Bu Giok Cu menjadi marah sekali. "Bocah sombong kau...!"
Akan tetapi suaminya sudah menyentuh lengannya menyabarkan. Suami isteri itu sama sekali tidak tahu betapa wajah Siong Ki berubah mendengar tuduhan bahwa dia jahat, pengkhianat dan pemberontak itu. Orang ini telah mengetahui rahasianya, pikirnya terkejut sekali.
"Engkau yang jahat! Engkau bohong dan melakukan fitnah! Dia berbohong, suhu dan subo!" kata Siong Ki. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Thian Ki memperhatikan, sehingga Thian Ki melihat pula betapa wajah Siong Ki tadi berubah agak pucat dan nampak kaget dan gelisah.
Si Han Beng sendiri cukup waspada untuk melihat sesuatu yang ganjil dan tidak beres dalam pemunculan pemuda itu, dalam tuduhan-tuduhannya terhadap muridnya. "Nanti dulu, sobat muda!" kata Si Han Beng dan suaranya berwibawa, sinar matanya mencorong memandang wajah tampan itu. "Engkau menuduh muridku jahat, pengkhianat dan pemberontak. Apa alasanmu menuduhnya sekeji itu. Tanpa alasan dan bukti yang kuat, bagaimana kami dapat percaya bahwa murid kami melakukan seperti yang kautuduhkan itu?"
"Alasannya? Buktinya? Hem, tanyakan saja kepada muridmu yang brengsek itu, Huang-ho Sin-liong. Atau engkau juga telah mengajarkan kepadanya bagaimana untuk menjadi pengecut, tidak berani bertanggung jawab?"
"Jahanam, engkau menabur fitnah yang bukan-bukan kepadaku!" Siong Ki menggertak karena tanpa ada buktinya, tak mungkin ada orang yang mengetahui bahwa dia pernah berusaha membunuh kaisar di istananya, bahwa dia adalah kaki tangan Pangeran Li Seng Cun yang memberontak.
"Fitnah? Hemm, kiranya engkau memang seorang pengecut besar. Aku sendiri yang mencegahmu dan Bi Tok Siocia Ouw Ling menyerbu kamar kaisar dan hendak membunuh Sribaginda Kaisar. Bahkan ibuku juga tewas di tanganmu, karena tusukan pedangmu. Mana pedangmu yang tumpul itu, itulah buktinya!"
Wajah suami isteri pendekar itu berubah mendengar ucapan ini. Murid mereka bekerja sama dengan wanita iblis Bi Tok Siocia menyerang kaisar!? Juga Siong Ki terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat sekali. Sekarang dia ingat bahwa ada dua orang wanita yang menghalangi dia dan Ouw Ling ketika menyerang kaisar, dan seorang di antara dua wanita itu adalah orang yang kini berdiri di depannya, menyamar sebagai seorang pemuda!
"Bohong kau...!!" Siong Ki membentak nyaring dan diapun sudah menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah pemuda itu. Kini dia tidak seperti tadi yang hanya membela diri, kini dia menyerang untuk membunuh, maka dia mencerahkan seluruh tenaganya dan pedang itu menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu.
Si Han Beng dan Bu Giok Cu masih lemah, tenaga mereka masih belum pulih, maka mereka tidak berdaya mencegah. Sedangkan Thian Ki dan Cin Cin masih bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Pemuda tampan itu menggerakkan pedangnya menangkis.
"Tranggg...!!" Pedang di tangan pemuda itu terpental jauh, terlepas dari pegangannya dan ujung kaki Siong Ki sudah menendang dan membuatnya roboh terjengkang. Orang ini harus mati, pikir Siong Ki karena rahasia tentang dirinya akan dibuka. Kalau hal itu terjadi, bukan saja dia akan berhadapan dengan kedua orang gurunya, bahkan dengan pasukan keamanan pemerintah yang tentu sedang memburunya!
"Siong Ki, jangan...!!" bentak Bu Giok Cu ketika melihat murid itu menerjang lagi untuk memberi serangan mematikan kepada tubuh pemuda yang sudah terjengkang itu. Akan tetapi, nyonya yang menghadang ini terdorong oleh tangan kiri Siong Ki dan Bu Giok Cu terhuyung ke belakang.
Si Han Beng yang juga tahu bahwa dia sendiri tidak mempunyai tenaga, cepat berseru. "Thian Ki cegah dia!"
Thian Ki maklum apa yang harus dia lakukan, sekali melompat dia sudah menghadang dan dia mendorong dengan kedua tangannya ke arah Siong Ki. Bukan dengan tenaga dari hawa beracun, melainkan dengan tenaga sinkangnya.
"Wuuuuuttt... dessss!" Siong Ki berseru kaget dan terhuyung ke belakang.
"Siong Ki, perlahan dulu. Paman dan bibi melarangmu membunuhnya!" kata Thian Ki.
Sementara itu, pemuda tampan tadi terjengkang ke dekat Si Han Beng dan pendekar ini hendak membantunya bangun, melihat pemuda itu terkena tendangan dan menyeringai kesakitan. Akan tetapi pemuda itu menepiskan tangannya yang hendak membantunya bangkit.
"Hemm, aku sudah kalah. Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan Bu Giok Cu, kalian sepasang pendekar besar yang namanya terkenal di seluruh dunia kangouw. Kalian bunuhlah aku agar sebelum mati aku dapat menyaksikan sendiri, betapa kalian yang bernama besar ini tiada lain hanyalah dua orang pengecut besar, tidak bertanggung jawab, bahkan kini membantu murid kalian yang pemberontak!"
"Sobat, berulang kali engkau memaki kami pengecut tidak bertanggung jawab! Apa maksudmu?" Si Han Beng merasa penasaran sekali dan ingin mengetahui.
"Bagus, engkau masih berpura-pura, Huang-ho Sin-liong? Engkau dan isterimu membiarkan anak kalian diculik orang, tak pernah berusaha merebutnya kembali, bukankah itu merupakan sikap pengecut yang tak bertanggung jawab? Orang macam apa itu? Dan sekarang, kalian mempunyai murid yang jahat dan pengkhianat, membantu pemberontakan Pangeran Li Seng Cun dan nyaris membunuh kaisar, sehingga ibuku yang melindungi kaisar tewas oleh pedang murid kalian yang bagus ini!"
"Jahanam kau...!!" Siong Ki mengeluarkan teriakan seperti binatang buas yang marah sekali dan dia sudah menerjang maju, tidak memperdulikan suhu dan subonya.
Akan tetapi sejak tadi Thian Ki waspada dan selalu memperhatikan gerak-gerik Siong Ki, maka begitu melihat pemuda itu meloncat dan menerjang, diapun bergerak ke depan menyambut. Melihat ini, Cin Cin juga melompat ke depan dengan pedangnya menyambar pedang Siong Ki pada saat Thian Ki mendorongnya dengan tenaga sin-kangnya.
"Trangg” Pedang di tangan Siong Ki terpental. Sebetulnya, kalau saja dia tidak didorong oleh Thian Ki yang membuat tubuhnya terhuyung, tidak semudah itu pedangnya dapat terpental oleh pukulan pedang Cin Cin.
"Cin Cin, mundurlah," kata Thian Ki dan dia menghampiri Siong Ki dengan sikap tenang dan sabar. "Siong Ki, ingat, segala persoalan dapat dibicarakan. Engkau tidak boleh menentang kehendak gurumu. Mari kita bicara baik-baik..."
"Dia bohong! Bocah sinting itu bohong! Suhu dan subo tidak semestinya percaya omongan seorang tukang fitnah macam dia!" teriak Siong Ki marah.
Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok Cu menjadi pucat wajah mereka mendengar kata-kata pemuda itu. Mereka terbelalak, bahkan Bu Giok Cu menekan dadanya dan terhuyung ke belakang, seolah-olah ucapan pemuda itu menusuk jantungnya! Si Han Beng juga terbelalak memandang kepada pemuda itu.
"Siapa... siapa... ibumu...?"
"Ibuku bernama Kwa Bi Lan, wanita yang jauh lebih baik terhadap diriku daripada orang tuaku sendiri, walaupun ia telah menculik diriku dari tangan ayah dan ibu kandungku yang tidak berani bertanggung jawab, yang membiarkan saja aku diculik orang..." Dan kini "pemuda" itu menangis tersedu-sedu.
"Lan Lan...!!" Bu Giok Cu menjerit.
"Hong Lan...!" Si Han Beng juga berteriak.
Dengan bercucuran air mata, suami isteri pendekar itu mengembangkan kedua lengan hendak merangkul pemuda itu.
Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Hong Lan yang menyamar pria, meloncat ke belakang. "Tidak... tidak... sebelum kalian menjelaskan kenapa kalian tidak merebut aku kembali dari tangan penculik, jangan sentuh aku...!"
Menyaksikan peristiwa hebat ini, Thian Ki dan Cin Cin terbelalak, kaget dan heran, dan terharu. Akan tetapi yang paling kaget adalah The Siong Ki. Seperti disambar petir rasanya ketika ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang gadis, dan puteri suhunya yang selama belasan tahun ini hilang! Dan justeru puteri suhunya itu yang mengetahui rahasianya. Celaka, pikirnya dan dengan wajah pucat dia mengambil keputusan nekat. Kalau dia tidak cepat bertindak, tentu gadis itu akan membongkar segalanya dan dia tidak mendapatkan alasan lagi untuk menyangkal.
"Jahanam bohong kau!!" bentaknya dan kini dengan tangan kosong, dia sudah menerjang ke arah Hong Lan yang kebetulan meloncat ke belakang tadi dan berada dekat dengannya. Dia meloncat bagaikan seekor harimau menerkam dan kedua tangannya berubah merah!
Ternyata dalam kemarahan dan kenekatannya, pemuda ini telah menggunakan ilmu Silat Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) dan mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) ke dalam kedua tangannya yang mencengkeram. Sebetulnya, ilmu Ang-tok-ciang ini adalah ilmu sesat dari mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang pernah menjadi guru Bu Giok Cu dan telah mengajarkan ilmu sesat itu kepadanya.
Bu Giok Cu sendiri, mengajarkan Ang-tok-ciang kepada Siong Ki bukan untuk dikuasai, melainkan untuk menambah pengetahuan murid suaminya itu agar mengenal ilmu sesat dari golongan hitam dan dapat menjaga diri. Tidak tahunya, diam-diam Siong Ki melatih dirinya dengan ilmu pukulan beracun itu dan kini dia sengaja menggunakan ilmu itu agar sekali cengkeram dapat membunuh Hong Lan. Dan dia telah menguasai ilmu silat Rajawali Terbang dengan baik, maka gerakannya itu hebat bukan main, bagaikan seekor rajawali, dia menyambar turun menyerang Hong Lan yang sedang lengah karena marah dan bersedih, sedang menangis.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Hong Lan itu, di mana ayah ibunya yang sakti tidak berdaya karena mereka telah kehilangan tenaga untuk mengobati Thian Ki dan belum pulih, terdengar suara melengking nyaring dan tubuh Thian Ki sudah meloncat ke atas, menghadang serangan Siong Ki yang dahsyat sekali itu. Akan tetapi, karena tadinya Thian Ki tidak menyangka Siong Ki akan menyerang secara tiba-tiba kepada Hong Lan, dia agak terlambat sehingga tidak dapat menangkis atau membalas serangan itu, melainkan hanya membuat tubuhnya sebagai penghalang agar Siong Ki tidak dapat menyerang Hong Lan.
Melihat tubuh Thian Ki menghalang di udara, Siong Ki menjadi marah bukan main. Semua kekecewaan, kemarahan, dan ketakutan tertumpah keluar kepada Thian Ki. Maka dengan gerengan buas, kedua tangan yang merah itu mencengkeram ke leher Thian Ki untuk mencekiknya! Kalau saja yang kena cengkeram itu leher Thian Ki, agaknya sukarlah baginya untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi, dalam keadaan tersudut itu, Thian Ki masih mampu menarik lehernya ke belakang sehingga cengkeraman itu mengenai pundak dan bahunya.
"Thian Ki...!!" Cin Cin berseru dengan wajah pucat dan dengan pedang di tangan ia siap membantu kekasihnya. Matanya terbelalak melihat betapa kini kedua orang pemuda itu terbanting jatuh dan kedua tangan merah Siong Ki itu masih mencengkeram pundak dan bahu Thian Ki. Jari-jari tangan itu bagaikan cakar harimau, telah menancap dan masuk ke dalam kulit pundak dan bahu, dan nampak Thian Ki menyeringai kesakitan.
Tubuh mereka bergulingan di atas tanah, namun tetap saja cengkeraman kedua tangan itu terus menempel di tubuh Thian Ki. Cin Cin mengejar dan siap untuk menyerang Siong Ki. Akan tetapi, dua orang pemuda itu berhenti bergulingan dan Thian Ki bangkit sambil mengerang kesakitan, sementara itu, Siong Ki menggeletak tak dapat bergerak lagi. Kedua tangan, bahkan juga mukanya, berubah menghitam dan ternyata dia telah tewas keracunan!
Kiranya ilmu pukulan beracun Ang-tok-ciang yang dipergunakan mencengkeram itu bahkan memperkuat hawa beracun di tubuh Thian Ki, dan hal ini tidaklah aneh karena Ang-tok-ciang adalah ilmu yang dirangkai oleh mendiang Ban-tok Mo-li, jadi masih satu sumber dengan racun yang mengeram di tubuh Thian Ki. Oleh karena itu, biarpun hawa beracun di tubuh Thian Ki sudah berkurang, namun dengan masuknya racun Ang-tok-ciang melalui cengkeraman Siong Ki, hawa beracun itu bertambah kuat.
Thian Ki tidak mengerahkan hawa beracun itu, akan tetapi ketika tubuhnya dimasuki racun Ang-tok-ciang, dengan sendirinya hawa beracun di tubuhnya bangkit dan menyambut, sehingga Siong Ki keracunan sedemikian hebatnya, sehingga dalam waktu beberapa detik saja hawa beracun telah merenggut nyawanya dan membuat mukanya menjadi hitam.
"Thian Ki...!" Cin Cin menghampiri kekasihnya.
Dan Thian Ki tersenyum, memandang ke arah pundak kiri dan bahu kanannya yang luka berdarah, lalu menoleh ke arah tubuh Siong Ki, menghela napas dan berkata. "Aku tidak apa-apa, Cin Cin, tapi dia..."
"Bukan salahmu, Thian Ki. Murid durhaka yang telah menyimpang dari jalan kebenaran telah menerima hukumannya," kata Si Han Beng.
Sementara itu, Bu Giok Cu dengan air mata masih bercucuran mendekati Hong Lan. "Kau... kau... Hong Lan anakku...?"
Gadis berpakaian pria itupun menangis, akan tetapi kembali ia melangkah mundur ketika ibu kandungnya mendekatinya. "Nanti dulu, aku ingin mendengar dulu kenapa seorang ayah dan ibu kandung membiarkan saja anaknya diculik orang. Kenapa ayah ibu kandung tidak menyayang anaknya, bahkan si penculik amat sayang seperti ibu sendiri. Kenapa?"
"Hong Lan, anakku. Marilah kita masuk ke dalam rumah dan kami akan menceritakan kepadamu..." kata Si Han Beng.
"Tidak!" jawab Hong Lan tegas. "Sebelum mendengar sebabnya, aku tidak akan masuk ke rumah kalian. Aku tentu akan membenci kalian dan tidak akan mau mengakui ayah ibu yang membiarkan anaknya diculik orang tanpa mencarinya. Aku harus mendengar dulu apa sebabnya, baru akan kupertimbangkan apakah kalian pantas menjadi ayah ibuku atau tidak."
Si Han Beng menghampiri isterinya. "Kau... ceritakanlah..." katanya kepada isterinya.
Akan tetapi Bu Giok Cu hanya menangis. Ibu ini merasa hatinya seperti diremas-remas, akan tetapi ia pun tidak dapat menyalahkan puterinya. Ia dapat merasakan betapa sakit rasa hati puterinya itu setelah mengetahui bahwa ayah ibunya sama sekali tidak pernah mencari ia yang sejak kecil diculik dan dilarikan orang.
Melihat keadaan mereka, Thian Ki berkedip pada Cin Cin lalu berkata kepada Si Han Beng dan Bu Giok Cu, "Paman dan bibi, sebaiknya kalau Cin Cin dan aku lebih dulu membawa jenazah Siong Ki ke dalam dan mengurusnya bersama para pembantu, sedangkan paman dan bibi bicara di sini."
Si Han Beng mengangguk dan merasa kagum akan kebijaksanaan pemuda itu. Tadipun, kalau tidak ada Thian Ki yang mengorbankan diri, mungkin puteri mereka telah tewas di tangan Siong Ki! Thian Ki, dibantu oleh Cin Cin, lalu mengangkat jenazah Siong Ki ke dalam rumah, meninggalkan suami isteri itu bertiga saja dengan Hong Lan.
Hong Lan masih berdiri dengan kedua pipi basah air mata, akan tetapi sikapnya tegak dan menentang, pandang matanya penuh rasa penasaran, sehingga setiap kali bertemu pandang dengan puterinya, Bu Giok Cu kembali tak dapat menahan tangisnya. Diam-diam Si Han Beng memperhatikan puterinya dan dia melihat bahwa ada suatu ketinggian hati seperti sikap seorang bangsawan tinggi pada puterinya. Pandang mata itu, seperti pandang mata seorang puteri!
"Hong Lan, kami berdua memaklumi sikapmu ini. Memang kalau dipandang sepintas lalu, kami seperti bukan orang tua yang baik dan menyayang anak. Akan tetapi engkau perlu mengetahui sebab-sebabnya. Nah, dengarlah baik-baik. Enam belas tahun yang lalu atau lebih, ketika itu engkau baru berusia dua tahun dan diajak bermain-main oleh Siong Ki, murid kami tadi, engkau diculik orang dan Siong Ki ditotok sehingga tidak dapat bergerak. Penculik itu adalah Kwa Bi Lan, masih terhitung sumoiku sendiri."
Si Han Beng lalu menceritakan tentang hubungannya dengan Kwa Bi Lan, mengapa Kwa Bi Lan menaruh sakit hati kepadanya.
"Kwa Bi Lan telah menjadi isteri suhu Sin-tiauw Liu Bhok Ki, juga gurunya sendiri. Setelah suhu Liu Bhok Ki meninggal dunia, Kwa Bi Lan mendendam kepadaku karena ia menganggap bahwa akulah penyebab kematian suhu."
Si Han Beng menghela napas panjang. Sebetulnya, riwayat itu tidak akan diceritakan kepada siapapun juga dan akan dibawanya sampai mati, akan tetapi sekali ini dia harus menceritakan segalanya dengan gamblang kepada puterinya, kalau dia menghendaki puterinya itu kembali kepadanya. Sinar mata Hong Lan masih tetap keras dan penuh rasa penasaran, akan tetapi ia tidak memotong cerita pendekar itu.
"Sebetulnya, dahulu sebelum aku bertemu dengan ibumu ini, suhu menghendaki agar aku berjodoh dengan Kwa Bi Lan. Akan tetapi aku bertemu dengan ibumu dan kami menikah. Agaknya suhu marah sekali dan Kwa Bi Lan kecewa. Kemudian, Kwa Bi Lan menjadi isteri suhu yang sudah puluhan tahun menduda. Setelah suhu meninggal dunia, Bi Lan pergi mencari kami ke sini. Ia marah-marah dan mengatakan bahwa suhu meninggal dunia karena kecewa dan menyesal kepadaku, yaitu karena aku tidak menurut kehendak suhu dan menikah dengan ibumu. Ketika ia datang berkunjung, engkau baru berusia dua tahun. Akupun merasa menyesal sekali dan berduka atas kematian suhu. Nah, biarpun Kwa Bi Lan meninggalkan kami dengan baik-baik, ternyata diam-diam ia masih mendendam dan ia membawamu lari untuk membalas dendamnya itu."
"Akan tetapi kalian yang berilmu tinggi kenapa tidak mengejar dan merebutku kembali?" Hong Lan masih penasaran karena justeru kenyataan inilah yang membuat ia merasa penasaran sekali.
"Anakku, jangan engkau menyalahkan ayahmu. Ketika Kwa Bi Lan menculikmu, ia meninggalkan tulisan di atas tanah bahwa kalau kami melakukan pengejaran dan berusaha merebutmu, ia akan membunuhmu. Kami tidak berdaya..."
"Kami mengetahui bahwa Kwa Bi Lan bukan seorang jahat. Akan tetapi, dendam sakit hati dapat membuat seseorang menjadi mata gelap. Kami tidak berani melakukan pengejaran karena takut kalau-kalau ia melaksanakan ancamannya. Justeru karena yakin ia bukan orang jahat itulah yang membuat kami terpaksa merelakan engkau dibawa pergi, dengan harapan sekali waktu ia akan sadar dan mengembalikanmu kepada kami. Dan kami didik Siong Ki agar setelah dewasa dia dapat pergi mencarimu. Dia tidak akan dikenali Kwa Bi Lan. Bahkan baru-baru ini kami menyuruh dia pergi untuk mencarimu."
Pandang mata Hong Lan mulai berubah lunak. Ia mulai mengerti mengapa ayah dan ibu kandungnya tidak melakukan pengejaran untuk merampas ia kembali dari tangan penculiknya. Ia kini mengerti. Kwa Bi Lan pernah mencinta ayah kandungnya dan karena tidak dibalas cintanya, bahkan ayah kandungnya yang sudah dijodohkan dengannya itu memilih gadis lain menjadi isterinya, maka Kwa Bi Lan mendendam.
Apalagi setelah suaminya, yaitu gurunya sendiri, meninggal dunia karena kecewa terhadap Si Han Beng, dendam Kwa Bi Lan makin mendalam. Kemudian, agaknya setelah hilang dendamnya, Kwa Bi Lan sudah terlanjur menyayangnya sebagai puteri sendiri, maka tidak mau mengembalikannya. Bahkan Kwa Bi Lan agaknya akan merahasiakan terus keadaan dirinya itu kalau saja tidak menghadapi ajalnya.
"Hong Lan, anakku. Aku ibumu, aku yang mengandungmu dalam perut selama sembilan bulan, aku yang melahirkanmu dengan taruhan nyawa, bagaimana mungkin aku tidak sayang padamu, anakku? Semenjak engkau dilarikan Bi Lan, setiap malam aku menangis, aku bersembahyang, mohon kepada Tuhan agar engkau diberi keselamatan dan kesehatan. Kemudian, akhir-akhir ini, membayangkan engkau telah dewasa, aku bersembahyang setiap akan tidur, mohon agar engkau diberi kebahagiaan... aku... aku tak pernah hentinya menyayangmu, Hong Lan..."
Bagaikan air bah yang lepas dari bendungan, Hong Lan menjerit dan menubruk Bu Giok Cu. "Ibu...!"
Mereka berdekapan sambil menangis berciuman dan Bu Giok Cu menengadah, memandang langit dengan air mata bercucuran akan tetapi mulut tersenyum tebar, bibirnya gemetar mengucapkan terima kasih kepada Tuhan.
"Terima kasih... terima kasih. Tuhan... aku telah menemukan kembali anakku... Hong Lan... ah, Hong Lan anakku..." Dan ibu yang terlalu bahagia ini tak dapat menahan lagi dirinya yang memang sudah kehabisan tenaga sin-kang, ia lemas dan pingsan dalam rangkulan Hong Lan.
"Ibu...! Ibuuu...!" Hong Lan menengok ke arah Si Han Beng yang masih berdiri sambil mengusap air matanya sendiri dengan punggung tangan. "Ayah...! Ini ibu bagaimana...?"
Si Han Beng menghampiri dan memegang pergelangan tangan isterinya. "Ibumu terguncang perasaannya, mari kita bawa ia masuk, Hong Lan."
"Ayah...!" Hong Lan membiarkan Si Han Beng memondong isterinya, dan Hong Lan memegangi lengan ayahnya, ikut masuk ke dalam rumah dimana ia dilahirkan.
Tak lama kemudian mereka semua telah duduk di ruangan dalam rumah itu. Jenazah Siong Ki telah dikebumikan dengan bantuan para tetangga secara sederhana. Hong Lan yang sudah bertukar pakaian wanita, ikut pula berkabung karena iapun terharu mendengar cerita ayah ibunya betapa dulu, ketika ia masih kecil Siong Ki yang mengasuhnya, menggendongnya dan mengajaknya bermain-main.
"Hong Lan, sekarang ceritakan tentang dirimu, sejak engkau dibawa pergi oleh Kwa Bi Lan", tanya Bu Giok Cu sambil memegangi tangan puterinya yang duduk di sebelahnya.
Setelah kini berpakaian wanita, Hong Lan nampak cantik jelita, mirip sekali dengan ibunya. Di ruangan itu duduk pula Cin Cin dan Thian Ki yang luka-luka di pundak dan bahunya telah diobati. Hong Lan telah diperkenalkan kepada Thian Ki dan Cin Cin, dan ia merasa kagum sekali mendengar bahwa Thian Ki adalah putera kakak angkat ayahnya dan memiliki kepandaian yang lihai sekali. Bahkan tadipun kalau tidak ada Thian Ki, mungkin ia telah tewas di tangan Siong Ki. Juga ia kagum kepada Cin Cin yang cantik manis, dan ikut gembira mendengar bahwa kedua orang itu telah bersepakat untuk menjadi suami isteri.
"Ceritanya panjang, ibu," kata Hong Lan dan ketika ia memandang ibunya, terpancar sinar kasih sayang dalam matanya yang membuat Bu Giok Cu terharu sekali. Lalu ia menceritakan pengalamannya ketika menjadi puteri Kwa Bi Lan. Diceritakannya betapa kemudian Kwa Bi Lan bertemu dengan Pangeran Li Si Bin dan ditarik menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota itu. Betapa kemudian mereka saling jatuh cinta dan Kwa Bi Lan menjadi isteri atau selir Pangeran Li Si Bin sampai sekarang.
"Aihh, kalau begitu Kwa Bi Lan menjadi selir Kaisar dan bagaimana dengan engkau?" tanya Bu Giok Cu, kagum mendengar riwayat perjalanan hidup Kwa Bi Lan yang aneh itu.
"Karena ia selalu menganggap aku sebagai anaknya, maka dengan sendirinya akupun diakui oleh Sribaginda Kaisar sebagai puterinya."
"Hebat...!" Cin Cin yang sudah bergaul akrab dengan Hong Lan berseru sambil memandang kagum. "Kalau begitu engkau... eh... paduka... adalah seorang puteri istana, puteri Sribaginda Kaisar?" Cin Cin tidak main-main, melainkan bersungguh-sungguh.
Hong Lan memandang kepada Cin Cin dan tersenyum anggun, maklum bahwa gadis yang buntung tangan kirinya itu tidak mengejek atau main-main, melainkan bersungguh-sungguh. "Memang benar, selama belasan tahun ini aku dikenal sebagai Puteri Li Hong Lan, puteri kaisar yang oleh Sribaginda disayang dan dianggap puteri sendiri, walaupun beliau tahu bahwa aku bukan puterinya, bahkan tahu pula bahwa aku bukan puteri mendiang ibu Kwa Bi Lan. Akan tetapi, setelah aku mengetahui bahwa aku bukan puteri kaisar, bukan pula puteri ibu Kwa Bi Lan, aku lalu berpamit meninggalkan istana dan Sribaginda memberi ijin dan restu. Sekarang, aku bukan lagi puteri kaisar, enci Cin, melainkan Si Hong Lan biasa saja puteri ayah dan ibuku."
"Ahh, kalau begitu, doaku selama ini setiap malam kepada Tuhan dikabulkan!" seru Bu Giok Cu. "Anakku bukan saja sehat dan selamat, bahkan diangkat derajatnya menjadi puteri istana, puteri kaisar!"
"Akupun ikut bangga dan bersyukur, Hong Lan, tentu selama ini engkau hidup mulia, terhormat, dan bahagia. Apalagi Kwa Bi Lan dan Sribaginda kaisar menyayangmu."
Hong Lan menghela napas panjang. "Perkiraan orang luar terhadap kehidupan puteri istana sungguh jauh berbeda dengan kenyataannya, ayah." Tanpa canggung-canggung lagi bekas puteri istana itu menyebut ayah dan ibu kepada orang tuanya, sebutan yang baru pertama kali ini ia ucapkan terhadap orang tua kandungnya. "Memang ketika masih kecil, aku berbahagia karena hidup terhormat, segalanya tercukupi, berenang kemewahan, hidup dibangunan yang megah dan indah, mengenakan pakaian indah dan perhiasan serba mahal, makanan yang dihidangkan serba lezat. Akan tetapi semua itu akhirnya membosankan, apalagi setelah aku mulai mengerti, ayah. Di istana itu terdapat banyak sekali persaingan, permusuhan, kepalsuan dan perebutan kekuasaan. Ayahanda.... eh, maksudku Sribaginda Kaisar dikelilingi penjilat-penjllat, para thai-kam yang mencari muka, para selir yang terlalu banyak dan saling berlomba mengambil hati kaisar, para pejabat yang saling bersaing untuk menarik perhatian kaisar. Pendeknya, ibu... maksudku Bibi Kwa Bi Lan dan aku mulailah merasa tidak berbahagia. Sudah lama aku mendambakan kebebasan di luar istana, akan tetapi sebagai puteri kaisar, tentu saja Sribaginda tidak mengijinkan. Untung bahwa Sribaginda sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai, maka beliau memperbolehkan aku belajar ilmu silat. Akhir-akhir ini, bibi Kwa Bi Lan sering makan hati karena ia benar-benar mencinta kaisar, akan tetapi perhatian kaisar terlalu terpecah dan sibuk sehingga kadang-kadang kaisar seperti lupa kepada bibi Kwa Bi Lan."
Si Han Beng mengangguk-angguk. "Aku dapat membayangkan semua itu. Memang tak dapat disangkal bahwa tidak ada kesenangan tanpa kesusahan. Apa yang tadinya menyenangkan, dapat menjadi membosankan bahkan menyusahkan. Seorang hartawan lambat laun tidak lagi dapat merasakan kenikmatan hartanya, melainkan menderita karena hartanya, takut berkurang, takut lenyap, takut ditinggalkan. Aku dapat mengerti, Hong Lan."
"Lalu bagaimana terjadinya pemberontakan yang melibatkan Siong Ki itu? Kami ingin sekali mendengarnya," kata Bu Giok Cu.
Sebelum melanjutkan kisahnya, Hong Lan minum dulu air teh dari cangkir di atas meja. Semua orang memandang kagum. Tanpa disadarinya, agaknya bekas puteri istana ini masih belum terbebas dari kebiasaan kehidupan di dalam istana, ketika ia mengambil cangkir, ketika mengangkatnya ke bibir, ketika meneguk air teh, semua dilakukan dengan gerakan lengan, tangan dan jari yang seolah-olah menari, begitu teratur dan lembut! Hong Lan sendiri tidak menyadari ini.
"Yang melakukan pemberontakan adalah Paman... eh. Pangeran Li Seng Cun, adik dari Sribaginda Kaisar sendiri. Dia merencanakan pemberontakan dengan jalan membunuh Sribaginda dan dia menyuruh The Siong Ki dan Bi Tok Siocia yang melakukan usaha pembunuhan itu. Untung aku mengetahui rencana itu ketika kaki tangan mereka, seorang dayang dan seorang thai-kam, mengadakan pembicaraan dan aku memberitahu kepada Bibi Kwa Bi Lan. Kami mengatur siasat melakukan penjagaan dengan teliti pada malam yang ditentukan. Kemudian muncullah dua orang berkedok kain hitam menyerbu kamar Sribaginda Kaisar. Kami melawan mereka akan tetapi ternyata mereka lihai bukan main. Bibi Kwa Bi Lan bahkan terluka oleh pedang di tangan The Siong Ki, akan tetapi dalam keadaan terluka, ia masih terus mengejar Bi Tok Siocia yang memasuki kamar Kaisar. Karena para pengawal berdatangan, The Siong Ki yang dapat kusingkap topengnya dengan pedangku, sehingga aku mengenal wajahnya, melarikan diri. Aku tidak mengejar, melainkan membantu ibu di dalam kamar, di mana Bi Tok Siocia telah dikeroyok oleh bibi Kwa Bi Lan dan oleh Sribaginda sendiri. Aku membantu mereka dan akhirnya Bi Tok Siocia tewas oleh pedang bibi Bi Lan. Akan tetapi bibi Kwa Bi Lan juga roboh karena luka itu dan sebelum tewas itulah ia membuka rahasia diriku, bahwa aku bukan puteri kaisar, bukan pula puterinya dan menyuruh aku bertanya kepada Kaisar siapa orang tua kandungku. Kemudian, Sribaginda Kaisar yang memberitahu bahwa aku adalah puteri ayah dan ibu, akan tetapi beliau tidak dapat menjelaskan kenapa aku diculik Bibi Kwa Bi Lan dan mengapa pula ayah dan ibuku yang dikabarkan sebagai pendekar-pendekar sakti tidak mencari dan merebutku kembali. Hal ini membuat aku merasa penasaran dan sakit hati sekali, maka aku lalu berpamit dari Sribaginda kaisar dan datang ke sini dengan maksud untuk menegur dan mencela ayah dan ibu karena hatiku sakit sekali. Akan tetapi, tanpa kuduga di sini aku bertemu dengan The Siong Ki yang mengaku murid ayah dan ibu. Tentu saja aku menjadi semakin kecewa karena ternyata penjahat yang hendak membunuh Sribaginda kaisar itu adalah murid ayah, karena itulah maka aku bersikap seperti tadi. Harap ayah dan ibu suka memaafkan aku yang kurang ajar dan tidak berbakti."
Bu Giok Cu merangkulnya. "Engkaulah yang sepantasnya memaafkan kami, anakku. Semua sudah berlalu, disesalpun tiada gunanya. Kami sendiri sungguh tidak mengira bahwa Siong Ki dapat tersesat seperti itu. Ketika dahulu dia berada di sini, dia merupakan anak yang baik, rajin bekerja dan taat. Siapa kira, setelah berada di luar dia mau saja diperalat pemberontak."
Si Han Beng menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya dia memang seorang yang lemah, sehingga mudah saja dipengaruhi orang lain. Aku yakin bahwa dia tentu dipengaruhi oleh Bi Tok Siocia. Aku sudah mendengar tentang puteri datuk sesat Ouw Kok Sian itu. Sudahlah, tidak baik membicarakan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Semoga Tuhan memperingan hukuman atas dosa-dosa mereka."
Kini Hong Lan memandang kepada Thian Ki. Sejak peristiwa perkelahian yang menyebabkan tewasnya Siong Ki itu, ingin sekali ia bertanya, akan tetapi kesempatan belum ada karena lebih penting membicarakan tentang dirinya dan orang tuanya yang baru bertemu. Kini kesempatan itu terbuka setelah semua riwayat diceritakan.
"Ayah dan ibu, aku merasa heran sekali bagaimana The Siong Ki dapat tewas secara mengerikan? Padahal, aku melihat dia yang menyerang dan mencengkeram pundak dan bahu toa-ko Coa Thian-Ki ini." Dara ini menyebut Thian Ki toa-ko(kakak) setelah diperkenalkan dan tahu bahwa Thian Ki adalah putera kakak angkat ayah kandungnya. "Sedangkan toako hanya terluka saja. Ilmu hebat apakah yang dikuasai Coa-toako ini?"
"Bukan ilmu hebat, melainkan sebuah kutukan, siauw-moi," kata Thian Ki sambil menarik napas panjang.
"Ehh! Kutukan bagaimana?" Hong Lan kini sudah menemukan kembali kelincahannya karena ia merasa berbahagia dapat bersatu kembali dengan ayahbundanya, dan iapun bertemu dengan Thian Ki dan Cin Cin yang segera dapat menarik perhatiannya dan telah menjadi akrab dengan mereka.
"Ketahuilah, Hong Lan. Kakakmu Thian Ki ini adalah seorang tok-tong, anak beracun yang sekarang tentu saja menjadi manusia beracun. Di dalam tubuhnya terdapat hawa beracun yang amat dahsyat, sehingga banyak sudah orang-orang yang lihai, baiknya mereka itu orang-orang jahat, yang tewas ketika menyerangnya, sejak dia masih kecil," kata Bu Giok Cu.
"Adik Hong Lan, kau lihat tangan kiriku. Inipun akibat hawa beracun di tubuh Thian Ki," kata Cin Cin tertawa. Akhirnya, Hong Lan pasti sekali waktu akan bertanya juga tentang tangannya, pikirnya. Tiada salahnya sekarang saja menceritakan untuk mengusir perasaan tidak enak, seolah merupakan senda-gurau.
"Wahhh...! Tunanganmu sendiri yang membuat tanganmu buntung? Bagaimana pula ini?"
Hong Lan bertanya heran dan keheranannya demikian sungguh-sungguh, membuat ia nampak manis seperti seorang anak kecil. Semua orang tersenyum melihat sikapnya.
"Ketika itu, kami juga berkelahi dan belum bertunangan. Aku mencengkeram pundaknya dan tanganku menjadi hitam keracunan. Dan untuk menyelamatkan nyawaku, terpaksa Thian Ki membuntungi tangan kiriku dengan pedang. Kalau dia tidak melakukannya, tentu aku sudah tewas seperti halnya Siong Ki tadi."
"Bukan main! Kalian saling berkelahi sampai seorang di antara kalian buntung tangan kirinya, kemudian kalian bertunangan. Tentu cinta di hati kalian benar-benar murni!" kata pula Hong Lan dan ucapan ini saja menunjukkan bahwa gadis bekas puteri bangsawan istana ini memang berwatak lincah jenaka. "Akan tetapi, dengan memiliki tubuh beracun seperti itu, berarti Coa toako menjadi seorang pendekar yang hebat dan sukar dikalahkan. Kenapa tadi toako mengatakan bahwa kelebihan itu merupakan sebuah kutukan? Aku tidak mengerti."
Wajah Thian Ki menjadi muram. "Aku bahkan datang menemui ayah ibumu untuk mohon pertolongan mereka mengobatiku agar aku dapat terbebas dari hawa beracun ini, siauw moi. Dan malam tadi mereka telah melakukannya."
"Itulah sebabnya mengapa tadi paman dan bibi tidak dapat melindungimu dari Siong Ki, adik Hong Lan. Mereka semalam telah menghabiskan tenaga sin-kang untuk mencoba mengobati Thian Ki," kata Cin Cin.
Kini barulah Hong Lan mengerti. Tadi iapun memang merasa heran melihat betapa ayah ibunya yang dikenal sebagai sepasang pendekar sakti, seperti tak berdaya ketika dirinya diancam oleh serangan maut Siong Ki, murid mereka sendiri. Kiranya ayah ibunya telah kehabisan tenaga karena semalam mengobati Thian Ki.
"Ayah, Ibu, maafkan kalau aku menyangka yang bukan-bukan," katanya dan pandang matanya demikian lembut sehingga suami isteri itu mendekati dan merangkulnya penuh kasih sayang.
"Kami memang telah berusaha, akan tetapi hanya mampu mengusir sebagian saja dari hawa beracun di tubuhnya. Kami tidak berhasil membebaskannya. Hawa beracun itu dahsyat bukan main," kata Si Han Beng.
"Akan tetapi, kenapa sih engkau berkeras untuk melenyapkan hawa beracun itu dari tubuhmu, toako? Bukankah hal itu bahkan menguntungkan sekali? Apakah barangkali racun itu membahayakan keselamatan dirimu sendiri?" Hong Lan bertanya heran.
Thian Ki menghela napas dan melirik kepada kekasihnya, Cin Cin yang menundukkan mukanya mendengar pertanyaan bekas puteri kaisar itu. "Membahayakan diriku sih tidak, hanya..." Dia tidak mampu melanjutkan karena merasa sungkan untuk bicara tentang itu.
"Hanya kenapa, toako?" Hong Lan mendesak.
Bu Giok Cu yang mengerti akan kesungkanan Thian Ki berkata, "Hong Lan, kalau hawa beracun itu tidak dapat dienyahkan dari dalam tubuhnya, maka selamanya dia tidak dapat menikah. Wanita yang menjadi isterinya tentu akan mati keracunan."
"Aihh...!" Hong Lan berseru kaget dan kini ia memandang kepada Thian Ki dan Cin Cin dengan sinar mata mengandung iba. "Kalau ayah dan ibu gagal, lalu apakah tidak ada jalan lain untuk menyembuhkan Coa-toako?"
Ayahnya menghela napas. "Racun itu amat hebat, ditanamkan di tubuhnya sejak dia masih kecil sekali, sehingga hawa beracun itu telah menyusup ke dalam jalan darahnya, sehingga darahnya juga mengandung racun. Berbahaya sekali! Agaknya hanya kesaktian kedua orang sukongmu (kakek gurumu) yang akan mampu mengusir hawa beracun itu dengan sin-kang mereka. Akan tetapi, kedua orang kakek gurumu itu, Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio, telah lama menghilang dari dunia persilatan dan tak seorangpun tahu di mana mereka berada. Mungkin mereka berdua kini berada di pegunungan Himalaya sebagai pertapa-pertapa. Atau kalau mungkin terdapat obat penawar racun yang paling langka di dunia ini dapat ditemukan..."
"Ayah! Pernah ayahanda... eh, Sribaginda Kaisar bercerita kepadaku tentang obat penawar segala racun yang kini menjadi milik istana, menjadi satu di antara benda pusaka. Bahkan menurut Sribaginda Kaisar, tidak ada keracunan yang tidak dapat dipunahkan oleh obat itu. Katanya obat itu terbuat dari katak merah pemakan ular berbisa. Sribaginda mendapatkannya dari seorang sakti yang bernama Im Yang Seng-cu, yang kini menjadi penasihat dan sahabat Sribaginda Kaisar."
Suami isteri itu saling pandang. Sebagai dua orang kang-ouw yang berpengalaman, mereka pernah mendengar tentang katak merah, seekor binatang langka dan ajaib yang kabarnya menjadi pemakan ular berbisa dan katak itu sendiri mengandung bisa yang demikian kuat, sehingga merabanya saja dapat membunuh seorang manusia, akan tetapi racunnya itu dapat pula memunahkan segala macam racun di dunia ini.
"Kami telah mendengar tentang katak ajaib itu,. Hong Lan. Akan tetapi, obat itu menjadi pusaka istana..." kata Bu Giok Cu.
"Mungkin obat itu dapat menyembuhkan Thian Ki. Akan tetapi bagaimana...?" tanya pula Si Han Beng.
Hong Lan sudah meloncat kegirangan. "Wah, mudah saja, ayah dan ibu. Telah kuceritakan tadi bahwa ayahanda... eh, Sribaginda Kaisar amat sayang kepadaku dan beliau menganggap aku sebagai puterinya sendiri. Bahkan ketika aku memohon diri untuk meninggalkan istana dan mencari ayah dan ibu, beliau menawarkan untuk memberi hadiah kepadaku, dan apa saja yang kuminta akan beliau berikan. Akan tetapi aku hanya minta diberi tahu siapa ayah dan ibu kandungku. Nah, kalau aku yang minta obat itu, aku yakin beliau pasti akan memberikan kepadaku."
"Tapi engkau baru saja tiba, bagaimana mungkin aku dapat membiarkan engkau pergi lagi?" Bu Giok Cu memprotes.
"Aku dapat memberi surat kepada Sribaginda Kaisar, ibu. Aku mempunyai cap tersendiri dan beliau akan mengenal tanda tangan dan capku itu."
"Bagus! Kalau begitu, tulislah surat itu dan biar Thian Ki sendiri yang pergi ke kota raja dan menghadap Sribaginda, menyerahkan suratnya dan menerima obat itu," kata Si Han Beng gembira.
"Baik, akan segera kulakukan ayah!" kata Hong Lan gembira karena mendapat kesempatan untuk membantu Thian Ki, pemuda yang ternyata merupakan kakak angkatnya, bahkan yang baru saja telah menyelamatkan nyawanya.
"Nanti dulu, siauw-moi!" kata Thian Ki dan semua orang melihat betapa pemuda itu menjadi muram wajahnya, tidak seperti yang lain, yang merasa gembira mendengar tentang obat yang dapat memberi harapan menyembuhkan Thian Ki.
"Eh, kenapa, toako?"
"Siauw-moi, paman dan bibi, terima kasih atas kebaikan kalian, dan juga Lan-moi yang ingin memintakan obat ke istana untuk menolongku. Akan tetapi, harap maafkan saja, aku... tidak mungkin dapat menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar."
Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan termasuk Cin Cin yang memandang kekasihnya dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Thian Ki, kau sungguh aneh sekali. Kenapa engkau tidak mau menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar ?" tanya Si Han Beng.
"Maaf, paman, sebetulnya hal ini merupakan rahasiaku, akan tetapi karena kalau aku tidak membuat pengakuan tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan, biarlah aku akan berterus terang. Paman dan bibi adalah orang-orang yang kuhormati, juga adik Hong Lan seperti adikku sendiri yang kusayang, maka biar aku berterus terang. Aku mempunyai sebuah tugas dari suhu, yaitu agar aku mengambilkan pedang pusaka yang dulu milik suhu, akan tetapi sekarang telah terjatuh ke tangan pemerintah kerajaan dan pedang pusaka itu kini menjadi pusaka istana kerajaan. Maka, aku terpaksa harus pergi ke kotaraja dan berusaha untuk mencuri pedang pusaka istana, bagaimana mungkin aku menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar? Aku merasa malu untuk menerimanya, paman."
Semua orang terdiam dan memandang kepada Thian Ki penuh kagum. Sukar dicari orang yang memiliki kejujuran seperti dia. Hong Lan yang lebih dulu bicara dan bertanya. "Toako, apakah nama pedang pusaka milik gurumu yang kini menjadi pusaka istana itu?"
"Pedang itu disebut Liong-cu-kiam (Pedang Mestika Naga)"
"Ah, aku tahu pedang itu! Bahkan pernah aku meminjamnya untuk berlatih silat pedang. Jadi itukah pedang pusaka milik suhumu? Siapa sih suhumu itu, toako?"
"Suhuku adalah juga ayah tiriku, dahulu dialah Pangeran Cian Bu Ong."
Hong Lan terbelalak. "Ahhh...! Pemberontak itu?"
"Lan Lan, jangan katakan begitu," kata Bu Giok Cu memperingatkan.
"Kenapa, ibu? Bukankah benar bahwa Pangeran Cian Bu Ong, saudara dari mendiang Kaisar Yang Ti dari dinasti Sui, pernah memimpin pemberontakan dan sudah ditumpas oleh pasukan pemerintah?"
Si Han Beng mengerutkan alisnya, khawatir kalau Thian Ki tersinggung. Akan tetapi, pemuda itu bahkan tersenyum menatap wajah adik misannya.
"Engkau memang benar, siauw-moi. Bagi engkau yang sejak kecil menjadi puteri Kaisar Kerajaan Tang, tentu saja mendengar dan menganggap bahwa Cian Bu Ong seorang pemberontak. Akan tetapi coba bayangkan bahwa engkau seorang puteri kerajaan Sui, pasti engkau akan menganggap dia seorang patriot dan pejuang yang mempertahankan kerajaannya, dan bahkan Sribaginda kaisar yang sekaranglah yang kau anggap pemberontak. Tidakkah begitu?"
Hong Lan tertegun. Ia seorang gadis yang terpelajar dan cerdik, di istana selain ilmu silat juga mempelajari ilmu sastra dan sudah membaca banyak kitab sehingga ia maklum apa yang dimaksudkan Thian Ki. Iapun mengangguk dan menghela napas panjang.
"Kerajaan memang merupakan medan pertentangan dan menjadi sumber perebutan kekuasaan. Yang menang dipuja-puja, yang kalah dimaki-maki. Engkau benar, toako dan maafkan ucapanku tadi. Jadi, Liong-cu-kiam itu dahulu milik gurumu? Kalau begitu, kiranya sudah sepantasnya kalau dia menginginkannya kembali kepadanya. Nah, engkau tidak perlu mencurinya, toako, sungguhpun dengan kepandaianmu, aku yakin engkau akan berhasil mencurinya."
"Kalau tidak mencuri, lalu bagaimana..."
"Jangan khawatir. Aku bukan hanya akan minta obat bagimu dari Sribaginda Kaisar, akan tetapi juga minta Liong-cu kiam itu. Aku yakin, ayahanda... ah, sudah terbiasa aku menyebut beliau ayahanda. Jadi selalu saja keliru..."
"Tidak apa engkau menyebut beliau begitu, Lan Lan. Kami ikut bangga bahwa Sribaginda Kaisar mau menganggap anak kami sebagai puterinya," kata Si Han Beng serius.
"Aku yakin beliau akan memberikan obat dan pedang itu kepadamu, toako. Tunggu, akan kubuatkan surat itu." Gadis itu lalu berlari memasuki kamarnya.
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Ki dan Cin Cin sudah berangkat meninggalkan dusun Hong-cun, diantar oleh ayah ibu dan anak itu sampai ke luar dusun. Thian Ki dan kekasihnya, Cin Cin, melakukan perjalanan menuju ke kota raja dengan hati lapang dan penuh harapan, karena Thian Ki membawa surat dari Hong Lan yang ditujukan kepada Kaisar sendiri!
Sementara itu, Hong Lan yang baru saja bertemu dengan orang tua kandungnya, menikmati kebahagiaan hidup bersama mereka di dusun yang tenteram itu, jauh dari kemewahan istana, jauh pula dari semua persaingan dan permusuhan. Terasa olehnya betapa tenang dan penuh damai kehidupan di rumah orang tuanya di dusun itu, dan kalau mengingat akan kehidupan di istana, terasa betapa panas dan tegangnya kehidupan dan lingkungan keluarga di istana itu. Apalagi ia kini digembleng oleh ayah ibunya dengan ilmu silat tinggi, membuat Hong Lan merasa berbahagia sekali.
Gadis penunggang kuda yang memasuki pintu gerbang kota raja itu memang cantik jelita dan menarik perhatian orang, terutama bagi para pria. Kudanya juga merupakan kuda pilihan, tinggi besar dan tentu amat mahal harganya. Gadis itu sendiri usianya sekitar duapuluh tahun, tubuhnya semampai dengan pinggang yang ramping sekali.
Rambutnya agak keriting, digelung ke atas dan diikat sutera merah. Pakaiannya dari sutera halus menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang kaya. Sepasang matanya bersinar-sinar. Biarpun ia cantik menarik, akan tetapi sinar matanya itu, ditambah sebatang pedang yang berada di punggung, membuat orang tidak berani sembarangan mengganggunya.
Biarpun peristiwa pemberontakan Pangeran Li Seng Cun telah lewat beberapa bulan lamanya, namun akibatnya masih nampak, terutama di pintu gerbang kota raja. Kini, pintu gerbang itu dijaga ketat oleh belasan orang perajurit, dan setiap orang yang keluar masuk diamati dengan seksama. Terutama sekali mereka yang nampak asing dan bukan penghuni kota raja, diamati dan kalau perlu dihentikan dan diperiksa dengan teliti.
"Berhenti!" Empat orang penjaga telah berdiri menghadang di depan kuda gadis itu, memalangkan tombaknya sehingga kuda itu terkejut dan meringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas.
Orang-orang yang berlalu lalang memandang khawatir, takut kalau-kalau gadis cantik itu akan terjatuh dari atas punggung kudanya. Akan tetapi gadis itu masih berdiri tegak dan menarik kendali untuk menenangkan kudanya, dan ia memandang tajam kepada empat orang penjaga itu.
"Kalian mau apa menghadang perjalananku?" tanya gadis itu, suaranya merdu akan tetapi tajam dan marah.
"Nona, turunlah. Kami ditugaskan untuk memeriksa setiap orang asing yang masuk ke sini dan mencurigakan, dan kami curiga terhadap nona. Turunlah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" kata seorang berpakaian perwira yang baru keluar dari dalam gardu penjagaan. Orang ini bertubuh pendek bulat, perutnya gendut dan usianya sekitar tigapuluh tahun, di pinggangnya tergantung golok besar.
Karena maklum bahwa ia berada di kota raja maka gadis itu yang bukan lain adalah Cian Kui Eng, melompat turun dari atas punggung kudanya lalu menuntun kudanya mengikuti perwira itu menuju ke gardu penjagaan. Atas perintah perwira itu dengan tenang dan sabar Kui Eng mengikatkan kendali kuda di depan gardu penjagaan, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya, ia mengikuti perwira gendut itu memasuki gardu.
Ia dipersilakan duduk di bangku, menghadapi meja dan di seberang meja itu duduklah si perwira yang memandang kepadanya dengan mata yang liar, seperti hendak melahap tubuhnya. Kui Eng melihat beberapa orang perajurit di luar gardu menjenguk masuk dan mereka itu menyeringai dan cekikikan kurang ajar.
Kui Eng menyabarkan hatinya. Ia meninggalkan rumah karena merasa tidak betah tinggal di rumah, karena seminggu setelah Thian Ki pergi, ayah dan ibunya juga pergi ke Himalaya untuk mencari Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah) untuk mengobati Thian Ki. Di rumah sendiri ia tidak tahan dan iapun pergi menyusul Thian Ki ke kota raja. Akan tetapi, karena baru sekarang ia mendapat kesempatan untuk merantau seorang diri, perjalanan itu dilakukan Kui Eng secara lambat dan ia berhenti di setiap tempat yang dianggap menyenangkan.
Pernah ia melakukan perjalanan ketika mengikuti orang tuanya dan Thian Ki pergi berkunjung ke kuil tempat tinggal Lo-Nikouw. Akan tetapi perjalanan bersama keluarga itu tidak begitu menggembirakan seperti kalau melakukan perjalanan seorang diri, di mana ia dapat menentukan apa saja yang akan dilakukannya, merasa bebas. Perjalanan sampai ke kota raja itu makan waktu berbulan-bulan karena Kui Eng suka singgah di mana-mana, bahkan ketika tiba di sebuah telaga besar yang indah, ia tinggal di situ hampir sebulan lamanya.
Banyak pengalaman dijumpainya, banyak pula gangguan, akan tetapi dengan mudah ia dapat mengatasi semua gangguan itu mengandalkan ilmu silatnya yang kini telah mencapai tingkat tinggi sekali. Kalau hanya tokoh-tokoh kang-ouw biasa saja, jangan harap akan mampu menandingi puteri bekas Pangeran Cian Bu Ong ini!
Ditambah pula dia lincah, tabah dan cerdik. Karena banyak mendapat gangguan dari para pria di dalam perjalanan, maka sikap para penjaga di pintu gerbang kota raja itu tidak membuat ia serasa heran atau terlalu marah. Ia tahu bahwa sebagian besar pria memang kurang ajar dan kalau melihat wanita cantik lalu timbul kegenitan mereka!
"Nah, aku sudah berada di sini. Apa yang hendak kauperiksa?" tanya Kui Eng, agak jengkel juga melihat perwira itu hanya menggerayangi tubuhnya dengan pandang matanya yang berminyak itu.
"Oh, heh-heh..." perwira gendut itu tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang malang melintang dan kacau berwarna hitam kekuningan. "Nona, kami harus memeriksa buntalan pakaianmu itu. Kami tidak ingin ada pemberontak yang menyelundup ke dalam kota raja. Semua pemberontak harus dibasmi!" kata-kata terakhir ini dikeluarkan dengan penuh semangat.
Kui Eng tersenyum mengejek. "Periksalah, aku bukan pemberontak, aku seorang pelancong yang ingin melihat kota raja."
"Sebelum aku memeriksa buntalanmu, lebih dulu aku harus mencatat siapa nama nona dan tinggal di mana, datang dari mana dan hendak kemana."
"Namaku Cian Kui Eng," kata gadis itu singkat. "Berapa usia nona tahun ini?"
"Apa perlunya menanyakan usia segala!" bentak Kui Eng.
"Ah, harus itu!" kata si perwira gendut. "Untuk melengkapi pendaftaran mereka yang dicurigai! Kami hanya melaksanakan perintah atasan."
Kui Eng menghela napas, menyabarkan dan menenangkan hatinya. "Dua puluh tahun," jawabnya singkat dan perwira itu menuliskan nama Kui Eng dan usianya di dalam buku pendaftaran. Caranya menuliskanpun bergaya, penuh aksi seolah dia seorang sastrawan sedang menuliskan sajak indah!
"Tempat tinggal?"
"Di dusun Ke-cung, kaki bukit Kim-san lembah Huang-ho."
Kembali perwira itu menuliskan alamat. Kemudian dia mengangkat mukanya dan menyeringai lagi. "Sudah bersuami?"
Wajah Kui Eng menjadi merah padam. "Huh, apa-apaan ini bertanya sudah bersuami atau belum? Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemeriksaan!"
"Aih-aih, jangan marah dulu, nona. Kami tidak ingin ada pembunuh yang menyelundup ke kota raja seperti wanita yang berniat membunuh Sribaginda itu. Untung ketahuan dan ia sudah terbunuh. Kami harus teliti memeriksa setiap orang yang mencurigakan, laki-laki maupun wanita. Nah, sekarang jawab sejujurnya, apakah engkau sudah bersuami dan kalau sudah, siapa nama suamimu dan sekarang dia berada di mana? Kenapa nona melakukan perjalanan seorang diri?"
"Aku belum bersuami!" jawab Kui Eng, kini agak ketus.
"Hemm, sungguh aneh. Seorang gadis duapuluh tahun, cantik jelita seperti nona, berharta pula melihat pakaian dan kuda nona, masih belum bersuami? Sungguh sayang..."
"Cukup! Aku tidak ingin mendengar pendapatmu!" bentak Kui Eng. "Cepat selesaikan pemeriksaan ini, aku sudah tidak sabar lagi!"
"Heh-heh, baik-baik nona. Sekarang aku hendak memeriksa buntalanmu ini." Dia meraih buntalan di atas meja yang tadi diletakkan oleh Kui Eng dan membuka buntalan itu. Dia mengaduk-aduk pakaian Kui Eng dan beberapa kali berkata lirih.
"Hemm, harum... harum wangi..." sehingga wajah gadis itu menjadi kemerahan. Kemudian, dia menemukan peti hitam kecil dan membukanya. Matanya terbelalak ketika dia melihat perhiasan emas permata yang serba berkilauan dan amat berharga, yang menjadi bekal perjalanan Kui Eng.
"Wah, nona membawa harta begini banyak! Dari mana nona mendapatkan harta ini?" tanyanya liril dan matanya dipicingkan.
"Apa perdulimu? Ini adalah perhiasan milikku sendiri. Tidak bolehkah orang memiliki perhiasan dan membawa ke manapun ia kehendaki?"
"Tentu saja, kalau sudah jelas miliknya. Akan tetapi nona kami curigai, karena itu, kami tahan dulu dan sekarang, kami harus memeriksa pakaian di tubuh nona, siapa tahu nona masih menyembunyikan sesuatu di balik baju nona!" Berkata demikian, perwira gendut itu bangkit, memutari meja dan kedua tangannya dijulurkan ke depan, siap untuk menggerayangi tubuh Kui Eng dengan alasan hendak menggeledahnya.
"Plakk-plakk!" Kui Eng menggerakkan tangan menangkis dan perwira itu mengeluh dan terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan karena kedua lengannya yang ditangkis oleh tangan yang mungil itu seolah-olah akan patah-patah tulangnya. Tentu saja dia menjadi marah.
"Ah, ternyata engkau memang benar pemberontak!" berkata demikian, perwira itu kini menerjang dan menubruk dengan kedua lengan terbuka seperti seekor beruang hendak menerkam mangsanya.
Kui Eng juga sudah marah. Perhiasan dan kudanya hendak dirampas, dan tubuhnya hendak digerayangi. Ia lupa diri, lupa bahwa ia berada di gardu penjagaan pintu gerbang kota raja, lupa bahwa kalau ia mengamuk, mungkin ia akan ditangkap sebagai pemberontak. Kemarahan membuat ia lupa segala dan melihat perwira gendut itu menerkamnya secara kurang ajar, iapun menggerakkan kedua tangannya, dengan jari tangan terbuka, kedua tangan itu bergerak cepat sekali.
"Krek-krek-prakkk!" Perwira itu terjengkang dan mengaduh-aduh dengan suara lucu karena mulutnya berdarah, giginya rontok semua dan kedua tulang lengannya patah.
"Auh... ahhh... pemberontak... ah... aduuhh... tangkap...!!" teriaknya, mengaduh-aduh dan bangkit berdiri mengejar Kui Eng yang melangkah keluar, lengannya di ayun-ayun akan tetapi tak dapat diangkat karena nyeri, dan mulutnya berdarah.
Melihat keadaan perwira itu, para penjaga cepat mengepung Kui Eng yang sudah memanggul buntalan pakaiannya di pundak. Mereka maklum bahwa gadis itu telah menghajar perwira mereka, maka tanpa dikomando lagi, belasan orang perajurit penjaga sudah mengepung dan berlomba untuk menangkap gadis cantik itu.
Dengan tangan kiri memanggul buntalan, tangan kanan memegang cambuk kuda. Kui Eng menghadapi pengepungan belasan orang perajurit penjaga itu dengan sikap tenang, akan tetapi sepasang matanya yang indah jeli itu mencorong marah. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun, kepalanya tidak menoleh ke kanan atau kiri, hanya matanya saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri seperti mata seorang penari yang lincah.
Begitu para pengepungnya, belasan orang itu, mulai bergerak, terdengar suara cambuknya meledak-ledak. Akan tetapi cambuk kuda itu kini bukan untuk melecuti kuda, melainkan melayang dan menyambar-nyambar ke arah kepala belasan orang itu. Segera terdengar suara para pengeroyok itu mengaduh-aduh dan banyak di antara mereka yang mukanya berdarah dan babak celur disayat ujung cambuk. Tentu saja belasan orang penjaga itu menjadi terkejut dan marah sekali. Terutama pemimpin regu itu, dengan suara pelo karena giginya rontok semua dia berteriak-teriak.
"Bunuh pemberontak itu! Bunuh iblis betina itu!" Dan semua penjaga sudah mencabut senjata masing-masing. Ada yang memegang golok, pedang atau tombak.
"Tar-tar-tarrr...!!" Cambuk itu meledak-ledak dan banyak senjata tajam dan runcing beterbangan terlepas dari tangan yang menggenggamnya.
Melihat para pengeroyok yang belum roboh mundur dan memandang jerih. Kui Eng bertolak pinggang. "Hemm, kalian ini perajurit pemerintah, ataukah perampok-perampok?"
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda datang menguak para penonton yang sudah semakin banyak berdiri di dekat pintu gerbang. Dengan sigapnya, penunggang kuda itu melompat turun dari atas punggung kuda dan menerobos masuk kepungan belasan orang perajurit yang sudah mulai kecil nyalinya menghadapi Kui Eng itu.
"Heii, apa yang telah terjadi di sini!" bentak menunggang kuda itu.
Melihat penunggang kuda yang baru tiba, komandan regu yang giginya rontok itu menjadi terkejut dan semua anak buahnya nampak ketakutan.
"Maaf... pangeran... ini... eh, gadis ini seorang pemberontak!" kata komandan regu dengan suara pelo.
Penunggang kuda itu menengok ke arah Kui Eng pada saat gadis itupun menengok dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan memandang penuh perhatian. Kui Eng melihat bahwa penunggang kuda yang disebut pangeran itu adalah seorang pria muda, berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, akan tetapi wajahnya bersih, cerah dan penuh senyum, terutama sepasang matanya yang bersinar-sinar penuh semangat hidup.
Wajah itu tampan dan menyenangkan karena nampak tidak angkuh seperti kebanyakan para bangsawan, dan biarpun pakaian pangeran itu seperti pakaian seorang terpelajar, longgar dan rapi, namun sebatang pedang yang berada di punggungnya menunjukkan bahwa pangeran ini juga suka akan ilmu silat. Mendengar ucapan komandan regu itu, sang pangeran yang bertubuh tinggi tegap itu mengerutkan alisnya dan diapun bertanya kepada Kui Eng.
"Nona benarkah apa yang dikatakan komandan regu tadi bahwa engkau seorang pemberontak?"
Kui Eng meruncingkan mulutnya berjebi, gerakan yang biasa ia lakukan tanpa disadari kalau ia marah, dan gerakan mulut ini membuat ia nampak manis menggemaskan. "Engkau seorang pengeran? Sudah sepatutnya kalau engkau malu mempunyai seregu perajurit seperti mereka itu. Aku seorang pemberontak? Aku datang memasuki kota raja sebagai seorang pelancong dan apa yang mereka lakukan? Si kerbau gendut itu hendak merampas perhiasanku, juga merampas kudaku. Bukan itu saja dengan dalih melakukan penggeledahan, dia hendak menggerayangi tubuhku! Dia tidak kubunuhpun masih terlalu ringan baginya!"
Wajah tampan itu berubah merah sekali dan Kui Eng sudah siap untuk menyambut kemarahan pangeran itu kepadanya. Akan tetapi ternyata kemarahan itu tidak ditujukan kepadanya. Mata yang tadinya membayangkan keramahan dan senyuman itu tiba-tiba kini mencorong penuh wibawa ketika dia menoleh dan menghadapi seregu penjaga yang menjadi ketakutan.
"Katakan, benarkah apa yang dituduhkan nona ini? Jawab yang betul!" bentaknya kepada komandan regu.
Orang gendut itu menjadi pucat dan matanya terbelalak, dia menggoyang tangan kanan yang patah tulangnya itu, lalu menggeleng kepala. "Tidak... tidak, pangeran...!"
"Hemm, kalau tidak, lalu mengapa nona ini menghajar kalian? Katakan, apa sebabnya?" bentak pula pangeran itu, mendesak.
"Hamba... hamba tidak tahu... ia pemberontak... tahu-tahu ia mengamuk..." jawaban ini tentu saja ngawur saking takutnya.
"Hemm, aku belum gila, kalau tanpa hujan tanpa angin datang-datang aku menghajar kalian!" kata Kui Eng.
"Hayo jawab yang benar, jangan bohong!" bentak pangeran itu. "Nona ini benar, tanpa sebab tidak mungkin ia menghajar kalian! Aku akan suruh siksa dulu kalian semua?"
Komandan regu itu dan anak buahnya segera menjatuhkan diri berlutut. Mereka nampak ketakutan sekali karena pangeran ini terkenal dengan kekerasannya kalau menghadapi anak buah yang bersalah.
"Ampun, pangeran... kamu... kami mencurigainya dan hendak menahan untuk sementara barang-barangnya, dan hendak menggeledahnya, akan tetapi tiba-tiba ia mengamuk..."
Kui Eng mengeluarkan kotak kecilnya dan membuka di depan pangeran itu. Nampak perhiasannya berkilauan. "Nah, inilah yang akan mereka sita, juga kudaku di sana itu, kemudian si gendut babi ini mencoba untuk menggerayangi tubuhku. Salahkah aku kalau menghajarnya? Dia lalu mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyokku."
"Keparat!" Pangeran itu membentak dan tubuh belasan orang itu menggigil ketakutan. Ketika ada seorang perwira lewat dan memberi hormat kepada pangeran itu, sang pangeran berkata, "Cepat panggil seregu penjaga pengganti dan jebloskan mereka ini ke dalam tahanan. Laporkan kepada panglima agar dia menemuiku. Orang-orang jahat ini harus dihukum berat untuk menjadi contoh para perajurit lainnya!"
Belasan orang yang berlutut itu minta-minta ampun, akan tetapi pangeran itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia membungkuk kepada Kui Eng, "Nona, maafkanlah kami. Memang kami kurang tertib, sehingga ada anak buah yang menyeleweng seperti mereka. Akan tetapi, kami pasti akan menghukum mereka. Nah, sekarang nona boleh melanjutkan perjalanan tanpa gangguan."
Kui Eng diam-diam merasa kagum bukan main. Ayahnya juga seorang bekas pangeran, dan ayahnya juga berwatak keras. Akan tetapi, ayahnya tidak selembut pangeran ini. Ayahnya masih memandang rendah orang-orang bawahan, akan tetapi pangeran ini sikapnya demikian sopan dan lembut, walaupun wibawanya jelas nampak ketika dia memarahi seregu penjaga itu. Iapun memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.
"Pangeran, terima kasih atas kebaikanmu, dan maafkan sikapku yang kasar tadi."
Pangeran itu mengangguk, dan mengikuti Kui Eng dengan pandang matanya ketika gadis itu menuntun kudanya yang bagus, memasuki pintu gerbang. Kui Eng tidak tahu betapa pangeran itu mengikutinya dengan pandang mata penuh kekaguman.
Pangeran itu memang terkenal sebagai seorang pangeran yang lembut hati dan ramah, tidak congkak, namun dia dapat bersikap keras terhadap anak buah atau para prajurit yang melakukan penyelewengan. Diapun terkenal sebagai seorang pangeran yang memiliki ilmu silat tinggi, namun dia menolak ketika pamannya, yaitu Kaisar Tang Tai Cung, memberi kedudukan kepadanya. Pangeran ini bernama Pangeran Li Cu Kiat...
Akan tetapi suaminya sudah menyentuh lengannya menyabarkan. Suami isteri itu sama sekali tidak tahu betapa wajah Siong Ki berubah mendengar tuduhan bahwa dia jahat, pengkhianat dan pemberontak itu. Orang ini telah mengetahui rahasianya, pikirnya terkejut sekali.
"Engkau yang jahat! Engkau bohong dan melakukan fitnah! Dia berbohong, suhu dan subo!" kata Siong Ki. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Thian Ki memperhatikan, sehingga Thian Ki melihat pula betapa wajah Siong Ki tadi berubah agak pucat dan nampak kaget dan gelisah.
Si Han Beng sendiri cukup waspada untuk melihat sesuatu yang ganjil dan tidak beres dalam pemunculan pemuda itu, dalam tuduhan-tuduhannya terhadap muridnya. "Nanti dulu, sobat muda!" kata Si Han Beng dan suaranya berwibawa, sinar matanya mencorong memandang wajah tampan itu. "Engkau menuduh muridku jahat, pengkhianat dan pemberontak. Apa alasanmu menuduhnya sekeji itu. Tanpa alasan dan bukti yang kuat, bagaimana kami dapat percaya bahwa murid kami melakukan seperti yang kautuduhkan itu?"
"Alasannya? Buktinya? Hem, tanyakan saja kepada muridmu yang brengsek itu, Huang-ho Sin-liong. Atau engkau juga telah mengajarkan kepadanya bagaimana untuk menjadi pengecut, tidak berani bertanggung jawab?"
"Jahanam, engkau menabur fitnah yang bukan-bukan kepadaku!" Siong Ki menggertak karena tanpa ada buktinya, tak mungkin ada orang yang mengetahui bahwa dia pernah berusaha membunuh kaisar di istananya, bahwa dia adalah kaki tangan Pangeran Li Seng Cun yang memberontak.
"Fitnah? Hemm, kiranya engkau memang seorang pengecut besar. Aku sendiri yang mencegahmu dan Bi Tok Siocia Ouw Ling menyerbu kamar kaisar dan hendak membunuh Sribaginda Kaisar. Bahkan ibuku juga tewas di tanganmu, karena tusukan pedangmu. Mana pedangmu yang tumpul itu, itulah buktinya!"
Wajah suami isteri pendekar itu berubah mendengar ucapan ini. Murid mereka bekerja sama dengan wanita iblis Bi Tok Siocia menyerang kaisar!? Juga Siong Ki terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat sekali. Sekarang dia ingat bahwa ada dua orang wanita yang menghalangi dia dan Ouw Ling ketika menyerang kaisar, dan seorang di antara dua wanita itu adalah orang yang kini berdiri di depannya, menyamar sebagai seorang pemuda!
"Bohong kau...!!" Siong Ki membentak nyaring dan diapun sudah menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah pemuda itu. Kini dia tidak seperti tadi yang hanya membela diri, kini dia menyerang untuk membunuh, maka dia mencerahkan seluruh tenaganya dan pedang itu menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu.
Si Han Beng dan Bu Giok Cu masih lemah, tenaga mereka masih belum pulih, maka mereka tidak berdaya mencegah. Sedangkan Thian Ki dan Cin Cin masih bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Pemuda tampan itu menggerakkan pedangnya menangkis.
"Tranggg...!!" Pedang di tangan pemuda itu terpental jauh, terlepas dari pegangannya dan ujung kaki Siong Ki sudah menendang dan membuatnya roboh terjengkang. Orang ini harus mati, pikir Siong Ki karena rahasia tentang dirinya akan dibuka. Kalau hal itu terjadi, bukan saja dia akan berhadapan dengan kedua orang gurunya, bahkan dengan pasukan keamanan pemerintah yang tentu sedang memburunya!
"Siong Ki, jangan...!!" bentak Bu Giok Cu ketika melihat murid itu menerjang lagi untuk memberi serangan mematikan kepada tubuh pemuda yang sudah terjengkang itu. Akan tetapi, nyonya yang menghadang ini terdorong oleh tangan kiri Siong Ki dan Bu Giok Cu terhuyung ke belakang.
Si Han Beng yang juga tahu bahwa dia sendiri tidak mempunyai tenaga, cepat berseru. "Thian Ki cegah dia!"
Thian Ki maklum apa yang harus dia lakukan, sekali melompat dia sudah menghadang dan dia mendorong dengan kedua tangannya ke arah Siong Ki. Bukan dengan tenaga dari hawa beracun, melainkan dengan tenaga sinkangnya.
"Wuuuuuttt... dessss!" Siong Ki berseru kaget dan terhuyung ke belakang.
"Siong Ki, perlahan dulu. Paman dan bibi melarangmu membunuhnya!" kata Thian Ki.
Sementara itu, pemuda tampan tadi terjengkang ke dekat Si Han Beng dan pendekar ini hendak membantunya bangun, melihat pemuda itu terkena tendangan dan menyeringai kesakitan. Akan tetapi pemuda itu menepiskan tangannya yang hendak membantunya bangkit.
"Hemm, aku sudah kalah. Huang-ho Sin-liong Si Han Beng dan Bu Giok Cu, kalian sepasang pendekar besar yang namanya terkenal di seluruh dunia kangouw. Kalian bunuhlah aku agar sebelum mati aku dapat menyaksikan sendiri, betapa kalian yang bernama besar ini tiada lain hanyalah dua orang pengecut besar, tidak bertanggung jawab, bahkan kini membantu murid kalian yang pemberontak!"
"Sobat, berulang kali engkau memaki kami pengecut tidak bertanggung jawab! Apa maksudmu?" Si Han Beng merasa penasaran sekali dan ingin mengetahui.
"Bagus, engkau masih berpura-pura, Huang-ho Sin-liong? Engkau dan isterimu membiarkan anak kalian diculik orang, tak pernah berusaha merebutnya kembali, bukankah itu merupakan sikap pengecut yang tak bertanggung jawab? Orang macam apa itu? Dan sekarang, kalian mempunyai murid yang jahat dan pengkhianat, membantu pemberontakan Pangeran Li Seng Cun dan nyaris membunuh kaisar, sehingga ibuku yang melindungi kaisar tewas oleh pedang murid kalian yang bagus ini!"
"Jahanam kau...!!" Siong Ki mengeluarkan teriakan seperti binatang buas yang marah sekali dan dia sudah menerjang maju, tidak memperdulikan suhu dan subonya.
Akan tetapi sejak tadi Thian Ki waspada dan selalu memperhatikan gerak-gerik Siong Ki, maka begitu melihat pemuda itu meloncat dan menerjang, diapun bergerak ke depan menyambut. Melihat ini, Cin Cin juga melompat ke depan dengan pedangnya menyambar pedang Siong Ki pada saat Thian Ki mendorongnya dengan tenaga sin-kangnya.
"Trangg” Pedang di tangan Siong Ki terpental. Sebetulnya, kalau saja dia tidak didorong oleh Thian Ki yang membuat tubuhnya terhuyung, tidak semudah itu pedangnya dapat terpental oleh pukulan pedang Cin Cin.
"Cin Cin, mundurlah," kata Thian Ki dan dia menghampiri Siong Ki dengan sikap tenang dan sabar. "Siong Ki, ingat, segala persoalan dapat dibicarakan. Engkau tidak boleh menentang kehendak gurumu. Mari kita bicara baik-baik..."
"Dia bohong! Bocah sinting itu bohong! Suhu dan subo tidak semestinya percaya omongan seorang tukang fitnah macam dia!" teriak Siong Ki marah.
Sementara itu, Si Han Beng dan Bu Giok Cu menjadi pucat wajah mereka mendengar kata-kata pemuda itu. Mereka terbelalak, bahkan Bu Giok Cu menekan dadanya dan terhuyung ke belakang, seolah-olah ucapan pemuda itu menusuk jantungnya! Si Han Beng juga terbelalak memandang kepada pemuda itu.
"Siapa... siapa... ibumu...?"
"Ibuku bernama Kwa Bi Lan, wanita yang jauh lebih baik terhadap diriku daripada orang tuaku sendiri, walaupun ia telah menculik diriku dari tangan ayah dan ibu kandungku yang tidak berani bertanggung jawab, yang membiarkan saja aku diculik orang..." Dan kini "pemuda" itu menangis tersedu-sedu.
"Lan Lan...!!" Bu Giok Cu menjerit.
"Hong Lan...!" Si Han Beng juga berteriak.
Dengan bercucuran air mata, suami isteri pendekar itu mengembangkan kedua lengan hendak merangkul pemuda itu.
Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Hong Lan yang menyamar pria, meloncat ke belakang. "Tidak... tidak... sebelum kalian menjelaskan kenapa kalian tidak merebut aku kembali dari tangan penculik, jangan sentuh aku...!"
Menyaksikan peristiwa hebat ini, Thian Ki dan Cin Cin terbelalak, kaget dan heran, dan terharu. Akan tetapi yang paling kaget adalah The Siong Ki. Seperti disambar petir rasanya ketika ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang gadis, dan puteri suhunya yang selama belasan tahun ini hilang! Dan justeru puteri suhunya itu yang mengetahui rahasianya. Celaka, pikirnya dan dengan wajah pucat dia mengambil keputusan nekat. Kalau dia tidak cepat bertindak, tentu gadis itu akan membongkar segalanya dan dia tidak mendapatkan alasan lagi untuk menyangkal.
"Jahanam bohong kau!!" bentaknya dan kini dengan tangan kosong, dia sudah menerjang ke arah Hong Lan yang kebetulan meloncat ke belakang tadi dan berada dekat dengannya. Dia meloncat bagaikan seekor harimau menerkam dan kedua tangannya berubah merah!
Ternyata dalam kemarahan dan kenekatannya, pemuda ini telah menggunakan ilmu Silat Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) dan mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) ke dalam kedua tangannya yang mencengkeram. Sebetulnya, ilmu Ang-tok-ciang ini adalah ilmu sesat dari mendiang Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu yang pernah menjadi guru Bu Giok Cu dan telah mengajarkan ilmu sesat itu kepadanya.
Bu Giok Cu sendiri, mengajarkan Ang-tok-ciang kepada Siong Ki bukan untuk dikuasai, melainkan untuk menambah pengetahuan murid suaminya itu agar mengenal ilmu sesat dari golongan hitam dan dapat menjaga diri. Tidak tahunya, diam-diam Siong Ki melatih dirinya dengan ilmu pukulan beracun itu dan kini dia sengaja menggunakan ilmu itu agar sekali cengkeram dapat membunuh Hong Lan. Dan dia telah menguasai ilmu silat Rajawali Terbang dengan baik, maka gerakannya itu hebat bukan main, bagaikan seekor rajawali, dia menyambar turun menyerang Hong Lan yang sedang lengah karena marah dan bersedih, sedang menangis.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Hong Lan itu, di mana ayah ibunya yang sakti tidak berdaya karena mereka telah kehilangan tenaga untuk mengobati Thian Ki dan belum pulih, terdengar suara melengking nyaring dan tubuh Thian Ki sudah meloncat ke atas, menghadang serangan Siong Ki yang dahsyat sekali itu. Akan tetapi, karena tadinya Thian Ki tidak menyangka Siong Ki akan menyerang secara tiba-tiba kepada Hong Lan, dia agak terlambat sehingga tidak dapat menangkis atau membalas serangan itu, melainkan hanya membuat tubuhnya sebagai penghalang agar Siong Ki tidak dapat menyerang Hong Lan.
Melihat tubuh Thian Ki menghalang di udara, Siong Ki menjadi marah bukan main. Semua kekecewaan, kemarahan, dan ketakutan tertumpah keluar kepada Thian Ki. Maka dengan gerengan buas, kedua tangan yang merah itu mencengkeram ke leher Thian Ki untuk mencekiknya! Kalau saja yang kena cengkeram itu leher Thian Ki, agaknya sukarlah baginya untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi, dalam keadaan tersudut itu, Thian Ki masih mampu menarik lehernya ke belakang sehingga cengkeraman itu mengenai pundak dan bahunya.
"Thian Ki...!!" Cin Cin berseru dengan wajah pucat dan dengan pedang di tangan ia siap membantu kekasihnya. Matanya terbelalak melihat betapa kini kedua orang pemuda itu terbanting jatuh dan kedua tangan merah Siong Ki itu masih mencengkeram pundak dan bahu Thian Ki. Jari-jari tangan itu bagaikan cakar harimau, telah menancap dan masuk ke dalam kulit pundak dan bahu, dan nampak Thian Ki menyeringai kesakitan.
Tubuh mereka bergulingan di atas tanah, namun tetap saja cengkeraman kedua tangan itu terus menempel di tubuh Thian Ki. Cin Cin mengejar dan siap untuk menyerang Siong Ki. Akan tetapi, dua orang pemuda itu berhenti bergulingan dan Thian Ki bangkit sambil mengerang kesakitan, sementara itu, Siong Ki menggeletak tak dapat bergerak lagi. Kedua tangan, bahkan juga mukanya, berubah menghitam dan ternyata dia telah tewas keracunan!
Kiranya ilmu pukulan beracun Ang-tok-ciang yang dipergunakan mencengkeram itu bahkan memperkuat hawa beracun di tubuh Thian Ki, dan hal ini tidaklah aneh karena Ang-tok-ciang adalah ilmu yang dirangkai oleh mendiang Ban-tok Mo-li, jadi masih satu sumber dengan racun yang mengeram di tubuh Thian Ki. Oleh karena itu, biarpun hawa beracun di tubuh Thian Ki sudah berkurang, namun dengan masuknya racun Ang-tok-ciang melalui cengkeraman Siong Ki, hawa beracun itu bertambah kuat.
Thian Ki tidak mengerahkan hawa beracun itu, akan tetapi ketika tubuhnya dimasuki racun Ang-tok-ciang, dengan sendirinya hawa beracun di tubuhnya bangkit dan menyambut, sehingga Siong Ki keracunan sedemikian hebatnya, sehingga dalam waktu beberapa detik saja hawa beracun telah merenggut nyawanya dan membuat mukanya menjadi hitam.
"Thian Ki...!" Cin Cin menghampiri kekasihnya.
Dan Thian Ki tersenyum, memandang ke arah pundak kiri dan bahu kanannya yang luka berdarah, lalu menoleh ke arah tubuh Siong Ki, menghela napas dan berkata. "Aku tidak apa-apa, Cin Cin, tapi dia..."
"Bukan salahmu, Thian Ki. Murid durhaka yang telah menyimpang dari jalan kebenaran telah menerima hukumannya," kata Si Han Beng.
Sementara itu, Bu Giok Cu dengan air mata masih bercucuran mendekati Hong Lan. "Kau... kau... Hong Lan anakku...?"
Gadis berpakaian pria itupun menangis, akan tetapi kembali ia melangkah mundur ketika ibu kandungnya mendekatinya. "Nanti dulu, aku ingin mendengar dulu kenapa seorang ayah dan ibu kandung membiarkan saja anaknya diculik orang. Kenapa ayah ibu kandung tidak menyayang anaknya, bahkan si penculik amat sayang seperti ibu sendiri. Kenapa?"
"Hong Lan, anakku. Marilah kita masuk ke dalam rumah dan kami akan menceritakan kepadamu..." kata Si Han Beng.
"Tidak!" jawab Hong Lan tegas. "Sebelum mendengar sebabnya, aku tidak akan masuk ke rumah kalian. Aku tentu akan membenci kalian dan tidak akan mau mengakui ayah ibu yang membiarkan anaknya diculik orang tanpa mencarinya. Aku harus mendengar dulu apa sebabnya, baru akan kupertimbangkan apakah kalian pantas menjadi ayah ibuku atau tidak."
Si Han Beng menghampiri isterinya. "Kau... ceritakanlah..." katanya kepada isterinya.
Akan tetapi Bu Giok Cu hanya menangis. Ibu ini merasa hatinya seperti diremas-remas, akan tetapi ia pun tidak dapat menyalahkan puterinya. Ia dapat merasakan betapa sakit rasa hati puterinya itu setelah mengetahui bahwa ayah ibunya sama sekali tidak pernah mencari ia yang sejak kecil diculik dan dilarikan orang.
Melihat keadaan mereka, Thian Ki berkedip pada Cin Cin lalu berkata kepada Si Han Beng dan Bu Giok Cu, "Paman dan bibi, sebaiknya kalau Cin Cin dan aku lebih dulu membawa jenazah Siong Ki ke dalam dan mengurusnya bersama para pembantu, sedangkan paman dan bibi bicara di sini."
Si Han Beng mengangguk dan merasa kagum akan kebijaksanaan pemuda itu. Tadipun, kalau tidak ada Thian Ki yang mengorbankan diri, mungkin puteri mereka telah tewas di tangan Siong Ki! Thian Ki, dibantu oleh Cin Cin, lalu mengangkat jenazah Siong Ki ke dalam rumah, meninggalkan suami isteri itu bertiga saja dengan Hong Lan.
Hong Lan masih berdiri dengan kedua pipi basah air mata, akan tetapi sikapnya tegak dan menentang, pandang matanya penuh rasa penasaran, sehingga setiap kali bertemu pandang dengan puterinya, Bu Giok Cu kembali tak dapat menahan tangisnya. Diam-diam Si Han Beng memperhatikan puterinya dan dia melihat bahwa ada suatu ketinggian hati seperti sikap seorang bangsawan tinggi pada puterinya. Pandang mata itu, seperti pandang mata seorang puteri!
"Hong Lan, kami berdua memaklumi sikapmu ini. Memang kalau dipandang sepintas lalu, kami seperti bukan orang tua yang baik dan menyayang anak. Akan tetapi engkau perlu mengetahui sebab-sebabnya. Nah, dengarlah baik-baik. Enam belas tahun yang lalu atau lebih, ketika itu engkau baru berusia dua tahun dan diajak bermain-main oleh Siong Ki, murid kami tadi, engkau diculik orang dan Siong Ki ditotok sehingga tidak dapat bergerak. Penculik itu adalah Kwa Bi Lan, masih terhitung sumoiku sendiri."
Si Han Beng lalu menceritakan tentang hubungannya dengan Kwa Bi Lan, mengapa Kwa Bi Lan menaruh sakit hati kepadanya.
"Kwa Bi Lan telah menjadi isteri suhu Sin-tiauw Liu Bhok Ki, juga gurunya sendiri. Setelah suhu Liu Bhok Ki meninggal dunia, Kwa Bi Lan mendendam kepadaku karena ia menganggap bahwa akulah penyebab kematian suhu."
Si Han Beng menghela napas panjang. Sebetulnya, riwayat itu tidak akan diceritakan kepada siapapun juga dan akan dibawanya sampai mati, akan tetapi sekali ini dia harus menceritakan segalanya dengan gamblang kepada puterinya, kalau dia menghendaki puterinya itu kembali kepadanya. Sinar mata Hong Lan masih tetap keras dan penuh rasa penasaran, akan tetapi ia tidak memotong cerita pendekar itu.
"Sebetulnya, dahulu sebelum aku bertemu dengan ibumu ini, suhu menghendaki agar aku berjodoh dengan Kwa Bi Lan. Akan tetapi aku bertemu dengan ibumu dan kami menikah. Agaknya suhu marah sekali dan Kwa Bi Lan kecewa. Kemudian, Kwa Bi Lan menjadi isteri suhu yang sudah puluhan tahun menduda. Setelah suhu meninggal dunia, Bi Lan pergi mencari kami ke sini. Ia marah-marah dan mengatakan bahwa suhu meninggal dunia karena kecewa dan menyesal kepadaku, yaitu karena aku tidak menurut kehendak suhu dan menikah dengan ibumu. Ketika ia datang berkunjung, engkau baru berusia dua tahun. Akupun merasa menyesal sekali dan berduka atas kematian suhu. Nah, biarpun Kwa Bi Lan meninggalkan kami dengan baik-baik, ternyata diam-diam ia masih mendendam dan ia membawamu lari untuk membalas dendamnya itu."
"Akan tetapi kalian yang berilmu tinggi kenapa tidak mengejar dan merebutku kembali?" Hong Lan masih penasaran karena justeru kenyataan inilah yang membuat ia merasa penasaran sekali.
"Anakku, jangan engkau menyalahkan ayahmu. Ketika Kwa Bi Lan menculikmu, ia meninggalkan tulisan di atas tanah bahwa kalau kami melakukan pengejaran dan berusaha merebutmu, ia akan membunuhmu. Kami tidak berdaya..."
"Kami mengetahui bahwa Kwa Bi Lan bukan seorang jahat. Akan tetapi, dendam sakit hati dapat membuat seseorang menjadi mata gelap. Kami tidak berani melakukan pengejaran karena takut kalau-kalau ia melaksanakan ancamannya. Justeru karena yakin ia bukan orang jahat itulah yang membuat kami terpaksa merelakan engkau dibawa pergi, dengan harapan sekali waktu ia akan sadar dan mengembalikanmu kepada kami. Dan kami didik Siong Ki agar setelah dewasa dia dapat pergi mencarimu. Dia tidak akan dikenali Kwa Bi Lan. Bahkan baru-baru ini kami menyuruh dia pergi untuk mencarimu."
Pandang mata Hong Lan mulai berubah lunak. Ia mulai mengerti mengapa ayah dan ibu kandungnya tidak melakukan pengejaran untuk merampas ia kembali dari tangan penculiknya. Ia kini mengerti. Kwa Bi Lan pernah mencinta ayah kandungnya dan karena tidak dibalas cintanya, bahkan ayah kandungnya yang sudah dijodohkan dengannya itu memilih gadis lain menjadi isterinya, maka Kwa Bi Lan mendendam.
Apalagi setelah suaminya, yaitu gurunya sendiri, meninggal dunia karena kecewa terhadap Si Han Beng, dendam Kwa Bi Lan makin mendalam. Kemudian, agaknya setelah hilang dendamnya, Kwa Bi Lan sudah terlanjur menyayangnya sebagai puteri sendiri, maka tidak mau mengembalikannya. Bahkan Kwa Bi Lan agaknya akan merahasiakan terus keadaan dirinya itu kalau saja tidak menghadapi ajalnya.
"Hong Lan, anakku. Aku ibumu, aku yang mengandungmu dalam perut selama sembilan bulan, aku yang melahirkanmu dengan taruhan nyawa, bagaimana mungkin aku tidak sayang padamu, anakku? Semenjak engkau dilarikan Bi Lan, setiap malam aku menangis, aku bersembahyang, mohon kepada Tuhan agar engkau diberi keselamatan dan kesehatan. Kemudian, akhir-akhir ini, membayangkan engkau telah dewasa, aku bersembahyang setiap akan tidur, mohon agar engkau diberi kebahagiaan... aku... aku tak pernah hentinya menyayangmu, Hong Lan..."
Bagaikan air bah yang lepas dari bendungan, Hong Lan menjerit dan menubruk Bu Giok Cu. "Ibu...!"
Mereka berdekapan sambil menangis berciuman dan Bu Giok Cu menengadah, memandang langit dengan air mata bercucuran akan tetapi mulut tersenyum tebar, bibirnya gemetar mengucapkan terima kasih kepada Tuhan.
"Terima kasih... terima kasih. Tuhan... aku telah menemukan kembali anakku... Hong Lan... ah, Hong Lan anakku..." Dan ibu yang terlalu bahagia ini tak dapat menahan lagi dirinya yang memang sudah kehabisan tenaga sin-kang, ia lemas dan pingsan dalam rangkulan Hong Lan.
"Ibu...! Ibuuu...!" Hong Lan menengok ke arah Si Han Beng yang masih berdiri sambil mengusap air matanya sendiri dengan punggung tangan. "Ayah...! Ini ibu bagaimana...?"
Si Han Beng menghampiri dan memegang pergelangan tangan isterinya. "Ibumu terguncang perasaannya, mari kita bawa ia masuk, Hong Lan."
"Ayah...!" Hong Lan membiarkan Si Han Beng memondong isterinya, dan Hong Lan memegangi lengan ayahnya, ikut masuk ke dalam rumah dimana ia dilahirkan.
Tak lama kemudian mereka semua telah duduk di ruangan dalam rumah itu. Jenazah Siong Ki telah dikebumikan dengan bantuan para tetangga secara sederhana. Hong Lan yang sudah bertukar pakaian wanita, ikut pula berkabung karena iapun terharu mendengar cerita ayah ibunya betapa dulu, ketika ia masih kecil Siong Ki yang mengasuhnya, menggendongnya dan mengajaknya bermain-main.
"Hong Lan, sekarang ceritakan tentang dirimu, sejak engkau dibawa pergi oleh Kwa Bi Lan", tanya Bu Giok Cu sambil memegangi tangan puterinya yang duduk di sebelahnya.
Setelah kini berpakaian wanita, Hong Lan nampak cantik jelita, mirip sekali dengan ibunya. Di ruangan itu duduk pula Cin Cin dan Thian Ki yang luka-luka di pundak dan bahunya telah diobati. Hong Lan telah diperkenalkan kepada Thian Ki dan Cin Cin, dan ia merasa kagum sekali mendengar bahwa Thian Ki adalah putera kakak angkat ayahnya dan memiliki kepandaian yang lihai sekali. Bahkan tadipun kalau tidak ada Thian Ki, mungkin ia telah tewas di tangan Siong Ki. Juga ia kagum kepada Cin Cin yang cantik manis, dan ikut gembira mendengar bahwa kedua orang itu telah bersepakat untuk menjadi suami isteri.
"Ceritanya panjang, ibu," kata Hong Lan dan ketika ia memandang ibunya, terpancar sinar kasih sayang dalam matanya yang membuat Bu Giok Cu terharu sekali. Lalu ia menceritakan pengalamannya ketika menjadi puteri Kwa Bi Lan. Diceritakannya betapa kemudian Kwa Bi Lan bertemu dengan Pangeran Li Si Bin dan ditarik menjadi pengawal pribadi pangeran mahkota itu. Betapa kemudian mereka saling jatuh cinta dan Kwa Bi Lan menjadi isteri atau selir Pangeran Li Si Bin sampai sekarang.
"Aihh, kalau begitu Kwa Bi Lan menjadi selir Kaisar dan bagaimana dengan engkau?" tanya Bu Giok Cu, kagum mendengar riwayat perjalanan hidup Kwa Bi Lan yang aneh itu.
"Karena ia selalu menganggap aku sebagai anaknya, maka dengan sendirinya akupun diakui oleh Sribaginda Kaisar sebagai puterinya."
"Hebat...!" Cin Cin yang sudah bergaul akrab dengan Hong Lan berseru sambil memandang kagum. "Kalau begitu engkau... eh... paduka... adalah seorang puteri istana, puteri Sribaginda Kaisar?" Cin Cin tidak main-main, melainkan bersungguh-sungguh.
Hong Lan memandang kepada Cin Cin dan tersenyum anggun, maklum bahwa gadis yang buntung tangan kirinya itu tidak mengejek atau main-main, melainkan bersungguh-sungguh. "Memang benar, selama belasan tahun ini aku dikenal sebagai Puteri Li Hong Lan, puteri kaisar yang oleh Sribaginda disayang dan dianggap puteri sendiri, walaupun beliau tahu bahwa aku bukan puterinya, bahkan tahu pula bahwa aku bukan puteri mendiang ibu Kwa Bi Lan. Akan tetapi, setelah aku mengetahui bahwa aku bukan puteri kaisar, bukan pula puteri ibu Kwa Bi Lan, aku lalu berpamit meninggalkan istana dan Sribaginda memberi ijin dan restu. Sekarang, aku bukan lagi puteri kaisar, enci Cin, melainkan Si Hong Lan biasa saja puteri ayah dan ibuku."
"Ahh, kalau begitu, doaku selama ini setiap malam kepada Tuhan dikabulkan!" seru Bu Giok Cu. "Anakku bukan saja sehat dan selamat, bahkan diangkat derajatnya menjadi puteri istana, puteri kaisar!"
"Akupun ikut bangga dan bersyukur, Hong Lan, tentu selama ini engkau hidup mulia, terhormat, dan bahagia. Apalagi Kwa Bi Lan dan Sribaginda kaisar menyayangmu."
Hong Lan menghela napas panjang. "Perkiraan orang luar terhadap kehidupan puteri istana sungguh jauh berbeda dengan kenyataannya, ayah." Tanpa canggung-canggung lagi bekas puteri istana itu menyebut ayah dan ibu kepada orang tuanya, sebutan yang baru pertama kali ini ia ucapkan terhadap orang tua kandungnya. "Memang ketika masih kecil, aku berbahagia karena hidup terhormat, segalanya tercukupi, berenang kemewahan, hidup dibangunan yang megah dan indah, mengenakan pakaian indah dan perhiasan serba mahal, makanan yang dihidangkan serba lezat. Akan tetapi semua itu akhirnya membosankan, apalagi setelah aku mulai mengerti, ayah. Di istana itu terdapat banyak sekali persaingan, permusuhan, kepalsuan dan perebutan kekuasaan. Ayahanda.... eh, maksudku Sribaginda Kaisar dikelilingi penjilat-penjllat, para thai-kam yang mencari muka, para selir yang terlalu banyak dan saling berlomba mengambil hati kaisar, para pejabat yang saling bersaing untuk menarik perhatian kaisar. Pendeknya, ibu... maksudku Bibi Kwa Bi Lan dan aku mulailah merasa tidak berbahagia. Sudah lama aku mendambakan kebebasan di luar istana, akan tetapi sebagai puteri kaisar, tentu saja Sribaginda tidak mengijinkan. Untung bahwa Sribaginda sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai, maka beliau memperbolehkan aku belajar ilmu silat. Akhir-akhir ini, bibi Kwa Bi Lan sering makan hati karena ia benar-benar mencinta kaisar, akan tetapi perhatian kaisar terlalu terpecah dan sibuk sehingga kadang-kadang kaisar seperti lupa kepada bibi Kwa Bi Lan."
Si Han Beng mengangguk-angguk. "Aku dapat membayangkan semua itu. Memang tak dapat disangkal bahwa tidak ada kesenangan tanpa kesusahan. Apa yang tadinya menyenangkan, dapat menjadi membosankan bahkan menyusahkan. Seorang hartawan lambat laun tidak lagi dapat merasakan kenikmatan hartanya, melainkan menderita karena hartanya, takut berkurang, takut lenyap, takut ditinggalkan. Aku dapat mengerti, Hong Lan."
"Lalu bagaimana terjadinya pemberontakan yang melibatkan Siong Ki itu? Kami ingin sekali mendengarnya," kata Bu Giok Cu.
Sebelum melanjutkan kisahnya, Hong Lan minum dulu air teh dari cangkir di atas meja. Semua orang memandang kagum. Tanpa disadarinya, agaknya bekas puteri istana ini masih belum terbebas dari kebiasaan kehidupan di dalam istana, ketika ia mengambil cangkir, ketika mengangkatnya ke bibir, ketika meneguk air teh, semua dilakukan dengan gerakan lengan, tangan dan jari yang seolah-olah menari, begitu teratur dan lembut! Hong Lan sendiri tidak menyadari ini.
"Yang melakukan pemberontakan adalah Paman... eh. Pangeran Li Seng Cun, adik dari Sribaginda Kaisar sendiri. Dia merencanakan pemberontakan dengan jalan membunuh Sribaginda dan dia menyuruh The Siong Ki dan Bi Tok Siocia yang melakukan usaha pembunuhan itu. Untung aku mengetahui rencana itu ketika kaki tangan mereka, seorang dayang dan seorang thai-kam, mengadakan pembicaraan dan aku memberitahu kepada Bibi Kwa Bi Lan. Kami mengatur siasat melakukan penjagaan dengan teliti pada malam yang ditentukan. Kemudian muncullah dua orang berkedok kain hitam menyerbu kamar Sribaginda Kaisar. Kami melawan mereka akan tetapi ternyata mereka lihai bukan main. Bibi Kwa Bi Lan bahkan terluka oleh pedang di tangan The Siong Ki, akan tetapi dalam keadaan terluka, ia masih terus mengejar Bi Tok Siocia yang memasuki kamar Kaisar. Karena para pengawal berdatangan, The Siong Ki yang dapat kusingkap topengnya dengan pedangku, sehingga aku mengenal wajahnya, melarikan diri. Aku tidak mengejar, melainkan membantu ibu di dalam kamar, di mana Bi Tok Siocia telah dikeroyok oleh bibi Kwa Bi Lan dan oleh Sribaginda sendiri. Aku membantu mereka dan akhirnya Bi Tok Siocia tewas oleh pedang bibi Bi Lan. Akan tetapi bibi Kwa Bi Lan juga roboh karena luka itu dan sebelum tewas itulah ia membuka rahasia diriku, bahwa aku bukan puteri kaisar, bukan pula puterinya dan menyuruh aku bertanya kepada Kaisar siapa orang tua kandungku. Kemudian, Sribaginda Kaisar yang memberitahu bahwa aku adalah puteri ayah dan ibu, akan tetapi beliau tidak dapat menjelaskan kenapa aku diculik Bibi Kwa Bi Lan dan mengapa pula ayah dan ibuku yang dikabarkan sebagai pendekar-pendekar sakti tidak mencari dan merebutku kembali. Hal ini membuat aku merasa penasaran dan sakit hati sekali, maka aku lalu berpamit dari Sribaginda kaisar dan datang ke sini dengan maksud untuk menegur dan mencela ayah dan ibu karena hatiku sakit sekali. Akan tetapi, tanpa kuduga di sini aku bertemu dengan The Siong Ki yang mengaku murid ayah dan ibu. Tentu saja aku menjadi semakin kecewa karena ternyata penjahat yang hendak membunuh Sribaginda kaisar itu adalah murid ayah, karena itulah maka aku bersikap seperti tadi. Harap ayah dan ibu suka memaafkan aku yang kurang ajar dan tidak berbakti."
Bu Giok Cu merangkulnya. "Engkaulah yang sepantasnya memaafkan kami, anakku. Semua sudah berlalu, disesalpun tiada gunanya. Kami sendiri sungguh tidak mengira bahwa Siong Ki dapat tersesat seperti itu. Ketika dahulu dia berada di sini, dia merupakan anak yang baik, rajin bekerja dan taat. Siapa kira, setelah berada di luar dia mau saja diperalat pemberontak."
Si Han Beng menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya dia memang seorang yang lemah, sehingga mudah saja dipengaruhi orang lain. Aku yakin bahwa dia tentu dipengaruhi oleh Bi Tok Siocia. Aku sudah mendengar tentang puteri datuk sesat Ouw Kok Sian itu. Sudahlah, tidak baik membicarakan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Semoga Tuhan memperingan hukuman atas dosa-dosa mereka."
Kini Hong Lan memandang kepada Thian Ki. Sejak peristiwa perkelahian yang menyebabkan tewasnya Siong Ki itu, ingin sekali ia bertanya, akan tetapi kesempatan belum ada karena lebih penting membicarakan tentang dirinya dan orang tuanya yang baru bertemu. Kini kesempatan itu terbuka setelah semua riwayat diceritakan.
"Ayah dan ibu, aku merasa heran sekali bagaimana The Siong Ki dapat tewas secara mengerikan? Padahal, aku melihat dia yang menyerang dan mencengkeram pundak dan bahu toa-ko Coa Thian-Ki ini." Dara ini menyebut Thian Ki toa-ko(kakak) setelah diperkenalkan dan tahu bahwa Thian Ki adalah putera kakak angkat ayah kandungnya. "Sedangkan toako hanya terluka saja. Ilmu hebat apakah yang dikuasai Coa-toako ini?"
"Bukan ilmu hebat, melainkan sebuah kutukan, siauw-moi," kata Thian Ki sambil menarik napas panjang.
"Ehh! Kutukan bagaimana?" Hong Lan kini sudah menemukan kembali kelincahannya karena ia merasa berbahagia dapat bersatu kembali dengan ayahbundanya, dan iapun bertemu dengan Thian Ki dan Cin Cin yang segera dapat menarik perhatiannya dan telah menjadi akrab dengan mereka.
"Ketahuilah, Hong Lan. Kakakmu Thian Ki ini adalah seorang tok-tong, anak beracun yang sekarang tentu saja menjadi manusia beracun. Di dalam tubuhnya terdapat hawa beracun yang amat dahsyat, sehingga banyak sudah orang-orang yang lihai, baiknya mereka itu orang-orang jahat, yang tewas ketika menyerangnya, sejak dia masih kecil," kata Bu Giok Cu.
"Adik Hong Lan, kau lihat tangan kiriku. Inipun akibat hawa beracun di tubuh Thian Ki," kata Cin Cin tertawa. Akhirnya, Hong Lan pasti sekali waktu akan bertanya juga tentang tangannya, pikirnya. Tiada salahnya sekarang saja menceritakan untuk mengusir perasaan tidak enak, seolah merupakan senda-gurau.
"Wahhh...! Tunanganmu sendiri yang membuat tanganmu buntung? Bagaimana pula ini?"
Hong Lan bertanya heran dan keheranannya demikian sungguh-sungguh, membuat ia nampak manis seperti seorang anak kecil. Semua orang tersenyum melihat sikapnya.
"Ketika itu, kami juga berkelahi dan belum bertunangan. Aku mencengkeram pundaknya dan tanganku menjadi hitam keracunan. Dan untuk menyelamatkan nyawaku, terpaksa Thian Ki membuntungi tangan kiriku dengan pedang. Kalau dia tidak melakukannya, tentu aku sudah tewas seperti halnya Siong Ki tadi."
"Bukan main! Kalian saling berkelahi sampai seorang di antara kalian buntung tangan kirinya, kemudian kalian bertunangan. Tentu cinta di hati kalian benar-benar murni!" kata pula Hong Lan dan ucapan ini saja menunjukkan bahwa gadis bekas puteri bangsawan istana ini memang berwatak lincah jenaka. "Akan tetapi, dengan memiliki tubuh beracun seperti itu, berarti Coa toako menjadi seorang pendekar yang hebat dan sukar dikalahkan. Kenapa tadi toako mengatakan bahwa kelebihan itu merupakan sebuah kutukan? Aku tidak mengerti."
Wajah Thian Ki menjadi muram. "Aku bahkan datang menemui ayah ibumu untuk mohon pertolongan mereka mengobatiku agar aku dapat terbebas dari hawa beracun ini, siauw moi. Dan malam tadi mereka telah melakukannya."
"Itulah sebabnya mengapa tadi paman dan bibi tidak dapat melindungimu dari Siong Ki, adik Hong Lan. Mereka semalam telah menghabiskan tenaga sin-kang untuk mencoba mengobati Thian Ki," kata Cin Cin.
Kini barulah Hong Lan mengerti. Tadi iapun memang merasa heran melihat betapa ayah ibunya yang dikenal sebagai sepasang pendekar sakti, seperti tak berdaya ketika dirinya diancam oleh serangan maut Siong Ki, murid mereka sendiri. Kiranya ayah ibunya telah kehabisan tenaga karena semalam mengobati Thian Ki.
"Ayah, Ibu, maafkan kalau aku menyangka yang bukan-bukan," katanya dan pandang matanya demikian lembut sehingga suami isteri itu mendekati dan merangkulnya penuh kasih sayang.
"Kami memang telah berusaha, akan tetapi hanya mampu mengusir sebagian saja dari hawa beracun di tubuhnya. Kami tidak berhasil membebaskannya. Hawa beracun itu dahsyat bukan main," kata Si Han Beng.
"Akan tetapi, kenapa sih engkau berkeras untuk melenyapkan hawa beracun itu dari tubuhmu, toako? Bukankah hal itu bahkan menguntungkan sekali? Apakah barangkali racun itu membahayakan keselamatan dirimu sendiri?" Hong Lan bertanya heran.
Thian Ki menghela napas dan melirik kepada kekasihnya, Cin Cin yang menundukkan mukanya mendengar pertanyaan bekas puteri kaisar itu. "Membahayakan diriku sih tidak, hanya..." Dia tidak mampu melanjutkan karena merasa sungkan untuk bicara tentang itu.
"Hanya kenapa, toako?" Hong Lan mendesak.
Bu Giok Cu yang mengerti akan kesungkanan Thian Ki berkata, "Hong Lan, kalau hawa beracun itu tidak dapat dienyahkan dari dalam tubuhnya, maka selamanya dia tidak dapat menikah. Wanita yang menjadi isterinya tentu akan mati keracunan."
"Aihh...!" Hong Lan berseru kaget dan kini ia memandang kepada Thian Ki dan Cin Cin dengan sinar mata mengandung iba. "Kalau ayah dan ibu gagal, lalu apakah tidak ada jalan lain untuk menyembuhkan Coa-toako?"
Ayahnya menghela napas. "Racun itu amat hebat, ditanamkan di tubuhnya sejak dia masih kecil sekali, sehingga hawa beracun itu telah menyusup ke dalam jalan darahnya, sehingga darahnya juga mengandung racun. Berbahaya sekali! Agaknya hanya kesaktian kedua orang sukongmu (kakek gurumu) yang akan mampu mengusir hawa beracun itu dengan sin-kang mereka. Akan tetapi, kedua orang kakek gurumu itu, Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio, telah lama menghilang dari dunia persilatan dan tak seorangpun tahu di mana mereka berada. Mungkin mereka berdua kini berada di pegunungan Himalaya sebagai pertapa-pertapa. Atau kalau mungkin terdapat obat penawar racun yang paling langka di dunia ini dapat ditemukan..."
"Ayah! Pernah ayahanda... eh, Sribaginda Kaisar bercerita kepadaku tentang obat penawar segala racun yang kini menjadi milik istana, menjadi satu di antara benda pusaka. Bahkan menurut Sribaginda Kaisar, tidak ada keracunan yang tidak dapat dipunahkan oleh obat itu. Katanya obat itu terbuat dari katak merah pemakan ular berbisa. Sribaginda mendapatkannya dari seorang sakti yang bernama Im Yang Seng-cu, yang kini menjadi penasihat dan sahabat Sribaginda Kaisar."
Suami isteri itu saling pandang. Sebagai dua orang kang-ouw yang berpengalaman, mereka pernah mendengar tentang katak merah, seekor binatang langka dan ajaib yang kabarnya menjadi pemakan ular berbisa dan katak itu sendiri mengandung bisa yang demikian kuat, sehingga merabanya saja dapat membunuh seorang manusia, akan tetapi racunnya itu dapat pula memunahkan segala macam racun di dunia ini.
"Kami telah mendengar tentang katak ajaib itu,. Hong Lan. Akan tetapi, obat itu menjadi pusaka istana..." kata Bu Giok Cu.
"Mungkin obat itu dapat menyembuhkan Thian Ki. Akan tetapi bagaimana...?" tanya pula Si Han Beng.
Hong Lan sudah meloncat kegirangan. "Wah, mudah saja, ayah dan ibu. Telah kuceritakan tadi bahwa ayahanda... eh, Sribaginda Kaisar amat sayang kepadaku dan beliau menganggap aku sebagai puterinya sendiri. Bahkan ketika aku memohon diri untuk meninggalkan istana dan mencari ayah dan ibu, beliau menawarkan untuk memberi hadiah kepadaku, dan apa saja yang kuminta akan beliau berikan. Akan tetapi aku hanya minta diberi tahu siapa ayah dan ibu kandungku. Nah, kalau aku yang minta obat itu, aku yakin beliau pasti akan memberikan kepadaku."
"Tapi engkau baru saja tiba, bagaimana mungkin aku dapat membiarkan engkau pergi lagi?" Bu Giok Cu memprotes.
"Aku dapat memberi surat kepada Sribaginda Kaisar, ibu. Aku mempunyai cap tersendiri dan beliau akan mengenal tanda tangan dan capku itu."
"Bagus! Kalau begitu, tulislah surat itu dan biar Thian Ki sendiri yang pergi ke kota raja dan menghadap Sribaginda, menyerahkan suratnya dan menerima obat itu," kata Si Han Beng gembira.
"Baik, akan segera kulakukan ayah!" kata Hong Lan gembira karena mendapat kesempatan untuk membantu Thian Ki, pemuda yang ternyata merupakan kakak angkatnya, bahkan yang baru saja telah menyelamatkan nyawanya.
"Nanti dulu, siauw-moi!" kata Thian Ki dan semua orang melihat betapa pemuda itu menjadi muram wajahnya, tidak seperti yang lain, yang merasa gembira mendengar tentang obat yang dapat memberi harapan menyembuhkan Thian Ki.
"Eh, kenapa, toako?"
"Siauw-moi, paman dan bibi, terima kasih atas kebaikan kalian, dan juga Lan-moi yang ingin memintakan obat ke istana untuk menolongku. Akan tetapi, harap maafkan saja, aku... tidak mungkin dapat menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar."
Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan termasuk Cin Cin yang memandang kekasihnya dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Thian Ki, kau sungguh aneh sekali. Kenapa engkau tidak mau menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar ?" tanya Si Han Beng.
"Maaf, paman, sebetulnya hal ini merupakan rahasiaku, akan tetapi karena kalau aku tidak membuat pengakuan tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan, biarlah aku akan berterus terang. Paman dan bibi adalah orang-orang yang kuhormati, juga adik Hong Lan seperti adikku sendiri yang kusayang, maka biar aku berterus terang. Aku mempunyai sebuah tugas dari suhu, yaitu agar aku mengambilkan pedang pusaka yang dulu milik suhu, akan tetapi sekarang telah terjatuh ke tangan pemerintah kerajaan dan pedang pusaka itu kini menjadi pusaka istana kerajaan. Maka, aku terpaksa harus pergi ke kotaraja dan berusaha untuk mencuri pedang pusaka istana, bagaimana mungkin aku menerima pemberian dari Sribaginda Kaisar? Aku merasa malu untuk menerimanya, paman."
Semua orang terdiam dan memandang kepada Thian Ki penuh kagum. Sukar dicari orang yang memiliki kejujuran seperti dia. Hong Lan yang lebih dulu bicara dan bertanya. "Toako, apakah nama pedang pusaka milik gurumu yang kini menjadi pusaka istana itu?"
"Pedang itu disebut Liong-cu-kiam (Pedang Mestika Naga)"
"Ah, aku tahu pedang itu! Bahkan pernah aku meminjamnya untuk berlatih silat pedang. Jadi itukah pedang pusaka milik suhumu? Siapa sih suhumu itu, toako?"
"Suhuku adalah juga ayah tiriku, dahulu dialah Pangeran Cian Bu Ong."
Hong Lan terbelalak. "Ahhh...! Pemberontak itu?"
"Lan Lan, jangan katakan begitu," kata Bu Giok Cu memperingatkan.
"Kenapa, ibu? Bukankah benar bahwa Pangeran Cian Bu Ong, saudara dari mendiang Kaisar Yang Ti dari dinasti Sui, pernah memimpin pemberontakan dan sudah ditumpas oleh pasukan pemerintah?"
Si Han Beng mengerutkan alisnya, khawatir kalau Thian Ki tersinggung. Akan tetapi, pemuda itu bahkan tersenyum menatap wajah adik misannya.
"Engkau memang benar, siauw-moi. Bagi engkau yang sejak kecil menjadi puteri Kaisar Kerajaan Tang, tentu saja mendengar dan menganggap bahwa Cian Bu Ong seorang pemberontak. Akan tetapi coba bayangkan bahwa engkau seorang puteri kerajaan Sui, pasti engkau akan menganggap dia seorang patriot dan pejuang yang mempertahankan kerajaannya, dan bahkan Sribaginda kaisar yang sekaranglah yang kau anggap pemberontak. Tidakkah begitu?"
Hong Lan tertegun. Ia seorang gadis yang terpelajar dan cerdik, di istana selain ilmu silat juga mempelajari ilmu sastra dan sudah membaca banyak kitab sehingga ia maklum apa yang dimaksudkan Thian Ki. Iapun mengangguk dan menghela napas panjang.
"Kerajaan memang merupakan medan pertentangan dan menjadi sumber perebutan kekuasaan. Yang menang dipuja-puja, yang kalah dimaki-maki. Engkau benar, toako dan maafkan ucapanku tadi. Jadi, Liong-cu-kiam itu dahulu milik gurumu? Kalau begitu, kiranya sudah sepantasnya kalau dia menginginkannya kembali kepadanya. Nah, engkau tidak perlu mencurinya, toako, sungguhpun dengan kepandaianmu, aku yakin engkau akan berhasil mencurinya."
"Kalau tidak mencuri, lalu bagaimana..."
"Jangan khawatir. Aku bukan hanya akan minta obat bagimu dari Sribaginda Kaisar, akan tetapi juga minta Liong-cu kiam itu. Aku yakin, ayahanda... ah, sudah terbiasa aku menyebut beliau ayahanda. Jadi selalu saja keliru..."
"Tidak apa engkau menyebut beliau begitu, Lan Lan. Kami ikut bangga bahwa Sribaginda Kaisar mau menganggap anak kami sebagai puterinya," kata Si Han Beng serius.
"Aku yakin beliau akan memberikan obat dan pedang itu kepadamu, toako. Tunggu, akan kubuatkan surat itu." Gadis itu lalu berlari memasuki kamarnya.
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Ki dan Cin Cin sudah berangkat meninggalkan dusun Hong-cun, diantar oleh ayah ibu dan anak itu sampai ke luar dusun. Thian Ki dan kekasihnya, Cin Cin, melakukan perjalanan menuju ke kota raja dengan hati lapang dan penuh harapan, karena Thian Ki membawa surat dari Hong Lan yang ditujukan kepada Kaisar sendiri!
Sementara itu, Hong Lan yang baru saja bertemu dengan orang tua kandungnya, menikmati kebahagiaan hidup bersama mereka di dusun yang tenteram itu, jauh dari kemewahan istana, jauh pula dari semua persaingan dan permusuhan. Terasa olehnya betapa tenang dan penuh damai kehidupan di rumah orang tuanya di dusun itu, dan kalau mengingat akan kehidupan di istana, terasa betapa panas dan tegangnya kehidupan dan lingkungan keluarga di istana itu. Apalagi ia kini digembleng oleh ayah ibunya dengan ilmu silat tinggi, membuat Hong Lan merasa berbahagia sekali.
********************
Gadis penunggang kuda yang memasuki pintu gerbang kota raja itu memang cantik jelita dan menarik perhatian orang, terutama bagi para pria. Kudanya juga merupakan kuda pilihan, tinggi besar dan tentu amat mahal harganya. Gadis itu sendiri usianya sekitar duapuluh tahun, tubuhnya semampai dengan pinggang yang ramping sekali.
Rambutnya agak keriting, digelung ke atas dan diikat sutera merah. Pakaiannya dari sutera halus menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang kaya. Sepasang matanya bersinar-sinar. Biarpun ia cantik menarik, akan tetapi sinar matanya itu, ditambah sebatang pedang yang berada di punggung, membuat orang tidak berani sembarangan mengganggunya.
Biarpun peristiwa pemberontakan Pangeran Li Seng Cun telah lewat beberapa bulan lamanya, namun akibatnya masih nampak, terutama di pintu gerbang kota raja. Kini, pintu gerbang itu dijaga ketat oleh belasan orang perajurit, dan setiap orang yang keluar masuk diamati dengan seksama. Terutama sekali mereka yang nampak asing dan bukan penghuni kota raja, diamati dan kalau perlu dihentikan dan diperiksa dengan teliti.
"Berhenti!" Empat orang penjaga telah berdiri menghadang di depan kuda gadis itu, memalangkan tombaknya sehingga kuda itu terkejut dan meringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas.
Orang-orang yang berlalu lalang memandang khawatir, takut kalau-kalau gadis cantik itu akan terjatuh dari atas punggung kudanya. Akan tetapi gadis itu masih berdiri tegak dan menarik kendali untuk menenangkan kudanya, dan ia memandang tajam kepada empat orang penjaga itu.
"Kalian mau apa menghadang perjalananku?" tanya gadis itu, suaranya merdu akan tetapi tajam dan marah.
"Nona, turunlah. Kami ditugaskan untuk memeriksa setiap orang asing yang masuk ke sini dan mencurigakan, dan kami curiga terhadap nona. Turunlah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!" kata seorang berpakaian perwira yang baru keluar dari dalam gardu penjagaan. Orang ini bertubuh pendek bulat, perutnya gendut dan usianya sekitar tigapuluh tahun, di pinggangnya tergantung golok besar.
Karena maklum bahwa ia berada di kota raja maka gadis itu yang bukan lain adalah Cian Kui Eng, melompat turun dari atas punggung kudanya lalu menuntun kudanya mengikuti perwira itu menuju ke gardu penjagaan. Atas perintah perwira itu dengan tenang dan sabar Kui Eng mengikatkan kendali kuda di depan gardu penjagaan, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya, ia mengikuti perwira gendut itu memasuki gardu.
Ia dipersilakan duduk di bangku, menghadapi meja dan di seberang meja itu duduklah si perwira yang memandang kepadanya dengan mata yang liar, seperti hendak melahap tubuhnya. Kui Eng melihat beberapa orang perajurit di luar gardu menjenguk masuk dan mereka itu menyeringai dan cekikikan kurang ajar.
Kui Eng menyabarkan hatinya. Ia meninggalkan rumah karena merasa tidak betah tinggal di rumah, karena seminggu setelah Thian Ki pergi, ayah dan ibunya juga pergi ke Himalaya untuk mencari Swe-hiat-ang-cio (Rumput Merah Pencuci Darah) untuk mengobati Thian Ki. Di rumah sendiri ia tidak tahan dan iapun pergi menyusul Thian Ki ke kota raja. Akan tetapi, karena baru sekarang ia mendapat kesempatan untuk merantau seorang diri, perjalanan itu dilakukan Kui Eng secara lambat dan ia berhenti di setiap tempat yang dianggap menyenangkan.
Pernah ia melakukan perjalanan ketika mengikuti orang tuanya dan Thian Ki pergi berkunjung ke kuil tempat tinggal Lo-Nikouw. Akan tetapi perjalanan bersama keluarga itu tidak begitu menggembirakan seperti kalau melakukan perjalanan seorang diri, di mana ia dapat menentukan apa saja yang akan dilakukannya, merasa bebas. Perjalanan sampai ke kota raja itu makan waktu berbulan-bulan karena Kui Eng suka singgah di mana-mana, bahkan ketika tiba di sebuah telaga besar yang indah, ia tinggal di situ hampir sebulan lamanya.
Banyak pengalaman dijumpainya, banyak pula gangguan, akan tetapi dengan mudah ia dapat mengatasi semua gangguan itu mengandalkan ilmu silatnya yang kini telah mencapai tingkat tinggi sekali. Kalau hanya tokoh-tokoh kang-ouw biasa saja, jangan harap akan mampu menandingi puteri bekas Pangeran Cian Bu Ong ini!
Ditambah pula dia lincah, tabah dan cerdik. Karena banyak mendapat gangguan dari para pria di dalam perjalanan, maka sikap para penjaga di pintu gerbang kota raja itu tidak membuat ia serasa heran atau terlalu marah. Ia tahu bahwa sebagian besar pria memang kurang ajar dan kalau melihat wanita cantik lalu timbul kegenitan mereka!
"Nah, aku sudah berada di sini. Apa yang hendak kauperiksa?" tanya Kui Eng, agak jengkel juga melihat perwira itu hanya menggerayangi tubuhnya dengan pandang matanya yang berminyak itu.
"Oh, heh-heh..." perwira gendut itu tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang malang melintang dan kacau berwarna hitam kekuningan. "Nona, kami harus memeriksa buntalan pakaianmu itu. Kami tidak ingin ada pemberontak yang menyelundup ke dalam kota raja. Semua pemberontak harus dibasmi!" kata-kata terakhir ini dikeluarkan dengan penuh semangat.
Kui Eng tersenyum mengejek. "Periksalah, aku bukan pemberontak, aku seorang pelancong yang ingin melihat kota raja."
"Sebelum aku memeriksa buntalanmu, lebih dulu aku harus mencatat siapa nama nona dan tinggal di mana, datang dari mana dan hendak kemana."
"Namaku Cian Kui Eng," kata gadis itu singkat. "Berapa usia nona tahun ini?"
"Apa perlunya menanyakan usia segala!" bentak Kui Eng.
"Ah, harus itu!" kata si perwira gendut. "Untuk melengkapi pendaftaran mereka yang dicurigai! Kami hanya melaksanakan perintah atasan."
Kui Eng menghela napas, menyabarkan dan menenangkan hatinya. "Dua puluh tahun," jawabnya singkat dan perwira itu menuliskan nama Kui Eng dan usianya di dalam buku pendaftaran. Caranya menuliskanpun bergaya, penuh aksi seolah dia seorang sastrawan sedang menuliskan sajak indah!
"Tempat tinggal?"
"Di dusun Ke-cung, kaki bukit Kim-san lembah Huang-ho."
Kembali perwira itu menuliskan alamat. Kemudian dia mengangkat mukanya dan menyeringai lagi. "Sudah bersuami?"
Wajah Kui Eng menjadi merah padam. "Huh, apa-apaan ini bertanya sudah bersuami atau belum? Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pemeriksaan!"
"Aih-aih, jangan marah dulu, nona. Kami tidak ingin ada pembunuh yang menyelundup ke kota raja seperti wanita yang berniat membunuh Sribaginda itu. Untung ketahuan dan ia sudah terbunuh. Kami harus teliti memeriksa setiap orang yang mencurigakan, laki-laki maupun wanita. Nah, sekarang jawab sejujurnya, apakah engkau sudah bersuami dan kalau sudah, siapa nama suamimu dan sekarang dia berada di mana? Kenapa nona melakukan perjalanan seorang diri?"
"Aku belum bersuami!" jawab Kui Eng, kini agak ketus.
"Hemm, sungguh aneh. Seorang gadis duapuluh tahun, cantik jelita seperti nona, berharta pula melihat pakaian dan kuda nona, masih belum bersuami? Sungguh sayang..."
"Cukup! Aku tidak ingin mendengar pendapatmu!" bentak Kui Eng. "Cepat selesaikan pemeriksaan ini, aku sudah tidak sabar lagi!"
"Heh-heh, baik-baik nona. Sekarang aku hendak memeriksa buntalanmu ini." Dia meraih buntalan di atas meja yang tadi diletakkan oleh Kui Eng dan membuka buntalan itu. Dia mengaduk-aduk pakaian Kui Eng dan beberapa kali berkata lirih.
"Hemm, harum... harum wangi..." sehingga wajah gadis itu menjadi kemerahan. Kemudian, dia menemukan peti hitam kecil dan membukanya. Matanya terbelalak ketika dia melihat perhiasan emas permata yang serba berkilauan dan amat berharga, yang menjadi bekal perjalanan Kui Eng.
"Wah, nona membawa harta begini banyak! Dari mana nona mendapatkan harta ini?" tanyanya liril dan matanya dipicingkan.
"Apa perdulimu? Ini adalah perhiasan milikku sendiri. Tidak bolehkah orang memiliki perhiasan dan membawa ke manapun ia kehendaki?"
"Tentu saja, kalau sudah jelas miliknya. Akan tetapi nona kami curigai, karena itu, kami tahan dulu dan sekarang, kami harus memeriksa pakaian di tubuh nona, siapa tahu nona masih menyembunyikan sesuatu di balik baju nona!" Berkata demikian, perwira gendut itu bangkit, memutari meja dan kedua tangannya dijulurkan ke depan, siap untuk menggerayangi tubuh Kui Eng dengan alasan hendak menggeledahnya.
"Plakk-plakk!" Kui Eng menggerakkan tangan menangkis dan perwira itu mengeluh dan terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan karena kedua lengannya yang ditangkis oleh tangan yang mungil itu seolah-olah akan patah-patah tulangnya. Tentu saja dia menjadi marah.
"Ah, ternyata engkau memang benar pemberontak!" berkata demikian, perwira itu kini menerjang dan menubruk dengan kedua lengan terbuka seperti seekor beruang hendak menerkam mangsanya.
Kui Eng juga sudah marah. Perhiasan dan kudanya hendak dirampas, dan tubuhnya hendak digerayangi. Ia lupa diri, lupa bahwa ia berada di gardu penjagaan pintu gerbang kota raja, lupa bahwa kalau ia mengamuk, mungkin ia akan ditangkap sebagai pemberontak. Kemarahan membuat ia lupa segala dan melihat perwira gendut itu menerkamnya secara kurang ajar, iapun menggerakkan kedua tangannya, dengan jari tangan terbuka, kedua tangan itu bergerak cepat sekali.
"Krek-krek-prakkk!" Perwira itu terjengkang dan mengaduh-aduh dengan suara lucu karena mulutnya berdarah, giginya rontok semua dan kedua tulang lengannya patah.
"Auh... ahhh... pemberontak... ah... aduuhh... tangkap...!!" teriaknya, mengaduh-aduh dan bangkit berdiri mengejar Kui Eng yang melangkah keluar, lengannya di ayun-ayun akan tetapi tak dapat diangkat karena nyeri, dan mulutnya berdarah.
Melihat keadaan perwira itu, para penjaga cepat mengepung Kui Eng yang sudah memanggul buntalan pakaiannya di pundak. Mereka maklum bahwa gadis itu telah menghajar perwira mereka, maka tanpa dikomando lagi, belasan orang perajurit penjaga sudah mengepung dan berlomba untuk menangkap gadis cantik itu.
Dengan tangan kiri memanggul buntalan, tangan kanan memegang cambuk kuda. Kui Eng menghadapi pengepungan belasan orang perajurit penjaga itu dengan sikap tenang, akan tetapi sepasang matanya yang indah jeli itu mencorong marah. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun, kepalanya tidak menoleh ke kanan atau kiri, hanya matanya saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri seperti mata seorang penari yang lincah.
Begitu para pengepungnya, belasan orang itu, mulai bergerak, terdengar suara cambuknya meledak-ledak. Akan tetapi cambuk kuda itu kini bukan untuk melecuti kuda, melainkan melayang dan menyambar-nyambar ke arah kepala belasan orang itu. Segera terdengar suara para pengeroyok itu mengaduh-aduh dan banyak di antara mereka yang mukanya berdarah dan babak celur disayat ujung cambuk. Tentu saja belasan orang penjaga itu menjadi terkejut dan marah sekali. Terutama pemimpin regu itu, dengan suara pelo karena giginya rontok semua dia berteriak-teriak.
"Bunuh pemberontak itu! Bunuh iblis betina itu!" Dan semua penjaga sudah mencabut senjata masing-masing. Ada yang memegang golok, pedang atau tombak.
"Tar-tar-tarrr...!!" Cambuk itu meledak-ledak dan banyak senjata tajam dan runcing beterbangan terlepas dari tangan yang menggenggamnya.
Melihat para pengeroyok yang belum roboh mundur dan memandang jerih. Kui Eng bertolak pinggang. "Hemm, kalian ini perajurit pemerintah, ataukah perampok-perampok?"
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda datang menguak para penonton yang sudah semakin banyak berdiri di dekat pintu gerbang. Dengan sigapnya, penunggang kuda itu melompat turun dari atas punggung kuda dan menerobos masuk kepungan belasan orang perajurit yang sudah mulai kecil nyalinya menghadapi Kui Eng itu.
"Heii, apa yang telah terjadi di sini!" bentak menunggang kuda itu.
Melihat penunggang kuda yang baru tiba, komandan regu yang giginya rontok itu menjadi terkejut dan semua anak buahnya nampak ketakutan.
"Maaf... pangeran... ini... eh, gadis ini seorang pemberontak!" kata komandan regu dengan suara pelo.
Penunggang kuda itu menengok ke arah Kui Eng pada saat gadis itupun menengok dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan memandang penuh perhatian. Kui Eng melihat bahwa penunggang kuda yang disebut pangeran itu adalah seorang pria muda, berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, akan tetapi wajahnya bersih, cerah dan penuh senyum, terutama sepasang matanya yang bersinar-sinar penuh semangat hidup.
Wajah itu tampan dan menyenangkan karena nampak tidak angkuh seperti kebanyakan para bangsawan, dan biarpun pakaian pangeran itu seperti pakaian seorang terpelajar, longgar dan rapi, namun sebatang pedang yang berada di punggungnya menunjukkan bahwa pangeran ini juga suka akan ilmu silat. Mendengar ucapan komandan regu itu, sang pangeran yang bertubuh tinggi tegap itu mengerutkan alisnya dan diapun bertanya kepada Kui Eng.
"Nona benarkah apa yang dikatakan komandan regu tadi bahwa engkau seorang pemberontak?"
Kui Eng meruncingkan mulutnya berjebi, gerakan yang biasa ia lakukan tanpa disadari kalau ia marah, dan gerakan mulut ini membuat ia nampak manis menggemaskan. "Engkau seorang pengeran? Sudah sepatutnya kalau engkau malu mempunyai seregu perajurit seperti mereka itu. Aku seorang pemberontak? Aku datang memasuki kota raja sebagai seorang pelancong dan apa yang mereka lakukan? Si kerbau gendut itu hendak merampas perhiasanku, juga merampas kudaku. Bukan itu saja dengan dalih melakukan penggeledahan, dia hendak menggerayangi tubuhku! Dia tidak kubunuhpun masih terlalu ringan baginya!"
Wajah tampan itu berubah merah sekali dan Kui Eng sudah siap untuk menyambut kemarahan pangeran itu kepadanya. Akan tetapi ternyata kemarahan itu tidak ditujukan kepadanya. Mata yang tadinya membayangkan keramahan dan senyuman itu tiba-tiba kini mencorong penuh wibawa ketika dia menoleh dan menghadapi seregu penjaga yang menjadi ketakutan.
"Katakan, benarkah apa yang dituduhkan nona ini? Jawab yang betul!" bentaknya kepada komandan regu.
Orang gendut itu menjadi pucat dan matanya terbelalak, dia menggoyang tangan kanan yang patah tulangnya itu, lalu menggeleng kepala. "Tidak... tidak, pangeran...!"
"Hemm, kalau tidak, lalu mengapa nona ini menghajar kalian? Katakan, apa sebabnya?" bentak pula pangeran itu, mendesak.
"Hamba... hamba tidak tahu... ia pemberontak... tahu-tahu ia mengamuk..." jawaban ini tentu saja ngawur saking takutnya.
"Hemm, aku belum gila, kalau tanpa hujan tanpa angin datang-datang aku menghajar kalian!" kata Kui Eng.
"Hayo jawab yang benar, jangan bohong!" bentak pangeran itu. "Nona ini benar, tanpa sebab tidak mungkin ia menghajar kalian! Aku akan suruh siksa dulu kalian semua?"
Komandan regu itu dan anak buahnya segera menjatuhkan diri berlutut. Mereka nampak ketakutan sekali karena pangeran ini terkenal dengan kekerasannya kalau menghadapi anak buah yang bersalah.
"Ampun, pangeran... kamu... kami mencurigainya dan hendak menahan untuk sementara barang-barangnya, dan hendak menggeledahnya, akan tetapi tiba-tiba ia mengamuk..."
Kui Eng mengeluarkan kotak kecilnya dan membuka di depan pangeran itu. Nampak perhiasannya berkilauan. "Nah, inilah yang akan mereka sita, juga kudaku di sana itu, kemudian si gendut babi ini mencoba untuk menggerayangi tubuhku. Salahkah aku kalau menghajarnya? Dia lalu mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyokku."
"Keparat!" Pangeran itu membentak dan tubuh belasan orang itu menggigil ketakutan. Ketika ada seorang perwira lewat dan memberi hormat kepada pangeran itu, sang pangeran berkata, "Cepat panggil seregu penjaga pengganti dan jebloskan mereka ini ke dalam tahanan. Laporkan kepada panglima agar dia menemuiku. Orang-orang jahat ini harus dihukum berat untuk menjadi contoh para perajurit lainnya!"
Belasan orang yang berlutut itu minta-minta ampun, akan tetapi pangeran itu tidak menghiraukan mereka lagi. Dia membungkuk kepada Kui Eng, "Nona, maafkanlah kami. Memang kami kurang tertib, sehingga ada anak buah yang menyeleweng seperti mereka. Akan tetapi, kami pasti akan menghukum mereka. Nah, sekarang nona boleh melanjutkan perjalanan tanpa gangguan."
Kui Eng diam-diam merasa kagum bukan main. Ayahnya juga seorang bekas pangeran, dan ayahnya juga berwatak keras. Akan tetapi, ayahnya tidak selembut pangeran ini. Ayahnya masih memandang rendah orang-orang bawahan, akan tetapi pangeran ini sikapnya demikian sopan dan lembut, walaupun wibawanya jelas nampak ketika dia memarahi seregu penjaga itu. Iapun memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.
"Pangeran, terima kasih atas kebaikanmu, dan maafkan sikapku yang kasar tadi."
Pangeran itu mengangguk, dan mengikuti Kui Eng dengan pandang matanya ketika gadis itu menuntun kudanya yang bagus, memasuki pintu gerbang. Kui Eng tidak tahu betapa pangeran itu mengikutinya dengan pandang mata penuh kekaguman.
Pangeran itu memang terkenal sebagai seorang pangeran yang lembut hati dan ramah, tidak congkak, namun dia dapat bersikap keras terhadap anak buah atau para prajurit yang melakukan penyelewengan. Diapun terkenal sebagai seorang pangeran yang memiliki ilmu silat tinggi, namun dia menolak ketika pamannya, yaitu Kaisar Tang Tai Cung, memberi kedudukan kepadanya. Pangeran ini bernama Pangeran Li Cu Kiat...