Serial Joko Sableng Dalam Episode Rahasia Pulau Biru
LOLONGAN anjing menggema di kawasan sebuah lembah. Melengking tinggi seakan hendak mendaki angkasa raya, di mana sang rembulan terlihat menyembunyikan diri di balik arakan awan hitam yang bergerak perlahan. Namun mendadak arakan awan bergerak cepat. Kejap kemudian petir menyambar. Guntur menggelegar seolah hendak membongkar lintasan bumi yang mulai didera hujan dan kegelapan yang menakutkan.
Sebuah kereta tua tampak bergerak cepat menuju lembah. Anehnya, meski cuaca tiba-tiba memburuk dan kepekatan membungkus jalanan yang dilewati, namun kereta itu seakan tak mengalami keuletan, malah sang kuda penarik kereta itu tampak berlari makin kencang laksana dikejar setan!
Kusir kereta itu adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mukanya pucat dan tirus. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang dalam. Rambutnya putih panjang disanggul ke atas. Kakek ini mengenakan jubah besar warna hitam. Sebelah tangannya tersembunyi di balik saku jubahnya sementara tangan satunya sesekali menyentak tali kekang kuda.
Di belakang tempat duduk si kakek terlihat sebuah peti persegi panjang dari kayu berwarna putih mengkilat yang panjangnya kira-kira satu setengah tombak dan lebarnya satu tombak. Pada satu tempat, si kakek tiba-tiba berdiri. Air terlihat mengucur dari jubah dan tubuhnya yang telah basah kuyup. Sepasang matanya yang besar dijerengkan menembusi kegelapan lembah. Mulutnya komat-kamit. Tangannya yang memegang tali kekang ditarik ke belakang. Bersamaan dengan itu terdengar empat kaki kuda menghentak tanah disusul dengan ringkihan keras.
"Dewi...!" si kakek berseru. "Kita telah sampai!" Terdengar suara berderit. Lalu perlahan-lahan tutup peti bergeser membuka. Di lain kejap, dua buah tangan terlihat menjulur keluar dari peti lalu...
"Wuttt!" Dari dalam peti melesat sesosok tubuh dan lenyap dalam kegelapan.
Si kakek berpaling ke belakang sejenak. Tiba-tiba dia membuat gerakan melesat ke udara, Jungkir balik dua kali sebelum akhirnya menjejak tanah dengan sepasang mata liar memandang ke seantero lembah.
"Buyut...! Apa yang kau tunggu?!" satu teguran keras membuat si kakek seakan tersadar.
Buru-buru dia berkelebat ke arah datangnya suara teguran. "Dewi..." kata si kakek begitu telah sampai di belakang sesosok tubuh yang kini tegak tiga langkah di depannya. Namun kakek yang dipanggil Buyut tak meneruskan ucapannya demi dilihatnya sosok di depannya angkat sebelah tangannya memberi isyarat agar si kakek diam.
"Hem... Ternyata mereka murid- murid yang tangguh. Tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan." Sosok di depan si kakek perdengarkan gumaman perlahan dengan sepasang mata menatap tak berkedip ke depan.
Lima belas langkah dari tempat mereka berdua, tampak duduk bersila tiga orang gadis berparas jelita. Seluruh pakaian dan tubuh mereka bertiga basah kuyup. Sepasang mata masing-masing gadis ini terpejam rapat. Mulut mereka juga terkancing. Namun sesekali tubuh mereka terlihat bergoyang-goyong keras. Melihat pada keadaannya jelas jika ketiga gadis ini sedang melakukan semadi.
Gadis paling kanan mengenakan jubah besar warna merah. Rambutnya lebat dan dikuncir agak tinggi. Pada sebelah atas bibirnya tampak sebuah tahi lalat. Sementara gadis yang tengah mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya panjang dibiarkan bergerai. Hidungnya mancung dengan kulit putih. Sepasang bulu matanya lentik. Sedang gadis paling kiri mengenakan jubah besar warna biru. Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya membentuk bagus dan merah tanpa polesan.
Tiba-tiba gadis berjubah kuning yang duduk paling tengah terlihat membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan ke kiri ke arah gadis berjubah merah. Perlahan sepasang matanya membuka dan untuk beberapa saat memandang ke arah gadis di sebelahnya. Mulutnya bergerak sedikit sepertinya hendak keluarkan ucapan. Namun ketika dilihatnya gadis berjubah merah dan biru di sebelahnya diam tak membuat gerakan apa-apa, gadis berjubah kuning ini urungkan niatnya.
Tapi kebimbangan jelas membayang di wajahnya. Ini terlihat tatkala meski dia kembali pejamkan sepasang matanya, namun sebentar kemudian matanya dibuka kembali bahkan seraya menarik napas panjang dan dalam. Untuk kedua kalinya gadis berjubah kuning palingkan kepalanya ke samping kiri. Demi dilihatnya kedua gadis di sebelahnya tetap diam, gadis berjubah kuning gelengkan kepalanya perlahan. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Heran... Apa mereka begitu tenggelam dalam kekhusyukan hingga tak merasa adanya orang lain di tempat ini?! Atau hanya telingaku saja yang menipu?!"
Gadis berjubah kuning tiba-tiba sentakkan kepalanya ke samping kanan, kedua tangannya yang merangkap di dada diturunkan. Sepasang matanya dibeliakkan dan memandang liar ke sana kemari. "Aku tak dapat ditipu! Aku baru saja mendengar suara roda kereta. Lalu suara ringkihan kuda. Lebih-lebih baru saja kudengar suara orang! Tapi mana bangsat jahanamnya?!"
Gadis berjubah kuning putar kepalanya. Lalu terhenti pada sosok gadis di sebelahnya yang tetap terpejam dengan tangan masing-masing merangkul di depan dada. "Mereka harus diberitahu sebelum ada sesuatu yang terjadi. Aku menangkap gelagat tidak baik..." batinnya lalu membuka mulut.
"Sitoresmi! Ayu Laksmi! Apa kalian mendengar sesuatu?!"
"Aku dengar apa yang kau dengar, Wulandari!" Yang menjawab adalah gadis berjubah merah yang dipanggil Sitoresmi seraya buka sepasang matanya. Kepalanya tengadah hingga wajahnya tercurah air hujan. "Orang yang berani datang kemari, siapa pun dia adanya pasti minta mampus! Kita segera berpencar! Jangan sampai orang itu lolos!"
"Tahan!" Mendadak gadis berjubah biru menahan seraya buka kelopak matanya. "Tempat dan pertemuan ini telah diatur tujuh purnama yang lalu. Hanya satu orang yang tahu tempat dan pertemuan ini. Aku khawatir, jangan-jangan orang tak diundang ini adalah..."
Belum selesai gadis berjubah biru yang dipanggil dengan Ayu Laksmi selesaikan ucapannya, Wulandari telah memotong. "Rimba persilatan sedang dilanda kemelut tak menentu. Dalam situasi demikian, apa pun dapat terjadi! Dan bukan tak mungkin tempat ini telah diendus orang lain! Munculnya manusia lain akan merusak suasana. Kita harus segera berbuat sesuatu!"
Meski ucapan Wulandari bernada perintah, namun baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak ada yang membuat gerakan, membuat Wulandari sedikit gemes. Tanpa pedulikan pada kedua gadis di sebelahnya gadis berjubah kuning yang terlihat sedikit tua dibanding dua gadis di sebeiahnya dan sepertinya menjadi pimpinan serentak bangkit berdiri. Sambil mendongak dia berucap lantang.
"Siapa pun kau adanya, kami tahu kau berada di sekitar tempat ini. Sebelum kesabaran kami pupus, keluarlah dari persembunyianmu."
Tak ada sahutan atau gerakan pertanda akan muncuinya seseorang. Wulandari makin geram. Pelipis kiri kanan gadis ini bergerak-gerak. Dagunya sedikit mengembang sementara dari hidungnya terdengar dengusan keras. "Hai!" untuk kedua kalinya Wulandari berteriak keras. "Waktu kami tidak banyak! Lekas tampakkan tampangmu atau kami akan mencari dan memutus selembar nyawamu!"
Belum juga ada tanda-tanda akan munculnya seseorang, membuat Wulandari yang sepertinya tak sabaran segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Sementara Sitoresmi dan Ayu Laksmi cepat pula ikut-ikutan berdiri.
"Kita harus hati-hati! Dengan tidak berani tampakkan wajah di hadapan kita, berarti jahanam itu punya maksud tidak baik! Dan dengan tidak bisa diketahui di mana beradanya bangsat itu, Jelas jika dia punya ilmu tinggi!" berkata Ayu Laksmi seraya putar kepalanya.
"Aneh. Bagaimana mungkin tempat ini bisa diketahui orang lain?! Apakah ada yang membocorkan pertemuan ini?!" Sitoresmi diam-diam membatin dalam hati.
"Hem... Cuaca yang buruk membuat keparat Jahanam itu sulit diduga di mana beradanya..." Gadis berjubah kuning bergumam, lalu palingkan kepala ke arah si jubah merah Sitoresmi. "Kau bergerak ke arah timur, aku ke barat. Sementara Ayu Laksmi ke arah selatan!" ucapnya seraya memberi isyarat dengan anggukkan kepala.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi saling pandang sejenak. Lalu sama-sama anggukkan kepala. Ketiga gadis berparas jelita ini segera berkelebat ke arah yang telah ditentukan. Namun belum sampai tubuh mereka bergerak berkelebat, dari arah kegelapan terdengar satu deruan luar biasa dahsyat. Di lain kejap tiga rangkum angin keluarkan suara bergemuruh laksana topan melabrak ke arah mereka!
Masing-masing gadis keluarkan suara seruan tegang tertahan. Di saat lain ketiganya segera sama berkelebat ke arah samping, lalu hantamkan kedua tangan masing-masing!
"Brakkk! Brakkk! Brakkk!"
Terdengar tiga kali suara gebrakan berturut-turut laksana derakan pohon tumbang. Angin bertenaga dalam tinggi yang mengarah pada ketiga gadis itu serta-merta ambyar berkeping. Sejenak lembah itu disinari cahaya benderang akibat bentroknya tiga pukulan. Namun belum sirap cahaya benderang dan gema gebrakan masih mengiang, dari arah depan ketiga gadis ini melesat tiga kabut putih keluarkan hawa panas menyengat menindih lenyap hawa dingin cuaca.
"Kabut Neraka!" seru Sitoresmi mengenali pukulan yang kini mengarah pada diri dan kedua gadis di sampingnya. Namun bersamaan dengan datangnya serangan itu, ketegangan yang tadi terlihat pada raut muka ketiga gadis ini serta-merta lenyap.
"Dugaanku benar. Untung dia yang datang..." gumam Ayu Laksmi seraya takupkan kedua tangannya di depan dada. Sementara Wulandari dan Sitoresmi undurkan langkah masing-masing satu tindak ke belakang. Kedua tangannya segera pula ditakupkan di depan dada. Kejap kemudian, ketiganya sama hantamkan tangan masing-masing ke depan.
Wuuutt! Wuutt! Wuuttt!
Dari masing-masing kedua tangan ketiga gadis itu melesat tiga kabut putih yang selain perdengarkan suara luar biasa dahsyat juga tebarkan hawa panas!
Blaarr! Blaarr! Blaarrr!
Lembah sunyi dan geiap itu laksana didera gempa. Tanah berlumpur muncrat ke udara. Semak belukar dan pohon tercerabut lalu membumbung ke angkasa membuat cuaca yang sebentar tadi terang mendadak gelap kembali!
Bersamaan dengan terdengarnya suara ledakan, tiga sosok tampak mencelat sampai dua tombak ke belakang dengan wajah pucat dan tubuh bergetar. Pada saat yang sama, dari arah kegelapan terdengar makian panjang pendek yang kemudian disusul dengan terdengarnya suara tawa mengekeh panjang. Namun tiba-tiba suara tawa itu terputus laksana dirobek iblis. Kejap lain dua sosok bayangan hitam berkelebat dari satu pohon besar dan tahu-tahu telah berdiri tegak empat belas langkah di hadapan ketiga gadis.
Laksana terbang, Wulandari, Sitoresmi dan Ayu Laksmi melompat ke depan lalu sama jatuhkan diri tiga langkah di hadapan dua sosok yang baru datang.
"Guru! Ki Buyut!" seru ketiga gadis berbarengan dengan suara sedikit bergetar. Kepala masing-masing orang ini menunduk.
Terdengar suara tawa pelan. Disusul dengan ucapan. "Aku gembira melihat perkembangan kalian yang maju pesat! Dan aku kagum pada ketabahan kalian. Bangkitlah, murid-muridku!"
Ketiga gadis itu menuruti ucapan orang di hadapannya. Sepasang mata masing-masing gadis menatap ke depan, ke arah dua orang yang tegak mengawasi dengan sorot mata tak berkesiap. Sebelah kanan adalah seorang kakek berjubah hitam besar dan panjang. Mukanya amat pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya melotot besar, sementara kedua tangannya masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Di samping kakek yang dipanggil Ki Buyut ini, tegak seorang perempuan mengenakan jubah yang juga berwarna hitam panjang sebatas lutut. Rambut pirang dan panjang dibiarkan bergerai menutupi sebagian bahu dan punggungnya. Pada kedua tangannya terlihat sarung tangan dari kulit berwarna hitam hingga tangan perempuan ini tak kelihatan kulitnya. Perempuan ini juga sukar ditebak umurnya, karena pada wajahnya tampak sebuah cadar hitam, hingga yang terlihat dari wajahnya hanyalah sepasang matanya yang tajam dari kedua lobang cadar.
"Guru..." kata Wulandari. "Maaf atas kelancangan muridmu yang telah berani bertindak kurang ajar terhadapmu!"
Perempuan berjubah dan bercadar hitam yang dipanggil guru kembali perdengarkan suara tawa perlahan. "Lupakan semua itu! Delapan tahun kalian kuberi kesempatan untuk melalang buana di arena rimba persilatan. Lalu tujuh purnama kalian bersemadi di tempat ini. Meski kurun waktu itu belum bisa dibuat jaminan kalian matang betul, namun setidaknya kalian telah mendapatkan pengalaman berharga. Lebih dari itu pasti kalian telah tahu apa yang kini sedang terjadi dalam kancah dunia persilatan..."
Sejenak perempuan berjubah dan bercadar hitam hentikan ucapannya. Setelah menarik napas panjang dan merapikan rambutnya dia melanjutkan. "Aku tanya pada kalian. Apa kalian dengar tentang munculnya beberapa tokoh yang menurut sebagian orang telah mengundurkan diri bahkan sebagian orang mengabarkan telah tewas?!"
"Benar, Guru. Pada beberapa tahun terakhir ini memang kami dengar banyak tokoh yang muncul Kembali. Malah kami sempat bertemu dengan sebagian dari mereka..." Yang angkat bicara Wulandari.
"Hem... Begitu? Mendung memang tak selamanya pertanda akan turunnya hujan. Namun kemunculan beberapa tokoh rimba persilatan pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Kalian tahu, untuk apa mereka muncui kembali?!"
"Itu tidak jelas. Namun akhir-akhir ini rimba persilatan diselimuti kegegeran tentang sebuah kitab. Bukan tidak mustahii, kemunculan mereka mungkin ada kaitannya dengan kitab itu!" Kembali Wulandari yang bicara. "Tapi kami telah menyelidik dan beberapa kali kami mendapat petunjuk tentang kitab itu. Namun pada akhirnya kami harus menelan rasa kecewa. Karena petunjuk yang kami dapatkan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal untuk mendapatkan petunjuk itu, kami harus tumpahkan darah siapa saja! Dari kenyataan itulah, kami akhirnya mengambil kesimpulan jika berita tentang kitab itu hanya kabar bohong!"
Perempuan berjubah dan bercadar hitam tertawa pendek. Lalu berpaling pada si kakek di sampingnya. "Sudah saatnya Dewi memberitahukan pada mereka. Kita sekarang dituntut untuk bergerak cepat. Terlambat sedikit, bukan hanya penyesalan yang akan kita peroleh, namun cita cita Dewi juga akan kandas di tengah jalan!" kata si kakek seraya mengarahkan sepasang matanya pada ketiga gadis di depannya.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam manggut-manggut. Kepalanya dipalingkan ke jurusan lain. "Aku maklum jika kalian berkesimpulan bahwa adanya kitab itu hanya kabar bohong, karena kalian mendapatkan petunjuk bukan dari orang yang benar-benar tahu akan kitab itu!"
"Maksud Guru...?!" tanya Sitoresmi.
"Dengar baik-baik. Kitab yang disebut orang dengan nama Kitab Serat Biru itu benar adanya dan bukan cerita kosong!"
Ketiga gadis di hadapan perempuan berjubah dan bercadar hitam terkejut dan saling pandang satu sama lain. Jelas wajah mereka membayangkan rasa tidak percaya pada ucapan gurunya, membuat sang guru tertawa panjang.
"Guru..." kata Ayu Laksmi. Namun ucapan gadis berjubah biru itu segera dipotong oleh sang guru.
"Tak ada guna kalian berdalih. Karena kalian mendapat keterangan dari orang yang tidak tahu, mana mungkin kalian tidak akan tersesat? Dengar baik-baik! Hari ini aku akan membuka sesuatu yang sejak dua puluh tahun silam selalu mengganjal pikiranku. Tapi kalian harus ingat. Jika salah seorang di antara kalian ada yang membocorkan hal ini, berarti kalian menggali lobang kubur sendiri! Kalian dengar itu?!"
Ketiga gadis itu sama anggukkan kepala. Lalu sama menatap pada perempuan berjubah dan bercadar hitam.
"Kitab Serat Biru tersimpan pada sebuah pulau yang disebut Pulau Biru."
"Guru. Harap katakan di mana Pulau Biru. Kami akan segera berangkat ke sana!" kata Wulandari seraya maju satu tindak.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam gelengkan kepala. Kembali ketiga gadis berparas cantik di hadapannya saling pandang. Kini raut mereka membayangkan rasa heran.
"Seandainya aku tahu di mana pulau itu, tak mungkin hal itu mengganjal dalam benakku selama dua puluh tahun! Lagi pula tiada gunanya aku menggembleng kaiian agar kelak dapat membantuku!"
"Lantas apa yang sekarang harus kami perbuat" tanya Wulandari.
"Ada waktu menanam benih, ada pula saat mengambil buah. Segala ilmu telah kuturunkan pada kalian. Kini kuminta kalian membantuku!"
"Budi jasa Guru tak impas ditukar dengan seisi dunia. Jangankan hanya membantu, kepala kami pun akan kami serahkan jika Guru minta!" ujar Ayu Laksmi.
"Bagus! Kuharap ucapan itu tidak hanya di mulut, karena tanpa ucapan itu pun aku tak segan memutus kepala kalian jika berbuat di luar perintahku!"
"Harap Guru segera beritahukan apa yang harus kami lakukan!" kata Sitoresmi dengan suara sedikit serak.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam selinapkan tangan kanannya ke balik jubah. Ketika tangan itu keluar kembali, terlihat lembaran kulit sepanjang satu setengah jengkal. Kulit itu berwarna coklat kusam dan telah lapuk di sana sini. Pada sisi samping tampak berkelok pertanda kulit itu dirobek secara paksa. Untuk beberapa saat baik perempuan berjubah dan bercadar hitam serta si kakek yang tegak di sampingnya pandangi kulit coklat itu dengan tak kesiap.
Sementara ketiga gadis di hadapan mereka berdua sama arahkan pandangannya pada kulit coklat dengan hati masing-masing orang disarati beberapa pertanyaan dan dugaan.
"Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab yang tiada tandingnya. Karena itulah untuk mendapatkannya bukan urusan yang gampang. Kalian lihat! Di kulit ini tertera peta yang nantinya berakhir pada Pulau Biru di mana tersimpan Kitab Serat Biru..."
Selesai berucap demikian, perempuan berambut pirang dan berjubah serta bercadar hitam gerakkan tangannya yang memegang kulit. Kulit warna coklat itu melesat ke depan. Di depan sana, si jubah kuning Wulandari segera angkat tangan kanannya. Dan...
"Settt!" Kulit coklat itu telah tersambar ketangannya.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera bergerak mendekat. Ketiganya kini menatap kulit coklat yang ada di tangan Wulandari. Wulandari kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba dari kedua tangannya sampai siku memancar sinar terang keputihan. Hingga mesti suasana di sekitar lembah masih dicekam kepekatan, tapi mereka bertiga dapat dengan jelas melihat apa yang tertera di atas kulit coklat lusuh itu.
Namun tiba-tiba secara serentak kepala masing-masing gadis ini disentakkan menghadap gurunya. Setelah saling pandang sejenak, Wulandari hendak buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, perempuan berjubah dan bercadar hitam telah angkat bicara.
"Tugas kalian mencari penggalan kulit itu! Dan itu dapat kalian mulai dari menelusuri peta yang ada di tangan kalian!"
"Dan ingat!" kali ini yang keluarkan ucapan adalah si kakek. "Kalian harus waspada. Mengingat kitab itu bukan sembarangan, maka tidak tertutup kemungkinan adanya orang-orang yang memalsu penggalan kulit itu. Kalian harus teliti benar! Sekali kulit palsu yang kalian dapat, kesesatan yang akan kalian peroleh!"
"Lebih dari itu, kalian harus hati-hati. Pemegang penggalan kulit itu pasti bukan orang yang bisa dipandang sebelah mata. Dan melihat kulit itu, aku mempunyai firasat pemegang penggalan kulit itu bukan hanya satu orang!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Ayu Laksmi.
"Seperti ucapan Ki Buyut Pagar Alam, kitab itu bukan kitab sembarangan. Tidak mustahil peta menuju Pulau Biru itu sengaja dipenggal menjadi beberapa bagian untuk menyesatkan dan membuat orang bingung!"
"Guru... Mendengar keteranganmu, apakah Guru telah yakin bahwa penggalan ini asli?" tanya Sitoresmi.
"Lima tahun aku melatih diri untuk dapat mengalahkan dan merebut penggalan kulit itu dari tangan pemegangnya! Dia adalah seorang tokoh tua yang hanya beberapa orang saja yang mengenalnya. Mendiang guruku yang memberi petunjuk padaku. Dan ucapan guruku tak mungkin dusta! Jadi penggalan kulit itu asli adanya!"
"Apakah dari tokoh itu kulit ini telah demikian adanya?!" Yang ajukan tanya Wulandari.
"Benar. Dari itulah aku mempunyai firasat jika penggalan kulit itu bukan hanya pada satu orang!"
"Hem... Bagaimana mungkin petunjuk sebuah kitab sakti bisa dipenggal menjadi beberapa bagian? Apakah orang-orang itu tidak menginginkan kitab itu?!"
Perempuan berjubah dan bercadar hitam tertawa panjang mendengar ucapan Wulandari yang bernada seolah tak percaya. "Kalian hanya perlu dengar dan berpikir tanpa harus mengerti bagaimana dan mengapa kulit peta itu sampai dibagi menjadi beberapa penggalan! Kalian tak akan menemukan jawaban pasti! Masih ada yang hendak kalian tanyakan?!"
"Guru. Setiap kali Guru ucapkan perintah pada kami pasti dengan waktu yang Guru tentukan. Apakah tugas memburu Kitab Serat Biru itu juga Guru beri batasan waktu?" tanya si jubah biru Ayu Laksmi.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam menghela napas panjang. Seraya menatap satu persatu pada ketiga muridnya dia berujar. "Tugas kalian kali ini adalah sangat berat. Kalian pasti akan menghadapi beberapa tokoh yang selain belum kalian kenal juga berilmu sangat tinggi. Untuk kali ini kalian tak kuberi batasan waktu. Hanya jika kalian berhasil mendapatkan peta itu dengan sempurna, kalian kutunggu di istana Setan!"
Setelah berkata demikian, perempuan berjubah dan bercadar hitam dongakkan kepala. Air hujan terus mendera, namun anehnya baik rambut maupun pakaian yang dikenakan perempuan ini tidak basah sama sekali.
"Cuaca tampaknya makin menggila. Kalau memang semuanya sudah jelas aku akan segera tinggalkan tempat ini..."
Ketiga gadis berparas cantik dihadapan perempuan berambut pirang saiing pandang lalu anggukkan kepala.
"Keterangan Guru kami kira sudah cukup. Dan kami pun akan segera berangkat!" kata Wulandari.
Belum habis ucapan Wulandari, perempuan berjubah bercadar hitam palingkan kepala ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kejap kemudian tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ketiga gadis di hadapan perempuan berjubah hitam tidak lagi menangkap sosok orang di hadapan mereka! Mereka hanya mendengar suara ringkihan kuda ditingkah dengan gemeletak roda kereta yang sayup-sayup makin perlahan sebelum akhirnya lenyap!
Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi sama keluarkan gumaman tak jelas. Di lain saat, Wulandari berpaling pada kedua gadis di sampingnya seraya anggukkan kepala. Kejap kemudian, ketiga gadis ini berkelebat tinggalkan lembah tanpa keluarkan sepatah kata!
DI satu kawasan hutan kecil terlihat seorang pemuda keluar dari gerumbulan jajaran pohon tua dan melangkah perlahan menuju sebuah dataran berbatu yang menghampar luas di hadapannya. Seraya melangkah, terdengar gumaman senandung nyanyian dari mulutnya.
Sesekali kepalanya dipalingkan ke sana kemari dengan sepasang matanya yang tajam memperhatikan kawasan yang dilewati. Namun meski pemuda ini melangkah sendirian, tak jarang dia tampak senyum-senyum sendiri seraya berjingkat-jingkat. Ternyata si pemuda memainkan jari kelingkingnya ke dalam lobang telinganya.
Pada satu tempat, si pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih, berambut panjang sedikit acak-acakan yang dibalut dengan ikat kepala warna putih Ini hentikan langkahnya. Tangan kanannya diangkat dan ditadangkan di depan kening untuk menangkis silaunya matahari. Sepasang matanya menyapu seantero dataran berbatu.
"Kitab Serat Biru... Hem... aku sama sekali masih buta dengan seluk-beluk kitab itu. Ke mana aku harus mencari? Manusia Dewa maupun Eyang guru tidak berikan petunjuk secuil pun tentang keberadaan kitab itu. Ke mana aku harus bertanya? Pulau Biru... Hanya itu satu-satunya keterangan! Ah, mungkin aku harus menjalankan tugas ini dengan meraba-raba. Menilik dari namanya, jelas jika tempat itu berada pada kawasan laut. Tapi laut mana? Laut Utara atau kawasan Laut Selatan?"
Si pemuda menarik napas dalam-dalam. "Peduli setan. Yang penting aku harus menuju kawasan laut..." akhirnya si pemuda memutuskan. Lalu meneruskan Iangkah.
Namun gerak kakinya tertahan tatkala tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengekeh panjang. Paras muka si pemuda tampak berubah tegang. Suara tawa yang terdengar bukan suara tawa biasa. Karena si pemuda merasakan kedua kakinya yang menginjak tanah bergetar hebat pertanda siapa pun adanya orang yang perdengarkan tawa memilikl ilmu kepandaian tinggi serta tenaga dalam yang luar biasa dahsyat!
Menangkap gelagat akan adanya bahaya, si pemuda segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, kejap kemudian kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tawa. Namun si pemuda jadi terkesiap sendiri. Bersamaan dengan berpalingnya kepala, suara tawa itu tiba-tiba terputus laksana direnggut setan. Lebih dari itu, si pemuda tak menangkap seorang pun meski sepasang matanya dijerengkan mengawasi berkeliling!
"Apakah telingaku yang salah dengar?!" gumam si pemuda. Untuk beberapa saat dia menunggu. "Heran. Suara tawa itu demikian keras, tanpa manusianya tak berada jauh dari sekitar tempat ini. Tapi..."
Si pemuda tak teruskan kata hatinya karena saat itu juga kembali terdengar suara tawa mengekeh panjang keras membahana! Si pemuda cepat putar tubuh. Sepasang matanya mendelik besar tak kesiap memandang ke depan. Di atas satu gundukan batu tujuh tombak dari tempatnya berdiri si pemuda melihat seorang nenek duduk mencangklong dengan kedua tangan merangkap di depan sepasang kakinya.
Perempuan tua ini mengenakan jubah besar warna merah menyala. Parasnya pucat. Kelopak sepasang matanya besar, tapi sepasang bola mata di dalamnya amat sipit. Rambutnya putih sebatas tengkuk. Mulutnya terus menerus bergerak-gerak memainkan gumpalan tembakau berwarna hitam. Anehnya, meski suara tawa masih terus membahana, si nenek justru enak-enakan memainkan gumpalan tembakau di mulutnya!
Mungkin karena baru kali ini menemui keanehan pada orang, si pemuda sempat berulangkali kerjapkan sepasang matanya untuk meyakinkan bahwa apa yang di hadapannya benar-benar bukan tipuan matanya.
"Edan! Manusia tua ini betul-betul luar biasa... Siapa nenek ini?"
Belum sampai si pemuda mendapat jawab dari pertanyaannya sendiri, nenek di depan sana goyangkan bahunya. Tiba-tiba sosoknya melesat. Kejap lain tahu-tahu telah berdiri tegak lima langkah di hadapan si pemuda dengan kedua tangan berkacak pinggang!
"Lekas katakan siapa nama dan apa gelarmu!"
Mendadak si nenek keluarkan bentakan garang, membuat si pemuda tersentak kaget. Bukan karena kerasnya suara bentakan, tapi karena bentakan itu demikian keras padahal si nenek hanya sedikit buka mulutnya dan masih mainkan gumpalan tembakau di mulutnya!
"Nek..."
"Setan! Aku bukan nenekmu!" potong si nenek sebelum habis ucapan si pemuda. "Jawab cepat tanyaku atau kupuntir tanggal lehermu!"
"Gila! Orang tua ini bukan hanya aneh, tapi juga galak... Hemm... Aku tahu bagaimana menghadapi orang tua macam ini!" Si pemuda membatin, lalu arahkan pandangannya pada jurusan lain. Mulutnya sunggingkan senyum. Lalu berujar. "Kau telah tahu namaku, harap kau tidak lagi bercanda!"
Si nenek komat-kamitkan mulut hingga gumpalan tembakau hitam di dalamnya terlihat keluar masuk. Sepasang matanya yang sipit membeliak. "Kuingatkan, Anak Muda! Sebutkan apa yang kutanya atau..."
Kali ini ganti si pemuda yang memotong ucapan si nenek sebelum kata-katanya selesai. "Nek. Kau tadi telah menyebutku Setan. Memang itulah namaku! Kau sendiri siapa, Nek?!"
"Hem... Namamu Setan. Siapa gelarmu?!" si nenek balik ajukan tanya.
"Ah, sebenarnya aku malu mengatakan padamu. Tapi untukmu tak apalah. Asal Nenek jangan mengejeknya... karena..."
"Setan! Jangan bertele-tele!" putus si nenek seraya hembuskan napas panjang.
Si pemuda terkesiap dan buru-buru geser tubuhnya sedikit ke samping karena bersamaan dengan itu satu gelombang angin keras melesat ke arahnya dengan keluarkan hawa busuk luar biasa! Anehnya, kejap kemudian bersamaan dengan lewatnya hawa busuk, menebar aroma harum!
"Orang-orang menggelariku Setan Jelek! Sekarang harap Nenek sudi sebutkan diri..." kata si pemuda dengan mata tak berkedip memperhatikan dari bawah sampai atas.
Si nenek dongakkan kepala. Sepasang matanya dipejamkan rapat, "Kasihan kau Setan Jelek! Karena nasibmu sama dengan gelar yang kau sandang!"
"Apa maksudmu, Nek?!"
"Nasibmu jelek. Karena harus tewas di tanah tak bertuan! Hik hik hik...! Kau harus terima takdirmu!"
Habis berkata begitu, si nenek goyang-goyangkan kepalanya. Tiba-tiba sepasang tangannya bergerak mendorong ke depan. Gerakan itu pelan saja. Namun pada saat bersamaan si pemuda yang tegak di hadapannya merasakan hantaman angin yang luar biasa dahsyat! Hingga jika saja si pemuda tak segera menghindar selamatkan diri dengan berkelebat ke samping, niscaya tubuhnya akan terpelanting dan terbanting jatuh. Karena hembusan angin itu secara mendadak berputar-putar membentuk pusaran! Hebatnya, pusaran angin itu kini bergerak ke arah mana si pemuda menghindar!
"Nek! Kenapa kau menyerangku?!" teriak si pemuda. Namun jawaban yang terdengar adalah kekehan tawa membahana, membuat pemuda itu mulai agak geram. Si pemuda palingkan kepala. Mulutnya membuka hendak bicara, namun suaranya terhenti di tenggorokan tatkala saat itu juga pusaran angin telah menggebrak ke arahnya!
"Busyet!" maki si pemuda seraya hantamkan kedua tangannya ke depan.
"Wuuttt! Wuuuttt!" Dua rangkum angin keluarkan suara keras memekak telinga keluar dari telapak tangan si pemuda.
"Busss!" Pusaran angin ambyar lalu membumbung ke udara dan lenyap.
"Hem... Orang tua macam ini tak perlu diladeni. Bukan saja membuang waktu dan tenaga tapi juga tak ada gunanya!" Berpikir sampai di situ, si pemuda putar tubuh lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Namun langkah si pemuda terhenti, ketika dia merasakan sebuah kekuatan dahsyat membetot tubuhnya dari belakang.
"Gila! Nenek ini tidak bercanda dengan ancamannya! Dia benar-benar inginkan nyawaku! Meski aku tak tahu pasti apa maksud sebenarnya, namun hal ini tak boleh dibiarkan..."
Si pemuda segera kerahkan tenaga dalam. Secepat kilat kedua tangannya dihantamkan seraya balikkan tubuh. Tapi baru saja kedua tangannya bergerak, dia merasakan tubuhnya terangkat ke udara. Si pemuda teruskan hantamannya ke bawah.
Wuuttt! Wuuuttt!
Si pemuda terbelalak. Ternyata dia hanya menghantam udara kosong. Belum habis rasa kejutnya, satu kekuatan balikkan kembali tubuhnya hingga membelakangi si nenek. Pada saat bersamaan tiba-tiba tubuhnya seakan dibetot dari bawah. Dan...
"Bukkk!" Sosok si pemuda jatuh terbanting di atas tanah berbatu. Megap-megap, si pemuda segera bangkit. Raut wajahnya berubah merah padam. Pelipisnya bergerak dengan dagu mengembung pertanda hawa amarah telah melanda dadanya.
"Orang tua! Kau memaksaku bertindak kasar. Jangan menyesal dengan apa yang akan terjadi!" teriak si pemuda lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Mendadak saja kedua tangan si pemuda berubah warna menjadi kekuningan.
"Lembur Kuning!" seru si nenek tahu pukulan apa yang hendak dilancarkan si pemuda, membuat sang pemuda terkesiap kaget mendengar orang tua dihadapannya telah tahu pukulan yang hendak dilancarkan, padahal pukulan itu sendiri belum dilepaskan.
"Jangkrik! Siapa sebenarnya nenek ini? Dia tahu pukulan 'Lembur Kuning' yang hendak kulepaskan..." batin si pemuda seraya pandangi kedua tangannya yang telah berubah warna kekuningan. Inilah pertanda bahwa si pemuda memang benar hendak lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Pukulan milik seorang tokoh aneh yang dikenal dengan Pendeta Sinting yang kemudian diwariskan pada muridnya yakni Joko Sableng alis Pendekar Pedang Tumpul 131.
"Setan jelek! Pasti kau masih kambratnya orang tua sinting itu! Hik hik hik...! Kebetulan sekali. Aku ingin lihat apakah pukulan 'Lembur Kuning' tidak ketinggalan zaman dan masih cocok di alam gila sekarang ini!"
"Sombong betul Orang tua ini. Aku pun ingin tahu, apakah ucapannya tidak laksana tong kosong!"
Si pemuda yang bukan lain Joko Sableng segera hantamkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga saat itu juga suasana berubah jadi semburat warna kuning. Pada saat yang sama sinar kuning mencorong melesat membawa hawa panas dan suara laksana gelombang dahsyat.
Di depan sana, si nenek kancingkan mulutnya rapat-rapat. Namun di lain kejap terdengar suara tawanya yang membahana panjang. Bersamaan dengan itu, si nenek terlihat angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke bawah. Tiada suara yang terdengar. Namun pukulan 'Lembur Kuning' tiba-tiba tertahan sejenak di udara. Lalu laksana dihantam kekuatan luar biasa garang, pukulan itu menukik deras ke bawah!
"Bummm!" Tanah berbatu tampak muncrat setinggi lima tombak ke udara. Tanah dan pasir pecahan batu menutupi pemandangan untuk beberapa saat.
Samar-samar di sebelah depan, sosok Pendekar 131 tampak bergetar hebat. Kejap lain tubuhnya mencelat sampai dua tombak ke belakang. Murid Pendeta Sinting ini berusaha kuasai tubuhnya yang terhuyung hendak terjerembab. Namun kedua kakinya goyah hingga tak lama kemudian dia jatuh terduduk dengan tubuh bergetar dan dada naik turun megap-megap!
Di pihak lain, si nenek tampak mundur tiga langkah ke belakang. Sosoknya terlihat bergoyang-goyang. Namun sebentar kemudian telah diam malah dengan kacak pinggang dia perdengarkan tawa mengekeh panjang! Begitu tanah dan pasir sirap dari udara, empat tombak di depan Joko Sableng tampak lobang menganga besar sedalam satu tombak!
Pendekar Pedang Tumpul 131 bergerak bangkit. Wajahnya makin merah padam. Sepasang matanya membeliak besar. Murid Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak ini sadar jika orang tua di hadapannya benar-benar bukan orang yang bisa dianggap remeh. Pukulan 'Lembur Kuning' begitu mudah ditahan meski biasnya masih tetap membuat si nenek tersurut langkah.
"Aku penasaran. Kalau kulipat gandakan tenaga dalamku, masakan tidak roboh!" gumam Joko sambil kerahkan tenaga dalam. Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya hingga pancaran sinar kuning dari kedua tangannya makin bersinar.
Melihat hal demikian, si nenek kerjapkan sepasang matanya. Kepalanya digoyang-goyang. Tiba-tiba...
"Wuttt!" Tubuhnya melesat ke depan. Joko Sableng tak tinggal diam. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Tapi darah murid Pendeta Sinting laksana sirap. Pukulan kedua tangannya hanya menggebrak udara kosong. Lebih dari itu dia merasakan angin bersiur di atas kepalanya lalu...
"Bukkk!" Sebuah tendangan keras mendarat di punggung Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda itu berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke depan. Begitu tubuhnya setengah membungkuk hendak tersuruk ke atas tanah berbatu, dua pasang kaki menjepit lehernya. Hingga sosok Joko tertahan.
Sambil berteriak keras, Joko Sableng hantamkan tangan kiri kanan ke arah sepasang kaki di atas pundaknya. Namun gerakannya terlambat. Sepasang kaki yang ternyata milik si nenek itu telah bergerak menyentak ke belakang.
"Bukkk!" Untuk kedua ksiinya murid Pendeta Sinting jatuh punggung di atas tanah. Untuk beberapa saat dia hanya diam terkapar dengan punggung serasa Jebol. Pada saat itulah satu sambaran angin menggebrak dari arah samping kanan mengarah pada kepalanya. Meski seluruh tubuhnya terasa sakit bukan main, namun Pendekar Pedang Tumpul 131 segera palingkan wajahnya untuk selamatkan diri. Namun dia tertipu, karena bersamaan dengan itu dari arah samping kiri satu sambaran angin meiesat. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar.
"Plaaakkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi Pendekar 131. Meski hanya satu tamparan, namun karena dialiri tenaga dalam tinggi, membuat kepala murid Pendeta Sinting laksana pecah. Sepasang mata pemuda ini berkunang-kunang. Kejap kemudian segala sesuatunya menjadi gelap. Lalu kepala Joko terkulai dengan tubuh tergolek pingsan.
Satu langkah di sebelah samping kanan Joko, nenek berjubah merah menyala usap-usap kedua tangannya. Kepalanya mendadak disentakkan ke samping kiri. Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat keluar dari balik pohon!
ADA satu keanehan dengan sosok yang berkelebat muncul dari balik pohon ini. Seraya berkelebat melayang, sosok ini terlihat duduk bersila dengan kedua tangan menakup di bawah dagu. Tiga langkah di hadapan si nenek, sosok yang melayang dengan duduk bersila turun mendarat di atas tanah. Sepasang matanya yang terpejam bergerak membuka. Memandang sejenak pada si nenek lalu memperhatikan pada sosok Joko yang masih terkapar pingsan.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mengenakan jubah warna kuning tanpa leher. Rambutnya putih panjang dikelabang dan dikalungkan pada lehernya. Kedua alis matanya saling bertautan. Bibir selalu berkemik perdengarkan gumaman tak jelas.
"Manusia Dewa! Betul dia orangnya?!" Si nenek ajukan tanya seraya arahkan pandangannya pada sosok Joko Sableng.
Laki-laki berusia lanjut yang duduk bersila dan bukan lain memang Manusia Dewa adanya, seorang tokoh tua dari golongan Budha yang terjun dalam kancah rimba persilatan dan pernah menggegerkan rimba persilatan karena perannya ikut serta membasmi kejahatan, anggukkan kepala.
Meski si nenek telah mendapat jawaban dengan anggukkan kepala, namun wajahnya tetap membayangkan kebimbangan. Ini jelas terlihat dari cara memandangnya pada sosok Joko yang tak berkesip sama sekali.
"Ratu Malam..." kata Manusia Dewa seakan bisa menangkap arti pandangan si nenek yang dipanggil dengan Ratu Malam. "Tak ada guna menyimpan segala tanya dalam hati. Keraguan tak akan menyelesaikan segalanya. Urusan ini sudah sangat mendesak. Silakan buktikan agar semua keraguan dan tanya di hatimu bisa terjawab..."
Ratu Malam jongkok di sebelah Joko. Tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang Joko di mana tersimpan Pedang Tumpul 131. Begitu tangannya dapat merasakan sembulan senjata, tangan itu segera berputar ke depan dan menyelinap ke balik pakaian Joko. Sekali sentak, tangan Ratu Malam telah keluar lagi. Di tangannya kini tampak sebuah pedang yang terbungkus dalam sarungnya yang berwarna kuning.
Untuk beberapa saat lamanya sepasang mata Ratu Malam memperhatikan pedang di tangannya dengan mata tak berkedip. Mulutnya komat-kamit permainkan gumpalan tembakau hitam. Kepalanya bergerak manggut-manggut. Setelah puas pandangi pedang, kembali Ratu Malam selinapkan pedang itu ke balik pakaian Joko. Lalu bangkit dan melangkah ke arah Manusia Dewa.
"Bagaimana sekarang? Apa kita tunggu sampai dia siuman?!" tanya Ratu Malam.
Manusia Dewa gelengkan kepala. "Waktu kita terbatas. Masih ada yang harus kita kerjakan. Tinggalkan pesan padanya! Hal ini untuk melatih dia menghadapi perjalanan berat yang bakal dihadapinya!"
Ratu Malam keluarkan selembar kain putih dari saku jubahnya. Jari telunjuk tangan kanannya diangkat. Gumpalan tembakau hitam dlkeluarkan dari dalam mulutnya. Jari telunjuk disentuhkan pada gumpalan tembakau, lalu ditulis pada kaln putih. Tak berselang lama, Ratu Malam lemparkan kain putih ke arah sosok Joko.
"Kita tinggalkan tempat Ini..." katanya seraya mengangguk ke arah Manusia Dewa. Tanpa menunggu jawaban, nenek berjubah merah menyala ini gerakkan tubuh. Dan sekali bergerak tubuhnya melesat lenyap ke arah kawasan hutan.
Manusia Dewa sejenak memperhatikan pada Joko, lalu putar tubuh. Dengan tetap bersila dan kedua tangan menakup ke bawah dagu, orang tua ini pun berkelebat tinggalkan tempat itu.
Matahari telah hampir turun ke kaki langit barat saat Pendekar 131 sadar dari pingsannya. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini diam tak bergerak. Dia coba mengingat apa yang baru dialaminya. Dan ketika menyadari apa yang baru saja terjadi, mungkin karena khawatir bahaya masih mengancam dirinya, secepat kilat dia bangkit. Sepasang matanya menebar berkeliling dengan kepala diputar.
"Nenek galak berilmu tinggi itu, minggat ke mana dia? Hem, Nyatanya dia tak menginginkan nyawaku. Tapi apa maksud sebenarnya hingga dia membuatku jatuh bangun demikian rupa? Orang tua berilmu sangat tinggi, siapa dia sebenarnya? Ah... Lebih baik aku segera tinggalkan tempat ini. Aku harus segera mencapal kawasan laut..."
Joko segera melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Saat itulah sepasang matanya melihat selembar kain putih tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan sekali sambar, kain putih telah berada di tangannya.
"Tak ada orang lain di sini tadi selain aku dan nenek itu. Pasti kain putih ini milik orang tua itu..." Joko segera meneliti carikan kain putih. Ternyata di kain putih itu ada tulisan.
Pergi ke arah selatan. Beberapa burung merpati kepakkan sayap, Kunci akan segera diberikan. Tugas sudah di depan mata.
Beberapa lama Joko berpikir. "Apa maksud tulisan ini? Pasti orang tua Itu yang menulis. Hem... Kalau dia tak membunuhku, lalu tinggalkan pesan, berarti orang tua itu punya tujuan tertentu padaku. Tulisan ini mengarah ke sana. Tak ada salahnya kuturuti pesan tulisan ini. Lagi pula aku masih penasaran. Dia mengenali pukulanku, berarti dia kenal dengan Eyang guru. Urusan ini bisa baik dan tak mustahil akan membawa petaka. Tapi aku perlu orang tempat bertanya..."
Berpikir sampai di situ, dengan kerahkan peringan tubuh, Joko segera berkelebat ke arah selatan.
Hingga matahari kembali muncul dari timur, murid Pendeta Sinting terus berkelebat. Namun mendadak dia hentikan larinya. Dari mulutnya terdengar gumaman gerutu berkepanjangan.
"Sial! Di mana dapat kutemukan beberapa burung merpati seperti pesan tulisan itu? Apakah tulisan itu hanya canda si nenek? Hem... Bodohnya aku. Kenapa kuturuti pesan orang yang belum kukenal, padahal aku punya tugas..." kata Joko seraya usap keringat yang membasahi leher dan wajahnya.
"Sebelum aku jauh tersesat, aku harus cepat tinggalkan..." Belum habis gumaman Joko, semak belukar delapan tombak dari tempatnya berdiri bergerak-gerak. Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Sepasang matanya dibelalakkan. Takut sesuatu terjadi, dia cepat pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Namun Joko segera menarik napas panjang tatkala dari gerumbulan semak belukar itu menyeruak beberapa burung merpati. Mungkin terkejut dengan kedatangan orang, serentak beberapa burung merpati itu melesat terbang ke udara.
"Hem... Berarti tempat ini yang dimaksud tulisan pesan itu. Tapi mana batang hidung nenek itu?!" tanya Joko seraya memandang berkeliling.
Saat itulah tiba-tiba terdengar derap langkah ladam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya. Disusul dengan suara bentakan-bentakan keras agar kuda tunggangan itu berlari leblh kencang.
"Jelas jika penunggang kuda ini ada beberapa orang. Siapa pula mereka? Apakah ini telah diatur oleh orang tua itu? Atau..." Joko putuskan kata hatinya, karena langkah-langkah kuda makin dekat.
"Aku harus tahu dahulu siapa mereka..."
Joko segera berkelebat ke samping dan menyelinap ke balik sebatang pohon. Sepasang matanya dipentangkan. Tapi murid Pendeta Sinting ini jadi tersirap. Hentakan kaki ladam kuda tiba-tiba lenyap! Pendekar 131 sejenak menunggu dengan telinga dan mata ditajamkan. Tapi setelah lama ditunggu tak ada juga muncuinya seseorang, akhirnya dia memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun langkahnya tertahan tatkala tiba-tiba dari arah samping terdengar deru keras. Di lain kejap tiga rangkum angin dahsyat melabrak ke arahnya! Sambil berseru tertahan, Joko berkelebat selamatkan diri. Bersamaan dengan itu terdengar suara berderak keras. Kejap kemudian batang pohon di mana tadi Joko bersembunyi tumbang dengan batang berkeping-keping! Lalu terlihat tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak berjajar tujuh langkah di hadapan Joko Sableng!
Orang sebelah tengah adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya ikal panjang bergerai. Kulitnya putih dengan hidung mancung serta buiu mata lentik. Orang sebelah kanan juga adalah seorang gadis muda berwajah jelita. Mengenakan jubah warna merah. Rambutnya yang panjang dikuncir agak tinggi. Gadis ini mempunyai tahi lalat pada sebelah atas bibirnya. Sedangkan orang yang tegak paling kiri ternyata juga seorang gadis muda cantik mengenakan jubah warna biru. Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya merah tanpa polesan dan membentuk bagus.
"Hem... Gadis-gadis cantik... Siapa pula mereka?" sepasang mata Joko mengawasi satu persatu ketiga gadis di hadapannya dengan bibir sunggingkan senyum.
Sementara tiga gadis di hadapannya yang bukan lain adalah Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi saling berpandangan sejenak.
"Jelas peta itu mengarah menuju tempat Ini. Tapi aku ragu, apakah manusia itu yang memegang penggalan peta itu?" bisik Wulandari.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak ada yang menyahut ucapan Wulandari. Namun wajah keduanya jelas membayangkan perasaan seperti yang diucapkan Wulandari.
"Mendengar keterangan Guru, dapat dipastikan bukan dia orangnya yang memegang penggalan peta itu. Tapi mengapa dia berada di sini? Apakah dia juga memiliki tujuan yang sama? Atau dia hanya manusia yang tersesat?!"
Diam-diam Sitoresmi membatin sendiri dalam hatl. "Hem... Pemuda ini membekal llmu yang tidak boleh dipandang sepele. Siapa dia sebenarnya?"
Seperti halnya Sitoresmi, diam-diam pula Ayu Laksmi berkata dalam hati. "Pemuda tampan. Apakah satu kebetulan dia berada di tempat Ini? Ataukah dia memang sengaja datang ke tempat ini? Melihat usianya, dapat kupastikan jika bukan dia yang memegang penggalan peta itu. Namun..." Belum sampai Ayu Laksmi teruskan kata hatinya, tiba-tiba terdengar bentakan dari arah sampingnya.
"Pemuda tak dikenal! Cepat katakan siapa kau! Ada urusan apa berada di tempat ini?!" Ternyata yang keluarkan bentakan adakan Wulandari.
Orang yang dibentak bukannya cepat menjawab. Sebaliknya celingukan dengan memandang satu persatu pada ketiga gadis di depannya. Kejap kemudian la cengengesan sendiri seraya mainkan Jari kelingkingnya pada lobang telinganya.
Si jubah kuning Wulandari yang tak sabaran kembali keluarkan bentakan garang. Namun lagi-lagi Joko tidak menjawab, membuat kesabaran gadis cantik berjubah kuning itu putus. Seraya keluarkan seruan keras, Wulandari melompat ke depan. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi siap untuk lepaskan satu tendangan. Tapi gerakan kaki si gadis tertahan di tengah jalan tatkala tiba-tiba Joko Sableng angkat kedua tangannya dan didorong perlahan ke depan, membuat Wulandari bukan saja gagal kirimkan tendangan, namun kakinya tersentak pulang ke belakang!
Kertakkan rahang, Wulandari pentangkan sepasang matanya ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131. Rahangnya mengembung dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak. "Jahanam! Siapa sebenarnya pemuda ini? Dia benar-benar menganggap enteng padaku!" umpat Wulandari. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Gadis cantik! Harap bersabar barang sedikit. Kita tak ada silang sengketa..." ujar Joko. "Persoalan tak akan tuntas dengan jalan kekerasan!"
"Hem... Begitu? Jika kau tak ingin kekerasan, Jawab tanyaku tadi!"
"Jika itu pintamu, baik. Aku Joko Sableng, Boleh tahu siapa kalian adanya?"
"Dengar! Kami bertiga adalah Pemburu Dari Neraka! Aku tanya padamu. Kau kemari tidak secara kebetulan bukan?!"
"Pemburu Dari Neraka? Hem... Gelar angker. Melihat nada bicaranya mereka bukan deri kalangan orang baik-baik. Dan jelas tujuannya pasti kemari. Ada sangkut paut apa antara mereka dengan nenek tua itu?"
"Hai!" teriak Wulandari ketika dilihatnya Joko tidak segera menjawab. "Kau tidak tuli. Harap jawab pertanyaanku!"
"Ah. Kau salah. Justru aku kebetulan sampai berada di tempat ini. Kalau ini memang daerah kawasan kalian, aku mohon maaf..." Selesai berkata, Joko bungkukkan tubuh tiga kali berturut-turut seraya menghadap pada satu persatu gadis di hadapannya yang kini menggelari diri mereka dengan Pemburu Dari Neraka.
Wulandari menyeringai. Sementara si jubah merah Sitoresmi senyum tertahan. Di sampingnya si jubah biru Ayu Laksmi terlihat arahkan pandangan pada jurusan lain dengan ekor mata melirik tajam.
"Dengar baik-baik. Jika masih sayang pada selembar nyawamu, lekas angkat kaki dari hadapan kami!" kata Wulandari dengan suara masih garang.
"Aku jelas masih sayang pada satu-satunya nyawaku. Tapi aku tidak bisa tinggalkan tempat ini. Aku penat sekali. Aku Ingin istirahat...j" Enak saja Joko segera putar tubuh lalu melangkah ke arah sebuah pohon. Dengan tanpa memandang pada ketiga gadis di depan sana, Joko sandarkan punggung lalu pejamkan sepasang matanya.
"Aku curiga manusia satu itu punya tujuan sama dengan kita!" bisik Wulandari. "Dia harus kita singkirkan"
"Tak ada gunanya kita buang tenaga meladeni manusia yang belum jelas tujuannya. Lebih baik kita segera mencari orang yang ada sangkut pautnya dengan penggalan peta itu!" kata Sitoresmi seraya arahkan pandangannya pada Joko.
Wulandari perdengarkan dengusan pelan. Kepalanya disentakkan berpaling pada Sitoresmi. "Adanya manusia tak diundang di tempat ini akan membuat urusan tidak seperti yang kita rencanakan. Malah tidak tertutup dia akan merusak suasana!"
"Tapi dia sudah bilang jika hanya kebetulan berada di tempat ini. Untuk apa kita bersusah-susah pedulikannya? Lihat! Dia pun tak pedulikan kita dan sudah tertidur pulas!" kata Sitoresmi dengan arahkan telunjuk tangannya pada Joko.
"Tinggi langit bisa dilihat. Dalamnya lautan dapat diselami. Tapi hati manusia siapa yang tahu. Kebetulan atau tidak, kita tak boleh ambil resiko. Urusan dan tugas kita amat rahasia dan sangat penting. Selain kita bertiga, tak seorang pun boleh tahu! Kalau manusia itu tetap tak mau tinggalkan tempat ini, berarti takdirnya buruk!" Habis berkata begitu, Wulandari melangkah ke arah Joko.
"Tahan!" seru Ayu Laksmi seraya melompat menjajari Wulandari. "Kita tak perlu berdebat soal manusia itu. Kita telah sampai di tempat yang tertera dalam peta. Namun apa yang kita temukan? Aku mulai curiga jangan-jangan penggalan peta di tangan kita itu palsu!"
Wulandari hentikan langkah. Ucapan Ayu Laksmi seolah menyadarkan gadis berjubah kuning ini. Sepasang matanya menebar berkeliling. "Hem... Di sini memang tak tampak adanya tempat bermukimnya seseorang. Padahal penggalan peta itu berada di tangan seseorang. Jangan-jangan peta itu memang palsu..." Diam-diam Wulandari mulai khawatir. Namun ketika sepasang matanya menumbuk pada murid Pendeta Sinting, pikirannya berubah.
"Astaga! Jangan-jangan pemuda itu berkata dusta. Satu-satunya manusia di tempat ini adalah dia. Pasti dia tahu banyak tentang tempat ini!" Berpikir begitu, Wulandari teruskan langkah ke arah Joko.
Ayu Laksmi coba menahan dengan berteriak, tapi Wulandari tak ambil peduli. Namun yang paling tampak cemas dengan tindakan Wulandari adalah Sitoresmi. Malah dengan diam-diam gadis berjubah merah ini berkata sendiri.
"Wulandari boleh bertindak semena-mena pada tiap orang, tapi tidak pada pemuda itu! Aku menangkap wajah kejujuran di mukanya! Dan... Ah, apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku..."
Di depan sana, dua langkah dari tempat Joko bersandar, Wulandari hentikan langkah. Sepasang matanya mengawasi tak berkedip. Bibir gadis ini terlihat bergetar. Ada perasaan aneh menjalari dadanya, membuatnya untuk beberapa saat hanya diam termangu.
"Hem... Seandainya ini bukan tugas dari Guru..." batin Wulandari seraya pejamkan sepasang matanya. Dia coba menahan guncangan pada dadanya. Setelah menarik napas panjang dan dalam, akhirnya mulutnya membuka. Kali ini suaranya terdengar agak bergetar dan serak.
"Hai! Aku tahu kau berpura-pura pulas! Jangan coba-coba menipu kami. Kami perlu beberapa keterangan!"
Joko Sableng buka kelopak matanya. Setelah mengerjap, dia tersenyum-senyum. "Tak ada untungnya menipu gadis cantik macam kau. Malah kalau bisa aku ingin memberi keterangan yang kau butuhkan..."
"Bagus! Aku ingin tahu, apakah tempat ini dihuni seseorang?!"
"Hem... Karena aku kebetulan lewat tempat ini, maka aku tak bisa memastikan apakah tempat ini berpenghuni atau tidak!"
Paras muka Wulandari sedikit berubah. Namun dia masih coba menahan hawa amarah yang mulai menyelimuti dadanya. "Kuingatkan! Kesabaran kami ada batasnya, waktu kami juga tidak banyak. Jawab dengan jujur atau kutanggalkan kepalamu!"
"Aku telah menjawab apa yang kuketahui. Jika kau ingin jawaban pasti, kenapa tidak buktikan sendiri dengan menyelidik?"
Wulandari katupkan rahangnya rapat-rapat. "Jauh-Jauh datang kemari percuma kalau tidak ada manusia yang bisa memberi keterangan" Wulandari maju satu tindak. "Kau telah berada di tempat ini waktu kami tiba, pasti kau tahu banyak tentang tempat ini!"
"Hem... Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang kalian cari di tempat ini? Adakah kalian mencari seseorang? Atau..."
"Tepat!" potong Wulandari. "Kami memang mencari seseorang!"
"Bisa katakan, siapa yang kalian cari?"
Sejenak Wulandari tampak kebingungan karena dia sendiri tak tahu siapa yang dicari. Yang mereka ketahui adalah peta itu berakhir di tempat mana kini mereka berada. Dan mereka berpikiran, di tempat itu pasti akan menemukan seseorang yang diduga menyimpan penggalan peta. Mereka tidak tahu siapa nama orang itu.
Mungkin karena tak bisa katakan siapa orang yang dicari, akhirnya Wulandari berujar dengan suara agak keras. "Siapa adanya orang yang kami cari bukan urusanmu! Yang penting tunjukkan di mana tempat sembunyinya!"
"Hem... Kalau pesan itu memang dari nenek galak itu, aku bisa pastikan jika gadis-gadis cantik ini mencari si nenek! Melihat gelagat, di antara mereka dan si nenek ada urusan..." Joko membatin. Lalu berujar. "Jika aku menjawab, kau pasti akan menuduhku berkata dusta. Jika kalian mencari seseorang, kusarankan kau menyelidik saja! Jawaban itu pasti akan kau temukan!"
"Keparat! Rupanya kau sengaja sembunyikan sesuatu pada kami!"
"Apa kubilang. Belum apa-apa kau telah lemparkan tuduhan lagi padaku. Sialnya diriku ini. Tak tahu apa-apa namun kena getah melulu"
"Banyak mulut" teriak Wulandari. Gadis ini angkat kedua tangannya sejajar dada. Siap lepaskan satu pukulan. Namun baru saja tangannya hendak bergerak kirimkan pukulan, sebuah tangan menarik dari belakang, membuat Wulandari tertahan gerakannya.
"Apa yang dikatakannya benar. Sebaiknya kita menyelidik tempat ini! Kita belum tahu siapa adanya orang yang kita cari. Jangan sampai kita salah turunkan tangan!"
Dengan mendengus keras, Wulandari palingkan kepala ke belakang. Sepasang matanya melotot angker. "Sitoresmi! Sejak kapan kau berubah jadi manusia tahu peradatan dengan kata-kata lembut begitu rupa? Aneh di telingaku jika mendadak saja kau kini berpikir hanya untuk selembar nyawa seseorang!"
Meski sedikit geram, namun Sitoresmi yang menahan gerakan tangan Wulandari sunggingkan senyum. "Urusan kita sekarang adalah urusan pelik. Dibutuhkan pikiran panjang meski harus dibarengi dengan kekuatan!"
Wulandari tertawa pendek. "Jangan-jangan ucapanmu hanya topeng saja. Sedang sebenarnya kau tertarik pada manusia itu! Betul?!"
Wajah Sitoresmi berubah merah padam. "Kau tak layak ucapkan kata-kata itu, Wulandari! Aku tak peduli siapa dia adanya, tapi kalau ucapannya benar, apa salahnya kita turuti?! Lebih baik kita segera menyelidik daripada bertele-tele tanpa guna!"
"Rupanya kau sudah pandai pula menggurui. Tapi akan kubuktikan dahulu bahwa dugaanku tidak keliru. Manusia itu menyembunyikan sesuatu pada kita!" Habis berkata begitu, si jubah kuning Wulandari sentakkan tangan Sitoresmi yang masih memegang tangannya. Kejap kemudian kedua tangannya kirimkan satu pukulan ke arah Joko!
TERDENGAR deruan luar biasa keras. Kejap itu juga melesat segelombang angin laksana deburan ombak. Karena telah menduga jika lawan yang dihadapi punya simpanan ilmu, kali ini Wulandari sengaja langsung kirimkan pukulan dengan tenaga dalam tinggi. Di sebelah depan, melihat ganasnya serangan, murid Pendeta Sinting segera angkat kedua tangannya.
"Wuuttt! Wuuuttt!" Dua rangkum angin berkelebat angker keluarkan suara menderu keras.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi yang melihat dahsyatnya pukulan segera berkelebat ke depan. Meski mereka berdua tak sependapat dengan tindakan Wulandari, namun tampaknya mereka berdua tak ingin saudara seperguruannya itu mendapat celaka.
"Blaammm!" Terdengar ledakan hebat saat dua serangan itu bentrok di udara. Wulandari terlihat tersurut dua langkah dengan wajah berubah pucat pasi dan dada bergetar. Di depan sana, Joko Sableng tersandar pada batang pohon dengan keadaan tetap berdiri tegak.
Wulandari kertakkan rahang. Dari mulutnya terdengar seruan keras. Tanpa pedulikan pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berteriak menahan, gadis berjubah kuning ini lipat gandakan tenaga dalam. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke depan. Suasana tiba-tiba berubah jadi terang. Pada saat yang sama, sebongkah kabut putih melesat dengan keluarkan hawa panas luar biasa.
"Gila! Mengapa Wulandari begitu bernafsu menghabisi pemuda itu? Mampukah pemuda itu menahan pukulan 'Kabut Neraka'?" diam-diam Sitoresmi dilanda kecemasan. Dan tanpa diketahui oleh Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berjubah merah ini kerahkan tenaga dalam. "Aku harus selamatkan jiwanya. Apa pun kata mereka, aku tak peduli!" ujar Sitoresmi sambil angkat kedua tangannya hendak menghantam. Tapi gerakan tangan gadis ini tertahan ketika dari arah depan sana melesat sinar mencorong berwarna kekuningan yang juga membawa hawa panas.
"Blaarrr!" Untuk kedua kalinya tempat itu dibuncah ledakan dahsyat. Tanahnya bergetar keras laksana diguncang gempa. Kejap kemudian tampak muncratan tanah menghalangi pemandangan. Sosok Wulandari tampak mencelat sampai dua tombak ke belakang. Kalau saja Ayu Laksmi tidak segera berkelebat dan menahan tubuhnya, niscaya sosok Wulandari akan jatuh terbanting di atas tanah.
"Tak kusangka jika manusia jahanam itu mampu menahan pukulan Kabut Neraka! Aku makin curiga padanya!" gumam Wulandari kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa sakit pada dadanya. Tiba-tiba gadis ini memekik tertahan. Ayu Laksmi cepat berpaling. Gadis berjubah biru ini pun jadi tercekat.
"Wulandari! Kau terluka dalam. Bibirmu keluarkan darah..."
"Hem... Kita harus segera selesaikan manusia satu itu. Keberadaannya di tempat ini jelas bukan satu kebetulan! Jika tidak, bukan saja dia akan merusak urusan kita, tapi Juga membahayakan jiwa kita!"
Sitoresmi sejenak tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi diam-diam dia merasa lega, karena di depan sana Joko terlihat tetap tegak meski sosoknya tersurut ke belakang satu langkah dan tersenyum-senyum seraya usap-usap dadanya.
"Siapkan pukulan gabungan 'Kabut Neraka'!" Tiba-tiba dari arah belakang terdengar teriakan, membuat Sitoresmi cepat berpaling.
"Edan! Untuk apa hal itu harus dllakukan? Apa maksud sebenarnya Wulandari?! Apakah dia menduga pemuda itu yang memegang penggalan peta itu?" gumamnya seraya berkelebat ke arah Wulandari.
"Sitoresmi! Aku tahu kau tak ingin manusia itu mampus!" Wulandari telah mendahului bicara sebelum Sitoresmi buka mulut. "Tapi tugas adalah di atas segalanya!"
"Wulandari! Kau jangan salah sangka. Aku tak ada sangkut paut apa-apa dengan pemuda Itu. Hanya sangat disayangkan jika harus mencabut nyawa orang tanpa hasil yang didapat!"
Wulandari melotot sambil mendengus. "Perasaan kadangkala membawa perhitungan semula jadi kacau. Perasaan seringkali menghanyutkan keyakinan menjadi keraguan. Sebelum semuanya membutakan mata dan hatimu, buka matamu lebar-lebar! Ingat siapa dirimu. Ingat akan ikrar yang kita ucapkan di hadapan Guru!"
Ucapan Wulandari membuat Sitoresmi jadi serba salah. Di satu pihak dia tak menginginkan si pemuda mengalami nasib buruk, karena dia yakin, meski ia tahu si pemuda dapat menahan pukulan 'Kabut Neraka' Wulandari namun dia belum pasti bisa menahan gabungan 'Kabut Neraka'. Sementara di pihak lain, dia harus singkirkan siapa saja yang coba menghalangi demi untuk laksanakan tugas yang dlembankan oieh sang guru.
"Wulandari..." kata Sitoresmi pada akhirnya. "Apakah kau menduga jika pemuda itu pemegang penggalan peta yang kita buru itu?!"
"Melihat usia dan keterangan Guru, aku memang tidak yakin benar, namun keberadaannya di tempat ini pasti ada hubungannya dengan peta itu! Hem... Kita singkirkan dahulu dia, baru kita menyelidik seantero tempat ini! Siapkan gabungan 'Kabut Neraka'!"
Habis berkata, Wulandari kerahkan tenaga dalam. Di sampingnya Ayu Laksmi segera pula berbuat sama. Meski agak enggan, akhirnya Sitoresmi kerahkan pula tenaga dalamnya.
"Tahan!" di depan sana murid Pendeta Sinting berteriak. "Aku sungguh tidak mengerti dengan maksud kalian. Di antara kita tak ada silang urusan. Adalah aneh jika kalian benar-benar inginkan nyawaku. Apakah begitu berharga selembar nyawaku buat kalian?!"
"Kau tak layak mengerti!" hardik Wulandari.
"Katakan saja, apakah kau tahu seluk-beluk sebuah penggalan peta!" kata Sitoresmi terus terang.
Joko pandangi ketiga gadis dihadapannya silih berganti. "Penggalan peta? Peta apa?!"
"Jahanam! Jangan berlagak pilon! Kami jauh-jauh datang kemari perlu mengambil penggalan peta itu! Lekas serahkan pada kami, dan kau boleh angkat kaki dengan nyawa utuh!" akhirnya si jubah kuning Wulandari buka maksud sebenarnya.
"Ah. Aku makin tak mengerti dengan ucapan kalian. Mula-mula kalian bilang mencari seseorang. Lalu kini bicara soal penggalan peta. Sekarang aku bukan saja tak mengerti tapi jadi bingung..." ucapan Joko Sesaat membuat Sitoresmi dan Ayu Laksmi jadi bimbang.
Namun Wulandari segera menghardik. "Jangan jadi ragu karena ucapan orang! Mana mungkin orang berterus terang, apalagi dalam urusan besar begini! Habisi dia!"
Wulandari cepat hantamkan kedua tangannya ke depan lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Di sampingnya, Ayu Laksmi meski masih tampak ragu-ragu namun segera pula kirimkan pukulan. Mungkin tak mau menyakiti hati kedua saudara seperguruannya, akhirnya Sitoresmi ikut pula lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' meski dengan tenaga tidak sampai setengahnya.
Begitu masing-masing gadis telah lepaskan pukulan, terdengar suara deru keras luar biasa. Enam kabut putih tampak melesat lalu menyatu di udara. Suasana berubah terang panas menyengat! Di lain kejap, kabut putih itu menggebrak ganas ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131!
Melihat ganasnya pukulan, mau tak mau murid Pendeta Sinting ini terbelalak besar. Darahnya laksana sirap. Namun ingat akan keselamatan dirinya Joko cepat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Didahului teriakan keras, murid Pendeta Sinting melesat dua tombak ke udara. Dan seraya melayang di atas udara, dia dorongkan kedua tangannya ke arah depan. Sinar kuning mencorong dengan keluarkan suara dahsyat dan hawa panas menderu menyapu ke arah kabut putih. Sesaat kemudian terdengar dentuman keras menggelegar di tempat itu.
Sosok Joko terlempar sampai satu tombak ke belakang. Lalu terduduk di atas tanah dengan sekujur tubuh tertutup oleh hamburan tanah yang membumbung ke angkasa waktu terjadi bentrok pukulan. Wajah murid Pendeta Sinting ini pucat laksana kehabisan darah. Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar hebat. Napas dan peredaran darahnya seolah tersumbat hingga untuk sesaat dia megap-megap. Darah berwarna kehitaman pun terlihat mengalir keluar dari sela mulutnya pertanda dia telah terluka dalam.
Di seberang, Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi terlihat terhuyung- huyung. Raut wajah ketiganya tampak pias. Jubah yang mereka kenakan berkibar-kibar. Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera dapat menguasai diri meski mereka berdua merasakan dadanya nyeri. Kedua tangannya laksana hilang kekuatannya. Ketika mereka berdua meneliti, kedua gadis ini jadi melengak kaget. Sepasang tangan mereka tampak berubah agak merah kehitaman.
Kalau kedua gadis itu masih bisa bertahan, tidak demikian halnya dengan Wulandari. Sosok gadis ini langsung terbanting begitu terjadi bentrok pukulan. Hal ini terjadi karena sebelumnya dia telah terluka dalam. Hingga waktu terjadi bentrok kedua kali, dia tak dapat lagi menguasai tubuh. Darah hitam mengucur kembali dari mulutnya pertanda lukanya makin parah.
Melihat keadaan saudara seperguruannya, Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang semula enggan dengan tindakan Wulandari menjadi berubah. "Keparat! Kau harus bayar mahal semua ini!" teriak si jubah biru Ayu Laksmi seraya bantingkan sepasang kakinya. Matanya bernyala-nyala laksana dikobari api.
Di sebelahnya, meski Sitoresmi tak rela melihat keadaan Wulandari yang terluka dalam, tapi dia masih coba menahan hawa amarahnya. Dia hanya keluarkan gumaman tak jelas dan arahkan pandangannya pada jurusan lain. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Ayu Laksmi keluarkan teriakan keras. Tubuhnya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak menghantam ke arah Joko yang mulai bergerak bangkit.
Murid Pendeta Sinting melengak dengan mata melotot tatkala dari arah depan menggebrak kabut putih ke arahnya. Begitu cepatnya lesatan kabut putih pukulan 'Kabut Neraka' itu, hingga tak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk selamatkan diri, apalagi kini dia terluka membuat gerakannya sedikit lamban.
"Busyet!" keluh Joko dengan mata meredup. Dia kerahkan tenaga dalam, lalu geser tubuhnya seraya angkat kedua tangannya untuk menahan pukulan. Saat itulah, tiba-tiba terdengar satu suara tawa mengekeh panjang. Di lain saat terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan itu pukulan 'Kabut Neraka' yang mengarah mengancam pada Pendekar 131 tertahan di udara. Bukan itu saja, kabut putih itu serta-merta laksana dihantam kekuatan dari atas hingga kabut itu menukik deras ke bawah.
"Bummm!" Tanah muncrat berhambur ke udara menutupi tempat itu. Saat tanah sirap Ayu Laksmi dan Sitoresmi sama pelototkan mata masing-masing. Ternyata Joko telah lenyap dari tempat itu! Dan di hadapan mereka terlihat lobang menganga akibat pukulan 'Kabut Neraka' yang menghantam tanah.
"Ada seseorang yang menolongnya! Pasti dia orang yang kita cari!" seru Ayu Laksmi. "Cepat kejar!"
Tanpa menunggu sahutan, si jubah biru Ayu Laksmi segera berkelebat ke jurusan barat, sementara si jubah merah Sitoresmi melesat ke arah timur. Wulandari sebenarnya ingin pula berkelebat, namun karena sekujur tubuhnya masih terasa sakit, akhirnya dia memutuskan untuk menunggu di tempat itu.
ADALAH suatu hal yang luar biasa jika murid Pendeta Sinting tak dapat gerakkan tubuh padahal dia merasa tak satu pun bagian tubuhnya ditotok orang. Tapi meski dia sudah coba dengan kerahkan tenaga dalam, tetap saja sia-sia, hingga pada akhirnya dia hanya diam seraya memperhatikan pada punggung orang yang kini memanggul tubuhnya seraya melangkah perlahan.
Anehnya, walau terlihat melangkah pelan, Joko dapat merasakan siuran angin keras, pertanda orang yang memanggulnya berkelebat kencang! Mungkin karena penasaran ingin tahu, Joko perhatikan sekali lagi lebih seksama. Mula-mula dia melihat jubah besar berwarna merah menyala di bawahnya. Ketika dia melirik ke atas, tampak oleh matanya bahwa orang yang sedang membawa dirinya sudah berambut putih dan hanya sebatas tengkuk.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba- tiba dia terperangah. "Busyet Bukankah orang ini si nenek itu?"
Yakin akan adanya siapa orang yang kini melarikannya, Joko segera berkata. "Nek. Ke mana aku hendak kau bawa pergi?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan berhenti pun tidak. Pendekar Pedang Tumpul 131 ulangi lagi ucapannya dengan suara agak dikeraskan. "Nek. Harap jawab kata-kataku..."
Orang yang membawa lari Joko hentikan langkah. Kepalanya didongakkan. Tiba-tiba terdengar suara kekehan tawanya. Namun tiba-tiba tawanya diputus. Dan sekali gerak, Joko merasakan tubuhnya melayang setinggi satu tombak ke atas. Joko coba gerakkan tubuh untuk menahan tubuhnya yang kini menukik ke bawah. Tapi murid Pendeta Sinting ini terkejut. Tubuhnya masih belum bisa digerakkan, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terjerembab di atas tanah.
"Astaga! Apa maksud sebenarnya orang tua ini?" kata Joko dalam hati seraya bergerak hendak bangkit. Namun lagi-lagi dia tercekat. Tubuhnya kejang tak bisa digerakkan.
Mendadak di depannya, orang yang melarikannya yang ternyata seorang perempuan tua berambut putih sebatas tengkuk mengenakan jubah merah menyala dengan mulut memainkan gumpalan tembakau dan bukan lain adalah Ratu Malam gerakkan tangan kanannya membuat gerakan seperti orang mengetuk. Anehnya, bersamaan dengan itu, Joko dapat kembali gerakkan anggota tubuhnya.
"Luar biasa nenek ini..." gumam Joko seraya bangkit berdiri lalu menjura hormat dan berkata. "Nek, terima kasih atas pertolonganmu..."
"Setan jelek! Siapa yang menolongmu? Hah...?!" Ratu Malam membentak galak, membuat Joko terkesiap kaget.
Hingga untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting ini diam. Namun ketika dilihatnya si nenek hendak buka mulut kembali, Joko buru-buru berkata. "Nek, bukankah kau yang menulis pesan itu?! Tapi kenapa yang kutemui adalah gadis-gadis cantik?! Siapa mereka, Nek?! Anak-anakmu?! Wah... Mereka cantik-cantik, tentu kau dulu cantik seperti mereka!"
Ratu Malam pentangkan sepasang matanya. Gumpalan tembakau hitam di mulutnya terlihat keluar masuk. "Setan ini sama sintingnya dengan gurunya... Kalau diladeni ucapannya akan terus ngelantur!" Mendadak Ratu Malam katupkan rapat-rapat mulutnya. Ketika mulut itu bergerak membuka terdengar bentakannya.
"Aku tanya padamu. Apa gurumu yang menyuruhmu hingga kau sampai di tempat tadi bertemu denganku?!"
"Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus terang tentang tugas ini?!"
"Hai, Setan Jelek! Lekas jawab tanyaku!"
"Apa hendak dikata. Aku butuh orang tempat bertanya. Siapa tahu dia nanti bisa memberi petunjuk..." pikir Joko dalam hati. Lalu berujar.
"Eyang Guru menugaskan aku untuk menyelidik ke Pulau Biru. Hanya sayang dia tak mengatakan padaku di mana pulau itu berada. Kalau Nenek tahu, harap sudi tunjukkan padaku ke mana aku harus menuju"
Mendadak Ratu Malam goyang- goyangkan kepala. Lalu tertawa bergelak-gelak. "Urusan gila itu nyatanya sudah diendus banyak orang. Hem... Setan jelek. Ternyata kau anak manusia yang beruntung!"
"Beruntung?" ulang Joko Sableng seraya gelengkan kepala. "Justru aku ketiban sial. Menuruti pesan yang kau tinggalkan, yang kutemui ternyata tuduhan yang tak kumengerti. Untung kau segera datang. Jika tidak, mungkin aku sudah berkalang tanah. Apakah itu dikatakan beruntung?!"
"Sudah. Jangan banyak berkeluh. Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau masih hendak teruskan perjalanan ke Pulau Biru?"
"Karena itu tugas, lebih dari itu karena tugas ini demi untuk menyelamatkan rimba persilatan, apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan teruskan perjalanan!"
"Bagus! Semangatmu besar, nyalimu masih berkobar. Urusan Pulau Biru memang harus segera dituntaskan. Kitab Serat Biru harus diselamatkan dari tangan-tangan yang tak bertanggung jawab!" ujar Ratu Malam.
Perempuan tua berjubah merah menyala ini selinapkan tangan ke balik jubahnya. Ketika tangannya ditarik keluar lagi, tampaklah selembar kulit berwarna coklat lusuh. "Setan Jelek. Dengar baik-baik! Sampai hari ini belum ada manusia yang tahu di mana sebenarnya Pulau Biru itu berada. Orang-orang rimba persilatan selama ini hanya dengar namanya namun tak tahu di mana" Sejenak Ratu Malam hentikan ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan. "Kulit jelek ini dua puluh tahun tersimpan padaku. Dan kau adalah orang yang kutunggu selama kurun masa itu untuk menerimanya!"
"Eh. Jadi kaulah orang yang dicari para gadis-gadis itu. Mereka sebut-sebut penggalan peta. Apakah kulit itu memang penggalan peta?!"
"Tak salah. Ikuti apa yang tertera dalam peta ini. Dan ingat. Jaga kulit ini sebagaimana kau jaga dirimu sendiri. Karena sekali kulit ini jatuh ke tangan orang lain, berarti tugasmu lebih berat lagi!"
"Nek. Kalau boleh tahu, apakah kulit itu ada hubungannya dengan Kitab Serat Biru?"
"Aku tak bisa jawab dengan pasti. Jika kau nanti telah mendapatkan penggalan peta ini dengan sempurna, di sanalah jawaban itu akan kau peroleh!"
"Jadi...?"
"Seperti yang kau lihat. Kulit ini hanyalah penggalan. Kau dituntut untuk mencari penggalannya!"
"Tapi Nek? Aku ditugaskan untuk menyelidik ke Pulau Biru. Bukan mencari penggalan peta!"
Si nenek pelototkan sepasang matanya yang sipit. "Sudah kukatakan. Tak seorang pun sampai sekarang ini yang tahu di mana beradanya Pulau Biru. Dan hanya dengan sempurnanya penggalan peta ini, kau baru dapat sampai ke Pulau Biru. Tapi ingat. Aku tak bisa menjamin apakah Pulau Biru itu masih ada hubungannya dengan Kitab Serat Biru atau tidak!"
Habis berkata begitu, Ratu Malam ulurkan kulit warna coklat pada Pendekar 131. Joko segera menyambuti kulit itu. Untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting perhatikan apa yang tertera dalam kulit coklat ditangannya.
"Melihat bentuknya, sebelum kulit ini ada kulit lain yang telah dipenggal. Kulit ini sudah penggalan. Bukan yang pertama..." kata Joko dalam hati lalu katakan apa yang ada dalam benaknya pada si nenek.
"Dugaanmu benar. Sebelum kulit ini ada penggalan sebelumnya. Tapi kau tak perlu cemaskan hal itu. Kau mulai saja perjalanan dari yang tertera dalam kulit itu..."
"Hem... Aku tahu sekarang. Jangan-jangan penggalan pertama kulit ini ada pada gadis-gadis cantik yang mencarimu itu!"
"Itu bisa saja. Hanya yang kuherankan, kalau memang gadis-gadis itu memegang penggalan yang pertama, dari mana mereka dapatkan? Apakah mungkin Jalu Paksi salah berikan pada orang? Padahal kurasa dia sudah tahu, kepada siapa sebenarnya kulit itu harus diberikan..." Ratu Malam bergumam seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Nek. Siapa Jalu Paksi...?"
"Dialah pemegang penggalan kulit yang pertama. Kau harus hati-hati. Dengan berhasilnya para gadis itu sampai di tempat mana kau tadi berada, berarti mereka memang telah mendapatkan penggalan kulit yang pertama dan tentu yang asli..." Ratu Malam menghela napas panjang. "Aku mendapat firasat sesuatu telah terjadi pada Jalu Paksi jika sampai kulit itu jatuh pada orang yang tidak ditentukan..."
"Jadi kulit-kulit itu memang harus diberikan pada orang yang telah ditentukan?" Joko ajukan tanya.
Ratu Malam mengangguk perlahan. "Dengarlah. Aku mempunyai empat saudara seperguruan. Menjelang meninggalnya, guru kami memberikan penggalan kulit pada satu persatu muridnya dengan pesan kelak penggalan kulit itu harus diberikan pada seseorang yang mempunyai ciri tertentu..."
"Apakah ciri itu, Nek...?"
"Orang itu berhasil mendapatkan pedang pusaka yang disebut Pedang Tumpul 131!"
Joko jadi terkejut. Tanpa sengaja tangan kanannya meraba ke pinggang, di mana tersimpan Pedang Tumpul 131. Dia bernapas lega karena pedang itu masih ada di sana.
"Kami tak tahu, kenapa kulit itu dipenggal-penggal demikian rupa. Kami juga tak pernah tanya, apa yang terpendam dalam Pulau Biru. Yang kami ketahui adalah, jika penggalan-penggalan kulit itu digabung, maka di situ akan tertera peta yang berakhir pada Pulau Biru..."
"Tapi Nek. Orang-orang rimba persilatan kini tampaknya sedang dibikin gila dengan urusan Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan di dalam Pulau Biru!"
"Kau tak usah kaget. Urusan ini bukan sekarang saja diributkan orang. Jauh sebelumnya, urusan Kitab Serat Biru telah menjadi buah bibir. Bahkan telah menelan banyak korban. Kalau sekarang kitab itu kembali diributkan, mungkin ada seseorang yang mengail di air keruh. Mau mengambil keuntungan dengan tanpa bersusah payah. Mungkin juga untuk memancing keluarnya beberapa orang tokoh yang diduga banyak mengetahui tentang seluk-beluk kitab itu. Karena kudengar saat ini telah muncul beberapa orang yang justru dikabarkan jika orang itu telah tewas! Hem... Hari ini tugasku menyampaikan penggalan kuiit itu telah kulaksanakan. Apa yang sekarang hendak kau lakukan terserah padamu. Hanya kalau mau kusarankan, carilah penggalan kulit selanjutnya!" Habis berkata, Ratu Malam putar diri.
Tunggu!" tahan Joko. "Ke mana aku harus mencari pemegang penggalan kulit lainnya?"
"Ikuti yang tertera dalam peta. Di sana kau akan menemukan orang yang kau cari! Karena Guru kami telah menentukan di mana kami harus menunggu orang yang telah ditentukan itu. Selamat jalan..."
Sebenarnya Joko masih hendak menahan kepergian si nenek. Namun belum sampai ucapannya keluar, si nenek telah berkelebat lenyap.
"Busyet! Aku sampai lupa menanyakan siapa namanya..." Joko memperhatikan sejenak pada peta yang tertera dalam kulit coklat di tangannya. "Hem... Aku harus mulai dari tempat gadis-gadis tadi berada... Mudah-mudahan mereka telah pergi."
PENDEKAR 131 terkesiap dan segera hantamkan kedua tangannya memapak pukulan yang mengarah padanya. Terdengar dentuman menggelegar menyentak tempat itu. Di depan sana, dari mana tadi pukulan gelap bersumber terdengar seruan tertahan. Lalu sesosok tubuh membuat gerakan berjumpalitan di udara sebelum akhirnya menjejak tanah dengan kaki terkembang sepuluh langkah di hadapan Joko Sableng.
Dia adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah warna biru. Tubuhnya sesaat bergetar, tapi kejap kemudian terdengar suaranya. "Mana dia?!"
Joko memandang tajam pada gadis cantik di hadapannya. Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, si gadis yang bukan lain adalah Ayu Laksmi telah membentak kembali.
"Cepat katakan. Atau kurobek mulutmu!"
"Aneh. Siapa yang kau maksud? Aku di sini sendirian!"
Ayu Laksmi menatap sejenak pada Joko. Lalu berpaling dengan mata menyapu berkeliling tak berkesiap. Dalam hati si gadis berkata. "Bayangan kelebatannya masih dapat kutangkap. Sayang, gerakannya terlalu cepat hingga kalau kukejar pun hanya sia-sia! Tapi pasti pemuda ini tahu siapa dan di mana orang tadi berada. Aku hampir yakin. orang tadilah yang selama ini kucari!"
"Kuberi waktu untuk berpikir. Katakan di mana orang tadi atau kutamatkan riwayatmu!" sentak Ayu Laksmi.
Joko geleng-geleng kepala seraya tersenyum. "Sudah kukatakan, aku sedari tadi berada sendirian di tempat ini! Kalau tidak percaya..."
"Diam!" hardik Ayu Laksmi habis kesabaran. "Jangan kira kau bisa menipuku. Dan aku tahu kau masih terluka dalam. Jangan sampai aku gelap mata karena kau keras kepala!"
Karena Joko tak segera menjawab, kemarahan Ayu Laksmi tak dapat ditahan Iagi. "Baik. Rupanya kau memilih tamat riwayat daripada buka mulut!"
Wuutt! Wuuutt!
Ayu Laksmi sentakkan kedua tangannya ke depan, lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat kabut putih hamparkan hawa panas dan suara menggidikkan! Meski murid Pendeta Sinting masih merasakan sakit pada dadanya, namun dia tak tinggal diam. Serta-merta kedua tangannya diangkat laiu didorong ke depan kirimkan pukulan sakti Lembur Kuning.
Tempat itu serentak terang- benderang dan panas luar biasa. Sinar kuning meiesat keluarkan deru dahsyat. Di kejap lain terdengar ledakan keras. Disusul terdengar suara pekikan dan seruan tertahan. Dua sosok tubuh tampak saling mental masing-masing ke belakang.
Buk! Buk!
Joko terlihat terhuyung-huyung ke belakang. Sosoknya bergoyang-goyang dengan tangan gemetar. Sepasang matanya bolak-balik mengerjap meredup setengah membuka dengan bibir bergetar. Sementara di depan sana, Ayu Laksmi terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh terjengkang di atas tanah. Tapi gadis cantik ini cepat bergerak bangkit.
"Aku yakin pemuda itu telah cidera waktu bentrok dengan pukulan gabungan 'Kabut Neraka'. Tapi aneh jika dia masih bisa bertahan dan dapat menahan pukulan 'Kabut Neraka'ku! Kalau tidak segera kuhabisi, bukan saja aku yang akan mendapat celaka, tapi kelak dia bisa jadi penghalang!" Berpikir sampai di situ, Ayu Laksmi lipatkan tenaga dalam. Sepasang matanya dipejamkan. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada.
Tiba-tiba dari sekujur tubuh gadis berjubah biru ini keluarkan asap tipis. Dan saat kedua kakinya dibantingkan ke atas tanah, dari sepasang matanya yang tiba-tiba dipentangkan melesat dua larik sinar biru. Tak ada suara yang terdengar bersamaan dengan melesatnya sinar biru dari sepasang mata si gadis. Tapi pada saat yang sama, tanah di depan si gadis membentuk jalur memanjang dan rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus memanjang dengan cepat ke arah Pendekar 131!
"Celaka! ilmu apa yang dimiliki gadis ini? Aku telah terluka, tak mungkin aku kerahkan tenaga dalam. Hem... Terpaksa aku pergunakan Pedang Tumpul 131..."
Joko segera selinapkan tangan ke balik pakaiannya untuk mencabut Pedang Tumpul 131. Tapi belum sampai senjata mustika itu keluar, dari semak belukar terdengar gumaman. Karena sumber suara gumaman jauh dari tempatnya Ayu Laksmi, gadis ini sama sekali tak mendengar. Namun tidak demikian halnya dengan Pendekar 131. Dia dapat dengan jelas mendengar gumaman itu.
"Sinar Setan. Lekas menyingkir. Pukulan itu amat berbahaya!"
Meski tak tahu siapa adanya orang yang bergumam, namun isyarat ucapannya menandakan bahwa orang itu tahu betul akan pukulan yang kini melabrak ke arah Joko. Joko urungkan niat cabut senjata. Dan secepat kilat dia menyingkir ke samping dengan gulingkan tubuh. Saat itulah dari semak belukar melesat keluar dua larik sinar merah.
"Bummmm!" Rengkahan tanah yang terus bergerak terhenti lalu terdengar dentuman keras. Hamburan tanah membubung ke udara. Tempat itu bergetar hebat seolah ditimpa gelombang besar. Tubuh murid Pendeta Sinting terlihat mental dan untuk kedua kalinya jatuh bergulingan di atas tanah.
"Cepat menyingkir ke arah timur!" lagi-lagi terdengar gumaman.
Joko pentangkan sepasang matanya. Karena saat itu hamburan tanah masih menutupi pemandangan, dia belum memastikan siapa adanya orang yang bergumam. Namun jelas dia dapat memastikan bahwa suara itu adalah suara seorang perempuan.
"Bukan. Suara itu bukan suara si nenek. Tapi siapa?"
Selagi Joko bertanya-tanya, kembali terdengar teguran. "Waktumu cuma sedikit. Selagi masih gelap, lekas menyingkir!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko kerahkan sisa tenaganya. Lalu berkelebat ke arah yang dikatakan orang dari kegelapan.
Begitu hamburan tanah sirap, di depan sana Ayu Laksmi tampak bergerak-gerak bangkit. Wajah gadis ini pucat pasi. Dari mulutnya terlihat darah mengalir pertanda dia terluka cukup dalam.
"Jahanam! Lagi-lagi ada orang yang menolongnya! Keparat siapa gerangan yang berani ikut campur ini? Adakah orang pemegang penggalan peta itu?!" Ayu Laksmi bergerak duduk. Tiba-tiba sepasang matanya mendelik besar memperhatikan ke depan. Dadanya berdebar keras. Mulutnya yang berdarah komat-kamit.
Di depan sana, di mana pukulannya terhenti, tampak lobang besar menganga. Di belakangnya tampak dua jalur memanjang sampai gerumbulan semak belukar. "Aku sepertinya mengenali pukulan yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku. Mungkinkah dia...? Tapi apa mungkin?"
Selagi Ayu Laksmi didera berbagai pertanyaan, dari arah belakangnya berkelebat sesosok bayangan. “Apa yang terjadi? Kau terlihat terluka..."
Ayu Laksmi berpaling. Di hadapannya tegak seorang gadis berjubah merah yang kini menatapnya dengan pandangan cemas. Untuk sesaat, Ayu Laksmi memperhatikan sosok di hadapannya seolah baru saja dikenalnya.
"Ayu Laksmi, kenapa kau memandangku begitu rupa? Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Gadis berjubah merah yang bukan lain adalah Sitoresmi ajukan teguran karena jengah dipandangi demikian rupa.
"Ah, tidak mungkin. Mungkin orang lain yang melakukannya..." kata Ayu Laksmi dalam hati. Lalu palingkan kepalanya pada jurusan lain dan berkata. "Aku berhasil menemukan pemuda yang kita kejar. Tapi lagi-lagi ada orang yang menolong. Kini dia lenyap lagi! Tapi..."
"Tapi apa...?!" sahut Sitoresmi. "Aku sepertinya dapat mengenali pukulan jahanam yang menolong itu!"
Sitoresmi palingkan kepala memandang pada jurusan timur. Sesaat kepalanya didongakkan, lalu terdengar ucapannya. "Itukah sebabnya kau memandangku seolah menaruh curiga?!"
"Aku tahu pasti pukulan apa yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku! Dan..."
"Ayu Laksmi!" potong Sitoresmi. "Rimba persilatan bukan dunia sempit. Pukulan sakti 'Sinar Setan' bukan hanya kita saja yang memiliki. Jadi aneh kedengaran di telingaku jika nada kata-katamu menaruh curiga padaku!"
"Aku tidak curiga padamu. Hanya aku heran..."
Sitoresmi tertawa perlahan. "Aku tahu. Kau menaruh curiga padaku. Hem... Terserah padamu. Hanya kuingatkan. Jangan bikin jurang perpecahan antara kita hanya gara-gara kecurigaan!"
Mendengar ucapan Sitoresmi, Ayu Laksmi terdiam untuk beberapa lama. Saat itulah sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di sebelah Sitoresmi. Dia bukan lain adalah Wupandari. Setelah ditinggal sendirian oleh Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berkelebat mengejar Joko, Wulandari kerahkan tenaga untuk kembalikan keadaan tubuhnya. Setelah dirasa tubuhnya membaik, gadis ini merasa kebingungan. Akankah ikut berkelebat mengejar atau diam menunggu.
Dia mondar-mandir sendirian dengan berpikir mencari jalan terbaik yang harus ditempuh. Saat itulah dia dengar satu dentuman keras dari arah barat, arah mana tadi Ayu Laksmi menuju. Tapi Wulandari masih juga belum beranjak dari tempatnya. Dia seolah masih ingin meyakinkan. Dan tatkala tak lama kemudian mendengar lagi ledakan keras, dia cepat berkelebat ke arah barat.
"Orang yang kita kejar berhasil lolos!" ujar Sitoresmi sebelum Wulandari buka mulut untuk bertanya.
Sepasang mata Wulandari memandang silih berganti pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi. Sekali pandang tampaknya gadis berjubah kuning ini telah menangkap ada sesuatu antara kedua gadis di sebelanya. "Ada apa di antara kalian?! Ingat. Jangan sampai ada sesuatu yang tersembunyi di antara kita bertiga...!"
Sitoresmi dan Ayu Laksmi sama bentrok pandangan. Namun sesaat kemudian Ayu Laksmi berpaling pada jurusan lain sambil berkata. "Aku hampir saja berhasil menangkap jahanam itu. Tapi tiba-tiba seseorang menahan pukulan 'Sinar Setan' yang kulepaskan! Dan aku tahu pasti, aku mengenali pukulan yang menahan seranganku..."
"Dia menuduh akulah yang menahan pukulannya, padahal kami berdua berkelebat bersilangan jalan. Dia ke arah barat, aku ke arah timur!"
"Sudah. Tak perlu diteruskan persoalan ini!" damprat Wulandari dengan suara keras. "Sekarang kita berpencar. Besok pagi kita bertemu di tempat ini kembali! Aku kini yakin. Pemuda itu ada hubungannya dengan penggalan peta itu! Ingat. Jangan sampai ada yang bertindak menyimpang dari rencana semula, Apalagi coba-coba berkhianat!" Habis berkata demikian, Wulandari bergerak menuju ke arah utara.
Ayu Laksmi melirik pada Sitoresmi. "Mudah-mudahan dugaanku keliru. Dan memang orang lain yang melakukannya..." gumam Ayu Laksmi lalu berkata. "Sitoresmi. Kuharap kau melupakan apa yang baru saja terjadi..."
Sitoresmi tak menyahut. Mulutnya terkancing rapat dengan pandangan mata jauh ke depan. Dan ketika dia menunggu agak lama tak ada suara lagi yang terdengar, gadis berjubah merah ini berpaling. Ternyata Ayu Laksmi sudah tidak ada di tempat itu. Sitoresmi menarik napas dalam-dalam. Setelah berpikir sejenak akhirnya dia berkelebat ke arah timur.
MURID Pendeta Sinting kerahkan sisa tenaga untuk dapat berlari sekencang yang bisa diperbuatnya. Nyeri pada dada dan sekujur tubuh ngilu tak dipedulikannya. Dia bukan saja merasa jika dikejar oleh orang, lebih dari itu, dia khawatir jika penggalan kulit yang kini di tangannya sampai jatuh pada orang lain. Karena dia sadar, dia kini terluka dalam.
Dan yakin bahwa para gadis yang baru saja bentrok dengannya menginginkan sekaligus mencari penggalan kulit di tangannya. Namun karena lukanya cukup parah, tak lama kemudian dia merasakan dadanya sesak dan sepasang kakinya terasa panas laksana dipanggang bara. Kejap kemudian sepasang matanya berkunang-kunang. Hingga meski dengan perasaan cemas akhirnya Joko hentikan larinya.
"Celaka! Kalau sampai gadis tadi benar-benar mengejarku maka bukan saja jiwaku terancam tapi kulit ini bisa jatuh ke tangannya!" gumam Joko lalu memandang berkeliling seraya pelototkan sepasang matanya.
Ternyata dia berada pada satu tempat terbuka yang jarang ditumbuhi pohon dan semak belukar. Sedangkan gugusan bukit tampak masih jauh dari tempatnya berada. Tapi karena gugusan bukit itu satu-satunya tempat yang diyakini bisa untuk sembunyi selamatkan diri dari kejaran orang, maka meski dadanya masih sulit untuk dibuat bernapas dan sepasang kakinya semakin terasa panas dia kuatkan hati untuk melangkah ke arah gugusan bukit.
Begitu kakinya menapak gugusan bukit, sepasang kakinya goyah, tak berselang lama tubuhnya limbung dan roboh di kerapatan semak gugusan bukit. Murid Pendeta Sinting ini pejamkan sepasang matanya dan kerahkan hawa murni untuk mengatasi hawa panas yang kini mulai menjalar ke segenap tubuhnya. Namun Joko jadi tercekat sendiri tatkala hawa murni yang dikerahkan seakan tertahan oleh sebuah kekuatan hingga mental, dan ini berakibat fatal bagi dirinya karena darah lebih banyak keluar dari mulutnya.
"Edan! Mengapa bisa begini?" tanya Joko seraya melirik pada bagian kakinya yang terasa makin panas. Tiba-tiba dia berseru tertahan. Ternyata kakinya berubah warna agak kehitaman! Dan di sana-sini terlihat menggembung!
Sebenarnya waktu terjadi bentrok antara Joko dengan Ayu Laksmi, tanpa disadari oleh Joko, saat Ayu Laksmi lancarkan pukulan sakti 'Sinar Setan' meski Joko sempat gulingkan tubuh selamatkan diri, namun tak urung sepasang kakinya tersambar pukulan si gadis. Joko memang tidak pedulikan, karena saat itu dia tidak merasakan apa-apa.
Inilah kehebatan pukulan 'Sinar Setan' yang dilepaskan Ayu Laksmi. Pukulan itu akan menghantam sasaran dengan tanpa mencederai dan lawan tidak akan merasakan apa-apa. Namun dalam jarak beberapa saat kemudian, orang yang terkena pukulan 'Sinar Setan’ akan merasakan tubuhnya panas luar biasa. Lalu tubuhnya akan menggembung laksana orang dipanggang dalam api. Kejap kemudian, gelembung itu akan pecah berkeping-keping semburkan darah hitam!
"Celaka!" desis Pendekar 131 dengan perasaan khawatir. Dia tak berani Ilagi kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa panas di tubuhnya. Namun dia tak mau begitu saja rasa sakit yang menjalari tubuhnya semakin menyiksa. Maka dia putar tubuh membalik dengan sepasang mata ditebar ke seantero gugusan bukit.
Saat itulah telinganya mendengar gemeretak ranting diinjak orang. Serta-merta murid Pendeta Sinting beringsut dengan sejajarkan tubuh ke tanah. Sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar memandang tak berkedip ke arah datangnya suara ranting. Namun dia melengak karena dia tak menangkap adanya orang!
Menangkap adanya bahaya, lupa akan keadaan dirinya yang terluka dalam, murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam. Serta-merta dia merasakan tubuhnya laksana disengat, meski dia takupkan telapak tangannya, suara erangannya masih terdengar. Tubuhnya bergetar hebat. Dan tak lama kemudian kepalanya jatuh lunglai di atas tanah. Lalu segalanya menjadi gelap!
Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di samping murid Pendeta Sinting dengan sepasang mata memandang tajam perhatikan sekujur tubuhnya yang mulai kehitaman dan menggembung.
"Astaga! Terlambat sedikit nyawanya tidak akan tertolong..." gumam orang yang baru datang.
Ternyata dia adalah seorang perempuan. Wajahnya tidak bisa dikenali karena ditutup dengan cadar berlobang kecil-kecil berwarna biru. Pada punggung orang ini terlihat punuk besar. Pada bagian tubuhnya yang terlihat tampak diberi pewarna hitam. Perempuan berpunuk besar jongkok di samping tubuh Joko.
"Untung tubuhnya tahan. Tapi jika dibiarkan saja paling bisa bertahan sampai matahari terbenam."
Si perempuan berpunuk mengeluarkan kantong dari balik pakaiannya. Dari dalam kantong dia keluarkan butiran kecil berwarna hitam. Kepala Joko yang lunglai di atas tanah diangkat dan dibalikkan. Dengan sedikit menekan kedua pipinya, mulut Joko terbuka. Butiran hitam segera dimasukkan. Tak selang lama, si perempuan berpunuk keluarkan bungkusan dari dalam kantong.
Bungkusan segera dibuka. Ternyata berisi serbuk berwarna putih. Serbuk putih segera ditebar ke seluruh tubuh Joko dengan tangan satunya membuka sebagian pakaiannya. Perubahan segera terlihat. Gelembung-gelembung pada tubuh Joko perlahan-lahan mengempis. Dan perlahan-lahan pula warna kulitnya yang agak kehitaman berubah kemerahan kembali.
Si perempuan berpunuk menarik napas lega. Dia lalu pejamkan sepasang matanya. Telapak tangannya segera ditempelkan ke punggung Joko salurkan hawa murni. Beberapa saat berlalu. Si perempuan berpunuk tarik kedua tangannya dari punggung Joko. Seraya menghela napas, dia usap keringat yang membasahi lehernya. Sepasang mata dari balik cadar menatap memperhatikan sekujur tubuh di depannya dengan perdengarkan gumaman tak jelas.
Mendadak tangan kanan si perempuan berpunuk bergerak ke arah punggung Joko. Dari punggung di mana tersimpan Pedang Tumpul 131, si perempuan keluarkan senjata mustika itu. Untuk sesaat sepasang mata di balik cadar si perempuan menatap tak berkedip pada pedang yang kini telah dikeluarkan dari sarungnya. Saat terlihat guratan angka 131 dan bersitan kuning mencorong, si perempuan tersentak kaget.
"Astaga! Aku memang belum pernah melihat senjata ini. Tapi aku yakin, ini adalah pedang yang beberapa tahun silam sempat membuat rimba persilatan geger. Pedang Tumpul 131. Hem... Jadi pemuda ini adalah manusia yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131..."
Setelah memasukkan pedang kembali pada balik pakaian Joko, si perempuan berpunuk bergerak bangkit, kepalanya berputar sejenak perhatikan keadaan sekeliling. "Hem... Tempat ini kurasa masih aman dari jangkauan tangan orang... Dan aku harus segera meninggalkan tempat ini..."
Si perempuan berpunuk bangkit berdiri. Kepalanya dipaiingkan dan menatap sekali lagi pada tubuh serta muka Pendekar 131. Lagi-lagi terdengar gumaman dari mulutnya sambil kepalanya bergerak menggeleng perlahan. Sesaat kemudian perempuan ini balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Tunggu!"
Mendadak satu suara menahan dari arah belakang, membuat perempuan berpunuk putar diri. Di depan sana dilihatnya tubuh Joko bergerak-gerak hendak bangkit, sementara kepala dan sepasang matanya menghadap ke arah si perempuan dengan mulut membuka hendak ucapkan kata-kata lagi.
"Harap jangan bergerak dulu..." ujar si perempuan dengan masih tegak di tempatnya.
"Terima kasih... Kau telah menolongku. Boleh aku tahu, siapa kau?"
Si perempuan berpunuk tertawa perlahan seraya gelengkan kepaia. "Siapa aku tak begitu penting bagimu. Aku merasa lega jika kau telah baik kembali. Aku masih punya urusan. Kelak semoga kita bisa bertemu lagi..."
"Ah. Aku merasa kecewa. Selain tak dapat mengetahui siapa namamu, aku juga tak bisa mengenali wajahmu. Hem... Kalau kau keberatan sebutkan nama, bagaimana kalau kuminta kau singkapkan barang sejenak cadar penutup wajahmu agar aku dapat mengenal meski tak tahu namamu?"
Seraya berkata, perlahan-lahan Joko bergerak duduk. Dia masih merasakan sedikit nyeri pada dadanya, tapi sudah jauh berkurang dari sebelumnya. Di seberang, mendengar ucapan Joko, si perempuan berpunuk kembali gelengkan kepala.
"Untuk sementara ini, biarlah kau mengenal dan mengetahui diriku sebagaimana adanya yang kau lihat saat ini. Hanya kupesan. Kau harus lebih berhati-hati. Beberapa orang kini sedang mengejarmu. Dan kusarankan jika lanjutkan perjalanan, hindari arah utara dan barat. Nah, Pendekar Pedang Tumpul 131, selamat tinggal..."
Joko Sableng terkesiap melihat orang tahu siapa dirinya. Dia coba mengenali siapa adanya si perempuan dengan memandang dari atas sampai bawah. Tapi untuk beberapa saat dia tak dapat menemukan jawaban. Sementara perempuan berpunuk telah putar diri dan kembali hendak melangkah tinggalkan tempat itu. Namun lagi-lagi langkah si perempuan tertahan tatkala dia dengar sebuah seruan dari belakangnya.
"Perempuan bercadar! Kau seolah tahu apa yang kualami. Apakah kau masih ada hubungannya dengan nenek berjubah merah yang tadi juga sempat menolongku?"
Tanpa berpaling Iagi, perempuan berpunuk gelengkan kepala. Lalu berujar pelan. "Aku tak tahu dan tak mengenal orang yang kau sebut..."
"Aneh. Dua kali aku bertemu orang yang menolong tapi gagal kuketahui namanya..." gumam Joko seraya geleng-geleng kepala. Dia hendak buka mulut untuk berucap lagi. Namun suaranya terputus tatkala di depan sana si perempuan berpunuk ternyata telah tidak ada lagi!
Hanya sesaat setelah perempuan berpunuk berlalu, mendadak semak belukar tujuh langkah di samping Joko bergerak menguak. Satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Pendekar 131 tegak sesosok tubuh!
SOSOK ini adalah seorang perempuan. Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat yang bagian dadanya dibuat sangat rendah hingga sebagian kulit payudaranya yang kencang putih terlihat dengan jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan sepasang mata bulat tajam. Bibirnya merah ditingkah dengan hidung sedikit mancung. Walau perempuan ini tidak muda lagi, namun paras wajahnya sangat cantik, bahkan kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.
"Ratu Pemikat...!" seru Pendekar 131 dalam hati dengan tengkuk merinding. Sepasang matanya perhatikan perempuan berparas cantik di hadapannya dengan tak berkesiap.
"Tenagaku belum pulih betul. Dan perempuan ini pasti ingin meneruskan urusan lama..."
Perempuan berpakaian biru tipis dan memang Ratu Pemikat adanya perdengarkan tawa panjang. Tiba-tiba suara tawanya diputus. Kepalanya disentakkan berpaling ke arah jurusan lain. "Pendekar 131! Bentangan dunia terlalu sempit untuk tempatmu berlindung. Kematian tak akan berada jauh dari sepasang kakimu! Tapi, kematian itu akan menjauh malah kau bisa merasakan kenikmatan yang kau inginkan jika kau serahkan Pedang Tumpul 131 padaku! Kau mendengar ucapanku, kau tidak tuli! Apa jawabmu?!"
Ucapan Ratu Pemikat alias Dewi Asmara untuk beberapa saat membuat murid Pendeta Sinting menjadi tegang. Dia menyadari bahwa dirinya masih terluka dalam meski sudah berkurang rasa sakitnya. Namun karena telah mengetahui siapa adanya perempuan di hadapannya, mau tak mau Pendekar 131 harus berpikir dua kali untuk terlibat bentrok dengan si perempuan.
Karena yang ditanya tidak memberi jawaban, Ratu Pemikat berpaling. Dari hidungnya keluar suara dengusan keras. Lalu dia membentak. "Pendekar 131! Aku telah buang waktu banyak. Aku tak mau perjalanan ini sia-sia. Kalau kau tak suka buka mulut, lekas serahkan apa yang kuminta! Dan kau bisa tinggalkan tempat ini!" Seraya berkata, Ratu Pemikat ulurkan tangan kanannya membuat gerakan seperti orang meminta.
Setelah dapat menguasai diri, Joko sunggingkan senyum di mulut. Setelah meraba pada pinggang di mana tersimpan pedangnya, murid Pendeta Sinting ini berujar. "Aku heran. Jauh-jauh kau melakukan perjalanan hanya untuk meminta barang yang bukan milikmu. Apakah tidak ada barang lain yang menarik hatimu selain benda yang kau minta itu?!"
"Sekarang bukan saatnya untuk tawar-menawar. Serahkan saja apa yang kuminta dengan baik-baik. Aku tahu kau dalam keadaan terluka!"
Terkesiap juga Joko mengetahui Ratu Pemikat tahu keadaan dirinya. Namun Joko tak hendak unjukkan perubahan wajah. Bahkan dia kembali tersenyum sambil usap-usap dadanya. Lalu tangannya bergerak ke arah pinggang dan membuat gerakan seolah hendak keluarkan pedang dari balik pakaiannya.
Melihat hal ini, Ratu Pemikat sunggingkan senyum seraya goyang-goyangkan pinggul. Dadanya dibusungkan dengan mulut sedikit dibuka dan perdengarkan desahan. Kejap kemudian perempuan ini berucap. "Bagus! Begitu pedang itu kau serahkan, kuanggap habis urusan di antara kita! Dan kau kuberi kesempatan luas untuk bersenang-senang denganku!"
"Hem... Ternyata kau selalu salah duga! Dengar. Pedang ini keluar bukan untuk kau miliki, tapi akan mengantarmu ke bawah tanah!"
Ratu Pemikat bukannya terkejut mendengar kata-kata Joko. Sebaliknya ia tertawa panjang. "Ternyata kau benar-benar manusia yang tak mau diuntung. Kau tak mau lihat tingginya langit. Buta akan dalamnya laut! Itu kesalahan besar bagimu!" Sesaat Ratu Pemikat hentikan ucapannya, lalu meneruskan. "Kau masih punya waktu untuk berdamai..."
Joko Sableng dongakkan kepala. Mengingat siapa adanya perempuan di hadapannya yang dulu pernah membuatnya celaka, sebenarnya murid Pendeta Sinting ini sedari tadi sudah coba menahan hawa amarahnya dan menindih keinginannya untuk membuat perhitungan atas tindakan si perempuan pada beberapa tahun silam. Namun ucapan Ratu Pemikat mau tak mau membangkitkan kembali hawa amarah Joko. Hingga dengan suara keras dia membentak.
"Ratu Pemikat! Kesalahanmu sudah menjulang. Kuperingatkan sekali ini! Tinggalkan tempat ini atau..."
"Kali ini aku tak akan berhampa tangan jika tinggalkan tempat ini!" potong Ratu Pemikat. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan! Nyawa pemuda itu milikku. Tak seorang pun boleh menyentuhnya meski setan akhirat!"
Belum habis suara teguran, satu bayangan muncul dari rimbun semak belukar. Melangkah perlahan ke arah Pendekar 131. Ada keanehan dengan sosok yang baru muncul ini. Meski dia tampak melangkah pelan, namun dalam sekejap mata sudah tegak di hadapan Joko sejarak tiga langkah. Dan dia melangkah dengan mundur membelakangi!
Ratu Pemikat terlihat tegang sesaat. Tapi sesaat kemudian dia dapat kuasai diri dan perlihatkan senyum seringai. Meski demikian perempuan cantik ini tak dapat sembunyikan perubahan raut wajahnya.
"Iblis Ompong... Jahanam sialan! Urusan ini rupanya akan jadi panjang! Apa dia juga punya urusan sama denganku? Kudengar manusia aneh satu ini telah undur diri dari rimba persilatan. Adalah aneh jika tahu-tahu muncul dan inginkan nyawa Pendekar 131! Hem..."
"Iblis Ompong!" seru Ratu Pemikat setelah terdiam beberapa saat. "Kalau kau punya urusan dengan pemuda itu, harap kau suka menunggu setelah urusanku dengannya selesai!"
Orang yang baru muncul dan dipanggil dengan Iblis Ompong balikkan tubuh. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia kira-kira tujuh puluh tahunan. Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya tirus memanjang dengan dilapis kulit amat tipis. Sepasang matanya besar melotot. Ketika kepalanya bergerak, kedua bahunya terlihat ikut bergerak ke mana kepala mengarah, karena ternyata kakek ini tak mempunyai leher! Hingga kepala itu seperti nongol di antara pundaknya. Dan kakek Ini terus-terusan buka mulut perlihatkan giginya yang ompong!
Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh rimba persilatan yang digelari orang dengan Iblis Ompong. Seorang tokoh aneh yang sulit ditebak tindak- tanduknya. Meski demikian banyak kalangan rimba persilatan yang enggan membuat urusan dengannya, karena selain memiliki ilmu tinggi, dia juga dikenal sebagai tokoh yang tak pandang bulu jika apa yang dilakukannya diyakini benar.
Pada beberapa tahun belakangan, tokoh ini dikabarkan mengundurkan diri tak mau turut campur dalam urusan dunia persilatan. Hal ini terbukti dengan ketidak munculannya untuk jangka waktu yang panjang, meski rimba persilatan mengalami beberapa kemelut dan kegegeran yang mengundang munculnya tokoh-tokoh tua.
Bahkan tatkala dunia persilatan disentak dengan riuhnya perebutan Pedang Tumpul 131, Iblis Ompong juga tak tampak batang hidungnya. Hal ini menguatkan dugaan orang jika orang tua itu memang telah benar-benar undur diri. Hal ini pulalah yang mengherankan Ratu Pemikat jika tiba-tiba dia muncul, lebih-lebih mengatakan punya urusan nyawa dengan Pendekar 131.
Iblis Ompong dongakkan kepala. Karena dia tak punya leher, saat mendongak tampak tubuhnya sedikit melengkung ke depan. Kejap kemudian dia perdengarkan tawa mengekeh panjang. Namun setelah tawanya terhenti, kakek ini terus buka mulutnya lebar-lebar!
"Iblis Ompong... Hem... Nama gelar dan orangnya baru pertama kali ini kudengar dan kutemui. Orang aneh. Lebih aneh Iagi, kenapa dia bilang nyawaku ini miliknya? Padahal aku tak pernah berurusan dengannya!" gumam Joko seraya perhatikan lebih seksama pada si kakek.
Melihat Iblis Ompong tak keluarkan sepatah kata pun, Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Lalu berkata. "Terima kasih kau mau mengerti, sobatku iblis Ompong! Jangan khawatir, kalau kau inginkan nyawanya, itu akan kuberikan padamu. Aku ada urusan lain dengannya!"
Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan tawa kembali. Puas dengan gelakan tawanya dia berujar. "Sudah kubilang. Nyawanya untukku. Dan tak seorang pun boleh menyentuhnya. Kau boleh urusan dengannya, tapi jangan sekali-kali menyentuh apa lagi mengambil sesuatu darinya!"
Paras Ratu Pemikat kembali berubah. Malah kini rahangnya mengembang. Sepasang matanya membelalak dengan mulut komat-kamit. "Iblis Ompong! Harap kau memandangku sebagai sahabat. Dan jangan sampai terjadi silang urusan antara kita!"
"Bersahabat tidak menjamin tidak adanya silang urusan! Dan jika kau benar-benar punya urusan dengan pemuda itu, tunggulah setelah aku selesai! Setelah itu kau bebas mengambil apa saja darinya. Percayalah, aku tidak akan sentuh-sentuh barang yang kau sukai dan kau inginkan darinya! Aku punya seperti yang dia miliki. Bentuk dan warnanya sama, meski ketangguhannya sudah jauh menurun..."
Paras muka Ratu Pemikat makin mengelam. Sementara murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. "Tua bangka! Jaga mulutmu!"
Seolah tersentak kaget. Iblis Ompong tekapkan telapak tangannya di depan mulutnya. Tapi ketika tangan itu diturunkan lagi, mulut itu masih terbuka lebar-lebar.
"Iblis Ompong! Waktuku tidak banyak. Dan aku tidak mau tawar-menawar denganmu! Aku yang menemukannya terlebih dahulu. Akulah yang berhak menyelesaikan urusan lebih dulu!"
"Siapa pun tak berhak menentukan waktu. Besarnya urusan adalah nomor satu. Urusanmu adalah meminta barang sesuatu. Urusanku mencabut nyawanya yang satu. Kau harus panjang akal. Masalahmu hanya sepanjang jengkal. Sedang masalahku tak bisa selesai hingga salah satu terjungkal!"
Ratu Pemikat pasang telinga baik-baik dengarkan ucapan orang. Selama kiprahnya malang-melintang dalam rimba persilatan, perempuan berwajah cantik ini telah beberapa kali sempat jumpa dengan Iblis Ompong. Juga telah mengetahui sampai di mana ketinggian ilmu yang dimiliki si kakek. Dalam hati Ratu Pemikat membatin.
"Rupanya jahanam sialan ini tidak dapat diajak berdamai. Apa boleh buat. Kaki telah kuangkat, tekad telah bulat! Aku tak akan pergi dari sini tanpa sesuatu yang kudapat!"
Memikir sampai di situ, Ratu Pemikat segera angkat bicara. "Nyatanya silang sengketa tak bisa dihindari. Aku tanya padamu. Kita dahulukan urusan kita atau kau bersabar ingin aku tuntaskan urusanku dengan dia!"
"Urusanmu hanya bagaikan satu pasir di pantai. Urusanku adalah barang yang tak bisa dinilai. Masihkah wajar kau ajukan harga? Kuingatkan. Parasmu masih menggoda dada dan mata. Pinggulmu masih menggetarkan panca indera. Nikmat mungkin belum seluruhnya kau rasakan. Akankah waktu kau sia-siakan?"
Meski Ratu Pemikat sadar bahwa ilmunya masih berada di bawah Iblis Ompong, namun ucapan si kakek membuat perempuan ini geram. Ini terlihat dari apa yang dikatakannya. "Urusan tubuhku tak perlu usil kau bawa-bawa. Dan jangan mencoba mengguruiku!" Ratu Pemikat tertawa perlahan. "Atau jangan-jangan kau ingin merasakan nikmatnya diriku?"
Iblis Ompong buka lebar-lebar mulutnya. "Ingin memang Ingin. Tapi terus terang saja aku khawatir..."
Karena Iblis Ompong tak teruskan ucapannya, serta-merta Ratu Pemikat menyahut. "Khawatir apa? Hah...?!"
Iblis Ompong tertawa bergelak dahulu sebelum berkata. "Wajahmu memang memikat hingga tak salah jika kau bergelar Ratu Pemikat. Menurut yang kudengar, kau memang suka bagi-bagi nikmat. Dan menurut yang kulihat, kue seenak apa pun akan hilang rasa nikmatnya bila dijamah banyak tangan..."
"Setan jahanam!" potong Ratu Pemikat sebelum selesai Iblis Ompong lanjutkan kata-katanya. Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat bergerak menghantam ke arah Iblis Ompong.
"Wuutt! Wuuutt!" Dari kedua tangan perempuan ini melesat sinar terang biru yang selain keluarkan suara luar biasa juga hamparkan hawa panas! Inilah pukulan sakti Ratu Pemikat yang dikenal dengan 'Hamparan Langit’.
Melihat pukulan pembuka Ratu Pemikat telah lancarkan pukulan saktinya, jelas jika perempuan ini ingin segera selesaikan urusan dengan iblis Ompong. Di depan sana, Iblis Ompong sama sekali tidak membuat gerakan, membuat Ratu Pemikat dan Joko pentangkan mata masing-masing. Ratu Pemikat tampak tersenyum. Tapi senyumnya tiba-tiba terputus tatkala tiba-tiba Iblis Ompong balikkan tubuh. Kedua tangannya serta-merta disentakkan ke belakang.
"Wusss! Wuuusss!" Tampak dua bola asap sebesar roda kereta melesat bergulir keluarkan suara berderak-derak laksana roda kereta melaju di atas pasir. Begitu sinar terang biru pukulan sakti 'Hamparan Langit' yang dilepas Ratu Pemikat berjarak setengah depa lagi dari dua bola asap yang melesat dari kedua tangan Iblis Ompong, mendadak dua bola asap itu mengembang besar.
Kejap kemudian laksana memiliki daya tarik luar biasa dahsyat, sinar biru terang masuk lenyap ke dalam dua bola asap! Di lain kejap tempat itu laksana dilanda gempa hebat meski tiada suara ledakan yang terdengar! Dua bola asap terlihat ambyar berkeping-keping semburatan warna putih dan biru. Bersamaan dengan ambyarnya dua bola asap, sosok Ratu Pemikat terjajar lima langkah ke belakang. Raut wajahnya pias. Beberapa saat tubuhnya bergetar dengan dada bergerak turun naik dengan keras.
Tahu situasi, Ratu Pemikat cepat kerahkan tenaga dalam. Namun perempuan ini jadi terkesiap. Sebelum dia sempat kerahkan tenaga, dia merasakan sambaran angin kencang. Tubuhnya kembali tersurut tiga langkah. Tapi kini sepasang kakinya goyah, hingga tak berselang lama kemudian sosoknya meliuk dan jatuh terduduk di atas tanah.
Di depan sana, Iblis Ompong terlihat menungging dengan kedua kaki terkembang lebar. Dari sela sepasang kakinya tampak kedua tangan si kakek diayun-ayun pulang balik ke depan ke belakang. Anehnya, bersamaan dengan ayunan itu beberapa rangkuman angin keras mencelat. Sambaran angin dari ayunan tangan inilah yang membuat Ratu Pemikat jatuh terduduk!
Ratu Pemikat kertakkan rahang. Setelah meneliti dan yakin tidak mengalami cidera, dia cepat bergerak bangkit. Didahului bentakan nyaring, dia melesat ke depan. Tangan kiri-kanan bergerak siap lepaskan jotosan ke arah Iblis Ompong. Namun lagi-lagi Iblis Ompong tak membuat gerakan, kakek ini tetap menungging, malah berkata.
"Bocah! Awas!"
Pendekar 131 yang berada tak jauh dari tempat Iblis Ompong tersentak kaget dan bingung dengan teriakan Iblis Ompong. Dia baru sadar tatkala tiba-tiba satu tendangan keras telah menghantam bahu kirinya.
"Bukkk!" Ternyata kedua tangan Ratu Pemikat yang seakan hendak bergerak lepaskan jotosan hanyalah tipuan. Karena bersamaan itu kakinya bergerak kirim kan tendangan keras ke arah Pendekar 131 yang tegak di samping Iblis Ompong.
Joko terhuyung-huyung ke belakang. Ratu Pemikat tak buang kesempatan. Dia teruskan lesatan tubuhnya. Kini tangan kirinya bergerak menghantam ke arah kepala murid Pendeta Sinting sedang tangan kanannya menyambar ke arah pinggang.
"Breeett!" Baju bagian pinggang milik Joko robek hingga pedang yang terimpan di baliknya terlihat, membuat Ratu Pemikat semakin bernafsu. Begitu tangan kirinya gagal menghantam sasaran, dia cepat jejakkan sepasang kakinya ke tanah, seraya melayang di udara, kedua tangannya lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'!
Murid Pendeta Sinting tak tinggal dlam. Meski tenaganya belum sepenuhnya bisa dikerahkan, dia tetap lepaskan pukulan 'Lembur Kuning' meski hanya dengan tenaga seadanya.
Karena Ratu Pemikat lepaskan pukulan dari jarak dekat, sementara Joko lepaskan pukulan dengan tenaga seadanya karena keadaannya belum pulih benar, maka bisa dibayangkan apa yang akan dialami oleh murid Pendeta Sinting ini. Rupanya hal ini tak lepas dari penglihatan Iblis Ompong. Kakek ini cepat geser pantatnya hingga menghadap ke arah Ratu Pamikat yang lepaskan pukulan dari udara.
Masih tetap menungging, Iblis Ompong nongolkan kepala dari sela bentangan kedua kakinya. Mulutnya dikatupkan dan digelembungkan hingga membentuk bundaran di pipi. Kejap kemudian bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Ratu Pemikat, Iblis Ompong semburkan udara dari mulutnya.
"Busss!" Ratu Pemikat berseru tegang. Tubuhnya terseret di udara. Namun perempuan ini teruskan hantamannya. Hingga saat itu juga dua sinar biru terang melesat ke arah Joko Sableng. Di lain pihak, dari arah bawah sinar kekuningan mengudara keluar dari kedua tangan Joko.
Saat pukulan Ratu Pemikat dan Pendekar 131 serta semburan mulut Iblis Ompong masih mengapung di udara, tiba-tiba satu deru dahsyat mengguncang tempat itu. Di lain saat, satu gelombang angin keras melabrak ke arah Iblis Ompong!
Iblis Ompong menggerendeng panjang pendek. Dia cepat hendak putar pantat, namun terlambat. Angin keras itu telah menyapu tubuhnya hingga sosoknya terdorong cepat ke depan. Tapi si kakek ini cepat julurkan kedua tangannya ke depan. Dan serta-merta tubuhnya terhenti dengan posisi tetap menungging dan kedua telapak tangan bertumpu di atas tanah.
Saat itulah terdengar satu dentuman keras saat pukulan 'Hamparan Langit' bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning'. Sosok Ratu Pemikat terlihat mencelat di udara. Bukan saja karena tersapu semburan angin yang keluar dari mulut iblis Ompong tapi juga karena bias bentrok pukulannya. Perempuan cantik bertubuh bahenol Ini perdengarkan jeritan tinggi. Setelah tubuhnya terbanting di udara, tubuh itu menukik deras dan terjerembab di atas tanah!
Di seberang, sosok murid Pendeta Sinting terlempar tinggi ke udara. Selagi tubuh itu mulai melayang ke bawah mendadak satu bayangan berkelebat. Dan sekali sambar tubuh Pendekar Pedang Tumpul 131 telah berada di pundak si bayangan.
Dari semak belukar terdengar satu seruan, lalu melesat satu gelombang angin keras ke arah bayangan yang menyambar tubuh Pendekar 131. Iblis Ompong pun tak tinggal diam. Kakek ini cepat membuat gerakan jungkir baiik di atas tanah. Lalu sentakkan kedua tangannya ke udara.
Namun baik pukulan yang dilancarkan orang dari balik semak belukar maupun pukulan iblis Ompong hanya menghantam tempat kosong. Karena si bayangan luar biasa sekali cepat gerakannya. Hingga sebelum dua pukulan sempat melabrak, sosoknya telah berkelebat lenyap!
Bersamaan lenyapnya bayangan yang membawa tubuh Pendekar 131, dari semak belukar sesosok tubuh berkelebat keluar. Dari mulutnya terdengar makian panjang pendek tak karuan. Sejenak sepasang matanya tak berkedip memandang ke arah lenyapnya bayangan yang membawa tubuh Joko. Lalu serentak berpaling ke arah Iblis Ompong. Lalu membentak keras.
"Keparat Ompong! Gara-gara kau urusan jadi berantakan begini rupa!"
Iblis Ompong berpaling sambil buka mulut lebar-lebar. Untuk beberapa saat kakek ini perhatikan orang yang kini memandang ke arahnya. "Hem... Sudah membokong masih juga timpakan kesalahan pada orang lain," gumamnya seraya alihkan pandangan ke jurusan lain. Lalu berucap. "Iblis Ompong boleh dilecehkan. Tapi pantang baginya dipersalahkan! Aku beri kesempatan padamu untuk mencabut ucapan. Lalu minggat dari sini jika ingin nyawa tetap dikandung badan!"
Orang di hadapan Iblis Ompong mendongak ke langit. Dari mulutnya terdengar menggembor suara tawanya keras membahana. Tiba-tiba dia sentakkan kedua tangannya lepaskan satu pukulan!
DUA cahaya putih dan hitam melabrak angker ke arah Iblis Ompong, membuat kakek ini tegak terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Tapi tiba-tiba dia baiikkan tubuh dan serta-merta sentakkan kedua tangannya ke belakang.
"Wuutt! Wuuttt!" Dua bola asap menggelinding perdengarkan suara berderak-derak memekakkan telinga. Sesaat kemudian terdengar ledakan dahsyat tatkala bola asap memapak cahaya putih hitam. Cahaya putih hitam seketika melesat bertabur ke udara menggebrak daun pepohonan di sekitar tempat itu serta semak belukar dipenuhi hamburan daun-daun kering.
Iblis Ompong bergumam tak jelas dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan orang di depannya terseret tiga langkah dengan kedua tangan menekap dadanya. Sepuluh langkah di samping Iblis Ompong terlihat Ratu Pemikat bergulingan dan baru terhenti ketika sosoknya membentur sebatang pohon. Ratu Pemikat beringsut bangkit lalu bersandar dengan sepasang mata memandang ke depan.
"Merak Kawung! Kenapa kau sampai terlambat? Jahanam betul!" maki Ratu Pemikat dengan dada bergerak turun naik.
Orang di hadapan Iblis Ompong berpaling pada Ratu Pemikat. Orang ini adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar. Mengenakan jubah toga warna putih hitam. Kepalanya gundul. Sepasang matanya besar dengan alis menjulai panjang ke bawah hampir menutupi kedua bola matanya. Hidungnya besar dengan kumis melintang tebal. Pada bagian dada jubah toganya terlihat tiga bulu burung merak.
Inilah seorang dedengkot tokoh dunia persilatan yang tak asing lagi dan dikenal dengan julukan Merak Kawung. Tokoh ini sebenarnya jarang sekali muncul, namun sekali dia muncul, pasti terjadi kegegeran.
Seperti diketahui, Ratu Pemikat amat bernafsu untuk memilikli Pedang Tumpul 131. Karena merasa dia tak sanggup untuk merebut dengan tangannya sendiri, maka dia berusaha merangkul beberapa tokoh. Dengan modal kecantikan dan kemolekan tubuh, beberapa tokoh memang berhasil digaetnya. Dan salah satu dari tokoh itu adalah Merak Kawung.
Sewaktu menemukan Pendekar 131, sengaja Merak Kawung bersembunyi di balik semak belukar. ini untuk menjaga jika ada sesuatu yang tak terduga. Dan kali ini sesuatu yang tak terduga itu memang terjadi. Namun kali ini Merak Kawung terlambat untuk bertindak, hingga bukan saja membuat Ratu Pemikat tersapu pukulan Iblis Ompong namun juga terlambat lakukan pukulan pada bayangan yang membawa Pendekar 131!
Merak Kawung sesaat menatap pada Ratu Pemikat. Laki-laki itu melangkah hendak mendekat. Tapi di depan sana Ratu Pemikat beri isyarat dengan gelengkan kepala, membuat Merak Kawung hentikan Iangkah dan putar diri menghadap Ibiis Ompong.
"Hem... Jadi manusia gundul ini telah berada di bawah ketiak perempuan itu. Ah, kenapa aku ikut mengurusi mereka? Sialan betul! Aku harus cepat mengetahui siapa orang yang membawa lari pemuda itu! Jika tidak, penantianku tak akan ada ujung pangkalnya! Aku sudah tua, kalau kedahuluan mati, dan pesan belum kusampaikan maka dunia persilatan akan mengutukiku!" pikir Iblis Ompong. "Apalagi kini orang-orang rimba persilatan sedang dibikin edan membicarakan dan berusaha memburu..." Iblis Ompong lalu putar diri. Tapi baru saja hendak berkelebat, Merak Kawung membentak.
"Kau kira bisa begitu saja pergi dari sini, Jahanam Ompong?!"
Iblis Ompong tak pedulikan bentakan orang. Dia tetap teruskan niat untuk berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Merak Kawung berteriak keras. Bersamaan itu, tangan kirinya mencabut satu bulu merak di dada jubah toganya. Sementara tangan kanan diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan kiri-kanan laki-laki gundul ini bergerak menghantam, maka tampak cahaya hitam putih berkiblat disusul dengan menderunya bulu merak keluarkan suara laksana deruan pedang!
"Sial dangkalan! Merak Kawung. Mata dan hatimu benar-benar telah dibikin buta. Hingga tak tahu mana kawan dan lawan!" teriak Iblis Ompong. Kedua tangannya dihantamkan ke belakang. Cahaya putih hitam serta lesatan bulu merak mendadak tertahan di udara dan untuk beberapa lama mengapung.
Merak Kawung sesaat jadi terkesiap melihat pukulan dan senjata andalannya terapung-apung di udara. Selain itu diam-diam dia merasa terkejut dan peian-pelan rasa kecut mendera dadanya. Karena selama malang melintang dalam rimba persilatan, baru kail ini pukulan dan senjata andalannya bisa dibikin sedemikian rupa oleh lawan. Selagi Merak Kawung termangu, Iblis Ompong kembali sentakkan kedua tangannya.
"Wuuutt! Wuuutt!" Tak ada seruan deru yang terdengar, namun di depan sana tiba-tiba cahaya putih hitam serta bulu merak yang terapung terdorong keras dan kini berbalik melabrak ke arah Merak Kawung.
Merak Kawung melengak. Belum sempat membuat gerakan apa-apa cahaya pukulannya sendiri yang membalik telah berada di hadapannya. Masih untung laki-laki ini segera pukulkan tangan kiri kanannya ke depan, hingga cahayanya berhasil menghalau pukulannya sendiri, bulu merak melabrak ganas ke arah dadanya!
Seraya memaki, Merak Kawung angkat kedua tangannya lagi. Tapi lesatan bulu merak datang lebih cepat. Hingga meski Merak Kawung masih sempat menghindar dengan bergeser ke samping tapi tak urung bahu kirinya tersambar bulu merak. Jubah toga Merak Kawung di bagian bahu robek menganga. Laki-laki berkepala gundul ini terpekik kesakitan. Raul wajahnya kontan berubah pucat pasi.
Pada saat yang sama darah berwarna kehitaman mulai membasahi jubah bagian bahunya. Merak Kawung merasakan aliran darahnya bergolak panas dan segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Kejap kemudian, Merak Kawung terlihat surut beberapa langkah ke belakang. Tahu bahaya apa yang kini dihadapi, Merak Kawung cepat ambil dua butir obat dari saku jubahnya. Begitu butiran obat tertelan, perlahan-lahan golakan hawa panas di tubuhnya mereda. Dan ketika dia memandang ke depan, Iblis Ompong sudah tidak tampak lagi.
"Keparat jahanam...!" umpat Merak Kawung seraya bantingkan sepasang kakinya ke atas tanah. Tanah di tempat itu bergetar keras, hingga Ratu Pemikat yang sedang duduk bersila bersandar pada pohon dengan mata terpejam pulihkan tenaga buka kelopak matanya.
"Ratu... Kita tinggalkan tempat celaka ini!"
Ratu Pemikat bergerak bangkit. Melangkah mendekati Merak Kawung. Perempuan cantik ini tersenyum. Begitu dekat, tangan kanannya segera melingkar ke pinggang Merak Kawung. Sekali membalik, tubuh Ratu Pemikat telah berhadapan dengan Merak Kawung.
"Merak... Kita memang sudah lama di tempat ini. Kita harus segera pergi. Lupakan apa yang baru saja terjadi. Kita cari tempat yang aman untuk bersenang-senang..." Seraya berkata, tangan kiri Ratu Pemikat menelusup masuk ke balik jubah dan pakaian dalam Merak Kawung.
Entah siapa yang memulai, kejap kemudian kedua orang ini telah tenggelam dalam peluk cium. Sepasang kaki Ratu Pemikat terlihat berjingkat sementara Merak Kawung rundukkan sedikit kepalanya.
"Ratu..." bisik Merak Kawung dengan kedua tangan membelai punggung dan dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perdengarkan gumaman perlahan. Lalu mendesah perlahan dengan sepasang mata dipejamkan. "Sebaiknya kita lupakan saja urusan Pedang Tumpul 131... Orang rimba persilatan kini sudah melupakan pedang itu, karena mereka tahu bahwa seseorang yang berjodoh telah menemukannya. Lebih baik kita sekarang menyelidik tentang Kitab Serat Biru..."
"Akhir-akhir ini orang-orang memang meributkan kitab itu. Tapi kurasa menyelidik tanpa bekal yang cukup terpercaya hanya akan membawa sia-sia. Aku diam-diam selama ini berusaha menyirap tentang kabar kitab itu. Namun apa yang berhasil kusirap ternyata simpang siur. Hingga aku punya firasat jika kitab itu tidak ada..."
Seraya masih membelai, Merak Kawung tertawa perlahan. Lalu rundukkan lebih dalam kepalanya hingga hidungnya menyapu sembulan payudara sang ratu. Ratu Pemikat angkat kedua tangannya dan meraih kepala Merak Kawung lalu ditekannya rapat-rapat.
"Ratu...!" suara Merak Kawung terdengar serak tersendat. "Kita temui seorang sahabat. Kurasa dia banyak tahu seluk-beluk kitab itu..."
Tiba-tiba Ratu Pemikat angkat kepala Merak Kawung. "Siapa dia?!"
Merak Kawung tersenyum. Wajahnya memerah, pertanda nafsu telah menguasai dirinya. "Nanti kau akan tahu siapa orangnya..."
Tapi..."
Tapi apa...?!" tanya Merak Kawung seraya kembali selusupkan kepalanya ke arah dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat sejenak terdiam tidak segera menjawab pertanyaan Merak Kawung. Rupanya Merak Kawung dapat menangkap keraguan pada Ratu Pemikat. Hingga dia buru-buru berkata. "Kau khawatir aku bernafsu memiliki kitab itu?"
Lagi-lagi Ratu Pemikat tidak segera buka mulut untuk memberi jawaban. Hingga Merak Kawung akhirnya lanjutkan ucapannya. "Tak usah khawatir, Ratu... Dirimu lebih berharga bagiku dibanding dengan kitab itu! Kalau aku menyelidik kitab itu, semata-mata kelak kuperuntukkan untukmu..."
"Ucapanmu betul, Merak...?" bisik Ratu Pemikat dengan busungkan dadanya.
"Kau bisa buktlkan ucapanku nanti, Ratu..." suara Merak Kawung serak di antara deru napasnya yang memburu. Laki-laki gundul ini angkat sedikit kepalanya mendongak memandang ke arah dagu Ratu Pemikat. Diam-diam dalam hati Merak Kawung berkata.
"Hem... Aku tidak setolol yang kau duga. Kitab Serat Biru adalah kitab sakti tiada tanding. Begitu kitab berada di tanganku, saat itulah saatnya dirimu menjadi budakku! Saat sekarang kau masih menganggap dirlku budakmu, tapi tunggulah saatnya nanti..."
Kalau Merak Kawung berpikir demikian, ternyata diam-diam Ratu Pemikat juga berkata sendiri dalam hati. "Aku tahu siapa dirimu, Merak Kawung. Aku tahu ucapanmu hanya di mulut. Dan jangan harap kau bisa bodohi diriku. Begitu Kitab Serat Biru betul-betul kumiliki, itulah saatnya riwayatmu habis!"
"Ratu..." bisik Merak Kawung. "Kurasa tempat ini kurang aman..."
Ratu Pemikat mendesah pelan. "Jika begitu, kau tunggu apalagi? Bawalah aku pergi ke tempat aman. Dan..."
Belum habis ucapan Ratu Pemikat, Merak Kawung telah mengangkat tubuh sang ratu dalam rengkuhannya. Sekali bergerak, Merak Kawung melesat dengan memanggul tubuh Ratu Pemikat.
SOSOK bayangan hitam itu terus berkelebat ke arah timur. Sesekali dia berpaling pada orang yang dipanggulnya dengan perdengarkan gumaman tak jelas. Pada satu tempat, dia hentikan larinya. Berpaling sekali lagi pada orang di pundaknya, lalu mendongak ke langit.
"Ada hubungan apa pemuda ini dengan jahanam Iblis Ompong? Hem... Iblis Ompong. Tampaknya dia tak betah juga terus-terusan sembunyikan diri. Apakah kemunculannya ini ada kaitannya dengan urusan Kitab Serat Biru?" Orang ini menghela napas panjang.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berambut pirang. Mengenakan jubah besar warna hitam, Pada kedua tangannya terlihat satu kaos tangan dari kulit juga berwarna hitam. Perempuan ini tak bisa dikenali wajahnya karena dia mengenakan cadar berwarna hitam. Dari wajahnya yang terlihat hanyalah sepasang matanya yang tajam dari kedua lobang cadar. Mendadak perempuan berjubah dan bercadar hitam palingkan kepala.
"Hemm... Di sini rupanya tidak aman..." gumamnya. Lalu menatap sejenak pada orang yang dipanggul. Sepasang matanya sorotkan pandangan aneh. Setelah memastikan orang yang dipanggul masih dalam keadaan tertotok, perempuan berjubah dan bercadar hitam teruskan larinya. Namun baru saja bergerak, satu bayangan berkelebat, membuat langkah si perempuan tertahan. Dia segera berpaling dengan sepasang mata dipentangkan.
"Bangsat siapa dia...?!" desis si perempuan bercadar hitam dengan tubuh sedikit berguncang, tanda dia menahan marah. Sepasang matanya dari dua lobang cadar membelalak besar memandang tak berkesiap ke arah depan, di mana kini telah tegak seorang perempuan yang dilihat dari sikapnya jelas sengaja menghadang!
Dan bukan Itu saja yang membuat perempuan berjubah dan bercadar hitam pentangkan sepasang matanya makin besar, karena ternyata orang yang kini tegak menghadang di hadapannya juga mengenakan cadar berlobang kecil-kecil menutup seluruh raut wajahnya. Pada punggung orang ini terlihat punuk besar.
Kalau perempuan berambut pirang berjubah dan bercadar hitam tampak geram, tidak demikian halnya dengan perempuan bercadar dan berpunuk yang menghadang. Begitu tegak menghadang dan memandang pada perempuan bercadar dan berjubah hitam, perempuan berpunuk serentak tersurut kaget. Sepasang mata dari baiik cadar berlobang-lobang terlihat membesar. Wajahnya pun seketika berubah.
"Dewi Siluman..." desis perempuan berpunuk dengan suara tercekat di tenggorokan. Untuk beberapa lama orang ini arahkan pandangannya dari baiik cadar berlobang kecil-kecil pada perempuan berjubah dan bercadar hitam. Lalu beralih pada sosok yang ada di pundak si perempuan.
"Pendekar 131... Tampaknya dia tertotok. Hem... Seharusnya aku tidak membiarkan dirinya sendirian di tempat itu. Apalagi keadaannya masih terluka... Sekarang harus bagaimana? Aku tahu siapa Dewi Siluman. Nyawa Pendekar 131 tidak terjamin keselamatannya di tangan sang dewi. Tapi bisakah aku merebutnya...? Bagaimana kalau dia tahu...? Ah. Tak kusangka jika Dewi Siiuman berada di tempat itu juga..."
"Orang tak dikenal!" Tiba-tiba perempuan berjubah dan bercadar hitam membentak garang. "Katakan maksudmu menghadang langkahku!"
Meski dari perubahan wajah dan sikap serta kata hatinya jelas jika perempuan berpunuk merasa kecut, tapi saat melihat keadaan orang di pundak perempuan berjubah dan bercadar hitam yang bukan lain Pendekar 131 Joko Sableng, satu keberanian luar biasa tiba-tiba menyeruak di dadanya. Bahkan diam-diam dalam diri perempuan berpunuk muncul tekad untuk merebut sekaligus menyelamatkan sang pemuda walau apa yang terjadi.
"Dewi Siluman...!" kata perempuan berpunuk. "Harap turunkan pemuda itu dan serahkan padaku!"
Perempuan bercadar dan berjubah hitam terkesiap demi mengetahui perempuan di hadapannya tahu siapa dirinya. Untuk sesaat sepasang matanya memperhatikan lebih seksama ke bagian cadar berlobang-lobang kecil seolah berusaha menembus cadar orang itu dan mengetahui wajah di baliknya.
"Jahanam siapa perempuan ini? Berpuluh tahun kucoba menyembunyikan diri, hanya beberapa orang yang tahu diriku. Adalah aneh jika orang yang baru kali ini kutemui telah mengenal siapa diriku..."
"Perempuan berpunuk!" kata perempuan bercadar dan berjubah hitam setelah beberapa lama terdiam. "Syukur kau telah mengenaliku hingga aku tak perlu memberi keterangan! Aku tanya padamu. Siapa kau adanya?! Kalau kawan kenapa tegak menghadang cari urusan, kalau lawan katakan apa hubunganmu dengan pemuda ini!"
"Aku tak bisa beri keterangan di sini! Yang pasti, aku memerlukan pemuda itu, dan harap kau segera turunkan dirinya!"
"Hem... Perempuan ini sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk menekan suaranya agar suara aslinya tak mudah dikenali orang. Jangan-jangan aku mengenalnya. Hem..."
Perempuan berjubah dan bercadar hitam yang dipanggil dengan Dewi Siluman tengadahkan kepala. Kejap kemudian terdengar suara tawanya. "Melihat bentuk tubuh dan suaramu, pasti kau bukan perempuan muda lagi. Aku khawatir jangan-jangan kau golongan tua-tua bangka yang senang permainkan pemuda-pemuda. Hik Hik Hik...! Kusarankan nenek! Carilah pemuda lain saja. Aku tak bisa penuh permintaanmu!"
"Dewi Siluman! Kita bukan kawan bukan lawan. Harap urusan pemuda itu tak menjadikan awal sengketa antara kita!"
Ucapan perempuan berpunuk membuat Dewi Siluman kembali tertawa panjang. "Ucapannya nadanya memaksa. Dan sepertinya kau menghkawatirkan pemuda ini. Hem... Berat dugaan kau adalah seorang nenek yang tergila-gila pada seorang pemuda. Kau menyukai pemuda ini?!"
Wajah di balik cadar berlobang-lobang kecil milik perempuan berpunuk sesaat berubah. "Dewi Siluman! Harap jangan bicara terlalu jauh. Dan buang juga dugaan gilamu itu!"
"Hem... Begitu? Jika itu maumu, lekas menyingkir dari hadapanku atau kau akan rasakan kecewa seumur-umur! Bukan hanya tak akan mendapatkan pemuda ini tapi nyawamu juga akan putus!"
"Dewi..."
"Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman memotong. "Menyingkir atau mampus!" Sambil menghardik Dewi Siluman angkat tangan kirinya.
Perempuan berpunuk tampak bimbang. Sesekali dia memandang ke arah Dewi Siluman lalu beralih pada Pendekar 131. Diam-diam perempuan ini membatin. "Apa hendak dikata. Meski aku belum bisa memastikan maksudnya, tapi pemuda itu harus kuselamatkan dari tangannya..."
Berpikir sampai ke sana, perempuan berpunuk pentangkan sepasang kakinya. Kedua tangannya bergerak menakup di depan dada. Sikap dan gerakannya menandakan dia siap menghadapi Dewi Siluman.
Tiba-tiba di depan sana Dewi Siluman turunkan tangan kirinya, membuat perempuan berpunuk bertanya-tanya. Sementara Dewi Siluman segera palingkan kepala ke jurusan lain. Sepasang matanya memandang jauh.
"Aku ingin tahu sampai di mana rasa khawatir perempuan berpunuk itu. Dari sana mungkin aku bisa menebak siapa adanya bangsat itu..." desis Dewi Siluman, lalu didahului bentakan keras perempuan bercadar dan berjubah hitam ini melesat satu tombak ke udara. Di udara dia membuat gerakan berputar satu kali. Begitu berbalik dan melayang turun, kedua tangannya mendorong ke bawah ke arah perempuan berpunuk.
Saat itu juga kabut hitam keluarkan deruan dahsyat menyapu ke arah perempuan berpunuk. "Kabut Neraka!" seru perempuan berpunuk mengenali pukulan yang dilepas Dewi Siluman. Dan seolah tahu kehebatan pukulan orang itu, begitu kabut hitam melesat menyapu, perempuan berpunuk segera berkelebat menyingkir ke samping. Hingga kabut hitam menderu sejarak empat jengkal di sampingnya.
Sesaat kemudian, dua batang pohon di depan sana berderak dan langsung tumbang dengan daun-daun hangus. Ranting-rantingnya bertabur ke udara menjadi serpihan kecil-kecil. Dari tempatnya sekarang berdiri, perempuan berpunuk cepat angkat kedua tangannya. Lalu didorong ke depan saat Dewi Siluman mendarat di atas tanah. Tapi gerakan mendorong si perempuan berpunuk tertahan karena di depan sana mendadak Dewi Siluman tertawa panjang seraya melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan tubuhnya, membuat perempuan berpunuk urungkah niat dan berteriak keras.
"Ternyata Dewi Siluman adalah tokoh pengecut! Membuat manusia untuk pelindung diri!"
Dewi Siluman perkeras suara tawanya. Namun dalam hati dia makin penasaran saat mengetahui perempuan berpunuk tahu pukulan yang baru dilepasnya. "Keparat betul! Siapa sebenarnya perempuan ini? Dia rupanya tahu banyak tentang diriku... Hem... Tapi dia benar-benar mengkhawatirkan pemuda ini. Sepertinya pemuda ini begitu berharga baginya!" Dewi Siluman memandang sejenak pada paras dan tubuh Pendekar 131. "Heran. Pemuda ini dibuat rebutan banyak orang. Siapa sebenarnya dia?"
Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara Ratu Pemikat dengan Pendekar 131, dan ketika Iblis Ompong coba menghadang dengan semburan mulutnya lalu melesatnya pukulan dari arah rimbun semak belukar, tanpa berpikir panjang Dewi Siluman yang diam-diam berada di tempat terjadinya bentrokan segera berkelebat menyambar tubuh murid Pendeta Sinting yang saat itu melayang di udara. Dia tak banyak perhatikan ucapan orang, karena waktu itu perhatiannya tertuju pada Joko. Dia tak tahu, kenapa dia tiba-tiba begitu memperhatikan si pemuda. Namun yang jelas ada perasaan aneh di dadanya ketika pertama kali memandang.
Karena saat itu Dewi Siluman melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan tubuhnya, saat itulah tiba-tiba sepasang matanya dari lobang cadar melihat sesuatu tersembul dari balik pakaian di bagian pinggang murid Pendeta Sinting. Dewi Siluman cepat geser tangan kanannya ke pinggang. Dan Sekali sentak sedikit, pakaian Pendekar 131 di bagian pinggang tersibak. Sepasang mata Dewi Siiuman terbeliak besar saat dia melihat sebilah pedang pancarkan sinar kekuningan.
"Ternyata... Tampaknya bukan senjata sembarangan. Apakah karena senjata ini hingga beberapa orang menginginkan pemuda ini?!"
Dewi Siluman lorotkan sepasang kakinya. Kedua tangannya bergerak ke samping lalu disentakkan. Tubuh Pendekar 131 meluncur ke bawah dan perlahan sekali secara aneh sosok murid Pendeta Sinting duduk di atas tanah! Tapi masih tak bisa gerakan tubuh, malah sepasang matanya terpejam rapat.
Begitu tubuh Pendekar 131 terduduk di tanah, Dewi Siluman pentangkan sepasang tangannya yang ternyata telah memegang pedang. Dan tanpa pedulikan pandangan perempuan berpunuk yang berkilat-kilat, Dewi Siluman tarik pedang dari sarungnya. Cahaya kekuningan silaukan mata segera menebar hamparkan hawa panas.
"Pedang Tumpul 131!" desis Dewi Siluman sesaat setelah mengawasi bentuk pedang. "Hem... Jadi orang yang akhir-akhir ini disebut-sebut sebagai Pendekar Pedang Tumpul 131 pemuda ini adanya!" Dewi Siluman tersenyum di balik cadar. "Takdirku baik! Apa yang tak kuduga sekarang ada di tanganku. Dengan pedang ini perjalanan memburu penggalan peta itu akan lebih mudah..."
"Dewi Siluman! Jangan berniat buruk menguasai milik orang lain!" Mendadak perempuan berpunuk membentak lantang.
Dewi Siluman masukkan kepala pedang ke dalam sarungnya. Lalu simpan ke balik jubahnya. Sesaat kemudian dia tertawa mengekeh panjang.
"Serahkan pedang itu padaku!"
Dewi Siluman putuskan tawanya. Berpaling pada perempuan berpunuk dengan mendengus keras. "Jahanam berpunuk! Jika kau inginkan pedang ini, kenapa banyak berkoar-koar? Selain ingin pemuda ini, rupanya kau juga inginkan pedang ini! Hem... Nyatanya kau juga menyimpan keinginan kotor! Hik hik hik...!"
"Tak usah banyak mulut mengumbar fitnah! Berikan pedang itu atau..."
"Sekali pedang di tanganku tak akan kuberikan biar malaikat yang meminta!" tukas Dewi Siluman.
"Itu bukti bahwa kau nyata-nyata mencuri barang orang!" Perempuan berpunuk tertawa perlahan penuh ejekan.
Dewi Siluman terkesiap marah mendengar ejekan si perempuan berpunuk. Tiba-tiba dia gerakkan kepalanya menyentak ke samping.
"Wuuttt! Beeettt!" Rambut pirang milik Dewi Siluman berkelebat angker hamparkan gelombang angin kencang ke arah perempuan berpunuk.
Perempuan berpunuk tak mau bertindak ayal. Dia cepat berkelebat ke arah samping hindarkan diri lalu melesat ke depan dan lancarkan satu pukulan ke arah kepala Dewi Siluman. Dewi Siluman rundukkan kepala. Kaki kanannya bergerak.
"Bukkk!" Perempuan berpunuk tersurut dua langkah ke belakang saat tendangan kaki Dewi Siluman menghantam tangannya. Namun perempuan itu tak pedulikan rasa ngilu pada tangannya yang baru bentrok dengan kaki Dewi Siluman. Sebaliknya dia cepat kerahkan tenaga dalam, lalu sekonyong-konyong dia menghantam ke depan. Bukan hanya sampai di situ, kejap lain perempuan berpunuk bantingkan sepasang kakinya ke atas tanah. Kejap itu juga dari sepasang mata di balik cadar berlobang kecil-kecil melesat dua cahaya merah. Dewi Siluman terlihat melengak. Bukan karena ganasnya pukulan yang kini melabrak ke arahnya melainkan karena dia sepertinya mengenali pukulan itu.
"Jahanam! Jangan-jangan... Ah, tapi aku belum bisa memastikan. Mungkin dia, tapi tak mustahi! orang lain. Aku harus tahu jahanam ini! Kalau benar-benar dia..." Dewi Siluman tak bisa berpikir lebih panjang lagi karena harus segera selamatkan diri dari pukulan lawan.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam ini cepat melesat ke samping kanan, membuat gerakan jungkir balik dua kali lalu serta-merta hantamkan kedua tangannya sekaligus!
"Bummm! Bummm!" Tempat itu bergetar hebat. Tanahnya bertabur ke udara.
Perempuan berpunuk rasakan tubuhnya laksana dilanggar gelombang besar hingga saat itu juga tubuhnya mencelat mental sampai dua tombak ke belakang. Dari balik cadarnya tampak meleleh darah kehitaman pertanda dia terluka dalam. Tubuh perempuan ini terlihat bergetar keras. Napasnya megap-megap. Dan setelah sesaat terhuyung-huyung beberapa kali, perempuan berpunuk ini meliuk roboh terkapar di atas tanah.
Di seberang, Dewi Siluman saling usapkan sepasang tangannya. Memandang tajam pada perempuan berpunuk lalu melangkah mendekat. "Ilmu masih sejengkal sudah berani bermulut besar! Hem... Akan kutelanjangi jahanam itu..."
"Celaka!" keluh perempuan berpunuk lalu cepat-cepat kerahkan tenaga dalam dan bergerak bangkit. Namun belum sampai tubuhnya benar-benar tegak, Dewi Siluman telah melesat. Tangan kiri-kanannya bergerak kirimkan hantaman ke arah dada dan perut.
"Bukkk! Bukkk!" Perempuan berpunuk berseru keras. Untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar dan jatuh berkaparan di atas tanah. Darah lebih banyak keluar dari balik cadarnya.
Namun perempuan berpunuk sepertinya punya tenaga luar biasa. Setelah mengerjap dan tahu Dewi Siluman teruskan langkah ke arahnya, dia coba kerahkan sisa-sisa tenaganya. Perlahan-lahan pula dia bergerak bangkit. Seraya terhuyung-huyung dia sentakan kedua kakinya ke tanah. Dua cahaya merah kembali melesat keluar dari sepasang mata di balik cadarnya.
Namun karena tenaga yang dikerahkan tidak utuh lagi, daya lesat cahaya itu sangat lamban. Hingga dengan sekali sentakan tangan, Dewi Siluman bisa membuat cahaya merah bertabur ambyar ke udara. Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan berpunuk terjengkang roboh.
Kali ini Dewi Siluman tak mau buang waktu. Bersamaan dengan robohnya sosok perempuan berpunuk dia berkelebat ke depan. Kedua tangan kiri-kanannya cepat bergerak menjulur ke bawah.
"Brettt! Breettt!" Pakaian perempuan berpunuk besar robek di bagian dada dan pinggang hingga tampaklah kulit putih mulus dan dada kencang membusung dl baliknya.
Dewi Siluman menyeringai. Lalu ayunkan tangan kanan ke arah muka hendak menanggalkan cadar penutup si perempuan berpunuk. Tapi sejengkal lagi cadar penutup itu tersibak, mendadak ada suara mengekeh panjang membahana di seantero tempat itu.
"Sudah demikian gilakah dunia ini? Perempuan bukannya tertarik pada pemuda tapi tergila-gila pada sesama? Mungkinkah mata ini yang salah lihat atau mereka yang salah tempat?"
Dewi Siluman tersentak. Tangannya cepat ditarik pulang. Lalu berpaling ke arah datangnya suara.
SEBAGAI seorang yang memiliki ilmu tinggi, meski saat itu sepasang mata Dewi Siluman tidak menangkap adanya seorang yang perdengarkan tawa namun seraya mendengus keras perempuan berjubah dan bercadar hitam ini putar diri, lalu mendadak tangan kirinya bergerak menghantam ke udara.
"Wuuuttt!" Satu gelombang angin keras melabrak ganas ke arah sebatang pohon. Pohon itu langsung berderak, kejap lain tumbang keluarkan suara berdebam. Belum sampai derakan batang pohon menghantam tanah, satu bayangan melesat dari kerapatan daun pohon yang hendak tumbang itu dengan perdengarkan gumaman tak karuan.
Selagi bayangan itu melayang di udara, Dewi Siluman angkat kedua tangannya. Serta-merta perempuan ini membuat gerakan jungkir balik dua kali. Pada putaran yang ketiga sekonyong-konyong tangan kiri-kanannya dihantamkan ke depan, ke arah sosok yang kini teiah tiga Iangkah di hadapannya!
"Bukkk! Bukkk!" Terdengar seruan tertahan. Lalu terlihat satu sosok mencelat sampai tiga tombak dari tempat di mana sekarang Dewi Siluman berada. Namun Dewi Siluman terlihat pentangkan sepasang matanya lalu perdengarkan suara menggerendeng panjang pendek.
"Setan alas! Manusia satu itu memang luar biasa!" desisnya sambil memandang ke depan. Tiga tombak di depan sana tampak satu sosok membelakangi dengan posisi menungging dan perdengarkan tawa mengekeh panjang!
Mendadak orang yang menungging ini putuskan tawanya. Lalu balikkan tubuh dengan kepala mendongak. Ternyata dia adalah seorang kakek berambut putih panjang. Wajahnya pucat dengan sepasang mata melotot besar. Kakek ini tidak punya leher, dan seraya mendongak dia buka mulutnya lebar-lebar seolah ingin perlihatkan mulutnya yang tak bergigi!
"Iblis Ompong!" teriak Dewi Siluman. "Aku tak suka bicara dua kali. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Si kakek di depan sana dan memang Iblis Ompong adanya maju satu langkah. "Eh. Kau mengenaliku. Tapi karena kau mengenakan cadar, berat dugaan aku sulit menerka siapa adanya dirimu. Boleh sejenak kubuka penutup wajahmu?"
"Iblis Ompong! Enyah dari hadapanku!"
"Baik. Kalau kau tak izinkan aku membuka cadar melihat wajahmu, aku akan turuti ucapanmu tinggalkan tempat ini. Tapi izinkan aku bawa serta kedua orang itu!"
Seraya berkata Iblis Ompong arahkan jari telunjuknya ke arah Pendekar 131 yang masih duduk di atas tanah dengan mata terpejam dan pada perempuan berpunuk yang diam terkapar di tanah dengan bagian dada dan pinggang pakaiannya robek besar.
"Hem... Begitu? Boleh kau bawa serta kedua orang ini. Tapi sebagai gantinya tinggalkan nyawamu untukku!"
"Mana bisa begitu? Tawaranmu terlalu mahal. Aku akan membawa keduanya tanpa tinggalkan apa-apa untukmu. Tapi... Kalau kau suka, bagaimana kalau nyawaku kuganti saja dengan celanaku ini, hitung-hitung sebagai kenangan kecil untukmu..."
Belum habis bicara, Iblis Ompong membuat gerakan hendak membuka celananya, membuat Dewi Siluman bantingkan kakinya ke tanah. "Jahanam tua jorok! Siapa ingin lihat tubuh keriputan milikmu, hah?!"
"Jangan salah sangka! Aku tak akan bertindak yang bukan-bukan. Aku hanya ingin serahkan celanaku untukmu. Ha Ha Ha...! Tapi kalau matamu tak suka melihat, kau tahu apa yang harus kau lakukan..."
Iblis Ompong teruskan gerakannya yang hendak lorotkan celananya. Namun gerakan Iblis Ompong tertahan tatkala saat itu juga dari arah depan terdengar satu deruan keras, di lain saat kabut berwarna hitam menggebrak ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong buka mulutnya semakin lebar. Lalu balikkan tubuh dan serta-merta hantamkan kedua tangannya kebelakang.
"Wuuut! Wuuutt!" Dari kedua tangan si kakek melesat dua asap putih bergulung-gulung. Begitu asap putih melesat, Iblis Ompong tekuk tubuhnya ke depan. Sepasang kakinya direntangkan. Tiba-tiba raut wajahnya nongol di antara kedua rentangan kakinya yang kini dalam posisi menungging. Mulutnya digembungkan sejenak, lalu disemburkan ke belakang, ke arah dua asap putih.
"Busss!" Dua asap putih serta-merta mengembang besar. Lalu terdengar letupan keras saat kabut hitam pukulan Dewi Siluman melabrak. Asap putih bertabur pecah di udara. Hebatnya, kejap kemudian taburan asap putih bersatu kembali dan secepat kilat melesat deras ke arah Dewi Siluman!
Dewi Siiuman tersentak. Didahului bentakan nyaring, tubuhnya melenting ke udara setinggi dua tombak. Serta-merta kedua tangannya bergerak kirimkan pukulan, lalu perempuan ini sentakan kepalanya. Tiba-tiba saja dari sepasang matanya melesat dua cahaya hitam terang silaukan mata!
"Sinar Setan!" desis Iblis Ompong mengenali pukulan yang melesat keluar dari sepasang mata Dewi Siluman. "Dalam rentang rimba persilatan, hanya satu orang yang memiliki pukulan 'Sinar Setan'. Jadi apakah perempuan ini adanya...?!"
Iblis Ompong geleng-gelengkan kepalanya di antara rentangan kaki, lalu mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Sesaat kemudian dia melompat ke depan. Masih dengan tetap membelakangi, kakek ini hantamkan kedua tangannya ke belakang.
"Wuutt! Wuuutt!" Dua bola asap tampak menggelinding perdengarkan suara berderak-derak.
"Bummm!" Terdengar ledakan dahsyat ketika cahaya hitam silaukan mata bentrok dengan dua bola asap. Tanah di tempat itu bergetar. Di atas tanah tampak alur panjang. Lalu di atas sana terlihat gumpalan benda hitam yang bersamaan dengan terdengarnya ledakan benda hitam itu pecah berantakan. Kini di udara tampak taburan tanah menghalangi pemandangan!
Sesaat setelah terdengarnya ledakan, terlihat di antara kepekatan suasana sosok Dewi Siluman terseret deras ke belakang. Di seberang depan, tubuh Iblis Ompong terhuyung-huyung. Tapi kakek ini segera putar tubuh dan seraya buka mulutnya lebar-lebar, kedua tangannya dihantamkan ke tanah di depan sana, hingga saat itu juga pemandangan makin bertambah pekat karena tanah semakin banyak bertabur di udara.
Ketika taburan tanah sirna, Dewi Siluman terkesiap. Sosok Iblis Ompong tak tampak lagi di depan sana. Perempuan ini segera putar kepala dengan sepasang mata menyapu berkeliling. Tiba-tiba terdengar suaranya tertahan keras. Ternyata sosok perempuan berpunuk dan Pendekar 131 juga lenyap dari tempatnya masing-masing!
"Keparat jahanam!" maki Dewi Siluman seraya angkat kedua tangannya. Seraya putar tubuh dia hantam apa saja yang terlihat oleh matanya. Hingga sejenak kemudian untuk kesekian kalinya tempat itu ditaburi tanah dan daun-daun yang telah hangus kering.
Selagi taburan tanah belum sirap, tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Menduga si bayangan adalah Iblis Ompong, Dewi Siluman melesat memapak. Kedua tangannya berkelebat lancarkan satu pukulan.
"Tahan pukulan!" satu seruan membuat Dewi Siluman tank pulang kedua tangannya.
Sepasang matanya dari lobang cadar memperhatikan dengan dada bergerak turun naik ke depan, dimana kini terlihat dua sosok tubuh tegak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Mereka berdua ternyata dua gadis muda berparas cantik jelita. Sebelah kanan mengenakan jubah besar warna kuning, sedang satunya mengenakan jubah besar warna biru.
"Guru...!" Tiba-tiba kedua gadis itu berseru bersamaan begitu mengenali siapa adanya perempuan berjubah dan bercadar hitam. Kedua gadis ini segera menjura dalam-dalam.
Untuk beberapa saat Dewi Siluman perhatikan kedua gadis dl hadapannya dengan mata tak berkedip. Lalu buka mulut perdengarkan suara keras. "Wulandari. Ayu Laksmi! Mana Sitoresmi...?!"
Gadis berjubah kuning dan biru yang bukan lain Wulandari dan Ayu Laksmi adanya angkat kepala masing-masing. Lalu saling berpandangan dengan mulut sama terkancing!
"Kalian tidak tuli. Aku tanya, mana Sitoresmi?!"
"Maaf, Guru. Kami berpencar. Aku menuju arah utara. Ayu Laksmi ke arah barat. Sedang Sitoresmi menuju ke timur..."
"Bagaimana dengan tugas kalian...?!"
Untuk kedua kalinya Wulandari dan Ayu Laksmi saling pandang. Karena agak lama tak ada juga yang buka mulut untuk menjawab, Dewi Siluman membentak garang.
"Apakah perlu mulut kalian kupecahkan?!"
"Maaf, Guru..." Wulandari buka suara. "Kami belum berhasil mendapatkan apa yang kami buru. Sebenarnya kami hampir saja..."
"Diam! Aku tak butuh alasan!" potong Dewi Siiuman.
"Tapi, Guru..."
Lagi-lagi sebelum ucapan Wulandari habis, Dewi Siluman telah menukas. "Tutup mulutmu! Sekali lagi buka mulut, aku tak ada beban untuk tanggalkan nyawa kalian! Dengar?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tak ada yang berani buka suara. Mereka berdua hanya merunduk dengan sesekali melirik.
"Dengar! Cari Sitoresmi. Kuberi waktu sampai matahari terbenam!"
Karena untuk beberapa saat Wulandari dan Ayu Laksmi masih diam di tempatnya masing-masing, Dewi Siluman bantingkan kaki seraya menghardik.
"Sialan! Apalagi yang kalian tunggu, hah?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak kaget. Buru-buru keduanya menjura dalam. "Kami berangkat, Guru...," ucap Wulandari lalu berkelebat tinggalkan tempat itu seraya menarik tangan Ayu Laksmi.
Begitu kedua muridnya berlalu, Dewi Siiuman menarik napas panjang dan dalam. "Kalau dugaanku benar. Tak ada yang setimpal untuknya kecuali siksa seumur hidup di Istana Setan!"
Dewi Siluman mendongak ke langit. Tiba-tiba dia perdengarkan suitan panjang. Meski suitan biasa, karena dikerahkan dengan tenaga dalam, suaranya sempat memantul dan mengiang lama di seantero tempat itu.
Tak berselang lama, terdengar gemeretak roda kereta melaju cepat ke arah Dewi Siluman. Sesaat Dewi Siluman luruskan kepala dan putar diri, di depan sana terlihat sebuah kereta yang dikusir oleh seorang kakek berambut putih yang disanggul tinggi ke atas mengenakan jubah warna hitam.
Si kakek yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam jerengkan sepasang matanya sejenak, lalu berpaling ke belakang, di mana terdapat sebuah peti di bagian belakang keretanya. Mendadak si kakek sentakkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu terdengar suara berderit. Ternyata, tutup peti itu telah bergerak membuka.
Dewi Siluman gerakan bahunya, sekali kelebat, sosok perempuan berjubah dan bercadar hitam ini melesat dan lenyap masuk ke dalam peti. Kejap kemudian, kereta pembawa peti itu telah melaju cepat meninggalkan suara gemeretak yang menggema di seantero tempat itu...
BAB 1
LOLONGAN anjing menggema di kawasan sebuah lembah. Melengking tinggi seakan hendak mendaki angkasa raya, di mana sang rembulan terlihat menyembunyikan diri di balik arakan awan hitam yang bergerak perlahan. Namun mendadak arakan awan bergerak cepat. Kejap kemudian petir menyambar. Guntur menggelegar seolah hendak membongkar lintasan bumi yang mulai didera hujan dan kegelapan yang menakutkan.
Sebuah kereta tua tampak bergerak cepat menuju lembah. Anehnya, meski cuaca tiba-tiba memburuk dan kepekatan membungkus jalanan yang dilewati, namun kereta itu seakan tak mengalami keuletan, malah sang kuda penarik kereta itu tampak berlari makin kencang laksana dikejar setan!
Kusir kereta itu adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mukanya pucat dan tirus. Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang dalam. Rambutnya putih panjang disanggul ke atas. Kakek ini mengenakan jubah besar warna hitam. Sebelah tangannya tersembunyi di balik saku jubahnya sementara tangan satunya sesekali menyentak tali kekang kuda.
Di belakang tempat duduk si kakek terlihat sebuah peti persegi panjang dari kayu berwarna putih mengkilat yang panjangnya kira-kira satu setengah tombak dan lebarnya satu tombak. Pada satu tempat, si kakek tiba-tiba berdiri. Air terlihat mengucur dari jubah dan tubuhnya yang telah basah kuyup. Sepasang matanya yang besar dijerengkan menembusi kegelapan lembah. Mulutnya komat-kamit. Tangannya yang memegang tali kekang ditarik ke belakang. Bersamaan dengan itu terdengar empat kaki kuda menghentak tanah disusul dengan ringkihan keras.
"Dewi...!" si kakek berseru. "Kita telah sampai!" Terdengar suara berderit. Lalu perlahan-lahan tutup peti bergeser membuka. Di lain kejap, dua buah tangan terlihat menjulur keluar dari peti lalu...
"Wuttt!" Dari dalam peti melesat sesosok tubuh dan lenyap dalam kegelapan.
Si kakek berpaling ke belakang sejenak. Tiba-tiba dia membuat gerakan melesat ke udara, Jungkir balik dua kali sebelum akhirnya menjejak tanah dengan sepasang mata liar memandang ke seantero lembah.
"Buyut...! Apa yang kau tunggu?!" satu teguran keras membuat si kakek seakan tersadar.
Buru-buru dia berkelebat ke arah datangnya suara teguran. "Dewi..." kata si kakek begitu telah sampai di belakang sesosok tubuh yang kini tegak tiga langkah di depannya. Namun kakek yang dipanggil Buyut tak meneruskan ucapannya demi dilihatnya sosok di depannya angkat sebelah tangannya memberi isyarat agar si kakek diam.
"Hem... Ternyata mereka murid- murid yang tangguh. Tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan." Sosok di depan si kakek perdengarkan gumaman perlahan dengan sepasang mata menatap tak berkedip ke depan.
Lima belas langkah dari tempat mereka berdua, tampak duduk bersila tiga orang gadis berparas jelita. Seluruh pakaian dan tubuh mereka bertiga basah kuyup. Sepasang mata masing-masing gadis ini terpejam rapat. Mulut mereka juga terkancing. Namun sesekali tubuh mereka terlihat bergoyang-goyong keras. Melihat pada keadaannya jelas jika ketiga gadis ini sedang melakukan semadi.
Gadis paling kanan mengenakan jubah besar warna merah. Rambutnya lebat dan dikuncir agak tinggi. Pada sebelah atas bibirnya tampak sebuah tahi lalat. Sementara gadis yang tengah mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya panjang dibiarkan bergerai. Hidungnya mancung dengan kulit putih. Sepasang bulu matanya lentik. Sedang gadis paling kiri mengenakan jubah besar warna biru. Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya membentuk bagus dan merah tanpa polesan.
Tiba-tiba gadis berjubah kuning yang duduk paling tengah terlihat membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan ke kiri ke arah gadis berjubah merah. Perlahan sepasang matanya membuka dan untuk beberapa saat memandang ke arah gadis di sebelahnya. Mulutnya bergerak sedikit sepertinya hendak keluarkan ucapan. Namun ketika dilihatnya gadis berjubah merah dan biru di sebelahnya diam tak membuat gerakan apa-apa, gadis berjubah kuning ini urungkan niatnya.
Tapi kebimbangan jelas membayang di wajahnya. Ini terlihat tatkala meski dia kembali pejamkan sepasang matanya, namun sebentar kemudian matanya dibuka kembali bahkan seraya menarik napas panjang dan dalam. Untuk kedua kalinya gadis berjubah kuning palingkan kepalanya ke samping kiri. Demi dilihatnya kedua gadis di sebelahnya tetap diam, gadis berjubah kuning gelengkan kepalanya perlahan. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Heran... Apa mereka begitu tenggelam dalam kekhusyukan hingga tak merasa adanya orang lain di tempat ini?! Atau hanya telingaku saja yang menipu?!"
Gadis berjubah kuning tiba-tiba sentakkan kepalanya ke samping kanan, kedua tangannya yang merangkap di dada diturunkan. Sepasang matanya dibeliakkan dan memandang liar ke sana kemari. "Aku tak dapat ditipu! Aku baru saja mendengar suara roda kereta. Lalu suara ringkihan kuda. Lebih-lebih baru saja kudengar suara orang! Tapi mana bangsat jahanamnya?!"
Gadis berjubah kuning putar kepalanya. Lalu terhenti pada sosok gadis di sebelahnya yang tetap terpejam dengan tangan masing-masing merangkul di depan dada. "Mereka harus diberitahu sebelum ada sesuatu yang terjadi. Aku menangkap gelagat tidak baik..." batinnya lalu membuka mulut.
"Sitoresmi! Ayu Laksmi! Apa kalian mendengar sesuatu?!"
"Aku dengar apa yang kau dengar, Wulandari!" Yang menjawab adalah gadis berjubah merah yang dipanggil Sitoresmi seraya buka sepasang matanya. Kepalanya tengadah hingga wajahnya tercurah air hujan. "Orang yang berani datang kemari, siapa pun dia adanya pasti minta mampus! Kita segera berpencar! Jangan sampai orang itu lolos!"
"Tahan!" Mendadak gadis berjubah biru menahan seraya buka kelopak matanya. "Tempat dan pertemuan ini telah diatur tujuh purnama yang lalu. Hanya satu orang yang tahu tempat dan pertemuan ini. Aku khawatir, jangan-jangan orang tak diundang ini adalah..."
Belum selesai gadis berjubah biru yang dipanggil dengan Ayu Laksmi selesaikan ucapannya, Wulandari telah memotong. "Rimba persilatan sedang dilanda kemelut tak menentu. Dalam situasi demikian, apa pun dapat terjadi! Dan bukan tak mungkin tempat ini telah diendus orang lain! Munculnya manusia lain akan merusak suasana. Kita harus segera berbuat sesuatu!"
Meski ucapan Wulandari bernada perintah, namun baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak ada yang membuat gerakan, membuat Wulandari sedikit gemes. Tanpa pedulikan pada kedua gadis di sebelahnya gadis berjubah kuning yang terlihat sedikit tua dibanding dua gadis di sebeiahnya dan sepertinya menjadi pimpinan serentak bangkit berdiri. Sambil mendongak dia berucap lantang.
"Siapa pun kau adanya, kami tahu kau berada di sekitar tempat ini. Sebelum kesabaran kami pupus, keluarlah dari persembunyianmu."
Tak ada sahutan atau gerakan pertanda akan muncuinya seseorang. Wulandari makin geram. Pelipis kiri kanan gadis ini bergerak-gerak. Dagunya sedikit mengembang sementara dari hidungnya terdengar dengusan keras. "Hai!" untuk kedua kalinya Wulandari berteriak keras. "Waktu kami tidak banyak! Lekas tampakkan tampangmu atau kami akan mencari dan memutus selembar nyawamu!"
Belum juga ada tanda-tanda akan munculnya seseorang, membuat Wulandari yang sepertinya tak sabaran segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Sementara Sitoresmi dan Ayu Laksmi cepat pula ikut-ikutan berdiri.
"Kita harus hati-hati! Dengan tidak berani tampakkan wajah di hadapan kita, berarti jahanam itu punya maksud tidak baik! Dan dengan tidak bisa diketahui di mana beradanya bangsat itu, Jelas jika dia punya ilmu tinggi!" berkata Ayu Laksmi seraya putar kepalanya.
"Aneh. Bagaimana mungkin tempat ini bisa diketahui orang lain?! Apakah ada yang membocorkan pertemuan ini?!" Sitoresmi diam-diam membatin dalam hati.
"Hem... Cuaca yang buruk membuat keparat Jahanam itu sulit diduga di mana beradanya..." Gadis berjubah kuning bergumam, lalu palingkan kepala ke arah si jubah merah Sitoresmi. "Kau bergerak ke arah timur, aku ke barat. Sementara Ayu Laksmi ke arah selatan!" ucapnya seraya memberi isyarat dengan anggukkan kepala.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi saling pandang sejenak. Lalu sama-sama anggukkan kepala. Ketiga gadis berparas jelita ini segera berkelebat ke arah yang telah ditentukan. Namun belum sampai tubuh mereka bergerak berkelebat, dari arah kegelapan terdengar satu deruan luar biasa dahsyat. Di lain kejap tiga rangkum angin keluarkan suara bergemuruh laksana topan melabrak ke arah mereka!
Masing-masing gadis keluarkan suara seruan tegang tertahan. Di saat lain ketiganya segera sama berkelebat ke arah samping, lalu hantamkan kedua tangan masing-masing!
"Brakkk! Brakkk! Brakkk!"
Terdengar tiga kali suara gebrakan berturut-turut laksana derakan pohon tumbang. Angin bertenaga dalam tinggi yang mengarah pada ketiga gadis itu serta-merta ambyar berkeping. Sejenak lembah itu disinari cahaya benderang akibat bentroknya tiga pukulan. Namun belum sirap cahaya benderang dan gema gebrakan masih mengiang, dari arah depan ketiga gadis ini melesat tiga kabut putih keluarkan hawa panas menyengat menindih lenyap hawa dingin cuaca.
"Kabut Neraka!" seru Sitoresmi mengenali pukulan yang kini mengarah pada diri dan kedua gadis di sampingnya. Namun bersamaan dengan datangnya serangan itu, ketegangan yang tadi terlihat pada raut muka ketiga gadis ini serta-merta lenyap.
"Dugaanku benar. Untung dia yang datang..." gumam Ayu Laksmi seraya takupkan kedua tangannya di depan dada. Sementara Wulandari dan Sitoresmi undurkan langkah masing-masing satu tindak ke belakang. Kedua tangannya segera pula ditakupkan di depan dada. Kejap kemudian, ketiganya sama hantamkan tangan masing-masing ke depan.
Wuuutt! Wuutt! Wuuttt!
Dari masing-masing kedua tangan ketiga gadis itu melesat tiga kabut putih yang selain perdengarkan suara luar biasa dahsyat juga tebarkan hawa panas!
Blaarr! Blaarr! Blaarrr!
Lembah sunyi dan geiap itu laksana didera gempa. Tanah berlumpur muncrat ke udara. Semak belukar dan pohon tercerabut lalu membumbung ke angkasa membuat cuaca yang sebentar tadi terang mendadak gelap kembali!
Bersamaan dengan terdengarnya suara ledakan, tiga sosok tampak mencelat sampai dua tombak ke belakang dengan wajah pucat dan tubuh bergetar. Pada saat yang sama, dari arah kegelapan terdengar makian panjang pendek yang kemudian disusul dengan terdengarnya suara tawa mengekeh panjang. Namun tiba-tiba suara tawa itu terputus laksana dirobek iblis. Kejap lain dua sosok bayangan hitam berkelebat dari satu pohon besar dan tahu-tahu telah berdiri tegak empat belas langkah di hadapan ketiga gadis.
Laksana terbang, Wulandari, Sitoresmi dan Ayu Laksmi melompat ke depan lalu sama jatuhkan diri tiga langkah di hadapan dua sosok yang baru datang.
"Guru! Ki Buyut!" seru ketiga gadis berbarengan dengan suara sedikit bergetar. Kepala masing-masing orang ini menunduk.
Terdengar suara tawa pelan. Disusul dengan ucapan. "Aku gembira melihat perkembangan kalian yang maju pesat! Dan aku kagum pada ketabahan kalian. Bangkitlah, murid-muridku!"
Ketiga gadis itu menuruti ucapan orang di hadapannya. Sepasang mata masing-masing gadis menatap ke depan, ke arah dua orang yang tegak mengawasi dengan sorot mata tak berkesiap. Sebelah kanan adalah seorang kakek berjubah hitam besar dan panjang. Mukanya amat pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya melotot besar, sementara kedua tangannya masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Di samping kakek yang dipanggil Ki Buyut ini, tegak seorang perempuan mengenakan jubah yang juga berwarna hitam panjang sebatas lutut. Rambut pirang dan panjang dibiarkan bergerai menutupi sebagian bahu dan punggungnya. Pada kedua tangannya terlihat sarung tangan dari kulit berwarna hitam hingga tangan perempuan ini tak kelihatan kulitnya. Perempuan ini juga sukar ditebak umurnya, karena pada wajahnya tampak sebuah cadar hitam, hingga yang terlihat dari wajahnya hanyalah sepasang matanya yang tajam dari kedua lobang cadar.
"Guru..." kata Wulandari. "Maaf atas kelancangan muridmu yang telah berani bertindak kurang ajar terhadapmu!"
Perempuan berjubah dan bercadar hitam yang dipanggil guru kembali perdengarkan suara tawa perlahan. "Lupakan semua itu! Delapan tahun kalian kuberi kesempatan untuk melalang buana di arena rimba persilatan. Lalu tujuh purnama kalian bersemadi di tempat ini. Meski kurun waktu itu belum bisa dibuat jaminan kalian matang betul, namun setidaknya kalian telah mendapatkan pengalaman berharga. Lebih dari itu pasti kalian telah tahu apa yang kini sedang terjadi dalam kancah dunia persilatan..."
Sejenak perempuan berjubah dan bercadar hitam hentikan ucapannya. Setelah menarik napas panjang dan merapikan rambutnya dia melanjutkan. "Aku tanya pada kalian. Apa kalian dengar tentang munculnya beberapa tokoh yang menurut sebagian orang telah mengundurkan diri bahkan sebagian orang mengabarkan telah tewas?!"
"Benar, Guru. Pada beberapa tahun terakhir ini memang kami dengar banyak tokoh yang muncul Kembali. Malah kami sempat bertemu dengan sebagian dari mereka..." Yang angkat bicara Wulandari.
"Hem... Begitu? Mendung memang tak selamanya pertanda akan turunnya hujan. Namun kemunculan beberapa tokoh rimba persilatan pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Kalian tahu, untuk apa mereka muncui kembali?!"
"Itu tidak jelas. Namun akhir-akhir ini rimba persilatan diselimuti kegegeran tentang sebuah kitab. Bukan tidak mustahii, kemunculan mereka mungkin ada kaitannya dengan kitab itu!" Kembali Wulandari yang bicara. "Tapi kami telah menyelidik dan beberapa kali kami mendapat petunjuk tentang kitab itu. Namun pada akhirnya kami harus menelan rasa kecewa. Karena petunjuk yang kami dapatkan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal untuk mendapatkan petunjuk itu, kami harus tumpahkan darah siapa saja! Dari kenyataan itulah, kami akhirnya mengambil kesimpulan jika berita tentang kitab itu hanya kabar bohong!"
Perempuan berjubah dan bercadar hitam tertawa pendek. Lalu berpaling pada si kakek di sampingnya. "Sudah saatnya Dewi memberitahukan pada mereka. Kita sekarang dituntut untuk bergerak cepat. Terlambat sedikit, bukan hanya penyesalan yang akan kita peroleh, namun cita cita Dewi juga akan kandas di tengah jalan!" kata si kakek seraya mengarahkan sepasang matanya pada ketiga gadis di depannya.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam manggut-manggut. Kepalanya dipalingkan ke jurusan lain. "Aku maklum jika kalian berkesimpulan bahwa adanya kitab itu hanya kabar bohong, karena kalian mendapatkan petunjuk bukan dari orang yang benar-benar tahu akan kitab itu!"
"Maksud Guru...?!" tanya Sitoresmi.
"Dengar baik-baik. Kitab yang disebut orang dengan nama Kitab Serat Biru itu benar adanya dan bukan cerita kosong!"
Ketiga gadis di hadapan perempuan berjubah dan bercadar hitam terkejut dan saling pandang satu sama lain. Jelas wajah mereka membayangkan rasa tidak percaya pada ucapan gurunya, membuat sang guru tertawa panjang.
"Guru..." kata Ayu Laksmi. Namun ucapan gadis berjubah biru itu segera dipotong oleh sang guru.
"Tak ada guna kalian berdalih. Karena kalian mendapat keterangan dari orang yang tidak tahu, mana mungkin kalian tidak akan tersesat? Dengar baik-baik! Hari ini aku akan membuka sesuatu yang sejak dua puluh tahun silam selalu mengganjal pikiranku. Tapi kalian harus ingat. Jika salah seorang di antara kalian ada yang membocorkan hal ini, berarti kalian menggali lobang kubur sendiri! Kalian dengar itu?!"
Ketiga gadis itu sama anggukkan kepala. Lalu sama menatap pada perempuan berjubah dan bercadar hitam.
"Kitab Serat Biru tersimpan pada sebuah pulau yang disebut Pulau Biru."
"Guru. Harap katakan di mana Pulau Biru. Kami akan segera berangkat ke sana!" kata Wulandari seraya maju satu tindak.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam gelengkan kepala. Kembali ketiga gadis berparas cantik di hadapannya saling pandang. Kini raut mereka membayangkan rasa heran.
"Seandainya aku tahu di mana pulau itu, tak mungkin hal itu mengganjal dalam benakku selama dua puluh tahun! Lagi pula tiada gunanya aku menggembleng kaiian agar kelak dapat membantuku!"
"Lantas apa yang sekarang harus kami perbuat" tanya Wulandari.
"Ada waktu menanam benih, ada pula saat mengambil buah. Segala ilmu telah kuturunkan pada kalian. Kini kuminta kalian membantuku!"
"Budi jasa Guru tak impas ditukar dengan seisi dunia. Jangankan hanya membantu, kepala kami pun akan kami serahkan jika Guru minta!" ujar Ayu Laksmi.
"Bagus! Kuharap ucapan itu tidak hanya di mulut, karena tanpa ucapan itu pun aku tak segan memutus kepala kalian jika berbuat di luar perintahku!"
"Harap Guru segera beritahukan apa yang harus kami lakukan!" kata Sitoresmi dengan suara sedikit serak.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam selinapkan tangan kanannya ke balik jubah. Ketika tangan itu keluar kembali, terlihat lembaran kulit sepanjang satu setengah jengkal. Kulit itu berwarna coklat kusam dan telah lapuk di sana sini. Pada sisi samping tampak berkelok pertanda kulit itu dirobek secara paksa. Untuk beberapa saat baik perempuan berjubah dan bercadar hitam serta si kakek yang tegak di sampingnya pandangi kulit coklat itu dengan tak kesiap.
Sementara ketiga gadis di hadapan mereka berdua sama arahkan pandangannya pada kulit coklat dengan hati masing-masing orang disarati beberapa pertanyaan dan dugaan.
"Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab yang tiada tandingnya. Karena itulah untuk mendapatkannya bukan urusan yang gampang. Kalian lihat! Di kulit ini tertera peta yang nantinya berakhir pada Pulau Biru di mana tersimpan Kitab Serat Biru..."
Selesai berucap demikian, perempuan berambut pirang dan berjubah serta bercadar hitam gerakkan tangannya yang memegang kulit. Kulit warna coklat itu melesat ke depan. Di depan sana, si jubah kuning Wulandari segera angkat tangan kanannya. Dan...
"Settt!" Kulit coklat itu telah tersambar ketangannya.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera bergerak mendekat. Ketiganya kini menatap kulit coklat yang ada di tangan Wulandari. Wulandari kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba dari kedua tangannya sampai siku memancar sinar terang keputihan. Hingga mesti suasana di sekitar lembah masih dicekam kepekatan, tapi mereka bertiga dapat dengan jelas melihat apa yang tertera di atas kulit coklat lusuh itu.
Namun tiba-tiba secara serentak kepala masing-masing gadis ini disentakkan menghadap gurunya. Setelah saling pandang sejenak, Wulandari hendak buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, perempuan berjubah dan bercadar hitam telah angkat bicara.
"Tugas kalian mencari penggalan kulit itu! Dan itu dapat kalian mulai dari menelusuri peta yang ada di tangan kalian!"
"Dan ingat!" kali ini yang keluarkan ucapan adalah si kakek. "Kalian harus waspada. Mengingat kitab itu bukan sembarangan, maka tidak tertutup kemungkinan adanya orang-orang yang memalsu penggalan kulit itu. Kalian harus teliti benar! Sekali kulit palsu yang kalian dapat, kesesatan yang akan kalian peroleh!"
"Lebih dari itu, kalian harus hati-hati. Pemegang penggalan kulit itu pasti bukan orang yang bisa dipandang sebelah mata. Dan melihat kulit itu, aku mempunyai firasat pemegang penggalan kulit itu bukan hanya satu orang!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Ayu Laksmi.
"Seperti ucapan Ki Buyut Pagar Alam, kitab itu bukan kitab sembarangan. Tidak mustahil peta menuju Pulau Biru itu sengaja dipenggal menjadi beberapa bagian untuk menyesatkan dan membuat orang bingung!"
"Guru... Mendengar keteranganmu, apakah Guru telah yakin bahwa penggalan ini asli?" tanya Sitoresmi.
"Lima tahun aku melatih diri untuk dapat mengalahkan dan merebut penggalan kulit itu dari tangan pemegangnya! Dia adalah seorang tokoh tua yang hanya beberapa orang saja yang mengenalnya. Mendiang guruku yang memberi petunjuk padaku. Dan ucapan guruku tak mungkin dusta! Jadi penggalan kulit itu asli adanya!"
"Apakah dari tokoh itu kulit ini telah demikian adanya?!" Yang ajukan tanya Wulandari.
"Benar. Dari itulah aku mempunyai firasat jika penggalan kulit itu bukan hanya pada satu orang!"
"Hem... Bagaimana mungkin petunjuk sebuah kitab sakti bisa dipenggal menjadi beberapa bagian? Apakah orang-orang itu tidak menginginkan kitab itu?!"
Perempuan berjubah dan bercadar hitam tertawa panjang mendengar ucapan Wulandari yang bernada seolah tak percaya. "Kalian hanya perlu dengar dan berpikir tanpa harus mengerti bagaimana dan mengapa kulit peta itu sampai dibagi menjadi beberapa penggalan! Kalian tak akan menemukan jawaban pasti! Masih ada yang hendak kalian tanyakan?!"
"Guru. Setiap kali Guru ucapkan perintah pada kami pasti dengan waktu yang Guru tentukan. Apakah tugas memburu Kitab Serat Biru itu juga Guru beri batasan waktu?" tanya si jubah biru Ayu Laksmi.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam menghela napas panjang. Seraya menatap satu persatu pada ketiga muridnya dia berujar. "Tugas kalian kali ini adalah sangat berat. Kalian pasti akan menghadapi beberapa tokoh yang selain belum kalian kenal juga berilmu sangat tinggi. Untuk kali ini kalian tak kuberi batasan waktu. Hanya jika kalian berhasil mendapatkan peta itu dengan sempurna, kalian kutunggu di istana Setan!"
Setelah berkata demikian, perempuan berjubah dan bercadar hitam dongakkan kepala. Air hujan terus mendera, namun anehnya baik rambut maupun pakaian yang dikenakan perempuan ini tidak basah sama sekali.
"Cuaca tampaknya makin menggila. Kalau memang semuanya sudah jelas aku akan segera tinggalkan tempat ini..."
Ketiga gadis berparas cantik dihadapan perempuan berambut pirang saiing pandang lalu anggukkan kepala.
"Keterangan Guru kami kira sudah cukup. Dan kami pun akan segera berangkat!" kata Wulandari.
Belum habis ucapan Wulandari, perempuan berjubah bercadar hitam palingkan kepala ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Kejap kemudian tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ketiga gadis di hadapan perempuan berjubah hitam tidak lagi menangkap sosok orang di hadapan mereka! Mereka hanya mendengar suara ringkihan kuda ditingkah dengan gemeletak roda kereta yang sayup-sayup makin perlahan sebelum akhirnya lenyap!
Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi sama keluarkan gumaman tak jelas. Di lain saat, Wulandari berpaling pada kedua gadis di sampingnya seraya anggukkan kepala. Kejap kemudian, ketiga gadis ini berkelebat tinggalkan lembah tanpa keluarkan sepatah kata!
********************
BAB 2
DI satu kawasan hutan kecil terlihat seorang pemuda keluar dari gerumbulan jajaran pohon tua dan melangkah perlahan menuju sebuah dataran berbatu yang menghampar luas di hadapannya. Seraya melangkah, terdengar gumaman senandung nyanyian dari mulutnya.
Sesekali kepalanya dipalingkan ke sana kemari dengan sepasang matanya yang tajam memperhatikan kawasan yang dilewati. Namun meski pemuda ini melangkah sendirian, tak jarang dia tampak senyum-senyum sendiri seraya berjingkat-jingkat. Ternyata si pemuda memainkan jari kelingkingnya ke dalam lobang telinganya.
Pada satu tempat, si pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih, berambut panjang sedikit acak-acakan yang dibalut dengan ikat kepala warna putih Ini hentikan langkahnya. Tangan kanannya diangkat dan ditadangkan di depan kening untuk menangkis silaunya matahari. Sepasang matanya menyapu seantero dataran berbatu.
"Kitab Serat Biru... Hem... aku sama sekali masih buta dengan seluk-beluk kitab itu. Ke mana aku harus mencari? Manusia Dewa maupun Eyang guru tidak berikan petunjuk secuil pun tentang keberadaan kitab itu. Ke mana aku harus bertanya? Pulau Biru... Hanya itu satu-satunya keterangan! Ah, mungkin aku harus menjalankan tugas ini dengan meraba-raba. Menilik dari namanya, jelas jika tempat itu berada pada kawasan laut. Tapi laut mana? Laut Utara atau kawasan Laut Selatan?"
Si pemuda menarik napas dalam-dalam. "Peduli setan. Yang penting aku harus menuju kawasan laut..." akhirnya si pemuda memutuskan. Lalu meneruskan Iangkah.
Namun gerak kakinya tertahan tatkala tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengekeh panjang. Paras muka si pemuda tampak berubah tegang. Suara tawa yang terdengar bukan suara tawa biasa. Karena si pemuda merasakan kedua kakinya yang menginjak tanah bergetar hebat pertanda siapa pun adanya orang yang perdengarkan tawa memilikl ilmu kepandaian tinggi serta tenaga dalam yang luar biasa dahsyat!
Menangkap gelagat akan adanya bahaya, si pemuda segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, kejap kemudian kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tawa. Namun si pemuda jadi terkesiap sendiri. Bersamaan dengan berpalingnya kepala, suara tawa itu tiba-tiba terputus laksana direnggut setan. Lebih dari itu, si pemuda tak menangkap seorang pun meski sepasang matanya dijerengkan mengawasi berkeliling!
"Apakah telingaku yang salah dengar?!" gumam si pemuda. Untuk beberapa saat dia menunggu. "Heran. Suara tawa itu demikian keras, tanpa manusianya tak berada jauh dari sekitar tempat ini. Tapi..."
Si pemuda tak teruskan kata hatinya karena saat itu juga kembali terdengar suara tawa mengekeh panjang keras membahana! Si pemuda cepat putar tubuh. Sepasang matanya mendelik besar tak kesiap memandang ke depan. Di atas satu gundukan batu tujuh tombak dari tempatnya berdiri si pemuda melihat seorang nenek duduk mencangklong dengan kedua tangan merangkap di depan sepasang kakinya.
Perempuan tua ini mengenakan jubah besar warna merah menyala. Parasnya pucat. Kelopak sepasang matanya besar, tapi sepasang bola mata di dalamnya amat sipit. Rambutnya putih sebatas tengkuk. Mulutnya terus menerus bergerak-gerak memainkan gumpalan tembakau berwarna hitam. Anehnya, meski suara tawa masih terus membahana, si nenek justru enak-enakan memainkan gumpalan tembakau di mulutnya!
Mungkin karena baru kali ini menemui keanehan pada orang, si pemuda sempat berulangkali kerjapkan sepasang matanya untuk meyakinkan bahwa apa yang di hadapannya benar-benar bukan tipuan matanya.
"Edan! Manusia tua ini betul-betul luar biasa... Siapa nenek ini?"
Belum sampai si pemuda mendapat jawab dari pertanyaannya sendiri, nenek di depan sana goyangkan bahunya. Tiba-tiba sosoknya melesat. Kejap lain tahu-tahu telah berdiri tegak lima langkah di hadapan si pemuda dengan kedua tangan berkacak pinggang!
"Lekas katakan siapa nama dan apa gelarmu!"
Mendadak si nenek keluarkan bentakan garang, membuat si pemuda tersentak kaget. Bukan karena kerasnya suara bentakan, tapi karena bentakan itu demikian keras padahal si nenek hanya sedikit buka mulutnya dan masih mainkan gumpalan tembakau di mulutnya!
"Nek..."
"Setan! Aku bukan nenekmu!" potong si nenek sebelum habis ucapan si pemuda. "Jawab cepat tanyaku atau kupuntir tanggal lehermu!"
"Gila! Orang tua ini bukan hanya aneh, tapi juga galak... Hemm... Aku tahu bagaimana menghadapi orang tua macam ini!" Si pemuda membatin, lalu arahkan pandangannya pada jurusan lain. Mulutnya sunggingkan senyum. Lalu berujar. "Kau telah tahu namaku, harap kau tidak lagi bercanda!"
Si nenek komat-kamitkan mulut hingga gumpalan tembakau hitam di dalamnya terlihat keluar masuk. Sepasang matanya yang sipit membeliak. "Kuingatkan, Anak Muda! Sebutkan apa yang kutanya atau..."
Kali ini ganti si pemuda yang memotong ucapan si nenek sebelum kata-katanya selesai. "Nek. Kau tadi telah menyebutku Setan. Memang itulah namaku! Kau sendiri siapa, Nek?!"
"Hem... Namamu Setan. Siapa gelarmu?!" si nenek balik ajukan tanya.
"Ah, sebenarnya aku malu mengatakan padamu. Tapi untukmu tak apalah. Asal Nenek jangan mengejeknya... karena..."
"Setan! Jangan bertele-tele!" putus si nenek seraya hembuskan napas panjang.
Si pemuda terkesiap dan buru-buru geser tubuhnya sedikit ke samping karena bersamaan dengan itu satu gelombang angin keras melesat ke arahnya dengan keluarkan hawa busuk luar biasa! Anehnya, kejap kemudian bersamaan dengan lewatnya hawa busuk, menebar aroma harum!
"Orang-orang menggelariku Setan Jelek! Sekarang harap Nenek sudi sebutkan diri..." kata si pemuda dengan mata tak berkedip memperhatikan dari bawah sampai atas.
Si nenek dongakkan kepala. Sepasang matanya dipejamkan rapat, "Kasihan kau Setan Jelek! Karena nasibmu sama dengan gelar yang kau sandang!"
"Apa maksudmu, Nek?!"
"Nasibmu jelek. Karena harus tewas di tanah tak bertuan! Hik hik hik...! Kau harus terima takdirmu!"
Habis berkata begitu, si nenek goyang-goyangkan kepalanya. Tiba-tiba sepasang tangannya bergerak mendorong ke depan. Gerakan itu pelan saja. Namun pada saat bersamaan si pemuda yang tegak di hadapannya merasakan hantaman angin yang luar biasa dahsyat! Hingga jika saja si pemuda tak segera menghindar selamatkan diri dengan berkelebat ke samping, niscaya tubuhnya akan terpelanting dan terbanting jatuh. Karena hembusan angin itu secara mendadak berputar-putar membentuk pusaran! Hebatnya, pusaran angin itu kini bergerak ke arah mana si pemuda menghindar!
"Nek! Kenapa kau menyerangku?!" teriak si pemuda. Namun jawaban yang terdengar adalah kekehan tawa membahana, membuat pemuda itu mulai agak geram. Si pemuda palingkan kepala. Mulutnya membuka hendak bicara, namun suaranya terhenti di tenggorokan tatkala saat itu juga pusaran angin telah menggebrak ke arahnya!
"Busyet!" maki si pemuda seraya hantamkan kedua tangannya ke depan.
"Wuuttt! Wuuuttt!" Dua rangkum angin keluarkan suara keras memekak telinga keluar dari telapak tangan si pemuda.
"Busss!" Pusaran angin ambyar lalu membumbung ke udara dan lenyap.
"Hem... Orang tua macam ini tak perlu diladeni. Bukan saja membuang waktu dan tenaga tapi juga tak ada gunanya!" Berpikir sampai di situ, si pemuda putar tubuh lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Namun langkah si pemuda terhenti, ketika dia merasakan sebuah kekuatan dahsyat membetot tubuhnya dari belakang.
"Gila! Nenek ini tidak bercanda dengan ancamannya! Dia benar-benar inginkan nyawaku! Meski aku tak tahu pasti apa maksud sebenarnya, namun hal ini tak boleh dibiarkan..."
Si pemuda segera kerahkan tenaga dalam. Secepat kilat kedua tangannya dihantamkan seraya balikkan tubuh. Tapi baru saja kedua tangannya bergerak, dia merasakan tubuhnya terangkat ke udara. Si pemuda teruskan hantamannya ke bawah.
Wuuttt! Wuuuttt!
Si pemuda terbelalak. Ternyata dia hanya menghantam udara kosong. Belum habis rasa kejutnya, satu kekuatan balikkan kembali tubuhnya hingga membelakangi si nenek. Pada saat bersamaan tiba-tiba tubuhnya seakan dibetot dari bawah. Dan...
"Bukkk!" Sosok si pemuda jatuh terbanting di atas tanah berbatu. Megap-megap, si pemuda segera bangkit. Raut wajahnya berubah merah padam. Pelipisnya bergerak dengan dagu mengembung pertanda hawa amarah telah melanda dadanya.
"Orang tua! Kau memaksaku bertindak kasar. Jangan menyesal dengan apa yang akan terjadi!" teriak si pemuda lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Mendadak saja kedua tangan si pemuda berubah warna menjadi kekuningan.
"Lembur Kuning!" seru si nenek tahu pukulan apa yang hendak dilancarkan si pemuda, membuat sang pemuda terkesiap kaget mendengar orang tua dihadapannya telah tahu pukulan yang hendak dilancarkan, padahal pukulan itu sendiri belum dilepaskan.
"Jangkrik! Siapa sebenarnya nenek ini? Dia tahu pukulan 'Lembur Kuning' yang hendak kulepaskan..." batin si pemuda seraya pandangi kedua tangannya yang telah berubah warna kekuningan. Inilah pertanda bahwa si pemuda memang benar hendak lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Pukulan milik seorang tokoh aneh yang dikenal dengan Pendeta Sinting yang kemudian diwariskan pada muridnya yakni Joko Sableng alis Pendekar Pedang Tumpul 131.
"Setan jelek! Pasti kau masih kambratnya orang tua sinting itu! Hik hik hik...! Kebetulan sekali. Aku ingin lihat apakah pukulan 'Lembur Kuning' tidak ketinggalan zaman dan masih cocok di alam gila sekarang ini!"
"Sombong betul Orang tua ini. Aku pun ingin tahu, apakah ucapannya tidak laksana tong kosong!"
Si pemuda yang bukan lain Joko Sableng segera hantamkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga saat itu juga suasana berubah jadi semburat warna kuning. Pada saat yang sama sinar kuning mencorong melesat membawa hawa panas dan suara laksana gelombang dahsyat.
Di depan sana, si nenek kancingkan mulutnya rapat-rapat. Namun di lain kejap terdengar suara tawanya yang membahana panjang. Bersamaan dengan itu, si nenek terlihat angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke bawah. Tiada suara yang terdengar. Namun pukulan 'Lembur Kuning' tiba-tiba tertahan sejenak di udara. Lalu laksana dihantam kekuatan luar biasa garang, pukulan itu menukik deras ke bawah!
"Bummm!" Tanah berbatu tampak muncrat setinggi lima tombak ke udara. Tanah dan pasir pecahan batu menutupi pemandangan untuk beberapa saat.
Samar-samar di sebelah depan, sosok Pendekar 131 tampak bergetar hebat. Kejap lain tubuhnya mencelat sampai dua tombak ke belakang. Murid Pendeta Sinting ini berusaha kuasai tubuhnya yang terhuyung hendak terjerembab. Namun kedua kakinya goyah hingga tak lama kemudian dia jatuh terduduk dengan tubuh bergetar dan dada naik turun megap-megap!
Di pihak lain, si nenek tampak mundur tiga langkah ke belakang. Sosoknya terlihat bergoyang-goyang. Namun sebentar kemudian telah diam malah dengan kacak pinggang dia perdengarkan tawa mengekeh panjang! Begitu tanah dan pasir sirap dari udara, empat tombak di depan Joko Sableng tampak lobang menganga besar sedalam satu tombak!
Pendekar Pedang Tumpul 131 bergerak bangkit. Wajahnya makin merah padam. Sepasang matanya membeliak besar. Murid Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak ini sadar jika orang tua di hadapannya benar-benar bukan orang yang bisa dianggap remeh. Pukulan 'Lembur Kuning' begitu mudah ditahan meski biasnya masih tetap membuat si nenek tersurut langkah.
"Aku penasaran. Kalau kulipat gandakan tenaga dalamku, masakan tidak roboh!" gumam Joko sambil kerahkan tenaga dalam. Kali ini dia lipat gandakan tenaga dalamnya hingga pancaran sinar kuning dari kedua tangannya makin bersinar.
Melihat hal demikian, si nenek kerjapkan sepasang matanya. Kepalanya digoyang-goyang. Tiba-tiba...
"Wuttt!" Tubuhnya melesat ke depan. Joko Sableng tak tinggal diam. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Tapi darah murid Pendeta Sinting laksana sirap. Pukulan kedua tangannya hanya menggebrak udara kosong. Lebih dari itu dia merasakan angin bersiur di atas kepalanya lalu...
"Bukkk!" Sebuah tendangan keras mendarat di punggung Pendekar Pedang Tumpul 131. Pemuda itu berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke depan. Begitu tubuhnya setengah membungkuk hendak tersuruk ke atas tanah berbatu, dua pasang kaki menjepit lehernya. Hingga sosok Joko tertahan.
Sambil berteriak keras, Joko Sableng hantamkan tangan kiri kanan ke arah sepasang kaki di atas pundaknya. Namun gerakannya terlambat. Sepasang kaki yang ternyata milik si nenek itu telah bergerak menyentak ke belakang.
"Bukkk!" Untuk kedua ksiinya murid Pendeta Sinting jatuh punggung di atas tanah. Untuk beberapa saat dia hanya diam terkapar dengan punggung serasa Jebol. Pada saat itulah satu sambaran angin menggebrak dari arah samping kanan mengarah pada kepalanya. Meski seluruh tubuhnya terasa sakit bukan main, namun Pendekar Pedang Tumpul 131 segera palingkan wajahnya untuk selamatkan diri. Namun dia tertipu, karena bersamaan dengan itu dari arah samping kiri satu sambaran angin meiesat. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar.
"Plaaakkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi Pendekar 131. Meski hanya satu tamparan, namun karena dialiri tenaga dalam tinggi, membuat kepala murid Pendeta Sinting laksana pecah. Sepasang mata pemuda ini berkunang-kunang. Kejap kemudian segala sesuatunya menjadi gelap. Lalu kepala Joko terkulai dengan tubuh tergolek pingsan.
Satu langkah di sebelah samping kanan Joko, nenek berjubah merah menyala usap-usap kedua tangannya. Kepalanya mendadak disentakkan ke samping kiri. Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat keluar dari balik pohon!
BAB 3
ADA satu keanehan dengan sosok yang berkelebat muncul dari balik pohon ini. Seraya berkelebat melayang, sosok ini terlihat duduk bersila dengan kedua tangan menakup di bawah dagu. Tiga langkah di hadapan si nenek, sosok yang melayang dengan duduk bersila turun mendarat di atas tanah. Sepasang matanya yang terpejam bergerak membuka. Memandang sejenak pada si nenek lalu memperhatikan pada sosok Joko yang masih terkapar pingsan.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mengenakan jubah warna kuning tanpa leher. Rambutnya putih panjang dikelabang dan dikalungkan pada lehernya. Kedua alis matanya saling bertautan. Bibir selalu berkemik perdengarkan gumaman tak jelas.
"Manusia Dewa! Betul dia orangnya?!" Si nenek ajukan tanya seraya arahkan pandangannya pada sosok Joko Sableng.
Laki-laki berusia lanjut yang duduk bersila dan bukan lain memang Manusia Dewa adanya, seorang tokoh tua dari golongan Budha yang terjun dalam kancah rimba persilatan dan pernah menggegerkan rimba persilatan karena perannya ikut serta membasmi kejahatan, anggukkan kepala.
Meski si nenek telah mendapat jawaban dengan anggukkan kepala, namun wajahnya tetap membayangkan kebimbangan. Ini jelas terlihat dari cara memandangnya pada sosok Joko yang tak berkesip sama sekali.
"Ratu Malam..." kata Manusia Dewa seakan bisa menangkap arti pandangan si nenek yang dipanggil dengan Ratu Malam. "Tak ada guna menyimpan segala tanya dalam hati. Keraguan tak akan menyelesaikan segalanya. Urusan ini sudah sangat mendesak. Silakan buktikan agar semua keraguan dan tanya di hatimu bisa terjawab..."
Ratu Malam jongkok di sebelah Joko. Tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang Joko di mana tersimpan Pedang Tumpul 131. Begitu tangannya dapat merasakan sembulan senjata, tangan itu segera berputar ke depan dan menyelinap ke balik pakaian Joko. Sekali sentak, tangan Ratu Malam telah keluar lagi. Di tangannya kini tampak sebuah pedang yang terbungkus dalam sarungnya yang berwarna kuning.
Untuk beberapa saat lamanya sepasang mata Ratu Malam memperhatikan pedang di tangannya dengan mata tak berkedip. Mulutnya komat-kamit permainkan gumpalan tembakau hitam. Kepalanya bergerak manggut-manggut. Setelah puas pandangi pedang, kembali Ratu Malam selinapkan pedang itu ke balik pakaian Joko. Lalu bangkit dan melangkah ke arah Manusia Dewa.
"Bagaimana sekarang? Apa kita tunggu sampai dia siuman?!" tanya Ratu Malam.
Manusia Dewa gelengkan kepala. "Waktu kita terbatas. Masih ada yang harus kita kerjakan. Tinggalkan pesan padanya! Hal ini untuk melatih dia menghadapi perjalanan berat yang bakal dihadapinya!"
Ratu Malam keluarkan selembar kain putih dari saku jubahnya. Jari telunjuk tangan kanannya diangkat. Gumpalan tembakau hitam dlkeluarkan dari dalam mulutnya. Jari telunjuk disentuhkan pada gumpalan tembakau, lalu ditulis pada kaln putih. Tak berselang lama, Ratu Malam lemparkan kain putih ke arah sosok Joko.
"Kita tinggalkan tempat Ini..." katanya seraya mengangguk ke arah Manusia Dewa. Tanpa menunggu jawaban, nenek berjubah merah menyala ini gerakkan tubuh. Dan sekali bergerak tubuhnya melesat lenyap ke arah kawasan hutan.
Manusia Dewa sejenak memperhatikan pada Joko, lalu putar tubuh. Dengan tetap bersila dan kedua tangan menakup ke bawah dagu, orang tua ini pun berkelebat tinggalkan tempat itu.
Matahari telah hampir turun ke kaki langit barat saat Pendekar 131 sadar dari pingsannya. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini diam tak bergerak. Dia coba mengingat apa yang baru dialaminya. Dan ketika menyadari apa yang baru saja terjadi, mungkin karena khawatir bahaya masih mengancam dirinya, secepat kilat dia bangkit. Sepasang matanya menebar berkeliling dengan kepala diputar.
"Nenek galak berilmu tinggi itu, minggat ke mana dia? Hem, Nyatanya dia tak menginginkan nyawaku. Tapi apa maksud sebenarnya hingga dia membuatku jatuh bangun demikian rupa? Orang tua berilmu sangat tinggi, siapa dia sebenarnya? Ah... Lebih baik aku segera tinggalkan tempat ini. Aku harus segera mencapal kawasan laut..."
Joko segera melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Saat itulah sepasang matanya melihat selembar kain putih tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan sekali sambar, kain putih telah berada di tangannya.
"Tak ada orang lain di sini tadi selain aku dan nenek itu. Pasti kain putih ini milik orang tua itu..." Joko segera meneliti carikan kain putih. Ternyata di kain putih itu ada tulisan.
Pergi ke arah selatan. Beberapa burung merpati kepakkan sayap, Kunci akan segera diberikan. Tugas sudah di depan mata.
Beberapa lama Joko berpikir. "Apa maksud tulisan ini? Pasti orang tua Itu yang menulis. Hem... Kalau dia tak membunuhku, lalu tinggalkan pesan, berarti orang tua itu punya tujuan tertentu padaku. Tulisan ini mengarah ke sana. Tak ada salahnya kuturuti pesan tulisan ini. Lagi pula aku masih penasaran. Dia mengenali pukulanku, berarti dia kenal dengan Eyang guru. Urusan ini bisa baik dan tak mustahil akan membawa petaka. Tapi aku perlu orang tempat bertanya..."
Berpikir sampai di situ, dengan kerahkan peringan tubuh, Joko segera berkelebat ke arah selatan.
********************
Hingga matahari kembali muncul dari timur, murid Pendeta Sinting terus berkelebat. Namun mendadak dia hentikan larinya. Dari mulutnya terdengar gumaman gerutu berkepanjangan.
"Sial! Di mana dapat kutemukan beberapa burung merpati seperti pesan tulisan itu? Apakah tulisan itu hanya canda si nenek? Hem... Bodohnya aku. Kenapa kuturuti pesan orang yang belum kukenal, padahal aku punya tugas..." kata Joko seraya usap keringat yang membasahi leher dan wajahnya.
"Sebelum aku jauh tersesat, aku harus cepat tinggalkan..." Belum habis gumaman Joko, semak belukar delapan tombak dari tempatnya berdiri bergerak-gerak. Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Sepasang matanya dibelalakkan. Takut sesuatu terjadi, dia cepat pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Namun Joko segera menarik napas panjang tatkala dari gerumbulan semak belukar itu menyeruak beberapa burung merpati. Mungkin terkejut dengan kedatangan orang, serentak beberapa burung merpati itu melesat terbang ke udara.
"Hem... Berarti tempat ini yang dimaksud tulisan pesan itu. Tapi mana batang hidung nenek itu?!" tanya Joko seraya memandang berkeliling.
Saat itulah tiba-tiba terdengar derap langkah ladam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya. Disusul dengan suara bentakan-bentakan keras agar kuda tunggangan itu berlari leblh kencang.
"Jelas jika penunggang kuda ini ada beberapa orang. Siapa pula mereka? Apakah ini telah diatur oleh orang tua itu? Atau..." Joko putuskan kata hatinya, karena langkah-langkah kuda makin dekat.
"Aku harus tahu dahulu siapa mereka..."
Joko segera berkelebat ke samping dan menyelinap ke balik sebatang pohon. Sepasang matanya dipentangkan. Tapi murid Pendeta Sinting ini jadi tersirap. Hentakan kaki ladam kuda tiba-tiba lenyap! Pendekar 131 sejenak menunggu dengan telinga dan mata ditajamkan. Tapi setelah lama ditunggu tak ada juga muncuinya seseorang, akhirnya dia memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun langkahnya tertahan tatkala tiba-tiba dari arah samping terdengar deru keras. Di lain kejap tiga rangkum angin dahsyat melabrak ke arahnya! Sambil berseru tertahan, Joko berkelebat selamatkan diri. Bersamaan dengan itu terdengar suara berderak keras. Kejap kemudian batang pohon di mana tadi Joko bersembunyi tumbang dengan batang berkeping-keping! Lalu terlihat tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak berjajar tujuh langkah di hadapan Joko Sableng!
Orang sebelah tengah adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya ikal panjang bergerai. Kulitnya putih dengan hidung mancung serta buiu mata lentik. Orang sebelah kanan juga adalah seorang gadis muda berwajah jelita. Mengenakan jubah warna merah. Rambutnya yang panjang dikuncir agak tinggi. Gadis ini mempunyai tahi lalat pada sebelah atas bibirnya. Sedangkan orang yang tegak paling kiri ternyata juga seorang gadis muda cantik mengenakan jubah warna biru. Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya merah tanpa polesan dan membentuk bagus.
"Hem... Gadis-gadis cantik... Siapa pula mereka?" sepasang mata Joko mengawasi satu persatu ketiga gadis di hadapannya dengan bibir sunggingkan senyum.
Sementara tiga gadis di hadapannya yang bukan lain adalah Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi saling berpandangan sejenak.
"Jelas peta itu mengarah menuju tempat Ini. Tapi aku ragu, apakah manusia itu yang memegang penggalan peta itu?" bisik Wulandari.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak ada yang menyahut ucapan Wulandari. Namun wajah keduanya jelas membayangkan perasaan seperti yang diucapkan Wulandari.
"Mendengar keterangan Guru, dapat dipastikan bukan dia orangnya yang memegang penggalan peta itu. Tapi mengapa dia berada di sini? Apakah dia juga memiliki tujuan yang sama? Atau dia hanya manusia yang tersesat?!"
Diam-diam Sitoresmi membatin sendiri dalam hatl. "Hem... Pemuda ini membekal llmu yang tidak boleh dipandang sepele. Siapa dia sebenarnya?"
Seperti halnya Sitoresmi, diam-diam pula Ayu Laksmi berkata dalam hati. "Pemuda tampan. Apakah satu kebetulan dia berada di tempat Ini? Ataukah dia memang sengaja datang ke tempat ini? Melihat usianya, dapat kupastikan jika bukan dia yang memegang penggalan peta itu. Namun..." Belum sampai Ayu Laksmi teruskan kata hatinya, tiba-tiba terdengar bentakan dari arah sampingnya.
"Pemuda tak dikenal! Cepat katakan siapa kau! Ada urusan apa berada di tempat ini?!" Ternyata yang keluarkan bentakan adakan Wulandari.
Orang yang dibentak bukannya cepat menjawab. Sebaliknya celingukan dengan memandang satu persatu pada ketiga gadis di depannya. Kejap kemudian la cengengesan sendiri seraya mainkan Jari kelingkingnya pada lobang telinganya.
Si jubah kuning Wulandari yang tak sabaran kembali keluarkan bentakan garang. Namun lagi-lagi Joko tidak menjawab, membuat kesabaran gadis cantik berjubah kuning itu putus. Seraya keluarkan seruan keras, Wulandari melompat ke depan. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi siap untuk lepaskan satu tendangan. Tapi gerakan kaki si gadis tertahan di tengah jalan tatkala tiba-tiba Joko Sableng angkat kedua tangannya dan didorong perlahan ke depan, membuat Wulandari bukan saja gagal kirimkan tendangan, namun kakinya tersentak pulang ke belakang!
Kertakkan rahang, Wulandari pentangkan sepasang matanya ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131. Rahangnya mengembung dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak. "Jahanam! Siapa sebenarnya pemuda ini? Dia benar-benar menganggap enteng padaku!" umpat Wulandari. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Gadis cantik! Harap bersabar barang sedikit. Kita tak ada silang sengketa..." ujar Joko. "Persoalan tak akan tuntas dengan jalan kekerasan!"
"Hem... Begitu? Jika kau tak ingin kekerasan, Jawab tanyaku tadi!"
"Jika itu pintamu, baik. Aku Joko Sableng, Boleh tahu siapa kalian adanya?"
"Dengar! Kami bertiga adalah Pemburu Dari Neraka! Aku tanya padamu. Kau kemari tidak secara kebetulan bukan?!"
"Pemburu Dari Neraka? Hem... Gelar angker. Melihat nada bicaranya mereka bukan deri kalangan orang baik-baik. Dan jelas tujuannya pasti kemari. Ada sangkut paut apa antara mereka dengan nenek tua itu?"
"Hai!" teriak Wulandari ketika dilihatnya Joko tidak segera menjawab. "Kau tidak tuli. Harap jawab pertanyaanku!"
"Ah. Kau salah. Justru aku kebetulan sampai berada di tempat ini. Kalau ini memang daerah kawasan kalian, aku mohon maaf..." Selesai berkata, Joko bungkukkan tubuh tiga kali berturut-turut seraya menghadap pada satu persatu gadis di hadapannya yang kini menggelari diri mereka dengan Pemburu Dari Neraka.
Wulandari menyeringai. Sementara si jubah merah Sitoresmi senyum tertahan. Di sampingnya si jubah biru Ayu Laksmi terlihat arahkan pandangan pada jurusan lain dengan ekor mata melirik tajam.
"Dengar baik-baik. Jika masih sayang pada selembar nyawamu, lekas angkat kaki dari hadapan kami!" kata Wulandari dengan suara masih garang.
"Aku jelas masih sayang pada satu-satunya nyawaku. Tapi aku tidak bisa tinggalkan tempat ini. Aku penat sekali. Aku Ingin istirahat...j" Enak saja Joko segera putar tubuh lalu melangkah ke arah sebuah pohon. Dengan tanpa memandang pada ketiga gadis di depan sana, Joko sandarkan punggung lalu pejamkan sepasang matanya.
"Aku curiga manusia satu itu punya tujuan sama dengan kita!" bisik Wulandari. "Dia harus kita singkirkan"
"Tak ada gunanya kita buang tenaga meladeni manusia yang belum jelas tujuannya. Lebih baik kita segera mencari orang yang ada sangkut pautnya dengan penggalan peta itu!" kata Sitoresmi seraya arahkan pandangannya pada Joko.
Wulandari perdengarkan dengusan pelan. Kepalanya disentakkan berpaling pada Sitoresmi. "Adanya manusia tak diundang di tempat ini akan membuat urusan tidak seperti yang kita rencanakan. Malah tidak tertutup dia akan merusak suasana!"
"Tapi dia sudah bilang jika hanya kebetulan berada di tempat ini. Untuk apa kita bersusah-susah pedulikannya? Lihat! Dia pun tak pedulikan kita dan sudah tertidur pulas!" kata Sitoresmi dengan arahkan telunjuk tangannya pada Joko.
"Tinggi langit bisa dilihat. Dalamnya lautan dapat diselami. Tapi hati manusia siapa yang tahu. Kebetulan atau tidak, kita tak boleh ambil resiko. Urusan dan tugas kita amat rahasia dan sangat penting. Selain kita bertiga, tak seorang pun boleh tahu! Kalau manusia itu tetap tak mau tinggalkan tempat ini, berarti takdirnya buruk!" Habis berkata begitu, Wulandari melangkah ke arah Joko.
"Tahan!" seru Ayu Laksmi seraya melompat menjajari Wulandari. "Kita tak perlu berdebat soal manusia itu. Kita telah sampai di tempat yang tertera dalam peta. Namun apa yang kita temukan? Aku mulai curiga jangan-jangan penggalan peta di tangan kita itu palsu!"
Wulandari hentikan langkah. Ucapan Ayu Laksmi seolah menyadarkan gadis berjubah kuning ini. Sepasang matanya menebar berkeliling. "Hem... Di sini memang tak tampak adanya tempat bermukimnya seseorang. Padahal penggalan peta itu berada di tangan seseorang. Jangan-jangan peta itu memang palsu..." Diam-diam Wulandari mulai khawatir. Namun ketika sepasang matanya menumbuk pada murid Pendeta Sinting, pikirannya berubah.
"Astaga! Jangan-jangan pemuda itu berkata dusta. Satu-satunya manusia di tempat ini adalah dia. Pasti dia tahu banyak tentang tempat ini!" Berpikir begitu, Wulandari teruskan langkah ke arah Joko.
Ayu Laksmi coba menahan dengan berteriak, tapi Wulandari tak ambil peduli. Namun yang paling tampak cemas dengan tindakan Wulandari adalah Sitoresmi. Malah dengan diam-diam gadis berjubah merah ini berkata sendiri.
"Wulandari boleh bertindak semena-mena pada tiap orang, tapi tidak pada pemuda itu! Aku menangkap wajah kejujuran di mukanya! Dan... Ah, apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku..."
Di depan sana, dua langkah dari tempat Joko bersandar, Wulandari hentikan langkah. Sepasang matanya mengawasi tak berkedip. Bibir gadis ini terlihat bergetar. Ada perasaan aneh menjalari dadanya, membuatnya untuk beberapa saat hanya diam termangu.
"Hem... Seandainya ini bukan tugas dari Guru..." batin Wulandari seraya pejamkan sepasang matanya. Dia coba menahan guncangan pada dadanya. Setelah menarik napas panjang dan dalam, akhirnya mulutnya membuka. Kali ini suaranya terdengar agak bergetar dan serak.
"Hai! Aku tahu kau berpura-pura pulas! Jangan coba-coba menipu kami. Kami perlu beberapa keterangan!"
Joko Sableng buka kelopak matanya. Setelah mengerjap, dia tersenyum-senyum. "Tak ada untungnya menipu gadis cantik macam kau. Malah kalau bisa aku ingin memberi keterangan yang kau butuhkan..."
"Bagus! Aku ingin tahu, apakah tempat ini dihuni seseorang?!"
"Hem... Karena aku kebetulan lewat tempat ini, maka aku tak bisa memastikan apakah tempat ini berpenghuni atau tidak!"
Paras muka Wulandari sedikit berubah. Namun dia masih coba menahan hawa amarah yang mulai menyelimuti dadanya. "Kuingatkan! Kesabaran kami ada batasnya, waktu kami juga tidak banyak. Jawab dengan jujur atau kutanggalkan kepalamu!"
"Aku telah menjawab apa yang kuketahui. Jika kau ingin jawaban pasti, kenapa tidak buktikan sendiri dengan menyelidik?"
Wulandari katupkan rahangnya rapat-rapat. "Jauh-Jauh datang kemari percuma kalau tidak ada manusia yang bisa memberi keterangan" Wulandari maju satu tindak. "Kau telah berada di tempat ini waktu kami tiba, pasti kau tahu banyak tentang tempat ini!"
"Hem... Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang kalian cari di tempat ini? Adakah kalian mencari seseorang? Atau..."
"Tepat!" potong Wulandari. "Kami memang mencari seseorang!"
"Bisa katakan, siapa yang kalian cari?"
Sejenak Wulandari tampak kebingungan karena dia sendiri tak tahu siapa yang dicari. Yang mereka ketahui adalah peta itu berakhir di tempat mana kini mereka berada. Dan mereka berpikiran, di tempat itu pasti akan menemukan seseorang yang diduga menyimpan penggalan peta. Mereka tidak tahu siapa nama orang itu.
Mungkin karena tak bisa katakan siapa orang yang dicari, akhirnya Wulandari berujar dengan suara agak keras. "Siapa adanya orang yang kami cari bukan urusanmu! Yang penting tunjukkan di mana tempat sembunyinya!"
"Hem... Kalau pesan itu memang dari nenek galak itu, aku bisa pastikan jika gadis-gadis cantik ini mencari si nenek! Melihat gelagat, di antara mereka dan si nenek ada urusan..." Joko membatin. Lalu berujar. "Jika aku menjawab, kau pasti akan menuduhku berkata dusta. Jika kalian mencari seseorang, kusarankan kau menyelidik saja! Jawaban itu pasti akan kau temukan!"
"Keparat! Rupanya kau sengaja sembunyikan sesuatu pada kami!"
"Apa kubilang. Belum apa-apa kau telah lemparkan tuduhan lagi padaku. Sialnya diriku ini. Tak tahu apa-apa namun kena getah melulu"
"Banyak mulut" teriak Wulandari. Gadis ini angkat kedua tangannya sejajar dada. Siap lepaskan satu pukulan. Namun baru saja tangannya hendak bergerak kirimkan pukulan, sebuah tangan menarik dari belakang, membuat Wulandari tertahan gerakannya.
"Apa yang dikatakannya benar. Sebaiknya kita menyelidik tempat ini! Kita belum tahu siapa adanya orang yang kita cari. Jangan sampai kita salah turunkan tangan!"
Dengan mendengus keras, Wulandari palingkan kepala ke belakang. Sepasang matanya melotot angker. "Sitoresmi! Sejak kapan kau berubah jadi manusia tahu peradatan dengan kata-kata lembut begitu rupa? Aneh di telingaku jika mendadak saja kau kini berpikir hanya untuk selembar nyawa seseorang!"
Meski sedikit geram, namun Sitoresmi yang menahan gerakan tangan Wulandari sunggingkan senyum. "Urusan kita sekarang adalah urusan pelik. Dibutuhkan pikiran panjang meski harus dibarengi dengan kekuatan!"
Wulandari tertawa pendek. "Jangan-jangan ucapanmu hanya topeng saja. Sedang sebenarnya kau tertarik pada manusia itu! Betul?!"
Wajah Sitoresmi berubah merah padam. "Kau tak layak ucapkan kata-kata itu, Wulandari! Aku tak peduli siapa dia adanya, tapi kalau ucapannya benar, apa salahnya kita turuti?! Lebih baik kita segera menyelidik daripada bertele-tele tanpa guna!"
"Rupanya kau sudah pandai pula menggurui. Tapi akan kubuktikan dahulu bahwa dugaanku tidak keliru. Manusia itu menyembunyikan sesuatu pada kita!" Habis berkata begitu, si jubah kuning Wulandari sentakkan tangan Sitoresmi yang masih memegang tangannya. Kejap kemudian kedua tangannya kirimkan satu pukulan ke arah Joko!
BAB 4
TERDENGAR deruan luar biasa keras. Kejap itu juga melesat segelombang angin laksana deburan ombak. Karena telah menduga jika lawan yang dihadapi punya simpanan ilmu, kali ini Wulandari sengaja langsung kirimkan pukulan dengan tenaga dalam tinggi. Di sebelah depan, melihat ganasnya serangan, murid Pendeta Sinting segera angkat kedua tangannya.
"Wuuttt! Wuuuttt!" Dua rangkum angin berkelebat angker keluarkan suara menderu keras.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi yang melihat dahsyatnya pukulan segera berkelebat ke depan. Meski mereka berdua tak sependapat dengan tindakan Wulandari, namun tampaknya mereka berdua tak ingin saudara seperguruannya itu mendapat celaka.
"Blaammm!" Terdengar ledakan hebat saat dua serangan itu bentrok di udara. Wulandari terlihat tersurut dua langkah dengan wajah berubah pucat pasi dan dada bergetar. Di depan sana, Joko Sableng tersandar pada batang pohon dengan keadaan tetap berdiri tegak.
Wulandari kertakkan rahang. Dari mulutnya terdengar seruan keras. Tanpa pedulikan pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berteriak menahan, gadis berjubah kuning ini lipat gandakan tenaga dalam. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke depan. Suasana tiba-tiba berubah jadi terang. Pada saat yang sama, sebongkah kabut putih melesat dengan keluarkan hawa panas luar biasa.
"Gila! Mengapa Wulandari begitu bernafsu menghabisi pemuda itu? Mampukah pemuda itu menahan pukulan 'Kabut Neraka'?" diam-diam Sitoresmi dilanda kecemasan. Dan tanpa diketahui oleh Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berjubah merah ini kerahkan tenaga dalam. "Aku harus selamatkan jiwanya. Apa pun kata mereka, aku tak peduli!" ujar Sitoresmi sambil angkat kedua tangannya hendak menghantam. Tapi gerakan tangan gadis ini tertahan ketika dari arah depan sana melesat sinar mencorong berwarna kekuningan yang juga membawa hawa panas.
"Blaarrr!" Untuk kedua kalinya tempat itu dibuncah ledakan dahsyat. Tanahnya bergetar keras laksana diguncang gempa. Kejap kemudian tampak muncratan tanah menghalangi pemandangan. Sosok Wulandari tampak mencelat sampai dua tombak ke belakang. Kalau saja Ayu Laksmi tidak segera berkelebat dan menahan tubuhnya, niscaya sosok Wulandari akan jatuh terbanting di atas tanah.
"Tak kusangka jika manusia jahanam itu mampu menahan pukulan Kabut Neraka! Aku makin curiga padanya!" gumam Wulandari kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa sakit pada dadanya. Tiba-tiba gadis ini memekik tertahan. Ayu Laksmi cepat berpaling. Gadis berjubah biru ini pun jadi tercekat.
"Wulandari! Kau terluka dalam. Bibirmu keluarkan darah..."
"Hem... Kita harus segera selesaikan manusia satu itu. Keberadaannya di tempat ini jelas bukan satu kebetulan! Jika tidak, bukan saja dia akan merusak urusan kita, tapi Juga membahayakan jiwa kita!"
Sitoresmi sejenak tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi diam-diam dia merasa lega, karena di depan sana Joko terlihat tetap tegak meski sosoknya tersurut ke belakang satu langkah dan tersenyum-senyum seraya usap-usap dadanya.
"Siapkan pukulan gabungan 'Kabut Neraka'!" Tiba-tiba dari arah belakang terdengar teriakan, membuat Sitoresmi cepat berpaling.
"Edan! Untuk apa hal itu harus dllakukan? Apa maksud sebenarnya Wulandari?! Apakah dia menduga pemuda itu yang memegang penggalan peta itu?" gumamnya seraya berkelebat ke arah Wulandari.
"Sitoresmi! Aku tahu kau tak ingin manusia itu mampus!" Wulandari telah mendahului bicara sebelum Sitoresmi buka mulut. "Tapi tugas adalah di atas segalanya!"
"Wulandari! Kau jangan salah sangka. Aku tak ada sangkut paut apa-apa dengan pemuda Itu. Hanya sangat disayangkan jika harus mencabut nyawa orang tanpa hasil yang didapat!"
Wulandari melotot sambil mendengus. "Perasaan kadangkala membawa perhitungan semula jadi kacau. Perasaan seringkali menghanyutkan keyakinan menjadi keraguan. Sebelum semuanya membutakan mata dan hatimu, buka matamu lebar-lebar! Ingat siapa dirimu. Ingat akan ikrar yang kita ucapkan di hadapan Guru!"
Ucapan Wulandari membuat Sitoresmi jadi serba salah. Di satu pihak dia tak menginginkan si pemuda mengalami nasib buruk, karena dia yakin, meski ia tahu si pemuda dapat menahan pukulan 'Kabut Neraka' Wulandari namun dia belum pasti bisa menahan gabungan 'Kabut Neraka'. Sementara di pihak lain, dia harus singkirkan siapa saja yang coba menghalangi demi untuk laksanakan tugas yang dlembankan oieh sang guru.
"Wulandari..." kata Sitoresmi pada akhirnya. "Apakah kau menduga jika pemuda itu pemegang penggalan peta yang kita buru itu?!"
"Melihat usia dan keterangan Guru, aku memang tidak yakin benar, namun keberadaannya di tempat ini pasti ada hubungannya dengan peta itu! Hem... Kita singkirkan dahulu dia, baru kita menyelidik seantero tempat ini! Siapkan gabungan 'Kabut Neraka'!"
Habis berkata, Wulandari kerahkan tenaga dalam. Di sampingnya Ayu Laksmi segera pula berbuat sama. Meski agak enggan, akhirnya Sitoresmi kerahkan pula tenaga dalamnya.
"Tahan!" di depan sana murid Pendeta Sinting berteriak. "Aku sungguh tidak mengerti dengan maksud kalian. Di antara kita tak ada silang urusan. Adalah aneh jika kalian benar-benar inginkan nyawaku. Apakah begitu berharga selembar nyawaku buat kalian?!"
"Kau tak layak mengerti!" hardik Wulandari.
"Katakan saja, apakah kau tahu seluk-beluk sebuah penggalan peta!" kata Sitoresmi terus terang.
Joko pandangi ketiga gadis dihadapannya silih berganti. "Penggalan peta? Peta apa?!"
"Jahanam! Jangan berlagak pilon! Kami jauh-jauh datang kemari perlu mengambil penggalan peta itu! Lekas serahkan pada kami, dan kau boleh angkat kaki dengan nyawa utuh!" akhirnya si jubah kuning Wulandari buka maksud sebenarnya.
"Ah. Aku makin tak mengerti dengan ucapan kalian. Mula-mula kalian bilang mencari seseorang. Lalu kini bicara soal penggalan peta. Sekarang aku bukan saja tak mengerti tapi jadi bingung..." ucapan Joko Sesaat membuat Sitoresmi dan Ayu Laksmi jadi bimbang.
Namun Wulandari segera menghardik. "Jangan jadi ragu karena ucapan orang! Mana mungkin orang berterus terang, apalagi dalam urusan besar begini! Habisi dia!"
Wulandari cepat hantamkan kedua tangannya ke depan lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Di sampingnya, Ayu Laksmi meski masih tampak ragu-ragu namun segera pula kirimkan pukulan. Mungkin tak mau menyakiti hati kedua saudara seperguruannya, akhirnya Sitoresmi ikut pula lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' meski dengan tenaga tidak sampai setengahnya.
Begitu masing-masing gadis telah lepaskan pukulan, terdengar suara deru keras luar biasa. Enam kabut putih tampak melesat lalu menyatu di udara. Suasana berubah terang panas menyengat! Di lain kejap, kabut putih itu menggebrak ganas ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131!
Melihat ganasnya pukulan, mau tak mau murid Pendeta Sinting ini terbelalak besar. Darahnya laksana sirap. Namun ingat akan keselamatan dirinya Joko cepat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Didahului teriakan keras, murid Pendeta Sinting melesat dua tombak ke udara. Dan seraya melayang di atas udara, dia dorongkan kedua tangannya ke arah depan. Sinar kuning mencorong dengan keluarkan suara dahsyat dan hawa panas menderu menyapu ke arah kabut putih. Sesaat kemudian terdengar dentuman keras menggelegar di tempat itu.
Sosok Joko terlempar sampai satu tombak ke belakang. Lalu terduduk di atas tanah dengan sekujur tubuh tertutup oleh hamburan tanah yang membumbung ke angkasa waktu terjadi bentrok pukulan. Wajah murid Pendeta Sinting ini pucat laksana kehabisan darah. Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar hebat. Napas dan peredaran darahnya seolah tersumbat hingga untuk sesaat dia megap-megap. Darah berwarna kehitaman pun terlihat mengalir keluar dari sela mulutnya pertanda dia telah terluka dalam.
Di seberang, Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi terlihat terhuyung- huyung. Raut wajah ketiganya tampak pias. Jubah yang mereka kenakan berkibar-kibar. Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera dapat menguasai diri meski mereka berdua merasakan dadanya nyeri. Kedua tangannya laksana hilang kekuatannya. Ketika mereka berdua meneliti, kedua gadis ini jadi melengak kaget. Sepasang tangan mereka tampak berubah agak merah kehitaman.
Kalau kedua gadis itu masih bisa bertahan, tidak demikian halnya dengan Wulandari. Sosok gadis ini langsung terbanting begitu terjadi bentrok pukulan. Hal ini terjadi karena sebelumnya dia telah terluka dalam. Hingga waktu terjadi bentrok kedua kali, dia tak dapat lagi menguasai tubuh. Darah hitam mengucur kembali dari mulutnya pertanda lukanya makin parah.
Melihat keadaan saudara seperguruannya, Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang semula enggan dengan tindakan Wulandari menjadi berubah. "Keparat! Kau harus bayar mahal semua ini!" teriak si jubah biru Ayu Laksmi seraya bantingkan sepasang kakinya. Matanya bernyala-nyala laksana dikobari api.
Di sebelahnya, meski Sitoresmi tak rela melihat keadaan Wulandari yang terluka dalam, tapi dia masih coba menahan hawa amarahnya. Dia hanya keluarkan gumaman tak jelas dan arahkan pandangannya pada jurusan lain. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Ayu Laksmi keluarkan teriakan keras. Tubuhnya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak menghantam ke arah Joko yang mulai bergerak bangkit.
Murid Pendeta Sinting melengak dengan mata melotot tatkala dari arah depan menggebrak kabut putih ke arahnya. Begitu cepatnya lesatan kabut putih pukulan 'Kabut Neraka' itu, hingga tak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk selamatkan diri, apalagi kini dia terluka membuat gerakannya sedikit lamban.
"Busyet!" keluh Joko dengan mata meredup. Dia kerahkan tenaga dalam, lalu geser tubuhnya seraya angkat kedua tangannya untuk menahan pukulan. Saat itulah, tiba-tiba terdengar satu suara tawa mengekeh panjang. Di lain saat terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan itu pukulan 'Kabut Neraka' yang mengarah mengancam pada Pendekar 131 tertahan di udara. Bukan itu saja, kabut putih itu serta-merta laksana dihantam kekuatan dari atas hingga kabut itu menukik deras ke bawah.
"Bummm!" Tanah muncrat berhambur ke udara menutupi tempat itu. Saat tanah sirap Ayu Laksmi dan Sitoresmi sama pelototkan mata masing-masing. Ternyata Joko telah lenyap dari tempat itu! Dan di hadapan mereka terlihat lobang menganga akibat pukulan 'Kabut Neraka' yang menghantam tanah.
"Ada seseorang yang menolongnya! Pasti dia orang yang kita cari!" seru Ayu Laksmi. "Cepat kejar!"
Tanpa menunggu sahutan, si jubah biru Ayu Laksmi segera berkelebat ke jurusan barat, sementara si jubah merah Sitoresmi melesat ke arah timur. Wulandari sebenarnya ingin pula berkelebat, namun karena sekujur tubuhnya masih terasa sakit, akhirnya dia memutuskan untuk menunggu di tempat itu.
BAB 5
ADALAH suatu hal yang luar biasa jika murid Pendeta Sinting tak dapat gerakkan tubuh padahal dia merasa tak satu pun bagian tubuhnya ditotok orang. Tapi meski dia sudah coba dengan kerahkan tenaga dalam, tetap saja sia-sia, hingga pada akhirnya dia hanya diam seraya memperhatikan pada punggung orang yang kini memanggul tubuhnya seraya melangkah perlahan.
Anehnya, walau terlihat melangkah pelan, Joko dapat merasakan siuran angin keras, pertanda orang yang memanggulnya berkelebat kencang! Mungkin karena penasaran ingin tahu, Joko perhatikan sekali lagi lebih seksama. Mula-mula dia melihat jubah besar berwarna merah menyala di bawahnya. Ketika dia melirik ke atas, tampak oleh matanya bahwa orang yang sedang membawa dirinya sudah berambut putih dan hanya sebatas tengkuk.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba- tiba dia terperangah. "Busyet Bukankah orang ini si nenek itu?"
Yakin akan adanya siapa orang yang kini melarikannya, Joko segera berkata. "Nek. Ke mana aku hendak kau bawa pergi?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan berhenti pun tidak. Pendekar Pedang Tumpul 131 ulangi lagi ucapannya dengan suara agak dikeraskan. "Nek. Harap jawab kata-kataku..."
Orang yang membawa lari Joko hentikan langkah. Kepalanya didongakkan. Tiba-tiba terdengar suara kekehan tawanya. Namun tiba-tiba tawanya diputus. Dan sekali gerak, Joko merasakan tubuhnya melayang setinggi satu tombak ke atas. Joko coba gerakkan tubuh untuk menahan tubuhnya yang kini menukik ke bawah. Tapi murid Pendeta Sinting ini terkejut. Tubuhnya masih belum bisa digerakkan, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terjerembab di atas tanah.
"Astaga! Apa maksud sebenarnya orang tua ini?" kata Joko dalam hati seraya bergerak hendak bangkit. Namun lagi-lagi dia tercekat. Tubuhnya kejang tak bisa digerakkan.
Mendadak di depannya, orang yang melarikannya yang ternyata seorang perempuan tua berambut putih sebatas tengkuk mengenakan jubah merah menyala dengan mulut memainkan gumpalan tembakau dan bukan lain adalah Ratu Malam gerakkan tangan kanannya membuat gerakan seperti orang mengetuk. Anehnya, bersamaan dengan itu, Joko dapat kembali gerakkan anggota tubuhnya.
"Luar biasa nenek ini..." gumam Joko seraya bangkit berdiri lalu menjura hormat dan berkata. "Nek, terima kasih atas pertolonganmu..."
"Setan jelek! Siapa yang menolongmu? Hah...?!" Ratu Malam membentak galak, membuat Joko terkesiap kaget.
Hingga untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting ini diam. Namun ketika dilihatnya si nenek hendak buka mulut kembali, Joko buru-buru berkata. "Nek, bukankah kau yang menulis pesan itu?! Tapi kenapa yang kutemui adalah gadis-gadis cantik?! Siapa mereka, Nek?! Anak-anakmu?! Wah... Mereka cantik-cantik, tentu kau dulu cantik seperti mereka!"
Ratu Malam pentangkan sepasang matanya. Gumpalan tembakau hitam di mulutnya terlihat keluar masuk. "Setan ini sama sintingnya dengan gurunya... Kalau diladeni ucapannya akan terus ngelantur!" Mendadak Ratu Malam katupkan rapat-rapat mulutnya. Ketika mulut itu bergerak membuka terdengar bentakannya.
"Aku tanya padamu. Apa gurumu yang menyuruhmu hingga kau sampai di tempat tadi bertemu denganku?!"
"Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus terang tentang tugas ini?!"
"Hai, Setan Jelek! Lekas jawab tanyaku!"
"Apa hendak dikata. Aku butuh orang tempat bertanya. Siapa tahu dia nanti bisa memberi petunjuk..." pikir Joko dalam hati. Lalu berujar.
"Eyang Guru menugaskan aku untuk menyelidik ke Pulau Biru. Hanya sayang dia tak mengatakan padaku di mana pulau itu berada. Kalau Nenek tahu, harap sudi tunjukkan padaku ke mana aku harus menuju"
Mendadak Ratu Malam goyang- goyangkan kepala. Lalu tertawa bergelak-gelak. "Urusan gila itu nyatanya sudah diendus banyak orang. Hem... Setan jelek. Ternyata kau anak manusia yang beruntung!"
"Beruntung?" ulang Joko Sableng seraya gelengkan kepala. "Justru aku ketiban sial. Menuruti pesan yang kau tinggalkan, yang kutemui ternyata tuduhan yang tak kumengerti. Untung kau segera datang. Jika tidak, mungkin aku sudah berkalang tanah. Apakah itu dikatakan beruntung?!"
"Sudah. Jangan banyak berkeluh. Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau masih hendak teruskan perjalanan ke Pulau Biru?"
"Karena itu tugas, lebih dari itu karena tugas ini demi untuk menyelamatkan rimba persilatan, apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan teruskan perjalanan!"
"Bagus! Semangatmu besar, nyalimu masih berkobar. Urusan Pulau Biru memang harus segera dituntaskan. Kitab Serat Biru harus diselamatkan dari tangan-tangan yang tak bertanggung jawab!" ujar Ratu Malam.
Perempuan tua berjubah merah menyala ini selinapkan tangan ke balik jubahnya. Ketika tangannya ditarik keluar lagi, tampaklah selembar kulit berwarna coklat lusuh. "Setan Jelek. Dengar baik-baik! Sampai hari ini belum ada manusia yang tahu di mana sebenarnya Pulau Biru itu berada. Orang-orang rimba persilatan selama ini hanya dengar namanya namun tak tahu di mana" Sejenak Ratu Malam hentikan ucapannya sebelum akhirnya melanjutkan. "Kulit jelek ini dua puluh tahun tersimpan padaku. Dan kau adalah orang yang kutunggu selama kurun masa itu untuk menerimanya!"
"Eh. Jadi kaulah orang yang dicari para gadis-gadis itu. Mereka sebut-sebut penggalan peta. Apakah kulit itu memang penggalan peta?!"
"Tak salah. Ikuti apa yang tertera dalam peta ini. Dan ingat. Jaga kulit ini sebagaimana kau jaga dirimu sendiri. Karena sekali kulit ini jatuh ke tangan orang lain, berarti tugasmu lebih berat lagi!"
"Nek. Kalau boleh tahu, apakah kulit itu ada hubungannya dengan Kitab Serat Biru?"
"Aku tak bisa jawab dengan pasti. Jika kau nanti telah mendapatkan penggalan peta ini dengan sempurna, di sanalah jawaban itu akan kau peroleh!"
"Jadi...?"
"Seperti yang kau lihat. Kulit ini hanyalah penggalan. Kau dituntut untuk mencari penggalannya!"
"Tapi Nek? Aku ditugaskan untuk menyelidik ke Pulau Biru. Bukan mencari penggalan peta!"
Si nenek pelototkan sepasang matanya yang sipit. "Sudah kukatakan. Tak seorang pun sampai sekarang ini yang tahu di mana beradanya Pulau Biru. Dan hanya dengan sempurnanya penggalan peta ini, kau baru dapat sampai ke Pulau Biru. Tapi ingat. Aku tak bisa menjamin apakah Pulau Biru itu masih ada hubungannya dengan Kitab Serat Biru atau tidak!"
Habis berkata begitu, Ratu Malam ulurkan kulit warna coklat pada Pendekar 131. Joko segera menyambuti kulit itu. Untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting perhatikan apa yang tertera dalam kulit coklat ditangannya.
"Melihat bentuknya, sebelum kulit ini ada kulit lain yang telah dipenggal. Kulit ini sudah penggalan. Bukan yang pertama..." kata Joko dalam hati lalu katakan apa yang ada dalam benaknya pada si nenek.
"Dugaanmu benar. Sebelum kulit ini ada penggalan sebelumnya. Tapi kau tak perlu cemaskan hal itu. Kau mulai saja perjalanan dari yang tertera dalam kulit itu..."
"Hem... Aku tahu sekarang. Jangan-jangan penggalan pertama kulit ini ada pada gadis-gadis cantik yang mencarimu itu!"
"Itu bisa saja. Hanya yang kuherankan, kalau memang gadis-gadis itu memegang penggalan yang pertama, dari mana mereka dapatkan? Apakah mungkin Jalu Paksi salah berikan pada orang? Padahal kurasa dia sudah tahu, kepada siapa sebenarnya kulit itu harus diberikan..." Ratu Malam bergumam seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Nek. Siapa Jalu Paksi...?"
"Dialah pemegang penggalan kulit yang pertama. Kau harus hati-hati. Dengan berhasilnya para gadis itu sampai di tempat mana kau tadi berada, berarti mereka memang telah mendapatkan penggalan kulit yang pertama dan tentu yang asli..." Ratu Malam menghela napas panjang. "Aku mendapat firasat sesuatu telah terjadi pada Jalu Paksi jika sampai kulit itu jatuh pada orang yang tidak ditentukan..."
"Jadi kulit-kulit itu memang harus diberikan pada orang yang telah ditentukan?" Joko ajukan tanya.
Ratu Malam mengangguk perlahan. "Dengarlah. Aku mempunyai empat saudara seperguruan. Menjelang meninggalnya, guru kami memberikan penggalan kulit pada satu persatu muridnya dengan pesan kelak penggalan kulit itu harus diberikan pada seseorang yang mempunyai ciri tertentu..."
"Apakah ciri itu, Nek...?"
"Orang itu berhasil mendapatkan pedang pusaka yang disebut Pedang Tumpul 131!"
Joko jadi terkejut. Tanpa sengaja tangan kanannya meraba ke pinggang, di mana tersimpan Pedang Tumpul 131. Dia bernapas lega karena pedang itu masih ada di sana.
"Kami tak tahu, kenapa kulit itu dipenggal-penggal demikian rupa. Kami juga tak pernah tanya, apa yang terpendam dalam Pulau Biru. Yang kami ketahui adalah, jika penggalan-penggalan kulit itu digabung, maka di situ akan tertera peta yang berakhir pada Pulau Biru..."
"Tapi Nek. Orang-orang rimba persilatan kini tampaknya sedang dibikin gila dengan urusan Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan di dalam Pulau Biru!"
"Kau tak usah kaget. Urusan ini bukan sekarang saja diributkan orang. Jauh sebelumnya, urusan Kitab Serat Biru telah menjadi buah bibir. Bahkan telah menelan banyak korban. Kalau sekarang kitab itu kembali diributkan, mungkin ada seseorang yang mengail di air keruh. Mau mengambil keuntungan dengan tanpa bersusah payah. Mungkin juga untuk memancing keluarnya beberapa orang tokoh yang diduga banyak mengetahui tentang seluk-beluk kitab itu. Karena kudengar saat ini telah muncul beberapa orang yang justru dikabarkan jika orang itu telah tewas! Hem... Hari ini tugasku menyampaikan penggalan kuiit itu telah kulaksanakan. Apa yang sekarang hendak kau lakukan terserah padamu. Hanya kalau mau kusarankan, carilah penggalan kulit selanjutnya!" Habis berkata, Ratu Malam putar diri.
Tunggu!" tahan Joko. "Ke mana aku harus mencari pemegang penggalan kulit lainnya?"
"Ikuti yang tertera dalam peta. Di sana kau akan menemukan orang yang kau cari! Karena Guru kami telah menentukan di mana kami harus menunggu orang yang telah ditentukan itu. Selamat jalan..."
Sebenarnya Joko masih hendak menahan kepergian si nenek. Namun belum sampai ucapannya keluar, si nenek telah berkelebat lenyap.
"Busyet! Aku sampai lupa menanyakan siapa namanya..." Joko memperhatikan sejenak pada peta yang tertera dalam kulit coklat di tangannya. "Hem... Aku harus mulai dari tempat gadis-gadis tadi berada... Mudah-mudahan mereka telah pergi."
********************
BAB 6
PENDEKAR 131 terkesiap dan segera hantamkan kedua tangannya memapak pukulan yang mengarah padanya. Terdengar dentuman menggelegar menyentak tempat itu. Di depan sana, dari mana tadi pukulan gelap bersumber terdengar seruan tertahan. Lalu sesosok tubuh membuat gerakan berjumpalitan di udara sebelum akhirnya menjejak tanah dengan kaki terkembang sepuluh langkah di hadapan Joko Sableng.
Dia adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah warna biru. Tubuhnya sesaat bergetar, tapi kejap kemudian terdengar suaranya. "Mana dia?!"
Joko memandang tajam pada gadis cantik di hadapannya. Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, si gadis yang bukan lain adalah Ayu Laksmi telah membentak kembali.
"Cepat katakan. Atau kurobek mulutmu!"
"Aneh. Siapa yang kau maksud? Aku di sini sendirian!"
Ayu Laksmi menatap sejenak pada Joko. Lalu berpaling dengan mata menyapu berkeliling tak berkesiap. Dalam hati si gadis berkata. "Bayangan kelebatannya masih dapat kutangkap. Sayang, gerakannya terlalu cepat hingga kalau kukejar pun hanya sia-sia! Tapi pasti pemuda ini tahu siapa dan di mana orang tadi berada. Aku hampir yakin. orang tadilah yang selama ini kucari!"
"Kuberi waktu untuk berpikir. Katakan di mana orang tadi atau kutamatkan riwayatmu!" sentak Ayu Laksmi.
Joko geleng-geleng kepala seraya tersenyum. "Sudah kukatakan, aku sedari tadi berada sendirian di tempat ini! Kalau tidak percaya..."
"Diam!" hardik Ayu Laksmi habis kesabaran. "Jangan kira kau bisa menipuku. Dan aku tahu kau masih terluka dalam. Jangan sampai aku gelap mata karena kau keras kepala!"
Karena Joko tak segera menjawab, kemarahan Ayu Laksmi tak dapat ditahan Iagi. "Baik. Rupanya kau memilih tamat riwayat daripada buka mulut!"
Wuutt! Wuuutt!
Ayu Laksmi sentakkan kedua tangannya ke depan, lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat kabut putih hamparkan hawa panas dan suara menggidikkan! Meski murid Pendeta Sinting masih merasakan sakit pada dadanya, namun dia tak tinggal diam. Serta-merta kedua tangannya diangkat laiu didorong ke depan kirimkan pukulan sakti Lembur Kuning.
Tempat itu serentak terang- benderang dan panas luar biasa. Sinar kuning meiesat keluarkan deru dahsyat. Di kejap lain terdengar ledakan keras. Disusul terdengar suara pekikan dan seruan tertahan. Dua sosok tubuh tampak saling mental masing-masing ke belakang.
Buk! Buk!
Joko terlihat terhuyung-huyung ke belakang. Sosoknya bergoyang-goyang dengan tangan gemetar. Sepasang matanya bolak-balik mengerjap meredup setengah membuka dengan bibir bergetar. Sementara di depan sana, Ayu Laksmi terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh terjengkang di atas tanah. Tapi gadis cantik ini cepat bergerak bangkit.
"Aku yakin pemuda itu telah cidera waktu bentrok dengan pukulan gabungan 'Kabut Neraka'. Tapi aneh jika dia masih bisa bertahan dan dapat menahan pukulan 'Kabut Neraka'ku! Kalau tidak segera kuhabisi, bukan saja aku yang akan mendapat celaka, tapi kelak dia bisa jadi penghalang!" Berpikir sampai di situ, Ayu Laksmi lipatkan tenaga dalam. Sepasang matanya dipejamkan. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada.
Tiba-tiba dari sekujur tubuh gadis berjubah biru ini keluarkan asap tipis. Dan saat kedua kakinya dibantingkan ke atas tanah, dari sepasang matanya yang tiba-tiba dipentangkan melesat dua larik sinar biru. Tak ada suara yang terdengar bersamaan dengan melesatnya sinar biru dari sepasang mata si gadis. Tapi pada saat yang sama, tanah di depan si gadis membentuk jalur memanjang dan rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus memanjang dengan cepat ke arah Pendekar 131!
"Celaka! ilmu apa yang dimiliki gadis ini? Aku telah terluka, tak mungkin aku kerahkan tenaga dalam. Hem... Terpaksa aku pergunakan Pedang Tumpul 131..."
Joko segera selinapkan tangan ke balik pakaiannya untuk mencabut Pedang Tumpul 131. Tapi belum sampai senjata mustika itu keluar, dari semak belukar terdengar gumaman. Karena sumber suara gumaman jauh dari tempatnya Ayu Laksmi, gadis ini sama sekali tak mendengar. Namun tidak demikian halnya dengan Pendekar 131. Dia dapat dengan jelas mendengar gumaman itu.
"Sinar Setan. Lekas menyingkir. Pukulan itu amat berbahaya!"
Meski tak tahu siapa adanya orang yang bergumam, namun isyarat ucapannya menandakan bahwa orang itu tahu betul akan pukulan yang kini melabrak ke arah Joko. Joko urungkan niat cabut senjata. Dan secepat kilat dia menyingkir ke samping dengan gulingkan tubuh. Saat itulah dari semak belukar melesat keluar dua larik sinar merah.
"Bummmm!" Rengkahan tanah yang terus bergerak terhenti lalu terdengar dentuman keras. Hamburan tanah membubung ke udara. Tempat itu bergetar hebat seolah ditimpa gelombang besar. Tubuh murid Pendeta Sinting terlihat mental dan untuk kedua kalinya jatuh bergulingan di atas tanah.
"Cepat menyingkir ke arah timur!" lagi-lagi terdengar gumaman.
Joko pentangkan sepasang matanya. Karena saat itu hamburan tanah masih menutupi pemandangan, dia belum memastikan siapa adanya orang yang bergumam. Namun jelas dia dapat memastikan bahwa suara itu adalah suara seorang perempuan.
"Bukan. Suara itu bukan suara si nenek. Tapi siapa?"
Selagi Joko bertanya-tanya, kembali terdengar teguran. "Waktumu cuma sedikit. Selagi masih gelap, lekas menyingkir!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko kerahkan sisa tenaganya. Lalu berkelebat ke arah yang dikatakan orang dari kegelapan.
Begitu hamburan tanah sirap, di depan sana Ayu Laksmi tampak bergerak-gerak bangkit. Wajah gadis ini pucat pasi. Dari mulutnya terlihat darah mengalir pertanda dia terluka cukup dalam.
"Jahanam! Lagi-lagi ada orang yang menolongnya! Keparat siapa gerangan yang berani ikut campur ini? Adakah orang pemegang penggalan peta itu?!" Ayu Laksmi bergerak duduk. Tiba-tiba sepasang matanya mendelik besar memperhatikan ke depan. Dadanya berdebar keras. Mulutnya yang berdarah komat-kamit.
Di depan sana, di mana pukulannya terhenti, tampak lobang besar menganga. Di belakangnya tampak dua jalur memanjang sampai gerumbulan semak belukar. "Aku sepertinya mengenali pukulan yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku. Mungkinkah dia...? Tapi apa mungkin?"
Selagi Ayu Laksmi didera berbagai pertanyaan, dari arah belakangnya berkelebat sesosok bayangan. “Apa yang terjadi? Kau terlihat terluka..."
Ayu Laksmi berpaling. Di hadapannya tegak seorang gadis berjubah merah yang kini menatapnya dengan pandangan cemas. Untuk sesaat, Ayu Laksmi memperhatikan sosok di hadapannya seolah baru saja dikenalnya.
"Ayu Laksmi, kenapa kau memandangku begitu rupa? Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Gadis berjubah merah yang bukan lain adalah Sitoresmi ajukan teguran karena jengah dipandangi demikian rupa.
"Ah, tidak mungkin. Mungkin orang lain yang melakukannya..." kata Ayu Laksmi dalam hati. Lalu palingkan kepalanya pada jurusan lain dan berkata. "Aku berhasil menemukan pemuda yang kita kejar. Tapi lagi-lagi ada orang yang menolong. Kini dia lenyap lagi! Tapi..."
"Tapi apa...?!" sahut Sitoresmi. "Aku sepertinya dapat mengenali pukulan jahanam yang menolong itu!"
Sitoresmi palingkan kepala memandang pada jurusan timur. Sesaat kepalanya didongakkan, lalu terdengar ucapannya. "Itukah sebabnya kau memandangku seolah menaruh curiga?!"
"Aku tahu pasti pukulan apa yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku! Dan..."
"Ayu Laksmi!" potong Sitoresmi. "Rimba persilatan bukan dunia sempit. Pukulan sakti 'Sinar Setan' bukan hanya kita saja yang memiliki. Jadi aneh kedengaran di telingaku jika nada kata-katamu menaruh curiga padaku!"
"Aku tidak curiga padamu. Hanya aku heran..."
Sitoresmi tertawa perlahan. "Aku tahu. Kau menaruh curiga padaku. Hem... Terserah padamu. Hanya kuingatkan. Jangan bikin jurang perpecahan antara kita hanya gara-gara kecurigaan!"
Mendengar ucapan Sitoresmi, Ayu Laksmi terdiam untuk beberapa lama. Saat itulah sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di sebelah Sitoresmi. Dia bukan lain adalah Wupandari. Setelah ditinggal sendirian oleh Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berkelebat mengejar Joko, Wulandari kerahkan tenaga untuk kembalikan keadaan tubuhnya. Setelah dirasa tubuhnya membaik, gadis ini merasa kebingungan. Akankah ikut berkelebat mengejar atau diam menunggu.
Dia mondar-mandir sendirian dengan berpikir mencari jalan terbaik yang harus ditempuh. Saat itulah dia dengar satu dentuman keras dari arah barat, arah mana tadi Ayu Laksmi menuju. Tapi Wulandari masih juga belum beranjak dari tempatnya. Dia seolah masih ingin meyakinkan. Dan tatkala tak lama kemudian mendengar lagi ledakan keras, dia cepat berkelebat ke arah barat.
"Orang yang kita kejar berhasil lolos!" ujar Sitoresmi sebelum Wulandari buka mulut untuk bertanya.
Sepasang mata Wulandari memandang silih berganti pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi. Sekali pandang tampaknya gadis berjubah kuning ini telah menangkap ada sesuatu antara kedua gadis di sebelanya. "Ada apa di antara kalian?! Ingat. Jangan sampai ada sesuatu yang tersembunyi di antara kita bertiga...!"
Sitoresmi dan Ayu Laksmi sama bentrok pandangan. Namun sesaat kemudian Ayu Laksmi berpaling pada jurusan lain sambil berkata. "Aku hampir saja berhasil menangkap jahanam itu. Tapi tiba-tiba seseorang menahan pukulan 'Sinar Setan' yang kulepaskan! Dan aku tahu pasti, aku mengenali pukulan yang menahan seranganku..."
"Dia menuduh akulah yang menahan pukulannya, padahal kami berdua berkelebat bersilangan jalan. Dia ke arah barat, aku ke arah timur!"
"Sudah. Tak perlu diteruskan persoalan ini!" damprat Wulandari dengan suara keras. "Sekarang kita berpencar. Besok pagi kita bertemu di tempat ini kembali! Aku kini yakin. Pemuda itu ada hubungannya dengan penggalan peta itu! Ingat. Jangan sampai ada yang bertindak menyimpang dari rencana semula, Apalagi coba-coba berkhianat!" Habis berkata demikian, Wulandari bergerak menuju ke arah utara.
Ayu Laksmi melirik pada Sitoresmi. "Mudah-mudahan dugaanku keliru. Dan memang orang lain yang melakukannya..." gumam Ayu Laksmi lalu berkata. "Sitoresmi. Kuharap kau melupakan apa yang baru saja terjadi..."
Sitoresmi tak menyahut. Mulutnya terkancing rapat dengan pandangan mata jauh ke depan. Dan ketika dia menunggu agak lama tak ada suara lagi yang terdengar, gadis berjubah merah ini berpaling. Ternyata Ayu Laksmi sudah tidak ada di tempat itu. Sitoresmi menarik napas dalam-dalam. Setelah berpikir sejenak akhirnya dia berkelebat ke arah timur.
*********************
BAB 7
MURID Pendeta Sinting kerahkan sisa tenaga untuk dapat berlari sekencang yang bisa diperbuatnya. Nyeri pada dada dan sekujur tubuh ngilu tak dipedulikannya. Dia bukan saja merasa jika dikejar oleh orang, lebih dari itu, dia khawatir jika penggalan kulit yang kini di tangannya sampai jatuh pada orang lain. Karena dia sadar, dia kini terluka dalam.
Dan yakin bahwa para gadis yang baru saja bentrok dengannya menginginkan sekaligus mencari penggalan kulit di tangannya. Namun karena lukanya cukup parah, tak lama kemudian dia merasakan dadanya sesak dan sepasang kakinya terasa panas laksana dipanggang bara. Kejap kemudian sepasang matanya berkunang-kunang. Hingga meski dengan perasaan cemas akhirnya Joko hentikan larinya.
"Celaka! Kalau sampai gadis tadi benar-benar mengejarku maka bukan saja jiwaku terancam tapi kulit ini bisa jatuh ke tangannya!" gumam Joko lalu memandang berkeliling seraya pelototkan sepasang matanya.
Ternyata dia berada pada satu tempat terbuka yang jarang ditumbuhi pohon dan semak belukar. Sedangkan gugusan bukit tampak masih jauh dari tempatnya berada. Tapi karena gugusan bukit itu satu-satunya tempat yang diyakini bisa untuk sembunyi selamatkan diri dari kejaran orang, maka meski dadanya masih sulit untuk dibuat bernapas dan sepasang kakinya semakin terasa panas dia kuatkan hati untuk melangkah ke arah gugusan bukit.
Begitu kakinya menapak gugusan bukit, sepasang kakinya goyah, tak berselang lama tubuhnya limbung dan roboh di kerapatan semak gugusan bukit. Murid Pendeta Sinting ini pejamkan sepasang matanya dan kerahkan hawa murni untuk mengatasi hawa panas yang kini mulai menjalar ke segenap tubuhnya. Namun Joko jadi tercekat sendiri tatkala hawa murni yang dikerahkan seakan tertahan oleh sebuah kekuatan hingga mental, dan ini berakibat fatal bagi dirinya karena darah lebih banyak keluar dari mulutnya.
"Edan! Mengapa bisa begini?" tanya Joko seraya melirik pada bagian kakinya yang terasa makin panas. Tiba-tiba dia berseru tertahan. Ternyata kakinya berubah warna agak kehitaman! Dan di sana-sini terlihat menggembung!
Sebenarnya waktu terjadi bentrok antara Joko dengan Ayu Laksmi, tanpa disadari oleh Joko, saat Ayu Laksmi lancarkan pukulan sakti 'Sinar Setan' meski Joko sempat gulingkan tubuh selamatkan diri, namun tak urung sepasang kakinya tersambar pukulan si gadis. Joko memang tidak pedulikan, karena saat itu dia tidak merasakan apa-apa.
Inilah kehebatan pukulan 'Sinar Setan' yang dilepaskan Ayu Laksmi. Pukulan itu akan menghantam sasaran dengan tanpa mencederai dan lawan tidak akan merasakan apa-apa. Namun dalam jarak beberapa saat kemudian, orang yang terkena pukulan 'Sinar Setan’ akan merasakan tubuhnya panas luar biasa. Lalu tubuhnya akan menggembung laksana orang dipanggang dalam api. Kejap kemudian, gelembung itu akan pecah berkeping-keping semburkan darah hitam!
"Celaka!" desis Pendekar 131 dengan perasaan khawatir. Dia tak berani Ilagi kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa panas di tubuhnya. Namun dia tak mau begitu saja rasa sakit yang menjalari tubuhnya semakin menyiksa. Maka dia putar tubuh membalik dengan sepasang mata ditebar ke seantero gugusan bukit.
Saat itulah telinganya mendengar gemeretak ranting diinjak orang. Serta-merta murid Pendeta Sinting beringsut dengan sejajarkan tubuh ke tanah. Sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar memandang tak berkedip ke arah datangnya suara ranting. Namun dia melengak karena dia tak menangkap adanya orang!
Menangkap adanya bahaya, lupa akan keadaan dirinya yang terluka dalam, murid Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam. Serta-merta dia merasakan tubuhnya laksana disengat, meski dia takupkan telapak tangannya, suara erangannya masih terdengar. Tubuhnya bergetar hebat. Dan tak lama kemudian kepalanya jatuh lunglai di atas tanah. Lalu segalanya menjadi gelap!
Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di samping murid Pendeta Sinting dengan sepasang mata memandang tajam perhatikan sekujur tubuhnya yang mulai kehitaman dan menggembung.
"Astaga! Terlambat sedikit nyawanya tidak akan tertolong..." gumam orang yang baru datang.
Ternyata dia adalah seorang perempuan. Wajahnya tidak bisa dikenali karena ditutup dengan cadar berlobang kecil-kecil berwarna biru. Pada punggung orang ini terlihat punuk besar. Pada bagian tubuhnya yang terlihat tampak diberi pewarna hitam. Perempuan berpunuk besar jongkok di samping tubuh Joko.
"Untung tubuhnya tahan. Tapi jika dibiarkan saja paling bisa bertahan sampai matahari terbenam."
Si perempuan berpunuk mengeluarkan kantong dari balik pakaiannya. Dari dalam kantong dia keluarkan butiran kecil berwarna hitam. Kepala Joko yang lunglai di atas tanah diangkat dan dibalikkan. Dengan sedikit menekan kedua pipinya, mulut Joko terbuka. Butiran hitam segera dimasukkan. Tak selang lama, si perempuan berpunuk keluarkan bungkusan dari dalam kantong.
Bungkusan segera dibuka. Ternyata berisi serbuk berwarna putih. Serbuk putih segera ditebar ke seluruh tubuh Joko dengan tangan satunya membuka sebagian pakaiannya. Perubahan segera terlihat. Gelembung-gelembung pada tubuh Joko perlahan-lahan mengempis. Dan perlahan-lahan pula warna kulitnya yang agak kehitaman berubah kemerahan kembali.
Si perempuan berpunuk menarik napas lega. Dia lalu pejamkan sepasang matanya. Telapak tangannya segera ditempelkan ke punggung Joko salurkan hawa murni. Beberapa saat berlalu. Si perempuan berpunuk tarik kedua tangannya dari punggung Joko. Seraya menghela napas, dia usap keringat yang membasahi lehernya. Sepasang mata dari balik cadar menatap memperhatikan sekujur tubuh di depannya dengan perdengarkan gumaman tak jelas.
Mendadak tangan kanan si perempuan berpunuk bergerak ke arah punggung Joko. Dari punggung di mana tersimpan Pedang Tumpul 131, si perempuan keluarkan senjata mustika itu. Untuk sesaat sepasang mata di balik cadar si perempuan menatap tak berkedip pada pedang yang kini telah dikeluarkan dari sarungnya. Saat terlihat guratan angka 131 dan bersitan kuning mencorong, si perempuan tersentak kaget.
"Astaga! Aku memang belum pernah melihat senjata ini. Tapi aku yakin, ini adalah pedang yang beberapa tahun silam sempat membuat rimba persilatan geger. Pedang Tumpul 131. Hem... Jadi pemuda ini adalah manusia yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131..."
Setelah memasukkan pedang kembali pada balik pakaian Joko, si perempuan berpunuk bergerak bangkit, kepalanya berputar sejenak perhatikan keadaan sekeliling. "Hem... Tempat ini kurasa masih aman dari jangkauan tangan orang... Dan aku harus segera meninggalkan tempat ini..."
Si perempuan berpunuk bangkit berdiri. Kepalanya dipaiingkan dan menatap sekali lagi pada tubuh serta muka Pendekar 131. Lagi-lagi terdengar gumaman dari mulutnya sambil kepalanya bergerak menggeleng perlahan. Sesaat kemudian perempuan ini balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Tunggu!"
Mendadak satu suara menahan dari arah belakang, membuat perempuan berpunuk putar diri. Di depan sana dilihatnya tubuh Joko bergerak-gerak hendak bangkit, sementara kepala dan sepasang matanya menghadap ke arah si perempuan dengan mulut membuka hendak ucapkan kata-kata lagi.
"Harap jangan bergerak dulu..." ujar si perempuan dengan masih tegak di tempatnya.
"Terima kasih... Kau telah menolongku. Boleh aku tahu, siapa kau?"
Si perempuan berpunuk tertawa perlahan seraya gelengkan kepaia. "Siapa aku tak begitu penting bagimu. Aku merasa lega jika kau telah baik kembali. Aku masih punya urusan. Kelak semoga kita bisa bertemu lagi..."
"Ah. Aku merasa kecewa. Selain tak dapat mengetahui siapa namamu, aku juga tak bisa mengenali wajahmu. Hem... Kalau kau keberatan sebutkan nama, bagaimana kalau kuminta kau singkapkan barang sejenak cadar penutup wajahmu agar aku dapat mengenal meski tak tahu namamu?"
Seraya berkata, perlahan-lahan Joko bergerak duduk. Dia masih merasakan sedikit nyeri pada dadanya, tapi sudah jauh berkurang dari sebelumnya. Di seberang, mendengar ucapan Joko, si perempuan berpunuk kembali gelengkan kepala.
"Untuk sementara ini, biarlah kau mengenal dan mengetahui diriku sebagaimana adanya yang kau lihat saat ini. Hanya kupesan. Kau harus lebih berhati-hati. Beberapa orang kini sedang mengejarmu. Dan kusarankan jika lanjutkan perjalanan, hindari arah utara dan barat. Nah, Pendekar Pedang Tumpul 131, selamat tinggal..."
Joko Sableng terkesiap melihat orang tahu siapa dirinya. Dia coba mengenali siapa adanya si perempuan dengan memandang dari atas sampai bawah. Tapi untuk beberapa saat dia tak dapat menemukan jawaban. Sementara perempuan berpunuk telah putar diri dan kembali hendak melangkah tinggalkan tempat itu. Namun lagi-lagi langkah si perempuan tertahan tatkala dia dengar sebuah seruan dari belakangnya.
"Perempuan bercadar! Kau seolah tahu apa yang kualami. Apakah kau masih ada hubungannya dengan nenek berjubah merah yang tadi juga sempat menolongku?"
Tanpa berpaling Iagi, perempuan berpunuk gelengkan kepala. Lalu berujar pelan. "Aku tak tahu dan tak mengenal orang yang kau sebut..."
"Aneh. Dua kali aku bertemu orang yang menolong tapi gagal kuketahui namanya..." gumam Joko seraya geleng-geleng kepala. Dia hendak buka mulut untuk berucap lagi. Namun suaranya terputus tatkala di depan sana si perempuan berpunuk ternyata telah tidak ada lagi!
Hanya sesaat setelah perempuan berpunuk berlalu, mendadak semak belukar tujuh langkah di samping Joko bergerak menguak. Satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Pendekar 131 tegak sesosok tubuh!
BAB
SOSOK ini adalah seorang perempuan. Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat yang bagian dadanya dibuat sangat rendah hingga sebagian kulit payudaranya yang kencang putih terlihat dengan jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan sepasang mata bulat tajam. Bibirnya merah ditingkah dengan hidung sedikit mancung. Walau perempuan ini tidak muda lagi, namun paras wajahnya sangat cantik, bahkan kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.
"Ratu Pemikat...!" seru Pendekar 131 dalam hati dengan tengkuk merinding. Sepasang matanya perhatikan perempuan berparas cantik di hadapannya dengan tak berkesiap.
"Tenagaku belum pulih betul. Dan perempuan ini pasti ingin meneruskan urusan lama..."
Perempuan berpakaian biru tipis dan memang Ratu Pemikat adanya perdengarkan tawa panjang. Tiba-tiba suara tawanya diputus. Kepalanya disentakkan berpaling ke arah jurusan lain. "Pendekar 131! Bentangan dunia terlalu sempit untuk tempatmu berlindung. Kematian tak akan berada jauh dari sepasang kakimu! Tapi, kematian itu akan menjauh malah kau bisa merasakan kenikmatan yang kau inginkan jika kau serahkan Pedang Tumpul 131 padaku! Kau mendengar ucapanku, kau tidak tuli! Apa jawabmu?!"
Ucapan Ratu Pemikat alias Dewi Asmara untuk beberapa saat membuat murid Pendeta Sinting menjadi tegang. Dia menyadari bahwa dirinya masih terluka dalam meski sudah berkurang rasa sakitnya. Namun karena telah mengetahui siapa adanya perempuan di hadapannya, mau tak mau Pendekar 131 harus berpikir dua kali untuk terlibat bentrok dengan si perempuan.
Karena yang ditanya tidak memberi jawaban, Ratu Pemikat berpaling. Dari hidungnya keluar suara dengusan keras. Lalu dia membentak. "Pendekar 131! Aku telah buang waktu banyak. Aku tak mau perjalanan ini sia-sia. Kalau kau tak suka buka mulut, lekas serahkan apa yang kuminta! Dan kau bisa tinggalkan tempat ini!" Seraya berkata, Ratu Pemikat ulurkan tangan kanannya membuat gerakan seperti orang meminta.
Setelah dapat menguasai diri, Joko sunggingkan senyum di mulut. Setelah meraba pada pinggang di mana tersimpan pedangnya, murid Pendeta Sinting ini berujar. "Aku heran. Jauh-jauh kau melakukan perjalanan hanya untuk meminta barang yang bukan milikmu. Apakah tidak ada barang lain yang menarik hatimu selain benda yang kau minta itu?!"
"Sekarang bukan saatnya untuk tawar-menawar. Serahkan saja apa yang kuminta dengan baik-baik. Aku tahu kau dalam keadaan terluka!"
Terkesiap juga Joko mengetahui Ratu Pemikat tahu keadaan dirinya. Namun Joko tak hendak unjukkan perubahan wajah. Bahkan dia kembali tersenyum sambil usap-usap dadanya. Lalu tangannya bergerak ke arah pinggang dan membuat gerakan seolah hendak keluarkan pedang dari balik pakaiannya.
Melihat hal ini, Ratu Pemikat sunggingkan senyum seraya goyang-goyangkan pinggul. Dadanya dibusungkan dengan mulut sedikit dibuka dan perdengarkan desahan. Kejap kemudian perempuan ini berucap. "Bagus! Begitu pedang itu kau serahkan, kuanggap habis urusan di antara kita! Dan kau kuberi kesempatan luas untuk bersenang-senang denganku!"
"Hem... Ternyata kau selalu salah duga! Dengar. Pedang ini keluar bukan untuk kau miliki, tapi akan mengantarmu ke bawah tanah!"
Ratu Pemikat bukannya terkejut mendengar kata-kata Joko. Sebaliknya ia tertawa panjang. "Ternyata kau benar-benar manusia yang tak mau diuntung. Kau tak mau lihat tingginya langit. Buta akan dalamnya laut! Itu kesalahan besar bagimu!" Sesaat Ratu Pemikat hentikan ucapannya, lalu meneruskan. "Kau masih punya waktu untuk berdamai..."
Joko Sableng dongakkan kepala. Mengingat siapa adanya perempuan di hadapannya yang dulu pernah membuatnya celaka, sebenarnya murid Pendeta Sinting ini sedari tadi sudah coba menahan hawa amarahnya dan menindih keinginannya untuk membuat perhitungan atas tindakan si perempuan pada beberapa tahun silam. Namun ucapan Ratu Pemikat mau tak mau membangkitkan kembali hawa amarah Joko. Hingga dengan suara keras dia membentak.
"Ratu Pemikat! Kesalahanmu sudah menjulang. Kuperingatkan sekali ini! Tinggalkan tempat ini atau..."
"Kali ini aku tak akan berhampa tangan jika tinggalkan tempat ini!" potong Ratu Pemikat. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan! Nyawa pemuda itu milikku. Tak seorang pun boleh menyentuhnya meski setan akhirat!"
Belum habis suara teguran, satu bayangan muncul dari rimbun semak belukar. Melangkah perlahan ke arah Pendekar 131. Ada keanehan dengan sosok yang baru muncul ini. Meski dia tampak melangkah pelan, namun dalam sekejap mata sudah tegak di hadapan Joko sejarak tiga langkah. Dan dia melangkah dengan mundur membelakangi!
Ratu Pemikat terlihat tegang sesaat. Tapi sesaat kemudian dia dapat kuasai diri dan perlihatkan senyum seringai. Meski demikian perempuan cantik ini tak dapat sembunyikan perubahan raut wajahnya.
"Iblis Ompong... Jahanam sialan! Urusan ini rupanya akan jadi panjang! Apa dia juga punya urusan sama denganku? Kudengar manusia aneh satu ini telah undur diri dari rimba persilatan. Adalah aneh jika tahu-tahu muncul dan inginkan nyawa Pendekar 131! Hem..."
"Iblis Ompong!" seru Ratu Pemikat setelah terdiam beberapa saat. "Kalau kau punya urusan dengan pemuda itu, harap kau suka menunggu setelah urusanku dengannya selesai!"
Orang yang baru muncul dan dipanggil dengan Iblis Ompong balikkan tubuh. Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia kira-kira tujuh puluh tahunan. Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya tirus memanjang dengan dilapis kulit amat tipis. Sepasang matanya besar melotot. Ketika kepalanya bergerak, kedua bahunya terlihat ikut bergerak ke mana kepala mengarah, karena ternyata kakek ini tak mempunyai leher! Hingga kepala itu seperti nongol di antara pundaknya. Dan kakek Ini terus-terusan buka mulut perlihatkan giginya yang ompong!
Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh rimba persilatan yang digelari orang dengan Iblis Ompong. Seorang tokoh aneh yang sulit ditebak tindak- tanduknya. Meski demikian banyak kalangan rimba persilatan yang enggan membuat urusan dengannya, karena selain memiliki ilmu tinggi, dia juga dikenal sebagai tokoh yang tak pandang bulu jika apa yang dilakukannya diyakini benar.
Pada beberapa tahun belakangan, tokoh ini dikabarkan mengundurkan diri tak mau turut campur dalam urusan dunia persilatan. Hal ini terbukti dengan ketidak munculannya untuk jangka waktu yang panjang, meski rimba persilatan mengalami beberapa kemelut dan kegegeran yang mengundang munculnya tokoh-tokoh tua.
Bahkan tatkala dunia persilatan disentak dengan riuhnya perebutan Pedang Tumpul 131, Iblis Ompong juga tak tampak batang hidungnya. Hal ini menguatkan dugaan orang jika orang tua itu memang telah benar-benar undur diri. Hal ini pulalah yang mengherankan Ratu Pemikat jika tiba-tiba dia muncul, lebih-lebih mengatakan punya urusan nyawa dengan Pendekar 131.
Iblis Ompong dongakkan kepala. Karena dia tak punya leher, saat mendongak tampak tubuhnya sedikit melengkung ke depan. Kejap kemudian dia perdengarkan tawa mengekeh panjang. Namun setelah tawanya terhenti, kakek ini terus buka mulutnya lebar-lebar!
"Iblis Ompong... Hem... Nama gelar dan orangnya baru pertama kali ini kudengar dan kutemui. Orang aneh. Lebih aneh Iagi, kenapa dia bilang nyawaku ini miliknya? Padahal aku tak pernah berurusan dengannya!" gumam Joko seraya perhatikan lebih seksama pada si kakek.
Melihat Iblis Ompong tak keluarkan sepatah kata pun, Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Lalu berkata. "Terima kasih kau mau mengerti, sobatku iblis Ompong! Jangan khawatir, kalau kau inginkan nyawanya, itu akan kuberikan padamu. Aku ada urusan lain dengannya!"
Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan tawa kembali. Puas dengan gelakan tawanya dia berujar. "Sudah kubilang. Nyawanya untukku. Dan tak seorang pun boleh menyentuhnya. Kau boleh urusan dengannya, tapi jangan sekali-kali menyentuh apa lagi mengambil sesuatu darinya!"
Paras Ratu Pemikat kembali berubah. Malah kini rahangnya mengembang. Sepasang matanya membelalak dengan mulut komat-kamit. "Iblis Ompong! Harap kau memandangku sebagai sahabat. Dan jangan sampai terjadi silang urusan antara kita!"
"Bersahabat tidak menjamin tidak adanya silang urusan! Dan jika kau benar-benar punya urusan dengan pemuda itu, tunggulah setelah aku selesai! Setelah itu kau bebas mengambil apa saja darinya. Percayalah, aku tidak akan sentuh-sentuh barang yang kau sukai dan kau inginkan darinya! Aku punya seperti yang dia miliki. Bentuk dan warnanya sama, meski ketangguhannya sudah jauh menurun..."
Paras muka Ratu Pemikat makin mengelam. Sementara murid Pendeta Sinting geleng-geleng kepala. "Tua bangka! Jaga mulutmu!"
Seolah tersentak kaget. Iblis Ompong tekapkan telapak tangannya di depan mulutnya. Tapi ketika tangan itu diturunkan lagi, mulut itu masih terbuka lebar-lebar.
"Iblis Ompong! Waktuku tidak banyak. Dan aku tidak mau tawar-menawar denganmu! Aku yang menemukannya terlebih dahulu. Akulah yang berhak menyelesaikan urusan lebih dulu!"
"Siapa pun tak berhak menentukan waktu. Besarnya urusan adalah nomor satu. Urusanmu adalah meminta barang sesuatu. Urusanku mencabut nyawanya yang satu. Kau harus panjang akal. Masalahmu hanya sepanjang jengkal. Sedang masalahku tak bisa selesai hingga salah satu terjungkal!"
Ratu Pemikat pasang telinga baik-baik dengarkan ucapan orang. Selama kiprahnya malang-melintang dalam rimba persilatan, perempuan berwajah cantik ini telah beberapa kali sempat jumpa dengan Iblis Ompong. Juga telah mengetahui sampai di mana ketinggian ilmu yang dimiliki si kakek. Dalam hati Ratu Pemikat membatin.
"Rupanya jahanam sialan ini tidak dapat diajak berdamai. Apa boleh buat. Kaki telah kuangkat, tekad telah bulat! Aku tak akan pergi dari sini tanpa sesuatu yang kudapat!"
Memikir sampai di situ, Ratu Pemikat segera angkat bicara. "Nyatanya silang sengketa tak bisa dihindari. Aku tanya padamu. Kita dahulukan urusan kita atau kau bersabar ingin aku tuntaskan urusanku dengan dia!"
"Urusanmu hanya bagaikan satu pasir di pantai. Urusanku adalah barang yang tak bisa dinilai. Masihkah wajar kau ajukan harga? Kuingatkan. Parasmu masih menggoda dada dan mata. Pinggulmu masih menggetarkan panca indera. Nikmat mungkin belum seluruhnya kau rasakan. Akankah waktu kau sia-siakan?"
Meski Ratu Pemikat sadar bahwa ilmunya masih berada di bawah Iblis Ompong, namun ucapan si kakek membuat perempuan ini geram. Ini terlihat dari apa yang dikatakannya. "Urusan tubuhku tak perlu usil kau bawa-bawa. Dan jangan mencoba mengguruiku!" Ratu Pemikat tertawa perlahan. "Atau jangan-jangan kau ingin merasakan nikmatnya diriku?"
Iblis Ompong buka lebar-lebar mulutnya. "Ingin memang Ingin. Tapi terus terang saja aku khawatir..."
Karena Iblis Ompong tak teruskan ucapannya, serta-merta Ratu Pemikat menyahut. "Khawatir apa? Hah...?!"
Iblis Ompong tertawa bergelak dahulu sebelum berkata. "Wajahmu memang memikat hingga tak salah jika kau bergelar Ratu Pemikat. Menurut yang kudengar, kau memang suka bagi-bagi nikmat. Dan menurut yang kulihat, kue seenak apa pun akan hilang rasa nikmatnya bila dijamah banyak tangan..."
"Setan jahanam!" potong Ratu Pemikat sebelum selesai Iblis Ompong lanjutkan kata-katanya. Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat bergerak menghantam ke arah Iblis Ompong.
"Wuutt! Wuuutt!" Dari kedua tangan perempuan ini melesat sinar terang biru yang selain keluarkan suara luar biasa juga hamparkan hawa panas! Inilah pukulan sakti Ratu Pemikat yang dikenal dengan 'Hamparan Langit’.
Melihat pukulan pembuka Ratu Pemikat telah lancarkan pukulan saktinya, jelas jika perempuan ini ingin segera selesaikan urusan dengan iblis Ompong. Di depan sana, Iblis Ompong sama sekali tidak membuat gerakan, membuat Ratu Pemikat dan Joko pentangkan mata masing-masing. Ratu Pemikat tampak tersenyum. Tapi senyumnya tiba-tiba terputus tatkala tiba-tiba Iblis Ompong balikkan tubuh. Kedua tangannya serta-merta disentakkan ke belakang.
"Wusss! Wuuusss!" Tampak dua bola asap sebesar roda kereta melesat bergulir keluarkan suara berderak-derak laksana roda kereta melaju di atas pasir. Begitu sinar terang biru pukulan sakti 'Hamparan Langit' yang dilepas Ratu Pemikat berjarak setengah depa lagi dari dua bola asap yang melesat dari kedua tangan Iblis Ompong, mendadak dua bola asap itu mengembang besar.
Kejap kemudian laksana memiliki daya tarik luar biasa dahsyat, sinar biru terang masuk lenyap ke dalam dua bola asap! Di lain kejap tempat itu laksana dilanda gempa hebat meski tiada suara ledakan yang terdengar! Dua bola asap terlihat ambyar berkeping-keping semburatan warna putih dan biru. Bersamaan dengan ambyarnya dua bola asap, sosok Ratu Pemikat terjajar lima langkah ke belakang. Raut wajahnya pias. Beberapa saat tubuhnya bergetar dengan dada bergerak turun naik dengan keras.
Tahu situasi, Ratu Pemikat cepat kerahkan tenaga dalam. Namun perempuan ini jadi terkesiap. Sebelum dia sempat kerahkan tenaga, dia merasakan sambaran angin kencang. Tubuhnya kembali tersurut tiga langkah. Tapi kini sepasang kakinya goyah, hingga tak berselang lama kemudian sosoknya meliuk dan jatuh terduduk di atas tanah.
Di depan sana, Iblis Ompong terlihat menungging dengan kedua kaki terkembang lebar. Dari sela sepasang kakinya tampak kedua tangan si kakek diayun-ayun pulang balik ke depan ke belakang. Anehnya, bersamaan dengan ayunan itu beberapa rangkuman angin keras mencelat. Sambaran angin dari ayunan tangan inilah yang membuat Ratu Pemikat jatuh terduduk!
Ratu Pemikat kertakkan rahang. Setelah meneliti dan yakin tidak mengalami cidera, dia cepat bergerak bangkit. Didahului bentakan nyaring, dia melesat ke depan. Tangan kiri-kanan bergerak siap lepaskan jotosan ke arah Iblis Ompong. Namun lagi-lagi Iblis Ompong tak membuat gerakan, kakek ini tetap menungging, malah berkata.
"Bocah! Awas!"
Pendekar 131 yang berada tak jauh dari tempat Iblis Ompong tersentak kaget dan bingung dengan teriakan Iblis Ompong. Dia baru sadar tatkala tiba-tiba satu tendangan keras telah menghantam bahu kirinya.
"Bukkk!" Ternyata kedua tangan Ratu Pemikat yang seakan hendak bergerak lepaskan jotosan hanyalah tipuan. Karena bersamaan itu kakinya bergerak kirim kan tendangan keras ke arah Pendekar 131 yang tegak di samping Iblis Ompong.
Joko terhuyung-huyung ke belakang. Ratu Pemikat tak buang kesempatan. Dia teruskan lesatan tubuhnya. Kini tangan kirinya bergerak menghantam ke arah kepala murid Pendeta Sinting sedang tangan kanannya menyambar ke arah pinggang.
"Breeett!" Baju bagian pinggang milik Joko robek hingga pedang yang terimpan di baliknya terlihat, membuat Ratu Pemikat semakin bernafsu. Begitu tangan kirinya gagal menghantam sasaran, dia cepat jejakkan sepasang kakinya ke tanah, seraya melayang di udara, kedua tangannya lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'!
Murid Pendeta Sinting tak tinggal dlam. Meski tenaganya belum sepenuhnya bisa dikerahkan, dia tetap lepaskan pukulan 'Lembur Kuning' meski hanya dengan tenaga seadanya.
Karena Ratu Pemikat lepaskan pukulan dari jarak dekat, sementara Joko lepaskan pukulan dengan tenaga seadanya karena keadaannya belum pulih benar, maka bisa dibayangkan apa yang akan dialami oleh murid Pendeta Sinting ini. Rupanya hal ini tak lepas dari penglihatan Iblis Ompong. Kakek ini cepat geser pantatnya hingga menghadap ke arah Ratu Pamikat yang lepaskan pukulan dari udara.
Masih tetap menungging, Iblis Ompong nongolkan kepala dari sela bentangan kedua kakinya. Mulutnya dikatupkan dan digelembungkan hingga membentuk bundaran di pipi. Kejap kemudian bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Ratu Pemikat, Iblis Ompong semburkan udara dari mulutnya.
"Busss!" Ratu Pemikat berseru tegang. Tubuhnya terseret di udara. Namun perempuan ini teruskan hantamannya. Hingga saat itu juga dua sinar biru terang melesat ke arah Joko Sableng. Di lain pihak, dari arah bawah sinar kekuningan mengudara keluar dari kedua tangan Joko.
Saat pukulan Ratu Pemikat dan Pendekar 131 serta semburan mulut Iblis Ompong masih mengapung di udara, tiba-tiba satu deru dahsyat mengguncang tempat itu. Di lain saat, satu gelombang angin keras melabrak ke arah Iblis Ompong!
Iblis Ompong menggerendeng panjang pendek. Dia cepat hendak putar pantat, namun terlambat. Angin keras itu telah menyapu tubuhnya hingga sosoknya terdorong cepat ke depan. Tapi si kakek ini cepat julurkan kedua tangannya ke depan. Dan serta-merta tubuhnya terhenti dengan posisi tetap menungging dan kedua telapak tangan bertumpu di atas tanah.
Saat itulah terdengar satu dentuman keras saat pukulan 'Hamparan Langit' bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning'. Sosok Ratu Pemikat terlihat mencelat di udara. Bukan saja karena tersapu semburan angin yang keluar dari mulut iblis Ompong tapi juga karena bias bentrok pukulannya. Perempuan cantik bertubuh bahenol Ini perdengarkan jeritan tinggi. Setelah tubuhnya terbanting di udara, tubuh itu menukik deras dan terjerembab di atas tanah!
Di seberang, sosok murid Pendeta Sinting terlempar tinggi ke udara. Selagi tubuh itu mulai melayang ke bawah mendadak satu bayangan berkelebat. Dan sekali sambar tubuh Pendekar Pedang Tumpul 131 telah berada di pundak si bayangan.
Dari semak belukar terdengar satu seruan, lalu melesat satu gelombang angin keras ke arah bayangan yang menyambar tubuh Pendekar 131. Iblis Ompong pun tak tinggal diam. Kakek ini cepat membuat gerakan jungkir baiik di atas tanah. Lalu sentakkan kedua tangannya ke udara.
Namun baik pukulan yang dilancarkan orang dari balik semak belukar maupun pukulan iblis Ompong hanya menghantam tempat kosong. Karena si bayangan luar biasa sekali cepat gerakannya. Hingga sebelum dua pukulan sempat melabrak, sosoknya telah berkelebat lenyap!
Bersamaan lenyapnya bayangan yang membawa tubuh Pendekar 131, dari semak belukar sesosok tubuh berkelebat keluar. Dari mulutnya terdengar makian panjang pendek tak karuan. Sejenak sepasang matanya tak berkedip memandang ke arah lenyapnya bayangan yang membawa tubuh Joko. Lalu serentak berpaling ke arah Iblis Ompong. Lalu membentak keras.
"Keparat Ompong! Gara-gara kau urusan jadi berantakan begini rupa!"
Iblis Ompong berpaling sambil buka mulut lebar-lebar. Untuk beberapa saat kakek ini perhatikan orang yang kini memandang ke arahnya. "Hem... Sudah membokong masih juga timpakan kesalahan pada orang lain," gumamnya seraya alihkan pandangan ke jurusan lain. Lalu berucap. "Iblis Ompong boleh dilecehkan. Tapi pantang baginya dipersalahkan! Aku beri kesempatan padamu untuk mencabut ucapan. Lalu minggat dari sini jika ingin nyawa tetap dikandung badan!"
Orang di hadapan Iblis Ompong mendongak ke langit. Dari mulutnya terdengar menggembor suara tawanya keras membahana. Tiba-tiba dia sentakkan kedua tangannya lepaskan satu pukulan!
BAB 9
DUA cahaya putih dan hitam melabrak angker ke arah Iblis Ompong, membuat kakek ini tegak terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Tapi tiba-tiba dia baiikkan tubuh dan serta-merta sentakkan kedua tangannya ke belakang.
"Wuutt! Wuuttt!" Dua bola asap menggelinding perdengarkan suara berderak-derak memekakkan telinga. Sesaat kemudian terdengar ledakan dahsyat tatkala bola asap memapak cahaya putih hitam. Cahaya putih hitam seketika melesat bertabur ke udara menggebrak daun pepohonan di sekitar tempat itu serta semak belukar dipenuhi hamburan daun-daun kering.
Iblis Ompong bergumam tak jelas dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan orang di depannya terseret tiga langkah dengan kedua tangan menekap dadanya. Sepuluh langkah di samping Iblis Ompong terlihat Ratu Pemikat bergulingan dan baru terhenti ketika sosoknya membentur sebatang pohon. Ratu Pemikat beringsut bangkit lalu bersandar dengan sepasang mata memandang ke depan.
"Merak Kawung! Kenapa kau sampai terlambat? Jahanam betul!" maki Ratu Pemikat dengan dada bergerak turun naik.
Orang di hadapan Iblis Ompong berpaling pada Ratu Pemikat. Orang ini adalah seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar. Mengenakan jubah toga warna putih hitam. Kepalanya gundul. Sepasang matanya besar dengan alis menjulai panjang ke bawah hampir menutupi kedua bola matanya. Hidungnya besar dengan kumis melintang tebal. Pada bagian dada jubah toganya terlihat tiga bulu burung merak.
Inilah seorang dedengkot tokoh dunia persilatan yang tak asing lagi dan dikenal dengan julukan Merak Kawung. Tokoh ini sebenarnya jarang sekali muncul, namun sekali dia muncul, pasti terjadi kegegeran.
Seperti diketahui, Ratu Pemikat amat bernafsu untuk memilikli Pedang Tumpul 131. Karena merasa dia tak sanggup untuk merebut dengan tangannya sendiri, maka dia berusaha merangkul beberapa tokoh. Dengan modal kecantikan dan kemolekan tubuh, beberapa tokoh memang berhasil digaetnya. Dan salah satu dari tokoh itu adalah Merak Kawung.
Sewaktu menemukan Pendekar 131, sengaja Merak Kawung bersembunyi di balik semak belukar. ini untuk menjaga jika ada sesuatu yang tak terduga. Dan kali ini sesuatu yang tak terduga itu memang terjadi. Namun kali ini Merak Kawung terlambat untuk bertindak, hingga bukan saja membuat Ratu Pemikat tersapu pukulan Iblis Ompong namun juga terlambat lakukan pukulan pada bayangan yang membawa Pendekar 131!
Merak Kawung sesaat menatap pada Ratu Pemikat. Laki-laki itu melangkah hendak mendekat. Tapi di depan sana Ratu Pemikat beri isyarat dengan gelengkan kepala, membuat Merak Kawung hentikan Iangkah dan putar diri menghadap Ibiis Ompong.
"Hem... Jadi manusia gundul ini telah berada di bawah ketiak perempuan itu. Ah, kenapa aku ikut mengurusi mereka? Sialan betul! Aku harus cepat mengetahui siapa orang yang membawa lari pemuda itu! Jika tidak, penantianku tak akan ada ujung pangkalnya! Aku sudah tua, kalau kedahuluan mati, dan pesan belum kusampaikan maka dunia persilatan akan mengutukiku!" pikir Iblis Ompong. "Apalagi kini orang-orang rimba persilatan sedang dibikin edan membicarakan dan berusaha memburu..." Iblis Ompong lalu putar diri. Tapi baru saja hendak berkelebat, Merak Kawung membentak.
"Kau kira bisa begitu saja pergi dari sini, Jahanam Ompong?!"
Iblis Ompong tak pedulikan bentakan orang. Dia tetap teruskan niat untuk berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Merak Kawung berteriak keras. Bersamaan itu, tangan kirinya mencabut satu bulu merak di dada jubah toganya. Sementara tangan kanan diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan kiri-kanan laki-laki gundul ini bergerak menghantam, maka tampak cahaya hitam putih berkiblat disusul dengan menderunya bulu merak keluarkan suara laksana deruan pedang!
"Sial dangkalan! Merak Kawung. Mata dan hatimu benar-benar telah dibikin buta. Hingga tak tahu mana kawan dan lawan!" teriak Iblis Ompong. Kedua tangannya dihantamkan ke belakang. Cahaya putih hitam serta lesatan bulu merak mendadak tertahan di udara dan untuk beberapa lama mengapung.
Merak Kawung sesaat jadi terkesiap melihat pukulan dan senjata andalannya terapung-apung di udara. Selain itu diam-diam dia merasa terkejut dan peian-pelan rasa kecut mendera dadanya. Karena selama malang melintang dalam rimba persilatan, baru kail ini pukulan dan senjata andalannya bisa dibikin sedemikian rupa oleh lawan. Selagi Merak Kawung termangu, Iblis Ompong kembali sentakkan kedua tangannya.
"Wuuutt! Wuuutt!" Tak ada seruan deru yang terdengar, namun di depan sana tiba-tiba cahaya putih hitam serta bulu merak yang terapung terdorong keras dan kini berbalik melabrak ke arah Merak Kawung.
Merak Kawung melengak. Belum sempat membuat gerakan apa-apa cahaya pukulannya sendiri yang membalik telah berada di hadapannya. Masih untung laki-laki ini segera pukulkan tangan kiri kanannya ke depan, hingga cahayanya berhasil menghalau pukulannya sendiri, bulu merak melabrak ganas ke arah dadanya!
Seraya memaki, Merak Kawung angkat kedua tangannya lagi. Tapi lesatan bulu merak datang lebih cepat. Hingga meski Merak Kawung masih sempat menghindar dengan bergeser ke samping tapi tak urung bahu kirinya tersambar bulu merak. Jubah toga Merak Kawung di bagian bahu robek menganga. Laki-laki berkepala gundul ini terpekik kesakitan. Raul wajahnya kontan berubah pucat pasi.
Pada saat yang sama darah berwarna kehitaman mulai membasahi jubah bagian bahunya. Merak Kawung merasakan aliran darahnya bergolak panas dan segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Kejap kemudian, Merak Kawung terlihat surut beberapa langkah ke belakang. Tahu bahaya apa yang kini dihadapi, Merak Kawung cepat ambil dua butir obat dari saku jubahnya. Begitu butiran obat tertelan, perlahan-lahan golakan hawa panas di tubuhnya mereda. Dan ketika dia memandang ke depan, Iblis Ompong sudah tidak tampak lagi.
"Keparat jahanam...!" umpat Merak Kawung seraya bantingkan sepasang kakinya ke atas tanah. Tanah di tempat itu bergetar keras, hingga Ratu Pemikat yang sedang duduk bersila bersandar pada pohon dengan mata terpejam pulihkan tenaga buka kelopak matanya.
"Ratu... Kita tinggalkan tempat celaka ini!"
Ratu Pemikat bergerak bangkit. Melangkah mendekati Merak Kawung. Perempuan cantik ini tersenyum. Begitu dekat, tangan kanannya segera melingkar ke pinggang Merak Kawung. Sekali membalik, tubuh Ratu Pemikat telah berhadapan dengan Merak Kawung.
"Merak... Kita memang sudah lama di tempat ini. Kita harus segera pergi. Lupakan apa yang baru saja terjadi. Kita cari tempat yang aman untuk bersenang-senang..." Seraya berkata, tangan kiri Ratu Pemikat menelusup masuk ke balik jubah dan pakaian dalam Merak Kawung.
Entah siapa yang memulai, kejap kemudian kedua orang ini telah tenggelam dalam peluk cium. Sepasang kaki Ratu Pemikat terlihat berjingkat sementara Merak Kawung rundukkan sedikit kepalanya.
"Ratu..." bisik Merak Kawung dengan kedua tangan membelai punggung dan dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perdengarkan gumaman perlahan. Lalu mendesah perlahan dengan sepasang mata dipejamkan. "Sebaiknya kita lupakan saja urusan Pedang Tumpul 131... Orang rimba persilatan kini sudah melupakan pedang itu, karena mereka tahu bahwa seseorang yang berjodoh telah menemukannya. Lebih baik kita sekarang menyelidik tentang Kitab Serat Biru..."
"Akhir-akhir ini orang-orang memang meributkan kitab itu. Tapi kurasa menyelidik tanpa bekal yang cukup terpercaya hanya akan membawa sia-sia. Aku diam-diam selama ini berusaha menyirap tentang kabar kitab itu. Namun apa yang berhasil kusirap ternyata simpang siur. Hingga aku punya firasat jika kitab itu tidak ada..."
Seraya masih membelai, Merak Kawung tertawa perlahan. Lalu rundukkan lebih dalam kepalanya hingga hidungnya menyapu sembulan payudara sang ratu. Ratu Pemikat angkat kedua tangannya dan meraih kepala Merak Kawung lalu ditekannya rapat-rapat.
"Ratu...!" suara Merak Kawung terdengar serak tersendat. "Kita temui seorang sahabat. Kurasa dia banyak tahu seluk-beluk kitab itu..."
Tiba-tiba Ratu Pemikat angkat kepala Merak Kawung. "Siapa dia?!"
Merak Kawung tersenyum. Wajahnya memerah, pertanda nafsu telah menguasai dirinya. "Nanti kau akan tahu siapa orangnya..."
Tapi..."
Tapi apa...?!" tanya Merak Kawung seraya kembali selusupkan kepalanya ke arah dada Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat sejenak terdiam tidak segera menjawab pertanyaan Merak Kawung. Rupanya Merak Kawung dapat menangkap keraguan pada Ratu Pemikat. Hingga dia buru-buru berkata. "Kau khawatir aku bernafsu memiliki kitab itu?"
Lagi-lagi Ratu Pemikat tidak segera buka mulut untuk memberi jawaban. Hingga Merak Kawung akhirnya lanjutkan ucapannya. "Tak usah khawatir, Ratu... Dirimu lebih berharga bagiku dibanding dengan kitab itu! Kalau aku menyelidik kitab itu, semata-mata kelak kuperuntukkan untukmu..."
"Ucapanmu betul, Merak...?" bisik Ratu Pemikat dengan busungkan dadanya.
"Kau bisa buktlkan ucapanku nanti, Ratu..." suara Merak Kawung serak di antara deru napasnya yang memburu. Laki-laki gundul ini angkat sedikit kepalanya mendongak memandang ke arah dagu Ratu Pemikat. Diam-diam dalam hati Merak Kawung berkata.
"Hem... Aku tidak setolol yang kau duga. Kitab Serat Biru adalah kitab sakti tiada tanding. Begitu kitab berada di tanganku, saat itulah saatnya dirimu menjadi budakku! Saat sekarang kau masih menganggap dirlku budakmu, tapi tunggulah saatnya nanti..."
Kalau Merak Kawung berpikir demikian, ternyata diam-diam Ratu Pemikat juga berkata sendiri dalam hati. "Aku tahu siapa dirimu, Merak Kawung. Aku tahu ucapanmu hanya di mulut. Dan jangan harap kau bisa bodohi diriku. Begitu Kitab Serat Biru betul-betul kumiliki, itulah saatnya riwayatmu habis!"
"Ratu..." bisik Merak Kawung. "Kurasa tempat ini kurang aman..."
Ratu Pemikat mendesah pelan. "Jika begitu, kau tunggu apalagi? Bawalah aku pergi ke tempat aman. Dan..."
Belum habis ucapan Ratu Pemikat, Merak Kawung telah mengangkat tubuh sang ratu dalam rengkuhannya. Sekali bergerak, Merak Kawung melesat dengan memanggul tubuh Ratu Pemikat.
********************
BAB 10
SOSOK bayangan hitam itu terus berkelebat ke arah timur. Sesekali dia berpaling pada orang yang dipanggulnya dengan perdengarkan gumaman tak jelas. Pada satu tempat, dia hentikan larinya. Berpaling sekali lagi pada orang di pundaknya, lalu mendongak ke langit.
"Ada hubungan apa pemuda ini dengan jahanam Iblis Ompong? Hem... Iblis Ompong. Tampaknya dia tak betah juga terus-terusan sembunyikan diri. Apakah kemunculannya ini ada kaitannya dengan urusan Kitab Serat Biru?" Orang ini menghela napas panjang.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berambut pirang. Mengenakan jubah besar warna hitam, Pada kedua tangannya terlihat satu kaos tangan dari kulit juga berwarna hitam. Perempuan ini tak bisa dikenali wajahnya karena dia mengenakan cadar berwarna hitam. Dari wajahnya yang terlihat hanyalah sepasang matanya yang tajam dari kedua lobang cadar. Mendadak perempuan berjubah dan bercadar hitam palingkan kepala.
"Hemm... Di sini rupanya tidak aman..." gumamnya. Lalu menatap sejenak pada orang yang dipanggul. Sepasang matanya sorotkan pandangan aneh. Setelah memastikan orang yang dipanggul masih dalam keadaan tertotok, perempuan berjubah dan bercadar hitam teruskan larinya. Namun baru saja bergerak, satu bayangan berkelebat, membuat langkah si perempuan tertahan. Dia segera berpaling dengan sepasang mata dipentangkan.
"Bangsat siapa dia...?!" desis si perempuan bercadar hitam dengan tubuh sedikit berguncang, tanda dia menahan marah. Sepasang matanya dari dua lobang cadar membelalak besar memandang tak berkesiap ke arah depan, di mana kini telah tegak seorang perempuan yang dilihat dari sikapnya jelas sengaja menghadang!
Dan bukan Itu saja yang membuat perempuan berjubah dan bercadar hitam pentangkan sepasang matanya makin besar, karena ternyata orang yang kini tegak menghadang di hadapannya juga mengenakan cadar berlobang kecil-kecil menutup seluruh raut wajahnya. Pada punggung orang ini terlihat punuk besar.
Kalau perempuan berambut pirang berjubah dan bercadar hitam tampak geram, tidak demikian halnya dengan perempuan bercadar dan berpunuk yang menghadang. Begitu tegak menghadang dan memandang pada perempuan bercadar dan berjubah hitam, perempuan berpunuk serentak tersurut kaget. Sepasang mata dari baiik cadar berlobang-lobang terlihat membesar. Wajahnya pun seketika berubah.
"Dewi Siluman..." desis perempuan berpunuk dengan suara tercekat di tenggorokan. Untuk beberapa lama orang ini arahkan pandangannya dari baiik cadar berlobang kecil-kecil pada perempuan berjubah dan bercadar hitam. Lalu beralih pada sosok yang ada di pundak si perempuan.
"Pendekar 131... Tampaknya dia tertotok. Hem... Seharusnya aku tidak membiarkan dirinya sendirian di tempat itu. Apalagi keadaannya masih terluka... Sekarang harus bagaimana? Aku tahu siapa Dewi Siluman. Nyawa Pendekar 131 tidak terjamin keselamatannya di tangan sang dewi. Tapi bisakah aku merebutnya...? Bagaimana kalau dia tahu...? Ah. Tak kusangka jika Dewi Siiuman berada di tempat itu juga..."
"Orang tak dikenal!" Tiba-tiba perempuan berjubah dan bercadar hitam membentak garang. "Katakan maksudmu menghadang langkahku!"
Meski dari perubahan wajah dan sikap serta kata hatinya jelas jika perempuan berpunuk merasa kecut, tapi saat melihat keadaan orang di pundak perempuan berjubah dan bercadar hitam yang bukan lain Pendekar 131 Joko Sableng, satu keberanian luar biasa tiba-tiba menyeruak di dadanya. Bahkan diam-diam dalam diri perempuan berpunuk muncul tekad untuk merebut sekaligus menyelamatkan sang pemuda walau apa yang terjadi.
"Dewi Siluman...!" kata perempuan berpunuk. "Harap turunkan pemuda itu dan serahkan padaku!"
Perempuan bercadar dan berjubah hitam terkesiap demi mengetahui perempuan di hadapannya tahu siapa dirinya. Untuk sesaat sepasang matanya memperhatikan lebih seksama ke bagian cadar berlobang-lobang kecil seolah berusaha menembus cadar orang itu dan mengetahui wajah di baliknya.
"Jahanam siapa perempuan ini? Berpuluh tahun kucoba menyembunyikan diri, hanya beberapa orang yang tahu diriku. Adalah aneh jika orang yang baru kali ini kutemui telah mengenal siapa diriku..."
"Perempuan berpunuk!" kata perempuan bercadar dan berjubah hitam setelah beberapa lama terdiam. "Syukur kau telah mengenaliku hingga aku tak perlu memberi keterangan! Aku tanya padamu. Siapa kau adanya?! Kalau kawan kenapa tegak menghadang cari urusan, kalau lawan katakan apa hubunganmu dengan pemuda ini!"
"Aku tak bisa beri keterangan di sini! Yang pasti, aku memerlukan pemuda itu, dan harap kau segera turunkan dirinya!"
"Hem... Perempuan ini sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk menekan suaranya agar suara aslinya tak mudah dikenali orang. Jangan-jangan aku mengenalnya. Hem..."
Perempuan berjubah dan bercadar hitam yang dipanggil dengan Dewi Siluman tengadahkan kepala. Kejap kemudian terdengar suara tawanya. "Melihat bentuk tubuh dan suaramu, pasti kau bukan perempuan muda lagi. Aku khawatir jangan-jangan kau golongan tua-tua bangka yang senang permainkan pemuda-pemuda. Hik Hik Hik...! Kusarankan nenek! Carilah pemuda lain saja. Aku tak bisa penuh permintaanmu!"
"Dewi Siluman! Kita bukan kawan bukan lawan. Harap urusan pemuda itu tak menjadikan awal sengketa antara kita!"
Ucapan perempuan berpunuk membuat Dewi Siluman kembali tertawa panjang. "Ucapannya nadanya memaksa. Dan sepertinya kau menghkawatirkan pemuda ini. Hem... Berat dugaan kau adalah seorang nenek yang tergila-gila pada seorang pemuda. Kau menyukai pemuda ini?!"
Wajah di balik cadar berlobang-lobang kecil milik perempuan berpunuk sesaat berubah. "Dewi Siluman! Harap jangan bicara terlalu jauh. Dan buang juga dugaan gilamu itu!"
"Hem... Begitu? Jika itu maumu, lekas menyingkir dari hadapanku atau kau akan rasakan kecewa seumur-umur! Bukan hanya tak akan mendapatkan pemuda ini tapi nyawamu juga akan putus!"
"Dewi..."
"Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman memotong. "Menyingkir atau mampus!" Sambil menghardik Dewi Siluman angkat tangan kirinya.
Perempuan berpunuk tampak bimbang. Sesekali dia memandang ke arah Dewi Siluman lalu beralih pada Pendekar 131. Diam-diam perempuan ini membatin. "Apa hendak dikata. Meski aku belum bisa memastikan maksudnya, tapi pemuda itu harus kuselamatkan dari tangannya..."
Berpikir sampai ke sana, perempuan berpunuk pentangkan sepasang kakinya. Kedua tangannya bergerak menakup di depan dada. Sikap dan gerakannya menandakan dia siap menghadapi Dewi Siluman.
Tiba-tiba di depan sana Dewi Siluman turunkan tangan kirinya, membuat perempuan berpunuk bertanya-tanya. Sementara Dewi Siluman segera palingkan kepala ke jurusan lain. Sepasang matanya memandang jauh.
"Aku ingin tahu sampai di mana rasa khawatir perempuan berpunuk itu. Dari sana mungkin aku bisa menebak siapa adanya bangsat itu..." desis Dewi Siluman, lalu didahului bentakan keras perempuan bercadar dan berjubah hitam ini melesat satu tombak ke udara. Di udara dia membuat gerakan berputar satu kali. Begitu berbalik dan melayang turun, kedua tangannya mendorong ke bawah ke arah perempuan berpunuk.
Saat itu juga kabut hitam keluarkan deruan dahsyat menyapu ke arah perempuan berpunuk. "Kabut Neraka!" seru perempuan berpunuk mengenali pukulan yang dilepas Dewi Siluman. Dan seolah tahu kehebatan pukulan orang itu, begitu kabut hitam melesat menyapu, perempuan berpunuk segera berkelebat menyingkir ke samping. Hingga kabut hitam menderu sejarak empat jengkal di sampingnya.
Sesaat kemudian, dua batang pohon di depan sana berderak dan langsung tumbang dengan daun-daun hangus. Ranting-rantingnya bertabur ke udara menjadi serpihan kecil-kecil. Dari tempatnya sekarang berdiri, perempuan berpunuk cepat angkat kedua tangannya. Lalu didorong ke depan saat Dewi Siluman mendarat di atas tanah. Tapi gerakan mendorong si perempuan berpunuk tertahan karena di depan sana mendadak Dewi Siluman tertawa panjang seraya melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan tubuhnya, membuat perempuan berpunuk urungkah niat dan berteriak keras.
"Ternyata Dewi Siluman adalah tokoh pengecut! Membuat manusia untuk pelindung diri!"
Dewi Siluman perkeras suara tawanya. Namun dalam hati dia makin penasaran saat mengetahui perempuan berpunuk tahu pukulan yang baru dilepasnya. "Keparat betul! Siapa sebenarnya perempuan ini? Dia rupanya tahu banyak tentang diriku... Hem... Tapi dia benar-benar mengkhawatirkan pemuda ini. Sepertinya pemuda ini begitu berharga baginya!" Dewi Siluman memandang sejenak pada paras dan tubuh Pendekar 131. "Heran. Pemuda ini dibuat rebutan banyak orang. Siapa sebenarnya dia?"
Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara Ratu Pemikat dengan Pendekar 131, dan ketika Iblis Ompong coba menghadang dengan semburan mulutnya lalu melesatnya pukulan dari arah rimbun semak belukar, tanpa berpikir panjang Dewi Siluman yang diam-diam berada di tempat terjadinya bentrokan segera berkelebat menyambar tubuh murid Pendeta Sinting yang saat itu melayang di udara. Dia tak banyak perhatikan ucapan orang, karena waktu itu perhatiannya tertuju pada Joko. Dia tak tahu, kenapa dia tiba-tiba begitu memperhatikan si pemuda. Namun yang jelas ada perasaan aneh di dadanya ketika pertama kali memandang.
Karena saat itu Dewi Siluman melintangkan tubuh Pendekar 131 di depan tubuhnya, saat itulah tiba-tiba sepasang matanya dari lobang cadar melihat sesuatu tersembul dari balik pakaian di bagian pinggang murid Pendeta Sinting. Dewi Siluman cepat geser tangan kanannya ke pinggang. Dan Sekali sentak sedikit, pakaian Pendekar 131 di bagian pinggang tersibak. Sepasang mata Dewi Siiuman terbeliak besar saat dia melihat sebilah pedang pancarkan sinar kekuningan.
"Ternyata... Tampaknya bukan senjata sembarangan. Apakah karena senjata ini hingga beberapa orang menginginkan pemuda ini?!"
Dewi Siluman lorotkan sepasang kakinya. Kedua tangannya bergerak ke samping lalu disentakkan. Tubuh Pendekar 131 meluncur ke bawah dan perlahan sekali secara aneh sosok murid Pendeta Sinting duduk di atas tanah! Tapi masih tak bisa gerakan tubuh, malah sepasang matanya terpejam rapat.
Begitu tubuh Pendekar 131 terduduk di tanah, Dewi Siluman pentangkan sepasang tangannya yang ternyata telah memegang pedang. Dan tanpa pedulikan pandangan perempuan berpunuk yang berkilat-kilat, Dewi Siluman tarik pedang dari sarungnya. Cahaya kekuningan silaukan mata segera menebar hamparkan hawa panas.
"Pedang Tumpul 131!" desis Dewi Siluman sesaat setelah mengawasi bentuk pedang. "Hem... Jadi orang yang akhir-akhir ini disebut-sebut sebagai Pendekar Pedang Tumpul 131 pemuda ini adanya!" Dewi Siluman tersenyum di balik cadar. "Takdirku baik! Apa yang tak kuduga sekarang ada di tanganku. Dengan pedang ini perjalanan memburu penggalan peta itu akan lebih mudah..."
"Dewi Siluman! Jangan berniat buruk menguasai milik orang lain!" Mendadak perempuan berpunuk membentak lantang.
Dewi Siluman masukkan kepala pedang ke dalam sarungnya. Lalu simpan ke balik jubahnya. Sesaat kemudian dia tertawa mengekeh panjang.
"Serahkan pedang itu padaku!"
Dewi Siluman putuskan tawanya. Berpaling pada perempuan berpunuk dengan mendengus keras. "Jahanam berpunuk! Jika kau inginkan pedang ini, kenapa banyak berkoar-koar? Selain ingin pemuda ini, rupanya kau juga inginkan pedang ini! Hem... Nyatanya kau juga menyimpan keinginan kotor! Hik hik hik...!"
"Tak usah banyak mulut mengumbar fitnah! Berikan pedang itu atau..."
"Sekali pedang di tanganku tak akan kuberikan biar malaikat yang meminta!" tukas Dewi Siluman.
"Itu bukti bahwa kau nyata-nyata mencuri barang orang!" Perempuan berpunuk tertawa perlahan penuh ejekan.
Dewi Siluman terkesiap marah mendengar ejekan si perempuan berpunuk. Tiba-tiba dia gerakkan kepalanya menyentak ke samping.
"Wuuttt! Beeettt!" Rambut pirang milik Dewi Siluman berkelebat angker hamparkan gelombang angin kencang ke arah perempuan berpunuk.
Perempuan berpunuk tak mau bertindak ayal. Dia cepat berkelebat ke arah samping hindarkan diri lalu melesat ke depan dan lancarkan satu pukulan ke arah kepala Dewi Siluman. Dewi Siluman rundukkan kepala. Kaki kanannya bergerak.
"Bukkk!" Perempuan berpunuk tersurut dua langkah ke belakang saat tendangan kaki Dewi Siluman menghantam tangannya. Namun perempuan itu tak pedulikan rasa ngilu pada tangannya yang baru bentrok dengan kaki Dewi Siluman. Sebaliknya dia cepat kerahkan tenaga dalam, lalu sekonyong-konyong dia menghantam ke depan. Bukan hanya sampai di situ, kejap lain perempuan berpunuk bantingkan sepasang kakinya ke atas tanah. Kejap itu juga dari sepasang mata di balik cadar berlobang kecil-kecil melesat dua cahaya merah. Dewi Siluman terlihat melengak. Bukan karena ganasnya pukulan yang kini melabrak ke arahnya melainkan karena dia sepertinya mengenali pukulan itu.
"Jahanam! Jangan-jangan... Ah, tapi aku belum bisa memastikan. Mungkin dia, tapi tak mustahi! orang lain. Aku harus tahu jahanam ini! Kalau benar-benar dia..." Dewi Siluman tak bisa berpikir lebih panjang lagi karena harus segera selamatkan diri dari pukulan lawan.
Perempuan berjubah dan bercadar hitam ini cepat melesat ke samping kanan, membuat gerakan jungkir balik dua kali lalu serta-merta hantamkan kedua tangannya sekaligus!
"Bummm! Bummm!" Tempat itu bergetar hebat. Tanahnya bertabur ke udara.
Perempuan berpunuk rasakan tubuhnya laksana dilanggar gelombang besar hingga saat itu juga tubuhnya mencelat mental sampai dua tombak ke belakang. Dari balik cadarnya tampak meleleh darah kehitaman pertanda dia terluka dalam. Tubuh perempuan ini terlihat bergetar keras. Napasnya megap-megap. Dan setelah sesaat terhuyung-huyung beberapa kali, perempuan berpunuk ini meliuk roboh terkapar di atas tanah.
Di seberang, Dewi Siluman saling usapkan sepasang tangannya. Memandang tajam pada perempuan berpunuk lalu melangkah mendekat. "Ilmu masih sejengkal sudah berani bermulut besar! Hem... Akan kutelanjangi jahanam itu..."
"Celaka!" keluh perempuan berpunuk lalu cepat-cepat kerahkan tenaga dalam dan bergerak bangkit. Namun belum sampai tubuhnya benar-benar tegak, Dewi Siluman telah melesat. Tangan kiri-kanannya bergerak kirimkan hantaman ke arah dada dan perut.
"Bukkk! Bukkk!" Perempuan berpunuk berseru keras. Untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar dan jatuh berkaparan di atas tanah. Darah lebih banyak keluar dari balik cadarnya.
Namun perempuan berpunuk sepertinya punya tenaga luar biasa. Setelah mengerjap dan tahu Dewi Siluman teruskan langkah ke arahnya, dia coba kerahkan sisa-sisa tenaganya. Perlahan-lahan pula dia bergerak bangkit. Seraya terhuyung-huyung dia sentakan kedua kakinya ke tanah. Dua cahaya merah kembali melesat keluar dari sepasang mata di balik cadarnya.
Namun karena tenaga yang dikerahkan tidak utuh lagi, daya lesat cahaya itu sangat lamban. Hingga dengan sekali sentakan tangan, Dewi Siluman bisa membuat cahaya merah bertabur ambyar ke udara. Dan bersamaan dengan itu, tubuh perempuan berpunuk terjengkang roboh.
Kali ini Dewi Siluman tak mau buang waktu. Bersamaan dengan robohnya sosok perempuan berpunuk dia berkelebat ke depan. Kedua tangan kiri-kanannya cepat bergerak menjulur ke bawah.
"Brettt! Breettt!" Pakaian perempuan berpunuk besar robek di bagian dada dan pinggang hingga tampaklah kulit putih mulus dan dada kencang membusung dl baliknya.
Dewi Siluman menyeringai. Lalu ayunkan tangan kanan ke arah muka hendak menanggalkan cadar penutup si perempuan berpunuk. Tapi sejengkal lagi cadar penutup itu tersibak, mendadak ada suara mengekeh panjang membahana di seantero tempat itu.
"Sudah demikian gilakah dunia ini? Perempuan bukannya tertarik pada pemuda tapi tergila-gila pada sesama? Mungkinkah mata ini yang salah lihat atau mereka yang salah tempat?"
Dewi Siluman tersentak. Tangannya cepat ditarik pulang. Lalu berpaling ke arah datangnya suara.
BAB 11
SEBAGAI seorang yang memiliki ilmu tinggi, meski saat itu sepasang mata Dewi Siluman tidak menangkap adanya seorang yang perdengarkan tawa namun seraya mendengus keras perempuan berjubah dan bercadar hitam ini putar diri, lalu mendadak tangan kirinya bergerak menghantam ke udara.
"Wuuuttt!" Satu gelombang angin keras melabrak ganas ke arah sebatang pohon. Pohon itu langsung berderak, kejap lain tumbang keluarkan suara berdebam. Belum sampai derakan batang pohon menghantam tanah, satu bayangan melesat dari kerapatan daun pohon yang hendak tumbang itu dengan perdengarkan gumaman tak karuan.
Selagi bayangan itu melayang di udara, Dewi Siluman angkat kedua tangannya. Serta-merta perempuan ini membuat gerakan jungkir balik dua kali. Pada putaran yang ketiga sekonyong-konyong tangan kiri-kanannya dihantamkan ke depan, ke arah sosok yang kini teiah tiga Iangkah di hadapannya!
"Bukkk! Bukkk!" Terdengar seruan tertahan. Lalu terlihat satu sosok mencelat sampai tiga tombak dari tempat di mana sekarang Dewi Siluman berada. Namun Dewi Siluman terlihat pentangkan sepasang matanya lalu perdengarkan suara menggerendeng panjang pendek.
"Setan alas! Manusia satu itu memang luar biasa!" desisnya sambil memandang ke depan. Tiga tombak di depan sana tampak satu sosok membelakangi dengan posisi menungging dan perdengarkan tawa mengekeh panjang!
Mendadak orang yang menungging ini putuskan tawanya. Lalu balikkan tubuh dengan kepala mendongak. Ternyata dia adalah seorang kakek berambut putih panjang. Wajahnya pucat dengan sepasang mata melotot besar. Kakek ini tidak punya leher, dan seraya mendongak dia buka mulutnya lebar-lebar seolah ingin perlihatkan mulutnya yang tak bergigi!
"Iblis Ompong!" teriak Dewi Siluman. "Aku tak suka bicara dua kali. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Si kakek di depan sana dan memang Iblis Ompong adanya maju satu langkah. "Eh. Kau mengenaliku. Tapi karena kau mengenakan cadar, berat dugaan aku sulit menerka siapa adanya dirimu. Boleh sejenak kubuka penutup wajahmu?"
"Iblis Ompong! Enyah dari hadapanku!"
"Baik. Kalau kau tak izinkan aku membuka cadar melihat wajahmu, aku akan turuti ucapanmu tinggalkan tempat ini. Tapi izinkan aku bawa serta kedua orang itu!"
Seraya berkata Iblis Ompong arahkan jari telunjuknya ke arah Pendekar 131 yang masih duduk di atas tanah dengan mata terpejam dan pada perempuan berpunuk yang diam terkapar di tanah dengan bagian dada dan pinggang pakaiannya robek besar.
"Hem... Begitu? Boleh kau bawa serta kedua orang ini. Tapi sebagai gantinya tinggalkan nyawamu untukku!"
"Mana bisa begitu? Tawaranmu terlalu mahal. Aku akan membawa keduanya tanpa tinggalkan apa-apa untukmu. Tapi... Kalau kau suka, bagaimana kalau nyawaku kuganti saja dengan celanaku ini, hitung-hitung sebagai kenangan kecil untukmu..."
Belum habis bicara, Iblis Ompong membuat gerakan hendak membuka celananya, membuat Dewi Siluman bantingkan kakinya ke tanah. "Jahanam tua jorok! Siapa ingin lihat tubuh keriputan milikmu, hah?!"
"Jangan salah sangka! Aku tak akan bertindak yang bukan-bukan. Aku hanya ingin serahkan celanaku untukmu. Ha Ha Ha...! Tapi kalau matamu tak suka melihat, kau tahu apa yang harus kau lakukan..."
Iblis Ompong teruskan gerakannya yang hendak lorotkan celananya. Namun gerakan Iblis Ompong tertahan tatkala saat itu juga dari arah depan terdengar satu deruan keras, di lain saat kabut berwarna hitam menggebrak ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong buka mulutnya semakin lebar. Lalu balikkan tubuh dan serta-merta hantamkan kedua tangannya kebelakang.
"Wuuut! Wuuutt!" Dari kedua tangan si kakek melesat dua asap putih bergulung-gulung. Begitu asap putih melesat, Iblis Ompong tekuk tubuhnya ke depan. Sepasang kakinya direntangkan. Tiba-tiba raut wajahnya nongol di antara kedua rentangan kakinya yang kini dalam posisi menungging. Mulutnya digembungkan sejenak, lalu disemburkan ke belakang, ke arah dua asap putih.
"Busss!" Dua asap putih serta-merta mengembang besar. Lalu terdengar letupan keras saat kabut hitam pukulan Dewi Siluman melabrak. Asap putih bertabur pecah di udara. Hebatnya, kejap kemudian taburan asap putih bersatu kembali dan secepat kilat melesat deras ke arah Dewi Siluman!
Dewi Siiuman tersentak. Didahului bentakan nyaring, tubuhnya melenting ke udara setinggi dua tombak. Serta-merta kedua tangannya bergerak kirimkan pukulan, lalu perempuan ini sentakan kepalanya. Tiba-tiba saja dari sepasang matanya melesat dua cahaya hitam terang silaukan mata!
"Sinar Setan!" desis Iblis Ompong mengenali pukulan yang melesat keluar dari sepasang mata Dewi Siluman. "Dalam rentang rimba persilatan, hanya satu orang yang memiliki pukulan 'Sinar Setan'. Jadi apakah perempuan ini adanya...?!"
Iblis Ompong geleng-gelengkan kepalanya di antara rentangan kaki, lalu mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Sesaat kemudian dia melompat ke depan. Masih dengan tetap membelakangi, kakek ini hantamkan kedua tangannya ke belakang.
"Wuutt! Wuuutt!" Dua bola asap tampak menggelinding perdengarkan suara berderak-derak.
"Bummm!" Terdengar ledakan dahsyat ketika cahaya hitam silaukan mata bentrok dengan dua bola asap. Tanah di tempat itu bergetar. Di atas tanah tampak alur panjang. Lalu di atas sana terlihat gumpalan benda hitam yang bersamaan dengan terdengarnya ledakan benda hitam itu pecah berantakan. Kini di udara tampak taburan tanah menghalangi pemandangan!
Sesaat setelah terdengarnya ledakan, terlihat di antara kepekatan suasana sosok Dewi Siluman terseret deras ke belakang. Di seberang depan, tubuh Iblis Ompong terhuyung-huyung. Tapi kakek ini segera putar tubuh dan seraya buka mulutnya lebar-lebar, kedua tangannya dihantamkan ke tanah di depan sana, hingga saat itu juga pemandangan makin bertambah pekat karena tanah semakin banyak bertabur di udara.
Ketika taburan tanah sirna, Dewi Siluman terkesiap. Sosok Iblis Ompong tak tampak lagi di depan sana. Perempuan ini segera putar kepala dengan sepasang mata menyapu berkeliling. Tiba-tiba terdengar suaranya tertahan keras. Ternyata sosok perempuan berpunuk dan Pendekar 131 juga lenyap dari tempatnya masing-masing!
"Keparat jahanam!" maki Dewi Siluman seraya angkat kedua tangannya. Seraya putar tubuh dia hantam apa saja yang terlihat oleh matanya. Hingga sejenak kemudian untuk kesekian kalinya tempat itu ditaburi tanah dan daun-daun yang telah hangus kering.
Selagi taburan tanah belum sirap, tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Menduga si bayangan adalah Iblis Ompong, Dewi Siluman melesat memapak. Kedua tangannya berkelebat lancarkan satu pukulan.
"Tahan pukulan!" satu seruan membuat Dewi Siluman tank pulang kedua tangannya.
Sepasang matanya dari lobang cadar memperhatikan dengan dada bergerak turun naik ke depan, dimana kini terlihat dua sosok tubuh tegak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Mereka berdua ternyata dua gadis muda berparas cantik jelita. Sebelah kanan mengenakan jubah besar warna kuning, sedang satunya mengenakan jubah besar warna biru.
"Guru...!" Tiba-tiba kedua gadis itu berseru bersamaan begitu mengenali siapa adanya perempuan berjubah dan bercadar hitam. Kedua gadis ini segera menjura dalam-dalam.
Untuk beberapa saat Dewi Siluman perhatikan kedua gadis dl hadapannya dengan mata tak berkedip. Lalu buka mulut perdengarkan suara keras. "Wulandari. Ayu Laksmi! Mana Sitoresmi...?!"
Gadis berjubah kuning dan biru yang bukan lain Wulandari dan Ayu Laksmi adanya angkat kepala masing-masing. Lalu saling berpandangan dengan mulut sama terkancing!
"Kalian tidak tuli. Aku tanya, mana Sitoresmi?!"
"Maaf, Guru. Kami berpencar. Aku menuju arah utara. Ayu Laksmi ke arah barat. Sedang Sitoresmi menuju ke timur..."
"Bagaimana dengan tugas kalian...?!"
Untuk kedua kalinya Wulandari dan Ayu Laksmi saling pandang. Karena agak lama tak ada juga yang buka mulut untuk menjawab, Dewi Siluman membentak garang.
"Apakah perlu mulut kalian kupecahkan?!"
"Maaf, Guru..." Wulandari buka suara. "Kami belum berhasil mendapatkan apa yang kami buru. Sebenarnya kami hampir saja..."
"Diam! Aku tak butuh alasan!" potong Dewi Siiuman.
"Tapi, Guru..."
Lagi-lagi sebelum ucapan Wulandari habis, Dewi Siluman telah menukas. "Tutup mulutmu! Sekali lagi buka mulut, aku tak ada beban untuk tanggalkan nyawa kalian! Dengar?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tak ada yang berani buka suara. Mereka berdua hanya merunduk dengan sesekali melirik.
"Dengar! Cari Sitoresmi. Kuberi waktu sampai matahari terbenam!"
Karena untuk beberapa saat Wulandari dan Ayu Laksmi masih diam di tempatnya masing-masing, Dewi Siluman bantingkan kaki seraya menghardik.
"Sialan! Apalagi yang kalian tunggu, hah?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak kaget. Buru-buru keduanya menjura dalam. "Kami berangkat, Guru...," ucap Wulandari lalu berkelebat tinggalkan tempat itu seraya menarik tangan Ayu Laksmi.
Begitu kedua muridnya berlalu, Dewi Siiuman menarik napas panjang dan dalam. "Kalau dugaanku benar. Tak ada yang setimpal untuknya kecuali siksa seumur hidup di Istana Setan!"
Dewi Siluman mendongak ke langit. Tiba-tiba dia perdengarkan suitan panjang. Meski suitan biasa, karena dikerahkan dengan tenaga dalam, suaranya sempat memantul dan mengiang lama di seantero tempat itu.
Tak berselang lama, terdengar gemeretak roda kereta melaju cepat ke arah Dewi Siluman. Sesaat Dewi Siluman luruskan kepala dan putar diri, di depan sana terlihat sebuah kereta yang dikusir oleh seorang kakek berambut putih yang disanggul tinggi ke atas mengenakan jubah warna hitam.
Si kakek yang bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam jerengkan sepasang matanya sejenak, lalu berpaling ke belakang, di mana terdapat sebuah peti di bagian belakang keretanya. Mendadak si kakek sentakkan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu terdengar suara berderit. Ternyata, tutup peti itu telah bergerak membuka.
Dewi Siluman gerakan bahunya, sekali kelebat, sosok perempuan berjubah dan bercadar hitam ini melesat dan lenyap masuk ke dalam peti. Kejap kemudian, kereta pembawa peti itu telah melaju cepat meninggalkan suara gemeretak yang menggema di seantero tempat itu...
S E L E S A I