu dan mengajaknya duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Dia setelah memangku gadis itu yang merebahkan kepalanya di dada yang bidang, menyembunyikan mukanya di dada itu. Kini dia tidak akan melihat perubahan pada wajah kekasihnya dan iapun mulai tenang, lalu dengan lirih, namun jelas, ia bercerita.
"Han Beng, sebelumnya kau maafkan aku. Maukah kau?"
Han Beng mencium rambut itu. "Tentu saja, bahkan tidak perlu ada maaf dariku karena apapun yang telah kau lakukan, kuanggap semua itu sudah berlalu dan tidak ada lagi. Nah, ceritakan."
"Dahulu, ketika kita saling berpisah, aku berusia sepuluh tahun!"
"Ya, ya, dan aku berusia dua belas tahun."
"Aku ditolong oleh Ban-tok Mo-li yang kemudian menjadi guruku."
"Dan aku menjadi murid Sin-tiauw Lim Bhok Ki yang dilanjutkan pula oleh Sin-ciang Kai-ong."
"Ketika aku dibawa pulang oleh Ban-tok Mo-li dan diambil murid, ia telah menggunakan jarum menusuk lenganku yang kiri ini. Lihat, Han Beng, kau lihat bintik merah kecil ini?"
Giok Cu menggulung lengan bajunya yang kiri dan mendekatkan lengannya. Lengan yang kecil penuh dan berkulit putih halus. Han Beng tak tahan untuk tidak menyentuh kulit dengan yang halus lembut itu dengan hidungnya.
"Lenganmu indah sekali, Giok Cu."
Giok Cu merasa betapa seluruh bulu di badannya meremang ketika lengannya dicium Han Beng, lalu menarik lengan itu. "Ihhh, Han Beng, dengarkan ceritaku dan pandanglah bintik merah bawah siku ini. Engkau melihatnya?"
"Aku melihatnya. Bintik merah itu menambah indah lenganmu."
"Hentikan rayuanmu itu dan dengar baik-baik. Bintik itu adalah akibat tusukan jarum dari Ban-tok Mo-li, jarum beracun yang jahat sekali!"
"Ehhhhh...!!" Kini seluruh kemesraan terbang dari kepala Han Beng dan dia memandang terbelalak, khawatir sekali. "Jarum beracun? Akan tetapi... hal itu tentu sudah terjadi belasan tahun yang lalu dan sampai sekarang engkau masih sehat kuat...”
"Racun itu baru akan bekerja kalau bintik itu lenyap, Han Beng."
"Ehhh? Dan sudah belasan tahun tidak lenyap, takut apa? Biarkan bintik itu tidak lenyap, tidak mengurangi keindahan lenganmu."
"Tapi, begitu bintik itu lenyap, dalam waktu sebulan nyawaku akan melayang dan tidak ada obat di dunia ini yang akan mampu menyelamatkan aku..."
"Tapi... tapi... bintik itu masih ada dan..."
"Ya, bintik merah itu akan lenyap kalau aku... aku tidak perawan lagi...”
"Ahhhhh...??!" Han Beng memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak. Baru kini dia mengerti mengapa tadi kekasihnya menangis! Kalau Giok Cu menikah dengan dia, kalau gadis itu menjadi isterinya, dalam waktu sebulan ia akan mati keracunan!
"Itulah sebabnya mengapa aku... aku tidak dapat menjadi isterimu, Han Beng..."
Tiba-tiba Han Beng meloncat berdiri dan menarik tangan gadis itu. Giok Cu juga meloncat berdiri dan memandang bingung. "Mari kita pergi sekarang juga”
"Ehhh? Ke mana?"
"Ke mana lagi? Menyusul Ban-tok Mo-li. la menjadi tawanan. Aku akan menemuinya dan memaksanya mengobatimu, memberi obat pemunah racun itu. Kalau ia menolak, akan kucabuti semua rambut di kepalanya, kucabuti semua kuku dari jari-jarinya, kucabuti semua otot-otot dari tubuhnya!"
Suara Han Beng mengandung desis dan Giok Cu yang ditarik ikut pula berlari, agak bergidik karena di dalam suara kekasihnya itu mengandung ancaman yang mengerikan bagi Ban-tok Mo-li. Agaknya kemarahan telah membuat Han Beng berubah menjadi kejam dan sadis, walaupun itu baru dalam kata-kata saja.
Mereka tidak bicara lagi, berlari cepat dan Giok Cu menyerahkan segalanya kepada kekasihnya. Hatinya terasa lega karena bagaimanapun juga, rahasia itu tidak ditanggungnya sendiri, kini telah dibuka kepada Han Beng. Bahkan calon suaminya itu yang kini mengambil alih darinya untuk mencarikan jalan keluarnya.
Hari telah siang ketika mereka tiba di benteng, disambut oleh Yap Ciangkun yang kelihatan lelah karena penyerbuan semalam. Akan tetapi ternyata kemuraman wajah Yap Ciangkun bukan hanya karena lelah, dan hal itu baru diketahui Han Beng dan Giok Cu ketika Han Beng bertanya tentang Ban-tok Mo-Ii.
"Kami harap agar Ciangkun mengijinkan kami bicara sebentar dengan Ban-tok Mo-li yang menjadi tawanan. Ada urusan pribadi yang amat penting hendak kami bicarakan dengan Ban-tok Mo-Ii..." kata Han Beng.
Mendengar ini, Yap Ciangkun menggebrak meja. "Inilah! Justeru baru saja kami memarahi para petugas, akan tetapi semua kesalahan terletak pada pundak empat orang penjaga yang sudah mati. Sungguh celaka! Sialan mereka itu!"
"Apa yang telah terjadi, Ciangkun?” tanya Giok Cu, bingung melihat ulah perwira tinggi itu.
"Semalam, Ban-tok Mo-li menjadi tawanan dan ditahan di dalam sel, dijaga oleh empat orang pengawal yang dapat dipercaya. Akan tetapi, pagi-pagi sekali tadi, sel itu terbuka, empat orang penjaga mati tanpa luka dan Ban-tok Mo-li telah lenyap dari dalam selnya."
"Ahhhhh...!!" Wajah Han Beng menjadi berubah agak pucat saking kaget dan kecewanya. "Bagaimana hal itu dapat terjadi?"
Yap Ciangkun mengepal tinju dan kelihatan marah dan penasaran sekali. "Tidak ada yang tahu bagaimana hal itu terjadi. Akan tetapi ada seorang perajurit yang malam hari itu, sebelum dia meninggalkan tugas jaga untuk bertugas di tempat lain, melihat betapa Ban-tok Mo-li bersikap manis dan akrab sekali dengan empat orang penjaga itu, nampak mesra. Tidak ada yang tahu. Tahu-tahu mereka berempat terdapat tewas di tempat penjagaan dan Ban-tok Mo-li sudah tidak berada di dalam tahanan. Pintu kamar tahananpun tidak rusak kuncinya, bukan dibuka dengan paksa."
Han Beng mengerutkan alisnya. "Apakah tidak ada kemungkinan tawanan itu dibantu orang dari luar yang meloloskarinya?"
"Segala kemungkinan memang ada, akan tetapi penjagaan amat ketat sehingga sukarlah bagi orang luar untuk dapat masuk tanpa diketahui. Setidaknya, empat orang yang bertugas jaga itu tentu mengadakan perlawanan mati-matian dan memberi tanda bahaya. Akan tetapi sama sekali tidak ada perlawanan, sama sekali tidak terdengar teriakan atau tanda bahaya lain."
"Maaf, Ciangkun. Bagaimana matinya empat orang itu? Adakah luka-luka atau tanda lain?"
Yap Ciangkun mengerutkan alis dan menggeleng-geleng kepala. "Memang aneh sekali. Tidak ada luka. Hanya dua diantara mereka mati dengan mulut biru menghitam..."
"Hemmm, ciuman maut...!" kata Giok Cu, tenang akan tetapi ia pun mengerutkan alisnya karena ia sudah dapat menduga bagaimana caranya iblis betina bekas gurunya itu berhasil meloloskan diri.
"Dua orang yang lain tewas dengar biru menghitam di leher dan pangkal paha mereka, seperti bekas terkena gigitan..."
"Hemmm, itu bekas kuku beracun!"
"Ehhh? Apa yang kau maksudkan dengan ciuman beracun dan kuku beracun, Li-hiap?" tanya perwira itu, heran.
"Ban-tok Mo-li adalah seorang iblis betina. Nama julukannya saja sudah menyebutkan keadaan dirinya. Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun) memiliki banyak ilmu beracun, di antaranya adalah ciuman beracun dan kuku beracun. sekali cium dan sekali gores dengan kuku sudah cukup untuk membunuh orang. Agaknya iblis betina itu mempergunakan kecantikannya untuk merayu sehingga ia berhasil keluar atau dikeluarkan dari kamar tahanan oleh empat orang penjaga itu.Ia pura-pura suka diajak bermesraan, lalu membunuh mereka dengan mudah selagi bermesraan."
Kalau bukan Giok Cu, gadis lain tentu akan bermerah muka dan segan memberi keterangan seperti itu. Akan tetapi Giok Cu adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh keadaan yang keras dan beraneka macam kehidupan.
"Hemmm, sungguh keji seperti iblis!" kata Yap Ciangkun.
"Mari kita mengejarnya!" Han Beng yang teringat akan keadaan kekasihnya, sudah menggandeng tangan gadis itu.
Dan keduanya meloncat pergi dengan amat cepatnya, membuat Yap Ciangkun merasa kagum bukan main. Dia lalu teringat akan tawanan yang lain. Mereka adalah orang-orang yang lihai, maka dia tidak ingin kehilangan tawanan lagi. Diperintahkan orang-orangnya untuk membelenggu kaki tangan para tawanan itu dan mengawal mereka dengan ketat sampai mereka itu dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Selama tiga hari tiga malam Han Beng hampir tidak pernah mau berhenti, mengajak Giok Cu untuk menjari jejak Ban-tok Mo-li. Namun, semua usahanya sia-sia belaka. Mereka tidak mampu menemukan jejak iblis betina itu. Ban-tok Mo-li lenyap tak meninggalkan jejak, seperti ditelan bumi!
Pada hari ke empat, pagi-pagi setelah semalam suntuk mereka mencari di perbukitan di tepi jurang atau tebing sungai Kuning, Giok Cu telah menjadi putus asa. Ia memandang Han Beng yang duduk bersila di tepi jurang dengan hati yang pilu. Ia merasa kasihan sekali kepada pemuda itu. Ia tahu betapa besarnya cinta Han Beng kepadanya sehingga pemuda itu seperti tidak mengenal lelah untuk dapat menemukan Ban-tok Mo-li, untuk dapat membebaskannya dari cengkeraman maut yang ditandai bintik merah di bawah siku lengan kirinya.
Kalau dia membiarkan dirinya menjadi isteri Han Beng, kemudian tewas dalam waktu sebulan, tentu Han Beng akan tenggelam dalam kedukaan yang hebat. Dan sekarang, merekapun gagal untuk menemukan Ban-tok Mo-li. Andaikata mereka dapat menemukannya sekalipun, belum tentu iblis betina itu mau memberikan obat penawarnya, itupun kalau ada obat seperti itu.
Ah, ia hanya menjadi beban, hanya menyusahkan Han Beng saja dengan ikatan perjodohan itu. Tidak, itu tidak boleh menyusahkan Han Beng. Ia terlalu sayang kepada pemuda itu. Biarlah dia memperoleh jodoh gadis lain yang sehat, yang akan membahagiakannya, bukan ia yang menderita penyakit maut, yang hanya akan menyusahkannya.
Giok Cu mengerling ke arah Han Beng. Pemuda itu masih duduk bersila dan agaknya tenggelam dalam siu-lian Rambutnya kusut, pakaiannya kusut, wajahnya menunjukkan kelelahan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Han Beng membuka matanya, terkejut mendengar suara angin itu. Dan dia menjadi lebih kaget ketika tidak melihat lagi Giok Cu berada di situ.
"Giok Cu..!!" Dia berteriak memanggil sambil meloncat berdiri. Tiada jawaban. "Giok Cu, di mana engkau?" Han Beng kini mencari ke sekeliling tempat itu sambil memanggil-manggil. Ketika menjenguk ke bawah tebing, dia bergidik membayangkan Giok Cu terjatuh ke sana. Akan tetapi dia tidak melihat apa-apa di bawah sana. Lalu dia berlari menuruni bukit karang itu.
"Giok Cu...!!!" Dia berteriak semakin keras. Suaranya melengking terbawa angin dan menimbulkan gema jauh dibawah sana. Wajah Han Beng menjadi pucat, hatinya gelisah sekali ketika sampai di bawah bukit, dia belum juga melihat bayangan Giok Cu.
"Giok Cu...! Kembalilah...! Aku tak sanggup hidup sendirian tanpa engkau...!" teriaknya berulang kali.
Dia berlari mendaki bukit di depan dan akhirnya dia melihat gadis itu dipuncak bukit batu karang itu, di tepi tebing yang lebih curam daripada yang tadi. Gadis itu menangis tersedu-sedan, berlutut hampir menelungkup. Agaknya teriakannya yang terakhir itu, yang diulang-ulang, terdengar oleh gadis itu dan teriakan itu yang menahannya, membuat kedua kakinya lemas dan iapun menjatuhkan diri berlutut di situ dan menangis tersedu-sedu.
"Giok Cu...!" Han Beng lari menghampiri, menubruk dan merangkul gadis itu yang menangis semakin menjadi-jadi Han Beng mendekap kepala itu ke dadanya, seolah takut kalau sampai kehilangan dan terlepaslagi. "Aih, Giok Cu kenapa engkau meninggalkan aku.. Kenapa...?"
Giok Cu terisak-isak. Ketika ia mengangkat muka memandang melalui genangan air matanya, ia melihat pemuda itu menangis! Hal ini membuat ia menjadi semakin terharu dan sedih. "Han Beng...!" Ia menjerit dan merangkul pemuda itu.
Mereka bertangisan dan berpelukan di tepi jurang yang curam itu. "Han Beng, lepaskan aku... biarkan aku pergi. Aku hanya menyusahkan saja, Han Beng. Aku tidak dapat menjadi isterimu..."
"Giok Cu, jangan putus harapan. Aku akan mencarikan obat untukmu, sampai dapat. Percayalah, aku akan dapat menolongmu, jangan engkau khawatir akan keselamatan dirimu, Giok Cu..."
Gadis itu menyusut air matanya. ”Han Beng, engkau salah sangka. Aku tidak takut mati. Aku rela mati setelah menjadi isterimu selama satu bulan. Aku rela dan aku tidak takut. Hanya aku... aku tidak tega membayangkan engkau menangisi kematianku, Han Beng. Tidak, lebih baik kita tidak menikah, engkau carilah gadis lain yang sehat..."
"Giok Cu! Kenapa engkau berkata demikian? Ucapanmu menusuk perasaanku. Hidup ini tidak ada artinya bagiku tanpa engkau di sisiku, Giok Cu."
"Tapi... tapi... kalau kita menikah... hanya sebulan kita berkumpul, lalu aku harus meninggalkan engkau untuk selamanya..."
"Tidak! Kita tetap berdampingan sampai kematian memisahkan kita, Giok Cu. Dan percayalah, sebelum engkau mendapatkan obat pemunah racun terkutuk itu, aku tidak akan menggaulimu. Bagiku, melihat engkau di dekatku dalam keadaan sehat saja sudah merupakan suatu kebahagiaan besar. Giok Cu, berjanjilah, engkau tidak akan meninggalkan aku lagi..!"
Mendengar ini, Giok Cu merangkul dan mencium pipi pemuda itu dengan penuh keharuan, lalu berbisik di dekat telinganya. "Aku berjanji, Koko (Kanda). Aku berjanji selamanya tidak akan meninggalkanmu lagi dan akan mentaati semua perintahmu..."
Han Beng bernapas lega, lega puas dan bahagia. Dia merangkul semakin erat. "Moi-moi (Adinda)... terima kasih..... terima kasih..."
Sampai lama mereka duduk berdekapan di tepi tebing itu. Ketika matahari muncul di bawah sana, muncul dari balik bukit jauh di seberang sungai, Han Beng menuding. "Lihat, Cu-moi, betapa indahnya fajar menyingsing. Lihat, masa depan yang cerah menanti kita, seperti munculnya Sang Surya. Kita tidak boleh putus asa. Kita harus berikhtiar dan kalau kita berusaha dengan kesungguhan hati, Thian pasti akan memberi jalan kepada kita."
Giok Cu mengangkat mukanya dari dada kekasihnya dan menengok. Ia mengeluarkan seruan kagum dan mereka duduk bersanding, menyambut munculnya sang matahari sambil duduk bersila dan mengatur pernapasan. Latihan seperti ini tidak asing bagi mereka karena dalam sinar matahari yang baru muncul terkandung kekuatan dahyat yang mereka coba tampung melalui pernapasan dan meditasi. Setelah matahari mulai menyengat kulit, barulah mereka menghentikan latihan itu.
"Ah, sekarang aku ingat. Ada jalan untuk mencari jejak Ban-tok Mo-li!" kata Han Beng.
"Bagaimana, Beng-koko? Apakah jalan itu?"
"Aku teringat akan Kakak angkatku, yaitu Coa Siang Lee dan isterinya, Sim Lan Ci."
Giok Cu memandang dengan wajah berseri, la pun baru teringat sekarang. "Ah, Suci Sim Lan Ci adalah puteri Ban-tok Mo-li! Benar, Koko, mungkin ia tahu ke mana Ban-tok Mo-li melarikan atau menyembunyikan diri..."
"Mari kita ke sana, Cu-moi." Han Beng bangkit berdiri sambi menggandeng tangan kekasihnya dan mereka pun menuruni bukit karang itu. Baru sekarang mereka merasa betapa tubuh mereka lelah bukan main, juga perut mereka lapar. Selama tiga hari ini mereka lupa makan lupa tidur ketika mencari-cari Ban-tok Mo-li.
"Kita cari dusun atau kota dulu, Koko. Perutku lapar sekali..."
Han Beng tersenyum dan mencium dahi kekasihnya. "Kasihan engkau, Giok Cu. Kita sampai lupa makan. Aku lapar. Mari, kita cari dusun dibawah sana, baru melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal Kakak angkatku Coa Sian Lee!"
Mereka menemukan dusun dan berhasil membeli makanan dan minuman sederhana. Setelah makan minum, baru mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang ringan dan awan kedukaan sudah lenyap dari wajah mereka...
********************