Serial Joko Sableng episode Pengadilan Neraka
PEREMPUAN setengah baya berparas cantik itu tegak terpaku dengan mata memandang ke satu jurusan. Beberapa untaian bunga yang terdapat pada rambutnya tampak bergerak-gerak ditiup angin. Sesekali perempuan ini mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Selain di rambutnya, ternyata pada sela antara jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan perempuan ini juga terdapat sekuntum bunga. Perempuan ini mengenakan pakaian berwarna putih sebatas dada mirip pakaian yang dikenakan seorang penari.
Di belakang perempuan berparas cantik walau usianya tidak muda lagi itu, berdiri satu sosok tubuh milik seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya lusuh. Sepasang matanya agak sayu. Kakek ini seperti halnya si perempuan, tampak berdiri dengan arahkan pandang matanya ke satu jurusan. Untuk beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mulut. Mereka seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga pada akhirnya si kakek buka mulut.
“Nyai Tandak Kembang... Kau telah memutuskan. Biarlah mereka melakukan apa yang hendak dilakukan!”
Perempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda lagi dan bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang adanya, berpaling pada laki-laki di belakangnya.
“Kigali... Aku memang telah memutuskan memberi izin pada Pitaloka dan Beda Kumala pergi sementara waktu sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Tapi sebenarnya aku melakukan hal itu dengan terpaksa. Dan begitu mereka benar-benar pergi, aku sekarang jadi bimbang dan cemas. Entah apa sebenarnya. Aku mendapat firasat tidak baik!”
Laki-laki di belakang Nyai Tandak Kembang dan ternyata adalah Kigali alihkan pandang matanya pada Nyai Tandak Kembang. Orang tua ini mau buka mulut, tapi Nyai Tandak Kembang sudah sambungi ucapannya.
“Apa selama bersamamu Pitaloka pernah mengatakan satu rencana?!”
Kigali termenung sesaat sebelum akhirnya angkat suara. “Terlalu banyak yang kubicarakan dengan Pitaloka, hingga aku tidak bisa ingat lagi apakah Pitaloka pernah mengatakan satu rencana atau tidak. Tapi terus terang, sebenarnya aku curiga padanya. Dan kalau saja aku tidak bertemu dengan kau, mungkin aku sudah meminta pada Pitaloka untuk terus bersamaku di hutan ini. Tapi kau adalah neneknya. Dan kau telah memutuskan agar Pitaloka kembali ke lereng Gunung Semeru. Apa hendak dikata...”
“Kigali... Aku menghargai permintaanmu. Tapi setelah peristiwa ini, aku benar-benar takut!” Nyai Tandak Kembang tampak menghela napas. Lalu lanjutkan ucapan.
“Mau kau mengatakan apa kecurigaanmu?!”
“Pitaloka baru saja mengalami peristiwa buruk yang tak mungkin dapat dilupakan sepanjang hidupnya. Aku khawatir kepergian Pitaloka kali ini untuk membalaskan sakit hatinya...”
“Hem... Sebenarnya aku sudah berpikir ke arah sana. Tapi apakah anak itu akan begitu bodoh mengambil tindakan? Apakah dia tidak berpikir siapa gerangan yang akan dihadapi?!”
“Nyai... Orang yang sudah terluka tidak akan terlalu banyak pikirkan akibat! Yang ada dalam benaknya hanya membalas dan membalas! Apalagi Pitaloka masih muda...”
“Hem... Benar juga ucapan orang tua ini. Apa yang harus kulakukan sekarang?” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati. Lalu bertanya.
“Kau tahu di mana letak Kampung Setan?!”
“Aku pernah hidup di sana. Tapi kalau benar keterangan Pitaloka, berarti saat ini Kampung Setan sudah kosong! Percuma kau akan ke sana. Kalaupun kau ingin pergi, lebih baik menuju Bukit Kalingga. Seperti keterangan Pitaloka pada Pendekar 131 Joko Sableng.”
Seperti diketahui, Nyai Tandak Kembang sudah memutuskan untuk melarang Pitaloka dan Beda Kumala alias Putri Kayangan turun dari lereng Gunung Semeru begitu nanti mereka pulang dari Lembah Patah Hati. Namun tampaknya Pitaloka dan Putri Kayangan merasa keberatan dengan keputusan Nyai Tandak Kembang. Tapi keberatan kedua gadis ini punya alasan masing-masing. Pitaloka masih ingin membalas sakit hatinya pada orang yang telah memperkosanya, sementara Putri Kayangan takut tidak bisa bertemu lagi dengan Pendekar 131. Karena gadis ini telah jatuh hati pada murid Pendeta Sinting.
Putri Kayangan tidak berani mengutarakan keberatannya pada Nyai Tandak Kembang. Tapi Pitaloka berterus terang dan minta izin pada neneknya agar diberi waktu sebelum balik ke lereng Gunung Semeru. Pada dasarnya Nyai Tandak Kembang ragu-ragu dengan permintaan Pitaloka, apalagi setelah peristiwa yang terjadi. Lagi pula Pitaloka tidak mau mengatakan apa sebenarnya yang hendak dilakukan sebelum pulang ke lereng Gunung Semeru.
Karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak Kembang tidak bisa menghalang-halangi. Hanya saja Nyai Tandak Kembang memerintahkan pada Putri Kayangan untuk mendampingi. Pitaloka tidak keberatan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak gembira, karena berarti masih ada kesempatan untuk bertemu dengan Pendekar 131 sebelum nanti pulang ke lereng Gunung Semeru. Begitu pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani serta Lingga Buana selesai, Pitaloka dan Putri Kayangan berangkat meninggalkan Lembah Patah Hati.
“Kigali... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas semua yang kau lakukan selama ini. Sekarang aku harus pergi!” kata Nyai Tandak Kembang setelah agak lama terdiam.
“Kalau tak keberatan, mau mengatakan padaku. Kau hendak langsung ke lereng Gunung Semeru atau mengikuti kedua cucumu?!” Kigali ajukan tanya.
Beberapa saat Nyai Tandak Kembang terdiam. Lalu alihkan pandangan dan menghela napas panjang. “Sebenarnya aku ingin segera pulang ke lereng Gunung Semeru karena aku sudah tak ingin libatkan diri dalam urusan dunia persilatan. Tapi saat ini aku mengkhawatirkan keselamatan Pitaloka dan Beda Kumala. Mungkin aku akan menyusul dahulu keduanya...”
“Nyai... Tidak keberatan kalau aku ikut serta?!”
Nyai Tandak Kembang menoleh. “Bukannya aku keberatan atau tidak menghargai perhatianmu. Tapi kurasa aku bisa pergi sendiri...”
“Nyai... Bukannya aku mau ikut campur urusan. Hanya saja aku telah menganggap Pitaloka seperti anakku sendiri. Kalau kau sebagai neneknya sangat khawatir dengan keselamatannya. Aku tidak jauh berbeda. Jadi harap kau mengerti dan tidak keberatan pergi bersama denganku! Lagi pula aku tahu banyak tentang Kampung Setan. Mungkin kau nanti membutuhkan beberapa keterangan dalam perjalanan kali ini. Apalagi semua urusan ini tidak terlepas kaitannya dengan Kampung Setan...”
“Hem... Kalau kau berpikir begitu, aku menyerahkan semuanya padamu. Hanya saja kuharap kau mengerti, perjalanan ini bukannya tanpa risiko!”
Kigali tersenyum. Lalu berucap. “Nyai... Separo dari hidupku habis bergelimang dengan kejahatan. Kalaupun nanti aku harus menyerahkan nyawa, aku ingin berakhir untuk kebaikan. Ini sebagai penebus atas perbuatanku di masa lalu. Selain itu aku ingin bertemu dengan teman-teman lama...”
“Semua manusia telah digariskan jalannya. Dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi...” ujar Nyai Tandak Kembang dengan tersenyum. Perempuan dari lereng Gunung Semeru ini dongakkan sedikit kepalanya lalu bertanya. “Kau tahu mana arah menuju Bukit Kalingga?!”
“Sudah beberapa puluh tahun aku tidak keluar dari hutan. Aku juga sudah lupa nama-nama tempat. Tapi kita nanti bisa bertanya sambil jalan...”
Habis berkata begitu, Kigali melangkah menjajari Nyai Tandak Kembang lalu anggukkan kepala memberi isyarat. Nyai Tandak Kembang luruskan kepala. Saat lain kedua orang ini berkelebat meninggalkan hutan yang berbatasan dengan Lembah Patah Hati.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua malam, dan setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya Kigali dan Nyai Tandak Kembang sampai di perbatasan hutan yang dari tempat mereka kini berada terlihat julangan satu bukit yang menurut beberapa orang bukit itu adalah Bukit Kalingga. Nyai Tandak Kembang dan Kigali berdiri berdampingan sambil arahkan mata masing-masing ke arah bukit di depan sana. Nyai Tandak Kembang menghela napas dalam-dalam. Dalam hati perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berkata.
“Mereka berdua tidak ada di sana... Kalau mereka di sana, sejarak ini tentu aku mampu mencium aromanya... Ke mana mereka pergi? Aku tidak bisa menjajaki dengan penciumanku. Berarti mereka berdua jauh dari tempat ini!”
“Kau tampak gelisah... Ada sesuatu yang kau pikirkan?!” tanya Kigali seraya melirik.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Kigali tidak tahu kalau Nyai Tandak Kembang punya kemampuan untuk menangkap keberadaan orang dengan penciumannya.
“Aku hanya menduga... Mungkin mereka berdua ti-ldak ada di bukit itu!” kata Nyai Tandak Kembang.
“Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi aku hampir bisa memastikan. Bahkan aku bisa menduga kalau bukit itu kosong!”
Kigali tersenyum. “Nyai... Kita tengah mengkhawatirkan keselamatan nyawa orang yang kita cintai. Jadi jangan menggantungkan pada dugaan. Menduga boleh saja, tapi sebaiknya kita selidiki dahulu! Lagi pula Pendekar 131 pasti juga berada disini!”
Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Saat lain dia sudah berkelebat mendahului. Karena sudah dapat memastikan tidak ada orang lain di tempat itu, Nyai Tandak Kembang melesat tanpa kebimbangan. Sebaiknya Kigali tampak berhati-hati bahkan sesekali dia masih putar pandangan berkeliling.
Setelah berputar di kaki bukit, mereka berdua menemukan lobang mulut goa. Tanpa banyak bicara lagi Nyai Tandak Kembang berkelebat masuk kemudian di susul Kigali yang tampak makin khawatir dengan tindakan Nyai Tandak Kembang yang begitu percaya diri tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Namun sejauh ini Kigali belum berani menegur. Dia hanya bertanya-tanya dalam hati.
Begitu memasuki goa, mereka menemukan satu pintu terbuka di pojok ruangan goa. Lagi-lagi tanpa melihat sekeliling, Nyai Tandak Kembang sudah melesat masuk.
“Tindakannya sangat berbahaya. Tapi kurasa dia tahu apa yang dilakukannya!” gumam Kigali yang sejenak tegak di tengah ruangan goa dengan mata mengedar berkeliling.
Begitu yakin tidak ada orang, baru Kigali melesat masuk menyusul Nyai Tandak Kembang. Kigali dan Nyai Tandak Kembang akhirnya menemukan sebuah lobang besar menganga diselimuti kabut setelah mereka menaiki tangga batu di balik pintu. Namun meski Kigali sudah memperhatikan dengan seksama ke seantero tempat itu, dia tidak melihat siapa-siapa!
“Dugaannya benar... Putri Kayangan dan Pitaloka tidak ada di tempat ini! Malah benar juga ucapannya jika tempat ini kosong! Heran, bagaimana dia bisa menduga dengan tepat?!”
Diam-diam Kigali bertanya dalam hati. Dia sebenarnya ingin bertanya. Namun sebelum sempat buka mulut, Nyai Tandak Kembang sudah berkata.
“Sebenarnya tempat ini tidak kosong. Hanya saja baru ditinggalkan penghuninya! Kita harus mencari mereka di tempat lain!”
Karena sudah membuktikan kebenaran dugaan Nyai Tandak Kembang, Kigali tidak buka mulut lagi untuk bertanya. Dia balikkan tubuh lalu berkelebat mengikuti Nyai Tandak Kembang yang sudah terlebih dahulu melesat keluar.
“Ke mana kita sekarang?!” Kigali baru bertanya begitu mereka berdua telah berada di luar goa.
Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Melainkan menghela napas dalam-dalam. “Aku tak mampu mencium jejak keduanya. Berarti mereka telah jauh dari tempat ini. Hem... Urusan ini masih ada hubungannya dengan Kampung Setan. Apa tidak mungkin mereka tengah menuju ke sana?!” Nyai Tandak Kembang berkata dalam hati lalu bertanya.
“Kau masih ingat jalan menuju Kampung Setan?!”
Kigali tampak sedikit terkejut. Namun segera menjawab. “Aku sudah lupa-lupa ingat. Tapi aku masih tahu arahnya!”
“Baik... Kita menuju ke Kampung Setan!”
“Kau yakin mereka menuju ke sana?!”
“Aku hanya menduga... Tapi kemungkinan besar dugaanku tidak salah... Bukankah kau tadi mengatakan urusan ini tidak bisa diputuskan dengan urusan Kampung Setan? Kalau mereka tidak berada di sini, ke mana lagi kalau tidak ke sana?!”
Entah karena sudah membuktikan kebenaran dugaan Nyai Tandak Kembang, meski masih diselimuti kebimbangan, akhirnya Kigali berkelebat juga. Nyai Tandak Kembang mengikuti di belakangnya.
PEMUDA berparas tampan dan gadis berwajah cantik itu berlari tidak begitu kencang. Malah sesekali mereka berdua berhenti lalu melangkah perlahan. Si gadis tampak terus kembangkan senyum dan tangannya melingkar pada pinggang si pemuda begitu mereka melangkah. Sementara si pemuda terlihat sering melirik pada si gadis dengan sesekali menghela napas panjang. Parasnya jelas membayangkan ketidakenakan hati. Tapi si pemuda tampak sembunyikan ketidak enakan hatinya dan sunggingkan senyum kala si gadis memandangnya.
Pada satu tempat, kedua orang muda ini hentikan langkah. Si gadis sandarkan kepala pada dada si pemuda. Lalu sedikit tengadahkan kepalanya seraya berkata,
“Joko... Kita hendak ke mana?!”
Si pemuda yang ternyata bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng tersenyum. Namun dia belum menyahut pertanyaan si gadis. Dia hanya memandang sejenak lalu alihkan pandang matanya jauh ke depan. Dalam hati dia berkata.
“Bagaimana ini?! tidak mungkin aku mengajaknya ke Kampung Setan. Ini sangat berbahaya! Tapi bagaimana aku harus memberi pengertian padanya?!”
Karena agak lama tidak juga menjawab, si gadis kembali angkat suara. “Joko... Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal?!”
Joko gelengkan kepala. Namun belum juga angkat bicara membuat si gadis makin curiga. Gadis cantik bermata bulat bersinar ini tarik kepalanya dari dada murid Pendeta Sinting. Dengan menatap tajam, dia berkata,
“Joko... Kau jangan berdusta padaku. Sikapmu lain... Kau menyembunyikan sesuatu padaku! Katakanlah terus terang. Atau kau keberatan pergi bersamaku?! Atau ada gadis lain yang membuatmu gelisah?!”
“Saraswati... Jangan terlalu jauh menduga. Aku senang pergi bersamamu. Hanya saja...”
Si gadis yang ternyata bukan lain adalah Saraswati cepat menyahut tatkala Joko tidak lanjutkan ucapan. “Hanya apa? Kau keberatan, bukan?!”
“Masalahnya bukan keberatan atau tidak. Kau tahu hendak ke mana aku sebenarnya?”
“Aku tidak peduli kau hendak ke mana!”
“Itulah masalahnya....”
“Aku sudah mengatakannya tidak peduli kau hendak ke mana! Berarti tidak ada masalah, bukan?!”
“Justru karena kau tidak peduli aku hendak ke mana itulah masalahnya!”
Saraswati kerutkan dahi. Seperti diketahui, Saraswati yang selama ini masih menduga jika orang yang melakukan perbuatan tidak senonoh padanya adalah murid Pendeta Sinting terus mencari-cari. Akhirnya dia menemukan Joko di goa Bukit Kalingga di mana dahulu Saraswati pernah mengalami peristiwa buruk. Setelah diberi pengertian oleh Joko, akhirnya Saraswati sedikit sadar meski belum sepenuhnya percaya pada keterangan Joko. Saraswati baru benar-benar percaya setelah dia dan murid Pendeta Sinting menemukan ruangan rahasia di balik goa. Dan pada akhirnya menemukan mayat ibunya serta Ni Luh Padmi.
Setelah mengubur ibu Saraswati yang tidak lain adalah Lasmini dan Ni Luh Padmi, Joko memutuskan hendak mencari sosok di balik Jubah Tanpa Jasad ke Kampung Setan. Tapi dia kebingungan bagaimana mengutarakannya pada Saraswati. Dia ingin pergi ke Kampung Setan tanpa Saraswati, karena dia maklum, perjalanan menuju Kampung Setan sangat berbahaya apalagi orang yang hendak dicari bukan orang sembarangan. Selain mengenakan Jubah Tanpa Jasad, orang ini juga membekal Kembang Darah Setan. Dua pusaka mustika peninggalan leluhur Kampung Setan.
“Joko! Katakan terus terang. Apa masalah sebenarnya!” kata Saraswati pada akhirnya setelah agak lama kedua orang ini saling berdiam diri.
“Aku akan ke Kampung Setan!”
“Hem... Bagiku pergi ke Kampung Setan bukan masalah! Malah sebenarnya aku selama ini mencari-cari keterangan di mana letak Kampung Setan!”
“Saraswati... Kampung Setan bukanlah tempat yang aman untuk sekarang ini! Lebih baik aku pergi sendiri...”
“Kalau kau tak ingin aku ikut, mengapa sedari tadi kau tidak mengatakannya malah coba mencari-cari alasan?!”
“Aku tidak mencari-cari alasan! Apa yang kukatakan benar adanya! Aku tak mau kau nanti mendapat celaka!”
“Itu hanya alasanmu! Aku sudah mengatakan tak peduli kau hendak ke mana!”
“Saraswati....”
“Sudahlah!” tukas Saraswati. “Kalau kau tak men- ginginkan aku bersamamu, aku tidak akan memaksa! Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin tanya padamu!”
Murid Pendeta Sinting tersenyum mendengar Saraswati mau mengerti. Dia segera saja berkata. “Apa yang hendak kau tanyakan?!”
“Harap kau jawab dengan jujur. Di mana letak Kampung Setan?!”
Pendekar 131 jadi terlengak mendengar pertanyaan Saraswati. “Busyet! Ini namanya sama saja! Dia tidak akan ikut, tapi tanya di mana Kampung Setan! Berarti dia akan pergi ke sana juga kalau kuberi tahu...” kata Joko dalam hati.
“Saraswati... Bukannya aku tak mau menunjukkan di mana Kampung Setan. Tapi sebenarnya tempat itu sangat berbahaya!”
“Aku tidak ingin keterangan tempat itu bahaya atau tidak. Aku tanya di mana letak Kampung Setan?” kata Saraswati dengan suara agak tinggi.
Tanpa disadari oleh Pendekar 131 dan Saraswati, sejak tadi tampak dua sosok tubuh mengendap-endap seraya mencuri dengar. Mereka adalah dua gadis berpakaian warna merah-merah. Mereka mengendap tanpa ada yang buka suara dan tanpa berani membuat gerakan. Hanya sesekali mereka berdua saling berpandangan. Di sebelah kanan terlihat agak geram malah matanya membelalak dengan rahang sedikit terangkat. Sementara yang satu tampak agak murung dan tidak berani langsung memandang ke arah murid Pendeta Sinting. Mereka berdua tidak lain adalah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Seperti dituturkan, Pitaloka minta izin pada Nyai Tandak Kembang untuk menyelesaikan satu urusan. Nyai Tandak Kembang sebenarnya merasa keberatan. Namun karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak Kembang memberi izin, tapi dia meminta Putri Kayangan untuk mendampingi Pitaloka. Setelah pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani serta Lingga Buana di Lembah Patah Hati, Pitaloka dan Putri Kayangan meninggalkan Kampung Setan. Pitaloka sengaja tidak memberitahukan pada Nyai Tandak Kembang juga pada Putri Kayangan hendak ke mana.
Sementara Putri Kayangan sendiri meski masih bertanya-tanya hendak ke mana tujuan Pitaloka, tapi yang paling menjadi beban pikirannya adalah keputusan Nyai Tandak Kembang yang telah memutuskan melarang Pitaloka dan dirinya untuk turun lereng Gunung Semeru begitu mereka nanti pulang. Maka kesempatan yang diberikan Nyai Tandak Kembang pada dirinya untuk mendampingi Pitaloka tidak disia-siakan. Dia ingin sekali bertemu dengan Pendekar 131 karena mungkin setelah itu mereka tidak bisa berjumpa lagi.
Namun begitu Pitaloka dan Putri Kayangan sampai di Bukit Kalingga, tempat di mana dulu Pitaloka pernah hampir diperkosa oleh Kiai Laras yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, mereka berdua menemukan Pendekar 131 tengah bermesraan dengan Saraswati. Pitaloka sangat geram, karena dia sebenarnya ingin agar Pendekar 131 bisa berdampingan dengan Putri Kayangan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak masih bisa menahan diri walau hatinya didera rasa kecewa dan cemburu.
Ketika Pendekar 131 dan Saraswati meninggalkan Bukit Kalingga, Pitaloka mengajak Putri Kayangan untuk terus mengikuti. Sebenarnya Putri Kayangan merasa enggan. Selain akan menambah rasa kecewa dia juga tak akan tahan melihat terus-terusan murid Pendeta Sinting berkasih-kasihan dengan gadis lain di depan matanya. Namun Pitaloka bersikeras mengajak Putri Kayangan karena dia berpikir tujuan Pendekar 131 pasti mencari sosok manusia yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad yang kini tengah dicarinya.
“Pitaloka...!” bisik Putri Kayangan. “Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada artinya kita terus mengikuti mereka!”
“Kuharap kau tabahkan hati melihat semua ini! Bukan hanya kau saja yang merasa sakit. Aku lebih sakit lagi melihat dia bermesraan dengan gadis sialan itu!”
“Pitaloka... Kau jangan menyalahkan mereka... Mungkin mereka sudah jadi kekasih sebelum ini. Hanya saja kita tidak tahu... Justru akulah yang salah... Untung aku belum terlambat untuk mengetahuinya. Jika terlambat, mungkin aku dituduh merebut kekasih orang...”
“Kau terlalu menyudutkan diri sendiri! Kalau pemuda itu sebelumnya sudah punya kekasih, seharusnya dia tidak memberi harapan padamu! Kau lihat sendiri tatkala di Lembah Patah Hati. Dia seolah-olah masih belum punya seorang kekasih. Dialah sebenarnya yang patut disalahkan! Dia pengecut! Sudah punya kekasih tapi masih juga berlagak...”
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Putri Kayangan sudah memotong. “Sudahlah, Pitaloka. Tak ada gunanya lagi kita perdebatkan soal itu! Aku dapat menerima semua ini. Sekarang yang penting adalah segera menyelesaikan urusanmu dan segera kembali ke lereng Gunung Semeru...”
Pitaloka berpaling pada Putri Kayangan. “Ucapan itu keluar dari hati nuranimu? Bukan karena kecewa dengan semua yang kau lihat?!”
Putri Kayangan tersenyum walau terlihat dipaksakan. “Pitaloka... Untuk apa harus kecewa? Urusan hati tidak boleh terlalu dipaksakan...”
Pitaloka menatap Putri Kayangan dengan wajahyang sulit dimengerti. Putri Kayangan sendiri alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Walau gadis ini tadi berucap seolah tidak merasa kecewa dan dapat menerima kenyataan apa yang terlihat, namun paras wajahnya tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa.
“Pitaloka... Sebenarnya apa maksudmu minta waatu pada Eyang. Kurasa bukan untuk mengikuti kedua orang itu bukan?!”
“Pada mulanya memang tidak, tapi sekarang kita harus terus mengikutinya! Aku telah bersumpah untuk membalas dendam pada manusia yang bertindak menjijikkan itu! Kalau dia tidak ada di Bukit Kalingga, hanya satu tempat yang mungkin didiaminya! Tempat itu adalah Kampung Setan!”
“Ucapanmu bukan hanya karena kau mendengar percakapan pemuda dan gadis itu tadi, bukan?!”
“Aku tahu siapa jahanam pemerkosa itu. Dia sering kali mengatakan sebagai penguasa baru Kampung Setan! Jadi kalau dia sudah enyah dari Bukit Kalingga, satu-satunya tempat yang dihuni adalah Kampung Setan! Dan kau tahu... Aku tidak tahu di mana letak Kampung Setan! Sementara kita sendiri mendengar kalau Pendekar 131 akan menuju Kampung Setan. Berarti dia tahu di mana Kampung Setan! Bagaimana kita akan menemukan Kampung Setan kalau tidak terus mengikutinya?!”
“Tapi....”
“Aku tahu...,” ujar Pitaloka menukas ucapan Putri Kayangan. “Orang yang akan kuhadapi adalah manusia berkepandaian sangat tinggi karena dia mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan memegang Kembang Darah Setan. Tapi satu-satunya benda untuk menghadapi jahanam itu telah ada! Aku tak akan bertindak bodoh untuk menghadapinya kalau tidak tahu bagaimana cara menghadapinya!”
“Tapi bukankah benda itu telah berada di tangan Pendekar 131?”
“Itu pula sebabnya mengapa aku mengajakmu untuk terus mengikutinya!”
Baru saja Pitaloka menyahut ucapan Putri Kayangan, tiba-tiba kedua gadis ini menangkap satu sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting dan Saraswati. Bukan hanya Pitaloka dan Putri Kayangan yang terkejut. Namun Saraswati dan Pendekar 131 tak kalah melengaknya!
Joko dan Saraswati saling pandang sejenak. Lalu hampir bersamaan mereka berdua arahkan pandangannya pada sosok yang baru muncul. Sementara dari tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Kayangan sama memandang tak berkesip pada orang yang tiba-tiba muncul. Semua mata di tempat itu melihat seorang gadis berparas jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya yang hitam lebat dikuncir ekor kuda. Hidungnya mancung dengan mata berbinar.
“Aku pernah bertemu dengan gadis ini! Malah dia pula yang mengusulkan agar aku memberi kesempatan pada Pendekar 131 untuk membuktikan bahwa bukan dia yang melakukan semua tindakan menjijikkan itu! Hem... Tampangnya aneh. Ada apa ini? Apa karena dia tahu aku bersama Pendekar 131?!” Diam- diam Saraswati membatin seraya perhatikan gadis yang baru saja muncul.
“Aku pernah melihatnya!” Dari balik persembunyiannya Putri Kayangan berbisik pada Pitaloka.
“Siapa dia?!” tanya Pitaloka.
“Kalau tak salah... Dewi Seribu Bunga!”
Di depan sana, murid Pendeta Sinting diam-diam juga berkata sendiri dalam hati. “Melihat gelagat, tentu dia akan meneruskan kisah lama! Hem... Urusannya tambah sulit. Apalagi pandangannya terasa tidak enak. Matanya bukan saja masih menuduh, tapi juga bercampur pandangan cemburu!”
“Pendekar 131!” Tiba-tiba gadis yang baru muncul angkat suara dengan keras. “Kesempatan yang kuberikan padamu untuk membuktikan bahwa bukan kau manusianya yang melakukan tindakan tidak terpuji itu! Bukan untuk hal-hal lainnya!”
“Benar dugaanku!” batin Joko. “Dia cemburu... Dikira aku selama ini pergunakan waktu untuk bersenang-senang!”
Saraswati rupanya maklum akan arti ucapan si gadis yang bukan lain memang Dewi Seribu Bunga adanya. Paras Saraswati sedikit merah. Sebelum murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, dia telah menyahut. “Harap tidak cepat menuduh! Dia telah pergunakan waktunya selama ini untuk menyingkap siapa manusia di belakang semua tindakan keji itu!”
Dewi Seribu Bunga mendengus pelan. Tanpa berpaling pada Saraswati, dia bersuara. “Aku tidak bicara padamu! Aku ingin keterangan dari dia!”
“Tapi ucapanmu tadi seolah-olah menuduh bahwa kesempatan itu digunakan untuk hal-hal yang bukan semestinya!” kata Saraswati menyahut dengan tampang tidak senang.
“Aku bicara apa adanya! Karena selama ini aku mendengar belum ada kabar perubahan yang berarti! Lalu kulihat kalian enak-enakan di tempat ini!” Kali ini seraya bicara, Dewi Seribu Bunga berpaling memandang tajam pada Saraswati.
Saraswati sendiri balas pandangan orang dengan mata berkilat. Untuk beberapa lama dua pasang mata berperang pandang.
“Dengar! Kami bukan tengah enak-enakan! Kami justru tengah mencari biang petaka jahanam itu!” Saraswati sambuti ucapan Dewi Seribu Bunga.
“Hem... Begitu? Jadi kalian berdua berada di tempat sepi begini kau anggap tengah mencari biang petaka itu?! Lihat berkeliling! Kau ada di mana?! Apa yang bisa kau dapatkan di tempat seperti ini?! Kau juga tidak sadar... Kalau kau diintai oleh mata-mata di balik tempat tersembunyi! Apakah ini bukti bahwa kalian berdua memang tengah mencari seseorang atau sebaliknya?!”
Saraswati dan Pendekar 131 sama terkejut. Untuk beberapa saat keduanya sama saling pandang lalu arahkan pandang mata masing-masing ke seantero tempat itu. Sementara dibalik tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Kayangan juga saling pandang.
“Gadis itu telah tahu kehadiran kita dan apa yang kita lakukan!” Putri Kayangan berbisik dengan dada berdebar tidak enak. “Sebelum kita mendapat malu, lebih baik kita pergi saja dari tempat ini!”
Pitaloka mencekal lengan Putri Kayangan. “Menghadapi urusan kali ini lenyapkan semua pikiran yang berhubungan dengan perasaan! Jika tidak, kita akan kembali ke lereng Gunung Semeru dengan tangan hampa! Bila itu terjadi, aku tak akan bisa hidup tenang disana!”
“Tapi mereka akan menuduh kita melakukan sesuatu yang kurang pantas!”
“Persetan dengan semua itu! Mereka sebenarnya yang melakukan pekerjaan kurang pantas! Bukan kita!”
“Apa benar ucapan Dewi Seribu Bunga jika di tempat ini ada orang lain?! Siapa? Apa orang itu mengikuti?! Celaka... Kalau orang itu belum kukenal masih lumayan! Tapi bagaimana kalau orang itu adalah orang yang kukenal? Sialnya lagi kalau orang itu sebenarnya telah mengikutiku sejak dari Bukit Kalingga! Aduh... Pasti dia tahu apa yang kulakukan bersama Saraswati...”
Pendekar 131 terus edarkan mata dengan hati berkata sendiri. Namun sejauh ini dia dan Saraswati belum juga bisa menemukan orang lain. Melihat sikap murid Pendeta Sinting dan Saraswati, Dewi Seribu Bunga tertawa pendek dengan nada mengejek sebelum akhirnya berujar.
“Kalau kalian tidak berlaku enak-enakan mana mungkin kalian sampai tidak sadar kalau tengah diintip mata?”
Mungkin merasa jengkel dengan ucapan Dewi Seribu Bunga, Saraswati cepat berteriak. “Siapa pun kau yang bersembunyi, mengapa takut perlihatkan diri?!”
“Kita akan dianggap manusia pengecut kalau tidak keluar tunjukkan diri!” bisik Pitaloka merasa dadanya terbakar mendengar teriakan Saraswati. Apalagi sejak dari Bukit Kalingga sebenarnya Pitaloka sudah menahan perasaan tidak sabar.
“Tunggu, Pitaloka!” tahan Putri Kayangan. Kali ini ganti Putri Kayangan yang mencekal lengan Pitaloka karena saat itu juga Pitaloka hendak melompat keluar. “Kalau perturutkan ucapan orang, aku khawatir akan terjadi keributan yang tidak berarti!”
“Hem... Lalu apa kemauanmu?!” tanya Pitaloka. “Sebaiknya kita berlalu saja dari tempat ini!”
“Kau takut menghadapi perempuan itu?!”
Putri Kayangan geleng kepala. “Bukan karena takut. Tapi sebaiknya kita menghindari keributan yang tidak berguna!”
“Justru kalau kita menghindar, urusannya jadi makin berlarut-larut! Aku tak mau itu terjadi! Kita harus tuntaskan sekarang juga! Bahkan kalau perlu, aku akan meminta kembali benda merah di tangan Pendekar 131!”
“Pitaloka! Kau telah memberikan benda itu!”
“Betul! Tapi kalau dia tidak bisa menggunakannya, bukankah lebih baik kuambil kembali?!”
“Bukannya dia tidak bisa menggunakannya, tapi waktunya belum tiba!”
“Kapan waktu itu akan tiba kalau dia terus-terusan dikejar urusan perempuan?!” jawab Pitaloka agak sengit.
“Bukankah kalau kita keluar berarti menambah urusannya dengan perempuan?!” balik Putri Kayangan.
“Tapi urusan kita berbeda! Bukan untuk...” Pitaloka tidak lanjutkan ucapan, karena saat itu kembali terdengar teriakan Saraswati.
“Hai.. Aku tahu di mana kalian berada! Jangan sampai aku menyuruh kalian keluar dengan cara lain!”
Teriakan Saraswati makin membakar dada Pitaloka. Dia cepat sentakkan cekalan tangan Putri Kayangan. Saat lain dia telah berkelebat dan tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat Dewi Seribu Bunga. Sepasang mata Pitaloka langsung menghujam tajam pada sosok Saraswati.
Putri Kayangan sebenarnya sudah coba menahan. Tapi terlambat. Dan karena dipikir tak ada gunanya lagi bersembunyi, juga khawatir akan terjadi keributan dan salah paham, dengan muka sedikit merah padam akhirnya Putri Kayangan ikut berkelebat keluar dan tegak di samping Pitaloka. Hanya saja begitu tegak, Putri Kayangan tidak langsung memandang pada Saraswati atau Pendekar 131, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi Seribu Bunga.
Mendapati siapa yang muncul, Saraswati tampak tersenyum dingin walau sejenak tampak terkejut. Dewi Seribu Bunga sendiri tak bisa sembunyikan rasa kaget. Gadis cantik bekas murid tunggal tokoh hitam bergelar Maut Mata Satu yang akhirnya diambil murid oleh Dewi Es ini memang tahu ada orang yang sembunyi di sekitar tempat itu. Namun dia sama sekali tidak menduga kalau orang itu adalah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Namun yang paling terlihat terkesiap adalah Pendekar 1311 Malah dia tampak salah tingkah dan bingung, hingga untuk beberapa saat dia bengong dan memandang silih berganti pada empat gadis yang berada di tempat itu!
“Aku sudah turuti permintaanmu! Sekarang katakan apa maumu!” Pitaloka sudah angkat suara dengan keras. Matanya terus saling berperang dengan mata Saraswati.
Saraswati sesaat pandang silih berganti pada Pitaloka dan Putri Kayangan. Dia tampak sedikit kebingungan. “Aneh... Ternyata ada dua gadis yang rupanya sama persis. Aku tak bisa memastikan mana yang pernah kutemui beberapa waktu yang lalu!”
Diam-diam Saraswati membatin. Dia memang pernah bertemu dengan Putri Kayangan. Namun karena tidak tahu kalau Putri Kayangan punya saudara kembar yang wajah dan pakaiannya sama, membuat dia tidak bisa menentukan siapa yang sempat bertemu dengannya!
Sama seperti halnya Saraswati, Dewi Seribu Bunga juga tidak bisa menentukan mana gadis yang pernah jumpa dengannya. Sebenarnya Pendekar 131 juga agak sulit membedakan. Namun dengan sikap Pitaloka, Joko segera saja bisa membedakan. Karena dia tahu sikap Putri Kayangan sedikit lembut dibanding Pitaloka. Hingga dia bisa segera menebak jika yang baru angkat bicara pada Saraswati adalah Pitaloka.
Sementara gadis yang muncul belakangan adalah Putri Kayangan. Dugaannya makin kuat, begitu dia melihat sikap Putri Kayangan yang tidak memandang ke arahnya maupun ke arah Saraswati. Namun di balik semua itu, sebenarnya murid Pendeta Sinting merasa tidak enak dengan kehadiran Putri Kayangan. Karena tidak tahu harus berbuat bagaimana, akhirnya Joko memutuskan.
“Urusan di depan masih banyak! Kalau aku larut dengan urusan di sini, perjalananku akan makin lama!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun baru saja Pendekar 131 balikkan tubuh dan belum sempat bergerak lebih jauh, sudah terdengar suara teguran keras.
“Pendekar 131! Jangan jadi manusia pengecut tinggalkan urusan sebelum selesai!” Yang angkat suara ternyata Pitaloka.
“Aneh... Di antara kita ada urusan apa?!” gumam Joko seraya urungkan niat dan putar tubuh kembali. Walau dia tadi tahu yang perdengarkan teguran adalah Pitaloka, namun begitu berbalik Joko bukannya memandang ke arah Pitaloka melainkan pada Putri Kayangan yang saat itu juga tengah memandangnya.
Sikap murid Pendeta Sinting membuat dada Saraswati sedikit panas. Dia arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan. Sementara Pitaloka menatap tajam pada Pendekar 131 dan berucap lagi.
“Setelah keluar dari Lembah Patah Hati, kurasa di antara kita memang tidak ada urusan lagi! Tapi begitu aku tahu apa yang kau lakukan, rasanya sulit untuk mengatakan jika di antara kita tidak ada urusan yang harus diselesaikan! Tapi tunggulah dahulu, aku akan bertanya apa kemauan gadismu itu!”
Selesai berkata, Pitaloka arahkan pandangannya pada Saraswati. Lalu berkata. “Aku tak mau menunggu terlalu lama! Katakan apa maumu!”
Sambil gerakkan kepala menoleh, Saraswati menyambut. “Mengapa kalian berdua mengikuti kami?! Kalau tidak punya maksud jahat, mana mungkin kalian sembunyi-sembunyi?!”
Pitaloka tertawa pendek mendengar ucapan Saraswati. “Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku mengikuti pemuda itu! Karena ada yang harus kuselesaikan dengannya!”
Kini ganti Saraswati yang tertawa pendek. Lalu berkata. “Kalau benar kalian mengikutinya, seharusnya kalian menunggu sampai kami berpisah!”
“Hem... Lalu sampai kapan kami harus menunggu?! Apa kau kira aku tak tahu... Kau enggan berpisah dengannya! Padahal dia sudah memintamu untuk pergi!”
Paras wajah Saraswati berubah merah padam. Pitaloka tersenyum mengejek. Lalu sambungi ucapannya. “Kalian manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu tempat! Apakah pantas orang bercumbu di dekat makam, hah?!”
“Pitaloka!” seru Putri Kayangan mencoba menahan agar keributan tidak makin seru. Lagi pula dia merasa malu dikira telah mengintip orang. Tapi sebelum Putri Kayangan sempat lanjutkan ucapan, Pitaloka sudah memotong tanpa memandang.
“Beda Kumala! Kau jangan ikut bicara! Orang-orang seperti mereka akan berbuat makin gila jika dibiarkan tanpa teguran!”
Mendengar kata-kata Pitaloka, selain makin merah padam, dada Saraswati seakan bergemuruh meledak-ledak. Di sebelahnya, murid Pendeta Sinting makin salah tingkah. Kini bukan saja tidak berani memandang pada Putri Kayangan, tapi juga makin bingung tak tahu apa nanti yang harus dikatakan. Karena dia sudah maklum jika Pitaloka dan Putri Kayangan telah tahu apa yang dilakukannya bersama Saraswati di kaki Bukit Kalingga setelah pemakaman Lasmini dan Ni Luh Padmi. Saraswati menarik napas panjang. Saat lain dia berucap dengan suara keras.
“Kau terlalu usil mencampuri urusanku! Dan kau tahu! Justru kalian yang tak tahu diri! Mengintip orang dan terus mengikuti dengan sembunyi-sembunyi! Jangan-jangan kalian gadis-gadis yang kerjanya cuma tukang intip! Kasihan...” Saraswati gelengkan kepala. “Kalian gadis-gadis berwajah cantik. Mungkin banyak pemuda yang tertarik dengan kecantikan kalian. Cuma mungkin kalian punya kerja suka ngintip, mereka segan pada kalian!”
“Kami tidak akan jual murah tubuh kami pada setiap pemuda sepertimu!” sahut Pitaloka.
“Hem... Manusia kadang sering sembunyikan diri di balik ucapan sok sucinya! Apa kau kira aku tak tahu kalau kau baru saja melahirkan anak tanpa diketahui siapa laki-lakinya, he?! Apa perbuatanmu itu tidak lebih gila? Apa dengan begitu kau masih menganggap tubuhmu kau jual mahal?! Kasihan....”
Saraswati kini ganti yang gelengkan kepala seraya tersenyum mengejek. “Kau bisa menegur orang, tapi kau sendiri tidak bisa kuasai nafsu! Kalau aku jadi kau, jangankan berkata menasihati orang, bertatap muka dengan orang saja kurasa aku malu mengangkat kepala!”
“Tutup mulutmu!” teriak Pitaloka setengah menjerit. Dada gadis ini menggelegak dengan tubuh bergetar keras. Kini pandangannya dialihkan pada Pendekar131 yang makin salah tingkah. Apalagi setelah mendengar ucapan Saraswati. Dia sama sekali tidak menduga kalau Saraswati akan mengucapkan hal itu.
“Kau!” Tiba-tiba Pitaloka berteriak dengan telunjuk diluruskan pada Joko. “Mulutmu ternyata lebih busuk dari mulut perempuan liar! Tak kusangka kalau kau berani menebar berita tak benar ini! Sebelum mulutmu makin menebar berita, lebih baik kuhancurkan sekarang juga!”
Pendekar 131 memang telah menceritakan apa yang dialaminya selama ini pada Saraswati kala berada di dekat pemakaman ibunya. Namun ceritanya itu semata-mata bukan untuk menebarkan berita yang tak sedap itu, melainkan agar Saraswati lebih percaya pada dirinya.
Sementara itu, sebenarnya Saraswati sendiri tidak tahu mana gadis yang bernama Pitaloka. Namun begitu mendengar Putri Kayangan tadi menyebut nama Pitaloka, Saraswati segera bisa menebak. Dan begitu mendengar sambutan Pitaloka, Saraswati makin yakin bahwa gadis yang diceritakan Pendekar 131 adalah gadis yang ada dihadapannya.
Mungkin karena merasa tahu kelemahan orang, Saraswati segera pula menyahut ucapan Pitaloka. “Jangan berharap bangkai busuk dapat ditutupi-dengan ucapan dan perbuatan sok suci! Itu hanya akan membuat orang makin curiga dan berita makin tersebar luas! Lebih baik kau akui terus terang dan tunjukkan siapa dirimu sebenarnya! Orang akan menghargai manusia yang tidak sembunyikan diri di balik ucapan sok sucinya!”
“Kalau kau terus buka bacot, mulutmu akan kuhancurkan juga!” Pitaloka menghardik tanpa berpaling pada Saraswati. Sebaliknya terus memandang ke dalam bola mata Pendekar 131 yang makin salah tingkah.
Sementara Dewi Seribu Bunga tampak bengong dan hanya bisa memandang silih berganti tanpa buka mulut. Putri Kayangan mau mencegah, tapi karena sudah tahu tabiat Pitaloka, dia akhirnya hanya bisa diam.
“Pitaloka...” Akhirnya Joko angkat bicara. “Maaf... Bukan aku sengaja menebar berita. Tapi semua itu harus kuceritakan, karena...”
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapan, Pitaloka sudah menukas. “Karena kau tertarik pada gadis itu! Aku tidak mau membicarakan segala macam budi, tapi kau adalah manusia bodoh kalau berlaku begini setelah kau dapatkan apa yang kau perlukan!”
“Pitaloka... Aku paham maksudmu. Kuakui kau telah banyak berjasa padaku. Tapi kuharap kau juga mengerti. Semua ini kulakukan karena aku tidak mau terus-terusan dituduh macam-macam! Lagi pula aku tahu siapa Saraswati. Dia tak akan menebarkan berita ini pada orang lain...”
“Mana ada orang mencela gadisnya di hadapan orang lain!” sahut Pitaloka masih dengan suara keras. “Sekarang hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan urusan ini! Serahkan kembali benda merah itu!”
Joko terkesiap mendengar permintaan Pitaloka. Sementara Saraswati kerutkan dahi. Dia bertanya-tanya benda apa yang dimaksud Pitaloka, karena Pendekar 131 memang tidak sebut-sebut benda merah dalam keterangannya saat menceritakan tentang musibah yang dialami Pitaloka. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga makin tidak mengerti.
“Pitaloka... Sekali ini kuminta pengertianmu. Kalaupun kau minta kembali benda itu, akan kuberikan setelah semuanya selesai...”
Pitaloka geleng kepala. “Mulanya aku memang percaya padamu hingga rela menyerahkan benda itu. Tapi melihat tingkahmu, kepercayaanku jadi luntur! Kau bukannya segera menyelesaikan urusan, sebaliknya kau enak-enakan bercumbu-ria dengan gadis itu! Kalau hal ini kau teruskan, sampai kapan aku harus menunggu?! Padahal kau tahu, kami harus segera kembali ke lereng Gunung Semeru!”
Mendengar ucapan Pitaloka, gemuruh dada Saraswati yang sejenak tadi sedikit mereda bergolak lagi. Dengan mata berkilat, anak gadis Lasmini ini buka suara. “Sedari tadi kau terus mengurusi perbuatan orang! Aku tahu kau cemburu. Tapi seharusnya kau sadar siapa dirimu! Mana mungkin ada laki-laki yang menaruh perhatian padamu jika kau pernah hamil malah melahirkan dan tidak diketahui siapa laki-lakinya?!”
“Jahanam!” teriak Pitaloka. “Aku memang bukan orang baik-baik! Tapi aku tidak akan bertindak gila di depan makam orang!”
“Mana aku tahu...?! Mungkin ucapanmu itu hanya sebagai tutup! Yang jelas tindakanmu sampai hamil adalah lebih gila!”
Saking marahnya, Pitaloka langsung angkat kedua tangannya. Tubuhnya diputar sedikit menghadap Saraswati. Saraswati tidak tinggal diam. Dia cepat angkat kedua tangannya.
“Tahan!” Hampir bersamaan Pendekar 131 dan Putri Kayangan berteriak. Murid Pendeta Sinting melompat dan menahan kedua tangan Saraswati, sementara Putri Kayangan mencekal kedua lengan Pitaloka dan tegak menghalangi di depannya.
“Beda Kumala... Jangan halangi aku! Gadis liar macam dia perlu sesekali mendapat hajaran agar bisa jaga mulut!” Pitaloka tepiskan cekalan tangan Putri Kayangan.
“Kau jangan ikut campur, Pendekar 131! Atau kau laki-laki yang menghamili gadis itu, hah?!” desis Saraswati dengan bibir bergetar. Dia cepat pula mendorong tubuh Joko hingga tersurut dua langkah.
“Saraswati... Jangan memperkeruh masalah!”
“Dia yang bikin masalah! Bukan aku!” jawab Saras- wati dengan ketus.
“Pitaloka...” ujar Putri Kayangan diseberang depan. “Tidak ada gunanya masalah ini diteruskan. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini!”
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak akan pergi tanpa benda merah itu di tanganku! Itu benda milikku! Aku yang berhak menggenggamnya! Bukan manusia bodoh yang hanya perturutkan kesenangan!”
Habis berucap begitu, tanpa diduga Putri Kayangan, kedua tangan Pitaloka mendorong ke depan. Sosok Putri Kayangan terjajar ke samping. Saat bersamaan, Pitaloka angkat kembali kedua tangannya dan serta-merta disentakkan ke arah Saraswati.
Di seberang depan, karena tidak tertahan lagi oleh sosok murid Pendeta Sinting, Saraswati tidak berdiam diri. Kedua tangannya segera pula didorong mengha- dang pukulan yang telah dilepas Pitaloka! Walau Pendekar 131 dan Putri Kayangan sudah sama bergerak hendak menahan, tapi gerakan keduanya sudah sangat terlambat. Hingga bentrok pukulan antara Pitaloka dan Saraswati tak dapat dihindarkan lagi.
"Blaarr!" Terdengar ledakan dahsyat kala pukulan yang dilepas Pitaloka dihadang pukulan Saraswati. Kedua sosok gadis ini sama mental ke belakang lalu sama jatuh terduduk dengan tubuh masing-masing bergetar dan paras pias.
Namun karena masing-masing orang sudah diamuk gejolak hawa amarah, baik Pitaloka maupun Saraswati segera bergerak bangkit. Putri Kayangan segera melompat. Di seberang sana, Joko ikut pula bergerak. Putri Kayangan menghalangi Pitaloka sementara Pendekar 131 mencegah Saraswati.
“Beda Kumala! Kalau kau ingin pergi, tinggalkan aku sendiri di sini! Tapi kalau kau ingin tetap bersamaku, jangan coba-coba mencegah apa yang akan kulakukan!” kata Pitaloka seraya angkat kedua tangannya dan matanya menusuk tajam pada Saraswati.
Sementara di depan sana, Saraswati juga arahkan pandang matanya menyengat pada Pitaloka seraya berucap pada murid Pendeta Sinting yang berada di depannya “Pendekar 131! Kalau kau inginkan gadis liar itu selamat, suruh dia hengkang dari tempat ini!”
“Saraswati... Sebaiknya kita bicarakan semua ini dengan kepala dingin. Urusan di depan masih besar dan banyak. Kalau urusan sepele ini harus dibesar-besarkan, kurasa kita akan rugi sendiri!”
“Kau sudah dengar ucapanku! Suruh gadis liar itu hengkang! Jika tidak jangan harap tak akan ada darah mengalir di sini! Dan jangan kira urusan ini cuma sepele! Kalaupun dia hengkang, kelak kalau bertemu, aku akan meneruskan urusan sampai tuntas!”
“Saraswati! Sebaiknya kita saja yang tinggalkan tempat ini. Nanti akan kujelaskan lagi masalahnya!”
“Kau selalu membelanya!” hardik Saraswati. “Aku makin yakin kau adalah laki-laki yang menghamilinya!”
“Saraswati...”
Joko tidak bisa lanjutkan ucapan, karena saat itu juga Saraswati sudah lepaskan satu tendangan pada dada murid Pendeta Sinting. Karena tidak menduga, Joko terlambat untuk menghindar atau menghadang tendangan Saraswati.
"Bukkk!" Pendekar 131 terhuyung-huyung ke belakang. Saat lain Saraswati sudah sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak ganas ke arah Pitaloka. Dari ganasnya gelombang yang melesat, jelas Saraswati tidak main-main lagi. Pitaloka terkesiap. Kedua tangannya segera didorong kembali ke arah Putri Kayangan yang tegak menghalangi di depannya. Sementara Putri Kayangan yang sudah maklum kalau Saraswati telah lepaskan pukulan lagi, segera menyergap tubuh Pitaloka agar tidak terjadi lagi bentrok pukulan dan hindarkan pukulan Saraswati.
Namun sergapan dan niat Putri Kayangan ditangkap lain oleh Pitaloka. Hingga dia tarik pulang kedua tangannya yang mendorong tubuh Putri Kayangan. Saat lain ketika Putri Kayangan menyergap, Pitaloka berkelit ke samping seraya doyongkan sedikit bagian atas tubuh. Saat lain kakinya melesat.
"Bukkk!" Meski kedua tangan Putri Kayangan sempat melakukan hadangan, tapi tendangan kaki Pitaloka lebih cepat datangnya. Hingga tanpa ampun lagi sosok Putri Kayangan terjajar beberapa langkah. Kejap lain, Pitaloka tekuk sedikit lututnya lalu didahului bentakan garang, dia sentakkan kedua tangannya dengan kerahkan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang yang tak kalah ganasnya dengan pukulan Saraswati tampak berkiblat menghadang.
“Celaka! Mereka pasti akan terluka...” gumam Joko lalu cepat angkat kedua tangannya untuk menghadang agar dua gelombang pukulan tidak saling berbenturan.
Karena benturan gelombang pukulan pasti akan membuat Pitaloka dan Saraswati terluka sebab kedua gadis ini telah melepas pukulan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi belum sempat kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak, terdengar suara orang bersin-bersin. Saat yang sama satu deruan angin melesat ke arah gelombang pukulan Saraswati. Hampir berbarengan dengan melesatnya deruan angin, satu cahaya putih berkiblat ke arah gelombang pukulan Pitaloka!
“Busss! Busss!”
Terdengar suara laksana api terkena siraman air. Gelombang yang melesat dari kedua tangan Saraswati langsung mental ke samping dan menghantam beberapa jajaran pohon. Tiga pohon agak besar tampak perdengarkan derakan, saat lain jatuh tumbang!
Saat berikutnya gelombang yang berkiblat dari kedua tangan Pitaloka semburat bertaburan terkena sergapan cahaya putih. Gagalnya benturan pukulan yang dilancarkan Saraswati dan Pitaloka memang membuat kedua gadis ini terhindar dari luka. Tapi sergapan yang tiba-tiba muncul dan bisa menggagalkan benturan dan pukulan mau tak mau masih membuat Saraswati dan Pitaloka sama terjajar meski tidak mengalami cedera yang berarti.
“Bruss! Bruss! Satu laki-laki empat perempuan. Aku tidak heran, pasti pangkal sebab adalah perasaan cemburu!”
Terdengar suara orang bersin dua kali disusul dengan terdengarnya suara. Lalu ditingkah dengan suara tawa panjang. Anehnya, semua orang yang ada di situ tidak bisa menentukan dari mana sumber suara-suara tadi terdengar, karena suara-suara itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Malah suara itu terus pantul memantul tak putus-putusnya!
“Kakek Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun!” desis murid Pendeta Sinting tahu benar siapa orang yang baru saja menggagalkan bentroknya pukulan Saraswati dan Pitaloka. Namun karena belum bisa melihat di mana kedua orang itu berada, Joko beberapa saat putar kepala dengan mata mengedar berkeliling.
Sementara Saraswati, Pitaloka, Putri Kayangan, dan Dewi Seribu Bunga juga sempat terkesiap. Mereka lebih terkejut lagi tatkala kepala masing-masing gadis ini sudah bergerak memutar tapi tidak juga melihat siapa-siapa. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara.
“Kuharap kalian tunda dulu urusan. Masih ada sesuatu yang harus dilakukan oleh pemuda itu!”
Walau tidak tahu di mana beradanya orang yang bersuara, namun Pitaloka segera menyahut. “Dia akan kubiarkan melakukan apa yang kau katakan! Tapi sebelum dia pergi, aku ingin dia mengembalikan benda milikku!”
“Bruss! Bruss! Jangan membuat orang merasa heran, Anakku... Kudengar kau telah memberikan benda itu. Mengapa kau kini hendak memintanya kembali?!” terdengar sahutan.
Kalau suara yang pertama tanpa didahului bersinan tadi mungkin masih bisa ditebak dari mana sumbernya, namun suara yang kedua dan didahului suara bersinan, siapa pun tidak bisa menebak dari mana sumbernya! Apalagi gema suara itu memantul ke segenap tempat!
“Dia bukannya segera menggunakan benda itu! Tapi lebih tertarik untuk bersenang-senang dengan gadis binal itu!” Pitaloka menyahut dan seolah orang melihat, ia arahkan telunjuknya lurus-lurus ke arah Saraswati.
Saraswati tak bisa lagi menahan hawa amarah. Dia kini angkat tangan kiri dan jari telunjuk ganti diarahkan pada Pitaloka. “Kalau aku yang bersenang-senang saja kau sebut gadis binal, lalu kata apa yang pantas untuk menyebut gadis hamil tanpa laki-laki sepertimu?!”
“Keparat!” maki Pitaloka. Untuk kesekian kalinya kedua tangannya diangkat ke udara tinggi-tinggi.
Saraswati ikut-ikutan angkat kedua tangannya. Tampaknya bentrok pukulan tak dapat dihindarkan lagi. Namun sebelum sempat kedua gadis ini sentakkan tangan masing-masing, terdengar suara bersinan tiga kali berturut-turut. Kemudian disusul dengan suara.
“Aku akan merasa heran jika sebuah salah paham bisa selesai dengan cara kekerasan! Kalaupun selesai, justru itu adalah awal sebuah urusan besar! Jadi ha- rap bisa menahan diri...!”
“Dia yang memulai!” teriak Pitaloka. Tangannya tetap berada di atas udara.
“Kau yang mulai! Kau sengaja mengintipku lalu mengikuti ke mana aku pergi dengan secara diam-diam! Seharusnya kau sadar dan mengaca siapa dirimu! Pemuda mana pun tak akan ada yang mendekatimu! Percuma kau mengikuti dia!” sambut Saraswati dengan kepala menoleh pada murid Pendeta Sinting. “Kalaupun ada pemuda yang mendekatimu mungkin pemuda itu manusia bodoh!”
Pitaloka sudah hendak angkat bicara, namun sebelum ucapannya terdengar, satu suara sudah menyahuti dari tempat lain.
“Sudahlah... Tak ada artinya perselisihan ini diteruskan! Sekarang masih ada hal penting yang mungkin masih menjadi tanggung jawab kalian juga! Untuk Pitaloka, kuharap kau merelakan benda itu sementara di tangan sahabat muda itu! Percayalah... Kalau sampai dia mempergunakan untuk hal-hal lain, aku yang akan mengambilnya sendiri dan menyerahkannya padamu!”
Baik Pitaloka maupun Putri Kayangan rupanya sudah dapat menebak siapa adanya kedua orang yang baru saja perdengarkan suara. Karena mereka berdua baru saja bertemu di Lembah Patah Hati dan masih hafal suaranya meski tidak melihat orangnya. Entah karena apa, Pitaloka perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Saat bersamaan Putri Kayangan segera melompat mendekat dan berbisik.
“Pitaloka... Sebaiknya kau turuti ucapan orang itu tadi!”
Pitaloka pandangi saudara kembarnya. “Baik... Ini kulakukan bukan karena permintaan orang atau turuti ucapan Pendekar 131. Ini semata kulakukan karena kau!”
Murid Pendeta Sinting mendekati Saraswati. “Saraswati... Kuharap salah paham ini selesai sampai di sini. Dan sekarang aku harus pergi!”
Tanpa menunggu sahutan Saraswati, Joko hadangkan wajah ke arah Pitaloka yang tegak berdampingan dengan Putri Kayangan. “Pitaloka... Terima kasih atas pengertianmu. Maaf kalau aku telah melakukan sesuatu yang kau anggap keliru. Aku harus pergi...”
Seraya berkata begitu, mata Joko terus pandangi Putri Kayangan yang saat itu juga tengah memandangnya. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata sendiri dalam hati. “Mungkin dia punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi satu waktu kelak aku akan menjernihkan persoalan ini..."
Kalau Pendekar 131 membatin begitu, ternyata Putri Kayangan juga berkata dalam hati. “Sebenarnya, apa pun yang dilakukan aku dapat memahaminya. Hanya saja mengapa dia sepertinya memberi harapan padaku. Padahal dia sudah punya kekasih. Mungkinkah aku masih harus menaruh harapan padanya? Apakah dia tidak tahu. Kalau aku begitu gembira mendapat kesempatan sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Semula aku mengharap kesempatan ini akan kujadikan kenangan indah bersamanya. Tapi sekarang, apakah mungkin hal itu akan terjadi...?!”
“Putri Kayangan...” Entah sadar atau tidak, murid Pendeta Sinting bergumam. Tapi ucapannya terhenti sampai di situ walau mulutnya terus membuka.
Putri Kayangan putuskan kata hatinya dan menunggu. Namun sampai sekian jauh gadis cantik salah satu cucu dari Nyai Tandak Kembang ini tidak mendengar lanjutan suara Pendekar 131. Sebaliknya habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sikap murid Pendeta Sinting mau tak mau membuat dada Saraswati mulai terbakar kecemburuan. Dia menatap tajam pada Putri Kayangan dengan mata berkilat-kilat. Sementara Putri Kayangan sendiri merasakan dadanya berdebar dan memperhatikan terus kelebatan sosok Joko hingga lenyap didepan sana. Semua orang di situ tidak tahu, jika semenjak tadi Dewi Seribu Bunga yang tegak diam dan hanya mendengarkan, tampaknya gigit kedua bibirnya.
“Begitu banyak gadis cantik yang coba menarik hatinya...” Dewi Seribu Bunga membatin. “Jadi percuma selama ini aku selalu mengenangnya! Apakah dia tidak tahu kalau kepergianku ini semata-mata hanya karena aku rindu padanya. Hem... Dia sama sekali memandang sebelah mata padaku. Bahkan dia seolah tidak melihat keberadaanku di tempat ini! Dia pergi begitu saja tanpa berkata sepatah kata padaku!”
Dengan berbagai perasaan akhirnya Dewi Seribu Bunga balikkan tubuh. Dan tanpa buka mulut lagi dia melesat pergi. Namun berjarak lima belas tombak, gadis murid Dewi Es ini berbalik lalu berkelebat ke arah mana tadi mu-rid Pendeta Sinting pergi!
Saraswati melirik pada Pitaloka. “Sebenarnya saat ini kesempatanku memberi hajaran pada gadis itu! Tapi kalau itu kulakukan, aku akan kehilangan jejak Pendekar 131. Aku harus segera menyusulnya!” Berpikir begitu, akhirnya Saraswati balikkan tubuh. Namun sebelum dia benar-benar berkelebat, dia masih sempat buka mulut.
“Urusan di antara kita jangan dianggap selesai! Kita akan lanjutkan bila ada kesempatan!”
“Ucapanmu menunjukkan kau hanya berani menantangku kalau ada pemuda itu! Kalau memang kau bukan pengecut, untuk apa harus menunggu ada kesempatan?! Sekaranglah kesempatan itu!”
“Pitaloka! Jangan memperpanjang urusan...!” kata Putri Kayangan.
“Urusan akan jadi panjang kalau tidak diselesaikan sekarang! Bukan tak mungkin mulutnya akan berkoar kemana-mana!”
Sebenarnya dada Saraswati sudah bergemuruh. Tapi karena dia khawatir kehilangan jejak murid Pendeta Sinting, dia menindih perasaan. Lalu berkelebat tinggalkan tempat Ku seraya berkata lantang. “Aku masih bisa menjaga mulut dan seluruh anggota tubuh lainnya! Pada pertemuan kelak, kuharap kau tidak kurang suatu apa! Lebih-lebih kau bisa menjaga agar tidak hamil lagi!”
“Jahanam keparat!” teriak Pitaloka. Kedua tangannya disentakkan seraya berkelebat. Satu gelombang ganas berkiblat ke arah Saraswati. Tapi Saraswati sudah berkelebat jauh. Gelombang pukulan itu hanya menghantam udara kosong!
“Kita ikuti Pendekar 131!” seru Pitaloka seraya teruskan berkelebat. Putri Kayangan sebenarnya hendak berkata, Namun karena Pitaloka sudah berada di depan sana, terpaksa dia urungkan niat lalu berkelebat menyusul.
Dari balik sebuah batangan pohon besar, dua orang laki-laki tampak duduk bersila. Sebelah kanan adalah orang tua bertubuh besar tambun mengenakan pakaian warna hijau gombrong. Sepasang matanya berwarna putih. Di sebelah orang tua ini adalah seorang kakek yang kepalanya terus bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah membuat mimik seperti orang hendak bersin. Mereka berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Brusss! Bagaimana sekarang? Aku tak heran... Mereka berempat tadi pasti mengikuti jejak murid Pendeta Sinting. Kalau hal ini dibiarkan, tentu perjalanan pemuda itu tidak akan mulus!” kata Datuk Wahing.
“Inilah susahnya kalau urusan sudah melibatkan perempuan! Urusan sepele bisa jadi panjang lebar tak karuan! Apa boleh buat, sementara ini kita punya tugas. Kita harus tetap mengawasi gadis-gadis itu. Kita cegah agar tidak terjadi bentrok sampai urusan pemuda itu beres!” sahut Gendeng Panuntun.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua ini beranjak bangkit. Saat lain mereka sama membuat satu gerakan. Sosok masing-masing orang berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depan sana. Malah sosok mereka tampak mendahului kelebatan Putri Kayangan dan Pitaloka. Saat lain telah melewati kelebatan Saraswati!
PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan larinya kala memasuki sebuah kawasan tanah terbuka yang di sekelilingnya dijajari beberapa julangan batu karang tinggi seakan memagari tanah terbuka tadi. Tepat di tengah tanah terbuka tampak altar batu agak besar berbentuk datar. Di sebelah altar batu terlihat bongkaran lobang menganga. Murid Pendeta Sinting putar kepala memandang berkeliling.
“Hem... Tempat ini belum berubah...” gumamnya seraya memperhatikan julangan batu karang sebelah kiri altar yang tampak terbongkar. “Apa dugaanku tidak salah...? Tapi mengapa belum juga terlihat ada tanda-tanda munculnya seseorang?!”
Joko berpaling ke belakang dari mana dia tadi datang. Dia menghela napas dalam seraya gelengkan kepala. “Mudah-mudahan gadis-gadis itu tidak mengikutiku. Kehadiran mereka hanya akan memperkeruh keadaan!”
Tanpa diketahui murid Pendeta Sinting, dari celah salah satu julangan batu karang, dua sosok tubuh tampak tegak memperhatikan. Yang sebelah kanan adalah sosok mengerikan. Seorang laki-laki yang usianya tidak bisa ditentukan. Paras wajahnya juga tidak bisa dikenali. Karena susunan anggota tubuh orang ini hanya terdiri dari susunan kerangka tanpa dilapisi daging sama sekali!
Di sebelah laki-laki yang anggota tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka dan tidak lain adalah Setan Liang Makam, tegak satu sosok yang tidak bisa dilihat bagaimana wujudnya. Yang terlihat tegak hanyalah jubah hitam besar. Jubah hitam itu mengapung di atas udara. Jubah itu bukan lain adalah Jubah Tanpa Jasad, salah satu benda mustika peninggalan kerabat Kampung Setan. Sosok tidak terlihat dibalik Jubah Tanpa Jasad bukan lain adalah Kiai Laras.
“Hem... Rupanya tanpa diundang pun manusia itu akan datang! Ini satu petunjuk jika tidak lama lagi akan datang yang lainnya! Dengan begitu, kejayaan Kampung Setan akan kita tegakkan tanpa harus eluar dari Kampung Setan! Aku tak akan membiarkan satu pun dari kalangan orang persilatan bisa keluar dari Kampung Setan dalam keadaan hidup! Aku akan jadikan Kampung Setan sebagai tempat angker yang tidak mudah diinjak telapak manusia yang tidak kuinginkan! Aku akan kendalikan rimba persilatan dari Kampung Setan! Sekarang kau tahu apa yang harus kau lakukan pada manusia tak diundang itu! Untuk yang satu itu kalau bisa bikin tak berkutik tanpa memutus selembar nyawanya! Karena dia nanti bisa kita buat sebagai umpan untuk memancing datangnya orang lain!” Terdengar suara dari sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah suara Kiai Laras.
Setan Liang Makam hanya anggukkan kepala tanpa perdengarkan suara sahutan. Namun diam-diam dalam hati dia membatin. “Tak akan kusisakan nyawa pemuda jahanam itu! Inilah saatnya aku membalas urusan tempo hari! Hem... Sayang. Kembang Darah Setan berada di tangan jahanam tidak kelihatan ini! Kalau tidak, sudah kulumat habis pemuda jahanam itu beberapa waktu yang lalu!”
“Setan Liang Makam! Lekas hadang manusia itu sebelum masuk ke Istana Sekar Jagat!” gumam Kiai Laras pelan namun nadanya keras memerintah.
Dengan memaki dalam hati, Setan Liang Makam berpaling sejenak pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain sosoknya berkelebat keluar. Sementara di depan sana, Joko serentak hentikan langkah kala ekor matanya menangkap satu bayangan berkelebat keluar dari salah satu julangan batu karang.
“Setan Liang Makam!” desis Pendekar 131 begitu melihat siapa manusia yang tegak sepuluh langkah di seberang depan. “Ternyata dugaanku tidak keliru. Kalau dia berada di ini, pasti orang pemakai Jubah Tanpa Jasad di sini juga!”
“Setan Liang Makam!” kata Joko. “Sebenarnya di antara kita tidak ada urusan berarti. Aku datang untuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad! Bisa tunjukkan padaku di mana dia berada?!”
Setan Liang Makam tidak menyahut. Hanya sepasang matanya perhatikan orang dengan pandangan berkilat marah. Murid Pendeta Sinting tersenyum dan maklum akan sikap orang karena dia dan Setan Liang Makam memang beberapa kali bertemu dan sempat bentrok.
“Setan Liang Makam!” kata Joko dengan suara sedikit dikeraskan meski dia tahu kalau Setan Liang Makam tadi sudah dengar ucapannya. “Aku datang untuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad! Harap tunjukkan di mana dia berada!”
Setan Liang Makam masih juga kancingkan mulut. Namun tak lama kemudian dia sudah perdengarkan suara. “Kau bisa menemuinya di liang neraka!”
“Ah... Terima kasih atas keteranganmu! Sekarang mau tunjukkan padaku di mana tempat yang baru saja kau katakan?!”
“Akan kuturuti permintaanmu!” sentak Setan Liang Makam. Saat bersamaan kedua tangannya diangkat lalu didorong. Dua gelombang angin dahsyat menghampar.
Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Setan Liang Makam terangkat, murid Pendeta Sinting berkelebat ke samping selamatkan diri. Gelombang hamparan angin lewat setengah depa di samping sosok Pendekar 131 dan terus lurus ke belakang menghantam salah satu julangan batu karang.
"Brakkk!" Sebelah sisi kanan julangan batu karang yang tadi berada di belakang Pendekar 131 langsung muncrat semburkan pecahan kepingan batu. Saat muncratan luruh, tampak sebelah sisi julangan batu karang gerompal besar!
“Sobatku, Setan Liang Makam! Aku tanya baik-baik. Mengapa kau menyerangku?!”
“Sebelum kutunjukkan tempat di mana orang yang kau cari, kita selesaikan dahulu urusan lama kita!”
“Urusan lama? Urusan lama yang mana?!”
“Akan kuingatkan otakmu dengan caraku!” hardik Setan Liang Makam. Kedua tangannya kembali diangkat.
“Tunggu! Tahan dulu... Aku ingat sekarang. Yang kau maksud tentu pertemuan kita beberapa waktu yang lalu. Kukira kejadian itu hanyalah salah paham semata! Dan seharusnya kau yang minta maaf padaku. Karena kau selama ini menuduhku sebagai orang yang mengambil Kembang Darah Setan! Sekarang kau sendiri telah lihat buktinya! Aku bukanlah orang yang kau tuduh! Tapi... Sudahlah... Lupakan semua itu! Sekarang kita berteman! Dan aku sekarang butuh bantuanmu!”
“Aku hanya bisa membantu untuk tunjukkan jalanmu ke neraka!”
“Sobat! Untuk jalan itu aku sudah tahu karena aku pernah ke sana! Aku minta bantuan lain! Bagaimana? Atau kau minta imbalan?! Katakan saja apa imbalan yang kau inginkan?! Harta...?! Tubuh molek...?! Atau....”
Joko tidak segera lanjutkan ucapan sebaliknya melompat mendekat lalu lanjutkan ucapan dengan suara direndahkan. “Atau kau inginkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad kembali ke tanganmu?!”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Setan Liang Makam picingkan sedikit sepasang matanya. Tulang dahinya bergerak tanda dia berpikir. Sikapnya terlihat ragu-ragu.
Pendekar 131 tersenyum. “Sobat... Aku tahu. Kaulah sebenarnya yang berhak atas Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Sebab kedua barang mustika itu adalah peninggalan leluhurmu! Aku bersedia membantumu mendapatkan benda itu...”
“Bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku?!” tanya Setan Liang Makam terpancing. Namun sebelum buka mulut bertanya, cucu Nyai Suri Agung ini sempat berpaling sesaat ke tempat Kiai Laras. Dan begitu dia yakin sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad tidak ada di tempatnya tadi berada, dia baru berani buka mulut.
Di lain pihak, sikap Setan Liang Makam telah membuat murid Pendeta Sinting tahu di mana adanya orang yang dicari! Dia segera pula melirik. Tapi keningnya berkerut. “Dari pandangannya, jelas di balik julangan ke mana matanya memandang ada orang lain bersembunyi. Aku belum tahu siapa adanya orang itu! Terakhir kali berpisah, dia bergabung dengan sosok pemakai Jubah Tanpa Jasad, Pitaloka, dan orang tua yang wajahnya mirip dengan Kiai Laras. Hem... Pitaloka jelas sudah tak mungkin orangnya. Jadi sekarang yang mungkin tinggal orang tua yang parasnya mirip dengan Kiai Laras dan mungkin sosok pemakai Jubah Tanpa Jasad itu sendiri! Tapi... Aku sekarang tidak melihat tanda-tanda orang di balik itu! Hem... Mungkin Setan Liang Makam baru berani bertanya setelah yakin pula bahwa orang di balik batu sudah tidak ada. Hem... Sebaliknya aku terus memancingnya!” kata Joko dalam ha-ti.
“Kau jangan berani main-main denganku! Katakan bantuan apa yang akan kau lakukan untukku!” kata Setan Liang Makam mengulangi ucapannya karena untuk beberapa lama Joko tidak menyambut.
“Bukankah kau inginkan kedua benda itu kembali ke tanganmu lagi?!”
“Jahanam! Aku tanya bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku?!” hardik Setan Liang Makam mulai kesal.
“Tentu saja untuk mengembalikan kedua benda itu padamu!”
“Keparat! Yang kutanyakan untuk mendapatkan kedua benda itu, apa yang akan kau lakukan?!”
Joko anggukkan kepala. “Setinggi apa pun ilmu seorang manusia, pasti ada kelemahannya! Dan aku tahu apa kelemahan orang pemakai Jubah Tanpa Jasad itu!”
“Katakan padaku apa kelemahannya!” sahut Setan Liang Makam.
“Sobat... Bukan hanya manusia yang punya telinga! Tanah, julangan batu karang, langit, mendung, dan batangan pohon bisa mendengar. Sementara aku tak ingin telinga lain mendengarkan. Karena itu tidak baik. Sebab ini menyangkut kelemahan orang!”
Setan Liang Makam katupkan tulang mulut. Tulang keningnya bergerak-gerak. Saat lain dia perdengarkan suara setelah edarkan pandangan berkeliling. “Lalu apa maumu?!”
“Bawa saja aku ke tempat orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad itu!”
“Hem... Kau kira aku bisa kau bodohi, he?!”
“Tunggu! Jangan salah sangka! Aku tidak punya maksud macam-macam padamu!”
“Kau menginginkan kedua benda itu juga, bukan?!”
Pendekar 131 tertawa seraya gelengkan kepala. “Aku tahu orang itu berada di sekitar tempat ini! Kalau aku mau... Tidak sulit aku menemukannya! Lagi pula aku telah tahu kelemahannya. Jadi kalau aku menginginkan kedua benda itu mudah saja!”
“Lalu mengapa tidak kau lakukan?!”
“Aku masih menghargaimu sebagai pemilik sah benda keramat itu! Lagi pula ini adalah tempatmu!”
“Benarkah ucapannya?! Tapi kalau benar, mengapa saat bentrok beberapa waktu lalu dia tidak bisa menaklukkan jahanam pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?! Padahal saat itu dia dibantu beberapa temannya?! Jangan-jangan dia hanya mengelabuiku!”
Setan Liang Makam membatin ingat akan pertemuan murid Pendeta Sinting yang saat itu bersama Datuk Wahing, Gendeng Panuntun bentrok dengan pemakai Jubah TanpaJasad. Mengingat akan hal itu, Setan Liang Makam segera angkat suara.
“Kalau benar kau tahu kelemahannya, bagaimana mungkin kau tak dapat mengalahkannya saat bentrok beberapa waktu lalu?! Padahal saat itu kau tidak sendirian!”
“Terus terang... Saat itu aku memang belum tahu kelemahannya! Tapi sekarang aku tahu bagaimana menaklukkannya! Tunjukkan saja di mana dia! Atau suruh keluar!”
Belum sampai suara murid Pendeta Sinting selesai, dari salah satu puncak julangan batu karang tiba-tiba satu benda hitam berkelebat turun. Belum sampai benda hitam yang ternyata adalah sebuah jubah hitam, berada diatas tanah, satu suara terdengar.
“Setan Liang Makam! Lakukan apa yang kuperintah! Atau kau sendiri yang akan kulumat!”
"Wusss!" Bersamaan dengan terdengarnya suara, satu gelombang ganas berkiblat ke arah Setan Liang Makam. Setan Liang Makam terkesiap. Sesaat dia berpikir. Menghadang gelombang yang datang atau menghindar selamatkan diri. Akhirnya Setan Liang Makam memutuskan berkelebat menghindar karena sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan murid Pendeta Sinting. Sementara kalau dia menghadang gelombang yang datang, mungkin dia akan mengalami hal lebih naas. Bukan tak mungkin sosok di balik Jubah Tanpa Jasad akan marah besar.
"Bummmm!" Tanah di sekitar terbuka dan bergetar keras. Saat yang sama tanah itu semburat terhantam gelombang.
Jubah Tanpa Jasad tegak sepuluh langkah di samping tempat tegaknya Setan Liang Makam. Bagian lengan dan bahu Jubah Tanpa Jasad bergerak ke samping, ke arah Setan Liang Makam.
“Aku tak mau dikhianati! Dan kau dengar ucapanku! Lakukan atau kau yang akan kukirim menyusul nenekmu!”
“Jahanam! Jadi dia telah membunuh Nyai Suri Agung!” maki Setan Liang Makam dalam hati. Dada cucu Nyai Suri Agung ini sudah dibungkus luapan hawa amarah luar biasa. Namun karena kini dia sadar siapa orang yang dihadapi, bagaimanapun besar luapan kemarahannya, dia coba menahan. Lalu berkelebat ke depan dan tegak di hadapan Pendekar 131!
Sementara melihat munculnya sosok tak kelihatan yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, murid Pendeta Sinting selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian. “Busyet! Aku lupa lagi. Seharusnya aku bertanya pada Kakek Gendeng Panuntun atau Kakek Datuk Wahing bagaimana caranya menggunakan benda ini!” gumam Joko dalam hati menyesal. “Ini gara-gara ribut urusan dengan beberapa gadis itu! Membuat aku sampai lupa menanyakan! Padahal aku tahu, kedua orang yang muncul saat itu adalah Kakek Gendeng Panuntun dan Datuk Wahing! Bagaimana sekarang...? Hem... Akan kucoba dengan kemampuanku sendiri dahulu. Jika tak berhasil, entah bagaimana caranya nanti!”
Memutuskan demikian, akhirnya Joko urung mengeluarkan benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pitaloka. Lalu tarik pulang tangannya keluar. Setan Liang Makam dan sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah Kiai Laras sesaat memperhatikan gerakan tangan Joko yang keluar dari balik pakaiannya.
“Apa lagi yang kau tunggu, Setan Liang Makam?!” Kiai Laras membentak.
Setan Liang Makam menggeram. Selain marah akan perintah Kiai Laras, juga marah melihat sikap murid Pendeta Sinting. Pada mulanya Setan Liang Makam menduga orang hendak mengeluarkan sesuatu. Namun ternyata tangan Joko keluar tanpa menggenggam sesuatu! Setan Liang Makam merasa sudah ditipu.
“Penipu busuk!” hardik Setan Liang Makam. Saat bersamaan dia melesat ke depan. Kedua tangannya dikelebatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!
“Tahan!” teriak Joko dengan angkat kedua tangannya di atas kepala.
Setan Liang Makam tak pedulikan lagi teriakan orang. Kedua tangannya terus dikelebatkan. Joko mendorong kedua tangannya ke atas menyongsong.
Bukkk! Bukkk!
Sosok Setan Liang Makam mental dan tegak tiga langkah dari tempat terjadinya benturan pukulan. Di depannya, Joko tersurut satu langkah dengan kibas- kibaskan kedua tangannya yang baru saja berbenturan dengan kedua tangan Setan Liang Makam.
“Sobat!” kata Joko dengan senyam-senyum meski merasakan kedua tangannya kesemutan. “Kalau kau benar-benar ingin lanjutkan urusan lama, tetap akan kulayani. Tapi biar aku bicara dahulu dengan sobat yang baru muncul itu!”
Tangan kanan Joko menunjuk pada Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di atas udara. Tanpa menunggu sambutan Setan Liang Makam, murid Pendeta Sinting berkelebat melewati sisi Setan Liang Makam lalu tegak berhadapan dengan Jubah Tanpa Jasad!
BARU saja Pendekar 131 buka mulut dan suaranya belum terdengar, kedua lengan Jubah Tanpa Jasad sudah berkelebat!
"Weerr! Weeerr!" Dua gemuruh angin berkiblat angker melesat dari kedua lengan jubah.
Karena tidak menduga, murid Pendeta Sinting sempat kelabakan. Namun seraya berkelebat menghindar, kedua tangan Joko lakukan satu pukulan ke depan.
"Bummm! Bummm!" Kawasan Kampung Setan sesaat dilanda gelegar. Karena tempat di mana terjadi bentrok pukulan dikelilingi beberapa julangan batu karang, suara beradunya pukulan menggema seakan hendak meruntuhkan julangan batu karang!
Tampaknya Kiai Laras tidak mau memberi kesempatan. Begitu Joko dapat hindarkan diri dan menghadang gelombang dari kedua lengan Jubah Tanpa Jasad, Kiai Laras cepat melesat mengejar. Kembali kedua lengan jubah hitam bergerak. Malah kali ini bagian bawah jubah juga sedikit terangkat keatas.
Meski Joko tidak melihat sosok orang di balik jubah, namun dari gerakan jubah yang melayang di atas udara, dia dapat menduga gerakan apa yang dibuat orang. Maka seraya melenting satu tombak ke udara, kedua tangannya dipukulkan ke depan menghadang gerakan kedua lengan jubah. Saat bersamaan kaki kanan kirinya juga membuat gerakan menendang, menghadang gerakan jubah bagian bawah!
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga berturut-turut. Murid Pendeta Sinting rasakan kedua tangannya menghantam benda keras luar biasa. Dia sama sekali tidak merasakan bersentuhan dengan kain jubah!
Kalau murid Pendeta Sinting tidak merasakan bersinggungan dengan kain jubah, tidak demikian halnya dengan kedua kakinya. Dia masih merasakan benturan dengan anggota tubuh orang. Sosok Pendekar 131 terjajar satu setengah tombak di atas udara. Lalu meluncur turun dan tegak di atas tanah setelah membuat gerakan jungkir-balik satu kali.
Joko cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Karena dirasakan aliran darah pada kedua tangannya laksana tersumbat. Dadanya sesak. Sementara di seberang sana, sosok jubah hitam tampak melintir bagian bawahnya. Namun sesaat kemudian telah tegak mengapung di atas tanah.
“Hem... Berarti anggota tubuhnya yang tidak terlapisi jubah hitam itu bisa digebuk! Jadi aku harus menyerang bagian kaki dan wajahnya!” kata Joko dalam hati.
Kalau Joko membatin begitu, Kiai Laras diam-diam juga berkata dalam hati. “Aku masih bisa bersinggungan dengan kakinya. Berarti jubah ini hanya dapat melapis bagian tubuhku yang tertutup jubah! Aku harus berhati-hati. Dan aku sekarang tak akan memukulnya dari jarak dekat kecuali dengan kedua tanganku! Lagi pula bukankah aku membekal Kembang Darah Setan?! Hem... Sebenarnya aku menginginkan anak manusia itu hidup sementara waktu. Tapi kurasa ia terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup! Dia mati atau hidup pasti jahanam gurunya akan mencarinya kemari! Saat itulah yang kutunggu-tunggu!”
“Hai! Aku datang bukan cari keributan! Aku hanya ingin....”
“Persetan dengan maksudmu! Yang jelas siapa pun yang datang ke tempat ini berarti akan pulang namanya saja! Apalagi kau! Sebelum ini kita sudah membuka urusan. Dan hari ini urusan itu akan selesai!”
Kiai Laras tidak menunggu Joko buka mulut menyahut. Saat itu juga kedua tangannya diangkat. Namun tiba-tiba salah satu tangannya diturunkan lalu bergerak menyelinap ke balik jubah. Saat lain tangannya keluar lagi. Namun bersamaan dengan keluarnya tangan dari balik jubah hitam, terlihat pancaran sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
“Kembang Darah Setan!” desis Setan Liang Makam mengenali cahaya tiga warna. Sepasang matanya memperhatikan tak berkesip pada bagian ujung lengan jubah. Berjarak satu jengkal di depan ujung sebelah lengan jubah hitam terlihat sekuntum bunga mengapung di atas udara. Bunga itu memiliki tiga daun. Satu berwarna merah, satu berwarna hitam, dan satunya lagi berwarna putih. Pada kuncup bunga juga berwarna merah.
Baik Joko maupun Setan Liang Makam sepertinya melihat bunga mengapung di atas udara. Padahal sebenarnya bunga itu yang bukan lain memang Kem- bang Darah Setan, digenggam tangan Kiai Laras. Hanya karena tangan Kiai Laras tidak kelihatan mata biasa, maka Kembang Darah Setan seolah-olah mengapung di atas udara!
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Setan Liang Makam melesat dan menyambar Kembang Darah Setan yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun silam. Namun dia cepat sadar. Kalau dia paksakan diri merebut Kembang Darah Setan, maka dia akan mendapat celaka. Hanya saja sekarang dia menunggu kebenaran ucapan murid Pendeta Sinting yang tadi mengatakan tahu kelemahan orang. Namun dia tak berani bertindak ayal. Walau kini dia tidak ikut terlibat, dia tetap kerahkan tenaga dalam. Dan sepasang matanya terus mengawasi gerakan Kembang Darah Setan. Setan Liang Makam seakan tengah menunggu kesempatan yang baik untuk menyambar Kembang Darah Setan.
Sementara melihat Kembang Darah Setan sudah keluar, Joko tidak berani lagi bertindak sembrono. Dia telah tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah Setan. Maka begitu Kembang Darah Setan terlihat, Joko cepat siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Malah setelah berpikir sesaat, dia alirkan tenaga lipat ganda pada tangan kiri siapkan pukulan ‘Serat Biru’! Saat itu juga tangan kanan Joko berubah warna menjadi kuning, sementara tangan kiri disemburati warna biru.
Kiai Laras perdengarkan suara tawa panjang. Namun tiba-tiba suara tawanya diputus. Saat bersamaan tangannya yang memegang Kembang Darah Setan diangkat. Joko tidak tinggal diam. Dia juga angkat tangan kiri kanan. Ketika Kembang Darah Setan berkelebat, Joko sentakkan pula tangan kiri kanan sekaligus!
"Wuuttt!" Kembang Darah Setan berkelebat. Tiga sinar berkiblat. Merah, hitam, dan putih perdengarkan deruan luar biasa dahsyat.
"Wuutt! Wuutt!" Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak. Dari tangan kanan melesat sinar berwarna kekuningan disertai gelombang ganas. Saat bersamaan hawa panas menghampar. Saat yang sama dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang.
"Blammm! Blammm!" Terdengar ledakan dahsyat laksana hendak merobohkan julangan beberapa batu karang. Sinar tiga warna yang berkiblat dari Kembang Darah Setan semburat. Hebatnya semburatan sinar tiga warna masih terus menebar ke arah Pendekar 131 Joko Sableng! Namun sebelum tebaran sinar tiga warna sempat melabrak, serat-serat biru sudah menghadang! Serat-serat biru menebar panjang lalu meliuk-liuk dan laksana seekor ular, serat-serat biru menghampar lalu melilit tebaran sinar tiga warna.
"Buss! Busss!" Tebaran sinar tiga warna yang terlilit serat-serat biru langsung ambyar. Saat yang sama, lilitan serat-serat biru juga terputus-putus!
Pendekar 131 rasakan sosoknya seperti disentak-sentak. Hingga ketika tubuhnya terpental ke belakang, terlihat tubuhnya beberapa saat terhenti lalu terpental lagi, terhenti lagi dan akhirnya melayang ke belakang sebelum jatuh terduduk dengan kedua tangan lunglai dan mulut terbuka megap-megap! Sosoknya bergetar keras, lalu tak lama kemudian murid Pendeta Sinting cepat-cepat katupkan mulutnya ketika merasakan perutnya mual dan rasa darah telah keluar dari tenggorokannya. Jelas ini pertanda kalau bentroknya pukulan tadi telah membuat murid Pendeta Sinting terluka dalam.
Sementara itu begitu terdengar ledakan, Jubah Tanpa Jasad tampak mencelat beberapa langkah ke belakang. Saat berikutnya, ketika tebaran sinar tiga warna ambyar terkena lilitan serat-serat biru, Jubah Tanpa Jasad melenting tersentak-sentak kebelakang. Sebenarnya Kiai Laras tidak begitu merasakan akibat dari bentroknya pukulan. Karena sosoknya dilapis dengan Jubah Tanpa Jasad. Namun karena bagian kakinya tidak terlapis jubah, maka saat sosoknya tersentak ke belakang, Kiai Laras tidak bisa bertahan. Hingga tak lama kemudian kedua lututnya goyah dan menekuk. Saat lain Jubah Tanpa Jasad bergerak menekuk dan jatuh di atas tanah!
Karena sosoknya tidak kelihatan, murid Pendeta Sinting dan Setan Liang Makam tidak bisa mengetahui bagaimana paras wajah Kiai Laras. Namun hal itu tidak begitu terpikirkan oleh Setan Liang Makam. Sebaliknya dia tampak sangat kecewa. Karena dia berharap dengan terjadi bentrok, Kembang Darah Setan bisa lepas dari genggaman tangan orang.
Di lain pihak, meski merasakan sosoknya terpelanting, namun Kiai Laras tidak mau Kembang Darah Setan di tangannya lepas. Hingga dia pegang erat-erat Kembang Darah Setan. Apalagi dia menangkap gelagat mencurigakan dari pandangan mata Setan Liang Makam. Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan cepat bergerak bangkit.
Joko memperhatikan sesaat. “Busyet! Dia sepertinya tidak mengalami cedera sama sekali! Akan kucoba dengan pukulan ‘Sundrik Cakra’!”
Berpikir begitu, sembari bangkit berdiri, Joko pusatkan seluruh tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu tangan kanannya diangkat. Jari tengah, jari telunjuk serta jari manis dicuatkan ke atas. Sementara ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu. Inilah tanda kalau Pendekar 131 telah siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’.
Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam pada tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan. Saat berikutnya tangan kanannya bergerak.
"Wuuttt!" Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua kalinya sinar tiga warna berkiblatan. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan, maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang pertama!
"Wuuttt!" Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua kalinya sinar tiga warna berkiblat. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan, maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang pertama!
Pendekar 131 segera pula mendorong tangan kanannya. Tiga larik sinar kuning sebesar jari melesat ke depan. Hebatnya, larikan sinar itu makin lama makin besar. Tidak terdengar gemuruh suara gelombang. Namun begitu larikan sinar kuning bertemu sinar tiga warna, terdengar gelegar maha dahsyat. Bagian ujung julangan batu karang di tempat itu tampak bergetar keras sebelum akhirnya terbongkar dan mental semburat.
Setan Liang Makam yang berada di tempat itu terhuyung-huyung. Untung cucu Nyai Suri Agung ini dapat segera sadar dan kuasai diri. Jika tidak, niscaya sosoknya akan terbanting. Sementara sosok murid Pendeta Sinting tampak mencelat sampai tiga tombak sebelum akhirnya jatuh terkapar dengan mulut semburkan darah. Di seberang sana, sosok Jubah Tanpa Jasad terjajar sampai dua tombak sebelum akhirnya juga terkapar. Terdengar suara tersedak, disusul kemudian dengan muncratnya darah dari bagian atas leher jubah. Tanda jika kini Kiai Laras juga mengalami cedera dalam. Bahkan Kembang Darah Setan di tangannya terpental lepas!
Setan Liang Makam yang sejak tadi menunggu kesempatan segera melirik pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain sosoknya berkelebat. “Jahanam! Dugaanku tidak meleset!” desis Kiai Laras melihat gerakan Setan Liang Makam. Walau masih belum bisa kuasai diri sepenuhnya, namun karena tak mau kehilangan Kembang Darah Setan, dia segera sentakkan kedua tangannya seraya bergulingan mendekati tergeletaknya Kembang Darah Setan.
Setan Liang Makam rupanya sudah memperhitungkan tindakan. Begitu menangkap gerakan kedua lengan Jubah Tanpa Jasad, dia segera jatuhkan diri ke atas tanah seraya bergulingan pula. Saat lain kedua tangannya mendorong ke depan menghadang pukulan yang dilepas Kiai Laras.
"Blaarr!" Terdengar ledakan dahsyat. Gulingan sosok Setan Liang Makam dan Kiai Laras sama-sama terhenti. Walau Setan Liang Makam merasakan aliran darahnya laksana disentak-sentak, dia tidak peduli. Begitu sosoknya terhenti karena bentroknya pukulan, dia segera pula sentakkan kedua tangannya kembali ke tanah. Sosoknya kembali bergerak berguling-guling mendekati Kembang Darah Setan.
“Jangan biarkan setan itu menjamahnya!” Tiba-tiba terdengar suara teguran. “Kerudung setanmu mungkin bisa berbuat sesuatu! Karena tak mungkin kita berbuat lain!”
Bersamaan suara teguran yang tiba-tiba menyeruak di tempat itu, tampak melesat benda hitam panjang yang bergerak meliuk-liuk di atas udara ke arah tergeletaknya Kembang Darah Setan.
“Keparat! Ada orang lain lagi di tempat ini yang inginkan Kembang Darah Setan!” gumam Kiai Laras.
“Jahanam! Siapa pula ini?!” desis Setan Liang Makam terkejut melihat berkelebatnya benda hitam panjang yang ternyata adalah sebuah kerudung.
Mungkin karena sama-sama tak mau kedahuluan, sementara mereka sudah sangat terlambat untuk mendekati Kembang Darah Setan, Kiai Laras dan Setan Liang Makam hampir berbarengan sama lepaskan satu pukulan ke arah kerudung hitam yang makin mendekati Kembang Darah Setan.
“Sialan! Bagaimana sekarang?! Mereka sama hendak merusak kerudungku! Daripada kehilangan kerudung kesayangan, lebih baik tak mendapatkan Kembang Darah Setan!”
Terdengar suara teriakan orang. Saat bersamaan kerudung hitam yang berkelebat meliuk mendekati Kembang Darah Setan laksana ditarik kekuatan dahsyat. Kejap lain kerudung hitam berkelebat ke belakang lalu melayang lurus ke arah salah satu puncak julangan batu karang!
Karena dihindari kerudung hitam, tak ampun lagi pukulan Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang sama-sama mengarah pada kerudung hitam bertemu di udara! Hingga saat itu juga terdengar lagi gelegar ledakan. Sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad sama bergulingan. Mereka tidak menyangka kalau pukulannya akan bentrok di udara karena dihindari kerudung hitam. Hingga kedua orang ini tidak siap tatkala bentrok pukulan itu terjadi.
Kiai Laras segera bisa kuasai diri. Karena dirinya masih dilapis Jubah Tanpa Jasad hingga meski tidak siap dengan terjadinya bentrok pukulan, namun tidak mengalami cedera yang berarti. Lain halnya dengan Setan Liang Makam. Walau dia segera bisa bergerak bangkit, namun tak urung masih terhuyung-huyung bahkan hampir jatuh lagi. Pendekar 131, Kiai Laras, dan Setan Liang Makam segera gerakkan kepala berpaling ke arah sumber suara yang tadi tiba-tiba menyeruak.
Saat itulah dari salah satu julangan batu karang melayang turun satu bayangan merah. Hampir bersamaan, dari julangan batu karang lainnya satu sosok tubuh juga melesat turun. Tak lama kemudian dari julangan batu karang lainnya lagi dua sosok tubuh berkelebat dengan membuat beberapa kali putaran di atas udara sebelum akhirnya keempat sosok ini tegak berjajar di atas tanah terbuka!
PALING kanan adalah seorang nenek berambut putih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua. Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya diberi pewarna merah muda tipis-tipis. Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya berwarna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Sepuh.
Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya kelihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup oleh rambut dan kerudung hitamnya yang diletakkan di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sampai bagian depan perutnya. Nenek berkerudung hitam ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.
Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan dan kedua tangan berkacak pinggang. Saat mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit melengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya lebar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain adalah dedengkot rimba persilatan yang dikenal dengan gelar Iblis Ompong.
Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya tegak, kakek ini tadangkan kedua tangan di belakang kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah suara Uuukk! Uuukkk! Uuukkk! berulang kali. Ini satu tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia memang kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa Uuk.
Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di atas tanah. Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh dengan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang Darah Setan.
Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas udara kedua tangannya disentakkan ke arah Setan Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena kalau menghindar, berarti memberi kesempatan pada orang untuk mendekati Kembang Darah Setan.
Hingga begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan dan kedua lengannya bergerak, cucu Nyai Suri Agung ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Makam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut kembali Kembang Darah Setan.
"Blammm!" Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai Laras perdengarkan tawa panjang sebab sosoknya tidak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus melesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi kesempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah sosok Setan Liang Makam!
"Wuuttt!" Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan diri. Maka dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki, cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang kiblatan sinar tiga warna yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sakti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun silam.
Di sebelah samping, mungkin karena masih salurkan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari genggaman tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah.
Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad masih mampu untuk menghadang dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulihkan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya bisa memandang bagaimana sinar tiga warna melesat ganas ke arah Setan Liang Makam.
Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna, Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya berucap.
“Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan! Pukulan itu bukan sembarangan!”
Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah ingin minta pendapat tentang ucapan Dayang Sepuh. Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek ompong ini berkata.
“Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada dirimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan membantu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerangkong itu kau jadi lain! Kau sepertinya rela mati demi dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerangkong hidup itu! Hik Hik Hik...!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu Lambada. Lalu lanjutkan ucapan. “Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu?! Kau bangga punya ipar seperti dia?!”
Iblis Ompong arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Makam yang tengah sentakkan kedua tangannya menghadang kiblatan sinar tiga warna. Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong. Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena tidak bisa mendengar ucapan Iblis Ompong atau salah artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-tiba tertawa panjang! Tapi dia tidak memberi isyarat jawaban atas ucapan iblis Ompong.
“Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa ngakak!” maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mulut dibuka lebar-lebar.
Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kirinya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar ledakan menggelegar. Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke belakang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke belakang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua tangannya ke bawah. Sosoknya terhenti tertahan kedua tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia membuat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi orang-orang didepan!
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tampak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan akibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dahsyat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Makam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu tegak di samping Iblis Ompong. Hanya Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak bergeming sedikit pun meski gelegar di tempat itu laksana hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.
Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ketakutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia cepat-cepat berkelebat ke belakang dan tegak menjajari Iblis Ompong.
Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian hangus! Untuk beberapa saat, sosoknya diam tak bergerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya meski keadaannya sudah sangat parah. Ini mungkin karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.
Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasakan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat bentrok pukulan dengan Pendekar 131. Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Setan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang. Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda berwarna merah sebesar dua kali ibu jari.
“Bagaimana aku harus menggunakan benda merah ini?! Langsung kuhantamkan begitu saja atau...” Joko berpikir dan sekali lagi menyesali diri mengapa tidak bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari pusar bayinya Pitaloka itu.
Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko, Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan seksama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba dada Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera tenangkan diri seraya berucap dalam hati.
“Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tanganku masih menggenggam Kembang Darah Setan. Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyokku bersama-sama!” Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera dikelebatkan ke arah Joko!
"Wuuttt!" Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai Laras yang tidak kelihatan.
Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan kanannya yang menggenggam benda merah. Saat berikutnya tangan kanan disentakkan. Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke depan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar melesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga dalam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pukulan ‘Sundrik Cakra’ yang tadi sempat membuat sosok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan darah.
Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna telah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko! Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar tiga warna melesat ganas ke arah Joko yang masih tergeletak di atas tanah!
Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang. Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghantam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang sama beberapa gelombang menghampar ke arah tebaran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga warna. Terdengar beberapa kali letusan. Tebaran sinar tiga warna semburat membubung ke udara. Gelombang yang datang melabrak serta cahaya putih yang berkiblat juga porak-poranda!
Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersentak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan tubuh masing-masing sama bergetar keras dan mata sama terpejam rapat. Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berdenyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera berpaling ke arah salah satu julangan batu karang. Dia tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putihyang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.
“Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!” desis Kiai Laras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang duduk bersila di lamping salah satu julangan batu karang.
Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah akan lakukan hadangan juga segera menoleh. “Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu sudah pulang ke tanah asalnya!” Dayang Sepuh bergumam.
Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak juga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya. Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengarkan bersinan berkepanjangan dan laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang.
Karena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki oleh mendiang neneknya dan diwariskan pada seorang muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau sekarang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran Datuk Wahing. Orang di luar kerabat Kampung Setan yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Makam.
Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan batu karang membuka kelopak mata masing-masing. Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang sebelah kanan bermata putih tanda orang ini buta. Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang hendak bersin. Sementara orang yang matanya berwarna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengusap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tenaga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakitnya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga benda merah di genggaman tangan kanannya akan membawa pengaruh.
Namun ternyata dugaan Joko meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Namun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia berusaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada dadanya yang dirasa paling nyeri.
“Hem... Untung mereka datang. Anehnya, mengapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama sekali?! Jangan-jangan semua keterangan orang selama ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begitu?! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pi-taloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka?! Hem... Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara menggunakannya! Jika tidak. Alamat akan celaka!”
Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri, murid Pendeta Sinting angkat suara. “Kek! Bagaimana cara menggunakannya?!”
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak menyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Sepuh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.
“Hem... Rupanya setan itu kebingungan menggunakan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira menggunakannya?!”
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya se- raya gelengkan kepala. “Kalau benda lain mungkin aku tahu!”
“Benda lain yang mana yang kau maksud?!” Iblis Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya. “Ya... Pokoknya benda lain selain benda merah itu! Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda yang membawa nikmatlah...!”
“Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaimana cara menggunakannya!” sambut Dayang Sepuh.
“Ah... Aku tahu benda apa yang kalian maksud! Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda nikmat itu?!”
Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh. “Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat itu?!”
“Kau tanya pada orang yang salah!” Iblis Ompong buka suara. “Mana mungkin dia sering bermain-main dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum pernah?!”
“Ah... Kau juga salah ucap!” Dewi Ayu Lambada tak mau kalah. “Apa kalau untuk bermain-main saja perlu kawin dahulu?!”
“Gila! Kalian setan gila semua!” seru Dayang Sepuh. Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.
"Bruss! Bruss! Anak muda itu belum tahu bagaimana cara menggunakan benda merah di tangannya. Seandainya aku tahu, aku tak akan membuat orang merasa heran dengan ajukan tanya. Kau tahu bagaimana menggunakannya?!” Datuk Wahing bergumam seraya berpaling pada Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar teriakan tanya murid Pendeta Sinting, Kiai Laras sedikit terkejut. Sepasang matanya langsung menghujam tajam pada tangan Joko yang masih menggenggam benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pitaloka. Dia bertanya-tanya dalam hati. Namun sejauh ini dia masih percaya diri bahwa Kembang Darah Setan tidak bisa dihadang oleh apa pun. Apalagi sosoknya masih dilapis Jubah Tanpa Jasad.
Di lain pihak, Setan Liang Makam juga melirik pada murid Pendeta Sinting. Cucu Nyai Suri Agung ini sengaja tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Malah dia memandang dengan mata disipitkan. Dia coba membuat semua orang menduga kalau dirinya sudah tewas. Namun diam-diam dia berkata dalam hati.
“Benar ucapan pemuda itu! Tampaknya dia menggenggam sesuatu yang dikiranya dapat menghadang kedahsyatan Kembang Darah Setan! Apa mungkin...? Hem... Aku harus pura-pura tewas! Lalu menunggu kesempatan seraya mengembalikan keadaanku!” Setan Liang Makam pejamkan matanya. Dia tidak membuat gerakan atau perdengarkan suara. Tapi sesekali sepasang matanya sedikit membuka memperhatikan gerak-gerik Joko.
“Datuk Wahing dan lain-lainnya tidak ada yang menjawab! Berarti mereka tidak tahu bagaimana cara menggunakan benda ini! Celaka... Terpaksa aku harus menghadang serangannya dengan ‘Sundrik Cakra’! Tapi apakah aku masih mampu?! Luka dalam ini terasa sangat mengganggu...” Murid Pendeta Sinting akhirnya memutuskan setelah ditunggu agak lama tidak juga ada yang buka mulut menjawab pertanyaannya.
Mendadak Gendeng Panuntun beranjak bangkit. Kepalanya ditengadahkan dengan mata dipejamkan. Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin bulat di depan perutnya. Saat lain orang tua bertubuh tambun besar ini angkat suara. “Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Ke mana pun air mengalir, akhirnya akan bersatu juga ke laut! Kembalikan semua pada asalnya!”
Joko simak ucapan Gendeng Panuntun. Lalu ulangi ucapan orang berulang-ulang. Murid Pendeta Sinting tahu jika ucapan Gendeng Panuntun adalah satu petunjuk bagaimana cara menggunakan benda merah di tangannya. Namun sejauh ini dia belum bisa mengartikan ucapan Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh kembali menoleh pada Dewi Ayu Lambada. Namun belum sampai Dayang Sepuh sempat buka mulut, Dewi Ayu Lambada telah berpaling pada Iblis Ompong dengan turunkan sedikit bagian atas tubuhnya karena Iblis Ompong berdiri dalam posisi menungging. Anehnya, sebelum Dewi Ayu Lambada buka suara, kepala Iblis Ompong yang terlihat dari kangkangan kedua kakinya telah bergerak kearah Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk berpaling dari pandangan Iblis Ompong dengan tadangkan tangan di belakang telinganya dan didekatkan pada paha Iblis Ompong seolah menunggu ucapan orang!
“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya segera menjulur lalu menarik bahu Dewi Ayu Lambada hingga nenek berkerudung hitam itu menghadap ke arahnya. “Kau telah dengar ucapan setan buta itu. Kau tahu maknanya?!”
Dayang Sepuh lepaskan cekalan tangannya pada bahu Dewi Ayu Lambada. Lalu teruskan ucapan. “Sekarang jangan bergurau lagi. Pemuda setan itu dalam keadaan bahaya!”
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya karena tertarik tangan Dayang Sepuh. “Sebenarnya aku tadi hendak berkata seperti yang baru saja kau Tanyakan pada setan ompong itu! Jadi kau tahu bukan apa jawabanku...?!”
“Aku juga begitu...” Iblis Ompong menyahut. “Sebenarnya aku hendak bertanya pada Setan Uuk apa makna ucapan sahabat buta itu tadi!”
Karena sudah maklum tidak ada yang tahu makna ucapan Gendeng Panuntun, akhirnya Dayang Sepuh berteriak pada Gendeng Panuntun. “Setan buta! Kau bicara dengan bangsa manusia biasa! Bukan bangsanya setan yang tahu makna ucapanmu! Katakan saja terus terang bagaimana cara menggunakannya!”
“Betul, Kek! Aku masih kesulitan menjabarkan ucapanmu! Bicaralah tanpa harus dengan bahasa-bahasa yang sulit begitu!” Joko berteriak di depan sana sambuti ucapan Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Aku bicara apa adanya seperti yang tertera dalam pikiranku! Aku tak bisa menjabarkan lebih jauh! Dan tentunya kalian bisa mengerti maknanya kalau benar-benar berpikir! Kembalikan semua pada asalnya! Itulah yang penting. Kembalikan semua pada asalnya!” Gendeng Panuntun ulangi ucapan dua kali.
“Kembalikan semua pada asalnya!” Murid Pendeta Sinting ikut-ikutan ulangi ucapan Gendeng Panuntun seraya menimang-nimang benda merah di tangan kanannya. “Apa maksudnya aku harus mengembalikan benda ini pada asalnya?! Bagaimana mungkin? Bayi Pitaloka tentu sudah dikuburkan. Lalu bagaimana aku harus mengembalikannya...?! Aneh. Apa dia tidak salah ucap?!” Pendekar 131 bergumam.
Mendapati apa yang terjadi, Kiai Laras sunggingkan senyum. Kejap kemudian dia mendongak lalu berkata lantang. “Apa kalian kira dengan benda busuk itu kalian bisa menghadang rencanaku?!” Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak. Lalu angkat tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan.
Pendekar 131 tercekat. Nyawanya seolah sudah melayang. Sementara rombongan Dayang Sepuh saling pandang satu sama lain. Dan entah karena ikut tersentak dengan apa yang akan dilakukan Kiai Laras, Iblis Ompong tarik tubuhnya lurus ke atas lalu berbalik menghadap ke arah murid Pendeta Sinting dengan mulut menganga lebar-lebar.
“Celaka! Kita tampaknya akan kehilangan seorang sahabat!” Akhirnya Iblis Ompong buka suara juga dengan mimik ketakutan.
“Kita hadang ramai-ramai!” usul Dayang Sepuh sembari rapikan geraian poni rambutnya. Lalu takupkan kedua tangan di depan wajah.
“Tidak bisa! Tindakan itu hanya akan membuat kita ramai-ramai menuju liang kubur! Aku tak mau bersama-sama dengan kalian ramai-ramai masuk liang kubur! Di sana nanti pasti kalian akan bertindak memalukan!” Iblis Ompong menjawab ucapan Dayang Sepuh.
“Kau kira aku juga mau masuk liang kubur bersama setan sepertimu?! Perlu kau tahu, sekarang ini adalah saat terakhir kita bersama-sama! Setelah itu aku tak peduli ke mana kau akan pergi!” Dayang Sepuh sambuti kata-kata Iblis Ompong.
“Kurasa benar ucapan Manusia Ompong ini. Aku memang belum pernah bentrok dengan manusia tak berwujud itu. Tapi melihat apa yang tadi terjadi, kita akan sia-sia paksakan diri menghadang ramai-ramai!” Dewi Ayu Lambada membenarkan ucapan Iblis Ompong.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik angker. “Lalu apakah kita harus diam melihat setan muda itu mampus terbunuh?!”
“Itu mungkin jalan nasibnya. Kita pun pasti akan mengalaminya. Cuma kita belum tahu kapan datangnya!” Dewi Ayu Lambada berkata dengan suara pelan.
“Kalian ternyata setan-setan pengecut!” desis Dayang Sepuh.
Kepalanya kembali diluruskan ke arah Pendekar 131 di depan sana yang karena belum bisa menjabarkan ucapan Gendeng Panuntun terpaksa pusatkan tenaga dalam pada tangan kanannya siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’. Karena pukulan itulah yang tadi bisa menghadang kiblatan Kembang Darah Setan meski dia sendiri harus mengalami luka dalam. Namun paras wajah Joko sedikit cemas, karena dia maklum kalau telah terluka dalam dan bila kembali terjadi bentrok, mungkin akan berakibat makin fatal.
Kecemasan Pendekar 131 tampaknya bisa ditangkap oleh pandangan Kiai Laras. Hingga orang yang sosoknya tidak kelihatan ini sunggingkan senyum. Namun saat lain tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan sudah bergerak. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat disertai terdengarnya suara orang lain.
“Tahan! Jangan lakukan itu!”
Dari sumber terdengarnya suara orang serta berkelebatnya bayangan merah, jelas suara tadi mencegah berkelebatnya si bayangan merah. Namun si bayangan merah tidak pedulikan teriakan orang. Dia terus berkelebat ke arah sosok Jubah Tanpa Jasad. Berjarak sepuluh langkah, si bayangan merah yang masih di atas udara lepaskan satu pukulan dahsyat ke arah Jubah Tanpa Jasad!
“Sialan! Siapa setan yang berani mati ini?!” teriak Dayang Sepuh.
“Pitaloka!” desis murid Pendeta Sinting dapat mengenali sosok bayangan merah yang tengah berkelebat karena dia dari arah depan. “Celaka! Apa yang akan dilakukan...?!”
Kiai Laras berpaling begitu telinganya mendengar deruan angin dari arah samping. Dan begitu tahu apa yang dilakukan orang, Kembang Darah Setan yang tadi akan dikelebatkan ke arah Joko ditarik ke samping. Sosoknya berputar setengah lingkaran. Saat lain Kembang Darah Setan dihantamkan ke arah sosok yang telah lepaskan pukulan ke arahnya!
"Wuuttt!" Sinar tiga warna berkiblat menghadang gelombang yang datang.
“Pitaloka! Cepat menyingkir!” teriak Joko.
Namun Pitaloka sepertinya tak pedulikan teriakan orang. Malah begitu tahu kiblatan sinar tiga warna, Pitaloka kembali sentakkan kedua tangannya. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat lagi dua gelombang menyusuli gelombang pukulan yang pertama. Terlambat bagi Joko untuk membuat gerakan. Sementara Datuk Wahing hanya bisa perdengarkan bersinan beberapa kali. Gendeng Panuntun gelengkan kepala dan bergumam pelan.
“Jalan hidup manusia sudah ditentukan. Apa pun yang dilakukan orang tidak bisa menghalangi bila Yang Maha Pencipta sudah menentukannya!”
"Blaarr! Blaarr!" Dua ledakan keras terdengar saat gelombang beruntun dari tangan Pitaloka menghantam kiblatan sinar tiga warna.
Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya mencelat deras ke belakang. Darah sudah tampak mengucur saat sosoknya melayang.
“Pitaloka!” seru satu suara bergetar parau. Lalu satu bayangan merah berkelebat menyongsong tubuh Pitaloka yang masih melayang. Saat lain bayangan merah yang menyongsong sosok Pitaloka menyambar. Lalu melayang turun dengan membopong tubuh Pitaloka.
“Putri Kayangan...” gumam Joko mengenali siapa sosok bayangan merah yang melayang turun membopong Pitaloka.
“Mengapa kau lakukan ini, Pitaloka?! Seharusnya kau menunggu. Kau pun harus sadar siapa orang yang kau hadapi!” kata bayangan merah di samping sosok Pitaloka yang diletakkan di atas pangkuannya. Dia adalah seorang gadis cantik jelita mengenakan pakaian warna merah dan bukan lain adalah Putri Kayangan.
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak bisa menahan diri melihat jahanam itu... Beda Kumala... Kalau nanti kau pulang ke lereng Gunung Semeru, sampaikan maafku pada Eyang... Aku juga minta maaf padamu karena selama ini telah membuatmu susah...” kata Pitaloka dengan suara tersendat karena mulutnya telah dipenuhi kucuran darah hitam.
Beda Kumala alias Putri Kayangan mendekap sosok Pitaloka. “Pitaloka... Jangan kau berkata yang tidak-tidak. Kita akan kembali bersama-sama ke lereng Gunung Semeru...”
“Jangan menghiburku, Beda... Aku tahu, ajal telah di depan mataku... Cuma saja aku masih menyesal... aku tak bisa mempersatukanmu dengan Pendekar 131...”
“Pitaloka... Jangan kau pikirkan itu dahulu! Kau telah berbuat banyak padaku! Aku akan salurkan tenaga dalam. Pejamkan matamu...” Putri Kayangan gerakkan tangan untuk membalikkan tubuh Pitaloka.
“Beda... Percuma saja... Biarkan aku sejenak memandangmu sebelum kita berpisah...” ujar Pitaloka seraya tepiskan perlahan kedua tangan Putri Kayangan yang hendak balikkan tubuhnya. Matanya yang mulai membiru dipaksa mementang besar pandangi wajah Putri Kayangan.
Putri Kayangan balas memandang dengan mata sudah basah berkaca-kaca. Bahunya pun sudah berguncang-guncang. Lalu kedua tangannya mengambil kedua tangan Pitaloka dan digenggamnya erat-erat. Cucu Nyai Tandak Kembang ini coba hendak buka suara. Tapi meski mulutnya sudah terbuka, tidak ada suara yang terdengar. Malah sesaat kemudian yang terdengar adalah deraian tangis tatkala Putri Kayangan merasakan hawa dingin menjalari kedua tangannya yang menggenggam kedua tangan Pitaloka.
Putri Kayangan memandang tajam pada mata Pitaloka. Mata itu memang masih terbuka. Namun tatapannya kosong. Putri Kayangan arahkan pandang matanya pada dada Pitaloka. Saat yang sama salah satu tangannya digerakkan lepas dari genggaman tangan Pitaloka. Lalu mencekal pergelangan tangan Pitaloka. Kejap lain terdengar jeritan tinggi! Lalu Putri Kayangan menarik tubuh pitaloka dan didekapnya erat-erat dengan tangis meledak.
Pendekar 131 menghela napas dalam. Sikap Putri Kayangan sudah membuatnya tahu apa yang dialami Pitaloka. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Sementara Gendeng Panuntun mendongak sambil menghembuskan napas. Rombongan Dayang Sepuh saling pandang namun kali ini sama kancingkan mulut.
“Hem... Bagaimana sekarang? Orang pemakai Jubah Tanpa Jasad itu masih tangguhi Benda merah yang katanya dapat menghadapi sudah berada di tanganku. Tapi percuma juga kalau aku tak bisa menggunakannya!” gumam murid Pendeta Sinting lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. “Mengapa dia tidak mau mengatakan terus terang bagaimana caranya menggunakan benda ini?!”
Joko kerjapkan mata. Saat lain dia berteriak. “Kek! Kau masih tak mau mengatakan bagaimana caranya?! Korban telah jatuh. Harap jangan sembunyikan sesuatu lagi!”
“Sahabat Muda... Kau tahu dari mana benda itu!” Gendeng Panuntun menyahut.
“Semua orang tahu! Yang kutanyakan bagaimana cara menggunakannya!”
“Kau tahu dari mana, mengapa kau susah-susah bertanya! Kembalikan benda itu seperti saat kau mendapatkannya!”
Entah karena sudah banyak yang dipikir apalagi sudah melihat nasib yang menimpa Pitaloka, murid Pendeta Sinting tak mau berpikir lagi. Dia segera sambuti ucapan Gendeng Panuntun. “Kek! Anak Pitaloka mungkin sudah dikubur! Bagaimana aku harus mengembalikannya?!”
“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran, Sahabat Muda! Aku yang sudah tua begini saja kini dapat mengerti apa maksud sahabatku ini. Bagaimana kau yang masih muda tak dapat menangkap maksudnya?!” Datuk Wahing ambil suara.
“Sudahlah, Kek! Kalau kau tahu, jangan membuatku heran dengan tidak mau mengatakannya padaku!” kata Joko sudah habis pikir.
“Bruss! Bruss! Kau tahu dari mana benda itu kau ambil! Sekarang letakkan benda itu di tempat seperti saat kau mengambilnya! Tapi jangan heran. Itu hanya dugaanku!”
“Astaga! Mengapa kau bodoh! Benar juga ucapannya!” gumam Joko setelah mendengar ucapan Datuk Wahing. Saat lain tanpa buka mulut lagi, dia singkapkan pakaiannya! Benda merah yang diambil dari pusar bayi Pitaloka ditempelkan pada pusarnya!
PENDEKAR 131 rasakan hawa dingin menjalar dari bagian pusarnya. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. Kiai Laras mengawasi dengan seksama. Setan Liang Makam perlahan-lahan buka kelopak matanya. Karena semua orang tengah memperhatikan ke arah murid Pendeta Sinting, semua orang tidak tahu kalau Setan Liang Makam juga tengah buka matanya dan memandang ke arah Joko. Cucu Nyai Suri Agung ini memang berusaha tidak membuat gerakan. Dia tetap terkapar di atas tanah. Walau sudah terluka cukup parah tapi Setan Liang Makam masih mencari kesempatan untuk dapat merebut kembali Kembang Darah Setan.
Begitu hawa dingin di sekujur tubuhnya lenyap, perlahan-lahan murid Pendeta Sinting kerahkan kembali tenaga dalamnya dan dipusatkan pada tangan kanan siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’. Ini dilakukan selain pukulan itu yang tadi bisa menghadang kiblatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan, juga untuk berjaga-jaga kalau benda merah yang kini sudah berada di pusarnya tidak membawa pengaruh.
Kiai Laras angkat tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan. Saat lain tangan kirinya juga diangkat. Walau dia belum tahu untuk apa benda merah yang tadi berada di tangan murid Pendeta Sinting, namun kali ini dia tidak berani bertindak ayal. Apalagi begitu mendengar ucapan-ucapan Pendekar 131 yang menyebut-nyebut anak. Entah karena apa, dia tiba-tiba teringat akan ucapan Kala Marica! Hatinya makin berdebar tatkala tahu kemunculan Pitaloka.
“Apakah gadis itu hamil dan melahirkan?! Tapi waktunya belum lama. Tak mungkin hal itu terjadi!” Kiai Laras menenangkan diri. Tapi debaran dadanya tak juga bisa ditenangkan. Malah ucapan Kala Marica seakan terngiang kembali ditelinganya!
“Ah, peduli setan! Dia telah mampus! Pitaloka sendiri tak mungkin melahirkan anak! Manusia-manusia keparat yang ada di sini harus kuhancurkan satu persatu! Dan aku akan jadi penguasa Kampung Setan tanpa ada yang menghalangi!”
Berpikir begitu, tiba-tiba Kiai Laras berkelebat ke depan. Joko melihat bergeraknya Jubah Tanpa Jasad. Dia menunggu sejenak seraya lipat gandakan seluruh tenaga dalamnya. Begitu Kembang Darah Setan berkelebat, Pendekar 131 segera pula membentak. Saat bersamaan tangan kanannya didorong dengan jari telunjuk, jari manis, dan jari tengahnya ditegakkan. Sedangkan ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu.
Sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat angker. Karena kali ini Kiai Laras kelebatkan Kembang Darah Setan dengan kerahkan tenaga dalam hampir seluruhnya, maka kiblatan sinar tiga warna itu selain berkelebat makin cepat, juga perdengarkan gemuruh luar biasa dahsyat. Melihat ganasnya kiblatan sinar, sesaat murid Pendeta Sinting jadi terkesiap dan hampir didera perasaan bingung. Namun karena tak ada jalan lain, akhirnya tangan kanannya segera disentakkan.
"Wuuttt!" Tiga larik sinar kuning mencuat dahsyat. Pendekar 131 terpana. Kalau biasanya hanya tiga sinar kuning yang melesat kala dia lepaskan pukulan ‘Sundrik Cakra’, kini begitu larikan sinar kuning melesat, satu kiblatan warna merah menyusuli dari belakang.
"Bummm! Bummm!"
Kawasan Kampung Setan laksana dilanda gempa luar biasa dahsyat. Puncak julangan beberapa batu karang terbongkar semburatkan kepingan. Tanah tempat bertemunya dua pukulan muncrat sampai lima tombak ke udara dan menebar berkeliling hingga suasana berubah pekat. Sosok Putri Kayangan yang masih mendekap Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi mencelat mental. Namun Putri Kayangan tak hendak lepaskan dekapannya pada sosok mayat Pitaloka hingga dia tak pedulikan lagi tubuhnya yang melayang deras hendak menghantam tanah! Namun setengah depa lagi sosok Putri Kayangan hendak menghujam tanah, satu bayangan putih berkelebat menyambar sosok Putri Kayangan.
“Apa yang kalian lakukan?!” satu suara terdengar.
Putri Kayangan yang masih mendekap erat sosok mayat Pitaloka buka matanya lalu memandang pada orang yang telah menyelamatkannya. “Eyang....” Putri Kayangan bergumam.
Di sebelah kanan Putri Kayangan tegak seorang perempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda lagi. Pada rambutnya terdapat beberapa untaian bunga. Demikian pula pada sela jari kedua tangannya. Perempuan ini mengenakan pakaian putih sebatas dada. Dia tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang. Nenek Pitaloka dan Putri Kayangan sendiri. Nyai Tandak Kembang sesaat memperhatikan Putri Kayangan. Namun begitu pandang matanya beralih pada Pitaloka kontan perempuan dari lereng Gunung Semeru ini menghambur.
Di lain tempat, begitu terdengar gelegar dahsyat, sosok Setan Liang Makam yang pura-pura tewas terkapar di atas tanah ikut pula tersapu ke belakang sebelum akhirnya terhenti dengan menghantam salah satu lamping julangan batu karang. Karena tidak mau semua orang tahu kalau dirinya masih hidup, Setan Liang Makam coba tahan seruannya meski sekujur tubuhnya sakit bukan alang kepalang. Malah beberapa anggota tubuhnya terdengar patah!
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun yang berada di dekat lamping julangan batu karang sama tersurut beberapa tindak ke belakang dan akhirnya bersandar dengan mata sama terpejam. Rombongan Dayang Sepuh melompat berpelantingan namun karena sudah berjaga-jaga, keempat orang ini bisa tegak kembali berjajar.
Beberapa saat berlalu. Semua orang yang ada di situ tidak ada yang perdengarkan suara atau membuat gerakan. Mereka sama diam dengan wajah tegang. Mata mereka coba menerobos pekatnya suasana untuk melihat apa yang terjadi. Dan begitu hamburan tanah dan semburatan kepingan batu luruh, semua mata sama melihat ke satu arah. Tidak jauh dari julangan batu karang di sebelah depan sana, terlihat sosok Pendekar 131 terkapar dengan pakaian sedikit hangus dan dibercaki warna merah darah. Sosoknya diam tak bergerak-gerak.
Di seberang, tampak sosok Jubah Tanpa Jasad tergeletak diam. Simbahan darah juga membercaki jubah hitam peninggalan kerabat leluhur Kampung Setan itu. Kembang Darah Setan yang tadi berkelebat kiblatkan sinar tiga warna terhampar lima langkah disebelah sosok Jubah Tanpa Jasad. Namun Kembang Darah Setan itu kali ini tidak lagi pancarkan sinar seperti sediakala! Sinar itu laksana redup!
“Dia harus segera diberi pertolongan. Terlambat sedikit, nyawanya akan putus!” Gendeng Panuntun buka suara dengan wajah dihadapkan pada sosok Pendekar 131.
Ucapan Gendeng Panuntun belum selesai, Datuk Wahing sudah beranjak bangkit lalu berkelebat. Saat lain orang tua yang kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang ini telah balik ke dekat Gendeng Panuntun dengan pundak menggendong sosok Pendekar 131.
“Bruss! Brusss! Harap jangan heran kalau aku memintamu yang menolong pemuda ini!” kata Datuk Wahing lalu meletakkan sosok murid Pendeta Sinting di hadapan Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun duduk bersila lalu membalikkan tubuh Joko. Saat bersamaan kedua tangannya mengusap cermin bulat pa-da depan perutnya. Lalu ditarik pulang dan diletakkan pada punggung Joko.
“Bruss! Aku akan melihat gadis-gadis itu. Harap tidak bertanya atau heran. Mungkin ada sesuatu yang bisa kuperbuat!” kata Datuk Wahing lalu berkelebat ke arah Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang yang tengah sama menangis sesenggukan.
“Hem... Terlambat!” gumam Datuk Wahing begitu tegak di dekat Nyai Tandak Kembang.
Saat itulah satu sosok tubuh melangkah mendekati dari belakang. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang matanya agak sayu. “Apakah dia tidak bisa ditolong lagi?!” Bertanya orang yang mendekati Datuk Wahing.
“Brusss!” Datuk Wahing bersin namun tidak disambung dengan ucapan. Sebaliknya berpaling lalu kepalanya menggeleng.
Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata adalah Kigali menghela napas panjang lalu teruskan langkah mendekati Nyai Tandak Kembang. “Nyai... Sudahlah... Mungkin ini jalan hidup yang harus dialami Pitaloka,” kata Kigali.
Nyai Tandak Kembang angkat kepalanya. Memandang silih berganti pada Datuk Wahing dan Kigali. Sepasang matanya telah basah dan bahunya masih berguncang. “Seandainya aku menyadari sejak semula apa yang hendak dilakukan, aku tak akan mengizinkan dia pergi...,” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara tersendat.
“Eyang... Akulah yang salah. Aku tak bisa menahan Pitaloka!” Putri Kayangan angkat pula kepalanya seraya berucap dan memandang sayu pada Nyai Tandak Kembang.
“Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini...” ujar Kigali. “Seandainya aku Pitaloka, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama! Pitaloka berpikir mungkin inilah jalan yang harus dilakukan untuk mengakhiri penderitaannya. Sekarang dia harus segera kita bawa pergi dari sini! Terserah pada kalian. Kalian kuburkan di dekat daerah sini atau kalian bawa serta ke lereng Gunung Semeru...”
“Bagaimanapun juga dia adalah cucuku. Aku tak mau jauh darinya meski dia telah tiada. Aku akan membawanya ke lereng Gunung Semeru.” Nyai Tandak Kembang berkata.
Selagi orang tengah berbincang-bincang dan Gendeng Panuntun berusaha memulihkan keadaan Pendekar 131, Setan Liang Makam buka kelopak matanya. Dia sejenak edarkan pandang matanya berkeliling menyiasati keadaan. Saat lain sepasang matanya telah tertuju pada sosok Jubah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan yang tergeletak di atas tanah.
“Aneh... Kembang Darah Setan tidak bersinar lagi... Ah. Itu bukan persoalan! Yang jelas inilah kesempatanku untuk mendapatkannya kembali! Jahanam di balik jubah hitam itu tampaknya sudah mampus!” Setan Liang Makam kerahkan segenap sisa tenaga luar dan dalamnya. Saat berikutnya dia bergerak bangkit. Saat lain berkelebat ke arah Kembang Darah Setan.
“Jerangkong setan itu belum mampus!” Tiba-tiba Dayang Sepuh berteriak melihat gerakan Setan Liang Makam.
Rombongan Dayang Sepuh serta-merta sama arahkan pandang matanya ke arah kelebatan Setan Liang Makam. Sementara Nyai Tandak Kembang dan Kigali serta Putri Kayangan tidak ambil peduli, dengan teriakan Dayang Sepuh. Namun rombongan Dayang Sepuh tidak ada yang membuat gerakan untuk menghadang Setan Liang Makam karena mereka sadar sudah sangat terlambat untuk lakukan hadangan. Hingga keempat orang ini akhirnya hanya bisa diam menyaksikan. Dua jengkal lagi tangan Setan Liang Maka dapat menyambar Kembang Darah Setan, mendadak lengan kedua Jubah Tanpa Jasad bergerak.
“Setan! Dia juga belum tewas!” Kembali Dayang Sepuh berseru.
"Wuuttt! Wuuttt!" Dua gelombang melesat dari kelebatan lengan jubah hitam.
Karena tidak menduga sama sekali, Setan Liang Makam tidak bisa berbuat banyak. Apalagi jarak antara dirinya dengan Jubah Tanpa Jasad cuma lima langkah. Tapi Setan Liang Makam tak hendak urungkan niat. Maklum tidak bisa menghadang gelombang yang datang, dia percepat sambaran kedua tangannya ke arah Kembang Darah Setan. Usaha Setan Liang Makam tidak sia-sia. Tangan kanannya sempat memegang Kembang Darah Setan. Namun belum sampai cucu Nyai Suri Agung ini sempat angkat tangan kanannya, gelombang yang mencuat dari kelebatan kedua tangan Kiai Laras sudah dating menerjang.
Setan Liang Makam berseru tertahan. Meski gelombang yang menghantam tidak begitu kuat aliran tenaga dalamnya, namun karena Setan Liang Makam tidak bisa menghadang sama sekali, dan keadaannya sudah terluka parah, membuat cucu Nyai Suri Agung ini mencelat mental. Dalam keadaan begitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu berpikir. Kalau dia tidak berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan, orang lain pun tidak boleh mendapatkannya juga! Maka begitu sosoknya terpental, tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan segera disentakkan ke bawah!
"Brakkk!" Terdengar derakan keras. Kembang Darah Setan yang sinarnya telah redup karena bentrok dengan pukulan yang dilancarkan Pendekar 131, pecah berantakan!
Sementara sosok Setan Liang Makam terus tersapu sebelum akhirnya terguling di atas tanahdengan perdengarkan derakan patahnya beberapa tulang! Seruan Setan Liang Makam terputus seketika. Sosoknya mengejang sebentar sebelum akhirnya terdiam dengan nyawa melayang!
Kiai Laras mendengus marah melihat Kembang Darah Setan berantakan pecah di atas tanah. Dia sendiri merasa heran bagaimana senjata mustika dahsyat itu bisa pecah berantakan. “Jahanam!” Tiba-tiba Kiai Laras memaki. “Ini pasti akibat pukulan yang dilancarkan pendekar keparat itu!
Mata Kiai Laras mencari. Begitu mendapatkan Pendekar 131 tengah telungkup di dekat Gendeng Panuntun. Kiai Laras cepat kerahkan sisa tenaga dalamnya. Dia masih percaya kalau Jubah Tanpa Jasad yang dikenakannya masih mampu melapis tubuhnya dari pukulan orang. Maka tanpa pikir panjang lagi dan tanpa pikirkan keadaan dirinya yang terluka dalam, dia segera berkelebat. Berjarak sepuluh langkah, kedua tangannya dihantamkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tengah dipulihkan Gendeng Panuntun.
“Setan! Kita harus lakukan sesuatu!” teriak Dayang Sepuh. Kedua tangannya sudah bergerak.
Namun sebelum pukulannya melesat keluar, satu benda hitam panjang melayang ke udara. Pada bagian ujung belakang benda terlihat satu sosok tubuh mengikuti dengan tangan mengendalikan benda hitam panjang yang ternyata adalah sebuah kerudung hitam panjang. Sosok ini bukan lain adalah Dewi Ayu Lambada.
"Seett! Setttt!" Ujung depan kerudung hitam menyapu. Kiai Laras terkesima. Namun dia teruskan hantamannya. Dewi Ayu Lambada gerakkan bagian belakang kerudung. Kerudung hitam meliuk ganas.
"Bettt! Bettt!" Ujung depan kerudung menyambar ke arah kedua tangan Kiai Laras.
Kiai Laras kembali terkesiap. Jubah Tanpa Jasad sepertinya tidak lagi punya kekuatan untuk mementalkan pukulan orang. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Kiai Laras tersapu ke samping. Hantaman kedua tangannya tetap menebarkan gelombang, namun arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran yang dituju. Kiai Laras jadi kalap. Dia putar tubuh setengah lingkaran menghadap datangnya kerudung hitam. Namun sebelum orang ini melakukan gerakan, ujung depan selendang telah melilit tubuhnya.
Kiai Laras mendelik. Kedua tangannya yang hendak lakukan hantaman ditarik pulang lalu bergerak hendak lepaskan lilitan kerudung. Tapi baru saja kedua tangannya menyentuh kerudung, Dewi Ayu Lambada sekali lagi gerakkan tangannya yang memegang ujung belakang kerudung.
"Wuutt! Wuuutt!" Kerudung hitam meliuk. Sosok Kiai Laras melayang ke atas. Belum lagi berbuat sesuatu, Dewi Ayu Lambada tarik pulang kerudungnya. Sosok Kiai Laras terputar di udara. Ketika Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung, sosok Kiai Laras melayang deras ke bawah sebelum akhirnya menghantam tanah dengan kepala terlebih dahulu!
"Praakk!" Darah tampak mengalir meski belum juga kelihatan dari mana aliran darah itu keluar. Namun bersamaan dengan mengalirnya darah, sosok Jubah Tanpa Jasad diam tak bergerak lagi!
Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk segera berkelebat mendekati Dewi Ayu Lambada yang tegak delapan langkah di samping Jubah Tanpa Jasad.
“Jangan-jangan setan itu belum mampus!” gumam Dayang Sepuh.
“Nah... Ini kesempatanmu bermain-main dengan barang nikmat itu!” kata Iblis Ompong. “Kau raba dan kau main-mainkan. Kalau masih sempat bergerak-gerak liar karena sentuhan tangan lembut, berarti setan itu belum tewas! Jika dingin dan diam tak ada denyutan, berarti setan itu sudah kojor!”
“Mulut setan sialan! Siapa mau turuti ucapanmu!” hardik Dayang Sepuh namun dengan bibir tersenyum dan tangan kiri rapikan geraian poni rambutnya.
“Ah... Kau malu-malu kucing! Cepat lakukanlah... Kesempatan ini jangan disia-siakan! Lagi pula kita belum tahu siapa adanya sosok di balik jubah hitam itu. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang pemuda gagah dan tampan! Kau nanti akan menyesal seumur-umur kalau sia-siakan kesempatan ini! Lihat tangan sahabat di sampingmu itu seperti sudah tidak sabar! Daripada kedahuluan orang...!”
“Setan Ompong sialan!” Dewi Ayu Lambada membentak. “Tangan siapa yang tidak sabar?! Untuk urusan sentuh-menyentuh begitu aku sudah kenyang!”
“Hem... Jadi kalian berdua tidak ada yang mau membuktikan setan itu sudah mampus atau belum?!” Iblis Ompong bertanya.
“Biar dia saja yang membuktikan! Bukankah dia belum pernah kawin?! Yang berarti pula belum pernah bermain-main dengan benda nikmat?!”
“Bruss! Brusss! Jangan membuat heran orang dengan bergurau mempermainkan tubuh orang! Buktikan saja dengan pegang pergelangan tangannya! Tapi jika di antara kalian ada yang ingin buktikan dengan pegang benda lainnya, silakan saja...” Datuk Wahing perdengarkan suara.
“Dasar orang-orang gila!” rutuk Dayang Sepuh. Lalu melompat dan dengan hati-hati dia julurkan tangan ke arah salah satu lengan jubah. Lengan Jubah Tanpa Jasad diangkat dengan tangan kiri. Lalu tangan kanan meraba-raba. Semua orang melihat tangan Dayang Sepuh mengapung memegang sesuatu di udara. Mendadak Dayang Sepuh lepaskan lengan jubah di tangan kirinya. Saat lain dia melompat ke dekat Dewi Ayu Lambada.
Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk terkesiap. Ketiganya sudah siapkan pukulan melihat ketegangan mimik Dayang Sepuh. Mereka menunggu dengan pentangkan mata. Namun setelah agak lama Jubah Tanpa Jasad tidak juga melakukan gerakan, Iblis Ompong buka mulut.
“Apa yang terjadi? Apa yang kau rasakan?!”
“Setan itu sudah mampus!” jawab Dayang Sepuh.
“Setan!” hampir berbarengan Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong memaki. “Kalau tahu orang sudah mampus mengapa bertindak seolah-olah seperti setan kalap?!” gerutu Iblis Ompong agak jengkel karena tertipu sikap Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh tertawa cekikikan. Dewi Ayu Lambada pasang kembali kerudung hitam di atas kepalanya. Hanya Dewa Uuk yang sedari tadi memandang silih berganti pada ketiga orang di sampingnya dengan kedua tangan ditadangkan di belakang kedua telinganya. Dia tidak mendengar apa yang diucapkan orang. Namun begitu melihat Dayang Sepuh tertawa cekikikan, orang tua bisu dan tuli ini ikut pula perdengarkan suara tawa panjang!
“BAGAIMANA, Sahabat Muda? Ada perubahan?!” Gendeng Panuntun ajukan tanya seraya tarik pulang kedua tangannya dari punggung Pendekar 131.
Joko rasakan hawa panas yang sejak tadi menyelimuti sekujur tubuh dan aliran darahnya perlahan-lahan lenyap. Dadanya memang masih sesak dan berdenyut nyeri kala dibuat bernapas. Tapi sudah jauh lebih berkurang daripada saat baru bentrok dengan Kiai Laras. Dia buka kelopak matanya lalu bergerak membalik dan duduk dengan takupkan kedua tangan di depan dada. Matanya kembali dipejamkan. Beberapa saat kemudian dia buka kembali kelopak matanya.
“Terima kasih, Kek...” kata Joko sambil menjura hormat.
“Simpan dulu ucapan itu, Sahabat Muda. Sekarang hiburlah gadis baju merah itu. Mungkin setelah ini kalian lama tidak akan bertemu lagi. Ucapkan selamat jalan padanya...”
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi dengan dada berdebar. “Aneh ucapan kakek ini. Apa arti ucapannya?! Bikin hatiku tidak enak saja!” kata Joko dalam hati lalu berpaling ke arah Putri Kayangan yang masih mendekap sosok mayat Pitaloka. Joko maklum kalau yang dimaksud gadis baju merah oleh Gendeng Panuntun adalah Putri Kayangan.
“Kek... Apa maksud ucapanmu?! Mengapa aku harus mengucapkan selamat jalan padanya?! Aku tahu di mana dia berada... Lereng Gunung Semeru. Kalau aku ingin bertemu bukankah mudah saja bagiku?!”
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Kau memang tahu di mana gadis itu bertempat tinggal. Namun tidak begitu gampang kau menemuinya!”
Kini ganti Joko yang gelengkan kepala. “Kurasa Nyai Tandak Kembang mau mengerti, Keki Dia tak mungkin menghalangiku untuk bertemu dengan Putri Kayangan!”
“Benar! Tapi halangan itu bukan datang dari Nyai Tandak Kembang. Tapi jarak tempat yang kelak akan memisahkan kalian berdua!”
“Kek... Sementara ini aku memang akan pergi. Tapi tidak jauh. Aku akan mencari Eyang Guru di Jurang Tlatah Perak. Kurasa jarak antara Jurang Tlatah Perak dan lereng Gunung Semeru tidak begitu jauh...”
“Itu rencanamu, Sahabat Muda. Tapi kalau Yang Maha Pembuat Rencana sudah menuliskan rencana lain, kau tak dapat mengubahnya?!”
“Apa maksudmu, Kek?!”
“Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku tak mau mendahului Sang Maha Pembuat Rencana. Aku hanya bisa mengatakan isyarat! Sebenarnya aku tidak tega mengatakannya padamu, karena aku tahu bagaimana perasaanmu pada gadis baju merah itu. Namun terpaksa harus kukatakan agar kau siap sebelum semuanya terjadi. Dengan begitu, dalam perjalananmu nanti kau tidak diganggu pikiran yang bukan-bukan! Kerinduan pada seorang gadis kadangkala membuat perjalanan tidak mulus dan kau akan melupakan pelajaran yang mungkin nanti akan kau dapatkan dalam perjalananmu!”
“Aneh... Dia terus mengatakan aku akan pergi jauh... Ke mana?!” gumam Pendekar 131 dalam hati.
“Sudahlah, Sahabat Muda! Waktumu tidak banyak untuk memikirkan apa yang kelak akan kau lakukan. Biarlah nanti semua berjalan seperti kehendak dan rencana-Nya!”
Walau dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan dan dugaan, Joko beranjak juga lalu melangkah ke arah Putri Kayangan setelah memperhatikan ke arah sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.
“Brussl Brusss! Aku heran melihat tampangmu. Ada yang hendak kau katakan?!” Datuk Wahing sudah angkat bicara begitu Joko tegak di sampingnya.
“Kek!” bisik Joko pelan. “Kakek Gendeng Panuntun pernah mengatakan padamu ke mana sebenarnya aku akan pergi setelah ini?!”
“Bruss! Kau membuatku heran! Bagaimana kau bertanya hal itu padaku?! Telingaku yang salah dengar atau ucapanmu yang salah tempat?!”
Belum sampai Joko berucap lagi, dari arah samping sudah terdengar Nyai Tandak Kembang berkata. “Beda Kumala... Kita tinggalkan tempat ini...”
“Biar aku yang membawanya!” Kigali menyahut seraya mendekati Putri Kayangan lalu mengambil sosok mayat Pitaloka dari dekapan Putri Kayangan.
Putri Kayangan beranjak bangkit lalu hendak melangkah ke arah Nyai Tandak Kembang. Tapi gerakan kakinya tertahan tatkala dilihatnya murid Pendeta Sinting berada di situ. Sesaat dia pandangi paras wajah Joko lalu alihkan pandang matanya ke tempat lain. Nyai Tandak Kembang melirik namun tidak buka suara.
“Nyai... Aku akan bicara sebentar dengan Putri Kayangan!”
Nyai Tandak Kembang tetap kancingkan mulut tidak menyahut. Perempuan dari lereng Gunung Semeru ini memandang pada Putri Kayangan. Putri Kayangan rasakan dadanya berdebar keras. Dia menunggu suara sahutan dari eyangnya. Namun setelah ditunggu agak lama tidak juga ada suara sahutan, Putri Kayangan berpaling pada Nyai Tandak Kembang.
“Kalau memang ingin bicara, bicaralah, Anak Muda! Kami tidak punya waktu banyak!” Nyai Tandak Kembang angkat suara.
Murid Pendeta Sinting tersenyum lega. Lalu melangkah mendekati Putri Kayangan yang juga tersenyum namun malu-malu. “Bicara dari tempatmu saja, Anak Muda!” Nyai Tandak Kembang kembali angkat bicara membuat langkah kaki Joko tertahan.
“Ah... Bagaimana aku harus mengatakannya kalau di depan orang banyak begini?! Sebenarnya aku akan menjelaskan persoalan Saraswati. Tapi rasanya tak enak kalau mengatakannya di sini! Hem...” Pendekar 131 membatin. Entah karena tak tahu apa yang harus dikatakan, akhirnya Joko buka mulut. “Putri... Aku minta maaf karena peristiwa beberapa saat yang lalu. Aku juga minta maaf karena tak bisa menyelamatkan Pitaloka...”
Putri Kayangan gelengkan kepala dengan tatapan sayu. Dia teringat akan peristiwa di dekat Bukit Kalingga. Dadanya sesak. Terbayang kembali di pelupuk matanya bagaimana Pendekar 131 tengah berpelukan dan jalan berangkulan dengan Saraswati.
“Hanya itu yang hendak kau bicarakan?!” Nyai Tandak Kembang membuyarkan lamunan Putri Kayangan.
Joko gelagapan. Belum sempat dia berkata, Nyai Tandak Kembang sudah mendekati Putri Kayangan dan berkata. “Kita harus segera kembali, Beda...” Nyai Tandak Kembang sudah bergerak bersamaan dengan selesainya ucapan.
Kigali anggukkan kepala pada Putri Kayangan dan Pendekar 131, lalu mendekati Datuk Wahing dan berbisik. “Galaga... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi. Banyak hal sebenarnya yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi aku harus mengantarkan Nyai Tandak Kembang dan Pitaloka ke lereng Gunung Semeru...”
“Bruss! Brusss! Aku tak heran dengan ucapanmu. Waktu kita masih banyak! Kalau ada kesempatan, aku akan mengunjungimu ke lereng Gunung Semeru! Pesanku... Jika sahabat muda ini nanti datang ke lereng Gunung Semeru, jaga dia baik-baik. Awasi semua gerak-geriknya! Jangan beri dia kesempatan untuk berdua-duaan tanpa penjaga dengan gadis baju merah itu!”
Joko dan Putri Kayangan sama berubah paras. Kigali tersenyum lalu melangkah menyusul Nyai Tandak Kembang yang tegak menunggu di depan sana.
“Putri... Setelah dari sini nanti, aku akan menemui eyang guruku. Setelah itu aku akan menyusulmu ke lereng Gunung Semeru. Aku ingin membicarakan urusan kejadian beberapa saat yang lalu...”
“Rasanya tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pendekar 131! Lihat... Mereka berdua telah menunggu! Mungkin kau harus bicara dulu dengan mereka!” selesai berkata, Putri Kayangan arahkan pandang matanya kesalah satu julangan batu karang.
Joko dan Datuk Wahing ikuti arah pandangan Putri Kayangan. Datuk Wahing perdengarkan bersinan beberapa kali. Sementara murid Pendeta Sinting mendelik tak berkesip. Di depan sana, di salah satu julangan batu karang, tampak tegak dua orang gadis. Mereka berdiri berjarak lima belas langkah dan sama arahkan pandangannya pada Pendekar 131.
“Saraswati... Dewi Seribu Bunga!” gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua gadis yang tegak di depan sana.
“Putri... Tunggu!” tahan Joko begitu matanya menangkap gerakan Putri Kayangan yang sudah melangkah menyusul Kigali. Namun Putri Kayangan seakan tidak mendengarkan ucapan orang. Malah dia mempercepat langkah!
“Brusss! Brusss! Jangan berbuat mengherankan, Anak Muda! Ucapannya benar. Kau harus bicara dahulu dengan kedua gadis cantik di depan sana itu! Perasaan cemburu seorang perempuan tidak bisa begitu saja kau lenyapkan dengan ucapan! Kau harus berbuat sesuatu untuk meyakinkannya meski rasanya kau sulit untuk melakukannya! Karena kau juga tertarik dengan kedua gadis cantik yang menunggu itu!” Datuk Wahing berkata seraya mencekal lengan murid Pendeta Sinting yang sesaat tadi hendak mengejar Putri Kayangan.
Pendekar 131 angkat bahu lalu melangkah ke arah dua orang gadis di depan sana yang ternyata bukan lain adalah Saraswati dan Dewi Seribu Bunga. Namun baru saja mendapat tiga langkah, mendadak Dewi Seribu Bunga sudah putar diri. Tanpa berkata apa-apa gadis cantik murid Dewi Es ini berkelebat.
“Dewi! Tunggu!” teriak murid Pendeta Sinting. Namun seperti halnya Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga tidak pedulikan teriakan orang. Dia malah mempercepat kelebatannya sebelum akhirnya lenyap di depan sana.
Joko urungkan niat mengejar karena tidak enak sama Saraswati yang masih tegak memperhatikan. Murid Pendeta Sinting alihkan pandangannya pada Saraswati. Dia sudah buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba Saraswati balikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
“Saraswati...!” Pendekar 131 berteriak memanggil.
Tapi Saraswati terus berkelebat dan menghilang. Terdengar riuh rendah suara tawa. Lalu diseling suara.
“Makanya... Jadi pemuda jangan terlalu banyak membagi hati! Akhirnya kau tak mendapatkan satu pun!” Yang angkat suara ternyata iblis Ompong.
“Dasar gadis-gadis setan tolol! Pemuda setan begitu rupa masih juga diharap. Seharusnya mereka bikin perhitungan agar dia tidak berani lagi bertindak macam-macam!” Dayang Sepuh menyahut.
“Aku menyesal sekarang! Tahu kalau setan itu punya banyak gadis, tentu aku tak mau susah-susah sampai ke sini!” Dewi Ayu Lambada ikut angkat bicara.
“Sudahlah... Itu urusan dia sendiri!Kalau sudah tahu begini akibatnya pasti dia nanti akan berpikir lagi! Sekarang masih ada yang harus kita lakukan! Kurasa Jubah Tanpa Jasad itu masih dikenakan orang! Bukankah selama ini kita hanya bisa menduga-duga siapa adanya orang dibalik jubah itu?!” Gendeng Panuntun berkata.
Semua orang di tempat itu serentak sama alihkan pandang mata masing-masing pada sosok Jubah Tanpa Jasad yang tergeletak di atas tanah. Hampir bersamaan mereka semua berlompatan mendekati Jubah Tanpa Jasad. Hanya Gendeng Panuntun yang tetap tegak di tempatnya dengan kepala sedikit ditengadahkan.
BIAR aku yang membuka jubah setan itu!” Dayang Sepuh sudah berkata begitu injakkan kaki di dekat sosok Jubah Tanpa Jasad.
“Hem... Begitu gadis-gadis cantik sudah sama pergi, kau tampaknya tidak malu-malu lagi!” Iblis Ompong berujar.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik. “Setan sialan! Mengapa harus malu-malu kalau hanya membuka jubah setan ini?!”
Mendadak Iblis Ompong tertawa bergerai. Lalu dekatkan kepalanya pada telinga Datuk Wahing dan berbisik pelan. “Dia tidak tahu...”
Datuk Wahing kerutkan dahi namun dia anggukkan kepala. Lalu perdengarkan bersinan tiga kali dan berucap. “Aku jadi heran. Apa benar...?!”
Iblis Ompong sentakkan kepalanya ke arah telinga Dewa Uuk yang tegak di sebelah kirinya. Lalu berteriak keras-keras. “Kau dengar?! Teman kita itu berani-beraninya mau membuka jubah sakti! Ha Ha Ha...!”
Dewa Uuk tadangkan tangan di belakang daun telinganya. Lalu buka suara. “Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!” Tangan satunya tampak digerakkan ke samping bolak-balik memberi isyarat agar Dayang Sepuh tidak melakukan niatnya.
“Setan! Apa yang kalian bicarakan?! Mengapa kalian tidak senang kalau aku buka jubah setan itu?!”
“Ah... Kau salah sangka! Justru aku dan teman-teman akan sangat senang mendengar kau tawarkan diri untuk membuka jubah itu! Mungkin inilah pengalaman pertamamu. Hik Hik Hi...! Silakan saja buka! Tapi tunggu dahulu! Aku dan teman-teman akan berpaling agar kau nanti sedikit lama bisa menikmatinya!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong balikkan tubuh setelah memberi isyarat pada Datuk Wahing dan Dewa Uuk. Iblis Ompong juga kedipkan matanya pada Pendekar 131. Murid Pendeta Sinting sesaat tak tahu apa maksud isyarat Iblis Ompong. Namun begitu Datuk Wahing dan dewa Uuk balikkan tubuh, Joko ikut-ikutan pula putar diri. Kini tinggal Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada yang tegak menghadap Jubah Tanpa Jasad. Kedua nenek ini saling pandang sejenak. Namun jelas paras wajah Dayang Sepuh membayangkan kebimbangan.
“Setan! Ada apa sebenarnya dengan jubah ini, hah?!” Dayang Sepuh membentak.
“Kau pura-pura tanya atau memang tidak tahu?!” Iblis Ompong balik bertanya.
Pendekar 131 yang tegak di depan Iblis Ompong berpaling ke arah orang tua tak bergigi itu dan berbisik. “Kek... Sebenarnya ada apa?!”
Iblis Ompong dorongkan tangannya pada dagu murid Pendeta Sinting hingga kepala Joko kembali lurus ke depan. Iblis Ompong berbisik. “Biasanya... Kalau orang mengenakan jubah sakti, maka dia tidak boleh mengenakan rangkapan pakaian lagi!”
“Jadi di balik jubah itu dia bugil?!” tanya Joko. “Benar! Di balik itu dia pasti bugil! Dayang Sepuh itu pasti hanya berpura-pura tidak tahu persoalan. Sebenarnya dia ingin lihat sesuatu! Kau tahu bukan? Nenek setan itu belum pernah kawin hingga jadi nenek-nenek begitu!”
Joko angguk-anggukkan kepala dengan coba menahan tawa. Namun karena tak kuasa menahan tawa, bahunya tampak berguncang-guncang. Saat lain mulutnya perdengarkan tawa perlahan-lahan.
Dayang Sepuh melompat ke depan Pendekar 131. Tangan kanannya diangkat. Lalu perdengarkan bentakan garang. “Apa yang kau tertawakan?! Lekas jawab atau mulutmu akan mendapat tamparan!”
Joko bukannya putuskan tawa tertahannya. Sebaliknya suara tawanya meledak seketika.
“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya bergerak.
“Tunggu, Nek!” tahan Joko seraya putuskan gelakan tawanya.
Dayang Sepuh tahan gerakan tangan kanannya dua jengkal di depan wajah murid Pendeta Sinting. “Aku tak akan bertanya lagi! Lekas buka mulut!”
“Kau benar mau membuka jubah hitam itu?!” tanya Joko.
“Kau tadi sudah dengar ucapanku!”
“Kau memang tidak tahu persoalannya?!”
“Kalau kau balik bertanya, tanganku akan menampar mukamu!”
“Menurut apa yang kuketahui, biasanya kalau seseorang mengenakan jubah sakti, maka orang itu tidak mengenakan apa-apa lagi! Entah benar atau tidak apa yang kudengar itu, aku sendiri tak pernah membuktikan! Tapi kalau kau ingin membuktikan, semua orang di sini tentu akan merasa maklum...”
Dayang Sepuh kerutkan kening. Lalu melompat mendekati Dewi Ayu Lambada dan berkata pelan. “Kau pernah dengar urusan begitu itu?!”
“Baru kali ini aku mendengarnya! Tapi lebih baik kau buktikan sendiri! Siapa tahu dia adalah pemuda tampan! Kalau kau malu juga padaku, aku akan berbalik seperti mereka!”
“Setan! Aku ini kau anggap apa, hah?!”
“Bagaimana, Nek?! Sudah kau buka?!” Iblis Ompong ajukan tanya tatkala suara Dayang Sepuh tidak terdengar lagi.
“Aku bukan perempuan setan yang ingin lihat barang-barang menjijikkan begitu rupa!”
“Jadi kau batalkan niatmu?!” tanya Iblis Ompong sambil putar tubuh. Datuk Wahing, Dewa Uuk, dan Pendekar 131 ikut-ikutan balikkan tubuh.
Dayang Sepuh memberengut tanpa menyahut, iblis Ompong berpaling pada Joko. “Anak muda! Kulihat pakaianmu sudah tak pantas lagi dikenakan! Lebih baik kau yang melepasnya dan mengenakan jubah hitam itu!”
Tapi, Kek...”
“Sudahlah! Lepas saja jubah hitam itu! Kalau nenek-nenek ini masih pentang mata di sini, itu urusan mereka!”
Perlahan Joko melangkah mendekati sosok Jubah Tanpa Jasad. Lalu jongkok sembari angkat kepalanya memandang silih berganti pada Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada. Pendekar 131 tersenyum. Kedua tangannya menjulur ke arah kancing-kancing Jubah Tanpa Jasad. Karena takut kebenaran ucapan orang, Dewi Ayu Lambada segera balikkan tubuh dengan cekikikan. Dayang Sepuh mendengus. Lalu ikut putar diri.
Pendekar 131 cepat melepas kancing-kancing pada Jubah Tanpa Jasad. Dia bisa merasakan sosok tubuh seseorang meski sosok itu belum bisa dilihatnya. Begitu Jubah Tanpa Jasad lepas dari sosok orang, maka murid Pendeta Sinting, Dewa Uuk, dan Iblis Ompong sama pentangkan mata. Datuk Wahing bersin-bersin beberapa kali.
“Rupanya memang dia!” gumam Joko.
Kini begitu Jubah Tanpa Jasad lepas, semua orang bisa melihat sosok orang yang tadi mengenakan jubah. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih. Pakaian yang dikenakan hangus. Pada mulutnya terlihat darah agak mengering. Karena Joko pernah bertemu Kiai Laras, maka dia segera bisa mengenali sosok dihadapannya yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Jasad, la bukan lain memang Kiai Laras.
“Kenakan jubah itu!” Iblis Ompong angkat suara.
Joko bergerak bangkit dengan tangan kanan memegang Jubah Tanpa Jasad. Dia tampak ragu-ragu. Saat itulah Gendeng Panuntun berkata dari tempatnya tegak.
“Kenakan saja... Mungkin jubah itu sekarang sudah lenyap kesaktiannya! Kalau tidak, mana mungkin dia bisa terhantam pukulan sahabat Setan Liang Makam?!”
Meski masih ragu-ragu, akhirnya Joko mengenakan juga jubah hitam di tangannya. Ucapan Gendeng Panuntun ternyata benar. Walau kini murid Pendeta Sinting telah mengenakan Jubah Tanpa Jasad, namun sosoknya masih terlihat.
“Aneh... Bagaimana ini? Kalau benar-benar kesaktiannya sudah hilang, tentu Kiai Laras sudah bisa terlihat wujudnya meski jubah ini belum kulepas!” Joko membatin. Dia sebenarnya hendak mengutarakan apa yang ada dalam benaknya. Namun belum sampai dia berucap, Gendeng Panuntun sudah angkat bicara.
“Kau jangan lupa... Di tubuhmu sekarang ada benda merah yang bisa menghadang kedahsyatan jubah serta Kembang Darah Setan!”
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko teringat akan benda merah yang diletakkan pada pusarnya. Dia cepat selinapkan tangan kanannya. Namun dia tersentak. Dia tak merasakan benda itu berada lagi dipusarnya. Dia segera singkapkan pakaiannya. Benda merah yang beberapa hari lalu diambilnya dari pusar bayi Pitaloka memang sudah lenyap dari pusarnya. Karena masih khawatir benda itu jatuh tanpa disadari, murid Pendeta Sinting merogohkan tangannya ke bawah.
“Masih ada?!” tanya Iblis Ompong.
“Tidak ada, Kek! Lenyap!” jawab Joko.
“Yang benar! Dari sini aku masih melihat tonjolannya! Coba sedikit ke bawah lagi!”
Tangan Joko terus bergerak ke bawah. “Benar, Kek! Tidak ada!”
“Celaka! Kau akan menyesal seumur-umur kalau ucapanmu benar!”
“Benar, Kek! Aku tidak berdusta! Aku tidak bisa menemukannya lagi!” kata Joko.
“Setan, apamu yang lenyap?!” tanya Dayang Sepuh tanpa berani berpaling karena khawatir orang yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Jasad benar-benar bugil.
“Aku dengar tonjol-tonjolan. Tonjolan apamu yang hilang?!” Dewi Ayu Lambada menyahut.
“Bendanya lenyap! Padahal benda itu sangat berarti bagi seorang laki-laki!”
“Aduh... Kasihan! Bagaimana bisa terjadi begitu?!” ujar Dayang Sepuh.
“Aku tak tahu pasti bagaimana bisa terjadi begitu! Yang jelas menurut dia bendanya lenyap tak berbekas!” kata Iblis Omong. “Tapi mataku tidak buta! Aku masih bisa melihat tonjolannya!”
“Aku jadi ingin melihatnya!” kata Dayang Sepuh. “Apa mayat setan yang tadi mengenakan jubah itu sudah...!”
“Ternyata dia tidak bugil, Nek!” Joko sudah menyahut sebelum Dayang Sepuh meneruskan ucapannya.
“Dasar kalian setan semua!” kata Dayang Sepuh lalu perlahan-lahan membalik. Entah karena masih khawatir ditipu orang, nenek berambut poni ini tutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Anehnya jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar!
Sementara Dewi Ayu Lambada juga terdengar mengomel. Lalu putar diri. Sama seperti halnya Dayang Sepuh, karena khawatir ditipu orang, nenek ini tutupi wajahnya dengan kerudung hitamnya! Begitu melihat sosok yang terhampar di atas tanah masih mengenakan pakaian, Dayang Sepuh segera turunkan telapak tangannya. Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung hitamnya. Lalu kedua nenek ini pentangkan mata memperhatikan sosok mayat di bawah.
“Setan Laras!” desis Dayang Sepuh mengenali orang.
“Namanya Kiai Laras, Nek! Bukan Setan Laras!” ujar Pendekar 131.
Dayang Sepuh angkat kepalanya ke samping menghadap murid Pendeta Sinting. Bukan memandang pada raut wajahnya, melainkan pada bagian bawah Joko. Saat itu tangan Joko masih masuk ke balik pakaiannya dan meraba-raba mencari benda merah. Dewi Ayu Lambada ikut-ikutan perhatikan bagian bawah tubuh Joko.
“Ah... Setan itu menipu kita!” kata Dayang Sepuh. “Aku masih melihat bendanya!”
“Betul! Aku juga masih bisa merasakan!” Dewi Ayu Lambada menyahut.
“Hem... Jadi mataku memang tidak menipu!” Iblis Ompong menimpali.
“Kalian ada-ada saja! Aku mengatakan terus terang! Banda itu lenyap!”
“Yang kau raba-raba itu apa kalau lenyap?!” bentak Dayang Sepuh.
“Ini benda sakti, Nek! Maksudku... Yang lenyap itu benda merah yang kuambil dari anaknya Pitaloka!”
“Setan! Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan kalau yang lenyap itu benda merah! Kukira yang lenyap benda saktimu!” ujar Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan.
“Ah... Kau juga bikin aku ikut deg-degan saja! Kukira yang hilang tak berbekas adalah tonjolan benda mu itu!” Dewi Ayu Lambada mengomel lalu ikut tertawa.
Pendekar 131 cepat tarik pulang tangannya keluar. Paras wajahnya berubah merah padam. Apalagi tatkala melihat Dewi Ayu Lambada dan Dayang Sepuh tertawa seraya terus memperhatikan bagian bawah tubuhnya!
“Sahabat Muda...” Mendadak Gendeng Panuntun angkat suara. “Panggilanmu kurasa sudah dekat! Kau harus segera angkat kaki dari sini!” Sambil berucap begitu, Gendeng Panuntun berkelebat lalu tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting.
“Panggilan apa, Kek?!”
“Aku tak tahu. Aku hanya dapat merasakan! Pergilah kau ke Pesisir Laut Utara. Mungkin di sana nanti kau akan mendapat jawabannya!”
“Tapi, Kek. Aku ingin bertemu dahulu dengan Eyang Guru!”
“Jangan sia-siakan panggilan, Sahabat Muda! Aku nanti bisa memberi keterangan pada gurumu! Hanya saja... Untuk kali ini kau harus berjuang sendirian! Selamat jalan!”
“Kek! Aku tak mengerti maksudmu!”
“Kau tak akan mengerti sebelum kau sampai Pesisir Laut Utara! Berangkatlah sekarang juga!”
“Hem... Ucapannya belum kumengerti benar! Namun aku bisa menebak! Pasti ada sesuatu yang harus kuselesaikan! Ah... Terpaksa keinginanku menemui Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru harus tertunda...” kata Joko dalam hati. Lalu anggukkan kepala pada semua orang di tempat itu.
“Terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Sekarang aku harus pergi...” Pendekar 131 balikkan tubuh. Lalu melangkah meninggalkan kawasan Kampung Setan. Begitu hendak berkelebat di depan sana, Joko sempat berpaling ke belakang.
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada tampak lambaikan tangannya. Bahkan karena terhalang sosok Iblis Ompong dan Datuk Wahing, kedua nenek ini berjingkat agar supaya lambaian tangannya terlihat oleh Pendekar 131. Pendekar 131 Joko Sableng membalas lambaian tangan Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada. Lalu putar diri dan berkelebat.
“Ayo kita pulang!” kata Dewi Ayu Lambada seraya menarik lengan Dewa Uuk yang juga adalah adik kandungnya.
“Selamat jalan, Sahabat... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi!” kata Gendeng Panuntun.
“Aku tak berharap bisa bertemu lagi! Urusan dengan kalian bisa membuat kepalaku pusing!” timpal Dewi Ayu Lambada lalu melangkah sambil terus menggandeng lengan adiknya.
“Uuuukkk! Uuuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka mulut sambil lambaikan tangannya pada Dayang Sepuh dan Iblis Ompong. Lalu letakkan jari telunjuknya menyilang di depan keningnya. Saat lain menunjuk pada Dewi Ayu Lambada.
“Dari dulu aku sudah tahu kalau kakakmu itu setengah sinting!” Dayang Sepuh bergumam. Lalu berkelebat. Disusul kemudian oleh Iblis Ompong, Datuk Wahing, dan Gendeng Panuntun.
Di lain tempat, Pendekar 131 terus berkelebat seraya menduga-duga. Namun sejauh ini dia tidak bisa menduga dengan tepat apa yang hendak ditemuinya. Hal ini membuat dia penasaran dan makin mempercepat larinya. Setelah melakukan perjalanan dua hari tiga malam, akhirnya Pendekar 131 memasuki kawasan Laut Utara. Karena saat itu matahari tepat berada di puncaknya, murid Pendeta Sinting mencari tempat berlindung di gugusan batu karang. Namun setelah lama menunggu, dia tidak juga melihat siapa-siapa.
“Hem... Apa maksud Kakek Gendeng Panuntun memerintahkan aku datang ke sini? Melihat gulungan ombak?! Atau dia sengaja agar aku pergi terlebih dahulu karena mereka hendak membicarakan sesuatu?! Akan kutunggu sampai hari hampir gelap. Jika tidak ada apa-apa, aku akan menuju Jurang Tlatah Perak. Lalu mengunjungi Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru!”
Tanpa terasa saat itu juga muncul bayangan Putri Kayangan. Namun samar-samar bayangan Putri Kayangan lenyap. Di matanya kini terlihat sebuah perahu terayun-ayun gulungan ombak ke arah pesisir. Joko gelengkan kepala lalu kucek-kucek matanya dengan punggung tangan.
“Ini bukan bayangan! Ini nyata! Aku melihat perahu terayun-ayun ombak!”
Pendekar 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Matanya dipentang besar-besar perhatikan perahu yang terus bergerak-gerak timbul tenggelam dibuncah gulungan tombak. Murid Pendeta Sinting kernyitkan kening dengan mata makin dibeliakkan. Perahu itu tiba-tiba meluncur deras menuju pesisir seakan dikemudikan seseorang. Padahal Joko jelas tidak melihat siapa-siapa di atas perahu...!
SATU
PEREMPUAN setengah baya berparas cantik itu tegak terpaku dengan mata memandang ke satu jurusan. Beberapa untaian bunga yang terdapat pada rambutnya tampak bergerak-gerak ditiup angin. Sesekali perempuan ini mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Selain di rambutnya, ternyata pada sela antara jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan perempuan ini juga terdapat sekuntum bunga. Perempuan ini mengenakan pakaian berwarna putih sebatas dada mirip pakaian yang dikenakan seorang penari.
Di belakang perempuan berparas cantik walau usianya tidak muda lagi itu, berdiri satu sosok tubuh milik seorang laki-laki berusia lanjut. Pakaiannya lusuh. Sepasang matanya agak sayu. Kakek ini seperti halnya si perempuan, tampak berdiri dengan arahkan pandang matanya ke satu jurusan. Untuk beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mulut. Mereka seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga pada akhirnya si kakek buka mulut.
“Nyai Tandak Kembang... Kau telah memutuskan. Biarlah mereka melakukan apa yang hendak dilakukan!”
Perempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda lagi dan bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang adanya, berpaling pada laki-laki di belakangnya.
“Kigali... Aku memang telah memutuskan memberi izin pada Pitaloka dan Beda Kumala pergi sementara waktu sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Tapi sebenarnya aku melakukan hal itu dengan terpaksa. Dan begitu mereka benar-benar pergi, aku sekarang jadi bimbang dan cemas. Entah apa sebenarnya. Aku mendapat firasat tidak baik!”
Laki-laki di belakang Nyai Tandak Kembang dan ternyata adalah Kigali alihkan pandang matanya pada Nyai Tandak Kembang. Orang tua ini mau buka mulut, tapi Nyai Tandak Kembang sudah sambungi ucapannya.
“Apa selama bersamamu Pitaloka pernah mengatakan satu rencana?!”
Kigali termenung sesaat sebelum akhirnya angkat suara. “Terlalu banyak yang kubicarakan dengan Pitaloka, hingga aku tidak bisa ingat lagi apakah Pitaloka pernah mengatakan satu rencana atau tidak. Tapi terus terang, sebenarnya aku curiga padanya. Dan kalau saja aku tidak bertemu dengan kau, mungkin aku sudah meminta pada Pitaloka untuk terus bersamaku di hutan ini. Tapi kau adalah neneknya. Dan kau telah memutuskan agar Pitaloka kembali ke lereng Gunung Semeru. Apa hendak dikata...”
“Kigali... Aku menghargai permintaanmu. Tapi setelah peristiwa ini, aku benar-benar takut!” Nyai Tandak Kembang tampak menghela napas. Lalu lanjutkan ucapan.
“Mau kau mengatakan apa kecurigaanmu?!”
“Pitaloka baru saja mengalami peristiwa buruk yang tak mungkin dapat dilupakan sepanjang hidupnya. Aku khawatir kepergian Pitaloka kali ini untuk membalaskan sakit hatinya...”
“Hem... Sebenarnya aku sudah berpikir ke arah sana. Tapi apakah anak itu akan begitu bodoh mengambil tindakan? Apakah dia tidak berpikir siapa gerangan yang akan dihadapi?!”
“Nyai... Orang yang sudah terluka tidak akan terlalu banyak pikirkan akibat! Yang ada dalam benaknya hanya membalas dan membalas! Apalagi Pitaloka masih muda...”
“Hem... Benar juga ucapan orang tua ini. Apa yang harus kulakukan sekarang?” kata Nyai Tandak Kembang dalam hati. Lalu bertanya.
“Kau tahu di mana letak Kampung Setan?!”
“Aku pernah hidup di sana. Tapi kalau benar keterangan Pitaloka, berarti saat ini Kampung Setan sudah kosong! Percuma kau akan ke sana. Kalaupun kau ingin pergi, lebih baik menuju Bukit Kalingga. Seperti keterangan Pitaloka pada Pendekar 131 Joko Sableng.”
Seperti diketahui, Nyai Tandak Kembang sudah memutuskan untuk melarang Pitaloka dan Beda Kumala alias Putri Kayangan turun dari lereng Gunung Semeru begitu nanti mereka pulang dari Lembah Patah Hati. Namun tampaknya Pitaloka dan Putri Kayangan merasa keberatan dengan keputusan Nyai Tandak Kembang. Tapi keberatan kedua gadis ini punya alasan masing-masing. Pitaloka masih ingin membalas sakit hatinya pada orang yang telah memperkosanya, sementara Putri Kayangan takut tidak bisa bertemu lagi dengan Pendekar 131. Karena gadis ini telah jatuh hati pada murid Pendeta Sinting.
Putri Kayangan tidak berani mengutarakan keberatannya pada Nyai Tandak Kembang. Tapi Pitaloka berterus terang dan minta izin pada neneknya agar diberi waktu sebelum balik ke lereng Gunung Semeru. Pada dasarnya Nyai Tandak Kembang ragu-ragu dengan permintaan Pitaloka, apalagi setelah peristiwa yang terjadi. Lagi pula Pitaloka tidak mau mengatakan apa sebenarnya yang hendak dilakukan sebelum pulang ke lereng Gunung Semeru.
Karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak Kembang tidak bisa menghalang-halangi. Hanya saja Nyai Tandak Kembang memerintahkan pada Putri Kayangan untuk mendampingi. Pitaloka tidak keberatan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak gembira, karena berarti masih ada kesempatan untuk bertemu dengan Pendekar 131 sebelum nanti pulang ke lereng Gunung Semeru. Begitu pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani serta Lingga Buana selesai, Pitaloka dan Putri Kayangan berangkat meninggalkan Lembah Patah Hati.
“Kigali... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas semua yang kau lakukan selama ini. Sekarang aku harus pergi!” kata Nyai Tandak Kembang setelah agak lama terdiam.
“Kalau tak keberatan, mau mengatakan padaku. Kau hendak langsung ke lereng Gunung Semeru atau mengikuti kedua cucumu?!” Kigali ajukan tanya.
Beberapa saat Nyai Tandak Kembang terdiam. Lalu alihkan pandangan dan menghela napas panjang. “Sebenarnya aku ingin segera pulang ke lereng Gunung Semeru karena aku sudah tak ingin libatkan diri dalam urusan dunia persilatan. Tapi saat ini aku mengkhawatirkan keselamatan Pitaloka dan Beda Kumala. Mungkin aku akan menyusul dahulu keduanya...”
“Nyai... Tidak keberatan kalau aku ikut serta?!”
Nyai Tandak Kembang menoleh. “Bukannya aku keberatan atau tidak menghargai perhatianmu. Tapi kurasa aku bisa pergi sendiri...”
“Nyai... Bukannya aku mau ikut campur urusan. Hanya saja aku telah menganggap Pitaloka seperti anakku sendiri. Kalau kau sebagai neneknya sangat khawatir dengan keselamatannya. Aku tidak jauh berbeda. Jadi harap kau mengerti dan tidak keberatan pergi bersama denganku! Lagi pula aku tahu banyak tentang Kampung Setan. Mungkin kau nanti membutuhkan beberapa keterangan dalam perjalanan kali ini. Apalagi semua urusan ini tidak terlepas kaitannya dengan Kampung Setan...”
“Hem... Kalau kau berpikir begitu, aku menyerahkan semuanya padamu. Hanya saja kuharap kau mengerti, perjalanan ini bukannya tanpa risiko!”
Kigali tersenyum. Lalu berucap. “Nyai... Separo dari hidupku habis bergelimang dengan kejahatan. Kalaupun nanti aku harus menyerahkan nyawa, aku ingin berakhir untuk kebaikan. Ini sebagai penebus atas perbuatanku di masa lalu. Selain itu aku ingin bertemu dengan teman-teman lama...”
“Semua manusia telah digariskan jalannya. Dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi...” ujar Nyai Tandak Kembang dengan tersenyum. Perempuan dari lereng Gunung Semeru ini dongakkan sedikit kepalanya lalu bertanya. “Kau tahu mana arah menuju Bukit Kalingga?!”
“Sudah beberapa puluh tahun aku tidak keluar dari hutan. Aku juga sudah lupa nama-nama tempat. Tapi kita nanti bisa bertanya sambil jalan...”
Habis berkata begitu, Kigali melangkah menjajari Nyai Tandak Kembang lalu anggukkan kepala memberi isyarat. Nyai Tandak Kembang luruskan kepala. Saat lain kedua orang ini berkelebat meninggalkan hutan yang berbatasan dengan Lembah Patah Hati.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua malam, dan setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya Kigali dan Nyai Tandak Kembang sampai di perbatasan hutan yang dari tempat mereka kini berada terlihat julangan satu bukit yang menurut beberapa orang bukit itu adalah Bukit Kalingga. Nyai Tandak Kembang dan Kigali berdiri berdampingan sambil arahkan mata masing-masing ke arah bukit di depan sana. Nyai Tandak Kembang menghela napas dalam-dalam. Dalam hati perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berkata.
“Mereka berdua tidak ada di sana... Kalau mereka di sana, sejarak ini tentu aku mampu mencium aromanya... Ke mana mereka pergi? Aku tidak bisa menjajaki dengan penciumanku. Berarti mereka berdua jauh dari tempat ini!”
“Kau tampak gelisah... Ada sesuatu yang kau pikirkan?!” tanya Kigali seraya melirik.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Kigali tidak tahu kalau Nyai Tandak Kembang punya kemampuan untuk menangkap keberadaan orang dengan penciumannya.
“Aku hanya menduga... Mungkin mereka berdua ti-ldak ada di bukit itu!” kata Nyai Tandak Kembang.
“Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi aku hampir bisa memastikan. Bahkan aku bisa menduga kalau bukit itu kosong!”
Kigali tersenyum. “Nyai... Kita tengah mengkhawatirkan keselamatan nyawa orang yang kita cintai. Jadi jangan menggantungkan pada dugaan. Menduga boleh saja, tapi sebaiknya kita selidiki dahulu! Lagi pula Pendekar 131 pasti juga berada disini!”
Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Saat lain dia sudah berkelebat mendahului. Karena sudah dapat memastikan tidak ada orang lain di tempat itu, Nyai Tandak Kembang melesat tanpa kebimbangan. Sebaiknya Kigali tampak berhati-hati bahkan sesekali dia masih putar pandangan berkeliling.
Setelah berputar di kaki bukit, mereka berdua menemukan lobang mulut goa. Tanpa banyak bicara lagi Nyai Tandak Kembang berkelebat masuk kemudian di susul Kigali yang tampak makin khawatir dengan tindakan Nyai Tandak Kembang yang begitu percaya diri tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Namun sejauh ini Kigali belum berani menegur. Dia hanya bertanya-tanya dalam hati.
Begitu memasuki goa, mereka menemukan satu pintu terbuka di pojok ruangan goa. Lagi-lagi tanpa melihat sekeliling, Nyai Tandak Kembang sudah melesat masuk.
“Tindakannya sangat berbahaya. Tapi kurasa dia tahu apa yang dilakukannya!” gumam Kigali yang sejenak tegak di tengah ruangan goa dengan mata mengedar berkeliling.
Begitu yakin tidak ada orang, baru Kigali melesat masuk menyusul Nyai Tandak Kembang. Kigali dan Nyai Tandak Kembang akhirnya menemukan sebuah lobang besar menganga diselimuti kabut setelah mereka menaiki tangga batu di balik pintu. Namun meski Kigali sudah memperhatikan dengan seksama ke seantero tempat itu, dia tidak melihat siapa-siapa!
“Dugaannya benar... Putri Kayangan dan Pitaloka tidak ada di tempat ini! Malah benar juga ucapannya jika tempat ini kosong! Heran, bagaimana dia bisa menduga dengan tepat?!”
Diam-diam Kigali bertanya dalam hati. Dia sebenarnya ingin bertanya. Namun sebelum sempat buka mulut, Nyai Tandak Kembang sudah berkata.
“Sebenarnya tempat ini tidak kosong. Hanya saja baru ditinggalkan penghuninya! Kita harus mencari mereka di tempat lain!”
Karena sudah membuktikan kebenaran dugaan Nyai Tandak Kembang, Kigali tidak buka mulut lagi untuk bertanya. Dia balikkan tubuh lalu berkelebat mengikuti Nyai Tandak Kembang yang sudah terlebih dahulu melesat keluar.
“Ke mana kita sekarang?!” Kigali baru bertanya begitu mereka berdua telah berada di luar goa.
Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Melainkan menghela napas dalam-dalam. “Aku tak mampu mencium jejak keduanya. Berarti mereka telah jauh dari tempat ini. Hem... Urusan ini masih ada hubungannya dengan Kampung Setan. Apa tidak mungkin mereka tengah menuju ke sana?!” Nyai Tandak Kembang berkata dalam hati lalu bertanya.
“Kau masih ingat jalan menuju Kampung Setan?!”
Kigali tampak sedikit terkejut. Namun segera menjawab. “Aku sudah lupa-lupa ingat. Tapi aku masih tahu arahnya!”
“Baik... Kita menuju ke Kampung Setan!”
“Kau yakin mereka menuju ke sana?!”
“Aku hanya menduga... Tapi kemungkinan besar dugaanku tidak salah... Bukankah kau tadi mengatakan urusan ini tidak bisa diputuskan dengan urusan Kampung Setan? Kalau mereka tidak berada di sini, ke mana lagi kalau tidak ke sana?!”
Entah karena sudah membuktikan kebenaran dugaan Nyai Tandak Kembang, meski masih diselimuti kebimbangan, akhirnya Kigali berkelebat juga. Nyai Tandak Kembang mengikuti di belakangnya.
********************
DUA
PEMUDA berparas tampan dan gadis berwajah cantik itu berlari tidak begitu kencang. Malah sesekali mereka berdua berhenti lalu melangkah perlahan. Si gadis tampak terus kembangkan senyum dan tangannya melingkar pada pinggang si pemuda begitu mereka melangkah. Sementara si pemuda terlihat sering melirik pada si gadis dengan sesekali menghela napas panjang. Parasnya jelas membayangkan ketidakenakan hati. Tapi si pemuda tampak sembunyikan ketidak enakan hatinya dan sunggingkan senyum kala si gadis memandangnya.
Pada satu tempat, kedua orang muda ini hentikan langkah. Si gadis sandarkan kepala pada dada si pemuda. Lalu sedikit tengadahkan kepalanya seraya berkata,
“Joko... Kita hendak ke mana?!”
Si pemuda yang ternyata bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng tersenyum. Namun dia belum menyahut pertanyaan si gadis. Dia hanya memandang sejenak lalu alihkan pandang matanya jauh ke depan. Dalam hati dia berkata.
“Bagaimana ini?! tidak mungkin aku mengajaknya ke Kampung Setan. Ini sangat berbahaya! Tapi bagaimana aku harus memberi pengertian padanya?!”
Karena agak lama tidak juga menjawab, si gadis kembali angkat suara. “Joko... Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal?!”
Joko gelengkan kepala. Namun belum juga angkat bicara membuat si gadis makin curiga. Gadis cantik bermata bulat bersinar ini tarik kepalanya dari dada murid Pendeta Sinting. Dengan menatap tajam, dia berkata,
“Joko... Kau jangan berdusta padaku. Sikapmu lain... Kau menyembunyikan sesuatu padaku! Katakanlah terus terang. Atau kau keberatan pergi bersamaku?! Atau ada gadis lain yang membuatmu gelisah?!”
“Saraswati... Jangan terlalu jauh menduga. Aku senang pergi bersamamu. Hanya saja...”
Si gadis yang ternyata bukan lain adalah Saraswati cepat menyahut tatkala Joko tidak lanjutkan ucapan. “Hanya apa? Kau keberatan, bukan?!”
“Masalahnya bukan keberatan atau tidak. Kau tahu hendak ke mana aku sebenarnya?”
“Aku tidak peduli kau hendak ke mana!”
“Itulah masalahnya....”
“Aku sudah mengatakannya tidak peduli kau hendak ke mana! Berarti tidak ada masalah, bukan?!”
“Justru karena kau tidak peduli aku hendak ke mana itulah masalahnya!”
Saraswati kerutkan dahi. Seperti diketahui, Saraswati yang selama ini masih menduga jika orang yang melakukan perbuatan tidak senonoh padanya adalah murid Pendeta Sinting terus mencari-cari. Akhirnya dia menemukan Joko di goa Bukit Kalingga di mana dahulu Saraswati pernah mengalami peristiwa buruk. Setelah diberi pengertian oleh Joko, akhirnya Saraswati sedikit sadar meski belum sepenuhnya percaya pada keterangan Joko. Saraswati baru benar-benar percaya setelah dia dan murid Pendeta Sinting menemukan ruangan rahasia di balik goa. Dan pada akhirnya menemukan mayat ibunya serta Ni Luh Padmi.
Setelah mengubur ibu Saraswati yang tidak lain adalah Lasmini dan Ni Luh Padmi, Joko memutuskan hendak mencari sosok di balik Jubah Tanpa Jasad ke Kampung Setan. Tapi dia kebingungan bagaimana mengutarakannya pada Saraswati. Dia ingin pergi ke Kampung Setan tanpa Saraswati, karena dia maklum, perjalanan menuju Kampung Setan sangat berbahaya apalagi orang yang hendak dicari bukan orang sembarangan. Selain mengenakan Jubah Tanpa Jasad, orang ini juga membekal Kembang Darah Setan. Dua pusaka mustika peninggalan leluhur Kampung Setan.
“Joko! Katakan terus terang. Apa masalah sebenarnya!” kata Saraswati pada akhirnya setelah agak lama kedua orang ini saling berdiam diri.
“Aku akan ke Kampung Setan!”
“Hem... Bagiku pergi ke Kampung Setan bukan masalah! Malah sebenarnya aku selama ini mencari-cari keterangan di mana letak Kampung Setan!”
“Saraswati... Kampung Setan bukanlah tempat yang aman untuk sekarang ini! Lebih baik aku pergi sendiri...”
“Kalau kau tak ingin aku ikut, mengapa sedari tadi kau tidak mengatakannya malah coba mencari-cari alasan?!”
“Aku tidak mencari-cari alasan! Apa yang kukatakan benar adanya! Aku tak mau kau nanti mendapat celaka!”
“Itu hanya alasanmu! Aku sudah mengatakan tak peduli kau hendak ke mana!”
“Saraswati....”
“Sudahlah!” tukas Saraswati. “Kalau kau tak men- ginginkan aku bersamamu, aku tidak akan memaksa! Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin tanya padamu!”
Murid Pendeta Sinting tersenyum mendengar Saraswati mau mengerti. Dia segera saja berkata. “Apa yang hendak kau tanyakan?!”
“Harap kau jawab dengan jujur. Di mana letak Kampung Setan?!”
Pendekar 131 jadi terlengak mendengar pertanyaan Saraswati. “Busyet! Ini namanya sama saja! Dia tidak akan ikut, tapi tanya di mana Kampung Setan! Berarti dia akan pergi ke sana juga kalau kuberi tahu...” kata Joko dalam hati.
“Saraswati... Bukannya aku tak mau menunjukkan di mana Kampung Setan. Tapi sebenarnya tempat itu sangat berbahaya!”
“Aku tidak ingin keterangan tempat itu bahaya atau tidak. Aku tanya di mana letak Kampung Setan?” kata Saraswati dengan suara agak tinggi.
Tanpa disadari oleh Pendekar 131 dan Saraswati, sejak tadi tampak dua sosok tubuh mengendap-endap seraya mencuri dengar. Mereka adalah dua gadis berpakaian warna merah-merah. Mereka mengendap tanpa ada yang buka suara dan tanpa berani membuat gerakan. Hanya sesekali mereka berdua saling berpandangan. Di sebelah kanan terlihat agak geram malah matanya membelalak dengan rahang sedikit terangkat. Sementara yang satu tampak agak murung dan tidak berani langsung memandang ke arah murid Pendeta Sinting. Mereka berdua tidak lain adalah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Seperti dituturkan, Pitaloka minta izin pada Nyai Tandak Kembang untuk menyelesaikan satu urusan. Nyai Tandak Kembang sebenarnya merasa keberatan. Namun karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak Kembang memberi izin, tapi dia meminta Putri Kayangan untuk mendampingi Pitaloka. Setelah pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani serta Lingga Buana di Lembah Patah Hati, Pitaloka dan Putri Kayangan meninggalkan Kampung Setan. Pitaloka sengaja tidak memberitahukan pada Nyai Tandak Kembang juga pada Putri Kayangan hendak ke mana.
Sementara Putri Kayangan sendiri meski masih bertanya-tanya hendak ke mana tujuan Pitaloka, tapi yang paling menjadi beban pikirannya adalah keputusan Nyai Tandak Kembang yang telah memutuskan melarang Pitaloka dan dirinya untuk turun lereng Gunung Semeru begitu mereka nanti pulang. Maka kesempatan yang diberikan Nyai Tandak Kembang pada dirinya untuk mendampingi Pitaloka tidak disia-siakan. Dia ingin sekali bertemu dengan Pendekar 131 karena mungkin setelah itu mereka tidak bisa berjumpa lagi.
Namun begitu Pitaloka dan Putri Kayangan sampai di Bukit Kalingga, tempat di mana dulu Pitaloka pernah hampir diperkosa oleh Kiai Laras yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, mereka berdua menemukan Pendekar 131 tengah bermesraan dengan Saraswati. Pitaloka sangat geram, karena dia sebenarnya ingin agar Pendekar 131 bisa berdampingan dengan Putri Kayangan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak masih bisa menahan diri walau hatinya didera rasa kecewa dan cemburu.
Ketika Pendekar 131 dan Saraswati meninggalkan Bukit Kalingga, Pitaloka mengajak Putri Kayangan untuk terus mengikuti. Sebenarnya Putri Kayangan merasa enggan. Selain akan menambah rasa kecewa dia juga tak akan tahan melihat terus-terusan murid Pendeta Sinting berkasih-kasihan dengan gadis lain di depan matanya. Namun Pitaloka bersikeras mengajak Putri Kayangan karena dia berpikir tujuan Pendekar 131 pasti mencari sosok manusia yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad yang kini tengah dicarinya.
“Pitaloka...!” bisik Putri Kayangan. “Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Tidak ada artinya kita terus mengikuti mereka!”
“Kuharap kau tabahkan hati melihat semua ini! Bukan hanya kau saja yang merasa sakit. Aku lebih sakit lagi melihat dia bermesraan dengan gadis sialan itu!”
“Pitaloka... Kau jangan menyalahkan mereka... Mungkin mereka sudah jadi kekasih sebelum ini. Hanya saja kita tidak tahu... Justru akulah yang salah... Untung aku belum terlambat untuk mengetahuinya. Jika terlambat, mungkin aku dituduh merebut kekasih orang...”
“Kau terlalu menyudutkan diri sendiri! Kalau pemuda itu sebelumnya sudah punya kekasih, seharusnya dia tidak memberi harapan padamu! Kau lihat sendiri tatkala di Lembah Patah Hati. Dia seolah-olah masih belum punya seorang kekasih. Dialah sebenarnya yang patut disalahkan! Dia pengecut! Sudah punya kekasih tapi masih juga berlagak...”
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Putri Kayangan sudah memotong. “Sudahlah, Pitaloka. Tak ada gunanya lagi kita perdebatkan soal itu! Aku dapat menerima semua ini. Sekarang yang penting adalah segera menyelesaikan urusanmu dan segera kembali ke lereng Gunung Semeru...”
Pitaloka berpaling pada Putri Kayangan. “Ucapan itu keluar dari hati nuranimu? Bukan karena kecewa dengan semua yang kau lihat?!”
Putri Kayangan tersenyum walau terlihat dipaksakan. “Pitaloka... Untuk apa harus kecewa? Urusan hati tidak boleh terlalu dipaksakan...”
Pitaloka menatap Putri Kayangan dengan wajahyang sulit dimengerti. Putri Kayangan sendiri alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Walau gadis ini tadi berucap seolah tidak merasa kecewa dan dapat menerima kenyataan apa yang terlihat, namun paras wajahnya tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa.
“Pitaloka... Sebenarnya apa maksudmu minta waatu pada Eyang. Kurasa bukan untuk mengikuti kedua orang itu bukan?!”
“Pada mulanya memang tidak, tapi sekarang kita harus terus mengikutinya! Aku telah bersumpah untuk membalas dendam pada manusia yang bertindak menjijikkan itu! Kalau dia tidak ada di Bukit Kalingga, hanya satu tempat yang mungkin didiaminya! Tempat itu adalah Kampung Setan!”
“Ucapanmu bukan hanya karena kau mendengar percakapan pemuda dan gadis itu tadi, bukan?!”
“Aku tahu siapa jahanam pemerkosa itu. Dia sering kali mengatakan sebagai penguasa baru Kampung Setan! Jadi kalau dia sudah enyah dari Bukit Kalingga, satu-satunya tempat yang dihuni adalah Kampung Setan! Dan kau tahu... Aku tidak tahu di mana letak Kampung Setan! Sementara kita sendiri mendengar kalau Pendekar 131 akan menuju Kampung Setan. Berarti dia tahu di mana Kampung Setan! Bagaimana kita akan menemukan Kampung Setan kalau tidak terus mengikutinya?!”
“Tapi....”
“Aku tahu...,” ujar Pitaloka menukas ucapan Putri Kayangan. “Orang yang akan kuhadapi adalah manusia berkepandaian sangat tinggi karena dia mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan memegang Kembang Darah Setan. Tapi satu-satunya benda untuk menghadapi jahanam itu telah ada! Aku tak akan bertindak bodoh untuk menghadapinya kalau tidak tahu bagaimana cara menghadapinya!”
“Tapi bukankah benda itu telah berada di tangan Pendekar 131?”
“Itu pula sebabnya mengapa aku mengajakmu untuk terus mengikutinya!”
Baru saja Pitaloka menyahut ucapan Putri Kayangan, tiba-tiba kedua gadis ini menangkap satu sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting dan Saraswati. Bukan hanya Pitaloka dan Putri Kayangan yang terkejut. Namun Saraswati dan Pendekar 131 tak kalah melengaknya!
Joko dan Saraswati saling pandang sejenak. Lalu hampir bersamaan mereka berdua arahkan pandangannya pada sosok yang baru muncul. Sementara dari tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Kayangan sama memandang tak berkesip pada orang yang tiba-tiba muncul. Semua mata di tempat itu melihat seorang gadis berparas jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya yang hitam lebat dikuncir ekor kuda. Hidungnya mancung dengan mata berbinar.
“Aku pernah bertemu dengan gadis ini! Malah dia pula yang mengusulkan agar aku memberi kesempatan pada Pendekar 131 untuk membuktikan bahwa bukan dia yang melakukan semua tindakan menjijikkan itu! Hem... Tampangnya aneh. Ada apa ini? Apa karena dia tahu aku bersama Pendekar 131?!” Diam- diam Saraswati membatin seraya perhatikan gadis yang baru saja muncul.
“Aku pernah melihatnya!” Dari balik persembunyiannya Putri Kayangan berbisik pada Pitaloka.
“Siapa dia?!” tanya Pitaloka.
“Kalau tak salah... Dewi Seribu Bunga!”
Di depan sana, murid Pendeta Sinting diam-diam juga berkata sendiri dalam hati. “Melihat gelagat, tentu dia akan meneruskan kisah lama! Hem... Urusannya tambah sulit. Apalagi pandangannya terasa tidak enak. Matanya bukan saja masih menuduh, tapi juga bercampur pandangan cemburu!”
“Pendekar 131!” Tiba-tiba gadis yang baru muncul angkat suara dengan keras. “Kesempatan yang kuberikan padamu untuk membuktikan bahwa bukan kau manusianya yang melakukan tindakan tidak terpuji itu! Bukan untuk hal-hal lainnya!”
“Benar dugaanku!” batin Joko. “Dia cemburu... Dikira aku selama ini pergunakan waktu untuk bersenang-senang!”
Saraswati rupanya maklum akan arti ucapan si gadis yang bukan lain memang Dewi Seribu Bunga adanya. Paras Saraswati sedikit merah. Sebelum murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, dia telah menyahut. “Harap tidak cepat menuduh! Dia telah pergunakan waktunya selama ini untuk menyingkap siapa manusia di belakang semua tindakan keji itu!”
Dewi Seribu Bunga mendengus pelan. Tanpa berpaling pada Saraswati, dia bersuara. “Aku tidak bicara padamu! Aku ingin keterangan dari dia!”
“Tapi ucapanmu tadi seolah-olah menuduh bahwa kesempatan itu digunakan untuk hal-hal yang bukan semestinya!” kata Saraswati menyahut dengan tampang tidak senang.
“Aku bicara apa adanya! Karena selama ini aku mendengar belum ada kabar perubahan yang berarti! Lalu kulihat kalian enak-enakan di tempat ini!” Kali ini seraya bicara, Dewi Seribu Bunga berpaling memandang tajam pada Saraswati.
Saraswati sendiri balas pandangan orang dengan mata berkilat. Untuk beberapa lama dua pasang mata berperang pandang.
“Dengar! Kami bukan tengah enak-enakan! Kami justru tengah mencari biang petaka jahanam itu!” Saraswati sambuti ucapan Dewi Seribu Bunga.
“Hem... Begitu? Jadi kalian berdua berada di tempat sepi begini kau anggap tengah mencari biang petaka itu?! Lihat berkeliling! Kau ada di mana?! Apa yang bisa kau dapatkan di tempat seperti ini?! Kau juga tidak sadar... Kalau kau diintai oleh mata-mata di balik tempat tersembunyi! Apakah ini bukti bahwa kalian berdua memang tengah mencari seseorang atau sebaliknya?!”
Saraswati dan Pendekar 131 sama terkejut. Untuk beberapa saat keduanya sama saling pandang lalu arahkan pandang mata masing-masing ke seantero tempat itu. Sementara dibalik tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Kayangan juga saling pandang.
“Gadis itu telah tahu kehadiran kita dan apa yang kita lakukan!” Putri Kayangan berbisik dengan dada berdebar tidak enak. “Sebelum kita mendapat malu, lebih baik kita pergi saja dari tempat ini!”
Pitaloka mencekal lengan Putri Kayangan. “Menghadapi urusan kali ini lenyapkan semua pikiran yang berhubungan dengan perasaan! Jika tidak, kita akan kembali ke lereng Gunung Semeru dengan tangan hampa! Bila itu terjadi, aku tak akan bisa hidup tenang disana!”
“Tapi mereka akan menuduh kita melakukan sesuatu yang kurang pantas!”
“Persetan dengan semua itu! Mereka sebenarnya yang melakukan pekerjaan kurang pantas! Bukan kita!”
“Apa benar ucapan Dewi Seribu Bunga jika di tempat ini ada orang lain?! Siapa? Apa orang itu mengikuti?! Celaka... Kalau orang itu belum kukenal masih lumayan! Tapi bagaimana kalau orang itu adalah orang yang kukenal? Sialnya lagi kalau orang itu sebenarnya telah mengikutiku sejak dari Bukit Kalingga! Aduh... Pasti dia tahu apa yang kulakukan bersama Saraswati...”
Pendekar 131 terus edarkan mata dengan hati berkata sendiri. Namun sejauh ini dia dan Saraswati belum juga bisa menemukan orang lain. Melihat sikap murid Pendeta Sinting dan Saraswati, Dewi Seribu Bunga tertawa pendek dengan nada mengejek sebelum akhirnya berujar.
“Kalau kalian tidak berlaku enak-enakan mana mungkin kalian sampai tidak sadar kalau tengah diintip mata?”
Mungkin merasa jengkel dengan ucapan Dewi Seribu Bunga, Saraswati cepat berteriak. “Siapa pun kau yang bersembunyi, mengapa takut perlihatkan diri?!”
“Kita akan dianggap manusia pengecut kalau tidak keluar tunjukkan diri!” bisik Pitaloka merasa dadanya terbakar mendengar teriakan Saraswati. Apalagi sejak dari Bukit Kalingga sebenarnya Pitaloka sudah menahan perasaan tidak sabar.
“Tunggu, Pitaloka!” tahan Putri Kayangan. Kali ini ganti Putri Kayangan yang mencekal lengan Pitaloka karena saat itu juga Pitaloka hendak melompat keluar. “Kalau perturutkan ucapan orang, aku khawatir akan terjadi keributan yang tidak berarti!”
“Hem... Lalu apa kemauanmu?!” tanya Pitaloka. “Sebaiknya kita berlalu saja dari tempat ini!”
“Kau takut menghadapi perempuan itu?!”
Putri Kayangan geleng kepala. “Bukan karena takut. Tapi sebaiknya kita menghindari keributan yang tidak berguna!”
“Justru kalau kita menghindar, urusannya jadi makin berlarut-larut! Aku tak mau itu terjadi! Kita harus tuntaskan sekarang juga! Bahkan kalau perlu, aku akan meminta kembali benda merah di tangan Pendekar 131!”
“Pitaloka! Kau telah memberikan benda itu!”
“Betul! Tapi kalau dia tidak bisa menggunakannya, bukankah lebih baik kuambil kembali?!”
“Bukannya dia tidak bisa menggunakannya, tapi waktunya belum tiba!”
“Kapan waktu itu akan tiba kalau dia terus-terusan dikejar urusan perempuan?!” jawab Pitaloka agak sengit.
“Bukankah kalau kita keluar berarti menambah urusannya dengan perempuan?!” balik Putri Kayangan.
“Tapi urusan kita berbeda! Bukan untuk...” Pitaloka tidak lanjutkan ucapan, karena saat itu kembali terdengar teriakan Saraswati.
“Hai.. Aku tahu di mana kalian berada! Jangan sampai aku menyuruh kalian keluar dengan cara lain!”
Teriakan Saraswati makin membakar dada Pitaloka. Dia cepat sentakkan cekalan tangan Putri Kayangan. Saat lain dia telah berkelebat dan tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat Dewi Seribu Bunga. Sepasang mata Pitaloka langsung menghujam tajam pada sosok Saraswati.
Putri Kayangan sebenarnya sudah coba menahan. Tapi terlambat. Dan karena dipikir tak ada gunanya lagi bersembunyi, juga khawatir akan terjadi keributan dan salah paham, dengan muka sedikit merah padam akhirnya Putri Kayangan ikut berkelebat keluar dan tegak di samping Pitaloka. Hanya saja begitu tegak, Putri Kayangan tidak langsung memandang pada Saraswati atau Pendekar 131, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi Seribu Bunga.
Mendapati siapa yang muncul, Saraswati tampak tersenyum dingin walau sejenak tampak terkejut. Dewi Seribu Bunga sendiri tak bisa sembunyikan rasa kaget. Gadis cantik bekas murid tunggal tokoh hitam bergelar Maut Mata Satu yang akhirnya diambil murid oleh Dewi Es ini memang tahu ada orang yang sembunyi di sekitar tempat itu. Namun dia sama sekali tidak menduga kalau orang itu adalah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Namun yang paling terlihat terkesiap adalah Pendekar 1311 Malah dia tampak salah tingkah dan bingung, hingga untuk beberapa saat dia bengong dan memandang silih berganti pada empat gadis yang berada di tempat itu!
“Aku sudah turuti permintaanmu! Sekarang katakan apa maumu!” Pitaloka sudah angkat suara dengan keras. Matanya terus saling berperang dengan mata Saraswati.
Saraswati sesaat pandang silih berganti pada Pitaloka dan Putri Kayangan. Dia tampak sedikit kebingungan. “Aneh... Ternyata ada dua gadis yang rupanya sama persis. Aku tak bisa memastikan mana yang pernah kutemui beberapa waktu yang lalu!”
Diam-diam Saraswati membatin. Dia memang pernah bertemu dengan Putri Kayangan. Namun karena tidak tahu kalau Putri Kayangan punya saudara kembar yang wajah dan pakaiannya sama, membuat dia tidak bisa menentukan siapa yang sempat bertemu dengannya!
Sama seperti halnya Saraswati, Dewi Seribu Bunga juga tidak bisa menentukan mana gadis yang pernah jumpa dengannya. Sebenarnya Pendekar 131 juga agak sulit membedakan. Namun dengan sikap Pitaloka, Joko segera saja bisa membedakan. Karena dia tahu sikap Putri Kayangan sedikit lembut dibanding Pitaloka. Hingga dia bisa segera menebak jika yang baru angkat bicara pada Saraswati adalah Pitaloka.
Sementara gadis yang muncul belakangan adalah Putri Kayangan. Dugaannya makin kuat, begitu dia melihat sikap Putri Kayangan yang tidak memandang ke arahnya maupun ke arah Saraswati. Namun di balik semua itu, sebenarnya murid Pendeta Sinting merasa tidak enak dengan kehadiran Putri Kayangan. Karena tidak tahu harus berbuat bagaimana, akhirnya Joko memutuskan.
“Urusan di depan masih banyak! Kalau aku larut dengan urusan di sini, perjalananku akan makin lama!”
Berpikir begitu, akhirnya Joko balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun baru saja Pendekar 131 balikkan tubuh dan belum sempat bergerak lebih jauh, sudah terdengar suara teguran keras.
“Pendekar 131! Jangan jadi manusia pengecut tinggalkan urusan sebelum selesai!” Yang angkat suara ternyata Pitaloka.
TIGA
“Aneh... Di antara kita ada urusan apa?!” gumam Joko seraya urungkan niat dan putar tubuh kembali. Walau dia tadi tahu yang perdengarkan teguran adalah Pitaloka, namun begitu berbalik Joko bukannya memandang ke arah Pitaloka melainkan pada Putri Kayangan yang saat itu juga tengah memandangnya.
Sikap murid Pendeta Sinting membuat dada Saraswati sedikit panas. Dia arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan. Sementara Pitaloka menatap tajam pada Pendekar 131 dan berucap lagi.
“Setelah keluar dari Lembah Patah Hati, kurasa di antara kita memang tidak ada urusan lagi! Tapi begitu aku tahu apa yang kau lakukan, rasanya sulit untuk mengatakan jika di antara kita tidak ada urusan yang harus diselesaikan! Tapi tunggulah dahulu, aku akan bertanya apa kemauan gadismu itu!”
Selesai berkata, Pitaloka arahkan pandangannya pada Saraswati. Lalu berkata. “Aku tak mau menunggu terlalu lama! Katakan apa maumu!”
Sambil gerakkan kepala menoleh, Saraswati menyambut. “Mengapa kalian berdua mengikuti kami?! Kalau tidak punya maksud jahat, mana mungkin kalian sembunyi-sembunyi?!”
Pitaloka tertawa pendek mendengar ucapan Saraswati. “Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku mengikuti pemuda itu! Karena ada yang harus kuselesaikan dengannya!”
Kini ganti Saraswati yang tertawa pendek. Lalu berkata. “Kalau benar kalian mengikutinya, seharusnya kalian menunggu sampai kami berpisah!”
“Hem... Lalu sampai kapan kami harus menunggu?! Apa kau kira aku tak tahu... Kau enggan berpisah dengannya! Padahal dia sudah memintamu untuk pergi!”
Paras wajah Saraswati berubah merah padam. Pitaloka tersenyum mengejek. Lalu sambungi ucapannya. “Kalian manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu tempat! Apakah pantas orang bercumbu di dekat makam, hah?!”
“Pitaloka!” seru Putri Kayangan mencoba menahan agar keributan tidak makin seru. Lagi pula dia merasa malu dikira telah mengintip orang. Tapi sebelum Putri Kayangan sempat lanjutkan ucapan, Pitaloka sudah memotong tanpa memandang.
“Beda Kumala! Kau jangan ikut bicara! Orang-orang seperti mereka akan berbuat makin gila jika dibiarkan tanpa teguran!”
Mendengar kata-kata Pitaloka, selain makin merah padam, dada Saraswati seakan bergemuruh meledak-ledak. Di sebelahnya, murid Pendeta Sinting makin salah tingkah. Kini bukan saja tidak berani memandang pada Putri Kayangan, tapi juga makin bingung tak tahu apa nanti yang harus dikatakan. Karena dia sudah maklum jika Pitaloka dan Putri Kayangan telah tahu apa yang dilakukannya bersama Saraswati di kaki Bukit Kalingga setelah pemakaman Lasmini dan Ni Luh Padmi. Saraswati menarik napas panjang. Saat lain dia berucap dengan suara keras.
“Kau terlalu usil mencampuri urusanku! Dan kau tahu! Justru kalian yang tak tahu diri! Mengintip orang dan terus mengikuti dengan sembunyi-sembunyi! Jangan-jangan kalian gadis-gadis yang kerjanya cuma tukang intip! Kasihan...” Saraswati gelengkan kepala. “Kalian gadis-gadis berwajah cantik. Mungkin banyak pemuda yang tertarik dengan kecantikan kalian. Cuma mungkin kalian punya kerja suka ngintip, mereka segan pada kalian!”
“Kami tidak akan jual murah tubuh kami pada setiap pemuda sepertimu!” sahut Pitaloka.
“Hem... Manusia kadang sering sembunyikan diri di balik ucapan sok sucinya! Apa kau kira aku tak tahu kalau kau baru saja melahirkan anak tanpa diketahui siapa laki-lakinya, he?! Apa perbuatanmu itu tidak lebih gila? Apa dengan begitu kau masih menganggap tubuhmu kau jual mahal?! Kasihan....”
Saraswati kini ganti yang gelengkan kepala seraya tersenyum mengejek. “Kau bisa menegur orang, tapi kau sendiri tidak bisa kuasai nafsu! Kalau aku jadi kau, jangankan berkata menasihati orang, bertatap muka dengan orang saja kurasa aku malu mengangkat kepala!”
“Tutup mulutmu!” teriak Pitaloka setengah menjerit. Dada gadis ini menggelegak dengan tubuh bergetar keras. Kini pandangannya dialihkan pada Pendekar131 yang makin salah tingkah. Apalagi setelah mendengar ucapan Saraswati. Dia sama sekali tidak menduga kalau Saraswati akan mengucapkan hal itu.
“Kau!” Tiba-tiba Pitaloka berteriak dengan telunjuk diluruskan pada Joko. “Mulutmu ternyata lebih busuk dari mulut perempuan liar! Tak kusangka kalau kau berani menebar berita tak benar ini! Sebelum mulutmu makin menebar berita, lebih baik kuhancurkan sekarang juga!”
Pendekar 131 memang telah menceritakan apa yang dialaminya selama ini pada Saraswati kala berada di dekat pemakaman ibunya. Namun ceritanya itu semata-mata bukan untuk menebarkan berita yang tak sedap itu, melainkan agar Saraswati lebih percaya pada dirinya.
Sementara itu, sebenarnya Saraswati sendiri tidak tahu mana gadis yang bernama Pitaloka. Namun begitu mendengar Putri Kayangan tadi menyebut nama Pitaloka, Saraswati segera bisa menebak. Dan begitu mendengar sambutan Pitaloka, Saraswati makin yakin bahwa gadis yang diceritakan Pendekar 131 adalah gadis yang ada dihadapannya.
Mungkin karena merasa tahu kelemahan orang, Saraswati segera pula menyahut ucapan Pitaloka. “Jangan berharap bangkai busuk dapat ditutupi-dengan ucapan dan perbuatan sok suci! Itu hanya akan membuat orang makin curiga dan berita makin tersebar luas! Lebih baik kau akui terus terang dan tunjukkan siapa dirimu sebenarnya! Orang akan menghargai manusia yang tidak sembunyikan diri di balik ucapan sok sucinya!”
“Kalau kau terus buka bacot, mulutmu akan kuhancurkan juga!” Pitaloka menghardik tanpa berpaling pada Saraswati. Sebaliknya terus memandang ke dalam bola mata Pendekar 131 yang makin salah tingkah.
Sementara Dewi Seribu Bunga tampak bengong dan hanya bisa memandang silih berganti tanpa buka mulut. Putri Kayangan mau mencegah, tapi karena sudah tahu tabiat Pitaloka, dia akhirnya hanya bisa diam.
“Pitaloka...” Akhirnya Joko angkat bicara. “Maaf... Bukan aku sengaja menebar berita. Tapi semua itu harus kuceritakan, karena...”
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapan, Pitaloka sudah menukas. “Karena kau tertarik pada gadis itu! Aku tidak mau membicarakan segala macam budi, tapi kau adalah manusia bodoh kalau berlaku begini setelah kau dapatkan apa yang kau perlukan!”
“Pitaloka... Aku paham maksudmu. Kuakui kau telah banyak berjasa padaku. Tapi kuharap kau juga mengerti. Semua ini kulakukan karena aku tidak mau terus-terusan dituduh macam-macam! Lagi pula aku tahu siapa Saraswati. Dia tak akan menebarkan berita ini pada orang lain...”
“Mana ada orang mencela gadisnya di hadapan orang lain!” sahut Pitaloka masih dengan suara keras. “Sekarang hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan urusan ini! Serahkan kembali benda merah itu!”
Joko terkesiap mendengar permintaan Pitaloka. Sementara Saraswati kerutkan dahi. Dia bertanya-tanya benda apa yang dimaksud Pitaloka, karena Pendekar 131 memang tidak sebut-sebut benda merah dalam keterangannya saat menceritakan tentang musibah yang dialami Pitaloka. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga makin tidak mengerti.
“Pitaloka... Sekali ini kuminta pengertianmu. Kalaupun kau minta kembali benda itu, akan kuberikan setelah semuanya selesai...”
Pitaloka geleng kepala. “Mulanya aku memang percaya padamu hingga rela menyerahkan benda itu. Tapi melihat tingkahmu, kepercayaanku jadi luntur! Kau bukannya segera menyelesaikan urusan, sebaliknya kau enak-enakan bercumbu-ria dengan gadis itu! Kalau hal ini kau teruskan, sampai kapan aku harus menunggu?! Padahal kau tahu, kami harus segera kembali ke lereng Gunung Semeru!”
Mendengar ucapan Pitaloka, gemuruh dada Saraswati yang sejenak tadi sedikit mereda bergolak lagi. Dengan mata berkilat, anak gadis Lasmini ini buka suara. “Sedari tadi kau terus mengurusi perbuatan orang! Aku tahu kau cemburu. Tapi seharusnya kau sadar siapa dirimu! Mana mungkin ada laki-laki yang menaruh perhatian padamu jika kau pernah hamil malah melahirkan dan tidak diketahui siapa laki-lakinya?!”
“Jahanam!” teriak Pitaloka. “Aku memang bukan orang baik-baik! Tapi aku tidak akan bertindak gila di depan makam orang!”
“Mana aku tahu...?! Mungkin ucapanmu itu hanya sebagai tutup! Yang jelas tindakanmu sampai hamil adalah lebih gila!”
Saking marahnya, Pitaloka langsung angkat kedua tangannya. Tubuhnya diputar sedikit menghadap Saraswati. Saraswati tidak tinggal diam. Dia cepat angkat kedua tangannya.
“Tahan!” Hampir bersamaan Pendekar 131 dan Putri Kayangan berteriak. Murid Pendeta Sinting melompat dan menahan kedua tangan Saraswati, sementara Putri Kayangan mencekal kedua lengan Pitaloka dan tegak menghalangi di depannya.
“Beda Kumala... Jangan halangi aku! Gadis liar macam dia perlu sesekali mendapat hajaran agar bisa jaga mulut!” Pitaloka tepiskan cekalan tangan Putri Kayangan.
“Kau jangan ikut campur, Pendekar 131! Atau kau laki-laki yang menghamili gadis itu, hah?!” desis Saraswati dengan bibir bergetar. Dia cepat pula mendorong tubuh Joko hingga tersurut dua langkah.
“Saraswati... Jangan memperkeruh masalah!”
“Dia yang bikin masalah! Bukan aku!” jawab Saras- wati dengan ketus.
“Pitaloka...” ujar Putri Kayangan diseberang depan. “Tidak ada gunanya masalah ini diteruskan. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini!”
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak akan pergi tanpa benda merah itu di tanganku! Itu benda milikku! Aku yang berhak menggenggamnya! Bukan manusia bodoh yang hanya perturutkan kesenangan!”
Habis berucap begitu, tanpa diduga Putri Kayangan, kedua tangan Pitaloka mendorong ke depan. Sosok Putri Kayangan terjajar ke samping. Saat bersamaan, Pitaloka angkat kembali kedua tangannya dan serta-merta disentakkan ke arah Saraswati.
Di seberang depan, karena tidak tertahan lagi oleh sosok murid Pendeta Sinting, Saraswati tidak berdiam diri. Kedua tangannya segera pula didorong mengha- dang pukulan yang telah dilepas Pitaloka! Walau Pendekar 131 dan Putri Kayangan sudah sama bergerak hendak menahan, tapi gerakan keduanya sudah sangat terlambat. Hingga bentrok pukulan antara Pitaloka dan Saraswati tak dapat dihindarkan lagi.
"Blaarr!" Terdengar ledakan dahsyat kala pukulan yang dilepas Pitaloka dihadang pukulan Saraswati. Kedua sosok gadis ini sama mental ke belakang lalu sama jatuh terduduk dengan tubuh masing-masing bergetar dan paras pias.
Namun karena masing-masing orang sudah diamuk gejolak hawa amarah, baik Pitaloka maupun Saraswati segera bergerak bangkit. Putri Kayangan segera melompat. Di seberang sana, Joko ikut pula bergerak. Putri Kayangan menghalangi Pitaloka sementara Pendekar 131 mencegah Saraswati.
“Beda Kumala! Kalau kau ingin pergi, tinggalkan aku sendiri di sini! Tapi kalau kau ingin tetap bersamaku, jangan coba-coba mencegah apa yang akan kulakukan!” kata Pitaloka seraya angkat kedua tangannya dan matanya menusuk tajam pada Saraswati.
Sementara di depan sana, Saraswati juga arahkan pandang matanya menyengat pada Pitaloka seraya berucap pada murid Pendeta Sinting yang berada di depannya “Pendekar 131! Kalau kau inginkan gadis liar itu selamat, suruh dia hengkang dari tempat ini!”
“Saraswati... Sebaiknya kita bicarakan semua ini dengan kepala dingin. Urusan di depan masih besar dan banyak. Kalau urusan sepele ini harus dibesar-besarkan, kurasa kita akan rugi sendiri!”
“Kau sudah dengar ucapanku! Suruh gadis liar itu hengkang! Jika tidak jangan harap tak akan ada darah mengalir di sini! Dan jangan kira urusan ini cuma sepele! Kalaupun dia hengkang, kelak kalau bertemu, aku akan meneruskan urusan sampai tuntas!”
“Saraswati! Sebaiknya kita saja yang tinggalkan tempat ini. Nanti akan kujelaskan lagi masalahnya!”
“Kau selalu membelanya!” hardik Saraswati. “Aku makin yakin kau adalah laki-laki yang menghamilinya!”
“Saraswati...”
Joko tidak bisa lanjutkan ucapan, karena saat itu juga Saraswati sudah lepaskan satu tendangan pada dada murid Pendeta Sinting. Karena tidak menduga, Joko terlambat untuk menghindar atau menghadang tendangan Saraswati.
"Bukkk!" Pendekar 131 terhuyung-huyung ke belakang. Saat lain Saraswati sudah sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak ganas ke arah Pitaloka. Dari ganasnya gelombang yang melesat, jelas Saraswati tidak main-main lagi. Pitaloka terkesiap. Kedua tangannya segera didorong kembali ke arah Putri Kayangan yang tegak menghalangi di depannya. Sementara Putri Kayangan yang sudah maklum kalau Saraswati telah lepaskan pukulan lagi, segera menyergap tubuh Pitaloka agar tidak terjadi lagi bentrok pukulan dan hindarkan pukulan Saraswati.
Namun sergapan dan niat Putri Kayangan ditangkap lain oleh Pitaloka. Hingga dia tarik pulang kedua tangannya yang mendorong tubuh Putri Kayangan. Saat lain ketika Putri Kayangan menyergap, Pitaloka berkelit ke samping seraya doyongkan sedikit bagian atas tubuh. Saat lain kakinya melesat.
"Bukkk!" Meski kedua tangan Putri Kayangan sempat melakukan hadangan, tapi tendangan kaki Pitaloka lebih cepat datangnya. Hingga tanpa ampun lagi sosok Putri Kayangan terjajar beberapa langkah. Kejap lain, Pitaloka tekuk sedikit lututnya lalu didahului bentakan garang, dia sentakkan kedua tangannya dengan kerahkan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang yang tak kalah ganasnya dengan pukulan Saraswati tampak berkiblat menghadang.
“Celaka! Mereka pasti akan terluka...” gumam Joko lalu cepat angkat kedua tangannya untuk menghadang agar dua gelombang pukulan tidak saling berbenturan.
Karena benturan gelombang pukulan pasti akan membuat Pitaloka dan Saraswati terluka sebab kedua gadis ini telah melepas pukulan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi belum sempat kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak, terdengar suara orang bersin-bersin. Saat yang sama satu deruan angin melesat ke arah gelombang pukulan Saraswati. Hampir berbarengan dengan melesatnya deruan angin, satu cahaya putih berkiblat ke arah gelombang pukulan Pitaloka!
EMPAT
“Busss! Busss!”
Terdengar suara laksana api terkena siraman air. Gelombang yang melesat dari kedua tangan Saraswati langsung mental ke samping dan menghantam beberapa jajaran pohon. Tiga pohon agak besar tampak perdengarkan derakan, saat lain jatuh tumbang!
Saat berikutnya gelombang yang berkiblat dari kedua tangan Pitaloka semburat bertaburan terkena sergapan cahaya putih. Gagalnya benturan pukulan yang dilancarkan Saraswati dan Pitaloka memang membuat kedua gadis ini terhindar dari luka. Tapi sergapan yang tiba-tiba muncul dan bisa menggagalkan benturan dan pukulan mau tak mau masih membuat Saraswati dan Pitaloka sama terjajar meski tidak mengalami cedera yang berarti.
“Bruss! Bruss! Satu laki-laki empat perempuan. Aku tidak heran, pasti pangkal sebab adalah perasaan cemburu!”
Terdengar suara orang bersin dua kali disusul dengan terdengarnya suara. Lalu ditingkah dengan suara tawa panjang. Anehnya, semua orang yang ada di situ tidak bisa menentukan dari mana sumber suara-suara tadi terdengar, karena suara-suara itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Malah suara itu terus pantul memantul tak putus-putusnya!
“Kakek Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun!” desis murid Pendeta Sinting tahu benar siapa orang yang baru saja menggagalkan bentroknya pukulan Saraswati dan Pitaloka. Namun karena belum bisa melihat di mana kedua orang itu berada, Joko beberapa saat putar kepala dengan mata mengedar berkeliling.
Sementara Saraswati, Pitaloka, Putri Kayangan, dan Dewi Seribu Bunga juga sempat terkesiap. Mereka lebih terkejut lagi tatkala kepala masing-masing gadis ini sudah bergerak memutar tapi tidak juga melihat siapa-siapa. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara.
“Kuharap kalian tunda dulu urusan. Masih ada sesuatu yang harus dilakukan oleh pemuda itu!”
Walau tidak tahu di mana beradanya orang yang bersuara, namun Pitaloka segera menyahut. “Dia akan kubiarkan melakukan apa yang kau katakan! Tapi sebelum dia pergi, aku ingin dia mengembalikan benda milikku!”
“Bruss! Bruss! Jangan membuat orang merasa heran, Anakku... Kudengar kau telah memberikan benda itu. Mengapa kau kini hendak memintanya kembali?!” terdengar sahutan.
Kalau suara yang pertama tanpa didahului bersinan tadi mungkin masih bisa ditebak dari mana sumbernya, namun suara yang kedua dan didahului suara bersinan, siapa pun tidak bisa menebak dari mana sumbernya! Apalagi gema suara itu memantul ke segenap tempat!
“Dia bukannya segera menggunakan benda itu! Tapi lebih tertarik untuk bersenang-senang dengan gadis binal itu!” Pitaloka menyahut dan seolah orang melihat, ia arahkan telunjuknya lurus-lurus ke arah Saraswati.
Saraswati tak bisa lagi menahan hawa amarah. Dia kini angkat tangan kiri dan jari telunjuk ganti diarahkan pada Pitaloka. “Kalau aku yang bersenang-senang saja kau sebut gadis binal, lalu kata apa yang pantas untuk menyebut gadis hamil tanpa laki-laki sepertimu?!”
“Keparat!” maki Pitaloka. Untuk kesekian kalinya kedua tangannya diangkat ke udara tinggi-tinggi.
Saraswati ikut-ikutan angkat kedua tangannya. Tampaknya bentrok pukulan tak dapat dihindarkan lagi. Namun sebelum sempat kedua gadis ini sentakkan tangan masing-masing, terdengar suara bersinan tiga kali berturut-turut. Kemudian disusul dengan suara.
“Aku akan merasa heran jika sebuah salah paham bisa selesai dengan cara kekerasan! Kalaupun selesai, justru itu adalah awal sebuah urusan besar! Jadi ha- rap bisa menahan diri...!”
“Dia yang memulai!” teriak Pitaloka. Tangannya tetap berada di atas udara.
“Kau yang mulai! Kau sengaja mengintipku lalu mengikuti ke mana aku pergi dengan secara diam-diam! Seharusnya kau sadar dan mengaca siapa dirimu! Pemuda mana pun tak akan ada yang mendekatimu! Percuma kau mengikuti dia!” sambut Saraswati dengan kepala menoleh pada murid Pendeta Sinting. “Kalaupun ada pemuda yang mendekatimu mungkin pemuda itu manusia bodoh!”
Pitaloka sudah hendak angkat bicara, namun sebelum ucapannya terdengar, satu suara sudah menyahuti dari tempat lain.
“Sudahlah... Tak ada artinya perselisihan ini diteruskan! Sekarang masih ada hal penting yang mungkin masih menjadi tanggung jawab kalian juga! Untuk Pitaloka, kuharap kau merelakan benda itu sementara di tangan sahabat muda itu! Percayalah... Kalau sampai dia mempergunakan untuk hal-hal lain, aku yang akan mengambilnya sendiri dan menyerahkannya padamu!”
Baik Pitaloka maupun Putri Kayangan rupanya sudah dapat menebak siapa adanya kedua orang yang baru saja perdengarkan suara. Karena mereka berdua baru saja bertemu di Lembah Patah Hati dan masih hafal suaranya meski tidak melihat orangnya. Entah karena apa, Pitaloka perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Saat bersamaan Putri Kayangan segera melompat mendekat dan berbisik.
“Pitaloka... Sebaiknya kau turuti ucapan orang itu tadi!”
Pitaloka pandangi saudara kembarnya. “Baik... Ini kulakukan bukan karena permintaan orang atau turuti ucapan Pendekar 131. Ini semata kulakukan karena kau!”
Murid Pendeta Sinting mendekati Saraswati. “Saraswati... Kuharap salah paham ini selesai sampai di sini. Dan sekarang aku harus pergi!”
Tanpa menunggu sahutan Saraswati, Joko hadangkan wajah ke arah Pitaloka yang tegak berdampingan dengan Putri Kayangan. “Pitaloka... Terima kasih atas pengertianmu. Maaf kalau aku telah melakukan sesuatu yang kau anggap keliru. Aku harus pergi...”
Seraya berkata begitu, mata Joko terus pandangi Putri Kayangan yang saat itu juga tengah memandangnya. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata sendiri dalam hati. “Mungkin dia punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi satu waktu kelak aku akan menjernihkan persoalan ini..."
Kalau Pendekar 131 membatin begitu, ternyata Putri Kayangan juga berkata dalam hati. “Sebenarnya, apa pun yang dilakukan aku dapat memahaminya. Hanya saja mengapa dia sepertinya memberi harapan padaku. Padahal dia sudah punya kekasih. Mungkinkah aku masih harus menaruh harapan padanya? Apakah dia tidak tahu. Kalau aku begitu gembira mendapat kesempatan sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Semula aku mengharap kesempatan ini akan kujadikan kenangan indah bersamanya. Tapi sekarang, apakah mungkin hal itu akan terjadi...?!”
“Putri Kayangan...” Entah sadar atau tidak, murid Pendeta Sinting bergumam. Tapi ucapannya terhenti sampai di situ walau mulutnya terus membuka.
Putri Kayangan putuskan kata hatinya dan menunggu. Namun sampai sekian jauh gadis cantik salah satu cucu dari Nyai Tandak Kembang ini tidak mendengar lanjutan suara Pendekar 131. Sebaliknya habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sikap murid Pendeta Sinting mau tak mau membuat dada Saraswati mulai terbakar kecemburuan. Dia menatap tajam pada Putri Kayangan dengan mata berkilat-kilat. Sementara Putri Kayangan sendiri merasakan dadanya berdebar dan memperhatikan terus kelebatan sosok Joko hingga lenyap didepan sana. Semua orang di situ tidak tahu, jika semenjak tadi Dewi Seribu Bunga yang tegak diam dan hanya mendengarkan, tampaknya gigit kedua bibirnya.
“Begitu banyak gadis cantik yang coba menarik hatinya...” Dewi Seribu Bunga membatin. “Jadi percuma selama ini aku selalu mengenangnya! Apakah dia tidak tahu kalau kepergianku ini semata-mata hanya karena aku rindu padanya. Hem... Dia sama sekali memandang sebelah mata padaku. Bahkan dia seolah tidak melihat keberadaanku di tempat ini! Dia pergi begitu saja tanpa berkata sepatah kata padaku!”
Dengan berbagai perasaan akhirnya Dewi Seribu Bunga balikkan tubuh. Dan tanpa buka mulut lagi dia melesat pergi. Namun berjarak lima belas tombak, gadis murid Dewi Es ini berbalik lalu berkelebat ke arah mana tadi mu-rid Pendeta Sinting pergi!
Saraswati melirik pada Pitaloka. “Sebenarnya saat ini kesempatanku memberi hajaran pada gadis itu! Tapi kalau itu kulakukan, aku akan kehilangan jejak Pendekar 131. Aku harus segera menyusulnya!” Berpikir begitu, akhirnya Saraswati balikkan tubuh. Namun sebelum dia benar-benar berkelebat, dia masih sempat buka mulut.
“Urusan di antara kita jangan dianggap selesai! Kita akan lanjutkan bila ada kesempatan!”
“Ucapanmu menunjukkan kau hanya berani menantangku kalau ada pemuda itu! Kalau memang kau bukan pengecut, untuk apa harus menunggu ada kesempatan?! Sekaranglah kesempatan itu!”
“Pitaloka! Jangan memperpanjang urusan...!” kata Putri Kayangan.
“Urusan akan jadi panjang kalau tidak diselesaikan sekarang! Bukan tak mungkin mulutnya akan berkoar kemana-mana!”
Sebenarnya dada Saraswati sudah bergemuruh. Tapi karena dia khawatir kehilangan jejak murid Pendeta Sinting, dia menindih perasaan. Lalu berkelebat tinggalkan tempat Ku seraya berkata lantang. “Aku masih bisa menjaga mulut dan seluruh anggota tubuh lainnya! Pada pertemuan kelak, kuharap kau tidak kurang suatu apa! Lebih-lebih kau bisa menjaga agar tidak hamil lagi!”
“Jahanam keparat!” teriak Pitaloka. Kedua tangannya disentakkan seraya berkelebat. Satu gelombang ganas berkiblat ke arah Saraswati. Tapi Saraswati sudah berkelebat jauh. Gelombang pukulan itu hanya menghantam udara kosong!
“Kita ikuti Pendekar 131!” seru Pitaloka seraya teruskan berkelebat. Putri Kayangan sebenarnya hendak berkata, Namun karena Pitaloka sudah berada di depan sana, terpaksa dia urungkan niat lalu berkelebat menyusul.
Dari balik sebuah batangan pohon besar, dua orang laki-laki tampak duduk bersila. Sebelah kanan adalah orang tua bertubuh besar tambun mengenakan pakaian warna hijau gombrong. Sepasang matanya berwarna putih. Di sebelah orang tua ini adalah seorang kakek yang kepalanya terus bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah membuat mimik seperti orang hendak bersin. Mereka berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
“Brusss! Bagaimana sekarang? Aku tak heran... Mereka berempat tadi pasti mengikuti jejak murid Pendeta Sinting. Kalau hal ini dibiarkan, tentu perjalanan pemuda itu tidak akan mulus!” kata Datuk Wahing.
“Inilah susahnya kalau urusan sudah melibatkan perempuan! Urusan sepele bisa jadi panjang lebar tak karuan! Apa boleh buat, sementara ini kita punya tugas. Kita harus tetap mengawasi gadis-gadis itu. Kita cegah agar tidak terjadi bentrok sampai urusan pemuda itu beres!” sahut Gendeng Panuntun.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang tua ini beranjak bangkit. Saat lain mereka sama membuat satu gerakan. Sosok masing-masing orang berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depan sana. Malah sosok mereka tampak mendahului kelebatan Putri Kayangan dan Pitaloka. Saat lain telah melewati kelebatan Saraswati!
********************
LIMA
PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan larinya kala memasuki sebuah kawasan tanah terbuka yang di sekelilingnya dijajari beberapa julangan batu karang tinggi seakan memagari tanah terbuka tadi. Tepat di tengah tanah terbuka tampak altar batu agak besar berbentuk datar. Di sebelah altar batu terlihat bongkaran lobang menganga. Murid Pendeta Sinting putar kepala memandang berkeliling.
“Hem... Tempat ini belum berubah...” gumamnya seraya memperhatikan julangan batu karang sebelah kiri altar yang tampak terbongkar. “Apa dugaanku tidak salah...? Tapi mengapa belum juga terlihat ada tanda-tanda munculnya seseorang?!”
Joko berpaling ke belakang dari mana dia tadi datang. Dia menghela napas dalam seraya gelengkan kepala. “Mudah-mudahan gadis-gadis itu tidak mengikutiku. Kehadiran mereka hanya akan memperkeruh keadaan!”
Tanpa diketahui murid Pendeta Sinting, dari celah salah satu julangan batu karang, dua sosok tubuh tampak tegak memperhatikan. Yang sebelah kanan adalah sosok mengerikan. Seorang laki-laki yang usianya tidak bisa ditentukan. Paras wajahnya juga tidak bisa dikenali. Karena susunan anggota tubuh orang ini hanya terdiri dari susunan kerangka tanpa dilapisi daging sama sekali!
Di sebelah laki-laki yang anggota tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka dan tidak lain adalah Setan Liang Makam, tegak satu sosok yang tidak bisa dilihat bagaimana wujudnya. Yang terlihat tegak hanyalah jubah hitam besar. Jubah hitam itu mengapung di atas udara. Jubah itu bukan lain adalah Jubah Tanpa Jasad, salah satu benda mustika peninggalan kerabat Kampung Setan. Sosok tidak terlihat dibalik Jubah Tanpa Jasad bukan lain adalah Kiai Laras.
“Hem... Rupanya tanpa diundang pun manusia itu akan datang! Ini satu petunjuk jika tidak lama lagi akan datang yang lainnya! Dengan begitu, kejayaan Kampung Setan akan kita tegakkan tanpa harus eluar dari Kampung Setan! Aku tak akan membiarkan satu pun dari kalangan orang persilatan bisa keluar dari Kampung Setan dalam keadaan hidup! Aku akan jadikan Kampung Setan sebagai tempat angker yang tidak mudah diinjak telapak manusia yang tidak kuinginkan! Aku akan kendalikan rimba persilatan dari Kampung Setan! Sekarang kau tahu apa yang harus kau lakukan pada manusia tak diundang itu! Untuk yang satu itu kalau bisa bikin tak berkutik tanpa memutus selembar nyawanya! Karena dia nanti bisa kita buat sebagai umpan untuk memancing datangnya orang lain!” Terdengar suara dari sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah suara Kiai Laras.
Setan Liang Makam hanya anggukkan kepala tanpa perdengarkan suara sahutan. Namun diam-diam dalam hati dia membatin. “Tak akan kusisakan nyawa pemuda jahanam itu! Inilah saatnya aku membalas urusan tempo hari! Hem... Sayang. Kembang Darah Setan berada di tangan jahanam tidak kelihatan ini! Kalau tidak, sudah kulumat habis pemuda jahanam itu beberapa waktu yang lalu!”
“Setan Liang Makam! Lekas hadang manusia itu sebelum masuk ke Istana Sekar Jagat!” gumam Kiai Laras pelan namun nadanya keras memerintah.
Dengan memaki dalam hati, Setan Liang Makam berpaling sejenak pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain sosoknya berkelebat keluar. Sementara di depan sana, Joko serentak hentikan langkah kala ekor matanya menangkap satu bayangan berkelebat keluar dari salah satu julangan batu karang.
“Setan Liang Makam!” desis Pendekar 131 begitu melihat siapa manusia yang tegak sepuluh langkah di seberang depan. “Ternyata dugaanku tidak keliru. Kalau dia berada di ini, pasti orang pemakai Jubah Tanpa Jasad di sini juga!”
“Setan Liang Makam!” kata Joko. “Sebenarnya di antara kita tidak ada urusan berarti. Aku datang untuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad! Bisa tunjukkan padaku di mana dia berada?!”
Setan Liang Makam tidak menyahut. Hanya sepasang matanya perhatikan orang dengan pandangan berkilat marah. Murid Pendeta Sinting tersenyum dan maklum akan sikap orang karena dia dan Setan Liang Makam memang beberapa kali bertemu dan sempat bentrok.
“Setan Liang Makam!” kata Joko dengan suara sedikit dikeraskan meski dia tahu kalau Setan Liang Makam tadi sudah dengar ucapannya. “Aku datang untuk bertemu dengan orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad! Harap tunjukkan di mana dia berada!”
Setan Liang Makam masih juga kancingkan mulut. Namun tak lama kemudian dia sudah perdengarkan suara. “Kau bisa menemuinya di liang neraka!”
“Ah... Terima kasih atas keteranganmu! Sekarang mau tunjukkan padaku di mana tempat yang baru saja kau katakan?!”
“Akan kuturuti permintaanmu!” sentak Setan Liang Makam. Saat bersamaan kedua tangannya diangkat lalu didorong. Dua gelombang angin dahsyat menghampar.
Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Setan Liang Makam terangkat, murid Pendeta Sinting berkelebat ke samping selamatkan diri. Gelombang hamparan angin lewat setengah depa di samping sosok Pendekar 131 dan terus lurus ke belakang menghantam salah satu julangan batu karang.
"Brakkk!" Sebelah sisi kanan julangan batu karang yang tadi berada di belakang Pendekar 131 langsung muncrat semburkan pecahan kepingan batu. Saat muncratan luruh, tampak sebelah sisi julangan batu karang gerompal besar!
“Sobatku, Setan Liang Makam! Aku tanya baik-baik. Mengapa kau menyerangku?!”
“Sebelum kutunjukkan tempat di mana orang yang kau cari, kita selesaikan dahulu urusan lama kita!”
“Urusan lama? Urusan lama yang mana?!”
“Akan kuingatkan otakmu dengan caraku!” hardik Setan Liang Makam. Kedua tangannya kembali diangkat.
“Tunggu! Tahan dulu... Aku ingat sekarang. Yang kau maksud tentu pertemuan kita beberapa waktu yang lalu. Kukira kejadian itu hanyalah salah paham semata! Dan seharusnya kau yang minta maaf padaku. Karena kau selama ini menuduhku sebagai orang yang mengambil Kembang Darah Setan! Sekarang kau sendiri telah lihat buktinya! Aku bukanlah orang yang kau tuduh! Tapi... Sudahlah... Lupakan semua itu! Sekarang kita berteman! Dan aku sekarang butuh bantuanmu!”
“Aku hanya bisa membantu untuk tunjukkan jalanmu ke neraka!”
“Sobat! Untuk jalan itu aku sudah tahu karena aku pernah ke sana! Aku minta bantuan lain! Bagaimana? Atau kau minta imbalan?! Katakan saja apa imbalan yang kau inginkan?! Harta...?! Tubuh molek...?! Atau....”
Joko tidak segera lanjutkan ucapan sebaliknya melompat mendekat lalu lanjutkan ucapan dengan suara direndahkan. “Atau kau inginkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad kembali ke tanganmu?!”
Ucapan murid Pendeta Sinting membuat Setan Liang Makam picingkan sedikit sepasang matanya. Tulang dahinya bergerak tanda dia berpikir. Sikapnya terlihat ragu-ragu.
Pendekar 131 tersenyum. “Sobat... Aku tahu. Kaulah sebenarnya yang berhak atas Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Sebab kedua barang mustika itu adalah peninggalan leluhurmu! Aku bersedia membantumu mendapatkan benda itu...”
“Bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku?!” tanya Setan Liang Makam terpancing. Namun sebelum buka mulut bertanya, cucu Nyai Suri Agung ini sempat berpaling sesaat ke tempat Kiai Laras. Dan begitu dia yakin sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad tidak ada di tempatnya tadi berada, dia baru berani buka mulut.
Di lain pihak, sikap Setan Liang Makam telah membuat murid Pendeta Sinting tahu di mana adanya orang yang dicari! Dia segera pula melirik. Tapi keningnya berkerut. “Dari pandangannya, jelas di balik julangan ke mana matanya memandang ada orang lain bersembunyi. Aku belum tahu siapa adanya orang itu! Terakhir kali berpisah, dia bergabung dengan sosok pemakai Jubah Tanpa Jasad, Pitaloka, dan orang tua yang wajahnya mirip dengan Kiai Laras. Hem... Pitaloka jelas sudah tak mungkin orangnya. Jadi sekarang yang mungkin tinggal orang tua yang parasnya mirip dengan Kiai Laras dan mungkin sosok pemakai Jubah Tanpa Jasad itu sendiri! Tapi... Aku sekarang tidak melihat tanda-tanda orang di balik itu! Hem... Mungkin Setan Liang Makam baru berani bertanya setelah yakin pula bahwa orang di balik batu sudah tidak ada. Hem... Sebaliknya aku terus memancingnya!” kata Joko dalam ha-ti.
“Kau jangan berani main-main denganku! Katakan bantuan apa yang akan kau lakukan untukku!” kata Setan Liang Makam mengulangi ucapannya karena untuk beberapa lama Joko tidak menyambut.
“Bukankah kau inginkan kedua benda itu kembali ke tanganmu lagi?!”
“Jahanam! Aku tanya bantuan apa yang bisa kau lakukan untukku?!” hardik Setan Liang Makam mulai kesal.
“Tentu saja untuk mengembalikan kedua benda itu padamu!”
“Keparat! Yang kutanyakan untuk mendapatkan kedua benda itu, apa yang akan kau lakukan?!”
Joko anggukkan kepala. “Setinggi apa pun ilmu seorang manusia, pasti ada kelemahannya! Dan aku tahu apa kelemahan orang pemakai Jubah Tanpa Jasad itu!”
“Katakan padaku apa kelemahannya!” sahut Setan Liang Makam.
“Sobat... Bukan hanya manusia yang punya telinga! Tanah, julangan batu karang, langit, mendung, dan batangan pohon bisa mendengar. Sementara aku tak ingin telinga lain mendengarkan. Karena itu tidak baik. Sebab ini menyangkut kelemahan orang!”
Setan Liang Makam katupkan tulang mulut. Tulang keningnya bergerak-gerak. Saat lain dia perdengarkan suara setelah edarkan pandangan berkeliling. “Lalu apa maumu?!”
“Bawa saja aku ke tempat orang yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad itu!”
“Hem... Kau kira aku bisa kau bodohi, he?!”
“Tunggu! Jangan salah sangka! Aku tidak punya maksud macam-macam padamu!”
“Kau menginginkan kedua benda itu juga, bukan?!”
Pendekar 131 tertawa seraya gelengkan kepala. “Aku tahu orang itu berada di sekitar tempat ini! Kalau aku mau... Tidak sulit aku menemukannya! Lagi pula aku telah tahu kelemahannya. Jadi kalau aku menginginkan kedua benda itu mudah saja!”
“Lalu mengapa tidak kau lakukan?!”
“Aku masih menghargaimu sebagai pemilik sah benda keramat itu! Lagi pula ini adalah tempatmu!”
“Benarkah ucapannya?! Tapi kalau benar, mengapa saat bentrok beberapa waktu lalu dia tidak bisa menaklukkan jahanam pemakai Jubah Tanpa Jasad itu?! Padahal saat itu dia dibantu beberapa temannya?! Jangan-jangan dia hanya mengelabuiku!”
Setan Liang Makam membatin ingat akan pertemuan murid Pendeta Sinting yang saat itu bersama Datuk Wahing, Gendeng Panuntun bentrok dengan pemakai Jubah TanpaJasad. Mengingat akan hal itu, Setan Liang Makam segera angkat suara.
“Kalau benar kau tahu kelemahannya, bagaimana mungkin kau tak dapat mengalahkannya saat bentrok beberapa waktu lalu?! Padahal saat itu kau tidak sendirian!”
“Terus terang... Saat itu aku memang belum tahu kelemahannya! Tapi sekarang aku tahu bagaimana menaklukkannya! Tunjukkan saja di mana dia! Atau suruh keluar!”
Belum sampai suara murid Pendeta Sinting selesai, dari salah satu puncak julangan batu karang tiba-tiba satu benda hitam berkelebat turun. Belum sampai benda hitam yang ternyata adalah sebuah jubah hitam, berada diatas tanah, satu suara terdengar.
“Setan Liang Makam! Lakukan apa yang kuperintah! Atau kau sendiri yang akan kulumat!”
"Wusss!" Bersamaan dengan terdengarnya suara, satu gelombang ganas berkiblat ke arah Setan Liang Makam. Setan Liang Makam terkesiap. Sesaat dia berpikir. Menghadang gelombang yang datang atau menghindar selamatkan diri. Akhirnya Setan Liang Makam memutuskan berkelebat menghindar karena sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan murid Pendeta Sinting. Sementara kalau dia menghadang gelombang yang datang, mungkin dia akan mengalami hal lebih naas. Bukan tak mungkin sosok di balik Jubah Tanpa Jasad akan marah besar.
"Bummmm!" Tanah di sekitar terbuka dan bergetar keras. Saat yang sama tanah itu semburat terhantam gelombang.
Jubah Tanpa Jasad tegak sepuluh langkah di samping tempat tegaknya Setan Liang Makam. Bagian lengan dan bahu Jubah Tanpa Jasad bergerak ke samping, ke arah Setan Liang Makam.
“Aku tak mau dikhianati! Dan kau dengar ucapanku! Lakukan atau kau yang akan kukirim menyusul nenekmu!”
“Jahanam! Jadi dia telah membunuh Nyai Suri Agung!” maki Setan Liang Makam dalam hati. Dada cucu Nyai Suri Agung ini sudah dibungkus luapan hawa amarah luar biasa. Namun karena kini dia sadar siapa orang yang dihadapi, bagaimanapun besar luapan kemarahannya, dia coba menahan. Lalu berkelebat ke depan dan tegak di hadapan Pendekar 131!
Sementara melihat munculnya sosok tak kelihatan yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, murid Pendeta Sinting selinapkan tangan kanannya ke balik pakaian. “Busyet! Aku lupa lagi. Seharusnya aku bertanya pada Kakek Gendeng Panuntun atau Kakek Datuk Wahing bagaimana caranya menggunakan benda ini!” gumam Joko dalam hati menyesal. “Ini gara-gara ribut urusan dengan beberapa gadis itu! Membuat aku sampai lupa menanyakan! Padahal aku tahu, kedua orang yang muncul saat itu adalah Kakek Gendeng Panuntun dan Datuk Wahing! Bagaimana sekarang...? Hem... Akan kucoba dengan kemampuanku sendiri dahulu. Jika tak berhasil, entah bagaimana caranya nanti!”
Memutuskan demikian, akhirnya Joko urung mengeluarkan benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pitaloka. Lalu tarik pulang tangannya keluar. Setan Liang Makam dan sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad yang bukan lain adalah Kiai Laras sesaat memperhatikan gerakan tangan Joko yang keluar dari balik pakaiannya.
“Apa lagi yang kau tunggu, Setan Liang Makam?!” Kiai Laras membentak.
Setan Liang Makam menggeram. Selain marah akan perintah Kiai Laras, juga marah melihat sikap murid Pendeta Sinting. Pada mulanya Setan Liang Makam menduga orang hendak mengeluarkan sesuatu. Namun ternyata tangan Joko keluar tanpa menggenggam sesuatu! Setan Liang Makam merasa sudah ditipu.
“Penipu busuk!” hardik Setan Liang Makam. Saat bersamaan dia melesat ke depan. Kedua tangannya dikelebatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!
“Tahan!” teriak Joko dengan angkat kedua tangannya di atas kepala.
Setan Liang Makam tak pedulikan lagi teriakan orang. Kedua tangannya terus dikelebatkan. Joko mendorong kedua tangannya ke atas menyongsong.
Bukkk! Bukkk!
Sosok Setan Liang Makam mental dan tegak tiga langkah dari tempat terjadinya benturan pukulan. Di depannya, Joko tersurut satu langkah dengan kibas- kibaskan kedua tangannya yang baru saja berbenturan dengan kedua tangan Setan Liang Makam.
“Sobat!” kata Joko dengan senyam-senyum meski merasakan kedua tangannya kesemutan. “Kalau kau benar-benar ingin lanjutkan urusan lama, tetap akan kulayani. Tapi biar aku bicara dahulu dengan sobat yang baru muncul itu!”
Tangan kanan Joko menunjuk pada Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di atas udara. Tanpa menunggu sambutan Setan Liang Makam, murid Pendeta Sinting berkelebat melewati sisi Setan Liang Makam lalu tegak berhadapan dengan Jubah Tanpa Jasad!
ENAM
BARU saja Pendekar 131 buka mulut dan suaranya belum terdengar, kedua lengan Jubah Tanpa Jasad sudah berkelebat!
"Weerr! Weeerr!" Dua gemuruh angin berkiblat angker melesat dari kedua lengan jubah.
Karena tidak menduga, murid Pendeta Sinting sempat kelabakan. Namun seraya berkelebat menghindar, kedua tangan Joko lakukan satu pukulan ke depan.
"Bummm! Bummm!" Kawasan Kampung Setan sesaat dilanda gelegar. Karena tempat di mana terjadi bentrok pukulan dikelilingi beberapa julangan batu karang, suara beradunya pukulan menggema seakan hendak meruntuhkan julangan batu karang!
Tampaknya Kiai Laras tidak mau memberi kesempatan. Begitu Joko dapat hindarkan diri dan menghadang gelombang dari kedua lengan Jubah Tanpa Jasad, Kiai Laras cepat melesat mengejar. Kembali kedua lengan jubah hitam bergerak. Malah kali ini bagian bawah jubah juga sedikit terangkat keatas.
Meski Joko tidak melihat sosok orang di balik jubah, namun dari gerakan jubah yang melayang di atas udara, dia dapat menduga gerakan apa yang dibuat orang. Maka seraya melenting satu tombak ke udara, kedua tangannya dipukulkan ke depan menghadang gerakan kedua lengan jubah. Saat bersamaan kaki kanan kirinya juga membuat gerakan menendang, menghadang gerakan jubah bagian bawah!
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga berturut-turut. Murid Pendeta Sinting rasakan kedua tangannya menghantam benda keras luar biasa. Dia sama sekali tidak merasakan bersentuhan dengan kain jubah!
Kalau murid Pendeta Sinting tidak merasakan bersinggungan dengan kain jubah, tidak demikian halnya dengan kedua kakinya. Dia masih merasakan benturan dengan anggota tubuh orang. Sosok Pendekar 131 terjajar satu setengah tombak di atas udara. Lalu meluncur turun dan tegak di atas tanah setelah membuat gerakan jungkir-balik satu kali.
Joko cepat salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Karena dirasakan aliran darah pada kedua tangannya laksana tersumbat. Dadanya sesak. Sementara di seberang sana, sosok jubah hitam tampak melintir bagian bawahnya. Namun sesaat kemudian telah tegak mengapung di atas tanah.
“Hem... Berarti anggota tubuhnya yang tidak terlapisi jubah hitam itu bisa digebuk! Jadi aku harus menyerang bagian kaki dan wajahnya!” kata Joko dalam hati.
Kalau Joko membatin begitu, Kiai Laras diam-diam juga berkata dalam hati. “Aku masih bisa bersinggungan dengan kakinya. Berarti jubah ini hanya dapat melapis bagian tubuhku yang tertutup jubah! Aku harus berhati-hati. Dan aku sekarang tak akan memukulnya dari jarak dekat kecuali dengan kedua tanganku! Lagi pula bukankah aku membekal Kembang Darah Setan?! Hem... Sebenarnya aku menginginkan anak manusia itu hidup sementara waktu. Tapi kurasa ia terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup! Dia mati atau hidup pasti jahanam gurunya akan mencarinya kemari! Saat itulah yang kutunggu-tunggu!”
“Hai! Aku datang bukan cari keributan! Aku hanya ingin....”
“Persetan dengan maksudmu! Yang jelas siapa pun yang datang ke tempat ini berarti akan pulang namanya saja! Apalagi kau! Sebelum ini kita sudah membuka urusan. Dan hari ini urusan itu akan selesai!”
Kiai Laras tidak menunggu Joko buka mulut menyahut. Saat itu juga kedua tangannya diangkat. Namun tiba-tiba salah satu tangannya diturunkan lalu bergerak menyelinap ke balik jubah. Saat lain tangannya keluar lagi. Namun bersamaan dengan keluarnya tangan dari balik jubah hitam, terlihat pancaran sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
“Kembang Darah Setan!” desis Setan Liang Makam mengenali cahaya tiga warna. Sepasang matanya memperhatikan tak berkesip pada bagian ujung lengan jubah. Berjarak satu jengkal di depan ujung sebelah lengan jubah hitam terlihat sekuntum bunga mengapung di atas udara. Bunga itu memiliki tiga daun. Satu berwarna merah, satu berwarna hitam, dan satunya lagi berwarna putih. Pada kuncup bunga juga berwarna merah.
Baik Joko maupun Setan Liang Makam sepertinya melihat bunga mengapung di atas udara. Padahal sebenarnya bunga itu yang bukan lain memang Kem- bang Darah Setan, digenggam tangan Kiai Laras. Hanya karena tangan Kiai Laras tidak kelihatan mata biasa, maka Kembang Darah Setan seolah-olah mengapung di atas udara!
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Setan Liang Makam melesat dan menyambar Kembang Darah Setan yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun silam. Namun dia cepat sadar. Kalau dia paksakan diri merebut Kembang Darah Setan, maka dia akan mendapat celaka. Hanya saja sekarang dia menunggu kebenaran ucapan murid Pendeta Sinting yang tadi mengatakan tahu kelemahan orang. Namun dia tak berani bertindak ayal. Walau kini dia tidak ikut terlibat, dia tetap kerahkan tenaga dalam. Dan sepasang matanya terus mengawasi gerakan Kembang Darah Setan. Setan Liang Makam seakan tengah menunggu kesempatan yang baik untuk menyambar Kembang Darah Setan.
Sementara melihat Kembang Darah Setan sudah keluar, Joko tidak berani lagi bertindak sembrono. Dia telah tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah Setan. Maka begitu Kembang Darah Setan terlihat, Joko cepat siapkan pukulan sakti ‘Lembur Kuning’. Malah setelah berpikir sesaat, dia alirkan tenaga lipat ganda pada tangan kiri siapkan pukulan ‘Serat Biru’! Saat itu juga tangan kanan Joko berubah warna menjadi kuning, sementara tangan kiri disemburati warna biru.
Kiai Laras perdengarkan suara tawa panjang. Namun tiba-tiba suara tawanya diputus. Saat bersamaan tangannya yang memegang Kembang Darah Setan diangkat. Joko tidak tinggal diam. Dia juga angkat tangan kiri kanan. Ketika Kembang Darah Setan berkelebat, Joko sentakkan pula tangan kiri kanan sekaligus!
"Wuuttt!" Kembang Darah Setan berkelebat. Tiga sinar berkiblat. Merah, hitam, dan putih perdengarkan deruan luar biasa dahsyat.
"Wuutt! Wuutt!" Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak. Dari tangan kanan melesat sinar berwarna kekuningan disertai gelombang ganas. Saat bersamaan hawa panas menghampar. Saat yang sama dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang.
"Blammm! Blammm!" Terdengar ledakan dahsyat laksana hendak merobohkan julangan beberapa batu karang. Sinar tiga warna yang berkiblat dari Kembang Darah Setan semburat. Hebatnya semburatan sinar tiga warna masih terus menebar ke arah Pendekar 131 Joko Sableng! Namun sebelum tebaran sinar tiga warna sempat melabrak, serat-serat biru sudah menghadang! Serat-serat biru menebar panjang lalu meliuk-liuk dan laksana seekor ular, serat-serat biru menghampar lalu melilit tebaran sinar tiga warna.
"Buss! Busss!" Tebaran sinar tiga warna yang terlilit serat-serat biru langsung ambyar. Saat yang sama, lilitan serat-serat biru juga terputus-putus!
Pendekar 131 rasakan sosoknya seperti disentak-sentak. Hingga ketika tubuhnya terpental ke belakang, terlihat tubuhnya beberapa saat terhenti lalu terpental lagi, terhenti lagi dan akhirnya melayang ke belakang sebelum jatuh terduduk dengan kedua tangan lunglai dan mulut terbuka megap-megap! Sosoknya bergetar keras, lalu tak lama kemudian murid Pendeta Sinting cepat-cepat katupkan mulutnya ketika merasakan perutnya mual dan rasa darah telah keluar dari tenggorokannya. Jelas ini pertanda kalau bentroknya pukulan tadi telah membuat murid Pendeta Sinting terluka dalam.
Sementara itu begitu terdengar ledakan, Jubah Tanpa Jasad tampak mencelat beberapa langkah ke belakang. Saat berikutnya, ketika tebaran sinar tiga warna ambyar terkena lilitan serat-serat biru, Jubah Tanpa Jasad melenting tersentak-sentak kebelakang. Sebenarnya Kiai Laras tidak begitu merasakan akibat dari bentroknya pukulan. Karena sosoknya dilapis dengan Jubah Tanpa Jasad. Namun karena bagian kakinya tidak terlapis jubah, maka saat sosoknya tersentak ke belakang, Kiai Laras tidak bisa bertahan. Hingga tak lama kemudian kedua lututnya goyah dan menekuk. Saat lain Jubah Tanpa Jasad bergerak menekuk dan jatuh di atas tanah!
Karena sosoknya tidak kelihatan, murid Pendeta Sinting dan Setan Liang Makam tidak bisa mengetahui bagaimana paras wajah Kiai Laras. Namun hal itu tidak begitu terpikirkan oleh Setan Liang Makam. Sebaliknya dia tampak sangat kecewa. Karena dia berharap dengan terjadi bentrok, Kembang Darah Setan bisa lepas dari genggaman tangan orang.
Di lain pihak, meski merasakan sosoknya terpelanting, namun Kiai Laras tidak mau Kembang Darah Setan di tangannya lepas. Hingga dia pegang erat-erat Kembang Darah Setan. Apalagi dia menangkap gelagat mencurigakan dari pandangan mata Setan Liang Makam. Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu dengan cepat bergerak bangkit.
Joko memperhatikan sesaat. “Busyet! Dia sepertinya tidak mengalami cedera sama sekali! Akan kucoba dengan pukulan ‘Sundrik Cakra’!”
Berpikir begitu, sembari bangkit berdiri, Joko pusatkan seluruh tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu tangan kanannya diangkat. Jari tengah, jari telunjuk serta jari manis dicuatkan ke atas. Sementara ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu. Inilah tanda kalau Pendekar 131 telah siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’.
Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam pada tangan kanannya yang menggenggam Kembang Darah Setan. Saat berikutnya tangan kanannya bergerak.
"Wuuttt!" Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua kalinya sinar tiga warna berkiblatan. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan, maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang pertama!
"Wuuttt!" Kembang Darah Setan berkelebat. Untuk kedua kalinya sinar tiga warna berkiblat. Karena Kiai Laras lipat gandakan tenaga dalam saat gerakkan tangan, maka kiblatan sinar tiga warna melesat lebih ganas dari yang pertama!
Pendekar 131 segera pula mendorong tangan kanannya. Tiga larik sinar kuning sebesar jari melesat ke depan. Hebatnya, larikan sinar itu makin lama makin besar. Tidak terdengar gemuruh suara gelombang. Namun begitu larikan sinar kuning bertemu sinar tiga warna, terdengar gelegar maha dahsyat. Bagian ujung julangan batu karang di tempat itu tampak bergetar keras sebelum akhirnya terbongkar dan mental semburat.
Setan Liang Makam yang berada di tempat itu terhuyung-huyung. Untung cucu Nyai Suri Agung ini dapat segera sadar dan kuasai diri. Jika tidak, niscaya sosoknya akan terbanting. Sementara sosok murid Pendeta Sinting tampak mencelat sampai tiga tombak sebelum akhirnya jatuh terkapar dengan mulut semburkan darah. Di seberang sana, sosok Jubah Tanpa Jasad terjajar sampai dua tombak sebelum akhirnya juga terkapar. Terdengar suara tersedak, disusul kemudian dengan muncratnya darah dari bagian atas leher jubah. Tanda jika kini Kiai Laras juga mengalami cedera dalam. Bahkan Kembang Darah Setan di tangannya terpental lepas!
Setan Liang Makam yang sejak tadi menunggu kesempatan segera melirik pada Jubah Tanpa Jasad. Saat lain sosoknya berkelebat. “Jahanam! Dugaanku tidak meleset!” desis Kiai Laras melihat gerakan Setan Liang Makam. Walau masih belum bisa kuasai diri sepenuhnya, namun karena tak mau kehilangan Kembang Darah Setan, dia segera sentakkan kedua tangannya seraya bergulingan mendekati tergeletaknya Kembang Darah Setan.
Setan Liang Makam rupanya sudah memperhitungkan tindakan. Begitu menangkap gerakan kedua lengan Jubah Tanpa Jasad, dia segera jatuhkan diri ke atas tanah seraya bergulingan pula. Saat lain kedua tangannya mendorong ke depan menghadang pukulan yang dilepas Kiai Laras.
"Blaarr!" Terdengar ledakan dahsyat. Gulingan sosok Setan Liang Makam dan Kiai Laras sama-sama terhenti. Walau Setan Liang Makam merasakan aliran darahnya laksana disentak-sentak, dia tidak peduli. Begitu sosoknya terhenti karena bentroknya pukulan, dia segera pula sentakkan kedua tangannya kembali ke tanah. Sosoknya kembali bergerak berguling-guling mendekati Kembang Darah Setan.
“Jangan biarkan setan itu menjamahnya!” Tiba-tiba terdengar suara teguran. “Kerudung setanmu mungkin bisa berbuat sesuatu! Karena tak mungkin kita berbuat lain!”
Bersamaan suara teguran yang tiba-tiba menyeruak di tempat itu, tampak melesat benda hitam panjang yang bergerak meliuk-liuk di atas udara ke arah tergeletaknya Kembang Darah Setan.
“Keparat! Ada orang lain lagi di tempat ini yang inginkan Kembang Darah Setan!” gumam Kiai Laras.
“Jahanam! Siapa pula ini?!” desis Setan Liang Makam terkejut melihat berkelebatnya benda hitam panjang yang ternyata adalah sebuah kerudung.
Mungkin karena sama-sama tak mau kedahuluan, sementara mereka sudah sangat terlambat untuk mendekati Kembang Darah Setan, Kiai Laras dan Setan Liang Makam hampir berbarengan sama lepaskan satu pukulan ke arah kerudung hitam yang makin mendekati Kembang Darah Setan.
“Sialan! Bagaimana sekarang?! Mereka sama hendak merusak kerudungku! Daripada kehilangan kerudung kesayangan, lebih baik tak mendapatkan Kembang Darah Setan!”
Terdengar suara teriakan orang. Saat bersamaan kerudung hitam yang berkelebat meliuk mendekati Kembang Darah Setan laksana ditarik kekuatan dahsyat. Kejap lain kerudung hitam berkelebat ke belakang lalu melayang lurus ke arah salah satu puncak julangan batu karang!
Karena dihindari kerudung hitam, tak ampun lagi pukulan Setan Liang Makam dan Kiai Laras yang sama-sama mengarah pada kerudung hitam bertemu di udara! Hingga saat itu juga terdengar lagi gelegar ledakan. Sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad sama bergulingan. Mereka tidak menyangka kalau pukulannya akan bentrok di udara karena dihindari kerudung hitam. Hingga kedua orang ini tidak siap tatkala bentrok pukulan itu terjadi.
Kiai Laras segera bisa kuasai diri. Karena dirinya masih dilapis Jubah Tanpa Jasad hingga meski tidak siap dengan terjadinya bentrok pukulan, namun tidak mengalami cedera yang berarti. Lain halnya dengan Setan Liang Makam. Walau dia segera bisa bergerak bangkit, namun tak urung masih terhuyung-huyung bahkan hampir jatuh lagi. Pendekar 131, Kiai Laras, dan Setan Liang Makam segera gerakkan kepala berpaling ke arah sumber suara yang tadi tiba-tiba menyeruak.
Saat itulah dari salah satu julangan batu karang melayang turun satu bayangan merah. Hampir bersamaan, dari julangan batu karang lainnya satu sosok tubuh juga melesat turun. Tak lama kemudian dari julangan batu karang lainnya lagi dua sosok tubuh berkelebat dengan membuat beberapa kali putaran di atas udara sebelum akhirnya keempat sosok ini tegak berjajar di atas tanah terbuka!
TUJUH
PALING kanan adalah seorang nenek berambut putih lebat. Bagian belakang rambutnya dikelabang dua. Sedang bagian depannya diponi. Wajahnya dibedaki tebal. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya diberi pewarna merah muda tipis-tipis. Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang. Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut. Baju dan celana pendeknya berwarna merah. Nenek ini bukan lain adalah Dayang Sepuh.
Di sebelah Dayang Sepuh, tegak pula seorang nenek berpakaian agak gombrong. Paras wajahnya hanya kelihatan sebagian karena bagian kiri kanannya tertutup oleh rambut dan kerudung hitamnya yang diletakkan di atas kepala melingkar ke leher terus menjulai sampai bagian depan perutnya. Nenek berkerudung hitam ini tidak bukan adalah Dewi Ayu Lambada.
Di sebelah Dewi Ayu Lambada, tegak seorang kakek bermuka tirus panjang. Rambutnya putih dibiarkan bergerai. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan dan kedua tangan berkacak pinggang. Saat mendongak bagian atas tubuhnya tampak sedikit melengkung. Karena ternyata kakek ini tidak memiliki leher! Sambil mendongak, kakek ini bukan mulutnya lebar-lebar seolah ingin memperlihatkan mulutnya yang tidak ditumbuhi gigi! Kakek ompong ini tidak lain adalah dedengkot rimba persilatan yang dikenal dengan gelar Iblis Ompong.
Di samping Iblis Ompong, tegak seorang kakek berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih tipis. Seraya tegak, kakek ini tadangkan kedua tangan di belakang kedua telinganya. Begitu tegak kakek ini memandang beberapa saat ke arah tiga orang di sebelahnya. Dia sepertinya ingin berkata. Namun yang keluar hanyalah suara Uuukk! Uuukkk! Uuukkk! berulang kali. Ini satu tanda jika kakek ini adalah orang bisu. Dia memang kakek bisu dan tuli yang dikenal dengan sebutan Dewa Uuk.
Melihat beberapa orang yang muncul, sesaat Kiai Laras menggeram. Namun dia tidak begitu pedulikan kemunculan orang. Justru pikirannya masih tertuju pada Kembang Darah Setan yang masih tergeletak di atas tanah. Setan Liang Makam pun rupanya tidak, acuh dengan kehadiran orang. Malah dia hanya melirik. Saat lain pandang matanya sudah tertuju pada Kembang Darah Setan.
Tiba-tiba Kiai Laras melesat ke depan. Masih di atas udara kedua tangannya disentakkan ke arah Setan Liang Makam. Setan Liang Makam tak punya pilihan lain kecuali menghadang serangan lawan. Karena kalau menghindar, berarti memberi kesempatan pada orang untuk mendekati Kembang Darah Setan.
Hingga begitu melihat sosok jubah hitam berkelebat ke depan dan kedua lengannya bergerak, cucu Nyai Suri Agung ini cepat menyongsong ke depan dengan kedua tangan membuat gerakan memukul. Rupanya Setan Liang Makam sudah nekat. Karena sekarang Kiai Laras sudah tahu kalau dirinya berkhianat bahkan hendak merebut kembali Kembang Darah Setan.
"Blammm!" Untuk kesekian kalinya kawasan Kampung Setan dirancah suara ledakan. Saat lain sosok Setan Liang Makam terpental dan jatuh terkapar. Di seberang, Kiai Laras perdengarkan tawa panjang sebab sosoknya tidak bergeming sama sekali. Hingga sosoknya terus melesat ke depan. Saat lain tangan kanannya menyambar Kembang Darah Setan. Dan seolah tidak memberi kesempatan pada orang, begitu Kembang Darah Setan berada di tangannya langsung dikelebatkan ke arah sosok Setan Liang Makam!
"Wuuttt!" Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat angker. Setan Liang Makam terkesiap. Sudah sangat terlambat baginya jika berkelebat hindarkan diri. Maka dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki, cucu Nyai Suri Agung ini angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang kiblatan sinar tiga warna yang mencuat dari Kembang Darah Setan. Senjata sakti yang pernah digenggamnya pada tiga puluhan tahun silam.
Di sebelah samping, mungkin karena masih salurkan tenaga untuk mengatasi luka dalamnya, murid Pendeta Sinting tidak berani menghadang pukulan yang melabrak ke arah Setan Liang Makam. Dia tadi juga tidak berani berbuat ayal ikut memperebutkan Kembang Darah Setan yang sudah lepas dari genggaman tangan Kiai Laras dan tergeletak di atas tanah.
Karena dia maklum, jika sosok tidak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad masih mampu untuk menghadang dan berbuat sesuatu. Sementara dirinya harus pulihkan dahulu keadaan tubuhnya yang terluka dalam akibat bentrokan dengan Kiai Laras. Hingga dia hanya bisa memandang bagaimana sinar tiga warna melesat ganas ke arah Setan Liang Makam.
Sementara melihat berkiblatnya sinar tiga warna, Dewi Ayu Lambada sudah hendak berkelebat dan ikut menghadang kiblatan sinar tiga warna yang menjurus ke arah Setan Liang Makam. Namun belum sampai Dewi Ayu Lambada berbuat lebih jauh, Dayah Sepuh yang tegak di samping segera palangkan tangan kanan menghalangi gerakan Dewi Ayu Lambada seraya berucap.
“Jangan berani bertindak seperti orang kesetanan! Pukulan itu bukan sembarangan!”
Dewi Ayu Lambada urungkan niat menolong Setan Liang Makam. Lalu berpaling pada Iblis Ompong seolah ingin minta pendapat tentang ucapan Dayang Sepuh. Iblis Ompong rupanya dapat menangkap maksud orang. Tanpa menoleh pada Dewi Ayu Lambada, kakek ompong ini berkata.
“Aku melihat sesuatu yang tidak biasanya pada dirimu, Nek! Tidak biasanya kau ringan tangan membantu orang! Tapi kali ini begitu melihat tampang jerangkong itu kau jadi lain! Kau sepertinya rela mati demi dia! Jangan-jangan kau telah kasmaran pada jerangkong hidup itu! Hik Hik Hik...!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berpaling pada Dewa Uuk yang juga adalah adik kandung Dewi Ayu Lambada. Lalu lanjutkan ucapan. “Bagaimana pendapatmu tentang saudaramu itu?! Kau bangga punya ipar seperti dia?!”
Iblis Ompong arahkan telunjuk tangan kanan pada Setan Liang Makam yang tengah sentakkan kedua tangannya menghadang kiblatan sinar tiga warna. Dewa Uuk dekatkan telinganya pada Iblis Ompong. Saat lain dia tarik pulang kepalanya. Entah karena tidak bisa mendengar ucapan Iblis Ompong atau salah artikan isyarat telunjuk Iblis Ompong, Dewa Uuk tiba-tiba tertawa panjang! Tapi dia tidak memberi isyarat jawaban atas ucapan iblis Ompong.
“Dasar budek! Ditanya pendapat malah tertawa ngakak!” maki Iblis Ompong. Lalu mendongak dengan mulut dibuka lebar-lebar.
Dewi Ayu Lambada amat geram mendengar ucapan Iblis Ompong. Dia sudah hendak gerakkan tangan kirinya. Namun sebelum berbuat sesuatu, terdengar ledakan menggelegar. Entah karena kaget, Iblis Ompong mental ke belakang. Sosoknya terhuyung-huyung hendak jatuh. Tapi begitu bagian atas tubuhnya sudah tertarik ke belakang hendak terjengkang, kakek ini julurkan kedua tangannya ke bawah. Sosoknya terhenti tertahan kedua tangannya yang menekan tanah. Saat lain dia membuat gerakan jungkir-balik lalu tegak membelakangi orang-orang didepan!
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada sesaat tampak juga terkejut mendengar suara gelegar ledakan akibat bentroknya sinar tiga warna dan gelombang dahsyat yang melesat dari kedua tangan Setan Liang Makam. Sosok kedua nenek ini terjajar ke belakang lalu tegak di samping Iblis Ompong. Hanya Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja. Malah sosoknya tidak bergeming sedikit pun meski gelegar di tempat itu laksana hendak meruntuhkan julangan beberapa batu karang.
Namun begitu dia berpaling dan tidak lagi melihat ketiga orang sahabatnya, dia perlihatkan tampang ketakutan. Lalu putar kepala ke belakang. Kejap lain dia cepat-cepat berkelebat ke belakang dan tegak menjajari Iblis Ompong.
Di seberang depan sana, sosok Setan Liang Makam sudah terkapar di atas tanah dengan pakaian sebagian hangus! Untuk beberapa saat, sosoknya diam tak bergerak. Cucu Nyai Suri Agung dari kerabat Kampung Setan ini merasakan sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang. Dadanya seolah hendak meledak. Namun begitu, dia tidak juga semburkan darah dari mulutnya meski keadaannya sudah sangat parah. Ini mungkin karena susunan anggota tubuhnya hanya kerangka.
Sementara di lain pihak, Kiai Laras hanya merasakan sentakan kecil pada dadanya. Kalaupun dia masih merasakan dadanya berdenyut nyeri, itu akibat bentrok pukulan dengan Pendekar 131. Kiai Laras putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. Tanpa banyak bicara lagi Kembang Darah Setan diangkat. Murid Pendeta Sinting sesaat bimbang. Lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Ketika ditarik di genggaman tangannya terlihat benda berwarna merah sebesar dua kali ibu jari.
“Bagaimana aku harus menggunakan benda merah ini?! Langsung kuhantamkan begitu saja atau...” Joko berpikir dan sekali lagi menyesali diri mengapa tidak bertanya dahulu pada Gendeng Panuntun bagaimana cara menggunakan benda merah yang diambilnya dari pusar bayinya Pitaloka itu.
Di pihak lain, melihat benda merah di tangan Joko, Kiai Laras urungkan niat untuk kelebatkan Kembang Darah Setan. Sepasang matanya memperhatikan seksama benda merah itu. Entah karena apa tiba-tiba dada Kiai Laras mulai berdebar. Namun dia segera tenangkan diri seraya berucap dalam hati.
“Tubuhku masih dilapis Jubah Tanpa Jasad. Tanganku masih menggenggam Kembang Darah Setan. Apa yang perlu ditakutkan! Mereka boleh mengeroyokku bersama-sama!” Membatin begitu, Kembang Darah Setan segera dikelebatkan ke arah Joko!
"Wuuttt!" Sinar tiga warna berkiblat lagi dari tangan Kiai Laras yang tidak kelihatan.
Pendekar 131 bingung sesaat. Seraya melompat mundur, dia kerahkan tenaga dalam pada tangan kanannya yang menggenggam benda merah. Saat berikutnya tangan kanan disentakkan. Satu gelombang angin bergemuruh dahsyat ke depan. Namun Joko jadi tersentak sendiri. Benda merah di genggaman tangannya tidak membawa pengaruh sama sekali pada pukulannya. Hingga yang keluar melesat hanyalah gelombang angin biasa bertenaga dalam. Joko cepat hendak susuli pukulannya dengan pukulan ‘Sundrik Cakra’ yang tadi sempat membuat sosok Jubah Tanpa Jasad terkapar dan semburkan darah.
Tapi keadaan Joko sudah sangat terlambat untuk kerahkan tenaga dalam. Hingga belum sampai tenaga dalam dikerahkan, di depan sana sinar tiga warna telah memporak-porandakan gelombang pukulan Joko! Saat bersamaan sosok Pendekar 131 sudah mencelat dan terbanting di atas tanah. Saat itulah tebaran sinar tiga warna melesat ganas ke arah Joko yang masih tergeletak di atas tanah!
Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak panjang. Apalagi saat melihat Pendekar 131 terkesiap dengan datangnya tebaran sinar tiga warna dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dua jengkal lagi tebaran sinar tiga warna menghantam hangus sosok murid Pendeta Sinting, mendadak terdengar orang bersin-bersin beberapa kali. Saat yang sama beberapa gelombang menghampar ke arah tebaran sinar tiga warna. Di lain kejap satu cahaya putih berkiblat juga mengarah pada tebaran sinar tiga warna. Terdengar beberapa kali letusan. Tebaran sinar tiga warna semburat membubung ke udara. Gelombang yang datang melabrak serta cahaya putih yang berkiblat juga porak-poranda!
Gelakan tawa Kiai Laras terputus. Sosoknya tersentak-sentak ke belakang. Di salah satu julangan batu karang terlihat dua sosok tubuh duduk bersila dengan tubuh masing-masing sama bergetar keras dan mata sama terpejam rapat. Kiai Laras kembali rasakan dadanya makin berdenyut nyeri. Namun perasaan marah membuat dia tidak pedulikan lagi sakit yang mendera dadanya. Dia segera berpaling ke arah salah satu julangan batu karang. Dia tahu pasti dari mana gelombang dan cahaya putihyang menghadang tebaran sinar tiga warna bersumber.
“Datuk Wahing! Gendeng Panuntun!” desis Kiai Laras mendapati siapa gerangan adanya dua sosok yang duduk bersila di lamping salah satu julangan batu karang.
Rombongan Dayang Sepuh yang sesaat tadi sudah akan lakukan hadangan juga segera menoleh. “Untung setan-setan itu sigap dan melakukan tugas dengan baik! Kalau tidak, mungkin pemuda setan itu sudah pulang ke tanah asalnya!” Dayang Sepuh bergumam.
Setan Liang Makam yang tergeletak tak bergerak juga pentangkan mata dan melirik. Dia merasa sedikit lega melihat kemunculan dua orang sudah dikenalnya. Apalagi salah seorang yang duduk itu baru perdengarkan bersinan berkepanjangan dan laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin. Dia tahu benar ilmu apa yang baru saja dikerahkan orang.
Karena ilmu itu satu-satunya ilmu langka yang dimiliki oleh mendiang neneknya dan diwariskan pada seorang muridnya yang bukan lain adalah Galaga atau sekarang dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelaran Datuk Wahing. Orang di luar kerabat Kampung Setan yang diambil murid oleh Nyai Suri Agung dan menjadi saudara seperguruan Maladewa alias Setan Liang Makam.
Dua kakek yang duduk bersila di samping julangan batu karang membuka kelopak mata masing-masing. Yang sebelah kiri bermata agak besar. Sementara yang sebelah kanan bermata putih tanda orang ini buta. Yang sebelah kiri tampak gerakkan kepalanya pulang balik ke depan ke belakang saat sepasang matanya terbuka. Mimik wajahnya membuat sikap seperti orang hendak bersin. Sementara orang yang matanya berwarna putih dongakkan sedikit kepalanya lalu mengusap cermin bulat pada bagian depan perutnya. Mereka berdua bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
Sementara itu, begitu dirinya selamat dari tebaran sinar tiga warna, Pendekar 131 segera kerahkan tenaga dalam. Dadanya sudah tidak terkirakan lagi sakitnya karena dia tadi menghadang kiblatan sinar tiga warna dengan andalkan pukulan biasa sebab menduga benda merah di genggaman tangan kanannya akan membawa pengaruh.
Namun ternyata dugaan Joko meleset. Hingga tak ampun lagi dia harus menerima akibat agak fatal. Bahkan tatkala dia coba bergerak bangkit, dari mulutnya kembali kucurkan darah! Namun Joko tak mau menyerah begitu saja. Dia berusaha kuasai diri dengan kerahkan tenaga murni pada dadanya yang dirasa paling nyeri.
“Hem... Untung mereka datang. Anehnya, mengapa benda merah ini tidak membawa pengaruh sama sekali?! Jangan-jangan semua keterangan orang selama ini hanya mainan saja! Tapi bagaimana bisa begitu?! Bukankah adanya benda merah di pusar bayi Pi-taloka itu sudah merupakan sesuatu yang langka?! Hem... Mungkin saja aku belum tahu bagaimana cara menggunakannya! Mudah-mudahan salah satu dari mereka yang ada di sini tahu bagaimana cara menggunakannya! Jika tidak. Alamat akan celaka!”
Berpikir begitu, setelah merasa dapat kuasai diri, murid Pendeta Sinting angkat suara. “Kek! Bagaimana cara menggunakannya?!”
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun tidak menyahut meski mereka berdua tahu kalau pertanyaan Joko ditujukan pada mereka. Sementara Dayang Sepuh menoleh pada Dewi Ayu Lambada.
“Hem... Rupanya setan itu kebingungan menggunakan benda setan itu! Kau tahu bagaimana kira-kira menggunakannya?!”
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya se- raya gelengkan kepala. “Kalau benda lain mungkin aku tahu!”
“Benda lain yang mana yang kau maksud?!” Iblis Ompong menyahut. Lalu memandang pada Dewi Ayu Lambada dari sela kedua kangkangan kakinya. “Ya... Pokoknya benda lain selain benda merah itu! Kalau belum jelas maksudku, pokoknya benda-benda yang membawa nikmatlah...!”
“Setan gila! Kalau benda-benda yang membawa nikmat, tanpa bertanya pun aku sudah tahu bagaimana cara menggunakannya!” sambut Dayang Sepuh.
“Ah... Aku tahu benda apa yang kalian maksud! Apa kalian masih sering bermain-main dengan benda nikmat itu?!”
Dewi Ayu Lambada menoleh pada Dayang Sepuh. “Kau masih sering bermain-main dengan benda nikmat itu?!”
“Kau tanya pada orang yang salah!” Iblis Ompong buka suara. “Mana mungkin dia sering bermain-main dengan benda nikmat itu kalau kawin saja belum pernah?!”
“Ah... Kau juga salah ucap!” Dewi Ayu Lambada tak mau kalah. “Apa kalau untuk bermain-main saja perlu kawin dahulu?!”
“Gila! Kalian setan gila semua!” seru Dayang Sepuh. Namun sesaat kemudian telah tertawa mengekeh.
DELAPAN
"Bruss! Bruss! Anak muda itu belum tahu bagaimana cara menggunakan benda merah di tangannya. Seandainya aku tahu, aku tak akan membuat orang merasa heran dengan ajukan tanya. Kau tahu bagaimana menggunakannya?!” Datuk Wahing bergumam seraya berpaling pada Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar teriakan tanya murid Pendeta Sinting, Kiai Laras sedikit terkejut. Sepasang matanya langsung menghujam tajam pada tangan Joko yang masih menggenggam benda merah yang diambilnya dari pusar bayi Pitaloka. Dia bertanya-tanya dalam hati. Namun sejauh ini dia masih percaya diri bahwa Kembang Darah Setan tidak bisa dihadang oleh apa pun. Apalagi sosoknya masih dilapis Jubah Tanpa Jasad.
Di lain pihak, Setan Liang Makam juga melirik pada murid Pendeta Sinting. Cucu Nyai Suri Agung ini sengaja tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Malah dia memandang dengan mata disipitkan. Dia coba membuat semua orang menduga kalau dirinya sudah tewas. Namun diam-diam dia berkata dalam hati.
“Benar ucapan pemuda itu! Tampaknya dia menggenggam sesuatu yang dikiranya dapat menghadang kedahsyatan Kembang Darah Setan! Apa mungkin...? Hem... Aku harus pura-pura tewas! Lalu menunggu kesempatan seraya mengembalikan keadaanku!” Setan Liang Makam pejamkan matanya. Dia tidak membuat gerakan atau perdengarkan suara. Tapi sesekali sepasang matanya sedikit membuka memperhatikan gerak-gerik Joko.
“Datuk Wahing dan lain-lainnya tidak ada yang menjawab! Berarti mereka tidak tahu bagaimana cara menggunakan benda ini! Celaka... Terpaksa aku harus menghadang serangannya dengan ‘Sundrik Cakra’! Tapi apakah aku masih mampu?! Luka dalam ini terasa sangat mengganggu...” Murid Pendeta Sinting akhirnya memutuskan setelah ditunggu agak lama tidak juga ada yang buka mulut menjawab pertanyaannya.
Mendadak Gendeng Panuntun beranjak bangkit. Kepalanya ditengadahkan dengan mata dipejamkan. Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin bulat di depan perutnya. Saat lain orang tua bertubuh tambun besar ini angkat suara. “Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Ke mana pun air mengalir, akhirnya akan bersatu juga ke laut! Kembalikan semua pada asalnya!”
Joko simak ucapan Gendeng Panuntun. Lalu ulangi ucapan orang berulang-ulang. Murid Pendeta Sinting tahu jika ucapan Gendeng Panuntun adalah satu petunjuk bagaimana cara menggunakan benda merah di tangannya. Namun sejauh ini dia belum bisa mengartikan ucapan Gendeng Panuntun.
Sementara itu mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh kembali menoleh pada Dewi Ayu Lambada. Namun belum sampai Dayang Sepuh sempat buka mulut, Dewi Ayu Lambada telah berpaling pada Iblis Ompong dengan turunkan sedikit bagian atas tubuhnya karena Iblis Ompong berdiri dalam posisi menungging. Anehnya, sebelum Dewi Ayu Lambada buka suara, kepala Iblis Ompong yang terlihat dari kangkangan kedua kakinya telah bergerak kearah Dewa Uuk. Sementara Dewa Uuk berpaling dari pandangan Iblis Ompong dengan tadangkan tangan di belakang telinganya dan didekatkan pada paha Iblis Ompong seolah menunggu ucapan orang!
“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya segera menjulur lalu menarik bahu Dewi Ayu Lambada hingga nenek berkerudung hitam itu menghadap ke arahnya. “Kau telah dengar ucapan setan buta itu. Kau tahu maknanya?!”
Dayang Sepuh lepaskan cekalan tangannya pada bahu Dewi Ayu Lambada. Lalu teruskan ucapan. “Sekarang jangan bergurau lagi. Pemuda setan itu dalam keadaan bahaya!”
Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya karena tertarik tangan Dayang Sepuh. “Sebenarnya aku tadi hendak berkata seperti yang baru saja kau Tanyakan pada setan ompong itu! Jadi kau tahu bukan apa jawabanku...?!”
“Aku juga begitu...” Iblis Ompong menyahut. “Sebenarnya aku hendak bertanya pada Setan Uuk apa makna ucapan sahabat buta itu tadi!”
Karena sudah maklum tidak ada yang tahu makna ucapan Gendeng Panuntun, akhirnya Dayang Sepuh berteriak pada Gendeng Panuntun. “Setan buta! Kau bicara dengan bangsa manusia biasa! Bukan bangsanya setan yang tahu makna ucapanmu! Katakan saja terus terang bagaimana cara menggunakannya!”
“Betul, Kek! Aku masih kesulitan menjabarkan ucapanmu! Bicaralah tanpa harus dengan bahasa-bahasa yang sulit begitu!” Joko berteriak di depan sana sambuti ucapan Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Aku bicara apa adanya seperti yang tertera dalam pikiranku! Aku tak bisa menjabarkan lebih jauh! Dan tentunya kalian bisa mengerti maknanya kalau benar-benar berpikir! Kembalikan semua pada asalnya! Itulah yang penting. Kembalikan semua pada asalnya!” Gendeng Panuntun ulangi ucapan dua kali.
“Kembalikan semua pada asalnya!” Murid Pendeta Sinting ikut-ikutan ulangi ucapan Gendeng Panuntun seraya menimang-nimang benda merah di tangan kanannya. “Apa maksudnya aku harus mengembalikan benda ini pada asalnya?! Bagaimana mungkin? Bayi Pitaloka tentu sudah dikuburkan. Lalu bagaimana aku harus mengembalikannya...?! Aneh. Apa dia tidak salah ucap?!” Pendekar 131 bergumam.
Mendapati apa yang terjadi, Kiai Laras sunggingkan senyum. Kejap kemudian dia mendongak lalu berkata lantang. “Apa kalian kira dengan benda busuk itu kalian bisa menghadang rencanaku?!” Kiai Laras perdengarkan tawa bergelak. Lalu angkat tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan.
Pendekar 131 tercekat. Nyawanya seolah sudah melayang. Sementara rombongan Dayang Sepuh saling pandang satu sama lain. Dan entah karena ikut tersentak dengan apa yang akan dilakukan Kiai Laras, Iblis Ompong tarik tubuhnya lurus ke atas lalu berbalik menghadap ke arah murid Pendeta Sinting dengan mulut menganga lebar-lebar.
“Celaka! Kita tampaknya akan kehilangan seorang sahabat!” Akhirnya Iblis Ompong buka suara juga dengan mimik ketakutan.
“Kita hadang ramai-ramai!” usul Dayang Sepuh sembari rapikan geraian poni rambutnya. Lalu takupkan kedua tangan di depan wajah.
“Tidak bisa! Tindakan itu hanya akan membuat kita ramai-ramai menuju liang kubur! Aku tak mau bersama-sama dengan kalian ramai-ramai masuk liang kubur! Di sana nanti pasti kalian akan bertindak memalukan!” Iblis Ompong menjawab ucapan Dayang Sepuh.
“Kau kira aku juga mau masuk liang kubur bersama setan sepertimu?! Perlu kau tahu, sekarang ini adalah saat terakhir kita bersama-sama! Setelah itu aku tak peduli ke mana kau akan pergi!” Dayang Sepuh sambuti kata-kata Iblis Ompong.
“Kurasa benar ucapan Manusia Ompong ini. Aku memang belum pernah bentrok dengan manusia tak berwujud itu. Tapi melihat apa yang tadi terjadi, kita akan sia-sia paksakan diri menghadang ramai-ramai!” Dewi Ayu Lambada membenarkan ucapan Iblis Ompong.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik angker. “Lalu apakah kita harus diam melihat setan muda itu mampus terbunuh?!”
“Itu mungkin jalan nasibnya. Kita pun pasti akan mengalaminya. Cuma kita belum tahu kapan datangnya!” Dewi Ayu Lambada berkata dengan suara pelan.
“Kalian ternyata setan-setan pengecut!” desis Dayang Sepuh.
Kepalanya kembali diluruskan ke arah Pendekar 131 di depan sana yang karena belum bisa menjabarkan ucapan Gendeng Panuntun terpaksa pusatkan tenaga dalam pada tangan kanannya siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’. Karena pukulan itulah yang tadi bisa menghadang kiblatan Kembang Darah Setan meski dia sendiri harus mengalami luka dalam. Namun paras wajah Joko sedikit cemas, karena dia maklum kalau telah terluka dalam dan bila kembali terjadi bentrok, mungkin akan berakibat makin fatal.
Kecemasan Pendekar 131 tampaknya bisa ditangkap oleh pandangan Kiai Laras. Hingga orang yang sosoknya tidak kelihatan ini sunggingkan senyum. Namun saat lain tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan sudah bergerak. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat disertai terdengarnya suara orang lain.
“Tahan! Jangan lakukan itu!”
Dari sumber terdengarnya suara orang serta berkelebatnya bayangan merah, jelas suara tadi mencegah berkelebatnya si bayangan merah. Namun si bayangan merah tidak pedulikan teriakan orang. Dia terus berkelebat ke arah sosok Jubah Tanpa Jasad. Berjarak sepuluh langkah, si bayangan merah yang masih di atas udara lepaskan satu pukulan dahsyat ke arah Jubah Tanpa Jasad!
“Sialan! Siapa setan yang berani mati ini?!” teriak Dayang Sepuh.
“Pitaloka!” desis murid Pendeta Sinting dapat mengenali sosok bayangan merah yang tengah berkelebat karena dia dari arah depan. “Celaka! Apa yang akan dilakukan...?!”
Kiai Laras berpaling begitu telinganya mendengar deruan angin dari arah samping. Dan begitu tahu apa yang dilakukan orang, Kembang Darah Setan yang tadi akan dikelebatkan ke arah Joko ditarik ke samping. Sosoknya berputar setengah lingkaran. Saat lain Kembang Darah Setan dihantamkan ke arah sosok yang telah lepaskan pukulan ke arahnya!
"Wuuttt!" Sinar tiga warna berkiblat menghadang gelombang yang datang.
“Pitaloka! Cepat menyingkir!” teriak Joko.
Namun Pitaloka sepertinya tak pedulikan teriakan orang. Malah begitu tahu kiblatan sinar tiga warna, Pitaloka kembali sentakkan kedua tangannya. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat lagi dua gelombang menyusuli gelombang pukulan yang pertama. Terlambat bagi Joko untuk membuat gerakan. Sementara Datuk Wahing hanya bisa perdengarkan bersinan beberapa kali. Gendeng Panuntun gelengkan kepala dan bergumam pelan.
“Jalan hidup manusia sudah ditentukan. Apa pun yang dilakukan orang tidak bisa menghalangi bila Yang Maha Pencipta sudah menentukannya!”
"Blaarr! Blaarr!" Dua ledakan keras terdengar saat gelombang beruntun dari tangan Pitaloka menghantam kiblatan sinar tiga warna.
Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya mencelat deras ke belakang. Darah sudah tampak mengucur saat sosoknya melayang.
“Pitaloka!” seru satu suara bergetar parau. Lalu satu bayangan merah berkelebat menyongsong tubuh Pitaloka yang masih melayang. Saat lain bayangan merah yang menyongsong sosok Pitaloka menyambar. Lalu melayang turun dengan membopong tubuh Pitaloka.
“Putri Kayangan...” gumam Joko mengenali siapa sosok bayangan merah yang melayang turun membopong Pitaloka.
“Mengapa kau lakukan ini, Pitaloka?! Seharusnya kau menunggu. Kau pun harus sadar siapa orang yang kau hadapi!” kata bayangan merah di samping sosok Pitaloka yang diletakkan di atas pangkuannya. Dia adalah seorang gadis cantik jelita mengenakan pakaian warna merah dan bukan lain adalah Putri Kayangan.
Pitaloka gelengkan kepala. “Aku tak bisa menahan diri melihat jahanam itu... Beda Kumala... Kalau nanti kau pulang ke lereng Gunung Semeru, sampaikan maafku pada Eyang... Aku juga minta maaf padamu karena selama ini telah membuatmu susah...” kata Pitaloka dengan suara tersendat karena mulutnya telah dipenuhi kucuran darah hitam.
Beda Kumala alias Putri Kayangan mendekap sosok Pitaloka. “Pitaloka... Jangan kau berkata yang tidak-tidak. Kita akan kembali bersama-sama ke lereng Gunung Semeru...”
“Jangan menghiburku, Beda... Aku tahu, ajal telah di depan mataku... Cuma saja aku masih menyesal... aku tak bisa mempersatukanmu dengan Pendekar 131...”
“Pitaloka... Jangan kau pikirkan itu dahulu! Kau telah berbuat banyak padaku! Aku akan salurkan tenaga dalam. Pejamkan matamu...” Putri Kayangan gerakkan tangan untuk membalikkan tubuh Pitaloka.
“Beda... Percuma saja... Biarkan aku sejenak memandangmu sebelum kita berpisah...” ujar Pitaloka seraya tepiskan perlahan kedua tangan Putri Kayangan yang hendak balikkan tubuhnya. Matanya yang mulai membiru dipaksa mementang besar pandangi wajah Putri Kayangan.
Putri Kayangan balas memandang dengan mata sudah basah berkaca-kaca. Bahunya pun sudah berguncang-guncang. Lalu kedua tangannya mengambil kedua tangan Pitaloka dan digenggamnya erat-erat. Cucu Nyai Tandak Kembang ini coba hendak buka suara. Tapi meski mulutnya sudah terbuka, tidak ada suara yang terdengar. Malah sesaat kemudian yang terdengar adalah deraian tangis tatkala Putri Kayangan merasakan hawa dingin menjalari kedua tangannya yang menggenggam kedua tangan Pitaloka.
Putri Kayangan memandang tajam pada mata Pitaloka. Mata itu memang masih terbuka. Namun tatapannya kosong. Putri Kayangan arahkan pandang matanya pada dada Pitaloka. Saat yang sama salah satu tangannya digerakkan lepas dari genggaman tangan Pitaloka. Lalu mencekal pergelangan tangan Pitaloka. Kejap lain terdengar jeritan tinggi! Lalu Putri Kayangan menarik tubuh pitaloka dan didekapnya erat-erat dengan tangis meledak.
Pendekar 131 menghela napas dalam. Sikap Putri Kayangan sudah membuatnya tahu apa yang dialami Pitaloka. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Sementara Gendeng Panuntun mendongak sambil menghembuskan napas. Rombongan Dayang Sepuh saling pandang namun kali ini sama kancingkan mulut.
“Hem... Bagaimana sekarang? Orang pemakai Jubah Tanpa Jasad itu masih tangguhi Benda merah yang katanya dapat menghadapi sudah berada di tanganku. Tapi percuma juga kalau aku tak bisa menggunakannya!” gumam murid Pendeta Sinting lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. “Mengapa dia tidak mau mengatakan terus terang bagaimana caranya menggunakan benda ini?!”
Joko kerjapkan mata. Saat lain dia berteriak. “Kek! Kau masih tak mau mengatakan bagaimana caranya?! Korban telah jatuh. Harap jangan sembunyikan sesuatu lagi!”
“Sahabat Muda... Kau tahu dari mana benda itu!” Gendeng Panuntun menyahut.
“Semua orang tahu! Yang kutanyakan bagaimana cara menggunakannya!”
“Kau tahu dari mana, mengapa kau susah-susah bertanya! Kembalikan benda itu seperti saat kau mendapatkannya!”
Entah karena sudah banyak yang dipikir apalagi sudah melihat nasib yang menimpa Pitaloka, murid Pendeta Sinting tak mau berpikir lagi. Dia segera sambuti ucapan Gendeng Panuntun. “Kek! Anak Pitaloka mungkin sudah dikubur! Bagaimana aku harus mengembalikannya?!”
“Bruss! Bruss! Kau membuatku heran, Sahabat Muda! Aku yang sudah tua begini saja kini dapat mengerti apa maksud sahabatku ini. Bagaimana kau yang masih muda tak dapat menangkap maksudnya?!” Datuk Wahing ambil suara.
“Sudahlah, Kek! Kalau kau tahu, jangan membuatku heran dengan tidak mau mengatakannya padaku!” kata Joko sudah habis pikir.
“Bruss! Bruss! Kau tahu dari mana benda itu kau ambil! Sekarang letakkan benda itu di tempat seperti saat kau mengambilnya! Tapi jangan heran. Itu hanya dugaanku!”
“Astaga! Mengapa kau bodoh! Benar juga ucapannya!” gumam Joko setelah mendengar ucapan Datuk Wahing. Saat lain tanpa buka mulut lagi, dia singkapkan pakaiannya! Benda merah yang diambil dari pusar bayi Pitaloka ditempelkan pada pusarnya!
SEMBILAN
PENDEKAR 131 rasakan hawa dingin menjalar dari bagian pusarnya. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. Kiai Laras mengawasi dengan seksama. Setan Liang Makam perlahan-lahan buka kelopak matanya. Karena semua orang tengah memperhatikan ke arah murid Pendeta Sinting, semua orang tidak tahu kalau Setan Liang Makam juga tengah buka matanya dan memandang ke arah Joko. Cucu Nyai Suri Agung ini memang berusaha tidak membuat gerakan. Dia tetap terkapar di atas tanah. Walau sudah terluka cukup parah tapi Setan Liang Makam masih mencari kesempatan untuk dapat merebut kembali Kembang Darah Setan.
Begitu hawa dingin di sekujur tubuhnya lenyap, perlahan-lahan murid Pendeta Sinting kerahkan kembali tenaga dalamnya dan dipusatkan pada tangan kanan siapkan pukulan ‘Sundrik Cakra’. Ini dilakukan selain pukulan itu yang tadi bisa menghadang kiblatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan, juga untuk berjaga-jaga kalau benda merah yang kini sudah berada di pusarnya tidak membawa pengaruh.
Kiai Laras angkat tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan. Saat lain tangan kirinya juga diangkat. Walau dia belum tahu untuk apa benda merah yang tadi berada di tangan murid Pendeta Sinting, namun kali ini dia tidak berani bertindak ayal. Apalagi begitu mendengar ucapan-ucapan Pendekar 131 yang menyebut-nyebut anak. Entah karena apa, dia tiba-tiba teringat akan ucapan Kala Marica! Hatinya makin berdebar tatkala tahu kemunculan Pitaloka.
“Apakah gadis itu hamil dan melahirkan?! Tapi waktunya belum lama. Tak mungkin hal itu terjadi!” Kiai Laras menenangkan diri. Tapi debaran dadanya tak juga bisa ditenangkan. Malah ucapan Kala Marica seakan terngiang kembali ditelinganya!
“Ah, peduli setan! Dia telah mampus! Pitaloka sendiri tak mungkin melahirkan anak! Manusia-manusia keparat yang ada di sini harus kuhancurkan satu persatu! Dan aku akan jadi penguasa Kampung Setan tanpa ada yang menghalangi!”
Berpikir begitu, tiba-tiba Kiai Laras berkelebat ke depan. Joko melihat bergeraknya Jubah Tanpa Jasad. Dia menunggu sejenak seraya lipat gandakan seluruh tenaga dalamnya. Begitu Kembang Darah Setan berkelebat, Pendekar 131 segera pula membentak. Saat bersamaan tangan kanannya didorong dengan jari telunjuk, jari manis, dan jari tengahnya ditegakkan. Sedangkan ibu jari dan jari kelingking ditekuk saling bertemu.
Sinar berwarna merah, hitam, dan putih berkiblat angker. Karena kali ini Kiai Laras kelebatkan Kembang Darah Setan dengan kerahkan tenaga dalam hampir seluruhnya, maka kiblatan sinar tiga warna itu selain berkelebat makin cepat, juga perdengarkan gemuruh luar biasa dahsyat. Melihat ganasnya kiblatan sinar, sesaat murid Pendeta Sinting jadi terkesiap dan hampir didera perasaan bingung. Namun karena tak ada jalan lain, akhirnya tangan kanannya segera disentakkan.
"Wuuttt!" Tiga larik sinar kuning mencuat dahsyat. Pendekar 131 terpana. Kalau biasanya hanya tiga sinar kuning yang melesat kala dia lepaskan pukulan ‘Sundrik Cakra’, kini begitu larikan sinar kuning melesat, satu kiblatan warna merah menyusuli dari belakang.
"Bummm! Bummm!"
Kawasan Kampung Setan laksana dilanda gempa luar biasa dahsyat. Puncak julangan beberapa batu karang terbongkar semburatkan kepingan. Tanah tempat bertemunya dua pukulan muncrat sampai lima tombak ke udara dan menebar berkeliling hingga suasana berubah pekat. Sosok Putri Kayangan yang masih mendekap Pitaloka yang sudah tidak bernyawa lagi mencelat mental. Namun Putri Kayangan tak hendak lepaskan dekapannya pada sosok mayat Pitaloka hingga dia tak pedulikan lagi tubuhnya yang melayang deras hendak menghantam tanah! Namun setengah depa lagi sosok Putri Kayangan hendak menghujam tanah, satu bayangan putih berkelebat menyambar sosok Putri Kayangan.
“Apa yang kalian lakukan?!” satu suara terdengar.
Putri Kayangan yang masih mendekap erat sosok mayat Pitaloka buka matanya lalu memandang pada orang yang telah menyelamatkannya. “Eyang....” Putri Kayangan bergumam.
Di sebelah kanan Putri Kayangan tegak seorang perempuan berwajah cantik walau usianya tidak muda lagi. Pada rambutnya terdapat beberapa untaian bunga. Demikian pula pada sela jari kedua tangannya. Perempuan ini mengenakan pakaian putih sebatas dada. Dia tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang. Nenek Pitaloka dan Putri Kayangan sendiri. Nyai Tandak Kembang sesaat memperhatikan Putri Kayangan. Namun begitu pandang matanya beralih pada Pitaloka kontan perempuan dari lereng Gunung Semeru ini menghambur.
Di lain tempat, begitu terdengar gelegar dahsyat, sosok Setan Liang Makam yang pura-pura tewas terkapar di atas tanah ikut pula tersapu ke belakang sebelum akhirnya terhenti dengan menghantam salah satu lamping julangan batu karang. Karena tidak mau semua orang tahu kalau dirinya masih hidup, Setan Liang Makam coba tahan seruannya meski sekujur tubuhnya sakit bukan alang kepalang. Malah beberapa anggota tubuhnya terdengar patah!
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun yang berada di dekat lamping julangan batu karang sama tersurut beberapa tindak ke belakang dan akhirnya bersandar dengan mata sama terpejam. Rombongan Dayang Sepuh melompat berpelantingan namun karena sudah berjaga-jaga, keempat orang ini bisa tegak kembali berjajar.
Beberapa saat berlalu. Semua orang yang ada di situ tidak ada yang perdengarkan suara atau membuat gerakan. Mereka sama diam dengan wajah tegang. Mata mereka coba menerobos pekatnya suasana untuk melihat apa yang terjadi. Dan begitu hamburan tanah dan semburatan kepingan batu luruh, semua mata sama melihat ke satu arah. Tidak jauh dari julangan batu karang di sebelah depan sana, terlihat sosok Pendekar 131 terkapar dengan pakaian sedikit hangus dan dibercaki warna merah darah. Sosoknya diam tak bergerak-gerak.
Di seberang, tampak sosok Jubah Tanpa Jasad tergeletak diam. Simbahan darah juga membercaki jubah hitam peninggalan kerabat leluhur Kampung Setan itu. Kembang Darah Setan yang tadi berkelebat kiblatkan sinar tiga warna terhampar lima langkah disebelah sosok Jubah Tanpa Jasad. Namun Kembang Darah Setan itu kali ini tidak lagi pancarkan sinar seperti sediakala! Sinar itu laksana redup!
“Dia harus segera diberi pertolongan. Terlambat sedikit, nyawanya akan putus!” Gendeng Panuntun buka suara dengan wajah dihadapkan pada sosok Pendekar 131.
Ucapan Gendeng Panuntun belum selesai, Datuk Wahing sudah beranjak bangkit lalu berkelebat. Saat lain orang tua yang kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang ini telah balik ke dekat Gendeng Panuntun dengan pundak menggendong sosok Pendekar 131.
“Bruss! Brusss! Harap jangan heran kalau aku memintamu yang menolong pemuda ini!” kata Datuk Wahing lalu meletakkan sosok murid Pendeta Sinting di hadapan Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun duduk bersila lalu membalikkan tubuh Joko. Saat bersamaan kedua tangannya mengusap cermin bulat pa-da depan perutnya. Lalu ditarik pulang dan diletakkan pada punggung Joko.
“Bruss! Aku akan melihat gadis-gadis itu. Harap tidak bertanya atau heran. Mungkin ada sesuatu yang bisa kuperbuat!” kata Datuk Wahing lalu berkelebat ke arah Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang yang tengah sama menangis sesenggukan.
“Hem... Terlambat!” gumam Datuk Wahing begitu tegak di dekat Nyai Tandak Kembang.
Saat itulah satu sosok tubuh melangkah mendekati dari belakang. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang matanya agak sayu. “Apakah dia tidak bisa ditolong lagi?!” Bertanya orang yang mendekati Datuk Wahing.
“Brusss!” Datuk Wahing bersin namun tidak disambung dengan ucapan. Sebaliknya berpaling lalu kepalanya menggeleng.
Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata adalah Kigali menghela napas panjang lalu teruskan langkah mendekati Nyai Tandak Kembang. “Nyai... Sudahlah... Mungkin ini jalan hidup yang harus dialami Pitaloka,” kata Kigali.
Nyai Tandak Kembang angkat kepalanya. Memandang silih berganti pada Datuk Wahing dan Kigali. Sepasang matanya telah basah dan bahunya masih berguncang. “Seandainya aku menyadari sejak semula apa yang hendak dilakukan, aku tak akan mengizinkan dia pergi...,” kata Nyai Tandak Kembang dengan suara tersendat.
“Eyang... Akulah yang salah. Aku tak bisa menahan Pitaloka!” Putri Kayangan angkat pula kepalanya seraya berucap dan memandang sayu pada Nyai Tandak Kembang.
“Tidak ada yang patut disalahkan dalam hal ini...” ujar Kigali. “Seandainya aku Pitaloka, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama! Pitaloka berpikir mungkin inilah jalan yang harus dilakukan untuk mengakhiri penderitaannya. Sekarang dia harus segera kita bawa pergi dari sini! Terserah pada kalian. Kalian kuburkan di dekat daerah sini atau kalian bawa serta ke lereng Gunung Semeru...”
“Bagaimanapun juga dia adalah cucuku. Aku tak mau jauh darinya meski dia telah tiada. Aku akan membawanya ke lereng Gunung Semeru.” Nyai Tandak Kembang berkata.
Selagi orang tengah berbincang-bincang dan Gendeng Panuntun berusaha memulihkan keadaan Pendekar 131, Setan Liang Makam buka kelopak matanya. Dia sejenak edarkan pandang matanya berkeliling menyiasati keadaan. Saat lain sepasang matanya telah tertuju pada sosok Jubah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan yang tergeletak di atas tanah.
“Aneh... Kembang Darah Setan tidak bersinar lagi... Ah. Itu bukan persoalan! Yang jelas inilah kesempatanku untuk mendapatkannya kembali! Jahanam di balik jubah hitam itu tampaknya sudah mampus!” Setan Liang Makam kerahkan segenap sisa tenaga luar dan dalamnya. Saat berikutnya dia bergerak bangkit. Saat lain berkelebat ke arah Kembang Darah Setan.
“Jerangkong setan itu belum mampus!” Tiba-tiba Dayang Sepuh berteriak melihat gerakan Setan Liang Makam.
Rombongan Dayang Sepuh serta-merta sama arahkan pandang matanya ke arah kelebatan Setan Liang Makam. Sementara Nyai Tandak Kembang dan Kigali serta Putri Kayangan tidak ambil peduli, dengan teriakan Dayang Sepuh. Namun rombongan Dayang Sepuh tidak ada yang membuat gerakan untuk menghadang Setan Liang Makam karena mereka sadar sudah sangat terlambat untuk lakukan hadangan. Hingga keempat orang ini akhirnya hanya bisa diam menyaksikan. Dua jengkal lagi tangan Setan Liang Maka dapat menyambar Kembang Darah Setan, mendadak lengan kedua Jubah Tanpa Jasad bergerak.
“Setan! Dia juga belum tewas!” Kembali Dayang Sepuh berseru.
"Wuuttt! Wuuttt!" Dua gelombang melesat dari kelebatan lengan jubah hitam.
Karena tidak menduga sama sekali, Setan Liang Makam tidak bisa berbuat banyak. Apalagi jarak antara dirinya dengan Jubah Tanpa Jasad cuma lima langkah. Tapi Setan Liang Makam tak hendak urungkan niat. Maklum tidak bisa menghadang gelombang yang datang, dia percepat sambaran kedua tangannya ke arah Kembang Darah Setan. Usaha Setan Liang Makam tidak sia-sia. Tangan kanannya sempat memegang Kembang Darah Setan. Namun belum sampai cucu Nyai Suri Agung ini sempat angkat tangan kanannya, gelombang yang mencuat dari kelebatan kedua tangan Kiai Laras sudah dating menerjang.
Setan Liang Makam berseru tertahan. Meski gelombang yang menghantam tidak begitu kuat aliran tenaga dalamnya, namun karena Setan Liang Makam tidak bisa menghadang sama sekali, dan keadaannya sudah terluka parah, membuat cucu Nyai Suri Agung ini mencelat mental. Dalam keadaan begitu rupa, Setan Liang Makam masih mampu berpikir. Kalau dia tidak berhasil mendapatkan Kembang Darah Setan, orang lain pun tidak boleh mendapatkannya juga! Maka begitu sosoknya terpental, tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan segera disentakkan ke bawah!
"Brakkk!" Terdengar derakan keras. Kembang Darah Setan yang sinarnya telah redup karena bentrok dengan pukulan yang dilancarkan Pendekar 131, pecah berantakan!
Sementara sosok Setan Liang Makam terus tersapu sebelum akhirnya terguling di atas tanahdengan perdengarkan derakan patahnya beberapa tulang! Seruan Setan Liang Makam terputus seketika. Sosoknya mengejang sebentar sebelum akhirnya terdiam dengan nyawa melayang!
Kiai Laras mendengus marah melihat Kembang Darah Setan berantakan pecah di atas tanah. Dia sendiri merasa heran bagaimana senjata mustika dahsyat itu bisa pecah berantakan. “Jahanam!” Tiba-tiba Kiai Laras memaki. “Ini pasti akibat pukulan yang dilancarkan pendekar keparat itu!
Mata Kiai Laras mencari. Begitu mendapatkan Pendekar 131 tengah telungkup di dekat Gendeng Panuntun. Kiai Laras cepat kerahkan sisa tenaga dalamnya. Dia masih percaya kalau Jubah Tanpa Jasad yang dikenakannya masih mampu melapis tubuhnya dari pukulan orang. Maka tanpa pikir panjang lagi dan tanpa pikirkan keadaan dirinya yang terluka dalam, dia segera berkelebat. Berjarak sepuluh langkah, kedua tangannya dihantamkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tengah dipulihkan Gendeng Panuntun.
“Setan! Kita harus lakukan sesuatu!” teriak Dayang Sepuh. Kedua tangannya sudah bergerak.
Namun sebelum pukulannya melesat keluar, satu benda hitam panjang melayang ke udara. Pada bagian ujung belakang benda terlihat satu sosok tubuh mengikuti dengan tangan mengendalikan benda hitam panjang yang ternyata adalah sebuah kerudung hitam panjang. Sosok ini bukan lain adalah Dewi Ayu Lambada.
"Seett! Setttt!" Ujung depan kerudung hitam menyapu. Kiai Laras terkesima. Namun dia teruskan hantamannya. Dewi Ayu Lambada gerakkan bagian belakang kerudung. Kerudung hitam meliuk ganas.
"Bettt! Bettt!" Ujung depan kerudung menyambar ke arah kedua tangan Kiai Laras.
Kiai Laras kembali terkesiap. Jubah Tanpa Jasad sepertinya tidak lagi punya kekuatan untuk mementalkan pukulan orang. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Kiai Laras tersapu ke samping. Hantaman kedua tangannya tetap menebarkan gelombang, namun arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran yang dituju. Kiai Laras jadi kalap. Dia putar tubuh setengah lingkaran menghadap datangnya kerudung hitam. Namun sebelum orang ini melakukan gerakan, ujung depan selendang telah melilit tubuhnya.
Kiai Laras mendelik. Kedua tangannya yang hendak lakukan hantaman ditarik pulang lalu bergerak hendak lepaskan lilitan kerudung. Tapi baru saja kedua tangannya menyentuh kerudung, Dewi Ayu Lambada sekali lagi gerakkan tangannya yang memegang ujung belakang kerudung.
"Wuutt! Wuuutt!" Kerudung hitam meliuk. Sosok Kiai Laras melayang ke atas. Belum lagi berbuat sesuatu, Dewi Ayu Lambada tarik pulang kerudungnya. Sosok Kiai Laras terputar di udara. Ketika Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung, sosok Kiai Laras melayang deras ke bawah sebelum akhirnya menghantam tanah dengan kepala terlebih dahulu!
"Praakk!" Darah tampak mengalir meski belum juga kelihatan dari mana aliran darah itu keluar. Namun bersamaan dengan mengalirnya darah, sosok Jubah Tanpa Jasad diam tak bergerak lagi!
Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk segera berkelebat mendekati Dewi Ayu Lambada yang tegak delapan langkah di samping Jubah Tanpa Jasad.
“Jangan-jangan setan itu belum mampus!” gumam Dayang Sepuh.
“Nah... Ini kesempatanmu bermain-main dengan barang nikmat itu!” kata Iblis Ompong. “Kau raba dan kau main-mainkan. Kalau masih sempat bergerak-gerak liar karena sentuhan tangan lembut, berarti setan itu belum tewas! Jika dingin dan diam tak ada denyutan, berarti setan itu sudah kojor!”
“Mulut setan sialan! Siapa mau turuti ucapanmu!” hardik Dayang Sepuh namun dengan bibir tersenyum dan tangan kiri rapikan geraian poni rambutnya.
“Ah... Kau malu-malu kucing! Cepat lakukanlah... Kesempatan ini jangan disia-siakan! Lagi pula kita belum tahu siapa adanya sosok di balik jubah hitam itu. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang pemuda gagah dan tampan! Kau nanti akan menyesal seumur-umur kalau sia-siakan kesempatan ini! Lihat tangan sahabat di sampingmu itu seperti sudah tidak sabar! Daripada kedahuluan orang...!”
“Setan Ompong sialan!” Dewi Ayu Lambada membentak. “Tangan siapa yang tidak sabar?! Untuk urusan sentuh-menyentuh begitu aku sudah kenyang!”
“Hem... Jadi kalian berdua tidak ada yang mau membuktikan setan itu sudah mampus atau belum?!” Iblis Ompong bertanya.
“Biar dia saja yang membuktikan! Bukankah dia belum pernah kawin?! Yang berarti pula belum pernah bermain-main dengan benda nikmat?!”
“Bruss! Brusss! Jangan membuat heran orang dengan bergurau mempermainkan tubuh orang! Buktikan saja dengan pegang pergelangan tangannya! Tapi jika di antara kalian ada yang ingin buktikan dengan pegang benda lainnya, silakan saja...” Datuk Wahing perdengarkan suara.
“Dasar orang-orang gila!” rutuk Dayang Sepuh. Lalu melompat dan dengan hati-hati dia julurkan tangan ke arah salah satu lengan jubah. Lengan Jubah Tanpa Jasad diangkat dengan tangan kiri. Lalu tangan kanan meraba-raba. Semua orang melihat tangan Dayang Sepuh mengapung memegang sesuatu di udara. Mendadak Dayang Sepuh lepaskan lengan jubah di tangan kirinya. Saat lain dia melompat ke dekat Dewi Ayu Lambada.
Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk terkesiap. Ketiganya sudah siapkan pukulan melihat ketegangan mimik Dayang Sepuh. Mereka menunggu dengan pentangkan mata. Namun setelah agak lama Jubah Tanpa Jasad tidak juga melakukan gerakan, Iblis Ompong buka mulut.
“Apa yang terjadi? Apa yang kau rasakan?!”
“Setan itu sudah mampus!” jawab Dayang Sepuh.
“Setan!” hampir berbarengan Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong memaki. “Kalau tahu orang sudah mampus mengapa bertindak seolah-olah seperti setan kalap?!” gerutu Iblis Ompong agak jengkel karena tertipu sikap Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh tertawa cekikikan. Dewi Ayu Lambada pasang kembali kerudung hitam di atas kepalanya. Hanya Dewa Uuk yang sedari tadi memandang silih berganti pada ketiga orang di sampingnya dengan kedua tangan ditadangkan di belakang kedua telinganya. Dia tidak mendengar apa yang diucapkan orang. Namun begitu melihat Dayang Sepuh tertawa cekikikan, orang tua bisu dan tuli ini ikut pula perdengarkan suara tawa panjang!
SEPULUH
“BAGAIMANA, Sahabat Muda? Ada perubahan?!” Gendeng Panuntun ajukan tanya seraya tarik pulang kedua tangannya dari punggung Pendekar 131.
Joko rasakan hawa panas yang sejak tadi menyelimuti sekujur tubuh dan aliran darahnya perlahan-lahan lenyap. Dadanya memang masih sesak dan berdenyut nyeri kala dibuat bernapas. Tapi sudah jauh lebih berkurang daripada saat baru bentrok dengan Kiai Laras. Dia buka kelopak matanya lalu bergerak membalik dan duduk dengan takupkan kedua tangan di depan dada. Matanya kembali dipejamkan. Beberapa saat kemudian dia buka kembali kelopak matanya.
“Terima kasih, Kek...” kata Joko sambil menjura hormat.
“Simpan dulu ucapan itu, Sahabat Muda. Sekarang hiburlah gadis baju merah itu. Mungkin setelah ini kalian lama tidak akan bertemu lagi. Ucapkan selamat jalan padanya...”
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi dengan dada berdebar. “Aneh ucapan kakek ini. Apa arti ucapannya?! Bikin hatiku tidak enak saja!” kata Joko dalam hati lalu berpaling ke arah Putri Kayangan yang masih mendekap sosok mayat Pitaloka. Joko maklum kalau yang dimaksud gadis baju merah oleh Gendeng Panuntun adalah Putri Kayangan.
“Kek... Apa maksud ucapanmu?! Mengapa aku harus mengucapkan selamat jalan padanya?! Aku tahu di mana dia berada... Lereng Gunung Semeru. Kalau aku ingin bertemu bukankah mudah saja bagiku?!”
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. “Kau memang tahu di mana gadis itu bertempat tinggal. Namun tidak begitu gampang kau menemuinya!”
Kini ganti Joko yang gelengkan kepala. “Kurasa Nyai Tandak Kembang mau mengerti, Keki Dia tak mungkin menghalangiku untuk bertemu dengan Putri Kayangan!”
“Benar! Tapi halangan itu bukan datang dari Nyai Tandak Kembang. Tapi jarak tempat yang kelak akan memisahkan kalian berdua!”
“Kek... Sementara ini aku memang akan pergi. Tapi tidak jauh. Aku akan mencari Eyang Guru di Jurang Tlatah Perak. Kurasa jarak antara Jurang Tlatah Perak dan lereng Gunung Semeru tidak begitu jauh...”
“Itu rencanamu, Sahabat Muda. Tapi kalau Yang Maha Pembuat Rencana sudah menuliskan rencana lain, kau tak dapat mengubahnya?!”
“Apa maksudmu, Kek?!”
“Aku tak bisa menerangkan lebih jauh. Aku tak mau mendahului Sang Maha Pembuat Rencana. Aku hanya bisa mengatakan isyarat! Sebenarnya aku tidak tega mengatakannya padamu, karena aku tahu bagaimana perasaanmu pada gadis baju merah itu. Namun terpaksa harus kukatakan agar kau siap sebelum semuanya terjadi. Dengan begitu, dalam perjalananmu nanti kau tidak diganggu pikiran yang bukan-bukan! Kerinduan pada seorang gadis kadangkala membuat perjalanan tidak mulus dan kau akan melupakan pelajaran yang mungkin nanti akan kau dapatkan dalam perjalananmu!”
“Aneh... Dia terus mengatakan aku akan pergi jauh... Ke mana?!” gumam Pendekar 131 dalam hati.
“Sudahlah, Sahabat Muda! Waktumu tidak banyak untuk memikirkan apa yang kelak akan kau lakukan. Biarlah nanti semua berjalan seperti kehendak dan rencana-Nya!”
Walau dengan dada dibuncah berbagai pertanyaan dan dugaan, Joko beranjak juga lalu melangkah ke arah Putri Kayangan setelah memperhatikan ke arah sosok Setan Liang Makam dan Jubah Tanpa Jasad.
“Brussl Brusss! Aku heran melihat tampangmu. Ada yang hendak kau katakan?!” Datuk Wahing sudah angkat bicara begitu Joko tegak di sampingnya.
“Kek!” bisik Joko pelan. “Kakek Gendeng Panuntun pernah mengatakan padamu ke mana sebenarnya aku akan pergi setelah ini?!”
“Bruss! Kau membuatku heran! Bagaimana kau bertanya hal itu padaku?! Telingaku yang salah dengar atau ucapanmu yang salah tempat?!”
Belum sampai Joko berucap lagi, dari arah samping sudah terdengar Nyai Tandak Kembang berkata. “Beda Kumala... Kita tinggalkan tempat ini...”
“Biar aku yang membawanya!” Kigali menyahut seraya mendekati Putri Kayangan lalu mengambil sosok mayat Pitaloka dari dekapan Putri Kayangan.
Putri Kayangan beranjak bangkit lalu hendak melangkah ke arah Nyai Tandak Kembang. Tapi gerakan kakinya tertahan tatkala dilihatnya murid Pendeta Sinting berada di situ. Sesaat dia pandangi paras wajah Joko lalu alihkan pandang matanya ke tempat lain. Nyai Tandak Kembang melirik namun tidak buka suara.
“Nyai... Aku akan bicara sebentar dengan Putri Kayangan!”
Nyai Tandak Kembang tetap kancingkan mulut tidak menyahut. Perempuan dari lereng Gunung Semeru ini memandang pada Putri Kayangan. Putri Kayangan rasakan dadanya berdebar keras. Dia menunggu suara sahutan dari eyangnya. Namun setelah ditunggu agak lama tidak juga ada suara sahutan, Putri Kayangan berpaling pada Nyai Tandak Kembang.
“Kalau memang ingin bicara, bicaralah, Anak Muda! Kami tidak punya waktu banyak!” Nyai Tandak Kembang angkat suara.
Murid Pendeta Sinting tersenyum lega. Lalu melangkah mendekati Putri Kayangan yang juga tersenyum namun malu-malu. “Bicara dari tempatmu saja, Anak Muda!” Nyai Tandak Kembang kembali angkat bicara membuat langkah kaki Joko tertahan.
“Ah... Bagaimana aku harus mengatakannya kalau di depan orang banyak begini?! Sebenarnya aku akan menjelaskan persoalan Saraswati. Tapi rasanya tak enak kalau mengatakannya di sini! Hem...” Pendekar 131 membatin. Entah karena tak tahu apa yang harus dikatakan, akhirnya Joko buka mulut. “Putri... Aku minta maaf karena peristiwa beberapa saat yang lalu. Aku juga minta maaf karena tak bisa menyelamatkan Pitaloka...”
Putri Kayangan gelengkan kepala dengan tatapan sayu. Dia teringat akan peristiwa di dekat Bukit Kalingga. Dadanya sesak. Terbayang kembali di pelupuk matanya bagaimana Pendekar 131 tengah berpelukan dan jalan berangkulan dengan Saraswati.
“Hanya itu yang hendak kau bicarakan?!” Nyai Tandak Kembang membuyarkan lamunan Putri Kayangan.
Joko gelagapan. Belum sempat dia berkata, Nyai Tandak Kembang sudah mendekati Putri Kayangan dan berkata. “Kita harus segera kembali, Beda...” Nyai Tandak Kembang sudah bergerak bersamaan dengan selesainya ucapan.
Kigali anggukkan kepala pada Putri Kayangan dan Pendekar 131, lalu mendekati Datuk Wahing dan berbisik. “Galaga... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi. Banyak hal sebenarnya yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi aku harus mengantarkan Nyai Tandak Kembang dan Pitaloka ke lereng Gunung Semeru...”
“Bruss! Brusss! Aku tak heran dengan ucapanmu. Waktu kita masih banyak! Kalau ada kesempatan, aku akan mengunjungimu ke lereng Gunung Semeru! Pesanku... Jika sahabat muda ini nanti datang ke lereng Gunung Semeru, jaga dia baik-baik. Awasi semua gerak-geriknya! Jangan beri dia kesempatan untuk berdua-duaan tanpa penjaga dengan gadis baju merah itu!”
Joko dan Putri Kayangan sama berubah paras. Kigali tersenyum lalu melangkah menyusul Nyai Tandak Kembang yang tegak menunggu di depan sana.
“Putri... Setelah dari sini nanti, aku akan menemui eyang guruku. Setelah itu aku akan menyusulmu ke lereng Gunung Semeru. Aku ingin membicarakan urusan kejadian beberapa saat yang lalu...”
“Rasanya tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pendekar 131! Lihat... Mereka berdua telah menunggu! Mungkin kau harus bicara dulu dengan mereka!” selesai berkata, Putri Kayangan arahkan pandang matanya kesalah satu julangan batu karang.
Joko dan Datuk Wahing ikuti arah pandangan Putri Kayangan. Datuk Wahing perdengarkan bersinan beberapa kali. Sementara murid Pendeta Sinting mendelik tak berkesip. Di depan sana, di salah satu julangan batu karang, tampak tegak dua orang gadis. Mereka berdiri berjarak lima belas langkah dan sama arahkan pandangannya pada Pendekar 131.
“Saraswati... Dewi Seribu Bunga!” gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua gadis yang tegak di depan sana.
“Putri... Tunggu!” tahan Joko begitu matanya menangkap gerakan Putri Kayangan yang sudah melangkah menyusul Kigali. Namun Putri Kayangan seakan tidak mendengarkan ucapan orang. Malah dia mempercepat langkah!
“Brusss! Brusss! Jangan berbuat mengherankan, Anak Muda! Ucapannya benar. Kau harus bicara dahulu dengan kedua gadis cantik di depan sana itu! Perasaan cemburu seorang perempuan tidak bisa begitu saja kau lenyapkan dengan ucapan! Kau harus berbuat sesuatu untuk meyakinkannya meski rasanya kau sulit untuk melakukannya! Karena kau juga tertarik dengan kedua gadis cantik yang menunggu itu!” Datuk Wahing berkata seraya mencekal lengan murid Pendeta Sinting yang sesaat tadi hendak mengejar Putri Kayangan.
Pendekar 131 angkat bahu lalu melangkah ke arah dua orang gadis di depan sana yang ternyata bukan lain adalah Saraswati dan Dewi Seribu Bunga. Namun baru saja mendapat tiga langkah, mendadak Dewi Seribu Bunga sudah putar diri. Tanpa berkata apa-apa gadis cantik murid Dewi Es ini berkelebat.
“Dewi! Tunggu!” teriak murid Pendeta Sinting. Namun seperti halnya Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga tidak pedulikan teriakan orang. Dia malah mempercepat kelebatannya sebelum akhirnya lenyap di depan sana.
Joko urungkan niat mengejar karena tidak enak sama Saraswati yang masih tegak memperhatikan. Murid Pendeta Sinting alihkan pandangannya pada Saraswati. Dia sudah buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba Saraswati balikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
“Saraswati...!” Pendekar 131 berteriak memanggil.
Tapi Saraswati terus berkelebat dan menghilang. Terdengar riuh rendah suara tawa. Lalu diseling suara.
“Makanya... Jadi pemuda jangan terlalu banyak membagi hati! Akhirnya kau tak mendapatkan satu pun!” Yang angkat suara ternyata iblis Ompong.
“Dasar gadis-gadis setan tolol! Pemuda setan begitu rupa masih juga diharap. Seharusnya mereka bikin perhitungan agar dia tidak berani lagi bertindak macam-macam!” Dayang Sepuh menyahut.
“Aku menyesal sekarang! Tahu kalau setan itu punya banyak gadis, tentu aku tak mau susah-susah sampai ke sini!” Dewi Ayu Lambada ikut angkat bicara.
“Sudahlah... Itu urusan dia sendiri!Kalau sudah tahu begini akibatnya pasti dia nanti akan berpikir lagi! Sekarang masih ada yang harus kita lakukan! Kurasa Jubah Tanpa Jasad itu masih dikenakan orang! Bukankah selama ini kita hanya bisa menduga-duga siapa adanya orang dibalik jubah itu?!” Gendeng Panuntun berkata.
Semua orang di tempat itu serentak sama alihkan pandang mata masing-masing pada sosok Jubah Tanpa Jasad yang tergeletak di atas tanah. Hampir bersamaan mereka semua berlompatan mendekati Jubah Tanpa Jasad. Hanya Gendeng Panuntun yang tetap tegak di tempatnya dengan kepala sedikit ditengadahkan.
SEBELAS
BIAR aku yang membuka jubah setan itu!” Dayang Sepuh sudah berkata begitu injakkan kaki di dekat sosok Jubah Tanpa Jasad.
“Hem... Begitu gadis-gadis cantik sudah sama pergi, kau tampaknya tidak malu-malu lagi!” Iblis Ompong berujar.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik. “Setan sialan! Mengapa harus malu-malu kalau hanya membuka jubah setan ini?!”
Mendadak Iblis Ompong tertawa bergerai. Lalu dekatkan kepalanya pada telinga Datuk Wahing dan berbisik pelan. “Dia tidak tahu...”
Datuk Wahing kerutkan dahi namun dia anggukkan kepala. Lalu perdengarkan bersinan tiga kali dan berucap. “Aku jadi heran. Apa benar...?!”
Iblis Ompong sentakkan kepalanya ke arah telinga Dewa Uuk yang tegak di sebelah kirinya. Lalu berteriak keras-keras. “Kau dengar?! Teman kita itu berani-beraninya mau membuka jubah sakti! Ha Ha Ha...!”
Dewa Uuk tadangkan tangan di belakang daun telinganya. Lalu buka suara. “Uuukk! Uuukkk! Uuukkk!” Tangan satunya tampak digerakkan ke samping bolak-balik memberi isyarat agar Dayang Sepuh tidak melakukan niatnya.
“Setan! Apa yang kalian bicarakan?! Mengapa kalian tidak senang kalau aku buka jubah setan itu?!”
“Ah... Kau salah sangka! Justru aku dan teman-teman akan sangat senang mendengar kau tawarkan diri untuk membuka jubah itu! Mungkin inilah pengalaman pertamamu. Hik Hik Hi...! Silakan saja buka! Tapi tunggu dahulu! Aku dan teman-teman akan berpaling agar kau nanti sedikit lama bisa menikmatinya!”
Habis berkata begitu, Iblis Ompong balikkan tubuh setelah memberi isyarat pada Datuk Wahing dan Dewa Uuk. Iblis Ompong juga kedipkan matanya pada Pendekar 131. Murid Pendeta Sinting sesaat tak tahu apa maksud isyarat Iblis Ompong. Namun begitu Datuk Wahing dan dewa Uuk balikkan tubuh, Joko ikut-ikutan pula putar diri. Kini tinggal Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada yang tegak menghadap Jubah Tanpa Jasad. Kedua nenek ini saling pandang sejenak. Namun jelas paras wajah Dayang Sepuh membayangkan kebimbangan.
“Setan! Ada apa sebenarnya dengan jubah ini, hah?!” Dayang Sepuh membentak.
“Kau pura-pura tanya atau memang tidak tahu?!” Iblis Ompong balik bertanya.
Pendekar 131 yang tegak di depan Iblis Ompong berpaling ke arah orang tua tak bergigi itu dan berbisik. “Kek... Sebenarnya ada apa?!”
Iblis Ompong dorongkan tangannya pada dagu murid Pendeta Sinting hingga kepala Joko kembali lurus ke depan. Iblis Ompong berbisik. “Biasanya... Kalau orang mengenakan jubah sakti, maka dia tidak boleh mengenakan rangkapan pakaian lagi!”
“Jadi di balik jubah itu dia bugil?!” tanya Joko. “Benar! Di balik itu dia pasti bugil! Dayang Sepuh itu pasti hanya berpura-pura tidak tahu persoalan. Sebenarnya dia ingin lihat sesuatu! Kau tahu bukan? Nenek setan itu belum pernah kawin hingga jadi nenek-nenek begitu!”
Joko angguk-anggukkan kepala dengan coba menahan tawa. Namun karena tak kuasa menahan tawa, bahunya tampak berguncang-guncang. Saat lain mulutnya perdengarkan tawa perlahan-lahan.
Dayang Sepuh melompat ke depan Pendekar 131. Tangan kanannya diangkat. Lalu perdengarkan bentakan garang. “Apa yang kau tertawakan?! Lekas jawab atau mulutmu akan mendapat tamparan!”
Joko bukannya putuskan tawa tertahannya. Sebaliknya suara tawanya meledak seketika.
“Setan!” maki Dayang Sepuh. Tangan kanannya bergerak.
“Tunggu, Nek!” tahan Joko seraya putuskan gelakan tawanya.
Dayang Sepuh tahan gerakan tangan kanannya dua jengkal di depan wajah murid Pendeta Sinting. “Aku tak akan bertanya lagi! Lekas buka mulut!”
“Kau benar mau membuka jubah hitam itu?!” tanya Joko.
“Kau tadi sudah dengar ucapanku!”
“Kau memang tidak tahu persoalannya?!”
“Kalau kau balik bertanya, tanganku akan menampar mukamu!”
“Menurut apa yang kuketahui, biasanya kalau seseorang mengenakan jubah sakti, maka orang itu tidak mengenakan apa-apa lagi! Entah benar atau tidak apa yang kudengar itu, aku sendiri tak pernah membuktikan! Tapi kalau kau ingin membuktikan, semua orang di sini tentu akan merasa maklum...”
Dayang Sepuh kerutkan kening. Lalu melompat mendekati Dewi Ayu Lambada dan berkata pelan. “Kau pernah dengar urusan begitu itu?!”
“Baru kali ini aku mendengarnya! Tapi lebih baik kau buktikan sendiri! Siapa tahu dia adalah pemuda tampan! Kalau kau malu juga padaku, aku akan berbalik seperti mereka!”
“Setan! Aku ini kau anggap apa, hah?!”
“Bagaimana, Nek?! Sudah kau buka?!” Iblis Ompong ajukan tanya tatkala suara Dayang Sepuh tidak terdengar lagi.
“Aku bukan perempuan setan yang ingin lihat barang-barang menjijikkan begitu rupa!”
“Jadi kau batalkan niatmu?!” tanya Iblis Ompong sambil putar tubuh. Datuk Wahing, Dewa Uuk, dan Pendekar 131 ikut-ikutan balikkan tubuh.
Dayang Sepuh memberengut tanpa menyahut, iblis Ompong berpaling pada Joko. “Anak muda! Kulihat pakaianmu sudah tak pantas lagi dikenakan! Lebih baik kau yang melepasnya dan mengenakan jubah hitam itu!”
Tapi, Kek...”
“Sudahlah! Lepas saja jubah hitam itu! Kalau nenek-nenek ini masih pentang mata di sini, itu urusan mereka!”
Perlahan Joko melangkah mendekati sosok Jubah Tanpa Jasad. Lalu jongkok sembari angkat kepalanya memandang silih berganti pada Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada. Pendekar 131 tersenyum. Kedua tangannya menjulur ke arah kancing-kancing Jubah Tanpa Jasad. Karena takut kebenaran ucapan orang, Dewi Ayu Lambada segera balikkan tubuh dengan cekikikan. Dayang Sepuh mendengus. Lalu ikut putar diri.
Pendekar 131 cepat melepas kancing-kancing pada Jubah Tanpa Jasad. Dia bisa merasakan sosok tubuh seseorang meski sosok itu belum bisa dilihatnya. Begitu Jubah Tanpa Jasad lepas dari sosok orang, maka murid Pendeta Sinting, Dewa Uuk, dan Iblis Ompong sama pentangkan mata. Datuk Wahing bersin-bersin beberapa kali.
“Rupanya memang dia!” gumam Joko.
Kini begitu Jubah Tanpa Jasad lepas, semua orang bisa melihat sosok orang yang tadi mengenakan jubah. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih. Pakaian yang dikenakan hangus. Pada mulutnya terlihat darah agak mengering. Karena Joko pernah bertemu Kiai Laras, maka dia segera bisa mengenali sosok dihadapannya yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Jasad, la bukan lain memang Kiai Laras.
“Kenakan jubah itu!” Iblis Ompong angkat suara.
Joko bergerak bangkit dengan tangan kanan memegang Jubah Tanpa Jasad. Dia tampak ragu-ragu. Saat itulah Gendeng Panuntun berkata dari tempatnya tegak.
“Kenakan saja... Mungkin jubah itu sekarang sudah lenyap kesaktiannya! Kalau tidak, mana mungkin dia bisa terhantam pukulan sahabat Setan Liang Makam?!”
Meski masih ragu-ragu, akhirnya Joko mengenakan juga jubah hitam di tangannya. Ucapan Gendeng Panuntun ternyata benar. Walau kini murid Pendeta Sinting telah mengenakan Jubah Tanpa Jasad, namun sosoknya masih terlihat.
“Aneh... Bagaimana ini? Kalau benar-benar kesaktiannya sudah hilang, tentu Kiai Laras sudah bisa terlihat wujudnya meski jubah ini belum kulepas!” Joko membatin. Dia sebenarnya hendak mengutarakan apa yang ada dalam benaknya. Namun belum sampai dia berucap, Gendeng Panuntun sudah angkat bicara.
“Kau jangan lupa... Di tubuhmu sekarang ada benda merah yang bisa menghadang kedahsyatan jubah serta Kembang Darah Setan!”
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, Joko teringat akan benda merah yang diletakkan pada pusarnya. Dia cepat selinapkan tangan kanannya. Namun dia tersentak. Dia tak merasakan benda itu berada lagi dipusarnya. Dia segera singkapkan pakaiannya. Benda merah yang beberapa hari lalu diambilnya dari pusar bayi Pitaloka memang sudah lenyap dari pusarnya. Karena masih khawatir benda itu jatuh tanpa disadari, murid Pendeta Sinting merogohkan tangannya ke bawah.
“Masih ada?!” tanya Iblis Ompong.
“Tidak ada, Kek! Lenyap!” jawab Joko.
“Yang benar! Dari sini aku masih melihat tonjolannya! Coba sedikit ke bawah lagi!”
Tangan Joko terus bergerak ke bawah. “Benar, Kek! Tidak ada!”
“Celaka! Kau akan menyesal seumur-umur kalau ucapanmu benar!”
“Benar, Kek! Aku tidak berdusta! Aku tidak bisa menemukannya lagi!” kata Joko.
“Setan, apamu yang lenyap?!” tanya Dayang Sepuh tanpa berani berpaling karena khawatir orang yang tadi mengenakan Jubah Tanpa Jasad benar-benar bugil.
“Aku dengar tonjol-tonjolan. Tonjolan apamu yang hilang?!” Dewi Ayu Lambada menyahut.
“Bendanya lenyap! Padahal benda itu sangat berarti bagi seorang laki-laki!”
“Aduh... Kasihan! Bagaimana bisa terjadi begitu?!” ujar Dayang Sepuh.
“Aku tak tahu pasti bagaimana bisa terjadi begitu! Yang jelas menurut dia bendanya lenyap tak berbekas!” kata Iblis Omong. “Tapi mataku tidak buta! Aku masih bisa melihat tonjolannya!”
“Aku jadi ingin melihatnya!” kata Dayang Sepuh. “Apa mayat setan yang tadi mengenakan jubah itu sudah...!”
“Ternyata dia tidak bugil, Nek!” Joko sudah menyahut sebelum Dayang Sepuh meneruskan ucapannya.
“Dasar kalian setan semua!” kata Dayang Sepuh lalu perlahan-lahan membalik. Entah karena masih khawatir ditipu orang, nenek berambut poni ini tutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Anehnya jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar!
Sementara Dewi Ayu Lambada juga terdengar mengomel. Lalu putar diri. Sama seperti halnya Dayang Sepuh, karena khawatir ditipu orang, nenek ini tutupi wajahnya dengan kerudung hitamnya! Begitu melihat sosok yang terhampar di atas tanah masih mengenakan pakaian, Dayang Sepuh segera turunkan telapak tangannya. Dewi Ayu Lambada sentakkan kerudung hitamnya. Lalu kedua nenek ini pentangkan mata memperhatikan sosok mayat di bawah.
“Setan Laras!” desis Dayang Sepuh mengenali orang.
“Namanya Kiai Laras, Nek! Bukan Setan Laras!” ujar Pendekar 131.
Dayang Sepuh angkat kepalanya ke samping menghadap murid Pendeta Sinting. Bukan memandang pada raut wajahnya, melainkan pada bagian bawah Joko. Saat itu tangan Joko masih masuk ke balik pakaiannya dan meraba-raba mencari benda merah. Dewi Ayu Lambada ikut-ikutan perhatikan bagian bawah tubuh Joko.
“Ah... Setan itu menipu kita!” kata Dayang Sepuh. “Aku masih melihat bendanya!”
“Betul! Aku juga masih bisa merasakan!” Dewi Ayu Lambada menyahut.
“Hem... Jadi mataku memang tidak menipu!” Iblis Ompong menimpali.
“Kalian ada-ada saja! Aku mengatakan terus terang! Banda itu lenyap!”
“Yang kau raba-raba itu apa kalau lenyap?!” bentak Dayang Sepuh.
“Ini benda sakti, Nek! Maksudku... Yang lenyap itu benda merah yang kuambil dari anaknya Pitaloka!”
“Setan! Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan kalau yang lenyap itu benda merah! Kukira yang lenyap benda saktimu!” ujar Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan.
“Ah... Kau juga bikin aku ikut deg-degan saja! Kukira yang hilang tak berbekas adalah tonjolan benda mu itu!” Dewi Ayu Lambada mengomel lalu ikut tertawa.
Pendekar 131 cepat tarik pulang tangannya keluar. Paras wajahnya berubah merah padam. Apalagi tatkala melihat Dewi Ayu Lambada dan Dayang Sepuh tertawa seraya terus memperhatikan bagian bawah tubuhnya!
“Sahabat Muda...” Mendadak Gendeng Panuntun angkat suara. “Panggilanmu kurasa sudah dekat! Kau harus segera angkat kaki dari sini!” Sambil berucap begitu, Gendeng Panuntun berkelebat lalu tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting.
“Panggilan apa, Kek?!”
“Aku tak tahu. Aku hanya dapat merasakan! Pergilah kau ke Pesisir Laut Utara. Mungkin di sana nanti kau akan mendapat jawabannya!”
“Tapi, Kek. Aku ingin bertemu dahulu dengan Eyang Guru!”
“Jangan sia-siakan panggilan, Sahabat Muda! Aku nanti bisa memberi keterangan pada gurumu! Hanya saja... Untuk kali ini kau harus berjuang sendirian! Selamat jalan!”
“Kek! Aku tak mengerti maksudmu!”
“Kau tak akan mengerti sebelum kau sampai Pesisir Laut Utara! Berangkatlah sekarang juga!”
“Hem... Ucapannya belum kumengerti benar! Namun aku bisa menebak! Pasti ada sesuatu yang harus kuselesaikan! Ah... Terpaksa keinginanku menemui Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru harus tertunda...” kata Joko dalam hati. Lalu anggukkan kepala pada semua orang di tempat itu.
“Terima kasih atas bantuan kalian selama ini. Sekarang aku harus pergi...” Pendekar 131 balikkan tubuh. Lalu melangkah meninggalkan kawasan Kampung Setan. Begitu hendak berkelebat di depan sana, Joko sempat berpaling ke belakang.
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada tampak lambaikan tangannya. Bahkan karena terhalang sosok Iblis Ompong dan Datuk Wahing, kedua nenek ini berjingkat agar supaya lambaian tangannya terlihat oleh Pendekar 131. Pendekar 131 Joko Sableng membalas lambaian tangan Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada. Lalu putar diri dan berkelebat.
“Ayo kita pulang!” kata Dewi Ayu Lambada seraya menarik lengan Dewa Uuk yang juga adalah adik kandungnya.
“Selamat jalan, Sahabat... Mudah-mudahan kita nanti bisa bertemu lagi!” kata Gendeng Panuntun.
“Aku tak berharap bisa bertemu lagi! Urusan dengan kalian bisa membuat kepalaku pusing!” timpal Dewi Ayu Lambada lalu melangkah sambil terus menggandeng lengan adiknya.
“Uuuukkk! Uuuukkk! Uuukkk!” Dewa Uuk buka mulut sambil lambaikan tangannya pada Dayang Sepuh dan Iblis Ompong. Lalu letakkan jari telunjuknya menyilang di depan keningnya. Saat lain menunjuk pada Dewi Ayu Lambada.
“Dari dulu aku sudah tahu kalau kakakmu itu setengah sinting!” Dayang Sepuh bergumam. Lalu berkelebat. Disusul kemudian oleh Iblis Ompong, Datuk Wahing, dan Gendeng Panuntun.
Di lain tempat, Pendekar 131 terus berkelebat seraya menduga-duga. Namun sejauh ini dia tidak bisa menduga dengan tepat apa yang hendak ditemuinya. Hal ini membuat dia penasaran dan makin mempercepat larinya. Setelah melakukan perjalanan dua hari tiga malam, akhirnya Pendekar 131 memasuki kawasan Laut Utara. Karena saat itu matahari tepat berada di puncaknya, murid Pendeta Sinting mencari tempat berlindung di gugusan batu karang. Namun setelah lama menunggu, dia tidak juga melihat siapa-siapa.
“Hem... Apa maksud Kakek Gendeng Panuntun memerintahkan aku datang ke sini? Melihat gulungan ombak?! Atau dia sengaja agar aku pergi terlebih dahulu karena mereka hendak membicarakan sesuatu?! Akan kutunggu sampai hari hampir gelap. Jika tidak ada apa-apa, aku akan menuju Jurang Tlatah Perak. Lalu mengunjungi Putri Kayangan di lereng Gunung Semeru!”
Tanpa terasa saat itu juga muncul bayangan Putri Kayangan. Namun samar-samar bayangan Putri Kayangan lenyap. Di matanya kini terlihat sebuah perahu terayun-ayun gulungan ombak ke arah pesisir. Joko gelengkan kepala lalu kucek-kucek matanya dengan punggung tangan.
“Ini bukan bayangan! Ini nyata! Aku melihat perahu terayun-ayun ombak!”
Pendekar 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Matanya dipentang besar-besar perhatikan perahu yang terus bergerak-gerak timbul tenggelam dibuncah gulungan tombak. Murid Pendeta Sinting kernyitkan kening dengan mata makin dibeliakkan. Perahu itu tiba-tiba meluncur deras menuju pesisir seakan dikemudikan seseorang. Padahal Joko jelas tidak melihat siapa-siapa di atas perahu...!
S E L E S A I