Serial Joko Sableng Dalam Episode Ratu Pemikat
PUNCAK bukit Sono Keling yang sunyi, membuat suara derap langkah kuda makin jelas hingga Pendekar Pedang Tumpul 131 terkesiap. Sepasang matanya cepat berputar liar memperhatikan ke bawah. Kepalanya bergerak ke samping kanan dan kiri. Pendengarannya ditajamkan. Namun murid Pendeta Sinting jadi makin tersekat. Karena mendadak saja suara derap langkah-langkah kaki kuda lenyap seolah direnggut setan!
(Untuk lebih jelasnya mengenal adegan sebelum ini, dapat dibaca pada serial Joko Sableng dalam episode perdana berjudul Pesanggrahan Keramat)
"Aneh. Baru saja langkah-langkah kuda itu terdengar. Tapi... Apakah hanya telingaku yang tertipu? Atau han..." pemuda murid Pendeta Sinting Ini tak teruskan kata hatinya. Bulu kuduknya meremang. Dan belum sirna rasa gelisahnya, tiba-tiba dua bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu dua orang telah tegak di hadapannya!
Joko Sableng surutkan langkah satu tindak. Bola matanya membesar memperhatikan dua sosok di hadapannya. Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mukanya cekung hitam dengan sepasang mata sipit. Rambutnya panjang menjulai sampai punggung dan sebagian menutupi wajahnya. Mulutnya lebar dan tak henti-hentinya komat-kamit. Mengenakan pakaian panjang berupa jubah toga warna hitam. Sedangkan orang di sebelah kiri adalah laki-laki setengah baya. Parasnya keras dengan mata melotot besar. Rambutnya dipotong pendek dan tampak kaku seperti ijuk. Laki-laki ini mengenakan baju warna gelap.
Sejenak kedua laki-laki ini saling pandang satu sama lain. Lalu serentak arahkan pandangannya pada Joko Sableng. Namun keduanya masih tak buka mulut. Sebaliknya laki-laki yang mengenakan jubah hitam sorongkan tubuhnya ke kiri. Lalu berbisik.
"Dandang Wulung. Kau kenal manusia ini?" Laki-laki yang mengenakan baju biru gelap dan dipanggil dengan Dandang Wulung menyeringai. Lalu dengan mengawasi Joko dari atas hingga bawah, kepalanya menggeleng.
"Sawung Rono. Kita tak perlu tahu siapa adanya manusia ini. Jikalau dia di tempat ini, pasti tujuannya sama dengan kita! Dia harus segera disingkirkan!"
Laki-laki berusia lanjut yang dipanggil dengan Sawung Rono tertawa pendek. Tiba-tiba sepasang matanya yang sipit membuka lebar. Mulutnya makin cepat berkomat-kamit. Tubuhnya sedikit bergetar. Wajahnya berubah seketika. Tanpa sadar dari mulutnya keluar gumaman pelan.
"Tak dapat kupercaya..."
Dandang Wulung berpaling. Melihat perubahan pada wajah Sawung Rono, dia kerutkan dahi. "Ada apa?! Apa yang tak kau percaya?!"
Entah karena masih tak percaya dengan apa yang dilihat atau karena tak mendengar pertanyaan, Sawung Rono tak segera menjawab. Sebaliknya sepasang matanya memandang lurus ke depan, lalu menebar ke sekeliling.
"Puncak bukit ini masih sama seperti satu tahun silam. Dan aku tidak buta. Aku melihat makam itu! Tapi kemana sekarang makam itu?!"
"Dandang Wulung. Ada yang tak beres di sini!" bisik Sawung Rono dengan suara serak.
"Sialan! Lekas katakan apa sebenarnya yang terjadi!" hardik Dandang Wulung sedikit geram. Karena Sawung Rono tidak segera memberitahukan apa yang ada dalam benaknya.
"Makam itu tidak ada! Padahal kita ada di tempat yang tidak salah!" kata Sawung Rono pada akhirnya meski dengan mendengus keras karena dirinya dlhardik demikian rupa.
Mendengar ucapan Sawung Rono, sepasang mata Dandang Wulung mendelik angker. Lalu menebar menyapu ke sekitar puncak bukit. Meski dia belum pernah ke puncak bukit Sono Keling, namun mendengar cerita yang berhasil diserapnya, di puncak bukit Sono Keling memang terdapat sebuah makam yang disebut orang Pesanggrahan Keramat.
"Jangan-jangan kita terlambat!" desis Dandang Wulung begitu matanya tidak melihat sebuah makam seperti yang pernah didengarnya.
"Bukan han ya terlambat, tapi seseorang telah mendahului kita dan mendapatkan pedang pusaka itu! Lalu meratakan makam untuk mengelabui orang!" sahut Sawung Rono seraya memperhatikan lagi pada murid Pendekar Sinting.
Untuk kali kedua, dahi laki-laki berwajah cekung hitam Ini berkerut. Dalam hati diam-diam dia berkata. "Hm... Tak ada angin, tak ada hujan. Tapi pakaian pemuda Ini tampak bercak-bercak tanah. Kulitnya pun kotor. Mungkin saja..."
Niat pertama yang tak ingin mengetahui siapa adanya si pemuda sirna, berubah menjadi curiga. Seraya menyeringai dia membentak garang. n"Manusia! Siapa kau?!"
"Sebutkan juga siapa gelarmu!" sambung Dandang Wulung yang ikut curiga.
Di depan sana, Pendekar Pedang Tumpul 131 sunggingkan senyum meski dalam hati sedikit kecut. Karena baru pertama kali ini berhadapan dengan orang yang lagaknya sangat tidak bersahabat. Dan diam-diam pula dia dapat menduga apa tujuan dari dua orang dihadapannya.
"Mereka pasti menginginkan pedang tumpul..." Berpikir sampai di situ, Joko Sableng meraba pakaiannya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131. "Aku Joko Sablengi Kalian siapa?!"
Sawung Rono keluarkan gerengan keras. Sementara Dandang Wulung mendengus. Kedua orang ini saling pandang. Tiba-tiba Sawung Rono sentakkan kepalanya tengadah memandangi bulan yang makin tersuruk ke barat. Seraya usap-usap dadanya dia berseru.
"Sobatku, aku curiga dengan manusia ini. Kita telah berjanji akan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi! Sebelum kita korek mulutnya ada baiknya kau katakan siapa adanya kita!"
Dandang Wulung gosok-gosokkan kedua tangannya. Lalu berteriak keras. "Buka telinga lebar-lebar! Aku dikenal orang dengan julukan Bayangan Setan. Sobatku ini bergelar Bayangan Iblis!" sejenak Dandang Wulung alias Bayangan Setan hentikan ucapannya, lalu menyambung. "Malam sudah hampir habis. Aku tak punya waktu banyak. Jawab pertanyaanku atau kau pulang tanpa kepala!"
Meski mulai agak geram, Joko tersenyum lebar. Dia memang belum pernah dengar tentang siapa manusia yang bergelar Bayangan Setan dan Bayangan Iblis. Namun dari tampang dan cara mereka bicara, murid Pendeta Sinting ini telah dapat mengira-ngira siapa adanya dua orang itu.
"Kita rasanya belum pernah kenal. Tapi tak apalah. Lekas katakan apa yang ingin kalian tanyakan! Tapi jangan memaksaku mengatakan apa yang tidak kuketahui!"
Pelipis kanan kiri Bayangan Setan bergerak-gerak. Rahangnya terangkat dengan mata makin melotot. “Apa yang kau kerjakan di tempat ini?!"
"Hem... Aku tersesat. Apa kalian juga tersesat seperti diriku?!" Joko Sableng balik ajukan tanya. Sementara sepasang matanya melirik pada Sawung Rono yang melangkah mengitari bukit. Dari mulut laki-laki bergelar Bayangan Iblis Ini tak henti-hentinya terdengar umpatan dan seruan tak percaya seraya geleng-gelengkan kepala.
Bayangan Setan tidak segera menjawab pertanyaan Joko. Sebaliknya laki-laki setengah baya ini mengawasi gerak-gerik Bayangan Iblis dengan kening mengernyit. "Bagaimana?!" tanya Bayangan Setan begitu Bayan gan Iblis telah berada di sampingnya.
Bayangan Iblis gelengkan kepalanya. Mulutnya yang komat-kamit terhenti. "Hampir tak dapat kupercaya. Makam itu benar-benar musnah! Bekasnya pun tak terlihat! Orang yang memusnahkan makam itu betul-betul berpengalaman. Tapi tak ada salahnya kita geledah manusia itu! Siapa tahu dia yang melakukan semua ini! Lihat. Pakaian dan tubuhnya kotor oleh tanah!"
Mendengar ucapan Bayan gan Iblis, Bayangan Setan manggut-manggut. Di depan sana, Joko Sableng berpaling sembunyikan perubahan air mukanya.
"He! Aku tahu, kau berkata dusta! Dan kau akan tahu akibatnya berani berkata dusta pada Bayangan Setan dan Bayangan Iblis!" ujar Bayangan Setan seraya melangkah dua tindak ke depan. Matanya terus memperhatikan pakaian dan tubuh Joko yang memang kotor oleh bercak-bercak tanah.
"Kalian tidak mempercayai aku, itu terserah pada kalian! Yang pasti aku telah menjawab apa adanya! Aku harus pergi sekarang," kata Pendekar 131 seraya melangkah hendak meninggalkan puncak bukit.
Bayangan Iblis komat-kamitkan mulutnya dangan keras hingga terdengar desisan beberapa kali. Kepalanya di gelengkan ke kanan kiri. "Tidak semudah itu kau bisa meninggalkan tempat Ini, Bocah!" si kakek berambut panjang ini lantas melangkah mendekati Joko yang urungkan niatnya.
"Ingatanku masih jernih. Setahun silam, aku melihat makam di sini. Sekarang makam itu lenyap. Sedangkan pakaian dan tubuhmu kotor oleh tanah. Padahal tidak mungkin kau tersesat dan bergulung-gulun g di tanah ini!"
"Kau mencurigai aku melenyapkan makan itu?!" tanya Joko seraya memandang tajam pada Bayangan Iblis yang terus melangkah mendekat.
"Terserah kau katakan apa namanya. Namun aku akan menggeledahmu!" ujar Bayangan Iblis seraya selinapkan tangan kanan ke balik jubah hitamnya. Ketika tangan itu ditarik kembali tampak sebuah tongkat kecil berwarna hitam.
Murid Pendeta Sinting segera menangkap bahaya. Seraya mundur satu langkah, dia berkata. "Orang Tua. Tunggu! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Manusia Keparat! Kau telah dengar kata-kataku. Aku akan menggeledahmu!" sambil berkata, Bayangan Iblis putar-putar tongkat di tangan kanannya. Terdengar deru angin keras. Tongkat kecil itu laksana lenyap berganti menjadi bayang-bayang. Jelas jika tongkat itu digerakkan dengan tenaga dalam kuat.
"Orang Tua! Tindakan mu sudah melewati batas. Aku sudah memenuhi permintaanmu untuk menjawab pertanyaan. Namun rupanya kau minta lebih yang tak bisa kupenuhi!"
Bayangan Iblis menyeringai. "Kalau kau tak mau digeledah, terpaksa kau harus berhadapan dengan maut!"
Habis berkata demikian. Bayangan Iblis melompat ke depan. Tongkat di tangan kanannya disentakkan. Bayangan hitam segera melesat dengan keluarkan suara menderu keras. Mengarah pada perut Joko Sableng.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak kaget, dan buru- buru selamatkan diri dari sambaran tongkat dengan membuang diri ke arah samping. Hingga tongkat kecil itu lewat satu jengkal di samping kanannya menghantam tempat kosong.
Bayan gan Iblis kancingkan mulut rapat-rapat. Dia tak menduga sama sekail jika pemuda di hadapannya begitu mudah mengelakkan sambaran tongkatnya. Padahal dia sudah memastikan jika perut lawan akan segera terhantam tongkatnya lalu roboh dengan darah mengucur deras!
"Hem... Rupanya kau punya simpanan sedikit ilmu. Aku ingin tahu sampai di mana Ilmumu!" seraya berujar demikian, sepasang matanya yang sipit melirik pada Bayangan Setan yang tegak mengawasi.
"Ucapan Bayangan Iblis benar. Pemuda ini menyimpan Ilmu. Tapi sebaiknya aku menunggu. Berhasil mengelak dari serangan pertama bukan jaminan bisa menghindar dari jurus berikutnya..." membatin Bayangan Setan. Lalu tanpa memandang pada Bayangan Iblis yang melirik ke arahnya dia berkata.
"Sobatku Bayangan Iblis. Cepat selesaikan manusia itu! Waktu kita tidak banyak. Kita harus segera menyelidik, kalau perlu kita aduk-aduk tanah di puncak bukit ini!"
Meski dadanya panas mendengar kata-kata Bayangan Setan yang nadanya memerintah itu, namun Bayangan Iblis segera berpaling pada Joko dan tanpa berkata lagi dia melesat ke depan.
Wuuuttt! Seeettt!
Bayangan hitam yang keluarkan suara menderu melesat ke arah kepala Pendekar 131, sementara serangkum angin dahsyat segera melesat menyusuli. Bayangan hitam adalah tongkat hitam si kakek, sedangkan serangkum angin dahsyat keluar dari tangan kirinya.
Melihat serangan beruntun, Joko Sableng tak tinggal diam. Selain harus menyelamatkan dirinya, dia juga harus menyelamatkan Pedang Tumpul 131 yang kini berada di genggamannya. Didahului bentakan keras, Pendekar Pedang Tumpul 131 angkat kedua tangannya.
Kraaakkk! Praaakkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Tongkat hitam di tangan kanan Bayangan Iblis hancur berkeping. Kakek ini cepat menarik tangan kirinya yang baru saja bentrok dengan tangan Joko. Tubuhnya digeser dua langkah kebelakang dengan wajah pias namun mata melotot. Dia segera meneliti. Tangan kanan kirinya terlihat bergetar dan kesemutan. Dadanya berdebar dan sesak. Kakek ini segera maklum jika pemuda di hadapannya tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.
Sementara itu di hadapannya, Joko terlihat kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja menangkis tongkat dan tangan kiri Bayangan Iblis. Wajahnya sedikit berubah, namun hanya sejenak. Sesaat kemudian murid Pendeta Sinting ini telah tersenyum-senyum, membuat Bayangan Iblis naik pitam.
"Keparat Busuk! Terimalah kematianmu, Bangsat!" Kedua tangannya dihantamkan lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh yang telah dialiri tenaga dalam.
"Byuuurrr!" Tanah di mana Joko berdiri muncrat ke udara menghalangi pandangan. Belum sampai tanah itu sirap kembali, terdengar suara tawa pendek. Bayangan Iblis tersedak. Dia cepat berpaling. Sepuluh langkah di sampingnya, tampak Joko Sableng cengengesan seraya masukkan jari kelingkingnya ke lubang telinganya!
Sepasang mata si kakek membeliak angker. Mulutnya menganga tanpa keluarkan suara. Diam-diam dada kakek ini berdebar keras. Dia rupanya sudah tidak sangsi lagi jika pemuda yang dihadapinya kali ini benar-benar mempunyai Ilmu yang tidak cetek!
"Siapa pemuda Ini sebenarnya?!" batinnya dengan kerahkan tenaga dalam untuk kembali lepaskan pukulan. Di sampingnya Bayangan Setan tampak memperhatikan lebih seksama. Laki-laki setengah baya ini pun tampak terkejut melihat apa yang terjadi. Namun dia masih belum bergerak.
"Orang Tua! Aku tak mau membuat perselisihan dengan kalian. Aku harus segera pergi!" habis berkata, Pendekar Pedang Tumpul 131 putar tubuh dan berkelebat hendak meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan, karena tahu-tahu di depannya sudah menghadang Bayangan Setan!
"Silakan pergi, asal kepalamu kau tinggal di sini!" dengus Bayangan Setan. Kedua matanya melirik pada Bayangan Iblis, lalu kepalanya mengangguk memberi isyarat. Bersamaan dengan itu, terdengar bentakan lantang. Bayangan Iblis tekuk lututnya sedikit hingga tubuhnya melorot. Tiba-tiba kedua tangannya mengembang dan dihantamkan ke arah Joko. Pada saat yang sama Bayangan Setan lepaskan pukulan dengan sentakkan kedua tangannya!
Serangkum angin dahsyat keluarkan suara laksana gelombang disertai hamparan hawa panas segera menggebrak ke arah Joko dari arah Bayangan Iblis. Pada saat yang bersamaan, Joko melihat sinar hitam membersit dengan keluarkan suara berdengung dari pukulan kedua tangan Bayangan Setan.
Puncak bukit Sono Keling laksana dihantam gelombang. Tanahnya bergetar dan berhamburan. Batu-batu padas rengkah dan beberapa di antaranya langsung berderak pecah lalu tersapu dan mencelat jatuh ke bawah. Lamping bukit berguguran dan serentak membuat lekukan menganga!
Murid Pendeta Sinting segera melompat mundur. Kedua tangannya cepat disejajarkan dada. Tiba-tiba kedua tangannya berubah menjadi kuning keperakan. Secepat kilat kedua tangannya disentakkan dengan telapak mengembang.
"Wuuuttt! Wuuuttt!"
Dua berkas sinar kuning melesat keluar dari masing-masing telapak tangan Pendekar 131. Di tengah jalan, sinar kuning itu mengembang. Bersamaan dengan itu suasana berubah menjadi semburat warna kuning dan panas bukan alang kepalang. Murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'!
Terdengar letupan keras beberapa kali tatkala pukulan 'Lembur Kuning' bentrok dengan gabungan pukulan yang dilepas Bayangan Setan dan Bayangan Iblis. Joko keluarkan seruan tegang. Tubuhnya mental ke udara hingga beberapa tombak. Pakaian yang dikenakannya tampak robek di bagian bahu. Wajahnya pias dengan mulut megap-megap seakan sulit bernapas. Dalam keadaan demikian, tubuhnya menukik turun dan terkapar di atas tanah!
Di depan sana, Bayangan Setan berseru keras. Tubuhnya mencelat ke belakang dan bergulingan dengan sudut bibir mengalirkan darah segar. Pakaian yang dikenakan hangus dan robek di sana-sini! Laki-laki ini merasakan dadanya seakan pecah dan panas. Namun dia segera katupkan sepasang matanya untuk mengatur pernapasan. Di sebelah kanan, Bayangan Iblis keluarkan jeritan lengking tatkala pukulannya bentrok dengan pukulan Pendekar 131.
Mungkin karena usianya telah lanjut, maka tenaga yang dikeluarkan tidak begitu kuat, ini menyebabkan tubuhnya melesat cepat laksana kapas ditiup angin kencang. Jubah hitamnya hangus dan langsung terpotong sebatas pinggang! Darah hitam mengucur dari mulut dan hidungnya. Karena tak bisa kuasai tubuhnya lagi, kakek Ini tersungkur di lamping bukit. Masih untung tangan kanannya segera menggapai batu. Jika tidak, tubuhnya pasti akan melayang jatuh ke bawah!
"Jahanam betul!" sungut Bayangan Iblis pelan seraya merangkak ke atas. Mulutnya yang biasa komat-kamit kini dikancingkan rapat-rapat, takut darah akan lebih banyak keluar. Namun gerakan kakek ini hanya sebentar. Begitu tubuhnya sampai di atas, tubuhnya bergetar keras lalu dari mulutnya terdengar erangan tertahan bersama muncratnya darah hitam. Tangannya menggapai-gapai lalu perlahan-lahan lunglai dan luruh ke tanah. Bersamaan dengan itu erangannya terputus seketika dan tubuhnya tak bernyawa lagi!
Mendapati Bayangan Iblis tewas, Bayangan Setan pupus nyalinya. Apalagi merasa dirinya telah terluka. Tengkuk laki-laki setengah baya ini merinding. Sepasang matanya jelalatan menyebar berkeliling mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Namun laki-laki ini seketika berpaling dengan terkejut. Di sebelahnya telah tegak Joko Sableng dengan senyum dingin. Mencium adanya bahaya, Bayangan Setan cepat gulingkan tubuhnya agak menjauh. Lalu dengan sentakan tangan kiri kanannya di atas tanah, dia bergerak berdiri. Terhuyung-huyung sebentar lalu tegak lurus dengan mata tak berkedip memperhatikan Joko.
Mendadak sepasang mata Bayangan Setan makin membeliak besar. Dahinya berkerut dengan alis mata terangkat naik. Bukan heran memandang sang pemuda yang kini meringis-ringis sendiri, namun terkesiap melihat seberkas sinar kuning yang memancar dari pinggang Pendekar Pedang Tumpul 131 yang ternyata telah robek. Karena saat itu cuaca sudah agak terang, maka dengan jelas Bayangan Setan dapat melihat benda apa yang memancar dari pinggang Joko.
"Sarung pedang... Tak salah lagi. Sarung pedang itu pasti berisi Pedang Tumpul 131 yang menjadi rebutan para tokoh rimba persilatan dan dikabarkan tersimpan dalam makam Pesanggrahan Keramat. Sialan betul. Rupanya manusia ini telah berhasil mendapatkannya! Ah... Seandainya aku tidak terluka. Hem... Bagaimanapun juga aku harus dapat melarikan diri. Hal ini harus kukatakan pada Ratu Pemikat..."
Bayangan Setan diam-diam kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Joko. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat menuruni bukit Sono Keling.
Murid Pendeta Sinting menggerendeng panjang pendek. Dia buru-buru melompat ke samping dan berkelebat ke arah bukit. Sepasang matanya masih dapat menangkap kelebatan tubuh Bayangan Setan di sela-sela pohon. "Hem... Tak ada gunanya dikejar..." gumam Joko lalu menoleh ke arah mayat Bayangan Iblis. Kepalanya menggeleng perlahan.
"Apa yang diucapkan Guru benar adanya. Rimba persilatan penuh dengan manusia-manusia serakah dan tak tahu diri. Manusia yang tega menurunkan tangan maut untuk mencapai maksudnya..."
Pendekar Pedang Tumpul 131 ini lantas tengadahkan kepala ke sebelah timur. Nun jauh diatas sana, di bawah cahaya sang rembulan sepenggal yang semakin condong ke kaki langit, samar-samar membersit cahaya terang pertanda tak lama lagi sang mentari akan segera unjuk diri.
LAKI-LAKI setengah baya mengenakan pakaian warna biru gelap yang telah hangus dan sebagian robek itu hentikan larinya di bawah pohon besar di tepi sebuah lembah yang ditumbuhi beberapa pohon rindang hingga dedaunan itu seakan bersatu padu menghadang teriknya sang mentari, membuat lembah itu tampak temaram meski di luar sana terang benderang. Laki-laki ini mengusap bibirnya yang mengucurkan darah segar. Lalu mengurut dadanya yang bergerak tak teratur. Sejenak dia memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar makian panjang pendek.
"Jahanam betul! Kejadian ini tak akan kulupa. Manusia itu akan tetap kuburu sampai kapan pun! Hem... Joko Sableng. Tunggulah saatnya nanti!"
Laki-laki setengah baya yang bukan lain adalah Bayangan Setan ini arahkan pandangannya ke lembah. "Ratu Pemikat. Apakah dia akan percaya dengan keteranganku? Ah, itu terserah padanya..." Bayangan Setan menarik napas dalam-dalam. "Aku gagal menjalankan tugas, berarti aku tak akan dapat menikmati kehangatan tubuhnya. Tapi aku masih punya kesempatan!" setelah diam beberapa lama dan deburan dadanya sedikit reda, laki-laki ini melangkah menuju lembah.
Pada sebatang pohon besar di tengah-tengah lembah, Bayangan Setan hentikan langkah. Memandang sejenak ke sekitarnya, lalu melangkah menyelinap ke balik batang pohon. Ternyata dibalik batang pohon besar itu terdapat sebuah lubang sebesar satu putaran tombak. Pada sisi lubang tampak sebuah tangga turun dari batu.
Dengan langkah-langkah sedikit gemetar, Bayangan Setan menuruni tangga. Suasana di situ cukup terang, karena pada sisi tangga terdapat beberapa obor. Sampai tangga paling bawah, Bayan gan Setan berhenti. Ternyata tangga itu menghubungkan dengan sebuah ruangan agak luas yang dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu. Pada sudut kanan, terdapat sebuah ranjang besar dari batu yang diberi kelambu tembus pandang.
Bayangan Setan memandang ke arah ranjang besar. Meski ditutup kelambu namun karena tembus pandang, dari tempatnya berdiri dia bisa melihat Jelas bagian dalam ranjang. Sepasang mata Bayangan Setan tiba-tiba membesar dengan dada berdebar keras, jakunnya bergerak turun naik. Laki-laki ini melihat dua orang sedang berpelukan rapat. Telinganya juga menangkap suara desahan panjang yang ditingkahi dengan tawa cekikikan pelan.
"Sialan! Dia sedang bermesraan. Bagaimana sekarang? Apakah aku harus menunggu sampai mereka selesai atau aku langsung saja memberitahukan masalah ini? Jahanam betul! Aku jadi ingin..."
Bayangan Setan tak meneruskan kata hatinya, karena saat itu juga dari arah ranjang besar tampak sesosok tubuh menoleh padanya. Lalu berpaling lagi dan membungkuk sebentar, mencium orang di sampingnya dengan keluarkan suara lembut.
"Permainan ini belum selesai. Nanti kita lanjutkan. Tunggulah sebentar..."
Habis berkata begitu, sosok ini merapikan rambutnya yang panjang. Lalu bergerak turun dari ranjang dan menyingkapkan kelambu. Kini jelas wajah sosok ini. Ternyata dia adalah seorang perempuan berambut panjang. Meski tidak muda, namun wajahnya cantik jelita. Dadanya membusung kencang dengan pinggul mencuat bagus. Sepasang matanya bundar dengan bibir bagus. Mengenakan pakaian tipis panjang yang di bagian dadanya di buat amat rendah, hingga sembulan payudaran ya tampak jelas. Pakaiannya dibuat membelah di bagian depan dengan beberapa kancing hingga ke bawah.
Si perempuan pandangi Bayangan Setan dengan dahi berkerut. "Hem... Rupanya dia kembali tanpa membawa hasil seperti yang kuharapkan..." kata si perempuan dalam hati. Lalu dia melangkah ke arah Bayangan Setan dan berkata.
"Bagaimana perjalananmu, Bayangan Setan?!" Bayangan Setan tidak segera menjawab.
Mungkin karena masih terkesima dengan pemandangan di hadapannya. Karena mungkin lupa atau entah disengaja, kancing-kancing baju bagian bawah si perempuan tidak dikancingkan, hingga kulit pahanya yang putih mulus dari betis hingga hampir pangkal paha tampak dengan jeias. Juga satu kancing di dadan ya terbuka, hingga payudaranya lebih menyembul terpentang.
Karena tak ada jawaban dari Bayangan Setan, si perempuan segera palingkan wajahnya dengan tubuh sedikit diputar. Namun hal ini tampaknya membuat Bayangan Setan semakin terpana. Karena dengan keadaan miring begitu rupa, payudara si perempuan lebih jelas terlihat hampir seluruhnya!
"Kau datang sendiri, padahal kau berangkat berdua. Aku mempunyai firasat kau pulang berhampa tangan. Katakan padaku apa yang telah kau peroleh selama kau menjalankan apa yang kuinginkan!" kata si perempuan berparas cantik itu dengan nada sedikit keras.
Bayangan Setan tersentak dari keterkesimaannya membuat si perempuan keluarkan suara tawa nyaring namun jelas nada tawanya penuh dengan cemooh. "Kau tak buka mulut. Berarti dugaanku benar bukan?! Kau gagal?!"
"Ratu Pemikat... Segala kemampuan telah kukerahkan. Tapi nasib jelek nampaknya berpihak padaku. Selain aku terluka cukup parah, Bayangan Iblis nyawanya tidak bisa kuselamatkan..."
Si perempuan cantik yang dipanggil dengan Ratu Pemikat berpaling. Memperhatikan keadaan Bayangan Setan sejenak lalu mengajukan pertanyaan. "Kau bentrok dengan seseorang? Siapa dia?!"
Bayangan Setan menggumam sebentar. Dengar masih menindih gejolak di dadanya, dia berkata. "Seorang pemuda berilmu tinggi. Aku baru pertama kali ini bertemu dengannya..."
Mendengar ucapan Bayangan Setan, Ratu Pemikat dongakkan kepala. Dari mulutnya terdengar lagi suara tawa mengekeh panjang. Hingga dadanya terlihat naik turun. "Hanya seorang pemuda kalian tak mampu melawannya, lebih menyedihkan lagi Bayangan Iblis harus tewas. Hem... Percuma kau bergelar Bayangan Setan jika harus terbirit-birit melawan seorang pemuda!"
"Tapi, Ratu... Dia benar-benar berilmu tinggi. Nyatanya dia berhasil melukaiku dan menewaskan Bayangan Iblis. Lebih gila lagi ternyata pemuda itu berhasil mendapatkan Pedang Tumpul 131!"
Mungkin karena sangat terkejut, tawa Ratu Pemikat tiba-tiba terputus seketika. Bersamaan dengan itu, tubuhnya bergerak kembali menghadap Bayangan Setan dan serentak melompat ke depan. Tangan kanannya bergetar memegang pundak Bayan gan Setan. Dari mulutnya keluar suara keras.
"Apa kau bliang? Pemuda itu berhasil mendapatkan Pedang tumpul 131?!"
Bayangan Setan menjawab dengan anggukan kepalanya. Dada laki-laki ini makin bergetar karena tangan Ratu Pemikat menyentuh pundaknya. Bau harum sang ratu menambah gejolaknya makin membara. Namun laki-laki ini tak berani berbuat banyak. Dia hanya bisa memandang payudara di depan hidungnya dengan mata membeliak.
Ratu Pemikat tarik tangan kanannya dari pundak Bayangan Setan. Wajahnya merah padam. Dadanya bergerak makin keras. Tanpa memandang pada laki-laki di hadapannya, dia berkata. "Siapa nama pemuda keparat itu?! Siapa pula gelarnya?!"
"Dia tidak menyebutkan gelar. Dia hanya sebutkan namanya. Namanya Joko... Joko Sableng!"
"Katakan ciri-cirinya!" kata Ratu Pemikat sambil palingkan wajahnya dan memandang Bayangan Setan dengan mata membeliak tak berkedip. Perempuan ini coba menahan rasa geram yang menyesakkan dadanya.
"Jahanam! Dia memerintah seenak dengkulnya saja! Seandainya aku tak menginginkan tubuhnya, tak akan mau menuruti keinginannya!" gerutu Bayan gan Setan dalam hati.
"Dia kira-kira berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Parasnya tampan. Rambutnya panjang dengan mengenakan ikat kepala. Matanya tajam..."
"Bodoh! Ciri-ciri seperti itu banyak orang punyai. Yang kumaksud ciri-ciri tertentu yang tidak dipunyai orang lain!" tukas Ratu Pemikat memutus keterangan Bayan gan Setan.
Bayan gan Setan kernyitkan dahi seolah mengingat-ingat. Namun tak lama kemudian kepalanya menggeleng. "Aku tidak melihat ciri-ciri tertentu. Karena suasananya waktu itu agak gelap..."
"Kalau begitu, dari mana kau tahu jika pemuda itu telah berhasil mendapatkan Pedang Tumpul 131? Apakah dia tunjukkan padamu?!"
Bayangan Setan kembali gelengkan kepalanya. "Waktu terlibat bentrok, gempuran pukulanku dan pukulan Bayangan Iblis berhasil merobek pakaiannya. Saat itulah aku menangkap sinar kuning dari pinggangnya yang robek. Meski cuaca agak gelap sinar kuning itu dengan jelas memperlihatkan benda apa yang bersinar. Ternyata benda itu adalah sebuah sarung pedang pendek berwarna kuning. Aku yakin, itu adalah Pedang Tumpul 131!"
"Hem... Keparat benar. Bartahun-tahun kuburu-buru dan kuselidiki, tahu-tahu dengan mudahnya di dapat oleh pemuda kemarin sore! Menyesal, sungguh aku merasa menyesal menyuruh manusia-manusia yang cuma besar mulut dan besar nafsu tapi kecil nyali dan kering llmu!"
Bayan gan Setan jadi terdiam gagu. Lalu dengan suara agak bergetar karena menahan gejoiak dia berkata. "Ratu... Kalau perjanjian kita masih berlaku, aku akan turun tangan lagi. Selain membalas tewasnya Bayangan iblis, aku akan merebut pedang itu dan membawanya untukmu!"
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Hem... Manusia jika sudah dirasuki hawa nafsu ternyata mudah dikendalikan. Pikiran jernihnya lenyap hingga tak tahu lagi barang apa yang digadaikannya untuk memuaskan nafsu itu... Hik Hik Hik..." pikir sang ratu dalam hati.
Sebaliknya mesti berkata hendak merebut pedang dan akan menyerahkan pada Ratu Pemikat, namun dalam hatinya diam-diam Bayangan Setan membatin lain. "Aku bukan manusia bodoh. Sekali pedang dapat kurebut, pantang berpindah tangan! Kau boleh memiliki tubuh yang menggiurkan, desah yang mengundang. Tapi terlalu mahal jika ditukar dengan pedang pusaka yang menggegerkan rimba persilatan itu!"
"Bayangan Setan. Sebenarnya aku hendak memutuskan perjanjian itu. Namun melihat semangatmu, rasanya kurang enak jika membatalkannya. Dengarlah, kalau kau berhasil membawa pedang itu untukku, kau bukan saja berhak memilikiku selama satu purnama. Namun..."
Ratu Pemikat putuskan ucapannya. Bibirnya sunggingkan senyum. Kedua kakinya direntangkan hingga pahanya terlihat jelas. Dadanya dibusungkan hingga kancingnya terbuka satu lagi, membuat payudaranya terpentang. Lalu mulutnya membuka lagi keluarkan suara lembut.
"Kau bisa menikmati apa yang kau lihat kapan saja kau menginginkan!"
Meski Bayangan Setan telah membatin tak akan mudah dikelabui dengan tubuh, namun melihat pemandangan dihadapannya, hatinya berguncang juga. "Sialan! Perempuan ini benar-benar menggoda..."
"Bayangan Setan. Kau telah dengar ucapanku. Apa lagi yang kau tunggu? Kalau kau ingin segera menikmati, syaratnya sudah kau ketahui!" ujar Ratu Pemikat sambil berpaling.
Bayangan Setan menggerendeng dalam hati. Lalu putar tubuh. Sebelum melangkah meninggalkan ruangan itu dia berkata. "Ratu... Tunggulah! Aku akan datang dengan membawa permintaamu!" habis berkata begitu, laki-laki ini melangkah menaiki tangga batu diiringi suara tawa sang ratu.
"Kalau berdua tak sanggup, mana mungkin sendirian akan berhasil? Hik Hik Hik..." desis Ratu Pemikat seraya melirik ke arah ranjang. "Melihat keadaan, tampaknya sudah waktunya aku turun tangan sendiri! Lambat laun berita tentang pedang itu pasti akan tersebar. Sebelum banyak orang yan g tahu, aku harus segera memburu pemuda itu! Pemuda... Berparas tampan. Hem... Lebih muda untuk menaklukkannya..."
Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Lalu melangkah perlahan ke arah ranjang. Tangannya bergerak membuka kelambu, dan sekejap kemudian tubuhnya telah membungkuk. Kedua tangan tampak menggapai dan merangkulnya dari bawah, lalu dengan cekatan tangan itu melepas kancing-kancing pakaian sang ratu. Ketika tubuh Ratu Pemikat naik ke ranjang, tubuh itu telah tanpa penutup lagi!
MATAHARI sudah lama tenggelam di bentangan kaki langit sebelah barat. Namun angkasa raya tampak cerah, karena tak ada awan mengambang. Bulan bulat penuh perlahan-lahan memanjat langit dari sebelah selatan, membuat suasana lingkaran bumi makin benderang.
Di sebelah timur Teluk Panarukan, tepatnya pada sebuah gugusan batu karang, salah satu dari beberapa gugusan batu karang yang berjajar mengelilingi teluk, terlihat dua sosok sedang duduk berhadapan. Angin dari laut berhembus kencang, membuat pakaian yang dikenakan dua sosok ini berkibar-kibar. Hawa laut yang menebar garam menghampar menyesakkan dada. Namun kedua sosok ini tampaknya tidak terpengaruh dengan suasana sekitar teluk.
Dibantu cahaya bulan purnama, wajah-wajah sosok ini terlihat agak jelas. Ternyata mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda. Sang laki-laki duduk bersila di atas sebuah gugusan batu karang, sementara sang gadis duduk bersila di hamparan pasir di bawahnya.
Sang laki-laki adalah seorang yang berusia amat lanjut. Kulit sekujur tubuhnya telah mengeriput. Paras wajahnya bulat besar dengan dilapis kulit yang sangat tipis dan putih pucat. Rambutnya putih tipis dan dikuncir ke belakang. Jambang, kumis dan jenggotnya lebat dan hampir menutupi permukaan wajahnya. Mengenakan pakaian rompi panjang besar berwarna kuning.
Yang membuat laki-laki ini makin tampak angker adalah bahwa dia hanya memiliki satu mata sebelah kanan. Mata itu besar dan masuk ke dalam cekungan sangat dalam. Sementara mata kirinya ditutup dengan sebuah kulit bundar yang diikatkan ke belakang kepala. Dalam kancah rimba persilatan, laki-laki bermata satu ini sudah banyak dikenal orang. Karena selain berilmu tinggi, laki-laki ini juga dikenal sebagai momok yang ditakuti dan disegani.
Berpuluh-puluh tahun laki-laki ini malang melintang dalam rimba persilatan dengan menebar hawa kematian di mana-mana. Tidak jelas apa yang menjadi tujuan utamanya karena beberapa korban yang tewas di tangannya bukan hanya dari kaum persilatan golongan putih saja. Namun beberapa tokoh golongan hitam pun ban yak yang menemui ajal di tangannya. Hingga rimba persilatan menggelari laki-laki Ini dengan gelaran angker Maut Mata Satu!
Sementara gadis muda yang duduk di bawah Maut Mata Satu adalah seorang gadis berwajah cantik. Rambutnya panjang dengan sepasang mata bulat tajam. Hidungn ya mancung dengan bulu mata lentik. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah ketat hingga bentuk dada dan pinggulnya terbayang jelas. Setelah agak lama saling berdiam diri, Maut Mata Satu membuka mulut, memecahkan kesunyian.
"Larasati, Muridku. Beberapa tahun kau kugembleng dan kudidik. Malam ini tiba saatnya bagimu mengetahui dunia luar. Dunia di mana kau bisa mempergunakan apa yang telah kau peroleh! Dan seperti yang sering kukatakan padamu, tugas utama yang harus segera kau lakukan adalah mencari dan mendapatkan pedang pusaka Tumpul 131..."
"Guru... Segala yang kau katakan akan segera kulaksanakan. Tapi kalau boleh tahu, apakah Guru tahu di mana kira-kira pedang itu berada?"
Beberapa lama Maut Mata Satu terdiam. Mata satu-satunya memandang tajam pada Larasati. Sejenak kemudian kepalanya bergerak tengadah. "Larasati. Berpuluh-puluh tahun aku mencoba mencari tahu di mana berada pedang itu. Namun usahaku tak membawa hasil, padahal telah sekian manusia yang kukorek mulutnya bahkan sebagian harus kucabut nyawanya. Hingga aku hampir berkesimpulan jika Pedang Tumpul 131 itu hanyalah cerita bohong. Anehnya, begitu aku menyembunyikan diri, kabar di mana beradanya pedang itu menyebar. Memang belum bisa dibuktikan kebenaran berita itu, namun melihat banyaknya tokoh-tokoh yang muncul lagi, aku berkeyakinan berita itu tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kau harus segera menyelidik..."
Maut Mata Satu hentikan penuturannya. Lalu melanjutkan. "Kabar yang berhasil kusirap, pedang itu berada puncak bukit Sono Keling. Di situ ada sebuah makma tua yang disebut orang dengan Pesanggrahan Keramat."
Larasati mendengar ucapan Maut Mata Satu dengan seksama. Setelah gurunya diam, gadis cantik itu ajukan pertanyaan. "Apakah tidak ada hal lain mengenai pedang itu Guru?"
“Maksudmu...?!" Maut Mata Satu balik bertanya.
"Tentang ciri-ciri Pedang Tumpul 131 itu!"
"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun menurut beberapa tokoh juga beberapa ahli gaib, pedang itu berwarna kuning yang di tubuhnya bergurat angka 131. Tubuh pedang itu tidak terlalu panjang. Gagangnya berwarna hijau dari batu giok. Jelas?!"
Larasati anggukkan kepalanya.
"Nah, Larasati. Kau bisa mulai menyelidik sejak malam ini. Tapi ingat. Kau harus waspada dan hati-hati. Tidak mustahil kau akan berhadapan dengan dedengkot rimba persliatan yang kabarnya kini muncul kembali. Pergunakan segala akal, kerahkan segala tenaga! Dan sejak malam ini kau harus menggunakan gelar Dewi Seribu Bunga, seperti nama pukulan sakti yang kuajarkan padamu"
Larasati yang kini telah digelari gurunya dengan Dewi Seribu Bunga menjura dalam. "Murid pamit sekarang, Guru..."
Maut Mata Satu mendehem seraya anggukkan kepalanya. "Dapatkan Pedang Tumpul 131. Kita akan menjadi raja rimba persilatan, Dewi!"
"Sebagai balas budi atas segala ilmu yang kau wariskan padaku, aku tidak akan mengecewakanmu. Aku akan berusaha mendapatkan pedang itu, Guru!" kata Dewi Seribu Bunga seraya berdiri, menjura sekali lagi lalu putar tubuhnya dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
Hari ini adalah hari kelima Dewi Seribu Bunga mengadakan perjalanan mencari bukit Sono Keling. Di tengah jalan beberapa kali gadis cantik Ini bertanya pada para penduduk yang dilewatinya.
"Hem... Orang terakhir yang kutanya, menunjuk pada bukit itu. Semoga benar apa yang dikatakannya" gumam Dewi Seribu Bunga seraya arahkan pandangan pada sebuah bukit.
"Pedang Tumpul 131... Moga-moga aku tak kedahuluan orang lain. Dan mumpung masih pagi, aku harus segera ke sana..."
Dewi Seribu Bunga cepat berkelebat ke arah timur, menuju sebuah bukit yang ditunjuk orang. Pada kaki bukit, gadis Ini hentikan larinya. Dia tampak ragu-ragu seraya memandang ke sebuah kedai!
"Ah, urusan perut bisa diurus nanti!" ujar Dewi Seribu Bunga lirih. Lalu teruskan langkah. Tatkala kedai itu tak terlihat lagi, gadis ini segera kerahkan Ilmu peringan tubuhnya, lalu berkelebat laksana anak panah mendaki ke puncak bukit.
Tak berapa lama kemudian, muri d Maut Mata Satu ini sampai pada puncak bukit. Bau busuk yang amat menyengat segera menyambut gadis itu.
"Menilik busuknya, pasti ini adalah bangkai manusia!" duga Dewi Seribu Bunga seraya tekap hidung de ngan mata jeialatan mencari sumber bau busuk. Tiba-tiba sepasang mata gadis ini membelalak besar. Dari tempatnya berdiri, dia melihat sesosok mayat di tepi lamping bukit
"Ada mayat, tanah ban yak yang terbongkar. Hem... Berarti telah terjadi bentrok di sini. Pasti orang-orang persilatan yang memburu Pedang Tumpul 131. Apakah pedang itu telah jatuh ke tangan orang...? Dan mana makam tua itu...?!" batin Dewi Seribu Bunga seraya mulai melangkah ke hamparan puncak bukit. Sepasang matanya meneliti.
"Jahanam! Bau busuk mayat itu mengganggu sekali!" gadis ini melangkah mendekati bangkai mayat sambil terus tekap hidungnya.
Di depan mayat, murid Maut Mata Satu ini berhenti. Dengan kaki kanan, dibalikkannya tubuh mayat itu. Gadis ini terpekik kaget. Ternyata raut wajah mayat sudah tak dapat dikenali lagi, karena di muka itu telah dipenuhi cacing-cacing tanah. Dengan tubuh menggigil karena jijik, gadis ini segera dorongkan kaki kanannya ke tubuh mayat. Mayat itu bergulingan dua kali sebelum akhirnya meluncur ke bawah.
"Hem... Aku harus waspada, mungkin masih banyak orang di sini..." gumam Dewi Seribu Bunga lalu tajamkan sepasang telinganya.
Sepasang matanya menyapu berkeliling hingga sampai lamping-lamping bukit. Merasa aman, gadis ini segera melangkah lagi ke tengah hamparan puncak bukit. Dia mondar-mandir beberapa kali dengan mata tak berkedip memperhatikan setiap jengkal tanah puncak bukit. Namun hingga sekian lama, gadis ini tak menemukan apa yang dicari.
"Pedang Tumpul 131..." ujar Dewi Seribu Bunga pelan seraya, menghela napas dalam. "Kata Guru berada di makam tua puncak bukit Sono Keling. Tapi hingga mataku pedih, aku tak menemukan makam itu! Apakah kabar yang sampai pada Guru itu berita bohong? Atau aku salah tempat...?"
Dewi Seribu Bunga terdiam sejenak sambil mengawasi hamparan puncak bukit. "Melihat keadaan di sini, juga adanya mayat, aku yakin ada di tempat yang benar. Tak mungkin terjadi bentrok di puncak bukit kalau tidak memperebutkan pedang itu. Tapi mana makam itu...?!"
Benak Dewi Seribu Bun ga kembali diselimuti ke-bimbangan. Selagi gadis ini dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar deru angin menyambar dari arah belakang. Dewi Seribu Bunga tersentak dan cepat berpaling dengan terkejut. Gadis ini putar tubuh dan surutkan langkah satu tindak ke belakang dengan mata membelok memandang ke depan.
Di hadapan Dewi Seribu Bunga tampak berdiri tegak seorang laki-laki. Berusia kira-kira lima puluh tahunan. Mengenakan jubah warna biru. Kepalanya botak kelimis. Sepasang matanya sipit dengan bibir sangat tebal. Sosoknya tinggi besar dengan leher panjang. Pada leher itu melingkar untaian kalung dari Kayu bundar-bun dar berwarna coklat. Tangan kanannya pun tampak memainkan untaian kalung dari kayu bundar-bundar berwarna coklat. Seraya memainkan kalung di tangannya, mulut laki-laki ini berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak jelas.
"Siapa kau?” seru Dewi Seribu Bunga dengan suara parau.
Laki-laki berkepala botak hanya tersenyum menyeringai. Tangan kirinya bergerak mengelus-elus kepalanya. Sementara sepasang matanya yang sipit dibeliakkan memandang pada Dewi Seribu Bunga dari bawah hingga atas, lalu berhenti pada dada, membuat si gadis kesal dan wajahnya berubah merah padam.
"Hem... Tak ada gunanya aku meladeni laki-laki seperti dia. Di sini rupanya sudah tak ada yang bisa diharapkan lagi. Terpaksa aku akan menyelidik dengan caraku sendiri..." habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga putar tubuh hendak tinggalkan tempat itu, namun belum sampai tubuhnya berkelebat, laki-laki berkepala botak telah buka mulut.
"Gadis cantik. Kau kira semudah itu bisa pergi tanpa terlebih dahulu mengatakan siapa dirimu dan memberi keterangan yang kubutuhkan?!"
Sepasang mata Dewi Seribu Bunga mendelik. Dadanya bergetar menahan rasa geram. Dengan keluarkan dengusan keras, gadis ini balikkan tubuh. "Ternyata kau bukan laki-laki bisu! Tapi jangan dikira aku takut mendengar gertakanmu"
Mendapati ucapan lantang gadis di hadapannya, si laki-laki botak bukannya marah, malah keluarkan suara tawa panjang seraya usap-usap kepalanya. "Bagus! Gadis seperti kaulah yang aku senangi! Garang dan Liar..." desisnya dengan senyum aneh. "Tapi kalau kau tahu sedang berhadapan dengan siapa, kau akan menyesal!"
"Kau boleh mengatakan hal demikian, tapi bukan padaku, Orang Tua!"
Laki-laki berkepala botak terdiam. Sepasang matanya memandang ke hamparan puncak bukit. Dia menarik napas dalam. "Ternyata kabar tentang adanya makam tua itu hanya bohong belaka. Di sini tak ada makam! Gadis Ini tampaknya juga terkecoh dengan kabar angin yang sekarang tersebar. Hem... Daripada tak mendapat apa-apa, tubuh gadis ini pun dapat mengobati kekecewaanku. Dadanya besar, pinggulnya menggoda. Tentunya hangat..." sepasang mata laki-laki berkepala botak kembali mengarah pada gadis di hadapannya.
"Anak gadis. Siapa kau sebenarnya?!" tanya si laki-laki dengan suara berubah rendah.
Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab pertanyaan si laki-laki. Namun setelah berpikir sejenak, seraya tersenyum sinis dia berkata. "Aku Dewi Seribu Bunga. Kau sendiri siapa?"
"Dewi Seribu Bunga. Hem.... Nama bagus. Rasanya baru kali ini aku mendengar gelar itu. Melihat gerak-geriknya gadis ini tampaknya punya sedikit iimu..." membatin si laki-laki lalu arahkan pandangannya pada jurusan lain seraya berujar.
"Kau telah sebutkan siapa dirimu, tak enak rasanya jika aku tak katakan siapa diriku..." kepala si laki-laki kembail berpaling dengan mata menatap pada Dewi Seribu Bunga. Kau sedang berhadapan dengan Resi Mahayana!"
Dewi Seribu Bun ga beringsut mundur satu tindak! Mulutnya bergerak-gerak namun tidak ada suara yang terdengar. "Resi Mahayana. Seperti apa yang pernah kudengar dari Guru. Manusia bergelar Resi Mahayana adalah seorang dedengkot rimba persilatan yang berilmu tinggi dan doyan perempuan. Hem... Tentunya dia juga sedang memburu pedang itu. Beberapa dedengkot rimba persilatan nyatanya memang muncul seperti ucapan Guru. Aku harus cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan coba menyelidik di tempat lain, siapa tahu..."
Ucapan dalam hati Dewi Seribu Bunga terputus karena saat itu juga tiga sosok tubuh berkelebat dan langsung mengurung Dewi Seribu Bunga serta Resi Mahayana.
"Siapa kalian?! Berani berlaku macam-macam, kalian akan jadi bangkai di puncak bukit ini!" teriak Dewi Seribu Bunga begitu menangkap gelagat tidak baik dari sosok yang mengurungnya. Dada gadis ini makin berdebar.
Sebaliknya Resi Mahayana terlihat tenang-tenang saja meski sejurus tadi sempat terkejut. Seraya mendongak laki-laki berkepala botak ini berkata dalam hati. "Berita jahanam tentang pedang itu ternyata telah menyebar ke mana-mana. Jika tidak, tak mungkin keparat-keparat dari tanah seberang ini muncui di sini! Hem... Sialan benar! Terpaksa aku harus menunda dulu keinginanku untuk menggeluti tubuh gadis itu. Keparat-keparat pendatang haram ini harus kuusir dahulu..!"
Resi Mahayana sentakkan kepalanya. Memandang satu persatu pada tiga orang yang mengurung. Mulutnya berkemak-kemik. "Tiga Dayang Setan! Kuperingatkan pada kalian. Tapi ingat, peringatan bagi kalian adalah sebuah perintah! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Mendengar Resi Mahayana menyebut siapa adanya tiga orang yan g mengurung, mulut Dewi Seribu Bunga ternganga. Serentak sepasang matanya memperhatikan lebih seksama pada tiga orang yang mengurung.
Tiga orang yang dipanggil dengan Tiga Dayang Setan sama-sama keluarkan gerengan tertahan. Dari tampang mereka memang tidak salah jika mereka bergelar Tiga Dayang Setan. Raut wajah masing-masing orang ini tampak seram meski ketiganya adalah perempuan. Tiga orang ini memiliki wajah mirip satu sama lain. Usia mereka telah lanjut, terlihat dari rambut mereka yang telah memutih.
Paras mereka lonjong dengan kulit ber-lipat-lipat. Mata mereka besar menjorok ke luar. Hidungn ya melesak ke dalam hampir-hampir tak bisa disebut hidung. Bibirnya tipis dan dipoles merah menyala. Mereka mengenakan pakaian panjang sebatas lutut berwarna hitam. Namun meski mereka tidak muda lagi, dada mereka terlihat membusung kencang dan besar. Pinggul mereka pun padat dan membentuk bagus. Apalagi pakaian yang mereka kenakan sangat tipis dan ketat, seakan ingin menunjukkan liku-liku bentuk tubuhnya.
Tiba-tiba orang yang di sebelah kanan angkat tangannya. Melihat gerak-geriknya orang sebelah kanan ini adalah yang paling tua dan jadi pimpinan. "Laki-laki botak! Rupanya kau telah mengetahui siapa adanya kami. Berarti kami tak usah lagi memperkenalkan diri! Tapi rasanya aku sulit mengenali siapa adanya kau. Tak keberatan jika sebutkan namamu?!"
"Kau juga dua kembaran mu tak perlu tahu siapa aku! Cepat laksanakan apa yang kukatakan pada kalian atau kalian akan jadi mayat di sini!"
Tampang masing-masing dari Tiga Dayang Setan berubah mengelam. Mata mereka membelalak dengan mulut terkatup rapat. Sejurus kemudian, satu sama lain saling berpandangan. Namun sebelum ada yang keluarkan suara. Resi Mahayana telah berkata kembali.
"Kalian dengar ucapanku. Apa kalian memang minta segera mati?!"
Salah seorang dari Tiga Dayang Setan tiba-tiba surutkan kaki. Kedua tangannya mengepal dan siap lepaskan pukulan. Perempuan sebelah kanan kembal angkat tangannya seraya berseru.
"Tak perlu turuti ucapan tua botak ini. Bagi kita membuat nyawanya melayang semudah kita mematahkan ranting kering! Kita tanya dulu, apakah bangsat ini telah mendapatkan api yang kita cari. Aku curiga, karena tempat yang kita tuju tak seperti apa yang kita dengar. Jangan-jangan bangsat ini telah menghilangkan tanda-tandanya setelah mendapatkan barang pusaka itu!"
Meski masih menindih rasa geram, perempuan yang tadi hendak lepaskan pukulan menuruti ucapan perempuan di sebelah kanan. Perempuan sebelah kanan segera melangkah satu tindak. Dengan mata menyengat tajam, dia berkata.
"Botak! Dengar baik-baik. Kami telah mengadakan perjalanan jauh dari seberang laut. Urusan mati bukan hal yang kami takutkan! Kami datang ke puncak bukit Ini untuk mencari pedang pusaka. Namun ternyata kau dan gadis itu telah mendahului. Kulihat tempat ini telah porak-poranda, dan tanda-tanda di mana pedan g itu disimpan telah lenyap. Aku yakin kau atau gadis itu telah mendapatkan pedang itu, lalu menghilangkan makam di mana tadi tersimpan pedang. Kami akan tinggalkan tempat ini dengan pedang yang ada padamu!"
Resi Mahayana menyeringai. Lalu menoleh pada Dewi Seribu Bunga. "Dewi! Tetap di tempatmu. Urusan kita belum selesai. Aku akan merobek dulu mulut keparat-keparat dari daratan Nias ini! Mereka rupanya belum sadar jika hamparan Tanah Jawa masih terlalu keras untuk mereka!"
Dewi Seribu Bunga hentakkan sepasang kakinya ke tanah, hingga tanah itu bergetar. "Kau tak punya hak memerintahku!" habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga melangkah menjauh.
Salah seorang dari Tiga Dayang Setan hendak menghalangi, sementara Resi Mahayana gerakkan tangannya. Namun kedua orang ini urungkan niat masing-masing demi melihat si gadis hanya melangkah menjauh lalu berhenti seraya mengawasi.
"Tiga Dayang Setan! Akan kutunjukkan pada kalian jika hamparan Tanah Jawa belum waktunya kalian injak!" Habis berkata demikian, Resi Mahayana sentakkah tangan kirinya. Gelombang angin dahsyat segera menyambar ke arah salah seorang dari Tiga Dayang Setan yang tadi hendak melepaskan pukulan.
Yang diserang melompat maju, kedua tangannya dihantamkan dengan keluarkan bentakan keras. Sementara dua lainnya beringsut mundur seakan memberi kesempatan pada kembarann ya untuk menghadapi Resi Mahayana.
Terdengar letupan keras tatkala pukulan mengandung tenaga dalam itu bertemu. Salah seorang dari Tiga Dayang Setan cepat menarik diri ke belakang dengan wajah berubah. Tangannya bergetar dengan dada sesak. Sementara Resi Mahayana hanya menyeringai dingin sambii usap-usap kepalanya. Dari bentrok tadi Tiga Dayang Setan telah maklum jika laki-laki botak ini bukan lawan yang bisa dianggap enteng.
Mendapati hal demikian, salah seorang dari Tiga Dayang Setan ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Sekali loncat, perempuan ini telah tegak dua langkah di depan Resi Mahayana. Lau secepat kilat tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah kepala sang Resi.
"Bukkk!" Kepala Resi Mahayana tersentak ke atas terkena pukulan tangan kanan salah satu Tiga Dayang Setan itu, karena sang Resi tidak membuat gerakan menangkis atau menghindar. Hebatnya, Resi Mahayana tidak bergeming, malah keluarkan tawa pendek. Sementara perempuan yang lepaskan pukulan terlihat meringis kesakitan sambil mengernyit. Lalu cepat-cepat mundur. Namun gerakannya tertahan, karena pada saat yang sama, Resi Mahayana melesat ke depan. Tangan kirinya bergerai! menghantam.
"Wuuuttt!" Serangkum angin deras datang mendahului sebelum tangan itu sendiri melabrak sasaran. Perempuan yang diserang geser kepalanya ke kiri, sementara kedua tangannya siap hendak lepaskan hantaman balik, hantaman tangan Resi Mahayana lewat sejengkal di sebelah kanan kepala lawan.
Namun begitu hantaman tangan kirinya melabrak tempat kosong dan kepala lawan yang dihantam bergetar ke kanan, secepat kilat tangan kanan sang Resi yang memegang untaian tasbih menderu memapak dari samping kanan!
"Praaakkk!" Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini meraung keras. Tubuhnya tersuruk ke samping hingga satu tombak lalu terbanting di atas tanah dengan pelipis berlubang dan mengucurkan darah! Sejenak perempuan ini melejat-lejat kejang. Lalu menjerit tinggi sebelum akhirnya menggelepar lalu diam tak bergerak-gerak lagi!
Dua perempuan kembaran Tiga Dayang Setan memekik keras melihat kematian saudara mereka. Mereka tak menduga sama sekali jika lawan begitu cepat dapat menewaskan saudaranya. Sementara dari tempat agak jauh, Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut rapat-rapat. Di depan sana, Resi Mahayana tertawa mengekeh!
"Sudah kukatakan, gelombang Tanah Jawa belum saatnya kalian jajaki. Kalian masih punya pilihan. Menuruti perintahku atau menyusul saudara kalian!"
"Jahanam!" teriak dua perempuan dari Tiga Dayang Setan ini berbarengan. "Botak bangsat! Kami tak akan kembali ke daratan Nias sebelum membetot putus nyawa busukmu!"
Habis membentak begitu, perempuan yang jadi pimpinan Tiga Dayang Setan ini lorotkan tubuh hingga lutut hampir menekuk. Kedua tangannya segera didorong ke depan. Satunya lagi tak tinggal diam. Kedua tangannya dikemban gkan lalu dihantamkan!
Gelombang angin yang keiuarkan hawa panas dan suara menggeledek segera menghampar ke arah Resi Mahayana dari dua jurusan. Resi Mahayana terkesiap sejurus. Namun buru-buru membuat gerakan aneh dengan rebahkan tubuh sejajar tanah. Tangan kirinya lepaskan pukulan sementara tangan kanannya putar-putar untaian tasbihnya.
Ledakan keras segera mengguncang puncak bukit itu tatkala tiga pukulan bentrok di udara. Tubuh Resi Mahayana terguling beberapa kali, sementara dua dari Tiga Dayang Setan terlihat terseret masing-masing satu tombak ke belakang. Namun salah seorang dari perempuan ini segera dapat menguasai tubuh. Tanpa keluarkan suara bentakan perempuan yang jadi pimpinan ini cepat melesat ke arah Resi Mahayana.
Resi Mahayana terperangah kaget. Namun sebelum laki-laki berkepala botak ini sempat membuat gerakan, tendangan salah seorang dari Tiga Dayang Setan ini telah menghujam ke arah dadanya!
"Bukkk!" Resi Mahayana berseru tegang. Tubuhnya mencelat lalu jatuh bergedebukan dengan mulut mengeluarkan darah!
"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya usap darah dari mulutnya. Laki-laki ini segera bangkit. Namun sebelum tegak, sosok salah seorang dari Tiga Dayang Setan telah berada di depannya. Lalu Resi Mahayana melihat dua bayangan berkelebat. Tahu-tahu sepasang tangan sang perempuan telah berada di depan matanya!
Resi Mahayana cepat tarik kepalanya ke belakang. Pukulan lawan menderu sejari telunjuk dari kepalanya. Namun laki-laki ini masih merasakan perih di kedua matanya. Begitu serangan lawan lewat. Resi Mahayana angkat kakinya dengan kepala terus digeser ke belakang hingga menempel tanah dan dibuat sebagai tumpuan.
"Bukkk!" Satu tendangan keras mendarat di lambung perempuan di hadapannya. Tubuh perempuan ini langsung terjajar tiga langkah ke belakang dengan keluarkan jerit kesakitan.
Kesempatan ini tak disia-siakan sang Resi. Begitu si perempuan terjajar dan belum dapat menguasai diri, kepala lakl-iaki botak ini berputar cepat. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke depan dengan kaki lurus!
Di depan sana, si perempuan menahan rasa terkejut. Buru-buru rebahkan tubuh untuk selamatkan diri dari tendangan lawan. Tapi sebelum tubuhnya benar-benar roboh, tangan kanan Resi Mahayana yang memegang tasbih telah bergerak dari bawah dan membabat ke arah punggung lawan.
"Kraaakkk!" Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini berteriak keras ketika tulang punggungnya patah terhantam tasbih. Walau tasbih itu hanya terbuat dari untaian kayu bundar-bundar, namun karena digerakkan dengan tenaga dalam, maka tenaga yang keluar dapat mematahkan pohon membongkar tanah!
Karena terhantam dari arah bawah, tubuh si perempuan mental ke udara, Resi Mahayana tertawa panjang! Kakinya menjejak tanah. Tubuhn ya melesat menyusul ke udara. Di atas udara, tasbihnya diputar-putar lalu secepat kilat digerakkan dan disentakkan.
"Settt!" Salah satu dari Tiga Dayang Setan terperangah! Karena tasbih lawan tiba-tiba telah melingkar di lehernya! Si perempuan coba hantamkan tangannya meski dengan mengerang karena punggungnya sakit bukan alang kepalang. Namun sebelum kedua tangannya bergerak lepaskan hantaman, tangan kanan Resi Mahal yang telah bergerak menghentak.
"Kraaakkk!" Tulang leher si perempuan salah satu dari Tiga Dayang Setan ini patah. Kepalanya lunglai ke samping kanan dengan erangan pelan. Ketika Resi Mahayana angkat tangannya dan keluarkan tasbih dari leher si perempuan, perempuan itu meluncur turun dengan tubuh tanpa nyawa lagi!
KETIKA Resi Mahayana berpaling, laki-laki botak ini melengak kaget, salah satu dari Tiga Dayang Setan yang masih hidup juga Dewi Seribu Bunga tidak ada lagi!
"Keparat jadah! Mereka kira Resi Mahayana akan membiarkan ikan yang telah masuk jaring. Ha Ha Ha..." laki-laki ini cepat berkelebat lalu berdiri tegak di lamping bukit. Sepasang matanya yang sipit dijerengkan, kepalanya melongok ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, laki-laki ini masih menangkap kelebatan dua sosok di antara kerapatan pohon di bawahnya. "Belum jauh..." gumamnya dengan senyum seringai. Sejenak dia berpaling, memandang pada dua sosok dari Tiga Dayang Setan yang telah jadi mayat.
"Kasihan. Jauh-jauh hanya cari mati" sepasang matanya lantas mengedar ke hamparan tanah di pun cak bukit. Menarik napas sebentar. Dan sekali kelebat, tubuhnya lenyap dari puncak bukit Sono Keiing.
Di bawah sana, salah satu dari Tiga Dayang Setan yang masih tersisa kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Demikian juga Dewi Seribu Bunga, tapi salah satu dari Tiga Dayang Satan ini menempuh jalan yang banyak ditumbuhi semak belukar lebat, dengan maksud agar Resi Mahayana kesulitan jika berniat mengejar. Sedangkan Dewi Seribu Bunga menempuh jalan yang ada, hingga meski keduanya berkelebat turun bersamaan, si gadis murid Maut Mata Satu telah jauh meninggalkan si perempuan salah satu dari Tiga Dayang Setan.
Pada hamparan semak belukar lebat di lereng bukit, salah satu dari Tiga Dayang Setan hentikan lari! "Sialan. Aku terpaksa harus beristirahat sebentar, dadaku serasa jebol. ini gara-gara pukulan laki-laki keparat itu! Ah, ternyata Tanah Jawa penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Dua saudaraku telah jadi korban. Hem... Aku harus secepatnya kembali ke Nias. Kelak aku akan kembali ke sini dan menagih darah saudaraku!"
Setelah mengurut dadanya, perempuan ini diam sejurus. Kepalanya lantas tengadah ke atas. Merasa tak ada orang yang mengejar ke arahnya, perempuan ini melangkah hendak teruskan menuruni bukit. Namun langkahnya tertahan. Di belakangnya terdengar suara tawa berderai disusul dengan teguran keras.
"Tak adil jika kau tak merasakan seperti yang dinikmati saudara-saudaramu! Ha Ha Ha...!"
Tanpa berpaling, si perempuan sudah tahu siap adanya orang yang keluarkan teguran. Sesaat perempuan ini ragu-ragu. Akan terus melarikan diri atau melakukan perlawanan. "Tak ada jalan lain. Terpaksa harus mengadu jiwa” si perempuan segera putar tubuh. Tapi perempuan ini terperangah. Di hadapannya tak ada siapa-siapa! Hanya semak belukar lebat.
"Baru saja kudengar suaranya, tapi mana keparatnya? Telingaku juga mendengar tawanya, namun mana bangsatnya?! Jahanam betul!"
Selagi mencari-cari, sepuluh langkah di depannya semak belukar itu bergerak menguak. Lalu muncul kepala botak dengan keluarkan suara tawa bergelak. Si perempuan tak membuang waktu. Belum sampai tubuh Resi Mahayana keluar dari semak belukar, si perempuan dari Tiga Dayang Setan telah hantamkan kedua tangannya.
"Brettt! Breeettt!" Semak belukar lebat di depan si perempuan terbabat rata, malah sebagian tercerabut dari akarnya dan berhamburan ke udara. Namun sebelum hantaman itu menghajar sasaran, laki-laki botak telah lenyap dari tempatnya berdiri!
"Setan Alas! Ke mana lenyapnya botak bangsat itu?!"
Selagi perempuan ini tajamkan telinga dan beliakan mata mencari tahu di mana beradanya Resi Mahayana, dari arah belakang berdesir angin kencang. Si perempuan cepat berpaling dengan tangan menghantam. Namun sebelum tangannya lepaskan pukulan, sebuah kalung telah melingkar di lehernya. Si perempuan tak pedulikan. Tangannya terus menghantam ke depan. Namun hantaman tangannya hanya menerpa tempat kosong. Bersamaan dengan lenyapnya pukulan, tiba-tiba perempuan ini merasakan tubuhnya terangkat ke atas.
Mencium adanya bahaya, si perempuan hantamkan lagi tangan kiri kanannya ke atas. Kakinya pun bergerak menendang ke belakang. Namun lagi-lagi pukulannya hanya menghajar angin. Malah pada saat yang sama, terdengar suara tawa mengekeh panjang. Tiba-liba kepala si perempuan laksana disentakkan hingga tengadah. Namun cuma sesaat, sekejap kemudian tasbih di lehernya terbetot ke belakang dengan kerasnya. Terdengar tulang patah. Disusul kemudian dengan keluarnya raungan keras dari mulut si perempuan. Ketika tasbih melesat keluar dari leher, sebuah kaki berkelebat menendang ke arah punggung.
"Bukkk!" Si perempuan dari Tiga Dayang Setan ini hanya sempat mengerang sebentar. Tubuhnya mental ke depan lalu terjerembab di hamparan semak belukar dengan nyawa melayang! Resi Mahayana komat-kamitkan mulut. Menyeringai sebentar lalu berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pada suatu tempat yang dirasa aman karena sudah jauh dari bukit Sono Keiing, Dewi Seribu Bunga hentikan larinya. Lalu duduk bersandar pada sebuah pohon dengan napas terengah-engah.
"Bagaimana sekarang...? Apa aku akan kembali menemui Guru dahulu memberitahukan semua ini, atau terus saja meiakukan penyelidikan? Ah... Lebih baik teruskan saja melakukan penyelidikan. Jika gagal, baru menemuinya! Hem... Pedang Tumpul. Apakah telah jatuh ke tangan orang lain? Atau apakah pedang itu tidak ada? Hanya kabar bohong yang direncanakan seseorang untuk suatu tujuan tertentu? Bukankah Guru pernah mengatakan jika rimba persiiatan selalu diselimuti dengan akal licik dan muslihat?!" gadis ini lantas teringat pada Resi Mahayana.
"Seandainya aku tidak sedang kebingungan untuk penyelidikan pedang Itu, rasanya tanganku sudah gatal untuk merobek mulutnya yang kelewat besar itu. Tiga Dayang Setan... ilmu masih sebatas mata kaki sudah berani keluar sarang..."
Mungkin karena terlalu lelah, lagi pula angin bertiup semilir, membuat Dewi Seribu Bunga menguap dari sesaat kemudian gadis ini terlelap. Namun baru saja sepasang mata si gadis mengatup, sebuah bayangan biru berkelebat dan tegak di samping sang gadis yan g tertidur setengah berbaring bersandar pada pohon. Sosok ini memperhatikan dada sang gadis yang bergerak turun naik sambil mengelus-elus kepalanya yang botak kelimis.
"Nasibku baik. Ternyata dia kutemukan di sini. hem... Mungkin dia kelelahan..." Sepasang mata sosok berkepala botak yang bukan lain adaiah Resi Mahayana mengerjap beberapa kali menelusuri sekujur tubuh gadis di hadapannya. Jakunnya mulai turun naik dengan dada berdebar. Karena sang gadis tanpa disengaja angkat kaki sebelahnya hingga pahanya tersingkap.
Rangsangan yang mendera dada Resi Mahayana. tampaknya sudah tak bisa dibendung lagi. Tanpa pikir panjang lagi, laki-laki berkepala botak ini bungkukkan tubuhnya hendak mencium wajah si gadis, sementara tangan kirinya bergerak meraba paha si gadis.
Merasa ada hawa panas bersiur di wajah serta usapan di pahanya, Dewi Seribu Bunga membuka kelopak matanya. Mengerjap sebentar lalu tengadah. Gadis Ini tersentak dan cepat menarik tubuhnya ke samping. Lalu bangkit tegak dengan keluarkan bentakan marah.
"Kurang ajar! Laki-laki terkutuk!"
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Kedua tangan Dewi Seribu Bunga bergerak lepaskan hantaman ke arah kepala Resi Mahayana dari arah kanan kiri.
Resi Mahayana tak melakukan gerakan sedikit pun. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Dewi Seribu Bunga telah menghajar kepalanya dari arah samping kanan dan kiri. Kepala botak ini tersentak ke kiri lalu ke kanan. Tubuhnya yang tinggi besar surut satu tindak ke belakang. Namun dari mulut laki-laki ini tak terdengar seruan kesakitan. Sebaliknya bibirnya keluarkan tawa pelan lalu tangan kirinya mengusap kepalanya yang baru saja terkena pukuian Dewi Seribu Bunga.
"Kepala manusia ini tampaknya kebal terhadap pukulan. Tapi tidak bagian tubuhnya yang lain..." Dewi Seribu Bunga kembaii maju. Tenaga dalamnya dilipatgandakan. Didahului bentakan keras, kedua tangannya kembali melesat. Tangan kiri mengarah pada perut, tangan kanan menghantam ke bahu.
Kali ini Resi Mahayana tak tinggal diam. Tangan kirinya mengibas sementara tangan kanannya yang memegang tasbih diangkat dan menyentakkan tasbihnya ke bawah.
"Bukkk! Prakkk!"
Benturan segera terdengar. Dewi Seribu Bunga terpekik dan cepat mundur. Sepasang matanya mendelik besar ketika mendapati tangan kanannya berubah merah sedangkan tangan kirinya bergetar dan ada warna kebiru-biruan membentuk tiga bundaran.
Di depan sana, Resi Mahayana sedikit terkejut ketika tangannya sempat bentrok dengan tangan si gadis. Dia tak menyangka sama sekali jika si gadis memiiiki tenaga dalam tinggi. Selagi laki-laki ini bertanya-tanya sendiri dalam hati tentang siapa sebenarnya adanya si gadis, tiba-tiba terdengar suara bentakan garang melengking. Pada saat yang sama, dari arah depan menyambar satu sinar menyebarkan cahaya berwarna-warni.
"Wuuusss!" Setengah jalan, mendadak saja sinar itu pecah. Lalu melesat berpuluh-puiuh pijaran api yang selain keluarkan hawa panas juga berdesing tajam!
Resi Mahayana terkesiap. Dan buru-buru hantamkan tangan kirinya sementara tangan kanannya diputar-putar. Habis lakukan tangkisan, laki-laki ini melesat ke samping, menghindar dari muncratan pijar-pijar api. Terdengar beberapa letupan yang keluarkan kobaran begitu pijaran-pijaran api itu terkena pukulan tangan Resi Mahayana.
Namun karena banyaknya pijaran yang muncrat, sebagian lolos dan menghajar pepohonan di sekitar tempat itu. Pohon yang terkena pijaran api langsung hangus dan terbakar! Tidak lama kemudian pohon itu berkeretekan lalu tumbang terbelah! Tanah yang terkena percikan pijaran api langsung muncrat ke udara dan berhamburan dengan berubah menjadi panas!
"Pukulan 'Api Seribu Bunga'!" desis Resi Mahayana mengenal pukulan yang dilepaskan Dewi Seribu Bunga. "Tak bisa kupercaya! Dalam rimba persilatan hanya satu orang yang memiliki pukulan sakti itu! Tokoh yang sudah lama tak unjuk diri lagi entah sudah tewas atau masih sembunyikan diri. Maut Mata Satu! Apakah dia murid Mata Satu?! Hem... Tak heran jika dia bergelar Dewi Seribu Bunga. Tapi aku tadi masih belum mengira jika gelar itu ada hubungannya dengan pukulan 'Api Seribu Bunga'..."
Ketika pijaran bunga-bunga api sirap, Resi Mahayana memperhatikan Dewi Seribu Bunga yang saat itu juga menatap ke arahnya. Pelipis gadis ini bergerak-gerak dengan mata berkilat merah, karena pukulan yang dilepaskan tidak menghantam sasaran.
"Apa hubunganmu dengan Maut Mata Satu?" bentak Resi Mahayana.
"Di sini bukan tempatnya untuk bertanya!" seru Dewi Seribu Bunga meski parasnya sedikit berubah karena merasa orang mengenali siapa gurunya. Namun perasaan itu segera lenyap begitu mengingat perlakuan laki-laki di hadapannya yang baru saja mencoba mencium dan menggerayangi pahanya. Amarahnya kembali menggelora. Dan tanpa berkata lagi, gadis ini tarik kedua tangannya ke belakang dengan telapak mengepal. Lalu didorong ke depan sambil mengembangkan telapak tangannya.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua sinar yang menebarkan sinar berwarna-warni kembali melesat keluar dari telapak tangan Dewi Seribu Bunga. Setengah jalan, sinar itu pecah lalu bermuncratan kembang-kembang api yang membawa hawa panas dan keluarkan suara mendesis tajam!
Tahu akan kehebatan pukulan yang dilancarkan si gadis, Resi Mahayana cepat takupkan kedua tangannya. Tubuhnya melorot turun hingga duduk bersila. Sesaat kemudian tubuh resi ini terangkat dan mengapung di udara masih dengan bersila dan mata mengatup. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan di hantamkan ke depan. Asap biru membersit dari kedua tangan sang Resi. Begitu keluar, asap itu melebar lau menghampar di tempat itu dan sebagian membentuk gulungan-gulungan dan melesat ke arah Dewi Seribu Bunga.
Beberapa bunga pijaran api meletup lalu padam namun sebagian lagi terus melesat ke arah Resi Mahayana dari berbagai jurusan. Laki-laki ini melengak kaget. Cepat dia angkat tangan kanannya dan putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera melindungi tubuhnya yang masih mengapung di udara. Beberapa bunga api yang mengarah padanya segera mental lalu padam. Namun karena banyaknya bunga api, mau tak mau membuat sang Resi kewalahan. Hingga tak pelak lagi satu dua bunga api sempat menyambar tubuhnya!
"Setan Jahanam" maki Resi Mahayana seraya tekapkan tangan kirinya ke lambung. Tangan kanannya terus putar-putar tasbihnya. Tiba-tiba laki-laki ini gerakkan kepalanya. Tubuhnya yang mengapung bergerak melayang ke belakang. Lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah.
Cepat-cepat ditelitinya bagian tubuh yang terkena pijaran. Dia berkerut. Kulit di bagian lambungnya telah melepuh begitu juga lengan kirinya. Dan belum sempat laki-laki ini kerahkan tenaga dalam, lambung dan lengannya berkedut-kedut. Lalu lepuhan itu muncrat dengan keluarkan cairan hitam. Ternyata kulit lambung dan lengan itu berlubang dan mengucurkan darah!
Tahu akibat apa yang akan terjadi kalau sampai terlambat, Resi Mahayana cepat menotok permukaan kulit sekitar lubang yang mengucurkan darah itu. Lalu dari balik pakaiannya dia keiuarkan butiran kecil yang segera ditelan. Kedua tangannya lantas menakup dengan mata memejam, mulutnya perdengarkan suara yang tak jelas.
Di depan sana, Dewi Seribu Bunga terlihat tersapu oleh hamparan asap biru. Tubuhnya melayang dengan mulut megap-megap tanpa ada suara yang terdengar. Tubuhnya baru terhenti ketika menghantam sebatang pohon. Lalu terkapar dengan dada bergerak turun naik.
"Keparat! Dadaku seakan tak bisa digunakan untuk bernapas. Asap gila apa ini?" gumam Dewi Seribu Bunga seraya tarik tubuhnya bersandar ke batang pohon. Gadis ini segera kerahkan hawa murni untuk mengatasi dadanya. Namun gadis ini tertegun dengan wajah makin pucat. Kekuatannya tiba-tiba lenyap! Hingga dia tak mampu kerahkan tenaga dalam!
"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Padahal tubuhku tidak mengalami cidera yang parah. Benar-benar gila. ilmu apa yang dilepaskan laki-laki bangsat itu?!"
Selagi Dewi Seribu Bunga dilanda kecemasan, di depan sana Resi Mahayana buka kelopak matanya. Darah yang mengucur telah berhenti. Sejenak sepasang matanya memandang ke arah Dewi Seribu Bunga. Tiba-tiba bibir laki-laki berkepala botak ini ulaskan senyum.
"Pukulan 'Pelebur Tenaga' ternyata telah terhirup. Hem... Sekarang tanpa tenaga pun aku bisa meringkusnya! Aku harus segera bertindak. 'Pelebur Tenaga’ itu hanya akan melebur tenaganya selama seperempat hari!" Resi Mahayana bangkit. Melangkah perlahan ke arah Dewi Seribu Bunga dengan bibir tersenyum.
"Celaka! Keparat itu mendekat. Padahal tenagaku masih belum bisa puiih. Apa yang harus kulakukan...?”
Dewi Seribu Bunga mencoba duduk. Merasa mampu, gadis ini segera hendak bangkit. Namun mulutnya segera keluarkan keluhan pendek tatkala baru saja bergerak, tubuhnya limbung dan akhirnya jatuh kembali.
Resi Mahayana tertawa bergelak-gelak. "Dewi... Tenagamu akan pulih jika kita telah bersatu dalam asmara. Ha Ha Ha...!"
Laki-laki berkepala botak ini hentikan langkah di samping Dewi Seribu Bunga. Tasbihnya disimpan ke balik jubahnya. Kedua tangannya lantas bergerak menjulur ke depan dengan tubuh sedikit dibungkukkan.
"Jahanam! Apa yang hendak kau lakukan?!" teriak gadis berbaju merah dengan tubuh gemetaran dan mata mendelik.
"Sudah kukatakan. Tenagamu akan pulih jika kita bersatu dalam kemesraan. Bukankah kau ingin tenagamu kembali?" sambil berkata, tangan laki-laki ini telah mengusap pundak si gadis, sedangkan tangan satunya merayap dari arah bawah, menyingkap pakaian si gadis!
Dewi Seribu Bun ga berteriak-teriak. Karena hanya itu yang dapat dilakukan. Seluruh tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. Dan teriakan itu berubah menjadi bentakan-bentakan marah serta dampratan panjang pendek tatkala tangan kanan Resi Mahayana telah menyingkap pakaian bawahnya hingga pahanya terlihat, sementara tangan kirinya terus bergerak ke arah dadanya
"Breeettt!" Resi Mahayana sentakkan tangan kirinya. Pakaian si gadis di bagian dada langsung robek. Sepasang mata sang Resi membentang besar melihat payudara putih membusung dan bergerak turun naik.
Tanpa mempedulikan teriakan dan makian si gadis yang sudah tak berdaya. Resi Mahayana rebahkan tubuhnya hendak menindih Dewi Seribu Bunga. Namun gerakan laki-laki ini tertahan. Karena dari arah samping menderu angin deras menghantam ke arahnya. Mendapati gelagat buruk, Resi Mahayana segera berpaling dan cepat membuat gerakan memutar tubuh sambil melompat ke samping.
"Brakkk!" Pohon di belakang Dewi Seribu Bunga berderak dan tumbang begitu terkena pukulan yang berhasil dihindari Resi Mahayana.
"Terkutuk! Siapa berani berlagak jual ilmu kepadaku?!" teriak Resi Mahayana seraya putar kepala dengan mata liar ke sana kemari.
Belum lenyap gema teriakan Resi Mahayana, sesosok bayangan berkelebat tahu-tahu tegak di hadapan sang Resi dengan kepala celingukan!
Dari tempatnya masing-masing, Resi Mahayana dan Dewi Seribu Bunga melihat seorang pemuda mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala putih melingkar di rambutnya yang panjang dan sedikit acak-acakan. Pemuda ini berparas tampan dengan tubuh tegap. Namun gerak-geriknya membuat orang yang melihat kerutkan dahi, karena jari kelingking tangan kanannya dimasukkan pada lubang telinganya hingga wajahnya meringis dengan tubuh sedikit menggelinjang!
"Tingkah dan gerak-geriknya seperti orang sedeng. Tapi melihat pukulannya tadi, jelas mengandung tenaga dalam tinggi. Hem... Siapa pemuda ini?" Resi Mahayana membatin dengan memandang tak berkedip. Kemarahan akibat urusannya tertundak dicoba ditahan.
Seraya.melangkah maju, dia keluarkan bentakan. "Anak Muda. Kau mencari mati berani ikut campur urusanku!"
Si pemuda seakan tak mendengar bentakan orang. Malah dia telengkan kepalanya lalu digerakkan ke kanan kiri dengan tubuh berjingkat, karena kelingkingnya masuk makin dalam!
"Heran. Apa yang dilakukan pemuda ini? Tingkahnya mirip anak-anak saja! Tapi pukulannya tadi membuat laki-iaki keparat itu urungkan niatnya. Mudah-mudahan dia bersedia menolongku..." Dewi Seribu Bunga membatin seraya coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun gagal hingga yang keluar dari mulutnya adalah keluhan pendek.
"Rupanya kau ingin mati dalam keadaan begitu!" seru Resi Mahayana. Kemarahannya tak dapat dibendung lagi karena merasa dirinya tidak digubris. "Makan pukulanku ini!" teriaknya seraya hantamkan kedua tangannya sekaligus.
Angin deras segera melesat mengarah pada si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, Pendekar Pedang Tumpul 131. Paras Joko berubah seketika. Jari kelingkingnya cepat ditarik. Sambil mundur satu langkah, kedua tangannya segera menyentak.
Tanah di tempat itu segera bergetar tatkala dua pukulan itu bertemu di udara. Resi Mahayana cepat-cepat kerahkan tenaga dalamnya karena merasa tubuhnya terdorong keras ke belakang. "Anak Setan! Siapa kau sebenarnya?!"
Joko hanya menyeringai sambil gosok-gosokkan tangannya. "Orang Tua! Manusia macam kau tak pantas mengetahui siapa aku! Aku memberimu kesempatan untuk segera enyah dari tempat ini!"
"Begitu? Apa kau juga menginginkan tubuh montok itu?! Hah...?!"
Paras Dewi Seribu Bunga tampak mengelam. Gadis ini berteriak memaki.
"Orang tua gila! Ternyata pakaianmu saja yang menunjukkan layaknya seorang resi. Tapi kelakuanmu lebih rendah dari binatang!"
Dimaki demikian, Resi Mahayana naik pitam. "Diam kau, gadis keparat! Kau layak berterima kasih karena nasib burukmu tertunda! Tapi jangan cepat bergembira, setelah orang gila itu menerima kematian, pekerjaan nikmat itu kita teruskan!"
"Jangan mimpi bisa mereguk kenikmatan itu, Orang Tua!"
"Anak Keparat! Kau masih muda, belum merasakan bentangan ganasnya rimba persilatan hingga tak tahu siapa yang sedang kau hadapi"
"Hem... Bukankah aku sedang berhadapan dengan resi berwatak kambing?"
"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya kembangkan telapak tangan lalu didorong ke depan. Dua asap biru membersit. Lalu menghampar dan sebagian membentuk gulungan-gulungan. Resi ini telah lepaskan kembali pukulan 'Pelebur Tenaga'.
Tiba-tiba Dewi Seribu Bunga tersadar. "Mungkin tenagaku lenyap karena menghirup asap itu! Aku tadi megap-megap tatkala pertama kali menghirupnya!" berpikir sampai di situ sambil menahan napas gadis ini berteriak. "He! Tahan napas. Asap itu beracun!"
Mendapati peringatan, Joko cepat tutup pernapasannya. Kedua tangannya dikembangkan lalu dihantamkan ke depan.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Sinar kuning keperakan segera menyambar keluar. Suasana di tempat itu berubah menjadi semburat warna kuning dan panas!
Asap biru yang menghampar dan bergulung-gulung ambyar dengan keluarkan ledakan dahsyat. Namun tubuh murid Pendeta Sinting dari jurang Tiatah Perak ini terlihat terhuyung-huyung karena tersapu oleh hamparan angin yang keluar dari asap biru. Di depan sana. Resi Mahayana terdorong mundur sampai tiga langkah sebelum akhirnya lorotkan tubuh untuk duduk bersila. Tubuh orang tua ini tampak bergetar keras. Kedua tangannya gemetar. Sedangkan wajahnya berubah pucat pasi. Laki iaki ini segera sentakkan kedua bahunya. Perlahan-lahan tubuhnya terangkat dan mengapung di udara. Kelopak matanya segera memejam, lalu membuka kembali bersamaan dengan menyentaknya kedua tangan.
Untuk kedua kalinya asap biru menghampar. Namun kali ini daya lesatnya lebih cepat. Bahkan angin deras yang menyertainya seolah datang dari segenap penjuru. Hingga saat itu juga hamparan tanah di tempat itu laksana air yang terpukul, muncrat ke udara menutupi pemandangan!
Joko cepat takupkan kedua tangannya. Tangannya berubah kekuningan. Lalu dengan keluarkan bentakan keras, kedua tangannya didorong.
"Blaaammm!" Tempat itu berguncang. Asap biru berantakan sebelum akhirnya terseret ke atas dan lenyap! Angin deras yang menyertai asap biru pukulan ‘Pelebur Tenaga’ pun menyibak ke kanan dan kiri. Menghantam segala yang ada di sekitarnya!
Dewi Seribu Bun ga yang berada di sebelah kanan keluarkan seruan tertahan tatkala tubuhnya mencelat tersapu angin. Sementara di sebelah depan, Resi Mahayana terdorong mundur dengan derasnya, hingga tak bisa lagi kuasai keadaan, laki-laki berkepala botak ini terjerembab dengan kepala mendahului tubuh! Ketika orang tua ini angkat kepalanya, dari hidung dan sudut bibirnya mengucur darah kehitaman!
Dua puluh langkah di hadapan Resi Mahayana Joko Sableng berlutut dengan raut pucat seakan tak berdarah. Dadanya bergetar keras. Urat-urat tubuhnya bertonjolan keluar membentuk guratan-guratan merah.
Perlahan-lahan Resi Mahayana bergerak duduk. "Hari ini aku menemui dua keanehan besar. Pertama tentang pukulan yang dilepas gadis keparat itu. Yang kedua pukulan yang dilepas pemuda edan itu. Aku ingat betul. Pukulan yang dilepas adalah milik tokoh sinting yang puluhan tahun lalu pernah menggedorkan rimba persilatan. Bagaimana ini? Apakah kedua orang ini murid-murid tokoh itu?! Hem... Meski pukulan 'Pelebur Tenaga'-ku tak berhasil, namun aku yakin pemuda itu juga cidera dalam. Aku harus segera menyelesaikannya. Jika tidak, urusan kenikmatan dengan gadis Itu akan tertunda!"
Resi Mahayana segera bangkit, tangan kanannya menyeilnap ke balik jubahnya mengambil tasbih. Joko kerutkan dahi. "Dia menggunakan senjata. Meski hanya, berupa untaian kayu, aku yakin itu bukan senjata sembarangan! Apakah aku harus menggunakan pedang ini?l Hem... Tak ada salahnya jika aku mencoba kehebatannya!" Dia segera selinapkan tangan kanan ke balik pakaian bagian pinggang di mana terselip Pedang Tumpul 131.
Resi Mahayana telah bergerak melangkah seraya putar-putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera melingkupi tempat itu. Tangan kiri sang Resi diangkat hendak lepaskan pukulan. Namun gerakannya tertahan tatkala di depan sana cahaya kuning segera menghampar berkilat-kilat. Resi Mahayana sejenak tertegun seakan tak percaya dengan pandangan matanya. Mulutnya berkemik. Lalu tanpa sadar dari mulutnya keluar desisan keras.
"Pedang Tumpul 131! Hem... Jadi manusia ini telah berhasil mendapatkan pedang itu! Bagus. Rezekiku besar. Selain mendapatkan apa yang kucari, sekaligus bisa menikmati tubuh montok..."
"Anak Muda! Selembar nyawamu kuampuni, bahkan kalau mau kau boleh mengambil gadis itu. Tapi serahkan pedang itu padaku!" sambil berkata, tangan kirinya membuat gerakan orang meminta. Di samping, mendengar ucapan Resi Mahayana, Dewi Seribu Bunga buka kelopak matanya yang sejak tadi dikatupkan. Sejurus mata gadis itu terpentang besar. Memperhatikan pedang di tangan kanan Joko.
"Pedang pendek berwarna kuning keperakan. Gagangnya hijau dari batu giok. Di tubuh pedang terdapi guratan angka 131. Tak salah lagi. itu Pedang Tumpul 131! Jadi..." Dewi Seribu Bunga tak meneruskan kata hatinya, karena tiba-tiba Resi Mahayana telah kembali membentak.
"Kau dengar ucapanku. Tunggu apa lagi?! Serahkan pedang itu!"
Pendekar 131 tersenyum. "Orang Tua! Kau ini minta atau apa?!"
"Banyak mulut!" hardik Resi Mahayana. Semangat laki-laki ini kini bertambah besar. Dia memutuskan merebut pedang itu dengan jalan apa saja, malah ingatannya pada Dewi Seribu Bunga seakan lenyap seketika. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, dia melompati depan. Tangan kirinya melepas pukulan tangan kosong sementara tangan kanannya menyentakkan tasbih.
"Saatnya bagiku melihat kehebatannya!" gumam Joko seraya hantamkan tangan kirinya untuk menangkis hantaman pukulan tangan kiri sang Resi. Sementara tangan kanannya mengayunkan pedang.
Letupan keras terdengar ketika pukulan tangan kosong masing-masing orang ini bertemu. Kemudian disusul dengan suara benturan benda tatkala Pedang Tumpul 131 menderu dan menghantam tasbih Resi Mahayana. Tasbih di tangan Resi Mahayana langsung berantakan dan berhamburan. Laki-laki botak ini berseru keras. Tangan kanannya bergetar hebat dengan wajah pias!
Sosoknya terhuyung ke belakang. Saat itulah Pendekar Pedang Tumpul 131 melesat ke depan. Tangan kanan yang memegang pedang diangkat tinggi-tinggi. Resi Mahayana menduga lawan akan babatkan pedangnya. Dia meliukkan tubuhnya ke bawah. Namun dugaan Sang Resi melesat. Karena bukan pedang Joko yang bergerak membabat, melainkan tangan kirinya yang menghantam.
"Bukkk!" Resi Mahayana terpekik keras. Sosoknya mental hingga dua tombak lalu berputar dan terbanting di atas tanah. Karena pukulan tangan Joko Sableng tepat mengenai lambungnya yang telah terluka, lambung yang berlubang itu kembali keluarkan darah hitam!
Resi Mahayana keluarkan suara gemeretak dari mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaga, dia hendak hantamkan tangannya. Namun tulang lengan kanannya patah, hingga akhirnya dia hanya bisa hantamkan pukulan dengan tangan kiri.
Pendekar Pedang Tumpui 131 bergerak ke samping menghindar. Hingga pukulan tangan kosong itu lewat. Saat itulah berdesing lingkaran coklat berputar-putar. Ternyata Resi Mahayana telah cabut kalung di lehernya dan dilemparkan ke arah Joko. Karena lemparan itu bukan lemparan biasa, meski hanya sebuah kalung dari untaian kayu, namun dapat mengeluarkan desingan tajam dan mempunyai daya lesat luar biasa.
Murid Pendeta Sinting angkat pedangnya. Sinar kuning keperakan membersit dengan keluarkan suara bergemuruh ketika Pedang Tumpul 131 diayunkan memapak datangnya kalung.
"Praaakkk!" 'Untaian kalung hancur berkeping-keping. Anehnya, hancuran kalung yang terbuat dari kayu itu masih berlesatan ke sana kemari. Joko segera melompat, namun tak urung juga salah satu dari hancuran kalung menerpa tubuhnya. Murid Pendeta Sinting seakan tak percaya. Pakaian yang dikenakannya serta-merta terbakar dan tubuhnya terdorong hingga jatuh berlutut!
Melihat Joko terjatuh berlutut, Resi Mahayana tanpa memberi kesempatan. Tubuhnya ban gkit lalu melesat dengan tangan kiri menghantam. Dengan menindih rasa panas, Joko cepat gulingkan tubuh. Pada gulingan ketiga, pemuda ini berbalik lalu hantamkan tangan kirinya.
Sinar kuning keperakan membersit. Karena Resi Mahayana datang menyongsong tepat saat sinar mengembang, maka tak ampun lagi tubuh laki-laki berkepala botak ini mencelat mental hingga beberapa tombak, lalu terbanting di tanah. Pakaian yang dikenakannya telah hangus. Sekujur tubuhnya melepuh. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki botak ini mengerang dengan berguling-gulingan menahan rasa panas.
Namun makin lama erangannya makin pelan, gulingan tubuhnya pun tiba-tiba berhenti. Pendekar Pedang Tumpui 131 memandang sekilas. Lalu melangkah mendekat dengan pedang siap diayunkan sementara tangan kiri siap lepaskan pukulan. Tapi tiba-tiba Joko hentikan langkahnya tatkala dilihatnya Resi Mahayana meraung keras yang serta-merta putus laksana disentakkan! Laki-laki ini kaku dan tak bergerak lagi!
Pendekar 131 teruskan langkah mendekat. Sejenak diperhatikannya tubuh Resi Mahayana yang terkapar mati dengan tubuh melepuh dan darah menggumpal dari hidung dan mulut. Murid Pendeta Sinting ini menarik napas dalam, lalu memasukkan Pedang Tumpui 131 ke sarungnya di balik pakaiannya.
"Sebenarnya aku tak mengharapkan ini terjadi, tapi..." murid Pendeta Sinting ini tak lanjutkan gumamannya, karena terdengar orang menegur.
"Hei... Kau tidak menolongku?!"
"Astaga! itu suara gadis..." Joko cepat putar tubuh lalu melangkah lebar-lebar ke arah Dewi Seribu Bunga.
PENDEKAR Pedang Tumpul 131 melangkah mendekati Dewi Seribu Bunga yang masih terkapar tak berdaya. Begitu berada disamping sang gadis, pemuda murid Pendeta Sinting ini tertegun lalu cepat arahkan pandangannya ke jurusan lain karena dada gadis dihadapannya terpentang memperlihatkan payudaranya yan g kencang putih!
Si gadis sendiri berubah parasnya menjadi merah mengelam. Namun karena tak berdaya untuk menggerakkan anggota tubuhnya akibat pukulan 'Pelebur Tenaga' yang dilepas Resi Mahayana, gadis ini tak bisa berbuat banyak. Hingga pada akhirnya dia buka mulut dengan suara pelan.
"Akibat pukulan laki-laki tadi, tenagaku lenyap. Harap kau sudi menolongku dengan coba alirkan tenaga dalam ke tubuhku. Siapa tahu bisa membantu. Kau tak keberatan bukan?!"
"Hem... Bagaimanapun juga gadis ini telah memperingatkanku sewaktu laki-laki itu lepaskan pukulan. Jika tidak, mungkin aku mengalami hal yang sama. Aku akan memenuhi permintaannya..."
Joko berpaling lagi. Namun matanya sengaja diarahkan pada sepasang mata si gadis. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling adu pandang. "Hem... Gadis cantik. Matanya bundar tajam. Dan..." Joko coba melirik agak ke bawah, ke dada si gadis. Namun baru saja matanya beralih ke dada, Dewi Seribu Bunga telah menegur.
"Apa lagi yang kau tunggu? Atau kau merasa keberatan?!"
Seakan baru tersadar, Joko segera gelengkan kepalanya. Lalu dengan dada berdebar pemuda ini duduk disamping Dewi Seribu Bunga. Dewi Seribu Bunga sendiri tampak bersemu merah malah begitu Joko duduk, gadis ini segera arahkan pandangannya ke atas. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Mudah-mudahan pemuda ini tak punya niat jelek. Ah, kenapa aku berpikir sampai ke sana? Kalau dia berniat jeiek, bukankah mudah saja baginya melakukan apa yang diinginkan karena aku tak berdaya? Siapa pemuda ini sebenarnya...? Sungguh beruntung pemuda ini. Berhasil mendapatkan pedang pusaka yang diperebutkan banyak tokoh rimba persilatan. Hem... Bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan setelah dia nanti berhasil menolongku? Apakah aku harus merebut pedang itu dari tangannya? Atau... Ah. Aku jadi bingung..."
Murid Pendeta Sinting ini sekilas menatap wajah Dewi Seribu Bunga. Lalu turun ke dadanya. Jakun pemuda ini bergerak turun naik dengan wajah hangat. Namun pemuda ini segera sadar bahwa si gadis memerlukan pertolongan. Kedua tangannya segera menjulur ke depan. Tubuh si gadis digerakkan membalik. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan ke punggung si gadis. Sepasang matanya lantas mengatup. Setelah menarik napas dalam-dalam, murid Pendeta Sinting ini mulai alirkan tenaga dalam pada sang gadis.
Dewi Seribu Bunga merasakan hawa sejuk menembus kulit punggungnya lalu mengalir kesekujur tubuhnya. Perlahan-lahan anggota tubuhnya berubah hangat. Aliran darahnya teratur dan normal seperti sediakala. Dengan masih menelungkup, Dewi Seribu Bunga coba menggebrakkan jari-jari tangannya. Gadis ini bernapas lega, karena jari-jari itu bisa digerakkan. Merasa berhasil, gadis ini coba angkat tangannya. Ternyata tangannya pun dapat digerakkan!
"Tenagaku pulih kembali..." batin Dewi Seribu Bunga dengan merentangkan tangan.
Ketika Joko tarik kedua tangannya dari punggung Dewi Seribu Bunga, gadis ini segera gerakkan tubuhnya membalik. Kepalanya berpaling ke samping dengan mata memandang lekat-lekat pada Joko Sableng.
"Terima kasih..." katanya sambil bergerak ke atas lalu bangkit duduk. Mungkin karena merasa gembira tenaganya bisa pulih kembaii, Dewi Seribu Bunga segera rentang-rentangkan kembali kedua tangannya. Sementara Joko cepat-cepat alihkan pandangan meski ekor matanya melirik.
Melihat tingkah pemuda di sampingnya, Dewi Seribu Bunga kerutkan dahinya. Namun mulutnya segera keluarkan seruan tertahan tatkala mengetahui apa yang membuat sang pemuda melirik. Ternyata dadanya yang terbuka terpentang lebar tatkala dia merentangkan tangannya. Dengan wajah berubah, gadis ini buru-buru menutupkan pakaiannya yang robek pada dadanya yang terbuka.
“Tak keberatan sebutkan siapa kau sebenarnya?" Joko ajukan pertanyaan untuk mengatasi keadaan yang kaku itu.
"Aku... Dewi Seribu Bunga. Kau?!"
Joko Sableng, berpaling memandang. "Joko... Joko Sableng..."
"Joko Sableng... Hem... Pantas. Meski dia tak berniat jahat, namun matanya itu nakal. Jelalatan...”
Joko bangkit. Tersenyum lalu berkata. "Tenagamu telah pulih, dan kau bisa teruskan perjalanan. Sedangkan aku pun harus pergi. Ada urusan yang perlu kuselesaikan."
Pendekar Pedang Tumpui 131 putar tubuh. Lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Namun suara menahan langkahnya.
"Tunggu!" Dewi Seribu Bunga melangkah mendekat. "Kau hendak ke mana?!"
Joko balikkan tubuh. Dewi Seribu Bunga tampak kikuk karena harus memegangi robekan kain di dadanya. Joko segera lepaskan ikat kepalanya dan diberikan pada si gadis. Tahu akan maksud Joko, Dewi Seribu Bunga segera menyambuti ikat kepala itu. Lalu diikatkan pada robekan kain di dadanya dan diikatkan ke belakang. Hingga sejenak kemudian gadis ini bebas gerakkan tangannya. Dia mengulangi pertanyaannya.
"Aku pergi ke mana aku suka, ke mana kaki mengajak. Kau sendiri hendak ke mana?!"
Mendengar pertanyaan Pendekar 131, Dewi Seribu Bunga berubah seakan terkejut. Memandang lekat-lekat pada pemuda di hadapannya dari bawah hingga atas. "Bagaimana aku harus menjawab? Apakah aku akan berterus terang tentang tujuan perjalananku ini? Padahal pedang itu telah berhasil didapatnya! Apakah aku harus merebut dari tangannya? Sedangkan dia baru saja menolongku? Kalau tidak karena pertolongannya, aku tak tahu apa yang akan menimpaku! Menuruti ucapan Guru, ingin rasanya aku merebut pedang itu. Tapi aku tak kuasa melakukannya..."
"Wajahmu berubah. Kau memikirkan sesuatu?"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepaianya sembunyikan perasaan bimbang. Antara menuruti ucapan gurunya yang harus mendapatkan pedang dengan segala cara dan kerahkan segenap tenaga atau menuruti kata hatinya yang tak kuasa melakukan terhadap orang yan g telah menolongnya. Lebih-lebih hati gadis ini sebenarnya mulai tertarik dengan pemuda di hadapannya!
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata. "Tak mau jika aku ikut ke mana kau pergi?!"
Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Dia tak menduga akan ucapan gadis di hadapannya. Hingga untuk sesaat lamanya dia tak menjawab. "Bagaimana ini?! Padahal aku akan menemui Guru. Apa nanti kata Guru jika aku menemuinya dengan membawa seorang gadis?"
"Bagaimana?! Apa kau merasa keberatan?!" Dewi Seribu Bunga ajukan lagi pertanyaan setelah Joko tidak memberikan jawaban.
"Sebenarnya terlalu sayang jika menolak tawaran seorang gadis cantik macam dia. Hem... Sementara aku akan mengajaknya, sambil cari jalan bagaimana sebaiknya..." Joko Sableng tersenyum lalu berkata. "Jika itu maumu, baiklah.”
Dewi Seribu Bunga tersenyum lebar. Joko mengangguk dengan sebelah mata dikedipkan lalu balikkan tubuh. Si gadis segera melangkah menjajari. Namun baru saja kedua muda-mudi ini hendak melangkah, terdengar makian keras.
"Anak Jahanam! Diberi tugas keluar dari kandang malah digunakan untuk bermain gila!"
JOKO dan Dewi Seribu Bunga tersentak kaget. Keduanya serentak palingkan kepala masing-masing ke samping kanan dari mana suara teguran datang. Di situ tampak tegak seorang kakek berparas bulat besar. Kulitnya tipis dan pucat. Berambut putih dikuncir ke belakang. Raut wajahnya hampir tak kelihatan karena ditutupi sebagian jambang, kumis, dan jenggotnya yang lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang berwarna kuning. Matanya hanya sebelah, sedangkah sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah kulit bundar yang diikat dengan tali kebelakang kepalanya.
Joko sempat tersekat melihat tampang angker si orang tua. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa yang di maki oleh kakek itu. Sebaliknya Dewi Seribu Bunga tampak tercengang hingga untuk sesaat dia pandangi kakek dihadapannya dengan mulut terkancing rapat.
"Dewi... Kau kenal dengan hantu ini?!" gumam Joko tanpa berpaling.
Tersadar oleh pertanyaan Joko, Dewi Seribu Bunga segera menghambur ke depan lalu membungkuk dalam-dalam di hadapan si kakek. "Guru..."
Mata kanan si kakek berompi kuning ini mendelik angker. Memandang lurus pada Dewi Seribu Bunga, lalu beralih pada Joko Sableng. Seteiah keluarkan dengusan beberapa kali, kakek yang bukan lain adalah Maut Mata Satu, guru Dewi Seribu Bunga keluarkan bentakan keras.
"Bagaimana tugasmu, Larasati?!"
"Guru. Murid minta maaf..." Dewi Seribu Bunga tidak dapat meneruskan ucapannya. Apa yang akan dikatakan serasa tersekat di tenggorokan.
"Larasati! Kenapa kau berhenti?! Ayo teruskan kata-katamu!" seraya berkata Maut Mata Satu terus memandang ke arah Joko tanpa berkedip.
Sementara Joko sendiri sepertinya acuh tak acuh, meski keterkejutan tak bisa lenyap dari parasnya. Namun diam-diam murid Pendeta Sinting ini kini mengetahui hubungan antara Dewi Seribu Bunga dengan kakek bermata satu itu.
"Gadis itu muridnya. Hem... Tugas apa yang dibebankan pada gadis itu? Kenapa dia tak menjawab pertanyaan gurunya? Kalau sampai salah ucap, mungkin aku dicurigai! Sialan benar! Perempuan ternyata bisa membuat masalah!"
Karena Dewi Seribu Bunga belum juga membuka mulut, Maut Mata Satu akhirnya berkata. "Kau tak berhasil dengan tugasmu. Benar?!"
Seribu Bunga an ggukkan kepalanya. Maut Mata Satu mendengus keras. "Seseorang mendahuluinya mendapatkannya. Begitu?!"
Untuk kedua kalinya Dewi Seribu Bunga gerakkan kepalanya mengangguk.
"Kau tahu siapa orangnya?!"
Dewi Seribu Bunga berlutut. Lalu tengadahkan kepalanya memandang pada sang guru. Wajah gadis ini jelas menunjukkan rasa khawatir. "Bagaimana harus mengatakannya bahwa pedang itu sebenarnya telah jatuh ke tangan Joko? Jika kukatakan terus terang, pasti Guru akan bertindak! Kalau tidak kukatakan, dia pasti akan marah besar... Ah!"
"Larasati. Baru beberapa hari kau merasakan dunia luar sikapmu telah berubah! Kau menyimpan sesuatu! Dan hem... Pakaianmu tak karuan. Apa yang telah kau lakukan dengan anak ingusan itu, nah?!"
"Guru... Guru jangan salah sangka. Justru kalau tidak karena pertolongannya, aku akan menemui ajal di tangan bangsat laki-laki itu!" Dewi Seribu Buga arahkan pandangannya pada mayat Resi Mahayana.
Maut Mata Satu mengikuti arah pandangan muridnya. Kulit bundar penutup mata kirinya bergerak-gerak mengikuti alis matanya yang terangkat naik. "Berkepala botak, mengenakan jubah biru, tubuh tinggi besar. Hem... Bukankah bangkai itu Resi Mahayana? Resi cabul doyan perempuan yang malang melintang memburu Pedang Tumpul 131?!"
Maut Mata Satu berpaling kembali ke arah Joko. "Larasati mengatakan ditolong oleh anak ingusan ini. Kalau Resi Mahayana dapat dibuat mayat, meski tampak ugal-ugalan, anak ini berarti mempunyai ilmu. Hem... Siapa dia sebenarnya?!"
"Larasati. Kau telah menyelidik. Kau telah tahu bahwa seseorang telah mendahului. Katakan siapa orangnya! Jangan berani berdusta kalau tidak ingin kulumat mulutmu!"
Tubuh Dewi Seribu Bun ga bergetar ketakutan. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang pada gurunya, membuat Maut Mata Satu naik pitam. "Ternyata dugaanku keliru, Larasati. Kau belum matang. Keadaan telah membuatmu berubah. Lingkungan telah menjadikanmu lain. Hingga kau berani menyembunyikan sesuatu padaku. Tahu begini jadinya, aku akan bertindak sendiri!"
"Orang Tua! Jangan..."
"Diam kau! Jangan berani ikut campur urusanku. Nanti tiba giiiranmu untuk menjawab pertanyaanku!" tukas Maut Mata Satu memotong ucapan Joko Sableng, membuat murid Pendeta Sinting ini geleng-gelengkan kepala seraya mengangkat bahu.
"Bagaimana? Kau masih tak mau mengatakan siapa orangnya?!"
"Gila! Apa sih yang dibicarakan mereka ini?! Dan kenapa Dewi tak mau mengatakan orang yang ditanyakan gurun ya?!" Pendekar Pedang Tumpul 131 coba menduga-duga, namun tak menemukan jawaban.
"Guru. Kalau seseorang telah mendahului dan mendapatkan, kukira aku memang tak berjodoh!"
"Haram jadah! Kau rupanya telah pandai pula menggurui gurumu! Larasati... Kalau kau tetap membisu, berarti kau memilih mati!" habis berkata begitu Maut Mata Satu maju mendekat.
Melihat gurunya mendekat, buru-buru Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya dan berkata pelan. "Guru... Aku akan mengatakan siapa orangnya, tapi kumohon Guru tidak akan bertindak terhadapnya... Aku berhutang budi padanya!"
Maut Mata Satu kernyitkan kening. "Anak ini benar-benar berubah. Apa yang membuatnya berubah demikian cepat? Seakan-akan dia melindungi orang itu melebihi nyawanya sendiri. Aneh..."
"Larasati. Kau tak usah banyak permintaan. Katakan cepat!"
Sejenak gadis ini melirik pada gurunya. Mulutnya bergetar tatkala dia berkata. "Pemuda itulah orangnya!"
Saking kagetnya, jenggot dan kumis Maut Mata Satu sampai bergerak-gerak. Satu-satunya mata yang dimiliki mendelik besar memandang pada Joko. Murid Pendeta Sinting sendiri bukan main terkejutnya. Dia sekarang tahu apa yang sejak tadi menjadi perdebatan antara murid dengan gurunya ini.
"Tak salah lagi. Pasti yang mereka percakapkan adalah Pedang Tumpui 131. Hem... Aku harus mempertahankannya kalau orang tua ini bertingkah macam-macami" kata Joko dalam hati. Tangan kanannya segera bergerak meraba pinggangn ya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
Tiba-tiba Maut Mata Satu melompat ke depan. "Jangan berdusta padaku. Katakan siapa dirimu dan apakah benar kau telah mendapatkan Pedang Tumpui 131!"
"Guru..." seru Dewi Seribu Bunga seraya balikkan tubuh dan memandang berganti-ganti pada Joko dan gurunya.
"Larasati! Kalau mulutmu tak bisa diam, jangan menyesal jika kurobek-robek!" bentak Maut Mata Satu tanpa berpaling.
Merasa tak ada gunanya lagi berkelit, akhirnya Pendekar Pedang Tumpui 131 berkata. "Orang Tua. Namaku Joko Sableng. Aku memang telah mendapatkan Pedang Tumpui 131..."
"Bagus! Aku tak akan ban yak bicara lagi. Serahkan pedang itu padaku!"
"Sayang. Kalau itu yang kau minta, aku tak dapat memenuhinya!"
"Anak Muda. Kuingatkan padamu, hari-hari selanjutnya masih sangat panjang dibanding dengan hari-hari yang telah kau lewati. Kenikmatan tentunya masih sedikit yang kau enyam. Masih banyak kesenangan yang belum sempat kau nikmati. Dan kau tak akan merasakan kenikmatan itu kalau tak menyerahkan pedang itu!"
"Heh. Apa hubungannya antara pedang dan kenimatan?!"
"Kau akan menemui ajal dahulu sebelum merasakan kenikmatan jika tak memberikan pedang itu pada ku!"
"Hem... Begitu? Bagaimana kalau aku tak menginginkan kenikmatan itu?!"
Maut Mata Satu terdiam beberapa lama sebelum akhirnya berkata kembali. "Kalau kau memang tak menginginkan, akan kuantar kau secepatnya!"
"Guru..." teriak Dewi Seribu Bunga sambil melompat menghalang-halangi gurunya. "Dia telah menolong menyelamatkan jiwaku. Kuharap kau mengerti..."
"Plaaakkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi Dewi Seribu Bunga, membuat gadis itu terhuyung-huyung seraya memegangi pipinya yang telah berubah menjadi merah.
"Sekali lagi kau berani bicara, aku pun tak segan membuatmu menjadi mayat. Kau dengar?"
Dewi Seribu Bunga tak menyahut. Dia memandangi gurunya dengan pandangan tak percaya. Dia tadinya mengira Maut Mata Satu tidak akan bertindak meminta pedang itu mengingat dia diselamatkan oleh Joko Sableng. Namun dugaannya ternyata meleset. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. Gadis ini menjadi serba salah. satu pihak harus berhadapan dengan gurunya, ya bagaimanapun jahatnya, telah menurunkan ilmu dan mendidiknya selama bertahun-tahun. Di pihak lain, dia mengkhawatirkan Joko. Karena meski dia telah tahu ilmu yang dimiliki Joko, namun dia masih ragu jika bentrok dengan gurunya.
Ditunggu agak lama Pendekar 131 tak juga memberikan apa yang diminta, Maut Mata Satu habis kesabaran. "Anak tak tahu diuntung. Kau akan merasakan akibat ulahmu!" Maut Mata Satu maju satu langkah. Kedua tangannya disentakkan.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua sinar membersit keluar dari kedua tangannya. Di tengah jalan sinar itu pecah lalu muncrat menjadi puluhan bunga-bunga api yang membawa hawa panas dan keluarkan suara menggemuruh! Di lain kejap angin deras menyusuli.
Mendapati serangan ganas, Pendekar Pedang Tumpul 131 tak berani berlaku ayal. Murid Pendeta Sinting ini cepat pula dorong kedua tangannya. Seberkas sinar kuning keperakan menyambar keluar. Pada saat yang sama suasana di tempat itu berubah menjadi semburat warna kuning dan panas.
Bunga- bunga api langsung meletup dan padam begitu terhajar oleh pukulan Joko. Namun murid Pendeta Sinting Ini terkesiap tatkala tiba-tiba di depannya menghampar angin deras laksana gelombang. Tubuhnya terasa kesemutan, dadanya sesak. Di lain saat, sosoknya telah mencelat mental ke belakang lalu terjerembab di tanah. Mungkin karena derasnya, tanah di mana dia terjerembab kontan membentuk kubangan menganga!
Di seberang, Maut Mata Satu hanya terjajar beberapa langkah ke belakang. Namun laki-iaki berusia lanjut ini langsung berubah parasnya. Dia merasakan sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang bara api. Dada berdebar keras. Sebelum kedua kakinya goyah, tokoh rimba persilatan yang sangat ditakuti ini segera kerahkan tenaga dalamnya hingga huyun gan tubuhnya terhenti.
"Pukulan 'Lembur Kuning'! Apa hubungannya anak ini dengan keparat Pendata Sinting?!" gumam Maut Mata Satu seraya usap-usap dadanya. Lalu melangkah ke arah Joko dengan senyum seringai.
Yang paling cemas melihat keadaan Joko Sableng adalah Dewi Seribu Bunga. Wajah gadis ini tampak pucat. Mulutnya membuka hendak memperingati Joko agar melarikan diri menghindar. Namun tiada suara yang terdengar dari mulutnya.
"Kalau kau menuruti kata-kataku, tak akan mengalami kematian semasa masih muda!" ujar Maut Mata Satu seraya terus melangkah dan memandang tajam pada Joko yang berusaha bangkit.
Mendadak Maut Matu Satu hentikan langkahnya dan serta-merta berseru geram tatkala dilihatnya kedua tangan Pendekar 131 telah berubah menjadi kuning keperakan. Dia maklum jika lawan akan segera lepaskan pukulan. Belum lenyap gema seruan Maut Mata Satu, hawa panas dan hamparan warna kuning telah melingkupi tempat itu. Bersamaan dengan itu, dua berkas sinar kuning bercahaya melesat deras ke arahnya! Seraya melompat mundur, Maut Mata Satu hantamkan kedua tangannya kembali.
"Wuuuttt!" Gelombang sinar hitam menderu dahsyat. Tanah dan pohon serta semak belukar di sekitar tempat itu bergetar sebagian langsung tumbang mengeluarkan suara berdebam. Daun dan tanah berhamburan menutupi pemandangan. Sekejap kemudian terdengar ledakan keras tatkala dua pukulan mengandung tenaga dalam itu bersatu di udara.
Saat keadaan telah sirap, Maut Mata Satu telah terduduk dua tombak dari tempatnya semula. Pakaian yang dikenakan telah hangus dan dari julaian jenggotnya yang lebat tampak menetes darah, pertanda dari mulutnya yang tertutup kumis telah mengeluarkan darah. Tampang kakek ini pias laksana tak dialiri darah sama sekali. Dan mata satu-satunya membeliak tatkala dia dapatkan kedua tangannya melepuh merah dan panas bukan alang kepalang.
Murid Pendeta Sinting terlihat terkapar sepuluh tombak di seberang. Diam tak bergerak-gerak. Hanya deburan dadanya tampak turun naik dengan mulut keluarkan erangan pelan. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. Melihat Pendekar Pedang Tumpui 131 roboh tak bergerak, Dewi Seribu Bunga yang tadinya menjauh untuk menghindar dari sapuan pukulan yang sedang bentrok segera menghambur ke depan. Tapi langkahnya tertahan ketika bayangan Maut Mata Satu telah terlebih dahulu berkelebat dan berdiri empat langkah di depan Joko.
Pendekar Pedang Tumpul 131 cepat beringsut menggeser tubuhnya ke atas lalu bergerak duduk. Tangan kanannya meraba pinggang di mana Pedang Tumpul 131 tersimpan. "Terpaksa aku menggunakannya. Kalau tidak nyawaku mun gkin tak akan selamat..." Joko segera cabut pedang dari sarungnya di balik pakaiannya. Seberkas sinar kuning segera memancar.
Maut Mata Satu mendelik tak berkedip. Kumisnya bergerak-gerak. "Itu pedang yang kuimpikan!" hardik Maut Mata Satu. "Lekas serahkan pedang itu!"
Joko Sableng menatapnya dingin. Tangannya bergerak mengangkat pedang tinggi-tinggi. Sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang.
Melihat hal demikian, Maut Mata Satu tertawa pajang. "Wajahmu berubah. Tanganmu bergetar. Aku tak bisa kau bodohi. Sebenarnya kau sudah tak bisa kerahkan tenaga dalam!"
Pendekar Pedang Tumpul 131 merinding sendiri karena lawan telah tahu keadaannya. Murid Pendeta Sinting ini mengangkat tangan dan menarik tangan satunya ke belakang untuk menunjukkan bahwa dirinya masih sanggup melepaskan pukulan, padahal dia menutupi keadaannya yang sebenarnya. Dan dia jadi melengak ketika kakek dihadapannya telah mengetahui tipu muslihatnya.
"Sialan! Dia tak dapat dikelabui!" rutuknya seraya tersenyum kecut.
Maut Mata Satu mendengus. Meski dia tahu bahwa lawan belum bisa kerahkan tenaga dalamnya secara penuh karena telah terluka dalam, namun dia tak berani bertindak ceroboh. Pedang di tangan kanan lawan masih merupakan ancaman yang tidak main-main. Hingga dia tak segera maju untuk merebut pedang yang telah sekian puluh tahun diimpi-impikannya. Sebaliknya disurutkan kaki satu tindak dengan kedua tangan saling digosokkan.
"Baik. Rupanya kau minta aku mengambil pedang dan tubuhmu yang telah jadi bangkai!" Habis berkata begitu, laki-laki bermata satu ini angkat kedua tangannya.
Di hadapannya Joko memperhatikan dengan kuduk berdiri. Keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. "Celaka! Apa riwayatku hanya sampai di sini?!"
Maut Mata Satu membentak dengan sentakkan kedua tangannya. Namun bersamaan dengan itu gelombang angin dahsyat datang menderu dari arah samping dan mengarah pada Maut Mata Satu, membuatnya melompat mundur selamatkan diri lalu bergerak ke samping seraya berseru kaget.
Gelombang sinar hitam yang melesat keluar dari kedua tangan Maut Mata Satu terus melarik ke depan dengan dahsyatnya. Namun karena tubuhnya bergerak mundur ke samping, pukulan yang dilepaskan untuk menghajar Pendekar Pedang Tumpul 131 menyamping tak mengenai sasaran!
"Keparat jahanam! Siapa main gila ini, hah?!" teriak Maut Mata Satu dengan dagu terangkat dan mata mendelik merah.
Belum lenyap teriakan Maut Mata Satu, terdengar suara tawa mengekeh panjang. Di lain kejap, sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak menghalang-halangi antara Maut Mata Satu dan Joko Sableng!
MATA satu-satunya milik Maut Mata Satu bergerak liar memandang beringas pada sosok hadapannya. Sosok ini adalah seorang perempuan. Meski tidak muda, namun paras wajahnya cantik jelita. Rambutnya panjang dengan bulu mata lentik. Sepasang matanya bagus dan bibir merah menyala. Dia mengenakan pakaian ketat warna biru yan g bagian dadanya dibuat rendah hingga payudaranya setengah menyembul. Putih membusung dan kencang menantang.
Tiba-tiba Maut Mata Satu berseru lantang. "Ratu Pemikat! Kau rupanya. Hem... Kita memang sahabat lama, namun untuk urusan ini kuperingatkan agar kau tak ikut campur tangan! Lebih dari itu kau harus segera tinggalkan tempat ini!"
Si perempuan berwajah cantik dan bukan lain memang Ratu Pemikat adanya keluarkan tawa panjang. "Meski kita sudah lama tak jumpa nyatanya kau masih bisa mengenaliku, Maut Mata Satu! Tapi aku sedih mendengar ucapanmu tadi."
"Sedih? Apa maksudmu...?!"
"Aku sedih karena tak dapat memenuhi apa yang kau minta! Aku punya kepentingan di sini!" habis berkata begitu, perempuan ini berpaling pada Joko yang ada di belakangnya. Sepasang mata bulat perempuan membesar dengan senyum menyungging. Namun dadanya berdebar keras. Bukan karena melihat pada Joko, melainkan pada tangan kanan Joko yang masih memegang Pedang Tumpul 131. Sesaat kemudian, matanya memperhatikan Joko dari rambut sampai kaki.
"Seorang pemuda berparas tampan. Tubuh tegap. Rambut gondrong sedikit acak-acakan. Hem... Sesuai dengan keterangan Bayangan Setan. Dan pedang itu memang berada di tangannya. Aku harus dapat merebutnya walau harus bertarung dulu dengan Maut Mata Satu. Aku yakin, si mata satu itu pasti tak akan tinggal diam!"
Murid Pendeta Sinting yang semula merasa gembira karena muncul orang yang menyelamatkan jiwanya tiba-tiba tersirap dengan dahi berkerut ketika Ratu Pemikat berpaling padanya. "Heran..." gumam Joko Sableng dalam hati. "Rasa-rasanya aku pernah melihat perempuan ini. Tapi di mana...?" Joko memperhatikan lebih seksama. "Benar. Aku pernah melihatnya. Sayang aku tak dapat mengingatnya di mana dan kapan! Hem... Parasnya cantik, tubuhnya bagus, dan dadanya..."
Di seberang, Dewi Seribu Bunga diam-diam juga bersyukur karena Joko telah diselamatkan seseorang. Namun kelegaan dada gadis ini hanya sesaat. Ketika dilihatnya sang penolong berbalik dan memandang Pendekar Pedang Tumpul 131 dengan pandangan aneh, sementara Joko sendiri balas memandang, dada gadis ini berdebar-debar. Dia sendiri tak tahu, kenapa hal itu terjadi. Yang pasti dia tak senang dengan pandangan si perempuan berparas cantik pada Joko!
"Ratu Pemikat!" Maut Mata Satu berkata. "Kau berkata punya kepentingan. Kepentingan apa?!"
"Selama dunia masih terkembang. Selama rimba persilatan masih riuh rendah. Hanya orang tak waras jika tak menginginkan senjata pada pemuda itu!"
Maut Mata Satu tidak terkejut mendengar ucap Ratu Pemikat. Karena ia sebelumnya telah menduga apa kepentingan sebenarnya perempuan berdandan seronok ini. Namun lain halnya dengan Dewi Seribu Bunga lebih-lebih Joko Sableng. Malah karena terkejutnya, Pendekar Pedang Tumpul 131 semakin kencang memegang gagang pedang dan buru-buru masukkan pedang ke sarungnya di balik pakaian. Lalu perlahan-lahan coba kerahkan tenaga dalamnya.
"Sial benar nasibku hari ini. Yang satu belum selesai, satu lagi telah menyusul"
Lain yang dibatin murid Pendeta Sinting, lain yang dibatin murid Maut Mata Satu. "Kalau perempuan itu sampai berulah macam-macam terhadap Joko, aku tak akan tinggal diam!"
Di hadapan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu keluarkan dengusan keras. Lalu berucap dingin. "Dulu kita bersahabat. Kita sama-sama satu golongan. Apakah hal itu akan rusak gara-gara perkara ini?! Harap kau berpikir dua kali. Juga perlu kau pertimbangkan, siapa yang akan kau hadapi!"
Ratu Pemikat keluarkan tawa mengekeh hingga dadanya bergerak turun naik. Kepalanya lalu tengadah. Dari mulutnya terdengar ucapannya. "Maut Mata Satu. Sahabat memang perlu. Tapi tujuan adalah segala-galanya! Kalau perlu, demi tujuan sahabat harus disingkirkan!" Ratu Pemikat lurus kepalanya ke arah Maut Mata Satu. "Aku tahu siapa yang akan kuhadapi. Kau tak usah memberi pertimbangan!"
"Begitu? Berarti kau ingin mati di tanganku!" bentak Maut Mata Satu seraya melompat ke depan. Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan sementara kedua tangannya disentakkan ke bawah.
Ratu Pemikat cepat angkat kedua tangannya menyilang di depan dada. Menyangka lawan akan menghajar dengan tangan, perempuan ini pun rundukkan sedikit kepalanya. Namun dugaan Ratu Pemikat meleset.
Maut Mata satu tiba-tiba putar tubuhnya. Karena waktu doyongkan tubuh ke depan tadi kedua tangannya menyentak ke bawah, membuat kakinya amblas masuk sebatas mata kaki ke dalam tanah. Mendadak, kaki kanannya diangkat dan ketika tubuhnya berbalik menghadap Ratu Pemikat, kaki kanannya telah menggebrak ke depan!
Ratu Pemikat terperangah. Dia hanya dapat merasakan deruan angin keras. Lalu melihat tendangan kaki Maut Mata Satu telah berada di depan matanya!Perempuan ini cepat sentakkan kedua tangannya sekaligus ke bawah menghadang tendangan lawan yang sengaja diarahkan ke selangkangannya! Namun ternyata tendangan kaki itu lebih cepat datangnya.
Brettt! Bukkk!
Ratu Pemikat terpekik keras. Sosoknya terjajar sampai lima langkah ke belakang. Untung perempuan ini masih sempat sorongkan tubuhnya ke samping saat tendangan menghajar, hingga tendangan itu hanya menghantam pahanya. Kain bagian pahanya langsung robek dan kulit paha di baliknya membiru. Perempuan cantik ini merasakan pahanya seakan patah. Dalam keadaan marah besar, Ratu Pemikat cepat melesat ke depan. Kedua tangannya dihantamkan sekaligus ke arah kepala Maut Mata Satu.
Wuuuttt!
Maut Mata Satu angkat pula kedua tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu di udara. Dua seruan tertahan segera terdengar. Ratu Pemikat cepat surutkan langkah satu tindak. Lalu secepat kilat kaki kiri diangkat dan dilesatkan ke arah dada Maut Mata Satu. Maut Mata Satu kaget. Dia berusaha mundur, namun lesatan kaki telah menghantam lebih dulu.
"Bukkk!" Laki-laki bermata satu itu terseret hingga satu tombak ke belakang. Parasnya yan g pucat makin pucar. Dari hidungnya terdengar dengusan keras. Mata memandang berkilat-kilat pada Ratu Pemikat.
"Kita sudahi masalah ini sampai ada di antara kita yang menemui ajal!" ujarnya dengan suara keras. Kedua tangannya lantas diangkat sejajar dada. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Ratu Pemikat
Wuuuttt! Wuuuttt!
Tangan kiri mengeluarkan sinar hitam, sedang tangan kanannya membersitkan sinar berwarna-warni. Laki-laki bermata satu ini telah lepaskan dua pukul sakti sekaligus. Tangan kiri yang mengeluarkan sinar hitam lepaskan pukulan 'Gelombang Kematian' sedangkan tangan kanan lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'. Hingga saat itu juga gelombang hitam yang membawa angin dahsyat segera menderu, disusul kemudian dengan pecahnya sinar warna-warni yang memuncratkan puluhan bunga-bun ga api yang menghamparkan hawa panas!
Ratu Pemikat yang sudah lama bersahabat dengan Maut Mata Satu telah tahu bagaimana kehebatan dua pukulan sakti itu. Maka perempuan sakti ini tak berani main-main. Dia cepat pula hantamkan kedua tangannya. Dari kedua tangannya langsung mengembang sinar terang biru dan serentak menyungkup tempat itu! Ratu cantik ini telah lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit'.
"Bummm! Bummm!" Terdengar ledakan dahsyat dua kali mengguncang tempat itu. Disusul dengan beberapa letupan dari bunga-bunga api yang ambyar dan padam.
Joko Sableng yang berada tak jauh dari situ tersapu mental dan terguling sampai beberapa tombak jauhnya. Dadanya terasa sesak dan sulit digunakan untuk bernapas hingga untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting ini buka mulutnya lebar-lebar!
Dewi Seribu Bunga sendiri terdorong hingga beberapa langkah ke belakang. Tapi karena tempatnya berdiri agak jauh membuat gadis Ini tidak mengalami cidera parah. Hingga dia cepat memperhatikan ke arah Joko yang sedang terkapar dengan mulut menganga tan pa ada suara yang keluar. Sejak tadi, murid Maut Mata Satu ini tak mau lepaskan perhatiannya pada murid Pendeta Sinting. Dia khawatir, karena dia tahu jika Pendekar Pedang Tumpul 131 telah terluka akibat bentrokan dengan gurunya.
Mungkin tak dapat menguasai rasa khawatirnya, Dewi Seribu Bunga beranjak melangkah ke arah di mana Joko Sableng terkapar. N amun baru empat langkah, Joko telah bergerak bangkit. Begitu pemuda ini melihat Dewi Seribu Bunga hendak mendekat ke arahnya, dia memberi isyarat dengan gelengan kepalanya, membuat Dewi Seribu Bunga hentikan langkah dan memandang dengan dahi mengernyit.
Setelah memperhatikan Pendekar 131 sejurus, gadis ini menghela napas dalam, lalu melangkah lagi ke tempatnya semula dengan dada dipenuhi beberapa perasaan. Di bagian lain, Ratu Pemikat tampak berlutut dengan dada bergetar dan mulut keluarkan darah. Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan dan sebagian mengelinting seperti rambut terbakar. Wajahnya pucat pasi dengan mata setengah terpejam menahan rasa sakit.
Jauh di depan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu duduk bersandar pada sebatang pohon kecil, hingga pohon itu doyong ke belakang. Kumis dan jenggot laki-laki itu telah berwarna kemerahan karena terkena darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.
Beberapa saat berlalu. Masing-masing orang tempat itu coba mengatasi diri masing-masing dari luka dalam yang mendera. Orang pertama yang mengadakan gerakan adalah Ratu Pemikat. Kepala perempua ini sejenak terlihat bergoyang-goyang. Lalu sepasang matanya melirik ke tempat di mana Pendekar Pedang Tumpul 131 berada. Lalu memandang ke depan, arah Maut Mata Satu yang masih nampak memejamkan mata pulihkan tenaga dalam.
"Hem... Kesempatan ini tak akan kusia-siakan. Mumpung keparat itu masih tenggelam..." berpikir begitu, perempuan cantik bertubuh sintal ini arahkan pandangannya kembali pada Joko. Mendadak dia hentikan sepasang bahunya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Joko yang sedang mengerahkan tenaga dalamnya.
Tanpa keluarkan suara sedikit pun, Ratu Pemikat langsung hantamkan kakinya ke arah lambung Pendekar 131. Dewi Seribu Bunga terkesiap kaget. Karena dia berada agak jauh, maka jika lepaskan pukulan pun tak ada artinya, sebab kaki Ratu Pemikat telah bergerak menendang. Bahkan kalau Ratu Pemikat sempat bisa meloloskan diri dari pukulannya, pukulan itu bukan tak mungkin akan melesat ke arah Joko Sableng. Hingga satu-satunya jalan yang bisa dilakukannya adalah berseru memperingatkan Joko.
Di lain pihak, bersamaan dengan melesatnya tendangan Ratu Pemikat, satu-satunya mata milik Maut Mata Satu membuka. Dan begitu melihat apa yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, laki-iaki bermata satu ini cepat bangkit lalu hantamkan kedua tangannya.
"Jahanam! Jangan mimpi bisa mendahuluiku, Perempuan Sundal!" maki Maut Mata Satu.
Ratu Pemikat mendengar makian Maut Mata Satu, namun perempuan ini tak menghiraukan. Tendangan terus dilakukan. Namun sebelum kedua tangan Maut Mata Satu menghantam, dan sebelum Dewi Seribu Bunga berteriak memperingatkan, mendadak di tempat itu terdengar suara tawa panjang yang kemudian diputus mendadak laksana direnggutkan.
Semua orang di tempat itu jadi terkesiap. Pendekar 131 buka kelopak matanya. Pemuda murid Pendeta Sinting ini tersirap darah nya melihat tendangan telah melesat di depannya. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. N amun bersamaan dengan terhentinya suara tawa. tendangan kaki Ratu Pemikat laksana ditahan!
Ratu Pemikat tersentak. Sebelum perempuan ini mengetahui apa yang menahan gerakannya, tubuhnya tiba-tiba laksana dihempos gelombang angin dahsyat. Meski dia lipat gandakan tenaga dalamnya namun sia-sia. Malah hempasan gelombang itu makin deras, hingga tak lama kemudian tubuhnya mental ke belakang sampai dua tombak!
Pada saat bersamaan, terdengar orang berucap. "Manusia hidup punya tujuan dan langkah. Siapa salah melangkah dan salah menuju hidupnya akan sia-sia. Manusia dicipta dengan takdir sendiri-sendiri. Siapa mengingkari takdirnya apalagi meminta sesuatu yang ditakdirkan pada orang lain, bukan saja akan sengsara tapi akan merana sepanjang hidupnya. Jangan salah melangkah, jangan keliru menuju. Lebih-lebih jangan meminta yang tidak ditakdirkan. Hidup akan tenang. Dunia akan damai..."
Maut Mata Satu, Dewi Seribu Bunga, Pendekar Pedang Tumpul 131, lebih-lebih Ratu Pemikat serentak palingkan kepala masing-masing ke arah datangnya suara. Dari tempat masing-masing mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut sedang duduk bersila tanah. Mengenakan pakaian jubah tanpa leher warna kuning. Rambutnya yang putih dan panjang dikelabang serta dikalungkan di lehernya. Raut wajahnya bulat dengan alis mata saling bertaut. Bibirnya selalu bergerak gerak mengucapkan sesuatu. Sementara kedua telapak tangannya saling ditakupkan dan tegakkan di bawah dagu, membuat gerakan seperti orang menyembah.
MATA masing-masing orang di tempat itu membelalak lebar-lebar. Memperhatikan dan mengawasi segala gerak-gerik kakek mirip seorang biksu itu. Tiba-tiba sepasang kaki Ratu Pemikat tersurut satu tindak. Matanya menyipit lalu melebar, alis matanya naik sesaat.
"Manusia Dewa...! Tokoh Budha yang terjun dalam rimba persilatan dan memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Kudengar dia telah lama tak muncul lagi, malah ada yang memberitakan bahwa dia telah undur diri. Apa karena santernya berita tentang pedang pusaka itu yang membuatnya muncul lagi? Atau ada hal lain...?! Hem... Yang pasti, dengan kemunculannya di sini dan mendengar ucapannya, maka urusan di sini akan jadi panjang?!" membatin Ratu Pemikat mengenali siapa adanya kakek yang duduk bersila.
Tak beda dengan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu pun diam-diam berkata dalam hati begitu mengenali siapa adanya si kakek. "Manusia Dewa! Sulit dipercaya jika manusia ini muncul lagi. Terakhir kali aku bertemu dengannya kira-kira dua puluh lima tahun silam. Urusan ini tak akan selesai jika dia turut campur. Jahanam betul! Keadaanku tidak lagi memungkinkan jika harus bentrok dengannya!"
Sementara Joko dan Dewi Seribu Bunga hanya bengong karena keduanya tidak mengenali siapa adanya sang kakek. Namun Joko Sableng sedikit banyak bisa menduga siapa adanya orang dari kata-kata yang diucapkannya. Malah dengan begitu mudahnya membuat Ratu Pemikat terlempar jauh padahal si kakek berada jauh dari tempatnya, murid Pendeta Sinting yakin jika kakek itu berkepandaian sangat tinggi sekali.
"Kek..!" kata Joko seraya menjura dalam-dalam. "Terima kasih atas pertolonganmu..."
Kakek mirip biksu yang tidak lain adalah tokoh rimba persilatan berkepandaian amat tinggi dari kalangan Budha yang beberapa puluh tahun lalu sempat menggegerkan kancah rimba persilatan karena peranannya yang ikut serta membasmi kejahatan, anggukkan kepalanya. Melihat sikap bersahabat dari kakek yang digelari kalangan rimba persilatan dengan julukan Manusia Dewa, Joko bergerak melangkah mendekat. Namun lankahnya tertahan tatkala terdengar bentakan.
"Tetap di tempatmu! Sekali melangkah putus nyawamu!" yang keluarkan bentakan adalah Maut Mata Satu. Habis membentak, laki-laki mata satu ini hadapkan mukanya pada Manusia Dewa. "Manusia Dewa! Harap kau tak melibatkan diri dengan turut campur urusan ini!"
"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" Ratu Pemikat menimpali.
Manusia Dewa yang selalu dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi juga dikenal sebagai tokoh yang aneh ini keluarkan tawa ngakak, membuat semua mata di situ terbeliak, karena meski suara tawanya keras menyakitkan gendang telinga, namun mulutnya hanya terbuka sedikit! Begitu suara tawanya berhenti, dia berkata. Kedua tangannya terus menakup di bawah dagu.
"Manusia dicipta untuk menjadi pimpinan di bumi. untuk mengelola bumi. Manusia berhak mendiami bumi di mana dia suka. Tak seorang pun mempunyai kuasa untuk memerintah orang lain meninggalkan bumi yang disukai. Tahan mulut Tahan kemarahan. Di situ akan ditemukan keselamatan!"
"Jahanam! Katakan saja apa maumu sebenarnya, Manusia Dewa!" hardik Maut Mata Satu.
Manusia Dewa palingkan wajahnya pada Maut Mata Satu. Bibirnya yang selalu bergerak-gerak terhenti. Kepalanya menggeleng perlahan. "Kata-kata bukan hal yang sebenarnya, Maut Mata Satu! Seringkali kata-kata adalah kebalikan apa yang di hati. Jangan pandang manusia dari kata-katanya. Hati adalah cermin. Dari situlah manusia diukur!"
"Keparat! Kuperingatkan sekali lagi, Manusia Dewa! Kau tinggalkan tempat ini atau menemui ajal ditempat ini!" bentak Maut Mata Satu marah.
"Manusia tidak dapat menentukan di tempat mana dia mati."
Maut Mata Satu habis kesabaran. Namun diam-diam laki-laki ini sebenarnya merasa kecut, karena dia terluka dalam sedangkan Manusia Dewa bukanlah tokoh sembarangan. Dia sadar, dalam keadaan tidak terluka saja dirinya bukan tandingan Manusia Dewa. Apa yang ada dalam benak Maut Mata Satu tampaknya bisa dibaca oleh Ratu Pemikat yang sebenarnya juga mempunyai perasaan yang sama.
Ratu Pemikat tiba-tiba berkelebat dan tegak lima langkah di samping Maut Mata Satu. "Kita punya tujuan sama. Tapi kita juga punya penghalang yang sama. Bagaimana kalau sementara ini kita singkirkan dulu penghalang itu?!" bisik Ratu Pemikat tanpa berpaling pada Maut Mata Satu.
"Hem... Ternyata dia keder juga menghadapi Manusia Dewa. Tapi tawarannya adalah jalan satu-satunya..." batin Maut Mata Satu. Lalu laki-laki bermata satu ini melirik pada Ratu Pemikat. "Kita dalam keadaan terluka. Manusia itu memang terlalu tangguh jika kita hadapi sendiri-sendiri. Aku setuju dengan usulmu!"
Belum usai ucapan Maut Mata Satu, Ratu Pemikat telah tarik kaki kirinya ke belakang. Tubuhnya dilorotkan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya dihatamkan ke arah Manusia Dewa.
Di sampingnya, melihat Ratu Pemikat telah lepaskan pukulan, Maut Mata Satu segera pula hantamkan kedua tangannya. Tempat itu mendadak berubah menjadi panas. Hamparan sinar biru pukulan sakti 'Hamparan Langit’ milik Ratu Pemikat bersatu dengan bunga-bunga api dan gelombang hitam pukulan sakti 'Api Seribu Bunga' dan 'Gelombang Kematian' milik Maut Mata Satu menderu dahsyat menuju Manusia Dewa!
Melihat ganasnya pukulan, Pendekar Pedang Tumpul 131 dan Dewi Seribu Bun ga cepat-cepat menjauh. Mereka telah merasakan bagaimana ganasnya tiga pukulan tadi saat bentrok di udara. Kini tiga pukulan sakti itu bersatu, mereka tak dapat membayangkan apa jadinya.
Di depan sana, melihat datangnya serangan yang begitu dahsyat, Manusia Dewa sesaat jadi terkesiap. Dan sadar akan dahsyatnya pukulan, kakek yang rambutnya dikelabang dan dikalungkan ke lehernya ini segera angkat kedua tangannya ke atas kepala. Kedua telapak tangannya yang saling menakup dibuka lalu didorong perlahan ke depan dengan telapak tangan masih berdekatan satu sama lain.
"Weeesss!" Dua gulungan cahaya melesat tanpa keluarkan suara. Namun bersamaan dengan itu angin dahsyat menghempas. Gulungan cahaya berputar-putar aneh makin lama makin besar.
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terpana seketika tatkala melihat bunga-bunga api serta sinar hitam dan hamparan sinar biru pukulan mereka terhenti di tengah jalan dan sesaat kemudian masuk dalam gulungan cahaya! Gulungan cahaya yang telah menggulung pukulan Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terus melesat ke atas. Kira-kira lima belas tombak di atas udara, gulungan cahaya itu meledak keluarkan suara menggelegar dahsyat!
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat sama-sama keluarkan pekikan tegang. Sosok keduanya mencelat melayang ke belakang sampai beberapa tombak lantas sama-sama terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah! Masing-masing orang merasakan dadanya laksana dibakar, aliran darah seakan tersumbat. Hingga otot-otot di sekujur tubuh keduanya bersembulan keluar membentuk guratan-guratan!
Di seberang, begitu ledakan terjadi, sosok Manusia Dewa terseret deras ke belakang. Namun tiba-tiba kakek ini membuat gerakan berputar. Sosoknya yang masih bersila melenting ke udara lalu perlahan-lahan turun di atas tanah dengan tangan menakup di bawah dagu dan tetap bersila! Tubuh kakek ini sesaat bergoyang-goyang keras dengan wajah pucat pasi. Namun sekejap kemudian goyangan tubuhnya berhenti. Kedua kelopak matanya membuka memandang pada Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat. Sejenak Manusia Dewa menghela napas dalam-dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan kanan.
"Manusia-manusia tak beruntung... ilmunya tinggi. Namun hawa nafsu yang mengendalikannya. Hem... Sayang sekali..." gumamnya seraya takupkan kembali tangan kanannya di bawah dagu. Matanya pun perlahan-lahan mengatup dengan mulut bergerak-gerak perdengarkan suara tak jelas. Sekali dia gerakkan bahunya, tubuhnya melesat ke belakang lalu lenyap!
Sesaat setelah suasana reda, Dewi Seribu Bunga yang sedari tadi terus mengkhawatirkan keadaan Joko sapukan pandangan berkeliling. Seketika gadis cantik ini terkejut. Joko tak ada lagi di tempat itu! Tak percaya dengan pandangan matanya, juga menduga Joko Sableng sembunyi di balik semak belukar di sekitar tempat itu, gadis ini segera berkelebat ke tempat di mana Pendekar Pedang Tumpul 131 tadi berada. Dan hingga matanya lelah mencari, ternyata yang dicari memang sudah tidak ada di tempat itu.
"Ke mana dia?" gumamnya seraya menarik napas panjang. Pandangannya lalu membentur pada sosok gurunya yang terkapar. Buru-buru gadis ini melangkah mendekat. "Guru..." desis Dewi Seribu Bunga sambil menolong gurunya bangkit.
Maut Mata Satu sejenak memandang muridnya. Lalu beralih ke arah Ratu Pemikat yang saat itu juga bergerak-gerak bangkit, saat dia berpaling kearah depan laki-laki bermata satu ini keluarkan dengusan keras. "Jahanam itu lenyap!"
Maut Mata Satu lalu sapukan pandangannya berkeliling. Rahangnya tiba-tiba terangkat membatu tatkala matanya tak mendapati Joko. "Keparat! Pemuda itu juga lenyap!" dia lalu menoleh pada Dewi Seribu Bunga yang ada di sampingnya. "Ke mana lenyapnya pemuda itu?!"
Dewi Seribu Bunga menggeleng. "Waktu terjadi bentrok pukulan aku menjauh. Begitu aku kembali, dia sudah tak ada lagi!"
"Keparat! ini gara-gara laki-laki tua jahanam itu!" maki Maut Mata Satu sambil hantamkan tangannya ke tanah saking marahnya. Tanah itu langsung melesak membentuk lubang. "Larasati! Kita tinggalkan tempat ini!" bentak Maut Mata Satu.
Mungkin karena belum hilang rasa jengkelnya pada sang murid hingga untuk beberapa saat dia pandangi muridnya dengan mata berkilat dan mulut berkomat-kamit. Dan tanpa memandang lagi pada Dewi Seribu Bunga, Maut Mata Satu melangkah meninggalkan tempat itu.
Dewi Seribu Bunga menghela napas dalam, pandangannya sekali lagi diputar, takut kalau-kalau Joko Sableng masih berada di tempat itu. Begitu merasa bahwa Joko telah tidak ada lagi di tempat itu, gadis ini berkelebat mengikuti gurunya.
Sesaat setelah Maut Mata Satu dan Dewi Seribu Bunga pergi. Ratu Pemikat bangkit. Dia terhenyak dengan sepasang mata serentak mendelik besar tatkala mengetahui tinggal dirinya sendiri di tempat itu. "Apa mungkin Maut Mata Satu berhasil merebut pedang itu Hem... Tak mungkin. Aku tak mendengar bentrok lagi. Jadi mereka pergi sendiri-sendiri..."
Sambil memutar kepalanya perempuan berwajah cantik ini keluarkan makian panjang pendek. "Aku harus mencari bantuan! Manusia Dewa harus mati di tanganku. Gara-gara laknat itu, urusan jadi berantakan begini rupa!" perempuan ini menghela napas dalam, lalu mengusap wajahnya yang keringatan. Tiba-tiba dia teringat pada Joko. Dahi perempuan mengernyit dengan kepala tengadah.
"Heran... Aku rasa-rasanya pernah jumpa dengan pemuda itu, setidak-tidaknya pernah melihatnya. Pedang Tumpul 131. Hem... Sebelum rahasia ini terbuka, orang yang dicari-cari yang diduga kuat menyimpan rahasia di mana tersimpan pedang itu adalah Bandung Bandawangsa tokoh bergelar Malaikat Lembah Hijau..." berpikir sampai di situ tiba-tiba perempuan' tersentak.
"Astaga! Tak salah lagi. Pemuda itu adalah anak kecil yang beberapa tahun lalu masuk jurang bersama Bandung Bandawangsa! Melihat bahwa dia telah berhasil mendapatkan senjata pusaka itu, dugaanku tak mungkin salah! Bandung Bandawangsa juga anak itu selamat. Lalu Bandung Bandawangsa memberikan petunjuk pada anak itu. Hem... Bandung Bandawangsa mungkin mengambil anak itu sebagai murid. Jika demikian, anak itu sekarang pasti sedang menuju ke tempat Bandung Bandawangsa di Lembah Hijau. Aku akan secepatnya menyusui ke sana..."
Sebelum bangkit, Ratu Pemikat teringat pada seseorang yang beberapa tahu silam mengejar Bandung Bandawangsa dengannya. "Hantu Makam Setan. Sejak peristiwa pengejaran itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan manusia menjijikkan itu. Tak ada salahnya aku meminta bantuan padanya..." gumam sang ratu seraya mengusap mulut dengan punggung tangannya.
"Dia pasti tak akan menolak permintaanku..."
Seperti dituturkan dalam episode Pesanggrahan Keramat, seorang tokoh bergelar Malaikat Lembah Hijau tiba-tiba diburu dan diintai oleh beberapa tokoh rimba persilatan, karena Malaikat Lembah Hijau diduga berat menyimpan petunjuk tentang beradanya pedang pusaka yang sejak lama diperebutkan.
Di antara para pemburu itu adalah Hantu Makam Setan serta Dewi Asmara. Kedua orang ini akhirnya dapat menemukan Malaikat Lembah Hijau. Namun Malaikat Lembah Hijau yang tak merasa memiliki petunjuk itu mengadakan perlawanan. Pada akhirnya Malaikat Lembah Hijau terluka parah. Dia meloloskan diri. Di tengah hutan dia tertolong oleh seorang anak laki-laki.
Saat anak laki-laki ini melakukan pertolongan, Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara datang. Untuk menyelamatkan nyawa si anak laki-laki, Malaikat Lembah Hijau akhirnya membawa serta anak itu. Setelah terjadi kejar-kejaran, pada akhirnya Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk ke jurang.
Peristiwa itu telah delapan tahun berlalu, namun Ratu Pemikat masih mengingatnya, karena salah seorang dari pengejar yang menyebabkan Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk jurang adalah dirinya sendiri! Yakni Dewi Asmara. Setelah peristiwa itu, Dewi Asmara memang terus mengadakan penyelidikan. Karena cara yang digunakan Dewi Asmara dengan menggaet beberapa tokoh menggunakan kecantikan dan tubuh, lambat laun Dewi Asmara lebih dikenal orang dengan gelar Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perlahan-lahan bangkit. Kepalanya tengadah memandang ke sebelah barat. Terlihat cahaya kuning telah menyemaraki langit di belahan barat pertanda senja telah datang dan tak lama lagi malam akan menjelang.
"Tiga hari cukup untuk memulihkan tenaga sebelum menemui Hantu Makam Setan..." desisnya seraya meninggalkan tempat itu.
PENDEKAR 131 Joko Sableng tak mampu berlari kencang karena dadanya masih terasa sesak jika dibuat berlari akibat bentrok dengan Resi Mahayana dan Maut Mata Satu. Namun murid Pendeta Sinting ini sedikit merasa lega karena dirinya merasa berada pada suatu tempat yang aman, lebih dari itu dekat dengan tempat yang dituju, yakni jurang Tiatah Perak, tempat di mana Pendeta Sinting gurunya berada.
Pada hamparan ilalang dekat jurang Tiatah Perak, Joko hentikan larinya. Lalu melangkah pelan sambil mengurut dadanya yang sesak ke arah jajaran pohon rindang. Pantatnya segera dihenyakkan begitu sampai pada salah satu pohon. Bersandar punggung pada batang pohon dengan kaki diselonjorkan. Tiba-tiba Joko ingat sesuatu, ia meraba pinggangnya. Napasnya berhembus panjang ketika tangannya masih merasakan sembulan senjata di balik pakaiannya.
"Aku harus lebih berhati-hati. Siapa pun juga saat ini pasti menginginkan senjata ini..." ingat hal demikian, menjadikan murid Pendeta Sinting ini teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya. Mendadak dia melengak sendiri dengan tangan menepuk jidat.
"Aku ingat sekarang. Perempuan bergelar Ratu Pemikat itu... Ah, betul. Dia adalah perempuan yang beberapa tahun lalu mengejar Bandung Bandawangsa dan aku. Hingga aku dan Bandung Bandawangsa kecebur masuk ke dalam jurang!"
Ingat hal itu dada murid Pendeta Sinting ini berdebar keras. Sepasang matanya berkiiat-kiiat dengan wajah membesi menahan marah. Selagi Pendekar Pedang Tumpul 131 dilanda kemarahan begitu rupa, tiba-tiba ilalang di depan sana tampak bergoyang- goyang keras laksana dilanda angin kencang.
"Di sini tak ada angin, aneh jika ilalang itu bergoyang-goyang..." Merasa ada yang tak beres dan mencium gelagat tak enak, murid Pendeta Sinting sepat gulingkan tubuh lalu mendekam di balik pohon.
Apa yang di khawatirkan Joko Sableng tak lama kemudian jadi kenyataan. Begitu dia mendekam di balik pohon dan baru saja kepalanya diangkat sedikit memandang ke arah ilalang, dari arah belakang menderu angin kencang ke arahnya! Seraya memaki tak karuan, Joko cepat balikkan tubuh dan geser tubuhnya ke samping.
"Praaasss!" Tanah di samping Pendekar Pedang Tumpul 131 terbongkar muncrat membentuk lubang menganga! Pohon di mana dia bersembunyi bergoyan g keras terkena sambatan angin yang berhasil dielakkan Joko.
"Jahanam! Tunjukkan dirimu! Jangan main seperti pengecut!" teriak Joko Sableng seraya bangkit dan putar kepalanya dengan mata mendelik mencari-cari. Bukan terdengarnya suara atau munculnya seseorang yang menjawab teriakan marah Joko, sebaliknya gelombang angin lebih dahsyat menderu kembali ke arahnya! Membuat murid Pendeta Sinting ini makin geram.
Seraya berpaling ke arah dari mana datangnya gelombang angin, Joko cepat hantamkan kedua tangannya sambil melompat menghindari datangnya serangan. Rimbun dedaunan di depan sana terabas rata dan langsung berhamburan terkena hantaman kedua tangan Pendekar 131. Namun hingga hamburan dedaunan itu sirap, Joko Sabieng tak melihat adanya seseorang!
"Pengecut Jahanam! Kenapa kau masih sembunyi tak berani unjukkan diri?!" kembali Joko berteriak.
Belum lenyap gema teriakan Joko, dari arah depan membersit sinar kuning membawa hawa panas. Sekitar tempat itu mendadak berubah semburat warna kuning. Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak, dahinya berkerut. Namun dia tak dapat berpikir panjang karena sinar itu telah melesat dua tombak di depannya, membuat murid Pendeta Sinting ini mau tak mau harus menghadang serangan.
Kedua tangannya segera ditakupkan. Kedua tangan Joko serentak berubah menjadi laksana dilapis warna kuning keperakan. Pertanda murid Pendata Sinting ini telah kerahkan pukulan 'Lembur Kuning'. Pendekar Pedang Tumpul 131 tak menunggu lama, kedua tangannya segera saja didorong ke depan.
"Blaaammm!" Ledakan segera mengguncang tempat itu tatkala sinar kuning yang melesat dari dorongan tangan Joko menghajar sinar kuning yang datang.
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, ilalang di depan sana semburat berhamburan. Tanahnya beterbangan menutupi pemandangan. Tubuh Joko Sableng terhuyung-huyun g ke belakang sebelum akhirnya jatuh terduduk. Namun sekilas sepasang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan melayang turun dari pohon jauh di depan, di antara semburatan ilalang dan hamburan tanah.
Begitu suasana sirap, Joko melihat seorang kakek duduk bersila sepuluh langkah di depannya. Karena tipisnya kulit yang membungkus wajahnya, hingga kerutan wajahnya hanya merupakan garis samar-samar. Rambutnya putih dan dibiarkan menjulai menutupi hampir seluruh wajah dan lehernya. Orang tua ini mengenakan jubah besar bertambal-tambal dari beberapa kain berwarna-warni. Untuk beberapa lama Joko tercekat. Dan begitu sadar siapa adanya kakek dihadapannya, pemuda ini cepat membungkuk dalam-dalam seraya berseru.
"Guru...!"
Si orang tua komat-kamitkan mulutnya. Lalu mulutnya terbuka perdengarkan suara tawa bergelak. Karena tawa itu bukan tawa biasa, namun mengandung tenaga dalam tinggi, membuat Joko Sableng tekap kedua telinganya. Tatkala suara tawa sang orang tua yang bukan lain adalah Pendeta Sinting, tokoh sakti rimba persilatan yang berdiam di juran g Tiatah Perak berhenti, Joko kembali menjura.
"Guru. Maafkan ucapan ku yang tadi memakimu!"
Pendeta Sinting memandang sejurus pada Joko. "Sudah! Jangan banyak basa-basi! Aku sengaja menghadangmu di sini sekaligus untuk mengujimu. Tenaga dalammu masih harus terus kau latih. Demikian juga gerakanmu! Sekarang aku ingin tahu bagaimana dengan tugasmu!"
Joko Sableng kemudian menuturkan perjalanannya sejak keluar dari jurang Tiatah Perak hingga sampai mendapatkan Pedang Tumpul 131 dan sampai di tempat itu.
“Hem... Bagus! Coba perlihatkan pedang itu!” perintah Pendeta Sinting setelah mendengar cerita muridnya.
Joko keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik pakaiannya. Lalu dia bangkit dan melangkah mendekat. Pedang Tumpul 131 diberikan pada gurunya. Untuk beberapa saat lamanya Pendeta Sinting menimang-nimang pedang di tangannya. Pedang ditarik dari sarungnya, lalu diamati dengan seksama. Lalu memandang pada Joko dan berkata.
"Joko. Kau harus bersyukur, hanya karena kemurahan-Nya kau akhirnya berhasil mendapatkan pedang ini. Namun kau juga harus ingat, dengan keberhasilanmu mendapatkan senjata pusaka ini, beban di pundakmu makin berat! Selain mempertahankan senjata ini dari gerayangan tangan-tangan kotor, kau juga dituntut untuk dapat menggunakan senjata ini sebagaimana mestinya!"
Pendeta Sinting masukkan kembali Pedang Tumpul 131 dalam sarungnya lalu diberikan pada Joko yang segera menyimpannya lagi di balik pakaiannya.
"Hem... Mendengar ceritamu, rupanya makin banyak tokoh lama yang muncul kembali juga tokoh-tokoh yang belum kukenal..." Pendeta Sinting sejenak manggut-manggut, lalu teruskan ucapannya. "Melihat gelagatnya, aku menangkap adanya sesuatu di balik munculnya tokoh-tokoh itu..."
"Apa bukan karena mereka memperebutkan pedang ini, Guru?!" Joko coba menduga-duga.
"Kemungkinan itu bisa saja. Namun aku merasa ada sesuatu lain daripada sekadar memburu pedang itu. Munculnya Manusia Dewa menandakan hai itu! Manusia Dewa adalah seorang tokoh yang jarang sekali muncul. Kalau dia memang muncul, pertanda akan adanya sesuatu yang besar! Kau tahu, selain dikenal sebagai tokoh sakti berkepandaian tinggi, dia juga dikenal sebagai orang yang mampu melihat sesuatu yang kemungkinan besar bakal terjadi!"
"Maksudmu, dia seorang peramal?!"
"Bukan. Peramal adalah orang yang mereka-reka apa yang akan terjadi. Sedangkan Manusia Dewa tidak. Dia melihat apa yang bakal terjadi dengan tanda-tanda alam yang ada! Apa namanya aku tak tahu... Hanya saja, dengan kemunculannya pasti akan segera disusul dengan munculnya tokoh-tokoh sakti lainnya. Hm... Kegegeran apa lagi yang akan mengguncang rimba persilatan ini?" ujar Pendeta Sinting seraya menarik napas dalam tapi lantas dia tertawa mengekeh panjang, membuat Joko Sableng nyengir.
"Rimba persilatan memang dunia gila! Kegegeran satu belum selesai, kegegeran lebih besar sudah menghadangi. Hingga tak heran jika orang-orangnya banyak yang mirip seperti orang giia! Ha Ha Ha..." Pendeta Sinting kembali tertawa bergelak-gelak.
Namun tiba-tiba tawanya dipenggal. Kakek sakti dari jurang Tiatah Perak ini dongakkan kepala. Rambut yang menutupi telinganya bergerak-gerak pertanda telinga di baliknya mempertajam pendengaran. Tiba-tiba kepalanya berpaling ke arah utara.
"Ada seseorang menuju tempat ini..." desisnya seraya kerutkan dahi.
Joko jadi ikut-ikutan berpaling ke arah mana sang guru memandang. Belum sampai di antara keduanya ada yang buka mulut iagi, kedua orang ini melihat ilalang jauh di sebelah utara bergerak menyibak. Lalu terlihat sesosok tubuh melayang lurus menerabas ilalang! Anehnya, ilalang yan g hendak diterabas menyibak terlebih dahulu sebelum sosok tersebut lewat seakan membentuk jalan setapak! Bukan hanya sampai di situ. Ternyata sosok yang menerabas ilalang duduk bersila dengan kedua tangan menakup di bawah dagu!
Empat tombak di depan Pendeta Sinting, sosok yang menerbas ilalang berhenti. Perlahan-lahan tubuhnya turun ke atas tanah dengan sikap masih bersila dan tangan menakup di bawah dagu. Orang ini seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat dengan kedua alis mata saling bertaut. Bibirnya tiada henti bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Rambutnya panjang dikelabang dan dikalungkan ke lehernya. Mengenakan jubah warna kuning tanpa leher. Orang ini bukan lain adalah tokoh rimba persilatan yang digelari orang Manusia Dewa!
BEBERAPA saat lamanya Pendeta Sinting terdiam seraya memandang tak berkedip ke arah Manusia Dewa. Di hadapannya Joko bergumam tak jelas mengisyaratkan bahwa dia terkejut bercampur kagum. Tiba-tiba kesunyian di tempat itu disentak dengan suara tawa yang keluar dari mulut Pendeta Sinting.
Melihat Pendeta Sinting tertawa, mendadak Manusia Dewa buka mulut dan ikut-ikutan tertawa bergelak. Hingga sekejap kemudian di tempat itu riuh rendah dengan suara tawa bergelak-gelak, membuat Joko Sableng geleng-geleng kepala.
"Busyet! Apakah demikian sapaan jumpa antara tokoh-tokoh rimba persilatan? Berha... ha... ha... dulu sebelum berkata?!"
Begitu tawa keduanya berhenti, Pendeta Sinting usap-usap kumisnya. Lalu terdengar suaranya. "Hari baik, bulan baik. Hingga tak disangka kita jumpa lagi. Rasanya sudah lama kita tak jumpa, bagaimana? Apa kau baik-baik saja selama ini sobatku, Manusia Dewa?"
Manusia Dewa condongkan kepalanya ke depan dengan sedikit menunduk. Saat kepalanya ditarik kembali, terdengar dia berucap. "Selama angin masih berhembus. Selama laut masih bergelombang. Selama takdir manusia masih menggantung di langit. Tak ada yang tak mungkin bila Dia menghendaki. Banyak perubahan terjadi, namun seperti yang kau lihat tubuh tua ini baik-baik saja! Kau sendiri?!"
"Ucapannya tak berubah dari dulu! Padahal aku tak mengerti maksud ucapannya. Berhadapan macam orang begini mulutku jadi ngilu..." kata Pendeta Sinting. Lalu guru Joko Sableng ini angkat bicara lagi.
"Begitulah. Seperti halnya kau, aku baik-baik saja..." sejenak Pendeta Sinting putuskan kata-katanya. Sesaat kemudian menyambung. "Aku sangat gembira bertemu denganmu lagi. Namun tentunya ada hal penting sampai kau jauh-jauh datang ke sini!"
Manusia Dewa tengadahkan kepala. Saat itu matahari sudah hampir tenggelam, namun pantulan cahayanya masih menyeruak, dan perlahan-lahan rembulan tampak menapak langit dari balik gumpalan awan di sebelah utara. Untuk beberapa lama Manusia Dewa menatap bulan yang baru muncul.
"Takdir telah membawaku ke sini. Isyarat alam menuntun pikiranku bahwa arakan awan kelam mengambang di langit biru! Bumi jadi gelap meskipun matahari bersinar! Rembulan bercahaya. Tapi warna merah membuat cahayanya pudar!"
Pendekar Pedang Tumpui 131 terkesiap mendengar ucapan Manusia Dewa. Diam-diam dia menduga-duga arti ucapan orang tua Itu. "Hem... Nampaknya apa yang baru saja dibicarakan Pendeta Sinting benar adanya. Mendengar kata-kata kakek itu, sesuatu akan terjadi. Tapi apa...?!" Joko berpaling pada gurunya. Yang dipan dang geleng-geieng kepala seakan menjawab apa yang hendak ditanyakan Joko.
"Sobatku, Manusia Dewa," kata Pendeta Sinting pada akhirnya setelah diam beberapa lama. "Apakah ucapanmu itu pertanda akan terjadi sesuatu hal yang luar biasa?!"
Manusia Dewa palingkan wajahnya menghadap Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya tetap menakup di bawah dagu. "Sobatku, Pendeta Sinting. Aku tak berhak menjawab ya atau tidak atas pertanyaanmu, itu bukan kuasaku! Hanya saja, tanda-tanda alam tadi menunjuk ke arah pertanyaanmu. Peristiwa besar! Tanda-tanda itu mengarah ke sana!"
Pendeta Sinting memandang lekat-lekat pada sahabatnya itu. Mulutnya komat-kamit dan bergetar, namun di lain kejap mulutnya telah membuka perdengarkan suara tawa perlahan. "Sobatku, Manusia Dewa. Anggaplah memang suatu peristiwa besar akan terjadi. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah peristiwa apa?! Apa kau juga menangkap peristiwa besar apa yang hendak terjadi?!"
"Jangan tanya apa yang akan terjadi, Sobatku. Aku mungkin bisa menjawab semua pertanyaanmu, tapi menjawab apa yang akan terjadi adalah bukan jadi hakku! Namun demikian, tanda-tanda zaman sedikit banyak bisa menjawab apa sebenarnya yang akan terjadi!"
"Sontoloyo benar! Ngomong sama dia aku jadi pusing sendiri!" rungut Pendeta Sinting yang rupanya tak sabar dengan segala ucapan Manusia Dewa. Penghuni jurang Tlatah Perak ini lantas jerengkan sepasang matanya. Mulutnya membuka hendak berkata, namun sebelum ucapannya keluar, Manusia Dewa telah berujar.
"Kau pernah dengar cerita tentang hura-hura besar yang terjadi ratusan tahun silam di Pulau Biru?!"
"Pulau yang katanya dihuni oleh seorang sakti yang memiliki Kitab Serat Biru itu? Memang, aku pernah dengar ceritanya. Tapi kurasa cerita itu hanya mengada-ada saja! Ternyata hingga sekarang aku tak dengar seorang pun yang mendapatkan kitab itu! Bahkan lambat laun cerita itu lenyap!" kala Pendeta Sinting pula.
Manusia Dewa tertawa pelan mendengar ucapan Pendeta Sinting. "Boleh aku tahu, sudah berapa tahun kau mengasingkan diri tak terjun dalam belantara persilatan?!"
Pendeta Sinting terdiam sejenak seolah mengingat. Lalu bergumam. "Menurut perhitunganku sudah kurang lebih dua puluh empat tahun!"
"Sobatku. Dua puluh empat tahun bukan waktu yang pendek. Masa selama itu telah cukup untuk membuat suasana benar-benar berubah!"
"Maksudmu...?!"
"Dalam lima belas tahun terakhir ini, rimba persilatan diramaikan dengan perburuan kaum persilatan untuk mendapatkan Pedang Tumpul 131 serta Kitab Serat Biru. Mungkin karena Pedang Tumpul 131 sulit membuka rahasianya karena si pembawa petunjuk lenyap berpindah-pindah, orang rimba persilatan mengarahkan pandangan dan telinganya pada Kitab Serat Biru, meski dengan diam-diam juga menyelidik tentang pedang pusaka itu!"
Pendeta Sinting dan Joko Sableng terkejut. "Manusia Dewa. Pedang Tumpul 131 sekarang..." Pendeta Sinting tidak meneruskan ucapannya.
"Aku tahu... Pemuda di depanmu itu telah berhasil mendapatkan pedang pusaka itu. Karenanya secara diam-diam aku mengikutinya. Dan tak diduga jika dia orang yang dekat denganmu. Aku gembira karenanya. Sengaja aku mengikutinya untuk mengetahui siapa dia adanya. Terus terang, mula-mula aku merasa cemas. Aku khawatir pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang yang tidak kita inginkan..."
"Dia muridku!" sahut Pendeta Sinting.
Manusia Dewa arahkan pandangannya pada Pendekar Pedang Tumpul 131. Memperhatikan lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. "Syukur jika demikian. Hatiku sekarang tenteram!"
"Kembali pada Kitab Serat Biru itu..." ujar Pendeta Sinting seakan tak sabar. "Aku rasanya masih menyangsikan adanya!"
"Justru aku hampir yakin adanya!" tukas Manusia Dewa. "Dan entah siapa yang memulai, akhir-akhir ini beberapa tokoh rimba persilatan telah muncul dan berbisik-bisik mencari jalan mendapatkan kitab itu, malah sebagian telah berada di sekitar pulau!"
"Kau tahu banyak tentang kitab itu?!” tanya Pendeta Sinting.
Manusia Dewa gelengkan kepalanya. "Tentang kitabnya, aku buta sama sekali. Hanya yang kutahu sedikit tentang orang sakti itu. Menurut yang pernah kudengar dari orang terpercaya, orang sakti itu bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Tak jelas apa Ki Ageng telah mati atau belum. Yang pasti suatu keanehan melekat padanya!"
"Keanahan? Keanehan apa?!"
"Orang itu tubuhnya sebagian berada di atas dan sebagian di dalam tanah!"
Pendeta Sinting dan Joko Sableng tersentak kaget mendengar keterangan Manusia Dewa. Mereka berdua seakan tak percaya. Rupanya Manusia Dewa menangkap perasaan orang, hingga tak lama kemudian dia mendehem beberapa kali sebelum berkata.
"Inilah rimba persilatan. Dunia yang tak henti-hentinya diselimuti beberapa keanehan yang rasanya tak masuk akal. Namun begitulah kenyataannya! Herannya, semakin aneh, semakin menyedot perhatian orang dan mengundang orang berlomba-lomba menguak misteri keanehan itu. Mereka tak sadar, bahwa semakin terkuak, semakin remang-remang yang tampak. Lebih-lebih mereka jadi lupa jika Sang Pencipta Alam lebih daripada segala misteri di alam ini!"
"Ucapanmu benar..." desis Pendeta Sinting. "Lantas apa yang terbaik yang harus kita lakukan sekarang?!"
"Manusia punya tugas mendamaikan umat. Rimba persilatan tak akan damai jika masalah Pulau Biru tak cepat diselesaikan!"
Pendeta Sinting komat-kamitkan mulut. "Jelasnya, kau mengajakku memburu kitab itu. Begitu?!"
"Aku tidak mengajak. Manusia diberi kemampuan berbeda-beda. Hanya saja jika merasa mampu kenapa tidak digunakan?!"
Pendeta Sinting menyeringai lalu mengangguk-angguk. Berpaling pada Joko Sabieng dan berkata. "Kau telah dengar semua penuturannya. Bagaimana pendapatmu?!"
Pertdekar 131 tersenyum-senyum sambil membatin dalam hati. "Aku tahu. Dia akan melimpahkan tugas ini kepadaku..."
"Sontoloyo! Jangan cengengesan. Aku bersungguh-sungguh!" bentak Pendeta Sinting meski kejap kemudian dia ikut-ikutan tersenyum.
"Sebaiknya kita memang menyelidik Pulau Biru itu Guru... rasa-rasanya ucapanmu tadi sebenarnya tidak menanyakan bagaimana pendapatku, namun menanyakan kesiapanku! Benar bukan?"
"Sontoloyo! Ternyata kau bisa menebak siratan ucapanku! Bagus kalau kau telah mengerti!" gumam Pendeta Sinting. "Kau bersedia bukan?!"
"Pedang Tumpul 131 ada di tanganku. Apa pun yang terjadi, aku siap melakukannya!" ujar Joko pula.
Manusia Dewa mendehem, membuat Pendeta Sinting dan muridnya berpaling. "Anak Muda. Kuasai pikiran. Jangan mengandalkan benda ciptaan. Pedang di tanganmu memang hebat, tapi jika pedang itu lenyap apa lagi yang kau andalkan? ilmu...? ingat, Anak Muda. Di atas langit masih ada langit. Semakin dalam kita menggali lubang semakin gelap yang kita lihat!"
"Kau dengar ucapannya, Sontoloyo?! Kau jangan sombong, itu akan membawamu ke arah kegelapan!" desis Pendeta Sinting pada Joko, membuat Joko terpekur dan angguk-anggukkan kepala.
"Kurasa sudah lama kita bicara. Sekarang aku harus pergi. Jika guratan masih menggariskan, tentu kita akan jumpa lagi..." habis berkata demikian, tiba-tiba Manusia Dewa keluarkan suara tawa bergelak, membuat Pendeta Sinting dan Joko Sableng sama-sama tengadahkan kepala seraya kerahkan tenaga dalam menangkis suara tawa yang menusuk gendang telinga.
Karena suara tawa itu terus menggema tak henti-henti, Pendekar Pedang Tumpul 131 segera palingkan kepala ke arah di mana tadi Manusia Dewa berada, sepasang mata Joko jadi terbeliak dengan mulut menganga. Ternyata Manusia Dewa tidak ada lagi di tempat itu! Padahal suara tawanya masih terdengar!
"Dia sudah tidak ada lagi, bukan?!" gumam Pendeta Sinting tanpa berpaling pada Joko.
"Benar. Padahal suaranya masih terdengar hingga sekarang!"
"Itulah. Manusia satu itu kepandaiannya memang sulit diukur!"
Sang guru lantas arahkan pandangannya pada Joko. "Hem... Kau memikirkan sesuatu?!"
"Aku kagum dengan ketinggian ilmunya. Waktu terjadi bentrok tempo hari dia hanya mendorong kedua telapak tangannya untuk menangkis serangan ganas. Nyatanya lawan dapat dibuat roboh terluka dalam..."
"Aku tahu, kau menginginkan ilmu seperti itu bukan? Hem... Mudah saja asalkan kau sudah dapat membutakan sepasang mata dan mata hatimu! Mendengar ceritamu tadi, tampaknya memerlukan waktu sangat panjang bagimu untuk sampai ke sana..."
"Kenapa bisa begitu, Guru...?!"
"Selama hati masih kotor, selama mata masih tergiur melihat paha dan dada apalagi pinggul yang bergoyang-goyang, simpan dulu keinginanmu!"
Joko Sableng menyeringai sambil garuk-garuk leher. Dalam hati dia berbisik. "Rasanya keinginan bukan saja hanya tersimpan, namun tak akan terjadi kenyataan. Mataku rasanya gatal jika melihat dada dan paha. Apalagi pinggul besar yang bergoyang- goyang. He He He...!"
"Sontoloyo! Apa kau sekarang sudah siap?!” tiba-tiba Pendeta Sinting menyentakkan lamunan Joko.
"Kalau tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku siap, Guru!"
"Hem... Mendengar keterangan Manusia Dewa apa yang akan kau hadapi bukan urusan ringan! Selembar nyawamu jadi taruhannya. Muslihat licik dan tipu daya keji akan menghadangmu! Meski matamu tidak bisa dicegah dari melihat paha mulus, dada membusung serta lenggak-lenggoknya pinggul, tapi pikiran jernih dan kepala dingin jangan sampai tergadai!"
"Akan kuingat selalu ucapanmu, Guru. Aku pamit sekarang..." Habis berkata, joko menjura dalam. Lalu bangkit dan di kejap kemudian lenyap meninggalkan tempat itu.
"Mudah-mudahan Sontoloyo itu kuat menghadapi tantangan! Hem... Menurut Manusia Dewa sekarang telah banyak muncul tokoh rimba persilatan, membuatku ingin tahu. Memang tak ada salahnya aku melihat-lihat dunia luar yang telah lama kutinggalkan. Gila! Kenapa aku jadi ikut-ikutan bingung...? Apakah aku memang orang bingung? Bukan, bukan bingung, tapi sinting. Ha Ha Ha..." Pendeta Sinting tertawa sendiri, lalu bangkit dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
BAYANGAN biru berkelebat cepat laksana busur anak panah melewati sela-sela jajaran pohon hutan belantara di sebelah tenggara bukit Wono Ayu. Sampai pada ujung hutan yang berbatasan dengan sebuah dataran luas dengan gundukan tanah di sana-sini, bayangan biru hentikan larinya. Cahaya bulan yang menggantung di langit membantu memperjelas siapa adanya sosok ini.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berwajah cantik jelita. Usianya kira-kira empat puluh tahunan. Namun demikian, tubuhnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Dadanya besar menantang dengan pinggul padat menggoda. Kulitnya putih dengan mata bulat. Rambutnya panjang bergerai. Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat dengan bagian dada dibuat begitu rendah, seakan ingin menampakkan sembulan payudaranya.
Sejenak perempuan cantik yang tak lain Dewi Asmara alias Ratu Pemikat ini menghela napas panjang dalam-dalam. Dadanya bergerak turun naik. Tangan kanannya lalu mengusap keringat yang membasahi lehernya yang jenjang. Melihat gerak-geriknya dia saat itu amat letih pertanda baru saja melakukan perjalanan jauh. Namun keletihan itu tiba-tiba saja lenyap begitu sadar apa yang dilihat di hadapannya! Malah tak sadar, dari mulutnya terlontar seruan tertahan.
"Gila! Apa aku tak salah alamat?!" gumamnya seraya beliakkan sepasang matanya tak berkedip memandang pada dataran di depannya.
Dataran itu luasnya kira-kira delapan puluh tombak berkeliling. Di sana sini banyak terlihat gundukan-gundukan tanah yang panjangnya satu setengah tombak membujur mirip gundukan makam. Memang itu adalah dataran yang dipenuhi dengan makam, namun anehnya mayat yang dimakamkan di situ tidak ditimbun masuk ke dalam gundukan. Melainkan dibiarkan berserakan di kanan kiri gundukan tanah. Hingga dataran itu selain menyeramkan karena banyaknya tulang dan tengkorak yang berserakan, bau busuk melingkupi tempat itu!
"Gila! Bagaimana mungkin seorang anak manusia dapat tinggal di tempat yang begini menyeramkan dan busuk. Aku saja rasanya ingin muntah!" desis Ratu Pemikat seraya menahan napas.
"Seandainya tak ada masalah penting, aku ingin cepat pergi saja!" Ratu Pemikat terus bergumam seraya arahkan pandangann ya berkeliling. Meski saat itu malam, namun karena rembulan bersinar terang, sepasang mata Ratu Pemikat dapat melihat sampai ujung dataran. Tapi sekian lama memandang rupanya dia tak menemukan apa yang dicari di tempat itu.
"Aku tak melihat adanya sebuah tempat yang patut dihuni. Di mana aku dapat menemukan Hantu Makam Setan itu? Atau jangan-jangan dia telah berpindah tempat! Atau... Ah, lebih baik aku mencoba berkeliling..."
Sambil membekap hidung dan telapak tangannya, perempuan cantik bertubuh montok ini melangkah memasuki dataran. Bulu kuduknya merinding melihat berserakannya tulang dan bangkai, namun perempuan ini terus melangkah ke tengah-tengah dataran. Sampai tengah dataran, kepalanya diputar berkeliling.
Namun baru saja kepalanya bergerak setengah putaran, dari sebuah lubang yang hanya samar-samar karena terlindung oleh gundukan di kanan kirinya menderu gelombang angin dahsyat! Mengarah pada perempuan berwajah cantik yang tegak membelakangi lubang itu. Meski terkesiap kaget karena tak menyangka akan mendapat serangan.
Namun karena dia sudah makan asam garam dan bertahun-tahun malang-melintang dalam rimba persilatan, membuatnya segera sigap dan seraya melirik dari mana asalnya serangan, perempuan ini berkelebat ke samping. Serangan gelap menghajar angin setengah tombak di samping kanan Ratu Pemikat lalu menghantam gundukan tanah makam. Gundukan itu langsung terbongkar dan tanahnya berhamburan! Tulang belulang di sekitar tempat itu ikut tersapu dan kontan hancur berkeping-keping.
"Sialan! Apakah dia...?!" desis Ratu Pemikat lalu seraya siapkan pukulan, dia melangkah ke arah datangnya serangan tadi. Baru saja kepalanya melongok ke dalam lubang, dari arah belakangnya kembali menderu angin lebih dahsyat dari yang pertama!
"Keparat!" maki sang ratu seraya berbalik dan buru-buru menyingkir. Mungkin karena geram, kedua tangannya yang sudah siap lepaskan pukulan dihantamkan ke arah sumber serangan.
"Wuuuttt! Bluuurrr!"
Lubang di mana serangan tadi bersumber langsung porak-poranda. Gundukan di sekitar lubang pun ambyar ke udara. Bersamaan dengan itu dari dalam lubang yang terbongkar melesat sesosok bayangan dengan perdengarkan dengusan keras lalu makian panjang pendek.
Ratu Pemikat tengadahkan kepala mengikuti lesatan sang bayangan. Ketika matanya menangkap gerakan tangan sang bayangan yang hendak lepaskan pukulan, Ratu Pemikat segera berseru keras. "Hantu Makam Setan! Tahan serangan. Aku Ratu Pemikat!"
Bayangan yang masih melayang di udara kembali perdengarkan makian tak karuan, namun kedua tangannya yang tadi hendak lepaskan pukulan diurungkan.
"Dia mengenaliku Hem... Dia sebutkan diri Ratu Pemikat. Aku dengar tentang gelar itu. Tapi ada apa dia menggangguku? Padahal aku belum pernah jumpa dengan yang namanya Ratu Pemikat!" sang bayangan membatin, lalu turun dan tegak sembilan langkah di hadapan Ratu Pemikat.
"Hem... Memang dia!" ujar Ratu Pemikat lirih tatkala sang bayangan tadi telah tegak di hadapannya dan dia dapat mengenalinya.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Mengenakan jubah warna merah. Parasnya bulat besar dengan kulit amat tipis. Matanya besar dan menjorok masuk dalam cekungan tulang yang dalam. Alis Matanya tebal dengan rambut disanggul ke atas. Laki-laki ini makin angker jika orang memandang hidungnya. Karena ternyata laki-laki ini hanya memiliki hidung separo. Separonya hanya merupakan cekungan dalam!
Namun demikian, dari cekungan hidungnya itu menghembus angin deras ketika dia bernapas! Laki-laki ini bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan yang sangat ditakuti, yakni Hantu Makam Setan. Untuk beberapa saat, sepasang mata Hantu Makam Setan memandang tak berkedip ke arah Ratu Pemikat. Alis matanya terangkat, mulut komat-kamit. Dadanya berdebar keras melihat busungan dada satengah menyembul dari perempuan dihadapannya.
"Kau!" tiba-tiba Hantu Makam Setan keluarkan suara setelah agak lama terdiam menguasai debaran dadanya.
Begitu Ratu Pemikat melihat Hantu Makam Setan telah mengenalinya, perempuan ini tersenyum. "Bukankah kau Dewi Asmara...?"
"Tak salah!"
"Tadi kau sebutkan diri dengan Ratu Pemikat. Jadi..." Hantu Makam Setan tak teruskan ucapannya.
"Ratu Pemikat adalah Dewi Asmara. Tapi sudahlah! Soal gelar tak perlu diperdebatkan. Ada masalah lain yang lebih penting!" sahut Ratu Pemikat seraya maju tiga langkah. Dada perempuan ini terlihat naik turun karena sejak tadi menahan bau busuk yang menebar di tempat itu. Membuat Hantu Makam Setan makin membeliakkan mata.
"Hantu Makam Setan. Kau masih ingat pengejaran kita terhadap Malaikat Lembah Hijau beberapa tahun silam?"
"Hemmm..." Hantu Makam Setan menggumam. "Bangsat yang tewas masuk jurang itu?!"
"Ingatanmu masih bagus! Tapi dugaanmu salah!" tukas Ratu Pemikat.
Hantu Makam Setan terperanjat. Sebelum dia berkata lagi, Ratu Pemikat telah menyambung ucapannya.
"Ternyata Malaikat Lembah Hijau tak tewas!"
"Dari mana kau mengetahuinya? Kau jumpa dengannya?!"
Ratu Pemikat gelengkan kepalanya. Lain ajukan pertanyaan lagi. "Apa kau juga masih ingat anak laki-iaki yang ikut masuk jurang bersama Malaikat Lembah Hijau?!"
"Aku ingat! Lalu apa hubungannya?!"
"Aku menduga Malaikat Lembah Hijau masih hidup dari anak laki-laki itu. Anak itu masih hidup dan kini telah besar. Dia tampaknya membekal ilmu tinggi. Lebih dari itu semua, dia ternyata berhasil mendapatkan Pedang Tumpui 131!"
Ratu Pemikat sudah menduga jika Hantu Makam Setan akan terkejut mendengar keterangannya. Namun dugaannya meleset. Hantu Makam Setan tak menunjukkan rasa terkejut, membuat Ratu Pemikat kernyitkan kening dan menduga-duga apa sebabnya.
"Apa kau telah mendengar semua ini sebelumnya?!" tanya Ratu Pemikat coba menyelidik.
Hantu Makam Setan gelengkan kepala. "Sudah hampir empat belas bulan aku menyendiri. Dan baru malam ini aku keluar dari tempatku!"
"Kau dulu tampaknya begitu menggebu untuk merebut pedang itu. Hal apa yang membuat kau sekarang berubah? Pedahal pedang itu sekarang tinggal merebutnya!" Ratu Pemikat terus mendesak ingin tahu perubahan pada laki-laki berhidung sebelah ini.
Hantu Makam Setan tertawa pelan namun panjang. Seraya menatap pada dada perempuan di hadapannya, dia berujar. "Pedang Tumpul 131 boleh hebat. Tapi belum tentu menang jika dibanding dengan Kitab Serat Biru!"
"Aha... Tampaknya kau termakan juga dengan cerita isapan jempoi itu! Jadi itukah yang membuatmu berubah? Dengar, Sobatku. Pedang Tumpul 131 sudah nyata adanya. Sedangkan Kitab Serat Biru masih teka-teki. Adakah kau memilih yang kedua?!"
Hantu Makam Setan tertawa kembali seraya menggeleng-geleng. "Apakah jika tokoh-tokoh dedengkot rimba persilatan rela menyabung satu-satunya nyawa yang dimiliki demi sesuatu, sesuatu itu masih teka-teki...? Tidak! Sesuatu itu pasti adanya! Mereka yang mengatakan bahwa cerita tentang kitab itu isapan jempol pasti bertujuan agar jalan mereka mulus tanpa banyak orang yang terlibat!"
Mendengar ucapan Hantu Makam Setan, Ratu Pemikat terdiam. Keyakinannya semula jika Kitab Serat Biru cerita isapan jempol perlahan-lahan sirna. Apalagi jika ditambah dengan kabar yang kini terdengar santer jika para dedengkot persilatan mulai kasak-kusuk membicarakan kitab itu. Malah beberapa tokoh yang telah lama menghliang kini banyak berkeliaran lagi. Di antara yang jelas ditemuinya adalah Manusia Dewa dan Maut Mata Satu.
"Dewi Asmara..." kata Hantu Makam Setan menyentak lamunan sang perempuan. "Tentunya ada maksud penting hingga kau jauh-jauh datang ke dataran Makam Setan ini. Katakan apa maksudmu! Atau kau hanya ingin memberitahukan tentang telah diketemukannya pedang itu?!"
Sesaat Ratu Pemikat berpikir. Dia sebenarnya ingin minta bantuan setidak-tidaknya mengajak bergabung Hantu Makam Setan untuk merebut Pedang Tumpul 131 dan membunuh Manusia Dewa, namun sebagai tokoh yang lama malang-melintang dia pantang berterus terang mengatakannya. Dia tak mau dikatakan sebagai orang yang kurang ilmu, apalagi oleh orang satu golongan!
Melihat Ratu Pemikat tak segera menjawab pertanyaannya, Hantu Makam Setan segera dapat menangkap apa yang dipikirkan perempuan itu. Seraya menyeringai dia akhirnya berkata. "Aku menduga kau ingin mengajakku bergabung untuk memburu pedang itu. Benar?!"
"Karena orang yang memburu Malaikat Lembah Hijau hingga orang itu masuk jurang adalah kau dan aku, maka aku pikir tak ada salahnya jika kita menyelidik bersama-sama! Kalau sekarang ada dua masalah besar, itu sangat kebetulan sekali. Kalau kau menginginkan kitab itu aku akan membantu, sebaliknya kau juga harus membantuku untuk merebut pedang itu!"
Hantu Makam Setan kembali keluarkan tawa bergelak. "Aku meiihat nada ketakutan pada ucapanmu. Mau mengatakan apa sebabnya? Karena terus terang empat belas bulan terakhir ini aku tak tahu perubahan dalam rimba persilatan. Biasanya, dalam situasi berselimut begini, satu hari saja bisa terjadi perubahan besar!"
"Hantu Makam Setan!" tiba-tiba Ratu Pemikat berkata dengan suara agak tinggi, karena dikatakan takut. "Aku tak pernah takut menghadapi segala hal! Aku punya kepandaian! Hanya yang perlu kau ketahui, sekarang telah muncul beberapa tokoh rimba persilatan yang sebelumnya diduga orang tak mungkin muncul lagi!"
"Hem... Begitu? Berarti kegegeran besar benar-benar akan segera terjadi. Peristiwa besar ratusan tahun yang lalu akan terulang kembali..." gumam Hantu Makam Setan acuh tak acuh dengan kegeraman Ratu Pemikat.
"Hantu Makam Setan! Bagaimana? Apa kita jadi menyelidik bersama-sama?"
"Hem... Perempuan macam dia banyak tipu muslihatnya. Dulu waktu mengejar Malaikat Lembah Hijau dia mengatakan punya dendam dengan Malaikat Lembah Hijau. Sekarang tanpa disadari dia membuka kedoknya sendiri jika pengejaran itu karena ingin pedang pusaka itu. Bergabung dengannya akan menyusahkan saja. Apalagi urusan Kitab Serat Biru bukan masalah main-main. Hem... Sebenarnya dengan bergabung, setidaknya aku bisa mencicipi tubuhnya, tapi sementara ini Kitab Serat Biru lebih dari segalanya!" kata Hantu Makam Setan dalam hati. Lalu tengadahkan kepala dan berkata.
"Dalam banyak hal, kita memang punya kepentingan sama. Tapi tidak untuk urusan Kitab Serat Biru. Biarlah untuk masalah ini aku menyelidik sendiri!"
"Jahanam! Dia menolak tawaranku. Atau mungkin dia pura-pura menolak karena di balik itu ingin..."
Ratu Pemikat tak meneruskan kata hatinya. Bibir perempuan berwajah cantik Ini sunggingkan senyum. Laiu dia melangkah ke arah Hantu Makam Setan dengan bibir setengah dibuka dan mata sedikit memejam. Dadanya dibusungkan, hingga makin menyembul! Perempuan ini bersikeras mengajak bergabung Hantu Makam Setan karena dia sadar, tokoh yang bakal menghadang adalah para dedengkot rimba persilatan yang kemampuannya tidak disangsikan lagi.
Tiga langkah di depan Hantu Makam Setan, Ratu Pemikat hentikan langkah. Dari sudut matanya yang setengah memejam dia memandang lekat-lekat pada laki-laki berhidung sebelah ini. "Kau menolak menyelidik bersama-sama, Hantu Makam Setan...?"
"Bededah! Dia rupanya mulai pasang perangkap. Tapi jangan mimpi aku akan masuk jaring laba-labanya!"
"Dewi Asmara..." bisik Hantu Makam Setan dengan suara bergetar menindih gejolak nafsu yang mau tak mau mendera dadanya juga melihat tingkah perempuan di hadapannya. "Urusan di depan begitu besar. Kalau kau mau bersenang-senang denganku, datanglah setelah urusan ini selesai. Aku akan membuatmu tak sempat mengenakan pakaian selama satu purnama penuh!"
Dada Ratu Pemikat bergerak turun naik dengan keras. Bukan karena gejolak nafsu melainkan geram mendengar kata-kata Hantu Makam Setan. Tanpa buka suara lagi, kedua tangannya bergerak menghantam ke depan!
Wuuuttt! Wuuutt!
Namun Ratu Pemikat tersentak sendiri. Kedua tangannya hanya menghantam angin. Karena waktu menghantam kedua matanya setengah memejam, perempuan ini tak tahu jika begitu Hantu Makam Setan selesai berkata, laki-laki ini cepat melompat ke belakang lalu masuk dalam lubang dan lenyap seakan ditelan bumi!
Seraya memaki, Ratu Pemikat buka kedua matanya. Begitu tak melihat Hantu Makam Setan, kemarahan perempuan ini makin menggebu. Sejenak matanya liar memandang kian kemari. Lalu berkelebat ke arah lubang di mana Hantu Makam Setan keluar. Perempuan ini terlihat bimbang, karena lubang itu tampak gelap dan berkelok.
"Tak ada gunanya kukejar masuk. Aku masih bisa mencari orang lain untuk urusan ini. Bangsat ini tak lama lagi pasti keluar menyelidik Kitab Serat Biru. Hem..." Ratu Pemikat condongkan kepalanya ke lubang. Di kejap kemudian terdengar teriakannya.
"Hantu Makam Setan! Kau akan menyesal karena tindakan bodohmu! Ingat! Saat kau keluar dari lubang busuk ini, Ratu Pemikat adalah orang pertama yang menginginkan selembar nyawamu!"
Ratu Pemikat mengharap ada sahutan dari dalam lubang. Namun apa yang diharap tak jadi kenyataan, membuat perempuan bertubuh sintal ini makin marah. "Keparat Jahanam!" bentaknya seraya menarik kepalanya. Kemarahannya dilampiaskan pada apa yang ada di depannya. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Karena di depannya adalah lubang di mana Hantu Makam Setan masuk, lubang itu segera dihantamnya!
"Byuuurrr!" Lubang itu langsung terbongkar. Tanahnya berhamburan ke udara dan sebagian jatuh menimbun ke dalam lubang, hingga tatkala suasana sirap, lubang itu lenyap berganti dengan tanah berserakan. Sosok Rat Pemikat pun tak tampak lagi di dataran Makam Setan itu...!
BAB 1
PUNCAK bukit Sono Keling yang sunyi, membuat suara derap langkah kuda makin jelas hingga Pendekar Pedang Tumpul 131 terkesiap. Sepasang matanya cepat berputar liar memperhatikan ke bawah. Kepalanya bergerak ke samping kanan dan kiri. Pendengarannya ditajamkan. Namun murid Pendeta Sinting jadi makin tersekat. Karena mendadak saja suara derap langkah-langkah kaki kuda lenyap seolah direnggut setan!
(Untuk lebih jelasnya mengenal adegan sebelum ini, dapat dibaca pada serial Joko Sableng dalam episode perdana berjudul Pesanggrahan Keramat)
"Aneh. Baru saja langkah-langkah kuda itu terdengar. Tapi... Apakah hanya telingaku yang tertipu? Atau han..." pemuda murid Pendeta Sinting Ini tak teruskan kata hatinya. Bulu kuduknya meremang. Dan belum sirna rasa gelisahnya, tiba-tiba dua bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu dua orang telah tegak di hadapannya!
Joko Sableng surutkan langkah satu tindak. Bola matanya membesar memperhatikan dua sosok di hadapannya. Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Mukanya cekung hitam dengan sepasang mata sipit. Rambutnya panjang menjulai sampai punggung dan sebagian menutupi wajahnya. Mulutnya lebar dan tak henti-hentinya komat-kamit. Mengenakan pakaian panjang berupa jubah toga warna hitam. Sedangkan orang di sebelah kiri adalah laki-laki setengah baya. Parasnya keras dengan mata melotot besar. Rambutnya dipotong pendek dan tampak kaku seperti ijuk. Laki-laki ini mengenakan baju warna gelap.
Sejenak kedua laki-laki ini saling pandang satu sama lain. Lalu serentak arahkan pandangannya pada Joko Sableng. Namun keduanya masih tak buka mulut. Sebaliknya laki-laki yang mengenakan jubah hitam sorongkan tubuhnya ke kiri. Lalu berbisik.
"Dandang Wulung. Kau kenal manusia ini?" Laki-laki yang mengenakan baju biru gelap dan dipanggil dengan Dandang Wulung menyeringai. Lalu dengan mengawasi Joko dari atas hingga bawah, kepalanya menggeleng.
"Sawung Rono. Kita tak perlu tahu siapa adanya manusia ini. Jikalau dia di tempat ini, pasti tujuannya sama dengan kita! Dia harus segera disingkirkan!"
Laki-laki berusia lanjut yang dipanggil dengan Sawung Rono tertawa pendek. Tiba-tiba sepasang matanya yang sipit membuka lebar. Mulutnya makin cepat berkomat-kamit. Tubuhnya sedikit bergetar. Wajahnya berubah seketika. Tanpa sadar dari mulutnya keluar gumaman pelan.
"Tak dapat kupercaya..."
Dandang Wulung berpaling. Melihat perubahan pada wajah Sawung Rono, dia kerutkan dahi. "Ada apa?! Apa yang tak kau percaya?!"
Entah karena masih tak percaya dengan apa yang dilihat atau karena tak mendengar pertanyaan, Sawung Rono tak segera menjawab. Sebaliknya sepasang matanya memandang lurus ke depan, lalu menebar ke sekeliling.
"Puncak bukit ini masih sama seperti satu tahun silam. Dan aku tidak buta. Aku melihat makam itu! Tapi kemana sekarang makam itu?!"
"Dandang Wulung. Ada yang tak beres di sini!" bisik Sawung Rono dengan suara serak.
"Sialan! Lekas katakan apa sebenarnya yang terjadi!" hardik Dandang Wulung sedikit geram. Karena Sawung Rono tidak segera memberitahukan apa yang ada dalam benaknya.
"Makam itu tidak ada! Padahal kita ada di tempat yang tidak salah!" kata Sawung Rono pada akhirnya meski dengan mendengus keras karena dirinya dlhardik demikian rupa.
Mendengar ucapan Sawung Rono, sepasang mata Dandang Wulung mendelik angker. Lalu menebar menyapu ke sekitar puncak bukit. Meski dia belum pernah ke puncak bukit Sono Keling, namun mendengar cerita yang berhasil diserapnya, di puncak bukit Sono Keling memang terdapat sebuah makam yang disebut orang Pesanggrahan Keramat.
"Jangan-jangan kita terlambat!" desis Dandang Wulung begitu matanya tidak melihat sebuah makam seperti yang pernah didengarnya.
"Bukan han ya terlambat, tapi seseorang telah mendahului kita dan mendapatkan pedang pusaka itu! Lalu meratakan makam untuk mengelabui orang!" sahut Sawung Rono seraya memperhatikan lagi pada murid Pendekar Sinting.
Untuk kali kedua, dahi laki-laki berwajah cekung hitam Ini berkerut. Dalam hati diam-diam dia berkata. "Hm... Tak ada angin, tak ada hujan. Tapi pakaian pemuda Ini tampak bercak-bercak tanah. Kulitnya pun kotor. Mungkin saja..."
Niat pertama yang tak ingin mengetahui siapa adanya si pemuda sirna, berubah menjadi curiga. Seraya menyeringai dia membentak garang. n"Manusia! Siapa kau?!"
"Sebutkan juga siapa gelarmu!" sambung Dandang Wulung yang ikut curiga.
Di depan sana, Pendekar Pedang Tumpul 131 sunggingkan senyum meski dalam hati sedikit kecut. Karena baru pertama kali ini berhadapan dengan orang yang lagaknya sangat tidak bersahabat. Dan diam-diam pula dia dapat menduga apa tujuan dari dua orang dihadapannya.
"Mereka pasti menginginkan pedang tumpul..." Berpikir sampai di situ, Joko Sableng meraba pakaiannya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131. "Aku Joko Sablengi Kalian siapa?!"
Sawung Rono keluarkan gerengan keras. Sementara Dandang Wulung mendengus. Kedua orang ini saling pandang. Tiba-tiba Sawung Rono sentakkan kepalanya tengadah memandangi bulan yang makin tersuruk ke barat. Seraya usap-usap dadanya dia berseru.
"Sobatku, aku curiga dengan manusia ini. Kita telah berjanji akan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi! Sebelum kita korek mulutnya ada baiknya kau katakan siapa adanya kita!"
Dandang Wulung gosok-gosokkan kedua tangannya. Lalu berteriak keras. "Buka telinga lebar-lebar! Aku dikenal orang dengan julukan Bayangan Setan. Sobatku ini bergelar Bayangan Iblis!" sejenak Dandang Wulung alias Bayangan Setan hentikan ucapannya, lalu menyambung. "Malam sudah hampir habis. Aku tak punya waktu banyak. Jawab pertanyaanku atau kau pulang tanpa kepala!"
Meski mulai agak geram, Joko tersenyum lebar. Dia memang belum pernah dengar tentang siapa manusia yang bergelar Bayangan Setan dan Bayangan Iblis. Namun dari tampang dan cara mereka bicara, murid Pendeta Sinting ini telah dapat mengira-ngira siapa adanya dua orang itu.
"Kita rasanya belum pernah kenal. Tapi tak apalah. Lekas katakan apa yang ingin kalian tanyakan! Tapi jangan memaksaku mengatakan apa yang tidak kuketahui!"
Pelipis kanan kiri Bayangan Setan bergerak-gerak. Rahangnya terangkat dengan mata makin melotot. “Apa yang kau kerjakan di tempat ini?!"
"Hem... Aku tersesat. Apa kalian juga tersesat seperti diriku?!" Joko Sableng balik ajukan tanya. Sementara sepasang matanya melirik pada Sawung Rono yang melangkah mengitari bukit. Dari mulut laki-laki bergelar Bayangan Iblis Ini tak henti-hentinya terdengar umpatan dan seruan tak percaya seraya geleng-gelengkan kepala.
Bayangan Setan tidak segera menjawab pertanyaan Joko. Sebaliknya laki-laki setengah baya ini mengawasi gerak-gerik Bayangan Iblis dengan kening mengernyit. "Bagaimana?!" tanya Bayangan Setan begitu Bayan gan Iblis telah berada di sampingnya.
Bayangan Iblis gelengkan kepalanya. Mulutnya yang komat-kamit terhenti. "Hampir tak dapat kupercaya. Makam itu benar-benar musnah! Bekasnya pun tak terlihat! Orang yang memusnahkan makam itu betul-betul berpengalaman. Tapi tak ada salahnya kita geledah manusia itu! Siapa tahu dia yang melakukan semua ini! Lihat. Pakaian dan tubuhnya kotor oleh tanah!"
Mendengar ucapan Bayan gan Iblis, Bayangan Setan manggut-manggut. Di depan sana, Joko Sableng berpaling sembunyikan perubahan air mukanya.
"He! Aku tahu, kau berkata dusta! Dan kau akan tahu akibatnya berani berkata dusta pada Bayangan Setan dan Bayangan Iblis!" ujar Bayangan Setan seraya melangkah dua tindak ke depan. Matanya terus memperhatikan pakaian dan tubuh Joko yang memang kotor oleh bercak-bercak tanah.
"Kalian tidak mempercayai aku, itu terserah pada kalian! Yang pasti aku telah menjawab apa adanya! Aku harus pergi sekarang," kata Pendekar 131 seraya melangkah hendak meninggalkan puncak bukit.
Bayangan Iblis komat-kamitkan mulutnya dangan keras hingga terdengar desisan beberapa kali. Kepalanya di gelengkan ke kanan kiri. "Tidak semudah itu kau bisa meninggalkan tempat Ini, Bocah!" si kakek berambut panjang ini lantas melangkah mendekati Joko yang urungkan niatnya.
"Ingatanku masih jernih. Setahun silam, aku melihat makam di sini. Sekarang makam itu lenyap. Sedangkan pakaian dan tubuhmu kotor oleh tanah. Padahal tidak mungkin kau tersesat dan bergulung-gulun g di tanah ini!"
"Kau mencurigai aku melenyapkan makan itu?!" tanya Joko seraya memandang tajam pada Bayangan Iblis yang terus melangkah mendekat.
"Terserah kau katakan apa namanya. Namun aku akan menggeledahmu!" ujar Bayangan Iblis seraya selinapkan tangan kanan ke balik jubah hitamnya. Ketika tangan itu ditarik kembali tampak sebuah tongkat kecil berwarna hitam.
Murid Pendeta Sinting segera menangkap bahaya. Seraya mundur satu langkah, dia berkata. "Orang Tua. Tunggu! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Manusia Keparat! Kau telah dengar kata-kataku. Aku akan menggeledahmu!" sambil berkata, Bayangan Iblis putar-putar tongkat di tangan kanannya. Terdengar deru angin keras. Tongkat kecil itu laksana lenyap berganti menjadi bayang-bayang. Jelas jika tongkat itu digerakkan dengan tenaga dalam kuat.
"Orang Tua! Tindakan mu sudah melewati batas. Aku sudah memenuhi permintaanmu untuk menjawab pertanyaan. Namun rupanya kau minta lebih yang tak bisa kupenuhi!"
Bayangan Iblis menyeringai. "Kalau kau tak mau digeledah, terpaksa kau harus berhadapan dengan maut!"
Habis berkata demikian. Bayangan Iblis melompat ke depan. Tongkat di tangan kanannya disentakkan. Bayangan hitam segera melesat dengan keluarkan suara menderu keras. Mengarah pada perut Joko Sableng.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak kaget, dan buru- buru selamatkan diri dari sambaran tongkat dengan membuang diri ke arah samping. Hingga tongkat kecil itu lewat satu jengkal di samping kanannya menghantam tempat kosong.
Bayan gan Iblis kancingkan mulut rapat-rapat. Dia tak menduga sama sekail jika pemuda di hadapannya begitu mudah mengelakkan sambaran tongkatnya. Padahal dia sudah memastikan jika perut lawan akan segera terhantam tongkatnya lalu roboh dengan darah mengucur deras!
"Hem... Rupanya kau punya simpanan sedikit ilmu. Aku ingin tahu sampai di mana Ilmumu!" seraya berujar demikian, sepasang matanya yang sipit melirik pada Bayangan Setan yang tegak mengawasi.
"Ucapan Bayangan Iblis benar. Pemuda ini menyimpan Ilmu. Tapi sebaiknya aku menunggu. Berhasil mengelak dari serangan pertama bukan jaminan bisa menghindar dari jurus berikutnya..." membatin Bayangan Setan. Lalu tanpa memandang pada Bayangan Iblis yang melirik ke arahnya dia berkata.
"Sobatku Bayangan Iblis. Cepat selesaikan manusia itu! Waktu kita tidak banyak. Kita harus segera menyelidik, kalau perlu kita aduk-aduk tanah di puncak bukit ini!"
Meski dadanya panas mendengar kata-kata Bayangan Setan yang nadanya memerintah itu, namun Bayangan Iblis segera berpaling pada Joko dan tanpa berkata lagi dia melesat ke depan.
Wuuuttt! Seeettt!
Bayangan hitam yang keluarkan suara menderu melesat ke arah kepala Pendekar 131, sementara serangkum angin dahsyat segera melesat menyusuli. Bayangan hitam adalah tongkat hitam si kakek, sedangkan serangkum angin dahsyat keluar dari tangan kirinya.
Melihat serangan beruntun, Joko Sableng tak tinggal diam. Selain harus menyelamatkan dirinya, dia juga harus menyelamatkan Pedang Tumpul 131 yang kini berada di genggamannya. Didahului bentakan keras, Pendekar Pedang Tumpul 131 angkat kedua tangannya.
Kraaakkk! Praaakkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Tongkat hitam di tangan kanan Bayangan Iblis hancur berkeping. Kakek ini cepat menarik tangan kirinya yang baru saja bentrok dengan tangan Joko. Tubuhnya digeser dua langkah kebelakang dengan wajah pias namun mata melotot. Dia segera meneliti. Tangan kanan kirinya terlihat bergetar dan kesemutan. Dadanya berdebar dan sesak. Kakek ini segera maklum jika pemuda di hadapannya tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.
Sementara itu di hadapannya, Joko terlihat kibas-kibaskan kedua tangannya yang baru saja menangkis tongkat dan tangan kiri Bayangan Iblis. Wajahnya sedikit berubah, namun hanya sejenak. Sesaat kemudian murid Pendeta Sinting ini telah tersenyum-senyum, membuat Bayangan Iblis naik pitam.
"Keparat Busuk! Terimalah kematianmu, Bangsat!" Kedua tangannya dihantamkan lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh yang telah dialiri tenaga dalam.
"Byuuurrr!" Tanah di mana Joko berdiri muncrat ke udara menghalangi pandangan. Belum sampai tanah itu sirap kembali, terdengar suara tawa pendek. Bayangan Iblis tersedak. Dia cepat berpaling. Sepuluh langkah di sampingnya, tampak Joko Sableng cengengesan seraya masukkan jari kelingkingnya ke lubang telinganya!
Sepasang mata si kakek membeliak angker. Mulutnya menganga tanpa keluarkan suara. Diam-diam dada kakek ini berdebar keras. Dia rupanya sudah tidak sangsi lagi jika pemuda yang dihadapinya kali ini benar-benar mempunyai Ilmu yang tidak cetek!
"Siapa pemuda Ini sebenarnya?!" batinnya dengan kerahkan tenaga dalam untuk kembali lepaskan pukulan. Di sampingnya Bayangan Setan tampak memperhatikan lebih seksama. Laki-laki setengah baya ini pun tampak terkejut melihat apa yang terjadi. Namun dia masih belum bergerak.
"Orang Tua! Aku tak mau membuat perselisihan dengan kalian. Aku harus segera pergi!" habis berkata, Pendekar Pedang Tumpul 131 putar tubuh dan berkelebat hendak meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan, karena tahu-tahu di depannya sudah menghadang Bayangan Setan!
"Silakan pergi, asal kepalamu kau tinggal di sini!" dengus Bayangan Setan. Kedua matanya melirik pada Bayangan Iblis, lalu kepalanya mengangguk memberi isyarat. Bersamaan dengan itu, terdengar bentakan lantang. Bayangan Iblis tekuk lututnya sedikit hingga tubuhnya melorot. Tiba-tiba kedua tangannya mengembang dan dihantamkan ke arah Joko. Pada saat yang sama Bayangan Setan lepaskan pukulan dengan sentakkan kedua tangannya!
Serangkum angin dahsyat keluarkan suara laksana gelombang disertai hamparan hawa panas segera menggebrak ke arah Joko dari arah Bayangan Iblis. Pada saat yang bersamaan, Joko melihat sinar hitam membersit dengan keluarkan suara berdengung dari pukulan kedua tangan Bayangan Setan.
Puncak bukit Sono Keling laksana dihantam gelombang. Tanahnya bergetar dan berhamburan. Batu-batu padas rengkah dan beberapa di antaranya langsung berderak pecah lalu tersapu dan mencelat jatuh ke bawah. Lamping bukit berguguran dan serentak membuat lekukan menganga!
Murid Pendeta Sinting segera melompat mundur. Kedua tangannya cepat disejajarkan dada. Tiba-tiba kedua tangannya berubah menjadi kuning keperakan. Secepat kilat kedua tangannya disentakkan dengan telapak mengembang.
"Wuuuttt! Wuuuttt!"
Dua berkas sinar kuning melesat keluar dari masing-masing telapak tangan Pendekar 131. Di tengah jalan, sinar kuning itu mengembang. Bersamaan dengan itu suasana berubah menjadi semburat warna kuning dan panas bukan alang kepalang. Murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'!
Terdengar letupan keras beberapa kali tatkala pukulan 'Lembur Kuning' bentrok dengan gabungan pukulan yang dilepas Bayangan Setan dan Bayangan Iblis. Joko keluarkan seruan tegang. Tubuhnya mental ke udara hingga beberapa tombak. Pakaian yang dikenakannya tampak robek di bagian bahu. Wajahnya pias dengan mulut megap-megap seakan sulit bernapas. Dalam keadaan demikian, tubuhnya menukik turun dan terkapar di atas tanah!
Di depan sana, Bayangan Setan berseru keras. Tubuhnya mencelat ke belakang dan bergulingan dengan sudut bibir mengalirkan darah segar. Pakaian yang dikenakan hangus dan robek di sana-sini! Laki-laki ini merasakan dadanya seakan pecah dan panas. Namun dia segera katupkan sepasang matanya untuk mengatur pernapasan. Di sebelah kanan, Bayangan Iblis keluarkan jeritan lengking tatkala pukulannya bentrok dengan pukulan Pendekar 131.
Mungkin karena usianya telah lanjut, maka tenaga yang dikeluarkan tidak begitu kuat, ini menyebabkan tubuhnya melesat cepat laksana kapas ditiup angin kencang. Jubah hitamnya hangus dan langsung terpotong sebatas pinggang! Darah hitam mengucur dari mulut dan hidungnya. Karena tak bisa kuasai tubuhnya lagi, kakek Ini tersungkur di lamping bukit. Masih untung tangan kanannya segera menggapai batu. Jika tidak, tubuhnya pasti akan melayang jatuh ke bawah!
"Jahanam betul!" sungut Bayangan Iblis pelan seraya merangkak ke atas. Mulutnya yang biasa komat-kamit kini dikancingkan rapat-rapat, takut darah akan lebih banyak keluar. Namun gerakan kakek ini hanya sebentar. Begitu tubuhnya sampai di atas, tubuhnya bergetar keras lalu dari mulutnya terdengar erangan tertahan bersama muncratnya darah hitam. Tangannya menggapai-gapai lalu perlahan-lahan lunglai dan luruh ke tanah. Bersamaan dengan itu erangannya terputus seketika dan tubuhnya tak bernyawa lagi!
Mendapati Bayangan Iblis tewas, Bayangan Setan pupus nyalinya. Apalagi merasa dirinya telah terluka. Tengkuk laki-laki setengah baya ini merinding. Sepasang matanya jelalatan menyebar berkeliling mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Namun laki-laki ini seketika berpaling dengan terkejut. Di sebelahnya telah tegak Joko Sableng dengan senyum dingin. Mencium adanya bahaya, Bayangan Setan cepat gulingkan tubuhnya agak menjauh. Lalu dengan sentakan tangan kiri kanannya di atas tanah, dia bergerak berdiri. Terhuyung-huyung sebentar lalu tegak lurus dengan mata tak berkedip memperhatikan Joko.
Mendadak sepasang mata Bayangan Setan makin membeliak besar. Dahinya berkerut dengan alis mata terangkat naik. Bukan heran memandang sang pemuda yang kini meringis-ringis sendiri, namun terkesiap melihat seberkas sinar kuning yang memancar dari pinggang Pendekar Pedang Tumpul 131 yang ternyata telah robek. Karena saat itu cuaca sudah agak terang, maka dengan jelas Bayangan Setan dapat melihat benda apa yang memancar dari pinggang Joko.
"Sarung pedang... Tak salah lagi. Sarung pedang itu pasti berisi Pedang Tumpul 131 yang menjadi rebutan para tokoh rimba persilatan dan dikabarkan tersimpan dalam makam Pesanggrahan Keramat. Sialan betul. Rupanya manusia ini telah berhasil mendapatkannya! Ah... Seandainya aku tidak terluka. Hem... Bagaimanapun juga aku harus dapat melarikan diri. Hal ini harus kukatakan pada Ratu Pemikat..."
Bayangan Setan diam-diam kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Joko. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat menuruni bukit Sono Keling.
Murid Pendeta Sinting menggerendeng panjang pendek. Dia buru-buru melompat ke samping dan berkelebat ke arah bukit. Sepasang matanya masih dapat menangkap kelebatan tubuh Bayangan Setan di sela-sela pohon. "Hem... Tak ada gunanya dikejar..." gumam Joko lalu menoleh ke arah mayat Bayangan Iblis. Kepalanya menggeleng perlahan.
"Apa yang diucapkan Guru benar adanya. Rimba persilatan penuh dengan manusia-manusia serakah dan tak tahu diri. Manusia yang tega menurunkan tangan maut untuk mencapai maksudnya..."
Pendekar Pedang Tumpul 131 ini lantas tengadahkan kepala ke sebelah timur. Nun jauh diatas sana, di bawah cahaya sang rembulan sepenggal yang semakin condong ke kaki langit, samar-samar membersit cahaya terang pertanda tak lama lagi sang mentari akan segera unjuk diri.
********************
BAB 2
LAKI-LAKI setengah baya mengenakan pakaian warna biru gelap yang telah hangus dan sebagian robek itu hentikan larinya di bawah pohon besar di tepi sebuah lembah yang ditumbuhi beberapa pohon rindang hingga dedaunan itu seakan bersatu padu menghadang teriknya sang mentari, membuat lembah itu tampak temaram meski di luar sana terang benderang. Laki-laki ini mengusap bibirnya yang mengucurkan darah segar. Lalu mengurut dadanya yang bergerak tak teratur. Sejenak dia memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar makian panjang pendek.
"Jahanam betul! Kejadian ini tak akan kulupa. Manusia itu akan tetap kuburu sampai kapan pun! Hem... Joko Sableng. Tunggulah saatnya nanti!"
Laki-laki setengah baya yang bukan lain adalah Bayangan Setan ini arahkan pandangannya ke lembah. "Ratu Pemikat. Apakah dia akan percaya dengan keteranganku? Ah, itu terserah padanya..." Bayangan Setan menarik napas dalam-dalam. "Aku gagal menjalankan tugas, berarti aku tak akan dapat menikmati kehangatan tubuhnya. Tapi aku masih punya kesempatan!" setelah diam beberapa lama dan deburan dadanya sedikit reda, laki-laki ini melangkah menuju lembah.
Pada sebatang pohon besar di tengah-tengah lembah, Bayangan Setan hentikan langkah. Memandang sejenak ke sekitarnya, lalu melangkah menyelinap ke balik batang pohon. Ternyata dibalik batang pohon besar itu terdapat sebuah lubang sebesar satu putaran tombak. Pada sisi lubang tampak sebuah tangga turun dari batu.
Dengan langkah-langkah sedikit gemetar, Bayangan Setan menuruni tangga. Suasana di situ cukup terang, karena pada sisi tangga terdapat beberapa obor. Sampai tangga paling bawah, Bayan gan Setan berhenti. Ternyata tangga itu menghubungkan dengan sebuah ruangan agak luas yang dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu. Pada sudut kanan, terdapat sebuah ranjang besar dari batu yang diberi kelambu tembus pandang.
Bayangan Setan memandang ke arah ranjang besar. Meski ditutup kelambu namun karena tembus pandang, dari tempatnya berdiri dia bisa melihat Jelas bagian dalam ranjang. Sepasang mata Bayangan Setan tiba-tiba membesar dengan dada berdebar keras, jakunnya bergerak turun naik. Laki-laki ini melihat dua orang sedang berpelukan rapat. Telinganya juga menangkap suara desahan panjang yang ditingkahi dengan tawa cekikikan pelan.
"Sialan! Dia sedang bermesraan. Bagaimana sekarang? Apakah aku harus menunggu sampai mereka selesai atau aku langsung saja memberitahukan masalah ini? Jahanam betul! Aku jadi ingin..."
Bayangan Setan tak meneruskan kata hatinya, karena saat itu juga dari arah ranjang besar tampak sesosok tubuh menoleh padanya. Lalu berpaling lagi dan membungkuk sebentar, mencium orang di sampingnya dengan keluarkan suara lembut.
"Permainan ini belum selesai. Nanti kita lanjutkan. Tunggulah sebentar..."
Habis berkata begitu, sosok ini merapikan rambutnya yang panjang. Lalu bergerak turun dari ranjang dan menyingkapkan kelambu. Kini jelas wajah sosok ini. Ternyata dia adalah seorang perempuan berambut panjang. Meski tidak muda, namun wajahnya cantik jelita. Dadanya membusung kencang dengan pinggul mencuat bagus. Sepasang matanya bundar dengan bibir bagus. Mengenakan pakaian tipis panjang yang di bagian dadanya di buat amat rendah, hingga sembulan payudaran ya tampak jelas. Pakaiannya dibuat membelah di bagian depan dengan beberapa kancing hingga ke bawah.
Si perempuan pandangi Bayangan Setan dengan dahi berkerut. "Hem... Rupanya dia kembali tanpa membawa hasil seperti yang kuharapkan..." kata si perempuan dalam hati. Lalu dia melangkah ke arah Bayangan Setan dan berkata.
"Bagaimana perjalananmu, Bayangan Setan?!" Bayangan Setan tidak segera menjawab.
Mungkin karena masih terkesima dengan pemandangan di hadapannya. Karena mungkin lupa atau entah disengaja, kancing-kancing baju bagian bawah si perempuan tidak dikancingkan, hingga kulit pahanya yang putih mulus dari betis hingga hampir pangkal paha tampak dengan jeias. Juga satu kancing di dadan ya terbuka, hingga payudaranya lebih menyembul terpentang.
Karena tak ada jawaban dari Bayangan Setan, si perempuan segera palingkan wajahnya dengan tubuh sedikit diputar. Namun hal ini tampaknya membuat Bayangan Setan semakin terpana. Karena dengan keadaan miring begitu rupa, payudara si perempuan lebih jelas terlihat hampir seluruhnya!
"Kau datang sendiri, padahal kau berangkat berdua. Aku mempunyai firasat kau pulang berhampa tangan. Katakan padaku apa yang telah kau peroleh selama kau menjalankan apa yang kuinginkan!" kata si perempuan berparas cantik itu dengan nada sedikit keras.
Bayangan Setan tersentak dari keterkesimaannya membuat si perempuan keluarkan suara tawa nyaring namun jelas nada tawanya penuh dengan cemooh. "Kau tak buka mulut. Berarti dugaanku benar bukan?! Kau gagal?!"
"Ratu Pemikat... Segala kemampuan telah kukerahkan. Tapi nasib jelek nampaknya berpihak padaku. Selain aku terluka cukup parah, Bayangan Iblis nyawanya tidak bisa kuselamatkan..."
Si perempuan cantik yang dipanggil dengan Ratu Pemikat berpaling. Memperhatikan keadaan Bayangan Setan sejenak lalu mengajukan pertanyaan. "Kau bentrok dengan seseorang? Siapa dia?!"
Bayangan Setan menggumam sebentar. Dengar masih menindih gejolak di dadanya, dia berkata. "Seorang pemuda berilmu tinggi. Aku baru pertama kali ini bertemu dengannya..."
Mendengar ucapan Bayangan Setan, Ratu Pemikat dongakkan kepala. Dari mulutnya terdengar lagi suara tawa mengekeh panjang. Hingga dadanya terlihat naik turun. "Hanya seorang pemuda kalian tak mampu melawannya, lebih menyedihkan lagi Bayangan Iblis harus tewas. Hem... Percuma kau bergelar Bayangan Setan jika harus terbirit-birit melawan seorang pemuda!"
"Tapi, Ratu... Dia benar-benar berilmu tinggi. Nyatanya dia berhasil melukaiku dan menewaskan Bayangan Iblis. Lebih gila lagi ternyata pemuda itu berhasil mendapatkan Pedang Tumpul 131!"
Mungkin karena sangat terkejut, tawa Ratu Pemikat tiba-tiba terputus seketika. Bersamaan dengan itu, tubuhnya bergerak kembali menghadap Bayangan Setan dan serentak melompat ke depan. Tangan kanannya bergetar memegang pundak Bayan gan Setan. Dari mulutnya keluar suara keras.
"Apa kau bliang? Pemuda itu berhasil mendapatkan Pedang tumpul 131?!"
Bayangan Setan menjawab dengan anggukan kepalanya. Dada laki-laki ini makin bergetar karena tangan Ratu Pemikat menyentuh pundaknya. Bau harum sang ratu menambah gejolaknya makin membara. Namun laki-laki ini tak berani berbuat banyak. Dia hanya bisa memandang payudara di depan hidungnya dengan mata membeliak.
Ratu Pemikat tarik tangan kanannya dari pundak Bayangan Setan. Wajahnya merah padam. Dadanya bergerak makin keras. Tanpa memandang pada laki-laki di hadapannya, dia berkata. "Siapa nama pemuda keparat itu?! Siapa pula gelarnya?!"
"Dia tidak menyebutkan gelar. Dia hanya sebutkan namanya. Namanya Joko... Joko Sableng!"
"Katakan ciri-cirinya!" kata Ratu Pemikat sambil palingkan wajahnya dan memandang Bayangan Setan dengan mata membeliak tak berkedip. Perempuan ini coba menahan rasa geram yang menyesakkan dadanya.
"Jahanam! Dia memerintah seenak dengkulnya saja! Seandainya aku tak menginginkan tubuhnya, tak akan mau menuruti keinginannya!" gerutu Bayan gan Setan dalam hati.
"Dia kira-kira berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Parasnya tampan. Rambutnya panjang dengan mengenakan ikat kepala. Matanya tajam..."
"Bodoh! Ciri-ciri seperti itu banyak orang punyai. Yang kumaksud ciri-ciri tertentu yang tidak dipunyai orang lain!" tukas Ratu Pemikat memutus keterangan Bayan gan Setan.
Bayan gan Setan kernyitkan dahi seolah mengingat-ingat. Namun tak lama kemudian kepalanya menggeleng. "Aku tidak melihat ciri-ciri tertentu. Karena suasananya waktu itu agak gelap..."
"Kalau begitu, dari mana kau tahu jika pemuda itu telah berhasil mendapatkan Pedang Tumpul 131? Apakah dia tunjukkan padamu?!"
Bayangan Setan kembali gelengkan kepalanya. "Waktu terlibat bentrok, gempuran pukulanku dan pukulan Bayangan Iblis berhasil merobek pakaiannya. Saat itulah aku menangkap sinar kuning dari pinggangnya yang robek. Meski cuaca agak gelap sinar kuning itu dengan jelas memperlihatkan benda apa yang bersinar. Ternyata benda itu adalah sebuah sarung pedang pendek berwarna kuning. Aku yakin, itu adalah Pedang Tumpul 131!"
"Hem... Keparat benar. Bartahun-tahun kuburu-buru dan kuselidiki, tahu-tahu dengan mudahnya di dapat oleh pemuda kemarin sore! Menyesal, sungguh aku merasa menyesal menyuruh manusia-manusia yang cuma besar mulut dan besar nafsu tapi kecil nyali dan kering llmu!"
Bayan gan Setan jadi terdiam gagu. Lalu dengan suara agak bergetar karena menahan gejoiak dia berkata. "Ratu... Kalau perjanjian kita masih berlaku, aku akan turun tangan lagi. Selain membalas tewasnya Bayangan iblis, aku akan merebut pedang itu dan membawanya untukmu!"
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Hem... Manusia jika sudah dirasuki hawa nafsu ternyata mudah dikendalikan. Pikiran jernihnya lenyap hingga tak tahu lagi barang apa yang digadaikannya untuk memuaskan nafsu itu... Hik Hik Hik..." pikir sang ratu dalam hati.
Sebaliknya mesti berkata hendak merebut pedang dan akan menyerahkan pada Ratu Pemikat, namun dalam hatinya diam-diam Bayangan Setan membatin lain. "Aku bukan manusia bodoh. Sekali pedang dapat kurebut, pantang berpindah tangan! Kau boleh memiliki tubuh yang menggiurkan, desah yang mengundang. Tapi terlalu mahal jika ditukar dengan pedang pusaka yang menggegerkan rimba persilatan itu!"
"Bayangan Setan. Sebenarnya aku hendak memutuskan perjanjian itu. Namun melihat semangatmu, rasanya kurang enak jika membatalkannya. Dengarlah, kalau kau berhasil membawa pedang itu untukku, kau bukan saja berhak memilikiku selama satu purnama. Namun..."
Ratu Pemikat putuskan ucapannya. Bibirnya sunggingkan senyum. Kedua kakinya direntangkan hingga pahanya terlihat jelas. Dadanya dibusungkan hingga kancingnya terbuka satu lagi, membuat payudaranya terpentang. Lalu mulutnya membuka lagi keluarkan suara lembut.
"Kau bisa menikmati apa yang kau lihat kapan saja kau menginginkan!"
Meski Bayangan Setan telah membatin tak akan mudah dikelabui dengan tubuh, namun melihat pemandangan dihadapannya, hatinya berguncang juga. "Sialan! Perempuan ini benar-benar menggoda..."
"Bayangan Setan. Kau telah dengar ucapanku. Apa lagi yang kau tunggu? Kalau kau ingin segera menikmati, syaratnya sudah kau ketahui!" ujar Ratu Pemikat sambil berpaling.
Bayangan Setan menggerendeng dalam hati. Lalu putar tubuh. Sebelum melangkah meninggalkan ruangan itu dia berkata. "Ratu... Tunggulah! Aku akan datang dengan membawa permintaamu!" habis berkata begitu, laki-laki ini melangkah menaiki tangga batu diiringi suara tawa sang ratu.
"Kalau berdua tak sanggup, mana mungkin sendirian akan berhasil? Hik Hik Hik..." desis Ratu Pemikat seraya melirik ke arah ranjang. "Melihat keadaan, tampaknya sudah waktunya aku turun tangan sendiri! Lambat laun berita tentang pedang itu pasti akan tersebar. Sebelum banyak orang yan g tahu, aku harus segera memburu pemuda itu! Pemuda... Berparas tampan. Hem... Lebih muda untuk menaklukkannya..."
Ratu Pemikat sunggingkan senyum. Lalu melangkah perlahan ke arah ranjang. Tangannya bergerak membuka kelambu, dan sekejap kemudian tubuhnya telah membungkuk. Kedua tangan tampak menggapai dan merangkulnya dari bawah, lalu dengan cekatan tangan itu melepas kancing-kancing pakaian sang ratu. Ketika tubuh Ratu Pemikat naik ke ranjang, tubuh itu telah tanpa penutup lagi!
********************
BAB 3
MATAHARI sudah lama tenggelam di bentangan kaki langit sebelah barat. Namun angkasa raya tampak cerah, karena tak ada awan mengambang. Bulan bulat penuh perlahan-lahan memanjat langit dari sebelah selatan, membuat suasana lingkaran bumi makin benderang.
Di sebelah timur Teluk Panarukan, tepatnya pada sebuah gugusan batu karang, salah satu dari beberapa gugusan batu karang yang berjajar mengelilingi teluk, terlihat dua sosok sedang duduk berhadapan. Angin dari laut berhembus kencang, membuat pakaian yang dikenakan dua sosok ini berkibar-kibar. Hawa laut yang menebar garam menghampar menyesakkan dada. Namun kedua sosok ini tampaknya tidak terpengaruh dengan suasana sekitar teluk.
Dibantu cahaya bulan purnama, wajah-wajah sosok ini terlihat agak jelas. Ternyata mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda. Sang laki-laki duduk bersila di atas sebuah gugusan batu karang, sementara sang gadis duduk bersila di hamparan pasir di bawahnya.
Sang laki-laki adalah seorang yang berusia amat lanjut. Kulit sekujur tubuhnya telah mengeriput. Paras wajahnya bulat besar dengan dilapis kulit yang sangat tipis dan putih pucat. Rambutnya putih tipis dan dikuncir ke belakang. Jambang, kumis dan jenggotnya lebat dan hampir menutupi permukaan wajahnya. Mengenakan pakaian rompi panjang besar berwarna kuning.
Yang membuat laki-laki ini makin tampak angker adalah bahwa dia hanya memiliki satu mata sebelah kanan. Mata itu besar dan masuk ke dalam cekungan sangat dalam. Sementara mata kirinya ditutup dengan sebuah kulit bundar yang diikatkan ke belakang kepala. Dalam kancah rimba persilatan, laki-laki bermata satu ini sudah banyak dikenal orang. Karena selain berilmu tinggi, laki-laki ini juga dikenal sebagai momok yang ditakuti dan disegani.
Berpuluh-puluh tahun laki-laki ini malang melintang dalam rimba persilatan dengan menebar hawa kematian di mana-mana. Tidak jelas apa yang menjadi tujuan utamanya karena beberapa korban yang tewas di tangannya bukan hanya dari kaum persilatan golongan putih saja. Namun beberapa tokoh golongan hitam pun ban yak yang menemui ajal di tangannya. Hingga rimba persilatan menggelari laki-laki Ini dengan gelaran angker Maut Mata Satu!
Sementara gadis muda yang duduk di bawah Maut Mata Satu adalah seorang gadis berwajah cantik. Rambutnya panjang dengan sepasang mata bulat tajam. Hidungn ya mancung dengan bulu mata lentik. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah ketat hingga bentuk dada dan pinggulnya terbayang jelas. Setelah agak lama saling berdiam diri, Maut Mata Satu membuka mulut, memecahkan kesunyian.
"Larasati, Muridku. Beberapa tahun kau kugembleng dan kudidik. Malam ini tiba saatnya bagimu mengetahui dunia luar. Dunia di mana kau bisa mempergunakan apa yang telah kau peroleh! Dan seperti yang sering kukatakan padamu, tugas utama yang harus segera kau lakukan adalah mencari dan mendapatkan pedang pusaka Tumpul 131..."
"Guru... Segala yang kau katakan akan segera kulaksanakan. Tapi kalau boleh tahu, apakah Guru tahu di mana kira-kira pedang itu berada?"
Beberapa lama Maut Mata Satu terdiam. Mata satu-satunya memandang tajam pada Larasati. Sejenak kemudian kepalanya bergerak tengadah. "Larasati. Berpuluh-puluh tahun aku mencoba mencari tahu di mana berada pedang itu. Namun usahaku tak membawa hasil, padahal telah sekian manusia yang kukorek mulutnya bahkan sebagian harus kucabut nyawanya. Hingga aku hampir berkesimpulan jika Pedang Tumpul 131 itu hanyalah cerita bohong. Anehnya, begitu aku menyembunyikan diri, kabar di mana beradanya pedang itu menyebar. Memang belum bisa dibuktikan kebenaran berita itu, namun melihat banyaknya tokoh-tokoh yang muncul lagi, aku berkeyakinan berita itu tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kau harus segera menyelidik..."
Maut Mata Satu hentikan penuturannya. Lalu melanjutkan. "Kabar yang berhasil kusirap, pedang itu berada puncak bukit Sono Keling. Di situ ada sebuah makma tua yang disebut orang dengan Pesanggrahan Keramat."
Larasati mendengar ucapan Maut Mata Satu dengan seksama. Setelah gurunya diam, gadis cantik itu ajukan pertanyaan. "Apakah tidak ada hal lain mengenai pedang itu Guru?"
“Maksudmu...?!" Maut Mata Satu balik bertanya.
"Tentang ciri-ciri Pedang Tumpul 131 itu!"
"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun menurut beberapa tokoh juga beberapa ahli gaib, pedang itu berwarna kuning yang di tubuhnya bergurat angka 131. Tubuh pedang itu tidak terlalu panjang. Gagangnya berwarna hijau dari batu giok. Jelas?!"
Larasati anggukkan kepalanya.
"Nah, Larasati. Kau bisa mulai menyelidik sejak malam ini. Tapi ingat. Kau harus waspada dan hati-hati. Tidak mustahil kau akan berhadapan dengan dedengkot rimba persliatan yang kabarnya kini muncul kembali. Pergunakan segala akal, kerahkan segala tenaga! Dan sejak malam ini kau harus menggunakan gelar Dewi Seribu Bunga, seperti nama pukulan sakti yang kuajarkan padamu"
Larasati yang kini telah digelari gurunya dengan Dewi Seribu Bunga menjura dalam. "Murid pamit sekarang, Guru..."
Maut Mata Satu mendehem seraya anggukkan kepalanya. "Dapatkan Pedang Tumpul 131. Kita akan menjadi raja rimba persilatan, Dewi!"
"Sebagai balas budi atas segala ilmu yang kau wariskan padaku, aku tidak akan mengecewakanmu. Aku akan berusaha mendapatkan pedang itu, Guru!" kata Dewi Seribu Bunga seraya berdiri, menjura sekali lagi lalu putar tubuhnya dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
********************
Hari ini adalah hari kelima Dewi Seribu Bunga mengadakan perjalanan mencari bukit Sono Keling. Di tengah jalan beberapa kali gadis cantik Ini bertanya pada para penduduk yang dilewatinya.
"Hem... Orang terakhir yang kutanya, menunjuk pada bukit itu. Semoga benar apa yang dikatakannya" gumam Dewi Seribu Bunga seraya arahkan pandangan pada sebuah bukit.
"Pedang Tumpul 131... Moga-moga aku tak kedahuluan orang lain. Dan mumpung masih pagi, aku harus segera ke sana..."
Dewi Seribu Bunga cepat berkelebat ke arah timur, menuju sebuah bukit yang ditunjuk orang. Pada kaki bukit, gadis Ini hentikan larinya. Dia tampak ragu-ragu seraya memandang ke sebuah kedai!
"Ah, urusan perut bisa diurus nanti!" ujar Dewi Seribu Bunga lirih. Lalu teruskan langkah. Tatkala kedai itu tak terlihat lagi, gadis ini segera kerahkan Ilmu peringan tubuhnya, lalu berkelebat laksana anak panah mendaki ke puncak bukit.
Tak berapa lama kemudian, muri d Maut Mata Satu ini sampai pada puncak bukit. Bau busuk yang amat menyengat segera menyambut gadis itu.
"Menilik busuknya, pasti ini adalah bangkai manusia!" duga Dewi Seribu Bunga seraya tekap hidung de ngan mata jeialatan mencari sumber bau busuk. Tiba-tiba sepasang mata gadis ini membelalak besar. Dari tempatnya berdiri, dia melihat sesosok mayat di tepi lamping bukit
"Ada mayat, tanah ban yak yang terbongkar. Hem... Berarti telah terjadi bentrok di sini. Pasti orang-orang persilatan yang memburu Pedang Tumpul 131. Apakah pedang itu telah jatuh ke tangan orang...? Dan mana makam tua itu...?!" batin Dewi Seribu Bunga seraya mulai melangkah ke hamparan puncak bukit. Sepasang matanya meneliti.
"Jahanam! Bau busuk mayat itu mengganggu sekali!" gadis ini melangkah mendekati bangkai mayat sambil terus tekap hidungnya.
Di depan mayat, murid Maut Mata Satu ini berhenti. Dengan kaki kanan, dibalikkannya tubuh mayat itu. Gadis ini terpekik kaget. Ternyata raut wajah mayat sudah tak dapat dikenali lagi, karena di muka itu telah dipenuhi cacing-cacing tanah. Dengan tubuh menggigil karena jijik, gadis ini segera dorongkan kaki kanannya ke tubuh mayat. Mayat itu bergulingan dua kali sebelum akhirnya meluncur ke bawah.
"Hem... Aku harus waspada, mungkin masih banyak orang di sini..." gumam Dewi Seribu Bunga lalu tajamkan sepasang telinganya.
Sepasang matanya menyapu berkeliling hingga sampai lamping-lamping bukit. Merasa aman, gadis ini segera melangkah lagi ke tengah hamparan puncak bukit. Dia mondar-mandir beberapa kali dengan mata tak berkedip memperhatikan setiap jengkal tanah puncak bukit. Namun hingga sekian lama, gadis ini tak menemukan apa yang dicari.
"Pedang Tumpul 131..." ujar Dewi Seribu Bunga pelan seraya, menghela napas dalam. "Kata Guru berada di makam tua puncak bukit Sono Keling. Tapi hingga mataku pedih, aku tak menemukan makam itu! Apakah kabar yang sampai pada Guru itu berita bohong? Atau aku salah tempat...?"
Dewi Seribu Bunga terdiam sejenak sambil mengawasi hamparan puncak bukit. "Melihat keadaan di sini, juga adanya mayat, aku yakin ada di tempat yang benar. Tak mungkin terjadi bentrok di puncak bukit kalau tidak memperebutkan pedang itu. Tapi mana makam itu...?!"
Benak Dewi Seribu Bun ga kembali diselimuti ke-bimbangan. Selagi gadis ini dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar deru angin menyambar dari arah belakang. Dewi Seribu Bunga tersentak dan cepat berpaling dengan terkejut. Gadis ini putar tubuh dan surutkan langkah satu tindak ke belakang dengan mata membelok memandang ke depan.
Di hadapan Dewi Seribu Bunga tampak berdiri tegak seorang laki-laki. Berusia kira-kira lima puluh tahunan. Mengenakan jubah warna biru. Kepalanya botak kelimis. Sepasang matanya sipit dengan bibir sangat tebal. Sosoknya tinggi besar dengan leher panjang. Pada leher itu melingkar untaian kalung dari Kayu bundar-bun dar berwarna coklat. Tangan kanannya pun tampak memainkan untaian kalung dari kayu bundar-bundar berwarna coklat. Seraya memainkan kalung di tangannya, mulut laki-laki ini berkemak-kemik mengucapkan sesuatu yang tak jelas.
"Siapa kau?” seru Dewi Seribu Bunga dengan suara parau.
Laki-laki berkepala botak hanya tersenyum menyeringai. Tangan kirinya bergerak mengelus-elus kepalanya. Sementara sepasang matanya yang sipit dibeliakkan memandang pada Dewi Seribu Bunga dari bawah hingga atas, lalu berhenti pada dada, membuat si gadis kesal dan wajahnya berubah merah padam.
"Hem... Tak ada gunanya aku meladeni laki-laki seperti dia. Di sini rupanya sudah tak ada yang bisa diharapkan lagi. Terpaksa aku akan menyelidik dengan caraku sendiri..." habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga putar tubuh hendak tinggalkan tempat itu, namun belum sampai tubuhnya berkelebat, laki-laki berkepala botak telah buka mulut.
"Gadis cantik. Kau kira semudah itu bisa pergi tanpa terlebih dahulu mengatakan siapa dirimu dan memberi keterangan yang kubutuhkan?!"
Sepasang mata Dewi Seribu Bunga mendelik. Dadanya bergetar menahan rasa geram. Dengan keluarkan dengusan keras, gadis ini balikkan tubuh. "Ternyata kau bukan laki-laki bisu! Tapi jangan dikira aku takut mendengar gertakanmu"
Mendapati ucapan lantang gadis di hadapannya, si laki-laki botak bukannya marah, malah keluarkan suara tawa panjang seraya usap-usap kepalanya. "Bagus! Gadis seperti kaulah yang aku senangi! Garang dan Liar..." desisnya dengan senyum aneh. "Tapi kalau kau tahu sedang berhadapan dengan siapa, kau akan menyesal!"
"Kau boleh mengatakan hal demikian, tapi bukan padaku, Orang Tua!"
Laki-laki berkepala botak terdiam. Sepasang matanya memandang ke hamparan puncak bukit. Dia menarik napas dalam. "Ternyata kabar tentang adanya makam tua itu hanya bohong belaka. Di sini tak ada makam! Gadis Ini tampaknya juga terkecoh dengan kabar angin yang sekarang tersebar. Hem... Daripada tak mendapat apa-apa, tubuh gadis ini pun dapat mengobati kekecewaanku. Dadanya besar, pinggulnya menggoda. Tentunya hangat..." sepasang mata laki-laki berkepala botak kembali mengarah pada gadis di hadapannya.
"Anak gadis. Siapa kau sebenarnya?!" tanya si laki-laki dengan suara berubah rendah.
Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab pertanyaan si laki-laki. Namun setelah berpikir sejenak, seraya tersenyum sinis dia berkata. "Aku Dewi Seribu Bunga. Kau sendiri siapa?"
"Dewi Seribu Bunga. Hem.... Nama bagus. Rasanya baru kali ini aku mendengar gelar itu. Melihat gerak-geriknya gadis ini tampaknya punya sedikit iimu..." membatin si laki-laki lalu arahkan pandangannya pada jurusan lain seraya berujar.
"Kau telah sebutkan siapa dirimu, tak enak rasanya jika aku tak katakan siapa diriku..." kepala si laki-laki kembail berpaling dengan mata menatap pada Dewi Seribu Bunga. Kau sedang berhadapan dengan Resi Mahayana!"
Dewi Seribu Bun ga beringsut mundur satu tindak! Mulutnya bergerak-gerak namun tidak ada suara yang terdengar. "Resi Mahayana. Seperti apa yang pernah kudengar dari Guru. Manusia bergelar Resi Mahayana adalah seorang dedengkot rimba persilatan yang berilmu tinggi dan doyan perempuan. Hem... Tentunya dia juga sedang memburu pedang itu. Beberapa dedengkot rimba persilatan nyatanya memang muncul seperti ucapan Guru. Aku harus cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan coba menyelidik di tempat lain, siapa tahu..."
Ucapan dalam hati Dewi Seribu Bunga terputus karena saat itu juga tiga sosok tubuh berkelebat dan langsung mengurung Dewi Seribu Bunga serta Resi Mahayana.
"Siapa kalian?! Berani berlaku macam-macam, kalian akan jadi bangkai di puncak bukit ini!" teriak Dewi Seribu Bunga begitu menangkap gelagat tidak baik dari sosok yang mengurungnya. Dada gadis ini makin berdebar.
Sebaliknya Resi Mahayana terlihat tenang-tenang saja meski sejurus tadi sempat terkejut. Seraya mendongak laki-laki berkepala botak ini berkata dalam hati. "Berita jahanam tentang pedang itu ternyata telah menyebar ke mana-mana. Jika tidak, tak mungkin keparat-keparat dari tanah seberang ini muncui di sini! Hem... Sialan benar! Terpaksa aku harus menunda dulu keinginanku untuk menggeluti tubuh gadis itu. Keparat-keparat pendatang haram ini harus kuusir dahulu..!"
Resi Mahayana sentakkan kepalanya. Memandang satu persatu pada tiga orang yang mengurung. Mulutnya berkemak-kemik. "Tiga Dayang Setan! Kuperingatkan pada kalian. Tapi ingat, peringatan bagi kalian adalah sebuah perintah! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Mendengar Resi Mahayana menyebut siapa adanya tiga orang yan g mengurung, mulut Dewi Seribu Bunga ternganga. Serentak sepasang matanya memperhatikan lebih seksama pada tiga orang yang mengurung.
Tiga orang yang dipanggil dengan Tiga Dayang Setan sama-sama keluarkan gerengan tertahan. Dari tampang mereka memang tidak salah jika mereka bergelar Tiga Dayang Setan. Raut wajah masing-masing orang ini tampak seram meski ketiganya adalah perempuan. Tiga orang ini memiliki wajah mirip satu sama lain. Usia mereka telah lanjut, terlihat dari rambut mereka yang telah memutih.
Paras mereka lonjong dengan kulit ber-lipat-lipat. Mata mereka besar menjorok ke luar. Hidungn ya melesak ke dalam hampir-hampir tak bisa disebut hidung. Bibirnya tipis dan dipoles merah menyala. Mereka mengenakan pakaian panjang sebatas lutut berwarna hitam. Namun meski mereka tidak muda lagi, dada mereka terlihat membusung kencang dan besar. Pinggul mereka pun padat dan membentuk bagus. Apalagi pakaian yang mereka kenakan sangat tipis dan ketat, seakan ingin menunjukkan liku-liku bentuk tubuhnya.
Tiba-tiba orang yang di sebelah kanan angkat tangannya. Melihat gerak-geriknya orang sebelah kanan ini adalah yang paling tua dan jadi pimpinan. "Laki-laki botak! Rupanya kau telah mengetahui siapa adanya kami. Berarti kami tak usah lagi memperkenalkan diri! Tapi rasanya aku sulit mengenali siapa adanya kau. Tak keberatan jika sebutkan namamu?!"
"Kau juga dua kembaran mu tak perlu tahu siapa aku! Cepat laksanakan apa yang kukatakan pada kalian atau kalian akan jadi mayat di sini!"
Tampang masing-masing dari Tiga Dayang Setan berubah mengelam. Mata mereka membelalak dengan mulut terkatup rapat. Sejurus kemudian, satu sama lain saling berpandangan. Namun sebelum ada yang keluarkan suara. Resi Mahayana telah berkata kembali.
"Kalian dengar ucapanku. Apa kalian memang minta segera mati?!"
Salah seorang dari Tiga Dayang Setan tiba-tiba surutkan kaki. Kedua tangannya mengepal dan siap lepaskan pukulan. Perempuan sebelah kanan kembal angkat tangannya seraya berseru.
"Tak perlu turuti ucapan tua botak ini. Bagi kita membuat nyawanya melayang semudah kita mematahkan ranting kering! Kita tanya dulu, apakah bangsat ini telah mendapatkan api yang kita cari. Aku curiga, karena tempat yang kita tuju tak seperti apa yang kita dengar. Jangan-jangan bangsat ini telah menghilangkan tanda-tandanya setelah mendapatkan barang pusaka itu!"
Meski masih menindih rasa geram, perempuan yang tadi hendak lepaskan pukulan menuruti ucapan perempuan di sebelah kanan. Perempuan sebelah kanan segera melangkah satu tindak. Dengan mata menyengat tajam, dia berkata.
"Botak! Dengar baik-baik. Kami telah mengadakan perjalanan jauh dari seberang laut. Urusan mati bukan hal yang kami takutkan! Kami datang ke puncak bukit Ini untuk mencari pedang pusaka. Namun ternyata kau dan gadis itu telah mendahului. Kulihat tempat ini telah porak-poranda, dan tanda-tanda di mana pedan g itu disimpan telah lenyap. Aku yakin kau atau gadis itu telah mendapatkan pedang itu, lalu menghilangkan makam di mana tadi tersimpan pedang. Kami akan tinggalkan tempat ini dengan pedang yang ada padamu!"
Resi Mahayana menyeringai. Lalu menoleh pada Dewi Seribu Bunga. "Dewi! Tetap di tempatmu. Urusan kita belum selesai. Aku akan merobek dulu mulut keparat-keparat dari daratan Nias ini! Mereka rupanya belum sadar jika hamparan Tanah Jawa masih terlalu keras untuk mereka!"
Dewi Seribu Bunga hentakkan sepasang kakinya ke tanah, hingga tanah itu bergetar. "Kau tak punya hak memerintahku!" habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga melangkah menjauh.
Salah seorang dari Tiga Dayang Setan hendak menghalangi, sementara Resi Mahayana gerakkan tangannya. Namun kedua orang ini urungkan niat masing-masing demi melihat si gadis hanya melangkah menjauh lalu berhenti seraya mengawasi.
"Tiga Dayang Setan! Akan kutunjukkan pada kalian jika hamparan Tanah Jawa belum waktunya kalian injak!" Habis berkata demikian, Resi Mahayana sentakkah tangan kirinya. Gelombang angin dahsyat segera menyambar ke arah salah seorang dari Tiga Dayang Setan yang tadi hendak melepaskan pukulan.
Yang diserang melompat maju, kedua tangannya dihantamkan dengan keluarkan bentakan keras. Sementara dua lainnya beringsut mundur seakan memberi kesempatan pada kembarann ya untuk menghadapi Resi Mahayana.
Terdengar letupan keras tatkala pukulan mengandung tenaga dalam itu bertemu. Salah seorang dari Tiga Dayang Setan cepat menarik diri ke belakang dengan wajah berubah. Tangannya bergetar dengan dada sesak. Sementara Resi Mahayana hanya menyeringai dingin sambii usap-usap kepalanya. Dari bentrok tadi Tiga Dayang Setan telah maklum jika laki-laki botak ini bukan lawan yang bisa dianggap enteng.
Mendapati hal demikian, salah seorang dari Tiga Dayang Setan ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Sekali loncat, perempuan ini telah tegak dua langkah di depan Resi Mahayana. Lau secepat kilat tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah kepala sang Resi.
"Bukkk!" Kepala Resi Mahayana tersentak ke atas terkena pukulan tangan kanan salah satu Tiga Dayang Setan itu, karena sang Resi tidak membuat gerakan menangkis atau menghindar. Hebatnya, Resi Mahayana tidak bergeming, malah keluarkan tawa pendek. Sementara perempuan yang lepaskan pukulan terlihat meringis kesakitan sambil mengernyit. Lalu cepat-cepat mundur. Namun gerakannya tertahan, karena pada saat yang sama, Resi Mahayana melesat ke depan. Tangan kirinya bergerai! menghantam.
"Wuuuttt!" Serangkum angin deras datang mendahului sebelum tangan itu sendiri melabrak sasaran. Perempuan yang diserang geser kepalanya ke kiri, sementara kedua tangannya siap hendak lepaskan hantaman balik, hantaman tangan Resi Mahayana lewat sejengkal di sebelah kanan kepala lawan.
Namun begitu hantaman tangan kirinya melabrak tempat kosong dan kepala lawan yang dihantam bergetar ke kanan, secepat kilat tangan kanan sang Resi yang memegang untaian tasbih menderu memapak dari samping kanan!
"Praaakkk!" Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini meraung keras. Tubuhnya tersuruk ke samping hingga satu tombak lalu terbanting di atas tanah dengan pelipis berlubang dan mengucurkan darah! Sejenak perempuan ini melejat-lejat kejang. Lalu menjerit tinggi sebelum akhirnya menggelepar lalu diam tak bergerak-gerak lagi!
Dua perempuan kembaran Tiga Dayang Setan memekik keras melihat kematian saudara mereka. Mereka tak menduga sama sekali jika lawan begitu cepat dapat menewaskan saudaranya. Sementara dari tempat agak jauh, Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut rapat-rapat. Di depan sana, Resi Mahayana tertawa mengekeh!
"Sudah kukatakan, gelombang Tanah Jawa belum saatnya kalian jajaki. Kalian masih punya pilihan. Menuruti perintahku atau menyusul saudara kalian!"
"Jahanam!" teriak dua perempuan dari Tiga Dayang Setan ini berbarengan. "Botak bangsat! Kami tak akan kembali ke daratan Nias sebelum membetot putus nyawa busukmu!"
Habis membentak begitu, perempuan yang jadi pimpinan Tiga Dayang Setan ini lorotkan tubuh hingga lutut hampir menekuk. Kedua tangannya segera didorong ke depan. Satunya lagi tak tinggal diam. Kedua tangannya dikemban gkan lalu dihantamkan!
Gelombang angin yang keiuarkan hawa panas dan suara menggeledek segera menghampar ke arah Resi Mahayana dari dua jurusan. Resi Mahayana terkesiap sejurus. Namun buru-buru membuat gerakan aneh dengan rebahkan tubuh sejajar tanah. Tangan kirinya lepaskan pukulan sementara tangan kanannya putar-putar untaian tasbihnya.
Ledakan keras segera mengguncang puncak bukit itu tatkala tiga pukulan bentrok di udara. Tubuh Resi Mahayana terguling beberapa kali, sementara dua dari Tiga Dayang Setan terlihat terseret masing-masing satu tombak ke belakang. Namun salah seorang dari perempuan ini segera dapat menguasai tubuh. Tanpa keluarkan suara bentakan perempuan yang jadi pimpinan ini cepat melesat ke arah Resi Mahayana.
Resi Mahayana terperangah kaget. Namun sebelum laki-laki berkepala botak ini sempat membuat gerakan, tendangan salah seorang dari Tiga Dayang Setan ini telah menghujam ke arah dadanya!
"Bukkk!" Resi Mahayana berseru tegang. Tubuhnya mencelat lalu jatuh bergedebukan dengan mulut mengeluarkan darah!
"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya usap darah dari mulutnya. Laki-laki ini segera bangkit. Namun sebelum tegak, sosok salah seorang dari Tiga Dayang Setan telah berada di depannya. Lalu Resi Mahayana melihat dua bayangan berkelebat. Tahu-tahu sepasang tangan sang perempuan telah berada di depan matanya!
Resi Mahayana cepat tarik kepalanya ke belakang. Pukulan lawan menderu sejari telunjuk dari kepalanya. Namun laki-laki ini masih merasakan perih di kedua matanya. Begitu serangan lawan lewat. Resi Mahayana angkat kakinya dengan kepala terus digeser ke belakang hingga menempel tanah dan dibuat sebagai tumpuan.
"Bukkk!" Satu tendangan keras mendarat di lambung perempuan di hadapannya. Tubuh perempuan ini langsung terjajar tiga langkah ke belakang dengan keluarkan jerit kesakitan.
Kesempatan ini tak disia-siakan sang Resi. Begitu si perempuan terjajar dan belum dapat menguasai diri, kepala lakl-iaki botak ini berputar cepat. Bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat ke depan dengan kaki lurus!
Di depan sana, si perempuan menahan rasa terkejut. Buru-buru rebahkan tubuh untuk selamatkan diri dari tendangan lawan. Tapi sebelum tubuhnya benar-benar roboh, tangan kanan Resi Mahayana yang memegang tasbih telah bergerak dari bawah dan membabat ke arah punggung lawan.
"Kraaakkk!" Salah satu dari Tiga Dayang Setan ini berteriak keras ketika tulang punggungnya patah terhantam tasbih. Walau tasbih itu hanya terbuat dari untaian kayu bundar-bundar, namun karena digerakkan dengan tenaga dalam, maka tenaga yang keluar dapat mematahkan pohon membongkar tanah!
Karena terhantam dari arah bawah, tubuh si perempuan mental ke udara, Resi Mahayana tertawa panjang! Kakinya menjejak tanah. Tubuhn ya melesat menyusul ke udara. Di atas udara, tasbihnya diputar-putar lalu secepat kilat digerakkan dan disentakkan.
"Settt!" Salah satu dari Tiga Dayang Setan terperangah! Karena tasbih lawan tiba-tiba telah melingkar di lehernya! Si perempuan coba hantamkan tangannya meski dengan mengerang karena punggungnya sakit bukan alang kepalang. Namun sebelum kedua tangannya bergerak lepaskan hantaman, tangan kanan Resi Mahal yang telah bergerak menghentak.
"Kraaakkk!" Tulang leher si perempuan salah satu dari Tiga Dayang Setan ini patah. Kepalanya lunglai ke samping kanan dengan erangan pelan. Ketika Resi Mahayana angkat tangannya dan keluarkan tasbih dari leher si perempuan, perempuan itu meluncur turun dengan tubuh tanpa nyawa lagi!
BAB 4
KETIKA Resi Mahayana berpaling, laki-laki botak ini melengak kaget, salah satu dari Tiga Dayang Setan yang masih hidup juga Dewi Seribu Bunga tidak ada lagi!
"Keparat jadah! Mereka kira Resi Mahayana akan membiarkan ikan yang telah masuk jaring. Ha Ha Ha..." laki-laki ini cepat berkelebat lalu berdiri tegak di lamping bukit. Sepasang matanya yang sipit dijerengkan, kepalanya melongok ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, laki-laki ini masih menangkap kelebatan dua sosok di antara kerapatan pohon di bawahnya. "Belum jauh..." gumamnya dengan senyum seringai. Sejenak dia berpaling, memandang pada dua sosok dari Tiga Dayang Setan yang telah jadi mayat.
"Kasihan. Jauh-jauh hanya cari mati" sepasang matanya lantas mengedar ke hamparan tanah di pun cak bukit. Menarik napas sebentar. Dan sekali kelebat, tubuhnya lenyap dari puncak bukit Sono Keiing.
Di bawah sana, salah satu dari Tiga Dayang Setan yang masih tersisa kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Demikian juga Dewi Seribu Bunga, tapi salah satu dari Tiga Dayang Satan ini menempuh jalan yang banyak ditumbuhi semak belukar lebat, dengan maksud agar Resi Mahayana kesulitan jika berniat mengejar. Sedangkan Dewi Seribu Bunga menempuh jalan yang ada, hingga meski keduanya berkelebat turun bersamaan, si gadis murid Maut Mata Satu telah jauh meninggalkan si perempuan salah satu dari Tiga Dayang Setan.
Pada hamparan semak belukar lebat di lereng bukit, salah satu dari Tiga Dayang Setan hentikan lari! "Sialan. Aku terpaksa harus beristirahat sebentar, dadaku serasa jebol. ini gara-gara pukulan laki-laki keparat itu! Ah, ternyata Tanah Jawa penuh dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Dua saudaraku telah jadi korban. Hem... Aku harus secepatnya kembali ke Nias. Kelak aku akan kembali ke sini dan menagih darah saudaraku!"
Setelah mengurut dadanya, perempuan ini diam sejurus. Kepalanya lantas tengadah ke atas. Merasa tak ada orang yang mengejar ke arahnya, perempuan ini melangkah hendak teruskan menuruni bukit. Namun langkahnya tertahan. Di belakangnya terdengar suara tawa berderai disusul dengan teguran keras.
"Tak adil jika kau tak merasakan seperti yang dinikmati saudara-saudaramu! Ha Ha Ha...!"
Tanpa berpaling, si perempuan sudah tahu siap adanya orang yang keluarkan teguran. Sesaat perempuan ini ragu-ragu. Akan terus melarikan diri atau melakukan perlawanan. "Tak ada jalan lain. Terpaksa harus mengadu jiwa” si perempuan segera putar tubuh. Tapi perempuan ini terperangah. Di hadapannya tak ada siapa-siapa! Hanya semak belukar lebat.
"Baru saja kudengar suaranya, tapi mana keparatnya? Telingaku juga mendengar tawanya, namun mana bangsatnya?! Jahanam betul!"
Selagi mencari-cari, sepuluh langkah di depannya semak belukar itu bergerak menguak. Lalu muncul kepala botak dengan keluarkan suara tawa bergelak. Si perempuan tak membuang waktu. Belum sampai tubuh Resi Mahayana keluar dari semak belukar, si perempuan dari Tiga Dayang Setan telah hantamkan kedua tangannya.
"Brettt! Breeettt!" Semak belukar lebat di depan si perempuan terbabat rata, malah sebagian tercerabut dari akarnya dan berhamburan ke udara. Namun sebelum hantaman itu menghajar sasaran, laki-laki botak telah lenyap dari tempatnya berdiri!
"Setan Alas! Ke mana lenyapnya botak bangsat itu?!"
Selagi perempuan ini tajamkan telinga dan beliakan mata mencari tahu di mana beradanya Resi Mahayana, dari arah belakang berdesir angin kencang. Si perempuan cepat berpaling dengan tangan menghantam. Namun sebelum tangannya lepaskan pukulan, sebuah kalung telah melingkar di lehernya. Si perempuan tak pedulikan. Tangannya terus menghantam ke depan. Namun hantaman tangannya hanya menerpa tempat kosong. Bersamaan dengan lenyapnya pukulan, tiba-tiba perempuan ini merasakan tubuhnya terangkat ke atas.
Mencium adanya bahaya, si perempuan hantamkan lagi tangan kiri kanannya ke atas. Kakinya pun bergerak menendang ke belakang. Namun lagi-lagi pukulannya hanya menghajar angin. Malah pada saat yang sama, terdengar suara tawa mengekeh panjang. Tiba-liba kepala si perempuan laksana disentakkan hingga tengadah. Namun cuma sesaat, sekejap kemudian tasbih di lehernya terbetot ke belakang dengan kerasnya. Terdengar tulang patah. Disusul kemudian dengan keluarnya raungan keras dari mulut si perempuan. Ketika tasbih melesat keluar dari leher, sebuah kaki berkelebat menendang ke arah punggung.
"Bukkk!" Si perempuan dari Tiga Dayang Setan ini hanya sempat mengerang sebentar. Tubuhnya mental ke depan lalu terjerembab di hamparan semak belukar dengan nyawa melayang! Resi Mahayana komat-kamitkan mulut. Menyeringai sebentar lalu berkelebat meninggalkan tempat itu.
********************
Pada suatu tempat yang dirasa aman karena sudah jauh dari bukit Sono Keiing, Dewi Seribu Bunga hentikan larinya. Lalu duduk bersandar pada sebuah pohon dengan napas terengah-engah.
"Bagaimana sekarang...? Apa aku akan kembali menemui Guru dahulu memberitahukan semua ini, atau terus saja meiakukan penyelidikan? Ah... Lebih baik teruskan saja melakukan penyelidikan. Jika gagal, baru menemuinya! Hem... Pedang Tumpul. Apakah telah jatuh ke tangan orang lain? Atau apakah pedang itu tidak ada? Hanya kabar bohong yang direncanakan seseorang untuk suatu tujuan tertentu? Bukankah Guru pernah mengatakan jika rimba persiiatan selalu diselimuti dengan akal licik dan muslihat?!" gadis ini lantas teringat pada Resi Mahayana.
"Seandainya aku tidak sedang kebingungan untuk penyelidikan pedang Itu, rasanya tanganku sudah gatal untuk merobek mulutnya yang kelewat besar itu. Tiga Dayang Setan... ilmu masih sebatas mata kaki sudah berani keluar sarang..."
Mungkin karena terlalu lelah, lagi pula angin bertiup semilir, membuat Dewi Seribu Bunga menguap dari sesaat kemudian gadis ini terlelap. Namun baru saja sepasang mata si gadis mengatup, sebuah bayangan biru berkelebat dan tegak di samping sang gadis yan g tertidur setengah berbaring bersandar pada pohon. Sosok ini memperhatikan dada sang gadis yang bergerak turun naik sambil mengelus-elus kepalanya yang botak kelimis.
"Nasibku baik. Ternyata dia kutemukan di sini. hem... Mungkin dia kelelahan..." Sepasang mata sosok berkepala botak yang bukan lain adaiah Resi Mahayana mengerjap beberapa kali menelusuri sekujur tubuh gadis di hadapannya. Jakunnya mulai turun naik dengan dada berdebar. Karena sang gadis tanpa disengaja angkat kaki sebelahnya hingga pahanya tersingkap.
Rangsangan yang mendera dada Resi Mahayana. tampaknya sudah tak bisa dibendung lagi. Tanpa pikir panjang lagi, laki-laki berkepala botak ini bungkukkan tubuhnya hendak mencium wajah si gadis, sementara tangan kirinya bergerak meraba paha si gadis.
Merasa ada hawa panas bersiur di wajah serta usapan di pahanya, Dewi Seribu Bunga membuka kelopak matanya. Mengerjap sebentar lalu tengadah. Gadis Ini tersentak dan cepat menarik tubuhnya ke samping. Lalu bangkit tegak dengan keluarkan bentakan marah.
"Kurang ajar! Laki-laki terkutuk!"
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Kedua tangan Dewi Seribu Bunga bergerak lepaskan hantaman ke arah kepala Resi Mahayana dari arah kanan kiri.
Resi Mahayana tak melakukan gerakan sedikit pun. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Dewi Seribu Bunga telah menghajar kepalanya dari arah samping kanan dan kiri. Kepala botak ini tersentak ke kiri lalu ke kanan. Tubuhnya yang tinggi besar surut satu tindak ke belakang. Namun dari mulut laki-laki ini tak terdengar seruan kesakitan. Sebaliknya bibirnya keluarkan tawa pelan lalu tangan kirinya mengusap kepalanya yang baru saja terkena pukuian Dewi Seribu Bunga.
"Kepala manusia ini tampaknya kebal terhadap pukulan. Tapi tidak bagian tubuhnya yang lain..." Dewi Seribu Bunga kembaii maju. Tenaga dalamnya dilipatgandakan. Didahului bentakan keras, kedua tangannya kembali melesat. Tangan kiri mengarah pada perut, tangan kanan menghantam ke bahu.
Kali ini Resi Mahayana tak tinggal diam. Tangan kirinya mengibas sementara tangan kanannya yang memegang tasbih diangkat dan menyentakkan tasbihnya ke bawah.
"Bukkk! Prakkk!"
Benturan segera terdengar. Dewi Seribu Bunga terpekik dan cepat mundur. Sepasang matanya mendelik besar ketika mendapati tangan kanannya berubah merah sedangkan tangan kirinya bergetar dan ada warna kebiru-biruan membentuk tiga bundaran.
Di depan sana, Resi Mahayana sedikit terkejut ketika tangannya sempat bentrok dengan tangan si gadis. Dia tak menyangka sama sekali jika si gadis memiiiki tenaga dalam tinggi. Selagi laki-laki ini bertanya-tanya sendiri dalam hati tentang siapa sebenarnya adanya si gadis, tiba-tiba terdengar suara bentakan garang melengking. Pada saat yang sama, dari arah depan menyambar satu sinar menyebarkan cahaya berwarna-warni.
"Wuuusss!" Setengah jalan, mendadak saja sinar itu pecah. Lalu melesat berpuluh-puiuh pijaran api yang selain keluarkan hawa panas juga berdesing tajam!
Resi Mahayana terkesiap. Dan buru-buru hantamkan tangan kirinya sementara tangan kanannya diputar-putar. Habis lakukan tangkisan, laki-laki ini melesat ke samping, menghindar dari muncratan pijar-pijar api. Terdengar beberapa letupan yang keluarkan kobaran begitu pijaran-pijaran api itu terkena pukulan tangan Resi Mahayana.
Namun karena banyaknya pijaran yang muncrat, sebagian lolos dan menghajar pepohonan di sekitar tempat itu. Pohon yang terkena pijaran api langsung hangus dan terbakar! Tidak lama kemudian pohon itu berkeretekan lalu tumbang terbelah! Tanah yang terkena percikan pijaran api langsung muncrat ke udara dan berhamburan dengan berubah menjadi panas!
"Pukulan 'Api Seribu Bunga'!" desis Resi Mahayana mengenal pukulan yang dilepaskan Dewi Seribu Bunga. "Tak bisa kupercaya! Dalam rimba persilatan hanya satu orang yang memiliki pukulan sakti itu! Tokoh yang sudah lama tak unjuk diri lagi entah sudah tewas atau masih sembunyikan diri. Maut Mata Satu! Apakah dia murid Mata Satu?! Hem... Tak heran jika dia bergelar Dewi Seribu Bunga. Tapi aku tadi masih belum mengira jika gelar itu ada hubungannya dengan pukulan 'Api Seribu Bunga'..."
Ketika pijaran bunga-bunga api sirap, Resi Mahayana memperhatikan Dewi Seribu Bunga yang saat itu juga menatap ke arahnya. Pelipis gadis ini bergerak-gerak dengan mata berkilat merah, karena pukulan yang dilepaskan tidak menghantam sasaran.
"Apa hubunganmu dengan Maut Mata Satu?" bentak Resi Mahayana.
"Di sini bukan tempatnya untuk bertanya!" seru Dewi Seribu Bunga meski parasnya sedikit berubah karena merasa orang mengenali siapa gurunya. Namun perasaan itu segera lenyap begitu mengingat perlakuan laki-laki di hadapannya yang baru saja mencoba mencium dan menggerayangi pahanya. Amarahnya kembali menggelora. Dan tanpa berkata lagi, gadis ini tarik kedua tangannya ke belakang dengan telapak mengepal. Lalu didorong ke depan sambil mengembangkan telapak tangannya.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua sinar yang menebarkan sinar berwarna-warni kembali melesat keluar dari telapak tangan Dewi Seribu Bunga. Setengah jalan, sinar itu pecah lalu bermuncratan kembang-kembang api yang membawa hawa panas dan keluarkan suara mendesis tajam!
Tahu akan kehebatan pukulan yang dilancarkan si gadis, Resi Mahayana cepat takupkan kedua tangannya. Tubuhnya melorot turun hingga duduk bersila. Sesaat kemudian tubuh resi ini terangkat dan mengapung di udara masih dengan bersila dan mata mengatup. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan di hantamkan ke depan. Asap biru membersit dari kedua tangan sang Resi. Begitu keluar, asap itu melebar lau menghampar di tempat itu dan sebagian membentuk gulungan-gulungan dan melesat ke arah Dewi Seribu Bunga.
Beberapa bunga pijaran api meletup lalu padam namun sebagian lagi terus melesat ke arah Resi Mahayana dari berbagai jurusan. Laki-laki ini melengak kaget. Cepat dia angkat tangan kanannya dan putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera melindungi tubuhnya yang masih mengapung di udara. Beberapa bunga api yang mengarah padanya segera mental lalu padam. Namun karena banyaknya bunga api, mau tak mau membuat sang Resi kewalahan. Hingga tak pelak lagi satu dua bunga api sempat menyambar tubuhnya!
"Setan Jahanam" maki Resi Mahayana seraya tekapkan tangan kirinya ke lambung. Tangan kanannya terus putar-putar tasbihnya. Tiba-tiba laki-laki ini gerakkan kepalanya. Tubuhnya yang mengapung bergerak melayang ke belakang. Lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah.
Cepat-cepat ditelitinya bagian tubuh yang terkena pijaran. Dia berkerut. Kulit di bagian lambungnya telah melepuh begitu juga lengan kirinya. Dan belum sempat laki-laki ini kerahkan tenaga dalam, lambung dan lengannya berkedut-kedut. Lalu lepuhan itu muncrat dengan keluarkan cairan hitam. Ternyata kulit lambung dan lengan itu berlubang dan mengucurkan darah!
Tahu akibat apa yang akan terjadi kalau sampai terlambat, Resi Mahayana cepat menotok permukaan kulit sekitar lubang yang mengucurkan darah itu. Lalu dari balik pakaiannya dia keiuarkan butiran kecil yang segera ditelan. Kedua tangannya lantas menakup dengan mata memejam, mulutnya perdengarkan suara yang tak jelas.
Di depan sana, Dewi Seribu Bunga terlihat tersapu oleh hamparan asap biru. Tubuhnya melayang dengan mulut megap-megap tanpa ada suara yang terdengar. Tubuhnya baru terhenti ketika menghantam sebatang pohon. Lalu terkapar dengan dada bergerak turun naik.
"Keparat! Dadaku seakan tak bisa digunakan untuk bernapas. Asap gila apa ini?" gumam Dewi Seribu Bunga seraya tarik tubuhnya bersandar ke batang pohon. Gadis ini segera kerahkan hawa murni untuk mengatasi dadanya. Namun gadis ini tertegun dengan wajah makin pucat. Kekuatannya tiba-tiba lenyap! Hingga dia tak mampu kerahkan tenaga dalam!
"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Padahal tubuhku tidak mengalami cidera yang parah. Benar-benar gila. ilmu apa yang dilepaskan laki-laki bangsat itu?!"
Selagi Dewi Seribu Bunga dilanda kecemasan, di depan sana Resi Mahayana buka kelopak matanya. Darah yang mengucur telah berhenti. Sejenak sepasang matanya memandang ke arah Dewi Seribu Bunga. Tiba-tiba bibir laki-laki berkepala botak ini ulaskan senyum.
"Pukulan 'Pelebur Tenaga' ternyata telah terhirup. Hem... Sekarang tanpa tenaga pun aku bisa meringkusnya! Aku harus segera bertindak. 'Pelebur Tenaga’ itu hanya akan melebur tenaganya selama seperempat hari!" Resi Mahayana bangkit. Melangkah perlahan ke arah Dewi Seribu Bunga dengan bibir tersenyum.
"Celaka! Keparat itu mendekat. Padahal tenagaku masih belum bisa puiih. Apa yang harus kulakukan...?”
Dewi Seribu Bunga mencoba duduk. Merasa mampu, gadis ini segera hendak bangkit. Namun mulutnya segera keluarkan keluhan pendek tatkala baru saja bergerak, tubuhnya limbung dan akhirnya jatuh kembali.
Resi Mahayana tertawa bergelak-gelak. "Dewi... Tenagamu akan pulih jika kita telah bersatu dalam asmara. Ha Ha Ha...!"
Laki-laki berkepala botak ini hentikan langkah di samping Dewi Seribu Bunga. Tasbihnya disimpan ke balik jubahnya. Kedua tangannya lantas bergerak menjulur ke depan dengan tubuh sedikit dibungkukkan.
"Jahanam! Apa yang hendak kau lakukan?!" teriak gadis berbaju merah dengan tubuh gemetaran dan mata mendelik.
"Sudah kukatakan. Tenagamu akan pulih jika kita bersatu dalam kemesraan. Bukankah kau ingin tenagamu kembali?" sambil berkata, tangan laki-laki ini telah mengusap pundak si gadis, sedangkan tangan satunya merayap dari arah bawah, menyingkap pakaian si gadis!
Dewi Seribu Bun ga berteriak-teriak. Karena hanya itu yang dapat dilakukan. Seluruh tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. Dan teriakan itu berubah menjadi bentakan-bentakan marah serta dampratan panjang pendek tatkala tangan kanan Resi Mahayana telah menyingkap pakaian bawahnya hingga pahanya terlihat, sementara tangan kirinya terus bergerak ke arah dadanya
"Breeettt!" Resi Mahayana sentakkan tangan kirinya. Pakaian si gadis di bagian dada langsung robek. Sepasang mata sang Resi membentang besar melihat payudara putih membusung dan bergerak turun naik.
Tanpa mempedulikan teriakan dan makian si gadis yang sudah tak berdaya. Resi Mahayana rebahkan tubuhnya hendak menindih Dewi Seribu Bunga. Namun gerakan laki-laki ini tertahan. Karena dari arah samping menderu angin deras menghantam ke arahnya. Mendapati gelagat buruk, Resi Mahayana segera berpaling dan cepat membuat gerakan memutar tubuh sambil melompat ke samping.
"Brakkk!" Pohon di belakang Dewi Seribu Bunga berderak dan tumbang begitu terkena pukulan yang berhasil dihindari Resi Mahayana.
"Terkutuk! Siapa berani berlagak jual ilmu kepadaku?!" teriak Resi Mahayana seraya putar kepala dengan mata liar ke sana kemari.
Belum lenyap gema teriakan Resi Mahayana, sesosok bayangan berkelebat tahu-tahu tegak di hadapan sang Resi dengan kepala celingukan!
BAB 5
Dari tempatnya masing-masing, Resi Mahayana dan Dewi Seribu Bunga melihat seorang pemuda mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala putih melingkar di rambutnya yang panjang dan sedikit acak-acakan. Pemuda ini berparas tampan dengan tubuh tegap. Namun gerak-geriknya membuat orang yang melihat kerutkan dahi, karena jari kelingking tangan kanannya dimasukkan pada lubang telinganya hingga wajahnya meringis dengan tubuh sedikit menggelinjang!
"Tingkah dan gerak-geriknya seperti orang sedeng. Tapi melihat pukulannya tadi, jelas mengandung tenaga dalam tinggi. Hem... Siapa pemuda ini?" Resi Mahayana membatin dengan memandang tak berkedip. Kemarahan akibat urusannya tertundak dicoba ditahan.
Seraya.melangkah maju, dia keluarkan bentakan. "Anak Muda. Kau mencari mati berani ikut campur urusanku!"
Si pemuda seakan tak mendengar bentakan orang. Malah dia telengkan kepalanya lalu digerakkan ke kanan kiri dengan tubuh berjingkat, karena kelingkingnya masuk makin dalam!
"Heran. Apa yang dilakukan pemuda ini? Tingkahnya mirip anak-anak saja! Tapi pukulannya tadi membuat laki-iaki keparat itu urungkan niatnya. Mudah-mudahan dia bersedia menolongku..." Dewi Seribu Bunga membatin seraya coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun gagal hingga yang keluar dari mulutnya adalah keluhan pendek.
"Rupanya kau ingin mati dalam keadaan begitu!" seru Resi Mahayana. Kemarahannya tak dapat dibendung lagi karena merasa dirinya tidak digubris. "Makan pukulanku ini!" teriaknya seraya hantamkan kedua tangannya sekaligus.
Angin deras segera melesat mengarah pada si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, Pendekar Pedang Tumpul 131. Paras Joko berubah seketika. Jari kelingkingnya cepat ditarik. Sambil mundur satu langkah, kedua tangannya segera menyentak.
Tanah di tempat itu segera bergetar tatkala dua pukulan itu bertemu di udara. Resi Mahayana cepat-cepat kerahkan tenaga dalamnya karena merasa tubuhnya terdorong keras ke belakang. "Anak Setan! Siapa kau sebenarnya?!"
Joko hanya menyeringai sambil gosok-gosokkan tangannya. "Orang Tua! Manusia macam kau tak pantas mengetahui siapa aku! Aku memberimu kesempatan untuk segera enyah dari tempat ini!"
"Begitu? Apa kau juga menginginkan tubuh montok itu?! Hah...?!"
Paras Dewi Seribu Bunga tampak mengelam. Gadis ini berteriak memaki.
"Orang tua gila! Ternyata pakaianmu saja yang menunjukkan layaknya seorang resi. Tapi kelakuanmu lebih rendah dari binatang!"
Dimaki demikian, Resi Mahayana naik pitam. "Diam kau, gadis keparat! Kau layak berterima kasih karena nasib burukmu tertunda! Tapi jangan cepat bergembira, setelah orang gila itu menerima kematian, pekerjaan nikmat itu kita teruskan!"
"Jangan mimpi bisa mereguk kenikmatan itu, Orang Tua!"
"Anak Keparat! Kau masih muda, belum merasakan bentangan ganasnya rimba persilatan hingga tak tahu siapa yang sedang kau hadapi"
"Hem... Bukankah aku sedang berhadapan dengan resi berwatak kambing?"
"Jahanam!" maki Resi Mahayana seraya kembangkan telapak tangan lalu didorong ke depan. Dua asap biru membersit. Lalu menghampar dan sebagian membentuk gulungan-gulungan. Resi ini telah lepaskan kembali pukulan 'Pelebur Tenaga'.
Tiba-tiba Dewi Seribu Bunga tersadar. "Mungkin tenagaku lenyap karena menghirup asap itu! Aku tadi megap-megap tatkala pertama kali menghirupnya!" berpikir sampai di situ sambil menahan napas gadis ini berteriak. "He! Tahan napas. Asap itu beracun!"
Mendapati peringatan, Joko cepat tutup pernapasannya. Kedua tangannya dikembangkan lalu dihantamkan ke depan.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Sinar kuning keperakan segera menyambar keluar. Suasana di tempat itu berubah menjadi semburat warna kuning dan panas!
Asap biru yang menghampar dan bergulung-gulung ambyar dengan keluarkan ledakan dahsyat. Namun tubuh murid Pendeta Sinting dari jurang Tiatah Perak ini terlihat terhuyung-huyung karena tersapu oleh hamparan angin yang keluar dari asap biru. Di depan sana. Resi Mahayana terdorong mundur sampai tiga langkah sebelum akhirnya lorotkan tubuh untuk duduk bersila. Tubuh orang tua ini tampak bergetar keras. Kedua tangannya gemetar. Sedangkan wajahnya berubah pucat pasi. Laki iaki ini segera sentakkan kedua bahunya. Perlahan-lahan tubuhnya terangkat dan mengapung di udara. Kelopak matanya segera memejam, lalu membuka kembali bersamaan dengan menyentaknya kedua tangan.
Untuk kedua kalinya asap biru menghampar. Namun kali ini daya lesatnya lebih cepat. Bahkan angin deras yang menyertainya seolah datang dari segenap penjuru. Hingga saat itu juga hamparan tanah di tempat itu laksana air yang terpukul, muncrat ke udara menutupi pemandangan!
Joko cepat takupkan kedua tangannya. Tangannya berubah kekuningan. Lalu dengan keluarkan bentakan keras, kedua tangannya didorong.
"Blaaammm!" Tempat itu berguncang. Asap biru berantakan sebelum akhirnya terseret ke atas dan lenyap! Angin deras yang menyertai asap biru pukulan ‘Pelebur Tenaga’ pun menyibak ke kanan dan kiri. Menghantam segala yang ada di sekitarnya!
Dewi Seribu Bun ga yang berada di sebelah kanan keluarkan seruan tertahan tatkala tubuhnya mencelat tersapu angin. Sementara di sebelah depan, Resi Mahayana terdorong mundur dengan derasnya, hingga tak bisa lagi kuasai keadaan, laki-laki berkepala botak ini terjerembab dengan kepala mendahului tubuh! Ketika orang tua ini angkat kepalanya, dari hidung dan sudut bibirnya mengucur darah kehitaman!
Dua puluh langkah di hadapan Resi Mahayana Joko Sableng berlutut dengan raut pucat seakan tak berdarah. Dadanya bergetar keras. Urat-urat tubuhnya bertonjolan keluar membentuk guratan-guratan merah.
Perlahan-lahan Resi Mahayana bergerak duduk. "Hari ini aku menemui dua keanehan besar. Pertama tentang pukulan yang dilepas gadis keparat itu. Yang kedua pukulan yang dilepas pemuda edan itu. Aku ingat betul. Pukulan yang dilepas adalah milik tokoh sinting yang puluhan tahun lalu pernah menggedorkan rimba persilatan. Bagaimana ini? Apakah kedua orang ini murid-murid tokoh itu?! Hem... Meski pukulan 'Pelebur Tenaga'-ku tak berhasil, namun aku yakin pemuda itu juga cidera dalam. Aku harus segera menyelesaikannya. Jika tidak, urusan kenikmatan dengan gadis Itu akan tertunda!"
Resi Mahayana segera bangkit, tangan kanannya menyeilnap ke balik jubahnya mengambil tasbih. Joko kerutkan dahi. "Dia menggunakan senjata. Meski hanya, berupa untaian kayu, aku yakin itu bukan senjata sembarangan! Apakah aku harus menggunakan pedang ini?l Hem... Tak ada salahnya jika aku mencoba kehebatannya!" Dia segera selinapkan tangan kanan ke balik pakaian bagian pinggang di mana terselip Pedang Tumpul 131.
Resi Mahayana telah bergerak melangkah seraya putar-putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera melingkupi tempat itu. Tangan kiri sang Resi diangkat hendak lepaskan pukulan. Namun gerakannya tertahan tatkala di depan sana cahaya kuning segera menghampar berkilat-kilat. Resi Mahayana sejenak tertegun seakan tak percaya dengan pandangan matanya. Mulutnya berkemik. Lalu tanpa sadar dari mulutnya keluar desisan keras.
"Pedang Tumpul 131! Hem... Jadi manusia ini telah berhasil mendapatkan pedang itu! Bagus. Rezekiku besar. Selain mendapatkan apa yang kucari, sekaligus bisa menikmati tubuh montok..."
"Anak Muda! Selembar nyawamu kuampuni, bahkan kalau mau kau boleh mengambil gadis itu. Tapi serahkan pedang itu padaku!" sambil berkata, tangan kirinya membuat gerakan orang meminta. Di samping, mendengar ucapan Resi Mahayana, Dewi Seribu Bunga buka kelopak matanya yang sejak tadi dikatupkan. Sejurus mata gadis itu terpentang besar. Memperhatikan pedang di tangan kanan Joko.
"Pedang pendek berwarna kuning keperakan. Gagangnya hijau dari batu giok. Di tubuh pedang terdapi guratan angka 131. Tak salah lagi. itu Pedang Tumpul 131! Jadi..." Dewi Seribu Bunga tak meneruskan kata hatinya, karena tiba-tiba Resi Mahayana telah kembali membentak.
"Kau dengar ucapanku. Tunggu apa lagi?! Serahkan pedang itu!"
Pendekar 131 tersenyum. "Orang Tua! Kau ini minta atau apa?!"
"Banyak mulut!" hardik Resi Mahayana. Semangat laki-laki ini kini bertambah besar. Dia memutuskan merebut pedang itu dengan jalan apa saja, malah ingatannya pada Dewi Seribu Bunga seakan lenyap seketika. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, dia melompati depan. Tangan kirinya melepas pukulan tangan kosong sementara tangan kanannya menyentakkan tasbih.
"Saatnya bagiku melihat kehebatannya!" gumam Joko seraya hantamkan tangan kirinya untuk menangkis hantaman pukulan tangan kiri sang Resi. Sementara tangan kanannya mengayunkan pedang.
Letupan keras terdengar ketika pukulan tangan kosong masing-masing orang ini bertemu. Kemudian disusul dengan suara benturan benda tatkala Pedang Tumpul 131 menderu dan menghantam tasbih Resi Mahayana. Tasbih di tangan Resi Mahayana langsung berantakan dan berhamburan. Laki-laki botak ini berseru keras. Tangan kanannya bergetar hebat dengan wajah pias!
Sosoknya terhuyung ke belakang. Saat itulah Pendekar Pedang Tumpul 131 melesat ke depan. Tangan kanan yang memegang pedang diangkat tinggi-tinggi. Resi Mahayana menduga lawan akan babatkan pedangnya. Dia meliukkan tubuhnya ke bawah. Namun dugaan Sang Resi melesat. Karena bukan pedang Joko yang bergerak membabat, melainkan tangan kirinya yang menghantam.
"Bukkk!" Resi Mahayana terpekik keras. Sosoknya mental hingga dua tombak lalu berputar dan terbanting di atas tanah. Karena pukulan tangan Joko Sableng tepat mengenai lambungnya yang telah terluka, lambung yang berlubang itu kembali keluarkan darah hitam!
Resi Mahayana keluarkan suara gemeretak dari mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaga, dia hendak hantamkan tangannya. Namun tulang lengan kanannya patah, hingga akhirnya dia hanya bisa hantamkan pukulan dengan tangan kiri.
Pendekar Pedang Tumpui 131 bergerak ke samping menghindar. Hingga pukulan tangan kosong itu lewat. Saat itulah berdesing lingkaran coklat berputar-putar. Ternyata Resi Mahayana telah cabut kalung di lehernya dan dilemparkan ke arah Joko. Karena lemparan itu bukan lemparan biasa, meski hanya sebuah kalung dari untaian kayu, namun dapat mengeluarkan desingan tajam dan mempunyai daya lesat luar biasa.
Murid Pendeta Sinting angkat pedangnya. Sinar kuning keperakan membersit dengan keluarkan suara bergemuruh ketika Pedang Tumpul 131 diayunkan memapak datangnya kalung.
"Praaakkk!" 'Untaian kalung hancur berkeping-keping. Anehnya, hancuran kalung yang terbuat dari kayu itu masih berlesatan ke sana kemari. Joko segera melompat, namun tak urung juga salah satu dari hancuran kalung menerpa tubuhnya. Murid Pendeta Sinting seakan tak percaya. Pakaian yang dikenakannya serta-merta terbakar dan tubuhnya terdorong hingga jatuh berlutut!
Melihat Joko terjatuh berlutut, Resi Mahayana tanpa memberi kesempatan. Tubuhnya ban gkit lalu melesat dengan tangan kiri menghantam. Dengan menindih rasa panas, Joko cepat gulingkan tubuh. Pada gulingan ketiga, pemuda ini berbalik lalu hantamkan tangan kirinya.
Sinar kuning keperakan membersit. Karena Resi Mahayana datang menyongsong tepat saat sinar mengembang, maka tak ampun lagi tubuh laki-laki berkepala botak ini mencelat mental hingga beberapa tombak, lalu terbanting di tanah. Pakaian yang dikenakannya telah hangus. Sekujur tubuhnya melepuh. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki botak ini mengerang dengan berguling-gulingan menahan rasa panas.
Namun makin lama erangannya makin pelan, gulingan tubuhnya pun tiba-tiba berhenti. Pendekar Pedang Tumpui 131 memandang sekilas. Lalu melangkah mendekat dengan pedang siap diayunkan sementara tangan kiri siap lepaskan pukulan. Tapi tiba-tiba Joko hentikan langkahnya tatkala dilihatnya Resi Mahayana meraung keras yang serta-merta putus laksana disentakkan! Laki-laki ini kaku dan tak bergerak lagi!
Pendekar 131 teruskan langkah mendekat. Sejenak diperhatikannya tubuh Resi Mahayana yang terkapar mati dengan tubuh melepuh dan darah menggumpal dari hidung dan mulut. Murid Pendeta Sinting ini menarik napas dalam, lalu memasukkan Pedang Tumpui 131 ke sarungnya di balik pakaiannya.
"Sebenarnya aku tak mengharapkan ini terjadi, tapi..." murid Pendeta Sinting ini tak lanjutkan gumamannya, karena terdengar orang menegur.
"Hei... Kau tidak menolongku?!"
"Astaga! itu suara gadis..." Joko cepat putar tubuh lalu melangkah lebar-lebar ke arah Dewi Seribu Bunga.
BAB 6
PENDEKAR Pedang Tumpul 131 melangkah mendekati Dewi Seribu Bunga yang masih terkapar tak berdaya. Begitu berada disamping sang gadis, pemuda murid Pendeta Sinting ini tertegun lalu cepat arahkan pandangannya ke jurusan lain karena dada gadis dihadapannya terpentang memperlihatkan payudaranya yan g kencang putih!
Si gadis sendiri berubah parasnya menjadi merah mengelam. Namun karena tak berdaya untuk menggerakkan anggota tubuhnya akibat pukulan 'Pelebur Tenaga' yang dilepas Resi Mahayana, gadis ini tak bisa berbuat banyak. Hingga pada akhirnya dia buka mulut dengan suara pelan.
"Akibat pukulan laki-laki tadi, tenagaku lenyap. Harap kau sudi menolongku dengan coba alirkan tenaga dalam ke tubuhku. Siapa tahu bisa membantu. Kau tak keberatan bukan?!"
"Hem... Bagaimanapun juga gadis ini telah memperingatkanku sewaktu laki-laki itu lepaskan pukulan. Jika tidak, mungkin aku mengalami hal yang sama. Aku akan memenuhi permintaannya..."
Joko berpaling lagi. Namun matanya sengaja diarahkan pada sepasang mata si gadis. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling adu pandang. "Hem... Gadis cantik. Matanya bundar tajam. Dan..." Joko coba melirik agak ke bawah, ke dada si gadis. Namun baru saja matanya beralih ke dada, Dewi Seribu Bunga telah menegur.
"Apa lagi yang kau tunggu? Atau kau merasa keberatan?!"
Seakan baru tersadar, Joko segera gelengkan kepalanya. Lalu dengan dada berdebar pemuda ini duduk disamping Dewi Seribu Bunga. Dewi Seribu Bunga sendiri tampak bersemu merah malah begitu Joko duduk, gadis ini segera arahkan pandangannya ke atas. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Mudah-mudahan pemuda ini tak punya niat jelek. Ah, kenapa aku berpikir sampai ke sana? Kalau dia berniat jeiek, bukankah mudah saja baginya melakukan apa yang diinginkan karena aku tak berdaya? Siapa pemuda ini sebenarnya...? Sungguh beruntung pemuda ini. Berhasil mendapatkan pedang pusaka yang diperebutkan banyak tokoh rimba persilatan. Hem... Bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan setelah dia nanti berhasil menolongku? Apakah aku harus merebut pedang itu dari tangannya? Atau... Ah. Aku jadi bingung..."
Murid Pendeta Sinting ini sekilas menatap wajah Dewi Seribu Bunga. Lalu turun ke dadanya. Jakun pemuda ini bergerak turun naik dengan wajah hangat. Namun pemuda ini segera sadar bahwa si gadis memerlukan pertolongan. Kedua tangannya segera menjulur ke depan. Tubuh si gadis digerakkan membalik. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan ke punggung si gadis. Sepasang matanya lantas mengatup. Setelah menarik napas dalam-dalam, murid Pendeta Sinting ini mulai alirkan tenaga dalam pada sang gadis.
Dewi Seribu Bunga merasakan hawa sejuk menembus kulit punggungnya lalu mengalir kesekujur tubuhnya. Perlahan-lahan anggota tubuhnya berubah hangat. Aliran darahnya teratur dan normal seperti sediakala. Dengan masih menelungkup, Dewi Seribu Bunga coba menggebrakkan jari-jari tangannya. Gadis ini bernapas lega, karena jari-jari itu bisa digerakkan. Merasa berhasil, gadis ini coba angkat tangannya. Ternyata tangannya pun dapat digerakkan!
"Tenagaku pulih kembali..." batin Dewi Seribu Bunga dengan merentangkan tangan.
Ketika Joko tarik kedua tangannya dari punggung Dewi Seribu Bunga, gadis ini segera gerakkan tubuhnya membalik. Kepalanya berpaling ke samping dengan mata memandang lekat-lekat pada Joko Sableng.
"Terima kasih..." katanya sambil bergerak ke atas lalu bangkit duduk. Mungkin karena merasa gembira tenaganya bisa pulih kembaii, Dewi Seribu Bunga segera rentang-rentangkan kembali kedua tangannya. Sementara Joko cepat-cepat alihkan pandangan meski ekor matanya melirik.
Melihat tingkah pemuda di sampingnya, Dewi Seribu Bunga kerutkan dahinya. Namun mulutnya segera keluarkan seruan tertahan tatkala mengetahui apa yang membuat sang pemuda melirik. Ternyata dadanya yang terbuka terpentang lebar tatkala dia merentangkan tangannya. Dengan wajah berubah, gadis ini buru-buru menutupkan pakaiannya yang robek pada dadanya yang terbuka.
“Tak keberatan sebutkan siapa kau sebenarnya?" Joko ajukan pertanyaan untuk mengatasi keadaan yang kaku itu.
"Aku... Dewi Seribu Bunga. Kau?!"
Joko Sableng, berpaling memandang. "Joko... Joko Sableng..."
"Joko Sableng... Hem... Pantas. Meski dia tak berniat jahat, namun matanya itu nakal. Jelalatan...”
Joko bangkit. Tersenyum lalu berkata. "Tenagamu telah pulih, dan kau bisa teruskan perjalanan. Sedangkan aku pun harus pergi. Ada urusan yang perlu kuselesaikan."
Pendekar Pedang Tumpui 131 putar tubuh. Lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Namun suara menahan langkahnya.
"Tunggu!" Dewi Seribu Bunga melangkah mendekat. "Kau hendak ke mana?!"
Joko balikkan tubuh. Dewi Seribu Bunga tampak kikuk karena harus memegangi robekan kain di dadanya. Joko segera lepaskan ikat kepalanya dan diberikan pada si gadis. Tahu akan maksud Joko, Dewi Seribu Bunga segera menyambuti ikat kepala itu. Lalu diikatkan pada robekan kain di dadanya dan diikatkan ke belakang. Hingga sejenak kemudian gadis ini bebas gerakkan tangannya. Dia mengulangi pertanyaannya.
"Aku pergi ke mana aku suka, ke mana kaki mengajak. Kau sendiri hendak ke mana?!"
Mendengar pertanyaan Pendekar 131, Dewi Seribu Bunga berubah seakan terkejut. Memandang lekat-lekat pada pemuda di hadapannya dari bawah hingga atas. "Bagaimana aku harus menjawab? Apakah aku akan berterus terang tentang tujuan perjalananku ini? Padahal pedang itu telah berhasil didapatnya! Apakah aku harus merebut dari tangannya? Sedangkan dia baru saja menolongku? Kalau tidak karena pertolongannya, aku tak tahu apa yang akan menimpaku! Menuruti ucapan Guru, ingin rasanya aku merebut pedang itu. Tapi aku tak kuasa melakukannya..."
"Wajahmu berubah. Kau memikirkan sesuatu?"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepaianya sembunyikan perasaan bimbang. Antara menuruti ucapan gurunya yang harus mendapatkan pedang dengan segala cara dan kerahkan segenap tenaga atau menuruti kata hatinya yang tak kuasa melakukan terhadap orang yan g telah menolongnya. Lebih-lebih hati gadis ini sebenarnya mulai tertarik dengan pemuda di hadapannya!
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata. "Tak mau jika aku ikut ke mana kau pergi?!"
Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Dia tak menduga akan ucapan gadis di hadapannya. Hingga untuk sesaat lamanya dia tak menjawab. "Bagaimana ini?! Padahal aku akan menemui Guru. Apa nanti kata Guru jika aku menemuinya dengan membawa seorang gadis?"
"Bagaimana?! Apa kau merasa keberatan?!" Dewi Seribu Bunga ajukan lagi pertanyaan setelah Joko tidak memberikan jawaban.
"Sebenarnya terlalu sayang jika menolak tawaran seorang gadis cantik macam dia. Hem... Sementara aku akan mengajaknya, sambil cari jalan bagaimana sebaiknya..." Joko Sableng tersenyum lalu berkata. "Jika itu maumu, baiklah.”
Dewi Seribu Bunga tersenyum lebar. Joko mengangguk dengan sebelah mata dikedipkan lalu balikkan tubuh. Si gadis segera melangkah menjajari. Namun baru saja kedua muda-mudi ini hendak melangkah, terdengar makian keras.
"Anak Jahanam! Diberi tugas keluar dari kandang malah digunakan untuk bermain gila!"
BAB 7
JOKO dan Dewi Seribu Bunga tersentak kaget. Keduanya serentak palingkan kepala masing-masing ke samping kanan dari mana suara teguran datang. Di situ tampak tegak seorang kakek berparas bulat besar. Kulitnya tipis dan pucat. Berambut putih dikuncir ke belakang. Raut wajahnya hampir tak kelihatan karena ditutupi sebagian jambang, kumis, dan jenggotnya yang lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang berwarna kuning. Matanya hanya sebelah, sedangkah sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah kulit bundar yang diikat dengan tali kebelakang kepalanya.
Joko sempat tersekat melihat tampang angker si orang tua. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa yang di maki oleh kakek itu. Sebaliknya Dewi Seribu Bunga tampak tercengang hingga untuk sesaat dia pandangi kakek dihadapannya dengan mulut terkancing rapat.
"Dewi... Kau kenal dengan hantu ini?!" gumam Joko tanpa berpaling.
Tersadar oleh pertanyaan Joko, Dewi Seribu Bunga segera menghambur ke depan lalu membungkuk dalam-dalam di hadapan si kakek. "Guru..."
Mata kanan si kakek berompi kuning ini mendelik angker. Memandang lurus pada Dewi Seribu Bunga, lalu beralih pada Joko Sableng. Seteiah keluarkan dengusan beberapa kali, kakek yang bukan lain adalah Maut Mata Satu, guru Dewi Seribu Bunga keluarkan bentakan keras.
"Bagaimana tugasmu, Larasati?!"
"Guru. Murid minta maaf..." Dewi Seribu Bunga tidak dapat meneruskan ucapannya. Apa yang akan dikatakan serasa tersekat di tenggorokan.
"Larasati! Kenapa kau berhenti?! Ayo teruskan kata-katamu!" seraya berkata Maut Mata Satu terus memandang ke arah Joko tanpa berkedip.
Sementara Joko sendiri sepertinya acuh tak acuh, meski keterkejutan tak bisa lenyap dari parasnya. Namun diam-diam murid Pendeta Sinting ini kini mengetahui hubungan antara Dewi Seribu Bunga dengan kakek bermata satu itu.
"Gadis itu muridnya. Hem... Tugas apa yang dibebankan pada gadis itu? Kenapa dia tak menjawab pertanyaan gurunya? Kalau sampai salah ucap, mungkin aku dicurigai! Sialan benar! Perempuan ternyata bisa membuat masalah!"
Karena Dewi Seribu Bunga belum juga membuka mulut, Maut Mata Satu akhirnya berkata. "Kau tak berhasil dengan tugasmu. Benar?!"
Seribu Bunga an ggukkan kepalanya. Maut Mata Satu mendengus keras. "Seseorang mendahuluinya mendapatkannya. Begitu?!"
Untuk kedua kalinya Dewi Seribu Bunga gerakkan kepalanya mengangguk.
"Kau tahu siapa orangnya?!"
Dewi Seribu Bunga berlutut. Lalu tengadahkan kepalanya memandang pada sang guru. Wajah gadis ini jelas menunjukkan rasa khawatir. "Bagaimana harus mengatakannya bahwa pedang itu sebenarnya telah jatuh ke tangan Joko? Jika kukatakan terus terang, pasti Guru akan bertindak! Kalau tidak kukatakan, dia pasti akan marah besar... Ah!"
"Larasati. Baru beberapa hari kau merasakan dunia luar sikapmu telah berubah! Kau menyimpan sesuatu! Dan hem... Pakaianmu tak karuan. Apa yang telah kau lakukan dengan anak ingusan itu, nah?!"
"Guru... Guru jangan salah sangka. Justru kalau tidak karena pertolongannya, aku akan menemui ajal di tangan bangsat laki-laki itu!" Dewi Seribu Buga arahkan pandangannya pada mayat Resi Mahayana.
Maut Mata Satu mengikuti arah pandangan muridnya. Kulit bundar penutup mata kirinya bergerak-gerak mengikuti alis matanya yang terangkat naik. "Berkepala botak, mengenakan jubah biru, tubuh tinggi besar. Hem... Bukankah bangkai itu Resi Mahayana? Resi cabul doyan perempuan yang malang melintang memburu Pedang Tumpul 131?!"
Maut Mata Satu berpaling kembali ke arah Joko. "Larasati mengatakan ditolong oleh anak ingusan ini. Kalau Resi Mahayana dapat dibuat mayat, meski tampak ugal-ugalan, anak ini berarti mempunyai ilmu. Hem... Siapa dia sebenarnya?!"
"Larasati. Kau telah menyelidik. Kau telah tahu bahwa seseorang telah mendahului. Katakan siapa orangnya! Jangan berani berdusta kalau tidak ingin kulumat mulutmu!"
Tubuh Dewi Seribu Bun ga bergetar ketakutan. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang pada gurunya, membuat Maut Mata Satu naik pitam. "Ternyata dugaanku keliru, Larasati. Kau belum matang. Keadaan telah membuatmu berubah. Lingkungan telah menjadikanmu lain. Hingga kau berani menyembunyikan sesuatu padaku. Tahu begini jadinya, aku akan bertindak sendiri!"
"Orang Tua! Jangan..."
"Diam kau! Jangan berani ikut campur urusanku. Nanti tiba giiiranmu untuk menjawab pertanyaanku!" tukas Maut Mata Satu memotong ucapan Joko Sableng, membuat murid Pendeta Sinting ini geleng-gelengkan kepala seraya mengangkat bahu.
"Bagaimana? Kau masih tak mau mengatakan siapa orangnya?!"
"Gila! Apa sih yang dibicarakan mereka ini?! Dan kenapa Dewi tak mau mengatakan orang yang ditanyakan gurun ya?!" Pendekar Pedang Tumpul 131 coba menduga-duga, namun tak menemukan jawaban.
"Guru. Kalau seseorang telah mendahului dan mendapatkan, kukira aku memang tak berjodoh!"
"Haram jadah! Kau rupanya telah pandai pula menggurui gurumu! Larasati... Kalau kau tetap membisu, berarti kau memilih mati!" habis berkata begitu Maut Mata Satu maju mendekat.
Melihat gurunya mendekat, buru-buru Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya dan berkata pelan. "Guru... Aku akan mengatakan siapa orangnya, tapi kumohon Guru tidak akan bertindak terhadapnya... Aku berhutang budi padanya!"
Maut Mata Satu kernyitkan kening. "Anak ini benar-benar berubah. Apa yang membuatnya berubah demikian cepat? Seakan-akan dia melindungi orang itu melebihi nyawanya sendiri. Aneh..."
"Larasati. Kau tak usah banyak permintaan. Katakan cepat!"
Sejenak gadis ini melirik pada gurunya. Mulutnya bergetar tatkala dia berkata. "Pemuda itulah orangnya!"
Saking kagetnya, jenggot dan kumis Maut Mata Satu sampai bergerak-gerak. Satu-satunya mata yang dimiliki mendelik besar memandang pada Joko. Murid Pendeta Sinting sendiri bukan main terkejutnya. Dia sekarang tahu apa yang sejak tadi menjadi perdebatan antara murid dengan gurunya ini.
"Tak salah lagi. Pasti yang mereka percakapkan adalah Pedang Tumpui 131. Hem... Aku harus mempertahankannya kalau orang tua ini bertingkah macam-macami" kata Joko dalam hati. Tangan kanannya segera bergerak meraba pinggangn ya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
Tiba-tiba Maut Mata Satu melompat ke depan. "Jangan berdusta padaku. Katakan siapa dirimu dan apakah benar kau telah mendapatkan Pedang Tumpui 131!"
"Guru..." seru Dewi Seribu Bunga seraya balikkan tubuh dan memandang berganti-ganti pada Joko dan gurunya.
"Larasati! Kalau mulutmu tak bisa diam, jangan menyesal jika kurobek-robek!" bentak Maut Mata Satu tanpa berpaling.
Merasa tak ada gunanya lagi berkelit, akhirnya Pendekar Pedang Tumpui 131 berkata. "Orang Tua. Namaku Joko Sableng. Aku memang telah mendapatkan Pedang Tumpui 131..."
"Bagus! Aku tak akan ban yak bicara lagi. Serahkan pedang itu padaku!"
"Sayang. Kalau itu yang kau minta, aku tak dapat memenuhinya!"
"Anak Muda. Kuingatkan padamu, hari-hari selanjutnya masih sangat panjang dibanding dengan hari-hari yang telah kau lewati. Kenikmatan tentunya masih sedikit yang kau enyam. Masih banyak kesenangan yang belum sempat kau nikmati. Dan kau tak akan merasakan kenikmatan itu kalau tak menyerahkan pedang itu!"
"Heh. Apa hubungannya antara pedang dan kenimatan?!"
"Kau akan menemui ajal dahulu sebelum merasakan kenikmatan jika tak memberikan pedang itu pada ku!"
"Hem... Begitu? Bagaimana kalau aku tak menginginkan kenikmatan itu?!"
Maut Mata Satu terdiam beberapa lama sebelum akhirnya berkata kembali. "Kalau kau memang tak menginginkan, akan kuantar kau secepatnya!"
"Guru..." teriak Dewi Seribu Bunga sambil melompat menghalang-halangi gurunya. "Dia telah menolong menyelamatkan jiwaku. Kuharap kau mengerti..."
"Plaaakkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi Dewi Seribu Bunga, membuat gadis itu terhuyung-huyung seraya memegangi pipinya yang telah berubah menjadi merah.
"Sekali lagi kau berani bicara, aku pun tak segan membuatmu menjadi mayat. Kau dengar?"
Dewi Seribu Bunga tak menyahut. Dia memandangi gurunya dengan pandangan tak percaya. Dia tadinya mengira Maut Mata Satu tidak akan bertindak meminta pedang itu mengingat dia diselamatkan oleh Joko Sableng. Namun dugaannya ternyata meleset. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. Gadis ini menjadi serba salah. satu pihak harus berhadapan dengan gurunya, ya bagaimanapun jahatnya, telah menurunkan ilmu dan mendidiknya selama bertahun-tahun. Di pihak lain, dia mengkhawatirkan Joko. Karena meski dia telah tahu ilmu yang dimiliki Joko, namun dia masih ragu jika bentrok dengan gurunya.
Ditunggu agak lama Pendekar 131 tak juga memberikan apa yang diminta, Maut Mata Satu habis kesabaran. "Anak tak tahu diuntung. Kau akan merasakan akibat ulahmu!" Maut Mata Satu maju satu langkah. Kedua tangannya disentakkan.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua sinar membersit keluar dari kedua tangannya. Di tengah jalan sinar itu pecah lalu muncrat menjadi puluhan bunga-bunga api yang membawa hawa panas dan keluarkan suara menggemuruh! Di lain kejap angin deras menyusuli.
Mendapati serangan ganas, Pendekar Pedang Tumpul 131 tak berani berlaku ayal. Murid Pendeta Sinting ini cepat pula dorong kedua tangannya. Seberkas sinar kuning keperakan menyambar keluar. Pada saat yang sama suasana di tempat itu berubah menjadi semburat warna kuning dan panas.
Bunga- bunga api langsung meletup dan padam begitu terhajar oleh pukulan Joko. Namun murid Pendeta Sinting Ini terkesiap tatkala tiba-tiba di depannya menghampar angin deras laksana gelombang. Tubuhnya terasa kesemutan, dadanya sesak. Di lain saat, sosoknya telah mencelat mental ke belakang lalu terjerembab di tanah. Mungkin karena derasnya, tanah di mana dia terjerembab kontan membentuk kubangan menganga!
Di seberang, Maut Mata Satu hanya terjajar beberapa langkah ke belakang. Namun laki-iaki berusia lanjut ini langsung berubah parasnya. Dia merasakan sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang bara api. Dada berdebar keras. Sebelum kedua kakinya goyah, tokoh rimba persilatan yang sangat ditakuti ini segera kerahkan tenaga dalamnya hingga huyun gan tubuhnya terhenti.
"Pukulan 'Lembur Kuning'! Apa hubungannya anak ini dengan keparat Pendata Sinting?!" gumam Maut Mata Satu seraya usap-usap dadanya. Lalu melangkah ke arah Joko dengan senyum seringai.
Yang paling cemas melihat keadaan Joko Sableng adalah Dewi Seribu Bunga. Wajah gadis ini tampak pucat. Mulutnya membuka hendak memperingati Joko agar melarikan diri menghindar. Namun tiada suara yang terdengar dari mulutnya.
"Kalau kau menuruti kata-kataku, tak akan mengalami kematian semasa masih muda!" ujar Maut Mata Satu seraya terus melangkah dan memandang tajam pada Joko yang berusaha bangkit.
Mendadak Maut Matu Satu hentikan langkahnya dan serta-merta berseru geram tatkala dilihatnya kedua tangan Pendekar 131 telah berubah menjadi kuning keperakan. Dia maklum jika lawan akan segera lepaskan pukulan. Belum lenyap gema seruan Maut Mata Satu, hawa panas dan hamparan warna kuning telah melingkupi tempat itu. Bersamaan dengan itu, dua berkas sinar kuning bercahaya melesat deras ke arahnya! Seraya melompat mundur, Maut Mata Satu hantamkan kedua tangannya kembali.
"Wuuuttt!" Gelombang sinar hitam menderu dahsyat. Tanah dan pohon serta semak belukar di sekitar tempat itu bergetar sebagian langsung tumbang mengeluarkan suara berdebam. Daun dan tanah berhamburan menutupi pemandangan. Sekejap kemudian terdengar ledakan keras tatkala dua pukulan mengandung tenaga dalam itu bersatu di udara.
Saat keadaan telah sirap, Maut Mata Satu telah terduduk dua tombak dari tempatnya semula. Pakaian yang dikenakan telah hangus dan dari julaian jenggotnya yang lebat tampak menetes darah, pertanda dari mulutnya yang tertutup kumis telah mengeluarkan darah. Tampang kakek ini pias laksana tak dialiri darah sama sekali. Dan mata satu-satunya membeliak tatkala dia dapatkan kedua tangannya melepuh merah dan panas bukan alang kepalang.
Murid Pendeta Sinting terlihat terkapar sepuluh tombak di seberang. Diam tak bergerak-gerak. Hanya deburan dadanya tampak turun naik dengan mulut keluarkan erangan pelan. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. Melihat Pendekar Pedang Tumpui 131 roboh tak bergerak, Dewi Seribu Bunga yang tadinya menjauh untuk menghindar dari sapuan pukulan yang sedang bentrok segera menghambur ke depan. Tapi langkahnya tertahan ketika bayangan Maut Mata Satu telah terlebih dahulu berkelebat dan berdiri empat langkah di depan Joko.
Pendekar Pedang Tumpul 131 cepat beringsut menggeser tubuhnya ke atas lalu bergerak duduk. Tangan kanannya meraba pinggang di mana Pedang Tumpul 131 tersimpan. "Terpaksa aku menggunakannya. Kalau tidak nyawaku mun gkin tak akan selamat..." Joko segera cabut pedang dari sarungnya di balik pakaiannya. Seberkas sinar kuning segera memancar.
Maut Mata Satu mendelik tak berkedip. Kumisnya bergerak-gerak. "Itu pedang yang kuimpikan!" hardik Maut Mata Satu. "Lekas serahkan pedang itu!"
Joko Sableng menatapnya dingin. Tangannya bergerak mengangkat pedang tinggi-tinggi. Sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang.
Melihat hal demikian, Maut Mata Satu tertawa pajang. "Wajahmu berubah. Tanganmu bergetar. Aku tak bisa kau bodohi. Sebenarnya kau sudah tak bisa kerahkan tenaga dalam!"
Pendekar Pedang Tumpul 131 merinding sendiri karena lawan telah tahu keadaannya. Murid Pendeta Sinting ini mengangkat tangan dan menarik tangan satunya ke belakang untuk menunjukkan bahwa dirinya masih sanggup melepaskan pukulan, padahal dia menutupi keadaannya yang sebenarnya. Dan dia jadi melengak ketika kakek dihadapannya telah mengetahui tipu muslihatnya.
"Sialan! Dia tak dapat dikelabui!" rutuknya seraya tersenyum kecut.
Maut Mata Satu mendengus. Meski dia tahu bahwa lawan belum bisa kerahkan tenaga dalamnya secara penuh karena telah terluka dalam, namun dia tak berani bertindak ceroboh. Pedang di tangan kanan lawan masih merupakan ancaman yang tidak main-main. Hingga dia tak segera maju untuk merebut pedang yang telah sekian puluh tahun diimpi-impikannya. Sebaliknya disurutkan kaki satu tindak dengan kedua tangan saling digosokkan.
"Baik. Rupanya kau minta aku mengambil pedang dan tubuhmu yang telah jadi bangkai!" Habis berkata begitu, laki-laki bermata satu ini angkat kedua tangannya.
Di hadapannya Joko memperhatikan dengan kuduk berdiri. Keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. "Celaka! Apa riwayatku hanya sampai di sini?!"
Maut Mata Satu membentak dengan sentakkan kedua tangannya. Namun bersamaan dengan itu gelombang angin dahsyat datang menderu dari arah samping dan mengarah pada Maut Mata Satu, membuatnya melompat mundur selamatkan diri lalu bergerak ke samping seraya berseru kaget.
Gelombang sinar hitam yang melesat keluar dari kedua tangan Maut Mata Satu terus melarik ke depan dengan dahsyatnya. Namun karena tubuhnya bergerak mundur ke samping, pukulan yang dilepaskan untuk menghajar Pendekar Pedang Tumpul 131 menyamping tak mengenai sasaran!
"Keparat jahanam! Siapa main gila ini, hah?!" teriak Maut Mata Satu dengan dagu terangkat dan mata mendelik merah.
Belum lenyap teriakan Maut Mata Satu, terdengar suara tawa mengekeh panjang. Di lain kejap, sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak menghalang-halangi antara Maut Mata Satu dan Joko Sableng!
BAB 8
MATA satu-satunya milik Maut Mata Satu bergerak liar memandang beringas pada sosok hadapannya. Sosok ini adalah seorang perempuan. Meski tidak muda, namun paras wajahnya cantik jelita. Rambutnya panjang dengan bulu mata lentik. Sepasang matanya bagus dan bibir merah menyala. Dia mengenakan pakaian ketat warna biru yan g bagian dadanya dibuat rendah hingga payudaranya setengah menyembul. Putih membusung dan kencang menantang.
Tiba-tiba Maut Mata Satu berseru lantang. "Ratu Pemikat! Kau rupanya. Hem... Kita memang sahabat lama, namun untuk urusan ini kuperingatkan agar kau tak ikut campur tangan! Lebih dari itu kau harus segera tinggalkan tempat ini!"
Si perempuan berwajah cantik dan bukan lain memang Ratu Pemikat adanya keluarkan tawa panjang. "Meski kita sudah lama tak jumpa nyatanya kau masih bisa mengenaliku, Maut Mata Satu! Tapi aku sedih mendengar ucapanmu tadi."
"Sedih? Apa maksudmu...?!"
"Aku sedih karena tak dapat memenuhi apa yang kau minta! Aku punya kepentingan di sini!" habis berkata begitu, perempuan ini berpaling pada Joko yang ada di belakangnya. Sepasang mata bulat perempuan membesar dengan senyum menyungging. Namun dadanya berdebar keras. Bukan karena melihat pada Joko, melainkan pada tangan kanan Joko yang masih memegang Pedang Tumpul 131. Sesaat kemudian, matanya memperhatikan Joko dari rambut sampai kaki.
"Seorang pemuda berparas tampan. Tubuh tegap. Rambut gondrong sedikit acak-acakan. Hem... Sesuai dengan keterangan Bayangan Setan. Dan pedang itu memang berada di tangannya. Aku harus dapat merebutnya walau harus bertarung dulu dengan Maut Mata Satu. Aku yakin, si mata satu itu pasti tak akan tinggal diam!"
Murid Pendeta Sinting yang semula merasa gembira karena muncul orang yang menyelamatkan jiwanya tiba-tiba tersirap dengan dahi berkerut ketika Ratu Pemikat berpaling padanya. "Heran..." gumam Joko Sableng dalam hati. "Rasa-rasanya aku pernah melihat perempuan ini. Tapi di mana...?" Joko memperhatikan lebih seksama. "Benar. Aku pernah melihatnya. Sayang aku tak dapat mengingatnya di mana dan kapan! Hem... Parasnya cantik, tubuhnya bagus, dan dadanya..."
Di seberang, Dewi Seribu Bunga diam-diam juga bersyukur karena Joko telah diselamatkan seseorang. Namun kelegaan dada gadis ini hanya sesaat. Ketika dilihatnya sang penolong berbalik dan memandang Pendekar Pedang Tumpul 131 dengan pandangan aneh, sementara Joko sendiri balas memandang, dada gadis ini berdebar-debar. Dia sendiri tak tahu, kenapa hal itu terjadi. Yang pasti dia tak senang dengan pandangan si perempuan berparas cantik pada Joko!
"Ratu Pemikat!" Maut Mata Satu berkata. "Kau berkata punya kepentingan. Kepentingan apa?!"
"Selama dunia masih terkembang. Selama rimba persilatan masih riuh rendah. Hanya orang tak waras jika tak menginginkan senjata pada pemuda itu!"
Maut Mata Satu tidak terkejut mendengar ucap Ratu Pemikat. Karena ia sebelumnya telah menduga apa kepentingan sebenarnya perempuan berdandan seronok ini. Namun lain halnya dengan Dewi Seribu Bunga lebih-lebih Joko Sableng. Malah karena terkejutnya, Pendekar Pedang Tumpul 131 semakin kencang memegang gagang pedang dan buru-buru masukkan pedang ke sarungnya di balik pakaian. Lalu perlahan-lahan coba kerahkan tenaga dalamnya.
"Sial benar nasibku hari ini. Yang satu belum selesai, satu lagi telah menyusul"
Lain yang dibatin murid Pendeta Sinting, lain yang dibatin murid Maut Mata Satu. "Kalau perempuan itu sampai berulah macam-macam terhadap Joko, aku tak akan tinggal diam!"
Di hadapan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu keluarkan dengusan keras. Lalu berucap dingin. "Dulu kita bersahabat. Kita sama-sama satu golongan. Apakah hal itu akan rusak gara-gara perkara ini?! Harap kau berpikir dua kali. Juga perlu kau pertimbangkan, siapa yang akan kau hadapi!"
Ratu Pemikat keluarkan tawa mengekeh hingga dadanya bergerak turun naik. Kepalanya lalu tengadah. Dari mulutnya terdengar ucapannya. "Maut Mata Satu. Sahabat memang perlu. Tapi tujuan adalah segala-galanya! Kalau perlu, demi tujuan sahabat harus disingkirkan!" Ratu Pemikat lurus kepalanya ke arah Maut Mata Satu. "Aku tahu siapa yang akan kuhadapi. Kau tak usah memberi pertimbangan!"
"Begitu? Berarti kau ingin mati di tanganku!" bentak Maut Mata Satu seraya melompat ke depan. Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan sementara kedua tangannya disentakkan ke bawah.
Ratu Pemikat cepat angkat kedua tangannya menyilang di depan dada. Menyangka lawan akan menghajar dengan tangan, perempuan ini pun rundukkan sedikit kepalanya. Namun dugaan Ratu Pemikat meleset.
Maut Mata satu tiba-tiba putar tubuhnya. Karena waktu doyongkan tubuh ke depan tadi kedua tangannya menyentak ke bawah, membuat kakinya amblas masuk sebatas mata kaki ke dalam tanah. Mendadak, kaki kanannya diangkat dan ketika tubuhnya berbalik menghadap Ratu Pemikat, kaki kanannya telah menggebrak ke depan!
Ratu Pemikat terperangah. Dia hanya dapat merasakan deruan angin keras. Lalu melihat tendangan kaki Maut Mata Satu telah berada di depan matanya!Perempuan ini cepat sentakkan kedua tangannya sekaligus ke bawah menghadang tendangan lawan yang sengaja diarahkan ke selangkangannya! Namun ternyata tendangan kaki itu lebih cepat datangnya.
Brettt! Bukkk!
Ratu Pemikat terpekik keras. Sosoknya terjajar sampai lima langkah ke belakang. Untung perempuan ini masih sempat sorongkan tubuhnya ke samping saat tendangan menghajar, hingga tendangan itu hanya menghantam pahanya. Kain bagian pahanya langsung robek dan kulit paha di baliknya membiru. Perempuan cantik ini merasakan pahanya seakan patah. Dalam keadaan marah besar, Ratu Pemikat cepat melesat ke depan. Kedua tangannya dihantamkan sekaligus ke arah kepala Maut Mata Satu.
Wuuuttt!
Maut Mata Satu angkat pula kedua tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu di udara. Dua seruan tertahan segera terdengar. Ratu Pemikat cepat surutkan langkah satu tindak. Lalu secepat kilat kaki kiri diangkat dan dilesatkan ke arah dada Maut Mata Satu. Maut Mata Satu kaget. Dia berusaha mundur, namun lesatan kaki telah menghantam lebih dulu.
"Bukkk!" Laki-laki bermata satu itu terseret hingga satu tombak ke belakang. Parasnya yan g pucat makin pucar. Dari hidungnya terdengar dengusan keras. Mata memandang berkilat-kilat pada Ratu Pemikat.
"Kita sudahi masalah ini sampai ada di antara kita yang menemui ajal!" ujarnya dengan suara keras. Kedua tangannya lantas diangkat sejajar dada. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah Ratu Pemikat
Wuuuttt! Wuuuttt!
Tangan kiri mengeluarkan sinar hitam, sedang tangan kanannya membersitkan sinar berwarna-warni. Laki-laki bermata satu ini telah lepaskan dua pukul sakti sekaligus. Tangan kiri yang mengeluarkan sinar hitam lepaskan pukulan 'Gelombang Kematian' sedangkan tangan kanan lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'. Hingga saat itu juga gelombang hitam yang membawa angin dahsyat segera menderu, disusul kemudian dengan pecahnya sinar warna-warni yang memuncratkan puluhan bunga-bun ga api yang menghamparkan hawa panas!
Ratu Pemikat yang sudah lama bersahabat dengan Maut Mata Satu telah tahu bagaimana kehebatan dua pukulan sakti itu. Maka perempuan sakti ini tak berani main-main. Dia cepat pula hantamkan kedua tangannya. Dari kedua tangannya langsung mengembang sinar terang biru dan serentak menyungkup tempat itu! Ratu cantik ini telah lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit'.
"Bummm! Bummm!" Terdengar ledakan dahsyat dua kali mengguncang tempat itu. Disusul dengan beberapa letupan dari bunga-bunga api yang ambyar dan padam.
Joko Sableng yang berada tak jauh dari situ tersapu mental dan terguling sampai beberapa tombak jauhnya. Dadanya terasa sesak dan sulit digunakan untuk bernapas hingga untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting ini buka mulutnya lebar-lebar!
Dewi Seribu Bunga sendiri terdorong hingga beberapa langkah ke belakang. Tapi karena tempatnya berdiri agak jauh membuat gadis Ini tidak mengalami cidera parah. Hingga dia cepat memperhatikan ke arah Joko yang sedang terkapar dengan mulut menganga tan pa ada suara yang keluar. Sejak tadi, murid Maut Mata Satu ini tak mau lepaskan perhatiannya pada murid Pendeta Sinting. Dia khawatir, karena dia tahu jika Pendekar Pedang Tumpul 131 telah terluka akibat bentrokan dengan gurunya.
Mungkin tak dapat menguasai rasa khawatirnya, Dewi Seribu Bunga beranjak melangkah ke arah di mana Joko Sableng terkapar. N amun baru empat langkah, Joko telah bergerak bangkit. Begitu pemuda ini melihat Dewi Seribu Bunga hendak mendekat ke arahnya, dia memberi isyarat dengan gelengan kepalanya, membuat Dewi Seribu Bunga hentikan langkah dan memandang dengan dahi mengernyit.
Setelah memperhatikan Pendekar 131 sejurus, gadis ini menghela napas dalam, lalu melangkah lagi ke tempatnya semula dengan dada dipenuhi beberapa perasaan. Di bagian lain, Ratu Pemikat tampak berlutut dengan dada bergetar dan mulut keluarkan darah. Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan dan sebagian mengelinting seperti rambut terbakar. Wajahnya pucat pasi dengan mata setengah terpejam menahan rasa sakit.
Jauh di depan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu duduk bersandar pada sebatang pohon kecil, hingga pohon itu doyong ke belakang. Kumis dan jenggot laki-laki itu telah berwarna kemerahan karena terkena darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.
Beberapa saat berlalu. Masing-masing orang tempat itu coba mengatasi diri masing-masing dari luka dalam yang mendera. Orang pertama yang mengadakan gerakan adalah Ratu Pemikat. Kepala perempua ini sejenak terlihat bergoyang-goyang. Lalu sepasang matanya melirik ke tempat di mana Pendekar Pedang Tumpul 131 berada. Lalu memandang ke depan, arah Maut Mata Satu yang masih nampak memejamkan mata pulihkan tenaga dalam.
"Hem... Kesempatan ini tak akan kusia-siakan. Mumpung keparat itu masih tenggelam..." berpikir begitu, perempuan cantik bertubuh sintal ini arahkan pandangannya kembali pada Joko. Mendadak dia hentikan sepasang bahunya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Joko yang sedang mengerahkan tenaga dalamnya.
Tanpa keluarkan suara sedikit pun, Ratu Pemikat langsung hantamkan kakinya ke arah lambung Pendekar 131. Dewi Seribu Bunga terkesiap kaget. Karena dia berada agak jauh, maka jika lepaskan pukulan pun tak ada artinya, sebab kaki Ratu Pemikat telah bergerak menendang. Bahkan kalau Ratu Pemikat sempat bisa meloloskan diri dari pukulannya, pukulan itu bukan tak mungkin akan melesat ke arah Joko Sableng. Hingga satu-satunya jalan yang bisa dilakukannya adalah berseru memperingatkan Joko.
Di lain pihak, bersamaan dengan melesatnya tendangan Ratu Pemikat, satu-satunya mata milik Maut Mata Satu membuka. Dan begitu melihat apa yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, laki-iaki bermata satu ini cepat bangkit lalu hantamkan kedua tangannya.
"Jahanam! Jangan mimpi bisa mendahuluiku, Perempuan Sundal!" maki Maut Mata Satu.
Ratu Pemikat mendengar makian Maut Mata Satu, namun perempuan ini tak menghiraukan. Tendangan terus dilakukan. Namun sebelum kedua tangan Maut Mata Satu menghantam, dan sebelum Dewi Seribu Bunga berteriak memperingatkan, mendadak di tempat itu terdengar suara tawa panjang yang kemudian diputus mendadak laksana direnggutkan.
Semua orang di tempat itu jadi terkesiap. Pendekar 131 buka kelopak matanya. Pemuda murid Pendeta Sinting ini tersirap darah nya melihat tendangan telah melesat di depannya. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. N amun bersamaan dengan terhentinya suara tawa. tendangan kaki Ratu Pemikat laksana ditahan!
Ratu Pemikat tersentak. Sebelum perempuan ini mengetahui apa yang menahan gerakannya, tubuhnya tiba-tiba laksana dihempos gelombang angin dahsyat. Meski dia lipat gandakan tenaga dalamnya namun sia-sia. Malah hempasan gelombang itu makin deras, hingga tak lama kemudian tubuhnya mental ke belakang sampai dua tombak!
Pada saat bersamaan, terdengar orang berucap. "Manusia hidup punya tujuan dan langkah. Siapa salah melangkah dan salah menuju hidupnya akan sia-sia. Manusia dicipta dengan takdir sendiri-sendiri. Siapa mengingkari takdirnya apalagi meminta sesuatu yang ditakdirkan pada orang lain, bukan saja akan sengsara tapi akan merana sepanjang hidupnya. Jangan salah melangkah, jangan keliru menuju. Lebih-lebih jangan meminta yang tidak ditakdirkan. Hidup akan tenang. Dunia akan damai..."
Maut Mata Satu, Dewi Seribu Bunga, Pendekar Pedang Tumpul 131, lebih-lebih Ratu Pemikat serentak palingkan kepala masing-masing ke arah datangnya suara. Dari tempat masing-masing mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut sedang duduk bersila tanah. Mengenakan pakaian jubah tanpa leher warna kuning. Rambutnya yang putih dan panjang dikelabang serta dikalungkan di lehernya. Raut wajahnya bulat dengan alis mata saling bertaut. Bibirnya selalu bergerak gerak mengucapkan sesuatu. Sementara kedua telapak tangannya saling ditakupkan dan tegakkan di bawah dagu, membuat gerakan seperti orang menyembah.
BAB 9
MATA masing-masing orang di tempat itu membelalak lebar-lebar. Memperhatikan dan mengawasi segala gerak-gerik kakek mirip seorang biksu itu. Tiba-tiba sepasang kaki Ratu Pemikat tersurut satu tindak. Matanya menyipit lalu melebar, alis matanya naik sesaat.
"Manusia Dewa...! Tokoh Budha yang terjun dalam rimba persilatan dan memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Kudengar dia telah lama tak muncul lagi, malah ada yang memberitakan bahwa dia telah undur diri. Apa karena santernya berita tentang pedang pusaka itu yang membuatnya muncul lagi? Atau ada hal lain...?! Hem... Yang pasti, dengan kemunculannya di sini dan mendengar ucapannya, maka urusan di sini akan jadi panjang?!" membatin Ratu Pemikat mengenali siapa adanya kakek yang duduk bersila.
Tak beda dengan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu pun diam-diam berkata dalam hati begitu mengenali siapa adanya si kakek. "Manusia Dewa! Sulit dipercaya jika manusia ini muncul lagi. Terakhir kali aku bertemu dengannya kira-kira dua puluh lima tahun silam. Urusan ini tak akan selesai jika dia turut campur. Jahanam betul! Keadaanku tidak lagi memungkinkan jika harus bentrok dengannya!"
Sementara Joko dan Dewi Seribu Bunga hanya bengong karena keduanya tidak mengenali siapa adanya sang kakek. Namun Joko Sableng sedikit banyak bisa menduga siapa adanya orang dari kata-kata yang diucapkannya. Malah dengan begitu mudahnya membuat Ratu Pemikat terlempar jauh padahal si kakek berada jauh dari tempatnya, murid Pendeta Sinting yakin jika kakek itu berkepandaian sangat tinggi sekali.
"Kek..!" kata Joko seraya menjura dalam-dalam. "Terima kasih atas pertolonganmu..."
Kakek mirip biksu yang tidak lain adalah tokoh rimba persilatan berkepandaian amat tinggi dari kalangan Budha yang beberapa puluh tahun lalu sempat menggegerkan kancah rimba persilatan karena peranannya yang ikut serta membasmi kejahatan, anggukkan kepalanya. Melihat sikap bersahabat dari kakek yang digelari kalangan rimba persilatan dengan julukan Manusia Dewa, Joko bergerak melangkah mendekat. Namun lankahnya tertahan tatkala terdengar bentakan.
"Tetap di tempatmu! Sekali melangkah putus nyawamu!" yang keluarkan bentakan adalah Maut Mata Satu. Habis membentak, laki-laki mata satu ini hadapkan mukanya pada Manusia Dewa. "Manusia Dewa! Harap kau tak melibatkan diri dengan turut campur urusan ini!"
"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" Ratu Pemikat menimpali.
Manusia Dewa yang selalu dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi juga dikenal sebagai tokoh yang aneh ini keluarkan tawa ngakak, membuat semua mata di situ terbeliak, karena meski suara tawanya keras menyakitkan gendang telinga, namun mulutnya hanya terbuka sedikit! Begitu suara tawanya berhenti, dia berkata. Kedua tangannya terus menakup di bawah dagu.
"Manusia dicipta untuk menjadi pimpinan di bumi. untuk mengelola bumi. Manusia berhak mendiami bumi di mana dia suka. Tak seorang pun mempunyai kuasa untuk memerintah orang lain meninggalkan bumi yang disukai. Tahan mulut Tahan kemarahan. Di situ akan ditemukan keselamatan!"
"Jahanam! Katakan saja apa maumu sebenarnya, Manusia Dewa!" hardik Maut Mata Satu.
Manusia Dewa palingkan wajahnya pada Maut Mata Satu. Bibirnya yang selalu bergerak-gerak terhenti. Kepalanya menggeleng perlahan. "Kata-kata bukan hal yang sebenarnya, Maut Mata Satu! Seringkali kata-kata adalah kebalikan apa yang di hati. Jangan pandang manusia dari kata-katanya. Hati adalah cermin. Dari situlah manusia diukur!"
"Keparat! Kuperingatkan sekali lagi, Manusia Dewa! Kau tinggalkan tempat ini atau menemui ajal ditempat ini!" bentak Maut Mata Satu marah.
"Manusia tidak dapat menentukan di tempat mana dia mati."
Maut Mata Satu habis kesabaran. Namun diam-diam laki-laki ini sebenarnya merasa kecut, karena dia terluka dalam sedangkan Manusia Dewa bukanlah tokoh sembarangan. Dia sadar, dalam keadaan tidak terluka saja dirinya bukan tandingan Manusia Dewa. Apa yang ada dalam benak Maut Mata Satu tampaknya bisa dibaca oleh Ratu Pemikat yang sebenarnya juga mempunyai perasaan yang sama.
Ratu Pemikat tiba-tiba berkelebat dan tegak lima langkah di samping Maut Mata Satu. "Kita punya tujuan sama. Tapi kita juga punya penghalang yang sama. Bagaimana kalau sementara ini kita singkirkan dulu penghalang itu?!" bisik Ratu Pemikat tanpa berpaling pada Maut Mata Satu.
"Hem... Ternyata dia keder juga menghadapi Manusia Dewa. Tapi tawarannya adalah jalan satu-satunya..." batin Maut Mata Satu. Lalu laki-laki bermata satu ini melirik pada Ratu Pemikat. "Kita dalam keadaan terluka. Manusia itu memang terlalu tangguh jika kita hadapi sendiri-sendiri. Aku setuju dengan usulmu!"
Belum usai ucapan Maut Mata Satu, Ratu Pemikat telah tarik kaki kirinya ke belakang. Tubuhnya dilorotkan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya dihatamkan ke arah Manusia Dewa.
Di sampingnya, melihat Ratu Pemikat telah lepaskan pukulan, Maut Mata Satu segera pula hantamkan kedua tangannya. Tempat itu mendadak berubah menjadi panas. Hamparan sinar biru pukulan sakti 'Hamparan Langit’ milik Ratu Pemikat bersatu dengan bunga-bunga api dan gelombang hitam pukulan sakti 'Api Seribu Bunga' dan 'Gelombang Kematian' milik Maut Mata Satu menderu dahsyat menuju Manusia Dewa!
Melihat ganasnya pukulan, Pendekar Pedang Tumpul 131 dan Dewi Seribu Bun ga cepat-cepat menjauh. Mereka telah merasakan bagaimana ganasnya tiga pukulan tadi saat bentrok di udara. Kini tiga pukulan sakti itu bersatu, mereka tak dapat membayangkan apa jadinya.
Di depan sana, melihat datangnya serangan yang begitu dahsyat, Manusia Dewa sesaat jadi terkesiap. Dan sadar akan dahsyatnya pukulan, kakek yang rambutnya dikelabang dan dikalungkan ke lehernya ini segera angkat kedua tangannya ke atas kepala. Kedua telapak tangannya yang saling menakup dibuka lalu didorong perlahan ke depan dengan telapak tangan masih berdekatan satu sama lain.
"Weeesss!" Dua gulungan cahaya melesat tanpa keluarkan suara. Namun bersamaan dengan itu angin dahsyat menghempas. Gulungan cahaya berputar-putar aneh makin lama makin besar.
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terpana seketika tatkala melihat bunga-bunga api serta sinar hitam dan hamparan sinar biru pukulan mereka terhenti di tengah jalan dan sesaat kemudian masuk dalam gulungan cahaya! Gulungan cahaya yang telah menggulung pukulan Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terus melesat ke atas. Kira-kira lima belas tombak di atas udara, gulungan cahaya itu meledak keluarkan suara menggelegar dahsyat!
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat sama-sama keluarkan pekikan tegang. Sosok keduanya mencelat melayang ke belakang sampai beberapa tombak lantas sama-sama terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan darah! Masing-masing orang merasakan dadanya laksana dibakar, aliran darah seakan tersumbat. Hingga otot-otot di sekujur tubuh keduanya bersembulan keluar membentuk guratan-guratan!
Di seberang, begitu ledakan terjadi, sosok Manusia Dewa terseret deras ke belakang. Namun tiba-tiba kakek ini membuat gerakan berputar. Sosoknya yang masih bersila melenting ke udara lalu perlahan-lahan turun di atas tanah dengan tangan menakup di bawah dagu dan tetap bersila! Tubuh kakek ini sesaat bergoyang-goyang keras dengan wajah pucat pasi. Namun sekejap kemudian goyangan tubuhnya berhenti. Kedua kelopak matanya membuka memandang pada Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat. Sejenak Manusia Dewa menghela napas dalam-dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan kanan.
"Manusia-manusia tak beruntung... ilmunya tinggi. Namun hawa nafsu yang mengendalikannya. Hem... Sayang sekali..." gumamnya seraya takupkan kembali tangan kanannya di bawah dagu. Matanya pun perlahan-lahan mengatup dengan mulut bergerak-gerak perdengarkan suara tak jelas. Sekali dia gerakkan bahunya, tubuhnya melesat ke belakang lalu lenyap!
Sesaat setelah suasana reda, Dewi Seribu Bunga yang sedari tadi terus mengkhawatirkan keadaan Joko sapukan pandangan berkeliling. Seketika gadis cantik ini terkejut. Joko tak ada lagi di tempat itu! Tak percaya dengan pandangan matanya, juga menduga Joko Sableng sembunyi di balik semak belukar di sekitar tempat itu, gadis ini segera berkelebat ke tempat di mana Pendekar Pedang Tumpul 131 tadi berada. Dan hingga matanya lelah mencari, ternyata yang dicari memang sudah tidak ada di tempat itu.
"Ke mana dia?" gumamnya seraya menarik napas panjang. Pandangannya lalu membentur pada sosok gurunya yang terkapar. Buru-buru gadis ini melangkah mendekat. "Guru..." desis Dewi Seribu Bunga sambil menolong gurunya bangkit.
Maut Mata Satu sejenak memandang muridnya. Lalu beralih ke arah Ratu Pemikat yang saat itu juga bergerak-gerak bangkit, saat dia berpaling kearah depan laki-laki bermata satu ini keluarkan dengusan keras. "Jahanam itu lenyap!"
Maut Mata Satu lalu sapukan pandangannya berkeliling. Rahangnya tiba-tiba terangkat membatu tatkala matanya tak mendapati Joko. "Keparat! Pemuda itu juga lenyap!" dia lalu menoleh pada Dewi Seribu Bunga yang ada di sampingnya. "Ke mana lenyapnya pemuda itu?!"
Dewi Seribu Bunga menggeleng. "Waktu terjadi bentrok pukulan aku menjauh. Begitu aku kembali, dia sudah tak ada lagi!"
"Keparat! ini gara-gara laki-laki tua jahanam itu!" maki Maut Mata Satu sambil hantamkan tangannya ke tanah saking marahnya. Tanah itu langsung melesak membentuk lubang. "Larasati! Kita tinggalkan tempat ini!" bentak Maut Mata Satu.
Mungkin karena belum hilang rasa jengkelnya pada sang murid hingga untuk beberapa saat dia pandangi muridnya dengan mata berkilat dan mulut berkomat-kamit. Dan tanpa memandang lagi pada Dewi Seribu Bunga, Maut Mata Satu melangkah meninggalkan tempat itu.
Dewi Seribu Bunga menghela napas dalam, pandangannya sekali lagi diputar, takut kalau-kalau Joko Sableng masih berada di tempat itu. Begitu merasa bahwa Joko telah tidak ada lagi di tempat itu, gadis ini berkelebat mengikuti gurunya.
Sesaat setelah Maut Mata Satu dan Dewi Seribu Bunga pergi. Ratu Pemikat bangkit. Dia terhenyak dengan sepasang mata serentak mendelik besar tatkala mengetahui tinggal dirinya sendiri di tempat itu. "Apa mungkin Maut Mata Satu berhasil merebut pedang itu Hem... Tak mungkin. Aku tak mendengar bentrok lagi. Jadi mereka pergi sendiri-sendiri..."
Sambil memutar kepalanya perempuan berwajah cantik ini keluarkan makian panjang pendek. "Aku harus mencari bantuan! Manusia Dewa harus mati di tanganku. Gara-gara laknat itu, urusan jadi berantakan begini rupa!" perempuan ini menghela napas dalam, lalu mengusap wajahnya yang keringatan. Tiba-tiba dia teringat pada Joko. Dahi perempuan mengernyit dengan kepala tengadah.
"Heran... Aku rasa-rasanya pernah jumpa dengan pemuda itu, setidak-tidaknya pernah melihatnya. Pedang Tumpul 131. Hem... Sebelum rahasia ini terbuka, orang yang dicari-cari yang diduga kuat menyimpan rahasia di mana tersimpan pedang itu adalah Bandung Bandawangsa tokoh bergelar Malaikat Lembah Hijau..." berpikir sampai di situ tiba-tiba perempuan' tersentak.
"Astaga! Tak salah lagi. Pemuda itu adalah anak kecil yang beberapa tahun lalu masuk jurang bersama Bandung Bandawangsa! Melihat bahwa dia telah berhasil mendapatkan senjata pusaka itu, dugaanku tak mungkin salah! Bandung Bandawangsa juga anak itu selamat. Lalu Bandung Bandawangsa memberikan petunjuk pada anak itu. Hem... Bandung Bandawangsa mungkin mengambil anak itu sebagai murid. Jika demikian, anak itu sekarang pasti sedang menuju ke tempat Bandung Bandawangsa di Lembah Hijau. Aku akan secepatnya menyusui ke sana..."
Sebelum bangkit, Ratu Pemikat teringat pada seseorang yang beberapa tahu silam mengejar Bandung Bandawangsa dengannya. "Hantu Makam Setan. Sejak peristiwa pengejaran itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan manusia menjijikkan itu. Tak ada salahnya aku meminta bantuan padanya..." gumam sang ratu seraya mengusap mulut dengan punggung tangannya.
"Dia pasti tak akan menolak permintaanku..."
Seperti dituturkan dalam episode Pesanggrahan Keramat, seorang tokoh bergelar Malaikat Lembah Hijau tiba-tiba diburu dan diintai oleh beberapa tokoh rimba persilatan, karena Malaikat Lembah Hijau diduga berat menyimpan petunjuk tentang beradanya pedang pusaka yang sejak lama diperebutkan.
Di antara para pemburu itu adalah Hantu Makam Setan serta Dewi Asmara. Kedua orang ini akhirnya dapat menemukan Malaikat Lembah Hijau. Namun Malaikat Lembah Hijau yang tak merasa memiliki petunjuk itu mengadakan perlawanan. Pada akhirnya Malaikat Lembah Hijau terluka parah. Dia meloloskan diri. Di tengah hutan dia tertolong oleh seorang anak laki-laki.
Saat anak laki-laki ini melakukan pertolongan, Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara datang. Untuk menyelamatkan nyawa si anak laki-laki, Malaikat Lembah Hijau akhirnya membawa serta anak itu. Setelah terjadi kejar-kejaran, pada akhirnya Bandung Bandawangsa alias Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk ke jurang.
Peristiwa itu telah delapan tahun berlalu, namun Ratu Pemikat masih mengingatnya, karena salah seorang dari pengejar yang menyebabkan Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk jurang adalah dirinya sendiri! Yakni Dewi Asmara. Setelah peristiwa itu, Dewi Asmara memang terus mengadakan penyelidikan. Karena cara yang digunakan Dewi Asmara dengan menggaet beberapa tokoh menggunakan kecantikan dan tubuh, lambat laun Dewi Asmara lebih dikenal orang dengan gelar Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perlahan-lahan bangkit. Kepalanya tengadah memandang ke sebelah barat. Terlihat cahaya kuning telah menyemaraki langit di belahan barat pertanda senja telah datang dan tak lama lagi malam akan menjelang.
"Tiga hari cukup untuk memulihkan tenaga sebelum menemui Hantu Makam Setan..." desisnya seraya meninggalkan tempat itu.
BAB 10
PENDEKAR 131 Joko Sableng tak mampu berlari kencang karena dadanya masih terasa sesak jika dibuat berlari akibat bentrok dengan Resi Mahayana dan Maut Mata Satu. Namun murid Pendeta Sinting ini sedikit merasa lega karena dirinya merasa berada pada suatu tempat yang aman, lebih dari itu dekat dengan tempat yang dituju, yakni jurang Tiatah Perak, tempat di mana Pendeta Sinting gurunya berada.
Pada hamparan ilalang dekat jurang Tiatah Perak, Joko hentikan larinya. Lalu melangkah pelan sambil mengurut dadanya yang sesak ke arah jajaran pohon rindang. Pantatnya segera dihenyakkan begitu sampai pada salah satu pohon. Bersandar punggung pada batang pohon dengan kaki diselonjorkan. Tiba-tiba Joko ingat sesuatu, ia meraba pinggangnya. Napasnya berhembus panjang ketika tangannya masih merasakan sembulan senjata di balik pakaiannya.
"Aku harus lebih berhati-hati. Siapa pun juga saat ini pasti menginginkan senjata ini..." ingat hal demikian, menjadikan murid Pendeta Sinting ini teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya. Mendadak dia melengak sendiri dengan tangan menepuk jidat.
"Aku ingat sekarang. Perempuan bergelar Ratu Pemikat itu... Ah, betul. Dia adalah perempuan yang beberapa tahun lalu mengejar Bandung Bandawangsa dan aku. Hingga aku dan Bandung Bandawangsa kecebur masuk ke dalam jurang!"
Ingat hal itu dada murid Pendeta Sinting ini berdebar keras. Sepasang matanya berkiiat-kiiat dengan wajah membesi menahan marah. Selagi Pendekar Pedang Tumpul 131 dilanda kemarahan begitu rupa, tiba-tiba ilalang di depan sana tampak bergoyang- goyang keras laksana dilanda angin kencang.
"Di sini tak ada angin, aneh jika ilalang itu bergoyang-goyang..." Merasa ada yang tak beres dan mencium gelagat tak enak, murid Pendeta Sinting sepat gulingkan tubuh lalu mendekam di balik pohon.
Apa yang di khawatirkan Joko Sableng tak lama kemudian jadi kenyataan. Begitu dia mendekam di balik pohon dan baru saja kepalanya diangkat sedikit memandang ke arah ilalang, dari arah belakang menderu angin kencang ke arahnya! Seraya memaki tak karuan, Joko cepat balikkan tubuh dan geser tubuhnya ke samping.
"Praaasss!" Tanah di samping Pendekar Pedang Tumpul 131 terbongkar muncrat membentuk lubang menganga! Pohon di mana dia bersembunyi bergoyan g keras terkena sambatan angin yang berhasil dielakkan Joko.
"Jahanam! Tunjukkan dirimu! Jangan main seperti pengecut!" teriak Joko Sableng seraya bangkit dan putar kepalanya dengan mata mendelik mencari-cari. Bukan terdengarnya suara atau munculnya seseorang yang menjawab teriakan marah Joko, sebaliknya gelombang angin lebih dahsyat menderu kembali ke arahnya! Membuat murid Pendeta Sinting ini makin geram.
Seraya berpaling ke arah dari mana datangnya gelombang angin, Joko cepat hantamkan kedua tangannya sambil melompat menghindari datangnya serangan. Rimbun dedaunan di depan sana terabas rata dan langsung berhamburan terkena hantaman kedua tangan Pendekar 131. Namun hingga hamburan dedaunan itu sirap, Joko Sabieng tak melihat adanya seseorang!
"Pengecut Jahanam! Kenapa kau masih sembunyi tak berani unjukkan diri?!" kembali Joko berteriak.
Belum lenyap gema teriakan Joko, dari arah depan membersit sinar kuning membawa hawa panas. Sekitar tempat itu mendadak berubah semburat warna kuning. Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak, dahinya berkerut. Namun dia tak dapat berpikir panjang karena sinar itu telah melesat dua tombak di depannya, membuat murid Pendeta Sinting ini mau tak mau harus menghadang serangan.
Kedua tangannya segera ditakupkan. Kedua tangan Joko serentak berubah menjadi laksana dilapis warna kuning keperakan. Pertanda murid Pendata Sinting ini telah kerahkan pukulan 'Lembur Kuning'. Pendekar Pedang Tumpul 131 tak menunggu lama, kedua tangannya segera saja didorong ke depan.
"Blaaammm!" Ledakan segera mengguncang tempat itu tatkala sinar kuning yang melesat dari dorongan tangan Joko menghajar sinar kuning yang datang.
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, ilalang di depan sana semburat berhamburan. Tanahnya beterbangan menutupi pemandangan. Tubuh Joko Sableng terhuyung-huyun g ke belakang sebelum akhirnya jatuh terduduk. Namun sekilas sepasang matanya menangkap berkelebatnya sesosok bayangan melayang turun dari pohon jauh di depan, di antara semburatan ilalang dan hamburan tanah.
Begitu suasana sirap, Joko melihat seorang kakek duduk bersila sepuluh langkah di depannya. Karena tipisnya kulit yang membungkus wajahnya, hingga kerutan wajahnya hanya merupakan garis samar-samar. Rambutnya putih dan dibiarkan menjulai menutupi hampir seluruh wajah dan lehernya. Orang tua ini mengenakan jubah besar bertambal-tambal dari beberapa kain berwarna-warni. Untuk beberapa lama Joko tercekat. Dan begitu sadar siapa adanya kakek dihadapannya, pemuda ini cepat membungkuk dalam-dalam seraya berseru.
"Guru...!"
Si orang tua komat-kamitkan mulutnya. Lalu mulutnya terbuka perdengarkan suara tawa bergelak. Karena tawa itu bukan tawa biasa, namun mengandung tenaga dalam tinggi, membuat Joko Sableng tekap kedua telinganya. Tatkala suara tawa sang orang tua yang bukan lain adalah Pendeta Sinting, tokoh sakti rimba persilatan yang berdiam di juran g Tiatah Perak berhenti, Joko kembali menjura.
"Guru. Maafkan ucapan ku yang tadi memakimu!"
Pendeta Sinting memandang sejurus pada Joko. "Sudah! Jangan banyak basa-basi! Aku sengaja menghadangmu di sini sekaligus untuk mengujimu. Tenaga dalammu masih harus terus kau latih. Demikian juga gerakanmu! Sekarang aku ingin tahu bagaimana dengan tugasmu!"
Joko Sableng kemudian menuturkan perjalanannya sejak keluar dari jurang Tiatah Perak hingga sampai mendapatkan Pedang Tumpul 131 dan sampai di tempat itu.
“Hem... Bagus! Coba perlihatkan pedang itu!” perintah Pendeta Sinting setelah mendengar cerita muridnya.
Joko keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik pakaiannya. Lalu dia bangkit dan melangkah mendekat. Pedang Tumpul 131 diberikan pada gurunya. Untuk beberapa saat lamanya Pendeta Sinting menimang-nimang pedang di tangannya. Pedang ditarik dari sarungnya, lalu diamati dengan seksama. Lalu memandang pada Joko dan berkata.
"Joko. Kau harus bersyukur, hanya karena kemurahan-Nya kau akhirnya berhasil mendapatkan pedang ini. Namun kau juga harus ingat, dengan keberhasilanmu mendapatkan senjata pusaka ini, beban di pundakmu makin berat! Selain mempertahankan senjata ini dari gerayangan tangan-tangan kotor, kau juga dituntut untuk dapat menggunakan senjata ini sebagaimana mestinya!"
Pendeta Sinting masukkan kembali Pedang Tumpul 131 dalam sarungnya lalu diberikan pada Joko yang segera menyimpannya lagi di balik pakaiannya.
"Hem... Mendengar ceritamu, rupanya makin banyak tokoh lama yang muncul kembali juga tokoh-tokoh yang belum kukenal..." Pendeta Sinting sejenak manggut-manggut, lalu teruskan ucapannya. "Melihat gelagatnya, aku menangkap adanya sesuatu di balik munculnya tokoh-tokoh itu..."
"Apa bukan karena mereka memperebutkan pedang ini, Guru?!" Joko coba menduga-duga.
"Kemungkinan itu bisa saja. Namun aku merasa ada sesuatu lain daripada sekadar memburu pedang itu. Munculnya Manusia Dewa menandakan hai itu! Manusia Dewa adalah seorang tokoh yang jarang sekali muncul. Kalau dia memang muncul, pertanda akan adanya sesuatu yang besar! Kau tahu, selain dikenal sebagai tokoh sakti berkepandaian tinggi, dia juga dikenal sebagai orang yang mampu melihat sesuatu yang kemungkinan besar bakal terjadi!"
"Maksudmu, dia seorang peramal?!"
"Bukan. Peramal adalah orang yang mereka-reka apa yang akan terjadi. Sedangkan Manusia Dewa tidak. Dia melihat apa yang bakal terjadi dengan tanda-tanda alam yang ada! Apa namanya aku tak tahu... Hanya saja, dengan kemunculannya pasti akan segera disusul dengan munculnya tokoh-tokoh sakti lainnya. Hm... Kegegeran apa lagi yang akan mengguncang rimba persilatan ini?" ujar Pendeta Sinting seraya menarik napas dalam tapi lantas dia tertawa mengekeh panjang, membuat Joko Sableng nyengir.
"Rimba persilatan memang dunia gila! Kegegeran satu belum selesai, kegegeran lebih besar sudah menghadangi. Hingga tak heran jika orang-orangnya banyak yang mirip seperti orang giia! Ha Ha Ha..." Pendeta Sinting kembali tertawa bergelak-gelak.
Namun tiba-tiba tawanya dipenggal. Kakek sakti dari jurang Tiatah Perak ini dongakkan kepala. Rambut yang menutupi telinganya bergerak-gerak pertanda telinga di baliknya mempertajam pendengaran. Tiba-tiba kepalanya berpaling ke arah utara.
"Ada seseorang menuju tempat ini..." desisnya seraya kerutkan dahi.
Joko jadi ikut-ikutan berpaling ke arah mana sang guru memandang. Belum sampai di antara keduanya ada yang buka mulut iagi, kedua orang ini melihat ilalang jauh di sebelah utara bergerak menyibak. Lalu terlihat sesosok tubuh melayang lurus menerabas ilalang! Anehnya, ilalang yan g hendak diterabas menyibak terlebih dahulu sebelum sosok tersebut lewat seakan membentuk jalan setapak! Bukan hanya sampai di situ. Ternyata sosok yang menerabas ilalang duduk bersila dengan kedua tangan menakup di bawah dagu!
Empat tombak di depan Pendeta Sinting, sosok yang menerbas ilalang berhenti. Perlahan-lahan tubuhnya turun ke atas tanah dengan sikap masih bersila dan tangan menakup di bawah dagu. Orang ini seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat dengan kedua alis mata saling bertaut. Bibirnya tiada henti bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Rambutnya panjang dikelabang dan dikalungkan ke lehernya. Mengenakan jubah warna kuning tanpa leher. Orang ini bukan lain adalah tokoh rimba persilatan yang digelari orang Manusia Dewa!
BAB 11
BEBERAPA saat lamanya Pendeta Sinting terdiam seraya memandang tak berkedip ke arah Manusia Dewa. Di hadapannya Joko bergumam tak jelas mengisyaratkan bahwa dia terkejut bercampur kagum. Tiba-tiba kesunyian di tempat itu disentak dengan suara tawa yang keluar dari mulut Pendeta Sinting.
Melihat Pendeta Sinting tertawa, mendadak Manusia Dewa buka mulut dan ikut-ikutan tertawa bergelak. Hingga sekejap kemudian di tempat itu riuh rendah dengan suara tawa bergelak-gelak, membuat Joko Sableng geleng-geleng kepala.
"Busyet! Apakah demikian sapaan jumpa antara tokoh-tokoh rimba persilatan? Berha... ha... ha... dulu sebelum berkata?!"
Begitu tawa keduanya berhenti, Pendeta Sinting usap-usap kumisnya. Lalu terdengar suaranya. "Hari baik, bulan baik. Hingga tak disangka kita jumpa lagi. Rasanya sudah lama kita tak jumpa, bagaimana? Apa kau baik-baik saja selama ini sobatku, Manusia Dewa?"
Manusia Dewa condongkan kepalanya ke depan dengan sedikit menunduk. Saat kepalanya ditarik kembali, terdengar dia berucap. "Selama angin masih berhembus. Selama laut masih bergelombang. Selama takdir manusia masih menggantung di langit. Tak ada yang tak mungkin bila Dia menghendaki. Banyak perubahan terjadi, namun seperti yang kau lihat tubuh tua ini baik-baik saja! Kau sendiri?!"
"Ucapannya tak berubah dari dulu! Padahal aku tak mengerti maksud ucapannya. Berhadapan macam orang begini mulutku jadi ngilu..." kata Pendeta Sinting. Lalu guru Joko Sableng ini angkat bicara lagi.
"Begitulah. Seperti halnya kau, aku baik-baik saja..." sejenak Pendeta Sinting putuskan kata-katanya. Sesaat kemudian menyambung. "Aku sangat gembira bertemu denganmu lagi. Namun tentunya ada hal penting sampai kau jauh-jauh datang ke sini!"
Manusia Dewa tengadahkan kepala. Saat itu matahari sudah hampir tenggelam, namun pantulan cahayanya masih menyeruak, dan perlahan-lahan rembulan tampak menapak langit dari balik gumpalan awan di sebelah utara. Untuk beberapa lama Manusia Dewa menatap bulan yang baru muncul.
"Takdir telah membawaku ke sini. Isyarat alam menuntun pikiranku bahwa arakan awan kelam mengambang di langit biru! Bumi jadi gelap meskipun matahari bersinar! Rembulan bercahaya. Tapi warna merah membuat cahayanya pudar!"
Pendekar Pedang Tumpui 131 terkesiap mendengar ucapan Manusia Dewa. Diam-diam dia menduga-duga arti ucapan orang tua Itu. "Hem... Nampaknya apa yang baru saja dibicarakan Pendeta Sinting benar adanya. Mendengar kata-kata kakek itu, sesuatu akan terjadi. Tapi apa...?!" Joko berpaling pada gurunya. Yang dipan dang geleng-geieng kepala seakan menjawab apa yang hendak ditanyakan Joko.
"Sobatku, Manusia Dewa," kata Pendeta Sinting pada akhirnya setelah diam beberapa lama. "Apakah ucapanmu itu pertanda akan terjadi sesuatu hal yang luar biasa?!"
Manusia Dewa palingkan wajahnya menghadap Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya tetap menakup di bawah dagu. "Sobatku, Pendeta Sinting. Aku tak berhak menjawab ya atau tidak atas pertanyaanmu, itu bukan kuasaku! Hanya saja, tanda-tanda alam tadi menunjuk ke arah pertanyaanmu. Peristiwa besar! Tanda-tanda itu mengarah ke sana!"
Pendeta Sinting memandang lekat-lekat pada sahabatnya itu. Mulutnya komat-kamit dan bergetar, namun di lain kejap mulutnya telah membuka perdengarkan suara tawa perlahan. "Sobatku, Manusia Dewa. Anggaplah memang suatu peristiwa besar akan terjadi. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah peristiwa apa?! Apa kau juga menangkap peristiwa besar apa yang hendak terjadi?!"
"Jangan tanya apa yang akan terjadi, Sobatku. Aku mungkin bisa menjawab semua pertanyaanmu, tapi menjawab apa yang akan terjadi adalah bukan jadi hakku! Namun demikian, tanda-tanda zaman sedikit banyak bisa menjawab apa sebenarnya yang akan terjadi!"
"Sontoloyo benar! Ngomong sama dia aku jadi pusing sendiri!" rungut Pendeta Sinting yang rupanya tak sabar dengan segala ucapan Manusia Dewa. Penghuni jurang Tlatah Perak ini lantas jerengkan sepasang matanya. Mulutnya membuka hendak berkata, namun sebelum ucapannya keluar, Manusia Dewa telah berujar.
"Kau pernah dengar cerita tentang hura-hura besar yang terjadi ratusan tahun silam di Pulau Biru?!"
"Pulau yang katanya dihuni oleh seorang sakti yang memiliki Kitab Serat Biru itu? Memang, aku pernah dengar ceritanya. Tapi kurasa cerita itu hanya mengada-ada saja! Ternyata hingga sekarang aku tak dengar seorang pun yang mendapatkan kitab itu! Bahkan lambat laun cerita itu lenyap!" kala Pendeta Sinting pula.
Manusia Dewa tertawa pelan mendengar ucapan Pendeta Sinting. "Boleh aku tahu, sudah berapa tahun kau mengasingkan diri tak terjun dalam belantara persilatan?!"
Pendeta Sinting terdiam sejenak seolah mengingat. Lalu bergumam. "Menurut perhitunganku sudah kurang lebih dua puluh empat tahun!"
"Sobatku. Dua puluh empat tahun bukan waktu yang pendek. Masa selama itu telah cukup untuk membuat suasana benar-benar berubah!"
"Maksudmu...?!"
"Dalam lima belas tahun terakhir ini, rimba persilatan diramaikan dengan perburuan kaum persilatan untuk mendapatkan Pedang Tumpul 131 serta Kitab Serat Biru. Mungkin karena Pedang Tumpul 131 sulit membuka rahasianya karena si pembawa petunjuk lenyap berpindah-pindah, orang rimba persilatan mengarahkan pandangan dan telinganya pada Kitab Serat Biru, meski dengan diam-diam juga menyelidik tentang pedang pusaka itu!"
Pendeta Sinting dan Joko Sableng terkejut. "Manusia Dewa. Pedang Tumpul 131 sekarang..." Pendeta Sinting tidak meneruskan ucapannya.
"Aku tahu... Pemuda di depanmu itu telah berhasil mendapatkan pedang pusaka itu. Karenanya secara diam-diam aku mengikutinya. Dan tak diduga jika dia orang yang dekat denganmu. Aku gembira karenanya. Sengaja aku mengikutinya untuk mengetahui siapa dia adanya. Terus terang, mula-mula aku merasa cemas. Aku khawatir pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang yang tidak kita inginkan..."
"Dia muridku!" sahut Pendeta Sinting.
Manusia Dewa arahkan pandangannya pada Pendekar Pedang Tumpul 131. Memperhatikan lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. "Syukur jika demikian. Hatiku sekarang tenteram!"
"Kembali pada Kitab Serat Biru itu..." ujar Pendeta Sinting seakan tak sabar. "Aku rasanya masih menyangsikan adanya!"
"Justru aku hampir yakin adanya!" tukas Manusia Dewa. "Dan entah siapa yang memulai, akhir-akhir ini beberapa tokoh rimba persilatan telah muncul dan berbisik-bisik mencari jalan mendapatkan kitab itu, malah sebagian telah berada di sekitar pulau!"
"Kau tahu banyak tentang kitab itu?!” tanya Pendeta Sinting.
Manusia Dewa gelengkan kepalanya. "Tentang kitabnya, aku buta sama sekali. Hanya yang kutahu sedikit tentang orang sakti itu. Menurut yang pernah kudengar dari orang terpercaya, orang sakti itu bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Tak jelas apa Ki Ageng telah mati atau belum. Yang pasti suatu keanehan melekat padanya!"
"Keanahan? Keanehan apa?!"
"Orang itu tubuhnya sebagian berada di atas dan sebagian di dalam tanah!"
Pendeta Sinting dan Joko Sableng tersentak kaget mendengar keterangan Manusia Dewa. Mereka berdua seakan tak percaya. Rupanya Manusia Dewa menangkap perasaan orang, hingga tak lama kemudian dia mendehem beberapa kali sebelum berkata.
"Inilah rimba persilatan. Dunia yang tak henti-hentinya diselimuti beberapa keanehan yang rasanya tak masuk akal. Namun begitulah kenyataannya! Herannya, semakin aneh, semakin menyedot perhatian orang dan mengundang orang berlomba-lomba menguak misteri keanehan itu. Mereka tak sadar, bahwa semakin terkuak, semakin remang-remang yang tampak. Lebih-lebih mereka jadi lupa jika Sang Pencipta Alam lebih daripada segala misteri di alam ini!"
"Ucapanmu benar..." desis Pendeta Sinting. "Lantas apa yang terbaik yang harus kita lakukan sekarang?!"
"Manusia punya tugas mendamaikan umat. Rimba persilatan tak akan damai jika masalah Pulau Biru tak cepat diselesaikan!"
Pendeta Sinting komat-kamitkan mulut. "Jelasnya, kau mengajakku memburu kitab itu. Begitu?!"
"Aku tidak mengajak. Manusia diberi kemampuan berbeda-beda. Hanya saja jika merasa mampu kenapa tidak digunakan?!"
Pendeta Sinting menyeringai lalu mengangguk-angguk. Berpaling pada Joko Sabieng dan berkata. "Kau telah dengar semua penuturannya. Bagaimana pendapatmu?!"
Pertdekar 131 tersenyum-senyum sambil membatin dalam hati. "Aku tahu. Dia akan melimpahkan tugas ini kepadaku..."
"Sontoloyo! Jangan cengengesan. Aku bersungguh-sungguh!" bentak Pendeta Sinting meski kejap kemudian dia ikut-ikutan tersenyum.
"Sebaiknya kita memang menyelidik Pulau Biru itu Guru... rasa-rasanya ucapanmu tadi sebenarnya tidak menanyakan bagaimana pendapatku, namun menanyakan kesiapanku! Benar bukan?"
"Sontoloyo! Ternyata kau bisa menebak siratan ucapanku! Bagus kalau kau telah mengerti!" gumam Pendeta Sinting. "Kau bersedia bukan?!"
"Pedang Tumpul 131 ada di tanganku. Apa pun yang terjadi, aku siap melakukannya!" ujar Joko pula.
Manusia Dewa mendehem, membuat Pendeta Sinting dan muridnya berpaling. "Anak Muda. Kuasai pikiran. Jangan mengandalkan benda ciptaan. Pedang di tanganmu memang hebat, tapi jika pedang itu lenyap apa lagi yang kau andalkan? ilmu...? ingat, Anak Muda. Di atas langit masih ada langit. Semakin dalam kita menggali lubang semakin gelap yang kita lihat!"
"Kau dengar ucapannya, Sontoloyo?! Kau jangan sombong, itu akan membawamu ke arah kegelapan!" desis Pendeta Sinting pada Joko, membuat Joko terpekur dan angguk-anggukkan kepala.
"Kurasa sudah lama kita bicara. Sekarang aku harus pergi. Jika guratan masih menggariskan, tentu kita akan jumpa lagi..." habis berkata demikian, tiba-tiba Manusia Dewa keluarkan suara tawa bergelak, membuat Pendeta Sinting dan Joko Sableng sama-sama tengadahkan kepala seraya kerahkan tenaga dalam menangkis suara tawa yang menusuk gendang telinga.
Karena suara tawa itu terus menggema tak henti-henti, Pendekar Pedang Tumpul 131 segera palingkan kepala ke arah di mana tadi Manusia Dewa berada, sepasang mata Joko jadi terbeliak dengan mulut menganga. Ternyata Manusia Dewa tidak ada lagi di tempat itu! Padahal suara tawanya masih terdengar!
"Dia sudah tidak ada lagi, bukan?!" gumam Pendeta Sinting tanpa berpaling pada Joko.
"Benar. Padahal suaranya masih terdengar hingga sekarang!"
"Itulah. Manusia satu itu kepandaiannya memang sulit diukur!"
Sang guru lantas arahkan pandangannya pada Joko. "Hem... Kau memikirkan sesuatu?!"
"Aku kagum dengan ketinggian ilmunya. Waktu terjadi bentrok tempo hari dia hanya mendorong kedua telapak tangannya untuk menangkis serangan ganas. Nyatanya lawan dapat dibuat roboh terluka dalam..."
"Aku tahu, kau menginginkan ilmu seperti itu bukan? Hem... Mudah saja asalkan kau sudah dapat membutakan sepasang mata dan mata hatimu! Mendengar ceritamu tadi, tampaknya memerlukan waktu sangat panjang bagimu untuk sampai ke sana..."
"Kenapa bisa begitu, Guru...?!"
"Selama hati masih kotor, selama mata masih tergiur melihat paha dan dada apalagi pinggul yang bergoyang-goyang, simpan dulu keinginanmu!"
Joko Sableng menyeringai sambil garuk-garuk leher. Dalam hati dia berbisik. "Rasanya keinginan bukan saja hanya tersimpan, namun tak akan terjadi kenyataan. Mataku rasanya gatal jika melihat dada dan paha. Apalagi pinggul besar yang bergoyang- goyang. He He He...!"
"Sontoloyo! Apa kau sekarang sudah siap?!” tiba-tiba Pendeta Sinting menyentakkan lamunan Joko.
"Kalau tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku siap, Guru!"
"Hem... Mendengar keterangan Manusia Dewa apa yang akan kau hadapi bukan urusan ringan! Selembar nyawamu jadi taruhannya. Muslihat licik dan tipu daya keji akan menghadangmu! Meski matamu tidak bisa dicegah dari melihat paha mulus, dada membusung serta lenggak-lenggoknya pinggul, tapi pikiran jernih dan kepala dingin jangan sampai tergadai!"
"Akan kuingat selalu ucapanmu, Guru. Aku pamit sekarang..." Habis berkata, joko menjura dalam. Lalu bangkit dan di kejap kemudian lenyap meninggalkan tempat itu.
"Mudah-mudahan Sontoloyo itu kuat menghadapi tantangan! Hem... Menurut Manusia Dewa sekarang telah banyak muncul tokoh rimba persilatan, membuatku ingin tahu. Memang tak ada salahnya aku melihat-lihat dunia luar yang telah lama kutinggalkan. Gila! Kenapa aku jadi ikut-ikutan bingung...? Apakah aku memang orang bingung? Bukan, bukan bingung, tapi sinting. Ha Ha Ha..." Pendeta Sinting tertawa sendiri, lalu bangkit dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
BAB 12
BAYANGAN biru berkelebat cepat laksana busur anak panah melewati sela-sela jajaran pohon hutan belantara di sebelah tenggara bukit Wono Ayu. Sampai pada ujung hutan yang berbatasan dengan sebuah dataran luas dengan gundukan tanah di sana-sini, bayangan biru hentikan larinya. Cahaya bulan yang menggantung di langit membantu memperjelas siapa adanya sosok ini.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berwajah cantik jelita. Usianya kira-kira empat puluh tahunan. Namun demikian, tubuhnya terlihat jauh lebih muda dari usianya. Dadanya besar menantang dengan pinggul padat menggoda. Kulitnya putih dengan mata bulat. Rambutnya panjang bergerai. Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat dengan bagian dada dibuat begitu rendah, seakan ingin menampakkan sembulan payudaranya.
Sejenak perempuan cantik yang tak lain Dewi Asmara alias Ratu Pemikat ini menghela napas panjang dalam-dalam. Dadanya bergerak turun naik. Tangan kanannya lalu mengusap keringat yang membasahi lehernya yang jenjang. Melihat gerak-geriknya dia saat itu amat letih pertanda baru saja melakukan perjalanan jauh. Namun keletihan itu tiba-tiba saja lenyap begitu sadar apa yang dilihat di hadapannya! Malah tak sadar, dari mulutnya terlontar seruan tertahan.
"Gila! Apa aku tak salah alamat?!" gumamnya seraya beliakkan sepasang matanya tak berkedip memandang pada dataran di depannya.
Dataran itu luasnya kira-kira delapan puluh tombak berkeliling. Di sana sini banyak terlihat gundukan-gundukan tanah yang panjangnya satu setengah tombak membujur mirip gundukan makam. Memang itu adalah dataran yang dipenuhi dengan makam, namun anehnya mayat yang dimakamkan di situ tidak ditimbun masuk ke dalam gundukan. Melainkan dibiarkan berserakan di kanan kiri gundukan tanah. Hingga dataran itu selain menyeramkan karena banyaknya tulang dan tengkorak yang berserakan, bau busuk melingkupi tempat itu!
"Gila! Bagaimana mungkin seorang anak manusia dapat tinggal di tempat yang begini menyeramkan dan busuk. Aku saja rasanya ingin muntah!" desis Ratu Pemikat seraya menahan napas.
"Seandainya tak ada masalah penting, aku ingin cepat pergi saja!" Ratu Pemikat terus bergumam seraya arahkan pandangann ya berkeliling. Meski saat itu malam, namun karena rembulan bersinar terang, sepasang mata Ratu Pemikat dapat melihat sampai ujung dataran. Tapi sekian lama memandang rupanya dia tak menemukan apa yang dicari di tempat itu.
"Aku tak melihat adanya sebuah tempat yang patut dihuni. Di mana aku dapat menemukan Hantu Makam Setan itu? Atau jangan-jangan dia telah berpindah tempat! Atau... Ah, lebih baik aku mencoba berkeliling..."
Sambil membekap hidung dan telapak tangannya, perempuan cantik bertubuh montok ini melangkah memasuki dataran. Bulu kuduknya merinding melihat berserakannya tulang dan bangkai, namun perempuan ini terus melangkah ke tengah-tengah dataran. Sampai tengah dataran, kepalanya diputar berkeliling.
Namun baru saja kepalanya bergerak setengah putaran, dari sebuah lubang yang hanya samar-samar karena terlindung oleh gundukan di kanan kirinya menderu gelombang angin dahsyat! Mengarah pada perempuan berwajah cantik yang tegak membelakangi lubang itu. Meski terkesiap kaget karena tak menyangka akan mendapat serangan.
Namun karena dia sudah makan asam garam dan bertahun-tahun malang-melintang dalam rimba persilatan, membuatnya segera sigap dan seraya melirik dari mana asalnya serangan, perempuan ini berkelebat ke samping. Serangan gelap menghajar angin setengah tombak di samping kanan Ratu Pemikat lalu menghantam gundukan tanah makam. Gundukan itu langsung terbongkar dan tanahnya berhamburan! Tulang belulang di sekitar tempat itu ikut tersapu dan kontan hancur berkeping-keping.
"Sialan! Apakah dia...?!" desis Ratu Pemikat lalu seraya siapkan pukulan, dia melangkah ke arah datangnya serangan tadi. Baru saja kepalanya melongok ke dalam lubang, dari arah belakangnya kembali menderu angin lebih dahsyat dari yang pertama!
"Keparat!" maki sang ratu seraya berbalik dan buru-buru menyingkir. Mungkin karena geram, kedua tangannya yang sudah siap lepaskan pukulan dihantamkan ke arah sumber serangan.
"Wuuuttt! Bluuurrr!"
Lubang di mana serangan tadi bersumber langsung porak-poranda. Gundukan di sekitar lubang pun ambyar ke udara. Bersamaan dengan itu dari dalam lubang yang terbongkar melesat sesosok bayangan dengan perdengarkan dengusan keras lalu makian panjang pendek.
Ratu Pemikat tengadahkan kepala mengikuti lesatan sang bayangan. Ketika matanya menangkap gerakan tangan sang bayangan yang hendak lepaskan pukulan, Ratu Pemikat segera berseru keras. "Hantu Makam Setan! Tahan serangan. Aku Ratu Pemikat!"
Bayangan yang masih melayang di udara kembali perdengarkan makian tak karuan, namun kedua tangannya yang tadi hendak lepaskan pukulan diurungkan.
"Dia mengenaliku Hem... Dia sebutkan diri Ratu Pemikat. Aku dengar tentang gelar itu. Tapi ada apa dia menggangguku? Padahal aku belum pernah jumpa dengan yang namanya Ratu Pemikat!" sang bayangan membatin, lalu turun dan tegak sembilan langkah di hadapan Ratu Pemikat.
"Hem... Memang dia!" ujar Ratu Pemikat lirih tatkala sang bayangan tadi telah tegak di hadapannya dan dia dapat mengenalinya.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Mengenakan jubah warna merah. Parasnya bulat besar dengan kulit amat tipis. Matanya besar dan menjorok masuk dalam cekungan tulang yang dalam. Alis Matanya tebal dengan rambut disanggul ke atas. Laki-laki ini makin angker jika orang memandang hidungnya. Karena ternyata laki-laki ini hanya memiliki hidung separo. Separonya hanya merupakan cekungan dalam!
Namun demikian, dari cekungan hidungnya itu menghembus angin deras ketika dia bernapas! Laki-laki ini bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan yang sangat ditakuti, yakni Hantu Makam Setan. Untuk beberapa saat, sepasang mata Hantu Makam Setan memandang tak berkedip ke arah Ratu Pemikat. Alis matanya terangkat, mulut komat-kamit. Dadanya berdebar keras melihat busungan dada satengah menyembul dari perempuan dihadapannya.
"Kau!" tiba-tiba Hantu Makam Setan keluarkan suara setelah agak lama terdiam menguasai debaran dadanya.
Begitu Ratu Pemikat melihat Hantu Makam Setan telah mengenalinya, perempuan ini tersenyum. "Bukankah kau Dewi Asmara...?"
"Tak salah!"
"Tadi kau sebutkan diri dengan Ratu Pemikat. Jadi..." Hantu Makam Setan tak teruskan ucapannya.
"Ratu Pemikat adalah Dewi Asmara. Tapi sudahlah! Soal gelar tak perlu diperdebatkan. Ada masalah lain yang lebih penting!" sahut Ratu Pemikat seraya maju tiga langkah. Dada perempuan ini terlihat naik turun karena sejak tadi menahan bau busuk yang menebar di tempat itu. Membuat Hantu Makam Setan makin membeliakkan mata.
"Hantu Makam Setan. Kau masih ingat pengejaran kita terhadap Malaikat Lembah Hijau beberapa tahun silam?"
"Hemmm..." Hantu Makam Setan menggumam. "Bangsat yang tewas masuk jurang itu?!"
"Ingatanmu masih bagus! Tapi dugaanmu salah!" tukas Ratu Pemikat.
Hantu Makam Setan terperanjat. Sebelum dia berkata lagi, Ratu Pemikat telah menyambung ucapannya.
"Ternyata Malaikat Lembah Hijau tak tewas!"
"Dari mana kau mengetahuinya? Kau jumpa dengannya?!"
Ratu Pemikat gelengkan kepalanya. Lain ajukan pertanyaan lagi. "Apa kau juga masih ingat anak laki-iaki yang ikut masuk jurang bersama Malaikat Lembah Hijau?!"
"Aku ingat! Lalu apa hubungannya?!"
"Aku menduga Malaikat Lembah Hijau masih hidup dari anak laki-laki itu. Anak itu masih hidup dan kini telah besar. Dia tampaknya membekal ilmu tinggi. Lebih dari itu semua, dia ternyata berhasil mendapatkan Pedang Tumpui 131!"
Ratu Pemikat sudah menduga jika Hantu Makam Setan akan terkejut mendengar keterangannya. Namun dugaannya meleset. Hantu Makam Setan tak menunjukkan rasa terkejut, membuat Ratu Pemikat kernyitkan kening dan menduga-duga apa sebabnya.
"Apa kau telah mendengar semua ini sebelumnya?!" tanya Ratu Pemikat coba menyelidik.
Hantu Makam Setan gelengkan kepala. "Sudah hampir empat belas bulan aku menyendiri. Dan baru malam ini aku keluar dari tempatku!"
"Kau dulu tampaknya begitu menggebu untuk merebut pedang itu. Hal apa yang membuat kau sekarang berubah? Pedahal pedang itu sekarang tinggal merebutnya!" Ratu Pemikat terus mendesak ingin tahu perubahan pada laki-laki berhidung sebelah ini.
Hantu Makam Setan tertawa pelan namun panjang. Seraya menatap pada dada perempuan di hadapannya, dia berujar. "Pedang Tumpul 131 boleh hebat. Tapi belum tentu menang jika dibanding dengan Kitab Serat Biru!"
"Aha... Tampaknya kau termakan juga dengan cerita isapan jempoi itu! Jadi itukah yang membuatmu berubah? Dengar, Sobatku. Pedang Tumpul 131 sudah nyata adanya. Sedangkan Kitab Serat Biru masih teka-teki. Adakah kau memilih yang kedua?!"
Hantu Makam Setan tertawa kembali seraya menggeleng-geleng. "Apakah jika tokoh-tokoh dedengkot rimba persilatan rela menyabung satu-satunya nyawa yang dimiliki demi sesuatu, sesuatu itu masih teka-teki...? Tidak! Sesuatu itu pasti adanya! Mereka yang mengatakan bahwa cerita tentang kitab itu isapan jempol pasti bertujuan agar jalan mereka mulus tanpa banyak orang yang terlibat!"
Mendengar ucapan Hantu Makam Setan, Ratu Pemikat terdiam. Keyakinannya semula jika Kitab Serat Biru cerita isapan jempol perlahan-lahan sirna. Apalagi jika ditambah dengan kabar yang kini terdengar santer jika para dedengkot persilatan mulai kasak-kusuk membicarakan kitab itu. Malah beberapa tokoh yang telah lama menghliang kini banyak berkeliaran lagi. Di antara yang jelas ditemuinya adalah Manusia Dewa dan Maut Mata Satu.
"Dewi Asmara..." kata Hantu Makam Setan menyentak lamunan sang perempuan. "Tentunya ada maksud penting hingga kau jauh-jauh datang ke dataran Makam Setan ini. Katakan apa maksudmu! Atau kau hanya ingin memberitahukan tentang telah diketemukannya pedang itu?!"
Sesaat Ratu Pemikat berpikir. Dia sebenarnya ingin minta bantuan setidak-tidaknya mengajak bergabung Hantu Makam Setan untuk merebut Pedang Tumpul 131 dan membunuh Manusia Dewa, namun sebagai tokoh yang lama malang-melintang dia pantang berterus terang mengatakannya. Dia tak mau dikatakan sebagai orang yang kurang ilmu, apalagi oleh orang satu golongan!
Melihat Ratu Pemikat tak segera menjawab pertanyaannya, Hantu Makam Setan segera dapat menangkap apa yang dipikirkan perempuan itu. Seraya menyeringai dia akhirnya berkata. "Aku menduga kau ingin mengajakku bergabung untuk memburu pedang itu. Benar?!"
"Karena orang yang memburu Malaikat Lembah Hijau hingga orang itu masuk jurang adalah kau dan aku, maka aku pikir tak ada salahnya jika kita menyelidik bersama-sama! Kalau sekarang ada dua masalah besar, itu sangat kebetulan sekali. Kalau kau menginginkan kitab itu aku akan membantu, sebaliknya kau juga harus membantuku untuk merebut pedang itu!"
Hantu Makam Setan kembali keluarkan tawa bergelak. "Aku meiihat nada ketakutan pada ucapanmu. Mau mengatakan apa sebabnya? Karena terus terang empat belas bulan terakhir ini aku tak tahu perubahan dalam rimba persilatan. Biasanya, dalam situasi berselimut begini, satu hari saja bisa terjadi perubahan besar!"
"Hantu Makam Setan!" tiba-tiba Ratu Pemikat berkata dengan suara agak tinggi, karena dikatakan takut. "Aku tak pernah takut menghadapi segala hal! Aku punya kepandaian! Hanya yang perlu kau ketahui, sekarang telah muncul beberapa tokoh rimba persilatan yang sebelumnya diduga orang tak mungkin muncul lagi!"
"Hem... Begitu? Berarti kegegeran besar benar-benar akan segera terjadi. Peristiwa besar ratusan tahun yang lalu akan terulang kembali..." gumam Hantu Makam Setan acuh tak acuh dengan kegeraman Ratu Pemikat.
"Hantu Makam Setan! Bagaimana? Apa kita jadi menyelidik bersama-sama?"
"Hem... Perempuan macam dia banyak tipu muslihatnya. Dulu waktu mengejar Malaikat Lembah Hijau dia mengatakan punya dendam dengan Malaikat Lembah Hijau. Sekarang tanpa disadari dia membuka kedoknya sendiri jika pengejaran itu karena ingin pedang pusaka itu. Bergabung dengannya akan menyusahkan saja. Apalagi urusan Kitab Serat Biru bukan masalah main-main. Hem... Sebenarnya dengan bergabung, setidaknya aku bisa mencicipi tubuhnya, tapi sementara ini Kitab Serat Biru lebih dari segalanya!" kata Hantu Makam Setan dalam hati. Lalu tengadahkan kepala dan berkata.
"Dalam banyak hal, kita memang punya kepentingan sama. Tapi tidak untuk urusan Kitab Serat Biru. Biarlah untuk masalah ini aku menyelidik sendiri!"
"Jahanam! Dia menolak tawaranku. Atau mungkin dia pura-pura menolak karena di balik itu ingin..."
Ratu Pemikat tak meneruskan kata hatinya. Bibir perempuan berwajah cantik Ini sunggingkan senyum. Laiu dia melangkah ke arah Hantu Makam Setan dengan bibir setengah dibuka dan mata sedikit memejam. Dadanya dibusungkan, hingga makin menyembul! Perempuan ini bersikeras mengajak bergabung Hantu Makam Setan karena dia sadar, tokoh yang bakal menghadang adalah para dedengkot rimba persilatan yang kemampuannya tidak disangsikan lagi.
Tiga langkah di depan Hantu Makam Setan, Ratu Pemikat hentikan langkah. Dari sudut matanya yang setengah memejam dia memandang lekat-lekat pada laki-laki berhidung sebelah ini. "Kau menolak menyelidik bersama-sama, Hantu Makam Setan...?"
"Bededah! Dia rupanya mulai pasang perangkap. Tapi jangan mimpi aku akan masuk jaring laba-labanya!"
"Dewi Asmara..." bisik Hantu Makam Setan dengan suara bergetar menindih gejolak nafsu yang mau tak mau mendera dadanya juga melihat tingkah perempuan di hadapannya. "Urusan di depan begitu besar. Kalau kau mau bersenang-senang denganku, datanglah setelah urusan ini selesai. Aku akan membuatmu tak sempat mengenakan pakaian selama satu purnama penuh!"
Dada Ratu Pemikat bergerak turun naik dengan keras. Bukan karena gejolak nafsu melainkan geram mendengar kata-kata Hantu Makam Setan. Tanpa buka suara lagi, kedua tangannya bergerak menghantam ke depan!
Wuuuttt! Wuuutt!
Namun Ratu Pemikat tersentak sendiri. Kedua tangannya hanya menghantam angin. Karena waktu menghantam kedua matanya setengah memejam, perempuan ini tak tahu jika begitu Hantu Makam Setan selesai berkata, laki-laki ini cepat melompat ke belakang lalu masuk dalam lubang dan lenyap seakan ditelan bumi!
Seraya memaki, Ratu Pemikat buka kedua matanya. Begitu tak melihat Hantu Makam Setan, kemarahan perempuan ini makin menggebu. Sejenak matanya liar memandang kian kemari. Lalu berkelebat ke arah lubang di mana Hantu Makam Setan keluar. Perempuan ini terlihat bimbang, karena lubang itu tampak gelap dan berkelok.
"Tak ada gunanya kukejar masuk. Aku masih bisa mencari orang lain untuk urusan ini. Bangsat ini tak lama lagi pasti keluar menyelidik Kitab Serat Biru. Hem..." Ratu Pemikat condongkan kepalanya ke lubang. Di kejap kemudian terdengar teriakannya.
"Hantu Makam Setan! Kau akan menyesal karena tindakan bodohmu! Ingat! Saat kau keluar dari lubang busuk ini, Ratu Pemikat adalah orang pertama yang menginginkan selembar nyawamu!"
Ratu Pemikat mengharap ada sahutan dari dalam lubang. Namun apa yang diharap tak jadi kenyataan, membuat perempuan bertubuh sintal ini makin marah. "Keparat Jahanam!" bentaknya seraya menarik kepalanya. Kemarahannya dilampiaskan pada apa yang ada di depannya. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Karena di depannya adalah lubang di mana Hantu Makam Setan masuk, lubang itu segera dihantamnya!
"Byuuurrr!" Lubang itu langsung terbongkar. Tanahnya berhamburan ke udara dan sebagian jatuh menimbun ke dalam lubang, hingga tatkala suasana sirap, lubang itu lenyap berganti dengan tanah berserakan. Sosok Rat Pemikat pun tak tampak lagi di dataran Makam Setan itu...!
S E L E S A I