"Kami berdua ingin menghadap Sribaginda kaisar," kata Thian Ki dengan sikap sederhana. Ucapan ini memancing tawa dan senyum para perajurlt pengawal. Begitu mudahnya pemuda ini mengatakan hendak menghadap kaisar, seolah menghadap kaisar sama dengan menghadap seorang lurah saja!
"Maaf, tidak begitu mudah untuk dapat diperkenankan menghadap Srlbaginda, sobat," kata komandan itu. "Ji-wi harus lebih dahulu mendaftarkan diri, menulis nama dan alamat, dan juga menuliskan maksud permohonan menghadap beliau."
Thian Ki dapat mengerti peraturan ini, akan tetapi Cin Cin agak cemberut. Untung bahwa komandan jaga itu dan anak buahnya bersikap sopan. Coba mereka itu bersikap congkak atau berani kurang ajar, tentu dara ini sudah menghajar mereka. Jengkel ia melihat betapa keinginan menghadap kaisar saja dipersulit.
"Kami berdua datang membawa surat dari Puteri Sri baginda yang bernama Hong Lan, apakah itu belum cukup untuk membolehkan kami menghadap Sribaginda sekarang juga?"
Mendengar disebutnya nama Hong Lan, komandan itu bersikap lebih ramah lagi. "Ah, tentu saja, nona. Tentu saja boleh menghadap Sri baginda, akan tapi kami harus mematuhi peraturan, kalau tidak, kalau kami membiarkan saja ji-wi masuk tanpa didaftar, tanpa di laporkan lebih dahulu, tentu kami yang akan menerima hukuman berat!"
"Sudahlah, Cin-moi. Perwira ini benar. Mari, ciangkun, kami akan mendaftarkan diri," kata Thian Ki dan mereka berdua lalu memasuki gardu, dipersilakan duduk dan disodori buku di mana mereka harus mendaftarkan diri. Thian Ki yang lebih dahulu menuliskan namanya dan begitu komandan itu melihat nama Coa Thian Ki ditulis di sana. dia terkejut.
"Ah, kiranya tai-hiap yang bernama Coa Thian Ki?"
"Benar, kenapakah?" tanya Thian Ki.
"Sungguh kebetulan sekali! Saya beruntung sekali hari ini bertugas jaga di sini sehingga tanpa bersusah payah dapat dapat menemukan tai-hiap! Sudah berhari-hari Pangeran Li Cu Kiat mengerahkan banyak penyelidik untuk mencari tai-hiap, siapa kira hari ini saya yang dapat menemukan tai-hiap secara begini mudah!" Komandan jaga itu nampak gembira bukan main karena dia tentu akan menerima hadiah besar dari Pangeran Li Cu Kiat.
"Pangeran Li Cu Kiat? Kenapa beliau mencari-cariku?" tanya Thian Ki heran karena dia belum mengenal siapa Pangeran Li Cu Kiat itu.
"Pangeran Li Cu Kiat memesan agar kalau dapat bertemu taihiap, memberitahu bahwa sumoi dari taihiap sekarang sedang sakit parah dan berada di Istana pangeran itu, agar taihiap suka cepat datang berkunjung ke sana."
Tentu saja Thian Ki merasa heran dan juga terkejut mendengar berita ini. Akan tetapi dia masih meragukan berita itu, karena bagaimana mungkin sumoinya yang dia tinggalkan di rumah ayah tirinya itu kini dapat berada di kota raja dan dalam keadaan sakit?
"Siapakah sumoiku itu?" Dia menyelidik.
"Kalau tidak salah, namanya Nona Cian Kui Eng," kata komandan itu.
"Ah, kalau begitu benar!" kata Cin Cin dengan hati khawatir. "Kita harus segera ke sana!"
“Marilah, Ji-wi kami antar ke istana Pangeran Li Cu Kiat," kata komandan jaga itu.
Karena agaknya masih terlalu pagi untuk dapat menghadap Sribaginda Kaisar, maka Thian Ki mengangguk dan mereka berdua lalu diantar oleh komandan itu pergi ke istana Pangeran Li Cu Kiat. Ketika komandan itu melapor kedalam, segera Pangeran Li Cu Kiat sendiri tergopoh keluar. Melihat pangeran yang tampan dan anggun itu menyambut mereka dengan sikap ramah dan sama sekali tidak memperlihatkan keangkuhan, Thian Ki dan Cin Cin merasa kagum.
"Saudara yang bernama Coa Thian Ki, suheng dari Nona Cian Kui Eng?" tanya pangeran itu dengan lembut, namun sinar matanya memandang penuh selidik, juga dia memandang kepada Cin Cin degan sinar mata penuh pertanyaan. Dia harus yakin dulu bahwa pemuda yang nampak sederhana ini benar-suheng dari Kui Eng yang amat lihai.
"Benar, Pangeran. Saya bernama Coa Thian Ki dan nona ini adalah nona Kam Cin. Benarkah bahwa sumoi Cian Kui Eng berada di sini dan sedang menderita sakit? Sakit apakah, Pangeran dan bolehkah kami bertemu dengan sumoi?"
"Mari, silakan. Nona Cian Kui Eng terserang penyakit yang aneh dan tidak wajar."
Mendengar keterangan itu, tentu saja hati Thian Ki merasa tidak enak dan khawatir sekali. Mereka lalu di antar oleh Pangeran Li Cu Kiat menuju sebuah kamar. Kamar itu besar dan indah, dan Kui Eng rebah telentang di atas pembaringan dari kayu berukir yang indah. Segalanya indah dan bersih di kamar itu, akan tetapi Kui Eng rebah dengan lesu dan muka pucat. Ketika pangeran dan dua orang tamunya memasuki kamar, Nenek Song dan Nyonya Li Seng Tek bangkit dari tempat duduk mereka.
Mereka tadi duduk di dekat pembaringan, agaknya menjaga gadis yang sakit itu. Diam-diam Thian Ki merasa heran. Mengapa keluarga pangeran itu nampaknya amat akrab dan amat sayang kepada Kui Eng ? Dia memberi hormat kepada nenek dan wanita setengah tua itu ketika sang pangeran memperkenalkan mereka sebagai Ibu dan neneknya. Tiba-tiba nenek itu menggerakkah tongkatnya yang berbentuk kepala naga dan ujung tongkat itu sudah mengancam di atas kepala Thian Ki, membuat pemuda itu merasa heran.
"Benarkah engkau yang bernama Coa Thian Ki?" Nenek itu bertanya, suaranya masih nyaring dan galak.
"Benar sekali, nyonya."
"Jangan panggil aku nyonya, sebut saja nenek kalau engkau benar suheng dari Kui Eng!" bentak nenek itu. “Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong dan engkau ternyata bukan suhengnya yang ia cari, tongkatku ini akan menghancurkan kepalamu!"
Cin Cin adalah gadis yang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan periang, juga tabah dan pandai bicara. Kini, melihat watak nenek itu, ia tidak dapat menahan senyumnya. Hal ini dapat dilihat si nenek dan tiba-tiba tongkatnya menyambar dan sudah beralih tempat, mengancam kepala gadis bertangan kiri buntung itu.
"Dan kau... siapakah engkau?"
"Nama saya Kam Cin dan biasa disebut Cin Cin, nenek yang baik."
"Dan kenapa kau senyum-senyum seperti bocah nakal itu ?" bentak pula nenek Song dan matanya yang tua itu masih mencorong tajam.
Cin Cin masih senyum-senyum, “Nenek yang baik, saya sungguh kagum melihatmu, sudah begini tua namun masih penuh semangat! Ingin saya seperti nenek kalau saya sudah tua kelak."
Sejenak mata tua itu terbelalak dan saling pandang dengan Cin Cin, kemudian senyum Cin Cin menular dan nenek itupun tertawa terkekeh-kekeh dengan riangnya. "Heh-heh-heh-heh-heh! Bagus, engkau anak baik, Cin Cin! Cu Kiat, aku hampir yakin bahwa dua orang ini memang orang baik-baik, heh-heh!" kata-kata ini disusul turunnya tongkatnya dan ia pun duduk kembali ke atas kursinya.
"Sumoi..." Thian Ki menghampiri pembaringan dan membungkuk untuk memeriksa keadaan sumoinya. Dia meraba nadi pergelangan tangan Kui Eng dan setelah memperhatikan beberapa lama, dia memandang kepada Cin Cin penuh pertanyaan. Gadis ini pun menghampiri dan tanpa diminta, iapun memeriksa dada Kui Eng dengan rabaan ujung jarinya.
"Bagaimana pendapatmu, Cin-moi?" tanya Thian Ki.
"Hemm, ia tidak apa-apa, Koko. Ia tidak... tidak sakit..." kata Cin Cin dan Thian Ki mengangguk membenarkan.
"Heh-heh, tentu saja Kui Eng tidak sakit, akan tetapi lihat saja nanti kalau ia kumat," kata Nenek Song.
"Kumat?" Thian Ki dan Cin Cin berseru, kaget dan heran. Dan pada saat itu, terdengar Kui Eng mengeluh. Thian Ki dan Cin Cin cepat memandang dan gadis itu mengerutkan alisnya, seperti bangun dari tidurnya akan tetapi belum buka mata dan mengigau dengan kata-kata yang tidak jelas, tubuhnya menggeliat-geliat seperti orang yang kesakitan hebat. Ketika Thian Ki meraba dahinya, dia terkejut. Dahi yang tadi tidak apa-apa itu kini panas sekali.
"Cin-moi, cepat, kita bantu ia dengan sin-kang!" kata Thian Ki.
Tanpa ragu lagi Cin Cin dan Thian Ki naik ke atas pembaringan bersila di kanan kiri Kui Eng dan menempelkan telapak tangan mereka, tangan Thian Ki di kedua pundak, dan tangan Cin Cin di dada. Hanya sebentar saja kedua orang muda yang memiliki sin-kang amat kuat ini menyalurkan tenaga dan Kui Eng tidak mengeluh lagi pernapasannya pulih dan ia seperti dalam tidur biasa.
Thian Ki dan Cin Cin melompat turun dari atas pembaringan, dan Kui Eng terbangun dari tidurnya. Mula-mula terbelalak ketika melihat suhengnya karena berbagai perasaan mengaduk hatinya di saat ia melihat Thian Ki. Ada rasa heran, gembira, terharu dan juga duka mengingat akan keadaan dirinya dan tanpa disadarinya, kedua matanya menjadi basah.
Melihat ini, Thian Ki menyentuh pundak sumoinya. "Sumoi, jangan berkeciI hati aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkanmu."
Kini pandang mata Kui Eng bertemu dengan Cin Cin dan kembali ia terbelalak, akan tetapi sekali ini pandang matanya penuh rasa kaget dan marah. Ia berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi ia rebah kembali. Setelah berhari-hari ia diserang perasaan nyeri yang hebat, dan seringkali pingsan, tubuhnya menjadi lemah dan kepalanya pening setiap kali hendak bangkit. Kui Eng tetap memandang kepada Cin Cin dengan sinar mata bernyala.
Cin Cin tersenyum, "Adik Kui Eng, sebaiknya engkau beristirahat saja, tubuhmu masih lemah."
"Biarpun tubuhku lemah, aku tidak takut untuk melawanmu, engkau iblis betina yang hendak membunuh ayahku!"
Ucapan Kui Eng tentu saja amat mengejutkan Pangeran Li Cu Kiat, ibunya dan neneknya. Thian Ki menjadi salah tingkah dan tersipu, akan tetapi Cin Cin bersikap tenang-tenang saja.
"Eng-moi, apa maksud ucapanmu tadi? Nona Kam Cin ini hendak membunuh ayahmu? Apa artinya semua ini?" tanya Pangeran Li Cu Kiat dan dia sudah siap untuk menghadapi kemungkinan, sedangkan Nenek Song juga sudah bangkit berdiri, dan melintangkan Tongkat Naga tangannya.
"Ahh, apakah mataku sudah terlalu tua sehingga aku salah menilai orang?" teriak nenek itu dan tongkatnya diamang-amangkan dengan penuh ancaman ke arah Cin Cin.
Thian Ki. menghela napas panjang dan berkata, "Harap paduka memaafkan kami, Pangeran. Sesungguhnya semua ini merupakan urusan pribadi antara sumoi saya dan juga Cin-moi. Kalau kami bertiga diperkenankan untuk bicara bertiga saja, untuk membereskan urusan pribadi ini..."
“Urusan pribadi bagaimana?” Nenek Song membentak dengan suara lantang.
"Urusan yang menyangkut diri Kui Eng adalah urusan keluarga kami pula, apapun yang akan dibicarakan, harus kami dengar!"
Ketika Thian Ki memandang heran, pangeran itu berkata, "Apa yang dikatakan nenekku benar, Coa-toako. Kami semua menganggap Eng-moi sebagai anggota keluarga sendiri dan kami ingin mengetahui semua urusannya, tentu saja kalau ia sendiri menyetujui."
Pangeran itu menoleh ke arah Kui Eng dengan sinar mata bertanya. Biarpun tubuhnya lemah, namun kecerdikan Kui Eng tidak berkurang, ia menghadapi urusan yang amat penting bagi dirinya, yaitu betapa Pangeran Li Cu Kiat amat mencintainya dan telah melimpahkan banyak budi kebaikan dan kecintaan kepadanya.
Namun, hatinya masih melekat kepada Thian Ki dan sekaranglah saatnya ia harus membiarkan pangeran itu mengetahui segalanya, yaitu bahwa ia mencinta suhengnya dan oleh ayahnya bahkan telah direncanakan menjadi jodoh Coa Thian Ki. Juga ia harus tahu tentang hubungan Thian Ki dengan Kam Cin yang dianggapnya musuh besar yang pernah hendak membunuh ayahnya itu. Kini, mendengar percakapan mereka dan melihat betapa Pangeran Li Cu Kiat memandang kepadanya dengan sinar mata bertanya, iapun berkata kepada Thian Ki.
"Suheng, aku setuju kalau keluarga Pangeran Li Cu Kiat ikut mendengarkan urusan pribadiku. Nah, sekarang katakanlah kenapa engkau kini agaknya malah membela ia yang dahulu hendak membunuh ayahku, atau juga guru dan ayah tirimu sendiri. Kenapa?"
Thian Ki juga mengerti bahwa sekarang dia tidak dapat merahasiakan hubungannya dengan Cin Cin. Bagaimanapun juga, orang pertama yang harus mengetahui adalah Kui Eng! Dia harus memutuskan tali perjodohannya dengan Kui Eng. Dia tidak mencinta gadis itu sebagai seorang kekasih, bahkan rasanya tidak mungkin dia dapat mencinta gadis yang sejak kecil disayangnya seperti adik sendiri itu sebagai seorang pria mencinta seorang wanita. Dan apa salahnya kalau dia mengakui cintanya kepada Cin Cin di depan keluarga pangeran ini? Orang sedunia boleh saja mengetahuinya.
"Baiklah, sumoi, aku akan berterus terang saja agar engkau mengetahui segalanya. Engkau tentu masih mengenal Cin-moi, eh. adik Kam Cin ini, bukan?"
"Tentu saja! Ia adalah murid Tung-hai Mo-li yang pernah hendak membunuh ayahku!" jawab Kui Eng marah, dan mukanya yang biasanya pucat itu kini agak kemerahan karena marah.
"Dan engkau tentu sudah mendegar dahulu itu bahwa usaha yang dilakukan adik Kam Cin bukan saja gagal membunuh ayah kita, sebaliknya ia malah kehilangan tangan kirinya karena terpaksa aku membuntungi tangan itu untuk menyelamatkan nyawanya, bukan?"
"Aku sudah mendengar dan aku merasa menyesal kenapa hanya tangannya yang kaubuntungi, bukan lehernya"
"Heh-heh, benar sekali omonganmu, Kui Eng! Orang yang sudah begitu jahat untuk membunuh ayahmu, sudah sepatutnya kalau dibuntungi lehernya!" tiba-tiba Nenek Song berkata dan Pangeran Li Cu Kiat mengerutkan alisnya dan cepat dia mengingatkan neneknya.
"Harap nenek ingat bahwa keluarga kita hanya berhak mendengarkan, akan tetapi tidak mencampuri urusan yang kita tidak tahu seluk beluknya itu. Coa-toako, lanjutkan percakapan kaIian."
Thian Ki tidak memperdulikan ucapan nenek itu, dan Cin Cin juga hanya tersenyum. Gadis ini telah berubah banyak sekali. Setelah ia mendapatkan cintanya dengan Thian Ki, ia merasa hidupnya penuh kebahagiaan dan penuh kedamaian, dan ia mempercayakan selamanya kepada kekasihnya itu. Coba dahulu ia mendengar ucapan seperti yang dikeluarkan Kui Eng dan Nenek Song, tentu ia sudah naik darah dan menantang mereka.
"Sumoi, ketahuilah bahwa adik Kam Cin hanya menaati perintah gurunya. Ia tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ayah kita, dan kini ia telah menyadari bahwa gurunya itu yang bersalah, bukan ayah kita."
"Hemm, dan karena ia telah menyadari, maka engkau berbaik dengannya dan membelanya, suheng?"
"Bukan hanya karena itu, sumoi melainkan, terus terang saja karena sebenarnya kaulah orang pertama yang berhak mengetahuinya, kami, yaitu aku dan adik Kam Cin, kami saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama selamanya sebagai suami isteri.”
Sepasang mata Kui Eng terbelalak. "Kau... kalian... saling mencinta...?" katanya lirih dan tergagap. "...tapi aku... kita... bagaimana dengan perjodohan antara kita yang ditentukan ayah?"
Thian Ki merasa sungkan dan tidak enak sekali karena percakapan pribadi itu didengarkan keluarga pangeran itu. Akan tetapi, dari sikap pangeran itu dan ibu serta neneknya terhadap Kui Eng, dia dapat menduga bahwa pangeran itu agaknya jatuh cinta kepada Kui Eng dan keluarganya menyetujuinya. Sementara itu, mendengar ucapan Kui Eng sebagai pertanyaan yang diajukan kepada Thian Ki, Pangeran Li Cu Kiat mengerutkan alisnya, demikian pula ibunya dan neneknya saling pandang dengan alis berkerut.
Mereka terkejut dan juga kecewa mendengar bahwa Kui Eng telah dijodohkan dengan suhengnya. Kini pangeran itu mengerti mengapa Kui Eng belum dapat menjawab ketika dia menyatakan cintanya. Kiranya gadis itu telah mempunyai tunangan, yaitu suhengnya sendiri dan kini suhengnya itu menyatakan cinta pada gadis lain!
"Sumoi. biarlah engkau mendengar baik-baik dan disaksikan oleh keluarga yang terhormat ini," kata Thian Ki dengan lembut namun dengan penuh ketegasan. "Kita berdua bukan saja suheng dan sumoi, juga kita adalah saudara tiri. Sejak kecil kita berkumpul dan bergaul sehingga aku selalu mencintamu seperti adikku sendiri. Engkaupun menyayangku sebagai kakakmu. Bagaimana mungkin kita dapat mencinta sebagai suami isteri? Aku saling mencinta dengan adik Kam Cin ini, sumoi. Aku merasa bahwa sebaiknya kalau aku berterus terang saja kepadamu, karena pernikahan tanpi cinta yang dipaksakan, akan menghancurkan kehidupan kita berdua. Aku menyayangmu sebagi adik sendiri, sumoi, dan engkau tentu dapat merasakan dan mengerti benar. Nah, aku sudah mengeluarkan isi hatiku, mudah-mudahan saja engkau akan mampu mempertimbangkan dan mengerti."
Suasana menjadi hening sejenak, setelah Thian Ki berhenti bicara. Keluarga pangeran itu adalah keluarga bangsawan yang menjunjung tinggi kegagahan, maka mendengar ucapan Thian Ki yang jujur dan tegas itu, mereka merasa kagum. Kui Eng sendiri terkejut, akan tetapi tidak merasa heran karena sekarang iapun dapat merasakan kebenaran ucapan Thian Ki. Mereka memang saling menyayang sejak kecil, dan kesayangan mereka satu sama lain adalah kesayangan antara saudara. Sekarang baru ia dapat merasakannya. Yang membuat ia bengong adalah melihat kenyataan yang amat aneh itu. Thian Ki dan Kam Cin saling mencinta setelah Thian Ki membuntungi tangan kiri gadis itu! Kalau mereka saling mendendam, hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi saling mencinta? Suheng, aku dapat menghargai keterus-teranganmu ini. Akan tetapi, kenapa engkau tidak membantah dan menerima saja ketika ayah mengusulkan perjodohan di antara kita?"
“Sumoi, bagaimana mungkin aku berani menolaknya begitu saja? Aku tidak ingin mengecewakan hatinya, dan sebagai murid, juga sebagai anak tiri, aku harus mematuhinya. Maksudku, aku diam saja dan perlahan-lahan, akan kuberi tahu. Sekarang, aku bahkan mohon kepadamu agar engkau membantu aku memberi tahu kepada ayah kita."
"Dan bagaimana pula engkau dapat saling mencinta dengan enci Kam Cin yang telah kau buntungi tangan kirinya ini? Enci Kam Cin, sepatutnya engkau membenci dan mendendam kepada suheng, akan tetapi kenapa...?"
Cin Cin tersenyum manis. "Adi Kui Eng, dia membuntungi tangan kiriku bukan karena membenci, melainkan karena hendak menyelamatkan nyawaku, dan aku kehilangan tangan ini karena ulahku sendiri, karena salahku sendiri mungkin ini merupakan hukuman bagiku karena aku hendak membunuh ayahmu yang tidak mempunyai kesalahan apapun terhadap diriku."
Tiba-tiba Kui Eng mengeluh dan sakitnya kambuh. Matanya terpejam dan tubuhnya menggeliat-geliat. Melihat ini cepat Thian Ki memberi isyarat kepada Cin Cin dan seperti tadi, mereka menempelkan telapak tangan ke pundak dan dada Kui Eng dan sebentar saja, keadaan Kui Eng sudah pulih kembali dan iapun sudah tenang kembali. Akan tetapi, gadis itu menjadi semakin lemah dan nampaknya tidur.
"Ibu. nenek, aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja! Aku akan mencari tosu itu!" tiba-tiba Pangeran Li Cu Kiat membentak marah dan dia sudah mencabut pedangnya.
"Cu Kiat, sudah kukatakan bahwa tanpa bukti, tidak boleh engkau bertindak. Ingat, dia adalah sahabat Kaisar! Dan sungguh tidak baik kalau engkau menggunakan kekerasan tanpa adanya bukti. Bukankah Kaisar pernah menegurmu karena sikapmu yang kasar terhadap tosu itu? Nah, itu membuktikan bahwa tosu itu mempunyai pengaruh terhadap kaisar," kata Nenek Song.
Mendengar ini. Thian Ki segera berkata, "Mohon maaf, akan tetapi siapakah tosu siluman yang dimaksudkan pangeran? Dan apakah dia mempunyai hubungan dengan sakitnya sumoi?"
"Tosu dukun lepus itu yang membuat Kui Eng sakit dengan ilmu hitamnya!" Nenek Song berseru sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas lantai karena marah.
Sepasang mata Cin Cin mencorong marah. "Biar kami yang pergi menghajarnya. Pangeran. Tolong beritahukan di mana kami dapat mencarinya."
"Benar. Pangeran. Kami berdua yang akan menghentikan kejahatannya demi menyelamatkan sumoi." kata pula Thian Ki.
"Bagus!" Nenek Song berseru. "Kalau kalian dapat membasmi tosu dukun lepus itu, barulah kami percaya akan kesungguhan hati kalian terhadap Kui Eng!”
Mereka lalu memberitahu kepada Thian Ki dan Cin Cin bahwa tosu yang dimaksudkan berjuluk Im Yang Sengcu dan tinggal di kuil istana yang berada di bukit buatan di lingkungan belakang Istana.
"Akan tetapi harap Coa-twako berhati-hati." kata Pangeran Li Cu Kiat. “Im Yang Sengcu itu lihai sekali, juga dia memiliki murid-murid yang lihai."
"Imu silatnya sih tidak berapa hebat, akan tetapi ilmu hitamnya amat jahat. Kalian harus berhati-hati," kata pula Nenek Song.
Thian Ki memberi hormat kepada tiga orang itu dan berkata dengan sikap dan suara serius kepada Pangeran Li Cu Kiat, "Pangeran, harap jaga sumoi baik-baik."
Mendengar ini. Nenek Song berseru, "Kau kira siapa yang menjaganya siang malam dengan setia? Cucuku ini sampai berhari-hari kurang makan kurang tidur karena menjaga Kui Eng yang sakit!"
Thian Ki saling pandang dengan Cin Cin, kemudian dia kembali menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih. "Terima kasih. Pangeran. Percayalah paduka tidak salah pilih."
Setelah berkata demikian, Thian Ki mengajak Cin Cin meninggalkan gedung itu dan mereka segera pergi menuju ke pintu gerbang istana. Ketika kepala jaga melihat mereka dan menerima surat keterangan dari Pangeran Li Cu Kiat bahwa Thian Ki dan Cin Cin adalah utusannya untuk mengunjungi kuil dan menemui Im Yang Sengcu, kepala jaga itu tidak berani melarang dan dia bahkan menunjukkan di mana letak kuil di bukit buatan itu. Tanpa mengalami rintangan, kedua orang muda itu dapat memasuki komplek istana dan langsung saja mengambil jalan melalui pekarangan dan taman menuju ke kuil.
Kuil itu nampak sunyi dan dengan kepandaiannya yang tinggi. Thian Ki dan Cin Cin dapat menyelinap ke arah belakang kuil. Beberapa orang murid dan anak buah Im Yang Sengcu yang nampak di sekitar kuil tidak dapat melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu dan yang nampak hanya bayangan berkelebat.
Di Pondok kecil belakang kuil, tempat yang biasanya dipergunakan untuk bersamadhi, bertapa atau menyendiri itu lm Yang Sengcu berada seorang diri. Semua pintu dan jendela pondok kecil itu tertutup. Dia sedang bersila di depan meja sembahyang dan ada asap mengepul dari seikat dupa yang membara. Asap itu membubung ke atas dengan lurus akan tetapi asap itu bergoyang-goyang seolah mahluk hidup yang sedang menderita kesakitan. Berulang kali tosu itu mengeluarkan suara membaca mantram dan kedua tangan yang tadinya bersilang depan dada, kadang didorongkan ke arah asap itu.
Dia merasa penasaran sekali. Kenapa dia selalu gagal dalam pengerahan tenaga ilmu hitamnya untuk membunuh gadis yang dimusuhinya itu? Setumpuk pakaian wanita berada di atas meja sembahyang itu. Itulah pakaian Kui Eng yang diambilnya dari kamar losmen dan pakaian bekas dipakai gadis itu, yang belum sempat dicuci, itulah yang dijadikan jembatan untuk menyerang gadis itu dengan ilmu hitam. Dia telah berhasil membuat gadis itu terserang penyakit aneh, namun dia selalu gagal untuk membunuh mangsanya. Dia merasa penasaran bukan main. Baru sekali ini dia gagal!
Dengan hati yang penuh dendam dan penasaran, Im Yang Sengcu lalu mengeIuarkan sehelai kertas yang biasa dipakai untuk membuat hu (surat jimat) lalu sambil berkemak-kemik membaca doa dia menuliskan tiga buah huruf di kertas itu, yaitu tiga huruf nama Cia Kui Eng! Kemudian, dia menusuk kertas itu dengan pedangnya, lalu mengangkat pedang yang sudah menusuk kertas itu ke atas dan mengeluarkan suara yang terdengar menggetar penuh kekuatan sihir.
"Cian Kui Eng, engkau telah berada dalam kekuasaanku dan sekarang engkau akan kubakar, terbakar habislah seluruh perasaanmu, hangus seluruh jasmanimu!"
Dan dia menjulurkan pedang yang ujungnya menusuk kertas itu ke arah lilin besar di meja sembahyang. Tiba-tiba terdengar suara berdesing dan sebuah benda kecil hitam menghantam pedang itu.
"Tringgg...!!" Pedang di tangan Im Yang Sengcu tergetar hebat dan kertas yang tadi tertusuk di ujung pedang itupun terlepas dan melayang. Sesosok bayangan hitam berkelebat dan menyambar.
Im Yang Sengcu terkejut dan bangkit berdiri, melihat dua orang telah berada di dalam pondoknya. Seorang pemuda sederhana yang telah memegang surat hu dengan nama Cian Kui Eng yang ditulisnya tadi, dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya sebatas pergelangan.
"Siapakah kalian? Berani mati memasuki pondok pinto tanpa ijin!" bentaknya sambil menudingkan pedangnya, diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang dengan mata mencorong, berkemak-kemik lalu membentak, "Hayo kalian berdua berlutut! Berlutut kataku!!"
Thian Ki memegang tangan kanan Cin Cin dengan tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan seperti biasa, otomatis didasari penyerahan kepada kekuasaan Tuhan. Biarpun kedua orang ini merasakan getaran aneh yang seolah hendak memaksa mereka berlutut, namun kekuatan getaran itu seperti angin lalu saja dan tidak meninggalkan bekas.
Diam-diam Im Yang Sengcu terkejut bukan main. Dua orang muda ini bukan hanya dapat memasuki pondoknya tanpa diketahui anak buahnya dan bukan hanya dapat merampas hu di ujung pedangnya, juga kekuatan sihirnya tidak mempan terhadap mereka!
Thian Ki membaca nama di atas kertas hu itu, lalu memandang kepada tosu itu dengan sinar mata tajam lalu menjawab, "Manusia sejahat iblis yang berpakaian seperti tosu, tentu engkau yang disebut Im Yang Sengcu! Engkau telah mempergunakan ilmu iblis untuk menyerang sumoiku Cian Kui Eng. Perkenalkanlah, aku Coa Thian Ki dan aku datang untuk membasmi pekerjaanmu yang terkutuk ini!"
“Koko, serahkan saja dukun iblis ini kepadaku! Aku ingin sekali memenggal batang lehernya!"
Diam-diam lm Yang Sengcu terkejut dan gentar. Baru melawan Cian Kui Eng saja dia merasa kewalahan, apa lagi kini muncul suhengnya dan juga gadis yang tangan kirinya buntung ini jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maklum bahwa ilmu sihirnya tidak mempan terhadap dua orang itu, tiba-tiba saja pedangnya berkelebat ke arah meja sembahyang dan terdengar ledakan keras disusul terbakarnya meja sembahyang itu dan bayangan Im Yang Sengcu berkelebat lenyap di balik meja. Dia telah melarikan diri keluar dari pondok melalui pintu di belakang meja.
"Cin-moi, cepat keluar!" bentak Thian Ki dan keduanya lalu menerobos keluar dari pintu pondok.
Ternyata lm Yang Sengcu telah berada di luar pondok dan dia telah mengerahkan lima belas orang murid dan anak buahnya yang semua telah memegang senjata! Begitu melihat Thian Ki dan Cin Cin muncul dari pintu pondok, lm Yang Sengcu menudingkan pedangnya dan berteriak dengan suara lantang kepada para murid dan anak buahnya.
"Tangkap mata-mata pemberontak itu! Kalau melawan, bunuh mereka!" Limabelas orang itu mengepung.
Dengan sikap tenang Thian Ki berkata kepada lm Yang Sengcu, "Im Yang Sengcu kami bukan mata-mata pemberontak, akan tetapi sesungguhnya engkaulah yang menjadi jadi racun di istana, engkau dukun lepus yang jahat, murid iblis yang hanya mendatangkan kekacauan!"
"Tangkap! Bunuh!!" lm Yang Sengcu berteriak-teriak dan limabelas orang itupun mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Hentikan semua ini!!"
Mendengar suara itu, lm Yang Sengcu dan anak buahnya terkejut, menengok dan para anak buah tosu itu segera menjatuhkan diri berlutut, dan tosu itu sendiri memberi hormat dengan menjura dalam-dalam. Kiranya yang muncul adalah Kaisar Tang Tai Cung sendiri!
Kaisar yang nampak gagah perkasa ini ternyata datang berkunjung ke kuil itu seorang diri saja tanpa pengawal dan mendengar ribut-ribut di belakang kuil, dia segera berlari menghampiri dan melihat dua orang muda dikepung oleh murid dan anak buah Im Yang Sengcu. Tentu saja kaisar merasa terheran-heran dan membentak mereka agar menghentikan keributan itu.
Thian Ki dan Cin Cin juga terkejut, apa lagi ketika semua orang meneriakkan penghormatan kepada kaisar dan mereka tahu bahwa yang muncul adalah Kaisar sendiri. Keduanya juga cepat memberi hormat dengan berlutut.
Sejenak Kaisar Tang Tai Cung menyapu semua orang dengan pandang matanya. Alisnya berkerut tanda kecewa. Tosu yang dikaguminya dan dianggap sebagai seorang sahabatnya itu ternyata melakukan perbuatan yang dianggapnya curang dan memalukan. Mengerahkan limabelas orang anak buah mengepung seorang pemuda sederhana dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya. Padahal dia percaya bahwa Im Yang Sengcu adalah seorang tosu yang sakti.
"To-tiang, apa yang terjadi disini, dan mengapa tadi kami melihat engkau mengerahkan semua orang ini untuk mengepung pemuda dan gadis ini?” tanya Kaisar dengan suara mengandung penasaran.
"Ampunkan hamba, Sribaginda," kata Im Yang Sengcu dengan sikap hormat. "Dua orang muda ini adalah mata-mata pemberontak. Buktinya, mereka memasuki pondok samadhi hamba dan menyerang hamba. Karena mereka itu memiliki kepandaian dan berbahaya, maka hamba mengerahkan murid-murid untuk mengepung dan menangkap mereka."
Kaisar Tang Tai Cung mengerutkan alisnya dan mengamati Thian Ki dan Cin Cin. Sungguh aneh kalau ada dua orang mata-mata pemberontak begitu berani, pagi-pagi sudah berani memasuki lingkungan istana. Rasanya tidak mungkin. Kalau mata-mata pemberontak yang memiliki niat buruk, tentu masuknya seperti maling di malam hari, tidak secara terbuka seperti mereka berdua itu. Apalagi melihat mereka berdua itu berlutut dengan sikap tenang dan berani, sedikitpun tidak nampak ketakutan seperti layaknya mata-mata pemberontak kalau tertangkap basah.
"Orang muda. siapakah kalian?" Tanya Sri baginda Kaisar sambil mengamati Thian Ki dan Cin Cin penuh perhatian.
"Hamba bernama Coa Thian Ki, Yang Mulia."
"Hamba bernama Kam Cin, Yang Mulia."
"Mengapa kalian berdua berani menyelundup ke sini dan benarkah kalian menyerang lm Yang Sengcu tanpa sebab?"
"Sebelum hamba memberi keterangan, perkenankan dulu hamba menyerahkan surat ini, karena sesungguhnya, hamba berdua datang ke kota raja dengan maksud menghadap paduka dan menyerahkan surat ini." Thian Ki mengeluarkan surat dari Hong Lan.
Melihat ini, Im Yang Sengcu khawatir dan cepat-cepat dia mendekat. "Sribaginda, harap jangan menerima benda itu. Biarkan hamba yang menerimanya dan memeriksanya lebih dulu, siapa tahu dia hendak mencelakai paduka!"
"To-tiang," kata Kaisar dengan suara yang nadanya tidak senang. "Begitu lemahkah kami sehingga orang mampu mencelakai kami semudah itu? Sejak kapan to-tiang menganggap kami sebagai orang yang tak berdaya?"
"Ampun, Sri baginda, hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka,” kata tosu itu dengan muka kemerahan apa lagi melihat Thian Ki dan Cin Cin tersenyum mengejek kepadanya.
Kaisar Tang Tai Cung menerima surat itu dan seketika wajahnya berseri gembira ketika dia melihat bahwa surat itu datang dari Hong Lan. puteri angkatnya yang disayangnya. Dia mengenal tulisan Hong Lan. "Aha, kiranya kali merupakan sahabat-sahabat baik puteri dan kini menjadi utusannya?" katanya girang dan dia cepat membaca tulisan puterinya.
Mula-mula alisnya berkerut membaca bahwa puterinya mohon agar dia suka {menyerahkan dua macam benda yang amat berharga kepada Coa Thian Ki, akan tetapi ketika dia membaca penjelasannya. wajahnya berseri kembali dan habis membaca, dia memandang kepada Thian Ki dengan kagum.
Puterinya menceritakan dalam tulisannya bahwa Coa Thian Ki adalah seorang pendekar yang sakti, yang bahkan menjadi seorang manusia beracun tubuhnya sehingga semua orang yang memukulnya akan mati keracunan, dan Hong Lan mohon agar diberi obat penawar katak merah kepada pemuda itu. Juga puterinya minta agar Liong-cu-kiam diserahkan kepada Thian Ki yang ternyata murid dari bekas Pangeran Cian Bu Ong yang tentu saja dia kenal kelihaiannya!
Setelah membaca surat itu, Kaisar Tang Tai Cung mengelus jenggotnya, biarpun dia seorang kaisar, akan tetapi dia berjiwa pendekar dan dia tahu bahwa Pangeran Cian Bu Ong bukan penjahat, bukan pula pemberontak biasa, melainkan seorang tokoh Kerajaan Sui yang berusaha menegakkan kembali Kerajaan Sui yang sudah jatuh. Karena pedang Liong-cu-kiam merupakan pusaka pribadi bekas pangeran itu, maka sudah sewajarnya kalau kini dia mengembalikannya, apa lagi kalau diingat bahwa bekas musuh itu kini tidak lagi berusaha untuk memusuhi Kerajaan Tang.
"Coa Thian Ki dan Kam Cin, kami telah membaca surat puteri kami. Akan tetapi, kami ingin lebih dulu mengetahui mengapa kalian masuk ke kuil ini dan benarkah kalian menyerang Im Yang Sengcu?"
Thian Ki lalu menceritakan kepada Kaisar apa yang telah didengarnya dari Pangeran Li Cu Kiat. Dia menceritakan betapa sumoinya yang bernama Cian Kui Eng, puteri suhunya, juga adik tirinya, ketika memasuki kota raja, di ganggu oleh kepala jaga di pintu gerbang. Adiknya itu melawan sehingga kepala jaga itu dihajar dan ketika adiknya dikeroyok, muncul Pangeran Li Cu Kiat yang melerainya.
Setelah mendengar tentang duduknya perkara, pangeran lalu bertindak, melaporkan sikap kepala jaga itu kepada panglima sehingga dia dihukum. Betapa kemudian, ketika adiknya bermalam di rumah penginapan, muncul kakak dari kepala jaga itu hendak membunuh Kui Eng. Akan tetapi, Kui Eng mampu menangkis, bahkan kemudian Kui Eng mengejar pembunuh itu.
"Pembunuh itu lari dan kemudian muncul lm Yang Sengcu yang ternyata adalah guru pembunuh itu, Yang Mulia, Demikianlah, Cian Kui Eng dikeroyok oleh Im Yang Sengcu dan anak buahnya. Ia melarikan diri dan secara kebetulan bersembunyi di dalam istana Pangeran Li Cu Kiat dan dilindungi oleh keluarga itu."
Sribaginda melirik ke arah Im Yang Sengcu yang mendengarkan dengan alis berkerut akan tetapi tidak berani menyangkal, hanya menyusun akal bagaimana harus menghadapi keadaan yang memojokkan itu.
"Teruskan ceritamu." kala Sri baginda Kaisar kepada Thian Ki.
Thian Ki bercerita betapa dia dan Cin Cin memasuki kota raja pagi itu dan tadinya mereka hendak langsung menghadap Kaisar menyerahkan surat. Akan tetapi dari penjaga di pintu gerbang istana dia mendengar bahwa dia dicari oleh adiknya yang sedang sakit dan berada di istana Pangeran Li Cu Kiat. Dia dan Cin Cin segera pergi kesana dan mendapatkan adiknya memang sedang sakit parah.
"Cian Kui Eng bukan sakit biasa, Yang Mulia, melainkan sakit karena pengaruh ilmu hitam. Hamba mendengar dari Nyonya Song bahwa yang melakukan penyerangan dengan ilmu hitam mungkin sekali adalah Im Yang Sengcu. Hamba dan nona Kam Cin segera melakukan penyelidikan dan masuk ke sini..."
"Dan mereka menyerang hamba, Sri baginda!" Im Yang Sengcu memotong.
Kaisar memberi isyarat agar dia diam. lalu memandang Thian Ki dan berkata dengan suara memerintah. "Lanjutkan ceritamu!"
"Hamba berdua melihat di dalam pondok itu lm Yang Sengcu sedang melakukan penyerangan dengan ilmu sihirnya terhadap Cian Kui Eng. Dia menggunakan kertas hu yang ditulisi nama adik hamba itu dan hendak dibakarnya, hamba berhasil menghalangi dan merampasnya, inilah kertas hu itu. Yang Mulia."
Thian Ki membeberkan kertas hu bertuliskan nama Kui Eng dan menyerahkannya kepada Sribaginda yang melihatnya dengan alis berkerut.
"Hamba melihat pula pakaian adik Kui Eng di atas meja sembahyang, maka hamba tidak meragukan lagi bahwa memang tosu jahat ini yang telah menggunakan ilmu hitam hendak mencelakai adik hamba. Dia lalu menggunakan sihir, membakar meja sembahyang dan lari ke luar. Ketika hamba dan adik Kam Cin mengejar ke luar pondok, ternyata dia telah mengerahkan anak buahnya mengepung hamba berdua.”
"To-tiang, benarkah apa yang diceritakan pemuda ini?" Sribaginda Kaisar menghadapi Im Yang Sengcu.
"Tidak benar, Sribaginda! Dia berbohong dan hendak melemparkan fitnah kepada pinto!" bantah tosu itu dengan suara marah dan matanya mencorong memandang kepada Thian Ki dan Cin Cin.
"To-tiang, tulisan siapakah itu?" Sribaginda Kaisar menunjuk ke arah kertas hu yang masih terbentang.
"Tidak hamba sangkal, itu memang tulisan hamba dan memang pinto berniat menghukum gadis itu. Yang tidak benar adalah sebab-sebab permusuhan ini, Sri baginda. Permusuhan antara murid pinto yang bernama Phoa Gu dan nona Cian Ku Eng merupakan urusan pribadi yang pinto tidak ingin mencampurinya pula. Akan tetapi melihat murid pinto dikejar-kejar oleh gadis itu, tentu saja pinto melerai. Dan pinto menjadi curiga melihat gadis itu memiliki nama keturunan Cian, mengingatkan hamba akan keluarga kaisar Kerajaan Sui. Pinto curiga bahwa ia tentulah seorang mata-mata pemberontak, maka pinto hendak menawannya, dan memeriksa teliti. Akan tetapi ia melarikan diri dan dilindungi oleh keluarga Pangeran Li Cu Kiat. Nah, karena tidak ada jalan untuk menangkap gadis mata-mata pemberontak itu, maka pinto menggunakan ilmu sihir untuk dapat membunuhnya. Semua ini pinto lakukan demi keselamatan kerajaan paduka, Sri baginda."
Tosu itu tidak tahu betapa semalam Kaisar dilayani selirnya terkasih. Bu Mei Ling. Dalam kesempatan yang amat baik itu, ketika Kaisar dibuai kemesraan yang dilimpahkan selir itu kepadanya, merasakan betapa besar kasih sayang Bu Mei Ling kepadanya, selir itu dengan hati-hati dan halus, telah membuka kesadaran Kaisar akan bahaya besar yang datang dari lm Yang Sengcu.
Dengan amat lembut dan cerdik sehingga tidak mengejutkan, Bu Mei Ling menuntun Kaisar ke dalam pemikiran yang membuat dia diam-diam menaruh curiga kepada lm Yang Sengcu. Segala perbuatan tosu itu yang lalu, dicatat dengan amat cermat oleh Bu Mei Ling dan malam itu, semua perbuatannya yang bersifat palsu dan buruk, diungkapkan.
Bahkan yang terakhir, betapa Im Yang Sengcu seolah hendak menjauhkan keakraban hubungan keluarga kaisar ketika melaporkan tentang sikap Pangeran Li Cu Kiat kepada Kaisar, mengatakan bahwa pangeran menghina Im Yang Sengcu. Dengan cerdik Bu Mei Ling mengingatkan kaisar betapa setianya keluarga pangeran itu, tidak pernah mencampuri urusan persaingan kekuasaan, bahkan keluarga yang gagah perkasa itu dikenal sebagai keluarga yang selalu menjunjung dan membela kebenaran dan keadilan.
Oleh karena pengaruh semalam masih kuat melekat di hatinya, maka pagi itu Kaisar datang ke kuil untuk sekali lagi memperhatikan sikap dan tingkah tosu yang mulai mencurigakan hatinya itu. Dan ternyata dia melihat tosu itu hendak melakukan kecurangan kepada orang-orang muda. Bahkan lebih dari itu, dia mendengar bahwa Im Yang Sengcu mempergunakan ilmu hitam untuk membunuh puteri bekas Pangeran Cian Bu Ong yang dia kagumi kegagahannya.
Sekarang, tosu itu berdalih bahwa dia melakukan perbuatan pengecut yang hanya patut dilakukan oleh golongan hitam yang sesat itu adalah untuk menjaga keselamatan Kerajaan! Diam-diam, kegagahan di hati kaisar pendekar itu tersinggung dan diapun mengambiI suatu keputusan tegas.
"Kiranya sudah cukup kami mendengar keterangan ke dua pihak. Coa Thi-Ki, engkau sudah yakin bahwa Im Yang Sengcu telah melakukan kejahatan terhadap adikmu Cian Kui Eng dan engkau berniat hendak menghukumnya?"
"Hamba sudah yakin. Yang Mulia. Dan bukan semata karena dia berbuat jahat terhadap adik hamba saja maka hamba menentangnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban hamba untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapapun terhadap siapapun,” jawab Thian Ki penuh semangat.
Kaisar mengangguk dan diam-diam merasa kagum. Dia sendiri juga bersikap seperti pemuda ini ketika dia masih muda dan malang melintang di dunia kang-ouw. Lalu dia menghadapi Im Yang Sengcu. "lm Yang Sengcu, apakah engkaupun sudah yakin bahwa pemuda ini seorang mata-mata pemberontak yang harus ditangkap atau dibunuh?"
Dengan cepat lm Yang Sengcu merangkap kedua tangan depan dada. "Ooo, pinto yakin sekali, Sribaginda. Menurut perhitungan pinto, kalau kedua orang muda ini tidak dibasmi sekarang kelak mereka akan menjadi ancaman besar bagi kejayaan kerajaan paduka! Karena itu, perkenankan hamba menangkap mereka dan..."
"Nanti dulu, to-tiang. Rupanya ada perbedaan pendapat yang amat besar di antara Coa Thian Ki ini dan engkau. Kita semua adalah orang-orang yang menghargai kegagahan dan kami jijik dengan kepalsuan dan kecurangan. Oleh karena itu, sekarang juga kami memutuskan agar di antara kalian berdua membuktikan kebenaran masing-masing dengan pertandingan satu lawan satu yang adil. Kami tidak menghendaki kecurangan dan pengeroyokan. Beranikah engkau kalau kami perintahkan bertanding melawan Im Yang Sengcu untuk mempertahankan kebenaranmu. Coa Thian Ki?"
Thian Ki tersenyum tenang. "Tentu saja hamba berani membela kebenaran dan keadilan dengan taruhan nyawa hamba, Yang Mulia."
"Dan engkau bagaimana, Im Yang Sengcu. Beranikah engkau bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini? Atau kami akan mendengar sesuatu yang mustahil, yaitu bahwa Im Yang Sengcu takut melawan seorang pemuda yang tak terkenal? Agaknya kaisar sengaja mengeluarkan ucapan seperti ini untuk mendesak atau memojokkan tosu itu sehingga tidak dapat menolak lagi.
"Tentu... tentu saja... pinto berani!" Tosu itu berkata dengan gagap, akan tetapi karena diapun bukan seorang lemah, bahkan memiliki ilmu silat yang lihai dan ilmu sihir yang kuat, maka kepercayaan kepada diri sendiri bangkit kembali.
Pada saat itu, terdengar Cin Cin berkata dengan suara lantang. “Yang Mulia, perkenankan hamba yang menghadapi tosu siluman itu untuk membalaskan apa yang telah dia lakukan terhadap adik Cia... Kui Eng."
Mendengar ini, Kaisar Tang Cung memandang kagum dan heran. Sebagai seorang bekas pendekar, tentu saja dia mengetahui bahwa bukan hanya kaum pria yang dapat menguasai ilmu silat tinggi, juga banyak wanita yang perkasa. Akan tetapi gadis muda ini buntung tangan kirinya, bagaimana ia berani menantang seorang tangguh seperti Im Yang Sengcu?
Mendengar ucapan Cin Cin, Im Yang Sengcu tentu saja tidak ingin lepaskan kesempatan baik ini. "Baik, pinto menerima tantangan nona ini untuk bertanding!"
Mendengar ini, perasaan tidak senang terhadap tosu itu makin menjadi, dalam hati Kaisar. Sikap Im Yang Sengcu yang cepat-cepat menyambut tantangan gadis bertangan buntung itu saja sudah jelas memperlihatkan wataknya yang curang dan licik. Kaisar Tang Tai Cung tersenyum dingin.
"Totiang, tantangan Coa Thian Ki belum juga kau sambut, bagaimana engkau sekarang hendak menyambut tantangan nona ini?"
lm Yang Sengcu tidak dapat menjawab dan mukanya berubah merah. Thian Ki segera berkata kepada kaisar. “Ampun, Yang Mulia. Biar hamba yang mewakili pula tantangan yang diucapkan oleh adik Kam Cin ini"
Kaisar tersenyum. "Ha-ha, kalian berdua ini aneh, seolah bersaing hendak menandingi Im Yang Sengcu, dan agaknya ingin saling mewakili. Bagaimana kami dapat mempertimbangkan apakah kalian berhak untuk saling mewakili?"
"Tentu saja hamba berdua berhak, Yang Mulia, karena hamba berdua adalah calon suami isteri," kata Thian Ki dengan sejujurnya karena dia tidak ingin sekasihnya menghadapi tosu yang amat berbahaya itu.
Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-angguk dan kekagumannya meningkat. Dua orang pendekar muda ini bukan saja gagah perkasa dan berani, akan tetapi juga jujur dan diam-diam dia merasa girang karena puterinya ternyata tidak keliru memilih sahabat. "Bagus, kalau begitu, terserah kepada kalian berdua untuk menentukan siapa diantara kalian yang akan bertanding melawan Im Yang Sengcu."
"Koko, kenapa engkau hendak mewakili aku menghadapi tosu iblis ini? Apakah engkau masih belum percaya akan kemampuanku?"
"Bukan begitu, Cin-moi, akan tetapi tosu ini curang dan licik, biar aku saja yarg melawannya," bantah Thian Ki .
"Dengan adanya engkau di sini, apakah aku perlu takut akan kecurangannya? Pula, kita sudah mendengar akan kebijaksanaan Sribaginda Kaisar yang gagah perkasa, aku yakin beliau tidak akan mengijinkan orang berbuat curang di hadapan beliau. Koko, setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk memperlihatkan bahwa aku bersungguh-sungguh hendak membela adik Kui Eng untuk menghapus semua kesalah-pahaman yang lalu."
Thian Ki dapat memaklumi apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya. Cin Cin merasa tidak enak kepada Kui Eng, bukan saja karena dahulu pernah ia hendak membunuh ayah kandung gadis itu, juga sekarang, tanpa disengaja dan disadarinya, ia telah merampas pula Thian Ki darinya! Maka, Thian Ki hanya mengangguk menyetujui, pula karena dia yakin akan kemampuan Cin Cin yang pasti akan mampu menandingi tosu itu. Cin Cin benar. Dia berada di situ dan kaisar terkenal sebagai seorang yang menjunjung kegagahan, sehingga tidak ada kesempatan bagi Im Yang Sengcu untuk berbuat curang mengandalkan ilmu hitamnya.
Kaisar Tang Tai Cung sendiri ragu-ragu dan sangsi apakah gadis yang tangan kirinya buntung itu akan mampu menandingi lm Yang Sengcu, maka dia lalu berkata, "Nona muda, sudah kau pertimbangkan baik-baik keinginanmu menantang Im Yang Sengcu? Ingat, pertandingan ini haruslah jujur dan tidak boleh keroyokan, juga kalau sampai ada yang tewas atau terluka parah dalam pertandingan ini, tidak boleh menuntut atau menyalahkan siapapun."
"Hamba mengerti, Sribaginda Yang Mulia, dan hamba siap menanggung segala akibatnya," jawab Cin Cin dengan gagah.
"Bagus, kalau begitu, kalian berdua mulailah dan kami yang akan menjadi saksi dalam pertandingan ini!"
Dengan hati tegang namun sikapnya tenang saja Thian Ki mundur dan berdiri di pinggir. Juga para anak buah lm Yang Sengcu tidak ada yang berani mendekat. Kaisar Tang Tai Cung memberi isyarat dengan tangan ke atas dan muncullah belasan orang perajurit pengawal pribadinya. Kaisar ini maklumi bahwa biarpun dia melakukan perjalanan seorang diri dan tidak memerintahkan pasukan pengawal untuk mengiringkannya, namun pasukan pengawal pribadinya selalu siap tidak jauh darinya sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan mereka, maka hanya dengan mengangkat tangan ke atas, mereka akan bermunculan!
Kaisar itu lalu memerintahkan agar para perajurit pengawal itu mengambilkan sebuah kursi untuknya dan menjaga tempat itu agar jangan diganggu orang luar. Setelah Kaisar duduk menjadi penonton, Cin Cin dan Im Yang Sengcu sudah berdiri saling berhadapan. Wajah Im Yang Sengcu nampak agak pucat, namun Cin Cin nampak tenang-tenang saja.
Melihat betapa lawannya tidak membawa senjata apapun, Im Yang Sengcu yang diam-diam merasa jerih itu melihat keuntungan baik baginya dan sekali kedua tangannya bergerak, tangan kirinya sudah membawa sebuah kebutan, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan. Melihat ini, Thian Ki lalu berkata lantang.
"Cin-moi, terimalah pedang ini!" dan begitu dia menggerakkan tangannya, sinar hitam menyambar ke arah Cin Cin yang mengangkat tangan kanannya dan ia sudah menerima sebatang pedang hitam yang tadi terbang meluncur ke arahnya.
Sebatang pedang hitam yang mengeluarkan sinar hitam yang aneh dan mengerikan. Itulah Cui-mo Hek-kiam (Pedang hitam Pengejar Iblis), pedang pusaka milik Thian Ki yang dia terima dari ibunya. Melihat pedang hitam itu, lm Yang Sengcu semakin gentar, akan tetapi dia menutupi dengan bentakan nyaring dan dia sudah mulai bergerak menyerang dengan pedangnya, disusul serangan kebutan di tangan kiri.
Cin Cin maklum bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka iapun segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang telah mengangkat nama gurunya menjadi seorang di antara para datuk persilatan yaitu Koai-1iong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Apalagi kini ia mempergunakan Cui-mo Hek-kiam, maka terdengarlah suara mengaung-ngaung seolah-olah pedangnya telah berubah menjadi seekor naga hitam yang buas.
Menghadapi serangan yang demikian ganasnya, Im Yang Sengcu segera memutar sepasang senjatanya, namun tetap saja gulungan hitam itu terlampau kuat baginya dan dia segera terdesak hebat! Melihat ini Kaisar Tang Tai Cung terkejut dan kagum bukan main. Kini mengertilah dia mengapa Thian Ki tenang-tenang saja membiarkan calon isterinya menandingi tosu itu. Kiranya gadis buntung tangan kirinya itu memang benar-benar amat lihai.
Setelah lewat tigapuluh jurus, nampak jelas bahwa Im Yang Seng tidak akan menang. Dia hanya berlompatan ke sana sini, main mundur dan sibuk sekali memutar kebutan dan pedangnya untuk melindungi dirinya. Bulu kebutannya telah terbabat putus sebagian dan ketika Cin Cin mengeluarkan bentakan nyaring, pedang hitam berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari dalam gulungan sinar itu mencuat kilat hitam menyambar leher, Im Yang Sengcu melempar tubuh ke samping, namun tetap saja pundaknya terobek pedang. Dia terhuyung dan agaknya dia akan roboh tak lama Iagi.
Tiba-tiba terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Thian Ki cepat melompat dekat Kaisar untuk melindunginya dan berbisik. "Yang Mulia, sebaiknya mundur, asap itu beracun!"
Kaisar Tang Tai Cung mengerutkan alisnya, tak senang melihat tosu itu menggunakan senjata rahasia seperti itu, dan diapun mundur diikuti para pengawalnya. Thian Ki tidak khawatir walaupun dia siap siaga melindungi kekasihnya. Dan memang Cin Cin tidak perlu dikhawatirkan. Asap itu adalah asap yang akan mencelakai orang kalau sampai terhisap atau tersedot. Dan Im Yang Sengcu menggunakan senjata peledak itupun karena sudah tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinja sehingga dia sendiri mempergunakan obat penawar.
Dia tidak tahu bahwa gadis yang menjadi lawannya itu adalah seorang ahli bermain dalam air sehingga daya tahan Cin Cin dalam menghentikan pernapasan jauh lebih kuat dari pada orang lain. Gadis ini mampu bertahan sampai puluhan menit di dalam asap dengan menahan napas dan kini Cin Cin mengurung dan mendesak lawannya di dalam gumpalan asap hitam itu. Im Yang Sengcu tidak dapat melarikan diri keluar dari gumpalan asap dan mereka berdua bertanding seru di dalam gumpalan asap beracun itu.
lm Yang Sengcu menjadi semakin panik melihat betapa gadis tu tidak roboh oleh asap beracunnya, sedangkan dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan nafas lebih lama lagi. Dadanya serasa hampir meledak dan menggembung karena dia menahan pernapasannya. Karena siksaan dari dalam ini, gerakannya menjadi lambat dan sebuah tendangan kaki Cin Cin mengenai perutnya.
"Dess... hukkk...!" Terpaksa Im Yang Sengcu menghisap udara bercampur asap hitam dan diapun terhuyung lalu roboh. Pedang dan kebutannya terlempar.
Melihat lawannya sudah roboh, Cin Cin juga cepat melompat keluar dari gumpalan asap dan berlari mendekati Thian Ki, lalu mulai menghirup udara segar dengan perasaan lega. Tanpa kata ia mengembalikan pedang hitam itu kepada kekasihnya. Di antara gumpalan asap tadi Thian Ki dan Kaisar masih dapat mengikuti pertandingan itu dan mereka melihat Im Yang Sengcu roboh. Kaisar semakin kagum.
"Engkau hebat, nona," kata Kaisar kepada Cin Cin. "Katakan, siapakah gurumu?"
Dengan sejujurnya Cin Cin menjawab. "Hamba pernah menjadi murid Tung hai Mo-li Bhok Sui Lan, Yang Mulia.”
Kaisar terbelalak. "Ahhh! Datuk di pantai timur itu? Pantas saja kalau begitu, dan sekarang kami mengerti mengapa engkau malah mendapat kemenangan setelah Im Yang Sengcu menggunakan asap beracun. Engkau seperti juga gurumu, ahli bermain dalam air, bukan? Dan karena itu engkau kuat sekali menahan napas."
Cin Cin mengangguk. "Benar sekali apa yang Paduka katakan, Yang Mulia."
Setelah asap membubung ke atas dan tidak nampak lagi. Kaisar sendiri menghampiri tubuh Im Yang Sengcu yang menggeletak. Mukanya membiru tanda keracunan dan ketika Kaisar meraba nadinya. Dia menghela napas. "Dia tewas karena ulahnya sendiri!"
Thian Ki juga mendekat dan meraba leher tosu yang rebah mati itu. Diapun yakin bahwa Im Yang Sengcu telah tewas, bukan karena tendangan Cin Cin tadi melainkan karena keracunan asap beracunnya sendiri. Ternyata senjata makan tuan, karena tidak menyangka bahwa lawannya kuat sekali menahan napas, maka dialah yang menjadi korban asap beracunnya.
Kaisar lalu memerintahkan para murid dan anak buah Im Yang Sengcu untuk mengangkat dan merawat jenasah lm Yang Sengcu sebagaimana mestinya. Para anak buah itu dengan sikap hormat lalu mengangkat jenazah itu dan dibawa masuk ke kuil.
"Mari kalian ikut dengan kami ke istana sehubungan dengan surat puteri kami Hong Lan itu," kata Kaisar kepada Thian Ki dan Cin Cin.
Dua orang muda ini merasa gembira sekali. Mereka mengikuti rombongan kaisar memasuki Istana dan di ruangan besar, mereka berdua diterima menghadap kaisar yang segera mengutus pejabat yang berwenang mengambilkan dua macam pusaka istana yang diminta puterinya, yaitu obat penawar racun katak merah, dan pedang pusaka Liong-cu-kiam.
Kepada mereka, setelah menyerahkan dua macam pusaka itu, kaisar memesan agar disampaikan kepada Hong Lan bahwa dia merasa rindu kepada puteri angkatnya itu dan mengharapkan puterinya suka berkunjung ke istana bersama ayah ibunya. Setelah menghaturkan terima kasih, Thian Ki dan Cin Cin berpamit meninggalkan istana dan langsung mereka pergi ke gedung tempat tinggal Pangeran Li Cu Kiat.
"Suheng... ahhh... suheng..." Kui Eng merintih dan mengigau dengan kata-kata yang tidak jelas.
"Eng-moi, suhengmu sedang pergi untuk menghajar tosu iblis itu. Aku berada di sini, Eng-moi..." kata Pangeran Li Cu Kiat dengan hati seperti diremas rasanya.
Dia sejak tadi berjaga dekat situ, akan tetapi gadis yang di jaganya, dalam keadaan setengah sadar, memanggil-manggil pemuda lain! Kini dia tahu mengapa Kui Eng ragu menerima cintanya. Kiranya gadis ini sudah ditunangkan dengan suhengnya sendiri oleh ayahnya, akan tetapi ternyata bahwa suhengnya itu tidak mencintanya, dan agaknya Kui Eng mencinta suhengnya itu.
Kui Eng membuka mata, seperti mencari-cari laiu pandang matanya bertemu dengan wajah pangeran itu. "Ahhh, paduka, pangeran..."
"Hushh... engkau masih saja memanggil pangeran kepadaku, Eng-moi. Engkau mencari suhengmu, Coa Thian Ki?” Dia memaksa bibirnya tersenyum seolah pertanyaan itu tidak menunjukkan perasaan yang tertusuk.
"Di mana mereka, pangeran... eh... Kiat-koko? Di mana suheng dan juga enci Kam Cin? Bukankah tadi mereka berada di sini atau mimpikah aku?”
"Mereka memang datang dan bahkan tadi membantumu melawan pengaruh jahat yang membuatmu sakit, Eng-moi. Dan sekarang mereka berdua pergi untuk memberi hajaran kepada tosu keparat yang membuatmu sakit itu."
Kui Eng teringat akan semua peristiwa tadi, tentang percakapannya dengan Thian Ki, tentang pengakuan Thian Ki bahwa Thian Ki saling mencinta dengan Kam Cin, bahwa Thian Ki hanya mencinta ia sebagai sumoi, sebagai adik dan bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi suami isteri. Teringat akan semua itu, ditambah ingatan bahwa semua percakapan itu didengarkan olel Pangeran Li Cu Kiat dan ibu serta neneknya, Kui Eng tak dapat menahan diri lagi, ia menangis!
Pangeran Li Cu Kiat memandang penuh iba, tidak berani mengganggu, membiarkan saja gadis itu menangis karena dia tahu bahwa itulah pelepasan terbalik bagi gadis itu. Setelah tangisnya mereda, Kui Eng mengangkat muka yang agak pucat dan matanya yang kemerahan memandang wajah sang pangeran.
"Pangeran... Kiat-koko... paduka... engkau tentu amat kecewa mengetahui semua keadaanku..."
Kini pangeran itu baru berani mengulurkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. "Sama sekali tidak kecewa, Eng-moi. Bahkan aku bergembira. Engkau dan suhengmu dan nona Kam Cin itu adalah pendekar-pendekar sejati yang jujur dan suka berterus terang. Aku kini mengerti semuanya, aku mengerti mengapa engkau tidak dapat mengambil keputusan, ragu untuk menerima cintaku. Kiranya engkau telah dijodohkan dengan suhengmu sendiri. Dan suhengmu begitu jujurnya! Dia mengakui bahwa dia menyayangmu sebagai kakak, akan tetapi dia mencinta seorang gadis lain yang menjadi calon isterinya, yaitu nona Kam Cin. Dan nona itupun mencintainya walaupun tangannya dibuntungi oleh suhengmu. Sungguh luar biasa! Semuanya luar biasa dan mengagumkan hatiku. Eng moi, kurasa... dan kuharap... benar seperti yang dikatakan suhengmu bahwa cintamu terhadap suhengmu itu sebenarnya juga merupakan kesayangan seorang adik terhadap kakaknya. Kuharap saja cintamu yang sesungguhnya akan kau jatuhkan kepadaku..."
Suara itu demikian lembut dan mengharukan hati Kui Eng. Ia memang kagum dan suka kepada pangeran ini dan andaikata ia tadinya tidak berpikir bahwa ia adalah calon isteri suhengnya, kiranya tidak akan sukar menerima dan membalas cinta kasih seorang pemuda seperti pangeran itu.
"Maaf, tidak begitu mudah untuk dapat diperkenankan menghadap Srlbaginda, sobat," kata komandan itu. "Ji-wi harus lebih dahulu mendaftarkan diri, menulis nama dan alamat, dan juga menuliskan maksud permohonan menghadap beliau."
Thian Ki dapat mengerti peraturan ini, akan tetapi Cin Cin agak cemberut. Untung bahwa komandan jaga itu dan anak buahnya bersikap sopan. Coba mereka itu bersikap congkak atau berani kurang ajar, tentu dara ini sudah menghajar mereka. Jengkel ia melihat betapa keinginan menghadap kaisar saja dipersulit.
"Kami berdua datang membawa surat dari Puteri Sri baginda yang bernama Hong Lan, apakah itu belum cukup untuk membolehkan kami menghadap Sribaginda sekarang juga?"
Mendengar disebutnya nama Hong Lan, komandan itu bersikap lebih ramah lagi. "Ah, tentu saja, nona. Tentu saja boleh menghadap Sri baginda, akan tapi kami harus mematuhi peraturan, kalau tidak, kalau kami membiarkan saja ji-wi masuk tanpa didaftar, tanpa di laporkan lebih dahulu, tentu kami yang akan menerima hukuman berat!"
"Sudahlah, Cin-moi. Perwira ini benar. Mari, ciangkun, kami akan mendaftarkan diri," kata Thian Ki dan mereka berdua lalu memasuki gardu, dipersilakan duduk dan disodori buku di mana mereka harus mendaftarkan diri. Thian Ki yang lebih dahulu menuliskan namanya dan begitu komandan itu melihat nama Coa Thian Ki ditulis di sana. dia terkejut.
"Ah, kiranya tai-hiap yang bernama Coa Thian Ki?"
"Benar, kenapakah?" tanya Thian Ki.
"Sungguh kebetulan sekali! Saya beruntung sekali hari ini bertugas jaga di sini sehingga tanpa bersusah payah dapat dapat menemukan tai-hiap! Sudah berhari-hari Pangeran Li Cu Kiat mengerahkan banyak penyelidik untuk mencari tai-hiap, siapa kira hari ini saya yang dapat menemukan tai-hiap secara begini mudah!" Komandan jaga itu nampak gembira bukan main karena dia tentu akan menerima hadiah besar dari Pangeran Li Cu Kiat.
"Pangeran Li Cu Kiat? Kenapa beliau mencari-cariku?" tanya Thian Ki heran karena dia belum mengenal siapa Pangeran Li Cu Kiat itu.
"Pangeran Li Cu Kiat memesan agar kalau dapat bertemu taihiap, memberitahu bahwa sumoi dari taihiap sekarang sedang sakit parah dan berada di Istana pangeran itu, agar taihiap suka cepat datang berkunjung ke sana."
Tentu saja Thian Ki merasa heran dan juga terkejut mendengar berita ini. Akan tetapi dia masih meragukan berita itu, karena bagaimana mungkin sumoinya yang dia tinggalkan di rumah ayah tirinya itu kini dapat berada di kota raja dan dalam keadaan sakit?
"Siapakah sumoiku itu?" Dia menyelidik.
"Kalau tidak salah, namanya Nona Cian Kui Eng," kata komandan itu.
"Ah, kalau begitu benar!" kata Cin Cin dengan hati khawatir. "Kita harus segera ke sana!"
“Marilah, Ji-wi kami antar ke istana Pangeran Li Cu Kiat," kata komandan jaga itu.
Karena agaknya masih terlalu pagi untuk dapat menghadap Sribaginda Kaisar, maka Thian Ki mengangguk dan mereka berdua lalu diantar oleh komandan itu pergi ke istana Pangeran Li Cu Kiat. Ketika komandan itu melapor kedalam, segera Pangeran Li Cu Kiat sendiri tergopoh keluar. Melihat pangeran yang tampan dan anggun itu menyambut mereka dengan sikap ramah dan sama sekali tidak memperlihatkan keangkuhan, Thian Ki dan Cin Cin merasa kagum.
"Saudara yang bernama Coa Thian Ki, suheng dari Nona Cian Kui Eng?" tanya pangeran itu dengan lembut, namun sinar matanya memandang penuh selidik, juga dia memandang kepada Cin Cin degan sinar mata penuh pertanyaan. Dia harus yakin dulu bahwa pemuda yang nampak sederhana ini benar-suheng dari Kui Eng yang amat lihai.
"Benar, Pangeran. Saya bernama Coa Thian Ki dan nona ini adalah nona Kam Cin. Benarkah bahwa sumoi Cian Kui Eng berada di sini dan sedang menderita sakit? Sakit apakah, Pangeran dan bolehkah kami bertemu dengan sumoi?"
"Mari, silakan. Nona Cian Kui Eng terserang penyakit yang aneh dan tidak wajar."
Mendengar keterangan itu, tentu saja hati Thian Ki merasa tidak enak dan khawatir sekali. Mereka lalu di antar oleh Pangeran Li Cu Kiat menuju sebuah kamar. Kamar itu besar dan indah, dan Kui Eng rebah telentang di atas pembaringan dari kayu berukir yang indah. Segalanya indah dan bersih di kamar itu, akan tetapi Kui Eng rebah dengan lesu dan muka pucat. Ketika pangeran dan dua orang tamunya memasuki kamar, Nenek Song dan Nyonya Li Seng Tek bangkit dari tempat duduk mereka.
Mereka tadi duduk di dekat pembaringan, agaknya menjaga gadis yang sakit itu. Diam-diam Thian Ki merasa heran. Mengapa keluarga pangeran itu nampaknya amat akrab dan amat sayang kepada Kui Eng ? Dia memberi hormat kepada nenek dan wanita setengah tua itu ketika sang pangeran memperkenalkan mereka sebagai Ibu dan neneknya. Tiba-tiba nenek itu menggerakkah tongkatnya yang berbentuk kepala naga dan ujung tongkat itu sudah mengancam di atas kepala Thian Ki, membuat pemuda itu merasa heran.
"Benarkah engkau yang bernama Coa Thian Ki?" Nenek itu bertanya, suaranya masih nyaring dan galak.
"Benar sekali, nyonya."
"Jangan panggil aku nyonya, sebut saja nenek kalau engkau benar suheng dari Kui Eng!" bentak nenek itu. “Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong dan engkau ternyata bukan suhengnya yang ia cari, tongkatku ini akan menghancurkan kepalamu!"
Cin Cin adalah gadis yang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan periang, juga tabah dan pandai bicara. Kini, melihat watak nenek itu, ia tidak dapat menahan senyumnya. Hal ini dapat dilihat si nenek dan tiba-tiba tongkatnya menyambar dan sudah beralih tempat, mengancam kepala gadis bertangan kiri buntung itu.
"Dan kau... siapakah engkau?"
"Nama saya Kam Cin dan biasa disebut Cin Cin, nenek yang baik."
"Dan kenapa kau senyum-senyum seperti bocah nakal itu ?" bentak pula nenek Song dan matanya yang tua itu masih mencorong tajam.
Cin Cin masih senyum-senyum, “Nenek yang baik, saya sungguh kagum melihatmu, sudah begini tua namun masih penuh semangat! Ingin saya seperti nenek kalau saya sudah tua kelak."
Sejenak mata tua itu terbelalak dan saling pandang dengan Cin Cin, kemudian senyum Cin Cin menular dan nenek itupun tertawa terkekeh-kekeh dengan riangnya. "Heh-heh-heh-heh-heh! Bagus, engkau anak baik, Cin Cin! Cu Kiat, aku hampir yakin bahwa dua orang ini memang orang baik-baik, heh-heh!" kata-kata ini disusul turunnya tongkatnya dan ia pun duduk kembali ke atas kursinya.
"Sumoi..." Thian Ki menghampiri pembaringan dan membungkuk untuk memeriksa keadaan sumoinya. Dia meraba nadi pergelangan tangan Kui Eng dan setelah memperhatikan beberapa lama, dia memandang kepada Cin Cin penuh pertanyaan. Gadis ini pun menghampiri dan tanpa diminta, iapun memeriksa dada Kui Eng dengan rabaan ujung jarinya.
"Bagaimana pendapatmu, Cin-moi?" tanya Thian Ki.
"Hemm, ia tidak apa-apa, Koko. Ia tidak... tidak sakit..." kata Cin Cin dan Thian Ki mengangguk membenarkan.
"Heh-heh, tentu saja Kui Eng tidak sakit, akan tetapi lihat saja nanti kalau ia kumat," kata Nenek Song.
"Kumat?" Thian Ki dan Cin Cin berseru, kaget dan heran. Dan pada saat itu, terdengar Kui Eng mengeluh. Thian Ki dan Cin Cin cepat memandang dan gadis itu mengerutkan alisnya, seperti bangun dari tidurnya akan tetapi belum buka mata dan mengigau dengan kata-kata yang tidak jelas, tubuhnya menggeliat-geliat seperti orang yang kesakitan hebat. Ketika Thian Ki meraba dahinya, dia terkejut. Dahi yang tadi tidak apa-apa itu kini panas sekali.
"Cin-moi, cepat, kita bantu ia dengan sin-kang!" kata Thian Ki.
Tanpa ragu lagi Cin Cin dan Thian Ki naik ke atas pembaringan bersila di kanan kiri Kui Eng dan menempelkan telapak tangan mereka, tangan Thian Ki di kedua pundak, dan tangan Cin Cin di dada. Hanya sebentar saja kedua orang muda yang memiliki sin-kang amat kuat ini menyalurkan tenaga dan Kui Eng tidak mengeluh lagi pernapasannya pulih dan ia seperti dalam tidur biasa.
Thian Ki dan Cin Cin melompat turun dari atas pembaringan, dan Kui Eng terbangun dari tidurnya. Mula-mula terbelalak ketika melihat suhengnya karena berbagai perasaan mengaduk hatinya di saat ia melihat Thian Ki. Ada rasa heran, gembira, terharu dan juga duka mengingat akan keadaan dirinya dan tanpa disadarinya, kedua matanya menjadi basah.
Melihat ini, Thian Ki menyentuh pundak sumoinya. "Sumoi, jangan berkeciI hati aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkanmu."
Kini pandang mata Kui Eng bertemu dengan Cin Cin dan kembali ia terbelalak, akan tetapi sekali ini pandang matanya penuh rasa kaget dan marah. Ia berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi ia rebah kembali. Setelah berhari-hari ia diserang perasaan nyeri yang hebat, dan seringkali pingsan, tubuhnya menjadi lemah dan kepalanya pening setiap kali hendak bangkit. Kui Eng tetap memandang kepada Cin Cin dengan sinar mata bernyala.
Cin Cin tersenyum, "Adik Kui Eng, sebaiknya engkau beristirahat saja, tubuhmu masih lemah."
"Biarpun tubuhku lemah, aku tidak takut untuk melawanmu, engkau iblis betina yang hendak membunuh ayahku!"
Ucapan Kui Eng tentu saja amat mengejutkan Pangeran Li Cu Kiat, ibunya dan neneknya. Thian Ki menjadi salah tingkah dan tersipu, akan tetapi Cin Cin bersikap tenang-tenang saja.
"Eng-moi, apa maksud ucapanmu tadi? Nona Kam Cin ini hendak membunuh ayahmu? Apa artinya semua ini?" tanya Pangeran Li Cu Kiat dan dia sudah siap untuk menghadapi kemungkinan, sedangkan Nenek Song juga sudah bangkit berdiri, dan melintangkan Tongkat Naga tangannya.
"Ahh, apakah mataku sudah terlalu tua sehingga aku salah menilai orang?" teriak nenek itu dan tongkatnya diamang-amangkan dengan penuh ancaman ke arah Cin Cin.
Thian Ki. menghela napas panjang dan berkata, "Harap paduka memaafkan kami, Pangeran. Sesungguhnya semua ini merupakan urusan pribadi antara sumoi saya dan juga Cin-moi. Kalau kami bertiga diperkenankan untuk bicara bertiga saja, untuk membereskan urusan pribadi ini..."
“Urusan pribadi bagaimana?” Nenek Song membentak dengan suara lantang.
"Urusan yang menyangkut diri Kui Eng adalah urusan keluarga kami pula, apapun yang akan dibicarakan, harus kami dengar!"
Ketika Thian Ki memandang heran, pangeran itu berkata, "Apa yang dikatakan nenekku benar, Coa-toako. Kami semua menganggap Eng-moi sebagai anggota keluarga sendiri dan kami ingin mengetahui semua urusannya, tentu saja kalau ia sendiri menyetujui."
Pangeran itu menoleh ke arah Kui Eng dengan sinar mata bertanya. Biarpun tubuhnya lemah, namun kecerdikan Kui Eng tidak berkurang, ia menghadapi urusan yang amat penting bagi dirinya, yaitu betapa Pangeran Li Cu Kiat amat mencintainya dan telah melimpahkan banyak budi kebaikan dan kecintaan kepadanya.
Namun, hatinya masih melekat kepada Thian Ki dan sekaranglah saatnya ia harus membiarkan pangeran itu mengetahui segalanya, yaitu bahwa ia mencinta suhengnya dan oleh ayahnya bahkan telah direncanakan menjadi jodoh Coa Thian Ki. Juga ia harus tahu tentang hubungan Thian Ki dengan Kam Cin yang dianggapnya musuh besar yang pernah hendak membunuh ayahnya itu. Kini, mendengar percakapan mereka dan melihat betapa Pangeran Li Cu Kiat memandang kepadanya dengan sinar mata bertanya, iapun berkata kepada Thian Ki.
"Suheng, aku setuju kalau keluarga Pangeran Li Cu Kiat ikut mendengarkan urusan pribadiku. Nah, sekarang katakanlah kenapa engkau kini agaknya malah membela ia yang dahulu hendak membunuh ayahku, atau juga guru dan ayah tirimu sendiri. Kenapa?"
Thian Ki juga mengerti bahwa sekarang dia tidak dapat merahasiakan hubungannya dengan Cin Cin. Bagaimanapun juga, orang pertama yang harus mengetahui adalah Kui Eng! Dia harus memutuskan tali perjodohannya dengan Kui Eng. Dia tidak mencinta gadis itu sebagai seorang kekasih, bahkan rasanya tidak mungkin dia dapat mencinta gadis yang sejak kecil disayangnya seperti adik sendiri itu sebagai seorang pria mencinta seorang wanita. Dan apa salahnya kalau dia mengakui cintanya kepada Cin Cin di depan keluarga pangeran ini? Orang sedunia boleh saja mengetahuinya.
"Baiklah, sumoi, aku akan berterus terang saja agar engkau mengetahui segalanya. Engkau tentu masih mengenal Cin-moi, eh. adik Kam Cin ini, bukan?"
"Tentu saja! Ia adalah murid Tung-hai Mo-li yang pernah hendak membunuh ayahku!" jawab Kui Eng marah, dan mukanya yang biasanya pucat itu kini agak kemerahan karena marah.
"Dan engkau tentu sudah mendegar dahulu itu bahwa usaha yang dilakukan adik Kam Cin bukan saja gagal membunuh ayah kita, sebaliknya ia malah kehilangan tangan kirinya karena terpaksa aku membuntungi tangan itu untuk menyelamatkan nyawanya, bukan?"
"Aku sudah mendengar dan aku merasa menyesal kenapa hanya tangannya yang kaubuntungi, bukan lehernya"
"Heh-heh, benar sekali omonganmu, Kui Eng! Orang yang sudah begitu jahat untuk membunuh ayahmu, sudah sepatutnya kalau dibuntungi lehernya!" tiba-tiba Nenek Song berkata dan Pangeran Li Cu Kiat mengerutkan alisnya dan cepat dia mengingatkan neneknya.
"Harap nenek ingat bahwa keluarga kita hanya berhak mendengarkan, akan tetapi tidak mencampuri urusan yang kita tidak tahu seluk beluknya itu. Coa-toako, lanjutkan percakapan kaIian."
Thian Ki tidak memperdulikan ucapan nenek itu, dan Cin Cin juga hanya tersenyum. Gadis ini telah berubah banyak sekali. Setelah ia mendapatkan cintanya dengan Thian Ki, ia merasa hidupnya penuh kebahagiaan dan penuh kedamaian, dan ia mempercayakan selamanya kepada kekasihnya itu. Coba dahulu ia mendengar ucapan seperti yang dikeluarkan Kui Eng dan Nenek Song, tentu ia sudah naik darah dan menantang mereka.
"Sumoi, ketahuilah bahwa adik Kam Cin hanya menaati perintah gurunya. Ia tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ayah kita, dan kini ia telah menyadari bahwa gurunya itu yang bersalah, bukan ayah kita."
"Hemm, dan karena ia telah menyadari, maka engkau berbaik dengannya dan membelanya, suheng?"
"Bukan hanya karena itu, sumoi melainkan, terus terang saja karena sebenarnya kaulah orang pertama yang berhak mengetahuinya, kami, yaitu aku dan adik Kam Cin, kami saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama selamanya sebagai suami isteri.”
Sepasang mata Kui Eng terbelalak. "Kau... kalian... saling mencinta...?" katanya lirih dan tergagap. "...tapi aku... kita... bagaimana dengan perjodohan antara kita yang ditentukan ayah?"
Thian Ki merasa sungkan dan tidak enak sekali karena percakapan pribadi itu didengarkan keluarga pangeran itu. Akan tetapi, dari sikap pangeran itu dan ibu serta neneknya terhadap Kui Eng, dia dapat menduga bahwa pangeran itu agaknya jatuh cinta kepada Kui Eng dan keluarganya menyetujuinya. Sementara itu, mendengar ucapan Kui Eng sebagai pertanyaan yang diajukan kepada Thian Ki, Pangeran Li Cu Kiat mengerutkan alisnya, demikian pula ibunya dan neneknya saling pandang dengan alis berkerut.
Mereka terkejut dan juga kecewa mendengar bahwa Kui Eng telah dijodohkan dengan suhengnya. Kini pangeran itu mengerti mengapa Kui Eng belum dapat menjawab ketika dia menyatakan cintanya. Kiranya gadis itu telah mempunyai tunangan, yaitu suhengnya sendiri dan kini suhengnya itu menyatakan cinta pada gadis lain!
"Sumoi. biarlah engkau mendengar baik-baik dan disaksikan oleh keluarga yang terhormat ini," kata Thian Ki dengan lembut namun dengan penuh ketegasan. "Kita berdua bukan saja suheng dan sumoi, juga kita adalah saudara tiri. Sejak kecil kita berkumpul dan bergaul sehingga aku selalu mencintamu seperti adikku sendiri. Engkaupun menyayangku sebagai kakakmu. Bagaimana mungkin kita dapat mencinta sebagai suami isteri? Aku saling mencinta dengan adik Kam Cin ini, sumoi. Aku merasa bahwa sebaiknya kalau aku berterus terang saja kepadamu, karena pernikahan tanpi cinta yang dipaksakan, akan menghancurkan kehidupan kita berdua. Aku menyayangmu sebagi adik sendiri, sumoi, dan engkau tentu dapat merasakan dan mengerti benar. Nah, aku sudah mengeluarkan isi hatiku, mudah-mudahan saja engkau akan mampu mempertimbangkan dan mengerti."
Suasana menjadi hening sejenak, setelah Thian Ki berhenti bicara. Keluarga pangeran itu adalah keluarga bangsawan yang menjunjung tinggi kegagahan, maka mendengar ucapan Thian Ki yang jujur dan tegas itu, mereka merasa kagum. Kui Eng sendiri terkejut, akan tetapi tidak merasa heran karena sekarang iapun dapat merasakan kebenaran ucapan Thian Ki. Mereka memang saling menyayang sejak kecil, dan kesayangan mereka satu sama lain adalah kesayangan antara saudara. Sekarang baru ia dapat merasakannya. Yang membuat ia bengong adalah melihat kenyataan yang amat aneh itu. Thian Ki dan Kam Cin saling mencinta setelah Thian Ki membuntungi tangan kiri gadis itu! Kalau mereka saling mendendam, hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi saling mencinta? Suheng, aku dapat menghargai keterus-teranganmu ini. Akan tetapi, kenapa engkau tidak membantah dan menerima saja ketika ayah mengusulkan perjodohan di antara kita?"
“Sumoi, bagaimana mungkin aku berani menolaknya begitu saja? Aku tidak ingin mengecewakan hatinya, dan sebagai murid, juga sebagai anak tiri, aku harus mematuhinya. Maksudku, aku diam saja dan perlahan-lahan, akan kuberi tahu. Sekarang, aku bahkan mohon kepadamu agar engkau membantu aku memberi tahu kepada ayah kita."
"Dan bagaimana pula engkau dapat saling mencinta dengan enci Kam Cin yang telah kau buntungi tangan kirinya ini? Enci Kam Cin, sepatutnya engkau membenci dan mendendam kepada suheng, akan tetapi kenapa...?"
Cin Cin tersenyum manis. "Adi Kui Eng, dia membuntungi tangan kiriku bukan karena membenci, melainkan karena hendak menyelamatkan nyawaku, dan aku kehilangan tangan ini karena ulahku sendiri, karena salahku sendiri mungkin ini merupakan hukuman bagiku karena aku hendak membunuh ayahmu yang tidak mempunyai kesalahan apapun terhadap diriku."
Tiba-tiba Kui Eng mengeluh dan sakitnya kambuh. Matanya terpejam dan tubuhnya menggeliat-geliat. Melihat ini cepat Thian Ki memberi isyarat kepada Cin Cin dan seperti tadi, mereka menempelkan telapak tangan ke pundak dan dada Kui Eng dan sebentar saja, keadaan Kui Eng sudah pulih kembali dan iapun sudah tenang kembali. Akan tetapi, gadis itu menjadi semakin lemah dan nampaknya tidur.
"Ibu. nenek, aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja! Aku akan mencari tosu itu!" tiba-tiba Pangeran Li Cu Kiat membentak marah dan dia sudah mencabut pedangnya.
"Cu Kiat, sudah kukatakan bahwa tanpa bukti, tidak boleh engkau bertindak. Ingat, dia adalah sahabat Kaisar! Dan sungguh tidak baik kalau engkau menggunakan kekerasan tanpa adanya bukti. Bukankah Kaisar pernah menegurmu karena sikapmu yang kasar terhadap tosu itu? Nah, itu membuktikan bahwa tosu itu mempunyai pengaruh terhadap kaisar," kata Nenek Song.
Mendengar ini. Thian Ki segera berkata, "Mohon maaf, akan tetapi siapakah tosu siluman yang dimaksudkan pangeran? Dan apakah dia mempunyai hubungan dengan sakitnya sumoi?"
"Tosu dukun lepus itu yang membuat Kui Eng sakit dengan ilmu hitamnya!" Nenek Song berseru sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas lantai karena marah.
Sepasang mata Cin Cin mencorong marah. "Biar kami yang pergi menghajarnya. Pangeran. Tolong beritahukan di mana kami dapat mencarinya."
"Benar. Pangeran. Kami berdua yang akan menghentikan kejahatannya demi menyelamatkan sumoi." kata pula Thian Ki.
"Bagus!" Nenek Song berseru. "Kalau kalian dapat membasmi tosu dukun lepus itu, barulah kami percaya akan kesungguhan hati kalian terhadap Kui Eng!”
Mereka lalu memberitahu kepada Thian Ki dan Cin Cin bahwa tosu yang dimaksudkan berjuluk Im Yang Sengcu dan tinggal di kuil istana yang berada di bukit buatan di lingkungan belakang Istana.
"Akan tetapi harap Coa-twako berhati-hati." kata Pangeran Li Cu Kiat. “Im Yang Sengcu itu lihai sekali, juga dia memiliki murid-murid yang lihai."
"Imu silatnya sih tidak berapa hebat, akan tetapi ilmu hitamnya amat jahat. Kalian harus berhati-hati," kata pula Nenek Song.
Thian Ki memberi hormat kepada tiga orang itu dan berkata dengan sikap dan suara serius kepada Pangeran Li Cu Kiat, "Pangeran, harap jaga sumoi baik-baik."
Mendengar ini. Nenek Song berseru, "Kau kira siapa yang menjaganya siang malam dengan setia? Cucuku ini sampai berhari-hari kurang makan kurang tidur karena menjaga Kui Eng yang sakit!"
Thian Ki saling pandang dengan Cin Cin, kemudian dia kembali menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih. "Terima kasih. Pangeran. Percayalah paduka tidak salah pilih."
Setelah berkata demikian, Thian Ki mengajak Cin Cin meninggalkan gedung itu dan mereka segera pergi menuju ke pintu gerbang istana. Ketika kepala jaga melihat mereka dan menerima surat keterangan dari Pangeran Li Cu Kiat bahwa Thian Ki dan Cin Cin adalah utusannya untuk mengunjungi kuil dan menemui Im Yang Sengcu, kepala jaga itu tidak berani melarang dan dia bahkan menunjukkan di mana letak kuil di bukit buatan itu. Tanpa mengalami rintangan, kedua orang muda itu dapat memasuki komplek istana dan langsung saja mengambil jalan melalui pekarangan dan taman menuju ke kuil.
Kuil itu nampak sunyi dan dengan kepandaiannya yang tinggi. Thian Ki dan Cin Cin dapat menyelinap ke arah belakang kuil. Beberapa orang murid dan anak buah Im Yang Sengcu yang nampak di sekitar kuil tidak dapat melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu dan yang nampak hanya bayangan berkelebat.
Di Pondok kecil belakang kuil, tempat yang biasanya dipergunakan untuk bersamadhi, bertapa atau menyendiri itu lm Yang Sengcu berada seorang diri. Semua pintu dan jendela pondok kecil itu tertutup. Dia sedang bersila di depan meja sembahyang dan ada asap mengepul dari seikat dupa yang membara. Asap itu membubung ke atas dengan lurus akan tetapi asap itu bergoyang-goyang seolah mahluk hidup yang sedang menderita kesakitan. Berulang kali tosu itu mengeluarkan suara membaca mantram dan kedua tangan yang tadinya bersilang depan dada, kadang didorongkan ke arah asap itu.
Dia merasa penasaran sekali. Kenapa dia selalu gagal dalam pengerahan tenaga ilmu hitamnya untuk membunuh gadis yang dimusuhinya itu? Setumpuk pakaian wanita berada di atas meja sembahyang itu. Itulah pakaian Kui Eng yang diambilnya dari kamar losmen dan pakaian bekas dipakai gadis itu, yang belum sempat dicuci, itulah yang dijadikan jembatan untuk menyerang gadis itu dengan ilmu hitam. Dia telah berhasil membuat gadis itu terserang penyakit aneh, namun dia selalu gagal untuk membunuh mangsanya. Dia merasa penasaran bukan main. Baru sekali ini dia gagal!
Dengan hati yang penuh dendam dan penasaran, Im Yang Sengcu lalu mengeIuarkan sehelai kertas yang biasa dipakai untuk membuat hu (surat jimat) lalu sambil berkemak-kemik membaca doa dia menuliskan tiga buah huruf di kertas itu, yaitu tiga huruf nama Cia Kui Eng! Kemudian, dia menusuk kertas itu dengan pedangnya, lalu mengangkat pedang yang sudah menusuk kertas itu ke atas dan mengeluarkan suara yang terdengar menggetar penuh kekuatan sihir.
"Cian Kui Eng, engkau telah berada dalam kekuasaanku dan sekarang engkau akan kubakar, terbakar habislah seluruh perasaanmu, hangus seluruh jasmanimu!"
Dan dia menjulurkan pedang yang ujungnya menusuk kertas itu ke arah lilin besar di meja sembahyang. Tiba-tiba terdengar suara berdesing dan sebuah benda kecil hitam menghantam pedang itu.
"Tringgg...!!" Pedang di tangan Im Yang Sengcu tergetar hebat dan kertas yang tadi tertusuk di ujung pedang itupun terlepas dan melayang. Sesosok bayangan hitam berkelebat dan menyambar.
Im Yang Sengcu terkejut dan bangkit berdiri, melihat dua orang telah berada di dalam pondoknya. Seorang pemuda sederhana yang telah memegang surat hu dengan nama Cian Kui Eng yang ditulisnya tadi, dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya sebatas pergelangan.
"Siapakah kalian? Berani mati memasuki pondok pinto tanpa ijin!" bentaknya sambil menudingkan pedangnya, diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang dengan mata mencorong, berkemak-kemik lalu membentak, "Hayo kalian berdua berlutut! Berlutut kataku!!"
Thian Ki memegang tangan kanan Cin Cin dengan tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan seperti biasa, otomatis didasari penyerahan kepada kekuasaan Tuhan. Biarpun kedua orang ini merasakan getaran aneh yang seolah hendak memaksa mereka berlutut, namun kekuatan getaran itu seperti angin lalu saja dan tidak meninggalkan bekas.
Diam-diam Im Yang Sengcu terkejut bukan main. Dua orang muda ini bukan hanya dapat memasuki pondoknya tanpa diketahui anak buahnya dan bukan hanya dapat merampas hu di ujung pedangnya, juga kekuatan sihirnya tidak mempan terhadap mereka!
Thian Ki membaca nama di atas kertas hu itu, lalu memandang kepada tosu itu dengan sinar mata tajam lalu menjawab, "Manusia sejahat iblis yang berpakaian seperti tosu, tentu engkau yang disebut Im Yang Sengcu! Engkau telah mempergunakan ilmu iblis untuk menyerang sumoiku Cian Kui Eng. Perkenalkanlah, aku Coa Thian Ki dan aku datang untuk membasmi pekerjaanmu yang terkutuk ini!"
“Koko, serahkan saja dukun iblis ini kepadaku! Aku ingin sekali memenggal batang lehernya!"
Diam-diam lm Yang Sengcu terkejut dan gentar. Baru melawan Cian Kui Eng saja dia merasa kewalahan, apa lagi kini muncul suhengnya dan juga gadis yang tangan kirinya buntung ini jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maklum bahwa ilmu sihirnya tidak mempan terhadap dua orang itu, tiba-tiba saja pedangnya berkelebat ke arah meja sembahyang dan terdengar ledakan keras disusul terbakarnya meja sembahyang itu dan bayangan Im Yang Sengcu berkelebat lenyap di balik meja. Dia telah melarikan diri keluar dari pondok melalui pintu di belakang meja.
"Cin-moi, cepat keluar!" bentak Thian Ki dan keduanya lalu menerobos keluar dari pintu pondok.
Ternyata lm Yang Sengcu telah berada di luar pondok dan dia telah mengerahkan lima belas orang murid dan anak buahnya yang semua telah memegang senjata! Begitu melihat Thian Ki dan Cin Cin muncul dari pintu pondok, lm Yang Sengcu menudingkan pedangnya dan berteriak dengan suara lantang kepada para murid dan anak buahnya.
"Tangkap mata-mata pemberontak itu! Kalau melawan, bunuh mereka!" Limabelas orang itu mengepung.
Dengan sikap tenang Thian Ki berkata kepada lm Yang Sengcu, "Im Yang Sengcu kami bukan mata-mata pemberontak, akan tetapi sesungguhnya engkaulah yang menjadi jadi racun di istana, engkau dukun lepus yang jahat, murid iblis yang hanya mendatangkan kekacauan!"
"Tangkap! Bunuh!!" lm Yang Sengcu berteriak-teriak dan limabelas orang itupun mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Hentikan semua ini!!"
Mendengar suara itu, lm Yang Sengcu dan anak buahnya terkejut, menengok dan para anak buah tosu itu segera menjatuhkan diri berlutut, dan tosu itu sendiri memberi hormat dengan menjura dalam-dalam. Kiranya yang muncul adalah Kaisar Tang Tai Cung sendiri!
Kaisar yang nampak gagah perkasa ini ternyata datang berkunjung ke kuil itu seorang diri saja tanpa pengawal dan mendengar ribut-ribut di belakang kuil, dia segera berlari menghampiri dan melihat dua orang muda dikepung oleh murid dan anak buah Im Yang Sengcu. Tentu saja kaisar merasa terheran-heran dan membentak mereka agar menghentikan keributan itu.
Thian Ki dan Cin Cin juga terkejut, apa lagi ketika semua orang meneriakkan penghormatan kepada kaisar dan mereka tahu bahwa yang muncul adalah Kaisar sendiri. Keduanya juga cepat memberi hormat dengan berlutut.
Sejenak Kaisar Tang Tai Cung menyapu semua orang dengan pandang matanya. Alisnya berkerut tanda kecewa. Tosu yang dikaguminya dan dianggap sebagai seorang sahabatnya itu ternyata melakukan perbuatan yang dianggapnya curang dan memalukan. Mengerahkan limabelas orang anak buah mengepung seorang pemuda sederhana dan seorang gadis yang buntung tangan kirinya. Padahal dia percaya bahwa Im Yang Sengcu adalah seorang tosu yang sakti.
"To-tiang, apa yang terjadi disini, dan mengapa tadi kami melihat engkau mengerahkan semua orang ini untuk mengepung pemuda dan gadis ini?” tanya Kaisar dengan suara mengandung penasaran.
"Ampunkan hamba, Sribaginda," kata Im Yang Sengcu dengan sikap hormat. "Dua orang muda ini adalah mata-mata pemberontak. Buktinya, mereka memasuki pondok samadhi hamba dan menyerang hamba. Karena mereka itu memiliki kepandaian dan berbahaya, maka hamba mengerahkan murid-murid untuk mengepung dan menangkap mereka."
Kaisar Tang Tai Cung mengerutkan alisnya dan mengamati Thian Ki dan Cin Cin. Sungguh aneh kalau ada dua orang mata-mata pemberontak begitu berani, pagi-pagi sudah berani memasuki lingkungan istana. Rasanya tidak mungkin. Kalau mata-mata pemberontak yang memiliki niat buruk, tentu masuknya seperti maling di malam hari, tidak secara terbuka seperti mereka berdua itu. Apalagi melihat mereka berdua itu berlutut dengan sikap tenang dan berani, sedikitpun tidak nampak ketakutan seperti layaknya mata-mata pemberontak kalau tertangkap basah.
"Orang muda. siapakah kalian?" Tanya Sri baginda Kaisar sambil mengamati Thian Ki dan Cin Cin penuh perhatian.
"Hamba bernama Coa Thian Ki, Yang Mulia."
"Hamba bernama Kam Cin, Yang Mulia."
"Mengapa kalian berdua berani menyelundup ke sini dan benarkah kalian menyerang lm Yang Sengcu tanpa sebab?"
"Sebelum hamba memberi keterangan, perkenankan dulu hamba menyerahkan surat ini, karena sesungguhnya, hamba berdua datang ke kota raja dengan maksud menghadap paduka dan menyerahkan surat ini." Thian Ki mengeluarkan surat dari Hong Lan.
Melihat ini, Im Yang Sengcu khawatir dan cepat-cepat dia mendekat. "Sribaginda, harap jangan menerima benda itu. Biarkan hamba yang menerimanya dan memeriksanya lebih dulu, siapa tahu dia hendak mencelakai paduka!"
"To-tiang," kata Kaisar dengan suara yang nadanya tidak senang. "Begitu lemahkah kami sehingga orang mampu mencelakai kami semudah itu? Sejak kapan to-tiang menganggap kami sebagai orang yang tak berdaya?"
"Ampun, Sri baginda, hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka,” kata tosu itu dengan muka kemerahan apa lagi melihat Thian Ki dan Cin Cin tersenyum mengejek kepadanya.
Kaisar Tang Tai Cung menerima surat itu dan seketika wajahnya berseri gembira ketika dia melihat bahwa surat itu datang dari Hong Lan. puteri angkatnya yang disayangnya. Dia mengenal tulisan Hong Lan. "Aha, kiranya kali merupakan sahabat-sahabat baik puteri dan kini menjadi utusannya?" katanya girang dan dia cepat membaca tulisan puterinya.
Mula-mula alisnya berkerut membaca bahwa puterinya mohon agar dia suka {menyerahkan dua macam benda yang amat berharga kepada Coa Thian Ki, akan tetapi ketika dia membaca penjelasannya. wajahnya berseri kembali dan habis membaca, dia memandang kepada Thian Ki dengan kagum.
Puterinya menceritakan dalam tulisannya bahwa Coa Thian Ki adalah seorang pendekar yang sakti, yang bahkan menjadi seorang manusia beracun tubuhnya sehingga semua orang yang memukulnya akan mati keracunan, dan Hong Lan mohon agar diberi obat penawar katak merah kepada pemuda itu. Juga puterinya minta agar Liong-cu-kiam diserahkan kepada Thian Ki yang ternyata murid dari bekas Pangeran Cian Bu Ong yang tentu saja dia kenal kelihaiannya!
Setelah membaca surat itu, Kaisar Tang Tai Cung mengelus jenggotnya, biarpun dia seorang kaisar, akan tetapi dia berjiwa pendekar dan dia tahu bahwa Pangeran Cian Bu Ong bukan penjahat, bukan pula pemberontak biasa, melainkan seorang tokoh Kerajaan Sui yang berusaha menegakkan kembali Kerajaan Sui yang sudah jatuh. Karena pedang Liong-cu-kiam merupakan pusaka pribadi bekas pangeran itu, maka sudah sewajarnya kalau kini dia mengembalikannya, apa lagi kalau diingat bahwa bekas musuh itu kini tidak lagi berusaha untuk memusuhi Kerajaan Tang.
"Coa Thian Ki dan Kam Cin, kami telah membaca surat puteri kami. Akan tetapi, kami ingin lebih dulu mengetahui mengapa kalian masuk ke kuil ini dan benarkah kalian menyerang Im Yang Sengcu?"
Thian Ki lalu menceritakan kepada Kaisar apa yang telah didengarnya dari Pangeran Li Cu Kiat. Dia menceritakan betapa sumoinya yang bernama Cian Kui Eng, puteri suhunya, juga adik tirinya, ketika memasuki kota raja, di ganggu oleh kepala jaga di pintu gerbang. Adiknya itu melawan sehingga kepala jaga itu dihajar dan ketika adiknya dikeroyok, muncul Pangeran Li Cu Kiat yang melerainya.
Setelah mendengar tentang duduknya perkara, pangeran lalu bertindak, melaporkan sikap kepala jaga itu kepada panglima sehingga dia dihukum. Betapa kemudian, ketika adiknya bermalam di rumah penginapan, muncul kakak dari kepala jaga itu hendak membunuh Kui Eng. Akan tetapi, Kui Eng mampu menangkis, bahkan kemudian Kui Eng mengejar pembunuh itu.
"Pembunuh itu lari dan kemudian muncul lm Yang Sengcu yang ternyata adalah guru pembunuh itu, Yang Mulia, Demikianlah, Cian Kui Eng dikeroyok oleh Im Yang Sengcu dan anak buahnya. Ia melarikan diri dan secara kebetulan bersembunyi di dalam istana Pangeran Li Cu Kiat dan dilindungi oleh keluarga itu."
Sribaginda melirik ke arah Im Yang Sengcu yang mendengarkan dengan alis berkerut akan tetapi tidak berani menyangkal, hanya menyusun akal bagaimana harus menghadapi keadaan yang memojokkan itu.
"Teruskan ceritamu." kala Sri baginda Kaisar kepada Thian Ki.
Thian Ki bercerita betapa dia dan Cin Cin memasuki kota raja pagi itu dan tadinya mereka hendak langsung menghadap Kaisar menyerahkan surat. Akan tetapi dari penjaga di pintu gerbang istana dia mendengar bahwa dia dicari oleh adiknya yang sedang sakit dan berada di istana Pangeran Li Cu Kiat. Dia dan Cin Cin segera pergi kesana dan mendapatkan adiknya memang sedang sakit parah.
"Cian Kui Eng bukan sakit biasa, Yang Mulia, melainkan sakit karena pengaruh ilmu hitam. Hamba mendengar dari Nyonya Song bahwa yang melakukan penyerangan dengan ilmu hitam mungkin sekali adalah Im Yang Sengcu. Hamba dan nona Kam Cin segera melakukan penyelidikan dan masuk ke sini..."
"Dan mereka menyerang hamba, Sri baginda!" Im Yang Sengcu memotong.
Kaisar memberi isyarat agar dia diam. lalu memandang Thian Ki dan berkata dengan suara memerintah. "Lanjutkan ceritamu!"
"Hamba berdua melihat di dalam pondok itu lm Yang Sengcu sedang melakukan penyerangan dengan ilmu sihirnya terhadap Cian Kui Eng. Dia menggunakan kertas hu yang ditulisi nama adik hamba itu dan hendak dibakarnya, hamba berhasil menghalangi dan merampasnya, inilah kertas hu itu. Yang Mulia."
Thian Ki membeberkan kertas hu bertuliskan nama Kui Eng dan menyerahkannya kepada Sribaginda yang melihatnya dengan alis berkerut.
"Hamba melihat pula pakaian adik Kui Eng di atas meja sembahyang, maka hamba tidak meragukan lagi bahwa memang tosu jahat ini yang telah menggunakan ilmu hitam hendak mencelakai adik hamba. Dia lalu menggunakan sihir, membakar meja sembahyang dan lari ke luar. Ketika hamba dan adik Kam Cin mengejar ke luar pondok, ternyata dia telah mengerahkan anak buahnya mengepung hamba berdua.”
"To-tiang, benarkah apa yang diceritakan pemuda ini?" Sribaginda Kaisar menghadapi Im Yang Sengcu.
"Tidak benar, Sribaginda! Dia berbohong dan hendak melemparkan fitnah kepada pinto!" bantah tosu itu dengan suara marah dan matanya mencorong memandang kepada Thian Ki dan Cin Cin.
"To-tiang, tulisan siapakah itu?" Sribaginda Kaisar menunjuk ke arah kertas hu yang masih terbentang.
"Tidak hamba sangkal, itu memang tulisan hamba dan memang pinto berniat menghukum gadis itu. Yang tidak benar adalah sebab-sebab permusuhan ini, Sri baginda. Permusuhan antara murid pinto yang bernama Phoa Gu dan nona Cian Ku Eng merupakan urusan pribadi yang pinto tidak ingin mencampurinya pula. Akan tetapi melihat murid pinto dikejar-kejar oleh gadis itu, tentu saja pinto melerai. Dan pinto menjadi curiga melihat gadis itu memiliki nama keturunan Cian, mengingatkan hamba akan keluarga kaisar Kerajaan Sui. Pinto curiga bahwa ia tentulah seorang mata-mata pemberontak, maka pinto hendak menawannya, dan memeriksa teliti. Akan tetapi ia melarikan diri dan dilindungi oleh keluarga Pangeran Li Cu Kiat. Nah, karena tidak ada jalan untuk menangkap gadis mata-mata pemberontak itu, maka pinto menggunakan ilmu sihir untuk dapat membunuhnya. Semua ini pinto lakukan demi keselamatan kerajaan paduka, Sri baginda."
Tosu itu tidak tahu betapa semalam Kaisar dilayani selirnya terkasih. Bu Mei Ling. Dalam kesempatan yang amat baik itu, ketika Kaisar dibuai kemesraan yang dilimpahkan selir itu kepadanya, merasakan betapa besar kasih sayang Bu Mei Ling kepadanya, selir itu dengan hati-hati dan halus, telah membuka kesadaran Kaisar akan bahaya besar yang datang dari lm Yang Sengcu.
Dengan amat lembut dan cerdik sehingga tidak mengejutkan, Bu Mei Ling menuntun Kaisar ke dalam pemikiran yang membuat dia diam-diam menaruh curiga kepada lm Yang Sengcu. Segala perbuatan tosu itu yang lalu, dicatat dengan amat cermat oleh Bu Mei Ling dan malam itu, semua perbuatannya yang bersifat palsu dan buruk, diungkapkan.
Bahkan yang terakhir, betapa Im Yang Sengcu seolah hendak menjauhkan keakraban hubungan keluarga kaisar ketika melaporkan tentang sikap Pangeran Li Cu Kiat kepada Kaisar, mengatakan bahwa pangeran menghina Im Yang Sengcu. Dengan cerdik Bu Mei Ling mengingatkan kaisar betapa setianya keluarga pangeran itu, tidak pernah mencampuri urusan persaingan kekuasaan, bahkan keluarga yang gagah perkasa itu dikenal sebagai keluarga yang selalu menjunjung dan membela kebenaran dan keadilan.
Oleh karena pengaruh semalam masih kuat melekat di hatinya, maka pagi itu Kaisar datang ke kuil untuk sekali lagi memperhatikan sikap dan tingkah tosu yang mulai mencurigakan hatinya itu. Dan ternyata dia melihat tosu itu hendak melakukan kecurangan kepada orang-orang muda. Bahkan lebih dari itu, dia mendengar bahwa Im Yang Sengcu mempergunakan ilmu hitam untuk membunuh puteri bekas Pangeran Cian Bu Ong yang dia kagumi kegagahannya.
Sekarang, tosu itu berdalih bahwa dia melakukan perbuatan pengecut yang hanya patut dilakukan oleh golongan hitam yang sesat itu adalah untuk menjaga keselamatan Kerajaan! Diam-diam, kegagahan di hati kaisar pendekar itu tersinggung dan diapun mengambiI suatu keputusan tegas.
"Kiranya sudah cukup kami mendengar keterangan ke dua pihak. Coa Thi-Ki, engkau sudah yakin bahwa Im Yang Sengcu telah melakukan kejahatan terhadap adikmu Cian Kui Eng dan engkau berniat hendak menghukumnya?"
"Hamba sudah yakin. Yang Mulia. Dan bukan semata karena dia berbuat jahat terhadap adik hamba saja maka hamba menentangnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban hamba untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapapun terhadap siapapun,” jawab Thian Ki penuh semangat.
Kaisar mengangguk dan diam-diam merasa kagum. Dia sendiri juga bersikap seperti pemuda ini ketika dia masih muda dan malang melintang di dunia kang-ouw. Lalu dia menghadapi Im Yang Sengcu. "lm Yang Sengcu, apakah engkaupun sudah yakin bahwa pemuda ini seorang mata-mata pemberontak yang harus ditangkap atau dibunuh?"
Dengan cepat lm Yang Sengcu merangkap kedua tangan depan dada. "Ooo, pinto yakin sekali, Sribaginda. Menurut perhitungan pinto, kalau kedua orang muda ini tidak dibasmi sekarang kelak mereka akan menjadi ancaman besar bagi kejayaan kerajaan paduka! Karena itu, perkenankan hamba menangkap mereka dan..."
"Nanti dulu, to-tiang. Rupanya ada perbedaan pendapat yang amat besar di antara Coa Thian Ki ini dan engkau. Kita semua adalah orang-orang yang menghargai kegagahan dan kami jijik dengan kepalsuan dan kecurangan. Oleh karena itu, sekarang juga kami memutuskan agar di antara kalian berdua membuktikan kebenaran masing-masing dengan pertandingan satu lawan satu yang adil. Kami tidak menghendaki kecurangan dan pengeroyokan. Beranikah engkau kalau kami perintahkan bertanding melawan Im Yang Sengcu untuk mempertahankan kebenaranmu. Coa Thian Ki?"
Thian Ki tersenyum tenang. "Tentu saja hamba berani membela kebenaran dan keadilan dengan taruhan nyawa hamba, Yang Mulia."
"Dan engkau bagaimana, Im Yang Sengcu. Beranikah engkau bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini? Atau kami akan mendengar sesuatu yang mustahil, yaitu bahwa Im Yang Sengcu takut melawan seorang pemuda yang tak terkenal? Agaknya kaisar sengaja mengeluarkan ucapan seperti ini untuk mendesak atau memojokkan tosu itu sehingga tidak dapat menolak lagi.
"Tentu... tentu saja... pinto berani!" Tosu itu berkata dengan gagap, akan tetapi karena diapun bukan seorang lemah, bahkan memiliki ilmu silat yang lihai dan ilmu sihir yang kuat, maka kepercayaan kepada diri sendiri bangkit kembali.
Pada saat itu, terdengar Cin Cin berkata dengan suara lantang. “Yang Mulia, perkenankan hamba yang menghadapi tosu siluman itu untuk membalaskan apa yang telah dia lakukan terhadap adik Cia... Kui Eng."
Mendengar ini, Kaisar Tang Cung memandang kagum dan heran. Sebagai seorang bekas pendekar, tentu saja dia mengetahui bahwa bukan hanya kaum pria yang dapat menguasai ilmu silat tinggi, juga banyak wanita yang perkasa. Akan tetapi gadis muda ini buntung tangan kirinya, bagaimana ia berani menantang seorang tangguh seperti Im Yang Sengcu?
Mendengar ucapan Cin Cin, Im Yang Sengcu tentu saja tidak ingin lepaskan kesempatan baik ini. "Baik, pinto menerima tantangan nona ini untuk bertanding!"
Mendengar ini, perasaan tidak senang terhadap tosu itu makin menjadi, dalam hati Kaisar. Sikap Im Yang Sengcu yang cepat-cepat menyambut tantangan gadis bertangan buntung itu saja sudah jelas memperlihatkan wataknya yang curang dan licik. Kaisar Tang Tai Cung tersenyum dingin.
"Totiang, tantangan Coa Thian Ki belum juga kau sambut, bagaimana engkau sekarang hendak menyambut tantangan nona ini?"
lm Yang Sengcu tidak dapat menjawab dan mukanya berubah merah. Thian Ki segera berkata kepada kaisar. “Ampun, Yang Mulia. Biar hamba yang mewakili pula tantangan yang diucapkan oleh adik Kam Cin ini"
Kaisar tersenyum. "Ha-ha, kalian berdua ini aneh, seolah bersaing hendak menandingi Im Yang Sengcu, dan agaknya ingin saling mewakili. Bagaimana kami dapat mempertimbangkan apakah kalian berhak untuk saling mewakili?"
"Tentu saja hamba berdua berhak, Yang Mulia, karena hamba berdua adalah calon suami isteri," kata Thian Ki dengan sejujurnya karena dia tidak ingin sekasihnya menghadapi tosu yang amat berbahaya itu.
Kaisar Tang Tai Cung mengangguk-angguk dan kekagumannya meningkat. Dua orang pendekar muda ini bukan saja gagah perkasa dan berani, akan tetapi juga jujur dan diam-diam dia merasa girang karena puterinya ternyata tidak keliru memilih sahabat. "Bagus, kalau begitu, terserah kepada kalian berdua untuk menentukan siapa diantara kalian yang akan bertanding melawan Im Yang Sengcu."
"Koko, kenapa engkau hendak mewakili aku menghadapi tosu iblis ini? Apakah engkau masih belum percaya akan kemampuanku?"
"Bukan begitu, Cin-moi, akan tetapi tosu ini curang dan licik, biar aku saja yarg melawannya," bantah Thian Ki .
"Dengan adanya engkau di sini, apakah aku perlu takut akan kecurangannya? Pula, kita sudah mendengar akan kebijaksanaan Sribaginda Kaisar yang gagah perkasa, aku yakin beliau tidak akan mengijinkan orang berbuat curang di hadapan beliau. Koko, setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk memperlihatkan bahwa aku bersungguh-sungguh hendak membela adik Kui Eng untuk menghapus semua kesalah-pahaman yang lalu."
Thian Ki dapat memaklumi apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya. Cin Cin merasa tidak enak kepada Kui Eng, bukan saja karena dahulu pernah ia hendak membunuh ayah kandung gadis itu, juga sekarang, tanpa disengaja dan disadarinya, ia telah merampas pula Thian Ki darinya! Maka, Thian Ki hanya mengangguk menyetujui, pula karena dia yakin akan kemampuan Cin Cin yang pasti akan mampu menandingi tosu itu. Cin Cin benar. Dia berada di situ dan kaisar terkenal sebagai seorang yang menjunjung kegagahan, sehingga tidak ada kesempatan bagi Im Yang Sengcu untuk berbuat curang mengandalkan ilmu hitamnya.
Kaisar Tang Tai Cung sendiri ragu-ragu dan sangsi apakah gadis yang tangan kirinya buntung itu akan mampu menandingi lm Yang Sengcu, maka dia lalu berkata, "Nona muda, sudah kau pertimbangkan baik-baik keinginanmu menantang Im Yang Sengcu? Ingat, pertandingan ini haruslah jujur dan tidak boleh keroyokan, juga kalau sampai ada yang tewas atau terluka parah dalam pertandingan ini, tidak boleh menuntut atau menyalahkan siapapun."
"Hamba mengerti, Sribaginda Yang Mulia, dan hamba siap menanggung segala akibatnya," jawab Cin Cin dengan gagah.
"Bagus, kalau begitu, kalian berdua mulailah dan kami yang akan menjadi saksi dalam pertandingan ini!"
Dengan hati tegang namun sikapnya tenang saja Thian Ki mundur dan berdiri di pinggir. Juga para anak buah lm Yang Sengcu tidak ada yang berani mendekat. Kaisar Tang Tai Cung memberi isyarat dengan tangan ke atas dan muncullah belasan orang perajurit pengawal pribadinya. Kaisar ini maklumi bahwa biarpun dia melakukan perjalanan seorang diri dan tidak memerintahkan pasukan pengawal untuk mengiringkannya, namun pasukan pengawal pribadinya selalu siap tidak jauh darinya sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan mereka, maka hanya dengan mengangkat tangan ke atas, mereka akan bermunculan!
Kaisar itu lalu memerintahkan agar para perajurit pengawal itu mengambilkan sebuah kursi untuknya dan menjaga tempat itu agar jangan diganggu orang luar. Setelah Kaisar duduk menjadi penonton, Cin Cin dan Im Yang Sengcu sudah berdiri saling berhadapan. Wajah Im Yang Sengcu nampak agak pucat, namun Cin Cin nampak tenang-tenang saja.
Melihat betapa lawannya tidak membawa senjata apapun, Im Yang Sengcu yang diam-diam merasa jerih itu melihat keuntungan baik baginya dan sekali kedua tangannya bergerak, tangan kirinya sudah membawa sebuah kebutan, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan. Melihat ini, Thian Ki lalu berkata lantang.
"Cin-moi, terimalah pedang ini!" dan begitu dia menggerakkan tangannya, sinar hitam menyambar ke arah Cin Cin yang mengangkat tangan kanannya dan ia sudah menerima sebatang pedang hitam yang tadi terbang meluncur ke arahnya.
Sebatang pedang hitam yang mengeluarkan sinar hitam yang aneh dan mengerikan. Itulah Cui-mo Hek-kiam (Pedang hitam Pengejar Iblis), pedang pusaka milik Thian Ki yang dia terima dari ibunya. Melihat pedang hitam itu, lm Yang Sengcu semakin gentar, akan tetapi dia menutupi dengan bentakan nyaring dan dia sudah mulai bergerak menyerang dengan pedangnya, disusul serangan kebutan di tangan kiri.
Cin Cin maklum bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka iapun segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang telah mengangkat nama gurunya menjadi seorang di antara para datuk persilatan yaitu Koai-1iong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Apalagi kini ia mempergunakan Cui-mo Hek-kiam, maka terdengarlah suara mengaung-ngaung seolah-olah pedangnya telah berubah menjadi seekor naga hitam yang buas.
Menghadapi serangan yang demikian ganasnya, Im Yang Sengcu segera memutar sepasang senjatanya, namun tetap saja gulungan hitam itu terlampau kuat baginya dan dia segera terdesak hebat! Melihat ini Kaisar Tang Tai Cung terkejut dan kagum bukan main. Kini mengertilah dia mengapa Thian Ki tenang-tenang saja membiarkan calon isterinya menandingi tosu itu. Kiranya gadis buntung tangan kirinya itu memang benar-benar amat lihai.
Setelah lewat tigapuluh jurus, nampak jelas bahwa Im Yang Seng tidak akan menang. Dia hanya berlompatan ke sana sini, main mundur dan sibuk sekali memutar kebutan dan pedangnya untuk melindungi dirinya. Bulu kebutannya telah terbabat putus sebagian dan ketika Cin Cin mengeluarkan bentakan nyaring, pedang hitam berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari dalam gulungan sinar itu mencuat kilat hitam menyambar leher, Im Yang Sengcu melempar tubuh ke samping, namun tetap saja pundaknya terobek pedang. Dia terhuyung dan agaknya dia akan roboh tak lama Iagi.
Tiba-tiba terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Thian Ki cepat melompat dekat Kaisar untuk melindunginya dan berbisik. "Yang Mulia, sebaiknya mundur, asap itu beracun!"
Kaisar Tang Tai Cung mengerutkan alisnya, tak senang melihat tosu itu menggunakan senjata rahasia seperti itu, dan diapun mundur diikuti para pengawalnya. Thian Ki tidak khawatir walaupun dia siap siaga melindungi kekasihnya. Dan memang Cin Cin tidak perlu dikhawatirkan. Asap itu adalah asap yang akan mencelakai orang kalau sampai terhisap atau tersedot. Dan Im Yang Sengcu menggunakan senjata peledak itupun karena sudah tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinja sehingga dia sendiri mempergunakan obat penawar.
Dia tidak tahu bahwa gadis yang menjadi lawannya itu adalah seorang ahli bermain dalam air sehingga daya tahan Cin Cin dalam menghentikan pernapasan jauh lebih kuat dari pada orang lain. Gadis ini mampu bertahan sampai puluhan menit di dalam asap dengan menahan napas dan kini Cin Cin mengurung dan mendesak lawannya di dalam gumpalan asap hitam itu. Im Yang Sengcu tidak dapat melarikan diri keluar dari gumpalan asap dan mereka berdua bertanding seru di dalam gumpalan asap beracun itu.
lm Yang Sengcu menjadi semakin panik melihat betapa gadis tu tidak roboh oleh asap beracunnya, sedangkan dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan nafas lebih lama lagi. Dadanya serasa hampir meledak dan menggembung karena dia menahan pernapasannya. Karena siksaan dari dalam ini, gerakannya menjadi lambat dan sebuah tendangan kaki Cin Cin mengenai perutnya.
"Dess... hukkk...!" Terpaksa Im Yang Sengcu menghisap udara bercampur asap hitam dan diapun terhuyung lalu roboh. Pedang dan kebutannya terlempar.
Melihat lawannya sudah roboh, Cin Cin juga cepat melompat keluar dari gumpalan asap dan berlari mendekati Thian Ki, lalu mulai menghirup udara segar dengan perasaan lega. Tanpa kata ia mengembalikan pedang hitam itu kepada kekasihnya. Di antara gumpalan asap tadi Thian Ki dan Kaisar masih dapat mengikuti pertandingan itu dan mereka melihat Im Yang Sengcu roboh. Kaisar semakin kagum.
"Engkau hebat, nona," kata Kaisar kepada Cin Cin. "Katakan, siapakah gurumu?"
Dengan sejujurnya Cin Cin menjawab. "Hamba pernah menjadi murid Tung hai Mo-li Bhok Sui Lan, Yang Mulia.”
Kaisar terbelalak. "Ahhh! Datuk di pantai timur itu? Pantas saja kalau begitu, dan sekarang kami mengerti mengapa engkau malah mendapat kemenangan setelah Im Yang Sengcu menggunakan asap beracun. Engkau seperti juga gurumu, ahli bermain dalam air, bukan? Dan karena itu engkau kuat sekali menahan napas."
Cin Cin mengangguk. "Benar sekali apa yang Paduka katakan, Yang Mulia."
Setelah asap membubung ke atas dan tidak nampak lagi. Kaisar sendiri menghampiri tubuh Im Yang Sengcu yang menggeletak. Mukanya membiru tanda keracunan dan ketika Kaisar meraba nadinya. Dia menghela napas. "Dia tewas karena ulahnya sendiri!"
Thian Ki juga mendekat dan meraba leher tosu yang rebah mati itu. Diapun yakin bahwa Im Yang Sengcu telah tewas, bukan karena tendangan Cin Cin tadi melainkan karena keracunan asap beracunnya sendiri. Ternyata senjata makan tuan, karena tidak menyangka bahwa lawannya kuat sekali menahan napas, maka dialah yang menjadi korban asap beracunnya.
Kaisar lalu memerintahkan para murid dan anak buah Im Yang Sengcu untuk mengangkat dan merawat jenasah lm Yang Sengcu sebagaimana mestinya. Para anak buah itu dengan sikap hormat lalu mengangkat jenazah itu dan dibawa masuk ke kuil.
"Mari kalian ikut dengan kami ke istana sehubungan dengan surat puteri kami Hong Lan itu," kata Kaisar kepada Thian Ki dan Cin Cin.
Dua orang muda ini merasa gembira sekali. Mereka mengikuti rombongan kaisar memasuki Istana dan di ruangan besar, mereka berdua diterima menghadap kaisar yang segera mengutus pejabat yang berwenang mengambilkan dua macam pusaka istana yang diminta puterinya, yaitu obat penawar racun katak merah, dan pedang pusaka Liong-cu-kiam.
Kepada mereka, setelah menyerahkan dua macam pusaka itu, kaisar memesan agar disampaikan kepada Hong Lan bahwa dia merasa rindu kepada puteri angkatnya itu dan mengharapkan puterinya suka berkunjung ke istana bersama ayah ibunya. Setelah menghaturkan terima kasih, Thian Ki dan Cin Cin berpamit meninggalkan istana dan langsung mereka pergi ke gedung tempat tinggal Pangeran Li Cu Kiat.
********************
"Suheng... ahhh... suheng..." Kui Eng merintih dan mengigau dengan kata-kata yang tidak jelas.
"Eng-moi, suhengmu sedang pergi untuk menghajar tosu iblis itu. Aku berada di sini, Eng-moi..." kata Pangeran Li Cu Kiat dengan hati seperti diremas rasanya.
Dia sejak tadi berjaga dekat situ, akan tetapi gadis yang di jaganya, dalam keadaan setengah sadar, memanggil-manggil pemuda lain! Kini dia tahu mengapa Kui Eng ragu menerima cintanya. Kiranya gadis ini sudah ditunangkan dengan suhengnya sendiri oleh ayahnya, akan tetapi ternyata bahwa suhengnya itu tidak mencintanya, dan agaknya Kui Eng mencinta suhengnya itu.
Kui Eng membuka mata, seperti mencari-cari laiu pandang matanya bertemu dengan wajah pangeran itu. "Ahhh, paduka, pangeran..."
"Hushh... engkau masih saja memanggil pangeran kepadaku, Eng-moi. Engkau mencari suhengmu, Coa Thian Ki?” Dia memaksa bibirnya tersenyum seolah pertanyaan itu tidak menunjukkan perasaan yang tertusuk.
"Di mana mereka, pangeran... eh... Kiat-koko? Di mana suheng dan juga enci Kam Cin? Bukankah tadi mereka berada di sini atau mimpikah aku?”
"Mereka memang datang dan bahkan tadi membantumu melawan pengaruh jahat yang membuatmu sakit, Eng-moi. Dan sekarang mereka berdua pergi untuk memberi hajaran kepada tosu keparat yang membuatmu sakit itu."
Kui Eng teringat akan semua peristiwa tadi, tentang percakapannya dengan Thian Ki, tentang pengakuan Thian Ki bahwa Thian Ki saling mencinta dengan Kam Cin, bahwa Thian Ki hanya mencinta ia sebagai sumoi, sebagai adik dan bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk menjadi suami isteri. Teringat akan semua itu, ditambah ingatan bahwa semua percakapan itu didengarkan olel Pangeran Li Cu Kiat dan ibu serta neneknya, Kui Eng tak dapat menahan diri lagi, ia menangis!
Pangeran Li Cu Kiat memandang penuh iba, tidak berani mengganggu, membiarkan saja gadis itu menangis karena dia tahu bahwa itulah pelepasan terbalik bagi gadis itu. Setelah tangisnya mereda, Kui Eng mengangkat muka yang agak pucat dan matanya yang kemerahan memandang wajah sang pangeran.
"Pangeran... Kiat-koko... paduka... engkau tentu amat kecewa mengetahui semua keadaanku..."
Kini pangeran itu baru berani mengulurkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. "Sama sekali tidak kecewa, Eng-moi. Bahkan aku bergembira. Engkau dan suhengmu dan nona Kam Cin itu adalah pendekar-pendekar sejati yang jujur dan suka berterus terang. Aku kini mengerti semuanya, aku mengerti mengapa engkau tidak dapat mengambil keputusan, ragu untuk menerima cintaku. Kiranya engkau telah dijodohkan dengan suhengmu sendiri. Dan suhengmu begitu jujurnya! Dia mengakui bahwa dia menyayangmu sebagai kakak, akan tetapi dia mencinta seorang gadis lain yang menjadi calon isterinya, yaitu nona Kam Cin. Dan nona itupun mencintainya walaupun tangannya dibuntungi oleh suhengmu. Sungguh luar biasa! Semuanya luar biasa dan mengagumkan hatiku. Eng moi, kurasa... dan kuharap... benar seperti yang dikatakan suhengmu bahwa cintamu terhadap suhengmu itu sebenarnya juga merupakan kesayangan seorang adik terhadap kakaknya. Kuharap saja cintamu yang sesungguhnya akan kau jatuhkan kepadaku..."
Suara itu demikian lembut dan mengharukan hati Kui Eng. Ia memang kagum dan suka kepada pangeran ini dan andaikata ia tadinya tidak berpikir bahwa ia adalah calon isteri suhengnya, kiranya tidak akan sukar menerima dan membalas cinta kasih seorang pemuda seperti pangeran itu.