Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 dalam Episode Jejak Darah Masa Lalu
TENGKORAK Berdarah tegak dengan tubuh laksana dipaku. Kepalanya yang tertutup jubah terusan abu-abu tak bergerak dan lurus menghadap perempuan di hadapannya. Tanpa sadar dia perdengarkan desisan.
"Prabarini...!"
Perempuan dihadapan Tengkorak Berdarah sunggingkan senyum. Tetap memandang dengan tatapan sayu dia buka mulut. "Syukur kau masih mengenaliku. Kalau dugaanku tak salah bukankah kau adalah Lasmini...?"
Untuk kesekian kalinya Tengkorak Berdarah terlihat terkesiap. Sosoknya bergetar dengan mulut terkancing tak perdengarkan suara. Hal ini telah menambah keyakinan perempuan yang dipanggil Prabarini. Hingga perempuan yang tadinya menutup wajahnya dengan bedak tebal ini berucap lagi.
"Aku telah tunjukkan siapa diriku. Kuharap kau tak keberatan untuk membuka penyamaranmu!"
"Bagaimana perempuan jahanam ini tahu diriku...? Dia hanya menduga-duga atau memang tahu sungguhan? Keparat betul! Perempuan inilah yang membuat hidupku merana! Hem... Bertahun-tahun kucari, akhirnya kutemui tanpa kuduga!" membatin Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abunya bergerak tengadah.
"Prabarini! Matamu sudah kuharamkan melihatku! Dan kau akan menyesal mengundangku datang ke sini. Ini adalah undangan kematian bagimu!"
"Hem... Berarti dugaanku tidak salah. Dia adalah Lasmini... Dia masih menyimpan dendam padaku..." kata Prabarini dalam hati. Lalu berkata.
"Lasmini... Kau ingin membunuhku itu persoalan mudah. Di antara kita memang ada urusan meski aku sudah melupakan hal itu. Tapi untuk sementara ini kita tunda urusan kita. Ada hal lebih penting yang harus kita buka bersama!"
"Tak ada hal lebih penting bagiku selain menjadikanmu mayat, Prabarini! Kau telah merecoki hidupku! Kaulah manusia yang membuat jalan hidupku jadi berantakan. Kau perempuan jahanam yang merebut suamiku! Tidak ada yang perlu dibuka lagi! Justru aku akan membuka pintu kubur untukmu!"
Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Kedua tangan orang ini terlihat bergetar keras tanda dia telah kerahkan segenap tenaga dalamnya. Prabarini memandang sejenak. Meski mulutnya tersenyum namun jelas jika wajahnya berubah membayangkan perasaan cemas. Seraya mundur satu tindak dia berkata.
"Sudah kukatakan, membunuhku adalah urusan gampang. Tapi kau nanti akan menyesal jika..." Ucapan Prabarini belum selesai, Tengkorak Berdarah telah menukas dengan suara keras.
"Satu penyesalan besar adalah jika aku membiarkanmu hidup! Jangan banyak bicara membuat dalih!"
Prabarini gelengkan kepala. "Aku memintamu datang ketempat ini bukan untuk mengatakan segala macam dalih! Aku justru ingin agar urusan di antara kita cukup sampai kita berdua! Jangan sampai orang lain kita seret di dalamnya!"
Lama Tengkorak Berdarah terdiam sebelum akhirnya berkata. "Apa maksud ucapanmu, Perempuan Laknat?! Kau jangan bicara tidak karuan! Aku tidak pernah melibatkan orang lain dalam urusan kita! Tanganku cukup untuk menyelesaikannya!"
"Ucapanmu benar, Lasmini! Tapi jika kita tidak buka urusan bersama-sama, tanpa sadar kita akan menyeret orang lain masuk dalam urusan kita! Yang lebih menyedihkan, orang yang terseret adalah orang-orang yang kita kasihi!"
"Prabarini! Jangan kau bicara ngelantur! Katakan terus terang siapa orang yang kau maksud!" bentak Lasmini alias Tengkorak Berdarah. Orang ini masih sarukan suaranya hingga terdengar seperti suara seorang laki-laki.
Prabarini memandang tak berkesip beberapa lama. Setelah menghela napas panjang dia berkata. "Kau punya seorang anak perempuan. Aku pun demikian. Mereka adalah darah daging seorang laki-laki yang sama kita kasihi. Apakah hatimu tidak merasa trenyuh jika melihat keduanya saling bermusuhan tanpa mereka sadari jika keduanya masih bertalian darah?"
Mendadak Lasmini yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah turunkan kedua tangannya. Kepalanya makin mendongak. Dadanya terlihat bergerak turun naik. "Saraswati... Di mana kau sekarang anakku...? Sudah sekian tahun aku mencarimu, tapi kau belum juga kutemukan!" Sesaat kemudian kepala Tengkorak Berdarah bergerak lurus menghadap Prabarini. "Sepertinya perempuan ini tahu di mana Saraswati. Hem..."
"Prabarini! Bagaimana kau tahu mereka bermusuhan? Di mana kau temui anakku Saraswati, hah?! Kurobek mulutmu jika kau bicara mengada-ada! Dan dengar. Jangan kau sebut laki-laki itu orang yang kita kasihi! Dia adalah salah seorang yang harus kulenyapkan dari muka bumi! Termasuk juga kau!"
"Saat ini mereka memang belum bermusuhan. Tapi aku menduga permusuhan itu akan segera terjadi. Yang menyedihkan, pangkal permusuhan itu sama dengan hal yang pernah menimpa kita berdua..."
Kedua tangan Tengkorak Berdarah mengepal. Sosoknya kembali bergetar. Tapi untuk beberapa saat orang ini tidak perdengarkan suara. Dada orang ini dibuncah dengan berbagai perasaan. Dendam kesumat yang selama ini dipendam belum kesampaian kini ditambah dengan ucapan Prabarini yang membuatnya panas dingin, karena urusannya sama dengan urusan dirinya dengan Prabarini pada beberapa tahun silam yang membuatnya hidup merana terpisah dari anaknya juga membuat dirinya bertekad untuk membunuh orang yang dulu pernah dicintainya.
"Prabarini!" sentak Tengkorak Berdarah setelah agak lama terdiam. "Kau belum katakan di mana kau menemukan anakku!"
"Aku tak bisa mengatakan di mana. Tapi aku bisa membawamu ke sana!"
"Hem... Begitu? Kita berangkat sekarang! Tapi ingat. Meski aku nanti berhasil jumpa Saraswati, bukan berarti hidupmu ku perpanjang!"
"Hidup mati sudah tak pernah kupikir lagi, Lasmini. Suratan takdir sudah menulisnya. Tapi sebelum kau kutemukan dengan anakmu, aku punya permintaan."
Entah sudah tak sabar, Tengkorak Berdarah segera menyahut. "Katakan apa yang kau minta!"
"Kau harus buka penutup wajahmu. Kau nanti juga harus berkata jujur. Karena anakku pun harus mendengar dan mengetahui semuanya!"
"Prabarini! Kau telah tahu siapa diriku. Lebih dari itu, aku tak punya urusan dengan anakmu! Aku hanya ingin jumpa anakku, lalu membunuhmu!"
"Anakku memang tak ada urusan denganmu, Lasmini. Tapi bagaimanapun juga anakku masih satu darah dengan anakmu. Jadi dia harus tahu. Jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa mencegah terjadinya permusuhan di kelak kemudian hari? Jika semua telah jelas, aku akan menyerah padamu..."
Sebenarnya, secara diam-diam selama ini Prabarini telah menyelidiki Istana Hantu. Hingga pada akhirnya dia mengetahui siapa Raka Pradesa yang selama ini menyamar sebagai pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam. Dari sini, Prabarini sedikit banyak sudah yakin siapa adanya penghuni Istana Hantu yang selama ini dikenal kalangan rimba persilatan sebagai Tengkorak Berdarah. Hingga saat jumpa dengan Raka Pradesa, Prabarini mengucapkan kata-kata yang membuat Raka Pradesa terperanjat mengetahui orang telah mengenali dirinya.
(Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Asmara Hitam)
Dia juga diam-diam menyelidik semua kekacauan yang akhir-akhir ini melanda dunia persilatan yang menurut banyak kalangan didalangi oleh Tengkorak Berdarah, si penghuni Istana Hantu. Dia curiga, karena menurut apa yang diketahui, penghuni Istana Hantu tidak pernah keluar dari istananya. Kalaupun ada Tengkorak Berdarah yang menebar maut, tentu bukanlah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu. Dia dapat menduga jika Tengkorak Berdarah yang ditemuinya saat itu adalah Lasmini karena dia telah mengetahui rencana Lasmini yang juga adalah bekas istri suaminya.
Lasmini tahu jika suaminya menyimpan satu rahasia besar. Namun perempuan ini kecewa, karena sang suami tidak mau mengatakan rahasia itu lebihlebih setelah mengetahui jika sang suami menjalin hubungan dengan kekasihnya dahulu, yang bukan lain adalah Prabarini. Hanya saat ini Prabarini tidak tahu jika Lasmini sebenarnya belum dapat memastikan siapa adanya Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu. Lasmini sengaja mengenakan penyamaran seperti Tengkorak Berdarah karena dia punya perhitungan sendiri.
"Prabarini! Peduli setan anakmu masih satu darah dengan anakku. Tapi yang jelas aku tak punya ikatan apa-apa dengan anakmu! Malah jika perlu dia pun harus mengalami nasib sama denganmu! Bibit kotor begitu harus segera dipenggal sebelum membuat kerusuhan lagi di kelak hari!"
Mendengar ucapan Lasmini, raut wajah Prabarini seketika berubah. Sepasang matanya sedikit mementang. Dadanya bergemuruh. Tapi mengingat apa yang akan terjadi jika semuanya tidak jelas, perlahan-lahan perempuan ini berusaha menindih gejolak hatinya yang panas.
"Ah..." Prabarini menarik napas panjang, lalu berucap dengan suara sedikit bergetar tanda belum sepenuhnya dia dapat menguasai hatinya. "Lasmini. Rasanya aku tidak dapat membawamu bertemu dengan anakmu jika kau bersikeras tak mau menuruti permintaanku!"
Tiba-tiba Lasmini perdengarkan suara tawa panjang. Namun tawanya segera diputus. Kejap lain dia telah membentak. "Berarti semua ucapanmu hanya dusta belaka!"
"Aku tidak mendapat untung apa-apa berkata dusta padamu! Jika tak punya niat baik aku pun tidak mungkin memintamu datang ke sini dan tunjukkan siapa diriku sebenarnya. Bukankah dengan begitu kau masih tidak mengetahui diriku? Dan dendam kesumatmu tidak akan terlampiaskan?!"
"Perempuan sepertimu bisa saja memutar lidah! Mungkin di balik kata dustamu kau punya tujuan lain! Tapi jangan kau mimpi bisa membodohiku saat ini! Cukup sekali saja kau menggunting lipatanku! Dan itu harus kau bayar!"
"Lasmini! Aku telah berusaha berbaik-baik denganmu. Nyatanya kau masih tak mau mengerti! Kau lebih mengedepankan dendam daripada mencegah berlarutnya urusan! Jika itu jalan yang kau ambil, terpaksa aku merubah rencana! Aku tidak akan tinggal diam sebelum persoalan ini jelas diketahui oleh orang yang bersangkutan!" kata Prabarini dengan suara agak tinggi.
Lasmini perdengarkan tawa panjang. "Bagus! Aku memang tak ingin kau mampus tanpa perlawanan!"
Habis berkata begitu, Lasmini kembali angkat kedua tangannya. Di seberang, Prabarini masih tegak tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah perempuan ini terlihat menghela napas dalam. Lalu bergumam.
"Kekerasan sebenarnya bukanlah satu-satunya jalan menyelesaikan urusan. Malah hal itu akan mendatangkan urusan lebih besar di kemudian hari. Mendatangkan jeritan duka yang lebih parah! Padahal hal itu bisa dicegah jika yang tua-tua seperti kita ini mau sedikit menahan diri dan membuka hati..."
Entah karena apa, begitu mendengar gumaman Prabarini, kedua tangan Lasmini diturunkan ke bawah. Lalu terdengar dia berucap. Namun suaranya masih keras. "Kalau kau mengatakan urusan anakku dengan anakmu sama dengan urusan kita dahulu berarti ada satu laki-laki dalam urusan ini! Katakan padaku macam apa laki-laki itu?!"
"Lasmini. Kita sudah sama merasakan bagaimana jika orang telah jatuh dalam jerat cinta. Jika kau langsung berurusan dengan laki-laki itu bukan tidak mungkin kau akan membuka permusuhan sendiri dengan anakmu!"
"Peduli setan! Justru aku telah mengalami maka aku tahu harus berbuat apa!"
Prabarini menggeleng. "Kau bukannya akan menyelesaikan urusan. Sebaliknya menambah urusan! Padahal semuanya akan jadi beres jika kau mau sedikit berpikir dengan hati nurani!"
Lasmini tertawa pendek bernada mengejek. "Itulah satu kesalahan yang kubuat dahulu. Aku selalu bertindak dengan hati nurani. Tapi apa yang kuperoleh? Suamiku jatuh dalam rayuanmu! Hidupku berantakan!"
"Kau terlalu berprasangka buruk padaku, Lasmini. Kau harus tahu, jauh sebelum denganmu, aku telah menjalin hubungan."
"Itu urusanmu! Yang jelas kau merebut setelah dia jadi milikku!"
"Ah... Sudahlah. Tak ada gunanya mengungkit hal yang sudah terjadi! Aku harus pergi sekarang. Aku masih menunggu pikiranmu berubah..."
Selesai berucap begitu, Prabarini hendak melangkah tinggalkan tempat itu, namun sebelum kakinya bergerak melangkah, Lasmini berkata.
"Aku tak perlu waktu. Kau pun tak perlu menunggu."
"Maksudmu?"
"Sampai kapan pun pikiranku tak akan berubah! Malam ini kita selesaikan urusan kita!"
"Kau tidak menyesal nantinya? Dengar, Lasmini! Anakmu telah dewasa. Pasti kau dapat merasakan bagaimana kegundahan hati seorang anak yang tidak tahu siapa ibunya! Apalagi dia anak perempuan! Dia butuh seseorang tempat bertanya. Perlu orang tempat mengadu! Kau perlu waktu untuk berpikir. Saat ini kau masih diselimuti perasaan geram. Dalam situasi begini tidak mustahil pertimbanganmu hanya dendam. Tiga hari di muka, kau kutunggu di halaman Istana Hantu!" Tanpa menunggu sahutan Lasmini, Prabarini putar diri lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
"Persetan dengan segala ucapanmu! Ini semua terjadi gara-gara ulahmu dahulu!" desis Lasmini.
Orang ini serentak angkat kedua tangannya siap lepaskan satu pukulan ke arah Prabarini yang seolah acuh dengan ucapan orang dan teruskan langkah tanpa berpaling lagi. Mendadak ada satu perasaan muncul di benak orang berjubah abu-abu aneh terusan ini. Kejap lain kedua tangannya diturunkan dan kini berpaling ke arah Prabarini yang terus melangkah membelakanginya.
"Jahanam! Jika saja dia tidak menggantung dengan urusan Saraswati, rasanya terlalu bodoh membiarkan dia berlalu begitu saja! Ah... Bagaimana urusan bisa jadi begini? Mengapa dia menginginkan pertemuan di halaman Istana Hantu? Apakah dia berpikir agar penyamaranku bisa terbongkar? Hem... Sebelum waktu yang ditentukan aku harus berbuat sesuatu!"
Lasmini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat dekat pancuran air itu mengambil arah berlawanan dengan Prabarini.
SATU pemandangan sedikit aneh terlihat di bawah sebatang pohon besar tak jauh dari aliran sungai yang membentuk dua jalur ke kanan dan kiri. Saat itu mentari baru saja muncul dari lamping gunung, hingga suasana menjadi agak terang. Ke mana mata memandang kini tampak jelas. Di bawah sebatang pohon besar itu terlihat satu sosok tubuh. Sepasang mata orang ini sedari tadi tak berkesip memandang ke arah satu gugusan batu yang memisahkan aliran sungai hingga membentuk dua jalur ke kanan kiri.
Orang ini adalah seorang pemuda berwajah tampan. Sepasang matanya tajam. Hidungnya sedikit mancung. Tapi ada keanehan pada dirinya. Dia tegak memandang dengan kaki di atas dan kepala di bawah! Sepasang kakinya dia selonjorkan pada batang pohon. Pemuda ini tidak mempunyai tangan. Sementara pada mulutnya terlihat bundaran karet yang terus menerus dibuat mainan disedot-sedot. Setiap kali dia menyedot, terdengar suara duutt! Duutt! Duuuttt!
"Air masih pasang. Aku masih kesulitan menentukan tempat yang dikatakan itu. Apalagi aku tak punya tangan untuk berenang. Jika aku memaksa, bukan tak mungkin aku akan mengalami celaka. Satu-satunya jalan adalah menunggu sampai air surut. Jika saja tidak untuk membuktikan ucapan Guru serta mencari jejak darah nenek moyang, aku tak jauh-jauh sampai datang ke tempat ini. Apalagi belum apa-apa sudah banyak urusan lain yang tak kuduga sebelumnya..." gumam si pemuda bertangan buntung yang bukan lain adalah orang yang baru muncul dalam kancah rimba persilatan dan dikenal dengan Dewa Orok.
Sudah sejak tadi malam pemuda ini berada di dekat aliran sungai yang membentuk dua jalur itu. Dia sesekali tampak menghela napas panjang sambil memandang ke arah gugusan batu besar yang memisahkan aliran sungai. Wajahnya kelihatan sudah tidak sabar. Namun begitu melihat aliran sungar yang saat itu sedang meluap, dia terlihat menindih rasa ketidak sabarannya.
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang menggagalkan tujuanku ini. Karena meski masih tak ada orang yang mengetahui seluk beluk nenek moyangku ini, tapi secara tak langsung menurut Guru, nenek moyangku masih ada kaitannya dengan satu rahasia besar. Hem... Sayang aku tak mengetahui rahasia apa itu! Yang jelas aku harus dapat menemukannya dan menguburnya di tempat yang layak..."
Dewa Orok terus bergumam sendiri. Mungkin karena merasa capek dan menduga air pasang masih lama surut, Dewa Orok perlahan pejamkan sepasang matanya. Mulutnya memperkeras sedotan pada karet bundarnya. Tak lama kemudian terdengar dia mendengkur ditingkah suara duutt! Duutt! dari sedotan karet bundar di mulutnya. Sepasang mata serta dengkuran Dewa Orok baru membuka dan terhenti tatkala matahari sudah menggelincir dari titik tengahnya.
"Ah... Air sudah surut!" gumamnya setelah melihat aliran air memang telah surut, hingga sepasang matanya bisa melihat bagian bawah gundukan batu besar yang memisahkan aliran sungai. Sejenak sepasang matanya mengerjap. Lalu Wuuttt! Pemuda tampan tak bertangan ini gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya telah tegak dengan kaki di bawah kepala di atas. Tapi orang ini tegak bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!
"Hem... Ucapan Guru tampaknya benar... Di batu besar itu bagian bawahnya tampak sebuah lobang! Meski tidak besar, tapi kurasa cukup untuk lewatnya satu tubuh..." pikir Dewa Orok begitu matanya dapat melihat bagian bawah batu besar yang memang terlihat ada sebuah lobang tidak begitu besar. Air sungai kini sedikit berada di bawah lobang.
"Aku masih harus berenang untuk mencapai batu besar itu. Tapi sudah agak ringan, karena aliran sungai tidak lagi deras..."
Setelah memperhatikan sejenak pada aliran sungai dan menghitung jarak sampai batu yang dituju, Dewa Orok tengadahkan kepala. Tumitnya yang berjingkat serentak bergerak ke bawah menginjak tanah. Laksana melayang, mendadak sosoknya melesat ke udara. Di atas udara pemuda ini membuat gerakan menjungkir. Lalu dengan kepala di bawah kaki tegak lurus ke atas, orang ini terjunkan diri ke aliran sungai.
Aliran sungai sejurus tampak muncrat dan beriak. Sosok Dewa Orok segera lenyap. Lalu tampak alur memanjang membelah aliran sungai. Kejap lain sosok Dewa Orok tampak menyembur dua tombak dari batu besar. Sekali dia sentakkan kedua bahunya, sosoknya melesat ke atas dan kini tegak di atas batu besar dengan berjingkat. Air tampak mengucur deras dari pakaian dan tubuhnya.
Setelah mengedarkan pandangan, dia melangkah ke bibir batu. Kepalanya melongok ke bawah. Ke bawah lobang di batu yang kini dipijaknya. Tanpa pikir panjang lagi dia segera melompat. Namun pemuda ini serta merta urungkan niat. Sebaliknya sepasang matanya menatap tak berkesip pada lobang batu di bawahnya. Mulutnya memperkeras sedotan pada karet bundarnya. Pertanda dia disentak oleh sesuatu yang mengejutkan. Saat itu sepasang mata Dewa Orok memang melihat sesuatu menyembul dari dalam lobang.
"Bukan ikan juga bukan binatang... Tapi anggota tubuh manusia!" katanya dalam hati dengan mata terpentang makin besar. "Jangan-jangan tempat ini berpenghuni. Atau jangan-jangan hantu sungai..."
Dewa Orok terus memandang. Kini tampaklah dua tapak tangan keluar meraba-raba mencari pegangan pada bagian luar batu. Namun karena batu itu licin, kedua tangan yang menyembul dari dalam lobang itu gagal mencari pegangan. Dan tak lama kemudian kedua tapak tangan itu lenyap kembali ke dalam lobang. Dewa Orok jongkok di bibir batu. Dia menunggu dengan dada berdebar. Namun hingga agak lama ditunggu, tidak tampak lagi menyembulnya kedua tangan tadi.
"Ah... Jangan-jangan memang hantu sungai yang menggodaku! Hem... Aku harus segera masuk. Hantu sungai pasti akan merasa kasihan jika telah melihat keadaanku yang begini... Hik Hik Hik...!"
Dewa Orok tersenyum sendiri. Lalu kembali hendak turun ke sungai. Namun kembali gerakannya tertahan ketika saat itu juga kedua tangan tadi muncul kembali. Kini kedua tangan itu terus menjulur. Tak berapa lama kemudian sudah tampak bagian bahu orang. Ternyata orang ini mengenakan pakaian putih. Sesaat kemudian, Dewa Orok jelas dapat melihat satu kepala berambut gondrong agak acak-acakan yang dibalut dengan sebuah ikat kepala juga berwarna putih. Dewa Orok belum dapat melihat raut wajah orang karena dia berada di atas.
Orang yang menyembul keluar dari lobang terus bergerak. Karena kini kepalanya sudah berada di luar, sementara kedua tangannya butuh pegangan, orang ini gerakkan kepalanya tengadah untuk mencari pegangan pada batu di atasnya. Saat itulah sepasang mata orang yang baru menyembul menangkap sosok yang jongkok di atas bibir batu. Sementara mata Dewa Orok juga sedang memandangnya. Kedua orang ini serentak sama terkesiap! Malah seraya makin mementang besar, kepala Dewa Orok tampak makin bergerak ke bawah. Sebaliknya kepala orang yang menyembul serentak hampir saja membentur batu karena ditarik terlalu keras!
"Heran..." pikir Dewa Orok. "Bagaimana anak ini bisa muncul di sini...? Tempo hari kulihat dia cedera dan dibawa lari orang..."
Kalau Dewa Orok membatin begitu, orang yang menyembul dari lobang diam-diam juga membatin. "Aneh... Sikapnya seperti menghadang dan tahu jika aku berada di dalam sini! Siapa sebenarnya orang itu? Tempo hari dia secara tak langsung menyelamatkanku dari seorang perempuan bernama Daeng Upas. Hem... Jangan-jangan dia tahu tentang tempat ini dan rahasia di dalamnya! Meski aku belum dapat memastikan kitab apa yang kini di tanganku, tapi tak akan kubiarkan siapa pun juga menyentuhnya!"
Orang yang baru menyembul kembali tengadahkan sedikit kepala dengan mata melirik ke atas. Saat dilihatnya Dewa Orok masih duduk di atas bibir batu orang ini segera berteriak.
"Meski kita belum sempat berkenalan, tapi kita pernah saling jumpa. Aku mengucapkan terima kasih, karena saat itu kau menolongku! Tapi sekarang harap kau katakan mengapa kau seperti menghadangku?!"
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya hingga bundaran karet itu melesat keluar dan mengapung di udara. Kejap lain terdengarlah ucapannya.
"Betul. Kita belum sempat berkenalan meski pernah bertemu muka. Kau tidak usah berbasa-basi mengucapkan terima kasih. Aku tidak merasa menolongmu. Aku hanya tidak suka melihat orang berbuat kurang ajar pada orang yang tak berdaya. Tapi sekarang bukan aku yang menjawab pertanyaanmu, sebaliknya kau yang harus jawab pertanyaanku!" Ucapan Dewa Orok sekilas tampak mengulangi seperti ucapan orang yang baru saja menyembul dari dalam lobang.
Orang yang berada di bawah mendongak. Sepasang matanya memandang tajam. Lalu dia buka mulut. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apa yang telah kau peroleh dari tempat di bawah batu besar ini?!"
Orang di bawah tampak terkesiap. Matanya makin membeliak besar. Dahinya mengernyit. "Dia tampaknya sudah tahu rahasia di dalam sini... Hem..." Orang di bawah sejenak terdiam. Lalu berujar. "Aku tak menemukan apa-apa di dalam sini! Justru aku masuk ke sini karena ulah orang!"
"Kau tak menemukan apa-apa di dalam situ? Dan kau masuk karena ulah orang?!" ucap Dewa Orok. "Kau tidak berdusta? Dan siapa orang yang punya ulah?"
"Aku telah menjawab pertanyaanmu! Orang yang membuat ulah tak bisa kukatakan. Karena orangnya juga tak kukenali!" jawab orang di bawah.
"Aku tanya apa kau tidak berdusta!" kata Dewa Orok. Selama pemuda ini terus bercakap-cakap bundaran karet mirip dot bayi yang tadi disemburkan tetap mengapung di udara tak jauh dari kepalanya.
"Apa gunanya berdusta padamu?!" kata orang di bawah balik bertanya.
Dewa Orok tertawa pendek. Lalu berkata. "Gunanya dusta padaku?! Tentu kau ingin memiliki benda itu!"
Orang di bawah kembali terkejut. "Ah... Dia tak bisa didustai. Dia benar-benar tahu keadaan di dalam... Bagaimana sekarang? Kitab telah kudapat. Aku tak akan memberikan pada siapa pun juga!" membatin orang di bawah.
"Hem... Mahkota bersusun tiga terbuat dari emas. Itulah benda yang harus kudapatkan! Apakah pemuda di bawah itu betul-betul tak menemukannya? Tapi tempat yang dikatakan Guru tidak salah... Mungkin pemuda itu berkata dusta!" Dewa Orok berkata juga dalam hati.
"He! Kenapa kau diam?! Betul bukan kau telah menemukan barang itu?!" kata Dewa Orok setelah agak lama ditunggu orang di bawah tidak berucap lagi.
"Sudah kukatakan, aku tidak menemukan apa-apa!"
"Aku ingin buktikan ucapanmu!" kata Dewa Orok akhirnya. Tanpa bergerak dari tempatnya, pemuda bertangan buntung ini kuncupkan mulut.
Seakan tahu apa yang hendak diperbuat orang di atas batu, orang di sebelah bawah cepat putar diri menghadap batu. Dengan bersitekan pada batu di depannya sepasang kakinya disentakkan.
Wuutt! Wuuttt!
Sosok orang yang berada di bawah melenting ke udara. Setelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, orang ini mendarat tiga langkah di belakang Dewa Orok. Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung melesat lalu masuk ke dalam mulut si pemuda. Kejap lain sosoknya memutar menghadap orang yang di belakangnya. Sepasang kakinya ditarik ke belakang. Untuk beberapa saat Dewa Orok yang kini duduk bersila memandang penuh selidik. Sementara orang yang dipandang balas menatap dengan penuh tanda tanya.
"Menilik nada ucapannya, orang ini mengetahui seluk-beluk tempat di dalam sana! Aku harus tahu siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau orang baik!" kata orang di hadapan Dewa Orok dalam hati.
Orang ini yang ternyata seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih dengan rambut gondrong acak-acakan dibalut ikat kepala warna putih dan bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng buka mulut.
"Harap sudi katakan siapa kau sebenarnya agar jika ada kesalahpahaman di antara kita dapat segera kita selesaikan!"
Dewa Orok gelengkan kepala. Mulutnya mengembung lalu semburkan bundaran karet. Bundaran karet itu mengapung di udara tak jauh dari wajahnya. Sesaat kemudian terdengar ucapannya.
"Dengar, Orang Muda! Salah satu hal yang tidak pernah kukatakan pada orang adalah sebutkan siapa diriku! Dan tanpa sebutkan diri, kalau kita sama jujur kukira tidak ada sesuatu yang tak dapat diselesaikan!"
"Hem... Dia menyebutku orang muda. Apa dikira dia lebih tua dariku? Kuduga usianya masih sebaya denganku..." membatin murid Pendeta Sinting lalu berkata. "Kalau kau tak suka sebutkan siapa dirimu, aku pun tak akan sebutkan siapa diriku!"
Dewa Orok tertawa panjang. "Aku tak tanya siapa dirimu! Yang kubutuhkan darimu adalah ucapan jujur!"
Paras wajah Pendekar 131 tampak berubah. Mungkin untuk membalas nada ucapan Dewa Orok, Joko segera pula berkata menjawab. "Kau pun tak akan mendapat ucapan apa-apa dariku!"
"Tak akan mendapat ucapan apa-apa darimu?" kata Dewa Orok mengulangi ucapan Pendekar 131. Dia tertawa dahulu sebelum melanjutkan. "Aku datang jauh-jauh mana mau begitu saja menerima? Kalau kau tak mau berkata, pasti ada jalan lain! Aku tahu benda yang kucari berada padamu! Aku meminta secara baik-baik! Jika kau tak menyerahkan, terpaksa aku minta dengan jalan tidak baik!"
Sebenarnya di antara kedua orang ini terjadi kesalahpahaman. Yang dimaksud Dewa Orok dengan benda sesungguhnya adalah sebuah mahkota bersusun tiga terbuat dari emas. Pemuda ini datang dari jauh dengan satu tujuan yakni mencari mahkota yang menurut gurunya adalah milik nenek moyangnya.
Sementara Pendekar 131 beranggapan jika benda yang dimaksud Dewa Orok adalah kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari dasar bumi, tempat di mana dia didorong masuk oleh sang penghuni Istana Hantu. Joko sendiri saat ini memang juga menyimpan mahkota bersusun tiga serta beberapa peniti di balik pakaiannya, tapi karena sudah terpaku pada kitab bersampul kuning, murid Pendeta Sinting seakan melupakan mahkota serta peniti emas itu.
Seperti diketahui, begitu Joko berhasil mendapatkan mahkota dan peniti emas serta kitab bersampul kuning, tiba-tiba udara di mana Joko berada saat itu berubah dingin dan gelap. Lalu terdengar suara bergemuruhnya air. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini hanya mondar-mandir di atas permukaan batu paling tinggi tak tahu harus berbuat apa. Namun pada akhirnya dia bernapas lega, karena ternyata air itu tidak sampai ke tempat dia berada.
Setelah lama menunggu, akhirnya perlahan-lahan suara bergemuruhnya air berhenti. Lalu samar-samar terlihat cahaya agak terang dari satu titik. Dengan waspada dan hati-hati, Joko melangkah mendekati titik terang. Ada keanehan di dalam tempat itu, bersamaan dengan terhentinya suara gemuruh air dan terlihatlah satu titik cahaya, air yang tadi menggenangi tempat hamparan pasir dan gugusan batu karang di dalam tanah itu laksana tersedot masuk ke dalam pasir. Hingga hamparan pasir dalam tanah itu kembali kering!
Saat murid Pendeta Sinting mencapai titik terang yang ternyata adalah sebuah lobang batu, dia benarbenar baru bisa menarik napas lega. Perlahan-lahan dia keluar dari lobang batu itu. Namun dia merasa terkejut begitu hendak keluar ternyata Dewa Orok telah nongkrong di atas batu yang berlobang. Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut lagi, Dewa Orok telah mendahului berkata.
"Aku sekarang tak butuh ucapanmu. Yang kuperlukan benda itu!"
Pendekar 131 tegak dengan kancingkan mulut dan diam tak bergerak. Sepasang matanya menatap tajam silih berganti pada sosok Dewa Orok dan bundaran karet yang mengapung di depan wajah orang.
"Orang muda! Kau dengar kata-kataku. Kenapa masih diam?!"
"Tak ada yang perlu dikatakan! Semua sudah kau dengar!" jawab Joko sedikit keraskan ucapannya.
"Kata-kata tidak menjamin, Orang Muda!"
"Terserah apa katamu! Yang pasti aku telah katakan apa adanya!" kata Joko masih tak mau berterus terang.
"Bagaimana ini? Tempat yang dikatakan Guru jelas adanya. Tapi apa mungkin mahkota yang dikatakannya benar-benar tidak ada?!"
sejenak Dewa Orok dilanda kebimbangan. Setelah berpikir agak lama akhirnya dia berkata. "Orang muda! Sebenarnya aku tidak mau bertindak kurang ajar. Tapi karena aku tak mau pulang berhampa tangan, apa boleh buat. Apalagi kulihat kau masih menyembunyikan sesuatu padaku!" Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan mulut. Lalu dihembuskan ke depan. Satu gelombang angin menderu deras ke arah Pendekar 131.
"Harap kau tak menyesal dengan tindakanmu!" bentak murid Pendeta Sinting mulai agak geram melihat orang telah lancarkan serangan meski itu hanya berupa hembusan mulut.
Namun karena hembusan itu bukan hembusan biasa, maka saat itu juga satu gelombang angin deras melesat! Murid Pendeta Sinting cepat geser tubuhnya ke samping. Gelombang angin lewat setengah depa di sampingnya. Namun baru saja tubuhnya bergerak menghindar, Dewa Orok telah membuat gerakan dengan hentakkan kedua kakinya yang bersila ke atas batu yang diduduki.
Pukkk! Pukkkk!
Sosok Dewa Orok mengudara setengah tombak. Lalu membuat gerakan menjungkir kepala di bawah, kaki di atas. Kakinya yang tadi bersila cepat bergerak membuka. Kejap lain sepasang kakinya telah melesat ke depan lancarkan satu tendangan! Belum sampai kedua kaki Dewa Orok benar-benar lancarkan satu tendangan, tiba-tiba terdengar satu seruan.
"Tahan! Aku membutuhkan pemuda itu!"
Dewa Orok apungkan sepasang kakinya di atas udara. Sementara murid Pendeta Sinting segera berpaling ke arah datangnya suara teguran. Tapi Pendekar 131 hanya dapat melihat satu sosok berkelebat. Lalu terdengar suara air berkecipak. Pertanda orang yang tadi perdengarkan suara telah ceburkan diri ke dalam sungai. Belum sempat murid Pendeta Sinting berpikir lebih panjang, mendadak dari dalam air sungai satu bayangan melesat ke atas. Kejap lain satu sosok tubuh telah tegak di samping Dewa Orok. Air sungai tampak menetes dari pakaian putih sutera serta tubuh dan rambut putih yang basah kuyup!
DEWA Orok yang urungkan niat kirimkan tendangan segera putar dirinya masih dengan kaki di atas kepala di bawah. Pendekar 131 sendiri cepat berpaling.
"Bukankah orang ini adalah..." belum habis dugaan Pendekar 131, orang yang baru muncul dari dalam air tertawa.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut mengenakan pakaian sutera warna putih. Meski usia perempuan ini tidak muda lagi, tapi raut kejelitaan masih membayang, pertanda waktu mudanya dia adalah seorang gadis yang berparas cantik jelita. Rambut perempuan ini telah memutih. Pada atas telinga kanannya tampak sebatang bambu kecil berwarna kuning. Perempuan berpakaian sutera putih yang bukan lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi Siluman berpaling pada Dewa Orok. Lalu berkata.
"Sobatku, Dewa Orok. Harap kau tunda urusanmu dengan pemuda itu! Aku masih butuh keterangan darinya!"
"Dewa Orok... Hem... Jadi pemuda itu masih kerabatnya Dewa..." kata Joko dalam hati. "Ada keanehan... Bukankah tempo hari kedua orang ini saling bentrok? Kenapa sekarang mereka berdua tampak akrab...? Ataukah waktu itu keduanya hanya bersandiwara? Tapi untuk apa?!"
Pikiran Joko dibuncah dengan berbagai duga dan tanya. Ketika Daeng Upas hendak menyerang Joko pada beberapa waktu yang lalu, saat itu memang mendadak saja muncul Dewa Orok yang selamatkan murid Pendeta Sinting. Malah setelah itu terjadi saling pukul antara Daeng Upas dan Dewa Orok (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Asmara Hitam).
Namun setelah itu Joko tidak mengetahui, jika saat terjadi bentrok antara Daeng Upas dengan Tengkorak Berdarah, muncullah Dewa Orok selamatkan Daeng Upas. Bahkan setelah kepergian Tengkorak Berdarah, Daeng Upas menceritakan siapa dirinya serta apa tujuannya pada Dewa Orok.
Untuk beberapa saat, Dewa Orok memandang ke arah Daeng Upas. Lalu dia membuat gerakan satu kali. Saat lain tubuhnya telah tegak dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya. Sementara bundaran karet terus mengapung di udara! Tanpa menunggu sambutan Dewa Orok, Daeng Upas maju satu tindak. Sepasang matanya memperhatikan murid Pendeta Sinting dari rambut sampai kaki.
"Apa nenek cantik ini tahu juga rahasia tentang tempat dalam tanah itu? Atau pertemuan ini satu kebetulan belaka?!" murid Pendeta Sinting terus menduga-duga.
Jika pikiran Pendekar 131 terus dibuncah dengan berbagai duga dan tanya, diam-diam Daeng Upas juga membatin. "Melihat pukulan yang dilancarkan sewaktu hendak memasuki Istana Hantu lalu mendengarkan keterangan Durga Ratih dan Ki Buyut Pagar Alam, jika tidak salah mungkin pemuda inilah yang digelari Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda yang berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru... Hem... Aku harus dapat mengambil kitab itu dari tangannya. Sejak berpuluh tahun aku menginginkan kitab itu! Bahkan gara-gara rahasia kitab itu aku diusir oleh guruku Panjer Wengi!"
"Anak muda!" kata Daeng Upas setelah membatin. "Lekas kau serahkan kitab itu padaku!"
Pendekar 131 tersentak. Dia pandangi perempuan di hadapannya seakan baru sekali bertemu. "Celaka! Dia benar-benar tahu rahasia tempat dalam tanah itu! Urusan dengan Dewa Orok belum selesai, kini ada lagi orang yang meminta kitab ini!" kata Joko dalam hati. Dia masih tidak mengetahui jika yang dimaksud kitab oleh Daeng Upas adalah Kitab Serat Biru. Bukan kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari tempat dalam tanah. Karena Daeng Upas sendiri tidak mengetahui adanya tempat di bawah batu tempatnya kini berpijak.
Karena dilihatnya si pemuda tidak buka mulut atau memberikan apa yang diminta, Daeng Upas kembali buka mulut membentak. Kini tangan kanannya bergerak terulur ke depan dengan sikap meminta.
"Aku ulangi satu kali lagi! Berikan kitab itu padaku!"
Untuk menutupi rasa terkejutnya, murid Pendeta Sinting tertawa panjang sebelum akhirnya berkata. "Kau minta pada orang yang salah, Nenek Cantik! Aku tidak memiliki kitab yang kau minta!"
Daeng Upas menyeringai mendengar ucapan Pendekar 131. "Dengar, Anak Muda! Aku Daeng Upas sebenarnya adalah orang yang paling berhak atas kitab itu, karena..."
"Nenek cantik!" potong murid Pendeta Sinting. "Percuma kau cerita panjang lebar. Aku tidak tahu segala macam kitab! Sebaiknya hal itu kau tanyakan pada sobatmu Dewa Orok itu. Mungkin dia tahu!"
Dewa Orok yang sedari tadi diam mendengarkan buka mulut. "Percuma kau bertanya padaku, Nenek Cantik! Aku lebih tidak mengetahui urusan kitab-kitaban!"
"Hem... Dari ucapannya, jelas jika Dewa Orok pun tak ingin orang lain tahu urusannya. Tadi dia bilang minta juga padaku, sekarang mungkir! Kedua orang ini punya tujuan sama tapi sepertinya selama ini saling mereka sembunyikan!" duga Joko begitu mendengar ucapan Dewa Orok.
"Aku tak perlu bertanya pada orang lain! Aku tahu kitab itu ada padamu! Lekas serahkan padaku!" sentak Daeng Upas sambil melangkah lagi satu tindak, tangan kanannya tetap membuat gerakan meminta, sementara tangan kirinya diangkat ke atas siap hendak lepaskan satu pukulan.
"Nenek! Harap menahan diri. Aku juga masih butuh keterangan darinya!" ucap Dewa Orok menahan gerakan Daeng Upas.
Daeng Upas tegak tanpa berpaling pada Dewa Orok dengan dahi mengernyit. "Jangan-jangan pemuda bertangan buntung ini juga menginginkan kitab itu!"
"Dewa Orok! Jika kita sama-sama memerlukan, kita selesaikan pemuda ini! Lalu kita berbagi!" kata Daeng Upas.
Daeng Upas rupanya sadar jika Dewa Orok bukanlah orang yang bisa dianggap sepele. Terbukti sewaktu bentrokan tempo hari meski tidak berada di bawahnya, tapi dia dapat mengukur sampai di mana ilmu yang dimiliki Dewa Orok. Dia juga maklum jika pemuda di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Ini dia lihat ketika Pendekar 131 hendak coba memasuki Istana Hantu pada beberapa waktu yang lalu. Mendengar ucapan Daeng Upas, Dewa Orok tertawa pelan.
"Sayang, Nenek Cantik! Dalam hal satu ini, aku tidak akan berbagi meski dengan hantu sekali pun! Benda itu adalah milik nenek moyangku, aku bisa kuwalat jika dibagi-bagi!"
"Jika begitu, terpaksa aku melupakan budi baikmu!" sahut Daeng Upas yang mengira benda dimaksud Dewa Orok adalah Kitab Serat Biru.
Dewa Orok memperkeras suara tawanya. "Sudah kukatakan padamu tempo hari, aku tidak berniat menolongmu. Yang, kulakukan adalah mencegah orang bertindak sesuka hatinya pada orang yang sudah tak berdaya!"
"Hem... Tadi dia bilang tak tahu menahu kitab-kitaban, nyatanya lalu mengaku kitab itu milik nenek moyangnya! Makanya waktu itu dia menolong pemuda ini. Tak tahunya..."
Daeng Upas cepat balikkan tubuh menghadap Dewa Orok. "Dewa Orok! Walaupun kau pernah menyelamatkan nyawaku, saat ini aku tak segan untuk berganti cabut nyawamu! Ketahuilah jika aku telah menghabiskan tenaga dan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kitab itu!"
"Nenek cantik! Terserah berapa tahun kau habiskan waktu. Aku tak mau tahu urusan kitab. Yang penting benda milik nenek moyangku harus kudapatkan kembali! Itu adalah tugasku!"
"Hai... Nampaknya pemuda itu memang tidak tahu menahu tentang kitab. Ada sesuatu lain yang dimaksud! Dari tadi dia menyebut benda. Benda apa? Mengapa minta padaku...?!" kata murid Pendeta Sinting dalam hati begitu menyimak ucapan Dewa Orok. Namun belum sampai dia buka mulut bicara, Daeng Upas telah membentak.
"Jika demikian, kau pun harus mampus di tanganku juga!"
"Sebenarnya aku tak suka urusan diakhiri dengan mampus-mampusan! Tapi jika itu sudah kau kehendaki, aku pun ikut saja! Ha Ha Ha...! Daripada hidup sengsara tak punya tangan, memang lebih baik mati. Ha Ha Ha...!"
"Aku harus cepat menyingkir dari tempat ini. Aku harus meneliti kitab ini!" bisik Joko seraya edarkan pandangannya. Sementara di hadapannya, Daeng Upas sudah angkat kedua tangannya siap menghantam Dewa Orok.
"Tahan!" seru Dewa Orok. "Kau betul-betul hendak membunuhku?!"
"Kau perintang tujuanku! Terpaksa kau harus kubuat tewas terlebih dahulu!" bentak Daeng Upas.
Suaranya belum selesai, kedua tangannya telah berkelebat menghantam ke arah kepala Dewa Orok! Daeng Upas langsung menghantam dengan pengerahan tenaga dalam tinggi karena dia maklum, seperti apa yang didengarnya dari Tengkorak Berdarah beberapa waktu lalu, Tengkorak Berdarah sebut Dewa Orok sebagai tokoh tua. Dari sini Daeng Upas sudah dapat menduga, meski tampak wajahnya masih muda, namun sebenarnya dia adalah tokoh yang usianya telah melebihi dirinya.
Mendapati dirinya dihantam, Dewa Orok tidak tinggal diam. Kedua tumitnya yang berjingkat disentakkan ke bawah. Sosoknya tiba-tiba melejit ke udara. Kedua kakinya segera bergerak mengembang.
Bukkk! Bukkk!
Dua tangan beradu keras dengan sepasang kaki. Daeng Upas tampak surutkan langkah satu tindak dengan wajah berubah. Kedua tangannya bengkak merah. Di depannya, Dewa Orok kembali tegak di atas batu dengan meringis kesakitan. Saat itulah kedua orang ini mendengar suara berkecipaknya air. Serentak kepala keduanya berpaling. Mereka berdua melihat sosok murid Pendeta Sinting berenang dengan punggung di bawah dan perut di atas.
"Jahanam! Dia hendak meloloskan diri!" rutuk Daeng Upas. Perempuan ini laksana terbang hendak melompat terjun dalam sungai mengejar. Namun tiba-tiba Dewa Orok melompat dan tegak menghadang gerak Daeng Upas. Daeng Upas menggeram marah.
"Kau benar-benar minta mampus!" Kedua tangan dan kaki kanan Daeng Upas serentak bergerak lepaskan pukulan!
Dewa Orok cepat bergerak ke samping. Dari arah samping dia membuat gerakan menjungkir. Lalu kedua kakinya yang kini berada di atas disentakkan memangkas pukulan Daeng Upas.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke samping batu. Karena tidak ada pegangan, akhirnya tubuh perempuan ini melorot jatuh ke dalam sungai. Dewa Orok sendiri tampak tersapu. Karena dirinya juga berada tak jauh dari bibir batu, maka tak ampun lagi sosoknya juga tercebur dalam sungai!
Mungkin tak mau buruannya lolos, Daeng Upas tidak menghiraukan Dewa Orok. Dengan menindih rasa sakit pada kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kaki Dewa Orok, perempuan ini segera berenang ke seberang. Kejap lain sosoknya telah tegak di atas tanah di seberang. Sesaat kepala Daeng Upas berputar. Dia terdengar memaki panjang pendek karena murid Pendeta Sinting sudah tidak kelihatan lagi!
Daeng Upas melirik ke sungai. Dewa Orok tampak masih mengapung di atas air. Tanpa berkata lagi, ibu Dewi Siluman ini berkelebat tinggalkan tempat itu. Begitu Daeng Upas berlalu, Dewa Orok kuncupkan mulut menyedot. Bundaran karet yang masih mengapung di atas batu besar bergerak melesat ke bawah kemudian masuk ke dalam mulutnya.
"Aku akan buktikan dahulu ucapan pemuda tadi! Kalau dia berkata dusta padaku dan membawa mahkota itu, ke mana pun dia akan kukejar!" gumam Dewa Orok.
Pemuda bertangan buntung ini sejenak edarkan pandangannya ke atas. Yakin Daeng Upas benar-benar telah berlalu, dia segera melesat lalu masuk ke dalam lobang yang ada di bagian batu besar yang memisahkan aliran sungai.
DAENG Upas yang tak mau kehilangan murid Pendeta Sinting yang diyakininya membawa Kitab Serat Biru laksana terbang lipat gandakan ilmu peringan tubuhnya. Sosoknya melesat cepat ke arah barat. Namun pada satu tempat, mendadak sontak perempuan yang meski usianya telah lanjut tapi masih tampak cantik ini hentikan larinya. Memandang ke samping kiri dia melihat satu sosok duduk bersila. Daeng Upas tidak dapat mengenali wajah orang karena orang ini duduk membelakangi! Tadi dari pancaran sinar mata si nenek, kelihatan jika dirinya dapat menduga siapa adanya orang. Terbukti begitu sekilas memperhatikan, Daeng Upas membatin.
"Sosok dan pakaiannya dapat kukenali! Jahanam inilah salah satu yang harus kulenyapkan dari muka bumi! Dia biang kerok penyebab jatuhnya Kitab Serat Biru ke tangan orang lain! Hem... Dicari sukar, kini tak dicari bertemu!"
Daeng Upas beliakkan sepasang matanya pandangi punggung orang yang ternyata adalah seseorang bertubuh besar gemuk mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang di pinggangnya melingkar satu ikat pinggang besar. Rambutnya putih disanggul ke atas.
"Hem... Tiba saatnya aku pergunakan bambu ini! Racun di dalamnya memang sengaja kuperuntukkan bagi dia dan gerombolannya!" gumam Daeng Upas sambil usap-usap bambu berwarna kuning yang menyelip di atas telinga kanannya. Selama ini bambu itu memang tidak digunakan oleh si nenek. Habis bergumam begitu, Daeng Upas melesat ke samping kiri. Saat lain sosoknya telah tegak di hadapan orang yang duduk bersila. Sepasang mata Daeng Upas melotot memperhatikan wajah orang.
Orang yang duduk gerakkan kepala mendongak. Ternyata orang ini sepasang matanya hanya kelihatan putih pertanda jika dirinya buta. Pada pangkal ikat pinggangnya di sebelah depan tampak sebuah cermin bulat.
"Sayang aku tidak bisa melihat..." ucap orang yang duduk bersila dan tidak lain adalah Gendeng Panuntun adanya. "Tapi aku tahu ada seorang sahabat di depanku. Harap sudi sebutkan siapa, laki atau perempuan. Kalau perempuan cantik apa..."
Ucapan Gendeng Panuntun belum habis telah dipotong oleh Daeng Upas. "Aku bukan sahabatmu! Aku malaikat maut yang berhak atas nyawamu!"
Ucapan Daeng Upas bukan membuat Gendeng Panuntun tersentak kaget. Sebaliknya dia tertawa bergelak sambil usap-usap cerminnya. Lalu berucap. "Kenapa nasibku buruk begini? Kukira di tempat sunyi begini bisa bertemu gadis cantik, tak tahunya bertemu malaikat cantik yang hendak mengambil satu-satunya nyawaku. Ada urusan apa sebenarnya hingga kau menginginkan nyawaku...? Adakah nyawaku bisa dijual dan berharga mahal?"
Daeng Upas menyeringai. Lalu membentak garang. "Justru karena nyawamu tidak ada harganya aku akan mencabutnya!"
"Nenek cantik! Mau katakan kenapa kau bernafsu sekali pada nyawaku yang tak berharga ini?!"
Meski sejenak Daeng Upas tampak terkejut mendapati Gendeng Panuntun tahu dirinya seorang nenek, tapi saat lain dia telah berkata dengan suara keras. "Gendeng Panuntun! Aku ingin kematianmu beriring dengan penasaran!"
Habis membentak begitu, Daeng Upas cepat melompat ke depan. Kakinya lepaskan satu tendangan. Perempuan ini sengaja lepaskan tendangan dari jarak empat langkah. Hebatnya meski tendangan itu tidak langsung mengenai sasaran sosok Gendeng Panuntun, namun tenaga yang melesat dari tendangan itu laksana kaki perempuan ini benarbenar menghantam sasaran!
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. Tangan kanannya menyentak tanah di sampingnya. Sosoknya bergerak ke samping dengan cepat. Hingga tendangan jarak jauh Daeng Upas melabrak tempat kosong.
Daeng Upas kernyitkan dahi. "Hem... Apa yang kudengar selama ini ternyata benar. Manusia buta ini telah menjadi tokoh yang bukan saja aneh, tapi juga memiliki kepandaian tinggi! Menyesal aku mengapa tidak sedari dulu dia dan gerombolannya kulenyapkan!"
Seperti diketahui, sebenarnya Daeng Upas adalah masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun. Malah Daeng Upas murid pertama guru Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya yakni Iblis Ompong, Ratu Malam, Dewa Sukma, dan Dewi Es. Namun karena Daeng Upas bertindak menyalahi aturan malah akhirnya mengandung dengan Datuk Besar yang akhirnya melahirkan Dewi Siluman, Daeng Upas harus meninggalkan perguruan.
Daeng Upas pergi dengan membawa kecewa dan dendam. Kecewa karena selama ini dia tahu jika gurunya menyimpan satu rahasia besar dan belum berhasil dia peroleh. Dendam karena dia menduga justru Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya yang menceritakan tingkah lakunya pada guru mereka hingga dirinya terusir dari perguruan. Perasaan dendam Daeng Upas semakin berkobar setelah pada beberapa tahun kemudian dia mengetahui jika rahasia yang dulu diimpikannya jatuh ke tangan Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya.
"Nenek!" kata Gendeng Panuntun. "Harap tidak perturutkan perasaan. Bagaimanapun juga kita masih saudara! Bukankah lebih baik kita sambung lagi putusnya tali persaudaraan ini? Waktu itu mungkin kau terbawa perasaan hingga menganggapku..."
"Gendeng Panuntun! Urusan lama telah kukubur dalam-dalam! Di antara kita tidak ada ikatan apa-apa! Kau adalah musuhku. Aku adalah lawanmu!"
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepalanya. "Sekali saudara, apa dan bagaimanapun bagiku tetap saudara!"
Daeng Upas tertawa bergelak. "Dendamku sudah berkarat, Gendeng Panuntun! Tak ada yang bisa meredamnya selain lenyapnya nyawamu dan nyawa gerombolanmu!"
"Kau masih larut oleh perasaanmu. Padahal bukankah pangkal sebabnya hanya karena urusan rahasia kitab itu? Kau harus sadar, meski rahasia itu diberikan padaku serta saudara-saudaraku, aku dan mereka pun tidak berhak atas kitab itu! Kami hanyalah sebagai perantara! Sementara orang yang berhak atas kitab itu telah ditentukan! Kita semua tidak ada yang mendapatkan kitab itu!"
"Aku sudah tahu! Aku pun tahu siapa orang yang telah mendapatkan kitab itu! Malah sebentar lagi kitab itu akan berpindah ke tanganku! Tapi jika saat itu kau dan gerombolanmu tidak bicara macam-macam, tidak sampai aku harus menunggu berpuluh tahun lamanya!"
"Di antara kita tidak ada yang ditentukan untuk memiliki kitab itu. Jadi kurasa percuma kau menghabiskan waktu memburunya! Justru yang akan kau dapatkan adalah bertambahnya rasa kecewa..."
"Ramalan sialan! Siapa percaya pada ucapan orang buta sepertimu, hah?!"
"Aku tidak meramal. Hal itu kini telah jadi kenyataan! Apakah kau akan mengingkari kenyataan?"
"Kenyataan goblok! Dengar, Gendeng Panuntun! Apa pun bunyi ucapanmu, jangan berharap aku berubah niat! Dendamku tak bisa diputus oleh apa dan siapa pun!"
"Itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagimu. Kau akan terlindas oleh dendammu sendiri..."
Daeng Upas tertawa panjang mendengar kata-kata Gendeng Panuntun. Puas tertawa, perempuan itu berujar. "Mati dalam dendam lebih baik bagiku daripada hidup memendam dendam dan tak berusaha melampiaskannya!" Habis berkata begitu, Daeng Upas angkat kedua tangannya.
Di hadapannya, Gendeng Panuntun bergerak bangkit. Kakek ini usap-usap cermin bulatnya lalu berkata. "Sepertinya kau tadi sedang mengejar sesuatu. Hem... Kukira apa yang tengah kau kejar lebih penting daripada urusan di sini. Karena di sana kau akan buktikan apakah rasa dendammu sudah pada tempatnya atau tidak! Nah, aku harus pergi..." Gendeng Panuntun putar dirinya setengah lingkaran. Lalu melangkah tinggalkan tempat itu.
"Manusia buta ini tampaknya mengerti jika aku sedang mengejar pemuda yang mendapatkan Kitab Serat Biru itu... Tapi dia tak akan kulepas begitu saja. Mencari orang macam dia susahnya setengah mati! Sekali ada kesempatan, aku tidak akan membiarkannya!" membatin Daeng Upas. Lalu berteriak.
"Gendeng Panuntun! Yang kukejar memang satu hal amat penting. Namun saat ini nyawamu lebih penting!"
"Kau tidak akan tambah kecewa jika buruan yang telah bertahun-tahun kau impikan lepas begitu saja? Soal dendammu padaku sebaiknya kau tunda dahulu... Siapa tahu nantinya kau maklum jika takdir telah menentukan lain dengan apa yang kau cita-citakan."
"Kau tak usah banyak bicara! Aku tahu apa yang harus kulakukan!" bentak Daeng Upas. Baru saja ucapannya habis, kedua tangannya telah bergerak lepaskan satu pukulan bertenaga dalam kuat. Hingga saat itu juga satu gelombang dahsyat menderu ke arah Gendeng Panuntun!
Gendeng Panuntun hadapkan kembali tubuhnya ke arah Daeng Upas. Bersamaan itu tangan kanannya mengusap cermin bulat pada depan perutnya. Ketika tangannya ditarik, tampaklah satu cahaya putih berkerlap.
Bussss!
Gelombang angin yang dilepas Daeng Upas ambyar bertabur di udara. Sosok Daeng Upas tersurut tiga langkah dengan wajah berubah pucat pasi. Tubuhnya bergetar keras. Di seberang depan, sosok Gendeng Panuntun terlihat bergoyang-goyang. Pakaian hijau gombrong yang dikenakan berkibar-kibar. Orang ini sesaat tampak geleng-geleng kepala. Lalu tanpa berkata-kata lagi ia teruskan langkah.
Meski mulai sadar jika sulit menundukkan Gendeng Panuntun, namun karena dendam telah merasuki dadanya perempuan ibu Durga Ratih alias Dewi Siluman ini melupakan kekuatannya sendiri. Dia segera kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Namun mendadak, dia urungkan niat lepaskan pukulan. Sebaliknya tangan kanannya menyahut bambu yang menyelip di atas telinganya.
Sesaat Daeng Upas tegak dengan mata memandang sosok Gendeng Panuntun yang terus melangkah pelan. Kejap lain sosok perempuan ini melesat ke depan. Bambu berwarna kuning cepat diletakkan di mulut. Sambil melayang di udara, Daeng Upas kembungkan mulut hendak meniup bambu. Namun sebelum benar-benar meniup, terdengar satu deruan keras. Saat lain satu gelombang angin dahsyat melabrak ganas ke arah sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara.
Daeng Upas menjerit kaget dan marah sekali. Terpaksa dia selipkan kembali bambu ke atas telinganya. Kedua tangannya segera bergerak memukul ke arah datangnya gelombang serangan. Terdengar letupan keras. Tanah lima langkah di hadapan Daeng Upas muncrat ke udara tersapu bentroknya pukulan Daeng Upas dengan gelombang angin yang tiba-tiba menghadang gerak si nenek.
"Keparat! Siapa berani gila ikut campur?!" teriak Daeng Upas begitu mendarat di atas tanah sambil putar kepala ke samping kiri. Tangan kiri kanannya masih di atas kepala dan siap hendak lepaskan pukulan.
Namun mendadak sosok Daeng Upas bergetar. Kakinya mundur satu tindak. Matanya mendelik dengan mulut terkancing rapat. Sementara agak jauh di depan sana Gendeng Panuntun hanya berhenti sebentar tanpa balikkan tubuh. Kejap lain kakek bermata buta ini tenang saja teruskan langkah. Tapi satu suara tawa panjang mendadak menggema di seantero tempat itu, membuat Gendeng Panuntun kembali harus hentikan langkah.
LAKSANA diputus setan, serta-merta suara tawa panjang lenyap. Saat lain terdengar suara. "Gendeng Panuntun! Jangan berani melangkah! Tunggu di situ sampai tiba giliranmu!"
Gendeng Panuntun tidak menyahut ucapan orang. Dia hanya putar diri lalu tengadah dengan usap-usap cerminnya. Sementara Daeng Upas terus perhatikan ke depan. Pada orang yang tadi menahan gerakannya dan baru saja berkata.
Di situ tegak satu sosok tubuh yang tak bisa dikenali. Sosok orang ini dibungkus dengan jubah panjang terusan berwarna abu-abu yang menutupi si pemakai dari ujung rambut sampai kaki. Pada bagian dada jubah terlihat sebuah gambar tengkorak.
"Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas pelan melihat siapa adanya orang yang mengenakan jubah abu-abu terusan. Perempuan ini tampak khawatir dan gelisah. Namun diam-diam dia lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangannya yang masih di atas kepalanya.
"Orang ini pasti hendak teruskan urusan yang tertunda tempo hari!" kata Daeng Upas dalam hati. Parasnya sedikit berubah. Dia teringat bagaimana saat itu dia hampir saja tak tertolong nyawanya jika tidak muncul Dewa Orok serta berkelebatnya orang aneh yang saling bergendongan dari pelataran Istana Hantu. Tapi bayangan rasa cemas di raut wajah Daeng Upas hanya sekejap. Saat lain parasnya merah mengelam. Dadanya bergerak turun naik pertanda kian menahan gejolak amarah.
"Jahanam inilah yang memutus hubunganku dengan Datuk Besar! Aku telah bersumpah untuk membalas kematian Datuk Besar! Peduli setan dia berkepandaian tinggi!"
"Daeng Upas!", tiba-tiba orang berjubah abu-abu dan tidak lain memang orang yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah perdengarkan suara. "Tempo hari nyawamu selamat, tapi tidak hari ini!"
"Orang ini mengenal Gendeng Panuntun juga diriku. Siapa dia sebenarnya?" membatin Daeng Upas dengan mata memandang tajam seakan ingin menembus jubah penutup Tengkorak Berdarah dan mengetahui raut wajah di baliknya.
Tiba-tiba terdengar suara bergelak. Baik Daeng Upas dan Tengkorak Berdarah segera gerakkan kepala masing-masing berpaling. Di sebelah depan sana terlihat Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya seraya terpingkal-pingkal. Begitu tawanya berhenti, kakek bermata buta ini berujar.
"Maksud tujuan kadang-kadang membawa orang bertindak aneh-aneh. Sampai-sampai harus merubah suara segala! Padahal kepalsuan akan menambah suasana jadi makin tak karuan..."
Kalau Daeng Upas tidak merasa terkejut dengan ucapan Gendeng Panuntun karena tidak tahu maksudnya, tidak demikian halnya dengan Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abu orang ini sejenak tampak bergerak tengadah.
"Bangsat buta itu tampaknya tahu suara palsuku! Keparat betul!" maki orang berjubah abu-abu dalam hati. Seperti diketahui, selama ini orang yang menyebutkan diri sebagai Tengkorak Berdarah ini selalu perdengarkan suara seorang laki-laki.
"Dengar kalian berdua!" tiba-tiba Tengkorak Berdarah membentak garang. "Kematian sudah pasti akan menjadi bagian kalian berdua. Tapi hal itu bisa kalian tebus jika kalian berdua bisa jawab pertanyaanku! Tapi ingat! Jika jawaban kalian dusta, aku tak segan membuat kalian mampus dua kali! Kalian dengar?!"
Daeng Upas kernyitkan kening. Dia heran mengapa dirinya dihubungkan dengan Gendeng Panuntun dalam urusannya. Di lain pihak, Gendeng Panuntun terlihat dongakkan kepala lalu berkata.
"Walah... Belum habis orang inginkan nyawaku sekarang ada orang inginkan kematianku! Tapi kurasa kematianku akan tertunda, karena tentu kau tidak akan segera membunuhku sebelum mendapat jawaban dariku..."
Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa panjang mendengar ucapan Gendeng Panuntun. "Dugaanmu kali ini meleset, Orang Buta! Begitu kau dan perempuan itu tak menjawab pertanyaanku, maka kematian akan menjadi hakmu! Aku tidak akan menunda!"
"Ooo... Begitu? Coba katakan apa pertanyaan yang menjadi gantungan nyawaku itu?"
Tengkorak Berdarah melangkah. Begitu sampai tempat di antara Gendeng Panuntun dan Daeng Upas, orang berjubah abu-abu ini berkata. "Aku ingin tahu, di mana guru kalian berada saat ini?!"
Daeng Upas tersentak kaget. "Orang ini tahu banyak tentang diriku. Sampai tahu jika aku dan Gendeng Panuntun pernah berguru pada satu orang! Hem... Biar manusia buta itu yang memberi jawaban, selain aku tidak mengetahui dimana beradanya orang yang ditanyakan, aku juga sudah memutuskan pertalian murid dan guru! Bahkan Guru adalah salah satu orang yang harus kulenyapkan!"
"Kalian tidak tuli! Lekas bicara jawab pertanyaanku!" bentak Tengkorak Berdarah begitu belum juga di antara Gendeng Panuntun atau Daeng Upas yang buka mulut memberi jawaban.
Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya. Lalu berujar dengan tersenyum. "Guruku seorang laki-laki. Dan kau..." Gendeng Panuntun sengaja putuskan ucapannya. Lalu melanjutkan. "Jangan-jangan di antara kau dan guruku punya hubungan tertentu. Betul...?!"
"Aku butuh jawaban! Bukan dugaan gilamu! Lekas jawab di mana guru kalian Panjer Wengi berada!" sahut Tengkorak Berdarah dengan suara makin keras dan bergetar.
"Hem... Coba kau tanya dulu Nenek Cantik itu! Barangkali dia tahu..." ucap Gendeng Panuntun sambil telengkan kepala ke arah Daeng Upas.
Daeng Upas menyeringai. "Kau tidak akan mendapat jawaban apa-apa dariku! Aku telah memutuskan hubungan murid dan guru dengan manusia bernama Panjer Wengi! Justru saat ini dia adalah salah seorang yang kucari!"
"Hem..." Tengkorak Berdarah bergumam. "Sekarang apa jawabmu, Orang Buta?!"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Sebenarnya berat sekali aku mengatakannya. Tapi apa hendak dikata aku harus berterus terang. Sudah beberapa puluh tahun aku tak lagi jumpa dengannya. Jadi jangan tanya di mana dia berada..."
Tengkorak Berdarah menggereng.b"Gendeng Panuntun! Selama ini kudengar kau pandai menduga orang! Adalah mustahil jika kau sampai tidak dapat menduga di mana gurumu berada!"
Gendeng Panuntun tertawa pelan. "Manusia kadang lupa jika hanya kemampuan Yang Maha Tinggi yang tidak ada batasnya. Sementara sedikit yang kumiliki begitu terbatas sekali. Terbukti aku tidak bisa menduga di mana guruku sendiri berada!"
"Berarti kalian berdua tidak bisa terhindar dari lobang kematian!" kata Tengkorak Berdarah.
"Jangan sangkut pautkan aku dengan orang yang kau cari! Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa! Orang buta itulah yang seharusnya bertanggung jawab!" ucap Daeng Upas coba melepaskan diri.
Ibu Dewi Siluman ini rupanya maklum jika dirinya mungkin tidak akan mampu menghindar dari kematian kalau Tengkorak Berdarah benar-benar melakukan ancamannya. Namun di lain pihak, dia sendiri sudah punya tekad mengadu jiwa mengingat Tengkorak Berdarah inilah yang membunuh bekas kekasihnya yakni Datuk Besar.
"Daeng Upas! Peduli setan kau punya hubungan apa tidak! Yang jelas kau tidak dapat menjawab tanyaku! Jangan coba mengalihkan tanggung jawab!"
"Tak ada gunanya aku mengalihkan tanggung jawab! Antara kau dan aku memang ada hutang nyawa yang harus dibayar!" jawab Daeng Upas pada akhirnya.
"Bagus! Kekasihmu memang telah lama menanti di liang kubur!" sahut Tengkorak Berdarah sambil tertawa pendek. Yang dimaksud orang berjubah ini bukan lain adalah Datuk Besar, kekasih Daeng Upas yang telah terbunuh.
Ucapan Tengkorak Berdarah makin membuat rasa gelisah Daeng Upas menjadi pupus. Rasa cemas dan khawatir karena dia pernah hampir terbunuh di tangan Tengkorak Berdarah berubah menjadi tekad berkobar untuk mengadu jiwa. Begitu Tengkorak Berdarah selesai berkata, Daeng Upas menyahut. Suaranya lantang.
"Kau terlalu tinggi bicara. Kita buktikan siapa di antara kita yang masih berhak melihat matahari esok hari!"
Suaranya belum selesai, Daeng Upas telah melompat ke samping. Belum sampai sepasang kakinya menginjak tanah, kedua tangannya telah bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh!
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah. Bukan hanya sampai di situ, begitu gelombang angin melesat, Daeng Upas teruskan lompatannya. Kaki kiri kanannya diangkat lalu lepaskan tendangan dari jarak tiga langkah! Mendapati serangan beruntun, Tengkorak Berdarah tampak terkesiap juga. Kepala di balik jubah abu-abunya tampak tertarik sedikit ke belakang. Namun di saat lain kedua tangannya terangkat lalu menyentak ke depan.
Bummm! Bummm!
Dua letusan keras mengguncang tempat itu. Empat gelombang angin yang masing-masing membawa hawa maut bertabur ambyar di udara. Sosok Daeng Upas sudah terpental sebelum kakinya menginjak tanah setelah lepaskan tendangan jarak jauh menyusuli hantaman kedua tangannya. Perempuan ini gulingkan diri di tanah. Pada satu kesempatan dia berseru keras lalu seketika bergerak bangkit. Sosoknya sesaat tergontai-gontai. Paras wajahnya laksana tidak berdarah. Kedua tangannya bergetar keras. Dadanya bergerak cepat turun naik dengan mulut megap-megap.
Di seberang lain, begitu terdengar letusan sosok Tengkorak Berdarah hanya terseret lima langkah dan terhuyung-huyung. Saat lain orang ini telah tegak kembali dengan kepala lurus ke arah Daeng Upas. Namun begitu tegak dan belum sempat melihat apa yang terjadi menimpa Daeng Upas, satu tenaga laksana sebuah tendangan telah menggebrak ke arahnya!
Tengkorak Berdarah menggeram marah. Namun sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan menangkis. Hingga tak ampun lagi sosoknya tersapu satu tombak ke belakang. Untung orang ini masih dapat imbangi diri hingga meski sesaat sosoknya hampir terjerembab dia sentakkan tangan kanannya ke atas tanah. Tubuhnya melenting satu tombak ke udara, lalu melayang turun dan tegak dengan kaki terpacak di atas tanah. Walau demikian, sosoknya terlihat bergetar dan kedua tangannya segera meraba dadanya yang terasa sesak dan berdenyut sakit akibat terhantam tendangan yang dilepas dari jarak jauh oleh Daeng Upas.
Seperti diketahui. Daeng Upas memiliki ilmu yang bisa melepas tendangan dan jotosan dari jarak jauh. Melihat tendangan yang dilepas menghantam sasaran, keberanian Daeng Upas makin bertambah. Hingga begitu Tengkorak Berdarah menginjak tanah, perempuan ini kembali melesat ke depan. Bambu kecil di atas telinga kanannya dicabut lalu ditiup. Bersamaan itu kedua kakinya kembali bergerak kirimkan tendangan!
Busss!
Dari bambu berwarna kuning di mulut Daeng Upas melesat asap hitam. Cepat luar biasa asap hitam itu kini telah setengah depa di depan Tengkorak Berdarah. Sesaat Tengkorak Berdarah tampak terkejut dan mundur satu langkah. Saat itulah tendangan jarak jauh Daeng Upas sampai. Tengkorak Berdarah mendengus keras. Dia belum tahu apa kehebatan asap hitam dari bambu, meski dia sadar jika asap hitam itu tentu mengandung bahaya. Tapi kalau dia menghantam asap hitam bukan tak mungkin tendangan jarak jauh si nenek pasti untuk kedua kalinya akan menghantam tubuhnya. Dia tampaknya tidak mau terpental kedua kali. Hingga tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya segera menyentak ke depan menangkis tendangan Daeng Upas.
Wuutt! Wuutt!
Tendangan jarak jauh Daeng Upas sirna tersapu gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Tengkorak Berdarah. Malah bersamaan dengan itu, sosok Daeng Upas terlihat ikut juga tersapu dan mental sebelum akhirnya jatuh terduduk! Saat Tengkorak Berdarah sentakkan kedua tangan memangkas tendangan jarak jauh Daeng Upas, asap hitam terus melesat dan tiba-tiba berputar-putar di depan kepala Tengkorak Berdarah.
Mendadak Tengkorak Berdarah perdengarkan batuk beberapa kali. Orang ini rasakan jalan pernapasannya tersumbat. Kepalanya terasa berputar-putar pening. Kejap lain sosoknya tampak mundur terhuyung-huyung. Maklum akan apa yang terjadi pada dirinya, Tengkorak Berdarah cepat sumbat jalan pernapasannya dan kerahkan tenaga murni.
Melihat sosok Tengkorak Berdarah terhuyung, Daeng Upas menindih rasa sakit pada sekujar tubuhnya karena tersapu pukulan lawan. Dia segera bangkit lalu didahului bentakan keras, perempuan ini laksana terbang melesat ke arah lawan yang diduganya telah menghirup racun dari bambu miliknya.
Mungkin percaya akan kehebatan asap racun dalam bambunya, Daeng Upas kali ini tiada lagi lepaskan tendangan atau jotosan dari jarak jauh. Sebaliknya dia terus melesat mendekat. Kedua tangannya di atas bahu siap lepaskan pukulan mematikan ke arah kepala Tengkorak Berdarah.
Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas membuat hancur kepala Tengkorak Berdarah, di luar dugaan si nenek, mendadak Tengkorak Berdarah yang diduganya tak mungkin kuasa membuat gerakan menangkis, angkat kedua tangannya sementara tubuhnya digeser ke samping. Kejap lain kedua tangan Tengkorak Berdarah berkelebat.
Karena tidak menyangka lawan masih bisa membuat gerakan bahkan balas lepaskan pukulan, bukan saja membuat pukulan Daeng Upas menghantam tempat kosong tapi juga membuat si nenek terlambat untuk menghindar.
Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru keras. Sosoknya terpental balik dan jatuh punggung di atas tanah. Darah menyembur dari mulutnya, pertanda dia terluka dalam cukup parah. Namun karena tekadnya telah bulat, perempuan yang masih berwajah cantik itu bergerak bangkit. Namun saat itu juga kedua kakinya goyah, saat lain kembali sosoknya jatuh di atas tanah, Daeng Upas tak kehabisan akal. Dia cepat ambil bambu di atas telinganya.
Melihat tindakan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah tak mau bertindak ayal. Sebelum Daeng Upas sempat semburkan lagi asap hitam, sosok Tengkorak Berdarah telah melompat ke depan. Bersamaan itu kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan bertenaga dalam kuat.
Daeng Upas tercekat. Belum sempat membuat gerakan menangkis atau semburkan asap hitam pada bambunya, sosoknya telah tersapu mental. Dan belum sampai tubuh Daeng Upas jatuh di atas tanah, Tengkorak Berdarah yang tampaknya sudah tak mau memberi kesempatan segera melesat memburu sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara.
Seett!
Kedua tangan Tengkorak Berdarah memegang pinggang Daeng Upas. Sosok perempuan ini sejenak diangkat namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke bawah membanting tubuh Daeng Upas dari ketinggian satu tombak.
Bukkk!
Daeng Upas yang telah terluka dalam parah tak sempat lagi keluarkan suara pekikan. Hanya sosoknya yang terkapar sejurus tampak bergerak-gerak. Namun cuma sekejap. Kejap lain gerakannya terhenti diiringi dengan erangan pelan yang terputus!
Tengkorak Berdarah telengkan kepala ke bawah memperhatikan Daeng Upas yang terkapar tanpa nyawa lagi. Lalu kepalanya tengadah. Kedua tangannya terangkat mengusap dadanya. "Hem... Untung racun keparat itu belum sampai masuk dada! Jika terlambat sedikit, mungkin aku yang terkapar mati!" gumamnya.
Namun demikian bukan berarti asap hitam beracun itu tidak berpengaruh. Karena walau memang belum sampai terhirup masuk ke dalam dada tapi telanjur masuk ke dalam lobang hidungnya. Hingga begitu kepalanya tengadah, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu tampak jubah abu-abu terusan tepat bagian sekitar mulut berubah menjadi merah! Tanda orang ini telah semburkan darah.
Tengkorak Berdarah tampaknya tidak hiraukan hal itu, karena mendadak dia teringat pada Gendeng Panuntun. Laksana diputar setan, sosok Tengkorak Berdarah cepat membalik menghadap ke arah mana tadi Gendeng Panuntun berada. Sekonyong-konyong keluar makian dari mulut orang berjubah abu-abu terusan. Kakinya menghentak tanah hingga bergetar keras. Kedua tangannya mengepal. Ternyata sosok Gendeng Panuntun sudah tidak ada lagi di tempat itu!
Tanpa diketahui oleh Daeng Upas dan Tengkorak Berdarah yang saat itu tengah terpaku pada pukulan lawan masing-masing, diam-diam Gendeng Panuntun berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Jahanam buta itu tidak akan kubiarkan berkeliaran seenaknya. Apalagi dia sepertinya telah mengetahui siapa diriku!" desis Tengkorak Berdarah. Setelah usap-usap dadanya berulang kali dan salurkan hawa murni, orang ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya saat merasa berada pada tempat aman. Namun demikian dia tidak bertindak gegabah. Sebelum dia memperlambat larinya, dia seringkali palingkan kepala ke belakang dan ke kanan kiri. Ketika merasa yakin Daeng Upas atau Dewa Orok tidak lagi mengejar, dia hentikan langkah. Kepalanya tengadah. Saat itu matahari mulai pancarkan sinar kemerahan tanda tidak berapa lama lagi akan segera tenggelam.
Murid Pendeta Sinting melangkah pada satu tanah agak tinggi, di mana pada kanan kirinya terdapat dua batang pohon mahoni besar. Seraya bersandar punggung pada salah satu batang pohon, Joko meraba seputar perut dan pinggangnya. Dia menarik napas lega.
"Untung kitab dan mahkota ini tidak basah terkena air..." gumamnya lalu geser tangannya hingga kitab dan mahkota yang berada di balik pakaiannya makin tidak kelihatan.
"Ternyata ada saja orang yang tahu tempat rahasia begitu. Hanya setelah menyimak ucapannya, Dewa Orok sepertinya tidak menginginkan kitab ini. Tapi ada benda lain yang dikehendakinya. Astaga! Jangan-jangan..."
Pendekar 131 tidak lanjutkan gumamannya. Dari arah barat sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh sedang berlari ke tempat di mana dia berada. Mengira orang yang sedang berlari adalah salah satu antara Daeng Upas atau Dewa Orok, murid Pendeta Sinting segera melompat dan berlindung di balik pohon. Tak berapa lama kemudian, sejarak sepuluh langkah dari tempat Joko berlindung tampak satu sosok tubuh tegak dengan kepala berputar dan mata memperhatikan sekeliling. Dari sikap dan pandangannya jelas jika orang ini sedang mencari sesuatu.
"Heran... Baru saja kulihat dia berada di sekitar tempat ini! Sayang aku tidak bisa memastikan memang dia atau bukan. Larinya begitu cepat. Seandainya pakaian yang dikenakan tidak mirip, tak akan aku bersusah-susah mengejarnya... Tapi apa dia benar-benar masih hidup? Jangan-jangan ucapan Ayah hanya untuk menyenangkan hatiku dan yang terjadi sebenarnya adalah dia telah..."
Orang ini tak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia takupkan kedua tangan pada wajahnya. Sesaat kemudian bahu orang ini berguncang. Lalu terdengar isakan pelan. Tapi suara isakan sekonyong-konyong berubah menjadi satu jeritan tatkala satu tangan tiba-tiba memegang bahu orang yang sedang terisak. Secepat kilat orang yang tadi terisak balikkan tubuh. Kedua tangannya yang tadi menutupi wajahnya segera ditarik dan diangkat. Namun satu suara membuat orang ini bukan saja tegak tertegun, namun juga mendelik hampir tak percaya.
"Bagaimana keadaanmu...? Apa yang terjadi...?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya terus memandang ke depan dengan mata makin terpentang dan kedua tangan tetap di atas. Sesaat setelah sadar dari rasa terkesimanya, terdengar orang ini bergumam.
"Joko..."
Murid Pendeta Sinting tersenyum. Namun diam-diam dia merasa ada keanehan pada orang yang kini ada di hadapannya. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam yang memperkenalkan diri pada Joko dengan Raka Pradesa.
"Seorang pemuda tampan. Tapi kenapa menangis begitu rupa? Ah... Mungkin ada sesuatu yang sangat menyentuh jika seorang pemuda sampai keluarkan air mata..." kata Joko dalam hati menjawab rasa aneh yang dilihatnya pada pemuda di hadapannya.
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, tiba-tiba pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam dan tidak lain adalah Raka Pradesa alias Saraswati menghambur ke depan. kedua tangannya cepat melingkar merangkul pinggang Pendekar 131. Sementara kepalanya diletakkan pada dada si pemuda, membuat Joko salah tingkah dan kebingungan bercampur heran.
Saraswati yang menyamar sebagai pemuda ini terisak dan bergumam tak jelas. Menduga bahwa si pemuda sedang dilanda sesuatu yang membuat dirinya membutuhkan teman tempat mengadu, meski masih bertanya-tanya heran, akhirnya murid Pendeta Sinting hanya diam. Beberapa saat berlalu. Setelah suara isakan Raka Pradesa terhenti, Joko angkat kedua tangannya memegang pundak si pemuda di hadapannya. Lalu berbisik.
"Raka... Katakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Raka Pradesa angkat kepalanya. Tubuhnya yang merapat pada tubuh Pendekar 131 perlahan-lahan ditarik. Wajahnya tiba-tiba berubah memerah. Tanpa berani membalas tatapan murid Pendeta Sinting, Raka Pradesa cepat palingkan wajahnya. Membuat Joko makin bertambah heran dan kembali bertanya.
"Katakanlah ada apa...!"
Raka Pradesa tidak segera buka mulut. Sebaliknya dada pemuda yang sebenarnya seorang gadis ini dibuncah berbagai perasaan. Senang karena melihat Joko masih selamat dan hidup. Namun di samping itu dia juga kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan Joko.
"Apakah aku harus berkata terus terang? Lalu apakah dia nanti tidak menaruh dendam padaku karena perbuatan Ayah yang telah mendorongnya masuk ke dalam lobang itu? Ah... Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?" Raka Pradesa membatin dalam hati.
"Agaknya ada sesuatu yang membuatmu keberatan mengatakan hal yang menimpamu padaku..." kata Joko pada akhirnya dengan nada agak kecewa.
"Aku... Aku tak tahu harus bagaimana mengatakan padamu," ucap Raka Pradesa pelan tanpa berpaling.
"Hem... Kau tadi sepertinya mencari sesuatu. Apakah kau mengejar seseorang?"
"Ah... Kau tak tahu. Kaulah sebenarnya yang tadi kukejar dan kucari!" kata Raka Pradesa dalam hati. Namun meski hatinya berkata begitu, kepala pemuda ini menggeleng.
"Hem... Mungkin kedatanganku hanya mengganggumu. Aku harus pergi..." ucap murid Pendeta Sinting lalu balikkan tubuh hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" tahan Raka Pradesa.
"Aku yakin kau sedang mencari seseorang! Aku tak suka mengganggu urusan orang. Apalagi mungkin ini urusan perempuan..." kata Joko lalu teruskan langkah.
Mendadak Raka Pradesa melompat dan kembali merangkul pinggang Joko dari belakang, membuat murid Pendeta Sinting tak habis pikir. Lalu enak saja dia berujar.
"Jika kekasihmu tahu kita begini, urusan akan jadi panjang. Dia pasti akan menyangka yang bukan-bukan..." seraya berkata, tangan Joko renggangkan kedua tangan Raka Pradesa yang merangkul pinggangnya. Namun Raka Pradesa makin pererat rangkulannya. Lalu berkata pelan.
"Aku akan mengatakan padamu. Tapi sebelumnya kuharap kau nanti mau memberi maaf dan berjanji tak akan menaruh dendam..."
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Sebelum dia mengatakan apa yang menjadi pertanyaan dalam hatinya, Raka Pradesa telah kembali buka mulut.
"Kau mau berjanji bukan?"
"Kau ini bicara apa?!"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Raka Pradesa berkata. "Sebelumnya aku..."
Ucapan Raka Pradesa terputus. Pemuda berkumis tipis ini cepat tarik kepalanya dari punggung Joko. Lalu berpaling ke kanan. Murid Pendeta Sinting sendiri cepat gerakkan kepalanya ke samping kanan. Sejarak delapan langkah dari tempat mereka berdua, tegak seorang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian hijau.
"Puspa Ratri..." gumam Joko mengenali siapa adanya gadis berpakaian hijau.
Untuk beberapa lama Raka Pradesa menatap tak berkesip ke dalam sepasang bola mata gadis berpakaian hijau yang bukan lain memang Puspa Ratri adanya. Sementara gadis yang dipandang balas menatap silih berganti pada Raka Pradesa dan murid Pendeta Sinting dengan wajah tak mengerti.
"Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah dia memang Joko Sableng. Apa penglihatanku tidak salah..." membatin Puspa Ratri. Lalu menatap ke arah Raka Pradesa berlama-lama. Hingga untuk beberapa lama kedua orang ini saling bentrok pandang.
"Dia dahulu mengaku sebagai sahabat Joko. Tapi mengapa dia berbuat seolah seperti seorang kekasih...? Ada yang tidak beres dengan orang ini! Atau keduanya sama-sama tidak beres! Aku curiga jangan-jangan pemuda berpakaian hitam-hitam ini bukan seorang..."
Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Lalu buka mulut. "Pemuda berpakaian hitam-hitam. Siapa kau sebenarnya?!"
Raka Pradesa tarik pulang kedua tangannya yang melingkar di pinggang Joko. Joko sendiri terlihat salah tingkah dan tak tahu harus berkata apa. "Hem... Selagi dia berada di sini, akan kutunjukkan siapa aku sebenarnya. Jika aku terus-terusan menyamar, beban dalam dada ini akan makin bertambah. Apalagi gadis ini bisa jadi penghalang..." kata Raka Pradesa dalam hati.
"Kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya. Hanya orang punya niat jahat yang sembunyikan siapa dirinya sebenarnya!" kata Puspa Ratri dengan tersenyum dingin.
"Jaga bicaramu! Jangan berani menuduh orang atau mulutmu minta ditampar?!"
Puspa Ratri tersenyum sambil perdengarkan suara tawa pendek. "Aku tidak menuduh! Tapi hari ini aku menemukan satu pemandangan aneh...!"
"Begitu?!" ujar Raka Pradesa sambil melangkah satu tindak ke depan. "Kau memang perlu kenyataan agar tidak berpandangan aneh..."
Habis berkata begitu, Raka Pradesa angkat kedua tangannya. Tangan kanan tanggalkan kumis tipis pada atas bibirnya, tangan kiri membuka gulungan rambutnya. Kejap lain Raka Pradesa gerakkan kepalanya. Saat itu juga terlepaslah geraian rambut panjang. Parasnya pun berubah menjadi seorang gadis muda berparas jelita.
Puspa Ratri tegak dengan mulut terkancing dan mata membelalak. Meski tadi sempat menyeruak kecurigaan dalam hatinya, namun begitu benar-benar matanya melihat, gadis ini seolah hampir tidak percaya. Sedangkan murid Pendeta Sinting melongo.
"Astaga! Jadi dia adalah seorang gadis!" gumam Joko dengan mata tak berkesip pandangi Raka Pradesa yang kini telah lepaskan penyamarannya. "Ah. Aku ingat sekarang... Makanya dia tidak mau jadi saksi tatkala pertemuan dengan Hantu Makam Setan. Tak tahunya jika dia adalah seorang gadis..."
Seperti diketahui, waktu terjadi pertemuan antara Pendekar 131 dan Hantu Makam Setan, ketika itu Ratu Malam meminta syarat pada Hantu Makam Setan untuk membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki. Tapi saat itu Raka Pradesa yang berada di tempat itu tidak mau menjadi saksi pembuktian Hantu Makam Setan (Lebih jelasnya baca Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu).
"Apakah kau masih melihat satu keanehan?!" ujar Raka Pradesa alias Saraswati dengan tertawa pelan.
Puspa Ratri mengeluh. Dadanya mulai dirasuki rasa cemburu. Dia berpaling pada murid Pendeta Sinting. "Hem... Dia juga tampaknya terkejut. Tapi jangan-jangan itu hanya karena untuk menutupi. Hem... Tak kusangka jika dia pemuda yang punya banyak gadis!"
Tanpa berkata, Puspa Ratri balikkan tubuh. Joko buka mulut hendak menahan. Namun sebelum suaranya terdengar, mendadak seantero tempat itu dibuncah dengan suara tawa orang mengekeh panjang. Semua kepala bergerak berpaling.
DI tempat itu ternyata telah tegak satu sosok yang sekujur tubuhnya ditutup dengan jubah terusan berwarna abu-abu. Kepala di balik jubah terusan abuabu menghadap lurus ke arah Pendekar 131 yang saat itu juga tengah menatapnya. Sementara Saraswati memandang tak berkesip dengan dahi mengernyit.
"Dua kali aku jumpa dengan orang ini! Tapi apakah memang dia bukan Ayah? Lalu siapa? Mengapa dia mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Ayah? Sejak beberapa waktu lalu tampaknya dia selalu memburu Joko. Hem... Jangan-jangan dia adalah Ayah yang selama ini memang sembunyikan sesuatu padaku! Bukankah selama ini dia juga tidak pernah berterus terang padaku?" membatin Saraswati.
Yang paling terkejut adalah Puspa Ratri. Gadis berpakaian hijau ini diam-diam juga membatin. "Ibu punya perjanjian dengan orang ini. Apakah mereka sudah berjumpa? Hem... Walau parasnya tidak kelihatan, tapi sikapnya seperti tidak bersahabat. Apakah dia hendak lanjutkan urusan tempo hari? Apa yang harus kulakukan sekarang? Tetap di sini rasanya akan menambah sakit hati! Tapi aku tak mau melihat Joko mendapat celaka!"
Dada gadis ini diselimuti berbagai perasaan. Tetap berada di situ berarti akan menambah rasa kecewa dan cemburu tapi me- ninggalkan tempat itu dia tak tega melihat Joko harus menghadapi orang yang diyakininya punya niat jahat. Ketika dua orang gadis ini didera perasaan masing-masing, mendadak Joko menghambur ke arah orang berjubah abu-abu terusan.
"Harap maafkan jika selama ini aku berburuk sangka. Aku berterima kasih atas bantuanmu..." ujar murid Pendeta Sinting sambil menjura hormat. Pendekar 131 menduga jika orang berjubah abu-abu di hadapannya adalah orang berjubah abu-abu yang ditemuinya dan mendorongnya masuk ke dalam lobang dalam Istana Hantu hingga dia menemukan kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga.
Melihat sikap Joko, baik Saraswati maupun Puspa Ratri sama-sama melengak heran. Keduanya sama tak habis mengerti. Tapi yang paling tersentak adalah orang berjubah abu-abu terusan yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah orang ini sempat tertarik jauh ke belakang saking terkejutnya. Untung paras wajahnya tertutup. Jika tidak niscaya orang di tempat itu akan melihat perubahan wajahnya.
"Apa maksud ucapan anak ini? Bantuan apa yang kuberikan? Aneh... Selama ini aku tak pernah memberi bantuan. Malah dari mulutnya aku butuh keterangan!" membatin Tengkorak Berdarah. "Hem... Jangan-jangan dia hanya mengada-ada karena tahu aku akan mengorek keterangan dari mulutnya!"
Habis membatin begitu, Tengkorak Berdarah perdengarkan suara. "Kau jangan bicara tak ada juntrungan! Jangan kira aku tak tahu apa di balik ucapanmu itu!"
"Ah... Orang ini masih juga suka bercanda. Bukan hanya tindak tanduknya yang sulit diterka namun sepertinya dia tidak suka memperlihatkan budinya..."
Joko lalu angkat kepalanya. Matanya memandang tajam dengan bibir tersenyum. "Dia bagaimanapun juga telah membantuku. Aku harus memberitahukan apa yang kuperoleh...."
Lalu Joko selipkan kedua tangannya ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik kembali, maka semua orang di tempat itu melengak. Di tangan kanan Joko tampak sebilah kitab bersampul kuning, sedang di tangan kirinya terlihat sebuah mahkota berwarna kuning bersusun tiga yang digantungi beberapa peniti juga berwarna kuning.
"Atas bantuanmu, inilah benda yang berhasil kutemukan..."
"Kitab dan mahkota!" seru Tengkorak Berdarah dalam hati. Kepala di balik jubah orang ini tengadah. "Aku tahu apa maksud ucapan pemuda ini. Aku juga tak mengerti mengapa dia menunjukkan benda-benda itu padaku!" Kepalanya lantas lurus kembali menghadap Pendekar 131.
"Kitab bersampul kuning... Sayang tulisan pada sampulnya tak jelas kulihat. Tapi melihat bentuknya seperti sebuah kitab kuno! Jangan-jangan pemuda ini menganggapku sebagai.. Ah. Ini rejeki besar bagiku! Jika benar, berarti tanpa bersusah payah aku berhasil mendapatkan kitab itu!"
Tengkorak Berdarah memutar otak. Kejap kemudian dia perdengarkan suara. "Syukur kau telah mendapatkan benda-benda itu. Harap kau suka memperlihatkan padaku!" sambil berkata, kedua Jangan Tengkorak Berdarah menjulur membuat sikap meminta.
Saraswati sebenarnya hendak buka mulut. Namun segera dibatalkan begitu terlihat Pendekar 131 telah maju dan memberikan kitab bersampul kuning serta mankota bersusun tiga pada Tengkorak Berdarah. Begitu kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga berada di tangannya, Tengkorak Berdarah sesaat memperhatikan dengan seksama. Lalu tangan kanannya yang memegang mahkota bergerak membuka sampul kitab.
"Sundrik Cakra!" desis Tengkorak Berdarah membaca tulisan yang tertera pada halaman pertama. Suaranya bergetar. Kedua tangannya gemetar. "Inilah kitab sakti yang kuinginkan!" kata Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu angkat kepalanya. Perlahan dia melangkah maju mendekati murid Pendeta Sinting. Kedua tangan Tengkorak Berdarah menjulur memberikan kitab bersampul kuning dan mahkota pada Joko.
Saraswati dan Puspa Ratri yang tadi diam-diam masih dihantui perasaan cemas meski tak tahu mengapa, bernapas lega. Namun kelegaan kedua gadis ini pupus seketika tatkala melihat bagaimana begitu kedua tangan Pendekar 131 hendak menerima kitab dan mahkota, tiba-tiba kaki kanan di balik jubah orang terangkat. Lalu tangannya yang memegang mahkota berkelebat cepat.
Bukkk! Bukkk!
Satu tendangan dan satu jotosan bertenaga dalam tinggi menghantam telak ke arah dada dan bahu Pendekar 131 Joko Sableng! Meski pada dasarnya dalam tubuh murid Pendeta Sinting terpendam tenaga dalam kakek di dalam kuil serta punya jurus Sukma Es yang dapat lindungi diri, namun karena saat itu dia dalam keadaan biasa maka murid Pendeta Sinting rasakan laksana dihantam benda sangat berat. Dari mulutnya terdengar pekikan keras. Kejap lain sosoknya mencelat sampai dua setengah tombak lalu terkapar dengan darah menyembur keluar dari mulut dan hidungnya. Murid Pendeta Sinting sejenak coba bergerak bangkit. Tapi tubuhnya kembali terkapar.
Berbarengan, Saraswati dan Puspa Ratri samasama berteriak. Saat lain keduanya sama-sama sentakkan kedua tangannya ke arah Tengkorak Berdarah. Namun gelombang angin yang menyambar keluar dari masing-masing tangan gadis ini hanya menggebrak udara kosong. Sosok Tengkorak Berdarah telah berkelebat tinggalkan tempat itu sambil perdengarkan suara tawa panjang. Begitu Tengkorak Berdarah berlalu, Saraswati dan Puspa Ratri sama putar diri setengah lingkaran. Kini keduanya berhadap-hadapan. Kedua pasang mata saling perang pandang. Mulut keduanya sama membuka.
"Kau...!" desis Saraswati dingin.
"Kau...!" balas Puspa Ratri tak kalah dingin malah terdengar ketus. "Pasti jahanam tadi itu temanmu! Kalian bersekongkol! Kau pura-pura merayu agar benda itu diberikan pada temanmu! Perbuatan busuk!"
Sepasang mata Saraswati makin mendelik berkilat. Dadanya turun naik. Pelipisnya bergerakgerak. "Jangan kau berani lancang mulut menuduh yang bukan-bukan! Kaulah yang bersilat lidah! Bukankah sebenarnya kau dan manusia bergelar Tengkorak Berdarah tadi datang bersama-sama? Lalu kalian..." Ucapan Saraswati belum habis, Puspa Ratri telah memotong.
"Perempuan sepertimu pandai bicara, membalik kenyataan! Kau tadi sembunyikan wajah asli. Sedangkan jahanam tadi juga takut diketahui rupanya! Apa kau masih akan berdalih cari alasan, hah?!"
Sesaat Saraswati terdiam mendengar ucapan Puspa Ratri. Namun kejap lain dia sudah buka mulut lagi. "Sama tindakan belum tentu punya tujuan sama! Aku tahu, kau melontarkan tuduhan karena kau cemburu padaku! Kau takut hati pemuda itu berpaling padaku! Dengar! Pemuda itu telah tahu siapa aku sebenarnya meski aku mengenakan penyamaran! Kau dengar?!" kata Saraswati berdusta.
Paras wajah Puspa Ratri jadi merah padam. "Peduli setan dia tahu dirimu atau tidak! Yang jelas kau telah bersekongkol dengan orang untuk mencelakainya!"
Saraswati tertawa. "Tampaknya kau tak bisa dibuat sadar dan terus menuduhku yang bukan-bukan. Aku tanya padamu. Sekarang apa yang kau mau?!"
"Kau bicara layaknya orang tak bersalah! Kau mengira apa yang kau lakukan tindakan benar!"
"Tak pantas kau bicara tentang tindakanku! Kuperingatkan, lekas menyingkir atau kau akan merasa menyesal!"
Puspa Ratri tersenyum menyeringai. "Dengan begitu kau akan leluasa melakukan apa saja. Bukankah itu maksudmu?! Justru kau yang harus cepat tinggalkan tempat ini!"
"Hem... Dengan begitu kau akan bebas bercumbu dengannya, begitu?!"
"Rupanya kau yang dirasuki rasa cemburu! Hingga bukan cedera orang yang terpikir olehmu tapi nafsu busuk yang menghantuimu!"
"Tutup mulutmu!" hardik Saraswati. "Kaulah yang dirasuki nafsu busuk! Kau bercumbu di sembarang tempat!"
"Ah... Rupanya kau juga gadis yang suka ngintip orang! Lalu apakah kau masih akan berkeras kepala jika tahu orang telah sama berbagi kasih?! Seharusnya kau tahu diri! Jangan memaksakan hati orang!"
"Aku tak butuh nasihat! Kuulangi lagi, lekas menyingkirlah!"
Kepala Puspa Ratri menggeleng. "Tak akan kubiarkan tangan kotormu menyentuhnya!"
"Kau cari jalan ke neraka!" bentak Saraswati. Kedua tangannya diangkat sejajar dada dengan mata mendelik angker.
Puspa Ratri tidak tinggal diam. Kakinya direnggangkan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu kedua tangan Puspa Ratri berada sejajar kepala, Saraswati telah sentakkan kedua tangannya lepas satu pukulan jarak jauh. Melihat hal ini, Puspa Ratri segera pula sentakkan kedua tangannya.
Dua gelombang angin dari samping kiri kanan melesat ke udara. Namun sebelum dua pukulan itu bentrok, mendadak terlihat satu cahaya putih mengerlap. Kejap lain dua pukulan yang melesat dari tangan Saraswati dan Puspa Ratri ambyar berantakan dan lenyap! Sosok Saraswati tampak terjajar lalu jatuh terduduk. Di seberang depan, Puspa Ratri terhuyung-huyung lalu roboh dengan kaki menekuk.
Dengan menindih rasa kaget baik Saraswati maupun Puspa Ratri sama palingkan kepala ke kanan dari mana cahaya putih yang membuat ambyar lenyap pukulan masing-masing gadis berasal. Dari tempat masing-masing, kedua gadis yang sama berwajah cantik ini melihat seorang kakek bertubuh gemuk besar mengenakan pakaian hijau gombrong. Rambutnya disanggul ke atas dan kepalanya ditengadahkan. Pada pinggangnya tampak melingkar satu ikat pinggang besar yang pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Kakek ini duduk dengan tangan usap-usap cerminnya!
"KAKEK bermata buta itu!" gumam Saraswati. "Hem... Aku tak mau urusan ini dicampuri orang lain! Bagaimanapun gadis bermulut lancang itu harus mendapat pelajaran!"
"Kek! Harap kau tidak libatkan diri!" teriak Saraswati memecah kesunyian di tempat itu. Gadis berpakaian hitam-hitam ini serentak bergerak bangkit. Lalu menoleh ke arah Puspa Ratri.
Puspa Ratri sejurus menatap pada kakek bertubuh besar mengenakan pakaian hijau yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun adanya. "Siapa orang itu? Mungkin masih teman gadis itu!"
Menduga demikian, Puspa Ratri cepat pula bergerak bangkit lalu berkata. "Aku tak keberatan jika kalian berdua maju bersama!"
Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya lurus ke arah Saraswati, lalu bergerak lagi menghadap Puspa Ratri. Tangan kanannya usap cermin bulat di depan perutnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu buka mulut.
"Gadis-gadis cantik! Rasa cemburu adalah pangkal dari prasangka buruk! Hal baik akan terbalik jadi jelek jika telah dicemari rasa cemburu! Harap endapkan hati. Ada sesuatu yang lebih penting daripada harus bertindak yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan rasa sesal.
Ucapan Gendeng Panuntun membuat Saraswati dan Puspa Ratri sama terkesiap. Tapi karena hati panas lebih menguasai dada masing-masing gadis ini, begitu ucapan Gendeng Panuntun selesai, Saraswati menyahut.
"Bagiku yang terpenting saat ini adalah menampar gadis bermulut lancang ini! Justru aku merasa menyesal jika tanganku tak mampu membuat mulutnya berdarah!"
Mendengar kata-kata Saraswati, Puspa Ratri cepat berujar. "Sebelum tanganmu sempat membuat mulutku berdarah, kedua tanganmu akan kupatahkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar ucapan Saraswati dan Puspa Ratri. "Rasa cinta kadangkala memang membutuhkan pengorbanan. Tapi adalah tindakan bodoh bila berani berkorban hanya karena perturutkan perasaan! Selain pengorbanan jadi sia-sia, orang jadi lupa jika orang yang dicintai memerlukan pertolongan!"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban Saraswati atau Puspa Ratri, Gendeng Panuntun melangkah ke arah murid Pendeta Sinting yang terkapar. Mungkin masih menduga jika Gendeng Panuntun teman Saraswati, saat orang tua ini jongkok di samping Joko, Puspa Ratri berteriak lantang.
"Orang tua! Aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu kau berniat jahat atau baik! Jadi jangan coba-coba menyentuh pemuda itu!"
Saraswati yang mengetahui jika Gendeng Panuntun adalah sahabat Pendekar 131 segera menyahut. "Kau gadis kemarin sore! Tidak tahu siapa adanya orang! Hingga orang berniat baik pun masih kau tuduh tak karuan!"
Puspa Ratri angkat tangan kirinya. Telunjuknya diarahkan lurus ke arah muka Saraswati. "Kau mengenalnya. Berarti kau temannya! Kalau kau punya niat jahat, apakah tindakan temanmu tidak patut dicurigai?!"
"Dasar gadis tolol!" bentak Saraswati. "Buka mata dan telingamu lebar-lebar. Aku bukan temannya! Tapi aku tahu dia adalah sahabat Joko!"
Dahi Puspa Ratri berkerut. Sepasang matanya memperhatikan Gendeng Panuntun berlama-lama. Lalu berpaling pada Saraswati. Gadis ini tampaknya belum mau percaya begitu saja pada ucapan Saraswati.
"Siapa mau percaya pada ucapan gadis sepertimu! Yang suka berpura-pura dan senang tunjukkan wajah palsu!"
"Keparat!" teriak Saraswati sambil bantingkan kaki di atas tanah. "Gadis dungu dan tolol macammu memang tak mempan dengan ucapan!"
"Jaga mulutmu! Ucapan gadis jahat mana bisa dipegang?!" jawab Puspa Ratri lalu perdengarkan dengusan bernada mengejek.
Kali ini Saraswati tidak lagi membuka mulut menyahuti kata-kata Puspa Ratri. Sebaliknya gadis berpakaian hitam-hitam ini maju dua langkah. Kedua tangannya diangkat. Kejap lain sosoknya melompat ke depan. Kedua tangannya kirimkan hantaman ke arah kepala Puspa Ratri. Puspa Ratri menyeringai. Dia segera geser tubuhnya ke samping selamatkan diri. Lalu kedua tangannya bergerak menangkis.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Keduanya sama mundur dua langkah dengan paras sama berubah. Mata masing-masing tak berkesip perhatikan lawan. Saat lain tiba-tiba Puspa Ratri berkelebat. Gerakannya begitu luar biasa cepat. Hingga belum sempat Saraswati mengetahui ke mana lawan bergerak, tahu-tahu sebuah tendangan telah berada di mukanya!
Saraswati tidak sempat untuk mengangkat tangan memangkas tendangan atau membuat gerakan mengelak, hingga akhirnya gadis ini hanya berteriak keras. Sesaat lagi tendangan itu menghantam sosok Saraswati, mendadak terdengar orang berseru. Orang yang berada di situ tahu jika orang yang berseru bukanlah Gendeng Panuntun, karena suara itu suara seorang perempuan.
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara seruan, mendadak ada sesuatu menahan tendangan yang dilepas Puspa Ratri yang tidak saja mampu membuat tendangan itu tertahan di udara namun sesaat kemudian membuat sosok Puspa Ratri terhuyung ke belakang hingga jatuh terduduk. Puspa Ratri kertakkan rahang. Dia cepat bangkit lalu putar diri ke kanan di mana saat itu ternyata telah tegak seorang perempuan berusia tidak muda lagi mengenakan pakaian warna putih. Walau usianya sudah tidak muda, tapi bayang kecantikan masih memancar dari orang ini.
"Ibu..." desis Puspa Ratri begitu melihat siapa adanya si perempuan.
Perempuan di hadapan Puspa Ratri yang selama ini menyamar dengan menggunakan bedak tebal di wajahnya dan tidak lain adalah ibu Puspa Ratri yakni Prabarini, anggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu menoleh pada Gendeng Panuntun yang saat itu tengah tempelkan tangan kirinya pada dada murid Pendeta Sinting. Sejenak kemudian dia berpaling pada Saraswati yang saat itu tengah memandangnya dengan dahi mengernyit. Karena Prabarini telah tanggalkan penyamarannya, Saraswati tentu saja sulit mengenali meski antara Prabarini dan Saraswati pernah jumpa. Sebab ketika berjumpa pada beberapa waktu lalu, Prabarini masih membedaki wajah dan memoles bibirnya serta mewarnai rambutnya dengan hitam berkilat.
"Ah... Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi... Aku harus lakukan sesuatu sebelum semuanya telanjur jauh..." kata Prabarini dalam hati sambil menghela napas panjang. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya Prabarini melangkah ke arah Puspa Ratri. Begitu dekat dia berbisik.
"Puspa... Ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu! Ayo ikut aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Lalu beralih pada sosok Pendekar 131 yang tampak sudah mulai bangkit. "Ibu... Aku punya hal yang harus kuselesaikan! Aku nanti akan segera menyusul..."
Prabarini gelengkan kepalanya. "Kali ini kau jangan membantah, Anakku... Aku tahu apa yang hendak kau selesaikan di sini. Urusan ini bisa kau tunda. Aku tidak akan ikut campur... Percayalah. Tidak lama lagi, kau dan orang-orang di sini akan berjumpa lagi... Bahkan urusanmu akan menjadi tuntas dan jelas!"
"Ibu..."
"Anakku... Kau jangan membuat ibumu kecewa," bisik Prabarini lalu menarik tangan kanannya untuk berlalu dari tempat itu.
Meski pada akhirnya Puspa Ratri turuti kemauan Prabarini, namun sambil melangkah pergi, matanya tak beranjak memandang tajam pada Saraswati. Begitu Prabarini dan Puspa Ratri berlalu, Saraswati tampak tegak tercenung dengan kepala sedikit tengadah.
"Aku harus meyakinkan, apakah orang berjubah tadi orang lain atau Ayah!" Saraswati memandang sejurus ke tempat beradanya Pendekar 131 dan Gendeng Panuntun. Gadis ini menarik napas dalam. "Setelah dapat kuyakinkan, aku akan mencari Joko dan mengatakan terus terang..." Habis bergumam begitu, Saraswati balikkan tubuh dan pergi tinggalkan tempat itu.
"Terima kasih..." ucap murid Pendeta Sinting begitu dapat bangkit duduk seraya pandangi Gendeng Panuntun.
"Kalau kau sampai terhantam pukulan begitu rupa, kurasa kau terlalu lengah. Dapat kau ceritakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Pendekar 131 tidak segera menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia edarkan pandangannya berkeliling. "Ke mana perginya gadis-gadis tadi?"
"Gadis-gadis tadi sudah pergi. Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" ujar Gendeng Panuntun sambil usap cermin bulatnya.
"Ternyata tindakan orang sulit ditebak. Mula-mula aku salah sangka, tapi setelah tahu yang dilakukan, aku mengira telah salah paham. Namun di sinilah justru akhirnya aku terjerumus! Aku merasa telah bersalah hingga aku lengah!" Joko hentikan ucapannya sejenak, seraya menatap tajam dia teruskan bicara. "Aku tak tahu harus bagaimana mempertanggungjawabkan kesalahan gara-gara menunjukkan kitab itu pada orang yang salah! Tentunya dunia persilatan akan mengutukku jika..."
"Penyesalan sudah tidak berguna, Anak Muda" tukas Gendeng Panuntun. "Sekarang kau harus cepat bertindak. Kalau tidak, bukan hanya dunia persilatan akan mengutukmu, namun rimba persilatan akan dilanda prahara besar!"
"Ah... Tak kusangka sebesar itu akibat yang akan terjadi!" keluh murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah. Sekarang ceritakan bagaimana kejadiannya!"
Joko arahkan pandangannya ke jurusan lain. Setelah agak lama terdiam dia lalu tuturkan ceritanya pada Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun mengeluh panjang begitu Joko mengakhiri ceritanya. Lalu berujar.
"Menarik kesimpulan dari ceritamu, aku menduga orang berjubah yang tiba-tiba menghantammu setelah kau berikan kitab dan mahkota, bukanlah Tengkorak Berdarah yang menghuni Istana Hantu..."
"Kek! Bagaimana kau bisa menduga begitu?! Aku tidak mungkin salah lihat! Pakaian yang dikenakan sama. Suaranya juga tidak beda!"
"Tidak beda belum tentu sama, Anak Muda. Di sinilah aku menduga jika ada dua orang berjubah abu-abu terusan yang sama-sama memaklumkan diri sebagai si Tengkorak Berdarah. Tapi aku yakin hanya salah satu di antara keduanya menjalankan peran. Sementara satunya lagi hanya mengambil untung! Dan kau orang yang sial. Karena begitu mendapat untung dari si Tengkorak Berdarah yang menjalankan peran, kau tertipu dengan Tengkorak Berdarah yang mengambil untung!"
"Ucapanmu mungkin saja benar. Tapi rasanya tidak mungkin penglihatanku keliru!"
Gendeng Panuntun mendehem. "Anak muda. Penglihatan adalah pangkal segala kesalahan. Jadi jangan menjaminkan penglihatan dalam urusan ini! Kau butuh penglihatan lain! Tentunya sambil menyelidik! Itulah tindakan yang harus segera kau lakukan sekarang! Kau harus berhati-hati. Kau menghadapi dua orang sama namun berbeda peran! Jangan sampai kau terjerumus lagi... Nak, aku harus pergi sekarang!"
Gendeng Panuntun bangkit berdiri. Lalu melangkah. Tapi dia lalu berhenti. Kepalanya tengadah. "Anak muda. Kalau mau turut ucapanku, dalam hari-hari mendatang ini, jangan kau jauh-jauh dari Istana Hantu. Aku punya firasat, ada sesuatu yang akan terjadi di sekitar tempat itu..."
"Kek! Apakah selama ini kau menyirap keberadaan Iblis Ompong dan saudara-saudaramu?"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Aku belum mengetahui di mana beradanya manusia-manusia itu. Tapi kurasa kejadian di sekitar Istana Hantu kelak akan juga berhubungan dengan mereka..."
Gendeng Panuntun teruskan langkah. Dia tampaknya melangkah pelan saja. Namun dalam sekejap, sosoknya telah berada di depan. Saat lain tubuhnya lenyap tidak kelihatan lagi. Murid Pendeta Sinting tidak beranjak dari tempatnya semula. Dia berusaha mengatur napas dan peredaran darahnya yang tadi sempat laksana terputus karena terhantam tendangan dan jotosan orang. Dia lalu memusatkan pikiran merenungi kata-kata Gendeng Panuntun. Anehnya yang muncul justru wajah Saraswati dan Puspa Ratri silih berganti.
"Raka Pradesa yang ternyata seorang gadis itu. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan padaku? Mengapa selama ini dia menyamar sebagai seorang pemuda? Lalu mengapa dia memintaku memberi maaf. Untuk siapa...? Kalau saja Puspa Ratri tidak muncul, tentu masalahnya jadi jelas..."
Pendekar 131 tengadahkan kepala. Saat itu ternyata gelap mulai membungkus hamparan bumi. Joko kembali menarik napas. "Puspa Ratri... Pasti gadis ini menaruh prasangka yang tidak-tidak padaku. Tapi apa boleh buat. Aku tidak mengetahui jika Raka Pradesa adalah seorang gadis! Kelak jika aku bertemu lagi, aku akan menjelaskan semuanya... Sekarang aku harus menyelidik ke Istana Hantu." Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. "Ah.... Mengapa aku tidak menanyakan perihal kitab bersampul kuning itu pada Gendeng Panuntun? Sialan. Gara-gara ikutnya beberapa gadis cantik, pikiranku jadi terpecah-pecah! Tapi dirangkul gadis cantik memang asyik. Seandainya aku sebelumnya tahu jika Raka Pradesa seorang gadis cantik. Hem..." murid Pendeta Sinting tersenyum sendiri lalu melangkah tinggalkan tempat yang telah sepi itu.
Melangkah sejarak lima belas tombak, mendadak terdengar suara duutt! duut! berulangkali. Lalu dalam gelapnya malam laksana hantu gentayangan, satu bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di hadapan murid Pendeta Sinting tegak satu sosok tubuh dengan kaki di atas kepala di bawah!
NENEK berjubah merah menyala itu berlari kencang laksana dikejar hantu. Dalam waktu sekejap sosoknya telah berada jauh dari tempatnya semula. Memasuki sebuah dataran yang berbatasan dengan satu aliran sungai dia memperlambat larinya. Pada satu tempat di atas aliran sungai si nenek hentikan larinya. Kepalanya yang berambut putih sebatas tengkuk bergerak ke samping kanan kiri. Sepasang matanya yang sipit dan berada dalam cekungan rongga amat besar tampak liar memperhatikan tempat di sekelilingnya.
"Sialan! Mana tempat yang dikatakan manusia buta itu? Jangan-jangan dia hanya membual! Awas. Jika dia mendustaiku akan kupuntir kepalanya! Hem... Kalau tidak karena masih hubungan saudara, aku tidak mau ikut-ikutan kebingungan cari urusan!"
Nenek ini terus edarkan pandangannya ke se antero tempat di mana dia berada. Mulutnya tampak komat-kamit. Ternyata pada mulut si nenek terlihat satu gumpalan tembakau hitam yang begitu si nenek komat-kamit, gumpalan tembakau itu kelihatan keluar masuk.
"Astaga!" Tiba-tiba si nenek tersenyum sendiri sambil goyang-goyangkan kepala. "Bukankah yang dikatakan adalah sebuah batu besar yang memisahkan aliran sungai? Sampai kiamat pun aku tidak akan menemukan tempat itu di sini! Aku harus menyusur sungai ini!"
Nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu mainkan gumpalan tembakau hitam putar diri. Saat lain sosoknya telah kembali berkelebat menyusuri aliran sungai. Tidak berapa lama, tepatnya pada sebuah batu besar yang memisahkan aliran sungai ke kanan dan kiri, si nenek berhenti.
"Pasti ini tempat itu..." desis si nenek dengan usap keringat yang membasahi wajah dan lehernya.
Untuk beberapa lama nenek berjubah merah ini tegak diam, sepasang matanya yang sipit mendelik tak berkesip perhatikan pada batu besar yang memisahkan aliran sungai. Kemudian terdengar dia bergumam.
"Batu itu batu biasa. Tak ada istimewanya! Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggu seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun? Tapi sampai kapan? Tak puas hatiku jika hanya menunggu tak menyelidik!"
Si nenek perlahan melangkah. "Terpaksa aku harus berenang untuk sampai ke batu itu! Hem... gara-gara urusan saudara aku harus berbasah-basah! Tapi apa hendak dikata. Jika tidak terpaksa begini, tubuhku tidak akan tersentuh air. Hik Hik Hik...!"
Si nenek hentikan langkahnya dibagian atas aliran sungai. "Tapi daripada berbasah-basah, apa tidak lebih baik kutanggalkan saja pakaianku? Tapi jika tiba-tiba ada orang? Ah... Siapa mau lihat tubuh rongsokan begini? Kalaupun ada yang lihat, pasti dia akan segera ngacir sendiri. Hik Hik Hik...!"
Sambil terus cekikikan sendiri si nenek mulai hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun baru saja tangannya hendak tanggalkan jubah, mendadak aliran sungai di bawahnya berkecipak dan beriak. Si nenek jadi terkesiap sendiri. Sepasang matanya dipentangkan perhatikan air yang beriak.
"Mungkin ikan... Apa dikira aku bidadari?! Hingga ikan-ikan sama kegirangan? Hik Hik Hik..."
Si nenek teruskan niat hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun dia jadi terperangah sendiri ketika tiba-tiba terdengar orang tertawa terbahak. Meski tadi seolah akan acuh jika ada orang, tapi begitu benar-benar ada suara orang tertawa, tangan nenek ini cepat tutupkan kembali jubah merahnya. Suara tawa orang sekonyong-konyong lenyap. Kejap lain terdengar suara.
"Dunia makin lama makin edan. Sudah nenek- nenek masih juga ingin pamer tubuh! Ha Ha Ha...! Lumayan kalau cuma kering kerontang. Yang ini sudah kering kerontang ditambah tidak pernah tersentuh air. Ha Ha Ha...!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara, di atas permukaan air tampak sebuah cahaya memantul. Anehnya, permukaan air yang terkena pantulan tampak muncrat dan bergelombang deras!
"Busyet! Ini pasti pekerjaan orang buta itu!" Si nenek mengomel lalu secepat kilat kepalanya dipanglingkan ke samping. Sejarak sepuluh tombak, terlihat seorang kakek bertubuh gemuk melangkah perlahan ke arah si nenek.
Kakek besar ini mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang diikat dengan sebuah ikat pinggang besar yang pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Dari cermin inilah cahaya pantulan tadi berasal. Sebelum si kakek berpakaian hijau yang ternyata sepasang matanya berwarna putih dan bukan lain adalah Gendeng Panuntun sampai mendekat, si nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu mainkan gumpalan tembakau hitam dan tidak lain adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan gelar Ratu Malam telah menyambutnya dengan berujar keras.
"Kenapa kau ikut-ikutan menyusulku ke sini, heh?! Bukankah menurut tugas yang kita sepakati bersama, kau seharusnya berada di tempat lain?!"
"Keadaan berubah! Rencana semula jadi berantakan. Terpaksa kita harus menyusun rencana baru!"
"Berubah bagaimana?! Coba cepat katakan!" sahut Ratu Malam. Tak sabar si nenek melompat ke arah Gendeng Panuntun yang saat itu terus melangkah.
"Sabar. Beri waktu aku untuk bernapas dahulu..." ucap Gendeng Panuntun lalu hentikan langkah dua tindak di hadapan Ratu Malam yang kini memandangnya dengan tak sabar.
"Kita harus tinggalkan tempat ini. Sudah tak ada yang perlu ditunggu lagi di sini!" kata Gendeng Panuntun setelah beberapa saat terdiam.
"Kau ini bagaimana? Aku sudah susah-susah menemukan tempat ini. Begitu sudah kutemukan kau enak saja mengajak pergi!" ujar Ratu Malam dengan wajah memberengut.
Gendeng Panuntun tengadahkan kepala. Lalu tertawa terbahak-bahak. "Keadaan mengharuskan demikian. Apa boleh buat!"
"Kau belum jelaskan keadaan bagaimana yang berubah!" sahut Ratu Malam cepat dengan mata mendelik.
"Di tengah jalan tanpa sengaja aku berjumpa dengan Daeng Upas. Sialnya ternyata dia masih memendam dendam pada kita. Untung aku tidak melayani. Lebih sialnya lagi, tiba-tiba muncul orang yang selama ini memaklumkan diri sebagai Tengkorak Berdarah. Tanpa ada hujan dan angin rupanya dia juga menginginkan satu-satunya nyawaku. Tapi rupanya hidupku masih diperpanjang, karena ternyata Tengkorak Berdarah juga menginginkan kematian Daeng Upas. Ketika kedua orang itu saling adu mulut dan kemudian saling lepas pukulan, aku diam-diam menyelinap pergi."
"Daeng Upas. Hem..." Ratu Malam bergumam, lalu berkata. "Lalu bagaimana nasib perempuan itu?!"
"Aku tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan dia harus menerima nasib buruk! Sebenarnya dia sudah kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat itu sebelum munculnya Tengkorak Berdarah. Tapi kau tahu sendiri. Daeng Upas keras kepala."
"Lanjutkan keteranganmu!" kata Ratu Malam begitu Gendeng Panuntun terdiam sesaat.
"Di lain tempat, aku jumpa dengan anak sedeng itu."
"Anak sedeng siapa?!"
"Siapa lagi kalau bukan murid Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak! Anak itu besar sekali rejekinya..."
"Rejeki apa yang didapatnya?"
"Dia jadi rebutan gadis-gadis cantik! Gadis-gadis sekarang tak tahu malu ya...? Mau-maunya mereka adu otot gara-gara laki-laki."
Tampang Ratu Malam sesaat tampak cemberut. Mulutnya komat-kamit makin keras. "Tidak semua perempuan begitu! Hanya perempuan dungu yang mau-maunya berkelahi soal laki-laki!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar ucapan Ratu Malam. "Kau lupa. Kalau orang sudah dibakar rasa cinta, mana ada orang jadi pintar? Malah sebaliknya dia akan berubah jadi orang bodoh dan lucu. Apalagi..."
"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Kau akan tambah ngelantur kalau diladeni bicara soal cinta-cintaan! Sekarang teruskan ceritamu!"
"Hem... Selain mendapat rejeki besar, tampaknya anak itu ketiban sial... Menurut keterangannya, dia ternyata telah berhasil mendapatkan sebuah kitab dan sebuah mahkota setelah memasuki Istana Hantu!"
Raut wajah Ratu Malam berubah kaget. Tapi sebelum dia sempat buka mulut Gendeng Panuntun telah sambung ucapannya. "Sayangnya, dia lengah. Kitab serta mahkota itu diberikan pada orang yang selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah. Dia menduga Tengkorak Berdarah yang dihadapannya saat itu adalah orang yang sempat ditemuinya di dalam Istana Hantu! Bukan hanya itu, dia sempat terkena pukulan si Tengkorak Berdarah itu." Gendeng Panuntun menghela napas, lalu bergumam. "Padahal menurut dugaanku, rimba persilatan akan diguncang malapetaka besar jika sampai kitab itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab! Malah bisa kiamat"
Dahi keriput Ratu Malam semakin berkerut begitu mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Perempuan berambut putih sebatas tengkuk ini akhirnya berujar. "Apa menurutmu memang ada dua Tengkorak Berdarah?!"
"Aku sebelumnya menduga begitu. Tapi setelah mendengar keterangan anak sedeng itu, aku jadi yakin. Ada dua Tengkorak Berdarah. Hanya peran mereka satu sama lain berbeda. Di sinilah lalu timbul kekacauan!"
"Lalu bagaimana urusan Iblis Ompong, Dewa Sukma, serta Dewi Es?!"
"Anak sedeng itu tidak menemukan mereka. Itulah yang membuat kita harus tinggalkan tempat ini!"
"Lalu apa hubungannya?!"
"Hem... Tempat di batu itu kurasa adalah tempat yang masih berhubungan dengan Istana Hantu. Lalu mendengar cerita anak itu, ternyata benar. Kalau murid Pendeta Sinting itu tidak menemukan mereka di tempat itu, berarti percuma kita menunggu di sini!"
"Tapi kalau belum menyelidik sendiri hatiku tidak puas!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Ucapanmu menunjukkan kau masih berprasangka jelek terhadap penghuni Istana Hantu..."
"Kau telah dengar sendiri tentang kelakuan penghuni Istana Hantu! Sudah pada tempatnya jika kau curiga!"
"Sudah kukatakan tadi, aku yakin ada dua Tengkorak Berdarah. Satu di antara keduanya pasti ada yang punya peran ganda. Dia coba mengail di air keruh lalu mengambil untung daripadanya. Terbukti dia mengambil kitab dan mahkota! Kalau tidak, untuk apa dia membantu anak sedeng itu hingga dapat menemukan kitab dan mahkota!"
"Lalu ke mana gerangan lenyapnya manusia-manusia geblek itu?!"
"Untuk itulah aku mengajakmu pergi dari sini. Aku punya firasat akan terjadi sesuatu di sekitar Istana Hantu. Dan itu masih ada hubungannya dengan lenyapnya mereka!"
Ratu Malam perhatikan kakek bermata putih di hadapannya yang masih saudara seperguruannya itu. Mulutnya yang mainkan gumpalan tembakau hitam membuka hendak mengatakan sesuatu. Namun sebelum suaranya terdengar, Gendeng Panuntun sudah balikkan tubuh.
"Aku tahu tempat yang aman untuk mandi berbasah-basah tanpa khawatir diintip orang. Tapi kalau kau ingin pamer tubuh di sini, silakan saja! Asal kau tahu orang buta sepertiku ini saja sudah tidak ingin melihatnya! Apalagi orang yang melek. Ha Ha Ha...!"
Dengan terus tertawa bergelak Gendeng Panuntun melangkah. Ratu Malam pentangkan mata sambil menggerendeng panjang pendek. "Dasar orang buta. Bicaranya ngaco tak karuan. Sampai nungging seumur-umur pun mana orang buta bisa melihat!" ujar Ratu Malam sambil bantingkan kaki. Tapi saat lain dia tertawa cekikikan lalu berkelebat menyusul Gendeng Panuntun.
KITA kembali dulu pada Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, begitu murid Pendeta Sinting hendak melangkah meninggalkan tempat di mana tadi terjadi pertengkaran antara Saraswati dan Puspa Ratri, mendadak terdengar suara duutt! Duuutt! beberapa kali. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak dihadapannya dengan kaki di atas kepala di bawah!
"Dewa Orok!" desis Pendekar 131 dengan mata terpentang besar. "Kemunculan orang ini pasti meneruskan urusan di sungai itu! Kalau benda yang diminta adalah salah satu benda yang berhasil dibawa kabur Tengkorak Berdarah, pasti suasana akan jadi tambah runyam!"
Baru saja Joko membatin begitu, orang di hadapannya yang bukan lain memang Dewa Orok adanya semburkan bundaran karet di mulutnya hingga mengapung di udara. Kejap lain dia telah membentak keras.
"Orang muda! Jangan kira dunia ini luas bila kau berani berkata dusta padaku!" Belum sampai ucapannya habis, Dewa Orok telah membuat gerakan sekali.
Wuuuttt!
Kini pemuda berwajah tampan bertangan buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di bawah. Tapi yang dibuat tumpuan tubuhnya adalah dua ibu jari kakinya! Begitu telah tegak, Dewa Orok sambung kata-katanya.
"Aku masih memberimu kesempatan. Lekas serahkan benda itu padaku! Jika tidak, kau tak akan bisa mengelak dari kenyataan buruk! Ingat. Jangan banyak berdalih!"
Sesaat murid Pendeta Sinting tampak berubah tegang. Ketika dia sudah dapat kuasai diri, bibirnya tersenyum. Lalu berkata. "Dewa Orok. Kau terus menerus minta benda dariku. Harap katakan benda apa sebenarnya yang kau minta?!"
Sepasang mata Dewa Orok menyipit membelalak. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya dia berkata. "Aku minta mahkota bersusun tiga berwarna kuning yang pasti sudah kau ambil dari tempat dalam tanah itu!"
"Ah...!" Murid Pendeta Sinting mengeluh. "Rupanya aku kemarin salah sangka. Dia bukan menginginkan kitab itu! Tapi sekarang terlambat. Mahkota yang dimintanya pun sudah lenyap!"
"Dewa Orok! Harap kau mau mendengar kata-kataku dahulu..."
Dewa Orok segera gelengkan kepalanya. "Sudah kubilang. Jangan banyak berdalih!"
"Aku tidak berdalih. Ini kenyataan!"
"Kalau tidak berdalih, kau tak usah bicara. Keluarkan mahkota itu lalu serahkan padaku!"
"Mahkota itu memang kutemukan. Namun sekarang dibawa kabur orang!"
Mendadak Dewa Orok tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan murid Pendeta Sinting hingga tumitnya yang berjingkat tampak turun naik menyentuh tanah. "Jangan mimpi bisa membohongiku untuk kedua kalinya, Orang Muda! Kau tahu bukan, sekali orang ketahuan berdusta, selamanya tidak akan dipercaya orang!"
"Terserah kau mau bilang bagaimana. Yang jelas mahkota itu memang telah dibawa kabur orang dengan cara licik!"
"Aku tak mau tahu urusan itu. Itu urusanmu! Yang jelas, kau membawa mahkota milik nenek moyangku itu! Aku berhak minta darimu!"
"Kalau kau tetap memaksa, apa hendak dikata. Sekarang apa maumu?" ujar Pendekar 131 setelah berpikir tak ada gunanya memberi keterangan lebih jauh.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, dahi Dewa Orok berkerut. Sepasang matanya pandangi si pemuda lama tak berkesip. "Hem... Ucapannya seperti orang pasrah. Apa kali ini dia benar-benar tidak mendustaiku?"
"Orang muda! Katakan padaku bagaimana kejadian sebenarnya!"
Sebenarnya Joko tidak mau turuti permintaan Dewa Orok. Tapi merasa dia juga salah, apalagi dilihatnya Dewa Orok agak melunak, akhirnya Joko menceritakan bagaimana sampai mahkota itu bisa dibawa kabur Tengkorak Berdarah. Namun Joko sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga menemukan kitab bersampul kuning. Karena Dewa Orok pun tidak pernah menyebut-nyebut soal kitab.
"Orang muda! Aku tanya sekali lagi. Apa ceritamu tadi tidak mengada-ada?" kata Dewa Orok setelah mendengar cerita murid Pendeta Sinting.
"Aku tidak menginginkan mahkota itu. Jadi tak ada untungnya aku mengarang cerita!"
"Hem... Lalu mengapa saat di atas sungai itu kau berkata dusta? Jika saat itu kau berkata jujur, tidak akan urusan jadi begini rupa!"
"Aku baru saja mengenalmu! Aku harus berhati-hati! Kau tahu sendiri, belum sampai lama tiba-tiba muncul perempuan tua itu! Dia juga minta sesuatu dariku!" Yang dimaksud Joko tidak lain adalah Daeng Upas.
Dewa Orok anggukkan kepalanya perlahan. Tapi wajah pemuda bertangan buntung ini tampak berubah cemas. Dia lalu mendongak tanpa berkata apa-apa.
"Kalau boleh tahu, bagaimana kau bisa mengatakan mahkota itu milik nenek moyangmu?" tanya Joko setelah di antara keduanya tidak ada yang buka mulut lagi.
Dewa Orok gerakkan kepalanya lurus ke arah Pendekar 131. Lalu pemuda ini mulai angkat bicara. "Menurut orang yang mengangkatku sebagai murid, aku sebenarnya masih keturunan raja-raja Singasari. Pada beberapa ratus tahun silam, terjadi satu peristiwa yang sempat menggegerkan kerajaan. Sang permaisuri raja yang saat itu memerintah dikabarkan punya anak hasil hubungan gelap dengan orang lain. Sang permaisuri akhirnya meninggalkan istana dan terakhir dikabarkan bunuh diri. Aku adalah masih keturunan permaisuri itu dari seorang anak perempuannya!"
"Menyedihkan sekali ceritamu. Lalu bagaimana anak hasil hubungan gelap itu?" tanya Joko.
"Dia dibawa pergi oleh seorang abdi istana. Tapi sebelum itu ternyata si permaisuri telah memberikan mahkota bersusun tiga yang sempat dibawanya kepada si abdi agar kelak diberikan pada anak hasil hubungan gelapnya. Dia juga berpesan, jika sang anak besar dan ingin menduduki istana, dia terlebih dahulu diharuskan merebut dua kitab pusaka kerajaan! Begitu besar sang anak turuti pesan sang permaisuri. Namun anak ini mengalami kegagalan merebut dua kitab pusaka. Setelah itu kabar beritanya tidak terdengar lagi hingga akhirnya muncul satu kejadian besar. Seorang gadis cantik berhasil menerobos istana tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Gadis itu dikabarkan membekal juga mahkota bersusun tiga yang berarti gadis ini ada hubungan dekat dengan anak sang permaisuri. Namun si gadis akhirnya harus menerima karma. Dia terjerumus masuk dalam lobang rahasia istana tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Hanya sayang, bersamaan dengan itu dua kitab pusaka kerajaan lenyap tak tentu rimbanya! Ada sebagian orang mengatakan kitab itu berhasil dibawa masuk si gadis, tapi sebagian orang mengatakan kitab itu dibawa lari orang lain."
Pendekar 131 perhatikan wajah Dewa Orok. Tiba-tiba hatinya berdebar "Jangan-jangan kitab itu adalah kitab yang kutemukan di dalam tempat itu..." katanya dalam hati. Lalu dia bertanya dengan alihkan pandangan pada jurusan lain.
"Kau tahu nama dan ciri-ciri kitab itu?"
"Dua kitab itu satu bersampul biru satunya lagi bersampul kuning..."
Murid Pendeta Sinting terkesiap. Belum lenyap rasa kejutnya Dewa Orok telah lanjutkan keterangannya. "Yang bersampul biru bernama Kitab Serat Biru sedang yang bersampul kuning bernama Kitab Sundrik Cakra."
Murid Pendeta Sinting tak dapat lagi menahan rasa kaget. Kakinya tersurut sampai dua tindak. Sepasang matanya mementang memandang ke arah Dewa Orok.
"Kau tampak tersentak kaget. Ada apa? Kau menemukan juga kitab itu?!"
Mungkin karena khawatir Dewa Orok akan juga meminta kitab itu, Joko gelengkan kepala. Dewa Orok tertawa pelan. "Orang muda. Kau tak usah khawatir. Urusanku adalah mahkota, bukan kitab! Hanya kau harus berhati-hati jika benar telah mendapat kitab itu!"
"Bagaimana ini? Apa sebaiknya kukatakan saja juga padanya tentang kitab itu?" Joko berpikir sesaat. Lalu berkata. "Sebenarnya aku memang telah menemukan kitab yang bersampul kuning. Hanya karena ketololanku, kitab itu akhirnya dibawa kabur juga bersama mahkota!"
Dewa Orok menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng. "Mungkin kau tidak berjodoh dengan kitab itu! Hanya saja orang yang membawa kabur itu belum bisa bernapas lega..."
"Maksudmu...?!"
"Kalau benar yang dibawa kabur kitab yang bersampul kuning, maka terlebih dahulu dia harus mendapatkan kitab yang bersampul biru yang bernama Kitab Serat Biru. Tanpa mendapatkan Kitab Serat Biru, kitab bersampul kuning tidak bisa dibuka! Kitab bersampul kuning adalah kitab kedua. Sedang yang bersampul biru adalah kitab pertama!"
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting mengeluh. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati. "Kitab kedua yang kucari sebenarnya sudah di tangan, tapi mungkin masih belum saatnya..."
"Orang muda. Aku harus segera pergi. Tapi aku perlu meyakinkan sekali lagi. Apa betul semua yang kau ceritakan tadi?!"
"Kali ini aku tidak berdusta. Dan..." Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia tampak bimbang.
"Dan apa...?!" tanya Dewa Orok. "Jangan kau menggantung ucapan. Aku perlu kepastian!"
"Kalau kau mau kuberi tahu, kau jangan berada jauh dari sekitar Istana Hantu hari-hari ini. Aku menangkap isyarat bahwa orang yang sama-sama kita cari akan berada di sekitar tempat itu!"
"Hem... Bagaimana kau bisa berkata begitu? Kulihat kau bukan ahli ramal!"
"Aku memang bukan tukang ramal. Tapi yang mengatakan ini adalah sahabatku Gendeng Panuntun!"
"Ah. Tokoh sakti yang punya ilmu hebat itu. Hem... Aku pernah dengar namanya juga kehebatannya. Jika dia yang mengatakan begitu, tentu aku akan turuti ucapannya. Tapi sebelum itu aku juga perlu menyelidik dahulu!"
"Lalu bagaimana kabar nenek cantik itu?!" tanya murid Pendeta Sinting.
Dewa Orok menggeleng. "Setelah aku dan dia mandi bersama, dia tak sabar dan sepertinya langsung mengejarmu!"
"Walah. Kau tampaknya ketiban rejeki juga. Bisa mandi bersama-sama nenek cantik..."
"Inilah nasib jelek orang sepertiku. Orang bisa saja mengatakan rejeki. Tapi apalah arti satu rejeki jika tak memiliki tangan? Apakah aku harus meraba dengan kaki? Jadi, rejeki menurut orang namun malapetaka bagiku. Karena aku hanya bisa memandang tanpa dapat pegang-pegang! Ha Ha Ha...!"
"Ah. Seharusnya nenek itu tahu. Jadi dialah yang seharusnya pegang-pegang milikmu! Kau tinggal kerdap-kerdipkan mata! Ha Ha Ha...!" Joko ikut-ikutan tertawa.
Tempat itu sesaat dibuncah dengan suara bergelak bersahutan. Namun tiba-tiba Dewa Orok putuskan tawanya. Mulutnya menyedot. Bundaran karet yang mengapung di depan wajahnya tertarik ke belakang lalu masuk ke mulutnya. Bersamaan dengan itu dia melejit ke udara. Di atas udara membuat gerakan jungkir balik. Lalu melompat-lompat dengan kaki di atas dan kepala di bawah!
"Dasar kerabatnya Dewa... Meski namanya Orok tapi sudah tahu nenek cantik!" ujar Joko seraya terus tertawa lalu berkelebat mengambil jurusan berlawanan dengan Dewa Orok.
DUA bayangan hitam berkelebat laksana angin menyeruak pekatnya kabut pagi hari. Sesaat kemudian perlahan-lahan suasana berubah. Lingkaran kabut sirna dan keadaan menjadi terang. Seiring dengan itu sang mentari unjuk diri dari bentangan kaki langit di sebelah timur. Pada satu tempat, mendadak bayangan hitam sebelah kanan cekal tangan bayangan di sebelah kiri. Kedua bayangan ini serta-merta hentikan lari masing-masing. Mereka tegak dengan kepala lurus memandang ke depan.
Bayangan hitam sebelah kanan ternyata adalah seorang kakek bermuka pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya besar melotot. Kakek ini mengenakan jubah hitam besar dan panjang. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya.
Sementara bayangan hitam di sebelah sang kakek adalah seorang perempuan berambut pirang yang tidak bisa dikenali raut wajahnya. Wajah orang ini ditutup dengan kain cadar berwarna hitam hanya menyisakan lobang pada kedua matanya. Perempuan bercadar ini memakai jubah berwarna hitam sepanjang lutut. Kedua tangannya juga dibungkus dengan kulit berwarna hitam dan tampak merangkap di depan dada. Kedua orang ini bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Durga Ratih alias Dewi Siluman.
Untuk beberapa lama Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tegak dengan mulut terkancing tak ada yang perdengarkan suara. Hanya sepasang mata keduanya memandang tak berkesip. Malah Dewi Siluman sejenak kemudian pentangkan matanya makin besar. Wajah di balik cadar hitamnya berubah. Tengkuknya menjadi dingin.
Sejarak dua belas langkah dari kedua orang ini tampak satu sosok tubuh seorang perempuan tergeletak di atas tanah. Perempuan ini belum jelas benar karena posisinya telungkup. Sementara pakaian yang dikenakan tampak hangus serta tak karuan. Sosok inilah rupanya yang membuat Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tampak tersentak kaget hingga tak ada yang buka mulut.
"Ki Buyut..." kesunyian dipecah oleh suara Dewi Siluman. "Apa yang ada dalam benakmu?!"
Kakek bermuka pucat menyahut tanpa berpaling. "Rasanya dugaan kita sama. Tapi kita belum melihat dengan teliti untuk mengenalinya!"
"Dari bentuk serta pakaiannya, meski sudah compang-camping tidak karuan, agaknya aku hampir yakin!" gumam Dewi Siluman. Tubuh perempuan bercadar hitam ini bergetar. Tengkuknya makin merinding.
"Keyakinan tak cukup selain dibuktikan dengan mata kepala sendiri, Dewi!" Ucapan Ki Buyut Pagar Alam belum selesai, laksana elang Dewi Siluman telah berkelebat ke depan.
Ki Buyut Pagar Alam segera menyusul. Begitu Dewi Siluman tegak di samping sosok perempuan yang tergeletak tak bergerak, sepasang matanya mendelik besar. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan kulit gemetar. Ki Buyut Pagar Alam yang telah tegak di samping Dewi Siluman tak kalah kagetnya. Namun kakek ini cepat dapat kuasai diri dan segera berkata.
"Buktikan dahulu, Dewi!"
Dengan lutut gemetar, Dewi Siluman perlahan-lahan jongkok. Kedua tangannya pegang bahu orang yang tergeletak menelungkup. Lalu tangannya bergerak membalik tubuh orang. Laksana disengat, sosok Dewi Siluman langsung terlonjak dengan mulut keluarkan jeritan keras. Pada saat bersamaan, Ki Buyut Pagar Alam terhenyak dengan tampang memucat dan matanya membeliak.
"Daeng Upas!" desis Ki Buyut Pagar Alam dengan suara laksana orang dicekik.
Perempuan yang menggeletak dan kini telentang itu ternyata seorang perempuan berusia agak lanjut. Pakaiannya terbuat dari sutera. Tidak jauh dari tempatnya menggeletak tampak sebuah bambu berwarna kuning. Dari ciri-ciri orang cukup membuat Ki Buyut Pagar Alam yakin jika perempuan yang telah jadi mayat itu adalah Daeng Upas, kakak kandung serta ibu Dewi Siluman.
Tiba-tiba Dewi Siluman menghambur kembali ke depan. Tubuhnya langsung direbahkan ke atas sosok perempuan yang tidak lain memang Daeng Upas. Tangan sang Dewi mengguncang-guncang sosok ibunya. Bersamaan itu terdengar ledakan tangisnya. Sedang Ki Buyut Pagar Alam menghela napas dalam sambil usap-usap wajahnya.
"Dewi..." bisik Ki Buyut Pagar Alam setelah beberapa saat berlalu seraya pegang pundak Dewi Siluman dan perlahan-lahan ditarik dari atas tubuh Daeng Upas. "Kita harus segera mengurus jenazahnya..."
Dewi Siluman tepiskan tangan Ki Buyut Pagar Alam. Lalu berteriak keras. "Jahanam siapa yang punya ulah ini?! Siapa? Siapa?!"
"Itu akan segera kita selidiki, Dewi..." sahut Ki Buyut dengan suara tetap pelan dan bergetar.
Dewi Siluman angkat tubuhnya dari atas tubuh Daeng Upas yang telah kaku. Sepasang mata perempuan bercadar ini sembab. Air matanya terus mengalir. Kedua tangannya yang bersarung tangan mengusap-usap wajah Daeng Upas.
"Semua telah terjadi. Percuma kita tangisi nasib! Tidak akan menyelesaikan masalah..."
Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Mulut di balik cadar perempuan ini hendak mendamprat. Tapi setelah dipikir-pikir ucapan si kakek benar juga, perlahan-lahan Dewi Siluman arahkan kembali wajahnya pada Daeng Upas.
"Aku bersumpah akan menguliti tubuh manusia jahanam yang membunuh Ibu!"
"Itu akan segera kita lakukan! Sekarang kita harus mengurusnya dahulu!" sahut Ki Buyut Pagar Alam lalu jongkok.
Tubuh Daeng Upas perlahan-lahan diangkat lalu dibawa melangkah. Dewi Siluman hanya memandang. Tak lama kemudian dia mengambil bambu kecil berwarna kuning yang tadi tergeletak di samping sosok Daeng Upas. Lalu bangkit dan menyusul Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman dan Ki Buyut duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah tempat dikuburnya Daeng Upas. Dewi Siluman masih terisak. Sedang Ki Buyut tundukkan kepala.
"Ibu, aku akan membalas manusia jahanam yang membuatmu begini!" isak Dewi Siluman.
Ki Buyut Pagar Alam bangkit berdiri. Memandang pada gundukan tanah merah lalu beralih pada Dewi siluman sambil berujar. "Dewi... Kita tinggalkan tempat ini!"
Dewi Siluman seka air matanya. Lalu perlahan-lahan bangkit. Setelah menarik napas dalam dia balikkan tubuh melangkah menyusul Ki Buyut yang telah melangkah pelan mendahului.
"Buyut! Kau bisa menduga siapa manusia jahanam penyebab kematian Ibu?!" tanya Dewi Siluman setelah dekat dengan Ki Buyut.
"Ada beberapa orang. Mereka selama ini punya masalah dengan ibumu! Namun kita masih perlu menyelidiki agar kita tidak buang-buang tenaga percuma. Apalagi kini rimba persilatan sedang dilanda kemelut. Jika kita tidak teliti, kita akan salah turunkan tangan!"
"Katakan siapa kira-kira jahanam itu!"
"Hem... Orang pertama adalah Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya. Ibumu kuketahui sejak lama memendam dendam pada mereka. Merekalah yang membuat hidup ibumu merana. Orang kedua adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Kau tahu, rahasia Kitab Serat Biru sebenarnya harus jatuh ke tangan ibumu. Namun karena ulah Gendeng Panuntun dan saudarasaudaranya, Kitab Serat Biru akhirnya dimiliki pemuda itu. Bukan tak mungkin pemuda itu lalu menyingkirkan ibumu karena tahu masalahnya dari Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya! Orang ketiga adalah penghuni Istana Hantu yang dikenal dengan Tengkorak Berdarah. Tokoh misterius inilah yang selama ini dikabarkan orang dalang di belakang terbunuhnya beberapa tokoh rimba persilatan! Tapi siapa pun pembunuh itu yang jelas kepandaiannya tidak berada di bawah ibumu! Dari sini kita harus berhati-hati!"
"Peduli setan dengan kepandaian orang! Aku akan menuntut balas!" menyahut Dewi Siluman dengan setengah berteriak.
Ki Buyut menggelengkan kepala. "Kau tidak boleh gegabah, Dewi! Itu akan mendatangkan celaka! Dalam urusan ini kita dituntut untuk bertindak hati-hati bahkan kalau perlu harus berlaku licik!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut Pagar Alam. Agak lama baru dia perdengarkan suara lagi. "Ki Buyut. Apa yang kau ketahui tentang Tengkorak Berdarah?"
"Bukan hanya aku, tapi mungkin semua orang masih diliputi teka-teki tentang tokoh satu itu! Apa gerangan di balik perbuatannya selama ini! Tapi bagiku orang itu punya tujuan tertentu!"
"Kau bisa menebak apa tujuannya?!"
Ki Buyut Pagar Alam menggeleng. "Sulit meraba apa tujuannya. Hanya yang bisa kutangkap, dia seolah ingin mengundang munculnya beberapa orang! Kau tahu sendiri. Kini banyak tokoh yang muncul. Salah satunya adalah pemuda aneh bertangan buntung yang sempat bentrok dengan ibumu..."
"Ah... Jangan-jangan pemuda itu yang membunuh Ibu! Bukankah dia pernah punya urusan juga dengan Ibu?!" gumam Dewi Siluman.
"Itu mungkin saja. Tapi ibumu tampaknya belum mengenal pemuda itu. Jadi kemungkinannya jauh sekali..."
"Aku jadi bingung! Sekarang yang mana harus kita cari dahulu?!"
"Kita tak dapat mendahulukan yang mana. Ketiga orang yang kukatakan sama pentingnya. Siapa yang kita temui dahulu di antara ketiganya, dialah yang kita selesaikan dahulu!"
"Lalu ke mana..." Dewi Siluman putuskan ucapannya.
Saat itu mendadak terdengar satu seruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang angin luar biasa keras menggebrak ganas ke arah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam. Ki Buyut Pagar Alam dorong sosok Dewi Siluman hingga tersurut tiga langkah ke samping. Si kakek sendiri melompat dua langkah. Gelombang angin lewat di tengah antara sosok sang Dewi dan Ki Buyut Pagar Alam melabrak tempat kosong.
Hampir berbarengan, kepala Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berpaling ke arah asal datangnya gelombang angin yang jelas-jelas hendak mencelakai keduanya. Rahang di balik cadar sang Dewi mengembung. Sepasang matanya berkilat. Di sebelah sampingnya Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan kening dengan mulut komat-kamit. Sepasang matanya yang melotot besar mementang tak berkesip memandang ke depan.
Kurang lebih sepuluh tombak dari tempat masingmasing, Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam melihat seorang yang sekujur tubuhnya dibungkus dengan jubah terusan warna abu-abu yang pada bagian dadanya ada lukisan tengkorak. Ki Buyut Pagar Alam segera melompat ke arah Dewi Siluman. Sang Dewi berkata.
"Ki Buyut. Siapa adanya manusia ini?! Kenapa tiba-tiba menyerang kita?!"
"Aku baru kali ini bertemu dengannya! Aku akan ajukan tanya!"
Dewi Siluman mendengus. "Untuk membunuh orang yang jelas hendak mencelakai kita apa pentingnya tahu siapa dia?!"
"Dewi... Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita harus bisa menghemat tenaga dan mengambil untung sebisanya!"
"Apa maksudmu, Ki Buyut?!"
Ki Buyut Pagar Alam tidak menjawab pertanyaan Dewi Siluman. Sebaliknya kakek ini maju satu tindak. Lalu berkata. "Rasanya kita baru jumpa sekali ini. Harap sebutkan diri agar tidak terjadi silang sengketa tanpa urusan yang jelas!"
Orang berjubah abu-abu terusan yang tidak lain adalah orang yang selama ini perkenalkan diri dengan Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Tapi mendadak tawanya diputus. Saat lain dia berucap.
"Ucapanmu benar. Kita baru kali ini berjumpa, Tua Bangka! Tapi aku tahu siapa adanya kalian berdua! Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu, namun mungkin kau dan perempuan bercadar itu tak punya waktu lagi! Kedua tanganku akan mengirim kalian menyusul si kampret Daeng Upas sebelum kalian mendengar jawabanku!"
Baik Dewi Siluman maupun Ki Buyut Pagar Alam terkesiap kaget. Dewi Siluman segera angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan. Dia telah menduga bahwa orang di hadapannya masih ada sangkut paut dengan terbunuhnya Daeng Upas.
"Tahan, Dewi!" seru Ki Buyut Pagar Alam. "Jangan sampai kita dikecoh orang! Bukan tak mungkin dia hanya mengaku-aku agar orang sebenarnya yang membunuh ibumu bisa leluasa tak dicurigai!"
"Manusia jahanam ini telah mengaku sendiri. Untuk apa berpanjang lebar?!" sahut Dewi Siluman dengan kedua tangan masih terangkat. Tapi dia batalkan untuk lepaskan pukulan.
Ki Buyut Pagar Alam menoleh pada Dewi Siluman. Tapi kakek ini tidak berkata apa-apa. Kejap lain Ki Buyut memandang ke arah Tengkorak Berdarah lalu berkata. "Kau bilang tahu siapa kami berdua. Coba katakan siapa adanya kami!" pancing Ki Buyut. Kakek ini berlaku cerdik. Dia tidak ingin saja mempercayai ucapan orang. Dia maklum, dalam situasi kemelut seperti saat ini, sulit membedakan mana lawan mana kawan. Tak jarang orang yang dianggap kawan menghantam dari belakang dan sebaliknya.
"Kau dengar ucapanku! Kalian tak mungkin punya kesempatan mendengar jawabanku!"
Mendengar kata-kata orang berjubah abu-abu terusan, Dewi Siluman yang tidak sabaran dan sedari tadi sudah geram segera sentakkan kedua tangannya mendahului gerakan Tengkorak Berdarah.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang kabut hitam melesat dan melabrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah! Anak perempuan Daeng Upas telah lepaskan pukulan andalan 'Kabut Neraka'.
KI Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Kakek ini mulai geram begitu mendengar jawaban Tengkorak Berdarah. Hingga Dewi Siluman kirimkan pukulan, dari arah lain dia lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat. Jelas jika keduanya ingin cepat selesaikan Tengkorak Berdarah. Meski sejenak tampak tersentak dengan bergeraknya kepala di balik jubah abu-abu terusan tengadah, saat lain orang ini terdengar mendengus keras. Tangan kiri kanan segera bergerak menyentak.
Wuuutt! Wuuutt!
Terdengar suara gelombang angin berkelebat angker. Sesaat kemudian satu ledakan dahsyat mengguncang tempat itu. Sosok Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam terlihat bergoyang-goyang. Lalu sama tersapu hingga kedua orang ini mundur empat langkah. Dewi Siluman hampir saja terhuyung jatuh jika tidak imbangi diri dengan sentakkan kedua bahunya. Sedangkan Ki Buyut Pagar Alam tampak tetap tegak meski sesaat tadi tampak tersapu.
Di sebelah depan, Tengkorak Berdarah tergontaigontai lalu tersurut tiga langkah. Kedua tangannya bergetar. Kepala di balik jubah terusannya bergerak bergantian menghadap Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
"Tua bangka itu tenaganya lebih tinggi. Hem... Dia harus kuhabisi dahulu!" gumam Tengkorak Berdarah. Tanpa tunggu lebih lama dia langsung melompat. Dari jarak delapan langkah tangan kanannya menyentak lepaskan pukulan ke arah Dewi Siluman. Kejap lain sosoknya melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kini kedua tangannya segera bergerak menghantam ke arah kepala si kakek!
Wajah di balik cadar Dewi Siluman menyeringai. Perempuan berambut pirang ini tertawa pelan melihat datangnya serangan. Hal ini bisa dimaklumi karena saat itu Tengkorak Berdarah sengaja lepaskan pukulan hanya dengan seperempat tenaga dalamnya, hingga Dewi Siluman tampak meremehkan. Dewi Siluman tidak tahu, jika serangan yang kini mengarah padanya hanya untuk membagi perhatian Ki Buyut Pagar Alam.
Tipuan Tengkorak Berdarah tidak meleset. Ki Buyut Pagar Alam ikut-ikutan lepaskan pukulan saat Dewi Siluman hendak memangkas pukulan lawan. Kakek ini dapat merasa jika Dewi Siluman sendiri sudah bisa mengatasi. Justru dia terlihat ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan sang Dewi. Namun begitu melihat lawan terus berkelebat ke arahnya dan langsung kirimkan pukulan ke arah kepalanya, kakek ini sejurus tampak terkesiap kaget. Ki Buyut Pagar Alam silangkan dua tangannya di atas kepala untuk menangkis serangan lawan. Namun bersamaan dengan terangkatnya kedua tangan untuk melindungi kepala, kaki kanannya bergerak berkelebat susupkan tendangan!
Sosok Tengkorak Berdarah yang sedang lancarkan pukulan ke arah kepala si kakek tak mau bertindak ayal. Jelas jika dia teruskan menghantam kepala lawan, maka sebelum kedua tangannya sempat membuat pecah kepala si kakek, niscaya tendangan orang tua itu akan menyambutnya terlebih dahulu. Memikir sampai di situ, Tengkorak Berdarah cepat tarik pulang kedua tangannya.
Saat lain kaki kanan di balik jubah abu-abunya mencuat lepaskan tendangan. Lalu kedua tangannya yang kini ditarik kembali dihantamkan lewat bawah mengarah pada selangkangan si kakek yang kosong karena kaki kanannya sedang kirimkan tendangan. Ki Buyut tidak tinggal diam. Kedua tangannya yang menyilang di atas kepala cepat pula disentakkan ke bawah memangkas kedua tangan lawan yang hendak membongkar selangkangannya.
Bukkk! Bukkk!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras berulangkali ketika secara berbarengan dua tendangan dan dua pasang tangan bertemu. Sosok Tengkorak Berdarah mental balik melayang ke belakang. Namun setengah jalan orang ini membuat gerakan jungkir balik lalu melayang turun. Orang ini seakan baru saja menghantam dinding kokoh, hingga saat sepasang kaki di balik jubahnya menginjak tanah, jelas terlihat sosok orang ini terhuyung-huyung. Sepasang kakinya bergetar hebat dan goyah.
Di seberang, karena saat terjadi benturan Ki Buyut Pagar Alam tegak bertumpu pada kaki kirinya maka tak ampun lagi sosoknya terjengkang roboh di atas tanah dengan wajah makin pucat. Tapi tiba-tiba kakek ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya segera bangkit. Dan saat sekilas memandang terlihat lawan terhuyung-huyung, orang tua ini tidak sia-siakan kesempatan. Laksana terbang dia melesat ke arah Tengkorak Berdarah. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya, lalu kirimkan gebrakan ke arah kepala lawan dari samping kanan kiri!
Tengkorak Berdarah tidak membuat gerakan menghindar atau menangkis. Rupanya orang ini telah memperhitungkan sesuatu. Sementara melihat lawan tidak coba menghindar atau menangkis, membuat Ki Buyut Pagar Alam makin bernafsu. Dia teruskan gebrakan kedua tangannya dari arah samping kanan kiri kepala Tengkorak Berdarah tanpa perhitungan apa-apa lagi. Malah dia lupa jika tidak mungkin lawan akan begitu saja menyerah diam bila sebelumnya tidak memperhitungkan.
Ketika sejengkal lagi kepala di balik jubah abu-abu rengkah terhantam kedua tangan sang kakek, dengan gerakan luar biasa cepat Tengkorak Berdarah rundukkan kepalanya. Pada saat bersamaan dia jatuhkan diri berguling di atas tanah. Kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam menggebrak udara kosong. Saat itulah sepasang kaki Tengkorak Berdarah lepaskan satu tendangan bersamaan ke arah perut. Begitu cepatnya gerak tendangan itu, hingga tak ada kesempatan lagi bagi Ki Buyut Pagar Alam untuk lakukan gerakan menghindar. Orang tua ini akhirnya hanya bisa berteriak.
Bukkk! Bukkk!
Sosok Ki Buyut Pagar Alam mencelat sampai tiga tombak dan jatuh bergedebukan dengan mulut semburkan darah. Mukanya yang pucat makin tampak tak berdarah. Dadanya bergerak cepat turun naik tak karuan. Dewi Siluman tegak di atas tanah dengan rahang di balik cadarnya menggertak. Dia kini merasa tertipu dengan pukulan lawan yang tadi diarahkan padanya.
"Jahanam!" teriak anak perempuan Daeng Upas ini seraya melompat. Namun sebelum tubuhnya berkelebat, Tengkorak Berdarah yang masih di atas tanah segera bangkit. Kejap lain sosoknya melesat ke depan. Dewi Siluman yang menduga lawan hendak berkelebat ke arahnya segera angkat kedua tangannya. Namun kali ini kembali perempuan bercadar ini tertipu. Tengkorak Berdarah melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam!
Dewi Siluman berteriak marah. Tapi perempuan berambut pirang ini urungkan niat untuk berkelebat karena di seberang sana Tengkorak Berdarah telah jambak rambut Ki Buyut Pagar Alam lalu ditariknya ke atas hingga sosok Ki Buyut Pagar Alam yang tadinya telentang terangkat.
"Apa yang hendak kau lakukan, Jahanam?!" teriak Dewi Siluman gusar.
Tengkorak Berdarah berpaling ke arah Dewi Siluman dengan tangan kanan masih menjambak rambut Ki Buyut Pagar Alam. "Aku tak ingin melihat kalian mati enak! Kau dengar, Perempuan! Ibumu adalah salah satu manusia yang pernah andil membuat hidupku berantakan! Setelah ibumu tewas, aku tak ingin ada keturunan atau kerabatnya yang hidup!"
Ki Buyut Pagar Alam buka kelopak matanya. Dia melirik sebentar ke arah Tengkorak Berdarah yang tegak di sampingnya. Orang tua ini kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Namun dia tersentak kaget. Aliran darahnya serasa terbalik dan kedua tangannya laksana lumpuh. Malah saat itu juga mulutnya mengembung dan perutnya mual. Saat lain orang tua ini tersedak. Lalu darah kehitaman menyembur keluar dari mulutnya.
Tengkorak Berdarah tertawa pendek. "Jangan bermimpi hendak membokongku, Tua Bangka!" bentaknya seraya tarik rambut Ki Buyut Pagar Alam hingga orang tua itu meringis kesakitan.
Mengetahui dirinya tak berdaya, Ki Buyut Pagar Alam terlihat kerdipkan sepasang matanya memberi isyarat pada Dewi Siluman seraya gerakkan tangan kanannya. Melihat isyarat yang diberikan Ki Buyut Pagar Alam, Dewi Siluman tampak tengadah.
"Tak mungkin aku meninggalkan dia!"
Mendapati Dewi Siluman tidak menuruti isyaratnya yang memberitahukan agar Dewi Siluman tinggalkan tempat itu, si kakek sedikit pelototkan sepasang matanya lalu gerakkan tangan kanannya ulangi isyarat. Habis memberi isyarat begitu, Ki Buyut Pagar Alam kembali coba kerahkan tenaga dalamnya. Dia menarik napas lega. Tenaga dalamnya dapat disalurkan meski dengan susah payah.
Tengkorak Berdarah gerakkan kepalanya ke bawah. Diam-diam orang ini berkata dalam hati. "Hem... Tua bangka ini luar biasa. Kukira dia sudah tak mampu salurkan tenaga dalam. Kalau tidak cepat kuhabisi, akan berbahaya!" Baru saja membatin begitu, mendadak Ki Buyut Pagar Alam berteriak keras.
"Dewi! Cepat lari!"
Bersamaan dengan terdengarnya teriakan, kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam bergerak menghantam ke arah perut Tengkorak Berdarah.
"Bangsat keparat!" maki Tengkorak Berdarah. Dia cepat lepaskan jambakan pada rambut orang. Tangan kiri kanan segera menghantam ke bawah memangkas pukulan Ki Buyut Pagar Alam.
Bukkk! Bukkk!
Meski kedua tangan Tengkorak Berdarah sempat menghantam mental kedua tangan si kakek namun tak urung perutnya masih tersambar pukulan orang. Hingga sosoknya terjajar dua langkah mundur. Sementara sosok Ki Buyut sendiri tampak tertarik ke belakang dengan derasnya. Karena telah cedera parah, kakek ini tidak bisa imbangi tubuh. Sosoknya terbanting keras di atas tanah. Tengkorak Berdarah menggereng marah. Sekali lompat tubuhnya telah di samping Ki Buyut yang kembali telentang. Satu kaki bergerak dari balik jubah abu-abu.
Bukkk!
Tubuh Ki Buyut Pagar Alam mencelat. Menghempas pada sebatang pohon tiga tombak di belakang sana lalu terpental balik sejauh satu tombak dan jatuh terkapar di atas tanah. Mulutnya megap-megap lalu keluarkan darah. Sesaat tubuhnya bergerak-gerak seakan hendak mencoba bangkit. Tapi di lain kejap mendadak sosoknya menghempas dan tak bergerak-gerak lagi! Adik kandung Daeng Upas ini tercabut nyawanya dengan wajah digelimangi darah yang muncrat dari mulut serta hidungnya.
Tengkorak Berdarah cepat putar diri. Tapi dia segera bantingkan kaki begitu dilihatnya Dewi Siluman sudah tidak ada di tempatnya semula!
"Hari ini nyawanya masih selamat. Tapi tak akan lama!" desis Tengkorak Berdarah. Orang ini gerakkan kedua tangannya meraba pinggang dan perutnya. Dia tampak menarik napas panjang. Lalu tanpa berpaling pada mayat Ki Buyut Pagar Alam, orang berjubah abuabu terusan ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
BAB 1
TENGKORAK Berdarah tegak dengan tubuh laksana dipaku. Kepalanya yang tertutup jubah terusan abu-abu tak bergerak dan lurus menghadap perempuan di hadapannya. Tanpa sadar dia perdengarkan desisan.
"Prabarini...!"
Perempuan dihadapan Tengkorak Berdarah sunggingkan senyum. Tetap memandang dengan tatapan sayu dia buka mulut. "Syukur kau masih mengenaliku. Kalau dugaanku tak salah bukankah kau adalah Lasmini...?"
Untuk kesekian kalinya Tengkorak Berdarah terlihat terkesiap. Sosoknya bergetar dengan mulut terkancing tak perdengarkan suara. Hal ini telah menambah keyakinan perempuan yang dipanggil Prabarini. Hingga perempuan yang tadinya menutup wajahnya dengan bedak tebal ini berucap lagi.
"Aku telah tunjukkan siapa diriku. Kuharap kau tak keberatan untuk membuka penyamaranmu!"
"Bagaimana perempuan jahanam ini tahu diriku...? Dia hanya menduga-duga atau memang tahu sungguhan? Keparat betul! Perempuan inilah yang membuat hidupku merana! Hem... Bertahun-tahun kucari, akhirnya kutemui tanpa kuduga!" membatin Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abunya bergerak tengadah.
"Prabarini! Matamu sudah kuharamkan melihatku! Dan kau akan menyesal mengundangku datang ke sini. Ini adalah undangan kematian bagimu!"
"Hem... Berarti dugaanku tidak salah. Dia adalah Lasmini... Dia masih menyimpan dendam padaku..." kata Prabarini dalam hati. Lalu berkata.
"Lasmini... Kau ingin membunuhku itu persoalan mudah. Di antara kita memang ada urusan meski aku sudah melupakan hal itu. Tapi untuk sementara ini kita tunda urusan kita. Ada hal lebih penting yang harus kita buka bersama!"
"Tak ada hal lebih penting bagiku selain menjadikanmu mayat, Prabarini! Kau telah merecoki hidupku! Kaulah manusia yang membuat jalan hidupku jadi berantakan. Kau perempuan jahanam yang merebut suamiku! Tidak ada yang perlu dibuka lagi! Justru aku akan membuka pintu kubur untukmu!"
Habis berkata begitu, Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Kedua tangan orang ini terlihat bergetar keras tanda dia telah kerahkan segenap tenaga dalamnya. Prabarini memandang sejenak. Meski mulutnya tersenyum namun jelas jika wajahnya berubah membayangkan perasaan cemas. Seraya mundur satu tindak dia berkata.
"Sudah kukatakan, membunuhku adalah urusan gampang. Tapi kau nanti akan menyesal jika..." Ucapan Prabarini belum selesai, Tengkorak Berdarah telah menukas dengan suara keras.
"Satu penyesalan besar adalah jika aku membiarkanmu hidup! Jangan banyak bicara membuat dalih!"
Prabarini gelengkan kepala. "Aku memintamu datang ketempat ini bukan untuk mengatakan segala macam dalih! Aku justru ingin agar urusan di antara kita cukup sampai kita berdua! Jangan sampai orang lain kita seret di dalamnya!"
Lama Tengkorak Berdarah terdiam sebelum akhirnya berkata. "Apa maksud ucapanmu, Perempuan Laknat?! Kau jangan bicara tidak karuan! Aku tidak pernah melibatkan orang lain dalam urusan kita! Tanganku cukup untuk menyelesaikannya!"
"Ucapanmu benar, Lasmini! Tapi jika kita tidak buka urusan bersama-sama, tanpa sadar kita akan menyeret orang lain masuk dalam urusan kita! Yang lebih menyedihkan, orang yang terseret adalah orang-orang yang kita kasihi!"
"Prabarini! Jangan kau bicara ngelantur! Katakan terus terang siapa orang yang kau maksud!" bentak Lasmini alias Tengkorak Berdarah. Orang ini masih sarukan suaranya hingga terdengar seperti suara seorang laki-laki.
Prabarini memandang tak berkesip beberapa lama. Setelah menghela napas panjang dia berkata. "Kau punya seorang anak perempuan. Aku pun demikian. Mereka adalah darah daging seorang laki-laki yang sama kita kasihi. Apakah hatimu tidak merasa trenyuh jika melihat keduanya saling bermusuhan tanpa mereka sadari jika keduanya masih bertalian darah?"
Mendadak Lasmini yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah turunkan kedua tangannya. Kepalanya makin mendongak. Dadanya terlihat bergerak turun naik. "Saraswati... Di mana kau sekarang anakku...? Sudah sekian tahun aku mencarimu, tapi kau belum juga kutemukan!" Sesaat kemudian kepala Tengkorak Berdarah bergerak lurus menghadap Prabarini. "Sepertinya perempuan ini tahu di mana Saraswati. Hem..."
"Prabarini! Bagaimana kau tahu mereka bermusuhan? Di mana kau temui anakku Saraswati, hah?! Kurobek mulutmu jika kau bicara mengada-ada! Dan dengar. Jangan kau sebut laki-laki itu orang yang kita kasihi! Dia adalah salah seorang yang harus kulenyapkan dari muka bumi! Termasuk juga kau!"
"Saat ini mereka memang belum bermusuhan. Tapi aku menduga permusuhan itu akan segera terjadi. Yang menyedihkan, pangkal permusuhan itu sama dengan hal yang pernah menimpa kita berdua..."
Kedua tangan Tengkorak Berdarah mengepal. Sosoknya kembali bergetar. Tapi untuk beberapa saat orang ini tidak perdengarkan suara. Dada orang ini dibuncah dengan berbagai perasaan. Dendam kesumat yang selama ini dipendam belum kesampaian kini ditambah dengan ucapan Prabarini yang membuatnya panas dingin, karena urusannya sama dengan urusan dirinya dengan Prabarini pada beberapa tahun silam yang membuatnya hidup merana terpisah dari anaknya juga membuat dirinya bertekad untuk membunuh orang yang dulu pernah dicintainya.
"Prabarini!" sentak Tengkorak Berdarah setelah agak lama terdiam. "Kau belum katakan di mana kau menemukan anakku!"
"Aku tak bisa mengatakan di mana. Tapi aku bisa membawamu ke sana!"
"Hem... Begitu? Kita berangkat sekarang! Tapi ingat. Meski aku nanti berhasil jumpa Saraswati, bukan berarti hidupmu ku perpanjang!"
"Hidup mati sudah tak pernah kupikir lagi, Lasmini. Suratan takdir sudah menulisnya. Tapi sebelum kau kutemukan dengan anakmu, aku punya permintaan."
Entah sudah tak sabar, Tengkorak Berdarah segera menyahut. "Katakan apa yang kau minta!"
"Kau harus buka penutup wajahmu. Kau nanti juga harus berkata jujur. Karena anakku pun harus mendengar dan mengetahui semuanya!"
"Prabarini! Kau telah tahu siapa diriku. Lebih dari itu, aku tak punya urusan dengan anakmu! Aku hanya ingin jumpa anakku, lalu membunuhmu!"
"Anakku memang tak ada urusan denganmu, Lasmini. Tapi bagaimanapun juga anakku masih satu darah dengan anakmu. Jadi dia harus tahu. Jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa mencegah terjadinya permusuhan di kelak kemudian hari? Jika semua telah jelas, aku akan menyerah padamu..."
Sebenarnya, secara diam-diam selama ini Prabarini telah menyelidiki Istana Hantu. Hingga pada akhirnya dia mengetahui siapa Raka Pradesa yang selama ini menyamar sebagai pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam. Dari sini, Prabarini sedikit banyak sudah yakin siapa adanya penghuni Istana Hantu yang selama ini dikenal kalangan rimba persilatan sebagai Tengkorak Berdarah. Hingga saat jumpa dengan Raka Pradesa, Prabarini mengucapkan kata-kata yang membuat Raka Pradesa terperanjat mengetahui orang telah mengenali dirinya.
(Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Asmara Hitam)
Dia juga diam-diam menyelidik semua kekacauan yang akhir-akhir ini melanda dunia persilatan yang menurut banyak kalangan didalangi oleh Tengkorak Berdarah, si penghuni Istana Hantu. Dia curiga, karena menurut apa yang diketahui, penghuni Istana Hantu tidak pernah keluar dari istananya. Kalaupun ada Tengkorak Berdarah yang menebar maut, tentu bukanlah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu. Dia dapat menduga jika Tengkorak Berdarah yang ditemuinya saat itu adalah Lasmini karena dia telah mengetahui rencana Lasmini yang juga adalah bekas istri suaminya.
Lasmini tahu jika suaminya menyimpan satu rahasia besar. Namun perempuan ini kecewa, karena sang suami tidak mau mengatakan rahasia itu lebihlebih setelah mengetahui jika sang suami menjalin hubungan dengan kekasihnya dahulu, yang bukan lain adalah Prabarini. Hanya saat ini Prabarini tidak tahu jika Lasmini sebenarnya belum dapat memastikan siapa adanya Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu. Lasmini sengaja mengenakan penyamaran seperti Tengkorak Berdarah karena dia punya perhitungan sendiri.
"Prabarini! Peduli setan anakmu masih satu darah dengan anakku. Tapi yang jelas aku tak punya ikatan apa-apa dengan anakmu! Malah jika perlu dia pun harus mengalami nasib sama denganmu! Bibit kotor begitu harus segera dipenggal sebelum membuat kerusuhan lagi di kelak hari!"
Mendengar ucapan Lasmini, raut wajah Prabarini seketika berubah. Sepasang matanya sedikit mementang. Dadanya bergemuruh. Tapi mengingat apa yang akan terjadi jika semuanya tidak jelas, perlahan-lahan perempuan ini berusaha menindih gejolak hatinya yang panas.
"Ah..." Prabarini menarik napas panjang, lalu berucap dengan suara sedikit bergetar tanda belum sepenuhnya dia dapat menguasai hatinya. "Lasmini. Rasanya aku tidak dapat membawamu bertemu dengan anakmu jika kau bersikeras tak mau menuruti permintaanku!"
Tiba-tiba Lasmini perdengarkan suara tawa panjang. Namun tawanya segera diputus. Kejap lain dia telah membentak. "Berarti semua ucapanmu hanya dusta belaka!"
"Aku tidak mendapat untung apa-apa berkata dusta padamu! Jika tak punya niat baik aku pun tidak mungkin memintamu datang ke sini dan tunjukkan siapa diriku sebenarnya. Bukankah dengan begitu kau masih tidak mengetahui diriku? Dan dendam kesumatmu tidak akan terlampiaskan?!"
"Perempuan sepertimu bisa saja memutar lidah! Mungkin di balik kata dustamu kau punya tujuan lain! Tapi jangan kau mimpi bisa membodohiku saat ini! Cukup sekali saja kau menggunting lipatanku! Dan itu harus kau bayar!"
"Lasmini! Aku telah berusaha berbaik-baik denganmu. Nyatanya kau masih tak mau mengerti! Kau lebih mengedepankan dendam daripada mencegah berlarutnya urusan! Jika itu jalan yang kau ambil, terpaksa aku merubah rencana! Aku tidak akan tinggal diam sebelum persoalan ini jelas diketahui oleh orang yang bersangkutan!" kata Prabarini dengan suara agak tinggi.
Lasmini perdengarkan tawa panjang. "Bagus! Aku memang tak ingin kau mampus tanpa perlawanan!"
Habis berkata begitu, Lasmini kembali angkat kedua tangannya. Di seberang, Prabarini masih tegak tanpa membuat gerakan apa-apa. Malah perempuan ini terlihat menghela napas dalam. Lalu bergumam.
"Kekerasan sebenarnya bukanlah satu-satunya jalan menyelesaikan urusan. Malah hal itu akan mendatangkan urusan lebih besar di kemudian hari. Mendatangkan jeritan duka yang lebih parah! Padahal hal itu bisa dicegah jika yang tua-tua seperti kita ini mau sedikit menahan diri dan membuka hati..."
Entah karena apa, begitu mendengar gumaman Prabarini, kedua tangan Lasmini diturunkan ke bawah. Lalu terdengar dia berucap. Namun suaranya masih keras. "Kalau kau mengatakan urusan anakku dengan anakmu sama dengan urusan kita dahulu berarti ada satu laki-laki dalam urusan ini! Katakan padaku macam apa laki-laki itu?!"
"Lasmini. Kita sudah sama merasakan bagaimana jika orang telah jatuh dalam jerat cinta. Jika kau langsung berurusan dengan laki-laki itu bukan tidak mungkin kau akan membuka permusuhan sendiri dengan anakmu!"
"Peduli setan! Justru aku telah mengalami maka aku tahu harus berbuat apa!"
Prabarini menggeleng. "Kau bukannya akan menyelesaikan urusan. Sebaliknya menambah urusan! Padahal semuanya akan jadi beres jika kau mau sedikit berpikir dengan hati nurani!"
Lasmini tertawa pendek bernada mengejek. "Itulah satu kesalahan yang kubuat dahulu. Aku selalu bertindak dengan hati nurani. Tapi apa yang kuperoleh? Suamiku jatuh dalam rayuanmu! Hidupku berantakan!"
"Kau terlalu berprasangka buruk padaku, Lasmini. Kau harus tahu, jauh sebelum denganmu, aku telah menjalin hubungan."
"Itu urusanmu! Yang jelas kau merebut setelah dia jadi milikku!"
"Ah... Sudahlah. Tak ada gunanya mengungkit hal yang sudah terjadi! Aku harus pergi sekarang. Aku masih menunggu pikiranmu berubah..."
Selesai berucap begitu, Prabarini hendak melangkah tinggalkan tempat itu, namun sebelum kakinya bergerak melangkah, Lasmini berkata.
"Aku tak perlu waktu. Kau pun tak perlu menunggu."
"Maksudmu?"
"Sampai kapan pun pikiranku tak akan berubah! Malam ini kita selesaikan urusan kita!"
"Kau tidak menyesal nantinya? Dengar, Lasmini! Anakmu telah dewasa. Pasti kau dapat merasakan bagaimana kegundahan hati seorang anak yang tidak tahu siapa ibunya! Apalagi dia anak perempuan! Dia butuh seseorang tempat bertanya. Perlu orang tempat mengadu! Kau perlu waktu untuk berpikir. Saat ini kau masih diselimuti perasaan geram. Dalam situasi begini tidak mustahil pertimbanganmu hanya dendam. Tiga hari di muka, kau kutunggu di halaman Istana Hantu!" Tanpa menunggu sahutan Lasmini, Prabarini putar diri lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
"Persetan dengan segala ucapanmu! Ini semua terjadi gara-gara ulahmu dahulu!" desis Lasmini.
Orang ini serentak angkat kedua tangannya siap lepaskan satu pukulan ke arah Prabarini yang seolah acuh dengan ucapan orang dan teruskan langkah tanpa berpaling lagi. Mendadak ada satu perasaan muncul di benak orang berjubah abu-abu aneh terusan ini. Kejap lain kedua tangannya diturunkan dan kini berpaling ke arah Prabarini yang terus melangkah membelakanginya.
"Jahanam! Jika saja dia tidak menggantung dengan urusan Saraswati, rasanya terlalu bodoh membiarkan dia berlalu begitu saja! Ah... Bagaimana urusan bisa jadi begini? Mengapa dia menginginkan pertemuan di halaman Istana Hantu? Apakah dia berpikir agar penyamaranku bisa terbongkar? Hem... Sebelum waktu yang ditentukan aku harus berbuat sesuatu!"
Lasmini balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat dekat pancuran air itu mengambil arah berlawanan dengan Prabarini.
********************
BAB 2
SATU pemandangan sedikit aneh terlihat di bawah sebatang pohon besar tak jauh dari aliran sungai yang membentuk dua jalur ke kanan dan kiri. Saat itu mentari baru saja muncul dari lamping gunung, hingga suasana menjadi agak terang. Ke mana mata memandang kini tampak jelas. Di bawah sebatang pohon besar itu terlihat satu sosok tubuh. Sepasang mata orang ini sedari tadi tak berkesip memandang ke arah satu gugusan batu yang memisahkan aliran sungai hingga membentuk dua jalur ke kanan kiri.
Orang ini adalah seorang pemuda berwajah tampan. Sepasang matanya tajam. Hidungnya sedikit mancung. Tapi ada keanehan pada dirinya. Dia tegak memandang dengan kaki di atas dan kepala di bawah! Sepasang kakinya dia selonjorkan pada batang pohon. Pemuda ini tidak mempunyai tangan. Sementara pada mulutnya terlihat bundaran karet yang terus menerus dibuat mainan disedot-sedot. Setiap kali dia menyedot, terdengar suara duutt! Duutt! Duuuttt!
"Air masih pasang. Aku masih kesulitan menentukan tempat yang dikatakan itu. Apalagi aku tak punya tangan untuk berenang. Jika aku memaksa, bukan tak mungkin aku akan mengalami celaka. Satu-satunya jalan adalah menunggu sampai air surut. Jika saja tidak untuk membuktikan ucapan Guru serta mencari jejak darah nenek moyang, aku tak jauh-jauh sampai datang ke tempat ini. Apalagi belum apa-apa sudah banyak urusan lain yang tak kuduga sebelumnya..." gumam si pemuda bertangan buntung yang bukan lain adalah orang yang baru muncul dalam kancah rimba persilatan dan dikenal dengan Dewa Orok.
Sudah sejak tadi malam pemuda ini berada di dekat aliran sungai yang membentuk dua jalur itu. Dia sesekali tampak menghela napas panjang sambil memandang ke arah gugusan batu besar yang memisahkan aliran sungai. Wajahnya kelihatan sudah tidak sabar. Namun begitu melihat aliran sungar yang saat itu sedang meluap, dia terlihat menindih rasa ketidak sabarannya.
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang menggagalkan tujuanku ini. Karena meski masih tak ada orang yang mengetahui seluk beluk nenek moyangku ini, tapi secara tak langsung menurut Guru, nenek moyangku masih ada kaitannya dengan satu rahasia besar. Hem... Sayang aku tak mengetahui rahasia apa itu! Yang jelas aku harus dapat menemukannya dan menguburnya di tempat yang layak..."
Dewa Orok terus bergumam sendiri. Mungkin karena merasa capek dan menduga air pasang masih lama surut, Dewa Orok perlahan pejamkan sepasang matanya. Mulutnya memperkeras sedotan pada karet bundarnya. Tak lama kemudian terdengar dia mendengkur ditingkah suara duutt! Duutt! dari sedotan karet bundar di mulutnya. Sepasang mata serta dengkuran Dewa Orok baru membuka dan terhenti tatkala matahari sudah menggelincir dari titik tengahnya.
"Ah... Air sudah surut!" gumamnya setelah melihat aliran air memang telah surut, hingga sepasang matanya bisa melihat bagian bawah gundukan batu besar yang memisahkan aliran sungai. Sejenak sepasang matanya mengerjap. Lalu Wuuttt! Pemuda tampan tak bertangan ini gerakkan bahunya. Kejap lain sosoknya telah tegak dengan kaki di bawah kepala di atas. Tapi orang ini tegak bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!
"Hem... Ucapan Guru tampaknya benar... Di batu besar itu bagian bawahnya tampak sebuah lobang! Meski tidak besar, tapi kurasa cukup untuk lewatnya satu tubuh..." pikir Dewa Orok begitu matanya dapat melihat bagian bawah batu besar yang memang terlihat ada sebuah lobang tidak begitu besar. Air sungai kini sedikit berada di bawah lobang.
"Aku masih harus berenang untuk mencapai batu besar itu. Tapi sudah agak ringan, karena aliran sungai tidak lagi deras..."
Setelah memperhatikan sejenak pada aliran sungai dan menghitung jarak sampai batu yang dituju, Dewa Orok tengadahkan kepala. Tumitnya yang berjingkat serentak bergerak ke bawah menginjak tanah. Laksana melayang, mendadak sosoknya melesat ke udara. Di atas udara pemuda ini membuat gerakan menjungkir. Lalu dengan kepala di bawah kaki tegak lurus ke atas, orang ini terjunkan diri ke aliran sungai.
Aliran sungai sejurus tampak muncrat dan beriak. Sosok Dewa Orok segera lenyap. Lalu tampak alur memanjang membelah aliran sungai. Kejap lain sosok Dewa Orok tampak menyembur dua tombak dari batu besar. Sekali dia sentakkan kedua bahunya, sosoknya melesat ke atas dan kini tegak di atas batu besar dengan berjingkat. Air tampak mengucur deras dari pakaian dan tubuhnya.
Setelah mengedarkan pandangan, dia melangkah ke bibir batu. Kepalanya melongok ke bawah. Ke bawah lobang di batu yang kini dipijaknya. Tanpa pikir panjang lagi dia segera melompat. Namun pemuda ini serta merta urungkan niat. Sebaliknya sepasang matanya menatap tak berkesip pada lobang batu di bawahnya. Mulutnya memperkeras sedotan pada karet bundarnya. Pertanda dia disentak oleh sesuatu yang mengejutkan. Saat itu sepasang mata Dewa Orok memang melihat sesuatu menyembul dari dalam lobang.
"Bukan ikan juga bukan binatang... Tapi anggota tubuh manusia!" katanya dalam hati dengan mata terpentang makin besar. "Jangan-jangan tempat ini berpenghuni. Atau jangan-jangan hantu sungai..."
Dewa Orok terus memandang. Kini tampaklah dua tapak tangan keluar meraba-raba mencari pegangan pada bagian luar batu. Namun karena batu itu licin, kedua tangan yang menyembul dari dalam lobang itu gagal mencari pegangan. Dan tak lama kemudian kedua tapak tangan itu lenyap kembali ke dalam lobang. Dewa Orok jongkok di bibir batu. Dia menunggu dengan dada berdebar. Namun hingga agak lama ditunggu, tidak tampak lagi menyembulnya kedua tangan tadi.
"Ah... Jangan-jangan memang hantu sungai yang menggodaku! Hem... Aku harus segera masuk. Hantu sungai pasti akan merasa kasihan jika telah melihat keadaanku yang begini... Hik Hik Hik...!"
Dewa Orok tersenyum sendiri. Lalu kembali hendak turun ke sungai. Namun kembali gerakannya tertahan ketika saat itu juga kedua tangan tadi muncul kembali. Kini kedua tangan itu terus menjulur. Tak berapa lama kemudian sudah tampak bagian bahu orang. Ternyata orang ini mengenakan pakaian putih. Sesaat kemudian, Dewa Orok jelas dapat melihat satu kepala berambut gondrong agak acak-acakan yang dibalut dengan sebuah ikat kepala juga berwarna putih. Dewa Orok belum dapat melihat raut wajah orang karena dia berada di atas.
Orang yang menyembul keluar dari lobang terus bergerak. Karena kini kepalanya sudah berada di luar, sementara kedua tangannya butuh pegangan, orang ini gerakkan kepalanya tengadah untuk mencari pegangan pada batu di atasnya. Saat itulah sepasang mata orang yang baru menyembul menangkap sosok yang jongkok di atas bibir batu. Sementara mata Dewa Orok juga sedang memandangnya. Kedua orang ini serentak sama terkesiap! Malah seraya makin mementang besar, kepala Dewa Orok tampak makin bergerak ke bawah. Sebaliknya kepala orang yang menyembul serentak hampir saja membentur batu karena ditarik terlalu keras!
"Heran..." pikir Dewa Orok. "Bagaimana anak ini bisa muncul di sini...? Tempo hari kulihat dia cedera dan dibawa lari orang..."
Kalau Dewa Orok membatin begitu, orang yang menyembul dari lobang diam-diam juga membatin. "Aneh... Sikapnya seperti menghadang dan tahu jika aku berada di dalam sini! Siapa sebenarnya orang itu? Tempo hari dia secara tak langsung menyelamatkanku dari seorang perempuan bernama Daeng Upas. Hem... Jangan-jangan dia tahu tentang tempat ini dan rahasia di dalamnya! Meski aku belum dapat memastikan kitab apa yang kini di tanganku, tapi tak akan kubiarkan siapa pun juga menyentuhnya!"
Orang yang baru menyembul kembali tengadahkan sedikit kepala dengan mata melirik ke atas. Saat dilihatnya Dewa Orok masih duduk di atas bibir batu orang ini segera berteriak.
"Meski kita belum sempat berkenalan, tapi kita pernah saling jumpa. Aku mengucapkan terima kasih, karena saat itu kau menolongku! Tapi sekarang harap kau katakan mengapa kau seperti menghadangku?!"
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya hingga bundaran karet itu melesat keluar dan mengapung di udara. Kejap lain terdengarlah ucapannya.
"Betul. Kita belum sempat berkenalan meski pernah bertemu muka. Kau tidak usah berbasa-basi mengucapkan terima kasih. Aku tidak merasa menolongmu. Aku hanya tidak suka melihat orang berbuat kurang ajar pada orang yang tak berdaya. Tapi sekarang bukan aku yang menjawab pertanyaanmu, sebaliknya kau yang harus jawab pertanyaanku!" Ucapan Dewa Orok sekilas tampak mengulangi seperti ucapan orang yang baru saja menyembul dari dalam lobang.
Orang yang berada di bawah mendongak. Sepasang matanya memandang tajam. Lalu dia buka mulut. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apa yang telah kau peroleh dari tempat di bawah batu besar ini?!"
Orang di bawah tampak terkesiap. Matanya makin membeliak besar. Dahinya mengernyit. "Dia tampaknya sudah tahu rahasia di dalam sini... Hem..." Orang di bawah sejenak terdiam. Lalu berujar. "Aku tak menemukan apa-apa di dalam sini! Justru aku masuk ke sini karena ulah orang!"
"Kau tak menemukan apa-apa di dalam situ? Dan kau masuk karena ulah orang?!" ucap Dewa Orok. "Kau tidak berdusta? Dan siapa orang yang punya ulah?"
"Aku telah menjawab pertanyaanmu! Orang yang membuat ulah tak bisa kukatakan. Karena orangnya juga tak kukenali!" jawab orang di bawah.
"Aku tanya apa kau tidak berdusta!" kata Dewa Orok. Selama pemuda ini terus bercakap-cakap bundaran karet mirip dot bayi yang tadi disemburkan tetap mengapung di udara tak jauh dari kepalanya.
"Apa gunanya berdusta padamu?!" kata orang di bawah balik bertanya.
Dewa Orok tertawa pendek. Lalu berkata. "Gunanya dusta padaku?! Tentu kau ingin memiliki benda itu!"
Orang di bawah kembali terkejut. "Ah... Dia tak bisa didustai. Dia benar-benar tahu keadaan di dalam... Bagaimana sekarang? Kitab telah kudapat. Aku tak akan memberikan pada siapa pun juga!" membatin orang di bawah.
"Hem... Mahkota bersusun tiga terbuat dari emas. Itulah benda yang harus kudapatkan! Apakah pemuda di bawah itu betul-betul tak menemukannya? Tapi tempat yang dikatakan Guru tidak salah... Mungkin pemuda itu berkata dusta!" Dewa Orok berkata juga dalam hati.
"He! Kenapa kau diam?! Betul bukan kau telah menemukan barang itu?!" kata Dewa Orok setelah agak lama ditunggu orang di bawah tidak berucap lagi.
"Sudah kukatakan, aku tidak menemukan apa-apa!"
"Aku ingin buktikan ucapanmu!" kata Dewa Orok akhirnya. Tanpa bergerak dari tempatnya, pemuda bertangan buntung ini kuncupkan mulut.
Seakan tahu apa yang hendak diperbuat orang di atas batu, orang di sebelah bawah cepat putar diri menghadap batu. Dengan bersitekan pada batu di depannya sepasang kakinya disentakkan.
Wuutt! Wuuttt!
Sosok orang yang berada di bawah melenting ke udara. Setelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, orang ini mendarat tiga langkah di belakang Dewa Orok. Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung melesat lalu masuk ke dalam mulut si pemuda. Kejap lain sosoknya memutar menghadap orang yang di belakangnya. Sepasang kakinya ditarik ke belakang. Untuk beberapa saat Dewa Orok yang kini duduk bersila memandang penuh selidik. Sementara orang yang dipandang balas menatap dengan penuh tanda tanya.
"Menilik nada ucapannya, orang ini mengetahui seluk-beluk tempat di dalam sana! Aku harus tahu siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau orang baik!" kata orang di hadapan Dewa Orok dalam hati.
Orang ini yang ternyata seorang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian putih-putih dengan rambut gondrong acak-acakan dibalut ikat kepala warna putih dan bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng buka mulut.
"Harap sudi katakan siapa kau sebenarnya agar jika ada kesalahpahaman di antara kita dapat segera kita selesaikan!"
Dewa Orok gelengkan kepala. Mulutnya mengembung lalu semburkan bundaran karet. Bundaran karet itu mengapung di udara tak jauh dari wajahnya. Sesaat kemudian terdengar ucapannya.
"Dengar, Orang Muda! Salah satu hal yang tidak pernah kukatakan pada orang adalah sebutkan siapa diriku! Dan tanpa sebutkan diri, kalau kita sama jujur kukira tidak ada sesuatu yang tak dapat diselesaikan!"
"Hem... Dia menyebutku orang muda. Apa dikira dia lebih tua dariku? Kuduga usianya masih sebaya denganku..." membatin murid Pendeta Sinting lalu berkata. "Kalau kau tak suka sebutkan siapa dirimu, aku pun tak akan sebutkan siapa diriku!"
Dewa Orok tertawa panjang. "Aku tak tanya siapa dirimu! Yang kubutuhkan darimu adalah ucapan jujur!"
Paras wajah Pendekar 131 tampak berubah. Mungkin untuk membalas nada ucapan Dewa Orok, Joko segera pula berkata menjawab. "Kau pun tak akan mendapat ucapan apa-apa dariku!"
"Tak akan mendapat ucapan apa-apa darimu?" kata Dewa Orok mengulangi ucapan Pendekar 131. Dia tertawa dahulu sebelum melanjutkan. "Aku datang jauh-jauh mana mau begitu saja menerima? Kalau kau tak mau berkata, pasti ada jalan lain! Aku tahu benda yang kucari berada padamu! Aku meminta secara baik-baik! Jika kau tak menyerahkan, terpaksa aku minta dengan jalan tidak baik!"
Sebenarnya di antara kedua orang ini terjadi kesalahpahaman. Yang dimaksud Dewa Orok dengan benda sesungguhnya adalah sebuah mahkota bersusun tiga terbuat dari emas. Pemuda ini datang dari jauh dengan satu tujuan yakni mencari mahkota yang menurut gurunya adalah milik nenek moyangnya.
Sementara Pendekar 131 beranggapan jika benda yang dimaksud Dewa Orok adalah kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari dasar bumi, tempat di mana dia didorong masuk oleh sang penghuni Istana Hantu. Joko sendiri saat ini memang juga menyimpan mahkota bersusun tiga serta beberapa peniti di balik pakaiannya, tapi karena sudah terpaku pada kitab bersampul kuning, murid Pendeta Sinting seakan melupakan mahkota serta peniti emas itu.
Seperti diketahui, begitu Joko berhasil mendapatkan mahkota dan peniti emas serta kitab bersampul kuning, tiba-tiba udara di mana Joko berada saat itu berubah dingin dan gelap. Lalu terdengar suara bergemuruhnya air. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini hanya mondar-mandir di atas permukaan batu paling tinggi tak tahu harus berbuat apa. Namun pada akhirnya dia bernapas lega, karena ternyata air itu tidak sampai ke tempat dia berada.
Setelah lama menunggu, akhirnya perlahan-lahan suara bergemuruhnya air berhenti. Lalu samar-samar terlihat cahaya agak terang dari satu titik. Dengan waspada dan hati-hati, Joko melangkah mendekati titik terang. Ada keanehan di dalam tempat itu, bersamaan dengan terhentinya suara gemuruh air dan terlihatlah satu titik cahaya, air yang tadi menggenangi tempat hamparan pasir dan gugusan batu karang di dalam tanah itu laksana tersedot masuk ke dalam pasir. Hingga hamparan pasir dalam tanah itu kembali kering!
Saat murid Pendeta Sinting mencapai titik terang yang ternyata adalah sebuah lobang batu, dia benarbenar baru bisa menarik napas lega. Perlahan-lahan dia keluar dari lobang batu itu. Namun dia merasa terkejut begitu hendak keluar ternyata Dewa Orok telah nongkrong di atas batu yang berlobang. Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut lagi, Dewa Orok telah mendahului berkata.
"Aku sekarang tak butuh ucapanmu. Yang kuperlukan benda itu!"
Pendekar 131 tegak dengan kancingkan mulut dan diam tak bergerak. Sepasang matanya menatap tajam silih berganti pada sosok Dewa Orok dan bundaran karet yang mengapung di depan wajah orang.
"Orang muda! Kau dengar kata-kataku. Kenapa masih diam?!"
"Tak ada yang perlu dikatakan! Semua sudah kau dengar!" jawab Joko sedikit keraskan ucapannya.
"Kata-kata tidak menjamin, Orang Muda!"
"Terserah apa katamu! Yang pasti aku telah katakan apa adanya!" kata Joko masih tak mau berterus terang.
"Bagaimana ini? Tempat yang dikatakan Guru jelas adanya. Tapi apa mungkin mahkota yang dikatakannya benar-benar tidak ada?!"
sejenak Dewa Orok dilanda kebimbangan. Setelah berpikir agak lama akhirnya dia berkata. "Orang muda! Sebenarnya aku tidak mau bertindak kurang ajar. Tapi karena aku tak mau pulang berhampa tangan, apa boleh buat. Apalagi kulihat kau masih menyembunyikan sesuatu padaku!" Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan mulut. Lalu dihembuskan ke depan. Satu gelombang angin menderu deras ke arah Pendekar 131.
"Harap kau tak menyesal dengan tindakanmu!" bentak murid Pendeta Sinting mulai agak geram melihat orang telah lancarkan serangan meski itu hanya berupa hembusan mulut.
Namun karena hembusan itu bukan hembusan biasa, maka saat itu juga satu gelombang angin deras melesat! Murid Pendeta Sinting cepat geser tubuhnya ke samping. Gelombang angin lewat setengah depa di sampingnya. Namun baru saja tubuhnya bergerak menghindar, Dewa Orok telah membuat gerakan dengan hentakkan kedua kakinya yang bersila ke atas batu yang diduduki.
Pukkk! Pukkkk!
Sosok Dewa Orok mengudara setengah tombak. Lalu membuat gerakan menjungkir kepala di bawah, kaki di atas. Kakinya yang tadi bersila cepat bergerak membuka. Kejap lain sepasang kakinya telah melesat ke depan lancarkan satu tendangan! Belum sampai kedua kaki Dewa Orok benar-benar lancarkan satu tendangan, tiba-tiba terdengar satu seruan.
"Tahan! Aku membutuhkan pemuda itu!"
Dewa Orok apungkan sepasang kakinya di atas udara. Sementara murid Pendeta Sinting segera berpaling ke arah datangnya suara teguran. Tapi Pendekar 131 hanya dapat melihat satu sosok berkelebat. Lalu terdengar suara air berkecipak. Pertanda orang yang tadi perdengarkan suara telah ceburkan diri ke dalam sungai. Belum sempat murid Pendeta Sinting berpikir lebih panjang, mendadak dari dalam air sungai satu bayangan melesat ke atas. Kejap lain satu sosok tubuh telah tegak di samping Dewa Orok. Air sungai tampak menetes dari pakaian putih sutera serta tubuh dan rambut putih yang basah kuyup!
BAB 3
DEWA Orok yang urungkan niat kirimkan tendangan segera putar dirinya masih dengan kaki di atas kepala di bawah. Pendekar 131 sendiri cepat berpaling.
"Bukankah orang ini adalah..." belum habis dugaan Pendekar 131, orang yang baru muncul dari dalam air tertawa.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut mengenakan pakaian sutera warna putih. Meski usia perempuan ini tidak muda lagi, tapi raut kejelitaan masih membayang, pertanda waktu mudanya dia adalah seorang gadis yang berparas cantik jelita. Rambut perempuan ini telah memutih. Pada atas telinga kanannya tampak sebatang bambu kecil berwarna kuning. Perempuan berpakaian sutera putih yang bukan lain adalah Daeng Upas, ibu Dewi Siluman berpaling pada Dewa Orok. Lalu berkata.
"Sobatku, Dewa Orok. Harap kau tunda urusanmu dengan pemuda itu! Aku masih butuh keterangan darinya!"
"Dewa Orok... Hem... Jadi pemuda itu masih kerabatnya Dewa..." kata Joko dalam hati. "Ada keanehan... Bukankah tempo hari kedua orang ini saling bentrok? Kenapa sekarang mereka berdua tampak akrab...? Ataukah waktu itu keduanya hanya bersandiwara? Tapi untuk apa?!"
Pikiran Joko dibuncah dengan berbagai duga dan tanya. Ketika Daeng Upas hendak menyerang Joko pada beberapa waktu yang lalu, saat itu memang mendadak saja muncul Dewa Orok yang selamatkan murid Pendeta Sinting. Malah setelah itu terjadi saling pukul antara Daeng Upas dan Dewa Orok (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Asmara Hitam).
Namun setelah itu Joko tidak mengetahui, jika saat terjadi bentrok antara Daeng Upas dengan Tengkorak Berdarah, muncullah Dewa Orok selamatkan Daeng Upas. Bahkan setelah kepergian Tengkorak Berdarah, Daeng Upas menceritakan siapa dirinya serta apa tujuannya pada Dewa Orok.
Untuk beberapa saat, Dewa Orok memandang ke arah Daeng Upas. Lalu dia membuat gerakan satu kali. Saat lain tubuhnya telah tegak dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya. Sementara bundaran karet terus mengapung di udara! Tanpa menunggu sambutan Dewa Orok, Daeng Upas maju satu tindak. Sepasang matanya memperhatikan murid Pendeta Sinting dari rambut sampai kaki.
"Apa nenek cantik ini tahu juga rahasia tentang tempat dalam tanah itu? Atau pertemuan ini satu kebetulan belaka?!" murid Pendeta Sinting terus menduga-duga.
Jika pikiran Pendekar 131 terus dibuncah dengan berbagai duga dan tanya, diam-diam Daeng Upas juga membatin. "Melihat pukulan yang dilancarkan sewaktu hendak memasuki Istana Hantu lalu mendengarkan keterangan Durga Ratih dan Ki Buyut Pagar Alam, jika tidak salah mungkin pemuda inilah yang digelari Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda yang berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru... Hem... Aku harus dapat mengambil kitab itu dari tangannya. Sejak berpuluh tahun aku menginginkan kitab itu! Bahkan gara-gara rahasia kitab itu aku diusir oleh guruku Panjer Wengi!"
"Anak muda!" kata Daeng Upas setelah membatin. "Lekas kau serahkan kitab itu padaku!"
Pendekar 131 tersentak. Dia pandangi perempuan di hadapannya seakan baru sekali bertemu. "Celaka! Dia benar-benar tahu rahasia tempat dalam tanah itu! Urusan dengan Dewa Orok belum selesai, kini ada lagi orang yang meminta kitab ini!" kata Joko dalam hati. Dia masih tidak mengetahui jika yang dimaksud kitab oleh Daeng Upas adalah Kitab Serat Biru. Bukan kitab bersampul kuning yang baru saja didapatnya dari tempat dalam tanah. Karena Daeng Upas sendiri tidak mengetahui adanya tempat di bawah batu tempatnya kini berpijak.
Karena dilihatnya si pemuda tidak buka mulut atau memberikan apa yang diminta, Daeng Upas kembali buka mulut membentak. Kini tangan kanannya bergerak terulur ke depan dengan sikap meminta.
"Aku ulangi satu kali lagi! Berikan kitab itu padaku!"
Untuk menutupi rasa terkejutnya, murid Pendeta Sinting tertawa panjang sebelum akhirnya berkata. "Kau minta pada orang yang salah, Nenek Cantik! Aku tidak memiliki kitab yang kau minta!"
Daeng Upas menyeringai mendengar ucapan Pendekar 131. "Dengar, Anak Muda! Aku Daeng Upas sebenarnya adalah orang yang paling berhak atas kitab itu, karena..."
"Nenek cantik!" potong murid Pendeta Sinting. "Percuma kau cerita panjang lebar. Aku tidak tahu segala macam kitab! Sebaiknya hal itu kau tanyakan pada sobatmu Dewa Orok itu. Mungkin dia tahu!"
Dewa Orok yang sedari tadi diam mendengarkan buka mulut. "Percuma kau bertanya padaku, Nenek Cantik! Aku lebih tidak mengetahui urusan kitab-kitaban!"
"Hem... Dari ucapannya, jelas jika Dewa Orok pun tak ingin orang lain tahu urusannya. Tadi dia bilang minta juga padaku, sekarang mungkir! Kedua orang ini punya tujuan sama tapi sepertinya selama ini saling mereka sembunyikan!" duga Joko begitu mendengar ucapan Dewa Orok.
"Aku tak perlu bertanya pada orang lain! Aku tahu kitab itu ada padamu! Lekas serahkan padaku!" sentak Daeng Upas sambil melangkah lagi satu tindak, tangan kanannya tetap membuat gerakan meminta, sementara tangan kirinya diangkat ke atas siap hendak lepaskan satu pukulan.
"Nenek! Harap menahan diri. Aku juga masih butuh keterangan darinya!" ucap Dewa Orok menahan gerakan Daeng Upas.
Daeng Upas tegak tanpa berpaling pada Dewa Orok dengan dahi mengernyit. "Jangan-jangan pemuda bertangan buntung ini juga menginginkan kitab itu!"
"Dewa Orok! Jika kita sama-sama memerlukan, kita selesaikan pemuda ini! Lalu kita berbagi!" kata Daeng Upas.
Daeng Upas rupanya sadar jika Dewa Orok bukanlah orang yang bisa dianggap sepele. Terbukti sewaktu bentrokan tempo hari meski tidak berada di bawahnya, tapi dia dapat mengukur sampai di mana ilmu yang dimiliki Dewa Orok. Dia juga maklum jika pemuda di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Ini dia lihat ketika Pendekar 131 hendak coba memasuki Istana Hantu pada beberapa waktu yang lalu. Mendengar ucapan Daeng Upas, Dewa Orok tertawa pelan.
"Sayang, Nenek Cantik! Dalam hal satu ini, aku tidak akan berbagi meski dengan hantu sekali pun! Benda itu adalah milik nenek moyangku, aku bisa kuwalat jika dibagi-bagi!"
"Jika begitu, terpaksa aku melupakan budi baikmu!" sahut Daeng Upas yang mengira benda dimaksud Dewa Orok adalah Kitab Serat Biru.
Dewa Orok memperkeras suara tawanya. "Sudah kukatakan padamu tempo hari, aku tidak berniat menolongmu. Yang, kulakukan adalah mencegah orang bertindak sesuka hatinya pada orang yang sudah tak berdaya!"
"Hem... Tadi dia bilang tak tahu menahu kitab-kitaban, nyatanya lalu mengaku kitab itu milik nenek moyangnya! Makanya waktu itu dia menolong pemuda ini. Tak tahunya..."
Daeng Upas cepat balikkan tubuh menghadap Dewa Orok. "Dewa Orok! Walaupun kau pernah menyelamatkan nyawaku, saat ini aku tak segan untuk berganti cabut nyawamu! Ketahuilah jika aku telah menghabiskan tenaga dan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kitab itu!"
"Nenek cantik! Terserah berapa tahun kau habiskan waktu. Aku tak mau tahu urusan kitab. Yang penting benda milik nenek moyangku harus kudapatkan kembali! Itu adalah tugasku!"
"Hai... Nampaknya pemuda itu memang tidak tahu menahu tentang kitab. Ada sesuatu lain yang dimaksud! Dari tadi dia menyebut benda. Benda apa? Mengapa minta padaku...?!" kata murid Pendeta Sinting dalam hati begitu menyimak ucapan Dewa Orok. Namun belum sampai dia buka mulut bicara, Daeng Upas telah membentak.
"Jika demikian, kau pun harus mampus di tanganku juga!"
"Sebenarnya aku tak suka urusan diakhiri dengan mampus-mampusan! Tapi jika itu sudah kau kehendaki, aku pun ikut saja! Ha Ha Ha...! Daripada hidup sengsara tak punya tangan, memang lebih baik mati. Ha Ha Ha...!"
"Aku harus cepat menyingkir dari tempat ini. Aku harus meneliti kitab ini!" bisik Joko seraya edarkan pandangannya. Sementara di hadapannya, Daeng Upas sudah angkat kedua tangannya siap menghantam Dewa Orok.
"Tahan!" seru Dewa Orok. "Kau betul-betul hendak membunuhku?!"
"Kau perintang tujuanku! Terpaksa kau harus kubuat tewas terlebih dahulu!" bentak Daeng Upas.
Suaranya belum selesai, kedua tangannya telah berkelebat menghantam ke arah kepala Dewa Orok! Daeng Upas langsung menghantam dengan pengerahan tenaga dalam tinggi karena dia maklum, seperti apa yang didengarnya dari Tengkorak Berdarah beberapa waktu lalu, Tengkorak Berdarah sebut Dewa Orok sebagai tokoh tua. Dari sini Daeng Upas sudah dapat menduga, meski tampak wajahnya masih muda, namun sebenarnya dia adalah tokoh yang usianya telah melebihi dirinya.
Mendapati dirinya dihantam, Dewa Orok tidak tinggal diam. Kedua tumitnya yang berjingkat disentakkan ke bawah. Sosoknya tiba-tiba melejit ke udara. Kedua kakinya segera bergerak mengembang.
Bukkk! Bukkk!
Dua tangan beradu keras dengan sepasang kaki. Daeng Upas tampak surutkan langkah satu tindak dengan wajah berubah. Kedua tangannya bengkak merah. Di depannya, Dewa Orok kembali tegak di atas batu dengan meringis kesakitan. Saat itulah kedua orang ini mendengar suara berkecipaknya air. Serentak kepala keduanya berpaling. Mereka berdua melihat sosok murid Pendeta Sinting berenang dengan punggung di bawah dan perut di atas.
"Jahanam! Dia hendak meloloskan diri!" rutuk Daeng Upas. Perempuan ini laksana terbang hendak melompat terjun dalam sungai mengejar. Namun tiba-tiba Dewa Orok melompat dan tegak menghadang gerak Daeng Upas. Daeng Upas menggeram marah.
"Kau benar-benar minta mampus!" Kedua tangan dan kaki kanan Daeng Upas serentak bergerak lepaskan pukulan!
Dewa Orok cepat bergerak ke samping. Dari arah samping dia membuat gerakan menjungkir. Lalu kedua kakinya yang kini berada di atas disentakkan memangkas pukulan Daeng Upas.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke samping batu. Karena tidak ada pegangan, akhirnya tubuh perempuan ini melorot jatuh ke dalam sungai. Dewa Orok sendiri tampak tersapu. Karena dirinya juga berada tak jauh dari bibir batu, maka tak ampun lagi sosoknya juga tercebur dalam sungai!
Mungkin tak mau buruannya lolos, Daeng Upas tidak menghiraukan Dewa Orok. Dengan menindih rasa sakit pada kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kaki Dewa Orok, perempuan ini segera berenang ke seberang. Kejap lain sosoknya telah tegak di atas tanah di seberang. Sesaat kepala Daeng Upas berputar. Dia terdengar memaki panjang pendek karena murid Pendeta Sinting sudah tidak kelihatan lagi!
Daeng Upas melirik ke sungai. Dewa Orok tampak masih mengapung di atas air. Tanpa berkata lagi, ibu Dewi Siluman ini berkelebat tinggalkan tempat itu. Begitu Daeng Upas berlalu, Dewa Orok kuncupkan mulut menyedot. Bundaran karet yang masih mengapung di atas batu besar bergerak melesat ke bawah kemudian masuk ke dalam mulutnya.
"Aku akan buktikan dahulu ucapan pemuda tadi! Kalau dia berkata dusta padaku dan membawa mahkota itu, ke mana pun dia akan kukejar!" gumam Dewa Orok.
Pemuda bertangan buntung ini sejenak edarkan pandangannya ke atas. Yakin Daeng Upas benar-benar telah berlalu, dia segera melesat lalu masuk ke dalam lobang yang ada di bagian batu besar yang memisahkan aliran sungai.
BAB 4
DAENG Upas yang tak mau kehilangan murid Pendeta Sinting yang diyakininya membawa Kitab Serat Biru laksana terbang lipat gandakan ilmu peringan tubuhnya. Sosoknya melesat cepat ke arah barat. Namun pada satu tempat, mendadak sontak perempuan yang meski usianya telah lanjut tapi masih tampak cantik ini hentikan larinya. Memandang ke samping kiri dia melihat satu sosok duduk bersila. Daeng Upas tidak dapat mengenali wajah orang karena orang ini duduk membelakangi! Tadi dari pancaran sinar mata si nenek, kelihatan jika dirinya dapat menduga siapa adanya orang. Terbukti begitu sekilas memperhatikan, Daeng Upas membatin.
"Sosok dan pakaiannya dapat kukenali! Jahanam inilah salah satu yang harus kulenyapkan dari muka bumi! Dia biang kerok penyebab jatuhnya Kitab Serat Biru ke tangan orang lain! Hem... Dicari sukar, kini tak dicari bertemu!"
Daeng Upas beliakkan sepasang matanya pandangi punggung orang yang ternyata adalah seseorang bertubuh besar gemuk mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang di pinggangnya melingkar satu ikat pinggang besar. Rambutnya putih disanggul ke atas.
"Hem... Tiba saatnya aku pergunakan bambu ini! Racun di dalamnya memang sengaja kuperuntukkan bagi dia dan gerombolannya!" gumam Daeng Upas sambil usap-usap bambu berwarna kuning yang menyelip di atas telinga kanannya. Selama ini bambu itu memang tidak digunakan oleh si nenek. Habis bergumam begitu, Daeng Upas melesat ke samping kiri. Saat lain sosoknya telah tegak di hadapan orang yang duduk bersila. Sepasang mata Daeng Upas melotot memperhatikan wajah orang.
Orang yang duduk gerakkan kepala mendongak. Ternyata orang ini sepasang matanya hanya kelihatan putih pertanda jika dirinya buta. Pada pangkal ikat pinggangnya di sebelah depan tampak sebuah cermin bulat.
"Sayang aku tidak bisa melihat..." ucap orang yang duduk bersila dan tidak lain adalah Gendeng Panuntun adanya. "Tapi aku tahu ada seorang sahabat di depanku. Harap sudi sebutkan siapa, laki atau perempuan. Kalau perempuan cantik apa..."
Ucapan Gendeng Panuntun belum habis telah dipotong oleh Daeng Upas. "Aku bukan sahabatmu! Aku malaikat maut yang berhak atas nyawamu!"
Ucapan Daeng Upas bukan membuat Gendeng Panuntun tersentak kaget. Sebaliknya dia tertawa bergelak sambil usap-usap cerminnya. Lalu berucap. "Kenapa nasibku buruk begini? Kukira di tempat sunyi begini bisa bertemu gadis cantik, tak tahunya bertemu malaikat cantik yang hendak mengambil satu-satunya nyawaku. Ada urusan apa sebenarnya hingga kau menginginkan nyawaku...? Adakah nyawaku bisa dijual dan berharga mahal?"
Daeng Upas menyeringai. Lalu membentak garang. "Justru karena nyawamu tidak ada harganya aku akan mencabutnya!"
"Nenek cantik! Mau katakan kenapa kau bernafsu sekali pada nyawaku yang tak berharga ini?!"
Meski sejenak Daeng Upas tampak terkejut mendapati Gendeng Panuntun tahu dirinya seorang nenek, tapi saat lain dia telah berkata dengan suara keras. "Gendeng Panuntun! Aku ingin kematianmu beriring dengan penasaran!"
Habis membentak begitu, Daeng Upas cepat melompat ke depan. Kakinya lepaskan satu tendangan. Perempuan ini sengaja lepaskan tendangan dari jarak empat langkah. Hebatnya meski tendangan itu tidak langsung mengenai sasaran sosok Gendeng Panuntun, namun tenaga yang melesat dari tendangan itu laksana kaki perempuan ini benarbenar menghantam sasaran!
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. Tangan kanannya menyentak tanah di sampingnya. Sosoknya bergerak ke samping dengan cepat. Hingga tendangan jarak jauh Daeng Upas melabrak tempat kosong.
Daeng Upas kernyitkan dahi. "Hem... Apa yang kudengar selama ini ternyata benar. Manusia buta ini telah menjadi tokoh yang bukan saja aneh, tapi juga memiliki kepandaian tinggi! Menyesal aku mengapa tidak sedari dulu dia dan gerombolannya kulenyapkan!"
Seperti diketahui, sebenarnya Daeng Upas adalah masih saudara seperguruan Gendeng Panuntun. Malah Daeng Upas murid pertama guru Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya yakni Iblis Ompong, Ratu Malam, Dewa Sukma, dan Dewi Es. Namun karena Daeng Upas bertindak menyalahi aturan malah akhirnya mengandung dengan Datuk Besar yang akhirnya melahirkan Dewi Siluman, Daeng Upas harus meninggalkan perguruan.
Daeng Upas pergi dengan membawa kecewa dan dendam. Kecewa karena selama ini dia tahu jika gurunya menyimpan satu rahasia besar dan belum berhasil dia peroleh. Dendam karena dia menduga justru Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya yang menceritakan tingkah lakunya pada guru mereka hingga dirinya terusir dari perguruan. Perasaan dendam Daeng Upas semakin berkobar setelah pada beberapa tahun kemudian dia mengetahui jika rahasia yang dulu diimpikannya jatuh ke tangan Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya.
"Nenek!" kata Gendeng Panuntun. "Harap tidak perturutkan perasaan. Bagaimanapun juga kita masih saudara! Bukankah lebih baik kita sambung lagi putusnya tali persaudaraan ini? Waktu itu mungkin kau terbawa perasaan hingga menganggapku..."
"Gendeng Panuntun! Urusan lama telah kukubur dalam-dalam! Di antara kita tidak ada ikatan apa-apa! Kau adalah musuhku. Aku adalah lawanmu!"
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepalanya. "Sekali saudara, apa dan bagaimanapun bagiku tetap saudara!"
Daeng Upas tertawa bergelak. "Dendamku sudah berkarat, Gendeng Panuntun! Tak ada yang bisa meredamnya selain lenyapnya nyawamu dan nyawa gerombolanmu!"
"Kau masih larut oleh perasaanmu. Padahal bukankah pangkal sebabnya hanya karena urusan rahasia kitab itu? Kau harus sadar, meski rahasia itu diberikan padaku serta saudara-saudaraku, aku dan mereka pun tidak berhak atas kitab itu! Kami hanyalah sebagai perantara! Sementara orang yang berhak atas kitab itu telah ditentukan! Kita semua tidak ada yang mendapatkan kitab itu!"
"Aku sudah tahu! Aku pun tahu siapa orang yang telah mendapatkan kitab itu! Malah sebentar lagi kitab itu akan berpindah ke tanganku! Tapi jika saat itu kau dan gerombolanmu tidak bicara macam-macam, tidak sampai aku harus menunggu berpuluh tahun lamanya!"
"Di antara kita tidak ada yang ditentukan untuk memiliki kitab itu. Jadi kurasa percuma kau menghabiskan waktu memburunya! Justru yang akan kau dapatkan adalah bertambahnya rasa kecewa..."
"Ramalan sialan! Siapa percaya pada ucapan orang buta sepertimu, hah?!"
"Aku tidak meramal. Hal itu kini telah jadi kenyataan! Apakah kau akan mengingkari kenyataan?"
"Kenyataan goblok! Dengar, Gendeng Panuntun! Apa pun bunyi ucapanmu, jangan berharap aku berubah niat! Dendamku tak bisa diputus oleh apa dan siapa pun!"
"Itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagimu. Kau akan terlindas oleh dendammu sendiri..."
Daeng Upas tertawa panjang mendengar kata-kata Gendeng Panuntun. Puas tertawa, perempuan itu berujar. "Mati dalam dendam lebih baik bagiku daripada hidup memendam dendam dan tak berusaha melampiaskannya!" Habis berkata begitu, Daeng Upas angkat kedua tangannya.
Di hadapannya, Gendeng Panuntun bergerak bangkit. Kakek ini usap-usap cermin bulatnya lalu berkata. "Sepertinya kau tadi sedang mengejar sesuatu. Hem... Kukira apa yang tengah kau kejar lebih penting daripada urusan di sini. Karena di sana kau akan buktikan apakah rasa dendammu sudah pada tempatnya atau tidak! Nah, aku harus pergi..." Gendeng Panuntun putar dirinya setengah lingkaran. Lalu melangkah tinggalkan tempat itu.
"Manusia buta ini tampaknya mengerti jika aku sedang mengejar pemuda yang mendapatkan Kitab Serat Biru itu... Tapi dia tak akan kulepas begitu saja. Mencari orang macam dia susahnya setengah mati! Sekali ada kesempatan, aku tidak akan membiarkannya!" membatin Daeng Upas. Lalu berteriak.
"Gendeng Panuntun! Yang kukejar memang satu hal amat penting. Namun saat ini nyawamu lebih penting!"
"Kau tidak akan tambah kecewa jika buruan yang telah bertahun-tahun kau impikan lepas begitu saja? Soal dendammu padaku sebaiknya kau tunda dahulu... Siapa tahu nantinya kau maklum jika takdir telah menentukan lain dengan apa yang kau cita-citakan."
"Kau tak usah banyak bicara! Aku tahu apa yang harus kulakukan!" bentak Daeng Upas. Baru saja ucapannya habis, kedua tangannya telah bergerak lepaskan satu pukulan bertenaga dalam kuat. Hingga saat itu juga satu gelombang dahsyat menderu ke arah Gendeng Panuntun!
Gendeng Panuntun hadapkan kembali tubuhnya ke arah Daeng Upas. Bersamaan itu tangan kanannya mengusap cermin bulat pada depan perutnya. Ketika tangannya ditarik, tampaklah satu cahaya putih berkerlap.
Bussss!
Gelombang angin yang dilepas Daeng Upas ambyar bertabur di udara. Sosok Daeng Upas tersurut tiga langkah dengan wajah berubah pucat pasi. Tubuhnya bergetar keras. Di seberang depan, sosok Gendeng Panuntun terlihat bergoyang-goyang. Pakaian hijau gombrong yang dikenakan berkibar-kibar. Orang ini sesaat tampak geleng-geleng kepala. Lalu tanpa berkata-kata lagi ia teruskan langkah.
Meski mulai sadar jika sulit menundukkan Gendeng Panuntun, namun karena dendam telah merasuki dadanya perempuan ibu Durga Ratih alias Dewi Siluman ini melupakan kekuatannya sendiri. Dia segera kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Namun mendadak, dia urungkan niat lepaskan pukulan. Sebaliknya tangan kanannya menyahut bambu yang menyelip di atas telinganya.
Sesaat Daeng Upas tegak dengan mata memandang sosok Gendeng Panuntun yang terus melangkah pelan. Kejap lain sosok perempuan ini melesat ke depan. Bambu berwarna kuning cepat diletakkan di mulut. Sambil melayang di udara, Daeng Upas kembungkan mulut hendak meniup bambu. Namun sebelum benar-benar meniup, terdengar satu deruan keras. Saat lain satu gelombang angin dahsyat melabrak ganas ke arah sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara.
Daeng Upas menjerit kaget dan marah sekali. Terpaksa dia selipkan kembali bambu ke atas telinganya. Kedua tangannya segera bergerak memukul ke arah datangnya gelombang serangan. Terdengar letupan keras. Tanah lima langkah di hadapan Daeng Upas muncrat ke udara tersapu bentroknya pukulan Daeng Upas dengan gelombang angin yang tiba-tiba menghadang gerak si nenek.
"Keparat! Siapa berani gila ikut campur?!" teriak Daeng Upas begitu mendarat di atas tanah sambil putar kepala ke samping kiri. Tangan kiri kanannya masih di atas kepala dan siap hendak lepaskan pukulan.
Namun mendadak sosok Daeng Upas bergetar. Kakinya mundur satu tindak. Matanya mendelik dengan mulut terkancing rapat. Sementara agak jauh di depan sana Gendeng Panuntun hanya berhenti sebentar tanpa balikkan tubuh. Kejap lain kakek bermata buta ini tenang saja teruskan langkah. Tapi satu suara tawa panjang mendadak menggema di seantero tempat itu, membuat Gendeng Panuntun kembali harus hentikan langkah.
BAB 5
LAKSANA diputus setan, serta-merta suara tawa panjang lenyap. Saat lain terdengar suara. "Gendeng Panuntun! Jangan berani melangkah! Tunggu di situ sampai tiba giliranmu!"
Gendeng Panuntun tidak menyahut ucapan orang. Dia hanya putar diri lalu tengadah dengan usap-usap cerminnya. Sementara Daeng Upas terus perhatikan ke depan. Pada orang yang tadi menahan gerakannya dan baru saja berkata.
Di situ tegak satu sosok tubuh yang tak bisa dikenali. Sosok orang ini dibungkus dengan jubah panjang terusan berwarna abu-abu yang menutupi si pemakai dari ujung rambut sampai kaki. Pada bagian dada jubah terlihat sebuah gambar tengkorak.
"Tengkorak Berdarah!" desis Daeng Upas pelan melihat siapa adanya orang yang mengenakan jubah abu-abu terusan. Perempuan ini tampak khawatir dan gelisah. Namun diam-diam dia lipat gandakan tenaga dalam pada kedua tangannya yang masih di atas kepalanya.
"Orang ini pasti hendak teruskan urusan yang tertunda tempo hari!" kata Daeng Upas dalam hati. Parasnya sedikit berubah. Dia teringat bagaimana saat itu dia hampir saja tak tertolong nyawanya jika tidak muncul Dewa Orok serta berkelebatnya orang aneh yang saling bergendongan dari pelataran Istana Hantu. Tapi bayangan rasa cemas di raut wajah Daeng Upas hanya sekejap. Saat lain parasnya merah mengelam. Dadanya bergerak turun naik pertanda kian menahan gejolak amarah.
"Jahanam inilah yang memutus hubunganku dengan Datuk Besar! Aku telah bersumpah untuk membalas kematian Datuk Besar! Peduli setan dia berkepandaian tinggi!"
"Daeng Upas!", tiba-tiba orang berjubah abu-abu dan tidak lain memang orang yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah perdengarkan suara. "Tempo hari nyawamu selamat, tapi tidak hari ini!"
"Orang ini mengenal Gendeng Panuntun juga diriku. Siapa dia sebenarnya?" membatin Daeng Upas dengan mata memandang tajam seakan ingin menembus jubah penutup Tengkorak Berdarah dan mengetahui raut wajah di baliknya.
Tiba-tiba terdengar suara bergelak. Baik Daeng Upas dan Tengkorak Berdarah segera gerakkan kepala masing-masing berpaling. Di sebelah depan sana terlihat Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya seraya terpingkal-pingkal. Begitu tawanya berhenti, kakek bermata buta ini berujar.
"Maksud tujuan kadang-kadang membawa orang bertindak aneh-aneh. Sampai-sampai harus merubah suara segala! Padahal kepalsuan akan menambah suasana jadi makin tak karuan..."
Kalau Daeng Upas tidak merasa terkejut dengan ucapan Gendeng Panuntun karena tidak tahu maksudnya, tidak demikian halnya dengan Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah abu-abu orang ini sejenak tampak bergerak tengadah.
"Bangsat buta itu tampaknya tahu suara palsuku! Keparat betul!" maki orang berjubah abu-abu dalam hati. Seperti diketahui, selama ini orang yang menyebutkan diri sebagai Tengkorak Berdarah ini selalu perdengarkan suara seorang laki-laki.
"Dengar kalian berdua!" tiba-tiba Tengkorak Berdarah membentak garang. "Kematian sudah pasti akan menjadi bagian kalian berdua. Tapi hal itu bisa kalian tebus jika kalian berdua bisa jawab pertanyaanku! Tapi ingat! Jika jawaban kalian dusta, aku tak segan membuat kalian mampus dua kali! Kalian dengar?!"
Daeng Upas kernyitkan kening. Dia heran mengapa dirinya dihubungkan dengan Gendeng Panuntun dalam urusannya. Di lain pihak, Gendeng Panuntun terlihat dongakkan kepala lalu berkata.
"Walah... Belum habis orang inginkan nyawaku sekarang ada orang inginkan kematianku! Tapi kurasa kematianku akan tertunda, karena tentu kau tidak akan segera membunuhku sebelum mendapat jawaban dariku..."
Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa panjang mendengar ucapan Gendeng Panuntun. "Dugaanmu kali ini meleset, Orang Buta! Begitu kau dan perempuan itu tak menjawab pertanyaanku, maka kematian akan menjadi hakmu! Aku tidak akan menunda!"
"Ooo... Begitu? Coba katakan apa pertanyaan yang menjadi gantungan nyawaku itu?"
Tengkorak Berdarah melangkah. Begitu sampai tempat di antara Gendeng Panuntun dan Daeng Upas, orang berjubah abu-abu ini berkata. "Aku ingin tahu, di mana guru kalian berada saat ini?!"
Daeng Upas tersentak kaget. "Orang ini tahu banyak tentang diriku. Sampai tahu jika aku dan Gendeng Panuntun pernah berguru pada satu orang! Hem... Biar manusia buta itu yang memberi jawaban, selain aku tidak mengetahui dimana beradanya orang yang ditanyakan, aku juga sudah memutuskan pertalian murid dan guru! Bahkan Guru adalah salah satu orang yang harus kulenyapkan!"
"Kalian tidak tuli! Lekas bicara jawab pertanyaanku!" bentak Tengkorak Berdarah begitu belum juga di antara Gendeng Panuntun atau Daeng Upas yang buka mulut memberi jawaban.
Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya. Lalu berujar dengan tersenyum. "Guruku seorang laki-laki. Dan kau..." Gendeng Panuntun sengaja putuskan ucapannya. Lalu melanjutkan. "Jangan-jangan di antara kau dan guruku punya hubungan tertentu. Betul...?!"
"Aku butuh jawaban! Bukan dugaan gilamu! Lekas jawab di mana guru kalian Panjer Wengi berada!" sahut Tengkorak Berdarah dengan suara makin keras dan bergetar.
"Hem... Coba kau tanya dulu Nenek Cantik itu! Barangkali dia tahu..." ucap Gendeng Panuntun sambil telengkan kepala ke arah Daeng Upas.
Daeng Upas menyeringai. "Kau tidak akan mendapat jawaban apa-apa dariku! Aku telah memutuskan hubungan murid dan guru dengan manusia bernama Panjer Wengi! Justru saat ini dia adalah salah seorang yang kucari!"
"Hem..." Tengkorak Berdarah bergumam. "Sekarang apa jawabmu, Orang Buta?!"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Sebenarnya berat sekali aku mengatakannya. Tapi apa hendak dikata aku harus berterus terang. Sudah beberapa puluh tahun aku tak lagi jumpa dengannya. Jadi jangan tanya di mana dia berada..."
Tengkorak Berdarah menggereng.b"Gendeng Panuntun! Selama ini kudengar kau pandai menduga orang! Adalah mustahil jika kau sampai tidak dapat menduga di mana gurumu berada!"
Gendeng Panuntun tertawa pelan. "Manusia kadang lupa jika hanya kemampuan Yang Maha Tinggi yang tidak ada batasnya. Sementara sedikit yang kumiliki begitu terbatas sekali. Terbukti aku tidak bisa menduga di mana guruku sendiri berada!"
"Berarti kalian berdua tidak bisa terhindar dari lobang kematian!" kata Tengkorak Berdarah.
"Jangan sangkut pautkan aku dengan orang yang kau cari! Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa! Orang buta itulah yang seharusnya bertanggung jawab!" ucap Daeng Upas coba melepaskan diri.
Ibu Dewi Siluman ini rupanya maklum jika dirinya mungkin tidak akan mampu menghindar dari kematian kalau Tengkorak Berdarah benar-benar melakukan ancamannya. Namun di lain pihak, dia sendiri sudah punya tekad mengadu jiwa mengingat Tengkorak Berdarah inilah yang membunuh bekas kekasihnya yakni Datuk Besar.
"Daeng Upas! Peduli setan kau punya hubungan apa tidak! Yang jelas kau tidak dapat menjawab tanyaku! Jangan coba mengalihkan tanggung jawab!"
"Tak ada gunanya aku mengalihkan tanggung jawab! Antara kau dan aku memang ada hutang nyawa yang harus dibayar!" jawab Daeng Upas pada akhirnya.
"Bagus! Kekasihmu memang telah lama menanti di liang kubur!" sahut Tengkorak Berdarah sambil tertawa pendek. Yang dimaksud orang berjubah ini bukan lain adalah Datuk Besar, kekasih Daeng Upas yang telah terbunuh.
Ucapan Tengkorak Berdarah makin membuat rasa gelisah Daeng Upas menjadi pupus. Rasa cemas dan khawatir karena dia pernah hampir terbunuh di tangan Tengkorak Berdarah berubah menjadi tekad berkobar untuk mengadu jiwa. Begitu Tengkorak Berdarah selesai berkata, Daeng Upas menyahut. Suaranya lantang.
"Kau terlalu tinggi bicara. Kita buktikan siapa di antara kita yang masih berhak melihat matahari esok hari!"
Suaranya belum selesai, Daeng Upas telah melompat ke samping. Belum sampai sepasang kakinya menginjak tanah, kedua tangannya telah bergerak lepaskan satu pukulan jarak jauh!
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang angin luar biasa dahsyat melabrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah. Bukan hanya sampai di situ, begitu gelombang angin melesat, Daeng Upas teruskan lompatannya. Kaki kiri kanannya diangkat lalu lepaskan tendangan dari jarak tiga langkah! Mendapati serangan beruntun, Tengkorak Berdarah tampak terkesiap juga. Kepala di balik jubah abu-abunya tampak tertarik sedikit ke belakang. Namun di saat lain kedua tangannya terangkat lalu menyentak ke depan.
Bummm! Bummm!
Dua letusan keras mengguncang tempat itu. Empat gelombang angin yang masing-masing membawa hawa maut bertabur ambyar di udara. Sosok Daeng Upas sudah terpental sebelum kakinya menginjak tanah setelah lepaskan tendangan jarak jauh menyusuli hantaman kedua tangannya. Perempuan ini gulingkan diri di tanah. Pada satu kesempatan dia berseru keras lalu seketika bergerak bangkit. Sosoknya sesaat tergontai-gontai. Paras wajahnya laksana tidak berdarah. Kedua tangannya bergetar keras. Dadanya bergerak cepat turun naik dengan mulut megap-megap.
Di seberang lain, begitu terdengar letusan sosok Tengkorak Berdarah hanya terseret lima langkah dan terhuyung-huyung. Saat lain orang ini telah tegak kembali dengan kepala lurus ke arah Daeng Upas. Namun begitu tegak dan belum sempat melihat apa yang terjadi menimpa Daeng Upas, satu tenaga laksana sebuah tendangan telah menggebrak ke arahnya!
Tengkorak Berdarah menggeram marah. Namun sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan menangkis. Hingga tak ampun lagi sosoknya tersapu satu tombak ke belakang. Untung orang ini masih dapat imbangi diri hingga meski sesaat sosoknya hampir terjerembab dia sentakkan tangan kanannya ke atas tanah. Tubuhnya melenting satu tombak ke udara, lalu melayang turun dan tegak dengan kaki terpacak di atas tanah. Walau demikian, sosoknya terlihat bergetar dan kedua tangannya segera meraba dadanya yang terasa sesak dan berdenyut sakit akibat terhantam tendangan yang dilepas dari jarak jauh oleh Daeng Upas.
Seperti diketahui. Daeng Upas memiliki ilmu yang bisa melepas tendangan dan jotosan dari jarak jauh. Melihat tendangan yang dilepas menghantam sasaran, keberanian Daeng Upas makin bertambah. Hingga begitu Tengkorak Berdarah menginjak tanah, perempuan ini kembali melesat ke depan. Bambu kecil di atas telinga kanannya dicabut lalu ditiup. Bersamaan itu kedua kakinya kembali bergerak kirimkan tendangan!
Busss!
Dari bambu berwarna kuning di mulut Daeng Upas melesat asap hitam. Cepat luar biasa asap hitam itu kini telah setengah depa di depan Tengkorak Berdarah. Sesaat Tengkorak Berdarah tampak terkejut dan mundur satu langkah. Saat itulah tendangan jarak jauh Daeng Upas sampai. Tengkorak Berdarah mendengus keras. Dia belum tahu apa kehebatan asap hitam dari bambu, meski dia sadar jika asap hitam itu tentu mengandung bahaya. Tapi kalau dia menghantam asap hitam bukan tak mungkin tendangan jarak jauh si nenek pasti untuk kedua kalinya akan menghantam tubuhnya. Dia tampaknya tidak mau terpental kedua kali. Hingga tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya segera menyentak ke depan menangkis tendangan Daeng Upas.
Wuutt! Wuutt!
Tendangan jarak jauh Daeng Upas sirna tersapu gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Tengkorak Berdarah. Malah bersamaan dengan itu, sosok Daeng Upas terlihat ikut juga tersapu dan mental sebelum akhirnya jatuh terduduk! Saat Tengkorak Berdarah sentakkan kedua tangan memangkas tendangan jarak jauh Daeng Upas, asap hitam terus melesat dan tiba-tiba berputar-putar di depan kepala Tengkorak Berdarah.
Mendadak Tengkorak Berdarah perdengarkan batuk beberapa kali. Orang ini rasakan jalan pernapasannya tersumbat. Kepalanya terasa berputar-putar pening. Kejap lain sosoknya tampak mundur terhuyung-huyung. Maklum akan apa yang terjadi pada dirinya, Tengkorak Berdarah cepat sumbat jalan pernapasannya dan kerahkan tenaga murni.
Melihat sosok Tengkorak Berdarah terhuyung, Daeng Upas menindih rasa sakit pada sekujar tubuhnya karena tersapu pukulan lawan. Dia segera bangkit lalu didahului bentakan keras, perempuan ini laksana terbang melesat ke arah lawan yang diduganya telah menghirup racun dari bambu miliknya.
Mungkin percaya akan kehebatan asap racun dalam bambunya, Daeng Upas kali ini tiada lagi lepaskan tendangan atau jotosan dari jarak jauh. Sebaliknya dia terus melesat mendekat. Kedua tangannya di atas bahu siap lepaskan pukulan mematikan ke arah kepala Tengkorak Berdarah.
Sejengkal lagi kedua tangan Daeng Upas membuat hancur kepala Tengkorak Berdarah, di luar dugaan si nenek, mendadak Tengkorak Berdarah yang diduganya tak mungkin kuasa membuat gerakan menangkis, angkat kedua tangannya sementara tubuhnya digeser ke samping. Kejap lain kedua tangan Tengkorak Berdarah berkelebat.
Karena tidak menyangka lawan masih bisa membuat gerakan bahkan balas lepaskan pukulan, bukan saja membuat pukulan Daeng Upas menghantam tempat kosong tapi juga membuat si nenek terlambat untuk menghindar.
Bukkk! Bukkk!
Daeng Upas berseru keras. Sosoknya terpental balik dan jatuh punggung di atas tanah. Darah menyembur dari mulutnya, pertanda dia terluka dalam cukup parah. Namun karena tekadnya telah bulat, perempuan yang masih berwajah cantik itu bergerak bangkit. Namun saat itu juga kedua kakinya goyah, saat lain kembali sosoknya jatuh di atas tanah, Daeng Upas tak kehabisan akal. Dia cepat ambil bambu di atas telinganya.
Melihat tindakan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah tak mau bertindak ayal. Sebelum Daeng Upas sempat semburkan lagi asap hitam, sosok Tengkorak Berdarah telah melompat ke depan. Bersamaan itu kedua tangannya bergerak lepaskan satu pukulan bertenaga dalam kuat.
Daeng Upas tercekat. Belum sempat membuat gerakan menangkis atau semburkan asap hitam pada bambunya, sosoknya telah tersapu mental. Dan belum sampai tubuh Daeng Upas jatuh di atas tanah, Tengkorak Berdarah yang tampaknya sudah tak mau memberi kesempatan segera melesat memburu sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara.
Seett!
Kedua tangan Tengkorak Berdarah memegang pinggang Daeng Upas. Sosok perempuan ini sejenak diangkat namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke bawah membanting tubuh Daeng Upas dari ketinggian satu tombak.
Bukkk!
Daeng Upas yang telah terluka dalam parah tak sempat lagi keluarkan suara pekikan. Hanya sosoknya yang terkapar sejurus tampak bergerak-gerak. Namun cuma sekejap. Kejap lain gerakannya terhenti diiringi dengan erangan pelan yang terputus!
Tengkorak Berdarah telengkan kepala ke bawah memperhatikan Daeng Upas yang terkapar tanpa nyawa lagi. Lalu kepalanya tengadah. Kedua tangannya terangkat mengusap dadanya. "Hem... Untung racun keparat itu belum sampai masuk dada! Jika terlambat sedikit, mungkin aku yang terkapar mati!" gumamnya.
Namun demikian bukan berarti asap hitam beracun itu tidak berpengaruh. Karena walau memang belum sampai terhirup masuk ke dalam dada tapi telanjur masuk ke dalam lobang hidungnya. Hingga begitu kepalanya tengadah, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu tampak jubah abu-abu terusan tepat bagian sekitar mulut berubah menjadi merah! Tanda orang ini telah semburkan darah.
Tengkorak Berdarah tampaknya tidak hiraukan hal itu, karena mendadak dia teringat pada Gendeng Panuntun. Laksana diputar setan, sosok Tengkorak Berdarah cepat membalik menghadap ke arah mana tadi Gendeng Panuntun berada. Sekonyong-konyong keluar makian dari mulut orang berjubah abu-abu terusan. Kakinya menghentak tanah hingga bergetar keras. Kedua tangannya mengepal. Ternyata sosok Gendeng Panuntun sudah tidak ada lagi di tempat itu!
Tanpa diketahui oleh Daeng Upas dan Tengkorak Berdarah yang saat itu tengah terpaku pada pukulan lawan masing-masing, diam-diam Gendeng Panuntun berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Jahanam buta itu tidak akan kubiarkan berkeliaran seenaknya. Apalagi dia sepertinya telah mengetahui siapa diriku!" desis Tengkorak Berdarah. Setelah usap-usap dadanya berulang kali dan salurkan hawa murni, orang ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
********************
BAB 6
PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya saat merasa berada pada tempat aman. Namun demikian dia tidak bertindak gegabah. Sebelum dia memperlambat larinya, dia seringkali palingkan kepala ke belakang dan ke kanan kiri. Ketika merasa yakin Daeng Upas atau Dewa Orok tidak lagi mengejar, dia hentikan langkah. Kepalanya tengadah. Saat itu matahari mulai pancarkan sinar kemerahan tanda tidak berapa lama lagi akan segera tenggelam.
Murid Pendeta Sinting melangkah pada satu tanah agak tinggi, di mana pada kanan kirinya terdapat dua batang pohon mahoni besar. Seraya bersandar punggung pada salah satu batang pohon, Joko meraba seputar perut dan pinggangnya. Dia menarik napas lega.
"Untung kitab dan mahkota ini tidak basah terkena air..." gumamnya lalu geser tangannya hingga kitab dan mahkota yang berada di balik pakaiannya makin tidak kelihatan.
"Ternyata ada saja orang yang tahu tempat rahasia begitu. Hanya setelah menyimak ucapannya, Dewa Orok sepertinya tidak menginginkan kitab ini. Tapi ada benda lain yang dikehendakinya. Astaga! Jangan-jangan..."
Pendekar 131 tidak lanjutkan gumamannya. Dari arah barat sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh sedang berlari ke tempat di mana dia berada. Mengira orang yang sedang berlari adalah salah satu antara Daeng Upas atau Dewa Orok, murid Pendeta Sinting segera melompat dan berlindung di balik pohon. Tak berapa lama kemudian, sejarak sepuluh langkah dari tempat Joko berlindung tampak satu sosok tubuh tegak dengan kepala berputar dan mata memperhatikan sekeliling. Dari sikap dan pandangannya jelas jika orang ini sedang mencari sesuatu.
"Heran... Baru saja kulihat dia berada di sekitar tempat ini! Sayang aku tidak bisa memastikan memang dia atau bukan. Larinya begitu cepat. Seandainya pakaian yang dikenakan tidak mirip, tak akan aku bersusah-susah mengejarnya... Tapi apa dia benar-benar masih hidup? Jangan-jangan ucapan Ayah hanya untuk menyenangkan hatiku dan yang terjadi sebenarnya adalah dia telah..."
Orang ini tak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya dia takupkan kedua tangan pada wajahnya. Sesaat kemudian bahu orang ini berguncang. Lalu terdengar isakan pelan. Tapi suara isakan sekonyong-konyong berubah menjadi satu jeritan tatkala satu tangan tiba-tiba memegang bahu orang yang sedang terisak. Secepat kilat orang yang tadi terisak balikkan tubuh. Kedua tangannya yang tadi menutupi wajahnya segera ditarik dan diangkat. Namun satu suara membuat orang ini bukan saja tegak tertegun, namun juga mendelik hampir tak percaya.
"Bagaimana keadaanmu...? Apa yang terjadi...?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya terus memandang ke depan dengan mata makin terpentang dan kedua tangan tetap di atas. Sesaat setelah sadar dari rasa terkesimanya, terdengar orang ini bergumam.
"Joko..."
Murid Pendeta Sinting tersenyum. Namun diam-diam dia merasa ada keanehan pada orang yang kini ada di hadapannya. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam yang memperkenalkan diri pada Joko dengan Raka Pradesa.
"Seorang pemuda tampan. Tapi kenapa menangis begitu rupa? Ah... Mungkin ada sesuatu yang sangat menyentuh jika seorang pemuda sampai keluarkan air mata..." kata Joko dalam hati menjawab rasa aneh yang dilihatnya pada pemuda di hadapannya.
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu, tiba-tiba pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam dan tidak lain adalah Raka Pradesa alias Saraswati menghambur ke depan. kedua tangannya cepat melingkar merangkul pinggang Pendekar 131. Sementara kepalanya diletakkan pada dada si pemuda, membuat Joko salah tingkah dan kebingungan bercampur heran.
Saraswati yang menyamar sebagai pemuda ini terisak dan bergumam tak jelas. Menduga bahwa si pemuda sedang dilanda sesuatu yang membuat dirinya membutuhkan teman tempat mengadu, meski masih bertanya-tanya heran, akhirnya murid Pendeta Sinting hanya diam. Beberapa saat berlalu. Setelah suara isakan Raka Pradesa terhenti, Joko angkat kedua tangannya memegang pundak si pemuda di hadapannya. Lalu berbisik.
"Raka... Katakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Raka Pradesa angkat kepalanya. Tubuhnya yang merapat pada tubuh Pendekar 131 perlahan-lahan ditarik. Wajahnya tiba-tiba berubah memerah. Tanpa berani membalas tatapan murid Pendeta Sinting, Raka Pradesa cepat palingkan wajahnya. Membuat Joko makin bertambah heran dan kembali bertanya.
"Katakanlah ada apa...!"
Raka Pradesa tidak segera buka mulut. Sebaliknya dada pemuda yang sebenarnya seorang gadis ini dibuncah berbagai perasaan. Senang karena melihat Joko masih selamat dan hidup. Namun di samping itu dia juga kebingungan bagaimana harus menjawab pertanyaan Joko.
"Apakah aku harus berkata terus terang? Lalu apakah dia nanti tidak menaruh dendam padaku karena perbuatan Ayah yang telah mendorongnya masuk ke dalam lobang itu? Ah... Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?" Raka Pradesa membatin dalam hati.
"Agaknya ada sesuatu yang membuatmu keberatan mengatakan hal yang menimpamu padaku..." kata Joko pada akhirnya dengan nada agak kecewa.
"Aku... Aku tak tahu harus bagaimana mengatakan padamu," ucap Raka Pradesa pelan tanpa berpaling.
"Hem... Kau tadi sepertinya mencari sesuatu. Apakah kau mengejar seseorang?"
"Ah... Kau tak tahu. Kaulah sebenarnya yang tadi kukejar dan kucari!" kata Raka Pradesa dalam hati. Namun meski hatinya berkata begitu, kepala pemuda ini menggeleng.
"Hem... Mungkin kedatanganku hanya mengganggumu. Aku harus pergi..." ucap murid Pendeta Sinting lalu balikkan tubuh hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" tahan Raka Pradesa.
"Aku yakin kau sedang mencari seseorang! Aku tak suka mengganggu urusan orang. Apalagi mungkin ini urusan perempuan..." kata Joko lalu teruskan langkah.
Mendadak Raka Pradesa melompat dan kembali merangkul pinggang Joko dari belakang, membuat murid Pendeta Sinting tak habis pikir. Lalu enak saja dia berujar.
"Jika kekasihmu tahu kita begini, urusan akan jadi panjang. Dia pasti akan menyangka yang bukan-bukan..." seraya berkata, tangan Joko renggangkan kedua tangan Raka Pradesa yang merangkul pinggangnya. Namun Raka Pradesa makin pererat rangkulannya. Lalu berkata pelan.
"Aku akan mengatakan padamu. Tapi sebelumnya kuharap kau nanti mau memberi maaf dan berjanji tak akan menaruh dendam..."
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Sebelum dia mengatakan apa yang menjadi pertanyaan dalam hatinya, Raka Pradesa telah kembali buka mulut.
"Kau mau berjanji bukan?"
"Kau ini bicara apa?!"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Raka Pradesa berkata. "Sebelumnya aku..."
Ucapan Raka Pradesa terputus. Pemuda berkumis tipis ini cepat tarik kepalanya dari punggung Joko. Lalu berpaling ke kanan. Murid Pendeta Sinting sendiri cepat gerakkan kepalanya ke samping kanan. Sejarak delapan langkah dari tempat mereka berdua, tegak seorang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian hijau.
"Puspa Ratri..." gumam Joko mengenali siapa adanya gadis berpakaian hijau.
Untuk beberapa lama Raka Pradesa menatap tak berkesip ke dalam sepasang bola mata gadis berpakaian hijau yang bukan lain memang Puspa Ratri adanya. Sementara gadis yang dipandang balas menatap silih berganti pada Raka Pradesa dan murid Pendeta Sinting dengan wajah tak mengerti.
"Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah dia memang Joko Sableng. Apa penglihatanku tidak salah..." membatin Puspa Ratri. Lalu menatap ke arah Raka Pradesa berlama-lama. Hingga untuk beberapa lama kedua orang ini saling bentrok pandang.
"Dia dahulu mengaku sebagai sahabat Joko. Tapi mengapa dia berbuat seolah seperti seorang kekasih...? Ada yang tidak beres dengan orang ini! Atau keduanya sama-sama tidak beres! Aku curiga jangan-jangan pemuda berpakaian hitam-hitam ini bukan seorang..."
Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Lalu buka mulut. "Pemuda berpakaian hitam-hitam. Siapa kau sebenarnya?!"
Raka Pradesa tarik pulang kedua tangannya yang melingkar di pinggang Joko. Joko sendiri terlihat salah tingkah dan tak tahu harus berkata apa. "Hem... Selagi dia berada di sini, akan kutunjukkan siapa aku sebenarnya. Jika aku terus-terusan menyamar, beban dalam dada ini akan makin bertambah. Apalagi gadis ini bisa jadi penghalang..." kata Raka Pradesa dalam hati.
"Kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya. Hanya orang punya niat jahat yang sembunyikan siapa dirinya sebenarnya!" kata Puspa Ratri dengan tersenyum dingin.
"Jaga bicaramu! Jangan berani menuduh orang atau mulutmu minta ditampar?!"
Puspa Ratri tersenyum sambil perdengarkan suara tawa pendek. "Aku tidak menuduh! Tapi hari ini aku menemukan satu pemandangan aneh...!"
"Begitu?!" ujar Raka Pradesa sambil melangkah satu tindak ke depan. "Kau memang perlu kenyataan agar tidak berpandangan aneh..."
Habis berkata begitu, Raka Pradesa angkat kedua tangannya. Tangan kanan tanggalkan kumis tipis pada atas bibirnya, tangan kiri membuka gulungan rambutnya. Kejap lain Raka Pradesa gerakkan kepalanya. Saat itu juga terlepaslah geraian rambut panjang. Parasnya pun berubah menjadi seorang gadis muda berparas jelita.
Puspa Ratri tegak dengan mulut terkancing dan mata membelalak. Meski tadi sempat menyeruak kecurigaan dalam hatinya, namun begitu benar-benar matanya melihat, gadis ini seolah hampir tidak percaya. Sedangkan murid Pendeta Sinting melongo.
"Astaga! Jadi dia adalah seorang gadis!" gumam Joko dengan mata tak berkesip pandangi Raka Pradesa yang kini telah lepaskan penyamarannya. "Ah. Aku ingat sekarang... Makanya dia tidak mau jadi saksi tatkala pertemuan dengan Hantu Makam Setan. Tak tahunya jika dia adalah seorang gadis..."
Seperti diketahui, waktu terjadi pertemuan antara Pendekar 131 dan Hantu Makam Setan, ketika itu Ratu Malam meminta syarat pada Hantu Makam Setan untuk membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki. Tapi saat itu Raka Pradesa yang berada di tempat itu tidak mau menjadi saksi pembuktian Hantu Makam Setan (Lebih jelasnya baca Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu).
"Apakah kau masih melihat satu keanehan?!" ujar Raka Pradesa alias Saraswati dengan tertawa pelan.
Puspa Ratri mengeluh. Dadanya mulai dirasuki rasa cemburu. Dia berpaling pada murid Pendeta Sinting. "Hem... Dia juga tampaknya terkejut. Tapi jangan-jangan itu hanya karena untuk menutupi. Hem... Tak kusangka jika dia pemuda yang punya banyak gadis!"
Tanpa berkata, Puspa Ratri balikkan tubuh. Joko buka mulut hendak menahan. Namun sebelum suaranya terdengar, mendadak seantero tempat itu dibuncah dengan suara tawa orang mengekeh panjang. Semua kepala bergerak berpaling.
BAB 7
DI tempat itu ternyata telah tegak satu sosok yang sekujur tubuhnya ditutup dengan jubah terusan berwarna abu-abu. Kepala di balik jubah terusan abuabu menghadap lurus ke arah Pendekar 131 yang saat itu juga tengah menatapnya. Sementara Saraswati memandang tak berkesip dengan dahi mengernyit.
"Dua kali aku jumpa dengan orang ini! Tapi apakah memang dia bukan Ayah? Lalu siapa? Mengapa dia mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Ayah? Sejak beberapa waktu lalu tampaknya dia selalu memburu Joko. Hem... Jangan-jangan dia adalah Ayah yang selama ini memang sembunyikan sesuatu padaku! Bukankah selama ini dia juga tidak pernah berterus terang padaku?" membatin Saraswati.
Yang paling terkejut adalah Puspa Ratri. Gadis berpakaian hijau ini diam-diam juga membatin. "Ibu punya perjanjian dengan orang ini. Apakah mereka sudah berjumpa? Hem... Walau parasnya tidak kelihatan, tapi sikapnya seperti tidak bersahabat. Apakah dia hendak lanjutkan urusan tempo hari? Apa yang harus kulakukan sekarang? Tetap di sini rasanya akan menambah sakit hati! Tapi aku tak mau melihat Joko mendapat celaka!"
Dada gadis ini diselimuti berbagai perasaan. Tetap berada di situ berarti akan menambah rasa kecewa dan cemburu tapi me- ninggalkan tempat itu dia tak tega melihat Joko harus menghadapi orang yang diyakininya punya niat jahat. Ketika dua orang gadis ini didera perasaan masing-masing, mendadak Joko menghambur ke arah orang berjubah abu-abu terusan.
"Harap maafkan jika selama ini aku berburuk sangka. Aku berterima kasih atas bantuanmu..." ujar murid Pendeta Sinting sambil menjura hormat. Pendekar 131 menduga jika orang berjubah abu-abu di hadapannya adalah orang berjubah abu-abu yang ditemuinya dan mendorongnya masuk ke dalam lobang dalam Istana Hantu hingga dia menemukan kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga.
Melihat sikap Joko, baik Saraswati maupun Puspa Ratri sama-sama melengak heran. Keduanya sama tak habis mengerti. Tapi yang paling tersentak adalah orang berjubah abu-abu terusan yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak Berdarah. Kepala di balik jubah orang ini sempat tertarik jauh ke belakang saking terkejutnya. Untung paras wajahnya tertutup. Jika tidak niscaya orang di tempat itu akan melihat perubahan wajahnya.
"Apa maksud ucapan anak ini? Bantuan apa yang kuberikan? Aneh... Selama ini aku tak pernah memberi bantuan. Malah dari mulutnya aku butuh keterangan!" membatin Tengkorak Berdarah. "Hem... Jangan-jangan dia hanya mengada-ada karena tahu aku akan mengorek keterangan dari mulutnya!"
Habis membatin begitu, Tengkorak Berdarah perdengarkan suara. "Kau jangan bicara tak ada juntrungan! Jangan kira aku tak tahu apa di balik ucapanmu itu!"
"Ah... Orang ini masih juga suka bercanda. Bukan hanya tindak tanduknya yang sulit diterka namun sepertinya dia tidak suka memperlihatkan budinya..."
Joko lalu angkat kepalanya. Matanya memandang tajam dengan bibir tersenyum. "Dia bagaimanapun juga telah membantuku. Aku harus memberitahukan apa yang kuperoleh...."
Lalu Joko selipkan kedua tangannya ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik kembali, maka semua orang di tempat itu melengak. Di tangan kanan Joko tampak sebilah kitab bersampul kuning, sedang di tangan kirinya terlihat sebuah mahkota berwarna kuning bersusun tiga yang digantungi beberapa peniti juga berwarna kuning.
"Atas bantuanmu, inilah benda yang berhasil kutemukan..."
"Kitab dan mahkota!" seru Tengkorak Berdarah dalam hati. Kepala di balik jubah orang ini tengadah. "Aku tahu apa maksud ucapan pemuda ini. Aku juga tak mengerti mengapa dia menunjukkan benda-benda itu padaku!" Kepalanya lantas lurus kembali menghadap Pendekar 131.
"Kitab bersampul kuning... Sayang tulisan pada sampulnya tak jelas kulihat. Tapi melihat bentuknya seperti sebuah kitab kuno! Jangan-jangan pemuda ini menganggapku sebagai.. Ah. Ini rejeki besar bagiku! Jika benar, berarti tanpa bersusah payah aku berhasil mendapatkan kitab itu!"
Tengkorak Berdarah memutar otak. Kejap kemudian dia perdengarkan suara. "Syukur kau telah mendapatkan benda-benda itu. Harap kau suka memperlihatkan padaku!" sambil berkata, kedua Jangan Tengkorak Berdarah menjulur membuat sikap meminta.
Saraswati sebenarnya hendak buka mulut. Namun segera dibatalkan begitu terlihat Pendekar 131 telah maju dan memberikan kitab bersampul kuning serta mankota bersusun tiga pada Tengkorak Berdarah. Begitu kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga berada di tangannya, Tengkorak Berdarah sesaat memperhatikan dengan seksama. Lalu tangan kanannya yang memegang mahkota bergerak membuka sampul kitab.
"Sundrik Cakra!" desis Tengkorak Berdarah membaca tulisan yang tertera pada halaman pertama. Suaranya bergetar. Kedua tangannya gemetar. "Inilah kitab sakti yang kuinginkan!" kata Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu angkat kepalanya. Perlahan dia melangkah maju mendekati murid Pendeta Sinting. Kedua tangan Tengkorak Berdarah menjulur memberikan kitab bersampul kuning dan mahkota pada Joko.
Saraswati dan Puspa Ratri yang tadi diam-diam masih dihantui perasaan cemas meski tak tahu mengapa, bernapas lega. Namun kelegaan kedua gadis ini pupus seketika tatkala melihat bagaimana begitu kedua tangan Pendekar 131 hendak menerima kitab dan mahkota, tiba-tiba kaki kanan di balik jubah orang terangkat. Lalu tangannya yang memegang mahkota berkelebat cepat.
Bukkk! Bukkk!
Satu tendangan dan satu jotosan bertenaga dalam tinggi menghantam telak ke arah dada dan bahu Pendekar 131 Joko Sableng! Meski pada dasarnya dalam tubuh murid Pendeta Sinting terpendam tenaga dalam kakek di dalam kuil serta punya jurus Sukma Es yang dapat lindungi diri, namun karena saat itu dia dalam keadaan biasa maka murid Pendeta Sinting rasakan laksana dihantam benda sangat berat. Dari mulutnya terdengar pekikan keras. Kejap lain sosoknya mencelat sampai dua setengah tombak lalu terkapar dengan darah menyembur keluar dari mulut dan hidungnya. Murid Pendeta Sinting sejenak coba bergerak bangkit. Tapi tubuhnya kembali terkapar.
Berbarengan, Saraswati dan Puspa Ratri samasama berteriak. Saat lain keduanya sama-sama sentakkan kedua tangannya ke arah Tengkorak Berdarah. Namun gelombang angin yang menyambar keluar dari masing-masing tangan gadis ini hanya menggebrak udara kosong. Sosok Tengkorak Berdarah telah berkelebat tinggalkan tempat itu sambil perdengarkan suara tawa panjang. Begitu Tengkorak Berdarah berlalu, Saraswati dan Puspa Ratri sama putar diri setengah lingkaran. Kini keduanya berhadap-hadapan. Kedua pasang mata saling perang pandang. Mulut keduanya sama membuka.
"Kau...!" desis Saraswati dingin.
"Kau...!" balas Puspa Ratri tak kalah dingin malah terdengar ketus. "Pasti jahanam tadi itu temanmu! Kalian bersekongkol! Kau pura-pura merayu agar benda itu diberikan pada temanmu! Perbuatan busuk!"
Sepasang mata Saraswati makin mendelik berkilat. Dadanya turun naik. Pelipisnya bergerakgerak. "Jangan kau berani lancang mulut menuduh yang bukan-bukan! Kaulah yang bersilat lidah! Bukankah sebenarnya kau dan manusia bergelar Tengkorak Berdarah tadi datang bersama-sama? Lalu kalian..." Ucapan Saraswati belum habis, Puspa Ratri telah memotong.
"Perempuan sepertimu pandai bicara, membalik kenyataan! Kau tadi sembunyikan wajah asli. Sedangkan jahanam tadi juga takut diketahui rupanya! Apa kau masih akan berdalih cari alasan, hah?!"
Sesaat Saraswati terdiam mendengar ucapan Puspa Ratri. Namun kejap lain dia sudah buka mulut lagi. "Sama tindakan belum tentu punya tujuan sama! Aku tahu, kau melontarkan tuduhan karena kau cemburu padaku! Kau takut hati pemuda itu berpaling padaku! Dengar! Pemuda itu telah tahu siapa aku sebenarnya meski aku mengenakan penyamaran! Kau dengar?!" kata Saraswati berdusta.
Paras wajah Puspa Ratri jadi merah padam. "Peduli setan dia tahu dirimu atau tidak! Yang jelas kau telah bersekongkol dengan orang untuk mencelakainya!"
Saraswati tertawa. "Tampaknya kau tak bisa dibuat sadar dan terus menuduhku yang bukan-bukan. Aku tanya padamu. Sekarang apa yang kau mau?!"
"Kau bicara layaknya orang tak bersalah! Kau mengira apa yang kau lakukan tindakan benar!"
"Tak pantas kau bicara tentang tindakanku! Kuperingatkan, lekas menyingkir atau kau akan merasa menyesal!"
Puspa Ratri tersenyum menyeringai. "Dengan begitu kau akan leluasa melakukan apa saja. Bukankah itu maksudmu?! Justru kau yang harus cepat tinggalkan tempat ini!"
"Hem... Dengan begitu kau akan bebas bercumbu dengannya, begitu?!"
"Rupanya kau yang dirasuki rasa cemburu! Hingga bukan cedera orang yang terpikir olehmu tapi nafsu busuk yang menghantuimu!"
"Tutup mulutmu!" hardik Saraswati. "Kaulah yang dirasuki nafsu busuk! Kau bercumbu di sembarang tempat!"
"Ah... Rupanya kau juga gadis yang suka ngintip orang! Lalu apakah kau masih akan berkeras kepala jika tahu orang telah sama berbagi kasih?! Seharusnya kau tahu diri! Jangan memaksakan hati orang!"
"Aku tak butuh nasihat! Kuulangi lagi, lekas menyingkirlah!"
Kepala Puspa Ratri menggeleng. "Tak akan kubiarkan tangan kotormu menyentuhnya!"
"Kau cari jalan ke neraka!" bentak Saraswati. Kedua tangannya diangkat sejajar dada dengan mata mendelik angker.
Puspa Ratri tidak tinggal diam. Kakinya direnggangkan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya diangkat ke atas. Begitu kedua tangan Puspa Ratri berada sejajar kepala, Saraswati telah sentakkan kedua tangannya lepas satu pukulan jarak jauh. Melihat hal ini, Puspa Ratri segera pula sentakkan kedua tangannya.
Dua gelombang angin dari samping kiri kanan melesat ke udara. Namun sebelum dua pukulan itu bentrok, mendadak terlihat satu cahaya putih mengerlap. Kejap lain dua pukulan yang melesat dari tangan Saraswati dan Puspa Ratri ambyar berantakan dan lenyap! Sosok Saraswati tampak terjajar lalu jatuh terduduk. Di seberang depan, Puspa Ratri terhuyung-huyung lalu roboh dengan kaki menekuk.
Dengan menindih rasa kaget baik Saraswati maupun Puspa Ratri sama palingkan kepala ke kanan dari mana cahaya putih yang membuat ambyar lenyap pukulan masing-masing gadis berasal. Dari tempat masing-masing, kedua gadis yang sama berwajah cantik ini melihat seorang kakek bertubuh gemuk besar mengenakan pakaian hijau gombrong. Rambutnya disanggul ke atas dan kepalanya ditengadahkan. Pada pinggangnya tampak melingkar satu ikat pinggang besar yang pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Kakek ini duduk dengan tangan usap-usap cerminnya!
BAB 8
"KAKEK bermata buta itu!" gumam Saraswati. "Hem... Aku tak mau urusan ini dicampuri orang lain! Bagaimanapun gadis bermulut lancang itu harus mendapat pelajaran!"
"Kek! Harap kau tidak libatkan diri!" teriak Saraswati memecah kesunyian di tempat itu. Gadis berpakaian hitam-hitam ini serentak bergerak bangkit. Lalu menoleh ke arah Puspa Ratri.
Puspa Ratri sejurus menatap pada kakek bertubuh besar mengenakan pakaian hijau yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun adanya. "Siapa orang itu? Mungkin masih teman gadis itu!"
Menduga demikian, Puspa Ratri cepat pula bergerak bangkit lalu berkata. "Aku tak keberatan jika kalian berdua maju bersama!"
Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya lurus ke arah Saraswati, lalu bergerak lagi menghadap Puspa Ratri. Tangan kanannya usap cermin bulat di depan perutnya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu buka mulut.
"Gadis-gadis cantik! Rasa cemburu adalah pangkal dari prasangka buruk! Hal baik akan terbalik jadi jelek jika telah dicemari rasa cemburu! Harap endapkan hati. Ada sesuatu yang lebih penting daripada harus bertindak yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan rasa sesal.
Ucapan Gendeng Panuntun membuat Saraswati dan Puspa Ratri sama terkesiap. Tapi karena hati panas lebih menguasai dada masing-masing gadis ini, begitu ucapan Gendeng Panuntun selesai, Saraswati menyahut.
"Bagiku yang terpenting saat ini adalah menampar gadis bermulut lancang ini! Justru aku merasa menyesal jika tanganku tak mampu membuat mulutnya berdarah!"
Mendengar kata-kata Saraswati, Puspa Ratri cepat berujar. "Sebelum tanganmu sempat membuat mulutku berdarah, kedua tanganmu akan kupatahkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar ucapan Saraswati dan Puspa Ratri. "Rasa cinta kadangkala memang membutuhkan pengorbanan. Tapi adalah tindakan bodoh bila berani berkorban hanya karena perturutkan perasaan! Selain pengorbanan jadi sia-sia, orang jadi lupa jika orang yang dicintai memerlukan pertolongan!"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban Saraswati atau Puspa Ratri, Gendeng Panuntun melangkah ke arah murid Pendeta Sinting yang terkapar. Mungkin masih menduga jika Gendeng Panuntun teman Saraswati, saat orang tua ini jongkok di samping Joko, Puspa Ratri berteriak lantang.
"Orang tua! Aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu kau berniat jahat atau baik! Jadi jangan coba-coba menyentuh pemuda itu!"
Saraswati yang mengetahui jika Gendeng Panuntun adalah sahabat Pendekar 131 segera menyahut. "Kau gadis kemarin sore! Tidak tahu siapa adanya orang! Hingga orang berniat baik pun masih kau tuduh tak karuan!"
Puspa Ratri angkat tangan kirinya. Telunjuknya diarahkan lurus ke arah muka Saraswati. "Kau mengenalnya. Berarti kau temannya! Kalau kau punya niat jahat, apakah tindakan temanmu tidak patut dicurigai?!"
"Dasar gadis tolol!" bentak Saraswati. "Buka mata dan telingamu lebar-lebar. Aku bukan temannya! Tapi aku tahu dia adalah sahabat Joko!"
Dahi Puspa Ratri berkerut. Sepasang matanya memperhatikan Gendeng Panuntun berlama-lama. Lalu berpaling pada Saraswati. Gadis ini tampaknya belum mau percaya begitu saja pada ucapan Saraswati.
"Siapa mau percaya pada ucapan gadis sepertimu! Yang suka berpura-pura dan senang tunjukkan wajah palsu!"
"Keparat!" teriak Saraswati sambil bantingkan kaki di atas tanah. "Gadis dungu dan tolol macammu memang tak mempan dengan ucapan!"
"Jaga mulutmu! Ucapan gadis jahat mana bisa dipegang?!" jawab Puspa Ratri lalu perdengarkan dengusan bernada mengejek.
Kali ini Saraswati tidak lagi membuka mulut menyahuti kata-kata Puspa Ratri. Sebaliknya gadis berpakaian hitam-hitam ini maju dua langkah. Kedua tangannya diangkat. Kejap lain sosoknya melompat ke depan. Kedua tangannya kirimkan hantaman ke arah kepala Puspa Ratri. Puspa Ratri menyeringai. Dia segera geser tubuhnya ke samping selamatkan diri. Lalu kedua tangannya bergerak menangkis.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Keduanya sama mundur dua langkah dengan paras sama berubah. Mata masing-masing tak berkesip perhatikan lawan. Saat lain tiba-tiba Puspa Ratri berkelebat. Gerakannya begitu luar biasa cepat. Hingga belum sempat Saraswati mengetahui ke mana lawan bergerak, tahu-tahu sebuah tendangan telah berada di mukanya!
Saraswati tidak sempat untuk mengangkat tangan memangkas tendangan atau membuat gerakan mengelak, hingga akhirnya gadis ini hanya berteriak keras. Sesaat lagi tendangan itu menghantam sosok Saraswati, mendadak terdengar orang berseru. Orang yang berada di situ tahu jika orang yang berseru bukanlah Gendeng Panuntun, karena suara itu suara seorang perempuan.
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara seruan, mendadak ada sesuatu menahan tendangan yang dilepas Puspa Ratri yang tidak saja mampu membuat tendangan itu tertahan di udara namun sesaat kemudian membuat sosok Puspa Ratri terhuyung ke belakang hingga jatuh terduduk. Puspa Ratri kertakkan rahang. Dia cepat bangkit lalu putar diri ke kanan di mana saat itu ternyata telah tegak seorang perempuan berusia tidak muda lagi mengenakan pakaian warna putih. Walau usianya sudah tidak muda, tapi bayang kecantikan masih memancar dari orang ini.
"Ibu..." desis Puspa Ratri begitu melihat siapa adanya si perempuan.
Perempuan di hadapan Puspa Ratri yang selama ini menyamar dengan menggunakan bedak tebal di wajahnya dan tidak lain adalah ibu Puspa Ratri yakni Prabarini, anggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu menoleh pada Gendeng Panuntun yang saat itu tengah tempelkan tangan kirinya pada dada murid Pendeta Sinting. Sejenak kemudian dia berpaling pada Saraswati yang saat itu tengah memandangnya dengan dahi mengernyit. Karena Prabarini telah tanggalkan penyamarannya, Saraswati tentu saja sulit mengenali meski antara Prabarini dan Saraswati pernah jumpa. Sebab ketika berjumpa pada beberapa waktu lalu, Prabarini masih membedaki wajah dan memoles bibirnya serta mewarnai rambutnya dengan hitam berkilat.
"Ah... Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi... Aku harus lakukan sesuatu sebelum semuanya telanjur jauh..." kata Prabarini dalam hati sambil menghela napas panjang. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya Prabarini melangkah ke arah Puspa Ratri. Begitu dekat dia berbisik.
"Puspa... Ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu! Ayo ikut aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Lalu beralih pada sosok Pendekar 131 yang tampak sudah mulai bangkit. "Ibu... Aku punya hal yang harus kuselesaikan! Aku nanti akan segera menyusul..."
Prabarini gelengkan kepalanya. "Kali ini kau jangan membantah, Anakku... Aku tahu apa yang hendak kau selesaikan di sini. Urusan ini bisa kau tunda. Aku tidak akan ikut campur... Percayalah. Tidak lama lagi, kau dan orang-orang di sini akan berjumpa lagi... Bahkan urusanmu akan menjadi tuntas dan jelas!"
"Ibu..."
"Anakku... Kau jangan membuat ibumu kecewa," bisik Prabarini lalu menarik tangan kanannya untuk berlalu dari tempat itu.
Meski pada akhirnya Puspa Ratri turuti kemauan Prabarini, namun sambil melangkah pergi, matanya tak beranjak memandang tajam pada Saraswati. Begitu Prabarini dan Puspa Ratri berlalu, Saraswati tampak tegak tercenung dengan kepala sedikit tengadah.
"Aku harus meyakinkan, apakah orang berjubah tadi orang lain atau Ayah!" Saraswati memandang sejurus ke tempat beradanya Pendekar 131 dan Gendeng Panuntun. Gadis ini menarik napas dalam. "Setelah dapat kuyakinkan, aku akan mencari Joko dan mengatakan terus terang..." Habis bergumam begitu, Saraswati balikkan tubuh dan pergi tinggalkan tempat itu.
********************
"Terima kasih..." ucap murid Pendeta Sinting begitu dapat bangkit duduk seraya pandangi Gendeng Panuntun.
"Kalau kau sampai terhantam pukulan begitu rupa, kurasa kau terlalu lengah. Dapat kau ceritakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Pendekar 131 tidak segera menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia edarkan pandangannya berkeliling. "Ke mana perginya gadis-gadis tadi?"
"Gadis-gadis tadi sudah pergi. Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" ujar Gendeng Panuntun sambil usap cermin bulatnya.
"Ternyata tindakan orang sulit ditebak. Mula-mula aku salah sangka, tapi setelah tahu yang dilakukan, aku mengira telah salah paham. Namun di sinilah justru akhirnya aku terjerumus! Aku merasa telah bersalah hingga aku lengah!" Joko hentikan ucapannya sejenak, seraya menatap tajam dia teruskan bicara. "Aku tak tahu harus bagaimana mempertanggungjawabkan kesalahan gara-gara menunjukkan kitab itu pada orang yang salah! Tentunya dunia persilatan akan mengutukku jika..."
"Penyesalan sudah tidak berguna, Anak Muda" tukas Gendeng Panuntun. "Sekarang kau harus cepat bertindak. Kalau tidak, bukan hanya dunia persilatan akan mengutukmu, namun rimba persilatan akan dilanda prahara besar!"
"Ah... Tak kusangka sebesar itu akibat yang akan terjadi!" keluh murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah. Sekarang ceritakan bagaimana kejadiannya!"
Joko arahkan pandangannya ke jurusan lain. Setelah agak lama terdiam dia lalu tuturkan ceritanya pada Gendeng Panuntun. Gendeng Panuntun mengeluh panjang begitu Joko mengakhiri ceritanya. Lalu berujar.
"Menarik kesimpulan dari ceritamu, aku menduga orang berjubah yang tiba-tiba menghantammu setelah kau berikan kitab dan mahkota, bukanlah Tengkorak Berdarah yang menghuni Istana Hantu..."
"Kek! Bagaimana kau bisa menduga begitu?! Aku tidak mungkin salah lihat! Pakaian yang dikenakan sama. Suaranya juga tidak beda!"
"Tidak beda belum tentu sama, Anak Muda. Di sinilah aku menduga jika ada dua orang berjubah abu-abu terusan yang sama-sama memaklumkan diri sebagai si Tengkorak Berdarah. Tapi aku yakin hanya salah satu di antara keduanya menjalankan peran. Sementara satunya lagi hanya mengambil untung! Dan kau orang yang sial. Karena begitu mendapat untung dari si Tengkorak Berdarah yang menjalankan peran, kau tertipu dengan Tengkorak Berdarah yang mengambil untung!"
"Ucapanmu mungkin saja benar. Tapi rasanya tidak mungkin penglihatanku keliru!"
Gendeng Panuntun mendehem. "Anak muda. Penglihatan adalah pangkal segala kesalahan. Jadi jangan menjaminkan penglihatan dalam urusan ini! Kau butuh penglihatan lain! Tentunya sambil menyelidik! Itulah tindakan yang harus segera kau lakukan sekarang! Kau harus berhati-hati. Kau menghadapi dua orang sama namun berbeda peran! Jangan sampai kau terjerumus lagi... Nak, aku harus pergi sekarang!"
Gendeng Panuntun bangkit berdiri. Lalu melangkah. Tapi dia lalu berhenti. Kepalanya tengadah. "Anak muda. Kalau mau turut ucapanku, dalam hari-hari mendatang ini, jangan kau jauh-jauh dari Istana Hantu. Aku punya firasat, ada sesuatu yang akan terjadi di sekitar tempat itu..."
"Kek! Apakah selama ini kau menyirap keberadaan Iblis Ompong dan saudara-saudaramu?"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Aku belum mengetahui di mana beradanya manusia-manusia itu. Tapi kurasa kejadian di sekitar Istana Hantu kelak akan juga berhubungan dengan mereka..."
Gendeng Panuntun teruskan langkah. Dia tampaknya melangkah pelan saja. Namun dalam sekejap, sosoknya telah berada di depan. Saat lain tubuhnya lenyap tidak kelihatan lagi. Murid Pendeta Sinting tidak beranjak dari tempatnya semula. Dia berusaha mengatur napas dan peredaran darahnya yang tadi sempat laksana terputus karena terhantam tendangan dan jotosan orang. Dia lalu memusatkan pikiran merenungi kata-kata Gendeng Panuntun. Anehnya yang muncul justru wajah Saraswati dan Puspa Ratri silih berganti.
"Raka Pradesa yang ternyata seorang gadis itu. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan padaku? Mengapa selama ini dia menyamar sebagai seorang pemuda? Lalu mengapa dia memintaku memberi maaf. Untuk siapa...? Kalau saja Puspa Ratri tidak muncul, tentu masalahnya jadi jelas..."
Pendekar 131 tengadahkan kepala. Saat itu ternyata gelap mulai membungkus hamparan bumi. Joko kembali menarik napas. "Puspa Ratri... Pasti gadis ini menaruh prasangka yang tidak-tidak padaku. Tapi apa boleh buat. Aku tidak mengetahui jika Raka Pradesa adalah seorang gadis! Kelak jika aku bertemu lagi, aku akan menjelaskan semuanya... Sekarang aku harus menyelidik ke Istana Hantu." Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. "Ah.... Mengapa aku tidak menanyakan perihal kitab bersampul kuning itu pada Gendeng Panuntun? Sialan. Gara-gara ikutnya beberapa gadis cantik, pikiranku jadi terpecah-pecah! Tapi dirangkul gadis cantik memang asyik. Seandainya aku sebelumnya tahu jika Raka Pradesa seorang gadis cantik. Hem..." murid Pendeta Sinting tersenyum sendiri lalu melangkah tinggalkan tempat yang telah sepi itu.
Melangkah sejarak lima belas tombak, mendadak terdengar suara duutt! duut! berulangkali. Lalu dalam gelapnya malam laksana hantu gentayangan, satu bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu di hadapan murid Pendeta Sinting tegak satu sosok tubuh dengan kaki di atas kepala di bawah!
********************
BAB 9
NENEK berjubah merah menyala itu berlari kencang laksana dikejar hantu. Dalam waktu sekejap sosoknya telah berada jauh dari tempatnya semula. Memasuki sebuah dataran yang berbatasan dengan satu aliran sungai dia memperlambat larinya. Pada satu tempat di atas aliran sungai si nenek hentikan larinya. Kepalanya yang berambut putih sebatas tengkuk bergerak ke samping kanan kiri. Sepasang matanya yang sipit dan berada dalam cekungan rongga amat besar tampak liar memperhatikan tempat di sekelilingnya.
"Sialan! Mana tempat yang dikatakan manusia buta itu? Jangan-jangan dia hanya membual! Awas. Jika dia mendustaiku akan kupuntir kepalanya! Hem... Kalau tidak karena masih hubungan saudara, aku tidak mau ikut-ikutan kebingungan cari urusan!"
Nenek ini terus edarkan pandangannya ke se antero tempat di mana dia berada. Mulutnya tampak komat-kamit. Ternyata pada mulut si nenek terlihat satu gumpalan tembakau hitam yang begitu si nenek komat-kamit, gumpalan tembakau itu kelihatan keluar masuk.
"Astaga!" Tiba-tiba si nenek tersenyum sendiri sambil goyang-goyangkan kepala. "Bukankah yang dikatakan adalah sebuah batu besar yang memisahkan aliran sungai? Sampai kiamat pun aku tidak akan menemukan tempat itu di sini! Aku harus menyusur sungai ini!"
Nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu mainkan gumpalan tembakau hitam putar diri. Saat lain sosoknya telah kembali berkelebat menyusuri aliran sungai. Tidak berapa lama, tepatnya pada sebuah batu besar yang memisahkan aliran sungai ke kanan dan kiri, si nenek berhenti.
"Pasti ini tempat itu..." desis si nenek dengan usap keringat yang membasahi wajah dan lehernya.
Untuk beberapa lama nenek berjubah merah ini tegak diam, sepasang matanya yang sipit mendelik tak berkesip perhatikan pada batu besar yang memisahkan aliran sungai. Kemudian terdengar dia bergumam.
"Batu itu batu biasa. Tak ada istimewanya! Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Menunggu seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun? Tapi sampai kapan? Tak puas hatiku jika hanya menunggu tak menyelidik!"
Si nenek perlahan melangkah. "Terpaksa aku harus berenang untuk sampai ke batu itu! Hem... gara-gara urusan saudara aku harus berbasah-basah! Tapi apa hendak dikata. Jika tidak terpaksa begini, tubuhku tidak akan tersentuh air. Hik Hik Hik...!"
Si nenek hentikan langkahnya dibagian atas aliran sungai. "Tapi daripada berbasah-basah, apa tidak lebih baik kutanggalkan saja pakaianku? Tapi jika tiba-tiba ada orang? Ah... Siapa mau lihat tubuh rongsokan begini? Kalaupun ada yang lihat, pasti dia akan segera ngacir sendiri. Hik Hik Hik...!"
Sambil terus cekikikan sendiri si nenek mulai hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun baru saja tangannya hendak tanggalkan jubah, mendadak aliran sungai di bawahnya berkecipak dan beriak. Si nenek jadi terkesiap sendiri. Sepasang matanya dipentangkan perhatikan air yang beriak.
"Mungkin ikan... Apa dikira aku bidadari?! Hingga ikan-ikan sama kegirangan? Hik Hik Hik..."
Si nenek teruskan niat hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun dia jadi terperangah sendiri ketika tiba-tiba terdengar orang tertawa terbahak. Meski tadi seolah akan acuh jika ada orang, tapi begitu benar-benar ada suara orang tertawa, tangan nenek ini cepat tutupkan kembali jubah merahnya. Suara tawa orang sekonyong-konyong lenyap. Kejap lain terdengar suara.
"Dunia makin lama makin edan. Sudah nenek- nenek masih juga ingin pamer tubuh! Ha Ha Ha...! Lumayan kalau cuma kering kerontang. Yang ini sudah kering kerontang ditambah tidak pernah tersentuh air. Ha Ha Ha...!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara, di atas permukaan air tampak sebuah cahaya memantul. Anehnya, permukaan air yang terkena pantulan tampak muncrat dan bergelombang deras!
"Busyet! Ini pasti pekerjaan orang buta itu!" Si nenek mengomel lalu secepat kilat kepalanya dipanglingkan ke samping. Sejarak sepuluh tombak, terlihat seorang kakek bertubuh gemuk melangkah perlahan ke arah si nenek.
Kakek besar ini mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang diikat dengan sebuah ikat pinggang besar yang pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Dari cermin inilah cahaya pantulan tadi berasal. Sebelum si kakek berpakaian hijau yang ternyata sepasang matanya berwarna putih dan bukan lain adalah Gendeng Panuntun sampai mendekat, si nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu mainkan gumpalan tembakau hitam dan tidak lain adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan gelar Ratu Malam telah menyambutnya dengan berujar keras.
"Kenapa kau ikut-ikutan menyusulku ke sini, heh?! Bukankah menurut tugas yang kita sepakati bersama, kau seharusnya berada di tempat lain?!"
"Keadaan berubah! Rencana semula jadi berantakan. Terpaksa kita harus menyusun rencana baru!"
"Berubah bagaimana?! Coba cepat katakan!" sahut Ratu Malam. Tak sabar si nenek melompat ke arah Gendeng Panuntun yang saat itu terus melangkah.
"Sabar. Beri waktu aku untuk bernapas dahulu..." ucap Gendeng Panuntun lalu hentikan langkah dua tindak di hadapan Ratu Malam yang kini memandangnya dengan tak sabar.
"Kita harus tinggalkan tempat ini. Sudah tak ada yang perlu ditunggu lagi di sini!" kata Gendeng Panuntun setelah beberapa saat terdiam.
"Kau ini bagaimana? Aku sudah susah-susah menemukan tempat ini. Begitu sudah kutemukan kau enak saja mengajak pergi!" ujar Ratu Malam dengan wajah memberengut.
Gendeng Panuntun tengadahkan kepala. Lalu tertawa terbahak-bahak. "Keadaan mengharuskan demikian. Apa boleh buat!"
"Kau belum jelaskan keadaan bagaimana yang berubah!" sahut Ratu Malam cepat dengan mata mendelik.
"Di tengah jalan tanpa sengaja aku berjumpa dengan Daeng Upas. Sialnya ternyata dia masih memendam dendam pada kita. Untung aku tidak melayani. Lebih sialnya lagi, tiba-tiba muncul orang yang selama ini memaklumkan diri sebagai Tengkorak Berdarah. Tanpa ada hujan dan angin rupanya dia juga menginginkan satu-satunya nyawaku. Tapi rupanya hidupku masih diperpanjang, karena ternyata Tengkorak Berdarah juga menginginkan kematian Daeng Upas. Ketika kedua orang itu saling adu mulut dan kemudian saling lepas pukulan, aku diam-diam menyelinap pergi."
"Daeng Upas. Hem..." Ratu Malam bergumam, lalu berkata. "Lalu bagaimana nasib perempuan itu?!"
"Aku tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan dia harus menerima nasib buruk! Sebenarnya dia sudah kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat itu sebelum munculnya Tengkorak Berdarah. Tapi kau tahu sendiri. Daeng Upas keras kepala."
"Lanjutkan keteranganmu!" kata Ratu Malam begitu Gendeng Panuntun terdiam sesaat.
"Di lain tempat, aku jumpa dengan anak sedeng itu."
"Anak sedeng siapa?!"
"Siapa lagi kalau bukan murid Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak! Anak itu besar sekali rejekinya..."
"Rejeki apa yang didapatnya?"
"Dia jadi rebutan gadis-gadis cantik! Gadis-gadis sekarang tak tahu malu ya...? Mau-maunya mereka adu otot gara-gara laki-laki."
Tampang Ratu Malam sesaat tampak cemberut. Mulutnya komat-kamit makin keras. "Tidak semua perempuan begitu! Hanya perempuan dungu yang mau-maunya berkelahi soal laki-laki!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar ucapan Ratu Malam. "Kau lupa. Kalau orang sudah dibakar rasa cinta, mana ada orang jadi pintar? Malah sebaliknya dia akan berubah jadi orang bodoh dan lucu. Apalagi..."
"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Kau akan tambah ngelantur kalau diladeni bicara soal cinta-cintaan! Sekarang teruskan ceritamu!"
"Hem... Selain mendapat rejeki besar, tampaknya anak itu ketiban sial... Menurut keterangannya, dia ternyata telah berhasil mendapatkan sebuah kitab dan sebuah mahkota setelah memasuki Istana Hantu!"
Raut wajah Ratu Malam berubah kaget. Tapi sebelum dia sempat buka mulut Gendeng Panuntun telah sambung ucapannya. "Sayangnya, dia lengah. Kitab serta mahkota itu diberikan pada orang yang selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah. Dia menduga Tengkorak Berdarah yang dihadapannya saat itu adalah orang yang sempat ditemuinya di dalam Istana Hantu! Bukan hanya itu, dia sempat terkena pukulan si Tengkorak Berdarah itu." Gendeng Panuntun menghela napas, lalu bergumam. "Padahal menurut dugaanku, rimba persilatan akan diguncang malapetaka besar jika sampai kitab itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab! Malah bisa kiamat"
Dahi keriput Ratu Malam semakin berkerut begitu mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Perempuan berambut putih sebatas tengkuk ini akhirnya berujar. "Apa menurutmu memang ada dua Tengkorak Berdarah?!"
"Aku sebelumnya menduga begitu. Tapi setelah mendengar keterangan anak sedeng itu, aku jadi yakin. Ada dua Tengkorak Berdarah. Hanya peran mereka satu sama lain berbeda. Di sinilah lalu timbul kekacauan!"
"Lalu bagaimana urusan Iblis Ompong, Dewa Sukma, serta Dewi Es?!"
"Anak sedeng itu tidak menemukan mereka. Itulah yang membuat kita harus tinggalkan tempat ini!"
"Lalu apa hubungannya?!"
"Hem... Tempat di batu itu kurasa adalah tempat yang masih berhubungan dengan Istana Hantu. Lalu mendengar cerita anak itu, ternyata benar. Kalau murid Pendeta Sinting itu tidak menemukan mereka di tempat itu, berarti percuma kita menunggu di sini!"
"Tapi kalau belum menyelidik sendiri hatiku tidak puas!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Ucapanmu menunjukkan kau masih berprasangka jelek terhadap penghuni Istana Hantu..."
"Kau telah dengar sendiri tentang kelakuan penghuni Istana Hantu! Sudah pada tempatnya jika kau curiga!"
"Sudah kukatakan tadi, aku yakin ada dua Tengkorak Berdarah. Satu di antara keduanya pasti ada yang punya peran ganda. Dia coba mengail di air keruh lalu mengambil untung daripadanya. Terbukti dia mengambil kitab dan mahkota! Kalau tidak, untuk apa dia membantu anak sedeng itu hingga dapat menemukan kitab dan mahkota!"
"Lalu ke mana gerangan lenyapnya manusia-manusia geblek itu?!"
"Untuk itulah aku mengajakmu pergi dari sini. Aku punya firasat akan terjadi sesuatu di sekitar Istana Hantu. Dan itu masih ada hubungannya dengan lenyapnya mereka!"
Ratu Malam perhatikan kakek bermata putih di hadapannya yang masih saudara seperguruannya itu. Mulutnya yang mainkan gumpalan tembakau hitam membuka hendak mengatakan sesuatu. Namun sebelum suaranya terdengar, Gendeng Panuntun sudah balikkan tubuh.
"Aku tahu tempat yang aman untuk mandi berbasah-basah tanpa khawatir diintip orang. Tapi kalau kau ingin pamer tubuh di sini, silakan saja! Asal kau tahu orang buta sepertiku ini saja sudah tidak ingin melihatnya! Apalagi orang yang melek. Ha Ha Ha...!"
Dengan terus tertawa bergelak Gendeng Panuntun melangkah. Ratu Malam pentangkan mata sambil menggerendeng panjang pendek. "Dasar orang buta. Bicaranya ngaco tak karuan. Sampai nungging seumur-umur pun mana orang buta bisa melihat!" ujar Ratu Malam sambil bantingkan kaki. Tapi saat lain dia tertawa cekikikan lalu berkelebat menyusul Gendeng Panuntun.
*******************?
BAB 10
KITA kembali dulu pada Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, begitu murid Pendeta Sinting hendak melangkah meninggalkan tempat di mana tadi terjadi pertengkaran antara Saraswati dan Puspa Ratri, mendadak terdengar suara duutt! Duuutt! beberapa kali. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak dihadapannya dengan kaki di atas kepala di bawah!
"Dewa Orok!" desis Pendekar 131 dengan mata terpentang besar. "Kemunculan orang ini pasti meneruskan urusan di sungai itu! Kalau benda yang diminta adalah salah satu benda yang berhasil dibawa kabur Tengkorak Berdarah, pasti suasana akan jadi tambah runyam!"
Baru saja Joko membatin begitu, orang di hadapannya yang bukan lain memang Dewa Orok adanya semburkan bundaran karet di mulutnya hingga mengapung di udara. Kejap lain dia telah membentak keras.
"Orang muda! Jangan kira dunia ini luas bila kau berani berkata dusta padaku!" Belum sampai ucapannya habis, Dewa Orok telah membuat gerakan sekali.
Wuuuttt!
Kini pemuda berwajah tampan bertangan buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di bawah. Tapi yang dibuat tumpuan tubuhnya adalah dua ibu jari kakinya! Begitu telah tegak, Dewa Orok sambung kata-katanya.
"Aku masih memberimu kesempatan. Lekas serahkan benda itu padaku! Jika tidak, kau tak akan bisa mengelak dari kenyataan buruk! Ingat. Jangan banyak berdalih!"
Sesaat murid Pendeta Sinting tampak berubah tegang. Ketika dia sudah dapat kuasai diri, bibirnya tersenyum. Lalu berkata. "Dewa Orok. Kau terus menerus minta benda dariku. Harap katakan benda apa sebenarnya yang kau minta?!"
Sepasang mata Dewa Orok menyipit membelalak. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya dia berkata. "Aku minta mahkota bersusun tiga berwarna kuning yang pasti sudah kau ambil dari tempat dalam tanah itu!"
"Ah...!" Murid Pendeta Sinting mengeluh. "Rupanya aku kemarin salah sangka. Dia bukan menginginkan kitab itu! Tapi sekarang terlambat. Mahkota yang dimintanya pun sudah lenyap!"
"Dewa Orok! Harap kau mau mendengar kata-kataku dahulu..."
Dewa Orok segera gelengkan kepalanya. "Sudah kubilang. Jangan banyak berdalih!"
"Aku tidak berdalih. Ini kenyataan!"
"Kalau tidak berdalih, kau tak usah bicara. Keluarkan mahkota itu lalu serahkan padaku!"
"Mahkota itu memang kutemukan. Namun sekarang dibawa kabur orang!"
Mendadak Dewa Orok tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan murid Pendeta Sinting hingga tumitnya yang berjingkat tampak turun naik menyentuh tanah. "Jangan mimpi bisa membohongiku untuk kedua kalinya, Orang Muda! Kau tahu bukan, sekali orang ketahuan berdusta, selamanya tidak akan dipercaya orang!"
"Terserah kau mau bilang bagaimana. Yang jelas mahkota itu memang telah dibawa kabur orang dengan cara licik!"
"Aku tak mau tahu urusan itu. Itu urusanmu! Yang jelas, kau membawa mahkota milik nenek moyangku itu! Aku berhak minta darimu!"
"Kalau kau tetap memaksa, apa hendak dikata. Sekarang apa maumu?" ujar Pendekar 131 setelah berpikir tak ada gunanya memberi keterangan lebih jauh.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, dahi Dewa Orok berkerut. Sepasang matanya pandangi si pemuda lama tak berkesip. "Hem... Ucapannya seperti orang pasrah. Apa kali ini dia benar-benar tidak mendustaiku?"
"Orang muda! Katakan padaku bagaimana kejadian sebenarnya!"
Sebenarnya Joko tidak mau turuti permintaan Dewa Orok. Tapi merasa dia juga salah, apalagi dilihatnya Dewa Orok agak melunak, akhirnya Joko menceritakan bagaimana sampai mahkota itu bisa dibawa kabur Tengkorak Berdarah. Namun Joko sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga menemukan kitab bersampul kuning. Karena Dewa Orok pun tidak pernah menyebut-nyebut soal kitab.
"Orang muda! Aku tanya sekali lagi. Apa ceritamu tadi tidak mengada-ada?" kata Dewa Orok setelah mendengar cerita murid Pendeta Sinting.
"Aku tidak menginginkan mahkota itu. Jadi tak ada untungnya aku mengarang cerita!"
"Hem... Lalu mengapa saat di atas sungai itu kau berkata dusta? Jika saat itu kau berkata jujur, tidak akan urusan jadi begini rupa!"
"Aku baru saja mengenalmu! Aku harus berhati-hati! Kau tahu sendiri, belum sampai lama tiba-tiba muncul perempuan tua itu! Dia juga minta sesuatu dariku!" Yang dimaksud Joko tidak lain adalah Daeng Upas.
Dewa Orok anggukkan kepalanya perlahan. Tapi wajah pemuda bertangan buntung ini tampak berubah cemas. Dia lalu mendongak tanpa berkata apa-apa.
"Kalau boleh tahu, bagaimana kau bisa mengatakan mahkota itu milik nenek moyangmu?" tanya Joko setelah di antara keduanya tidak ada yang buka mulut lagi.
Dewa Orok gerakkan kepalanya lurus ke arah Pendekar 131. Lalu pemuda ini mulai angkat bicara. "Menurut orang yang mengangkatku sebagai murid, aku sebenarnya masih keturunan raja-raja Singasari. Pada beberapa ratus tahun silam, terjadi satu peristiwa yang sempat menggegerkan kerajaan. Sang permaisuri raja yang saat itu memerintah dikabarkan punya anak hasil hubungan gelap dengan orang lain. Sang permaisuri akhirnya meninggalkan istana dan terakhir dikabarkan bunuh diri. Aku adalah masih keturunan permaisuri itu dari seorang anak perempuannya!"
"Menyedihkan sekali ceritamu. Lalu bagaimana anak hasil hubungan gelap itu?" tanya Joko.
"Dia dibawa pergi oleh seorang abdi istana. Tapi sebelum itu ternyata si permaisuri telah memberikan mahkota bersusun tiga yang sempat dibawanya kepada si abdi agar kelak diberikan pada anak hasil hubungan gelapnya. Dia juga berpesan, jika sang anak besar dan ingin menduduki istana, dia terlebih dahulu diharuskan merebut dua kitab pusaka kerajaan! Begitu besar sang anak turuti pesan sang permaisuri. Namun anak ini mengalami kegagalan merebut dua kitab pusaka. Setelah itu kabar beritanya tidak terdengar lagi hingga akhirnya muncul satu kejadian besar. Seorang gadis cantik berhasil menerobos istana tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Gadis itu dikabarkan membekal juga mahkota bersusun tiga yang berarti gadis ini ada hubungan dekat dengan anak sang permaisuri. Namun si gadis akhirnya harus menerima karma. Dia terjerumus masuk dalam lobang rahasia istana tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Hanya sayang, bersamaan dengan itu dua kitab pusaka kerajaan lenyap tak tentu rimbanya! Ada sebagian orang mengatakan kitab itu berhasil dibawa masuk si gadis, tapi sebagian orang mengatakan kitab itu dibawa lari orang lain."
Pendekar 131 perhatikan wajah Dewa Orok. Tiba-tiba hatinya berdebar "Jangan-jangan kitab itu adalah kitab yang kutemukan di dalam tempat itu..." katanya dalam hati. Lalu dia bertanya dengan alihkan pandangan pada jurusan lain.
"Kau tahu nama dan ciri-ciri kitab itu?"
"Dua kitab itu satu bersampul biru satunya lagi bersampul kuning..."
Murid Pendeta Sinting terkesiap. Belum lenyap rasa kejutnya Dewa Orok telah lanjutkan keterangannya. "Yang bersampul biru bernama Kitab Serat Biru sedang yang bersampul kuning bernama Kitab Sundrik Cakra."
Murid Pendeta Sinting tak dapat lagi menahan rasa kaget. Kakinya tersurut sampai dua tindak. Sepasang matanya mementang memandang ke arah Dewa Orok.
"Kau tampak tersentak kaget. Ada apa? Kau menemukan juga kitab itu?!"
Mungkin karena khawatir Dewa Orok akan juga meminta kitab itu, Joko gelengkan kepala. Dewa Orok tertawa pelan. "Orang muda. Kau tak usah khawatir. Urusanku adalah mahkota, bukan kitab! Hanya kau harus berhati-hati jika benar telah mendapat kitab itu!"
"Bagaimana ini? Apa sebaiknya kukatakan saja juga padanya tentang kitab itu?" Joko berpikir sesaat. Lalu berkata. "Sebenarnya aku memang telah menemukan kitab yang bersampul kuning. Hanya karena ketololanku, kitab itu akhirnya dibawa kabur juga bersama mahkota!"
Dewa Orok menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng. "Mungkin kau tidak berjodoh dengan kitab itu! Hanya saja orang yang membawa kabur itu belum bisa bernapas lega..."
"Maksudmu...?!"
"Kalau benar yang dibawa kabur kitab yang bersampul kuning, maka terlebih dahulu dia harus mendapatkan kitab yang bersampul biru yang bernama Kitab Serat Biru. Tanpa mendapatkan Kitab Serat Biru, kitab bersampul kuning tidak bisa dibuka! Kitab bersampul kuning adalah kitab kedua. Sedang yang bersampul biru adalah kitab pertama!"
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting mengeluh. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati. "Kitab kedua yang kucari sebenarnya sudah di tangan, tapi mungkin masih belum saatnya..."
"Orang muda. Aku harus segera pergi. Tapi aku perlu meyakinkan sekali lagi. Apa betul semua yang kau ceritakan tadi?!"
"Kali ini aku tidak berdusta. Dan..." Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia tampak bimbang.
"Dan apa...?!" tanya Dewa Orok. "Jangan kau menggantung ucapan. Aku perlu kepastian!"
"Kalau kau mau kuberi tahu, kau jangan berada jauh dari sekitar Istana Hantu hari-hari ini. Aku menangkap isyarat bahwa orang yang sama-sama kita cari akan berada di sekitar tempat itu!"
"Hem... Bagaimana kau bisa berkata begitu? Kulihat kau bukan ahli ramal!"
"Aku memang bukan tukang ramal. Tapi yang mengatakan ini adalah sahabatku Gendeng Panuntun!"
"Ah. Tokoh sakti yang punya ilmu hebat itu. Hem... Aku pernah dengar namanya juga kehebatannya. Jika dia yang mengatakan begitu, tentu aku akan turuti ucapannya. Tapi sebelum itu aku juga perlu menyelidik dahulu!"
"Lalu bagaimana kabar nenek cantik itu?!" tanya murid Pendeta Sinting.
Dewa Orok menggeleng. "Setelah aku dan dia mandi bersama, dia tak sabar dan sepertinya langsung mengejarmu!"
"Walah. Kau tampaknya ketiban rejeki juga. Bisa mandi bersama-sama nenek cantik..."
"Inilah nasib jelek orang sepertiku. Orang bisa saja mengatakan rejeki. Tapi apalah arti satu rejeki jika tak memiliki tangan? Apakah aku harus meraba dengan kaki? Jadi, rejeki menurut orang namun malapetaka bagiku. Karena aku hanya bisa memandang tanpa dapat pegang-pegang! Ha Ha Ha...!"
"Ah. Seharusnya nenek itu tahu. Jadi dialah yang seharusnya pegang-pegang milikmu! Kau tinggal kerdap-kerdipkan mata! Ha Ha Ha...!" Joko ikut-ikutan tertawa.
Tempat itu sesaat dibuncah dengan suara bergelak bersahutan. Namun tiba-tiba Dewa Orok putuskan tawanya. Mulutnya menyedot. Bundaran karet yang mengapung di depan wajahnya tertarik ke belakang lalu masuk ke mulutnya. Bersamaan dengan itu dia melejit ke udara. Di atas udara membuat gerakan jungkir balik. Lalu melompat-lompat dengan kaki di atas dan kepala di bawah!
"Dasar kerabatnya Dewa... Meski namanya Orok tapi sudah tahu nenek cantik!" ujar Joko seraya terus tertawa lalu berkelebat mengambil jurusan berlawanan dengan Dewa Orok.
********************
BAB 11
DUA bayangan hitam berkelebat laksana angin menyeruak pekatnya kabut pagi hari. Sesaat kemudian perlahan-lahan suasana berubah. Lingkaran kabut sirna dan keadaan menjadi terang. Seiring dengan itu sang mentari unjuk diri dari bentangan kaki langit di sebelah timur. Pada satu tempat, mendadak bayangan hitam sebelah kanan cekal tangan bayangan di sebelah kiri. Kedua bayangan ini serta-merta hentikan lari masing-masing. Mereka tegak dengan kepala lurus memandang ke depan.
Bayangan hitam sebelah kanan ternyata adalah seorang kakek bermuka pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya besar melotot. Kakek ini mengenakan jubah hitam besar dan panjang. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya.
Sementara bayangan hitam di sebelah sang kakek adalah seorang perempuan berambut pirang yang tidak bisa dikenali raut wajahnya. Wajah orang ini ditutup dengan kain cadar berwarna hitam hanya menyisakan lobang pada kedua matanya. Perempuan bercadar ini memakai jubah berwarna hitam sepanjang lutut. Kedua tangannya juga dibungkus dengan kulit berwarna hitam dan tampak merangkap di depan dada. Kedua orang ini bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Durga Ratih alias Dewi Siluman.
Untuk beberapa lama Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tegak dengan mulut terkancing tak ada yang perdengarkan suara. Hanya sepasang mata keduanya memandang tak berkesip. Malah Dewi Siluman sejenak kemudian pentangkan matanya makin besar. Wajah di balik cadar hitamnya berubah. Tengkuknya menjadi dingin.
Sejarak dua belas langkah dari kedua orang ini tampak satu sosok tubuh seorang perempuan tergeletak di atas tanah. Perempuan ini belum jelas benar karena posisinya telungkup. Sementara pakaian yang dikenakan tampak hangus serta tak karuan. Sosok inilah rupanya yang membuat Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tampak tersentak kaget hingga tak ada yang buka mulut.
"Ki Buyut..." kesunyian dipecah oleh suara Dewi Siluman. "Apa yang ada dalam benakmu?!"
Kakek bermuka pucat menyahut tanpa berpaling. "Rasanya dugaan kita sama. Tapi kita belum melihat dengan teliti untuk mengenalinya!"
"Dari bentuk serta pakaiannya, meski sudah compang-camping tidak karuan, agaknya aku hampir yakin!" gumam Dewi Siluman. Tubuh perempuan bercadar hitam ini bergetar. Tengkuknya makin merinding.
"Keyakinan tak cukup selain dibuktikan dengan mata kepala sendiri, Dewi!" Ucapan Ki Buyut Pagar Alam belum selesai, laksana elang Dewi Siluman telah berkelebat ke depan.
Ki Buyut Pagar Alam segera menyusul. Begitu Dewi Siluman tegak di samping sosok perempuan yang tergeletak tak bergerak, sepasang matanya mendelik besar. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan kulit gemetar. Ki Buyut Pagar Alam yang telah tegak di samping Dewi Siluman tak kalah kagetnya. Namun kakek ini cepat dapat kuasai diri dan segera berkata.
"Buktikan dahulu, Dewi!"
Dengan lutut gemetar, Dewi Siluman perlahan-lahan jongkok. Kedua tangannya pegang bahu orang yang tergeletak menelungkup. Lalu tangannya bergerak membalik tubuh orang. Laksana disengat, sosok Dewi Siluman langsung terlonjak dengan mulut keluarkan jeritan keras. Pada saat bersamaan, Ki Buyut Pagar Alam terhenyak dengan tampang memucat dan matanya membeliak.
"Daeng Upas!" desis Ki Buyut Pagar Alam dengan suara laksana orang dicekik.
Perempuan yang menggeletak dan kini telentang itu ternyata seorang perempuan berusia agak lanjut. Pakaiannya terbuat dari sutera. Tidak jauh dari tempatnya menggeletak tampak sebuah bambu berwarna kuning. Dari ciri-ciri orang cukup membuat Ki Buyut Pagar Alam yakin jika perempuan yang telah jadi mayat itu adalah Daeng Upas, kakak kandung serta ibu Dewi Siluman.
Tiba-tiba Dewi Siluman menghambur kembali ke depan. Tubuhnya langsung direbahkan ke atas sosok perempuan yang tidak lain memang Daeng Upas. Tangan sang Dewi mengguncang-guncang sosok ibunya. Bersamaan itu terdengar ledakan tangisnya. Sedang Ki Buyut Pagar Alam menghela napas dalam sambil usap-usap wajahnya.
"Dewi..." bisik Ki Buyut Pagar Alam setelah beberapa saat berlalu seraya pegang pundak Dewi Siluman dan perlahan-lahan ditarik dari atas tubuh Daeng Upas. "Kita harus segera mengurus jenazahnya..."
Dewi Siluman tepiskan tangan Ki Buyut Pagar Alam. Lalu berteriak keras. "Jahanam siapa yang punya ulah ini?! Siapa? Siapa?!"
"Itu akan segera kita selidiki, Dewi..." sahut Ki Buyut dengan suara tetap pelan dan bergetar.
Dewi Siluman angkat tubuhnya dari atas tubuh Daeng Upas yang telah kaku. Sepasang mata perempuan bercadar ini sembab. Air matanya terus mengalir. Kedua tangannya yang bersarung tangan mengusap-usap wajah Daeng Upas.
"Semua telah terjadi. Percuma kita tangisi nasib! Tidak akan menyelesaikan masalah..."
Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Mulut di balik cadar perempuan ini hendak mendamprat. Tapi setelah dipikir-pikir ucapan si kakek benar juga, perlahan-lahan Dewi Siluman arahkan kembali wajahnya pada Daeng Upas.
"Aku bersumpah akan menguliti tubuh manusia jahanam yang membunuh Ibu!"
"Itu akan segera kita lakukan! Sekarang kita harus mengurusnya dahulu!" sahut Ki Buyut Pagar Alam lalu jongkok.
Tubuh Daeng Upas perlahan-lahan diangkat lalu dibawa melangkah. Dewi Siluman hanya memandang. Tak lama kemudian dia mengambil bambu kecil berwarna kuning yang tadi tergeletak di samping sosok Daeng Upas. Lalu bangkit dan menyusul Ki Buyut Pagar Alam.
*********************
Dewi Siluman dan Ki Buyut duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah tempat dikuburnya Daeng Upas. Dewi Siluman masih terisak. Sedang Ki Buyut tundukkan kepala.
"Ibu, aku akan membalas manusia jahanam yang membuatmu begini!" isak Dewi Siluman.
Ki Buyut Pagar Alam bangkit berdiri. Memandang pada gundukan tanah merah lalu beralih pada Dewi siluman sambil berujar. "Dewi... Kita tinggalkan tempat ini!"
Dewi Siluman seka air matanya. Lalu perlahan-lahan bangkit. Setelah menarik napas dalam dia balikkan tubuh melangkah menyusul Ki Buyut yang telah melangkah pelan mendahului.
"Buyut! Kau bisa menduga siapa manusia jahanam penyebab kematian Ibu?!" tanya Dewi Siluman setelah dekat dengan Ki Buyut.
"Ada beberapa orang. Mereka selama ini punya masalah dengan ibumu! Namun kita masih perlu menyelidiki agar kita tidak buang-buang tenaga percuma. Apalagi kini rimba persilatan sedang dilanda kemelut. Jika kita tidak teliti, kita akan salah turunkan tangan!"
"Katakan siapa kira-kira jahanam itu!"
"Hem... Orang pertama adalah Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya. Ibumu kuketahui sejak lama memendam dendam pada mereka. Merekalah yang membuat hidup ibumu merana. Orang kedua adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Kau tahu, rahasia Kitab Serat Biru sebenarnya harus jatuh ke tangan ibumu. Namun karena ulah Gendeng Panuntun dan saudarasaudaranya, Kitab Serat Biru akhirnya dimiliki pemuda itu. Bukan tak mungkin pemuda itu lalu menyingkirkan ibumu karena tahu masalahnya dari Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya! Orang ketiga adalah penghuni Istana Hantu yang dikenal dengan Tengkorak Berdarah. Tokoh misterius inilah yang selama ini dikabarkan orang dalang di belakang terbunuhnya beberapa tokoh rimba persilatan! Tapi siapa pun pembunuh itu yang jelas kepandaiannya tidak berada di bawah ibumu! Dari sini kita harus berhati-hati!"
"Peduli setan dengan kepandaian orang! Aku akan menuntut balas!" menyahut Dewi Siluman dengan setengah berteriak.
Ki Buyut menggelengkan kepala. "Kau tidak boleh gegabah, Dewi! Itu akan mendatangkan celaka! Dalam urusan ini kita dituntut untuk bertindak hati-hati bahkan kalau perlu harus berlaku licik!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut Pagar Alam. Agak lama baru dia perdengarkan suara lagi. "Ki Buyut. Apa yang kau ketahui tentang Tengkorak Berdarah?"
"Bukan hanya aku, tapi mungkin semua orang masih diliputi teka-teki tentang tokoh satu itu! Apa gerangan di balik perbuatannya selama ini! Tapi bagiku orang itu punya tujuan tertentu!"
"Kau bisa menebak apa tujuannya?!"
Ki Buyut Pagar Alam menggeleng. "Sulit meraba apa tujuannya. Hanya yang bisa kutangkap, dia seolah ingin mengundang munculnya beberapa orang! Kau tahu sendiri. Kini banyak tokoh yang muncul. Salah satunya adalah pemuda aneh bertangan buntung yang sempat bentrok dengan ibumu..."
"Ah... Jangan-jangan pemuda itu yang membunuh Ibu! Bukankah dia pernah punya urusan juga dengan Ibu?!" gumam Dewi Siluman.
"Itu mungkin saja. Tapi ibumu tampaknya belum mengenal pemuda itu. Jadi kemungkinannya jauh sekali..."
"Aku jadi bingung! Sekarang yang mana harus kita cari dahulu?!"
"Kita tak dapat mendahulukan yang mana. Ketiga orang yang kukatakan sama pentingnya. Siapa yang kita temui dahulu di antara ketiganya, dialah yang kita selesaikan dahulu!"
"Lalu ke mana..." Dewi Siluman putuskan ucapannya.
Saat itu mendadak terdengar satu seruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang angin luar biasa keras menggebrak ganas ke arah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam. Ki Buyut Pagar Alam dorong sosok Dewi Siluman hingga tersurut tiga langkah ke samping. Si kakek sendiri melompat dua langkah. Gelombang angin lewat di tengah antara sosok sang Dewi dan Ki Buyut Pagar Alam melabrak tempat kosong.
Hampir berbarengan, kepala Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berpaling ke arah asal datangnya gelombang angin yang jelas-jelas hendak mencelakai keduanya. Rahang di balik cadar sang Dewi mengembung. Sepasang matanya berkilat. Di sebelah sampingnya Ki Buyut Pagar Alam kernyitkan kening dengan mulut komat-kamit. Sepasang matanya yang melotot besar mementang tak berkesip memandang ke depan.
Kurang lebih sepuluh tombak dari tempat masingmasing, Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam melihat seorang yang sekujur tubuhnya dibungkus dengan jubah terusan warna abu-abu yang pada bagian dadanya ada lukisan tengkorak. Ki Buyut Pagar Alam segera melompat ke arah Dewi Siluman. Sang Dewi berkata.
"Ki Buyut. Siapa adanya manusia ini?! Kenapa tiba-tiba menyerang kita?!"
"Aku baru kali ini bertemu dengannya! Aku akan ajukan tanya!"
Dewi Siluman mendengus. "Untuk membunuh orang yang jelas hendak mencelakai kita apa pentingnya tahu siapa dia?!"
"Dewi... Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita harus bisa menghemat tenaga dan mengambil untung sebisanya!"
"Apa maksudmu, Ki Buyut?!"
Ki Buyut Pagar Alam tidak menjawab pertanyaan Dewi Siluman. Sebaliknya kakek ini maju satu tindak. Lalu berkata. "Rasanya kita baru jumpa sekali ini. Harap sebutkan diri agar tidak terjadi silang sengketa tanpa urusan yang jelas!"
Orang berjubah abu-abu terusan yang tidak lain adalah orang yang selama ini perkenalkan diri dengan Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Tapi mendadak tawanya diputus. Saat lain dia berucap.
"Ucapanmu benar. Kita baru kali ini berjumpa, Tua Bangka! Tapi aku tahu siapa adanya kalian berdua! Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu, namun mungkin kau dan perempuan bercadar itu tak punya waktu lagi! Kedua tanganku akan mengirim kalian menyusul si kampret Daeng Upas sebelum kalian mendengar jawabanku!"
Baik Dewi Siluman maupun Ki Buyut Pagar Alam terkesiap kaget. Dewi Siluman segera angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan. Dia telah menduga bahwa orang di hadapannya masih ada sangkut paut dengan terbunuhnya Daeng Upas.
"Tahan, Dewi!" seru Ki Buyut Pagar Alam. "Jangan sampai kita dikecoh orang! Bukan tak mungkin dia hanya mengaku-aku agar orang sebenarnya yang membunuh ibumu bisa leluasa tak dicurigai!"
"Manusia jahanam ini telah mengaku sendiri. Untuk apa berpanjang lebar?!" sahut Dewi Siluman dengan kedua tangan masih terangkat. Tapi dia batalkan untuk lepaskan pukulan.
Ki Buyut Pagar Alam menoleh pada Dewi Siluman. Tapi kakek ini tidak berkata apa-apa. Kejap lain Ki Buyut memandang ke arah Tengkorak Berdarah lalu berkata. "Kau bilang tahu siapa kami berdua. Coba katakan siapa adanya kami!" pancing Ki Buyut. Kakek ini berlaku cerdik. Dia tidak ingin saja mempercayai ucapan orang. Dia maklum, dalam situasi kemelut seperti saat ini, sulit membedakan mana lawan mana kawan. Tak jarang orang yang dianggap kawan menghantam dari belakang dan sebaliknya.
"Kau dengar ucapanku! Kalian tak mungkin punya kesempatan mendengar jawabanku!"
Mendengar kata-kata orang berjubah abu-abu terusan, Dewi Siluman yang tidak sabaran dan sedari tadi sudah geram segera sentakkan kedua tangannya mendahului gerakan Tengkorak Berdarah.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang kabut hitam melesat dan melabrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah! Anak perempuan Daeng Upas telah lepaskan pukulan andalan 'Kabut Neraka'.
BAB 12
KI Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Kakek ini mulai geram begitu mendengar jawaban Tengkorak Berdarah. Hingga Dewi Siluman kirimkan pukulan, dari arah lain dia lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat. Jelas jika keduanya ingin cepat selesaikan Tengkorak Berdarah. Meski sejenak tampak tersentak dengan bergeraknya kepala di balik jubah abu-abu terusan tengadah, saat lain orang ini terdengar mendengus keras. Tangan kiri kanan segera bergerak menyentak.
Wuuutt! Wuuutt!
Terdengar suara gelombang angin berkelebat angker. Sesaat kemudian satu ledakan dahsyat mengguncang tempat itu. Sosok Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam terlihat bergoyang-goyang. Lalu sama tersapu hingga kedua orang ini mundur empat langkah. Dewi Siluman hampir saja terhuyung jatuh jika tidak imbangi diri dengan sentakkan kedua bahunya. Sedangkan Ki Buyut Pagar Alam tampak tetap tegak meski sesaat tadi tampak tersapu.
Di sebelah depan, Tengkorak Berdarah tergontaigontai lalu tersurut tiga langkah. Kedua tangannya bergetar. Kepala di balik jubah terusannya bergerak bergantian menghadap Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
"Tua bangka itu tenaganya lebih tinggi. Hem... Dia harus kuhabisi dahulu!" gumam Tengkorak Berdarah. Tanpa tunggu lebih lama dia langsung melompat. Dari jarak delapan langkah tangan kanannya menyentak lepaskan pukulan ke arah Dewi Siluman. Kejap lain sosoknya melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kini kedua tangannya segera bergerak menghantam ke arah kepala si kakek!
Wajah di balik cadar Dewi Siluman menyeringai. Perempuan berambut pirang ini tertawa pelan melihat datangnya serangan. Hal ini bisa dimaklumi karena saat itu Tengkorak Berdarah sengaja lepaskan pukulan hanya dengan seperempat tenaga dalamnya, hingga Dewi Siluman tampak meremehkan. Dewi Siluman tidak tahu, jika serangan yang kini mengarah padanya hanya untuk membagi perhatian Ki Buyut Pagar Alam.
Tipuan Tengkorak Berdarah tidak meleset. Ki Buyut Pagar Alam ikut-ikutan lepaskan pukulan saat Dewi Siluman hendak memangkas pukulan lawan. Kakek ini dapat merasa jika Dewi Siluman sendiri sudah bisa mengatasi. Justru dia terlihat ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan sang Dewi. Namun begitu melihat lawan terus berkelebat ke arahnya dan langsung kirimkan pukulan ke arah kepalanya, kakek ini sejurus tampak terkesiap kaget. Ki Buyut Pagar Alam silangkan dua tangannya di atas kepala untuk menangkis serangan lawan. Namun bersamaan dengan terangkatnya kedua tangan untuk melindungi kepala, kaki kanannya bergerak berkelebat susupkan tendangan!
Sosok Tengkorak Berdarah yang sedang lancarkan pukulan ke arah kepala si kakek tak mau bertindak ayal. Jelas jika dia teruskan menghantam kepala lawan, maka sebelum kedua tangannya sempat membuat pecah kepala si kakek, niscaya tendangan orang tua itu akan menyambutnya terlebih dahulu. Memikir sampai di situ, Tengkorak Berdarah cepat tarik pulang kedua tangannya.
Saat lain kaki kanan di balik jubah abu-abunya mencuat lepaskan tendangan. Lalu kedua tangannya yang kini ditarik kembali dihantamkan lewat bawah mengarah pada selangkangan si kakek yang kosong karena kaki kanannya sedang kirimkan tendangan. Ki Buyut tidak tinggal diam. Kedua tangannya yang menyilang di atas kepala cepat pula disentakkan ke bawah memangkas kedua tangan lawan yang hendak membongkar selangkangannya.
Bukkk! Bukkk!
Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras berulangkali ketika secara berbarengan dua tendangan dan dua pasang tangan bertemu. Sosok Tengkorak Berdarah mental balik melayang ke belakang. Namun setengah jalan orang ini membuat gerakan jungkir balik lalu melayang turun. Orang ini seakan baru saja menghantam dinding kokoh, hingga saat sepasang kaki di balik jubahnya menginjak tanah, jelas terlihat sosok orang ini terhuyung-huyung. Sepasang kakinya bergetar hebat dan goyah.
Di seberang, karena saat terjadi benturan Ki Buyut Pagar Alam tegak bertumpu pada kaki kirinya maka tak ampun lagi sosoknya terjengkang roboh di atas tanah dengan wajah makin pucat. Tapi tiba-tiba kakek ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya segera bangkit. Dan saat sekilas memandang terlihat lawan terhuyung-huyung, orang tua ini tidak sia-siakan kesempatan. Laksana terbang dia melesat ke arah Tengkorak Berdarah. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya, lalu kirimkan gebrakan ke arah kepala lawan dari samping kanan kiri!
Tengkorak Berdarah tidak membuat gerakan menghindar atau menangkis. Rupanya orang ini telah memperhitungkan sesuatu. Sementara melihat lawan tidak coba menghindar atau menangkis, membuat Ki Buyut Pagar Alam makin bernafsu. Dia teruskan gebrakan kedua tangannya dari arah samping kanan kiri kepala Tengkorak Berdarah tanpa perhitungan apa-apa lagi. Malah dia lupa jika tidak mungkin lawan akan begitu saja menyerah diam bila sebelumnya tidak memperhitungkan.
Ketika sejengkal lagi kepala di balik jubah abu-abu rengkah terhantam kedua tangan sang kakek, dengan gerakan luar biasa cepat Tengkorak Berdarah rundukkan kepalanya. Pada saat bersamaan dia jatuhkan diri berguling di atas tanah. Kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam menggebrak udara kosong. Saat itulah sepasang kaki Tengkorak Berdarah lepaskan satu tendangan bersamaan ke arah perut. Begitu cepatnya gerak tendangan itu, hingga tak ada kesempatan lagi bagi Ki Buyut Pagar Alam untuk lakukan gerakan menghindar. Orang tua ini akhirnya hanya bisa berteriak.
Bukkk! Bukkk!
Sosok Ki Buyut Pagar Alam mencelat sampai tiga tombak dan jatuh bergedebukan dengan mulut semburkan darah. Mukanya yang pucat makin tampak tak berdarah. Dadanya bergerak cepat turun naik tak karuan. Dewi Siluman tegak di atas tanah dengan rahang di balik cadarnya menggertak. Dia kini merasa tertipu dengan pukulan lawan yang tadi diarahkan padanya.
"Jahanam!" teriak anak perempuan Daeng Upas ini seraya melompat. Namun sebelum tubuhnya berkelebat, Tengkorak Berdarah yang masih di atas tanah segera bangkit. Kejap lain sosoknya melesat ke depan. Dewi Siluman yang menduga lawan hendak berkelebat ke arahnya segera angkat kedua tangannya. Namun kali ini kembali perempuan bercadar ini tertipu. Tengkorak Berdarah melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam!
Dewi Siluman berteriak marah. Tapi perempuan berambut pirang ini urungkan niat untuk berkelebat karena di seberang sana Tengkorak Berdarah telah jambak rambut Ki Buyut Pagar Alam lalu ditariknya ke atas hingga sosok Ki Buyut Pagar Alam yang tadinya telentang terangkat.
"Apa yang hendak kau lakukan, Jahanam?!" teriak Dewi Siluman gusar.
Tengkorak Berdarah berpaling ke arah Dewi Siluman dengan tangan kanan masih menjambak rambut Ki Buyut Pagar Alam. "Aku tak ingin melihat kalian mati enak! Kau dengar, Perempuan! Ibumu adalah salah satu manusia yang pernah andil membuat hidupku berantakan! Setelah ibumu tewas, aku tak ingin ada keturunan atau kerabatnya yang hidup!"
Ki Buyut Pagar Alam buka kelopak matanya. Dia melirik sebentar ke arah Tengkorak Berdarah yang tegak di sampingnya. Orang tua ini kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Namun dia tersentak kaget. Aliran darahnya serasa terbalik dan kedua tangannya laksana lumpuh. Malah saat itu juga mulutnya mengembung dan perutnya mual. Saat lain orang tua ini tersedak. Lalu darah kehitaman menyembur keluar dari mulutnya.
Tengkorak Berdarah tertawa pendek. "Jangan bermimpi hendak membokongku, Tua Bangka!" bentaknya seraya tarik rambut Ki Buyut Pagar Alam hingga orang tua itu meringis kesakitan.
Mengetahui dirinya tak berdaya, Ki Buyut Pagar Alam terlihat kerdipkan sepasang matanya memberi isyarat pada Dewi Siluman seraya gerakkan tangan kanannya. Melihat isyarat yang diberikan Ki Buyut Pagar Alam, Dewi Siluman tampak tengadah.
"Tak mungkin aku meninggalkan dia!"
Mendapati Dewi Siluman tidak menuruti isyaratnya yang memberitahukan agar Dewi Siluman tinggalkan tempat itu, si kakek sedikit pelototkan sepasang matanya lalu gerakkan tangan kanannya ulangi isyarat. Habis memberi isyarat begitu, Ki Buyut Pagar Alam kembali coba kerahkan tenaga dalamnya. Dia menarik napas lega. Tenaga dalamnya dapat disalurkan meski dengan susah payah.
Tengkorak Berdarah gerakkan kepalanya ke bawah. Diam-diam orang ini berkata dalam hati. "Hem... Tua bangka ini luar biasa. Kukira dia sudah tak mampu salurkan tenaga dalam. Kalau tidak cepat kuhabisi, akan berbahaya!" Baru saja membatin begitu, mendadak Ki Buyut Pagar Alam berteriak keras.
"Dewi! Cepat lari!"
Bersamaan dengan terdengarnya teriakan, kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam bergerak menghantam ke arah perut Tengkorak Berdarah.
"Bangsat keparat!" maki Tengkorak Berdarah. Dia cepat lepaskan jambakan pada rambut orang. Tangan kiri kanan segera menghantam ke bawah memangkas pukulan Ki Buyut Pagar Alam.
Bukkk! Bukkk!
Meski kedua tangan Tengkorak Berdarah sempat menghantam mental kedua tangan si kakek namun tak urung perutnya masih tersambar pukulan orang. Hingga sosoknya terjajar dua langkah mundur. Sementara sosok Ki Buyut sendiri tampak tertarik ke belakang dengan derasnya. Karena telah cedera parah, kakek ini tidak bisa imbangi tubuh. Sosoknya terbanting keras di atas tanah. Tengkorak Berdarah menggereng marah. Sekali lompat tubuhnya telah di samping Ki Buyut yang kembali telentang. Satu kaki bergerak dari balik jubah abu-abu.
Bukkk!
Tubuh Ki Buyut Pagar Alam mencelat. Menghempas pada sebatang pohon tiga tombak di belakang sana lalu terpental balik sejauh satu tombak dan jatuh terkapar di atas tanah. Mulutnya megap-megap lalu keluarkan darah. Sesaat tubuhnya bergerak-gerak seakan hendak mencoba bangkit. Tapi di lain kejap mendadak sosoknya menghempas dan tak bergerak-gerak lagi! Adik kandung Daeng Upas ini tercabut nyawanya dengan wajah digelimangi darah yang muncrat dari mulut serta hidungnya.
Tengkorak Berdarah cepat putar diri. Tapi dia segera bantingkan kaki begitu dilihatnya Dewi Siluman sudah tidak ada di tempatnya semula!
"Hari ini nyawanya masih selamat. Tapi tak akan lama!" desis Tengkorak Berdarah. Orang ini gerakkan kedua tangannya meraba pinggang dan perutnya. Dia tampak menarik napas panjang. Lalu tanpa berpaling pada mayat Ki Buyut Pagar Alam, orang berjubah abuabu terusan ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
S E L E S A I