Serial Joko Sableng Dalam Episode Tabir Asmara Hitam
PADA satu tanah agak menggugus masing-masing orang melihat seraut wajah tampan milik seorang pemuda. Sepasang matanya tajam. Hidungnya mancung. Namun bukan karena ketampanan raut si pemuda yang membuat semua orang tersentak dan pentangkan mata masing-masing. Ternyata pemuda ini tidak berdiri tegak dengan berpijak pada kedua kakinya. Sebaliknya sepasang kakinya berada di atas, sementara kepalanya di bawah menopang tubuhnya!
Pada mulutnya tampak sebuah karet bundar seperti dot bayi yang sesekali disedot. Setiap kali si pemuda gerakkan mulut menyedot, terdengar suara duutt! Duuuttt! Duuuttt! Dan lebih dari itu, ternyata pemuda ini tidak mempunyai tangan! Anehnya, meski tegak dengan kaki di atas dan kepala di bawah, namun pakaian yang dikenakan tidak menyibak ke bawah. Dan kedua lengan pakaiannya yang kempes karena tak berisi tangan, tampak kaku ke samping kiri kanan.
Selagi semua orang di situ masih tegak dengan terkesima dan mulut terkancing, Daeng Upas yang gerakannya untuk lakukan totokan pada Pendekar 131 tertahan malah sosoknya tersurut dua langkah laksana terbang segera berkelebat ke arah si pemuda yang tegak terbalik dan langsung lepaskan dua jotosan dari jarak empat tangkah!
Seakan tahu pukulan Daeng Upas yang dapat lakukan jotosan atau tendangan walau dari jarak jauh, si pemuda gerakkan dua bahunya sebelum kedua tangan Daeng Upas bergerak. Sepasang lengan baju si pemuda bergerak kebawah mengibas tanah.
Bettt! Bettt!
Pada saat bersamaan, sosok si pemuda melenting ke udara setinggi dua tombak. Membuat gerakan jungkir balik satu kali, lalu mendarat di atas tanah dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!
Daeng Upas tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan rahang terangkat. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi meski selama ini tidak ada orang yang mengetahui, dari sikap dan gerakan si pemuda, nenek yang wajahnya masih membayang kecantikan ini telah maklum jika si pemuda bukanlah orang yang dapat dipandang sebelah mata.
Di sebelah depan, murid Pendeta Sinting perhatikan baik-baik ke arah si pemuda. "Sulit dipercaya jika tidak melihat sendiri. Rimba persilatan ternyata tidak hanya disarati urusan aneh. Tapi juga dikelilingi manusia-manusia aneh!" batinnya.
Agak ke samping. Raka Pradesa sipitkan sepasang matanya dengan dahi berkerut. Diam-diam dia juga berkata dalam hati. "Banyak tokoh-tokoh yang kukenal meski hanya lewat ciri-cirinya. Namun ciri-ciri pemuda ini belum pernah kudengar! Apakah dia tokoh yang baru saja muncul? Atau selama ini dia tidak menunjukkan kepandaiannya hingga namanya tidak banyak dikenal kalangan dunia persilatan?!"
Seperti halnya Pendekar 131 dan Raka Pradesa. Dewi Siluman juga terlihat menduga-duga siapa adanya si pemuda. Entah karena tak dapat jawaban dari dirinya sendiri, perempuan bercadar dan berjubah hitam anak Daeng Upas ini segera berpaling pada Ki Buyut Pagar Alam yang berada di sampingnya sambil bergumam.
"Siapa pemuda buntung itu, Ki Buyut?!"
Kakek berwajah pucat yang kedua tangannya selalu masuk ke dalam saku jubah hitamnya yang juga adalah adik kandung Daeng Upas berpaling dengan gelengkan kepala. "Berpuluh tahun merambah rimba persilatan, baru kali ini aku melihatnya! Telingaku pun belum pernah mendengar orang membicarakan pemuda seperti dia. Tapi melihat usianya, kukira dia orang yang baru dalam kancah dunia persilatan. Hanya saja dia memiliki kepandaian sangat tinggi..."
Mendengar ucapan Ki Buyut, Dewi Siluman perdengarkan dengusan. "Urusan ini belum selesai. Kemunculannya akan menambah keadaan tidak karuan! Kita belum tahu benar apakah pemuda buntung ini benar-benar mempunyai ilmu tinggi. Sebaiknya dia kita singkirkan dahulu!"
"Di sini ada ibumu. Kita tunggu dulu apa yang hendak dilakukan olehnya!"
"Tapi...”
Ucapan Dewi Siluman belum selesai, Ki Buyut telah memotong. "Kau tak usah khawatir. Orang-orang selama ini memang tidak tahu sampai di mana Ilmu yang dimiliki Ibumu. Hingga ibumu hanya dipandang mata terpejam..." Ki Buyut Pagar Alam tertawa pelan. Lalu lanjutkan ucapannya. "Sebentar lagi mereka akan sadar bahwa dugaan mereka jauh meleset...“
Sementara Daeng Upas sendiri setelah dapat kuasai rasa kejut dan geramnya maju satu langkah. Nenek ini sebenarnya masih panasaran dan ingin lakukan serangan lagi. Namun berfikir bahwa urusan mengorek keterangan Pendekar 131 yang baru dilihatnya saat hendak berusaha masuk ke Istana Hantu lebih penting, maka dia urungkan niatnya. Sebaliknya dia segera keluarkan bentakan.
"Pemuda tak dikenal? Siapa kau?! Mengapa kau berlaku lancang menahan gerakanku? Apa hubunganmu dengan pemuda berpakaian putih itu?!" Jari tangan Daeng Upas lurus menunjuk pada murid Pendeta Sinting yang masih duduk di atas tanah.
Pemuda bertangan buntung kempotkan pipinya menyedot karet bundar di mulutnya. Hingga saat itu terdengar suara duuttt! Duuttt! Duuttt!
Sepasang mata Daeng Upas membeliak besar. Dadanya bergemuruh keras melihat orang yang ditanya tidak segera menjawab sebaliknya malah permainkan dot di mulutnya! "Keparat! Kalau kau tidak jawab pertanyaanku, lekas menyingkir dari sini! Jika tidak, membunuhmu bukan hal sulit bagiku!"
Orang yang dibentak memandang sekilas pada Daeng Upas. Lalu tengadah dengan pipi mengembung. Saat meniup, karet di mulutnya mencuat keluar dan mengapung di udara. Mulutnya lalu bergerak dan terdengarlah ucapannya.
"Nenek cantik. Tiga pertanyaanmu, mungkin aku hanya bisa menjawab dua. Untuk satunya biarlah sementara ini menjadi pekerjaan rumah buatmu! Harap kau tidak marah dan setuju usulku!"
Sementara berkata, karet bundar mirip dot bayi tetap mengapung di atas kepalanya, membuat semua orang di tempat itu makin beliakkan mata kecuali Daeng Upas yang kesabarannya hampir-hampir saja pupus.
"Aku telah bertanya. Aku tak mau tahu usul! Yang kuminta jawaban!" kata Daeng Upas dengan suara keras setengah menjerit.
"Aku akan menjawab. Aku tak mau tahu kau terima usulku apa tidak!" ujar pemuda bertangan buntung. Lalu tanpa hiraukan sengatan pandangan Daeng Upas dia teruskan kata-katanya.
"Aku bukannya lancang mencegah tindakan orang. Hanya aku tidak suka melihat orang berlaku semena-mena pada orang yang sudah tidak berdaya! Perlu juga kau ketahui, aku tidak kenal dengan pemuda berbaju putih itu! Kalau tidak kena! Apakah mungkin punya hubungan?!" Si pemuda balik bertanya
"Kau tak punya hak untuk bertanya padaku!" hardik Daeng Upas. "Kau belum mengatakan siapa dirimu!"
Si pemuda bertangan buntung lancipkan mulut menyedot. Dot bayi yang mengapung di atas kepalanya bergerak turun dan masuk ke dalam mulutnya. Kejap kemudian terdengar suara duuttt! Duuuttt! Berulang kali. Di lain saat si pemuda hembuskan napas. Bundaran karet di mulutnya mencelat lagi dan seperti tadi mengapung di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu terdengar ucapannya.
"Seperti kukatakan tadi, aku hanya bisa jawab dua pertanyaanmu. Untuk jawaban satunya mungkin kelak jika kita jumpa lagi masih bisa kujawab!"
Daeng Upas masih coba menindih gejolak amarahnya. Lalu menyeringai sambil berkata. "Hem... Begtu? Sekarang kuperintah kau untuk tinggalkan tempat ini!"
"Hem... Begitu!" Si pemuda ikut-ikutan berkata seperti ucapan Daeng Upas. "Kau mengatakan aku tak punya hak bertanya padamu. Sekarang apa salah jika aku mengatakan kau tak berhak memerintahku?!"
"Itu awal petaka bagimu!" teriak Daeng Upas.
Si pemuda kembang kempiskan pipinya. Bundaran karet di atas kepalanya bergerak turun naik seirama keluarmasuknya napas si pemuda. Anehnya meski bundaran karet itu turun naik di udara, namun pada saat itu terdengar juga suara duuttt! Duuuttt! Duuutt!
"Wah. Nenek ini bukan hanya tetap cantik meski sudah tua, tapi pandai juga bikin malapetaka. Apakah kau juga bisa membuat hura-hura, Nek?!" Yang buka suara adalah murid Pendeta Sinting.
Daeng Upas sentakkan kepalanya ke arah Pendekar tubuhnya bergetar pertanda dia menahan hawa marah. Tangan kirinya menunjuk pada murid Pendeta Sinting. "Kau jangan ikut campur buka mulut! Nanti ada saatnya kau harus bicara jawab semua pertanyaanku!" sentaknya.
"Hem... Begitu?!" Joko ikut bicara seperti pemuda bertangan buntung yang menirukan gumaman Daeng Upas. "Kau nanti akan ajukan berapa pertanyaan. Nek?!"
Daeng Upas tidak menjawab. Sepasang matanya mendelik angker menatap pada murid Pendeta Sinting Pendekar 131 tampak mainkan jari kelingkingnya ke dalam lobang telinganya. Lalu seakan tidak acuhkan pandangan marah orang, dia berucap.
"Kau nanti pasti akan kecewa. Karena berapapun pertanyaan yang akan kau ajukan, aku hanya bisa menjawab satu!"
"Bercandalah sepuasmu sebelum mampus!" ujar Daeng Upas lalu arahkan pandangannya kembali pada pemuda bertangan buntung.
"Edan!" gumam Raka Pradesa. "Dalam keadaan begitu, masih sempatnya mengajak bercanda!" Pemuda ini berlama-lama memandangi murid Pendeta Sinting. Namun tatkala Joko balik memandangnya, pemuda berkumis tipis ini cepat alihkan pandangannya. Diam-diam dia membatin.
"Siapa gadis berbaju hijau itu? Sepertinya mereka belum kenal betul. Tapi mengapa melindunginya? Apakah dia tertarik pada Pendekar 131?" Tidak mendapat jawaban pasti dari pertanyaannya, pemuda berkumis tipis ini arahkan pandangannya pada Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
"Perempuan dan kakek itu kudengar memiliki kepandaian tinggi. Hem... Ada silang sengketa apa mereka dengan Joko? Sekarang apa yang harus kulakukan? Joko tampaknya terluka dalam cukup parah. Kalau aku mengajaknya pergi, semua orang yang ada di sini tentu tidak akan tinggal diam! Ah..."
Pemuda ini lalu berpaling pada Daeng Upas yang saat itu melangkah ke arah pemuda bertangan buntung. "Pemuda buntung! Kau dengar kata-kataku. Apa kau ingin kakimu buntung sekalian, hah?!"
“Nenek cantik. Tega-teganya kau berkata begitu tanpa tangan saja aku sudah menderita. Bagaimana kalau kakiku buntung juga?!"
“Bagus berarti kau masih sayang anggota tubuhmu!"
"Ah... ini adalah barang titipan Tuhan, sudah selayaknya kusayang-sayangi. Dan tak akan kubiarkan siapapun mengambilnya!"
Daeng Upas tertawa panjang. "Tidak ada hal sulit bagiku mengambil barang apa pun! Termasuk kedua kakimu. Tapi aku masih berbaik hati jika kau segera enyah dari sini!"
Pemuda bertangan buntung ikut-ikutan tertawa panjang. "Kalau kau gampang mengambil barang apa pun. Apa sukarnya bagiku mempertahankan barang milikku?"
"Jahanam! Kau benar-benar minta mampus!" hardik Daeng Upas. Ucapannya belum selesai, sosoknya telah melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan kirimkan jotosan kanan kiri sekaligus. Kalau nenek ini bisa melepas jotosan dari jarak jauh dengan lawan bisa dibuat terjengkang, bisa dibayangkan jika jotosan itu betul-betul menghantam sasaran!
Karena lesatan sosok Daeng Upas bergerak tiba-tiba, maka kali ini tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda bertangan buntung untuk menghindar. Dan karena tidak punya kedua tangan untuk menangkis jotosan, semua orang yang melihat sama menduga apa yang hendak menimpa si pemuda. Namun semua orang dibuat jadi melengak.
Pemuda bertangan buntung tiba-tiba lipat tubuhnya ke depan terus ke bawah. Lalu... Wuuuttt! Kini sepasang kaki berada di atas, kepala di bawah menopang tubuhnya. Kejap lain mulutnya menguncup menyedot.
Duuuttt! Duuttt! Duuttt!
Terdengar suara tiga kali berturut-turut. Karet bundar yang sedari tadi mengapung di udara melesat cepat dan masuk ke dalam mulutnya. Saat bersamaan, kedua kakinya bergerak membuat sikap seperti orang bersila.
Buukkk! Buuukkk!
Sepasang tangan Daeng Upas beradu dengan sepasang kaki pemuda bertangan buntung. Daeng Upas tampak tegak dengan tubuh bergoyang-goyang keras. Raut wajahnya berubah. Malah kedua tangannya yang baru saja bentrok bergetar, membuat nenek ini geram bukan main. Didahului bentakan melengking, sosoknya melorot ke bawah hingga kedua lututnya menekuk. Tiba-tiba sambil bertumpu pada telapak tangannya, sepasang kakinya mencuat ke depan lepaskan tendangan ke wajah si pemuda!
Di depannya, kepala si pemuda yang dibuat untuk menopang tubuhnya tampak bergoyang-goyang, membuat sosok sang pemuda ikut-ikutan bergoyang. Kejap kemudian kepalanya tampak bergerak menggeser ke belakang.
Melihat kepala si pemuda bergeser ke belakang menghindari tendangan, Daeng Upas cepat melompat depan. Dan dengan masih bertumpu pada telapak tangannya, sepasang kakinya teruskan tendangan. Saat itulah, karena kepalanya terdorong ke belakang sepasang kaki si pemuda bergerak lurus ke bawah.
Daeng Upas mendelik angker. Semua orang yang melihat terkesiap. Karena tiba-tiba gerakan kaki si nenek tertahan oleh sepasang kaki pemuda yang kini menggapitnya. Malah bukan hanya sampai disitu. Begitu kakinya berhasil menggapit sepasang kaki si nenek, pemuda bertangan buntung gerakkan kepalanya lagi ke depan sambil meniup. Bundaran karet mencuat keluar. Namun bersamaan itu menderu angin kencang.
Daeng Upas berteriak nyaring. Dewi Siluman mendengus. Raka Pradesa cepat palingkan kepalanya, demikian juga gadis berbaju hijau yang kini telah bangkit. Ki Buyut tampak alihkan pandangannya pada jurusan lain. Hanya murid Pendeta Sinting yang tidak alihkan pandangannya pada jurusan lain, malah dia tertawa bergelak sambil berkata.
"Nek! Untung kau masih mengenakan rangkapan pakaian dalam. Jika tidak... pasti aku akan melihat pemandangan sangat luar biasa! Nyatanya pahamu masih mulus meski di sana-sini tampak bekas kudisan..."
"Jahanam kurang ajar!" teriak Daeng Upas sambil gerakkan kedua tangannya mengibaskan pakaian bagian bawahnya yang berkibar-kibar tersapu tiupan pemuda bertangan buntung hingga tubuh bagian bawah sampai hampir pantat si nenek terlihat jelas.
Saat kedua tangan Daeng Upas bergerak kibaskan pakaiannya, pemuda bertangan buntung gerakkan kakinya ke atas. Sosok si nenek ikut bergerak ke atas. Merasa geram dan malu, Daeng Upas cepat gerakkan kedua tangannya sambil doyongkan tubuh ke depan. Lalu menghantam kedua kaki si pemuda yang masih menggapit kakinya.
Wuutt! Wuuuttt!
Sejengkal lagi tangan Daeng Upas meremukkan kedua kaki si pemuda. Pemuda ini lepaskan gapitannya. Lalu cepat tarik pulang kakinya ke belakang dan kini tegak memunggungi dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya! Sementara Daeng Upas sendiri tampak tercekat. Hantaman kedua tangannya melabrak tempat kosong. Dan kini tubuhnya melayang deras ke bawah!
Sebenarnya Daeng Upas bukanlah orang berkepandaian rendah meski selama ini dia coba sembunyikan kepandaiannya pada orang lain. Malah terhadap Dewi Siluman, anak tunggalnya sendiri dia tidak mau menunjukkan. Namun karena saat itu hawa kemarahan lebih memegang kendali pikirannya, maka nenek itu tampak bisa dibuat main-main oleh pemuda bertangan buntung.
Tapi saat tubuhnya melayang deras ke bawah, ibu Dewi Siluman ini tidak mau berbuat ayal. Setengah tombak lagi tubuhnya menghantam tanah, tiba-tiba ia membuat gerakan berputar dan serta-merta lepaskan pukulan dari atas udara pada pemuda bertangan buntung yang kini tegak dihadapannya memunggungi!
Gelombang angin luar biasa kencang menderu keras ke arah si pemuda. Terdengar suara duutt! duutt! duuuttt! Tiga kali berturut-turut. Lalu sosok si pemuda terangkat satu tombak ke uclara. Kedua kakinya membuat sikap bersila. Lalu bergerak pulang-balik ke depan ke belakang laksana orang berayun-ayun. Pada saatat bersamaan, gelornbang angin melasat susul menyusul seiring gerakan kaki si pemuda
Bummmmmm!!
Ledakan keras terdengar ketika gelombang angin yang dilepas Daeng Upas bertemu angin yang melesat dari gerakan kaki bersila si pemuda bertangan buntung.
Daeng Upas terdorong sampai satu tombak ke belakang, namun nenek ini mendarat di atas tanah dengan kaki tegak meski wajahnya tampak berubah pucat. Di depan sana, sosok pemuda bertangan buntung terpental namun setelah membuat gerakan berputar dua kali, dia menjejak tanah dengan tubuh tegak bertumpu pada ibu jari kakinya! Wajahnya yang tampan pias, gerakan kembang-kempis mulutnya yang menyedot bundaran karet makin keras, hingga suara Duutt! Duuutt! Duuuttt! Terdengar beberapa kali.
"Pemuda gila ini kalau dibiarkan bisa membuat celaka!" desis Daeng Upas. Lalu nenek ini membuat gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya mengepul asap makin lama makin banyak dan berputar-putar seiring putaran si nenek. Saat lain mendadak Daeng Upas berseru keras. Asap yang berputar-putar mengelilingi tubuhnya bergerak keluar dan berputar-putar cepat ke arah pemuda di hadapannya.
"Kau tak akan lolos dari pukulan maut 'Angin Keranda', Pemuda gila!" seru Daeng Upas sebutkan pukulan yang kini melabrak ke arah si pemuda dengan tegak kacak pinggang dan senyum menyeringai.
Si pemuda sontak putuskan sedotan mulutnya. Sepasang matanya membeliak. "Ha?! Kau benar-benar ingin mengambil kedua kakiku!" ujar si pemuda dengan suara bergetar setelah meniup hingga bundaran karet di mulutnya terapung di depan kepalanya.
Daeng Upas tertawa mengekeh. "Bukan hanya kakimu, tapi sekaligus selembar nyawamu!"
Sambil gelengkan kepala, si pemuda bertangan buntung doyongkan tubuh ke belakang. Tiba-tiba tubuhnya disentakkan kembali ke depan.
Beeetttt!
Dari dada si pemuda melesat bongkahan awan putih yang keluarkan suara luar biasa keras hingga menusuk gendang telinga. Kejap kemudian tempat itu laksana diguncang gempa hebat. Tanah bermuncratan ke udara. Pohon-pohon disekitarnya berderak lalu tumbang karena tanahnya rengkah akibat guncangan.
Suara tawa Daeng Upas terputus laksana disambar setan. Sosoknya terpental sampai dua tombak ke belakang. Untung Ki Buyut masih sempat berkelebat dan menahan tubuhnya hingga selamatlah tubuh si nenek dari terjengkang roboh menghempas tanah. Namun tak urung dari mulutnya keluar cairan merah pertanda dia telah terluka dalam. Setelah salurkan tenaga dalamnya, Daeng Upas segera dapat tegak kembali meski sosoknya masih bergetar.
Di depan sana, sosok si pemuda tampak terkapar di atas tanah. Raut wajahnya makin pias. Keringat membasahi tubuhnya dari kepala sampai kaki. Dari sudut mulutnya tampak pula mengalir darah. Anehnya, bundaran karet masih tetap mengapung di udara di tempat mana tadi si pemuda bertangan buntung tegak berdiri!
"Huh... Mana dotku!" tiba-tiba si pemuda menggumam. Lalu mulutnya membuat gerakan menyedot. Karet bundar yang mengapung laksana ditarik kekuatan aneh lalu bergerak ke arah si pemuda dan kejap lain telah berada di mulut si pemuda. Saat bersamaan, sepasang kakinya menekuk. Sekali sentak, tubuhnya terangkat ke atas. Terhuyung sejenak namun tak lama kemudian diam dengan mulut mainkan karet bundar!
"Astaga! Kemana mereka?!" Tiba-tiba Ki Buyut berbisik pada Daeng Upas yang berada disampingnya.
Daeng Upas pentangkan matanya lalu memandang berkeliling. Tubuhnya serentak bergetar keras. Ternyata Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau tidak ada lagi di tempat itu. Pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis pun tidak tampak lagi. Demikian juga Dewi Siluman.
"Ki Buyut! Lekas cari Durga Ratih! Kukira dia mengikuti lenyapnya pemuda berpakaian putih tadi! Dan jika kau berhasil menangkap pemuda itu, jangan kau bunuh. Aku harus bicara dahulu dengannya. Aku akan selesaikan pemuda gila buntung itu! Dia sangat bahaya jika dibiarkan hidup!"
Tanpa berkata lagi, Ki Buyut segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Sebenarnya Ki Buyut tidak mau tinggalkan tempat itu. Dia tampak meragukan kakaknya bila berhadapan sendiri dengan pemuda bertangan buntung. Namun karena dia tahu bagaimana sifat kakaknya, lagi pula Dewi Siluman tidak boleh dibiarkan pergi sendirian karena saat ini banyak tokoh-tokoh yang muncul dan belum bisa diketahui apa tujuannya, akhirnya kakek berjubah hitam ini berkelebat pergi.
Sepasang mata Daeng Upas menyengat pandangi pemuda buntung, satu-satunya yang masih ada di tempat itu. Dengan pasang tampang angker, dia membentak. "Gara-gara ulahmu, urusan jadi berantakan! Aku tak akan tinggalkan tempat ini sebelum membuatmu mampus tiga kali!"
"Ah. Rupanya kau tahu jika aku punya nyawa rangkap tiga. Tapi sayang hari ini aku tidak suka berbagi nyawa denganmu meski satu pun!" jawab si pemuda.
Habis berkata begitu, sosoknya melenting satu tombak ke udara. Dengan gerak cepat, kakinya bersila ke bawah, lalu diayunkan ke depan. Gelombang angin menderu cepat, bukan langsung ke arah Daeng Upas, melainkan yang dituju adalah tanah di depan si nenek. Namun Daeng Upas ternyata salah duga. Dia mengira si pemuda menyerang ke arahnya, hingga dengan menggembor keras dia sentakkan kedua tangannya memapak gelombang angin yang datang.
Bummm!
Tanah terbongkar muncrat ke udara. Saat itulah baru si nenek sadar. Dia cepat angkat tangannya kembali dan didorong ke arah depan. Namun tangan si nenek tertahan di udara. Karena sepasang matanya tidak menangkap lagi sosok pemuda bertangan buntung!
"Jahanam keparat!" maki Daeng Upas sambil banting-kan kaki. Kepalanya lalu didongakkan, mulutnya terbuka berteriak. "Pemuda buntung gila! Kau adalah tambahan korban yang harus mampus di tanganku!"
Habis berteriak, kedua tangannya yang berada di udara disentakkan ke depan dengan tampang membesi dilanda hawa amarah. Yang jadi sasaran kemarahannya adalah pohon-pohon di depan sana. Pohon-pohon itu berkeretekan lalu perlahan-lahan tumbang perdengarkan suara berdebam-debam. Daun dan tanah yang tertimpa pohon bertabur keudara. Saat suasana lengang kembali, sosok Daeng Upas tidak terlihat lagi di tempat itu.
KITA tengok sejenak apa yang terjadi dengan Pendekar 131 hingga tiba-tiba lenyap. Saat Daeng Upas lepaskan pukulan 'Angin Keranda' dan pemuda buntung memangkas dengan sentakkan tubuhnya ke depan, semua orang di tempat itu terkesima dan memandang tak berkesip. Saat itulah satu bayangan berkelebat cepat. Dan laksana elang si bayangan menyambar sosok murid Pendeta Sinting. Begitu cepatnya gerakan si bayangan, Pendekar 131 sendiri baru sadar jika tubuhnya disambar orang tatkala sudah berada kira-kira tujuh tombak dari tempatnya semula!
Gadis berbaju hijau yang berada di samping sebelah kanan murid Pendeta Sinting merasakan desiran angin halus. Saat dia berpaling, dia masih sempat menangkap kelebatan orang. Ketika dia tidak melihat lagi Pendekar 131, gadis berbaju hijau ini cepat pula putar diri setengah lingkaran lalu berkelebat ke arah perginya si bayangan.
Pada saat itulah, Raka Pradesa melihat gerakan si baju hijau. Dan ketika matanya tidak menangkap sosok Pendekar 131, pemuda berpakaian hitam-hitam ini merasa curiga. Tanpa pikir panjang lagi dia segera menghambur ke arah perginya si gadis berbaju hijau.
Melihat Raka Pradesa berkelebat pergi, Dewi Siluman yang berada tidak jauh kernyitkan dahi. Dia sebenarnya tidak akan menghalangi perginya pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis ini, karena dia menduga pemuda ini tidak artinya. Namun tatkala matanya melirik dan tidak mendapati Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau, perempuan anak kandung Daeng Upas ini segera menyusul ke arah berkelebatnya Raka Pradesa. Ki Buyut tidak hiraukan berkelebatnya Dewi Siluman, karena saat itu sosok Daeng Upas tampak mencelat ke belakang, membuatnya harus segera selamatkan kakak kandungnya.
Pada satu tempat yang ditumbuhi rangasan semak belukar lebat yang di sana-sini banyak jalan setapak yang berkelok dan bersimpang-simpang, satu bayangan hentikan larinya. Dia menoleh sejenak kebelakang. Lalu melirik pada sosok tubuh yang ada di pundak kanannya.
Orang yang memanggul sosok di pundaknya ini adalah seorang perempuan berambut panjang yang digelung ke belakang. Rambutnya diberi pewarna hitam berkilat-kilat. Dia mengenakan pakaian panjang berwarna coklat hampir menutupi sekujur tubuhnya. Wajahnya sulit dikenali, karena ditutup dengan bedak tebal. Alis matanya disaput pewarna hitam dan tebal. Kelopak matanya sebelah atas diberi warna hijau merah. Bibirnya dipoles merah menyala.
"Hai! Hendak kau bawa ke mana aku? Kenapa kau menculikku?!" Orang di panggulan perempuan berbedak tebal buka mulut. Dia bukan lain adalah murid Pendeta Sinting.
Orang yang ditegur tidak menjawab. Dia hanya palingkan mukanya sejurus. Pendekar 131 terlengak melihat raut wajah orang. Hingga tak lama kemudian dia berkata lagi.
"Hai! Siapa kau?! Turunkan aku!" Meski mulut murid Pendeta Sinting membuka keluarkan teguran, namun sebenarnya dalam hati dia membatin sendiri. "Celaka! ini manusia apa hantu perempuan?! Apa tujuannya?!"
Karena tidak ada sahutan, untuk kesekian kalinya Joko buka mulut. "Hai! Harap..."
Perempuan berbedak tebal berpaling. Sepasang matanya menatap pada murid Pendeta Sinting. Mulutnya yang merah menyala bergerak membuka. "Harap tidak bertanya dahulu! Nanti semuanya akan kujelaskan! Bahaya masih mengikuti!"
"Tapi harap kau turunkan aku!"
Mulut yang dipoles merah menyala bergerak sunggingkan senyum. Lalu kepalanya menggeleng pelan. "Meski kau tidak merasakan sakit lagi, tapi untuk sementara ini kau belum bisa salurkan tenaga dalammu, Anak Muda. Padahal bahaya belum lenyap. Apa yang hendak kau andalkan menghadapi bahaya saat ini?"
Joko Sableng terdiam karena ucapan perempuan berbedak tebal betul adanya. Namun karena merasa jengah berada di pundak perempuan, murid Pendeta Sinting berujar. "Tapi kuharap kau turunkan tubuhku. Untuk berjalan saja aku masih mampu!"
Kepala perempuan berbedak tebal kembali menggeleng “Saat ini bukan saatnya berjalan-jalan! Kita harus bergerak cepat"
Selagi perempuan berbedak tebal berkata, Joko coba gerakan tubuhnya, tapi dia melengak. Ternyata tubuhnya tegang tak bisa digerakkan. “Kau menotokku" Kata Pendekar 131.
"Maaf itu harus kulakukan! Keadaanlah yang mengharuskan demikian! Harap tidak berburuk sangka! Karena jika mau, saat ini juga aku bisa berbuat apa saja terhadapmu!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal berpaling ke belakang, lalu kejap lain dia berkelebat menyelinap di balik semak belukar. Joko pentangkan sepasang matanya. Mulutnya hendak bicara lagi. Namun sebelum suaranya terdengar, si perempuan telah mendahului.
"Jangan banyak bicara dahulu. Jika tidak, terpaksa aku menghentikan jalan suaramu!"
Ucapan bernada ancaman si perempuan membuat murid Pendeta Sinting kancingkan mulutnya lagi, meski dalam hati makin banyak dibuncah berbagai pertanyaan. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hijau hentikan larinya tak jauh dari tempat di mana tadi perempuan berbedak tebal berhenti. Ternyata dia adalah gadis muda berparas cantik yang mengenakan baju warna hijau. Dia sejenak palingkan kepala ke kanan kiri dengan mata liar memperhatikan berkeliling.
"Ke mana dia? Apa aku harus teruskan perjalanan ke tempat yang ditentukan? Ah. Tak kusangka jika ada halangan! Hingga perjalananku terhambat. Untung dia segera datang... Tapi sekarang aku harus bagaimana? Kulihat pemuda berbaju hitam-hitam itu mengikutiku! Meski dia mengatakan sahabat pada pemuda berbaju putih, tapi aku belum yakin benar!" gumam gadis berbaju hijau. Setelah berpikir sejenak, gadis ini segera berkelebat. Namun langkahnya tertahan tatkala dari rumpun semak belukar terdengar suara halus.
"Aku di sini... Cepat kau ke sini!"
Gadis berbaju hijau tersentak namun menarik napas lega, karena dia mengenali suara orang. Hanya untuk beberapa saat dia masih tegak tidak menuruti ucapan suara halus. Karena ternyata suara halus itu seperti terdengar dari empat penjuru angin, hingga si gadis tidak dapat menentukan di mana adanya orang keluarkan suara. Melihat hal ini, dari semak belukar kembali terdengar suara halus.
"Aku berada di sebelah kananmu. Cepat!"
Gadis berbaju hijau melirik ke kanan, lalu berkelebat menyelinap. Di antara rumpun semak belukar, dia melihat seorang perempuan berbedak. Dia hendak buka mulut. Namun diurungkan tatkala dilihatnya perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.
Pendekar 131 sipitkan matanya, diam-diam dia membatin. "Adakah perempuan ini yang dimaksud gadis berbaju hijau dengan ucapannya sesaat yang lalu?" Sebenarnya dia ingin mengutarakan isi hatinya, namun saat teringat pada ancaman perempuan berbedak tebal, dia urungkan maksudnya.
Saat itulah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Namun sampai jalan setapak yang bersimpangan, dia berhenti. Kepalanya bergerak ke kiri kanan. Lalu terdengar dia bergumam.
"Kemana gadis itu? Dia lenyap seperti ditelan bumi. Padahal tentu belum jauh dari sini! Sial! Gara-gara banyaknya simpang Jalan dan rumpun semak belukar, aku jadi kehilangan jejaki"
Orang ini yang tidak lain adalah Raka Pradesa perhatikan rangasan semak belukar di kanan kirinya dengan mata mendelik seolah hendak menembusi lebatnya semak belukar. Namun sejauh ini dia tak dapat menemukan gadis berbaju hijau yang diikutinya.
Setelah agak lama, akhirnya dia memutuskan mengambil jalan setapak yang ke arah selatan. Namun baru saja tubuhnya hendak berkelebat, satu suara membuat gerakannya tertahan.
"Berhenti!"
"Celaka! Mendengar suaranya, pasti dia Dewi Siluman!" gumam Raka Pradesa. "Keselamatan Pendekar 131 lebih penting. Perempuan Itu tak perlu dilayani!"
Raka Pradesa tak hiraukan teriakan orang. Dia segera berkelebat. Namun baru saja tubuhnya bergerak, satu bayangan berkelebat melewati dan tahu-tahu di hadapannya telah tegak perempuan bercadar dan berjubah hitam yang tidak lain Dewi Siluman adanya!
"Aku cuma akan bicara sekali!" kata Dewi Siluman seraya menatap tajam. "Pasang telinga baik-baik! Lalu jawab dengan jujur! Dibawa ke mana pemuda yang kau katakan sahabatmu itu?!"
Raka Pradesa tampak sedikit terkejut. Namun tak lama kemudian tersenyum. Sambil balik memandang bola mata sang Dewi yang tampak dari lobang cadar hitamnya, Raka Pradesa buka mulut menjawab.
"Katakan dulu apa maksudmu mengejar sahabatku itu!"
Dewi Siluman tidak segera memberi jawaban, membuat Raka Pradesa berujar.
"Jangan-jangan kau tertarik padanya! Benar...?!"
Sepasang mata Dewi Siluman membesar. Rahang dibalik cadarnya mengembung, kedua tangannya mengepal dan bergetar. Namun yang kemudian terdengar adalah suara tawanya yang mengekeh panjang!
"Aku memang tertarik..." kata Dewi Siluman, membuat raut wajah Raka Pradesa berubah. "Bukan pada tubuhnya, melainkan pada selembar nyawanya!"
"Apa di antara kau dan dia ada sengketa?!" "Hem... Jangan-jangan kau bukan sahabatnya! Jika benar sahabatnya pasti kau tahu apa masalahnya hingga aku tertarik nyawanya! Kau telah berani mendustaiku!"
"Kau jangan salah sangka. Meski kami bersahabat, namun urusan pribadi tidak pernah kami bicarakan! Tentu antara kau dan dia ada masalah pribadi!"
Dewi Siluman kembali tertawa mengekeh mendengar ucapan Raka Pradesa. Puas tertawa perempuan bercadar dan berjubah hitam ini berkata. "Urusanku dengannya lebih daripada urusan pribadi!"
"Aku tak mengerti maksudmu!"
"Kau memang belum saatnya mengerti! Sekarang jawab pertanyaanku tadi!"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, karena kau dan aku bernasib sama! Kehilangan jejak!"
"Melihat sikapnya, kali ini kata-katanya mungkin benar! Namun pemuda ini belum mengatakan siapa dia sebenarnya. Padahal dia tahu banyak tentang diriku! Malah tentang ibuku! Aku harus tahu siapa dia!" membatin Dewi Siluman.
Seperti diketahui, Raka Pradesa telah dapat menebak dengan tepat siapa adanya Dewi Siluman, malah juga tentang Ibunya meski saat itu Raka Pradesa belum sempat mengu-capkan karena buru-buru dipotong ucapannya oleh Dewi Siluman yang takut rahasianya diketahui orang. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu).
"Pemuda berpakaian hitam!" kata Dewi Siluman. "Kau telah dapat mengetahui siapa aku meski kita belum pernah bertemu. Sekarang aku tanya padamu. Siapa gadis berbaju hijau yang membawa sahabatmu itu?! Katakan juga siapa kau adanya!"
Raka Pradesa tersenyum. Setelah terdiam agak lama akhirnya dia menjawab. "Namaku Raka Pradesa. Aku hanyalah anak seorang petani biasa. Hanya karena aku suka keluyuran, maka sedikit banyak aku tahu siapa tokoh-tokoh terkenal dalam rimba persilatan! Meski aku tahu hanya dari ciri-cirinya saja!"
Dewi Siluman kernyitkan dahi di balik cadarnya. Lalu berujar. "Lalu siapa gadis berbaju hijau itu?!"
"Terus terang. Aku tidak mengenalinya!"
"Begitu? Lalu dari siapa kau mengetahui diriku juga ibuku?!"
"Seperti kataku tadi. Aku adalah orang yang suka keluyuran. Aku suka bertanya pada setiap orang yang kutemui. Jadi aku lupa dari siapa aku mendengar ciri-ciri serta ceritamu!"
"Hem... Selama ini hanya beberapa orang saja yang mengetahui keberadaan ibuku. Adalah hal mustahil jika orang jalanan dapat mengetahuinya!" pikir Dewi Siluman. "Pemuda ini berkata bohong!"
Berpikir begitu, anak Daeng Upas ini lalu berkata keras. "Kau telah berani bohong padaku!"
Kening Raka Pradesa mengernyit. "Bagaimana kau bisa menuduhku demikian?"
Dewi Siluman tertawa pelan. "Siapa aku lebih-lebih Ibuku, hanya beberapa orang saja yang tahu. Adalah tidak masuk akal jika orang jalanan mengetahuinya! Kau menyembunyikan sesuatu. Kau tidak berterus terang katakan siapa dirimu!"
"Ah. Itu terserah penilaianmu! Yang penting memang begitulah kenyataannya!"
"Kau masih belum mau terus terang?!" kata Dewi Siluman setelah agak lama terdiam.
"Aku telah katakan terus terang!"
Di balik cadarnya, Dewi Siluman menyeringai. "Aku bertanya sekali lagi. Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku telah mengatakannya padamu!" Habis berkata begitu Raka Pradesa melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru satu langkah, Dewi Siluman telah membentak garang.
"Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi tanpa nyawamu!"
Ucapan Dewi Siluman membuat Raka Pradesa menjadi geram. Dia berpaling dengan mata menatap tajam. Kalau perturutkan hati, ingin rasanya dia balas membentak meladeni perempuan bercadar dan berjubah hitam itu. Namun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia hanya tersenyum dingin, Lalu tanpa berkata-kata lagi, putar tubuh setengah lingkaran dan melangkah tinggalkan tempat itu
Sikap Raka Pradesa membuat Dewi Siluman naik pitam. Tanpa didahului kata-kata, kedua tangannya diangkat lalu lepaskan satu pukulan jarak jauh. Terdengar satu deruan. Kejap lain satu gelombang angin keras melesat ke arah Raka Pradesa.
"Dia tampaknya tidak main-main dengan ancam-annya!" gumam Raka Pradesa lalu segera berkelebat selamatkan diri.
"Hem... Tampaknya kau menyimpan kepandaian juga!" desis Dewi Siluman lalu merangsek ke depan. Kedua tangannya langsung lepaskan jotosan ke arah kepala si pemuda.
Meski pada mulanya Raka Pradesa tidak bermaksud meladeni, namun karena saat itu Dewi Siluman telah lancarkan pukulan, mau tak mau Raka Pradesa segera pula angkat kedua tangannya.
Dess! Desss!
Dua pasang tangan beradu keras. Dewi Siluman membeliak dengan raut di balik cadarnya berubah. Dari bentrokan tadi, sang Dewi benar-benar yakin jika pemuda di hadapannya tidak seperti apa yang diduga.
"Harap kau tidak memaksakan kehendak! Aku tak ingin membuat silang sengketa denganmu!" ujar Raka Pradesa sambil kibaskan kedua tangannya yang baru saja bentrok. Setelah menatap sekilas pada Dewi Siluman, pemuda berpakaian hitam-hitam ini hendak pergi.
Tapi untuk kesekian kalinya gerakan Raka Pradesa tertahan, karena saat itu tampak melesat satu kabut hitam membawa serta gelombang angin dahsyat. Dewi Siluman tampaknya telah lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Seakan tahu kehebatan pukulan sang Dewi, Raka Pradesa tak mau bertindak ayal. Dia cepat tarik kedua tangannya ke belakang. Lalu serta-merta didorong ke depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin laksana suara gemuruh gelombang laut melabrak ganas ke depan.
Blammm!
Tempat itu berguncang keras. Rangasan semak belukar yang berada di sekitar tempat itu terabas rata. Sosok Raka Pradesa terdorong deras ke belakang. Tubuhnya berguncang-guncang hendak jatuh. Namun saat tubuhnya hendak roboh terjengkang, dia membuat gerakan berputar. Kejap lain sosoknya kembali tegak meski dengan raut berubah dan tangan bergetar. Di depan sana, sosok Dewi Siluman hanya tersurut tiga langkah. Namun tak urung juga raut di balik cadarnya berubah.
"Setan!" maki Dewi Siluman geram mengetahui pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepaskannya bisa ditahan lawan. Tanpa pikir panjang lagi, sepasang mata Dewi Siluman bergerak membesar. Saat lain sepasang kakinya menghentak tanah.
"Sinar Setan!" terdengar gumaman dari balik semak belukar.
Di depan, tiba-tiba satu sinar hitam melesat dari sepasang mata Dewi Siluman menghantam tanah lima langkah di depannya. Bersamaan dengan itu, tanah yang terhantam sinar hitam rengkah dan rengkahan itu terus bergerak cepat ke arah Raka Pradesa. Inilah pertanda jika Dewi Siluman telah lepaskan pukulan 'Sinar Setan'.
Di hadapannya, Raka Pradesa tampak tercekat. Sejenak dia tampak bimbang, namun kejap lain dia angkat kedua tangannya. Namun belum sampai kedua tangannya lakukan gerakan menyentak, dari arah rimbun semak belukar melesat satu gelombang angin dahsyat. Sosok Raka Pradesa terpental ke samping kanan. Lalu terdengar suara ledakan keras. Rengkahan tanah akibat pukulan 'Sinar Setan' yang dilepas Dewi Siluman terhenti seketika!
SATU sosok tubuh tegak lima langkah di samping tanah yang rengkah. Kedua tangannya ditarik pulang ke belakang lalu diluruhkan. Sosoknya tampak sedikit bergetar, pertanda dia baru saja lepaskan pukulan dengan mengerahkan tenaga dalam kuat. Dia adalah seorang perempuan yang mukanya diberi bedak tebal hingga tidak bisa dikenali. Rambutnya digelung ke belakang. Bibirnya dipoles merah menyala. Orang ini mengenakan pakaian panjang berwarna coklat.
Sementara itu bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras, sosok Dewi Siluman tersapu sampai dua tombak ke belakang. Sepasang matanya menyipit membesar. Selain merasakan sakit di sekujur tubuhnya juga hampir tak bisa mempercayai pukulan sakti yang dilepasnya tadi dapat dipangkas dengan mudah.
"Keparat! Siapa kau?!" bentak Dewi Siluman setelah dapat kuasai diri seraya menatap tak berkesip pada perempuan berbedak tebal.
Perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya sejurus pada Raka Pradesa. Lalu memandang pada Dewi Siluman. Bibirnya yang merah menyala membuka. "Durga Ratih... Jangan memaksakan hati. Dan tinggalkan tempat ini dengan baik-baik! Jika mau kusarankan, jangan kau perturutkan kemauan. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa..."
Wajah di balik cadar Dewi Siluman seketika berubah. Sepasang matanya makin mendelik mendapati orang di hadapannya tahu siapa dirinya. "Perempuan! Aku bertanya. Tidak butuh saran!" kata Dewi Siluman setengah berteriak. Dadanya tampak bergerak turun naik dengan keras.
"Di sini kurasa bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab! Harap kau bersabar. Kelak kau tentu akan mendapat jawaban pasti..."
Dewi Siiluman perdengarkan dengusan keras. Rupanya dia tak dapat menahan kesabaran. "Tampaknya kau ingin mampus tanpa dikenali!"
Sosok Dewi Siluman berkelebat. Kedua tangannya kirimkan pukulan ke arah kepala perempuan berbedak tebal. Dua gelombang angin menderu mendahului tangan yang memukul, jelas jika sang Dewi kerahkan hampir segenap tenaga luar dan dalamnya.
"Ah. Rupanya kau keras kepala seperti ibumu!" gumam perempuan berbedak tebal lalu kelebatkan tangan kanannya ke samping.
Buukkk! Buukkk!
Dewi Siluiman berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke samping dan terjajar sampai satu tombak. Kejap lain tubuhnya roboh dengan pinggang menghantam tanah terlebih dahulu. Kedua tangannya yang baru saja tersapu tangan kanan perempuan berbedak tebal bergetar keras. Dan saat Dewi Siluman memeriksa, matanya membelalak. Jubah bagian lengannya robek dengan kulit memerah di baliknya!
"Jahanam! Kubunuh kau!" teriak Dewi Siluman. Laksana terbang perempuan bercadar dan berjubah hitam ini bangkit dan melesat ke arah perempuan berbedak tebal. Kedua tangannya bergerak lepas-kan pukulan 'Kabut Neraka’.
Namun belum sempat kabut hitam melesat keluar dari kedua tangannya, tiba-tiba kedua tangan sang Dewi tersentak mental ke belakang. Di saat lain tubuhnya terdorong keras dan terjengkang jatuh di atas tanah!
Sepuluh langkah di hadapan Dewi Siluman, perempuan berbedak tebal tarik kedua tangannya yang baru saja mendorong dengan telapak terbuka. Dari lehernya terlihat butiran keringat. Pakaiannyapun basah. Jelas walaupun hanya mendorongkan kedua tangan, namun hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam.
"Durga Ratih..." kata perempuan berbedak tebal. "Turuti ucapanku atau kau akan mendapat celaka sendiri!"
Dengan menahan marah dan sakit, Dewi Siluman perlahan-lahan bangkit. Menatap tajam pada perempuan di hadapannya. "Kau!" ujarnya. "Jangan mimpi urusan ini selesai sampai di sini!" Habis berkata begitu, Dewi Siluman putar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Perempuan berbedak tebal memperhatikan kepergian Dewi Siluman dengan gelengkan kepala dan menggumam tak jelas.
"Terima kasih atas pertolonganmu..." kata Raka Pradesa lalu sedikit bungkukkan tubuh.
Perempuan berbedak tebal berpaling. Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada pemuda berpakaian hitam-hitam dari ujung rambut sampai kaki. "Anak cantik..." ujar si perempuan dengan suara pelan. "Apa benar kau mencari sahabatmu?!"
Wajah Raka Pradesa seketika berubah. Dadanya berdebar. Mulutnya hendak membuka untuk bicara. Namun kejap lain kembali terkancing. Hanya sepasang matanya yang kini menatap tak berkesip pada perempuan berbedak tebal.
"Anak cantik! Kau belum menjawab pertanyaanku..."
Raka Pradesa belum juga buka mulut. Sebaliknya sepasang matanya memperhatikan dirinya sendiri, seolah ada yang tidak beres. Perempuan berbedak tebal sunggingkan senyum.
"Keadaanmu tidak ada yang berubah. Hanya tutup tipis di wajah dan kumis di atas bibirmu yang membuat kau tampak beda..."
Raka Pradesa terkesiap. Kali ini pemuda berkumis tipis ini tidak dapat lagi menyembunyikan rasa kagetnya. Malah jika di belakangnya tidak ada tanah yang rengkah akibat pukulan 'Sinar Setan' Dewi Siluman, niscaya dia akan surutkan langkah ke belakang!
"Dia... Dia tahu siapa diriku..." kata Raka Pradesa dalam hati. Lalu dengan suara agak gemetar dia berucap. "Siapa kau sebenarnya...?"
Perempuan berbedak tebal kembali tersenyum. Sambil arahkan pandangannya ke jurusan lain dia berkata. "Seperti kukatakan pada Durga Ratih tadi, di sini bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab. Kau juga harap bersabar. Dan sekarang jawab pertanyaanku!"
Meski dadanya masih dibuncah dengan berbagai pertanyaan, setelah berpikir sejenak, Raka Pradesa akhirnya buka mulut menjawab. "Aku memang mencari sahabatku..."
"Siapa...?"
"Pemuda bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131..."
"Kenapa kau mencarinya kemari?"
Setelah agak lama terdiam, Raka Pradesa menjawab. "Aku hanya menduga-duga..." "Hem... Berarti kau tidak tahu pasti ke mana sahabatmu itu pergi."
"Benar...!"
"Bagaimana bisa begitu?" tanya perempuan berbedak tebal sambil menatap kembali ke arah si pemuda.
"Dia dalam keadaan terluka. Aku menduga dia dilarikan seseorang! Tapi sayang aku kehilangan jejak!"
"Kau begitu mengkhawatirkan keadaannya. Kau tertarik padanya?"
Mendengar pertanyaan perempuan, untuk kesekian kalinya paras wajah Raka Pradesa kembali berubah. Untuk beberapa saat pemuda ini terdiam. Namun setelah dapat kuasai diri, ia berucap. Tapi sebelum suaranya terdengar, perempuan berbedak tebal telah mendahului berkata.
"Anak cantik. Kau tak usah mengkhawatirkan sahabatmu itu. Dia baik-baik saja. Sekarang pulanglah! Suatu saat pasti kau akan jumpa lagi dengan sahabatmu itu."
"Aku tahu dia terluka. Bagaimana kau bisa mengatakan dia baik-baik saja?"
"Dia memang terluka. Tapi akan segera baik kembali. Jelas?!"
"Hai! Jangan-jangan kau yang membawanya! Dimana dia sekarang?!"
Perempuan berbedak tebal putar diri. Lalu berujar pelan. "Aku tak dapat mengatakan padamu. Aku harus segera pergi..."
"Tunggu!" seru Raka Pradesa menahan gerak langkah perempuan berbedak tebal.
"Dengar, Anak cantik. Kau tak ingin kehilangan sahabatmu itu bukan?" kata perempuan berbedak tebal mendahului bicara tanpa berpaling.
"Apa maksud ucapanmu?!"
"Sahabatmu harus cepat mendapat pertolongan. Jika tidak, kau tahu sendiri apa yang akan terjadi menimpanya!"
"Tapi..." Raka Pradesa tak kuasa teruskan ucapannya.
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Tabahkan hati. Untuk sementara ini biar sahabatmu berada di tanganku! Kau pulanglah!"
Raka Pradesa tegak dengan tubuh gemetar. Sementara perempuan berbedak teruskan langkah. Tiba-tiba Raka Pradesa meloncat dan tegak menghadang. "Kau belum mengatakan siapa dirimu. Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu?!"
"Aku tak dapat mengatakannya saat ini. Tapi yang jelas aku tahu siapa dirimu! Dan jika kau kunasihati, tanggalkan penyamaranmu. Karena tak jarang penyamaran hanya mendatangkan rasa kecewa. Lebih baik berterus teranglah, lebih-lebih dalam penampilanmu!"
"Perempuan ini tahu banyak tentang diriku. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia menasihatiku demikian? Apakah..." Raka Pradesa tak teruskan membatin, karena saat dia memandang ke depan, perempuan berbedak tebal telah jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menyelidik. Aku ingin buktikan kebenaran ucapannya!" Raka Pradesa segera melesat menyusul perempuan berbedak tebal.
Merasa diikuti, perempuan berbedak tebal segera berkelebat. Dan pada satu tempat, dia menyelinap, lalu berlari balik ke arah mana dia tadi berada.
"Heran. Baru saja dia di tempat ini. Tapi lenyap ke mana dia?!" gumam Raka Pradesa begitu berada pada satu tempat dan maitanya tidak lagi menangkap sosok perempuan berbedak tebal yang dikejar.
"Joko... Joko..." Tanpa sadar Raka Pradesa menggumam dengan suara serak. "Di mana kau sekarang? Apakah benar ucapan perempuan tadi bahwa kau akan segera baik? Apakah kau tahu jika aku adalah..." gumaman pemuda berkumis tipis ini terhenti.
Tangan kiri kanannya terangkat dan menakup wajahnya. Setelah agak lama dan kedua tangannya diturunkan, tampak sepasang matanya sedikit berkaca-kaca. Dia menarik napas dalam dan panjang berulangkali. Lalu dengan dada diselimuti berbagai buncahan perasaan, dia melangkah perlahan me-ninggalkan tempat itu.
Sementara di balik rimbun semak belukar tidak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tadi, perempuan berbedak tebal melangkah ke arah gadiis berbaju hijau yang jongkok di samping sosok Pendekar 131 yang menggeletak di atas tanah diam tak bisa bergerak dan bersuara.
"Maaf, Anak muda. Hal itu harus kulakukan demi kebaikanmu!" ujar perempuan berbedak tebal seraya tekankan jari telunjuknya pada dua urat besar di leher murid Pendeta Sinting, lepaskan totokan yang membuat Joko tak dapat bicara.
Begitu perempuan berbedak tebal tarik pulang jari telunjuknya, Joko Sableng segera berkata. "Aku tadi mendengar suara sahabatku. Ke mana dia sekarang? Apa sebenarnya yang terjadi?!"
"Kita tak punya waktu berlama-lama di sini! Nanti saja kuceritakan!" kata perempuan berbedak tebal. Lalu bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat dia tegak kembali, sosok Pendekar 131 telah berada di pundak kirinya. Karena saat itu murid Pendeta Sinting dalam keadaan tertotok, maka dia tak bisa berbuat banyak. Malah karena menduga kedua perempuan itu benar-benar ingin menolongnya, dia tak buka mulut lagi saat perempuan berbedak tebal berkelebat dan diikuti oleh gadis berbaju hijau.
MURID Pendeta Sinting tidak tahu sudah berapa lama dia berada di tempat itu. Yang dia tahu, saat dia buka kelopak matanya, tubuhnya sudah dapat digerakkan lagi. Malah ketika dia coba salurkan tenaga dalamnya, rasa sakit tidak lagi terasa.
"Ke mana perempuan berdandan seronok itu? Gadis berbaju hijau pun tidak kelihatan!" desis Joko lalu memandang berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada pada satu ruangan batu yang lima belas langkah di hadapannya tampak sebuah lobang pintu. Memandang jauh keluar kelihatan rimbun dedaunan dan jajaran pohon.
Yakin tidak ada orang di ruangan itu, perlahan-lahan Pendekar 131 melangkah menuju lobang pintu. Namun baru dua tindak, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu sesosok tubuh telah tegak di balik lobang pintu. Joko jerengkan sepasang matanya memandang tak berkesip. Sosok itu adalah seorang perempuan mengenakan pakaian panjang warna coklat. Wajahnya tertutup bedak tebal.
"Ah, dia..." gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya orang. Lalu bungkukkan sedikit tubuh sambil berujar.
"Meski kau belum sebutkan siapa dirimu, aku mengucapkan terima kasih. Karena kau yang telah menolongku..."
Perempuan berbedak tebal tersenyum. Diam-diam dia membatin. "Pemuda menarik. Tak heran Jika gadis-gadis banyak menyukainya. Hanya sayang bila dia salah jalan..."
"Anak muda. Kuharap kau sudah agak baik..." ujar perempuan berbedak tebal setelah terdiam agak lama.
"Berkat pertolonganmu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih..." Murid Pendeta Sinting menatap lekat-lekat pada perempuan di hadapannya. "Harap kau sudi sebutkan diri..."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Saat ini aku belum bisa turuti permintaanmu. Tapi percayalah, suatu saat nanti kau tentu akan menge-tahuinya. Sekarang kau cukup mengenaliku sebagaimana kau lihat..."
Pendekar 131 menghela napas panjang. "Kau telah berjanji hendak menceritakan sahabatku pemuda berpakaian hitam-hitam tempo hari..."
Sepasang mata di bawah kelopak yang diberi warna hijau dan merah milik perempuan berbedak tebal tak berkesip pandangi Joko seakan baru saja melihat. "Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian hitam-hitam sahabatnya itu. Hem... Tapi tak baik aku ikut campur urusan ini. Biarlah kelak dia yang akan tahu sendiri!" kata perempuan berbedak tebal dalam hati. Lalu penuhi permintaan Joko menceritakan pemuda berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa.
"Kau tak usah cemas. Dia dalam keadaan baik-baik..." kata perempuan berbedak tebal mengakhiri ceritanya.
Joko menganggukkan kepalanya. Dia menarik napas lega. Karena dia tahu dari sikap Raka Pradesa jelas jika pemuda berkumis tipis ini hendak berusaha menolongnya tempo hari meski usahanya tidak berhasil.
"Sekarang aku tanya padamu, Anak Muda. Kenapa kau berusaha masuk Istana Hantu...?" tanya perempuan berbedak tebal masih dengan menatap tak berkesip.
Joko terkesiap tak menduga jika si perempuan tahu apa yang dilakukannya tempo hari. Namun sejauh ini dia belum mengatakan apa tujuannya, karena meski perempuan berbedak tebal telah menolongnya, tapi dia belum dapat meraba apa tujuan sebenarnya si perempuan. Lebih-lebih si perempuan tidak mau sebutkan dirinya dan menyembunyikan wajah di balik bedak tebal agar tidak mudah dikenali.
Seakan tahu apa yang terpikir oleh murid Pendeta Sinting, perempuan berbedak tebal tersenyum dan berkata. "Kalau kau ragu mengatakannya karena menaruh curiga padaku, aku tak memaksa. Namun satu hal yang harus kau perhatikan, jangan kau terseret mengikuti ucapan orang. Karena bukan saja kau akan mendapat kecewa, tapi mungkin akan membuatmu sengsara!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia teringat akan ucapan Raja Tua Segala Dewa. "Meski kata-katanya lain, tapi nada maksudnya sama! Apa dia tahu banyak tentang Istana Hantu?"
"Apakah kau tahu siapa gerangan penghuni Istana Hantu?!" tanya Joko pada akhirnya.
"Sampai sekarang siapa penghuni istana itu masih jadi teka-teki. Tapi aku punya seorang sahabat yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu..."
"Siapa dia?" sahut Joko Sableng cepat.
"Kau harus mengatakan dulu apa tujuanmu hendak memasuki Istana Hantu!"
"Tiga sahabatku dikabarkan lenyap begitu saja. Dan seseorang menduga jika lenyapnya sahabat-sahabatku itu didalangi penghuni Istana Hantu!"
Mendengar ucapan Joko, perempuan berbedak tebal perdengarkan suara tawa pelan. Seraya gelengkan kepala dia berkata. "Jika demikian halnya, kau harus perhatikan ucapanku tadi, Anak Muda!"
"Tapi aku harus buktikan dahulu! Karena sedikit banyak aku berhutang budi pada ketiga sahabatku itu! Lebih-lebih kegemparan yang kini melanda rimba persilatan kusirap karena juga ulah penghuni Istana Hantu!"
Keterangan Pendekar 131 membuat tawa perempuan berbedak tebal makin panjang dan sedikit keras. "Bukti memang harus diperoleh. Tapi tidak baik berburuk sangka terlebih dahulu! Dan kau memang perlu menemui sahabatku itu!"
"Semula aku memang ingin bertemu sahabatmu itu. Tapi tidak enak rasanya jika tidak buktikan dengan mata kepala sendiri!"
"Kau telah gagal memasuki Istana Hantu. Kurasa kau masih akan menemui kegagalan jika kau mencobanya lagi! Bahkan tak mustahil kau akan mendapat celaka bila keras kepala!"
Pendekar 131 tertawa pelan. "Bagiku, lebih baik mati daripada membiarkan orang bertindak semena-mena!"
"Tapi mati dalam kebodohan adalah lebih sia-sia!" sahut perempuan berbedak tebal dengan suara agak keras.
"Apa maksudmu?!"
"Aku tidak bisa mengatakan. Kalau kau suka, temuilah seorang kakek di sebuah kuil tua di sebelah barat Candi Jago arah barat Gunung Bromo. Dia pernah mengatakan padaku bahwa dia menunggu seseorang sebelum ajal menjemputnya! Siapa tahu kau adalah orang yang ditunggu. Mungkin juga dia bisa mengatakan padamu apa yang kini menjadi tanda tanya di hatimu! Sekarang aku harus pergi..."
Perempuan berbedak tebal balikkan tubuh. Namun sebelum sosoknya berkelebat pergi, murid Pendeta Sinting berseru.
"Aku tidak melihat gadis berparas cantik berbaju hijau yang bersamamu. Ke mana dia? Dan siapa dia...?"
Tanpa putar diri menghadap, perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Dia jauh dari sini. Dan lupakan gadis itu! Ada seorang gadis cantik kini mengharapkan dirimu! Jangan kecewakan dia!"
Joko Sableng terbelalak. Dia hendak buka mulut bicara lagi, tapi perempuan di hadapannya telah berkelebat. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting tegak tercenung seakan menyimak ucapan yang baru didengarnya dari perempuan berbedak tebal.
"Aneh. Mengapa dia berkata begitu? Siapa gadis yang dikatakan mengharapkan diriku?" Namun tiba-tiba Joko tertawa sendiri. "Dia mungkin bercanda. Siapa gadis cantik yang mau dengan pemuda jelek dan luntang-lantung seperti diriku...?!"
Puas tertawa sendiri, akhirnya Joko melangkah ke arah lobang pintu. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkah. Kepalanya tengadah. Sepasang matanya terpejam rapat. Lalu muncul bayangan Dewi Seribu Bunga.
"Kenapa aku tidak bisa melupakan murid Maut Mata Satu itu? Bagaimana dia sekarang?"
Sesaat kemudian terbayang wajah Sitoresmi. "Gadis cantik... Sayang dia harus mengalami nasib kurang baik. Tapi aku tak akan melupakannya. Dia telah rela berkorban untukku..."
Perlahan-lahan Pendekar 131 buka kelopak matanya. Lalu luruskan kepala. Kejap lain sosoknya berkelebat keluar. Bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi masih terbayang di pelupuk matanya.
Sebenarnya murid Pendeta Sinting ingin kembali ke Istana Hantu. Namun teringat akan ucapan-ucapan perempuan berbedak tebal, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke arah tempat yang dikatakan si perempuan. Setelah melakukan perjalanan sehari dua malam, akhirnya Joko sampai di pelataran Candi Jago.
Saat itu malam hampir saja berujung, namun karena angkasa di tutup arakan awan, hamparan bumi terlihat masih gelap gulita. Sementara udara dingin menderu kencang. Joko tidak hiraukan suasana. Dia teruskan lari ke arah barat. Kira-kira dua ratus tombak dari pelataran Candi Jago, tepatnya pada hamparan rumput tebal merangas tak terawat, murid Pendeta Sinting hentikan larinya.
Sejarak sepuluh tombak di depannya, dalam keremangan cuaca, lamat-lamat sepasang mata Joko melihat sebuah bangunan batu hitam yang tidak begitu besar. Malah jika tidak diperhatikan dengan seksama, dalam gelapnya suasana, mungkin orang akan menduga jika bangunan batu itu adalah gugusan batu biasa.
Pendekar 131 pasang telinga baik-baik. Sepasang matanya dipentang besar menembusi kegelapan. Beberapa saat kemudian, murid Pendeta Sinting dapat memastikan jika bangunan hitam itu adalah sebuah kuil. Namun untuk beberapa saat, dia tertegun. Sepasang telinganya mendengar suara aneh. Seperti helaan napas berat dan panjang tapi secara tiba-tiba diputus. Tak lama kemudian terdengar lagi helaan napas. Namun terputus lagi. Demikian terus-menerus.
Walau hatinya dibuncah sedikit ngeri, namun karena sudah bertekad apalagi telah melakukan perjalanan jauh, akhirnya Joko melangkah perlahan menuju kuil di hadapannya setelah edarkan pandangan berkeliling. Sejarak dua tombak dari bangunan kuil yang tampak hitam dan tidak terawat hingga di kanan kirinya tampak ilalang tinggi dan rumput tebal, Pendekar 131 hentikan langkah.
Sejenak dia tembus! kegelapan memandang ke arah kanan kiri kuil. Sementara suara helaan panjang yang tiba-tiba terputus makin jelas terdengar. Namun meski bagian depan kuil tampak sebuah pintu terbuka, Joko tidak dapat menangkap adanya orang!
Joko Sableng pentangkan mata sekali lagi. Musih tak dapat menangkap keadaan dalam kuil, dia melangkah ke depan. Namun langkahnya tertahan saat kaki kanannya menumbuk sesuatu. Cepat dia arahkan pandangannya ke bawah. Sejurus matanya menyipit. Namun kejap lain membelalak dan tersurut satu tindak.
"Bangkai manusia!" desis Pendekar 131 sambil jerengkan mata dan perhatikan benda yang baru saja tertumbuk kakinya dan tidak lain memang bangkai manusia yang telah tinggal tengkorak.
Belum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba Joko pentangkan lagi matanya makin besar. Malah jika dia tak sadar sedang berada di mana, niscaya dia akan berseru. Ternyata di sekitar tempat itu banyak berserakan tengkorak manusia!
"Jangan-jangan perempuan berbedak tebal itu menjerumuskan aku! Kurasa ini bukan tempat tinggal seseorang! Tapi tempat pembantaian! Celaka jika..."
Joko tidak meneruskan gumamannya, karena helaan napas terdengar keras. Namun begitu terputus, tidak lagi terdengar meski Joko telah menunggu agak lama dengan pasang telinga baik-baik! Keadaan berubah sunyi lengang. Tak terdengar suara. Tidak terlihat gerakan! Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke arah kuil. Saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara...
Tingng! Tingng! Tingng!
"Busyet! Suara apa itu? Seperti orang mainkan kecapi! Jangan-jangan hantu sedang bermain kecapi! Tapi apa mungkin?" Joko coba tersenyum meski senyum itu adalah untuk sembunyikan rasa gejolak hatinya, karena bersamaan dengan terdengarnya suara tingng! Tingng! Tanah berumput yang dipijaknya terasa bergetar!
"Hem... Dengan terdengarnya suara itu, pertanda didalam sana ada makhluk hidup. Mungkin dia yang dimaksud perempuan berdandan menor itu. Bagaimanapun juga aku sudah sampai di sini! Percuma jika tidak teruskan langkah..."
Berpikir begitu, setelah menarik napas panjang dan tenangkan hati, Joko segera berkelebat karena tidak mungkin melangkah dan menginjak-injak tengkorak yang banyak berserakan di sekitar tempat itu. Dengan satu kali kelebatan, sosoknya kini telah tepat berada di samping kanan pintu kuil. Untuk sesaat murid Pendeta Sinting tegak diam tak berani buat gerakan dan timbulkan suara. Hanya sepasang matanya terpentang besar memandang ke dalam kuil
"Astaga!" Tiba-tiba Pendekar 131 perdengarkan nada tercekat dalam hati ketika sepasang matanya teah terbiasa dengan keadaan gelap di dalam kuil.
Ternyata di dalam kuil yang tidak begitu besar itu, bagian bawahnya bukan berupa lantai batu seperti bagian samping dan depannya. Melainkan yang tampak adalah rumput tebal dan ilalang tinggi. Namun bukan hal itu yang membuat murid Pendeta Sinting tercekat. Di atas rumput tebal dan sela-sela ilalang terlihat banyak berserakan tengkorak manusia!
"Edan! Tempat apa sebenarnya ini? Apa masih ada kaitannya dengan Tengkorak Berdarah?!" duga murid Pendeta Sinting.
Baru saja dia menduga demikian, terdengar helaan napas yang kemudian diputus. Disusul kemudian dengan suara tinng! Tinng! Empat kali. Anehnya suara-suara itu kini hanya menggema di dalam kuil. Tapi Joko makin merasakan tempatnya berpijak bergetar keras. Malah terlihat tengkorak-tengkorak manusia di dalam kuil laksana tersapu angin kencang dan berhamburan saling tubruk satu sama lain keluarkan suara berderak-derak!
"Malam ini tampaknya masih ada manusia bodoh yang hendak serahkan jiwanya!"
Tiba-tiba satu suara terdengar, membuat Joko terkesiap! Namun matanya belum bisa menangkap orang yang keluarkan suara. Karena suara itu laksana datang dari setiap penjuru dalam bangunan kuil!
"Hai! Siapa yang ada di dalam kuil?!" Joko berteriak setelah sekian lama tidak melihat adanya orang. Sesaat tidak ada sahutan. Namun tatkala Joko hendak buka mulut lagi, terdengar orang bersuara.
"Aku penunjuk jalan ke neraka!"
Suara orang belum lenyap, satu gelombang angin luar biasa dahsyat telah menggebrak ke arah murid Pendeta Sinting! Demikian ganas dan cepatnya gelombang tabrakan angin itu, hingga tidak ada jalan lain bagi Joko selain menangkis dengan dorongkan kedua tangannya ke depan.
Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan terdengarnya ledakan keras tatkala gelombang angin yang datang dari arah dalam kuil bentrok dengan angin yang melesat keluar dari kedua tangan murid Pendeta Sinting. Tempat itu kontan bergetar keras.
Sosok Joko terpental lima langkah ke belakang, pertanda jelas jika gelombang dari kegelapan dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam luar biasa. Malah beberapa tengkorak manusia yang berada di luar kuil ikut pula tersapu dan jatuh berderak jauh ke belakang Joko. Pendekar 131 tegak dengan wajah berubah. Kedua tangannya bergetar dan terasa ngilu serta panas laksana dipanggang!
"Perempuan itu benar-benar menjerumuskan aku! Kalau tahu begini yang kudapat, menyesal aku menuruti ucapannya! Hem... Lebih baik aku tinggalkan tempat celaka ini! Di sini tidak ada yang kuinginkan! Malah bisa-bisa aku mendapatkan malapetaka! Sementara masih ada sesuatu yang harus kulakukan!"
Berpikir begitu, Pendekar 131 segera putar diri. Namun gerakan tubuhnya tertahan suara yang terdengar dari dalam kuil.
"Tidak ada manusia yang tinggalkan tempat ini dengan nyawa masih bercokol di tubuh!"
Suara orang belum selesai, terdengar suara tingng! Tingng! Beberapa kali. Kejap lain suasana berubah panas menyengat hingga menindih lenyap udara dingin ujung malam. Pada saat bersamaan terdengar deruan pelan. Namun saat itu juga murid Pendeta Sinting merasakan sapuan gelombang luar biasa dahsyat!
Joko cepat alirkan tenaga dalam pada dadanya kerahkan jurus inti 'Sukma Es' untuk lindungi diri dari hawa panas. Kejap lain, sebelum tubuhnya lebih jauh tersapu, dia dorong kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Suasana gelap mendadak semburatkan warna kuning terang. Lalu terdengar deruan keras laksana gulungan ombak. Tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Joko sengaja langsung lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning' karena dia menduga pukulan lawan yang melabraknya tidak akan mempan jika dipangkas dengan pukulan lain. Malah dia sendiri akan mendapat celaka.
Buummm!
Untuk kedua kalinya tempat di depan kuil diguncang dengan ledakan keras. Rumput tebal dan ilalang tinggi terabas rata dan bertabur menambah pekatnya suasana. Sosok Pendekar 131 mencelat mental dan terjengkang di atas tanah berumput empat tombak dari tempatnya semula. Dadanya sesak dan mulutnya megap-megap. Paras wajahnya pucat pasi. Namun karena dia telah lindungi diri dengan jurus inti 'Sukma Es',, maka rasa sakit itu hanya terasa sejenak. Kejap lain dia telah bangkit.
Saat itulah, sepasang telinga Joko mendengar helaan napas panjang dan berat. Jelas siapa pun adanya orang yang menghela napas, pasti memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Karena saat itu Joko berada tujuh tombak dari bangunan kuil. Tapi suara helaan napas itu terdengar jelas dan keras! "Kau harus mampus!" Mendadak terdengar suara bentakan. Bersamaan dengan itu samar-samar Joko melihat satu bayangan putih menyeruak dari dalam bangunan kuil. Lalu terdengar suara tingng! Tingng! Beberapa kali.
Sosok putih yang baru keluar dari dalam tampak duduk berlutut di depan kuil. Ternyata dia adalah seorang kakek mengenakan pakaian warna putih kusam. Rambutnya putih panjang sepinggang dibiarkan bergerai hingga menutup sebagian wajah dan punggungnya. Wajahnya yang telah keriput tampak lebih samar lagi karena ditutupi kumis dan jenggot serta jambangnya yang lebat dan putih.
Pada kedua kakinya yang menekuk berlutut tampak rantai besi yang mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan satu sama lain. Pada tengah rantai besi tampak menggandul bundaran besi sebesar kepalan tangan. Inilah yang membuat setiap kali si kakek membuat gerakan pada kakinya, memperdengarkan suara tingng! Tingng!
Kakek berpakaian putih pentangkan sepasang matanya yang telah sayu dan masuk dalam rongga cekungan dalam, menatap tak berkesip pada murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Tubuhnya serentak ikut bergetar. Dan tak lama kemudian, pakaian putihnya telah basah oleh keringat. Demikian juga wajah dan lehernya! Jelas menunjukkan jika si kakek tengah mengerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya meski saat itu dia hanya angkat kedua tangannya.
Di depan sana, karena jaraknya agak jauh dan suasana masih gelap, murid Pendeta Sinting tidak dapat melihat jelas tampang si kakek. Dia hanya samar-samar menangkap gerakan kedua tangan si kakek. Namun hal itu telah cukup membuat Pendekar 131 berlaku waspada. Hingga tatkala terlihat kedua tangan si kakek membuat gerakan mendorong kedepan, tak menunggu lama Joko cepat alirkan tenaga dalam pada telapak tangan kirinya. Dia kali ini tidak mau bertindak ayal. Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas tidak membuat si kakek cedera atau mundur. Maka tidak ada jalan lain untuk selamatkan diri selain kerahkan jurus pukulan 'Serat Biru'!
Tangan kiri murid Pendeta Sinting mendadak bersinar kebiruan. Di seberang depan, sepasang mata sang kakek bergerak menyipit lalu membelalak. Mulutnya yang sedari tadi terkancing rapat bergerak membuka perdengarkan gumaman tidak jelas. Namun dia teruskan juga dorongan kedua tangannya. Hingga saat itu juga terdengar suara menderu-deru keras. Disusul dengan menghamparnya gelombang angin luar biasa dahsyat yang datang laksana dari segala penjuru mata angin!
Joko undurkan langkah satu tindak. Serta-merta kedua tangannya didorong ke depan. Kejap itu juga melesat serat-serat terang berwarna biru laksana benang. Namun sebelum serat-serat biru terang melesat, ada satu kekuatan menggebrak mendahului. Anehnya kekuatan itu menerabas gelombang yang Lagi datang hingga semburat seakan memberi jalur lapang pada serat-serat biru yang melesat menyusul! Hingga laksana tanpa halangan lagi, serat-serat biru Itu melesat dan tiba-tiba membelit sosok si kakek!
Tapi bukan berarti Pendekar 131 lepas dari bahaya, karena bersamaan dengan terbelitnya tubuh si kakek oleh serat-serat biru, gelombang angin yang tadi semburat secara aneh bersatu kembali dan kini menggebrak ke arah Pendekar 131! Joko tidak bisa berbuat banyak, karena jika dia memangkas gelombang yang kini melabrak, maka berarti belitan pada tubuh si kakek akan melukar.
Dan jika kesempatan itu digunakan oleh sang kakek bukan tidak mungkin dia akan lebih celaka lagi. Berpikir sampai di sana, akhirnya Joko hanya kerahkan tenaga dalam pada dadanya salurkan tenaga inti jurus 'Sukma Es'. Di lain pihak dia lipat gandakan tenaga dalamnya pada telapak tangan kiri lalu menariknya ke belakang.
Saat itulah gelombang angin menghantam. Joko berseru tertahan. Namun sosoknya hanya bergoyang-goyang keras, karena serat-serat dari tangan kirinya terus membelit tubuh si kakek laksana benang yang tak dapat diputus. Sedangkan si kakek sendiri tampak terengah-engah dan buka mulutnya lebar-lebar sembunyikan suara erangan yang keluar.
Tiba-tiba si kakek takupkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya memejam. Kejap lain tubuh Joko tampak tertarik ke depan. Melihat hal ini, Joko kerahkan segenap tenaga dalamnya lalu menarik kedua tangannya. Sosoknya terhenti, malah kini ganti sosok si kakek yang tertarik. Sementara serat-serat biru terus membelit. Terjadilah saling tarik dengan mengandalkan tenaga dalam masing-masing. Pada satu kesempatan, si kakek membentak. Pada saat bersamaan, Joko berseru seraya lipat gandakan tenaga.
Terjadilah sesuatu yang hebat. Sosok si kakek mundur ke belakang sementara tubuh Joko tertarik ke depan. Tapi saat setelah Joko berseru, tubuh si kakek tertarik deras ke depan. Hingga tanpa bisa dihindarkan lagi sosok keduanya bertubrukan!
Tubuh keduanya sama-sama mental dan sama berkaparan di atas rumput yang telah gundul! Karena Joko tidak kerahkan tenaga dalam lagi, saat itu juga serat-serat biru yang membelit tubuh si kakek lenyap. Tubuh Joko tampak bergetar keras. Dari mulutnya keluar darah segar. Si kakek sendiri tak kalah parahnya. Selain tubuhnya gemetaran dan sudut mulutnya mengalirkan darah, pakaian putih yang dikenakannya tampak robek-robek menganga membentuk libatan benang!
Hebatnya, meski telah cedera, si kakek segera bangkit lalu duduk berlutut dengan tangan menakup di depan dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Sejenak kemudian dia buka kelopak matanya pandangi murid Pendeta Sinting yang baru perlahan-lahan bergerak bangkit.
"Sahabat! Harap sudi katakan siapa dirimu!" Mendadak si kakek buka mulut.
Untuk beberapa lama Joko hanya pandangi orang tua di hadapannya dengan mulut terkancing. Namun diam-diam dalam hati dia berkata. "Dia memanggilku sahabat! Jangan-jangan..."
Joko lalu teringat akan ucapan perempuan berbedak tebal yang mengatakan bahwa sahabatnya menunggu seseorang sebelum ajal menjemputnya. Namun setelah mengalami apa yang baru saja terjadi, dan melihat beberapa tengkorak manusia di halaman dan di dalam bangunan kuil, Joko jadi ragu-ragu.
"Kalau kau tidak sudi sebutkan diri, tidak apa-apa! Yang jelas siapa pun kau adanya, kau adalah seorang sahabat yang kutunggu! Harap kau suka mengikutiku!" Habis berkata begitu, masih dengan duduk berlutut, si kakek berkelebat masuk ke dalam bangunan kuil. Ucapan si kakek membuat Joko terkejut. "Bagaimana mungkin dia menentukan aku adalah seorang sahabat yang ditunggu? Padahal baru kali ini aku bertemu! Tapi aku ingin tahu apa yang hendak dilakukannya..."
Sambil mengusap darah di sudut mulutnya, Joko bergerak bangkit lalu melangkah masuk ke dalam bangunan kuil. Sementara si kakek telah duduk berlutut dengan punggung bersandar pada bagian belakang tembok yang menghadap ke depan.
"Duduklah, Anak Muda!"
Joko turuti ucapan si orang tua. Dia duduk bersila menghadap si kakek, namun dia tetap waspada. Sepasang matanya tak beranjak memperhatikan pada kedua tangan orang tua di hadapannya, karena Joko yakin, bahwa kedahsyatan pukulan orang tua itu terletak pada kedua tangannya.
"Tentu kau punya maksud tertentu hingga sampai kemari!" ujar si kakek setelah menghela napas dalam. Kali ini suara helaan napasnya tidak lagi keras.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku tidak punya tujuan tertentu. Aku hanya ingin buktikan ucapan seseorang!" kata Joko meski dalam hati dia sebenarnya punya maksud tertentu.
Si kakek mendehem panjang. "Kau bisa katakan siapa orang yang ucapannya ingin kau buktikan?!"
Kembali murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Dia tak sebutkan nama padaku. Dia seorang perempuan yang wajahnya pun sulit untuk dikenali!"
Orang tua di hadapan Joko anggukkan kepala. "Anak muda. Apakah kau pernah memasuki Istana Hantu?"
Joko terlengak. Lalu menjawab. "Pernah...!"
"Namun mengalami kegagalan. Betul?!"
Kembali Joko dibuat terkejut saat mendapati si kakek mengetahui. Seraya sedikit keraskan suara, Joko berujar. "Aku memang gagal memasuki Istana Hantu. Namun bukan berarti aku tidak bisa masuk ke sana! Aku tetap akan ke sana sekaligus menghentikan ulah penghuninya yang..."
Ucapan Joko dipotong oleh suara tawa si kakek. "Kau masih akan menemui kegagalan, Anak Muda. Meski kau telah membekal pukulan sakti 'Serat Biru'!"
Kali ini ucapan orang tua itu benar-benar membuat murid Pendeta Sinting tersentak dan tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. "Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku adalah sahabat yang menunggu!"
"Kenapa kau menunggu?!"
"Aku menduga, tanpa bantuanku orang yang kutunggu akan mengalami kegagalan memasuki Istana Hantu!"
"Hem... Kau tadi mengatakan aku adalah sahabat yang kau tunggu. Sekarang bantuan apa yang hendak kau berikan?!"
Si kakek menggeleng sambil tersenyum samar. "Tidak baik mengatakan bantuan yang akan kuberikan! Hanya sebelum aku memberikan sedikit bantuan itu, aku mengajukan syarat!"
"Hem... Berarti kau tidak rela! Karena kau masih mengharap imbalan!"
"Terserah apa katamu. Namun syarat itu demi kebaikan! Tidak semata-mata sebagai imbalan!"
Untuk beberapa lama Joko berpikir. Lalu berkata. "Katakan apa syarat itu!"
"Mendekatlah kemari! Putar dudukmu dan hadapkan punggungmu di depanku!"
Pendekar 131 tidak segera melakukan apa yang dikatakan si orang tua. Dia jelas ragu-ragu. Namun untuk tidak menyinggung perasaan si kakek, Joko berkata. "Apa tidak ada jalan lain selain harus begitu?!"
"Anak muda. Itu adalah salah satu syarat! Kau tahu, beberapa tengkorak yang berserakan di sekitar tempat ini adalah manusia-manusia yang meminta paksa apa yang hendak kuberikan padamu! Tapi jika kau masih bimbang, silakan pergi dari sini!"
Setelah agak lama menimbang, akhirnya Joko bergerak bangkit seraya berkata. "Tapi jika kau bertindak tidak terpuji, aku tidak segan berlaku keras!"
"Aku sudah tua, Anak Muda! Apa artinya kematianmu bagiku?!"
Tanpa menyahut ucapan si kakek, Joko mendekat, lalu putar diri membelakangi dan duduk bersila.
"Dengar baik-baik, Anak Muda. Karena aku tidak akan mengulangi ucapanku. Setelah apa yang kulakukan nanti, cepatlah kau tinggalkan tempat ini. Jangan berpaling ke belakang menengok ke arahku! Jika kau telah berada di luar sana, jangan kau hiraukan kabar yang tersiar tentang penghuni Istana Hantu. Kau memang berhak memasuki Istana Hantu, tapi sekali-kali jangan berniat membunuhnya! Kau dengar dan mengerti?!"
Walau belum mengerti apa maksud ucapan si kakek, tapi akhirnya Joko anggukkan kepalanya. Pada saat itulah tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Dan serta-merta ditempelkan pada punggung murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tersentak. Karena saat itu juga ada hawa panas memasuki tubuhnya melewati kedua tangan si kakek. Joko coba berseru, namun suaranya tersendat di tenggorokan. Dia hendak putar diri, tapi tubuhnya laksana dipantek tak bisa digerakkan. Hingga akhirnya dia hanya diam dengan mata terpejam merasakan rasa panas luar biasa. Sementara orang tua di belakangnya telah basah kuyup. Napasnya megap-megap dengan mata setengah terpejam setengah terbuka. Sosoknya bergetar keras.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba rasa panas lenyap seketika. Bersamaan dengan itu, kedua tangan si kakek luruh ke bawah. Joko menunggu beberapa saat. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Membuat murid Pendeta Sinting ini hendak berpaling. Namun ingat akan ucapan si orang tua, Pendekar 131 urungkan niat.
Setelah merasa yakin bahwa si kakek tak membuat gerakan apa-apa lagi, Joko perlahan-lahan bangkit. Dia kuatkan hati untuk turuti ucapan si kakek meski sebenarnya dia ingin melihat pada si orang tua. Malah ketika langkahnya sampai pintu kuil, gerakan kakinya berhenti. Dia tampak bimbang hingga untuk beberapa saat dia tetap tegak di situ seolah ingin mendengar ucapan dari si orang tua. Namun sampai kedua kakinya pegal, tidak terdengar suara maupun terdengar orang membuat gerakan.
"Heran. Apa sebenarnya yang terjadi dengan orang tua itu? Apa yang dilakukannya tadi terhadap diriku...? Dan kenapa kini dia diam, padahal sebenarnya aku menunggu kata-katanya! Apa kuturuti saja ucapannya?!"
Meski dia telah memutuskan untuk tinggalkan tempat itu, namun sekejap ia masih hendak putar tubuh. Tapi diurungkan kembali sebelum akhirnya berkelebat tinggalkan bangunan kuil dengan berbagai pertanyaan dan dugaan.
Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh murid Pendeta Sinting, sosok si kakek tersandar pada dinding. Lalu kepalanya terkulai di samping kanan dan saat itu juga hembusan napas terhenti! Kakek berpakaian putih ini telah kehabisan tenaga luar dan dalamnya karena disalurkan masuk ke dalam tubuh Pendekar 131 tanpa disadari dan diketahui oleh Pendekar 131 sendiri! Murid Pendeta Sinting juga tidak mengerti jika tenaga dalam si kakek itulah kelak yang dapat membantunya untuk memasuki Istana Hantu.
SOSOK bayangan putih itu berkelebat laksana dikejar setan. Gerakannya yang luar biasa cepat membuat sosoknya hanya menyerupai bayang-bayang yang menyeruak di antara rimbun semak belukar dan jajaran pohon. Pada satu tempat tiba-tiba sosok bayangan itu hentikan kelebatannya. Kepalanya berputar cepat, sementara sepasang matanya liar memandang tak berkesip.
Mungkin merasa yakin tidak ada orang di sekitar tempat dia berada, orang ini luruskan kepala ke depan. Dua puluh lima tombak jauh ke depan sana, samar-samar terlihat satu bangunan tua berdiri kokoh yang pintu gerbangnya terbuka di mana pada pintu itu menggandul sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah.
"Istana Hantu..." desis orang ini yang ternyata adalah nenek mengenakan pakaian warna putih dari sutera. Rambutnya telah memutih. Di atas telinga nenek ini tampak menyelip seruas bambu kecil berwarna kuning. Namun walau orang ini telah berusia lanjut, bekas kecantikan masih membayang jelas di wajahnya.
"Menurut yang kudengar dan bekas-bekas yang ditinggalkan, penghuni Istana Hantu adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi! Tapi kenapa dia membuat ulah dengan membunuh banyak orang?!" si nenek yang bukan lain adalah Daeng Upas ibu dari Durga Ratih alias Dewi Siluman terus menggumam dengan mata masih memandang ke depan.
Tiba-tiba si nenek pentangkan sepasang matanya. Rahangnya terangkat, pelipis kanan kirinya bergerak-gerak. Tak lama kemudian, sosoknya ikut bergetar, pertanda hawa kemarahan telah membungkus dadanya.
"Datuk Besar... Aku bersumpah akan membalas kematianmu! Tengkorak Berdarah, penyebab putusnya hubungan kita harus mampus di tanganku. Aku tak peduli berapa tinggi kepandaiannya!" Daeng Upas berkata setengah berteriak. Namun sesaat kemudian bahu nenek ini tampak berguncang. Lalu terdengar dia sesunggukan.
"Datuk Besar... Sungguh aku tak menduga jika kita tak akan pernah berkumpul lagi. Padahal hal itu telah kurencanakan bertahun-tahun lamanya! Tahu begini, aku menyesal terlalu keras kepala tidak menuruti ucapanmu lalu pergi meninggalkanmu..."
Daeng Upas dongakkan kepala. Dari sudut kedua matanya telah bergulir air bening. "Durga Ratih anakku... Sungguh malang nasibmu. Selama ini kau belum kenal siapa ayahmu! Jika saja aku berkata terus terang padamu, tentu kita akan bisa berkumpul dan bersama-sama melakukan rencana besar yang telah kuatur! Tapi kini semuanya berantakan! Ini gara-gara Tengkorak Berdarah keparat! Sebelum kau mengenal ayahmu, Tengkorak Berdarah telah membuatmu kehilangan!" Daeng Upas hentikan gumamannya. Sepasang matanya berkilat memandang jauh ke Istana Hantu.
Seperti dituturkan dalam episode Gerbang Istana Hantu, Daeng Upas yang telah bertahun-tahan tak munculkan diri begitu mendapat keterangan dari anaknya Dewi Siluman serta adik kandunganya Ki Buyut Pagar Alam segera berniat turun tangan sendiri.
Apalagi setelah mendengar Kitab Serat Biru telah jatuh ketangan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dan mendengar gerbang pintu Istana Hantu terbuka. Namun Daeng Upas rupanya maklum jika apa yang akan dihadapi. Adalah urusan besar yang tidak saja membutuhkan akal panjang tapi juga memerlukan tenaga tangguh. Untuk itulah si nenek lalu mengunjungi seorang tokoh bergelar Datuk Besar.
Tujuan Daeng Upas mengunjungi Datuk Besar selain untuk minta bantuan, lebih dari itu untuk menumpahkan kerinduan yang sela-ma ini dipendam. Datuk Besar adalah bekas kekasihnya dahulu. Dari sang datuk inilah akhirnya Daeng Upas mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Durga Ratih yang pada beberapa tahun kemudian dikenal dengan julukan Dewi Siluman.
Namun Daeng Upas agaknya harus menelan kecewa, karena begitu tiba di tempat kediaman Datuk Besar, laki-laki bekas kekasihnya itu telah menemui ajal. Si nenek telah dapat menduga siapa gerangan yang membunuh sang kekasih, karena pada gubuk tempat kediaman Datuk Besar tampak sebuah tengkorak berlumur darah!
Sebenarnya meski tanpa terbunuhnya Datuk Besar, Daeng Upas telah merencanakan pergi ke Istana Hantu. Dia menduga istana itu menyimpan sesuatu. Setelah mengetahui apa yang menimpa Datuk Besar, kini kedatangannya ke Istana Hantu dengan dua tujuan. Selain membalaskan kematian sang kekasih juga meminta sesuatu yang diduga tersimpan di dalam istana yang selama ini dihuni oleh seorang misterius yang bergelar Tengkorak Berdarah.
Pada kedatangannya yang pertama, dia belum sempat memasuki Istana Hantu karena perhatiannya tercurah pada Pendekar 131 yang saat itu berusaha memasuki istana. Karena merasa curiga dengan si pemuda, akhirnya Daeng Upas hendak mengorek keterangan darinya, tapi sesosok tubuh telah mendahului menyambar tubuh si pemuda. Daeng Upas segera mengejar hingga akhirnya dia bertemu dengan Dewi Siluman dan Ki Buyut.
Namun tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba muncul seorang pemuda bertangan buntung yang membuat pengejaran Daeng Upas terha-dap Pendekar 131 terhalang. Kini setelah kehilangan jejak pemuda yang dikejar dan pemuda bertangan buntung, si nenek kembali hendak coba memasuki Istana Hantu.
Namun nenek ini cerdik. Dia sengaja tidak langsung menuju Istana Hantu tapi mengambil jarak agak jauh. Dia seakan tahu, bahwa dengan terbukanya istana, maka akan banyak tokoh yang datang. Dari sini dia dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu sang penghuni. Lebih dari itu, dengan munculnya beberapa tokoh sedikit banyak tenaga Tengkorak Berdarah akan terkuras. Hal demikianlah yang ditunggu-tunggu si nenek.
Tapi agaknya kali ini Daeng Upas harus merasa kecewa, karena meski sudah agak lama di tempatnya, dia belum melihat seorang pun yang datang. Entah karena telah memendam dendam dan menduga hari ini tidak akan ada tokoh yang datang, maka setelah berpikir lagi, akhirnya Daeng Upas bergerak melangkah. Namun dia tidak langsung lurus menuju Istana Hantu, namun sengaja bergerak berputar melewati rumpun semak belukar yang banyak di sekitar Istana Hantu.
Tapi gerakan kaki Daeng Upas tiba-tiba tertahan. Sepasang matanya garang memandang ke sela semak belukar. Kedua telinga bergerak ke atas tanda si nenek kerahkan tenaga dalam pada pendengarannya. Tiba-tiba Daeng Upas putar tubuh setengah lingkaran. Sepasang matanya liar menembusi kerapatan semak di hadapannya. Lalu mendadak dia membentak.
"Percuma kau sembunyikan diri! Keluarlah!"
Bukan sahutan ucapan yang terdengar. Bukan adanya gerakan yang terlihat. Sebaliknya bentakan Daeng Upas disambut dengan terdengarnya tawa bergelak keras. Bukan bersumber pada tempat di hadapan Daeng Upas melainkan datang dari arah belakangnya!
Daeng Upas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi meski selama ini dia sembunyikan. Tapi kalau dugaannya meleset, maka dapat diduga jika orang yang perdengarkan tawa menyambuti bentakan si nenek adalah bukan orang sembarangan. Sambil menindih rasa terkejut, Daeng Upas cepat balikkan tubuh. Sejarak tujuh langkah di hadapannya si nenek melihat seseorang tegak dengan kacak pinggang.
Orang ini mengenakan pakaian aneh. Berupa jubah panjang hingga menutup seluruh tubuh sampai telapak kakinya. Jubah panjang itu dibikin terusan ke atas hingga menutup juga seluruh kepalanya, membuat orang ini tidak bisa dikenali laki perempuannya karena tidak satu pun dari anggota tubuhnya yang terlihat! Jubah aneh itu berwarna abu-abu dari bahan tebal dan kasar. Pada dada jubah terlihat gambar sebuah tengkorak yang meneteskan darah!
Sesaat Daeng Upas pentangkan sepasang matanya menatap tak berkesip. Dalam hati dia menduga-duga siapa adanya orang berjubah aneh itu. Tapi karena tidak dapat jawaban, akhirnya dia buka mulut membentak.
"Orang tak dikenal. Siapa kau?!"
Orang yang dibentak tertawa panjang. Meski suara tawanya pelan, namun saat itu juga Daeng Upas rasakan tanah yang dipijak terasa bergetar! "Daeng Upas! Buka matamu lebar-lebar!" seraya menjawab, orang berjubah aneh gerakkan tangan kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di dadanya.
Daeng Upas terkesiap kaget mendapati orang tahu siapa dirinya. Namun si nenek tidak mau tunjukkan wajah terkejut. Malah setelah sekilas melirik pada jubah bagian dada yang ditunjuk orang, dia alihkan pandangannya ke jurusan lain. Dia cepat membatin.
"Siapa orang ini! Dia tahu diriku! Mengenakan jubah aneh yang di dadanya bergambar tengkorak. Dari suaranya jelas jika dia seorang laki-laki. Namun suara bisa dirubah! Hem... Melihat dia menunjuk gambar, apakah dia tokoh misterius penghuni Istana Hantu? Selama ini memang tidak ada orang yang dapat mengenali tokoh misterius itu, karena setiap korbannya pasti menemui ajal!"
Habis membatin begitu, Daeng Upas buka mulut tanpa memandang. "Syukur aku telah kau kenali hingga tak usah aku perkenalkan diri! Aku ingin dengar jawaban dari mulutmu, bukan dengan isyarat tanganmu!"
Kembali orang berjubah aneh perdengarkan tawa panjang. Namun tiba-tiba diputus dan disusul dengan suara dengusan keras, membuat Daeng Upas cepat berpaling. "Daeng Upas! Apakah itu permintaan terakhirmu?!"
Daeng Upas menyeringai. Setelah berteriak dia berkata. "Itu adalah permintaan pertama. Permintaan terakhirku adalah selembar nyawamu jika kau merecoki urusanku! Kau dengar?!"
"Itu menurutmu. Bagiku, permintaanmu tadi adalah yang pertama dan yang terakhir. Maka akan kupenuhi, agar kau bisa bersanding dengan kekasihmu!"
Mendengar ucapan orang berjubah aneh, dada Daeng Upas berdebar keras. Matanya mendelik angker. Rahangnya menggegat perdengarkan suara bergemeletak. Walau hampir bisa menduga siapa adanya orang, serta dadanya dibungkus gejolak amarah, namun nenek ini tidak cepat bertindak. Selain maklum jika orang di hadapannya memiliki kepandaian yang tidak rendah, dia juga ingin meyakinkan apakah orang di hadapannya benar-benar tepat seperti dugaannya.
"Orang gila tak dikenal! Jangan banyak mulut! Lekas katakan siapa dirimu!" bentak Daeng Upas dengan suara melengking tinggi.
"Akulah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu! Dan perlu kau ketahui, barang siapa telah melihatku, maka saat itulah hari kematiannya telah datang! Tidak seorang pun lolos dari maut setelah mengenaliku!"
Meski Daeng Upas telah menduga siapa adanya orang, namun begitu orang di hadapannya sebutkan siapa dirinya, si nenek ini tampak surutkan langkah setengah tindak. Matanya makin membeliak seakan coba menembus wajah di balik pakaian aneh orang di hadapannya. Selama ini memang Daeng Upas telah menyirap kabar bahwa tokoh yang bergelar Tengkorak Berdarah tidak pernah meninggalkan orang yang jadi korbannya dalam keadaan hidup-hidup. Tidak terkecuali dengan Datuk Besar kekasih si nenek sendiri.
Berpikir sampai ke sana, tengkuk Daeng Upas menjadi dingin, apalagi selama ini diketahui para korban Tengkorak Berdarah bukanlah para tokoh yang ilmunya rendah. Namun karena hatinya telah dibungkus dengan dendam akibat tewasnya Datuk Besar, ditambah ada sesuatu yang juga berada di tangan Tengkorak Berdarah, semangat si nenek menjadi berkobar-kobar. Rasa kecutnya yang sejenak tadi menyelimuti hatinya mendadak lenyap! Berganti dengan dendam dan harapan! Daeng Upas sentakkan kepalanya ke samping. Mendadak dia tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.
"Hari ini rupanya aku beruntung. Tanpa dicari, orang yang berhutang nyawa padaku datang serahkan diri! Tapi semua urusan hutang nyawa akan kuhapus jika kau penuhi permintaanku!"
Mendengar ucapan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah ganti tertawa. "Sebelum kau sempat menerima apa permintaanmu, nyawamu akan kulepas!"
"Hem... Begitu? Jika demikian, permintaan kuubah jadi perintah! Serahkan kitab yang ada di tanganmu padaku!" sentak Daeng Upas.
Tengkorak Berdarah sejurus terdiam. Diam-diam orang berjubah abu-abu aneh itu membatin. "Hem... Rupanya dia telah tahu perihal kitab itu! Sebenarnya manusia macam dia dibiarkan hidup terlebih dahulu. Tapi dia adalah bekas murid Kyai Panjer Wengi. Dan aku telah bersumpah untuk melenyapkan Guru serta seluruh muridnya dari permukaan bumi! Juga manusia yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131. Malah untuk yang terakhir ini, aku harus segera menemukannya, karena dialah kunci semua cita-citaku!"
"Daeng Upas! Kitab yang kau minta boleh kau ambil. Tapi serahkan dulu nyawamu!"
"Jika begitu perintah kuubah jadi tangan maut!" Habis berkata begitu, Daeng Upas membuat gerakan menjotos dan menendang tanpa berpindah dari tempatnya berpijak!
Desss! Desss!
Meski Daeng Upas lancarkan jotosan dan tendangan dari tempatnya berdiri, namun anehnya Tengkorak Berdarah merasakan laksana satu jotosan dan satu tendangan keras menghantam tubuhnya. Tapi meski terdengar suara benda terhantam, sosok Tengkorak Berdarah tidak bergeming sama sekali, malah saat itu juga dia tertawa berderai.
Daeng Upas menyeringai seraya pelototkan sedikit matanya. Dia jelas dapat merasakan bahwa jotosan dan tendangannya menghantam telak Tengkorak Berdarah, namun orang ini seakan tidak merasakan apa-apa! Daeng Upas lipat gandakan tenaga dalamnya. Sekonyong-konyong dia melesat ke depan sambil mengudara satu tombak. Sejarak lima langkah dari tempat Tengkorak Berdarah, si nenek membuat gerakan men-jotos dengan kedua tangannya sekaligus. Sementara kedua kakinya membuat gerakan menendang. Seperti diketahui, Daeng Upas memiliki jurus yang dapat menghantam dari jarak jauh. Jurus ini selalu digunakan si nenek untuk mengetahui tingkat ketinggian ilmu lawan.
Desss! Deesss! Deeesss! Deeesss!
Terdengar empat kali benda terhantam pukulan. Per-tanda jelas jika pukulan Daeng Upas yang dilepaskannya mengenai sasaran. Namun lagi-lagi si nenek agak te-kejut mengetahui sosok Tengkorak Berdarah hanya ber-goyang-goyang!
"Keparat!" maki Daeng Upas. Dia teruskan kelebatannya. Lalu mendorong kedua tangannya.
Satu gelombang angin menderu deras ke arah Teng-korak Berdarah. Tengkorak Berdarah hentakkan kaki kanannya. Tubuhnya melesat ke udara. Gelombang angin pukulan Daeng Upas melabrak setengah tombak di sampingnya. Begitu di atas udara, Tengkorak Berdarah kebutkan kedua tangannya kebelakang. Tubuhnya melesat ke depan memapak sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara. Tiba-tiba sosok Tengkorak Berdarah membuat gerakan berbalik. Bersamaan dengan ini kaki kanannya yang terbungkus jubah panjangnya mencuat.
Daeng Upas tersentak melihat cepatnya gerakan orang. Hingga belum sempat dia menghadang dengan lepaskan pukulan, tendangan dari balik jubah panjang telah datang melabrak! Membuat tak ada pilihan lain bagi si nenek untuk selamatkan diri kecuali dengan angkat kedua kakinya untuk memangkas tendangan.
Bukkk! Buukkk!
Terjadilah saling tendang di udara. Sosok Daeng Upas tampak terpental lalu melayang jatuh. Namun karena nenek ini juga memiliki kepandaian tinggi, sebelum tubuhnya menghantam tanah, dia berputar balik ke atas. Kejap lain mendarat di atas tanah dengan terbungkuk-bungkuk dan wajah makin mengeriput. Sedang di seberang sana, Tengkorak Berdarah langsung mendarat dengan tubuh tegak kokoh. Dari hal ini, Daeng Upas rupanya maklum jika tenaga dalam lawan masih berada di atasnya. Namun karena dendam telah tertanam dan dia punya sesuatu yang diminta, maka dia tak perhitungkan diri.
Didahului bentakan keras, Daeng Upas membuat gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya mengepul asap yang ikut berputar seiring putaran tubuhnya. Saat si nenek berteriak kedua kalinya, asap yang berputar mengelilingi tubuhnya melesat dan kini berputar-putar keras ke arah Tengkorak Berdarah! Ibu Dewi Siluman ini telah lepaskan pukulan sakti 'Angin Keranda'!
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Kejap lain kedua tangannya disentakkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Terdengar deruan pelan. Hebatnya sesaat kemudian asap yang berputar-putar ganas ke arahnya tertahan. Daeng Upas tercekat. Belum sirna rasa terkejutnya, di depan sana Tengkorak Berdarah rnelangkah pelan ke depan. Namun dalam sekejap sosoknya telah sampai pada asap yang tertahan. Belum tahu apa yang akan dilakukan lawan, tiba-tiba kedua tangan Tengkorak Berdarah mendorong asap pukulan Daeng Upas.
Asap yang berputar-putar dan tertahan itu laksana disentak tangan setan. Lalu melesat kencang berputar-putar ke arah Daeng Upas! Sambil menindih rasa kejut, Daeng Upas cepat putar kembali tubuhnya. Lalu membentak garang. Saat itu juga dari tubuhnya melesat lagi asap berputar-putar.
Blaaarrr!
Tempat itu laksana dilanda gempa hebat ketika pukulan 'Angin Keranda' yang membalik bentrok dengan pukulan 'Angin Keranda' yang baru saja dilepas Daeng Upas. Sosok Daeng Upas terpental jauh menerabas semak belukar. Dari mulutya mengalir darah kehitaman pertanda si nenek telah terluka dalam. Pakaian sutera putih yang dikenakannya berubah agak kecoklatan hangus. Sementara Tengkorak Berdarah hanya tersurut dua langkah.
Daeng Upas cepat salurkan tenaga dalam. Lalu terhuyung-huyung bangkit. Saat itulah Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa mengekeh. Namun bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak menghantam ke arah Daeng Upas. Karena belum dapat kuasai diri maka sangat sulit bagi si nenek untuk memangkas pukulan yang datang melabrak. Apalagi pukulan itu dilepas oleh tokoh yang ilmunya tidak diragukan lagi.
Namun Daeng Upas tampaknya tak mau begitu saja menyerah. Meski dengan tubuh belum tegak sepenuh-nya, kedua tangannya bergerak membuat satu pukulan. Tapi pukulan ini tampaknya tidak akan mampu membendung pukulan yang dilancarkan Tengkorak Berdarah, karena Daeng Upas hanya mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dan kalaupun pukulan itu bisa memangkas pukulan Tengkorak Berdarah namun tubuhnya akan makin kehabisan tenaga, dan itu akan membuatnya fatal.
Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba terdengar suara duuttt! Duuttt! Beberapa kali. Pada saat bersama-an, satu gelombang angin dahsyat menyeruak melabrak pukulan yang dilepas Tengkorak Berdarah yang saat itu hampir bentrok dengan pukulan yang dilepas Daeng Upas.
Buummm!
Terdengar ledakan keras saat tiga pukulan itu bertemu. Sosok Daeng Upas mencelat. Namun dia masih beruntung karena pukulan Tengkorak Berdarah masih dipangkas dahulu oleh pukulan yang tiba-tiba menyeruak. Hingga meski tubuhnya sempat mental, namun luka dalamnya tidak bertambah paruh. Sementara sosok Tengkorak Berdarah terseret lima langkah. Namun sosok orang ini tetap tegak!
MESKI seluruh tubuhnya tertutup jubah aneh, namun sentakan kepala serta guncangan sedikit pada bagian bahunya sudah menunjukkan jika Tengkorak Berdarah merasa terkejut. Sementara Daeng Upas yang sosoknya kembali menerabas semak belukar perlahan-lahan bergerak bangkit. Meski hanya sekilas, namun nenek ini bisa menduga jika baru saja ada yang memangkas pukulan Tengkorak Berdarah. Hingga begitu tubuhnya tegak, dia segera berpaling ke samping kanan dari mana pukulan yang selain dapat memangkas pukulan Tengko-rak Berdarah juga menyelamatkan dirinya datang menyeruak.
Sesaat Daeng Upas tampak tergagu dengan mulut terkancing dan mata mendelik tak berkesip. Dari tempatnya tegak, si nenek melihat sesosok tubuh berdiri tegak dengan kepala di bawah kaki di atas. Orang ini berwajah tampan dan usianya masih tampak muda. Pemuda ini tidak mempunyai kedua tangan dan pada mulutnya tampak sebuah karet bundar yang menyerupai dot bayi.
"Dia..." desis Daeng Upas begitu melihat siapa adanya si pemuda yang berdiri terbalik. "Heran. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apakah dia mengikutiku? Siapa sebenarnya pemuda ini? Sikapnya aneh. Tempo hari dia menyerang dan menghadang urusanku hingga berantakan tak karuan. Tapi kali ini tampaknya dia menolongku!" Diam-diam Daeng Upas menarik napas lega melihat kehadiran si pemuda yang dari sikapnya tadi jelas menyelamatkan dirinya.
Sementara Tengkorak Berdarah setelah berdiam agak lama baru berkata. "Bukankah yang di hadapanku saat ini adalah tokoh tua bergelar Dewa Orok? Aku gembira dapat berjumpa denganmu!"
Si pemuda menyedot bundaran karet di mulutnya hingga perdengarkan suara duttt! Duutttt! Beberapa kali. Lalu bahunya bergerak. Wuuttt! Sosoknya kini tegak dengan kepala di atas kaki di bawah, namun yang menjadi tumpuan tubuhnya adalah kedua ibu jari kakinya! Sepasang mata si pemuda yang tajam sejenak memandang pada Tengkorak Berdarah, lalu tersenyum. Kepalanya bergerak ke arah Daeng Upas berada. Si nenek cepat putar otak dan sekejap kemudian dia berkata.
"Sobatku. Terima kasih..."
Si pemuda kuncupkan mulut, lalu menyembur. Bundaran karet di mulutnya mencuat keluar, lalu mengapung di udara di hadapan wajahnya. Kejap lain terdengar ucapannya.
"Sobatku?!" si pemuda ulangi ucapan Daeng Upas. "Aku tidak mengenalmu, kau pun tidak tahu siapa diriku! Adalah hal aneh jika kau mengatakan aku adalah sobatku! Jangan-jangan kau punya niat di balik ucapanmu itu! Ha ha ha...!"
Paras Daeng Upas seketika berubah mengelam. Dalam hati dia memaki panjang pendek. Tapi nenek ini tidak kehilangan akal. Dia segera hendak bicara lagi, namun si pemuda telah mendahului.
"Nenek cantik! Walau kita pernah jumpa dan belum sempat berkenalan, tapi tak ada jeleknya memang saling bersahabat! Hanya saja kau jangan salah terka. Aku tadi tidak berniat menolong apalagi menyelamatkanmu. Aku hanya tidak suka melihat orang bertindak pada orang yang telah tidak berdaya!"
"Hem... Tujuannya masih sama seperti waktu jumpa tempo hari selamatkan pemuda berbaju putih..." gumam Daeng Upas.
"Dewa Orok!" Tiba-tiba terdengar bentakan Tengkorak Berdarah. "Selama ini aku tidak pernah membiarkan hidup orang yang telah melihatku! Namun hari ini kau adalah satu-satunya manusia yang beruntung, karena aku mengampuni nyawamu!"
Si pemuda yang dipanggil Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang mengapung meluncur dan masuk ke dalam mulutnya. Setelah perdengarkan suara duuttt! Duuttt! Beberapa kali, Dewa Orok semburkan kembali bundaran karet. Bundaran karet itu kembali mengapung di udara. Kepalanya berpaling pada Tengkorak Berdarah.
"Selama ini aku tidak pernah minta ampun apalagi urusan nyawaku. Namun hari ini aku menemukan hal aneh. Ada orang mengampuni nyawaku, padahal nyawaku tidak pernah punya urusan denganmu! Lagi-lagi aku menangkap ada sesuatu di balik nada ucapanmu! Ha ha ha...!"
Karena seluruh anggota tubuh Tengkorak Berdarah tidak kelihatan, baik Dewa Orok maupun Daeng Upas tidak bisa melihat bagaimana paras wajah Tengkorak Berdarah setelah mendengar ucapan Dewa Orok. Mereka berdua sebentar kemudian hanya mendengar Tengkorak Berdarah berujar.
"Nyawamu memang tidak punya urusan denganku, tapi setiap orang yang melihatku berarti nyawanya ditakdirkan untuk tercabut di tanganku! Dan kau jangan merasa senang dahulu, dalam sesaat. Aku bisa merubah niatku!"
"Kalau kau bisa berkata begitu, apa sulitnya bagiku membuat aturan bahwa tidak semua yang kulihat bisa mencabut nyawaku termasuk kau sendiri?!"
"Dewa Orok!" suara Tengkorak Berdarah makin tinggi pertanda kemarahannya sudah memuncak. "Rupanya kau ingin niatku berubah!"
"Aku tak pernah ingin merubah niat siapa saja!"
Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Wajah Dewa Orok tampak berubah. Mulutnya mengempis lalu menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung di udara meluncur dan masuk kedalam mulutnya.
"Kau manusia tak mau diuntung! Dan ternyata takdir kematianmu juga ada di tanganku!" sentak Tengkorak Berdarah.
Sepasang mata Dewa Orok melotot besar. Dia segera tarik tubuhnya ke belakang. Kedua orang ini tampaknya sudah siap untuk saling lepaskan pukulan. Saat itulah tiba-tiba terdengar orang bergumam tapi tidak jelas nada ucapannya. Baik Tengkorak Berdarah maupun Dewa Orok urungkan niat. Keduanya sama palingkan kepala kesamping kanan arah mana tampak Istana Hantu. Daeng Upas yang masih tegak dan coba kembalikan tenaga dalamnya juga segera berpaling.
Dari tempat masing-masing orang dapat melihat sesosok tubuh melangkah pelan dari pelataran Istana Hantu menuju ke arah mereka. Sepasang mata Dewa Orok dan Daeng Upas mementang tak berkesip. Ternyata sosok yang sedang melangkah itu menggendong seseorang di punggungnya. Orang yang menggendong mengenakan pakaian warna gelap. Sementara orang yang digendong mengenakan pakaian warna putih besar dan panjang hingga pakaian bawahnya tampak menyapu tanah sampai setengah tombak! Anehnya, orang yang menggendong itu melangkah zig-zag ke kanan ke kiri seolah ingin menunjukkan sapuan pakaian orang yang digendong.
Untuk beberapa lama tidak ada orang yang buka mulut. Semua perhatian laksana tertuju pada orang menggendong yang melangkah zig-zag. Kira-kira tujuh tombak di hadapan Dewa Orok, dan sebelum Dewa Orok dapat melihat jelas siapa adanya orang yang mendatangi, tiba-tiba orang di depan sana melangkah ke arah kanan lalu membuat gerakan cepat. Dewa Orok dan Daeng Upas terkesima hampir tidak percaya. Orang yang menggendong tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi! Dewa Orok berpaling ke kiri di mana Tengkorak Berdarah tadi berada. Pemuda bertangan buntung ini terkejut. Tengkorak Berdarah sudah tidak kelihatan lagi!
"Heran. Ke mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang begitu melihat orang tadi?" membatin Dewa Orok. Lalu kepalanya diputar. Namun sosok Tengkorak Berdarah memang tidak ditemukan.
Sementara Daeng Upas begitu mendapati orang yang menggendong lenyap, cepat pula berpaling ke arah Dewa Orok dan Tengkorak Berdarah. Dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan kedua orang itu. Tapi dia terperangah kaget tatkala matanya tidak lagi melihat sosok Tengkorak Berdarah. Mungkin masih khawatir nenek ini seperti halnya Dewa Orok tadi, putar kepalanya berkeliling dengan mata menembusi semak belukar. Tapi tetap saja dia tak melihat Tengkorak Berdarah. Perlahan-lahan Daeng Upas melangkah ke arah Dewa Orok.
"Hari ini aku menemukan satu keanehan..." kata Daeng Upas mulai membuka pembicaraan.
Dewa Orok hanya berpaling tanpa menyahut. Sebaliknya menyedot-nyedot karet bundar di mulutnya hingga perdengarkan suara duuuttt! Duuuttt!
"Yang kudengar selama ini Tengkorak Berdarah adalah manusia misterius berilmu sangat tinggi. Para korbannya adalah orang-orang yang pernah menyandang nama besar dalam rimba persilatan. Tapi kenapa tiba-tiba dia seperti takut melihat orang yang menggendong tadi? Buktinya dia segera menghilang...."
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya hingga mencuat dan mengapung di hadapannya. Lalu berkata. "Hem... Kau melihat itu satu keanehan, tapi aku mengatakan itu adalah satu hal biasa. Setinggi apapun ilmu yang dimiliki seseorang, pasti ada orang lain yang melebihi. Mungkin hal itu yang dirasakan orang berjubah yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah tadi. Tapi lebih daripada itu, aku menangkap sesuatu yang lain dengan kepergiannya yang secara diam-diam!"
"Begitu? Apa sesuatu yang lain itu?!" tanya Daeng Upas seraya memperhatikan baik-baik sosok Dewa Orok yang tak punya tangan itu.
Dewa Orok geleng-gelengkan kepala. "Tidak baik membicarakan orang! Apalagi hal itu masih berupa dugaan!"
Daeng Upas tersenyum. Memperhatikan sesaat pada bundaran karet yang mengapung di hadapan Dewa Orok lalu berkata. "Tengkorak Berdarah mengenalimu. Apakah kau mengenalinya juga? Siapa dia sebenarnya?!"
"Dia mengenaliku, tapi sulit rasanya menebak siapa dia sebenarnya! Hanya aku maklum jika aku masih tidak apa-apanya jika dibandingkan dia! Kau tahu, tadi aku sudah panas dingin! Seandainya tidak ada orang bergendongan tadi, entah apa yang akan kualami!"
"Tapi kau telah berhasil menahan pukulan Tengkorak Berdarah, hingga aku tidak menemui ajal! Sekali lagi kuucapkan terima kasih..."
Dewa Orok tertawa. "Ajal datangnya tidak bisa ditentukan, Nek! Aku tidak merasa menolongmu, hanya mungkin hari ini bukanlah saat ajalmu! Kalau manusia mau memahami kemisteriusan ajal, tentu segala urusan akan diakhiri dengan saling maaf. Tidak ada lagi saling dendam dan silang sengketa. Tidak ada lagi ketamakan yang menginginkan milik orang lain yang selama ini menjadi biang keladi terjadinya pembunuhan dan permusuhan! Namun bukanlah dunia jika tidak ada hal-hal seperti itu. Karena dunia diciptakan untuk menunjukkan hal baik dan buruk!"
Lama Daeng Upas terdiam seolah menyimak ucapan Dewa Orok. "Orang ini ucapannya seperti menyinggung diriku! Jangan-jangan dia tahu apa rencanaku..." membatin si nenek sambil menghela napas panjang dan dalam.
"Kau menyimpan sesuatu? Atau ada yang hendak kau katakan?!" tanya Dewa Orok melihat perubahan pada wajah si nenek, membuat Daeng Upas tergagap. Setelah dapat menguasai perasaan, akhirnya Daeng Upas berkata.
"Aku adalah murid seorang tokoh besar pada zamannya. Aku sangat bahagia waktu itu. Karena sebagai murid tunggal, guruku sangat menyayangiku. Hidupku terasa lebih bahagia lagi tatkala aku berkenalan dengan seorang pemuda. Namun kebahagiaan itu ternyata tidak berumur panjang. Hal itu bermula dari tindakan guruku yang mengangkat lima anak muda menjadi murid-muridnya. Sedikit demi sedikit perhatian Guru terhadapku berkurang. Celakanya lagi, mereka kasak-kusuk membicarakan pemuda yang kucintai. Dan tanpa sepengetahuanku, mereka ada yang menebar fitnah tentang hubunganku dengan pemuda yang kucintai. Guru rupanya termakan hasutan kelima saudara seperguruanku itu. Hingga pada akhirnya aku harus meninggalkan perguruan dengan membawa kehancuran. Aku sebenarnya tidak sakit hati difitnah dan diperlakukan demikian. Yang membuat hatiku hancur, ternyata Guru memberikan apa yang pernah dijanjikan padaku pada kelima saudara seperguruanku!"
Beberapa lama Daeng Upas hentikan keterangannya, lalu setelah mengatasi gejolak, dia melanjutkan. Sementara Dewa Orok tampak sedang mendengarkan dengan seksama.
"Setelah meninggalkan perguruan, aku terus melanjutkan hubungan dengan pemuda yang kucintai itu. Namun dalam perjalanan selanjutnya, ada sesuatu hal yang membuat kami berdua harus berpisah. Menginjak usia senja, aku sadar jika aku butuh seorang pendamping, lebih dari itu keputusan berpisah dahulu sebenarnya hanya didasari perasaan marah dan cemburu, dan lebih dari semuanya, sebenarnya aku masih mencintainya. Namun lagi-lagi aku harus menelan kecewa, karena orang yang kucintai ternyata telah tewas dibunuh seseorang!"
Daeng Upas hentikan ceritanya. Lalu bertanya. "Kalau sekarang aku memendam sakit hati pada kelima saudara seperguruanku juga pada guruku, apakah aku salah? Kalau aku memendam perasaan dendam pada orang yang membunuh orang yang kucintai, apakah aku keliru?!"
"Nek... Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Hanya kau sendiri yang dapat menilai. Karena kaulah yang mengalami! Hanya kalau menurutku, kenapa hal begitu tidak dilupakan saja? Itu mungkin sudah suratan yang harus kau jalani!"
Daeng Upas sedikit beliakkan sepasang matanya. "Terlalu gampang jika segala urusan harus dilupakan begitu saja! Karena orang akan bertindak semakin semaunya sendiri!"
"Memang sulit melupakan hal begitu, tapi kau akan mengalami kesulitan lagi jika mengikuti perasaan! Sebab perasaan kadang-kadang melebihi dari kenyataan! Apalagi jika itu perasaan seorang perempuan sepertimu!"
Daeng Upas tersenyum. "Kau rupanya pandai juga menyelami perasaan seprang perempuan. Apakah kau pernah punya seorang istri? Atau kekasih barangkali?"
Dewa Orok tertawa bergelak. "Masih banyak orang yang tubuhnya sempurna. Jadi mungkin hanya orang tak waras saja yang mau menjadi kekasih apalagi istriku... Tapi aku tidak sakit hati, karena memang ini adalah suratan takdir yang mau tak mau harus kujalani! Dengan demikian, aku tak punya beban dalam menjalani hidup..."
"Tapi bebanmu lain dengan bebanku..." sahut Daeng Upas.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Lain memang betul. Tapi kurasa berat bebanku daripada bebanmu. Bebanmu dapat disimpan dan tidak diketahui orang lain. Tapi setiap orang yang melihatku sudah bisa menebak beban yang kupikul!"
"Hem… Orang ini pandai bicara. Ilmunya juga tinggi… Tentu dia punya tujuan dengan kemunculannya di rimba persilatan. Apalagi saat ini orang digemparkan dengan terbukanya Istana Hantu...." Daeng Upas menduga-duga dalam hati lalu berkata.
"Tengkorak Berdarah tadi kudengar menyebutmu tokoh tua. Dia juga sepertinya enggan berhadapan denganmu jika kau tidak berkata keras. Kalau boleh tahu siapa kau sebenarnya? Dan kemunculanmu di saat rimba persilatan diselimuti kegegeran begini rupa pasti ada maksud tertentu..."
"Dia menyebutku begitu mungkin karena matanya tertutup pakaiannya yang aneh itu. Soal keengganannya terhadapku, kurasa hanya karena kasihan melihat keadaanku yang begini! Pertanyaanmu selanjutnya aku tidak bisa menjawab..."
Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan mulut menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung di hadapannya meluncur dan masuk ke dalam mulutnya. Kejap lain tiba-tiba Dewa Orok berpaling ke kanan. Bersamaan itu semak belukar kemana Dewa Orok kini menghadap tampak bergoyang-goyang.
"Ada orang mencuri dengar pembicaraan kita!" desis Daeng Upas yang secara tak sadar mengikuti gerak Dewa Orok hingga mengetahui gerakan pada semak belukar.
"Ah. Kita bicara bukan hal penting. Biar didengar orang banyak pun tak apa-apa," kata Dewa Orok lalu arahkan lagi pandangannya ke depan.
"Tapi tak enak hatiku sebelum kutahu siapa adanya orang yang berani lancang mencuri dengar pembicaraan orang!" gumam Daeng Upas lalu berkelebat ke arah semak belukar yang sesaat tadi tampak bergoyang-goyang.
Namun gerakan Daeng Upas terlambat. Dia hanya sempat melihat berkelebatnya dua sosok bayangan. Begitu cepatnya kelebatan dua bayangan tadi, hingga si nenek tak dapat menentukan laki perempuannya, malah warna pakaian yang dikenakan dua bayangan itu Daeng Upas tidak dapat mengenalinya! Dengan menggumam tak jelas, Daeng Upas balikkan tubuh. Dia tersentak kaget. Sosok Dewa Orok telah lenyap dari tempatnya tadi berada.
"Tempat ini rasanya sudah tidak aman lagi! Aku harus cari tempat aman untuk pulihkan cedera dan memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya!"
Daeng Upas memandang berkeliling sejenak, lalu arahkan pandangannya pada Istana Hantu. Sesaat kemudian dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
LAKSANA dikejar setan gentayangan, dua bayangan itu berkelebat cepat hingga sosoknya hanya bagai bayang-bayang samar. Setelah rangasan semak belukar dan jajaran pohon terlewati, tepatnya pada satu dataran berbatu dua bayangan itu sama memperlambat larinya. Pada sebuah gugusan batu agak besar baru keduanya hentikan langkah.
Sosok yang depan ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna hijau. Rambutnya panjang sepinggang diikat dengan pita kembang-kembang. Sepasang matanya bundar ditingkah bulu mata panjang dan lentik. Gadis ini punya lesung pipit di pipi kiri kanannya.
Sementara sosok di belakang gadis berbaju hijau ini adalah seorang perempuan yang tidak bisa dikenali usia maupun paras wajah aslinya. Karena perempuan ini mengenakan bedak tebal. Rambutnya yang digelung ke belakang diberi pewarna hitam berkilat-kilat. Kelopak kedua matanya dipoles warna hijau dan merah. Sementara bibirnya diberi warna merah menyala. Perempuan ini mengenakan pakaian panjang warna coklat.
"Hampir saja kita celaka..." gumam perempuan berbedak tebal sambil memandang ke arah gadis berbaju hijau yang kini duduk bersandar pada lamping batu. Gadis ini tidak menyahut ucapan perempuan berbedak tebal. Malah sepasang matanya yang bundar meman-dang jauh dengan pandangan kosong.
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Apa yang kukhawatirkan jangan-jangan terjadi... Sejak kepergiannya dia tampak murung dan sering menyendiri. Hem... Seharusnya aku tidak melibatkan dia dalam urusan ini. Tapi apa hendak dikata. Semuanya telah telanjur. Dan perasaan cinta kadangkala datangnya tidak terduga. Ah..." diam-diam si perempuan berbedak tebal membatin dalam hati. Setelah menarik napas dalam akhirnya dia berkata.
"Puspa Ratri... Akhir-akhir ini kulihat kau begitu berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"
Untuk sesaat gadis berbaju hijau yang dipanggil Puspa Ratri tetap memandang jauh ke depan. Namun tak lama kemudian berpaling pada perempuan berbedak tebal. Menatapnya sesaat lalu gelengkan kepala sambil tersenyum. Tapi perempuan berbedak tebal tahu, jika senyum si gadis begitu dipaksakan.
"Puspa Ratri... Aku dulu pernah muda sepertimu. Kau tak usah sembunyikan apa yang kau rasakan mengganjal di hatimu padaku... Katakanlah anakku..."
Ucapan terakhir si perempuan berbedak tebal rupanya membuat Puspa Ratri tersentuh hatinya. Untuk beberapa lama dia pandangi orang yang masih tegak di hadapannya. Mulutnya yang sedari tadi terkancing bergerak membuka.
"Ibu... Selama ini aku selalu berterus terang padamu. Hanya Ibu sendirilah yang selama ini sembunyikan sesuatu padaku..."
Perempuan berbedak tebal menarik napas panjang. Dalam hati dia membatin. "Aku tahu Sebenarnya bukan hal itu yang mengganjal di hatimu. Tapi memang kuakui, selama ini aku tidak berterus terang padamu jika kau menanyakan tentang siapa ayahmu... Hem... Kurasa memang sudah saatnya kau mengetahuinya!"
"Puspa Ratri... Kini kau sudah dewasa. Sudah saatnya kau mengetahui apa yang selama ini ibu simpan rapat-rapat..."
"Ibu... Aku tidak memaksa. Kalau Ibu masih merasa keberatan, jangan Ibu paksakan diri. Apalagi jika hal itu akan makin menambah beban. Aku sudah pasrah dengan semua ini. Ini mungkin sudah suratan yang ditulis untukku..."
Perempuan berbedak tebal sunggingkan senyum sambil gelengkan kepala. "Anakku... Aku tidak memaksakan diri. Hai ini memang harus kau ketahui!" Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya jauh ke depan. Sepasang matanya mengerjap beberapa kali, lalu terdengar dia berkata.
"Anakku... Sewaktu aku sebaya usia denganmu, aku berkenalan dengan seorang pemuda bernama Panjer Wengi. Entah karena apa, aku tertarik padanya. Dan rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. Panjer Wengi ternyata juga tertarik padaku. Kami berdua akhirnya memadu kasih. Tapi ketentuan rupanya belum berpihak padaku. Semua itu berawal dari ricuhnya keadaan rimba persilatan. Sebagai orang muda, Panjer Wengi yang begitu gandrung dengan ilmu persilatan berniat menuntut ilmu. Tujuannya memang baik. Karena dia bilang rimba persilatan tidak akan pernah selesai dengan persoalan. Tanpa bekal ilmu, ketenangan hidup tidak akan pernah dikenyam, karena orang akan diperlakukan dengan sewenang-wenang. Aku sebenarnya berat melepas kepergiannya, namun karena tekadnya begitu menggebu lagi pula apa yang menjadi tujuannya adalah demi ketenangan hidup di kelak kemudian hari, akhirnya dengan berat hati aku merelakan dia pergi menuntut ilmu..."
Perempuan berbedak tebal hentikan keterangannya sejenak. Sepasang matanya terus memandang jauh ke depan seolah mengenangkan kembali saat-saat yang telah terlewati. Tak lama kemudian dia melanjutkan.
"Beberapa tahun berlalu. Aku tetap menunggunya dengan sabar dan tabah. Namun penantianku ternyata tinggal penantian. Panjer Wengi tidak ada kabar beritanya. Tapi aku coba menahan diri. Aku tetap bersabar menunggu. Namun kesabaran ternyata ada batasnya. Apalagi sebagai seorang perempuan, aku punya firasat tidak baik. Panjer Wengi telah melupakan janjinya padaku. Firasatku tidak meleset. Dari beberapa orang yang kutemui aku mendapat berita bahwa Panjer Wengi telah menjalin hubungan dengan seorang gadis anak gurunya. Aku tidak percaya begitu saja pada kabar yang sampai sebelum aku melihatnya sendiri. Aku lantas melakukan perjalanan. Pada satu kesempatan, apa yang selama ini kudengar benar-benar terbukti. Kulihat Panjer Wengi bersama seorang gadis cantik. Betapa hancur hatiku saat itu. Kesabaran dan penantianku selama ini mendapat balasan yang tidak kuduga sebelumnya. Dengan membawa luka hati, akhirnya aku pergi mengembara. Aku pada akhirnya bertemu dengan seorang tokoh sakti di lereng Gunung Arjuna. Beberapa tahun lamanya aku menimba ilmu sambil melupakan apa yang pernah kualami. Tapi cinta adalah perasaan. Semakin aku berusaha untuk melupakan semakin deras perasaan itu menggoda. Dan terus terang, meski Panjer Wengi telah melupakan aku, tapi aku tidak bisa melupakannya. Bahkan karena tulusnya rasa kasih sayangku padanya, aku memaafkan apa yang dilakukannya!"
"Ibu..."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala memberi isyarat agar Puspa Ratri tidak memotong keterangannya. Setelah memberi isyarat, si perempuan teruskan penuturannya.
"Setelah beberapa tahun menetap di lereng Gunung Arjuna, akhirnya aku diizinkan untuk turun gunung. Tentu saja aku saat itu telah berubah. Selain usiaku bertambah, aku juga membekal ilmu silat. Kalau ada hal yang tidak berubah, itu adalah rasa kasih sayangku pada Panjer Wengi! Aku sendiri tak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Padahal aku telah berusaha membencinya! Anehnya semakin aku berusaha membencinya, makin aku ingin bertemu dengannya. Hal itulah akhirnya yang mendorongku untuk mencari tahu keberadaan Panjer Wengi. Ternyata, Panjer Wengi telah menjadi seorang tokoh yang disegani. Malah kudengar ketika itu dia telah mengambil murid seorang perempuan. Sementara dia sendiri berbahagia dengan gadis pilihannya dahulu, yaitu anak gadis dari gurunya. Aku merasa bahagia mengetahui orang yang kukasihi hidup tenteram bahagia. Meski kadang-kadang aku merasa kecewa. Dan karena kasih sayangku hanya untuk Panjer Wengi, hatiku tertutup untuk orang lain. Hingga sampai menginjak usia yang seharusnya sudah memiliki seorang anak, aku tetap menutup diri dari laki-laki..."
"Ibu. Lalu aku ini...?!" sela Puspa Ratri yang rupanya tidak sabar.
"Tahun terus berganti. Panjer Wengi namanya makin menjulang dalam kancah dunia persilatan. Dan kudengar dia telah pula mengangkat lima anak muda sebagai murid-muridnya! Namun ada satu yang kiranya belum membuat tenteram kehidupan Panjer Wengi. Dia belum mempunyai seorang anak meski usianya telah menginjak agak tua. Hal itu kuketahui setelah aku sempat bertemu dengannya. Malah dalam pertemuan itu, dia mengajakku untuk berbaik-baikan lagi. Dia meminta maaf atas segala yang telah terjadi. Kukatakan padanya bahwa aku lelah memaafkan sebelum dia minta maaf! Dan aku menolak ajakannya, karena aku tidak mau dikatakan merebut suami orang. Aku tidak mau menyakiti hati kaumku. Tapi sejak pertemuan itu, aku jadi sering mengadakan pertemuan dengannya. Namun aku bina menjaga diri meski dia selalu memaksa mengajak berbaik-baikan. Pada satu kesempatan, ia mengatakan padaku bahwa istrinya mengandung. Meski kebenarnya itu kabar gembira, entah kenapa aku merasakan hal itu sebagai sesuatu yang menyakitkan! Sejak saat itu pula aku menghindar..."
"Ibu, kau belum jawab pertanyaanku tadi!" kata Puspa Ratri karena ibunya belum juga sebut-sebut siapa diri dan ayahnya.
"Anakku. Jangan sela ceritaku. Nanti kau akan tahu..." ujar perempuan berbedak tebal pelan. "Satu setengah tahun kemudian, tanpa sengaja, aku jumpa lagi dengan Panjer Wengi yang katanya selama ini selalu mencariku. Dalam kesempatan itu pula, Panjer Wengi menceritakan sebenarnya yang terjadi. Ternyata perjodohannya dengan istrinya hanya karena balas budi dan juga karena jebakan istrinya sendiri. Tidak ada setitik pun rasa cinta di dalamnya. Dia mengatakan masih tetap mencintaiku! Aku begitu gembira men-dengar itu. Namun apalah artinya jika hal itu sudah terlambat. Apalagi dia mengatakan telah mempunyai seorang anak perempuan! Namun entah karena apa, sejak saat itu aku selalu merindukannya. Dan aku selalu menerima kehadirannya namun sejauh itu aku tetap menjaga jarak. Hingga pada suatu hari dia mengatakan jika istrinya pergi tanpa berita dengan meninggalkan anaknya. Tapi yang membuatku terkejut, ternyata selama ini istrinya mengetahui jika Panjer Wengi sering mendatangiku! Hal itulah yang membuat istrinya pergi. Aku merasa berdosa. Hingga secara diam-diam aku pergi. Tapi ternyata Panjer Wengi selalu mencariku. Dan pada akhirnya dia mendapatkan diriku. Dia mengajakku hidup bersama sebagai suami-istri. Karena istrinya tidak ada kabar beritanya. Aku mula-mula selalu menolak. Namun pada akhirnya hatiku luluh juga..."
Kembali perempuan berbedak tebal hentikan cerita-nya, setelah menarik napas panjang dia melanjutkan bertutur.
"Akhirnya aku hidup sebagai suami-istri dengan Panjer Wengi. Dan pada beberapa purnama kemudian aku mengandung. Saat itulah aku merasakan kebaha-giaan yang tiada tara meski hal itu datangnya sangat terlambat. Namun lagi-lagi tampaknya aku harus menerima takdir. Baru beberapa tahun aku mengalami masa bahagia, tiba-tiba istri Panjer Wengi yang dahulu datang lagi. Kedatangannya kali ini selain menyingkirkan aku dari sisi orang yang kukasihi dan telah memberiku seorang buah hati juga meminta sesuatu pada Panjer Wengi. Baru saat itu aku tahu jika Panjer Wengi menyimpan satu rahasia besar. Namun tidak satu pun yang tahu, rahasia apa yang ada di tangannya. Aku secara diam-diam pergi. Namun aku terus pasang telinga. Hingga sampai pada suatu hari, kudengar Panjer Wengi lenyap tanpa berita! Bersamaan dengan itu rimba persilatan digemparkan dengan terjadinya pembunuhan beruntun yang menurut kabar didalangi oleh seorang tokoh misterius yang bermukim di sebuah istana bekas kerajaan. Karena setiap ada pembunuhan si pembunuh meninggalkan sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah, orang dunia persilatan menjuluki tokoh misterius itu dengan Tengkorak Berdarah. Tapi dalam beberapa purnama kemudian, pembunuhan itu terhenti. Namun Panjer Wengi belum juga ada beritanya. Malah sebagian orang menduga Panjer Wengi telah menjadi korban Tengkorak Berdarah. Dan hingga sampai saat ini, Panjer Wengi tidak ketahuan kabar beritanya. Mungkin benar dugaan orang-orang itu, mungkin juga salah!"
"Ibu belum menceritakan anak perempuan Panjer Wengi dari istri pertamanya..." kata Puspa Ratri setelah agak lama terdiam.
"Anak perempuan itu lenyap juga bersama Panjer Wengi!"
"Ibu sudah memperkirakan berapa kira-kira usia dia?"
"Dia hanya terpaut kira-kira tiga tahun denganmu!
Namun karena aku pernah mengasuhnya, maka jika saja aku sekarang bertemu dengannya jelas aku segera dapat mengenalinya! Sebab dia mempunyai ciri tertentu..."
"Apakah Ibu selama ini tidak berusaha mencari Panjer Wengi?"
"Dia adalah ayahmu, Puspa Ratri. Sebagai seorang istri, apalagi aku telah punya anak, aku tidak tinggal diam. Tapi hingga saat ini aku belum berhasil menemukannya! Aku hanya berharap, jika saja memang ayahmu telah meninggal, maka tunjukkan dimana kuburnya! Aku ingin menunjukkan padamu meski itu hanya tanah kuburannya!"
"Kalau dia seorang ayah yang baik dan bertanggung jawab, seharusnya bukan Ibu yang mencari. Justru dia yang harus mencari kita!"
Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Keadaan yang mengharuskan demikian, Anakku. Aku percaya, ayahmu adalah orang baik dan bertanggung jawab. Hanya mungkin ada sesuatu yang melebihi dari itu hingga dia seakan melupakan tanggung jawabnya!"
"Jadi apakah anak dan istri harus dinomor duakan hanya karena keadaan?!"
"Ayahmu adalah seorang tokoh rimba persilatan, Anakku. Dalam arena persilatan, kedamaian dan ketenteraman orang banyak lebih diutamakan daripada segalanya! Jadi kau harus mengerti dan tidak salah sangka!"
"Tapi apa buktinya? Hingga kini rimba persilatan tidak pernah tenteram. Apalagi dengan terjadinya pembunuh-an yang akhir-akhir ini merajalela. Dan nyatanya tokoh yang berjuluk Tengkorak Berdarah masih juga bercokol!"
"Menunggu hasil dibutuhkan waktu yang lama, Anakku! Dan tak jarang dalam masa penungguan itu dibutuhkan pengorbanan dan kesabaran!"
"Lalu murid-murid Ayah...?"
"Kelimanya kini telah menjadi tokoh-tokoh rimba persilatan. Hanya murid perempuan yang pertama yang jarang kudengar beritanya. Tapi..."
"Ibu!" tukas Puspa Ratri. "Dari percakapan nenek berbaju putih tadi dengan pemuda bertangan buntung rasa-rasanya..."
"Puspa Ratri..." Kini perempuan berbedak tebal yang memotong ucapan Puspa Ratri. "Bukan rasa-rasanya. Tapi aku menduga dialah murid ayahmu yang pertama!"
"Dia menaruh dendam pada ayah juga kelima saudara seperguruannya! Apakah tidak..."
"Urusan itu biarlah menjadi urusannya, Anakku! Kau tidak usah ikut campur tangan!" sela perempuan berbedak sebelum Puspa Ratri selesaikan ucapannya.
"Sebenarnya rahasia apa yang ada di tangan Ayah?" gumam Puspa Ratri hampir tidak kedengaran.
"Itulah yang sampai saat ini menjadi tanda tanya! Tapi aku punya dugaan, ayahmu masih ada!"
"Dari mana Ibu bisa mengatakan demikian?!"
"Firasat, Anakku! Dan seringkali firasat seorang istri tidak jauh meleset!"
Puspa Ratri menghela napas panjang. Pandangannya kembali jauh ke depan.
"Masih ada yang mengganjal di hatimu, Anakku?!"
Tanpa berpaling, Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Tapi perempuan berbedak tebal tersenyum dan berujar. "Kau jangan membohongi ibumu, Anakku! Aku tahu, kau menyimpan sesuatu! Katakanlah!"
Puspa Ratri tidak buka mulut. Perempuan berbedak tebal batuk-batuk kecil. "Puspa Ratri... Kau memikirkan pemuda yang kau tolong itu?"
"Cinta datangnya tidak terduga, Anakku! Tapi sebaiknya kau mengaca pada perjalanan hidup ibumu ini!"
"Maksud Ibu...?!" tanya Puspa Ratri dengan suara agak tersendat.
"Bermodal cinta tulus saja tidak cukup! Dibutuhkan juga keberanian dan keteguhan hati! Karena persaingan dalam cinta pasti akan ada!"
"Aku tidak mengerti..." ujar Puspa Ratri.
"Pemuda itu kulihat memang seorang yang baik. Selain juga berkepandaian tinggi. Tak heran jika nantinya banyak gadis yang coba merebut hatinya! Di sinilah persaingan itu akan muncul! Jika hanya bermodal cinta tulus, kau hanya akan mengalami nasib sama denganku! Menunggu dan menunggu! Kalaupun penantian itu berakhir, datangnya sudah sangat terlambat! Dan hanya datang sekejap! Lebihnya adalah perasaan kecewa!"
Puspa Ratri mengeluh dalam hati. "Ibu tampaknya sudah menduga apa yang kurasakan pada pemuda itu. Hem... Memang sebaiknya aku terus terang..." Memikir begitu, akhirnya gadis berbaju hijau ini berkata. "Sekarang apa yang harus kulakukan...?!"
"Aku tanya dahulu. Apakah kau jatuh hati pada nya?!" perempuan berbedak tebal balik bertanya.
Untuk beberapa saat Puspa Ratri tidak menjawab. Namun sesaat kemudian ia berkata. "Aku masih belum mengenalnya dengan baik. Aku juga belum sempat bicara banyak dengannya!"
"Perasaan cinta tidak membutuhkan waktu panjang juga kata-kata, Anakku! Dari sikap dan tindakan, orang sudah dapat ditebak!"
Wajah Puspa Ratri makin memerah. Dan sebelum gadis ini buka mulut, perempuan berbedak tebal telah berkata lagi. "Dari sikapmu, Anakku. Aku menduga kau jatuh hati pada pemuda itu! Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa mencegah. Aku hanya bisa menyarankan! Kalau kau benar-benar siap, teruskanlah! Tapi jika kau tidak siap, lupakan dia!"
"Ibu..." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Puspa Ratri. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapannya.
Perempuan berbedak tebal memandang lekat-lekat. "Kau sudah dewasa. Dan perasaan cinta adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kodrat anak manusia. Aku tidak akan mencampuri urusan perasaanmu. Hanya kau ingatlah pesanku tadi!"
Beberapa saat kemudian ibu dan anak ini sama-sama diam. Mereka dibuncah dengan pikiran masing-masing.
"Ibu... Boleh aku tanya sesuatu?" kata Puspa Ratri buka pembicaraan lagi. Perempuan berbedak tebal tersenyum sambil anggukkan kepala.
"Kau akhir-akhir ini selalu berada di sekitar Istana Hantu. Apa sebenarnya yang kau cari di sana? Dan mengapa Ibu menolong pemuda itu?!"
Perempuan berbedak tebal kali ini tidak segera menjawab. Dia mendongok. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati. "Ah. Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus terang? Meski aku hampir pasti, namun hal itu masih membutuhkan pembuktian..."
"Anakku. Meski aku tidak punya ilmu tinggi, namun setidaknya aku adalah orang persilatan. Dan saat ini, rimba persilatan sedang digemparkan lagi dengan munculnya sang penghuni Istana Hantu. Aku tidak akan tinggal diam jika memang penghuni Istana Hantu adalah biang terjadinya kegemparan akhir-akhir ini!"
Setelah hentikan ucapannya sejenak, perempuan berbedak tebal menyambung. "Tentang kenapa aku menolong pemuda itu, aku sendiri tak tahu mengapa! Mungkin kasihan, mungkin juga hanya karena sudah menjadi kewajiban saling tolong antar sesama orang..."
"Hem... Lalu ke mana dia setelah Ibu obati?!"
"Anakku..." kata perempuan berbedak tebal dalam hati. "Kuharap kau nantinya mengerti jika untuk urusan misteri Istana Hantu aku masih belum berterus terang padamu! Aku takut kau akan ikut campur dalam urusan ini. Lagi pula..."
Perempuan berbedak tebal tidak teruskan kata hatinya karena saat itu Puspa Ratri telah kembali berucap. "Kudengar Ibu menggumam sendiri..."
Perempuan berbedak tebal tampak terkejut, karena memang tanpa disadari dia seperti bicara sendiri. "Puspa Ratri... Pemuda itu tidak mengatakan kemana dia hendak pergi. Namun kuharap kau tidak kecewa. Suatu saat kalau ditentukan, tentu kau akan jumpa dengannya. Hanya saja..."
"Kenapa Ibu tidak teruskan?! Hanya apa...?!"
"Lebih baik kau lupakan dia!"
Puspa Ratri seakan tersentak. Seraya bergerak bangkit dia berkata. "Ibu. Ada apa ini sebenarnya? Tadi ucapan Ibu sepertinya memberiku kebebasan. Tapi ujungnya Ibu mengatakan aku harus melupakannya!"
"Puspa Ratri... Aku khawatir!"
"Khawatir apa...?!"
Perempuan berbedak tebal tidak menjawab. Sebaliknya dia berpaling ke samping kanan. "Ada orang berlari menuju arah kita! Kita harus sembunyi!"
"Ibu! Kita belum tahu siapa adanya orang itu!" ujar Puspa Ratri sambil arahkan pandangannya ke samping kanan. "Untuk apa kita sembunyikan diri?!"
"Saat ini rimba persilatan sedang kacau! Sulit menentukan mana lawan mana kawan! Jalan terbaik bagi kita adalah mengetahuinya terlebih dahulu!" seraya berkata tangan kanan perempuan berbedak tebal cepat menarik tangan Puspa Ratri. Hingga mau tak mau Puspa Ratri melangkah ke belakang ibunya.
Keduanya lalu mendekam di balik batu. Sesaat setelah keduanya berada di balik batu, satu bayangan putih berkelebat. Tiba-tiba bayangan itu hentikan langkah sepuluh tindak dari tempat Puspa Ratri dan ibunya mendekam. Puspa Ratri mendadak pentangkan sepasang matanya. Tanpa sadar mulutnya terbuka hendak bicara. Namun tertahan setelah ibunya buru-buru takupkan tangan kirinya pada mulut anaknya. Sambil menatap pada sang anak, perempuan berbedak tebal berbisik.
"Kuharap kau bisa menahan diri!"
Sepasang mata gadis berbaju hijau itu menatap tajam ke dalam bola mata ibunya. Hatinya disamaki dengan berbagai duga dan tanya. Namun dia menuruti juga bisikan ibunya untuk menahan diri. Hingga akhirnya dia hanya menatap ke depan dengan hati berdebar-debar.
Di depan sana orang yang tegak sapukan pandangan-nya berkeliling. Dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih. Rambutnya yang panjang sedikit acak-acakan dililit dengan ikat kepala berwarna putih pula. Tiba-tiba pemuda ini angkat tangan kirinya. Lalu jari kelingkingnya dimasukkan ke dalam lobang telinganya. Sambil berjingkat dan meringis sendirian, si pemuda melangkah pelan tinggalkan tempat itu.
Begitu sosok si pemuda agak jauh dan hampir saja lenyap di balik rimbun pohon jauh di depan sana, Puspa Ratri segera bangkit. Dan tanpa hiraukan ibunya, gadis ini berkelebat ke arah perginya si pemuda.
"Ah. Mudah-mudahan apa yang kutakutkan tidak terjadi..." kata perempuan berbedak tebal sambil gelengkan kepala. Lalu kejap lain sosoknya berkelebat ke arah berkelebatnya gadis berbaju hijau.
"Heran. Ke mana perginya dia?!" gumam Puspa Ratri tatkala matanya tidak lagi menangkap sosok orang yang dikejar. Dia tegak dengan kepala berputar dan mata memandang tak berkesip ke Seantero di mana dia tegak. "Jangan-jangan dia menuju Istana Hantu..."
Menduga begitu, gadis berbaju hijau ini segera berkelebat kembali. Namun gerakan tubuhnya tertahan tatkala pada saat bersamaan, terdengar satu deruan. Kejap lain satu gelombang angin melabrak ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Puspa Ratri berkelebat ke samping selamatkan diri. Belum sempat dia palingkan kepala ke arah sumber serangan gelap, kembali satu gelombang angin deras melabrak kearahnya! Untuk kedua kalinya Puspa Ratri harus berkelebat hindarkan diri. Pada saat itulah satu bayangan berkelebat.
Bukkk!
Puspa Ratri berseru tertahan. Sosoknya mencelat mental dan terjengkang di atas rangasan semak belukar. Terhuyung-huyung gadis berbaju hijau ini bergerak bangkit. Sepasang matanya berkilat memandang ke depan. Sesaat gadis berparas cantik ini terkesiap. Tujuh langkah dari tempatnya terlihat sesosok tubuh tegak dengan kacak pinggang. Orang ini mengenakan jubah aneh berwarna abu-abu. Jubah itu dibuat terusan dari kepala sampai kaki hingga tidak satupun anggota tubuhnya yang kelihatan!
"Orang asing! Siapa kau?! Mengapa tiba-tiba menyerangku?!" Puspa Ratri berteriak.
Orang berjubah abu-abu aneh gerakkan tangan kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di bagian dadanya.
Puspa Ratri membelalakkan sepasang matanya. "Tengkorak..." desis Puspa Ratri. Dada gadis ini berdebar. Kuduknya menjadi dingin. Dia seakan mengeluh karena tidak turuti ucapan ibunya untuk diam menahan diri.
"Aku mengampuni nyawamu!" Tiba-tiba orang berjubah abu-abu aneh yang bukan lain adalah Tengkorak Berdarah membentak. "Tapi ceritakan apa yang kau dengar dari percakapan dua orang yang kau intip!"
Puspa Ratri kembali tersentak kaget mendapati orang mengetahui dirinya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Dewa Orok dan Daeng Upas beberapa waktu berselang.
Seperti diketahui, saat Tengkorak Berdarah dan Dewa Orok sama-sama hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba muncul seseorang yang melangkah dari pelataran Istana Hantu. Orang ini menggendong seseorang yang pakaian bagian bawahnya sangat panjang hingga sampai menyapu tanah. Tapi orang yang menggendong ini tiba-tiba lenyap. Dan bersamaan itu juga Tengkorak Berdarah tidak tampak lagi di tempatnya semula.
Seandainya saat itu Dewa Orok dan Daeng Upas tidak terkesima dengan kemunculan orang dari pelataran Istana Hantu, niscaya keduanya akan dapat melihat bagaimana sepasang kaki Tengkorak Berdarah tampak tersurut mundur! Lalu kepalanya bergerak ke samping kiri kanan. Kejap lain sosoknya berkelebat.
Di saat dia berkelebat itulah, orang ini masih menangkap satu bayangan hijau berlari lalu mengendap-endap di balik semak belukar. Tengkorak Berdarah sejurus palingkan kepala ke arah orang yang meng-endap-endap. Lalu teruskan kelebatannya. Pada satu tempat yang dirasa aman, Tengkorak Berdarah hentikan larinya. Dia tegak di balik pohon besar dengan kepala tengadah. Tak jelas apa yang tengah dipikirkannya saat itu. Yang jelas dadanya tampak berguncang turun naik.
Setelah lama berdiam diri, dia lantas berkelebat lagi ke tempat di mana Dewa Orok dan Daeng Upas berada. Tapi sesampainya di tempat itu, dia tidak menemukan siapa-siapa lagi. Juga gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Puspa Ratri. Tengkorak Berdarah tidak tahu, jika sesaat setelah munculnya gadis berbaju hijau satu bayangan putih berkelebat lalu ikut mengendap di samping gadis berbaju hijau dan tidak lain adalah perempuan berbedak tebal.
Rupanya Tengkorak Berdarah tidak segera tinggalkan tempat itu. Entah mengapa orang ini menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di sekitar tempat itu. Hingga akhirnya dia hanya mondar-mandir di sekitar tempat itu. Saat itulah tiba-tiba dia menangkap satu sosok pemuda melangkah perlahan sambil berjingkat-jingkat. Namun perhatian Tengkorak Berdarah pada si pemuda segera beralih tatkala tak lama kemudian muncul gadis berbaju hijau yang tampak mengejar si pemuda.
Si pemuda sendiri tampaknya tahu jika sedang diperhatikan orang. Laksana terbang, dia segera berkelebat lalu lenyap di balik rumpun semak belukar.
"Jangan bicara tak karuan! Siapa mengintip orang?!" ujar Puspa Ratri setelah dapat kuasai rasa terkejutnya.
"Gadis setan! Dengar. Kurasa kau tahu sedang berhadapan dengan siapa saat ini. Jangan coba membohongiku! Mencabut nyawamu semudah aku membalik telapak tangan!"
Dari apa yang baru saja dialaminya, Puspa Ratri sebenarnya sadar jika ucapan orang di hadapannya tidak salah. Namun justru dalam keadaan demikian, rasa takut pada diri gadis ini perlahan-lahan lenyap. Yang muncul sekarang adalah rasa tekad untuk mem-pertahankan diri. Maka sambil menatap tak berkesip, gadis ini balik membentak.
"Aku tak kenal siapa kau! Jangan membuai bermulut besar dan bicara ngaco! Dan lekas enyah dari sini!"
Tengkorak Berdarah menggereng. "Rupanya nasibmu tidak sebaik parasmu!" ujarnya. Ucapannya belum selesai, tangan kanannya telah bergerak mendorong!
Wuuttt!
Terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan itu satu gelombang luar biasa dahsyat menggebrak! Baru saja Puspa Ratri angkat kedua tangannya, tubuhnya telah tersapu lebih dahulu. Hingga sosoknya terhuyung-huyung. Namun gadis ini teruskan sentakan kedua tangannya! Baru setengah jalan kedua tangannya menyentak, dari arah samping melesat gelombang angin keras. Lalu terdengar suara letupan. Gelombang pukulan Tengkorak Berdarah melenceng lalu ambyar!
WALAU sosoknya tidak bergeming sama sekali meski pukulannya dilabrak orang, namun gerakan kepalanya yang cepat menyentak ke samping menunjukkan bahwa Tengkorak Berdarah sempat terkejut. Malah kepalanya diam untuk beberapa lama seolah sepasang mata di balik jubah abu-abu aneh yang juga menutupi kepalanya itu terpentang besar menatap tak berkesip.
Sementara di seberang depan, Puspa Ratri segera pula berpaling. Gadis ini sejenak terpaku dengan mulut terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang matanya yang bundar menyipit membesar pandangi seorang pemuda berpakaian putih-putih yang kini tegak dengan bibir tersenyum-senyum!
"Dia rupanya..." gumam Puspa Ratri mengenali siapa adanya si pemuda. Gadis ini merasakan detakan dadanya bertambah keras. Namun diam-diam juga merasa lega dan gembira. Hingga seakan tak meng-hiraukan adanya orang lain, ia segera menghambur ke arah si pemuda. Namun gerakan Puspa Ratri tertahan karena pada saat yang sama, Tengkorak Berdarah angkat tangan kirinya diarahkan pada si gadis. Kejap lain terdengar bentakan keras.
"Kau tetap di tempatmu! Jangan berani buka mulut dan bergerak!"
Tangan kiri Tengkorak Berdarah terus bergerak ke arah si pemuda. Mendadak si pemuda buka mulut mendahului sebelum Tengkorak Berdarah bersuara.
"Kita belum pernah jumpa. Tentu kau akan tanya siapa diriku! Betul?!"
Tengkorak Berdarah luruskan tangannya tepat ke arah si pemuda. Terdengar dia mendengus. Lalu terdengar bentakannya. "Aku tak butuh nama calon bangkai manusia sepertimu!"
Si pemuda memperhatikan lekat-lekat pada sosok di hadapannya. Dahinya mengernyit. Tapi sejenak kemudian dia tersenyum sambil berujar. "Kalau kau tak butuh namaku, kini aku tanya padamu. Siapa kau?!"
"Aku tak pernah menolak pertanyaan orang, karena itu adalah pertanyaan terakhirnya!" sahut Tengkorak Berdarah. Kepalanya lalu bergerak tengadah. "Aku adalah manusia terakhir yang kau lihat. Akulah Tengkorak Berdarah!"
Si pemuda mendelik. Dia seakan hampir saja tak percaya apa yang baru saja diucapkan orang. Hingga mungkin untuk meyakinkan, si pemuda berpaling ke arah gadis berbaju hijau yang tegak menatap ke arahnya. Dipandangi si pemuda, wajah Puspa Ratri jadi bersemu merah. Mulutnya seakan hendak membuka, tapi terkancing lagi. Melihat bayangan kebimbangan di wajah si gadis, si pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak dua langkah di samping Puspa Ratri.
"Gadis cantik berlesung pipit!" bisik si pemuda. "Aku berterima kasih atas pertolonganmu tempo hari. Aku sekarang butuh keyakinan. Apakah benar ucapan manusia itu?!"
Mendengar dirinya disebut gadis cantik berlesung pipit, dada Puspa Ratri makin berdebar. Paras wajahnya bersemu merah. Untuk beberapa saat dia tidak menjawab pertanyaan orang. Hanya sepasang matanya yang memandang tajam ke dalam bola mata si pemuda. Hingga untuk sesaat kedua orang ini saling bentrok pandang. Tapi Puspa Ratri segera alihkan pandangannya.
Karena Puspa Ratri tidak juga memberi jawaban, akhirnya si pemuda berbisik lagi. "Apakah benar dia Tengkorak Berdarah?!"
Puspa Ratri berpaling. Namun kali ini tidak berani menatap ke bola mata si pemuda. "Aku tidak mengenalnya. Manusia yang berjuluk Tengkorak Berdarah pun aku belum pernah melihatnya. Jadi sulit aku menjawab apakah benar dia Tengkorak Berdarah atau bukan..."
"Lalu ada silang sengketa apa antara kau dengan dia?"
Puspa Ratri menggeleng. "Aku tak tahu. Dia tiba-tiba menyerangku..."
Si pemuda sekali lagi pandangi sosok orang berjubah abu-abu aneh. Diam-diam dia membatin. "Apakah ini manusianya penghuni Istana Hantu? Mengapa dia menyerang gadis ini? Hem... Adakah ini pertanda ucapannya benar?" Tiba-tiba si pemuda teringat akan ucapan seorang kakek yang pernah ditemuinya juga seorang kakek yang berada di dalam kuil di sebelah barat Candi Jago.
"Dua orang yang kutemui itu nada ucapannya sama... Malah orang terakhir yang kutemui mengatakan terus terang aku tidak boleh membunuh Tengkorak Berdarah! Hem... Tapi kemunculannya yang selalu membuat bencana pada setiap orang yang ditemuinya akan terus berlangsung jika tidak dihentikan! Mendengar ucapannya tadi, mungkin dugaan Ratu Malam jika lenyapnya saudara-saudaranya akibat ulahnya ada benarnya! Hem... Tempo hari aku memang gagal memasuki istananya tapi hari ini..."
Si pemuda tidak meneruskan membatin. Karena di depan sana Tengkorak Berdarah angkat tangan kanannya. Lalu didorong ke depan.
Wuuuttt!
Satu sapuan gelombang angin melabrak ganas ke arah si pemuda. Si pemuda tidak tinggal diam. Dia segera pula angkat tangannya dan didorong ke depan. Terdengar letupan. Sapuan gelombang yang datang dari Tengkorak Berdarah ambyar. Sedang gelombang yang melesat dari tangan si pemuda bertabur kian kemari. Tengkorak Berdarah perdengarkan suara menggereng. Suara gerengannya belum lenyap, sosoknya telah berkelebat ke depan.
Buukkk! Buuukkk!
Dua pasang tangan beradu keras di udara. Sosok si pemuda tersurut satu langkah. Tengkorak Berdarah mundur dua tindak. Dari bentrokan tadi keduanya segera bisa maklum jika lawan memiliki tenaga dalam tinggi. Malah si pemuda tampak terkesiap sendiri dan bergumam heran.
"Aku merasa tenaga dalamku berlipat ganda! Aneh..." Kalau si pemuda terkesiap dengan keadaan dirinya sendiri, tidak demikian halnya dengan Tengkorak Berdarah. Orang ini tampaknya terkejut besar hingga secara tak sadar dia segera membentak.
"Pemuda setan! Siapa kau sebenarnya?!"
Mendengar pertanyaan orang, si pemuda tersenyum. "Seperti katamu, aku adalah calon bangkai manusia!"
"Setan!" teriak Tengkorak Berdarah. Kini kedua tangannya diangkat sekaligus. Lalu disentakkan kuat-kuat. Gelombang luar biasa hebat melesat laksana cahaya berkiblat!
Si pemuda tak mau bertindak ayal. Dia cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba tangannya berubah menjadi berwarna kekuningan. Udara berubah panas menyengat. Inilah pertanda bahwa si pemuda hendak lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'! Pukulan yang dahulu pernah dimiliki oleh seorang tokoh bergelar Pendeta Sinting yang akhirnya diwariskan pada murid tunggalnya Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131.
Begitu kedua tangan si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 mendorong, satu gelombang angin luar biasa dahsyat menghampar dengan membawa hawa panas menyengat dan menebarkan semburatan warna kuning di udara. Tempat itu mendadak laksana dilanda gempa hebat. Tanahnya bergetar keras dan bertaburan keudara. Anehnya sosok Pendekar 131 hanya tersurut tiga langkah, sementara Tengkorak Berdarah tersapu sampai satu tombak!
"Heran... Aku mengerahkan tenaga dalam seperti biasa. Tapi kurasa tenaga dalamku jadi berlipat ganda! Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku?!" kata Joko dalam hati.
Murid Pendeta Sinting ini tidak tahu, jika di dalam tubuhnya kini mengendap tenaga dalam milik kakek yang berada di dalam kuil yang tanpa sepengetahuan Joko telah salurkan seluruh tenaga luar dalamnya hingga dia sendiri kehabisan tenaga dan menghembuskan napas terakhir.
Tengkorak Berdarah tersentak bukan main. "Baru kali ini aku mendapati orang yang tenaga dalamnya begitu kuat. Siapa sebenarnya jahanam ini? Jangan-jangan pemuda ini yang kucari... Tapi aku harus buktikan dahulu!" Berpikir begitu Tengkorak Berdarah takupkan kedua tangannya di depan dada. Terdengar gumaman tak jelas dari mulut di balik jubah abu-abunya yang aneh.
Sikap orang membuat murid Pendeta Sinting segera maklum jika dia sedang siapkan pukulan andalannya. Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera pula kerahkan tenaga dalam siapkan sekali lagi pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Namun tiba-tiba dia ragu-ragu. Di telinganya terngiang ucapan Raja Tua Segala Dewa dan kakek dalam kuil. Dia juga merasa heran. Saat hendak memasuki Istana Hantu, pukulan sang penghuni terasa begitu hebat. Namun orang yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah ini pukulannya bisa dipangkas dengan mudah!
Keragu-raguan Pendekar 131 cepat ditangkap Teng-korak Berdarah. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera tarik kedua tangannya dan disentak ke depan berulangkali.
Wuuuttt! Wuuttt! Wuuuttt! Wuuuttt!
Empat gelombang angin dahsyat susul-menyusul melabrak ke arah murid Pendeta Sinting. Demikian cepatnya gelombang itu hingga tak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk lepaskan pukulan apalagi kini hatinya digelayuti perasaan ragu-ragu.
Puspa Ratri yang mengetahui hai itu segera bertindak. Gadis ini yang memiliki gerakan laksana kilat cepat berkelebat. Karena tak mungkin menyambar tubuh Joko, akhirnya gadis ini hanya tendangkan kaki kanannya ke arah pinggul murid Pendeta Sinting.
Buukkk!
Sosok Pendekar 131 tampak mencelat satu tombak ke samping. Hal ini menyelamatkannya dari gelombang pukulan yang pertama. Namun bahaya belum selesai. Karena ternyata empat gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Tengkorak Berdarah menebar dan salah satunya kini mengarah pada Joko yang masih terhuyung akibat tendangan Puspa Ratri!
Meski terhuyung, Pendekar 131 angkat juga tangannya untuk memapak pukulan yang datang. Namun satu gelombang angin tiba-tiba menyeruak dan mendahului pukulan Joko memapak gelombang pukulan Tengkorak Berdarah! Gelombang pukulan yang mengarah pada murid Pendeta Sinting tersapu keras lalu mengudara menghantam tempat kosong.
Tengkorak Berdarah berseru keras. Dia segera berkelebat ke samping kanan dari mana angin yang memangkas pukulannya bersumber. Kedua tangannya sudah diangkat tinggi-tinggi siap lepaskan lagi pukulan. Namun begitu sepasang mata di balik bungkus jubah anehnya memandang ke depan, mendadak kedua tangannya terdiam di udara.
TUJUH langkah di hadapan Tengkorak Berdarah tegak, terlihat satu sosok tubuh perempuan yang wajahnya disaput bedak putih tebal. Rambutnya digelung ke belakang. Kedua tangannya bergerak menarik ke belakang lalu diluruhkan ke bawah. Entah kenapa tiba-tiba Tengkorak Berdarah urungkan niat untuk lepaskan pukulan. Orang ini merasakan dadanya berdebar. Pikirannya gelisah. Namun sesaat kemudian Tengkorak Berdarah gerakkan lagi kedua tangannya hendak menyentak.
Perempuan berbedak tebal yang bukan lain adalah ibu Puspa Ratri tersenyum. Lalu kepalanya menggeleng. Tengkorak Berdarah untuk kedua kalinya urungkan niat. Namun kedua tangannya masih berada di udara. Perempuan berbedak tebal melirik ke arah Pendekar 131, lalu beralih ke arah Puspa Ratri. Sejenak kemudian memandang lekat-lekat pada Tengkorak Berdarah.
"Anak-anak muda itu tidak punya urusan apa-apa! Jangan turutkan kemarahan dan gejolak hati! Mari kita bicara baik-baik!"
"Siapa kau sebenarnya? Tahu apa kau tentang orang-orang itu. Hah?l"
Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Kau mungkin sudah lupa. Pada beberapa tahun silam kita pernah jumpa!"
Tengkorak Berdarah tengadahkan kepala. "Memang benar. Beberapa tahun lalu aku pernah jumpa perempuan keparat ini! Dahulu dia juga pernah menghalang-halangiku! Hem..."
"Kita memang pernah jumpa! Tapi dari dulu kau merahasiakan dirimu! Itulah yang membuatku urungkan niat untuk membunuhmu. Aku ingin kau sebutkan diri dahulu sebelum kukirim ke neraka!"
"Keinginanmu akan segera terpenuhi. Tapi kurasa bukan di sini tempat yang baik untuk..."
"Aku tak punya waktu banyak!" potong Tengkorak Berdarah. "Kalau kau tidak mau katakan tak apa-apa! Tapi niatku tidak berubah!"
"Hem... Sebenarnya kau punya banyak waktu. Hanya karena kau terdorong oleh banyak keinginan, waktumu jadi sempit! Padahal selama ini kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan!"
Sosok Tengkorak Berdarah tampak bergetar. "Kau tahu apa tentang diriku?"
Perempuan berbedak tebal menggeleng pelan. "Aku tak tahu banyak tentang dirimu. Yang kutahu adalah selama ini kau menebar maut tanpa ujung pangkal jelas!"
Tiba-tiba Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. "Bagus jika kau sudah tahu itu! Dan kau adalah calon korban maut tak jelas itu!"
"Hem... Itu urusan takdir yang belum tentu. Sekarang aku tanya padamu... Apakah dengan menebar maut itu semua keinginanmu terpenuhi?!"
"Keparat! Dari tadi kau sebut-sebut keinginan! Dengar perempuan! Tanganku menebar maut bukan tanpa tujuan jelas! Dan selama ini memang keinginanku belum terpenuhi. Sayang sebentar lagi nyawamu melayang! Jika tidak tentu kau akan tahu!"
Perempuan berbedak tebal batuk-batuk beberapa kali. "Kau yakin akan hal itu?!"
"Aku tak perlu keyakinan! Aku punya akal dan kekuatan!"
"Itu belum cukup, Sahabat! Buktinya selama ini kau belum mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu!"
"Kau tahu apa tentang keinginanku? He...?!"
"Itu akan kukatakan. Tapi tidak di sini! Besok malam kutunggu kedatanganmu di dekat pancuran air di sebelah timur Kampung Pandan! Tentu kau masih ingat tempat itu!"
"Kalau urusan sepele untuk apa harus dibicarakan di tempat itu?! Kau takut didengar mereka?!" tanya Tengkorak Berdarah sambil menunjuk pada Pendekar 131 dan Puspa Ratri yang masih tegak dengan mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ini bukan hanya urusan sepele. Tapi juga urusan di antara kita berdua!"
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. "Urusanmu denganku adalah urusan pembayaran nyawamu karena menghalangiku! Tidak ada urusan lain!"
"Di antara kita ada urusan lain! Dan itu lebih besar daripada urusan nyawaku! Usahakan untuk datang ke tempat yang kukatakan tadi!"
"Keparat! Siapa sebenarnya perempuan ini? Dia seakan tahu rencana keinginanku!" membatin Tengkorak Berdarah sambil memperhatikan perempuan berbedak tebal yang saat Itu melangkah ke arah tegaknya Pendekar 131 dan Puspa Ratri anaknya.
"Terima kasih atas ucapanmu tempo hari... Aku memang bertemu..."
"Cukup, Anak muda! Sekarang kuharap kau lekas tinggalkan tempat ini!" tukas perempuan berbedak tebal, membuat murid Pendeta Sinting tersentak. Di sebelahnya, Puspa Ratri tampak terdiam dengan dada dipenuhi berbagai perasaan.
"Orang ini aneh... Kemarin tampaknya sikapnya halus, tapi kali ini nada ucapannya ketus… Apa ada yang salah?!" kata Joko dalam hati.
Diam-diam pula Puspa Ratri membatin. "Kenapa Ibu lain dengan biasanya? Apakah dia benar-benar hendak memaksakan kehendaknya agar aku melupakan pemuda ini? Tidak! Siapa pun tak berhak melarangku! Termasuk Ibu!"
"Anak muda! Kau mendengar ucapanku. Kenapa masih tegak di situ?!" tegur perempuan berbedak tebal saat dilihatnya murid Pendeta Sinting masih tidak beranjak dari tempatnya.
"Harap sudi mengatakan jika aku membuat tindakan keliru!" ujar Joko.
"Kemunculanmu di sini, Anak Muda! Itulah hal yang salah bagimu!" sahut perempuan berbedak tebal. "Kau masih punya urusan penting! Jadi lekaslah tinggalkan tempat ini!"
"Urusan penting?" ulang Joko. Dia sebenarnya hendak bertanya pada perempuan berbedak tebal. Namun si perempuan telah melangkah ke arah Puspa Ratri. Dan terdengar dia berkata.
"Kau ikuti aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Namun sebelum gadis berbaju hijau ini buka mulut, perempuan berbedak tebal telah berkata.
"Ini demi kebaikanmu! Jadi buanglah salah sangka!" Sementara perempuan berbedak tebal telah berbicara dengan Pendekar 131 dan Puspa Ratri, Tengkorak Berdarah arahkan kepalanya pada Pendekar 131.
"Mereka bertiga nampaknya sudah saling kenal. Hem... Aku akan mengorek keterangan dari mulut pemuda ini! Perempuan berbedak tebal itu tampaknya tahu banyak semua urusan orang! Sebetulnya aku tak ingin turuti ucapannya, tapi..." Tengkorak Berdarah tidak lanjutkan kata hatinya. Diam-diam dia berkelebat pergi dari tempat itu.
Sebenarnya murid Pendeta Sinting tahu kelebatan perginya Tengkorak Berdarah, namun karena hatinya masih sangsi juga karena perempuan berbedak tebal sudah menjanjikan pertemuan, maka dia sengaja pura-pura tak hiraukan perginya si Tengkorak Berdarah.
"Puspa Ratri! Ikut aku!" kata perempuan berbedak tebal. Lalu tanpa berpaling pada Pendekar 131, perempuan ini melangkah tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri sesaat pandangi ibunya, lalu menatap pada murid Pendeta Sinting. Wajahnya tampak murung. Tiba-tiba gadis berbaju hijau ini melompat ke arah Joko. "Kau tunggulah di sini! Aku masih perlu bicara!" Habis berbisik begitu, tanpa menunggu jawaban murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri melangkah mengikuti ibunya.
Pada satu tempat agak jauh, perempuan berbedak tebal hentikan langkahnya. Kepalanya berpaling ke belakang. Dia menghela napas melihat anaknya kelihatan enggan dan murung.
"Kau tak tahu, Anakku! Selama ini kulakukan karena Ibu tidak mau melihatmu mengalami nasib yang pernah Ibu alami! Aku tak ingin melihatmu merana karena cinta... Puspa Ratri...!" kata perempuan berbedak tebai begitu anaknya agak dekat. "Kuharap kau mengerti akan tindakan Ibu! Ini demi kebaikanmu kelak..."
Puspa Ratri tidak menyahut. Malah memandangpun tidak, membuat perempuan berbedak tebal gelengkan kepala perlahan. Setelah berpikir agak lama dan dilihatnya Puspa Ratri hanya tegak dengan mulut terkancing dan pandangan ke jurusan lain, akhirnya ibunya berujar.
"Seorang Ibu tidak ada yang punya maksud jahat, Anakku! Tapi jika kau masih menduga yang tidak-tidak, sekarang terserah padamu. Kau boleh mengikutiku atau pergi ke mana saja kau suka!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal teruskan langkah. Puspa Ratri untuk beberapa saat masih tegak. Gadis ini gundah. Apakah pergi mengikuti ibunya atau kembali ke pemuda yang diam-diam dirindukannya. Namun akhirnya gadis berbaju hijau ini perturutkan kata hatinya untuk menemui Pendekar 131! Begitu Puspa Ratri berpaling dan terlihat ibunya sudah jauh, gadis ini balikkan tubuh. Lalu berkelebat cepat ke arah dari mana dia datang.
Sementara itu, Pendekar 131 sendiri untuk beberapa saat lamanya masih tetap di tempatnya berdiri. Dia coba menduga-duga apa yang diucapkan perempuan berbedak tebal. Karena begitu tenggelam memikirkan keanehan sikap perempuan berbedak tebal juga sikap si gadis, murid Pendeta Sinting ini tidak sadar jika dari sela semak satu sosok tubuh terus memperhatikan gerak-geriknya.
"Saatnya aku mengorek keterangan dari mulutnya" kata orang yang sedari tadi mengawasi Pendekar 131 dan bukan lain adalah Tengkorak Berdarah.
Orang berjubah abu-abu aneh ini segera berkelebat keluar. Tapi gerakannya tertahan tatkala dari arah depan sana satu bayangan hijau berkelebat cepat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hadapan Pendekar 1311
"Jahanam! Gadis setan itu lagi! Akan kulihat dulu apa yang hendak diperbuat keduanya!" gumam Tengkorak Berdarah mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di depan murid Pendeta Sinting.
"Apa yang hendak dibicarakan gadis cantik ini?" tanya Joko dalam hati seraya pandangi Puspa Ratri. Yang dipandang balas memandang. Namun hanya itu yang dilakukan si gadis. Dia tidak buka mulut untuk bicara.
Joko Sableng melangkah mendekat. "Aku lupa pernah mengatakan namaku padamu atau belum. Tapi tak ada jeleknya bukan, jika aku mengatakan saat ini padamu? Tak enak rasanya bicara tanpa tahu siapa orang yang diajak bicara..."
Kemurungan si gadis mendadak lenyap. Bibirnya bergerak sunggingkan senyum. "Aku juga lupa apa pernah dengar kau sebutkan diri apa belum. Sementara kau sendiri tadi tentu sudah mendengar namaku disebut."
"Hem... Boleh kutahu, apa hubunganmu dangan perempuan memakai bedak tebal tadi? Lalu kemana dia pergi?"
"Kau sebutkan dulu siapa dirimu..." ujar Puspa Ratri masih dengan bibir tersenyum.
"Ah... Namaku Joko Sableng!"
"Aku Puspa Ratri..." Gadis berbaju hijau menimpali.
"Hem.... Aku lebih suka memanggilmu Gadis cantik berlesung pipit! Kau tak keberatan?"
Paras muka Puspa Ratri memerah. Dadanya berdebar. Dia akhirnya hanya gelengkan kepala sambil arahkan kepala sedikit ke samping sembunyikan perubahan raut wajahnya.
"Lalu siapa perempuan tadi?!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Dia ibuku!"
Pendekar 131 kernyitkan dahi. Seakan tahu apa yang dipikir murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri sambung ucapannya. "Aku sendiri tak tahu mengapa Ibu melakukan penyamaran begitu rupa! Saat kutanya dia selalu jawab saatnya akan datang untuk membuka penyamarannya..."
"Ke mana dia pergi? Dan mengapa kau tidak mengikutinya? Bukankah dia menyuruhmu untuk ikut?!"
"Dia tidak mengatakan hendak ke mana. Aku sudah besar. Aku bebas tentukan langkah sendiri!" suara Puspa Ratri kali ini agak keras dan bergetar.
"Ah. Mungkin terjadi sesuatu antara gadis ini dengan ibunya! Waktu tiba tadi, kulihat wajahnya murung... Hem... jangan-jangan ini karena aku!" duga Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Kuharap tidak terjadi sesuatu apa antara kau dan ibumu karena kemunculanku tadi..."
"Ah...," Puspa Ratri mengeluh. "Kau tak tahu, Joko... Justru karena kaulah semua ini terjadi... Apakah kau tidak merasa bagaimana perasaanku padamu? Sejak pertama kali melihatmu, aku tertarik... Bahkan karena itu, aku berani tidak menuruti perintah ibku..."
"Kau tak usah cemaskan itu, Joko!" kata Puspa Ratri pada akhirnya.
"Tapi tampaknya ibumu tidak menyukai kehadiranku! Dia kelihatan berubah! Tidak seperti pertama kali jumpa tempo hari..."
"Hem... Itu mungkin hanya perasaanmu saja!" ujar Puspa Ratri masih coba menutupi.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku seorang laki-laki. Tidak biasa menilai dengan perasaan. Aku melihat dari sikap dan ucapannya..."
Puspa Ratri jadi terdiam mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. "Mungkin penilaianku salah," sambung Joko. "Tapi perubahan wajahmu menguatkan dugaanku... Mungkin ibumu tidak suka aku bersahabat denganmu!"
Puspa Ratri memandang lekat-lekat pada Pendekar. "Kau jangan terlalu jauh menduga, Joko. Dan ketahuilah... Siapa pun termasuk ibuku tak berhak untuk menghalangi persahabatan kita! Aku... Aku..." Puspa Ratri tak sanggup untuk teruskan ucapannya.
"Ah. Ada apa sebenarnya dengan gadis cantik ini?" batin Joko. "Mungkin ibumu punya pandangan sendiri padaku. Atau..."
"Joko...." Puspa Ratri tiba-tiba menghambur ke arah Pendekar 131. Kedua tangannya cepat melingkar di pinggang murid Pendeta Sinting, sementara kepalanya disandarkan pada dadanya.
Sesaat Pendekar 131 tampak terperangah. Namun untuk menenangkan perasaan si gadis akhirnya dia hanya diam saja, malah tidak lama kemudian kedua tangannya ikut melingkar di pinggang si gadis.
"Joko..." bisik Puspa Ratri. "Apa pun pandangan ibuku padamu, aku percaya kau adalah pemuda baik! Dan sejak pertama kali melihatmu, aku suka padamu..."
Ucapan terus terang si gadis membuat murid Pendeta Sinting makin terlengak. Hingga untuk beberapa lama mulutnya terbuka tapi tak keluarkan suara. Sebaliknya Puspa Ratri makin mempererat pelukannya. Beberapa saat berlalu. Entah karena khawatir tak dapat menguasai gejolak yang mulai timbul, murid Pendeta Sinting berbisik.
"Tak baik kita berpelukan di tempat begini. Apalagi jika ibumu mendadak muncul..."
Tapi Puspa Ratri seakan tak mendengar ucapan pelan murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin rapatkan tubuhnya. Pendekar 131 menarik napas dalam. Dia tidak mengerti kenapa dalam keadaan begini tiba-tiba muncul bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi. Hingga tanpa sadar dia menggumam pelan seakan bicara sendiri.
"Joko... Kau bicara apa?" tiba-tiba Puspa Ratri menegur sambil tarik wajannya dari dada murid Pendeta Sinting.
Joko tersentak. Bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi lenyap. Seraya tersenyum menutupi keterkejutannya, dia berbisik. "Aku khawatir ibumu kembali dan tahu kita..."
"Kau takut? Atau di hatimu ada orang lain, Joko?"
"Walah. Jangan-jangan dia tadi mendengar gumamanku yang keluar secara tidak kusengaja..."
"Aku senang mendapat perhatian darimu... Padahal aku bukanlah pemuda yang seperti kau duga..." ujar Joko Sableng pada akhirnya
"Kau menjawab bukan pertanyaanku, Joko..."
Karena murid Pendeta Sinting tidak juga menjawab ucapan Puspa Ratri berbisik lagi. "Jujurlah, Joko. Adakah gadis lain yang telah mendahuluiku? Aku tidak akan memaksakan kehendak hatiku jika memang di hatimu ada orang lain! Percayalah. Aku siap mendengar ucapanmu meski sebenarnya aku harus menelan rasa kecewa..."
Sambil berbisik, Puspa Ratri pejamkan sepasang matanya. Dada gadis ini tampak bergetar. Joko juga merasakan kedua tangan Puspa Ratri yang masih memeluk pinggangnya juga bergetar. Mungkin hanyut oleh ucapan si gadis, Joko gerakkan wajahnya lalu mencium kening si gadis. Puspa Ratri menggumam tak jelas. Lalu rebahkan kembali wajahnya ke dada murid Pendeta Sinting. Dan tak lama kemudian, entah siapa yang memulai, keduanya terlihat tenggelam dalam pelukan mesra.
Ketika Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng tenggelam dalam pelukan mesra dengan Puspa Ratri, dari arah timur satu sosok tubuh berkelebat lalu diam mendekam di balik semak belukar tidak jauh dari tempat dua orang itu berpelukan. Orang ini ternyata adalah pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam.
Untuk sesaat sepasang mata pemuda berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa menyipit menyaksikan pemandangan di depan sana. Namun begitu mengenali siapa adanya orang yang sedang bermesraan itu, mendadak matanya mendelik dan memandang tak berkesip seolah tak percaya. Kejap lain terlihat kedua tangan pemuda berkumis tipis ini mengepal. Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Ingin rasanya pemuda ini melompat keluar dari tempatnya jika saja pikiran jernih tidak segera muncul menghadang. Malah diam-diam kepala pemuda ini segera berpaling ke jurusan lain.
Kalau ada orang lain di tempat itu tentu akan tahu, jika bersamaan dengan berpalingnya kepala si pemuda, sepasang matanya tampak berkaca-kaca! Dan tak lama kemudian kedua tangannya terangkat menutupi wajahnya. Namun tiba-tiba Raka Pradesa tarik kedua tangannya dari wajahnya. Kepalanya tengadah.
"Ucapan perempuan berbedak tebal itu... Rupanya ada benarnya. Aku harus melupakan pemuda itu... Ah, ternyata dia telah punya seorang gadis... Hem... makanya gadis itu menolong. Tak tahunya jika dia adalah sepasang kekasih. Tapi ini juga mungkin karena kesalahanku yang tidak berterus terang. Dia mungkin memandangku apa adanya! Tidak tahu jika aku adalah..."
Raka Pradesa menarik napas dalam. Kepalanya berpaling lagi. Namun cepat-cepat kepalanya disentakkan lagi begitu terlihat bagaimana di depan sana Pendekar 131 tampak makin mempererat pelukannya dan menciumi wajah gadis berbaju hijau. Mungkin tak dapat menahan perasaan, Raka Pradesa saling remaskan kedua tangannya. Dadanya tampak berguncang keras. Matanya berkaca-kaca namun terpentang besar-besar.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Tak pantas rasanya mengusik keasyikan mereka. Tapi aku tak bisa melihat mereka terus-terusan begitu! Perbuatan gila itu harus dihentikan!" gumam Raka Pradesa berapi-api. Namun sekejap kemudian dia mengeluh. "Tapi ini bukan salah mereka! Akulah yang salah! Tapi apakah aku juga salah jika mengharapkan?"
Untuk beberapa lama Raka Pradesa diam tak tahu harus berbuat apa. Setelah menarik napas berulangkali, akhirnya dia bergumam. "Ah. Mungkin ini suratan nasib yang harus kujalani... Aku akan mencoba turuti ucapan perempuan berbedak tebal itu untuk melupakan pemuda itu... Tapi apakah aku mampu...? Sejak pertama kali jumpa, aku tak bisa melupakannya..."
Raka Pradesa bergerak bangkit. "Daripada harus melihat hal yang membuat hatiku tampak kecewa, lebih baik aku tinggalkan tempat celaka ini!" Akhirnya Raka Pradesa memutuskan.
Meski dia bergumam begitu, namun sebelum bergerak pergi, dia tak kuasa juga untuk tidak berpling melihat orang di depan sana. Raka Pradesa terdengar perdengarkan dengusan pelan begitu berpaling. Lalu sentakkan kepalanya dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun satu teguran pelan mendadak terdengar, membuat Raka Pradesa urungkan niat untuk berkelebat.
"Apa kerjamu di sini, Anak Muda?"
Raka Pradesa putar diri. Sejarak lima langkah dari tempatnya, pemuda berkumis tipis ini melihat satu sosok tubuh...!
BAB 1
PADA satu tanah agak menggugus masing-masing orang melihat seraut wajah tampan milik seorang pemuda. Sepasang matanya tajam. Hidungnya mancung. Namun bukan karena ketampanan raut si pemuda yang membuat semua orang tersentak dan pentangkan mata masing-masing. Ternyata pemuda ini tidak berdiri tegak dengan berpijak pada kedua kakinya. Sebaliknya sepasang kakinya berada di atas, sementara kepalanya di bawah menopang tubuhnya!
Pada mulutnya tampak sebuah karet bundar seperti dot bayi yang sesekali disedot. Setiap kali si pemuda gerakkan mulut menyedot, terdengar suara duutt! Duuuttt! Duuuttt! Dan lebih dari itu, ternyata pemuda ini tidak mempunyai tangan! Anehnya, meski tegak dengan kaki di atas dan kepala di bawah, namun pakaian yang dikenakan tidak menyibak ke bawah. Dan kedua lengan pakaiannya yang kempes karena tak berisi tangan, tampak kaku ke samping kiri kanan.
Selagi semua orang di situ masih tegak dengan terkesima dan mulut terkancing, Daeng Upas yang gerakannya untuk lakukan totokan pada Pendekar 131 tertahan malah sosoknya tersurut dua langkah laksana terbang segera berkelebat ke arah si pemuda yang tegak terbalik dan langsung lepaskan dua jotosan dari jarak empat tangkah!
Seakan tahu pukulan Daeng Upas yang dapat lakukan jotosan atau tendangan walau dari jarak jauh, si pemuda gerakkan dua bahunya sebelum kedua tangan Daeng Upas bergerak. Sepasang lengan baju si pemuda bergerak kebawah mengibas tanah.
Bettt! Bettt!
Pada saat bersamaan, sosok si pemuda melenting ke udara setinggi dua tombak. Membuat gerakan jungkir balik satu kali, lalu mendarat di atas tanah dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya!
Daeng Upas tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan rahang terangkat. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi meski selama ini tidak ada orang yang mengetahui, dari sikap dan gerakan si pemuda, nenek yang wajahnya masih membayang kecantikan ini telah maklum jika si pemuda bukanlah orang yang dapat dipandang sebelah mata.
Di sebelah depan, murid Pendeta Sinting perhatikan baik-baik ke arah si pemuda. "Sulit dipercaya jika tidak melihat sendiri. Rimba persilatan ternyata tidak hanya disarati urusan aneh. Tapi juga dikelilingi manusia-manusia aneh!" batinnya.
Agak ke samping. Raka Pradesa sipitkan sepasang matanya dengan dahi berkerut. Diam-diam dia juga berkata dalam hati. "Banyak tokoh-tokoh yang kukenal meski hanya lewat ciri-cirinya. Namun ciri-ciri pemuda ini belum pernah kudengar! Apakah dia tokoh yang baru saja muncul? Atau selama ini dia tidak menunjukkan kepandaiannya hingga namanya tidak banyak dikenal kalangan dunia persilatan?!"
Seperti halnya Pendekar 131 dan Raka Pradesa. Dewi Siluman juga terlihat menduga-duga siapa adanya si pemuda. Entah karena tak dapat jawaban dari dirinya sendiri, perempuan bercadar dan berjubah hitam anak Daeng Upas ini segera berpaling pada Ki Buyut Pagar Alam yang berada di sampingnya sambil bergumam.
"Siapa pemuda buntung itu, Ki Buyut?!"
Kakek berwajah pucat yang kedua tangannya selalu masuk ke dalam saku jubah hitamnya yang juga adalah adik kandung Daeng Upas berpaling dengan gelengkan kepala. "Berpuluh tahun merambah rimba persilatan, baru kali ini aku melihatnya! Telingaku pun belum pernah mendengar orang membicarakan pemuda seperti dia. Tapi melihat usianya, kukira dia orang yang baru dalam kancah dunia persilatan. Hanya saja dia memiliki kepandaian sangat tinggi..."
Mendengar ucapan Ki Buyut, Dewi Siluman perdengarkan dengusan. "Urusan ini belum selesai. Kemunculannya akan menambah keadaan tidak karuan! Kita belum tahu benar apakah pemuda buntung ini benar-benar mempunyai ilmu tinggi. Sebaiknya dia kita singkirkan dahulu!"
"Di sini ada ibumu. Kita tunggu dulu apa yang hendak dilakukan olehnya!"
"Tapi...”
Ucapan Dewi Siluman belum selesai, Ki Buyut telah memotong. "Kau tak usah khawatir. Orang-orang selama ini memang tidak tahu sampai di mana Ilmu yang dimiliki Ibumu. Hingga ibumu hanya dipandang mata terpejam..." Ki Buyut Pagar Alam tertawa pelan. Lalu lanjutkan ucapannya. "Sebentar lagi mereka akan sadar bahwa dugaan mereka jauh meleset...“
Sementara Daeng Upas sendiri setelah dapat kuasai rasa kejut dan geramnya maju satu langkah. Nenek ini sebenarnya masih panasaran dan ingin lakukan serangan lagi. Namun berfikir bahwa urusan mengorek keterangan Pendekar 131 yang baru dilihatnya saat hendak berusaha masuk ke Istana Hantu lebih penting, maka dia urungkan niatnya. Sebaliknya dia segera keluarkan bentakan.
"Pemuda tak dikenal? Siapa kau?! Mengapa kau berlaku lancang menahan gerakanku? Apa hubunganmu dengan pemuda berpakaian putih itu?!" Jari tangan Daeng Upas lurus menunjuk pada murid Pendeta Sinting yang masih duduk di atas tanah.
Pemuda bertangan buntung kempotkan pipinya menyedot karet bundar di mulutnya. Hingga saat itu terdengar suara duuttt! Duuttt! Duuttt!
Sepasang mata Daeng Upas membeliak besar. Dadanya bergemuruh keras melihat orang yang ditanya tidak segera menjawab sebaliknya malah permainkan dot di mulutnya! "Keparat! Kalau kau tidak jawab pertanyaanku, lekas menyingkir dari sini! Jika tidak, membunuhmu bukan hal sulit bagiku!"
Orang yang dibentak memandang sekilas pada Daeng Upas. Lalu tengadah dengan pipi mengembung. Saat meniup, karet di mulutnya mencuat keluar dan mengapung di udara. Mulutnya lalu bergerak dan terdengarlah ucapannya.
"Nenek cantik. Tiga pertanyaanmu, mungkin aku hanya bisa menjawab dua. Untuk satunya biarlah sementara ini menjadi pekerjaan rumah buatmu! Harap kau tidak marah dan setuju usulku!"
Sementara berkata, karet bundar mirip dot bayi tetap mengapung di atas kepalanya, membuat semua orang di tempat itu makin beliakkan mata kecuali Daeng Upas yang kesabarannya hampir-hampir saja pupus.
"Aku telah bertanya. Aku tak mau tahu usul! Yang kuminta jawaban!" kata Daeng Upas dengan suara keras setengah menjerit.
"Aku akan menjawab. Aku tak mau tahu kau terima usulku apa tidak!" ujar pemuda bertangan buntung. Lalu tanpa hiraukan sengatan pandangan Daeng Upas dia teruskan kata-katanya.
"Aku bukannya lancang mencegah tindakan orang. Hanya aku tidak suka melihat orang berlaku semena-mena pada orang yang sudah tidak berdaya! Perlu juga kau ketahui, aku tidak kenal dengan pemuda berbaju putih itu! Kalau tidak kena! Apakah mungkin punya hubungan?!" Si pemuda balik bertanya
"Kau tak punya hak untuk bertanya padaku!" hardik Daeng Upas. "Kau belum mengatakan siapa dirimu!"
Si pemuda bertangan buntung lancipkan mulut menyedot. Dot bayi yang mengapung di atas kepalanya bergerak turun dan masuk ke dalam mulutnya. Kejap kemudian terdengar suara duuttt! Duuuttt! Berulang kali. Di lain saat si pemuda hembuskan napas. Bundaran karet di mulutnya mencelat lagi dan seperti tadi mengapung di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu terdengar ucapannya.
"Seperti kukatakan tadi, aku hanya bisa jawab dua pertanyaanmu. Untuk jawaban satunya mungkin kelak jika kita jumpa lagi masih bisa kujawab!"
Daeng Upas masih coba menindih gejolak amarahnya. Lalu menyeringai sambil berkata. "Hem... Begtu? Sekarang kuperintah kau untuk tinggalkan tempat ini!"
"Hem... Begitu!" Si pemuda ikut-ikutan berkata seperti ucapan Daeng Upas. "Kau mengatakan aku tak punya hak bertanya padamu. Sekarang apa salah jika aku mengatakan kau tak berhak memerintahku?!"
"Itu awal petaka bagimu!" teriak Daeng Upas.
Si pemuda kembang kempiskan pipinya. Bundaran karet di atas kepalanya bergerak turun naik seirama keluarmasuknya napas si pemuda. Anehnya meski bundaran karet itu turun naik di udara, namun pada saat itu terdengar juga suara duuttt! Duuuttt! Duuutt!
"Wah. Nenek ini bukan hanya tetap cantik meski sudah tua, tapi pandai juga bikin malapetaka. Apakah kau juga bisa membuat hura-hura, Nek?!" Yang buka suara adalah murid Pendeta Sinting.
Daeng Upas sentakkan kepalanya ke arah Pendekar tubuhnya bergetar pertanda dia menahan hawa marah. Tangan kirinya menunjuk pada murid Pendeta Sinting. "Kau jangan ikut campur buka mulut! Nanti ada saatnya kau harus bicara jawab semua pertanyaanku!" sentaknya.
"Hem... Begitu?!" Joko ikut bicara seperti pemuda bertangan buntung yang menirukan gumaman Daeng Upas. "Kau nanti akan ajukan berapa pertanyaan. Nek?!"
Daeng Upas tidak menjawab. Sepasang matanya mendelik angker menatap pada murid Pendeta Sinting Pendekar 131 tampak mainkan jari kelingkingnya ke dalam lobang telinganya. Lalu seakan tidak acuhkan pandangan marah orang, dia berucap.
"Kau nanti pasti akan kecewa. Karena berapapun pertanyaan yang akan kau ajukan, aku hanya bisa menjawab satu!"
"Bercandalah sepuasmu sebelum mampus!" ujar Daeng Upas lalu arahkan pandangannya kembali pada pemuda bertangan buntung.
"Edan!" gumam Raka Pradesa. "Dalam keadaan begitu, masih sempatnya mengajak bercanda!" Pemuda ini berlama-lama memandangi murid Pendeta Sinting. Namun tatkala Joko balik memandangnya, pemuda berkumis tipis ini cepat alihkan pandangannya. Diam-diam dia membatin.
"Siapa gadis berbaju hijau itu? Sepertinya mereka belum kenal betul. Tapi mengapa melindunginya? Apakah dia tertarik pada Pendekar 131?" Tidak mendapat jawaban pasti dari pertanyaannya, pemuda berkumis tipis ini arahkan pandangannya pada Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
"Perempuan dan kakek itu kudengar memiliki kepandaian tinggi. Hem... Ada silang sengketa apa mereka dengan Joko? Sekarang apa yang harus kulakukan? Joko tampaknya terluka dalam cukup parah. Kalau aku mengajaknya pergi, semua orang yang ada di sini tentu tidak akan tinggal diam! Ah..."
Pemuda ini lalu berpaling pada Daeng Upas yang saat itu melangkah ke arah pemuda bertangan buntung. "Pemuda buntung! Kau dengar kata-kataku. Apa kau ingin kakimu buntung sekalian, hah?!"
“Nenek cantik. Tega-teganya kau berkata begitu tanpa tangan saja aku sudah menderita. Bagaimana kalau kakiku buntung juga?!"
“Bagus berarti kau masih sayang anggota tubuhmu!"
"Ah... ini adalah barang titipan Tuhan, sudah selayaknya kusayang-sayangi. Dan tak akan kubiarkan siapapun mengambilnya!"
Daeng Upas tertawa panjang. "Tidak ada hal sulit bagiku mengambil barang apa pun! Termasuk kedua kakimu. Tapi aku masih berbaik hati jika kau segera enyah dari sini!"
Pemuda bertangan buntung ikut-ikutan tertawa panjang. "Kalau kau gampang mengambil barang apa pun. Apa sukarnya bagiku mempertahankan barang milikku?"
"Jahanam! Kau benar-benar minta mampus!" hardik Daeng Upas. Ucapannya belum selesai, sosoknya telah melesat ke depan. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi dan kirimkan jotosan kanan kiri sekaligus. Kalau nenek ini bisa melepas jotosan dari jarak jauh dengan lawan bisa dibuat terjengkang, bisa dibayangkan jika jotosan itu betul-betul menghantam sasaran!
Karena lesatan sosok Daeng Upas bergerak tiba-tiba, maka kali ini tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda bertangan buntung untuk menghindar. Dan karena tidak punya kedua tangan untuk menangkis jotosan, semua orang yang melihat sama menduga apa yang hendak menimpa si pemuda. Namun semua orang dibuat jadi melengak.
Pemuda bertangan buntung tiba-tiba lipat tubuhnya ke depan terus ke bawah. Lalu... Wuuuttt! Kini sepasang kaki berada di atas, kepala di bawah menopang tubuhnya. Kejap lain mulutnya menguncup menyedot.
Duuuttt! Duuttt! Duuttt!
Terdengar suara tiga kali berturut-turut. Karet bundar yang sedari tadi mengapung di udara melesat cepat dan masuk ke dalam mulutnya. Saat bersamaan, kedua kakinya bergerak membuat sikap seperti orang bersila.
Buukkk! Buuukkk!
Sepasang tangan Daeng Upas beradu dengan sepasang kaki pemuda bertangan buntung. Daeng Upas tampak tegak dengan tubuh bergoyang-goyang keras. Raut wajahnya berubah. Malah kedua tangannya yang baru saja bentrok bergetar, membuat nenek ini geram bukan main. Didahului bentakan melengking, sosoknya melorot ke bawah hingga kedua lututnya menekuk. Tiba-tiba sambil bertumpu pada telapak tangannya, sepasang kakinya mencuat ke depan lepaskan tendangan ke wajah si pemuda!
Di depannya, kepala si pemuda yang dibuat untuk menopang tubuhnya tampak bergoyang-goyang, membuat sosok sang pemuda ikut-ikutan bergoyang. Kejap kemudian kepalanya tampak bergerak menggeser ke belakang.
Melihat kepala si pemuda bergeser ke belakang menghindari tendangan, Daeng Upas cepat melompat depan. Dan dengan masih bertumpu pada telapak tangannya, sepasang kakinya teruskan tendangan. Saat itulah, karena kepalanya terdorong ke belakang sepasang kaki si pemuda bergerak lurus ke bawah.
Daeng Upas mendelik angker. Semua orang yang melihat terkesiap. Karena tiba-tiba gerakan kaki si nenek tertahan oleh sepasang kaki pemuda yang kini menggapitnya. Malah bukan hanya sampai disitu. Begitu kakinya berhasil menggapit sepasang kaki si nenek, pemuda bertangan buntung gerakkan kepalanya lagi ke depan sambil meniup. Bundaran karet mencuat keluar. Namun bersamaan itu menderu angin kencang.
Daeng Upas berteriak nyaring. Dewi Siluman mendengus. Raka Pradesa cepat palingkan kepalanya, demikian juga gadis berbaju hijau yang kini telah bangkit. Ki Buyut tampak alihkan pandangannya pada jurusan lain. Hanya murid Pendeta Sinting yang tidak alihkan pandangannya pada jurusan lain, malah dia tertawa bergelak sambil berkata.
"Nek! Untung kau masih mengenakan rangkapan pakaian dalam. Jika tidak... pasti aku akan melihat pemandangan sangat luar biasa! Nyatanya pahamu masih mulus meski di sana-sini tampak bekas kudisan..."
"Jahanam kurang ajar!" teriak Daeng Upas sambil gerakkan kedua tangannya mengibaskan pakaian bagian bawahnya yang berkibar-kibar tersapu tiupan pemuda bertangan buntung hingga tubuh bagian bawah sampai hampir pantat si nenek terlihat jelas.
Saat kedua tangan Daeng Upas bergerak kibaskan pakaiannya, pemuda bertangan buntung gerakkan kakinya ke atas. Sosok si nenek ikut bergerak ke atas. Merasa geram dan malu, Daeng Upas cepat gerakkan kedua tangannya sambil doyongkan tubuh ke depan. Lalu menghantam kedua kaki si pemuda yang masih menggapit kakinya.
Wuutt! Wuuuttt!
Sejengkal lagi tangan Daeng Upas meremukkan kedua kaki si pemuda. Pemuda ini lepaskan gapitannya. Lalu cepat tarik pulang kakinya ke belakang dan kini tegak memunggungi dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya! Sementara Daeng Upas sendiri tampak tercekat. Hantaman kedua tangannya melabrak tempat kosong. Dan kini tubuhnya melayang deras ke bawah!
Sebenarnya Daeng Upas bukanlah orang berkepandaian rendah meski selama ini dia coba sembunyikan kepandaiannya pada orang lain. Malah terhadap Dewi Siluman, anak tunggalnya sendiri dia tidak mau menunjukkan. Namun karena saat itu hawa kemarahan lebih memegang kendali pikirannya, maka nenek itu tampak bisa dibuat main-main oleh pemuda bertangan buntung.
Tapi saat tubuhnya melayang deras ke bawah, ibu Dewi Siluman ini tidak mau berbuat ayal. Setengah tombak lagi tubuhnya menghantam tanah, tiba-tiba ia membuat gerakan berputar dan serta-merta lepaskan pukulan dari atas udara pada pemuda bertangan buntung yang kini tegak dihadapannya memunggungi!
Gelombang angin luar biasa kencang menderu keras ke arah si pemuda. Terdengar suara duutt! duutt! duuuttt! Tiga kali berturut-turut. Lalu sosok si pemuda terangkat satu tombak ke uclara. Kedua kakinya membuat sikap bersila. Lalu bergerak pulang-balik ke depan ke belakang laksana orang berayun-ayun. Pada saatat bersamaan, gelornbang angin melasat susul menyusul seiring gerakan kaki si pemuda
Bummmmmm!!
Ledakan keras terdengar ketika gelombang angin yang dilepas Daeng Upas bertemu angin yang melesat dari gerakan kaki bersila si pemuda bertangan buntung.
Daeng Upas terdorong sampai satu tombak ke belakang, namun nenek ini mendarat di atas tanah dengan kaki tegak meski wajahnya tampak berubah pucat. Di depan sana, sosok pemuda bertangan buntung terpental namun setelah membuat gerakan berputar dua kali, dia menjejak tanah dengan tubuh tegak bertumpu pada ibu jari kakinya! Wajahnya yang tampan pias, gerakan kembang-kempis mulutnya yang menyedot bundaran karet makin keras, hingga suara Duutt! Duuutt! Duuuttt! Terdengar beberapa kali.
"Pemuda gila ini kalau dibiarkan bisa membuat celaka!" desis Daeng Upas. Lalu nenek ini membuat gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya mengepul asap makin lama makin banyak dan berputar-putar seiring putaran si nenek. Saat lain mendadak Daeng Upas berseru keras. Asap yang berputar-putar mengelilingi tubuhnya bergerak keluar dan berputar-putar cepat ke arah pemuda di hadapannya.
"Kau tak akan lolos dari pukulan maut 'Angin Keranda', Pemuda gila!" seru Daeng Upas sebutkan pukulan yang kini melabrak ke arah si pemuda dengan tegak kacak pinggang dan senyum menyeringai.
Si pemuda sontak putuskan sedotan mulutnya. Sepasang matanya membeliak. "Ha?! Kau benar-benar ingin mengambil kedua kakiku!" ujar si pemuda dengan suara bergetar setelah meniup hingga bundaran karet di mulutnya terapung di depan kepalanya.
Daeng Upas tertawa mengekeh. "Bukan hanya kakimu, tapi sekaligus selembar nyawamu!"
Sambil gelengkan kepala, si pemuda bertangan buntung doyongkan tubuh ke belakang. Tiba-tiba tubuhnya disentakkan kembali ke depan.
Beeetttt!
Dari dada si pemuda melesat bongkahan awan putih yang keluarkan suara luar biasa keras hingga menusuk gendang telinga. Kejap kemudian tempat itu laksana diguncang gempa hebat. Tanah bermuncratan ke udara. Pohon-pohon disekitarnya berderak lalu tumbang karena tanahnya rengkah akibat guncangan.
Suara tawa Daeng Upas terputus laksana disambar setan. Sosoknya terpental sampai dua tombak ke belakang. Untung Ki Buyut masih sempat berkelebat dan menahan tubuhnya hingga selamatlah tubuh si nenek dari terjengkang roboh menghempas tanah. Namun tak urung dari mulutnya keluar cairan merah pertanda dia telah terluka dalam. Setelah salurkan tenaga dalamnya, Daeng Upas segera dapat tegak kembali meski sosoknya masih bergetar.
Di depan sana, sosok si pemuda tampak terkapar di atas tanah. Raut wajahnya makin pias. Keringat membasahi tubuhnya dari kepala sampai kaki. Dari sudut mulutnya tampak pula mengalir darah. Anehnya, bundaran karet masih tetap mengapung di udara di tempat mana tadi si pemuda bertangan buntung tegak berdiri!
"Huh... Mana dotku!" tiba-tiba si pemuda menggumam. Lalu mulutnya membuat gerakan menyedot. Karet bundar yang mengapung laksana ditarik kekuatan aneh lalu bergerak ke arah si pemuda dan kejap lain telah berada di mulut si pemuda. Saat bersamaan, sepasang kakinya menekuk. Sekali sentak, tubuhnya terangkat ke atas. Terhuyung sejenak namun tak lama kemudian diam dengan mulut mainkan karet bundar!
"Astaga! Kemana mereka?!" Tiba-tiba Ki Buyut berbisik pada Daeng Upas yang berada disampingnya.
Daeng Upas pentangkan matanya lalu memandang berkeliling. Tubuhnya serentak bergetar keras. Ternyata Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau tidak ada lagi di tempat itu. Pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis pun tidak tampak lagi. Demikian juga Dewi Siluman.
"Ki Buyut! Lekas cari Durga Ratih! Kukira dia mengikuti lenyapnya pemuda berpakaian putih tadi! Dan jika kau berhasil menangkap pemuda itu, jangan kau bunuh. Aku harus bicara dahulu dengannya. Aku akan selesaikan pemuda gila buntung itu! Dia sangat bahaya jika dibiarkan hidup!"
Tanpa berkata lagi, Ki Buyut segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Sebenarnya Ki Buyut tidak mau tinggalkan tempat itu. Dia tampak meragukan kakaknya bila berhadapan sendiri dengan pemuda bertangan buntung. Namun karena dia tahu bagaimana sifat kakaknya, lagi pula Dewi Siluman tidak boleh dibiarkan pergi sendirian karena saat ini banyak tokoh-tokoh yang muncul dan belum bisa diketahui apa tujuannya, akhirnya kakek berjubah hitam ini berkelebat pergi.
Sepasang mata Daeng Upas menyengat pandangi pemuda buntung, satu-satunya yang masih ada di tempat itu. Dengan pasang tampang angker, dia membentak. "Gara-gara ulahmu, urusan jadi berantakan! Aku tak akan tinggalkan tempat ini sebelum membuatmu mampus tiga kali!"
"Ah. Rupanya kau tahu jika aku punya nyawa rangkap tiga. Tapi sayang hari ini aku tidak suka berbagi nyawa denganmu meski satu pun!" jawab si pemuda.
Habis berkata begitu, sosoknya melenting satu tombak ke udara. Dengan gerak cepat, kakinya bersila ke bawah, lalu diayunkan ke depan. Gelombang angin menderu cepat, bukan langsung ke arah Daeng Upas, melainkan yang dituju adalah tanah di depan si nenek. Namun Daeng Upas ternyata salah duga. Dia mengira si pemuda menyerang ke arahnya, hingga dengan menggembor keras dia sentakkan kedua tangannya memapak gelombang angin yang datang.
Bummm!
Tanah terbongkar muncrat ke udara. Saat itulah baru si nenek sadar. Dia cepat angkat tangannya kembali dan didorong ke arah depan. Namun tangan si nenek tertahan di udara. Karena sepasang matanya tidak menangkap lagi sosok pemuda bertangan buntung!
"Jahanam keparat!" maki Daeng Upas sambil banting-kan kaki. Kepalanya lalu didongakkan, mulutnya terbuka berteriak. "Pemuda buntung gila! Kau adalah tambahan korban yang harus mampus di tanganku!"
Habis berteriak, kedua tangannya yang berada di udara disentakkan ke depan dengan tampang membesi dilanda hawa amarah. Yang jadi sasaran kemarahannya adalah pohon-pohon di depan sana. Pohon-pohon itu berkeretekan lalu perlahan-lahan tumbang perdengarkan suara berdebam-debam. Daun dan tanah yang tertimpa pohon bertabur keudara. Saat suasana lengang kembali, sosok Daeng Upas tidak terlihat lagi di tempat itu.
********************
BAB 2
KITA tengok sejenak apa yang terjadi dengan Pendekar 131 hingga tiba-tiba lenyap. Saat Daeng Upas lepaskan pukulan 'Angin Keranda' dan pemuda buntung memangkas dengan sentakkan tubuhnya ke depan, semua orang di tempat itu terkesima dan memandang tak berkesip. Saat itulah satu bayangan berkelebat cepat. Dan laksana elang si bayangan menyambar sosok murid Pendeta Sinting. Begitu cepatnya gerakan si bayangan, Pendekar 131 sendiri baru sadar jika tubuhnya disambar orang tatkala sudah berada kira-kira tujuh tombak dari tempatnya semula!
Gadis berbaju hijau yang berada di samping sebelah kanan murid Pendeta Sinting merasakan desiran angin halus. Saat dia berpaling, dia masih sempat menangkap kelebatan orang. Ketika dia tidak melihat lagi Pendekar 131, gadis berbaju hijau ini cepat pula putar diri setengah lingkaran lalu berkelebat ke arah perginya si bayangan.
Pada saat itulah, Raka Pradesa melihat gerakan si baju hijau. Dan ketika matanya tidak menangkap sosok Pendekar 131, pemuda berpakaian hitam-hitam ini merasa curiga. Tanpa pikir panjang lagi dia segera menghambur ke arah perginya si gadis berbaju hijau.
Melihat Raka Pradesa berkelebat pergi, Dewi Siluman yang berada tidak jauh kernyitkan dahi. Dia sebenarnya tidak akan menghalangi perginya pemuda berpakaian hitam-hitam berkumis tipis ini, karena dia menduga pemuda ini tidak artinya. Namun tatkala matanya melirik dan tidak mendapati Pendekar 131 dan gadis berbaju hijau, perempuan anak kandung Daeng Upas ini segera menyusul ke arah berkelebatnya Raka Pradesa. Ki Buyut tidak hiraukan berkelebatnya Dewi Siluman, karena saat itu sosok Daeng Upas tampak mencelat ke belakang, membuatnya harus segera selamatkan kakak kandungnya.
Pada satu tempat yang ditumbuhi rangasan semak belukar lebat yang di sana-sini banyak jalan setapak yang berkelok dan bersimpang-simpang, satu bayangan hentikan larinya. Dia menoleh sejenak kebelakang. Lalu melirik pada sosok tubuh yang ada di pundak kanannya.
Orang yang memanggul sosok di pundaknya ini adalah seorang perempuan berambut panjang yang digelung ke belakang. Rambutnya diberi pewarna hitam berkilat-kilat. Dia mengenakan pakaian panjang berwarna coklat hampir menutupi sekujur tubuhnya. Wajahnya sulit dikenali, karena ditutup dengan bedak tebal. Alis matanya disaput pewarna hitam dan tebal. Kelopak matanya sebelah atas diberi warna hijau merah. Bibirnya dipoles merah menyala.
"Hai! Hendak kau bawa ke mana aku? Kenapa kau menculikku?!" Orang di panggulan perempuan berbedak tebal buka mulut. Dia bukan lain adalah murid Pendeta Sinting.
Orang yang ditegur tidak menjawab. Dia hanya palingkan mukanya sejurus. Pendekar 131 terlengak melihat raut wajah orang. Hingga tak lama kemudian dia berkata lagi.
"Hai! Siapa kau?! Turunkan aku!" Meski mulut murid Pendeta Sinting membuka keluarkan teguran, namun sebenarnya dalam hati dia membatin sendiri. "Celaka! ini manusia apa hantu perempuan?! Apa tujuannya?!"
Karena tidak ada sahutan, untuk kesekian kalinya Joko buka mulut. "Hai! Harap..."
Perempuan berbedak tebal berpaling. Sepasang matanya menatap pada murid Pendeta Sinting. Mulutnya yang merah menyala bergerak membuka. "Harap tidak bertanya dahulu! Nanti semuanya akan kujelaskan! Bahaya masih mengikuti!"
"Tapi harap kau turunkan aku!"
Mulut yang dipoles merah menyala bergerak sunggingkan senyum. Lalu kepalanya menggeleng pelan. "Meski kau tidak merasakan sakit lagi, tapi untuk sementara ini kau belum bisa salurkan tenaga dalammu, Anak Muda. Padahal bahaya belum lenyap. Apa yang hendak kau andalkan menghadapi bahaya saat ini?"
Joko Sableng terdiam karena ucapan perempuan berbedak tebal betul adanya. Namun karena merasa jengah berada di pundak perempuan, murid Pendeta Sinting berujar. "Tapi kuharap kau turunkan tubuhku. Untuk berjalan saja aku masih mampu!"
Kepala perempuan berbedak tebal kembali menggeleng “Saat ini bukan saatnya berjalan-jalan! Kita harus bergerak cepat"
Selagi perempuan berbedak tebal berkata, Joko coba gerakan tubuhnya, tapi dia melengak. Ternyata tubuhnya tegang tak bisa digerakkan. “Kau menotokku" Kata Pendekar 131.
"Maaf itu harus kulakukan! Keadaanlah yang mengharuskan demikian! Harap tidak berburuk sangka! Karena jika mau, saat ini juga aku bisa berbuat apa saja terhadapmu!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal berpaling ke belakang, lalu kejap lain dia berkelebat menyelinap di balik semak belukar. Joko pentangkan sepasang matanya. Mulutnya hendak bicara lagi. Namun sebelum suaranya terdengar, si perempuan telah mendahului.
"Jangan banyak bicara dahulu. Jika tidak, terpaksa aku menghentikan jalan suaramu!"
Ucapan bernada ancaman si perempuan membuat murid Pendeta Sinting kancingkan mulutnya lagi, meski dalam hati makin banyak dibuncah berbagai pertanyaan. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hijau hentikan larinya tak jauh dari tempat di mana tadi perempuan berbedak tebal berhenti. Ternyata dia adalah gadis muda berparas cantik yang mengenakan baju warna hijau. Dia sejenak palingkan kepala ke kanan kiri dengan mata liar memperhatikan berkeliling.
"Ke mana dia? Apa aku harus teruskan perjalanan ke tempat yang ditentukan? Ah. Tak kusangka jika ada halangan! Hingga perjalananku terhambat. Untung dia segera datang... Tapi sekarang aku harus bagaimana? Kulihat pemuda berbaju hitam-hitam itu mengikutiku! Meski dia mengatakan sahabat pada pemuda berbaju putih, tapi aku belum yakin benar!" gumam gadis berbaju hijau. Setelah berpikir sejenak, gadis ini segera berkelebat. Namun langkahnya tertahan tatkala dari rumpun semak belukar terdengar suara halus.
"Aku di sini... Cepat kau ke sini!"
Gadis berbaju hijau tersentak namun menarik napas lega, karena dia mengenali suara orang. Hanya untuk beberapa saat dia masih tegak tidak menuruti ucapan suara halus. Karena ternyata suara halus itu seperti terdengar dari empat penjuru angin, hingga si gadis tidak dapat menentukan di mana adanya orang keluarkan suara. Melihat hal ini, dari semak belukar kembali terdengar suara halus.
"Aku berada di sebelah kananmu. Cepat!"
Gadis berbaju hijau melirik ke kanan, lalu berkelebat menyelinap. Di antara rumpun semak belukar, dia melihat seorang perempuan berbedak. Dia hendak buka mulut. Namun diurungkan tatkala dilihatnya perempuan berbedak tebal gelengkan kepala.
Pendekar 131 sipitkan matanya, diam-diam dia membatin. "Adakah perempuan ini yang dimaksud gadis berbaju hijau dengan ucapannya sesaat yang lalu?" Sebenarnya dia ingin mengutarakan isi hatinya, namun saat teringat pada ancaman perempuan berbedak tebal, dia urungkan maksudnya.
Saat itulah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Namun sampai jalan setapak yang bersimpangan, dia berhenti. Kepalanya bergerak ke kiri kanan. Lalu terdengar dia bergumam.
"Kemana gadis itu? Dia lenyap seperti ditelan bumi. Padahal tentu belum jauh dari sini! Sial! Gara-gara banyaknya simpang Jalan dan rumpun semak belukar, aku jadi kehilangan jejaki"
Orang ini yang tidak lain adalah Raka Pradesa perhatikan rangasan semak belukar di kanan kirinya dengan mata mendelik seolah hendak menembusi lebatnya semak belukar. Namun sejauh ini dia tak dapat menemukan gadis berbaju hijau yang diikutinya.
Setelah agak lama, akhirnya dia memutuskan mengambil jalan setapak yang ke arah selatan. Namun baru saja tubuhnya hendak berkelebat, satu suara membuat gerakannya tertahan.
"Berhenti!"
"Celaka! Mendengar suaranya, pasti dia Dewi Siluman!" gumam Raka Pradesa. "Keselamatan Pendekar 131 lebih penting. Perempuan Itu tak perlu dilayani!"
Raka Pradesa tak hiraukan teriakan orang. Dia segera berkelebat. Namun baru saja tubuhnya bergerak, satu bayangan berkelebat melewati dan tahu-tahu di hadapannya telah tegak perempuan bercadar dan berjubah hitam yang tidak lain Dewi Siluman adanya!
"Aku cuma akan bicara sekali!" kata Dewi Siluman seraya menatap tajam. "Pasang telinga baik-baik! Lalu jawab dengan jujur! Dibawa ke mana pemuda yang kau katakan sahabatmu itu?!"
Raka Pradesa tampak sedikit terkejut. Namun tak lama kemudian tersenyum. Sambil balik memandang bola mata sang Dewi yang tampak dari lobang cadar hitamnya, Raka Pradesa buka mulut menjawab.
"Katakan dulu apa maksudmu mengejar sahabatku itu!"
Dewi Siluman tidak segera memberi jawaban, membuat Raka Pradesa berujar.
"Jangan-jangan kau tertarik padanya! Benar...?!"
Sepasang mata Dewi Siluman membesar. Rahang dibalik cadarnya mengembung, kedua tangannya mengepal dan bergetar. Namun yang kemudian terdengar adalah suara tawanya yang mengekeh panjang!
"Aku memang tertarik..." kata Dewi Siluman, membuat raut wajah Raka Pradesa berubah. "Bukan pada tubuhnya, melainkan pada selembar nyawanya!"
"Apa di antara kau dan dia ada sengketa?!" "Hem... Jangan-jangan kau bukan sahabatnya! Jika benar sahabatnya pasti kau tahu apa masalahnya hingga aku tertarik nyawanya! Kau telah berani mendustaiku!"
"Kau jangan salah sangka. Meski kami bersahabat, namun urusan pribadi tidak pernah kami bicarakan! Tentu antara kau dan dia ada masalah pribadi!"
Dewi Siluman kembali tertawa mengekeh mendengar ucapan Raka Pradesa. Puas tertawa perempuan bercadar dan berjubah hitam ini berkata. "Urusanku dengannya lebih daripada urusan pribadi!"
"Aku tak mengerti maksudmu!"
"Kau memang belum saatnya mengerti! Sekarang jawab pertanyaanku tadi!"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, karena kau dan aku bernasib sama! Kehilangan jejak!"
"Melihat sikapnya, kali ini kata-katanya mungkin benar! Namun pemuda ini belum mengatakan siapa dia sebenarnya. Padahal dia tahu banyak tentang diriku! Malah tentang ibuku! Aku harus tahu siapa dia!" membatin Dewi Siluman.
Seperti diketahui, Raka Pradesa telah dapat menebak dengan tepat siapa adanya Dewi Siluman, malah juga tentang Ibunya meski saat itu Raka Pradesa belum sempat mengu-capkan karena buru-buru dipotong ucapannya oleh Dewi Siluman yang takut rahasianya diketahui orang. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Gerbang Istana Hantu).
"Pemuda berpakaian hitam!" kata Dewi Siluman. "Kau telah dapat mengetahui siapa aku meski kita belum pernah bertemu. Sekarang aku tanya padamu. Siapa gadis berbaju hijau yang membawa sahabatmu itu?! Katakan juga siapa kau adanya!"
Raka Pradesa tersenyum. Setelah terdiam agak lama akhirnya dia menjawab. "Namaku Raka Pradesa. Aku hanyalah anak seorang petani biasa. Hanya karena aku suka keluyuran, maka sedikit banyak aku tahu siapa tokoh-tokoh terkenal dalam rimba persilatan! Meski aku tahu hanya dari ciri-cirinya saja!"
Dewi Siluman kernyitkan dahi di balik cadarnya. Lalu berujar. "Lalu siapa gadis berbaju hijau itu?!"
"Terus terang. Aku tidak mengenalinya!"
"Begitu? Lalu dari siapa kau mengetahui diriku juga ibuku?!"
"Seperti kataku tadi. Aku adalah orang yang suka keluyuran. Aku suka bertanya pada setiap orang yang kutemui. Jadi aku lupa dari siapa aku mendengar ciri-ciri serta ceritamu!"
"Hem... Selama ini hanya beberapa orang saja yang mengetahui keberadaan ibuku. Adalah hal mustahil jika orang jalanan dapat mengetahuinya!" pikir Dewi Siluman. "Pemuda ini berkata bohong!"
Berpikir begitu, anak Daeng Upas ini lalu berkata keras. "Kau telah berani bohong padaku!"
Kening Raka Pradesa mengernyit. "Bagaimana kau bisa menuduhku demikian?"
Dewi Siluman tertawa pelan. "Siapa aku lebih-lebih Ibuku, hanya beberapa orang saja yang tahu. Adalah tidak masuk akal jika orang jalanan mengetahuinya! Kau menyembunyikan sesuatu. Kau tidak berterus terang katakan siapa dirimu!"
"Ah. Itu terserah penilaianmu! Yang penting memang begitulah kenyataannya!"
"Kau masih belum mau terus terang?!" kata Dewi Siluman setelah agak lama terdiam.
"Aku telah katakan terus terang!"
Di balik cadarnya, Dewi Siluman menyeringai. "Aku bertanya sekali lagi. Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku telah mengatakannya padamu!" Habis berkata begitu Raka Pradesa melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru satu langkah, Dewi Siluman telah membentak garang.
"Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi tanpa nyawamu!"
Ucapan Dewi Siluman membuat Raka Pradesa menjadi geram. Dia berpaling dengan mata menatap tajam. Kalau perturutkan hati, ingin rasanya dia balas membentak meladeni perempuan bercadar dan berjubah hitam itu. Namun setelah berpikir agak panjang, akhirnya dia hanya tersenyum dingin, Lalu tanpa berkata-kata lagi, putar tubuh setengah lingkaran dan melangkah tinggalkan tempat itu
Sikap Raka Pradesa membuat Dewi Siluman naik pitam. Tanpa didahului kata-kata, kedua tangannya diangkat lalu lepaskan satu pukulan jarak jauh. Terdengar satu deruan. Kejap lain satu gelombang angin keras melesat ke arah Raka Pradesa.
"Dia tampaknya tidak main-main dengan ancam-annya!" gumam Raka Pradesa lalu segera berkelebat selamatkan diri.
"Hem... Tampaknya kau menyimpan kepandaian juga!" desis Dewi Siluman lalu merangsek ke depan. Kedua tangannya langsung lepaskan jotosan ke arah kepala si pemuda.
Meski pada mulanya Raka Pradesa tidak bermaksud meladeni, namun karena saat itu Dewi Siluman telah lancarkan pukulan, mau tak mau Raka Pradesa segera pula angkat kedua tangannya.
Dess! Desss!
Dua pasang tangan beradu keras. Dewi Siluman membeliak dengan raut di balik cadarnya berubah. Dari bentrokan tadi, sang Dewi benar-benar yakin jika pemuda di hadapannya tidak seperti apa yang diduga.
"Harap kau tidak memaksakan kehendak! Aku tak ingin membuat silang sengketa denganmu!" ujar Raka Pradesa sambil kibaskan kedua tangannya yang baru saja bentrok. Setelah menatap sekilas pada Dewi Siluman, pemuda berpakaian hitam-hitam ini hendak pergi.
Tapi untuk kesekian kalinya gerakan Raka Pradesa tertahan, karena saat itu tampak melesat satu kabut hitam membawa serta gelombang angin dahsyat. Dewi Siluman tampaknya telah lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'. Seakan tahu kehebatan pukulan sang Dewi, Raka Pradesa tak mau bertindak ayal. Dia cepat tarik kedua tangannya ke belakang. Lalu serta-merta didorong ke depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin laksana suara gemuruh gelombang laut melabrak ganas ke depan.
Blammm!
Tempat itu berguncang keras. Rangasan semak belukar yang berada di sekitar tempat itu terabas rata. Sosok Raka Pradesa terdorong deras ke belakang. Tubuhnya berguncang-guncang hendak jatuh. Namun saat tubuhnya hendak roboh terjengkang, dia membuat gerakan berputar. Kejap lain sosoknya kembali tegak meski dengan raut berubah dan tangan bergetar. Di depan sana, sosok Dewi Siluman hanya tersurut tiga langkah. Namun tak urung juga raut di balik cadarnya berubah.
"Setan!" maki Dewi Siluman geram mengetahui pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepaskannya bisa ditahan lawan. Tanpa pikir panjang lagi, sepasang mata Dewi Siluman bergerak membesar. Saat lain sepasang kakinya menghentak tanah.
"Sinar Setan!" terdengar gumaman dari balik semak belukar.
Di depan, tiba-tiba satu sinar hitam melesat dari sepasang mata Dewi Siluman menghantam tanah lima langkah di depannya. Bersamaan dengan itu, tanah yang terhantam sinar hitam rengkah dan rengkahan itu terus bergerak cepat ke arah Raka Pradesa. Inilah pertanda jika Dewi Siluman telah lepaskan pukulan 'Sinar Setan'.
Di hadapannya, Raka Pradesa tampak tercekat. Sejenak dia tampak bimbang, namun kejap lain dia angkat kedua tangannya. Namun belum sampai kedua tangannya lakukan gerakan menyentak, dari arah rimbun semak belukar melesat satu gelombang angin dahsyat. Sosok Raka Pradesa terpental ke samping kanan. Lalu terdengar suara ledakan keras. Rengkahan tanah akibat pukulan 'Sinar Setan' yang dilepas Dewi Siluman terhenti seketika!
BAB 3
SATU sosok tubuh tegak lima langkah di samping tanah yang rengkah. Kedua tangannya ditarik pulang ke belakang lalu diluruhkan. Sosoknya tampak sedikit bergetar, pertanda dia baru saja lepaskan pukulan dengan mengerahkan tenaga dalam kuat. Dia adalah seorang perempuan yang mukanya diberi bedak tebal hingga tidak bisa dikenali. Rambutnya digelung ke belakang. Bibirnya dipoles merah menyala. Orang ini mengenakan pakaian panjang berwarna coklat.
Sementara itu bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras, sosok Dewi Siluman tersapu sampai dua tombak ke belakang. Sepasang matanya menyipit membesar. Selain merasakan sakit di sekujur tubuhnya juga hampir tak bisa mempercayai pukulan sakti yang dilepasnya tadi dapat dipangkas dengan mudah.
"Keparat! Siapa kau?!" bentak Dewi Siluman setelah dapat kuasai diri seraya menatap tak berkesip pada perempuan berbedak tebal.
Perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya sejurus pada Raka Pradesa. Lalu memandang pada Dewi Siluman. Bibirnya yang merah menyala membuka. "Durga Ratih... Jangan memaksakan hati. Dan tinggalkan tempat ini dengan baik-baik! Jika mau kusarankan, jangan kau perturutkan kemauan. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa..."
Wajah di balik cadar Dewi Siluman seketika berubah. Sepasang matanya makin mendelik mendapati orang di hadapannya tahu siapa dirinya. "Perempuan! Aku bertanya. Tidak butuh saran!" kata Dewi Siluman setengah berteriak. Dadanya tampak bergerak turun naik dengan keras.
"Di sini kurasa bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab! Harap kau bersabar. Kelak kau tentu akan mendapat jawaban pasti..."
Dewi Siiluman perdengarkan dengusan keras. Rupanya dia tak dapat menahan kesabaran. "Tampaknya kau ingin mampus tanpa dikenali!"
Sosok Dewi Siluman berkelebat. Kedua tangannya kirimkan pukulan ke arah kepala perempuan berbedak tebal. Dua gelombang angin menderu mendahului tangan yang memukul, jelas jika sang Dewi kerahkan hampir segenap tenaga luar dan dalamnya.
"Ah. Rupanya kau keras kepala seperti ibumu!" gumam perempuan berbedak tebal lalu kelebatkan tangan kanannya ke samping.
Buukkk! Buukkk!
Dewi Siluiman berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke samping dan terjajar sampai satu tombak. Kejap lain tubuhnya roboh dengan pinggang menghantam tanah terlebih dahulu. Kedua tangannya yang baru saja tersapu tangan kanan perempuan berbedak tebal bergetar keras. Dan saat Dewi Siluman memeriksa, matanya membelalak. Jubah bagian lengannya robek dengan kulit memerah di baliknya!
"Jahanam! Kubunuh kau!" teriak Dewi Siluman. Laksana terbang perempuan bercadar dan berjubah hitam ini bangkit dan melesat ke arah perempuan berbedak tebal. Kedua tangannya bergerak lepas-kan pukulan 'Kabut Neraka’.
Namun belum sempat kabut hitam melesat keluar dari kedua tangannya, tiba-tiba kedua tangan sang Dewi tersentak mental ke belakang. Di saat lain tubuhnya terdorong keras dan terjengkang jatuh di atas tanah!
Sepuluh langkah di hadapan Dewi Siluman, perempuan berbedak tebal tarik kedua tangannya yang baru saja mendorong dengan telapak terbuka. Dari lehernya terlihat butiran keringat. Pakaiannyapun basah. Jelas walaupun hanya mendorongkan kedua tangan, namun hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam.
"Durga Ratih..." kata perempuan berbedak tebal. "Turuti ucapanku atau kau akan mendapat celaka sendiri!"
Dengan menahan marah dan sakit, Dewi Siluman perlahan-lahan bangkit. Menatap tajam pada perempuan di hadapannya. "Kau!" ujarnya. "Jangan mimpi urusan ini selesai sampai di sini!" Habis berkata begitu, Dewi Siluman putar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Perempuan berbedak tebal memperhatikan kepergian Dewi Siluman dengan gelengkan kepala dan menggumam tak jelas.
"Terima kasih atas pertolonganmu..." kata Raka Pradesa lalu sedikit bungkukkan tubuh.
Perempuan berbedak tebal berpaling. Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada pemuda berpakaian hitam-hitam dari ujung rambut sampai kaki. "Anak cantik..." ujar si perempuan dengan suara pelan. "Apa benar kau mencari sahabatmu?!"
Wajah Raka Pradesa seketika berubah. Dadanya berdebar. Mulutnya hendak membuka untuk bicara. Namun kejap lain kembali terkancing. Hanya sepasang matanya yang kini menatap tak berkesip pada perempuan berbedak tebal.
"Anak cantik! Kau belum menjawab pertanyaanku..."
Raka Pradesa belum juga buka mulut. Sebaliknya sepasang matanya memperhatikan dirinya sendiri, seolah ada yang tidak beres. Perempuan berbedak tebal sunggingkan senyum.
"Keadaanmu tidak ada yang berubah. Hanya tutup tipis di wajah dan kumis di atas bibirmu yang membuat kau tampak beda..."
Raka Pradesa terkesiap. Kali ini pemuda berkumis tipis ini tidak dapat lagi menyembunyikan rasa kagetnya. Malah jika di belakangnya tidak ada tanah yang rengkah akibat pukulan 'Sinar Setan' Dewi Siluman, niscaya dia akan surutkan langkah ke belakang!
"Dia... Dia tahu siapa diriku..." kata Raka Pradesa dalam hati. Lalu dengan suara agak gemetar dia berucap. "Siapa kau sebenarnya...?"
Perempuan berbedak tebal kembali tersenyum. Sambil arahkan pandangannya ke jurusan lain dia berkata. "Seperti kukatakan pada Durga Ratih tadi, di sini bukan tempat yang baik untuk bertanya jawab. Kau juga harap bersabar. Dan sekarang jawab pertanyaanku!"
Meski dadanya masih dibuncah dengan berbagai pertanyaan, setelah berpikir sejenak, Raka Pradesa akhirnya buka mulut menjawab. "Aku memang mencari sahabatku..."
"Siapa...?"
"Pemuda bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131..."
"Kenapa kau mencarinya kemari?"
Setelah agak lama terdiam, Raka Pradesa menjawab. "Aku hanya menduga-duga..." "Hem... Berarti kau tidak tahu pasti ke mana sahabatmu itu pergi."
"Benar...!"
"Bagaimana bisa begitu?" tanya perempuan berbedak tebal sambil menatap kembali ke arah si pemuda.
"Dia dalam keadaan terluka. Aku menduga dia dilarikan seseorang! Tapi sayang aku kehilangan jejak!"
"Kau begitu mengkhawatirkan keadaannya. Kau tertarik padanya?"
Mendengar pertanyaan perempuan, untuk kesekian kalinya paras wajah Raka Pradesa kembali berubah. Untuk beberapa saat pemuda ini terdiam. Namun setelah dapat kuasai diri, ia berucap. Tapi sebelum suaranya terdengar, perempuan berbedak tebal telah mendahului berkata.
"Anak cantik. Kau tak usah mengkhawatirkan sahabatmu itu. Dia baik-baik saja. Sekarang pulanglah! Suatu saat pasti kau akan jumpa lagi dengan sahabatmu itu."
"Aku tahu dia terluka. Bagaimana kau bisa mengatakan dia baik-baik saja?"
"Dia memang terluka. Tapi akan segera baik kembali. Jelas?!"
"Hai! Jangan-jangan kau yang membawanya! Dimana dia sekarang?!"
Perempuan berbedak tebal putar diri. Lalu berujar pelan. "Aku tak dapat mengatakan padamu. Aku harus segera pergi..."
"Tunggu!" seru Raka Pradesa menahan gerak langkah perempuan berbedak tebal.
"Dengar, Anak cantik. Kau tak ingin kehilangan sahabatmu itu bukan?" kata perempuan berbedak tebal mendahului bicara tanpa berpaling.
"Apa maksud ucapanmu?!"
"Sahabatmu harus cepat mendapat pertolongan. Jika tidak, kau tahu sendiri apa yang akan terjadi menimpanya!"
"Tapi..." Raka Pradesa tak kuasa teruskan ucapannya.
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Tabahkan hati. Untuk sementara ini biar sahabatmu berada di tanganku! Kau pulanglah!"
Raka Pradesa tegak dengan tubuh gemetar. Sementara perempuan berbedak teruskan langkah. Tiba-tiba Raka Pradesa meloncat dan tegak menghadang. "Kau belum mengatakan siapa dirimu. Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu?!"
"Aku tak dapat mengatakannya saat ini. Tapi yang jelas aku tahu siapa dirimu! Dan jika kau kunasihati, tanggalkan penyamaranmu. Karena tak jarang penyamaran hanya mendatangkan rasa kecewa. Lebih baik berterus teranglah, lebih-lebih dalam penampilanmu!"
"Perempuan ini tahu banyak tentang diriku. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia menasihatiku demikian? Apakah..." Raka Pradesa tak teruskan membatin, karena saat dia memandang ke depan, perempuan berbedak tebal telah jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku harus menyelidik. Aku ingin buktikan kebenaran ucapannya!" Raka Pradesa segera melesat menyusul perempuan berbedak tebal.
Merasa diikuti, perempuan berbedak tebal segera berkelebat. Dan pada satu tempat, dia menyelinap, lalu berlari balik ke arah mana dia tadi berada.
"Heran. Baru saja dia di tempat ini. Tapi lenyap ke mana dia?!" gumam Raka Pradesa begitu berada pada satu tempat dan maitanya tidak lagi menangkap sosok perempuan berbedak tebal yang dikejar.
"Joko... Joko..." Tanpa sadar Raka Pradesa menggumam dengan suara serak. "Di mana kau sekarang? Apakah benar ucapan perempuan tadi bahwa kau akan segera baik? Apakah kau tahu jika aku adalah..." gumaman pemuda berkumis tipis ini terhenti.
Tangan kiri kanannya terangkat dan menakup wajahnya. Setelah agak lama dan kedua tangannya diturunkan, tampak sepasang matanya sedikit berkaca-kaca. Dia menarik napas dalam dan panjang berulangkali. Lalu dengan dada diselimuti berbagai buncahan perasaan, dia melangkah perlahan me-ninggalkan tempat itu.
Sementara di balik rimbun semak belukar tidak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tadi, perempuan berbedak tebal melangkah ke arah gadiis berbaju hijau yang jongkok di samping sosok Pendekar 131 yang menggeletak di atas tanah diam tak bisa bergerak dan bersuara.
"Maaf, Anak muda. Hal itu harus kulakukan demi kebaikanmu!" ujar perempuan berbedak tebal seraya tekankan jari telunjuknya pada dua urat besar di leher murid Pendeta Sinting, lepaskan totokan yang membuat Joko tak dapat bicara.
Begitu perempuan berbedak tebal tarik pulang jari telunjuknya, Joko Sableng segera berkata. "Aku tadi mendengar suara sahabatku. Ke mana dia sekarang? Apa sebenarnya yang terjadi?!"
"Kita tak punya waktu berlama-lama di sini! Nanti saja kuceritakan!" kata perempuan berbedak tebal. Lalu bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat dia tegak kembali, sosok Pendekar 131 telah berada di pundak kirinya. Karena saat itu murid Pendeta Sinting dalam keadaan tertotok, maka dia tak bisa berbuat banyak. Malah karena menduga kedua perempuan itu benar-benar ingin menolongnya, dia tak buka mulut lagi saat perempuan berbedak tebal berkelebat dan diikuti oleh gadis berbaju hijau.
BAB 4
MURID Pendeta Sinting tidak tahu sudah berapa lama dia berada di tempat itu. Yang dia tahu, saat dia buka kelopak matanya, tubuhnya sudah dapat digerakkan lagi. Malah ketika dia coba salurkan tenaga dalamnya, rasa sakit tidak lagi terasa.
"Ke mana perempuan berdandan seronok itu? Gadis berbaju hijau pun tidak kelihatan!" desis Joko lalu memandang berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada pada satu ruangan batu yang lima belas langkah di hadapannya tampak sebuah lobang pintu. Memandang jauh keluar kelihatan rimbun dedaunan dan jajaran pohon.
Yakin tidak ada orang di ruangan itu, perlahan-lahan Pendekar 131 melangkah menuju lobang pintu. Namun baru dua tindak, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu sesosok tubuh telah tegak di balik lobang pintu. Joko jerengkan sepasang matanya memandang tak berkesip. Sosok itu adalah seorang perempuan mengenakan pakaian panjang warna coklat. Wajahnya tertutup bedak tebal.
"Ah, dia..." gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya orang. Lalu bungkukkan sedikit tubuh sambil berujar.
"Meski kau belum sebutkan siapa dirimu, aku mengucapkan terima kasih. Karena kau yang telah menolongku..."
Perempuan berbedak tebal tersenyum. Diam-diam dia membatin. "Pemuda menarik. Tak heran Jika gadis-gadis banyak menyukainya. Hanya sayang bila dia salah jalan..."
"Anak muda. Kuharap kau sudah agak baik..." ujar perempuan berbedak tebal setelah terdiam agak lama.
"Berkat pertolonganmu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih..." Murid Pendeta Sinting menatap lekat-lekat pada perempuan di hadapannya. "Harap kau sudi sebutkan diri..."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Saat ini aku belum bisa turuti permintaanmu. Tapi percayalah, suatu saat nanti kau tentu akan menge-tahuinya. Sekarang kau cukup mengenaliku sebagaimana kau lihat..."
Pendekar 131 menghela napas panjang. "Kau telah berjanji hendak menceritakan sahabatku pemuda berpakaian hitam-hitam tempo hari..."
Sepasang mata di bawah kelopak yang diberi warna hijau dan merah milik perempuan berbedak tebal tak berkesip pandangi Joko seakan baru saja melihat. "Dia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian hitam-hitam sahabatnya itu. Hem... Tapi tak baik aku ikut campur urusan ini. Biarlah kelak dia yang akan tahu sendiri!" kata perempuan berbedak tebal dalam hati. Lalu penuhi permintaan Joko menceritakan pemuda berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa.
"Kau tak usah cemas. Dia dalam keadaan baik-baik..." kata perempuan berbedak tebal mengakhiri ceritanya.
Joko menganggukkan kepalanya. Dia menarik napas lega. Karena dia tahu dari sikap Raka Pradesa jelas jika pemuda berkumis tipis ini hendak berusaha menolongnya tempo hari meski usahanya tidak berhasil.
"Sekarang aku tanya padamu, Anak Muda. Kenapa kau berusaha masuk Istana Hantu...?" tanya perempuan berbedak tebal masih dengan menatap tak berkesip.
Joko terkesiap tak menduga jika si perempuan tahu apa yang dilakukannya tempo hari. Namun sejauh ini dia belum mengatakan apa tujuannya, karena meski perempuan berbedak tebal telah menolongnya, tapi dia belum dapat meraba apa tujuan sebenarnya si perempuan. Lebih-lebih si perempuan tidak mau sebutkan dirinya dan menyembunyikan wajah di balik bedak tebal agar tidak mudah dikenali.
Seakan tahu apa yang terpikir oleh murid Pendeta Sinting, perempuan berbedak tebal tersenyum dan berkata. "Kalau kau ragu mengatakannya karena menaruh curiga padaku, aku tak memaksa. Namun satu hal yang harus kau perhatikan, jangan kau terseret mengikuti ucapan orang. Karena bukan saja kau akan mendapat kecewa, tapi mungkin akan membuatmu sengsara!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Dia teringat akan ucapan Raja Tua Segala Dewa. "Meski kata-katanya lain, tapi nada maksudnya sama! Apa dia tahu banyak tentang Istana Hantu?"
"Apakah kau tahu siapa gerangan penghuni Istana Hantu?!" tanya Joko pada akhirnya.
"Sampai sekarang siapa penghuni istana itu masih jadi teka-teki. Tapi aku punya seorang sahabat yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu..."
"Siapa dia?" sahut Joko Sableng cepat.
"Kau harus mengatakan dulu apa tujuanmu hendak memasuki Istana Hantu!"
"Tiga sahabatku dikabarkan lenyap begitu saja. Dan seseorang menduga jika lenyapnya sahabat-sahabatku itu didalangi penghuni Istana Hantu!"
Mendengar ucapan Joko, perempuan berbedak tebal perdengarkan suara tawa pelan. Seraya gelengkan kepala dia berkata. "Jika demikian halnya, kau harus perhatikan ucapanku tadi, Anak Muda!"
"Tapi aku harus buktikan dahulu! Karena sedikit banyak aku berhutang budi pada ketiga sahabatku itu! Lebih-lebih kegemparan yang kini melanda rimba persilatan kusirap karena juga ulah penghuni Istana Hantu!"
Keterangan Pendekar 131 membuat tawa perempuan berbedak tebal makin panjang dan sedikit keras. "Bukti memang harus diperoleh. Tapi tidak baik berburuk sangka terlebih dahulu! Dan kau memang perlu menemui sahabatku itu!"
"Semula aku memang ingin bertemu sahabatmu itu. Tapi tidak enak rasanya jika tidak buktikan dengan mata kepala sendiri!"
"Kau telah gagal memasuki Istana Hantu. Kurasa kau masih akan menemui kegagalan jika kau mencobanya lagi! Bahkan tak mustahil kau akan mendapat celaka bila keras kepala!"
Pendekar 131 tertawa pelan. "Bagiku, lebih baik mati daripada membiarkan orang bertindak semena-mena!"
"Tapi mati dalam kebodohan adalah lebih sia-sia!" sahut perempuan berbedak tebal dengan suara agak keras.
"Apa maksudmu?!"
"Aku tidak bisa mengatakan. Kalau kau suka, temuilah seorang kakek di sebuah kuil tua di sebelah barat Candi Jago arah barat Gunung Bromo. Dia pernah mengatakan padaku bahwa dia menunggu seseorang sebelum ajal menjemputnya! Siapa tahu kau adalah orang yang ditunggu. Mungkin juga dia bisa mengatakan padamu apa yang kini menjadi tanda tanya di hatimu! Sekarang aku harus pergi..."
Perempuan berbedak tebal balikkan tubuh. Namun sebelum sosoknya berkelebat pergi, murid Pendeta Sinting berseru.
"Aku tidak melihat gadis berparas cantik berbaju hijau yang bersamamu. Ke mana dia? Dan siapa dia...?"
Tanpa putar diri menghadap, perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Dia jauh dari sini. Dan lupakan gadis itu! Ada seorang gadis cantik kini mengharapkan dirimu! Jangan kecewakan dia!"
Joko Sableng terbelalak. Dia hendak buka mulut bicara lagi, tapi perempuan di hadapannya telah berkelebat. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting tegak tercenung seakan menyimak ucapan yang baru didengarnya dari perempuan berbedak tebal.
"Aneh. Mengapa dia berkata begitu? Siapa gadis yang dikatakan mengharapkan diriku?" Namun tiba-tiba Joko tertawa sendiri. "Dia mungkin bercanda. Siapa gadis cantik yang mau dengan pemuda jelek dan luntang-lantung seperti diriku...?!"
Puas tertawa sendiri, akhirnya Joko melangkah ke arah lobang pintu. Tapi tiba-tiba dia hentikan langkah. Kepalanya tengadah. Sepasang matanya terpejam rapat. Lalu muncul bayangan Dewi Seribu Bunga.
"Kenapa aku tidak bisa melupakan murid Maut Mata Satu itu? Bagaimana dia sekarang?"
Sesaat kemudian terbayang wajah Sitoresmi. "Gadis cantik... Sayang dia harus mengalami nasib kurang baik. Tapi aku tak akan melupakannya. Dia telah rela berkorban untukku..."
Perlahan-lahan Pendekar 131 buka kelopak matanya. Lalu luruskan kepala. Kejap lain sosoknya berkelebat keluar. Bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi masih terbayang di pelupuk matanya.
********************
Sebenarnya murid Pendeta Sinting ingin kembali ke Istana Hantu. Namun teringat akan ucapan-ucapan perempuan berbedak tebal, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke arah tempat yang dikatakan si perempuan. Setelah melakukan perjalanan sehari dua malam, akhirnya Joko sampai di pelataran Candi Jago.
Saat itu malam hampir saja berujung, namun karena angkasa di tutup arakan awan, hamparan bumi terlihat masih gelap gulita. Sementara udara dingin menderu kencang. Joko tidak hiraukan suasana. Dia teruskan lari ke arah barat. Kira-kira dua ratus tombak dari pelataran Candi Jago, tepatnya pada hamparan rumput tebal merangas tak terawat, murid Pendeta Sinting hentikan larinya.
Sejarak sepuluh tombak di depannya, dalam keremangan cuaca, lamat-lamat sepasang mata Joko melihat sebuah bangunan batu hitam yang tidak begitu besar. Malah jika tidak diperhatikan dengan seksama, dalam gelapnya suasana, mungkin orang akan menduga jika bangunan batu itu adalah gugusan batu biasa.
Pendekar 131 pasang telinga baik-baik. Sepasang matanya dipentang besar menembusi kegelapan. Beberapa saat kemudian, murid Pendeta Sinting dapat memastikan jika bangunan hitam itu adalah sebuah kuil. Namun untuk beberapa saat, dia tertegun. Sepasang telinganya mendengar suara aneh. Seperti helaan napas berat dan panjang tapi secara tiba-tiba diputus. Tak lama kemudian terdengar lagi helaan napas. Namun terputus lagi. Demikian terus-menerus.
Walau hatinya dibuncah sedikit ngeri, namun karena sudah bertekad apalagi telah melakukan perjalanan jauh, akhirnya Joko melangkah perlahan menuju kuil di hadapannya setelah edarkan pandangan berkeliling. Sejarak dua tombak dari bangunan kuil yang tampak hitam dan tidak terawat hingga di kanan kirinya tampak ilalang tinggi dan rumput tebal, Pendekar 131 hentikan langkah.
Sejenak dia tembus! kegelapan memandang ke arah kanan kiri kuil. Sementara suara helaan panjang yang tiba-tiba terputus makin jelas terdengar. Namun meski bagian depan kuil tampak sebuah pintu terbuka, Joko tidak dapat menangkap adanya orang!
Joko Sableng pentangkan mata sekali lagi. Musih tak dapat menangkap keadaan dalam kuil, dia melangkah ke depan. Namun langkahnya tertahan saat kaki kanannya menumbuk sesuatu. Cepat dia arahkan pandangannya ke bawah. Sejurus matanya menyipit. Namun kejap lain membelalak dan tersurut satu tindak.
"Bangkai manusia!" desis Pendekar 131 sambil jerengkan mata dan perhatikan benda yang baru saja tertumbuk kakinya dan tidak lain memang bangkai manusia yang telah tinggal tengkorak.
Belum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba Joko pentangkan lagi matanya makin besar. Malah jika dia tak sadar sedang berada di mana, niscaya dia akan berseru. Ternyata di sekitar tempat itu banyak berserakan tengkorak manusia!
"Jangan-jangan perempuan berbedak tebal itu menjerumuskan aku! Kurasa ini bukan tempat tinggal seseorang! Tapi tempat pembantaian! Celaka jika..."
Joko tidak meneruskan gumamannya, karena helaan napas terdengar keras. Namun begitu terputus, tidak lagi terdengar meski Joko telah menunggu agak lama dengan pasang telinga baik-baik! Keadaan berubah sunyi lengang. Tak terdengar suara. Tidak terlihat gerakan! Murid Pendeta Sinting arahkan pandangannya ke arah kuil. Saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara...
Tingng! Tingng! Tingng!
"Busyet! Suara apa itu? Seperti orang mainkan kecapi! Jangan-jangan hantu sedang bermain kecapi! Tapi apa mungkin?" Joko coba tersenyum meski senyum itu adalah untuk sembunyikan rasa gejolak hatinya, karena bersamaan dengan terdengarnya suara tingng! Tingng! Tanah berumput yang dipijaknya terasa bergetar!
"Hem... Dengan terdengarnya suara itu, pertanda didalam sana ada makhluk hidup. Mungkin dia yang dimaksud perempuan berdandan menor itu. Bagaimanapun juga aku sudah sampai di sini! Percuma jika tidak teruskan langkah..."
Berpikir begitu, setelah menarik napas panjang dan tenangkan hati, Joko segera berkelebat karena tidak mungkin melangkah dan menginjak-injak tengkorak yang banyak berserakan di sekitar tempat itu. Dengan satu kali kelebatan, sosoknya kini telah tepat berada di samping kanan pintu kuil. Untuk sesaat murid Pendeta Sinting tegak diam tak berani buat gerakan dan timbulkan suara. Hanya sepasang matanya terpentang besar memandang ke dalam kuil
"Astaga!" Tiba-tiba Pendekar 131 perdengarkan nada tercekat dalam hati ketika sepasang matanya teah terbiasa dengan keadaan gelap di dalam kuil.
Ternyata di dalam kuil yang tidak begitu besar itu, bagian bawahnya bukan berupa lantai batu seperti bagian samping dan depannya. Melainkan yang tampak adalah rumput tebal dan ilalang tinggi. Namun bukan hal itu yang membuat murid Pendeta Sinting tercekat. Di atas rumput tebal dan sela-sela ilalang terlihat banyak berserakan tengkorak manusia!
"Edan! Tempat apa sebenarnya ini? Apa masih ada kaitannya dengan Tengkorak Berdarah?!" duga murid Pendeta Sinting.
Baru saja dia menduga demikian, terdengar helaan napas yang kemudian diputus. Disusul kemudian dengan suara tinng! Tinng! Empat kali. Anehnya suara-suara itu kini hanya menggema di dalam kuil. Tapi Joko makin merasakan tempatnya berpijak bergetar keras. Malah terlihat tengkorak-tengkorak manusia di dalam kuil laksana tersapu angin kencang dan berhamburan saling tubruk satu sama lain keluarkan suara berderak-derak!
"Malam ini tampaknya masih ada manusia bodoh yang hendak serahkan jiwanya!"
Tiba-tiba satu suara terdengar, membuat Joko terkesiap! Namun matanya belum bisa menangkap orang yang keluarkan suara. Karena suara itu laksana datang dari setiap penjuru dalam bangunan kuil!
"Hai! Siapa yang ada di dalam kuil?!" Joko berteriak setelah sekian lama tidak melihat adanya orang. Sesaat tidak ada sahutan. Namun tatkala Joko hendak buka mulut lagi, terdengar orang bersuara.
"Aku penunjuk jalan ke neraka!"
Suara orang belum lenyap, satu gelombang angin luar biasa dahsyat telah menggebrak ke arah murid Pendeta Sinting! Demikian ganas dan cepatnya gelombang tabrakan angin itu, hingga tidak ada jalan lain bagi Joko selain menangkis dengan dorongkan kedua tangannya ke depan.
BAB 5
Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan terdengarnya ledakan keras tatkala gelombang angin yang datang dari arah dalam kuil bentrok dengan angin yang melesat keluar dari kedua tangan murid Pendeta Sinting. Tempat itu kontan bergetar keras.
Sosok Joko terpental lima langkah ke belakang, pertanda jelas jika gelombang dari kegelapan dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam luar biasa. Malah beberapa tengkorak manusia yang berada di luar kuil ikut pula tersapu dan jatuh berderak jauh ke belakang Joko. Pendekar 131 tegak dengan wajah berubah. Kedua tangannya bergetar dan terasa ngilu serta panas laksana dipanggang!
"Perempuan itu benar-benar menjerumuskan aku! Kalau tahu begini yang kudapat, menyesal aku menuruti ucapannya! Hem... Lebih baik aku tinggalkan tempat celaka ini! Di sini tidak ada yang kuinginkan! Malah bisa-bisa aku mendapatkan malapetaka! Sementara masih ada sesuatu yang harus kulakukan!"
Berpikir begitu, Pendekar 131 segera putar diri. Namun gerakan tubuhnya tertahan suara yang terdengar dari dalam kuil.
"Tidak ada manusia yang tinggalkan tempat ini dengan nyawa masih bercokol di tubuh!"
Suara orang belum selesai, terdengar suara tingng! Tingng! Beberapa kali. Kejap lain suasana berubah panas menyengat hingga menindih lenyap udara dingin ujung malam. Pada saat bersamaan terdengar deruan pelan. Namun saat itu juga murid Pendeta Sinting merasakan sapuan gelombang luar biasa dahsyat!
Joko cepat alirkan tenaga dalam pada dadanya kerahkan jurus inti 'Sukma Es' untuk lindungi diri dari hawa panas. Kejap lain, sebelum tubuhnya lebih jauh tersapu, dia dorong kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Suasana gelap mendadak semburatkan warna kuning terang. Lalu terdengar deruan keras laksana gulungan ombak. Tanda jika murid Pendeta Sinting telah lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Joko sengaja langsung lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning' karena dia menduga pukulan lawan yang melabraknya tidak akan mempan jika dipangkas dengan pukulan lain. Malah dia sendiri akan mendapat celaka.
Buummm!
Untuk kedua kalinya tempat di depan kuil diguncang dengan ledakan keras. Rumput tebal dan ilalang tinggi terabas rata dan bertabur menambah pekatnya suasana. Sosok Pendekar 131 mencelat mental dan terjengkang di atas tanah berumput empat tombak dari tempatnya semula. Dadanya sesak dan mulutnya megap-megap. Paras wajahnya pucat pasi. Namun karena dia telah lindungi diri dengan jurus inti 'Sukma Es',, maka rasa sakit itu hanya terasa sejenak. Kejap lain dia telah bangkit.
Saat itulah, sepasang telinga Joko mendengar helaan napas panjang dan berat. Jelas siapa pun adanya orang yang menghela napas, pasti memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Karena saat itu Joko berada tujuh tombak dari bangunan kuil. Tapi suara helaan napas itu terdengar jelas dan keras! "Kau harus mampus!" Mendadak terdengar suara bentakan. Bersamaan dengan itu samar-samar Joko melihat satu bayangan putih menyeruak dari dalam bangunan kuil. Lalu terdengar suara tingng! Tingng! Beberapa kali.
Sosok putih yang baru keluar dari dalam tampak duduk berlutut di depan kuil. Ternyata dia adalah seorang kakek mengenakan pakaian warna putih kusam. Rambutnya putih panjang sepinggang dibiarkan bergerai hingga menutup sebagian wajah dan punggungnya. Wajahnya yang telah keriput tampak lebih samar lagi karena ditutupi kumis dan jenggot serta jambangnya yang lebat dan putih.
Pada kedua kakinya yang menekuk berlutut tampak rantai besi yang mengikat pergelangan kaki kiri dan kanan satu sama lain. Pada tengah rantai besi tampak menggandul bundaran besi sebesar kepalan tangan. Inilah yang membuat setiap kali si kakek membuat gerakan pada kakinya, memperdengarkan suara tingng! Tingng!
Kakek berpakaian putih pentangkan sepasang matanya yang telah sayu dan masuk dalam rongga cekungan dalam, menatap tak berkesip pada murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Tubuhnya serentak ikut bergetar. Dan tak lama kemudian, pakaian putihnya telah basah oleh keringat. Demikian juga wajah dan lehernya! Jelas menunjukkan jika si kakek tengah mengerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya meski saat itu dia hanya angkat kedua tangannya.
Di depan sana, karena jaraknya agak jauh dan suasana masih gelap, murid Pendeta Sinting tidak dapat melihat jelas tampang si kakek. Dia hanya samar-samar menangkap gerakan kedua tangan si kakek. Namun hal itu telah cukup membuat Pendekar 131 berlaku waspada. Hingga tatkala terlihat kedua tangan si kakek membuat gerakan mendorong kedepan, tak menunggu lama Joko cepat alirkan tenaga dalam pada telapak tangan kirinya. Dia kali ini tidak mau bertindak ayal. Pukulan 'Lembur Kuning' yang dilepas tidak membuat si kakek cedera atau mundur. Maka tidak ada jalan lain untuk selamatkan diri selain kerahkan jurus pukulan 'Serat Biru'!
Tangan kiri murid Pendeta Sinting mendadak bersinar kebiruan. Di seberang depan, sepasang mata sang kakek bergerak menyipit lalu membelalak. Mulutnya yang sedari tadi terkancing rapat bergerak membuka perdengarkan gumaman tidak jelas. Namun dia teruskan juga dorongan kedua tangannya. Hingga saat itu juga terdengar suara menderu-deru keras. Disusul dengan menghamparnya gelombang angin luar biasa dahsyat yang datang laksana dari segala penjuru mata angin!
Joko undurkan langkah satu tindak. Serta-merta kedua tangannya didorong ke depan. Kejap itu juga melesat serat-serat terang berwarna biru laksana benang. Namun sebelum serat-serat biru terang melesat, ada satu kekuatan menggebrak mendahului. Anehnya kekuatan itu menerabas gelombang yang Lagi datang hingga semburat seakan memberi jalur lapang pada serat-serat biru yang melesat menyusul! Hingga laksana tanpa halangan lagi, serat-serat biru Itu melesat dan tiba-tiba membelit sosok si kakek!
Tapi bukan berarti Pendekar 131 lepas dari bahaya, karena bersamaan dengan terbelitnya tubuh si kakek oleh serat-serat biru, gelombang angin yang tadi semburat secara aneh bersatu kembali dan kini menggebrak ke arah Pendekar 131! Joko tidak bisa berbuat banyak, karena jika dia memangkas gelombang yang kini melabrak, maka berarti belitan pada tubuh si kakek akan melukar.
Dan jika kesempatan itu digunakan oleh sang kakek bukan tidak mungkin dia akan lebih celaka lagi. Berpikir sampai di sana, akhirnya Joko hanya kerahkan tenaga dalam pada dadanya salurkan tenaga inti jurus 'Sukma Es'. Di lain pihak dia lipat gandakan tenaga dalamnya pada telapak tangan kiri lalu menariknya ke belakang.
Saat itulah gelombang angin menghantam. Joko berseru tertahan. Namun sosoknya hanya bergoyang-goyang keras, karena serat-serat dari tangan kirinya terus membelit tubuh si kakek laksana benang yang tak dapat diputus. Sedangkan si kakek sendiri tampak terengah-engah dan buka mulutnya lebar-lebar sembunyikan suara erangan yang keluar.
Tiba-tiba si kakek takupkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya memejam. Kejap lain tubuh Joko tampak tertarik ke depan. Melihat hal ini, Joko kerahkan segenap tenaga dalamnya lalu menarik kedua tangannya. Sosoknya terhenti, malah kini ganti sosok si kakek yang tertarik. Sementara serat-serat biru terus membelit. Terjadilah saling tarik dengan mengandalkan tenaga dalam masing-masing. Pada satu kesempatan, si kakek membentak. Pada saat bersamaan, Joko berseru seraya lipat gandakan tenaga.
Terjadilah sesuatu yang hebat. Sosok si kakek mundur ke belakang sementara tubuh Joko tertarik ke depan. Tapi saat setelah Joko berseru, tubuh si kakek tertarik deras ke depan. Hingga tanpa bisa dihindarkan lagi sosok keduanya bertubrukan!
Tubuh keduanya sama-sama mental dan sama berkaparan di atas rumput yang telah gundul! Karena Joko tidak kerahkan tenaga dalam lagi, saat itu juga serat-serat biru yang membelit tubuh si kakek lenyap. Tubuh Joko tampak bergetar keras. Dari mulutnya keluar darah segar. Si kakek sendiri tak kalah parahnya. Selain tubuhnya gemetaran dan sudut mulutnya mengalirkan darah, pakaian putih yang dikenakannya tampak robek-robek menganga membentuk libatan benang!
Hebatnya, meski telah cedera, si kakek segera bangkit lalu duduk berlutut dengan tangan menakup di depan dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Sejenak kemudian dia buka kelopak matanya pandangi murid Pendeta Sinting yang baru perlahan-lahan bergerak bangkit.
"Sahabat! Harap sudi katakan siapa dirimu!" Mendadak si kakek buka mulut.
Untuk beberapa lama Joko hanya pandangi orang tua di hadapannya dengan mulut terkancing. Namun diam-diam dalam hati dia berkata. "Dia memanggilku sahabat! Jangan-jangan..."
Joko lalu teringat akan ucapan perempuan berbedak tebal yang mengatakan bahwa sahabatnya menunggu seseorang sebelum ajal menjemputnya. Namun setelah mengalami apa yang baru saja terjadi, dan melihat beberapa tengkorak manusia di halaman dan di dalam bangunan kuil, Joko jadi ragu-ragu.
"Kalau kau tidak sudi sebutkan diri, tidak apa-apa! Yang jelas siapa pun kau adanya, kau adalah seorang sahabat yang kutunggu! Harap kau suka mengikutiku!" Habis berkata begitu, masih dengan duduk berlutut, si kakek berkelebat masuk ke dalam bangunan kuil. Ucapan si kakek membuat Joko terkejut. "Bagaimana mungkin dia menentukan aku adalah seorang sahabat yang ditunggu? Padahal baru kali ini aku bertemu! Tapi aku ingin tahu apa yang hendak dilakukannya..."
Sambil mengusap darah di sudut mulutnya, Joko bergerak bangkit lalu melangkah masuk ke dalam bangunan kuil. Sementara si kakek telah duduk berlutut dengan punggung bersandar pada bagian belakang tembok yang menghadap ke depan.
"Duduklah, Anak Muda!"
Joko turuti ucapan si orang tua. Dia duduk bersila menghadap si kakek, namun dia tetap waspada. Sepasang matanya tak beranjak memperhatikan pada kedua tangan orang tua di hadapannya, karena Joko yakin, bahwa kedahsyatan pukulan orang tua itu terletak pada kedua tangannya.
"Tentu kau punya maksud tertentu hingga sampai kemari!" ujar si kakek setelah menghela napas dalam. Kali ini suara helaan napasnya tidak lagi keras.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku tidak punya tujuan tertentu. Aku hanya ingin buktikan ucapan seseorang!" kata Joko meski dalam hati dia sebenarnya punya maksud tertentu.
Si kakek mendehem panjang. "Kau bisa katakan siapa orang yang ucapannya ingin kau buktikan?!"
Kembali murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Dia tak sebutkan nama padaku. Dia seorang perempuan yang wajahnya pun sulit untuk dikenali!"
Orang tua di hadapan Joko anggukkan kepala. "Anak muda. Apakah kau pernah memasuki Istana Hantu?"
Joko terlengak. Lalu menjawab. "Pernah...!"
"Namun mengalami kegagalan. Betul?!"
Kembali Joko dibuat terkejut saat mendapati si kakek mengetahui. Seraya sedikit keraskan suara, Joko berujar. "Aku memang gagal memasuki Istana Hantu. Namun bukan berarti aku tidak bisa masuk ke sana! Aku tetap akan ke sana sekaligus menghentikan ulah penghuninya yang..."
Ucapan Joko dipotong oleh suara tawa si kakek. "Kau masih akan menemui kegagalan, Anak Muda. Meski kau telah membekal pukulan sakti 'Serat Biru'!"
Kali ini ucapan orang tua itu benar-benar membuat murid Pendeta Sinting tersentak dan tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. "Orang tua! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku adalah sahabat yang menunggu!"
"Kenapa kau menunggu?!"
"Aku menduga, tanpa bantuanku orang yang kutunggu akan mengalami kegagalan memasuki Istana Hantu!"
"Hem... Kau tadi mengatakan aku adalah sahabat yang kau tunggu. Sekarang bantuan apa yang hendak kau berikan?!"
Si kakek menggeleng sambil tersenyum samar. "Tidak baik mengatakan bantuan yang akan kuberikan! Hanya sebelum aku memberikan sedikit bantuan itu, aku mengajukan syarat!"
"Hem... Berarti kau tidak rela! Karena kau masih mengharap imbalan!"
"Terserah apa katamu. Namun syarat itu demi kebaikan! Tidak semata-mata sebagai imbalan!"
Untuk beberapa lama Joko berpikir. Lalu berkata. "Katakan apa syarat itu!"
"Mendekatlah kemari! Putar dudukmu dan hadapkan punggungmu di depanku!"
Pendekar 131 tidak segera melakukan apa yang dikatakan si orang tua. Dia jelas ragu-ragu. Namun untuk tidak menyinggung perasaan si kakek, Joko berkata. "Apa tidak ada jalan lain selain harus begitu?!"
"Anak muda. Itu adalah salah satu syarat! Kau tahu, beberapa tengkorak yang berserakan di sekitar tempat ini adalah manusia-manusia yang meminta paksa apa yang hendak kuberikan padamu! Tapi jika kau masih bimbang, silakan pergi dari sini!"
Setelah agak lama menimbang, akhirnya Joko bergerak bangkit seraya berkata. "Tapi jika kau bertindak tidak terpuji, aku tidak segan berlaku keras!"
"Aku sudah tua, Anak Muda! Apa artinya kematianmu bagiku?!"
Tanpa menyahut ucapan si kakek, Joko mendekat, lalu putar diri membelakangi dan duduk bersila.
"Dengar baik-baik, Anak Muda. Karena aku tidak akan mengulangi ucapanku. Setelah apa yang kulakukan nanti, cepatlah kau tinggalkan tempat ini. Jangan berpaling ke belakang menengok ke arahku! Jika kau telah berada di luar sana, jangan kau hiraukan kabar yang tersiar tentang penghuni Istana Hantu. Kau memang berhak memasuki Istana Hantu, tapi sekali-kali jangan berniat membunuhnya! Kau dengar dan mengerti?!"
Walau belum mengerti apa maksud ucapan si kakek, tapi akhirnya Joko anggukkan kepalanya. Pada saat itulah tiba-tiba si kakek angkat kedua tangannya. Dan serta-merta ditempelkan pada punggung murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tersentak. Karena saat itu juga ada hawa panas memasuki tubuhnya melewati kedua tangan si kakek. Joko coba berseru, namun suaranya tersendat di tenggorokan. Dia hendak putar diri, tapi tubuhnya laksana dipantek tak bisa digerakkan. Hingga akhirnya dia hanya diam dengan mata terpejam merasakan rasa panas luar biasa. Sementara orang tua di belakangnya telah basah kuyup. Napasnya megap-megap dengan mata setengah terpejam setengah terbuka. Sosoknya bergetar keras.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba rasa panas lenyap seketika. Bersamaan dengan itu, kedua tangan si kakek luruh ke bawah. Joko menunggu beberapa saat. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Membuat murid Pendeta Sinting ini hendak berpaling. Namun ingat akan ucapan si orang tua, Pendekar 131 urungkan niat.
Setelah merasa yakin bahwa si kakek tak membuat gerakan apa-apa lagi, Joko perlahan-lahan bangkit. Dia kuatkan hati untuk turuti ucapan si kakek meski sebenarnya dia ingin melihat pada si orang tua. Malah ketika langkahnya sampai pintu kuil, gerakan kakinya berhenti. Dia tampak bimbang hingga untuk beberapa saat dia tetap tegak di situ seolah ingin mendengar ucapan dari si orang tua. Namun sampai kedua kakinya pegal, tidak terdengar suara maupun terdengar orang membuat gerakan.
"Heran. Apa sebenarnya yang terjadi dengan orang tua itu? Apa yang dilakukannya tadi terhadap diriku...? Dan kenapa kini dia diam, padahal sebenarnya aku menunggu kata-katanya! Apa kuturuti saja ucapannya?!"
Meski dia telah memutuskan untuk tinggalkan tempat itu, namun sekejap ia masih hendak putar tubuh. Tapi diurungkan kembali sebelum akhirnya berkelebat tinggalkan bangunan kuil dengan berbagai pertanyaan dan dugaan.
Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh murid Pendeta Sinting, sosok si kakek tersandar pada dinding. Lalu kepalanya terkulai di samping kanan dan saat itu juga hembusan napas terhenti! Kakek berpakaian putih ini telah kehabisan tenaga luar dan dalamnya karena disalurkan masuk ke dalam tubuh Pendekar 131 tanpa disadari dan diketahui oleh Pendekar 131 sendiri! Murid Pendeta Sinting juga tidak mengerti jika tenaga dalam si kakek itulah kelak yang dapat membantunya untuk memasuki Istana Hantu.
********************
BAB 6
SOSOK bayangan putih itu berkelebat laksana dikejar setan. Gerakannya yang luar biasa cepat membuat sosoknya hanya menyerupai bayang-bayang yang menyeruak di antara rimbun semak belukar dan jajaran pohon. Pada satu tempat tiba-tiba sosok bayangan itu hentikan kelebatannya. Kepalanya berputar cepat, sementara sepasang matanya liar memandang tak berkesip.
Mungkin merasa yakin tidak ada orang di sekitar tempat dia berada, orang ini luruskan kepala ke depan. Dua puluh lima tombak jauh ke depan sana, samar-samar terlihat satu bangunan tua berdiri kokoh yang pintu gerbangnya terbuka di mana pada pintu itu menggandul sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah.
"Istana Hantu..." desis orang ini yang ternyata adalah nenek mengenakan pakaian warna putih dari sutera. Rambutnya telah memutih. Di atas telinga nenek ini tampak menyelip seruas bambu kecil berwarna kuning. Namun walau orang ini telah berusia lanjut, bekas kecantikan masih membayang jelas di wajahnya.
"Menurut yang kudengar dan bekas-bekas yang ditinggalkan, penghuni Istana Hantu adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi! Tapi kenapa dia membuat ulah dengan membunuh banyak orang?!" si nenek yang bukan lain adalah Daeng Upas ibu dari Durga Ratih alias Dewi Siluman terus menggumam dengan mata masih memandang ke depan.
Tiba-tiba si nenek pentangkan sepasang matanya. Rahangnya terangkat, pelipis kanan kirinya bergerak-gerak. Tak lama kemudian, sosoknya ikut bergetar, pertanda hawa kemarahan telah membungkus dadanya.
"Datuk Besar... Aku bersumpah akan membalas kematianmu! Tengkorak Berdarah, penyebab putusnya hubungan kita harus mampus di tanganku. Aku tak peduli berapa tinggi kepandaiannya!" Daeng Upas berkata setengah berteriak. Namun sesaat kemudian bahu nenek ini tampak berguncang. Lalu terdengar dia sesunggukan.
"Datuk Besar... Sungguh aku tak menduga jika kita tak akan pernah berkumpul lagi. Padahal hal itu telah kurencanakan bertahun-tahun lamanya! Tahu begini, aku menyesal terlalu keras kepala tidak menuruti ucapanmu lalu pergi meninggalkanmu..."
Daeng Upas dongakkan kepala. Dari sudut kedua matanya telah bergulir air bening. "Durga Ratih anakku... Sungguh malang nasibmu. Selama ini kau belum kenal siapa ayahmu! Jika saja aku berkata terus terang padamu, tentu kita akan bisa berkumpul dan bersama-sama melakukan rencana besar yang telah kuatur! Tapi kini semuanya berantakan! Ini gara-gara Tengkorak Berdarah keparat! Sebelum kau mengenal ayahmu, Tengkorak Berdarah telah membuatmu kehilangan!" Daeng Upas hentikan gumamannya. Sepasang matanya berkilat memandang jauh ke Istana Hantu.
Seperti dituturkan dalam episode Gerbang Istana Hantu, Daeng Upas yang telah bertahun-tahan tak munculkan diri begitu mendapat keterangan dari anaknya Dewi Siluman serta adik kandunganya Ki Buyut Pagar Alam segera berniat turun tangan sendiri.
Apalagi setelah mendengar Kitab Serat Biru telah jatuh ketangan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dan mendengar gerbang pintu Istana Hantu terbuka. Namun Daeng Upas rupanya maklum jika apa yang akan dihadapi. Adalah urusan besar yang tidak saja membutuhkan akal panjang tapi juga memerlukan tenaga tangguh. Untuk itulah si nenek lalu mengunjungi seorang tokoh bergelar Datuk Besar.
Tujuan Daeng Upas mengunjungi Datuk Besar selain untuk minta bantuan, lebih dari itu untuk menumpahkan kerinduan yang sela-ma ini dipendam. Datuk Besar adalah bekas kekasihnya dahulu. Dari sang datuk inilah akhirnya Daeng Upas mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Durga Ratih yang pada beberapa tahun kemudian dikenal dengan julukan Dewi Siluman.
Namun Daeng Upas agaknya harus menelan kecewa, karena begitu tiba di tempat kediaman Datuk Besar, laki-laki bekas kekasihnya itu telah menemui ajal. Si nenek telah dapat menduga siapa gerangan yang membunuh sang kekasih, karena pada gubuk tempat kediaman Datuk Besar tampak sebuah tengkorak berlumur darah!
Sebenarnya meski tanpa terbunuhnya Datuk Besar, Daeng Upas telah merencanakan pergi ke Istana Hantu. Dia menduga istana itu menyimpan sesuatu. Setelah mengetahui apa yang menimpa Datuk Besar, kini kedatangannya ke Istana Hantu dengan dua tujuan. Selain membalaskan kematian sang kekasih juga meminta sesuatu yang diduga tersimpan di dalam istana yang selama ini dihuni oleh seorang misterius yang bergelar Tengkorak Berdarah.
Pada kedatangannya yang pertama, dia belum sempat memasuki Istana Hantu karena perhatiannya tercurah pada Pendekar 131 yang saat itu berusaha memasuki istana. Karena merasa curiga dengan si pemuda, akhirnya Daeng Upas hendak mengorek keterangan darinya, tapi sesosok tubuh telah mendahului menyambar tubuh si pemuda. Daeng Upas segera mengejar hingga akhirnya dia bertemu dengan Dewi Siluman dan Ki Buyut.
Namun tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba muncul seorang pemuda bertangan buntung yang membuat pengejaran Daeng Upas terha-dap Pendekar 131 terhalang. Kini setelah kehilangan jejak pemuda yang dikejar dan pemuda bertangan buntung, si nenek kembali hendak coba memasuki Istana Hantu.
Namun nenek ini cerdik. Dia sengaja tidak langsung menuju Istana Hantu tapi mengambil jarak agak jauh. Dia seakan tahu, bahwa dengan terbukanya istana, maka akan banyak tokoh yang datang. Dari sini dia dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu sang penghuni. Lebih dari itu, dengan munculnya beberapa tokoh sedikit banyak tenaga Tengkorak Berdarah akan terkuras. Hal demikianlah yang ditunggu-tunggu si nenek.
Tapi agaknya kali ini Daeng Upas harus merasa kecewa, karena meski sudah agak lama di tempatnya, dia belum melihat seorang pun yang datang. Entah karena telah memendam dendam dan menduga hari ini tidak akan ada tokoh yang datang, maka setelah berpikir lagi, akhirnya Daeng Upas bergerak melangkah. Namun dia tidak langsung lurus menuju Istana Hantu, namun sengaja bergerak berputar melewati rumpun semak belukar yang banyak di sekitar Istana Hantu.
Tapi gerakan kaki Daeng Upas tiba-tiba tertahan. Sepasang matanya garang memandang ke sela semak belukar. Kedua telinga bergerak ke atas tanda si nenek kerahkan tenaga dalam pada pendengarannya. Tiba-tiba Daeng Upas putar tubuh setengah lingkaran. Sepasang matanya liar menembusi kerapatan semak di hadapannya. Lalu mendadak dia membentak.
"Percuma kau sembunyikan diri! Keluarlah!"
Bukan sahutan ucapan yang terdengar. Bukan adanya gerakan yang terlihat. Sebaliknya bentakan Daeng Upas disambut dengan terdengarnya tawa bergelak keras. Bukan bersumber pada tempat di hadapan Daeng Upas melainkan datang dari arah belakangnya!
Daeng Upas adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi meski selama ini dia sembunyikan. Tapi kalau dugaannya meleset, maka dapat diduga jika orang yang perdengarkan tawa menyambuti bentakan si nenek adalah bukan orang sembarangan. Sambil menindih rasa terkejut, Daeng Upas cepat balikkan tubuh. Sejarak tujuh langkah di hadapannya si nenek melihat seseorang tegak dengan kacak pinggang.
Orang ini mengenakan pakaian aneh. Berupa jubah panjang hingga menutup seluruh tubuh sampai telapak kakinya. Jubah panjang itu dibikin terusan ke atas hingga menutup juga seluruh kepalanya, membuat orang ini tidak bisa dikenali laki perempuannya karena tidak satu pun dari anggota tubuhnya yang terlihat! Jubah aneh itu berwarna abu-abu dari bahan tebal dan kasar. Pada dada jubah terlihat gambar sebuah tengkorak yang meneteskan darah!
Sesaat Daeng Upas pentangkan sepasang matanya menatap tak berkesip. Dalam hati dia menduga-duga siapa adanya orang berjubah aneh itu. Tapi karena tidak dapat jawaban, akhirnya dia buka mulut membentak.
"Orang tak dikenal. Siapa kau?!"
Orang yang dibentak tertawa panjang. Meski suara tawanya pelan, namun saat itu juga Daeng Upas rasakan tanah yang dipijak terasa bergetar! "Daeng Upas! Buka matamu lebar-lebar!" seraya menjawab, orang berjubah aneh gerakkan tangan kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di dadanya.
Daeng Upas terkesiap kaget mendapati orang tahu siapa dirinya. Namun si nenek tidak mau tunjukkan wajah terkejut. Malah setelah sekilas melirik pada jubah bagian dada yang ditunjuk orang, dia alihkan pandangannya ke jurusan lain. Dia cepat membatin.
"Siapa orang ini! Dia tahu diriku! Mengenakan jubah aneh yang di dadanya bergambar tengkorak. Dari suaranya jelas jika dia seorang laki-laki. Namun suara bisa dirubah! Hem... Melihat dia menunjuk gambar, apakah dia tokoh misterius penghuni Istana Hantu? Selama ini memang tidak ada orang yang dapat mengenali tokoh misterius itu, karena setiap korbannya pasti menemui ajal!"
Habis membatin begitu, Daeng Upas buka mulut tanpa memandang. "Syukur aku telah kau kenali hingga tak usah aku perkenalkan diri! Aku ingin dengar jawaban dari mulutmu, bukan dengan isyarat tanganmu!"
Kembali orang berjubah aneh perdengarkan tawa panjang. Namun tiba-tiba diputus dan disusul dengan suara dengusan keras, membuat Daeng Upas cepat berpaling. "Daeng Upas! Apakah itu permintaan terakhirmu?!"
Daeng Upas menyeringai. Setelah berteriak dia berkata. "Itu adalah permintaan pertama. Permintaan terakhirku adalah selembar nyawamu jika kau merecoki urusanku! Kau dengar?!"
"Itu menurutmu. Bagiku, permintaanmu tadi adalah yang pertama dan yang terakhir. Maka akan kupenuhi, agar kau bisa bersanding dengan kekasihmu!"
Mendengar ucapan orang berjubah aneh, dada Daeng Upas berdebar keras. Matanya mendelik angker. Rahangnya menggegat perdengarkan suara bergemeletak. Walau hampir bisa menduga siapa adanya orang, serta dadanya dibungkus gejolak amarah, namun nenek ini tidak cepat bertindak. Selain maklum jika orang di hadapannya memiliki kepandaian yang tidak rendah, dia juga ingin meyakinkan apakah orang di hadapannya benar-benar tepat seperti dugaannya.
"Orang gila tak dikenal! Jangan banyak mulut! Lekas katakan siapa dirimu!" bentak Daeng Upas dengan suara melengking tinggi.
"Akulah Tengkorak Berdarah penghuni Istana Hantu! Dan perlu kau ketahui, barang siapa telah melihatku, maka saat itulah hari kematiannya telah datang! Tidak seorang pun lolos dari maut setelah mengenaliku!"
Meski Daeng Upas telah menduga siapa adanya orang, namun begitu orang di hadapannya sebutkan siapa dirinya, si nenek ini tampak surutkan langkah setengah tindak. Matanya makin membeliak seakan coba menembus wajah di balik pakaian aneh orang di hadapannya. Selama ini memang Daeng Upas telah menyirap kabar bahwa tokoh yang bergelar Tengkorak Berdarah tidak pernah meninggalkan orang yang jadi korbannya dalam keadaan hidup-hidup. Tidak terkecuali dengan Datuk Besar kekasih si nenek sendiri.
Berpikir sampai ke sana, tengkuk Daeng Upas menjadi dingin, apalagi selama ini diketahui para korban Tengkorak Berdarah bukanlah para tokoh yang ilmunya rendah. Namun karena hatinya telah dibungkus dengan dendam akibat tewasnya Datuk Besar, ditambah ada sesuatu yang juga berada di tangan Tengkorak Berdarah, semangat si nenek menjadi berkobar-kobar. Rasa kecutnya yang sejenak tadi menyelimuti hatinya mendadak lenyap! Berganti dengan dendam dan harapan! Daeng Upas sentakkan kepalanya ke samping. Mendadak dia tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.
"Hari ini rupanya aku beruntung. Tanpa dicari, orang yang berhutang nyawa padaku datang serahkan diri! Tapi semua urusan hutang nyawa akan kuhapus jika kau penuhi permintaanku!"
Mendengar ucapan Daeng Upas, Tengkorak Berdarah ganti tertawa. "Sebelum kau sempat menerima apa permintaanmu, nyawamu akan kulepas!"
"Hem... Begitu? Jika demikian, permintaan kuubah jadi perintah! Serahkan kitab yang ada di tanganmu padaku!" sentak Daeng Upas.
Tengkorak Berdarah sejurus terdiam. Diam-diam orang berjubah abu-abu aneh itu membatin. "Hem... Rupanya dia telah tahu perihal kitab itu! Sebenarnya manusia macam dia dibiarkan hidup terlebih dahulu. Tapi dia adalah bekas murid Kyai Panjer Wengi. Dan aku telah bersumpah untuk melenyapkan Guru serta seluruh muridnya dari permukaan bumi! Juga manusia yang bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131. Malah untuk yang terakhir ini, aku harus segera menemukannya, karena dialah kunci semua cita-citaku!"
"Daeng Upas! Kitab yang kau minta boleh kau ambil. Tapi serahkan dulu nyawamu!"
"Jika begitu perintah kuubah jadi tangan maut!" Habis berkata begitu, Daeng Upas membuat gerakan menjotos dan menendang tanpa berpindah dari tempatnya berpijak!
Desss! Desss!
Meski Daeng Upas lancarkan jotosan dan tendangan dari tempatnya berdiri, namun anehnya Tengkorak Berdarah merasakan laksana satu jotosan dan satu tendangan keras menghantam tubuhnya. Tapi meski terdengar suara benda terhantam, sosok Tengkorak Berdarah tidak bergeming sama sekali, malah saat itu juga dia tertawa berderai.
Daeng Upas menyeringai seraya pelototkan sedikit matanya. Dia jelas dapat merasakan bahwa jotosan dan tendangannya menghantam telak Tengkorak Berdarah, namun orang ini seakan tidak merasakan apa-apa! Daeng Upas lipat gandakan tenaga dalamnya. Sekonyong-konyong dia melesat ke depan sambil mengudara satu tombak. Sejarak lima langkah dari tempat Tengkorak Berdarah, si nenek membuat gerakan men-jotos dengan kedua tangannya sekaligus. Sementara kedua kakinya membuat gerakan menendang. Seperti diketahui, Daeng Upas memiliki jurus yang dapat menghantam dari jarak jauh. Jurus ini selalu digunakan si nenek untuk mengetahui tingkat ketinggian ilmu lawan.
Desss! Deesss! Deeesss! Deeesss!
Terdengar empat kali benda terhantam pukulan. Per-tanda jelas jika pukulan Daeng Upas yang dilepaskannya mengenai sasaran. Namun lagi-lagi si nenek agak te-kejut mengetahui sosok Tengkorak Berdarah hanya ber-goyang-goyang!
"Keparat!" maki Daeng Upas. Dia teruskan kelebatannya. Lalu mendorong kedua tangannya.
Satu gelombang angin menderu deras ke arah Teng-korak Berdarah. Tengkorak Berdarah hentakkan kaki kanannya. Tubuhnya melesat ke udara. Gelombang angin pukulan Daeng Upas melabrak setengah tombak di sampingnya. Begitu di atas udara, Tengkorak Berdarah kebutkan kedua tangannya kebelakang. Tubuhnya melesat ke depan memapak sosok Daeng Upas yang masih melayang di udara. Tiba-tiba sosok Tengkorak Berdarah membuat gerakan berbalik. Bersamaan dengan ini kaki kanannya yang terbungkus jubah panjangnya mencuat.
Daeng Upas tersentak melihat cepatnya gerakan orang. Hingga belum sempat dia menghadang dengan lepaskan pukulan, tendangan dari balik jubah panjang telah datang melabrak! Membuat tak ada pilihan lain bagi si nenek untuk selamatkan diri kecuali dengan angkat kedua kakinya untuk memangkas tendangan.
Bukkk! Buukkk!
Terjadilah saling tendang di udara. Sosok Daeng Upas tampak terpental lalu melayang jatuh. Namun karena nenek ini juga memiliki kepandaian tinggi, sebelum tubuhnya menghantam tanah, dia berputar balik ke atas. Kejap lain mendarat di atas tanah dengan terbungkuk-bungkuk dan wajah makin mengeriput. Sedang di seberang sana, Tengkorak Berdarah langsung mendarat dengan tubuh tegak kokoh. Dari hal ini, Daeng Upas rupanya maklum jika tenaga dalam lawan masih berada di atasnya. Namun karena dendam telah tertanam dan dia punya sesuatu yang diminta, maka dia tak perhitungkan diri.
Didahului bentakan keras, Daeng Upas membuat gerakan berputar-putar. Kejap itu juga dari tubuhnya mengepul asap yang ikut berputar seiring putaran tubuhnya. Saat si nenek berteriak kedua kalinya, asap yang berputar mengelilingi tubuhnya melesat dan kini berputar-putar keras ke arah Tengkorak Berdarah! Ibu Dewi Siluman ini telah lepaskan pukulan sakti 'Angin Keranda'!
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Kejap lain kedua tangannya disentakkan ke depan.
Wuuutt! Wuuuttt!
Terdengar deruan pelan. Hebatnya sesaat kemudian asap yang berputar-putar ganas ke arahnya tertahan. Daeng Upas tercekat. Belum sirna rasa terkejutnya, di depan sana Tengkorak Berdarah rnelangkah pelan ke depan. Namun dalam sekejap sosoknya telah sampai pada asap yang tertahan. Belum tahu apa yang akan dilakukan lawan, tiba-tiba kedua tangan Tengkorak Berdarah mendorong asap pukulan Daeng Upas.
Asap yang berputar-putar dan tertahan itu laksana disentak tangan setan. Lalu melesat kencang berputar-putar ke arah Daeng Upas! Sambil menindih rasa kejut, Daeng Upas cepat putar kembali tubuhnya. Lalu membentak garang. Saat itu juga dari tubuhnya melesat lagi asap berputar-putar.
Blaaarrr!
Tempat itu laksana dilanda gempa hebat ketika pukulan 'Angin Keranda' yang membalik bentrok dengan pukulan 'Angin Keranda' yang baru saja dilepas Daeng Upas. Sosok Daeng Upas terpental jauh menerabas semak belukar. Dari mulutya mengalir darah kehitaman pertanda si nenek telah terluka dalam. Pakaian sutera putih yang dikenakannya berubah agak kecoklatan hangus. Sementara Tengkorak Berdarah hanya tersurut dua langkah.
Daeng Upas cepat salurkan tenaga dalam. Lalu terhuyung-huyung bangkit. Saat itulah Tengkorak Berdarah perdengarkan tawa mengekeh. Namun bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak menghantam ke arah Daeng Upas. Karena belum dapat kuasai diri maka sangat sulit bagi si nenek untuk memangkas pukulan yang datang melabrak. Apalagi pukulan itu dilepas oleh tokoh yang ilmunya tidak diragukan lagi.
Namun Daeng Upas tampaknya tak mau begitu saja menyerah. Meski dengan tubuh belum tegak sepenuh-nya, kedua tangannya bergerak membuat satu pukulan. Tapi pukulan ini tampaknya tidak akan mampu membendung pukulan yang dilancarkan Tengkorak Berdarah, karena Daeng Upas hanya mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dan kalaupun pukulan itu bisa memangkas pukulan Tengkorak Berdarah namun tubuhnya akan makin kehabisan tenaga, dan itu akan membuatnya fatal.
Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba terdengar suara duuttt! Duuttt! Beberapa kali. Pada saat bersama-an, satu gelombang angin dahsyat menyeruak melabrak pukulan yang dilepas Tengkorak Berdarah yang saat itu hampir bentrok dengan pukulan yang dilepas Daeng Upas.
Buummm!
Terdengar ledakan keras saat tiga pukulan itu bertemu. Sosok Daeng Upas mencelat. Namun dia masih beruntung karena pukulan Tengkorak Berdarah masih dipangkas dahulu oleh pukulan yang tiba-tiba menyeruak. Hingga meski tubuhnya sempat mental, namun luka dalamnya tidak bertambah paruh. Sementara sosok Tengkorak Berdarah terseret lima langkah. Namun sosok orang ini tetap tegak!
BAB 7
MESKI seluruh tubuhnya tertutup jubah aneh, namun sentakan kepala serta guncangan sedikit pada bagian bahunya sudah menunjukkan jika Tengkorak Berdarah merasa terkejut. Sementara Daeng Upas yang sosoknya kembali menerabas semak belukar perlahan-lahan bergerak bangkit. Meski hanya sekilas, namun nenek ini bisa menduga jika baru saja ada yang memangkas pukulan Tengkorak Berdarah. Hingga begitu tubuhnya tegak, dia segera berpaling ke samping kanan dari mana pukulan yang selain dapat memangkas pukulan Tengko-rak Berdarah juga menyelamatkan dirinya datang menyeruak.
Sesaat Daeng Upas tampak tergagu dengan mulut terkancing dan mata mendelik tak berkesip. Dari tempatnya tegak, si nenek melihat sesosok tubuh berdiri tegak dengan kepala di bawah kaki di atas. Orang ini berwajah tampan dan usianya masih tampak muda. Pemuda ini tidak mempunyai kedua tangan dan pada mulutnya tampak sebuah karet bundar yang menyerupai dot bayi.
"Dia..." desis Daeng Upas begitu melihat siapa adanya si pemuda yang berdiri terbalik. "Heran. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apakah dia mengikutiku? Siapa sebenarnya pemuda ini? Sikapnya aneh. Tempo hari dia menyerang dan menghadang urusanku hingga berantakan tak karuan. Tapi kali ini tampaknya dia menolongku!" Diam-diam Daeng Upas menarik napas lega melihat kehadiran si pemuda yang dari sikapnya tadi jelas menyelamatkan dirinya.
Sementara Tengkorak Berdarah setelah berdiam agak lama baru berkata. "Bukankah yang di hadapanku saat ini adalah tokoh tua bergelar Dewa Orok? Aku gembira dapat berjumpa denganmu!"
Si pemuda menyedot bundaran karet di mulutnya hingga perdengarkan suara duttt! Duutttt! Beberapa kali. Lalu bahunya bergerak. Wuuttt! Sosoknya kini tegak dengan kepala di atas kaki di bawah, namun yang menjadi tumpuan tubuhnya adalah kedua ibu jari kakinya! Sepasang mata si pemuda yang tajam sejenak memandang pada Tengkorak Berdarah, lalu tersenyum. Kepalanya bergerak ke arah Daeng Upas berada. Si nenek cepat putar otak dan sekejap kemudian dia berkata.
"Sobatku. Terima kasih..."
Si pemuda kuncupkan mulut, lalu menyembur. Bundaran karet di mulutnya mencuat keluar, lalu mengapung di udara di hadapan wajahnya. Kejap lain terdengar ucapannya.
"Sobatku?!" si pemuda ulangi ucapan Daeng Upas. "Aku tidak mengenalmu, kau pun tidak tahu siapa diriku! Adalah hal aneh jika kau mengatakan aku adalah sobatku! Jangan-jangan kau punya niat di balik ucapanmu itu! Ha ha ha...!"
Paras Daeng Upas seketika berubah mengelam. Dalam hati dia memaki panjang pendek. Tapi nenek ini tidak kehilangan akal. Dia segera hendak bicara lagi, namun si pemuda telah mendahului.
"Nenek cantik! Walau kita pernah jumpa dan belum sempat berkenalan, tapi tak ada jeleknya memang saling bersahabat! Hanya saja kau jangan salah terka. Aku tadi tidak berniat menolong apalagi menyelamatkanmu. Aku hanya tidak suka melihat orang bertindak pada orang yang telah tidak berdaya!"
"Hem... Tujuannya masih sama seperti waktu jumpa tempo hari selamatkan pemuda berbaju putih..." gumam Daeng Upas.
"Dewa Orok!" Tiba-tiba terdengar bentakan Tengkorak Berdarah. "Selama ini aku tidak pernah membiarkan hidup orang yang telah melihatku! Namun hari ini kau adalah satu-satunya manusia yang beruntung, karena aku mengampuni nyawamu!"
Si pemuda yang dipanggil Dewa Orok menyedot. Bundaran karet yang mengapung meluncur dan masuk ke dalam mulutnya. Setelah perdengarkan suara duuttt! Duuttt! Beberapa kali, Dewa Orok semburkan kembali bundaran karet. Bundaran karet itu kembali mengapung di udara. Kepalanya berpaling pada Tengkorak Berdarah.
"Selama ini aku tidak pernah minta ampun apalagi urusan nyawaku. Namun hari ini aku menemukan hal aneh. Ada orang mengampuni nyawaku, padahal nyawaku tidak pernah punya urusan denganmu! Lagi-lagi aku menangkap ada sesuatu di balik nada ucapanmu! Ha ha ha...!"
Karena seluruh anggota tubuh Tengkorak Berdarah tidak kelihatan, baik Dewa Orok maupun Daeng Upas tidak bisa melihat bagaimana paras wajah Tengkorak Berdarah setelah mendengar ucapan Dewa Orok. Mereka berdua sebentar kemudian hanya mendengar Tengkorak Berdarah berujar.
"Nyawamu memang tidak punya urusan denganku, tapi setiap orang yang melihatku berarti nyawanya ditakdirkan untuk tercabut di tanganku! Dan kau jangan merasa senang dahulu, dalam sesaat. Aku bisa merubah niatku!"
"Kalau kau bisa berkata begitu, apa sulitnya bagiku membuat aturan bahwa tidak semua yang kulihat bisa mencabut nyawaku termasuk kau sendiri?!"
"Dewa Orok!" suara Tengkorak Berdarah makin tinggi pertanda kemarahannya sudah memuncak. "Rupanya kau ingin niatku berubah!"
"Aku tak pernah ingin merubah niat siapa saja!"
Tengkorak Berdarah angkat kedua tangannya. Wajah Dewa Orok tampak berubah. Mulutnya mengempis lalu menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung di udara meluncur dan masuk kedalam mulutnya.
"Kau manusia tak mau diuntung! Dan ternyata takdir kematianmu juga ada di tanganku!" sentak Tengkorak Berdarah.
Sepasang mata Dewa Orok melotot besar. Dia segera tarik tubuhnya ke belakang. Kedua orang ini tampaknya sudah siap untuk saling lepaskan pukulan. Saat itulah tiba-tiba terdengar orang bergumam tapi tidak jelas nada ucapannya. Baik Tengkorak Berdarah maupun Dewa Orok urungkan niat. Keduanya sama palingkan kepala kesamping kanan arah mana tampak Istana Hantu. Daeng Upas yang masih tegak dan coba kembalikan tenaga dalamnya juga segera berpaling.
Dari tempat masing-masing orang dapat melihat sesosok tubuh melangkah pelan dari pelataran Istana Hantu menuju ke arah mereka. Sepasang mata Dewa Orok dan Daeng Upas mementang tak berkesip. Ternyata sosok yang sedang melangkah itu menggendong seseorang di punggungnya. Orang yang menggendong mengenakan pakaian warna gelap. Sementara orang yang digendong mengenakan pakaian warna putih besar dan panjang hingga pakaian bawahnya tampak menyapu tanah sampai setengah tombak! Anehnya, orang yang menggendong itu melangkah zig-zag ke kanan ke kiri seolah ingin menunjukkan sapuan pakaian orang yang digendong.
Untuk beberapa lama tidak ada orang yang buka mulut. Semua perhatian laksana tertuju pada orang menggendong yang melangkah zig-zag. Kira-kira tujuh tombak di hadapan Dewa Orok, dan sebelum Dewa Orok dapat melihat jelas siapa adanya orang yang mendatangi, tiba-tiba orang di depan sana melangkah ke arah kanan lalu membuat gerakan cepat. Dewa Orok dan Daeng Upas terkesima hampir tidak percaya. Orang yang menggendong tiba-tiba lenyap laksana ditelan bumi! Dewa Orok berpaling ke kiri di mana Tengkorak Berdarah tadi berada. Pemuda bertangan buntung ini terkejut. Tengkorak Berdarah sudah tidak kelihatan lagi!
"Heran. Ke mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang begitu melihat orang tadi?" membatin Dewa Orok. Lalu kepalanya diputar. Namun sosok Tengkorak Berdarah memang tidak ditemukan.
Sementara Daeng Upas begitu mendapati orang yang menggendong lenyap, cepat pula berpaling ke arah Dewa Orok dan Tengkorak Berdarah. Dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan kedua orang itu. Tapi dia terperangah kaget tatkala matanya tidak lagi melihat sosok Tengkorak Berdarah. Mungkin masih khawatir nenek ini seperti halnya Dewa Orok tadi, putar kepalanya berkeliling dengan mata menembusi semak belukar. Tapi tetap saja dia tak melihat Tengkorak Berdarah. Perlahan-lahan Daeng Upas melangkah ke arah Dewa Orok.
"Hari ini aku menemukan satu keanehan..." kata Daeng Upas mulai membuka pembicaraan.
Dewa Orok hanya berpaling tanpa menyahut. Sebaliknya menyedot-nyedot karet bundar di mulutnya hingga perdengarkan suara duuuttt! Duuuttt!
"Yang kudengar selama ini Tengkorak Berdarah adalah manusia misterius berilmu sangat tinggi. Para korbannya adalah orang-orang yang pernah menyandang nama besar dalam rimba persilatan. Tapi kenapa tiba-tiba dia seperti takut melihat orang yang menggendong tadi? Buktinya dia segera menghilang...."
Dewa Orok semburkan bundaran karet di mulutnya hingga mencuat dan mengapung di hadapannya. Lalu berkata. "Hem... Kau melihat itu satu keanehan, tapi aku mengatakan itu adalah satu hal biasa. Setinggi apapun ilmu yang dimiliki seseorang, pasti ada orang lain yang melebihi. Mungkin hal itu yang dirasakan orang berjubah yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah tadi. Tapi lebih daripada itu, aku menangkap sesuatu yang lain dengan kepergiannya yang secara diam-diam!"
"Begitu? Apa sesuatu yang lain itu?!" tanya Daeng Upas seraya memperhatikan baik-baik sosok Dewa Orok yang tak punya tangan itu.
Dewa Orok geleng-gelengkan kepala. "Tidak baik membicarakan orang! Apalagi hal itu masih berupa dugaan!"
Daeng Upas tersenyum. Memperhatikan sesaat pada bundaran karet yang mengapung di hadapan Dewa Orok lalu berkata. "Tengkorak Berdarah mengenalimu. Apakah kau mengenalinya juga? Siapa dia sebenarnya?!"
"Dia mengenaliku, tapi sulit rasanya menebak siapa dia sebenarnya! Hanya aku maklum jika aku masih tidak apa-apanya jika dibandingkan dia! Kau tahu, tadi aku sudah panas dingin! Seandainya tidak ada orang bergendongan tadi, entah apa yang akan kualami!"
"Tapi kau telah berhasil menahan pukulan Tengkorak Berdarah, hingga aku tidak menemui ajal! Sekali lagi kuucapkan terima kasih..."
Dewa Orok tertawa. "Ajal datangnya tidak bisa ditentukan, Nek! Aku tidak merasa menolongmu, hanya mungkin hari ini bukanlah saat ajalmu! Kalau manusia mau memahami kemisteriusan ajal, tentu segala urusan akan diakhiri dengan saling maaf. Tidak ada lagi saling dendam dan silang sengketa. Tidak ada lagi ketamakan yang menginginkan milik orang lain yang selama ini menjadi biang keladi terjadinya pembunuhan dan permusuhan! Namun bukanlah dunia jika tidak ada hal-hal seperti itu. Karena dunia diciptakan untuk menunjukkan hal baik dan buruk!"
Lama Daeng Upas terdiam seolah menyimak ucapan Dewa Orok. "Orang ini ucapannya seperti menyinggung diriku! Jangan-jangan dia tahu apa rencanaku..." membatin si nenek sambil menghela napas panjang dan dalam.
"Kau menyimpan sesuatu? Atau ada yang hendak kau katakan?!" tanya Dewa Orok melihat perubahan pada wajah si nenek, membuat Daeng Upas tergagap. Setelah dapat menguasai perasaan, akhirnya Daeng Upas berkata.
"Aku adalah murid seorang tokoh besar pada zamannya. Aku sangat bahagia waktu itu. Karena sebagai murid tunggal, guruku sangat menyayangiku. Hidupku terasa lebih bahagia lagi tatkala aku berkenalan dengan seorang pemuda. Namun kebahagiaan itu ternyata tidak berumur panjang. Hal itu bermula dari tindakan guruku yang mengangkat lima anak muda menjadi murid-muridnya. Sedikit demi sedikit perhatian Guru terhadapku berkurang. Celakanya lagi, mereka kasak-kusuk membicarakan pemuda yang kucintai. Dan tanpa sepengetahuanku, mereka ada yang menebar fitnah tentang hubunganku dengan pemuda yang kucintai. Guru rupanya termakan hasutan kelima saudara seperguruanku itu. Hingga pada akhirnya aku harus meninggalkan perguruan dengan membawa kehancuran. Aku sebenarnya tidak sakit hati difitnah dan diperlakukan demikian. Yang membuat hatiku hancur, ternyata Guru memberikan apa yang pernah dijanjikan padaku pada kelima saudara seperguruanku!"
Beberapa lama Daeng Upas hentikan keterangannya, lalu setelah mengatasi gejolak, dia melanjutkan. Sementara Dewa Orok tampak sedang mendengarkan dengan seksama.
"Setelah meninggalkan perguruan, aku terus melanjutkan hubungan dengan pemuda yang kucintai itu. Namun dalam perjalanan selanjutnya, ada sesuatu hal yang membuat kami berdua harus berpisah. Menginjak usia senja, aku sadar jika aku butuh seorang pendamping, lebih dari itu keputusan berpisah dahulu sebenarnya hanya didasari perasaan marah dan cemburu, dan lebih dari semuanya, sebenarnya aku masih mencintainya. Namun lagi-lagi aku harus menelan kecewa, karena orang yang kucintai ternyata telah tewas dibunuh seseorang!"
Daeng Upas hentikan ceritanya. Lalu bertanya. "Kalau sekarang aku memendam sakit hati pada kelima saudara seperguruanku juga pada guruku, apakah aku salah? Kalau aku memendam perasaan dendam pada orang yang membunuh orang yang kucintai, apakah aku keliru?!"
"Nek... Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Hanya kau sendiri yang dapat menilai. Karena kaulah yang mengalami! Hanya kalau menurutku, kenapa hal begitu tidak dilupakan saja? Itu mungkin sudah suratan yang harus kau jalani!"
Daeng Upas sedikit beliakkan sepasang matanya. "Terlalu gampang jika segala urusan harus dilupakan begitu saja! Karena orang akan bertindak semakin semaunya sendiri!"
"Memang sulit melupakan hal begitu, tapi kau akan mengalami kesulitan lagi jika mengikuti perasaan! Sebab perasaan kadang-kadang melebihi dari kenyataan! Apalagi jika itu perasaan seorang perempuan sepertimu!"
Daeng Upas tersenyum. "Kau rupanya pandai juga menyelami perasaan seprang perempuan. Apakah kau pernah punya seorang istri? Atau kekasih barangkali?"
Dewa Orok tertawa bergelak. "Masih banyak orang yang tubuhnya sempurna. Jadi mungkin hanya orang tak waras saja yang mau menjadi kekasih apalagi istriku... Tapi aku tidak sakit hati, karena memang ini adalah suratan takdir yang mau tak mau harus kujalani! Dengan demikian, aku tak punya beban dalam menjalani hidup..."
"Tapi bebanmu lain dengan bebanku..." sahut Daeng Upas.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Lain memang betul. Tapi kurasa berat bebanku daripada bebanmu. Bebanmu dapat disimpan dan tidak diketahui orang lain. Tapi setiap orang yang melihatku sudah bisa menebak beban yang kupikul!"
"Hem… Orang ini pandai bicara. Ilmunya juga tinggi… Tentu dia punya tujuan dengan kemunculannya di rimba persilatan. Apalagi saat ini orang digemparkan dengan terbukanya Istana Hantu...." Daeng Upas menduga-duga dalam hati lalu berkata.
"Tengkorak Berdarah tadi kudengar menyebutmu tokoh tua. Dia juga sepertinya enggan berhadapan denganmu jika kau tidak berkata keras. Kalau boleh tahu siapa kau sebenarnya? Dan kemunculanmu di saat rimba persilatan diselimuti kegegeran begini rupa pasti ada maksud tertentu..."
"Dia menyebutku begitu mungkin karena matanya tertutup pakaiannya yang aneh itu. Soal keengganannya terhadapku, kurasa hanya karena kasihan melihat keadaanku yang begini! Pertanyaanmu selanjutnya aku tidak bisa menjawab..."
Habis berkata begitu, Dewa Orok kuncupkan mulut menyedot. Bundaran karet yang sedari tadi mengapung di hadapannya meluncur dan masuk ke dalam mulutnya. Kejap lain tiba-tiba Dewa Orok berpaling ke kanan. Bersamaan itu semak belukar kemana Dewa Orok kini menghadap tampak bergoyang-goyang.
"Ada orang mencuri dengar pembicaraan kita!" desis Daeng Upas yang secara tak sadar mengikuti gerak Dewa Orok hingga mengetahui gerakan pada semak belukar.
"Ah. Kita bicara bukan hal penting. Biar didengar orang banyak pun tak apa-apa," kata Dewa Orok lalu arahkan lagi pandangannya ke depan.
"Tapi tak enak hatiku sebelum kutahu siapa adanya orang yang berani lancang mencuri dengar pembicaraan orang!" gumam Daeng Upas lalu berkelebat ke arah semak belukar yang sesaat tadi tampak bergoyang-goyang.
Namun gerakan Daeng Upas terlambat. Dia hanya sempat melihat berkelebatnya dua sosok bayangan. Begitu cepatnya kelebatan dua bayangan tadi, hingga si nenek tak dapat menentukan laki perempuannya, malah warna pakaian yang dikenakan dua bayangan itu Daeng Upas tidak dapat mengenalinya! Dengan menggumam tak jelas, Daeng Upas balikkan tubuh. Dia tersentak kaget. Sosok Dewa Orok telah lenyap dari tempatnya tadi berada.
"Tempat ini rasanya sudah tidak aman lagi! Aku harus cari tempat aman untuk pulihkan cedera dan memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya!"
Daeng Upas memandang berkeliling sejenak, lalu arahkan pandangannya pada Istana Hantu. Sesaat kemudian dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
********************
BAB 8
LAKSANA dikejar setan gentayangan, dua bayangan itu berkelebat cepat hingga sosoknya hanya bagai bayang-bayang samar. Setelah rangasan semak belukar dan jajaran pohon terlewati, tepatnya pada satu dataran berbatu dua bayangan itu sama memperlambat larinya. Pada sebuah gugusan batu agak besar baru keduanya hentikan langkah.
Sosok yang depan ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna hijau. Rambutnya panjang sepinggang diikat dengan pita kembang-kembang. Sepasang matanya bundar ditingkah bulu mata panjang dan lentik. Gadis ini punya lesung pipit di pipi kiri kanannya.
Sementara sosok di belakang gadis berbaju hijau ini adalah seorang perempuan yang tidak bisa dikenali usia maupun paras wajah aslinya. Karena perempuan ini mengenakan bedak tebal. Rambutnya yang digelung ke belakang diberi pewarna hitam berkilat-kilat. Kelopak kedua matanya dipoles warna hijau dan merah. Sementara bibirnya diberi warna merah menyala. Perempuan ini mengenakan pakaian panjang warna coklat.
"Hampir saja kita celaka..." gumam perempuan berbedak tebal sambil memandang ke arah gadis berbaju hijau yang kini duduk bersandar pada lamping batu. Gadis ini tidak menyahut ucapan perempuan berbedak tebal. Malah sepasang matanya yang bundar meman-dang jauh dengan pandangan kosong.
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala. "Apa yang kukhawatirkan jangan-jangan terjadi... Sejak kepergiannya dia tampak murung dan sering menyendiri. Hem... Seharusnya aku tidak melibatkan dia dalam urusan ini. Tapi apa hendak dikata. Semuanya telah telanjur. Dan perasaan cinta kadangkala datangnya tidak terduga. Ah..." diam-diam si perempuan berbedak tebal membatin dalam hati. Setelah menarik napas dalam akhirnya dia berkata.
"Puspa Ratri... Akhir-akhir ini kulihat kau begitu berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"
Untuk sesaat gadis berbaju hijau yang dipanggil Puspa Ratri tetap memandang jauh ke depan. Namun tak lama kemudian berpaling pada perempuan berbedak tebal. Menatapnya sesaat lalu gelengkan kepala sambil tersenyum. Tapi perempuan berbedak tebal tahu, jika senyum si gadis begitu dipaksakan.
"Puspa Ratri... Aku dulu pernah muda sepertimu. Kau tak usah sembunyikan apa yang kau rasakan mengganjal di hatimu padaku... Katakanlah anakku..."
Ucapan terakhir si perempuan berbedak tebal rupanya membuat Puspa Ratri tersentuh hatinya. Untuk beberapa lama dia pandangi orang yang masih tegak di hadapannya. Mulutnya yang sedari tadi terkancing bergerak membuka.
"Ibu... Selama ini aku selalu berterus terang padamu. Hanya Ibu sendirilah yang selama ini sembunyikan sesuatu padaku..."
Perempuan berbedak tebal menarik napas panjang. Dalam hati dia membatin. "Aku tahu Sebenarnya bukan hal itu yang mengganjal di hatimu. Tapi memang kuakui, selama ini aku tidak berterus terang padamu jika kau menanyakan tentang siapa ayahmu... Hem... Kurasa memang sudah saatnya kau mengetahuinya!"
"Puspa Ratri... Kini kau sudah dewasa. Sudah saatnya kau mengetahui apa yang selama ini ibu simpan rapat-rapat..."
"Ibu... Aku tidak memaksa. Kalau Ibu masih merasa keberatan, jangan Ibu paksakan diri. Apalagi jika hal itu akan makin menambah beban. Aku sudah pasrah dengan semua ini. Ini mungkin sudah suratan yang ditulis untukku..."
Perempuan berbedak tebal sunggingkan senyum sambil gelengkan kepala. "Anakku... Aku tidak memaksakan diri. Hai ini memang harus kau ketahui!" Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal arahkan pandangannya jauh ke depan. Sepasang matanya mengerjap beberapa kali, lalu terdengar dia berkata.
"Anakku... Sewaktu aku sebaya usia denganmu, aku berkenalan dengan seorang pemuda bernama Panjer Wengi. Entah karena apa, aku tertarik padanya. Dan rupanya aku tidak bertepuk sebelah tangan. Panjer Wengi ternyata juga tertarik padaku. Kami berdua akhirnya memadu kasih. Tapi ketentuan rupanya belum berpihak padaku. Semua itu berawal dari ricuhnya keadaan rimba persilatan. Sebagai orang muda, Panjer Wengi yang begitu gandrung dengan ilmu persilatan berniat menuntut ilmu. Tujuannya memang baik. Karena dia bilang rimba persilatan tidak akan pernah selesai dengan persoalan. Tanpa bekal ilmu, ketenangan hidup tidak akan pernah dikenyam, karena orang akan diperlakukan dengan sewenang-wenang. Aku sebenarnya berat melepas kepergiannya, namun karena tekadnya begitu menggebu lagi pula apa yang menjadi tujuannya adalah demi ketenangan hidup di kelak kemudian hari, akhirnya dengan berat hati aku merelakan dia pergi menuntut ilmu..."
Perempuan berbedak tebal hentikan keterangannya sejenak. Sepasang matanya terus memandang jauh ke depan seolah mengenangkan kembali saat-saat yang telah terlewati. Tak lama kemudian dia melanjutkan.
"Beberapa tahun berlalu. Aku tetap menunggunya dengan sabar dan tabah. Namun penantianku ternyata tinggal penantian. Panjer Wengi tidak ada kabar beritanya. Tapi aku coba menahan diri. Aku tetap bersabar menunggu. Namun kesabaran ternyata ada batasnya. Apalagi sebagai seorang perempuan, aku punya firasat tidak baik. Panjer Wengi telah melupakan janjinya padaku. Firasatku tidak meleset. Dari beberapa orang yang kutemui aku mendapat berita bahwa Panjer Wengi telah menjalin hubungan dengan seorang gadis anak gurunya. Aku tidak percaya begitu saja pada kabar yang sampai sebelum aku melihatnya sendiri. Aku lantas melakukan perjalanan. Pada satu kesempatan, apa yang selama ini kudengar benar-benar terbukti. Kulihat Panjer Wengi bersama seorang gadis cantik. Betapa hancur hatiku saat itu. Kesabaran dan penantianku selama ini mendapat balasan yang tidak kuduga sebelumnya. Dengan membawa luka hati, akhirnya aku pergi mengembara. Aku pada akhirnya bertemu dengan seorang tokoh sakti di lereng Gunung Arjuna. Beberapa tahun lamanya aku menimba ilmu sambil melupakan apa yang pernah kualami. Tapi cinta adalah perasaan. Semakin aku berusaha untuk melupakan semakin deras perasaan itu menggoda. Dan terus terang, meski Panjer Wengi telah melupakan aku, tapi aku tidak bisa melupakannya. Bahkan karena tulusnya rasa kasih sayangku padanya, aku memaafkan apa yang dilakukannya!"
"Ibu..."
Perempuan berbedak tebal gelengkan kepala memberi isyarat agar Puspa Ratri tidak memotong keterangannya. Setelah memberi isyarat, si perempuan teruskan penuturannya.
"Setelah beberapa tahun menetap di lereng Gunung Arjuna, akhirnya aku diizinkan untuk turun gunung. Tentu saja aku saat itu telah berubah. Selain usiaku bertambah, aku juga membekal ilmu silat. Kalau ada hal yang tidak berubah, itu adalah rasa kasih sayangku pada Panjer Wengi! Aku sendiri tak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Padahal aku telah berusaha membencinya! Anehnya semakin aku berusaha membencinya, makin aku ingin bertemu dengannya. Hal itulah akhirnya yang mendorongku untuk mencari tahu keberadaan Panjer Wengi. Ternyata, Panjer Wengi telah menjadi seorang tokoh yang disegani. Malah kudengar ketika itu dia telah mengambil murid seorang perempuan. Sementara dia sendiri berbahagia dengan gadis pilihannya dahulu, yaitu anak gadis dari gurunya. Aku merasa bahagia mengetahui orang yang kukasihi hidup tenteram bahagia. Meski kadang-kadang aku merasa kecewa. Dan karena kasih sayangku hanya untuk Panjer Wengi, hatiku tertutup untuk orang lain. Hingga sampai menginjak usia yang seharusnya sudah memiliki seorang anak, aku tetap menutup diri dari laki-laki..."
"Ibu. Lalu aku ini...?!" sela Puspa Ratri yang rupanya tidak sabar.
"Tahun terus berganti. Panjer Wengi namanya makin menjulang dalam kancah dunia persilatan. Dan kudengar dia telah pula mengangkat lima anak muda sebagai murid-muridnya! Namun ada satu yang kiranya belum membuat tenteram kehidupan Panjer Wengi. Dia belum mempunyai seorang anak meski usianya telah menginjak agak tua. Hal itu kuketahui setelah aku sempat bertemu dengannya. Malah dalam pertemuan itu, dia mengajakku untuk berbaik-baikan lagi. Dia meminta maaf atas segala yang telah terjadi. Kukatakan padanya bahwa aku lelah memaafkan sebelum dia minta maaf! Dan aku menolak ajakannya, karena aku tidak mau dikatakan merebut suami orang. Aku tidak mau menyakiti hati kaumku. Tapi sejak pertemuan itu, aku jadi sering mengadakan pertemuan dengannya. Namun aku bina menjaga diri meski dia selalu memaksa mengajak berbaik-baikan. Pada satu kesempatan, ia mengatakan padaku bahwa istrinya mengandung. Meski kebenarnya itu kabar gembira, entah kenapa aku merasakan hal itu sebagai sesuatu yang menyakitkan! Sejak saat itu pula aku menghindar..."
"Ibu, kau belum jawab pertanyaanku tadi!" kata Puspa Ratri karena ibunya belum juga sebut-sebut siapa diri dan ayahnya.
"Anakku. Jangan sela ceritaku. Nanti kau akan tahu..." ujar perempuan berbedak tebal pelan. "Satu setengah tahun kemudian, tanpa sengaja, aku jumpa lagi dengan Panjer Wengi yang katanya selama ini selalu mencariku. Dalam kesempatan itu pula, Panjer Wengi menceritakan sebenarnya yang terjadi. Ternyata perjodohannya dengan istrinya hanya karena balas budi dan juga karena jebakan istrinya sendiri. Tidak ada setitik pun rasa cinta di dalamnya. Dia mengatakan masih tetap mencintaiku! Aku begitu gembira men-dengar itu. Namun apalah artinya jika hal itu sudah terlambat. Apalagi dia mengatakan telah mempunyai seorang anak perempuan! Namun entah karena apa, sejak saat itu aku selalu merindukannya. Dan aku selalu menerima kehadirannya namun sejauh itu aku tetap menjaga jarak. Hingga pada suatu hari dia mengatakan jika istrinya pergi tanpa berita dengan meninggalkan anaknya. Tapi yang membuatku terkejut, ternyata selama ini istrinya mengetahui jika Panjer Wengi sering mendatangiku! Hal itulah yang membuat istrinya pergi. Aku merasa berdosa. Hingga secara diam-diam aku pergi. Tapi ternyata Panjer Wengi selalu mencariku. Dan pada akhirnya dia mendapatkan diriku. Dia mengajakku hidup bersama sebagai suami-istri. Karena istrinya tidak ada kabar beritanya. Aku mula-mula selalu menolak. Namun pada akhirnya hatiku luluh juga..."
Kembali perempuan berbedak tebal hentikan cerita-nya, setelah menarik napas panjang dia melanjutkan bertutur.
"Akhirnya aku hidup sebagai suami-istri dengan Panjer Wengi. Dan pada beberapa purnama kemudian aku mengandung. Saat itulah aku merasakan kebaha-giaan yang tiada tara meski hal itu datangnya sangat terlambat. Namun lagi-lagi tampaknya aku harus menerima takdir. Baru beberapa tahun aku mengalami masa bahagia, tiba-tiba istri Panjer Wengi yang dahulu datang lagi. Kedatangannya kali ini selain menyingkirkan aku dari sisi orang yang kukasihi dan telah memberiku seorang buah hati juga meminta sesuatu pada Panjer Wengi. Baru saat itu aku tahu jika Panjer Wengi menyimpan satu rahasia besar. Namun tidak satu pun yang tahu, rahasia apa yang ada di tangannya. Aku secara diam-diam pergi. Namun aku terus pasang telinga. Hingga sampai pada suatu hari, kudengar Panjer Wengi lenyap tanpa berita! Bersamaan dengan itu rimba persilatan digemparkan dengan terjadinya pembunuhan beruntun yang menurut kabar didalangi oleh seorang tokoh misterius yang bermukim di sebuah istana bekas kerajaan. Karena setiap ada pembunuhan si pembunuh meninggalkan sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah, orang dunia persilatan menjuluki tokoh misterius itu dengan Tengkorak Berdarah. Tapi dalam beberapa purnama kemudian, pembunuhan itu terhenti. Namun Panjer Wengi belum juga ada beritanya. Malah sebagian orang menduga Panjer Wengi telah menjadi korban Tengkorak Berdarah. Dan hingga sampai saat ini, Panjer Wengi tidak ketahuan kabar beritanya. Mungkin benar dugaan orang-orang itu, mungkin juga salah!"
"Ibu belum menceritakan anak perempuan Panjer Wengi dari istri pertamanya..." kata Puspa Ratri setelah agak lama terdiam.
"Anak perempuan itu lenyap juga bersama Panjer Wengi!"
"Ibu sudah memperkirakan berapa kira-kira usia dia?"
"Dia hanya terpaut kira-kira tiga tahun denganmu!
Namun karena aku pernah mengasuhnya, maka jika saja aku sekarang bertemu dengannya jelas aku segera dapat mengenalinya! Sebab dia mempunyai ciri tertentu..."
"Apakah Ibu selama ini tidak berusaha mencari Panjer Wengi?"
"Dia adalah ayahmu, Puspa Ratri. Sebagai seorang istri, apalagi aku telah punya anak, aku tidak tinggal diam. Tapi hingga saat ini aku belum berhasil menemukannya! Aku hanya berharap, jika saja memang ayahmu telah meninggal, maka tunjukkan dimana kuburnya! Aku ingin menunjukkan padamu meski itu hanya tanah kuburannya!"
"Kalau dia seorang ayah yang baik dan bertanggung jawab, seharusnya bukan Ibu yang mencari. Justru dia yang harus mencari kita!"
Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Keadaan yang mengharuskan demikian, Anakku. Aku percaya, ayahmu adalah orang baik dan bertanggung jawab. Hanya mungkin ada sesuatu yang melebihi dari itu hingga dia seakan melupakan tanggung jawabnya!"
"Jadi apakah anak dan istri harus dinomor duakan hanya karena keadaan?!"
"Ayahmu adalah seorang tokoh rimba persilatan, Anakku. Dalam arena persilatan, kedamaian dan ketenteraman orang banyak lebih diutamakan daripada segalanya! Jadi kau harus mengerti dan tidak salah sangka!"
"Tapi apa buktinya? Hingga kini rimba persilatan tidak pernah tenteram. Apalagi dengan terjadinya pembunuh-an yang akhir-akhir ini merajalela. Dan nyatanya tokoh yang berjuluk Tengkorak Berdarah masih juga bercokol!"
"Menunggu hasil dibutuhkan waktu yang lama, Anakku! Dan tak jarang dalam masa penungguan itu dibutuhkan pengorbanan dan kesabaran!"
"Lalu murid-murid Ayah...?"
"Kelimanya kini telah menjadi tokoh-tokoh rimba persilatan. Hanya murid perempuan yang pertama yang jarang kudengar beritanya. Tapi..."
"Ibu!" tukas Puspa Ratri. "Dari percakapan nenek berbaju putih tadi dengan pemuda bertangan buntung rasa-rasanya..."
"Puspa Ratri..." Kini perempuan berbedak tebal yang memotong ucapan Puspa Ratri. "Bukan rasa-rasanya. Tapi aku menduga dialah murid ayahmu yang pertama!"
"Dia menaruh dendam pada ayah juga kelima saudara seperguruannya! Apakah tidak..."
"Urusan itu biarlah menjadi urusannya, Anakku! Kau tidak usah ikut campur tangan!" sela perempuan berbedak sebelum Puspa Ratri selesaikan ucapannya.
"Sebenarnya rahasia apa yang ada di tangan Ayah?" gumam Puspa Ratri hampir tidak kedengaran.
"Itulah yang sampai saat ini menjadi tanda tanya! Tapi aku punya dugaan, ayahmu masih ada!"
"Dari mana Ibu bisa mengatakan demikian?!"
"Firasat, Anakku! Dan seringkali firasat seorang istri tidak jauh meleset!"
Puspa Ratri menghela napas panjang. Pandangannya kembali jauh ke depan.
"Masih ada yang mengganjal di hatimu, Anakku?!"
Tanpa berpaling, Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Tapi perempuan berbedak tebal tersenyum dan berujar. "Kau jangan membohongi ibumu, Anakku! Aku tahu, kau menyimpan sesuatu! Katakanlah!"
Puspa Ratri tidak buka mulut. Perempuan berbedak tebal batuk-batuk kecil. "Puspa Ratri... Kau memikirkan pemuda yang kau tolong itu?"
BAB 9
PUSPA Ratri berpaling dengan paras berubah. Terlebih ketika dilihatnya perempuan berbedak tebal sungging-kan senyum. Meski hanya seulas senyum, namun senyum itu seolah dapat menjawab apa yang kini ada dalam hatinya."Cinta datangnya tidak terduga, Anakku! Tapi sebaiknya kau mengaca pada perjalanan hidup ibumu ini!"
"Maksud Ibu...?!" tanya Puspa Ratri dengan suara agak tersendat.
"Bermodal cinta tulus saja tidak cukup! Dibutuhkan juga keberanian dan keteguhan hati! Karena persaingan dalam cinta pasti akan ada!"
"Aku tidak mengerti..." ujar Puspa Ratri.
"Pemuda itu kulihat memang seorang yang baik. Selain juga berkepandaian tinggi. Tak heran jika nantinya banyak gadis yang coba merebut hatinya! Di sinilah persaingan itu akan muncul! Jika hanya bermodal cinta tulus, kau hanya akan mengalami nasib sama denganku! Menunggu dan menunggu! Kalaupun penantian itu berakhir, datangnya sudah sangat terlambat! Dan hanya datang sekejap! Lebihnya adalah perasaan kecewa!"
Puspa Ratri mengeluh dalam hati. "Ibu tampaknya sudah menduga apa yang kurasakan pada pemuda itu. Hem... Memang sebaiknya aku terus terang..." Memikir begitu, akhirnya gadis berbaju hijau ini berkata. "Sekarang apa yang harus kulakukan...?!"
"Aku tanya dahulu. Apakah kau jatuh hati pada nya?!" perempuan berbedak tebal balik bertanya.
Untuk beberapa saat Puspa Ratri tidak menjawab. Namun sesaat kemudian ia berkata. "Aku masih belum mengenalnya dengan baik. Aku juga belum sempat bicara banyak dengannya!"
"Perasaan cinta tidak membutuhkan waktu panjang juga kata-kata, Anakku! Dari sikap dan tindakan, orang sudah dapat ditebak!"
Wajah Puspa Ratri makin memerah. Dan sebelum gadis ini buka mulut, perempuan berbedak tebal telah berkata lagi. "Dari sikapmu, Anakku. Aku menduga kau jatuh hati pada pemuda itu! Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa mencegah. Aku hanya bisa menyarankan! Kalau kau benar-benar siap, teruskanlah! Tapi jika kau tidak siap, lupakan dia!"
"Ibu..." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Puspa Ratri. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapannya.
Perempuan berbedak tebal memandang lekat-lekat. "Kau sudah dewasa. Dan perasaan cinta adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kodrat anak manusia. Aku tidak akan mencampuri urusan perasaanmu. Hanya kau ingatlah pesanku tadi!"
Beberapa saat kemudian ibu dan anak ini sama-sama diam. Mereka dibuncah dengan pikiran masing-masing.
"Ibu... Boleh aku tanya sesuatu?" kata Puspa Ratri buka pembicaraan lagi. Perempuan berbedak tebal tersenyum sambil anggukkan kepala.
"Kau akhir-akhir ini selalu berada di sekitar Istana Hantu. Apa sebenarnya yang kau cari di sana? Dan mengapa Ibu menolong pemuda itu?!"
Perempuan berbedak tebal kali ini tidak segera menjawab. Dia mendongok. Diam-diam dia berkata sendiri dalam hati. "Ah. Bagaimana ini? Apa harus kukatakan terus terang? Meski aku hampir pasti, namun hal itu masih membutuhkan pembuktian..."
"Anakku. Meski aku tidak punya ilmu tinggi, namun setidaknya aku adalah orang persilatan. Dan saat ini, rimba persilatan sedang digemparkan lagi dengan munculnya sang penghuni Istana Hantu. Aku tidak akan tinggal diam jika memang penghuni Istana Hantu adalah biang terjadinya kegemparan akhir-akhir ini!"
Setelah hentikan ucapannya sejenak, perempuan berbedak tebal menyambung. "Tentang kenapa aku menolong pemuda itu, aku sendiri tak tahu mengapa! Mungkin kasihan, mungkin juga hanya karena sudah menjadi kewajiban saling tolong antar sesama orang..."
"Hem... Lalu ke mana dia setelah Ibu obati?!"
"Anakku..." kata perempuan berbedak tebal dalam hati. "Kuharap kau nantinya mengerti jika untuk urusan misteri Istana Hantu aku masih belum berterus terang padamu! Aku takut kau akan ikut campur dalam urusan ini. Lagi pula..."
Perempuan berbedak tebal tidak teruskan kata hatinya karena saat itu Puspa Ratri telah kembali berucap. "Kudengar Ibu menggumam sendiri..."
Perempuan berbedak tebal tampak terkejut, karena memang tanpa disadari dia seperti bicara sendiri. "Puspa Ratri... Pemuda itu tidak mengatakan kemana dia hendak pergi. Namun kuharap kau tidak kecewa. Suatu saat kalau ditentukan, tentu kau akan jumpa dengannya. Hanya saja..."
"Kenapa Ibu tidak teruskan?! Hanya apa...?!"
"Lebih baik kau lupakan dia!"
Puspa Ratri seakan tersentak. Seraya bergerak bangkit dia berkata. "Ibu. Ada apa ini sebenarnya? Tadi ucapan Ibu sepertinya memberiku kebebasan. Tapi ujungnya Ibu mengatakan aku harus melupakannya!"
"Puspa Ratri... Aku khawatir!"
"Khawatir apa...?!"
Perempuan berbedak tebal tidak menjawab. Sebaliknya dia berpaling ke samping kanan. "Ada orang berlari menuju arah kita! Kita harus sembunyi!"
"Ibu! Kita belum tahu siapa adanya orang itu!" ujar Puspa Ratri sambil arahkan pandangannya ke samping kanan. "Untuk apa kita sembunyikan diri?!"
"Saat ini rimba persilatan sedang kacau! Sulit menentukan mana lawan mana kawan! Jalan terbaik bagi kita adalah mengetahuinya terlebih dahulu!" seraya berkata tangan kanan perempuan berbedak tebal cepat menarik tangan Puspa Ratri. Hingga mau tak mau Puspa Ratri melangkah ke belakang ibunya.
Keduanya lalu mendekam di balik batu. Sesaat setelah keduanya berada di balik batu, satu bayangan putih berkelebat. Tiba-tiba bayangan itu hentikan langkah sepuluh tindak dari tempat Puspa Ratri dan ibunya mendekam. Puspa Ratri mendadak pentangkan sepasang matanya. Tanpa sadar mulutnya terbuka hendak bicara. Namun tertahan setelah ibunya buru-buru takupkan tangan kirinya pada mulut anaknya. Sambil menatap pada sang anak, perempuan berbedak tebal berbisik.
"Kuharap kau bisa menahan diri!"
Sepasang mata gadis berbaju hijau itu menatap tajam ke dalam bola mata ibunya. Hatinya disamaki dengan berbagai duga dan tanya. Namun dia menuruti juga bisikan ibunya untuk menahan diri. Hingga akhirnya dia hanya menatap ke depan dengan hati berdebar-debar.
Di depan sana orang yang tegak sapukan pandangan-nya berkeliling. Dia adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih. Rambutnya yang panjang sedikit acak-acakan dililit dengan ikat kepala berwarna putih pula. Tiba-tiba pemuda ini angkat tangan kirinya. Lalu jari kelingkingnya dimasukkan ke dalam lobang telinganya. Sambil berjingkat dan meringis sendirian, si pemuda melangkah pelan tinggalkan tempat itu.
Begitu sosok si pemuda agak jauh dan hampir saja lenyap di balik rimbun pohon jauh di depan sana, Puspa Ratri segera bangkit. Dan tanpa hiraukan ibunya, gadis ini berkelebat ke arah perginya si pemuda.
"Ah. Mudah-mudahan apa yang kutakutkan tidak terjadi..." kata perempuan berbedak tebal sambil gelengkan kepala. Lalu kejap lain sosoknya berkelebat ke arah berkelebatnya gadis berbaju hijau.
********************
"Heran. Ke mana perginya dia?!" gumam Puspa Ratri tatkala matanya tidak lagi menangkap sosok orang yang dikejar. Dia tegak dengan kepala berputar dan mata memandang tak berkesip ke Seantero di mana dia tegak. "Jangan-jangan dia menuju Istana Hantu..."
Menduga begitu, gadis berbaju hijau ini segera berkelebat kembali. Namun gerakan tubuhnya tertahan tatkala pada saat bersamaan, terdengar satu deruan. Kejap lain satu gelombang angin melabrak ke arahnya!
Sambil berseru tegang, Puspa Ratri berkelebat ke samping selamatkan diri. Belum sempat dia palingkan kepala ke arah sumber serangan gelap, kembali satu gelombang angin deras melabrak kearahnya! Untuk kedua kalinya Puspa Ratri harus berkelebat hindarkan diri. Pada saat itulah satu bayangan berkelebat.
Bukkk!
Puspa Ratri berseru tertahan. Sosoknya mencelat mental dan terjengkang di atas rangasan semak belukar. Terhuyung-huyung gadis berbaju hijau ini bergerak bangkit. Sepasang matanya berkilat memandang ke depan. Sesaat gadis berparas cantik ini terkesiap. Tujuh langkah dari tempatnya terlihat sesosok tubuh tegak dengan kacak pinggang. Orang ini mengenakan jubah aneh berwarna abu-abu. Jubah itu dibuat terusan dari kepala sampai kaki hingga tidak satupun anggota tubuhnya yang kelihatan!
"Orang asing! Siapa kau?! Mengapa tiba-tiba menyerangku?!" Puspa Ratri berteriak.
Orang berjubah abu-abu aneh gerakkan tangan kirinya menunjuk pada gambar tengkorak di bagian dadanya.
Puspa Ratri membelalakkan sepasang matanya. "Tengkorak..." desis Puspa Ratri. Dada gadis ini berdebar. Kuduknya menjadi dingin. Dia seakan mengeluh karena tidak turuti ucapan ibunya untuk diam menahan diri.
"Aku mengampuni nyawamu!" Tiba-tiba orang berjubah abu-abu aneh yang bukan lain adalah Tengkorak Berdarah membentak. "Tapi ceritakan apa yang kau dengar dari percakapan dua orang yang kau intip!"
Puspa Ratri kembali tersentak kaget mendapati orang mengetahui dirinya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Dewa Orok dan Daeng Upas beberapa waktu berselang.
Seperti diketahui, saat Tengkorak Berdarah dan Dewa Orok sama-sama hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba muncul seseorang yang melangkah dari pelataran Istana Hantu. Orang ini menggendong seseorang yang pakaian bagian bawahnya sangat panjang hingga sampai menyapu tanah. Tapi orang yang menggendong ini tiba-tiba lenyap. Dan bersamaan itu juga Tengkorak Berdarah tidak tampak lagi di tempatnya semula.
Seandainya saat itu Dewa Orok dan Daeng Upas tidak terkesima dengan kemunculan orang dari pelataran Istana Hantu, niscaya keduanya akan dapat melihat bagaimana sepasang kaki Tengkorak Berdarah tampak tersurut mundur! Lalu kepalanya bergerak ke samping kiri kanan. Kejap lain sosoknya berkelebat.
Di saat dia berkelebat itulah, orang ini masih menangkap satu bayangan hijau berlari lalu mengendap-endap di balik semak belukar. Tengkorak Berdarah sejurus palingkan kepala ke arah orang yang meng-endap-endap. Lalu teruskan kelebatannya. Pada satu tempat yang dirasa aman, Tengkorak Berdarah hentikan larinya. Dia tegak di balik pohon besar dengan kepala tengadah. Tak jelas apa yang tengah dipikirkannya saat itu. Yang jelas dadanya tampak berguncang turun naik.
Setelah lama berdiam diri, dia lantas berkelebat lagi ke tempat di mana Dewa Orok dan Daeng Upas berada. Tapi sesampainya di tempat itu, dia tidak menemukan siapa-siapa lagi. Juga gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Puspa Ratri. Tengkorak Berdarah tidak tahu, jika sesaat setelah munculnya gadis berbaju hijau satu bayangan putih berkelebat lalu ikut mengendap di samping gadis berbaju hijau dan tidak lain adalah perempuan berbedak tebal.
Rupanya Tengkorak Berdarah tidak segera tinggalkan tempat itu. Entah mengapa orang ini menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di sekitar tempat itu. Hingga akhirnya dia hanya mondar-mandir di sekitar tempat itu. Saat itulah tiba-tiba dia menangkap satu sosok pemuda melangkah perlahan sambil berjingkat-jingkat. Namun perhatian Tengkorak Berdarah pada si pemuda segera beralih tatkala tak lama kemudian muncul gadis berbaju hijau yang tampak mengejar si pemuda.
Si pemuda sendiri tampaknya tahu jika sedang diperhatikan orang. Laksana terbang, dia segera berkelebat lalu lenyap di balik rumpun semak belukar.
"Jangan bicara tak karuan! Siapa mengintip orang?!" ujar Puspa Ratri setelah dapat kuasai rasa terkejutnya.
"Gadis setan! Dengar. Kurasa kau tahu sedang berhadapan dengan siapa saat ini. Jangan coba membohongiku! Mencabut nyawamu semudah aku membalik telapak tangan!"
Dari apa yang baru saja dialaminya, Puspa Ratri sebenarnya sadar jika ucapan orang di hadapannya tidak salah. Namun justru dalam keadaan demikian, rasa takut pada diri gadis ini perlahan-lahan lenyap. Yang muncul sekarang adalah rasa tekad untuk mem-pertahankan diri. Maka sambil menatap tak berkesip, gadis ini balik membentak.
"Aku tak kenal siapa kau! Jangan membuai bermulut besar dan bicara ngaco! Dan lekas enyah dari sini!"
Tengkorak Berdarah menggereng. "Rupanya nasibmu tidak sebaik parasmu!" ujarnya. Ucapannya belum selesai, tangan kanannya telah bergerak mendorong!
Wuuttt!
Terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan itu satu gelombang luar biasa dahsyat menggebrak! Baru saja Puspa Ratri angkat kedua tangannya, tubuhnya telah tersapu lebih dahulu. Hingga sosoknya terhuyung-huyung. Namun gadis ini teruskan sentakan kedua tangannya! Baru setengah jalan kedua tangannya menyentak, dari arah samping melesat gelombang angin keras. Lalu terdengar suara letupan. Gelombang pukulan Tengkorak Berdarah melenceng lalu ambyar!
BAB 10
WALAU sosoknya tidak bergeming sama sekali meski pukulannya dilabrak orang, namun gerakan kepalanya yang cepat menyentak ke samping menunjukkan bahwa Tengkorak Berdarah sempat terkejut. Malah kepalanya diam untuk beberapa lama seolah sepasang mata di balik jubah abu-abu aneh yang juga menutupi kepalanya itu terpentang besar menatap tak berkesip.
Sementara di seberang depan, Puspa Ratri segera pula berpaling. Gadis ini sejenak terpaku dengan mulut terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang matanya yang bundar menyipit membesar pandangi seorang pemuda berpakaian putih-putih yang kini tegak dengan bibir tersenyum-senyum!
"Dia rupanya..." gumam Puspa Ratri mengenali siapa adanya si pemuda. Gadis ini merasakan detakan dadanya bertambah keras. Namun diam-diam juga merasa lega dan gembira. Hingga seakan tak meng-hiraukan adanya orang lain, ia segera menghambur ke arah si pemuda. Namun gerakan Puspa Ratri tertahan karena pada saat yang sama, Tengkorak Berdarah angkat tangan kirinya diarahkan pada si gadis. Kejap lain terdengar bentakan keras.
"Kau tetap di tempatmu! Jangan berani buka mulut dan bergerak!"
Tangan kiri Tengkorak Berdarah terus bergerak ke arah si pemuda. Mendadak si pemuda buka mulut mendahului sebelum Tengkorak Berdarah bersuara.
"Kita belum pernah jumpa. Tentu kau akan tanya siapa diriku! Betul?!"
Tengkorak Berdarah luruskan tangannya tepat ke arah si pemuda. Terdengar dia mendengus. Lalu terdengar bentakannya. "Aku tak butuh nama calon bangkai manusia sepertimu!"
Si pemuda memperhatikan lekat-lekat pada sosok di hadapannya. Dahinya mengernyit. Tapi sejenak kemudian dia tersenyum sambil berujar. "Kalau kau tak butuh namaku, kini aku tanya padamu. Siapa kau?!"
"Aku tak pernah menolak pertanyaan orang, karena itu adalah pertanyaan terakhirnya!" sahut Tengkorak Berdarah. Kepalanya lalu bergerak tengadah. "Aku adalah manusia terakhir yang kau lihat. Akulah Tengkorak Berdarah!"
Si pemuda mendelik. Dia seakan hampir saja tak percaya apa yang baru saja diucapkan orang. Hingga mungkin untuk meyakinkan, si pemuda berpaling ke arah gadis berbaju hijau yang tegak menatap ke arahnya. Dipandangi si pemuda, wajah Puspa Ratri jadi bersemu merah. Mulutnya seakan hendak membuka, tapi terkancing lagi. Melihat bayangan kebimbangan di wajah si gadis, si pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak dua langkah di samping Puspa Ratri.
"Gadis cantik berlesung pipit!" bisik si pemuda. "Aku berterima kasih atas pertolonganmu tempo hari. Aku sekarang butuh keyakinan. Apakah benar ucapan manusia itu?!"
Mendengar dirinya disebut gadis cantik berlesung pipit, dada Puspa Ratri makin berdebar. Paras wajahnya bersemu merah. Untuk beberapa saat dia tidak menjawab pertanyaan orang. Hanya sepasang matanya yang memandang tajam ke dalam bola mata si pemuda. Hingga untuk sesaat kedua orang ini saling bentrok pandang. Tapi Puspa Ratri segera alihkan pandangannya.
Karena Puspa Ratri tidak juga memberi jawaban, akhirnya si pemuda berbisik lagi. "Apakah benar dia Tengkorak Berdarah?!"
Puspa Ratri berpaling. Namun kali ini tidak berani menatap ke bola mata si pemuda. "Aku tidak mengenalnya. Manusia yang berjuluk Tengkorak Berdarah pun aku belum pernah melihatnya. Jadi sulit aku menjawab apakah benar dia Tengkorak Berdarah atau bukan..."
"Lalu ada silang sengketa apa antara kau dengan dia?"
Puspa Ratri menggeleng. "Aku tak tahu. Dia tiba-tiba menyerangku..."
Si pemuda sekali lagi pandangi sosok orang berjubah abu-abu aneh. Diam-diam dia membatin. "Apakah ini manusianya penghuni Istana Hantu? Mengapa dia menyerang gadis ini? Hem... Adakah ini pertanda ucapannya benar?" Tiba-tiba si pemuda teringat akan ucapan seorang kakek yang pernah ditemuinya juga seorang kakek yang berada di dalam kuil di sebelah barat Candi Jago.
"Dua orang yang kutemui itu nada ucapannya sama... Malah orang terakhir yang kutemui mengatakan terus terang aku tidak boleh membunuh Tengkorak Berdarah! Hem... Tapi kemunculannya yang selalu membuat bencana pada setiap orang yang ditemuinya akan terus berlangsung jika tidak dihentikan! Mendengar ucapannya tadi, mungkin dugaan Ratu Malam jika lenyapnya saudara-saudaranya akibat ulahnya ada benarnya! Hem... Tempo hari aku memang gagal memasuki istananya tapi hari ini..."
Si pemuda tidak meneruskan membatin. Karena di depan sana Tengkorak Berdarah angkat tangan kanannya. Lalu didorong ke depan.
Wuuuttt!
Satu sapuan gelombang angin melabrak ganas ke arah si pemuda. Si pemuda tidak tinggal diam. Dia segera pula angkat tangannya dan didorong ke depan. Terdengar letupan. Sapuan gelombang yang datang dari Tengkorak Berdarah ambyar. Sedang gelombang yang melesat dari tangan si pemuda bertabur kian kemari. Tengkorak Berdarah perdengarkan suara menggereng. Suara gerengannya belum lenyap, sosoknya telah berkelebat ke depan.
Buukkk! Buuukkk!
Dua pasang tangan beradu keras di udara. Sosok si pemuda tersurut satu langkah. Tengkorak Berdarah mundur dua tindak. Dari bentrokan tadi keduanya segera bisa maklum jika lawan memiliki tenaga dalam tinggi. Malah si pemuda tampak terkesiap sendiri dan bergumam heran.
"Aku merasa tenaga dalamku berlipat ganda! Aneh..." Kalau si pemuda terkesiap dengan keadaan dirinya sendiri, tidak demikian halnya dengan Tengkorak Berdarah. Orang ini tampaknya terkejut besar hingga secara tak sadar dia segera membentak.
"Pemuda setan! Siapa kau sebenarnya?!"
Mendengar pertanyaan orang, si pemuda tersenyum. "Seperti katamu, aku adalah calon bangkai manusia!"
"Setan!" teriak Tengkorak Berdarah. Kini kedua tangannya diangkat sekaligus. Lalu disentakkan kuat-kuat. Gelombang luar biasa hebat melesat laksana cahaya berkiblat!
Si pemuda tak mau bertindak ayal. Dia cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba tangannya berubah menjadi berwarna kekuningan. Udara berubah panas menyengat. Inilah pertanda bahwa si pemuda hendak lepaskan pukulan sakti 'Lembur Kuning'! Pukulan yang dahulu pernah dimiliki oleh seorang tokoh bergelar Pendeta Sinting yang akhirnya diwariskan pada murid tunggalnya Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131.
Begitu kedua tangan si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 mendorong, satu gelombang angin luar biasa dahsyat menghampar dengan membawa hawa panas menyengat dan menebarkan semburatan warna kuning di udara. Tempat itu mendadak laksana dilanda gempa hebat. Tanahnya bergetar keras dan bertaburan keudara. Anehnya sosok Pendekar 131 hanya tersurut tiga langkah, sementara Tengkorak Berdarah tersapu sampai satu tombak!
"Heran... Aku mengerahkan tenaga dalam seperti biasa. Tapi kurasa tenaga dalamku jadi berlipat ganda! Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku?!" kata Joko dalam hati.
Murid Pendeta Sinting ini tidak tahu, jika di dalam tubuhnya kini mengendap tenaga dalam milik kakek yang berada di dalam kuil yang tanpa sepengetahuan Joko telah salurkan seluruh tenaga luar dalamnya hingga dia sendiri kehabisan tenaga dan menghembuskan napas terakhir.
Tengkorak Berdarah tersentak bukan main. "Baru kali ini aku mendapati orang yang tenaga dalamnya begitu kuat. Siapa sebenarnya jahanam ini? Jangan-jangan pemuda ini yang kucari... Tapi aku harus buktikan dahulu!" Berpikir begitu Tengkorak Berdarah takupkan kedua tangannya di depan dada. Terdengar gumaman tak jelas dari mulut di balik jubah abu-abunya yang aneh.
Sikap orang membuat murid Pendeta Sinting segera maklum jika dia sedang siapkan pukulan andalannya. Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera pula kerahkan tenaga dalam siapkan sekali lagi pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Namun tiba-tiba dia ragu-ragu. Di telinganya terngiang ucapan Raja Tua Segala Dewa dan kakek dalam kuil. Dia juga merasa heran. Saat hendak memasuki Istana Hantu, pukulan sang penghuni terasa begitu hebat. Namun orang yang mengaku sebagai Tengkorak Berdarah ini pukulannya bisa dipangkas dengan mudah!
Keragu-raguan Pendekar 131 cepat ditangkap Teng-korak Berdarah. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera tarik kedua tangannya dan disentak ke depan berulangkali.
Wuuuttt! Wuuttt! Wuuuttt! Wuuuttt!
Empat gelombang angin dahsyat susul-menyusul melabrak ke arah murid Pendeta Sinting. Demikian cepatnya gelombang itu hingga tak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk lepaskan pukulan apalagi kini hatinya digelayuti perasaan ragu-ragu.
Puspa Ratri yang mengetahui hai itu segera bertindak. Gadis ini yang memiliki gerakan laksana kilat cepat berkelebat. Karena tak mungkin menyambar tubuh Joko, akhirnya gadis ini hanya tendangkan kaki kanannya ke arah pinggul murid Pendeta Sinting.
Buukkk!
Sosok Pendekar 131 tampak mencelat satu tombak ke samping. Hal ini menyelamatkannya dari gelombang pukulan yang pertama. Namun bahaya belum selesai. Karena ternyata empat gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Tengkorak Berdarah menebar dan salah satunya kini mengarah pada Joko yang masih terhuyung akibat tendangan Puspa Ratri!
Meski terhuyung, Pendekar 131 angkat juga tangannya untuk memapak pukulan yang datang. Namun satu gelombang angin tiba-tiba menyeruak dan mendahului pukulan Joko memapak gelombang pukulan Tengkorak Berdarah! Gelombang pukulan yang mengarah pada murid Pendeta Sinting tersapu keras lalu mengudara menghantam tempat kosong.
Tengkorak Berdarah berseru keras. Dia segera berkelebat ke samping kanan dari mana angin yang memangkas pukulannya bersumber. Kedua tangannya sudah diangkat tinggi-tinggi siap lepaskan lagi pukulan. Namun begitu sepasang mata di balik bungkus jubah anehnya memandang ke depan, mendadak kedua tangannya terdiam di udara.
BAB 11
TUJUH langkah di hadapan Tengkorak Berdarah tegak, terlihat satu sosok tubuh perempuan yang wajahnya disaput bedak putih tebal. Rambutnya digelung ke belakang. Kedua tangannya bergerak menarik ke belakang lalu diluruhkan ke bawah. Entah kenapa tiba-tiba Tengkorak Berdarah urungkan niat untuk lepaskan pukulan. Orang ini merasakan dadanya berdebar. Pikirannya gelisah. Namun sesaat kemudian Tengkorak Berdarah gerakkan lagi kedua tangannya hendak menyentak.
Perempuan berbedak tebal yang bukan lain adalah ibu Puspa Ratri tersenyum. Lalu kepalanya menggeleng. Tengkorak Berdarah untuk kedua kalinya urungkan niat. Namun kedua tangannya masih berada di udara. Perempuan berbedak tebal melirik ke arah Pendekar 131, lalu beralih ke arah Puspa Ratri. Sejenak kemudian memandang lekat-lekat pada Tengkorak Berdarah.
"Anak-anak muda itu tidak punya urusan apa-apa! Jangan turutkan kemarahan dan gejolak hati! Mari kita bicara baik-baik!"
"Siapa kau sebenarnya? Tahu apa kau tentang orang-orang itu. Hah?l"
Perempuan berbedak tebal tersenyum. "Kau mungkin sudah lupa. Pada beberapa tahun silam kita pernah jumpa!"
Tengkorak Berdarah tengadahkan kepala. "Memang benar. Beberapa tahun lalu aku pernah jumpa perempuan keparat ini! Dahulu dia juga pernah menghalang-halangiku! Hem..."
"Kita memang pernah jumpa! Tapi dari dulu kau merahasiakan dirimu! Itulah yang membuatku urungkan niat untuk membunuhmu. Aku ingin kau sebutkan diri dahulu sebelum kukirim ke neraka!"
"Keinginanmu akan segera terpenuhi. Tapi kurasa bukan di sini tempat yang baik untuk..."
"Aku tak punya waktu banyak!" potong Tengkorak Berdarah. "Kalau kau tidak mau katakan tak apa-apa! Tapi niatku tidak berubah!"
"Hem... Sebenarnya kau punya banyak waktu. Hanya karena kau terdorong oleh banyak keinginan, waktumu jadi sempit! Padahal selama ini kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan!"
Sosok Tengkorak Berdarah tampak bergetar. "Kau tahu apa tentang diriku?"
Perempuan berbedak tebal menggeleng pelan. "Aku tak tahu banyak tentang dirimu. Yang kutahu adalah selama ini kau menebar maut tanpa ujung pangkal jelas!"
Tiba-tiba Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. "Bagus jika kau sudah tahu itu! Dan kau adalah calon korban maut tak jelas itu!"
"Hem... Itu urusan takdir yang belum tentu. Sekarang aku tanya padamu... Apakah dengan menebar maut itu semua keinginanmu terpenuhi?!"
"Keparat! Dari tadi kau sebut-sebut keinginan! Dengar perempuan! Tanganku menebar maut bukan tanpa tujuan jelas! Dan selama ini memang keinginanku belum terpenuhi. Sayang sebentar lagi nyawamu melayang! Jika tidak tentu kau akan tahu!"
Perempuan berbedak tebal batuk-batuk beberapa kali. "Kau yakin akan hal itu?!"
"Aku tak perlu keyakinan! Aku punya akal dan kekuatan!"
"Itu belum cukup, Sahabat! Buktinya selama ini kau belum mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu!"
"Kau tahu apa tentang keinginanku? He...?!"
"Itu akan kukatakan. Tapi tidak di sini! Besok malam kutunggu kedatanganmu di dekat pancuran air di sebelah timur Kampung Pandan! Tentu kau masih ingat tempat itu!"
"Kalau urusan sepele untuk apa harus dibicarakan di tempat itu?! Kau takut didengar mereka?!" tanya Tengkorak Berdarah sambil menunjuk pada Pendekar 131 dan Puspa Ratri yang masih tegak dengan mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ini bukan hanya urusan sepele. Tapi juga urusan di antara kita berdua!"
Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. "Urusanmu denganku adalah urusan pembayaran nyawamu karena menghalangiku! Tidak ada urusan lain!"
"Di antara kita ada urusan lain! Dan itu lebih besar daripada urusan nyawaku! Usahakan untuk datang ke tempat yang kukatakan tadi!"
"Keparat! Siapa sebenarnya perempuan ini? Dia seakan tahu rencana keinginanku!" membatin Tengkorak Berdarah sambil memperhatikan perempuan berbedak tebal yang saat Itu melangkah ke arah tegaknya Pendekar 131 dan Puspa Ratri anaknya.
"Terima kasih atas ucapanmu tempo hari... Aku memang bertemu..."
"Cukup, Anak muda! Sekarang kuharap kau lekas tinggalkan tempat ini!" tukas perempuan berbedak tebal, membuat murid Pendeta Sinting tersentak. Di sebelahnya, Puspa Ratri tampak terdiam dengan dada dipenuhi berbagai perasaan.
"Orang ini aneh... Kemarin tampaknya sikapnya halus, tapi kali ini nada ucapannya ketus… Apa ada yang salah?!" kata Joko dalam hati.
Diam-diam pula Puspa Ratri membatin. "Kenapa Ibu lain dengan biasanya? Apakah dia benar-benar hendak memaksakan kehendaknya agar aku melupakan pemuda ini? Tidak! Siapa pun tak berhak melarangku! Termasuk Ibu!"
"Anak muda! Kau mendengar ucapanku. Kenapa masih tegak di situ?!" tegur perempuan berbedak tebal saat dilihatnya murid Pendeta Sinting masih tidak beranjak dari tempatnya.
"Harap sudi mengatakan jika aku membuat tindakan keliru!" ujar Joko.
"Kemunculanmu di sini, Anak Muda! Itulah hal yang salah bagimu!" sahut perempuan berbedak tebal. "Kau masih punya urusan penting! Jadi lekaslah tinggalkan tempat ini!"
"Urusan penting?" ulang Joko. Dia sebenarnya hendak bertanya pada perempuan berbedak tebal. Namun si perempuan telah melangkah ke arah Puspa Ratri. Dan terdengar dia berkata.
"Kau ikuti aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Namun sebelum gadis berbaju hijau ini buka mulut, perempuan berbedak tebal telah berkata.
"Ini demi kebaikanmu! Jadi buanglah salah sangka!" Sementara perempuan berbedak tebal telah berbicara dengan Pendekar 131 dan Puspa Ratri, Tengkorak Berdarah arahkan kepalanya pada Pendekar 131.
"Mereka bertiga nampaknya sudah saling kenal. Hem... Aku akan mengorek keterangan dari mulut pemuda ini! Perempuan berbedak tebal itu tampaknya tahu banyak semua urusan orang! Sebetulnya aku tak ingin turuti ucapannya, tapi..." Tengkorak Berdarah tidak lanjutkan kata hatinya. Diam-diam dia berkelebat pergi dari tempat itu.
Sebenarnya murid Pendeta Sinting tahu kelebatan perginya Tengkorak Berdarah, namun karena hatinya masih sangsi juga karena perempuan berbedak tebal sudah menjanjikan pertemuan, maka dia sengaja pura-pura tak hiraukan perginya si Tengkorak Berdarah.
"Puspa Ratri! Ikut aku!" kata perempuan berbedak tebal. Lalu tanpa berpaling pada Pendekar 131, perempuan ini melangkah tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri sesaat pandangi ibunya, lalu menatap pada murid Pendeta Sinting. Wajahnya tampak murung. Tiba-tiba gadis berbaju hijau ini melompat ke arah Joko. "Kau tunggulah di sini! Aku masih perlu bicara!" Habis berbisik begitu, tanpa menunggu jawaban murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri melangkah mengikuti ibunya.
Pada satu tempat agak jauh, perempuan berbedak tebal hentikan langkahnya. Kepalanya berpaling ke belakang. Dia menghela napas melihat anaknya kelihatan enggan dan murung.
"Kau tak tahu, Anakku! Selama ini kulakukan karena Ibu tidak mau melihatmu mengalami nasib yang pernah Ibu alami! Aku tak ingin melihatmu merana karena cinta... Puspa Ratri...!" kata perempuan berbedak tebai begitu anaknya agak dekat. "Kuharap kau mengerti akan tindakan Ibu! Ini demi kebaikanmu kelak..."
Puspa Ratri tidak menyahut. Malah memandangpun tidak, membuat perempuan berbedak tebal gelengkan kepala perlahan. Setelah berpikir agak lama dan dilihatnya Puspa Ratri hanya tegak dengan mulut terkancing dan pandangan ke jurusan lain, akhirnya ibunya berujar.
"Seorang Ibu tidak ada yang punya maksud jahat, Anakku! Tapi jika kau masih menduga yang tidak-tidak, sekarang terserah padamu. Kau boleh mengikutiku atau pergi ke mana saja kau suka!"
Habis berkata begitu, perempuan berbedak tebal teruskan langkah. Puspa Ratri untuk beberapa saat masih tegak. Gadis ini gundah. Apakah pergi mengikuti ibunya atau kembali ke pemuda yang diam-diam dirindukannya. Namun akhirnya gadis berbaju hijau ini perturutkan kata hatinya untuk menemui Pendekar 131! Begitu Puspa Ratri berpaling dan terlihat ibunya sudah jauh, gadis ini balikkan tubuh. Lalu berkelebat cepat ke arah dari mana dia datang.
Sementara itu, Pendekar 131 sendiri untuk beberapa saat lamanya masih tetap di tempatnya berdiri. Dia coba menduga-duga apa yang diucapkan perempuan berbedak tebal. Karena begitu tenggelam memikirkan keanehan sikap perempuan berbedak tebal juga sikap si gadis, murid Pendeta Sinting ini tidak sadar jika dari sela semak satu sosok tubuh terus memperhatikan gerak-geriknya.
"Saatnya aku mengorek keterangan dari mulutnya" kata orang yang sedari tadi mengawasi Pendekar 131 dan bukan lain adalah Tengkorak Berdarah.
Orang berjubah abu-abu aneh ini segera berkelebat keluar. Tapi gerakannya tertahan tatkala dari arah depan sana satu bayangan hijau berkelebat cepat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hadapan Pendekar 1311
"Jahanam! Gadis setan itu lagi! Akan kulihat dulu apa yang hendak diperbuat keduanya!" gumam Tengkorak Berdarah mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di depan murid Pendeta Sinting.
"Apa yang hendak dibicarakan gadis cantik ini?" tanya Joko dalam hati seraya pandangi Puspa Ratri. Yang dipandang balas memandang. Namun hanya itu yang dilakukan si gadis. Dia tidak buka mulut untuk bicara.
Joko Sableng melangkah mendekat. "Aku lupa pernah mengatakan namaku padamu atau belum. Tapi tak ada jeleknya bukan, jika aku mengatakan saat ini padamu? Tak enak rasanya bicara tanpa tahu siapa orang yang diajak bicara..."
Kemurungan si gadis mendadak lenyap. Bibirnya bergerak sunggingkan senyum. "Aku juga lupa apa pernah dengar kau sebutkan diri apa belum. Sementara kau sendiri tadi tentu sudah mendengar namaku disebut."
"Hem... Boleh kutahu, apa hubunganmu dangan perempuan memakai bedak tebal tadi? Lalu kemana dia pergi?"
"Kau sebutkan dulu siapa dirimu..." ujar Puspa Ratri masih dengan bibir tersenyum.
"Ah... Namaku Joko Sableng!"
"Aku Puspa Ratri..." Gadis berbaju hijau menimpali.
"Hem.... Aku lebih suka memanggilmu Gadis cantik berlesung pipit! Kau tak keberatan?"
Paras muka Puspa Ratri memerah. Dadanya berdebar. Dia akhirnya hanya gelengkan kepala sambil arahkan kepala sedikit ke samping sembunyikan perubahan raut wajahnya.
"Lalu siapa perempuan tadi?!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Dia ibuku!"
Pendekar 131 kernyitkan dahi. Seakan tahu apa yang dipikir murid Pendeta Sinting, Puspa Ratri sambung ucapannya. "Aku sendiri tak tahu mengapa Ibu melakukan penyamaran begitu rupa! Saat kutanya dia selalu jawab saatnya akan datang untuk membuka penyamarannya..."
"Ke mana dia pergi? Dan mengapa kau tidak mengikutinya? Bukankah dia menyuruhmu untuk ikut?!"
"Dia tidak mengatakan hendak ke mana. Aku sudah besar. Aku bebas tentukan langkah sendiri!" suara Puspa Ratri kali ini agak keras dan bergetar.
"Ah. Mungkin terjadi sesuatu antara gadis ini dengan ibunya! Waktu tiba tadi, kulihat wajahnya murung... Hem... jangan-jangan ini karena aku!" duga Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Kuharap tidak terjadi sesuatu apa antara kau dan ibumu karena kemunculanku tadi..."
"Ah...," Puspa Ratri mengeluh. "Kau tak tahu, Joko... Justru karena kaulah semua ini terjadi... Apakah kau tidak merasa bagaimana perasaanku padamu? Sejak pertama kali melihatmu, aku tertarik... Bahkan karena itu, aku berani tidak menuruti perintah ibku..."
"Kau tak usah cemaskan itu, Joko!" kata Puspa Ratri pada akhirnya.
"Tapi tampaknya ibumu tidak menyukai kehadiranku! Dia kelihatan berubah! Tidak seperti pertama kali jumpa tempo hari..."
"Hem... Itu mungkin hanya perasaanmu saja!" ujar Puspa Ratri masih coba menutupi.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku seorang laki-laki. Tidak biasa menilai dengan perasaan. Aku melihat dari sikap dan ucapannya..."
Puspa Ratri jadi terdiam mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. "Mungkin penilaianku salah," sambung Joko. "Tapi perubahan wajahmu menguatkan dugaanku... Mungkin ibumu tidak suka aku bersahabat denganmu!"
Puspa Ratri memandang lekat-lekat pada Pendekar. "Kau jangan terlalu jauh menduga, Joko. Dan ketahuilah... Siapa pun termasuk ibuku tak berhak untuk menghalangi persahabatan kita! Aku... Aku..." Puspa Ratri tak sanggup untuk teruskan ucapannya.
"Ah. Ada apa sebenarnya dengan gadis cantik ini?" batin Joko. "Mungkin ibumu punya pandangan sendiri padaku. Atau..."
"Joko...." Puspa Ratri tiba-tiba menghambur ke arah Pendekar 131. Kedua tangannya cepat melingkar di pinggang murid Pendeta Sinting, sementara kepalanya disandarkan pada dadanya.
Sesaat Pendekar 131 tampak terperangah. Namun untuk menenangkan perasaan si gadis akhirnya dia hanya diam saja, malah tidak lama kemudian kedua tangannya ikut melingkar di pinggang si gadis.
"Joko..." bisik Puspa Ratri. "Apa pun pandangan ibuku padamu, aku percaya kau adalah pemuda baik! Dan sejak pertama kali melihatmu, aku suka padamu..."
Ucapan terus terang si gadis membuat murid Pendeta Sinting makin terlengak. Hingga untuk beberapa lama mulutnya terbuka tapi tak keluarkan suara. Sebaliknya Puspa Ratri makin mempererat pelukannya. Beberapa saat berlalu. Entah karena khawatir tak dapat menguasai gejolak yang mulai timbul, murid Pendeta Sinting berbisik.
"Tak baik kita berpelukan di tempat begini. Apalagi jika ibumu mendadak muncul..."
Tapi Puspa Ratri seakan tak mendengar ucapan pelan murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin rapatkan tubuhnya. Pendekar 131 menarik napas dalam. Dia tidak mengerti kenapa dalam keadaan begini tiba-tiba muncul bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi. Hingga tanpa sadar dia menggumam pelan seakan bicara sendiri.
"Joko... Kau bicara apa?" tiba-tiba Puspa Ratri menegur sambil tarik wajannya dari dada murid Pendeta Sinting.
Joko tersentak. Bayangan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi lenyap. Seraya tersenyum menutupi keterkejutannya, dia berbisik. "Aku khawatir ibumu kembali dan tahu kita..."
"Kau takut? Atau di hatimu ada orang lain, Joko?"
"Walah. Jangan-jangan dia tadi mendengar gumamanku yang keluar secara tidak kusengaja..."
"Aku senang mendapat perhatian darimu... Padahal aku bukanlah pemuda yang seperti kau duga..." ujar Joko Sableng pada akhirnya
"Kau menjawab bukan pertanyaanku, Joko..."
Karena murid Pendeta Sinting tidak juga menjawab ucapan Puspa Ratri berbisik lagi. "Jujurlah, Joko. Adakah gadis lain yang telah mendahuluiku? Aku tidak akan memaksakan kehendak hatiku jika memang di hatimu ada orang lain! Percayalah. Aku siap mendengar ucapanmu meski sebenarnya aku harus menelan rasa kecewa..."
Sambil berbisik, Puspa Ratri pejamkan sepasang matanya. Dada gadis ini tampak bergetar. Joko juga merasakan kedua tangan Puspa Ratri yang masih memeluk pinggangnya juga bergetar. Mungkin hanyut oleh ucapan si gadis, Joko gerakkan wajahnya lalu mencium kening si gadis. Puspa Ratri menggumam tak jelas. Lalu rebahkan kembali wajahnya ke dada murid Pendeta Sinting. Dan tak lama kemudian, entah siapa yang memulai, keduanya terlihat tenggelam dalam pelukan mesra.
Ketika Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng tenggelam dalam pelukan mesra dengan Puspa Ratri, dari arah timur satu sosok tubuh berkelebat lalu diam mendekam di balik semak belukar tidak jauh dari tempat dua orang itu berpelukan. Orang ini ternyata adalah pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-hitam.
Untuk sesaat sepasang mata pemuda berpakaian hitam-hitam yang bukan lain adalah Raka Pradesa menyipit menyaksikan pemandangan di depan sana. Namun begitu mengenali siapa adanya orang yang sedang bermesraan itu, mendadak matanya mendelik dan memandang tak berkesip seolah tak percaya. Kejap lain terlihat kedua tangan pemuda berkumis tipis ini mengepal. Dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Ingin rasanya pemuda ini melompat keluar dari tempatnya jika saja pikiran jernih tidak segera muncul menghadang. Malah diam-diam kepala pemuda ini segera berpaling ke jurusan lain.
Kalau ada orang lain di tempat itu tentu akan tahu, jika bersamaan dengan berpalingnya kepala si pemuda, sepasang matanya tampak berkaca-kaca! Dan tak lama kemudian kedua tangannya terangkat menutupi wajahnya. Namun tiba-tiba Raka Pradesa tarik kedua tangannya dari wajahnya. Kepalanya tengadah.
"Ucapan perempuan berbedak tebal itu... Rupanya ada benarnya. Aku harus melupakan pemuda itu... Ah, ternyata dia telah punya seorang gadis... Hem... makanya gadis itu menolong. Tak tahunya jika dia adalah sepasang kekasih. Tapi ini juga mungkin karena kesalahanku yang tidak berterus terang. Dia mungkin memandangku apa adanya! Tidak tahu jika aku adalah..."
Raka Pradesa menarik napas dalam. Kepalanya berpaling lagi. Namun cepat-cepat kepalanya disentakkan lagi begitu terlihat bagaimana di depan sana Pendekar 131 tampak makin mempererat pelukannya dan menciumi wajah gadis berbaju hijau. Mungkin tak dapat menahan perasaan, Raka Pradesa saling remaskan kedua tangannya. Dadanya tampak berguncang keras. Matanya berkaca-kaca namun terpentang besar-besar.
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Tak pantas rasanya mengusik keasyikan mereka. Tapi aku tak bisa melihat mereka terus-terusan begitu! Perbuatan gila itu harus dihentikan!" gumam Raka Pradesa berapi-api. Namun sekejap kemudian dia mengeluh. "Tapi ini bukan salah mereka! Akulah yang salah! Tapi apakah aku juga salah jika mengharapkan?"
Untuk beberapa lama Raka Pradesa diam tak tahu harus berbuat apa. Setelah menarik napas berulangkali, akhirnya dia bergumam. "Ah. Mungkin ini suratan nasib yang harus kujalani... Aku akan mencoba turuti ucapan perempuan berbedak tebal itu untuk melupakan pemuda itu... Tapi apakah aku mampu...? Sejak pertama kali jumpa, aku tak bisa melupakannya..."
Raka Pradesa bergerak bangkit. "Daripada harus melihat hal yang membuat hatiku tampak kecewa, lebih baik aku tinggalkan tempat celaka ini!" Akhirnya Raka Pradesa memutuskan.
Meski dia bergumam begitu, namun sebelum bergerak pergi, dia tak kuasa juga untuk tidak berpling melihat orang di depan sana. Raka Pradesa terdengar perdengarkan dengusan pelan begitu berpaling. Lalu sentakkan kepalanya dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun satu teguran pelan mendadak terdengar, membuat Raka Pradesa urungkan niat untuk berkelebat.
"Apa kerjamu di sini, Anak Muda?"
Raka Pradesa putar diri. Sejarak lima langkah dari tempatnya, pemuda berkumis tipis ini melihat satu sosok tubuh...!
S E L E S A I