Serial Joko Sableng Dalam Episode Gerbang Istana Hantu
SUASANA masih tampak samar-samar meski cahaya kekuningan sudah semburat dibentangan langit sebelah timur pertanda sang matahari tidak lama lagi akan muncul. Satu bayangan putih berkelebat cepat menuju arah barat. Pada satu tempat dia hentikan larinya. Lalu kepalanya berpaling ke kanan-kiri.
Tempat itu adalah sebuah lembah yang tidak begitu besar. Di kanan kiri lembah terlihat jurang menganga dalam. Sementara lembah itu sendiri ditumbuhi semak belukar lebat dan jajaran pohon besar berdaun rindang. Hingga tak kala matahari unjuk diri, dataran lembah itu hanya tampak samar-samar.
"Hem..." Tampaknya ini tempat yang cocok." gumam orang yang baru saja berlari.
Dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih berambut panjang sedikit acak-acakan yang dibalut dengan ikat kepala berwarna putih. Si pemuda melangkah kearah bagian lembah yang berbatasan dengan jurang. Dipiiihnya sebuah pohon besar lalu duduk bersila membelakangi jurang. Kepala si pemuda barpaling ke kanan kiri.
"Dari arah samping dan belakang tidak mungkin ada orang yang datang. Aku hanya perlu mewaspadai orang dari arah depan..."
Si pemuda menarik napas dalam. Setelah sekalli lagi palingkan kepala kesegenap jurusan, perlahan-lahan kedua tangannya diselinapkan ke balik pakaiannya. Kedua tangannya tampak sedikit gemetar. Ketika kedua tangannya ditarik lagi tampaklah sebuah kitab berwarna biru. Sepasang mata si pemuda melebar, bibirnya berkemik membaca tulisan yang tertera di sampul kitab berwarna biru.
"Kitab Serat Biru..." Pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng ini kembali menghela napas. Lalu dengan tangan masih sedikit gemetar Kitab Serat Biru diletakkan di pangkuannya.
Seperti dituturkan, setelah berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru dari Ki Ageng Mangir Jayalaya di Pulau Biru, Pendekar 131 meninggalkan Pulau Biru bersama-sama rombongan Iblis Ompong, Ratu Malam, Gendeng Panuntun, Dewa Sukma, Dewe Es, Manusia Dewa, dan gurunya sendiri Pendeta Sinting.
Namun karena Pendekar 131 masih harus mempelajari apa yang ada dalam Kitab Serat Biru, akhirnya dia memisahkan diri di Pesisir Laut Selatan. Lantas mencari tempat yang layak untuk mempelajari Kitab Serat Biru. Dalam perjalanannya murid Pendeta Sinting ini sengaja bersikap sangat hati-hati sekali, malah tidak jarang dia memilih jalan sepi karena dia sadar, siapa pun juga pasti menginginkan kitab yang kini berada di tangannya.
Dengan mata sedikit dibelalakkan dan tangan gemetar, Joko mulai membuka halaman pertama Kitab Serat Biru. Ada hawa dingin menusuk takkala kitab itu terbuka, namun hawa itu berubah hangat saat terhirup dan masuk ke dalam tubuh Joko. Dan perlahan-lahan pula hati murid Pendeta Sinting ini jadi tenang. Tangannya tidak lagi gemetar. Pendekar 131 mulai membaca yang tertera dalam halaman pertama Kitab Serat Biru. Pada halaman pertama ini tertera tulisan.
Siapa yang percaya pada sebuah kekuatan, maka dia akan dikalahkan.
Siapa yang berpegang teguh pada kekuasaan, maka dia akan ditanggalkan.
Kekuatan sesungguhnya adalah meninggalkan pertikaian.
Meski dia merasa dapat mengalahkannya. Kekuasaan sesungguhnya adalah menghindar.
Meski dia merasa mampu menggenggamnya. Kekuatan dan kekuasaan tertinggi hanya ada dalam tangan Yang Maha Kuasa.
Sejurus murid Pendeta Sinting meresapi apa yang tertera pada halaman pertama itu seraya tengadahkan sedikit kepalanya. Ketika dia menunduk kembali, la tersentak. Sepasang matanya dipentangkan dengan dahi mengernyit. Karena perlahan-lahan tulisan pada halaman pertama itu lenyap! Yang terpampang dihadapnnnya kini adalah lembaran kosong!
"Luar biasa... Berarti aku harus mengingatnya baik-baik!" pikir Joko setelah mengetahuimengetahui terjadi.
Setelah merenungi tulisan pada halaman pertama, lalu meresapi apa yang tersirat, murid Pendeta Sinting membuka halaman kedua. Di hadapannya kini terpampang lembaran kedua. Di situ tertera tulisan.
Sesekali berpalinglah ke bawah, agar kau tahu letak tampatmu.
Sesekali berpalinglah keatas, agar kesombonganmu lenyap.
Sesekali berpalinglah ke samping, agar kau peduli pada sesama.
Sesekali berpalinglah ke depan, agar langkahmu tidak terperosok.
Yang Maha Kuasa selalu ada di mana kau berada.
Maka jangan berpaling dari-Nya setiap saat.
Karena di sana ada kedamaian dan kasih sayang.
Setelah Joko mengulang-ulang tulisan pada lembaran kedua, perlahan-lahan tulisan pada halaman itu lenyap! Murid Pendeta Sinting menggumamkan apa yang tadi tertera pada halaman pertama lalu mengucapkan apa yang tertera pada halaman kedua. Setelah itu dia membuka halaman ketiga. Di situ tertulis.
Siapa yang telah meresapi apa yang tersirat dan tersurat pada halaman pertama dan kedua, maka orang yang ditentukan mewarisi kitab bisa mendapatkan setitik ilmu Yang Maha Kuasa pada halaman keempat.
Dada Pendekar 131 sedikit berdebar. Begitu tulisan pada halaman ketiga lenyap, dia perlahan-lahan membuka halaman keempat. Ternyata di situ terdapat gambar telapak tangan kiri. Di bawah gambar telapak tangan tertera tulisan.
Letakkan telapak tangan kiri tepat di gambar. Pejamkan mata dan salurkan segenap tenaga dalam pada tangan kiri
Sesaat Pendekar 131 pandangi lekat-lekat gambar telapak tangan Lalu membuka telapak tangan kirinya dan dipandangi berlama-lama telapak tangannya yang tertera angka 131 di sana. Sejurus ada rasa bimbang. Namun perasaan itu segera ditepis. Dia segera salurkan tenaga dalam pada telapak tangan kiri.
Perlahan-lahan telapak tangan kirinya dijulurkan ke atas gambar. Dan sedikit demi sedikit diturunkan ke bawah, ditempelkan pada gambar dihalaman kitab. Anehnya, telapak tangan kiri Joko tepat sama besarnya dengan gambar yang ada dihalaman kitab. Murid Pendeta Sinting lalu pejamkan sepasang metanya.
Tiba-tiba dia merasa telapak tangan kirinya laksana dipanggang bara api luar biasa panas. Dia tersentak kaget dan baru hendak menarik telapak tangannya. Namun meski dia telah kerahkan tenaga dalamnya, dia tak mampu tarik pulang tangannya!
Pendekar 131 mengeluh tinggi, tapi anehnya suara keluhannya seakan tersekat di tenggorokan! Hingga mulutnya hanya menganga tanpa keluarkan suara. Bersamaan dengan itu, keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Meski keadaan tubuhnya panas bukan alang kepalang, tapi Joko tak ingin membuka kelopak matanya.
Beberapa saat berlalu, mendadak hawa panas di sekujur tubuh murid Pendeta Sinting lenyap, membuat Joko perlahan-lahan coba membuka kelopak matanya. Dia terlengak. Sekujur tubuhnya berubab jadi bersinar warna biru! Pendekar 131 angkat telapak tanaan kirinya dari halaman kitab. Ternyala gambar telapak tangan itu telah lenyap. lalu sinar biru perlahan-lahan merayap dan bersatu pada telapak tangan kirinya.
Begitu warna biru di sekujur tubuhnya lenyap, telapak tangan murid Pendeta Sinting berubah menjadi bersinar biru bercampur kuning. Namun diiain kejap sinar biru bercampur kuning itu lenyap pula! Begitu Joko dapat kuasai rasa heran dan kejutnya dia membuka halaman kelima. Di situ tertera tulisan.
Ilmu Serat Biru telah ada daam tubuhmu. Kau hanya perlu kerahkan sedikit tenaga dalam jika menggunakannya.
Pendekar 131 menarik napas lega. Karena masih ada lembaran lagi, dia coba membukanya. Pada halaman keenam tertera tulisan.
Ini adalah kitab bagian pertama. Barang siapa telah mewarisi bagisn pertama ini, maka ia diharuskan mencari kitab bagian keduanya.
"Ah, berarti aku masih harus mencari bagian kedua dari kitab ini. Tapi di mana? Mungkin di halaman berikut ada keterangan tentang kitab kedua itu..." duga Joko lalu mulai membuka halaman-halaman berikutnya.
Namun di sana hanya ada halaman-halaman saja tapi ada tulisan atau gambar. "Kemana lagi aku harus bertanya? Pada beberapa tokoh tempo hari?"
Pendekar 131 tidak teruskan kata hatinya, karena pada saat itu tiba-tiba dari kitab yang masih terbuka di tangannya mengepui asap berwarna biru. Joko pentangkan sepasang matanya besar-besar.
Asap biru makin lama makin banyak hingga menutup kitab. Khawatir akan terjadi sesuatu, murid Pendeta Sinting cepat tarik pulang kitab ditangannya untuk dimasukkan ke balik pakaiannya. Namun laksana ada kekuatan luar biasa dahsyat yang menahan, hingga dia tak kauasa menarik tangannya yang saat itu masih memegang Kitab Serat Biru.
"Ada apa ini? Jangan-jangan ada orang berbuat usii..." batin Joko lalu arahkan pandangannya ke depan.
Matanya tidak menangkap siapa-siapa. Meski disamping kanan kirinya jurang menganga dalam, karena khawatir membuat murid Pendeta Sinting ini palingkan kepalanya ke kanan kiri. Tapi dia tidak juga meiihat siapa-siapa! Tiba-tiba Pendekar 131 sentakkan kepalanya ke depan, karena tangannya yang memegang kitab terasa ringan. Begitu sepasang matanya melihat, dia jadi tersentak. Darahnya laksana sirap. Kitab Serat Biru telah berubah menjadi kumpulan debu halus berwarna biru. Dan bersamaan dengan itu asap biru sirna.
Belum sempat Joko melakukan sesuatu, berhembus angin dari bagian samping, membuat debu berwarna biru bertabur dan melayang diterpa angin. Tangan murid Pendeta Sinting kini kosong!
"Bagaimana ini? Jangan-jangan ini memang perbuatan orang usil" gumam Joko lalu cepat bergerak bengkit hendak menyeildik. Namun gerakannya tertahan, tatkala saat itu juga terdengar suara.
"Dengan berpindahnya apa yang ada dalam Kitab Serat Biru, maka dengan sendirinya kitab itu akan lenyap. Kau tidak usah khawatir, Anak Muda! Hanya sekarang kau harus mencari keduanya. Tapi itu kau lakukan, kau harus pergi ke suatu tempat yang sepi. Lakukan penjernihan bhatin selama setengah purnama. Resapi apa yang tersirat dan tersurat dalam Kitab Serat Biru"
Pendekar 131 sapukan paadangannya berkeliling! Tapi matanya tak melihat adanya orang. "Harap tunjukkan diri...!" seru Pendekar 131.
"Bukan sekarang saatnya, Anak muda, Kelak kau akan tahu. Sekarang lakukan apa yang baru kuucapkan...!" Terdengar lagi suara tanpa terlihat adanya orang yang berkata.
"Tapi bagaimana aku akan melakukan apa yang kau ucapkan jika kau tidak menunjukkan diri dan mangatakan siapa?!"
"Kau belum melakukan penjernihan Anak Muda! Kelak jika hal itu telah kau lakukan, kau akan dapat melihatku. Aku sebenarnya ada di hadapanmu! Karena di antara kita masih ada penghalang, aku ditakdirkan dapat melihatmu, namun kau tidak bisa. Selannat tinggal. lekas lakukan apa yang kucapkan!"
Setelah ucapan itu selesai, Pendekar 131 merasakan semilir angin berhembus. Sebagai orang persilatan yang memiliki tanaga dalam tinggi, murid Pendeta Sinting dapat membedakan hembusan angin biasa dengan hembusan angin kalebatan orang. yakin, hembusan angin barusan adalah hembus angin berkelebatnya seseorang.
"Hem... Orang itu mengetahui jika aku harus mencari kitab keduanya, berarti ucapannya harus aku lakukan. Siapa tau kelak dia dapat memberi keterangan mengenai kitab kedua itu..."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting ini bergerak bangkit lalu berkelebat tinggalkan lembah. Dia sejenak terkesiap sendiri dengan perubahan pada dirinya karena kelebatan tubuhnya terasa begitu dahsyat. Padahal dia hanya sedikit kerahkan ilmu peringan tubuhnya!
Pemandangan puncak bukit berbatu itu indah sekali. Sejauh mata memandang nun jauh di sana berjajar beberapa gundukan batu berwarna-warni, lalu terhamparnya pesisir pantai yang membentuk alur panjang berwarna putih. Disebelah depannya membentang laut lepas berwarna kebiruan yang sesekali ditingkah warna putih bergulungnya gelombang ombak.
Pada sebuah lamping bukit berbatu yang membentuk sebuah goa, Pendekar 131 tampak duduk bersila dengan mata terpejam. Hari ini adalah hari kelima belas dia berada di situ. Namun pada hari ini tampaknya semadi murid Pendeta Sinting tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dan hal ini dirasakan sendiri oleh Joko. Samar-samar dia merasakan hembusan angin aneh. Selain dingin menusuk juga membuat tubuhnya laksana didorong kekuatan dahsyat.
Bagaimanapun Joko bertahan akhirnya sia-sia. Kekuatan hembusan angin itu begitu dahsyat, hingga dalam kejap lain tubuhnya terdorong masuk ke dalam goa yang tidak begitu besar. Bersamaan dengan membenturnya tubuh Joko pada dinding didalam goa, hembusan angin berhenti. Belum sempat Joko berpikir, terdengar suara halus.
"Anak muda. Buka kelopak matamu...!"
Karena seakan masih mengenali suara orang, dengan menindih rasa kaget, Joko turuti ucapan orang. Dari tempatnya duduk, murid Pendeta Sinting melihat seorang kakek berambut putih panjang digulung di atas. Meski berusia lanjut, namun kakek masih tampak gagah. Kerutan diwajahnya tak terlihat. Dia mengenakan pakaian putih-putih. Tangan kanannya memegang sebuah tasbih berwarna hijau yang terus berputar, sementara tangan kirinya sedekap di depan dada. Pendekar 131 segera bungkukkan tubuh menjura hormat seraya berucap lirih,
"Orang tua... Harap suka sebutkan diri..."
Orang tua itu tersenyum samar. Lalu berkata. "Siapa diriku tidaklah begitu penting, Anak Muda! Yang pasti aku adalah salah seorang yang mendapat tugas manyelamatkan Kitab Serat Biru hingga sampai pada orang yang ditakdirkan untuk mewarisinya. Dan sejak hari ini tugasku telah selesai..."
Sejenak orang tua itu hentikan keterangannya. Lalu melanjutkan dengan sepasang mata tak berkesip memandang kearah Joko.
"Hari ini kau telah laksanakan rangkaian yang ada dalam Kitab Serat Biru, Meski bentuk kitabnya telah musnah, namun isinya telah tertanam dalam tubuhmu. Apa yang sekarang kau miliki sebenarnya hanyalah sebuah titipan. Maka dari itu kau harus dapat menjaganya dengan baik. Resapi apa yang ada dalam kitab itu. Karena hal itu adalah pedoman bagi langkah-langkahmu selanjutnya. Karena dihadapanmu kini membentang tantangan yang tidak kecil, dan semua harus dapat kau atasi. Tapi harus kau ingat selalu. Ilmu yang sekarang kau miliki bukanlah satu-satunya hal yang bisa menyalesaikan masalah. Pergunakan ilmu itu jika jalan lain tidak dapat menyelesaikannya. Aku tak akan bicara panjang lebar, karena semuanya telah ada dalam bait-bait tulisan di kitab itu. Yang harus segera kau lakukan sekarang adalah mencari kitab kedua. Dan sungguh menyesal sekali, karena aku tidak dapat memberikan keterangan apa-apa tentang kitab kedua itu. lebih dari itu, perlu kau ketahui. Rimba persilatan saat ini telah gempar. Kau akan mengetahuinya setelah kau keluar dari tempat ini. Jadi di pundakmu sekarang ada dua hal yang kau pikul. Mendapatkan kitab kedua sekaligus membuat kegemparan ini reda! Ini adalah satu ujian bagimu. Nah, selamat tinggal..."
Habis berkata begitu, kakek berpakaian putih-putih ini gerakkan tubuhnya dua ki. Perlahan-lahan sosoknya terlihat samar, dan kejap lain Joko tidak lagi melihat si kakek dihadapannya. Seakan tak percaya dangan apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting jerengkan sepasang matanya. Orang tua itu memang telah tidak ada lagi.
"Ah, rasanya seperti mimpi saja!" gumam Joko lalu bergerak bangkit.
Matanya memandang berkeliling ke dalam goa. Lalu melangkah ke mulut goa. Pandangannya kini menerawang jauh. "Apa yang dikatakan orang tua tadi ada kaitannya dengan kejadian beberapa waktu lalu di Pulau Biru? Gendeng Panuntun dan Manusia Dewa mengatakan Pintu Istana Hantu telah terbuka. Hem... Setengah purnama aku tidak tahu perubahan keadaan diluar sana. Apa yang harus terlebih dahulu kukerjakan? Menyelidiki kitab kedua? Tapi ke mana? Bertanya pada beberapa tokoh aneh itu juga sulit. Mencari mereka laksana mencari jarum ditumpukan jerami. Kalau dibutuhkan sulit dicari, jika tidak dicari, tiba-tiba nongol! Ah... Tapi mereka juga mengatakan tidak akan ikut campur urusan lagi. Terpaksa aku berjalan sambil meraba-raba..."
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada pesisir laut. Pikirannya menerawang jauh. Anehnya mendadak muncul bayangan Sitoresmi dan Dewi Seribu Bunga.
"Ah, mereka sudah ada yang merawat..." gumam Pendekar 131 lalu melangkah keluar dari goa. Kejap lain tubuhnya telah melesat menuruni bukit.
Angkasa tampak gelap gulita. Tidak ada rembulan dan setitik cahaya dari bintang gumintang, membuat hamparan bumi yang telah dirayapi malam menjadi makin pekat. Suasana malam bertambah menakutkan tatkala tiba-tiba angin berhembus hebat laksana handak memporak-porandakan apa yang ada di kolong langit. Sesaat kemudian halilintar terdengar menyalak yang kejap lain disusul dengan turunnya hujan membadai.
Dalam buruknya cuaca, tampak satu bayangan berkelebat menerobos curahan badai hujan dan seakan halilintar. Pada satu tempat dekat sebatang pohon besar, si bayangan hentikan larinya. Ternyata dia adalah seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian warna biru gelap. Tubuhnya kurus tinggi dengan wajah cekung. Rambutnya yang putih serta pakaian biru yang dikenakan terlihat basah kuyup.
Di punggung laki-laki setengah baya itu tampak seorang kakek berusia amat lanjut. Raut wajahnya hampir-hampir tidak tertutup daging sama sekali. Demikian juga anggota tubuhnya yang terlihat. Rambutnya putih dan sangat tipis hingga batok kepalanya terlihat jelas. Dua pasang matanya terpejam rapat, namun bibirnya tampak selalu komat-kamit perdengarkan suara yang iidak begitu jelas.
Kakek yang digendong laki-laki setengah baya ini mengenakan pakaian besar dan panjang berwarna putih. Begitu panjangnya pakaian yang dikenakan si kakek hingga pakaian itu manyapu tanah sepaniang setengah tombak. Hebatnya, meski hujan membadai dan tanah tampak becek berlumpur, pakaian putih yang dikenakan si kakek tidak basah atau kotor! Anggota tubuhnya pun tidak basah meski laki-laki setengah baya yang menggendongnya basah kuyup!
"Rupanya badai akan bertambah besar..." gumam laki-laki setengah baya yang menggendong si kakek sambil tengadahkan sedikit kepalanya.
"Dugaanmu tidak salah, Gulurawa. Tapi haruskah badai ini akan menjadi hambatan perjalanan kita? Kurasa badai-badai besar akan melanda jika kita gagal dalam perjalanan ini" si kakek di punggung laki-laki setengah baya yang dipanggil Gurawa menjawab. Namun sepasang matanya tetap memejam meski sejurus dia tampak ikut tengadahkan kepala seolah melihat cuaca.
"Hem... Dalam beberapa hari terakhir ini, sudah tivga kali dia mengatakan badai besar akan melanda! Badai apa sebenarnya yang hendak terjadi? Dan siapa sesungguhnya yang dicari hingga dia tidak menghiraukan lagi buruknya cuaca...? Beberapa puluh tahun hidup bersama, baru beberapa hari ini kulihat ada keanehan padanya. Padahal biasanya dia tidak pedulikan apa yang tengah terjadi!"
Diam-diam Gulurawa membatin sendiri daiam hati. Mungkin tidak dapat menahan keingintahuannya, Gulurawa akhirnya berucap. "Kiai Geger Panulung Kalau Kiai melakukan perjalanan jauh dan tidak menghiraukan cuaca, tentu ada satu masalah yang sangat panting dan berarti. Kalau boleh..." Belum sampai ucapan Gulurawa selesai, tangan kanan si kakek yang dipanggil Kia Geger Panulun bergerak mengetuk punggungnya hingga Gulurawa putuskan ucapannya.
"Kau nanti akan mendengarnya sendiri. Sekarang kita harus cepat lanjutkan perjalanan!" Setelah berkata, Kiai Geger Panulung arahkan telunjuk jari tangannya.
Tanpa berkata lagi, Gulurawa mengangguk lalu berkelebat ke arah yang baru saja ditunjuk Kiai Geger Panulung. Pada suatu tempat, mendadak Kiai Geger Panulung ketukkan lagi tangannya pada punggung Gulurnwa. Gulurawa hentikan larinya seraya memandang berkeliling. Karena saat itu hujan masih membadai, maka yang tampak hanyalah kepekatan malam yang ditngkahi dengan warna samar-samar putih curahan air hujan.
"Kulihat di sana ada sebuah gubuk" kata Kiai Geger Panulung sambil tunjukkan jari tangannya, sementara sepasang matanya tetap terpejam rapat!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Gulurawa segera berkelebat. Dan sejarak lima belas tombak dari tempatnya tadi berhenti, Gulurawa memang menemukan sebuah gubuk berdinding pelepah daun kelapa yang tampak doyong terlanda curahan hujan dan badai. Begitu masuk gubuk, perlahan-lahan Gulurawa turunkan Kiai Geger Panulung dan disandarkan pada salah satu tiang gubuk.
Dia sendiri lalu mengambil tempat berseberangan dengan bersandar pula pada salah satu tiang gubuk. Kiai Geger Panulung rapikan pakaiannya yang besar dan panjang. Dan perlahan-lahan tangannya menarik pakaiannya yang menyapu tanah lalu ditutupkan pada sepasang kakinya yang bersila. Untuk sesaat Gulurawa perhatikan sepasang kaki. Ternyata sepasang kaki si kakek ini besarnya tidak lebih dua kali ibu jari! Dan berwarna hitam legam!
Tiba-tiba Kiai Geger Panulung mendongak dengan mata masih tetap memejam. Tulang keningnya bergerak-gerak. Mulutnya yang selalu komat-kamit tiada henti. Kejap lain terbuka dan terdengar dia berucap, "Kita tunggu disini. Orang yang kita cari tidak lama lagi akan lewat!"
"Orang ini benar-benar mengagumkan sekali. Pendengaran dan penglihatannya sangat peka. Dan selama ini yang diucapkannya tak pernah meleset! Sayang kakinya tidak dapat digunakan..." Gulurawa membatin.
"Gulurawa. Kuingatkan padamu, jika aku nanti berbuat sesuatu, kau tetap diam ditempatmu! Kau hanya perlu mendengar dan melihat!"
Gulurawa menjawab dengan anggukan kepala. Namun diam-diam dia terus membatin. "Kali ii dia benar-benar beda dengan biasanya. Ada apa sebenarnya ini?"
Saat terus berlalu. Namun hingga kini menjelang pagi dan badai mulai reda, tidak seorang pun yang lewat di sekitar gubuk. Bahkan hingga malam kembali menjelang, orang yang dikatakan Kiai Geger Panulung tidak tampak batang hidungnya, membuat Gulurawa mulai khawatir apalagi sang Kiai tidak lagi buka mulut ucapkan sepatah kata.
Ketika pagi menjelang pagi dan orang yang di katakan Kiai tidak juga menampakkan diri, Gulurawa sepertinya tidak sabaran. Namun dia tidak berani bicara. Hanya sikapnya yang mulai tampak gelisah dan sesekali kepalanya berpaling keluar gubuk, lalu memandang kearah sang kiai dengan hati berkata.
"Hem... Tampaknya sekali ini ucapannya tidak jadi kenyataan. Atau bararangkali..." Kata hati Gulurawa terputus tatkala dihadapannya tiba-tiba sang Kiai gerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Meski dorongan tangan sang Kiai terlihat pelan saja, namun bersamaaan dengan itu terdengar deruan keras. Satu gelombang angin luar biasa dahsyat melesat. Anehnya, dinding gubuk dari pelepah daun kelapa yang sempat tersambar angin dari dorongan tangan sang Kiai tidak bergeming Sama sekali.
Namun di luar sana mendadak terdengar derakan hebat. Kejap lain terdengar deburan tumbangnya sebatang pohon besar. Suara deburan belum lenyap, terdengar suara orang berseru. Lalu satu bayangan putih berkelebat dan kini tegak sepuluh langkah dari gubuk dengan kepala lurus menghadap gubuk.
"Tampaknya orang yang dikatakan sang Kiai tetah datang..." kata Gulurawa dalam hati lalu berpaling. Tangannya menyibak dinding gubuk. Dari sela pelepah daun kelapa, laki-laki setengah baya ini melihat seorang pemuda nnengenakan pakaian putih-putih tegak memperhatikan gubuk dimana dia berada.
Si pemuda tampak bimbang. Memperhatikan sejenak silih berganti pada gubuk lalu beralih pada batang pohon yang baru saja tumbang. Dia lalu melangkah mondar-mandir dengan kepala celingukan. Anehnya pemuda ini lantas tersenyum-senyum sendiri seraya berjingkat-jingkat, membuat Gulurawa kernyitkan dahi lalu memperhatikan lebih seksama. Ternyata pemuda diluar sana itu gerakkan jari kelingkingnya masuk ke dalam lobang telinga!
"Tampaknya bukan Kiai saja yang akhir-akhir ini terlihat berbeda. Pemuda itu pun tampak aneh. Adakah perjalanan jauh hanya untuk menemui pemuda macam begini?" Gulurawa membatin, lalu berpaling pada Kiai Geger Panulung.
Astaga! Gulurawa tarkesiap. Sang Kiai ternyata sudah tidak ada di tempatnya semula. Gulurawa menggeser duduknya ke pintu gubuk yang terbuka. Ternyata Kiai Geger Panulung telah duduk bersila di depan gubuk dengan kepala terus ke arah si pemuda.
Si pemuda sendiri sejurus memandang ke arat sang Kiai, namun kejap lain dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu dengan masih berjingkat-jingkat. Tapi gerakan kaki si pemuda tertahan ketika mendadak sang Kiai gerakkan kedua tangannya dan untuk kedua kalinya satu gelombang angin dahsyat menyambar keluar dan kini terarah pada sang Pemuda!
Di depan sana, si pemuda pelototkan sepasang matanya, lalu buru-buru menyingkir dengan berkelebat ke samping.
"Orang tua!" pemuda berseru. "Rasa-rasanya baru kali ini kita bertemu. Adalah mengherankan jika kau tiba-tiba saja menyerangku. Apa maksudmu sebenarnya?"
Kiai Geger Panulung tidak buka mulut untuk menjawab. Sebaliknya dia mendongak dengan mata tetap terpejam rapat. Tiba-tiba dia hentakkan kedua lututnya yang bersila. Saat itu juga sosok sang Kiai melesat ke depan. Pakaian panjang yang dikenakan tampak barkibar-kibar. Belum sampai sosoknya mendarat, si kakek telah sibakkan pakaiannya yang berkibar ke depan.
"Wuutt!"
Suara pakaian yang menyibak berkelebat angker. keluarkan gelombang angin luar biasa dahsyat. Sang Pemuda rasakan sapuan hebat, membuat sosoknya tampak bergoyang-goyang. Sebelum tubuhnya mental tersapu, si pemuda melompat lalu dorong kedua tangannya seraya berteriak.
"Orang tua tak dikenal! Aku tidak bisa tinggal diam jika kau terus menyerangku!" Gelombang angin yang melesat dari sibakan pakaian sang Kiai membelok terkena sapuan gelombang yang keluar dari dorongan si pemuda, lalu menghantam tempat kosong.
Kiai Geger Panulung mendarat lima langkah di depan si pemuda dengan tetap bersila dan mata terpejam. Lalu rapikan pakaiannya dan menutupkan pada kedua kakinya yang bersila.
Si pemuda menatap lekat-lekat pada orang tua di depannya. "Mungkin orang ini pendengarannya sudah berkurang. Berurusan dengan orang begini selain tidak ada gunanya juga susah! Lebih baik aku pergi saja..."
Si pemuda putar tubuh. Namun kembali gerakannya tertahan tatkala mendadak saja si kakek telah melesat ke depan. Kedua tangannya serta-merta menyeruak lepaskan dua pukulan sekaligus! Hebatnya, kali ini pakaian panjang dan besar yang dikenakannya tidak lagi berkibar meski tubuhnya tampak melayang satu tombak di atas tanah!
Kali ini tampaknya si pemuda tidak tinggal diam. Dia cepat pula angkat kedua tangannya menangkis pukulan kedua tangan sang Kiai.
"Bukkk! Bukkkk!"
Bentrok tangan terjadi. Si pemuda tersurut mundur satu langkah dengan raut wajah meringis. Sedangkan si kakek langsung mendarat lagi dengan tetap duduk bersila dan mata terpejam rapat.
"Aneh. Apa sebenarnya kemauan orang tua ini? Dari bentrokan tadi jelas jika dia mempunyai tingkat tenaga dalam tinggi. Lebih dari itu, sepertinya dia tidak sendirian. Di gubuk itu tampaknya masih ada seorang lagi! Dan mereka sepertinya sengaja menghadang!"
"Katakan siapa kau?" Tiba-tiba Kiai Geger Panulung buka suara membentak.
Si pemuda pentangkan sepasang matanya. "Hem... Mungkin adatnya dia memukul dulu baru bertanya..." gumamnya lalu menjawab. "Orang biasa memanggliku Pangeran Mendut-mendut. Namun begitu, aku tidak pernah melarang orang memanggilku apa saja! Kau sendiri siapa, Kek?!"
"Aku tidak pernah memberitahukan siapa namaku pada orang lain!" jawab si kakek dengan suara keras.
"Ah, kalau memang begitu tak jadi apa. Tapi apakah kau juga tidak mau memberitahukan apa maksudmu sebenarnya?!"
"Tergantung!"
"Tergantung apa?!" tanya Pangeran Mendut-mendut.
"Jika kau tidak sampai mampus di tanganku!"
Pangeran Mendut-mendut melengak. Seakan tidak percaya pada ucapan orang, pemuda ini sekali lagi memperhatikan pada orang tua yang bersila di hadapannya. "Orang aneh. Syarat yang diajukan pun aneh..."
Selelah berpikir sejenak akhirinya Pangeran Mendut-mendut berkata, "Kek! jika syarat yang kau pasang demikian mahal, aku tak akan bertanya apa maksudmu. Aku tidak ingin mampus! Aku belum kenyang menikmati keindahan dunia! Mungkin jika usiaku telah menyamaimu, aku akan mencari mu dan menanyakan hal ini! Kuharap kau menungguku..." Habis berkata begitu, Pangeran Mendut-mendut putar diri lalu melangkah meninggalkan si kakek.
"Jangan mimpi bisa teruskan jalan Anak Muda!" Tiba-tiba sang Kiai berseru membuat Pangeran Mendut-mendut hentikan langkah dan berpaling. Namun, sebelum si pemuda buka mulut, sang Kiai telah mendahui berkata.
"Kau tadi telah lancang mulut bertanya apa maksudku. Itu harus dibayar"
"Dibayar!" Ulang Pangeran Mendut-mendut makin heran.
"Betul! Dengan putusnya dua tanganmu!"
"Busyet! Baru kali ini aku menjumpai orang aneh seperti ini. Bertanya saja harus dibayar dengan dua tangan!"
"Lekas serahkah kedua tanganmu!"
"Kek...!"
"Kau terlalu banyak mulut. Kalau kau tidak serahkan, terpaksa aku mengambipnya dengan caraku sendiri!"
Habis berkata begitu, sang Kiai telah hentakkan lututnya. Tubuhnya melesat ke atas. Tiba-tiba sepasang kakinya yang terlutup pakaian mencuat dan lepaskan dua tendangan! Bersamaan dengan itu pakaian bagian bewahnya yang panjang ikut juga barkelebat keluarkan deruan dahsyat!
"Bukkk! Bukkk!"
Pangeran Mendut-mendut terjajar tiga langkah saat kedua tangannya menangkis sepasang kaki kecil sang Kiai. Dan baru saja tegak, sambaran angin yang berkelebat dari pakaian sang Kiai telah pula menggebrak.
"Wuuuttt! Wuuuttt!"
Pangeran Mendut-mendut sentakkan kedua tangannya. Namun kedua tangannya baru setengah jalan menyentak, kain pakaian sang Kiai telah melilit. Pada saat bersamaan sang Kiai membuat gerakan berputar dengan kedua tangan menarik pakaiannya, membuat pakaian bagian bawah si kakek terpentang lurus. Tubuh Pangeran Mendut-rnendu tertarik kedepan. Saat itulah tubuh si kakek bergerak lurus di atas pakaian bagian bawahnya.
"Desss! Desss!"
Tubuh Pangeran Mendut-mendut mencelat mental sampai dua tombak. Untung dia segera dapat kuasai tubuh hingga meski sejenak tampak terhuyung, namun kejap lain telah tegak kembali. Namun wajahnya telah berubah pucat. Kedua tangannya bergetar keras. Sementara baju bagian kedua bahunya robek terkena tendangan kedua kaki si kakek.
"Orang tua ini benar-benar hendak menginginkan kedua tanganku! Kalau urusan ini tidak segera kuselesaikan, masalahnya akan makin berlarut!"
Berpikir begini, Pangeran Mendut-mendut sagera kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan tangannya. Suasana tiba-tiba berubah menjadi dingin.
"Pukulan inti Sukma Es!" Kiai Gager Panulung berseru masih dengan mata terpejam dan duduk bersila dengan pakaian bawah menutup kakinya, membuat paras Pangeran Mendut-mendut berubah tercekat mendapati si orang tua mengetahui pukulan yang hendak dilepaskan.
"Matanya dari tadi terpejam, tapi dia tahu pukulan yang hendak kulepaskan! Siapa sebenarnya orang tua ini?!" membatin Pangeran Mendut-mendut. Namun dia tak hendak urungkan niat lepaskan pukulan, hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat cairan yang bukan saja menebarkan hawa luar biasa dingin, namun juga menggebraknya gelombang angin keras.
Kiai Gager Panulung mendongak. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke atas setengah tombak. Di udara orang tua ini berputar-putar. Pakaian bagian bawahnya ikut berkelebat berputar-putar membentuk bayang-bayang dan seakan membuat pagar untuk melindungi diri. Sementara angin putarannya tambah lama tambah keras dan keluarkan hawa panas. Hingga tak lama kemudian mampu menindih lenyap hawa dingin pukulan Pangeran Mendut-mendut. Malah di depan sana, si pemuda tampak hampir saja tersapu!
"Aku bisa celaka jika hanya bermain-main," desis Pangeran Mendut-mendut. Lalu mundur satu tindak. Kedua tangannya diangkat. Tangan si pemuda mendadak berubah menjadi bersinar kuning.
Kejap lain dari kedua tangan Pangeran memdut-mendut menggebrak geIombang angin dahsyat membawa hawa panas disertai semburatnya warna kuning. inilah pukulan andalan seorang tokoh rimba persliatan yang dikenal orang dengan julukan Pendeta Singting yang diwariskan pada muridnya Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!
Kiai Geger Panulung tarik pulang pakaian bagian bawahnya dan cepat ditutupkan pada kedua kaki yang barsila diatas udara. Lalu kedua tanganya didorong ke depan.
Sekejap terdengar deruan keras, tapi laksana direnggut setan, deruan tadi tiba-tiba lenyap! Tidak ada gelombang yang menyambar, namun bersamaan dengan itu pukulan yang menggebrak dari Pangeran Mendut-mendut yang bukan lain adalah Pendekar 131 laksana ditahan kekuatan hebat. Lalu terdengar ledakan keras mengguncang tempat itu.
Sosok Pendekar 131 tersapu kebelakang dan terhuyung-huyung sebelum akhirnya tegak kembali dengan tubuh terguncang keras dan darah mengalir dari mulutnya. Air mukanya pias laksana tak berdarah.
Sementara Geger Panulung melayang deras ke belakang mengarah pada sebuah batu besar. Hebatnya, sejengkal lagi tubuhnya menghantam batu, si kakek gerakkan bahunya, Tubuhnya terangkat keatas dan kejap lain sosoknya telah tegak diatas batu bertumpu pada sepasang kakinya yang kecil. Untuk beberapa saat sosoknya bergoyang-goyang, tapi saat lain telah diam dengan kedua tangan bersedekap! Sejurus kemudian kedua matanya membuka.
Dari dalam gubuk, sepasang mata Gulurawa terpentang besar. "Tak kusangka jika dia masih dapat gunakan kakinya! Dan selama hidup bersama, baru kali ini aku melihat dia buka kelopak matanya!"
Pendekar 131 tampak mambelalak tak berkesip memandangi sepasang kaki si kakek juga pada kedua matanya. Ternyata kedua mata kakek ini berwarna hitam legam!
"Pangeran Mendut-mendut! Kau telah berani hendak mencideraiku. Bayaran yang kuminta lebih besar. Kau harus mampus saat ini juga!" kata Kiai Geger Panulung.
Suaranya belum lagi selesai, sosok sang Kiai telah melesat ke depan. Dari jarak sepuluh langkah, tiba-tiba kakek ini sentakkan kedua tangannya.
"Wuttt! Wuuttt!"
Meski hanya terdengar deruan sekejap dan tiadanya gelombang angin yang menggebrak, namun murid Pendeta Sinting ini telah tahu bahwa pukulan tersebut telah mampu membendung pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Sehingga dia tidak berani untuk bertindak ayal, apalagi dilihatnya kali ini si kakek lepaskan pukulan dengan kerahkan tenaga dalam lebih!
"Pukulan inti 'Sukma Es' dan 'lembur Kuning' tidak membuatnya bergeming. Akan kucoba dengan pukulan sakti 'Serat Biru! Aku tidak ingin dia cedera, tapi kalau tidak kulakukan, aku sendiri yang akan mendapat celaka!"
Pendekar 131 cepat salurkan tenaga dalamnya pada telapak tangan kirinya. Tiba-tiba tangan kiri murid Pendeta Sinting ini berubah bersinar biru terang. Dan saat didorong ke depan, tampak melesat serat-serat biru laksana benang. Tidak keluarkan suara atau adanya gelombang angin. Hingga meski kedua orang ini sama-sama lepaskan pukulan, tapi tidak terdengar apa-apa! Namun hebatnya, sekejap kemudian tempat itu laksana diguncang gempa luar biasa keras. Tanah muncrat ke udara. Pohon-pohnn berderak tumbang. Gubuk dimana Gulurawa berada tampak berderak roboh.
Sosok murid Pendeta Sinting terpelanting sampai dua tombak dan jatuh terjengkang dengan tubuh berguncang-guncang dan mulut megap-megap. Sementara Kiai Geger Panulung terpental jauh ke belakang dan jatuh terkapar. Sepasang matanya yang hitam legam mendelik beberapa saat lalu memejam. Sedangkan tulang-tulang wajahnya tampak bargerak-gerak. Sepasang kakinya yang kecil bergemetakan.
Sesaat Kiai Gager Panulung usap-usap dadanya Kejap kemudian sosoknya bergerak bangkit dengan mata terpentang besar perhatikan lekat-lekat pada Pendekar 131 yang saat itu juga mulai bergerak bangkit!
"Anak muda! Kita perlu bicara!" ujar sang Kiai lalu bergerak duduk bersila.
Entah karena masih merasa jengkel dengan sikap si orang tua, murid Pendeta Sinting hanya memandang tanpa buka mulut untuk menyahut. Malah sambil rapikan pakaiannya dia balikkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.
"Anak muda. Kita harus bicara!" ulang sang Kiai. Namun Joko seolah tidak mendengarkan ucapan orang. Dia teruskan langkah.
"Bukankah kau hendak mencari bagian kedua dari apa yang telah kau dapat?" kata Kiai Geger Panulung.
Ucapan sang Kiai membuat langkah murid Pendeta Sinting tertahan. Dia putar tubuh. "Sepertinya dia banyak tahu tentang diriku. Tapi aku tidak akan gegabah bicara pada orang yang belum kukenal!" membatinn Pendekar 131 lalu berujar.
"Harap Orang Tua sebutkan diri dahulu. Jika tidak, maaf! Aku tidak bisa bicara dengan orang yang tak ku kenal.
Bibir Kiai Geger Panulung bergerak tersenyum. Orang tua ini lambaikan tangannya ke arah Gulurawa yang kini tegak di samping gubuk yang roboh. Bgitu Gulurawa dekat, sang Kiai berkata pelan.
"Gulurawa. Katakan padanya siapa kita adanya..."
Gulurawa palingkan kepala. Menatap sejurus pada Pendekar 131 sebelum akhirnya berkata. "Anak Muda. Yang ada dihadapanmu saat ini adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dikenal orang dengan gelaran Raja Tua Segala Dewa! Kau adalah seorang yang beruntung, karena selama lima belas tahun terakhir, kaulah satu-satunya orang yang berhasil bertemu dengannya! Jadi harap jangan sia-siakan partemuan ini"
Pendekar 131 kernyitkan dahi. "Lima belas tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan kalau benar ucapan orang itu tadi, pasti ada sesuatu yang sangat penting. Dan dia tadi telah sebut-sebut bagian kedua apa yang telah kudapat. Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan kitab kitab kedua itu..."
"Orang Tua Apakah...!"
Kiai Geger Panulung alias Raja Tua Segala Dewa angkat tangan kanannya agar murid Pendeta Sinting tidak teruskan bicara. "Anak muda. Apa yang dikatakan Gulurawa tadi terlalu berlebihan. Aku tidak lebih hanyalah orang tua biasa yang memang sudah sakit-sakitan, hingga selama ini yang kulakukan hanyalah tetentang di atas pembaringan. Tak heran jika selama ini memang tidak ada lagi orang yang pernah menemuiku, malah sebagian teman-temanku telah menganggap diri tua ini telah kembali jadi tanah!"
"Ah. Kau terlalu merendah. Harap maafkan sikapku tadi" ujar Joko lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.
Tulang bibir Raja Tua Segala Dewa bergerak tersenyum. "Seharusnya aku yang minta maaf karena memaksamu! Tapi ketahuilah. Semua itu harus kulakukan. Aku tidak mau memilih orang yang salah!"
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Kek!"
"Kau memang tidak diharuskan untuk mengerti. Bahkan untuk apa yang akan kukatakan padamu. Kau hanya perlu mendengarkan dan menjalankan!"
"Tunggu!" kata Joko seraya melangkah mendekat. "Sebenamya urusan apa yang hendak kau katakan?!"
"Dengar, Anak Muda. Siapa pun kau adanya, itu tak penting bagiku. Yang pasti dengan timbulnya beberapa kejadian terakhir ini, menunjukkan bahwa Kitab Serat Biru telah berhasil didapat seseorang. Sebelum kuteruskan ucapanku. Aku tanya padamu. Apakah benar kau anak manusianya yang mendapatkan Kitab Serat Biru?!"
Untuk beberapa lama Joko tidak segera menjawab pertanyaan Raja Tua Segala Dewa. Hanya sepasang matanya yang memandang tajam pada si orang tua lalu pada laki-laki setengah baya yang tegak sampingnya. Deri pandangannya jelas sekali, jika murid Pendeta Sinting ini coba menyelidik.
"Kau tak usah khawatir, Anak Muda. Bagiku kedamaian rimba persilatan lebih berarti daripada sekedar sebuah kitab!" ujar Kiai Gager Panulung alias Raja Tua Segala Dewa seakan mengetahui apa yang ada di benak murid Pendeta Sinting, membuat Joko berubah paras.
"Kek. Kitab Serat Biru memang aku yang mendapatkannya..."
Gulurawa tampak terkejut. Namun Raja Tua Segala Dewa tampak tenang-tenang saja. Malah dia segera berujar.
"Berarti dugaanku tidak melesat. Dan perjalananku tidak sia-sia... Hem... Anak Muda. Sebagai orang yang mewarisi Kitab Serat Biru, kau harus mendengarkan apa yang hendak kukatakan."
Raja Tua Segala Dewa dongakkan kepala, lalu lanjutkan ucapannya. "dengan telah didapatkannya Kitab Serat Biru, maka pintu Istana Hantu terbuka kembali setelah sekian puluhan tahun tertutup. Dan dengan terbukanya pintu istana Hantu, maka pasti akan diikuti dengan timbulnya kegemparan di rimba persliatan..."
"Orang tua! Apakah Kitab Serat Biru ada kaitannya dengan Istana Hantu?!"
Raja Tua Segala Dewa gelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Dan itu salah satu yang kelak akan kau jawab sendiri..."
"Kau mengatakan itu adalah salah satu, berarti masih ada lagi lainnya!"
"Benar. Dan itu hanya dapat kau ketahui kelak jika kau telah bertemu dengan penguasa Istana Hantu. Hanya pesanku. Jangan kau tertipu dengan apa yang kau dengar dan kau lihat! Jangan berprasangka buruk terhadap perlakuan yang diperlihatkan orang padamu! Jika kau dapat menjalankan kedua hal tadi, maka di sanalah akan kau dapatkan apa yang kau cari!"
"Kek. Apa yang kau maksud kitab kedua?!"
"Hanya kau sendiri yang tahu apa yang kini kau cari! Dan kau bisa jawab sendiri pertanyaanmu!"
"Ah. Aku tidak mengerti dengan semua ini..."
"Seperti kukatakan padamu. Kau tidak diharuskan untuk mengerti. Kau hanya perlu mendengar dan menjalankan! Di sana nanti kau akan mengerti sendiri! Anak muda. Hanya itu yang dapat kusampaikan padamu. Ingat baik-baik pesanku tadi!" kata Raja Tua Segala Dewa, setelah agak lama diam. Orang tua ini lantas berpaling pada Gulurawa.
"Gulurawa. Kita pulang sekarang..."
Gulurawa melangkah kehadapan Raja Tua Segala Dewa. Lalu balikkan tubuh. Kejap lain sosok Raja Tua Segala Dewa telah berada di punggung Gulurawa.
"Kek. Tunggu!" tahan Joko. "Apakah penguasa Istana Hantu adalah tokoh yang dikenal dengan julukan Tengkorak Berdarah?!"
"Kabar yang tersiar memang demikian. Namun sekali lagi kau ingat baik-baik pesanku! Selamat tinggal..."
Raja Tua Segala Dewa ketukkan tangannya pada punggung Gulurawa. Saat itu juga tubuh Gulurawa melesat cepat dan kejap lain murid Pendeta Sinting sudah tidak lagi melihat sosok kedua orang tadi.
Sebenarnya, Gulurawa bukanlah orang berilmu tinggi yang memiliki ilmu peringan tubuh hebat. Dia bisa berkelebat cepat semata-mata karena Raja Tua Segala Dewa kerahkan tenaga dalam dan llmu peringan tubuhnya hingga tubuh Gulurawa bisa terbawa.
HANYA sesaat setelah Raja Tua Segala Dewa dan Gulurawa berlalu dari tempat itu, mendadak terdengar hentakan ladam-ladam kaki kuda. Pendekar 131 kerutkan dahi seraya mendongak menatap langit. Kejap lain dia tersentak sambil luruskan kepala dengan sepasang mata memandang ke arah datangnya suara hentakan kaki-kaki kuda. Lakasana direnggut setan, suara hentakan kaki-kaki kuda lenyap!
Setelah berpikir sejenak, murid Pendeta Sinting berkelebat lalu mendekam di balik kerapatan jajaran pohon. Sesaat setelah sosoknya lenyap di balik pohon terlihat dua ekor kuda melesat kencang. Anehnya maski ladam kaki-kaki kuda menghentak tanah lalu mulut dua binatang tunggangan itu terangkat dan terbuka, namun tidak ada suara yang terdengar! Jelas pertanda jika dua penunggang kuda itu adalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya tidak diragukan lagi, karena bukan saja mampu meredam suara hentakan kaki kuda tunggangannya, sekaligus dapat menahan suara ringkikan si binatang!
Di belakang dua penunggang kuda terlihat sebuah tandu yang bagian samping kanan kirinya ditutup dengan kelambu berwarna merah menyala. Tandu ini dipanggul oleh empat orang laki-laki.
Tepat di mana tadi Pendekar 131 dan Raja Tua Segala Dewa bercakap-cakap, dua penunggang kuda sekali menarik tali kekang kuda masing-masing. Dua kuda tunggangan itu serentak mendongak tinggi-tinggi dengan kaki depan terangkat, sementara kaki belakang membuat gerakan menahan, hingga di atas tanah yang masih agak becek itu tampak alur panjang sedalam satu jengkal. Namun sejauh ini, belum ada suara yang terdengar!
Penunggang kuda sebelah kanan angkat tangan kirinya, hingga keempat orang pemikul tandu hentikan langkah masing-masing.
Dari tempat mendekamnya, murid Pendeta Sinting pentangkan sepasang matanya besar-besar. Pandangi satu persatu pada beberapa orang di depan sana. Penunggang kuda sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mukanya bulat besar disamaki daging tebal bergumpal-gumpal, membuat sepasang matanya masuk ke dalam celah yang sangat kecil hingga mata itu hanya tampak laksana garis samar-samar. Demikian juga mulutnya, seperti celah agak panjang di antara lipatan daging. Rambutnya putih dikepang dua. Kakek ini mengenakan destar panjang berwarna kuning.
Inilah dedengkot rimba persilatan yang namnanya menjulang pada beberapa puluh tahun silam. Tokoh ini sempat menjadi momok kalangan dunia persilatan, karena seiring kemunculannya terjadi beberapa pembunuhan bukan saja terhadap tokoh-tokoh jajaran atas golongan hitam, namun juga menimpa beberapa tokoh golongan putih.
Menurut kabar, kemunculannya saat ini untuk memburu Kitab Serat Biru. Namun setelah sekian tahun menyelidik sambil menebar maut dan tidak menemukan apa yang dicari, tokoh ini mendadak menghilang dari kancah dunia persilatan. Terbawa oleh sikapnya yang ringan turunkan tangan maut, rimba persilatan menggelari dirinya Hakim Neraka.
Sementara penunggang kuda sebelah kiri adalah seorang perempuan tua. Raut wajahnya cekung dengan kulit mengeriput. Sepasang matanya besar. Rambutnya putih lebat dibiarkan tergerai. Nenek ini mangenakan kain panjang besar berwarna biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan tampak sapu tangan besar berwarna merah menyala. Inilah ciri jika si nenek adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal sebagai Ratu Pewaris Iblis.
Seperti halnya Hakim Neraka, si nenek pada beberapa puluh tahun silam juga pernah dikenal orang sebagai salah seorang momok yang ditakuti. Bukan saja karena memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai sabuah sapu tangan berwarna merah yang dikenal dengan 'Sapu Tangan Iblis'.
Pendekar 131 arahkan pandangannya pada empat orang pemanggul tandu. Mereka adalah laki-laki bertubuh tegap besar. Wajah mereka satu sama lain hampir mirip. Lonjong besar hingga mulut masing-masing orang itu laksana tidak membelah kesamping namun membelah ke bawah. Demikian juga kelopak mata masing-masing orang, tidak membelah ke samping kanan kiri, namun ke bawah. Kening mereka ciut tapi melebar ke bawah. Kepala masing-masing orang kelimis tak berambut.
Mereka berempat bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kolor. Orang bagian depan sebelah kanan mengenakan celana kolor warna merah, di sebelah kiri mengenakan celana kolor warna hitam. Sedangkan orang bagian belakang sebelah kanan memakai celana kolor warna kuning, dan sebelah kiri memakai celana kolor warna hijau.
Isyarat Hakim Neraka seolah menyadarkan semua orang bahwa ada sesuatu yang tak beres. Terbukti bersamaan itu, mata masing-masing orang bergerak liar pandangi seantero tempat dimana mereka berada!
Menangkap gelagat, murid Pendeta Sinting cepat gerakkan tubuh hingga sama rata dengan tanah. Namun sepasang matanya tetap memandang ke depan tak berkesip.
Di depan sana, sepasang mata dari celah gumpalan daging di wajah Hakim Neraka saling pandang dengan sepasang mata besar milik Ratu Pewaris Iblis. Sementara bola-bola mata keempat pemanggul tandu saling melirik satu sama lain.
"Di tempat ini baru saja terjadi bentrokan. Dari akibat yang dihasilkan jelas jika orang yang bentrok memiliki ilmu..." kata Hakim Neraka lalu arahkan kepala pada batang pohon yang tumbang dan bercak-bercak telapak kaki di tanah yaag becek. Terakhir dia palingkan kepala ke arah gubuk yang roboh.
"Kalau benar, mana bangkai manusianya?" sahut Ratu Pewaris.
"Sayang kita terlambat. Padahal kita sudah berusaha muncul tanpa dicurigai" ujar Hakim Neraka.
"Hem... Percuma kita menyelidiki urusan orang. Masalah kita di depan lebih besar daripada urusan-urusan tak berguna ini! Kita lanjutkan perjalanan..." Ratu Pewaris Iblis berkata seraya menyeringai, lalu tanpa menunggu lagi nenek ini tarik tali kekang kud tunggangannya.
"Tahan!" cegah Hakim Neraka.
Ratu Pewaris lblis mendengus, namun dia urungkan niat untuk bergerak. Dia berpaling dan berkata lantang. "Di sini tidak ada tanda-tanda munculnya orang yang hendak kita datangi! Tunggu apa lagi, he?!"
"Tanda Tengkorak Berdarah memang tidak ada, tapi..."
"Kau hanya buang-buang waktu..." tukas Ratu Pewaris Iblis.
"Betul!! Jika tidak ada tanda-tanda yang berkaitan dengan Tengkorak Berdarah, maka kita hanya akan sia-siakan waktu!" Mendadak terdengar sahutan dari dalam tandu.
"Hem... Seorang perempuan!" desis Pendekar 131 begitu mendengar suara dari dalam tandu.
Belum habis suara sahutan dari dalam tandu, Ratu Peweris Ibils telah tarik tali kekang kudanya. Lalu malesat mendahului. Kakek di sebelahnya sejenak gerakan kepala ke samping kiri kanan, tapi kejap lain telah menggebrak kudanya menyusul Ratu Pewaris Iblis.
Empat laki-laki pemanggul tandu tak satu pun yang buka mulut. Mereka hanya saling lontar pandangan lalu berkelebat. Kini terdengar jelas hentakan ladam kaki-kaki kuda membuncah suasana yang sesekali ditingkahi suara ringkikan kuda.
"Dari pembicaraan mereka, jelas mereka masih ada hubungannya dengan Tengkorak Berdarah..." gumam murid Pendeta Sinting, lalu menghambur menyusul.
Setelah melewati sebuah hutan sunyi, Hakim Neraka, Ratu Pewaris Iblis serta pemanggul tandu berhenti. Murid Pendeta Sinting yang menguntit di belakang mereka cepat menyelinap ke balik rumpun semak belukar di sekitar tempat itu. Saat dia arahkan pandangannya jauh ke depan, sepasang matanya mendelik besar. Dari tempatnya berada, murid Pendeta Sinting malihat sebuah bangunan tua. Dan bentuk bangunan, jelas bangunan itu adalah sebuan peninggalan kerajaan. Kanan kiri dipagari tembok tinggi, sementara di bagian depan tampak sebuah pintu gerbang yang terbuka. Pada pintu gerbang terlihat menggandul sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah!
"Menghubungkan ucapan Gendeng Panuntun serta Raja Tua Sagala Dewa, pasti ini yang disebut-sebut sebagai Istana Hantu!" kata Joko dalam hati. "Hem... Sayang Raja Tua Segala Dewa tidak mau katakan apakah Istana Hantu ada kaitannya dengan kitab kedua yang harus kucari... Tapi tidak ada salahnya aku mengetahui apa yang hendak dilakukan orang-orang itu! Sikap mereka menunjukan bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Lebih dari itu, mereka punya urusan dengan penghuni Istana Hantu yang mereka sebut-sebut dengan Tengkorak Berdarah..."
"Tampaknya kau ingin melihat pemandangan menyedihkan!" Satu suara mendadak terdengar, membuat Pendekar 131 tercekat dan cepat berpaling ke arah datangnya suara.
Di sela semak belukar sejarak lima langkah murid Pendeta Sinting meilhat seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-hitam. Rambutnya panjang bergerai dengan mata tajam bulat. Hidung sedikit mancung dengan kumis tipis.
Untuk beberapa saat Joko pandangi pemuda berpakaian hitam-hitam penuh selidik. Yang dipandang sunggingkan senyum, lalu Ikut-ikutan rundukkan kepala dan perlahan-lahan menggeser diri mendekat ke arah Pendekar 131.
"Siaps kau?!" tegur murid Pendeta Sinting dengan balas tersenyum meski dalam hati diam-diam dia membatin. "Adalah satu hal yang aneh jika kemunculannya di tempat ini tidak sempat kudengar. Wajahnya tampan dan gerakannya lincah. Siapa pun adanya pemuda ini pasti ilmunya sangat hebat... Tapi apa maksud ucapannya tadi?"
"Teguran dan pandanganmu membayangkan perasaan curiga..." ujar pemuda berpakaian hitam-hitam begitu dekat dengan Joko. "Kalau boleh kutanya, mengapa kau berada disini. Tidak ikut serta dengan rombongan orang-orong itu? Atau karena kau memang sengaja hanya ingin melihat seperti kataku tadi?!"
"Kau belum sebutkan siapa dirimu...!"
Pemuda berpakaian hitam-hitam palingkan wajahnya ke depan. Untuk sekian kalinya dia sunggingkan senyum, lalu masih dengan memandang ke arah rombongan di depan sana, dia berkata,
"Apakah jika aku katakan siapa diriku, kau tidak lagi menaruh curiga padaku?"
"Tergantung siapa namamu dulu!"
Pemuda berpakaian hitam-hitam berpaling dan balik menatap tajam pada Joko sebelum akhirnya berujar. "Kau tampaknya suka bercanda. Aku senang bersahabat dengan orang sepertimu. Aku Raka Pradesa. Kau sendiri...?!"
Beberapa saat murid Pendeta Sinting masih kancingkan mulut tidak menjawab pertanyaan pemuda barpakaian hitam-hitam yang sebutkan diri Raka Pradesa.
"Rupanya namaku tidak memenuhisyarat untuk lenyapkan rasa curigamu. Tak apa-apa. Aku tidak memaksamu untuk menghilangkan perasean curigamu. tapi apakah kau menolak untuk kuanggap sebagai sahabat...?"
Karena murid Pendeta Sinting masoh juga tidak menjawab, Raka Pradesa angkat bahu, lalu sedikit demi sedikit menggeser kembali tubuhnya menjauh dari Joko.
"Kau sepertinya tidak butuh seorang sahabat dan ingin sendirian. Maaf jika aku tadi mengganggumu..." kata Raka Pradesa sambil terus beringsut menjauh.
"Tunggu!" tahan Joko lalu perlahan-lahan mendekat ke arah Raka Pradesa.
"Aku Joko Sableng!" ujar Joko lalu arahkan pandangannya ke depan. Sementara Raka Pradesa menatap lekat-lekat pada pemuda di sampingnya.
"Harap tidak menaruh curiga padaku. Memang itulah nannakul" kata Joko saat diliriknya Raka Pradesa memandang ke arahnya dengan pandangan aneh.
Raka Pradesa gelengkan kepala. "Aku tidak curiga padamu. Hanya yang kuherankan kenapa kau mengkuti rombongan itu?"
"Dia tahu jika aku menguntit orang-orang itu. Hem... Jangan-jangan dia mengikutiku tanpa kuketahui... Siapa dia sebenarnya?" Joko terus dibunca pertanyaan.
"Pertanyaanku mungkin terlalu mencampur urusanmu. Lupakan saja..." ujar Raka Pradesa lalu berpaling ke depan.
"Sebentar. Bagaimana kau tahu aku mengikuti mereka?!"
Raka Pradesa tertawa pelan. "Kemunculanmu di sini yang secara sembunyi-sembunyi. Hingga kau tak tahu, jika sejak sebelum kau tiba, aku sudah lama barada disini!"
"Busyet, jadi dia mendahuluiku sampai di sini. Apakah dia punya maksud sepertiku?" batin Joko lalu berkata.
"Kau sendiri sedang apa di sini?!"
"Itu kita bicarakan nanti. Lihat ke depan!"
Pendekar 131 cepat arahkan pundangannya ke depan. Terlihat keempat pemanggul tandu turunkan sedikit tubuh masing-masing. Dan perlahan-lahan tandu itu diletakkan di atas tanah. Sementara Hakim Neraka beserta Ratu Pewaris Iblis telah turun dari kuda masing-masing. Kedua orang tua ini berpaling ke belakang. Kelambu berwarna merah di sebelah samping kanan tandu terkuak. Lalu sesosok tubuh tampak keluar.
Dari tempatnya bersembunyi, murid Pendeta Sinting belalakkan mata. Ternyata sosok yang keluar dari dalam tandu adalah seorang perempuan muda berparas jelita. Mengenakan pakaian warna merah tipis dan ketat, hingga bentuk tubuhnya yang bagus membayang Rambutnya panjang sepunggung diikat dengan pita berwarna merah.
"Luar biasa..." desis Joko.
Membuat Raka Pradesa berpaling dengan kening berkerut. "Kau tertarik pada gadis cantik itu?"
"Tertarik belum, tapi aku kagum dengan kecantikannya. Kau sendiri?"
Raka Pradesa tersenyum dan kembali arahkan pandangannya ke depan. "Manalah mungkin orang sepertiku mampu menggaet gadis seperti dia! Apalagi dia adalah seorang gadis berilmu tinggi!"
"Kau mengenalnya?!"
"Gadis itu adalah seorang tokoh yang dijuluki kalangan rimba persilatan Putri Kayangan! Entah karena tinggi ilmunya atau karena kecantikannya rimba persilatan menggelarinya demikian. Mungkin juga kedua-duanya!"
"Lalu apakah kau juga mengenal si kakek dan nenek serta empat laki-laki berwajah angker itu?!"
"Kalau tidak salah, kakek berwajah penuh benjolan itu adalah seorang tokoh yang bergelar Hakim Neraka. Sedangkan si nenek juga adalah seorang tokoh yang dikenal dengan julukan Ratu Pewaris Iblis. Kau lihat di sakunya. Itu adalah sebuah senjata sakti bernama Sapu Tangan Iblis..."
"Hem... Meski dia tampak lebih muda dariku, namun pengetahuannya tentang tokoh-tokoh persilatan luas juga..." diam-diam Joko membatin. Lalu berujar.
"Lalu siapa keempat laki-laki pemanggul tandu Putri Kayangan?!"
"Mereka menamakan diri Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Mereka adalah pembantu terdekat Putri Kayangan."
"Kalau kau mengenal mereka, setidaknya kau juga dapat menebak apa tujuan mereka...!" kata murid Pendeta Sinting tanpa berpaling ke arah Raka Pradesa.
"Kau pura-pura tidak tahu atau memang betul-betul tidak tahu?!"
"Kalau aku tahu, tak mungkin aku sembunyi-sembunyi mengikuti mereka!"
Raka Pradesa berpaling dan memandang Joko seakan ingin mendapat keyakinan akan ucapan orang. "Siapa sebenarnya pemuda ini. Melihat kelebatannya tadi, jelas jika dia punya simpanan ilmu. Tapi kenapa dia tidak tahu tentang kejadian yang lagi menggegerkan dunia persilatan? Hem... Aku harus memberitahu padanya agar dia tidak coba-coba bertindak seperti orang-orang itu..." pikir Raka Pradesa lalu berkata.
"Saat ini rimba persilatan digemparkan dengan terjadinya bebernpa pembunuhan. Karena setiap kali terjadi terdapat tengkorak berlumur darah, maka orang-orang dunia persilatan sudah dapat menebak siapa adanya orang yang malakukan pembunuhan itu."
"Maksudmu si Tengkorak Berdarah?!"
Raka Pradesa anggukkan kepalanya. "Benar. Kalangan dunia persilatan memang arahkan tuduhannya ke Tengkorak Berdarah. Apalagi ketika tersiar jika pintu Istana Hantu yang konon dikabarkan sebagai tempat tinggal Tengkorak Berdarah telah terbuka, menjadikan tuduhan itu semakin kuat!"
"Hem... Bagaimana bisa begitu?!"
"Karena selama pintu Istana Hantu tertutup, tidak pernah terjadi kegemparan. Dan peristiwa ini adalah yang kedua kalinya. Dulu, hal yang sama pernah terjadi. Itulah sebabnya maka orang-orang rimba persilatan menjatuhkan tuduhan bahwa penghuni Istana Hantu-lah yang bikin kegemparan ini"
"Tengkorak Berdarah..." gumam Pendekar 131. "Apakah raut wajahnya seperti gelar yang disandangnya?!"
"Inilah satu hal yang aneh. Selama ini tidak seorang pun yang berhasil mengatahui wajah Tengkorak Berdarah! Tapi kenapa kalangan rimba persilatan menuduh dialah biang dibelakang kegemparan ini! Tanda tengkorak berlumuran darah pada setiap pembunuhan tidaklah bisa dijadikan bukti bahwa Tengkorak Berdarah yang melakukan. Bisa saja orang lain yang melakukan!"
"Tapi kalau para tokoh tingkat tinggi punya keyakinan, tentu mereka punya bukti kuat. Lagi pula jika dihubungkan dengan peristiwa di masa lalu, di mana saat pintu Istana Hantu terbuka maka terjadilah peristiwa pembunuhan seperti yang sekarang terjadi!"
Raka Pradesa menarik napas panjang. "Memang masuk akal. Tapi tidak tertutup kemungkinan ada orang lain yang memanfaatkan situasi ini! Dia menunggu saat pintu istana Hantu terbuka lalu mengadakan pembunuhan! Dan yang jelas, siapa pun adanya yang melakukan pembunuhan itu pastilah orang yang berilmu tinggi, karena korban-korbannya adalah bukan tokoh sembarangan!"
"Dan ada satu hal lagi. Terbukanya kembali pintu lstana Hantu pasti ada maksud tertentu!" kata murid Pendeta Sinting.
"Dugaanmu sama denganku. Di balik semua ini tersembunyi maksud yang mungkin hanya kalangan tertentu saja yang tahu. Dan aku juga menduga, kedatangan bebarapa tokoh ke tempat ini, sebenarnya bukan untuk melenyapkan Tengkorak Berdarah. Namun ada sesuatu yang lebih dari itu!"
"Ah. Selain pengetahuanmu luas, kau juga pandai menebak. Boleh kutahu siapa kau sebenarnya?!" ujar Joko tanpa berpaling.
"Aku hanyalah orang biasa. Karena sejak kecil aku sering berkeliaran dsini, aku sedikit banyak tahu. Orangtuaku yang dilahirkan di sekitar tempat ini juga banyak cerita padaku..."
"Apa saja yang kau ketahui tentang Tengkorak Berdarah?!"
"Tentang dia, tak banyak yang kutahu. Hanya dia adalah orang berkepandaian tinggi. Dan menurut orangtuaku, selama lstana Hantu dihuni oleh Tangkorak Berdarah, tidak satu pun orang yang berhasil menerobos masuk pintu gerbang itu!"
Pendekar 131 tersentak. Dia cepat palingkan kepala. Itukah maksud ucapanmu melihat pemandangan menyedihkan tadi?!"
Raka Pradesa menjawab dengan isyarat anggukan kepala. "Sebelumnya aku tidak percaya dengan keterangan orangtuaku, lalu aku membuktikan sendiri dengan sembunyi di sini! Dalam lima hari terakhir, rombongan di depan sana itu adalah pendatang ke sembilan! Para pendatang sebelumnya harus pulang dengan cedera berat dan tidak sedikit pula yang tewas!"
"Lalu dari mana kau mengenal tokoh-tokoh yang datang kemari?!"
"Orangtuaku dulu sering berada di sini. Dia tahu semua tokoh yang pernah datang saat pintu Istana Hantu terbuka pertama kali. Dia menceritakan ciri-cirinya padaku..."
"Apakah menurutmu, rombongan di depan sana itu juga akan mengalami kegagalan menerobos masuk?!"
"Tidak ada jawaban yang pasti sebelum kita buktikan sendiri. Lihat! Mereka mulai bergerak!"
Pendekar 131 cepat arahkan pandangan ke depan dengan mata terpentang besar.
HAKIM Neraka dan Ratu Pewaris Iblis melangkah perlahan di sebelah depan. Di belakangnya Putri Kayangan menyusul diiringi tokoh-tokoh Penghela Tandu. Kira-kira tujuh tombak dari pintu Istana, Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis hentikan langkah.
Sejenak kedua orang ini tidak ada yang buka mulut. Malah wajah keduanya tampak tegang. Sepasang mata dari sela lapisan gumpalan daging di wajah Hakim Neraka tak berkesip menatap ke arah gandulan tengkorak berlumur darah di pintu Istana. Sementara sepasang mata besar milik Ratu Pewaris Iblis memperhatikan bagian alas pintu Istana. Kejap lain keduanya sama-sama berpaling dan saling pandang. Tapi sejauh ini mulut masing-masing orang masih terkancing.
Di belakang kedua kakek nenek ini, Putri Kayangan bersama tokoh-tokoh Penghela Tandu sejenak mengawasi sikap kedua orang itu dihadapan mereka. Dan seperti halnya kedua orangtua itu, di antara mereka belum juga ada yang buka suara. Hingga suasana di halaman depan Istana itu lengang. Yang terlihat adalah wajah-wajah tegang dan sorot mata penuh selidik.
"Katakan kedatangan kita! Dan suruh dia keluar!" Tiba-tiba kelengangan suasana dipecah oleh suara Ratu Pewaris Iblis. Sambil berkata diarahkan, pandangannya pada pintu Istana Hantu.
Hakim Neraka menyeringgai. Gumpalan daging wajahnya bergerak-gerak. Setelah agak lama baru dia buka mulut berteriak.
"Tengkorak Berdarah! Aku Hakim Neraka datang bersama Ratu Pewaris Iblis, Putri Kayangan serta Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Harap kau suka tunjukkan diri menyambut kedatangan kami! Kami datang dengan maksud baik!"
Tidak ada suara sahutan dari dalam Istana. Hakim Neraka berpaling pada Ratu Pewaris Iblis. Tapi yang dipandang tetap arahkan matanya ke depan.
"Tengkorak Berdarah!" untuk kedua kalinya Hakim Neraka berteriak. "Kami dapat memaklumi akan apa yang kau lakukan! Lagi pula perbuatanmu itu bukanlah hal yang meresahkan bagi kami. Kedatangan kami punya tujuan lain. Tidak ada sangkut pautnya dengan tindakanmu. Jadi harap suka menyambut!"
Semua mata tertuju pada pintu istana. Dada masing-masing orang berdebar. Mereka menunggu dengan tegang. Namun sejauh ini tidak juga terdengar suara sahutan dari dalam istana.
"Orang seperti dia tampaknya tidak mau diajak berbaik-baik! Terpaksa kita siap jalankan rencana kedua!" kata Ratu Pewaris Iblis. Nenek ini lantas maju selangkah. Mulutnya membuka hendak berucap, tapi sebelum suaranya terdengar, dari dalam istana terdengar suara tawa berat, membuat Ratu Pewaris Iblis kancingkan mulut kembali.
"Tengkorak Berdarah! Keluarlah. Ada yang harus kita bicarakan!" teriak Hakim Neraka sambil maju menjajari Ratu Pewaris Iblis.
"Hari ini tampaknya aku kedatangan tamu agung! Namun sayang, aku tidak dapat memenuhi permintaan kalian!" Dari dalam istana terdengar suara jawaban.
"Itu kesalahan besar yang kau buat, Tengkorak Berdarah!"
"Ucapanmu masih sama seperti beberapa puluh tahun silam!" sahut suara dari dalam Istana.
"suara dan ucapan boleh sama, tapi tidak untuk hal lainnya!" ujar Hakim Neraka dengan usap-usap dadanya. "Jadi jangan pandang aku seperti beberapa puluhan tahun silam! Lekas keluarlah. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!"
"Aku lak bisa penuhi permintaanmu! Jadi jangan memaksa!"
"Hem... Berarti kau masih memandangku layaknya beberapa puluh tahun silam. Kau keliru besar! Dan kau akan bayar kekeliruanmu!"
"Kau berkunjung ke tempat yang salah, Sahabat! Membuat ucapanmu juga salah alamat!"
"Aku tak pernah salah ucap, apalagi salah alamat! Justru kesalahan besar itu adalah adatmu yang tidak pernah berubah!"
"Jangan salahkan adatku, Sahabat! itu sudah ketentuan yang harus kuperbuat!"
Hakim Neraka mendengus keras. Sementara Ratu Pewaris Iblis sedari tadi terdiam menyimak ucapan-ucapan dari dalam Istana. Begitu Hakim Neraka diam, nenek ini segera ganti berteriak.
"Tengkorak Berdarah! Jangan banyak mulut cari dalih. Tunjukkan tampangmu, kita bicara baik-baik! Atau kau ingin kami membuat tampangmu seperti simbol di depan pintumu, hah?!"
Terdengar geraian tawa berat dari dalam Istana. Masing-masing orang dihalaman Istana tersentak. Karena pada saat itu mereka rasakan tanah yang mereka pijak bergetar keras! Tengkorak berlumur darah yang tenggantung di pintu Istana bergoyang-goyang dan keluarkan suara berderak-derak tatkala berpadu dengan pintu. Anehnya, tengkorak itu tidak pecah berantakan!
"Ratu Pewaris Iblis! Maaf, hari ini aku belum dapat menuruti apa yang kau minta. Kelak jika ada saat baik, tentu aku akan memenuhi permintaanmu!"
"Aku datang hari ini! Tidak ada waktu lain lagi"
"Kau memaksaku?!" tanya suara dari dalam Istana.
Ratu Pewaris Iblis tertawa mengekeh panjang. "Aku tidak memaksa. Tapi itulah hal yang harus kau lakukan sekarang! Keluar dan unjuk muka di hadapanku! Lalu kita bicara baik-baik!"
Lama tidak terdengar lagi ucapan dari dalam istana, membuat Ratu Pewaris Iblis yang rupanya sudah tidak sabar segera melangkah dua langkah kedepan. Saat itulah dari dalam Istana terdengar lagi ucapan.
"Sahabat sekalian! Baiklah. Hari ini aku mengalah, namun bukan berarti aku menuruti permintaan kalian..."
"Jangan bersilat lidah! Katakan apa maksud ucapanmu!" teriak Ratu Pewaris Iblis.
"Katakan saja apa tujuan sahabat sekalian datang ketempatku!"
Tidak ada yang buka suara menjawab. Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis saling berpandangan, lalu serentak menoleh ke belakang. Putri Kayangan maju menjajari. Untuk sesaat ketiga orang ini saling lontar pandangan.
"Kita sudah sepakat untuk tidak mengatakan apa tujuan kita! Bahkan diantara kita sendiri! Harap pegang janji...!" kata Putri Kayangan pada akhirnya. "Dan seperti kesepakatan semula, kita hanya akan bicara jika Tengkorak Berdarah sudah keluar dari sarangnya!"
"Lalu...?!" tanya Ratu Pewaris Iblis dengan sedikit menyeringai.
"Kalau dia tak mau keluar dan bicara kita masih punya jalan lain seperti yang sudah kita sepakati!"
Habis berkata begitu, Putri Kayangan berteriak. "Tengkorak Berdarah! Kami memang datang bersama, namun kami punya tujuan berlainan! Kami akan mengatakan hanya jika kau keluar..."
"Ah, itulah hal yang tak dapat kulakaan. Menyesal sekali!"
"Kau sudah pikirkan ucapanmu?!" tanya Putri Kayangan dengan tertawa pendek bernada mengejek.
"Hidup bertahun-tahun kulalui dengan berpikir..."
"Bagus! Bararti kau juga telah pikirkan jalanmu ke akhirat!" tukas Putri Kayangan.
Terdengar suara tawa berat. Disusul kemudian dengan ucapan. "Kau keliru! Justru jalan ke akhirat adalah satu hal yang tidak pernah kupikirkan. Karena hal satu itu telah ditentukan oleh Sang Penentu!"
"Lalu apakah pembunuhan yang kau lakukan juga tidak pernah kau pikirkan?!" tanya Putri Kayangan.
"Aku tidak pernah melakukan apa yang kau katakan. Mereka sendiri yang datang serahkan jiwanya! Di samping itu, bukankah hal itu pantas diterima oleh orang-orang pembuat malapetaka dan serakah?! Kau tahu, setiap orang yang datang kemari di hatinya pasti punya sifat serakah! Mereka tidak sadar jika Sang Penentu telah guratkan pena-Nya bahwa apa yang mereka pinta bukan ditentukan untuknya!"
"Hem... Rupanya pandai juga kau bicara dengan main tebak hati orang! Dan mengaitkan persolaan dengan dalih Sang Penentu..." kata Putri Kayangan dengan suara keras lalu tertawa panjang.
"Kau lupa. Gadis jelita! Semua persoalan pasti akan berpulang pada Yang Maha Kuasa! Jika orang mau berpijak pada hal itu, pasti dia tidak akan memiliki sifat serakah! Meski tidak harus berpangku tangan dan pasrah! Kau berhak memburu benda yang kau kehendaki, tapi jika Yang Maha Kuasa tidak mengizinkan, apakah kau sanggup melawan ketentuan?!"
"Jawabannya akan kau lihat sendiri..." bentak Putri Kayangan. Lalu gadis muda berparas cantik jelita ini lompat ke depan. Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis tidak tinggal diam. Keduanya segera pula berkelebat dan tegak tiga langkah di samping kanan pintu Istana. Kejap lain keempat tokoh-tokoh Penghela tandu sudah pula berdiri di samping kanan kiri Putri Kayangan.
Putri Kayangan berpaling ke kanan seraya memberi isyarat dengan anggukan kepalanya. Keempat Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak berkelebat kedepan dan didahului bentakan keras dari mulut masing-masing orang, keempatnya sama mendorongkan tangan sambil menerobos masuk pintu Istana Hantu.
Terdengar deruan dahsyat bersahutan. Lalu dari tangan masing-masing keempat laki-laki bertubuh besar ini melesat gelombang angin luar biasa kencang!
"Brakkk! Brakk! Brakkk! Brakkk!"
Terdengar suara derakan hebat empat kali berturut-turut. Kejap lain mata masing-masing orang yang berada di luar terpentang besar. Karena bersamaan dengan itu, dari pintu Istana Hantu terlihat empat sosok tubuh mencelat mental sampai lima tombak dan jatuh berkaparan!
Keempat laki-laki yang bukan lain adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu perlahan-lahan bergerak bangkit. Setelah meneliti keadaan masing-masing, laki-laki yang bercelana kolor warna merah yang tampak paling tua usap-usap mulutnya yang membelah ke bawah. Sepasang matanya yang juga membelah liar pandangi ketiga saudaranya. Tiba-tiba dia bersuit keras. Kejap lain dia berkelebat ke arah samping kanan. Laki-laki yang bercelana kolor warna hitam segera menyusul dan tegak dibelakangnya. Laki-laki bercelana kolor warna kuning cepat berkelebat ke arah samping kiri, sedangkan laki-laki bercelana warna kuning segera melompat berdiri tegak dibelakangnya.
Sesaat kemudian, serentak keempatnya bergerak membentuk jalur ke kanan kiri bersilangan. Inilah jurus andalan Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang dikenal kalangan rimba persilatan dengan 'Barisan Naga Iblis'. Selama ini hanya tokoh yang benar-benar sempurna Ilmu peringan tubuhnya yang bisa lolos dari 'Barisan Naga Iblis'.
Karena jika lawan bisa menghindar dari sergapan orang paling depan maka orang dibelakangnya akan segera menggebrak. Demikian seterusnya berputar-putar, hingga jika lawan lengah sedikit, maka tak ampun lagi nyawanya akan putus! 'Barisan Naga Iblis' terus bergerak cepat ke depan. Begitu setengah tombak lagi sampai pintu masuk Istana Hantu, keempatnya mempercepat kelebatn tubuh masing-masing. Lalu...
"Wuutt! Wuutt! Wuuttt! Wuuttt!"
Keempat sosok Tokoh-tokoh Penghela Tandu lenyap masuk ke dalam Istana! Putri Kayangan tumpak tersenyum. Tapi laksana disabet setan, senyum gadis ini mendadak terputus. Karena terlihat sesosok tubuh mental dari dalam Istana. Kejap lain satu sosok lagi terpental keluar, lalu disusul dua yang lainnya! Untuk kedua kalinya keempat Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama jatuh bergelimpangan di atas tanah. Tubuh masing-masing tampak bergetar keras. Dari mulutnya yang membelah ke bawah mengucur darah segar! Pertanda jika masing-masing laki-laki ini terluka dibagian dalam.
Untuk beberapa saat lamanya keempatnya diam tidak bergerak-gerak. Namun akhirnya si pemakai celana kolor warna merah bergerak bangkit. Disusul kemudian oleh ketiga saudaranya. Tapi Baru saja sosoknya tegak, kaki-kaki mereka terlihat menekuk, hingga tak lama kemudian keempatnya jatuh terduduk dengan wajah meringis dan mata mendelik. Dalam diri masing-masing orang ini sebenarnya merasa sekujur tubuhnya laksana dipanggang dan sakit luar biasa, namun tampangnya yang angker dan aneh malah sebaliknya membuat wajah keempatnya lucu!
Melihat apa yang menimpa para pembantu setianya, Putri Kayangan kertakkan rahang. Namun tampaknya gadis cantik ini berlaku cerdik. Meski wajahnya menampakkan hawa kemarahan, dia tak juga melakukan gerakan. Malah sebaliknya memandang sekilas pada Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis yang tegak disamping kanan kiri pintu Istana Hantu.
Pandangan sekilas Putri Kayangan tampaknya membawa pengaruh. Karena bersamaan dengan itu, Ratu Pewaris lblis yang saat itu sempat memandang pada sang Putri tampak menyeringai dan dalam hati berkata.
"Hem... Rupanya dia gentar juga melihat para pembantunya jatuh bergelimpangan! Akan kutunjuk bahwa Ratu Pewaris lblis adalah bukan orang yang bisa dibuat sembarangan. Dan agar dia nanti tidak coba-coba menggunting dalam lipatan jika maksudku tercapai..."
Lain yang ada dalam benak Ratu Pewaris Iblis lain pula apa yang terpikir oleh Hakim Neraka. Kakek ini diam-diam membatin. "Tokoh-tokoh Penghela Tandu bukanlah tokoh yang berilmu cetek. Jurus 'Barisan Naga Iblis' sudah dikenal kalangan rimba persilatan sebagai jurus yang sulit diterobos ceahnya, namun kenyataan menunjukkan bahwa penghuni istana ini ilmunya makin menjulang. Aku akan menanti sampai nenek keriput itu bertindak! Aku tak akan mengulang kesalahan pada beberapa puluh tahun silam!"
Ratu Pewaris Iblis cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Melihat apa yang menimpa pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu, nenek ini tidak berani bertindak ayal. Maka seraya salurkan tenaga dalam pada kedua tangan, dia juga lindungi diri dengan salurkan tenaga dalam pada dada. Kejap kemudian tubuhnya meelesat masuk ke dalam Istana Hantu dengan kedua tangan menyentak!
Namun baru raja sosok Ratu Pewaris IbIis hendak masuk, terdengar seruan tertahan si nenek. Lalu terlihat sosoknya menyeruak mental dari pintu istana Hantu. Untung dia cepat dapat kuasai tubuh meski sejenak tubuhnya sempat terhuyung-huyung dan melipat hendak jatuh.
"Keparat!" maki si nenek. Sepasang matanya tajam menyengat ke dalam pintu Istana Hantu. Sosoknya tampak bergetar keras, pelipis kiri kanannya bergerak-gerak pertanda dia telah dilanda hawa kemarahan luar biasa.
Sementara di sebelah kanan kiri, Putri Kayangan dan Hakim Neraka tampak memperhatikan dengan kening berkerut. Diam-diam Putri Kayangan merasa kecut. Dia tahu, Ratu Pewaris IbIis memiliki kepandaian tinggi, namun nyatanya belum juga mampu menerobos pintu Istana Hantu.
"Aku akan menunggu giliran setelah Hakim Neraka. Dari sana nanti aku dapat menimbang. Jika tidak memungkinkan, adalah bodoh jika bertindak!"
Di lain pihak, Ratu Pewaris Iblis tampak sudah melangkah maju. Mendadak tubuhnya melesat. Sejarak enam langkah dari depan pintu, dia telah dorongkan kedua tangannya. Rupanya nenek ini tidak mau lagi lancarkan pukulan saat tubuhnya masuk, karena dia telah mengalami akibat yang fatal.
Dua gelombang dahsyat tampak menggebrak masuk dari kedua tangan si nenek. Karena untuk beberapa saat tidak ada gebrakan membalik dari dalam istana, membuat si nenek teruskan lesatannya dan untuk kedua kalinya kedua tangannya mendorong lepaskan satu pukulan.
Namun angin gelombang kedua pukulan si nenek belum sampai masuk ke dalam Istana, tiba-tiba terdengar suara derakan beberapa kali. Lalu gelombang angin kedua laksana menghantam tembok tebal dan langsung mental membalik ke arah Ratu Pewaris Iblis!
Karena tak ada jalan lain untuk selamatkan diri dari pukulannya yang membalik selain menangkis dengan pukulan, maka sambil melayang di udara dia lepaskan pukulan sekali lagi.
"Buummm!"
Terdengar ledakan keras tatkala pukulan yang mental Ratu Pewaris Iblis bentrok dengan pukulannya sendiri. Sosok si nenek tampak terbanting di udara Lalu melayang deras dan jatuh berlutut dengan wajah berubah dan tangan gemetar. Namun sesaat kemudian tiba-tiba Ratu Pewaris Iblis sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya melenting satu tombak ke udara.
Selelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, sosoknya melesat ke arah pintu Istana Hantu. Tangan kiri membuat gerakan mendorong, sedangkan tangan kanan yang telah memegang sapu tangan merah yang dikenal dengan Sapu Tangan Iblis berkelebat mengibas!
"Wuuutt! Wuuuss!"
Gelombang angin dan kiblatan merah menerobos masuk pintu istana. Disusul dengan melesatnya sosok Ratu Pewars Iblis lenyap masuk ke dalam Istana. Namun kali ini si nenek berlaku cerdik. Dia menerobos masuk dengan menyisi ke samping untuk menghindar jika pukulan yang dilepas mental balik.
Dugaan si nenek terbukti. Karena bersamaan itu terdengar suara berderak disusul dengan mencuatnya gelombang angin dari dalam Istana menghantam tempat kosong di luar istana. Di dalam Istana sendiri, Ralu Pewaris Iblis tampak menarik napas lega karena apa yang diperhitungkan tidak meleset.
Namun baru saja sepasang kakinya menginjak lantai di dalam istana, dan sepasang matanya belum sempat memandang keadaan di dalam, dia merasakan sapuan gelombang angin dahsyat. Buru-buru dia meloncat-meloncat sambil dorongkan tangan kiri kanan. Namun baru setengah jalan, sapuan angin telah menggebrak Iebih cepat. Tangan kanan kiri si nenek mental ke belakang lalu sosoknya terdorong keras. Karena di belakangnya adalah tembok maka lak ampun lagi tubuhnya menghantam tembok di belakangnya.
"Bukkk!
Tubuh Ratu Pewaris Iblis tersandar lalu perlahan-lahan melorot jatuh. Saat itulah untuk kedua kalinya dia rasakan sapuan menggebrak lagi. Sadar akan bahaya maut, nenek ini cepat gulingkan tubuh. Anehnya, Ratu Pewaris Iblis rasakan sapuan angin itu lakaana mata pedang yang bergerak ke mana tubuhnya berguling. Dan belum sempat dia gerakkan kedua tangannya, jubahnya telah tersapu.
"Bukkk!"
Untuk kedua kalinya tubuh Ratu Pewaris Iblis mencelat menghantam tembok. Lalu jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah.
Di luar istana Hakim Neraka dan Putri Kayangan tak berkesip memperhatikan ke arah pintu istana Hantu. Wajah kedua orang ini membayangkan rasa cemas, bukan mengkhawatirkan keadaan Ratu Pewaris iblis yang untuk beberapa lama tak kunjung muncul, sebaliknya dada keduanya diselimuti rasa takut jika si nenek berhasil mendapatkan apa yang menjadi maksudnya. Karena meski mereka tidak saling memberitahukan apa tujuan masing-masing, tapi di antara mereka tampaknya sudah dapat menduga apa yang dituju masing-masing orang.
"Kalau tua bangka itu berhasil mendapatkan Kitab Sundik Cakra, apa pun kesepakatan yang dibuat tidak akan berlaku lagi!" kata Hakim Neraka dalam hati.
"Hem... Apakah benar jika Tengkorak Berdarah menyimpan Kitab Sundik Cakra seperti yang diucapkan mendiang Guru? Sayang Guru telah tiada sebelum pintu Istana Hantu terbuka lagi. Tapi dia mengatakan Kitab Sundik Cakra adalah kitab kedua. Dan sebagai tanda, pintu istana Hantu akan terbuka jika kitab pertama telah didapat seseorang. Hem... Siapa gerangan yang telah berhasil mendapatkan kitab pertama?" Diam-diam Putri Kayangan juga membatin.
Ketika kedua orang itu sama-sama digelayuti dengan kata hati masing-masing, tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan suara batuk berulang kali. Ketika mereka melihat ke depan, mereka tersentak. Namun wajah mereka jelas membayangkan rasa gembira.
Dari dalam istana Hantu tampak merangkak keluar sesosok tubuh mengenakan pakaian warna biru. Rambutnya yang putih lebat awut-awutan. Dari mulutnya keluar mengucur darah. Orang ini bukan lain adalah Ratu Pewaris Iblis. Begitu berada diluar istana, nenek ini cepat bergerak lalu duduk bersila. Tangan kanannya yang masih memegang Sapu Tangan Iblis dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Kejap lain sepasang mstanya memejam.
Mulut di celah gumpalan daging di wajah Hakim Neraka menyeringai. Dan tanpa ucapkan sepatah kata, sosoknya melesat dan seaaat kemudian lenyap masuk ke dalam Istana Hantu. Mungkin karena pernah gagal memasuki istana pada beberapa puluh tahun silam, sedikit banyak dia tahu apa yang kini harus diperbuat.
Hingga tatkala dia berkelebat masuk, kedua tangannya yang telah diangkat tidak lepaskan satu pukulan. Baru saat sepasang kakinya telah menginjak lantai bagian dalam istana, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan. Bersamaan itu tubuhnya bergerak ke samping.
"Buumm!"
Terdengar ledakan keras di dalam istana, membuat Hakim Neraka tercekat. Karena dia tak menyangka jika pukulannya tidak mental balik malah seakan-akan menghantam satu sasaran. Tapi Hakim Neraka tidak cepat gembira karena meski terdengar ledakan keras, namun dia tidak merasakan getaran sama sekali!
Sebagai tokoh yang pernah malang melintang dengan nama menjulang, Hakim Neraka tahu jika pukuannya tidak menghantam sesuatu! Dan begitu sadar apa yang terjadi, kakek ini segera pelolotkan sepasang matanya dari balik celah gumpalan daging di kening dan pipinya. Tapi belum sampai sepasang matanya dapat melihat apa yang ada di sekitarnya, satu deruan terdengar. Kejap lain satu sapuan gelombang menggebrak!
Hakim Neraka tak tinggal diam. Bersamaan terdengarnya deruan, kedua tangannya bergerak kirimkan satu pukulan.
"Bummm! Bummm!"
Ledakan keras terdengar dua kali berturut-turut. Kali ini istana Hantu bergetar. Namun laksana dipantek tiba-tiba getaran itu terhenti. Hebatnya sosok Hakim Neraka yang tersurut tampak bergoyang-goyang keras! Hakim Neraka cepat kuasai diri. Lalu cepat pula dia lorotkan tubuh hingga sepasang kakinya hampir menekuk. Kejap lain tubuhnya membal setinggi dua tombak ke udara. Di atas udara kedua tangannya membuat gerakan memukul pulang balik beberapa kali ke depan.
"Desss! Deeesss! Deeesss!"
Beberapa kali dari kedua tangan si kakek melesat gelombang angin deras. inilah pukulan andalan Hakim Neraka yang beberapa tahun silam pernah membuat lawan segan menghadapinya. Karena dalam beberapa kejap, dari kedua tangannya menggebrak gelombang angin deras yang susul menyusul tiada henti!
"Pukulan 'Tabur Gelombang'!" terdengar gumaman dari seseorang di dalam istana.
Hakim Neraka tertawa panjang. Namun tiba-tiba suara tawanya terputus. Beberapa gelombang yang dilepaskannya serta-merta lenyap tanpa perdengarkan suara deru atau ledakan. Bahkan kejap itu juga tubuhnya yang masih melayang di atas udara dibungkus dengan sambaran angin yang berputar aneh. Membuat tubuhnya bukan saja berputar-putar namun makin lama makin membubung ke atas.
Hakim Neraka berpikir cepat. Dia segera sapukan kedua tangannya ke bawah. Angin berputar-putar yang membawa tubuhnya melambung langsung amblas buyar! Namun kakek ini tampaknya tidak memperhitungkan akibat. Karena begitu angin berputar-putar itu amblas, tubuhnya melesat deras ke bawah. Dan sudah sangat terlambat buat si kakek untuk menahan lesatan tubuhnya, karena sewaktu sapukan kedua tangannya ke bawah, dia kerahkan segenap tenaga dalamnya.
"Bukkk!"
Sosok Hakim Neraka terjerembab dilantai istana. Belum sampai dia membuat gerakan bangkit, satu sapuan gelombang dahsyat menghampar. Hakim Neraka berseru tertahan. Tubuhnya mencelat mental sebelum akhirnya menghantam tembok di belakangnya. Saat bersamaan satu bayangan berkelebat. Si kakek cepat berpaling dengan mata dipentangkan besar. Namun belum dapat dia melihat siapa adanya si bayangan, satu kaki melayang lepaskan tendangan.
"Dessss!"
Belum sampai suara jeritan kelar, sosok Hakim Neraka telah melesat keluar dari dalam istana Hantu. Lalu jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah kehitaman. Daster kuning yang dikenakan terlihat robek menganga dibagian lambung.
Putri Kayangan tercengang dan langsung mundur dua tindak. Saat dia berpaling, ternyata Ratu Pewaris Iblis sudah tidak ada lagi di tempat itu. Sementara keempat laki-laki pembantunya tampak berdiri disebelah tandu dengan wajah khawatir.
Hakim Neraka bergerak bangkit. "Puluhan tahun sembunyikan diri berlatih memperdalam ilmu, tapi nyatanya aku masih gagal! Hem... Aku harus mencari jalan lain!"
Habis membatin begitu, Hakim Neraka angkat wajahnya yang bergumpal-gumpal memandang tajam kaarah pintu Istana Hantu. Kejap kemudian mulutnya yang hanya terlihat membersit di antara gumpalan daging bergerak membuka.
"Tengkorak Berdarah! Dalam waktu singkat aku akan datang kembali. Pada pertemuan nanti, jangan mimpi kau dapat bertingkah lagi!"
Selesai berucap, Hakim Neraka usap darah yang mengucur dari sela mulutnya. Memandang sejurus pada Putri Kayangan, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu tanpa berkata-kata lagi.
Putri Kayangan untuk beberapa lama tegak dengan mata memandang tajam ke arah pintu istana Hantu. Laiu tiba-tiba kedua tangannya bergerak terangkat ke atas. Namun sejenak kemudian gadis berparas jelita ini turunkan kembali kedua tangannya. Tubuhnya mamutar lalu melangkah ke arah tandu.
"Kita tinggalkan tempat celaka ini!" katanya sembari menyingkap kelambu penutup tandu dan kejap lain sosoknya lenyap masuk ke dalam tandu. Tokoh-tokoh Pengheta Tandu sama bergerak. Sesaat kemudian tandu melesat cepat tinggalkan halaman Istana Hantu.
SEPASANG mata murid Pendeta Sinting terpetang besar dengan mulut terkancing melihat apa yang baru saja terjadi dihalaman Istana Hantu. Sementara Raka Pradesa tampak tenang-tenang saja, malah begitu terlihat Putri Kayangan berlalu dari halaman istana, dia bergumam.
"Hem... Gadis itu tampaknya punya perhitungan tepat. Dia urungkan niat untuk ikut-ikutan bertindak bodoh seperti Hakim Neraka dan Ratu Pewaris iblis..."
Pendekar 131 berpaling. Mulutnya terbuka, namun dia buru-buru katupkan kembali, membuat Raka Pradesa menegur. "Kau hendak mengatakan sesuatu?!"
"Sebenarnya aku ingin mencoba masuk Istana Hantu. Tapi aku tidak ingin pemuda ini mengetahuinya kata Joko dalam hati lalu menjawab teguran Raka Pradesa dengan gelengkan kepala.
Raka Pradesa tersenyum, lalu sambil arahkan pandangannya ke istana, dia berucap. "Setiap orang saat ini pasti menginginkan masuk ke Istana itu, meski tentunya dengan maksud dan tujuan berbeda. Adakah kau juga mempunyai keinginan seperti itu?!"
"Aku tidak punya ilmu apa-apa. Sedangkan tokoh yang demikian tinggi ilmunya bisa dibuat cidera lalu bergelimpangan. Adalah satu hal yang mustahil jika aku punya niat seperti yang kau katakan!" jawab Pender 131 lalu bergerak bangkit.
"Kau hendak mengikuti gadis dalam tandu tadi?"
"Aku memang kagum pada kecantikannya, tapl bukan berarti aku harus mengikuti ke mana gadis itu pergi. Aku punya urusan lain. Mudah-mudahan kita dapat berjuumpa lagi..."
Pendekar 131 putar diri lalu hendak melangkah tinggalkan tempat itu. Namun langkah murid Pendeta Sinting tertahan tatkala bersamaan itu terdengar suara orang tertawa terbahak. Pendekar 131 cepat berpaling. Di atas sebuah tonjolan batu sejarak enam tombak dari tempatnya berada, murid Pendeta Sinting melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Kulit yang menutupi parasnya amat tipis meski raut wajah laki-laki ini bulat besar.
Sepasang matanya mendelik besar masuk ke dalam cekungan yang sangat dalam. Kedua alis matanya tebal dengan rambut disanggul ke atas. Yang membuat murid Pendeta Sinting membelalak, ternyata laki-laki ini hanya memiiiki hidung separo. Sedangkan separonya lagi merupakan cekungan dalam. Laki-laki yang sudah tidak muda lagi ini mengenakan jubah warna merah!
"Hem... Jelas jika aku baru kali ini bertemu dengan manusia ini. Tapi anehnya aku sepertinya pernah jumpa dengannya!" gumam Joko sambil perhatikan orang dengan seksama. Sementara Raka Pradesa ikut pula porhatikan laki-laki berjubah merah dengan mata tak berkesip.
"Dari ciri-ciri yang dikatakan orang padaku, nampaknya pemuda berpakaian putih itu mendekati kesamaan! Tapi untuk meyakinkan aku akan tanya dahulu!" desis laki-laki berjubah merah, lalu perdengarkan bentakan keras.
"Katakan padaku, siapa kau dan apa gelarmu!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab. Sebaliknya berpaling ke arah Raka Pradesa dan dia bisik. "Kalau kau tadi dapat nengenali orang, apakah kau juga mengetahui siapa adanya orang berjubah merah ini?"
Raka Pradesa belalakkan mata sejurus pada orang tua berjubah merah, lalu berpaling pada Pendekar 131 dengan gelengkan kepala, membuat murid Pendeta Sinting angkat alis matanya sambil berkata pelan.
"Kau punya gelar yang bagus untuk kukatakan padanya!"
Raka Pradesa sedikit terkejut mendengar pertanyaan Joko. Setelah menatap sejenak, untuk kedua kalinya dia gelengkan kepala.
"Bocah! Aku yakin kau tidak tuli! Jawab pertanyaanku atau kulepas nyawa ditubuhmu!" Membentak laki-laki berjubah merah berhidung Separo.
"Orang tua!" kata Raka Pradesa. "Kita belum saling kenal. Tak pantas kau memaksa begitu rupa!"
Rahang laki-laki berjubah merah sesaat tampak terangkat mengembang. Seraya mendengus keras diarahkan jari tetunjuknya ke arah Raka Pradesa lalu barkata. "Jangan berani pentang mutut didepanku. kau dapat giliran untuk kutanyai"
Habis berkata begitu, dia terus arahkan telunjuk jarinya tepat ke arah murid Pendeta Sinting dan barkata. "Jangan bikin kesabaranku habis. Kau akan menyesal!"
"Ah... Apa susahnya mengatakan diriku padamu, Orang Tua. Hanya..."
Orang tua di hadapan Joko kibaskan tangannya yang tadi terangkat menunjuk. Satu gelombang angin menderu, membuat Joko putuskan ucapannya. Karena pada saat yang sama laki-laki berjubah merah kembali membentak.
"Aku tak mau dengar segala macam dalih! Kau dengar?!"
"Apa maumu kupenuhi..." ucap Joko pada akhirnya. "Aku Pangeran mendut. Sekarang giliranmu mengatakan siapa kau adanya!"
Kening laki-laki berjubah merah berkerut. Sepasang matanya mendelik menyipit. Raut wajahnya jelas membayangkan rasa tidak percaya. Sementara Raka Pradesa tampak angkat tangannya menutupi mulut untuk menahan suara tawanya, namun tak urung suara tawanya masih juga terdengar, membuat laki-laki berjubah merah arahkan pandangan padanya. Mulutnya bergerak membuka, namun sabelum terdengar suaranya, murid Pendeta Sinting telah arahkan tetunjuk jarinya ke arah si orang tua berjubah merah sambil berkata.
"Kesabaranku terbatas! Harap lekas katakan siapa dirimu!"
Sambil kertakkan rahang, orang tua berjubah merah palingkan kepala ke arah Pendekar 131. Melihat si pemuda membuat sikap seperti dirinya, dada laki-laki ini bergemuruh. Kedua kakinya dihentakkan, lalu membentak.
"Jahanam! Kau belum katakan siapa gelarmu!"
"Ah, aku lupa..." ujar Pendekar 131 sambil tarik pulang tangannya. Lalu menyambung. "Dunia persilatan memberi gelar padaku Tengkorak Berdarah!"
Laki-laki berjubah merah mendelik angker. Sedangkan Raka Pradesa tampak tertengak lalu menoleh. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Pemuda konyol! Bisa-bisanya dia mendustai orang. Jangan-jangan apa yang dikatakan padaku juga ucapan dusta! Tapi aku suka pada sikapnya... Labih dari itu, aku..."
Raka Pradesa tidak teruskan kata hatinya. Sebaliknya dia cepat alihkan pandangannya ke jurusan lain dengan raut wajah berubah.
"Bocah! Rupanya kau suka bercanda. Apakah kau ingin tewas dengan bercanda. Hah?!"
"Kalau kau menganggap aku bercanda, itu urusanmu. Yang penting aku tidak mengajakmu bercanda! Lebih-lebih berharap tewas dalam canda..." jawab Joko lalu enak saja melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkah dan berujar.
"Kau telah tahu siapa diriku. Kalau tidak suka bercanda, mau sebutkan siapa kau sebenarnya?!"
Dari hidung laki-laki berjubah merah terdengar dengusan keras. Anehnya bersamaan dengan itu satu siuran angin keras keluar dari hidungnya yang hanya sebelah itu. Sepasang matanya melotot perhatikan lebih seksama.
"Aku hampir yakin. Inilah anak manusianya! Hem. Apakah dia lupa padaku? Tapi waktu itu memang sudah berlalu sekian tahun lamanya. Malah jika aku tidak mendapat kabar dan diberi tahu beberapa orang, mungkin aku juga sudah lupa bahkan tidak mengenalinya! Menurut Ratu Pemikat yang sempat menemuiku beberapa purnama yang lalu, pemuda ini telah mendapatkan Pedang Tumpul 131. Lalu tersiar kabar bahwa Kitab Serat Biru juga sudah jatuh ke tangan seorang pemuda setelah terjadi kegegeran di Pulau Biru. Kemunculannya di dekat lstana Hantu pasti punya tujuan tertentu, apalagi menurut yang kini kusirap, penghuni istana Hantu menyimpan sebuah kitab..."
Setelah lama berpikir, akhirnya orang tua berjubah merah ini melangkah maju satu tindak dan berkata dengan suara keras. "Buka matamu lebar-lebar! Lihat baik-baik siapa yang berdiri dihadapanmu sekarang?"
Pendekar 131 turuti ucapan orang. Dia memang merasa pernah kenal wajah orang dihadapannya, namun sejauh ini dia tidak bisa mengingat kapan dan di mana pernah bertemu. "Aku tidak mengenalmu! Kalau suka harap sebutkan diri saja!" kata Pendekar 131 pada akhirnya.
"Baik! Untuk segarkan ingatanmu aku tanya padamu. Kau ingat dengan Ratu Pemikat alias Dewi Asmara?!"
Murid Pendeta Sinting dongakkan kepala. "Perempuan bertubuh bahenol begitu memang sukardilupakan..."
Laki-laki berjubah merah menyeringai. Di sampingnya Raka Pradesa pasang tampang cemberut tanpa berpaling.
"Bagus, ingatanmu pada perempuan layak dihargai. Sekarang kau ingat baik-baik. Apakah kau masih ingat pada orang bergelar Malaikat Lembah Hijau yang tubuhnya jatuh ke sebuah jurang bersama seorang anak kecil?"
Tubuh Pendekar 131 langsung bergetar. Dadanya berdebar keras. Dia arahkan pandangannya lurus ke depan. Tiba-tiba dia melompat ke depan. "Kau! Bukankah kau yang memburuku bersama Ratu Pemikat hingga masuk ke dalam jurang!"
Laki-laki berjubah merah tertawa bergelak. "Akhirnya kau mengaku siapa dirimu sebenarnya! Ha Ha Ha...! Bukankah kau anak manusia yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?"
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut Sebaliknya sepasang matanya berkilat menatap tajam. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak. Raka Pradesa tegak dengan mulut menganga.
"Pendekar 131! Kalau kau bisa lolos pada baberapa tahun silam, kini Hantu Makam Setan tidak akan membiarkanmu lolos untuk kedua kalinya!" kata laki-laki berjubah merah yang bukan lain adalah dedengkot rimba parsilatan bergelar Hantu Makam Setan (Tentang Hantu Makam Setan baca episode Pesanggranan Keramat).
"Tapi aku masih memberimu kesempatan hidup jika kau turuti dua syaratku!" sambung Hantu Makam Setan lalu tertawa mengekeh. Dan tanpa hiraukan orang, kakek ini teruskan bicaranya. "Serahkan padaku Pedang Tumpul 131. Lalu jawab tanyaku. Apakah kau yang berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru!"
"Kau tidak layak mendapatkan apa yang kau minta. Lebih tidak pantas lagi mendapat jawaban atas pertanyaanmu!" jawab Joko membuat Hantu Makam Setan makin keraskan tawanya.
"Aku Hantu Makam Setan. Harap kau tidak membuat urusan baru dengan tidak mau turuti syaratku"
"Bayar hutangmu dahulu, baru kau akan mendapatkan apa yang kau minta!"
Hantu Makam Setan menyeringai. "Kau tidak mau beri yang kuminta dan menjawab apa yang kutanya tak jadi apa. Itu berarti kau telah pikirkan akibat yang akan kau terima. Tapi aku masih memberimu waktu untuk memikirkan sekaii lagi!"
Pendekar 131 tertawa pendek. "Kubilang bayar dahulu hutangmu! Setelah itu urusan kita bicarakan lagi!"
"Keparat!" maki Hantu Makam Setan.
Tangan kanan kiri kakek ini tampak bergetar pertanda dia telah kerahkan tenaga dalamnya. Tanpa bicara lagi, kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat melanggar cepat ke arah Pendekar 131!
Yang diserang hanya geser tubuhnya sedikit ke samping, hingga gelombang angin itu menghantam tempat kosong setengah tombak di sampingnya. Malah dengan tersenyum murid Pendeta Sinting berujar.
"Lama tidak jumpa, ternyata kau masih sama seperti dulu, Orang Tua!"
Mendengar ucapan Pendekar 131, meledaklah kemarahan Hantu Makam Setan apalagi setelah mengetahui gebrakan pertamanya begitu mudah dihindari si pemuda. Sementara Raka Pradesa cepat menyingkir dengan membatin.
"Tak kusangka jika pemuda ini adalah Pendekar Pedang Tumpui 131. Hem... Pantas jika dia sampai di tempat ini. Tujuannya pasti ingin mendapatkan kitab yang saat ini santer dibicarakan orang yang dipegang oleh penghuni istana Hantu... Atau mungkin dia punya tujuan lain? Sebagai seorang pendekar, tentu dia telah tahu apa yang saat ini terjadi dalam rimba persilatan dan kuyakin dia pasti akan membuat perhitungan dengan Tengkorak Berdarah yang akhir-akhir ini dituduh melakukan beberapa pembunuhan. Hem... Sangat disayangkan jika benar-benar apa yang kuduga jadi kenyataan. Ah, aku harus melakukan sesuatu... Aku tidak mau dia..."
Raka Pradesa putuskan kata hatinya, karena saat itu dilihatnya Hantu Makam Setan telah melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi lalu laksana kilat kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan jotosan ke arah kepala Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting sudah angkat tangannya. Namun mendadak Hantu Makam Setan tarik pulang kedua tangannya. Kejap lain sepasang kakinya bergerak lepaskan tendangan. Tendangan baru setengah jalan, kedua tangannya yang ditarik pulang kembali menyentak lepaskan pukulan jarak jauh!
Pendekar 131 cepat salurkan tenaga dalam pada dadanya kerahkan jurus Inti 'Sukma Es' untuk lindungi diri. Lalu tangannya yang terangkat sedikit diturunkan dan dipalangkan di depan dada. Hawa dingin segera menyeruak di sekitar tempat itu. Bukan saja membuat tendangan Hantu Makam Setan laksana beku, namun pukulan tangan si kakek seperti membentur kekuatan hebat hingga gelombang angin yang keluar dari kedua tangannya meleset! Namun Hantu Makam Setan tidak urungkan niat teruskan tendangan. Sejengkal lagi tendangan menggebrak, Pendekar 131 gerakkan tangannya.
"Bukkk! Bukkk!"
Sosok Hantu Makam Setan tersurut dua langkah dengan paras berubah. Matanya terpentang besar ketika meneliti sepasang kakinya selain membiru juga terasa panas akibat bentrok dengan tangan lawan. Di depannya, murid Pendeta Sinting tampak meringis lalu saling gosokkan kedua tangannya satu sama lain.
"Anak ini kalau tidak cepat dibikin habis, akan mendatangkan malapetaka!" desis Hantu Makam Setan. Sepasang matanya memejam. Lalu tampak tubuhnya bergetar tanda dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Saat lain tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke depan.
"Wuuuttt!"
Sinar hitam berkiblat. Bukan saja membuat suasana berubah pekat, tapi juga perdengarkan deruan luar biasa keras, pertanda jika si kakek telah kirimkan pukulan andaiannya 'Bara Hitam'.
Tapi baru saja deruan yang membawa hamparan gelombang melesat, terdengar orang berseru. Satu bayangan berkelebat di keremangan suasana. Bersamaan itu suasana pekat amblas ambyar dan angin laksana ditekan kekuatan luar biasa panas hingga menukik deras ke bawah dan menghantam tanah keluarkan ledakan keras!
SETAN alas! Siapa manusia gila yang berani jual ilmu di depanku, hah?!" teriak Hantu Makam Setan seraya kuasai tubuhnya yang terhuyung-huyung. Sepasang matanya angker menyengat ke arah samping dari mana tadi satu serangan memangkas habis pukulannya, malah jika dia tidak cepat kuasai diri niscaya tubuhnya akan jatuh terjengkang!
Sepasang kaki Hantu Makam Setan tegak bergetar, mulutnya komat-kamit. Kejap lain dia mendesis, "Ratu Malam!" ketika dilihatnya sepuluh langkah dari tempatnya berdiri seorang nenek berambut putih sebatas tengkuk mengenakan jubah merah menyala. Mulutnya selalu bergerak mainkan gumpalan tembakau hitam.
Pendekar 131 sendiri tampak tercenung Ialu hendak melangkah ke arah si nenek yang bukan lain memang Ratu Malam adanya. Namun gerakan kakinya tertahan saat terdengar bentakan Hantu Makam Setan.
"Ratu Malam! Aku tak suka urusanku ada yang ikut campur. Harap lekas menyingkir!"
Ratu Matam puaskan dulu tertawanya. Lalu berujar. "Bagaimana aku bisa tinggal diam jika kekasihku menghadapi maut?! Hik Hik Hik...! Kaulah yang telah merecoki diriku. Jadi kuharap kau lekas angkat kaki!"
Mendengar ucapan Ratu Malam, Hantu Makam Setan mengernyit. Lalu tawanya meledak. Pendekar 131 hanya bisa geleng-geleng kepala seraya gosokkan kedua tangannya satu sama lain. Di sebelah samping Rka Pradesa kembali ternganga dengan pandangan percaya.
"Aku tahu ucapan nenek ini hanyalah alasan. orang ini tentu punya hubungan tertentu jika sampai berada tak jauh dari Istana Hantu. Hem... Kurasa tidak mungkin harus menghadapi mereka berdua. Tapi sudah kepalang tanggung untuk tinggalkan tempat ini! Istana Hantu sudah di depan mata..." membatin Hantu Makam Satan. Lalu berkata.
"Ratu Malam! Baiklah, aku akan tinggalkan tempat ini! Tapi kekasihmu untuk sementara kupinjam dahulu. Jangan terlalu khawatir. Aku laki-laki tulen... Dia akan kukembalikan padamu tetap utuh!"
"Aku tidak percaya orang sepertimu akan kembalikan kekasih hatiku dalam keadaan utuh! Karena aku curiga sebenarnya kau bukanlah seorang laki-laki..."
"Kurang ajar! Enak saja kau menuduhku bukan laki-laki! Aku laki-laki tulen seperti kekasihmu itu!"
Pendekar 131 untuk sekian kalinya hanya bisa gelengkan kepala sambil garuk-garuk perutnya. Namun raut wajah Raka Pradesa tampak berubah merah. Mungkin tidak mau orang melihat perubahan wajahnya, pamuda berkumis tItipiini cepat berpaling. Sementara Ratu Malam perdengarkan tawa mengikik.
"Hantu Makanan Setan!"
"Aku Hantu Makam Setan!" kata kakek berjubah merah ketika Ratu Malam didengarnya salah sebutkan gelar dirinya.
Ratu Matam tertawa mengekeh. Pendekar 131 ikut-ikutan tertawa. Raka Pradesa mau tak mau ikut tertawa meskl dengan ditahan-tahan.
"Ah. Siapa pun namamu tentu kau pernah mendengar ucapan sekali melihat lebih berharga daripada seribu kali mendengar!" ujar Ratu Malam pada akhirnya.
"Sialan! Apa maksud ucapanmu?!" bentak Hantu Makam Setan.
"Kau gembar-gembor mengatakan dirimu seorang laki-laki. Rasanya itu hanya hembusan angin lalu jika kau tidak bisa buktikan ucapanmu! Hik Hik Hik...!"
"Gila! Kau manusia gila!" umpat Hantu Makam Setan dengan tampang mengelam.
"Terserah kau bilang apa. Karena tidak ada seorang laki-laki yang akan meminjam seorang laki-laki! Apalagi pemuda tampan dan muda! Dan bisa saja kau laki-laki yang suka sama laki-laki. Hik hik hik..."
"Keparat! Ucapanmu sudah keterlaluan!"
"Ini kenyataan. Harap jangan marah! Kecuali jika kau bisa buktikan bahwa kau memang seorang laki-laki tulen..."
"Edan! Bagaimana aku akan buktikan padamu, hah!" hardik Hantu Makam Setan dengan muka makin mengelam.
"Kau tak usah cemas aku akan melihat! Di sini ada dua orang pemuda. Merekalah nanti yang akan buktikan! Hik Hik Hik...! Jika kau memang terbukti sebagai laki-laki, aku tak segan meminjamkan kekasihku padamu!"
Hantu Makam Setan memaki panjang pendek. Namun karena merasa punya urusan penting dengan murid Pendeta Sinting, Hantu Makam Setan tampak berpikir. Di lain pihak, Ratu Malam sudah balikkan tubuh sambil tertawa. Setelah berpikir agak lama, akhirnya Hantu Makam Setan berkata.
"Aku kali ini mengalah. Akan kubuktikan bahwa aku adalah laki-laki tulen. Namun jika kau ingkari janjimu, kau akan tahu akibatnya!"
"Sudah. Jangan banyak omong!" sahut Ratu Malam.
Hantu Makam Setan melirik pada Ratu Malam yang tegak memunggungi. Dia terlihat ragu meski telah angkat jubah bagian bawahnya hingga lututnya kelihatan. Sesungguhnya dia sangat enggan menyetujui permintaan perempuan gila itu. Tapi daripada bentrok dengan perempuan yang diketahuinya sangat sakti itu, lebih baik kali ini diambilnya jalan damai. Di depan sana murid Pendeta Sinting mendelik namun tak berusaha untuk ikut bicara. Di sampingnya Raka Pradesa tampak semakin kelam dan perubahan wajahnya makin teriihat.
"Bagaimana...? Apa sudah kau buktikan?!" kata Ratu Malam.
"Tunggu!" tiba-tiba Raka Pradesa berseru. "Aku tidak mau jadi saksi pembuktian.
"Peduli setan! Itu urusanmu!" kata Hantu Makam Setan, lalu tanpa pedulikan ucapan Raka Pradesa dia angkat jubah bagian bawahnya sebatas paha dan sedikit demi sedikit terus ditarik ke atas.
Raka Pradesa cepat palingkan muka. Sementara Pendekar 131 pentangkan matanya dengan bahu berguncang menahan tawa. Di lain kejap tiba-tiba Hantu Makam Setan sentakkan tangannya tinggi ke atas, hingga aurat bagian bawahnya terbuka! Kejap lain dia cepat sentakkan tangannya ke bawah. Pendekar 131 terdengar bergumam sedangkan Raka Pradesa menjerit.
"Hei Apa yang terjadi?!" teriak Ratu Malam. perlahan-lahan putar tubuh.
"Aku sudah buktikan pada kekasihmu!" ujar Makam Setan dengan wajah masih mengelam.
"Aku belum tanya pada mereka. Harap jangan merasa senang dahulu!" ucap Ratu Malam lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan Raka Pradesa yang saat itu masih tampak miringkan tubuhnya.
"Pemuda berbaju hitam-hitam! Aku tanya. Bagaimana?! Apa betul dia laki-lakl beneran?!"
Raka Pradesa tak berani memandang pada Ratu Malam. Dia hanya gelengkan kepala. "Aku tak tahu..."
Ratu Malam berpaling pada Hantu Makam Setan. "Kau dengar ucapan pemuda itu? Dia mengatakan tak tahu! Berarti kau belum lakukan pembuktian itu!"
"Jahanam! Telingamu mendengar. Dia tadi mengatakan tidak mau jadi saksi pembuktian!" bentak Hantu Makam Setan.
"Jika begitu kita harus mencari satu orang saksi lagi. Karena seorang saksi belumlah kuat dijadikan bukti..."
"Ditempat begini, mana mungkin kita mencari orang? Bagaimana kalau kau saja yang ikut menyaksikan? Kurasa Kakek itu juga tidak keberatan..." Yang buka suara adaiah Pendekar 131.
Ratu Malam tertawa cekikikan. Hantu Makam Setan menggeram dan hidungnya yang hanya separo perdengarkan dengusan keras.
"Kalian bertiga tampaknya membuatku barang mainan! Jahanam keparat!" Kakek berhidung separo itu sudah bertekad akan bertempur habis-habisan dengan mereka daripada dipermainkan!
"Ini sudah kesepakatan bersama. Harap tidak salah paham. Dan karena di sini tidak ada orang lagi yang mau jadi saksi, maka bagaimana kalau ucapan pemuda berbaju putih kekasihku itu kita setujui?!"
"Gila! Aku tak mau lakukan!"
"Berarti kau tidak dapat membawa kekasihku!"
Mata Hantu Makam Setan mendelik besar. "Persetan! Aku telah membuktikan. Kalau kau mencegah, aku tak segan untuk membunuhmu!" Habis berkata begitu, Hantu Makam Setan melangkah ke arah Pendekar 131. Tapi gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba terdengar orang batuk berulang kali. Di susul kemudian dengan terdengarnya suara.
"Kudengar ada suara-suara yang mencari seseorang. Kalau suka, bagaimana jika aku menawarkan diri?!"
Pendekar 131 dan Raka Pradesa cepat berpaling. Hantu Makam Setan sejenak menyimak suara orang, lalu menoleh dengan mata dipentangkan. Hanya Ratu Malam yang tampak tidak gerakkan kepala ke arah datangnya suara. Sebaliknya nenek ini melirik tajam ke arah Raka Pradesa!
Pada sebatang pohon tidak begitu besar tegak bersandar dengan kepala tengadah seorang laki-laki berusia lanjut bertubuh besar. Rambutnya disanggul ke atas. Mengenakan pakaian gombrong berwarna hijau yang di pinggangnya melilit satu ikat pinggang besar berhias sebuah cermin tepat pada bagian depan perutnya.
"Keparat! Dalam keadaan begini datang lagi manusia yang pasti akan makin menyulitkan rencanaku!" desis Hantu Makam Satan sambil memperhatikan pada orang besar yang bersandar.
"Gendeng Panuntun!" seru Pendeka 131 begitu mengenaii siapa adanya orang besar mengenakan pakaian gombrong warna hijau.
"Pemuda ini ternyata telah kenal banyak dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Ratu Malam dan Gendeng Panuntun selama ini memang hanya kudengar namanya. Dan tak kusangka jika orangnya aneh..." kata Raka Pradesa dalam hati.
"Gendeng Panuntun... Jika orang besar ini memang Gendeng Panuntun, maka usahaku benar-benar akan gagal! Kudengar dia adalah seorang berilmu tinggi. Tapi bagaimana aku bisa buktikan sebelum melihat sendiri?!" diam-diam Hantu Makam Setan menbatin.
"Kek! Aku ada di sini" Pendekar 131 berteriak.
Gendeng Panuntun luruskan kepalanya. Sepasang matanya yang hanya kelihatan putih mengerjap beberapa kali. Lalu tangan kanannya mengusap cermin depan perutnya.
"Walah. Ternyata kau sini juga. Kuharap kau baik-baik saja, Anak Muda," kata Gendeng Panuntu lalu mendongak lagi dengan hidung kembang kempis.
"Aku mencium bau seorang gadis! Adakah kau beserta seorang gadis, Anak Muda?"
Setelah berpaling pada Raka Pradesa sejurus, murid Pendeta Sinting berucap. "Sahabatku ini seorang laki-laki, memang ada seorang gadis mungkin dia yang kau maksud."
Gendeng Panuntun tertawa mengekeh. "Tua bangka begitu masih juga kau sebut gadis!" katanya sambil arahkan kepala ke arah Ratu Malam, membuat Ratu malam melotot ke arah Pendekar 131.
"Aku mencium bau seorang gadis lain, selain bau gadis tua bangka itu!"
Gendeng Panuntun teruskan ucapannya samba terus usap-usap cerminnya. Sementara murid Pendeta Sinting edarkan pandangannya ke sekelillng, khawatir memang ada gadis di sekitar tempat itu. Namun setelah yakin di sekitar tempat itu tidak ada siapa-siapa lagi, dia menyambuti ucapan Gendeng Panuntun.
"Mungkin penciumanmu keliru, Kek. Di sini benar-benar tidak ada seorang gadis!"
"Ah, mungkin juga begitu. Tapi rasanya aku tidak keliru! Atau jangan-jangan ada orang lain lagi di sini yang menggunakan pengharum perempuan?!"
Raka Pradesa yang sedari tadi mendengarkan kata-kata orang tampak pucat. Malah dia segera palingkan kepala. Dadanya berdebar, kakinya yang berpijak bergetar.
"Apa kubilang. Tentu yang dimaksud Tua Bangka Buta itu adalah laki-laki berjubah merah ini. Orang buta saja bisa menebak dia perempuan! Jadi tanpa saksi pembuktian lagi, sudah jelas bahwa dia perempuan!" Yang buka suara adalah Ratu Malam sambii arahkan kepalanya pada Hantu Makam Setan.
Hantu Makam Setan bantingkan kakinya. Lalu membentak garang. "Orang buta! Sebelum matamu kubuat buta dua kali, lekas minggat dari sini!"
"Aduh. Sudah nasib jelek tak dapat melihat, masih juga ada yang hendak membuat buta mataku dua kali Bagaimana nanti jadinya?!"
"Jangan banyak mulut! Kataku minggat dari sini!" hardik Hantu Makam Setan.
"Waduh... Rupanya ada orang tak menginginkan kehadiranku disini. Padahal aku tadi bermaksud baik tawarkan diri untuk jadi saksi!"
"Setan alas! Matamu saja buta, bagaimana kau akan jadi saksi? Jangan berkata yang tidak-tidak..." sahut Hantu Makam Setan keras.
"Walah. Nyatanya meski kau bisa melihat tapi tidak tahu. Lihat, aku punya sahabat yang tak mungkin berkata dusta!" kata Gendeng Panuntun sambil usap-usap cerminnya.
"Aku tak butuh kesaksianmu!"
"Jika demikian, apa susahnya tinggalkan tempat ini? Tapi sebelum aku berlalu bisa katakan siapa kau laki-laki berjubah merah?!"
"Aku hantu yang akan membuatmu buta dua kali jika tidak segera pergi!"
"Sayang sekali mataku tak bisa melihat. Jika tidak, ingin rasanya melihat hantu yang bisa bicara, malah bisa membutakan mata dua kali!" Habis berkata, Gendeng Panuntun tertawa bergelak-gelak.
Hantu Makam Setan tampaknya sudah tidak dapat lagi menahan kegeraman hatinya. Dia segera meloncat ke arah Gendeng Panuntun. Tangan kanannya berkelebat.
"Brakkk!"
Pohon yang dibuat sandaran Gendeng Panuntun langsung tumbang, membuat sosok besar Gendeng Panuntun yang kejap tadi merunduk tampak doyong kebelakang karena sandarannya tumbang. Hantu Makam Setan kertakkan rahang, karena lawan bisa lobos dari hantaman tangannya. Dia segera menyusuli dengan tarik pulang tangannya, lalu dihantamkan kembali. Malah kini tangan kirinya ikut pula lepaskan satu jotosan. Namun baru setengah jalan, kakek berjubah merah itu terperangah.
Karena Gendeng Panuntun terus lorotkan tubuhnya hingga duduk menggelosoh. Dan dengan sekali gerak, kedua kakinya berkelebat menendang kaki Hantu Makam Satan. Kejap lain tubuhnya digeser kesamping. Hantu Makam Setan menggeram. Kedua kakinya yang tertendang kaki Gendeng Panuntun mencuat ke belakang, hingga tubuhnya doyong ke depan. Karena saat itu kedua tangannya sedang hendak lepaskan pukulan, maka gerakannya ke depan makin cepat hingga tak ada waktu lagi baginya untuk tarik pulang tubuhnya.
"Bukkk!" Sosok Hantu Makam Setan terjerembab telungkup di atas tanah. Sambil memaki orang tua berjubah merah berhidung setengah ini segera bangkit. Namun dua buah kaki terlebih dahulu melintang di atas tengkuk dan betisnya, membuat Hantu Makam Setan tak bisa bergerak lebih jauh.
"Jahanam busuk! Turunkan kakimu!" bentak Hantu Makam Setan. Kedua tangannya bergerak hendak memukul ke atas. Tapi kaki Gendeng Panuntun yang berada di atas tengkuk Hantu Makam Setan telah memangkas terlebih dahulu.
"Dess! Desss! Bukkk! Bukkk!"
Dua tangan Hantu Makam Setan mental dan menghantam tanah. Bersamaan itu Gendeng Penuntun gerakan kakinya pulang balik diatas punggung dan kaki Hantu Makam Setan. Kejap lain dia enak saja bergerak bangkit sambil kibas-kibaskan pakaiannya yang gombrong.
"Keparat jahanam! Kau berlaku pengecut menotokku!" teriak Hantu Makam Setan setelah menyadari, bahwa gerakan kaki Gendeng Panuntun tadi membuat tubuhnya kaku tak bisa digerakkan.
"Aku penasaran, Sahabat. Kau bilang dirimu hantu. Aku ingin dengar dari orang-orang disini. Apakah hantu juga punya aurat sama dengan manusia?!"
Tengkuk Hantu Makam Setan jadi merinding mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Karena dia hanya bisa berkata tanpa bisa bergerak, akhirnya dia hanya berteriak-teriak. Gendeng Panuntun tidak pedulikan teriakan Hantu Makam Setan. Sebaliknya dia menghadap pada Raka Pradesa lalu beralih pada Pendekar 131 dan berkata.
"Sahabatku, Anak Muda! Katakan pada temanmu yang berpakaian hitam-hitam itu. Apakah dia mau menolongku?!"
Raka Pradesa tersentak. Bukan saja terkejut karena Gendeng Panuntun tahu warna pakaian yang kenakannya, lebih dari itu tampaknya dia dapat menduga apa yang hendak diminta Gendeng Panuntun. Pemuda berkumis tipis ini berpaling pada Pendekar 131 dengan wajah berubah, membuat murid Pendeta Sinting yang saat itu juga menoleh tampak kerutkan dahi!
"Kau tak usah takut. Dia sahabatku dan orang baik-baik!" kata Joko menenangkan Raka Pradesa.
"Maaf. Aku tidak dapat membantu. Aku tidak ikut cammpur urusan ini! Aku harus pergi..." ujar Raka Pradesa lalu melangkah tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" tahan Joko. Namun seakan tak mendenger ucapan orang, Raka Pradesa teruskan langkah, malah kejap kemudian dia berkelebat cepat.
"Sudahlah, Joko. Rupanya sahabatmu itu punya urusan lain..." kata Gendeng Panuntun lalu melangkah kearah murid Pendeta Sinting. Ratu Malam segera ikut mendekat.
"Kita cari tempat aman untuk bicara!" ucap Gendeng Panuntun pelan.
"Tampaknya ada urusan penting jika orang-orang ini muncul lagi. Padahal waktu di Pulau Biru mereka mengatakan tidak akan ikut campur tangan..." batin Joko lalu anggukkan kepala.
Ratu Malam memberi isyarat pada Joko untuk mengikutinya. Begitu kedua orang itu berlalu, Gendeng Panuntun balikkan tubuh menghadap Hantu Makam Setan. Tubuhnya membungkuk mengambil tanah. meremas-remasnya. Kejap lain tangannya bergerak melempar ke arah Hantu Makam Setan yang telungkup memunggungi. Di depan sana, tampak bundaran tanah menggelinding mulai dari kaki sampai punggung Hantu Makam Setan terus melesat ke depan.
Hantu Makam Setan merasakan punggungnya diketuk-ketuk beberapa kali demikian juga kakinya. Anehnya saat itu juga dia bisa gerakkan tubuhnya! Merasa terbebas dari totokan, dia cepat bangkit lalu putar diri. Namun mulutnya yang sudah membuka hendak membentak tiba-tiba terkancing kembali. Hanya sepasang matanya yang terbeliak memandang ke sekitar tempat itu. Karena ditempat itu sekarang tinggal dia sendirian!
PADA satu tempat Ratu Malam hentikan larinya. Pendekar 131 yang mengikuti dari belakang segera pula berhenti dan tegak tiga langkah disamping si nenek. Kejap lain Gendeng Panuntun tiba pula di tempat itu dan langsung duduk menggelosoh dengan kepala tengadah. Melihat Gendeng Panuntun duuduk, murid Pendeta Sinting ikut-ikutan duduk. Sementara Ratu Malam tetap tegak malah sambil kacak pinggang dan mulut komat-kamit mainkan gumpalan tembakau hitamnya.
"Setan jelek!" kata Ratu Malam pada Joko setelah agak lama tidak ada yang buka suara. "Aku ingin tahu, meski seharusnya aku menanyakan padamu waktu berada di Pulau Biru. Apa yang kau dapatkan di Pulau Biru...?"
Murid Pendeta Sinting menatap sejenak pada Gendeng Panuntun lalu beralih pada Ratu Malam. Lalu berkata. "Karena kau dan kakek Gendeng Panuntun sedikit banyak telah membantuku, maka memang sudah selayaknya aku mengatakan apa yang kuperoleh dari Pulau Biru. Aku mendapatkan Kitab Serat Biru...!"
"Hem... Berarti nasib dan rejekimu baik! Sekarang aku tanya. Mengapa kau berkeliaran di dekat Istana Hantu?!" tanya Ratu Malam.
"Terus terang saja, Nek. Sebenarnya aku sampai di tempat itu hanya karena ikut orang! Namun sebelumnya aku sempat berjumpa dengan seorang kakek yang sebutkan diri Raja Tua Segala Dewa. Kakek itu dalam pembicaraannya sebut-sebut Tengkorak Berdarah dan Istana Hantu seperti yang pernah kudengar dari Kakek Gendeng Panuntun. Kalau bisa jelaskan, siapa sebenarnya Raja Tua Segala Dewa itu? Dia dari orang golongan putih atau dedengkot golongan hitam? Karena menurutku, dia punya kepandaian sangat tinggi! Malah sepertinya dia tahu banyak tentang Kitab Serat Biru!"
"Ah!" Gendeng Panuntun terkejut mendengar Pendekar 131 sebut-sebut nama Raja Tua Segala Dewa. Lalu berkata. "Kau sangat mujur, Anak Muda. Dan aku sangat gembira mendengar keteranganmu, karena jelas sudah bahwa kabar yang selama ini tersiar mengenai sahabatku itu tidak benar adanya! Sebab kabar yang sampai padaku, Raja Tua Segala Dewa telah meninggal dunia... Hem... Apa saja yang dikatakan padamu?!"
"Dia mengatakan dengan terbukanya Istana Hantu maka berarti Kitab Serat Biru telah didapat seseorang. Namun dengan terbukanya Istana Hantu maka akan diikuti dengan terjadinya kegemparan dalam dunia persilatan! Aku belum tahu apakah ucapan kakek itu benar atau tidak. Hanya saja mendengar percakapan orang yang kuikuti, akan menarik kesimpulan bahwa setidak-tidaknya apa yang dikatakan kakek itu benar adanya... Yang kuherankan, kenapa semua itu seolah dituduhkan pada Tengkorak Berdarah yang disebut-sebut sebagai penghuni istana Hantu."
"Setan Jelek! Jadi ke mana saja kau selama ini hingga tidak tahu keadaan dunia persilatan, heh?!" Yang angkat bicara Ratu Malam masih tetap kacak pinggang malah kini dengan mata terpentang.
"Aku menyendiri di pesisir, Nek! Itu adalah satu hal dari rangkaian Kitab Serat Biru yang harus kujalankan! Jadi jangan salahkan aku jika tidak tahu apa yang terjadi. Sebenarnya apa yang terjadi?!"
"Rimba persilatan sedang dirundung malapetaka!" sahut Ratu Malam.
"Malapetaka?" ulang Joko. "Malapetaka apa?!"
"Dengar, Setan Jelek! Setelah peristiwa di Pulau Biru, banyak kejadian hebat di dunia persilatan. Satu persatu tokoh rimba persilatan menemui ajal, baik dari golongan putih maupun golongan hitam. Lalu disusul dengan menghilangnya beberapa tokoh berilmu tinggi! Namun itu semua tidak akan membuatku geram setinggi langit sedalam samudera jika tidak melibatkan saudara-saudaraku. Jadi...?" Ratu Malam tidak teruskan bicaranya. Mata nenek ini membeliak besar dengan mulut makin keras komat-kamit, pertanda dia menindih hawa amarah.
"Anak muda!" ujar Gendeng Panuntun. "Dewi Es, Dewa Sukma, dan Iblis Ompong tiba-tiba lenyap entah ke mana. Kami berdua telah coba menyelidik. Tapi masih menemui jalan buntu!"
"Jika saja bangkai manusianya ada, tentu sudah tinggal mencari siapa biang kerok pembunuhnya. Tapi ini bangkai manusianya tidak ada. kabar beritanya pun musnah!" sahut Ratu Malam dengan suara setengah berteriak.
"Apa ini tidak ada hubungannya dengan Tengkorak Berdarah yang dikabarkan berada di belakang beberapa pembunuh itu?!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Dugaanku sama denganmu, Setan Jelek Tapi manusia sok tahu itu masih saja mempercayai penglihatannya yang buta!" kata Ratu Malam sambil arahkan pandangannya pada Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tertawa perlahan. "Menduga tidak ada salahnya, tapi harus ada bukti. Setidaknya ada hal yang mengaitkan! Dewi Es dan Dewa Sukma adalah orang-orang yang tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan jika memang tidak panting sekali. Jadi adalah mengherankan jika dia dikaitkan dengan Tengkorak Berdarah! Karena yang kudengar selama ini, orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang masih berkecimpung dalam kancah rimba persilatan setidak-tidaknya dahulu pernah malang melintang dengan nama besar!"
"Tapi tidak tertutup kemungkinan Tengkorak Berdarah ada dibelakang lenyapnya Dewi Es, Dewa Sukma, dan lblis Ompong. Siapa tahu meski Dewi Es dan Dewa Sukma tidak mencampuri urusan dunia persilatan namun dianggap sewaktu-waktu bisa membahayakan" kata Pendekar 131.
"Benar, Satan Jelek! Itu kemungkinan yang masuk akal. Dan aku hampir yakin Tengkorak Berdarah-lah yang ada di belakang semua ini"
Mendengar ucapan Ratu Malam, Gendeng Panuntun kembali tertawa perlahan. Lalu sambil usap-usap cerminnya dia berujar. "Sampai sekarang belum ada yang tahu siaps sebenarnya Tengkorak Berdarah. Belum pula diketahui apa maksudnya! Karena seandainya dia ingin jadi raja di raja rimba persilatan, tentu mudah sekali karena selama ini banyak tokoh yang dikenal berkepandaian tinggi menemui ajal. Namun sejauh ini dia tidak memaklumkan diri sebagai raja dunia persilatan! Lalu kenapa pintu Istana Hantu tempat kediamannya baru terbuka kombali setelah didapatkannya Kitab Serat Biru?!"
Ratu Malam dan Pendekar 131 sama terdiam mendengar kata-kata Gendeng Panuntun. Namun kejap lain Hantu Malam telah buka suara lagi. "Bisa saja itu untuk menarik orang yang telah mendapatkan Kitab Serat Biru mendatanginya! Setelah itu baru unjuk diri sebagai raja!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Terus terang saja. Meski Kitab Serat Biru hebat, tapi kukira belum bisa menandingi Tengkorak Berdarah! Kau lihat sendiri tadi, bagaimana dedengkot seperti Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis tak berdaya meski hanya menerobos masuk Istana Hantu. Jadi ada sesuatu di balik terbukanya pintu Istana Hantu. Sayang aku selalu mengalami kesulitan untuk menerobos agar dapat melihat!"
"Huh. Kau selalu mengandalkan matamu yang tidak bisa melihat! Tidak mau mendengar kenyataan!" ucap Ratu Malam.
"Di sini masalahnya bukan mengandalkan mataku yang buta atau tidak mau dengar kenyataan. Tapi kita belum tahu siapa sebenarnya Tengkorak Berdarah dan apa maksud tujuannya! Lebih dari itu, di balik tuduhan pada Tengkorak Berdarah ada hal terselubung. Kau dengar tadi percakapan Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis dengan Tengkorak Berdarah. Mereka sepertinya bukan menginginkan nyawa Tengkorak Berdarah. Tapi ada sesuatu yang diinginkan mereka!"
"Hem... Jadi mereka berdua telah berada di sekitar Istana Hantu saat rombongan Ratu Pewaris iblis ada disana!" diam-diam murid Pendeta Sinting membatin. "Hanya saja aku makin bingung sekarang!"
Ratu Malam tampak mondar-mandir dengan kacak pinggang dan mulut komat-kamit. Dia seakan memikirkan apa yang baru saja dikatakan Gendeng Panuntun.
"Heran. Heran..." gumam si nenek samba gelengkan kepala. "Urusan gila apa yang sebenarnya terjadi saat ini?!"
"Kau tak usah heran Nek. Justru hal mengherankan itu yang harus kita selidiki! Kita tidak boleh terlena dengan kenyataan yang terlihat dan yang kita dengar. Baju boleh sama warna dan besarnya, namun..."
"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Bicara denganmu makin menambah kesal! Yang kudapatkan hanya omong kosong tak karuan! Malah seakan-akan kau rela saudaramu dihabisi orang! Atau kau jangan-jangan temannya Tengkorak Berdarah!"
Gendeng Panuntun bukannya marah mendengar ucapan saudara seperguruannya itu. Kakek bertubuh besar ini sebaliknya tertawa lebar. Lalu tanpa ambil peduli pada Ratu Malam, Gendeng Panuntun bertanya pada Pendekar 131.
"Kembali pada Raja Tua Segala Dewa. Apakah dia tidak bilang apa-apa lagi padamu?!"
"Hem... Dia mengatakan hampir sama seperti ucapanmu tadi! Jangan tertipu dengan apa yang dilihat dan kau dengar! Itulah salah satu yang dikatannya!"
Gendeng Panuntun manggut-manggut. Sekali mendengar ucapan Joko, Ratu Malam makin berang dan berkata lantang. "Kalian berdua sama gilanya! Mungkin kalian takut menghadapi Tengkorak Berdarah! Kalian pengecut!" dan kakinya dibantingkan hingga tanah itu muncrat terbongkar.
"Sabar, Nek!" ujar Gendeng Panuntun. "Kau boleh marah sepuasmu, namun kepala harus tetap dingin!"
"Kau hanya pandai bicara tapi tak banyak berbuat bentak Ratu Malam lalu alihkan pandangannya pada Pendekar 131 dan menyemprot. "Kau juga! Ucapanmu plin-plan! Tahu begini, aku menyesal mengajakmu ikut serta dalam urusan ini!"
"Nek..."
"Tutup mulutmu!" potong Ratu Malam sebelum ucapan Joko selesai. "Sekarang kalian urus menurut cara kalian! Aku akan urus masalah ini dengan caraku sendiri!" Habis berkata begitu, Ratu Malam hendak berkelebat tinggalkan tempat itu namun langkahnya terhenti tatkala Joko berseru.
"Nek, tunggu! Ada satu hal yang belum kukatakan..."
"Lekas katakan! Namun jangan berharap aku akan goyah dengan ucapanmu! Aku tetap akan berjalan dengan caraku sendiri!" kata Ratu Malam ketus tanpa balikkan tubuh.
Pendekar 131 pandangi punggung si nenek, lalu menatap pada Gendeng Panuntun. Kakek ini gelengkan kepala lalu berkata pelan. "Katakanlah, Anak Muda..."
"Ternyata Kitab Serat Biru adalah kitab pertama. Dan aku diharapkan untuk mencari kitab keduanya! Aku menduga istana Hantu masih ada kaitannya dengan kitab kedua itu!"
"Itu urusanmu! Peduli dengan kitab kesatu apa kedua! Aku akan mengobrak abrik Istana Hantu!" sahut Ratu Malam lalu berkelebat pergi.
Pendekar 131 masih mencoba menahan kepergian si nenek, namun baru saja dia hendak buka mulut, sosok Ratu Malam telah lenyap. "Kek, kita harus berbuat sesuatu. Setidaknya untuk sementara kita cegah agar dia urungkan niatnya!" kata Joko lalu bergerak bangkit dan memandang ke arah berkelebatnya Ratu Malam. "Kek. Bagaimana pendapatmu dengan kitab kedua itu? Apakah benar kira-kira dugaanku tadi?!"
Tidak ada suara jawaban. Pendekar 131 berpaling. Astaga! Murid Pendata Sinting jadi melengak sendiri. Gendeng Panuntun ternyata sudah tidak ada di tempatnya tadi. Dan ketika dia berpaling lagi ke arah berkelebatnya Ratu Malam, di depan sana tampak Gendeng Panuntun melangkah perlahan!
"Dasar orang aneh..." gerutu Joko Sableng lalu berkelebat menyusul.
KITA tinggalkan dahulu Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng yang menuju Istana Hantu karena menyangka Ratu Malam dan Gendeng Panuntun berkelebat ke sana. Kita beralih pada satu tempat di sebelah utara arus Sungai Kali Pina.
Meski cahaya putih sang purnama tampak sedikit membantu pandangan mata, namun karena hembusan angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat tak lama kemudian awan hitam menutup cahaya sang purnama. Arus Sungai Kali Pina perlahan-lahan bergelombang. Sebuah sampan yang tadi melaju tenang di permukaan air sungai mulai tampak bergoyang-goyang dilamun gelombang. Hebatnya kejap kemudian sampan itu malah melaju kencang menerjang gelombang.
Di bagian depan sampan yang kini melaju kencang tegak berdiri seorang kakek mengenakan jubah hitam besar dan panjang, Raut wajahnya pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya melotot besar masuk dalam bentukan lobang dalam di atas pipinya yang cekung. Tangan kirinya bergerak menusukkan dayung ke permukaan air sungai, sementara tangan kanannya masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Dibagian belakang sampan, tampak tegak seorang perempuan berambut pirang. Seperti halnya si kakek, perempuan ini juga mengenakan jubah besar dan panjang sebatas lutut. Malah raut wajahnya tidak bisa dikenali karena ditutup dengan cadar berwarna hitam. Dari wajahnya yang tampak hanyalah sepasang matanya yang tajam dan bulat dari lobang cadar di bagian mata. Kedua tangannya yang mengenakan sarung tangan kulit berwarna hitam merangkap didepan dada.
Hanya beberapa saat kemudian, sampan berpenumpang dua orang itu telah merapat ke tepian sungai. Dan penumpangnya melompat dahulu sebelum sampan benar-benar merapat. Dan kejap lain keduanya berkelebat ke arah dataran sempit di mana terdapat buah rumah batu.
Sepuluh langkah di depan rumah berbatu, si kakek dan perempuan bercadar serta berjubah hitam hentikan langkah masing-masing. Sejurus keduanya saling pandang, tapi saat lain telah arahkan pandangannya kearah rumah batu. Si kakek berjubah hitam masukkan tangan ke dalam saku jubah. Mulutnya bergerak membuka, perdengarkan seruan.
"Daeng Upas! Kami datang!"
Gema seruan kakek berjubah hitam belum sirna, tiba-tiba dari dalam rumah batu melesat satu bayangan dan kejap lain, tahu-tahu dihadapan kakek dan perempuan berambut pirang tegak seorang perempuan berusia lanjut berambut putih mengenakan pakaian warna putih dari sutera. Meski wajah telah di hiasi kerutan, tapi bekas kecantikanaya masih membayang, pertanda pada saat mudanya nenek ini adalah seorang dara cantik. Sepasang matanya walau sudah menjorok masuk ke dalam cekungan dalam, namun tetap tajam bersinar. Pada sela bagian atas telinganya tampak menyelip sebatang bambu kecil berwarna kuning.
Si nenek untuk beberapa saat pandangi kedua orang dihadapannya. Lalu alikan pandangannya kejurusan lain sambil bertanya. "Usaha kalian berhasil?!"
Mulut kedua orang dihadapan nenek yang dipanggil Daeng Upas sama terkancing tak ada yang menjawab.
"Buyut! Durga Ratih! Aku tanya. Usaha kalian berhasil?!" ulang Daeng Upas tetap tanpa memandang, sedangkan suaranya makin keras.
Tiba-tiba perempuan bercadar dan berjubah hitam yang dipanggil Durga Ratih yang bukan lain adalah Dewi Siluman menghambur ke arah si nenek sambil berkata.
"ibu... Maafkan kami. Anakmu dan Ki Buyut Pagar Alam gagal mendapatkan Kitab Serat Biru..."
Daeng Upas berpaling pada si kakek yang bukan adalah Ki Buyut Pagar Alam pembantu sekaligus paman Dewi Siluman yang juga berarti adik dari si Nenek Daeng Upas. Sepasang matanya mendelik angker. Lalu berujar seraya menyeringai.
"Sikap kalian telah menggambarkan kegagalan yang kalian alami. Lekas ceritakan apa yang membuat kalian menemuiku dengan tangan hampa?!"
Durga Ratih alias Dewi Siluman angkat kepalanya memandang ke arah ibunya Daeng Upas. Yang dipandang seolah acuh malah kini mendongak!
"Aku menyirap kabar anakku Durga Ratih telah berhasil memperoleh penggalan pertama peta menuju Pulau Biru. Dengan peta itu tentunya mereka lebih mudah menyelesaikan urusan Kitab Serat Biru. Apalagi keduanya berbekal kepandaian yang tak rendah! Namun adalah aneh jika mereka berdua tidak memperoleh hasil apa-apa! Hem... Apa sebenarnya yang telah terjadi diluaran sana?!" diam-diam Daeng Upas membatin.
Ibu...!" kata Dewi Siluman pada akhirnya. "Kami berdua telah berusaha merebut Kitab Serat Biru. Tapi usaha kami dihadang oleh rombondan Ratu Malam dan Gendeng Panuntun!"
Dewi Siluman anggukkan kepala Ialu menceritakan apa yang dialami selama dia dan Ki Buyut Pagar Alam berusaha memperoleh Kitab Serat Biru (Lebih jelasnya silakan baca episode Neraka Pulau Biru).
"Hemm... Gerombolan Gendeng Panuntun tak boleh dibiarkan berkeliaran seenaknya! Sudah saatnya aku membuka mata mereka, bahwa Daeng Upas masih ada dan punya kekuatan!" kata Daeng Upas dalam hati setelah mendengar penuturan Dewi Siluman.
"Satu hal lagi," Kata Ki Buyut Pagar AbAlamuka suara. "Saat ini rimba persilatan telah kembali digemparkan dengan terjadinya pembunuhan yang berat dugaan dilakukan oleh Tengkorak Berdarah!"
"Aku sudah tahu itu!" sahut Daeng Upas.."Sekarang aku tanya sekali lagi. Siapa pemuda yang kau duga telah mendapatkan Kitab Serat Biru itu?!"
"Dia bernama Joko Sableng. Murid tunggal Pendeta Sinting yang berjuluk Pandekar Pedang Tumpul 131!" jawab Dewi Siluman.
Daeng Upas menatap satu persatu pada Ki Buyut dan anaknya Dewi Siluman. Lalu tanpa berkata lagi dia putar tubuh.
"Ibu..."
"Buyut, Durga Ratih! Kalian kembalilah. Teruskan pengejaran kalian pada Pendekar 131 dan gerombolan Gendeng Panuntun. Jangan segan membunuh mereka! Tapi kalian harus hati-hati. Hindari bentrok dengan Tengkorak Berdarah, setidak-tidaknya untuk sementara waktu!"
"Kau sendiri?!" tanya Dewi Siluman.
"Tampaknya sudah saatnya aku turun tangan sendiri. Mungkin aku butuh bantuan. Tapi itu urusanku! Yang penting gerombolan Gendeng Panuntun harus dapat kulenyapkan dari muka bumi!"
"Ibu, Bukankah lebih baik kita bersama-sama?!"
"Kalian menemuiku dengan tangan kosong! itu menunjukkan tangan kalian belum ada artinya apa-apa di luaran sana! Aku butuh tangan orang lain!"
Habis berkata begitu, Doeng Upas berkelebat ke arah rumah batu. Dewi Siluman memandang dengan senyum seringai.
"Dia bisa berkata begitu karena tidak mengetahui luasnya lautan di luar. Selama ini dia hanya berdiam diri di tempat terpencil ini. Mana tahu perubahan yang terjadi dalam rimba persilatan. Kelak dia akan sadar, bahwa dunia di luar masih lebih tinggi dari apa yang diimpikannya!" kata Dewi Siluman.
Ki Buyut gelengkan kepalanya mendengar ucapan sang Dewi. "Ucapan ibumu benar. Kita memang belum ada apa-apanya di luar sana..."
"Tapi apakah dikira dia akan bisa berbuat hanyak di luar sana, he?!" sahut Dewi Siluman dengan suara keras. "Rombongan Gendeng Panuntun bukanlah jahanam-jahanam yang mudah disingkirkan!"
"Ucapan ibumu tidak berlebihan. Dia bisa berkata begitu karena dia tahu siapa Gendeng Panuntun dan kawan-kawannya!"
Dewi Siluman mendengus seraya menyeringai dan tertawa pelan. "Selama ini ibu tidak pernah melihat dunia luar. Dari mana dia tahu kekuatan Gendeng Panuntun?!"
"Dengarlah, Sebenarnya ibumu masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun. Bahkan ibumu adalah saudara paling tua! Hanya karena sesuatu hal akhirnya ibumu harus berpisah dengan saudara-saudara seperguruannya!"
Dewi Siluman ternganga. Namun belum sempat bertanya lebih jauh, Ki Buyut telah putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Dewi Siluman sejenak perhatikan ke rumah batu.
"Kalau dia selama ini menyembunyikan diri, pasti ada sesuatu yang dirahasiakan. Hemm... Tak kusangka jika dia adalah masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun..." gumam Dewi Siluman lalu hendak melangkah ke arah rumah batu, namun tiba-tiba hetikan langkah. Ada kebimbangan di matanya.
"Kurasa sekarang bukan saat yang baik untuk bartanya. Dia sedang kalut. Hem... Aku akan tunggu saat yang baik!" Dewi Siluman balikkan tubuh. Lalu berkelebat ke arah perginya Ki Buyut.
Matahari sudah muncul di balik bukit tatkala sesosok tubuh berpakaian putih dari sutera yang bukan adalah Daeng Upas injakkan sepasang kakinya di jatingalih, bukit kecil sebelah barat Candi Babakan. Begitu mencapai puncak bukit, Daeng Upas hentikan larinya. Sepasang matanya yang tajam bersinar menatap tajam ke depan, dimana tampak sebuah gubuk yang pintunya terbuka. Dia tampak menghela nafas sejenak.
Tiba-tiba hatinya merasa tidak enak. Bukan saja karena dia tidak mendapatkan sambutan, namun keadaan sekitar gubuk menambah kegelisahannya. Pohon sekitar gubuk tampak tumbang dengan daun mengering laksana dipanggang. Sementara disebelah kanan gubuk masih tampak obor menyala.
"Tidak biasanya Datuk Besar menyalakan obor. Ataukah dia memilih adat baru selama aku tidak jumpa dengannya? Hem... Waktu lima tahun mungkin saja membuatnya punya adat baru! Datuk Besar... Sebenarnya sudah lama aku memendam rindu ini. Tapi keadaan yang membuat ku harus menindihnya! Mudah-mudahan kau masih seperti dahulu. Saat sekarang baru aku sadar, jika aku tidak bisa tenang hidup sendirian tanpamu! Aku membutuhkanmu di saat hari tuaku ini! Kita akan selesaikan urusan bersama-sama, setelah itu kita hidup tenang berdua..."
Daeng Upas tersenyum sendiri tanpa sadar kepalanya mendongak seakan mengenang perjalanan kisah lama. Namun kejap lain, tiba-tiba dia seperti tersentak.
"Kalau dia ada tentunya sudah menyambutku. Pintu gubuknya terbuka, lalu obor dan tumbangnya pohon. Jangan-jangan..."
Daeng Upas cepat berkelebat ke arah gubuk. Tepat di depan pintu gubuk yang terbuka sejenak dia putar kepalanya berkeliling. Yakin tidak ada siapa-dapa dia berseru.
"Datuk Besar..."
Tidak ada suara jawaban. Daeng Upas ulangi teriakannya. Masih tak ada jawaban, membuat dada si nenek berdebar. Pedahan-lahan kakinya melangkah masuk. Mendadak paras Daeng Upas berubah. Sepasang matanya membeliak besar.
"Datuk Besar!" seru Daeng Upas dengan suara laksana tercekik.
Di dalam gubuk tampak menggeletak telungkup satu sosok tubuh mengenakan pakaian warna hitam panjang. Rambutnya yang putih dikepang tiga. Di balik pakaiannya yang panjang mencuat satu kaki sebelah kanan. Sedang kaki satunya tidak kelihatan. Sementara tangan kirinya menggenggam sebatang tongkat terkulai lemah.
Dari ciri-ciri orang, Daeng Upas sudah dapat menebak siapa sebenarnya orang yang menggeletak telungkup. Seakan masih tidak percaya, untuk beberapa saat si nenek pandangi sosok yang menggeletak. Begitu sadar dari rasa terkesimanya, dia cepat melompat ke arah sosok yang menggeletak.
"Ciri bisa sama. Aku belum enak jika tidak melihat wajahnya!" desis si nenek meski hatinya hampir yakin bahwa orang yang menggeletak adalah orang yang dicari.
Dengan dada berdebar keras, tangan kanan Daeng Upas bergerak balikkan sosok yang menggeletak telungkup hingga telentang. Begitu sepasang matanya melihat raut wajah orang, nenek ini tersurut mundur sambil memekik tertahan. Namun saat lain dia melompat lagi dan serta-merta mengusap wajah orang yang kini telentang.
"Datuk Besar... Apa yang terjadi dengan dirimu? Siapa vang membuatmu demikian? Siapa...?!"
Tangan kiri kanan Daeng Upas mengguncang sosok di hadapannya. Malah kini membuka mulut orang seakan mamaksanya untuk menjawab. Tapi sosok itu yang tarnyata adalah seorang kakek, bukan saja tak bisa buka suara menjawab, namun sepasang matanya memejam dan tidak menghembuskan napas lagi.
"Datuk Besar... Ternyata aku terlambat datang! Tidak kuduga sama sekali jika pertemuan kita akan berakhir begini!"
Daeng Upas dongakkan kepala. Dari sepasang matanya mengalir air bening. "Datuk Besar... Aku bersumpah akan menguras isi perut jahanam yang membuatmu begini. Dia telah memutus tali kebersamaan dan rindu kita! Seandainya kau bisa katakan..."
Daeng Upas tidak teruskan ucapannya. Matanya mendelik pada dinding gubuk. Di situ tampak menggantung sebuah tongkorak berlumur darah.
"Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas. Lalu bergerak bangkit.
Tengkorak berlumur darah diambil dan serta-merta dibanting hingga pecah berantakan. Saat lain tubuhnya melompat mundur, lalu menyambar sosok Datuk Besar dan diletakkan pada pundaknya. Kejap kemudian dia berkelebat menuruni bukit laksana dikejar setan!
TAK jauh dari istana Hantu, Pendekar 131 hentikan larinya. Kepalanya berputar dengan mata liar mengawasi sekeliling. Tapi dia merasa herran. Ratu Malam dan Gendeng Panuntun tak tampak batang hidungnya di situ!
"Aneh. Kemama mereka? Padahal jelas Raka Ratu Malam mengatakan hendak ke sini. Atau jangan-jangan mereka berdua langsung masuk Istana Hantu. Tapi apa mungkin?!" Joko berpikir sejenak.
"Hem... Siapa tahu mereka benar-benar masuk. Lagi pula tidak ada salahnya aku menyelidik..."
Murid Pendeta Sinting melangkah ke arah istana Hantu. Lima langkah di depan Istana Hantu yang pintunya tetap terbuka, Pendekar 131 berhenti. Sepasang matanya membeliak memandang ke dalam. Namun yang terlihat hanyalah warna hitam.
"Ratu Malam! Gendeng Panuntun! Apakah kalian berada didalam?!" teriak Joko.
Tidak ada sahutan. Murid Pendeta Sinting tajamkan telinga. Tidak juga terdengar apa-apa. Tidak sabar, dia berteriak kembali. Tapi masih juga tidak ada sahutan. Joko teruskan langkah mendekat. Dua langkah di depan pintu dia pentangkan sepasang matanya memandang tak berkesip ke dalam. Sepertinya dia hendak berusaha menembus warna hitam yang tampak. Namun hingga matanya pedas keluarkan air mata, yang terlihat hanyalah warna hitam gelap!
"Aneh... Aku tak dapat menembus kegelapan didalam istana!"
Murid Pendeta Sinting terlihat ragu-ragu. Namun tak lama kemudian dia teruskan langkahnya. Begitu kaki kanannya setengah jalan masuk ke dalam Istana, mendadak satu gelombang angin dahsyat menggebrak! Bukan saja membuat kaki kanan Joko terpental balik, tapi tubuhnya tersurut lima langkah!
Pendekar 131 terbelalak dengan dahi mengernyit. Lalu cepat salurkan tenaga dalam pada dadanya untuk lindungi diri dengan jurus Inti 'Sukma Es'. Lalu pelan-pelan dia melangkah kembali ke arah pintu. Kedua tangannya diangkat ke atas siapkan pukulan. Namun belum sampat kakinya melangkah masuk, kembali satu gelombang angin menggebrak. Joko tidak tinggal diam. Kedua tangannya didorong ke depan.
"Brakkk! Brakkk!"
Terdengar derakan keras dua kali berturut-turut. Sosok murid Pendeta Sinting terjajar lima langkah dengan tubuh bergetar dan paras berubah.
"Bagaimana ini? Akan kuteruskan atau aku pergi saja? Jika Ratu Malam dan Gendeng Panuntun menuju ke sini, tentu tidak mudah juga bagi mereka untuk masuk. Berarti mereka menuju tempat lain. Ah... Tapi Ratu Malam menduga Tengkorak Berdarah yang ada di belakang lenyapnya Iblis Ompong dan saudara-saudaranya. Hem... Aku harus buktikan!"
Pendekar 131 kembali melangkah maju. Lalu berteriak. "Tengkorak Berdarah! Aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi harap katakan apakah sahabatku iblis Ompong berada disini?!"
"Di sini bukan tempat untuk bertanya!" terdengar jawaban berat dari dalam istana.
"Jika begitu, harap kau perbolehkan aku masuk untuk membuktikan"
"Di sini bukan tempat untuk membuktikan" jawab suara dari dalam istana.
"Lalu tempat apa ini?!" tanya Joko agak jengkel.
"Tempat orang-orang dungu salah alamat..."
Murid Pendeta Sinting nyegir. Lalu berujar. "Kau jangan menutupi diri! Bukankah kau yang berada di balik kegegeran dan lenyapnya beberapa orang pada akhir-akhir pancing Joko. Untuk beberapa lama tidak ada jawaban. "Nah. Berarti orang yang datang ke sini bukan salah alamat. Justru kaulah yang salah tempat" Karena maith tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting berucap lagi.
"Kenapa diam?"
"Aku tak suka bicara dengan orang dungu!" jawab suara dari dalam Istana. "Dan lekas menyingkir dari depan pintu Istana!"
"Aku tak akan pergi sebelum aku dapat menemukan sahabatku!"
"Berarti kau orang dungu yang hendak serahkan nyawa..."
Pendekar 131 tertawa panjang. "Silakan kau menganggapku apa saja. Yang jelas jika kau tak serahkan sahabat-sahabatku, aku akan memindahkanmu ke tempat yang benar!"
"Jangan hanya bicara besar. Buktikan ucapanmu! kata suara dari dalam Istana. Meski hatinya belum yakin benar jika lenyapnya Ibils Ompong dan saudara-saudaranya karena ulah Tengkorak Berdarah, namun karena merasa penasaran akhirnya murid Pendeta Sinting berujar.
"Sudah kukatakan aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi kalau kau ingin buktikan ucapanku, apa susahnya?!"
Habis berkata begitu, Joko melompat ke depan. Dan sekali lagi menjejak tanah, sosoknya berkelebat masuk ke dalam Istana. Baru satu tombak tubuhnya lewat dari pintu, terdengar deruan keras, lalu Joko rasakan sapuan gelombang luar biasa ganas. Joko tak mau bertindak ayal.
"Wuuuttt! Wuuuttt!"
Kedua tangannya cepat menyentak ke depan. Dua gelombang angin melesat. Anehnya kali ini tidak terdengar bentrokan keras. Tapi saat itu juga murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya bergetar keras. Dan tubuhnya yang masih di atas udara terdorong. Pertanda meski tiada suara bentrok pukulan, namun pukulannya beradu dengan pukulan orang. Sadar akan apa yang terjadi, Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga pada kedua lengannya lalu tangannya disentakkan ke depan. Angin dahsyat melesat. Lalu hawa dingin menyungkup. Tanda murid Pendeta Sinting lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Dari dalam istana tiba-tiba terdengar deruan hebat. Menyusul dengan menghamparnya hawa panas luar biasa yang dalam sesaat menindih lenyap hawa dingin. Kejap lain terdengar ledakan. Sosok murid Pendeta Sinting mencelat keluar dan terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan tubuh bergetar dan raut pucat pasi. Untung dia telah lindungi diri dengan jurus inti 'Sukma Es', hingga dia tidak mengalami cedera.
"Itukah yang akan kau buktikan, hah?!" terdengar suara dari dalam istana disusul dengan suara tawa panjang dan berat.
Ucapan orang membuat dada Joko bergemuruh. Dia cepat bergerak bangkit, lalu berkelebat ke depan. Sejarak tiga langkah dari depan pintu Istana Hantu kedua tangannya yang telah berubah warna kekuningan segera didorong keras.
"Wuutt! Wuuuttt!"
Gelombang angin dahsyat melesat membawa hawa panas disertai semburatnya warna kuning. Tidak ada pukulan yang memangkas dari dalam istana. Anehnya tidak juga terdengar ledakan tanda pukulan sakti yang baru saja dilepas Pendekar 131 melabrak sesuatu. Pukulan 'Lembur Kuning' itu laksana raib ditelan setan. Membuat Joko tegak dengan mata terbeliak dan tubuh bergetar. Belum hilang rasa herannya, mendadak Joko merasakan satu kekuatan dahsyat menyedot dari dalam Istana, hingga membuat sosoknya terhuyung ke depan.
Tanpa pikir panjang, sebelum tubuhnya masuk ke dalam istana, Joko sentakkan kedua tangannya. Lepaskan pukulan sakti 'Sukma Es' dan 'Lembur Kuning' sekaligus. Hawa panas bertabur hawa dingin menyungkup. Gelombang luar biasa hebat menggebrak. Kekuatan yang menyedot tubuh Joko tiba-tiba lenyap. Tapi bersamaan dengan itu terdengar suara deruan yang menggidikkan!
"Blaamm! Blaamm!"
Istana Hantu berguncang keras. Tubuh Joko terpelanting lalu terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah. Perlahan-lahan Joko bangkit lalu duduk bersila untuk salurkan hawa murni mengatasi sedikit nyeri di dadanya. Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting sepasang mata tampak memperhatikan tak berkesip dari balik rimbun dedaunan.
"Siapa pemuda ini? Meski masih muda tapi punya kepandaian dan tenaga dalam tinggi. Hem... Lama tidak melihat dunia luar, ternyata perubahan telah banyak terjadi. Banyak orang-orang muda berkepandaian tinggi muncul. Tapi apa kepentingan pemuda itu hingga berani lancang membuat urusan dengan penghuni Istana Hantu?! Apakah dia tahu di balik terbukanya pintu Intana Hantu?" kata orang yang mengintai dalam hati.
Sementara di depan sana, murid Pendeta Sinting telah bangkit berdiri dan kini menatap tajam pada pintu lstana. Rasa penasarannya kini sedikit demi sedikit berubah menjadi rasa geram, apalagi saat mengetahui pukulan sakti 'Sukma Es' dan 'Lembur Kuning' begitu mudah raib bahkan sosoknya terpental dengan mulut keluarkan darah.
"Pukulan 'Sukma Es' dan 'Lembur Kuning' hanya bagai angin lalu, apakah dia sanggup membendung pukulan Serat Biru?!" desis Joko lalu kerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Sambil melompat ke depan Joko hantamkan tangan kiri kanannya. Tangan kiri lepaskan pukulan sakti 'Serat Biru' tangan kanan kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'.
"Wuutt! Wuuuttt!"
Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat laksana benang berwarna biru terang. Dari tangan kanannya menggebrak gelombang angin dahsyat berhawa panas yang semburatkan warna kuning. Dari dalam istana terdengar seruan. Disusul kemudian dengan menderunya suara keras, Istana Hantu bergetar, tengkorak berlumur darah yang menggandul bergoyang-goyang sebelum akhirnya jatuh pecah berantakan.
Kejap lain terdengar ledakan luar biasa hebat. Batu-batu kecil tampak berhambur keluar dari pintu istana. Keadaan dalam istana sejenak terang berderang. Namun belum sempat Joko melihat keadaan di dalam istana, satu gelombang asap tipis menghantam tubuhnya. Kejap lain sosoknya tersapu deras dan jatuh bergedebukan di atas tanah tiga tombak dari pintu.
Orang yang mengintai dari balik dedaunan pohon terkesiap. Dia menyibak rimbun dedaunan di hadapannya lalu berkelebat keluar. Namun gerakannya terlambat. Karena satu sosok telah melesat dan kejap lain barkelebat ke arah timur. Orang yang baru keluar dari tempat persembunyiannya terbelalak. Karena sosok pemuda yang sedari tadi diintainya telah tidak ada lagi.
"Jahanam! Ada orang mendahuliku! Gerakannya amat cepat! Namun belum jauh dari sini. Pemuda itu! Aku harus mendapatkannya! Urusan dengan Tergkorak Berdarah terpaksa kutunda dahulu!"
Orang ini yang ternyata adalah seorang nenek mengenakan pakaian putih dari sutera yang di atas sela telinganya menyelip sebatang bambu berwarna kuning sejurus palingkan kepala ke arah pintu istana. Tapi kejap kemudian dia berkelebat kearah berkelebatnya sosok yang membawa tubuh Pendekar 131. Tapi gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-tiba satu suara terdengar.
"Kau hendak ke mana, Nek?!"
Orang berpakaian putih sutera berpaling. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis. Untuk beberapa lama si nenek yang bukan lain adalah Daeng Upas memandang pada pemuda berpakaian hitam-hitam yang tidak lain adalah Raka Pradesa tanpa berkata apa-apa. Malah Daeng Upas segera berpaling pada jurusan berkelebatnya orang yang membawa serta tubuh Joko dan hendak bergerak pergi.
"Kau tampaknya tertarik dengan pemuda tadi. Betul?!" tanya Raka Pradesa.
"Siapa kau?!" kata Daeng Upas dengan membentak dan tanpa berpaling.
"Aku orang tersesat jalan..."
Daeng Upas menoleh. Menatap lekat-lekat wajah pemuda yang kini melangkah ke arahnya. "Mustahil dia pemuda tersesat jalan. Dia seolah tahu jika aku terus perhatikan pemuda berpakaian putih-pulih tadi" batin Daeng Upas.
"Kau jangan bicara dusta membohongiku! Kau pasti punya maksud tertentu berkeliaran di tempat ini! Aku tak punya waktu banyak untuk bicara denganmu..." kata Daeng Upas lalu kembali hendak berkelebat pergi.
"Nek. Aku ikut bersamamu..." kata Raka Pradesa. "Bukankah kau hendak mengejar orang yang membawa pemuda tadi?!"
Daeng Upas mendengus. "Aku tak butuh teman. Kau berkata sesat jalan, kenapa hendak ikut bersamaku, hah?!"
Daeng Upas yang telah berada kembali tak jauh diri Raka Pradesa manggut-manggut. Lalu sekali bergerak, tubuhnya melesat menyusul Raka Pradesa.
"Pemuda tadi..."
"Kenapa pemuda tadi?!" potong Daeng Upas.
"Apa hubunganmu dengannya?!"
"Aku... Aku temannya!"
Daeng Upas kernyitkan dahi. Sepasang matanya menyipit membelalak membuat bambu di sela telinganya bergerak-gerak. "Kau jangan bicara tak karuan! Tadi..."
"Itu akan kuceritakan nanti. Kita harus cepat mengejar. Kalau terlambat aku akan kehilangan teman dan kau..." Raka Pradesa tidak teruskan ucapannya. Sebaliknya dia berkata dalam hati. "Kenapa aku tidak tanya mengapa nenek ini tertarik pada Joko...? Ah. Itu urusan nanti..."
"Hemm... Kalau kau memang temannya, katakan siapa pemuda tadi?"
"Ah, kau terlalu mencurigaiku! Kalau kau tak mau pergi bersama-sama, aku tak memaksa..."
"Aku memang suka pergi sendirian!" sahut Daeng Upas. Habis berkata begitu, dia berkelebat. Pada satu tempat dia segera menyelinap. "Aku ingin tahu apakah pemuda berpakaian hitam-hitam tadi ucapannya benar..." Lalu berkelebat lagi ke arah semula dengan mengambil jalan lain.
Begitu Daeng Upas berkelebat, Raka Pradesa tampak masih tegak dengan wajah cemas. Dia sesekali menatap ke arah pintu Istana Hantu, lalu ke arah berkelebatnya orang yang membawa Joko Sableng. Kejap kemudian dia berkelebat ke arah orang yang membawa tubuh Pendekar 131.
Daeng Upas yang telah berada kembali tak jauh dari Raka Pradesa manggut-manggut. Lalu sekali bergerak, tubuhnya melesat menyusul Raka Pradesa.
SOSOK hijau yang di pundaknya tampak memanggul orang itu berkelebat cepat. Pada satu tempat, dia berhenti. Kepalanya berpaling kekiri kanan. Lalu perlahan-lahan dia menurunkan orang di pundaknya di atas tanah. Dia tampak mengawasi orang yang baru saja digeletakkan. Dari mulutnya terdengar gumaman tidak jelas. Tangan kanannya lalu bergerak dan jari telunjuknya ditekankan pada beberapa bagian tubuh orang yang di atas tanah.
Perlahan-lahan orang di atas tanah buka kelopak matanya. Orang ini yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng tampak melengak lalu tersurut ke belakang. Namun dia segera meringis saat dadanya terasa nyeri dan sekujur tubuhnya laksana ditusuk jarum kala menggerakkan tubuh. Joko kernyitkan dahi.
"Jangan-jangan ini akibat asap yang menghantamku dari dalam Istana..."
"Kau masih dalam keadaan terluka. Harap tidak banyak bergerak dahulu!"
Joko pandangi orang di hadapannya. Ternyata dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna hijau. Rambutnya panjang sepinggang diikat dengan pita kembang-kembang. Kulitnya putih kekuningan dengan lesung pipit di kedua pipinya. Sepasang matanya bundar ditingkah dengan bulu mata panjang dan lentik.
"Terima kasih...! Siapa kau?" tanya Pendekar 131.
Si gadis tersenyum. "Di sini bukan tempat yang baik untuk terangkan diri. Aku hanya meyakinkanmu apakah kau masih bisa bertahan dari cederamu!"
Murid Pendeta Sinting perhatikan dirinya. "Aku... Kurasa aku masih..."
Si gadis gelengkan kepalanya. "Kau masih cedera! Aku akan membawamu ke suatu tempat. Harap kau bertahan!" Si gadis mendekat hendak memanggul kembali, namun Joko geser tubuhnya dan berujar.
"Hendak kau bawa ke mana aku?!"
"Harap tidak banyak bertanya dahulu. Seseorang telah menunggu kita!"
"Kurasa aku bisa berjalan sendiri..."
Gadis berpakaian hijau tertawa lalu gelengkan kepala. "Baiklah. Kalau kau merasa bisa berjalan sendiri harap mengikutiku..."
Si gadis lalu melangkah. Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Sejenak terhuyung-huyung, namun dia coba kuatkan diri. Namun begitu kaki kanannya bergerak melangkah, tubuhnya oleng dan tak lama kemudian dia terhuyung. Namun sebelum tubuhnya jatuh terhempas, gadis berpakaian hijau cepat melompat dan menahan bahu Pendekar 131.
"Cederamu memang tidak terlalu parah karena kau masih lindungi diri dengan pukulan Inti 'Sukma Es'. Namun untuk sementara kau harus istirahat untuk pulihkan tenagamu! Aku akan meanggulmu!"
Seakan masih tidak percaya, karena yang terasa menghantamnya saat itu adalah asap tipis, murid Pendeta Sinting coba kerahkan tenaga dalamnya. Dia saketika tersentak. Sekujur tubuhnya laksana ditusuk jarum! Merasa apa yang diucapkan si gadis benar adanya, akhirnya Pendekar 131 hanya bisa angkat alis matanya tanpa buka suara.
Gadis di belakangnya gerakkan tangan kiri kanan memegang pinggang Joko. Lalu diangkat hendak diletakkan pada pundaknya. Tapi gerakan gadis ini tertahan saat tiba-tiba terdengar suara.
"Tinggalkan pemuda itu!"
Kedua tangan gadis berpakaian hijau melonggar hingga tubuh Joko kembali terduduk di atas tanah. Kedua orang ini serentak berpaling ke arah datangnya suara. Sepasang mata murid Pendeta Sinting kontan terbelalak besar. Sementara gadis berpakaian hijau pandangi orang dengan mata menyipit dan membesar. Dari tempat masing-masing, terlihat dua orang tegak sejarak dua belas langkah.
Sebelah kanan adalah seorang perempuan berambut pirang yang wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam. Dia mengenakan jubah hitam sepanjang lutut. Di sebelah perempuan bercadar dan berjubah hitam tegak seorang kakek berwajah pucat dengan rambut disanggul ke atas. Kakek ini juga mengenakan jubah hitam. Kedua tangannya tampak masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
"Celaka!" gumam Joko begitu mengenali siapa adanya dua orang yang kini memandang ke arahnya dengan tak berkesip. "Apakah aku masih bisa lepaskan pukulan? Mereka jelas memperpanjang urusan di Pulau Biru..."
"Gadis berpakaian hijau!" kata perempuan bercadar dan berjubah hitam yang bukan lain adalah Dewi Siluman, "Aku tak mau bicara dua kali! Tinggalkan pemuda itu!"
"Aku tak kenal dirimu!" jawab gadis berpakaian hijau. "Harap jangan bicara tak karuan! Katakan siapa kalian...?!"
Dewi Siiuman tertawa pendek. "Sayang aku tak bisa terangkan disini karena waktuku tidak banyak. Satu hal yang harus kau ketahui, pemuda itu telah ditakdirkan mampus di tanganku!"
Sepasang mata gadis berbaju hijau membesar, alis matanya terangkat. Dia berpaling sejenak pada Pendekar 131 lalu alihkan pandangannya pada dua orang di depan sana. "Hem.... Kalian menginginkan nyawanya. Ada silang sengketa apa gerangan?!"
"Kau terlalu banyak mulut!" hardik Dewi Siluman. "Tinggaikan dia atau kau akan ikut mampus bersamanya!"
"Setiap kematian punya sebab. Jadi kalian tak pantas sangkut pautkan aku dengan pemuda ini! Di antara kita tak ada silang sengketa!"
"Gadis berbaju hijau. Kalau kau tak ingin ada silang sengketa, lekas turuti ucapanku! Jika tidak, itulah sebab kematianmu!"
"He... Harap kau tidak mencari mati. Turuti saja ucapannya..." kata Joko perlahan. "Mereka berdua memang punya urusan denganku! Jadi kau jangan ikut campur! Biar mereka kuhadapi sendiri..."
Gadis berbaju hijau menoleh. Sambil tersenyum dia berkata. "Tanggung jawab hidupmu ada di tanganku! Tak akan kubiarkan mereka menyentuhmu!"
"Tanggung jawab pada siapa?!"
"Kelak kau akan tahu sendiri. Sekarang kalau kau mampu, harap kau sedikit menjauh..." kata si gadis lalu melangkah ke depan menghalangi Joko dari pandangan orang di depan sana.
"Kau akan menyesal, Anak Gadis!" kata si kakek d sebelah Dewi Siluman yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam. "Tak ada untungnya kau melindung pemuda itu!"
"Untung rugi telah kuperhitungkan. Aku tidak akan merasa menyesal!" jawab si gadis.
"Hem... Begitu? Bagus! Terimalah keuntunganmu!" hardik Dewi Siluman sambil melompat ke depan. Kedua tangannya yang mengenakan sarung tangan hitam diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan!" satu suara terdengar.
Dewi Siluman dan Ki Buyut berpaling. Sementara gadis berbaju hijau melirik. Pendekar 131 yang hendak menjauh segera pula menoleh. Tampak seorang pemuda mengenakan pakaian warna hitam-hitam berkumis tipis berlari ke arah Pendekar 131.
"Raka Pradesa..." gumam Joko mengenali siapa adanya pemuda. "Bagaimana pemuda ini sampai di tempat ini? Wah, urusan akan tambah gawat. Kalau dia ikut-ikutan, bukan tak mungin akan dilenyapkan sekalian oleh Dewi Siluman!"
"Berhenti!"
Tiba-tiba Dewi Siluman membentak, membuat pemuda berpakaian hitam-hitam yang memang Raka Pradesa adanya hentikan larinya. Dia memandang sejenak pada gadis berbaju hijau. Matanya tampak berkilat. Lalu berpaling pada Dewi Siluman. Mulutnya membuka, namun Dewi Siluman mendahului bersuara.
"Kau!" katanya sambil arahkan telunjuk jari tangan kirinya kearah Raka Pradesa. Tetap di tempatmu atau kau akan ku habisi sekalian.
"Harap tidak salah paham. Ada apa sebenarnya ini?!" tanya Raka Pradesa.
"Kau siapa?!" bentak Dewi Siluman.
"Aku sahabatnya Tengkorak Berdarah itu!" jawab Raka Pradesa sambil menunjuk ke arah Pendekar 131.
Mau tak mau Pendekar 131 gelengkan kepala. "Tambah gawat! Bisa-bisanya dia berkata begitu! Tapi salahku sendiri. Aku mengaku Tengkorak Berdarah saat jumpa dengan Hantu Makam Setan..."
Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar A!am saling pandang. Namun kejap lain Dewi Siluman tertawa panjang. "Pemuda gila! Dengar baik-baik! Siapa pun adanya pemuda sahabatmu itu, yang pasti kematiannya telah ditakdirkan di tanganku. Kau dengar?!"
Raka Pradesa terlengak. Setelah memandang ke arahh Pendekar 131 dia berucap. "Kau munkin salah. Harap perhatikan dahulu sebelum turunkan tangan maut! Dia..."
"Pemuda gila! Kau tahu apa mengenai pemuda itu. heh?!" tukas Dewi Sliuman.
"Dia sahabat seperjalananku..."
Dewi Siluman tertawa kembali. "Pengetahuanmu masih sejengkal. Menyingkirlah dari tempat ini sebelum pikiranku berubah!"
Tiba-tiba Raka Pradesa tertawa panjang, membuat Pendekar 131 terkesiap. "Anak itu benar-benar nekat. Dia tidak tahu siapa yang kini dihadapinya..." batin Joko lalu coba kerahkan tenaga dalamnya. Tapi murid pendeta Sinting ini tersentak. Sekujur tubuhnya laksana ditusuk jarum.
"Celaka! Aku masih belum bisa salurkan tenaga dalam. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki penghuni istana Hantu itu?!"
"Kau boleh mengatakan pengetahuanku sejengkal. Namun kalau boleh, aku bisa mengatakan siapa kau adanya, juga kakek berjubah hitam itu..." kata Raka Pradesa. Lalu tanpa tunggu sambutan dari orang, pemuda berbaju hitam-hitam ini teruskan ucapannya. "Kau bukankah yang dikenal orang dengar gelar Dewi Siluman? Dan kakek yang bersamamu itu bukankah yang bernama Ki Buyut Pagar Alam?!"
Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau tersertak. Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam sama pentangkan mata masing-masing memandang lekat-lekat pada Raka Pradesa.
"Siapa pemuda ini sebenarnya? Apa hubungannya dengan Pendekar 131? Dan mengapa dia sebut Pendekar 131 sebagai Tengkorak Berdarah?!"
Belum sampai Dewi Siluman dapat menjawab apa yang jadi pertanyaan hatinya, Raka Pradesa telah buka mutut kembali.
"Selama ini orang mungkin hanya tahu kau Dewi Siluman dan kakek itu adalah Ki Buyut. Namun aku bisa katakan siapa kalian berdua sebenarnya!"
Sesaat Dewi Siluman tampak tercekat, Wajah di ba-tik cadarnya berubah. Namun dia tetap tegak diam dan tak buka suara. Sementara Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan dahi serta berusaha menduga-duga siapa sebenarnya pemuda berpakaian hitam-hitam. Raka Pradesa dongakkan kepala. Lalu terdengar ucapannya.
"Kakek itu bukankah adik dari ibumu yang sudah sekian tahun hilang lenyap entah ke mana?!" Raka Pradesa sengaja hentikan ucapannya, lalu luruskan kepala seakan ingin mengetahui reaksi kedua orang di hadapannya.
"Pemuda ini tahu banyak tentang diriku. Bahkan mengenai ibuku! Siapa dia sebenarnya? Jahanam keparat! Dia tidak boleh buka suara di depan orang banyak!" kata Dewi Siluman datam hati.
Raka Pradesa kembali tengadah lantas berkata. "Ibumu. Bukankah dia bernama..."
"Cukup! Kau buka mulut lagi aku tak segan membunuhmu..." hardik Dewi Siluman.
"Berarti semua ucapanku benar bukan?!" ujar Raka Pradesa.
"Heran. Dia tahu banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan. Siapa dia sebenarnya?" diam-diam Joko membatin pula dalam hati. Sementara gadis berbaju hijau hanya diam memperhatikan.
"pemuda gila!" kata Dewi Siluman. "Siapa kau sebenarnya?! Apa hubunganmu dengan pemuda itu?!"
"Aku hanyalah pemuda bodoh berpengetahuan sejengkal. Jadi tak layak bagiku memperkenalkan diri. Sedang pemuda itu seperti kataku tadi, adalah sahabat seperjalananku!"
"Jika demikian, kau layak juga mampus bersamanya!" ujar Dewi Siluman.
Habis berkata begitu, Dewi Siluman melesat ke depan. Bukan ke arah Raka Pradesa, melainkan ke arah gadis berbaju hijau yang tetap menghalangi Pendekar 131! Kedua tangannya langsung menghantam lepaskan pukulan jarak jauh. Bersamaan menghantamnya kedua tangan Dewi Siluman, Raka Pradesa melompat dan serta-merta tubrukkan dirinya ke arah perempuan bercadar hitam ini.
Karena tak menyangka dan saat itu tengah lepaskan pukulan, Dewi Siluman tak bisa hindarkan diri dari tubrukan si pemuda hingga terhuyung dua langkah membuat pukulan yang dilepas melenceng ke udara. Sementara gadis berbaju hijau yang telah waspada dan telah angkat kedua tangannya teruskan pukulannya, hingga saat itu juga satu gelombong angin deras melesat ke arah Dewi Siluman.
Dewi Siluman menggeram. Dia cepat menyingkir dengan berkelebat ke samping. Pukulan gadis berbaju hijau lewat setengah tombak di sampingnya. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap pada Raka Pradesa yang menyebabkan pukulannya melenceng. Dari tubrukan tadi, tampaknya Dewi Siluman tahu, jika pemuda berpakaian hitam-hitam tidak memiliki kepandaian. Dia cepat putar diri, lalu kejap lain sosoknya telah dua langkah dihadapan Raka Pradesa. Serta-merta kaki kanannya bergerak lepaskan satu tendang.
Raka Pradesa angkat kepalanya. Dia sekejap tampak terkejut. Namun bersamaan itu kedua tangannya diangkat dipalangkan pada kepalanya.
"Bukkk!"
Sosook Raka Pradesa terjajar dua langkah. Sedang Dewi Siluman tersurut satu tindak. Sepasang mata Dewi Siluman makin membeliak. "Jahanam! Ternyata dia menyimpan ilmu..." batin Dewi Siluman setelah merasakan kaki kanannya ngilu akibat bentrok dengan tangan Raka Pradesa.
"Buyut!" teriak Dewi Siluman. "Kau layani pemuda gila ini" Sambil berteriak. Dewi Siluman melesat ke arah Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau. Dan suara teriakan sang Dewi belum lenyap, dihadapan Raka Pradesa telah tegak Ki Buyut Pagar Alam.
"Gadis berbaju hijau! Kuingatkan sekali lagi. Tinggalkan pemuda itu atau..."
"Lebih baik mati di sini daripada pergi tanpa pemuda itu!" tukas gadis berbaju hijau dengan senyum mengejek.
"Keparat!" teriak Dewi Siluman sambil sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'.
"Tahan serangan!" Mendadak satu seruan terdengar di tempat.
"Aku seperti mengenali suara itu!" desis Dewi Siluman. Lalu kedua tangannya yang setengah jalan lepaskan pukulan ditarik pulang.
Sementara Ki Buyut Pagar Alam yang juga telah angkat tangannya segera diurungkan. Keduanya serta-merta berpaling. Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam sama membelalak. Malah Dewi Siluman tampak bekap mututnya yang hendak berteriak.
"Apa maksudnya menahan?" gumam Dewi Siluman dengan mata tetap memandang ke arah timur dimana tampak seorang nenek tegak dengan perhatikan pada Pendekar 131.
"Aku memerlukan pemuda berbaju putih ini. Biarkan dia hidup dahulu..." kata orang yang baru datang yang ternyata adalah seorang nenek berpakaian putih dari sutera yang di telinganya tampak menyelip sebatang bambu berwarna kuning, yang bukan lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi Siluman.
"Nek..." kata Raka Pradesa sambil tersenyum.
Yang dipanggil tidak berpaling. Sebaliknya menatap pada gadis berbaju hijau dengan tatapan menyelidik. "Tak kusangka jika manusia yang mampu bergerak cepat tadi masih begini muda..." kata Daeng Upas dalam hati lalu berkata.
"Anak gadis. Aku minta baik-baik padamu. Tinggalkan pemuda itu dan kau lekas pergilah dari tampat ini!"
Gadis berbaju hijau tersenyum dingin. Sementara Pendekar 131 hanya bisa mengeluh dan makin bingung. "Heran. Siapa lagi nenek ini? Mengapa menginginkan aku juga? Dan Dewi Siluman serta Ki Buyut Pagar Alam tampaknya kenal dengannya..."
"Anak gadis. Kau dengar ucapanku. Apa lagi yang kau tunggu?!" ujar Daeng Upas tatkala dilihatnya gadis berbaju masih tetap tegak di tempatnya.
"Aku akan pergi, tapi bersamanya!" jawab si gadis.
Dewi Siluman habis kesabaran. Dia handak melompat ke depan, namun Daeng Upas angkat tangan kanannya. "Aku menginginkan dia pergi baik-baik..."
"Aneh. Kenapa ibu barsikap lunak begini?!" kata Dewi Siluman dalam hati.
Gadis berbaju hijau lagi-lagi tersenyum dingin mendengar ucapan Daeng Upas. Namun kali ini tidak buka suara menyambuti ucapan si nenek.
"Anak gadis. Aku bilang sekali lagi. Tinggalkan pemuda itu...!"
"Tak akan kubiarkan siapa pun menyentuhnya. Kalian dengar?!" kata gadis berbaju hijau.
"Baik. Jika itu maumu!" Habis berkata begitu, Daeng Upas putar tubuhnya setengah lingkaran. Tiba-tiba tubuhnya melesat masih dengan sosok tidak menghadap gadis berbaju hijau. Sejarak enam langkah dari tempat si gadis berbaju hijau tegak, si nerek angkat kakinya seolah membuat gerakan menendang.
Di samping sana, gadis berbaju hijau tiba-tiba memekik. Sesoknya terseret sampai lima langkah dengan kedua tangan memegangi dadanya yang terasa dihantam kekuatan luar biasa dahsyat! Masih di atas udara, Daeng Upas tarik pulang kakinya. Namun kejap kemudian kakinya mencuat kembali membuat gerakan menendang.
Di samping sana, untuk kedua kalinya gadis berbaju hijau terpekik. Sosoknya terpental dan jatuh terjengkang dengan mulut megap-megap. Dewi Siluman tampak tercengang karena selama ini ibunya tidak pernah menunjukkan kepandaiannya, meski sifatnya pemarah dan ucapannya karas.
Tepat diatas tubuh Pendekar 131, Daeng Upas gerakkan bahunya dua kali. Sosoknya melayang turun dan tegak dua langkah di depan murid Pendata Sin-tIng. Tengkuk Pendekar 131 merinding. Bukan saja karena mengetahui ketinggian ilmu Si nenek, namun juga karena dia belum mampu salurkan tenaga dalamnya.
"Mudah-mudhan senjata terakhir ini bisa menahan jika nenek ini bermaksud jahat..." batin joko seraya raba pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
Deang Upas menatap sejurus pada Pendekar 131. Lalu tersenyum. Tanpa berkata sepatah kata, kedua tangannya bergerak.
"Nek...! teriak Raka Pradesa mengetahui apa yang akan dilakukan Daeng Upas. Namun si nenek tak hiraukan teriakan orang.
Sementara Joko sendiri sudah terlambat untuk cabut pedangnya. Kedua tangan si nenek telah bergerak ke arah murid Pendeta Sinting yang seakan terkesima.
Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas menyentuh tubuh Pendekar 131 untuk lakukan totokan, tiba-tiba terdengar suara. Duutt! Duutt! Duutt! Beberapa kali. Kejap lain satu hembusan angin menyeruak pelan. Anehnya, kedua tangan Daeng Upas tampak bergetar hebat. Sesaat kemudian kedua tangan si nenek laksana dihantam kekuatan dahsyat hingga mental ke belakang. Dan bersamaan itu pula sosok Daeng Upas tersurut tiga langkah!
Semua orang tersentak kaget. Lebih-lebih Daeng Upas yang kini coba menahan kekuatan gelombang yang terasa menghantam tubunya. Lalu semua kepala di tempat itu berpaling ke kanan dari mana suara duuttt! duuuttt! duuttt! terdengar...
BAB 1
SUASANA masih tampak samar-samar meski cahaya kekuningan sudah semburat dibentangan langit sebelah timur pertanda sang matahari tidak lama lagi akan muncul. Satu bayangan putih berkelebat cepat menuju arah barat. Pada satu tempat dia hentikan larinya. Lalu kepalanya berpaling ke kanan-kiri.
Tempat itu adalah sebuah lembah yang tidak begitu besar. Di kanan kiri lembah terlihat jurang menganga dalam. Sementara lembah itu sendiri ditumbuhi semak belukar lebat dan jajaran pohon besar berdaun rindang. Hingga tak kala matahari unjuk diri, dataran lembah itu hanya tampak samar-samar.
"Hem..." Tampaknya ini tempat yang cocok." gumam orang yang baru saja berlari.
Dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih berambut panjang sedikit acak-acakan yang dibalut dengan ikat kepala berwarna putih. Si pemuda melangkah kearah bagian lembah yang berbatasan dengan jurang. Dipiiihnya sebuah pohon besar lalu duduk bersila membelakangi jurang. Kepala si pemuda barpaling ke kanan kiri.
"Dari arah samping dan belakang tidak mungkin ada orang yang datang. Aku hanya perlu mewaspadai orang dari arah depan..."
Si pemuda menarik napas dalam. Setelah sekalli lagi palingkan kepala kesegenap jurusan, perlahan-lahan kedua tangannya diselinapkan ke balik pakaiannya. Kedua tangannya tampak sedikit gemetar. Ketika kedua tangannya ditarik lagi tampaklah sebuah kitab berwarna biru. Sepasang mata si pemuda melebar, bibirnya berkemik membaca tulisan yang tertera di sampul kitab berwarna biru.
"Kitab Serat Biru..." Pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng ini kembali menghela napas. Lalu dengan tangan masih sedikit gemetar Kitab Serat Biru diletakkan di pangkuannya.
Seperti dituturkan, setelah berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru dari Ki Ageng Mangir Jayalaya di Pulau Biru, Pendekar 131 meninggalkan Pulau Biru bersama-sama rombongan Iblis Ompong, Ratu Malam, Gendeng Panuntun, Dewa Sukma, Dewe Es, Manusia Dewa, dan gurunya sendiri Pendeta Sinting.
Namun karena Pendekar 131 masih harus mempelajari apa yang ada dalam Kitab Serat Biru, akhirnya dia memisahkan diri di Pesisir Laut Selatan. Lantas mencari tempat yang layak untuk mempelajari Kitab Serat Biru. Dalam perjalanannya murid Pendeta Sinting ini sengaja bersikap sangat hati-hati sekali, malah tidak jarang dia memilih jalan sepi karena dia sadar, siapa pun juga pasti menginginkan kitab yang kini berada di tangannya.
Dengan mata sedikit dibelalakkan dan tangan gemetar, Joko mulai membuka halaman pertama Kitab Serat Biru. Ada hawa dingin menusuk takkala kitab itu terbuka, namun hawa itu berubah hangat saat terhirup dan masuk ke dalam tubuh Joko. Dan perlahan-lahan pula hati murid Pendeta Sinting ini jadi tenang. Tangannya tidak lagi gemetar. Pendekar 131 mulai membaca yang tertera dalam halaman pertama Kitab Serat Biru. Pada halaman pertama ini tertera tulisan.
Siapa yang percaya pada sebuah kekuatan, maka dia akan dikalahkan.
Siapa yang berpegang teguh pada kekuasaan, maka dia akan ditanggalkan.
Kekuatan sesungguhnya adalah meninggalkan pertikaian.
Meski dia merasa dapat mengalahkannya. Kekuasaan sesungguhnya adalah menghindar.
Meski dia merasa mampu menggenggamnya. Kekuatan dan kekuasaan tertinggi hanya ada dalam tangan Yang Maha Kuasa.
Sejurus murid Pendeta Sinting meresapi apa yang tertera pada halaman pertama itu seraya tengadahkan sedikit kepalanya. Ketika dia menunduk kembali, la tersentak. Sepasang matanya dipentangkan dengan dahi mengernyit. Karena perlahan-lahan tulisan pada halaman pertama itu lenyap! Yang terpampang dihadapnnnya kini adalah lembaran kosong!
"Luar biasa... Berarti aku harus mengingatnya baik-baik!" pikir Joko setelah mengetahuimengetahui terjadi.
Setelah merenungi tulisan pada halaman pertama, lalu meresapi apa yang tersirat, murid Pendeta Sinting membuka halaman kedua. Di hadapannya kini terpampang lembaran kedua. Di situ tertera tulisan.
Sesekali berpalinglah ke bawah, agar kau tahu letak tampatmu.
Sesekali berpalinglah keatas, agar kesombonganmu lenyap.
Sesekali berpalinglah ke samping, agar kau peduli pada sesama.
Sesekali berpalinglah ke depan, agar langkahmu tidak terperosok.
Yang Maha Kuasa selalu ada di mana kau berada.
Maka jangan berpaling dari-Nya setiap saat.
Karena di sana ada kedamaian dan kasih sayang.
Setelah Joko mengulang-ulang tulisan pada lembaran kedua, perlahan-lahan tulisan pada halaman itu lenyap! Murid Pendeta Sinting menggumamkan apa yang tadi tertera pada halaman pertama lalu mengucapkan apa yang tertera pada halaman kedua. Setelah itu dia membuka halaman ketiga. Di situ tertulis.
Siapa yang telah meresapi apa yang tersirat dan tersurat pada halaman pertama dan kedua, maka orang yang ditentukan mewarisi kitab bisa mendapatkan setitik ilmu Yang Maha Kuasa pada halaman keempat.
Dada Pendekar 131 sedikit berdebar. Begitu tulisan pada halaman ketiga lenyap, dia perlahan-lahan membuka halaman keempat. Ternyata di situ terdapat gambar telapak tangan kiri. Di bawah gambar telapak tangan tertera tulisan.
Letakkan telapak tangan kiri tepat di gambar. Pejamkan mata dan salurkan segenap tenaga dalam pada tangan kiri
Sesaat Pendekar 131 pandangi lekat-lekat gambar telapak tangan Lalu membuka telapak tangan kirinya dan dipandangi berlama-lama telapak tangannya yang tertera angka 131 di sana. Sejurus ada rasa bimbang. Namun perasaan itu segera ditepis. Dia segera salurkan tenaga dalam pada telapak tangan kiri.
Perlahan-lahan telapak tangan kirinya dijulurkan ke atas gambar. Dan sedikit demi sedikit diturunkan ke bawah, ditempelkan pada gambar dihalaman kitab. Anehnya, telapak tangan kiri Joko tepat sama besarnya dengan gambar yang ada dihalaman kitab. Murid Pendeta Sinting lalu pejamkan sepasang metanya.
Tiba-tiba dia merasa telapak tangan kirinya laksana dipanggang bara api luar biasa panas. Dia tersentak kaget dan baru hendak menarik telapak tangannya. Namun meski dia telah kerahkan tenaga dalamnya, dia tak mampu tarik pulang tangannya!
Pendekar 131 mengeluh tinggi, tapi anehnya suara keluhannya seakan tersekat di tenggorokan! Hingga mulutnya hanya menganga tanpa keluarkan suara. Bersamaan dengan itu, keringat telah membasahi sekujur tubuhnya. Meski keadaan tubuhnya panas bukan alang kepalang, tapi Joko tak ingin membuka kelopak matanya.
Beberapa saat berlalu, mendadak hawa panas di sekujur tubuh murid Pendeta Sinting lenyap, membuat Joko perlahan-lahan coba membuka kelopak matanya. Dia terlengak. Sekujur tubuhnya berubab jadi bersinar warna biru! Pendekar 131 angkat telapak tanaan kirinya dari halaman kitab. Ternyala gambar telapak tangan itu telah lenyap. lalu sinar biru perlahan-lahan merayap dan bersatu pada telapak tangan kirinya.
Begitu warna biru di sekujur tubuhnya lenyap, telapak tangan murid Pendeta Sinting berubah menjadi bersinar biru bercampur kuning. Namun diiain kejap sinar biru bercampur kuning itu lenyap pula! Begitu Joko dapat kuasai rasa heran dan kejutnya dia membuka halaman kelima. Di situ tertera tulisan.
Ilmu Serat Biru telah ada daam tubuhmu. Kau hanya perlu kerahkan sedikit tenaga dalam jika menggunakannya.
Pendekar 131 menarik napas lega. Karena masih ada lembaran lagi, dia coba membukanya. Pada halaman keenam tertera tulisan.
Ini adalah kitab bagian pertama. Barang siapa telah mewarisi bagisn pertama ini, maka ia diharuskan mencari kitab bagian keduanya.
"Ah, berarti aku masih harus mencari bagian kedua dari kitab ini. Tapi di mana? Mungkin di halaman berikut ada keterangan tentang kitab kedua itu..." duga Joko lalu mulai membuka halaman-halaman berikutnya.
Namun di sana hanya ada halaman-halaman saja tapi ada tulisan atau gambar. "Kemana lagi aku harus bertanya? Pada beberapa tokoh tempo hari?"
Pendekar 131 tidak teruskan kata hatinya, karena pada saat itu tiba-tiba dari kitab yang masih terbuka di tangannya mengepui asap berwarna biru. Joko pentangkan sepasang matanya besar-besar.
Asap biru makin lama makin banyak hingga menutup kitab. Khawatir akan terjadi sesuatu, murid Pendeta Sinting cepat tarik pulang kitab ditangannya untuk dimasukkan ke balik pakaiannya. Namun laksana ada kekuatan luar biasa dahsyat yang menahan, hingga dia tak kauasa menarik tangannya yang saat itu masih memegang Kitab Serat Biru.
"Ada apa ini? Jangan-jangan ada orang berbuat usii..." batin Joko lalu arahkan pandangannya ke depan.
Matanya tidak menangkap siapa-siapa. Meski disamping kanan kirinya jurang menganga dalam, karena khawatir membuat murid Pendeta Sinting ini palingkan kepalanya ke kanan kiri. Tapi dia tidak juga meiihat siapa-siapa! Tiba-tiba Pendekar 131 sentakkan kepalanya ke depan, karena tangannya yang memegang kitab terasa ringan. Begitu sepasang matanya melihat, dia jadi tersentak. Darahnya laksana sirap. Kitab Serat Biru telah berubah menjadi kumpulan debu halus berwarna biru. Dan bersamaan dengan itu asap biru sirna.
Belum sempat Joko melakukan sesuatu, berhembus angin dari bagian samping, membuat debu berwarna biru bertabur dan melayang diterpa angin. Tangan murid Pendeta Sinting kini kosong!
"Bagaimana ini? Jangan-jangan ini memang perbuatan orang usil" gumam Joko lalu cepat bergerak bengkit hendak menyeildik. Namun gerakannya tertahan, tatkala saat itu juga terdengar suara.
"Dengan berpindahnya apa yang ada dalam Kitab Serat Biru, maka dengan sendirinya kitab itu akan lenyap. Kau tidak usah khawatir, Anak Muda! Hanya sekarang kau harus mencari keduanya. Tapi itu kau lakukan, kau harus pergi ke suatu tempat yang sepi. Lakukan penjernihan bhatin selama setengah purnama. Resapi apa yang tersirat dan tersurat dalam Kitab Serat Biru"
Pendekar 131 sapukan paadangannya berkeliling! Tapi matanya tak melihat adanya orang. "Harap tunjukkan diri...!" seru Pendekar 131.
"Bukan sekarang saatnya, Anak muda, Kelak kau akan tahu. Sekarang lakukan apa yang baru kuucapkan...!" Terdengar lagi suara tanpa terlihat adanya orang yang berkata.
"Tapi bagaimana aku akan melakukan apa yang kau ucapkan jika kau tidak menunjukkan diri dan mangatakan siapa?!"
"Kau belum melakukan penjernihan Anak Muda! Kelak jika hal itu telah kau lakukan, kau akan dapat melihatku. Aku sebenarnya ada di hadapanmu! Karena di antara kita masih ada penghalang, aku ditakdirkan dapat melihatmu, namun kau tidak bisa. Selannat tinggal. lekas lakukan apa yang kucapkan!"
Setelah ucapan itu selesai, Pendekar 131 merasakan semilir angin berhembus. Sebagai orang persilatan yang memiliki tanaga dalam tinggi, murid Pendeta Sinting dapat membedakan hembusan angin biasa dengan hembusan angin kalebatan orang. yakin, hembusan angin barusan adalah hembus angin berkelebatnya seseorang.
"Hem... Orang itu mengetahui jika aku harus mencari kitab keduanya, berarti ucapannya harus aku lakukan. Siapa tau kelak dia dapat memberi keterangan mengenai kitab kedua itu..."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting ini bergerak bangkit lalu berkelebat tinggalkan lembah. Dia sejenak terkesiap sendiri dengan perubahan pada dirinya karena kelebatan tubuhnya terasa begitu dahsyat. Padahal dia hanya sedikit kerahkan ilmu peringan tubuhnya!
********************
Pemandangan puncak bukit berbatu itu indah sekali. Sejauh mata memandang nun jauh di sana berjajar beberapa gundukan batu berwarna-warni, lalu terhamparnya pesisir pantai yang membentuk alur panjang berwarna putih. Disebelah depannya membentang laut lepas berwarna kebiruan yang sesekali ditingkah warna putih bergulungnya gelombang ombak.
Pada sebuah lamping bukit berbatu yang membentuk sebuah goa, Pendekar 131 tampak duduk bersila dengan mata terpejam. Hari ini adalah hari kelima belas dia berada di situ. Namun pada hari ini tampaknya semadi murid Pendeta Sinting tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dan hal ini dirasakan sendiri oleh Joko. Samar-samar dia merasakan hembusan angin aneh. Selain dingin menusuk juga membuat tubuhnya laksana didorong kekuatan dahsyat.
Bagaimanapun Joko bertahan akhirnya sia-sia. Kekuatan hembusan angin itu begitu dahsyat, hingga dalam kejap lain tubuhnya terdorong masuk ke dalam goa yang tidak begitu besar. Bersamaan dengan membenturnya tubuh Joko pada dinding didalam goa, hembusan angin berhenti. Belum sempat Joko berpikir, terdengar suara halus.
"Anak muda. Buka kelopak matamu...!"
Karena seakan masih mengenali suara orang, dengan menindih rasa kaget, Joko turuti ucapan orang. Dari tempatnya duduk, murid Pendeta Sinting melihat seorang kakek berambut putih panjang digulung di atas. Meski berusia lanjut, namun kakek masih tampak gagah. Kerutan diwajahnya tak terlihat. Dia mengenakan pakaian putih-putih. Tangan kanannya memegang sebuah tasbih berwarna hijau yang terus berputar, sementara tangan kirinya sedekap di depan dada. Pendekar 131 segera bungkukkan tubuh menjura hormat seraya berucap lirih,
"Orang tua... Harap suka sebutkan diri..."
Orang tua itu tersenyum samar. Lalu berkata. "Siapa diriku tidaklah begitu penting, Anak Muda! Yang pasti aku adalah salah seorang yang mendapat tugas manyelamatkan Kitab Serat Biru hingga sampai pada orang yang ditakdirkan untuk mewarisinya. Dan sejak hari ini tugasku telah selesai..."
Sejenak orang tua itu hentikan keterangannya. Lalu melanjutkan dengan sepasang mata tak berkesip memandang kearah Joko.
"Hari ini kau telah laksanakan rangkaian yang ada dalam Kitab Serat Biru, Meski bentuk kitabnya telah musnah, namun isinya telah tertanam dalam tubuhmu. Apa yang sekarang kau miliki sebenarnya hanyalah sebuah titipan. Maka dari itu kau harus dapat menjaganya dengan baik. Resapi apa yang ada dalam kitab itu. Karena hal itu adalah pedoman bagi langkah-langkahmu selanjutnya. Karena dihadapanmu kini membentang tantangan yang tidak kecil, dan semua harus dapat kau atasi. Tapi harus kau ingat selalu. Ilmu yang sekarang kau miliki bukanlah satu-satunya hal yang bisa menyalesaikan masalah. Pergunakan ilmu itu jika jalan lain tidak dapat menyelesaikannya. Aku tak akan bicara panjang lebar, karena semuanya telah ada dalam bait-bait tulisan di kitab itu. Yang harus segera kau lakukan sekarang adalah mencari kitab kedua. Dan sungguh menyesal sekali, karena aku tidak dapat memberikan keterangan apa-apa tentang kitab kedua itu. lebih dari itu, perlu kau ketahui. Rimba persilatan saat ini telah gempar. Kau akan mengetahuinya setelah kau keluar dari tempat ini. Jadi di pundakmu sekarang ada dua hal yang kau pikul. Mendapatkan kitab kedua sekaligus membuat kegemparan ini reda! Ini adalah satu ujian bagimu. Nah, selamat tinggal..."
Habis berkata begitu, kakek berpakaian putih-putih ini gerakkan tubuhnya dua ki. Perlahan-lahan sosoknya terlihat samar, dan kejap lain Joko tidak lagi melihat si kakek dihadapannya. Seakan tak percaya dangan apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting jerengkan sepasang matanya. Orang tua itu memang telah tidak ada lagi.
"Ah, rasanya seperti mimpi saja!" gumam Joko lalu bergerak bangkit.
Matanya memandang berkeliling ke dalam goa. Lalu melangkah ke mulut goa. Pandangannya kini menerawang jauh. "Apa yang dikatakan orang tua tadi ada kaitannya dengan kejadian beberapa waktu lalu di Pulau Biru? Gendeng Panuntun dan Manusia Dewa mengatakan Pintu Istana Hantu telah terbuka. Hem... Setengah purnama aku tidak tahu perubahan keadaan diluar sana. Apa yang harus terlebih dahulu kukerjakan? Menyelidiki kitab kedua? Tapi ke mana? Bertanya pada beberapa tokoh aneh itu juga sulit. Mencari mereka laksana mencari jarum ditumpukan jerami. Kalau dibutuhkan sulit dicari, jika tidak dicari, tiba-tiba nongol! Ah... Tapi mereka juga mengatakan tidak akan ikut campur urusan lagi. Terpaksa aku berjalan sambil meraba-raba..."
Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya pada pesisir laut. Pikirannya menerawang jauh. Anehnya mendadak muncul bayangan Sitoresmi dan Dewi Seribu Bunga.
"Ah, mereka sudah ada yang merawat..." gumam Pendekar 131 lalu melangkah keluar dari goa. Kejap lain tubuhnya telah melesat menuruni bukit.
********************
BAB 2
Angkasa tampak gelap gulita. Tidak ada rembulan dan setitik cahaya dari bintang gumintang, membuat hamparan bumi yang telah dirayapi malam menjadi makin pekat. Suasana malam bertambah menakutkan tatkala tiba-tiba angin berhembus hebat laksana handak memporak-porandakan apa yang ada di kolong langit. Sesaat kemudian halilintar terdengar menyalak yang kejap lain disusul dengan turunnya hujan membadai.
Dalam buruknya cuaca, tampak satu bayangan berkelebat menerobos curahan badai hujan dan seakan halilintar. Pada satu tempat dekat sebatang pohon besar, si bayangan hentikan larinya. Ternyata dia adalah seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian warna biru gelap. Tubuhnya kurus tinggi dengan wajah cekung. Rambutnya yang putih serta pakaian biru yang dikenakan terlihat basah kuyup.
Di punggung laki-laki setengah baya itu tampak seorang kakek berusia amat lanjut. Raut wajahnya hampir-hampir tidak tertutup daging sama sekali. Demikian juga anggota tubuhnya yang terlihat. Rambutnya putih dan sangat tipis hingga batok kepalanya terlihat jelas. Dua pasang matanya terpejam rapat, namun bibirnya tampak selalu komat-kamit perdengarkan suara yang iidak begitu jelas.
Kakek yang digendong laki-laki setengah baya ini mengenakan pakaian besar dan panjang berwarna putih. Begitu panjangnya pakaian yang dikenakan si kakek hingga pakaian itu manyapu tanah sepaniang setengah tombak. Hebatnya, meski hujan membadai dan tanah tampak becek berlumpur, pakaian putih yang dikenakan si kakek tidak basah atau kotor! Anggota tubuhnya pun tidak basah meski laki-laki setengah baya yang menggendongnya basah kuyup!
"Rupanya badai akan bertambah besar..." gumam laki-laki setengah baya yang menggendong si kakek sambil tengadahkan sedikit kepalanya.
"Dugaanmu tidak salah, Gulurawa. Tapi haruskah badai ini akan menjadi hambatan perjalanan kita? Kurasa badai-badai besar akan melanda jika kita gagal dalam perjalanan ini" si kakek di punggung laki-laki setengah baya yang dipanggil Gurawa menjawab. Namun sepasang matanya tetap memejam meski sejurus dia tampak ikut tengadahkan kepala seolah melihat cuaca.
"Hem... Dalam beberapa hari terakhir ini, sudah tivga kali dia mengatakan badai besar akan melanda! Badai apa sebenarnya yang hendak terjadi? Dan siapa sesungguhnya yang dicari hingga dia tidak menghiraukan lagi buruknya cuaca...? Beberapa puluh tahun hidup bersama, baru beberapa hari ini kulihat ada keanehan padanya. Padahal biasanya dia tidak pedulikan apa yang tengah terjadi!"
Diam-diam Gulurawa membatin sendiri daiam hati. Mungkin tidak dapat menahan keingintahuannya, Gulurawa akhirnya berucap. "Kiai Geger Panulung Kalau Kiai melakukan perjalanan jauh dan tidak menghiraukan cuaca, tentu ada satu masalah yang sangat panting dan berarti. Kalau boleh..." Belum sampai ucapan Gulurawa selesai, tangan kanan si kakek yang dipanggil Kia Geger Panulun bergerak mengetuk punggungnya hingga Gulurawa putuskan ucapannya.
"Kau nanti akan mendengarnya sendiri. Sekarang kita harus cepat lanjutkan perjalanan!" Setelah berkata, Kiai Geger Panulung arahkan telunjuk jari tangannya.
Tanpa berkata lagi, Gulurawa mengangguk lalu berkelebat ke arah yang baru saja ditunjuk Kiai Geger Panulung. Pada suatu tempat, mendadak Kiai Geger Panulung ketukkan lagi tangannya pada punggung Gulurnwa. Gulurawa hentikan larinya seraya memandang berkeliling. Karena saat itu hujan masih membadai, maka yang tampak hanyalah kepekatan malam yang ditngkahi dengan warna samar-samar putih curahan air hujan.
"Kulihat di sana ada sebuah gubuk" kata Kiai Geger Panulung sambil tunjukkan jari tangannya, sementara sepasang matanya tetap terpejam rapat!
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Gulurawa segera berkelebat. Dan sejarak lima belas tombak dari tempatnya tadi berhenti, Gulurawa memang menemukan sebuah gubuk berdinding pelepah daun kelapa yang tampak doyong terlanda curahan hujan dan badai. Begitu masuk gubuk, perlahan-lahan Gulurawa turunkan Kiai Geger Panulung dan disandarkan pada salah satu tiang gubuk.
Dia sendiri lalu mengambil tempat berseberangan dengan bersandar pula pada salah satu tiang gubuk. Kiai Geger Panulung rapikan pakaiannya yang besar dan panjang. Dan perlahan-lahan tangannya menarik pakaiannya yang menyapu tanah lalu ditutupkan pada sepasang kakinya yang bersila. Untuk sesaat Gulurawa perhatikan sepasang kaki. Ternyata sepasang kaki si kakek ini besarnya tidak lebih dua kali ibu jari! Dan berwarna hitam legam!
Tiba-tiba Kiai Geger Panulung mendongak dengan mata masih tetap memejam. Tulang keningnya bergerak-gerak. Mulutnya yang selalu komat-kamit tiada henti. Kejap lain terbuka dan terdengar dia berucap, "Kita tunggu disini. Orang yang kita cari tidak lama lagi akan lewat!"
"Orang ini benar-benar mengagumkan sekali. Pendengaran dan penglihatannya sangat peka. Dan selama ini yang diucapkannya tak pernah meleset! Sayang kakinya tidak dapat digunakan..." Gulurawa membatin.
"Gulurawa. Kuingatkan padamu, jika aku nanti berbuat sesuatu, kau tetap diam ditempatmu! Kau hanya perlu mendengar dan melihat!"
Gulurawa menjawab dengan anggukan kepala. Namun diam-diam dia terus membatin. "Kali ii dia benar-benar beda dengan biasanya. Ada apa sebenarnya ini?"
Saat terus berlalu. Namun hingga kini menjelang pagi dan badai mulai reda, tidak seorang pun yang lewat di sekitar gubuk. Bahkan hingga malam kembali menjelang, orang yang dikatakan Kiai Geger Panulung tidak tampak batang hidungnya, membuat Gulurawa mulai khawatir apalagi sang Kiai tidak lagi buka mulut ucapkan sepatah kata.
Ketika pagi menjelang pagi dan orang yang di katakan Kiai tidak juga menampakkan diri, Gulurawa sepertinya tidak sabaran. Namun dia tidak berani bicara. Hanya sikapnya yang mulai tampak gelisah dan sesekali kepalanya berpaling keluar gubuk, lalu memandang kearah sang kiai dengan hati berkata.
"Hem... Tampaknya sekali ini ucapannya tidak jadi kenyataan. Atau bararangkali..." Kata hati Gulurawa terputus tatkala dihadapannya tiba-tiba sang Kiai gerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Meski dorongan tangan sang Kiai terlihat pelan saja, namun bersamaaan dengan itu terdengar deruan keras. Satu gelombang angin luar biasa dahsyat melesat. Anehnya, dinding gubuk dari pelepah daun kelapa yang sempat tersambar angin dari dorongan tangan sang Kiai tidak bergeming Sama sekali.
Namun di luar sana mendadak terdengar derakan hebat. Kejap lain terdengar deburan tumbangnya sebatang pohon besar. Suara deburan belum lenyap, terdengar suara orang berseru. Lalu satu bayangan putih berkelebat dan kini tegak sepuluh langkah dari gubuk dengan kepala lurus menghadap gubuk.
"Tampaknya orang yang dikatakan sang Kiai tetah datang..." kata Gulurawa dalam hati lalu berpaling. Tangannya menyibak dinding gubuk. Dari sela pelepah daun kelapa, laki-laki setengah baya ini melihat seorang pemuda nnengenakan pakaian putih-putih tegak memperhatikan gubuk dimana dia berada.
Si pemuda tampak bimbang. Memperhatikan sejenak silih berganti pada gubuk lalu beralih pada batang pohon yang baru saja tumbang. Dia lalu melangkah mondar-mandir dengan kepala celingukan. Anehnya pemuda ini lantas tersenyum-senyum sendiri seraya berjingkat-jingkat, membuat Gulurawa kernyitkan dahi lalu memperhatikan lebih seksama. Ternyata pemuda diluar sana itu gerakkan jari kelingkingnya masuk ke dalam lobang telinga!
"Tampaknya bukan Kiai saja yang akhir-akhir ini terlihat berbeda. Pemuda itu pun tampak aneh. Adakah perjalanan jauh hanya untuk menemui pemuda macam begini?" Gulurawa membatin, lalu berpaling pada Kiai Geger Panulung.
Astaga! Gulurawa tarkesiap. Sang Kiai ternyata sudah tidak ada di tempatnya semula. Gulurawa menggeser duduknya ke pintu gubuk yang terbuka. Ternyata Kiai Geger Panulung telah duduk bersila di depan gubuk dengan kepala terus ke arah si pemuda.
Si pemuda sendiri sejurus memandang ke arat sang Kiai, namun kejap lain dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu dengan masih berjingkat-jingkat. Tapi gerakan kaki si pemuda tertahan ketika mendadak sang Kiai gerakkan kedua tangannya dan untuk kedua kalinya satu gelombang angin dahsyat menyambar keluar dan kini terarah pada sang Pemuda!
Di depan sana, si pemuda pelototkan sepasang matanya, lalu buru-buru menyingkir dengan berkelebat ke samping.
"Orang tua!" pemuda berseru. "Rasa-rasanya baru kali ini kita bertemu. Adalah mengherankan jika kau tiba-tiba saja menyerangku. Apa maksudmu sebenarnya?"
Kiai Geger Panulung tidak buka mulut untuk menjawab. Sebaliknya dia mendongak dengan mata tetap terpejam rapat. Tiba-tiba dia hentakkan kedua lututnya yang bersila. Saat itu juga sosok sang Kiai melesat ke depan. Pakaian panjang yang dikenakan tampak barkibar-kibar. Belum sampai sosoknya mendarat, si kakek telah sibakkan pakaiannya yang berkibar ke depan.
"Wuutt!"
Suara pakaian yang menyibak berkelebat angker. keluarkan gelombang angin luar biasa dahsyat. Sang Pemuda rasakan sapuan hebat, membuat sosoknya tampak bergoyang-goyang. Sebelum tubuhnya mental tersapu, si pemuda melompat lalu dorong kedua tangannya seraya berteriak.
"Orang tua tak dikenal! Aku tidak bisa tinggal diam jika kau terus menyerangku!" Gelombang angin yang melesat dari sibakan pakaian sang Kiai membelok terkena sapuan gelombang yang keluar dari dorongan si pemuda, lalu menghantam tempat kosong.
Kiai Geger Panulung mendarat lima langkah di depan si pemuda dengan tetap bersila dan mata terpejam. Lalu rapikan pakaiannya dan menutupkan pada kedua kakinya yang bersila.
Si pemuda menatap lekat-lekat pada orang tua di depannya. "Mungkin orang ini pendengarannya sudah berkurang. Berurusan dengan orang begini selain tidak ada gunanya juga susah! Lebih baik aku pergi saja..."
Si pemuda putar tubuh. Namun kembali gerakannya tertahan tatkala mendadak saja si kakek telah melesat ke depan. Kedua tangannya serta-merta menyeruak lepaskan dua pukulan sekaligus! Hebatnya, kali ini pakaian panjang dan besar yang dikenakannya tidak lagi berkibar meski tubuhnya tampak melayang satu tombak di atas tanah!
Kali ini tampaknya si pemuda tidak tinggal diam. Dia cepat pula angkat kedua tangannya menangkis pukulan kedua tangan sang Kiai.
"Bukkk! Bukkkk!"
Bentrok tangan terjadi. Si pemuda tersurut mundur satu langkah dengan raut wajah meringis. Sedangkan si kakek langsung mendarat lagi dengan tetap duduk bersila dan mata terpejam rapat.
"Aneh. Apa sebenarnya kemauan orang tua ini? Dari bentrokan tadi jelas jika dia mempunyai tingkat tenaga dalam tinggi. Lebih dari itu, sepertinya dia tidak sendirian. Di gubuk itu tampaknya masih ada seorang lagi! Dan mereka sepertinya sengaja menghadang!"
"Katakan siapa kau?" Tiba-tiba Kiai Geger Panulung buka suara membentak.
Si pemuda pentangkan sepasang matanya. "Hem... Mungkin adatnya dia memukul dulu baru bertanya..." gumamnya lalu menjawab. "Orang biasa memanggliku Pangeran Mendut-mendut. Namun begitu, aku tidak pernah melarang orang memanggilku apa saja! Kau sendiri siapa, Kek?!"
"Aku tidak pernah memberitahukan siapa namaku pada orang lain!" jawab si kakek dengan suara keras.
"Ah, kalau memang begitu tak jadi apa. Tapi apakah kau juga tidak mau memberitahukan apa maksudmu sebenarnya?!"
"Tergantung!"
"Tergantung apa?!" tanya Pangeran Mendut-mendut.
"Jika kau tidak sampai mampus di tanganku!"
Pangeran Mendut-mendut melengak. Seakan tidak percaya pada ucapan orang, pemuda ini sekali lagi memperhatikan pada orang tua yang bersila di hadapannya. "Orang aneh. Syarat yang diajukan pun aneh..."
Selelah berpikir sejenak akhirinya Pangeran Mendut-mendut berkata, "Kek! jika syarat yang kau pasang demikian mahal, aku tak akan bertanya apa maksudmu. Aku tidak ingin mampus! Aku belum kenyang menikmati keindahan dunia! Mungkin jika usiaku telah menyamaimu, aku akan mencari mu dan menanyakan hal ini! Kuharap kau menungguku..." Habis berkata begitu, Pangeran Mendut-mendut putar diri lalu melangkah meninggalkan si kakek.
"Jangan mimpi bisa teruskan jalan Anak Muda!" Tiba-tiba sang Kiai berseru membuat Pangeran Mendut-mendut hentikan langkah dan berpaling. Namun, sebelum si pemuda buka mulut, sang Kiai telah mendahui berkata.
"Kau tadi telah lancang mulut bertanya apa maksudku. Itu harus dibayar"
"Dibayar!" Ulang Pangeran Mendut-mendut makin heran.
"Betul! Dengan putusnya dua tanganmu!"
"Busyet! Baru kali ini aku menjumpai orang aneh seperti ini. Bertanya saja harus dibayar dengan dua tangan!"
"Lekas serahkah kedua tanganmu!"
"Kek...!"
"Kau terlalu banyak mulut. Kalau kau tidak serahkan, terpaksa aku mengambipnya dengan caraku sendiri!"
Habis berkata begitu, sang Kiai telah hentakkan lututnya. Tubuhnya melesat ke atas. Tiba-tiba sepasang kakinya yang terlutup pakaian mencuat dan lepaskan dua tendangan! Bersamaan dengan itu pakaian bagian bewahnya yang panjang ikut juga barkelebat keluarkan deruan dahsyat!
"Bukkk! Bukkk!"
Pangeran Mendut-mendut terjajar tiga langkah saat kedua tangannya menangkis sepasang kaki kecil sang Kiai. Dan baru saja tegak, sambaran angin yang berkelebat dari pakaian sang Kiai telah pula menggebrak.
"Wuuuttt! Wuuuttt!"
Pangeran Mendut-mendut sentakkan kedua tangannya. Namun kedua tangannya baru setengah jalan menyentak, kain pakaian sang Kiai telah melilit. Pada saat bersamaan sang Kiai membuat gerakan berputar dengan kedua tangan menarik pakaiannya, membuat pakaian bagian bawah si kakek terpentang lurus. Tubuh Pangeran Mendut-rnendu tertarik kedepan. Saat itulah tubuh si kakek bergerak lurus di atas pakaian bagian bawahnya.
"Desss! Desss!"
Tubuh Pangeran Mendut-mendut mencelat mental sampai dua tombak. Untung dia segera dapat kuasai tubuh hingga meski sejenak tampak terhuyung, namun kejap lain telah tegak kembali. Namun wajahnya telah berubah pucat. Kedua tangannya bergetar keras. Sementara baju bagian kedua bahunya robek terkena tendangan kedua kaki si kakek.
"Orang tua ini benar-benar hendak menginginkan kedua tanganku! Kalau urusan ini tidak segera kuselesaikan, masalahnya akan makin berlarut!"
Berpikir begini, Pangeran Mendut-mendut sagera kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan tangannya. Suasana tiba-tiba berubah menjadi dingin.
"Pukulan inti Sukma Es!" Kiai Gager Panulung berseru masih dengan mata terpejam dan duduk bersila dengan pakaian bawah menutup kakinya, membuat paras Pangeran Mendut-mendut berubah tercekat mendapati si orang tua mengetahui pukulan yang hendak dilepaskan.
"Matanya dari tadi terpejam, tapi dia tahu pukulan yang hendak kulepaskan! Siapa sebenarnya orang tua ini?!" membatin Pangeran Mendut-mendut. Namun dia tak hendak urungkan niat lepaskan pukulan, hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat cairan yang bukan saja menebarkan hawa luar biasa dingin, namun juga menggebraknya gelombang angin keras.
Kiai Gager Panulung mendongak. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke atas setengah tombak. Di udara orang tua ini berputar-putar. Pakaian bagian bawahnya ikut berkelebat berputar-putar membentuk bayang-bayang dan seakan membuat pagar untuk melindungi diri. Sementara angin putarannya tambah lama tambah keras dan keluarkan hawa panas. Hingga tak lama kemudian mampu menindih lenyap hawa dingin pukulan Pangeran Mendut-mendut. Malah di depan sana, si pemuda tampak hampir saja tersapu!
"Aku bisa celaka jika hanya bermain-main," desis Pangeran Mendut-mendut. Lalu mundur satu tindak. Kedua tangannya diangkat. Tangan si pemuda mendadak berubah menjadi bersinar kuning.
Kejap lain dari kedua tangan Pangeran memdut-mendut menggebrak geIombang angin dahsyat membawa hawa panas disertai semburatnya warna kuning. inilah pukulan andalan seorang tokoh rimba persliatan yang dikenal orang dengan julukan Pendeta Singting yang diwariskan pada muridnya Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!
Kiai Geger Panulung tarik pulang pakaian bagian bawahnya dan cepat ditutupkan pada kedua kaki yang barsila diatas udara. Lalu kedua tanganya didorong ke depan.
Sekejap terdengar deruan keras, tapi laksana direnggut setan, deruan tadi tiba-tiba lenyap! Tidak ada gelombang yang menyambar, namun bersamaan dengan itu pukulan yang menggebrak dari Pangeran Mendut-mendut yang bukan lain adalah Pendekar 131 laksana ditahan kekuatan hebat. Lalu terdengar ledakan keras mengguncang tempat itu.
Sosok Pendekar 131 tersapu kebelakang dan terhuyung-huyung sebelum akhirnya tegak kembali dengan tubuh terguncang keras dan darah mengalir dari mulutnya. Air mukanya pias laksana tak berdarah.
Sementara Geger Panulung melayang deras ke belakang mengarah pada sebuah batu besar. Hebatnya, sejengkal lagi tubuhnya menghantam batu, si kakek gerakkan bahunya, Tubuhnya terangkat keatas dan kejap lain sosoknya telah tegak diatas batu bertumpu pada sepasang kakinya yang kecil. Untuk beberapa saat sosoknya bergoyang-goyang, tapi saat lain telah diam dengan kedua tangan bersedekap! Sejurus kemudian kedua matanya membuka.
Dari dalam gubuk, sepasang mata Gulurawa terpentang besar. "Tak kusangka jika dia masih dapat gunakan kakinya! Dan selama hidup bersama, baru kali ini aku melihat dia buka kelopak matanya!"
Pendekar 131 tampak mambelalak tak berkesip memandangi sepasang kaki si kakek juga pada kedua matanya. Ternyata kedua mata kakek ini berwarna hitam legam!
"Pangeran Mendut-mendut! Kau telah berani hendak mencideraiku. Bayaran yang kuminta lebih besar. Kau harus mampus saat ini juga!" kata Kiai Geger Panulung.
Suaranya belum lagi selesai, sosok sang Kiai telah melesat ke depan. Dari jarak sepuluh langkah, tiba-tiba kakek ini sentakkan kedua tangannya.
"Wuttt! Wuuttt!"
Meski hanya terdengar deruan sekejap dan tiadanya gelombang angin yang menggebrak, namun murid Pendeta Sinting ini telah tahu bahwa pukulan tersebut telah mampu membendung pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Sehingga dia tidak berani untuk bertindak ayal, apalagi dilihatnya kali ini si kakek lepaskan pukulan dengan kerahkan tenaga dalam lebih!
"Pukulan inti 'Sukma Es' dan 'lembur Kuning' tidak membuatnya bergeming. Akan kucoba dengan pukulan sakti 'Serat Biru! Aku tidak ingin dia cedera, tapi kalau tidak kulakukan, aku sendiri yang akan mendapat celaka!"
Pendekar 131 cepat salurkan tenaga dalamnya pada telapak tangan kirinya. Tiba-tiba tangan kiri murid Pendeta Sinting ini berubah bersinar biru terang. Dan saat didorong ke depan, tampak melesat serat-serat biru laksana benang. Tidak keluarkan suara atau adanya gelombang angin. Hingga meski kedua orang ini sama-sama lepaskan pukulan, tapi tidak terdengar apa-apa! Namun hebatnya, sekejap kemudian tempat itu laksana diguncang gempa luar biasa keras. Tanah muncrat ke udara. Pohon-pohnn berderak tumbang. Gubuk dimana Gulurawa berada tampak berderak roboh.
Sosok murid Pendeta Sinting terpelanting sampai dua tombak dan jatuh terjengkang dengan tubuh berguncang-guncang dan mulut megap-megap. Sementara Kiai Geger Panulung terpental jauh ke belakang dan jatuh terkapar. Sepasang matanya yang hitam legam mendelik beberapa saat lalu memejam. Sedangkan tulang-tulang wajahnya tampak bargerak-gerak. Sepasang kakinya yang kecil bergemetakan.
Sesaat Kiai Gager Panulung usap-usap dadanya Kejap kemudian sosoknya bergerak bangkit dengan mata terpentang besar perhatikan lekat-lekat pada Pendekar 131 yang saat itu juga mulai bergerak bangkit!
"Anak muda! Kita perlu bicara!" ujar sang Kiai lalu bergerak duduk bersila.
Entah karena masih merasa jengkel dengan sikap si orang tua, murid Pendeta Sinting hanya memandang tanpa buka mulut untuk menyahut. Malah sambil rapikan pakaiannya dia balikkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.
"Anak muda. Kita harus bicara!" ulang sang Kiai. Namun Joko seolah tidak mendengarkan ucapan orang. Dia teruskan langkah.
"Bukankah kau hendak mencari bagian kedua dari apa yang telah kau dapat?" kata Kiai Geger Panulung.
Ucapan sang Kiai membuat langkah murid Pendeta Sinting tertahan. Dia putar tubuh. "Sepertinya dia banyak tahu tentang diriku. Tapi aku tidak akan gegabah bicara pada orang yang belum kukenal!" membatinn Pendekar 131 lalu berujar.
"Harap Orang Tua sebutkan diri dahulu. Jika tidak, maaf! Aku tidak bisa bicara dengan orang yang tak ku kenal.
Bibir Kiai Geger Panulung bergerak tersenyum. Orang tua ini lambaikan tangannya ke arah Gulurawa yang kini tegak di samping gubuk yang roboh. Bgitu Gulurawa dekat, sang Kiai berkata pelan.
"Gulurawa. Katakan padanya siapa kita adanya..."
Gulurawa palingkan kepala. Menatap sejurus pada Pendekar 131 sebelum akhirnya berkata. "Anak Muda. Yang ada dihadapanmu saat ini adalah seorang tokoh rimba persilatan yang dikenal orang dengan gelaran Raja Tua Segala Dewa! Kau adalah seorang yang beruntung, karena selama lima belas tahun terakhir, kaulah satu-satunya orang yang berhasil bertemu dengannya! Jadi harap jangan sia-siakan partemuan ini"
Pendekar 131 kernyitkan dahi. "Lima belas tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan kalau benar ucapan orang itu tadi, pasti ada sesuatu yang sangat penting. Dan dia tadi telah sebut-sebut bagian kedua apa yang telah kudapat. Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan kitab kitab kedua itu..."
"Orang Tua Apakah...!"
Kiai Geger Panulung alias Raja Tua Segala Dewa angkat tangan kanannya agar murid Pendeta Sinting tidak teruskan bicara. "Anak muda. Apa yang dikatakan Gulurawa tadi terlalu berlebihan. Aku tidak lebih hanyalah orang tua biasa yang memang sudah sakit-sakitan, hingga selama ini yang kulakukan hanyalah tetentang di atas pembaringan. Tak heran jika selama ini memang tidak ada lagi orang yang pernah menemuiku, malah sebagian teman-temanku telah menganggap diri tua ini telah kembali jadi tanah!"
"Ah. Kau terlalu merendah. Harap maafkan sikapku tadi" ujar Joko lalu bungkukkan tubuh menjura hormat.
Tulang bibir Raja Tua Segala Dewa bergerak tersenyum. "Seharusnya aku yang minta maaf karena memaksamu! Tapi ketahuilah. Semua itu harus kulakukan. Aku tidak mau memilih orang yang salah!"
"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Kek!"
"Kau memang tidak diharuskan untuk mengerti. Bahkan untuk apa yang akan kukatakan padamu. Kau hanya perlu mendengarkan dan menjalankan!"
"Tunggu!" kata Joko seraya melangkah mendekat. "Sebenamya urusan apa yang hendak kau katakan?!"
"Dengar, Anak Muda. Siapa pun kau adanya, itu tak penting bagiku. Yang pasti dengan timbulnya beberapa kejadian terakhir ini, menunjukkan bahwa Kitab Serat Biru telah berhasil didapat seseorang. Sebelum kuteruskan ucapanku. Aku tanya padamu. Apakah benar kau anak manusianya yang mendapatkan Kitab Serat Biru?!"
Untuk beberapa lama Joko tidak segera menjawab pertanyaan Raja Tua Segala Dewa. Hanya sepasang matanya yang memandang tajam pada si orang tua lalu pada laki-laki setengah baya yang tegak sampingnya. Deri pandangannya jelas sekali, jika murid Pendeta Sinting ini coba menyelidik.
"Kau tak usah khawatir, Anak Muda. Bagiku kedamaian rimba persilatan lebih berarti daripada sekedar sebuah kitab!" ujar Kiai Gager Panulung alias Raja Tua Segala Dewa seakan mengetahui apa yang ada di benak murid Pendeta Sinting, membuat Joko berubah paras.
"Kek. Kitab Serat Biru memang aku yang mendapatkannya..."
Gulurawa tampak terkejut. Namun Raja Tua Segala Dewa tampak tenang-tenang saja. Malah dia segera berujar.
"Berarti dugaanku tidak melesat. Dan perjalananku tidak sia-sia... Hem... Anak Muda. Sebagai orang yang mewarisi Kitab Serat Biru, kau harus mendengarkan apa yang hendak kukatakan."
Raja Tua Segala Dewa dongakkan kepala, lalu lanjutkan ucapannya. "dengan telah didapatkannya Kitab Serat Biru, maka pintu Istana Hantu terbuka kembali setelah sekian puluhan tahun tertutup. Dan dengan terbukanya pintu istana Hantu, maka pasti akan diikuti dengan timbulnya kegemparan di rimba persliatan..."
"Orang tua! Apakah Kitab Serat Biru ada kaitannya dengan Istana Hantu?!"
Raja Tua Segala Dewa gelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Dan itu salah satu yang kelak akan kau jawab sendiri..."
"Kau mengatakan itu adalah salah satu, berarti masih ada lagi lainnya!"
"Benar. Dan itu hanya dapat kau ketahui kelak jika kau telah bertemu dengan penguasa Istana Hantu. Hanya pesanku. Jangan kau tertipu dengan apa yang kau dengar dan kau lihat! Jangan berprasangka buruk terhadap perlakuan yang diperlihatkan orang padamu! Jika kau dapat menjalankan kedua hal tadi, maka di sanalah akan kau dapatkan apa yang kau cari!"
"Kek. Apa yang kau maksud kitab kedua?!"
"Hanya kau sendiri yang tahu apa yang kini kau cari! Dan kau bisa jawab sendiri pertanyaanmu!"
"Ah. Aku tidak mengerti dengan semua ini..."
"Seperti kukatakan padamu. Kau tidak diharuskan untuk mengerti. Kau hanya perlu mendengar dan menjalankan! Di sana nanti kau akan mengerti sendiri! Anak muda. Hanya itu yang dapat kusampaikan padamu. Ingat baik-baik pesanku tadi!" kata Raja Tua Segala Dewa, setelah agak lama diam. Orang tua ini lantas berpaling pada Gulurawa.
"Gulurawa. Kita pulang sekarang..."
Gulurawa melangkah kehadapan Raja Tua Segala Dewa. Lalu balikkan tubuh. Kejap lain sosok Raja Tua Segala Dewa telah berada di punggung Gulurawa.
"Kek. Tunggu!" tahan Joko. "Apakah penguasa Istana Hantu adalah tokoh yang dikenal dengan julukan Tengkorak Berdarah?!"
"Kabar yang tersiar memang demikian. Namun sekali lagi kau ingat baik-baik pesanku! Selamat tinggal..."
Raja Tua Segala Dewa ketukkan tangannya pada punggung Gulurawa. Saat itu juga tubuh Gulurawa melesat cepat dan kejap lain murid Pendeta Sinting sudah tidak lagi melihat sosok kedua orang tadi.
Sebenarnya, Gulurawa bukanlah orang berilmu tinggi yang memiliki ilmu peringan tubuh hebat. Dia bisa berkelebat cepat semata-mata karena Raja Tua Segala Dewa kerahkan tenaga dalam dan llmu peringan tubuhnya hingga tubuh Gulurawa bisa terbawa.
BAB 3
HANYA sesaat setelah Raja Tua Segala Dewa dan Gulurawa berlalu dari tempat itu, mendadak terdengar hentakan ladam-ladam kaki kuda. Pendekar 131 kerutkan dahi seraya mendongak menatap langit. Kejap lain dia tersentak sambil luruskan kepala dengan sepasang mata memandang ke arah datangnya suara hentakan kaki-kaki kuda. Lakasana direnggut setan, suara hentakan kaki-kaki kuda lenyap!
Setelah berpikir sejenak, murid Pendeta Sinting berkelebat lalu mendekam di balik kerapatan jajaran pohon. Sesaat setelah sosoknya lenyap di balik pohon terlihat dua ekor kuda melesat kencang. Anehnya maski ladam kaki-kaki kuda menghentak tanah lalu mulut dua binatang tunggangan itu terangkat dan terbuka, namun tidak ada suara yang terdengar! Jelas pertanda jika dua penunggang kuda itu adalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya tidak diragukan lagi, karena bukan saja mampu meredam suara hentakan kaki kuda tunggangannya, sekaligus dapat menahan suara ringkikan si binatang!
Di belakang dua penunggang kuda terlihat sebuah tandu yang bagian samping kanan kirinya ditutup dengan kelambu berwarna merah menyala. Tandu ini dipanggul oleh empat orang laki-laki.
Tepat di mana tadi Pendekar 131 dan Raja Tua Segala Dewa bercakap-cakap, dua penunggang kuda sekali menarik tali kekang kuda masing-masing. Dua kuda tunggangan itu serentak mendongak tinggi-tinggi dengan kaki depan terangkat, sementara kaki belakang membuat gerakan menahan, hingga di atas tanah yang masih agak becek itu tampak alur panjang sedalam satu jengkal. Namun sejauh ini, belum ada suara yang terdengar!
Penunggang kuda sebelah kanan angkat tangan kirinya, hingga keempat orang pemikul tandu hentikan langkah masing-masing.
Dari tempat mendekamnya, murid Pendeta Sinting pentangkan sepasang matanya besar-besar. Pandangi satu persatu pada beberapa orang di depan sana. Penunggang kuda sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mukanya bulat besar disamaki daging tebal bergumpal-gumpal, membuat sepasang matanya masuk ke dalam celah yang sangat kecil hingga mata itu hanya tampak laksana garis samar-samar. Demikian juga mulutnya, seperti celah agak panjang di antara lipatan daging. Rambutnya putih dikepang dua. Kakek ini mengenakan destar panjang berwarna kuning.
Inilah dedengkot rimba persilatan yang namnanya menjulang pada beberapa puluh tahun silam. Tokoh ini sempat menjadi momok kalangan dunia persilatan, karena seiring kemunculannya terjadi beberapa pembunuhan bukan saja terhadap tokoh-tokoh jajaran atas golongan hitam, namun juga menimpa beberapa tokoh golongan putih.
Menurut kabar, kemunculannya saat ini untuk memburu Kitab Serat Biru. Namun setelah sekian tahun menyelidik sambil menebar maut dan tidak menemukan apa yang dicari, tokoh ini mendadak menghilang dari kancah dunia persilatan. Terbawa oleh sikapnya yang ringan turunkan tangan maut, rimba persilatan menggelari dirinya Hakim Neraka.
Sementara penunggang kuda sebelah kiri adalah seorang perempuan tua. Raut wajahnya cekung dengan kulit mengeriput. Sepasang matanya besar. Rambutnya putih lebat dibiarkan tergerai. Nenek ini mangenakan kain panjang besar berwarna biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan tampak sapu tangan besar berwarna merah menyala. Inilah ciri jika si nenek adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal sebagai Ratu Pewaris Iblis.
Seperti halnya Hakim Neraka, si nenek pada beberapa puluh tahun silam juga pernah dikenal orang sebagai salah seorang momok yang ditakuti. Bukan saja karena memiliki kepandaian tinggi, tapi juga mempunyai sabuah sapu tangan berwarna merah yang dikenal dengan 'Sapu Tangan Iblis'.
Pendekar 131 arahkan pandangannya pada empat orang pemanggul tandu. Mereka adalah laki-laki bertubuh tegap besar. Wajah mereka satu sama lain hampir mirip. Lonjong besar hingga mulut masing-masing orang itu laksana tidak membelah kesamping namun membelah ke bawah. Demikian juga kelopak mata masing-masing orang, tidak membelah ke samping kanan kiri, namun ke bawah. Kening mereka ciut tapi melebar ke bawah. Kepala masing-masing orang kelimis tak berambut.
Mereka berempat bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kolor. Orang bagian depan sebelah kanan mengenakan celana kolor warna merah, di sebelah kiri mengenakan celana kolor warna hitam. Sedangkan orang bagian belakang sebelah kanan memakai celana kolor warna kuning, dan sebelah kiri memakai celana kolor warna hijau.
Isyarat Hakim Neraka seolah menyadarkan semua orang bahwa ada sesuatu yang tak beres. Terbukti bersamaan itu, mata masing-masing orang bergerak liar pandangi seantero tempat dimana mereka berada!
Menangkap gelagat, murid Pendeta Sinting cepat gerakkan tubuh hingga sama rata dengan tanah. Namun sepasang matanya tetap memandang ke depan tak berkesip.
Di depan sana, sepasang mata dari celah gumpalan daging di wajah Hakim Neraka saling pandang dengan sepasang mata besar milik Ratu Pewaris Iblis. Sementara bola-bola mata keempat pemanggul tandu saling melirik satu sama lain.
"Di tempat ini baru saja terjadi bentrokan. Dari akibat yang dihasilkan jelas jika orang yang bentrok memiliki ilmu..." kata Hakim Neraka lalu arahkan kepala pada batang pohon yang tumbang dan bercak-bercak telapak kaki di tanah yaag becek. Terakhir dia palingkan kepala ke arah gubuk yang roboh.
"Kalau benar, mana bangkai manusianya?" sahut Ratu Pewaris.
"Sayang kita terlambat. Padahal kita sudah berusaha muncul tanpa dicurigai" ujar Hakim Neraka.
"Hem... Percuma kita menyelidiki urusan orang. Masalah kita di depan lebih besar daripada urusan-urusan tak berguna ini! Kita lanjutkan perjalanan..." Ratu Pewaris Iblis berkata seraya menyeringai, lalu tanpa menunggu lagi nenek ini tarik tali kekang kud tunggangannya.
"Tahan!" cegah Hakim Neraka.
Ratu Pewaris lblis mendengus, namun dia urungkan niat untuk bergerak. Dia berpaling dan berkata lantang. "Di sini tidak ada tanda-tanda munculnya orang yang hendak kita datangi! Tunggu apa lagi, he?!"
"Tanda Tengkorak Berdarah memang tidak ada, tapi..."
"Kau hanya buang-buang waktu..." tukas Ratu Pewaris Iblis.
"Betul!! Jika tidak ada tanda-tanda yang berkaitan dengan Tengkorak Berdarah, maka kita hanya akan sia-siakan waktu!" Mendadak terdengar sahutan dari dalam tandu.
"Hem... Seorang perempuan!" desis Pendekar 131 begitu mendengar suara dari dalam tandu.
Belum habis suara sahutan dari dalam tandu, Ratu Peweris Ibils telah tarik tali kekang kudanya. Lalu malesat mendahului. Kakek di sebelahnya sejenak gerakan kepala ke samping kiri kanan, tapi kejap lain telah menggebrak kudanya menyusul Ratu Pewaris Iblis.
Empat laki-laki pemanggul tandu tak satu pun yang buka mulut. Mereka hanya saling lontar pandangan lalu berkelebat. Kini terdengar jelas hentakan ladam kaki-kaki kuda membuncah suasana yang sesekali ditingkahi suara ringkikan kuda.
"Dari pembicaraan mereka, jelas mereka masih ada hubungannya dengan Tengkorak Berdarah..." gumam murid Pendeta Sinting, lalu menghambur menyusul.
********************
Setelah melewati sebuah hutan sunyi, Hakim Neraka, Ratu Pewaris Iblis serta pemanggul tandu berhenti. Murid Pendeta Sinting yang menguntit di belakang mereka cepat menyelinap ke balik rumpun semak belukar di sekitar tempat itu. Saat dia arahkan pandangannya jauh ke depan, sepasang matanya mendelik besar. Dari tempatnya berada, murid Pendeta Sinting malihat sebuah bangunan tua. Dan bentuk bangunan, jelas bangunan itu adalah sebuan peninggalan kerajaan. Kanan kiri dipagari tembok tinggi, sementara di bagian depan tampak sebuah pintu gerbang yang terbuka. Pada pintu gerbang terlihat menggandul sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah!
"Menghubungkan ucapan Gendeng Panuntun serta Raja Tua Sagala Dewa, pasti ini yang disebut-sebut sebagai Istana Hantu!" kata Joko dalam hati. "Hem... Sayang Raja Tua Segala Dewa tidak mau katakan apakah Istana Hantu ada kaitannya dengan kitab kedua yang harus kucari... Tapi tidak ada salahnya aku mengetahui apa yang hendak dilakukan orang-orang itu! Sikap mereka menunjukan bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Lebih dari itu, mereka punya urusan dengan penghuni Istana Hantu yang mereka sebut-sebut dengan Tengkorak Berdarah..."
"Tampaknya kau ingin melihat pemandangan menyedihkan!" Satu suara mendadak terdengar, membuat Pendekar 131 tercekat dan cepat berpaling ke arah datangnya suara.
Di sela semak belukar sejarak lima langkah murid Pendeta Sinting meilhat seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-hitam. Rambutnya panjang bergerai dengan mata tajam bulat. Hidung sedikit mancung dengan kumis tipis.
Untuk beberapa saat Joko pandangi pemuda berpakaian hitam-hitam penuh selidik. Yang dipandang sunggingkan senyum, lalu Ikut-ikutan rundukkan kepala dan perlahan-lahan menggeser diri mendekat ke arah Pendekar 131.
"Siaps kau?!" tegur murid Pendeta Sinting dengan balas tersenyum meski dalam hati diam-diam dia membatin. "Adalah satu hal yang aneh jika kemunculannya di tempat ini tidak sempat kudengar. Wajahnya tampan dan gerakannya lincah. Siapa pun adanya pemuda ini pasti ilmunya sangat hebat... Tapi apa maksud ucapannya tadi?"
"Teguran dan pandanganmu membayangkan perasaan curiga..." ujar pemuda berpakaian hitam-hitam begitu dekat dengan Joko. "Kalau boleh kutanya, mengapa kau berada disini. Tidak ikut serta dengan rombongan orang-orong itu? Atau karena kau memang sengaja hanya ingin melihat seperti kataku tadi?!"
"Kau belum sebutkan siapa dirimu...!"
Pemuda berpakaian hitam-hitam palingkan wajahnya ke depan. Untuk sekian kalinya dia sunggingkan senyum, lalu masih dengan memandang ke arah rombongan di depan sana, dia berkata,
"Apakah jika aku katakan siapa diriku, kau tidak lagi menaruh curiga padaku?"
"Tergantung siapa namamu dulu!"
Pemuda berpakaian hitam-hitam berpaling dan balik menatap tajam pada Joko sebelum akhirnya berujar. "Kau tampaknya suka bercanda. Aku senang bersahabat dengan orang sepertimu. Aku Raka Pradesa. Kau sendiri...?!"
Beberapa saat murid Pendeta Sinting masih kancingkan mulut tidak menjawab pertanyaan pemuda barpakaian hitam-hitam yang sebutkan diri Raka Pradesa.
"Rupanya namaku tidak memenuhisyarat untuk lenyapkan rasa curigamu. Tak apa-apa. Aku tidak memaksamu untuk menghilangkan perasean curigamu. tapi apakah kau menolak untuk kuanggap sebagai sahabat...?"
Karena murid Pendeta Sinting masoh juga tidak menjawab, Raka Pradesa angkat bahu, lalu sedikit demi sedikit menggeser kembali tubuhnya menjauh dari Joko.
"Kau sepertinya tidak butuh seorang sahabat dan ingin sendirian. Maaf jika aku tadi mengganggumu..." kata Raka Pradesa sambil terus beringsut menjauh.
"Tunggu!" tahan Joko lalu perlahan-lahan mendekat ke arah Raka Pradesa.
"Aku Joko Sableng!" ujar Joko lalu arahkan pandangannya ke depan. Sementara Raka Pradesa menatap lekat-lekat pada pemuda di sampingnya.
"Harap tidak menaruh curiga padaku. Memang itulah nannakul" kata Joko saat diliriknya Raka Pradesa memandang ke arahnya dengan pandangan aneh.
Raka Pradesa gelengkan kepala. "Aku tidak curiga padamu. Hanya yang kuherankan kenapa kau mengkuti rombongan itu?"
"Dia tahu jika aku menguntit orang-orang itu. Hem... Jangan-jangan dia mengikutiku tanpa kuketahui... Siapa dia sebenarnya?" Joko terus dibunca pertanyaan.
"Pertanyaanku mungkin terlalu mencampur urusanmu. Lupakan saja..." ujar Raka Pradesa lalu berpaling ke depan.
"Sebentar. Bagaimana kau tahu aku mengikuti mereka?!"
Raka Pradesa tertawa pelan. "Kemunculanmu di sini yang secara sembunyi-sembunyi. Hingga kau tak tahu, jika sejak sebelum kau tiba, aku sudah lama barada disini!"
"Busyet, jadi dia mendahuluiku sampai di sini. Apakah dia punya maksud sepertiku?" batin Joko lalu berkata.
"Kau sendiri sedang apa di sini?!"
"Itu kita bicarakan nanti. Lihat ke depan!"
Pendekar 131 cepat arahkan pundangannya ke depan. Terlihat keempat pemanggul tandu turunkan sedikit tubuh masing-masing. Dan perlahan-lahan tandu itu diletakkan di atas tanah. Sementara Hakim Neraka beserta Ratu Pewaris Iblis telah turun dari kuda masing-masing. Kedua orang tua ini berpaling ke belakang. Kelambu berwarna merah di sebelah samping kanan tandu terkuak. Lalu sesosok tubuh tampak keluar.
Dari tempatnya bersembunyi, murid Pendeta Sinting belalakkan mata. Ternyata sosok yang keluar dari dalam tandu adalah seorang perempuan muda berparas jelita. Mengenakan pakaian warna merah tipis dan ketat, hingga bentuk tubuhnya yang bagus membayang Rambutnya panjang sepunggung diikat dengan pita berwarna merah.
"Luar biasa..." desis Joko.
Membuat Raka Pradesa berpaling dengan kening berkerut. "Kau tertarik pada gadis cantik itu?"
"Tertarik belum, tapi aku kagum dengan kecantikannya. Kau sendiri?"
Raka Pradesa tersenyum dan kembali arahkan pandangannya ke depan. "Manalah mungkin orang sepertiku mampu menggaet gadis seperti dia! Apalagi dia adalah seorang gadis berilmu tinggi!"
"Kau mengenalnya?!"
"Gadis itu adalah seorang tokoh yang dijuluki kalangan rimba persilatan Putri Kayangan! Entah karena tinggi ilmunya atau karena kecantikannya rimba persilatan menggelarinya demikian. Mungkin juga kedua-duanya!"
"Lalu apakah kau juga mengenal si kakek dan nenek serta empat laki-laki berwajah angker itu?!"
"Kalau tidak salah, kakek berwajah penuh benjolan itu adalah seorang tokoh yang bergelar Hakim Neraka. Sedangkan si nenek juga adalah seorang tokoh yang dikenal dengan julukan Ratu Pewaris Iblis. Kau lihat di sakunya. Itu adalah sebuah senjata sakti bernama Sapu Tangan Iblis..."
"Hem... Meski dia tampak lebih muda dariku, namun pengetahuannya tentang tokoh-tokoh persilatan luas juga..." diam-diam Joko membatin. Lalu berujar.
"Lalu siapa keempat laki-laki pemanggul tandu Putri Kayangan?!"
"Mereka menamakan diri Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Mereka adalah pembantu terdekat Putri Kayangan."
"Kalau kau mengenal mereka, setidaknya kau juga dapat menebak apa tujuan mereka...!" kata murid Pendeta Sinting tanpa berpaling ke arah Raka Pradesa.
"Kau pura-pura tidak tahu atau memang betul-betul tidak tahu?!"
"Kalau aku tahu, tak mungkin aku sembunyi-sembunyi mengikuti mereka!"
Raka Pradesa berpaling dan memandang Joko seakan ingin mendapat keyakinan akan ucapan orang. "Siapa sebenarnya pemuda ini. Melihat kelebatannya tadi, jelas jika dia punya simpanan ilmu. Tapi kenapa dia tidak tahu tentang kejadian yang lagi menggegerkan dunia persilatan? Hem... Aku harus memberitahu padanya agar dia tidak coba-coba bertindak seperti orang-orang itu..." pikir Raka Pradesa lalu berkata.
"Saat ini rimba persilatan digemparkan dengan terjadinya bebernpa pembunuhan. Karena setiap kali terjadi terdapat tengkorak berlumur darah, maka orang-orang dunia persilatan sudah dapat menebak siapa adanya orang yang malakukan pembunuhan itu."
"Maksudmu si Tengkorak Berdarah?!"
Raka Pradesa anggukkan kepalanya. "Benar. Kalangan dunia persilatan memang arahkan tuduhannya ke Tengkorak Berdarah. Apalagi ketika tersiar jika pintu Istana Hantu yang konon dikabarkan sebagai tempat tinggal Tengkorak Berdarah telah terbuka, menjadikan tuduhan itu semakin kuat!"
"Hem... Bagaimana bisa begitu?!"
"Karena selama pintu Istana Hantu tertutup, tidak pernah terjadi kegemparan. Dan peristiwa ini adalah yang kedua kalinya. Dulu, hal yang sama pernah terjadi. Itulah sebabnya maka orang-orang rimba persilatan menjatuhkan tuduhan bahwa penghuni Istana Hantu-lah yang bikin kegemparan ini"
"Tengkorak Berdarah..." gumam Pendekar 131. "Apakah raut wajahnya seperti gelar yang disandangnya?!"
"Inilah satu hal yang aneh. Selama ini tidak seorang pun yang berhasil mengatahui wajah Tengkorak Berdarah! Tapi kenapa kalangan rimba persilatan menuduh dialah biang dibelakang kegemparan ini! Tanda tengkorak berlumuran darah pada setiap pembunuhan tidaklah bisa dijadikan bukti bahwa Tengkorak Berdarah yang melakukan. Bisa saja orang lain yang melakukan!"
"Tapi kalau para tokoh tingkat tinggi punya keyakinan, tentu mereka punya bukti kuat. Lagi pula jika dihubungkan dengan peristiwa di masa lalu, di mana saat pintu Istana Hantu terbuka maka terjadilah peristiwa pembunuhan seperti yang sekarang terjadi!"
Raka Pradesa menarik napas panjang. "Memang masuk akal. Tapi tidak tertutup kemungkinan ada orang lain yang memanfaatkan situasi ini! Dia menunggu saat pintu istana Hantu terbuka lalu mengadakan pembunuhan! Dan yang jelas, siapa pun adanya yang melakukan pembunuhan itu pastilah orang yang berilmu tinggi, karena korban-korbannya adalah bukan tokoh sembarangan!"
"Dan ada satu hal lagi. Terbukanya kembali pintu lstana Hantu pasti ada maksud tertentu!" kata murid Pendeta Sinting.
"Dugaanmu sama denganku. Di balik semua ini tersembunyi maksud yang mungkin hanya kalangan tertentu saja yang tahu. Dan aku juga menduga, kedatangan bebarapa tokoh ke tempat ini, sebenarnya bukan untuk melenyapkan Tengkorak Berdarah. Namun ada sesuatu yang lebih dari itu!"
"Ah. Selain pengetahuanmu luas, kau juga pandai menebak. Boleh kutahu siapa kau sebenarnya?!" ujar Joko tanpa berpaling.
"Aku hanyalah orang biasa. Karena sejak kecil aku sering berkeliaran dsini, aku sedikit banyak tahu. Orangtuaku yang dilahirkan di sekitar tempat ini juga banyak cerita padaku..."
"Apa saja yang kau ketahui tentang Tengkorak Berdarah?!"
"Tentang dia, tak banyak yang kutahu. Hanya dia adalah orang berkepandaian tinggi. Dan menurut orangtuaku, selama lstana Hantu dihuni oleh Tangkorak Berdarah, tidak satu pun orang yang berhasil menerobos masuk pintu gerbang itu!"
Pendekar 131 tersentak. Dia cepat palingkan kepala. Itukah maksud ucapanmu melihat pemandangan menyedihkan tadi?!"
Raka Pradesa menjawab dengan isyarat anggukan kepala. "Sebelumnya aku tidak percaya dengan keterangan orangtuaku, lalu aku membuktikan sendiri dengan sembunyi di sini! Dalam lima hari terakhir, rombongan di depan sana itu adalah pendatang ke sembilan! Para pendatang sebelumnya harus pulang dengan cedera berat dan tidak sedikit pula yang tewas!"
"Lalu dari mana kau mengenal tokoh-tokoh yang datang kemari?!"
"Orangtuaku dulu sering berada di sini. Dia tahu semua tokoh yang pernah datang saat pintu Istana Hantu terbuka pertama kali. Dia menceritakan ciri-cirinya padaku..."
"Apakah menurutmu, rombongan di depan sana itu juga akan mengalami kegagalan menerobos masuk?!"
"Tidak ada jawaban yang pasti sebelum kita buktikan sendiri. Lihat! Mereka mulai bergerak!"
Pendekar 131 cepat arahkan pandangan ke depan dengan mata terpentang besar.
BAB 4
HAKIM Neraka dan Ratu Pewaris Iblis melangkah perlahan di sebelah depan. Di belakangnya Putri Kayangan menyusul diiringi tokoh-tokoh Penghela Tandu. Kira-kira tujuh tombak dari pintu Istana, Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis hentikan langkah.
Sejenak kedua orang ini tidak ada yang buka mulut. Malah wajah keduanya tampak tegang. Sepasang mata dari sela lapisan gumpalan daging di wajah Hakim Neraka tak berkesip menatap ke arah gandulan tengkorak berlumur darah di pintu Istana. Sementara sepasang mata besar milik Ratu Pewaris Iblis memperhatikan bagian alas pintu Istana. Kejap lain keduanya sama-sama berpaling dan saling pandang. Tapi sejauh ini mulut masing-masing orang masih terkancing.
Di belakang kedua kakek nenek ini, Putri Kayangan bersama tokoh-tokoh Penghela Tandu sejenak mengawasi sikap kedua orang itu dihadapan mereka. Dan seperti halnya kedua orangtua itu, di antara mereka belum juga ada yang buka suara. Hingga suasana di halaman depan Istana itu lengang. Yang terlihat adalah wajah-wajah tegang dan sorot mata penuh selidik.
"Katakan kedatangan kita! Dan suruh dia keluar!" Tiba-tiba kelengangan suasana dipecah oleh suara Ratu Pewaris Iblis. Sambil berkata diarahkan, pandangannya pada pintu Istana Hantu.
Hakim Neraka menyeringgai. Gumpalan daging wajahnya bergerak-gerak. Setelah agak lama baru dia buka mulut berteriak.
"Tengkorak Berdarah! Aku Hakim Neraka datang bersama Ratu Pewaris Iblis, Putri Kayangan serta Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Harap kau suka tunjukkan diri menyambut kedatangan kami! Kami datang dengan maksud baik!"
Tidak ada suara sahutan dari dalam Istana. Hakim Neraka berpaling pada Ratu Pewaris Iblis. Tapi yang dipandang tetap arahkan matanya ke depan.
"Tengkorak Berdarah!" untuk kedua kalinya Hakim Neraka berteriak. "Kami dapat memaklumi akan apa yang kau lakukan! Lagi pula perbuatanmu itu bukanlah hal yang meresahkan bagi kami. Kedatangan kami punya tujuan lain. Tidak ada sangkut pautnya dengan tindakanmu. Jadi harap suka menyambut!"
Semua mata tertuju pada pintu istana. Dada masing-masing orang berdebar. Mereka menunggu dengan tegang. Namun sejauh ini tidak juga terdengar suara sahutan dari dalam istana.
"Orang seperti dia tampaknya tidak mau diajak berbaik-baik! Terpaksa kita siap jalankan rencana kedua!" kata Ratu Pewaris Iblis. Nenek ini lantas maju selangkah. Mulutnya membuka hendak berucap, tapi sebelum suaranya terdengar, dari dalam istana terdengar suara tawa berat, membuat Ratu Pewaris Iblis kancingkan mulut kembali.
"Tengkorak Berdarah! Keluarlah. Ada yang harus kita bicarakan!" teriak Hakim Neraka sambil maju menjajari Ratu Pewaris Iblis.
"Hari ini tampaknya aku kedatangan tamu agung! Namun sayang, aku tidak dapat memenuhi permintaan kalian!" Dari dalam istana terdengar suara jawaban.
"Itu kesalahan besar yang kau buat, Tengkorak Berdarah!"
"Ucapanmu masih sama seperti beberapa puluh tahun silam!" sahut suara dari dalam Istana.
"suara dan ucapan boleh sama, tapi tidak untuk hal lainnya!" ujar Hakim Neraka dengan usap-usap dadanya. "Jadi jangan pandang aku seperti beberapa puluhan tahun silam! Lekas keluarlah. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!"
"Aku lak bisa penuhi permintaanmu! Jadi jangan memaksa!"
"Hem... Berarti kau masih memandangku layaknya beberapa puluh tahun silam. Kau keliru besar! Dan kau akan bayar kekeliruanmu!"
"Kau berkunjung ke tempat yang salah, Sahabat! Membuat ucapanmu juga salah alamat!"
"Aku tak pernah salah ucap, apalagi salah alamat! Justru kesalahan besar itu adalah adatmu yang tidak pernah berubah!"
"Jangan salahkan adatku, Sahabat! itu sudah ketentuan yang harus kuperbuat!"
Hakim Neraka mendengus keras. Sementara Ratu Pewaris Iblis sedari tadi terdiam menyimak ucapan-ucapan dari dalam Istana. Begitu Hakim Neraka diam, nenek ini segera ganti berteriak.
"Tengkorak Berdarah! Jangan banyak mulut cari dalih. Tunjukkan tampangmu, kita bicara baik-baik! Atau kau ingin kami membuat tampangmu seperti simbol di depan pintumu, hah?!"
Terdengar geraian tawa berat dari dalam Istana. Masing-masing orang dihalaman Istana tersentak. Karena pada saat itu mereka rasakan tanah yang mereka pijak bergetar keras! Tengkorak berlumur darah yang tenggantung di pintu Istana bergoyang-goyang dan keluarkan suara berderak-derak tatkala berpadu dengan pintu. Anehnya, tengkorak itu tidak pecah berantakan!
"Ratu Pewaris Iblis! Maaf, hari ini aku belum dapat menuruti apa yang kau minta. Kelak jika ada saat baik, tentu aku akan memenuhi permintaanmu!"
"Aku datang hari ini! Tidak ada waktu lain lagi"
"Kau memaksaku?!" tanya suara dari dalam Istana.
Ratu Pewaris Iblis tertawa mengekeh panjang. "Aku tidak memaksa. Tapi itulah hal yang harus kau lakukan sekarang! Keluar dan unjuk muka di hadapanku! Lalu kita bicara baik-baik!"
Lama tidak terdengar lagi ucapan dari dalam istana, membuat Ratu Pewaris Iblis yang rupanya sudah tidak sabar segera melangkah dua langkah kedepan. Saat itulah dari dalam Istana terdengar lagi ucapan.
"Sahabat sekalian! Baiklah. Hari ini aku mengalah, namun bukan berarti aku menuruti permintaan kalian..."
"Jangan bersilat lidah! Katakan apa maksud ucapanmu!" teriak Ratu Pewaris Iblis.
"Katakan saja apa tujuan sahabat sekalian datang ketempatku!"
Tidak ada yang buka suara menjawab. Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis saling berpandangan, lalu serentak menoleh ke belakang. Putri Kayangan maju menjajari. Untuk sesaat ketiga orang ini saling lontar pandangan.
"Kita sudah sepakat untuk tidak mengatakan apa tujuan kita! Bahkan diantara kita sendiri! Harap pegang janji...!" kata Putri Kayangan pada akhirnya. "Dan seperti kesepakatan semula, kita hanya akan bicara jika Tengkorak Berdarah sudah keluar dari sarangnya!"
"Lalu...?!" tanya Ratu Pewaris Iblis dengan sedikit menyeringai.
"Kalau dia tak mau keluar dan bicara kita masih punya jalan lain seperti yang sudah kita sepakati!"
Habis berkata begitu, Putri Kayangan berteriak. "Tengkorak Berdarah! Kami memang datang bersama, namun kami punya tujuan berlainan! Kami akan mengatakan hanya jika kau keluar..."
"Ah, itulah hal yang tak dapat kulakaan. Menyesal sekali!"
"Kau sudah pikirkan ucapanmu?!" tanya Putri Kayangan dengan tertawa pendek bernada mengejek.
"Hidup bertahun-tahun kulalui dengan berpikir..."
"Bagus! Bararti kau juga telah pikirkan jalanmu ke akhirat!" tukas Putri Kayangan.
Terdengar suara tawa berat. Disusul kemudian dengan ucapan. "Kau keliru! Justru jalan ke akhirat adalah satu hal yang tidak pernah kupikirkan. Karena hal satu itu telah ditentukan oleh Sang Penentu!"
"Lalu apakah pembunuhan yang kau lakukan juga tidak pernah kau pikirkan?!" tanya Putri Kayangan.
"Aku tidak pernah melakukan apa yang kau katakan. Mereka sendiri yang datang serahkan jiwanya! Di samping itu, bukankah hal itu pantas diterima oleh orang-orang pembuat malapetaka dan serakah?! Kau tahu, setiap orang yang datang kemari di hatinya pasti punya sifat serakah! Mereka tidak sadar jika Sang Penentu telah guratkan pena-Nya bahwa apa yang mereka pinta bukan ditentukan untuknya!"
"Hem... Rupanya pandai juga kau bicara dengan main tebak hati orang! Dan mengaitkan persolaan dengan dalih Sang Penentu..." kata Putri Kayangan dengan suara keras lalu tertawa panjang.
"Kau lupa. Gadis jelita! Semua persoalan pasti akan berpulang pada Yang Maha Kuasa! Jika orang mau berpijak pada hal itu, pasti dia tidak akan memiliki sifat serakah! Meski tidak harus berpangku tangan dan pasrah! Kau berhak memburu benda yang kau kehendaki, tapi jika Yang Maha Kuasa tidak mengizinkan, apakah kau sanggup melawan ketentuan?!"
"Jawabannya akan kau lihat sendiri..." bentak Putri Kayangan. Lalu gadis muda berparas cantik jelita ini lompat ke depan. Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis tidak tinggal diam. Keduanya segera pula berkelebat dan tegak tiga langkah di samping kanan pintu Istana. Kejap lain keempat tokoh-tokoh Penghela tandu sudah pula berdiri di samping kanan kiri Putri Kayangan.
Putri Kayangan berpaling ke kanan seraya memberi isyarat dengan anggukan kepalanya. Keempat Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak berkelebat kedepan dan didahului bentakan keras dari mulut masing-masing orang, keempatnya sama mendorongkan tangan sambil menerobos masuk pintu Istana Hantu.
Terdengar deruan dahsyat bersahutan. Lalu dari tangan masing-masing keempat laki-laki bertubuh besar ini melesat gelombang angin luar biasa kencang!
"Brakkk! Brakk! Brakkk! Brakkk!"
Terdengar suara derakan hebat empat kali berturut-turut. Kejap lain mata masing-masing orang yang berada di luar terpentang besar. Karena bersamaan dengan itu, dari pintu Istana Hantu terlihat empat sosok tubuh mencelat mental sampai lima tombak dan jatuh berkaparan!
Keempat laki-laki yang bukan lain adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu perlahan-lahan bergerak bangkit. Setelah meneliti keadaan masing-masing, laki-laki yang bercelana kolor warna merah yang tampak paling tua usap-usap mulutnya yang membelah ke bawah. Sepasang matanya yang juga membelah liar pandangi ketiga saudaranya. Tiba-tiba dia bersuit keras. Kejap lain dia berkelebat ke arah samping kanan. Laki-laki yang bercelana kolor warna hitam segera menyusul dan tegak dibelakangnya. Laki-laki bercelana kolor warna kuning cepat berkelebat ke arah samping kiri, sedangkan laki-laki bercelana warna kuning segera melompat berdiri tegak dibelakangnya.
Sesaat kemudian, serentak keempatnya bergerak membentuk jalur ke kanan kiri bersilangan. Inilah jurus andalan Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang dikenal kalangan rimba persilatan dengan 'Barisan Naga Iblis'. Selama ini hanya tokoh yang benar-benar sempurna Ilmu peringan tubuhnya yang bisa lolos dari 'Barisan Naga Iblis'.
Karena jika lawan bisa menghindar dari sergapan orang paling depan maka orang dibelakangnya akan segera menggebrak. Demikian seterusnya berputar-putar, hingga jika lawan lengah sedikit, maka tak ampun lagi nyawanya akan putus! 'Barisan Naga Iblis' terus bergerak cepat ke depan. Begitu setengah tombak lagi sampai pintu masuk Istana Hantu, keempatnya mempercepat kelebatn tubuh masing-masing. Lalu...
"Wuutt! Wuutt! Wuuttt! Wuuttt!"
Keempat sosok Tokoh-tokoh Penghela Tandu lenyap masuk ke dalam Istana! Putri Kayangan tumpak tersenyum. Tapi laksana disabet setan, senyum gadis ini mendadak terputus. Karena terlihat sesosok tubuh mental dari dalam Istana. Kejap lain satu sosok lagi terpental keluar, lalu disusul dua yang lainnya! Untuk kedua kalinya keempat Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama jatuh bergelimpangan di atas tanah. Tubuh masing-masing tampak bergetar keras. Dari mulutnya yang membelah ke bawah mengucur darah segar! Pertanda jika masing-masing laki-laki ini terluka dibagian dalam.
Untuk beberapa saat lamanya keempatnya diam tidak bergerak-gerak. Namun akhirnya si pemakai celana kolor warna merah bergerak bangkit. Disusul kemudian oleh ketiga saudaranya. Tapi Baru saja sosoknya tegak, kaki-kaki mereka terlihat menekuk, hingga tak lama kemudian keempatnya jatuh terduduk dengan wajah meringis dan mata mendelik. Dalam diri masing-masing orang ini sebenarnya merasa sekujur tubuhnya laksana dipanggang dan sakit luar biasa, namun tampangnya yang angker dan aneh malah sebaliknya membuat wajah keempatnya lucu!
Melihat apa yang menimpa para pembantu setianya, Putri Kayangan kertakkan rahang. Namun tampaknya gadis cantik ini berlaku cerdik. Meski wajahnya menampakkan hawa kemarahan, dia tak juga melakukan gerakan. Malah sebaliknya memandang sekilas pada Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis yang tegak disamping kanan kiri pintu Istana Hantu.
Pandangan sekilas Putri Kayangan tampaknya membawa pengaruh. Karena bersamaan dengan itu, Ratu Pewaris lblis yang saat itu sempat memandang pada sang Putri tampak menyeringai dan dalam hati berkata.
"Hem... Rupanya dia gentar juga melihat para pembantunya jatuh bergelimpangan! Akan kutunjuk bahwa Ratu Pewaris lblis adalah bukan orang yang bisa dibuat sembarangan. Dan agar dia nanti tidak coba-coba menggunting dalam lipatan jika maksudku tercapai..."
Lain yang ada dalam benak Ratu Pewaris Iblis lain pula apa yang terpikir oleh Hakim Neraka. Kakek ini diam-diam membatin. "Tokoh-tokoh Penghela Tandu bukanlah tokoh yang berilmu cetek. Jurus 'Barisan Naga Iblis' sudah dikenal kalangan rimba persilatan sebagai jurus yang sulit diterobos ceahnya, namun kenyataan menunjukkan bahwa penghuni istana ini ilmunya makin menjulang. Aku akan menanti sampai nenek keriput itu bertindak! Aku tak akan mengulang kesalahan pada beberapa puluh tahun silam!"
Ratu Pewaris Iblis cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Melihat apa yang menimpa pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu, nenek ini tidak berani bertindak ayal. Maka seraya salurkan tenaga dalam pada kedua tangan, dia juga lindungi diri dengan salurkan tenaga dalam pada dada. Kejap kemudian tubuhnya meelesat masuk ke dalam Istana Hantu dengan kedua tangan menyentak!
Namun baru raja sosok Ratu Pewaris IbIis hendak masuk, terdengar seruan tertahan si nenek. Lalu terlihat sosoknya menyeruak mental dari pintu istana Hantu. Untung dia cepat dapat kuasai tubuh meski sejenak tubuhnya sempat terhuyung-huyung dan melipat hendak jatuh.
"Keparat!" maki si nenek. Sepasang matanya tajam menyengat ke dalam pintu Istana Hantu. Sosoknya tampak bergetar keras, pelipis kiri kanannya bergerak-gerak pertanda dia telah dilanda hawa kemarahan luar biasa.
Sementara di sebelah kanan kiri, Putri Kayangan dan Hakim Neraka tampak memperhatikan dengan kening berkerut. Diam-diam Putri Kayangan merasa kecut. Dia tahu, Ratu Pewaris IbIis memiliki kepandaian tinggi, namun nyatanya belum juga mampu menerobos pintu Istana Hantu.
"Aku akan menunggu giliran setelah Hakim Neraka. Dari sana nanti aku dapat menimbang. Jika tidak memungkinkan, adalah bodoh jika bertindak!"
Di lain pihak, Ratu Pewaris Iblis tampak sudah melangkah maju. Mendadak tubuhnya melesat. Sejarak enam langkah dari depan pintu, dia telah dorongkan kedua tangannya. Rupanya nenek ini tidak mau lagi lancarkan pukulan saat tubuhnya masuk, karena dia telah mengalami akibat yang fatal.
Dua gelombang dahsyat tampak menggebrak masuk dari kedua tangan si nenek. Karena untuk beberapa saat tidak ada gebrakan membalik dari dalam istana, membuat si nenek teruskan lesatannya dan untuk kedua kalinya kedua tangannya mendorong lepaskan satu pukulan.
Namun angin gelombang kedua pukulan si nenek belum sampai masuk ke dalam Istana, tiba-tiba terdengar suara derakan beberapa kali. Lalu gelombang angin kedua laksana menghantam tembok tebal dan langsung mental membalik ke arah Ratu Pewaris Iblis!
Karena tak ada jalan lain untuk selamatkan diri dari pukulannya yang membalik selain menangkis dengan pukulan, maka sambil melayang di udara dia lepaskan pukulan sekali lagi.
"Buummm!"
Terdengar ledakan keras tatkala pukulan yang mental Ratu Pewaris Iblis bentrok dengan pukulannya sendiri. Sosok si nenek tampak terbanting di udara Lalu melayang deras dan jatuh berlutut dengan wajah berubah dan tangan gemetar. Namun sesaat kemudian tiba-tiba Ratu Pewaris Iblis sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. Sosoknya melenting satu tombak ke udara.
Selelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, sosoknya melesat ke arah pintu Istana Hantu. Tangan kiri membuat gerakan mendorong, sedangkan tangan kanan yang telah memegang sapu tangan merah yang dikenal dengan Sapu Tangan Iblis berkelebat mengibas!
"Wuuutt! Wuuuss!"
Gelombang angin dan kiblatan merah menerobos masuk pintu istana. Disusul dengan melesatnya sosok Ratu Pewars Iblis lenyap masuk ke dalam Istana. Namun kali ini si nenek berlaku cerdik. Dia menerobos masuk dengan menyisi ke samping untuk menghindar jika pukulan yang dilepas mental balik.
Dugaan si nenek terbukti. Karena bersamaan itu terdengar suara berderak disusul dengan mencuatnya gelombang angin dari dalam Istana menghantam tempat kosong di luar istana. Di dalam Istana sendiri, Ralu Pewaris Iblis tampak menarik napas lega karena apa yang diperhitungkan tidak meleset.
Namun baru saja sepasang kakinya menginjak lantai di dalam istana, dan sepasang matanya belum sempat memandang keadaan di dalam, dia merasakan sapuan gelombang angin dahsyat. Buru-buru dia meloncat-meloncat sambil dorongkan tangan kiri kanan. Namun baru setengah jalan, sapuan angin telah menggebrak Iebih cepat. Tangan kanan kiri si nenek mental ke belakang lalu sosoknya terdorong keras. Karena di belakangnya adalah tembok maka lak ampun lagi tubuhnya menghantam tembok di belakangnya.
"Bukkk!
Tubuh Ratu Pewaris Iblis tersandar lalu perlahan-lahan melorot jatuh. Saat itulah untuk kedua kalinya dia rasakan sapuan menggebrak lagi. Sadar akan bahaya maut, nenek ini cepat gulingkan tubuh. Anehnya, Ratu Pewaris Iblis rasakan sapuan angin itu lakaana mata pedang yang bergerak ke mana tubuhnya berguling. Dan belum sempat dia gerakkan kedua tangannya, jubahnya telah tersapu.
"Bukkk!"
Untuk kedua kalinya tubuh Ratu Pewaris Iblis mencelat menghantam tembok. Lalu jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah.
BAB 5
Di luar istana Hakim Neraka dan Putri Kayangan tak berkesip memperhatikan ke arah pintu istana Hantu. Wajah kedua orang ini membayangkan rasa cemas, bukan mengkhawatirkan keadaan Ratu Pewaris iblis yang untuk beberapa lama tak kunjung muncul, sebaliknya dada keduanya diselimuti rasa takut jika si nenek berhasil mendapatkan apa yang menjadi maksudnya. Karena meski mereka tidak saling memberitahukan apa tujuan masing-masing, tapi di antara mereka tampaknya sudah dapat menduga apa yang dituju masing-masing orang.
"Kalau tua bangka itu berhasil mendapatkan Kitab Sundik Cakra, apa pun kesepakatan yang dibuat tidak akan berlaku lagi!" kata Hakim Neraka dalam hati.
"Hem... Apakah benar jika Tengkorak Berdarah menyimpan Kitab Sundik Cakra seperti yang diucapkan mendiang Guru? Sayang Guru telah tiada sebelum pintu Istana Hantu terbuka lagi. Tapi dia mengatakan Kitab Sundik Cakra adalah kitab kedua. Dan sebagai tanda, pintu istana Hantu akan terbuka jika kitab pertama telah didapat seseorang. Hem... Siapa gerangan yang telah berhasil mendapatkan kitab pertama?" Diam-diam Putri Kayangan juga membatin.
Ketika kedua orang itu sama-sama digelayuti dengan kata hati masing-masing, tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan suara batuk berulang kali. Ketika mereka melihat ke depan, mereka tersentak. Namun wajah mereka jelas membayangkan rasa gembira.
Dari dalam istana Hantu tampak merangkak keluar sesosok tubuh mengenakan pakaian warna biru. Rambutnya yang putih lebat awut-awutan. Dari mulutnya keluar mengucur darah. Orang ini bukan lain adalah Ratu Pewaris Iblis. Begitu berada diluar istana, nenek ini cepat bergerak lalu duduk bersila. Tangan kanannya yang masih memegang Sapu Tangan Iblis dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Kejap lain sepasang mstanya memejam.
Mulut di celah gumpalan daging di wajah Hakim Neraka menyeringai. Dan tanpa ucapkan sepatah kata, sosoknya melesat dan seaaat kemudian lenyap masuk ke dalam Istana Hantu. Mungkin karena pernah gagal memasuki istana pada beberapa puluh tahun silam, sedikit banyak dia tahu apa yang kini harus diperbuat.
Hingga tatkala dia berkelebat masuk, kedua tangannya yang telah diangkat tidak lepaskan satu pukulan. Baru saat sepasang kakinya telah menginjak lantai bagian dalam istana, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan. Bersamaan itu tubuhnya bergerak ke samping.
"Buumm!"
Terdengar ledakan keras di dalam istana, membuat Hakim Neraka tercekat. Karena dia tak menyangka jika pukulannya tidak mental balik malah seakan-akan menghantam satu sasaran. Tapi Hakim Neraka tidak cepat gembira karena meski terdengar ledakan keras, namun dia tidak merasakan getaran sama sekali!
Sebagai tokoh yang pernah malang melintang dengan nama menjulang, Hakim Neraka tahu jika pukuannya tidak menghantam sesuatu! Dan begitu sadar apa yang terjadi, kakek ini segera pelolotkan sepasang matanya dari balik celah gumpalan daging di kening dan pipinya. Tapi belum sampai sepasang matanya dapat melihat apa yang ada di sekitarnya, satu deruan terdengar. Kejap lain satu sapuan gelombang menggebrak!
Hakim Neraka tak tinggal diam. Bersamaan terdengarnya deruan, kedua tangannya bergerak kirimkan satu pukulan.
"Bummm! Bummm!"
Ledakan keras terdengar dua kali berturut-turut. Kali ini istana Hantu bergetar. Namun laksana dipantek tiba-tiba getaran itu terhenti. Hebatnya sosok Hakim Neraka yang tersurut tampak bergoyang-goyang keras! Hakim Neraka cepat kuasai diri. Lalu cepat pula dia lorotkan tubuh hingga sepasang kakinya hampir menekuk. Kejap lain tubuhnya membal setinggi dua tombak ke udara. Di atas udara kedua tangannya membuat gerakan memukul pulang balik beberapa kali ke depan.
"Desss! Deeesss! Deeesss!"
Beberapa kali dari kedua tangan si kakek melesat gelombang angin deras. inilah pukulan andalan Hakim Neraka yang beberapa tahun silam pernah membuat lawan segan menghadapinya. Karena dalam beberapa kejap, dari kedua tangannya menggebrak gelombang angin deras yang susul menyusul tiada henti!
"Pukulan 'Tabur Gelombang'!" terdengar gumaman dari seseorang di dalam istana.
Hakim Neraka tertawa panjang. Namun tiba-tiba suara tawanya terputus. Beberapa gelombang yang dilepaskannya serta-merta lenyap tanpa perdengarkan suara deru atau ledakan. Bahkan kejap itu juga tubuhnya yang masih melayang di atas udara dibungkus dengan sambaran angin yang berputar aneh. Membuat tubuhnya bukan saja berputar-putar namun makin lama makin membubung ke atas.
Hakim Neraka berpikir cepat. Dia segera sapukan kedua tangannya ke bawah. Angin berputar-putar yang membawa tubuhnya melambung langsung amblas buyar! Namun kakek ini tampaknya tidak memperhitungkan akibat. Karena begitu angin berputar-putar itu amblas, tubuhnya melesat deras ke bawah. Dan sudah sangat terlambat buat si kakek untuk menahan lesatan tubuhnya, karena sewaktu sapukan kedua tangannya ke bawah, dia kerahkan segenap tenaga dalamnya.
"Bukkk!"
Sosok Hakim Neraka terjerembab dilantai istana. Belum sampai dia membuat gerakan bangkit, satu sapuan gelombang dahsyat menghampar. Hakim Neraka berseru tertahan. Tubuhnya mencelat mental sebelum akhirnya menghantam tembok di belakangnya. Saat bersamaan satu bayangan berkelebat. Si kakek cepat berpaling dengan mata dipentangkan besar. Namun belum dapat dia melihat siapa adanya si bayangan, satu kaki melayang lepaskan tendangan.
"Dessss!"
Belum sampai suara jeritan kelar, sosok Hakim Neraka telah melesat keluar dari dalam istana Hantu. Lalu jatuh terjengkang dengan mulut keluarkan darah kehitaman. Daster kuning yang dikenakan terlihat robek menganga dibagian lambung.
Putri Kayangan tercengang dan langsung mundur dua tindak. Saat dia berpaling, ternyata Ratu Pewaris Iblis sudah tidak ada lagi di tempat itu. Sementara keempat laki-laki pembantunya tampak berdiri disebelah tandu dengan wajah khawatir.
Hakim Neraka bergerak bangkit. "Puluhan tahun sembunyikan diri berlatih memperdalam ilmu, tapi nyatanya aku masih gagal! Hem... Aku harus mencari jalan lain!"
Habis membatin begitu, Hakim Neraka angkat wajahnya yang bergumpal-gumpal memandang tajam kaarah pintu Istana Hantu. Kejap kemudian mulutnya yang hanya terlihat membersit di antara gumpalan daging bergerak membuka.
"Tengkorak Berdarah! Dalam waktu singkat aku akan datang kembali. Pada pertemuan nanti, jangan mimpi kau dapat bertingkah lagi!"
Selesai berucap, Hakim Neraka usap darah yang mengucur dari sela mulutnya. Memandang sejurus pada Putri Kayangan, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu tanpa berkata-kata lagi.
Putri Kayangan untuk beberapa lama tegak dengan mata memandang tajam ke arah pintu istana Hantu. Laiu tiba-tiba kedua tangannya bergerak terangkat ke atas. Namun sejenak kemudian gadis berparas jelita ini turunkan kembali kedua tangannya. Tubuhnya mamutar lalu melangkah ke arah tandu.
"Kita tinggalkan tempat celaka ini!" katanya sembari menyingkap kelambu penutup tandu dan kejap lain sosoknya lenyap masuk ke dalam tandu. Tokoh-tokoh Pengheta Tandu sama bergerak. Sesaat kemudian tandu melesat cepat tinggalkan halaman Istana Hantu.
BAB 6
SEPASANG mata murid Pendeta Sinting terpetang besar dengan mulut terkancing melihat apa yang baru saja terjadi dihalaman Istana Hantu. Sementara Raka Pradesa tampak tenang-tenang saja, malah begitu terlihat Putri Kayangan berlalu dari halaman istana, dia bergumam.
"Hem... Gadis itu tampaknya punya perhitungan tepat. Dia urungkan niat untuk ikut-ikutan bertindak bodoh seperti Hakim Neraka dan Ratu Pewaris iblis..."
Pendekar 131 berpaling. Mulutnya terbuka, namun dia buru-buru katupkan kembali, membuat Raka Pradesa menegur. "Kau hendak mengatakan sesuatu?!"
"Sebenarnya aku ingin mencoba masuk Istana Hantu. Tapi aku tidak ingin pemuda ini mengetahuinya kata Joko dalam hati lalu menjawab teguran Raka Pradesa dengan gelengkan kepala.
Raka Pradesa tersenyum, lalu sambil arahkan pandangannya ke istana, dia berucap. "Setiap orang saat ini pasti menginginkan masuk ke Istana itu, meski tentunya dengan maksud dan tujuan berbeda. Adakah kau juga mempunyai keinginan seperti itu?!"
"Aku tidak punya ilmu apa-apa. Sedangkan tokoh yang demikian tinggi ilmunya bisa dibuat cidera lalu bergelimpangan. Adalah satu hal yang mustahil jika aku punya niat seperti yang kau katakan!" jawab Pender 131 lalu bergerak bangkit.
"Kau hendak mengikuti gadis dalam tandu tadi?"
"Aku memang kagum pada kecantikannya, tapl bukan berarti aku harus mengikuti ke mana gadis itu pergi. Aku punya urusan lain. Mudah-mudahan kita dapat berjuumpa lagi..."
Pendekar 131 putar diri lalu hendak melangkah tinggalkan tempat itu. Namun langkah murid Pendeta Sinting tertahan tatkala bersamaan itu terdengar suara orang tertawa terbahak. Pendekar 131 cepat berpaling. Di atas sebuah tonjolan batu sejarak enam tombak dari tempatnya berada, murid Pendeta Sinting melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Kulit yang menutupi parasnya amat tipis meski raut wajah laki-laki ini bulat besar.
Sepasang matanya mendelik besar masuk ke dalam cekungan yang sangat dalam. Kedua alis matanya tebal dengan rambut disanggul ke atas. Yang membuat murid Pendeta Sinting membelalak, ternyata laki-laki ini hanya memiiiki hidung separo. Sedangkan separonya lagi merupakan cekungan dalam. Laki-laki yang sudah tidak muda lagi ini mengenakan jubah warna merah!
"Hem... Jelas jika aku baru kali ini bertemu dengan manusia ini. Tapi anehnya aku sepertinya pernah jumpa dengannya!" gumam Joko sambil perhatikan orang dengan seksama. Sementara Raka Pradesa ikut pula porhatikan laki-laki berjubah merah dengan mata tak berkesip.
"Dari ciri-ciri yang dikatakan orang padaku, nampaknya pemuda berpakaian putih itu mendekati kesamaan! Tapi untuk meyakinkan aku akan tanya dahulu!" desis laki-laki berjubah merah, lalu perdengarkan bentakan keras.
"Katakan padaku, siapa kau dan apa gelarmu!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab. Sebaliknya berpaling ke arah Raka Pradesa dan dia bisik. "Kalau kau tadi dapat nengenali orang, apakah kau juga mengetahui siapa adanya orang berjubah merah ini?"
Raka Pradesa belalakkan mata sejurus pada orang tua berjubah merah, lalu berpaling pada Pendekar 131 dengan gelengkan kepala, membuat murid Pendeta Sinting angkat alis matanya sambil berkata pelan.
"Kau punya gelar yang bagus untuk kukatakan padanya!"
Raka Pradesa sedikit terkejut mendengar pertanyaan Joko. Setelah menatap sejenak, untuk kedua kalinya dia gelengkan kepala.
"Bocah! Aku yakin kau tidak tuli! Jawab pertanyaanku atau kulepas nyawa ditubuhmu!" Membentak laki-laki berjubah merah berhidung Separo.
"Orang tua!" kata Raka Pradesa. "Kita belum saling kenal. Tak pantas kau memaksa begitu rupa!"
Rahang laki-laki berjubah merah sesaat tampak terangkat mengembang. Seraya mendengus keras diarahkan jari tetunjuknya ke arah Raka Pradesa lalu barkata. "Jangan berani pentang mutut didepanku. kau dapat giliran untuk kutanyai"
Habis berkata begitu, dia terus arahkan telunjuk jarinya tepat ke arah murid Pendeta Sinting dan barkata. "Jangan bikin kesabaranku habis. Kau akan menyesal!"
"Ah... Apa susahnya mengatakan diriku padamu, Orang Tua. Hanya..."
Orang tua di hadapan Joko kibaskan tangannya yang tadi terangkat menunjuk. Satu gelombang angin menderu, membuat Joko putuskan ucapannya. Karena pada saat yang sama laki-laki berjubah merah kembali membentak.
"Aku tak mau dengar segala macam dalih! Kau dengar?!"
"Apa maumu kupenuhi..." ucap Joko pada akhirnya. "Aku Pangeran mendut. Sekarang giliranmu mengatakan siapa kau adanya!"
Kening laki-laki berjubah merah berkerut. Sepasang matanya mendelik menyipit. Raut wajahnya jelas membayangkan rasa tidak percaya. Sementara Raka Pradesa tampak angkat tangannya menutupi mulut untuk menahan suara tawanya, namun tak urung suara tawanya masih juga terdengar, membuat laki-laki berjubah merah arahkan pandangan padanya. Mulutnya bergerak membuka, namun sabelum terdengar suaranya, murid Pendeta Sinting telah arahkan tetunjuk jarinya ke arah si orang tua berjubah merah sambil berkata.
"Kesabaranku terbatas! Harap lekas katakan siapa dirimu!"
Sambil kertakkan rahang, orang tua berjubah merah palingkan kepala ke arah Pendekar 131. Melihat si pemuda membuat sikap seperti dirinya, dada laki-laki ini bergemuruh. Kedua kakinya dihentakkan, lalu membentak.
"Jahanam! Kau belum katakan siapa gelarmu!"
"Ah, aku lupa..." ujar Pendekar 131 sambil tarik pulang tangannya. Lalu menyambung. "Dunia persilatan memberi gelar padaku Tengkorak Berdarah!"
Laki-laki berjubah merah mendelik angker. Sedangkan Raka Pradesa tampak tertengak lalu menoleh. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Pemuda konyol! Bisa-bisanya dia mendustai orang. Jangan-jangan apa yang dikatakan padaku juga ucapan dusta! Tapi aku suka pada sikapnya... Labih dari itu, aku..."
Raka Pradesa tidak teruskan kata hatinya. Sebaliknya dia cepat alihkan pandangannya ke jurusan lain dengan raut wajah berubah.
"Bocah! Rupanya kau suka bercanda. Apakah kau ingin tewas dengan bercanda. Hah?!"
"Kalau kau menganggap aku bercanda, itu urusanmu. Yang penting aku tidak mengajakmu bercanda! Lebih-lebih berharap tewas dalam canda..." jawab Joko lalu enak saja melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkah dan berujar.
"Kau telah tahu siapa diriku. Kalau tidak suka bercanda, mau sebutkan siapa kau sebenarnya?!"
Dari hidung laki-laki berjubah merah terdengar dengusan keras. Anehnya bersamaan dengan itu satu siuran angin keras keluar dari hidungnya yang hanya sebelah itu. Sepasang matanya melotot perhatikan lebih seksama.
"Aku hampir yakin. Inilah anak manusianya! Hem. Apakah dia lupa padaku? Tapi waktu itu memang sudah berlalu sekian tahun lamanya. Malah jika aku tidak mendapat kabar dan diberi tahu beberapa orang, mungkin aku juga sudah lupa bahkan tidak mengenalinya! Menurut Ratu Pemikat yang sempat menemuiku beberapa purnama yang lalu, pemuda ini telah mendapatkan Pedang Tumpul 131. Lalu tersiar kabar bahwa Kitab Serat Biru juga sudah jatuh ke tangan seorang pemuda setelah terjadi kegegeran di Pulau Biru. Kemunculannya di dekat lstana Hantu pasti punya tujuan tertentu, apalagi menurut yang kini kusirap, penghuni istana Hantu menyimpan sebuah kitab..."
Setelah lama berpikir, akhirnya orang tua berjubah merah ini melangkah maju satu tindak dan berkata dengan suara keras. "Buka matamu lebar-lebar! Lihat baik-baik siapa yang berdiri dihadapanmu sekarang?"
Pendekar 131 turuti ucapan orang. Dia memang merasa pernah kenal wajah orang dihadapannya, namun sejauh ini dia tidak bisa mengingat kapan dan di mana pernah bertemu. "Aku tidak mengenalmu! Kalau suka harap sebutkan diri saja!" kata Pendekar 131 pada akhirnya.
"Baik! Untuk segarkan ingatanmu aku tanya padamu. Kau ingat dengan Ratu Pemikat alias Dewi Asmara?!"
Murid Pendeta Sinting dongakkan kepala. "Perempuan bertubuh bahenol begitu memang sukardilupakan..."
Laki-laki berjubah merah menyeringai. Di sampingnya Raka Pradesa pasang tampang cemberut tanpa berpaling.
"Bagus, ingatanmu pada perempuan layak dihargai. Sekarang kau ingat baik-baik. Apakah kau masih ingat pada orang bergelar Malaikat Lembah Hijau yang tubuhnya jatuh ke sebuah jurang bersama seorang anak kecil?"
Tubuh Pendekar 131 langsung bergetar. Dadanya berdebar keras. Dia arahkan pandangannya lurus ke depan. Tiba-tiba dia melompat ke depan. "Kau! Bukankah kau yang memburuku bersama Ratu Pemikat hingga masuk ke dalam jurang!"
Laki-laki berjubah merah tertawa bergelak. "Akhirnya kau mengaku siapa dirimu sebenarnya! Ha Ha Ha...! Bukankah kau anak manusia yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131?"
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut Sebaliknya sepasang matanya berkilat menatap tajam. Pelipis kanan kirinya bergerak-gerak. Raka Pradesa tegak dengan mulut menganga.
"Pendekar 131! Kalau kau bisa lolos pada baberapa tahun silam, kini Hantu Makam Setan tidak akan membiarkanmu lolos untuk kedua kalinya!" kata laki-laki berjubah merah yang bukan lain adalah dedengkot rimba parsilatan bergelar Hantu Makam Setan (Tentang Hantu Makam Setan baca episode Pesanggranan Keramat).
"Tapi aku masih memberimu kesempatan hidup jika kau turuti dua syaratku!" sambung Hantu Makam Setan lalu tertawa mengekeh. Dan tanpa hiraukan orang, kakek ini teruskan bicaranya. "Serahkan padaku Pedang Tumpul 131. Lalu jawab tanyaku. Apakah kau yang berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru!"
"Kau tidak layak mendapatkan apa yang kau minta. Lebih tidak pantas lagi mendapat jawaban atas pertanyaanmu!" jawab Joko membuat Hantu Makam Setan makin keraskan tawanya.
"Aku Hantu Makam Setan. Harap kau tidak membuat urusan baru dengan tidak mau turuti syaratku"
"Bayar hutangmu dahulu, baru kau akan mendapatkan apa yang kau minta!"
Hantu Makam Setan menyeringai. "Kau tidak mau beri yang kuminta dan menjawab apa yang kutanya tak jadi apa. Itu berarti kau telah pikirkan akibat yang akan kau terima. Tapi aku masih memberimu waktu untuk memikirkan sekaii lagi!"
Pendekar 131 tertawa pendek. "Kubilang bayar dahulu hutangmu! Setelah itu urusan kita bicarakan lagi!"
"Keparat!" maki Hantu Makam Setan.
Tangan kanan kiri kakek ini tampak bergetar pertanda dia telah kerahkan tenaga dalamnya. Tanpa bicara lagi, kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat melanggar cepat ke arah Pendekar 131!
Yang diserang hanya geser tubuhnya sedikit ke samping, hingga gelombang angin itu menghantam tempat kosong setengah tombak di sampingnya. Malah dengan tersenyum murid Pendeta Sinting berujar.
"Lama tidak jumpa, ternyata kau masih sama seperti dulu, Orang Tua!"
Mendengar ucapan Pendekar 131, meledaklah kemarahan Hantu Makam Setan apalagi setelah mengetahui gebrakan pertamanya begitu mudah dihindari si pemuda. Sementara Raka Pradesa cepat menyingkir dengan membatin.
"Tak kusangka jika pemuda ini adalah Pendekar Pedang Tumpui 131. Hem... Pantas jika dia sampai di tempat ini. Tujuannya pasti ingin mendapatkan kitab yang saat ini santer dibicarakan orang yang dipegang oleh penghuni istana Hantu... Atau mungkin dia punya tujuan lain? Sebagai seorang pendekar, tentu dia telah tahu apa yang saat ini terjadi dalam rimba persilatan dan kuyakin dia pasti akan membuat perhitungan dengan Tengkorak Berdarah yang akhir-akhir ini dituduh melakukan beberapa pembunuhan. Hem... Sangat disayangkan jika benar-benar apa yang kuduga jadi kenyataan. Ah, aku harus melakukan sesuatu... Aku tidak mau dia..."
Raka Pradesa putuskan kata hatinya, karena saat itu dilihatnya Hantu Makam Setan telah melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi lalu laksana kilat kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan jotosan ke arah kepala Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting sudah angkat tangannya. Namun mendadak Hantu Makam Setan tarik pulang kedua tangannya. Kejap lain sepasang kakinya bergerak lepaskan tendangan. Tendangan baru setengah jalan, kedua tangannya yang ditarik pulang kembali menyentak lepaskan pukulan jarak jauh!
Pendekar 131 cepat salurkan tenaga dalam pada dadanya kerahkan jurus Inti 'Sukma Es' untuk lindungi diri. Lalu tangannya yang terangkat sedikit diturunkan dan dipalangkan di depan dada. Hawa dingin segera menyeruak di sekitar tempat itu. Bukan saja membuat tendangan Hantu Makam Setan laksana beku, namun pukulan tangan si kakek seperti membentur kekuatan hebat hingga gelombang angin yang keluar dari kedua tangannya meleset! Namun Hantu Makam Setan tidak urungkan niat teruskan tendangan. Sejengkal lagi tendangan menggebrak, Pendekar 131 gerakkan tangannya.
"Bukkk! Bukkk!"
Sosok Hantu Makam Setan tersurut dua langkah dengan paras berubah. Matanya terpentang besar ketika meneliti sepasang kakinya selain membiru juga terasa panas akibat bentrok dengan tangan lawan. Di depannya, murid Pendeta Sinting tampak meringis lalu saling gosokkan kedua tangannya satu sama lain.
"Anak ini kalau tidak cepat dibikin habis, akan mendatangkan malapetaka!" desis Hantu Makam Setan. Sepasang matanya memejam. Lalu tampak tubuhnya bergetar tanda dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Saat lain tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke depan.
"Wuuuttt!"
Sinar hitam berkiblat. Bukan saja membuat suasana berubah pekat, tapi juga perdengarkan deruan luar biasa keras, pertanda jika si kakek telah kirimkan pukulan andaiannya 'Bara Hitam'.
Tapi baru saja deruan yang membawa hamparan gelombang melesat, terdengar orang berseru. Satu bayangan berkelebat di keremangan suasana. Bersamaan itu suasana pekat amblas ambyar dan angin laksana ditekan kekuatan luar biasa panas hingga menukik deras ke bawah dan menghantam tanah keluarkan ledakan keras!
BAB 7
SETAN alas! Siapa manusia gila yang berani jual ilmu di depanku, hah?!" teriak Hantu Makam Setan seraya kuasai tubuhnya yang terhuyung-huyung. Sepasang matanya angker menyengat ke arah samping dari mana tadi satu serangan memangkas habis pukulannya, malah jika dia tidak cepat kuasai diri niscaya tubuhnya akan jatuh terjengkang!
Sepasang kaki Hantu Makam Setan tegak bergetar, mulutnya komat-kamit. Kejap lain dia mendesis, "Ratu Malam!" ketika dilihatnya sepuluh langkah dari tempatnya berdiri seorang nenek berambut putih sebatas tengkuk mengenakan jubah merah menyala. Mulutnya selalu bergerak mainkan gumpalan tembakau hitam.
Pendekar 131 sendiri tampak tercenung Ialu hendak melangkah ke arah si nenek yang bukan lain memang Ratu Malam adanya. Namun gerakan kakinya tertahan saat terdengar bentakan Hantu Makam Setan.
"Ratu Malam! Aku tak suka urusanku ada yang ikut campur. Harap lekas menyingkir!"
Ratu Matam puaskan dulu tertawanya. Lalu berujar. "Bagaimana aku bisa tinggal diam jika kekasihku menghadapi maut?! Hik Hik Hik...! Kaulah yang telah merecoki diriku. Jadi kuharap kau lekas angkat kaki!"
Mendengar ucapan Ratu Malam, Hantu Makam Setan mengernyit. Lalu tawanya meledak. Pendekar 131 hanya bisa geleng-geleng kepala seraya gosokkan kedua tangannya satu sama lain. Di sebelah samping Rka Pradesa kembali ternganga dengan pandangan percaya.
"Aku tahu ucapan nenek ini hanyalah alasan. orang ini tentu punya hubungan tertentu jika sampai berada tak jauh dari Istana Hantu. Hem... Kurasa tidak mungkin harus menghadapi mereka berdua. Tapi sudah kepalang tanggung untuk tinggalkan tempat ini! Istana Hantu sudah di depan mata..." membatin Hantu Makam Satan. Lalu berkata.
"Ratu Malam! Baiklah, aku akan tinggalkan tempat ini! Tapi kekasihmu untuk sementara kupinjam dahulu. Jangan terlalu khawatir. Aku laki-laki tulen... Dia akan kukembalikan padamu tetap utuh!"
"Aku tidak percaya orang sepertimu akan kembalikan kekasih hatiku dalam keadaan utuh! Karena aku curiga sebenarnya kau bukanlah seorang laki-laki..."
"Kurang ajar! Enak saja kau menuduhku bukan laki-laki! Aku laki-laki tulen seperti kekasihmu itu!"
Pendekar 131 untuk sekian kalinya hanya bisa gelengkan kepala sambil garuk-garuk perutnya. Namun raut wajah Raka Pradesa tampak berubah merah. Mungkin tidak mau orang melihat perubahan wajahnya, pamuda berkumis tItipiini cepat berpaling. Sementara Ratu Malam perdengarkan tawa mengikik.
"Hantu Makanan Setan!"
"Aku Hantu Makam Setan!" kata kakek berjubah merah ketika Ratu Malam didengarnya salah sebutkan gelar dirinya.
Ratu Matam tertawa mengekeh. Pendekar 131 ikut-ikutan tertawa. Raka Pradesa mau tak mau ikut tertawa meskl dengan ditahan-tahan.
"Ah. Siapa pun namamu tentu kau pernah mendengar ucapan sekali melihat lebih berharga daripada seribu kali mendengar!" ujar Ratu Malam pada akhirnya.
"Sialan! Apa maksud ucapanmu?!" bentak Hantu Makam Setan.
"Kau gembar-gembor mengatakan dirimu seorang laki-laki. Rasanya itu hanya hembusan angin lalu jika kau tidak bisa buktikan ucapanmu! Hik Hik Hik...!"
"Gila! Kau manusia gila!" umpat Hantu Makam Setan dengan tampang mengelam.
"Terserah kau bilang apa. Karena tidak ada seorang laki-laki yang akan meminjam seorang laki-laki! Apalagi pemuda tampan dan muda! Dan bisa saja kau laki-laki yang suka sama laki-laki. Hik hik hik..."
"Keparat! Ucapanmu sudah keterlaluan!"
"Ini kenyataan. Harap jangan marah! Kecuali jika kau bisa buktikan bahwa kau memang seorang laki-laki tulen..."
"Edan! Bagaimana aku akan buktikan padamu, hah!" hardik Hantu Makam Setan dengan muka makin mengelam.
"Kau tak usah cemas aku akan melihat! Di sini ada dua orang pemuda. Merekalah nanti yang akan buktikan! Hik Hik Hik...! Jika kau memang terbukti sebagai laki-laki, aku tak segan meminjamkan kekasihku padamu!"
Hantu Makam Setan memaki panjang pendek. Namun karena merasa punya urusan penting dengan murid Pendeta Sinting, Hantu Makam Setan tampak berpikir. Di lain pihak, Ratu Malam sudah balikkan tubuh sambil tertawa. Setelah berpikir agak lama, akhirnya Hantu Makam Setan berkata.
"Aku kali ini mengalah. Akan kubuktikan bahwa aku adalah laki-laki tulen. Namun jika kau ingkari janjimu, kau akan tahu akibatnya!"
"Sudah. Jangan banyak omong!" sahut Ratu Malam.
Hantu Makam Setan melirik pada Ratu Malam yang tegak memunggungi. Dia terlihat ragu meski telah angkat jubah bagian bawahnya hingga lututnya kelihatan. Sesungguhnya dia sangat enggan menyetujui permintaan perempuan gila itu. Tapi daripada bentrok dengan perempuan yang diketahuinya sangat sakti itu, lebih baik kali ini diambilnya jalan damai. Di depan sana murid Pendeta Sinting mendelik namun tak berusaha untuk ikut bicara. Di sampingnya Raka Pradesa tampak semakin kelam dan perubahan wajahnya makin teriihat.
"Bagaimana...? Apa sudah kau buktikan?!" kata Ratu Malam.
"Tunggu!" tiba-tiba Raka Pradesa berseru. "Aku tidak mau jadi saksi pembuktian.
"Peduli setan! Itu urusanmu!" kata Hantu Makam Setan, lalu tanpa pedulikan ucapan Raka Pradesa dia angkat jubah bagian bawahnya sebatas paha dan sedikit demi sedikit terus ditarik ke atas.
Raka Pradesa cepat palingkan muka. Sementara Pendekar 131 pentangkan matanya dengan bahu berguncang menahan tawa. Di lain kejap tiba-tiba Hantu Makam Setan sentakkan tangannya tinggi ke atas, hingga aurat bagian bawahnya terbuka! Kejap lain dia cepat sentakkan tangannya ke bawah. Pendekar 131 terdengar bergumam sedangkan Raka Pradesa menjerit.
"Hei Apa yang terjadi?!" teriak Ratu Malam. perlahan-lahan putar tubuh.
"Aku sudah buktikan pada kekasihmu!" ujar Makam Setan dengan wajah masih mengelam.
"Aku belum tanya pada mereka. Harap jangan merasa senang dahulu!" ucap Ratu Malam lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan Raka Pradesa yang saat itu masih tampak miringkan tubuhnya.
"Pemuda berbaju hitam-hitam! Aku tanya. Bagaimana?! Apa betul dia laki-lakl beneran?!"
Raka Pradesa tak berani memandang pada Ratu Malam. Dia hanya gelengkan kepala. "Aku tak tahu..."
Ratu Malam berpaling pada Hantu Makam Setan. "Kau dengar ucapan pemuda itu? Dia mengatakan tak tahu! Berarti kau belum lakukan pembuktian itu!"
"Jahanam! Telingamu mendengar. Dia tadi mengatakan tidak mau jadi saksi pembuktian!" bentak Hantu Makam Setan.
"Jika begitu kita harus mencari satu orang saksi lagi. Karena seorang saksi belumlah kuat dijadikan bukti..."
"Ditempat begini, mana mungkin kita mencari orang? Bagaimana kalau kau saja yang ikut menyaksikan? Kurasa Kakek itu juga tidak keberatan..." Yang buka suara adaiah Pendekar 131.
Ratu Malam tertawa cekikikan. Hantu Makam Setan menggeram dan hidungnya yang hanya separo perdengarkan dengusan keras.
"Kalian bertiga tampaknya membuatku barang mainan! Jahanam keparat!" Kakek berhidung separo itu sudah bertekad akan bertempur habis-habisan dengan mereka daripada dipermainkan!
"Ini sudah kesepakatan bersama. Harap tidak salah paham. Dan karena di sini tidak ada orang lagi yang mau jadi saksi, maka bagaimana kalau ucapan pemuda berbaju putih kekasihku itu kita setujui?!"
"Gila! Aku tak mau lakukan!"
"Berarti kau tidak dapat membawa kekasihku!"
Mata Hantu Makam Setan mendelik besar. "Persetan! Aku telah membuktikan. Kalau kau mencegah, aku tak segan untuk membunuhmu!" Habis berkata begitu, Hantu Makam Setan melangkah ke arah Pendekar 131. Tapi gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba terdengar orang batuk berulang kali. Di susul kemudian dengan terdengarnya suara.
"Kudengar ada suara-suara yang mencari seseorang. Kalau suka, bagaimana jika aku menawarkan diri?!"
Pendekar 131 dan Raka Pradesa cepat berpaling. Hantu Makam Setan sejenak menyimak suara orang, lalu menoleh dengan mata dipentangkan. Hanya Ratu Malam yang tampak tidak gerakkan kepala ke arah datangnya suara. Sebaliknya nenek ini melirik tajam ke arah Raka Pradesa!
Pada sebatang pohon tidak begitu besar tegak bersandar dengan kepala tengadah seorang laki-laki berusia lanjut bertubuh besar. Rambutnya disanggul ke atas. Mengenakan pakaian gombrong berwarna hijau yang di pinggangnya melilit satu ikat pinggang besar berhias sebuah cermin tepat pada bagian depan perutnya.
"Keparat! Dalam keadaan begini datang lagi manusia yang pasti akan makin menyulitkan rencanaku!" desis Hantu Makam Satan sambil memperhatikan pada orang besar yang bersandar.
"Gendeng Panuntun!" seru Pendeka 131 begitu mengenaii siapa adanya orang besar mengenakan pakaian gombrong warna hijau.
"Pemuda ini ternyata telah kenal banyak dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Ratu Malam dan Gendeng Panuntun selama ini memang hanya kudengar namanya. Dan tak kusangka jika orangnya aneh..." kata Raka Pradesa dalam hati.
"Gendeng Panuntun... Jika orang besar ini memang Gendeng Panuntun, maka usahaku benar-benar akan gagal! Kudengar dia adalah seorang berilmu tinggi. Tapi bagaimana aku bisa buktikan sebelum melihat sendiri?!" diam-diam Hantu Makam Setan menbatin.
"Kek! Aku ada di sini" Pendekar 131 berteriak.
Gendeng Panuntun luruskan kepalanya. Sepasang matanya yang hanya kelihatan putih mengerjap beberapa kali. Lalu tangan kanannya mengusap cermin depan perutnya.
"Walah. Ternyata kau sini juga. Kuharap kau baik-baik saja, Anak Muda," kata Gendeng Panuntu lalu mendongak lagi dengan hidung kembang kempis.
"Aku mencium bau seorang gadis! Adakah kau beserta seorang gadis, Anak Muda?"
Setelah berpaling pada Raka Pradesa sejurus, murid Pendeta Sinting berucap. "Sahabatku ini seorang laki-laki, memang ada seorang gadis mungkin dia yang kau maksud."
Gendeng Panuntun tertawa mengekeh. "Tua bangka begitu masih juga kau sebut gadis!" katanya sambil arahkan kepala ke arah Ratu Malam, membuat Ratu malam melotot ke arah Pendekar 131.
"Aku mencium bau seorang gadis lain, selain bau gadis tua bangka itu!"
Gendeng Panuntun teruskan ucapannya samba terus usap-usap cerminnya. Sementara murid Pendeta Sinting edarkan pandangannya ke sekelillng, khawatir memang ada gadis di sekitar tempat itu. Namun setelah yakin di sekitar tempat itu tidak ada siapa-siapa lagi, dia menyambuti ucapan Gendeng Panuntun.
"Mungkin penciumanmu keliru, Kek. Di sini benar-benar tidak ada seorang gadis!"
"Ah, mungkin juga begitu. Tapi rasanya aku tidak keliru! Atau jangan-jangan ada orang lain lagi di sini yang menggunakan pengharum perempuan?!"
Raka Pradesa yang sedari tadi mendengarkan kata-kata orang tampak pucat. Malah dia segera palingkan kepala. Dadanya berdebar, kakinya yang berpijak bergetar.
"Apa kubilang. Tentu yang dimaksud Tua Bangka Buta itu adalah laki-laki berjubah merah ini. Orang buta saja bisa menebak dia perempuan! Jadi tanpa saksi pembuktian lagi, sudah jelas bahwa dia perempuan!" Yang buka suara adalah Ratu Malam sambii arahkan kepalanya pada Hantu Makam Setan.
Hantu Makam Setan bantingkan kakinya. Lalu membentak garang. "Orang buta! Sebelum matamu kubuat buta dua kali, lekas minggat dari sini!"
"Aduh. Sudah nasib jelek tak dapat melihat, masih juga ada yang hendak membuat buta mataku dua kali Bagaimana nanti jadinya?!"
"Jangan banyak mulut! Kataku minggat dari sini!" hardik Hantu Makam Setan.
"Waduh... Rupanya ada orang tak menginginkan kehadiranku disini. Padahal aku tadi bermaksud baik tawarkan diri untuk jadi saksi!"
"Setan alas! Matamu saja buta, bagaimana kau akan jadi saksi? Jangan berkata yang tidak-tidak..." sahut Hantu Makam Setan keras.
"Walah. Nyatanya meski kau bisa melihat tapi tidak tahu. Lihat, aku punya sahabat yang tak mungkin berkata dusta!" kata Gendeng Panuntun sambil usap-usap cerminnya.
"Aku tak butuh kesaksianmu!"
"Jika demikian, apa susahnya tinggalkan tempat ini? Tapi sebelum aku berlalu bisa katakan siapa kau laki-laki berjubah merah?!"
"Aku hantu yang akan membuatmu buta dua kali jika tidak segera pergi!"
"Sayang sekali mataku tak bisa melihat. Jika tidak, ingin rasanya melihat hantu yang bisa bicara, malah bisa membutakan mata dua kali!" Habis berkata, Gendeng Panuntun tertawa bergelak-gelak.
Hantu Makam Setan tampaknya sudah tidak dapat lagi menahan kegeraman hatinya. Dia segera meloncat ke arah Gendeng Panuntun. Tangan kanannya berkelebat.
"Brakkk!"
Pohon yang dibuat sandaran Gendeng Panuntun langsung tumbang, membuat sosok besar Gendeng Panuntun yang kejap tadi merunduk tampak doyong kebelakang karena sandarannya tumbang. Hantu Makam Setan kertakkan rahang, karena lawan bisa lobos dari hantaman tangannya. Dia segera menyusuli dengan tarik pulang tangannya, lalu dihantamkan kembali. Malah kini tangan kirinya ikut pula lepaskan satu jotosan. Namun baru setengah jalan, kakek berjubah merah itu terperangah.
Karena Gendeng Panuntun terus lorotkan tubuhnya hingga duduk menggelosoh. Dan dengan sekali gerak, kedua kakinya berkelebat menendang kaki Hantu Makam Satan. Kejap lain tubuhnya digeser kesamping. Hantu Makam Setan menggeram. Kedua kakinya yang tertendang kaki Gendeng Panuntun mencuat ke belakang, hingga tubuhnya doyong ke depan. Karena saat itu kedua tangannya sedang hendak lepaskan pukulan, maka gerakannya ke depan makin cepat hingga tak ada waktu lagi baginya untuk tarik pulang tubuhnya.
"Bukkk!" Sosok Hantu Makam Setan terjerembab telungkup di atas tanah. Sambil memaki orang tua berjubah merah berhidung setengah ini segera bangkit. Namun dua buah kaki terlebih dahulu melintang di atas tengkuk dan betisnya, membuat Hantu Makam Setan tak bisa bergerak lebih jauh.
"Jahanam busuk! Turunkan kakimu!" bentak Hantu Makam Setan. Kedua tangannya bergerak hendak memukul ke atas. Tapi kaki Gendeng Panuntun yang berada di atas tengkuk Hantu Makam Setan telah memangkas terlebih dahulu.
"Dess! Desss! Bukkk! Bukkk!"
Dua tangan Hantu Makam Setan mental dan menghantam tanah. Bersamaan itu Gendeng Penuntun gerakan kakinya pulang balik diatas punggung dan kaki Hantu Makam Setan. Kejap lain dia enak saja bergerak bangkit sambil kibas-kibaskan pakaiannya yang gombrong.
"Keparat jahanam! Kau berlaku pengecut menotokku!" teriak Hantu Makam Setan setelah menyadari, bahwa gerakan kaki Gendeng Panuntun tadi membuat tubuhnya kaku tak bisa digerakkan.
"Aku penasaran, Sahabat. Kau bilang dirimu hantu. Aku ingin dengar dari orang-orang disini. Apakah hantu juga punya aurat sama dengan manusia?!"
Tengkuk Hantu Makam Setan jadi merinding mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Karena dia hanya bisa berkata tanpa bisa bergerak, akhirnya dia hanya berteriak-teriak. Gendeng Panuntun tidak pedulikan teriakan Hantu Makam Setan. Sebaliknya dia menghadap pada Raka Pradesa lalu beralih pada Pendekar 131 dan berkata.
"Sahabatku, Anak Muda! Katakan pada temanmu yang berpakaian hitam-hitam itu. Apakah dia mau menolongku?!"
Raka Pradesa tersentak. Bukan saja terkejut karena Gendeng Panuntun tahu warna pakaian yang kenakannya, lebih dari itu tampaknya dia dapat menduga apa yang hendak diminta Gendeng Panuntun. Pemuda berkumis tipis ini berpaling pada Pendekar 131 dengan wajah berubah, membuat murid Pendeta Sinting yang saat itu juga menoleh tampak kerutkan dahi!
"Kau tak usah takut. Dia sahabatku dan orang baik-baik!" kata Joko menenangkan Raka Pradesa.
"Maaf. Aku tidak dapat membantu. Aku tidak ikut cammpur urusan ini! Aku harus pergi..." ujar Raka Pradesa lalu melangkah tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" tahan Joko. Namun seakan tak mendenger ucapan orang, Raka Pradesa teruskan langkah, malah kejap kemudian dia berkelebat cepat.
"Sudahlah, Joko. Rupanya sahabatmu itu punya urusan lain..." kata Gendeng Panuntun lalu melangkah kearah murid Pendeta Sinting. Ratu Malam segera ikut mendekat.
"Kita cari tempat aman untuk bicara!" ucap Gendeng Panuntun pelan.
"Tampaknya ada urusan penting jika orang-orang ini muncul lagi. Padahal waktu di Pulau Biru mereka mengatakan tidak akan ikut campur tangan..." batin Joko lalu anggukkan kepala.
Ratu Malam memberi isyarat pada Joko untuk mengikutinya. Begitu kedua orang itu berlalu, Gendeng Panuntun balikkan tubuh menghadap Hantu Makam Setan. Tubuhnya membungkuk mengambil tanah. meremas-remasnya. Kejap lain tangannya bergerak melempar ke arah Hantu Makam Setan yang telungkup memunggungi. Di depan sana, tampak bundaran tanah menggelinding mulai dari kaki sampai punggung Hantu Makam Setan terus melesat ke depan.
Hantu Makam Setan merasakan punggungnya diketuk-ketuk beberapa kali demikian juga kakinya. Anehnya saat itu juga dia bisa gerakkan tubuhnya! Merasa terbebas dari totokan, dia cepat bangkit lalu putar diri. Namun mulutnya yang sudah membuka hendak membentak tiba-tiba terkancing kembali. Hanya sepasang matanya yang terbeliak memandang ke sekitar tempat itu. Karena ditempat itu sekarang tinggal dia sendirian!
********************
BAB 8
PADA satu tempat Ratu Malam hentikan larinya. Pendekar 131 yang mengikuti dari belakang segera pula berhenti dan tegak tiga langkah disamping si nenek. Kejap lain Gendeng Panuntun tiba pula di tempat itu dan langsung duduk menggelosoh dengan kepala tengadah. Melihat Gendeng Panuntun duuduk, murid Pendeta Sinting ikut-ikutan duduk. Sementara Ratu Malam tetap tegak malah sambil kacak pinggang dan mulut komat-kamit mainkan gumpalan tembakau hitamnya.
"Setan jelek!" kata Ratu Malam pada Joko setelah agak lama tidak ada yang buka suara. "Aku ingin tahu, meski seharusnya aku menanyakan padamu waktu berada di Pulau Biru. Apa yang kau dapatkan di Pulau Biru...?"
Murid Pendeta Sinting menatap sejenak pada Gendeng Panuntun lalu beralih pada Ratu Malam. Lalu berkata. "Karena kau dan kakek Gendeng Panuntun sedikit banyak telah membantuku, maka memang sudah selayaknya aku mengatakan apa yang kuperoleh dari Pulau Biru. Aku mendapatkan Kitab Serat Biru...!"
"Hem... Berarti nasib dan rejekimu baik! Sekarang aku tanya. Mengapa kau berkeliaran di dekat Istana Hantu?!" tanya Ratu Malam.
"Terus terang saja, Nek. Sebenarnya aku sampai di tempat itu hanya karena ikut orang! Namun sebelumnya aku sempat berjumpa dengan seorang kakek yang sebutkan diri Raja Tua Segala Dewa. Kakek itu dalam pembicaraannya sebut-sebut Tengkorak Berdarah dan Istana Hantu seperti yang pernah kudengar dari Kakek Gendeng Panuntun. Kalau bisa jelaskan, siapa sebenarnya Raja Tua Segala Dewa itu? Dia dari orang golongan putih atau dedengkot golongan hitam? Karena menurutku, dia punya kepandaian sangat tinggi! Malah sepertinya dia tahu banyak tentang Kitab Serat Biru!"
"Ah!" Gendeng Panuntun terkejut mendengar Pendekar 131 sebut-sebut nama Raja Tua Segala Dewa. Lalu berkata. "Kau sangat mujur, Anak Muda. Dan aku sangat gembira mendengar keteranganmu, karena jelas sudah bahwa kabar yang selama ini tersiar mengenai sahabatku itu tidak benar adanya! Sebab kabar yang sampai padaku, Raja Tua Segala Dewa telah meninggal dunia... Hem... Apa saja yang dikatakan padamu?!"
"Dia mengatakan dengan terbukanya Istana Hantu maka berarti Kitab Serat Biru telah didapat seseorang. Namun dengan terbukanya Istana Hantu maka akan diikuti dengan terjadinya kegemparan dalam dunia persilatan! Aku belum tahu apakah ucapan kakek itu benar atau tidak. Hanya saja mendengar percakapan orang yang kuikuti, akan menarik kesimpulan bahwa setidak-tidaknya apa yang dikatakan kakek itu benar adanya... Yang kuherankan, kenapa semua itu seolah dituduhkan pada Tengkorak Berdarah yang disebut-sebut sebagai penghuni istana Hantu."
"Setan Jelek! Jadi ke mana saja kau selama ini hingga tidak tahu keadaan dunia persilatan, heh?!" Yang angkat bicara Ratu Malam masih tetap kacak pinggang malah kini dengan mata terpentang.
"Aku menyendiri di pesisir, Nek! Itu adalah satu hal dari rangkaian Kitab Serat Biru yang harus kujalankan! Jadi jangan salahkan aku jika tidak tahu apa yang terjadi. Sebenarnya apa yang terjadi?!"
"Rimba persilatan sedang dirundung malapetaka!" sahut Ratu Malam.
"Malapetaka?" ulang Joko. "Malapetaka apa?!"
"Dengar, Setan Jelek! Setelah peristiwa di Pulau Biru, banyak kejadian hebat di dunia persilatan. Satu persatu tokoh rimba persilatan menemui ajal, baik dari golongan putih maupun golongan hitam. Lalu disusul dengan menghilangnya beberapa tokoh berilmu tinggi! Namun itu semua tidak akan membuatku geram setinggi langit sedalam samudera jika tidak melibatkan saudara-saudaraku. Jadi...?" Ratu Malam tidak teruskan bicaranya. Mata nenek ini membeliak besar dengan mulut makin keras komat-kamit, pertanda dia menindih hawa amarah.
"Anak muda!" ujar Gendeng Panuntun. "Dewi Es, Dewa Sukma, dan Iblis Ompong tiba-tiba lenyap entah ke mana. Kami berdua telah coba menyelidik. Tapi masih menemui jalan buntu!"
"Jika saja bangkai manusianya ada, tentu sudah tinggal mencari siapa biang kerok pembunuhnya. Tapi ini bangkai manusianya tidak ada. kabar beritanya pun musnah!" sahut Ratu Malam dengan suara setengah berteriak.
"Apa ini tidak ada hubungannya dengan Tengkorak Berdarah yang dikabarkan berada di belakang beberapa pembunuh itu?!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Dugaanku sama denganmu, Setan Jelek Tapi manusia sok tahu itu masih saja mempercayai penglihatannya yang buta!" kata Ratu Malam sambil arahkan pandangannya pada Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tertawa perlahan. "Menduga tidak ada salahnya, tapi harus ada bukti. Setidaknya ada hal yang mengaitkan! Dewi Es dan Dewa Sukma adalah orang-orang yang tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan jika memang tidak panting sekali. Jadi adalah mengherankan jika dia dikaitkan dengan Tengkorak Berdarah! Karena yang kudengar selama ini, orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang masih berkecimpung dalam kancah rimba persilatan setidak-tidaknya dahulu pernah malang melintang dengan nama besar!"
"Tapi tidak tertutup kemungkinan Tengkorak Berdarah ada dibelakang lenyapnya Dewi Es, Dewa Sukma, dan lblis Ompong. Siapa tahu meski Dewi Es dan Dewa Sukma tidak mencampuri urusan dunia persilatan namun dianggap sewaktu-waktu bisa membahayakan" kata Pendekar 131.
"Benar, Satan Jelek! Itu kemungkinan yang masuk akal. Dan aku hampir yakin Tengkorak Berdarah-lah yang ada di belakang semua ini"
Mendengar ucapan Ratu Malam, Gendeng Panuntun kembali tertawa perlahan. Lalu sambil usap-usap cerminnya dia berujar. "Sampai sekarang belum ada yang tahu siaps sebenarnya Tengkorak Berdarah. Belum pula diketahui apa maksudnya! Karena seandainya dia ingin jadi raja di raja rimba persilatan, tentu mudah sekali karena selama ini banyak tokoh yang dikenal berkepandaian tinggi menemui ajal. Namun sejauh ini dia tidak memaklumkan diri sebagai raja dunia persilatan! Lalu kenapa pintu Istana Hantu tempat kediamannya baru terbuka kombali setelah didapatkannya Kitab Serat Biru?!"
Ratu Malam dan Pendekar 131 sama terdiam mendengar kata-kata Gendeng Panuntun. Namun kejap lain Hantu Malam telah buka suara lagi. "Bisa saja itu untuk menarik orang yang telah mendapatkan Kitab Serat Biru mendatanginya! Setelah itu baru unjuk diri sebagai raja!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Terus terang saja. Meski Kitab Serat Biru hebat, tapi kukira belum bisa menandingi Tengkorak Berdarah! Kau lihat sendiri tadi, bagaimana dedengkot seperti Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis tak berdaya meski hanya menerobos masuk Istana Hantu. Jadi ada sesuatu di balik terbukanya pintu Istana Hantu. Sayang aku selalu mengalami kesulitan untuk menerobos agar dapat melihat!"
"Huh. Kau selalu mengandalkan matamu yang tidak bisa melihat! Tidak mau mendengar kenyataan!" ucap Ratu Malam.
"Di sini masalahnya bukan mengandalkan mataku yang buta atau tidak mau dengar kenyataan. Tapi kita belum tahu siapa sebenarnya Tengkorak Berdarah dan apa maksud tujuannya! Lebih dari itu, di balik tuduhan pada Tengkorak Berdarah ada hal terselubung. Kau dengar tadi percakapan Hakim Neraka dan Ratu Pewaris Iblis dengan Tengkorak Berdarah. Mereka sepertinya bukan menginginkan nyawa Tengkorak Berdarah. Tapi ada sesuatu yang diinginkan mereka!"
"Hem... Jadi mereka berdua telah berada di sekitar Istana Hantu saat rombongan Ratu Pewaris iblis ada disana!" diam-diam murid Pendeta Sinting membatin. "Hanya saja aku makin bingung sekarang!"
Ratu Malam tampak mondar-mandir dengan kacak pinggang dan mulut komat-kamit. Dia seakan memikirkan apa yang baru saja dikatakan Gendeng Panuntun.
"Heran. Heran..." gumam si nenek samba gelengkan kepala. "Urusan gila apa yang sebenarnya terjadi saat ini?!"
"Kau tak usah heran Nek. Justru hal mengherankan itu yang harus kita selidiki! Kita tidak boleh terlena dengan kenyataan yang terlihat dan yang kita dengar. Baju boleh sama warna dan besarnya, namun..."
"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Bicara denganmu makin menambah kesal! Yang kudapatkan hanya omong kosong tak karuan! Malah seakan-akan kau rela saudaramu dihabisi orang! Atau kau jangan-jangan temannya Tengkorak Berdarah!"
Gendeng Panuntun bukannya marah mendengar ucapan saudara seperguruannya itu. Kakek bertubuh besar ini sebaliknya tertawa lebar. Lalu tanpa ambil peduli pada Ratu Malam, Gendeng Panuntun bertanya pada Pendekar 131.
"Kembali pada Raja Tua Segala Dewa. Apakah dia tidak bilang apa-apa lagi padamu?!"
"Hem... Dia mengatakan hampir sama seperti ucapanmu tadi! Jangan tertipu dengan apa yang dilihat dan kau dengar! Itulah salah satu yang dikatannya!"
Gendeng Panuntun manggut-manggut. Sekali mendengar ucapan Joko, Ratu Malam makin berang dan berkata lantang. "Kalian berdua sama gilanya! Mungkin kalian takut menghadapi Tengkorak Berdarah! Kalian pengecut!" dan kakinya dibantingkan hingga tanah itu muncrat terbongkar.
"Sabar, Nek!" ujar Gendeng Panuntun. "Kau boleh marah sepuasmu, namun kepala harus tetap dingin!"
"Kau hanya pandai bicara tapi tak banyak berbuat bentak Ratu Malam lalu alihkan pandangannya pada Pendekar 131 dan menyemprot. "Kau juga! Ucapanmu plin-plan! Tahu begini, aku menyesal mengajakmu ikut serta dalam urusan ini!"
"Nek..."
"Tutup mulutmu!" potong Ratu Malam sebelum ucapan Joko selesai. "Sekarang kalian urus menurut cara kalian! Aku akan urus masalah ini dengan caraku sendiri!" Habis berkata begitu, Ratu Malam hendak berkelebat tinggalkan tempat itu namun langkahnya terhenti tatkala Joko berseru.
"Nek, tunggu! Ada satu hal yang belum kukatakan..."
"Lekas katakan! Namun jangan berharap aku akan goyah dengan ucapanmu! Aku tetap akan berjalan dengan caraku sendiri!" kata Ratu Malam ketus tanpa balikkan tubuh.
Pendekar 131 pandangi punggung si nenek, lalu menatap pada Gendeng Panuntun. Kakek ini gelengkan kepala lalu berkata pelan. "Katakanlah, Anak Muda..."
"Ternyata Kitab Serat Biru adalah kitab pertama. Dan aku diharapkan untuk mencari kitab keduanya! Aku menduga istana Hantu masih ada kaitannya dengan kitab kedua itu!"
"Itu urusanmu! Peduli dengan kitab kesatu apa kedua! Aku akan mengobrak abrik Istana Hantu!" sahut Ratu Malam lalu berkelebat pergi.
Pendekar 131 masih mencoba menahan kepergian si nenek, namun baru saja dia hendak buka mulut, sosok Ratu Malam telah lenyap. "Kek, kita harus berbuat sesuatu. Setidaknya untuk sementara kita cegah agar dia urungkan niatnya!" kata Joko lalu bergerak bangkit dan memandang ke arah berkelebatnya Ratu Malam. "Kek. Bagaimana pendapatmu dengan kitab kedua itu? Apakah benar kira-kira dugaanku tadi?!"
Tidak ada suara jawaban. Pendekar 131 berpaling. Astaga! Murid Pendata Sinting jadi melengak sendiri. Gendeng Panuntun ternyata sudah tidak ada di tempatnya tadi. Dan ketika dia berpaling lagi ke arah berkelebatnya Ratu Malam, di depan sana tampak Gendeng Panuntun melangkah perlahan!
"Dasar orang aneh..." gerutu Joko Sableng lalu berkelebat menyusul.
********************
BAB 9
KITA tinggalkan dahulu Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng yang menuju Istana Hantu karena menyangka Ratu Malam dan Gendeng Panuntun berkelebat ke sana. Kita beralih pada satu tempat di sebelah utara arus Sungai Kali Pina.
Meski cahaya putih sang purnama tampak sedikit membantu pandangan mata, namun karena hembusan angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat tak lama kemudian awan hitam menutup cahaya sang purnama. Arus Sungai Kali Pina perlahan-lahan bergelombang. Sebuah sampan yang tadi melaju tenang di permukaan air sungai mulai tampak bergoyang-goyang dilamun gelombang. Hebatnya kejap kemudian sampan itu malah melaju kencang menerjang gelombang.
Di bagian depan sampan yang kini melaju kencang tegak berdiri seorang kakek mengenakan jubah hitam besar dan panjang, Raut wajahnya pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya melotot besar masuk dalam bentukan lobang dalam di atas pipinya yang cekung. Tangan kirinya bergerak menusukkan dayung ke permukaan air sungai, sementara tangan kanannya masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Dibagian belakang sampan, tampak tegak seorang perempuan berambut pirang. Seperti halnya si kakek, perempuan ini juga mengenakan jubah besar dan panjang sebatas lutut. Malah raut wajahnya tidak bisa dikenali karena ditutup dengan cadar berwarna hitam. Dari wajahnya yang tampak hanyalah sepasang matanya yang tajam dan bulat dari lobang cadar di bagian mata. Kedua tangannya yang mengenakan sarung tangan kulit berwarna hitam merangkap didepan dada.
Hanya beberapa saat kemudian, sampan berpenumpang dua orang itu telah merapat ke tepian sungai. Dan penumpangnya melompat dahulu sebelum sampan benar-benar merapat. Dan kejap lain keduanya berkelebat ke arah dataran sempit di mana terdapat buah rumah batu.
Sepuluh langkah di depan rumah berbatu, si kakek dan perempuan bercadar serta berjubah hitam hentikan langkah masing-masing. Sejurus keduanya saling pandang, tapi saat lain telah arahkan pandangannya kearah rumah batu. Si kakek berjubah hitam masukkan tangan ke dalam saku jubah. Mulutnya bergerak membuka, perdengarkan seruan.
"Daeng Upas! Kami datang!"
Gema seruan kakek berjubah hitam belum sirna, tiba-tiba dari dalam rumah batu melesat satu bayangan dan kejap lain, tahu-tahu dihadapan kakek dan perempuan berambut pirang tegak seorang perempuan berusia lanjut berambut putih mengenakan pakaian warna putih dari sutera. Meski wajah telah di hiasi kerutan, tapi bekas kecantikanaya masih membayang, pertanda pada saat mudanya nenek ini adalah seorang dara cantik. Sepasang matanya walau sudah menjorok masuk ke dalam cekungan dalam, namun tetap tajam bersinar. Pada sela bagian atas telinganya tampak menyelip sebatang bambu kecil berwarna kuning.
Si nenek untuk beberapa saat pandangi kedua orang dihadapannya. Lalu alikan pandangannya kejurusan lain sambil bertanya. "Usaha kalian berhasil?!"
Mulut kedua orang dihadapan nenek yang dipanggil Daeng Upas sama terkancing tak ada yang menjawab.
"Buyut! Durga Ratih! Aku tanya. Usaha kalian berhasil?!" ulang Daeng Upas tetap tanpa memandang, sedangkan suaranya makin keras.
Tiba-tiba perempuan bercadar dan berjubah hitam yang dipanggil Durga Ratih yang bukan lain adalah Dewi Siluman menghambur ke arah si nenek sambil berkata.
"ibu... Maafkan kami. Anakmu dan Ki Buyut Pagar Alam gagal mendapatkan Kitab Serat Biru..."
Daeng Upas berpaling pada si kakek yang bukan adalah Ki Buyut Pagar Alam pembantu sekaligus paman Dewi Siluman yang juga berarti adik dari si Nenek Daeng Upas. Sepasang matanya mendelik angker. Lalu berujar seraya menyeringai.
"Sikap kalian telah menggambarkan kegagalan yang kalian alami. Lekas ceritakan apa yang membuat kalian menemuiku dengan tangan hampa?!"
Durga Ratih alias Dewi Siluman angkat kepalanya memandang ke arah ibunya Daeng Upas. Yang dipandang seolah acuh malah kini mendongak!
"Aku menyirap kabar anakku Durga Ratih telah berhasil memperoleh penggalan pertama peta menuju Pulau Biru. Dengan peta itu tentunya mereka lebih mudah menyelesaikan urusan Kitab Serat Biru. Apalagi keduanya berbekal kepandaian yang tak rendah! Namun adalah aneh jika mereka berdua tidak memperoleh hasil apa-apa! Hem... Apa sebenarnya yang telah terjadi diluaran sana?!" diam-diam Daeng Upas membatin.
Ibu...!" kata Dewi Siluman pada akhirnya. "Kami berdua telah berusaha merebut Kitab Serat Biru. Tapi usaha kami dihadang oleh rombondan Ratu Malam dan Gendeng Panuntun!"
Dewi Siluman anggukkan kepala Ialu menceritakan apa yang dialami selama dia dan Ki Buyut Pagar Alam berusaha memperoleh Kitab Serat Biru (Lebih jelasnya silakan baca episode Neraka Pulau Biru).
"Hemm... Gerombolan Gendeng Panuntun tak boleh dibiarkan berkeliaran seenaknya! Sudah saatnya aku membuka mata mereka, bahwa Daeng Upas masih ada dan punya kekuatan!" kata Daeng Upas dalam hati setelah mendengar penuturan Dewi Siluman.
"Satu hal lagi," Kata Ki Buyut Pagar AbAlamuka suara. "Saat ini rimba persilatan telah kembali digemparkan dengan terjadinya pembunuhan yang berat dugaan dilakukan oleh Tengkorak Berdarah!"
"Aku sudah tahu itu!" sahut Daeng Upas.."Sekarang aku tanya sekali lagi. Siapa pemuda yang kau duga telah mendapatkan Kitab Serat Biru itu?!"
"Dia bernama Joko Sableng. Murid tunggal Pendeta Sinting yang berjuluk Pandekar Pedang Tumpul 131!" jawab Dewi Siluman.
Daeng Upas menatap satu persatu pada Ki Buyut dan anaknya Dewi Siluman. Lalu tanpa berkata lagi dia putar tubuh.
"Ibu..."
"Buyut, Durga Ratih! Kalian kembalilah. Teruskan pengejaran kalian pada Pendekar 131 dan gerombolan Gendeng Panuntun. Jangan segan membunuh mereka! Tapi kalian harus hati-hati. Hindari bentrok dengan Tengkorak Berdarah, setidak-tidaknya untuk sementara waktu!"
"Kau sendiri?!" tanya Dewi Siluman.
"Tampaknya sudah saatnya aku turun tangan sendiri. Mungkin aku butuh bantuan. Tapi itu urusanku! Yang penting gerombolan Gendeng Panuntun harus dapat kulenyapkan dari muka bumi!"
"Ibu, Bukankah lebih baik kita bersama-sama?!"
"Kalian menemuiku dengan tangan kosong! itu menunjukkan tangan kalian belum ada artinya apa-apa di luaran sana! Aku butuh tangan orang lain!"
Habis berkata begitu, Doeng Upas berkelebat ke arah rumah batu. Dewi Siluman memandang dengan senyum seringai.
"Dia bisa berkata begitu karena tidak mengetahui luasnya lautan di luar. Selama ini dia hanya berdiam diri di tempat terpencil ini. Mana tahu perubahan yang terjadi dalam rimba persilatan. Kelak dia akan sadar, bahwa dunia di luar masih lebih tinggi dari apa yang diimpikannya!" kata Dewi Siluman.
Ki Buyut gelengkan kepalanya mendengar ucapan sang Dewi. "Ucapan ibumu benar. Kita memang belum ada apa-apanya di luar sana..."
"Tapi apakah dikira dia akan bisa berbuat hanyak di luar sana, he?!" sahut Dewi Siluman dengan suara keras. "Rombongan Gendeng Panuntun bukanlah jahanam-jahanam yang mudah disingkirkan!"
"Ucapan ibumu tidak berlebihan. Dia bisa berkata begitu karena dia tahu siapa Gendeng Panuntun dan kawan-kawannya!"
Dewi Siluman mendengus seraya menyeringai dan tertawa pelan. "Selama ini ibu tidak pernah melihat dunia luar. Dari mana dia tahu kekuatan Gendeng Panuntun?!"
"Dengarlah, Sebenarnya ibumu masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun. Bahkan ibumu adalah saudara paling tua! Hanya karena sesuatu hal akhirnya ibumu harus berpisah dengan saudara-saudara seperguruannya!"
Dewi Siluman ternganga. Namun belum sempat bertanya lebih jauh, Ki Buyut telah putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Dewi Siluman sejenak perhatikan ke rumah batu.
"Kalau dia selama ini menyembunyikan diri, pasti ada sesuatu yang dirahasiakan. Hemm... Tak kusangka jika dia adalah masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun..." gumam Dewi Siluman lalu hendak melangkah ke arah rumah batu, namun tiba-tiba hetikan langkah. Ada kebimbangan di matanya.
"Kurasa sekarang bukan saat yang baik untuk bartanya. Dia sedang kalut. Hem... Aku akan tunggu saat yang baik!" Dewi Siluman balikkan tubuh. Lalu berkelebat ke arah perginya Ki Buyut.
********************
Matahari sudah muncul di balik bukit tatkala sesosok tubuh berpakaian putih dari sutera yang bukan adalah Daeng Upas injakkan sepasang kakinya di jatingalih, bukit kecil sebelah barat Candi Babakan. Begitu mencapai puncak bukit, Daeng Upas hentikan larinya. Sepasang matanya yang tajam bersinar menatap tajam ke depan, dimana tampak sebuah gubuk yang pintunya terbuka. Dia tampak menghela nafas sejenak.
Tiba-tiba hatinya merasa tidak enak. Bukan saja karena dia tidak mendapatkan sambutan, namun keadaan sekitar gubuk menambah kegelisahannya. Pohon sekitar gubuk tampak tumbang dengan daun mengering laksana dipanggang. Sementara disebelah kanan gubuk masih tampak obor menyala.
"Tidak biasanya Datuk Besar menyalakan obor. Ataukah dia memilih adat baru selama aku tidak jumpa dengannya? Hem... Waktu lima tahun mungkin saja membuatnya punya adat baru! Datuk Besar... Sebenarnya sudah lama aku memendam rindu ini. Tapi keadaan yang membuat ku harus menindihnya! Mudah-mudahan kau masih seperti dahulu. Saat sekarang baru aku sadar, jika aku tidak bisa tenang hidup sendirian tanpamu! Aku membutuhkanmu di saat hari tuaku ini! Kita akan selesaikan urusan bersama-sama, setelah itu kita hidup tenang berdua..."
Daeng Upas tersenyum sendiri tanpa sadar kepalanya mendongak seakan mengenang perjalanan kisah lama. Namun kejap lain, tiba-tiba dia seperti tersentak.
"Kalau dia ada tentunya sudah menyambutku. Pintu gubuknya terbuka, lalu obor dan tumbangnya pohon. Jangan-jangan..."
Daeng Upas cepat berkelebat ke arah gubuk. Tepat di depan pintu gubuk yang terbuka sejenak dia putar kepalanya berkeliling. Yakin tidak ada siapa-dapa dia berseru.
"Datuk Besar..."
Tidak ada suara jawaban. Daeng Upas ulangi teriakannya. Masih tak ada jawaban, membuat dada si nenek berdebar. Pedahan-lahan kakinya melangkah masuk. Mendadak paras Daeng Upas berubah. Sepasang matanya membeliak besar.
"Datuk Besar!" seru Daeng Upas dengan suara laksana tercekik.
Di dalam gubuk tampak menggeletak telungkup satu sosok tubuh mengenakan pakaian warna hitam panjang. Rambutnya yang putih dikepang tiga. Di balik pakaiannya yang panjang mencuat satu kaki sebelah kanan. Sedang kaki satunya tidak kelihatan. Sementara tangan kirinya menggenggam sebatang tongkat terkulai lemah.
Dari ciri-ciri orang, Daeng Upas sudah dapat menebak siapa sebenarnya orang yang menggeletak telungkup. Seakan masih tidak percaya, untuk beberapa saat si nenek pandangi sosok yang menggeletak. Begitu sadar dari rasa terkesimanya, dia cepat melompat ke arah sosok yang menggeletak.
"Ciri bisa sama. Aku belum enak jika tidak melihat wajahnya!" desis si nenek meski hatinya hampir yakin bahwa orang yang menggeletak adalah orang yang dicari.
Dengan dada berdebar keras, tangan kanan Daeng Upas bergerak balikkan sosok yang menggeletak telungkup hingga telentang. Begitu sepasang matanya melihat raut wajah orang, nenek ini tersurut mundur sambil memekik tertahan. Namun saat lain dia melompat lagi dan serta-merta mengusap wajah orang yang kini telentang.
"Datuk Besar... Apa yang terjadi dengan dirimu? Siapa vang membuatmu demikian? Siapa...?!"
Tangan kiri kanan Daeng Upas mengguncang sosok di hadapannya. Malah kini membuka mulut orang seakan mamaksanya untuk menjawab. Tapi sosok itu yang tarnyata adalah seorang kakek, bukan saja tak bisa buka suara menjawab, namun sepasang matanya memejam dan tidak menghembuskan napas lagi.
"Datuk Besar... Ternyata aku terlambat datang! Tidak kuduga sama sekali jika pertemuan kita akan berakhir begini!"
Daeng Upas dongakkan kepala. Dari sepasang matanya mengalir air bening. "Datuk Besar... Aku bersumpah akan menguras isi perut jahanam yang membuatmu begini. Dia telah memutus tali kebersamaan dan rindu kita! Seandainya kau bisa katakan..."
Daeng Upas tidak teruskan ucapannya. Matanya mendelik pada dinding gubuk. Di situ tampak menggantung sebuah tongkorak berlumur darah.
"Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas. Lalu bergerak bangkit.
Tengkorak berlumur darah diambil dan serta-merta dibanting hingga pecah berantakan. Saat lain tubuhnya melompat mundur, lalu menyambar sosok Datuk Besar dan diletakkan pada pundaknya. Kejap kemudian dia berkelebat menuruni bukit laksana dikejar setan!
********************
BAB 10
TAK jauh dari istana Hantu, Pendekar 131 hentikan larinya. Kepalanya berputar dengan mata liar mengawasi sekeliling. Tapi dia merasa herran. Ratu Malam dan Gendeng Panuntun tak tampak batang hidungnya di situ!
"Aneh. Kemama mereka? Padahal jelas Raka Ratu Malam mengatakan hendak ke sini. Atau jangan-jangan mereka berdua langsung masuk Istana Hantu. Tapi apa mungkin?!" Joko berpikir sejenak.
"Hem... Siapa tahu mereka benar-benar masuk. Lagi pula tidak ada salahnya aku menyelidik..."
Murid Pendeta Sinting melangkah ke arah istana Hantu. Lima langkah di depan Istana Hantu yang pintunya tetap terbuka, Pendekar 131 berhenti. Sepasang matanya membeliak memandang ke dalam. Namun yang terlihat hanyalah warna hitam.
"Ratu Malam! Gendeng Panuntun! Apakah kalian berada didalam?!" teriak Joko.
Tidak ada sahutan. Murid Pendeta Sinting tajamkan telinga. Tidak juga terdengar apa-apa. Tidak sabar, dia berteriak kembali. Tapi masih juga tidak ada sahutan. Joko teruskan langkah mendekat. Dua langkah di depan pintu dia pentangkan sepasang matanya memandang tak berkesip ke dalam. Sepertinya dia hendak berusaha menembus warna hitam yang tampak. Namun hingga matanya pedas keluarkan air mata, yang terlihat hanyalah warna hitam gelap!
"Aneh... Aku tak dapat menembus kegelapan didalam istana!"
Murid Pendeta Sinting terlihat ragu-ragu. Namun tak lama kemudian dia teruskan langkahnya. Begitu kaki kanannya setengah jalan masuk ke dalam Istana, mendadak satu gelombang angin dahsyat menggebrak! Bukan saja membuat kaki kanan Joko terpental balik, tapi tubuhnya tersurut lima langkah!
Pendekar 131 terbelalak dengan dahi mengernyit. Lalu cepat salurkan tenaga dalam pada dadanya untuk lindungi diri dengan jurus Inti 'Sukma Es'. Lalu pelan-pelan dia melangkah kembali ke arah pintu. Kedua tangannya diangkat ke atas siapkan pukulan. Namun belum sampat kakinya melangkah masuk, kembali satu gelombang angin menggebrak. Joko tidak tinggal diam. Kedua tangannya didorong ke depan.
"Brakkk! Brakkk!"
Terdengar derakan keras dua kali berturut-turut. Sosok murid Pendeta Sinting terjajar lima langkah dengan tubuh bergetar dan paras berubah.
"Bagaimana ini? Akan kuteruskan atau aku pergi saja? Jika Ratu Malam dan Gendeng Panuntun menuju ke sini, tentu tidak mudah juga bagi mereka untuk masuk. Berarti mereka menuju tempat lain. Ah... Tapi Ratu Malam menduga Tengkorak Berdarah yang ada di belakang lenyapnya Iblis Ompong dan saudara-saudaranya. Hem... Aku harus buktikan!"
Pendekar 131 kembali melangkah maju. Lalu berteriak. "Tengkorak Berdarah! Aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi harap katakan apakah sahabatku iblis Ompong berada disini?!"
"Di sini bukan tempat untuk bertanya!" terdengar jawaban berat dari dalam istana.
"Jika begitu, harap kau perbolehkan aku masuk untuk membuktikan"
"Di sini bukan tempat untuk membuktikan" jawab suara dari dalam istana.
"Lalu tempat apa ini?!" tanya Joko agak jengkel.
"Tempat orang-orang dungu salah alamat..."
Murid Pendeta Sinting nyegir. Lalu berujar. "Kau jangan menutupi diri! Bukankah kau yang berada di balik kegegeran dan lenyapnya beberapa orang pada akhir-akhir pancing Joko. Untuk beberapa lama tidak ada jawaban. "Nah. Berarti orang yang datang ke sini bukan salah alamat. Justru kaulah yang salah tempat" Karena maith tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting berucap lagi.
"Kenapa diam?"
"Aku tak suka bicara dengan orang dungu!" jawab suara dari dalam Istana. "Dan lekas menyingkir dari depan pintu Istana!"
"Aku tak akan pergi sebelum aku dapat menemukan sahabatku!"
"Berarti kau orang dungu yang hendak serahkan nyawa..."
Pendekar 131 tertawa panjang. "Silakan kau menganggapku apa saja. Yang jelas jika kau tak serahkan sahabat-sahabatku, aku akan memindahkanmu ke tempat yang benar!"
"Jangan hanya bicara besar. Buktikan ucapanmu! kata suara dari dalam Istana. Meski hatinya belum yakin benar jika lenyapnya Ibils Ompong dan saudara-saudaranya karena ulah Tengkorak Berdarah, namun karena merasa penasaran akhirnya murid Pendeta Sinting berujar.
"Sudah kukatakan aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi kalau kau ingin buktikan ucapanku, apa susahnya?!"
Habis berkata begitu, Joko melompat ke depan. Dan sekali lagi menjejak tanah, sosoknya berkelebat masuk ke dalam Istana. Baru satu tombak tubuhnya lewat dari pintu, terdengar deruan keras, lalu Joko rasakan sapuan gelombang luar biasa ganas. Joko tak mau bertindak ayal.
"Wuuuttt! Wuuuttt!"
Kedua tangannya cepat menyentak ke depan. Dua gelombang angin melesat. Anehnya kali ini tidak terdengar bentrokan keras. Tapi saat itu juga murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya bergetar keras. Dan tubuhnya yang masih di atas udara terdorong. Pertanda meski tiada suara bentrok pukulan, namun pukulannya beradu dengan pukulan orang. Sadar akan apa yang terjadi, Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga pada kedua lengannya lalu tangannya disentakkan ke depan. Angin dahsyat melesat. Lalu hawa dingin menyungkup. Tanda murid Pendeta Sinting lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Dari dalam istana tiba-tiba terdengar deruan hebat. Menyusul dengan menghamparnya hawa panas luar biasa yang dalam sesaat menindih lenyap hawa dingin. Kejap lain terdengar ledakan. Sosok murid Pendeta Sinting mencelat keluar dan terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan tubuh bergetar dan raut pucat pasi. Untung dia telah lindungi diri dengan jurus inti 'Sukma Es', hingga dia tidak mengalami cedera.
"Itukah yang akan kau buktikan, hah?!" terdengar suara dari dalam istana disusul dengan suara tawa panjang dan berat.
Ucapan orang membuat dada Joko bergemuruh. Dia cepat bergerak bangkit, lalu berkelebat ke depan. Sejarak tiga langkah dari depan pintu Istana Hantu kedua tangannya yang telah berubah warna kekuningan segera didorong keras.
"Wuutt! Wuuuttt!"
Gelombang angin dahsyat melesat membawa hawa panas disertai semburatnya warna kuning. Tidak ada pukulan yang memangkas dari dalam istana. Anehnya tidak juga terdengar ledakan tanda pukulan sakti yang baru saja dilepas Pendekar 131 melabrak sesuatu. Pukulan 'Lembur Kuning' itu laksana raib ditelan setan. Membuat Joko tegak dengan mata terbeliak dan tubuh bergetar. Belum hilang rasa herannya, mendadak Joko merasakan satu kekuatan dahsyat menyedot dari dalam Istana, hingga membuat sosoknya terhuyung ke depan.
Tanpa pikir panjang, sebelum tubuhnya masuk ke dalam istana, Joko sentakkan kedua tangannya. Lepaskan pukulan sakti 'Sukma Es' dan 'Lembur Kuning' sekaligus. Hawa panas bertabur hawa dingin menyungkup. Gelombang luar biasa hebat menggebrak. Kekuatan yang menyedot tubuh Joko tiba-tiba lenyap. Tapi bersamaan dengan itu terdengar suara deruan yang menggidikkan!
"Blaamm! Blaamm!"
Istana Hantu berguncang keras. Tubuh Joko terpelanting lalu terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah. Perlahan-lahan Joko bangkit lalu duduk bersila untuk salurkan hawa murni mengatasi sedikit nyeri di dadanya. Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting sepasang mata tampak memperhatikan tak berkesip dari balik rimbun dedaunan.
"Siapa pemuda ini? Meski masih muda tapi punya kepandaian dan tenaga dalam tinggi. Hem... Lama tidak melihat dunia luar, ternyata perubahan telah banyak terjadi. Banyak orang-orang muda berkepandaian tinggi muncul. Tapi apa kepentingan pemuda itu hingga berani lancang membuat urusan dengan penghuni Istana Hantu?! Apakah dia tahu di balik terbukanya pintu Intana Hantu?" kata orang yang mengintai dalam hati.
Sementara di depan sana, murid Pendeta Sinting telah bangkit berdiri dan kini menatap tajam pada pintu lstana. Rasa penasarannya kini sedikit demi sedikit berubah menjadi rasa geram, apalagi saat mengetahui pukulan sakti 'Sukma Es' dan 'Lembur Kuning' begitu mudah raib bahkan sosoknya terpental dengan mulut keluarkan darah.
"Pukulan 'Sukma Es' dan 'Lembur Kuning' hanya bagai angin lalu, apakah dia sanggup membendung pukulan Serat Biru?!" desis Joko lalu kerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Sambil melompat ke depan Joko hantamkan tangan kiri kanannya. Tangan kiri lepaskan pukulan sakti 'Serat Biru' tangan kanan kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'.
"Wuutt! Wuuuttt!"
Dari tangan kiri Joko melesat serat-serat laksana benang berwarna biru terang. Dari tangan kanannya menggebrak gelombang angin dahsyat berhawa panas yang semburatkan warna kuning. Dari dalam istana terdengar seruan. Disusul kemudian dengan menderunya suara keras, Istana Hantu bergetar, tengkorak berlumur darah yang menggandul bergoyang-goyang sebelum akhirnya jatuh pecah berantakan.
Kejap lain terdengar ledakan luar biasa hebat. Batu-batu kecil tampak berhambur keluar dari pintu istana. Keadaan dalam istana sejenak terang berderang. Namun belum sempat Joko melihat keadaan di dalam istana, satu gelombang asap tipis menghantam tubuhnya. Kejap lain sosoknya tersapu deras dan jatuh bergedebukan di atas tanah tiga tombak dari pintu.
Orang yang mengintai dari balik dedaunan pohon terkesiap. Dia menyibak rimbun dedaunan di hadapannya lalu berkelebat keluar. Namun gerakannya terlambat. Karena satu sosok telah melesat dan kejap lain barkelebat ke arah timur. Orang yang baru keluar dari tempat persembunyiannya terbelalak. Karena sosok pemuda yang sedari tadi diintainya telah tidak ada lagi.
"Jahanam! Ada orang mendahuliku! Gerakannya amat cepat! Namun belum jauh dari sini. Pemuda itu! Aku harus mendapatkannya! Urusan dengan Tergkorak Berdarah terpaksa kutunda dahulu!"
Orang ini yang ternyata adalah seorang nenek mengenakan pakaian putih dari sutera yang di atas sela telinganya menyelip sebatang bambu berwarna kuning sejurus palingkan kepala ke arah pintu istana. Tapi kejap kemudian dia berkelebat kearah berkelebatnya sosok yang membawa tubuh Pendekar 131. Tapi gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-tiba satu suara terdengar.
"Kau hendak ke mana, Nek?!"
Orang berpakaian putih sutera berpaling. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis. Untuk beberapa lama si nenek yang bukan lain adalah Daeng Upas memandang pada pemuda berpakaian hitam-hitam yang tidak lain adalah Raka Pradesa tanpa berkata apa-apa. Malah Daeng Upas segera berpaling pada jurusan berkelebatnya orang yang membawa serta tubuh Joko dan hendak bergerak pergi.
"Kau tampaknya tertarik dengan pemuda tadi. Betul?!" tanya Raka Pradesa.
"Siapa kau?!" kata Daeng Upas dengan membentak dan tanpa berpaling.
"Aku orang tersesat jalan..."
Daeng Upas menoleh. Menatap lekat-lekat wajah pemuda yang kini melangkah ke arahnya. "Mustahil dia pemuda tersesat jalan. Dia seolah tahu jika aku terus perhatikan pemuda berpakaian putih-pulih tadi" batin Daeng Upas.
"Kau jangan bicara dusta membohongiku! Kau pasti punya maksud tertentu berkeliaran di tempat ini! Aku tak punya waktu banyak untuk bicara denganmu..." kata Daeng Upas lalu kembali hendak berkelebat pergi.
"Nek. Aku ikut bersamamu..." kata Raka Pradesa. "Bukankah kau hendak mengejar orang yang membawa pemuda tadi?!"
Daeng Upas mendengus. "Aku tak butuh teman. Kau berkata sesat jalan, kenapa hendak ikut bersamaku, hah?!"
Daeng Upas yang telah berada kembali tak jauh diri Raka Pradesa manggut-manggut. Lalu sekali bergerak, tubuhnya melesat menyusul Raka Pradesa.
********************
"Pemuda tadi..."
"Kenapa pemuda tadi?!" potong Daeng Upas.
"Apa hubunganmu dengannya?!"
"Aku... Aku temannya!"
Daeng Upas kernyitkan dahi. Sepasang matanya menyipit membelalak membuat bambu di sela telinganya bergerak-gerak. "Kau jangan bicara tak karuan! Tadi..."
"Itu akan kuceritakan nanti. Kita harus cepat mengejar. Kalau terlambat aku akan kehilangan teman dan kau..." Raka Pradesa tidak teruskan ucapannya. Sebaliknya dia berkata dalam hati. "Kenapa aku tidak tanya mengapa nenek ini tertarik pada Joko...? Ah. Itu urusan nanti..."
"Hemm... Kalau kau memang temannya, katakan siapa pemuda tadi?"
"Ah, kau terlalu mencurigaiku! Kalau kau tak mau pergi bersama-sama, aku tak memaksa..."
"Aku memang suka pergi sendirian!" sahut Daeng Upas. Habis berkata begitu, dia berkelebat. Pada satu tempat dia segera menyelinap. "Aku ingin tahu apakah pemuda berpakaian hitam-hitam tadi ucapannya benar..." Lalu berkelebat lagi ke arah semula dengan mengambil jalan lain.
Begitu Daeng Upas berkelebat, Raka Pradesa tampak masih tegak dengan wajah cemas. Dia sesekali menatap ke arah pintu Istana Hantu, lalu ke arah berkelebatnya orang yang membawa Joko Sableng. Kejap kemudian dia berkelebat ke arah orang yang membawa tubuh Pendekar 131.
Daeng Upas yang telah berada kembali tak jauh dari Raka Pradesa manggut-manggut. Lalu sekali bergerak, tubuhnya melesat menyusul Raka Pradesa.
********************
BAB 11
SOSOK hijau yang di pundaknya tampak memanggul orang itu berkelebat cepat. Pada satu tempat, dia berhenti. Kepalanya berpaling kekiri kanan. Lalu perlahan-lahan dia menurunkan orang di pundaknya di atas tanah. Dia tampak mengawasi orang yang baru saja digeletakkan. Dari mulutnya terdengar gumaman tidak jelas. Tangan kanannya lalu bergerak dan jari telunjuknya ditekankan pada beberapa bagian tubuh orang yang di atas tanah.
Perlahan-lahan orang di atas tanah buka kelopak matanya. Orang ini yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng tampak melengak lalu tersurut ke belakang. Namun dia segera meringis saat dadanya terasa nyeri dan sekujur tubuhnya laksana ditusuk jarum kala menggerakkan tubuh. Joko kernyitkan dahi.
"Jangan-jangan ini akibat asap yang menghantamku dari dalam Istana..."
"Kau masih dalam keadaan terluka. Harap tidak banyak bergerak dahulu!"
Joko pandangi orang di hadapannya. Ternyata dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna hijau. Rambutnya panjang sepinggang diikat dengan pita kembang-kembang. Kulitnya putih kekuningan dengan lesung pipit di kedua pipinya. Sepasang matanya bundar ditingkah dengan bulu mata panjang dan lentik.
"Terima kasih...! Siapa kau?" tanya Pendekar 131.
Si gadis tersenyum. "Di sini bukan tempat yang baik untuk terangkan diri. Aku hanya meyakinkanmu apakah kau masih bisa bertahan dari cederamu!"
Murid Pendeta Sinting perhatikan dirinya. "Aku... Kurasa aku masih..."
Si gadis gelengkan kepalanya. "Kau masih cedera! Aku akan membawamu ke suatu tempat. Harap kau bertahan!" Si gadis mendekat hendak memanggul kembali, namun Joko geser tubuhnya dan berujar.
"Hendak kau bawa ke mana aku?!"
"Harap tidak banyak bertanya dahulu. Seseorang telah menunggu kita!"
"Kurasa aku bisa berjalan sendiri..."
Gadis berpakaian hijau tertawa lalu gelengkan kepala. "Baiklah. Kalau kau merasa bisa berjalan sendiri harap mengikutiku..."
Si gadis lalu melangkah. Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. Sejenak terhuyung-huyung, namun dia coba kuatkan diri. Namun begitu kaki kanannya bergerak melangkah, tubuhnya oleng dan tak lama kemudian dia terhuyung. Namun sebelum tubuhnya jatuh terhempas, gadis berpakaian hijau cepat melompat dan menahan bahu Pendekar 131.
"Cederamu memang tidak terlalu parah karena kau masih lindungi diri dengan pukulan Inti 'Sukma Es'. Namun untuk sementara kau harus istirahat untuk pulihkan tenagamu! Aku akan meanggulmu!"
Seakan masih tidak percaya, karena yang terasa menghantamnya saat itu adalah asap tipis, murid Pendeta Sinting coba kerahkan tenaga dalamnya. Dia saketika tersentak. Sekujur tubuhnya laksana ditusuk jarum! Merasa apa yang diucapkan si gadis benar adanya, akhirnya Pendekar 131 hanya bisa angkat alis matanya tanpa buka suara.
Gadis di belakangnya gerakkan tangan kiri kanan memegang pinggang Joko. Lalu diangkat hendak diletakkan pada pundaknya. Tapi gerakan gadis ini tertahan saat tiba-tiba terdengar suara.
"Tinggalkan pemuda itu!"
Kedua tangan gadis berpakaian hijau melonggar hingga tubuh Joko kembali terduduk di atas tanah. Kedua orang ini serentak berpaling ke arah datangnya suara. Sepasang mata murid Pendeta Sinting kontan terbelalak besar. Sementara gadis berpakaian hijau pandangi orang dengan mata menyipit dan membesar. Dari tempat masing-masing, terlihat dua orang tegak sejarak dua belas langkah.
Sebelah kanan adalah seorang perempuan berambut pirang yang wajahnya ditutup dengan cadar berwarna hitam. Dia mengenakan jubah hitam sepanjang lutut. Di sebelah perempuan bercadar dan berjubah hitam tegak seorang kakek berwajah pucat dengan rambut disanggul ke atas. Kakek ini juga mengenakan jubah hitam. Kedua tangannya tampak masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
"Celaka!" gumam Joko begitu mengenali siapa adanya dua orang yang kini memandang ke arahnya dengan tak berkesip. "Apakah aku masih bisa lepaskan pukulan? Mereka jelas memperpanjang urusan di Pulau Biru..."
"Gadis berpakaian hijau!" kata perempuan bercadar dan berjubah hitam yang bukan lain adalah Dewi Siluman, "Aku tak mau bicara dua kali! Tinggalkan pemuda itu!"
"Aku tak kenal dirimu!" jawab gadis berpakaian hijau. "Harap jangan bicara tak karuan! Katakan siapa kalian...?!"
Dewi Siiuman tertawa pendek. "Sayang aku tak bisa terangkan disini karena waktuku tidak banyak. Satu hal yang harus kau ketahui, pemuda itu telah ditakdirkan mampus di tanganku!"
Sepasang mata gadis berbaju hijau membesar, alis matanya terangkat. Dia berpaling sejenak pada Pendekar 131 lalu alihkan pandangannya pada dua orang di depan sana. "Hem.... Kalian menginginkan nyawanya. Ada silang sengketa apa gerangan?!"
"Kau terlalu banyak mulut!" hardik Dewi Siluman. "Tinggaikan dia atau kau akan ikut mampus bersamanya!"
"Setiap kematian punya sebab. Jadi kalian tak pantas sangkut pautkan aku dengan pemuda ini! Di antara kita tak ada silang sengketa!"
"Gadis berbaju hijau. Kalau kau tak ingin ada silang sengketa, lekas turuti ucapanku! Jika tidak, itulah sebab kematianmu!"
"He... Harap kau tidak mencari mati. Turuti saja ucapannya..." kata Joko perlahan. "Mereka berdua memang punya urusan denganku! Jadi kau jangan ikut campur! Biar mereka kuhadapi sendiri..."
Gadis berbaju hijau menoleh. Sambil tersenyum dia berkata. "Tanggung jawab hidupmu ada di tanganku! Tak akan kubiarkan mereka menyentuhmu!"
"Tanggung jawab pada siapa?!"
"Kelak kau akan tahu sendiri. Sekarang kalau kau mampu, harap kau sedikit menjauh..." kata si gadis lalu melangkah ke depan menghalangi Joko dari pandangan orang di depan sana.
"Kau akan menyesal, Anak Gadis!" kata si kakek d sebelah Dewi Siluman yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam. "Tak ada untungnya kau melindung pemuda itu!"
"Untung rugi telah kuperhitungkan. Aku tidak akan merasa menyesal!" jawab si gadis.
"Hem... Begitu? Bagus! Terimalah keuntunganmu!" hardik Dewi Siluman sambil melompat ke depan. Kedua tangannya yang mengenakan sarung tangan hitam diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan!" satu suara terdengar.
Dewi Siluman dan Ki Buyut berpaling. Sementara gadis berbaju hijau melirik. Pendekar 131 yang hendak menjauh segera pula menoleh. Tampak seorang pemuda mengenakan pakaian warna hitam-hitam berkumis tipis berlari ke arah Pendekar 131.
"Raka Pradesa..." gumam Joko mengenali siapa adanya pemuda. "Bagaimana pemuda ini sampai di tempat ini? Wah, urusan akan tambah gawat. Kalau dia ikut-ikutan, bukan tak mungin akan dilenyapkan sekalian oleh Dewi Siluman!"
"Berhenti!"
Tiba-tiba Dewi Siluman membentak, membuat pemuda berpakaian hitam-hitam yang memang Raka Pradesa adanya hentikan larinya. Dia memandang sejenak pada gadis berbaju hijau. Matanya tampak berkilat. Lalu berpaling pada Dewi Siluman. Mulutnya membuka, namun Dewi Siluman mendahului bersuara.
"Kau!" katanya sambil arahkan telunjuk jari tangan kirinya kearah Raka Pradesa. Tetap di tempatmu atau kau akan ku habisi sekalian.
"Harap tidak salah paham. Ada apa sebenarnya ini?!" tanya Raka Pradesa.
"Kau siapa?!" bentak Dewi Siluman.
"Aku sahabatnya Tengkorak Berdarah itu!" jawab Raka Pradesa sambil menunjuk ke arah Pendekar 131.
Mau tak mau Pendekar 131 gelengkan kepala. "Tambah gawat! Bisa-bisanya dia berkata begitu! Tapi salahku sendiri. Aku mengaku Tengkorak Berdarah saat jumpa dengan Hantu Makam Setan..."
Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar A!am saling pandang. Namun kejap lain Dewi Siluman tertawa panjang. "Pemuda gila! Dengar baik-baik! Siapa pun adanya pemuda sahabatmu itu, yang pasti kematiannya telah ditakdirkan di tanganku. Kau dengar?!"
Raka Pradesa terlengak. Setelah memandang ke arahh Pendekar 131 dia berucap. "Kau munkin salah. Harap perhatikan dahulu sebelum turunkan tangan maut! Dia..."
"Pemuda gila! Kau tahu apa mengenai pemuda itu. heh?!" tukas Dewi Sliuman.
"Dia sahabat seperjalananku..."
Dewi Siluman tertawa kembali. "Pengetahuanmu masih sejengkal. Menyingkirlah dari tempat ini sebelum pikiranku berubah!"
Tiba-tiba Raka Pradesa tertawa panjang, membuat Pendekar 131 terkesiap. "Anak itu benar-benar nekat. Dia tidak tahu siapa yang kini dihadapinya..." batin Joko lalu coba kerahkan tenaga dalamnya. Tapi murid pendeta Sinting ini tersentak. Sekujur tubuhnya laksana ditusuk jarum.
"Celaka! Aku masih belum bisa salurkan tenaga dalam. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki penghuni istana Hantu itu?!"
"Kau boleh mengatakan pengetahuanku sejengkal. Namun kalau boleh, aku bisa mengatakan siapa kau adanya, juga kakek berjubah hitam itu..." kata Raka Pradesa. Lalu tanpa tunggu sambutan dari orang, pemuda berbaju hitam-hitam ini teruskan ucapannya. "Kau bukankah yang dikenal orang dengar gelar Dewi Siluman? Dan kakek yang bersamamu itu bukankah yang bernama Ki Buyut Pagar Alam?!"
Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau tersertak. Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam sama pentangkan mata masing-masing memandang lekat-lekat pada Raka Pradesa.
"Siapa pemuda ini sebenarnya? Apa hubungannya dengan Pendekar 131? Dan mengapa dia sebut Pendekar 131 sebagai Tengkorak Berdarah?!"
Belum sampai Dewi Siluman dapat menjawab apa yang jadi pertanyaan hatinya, Raka Pradesa telah buka mutut kembali.
"Selama ini orang mungkin hanya tahu kau Dewi Siluman dan kakek itu adalah Ki Buyut. Namun aku bisa katakan siapa kalian berdua sebenarnya!"
Sesaat Dewi Siluman tampak tercekat, Wajah di ba-tik cadarnya berubah. Namun dia tetap tegak diam dan tak buka suara. Sementara Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan dahi serta berusaha menduga-duga siapa sebenarnya pemuda berpakaian hitam-hitam. Raka Pradesa dongakkan kepala. Lalu terdengar ucapannya.
"Kakek itu bukankah adik dari ibumu yang sudah sekian tahun hilang lenyap entah ke mana?!" Raka Pradesa sengaja hentikan ucapannya, lalu luruskan kepala seakan ingin mengetahui reaksi kedua orang di hadapannya.
"Pemuda ini tahu banyak tentang diriku. Bahkan mengenai ibuku! Siapa dia sebenarnya? Jahanam keparat! Dia tidak boleh buka suara di depan orang banyak!" kata Dewi Siluman datam hati.
Raka Pradesa kembali tengadah lantas berkata. "Ibumu. Bukankah dia bernama..."
"Cukup! Kau buka mulut lagi aku tak segan membunuhmu..." hardik Dewi Siluman.
"Berarti semua ucapanku benar bukan?!" ujar Raka Pradesa.
"Heran. Dia tahu banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan. Siapa dia sebenarnya?" diam-diam Joko membatin pula dalam hati. Sementara gadis berbaju hijau hanya diam memperhatikan.
"pemuda gila!" kata Dewi Siluman. "Siapa kau sebenarnya?! Apa hubunganmu dengan pemuda itu?!"
"Aku hanyalah pemuda bodoh berpengetahuan sejengkal. Jadi tak layak bagiku memperkenalkan diri. Sedang pemuda itu seperti kataku tadi, adalah sahabat seperjalananku!"
"Jika demikian, kau layak juga mampus bersamanya!" ujar Dewi Siluman.
Habis berkata begitu, Dewi Siluman melesat ke depan. Bukan ke arah Raka Pradesa, melainkan ke arah gadis berbaju hijau yang tetap menghalangi Pendekar 131! Kedua tangannya langsung menghantam lepaskan pukulan jarak jauh. Bersamaan menghantamnya kedua tangan Dewi Siluman, Raka Pradesa melompat dan serta-merta tubrukkan dirinya ke arah perempuan bercadar hitam ini.
Karena tak menyangka dan saat itu tengah lepaskan pukulan, Dewi Siluman tak bisa hindarkan diri dari tubrukan si pemuda hingga terhuyung dua langkah membuat pukulan yang dilepas melenceng ke udara. Sementara gadis berbaju hijau yang telah waspada dan telah angkat kedua tangannya teruskan pukulannya, hingga saat itu juga satu gelombong angin deras melesat ke arah Dewi Siluman.
Dewi Siluman menggeram. Dia cepat menyingkir dengan berkelebat ke samping. Pukulan gadis berbaju hijau lewat setengah tombak di sampingnya. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap pada Raka Pradesa yang menyebabkan pukulannya melenceng. Dari tubrukan tadi, tampaknya Dewi Siluman tahu, jika pemuda berpakaian hitam-hitam tidak memiliki kepandaian. Dia cepat putar diri, lalu kejap lain sosoknya telah dua langkah dihadapan Raka Pradesa. Serta-merta kaki kanannya bergerak lepaskan satu tendang.
Raka Pradesa angkat kepalanya. Dia sekejap tampak terkejut. Namun bersamaan itu kedua tangannya diangkat dipalangkan pada kepalanya.
"Bukkk!"
Sosook Raka Pradesa terjajar dua langkah. Sedang Dewi Siluman tersurut satu tindak. Sepasang mata Dewi Siluman makin membeliak. "Jahanam! Ternyata dia menyimpan ilmu..." batin Dewi Siluman setelah merasakan kaki kanannya ngilu akibat bentrok dengan tangan Raka Pradesa.
"Buyut!" teriak Dewi Siluman. "Kau layani pemuda gila ini" Sambil berteriak. Dewi Siluman melesat ke arah Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau. Dan suara teriakan sang Dewi belum lenyap, dihadapan Raka Pradesa telah tegak Ki Buyut Pagar Alam.
"Gadis berbaju hijau! Kuingatkan sekali lagi. Tinggalkan pemuda itu atau..."
"Lebih baik mati di sini daripada pergi tanpa pemuda itu!" tukas gadis berbaju hijau dengan senyum mengejek.
"Keparat!" teriak Dewi Siluman sambil sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'.
"Tahan serangan!" Mendadak satu seruan terdengar di tempat.
"Aku seperti mengenali suara itu!" desis Dewi Siluman. Lalu kedua tangannya yang setengah jalan lepaskan pukulan ditarik pulang.
Sementara Ki Buyut Pagar Alam yang juga telah angkat tangannya segera diurungkan. Keduanya serta-merta berpaling. Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam sama membelalak. Malah Dewi Siluman tampak bekap mututnya yang hendak berteriak.
"Apa maksudnya menahan?" gumam Dewi Siluman dengan mata tetap memandang ke arah timur dimana tampak seorang nenek tegak dengan perhatikan pada Pendekar 131.
"Aku memerlukan pemuda berbaju putih ini. Biarkan dia hidup dahulu..." kata orang yang baru datang yang ternyata adalah seorang nenek berpakaian putih dari sutera yang di telinganya tampak menyelip sebatang bambu berwarna kuning, yang bukan lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi Siluman.
"Nek..." kata Raka Pradesa sambil tersenyum.
Yang dipanggil tidak berpaling. Sebaliknya menatap pada gadis berbaju hijau dengan tatapan menyelidik. "Tak kusangka jika manusia yang mampu bergerak cepat tadi masih begini muda..." kata Daeng Upas dalam hati lalu berkata.
"Anak gadis. Aku minta baik-baik padamu. Tinggalkan pemuda itu dan kau lekas pergilah dari tampat ini!"
Gadis berbaju hijau tersenyum dingin. Sementara Pendekar 131 hanya bisa mengeluh dan makin bingung. "Heran. Siapa lagi nenek ini? Mengapa menginginkan aku juga? Dan Dewi Siluman serta Ki Buyut Pagar Alam tampaknya kenal dengannya..."
"Anak gadis. Kau dengar ucapanku. Apa lagi yang kau tunggu?!" ujar Daeng Upas tatkala dilihatnya gadis berbaju masih tetap tegak di tempatnya.
"Aku akan pergi, tapi bersamanya!" jawab si gadis.
Dewi Siluman habis kesabaran. Dia handak melompat ke depan, namun Daeng Upas angkat tangan kanannya. "Aku menginginkan dia pergi baik-baik..."
"Aneh. Kenapa ibu barsikap lunak begini?!" kata Dewi Siluman dalam hati.
Gadis berbaju hijau lagi-lagi tersenyum dingin mendengar ucapan Daeng Upas. Namun kali ini tidak buka suara menyambuti ucapan si nenek.
"Anak gadis. Aku bilang sekali lagi. Tinggalkan pemuda itu...!"
"Tak akan kubiarkan siapa pun menyentuhnya. Kalian dengar?!" kata gadis berbaju hijau.
"Baik. Jika itu maumu!" Habis berkata begitu, Daeng Upas putar tubuhnya setengah lingkaran. Tiba-tiba tubuhnya melesat masih dengan sosok tidak menghadap gadis berbaju hijau. Sejarak enam langkah dari tempat si gadis berbaju hijau tegak, si nerek angkat kakinya seolah membuat gerakan menendang.
Di samping sana, gadis berbaju hijau tiba-tiba memekik. Sesoknya terseret sampai lima langkah dengan kedua tangan memegangi dadanya yang terasa dihantam kekuatan luar biasa dahsyat! Masih di atas udara, Daeng Upas tarik pulang kakinya. Namun kejap kemudian kakinya mencuat kembali membuat gerakan menendang.
Di samping sana, untuk kedua kalinya gadis berbaju hijau terpekik. Sosoknya terpental dan jatuh terjengkang dengan mulut megap-megap. Dewi Siluman tampak tercengang karena selama ini ibunya tidak pernah menunjukkan kepandaiannya, meski sifatnya pemarah dan ucapannya karas.
Tepat diatas tubuh Pendekar 131, Daeng Upas gerakkan bahunya dua kali. Sosoknya melayang turun dan tegak dua langkah di depan murid Pendata Sin-tIng. Tengkuk Pendekar 131 merinding. Bukan saja karena mengetahui ketinggian ilmu Si nenek, namun juga karena dia belum mampu salurkan tenaga dalamnya.
"Mudah-mudhan senjata terakhir ini bisa menahan jika nenek ini bermaksud jahat..." batin joko seraya raba pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
Deang Upas menatap sejurus pada Pendekar 131. Lalu tersenyum. Tanpa berkata sepatah kata, kedua tangannya bergerak.
"Nek...! teriak Raka Pradesa mengetahui apa yang akan dilakukan Daeng Upas. Namun si nenek tak hiraukan teriakan orang.
Sementara Joko sendiri sudah terlambat untuk cabut pedangnya. Kedua tangan si nenek telah bergerak ke arah murid Pendeta Sinting yang seakan terkesima.
Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas menyentuh tubuh Pendekar 131 untuk lakukan totokan, tiba-tiba terdengar suara. Duutt! Duutt! Duutt! Beberapa kali. Kejap lain satu hembusan angin menyeruak pelan. Anehnya, kedua tangan Daeng Upas tampak bergetar hebat. Sesaat kemudian kedua tangan si nenek laksana dihantam kekuatan dahsyat hingga mental ke belakang. Dan bersamaan itu pula sosok Daeng Upas tersurut tiga langkah!
Semua orang tersentak kaget. Lebih-lebih Daeng Upas yang kini coba menahan kekuatan gelombang yang terasa menghantam tubunya. Lalu semua kepala di tempat itu berpaling ke kanan dari mana suara duuttt! duuuttt! duuttt! terdengar...
SELESAI