Bidadari Delapan Samudera

Cersil Online Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode Bidadari Delapan Samudera
Sonny Ogawa
Serial Joko Sableng episode Bidadari Delapan Samudera

Cersil Online Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode Bidadari Delapan Samudera


SATU

YANG tegak di tempat terbuka yang banyak ditebari bongkahan batu itu adalah seorang gadis muda berparas jelita. Rambutnya hitam lebat disanggul ke atas. Sepasang matanya bundar dihias bulu mata lentik. Hidungnya mancung dengan bibir merah tanpa polesan. Kulitnya putih bersih. Dadanya membusung kencang dipadu pinggul mencuat padat. Gadis itu mengenakan pakaian warna biru.

“Telingaku jelas mendengar suara seorang laki-laki yang hampir ku yakini adalah suara pemuda bernama Joko Sableng itu. Tapi mengapa yang muncul adalah seorang gadis?! Telingaku yang salah dengar atau memang gadis itu memiliki suara seperti suara laki-laki?!” Bidadari Pedang Cinta membatin sambil pandangi gadis baju biru yang baru muncul.

Tidak jauh dari tempat tegaknya Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Tujuh Langit tersenyum lebar. Bola matanya berputar liar tatapi sosok gadis berbaju biru. Diam-diam perempuan bertubuh sintal berbaju putih tipis ini membatin dengan dada mulai dibuncah nafsu.

“Hem.... Hari ini aku bernasib baik! Satu yang kucari, dua yang kudapat! Dan dua-duanya bertubuh menggairahkan! Lebih dari itu aku yakin keduanya belum pernah mereguk kenikmatan bercinta dengan permainan sepertiku....”

Seperti dituturkan dalam episode Istana Lima Bidadari, ketika Bidadari Pedang Cinta hendak lepaskan senjata pedang lentur yang melilit pada pinggangnya untuk menghadang gerakan Bidadari Tujuh Langit yang mulai melangkah ke arahnya dengan nafsu yang sudah menggelegak, mendadak terdengar suara teguran.

Bidadari Pedang Cinta yang sudah merinding dengan sikap dan ucapan Bidadari Tujuh Langit diamdiam merasa lega karena dari suara menegur yang terdengar dia yakin yang perdengarkan suara adalah Pendekar 131 Joko Sableng yang diketahuinya terus mengikuti ke mana dia berkelebat. Di lain pihak, suara teguran membuat Bidadari Tujuh Langit langsung marah, karena dia yakin yang perdengarkan suara adalah seorang laki-laki. Dan nadanya jelas hendak menghadang niatnya.

Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Tujuh Langit segera berpaling. Ternyata dugaan keduanya keliru. Yang muncul justru seorang gadis berparas jelita mengenakan baju warna biru. Hingga membuat Bidadari Pedang Cinta sedikit merasa kecewa. Namun sebaliknya Bidadari Tujuh Langit menjadi sangat gembira. Karena sebenarnya perempuan ini punya kelainan. Yakni lebih suka pada seorang perempuan dibanding dengan seorang laki-laki.

Bidadari Tujuh Langit sendiri sesungguhnya adalah istri Datuk Kala Sutera yang pada enam belas tahun silam berhasil merebut Sepasang Cincin Keabadian bersama suaminya dari tangan Dewi Keabadian. Sepasang Cincin Keabadian adalah sepasang cincin yang dikenal bisa membuat si pemakainya tetap terlihat muda meski usianya sudah lanjut. Hingga walau usia sebenarnya Bidadari Tujuh Langit sudah lebih setengah abad, namun perempuan ini masih tetap tampak muda dan tubuhnya tetap sintal seperti saat dia merebut Sepasang Cincin Keabadian enam belas tahun silam dari tangan Dewi Keabadian.

“Siapa namamu, Gadis Jelita?” Bidadari Tujuh Langit pecah kesunyian dengan ajukan tanya.

Gadis jelita berbaju biru tidak segera buka suara. Dia perhatikan sekilas pada Bidadari Tujuh Langit dan Bidadari Pedang Cinta. Lalu putar pandangan. Gadis Ini berkata dalam hati. “Di tempat ini masih ada seorang lagi. Dari suaranya jelas dia adalah seorang laki-laki! Mengapa dia tidak tunjukkan diri meski baru saja menegur?!”

Gadis berbaju biru arahkan pandang matanya lagi pada Bidadari Tujuh Langit. Lalu teruskan membatin. “Aku cuma dengar percakapan terakhir mereka! Aku belum bisa menduga lebih jauh. Tapi dari percakapan terakhir itu, aku merasa ada yang tak beres dengan perempuan berbaju putih ini!”

Karena tidak segera menjawab, Bidadari Tujuh Langit segera berucap lagi. “Gadis jelita.... Kalau kau keberatan memberitahukan namamu, tak apa-apa. Tapi kuharap kau tidak menolak jika kuajak ikut serta bersama gadisku itu.”

Bidadari Tujuh Langit berpaling pada Bidadari Pedang Cinta yang perlahan-lahan beranjak bangkit dengan kedua tangan terus siap lepaskan pedang berkilat yang melilit di pinggangnya.

“Urusan nama, biarlah sementara ini tidak kita masalahkan....”

“Dan berarti tidak ada masalah juga dengan tawaranku, bukan?!” Bidadari Tujuh Langit sudah menyahut sebelum gadis berbaju biru lanjutkan ucapan.

“Kau telah ajukan tawaran. Tapi kau belum katakan apa maksud di balik tawaranmu!”

“Kau tak usah khawatir dan punya prasangka, Jelitaku.... Aku mengajakmu ikut untuk bersama-sama menikmati satu keindahan cinta...!”

“Keindahan cinta bagaimana?!” tanya gadis berbaju biru dengan suara agak tinggi dan alihkan pandangan pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu karena masih yakin akan adanya seorang laki-laki di sekitar tempat itu, matanya terus mengedar berkeliling.

“Karena nikmatnya keindahan itu, aku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengucapkannya.... Yang pasti kau akan merasa bahagia menikmatinya....”

“Dia perempuan gila yang punya kelainan!” Bidadari Pedang Cinta berteriak menyahut.

Sahutan Bidadari Pedang Cinta bukannya membuat Bidadari Tujuh Langit marah, malah tertawa cekikikan lalu berkata. “Keindahan cinta tidak pernah memandang kelainan atau tidak! Keindahan cinta bukan untuk dibicarakan, tapi untuk dinikmati.... Dan aku ingin menikmatinya dengan kalian berdua...!” Kepala Bidadari Tujuh Langit bergerak pulang balik ke arah Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru.

“Kau salah menerapkan ucapanmu! Kau memutar balik keagungan cinta demi kesenangan sendiri! Ucapan itu hanya layak diucapkan seseorang yang mengagungkan cinta untuk kesejahteraan umat manusia! Bukan mendewakan cinta demi hawa nafsu apalagi pada sesama jenis!” Gadis berbaju biru menyambut ucapan Bidadari Tujuh Langit.

“Kau sudah termakan apa yang selama ini sering terjadi, Jelitaku... kau tahu. Banyak manusia mengumbar ucapan-ucapan cinta yang sepertinya demi kesejahteraan umat manusia. Namun di balik itu mereka membelokkan cinta demi kepentingan sendiri! Sementara aku tidak. Aku berterus terang apa adanya. Tidak ada yang kututup-tutupi!”

“Otak perempuan ini telah dikotori dengan nafsu laknat! Mana mungkin dia bisa menerima ucapan orang lain?!” Bidadari Pedang Cinta kembali menyahut.

“Gadisku...,” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan memandang pada Bidadari Pedang Cinta. “Aku sudah muak dengan ucapan-ucapan manusia yang kadangkadang hanya sebagai topeng untuk menutupi belangnya!”

“Tapi keterus-teranganmu bukan pada tempatnya!” bentak Bidadari Pedang Cinta.

“Hem.... Begitu?! Lalu aku harus bagaimana?!Berpura-pura suci lalu menelikung di balik kesucian itu?! Aku ingin tanya. Mana yang lebih gila, seorang yang berlagak suci lalu diam-diam merobek kesuciannya, atau seseorang yang berkata apa adanya?!”

Baik Bidadari Pedang Cinta maupun gadis berbaju biru terdiam tidak ada yang buka suara. Sesekali mereka saling lontar pandang.

“Tapi kau harus sadar! Tindakanmu tidak layak diucapkan! Apalagi dengan terus terang!” Akhirnya Bidadari Pedang Cinta angkat suara.

“Aku percaya. Semua itu kau katakan karena kau belum pernah merasakan. Jika saja kau sekali merasakan, pasti kau akan merubah ucapanmu!”

“Itu hanya pendapat perempuan cabul sepertimu!” sahut Bidadari Pedang Cinta seraya tertawa pendek penuh ejekan.

Sahutan-sahutan Bidadari Pedang Cinta tampaknya membuat Bidadari Tujuh Langit mulai jengkel. Sambil mendelik angker dia berteriak. “Aku akan membuatmu lebih cabul dariku!”

Teriakannya belum usai, Bidadari Tujuh Langit sudah melompat ke arah Bidadari Pedang Cinta. Namun gerakan perempuan bertubuh sintal berbaju putih ini tertahan ketika tiba-tiba gadis berbaju biru sudah melompat mendahului dan tegak menghadang sambil berkata.

“Kurasa lebih baik kau mencari orang yang mau kau ajak menikmati kesenanganmu dengan suka rela! Jangan memaksakan kehendak pada orang yang tidak suka!”

“Sayang.... Aku bukan manusia yang suka diperintah! Dan Bidadari Tujuh Langit pantang kehendaknya ditolak!”

“Itu akan menimbulkan masalah!” sergah gadis berbaju biru.

“Selama hidup, tidak ada masalah yang tak dapat diselesaikan oleh Bidadari Tujuh Langit! Termasuk masalah denganmu jika kau menolak tawaran baikku!”

“Kau menawarkan. Bukan berarti aku harus menerima tawaranmu!”

“Itulah yang justru akan menimbulkan masalah!”

“Kata-katamu hanya pantas diucapkan seorang pemimpi!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa bergelak, lalu berkata. “Aku memang seorang pemimpi. Tapi impianku tidak ada yang tak jadi kenyataan! Bahkan aku mampu membuatmu melayang-layang dalam impian! Dan aku yakin, kau akan selalu membayangkan impian itu!”

“Hem.... Tampaknya tak ada gunanya meladeni perempuan tak beres seperti dia!” bisik gadis berbaju biru dalam hati. Lalu berpaling pada Bidadari Pedang Cinta dan berkata. “Sebaiknya kita segera pergi dari sini!”

Sebelum Bidadari Pedang Cinta sempat menyahut, Bidadari Tujuh Langit sudah angkat suara. “Kalian tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum merasakan bagaimana nikmatnya keindahan cinta bersamaku!”

“Kita tak usah hiraukan ucapannya!” bisik gadis berbaju biru. Lalu memberi isyarat pada Bidadari Pedang Cinta.

Bidadari Pedang Cinta tampak bimbang beberapa saat. Namun setelah berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk tinggalkan tempat itu. Tapi baru saja Bidadari Pedang Cinta dan gadis baju biru gerakkan kaki, Bidadari Tujuh Langit perdengarkan tawa bergelak panjang. Sekali membuat gerakan, sosoknya sudah melayang di atas sosok Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru! Saat lain terdengar seruan tertahan dua kali berturut-turut!

Sementara itu, Pendekar 131 yang berada di balik batangan pohon sempat terkejut dengan munculnya gadis berbaju biru. Dia tadi sudah hendak berkelebat keluar, namun niatnya dibatalkan ketika mendapati gadis berbaju biru sudah tegak tidak jauh dari tempat Bidadari Tujuh Langit. Pendekar 131 hanya bisa melihat sekilas dan buru-buru selinapkan diri lagi ke balik batangan pohon seraya mendengarkan pembicaraan orang dengan seksama.

Beberapa kali murid Pendeta Sinting sempat membelalakkan mata dan terbengong, membuatnya ingin sekali melompat keluar dan melihat bagaimana tampang Bidadari Tujuh Langit dari jarak dekat. Namun dia selalu berusaha menahan diri. Begitu telinganya mendengar dua kali seruan tertahan, tanpa pikir panjang dia sudah menduga apa yang terjadi. Dia cepat melompat keluar dan tegak di tempat terbuka seraya layangkan pandangan ke depan.

Di seberang sana, terlihat Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru terduduk di atas tanah dengan paras berubah pucat. Sosok keduanya bergetar. Lima langkah di hadapan Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru, Bidadari Tujuh Langit tegak memperhatikan dengan bibir sunggingkan senyum. Matanya liar pandangi dada kedua gadis di hadapannya dengan mendelik tak berkesip. 0Sosoknya bergetar. Tapi jelas getaran itu akibat gelegak nafsu yang sudah memburu. Hal ini membuat Bidadari Tujuh Langit tak sadar kalau Joko sudah keluar dan tengah tegak memperhatikannya.

“Gadisku.... Jelitaku.... Kalian sudah membuktikan sendiri, bukan? Bidadari Tujuh Langit pantang kehendaknya ditolak! Tapi kalian harus bersyukur. Karena sebentar lagi kalian akan menikmati sesuatu yang tak mungkin kalian lupakan seumur hidup.... Bahkan kalian akan mencariku untuk mengajak kembali menikmati keindahan cinta ini. Hi Hi Hi...!”

Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru hanya saling pandang tanpa ada yang membuat gerakan atau buka suara menyahut. Paras wajah mereka jelas membayangkan ketakutan dan perasaan jijik.

“Aneh.... Mengapa mereka diam saja?! Padahal tadi....” Pendekar 131 tidak lanjutkan membatin. Dia memandang sekali lagi pada Bidadari Pedang Cinta dan gadis baju biru dengan seksama. “Astaga! Mereka telah tertotok! Luar biasa sekali perempuan cantik berbaju putih yang sebut dirinya Bidadari Tujuh Langit itu.... Tapi aku tak boleh berdiam diri dengan apa yang akan dilakukannya!”

Baru saja Joko membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit bergerak mendekati Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru yang memang telah tertotok hingga tak dapat buka mulut atau membuat gerakan. “Harap tidak lanjutkan langkah!” Pendekar 131 berseru.

Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru putar bola mata masing-masing mengikuti gerakan satu bayangan putih yang berkelebat lalu tegak tidak jauh dari Bidadari Tujuh Langit yang mendadak hentikan langkah dengan sentakkan kepala kesamping.

DUA

Laksana dibeliakkan tangan setan, sepasang mata Bidadari Tujuh Langit mendelik angker. Gelegak nafsunya, padam seketika berganti hawa kemarahan luar biasa. Hingga dadanya bergerak turun naik dengan dagu mengembung besar. Di lain pihak, kemunculan Pendekar 131 membuat Bidadari Pedang Cinta sedikit lega. Sementara gadis berbaju biru gerakkan bola matanya pandang silih berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan murid Pendeta Sinting.

“Hem.... Pasti pemuda ini yang tadi sempat menegur sebelum aku datang.... Siapa dia?! Dari pandangan mereka, sepertinya mereka sudah saling kenal!” Gadis berbaju biru membatin lalu putar bola matanya ke arah Bidadari Tujuh Langit. “Perempuan tak beres ini ternyata memiliki gerakan luar biasa cepat. Belum sempat aku membuat gerakan, tahu-tahu dia telah berhasil sarangkan totokan padaku dan gadis berbaju hijau itu.... Bidadari Tujuh Langit. Sepertinya aku pernah dengar nama itu.... Sayang aku lupa siapa yang mengatakannya! Aku harus cepat lakukan sesuatu! Aku tidak ingin terus terlibat dalam urusan di tempat ini meski sebenarnya aku penasaran dengan perempuan berbaju putih itu....”

Berpikir begitu, akhirnya gadis berbaju biru kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan diri dari totokan orang. Namun gadis ini jadi terlengak sendiri. Meski dia telah kerahkan segenap tenaga luar dan dalam yang dimiliki, tapi dia gagal buyarkan totokan yang bersarang di tubuhnya! Bukan hanya gadis baju biru yang terlengak, tidak jauh dari sampingnya Bidadari Pedang Cinta tak kalah kagetnya mendapati dirinya tidak berhasil lepaskan diri dari totokan yang bersarang di tubuhnya!

“Hem.... Pasti bangsat ini yang tadi perdengarkan suara!” Bidadari Tujuh Langit mendesis Lalu membentak. “Laki-laki jahanam! Segera tinggalkan tempat ini!”

Pendekar 131 bukannya segera turuti bentakan orang. Sebaliknya tersenyum dengan bola mata selusuri sekujur tubuh Bidadari Tujuh Langit dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Hem.... Parasnya cantik. Potongan tubuhnya boleh. Sayang.... Dia tidak tertarik dengan laki-laki.... Bagaimana bisa begitu?!” Joko tegakkan kepala membayangkan. Bersamaan itu kedua bahunya berguncang pulang balik.

“Laki-laki tak dikenal! Lekas angkat kaki, atau tubuhmu akan kubuat terpotong bertabur!” Bidadari Tujuh Langit kembali membentak.

“Apakah diriku tidak menarik hatimu, Bidadari Tujuh Langit?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak peduli dari mana orang dapat mengenali dirinya. Dia tertawa bergelak. Lalu angkat suara. “Kau memang memiliki wajah tampan. Potongan bagus, hingga menjanjikan kenikmatan tersendiri dalam bercinta. Namun sayang, kau belum mencukupi seleraku...! Di luaran sana, mungkin ada perempuan lain yang tertarik dengan dirimu! Maka dari itu....”

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit teruskan ucapan, murid Pendeta Sinting sudah memotong. “Mau katakan padaku apa yang kurang menarik dari diriku...?!”

“Pertama. Kau lancang datang dan ikut campur dalam urusanku! Kedua.... Potongan dan bentukmu tidak membuat diriku berselera dan bergairah!”

“Hem.... Aku tahu mengapa kau sampai berucap begitu. Pertama. Kau masih melihat bagian luar. Belum tahu bagian dalamnya. Kedua.... Mungkin selama ini kau terlalu banyak menikmati dengan para gadis hingga belum pernah merasakan bagaimana keindahannya dengan para pemuda. Dan ketiga. Mungkin hatimu pernah disakiti makhluk laki-laki, hingga kau...”

Sebelum Pendekar 131 lanjutkan ucapan, kini ganti Bidadari Tujuh Langit yang menukas sambil tertawa pendek. “Aku sudah hafal bagaimana potongan laki-laki luar dan dalam! Aku sudah berpengalaman bagaimana menikmatinya dengan laki-laki! Dan perlu kau dengar. Aku tidak pernah patah hati!”

Jawaban Bidadari Tujuh Langit membuat murid Pendeta Sinting tersenyum dengan anggukkan kepala. Di lain pihak, wajah Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru memerah. Jika saja mereka dapat bergerak, mungkin mereka akan segera palingkan kepala.

“Kalau ketiga alasanku belum tepat, masih ada alasan lagi hingga mengapa kau tidak tertarik dengan laki-laki....!”

“Apa?!” sentak Bidadari Tujuh Langit.

“Suasana malam!”

Ketiga perempuan di tempat itu sama kerutkan dahi. Namun tak lama kemudian, Bidadari Tujuh Langit sudah menyahut. “Ucapanmu tidak masuk akal!”

Joko gelengkan kepala. “Kau mengatakan hafal potongan laki-laki luar dalam. Tapi kau melihatnya di keremangan suasana malam. Hingga yang kau lihat hanyalah bayangan hitam. Dari situ lantas kau berpikir, makhluk laki-laki hanyalah bayangan hitam yang selain bentuknya hitam tidak kelihatan, tapi juga jadi sama persis dengan batangan pohon!”

Bidadari Tujuh Langit menyeringai dingin. “Siapa pemuda ini sebenarnya? Belasan tahun malang melintang dalam arena persilatan, baru kali ini bertemu dengan manusia yang pandai bicara. Sikap dan kemunculannya tadi sudah membuktikan kalau dia berbekal ilmu. Hanya saja dari potongannya, dia bukan berasal dari negeri ini....”

Setelah berpikir begitu, Bidadari Tujuh Langit bertanya. “Siapa kau sebenarnya?!”

“Pertanyaan itu kau ajukan karena kau mulai tertarik denganku?!” Joko balik bertanya.

“Aku tidak berselera dengan laki-laki setampan apa pun dia!”

“Itu sudah tanda kalau kau belum pernah menikmatinya dengan laki-laki. Kau masih menganggap potongan laki-laki adalah batangan pohon dan apa saja yang kelihatan hitam di malam hari!”

Ucapan Pendekar 131 membuat Bidadari Tujuh Langit kertakkan rahang. Namun belum sampai perempuan bertubuh sintal ini buka suara, murid Pendeta Sinting sudah teruskan bicaranya.

“Di sini ada dua orang yang sama denganmu. Kau tadi sudah bisa menebak kalau mereka belum pernah mereguk kenikmatan sepertimu. Tapi kalau mereka kau tanya, pasti mereka akan lebih tertarik dengan laki-laki meski mereka belum pernah merasakannya.... Kau tahu apa alasannya?!”

Tampang Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru berubah merah dengan mata mendelik. Walau mereka tidak bisa berkata, namun dari mimiknya, jelas mereka tersinggung dengan ucapan murid Pendeta Sinting. Sementara Bidadari Tujuh Langit makin merasa geram. Dia tidak segera jawab pertanyaan orang.

“Kau ingin tahu alasannya?!” Joko kembali ajukan tanya.

“Aku tak ingin dengar alasan! Yang kuinginkan, kau segera angkat kaki dari hadapanku!”

“Aku tak akan pergi sebelum kau tahu alasannya!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab. Joko tersenyum dan diam beberapa lama karena dia sendiri sebenarnya tidak tahu apa alasannya! Karena Joko tidak buka mulut lagi, entah karena apa Bidadari Tujuh Langit segera berseru lantang.

“Apa alasanmu, hah?!”

“Karena salah satu dari mereka adalah kekasihku!”

Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru sama tersentak kaget. Hampir bersamaan, bola mata keduanya berputar menatapi sosok murid Pendeta Sinting dengan wajah tidak mengerti. Saat lain bola mata mereka berputar saling pandang.

“Hem.... Aku tak tahu sejak kapan gadis jelita ini mengikutiku. Tapi keberadaannya di sini bersamaan dengan pemuda itu satu petunjuk kalau dia adalah kekasih pemuda itu....”

Kalau Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, lain halnya dengan gadis berbaju biru. Diam-diam gadis ini juga berkata dalam hati. “Mereka sudah saling kenal. Saat aku datang, mereka berdua sudah berada di tempat ini meski pemuda itu tidak tunjukkan diri. Hem.... Mereka tampaknya pasangan serasi. Yang laki-laki tampan, sedangkan yang gadis berparas cantik....”

Baru saja gadis berbaju biru membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit tertawa panjang, lalu berujar. “Yang mana kekasihmu?! Yang berbaju hijau atau yang mengenakan pakaian warna biru?!”

Kembali Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru saling lempar pandang. Meski diam-diam mereka sudah tahu apa jawabannya. Di lain pihak, Pendekar 131 gelengkan kepala. Lalu seraya tersenyum dia berkata.

“Kau tidak akan mendapat jawaban yang mana kekasihku.... Karena itu, biarkan mereka tinggalkan tempat ini! Atau boleh saja jika kau yang menghendaki untuk segera pergi!”

“Aku akan pergi dengan membawa kedua gadis jelita itu setelah membuatmu tetap di tempat ini dengan tubuh tanpa nyawa!”

“Hem.... Jangan-jangan kau berselera dan merasa gairah bila melihat sosok laki-laki yang sudah tak bernyawa....”

Hawa kemarahan Bidadari Tujuh Langit sudah memuncak sampai ubun-ubun. Hingga tanpa sambuti ucapan murid Pendeta Sinting, perempuan berbaju putih bertubuh sintal ini melompat ke hadapan Joko.

“Aku masih bisa menahan diri jika kau segera enyah dari hadapanku!”

“Tanpa kau perintah aku akan enyah. Tapi harus bersama kekasihku!”

Bidadari Tujuh Langit sudah membuat gerakan sebelum murid Pendeta Sinting selesai berucap. Hingga belum sampai Joko bergerak, dua buah tangan sudah berkelebat di depan wajahnya! Murid Pendeta Sinting berseru kaget. Buru-buru dia angkat kedua tangannya menghadang pukulan yang datang. Tapi tampaknya Joko tertipu. Meski tangannya yang berkelebat lepaskan pukulan, sesungguhnya itu hanya satu tipuan.

Karena sejengkal lagi kedua tangan Bidadari Tujuh Langit membentur kedua tangan Joko yang terangkat, mendadak Bidadari Tujuh Langit tarik pulang kedua tangannya. Saat bersamaan hampir tidak dapat dilihat dengan mata biasa, kedua kaki Bidadari Tujuh Langit membuat gerakan menendang dengan kekuatan tenaga dalam tinggi.

Hampir saja Pendekar 131 terkecoh kalau dia tidak bersikap waspada sejak tadi. Dengan petunjuk siuran gelombang angin yang menderu ke arahnya, Joko sudah bisa meraba dari mana dan seberapa jarak pukulan yang menggebrak ke arahnya. Joko cepat sentakkan kaki. Sosoknya mental beberapa tombak ke udara. Lalu melayang turun dengan kedua kaki menyapu.

Bidadari Tujuh Langit tegakkan kepala mendongak. Setelah mengukur jarak, perempuan bertubuh sintal istri Datuk Kala Sutera ini tarik tubuh atasnya ke belakang. Sosoknya melengkung. Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang ditekankan di atas tanah, Bidadari Tujuh Langit angkat kedua kakinya ke atas menghadang sapuan kedua kaki murid Pendeta Sinting.

Buukk! Buuukk!

Terdengar benturan keras. Tubuh Pendekar 131 terpental balik ke udara lalu turun dengan sosok tersentak-sentak! Dan tegak di atas tanah setelah terhuyunghuyung beberapa saat dengan paras berubah pias. Ketika dia memperhatikan kedua kakinya, ternyata sepasang kakinya yang baru saja bentrok dengan kaki Bidadari Tujuh Langit tampak mengembung merah!

Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit sempat tergetar. Kedua kakinya yang tersapu tendangan kaki murid Pendeta Sinting terlempar balik lalu menghantam tanah. Tapi perempuan ini cepat tekankan kedua tangannya. Hingga saat itu juga sosoknya yang melengkung kembali tegak. Bidadari Tujuh Langit tidak memeriksa kedua kakinya melainkan segera memandang ke arah Joko yang telah tegak di seberang.

“Siapa sebenarnya pemuda ini...?! Dugaanku ternyata tidak meleset. Dia berbekal ilmu yang tidak cekak. Tapi aku harus segera selesaikan pemuda keparat itu. Jika tidak, bukan tak mungkin aku akan gagal menik-mati keindahan cinta dengan kedua gadis itu!” Berpikir sampai di situ, Bidadari Tujuh Langit segera kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentak, terdengar deruan gelombang luar biasa dahsyat.

Murid Pendeta Sinting tidak mau bertindak ayal. Dia segera kerahkan tenaga dalam siap lepas pukulan ‘Lembur Kuning’.

"Wuutt! Wuuutt!" Ketika kedua tangan Joko mendorong, dua gelombang dahsyat berkiblat disertai menebarnya hawa panas luar biasa dan satu gebrakan sinar kekuningan.

"Byurr! Byuurr!" Terdengar dentuman laksana gulungan gelombang ombak. Tanah terbuka itu bergetar keras dan sebagian bongkahan batu langsung tersapu porak-poranda. Gelombang yang melesat dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit semburat ke udara. Sementara sinar kuning pukulan sakti ‘Lembur Kuning’ muncrat terpecah.

Tubuh Joko bergetar beberapa lama dengan kaki goyah. Belum sempat dia mengerahkan tenaga untuk imbangi diri, sosoknya telah tersapu beberapa langkah dengan tangan bergetar dan dada berdenyut sakit. Kalau saja Joko tidak segera kuasai diri dengan salurkan tenaga dalam, pasti dia sudah muntahkan darah! Karena dia sudah merasakan perutnya mual dan tersentak-sentak.

Di seberang lain, Bidadari Tujuh Langit hanya tersurut tiga langkah. Rambutnya berkibar-kibar dengan paras pucat pasi. Sementara itu, karena tidak bisa membuat gerakan, begitu terjadi bentrok pukulan, sosok Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru langsung terpental sebelum akhirnya terjengkang saling bertindihan!

TIGA

Bidadari Tujuh Langit tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Kedua kakinya direntangkan melebar. Kejap lain kedua tangan perempuan ini ditarik ke bawah lalu dihantamkan ke depan dengan mata dibuka nyalang.

Wuutt! Wuutt!

Wuss! Wuss!

Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit menyambar dua gelombang dahsyat disertai bertaburnya hawa panas menyengat. Namun gelombang ini ternyata hanya pukulan untuk alihkan perhatian orang. Karena hampir bersamaan dengan itu, dari sepasang mata Bidadari Tujuh Langit berkiblat dua sinar hitam pekat yang membuat pemandangan di tempat itu laksana digenggam kegelapan.

Pendekar 131 tercekat beberapa saat. Dia segera melompat mundur beberapa tindak. Saat kemudian dia sentakkan kedua tangannya. Dari tangan murid Pendeta Sinting melesat serat-serat biru bercahaya laksana benang. Inilah satu tanda jika Joko telah lepaskan pukulan sakti ‘Serat Biru’. Gelombang angin dan dua sinar hitam tertahan beberapa lama di udara karena terlilit serat-serat biru yang terus berputar-putar. Kejap lain terjadi pemandangan menakjubkan. Gelombang angin dan dua sinar hitam yang melesat keluar dari kedua tangan dan bola mata Bidadari Tujuh Langit bergerak cepat melambung ke udara terdorong lilitan serat-serat biru. Lalu terdengarlah gelegar dahsyat di atas udara berkali-kali!

Walau gelegar bentroknya pukulan itu berada di atas udara, namun bukannya tidak membawa akibat. Begitu gelegar terdengar, sosok murid Pendeta Sinting langsung terpental beberapa tombak ke belakang dan baru terhenti ketika sosoknya menghantam satu bongkahan batu besar hingga bongkahan batu itu pecah di bagian sisinya dan mencelat semburat. Murid Pendeta Sinting perdengarkan batuk-batuk beberapa kali sebelum akhirnya muntahkan darah dengan tangan pegangi dadanya. Paras wajahnya laksana tidak berdarah. Kedua tangannya bergetar keras namun terasa kaku sulit digerakkan.

Di seberang sana, sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar beberapa tombak seraya perdengarkan seruan tegang tertahan. Saat lain sosoknya terjengkang di atas tanah dengan darah mengucur dari sudut bibirnya. Sepasang matanya mendelik memejam, rasakan sakit pada sekujur tubuhnya. Bidadari Tujuh Langit cepat kerahkan hawa murni untuk atasi luka dalam pada dirinya. Lalu seolah tidak merasakan sakit, perempuan bertubuh sintal ini segera bangkit berdiri.

“Siapa sebenarnya pemuda jahanam ini?! Hampir setengah abad malang melintang di rimba persilatan, baru pertama kali ini aku bertemu dengan pukulan yang mampu membuat pukulan ‘Inti Gerhana’ku tertahan! Hem.... Kalau manusia satu ini tak segera dilenyapkan, bukan saja akan menghadang niatku menikmati kemontokan kedua gadis itu, tapi juga akan jadi batu sandungan semua tindakanku di kelak kemudian hari!”

Habis membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting yang juga sudah bergerak bangkit. Namun mendadak perempuan ini kerutkan dahi dengan mata setengah menyipit. Di depan sana, murid Pendeta Sinting tampak celingukan dengan bola mata mencari-cari. Wajahnya jelas menunjukkan rasa aneh dan heran. Bidadari Tujuh Langit ikuti ke mana mata Joko mengedar. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit tersentak. Lalu membuat sikap yang sama seperti murid Pendeta Sinting. Kepalanya bergerak dengan bola mata mencari-cari!

“Ke mana mereka?! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?! Mungkinkah mereka berhasil buyarkan totokanku?! Atau jangan-jangan ada manusia lain di tempat ini yang tak kuketahui kehadirannya dan membawa mereka pergi...! Atau barangkali pemuda jahanam itu sendiri yang menyelamatkan mereka. Lalu pura-pura mencari agar aku tidak menuduhnya...! Keparat benar!” Bidadari Tujuh Langit membatin, karena ternyata sosok Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru tidak kelihatan lagi.

Di lain pihak, lenyapnya Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru membuat murid Pendeta Sinting terheran-heran dan celingukan mencari. Namun sejauh ini dia tidak bisa menemukan. “Kapan mereka tinggalkan tempat ini?! Mereka telah tertotok hingga tak bisa bicara atau membuat gerakan. Bagaimana tahu-tahu mereka sudah lenyap?! Mungkinkah ada orang lain yang membawanya pergi?! Atau mungkinkah perempuan cantik berbaju putih itu yang melakukannya?! Siapa pun adanya orang itu, yang jelas dia menyembunyikan kedua gadis itu saat suasana gelap tadi....”

“Aku memberimu waktu agar kau mengembalikan kedua gadis itu padaku!” Bidadari Tujuh Langit berteriak.

“Kau yang menyembunyikan! Kaulah yang harus mengembalikannya padaku! Salah satu dari mereka adalah kekasihku!” Joko ikut-ikutan membentak. Namun sepasang matanya tidak mengarah pada sosok Bidadari Tujuh Langit melainkan mengedar berkeliling.

Saat itulah terdengar suara orang tertawa bergelak panjang. Bidadari Tujuh Langit tegakkan kepala tengadah seolah ingin simak suara gelakan tawa yang tiba-tiba terdengar. Sementara Pendekar 131 segera berpaling. Di atas satu bongkahan batu, murid Pendeta Sinting melihat satu sosok tubuh milik seorang laki-laki berusia sangat lanjut. Parasnya lonjong dengan kulit putih pucat.

Sosok orang tua ini kerempeng hingga raut wajahnya hampir-hampir tidak tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang. Sepasang matanya membelalak besar seakan hendak mencelat keluar dari dalam rongganya. Laki-laki kerempeng ini mengenakan pakaian warna putih gombrong besar. Begitu besar dan gombrongnya pakaian yang dikenakan, hingga saat ada hembusan angin, sosok laki-laki tua ini terus bergerak-gerak meski dia tidak membuat gerakan apa-apa.

“Mungkinkah dia yang mengambil Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru tadi...? Atau....”

Joko tidak lanjutkan kata hatinya. Karena bersamaan dengan itu, dari balik bongkahan batu di mana laki-laki tua berpakaian gombrong tegak berdiri, muncul seorang perempuan. Walau usianya tidak muda lagi, namun parasnya masih terlihat cantik. Perempuan berusia kira-kira tiga puluh tahunan itu berambut hitam lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih ditingkah hidung mancung dan bibir dipoles merah menyala. Lehernya jenjang. Dada besar mencuat dan pinggul padat menggoda dibalut pakaian tipis dan ketat warna biru.

“Hem.... Di negeri ini, aku banyak sekali menemukan beberapa perempuan cantik....” Pendekar 131 bergumam. Tanpa sadar di pelupuk matanya terbayang beberapa perempuan yang sempat berurusan dengannya. Antara lain muncul bayangan wajah Bidadari Bulan Emas, Dewi Bunga Asmara, Mei Hua, dan Siao Ling Ling yang beberapa waktu lalu sempat berkumpul di Bukit Toyongga.

Laki-laki tua di atas bongkahan batu putuskan tawanya. Lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan Bidadari Tujuh Langit. Lalu angkat suara. “Bidadari Tujuh Langit! Akhirnya kita bertemu juga! Mudah-mudahan kau tidak lupa denganku! Kalaupun tak ingat, kuharap kau tidak lupa dengan urusan yang terjadi antara kita!”

“Jangan banyak berharap pada perempuan jalang macam dia! Yang jelas lupa atau tidak ingat, kita selesaikan urusan itu sekarang juga!” Perempuan di samping bongkahan batu menyahut. Bidadari Tujuh Langit luruskan kepala memandang dengan tampang dingin pada sosok laki-laki tua dan perempuan di samping bawahnya.

“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah!” Bidadari Tujuh Langit mendesis. Lalu tertawa pendek.

Laki-laki di atas bongkahan batu berpaling pada perempuan di bawahnya. Lalu berujar. “Tampaknya Bidadari mesum itu masih ingat pada kita....”

“Mungkin baru saja mendapat mangsa hingga pikirannya bersih!” si perempuan menyahut.

Tampang Bidadari Tujuh Langit merah padam dengan bola mata liar tatapi dua orang yang tegak di depan sana. Lalu berteriak. “Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah! Jangan kalian berlagak suci! Jangan kira aku tak tahu siapa adanya kalian! Kalian adalah sepasang manusia mesum yang hidup bersama-sama berpuluh-puluh tahun tanpa kawin!”

Si laki-laki yang dipanggil Iblis Muka Setan tertawa. Sementara si perempuan di bawahnya yang dipanggil dengan Perempuan Kembang Darah menyeringai dingin.

“Kami memang mesum. Tapi kau lebih mesum! Bahkan sebenarnya apa yang kami lakukan masih pantas! Aku perempuan dan kekasihku Iblis Muka Setan adalah laki-laki.... Sedang kau?! Kau adalah perempuan. Tapi kau lebih suka perempuan daripada laki-laki!”

“Hem.... Tampaknya mereka punya satu masalah! Sebenarnya aku harus segera pergi. Tapi.... Terpaksa aku harus menunggu sampai dapat kupastikan di mana kedua gadis tadi berada! Karena Bidadari Pedang Cinta dapat memberiku keterangan di mana letaknya Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Sebab tak mungkin lagi dapat kujajaki di mana Iblis Pedang Kekasih dan Putri Pusar Bumi....” Pendekar 131 membatin. Lalu melangkah mendekati satu bongkahan batu agak besar dan duduk bersandar menunggu sambil pulihkan tenaga.

“Apakah mereka yang menyembunyikan kedua gadis cantik tadi?! Ah.... Tidak mungkin mereka yang melakukannya! Mereka memang berilmu tinggi. Tapi aku tak yakin mereka mampu membuat gerakan secepat itu!” Bidadari Tujuh Langit juga membatin. Lalu karena tak sabar, perempuan berbaju putih ini segera buka mulut.

“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah! Cepat katakan apa mau kalian sebenarnya!”

Iblis Muka Setan berpaling sesaat pada Perempuan Kembang Darah. Bersamaan itu si perempuan membuat satu kali gerakan. Sosoknya melesat dan tegak di atas bongkahan batu di samping Iblis Muka Setan. Perempuan Kembang Darah tersenyum. Lalu tanpa malu-malu tangan kanannya melingkar pada pinggang Iblis Muka Setan. Saat lain wajahnya disorongkan mencium pipi kiri kanan Iblis Muka Setan yang keriput dan tanpa daging itu.

“Edan!” desis murid Pendeta Sinting melihat apa yang dilakukan dua orang di atas bongkahan batu. “Selain banyak bertemu perempuan cantik, di sini juga banyak kutemukan perempuan bertabiat tak beres!”

Sementara melihat adegan di atas bongkahan batu, Bidadari Tujuh Langit tersenyum dingin. Perempuan bertubuh sintal ini sebenarnya akan buka suara. Tapi sebelum suaranya terdengar, Iblis Muka Setan sudah mendahului.

“Bidadari Tujuh Langit! Kau pasti masih ingat akan urusan kita pada beberapa tahun silam!”

“Hem.... Jadi kalian datang hendak selesaikan urusan itu?!”

Iblis Muka Setan geleng kepala. Lalu seraya balas lingkaran tangan Perempuan Kembang Darah dengan lingkarkan tangan kirinya pada pinggang Perempuan Kembang Darah, dia berkata. “Kami memang ingin selesaikan urusan itu! Nyawa dua kakak seperguruanku masih belum bisa tenang sebelum nyawamu melayang di tanganku! Dan perlu kau tahu. Membuat nyawamu melayang bukan hal sulit bagi kami berdua! Tapi kami tak akan lakukan hal itu! Terlalu enak jika kau mampus begitu saja! Kami ingin kau mampus dengan perlahan-lahan dan dengan perasaan hancur!”

Mendengar ucapan Iblis Muka Setan, Bidadari Tujuh Langit tertawa bergelak. Lalu seraya tengadah dia berkata. “Ucapanmu satu bukti kalau kau takut menghadapiku!”

Perempuan Kembang Darah mendengus. Dia sudah luruhkan tangan kanannya dari pinggang Iblis Muka Setan dan siap hendak melompat. Tapi Iblis Muka Setan menahan dengan isyarat palangkan tangan di depan Perempuan Kembang Darah sambil berujar.

“Kekasihku.... Kita telah berjanji untuk tidak membunuhnya begitu saja. Kita ingin dan merasakan kepedihan luar biasa di hari tuanya!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit perdengarkan gelakan tawa keras mendengar ucapan Iblis Muka Setan. Puas tertawa dia berkata. “Bidadari Tujuh Langit tak akan pernah mengalami masa tua! Buka mata kalian lebar-lebar! Apa ada perubahan pada diriku?!”

Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah sama tatapi raut wajah Bidadari Tujuh Langit. Mungkin karena tidak menduga akan bertemu dengan orang yang dicari, mereka menjadi lupa memperhatikan paras wajah Bidadari Tujuh Langit. Dan baru sadar saat Bidadari Tujuh Langit berkata tadi.

“Hem.... Paras dan tubuhnya tidak berubah! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Dia dan suaminya memang memiliki ilmu agar terlihat tetap awet muda. Tapi ilmu itu ada batasnya! Dan seharusnya dia kini sudah berubah....” Iblis Muka Setan berbisik pada Perempuan Kembang Darah.

Perempuan Kembang Darah tidak menyahut. Iblis Muka Setan lanjutkan bisikannya. “Sejak kita gagal menemukannya pada enam belas tahun silam, perempuan itu kita dengar punya dua perubahan. Dia tetap muda meski seharusnya dia telah berubah. Dan dia kini punya kelainan! Dia menyukai perempuan daripada laki-laki!”

“Iblis Muka Setan!” kata Bidadari Tujuh Langit. “Mengapa hanya memandangku?! Terus terang saja. Aku sekarang tidak begitu tertarik dengan laki-laki. Tapi kalau kau suka, aku bersedia melayanimu.... Hik Hik Hik.... Tapi dengan syarat. Kau serahkan kekasihmu itu beberapa malam saja padaku....”

EMPAT

Telinga Perempuan Kembang Darah laksana disambar petir. Tampangnya berubah garang. Iblis Muka Setan tak kalah berangnya. Sepasang matanya yang melotot besar dijerengkan. Tulang-tulang pada wajahnya tampak bertonjolan bergerak-gerak. Namun kedua orang ini masih coba menahan diri. Iblis Muka Setan tegakkan wajah sesaat, lalu berkata.

“Bidadari Tujuh Langit! Aku bersedia menyerahkan kekasihku ini padamu untuk beberapa malam. Tapi tunggulah sampai saatnya datang! Tunggulah sampai kau berperang dulu dengan perasaanmu sendiri! Dan saat itu tidak akan lama lagi!" Habis berkata begitu, Iblis Muka Setan menoleh pada kekasihnya Perempuan Kembang Darah. Lalu memberi isyarat untuk segera tinggalkan tempat itu.

Tapi Bidadari Tujuh Langit tampaknya bisa membaca gelagat. Sebelum kedua orang ini bergerak, Bidadari Tujuh Langit sudah melompat. Lalu berseru. "Iblis Muka Setan! Kudengar kau telah lama mencariku atas kematian guru dan kedua kakak seperguruanmu. Mengapa kau sekarang buru-buru hendak pergi?!”

Belum sempat Iblis Muka Setan menyahut, Bidadari Tujuh Langit sudah teruskan ucapan. “Hari ini nyawamu masih kuampuni. Kau boleh tinggalkan tempat ini! Tapi tanpa perempuan cantik di sampingmu itu! Biarkan dia bersenang-senang dulu beberapa malam denganku...!”

Perempuan Kembang Darah tampaknya sudah tak sabaran mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit. Namun lagi-lagi Iblis Muka Setan palangkan tangan memberi isyarat agar Perempuan Kembang Darah menahan diri. Menghadapi hal demikian, Bidadari Tujuh Langit tertawa. Lalu berucap lagi.

“Iblis Muka Setan! Mengapa kau halangi niat kekasihmu yang hendak menyambut tawaranku?! Kau takut dia tak akan kembali padamu?!” Bidadari Tujuh Langit tertawa lagi sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. “Percayalah.... Dia akan kukembalikan padamu dalam keadaan utuh! Bahkan aku akan memberi pelajaran padanya bagaimana cara bercinta yang mengasyikkan!”

Kalau saja tidak ingat akan rencana yang telah disusun, ingin rasanya Iblis Muka Setan berkelebat dan menghantam. Namun begitu ingat, sekuat tenaga dia menahan diri. Lalu berbisik pada Perempuan Kembang Darah.

“Kekasihku.... Kalau kita terus berada di tempat ini, bukan tak mungkin kita akan terjebak bentrok dengannya. Hal ini akan membuat rencana kita bisa berantakan! Kita harus segera pergi!” Tanpa menunggu sahutan, Iblis Muka Setan cepat tarik tangan Perempuan Kembang Darah lalu berkelebat.

“Tinggalkan perempuan itu!” teriak Bidadari Tujuh Langit seraya angkat kedua tangannya dan lepaskan satu pukulan.

Byurr! Byurr!

Bongkahan batu di mana Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah tegak, serta beberapa bongkahan di sampingnya langsung semburat pecah terhantam gelombang angin yang berkiblat dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit. Namun sosok Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya! Hebatnya, saat itu juga terdengar suara disertai tawa bergelak panjang.

“Bidadari Tujuh Langit! Kami pergi bukan karena takut padamu! Kami hanya ingin melihatmu merasakan dahulu bagaimana berperang dengan perasaan.... Tunggulah! Saat itu tidak lama lagi akan datang menjumpaimu! Ha Ha....”

Bidadari Tujuh Langit tegak dengan wajah didongakkan. Dia tahu pasti bahwa yang baru saja perdengarkan suara adalah Iblis Muka Setan. “Apa maksud ucapan manusia itu?!” pikir Bidadari Tujuh Langit. Entah tak dapat menemukan jawaban, akhirnya perempuan ini menenangkan diri dengan bergumam.

“Mungkin mereka takut menghadapiku! Lagi pula untuk apa aku memikirkannya?!” Saat itulah Bidadari Tujuh Langit ingat pada Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru. Dia cepat putar tubuh dengan mata mengedar berkeliling.

“Tak mungkin dua jahanam tadi yang sembunyikan dua gadis itu! Jadi siapa?!” Mata Bidadari Tujuh Langit akhirnya sampai pada sosok murid Pendeta Sinting yang duduk bersandar di bongkahan batu.

“Dia juga tak mungkin! Hem.... Jangan-jangan keduanya berhasil lepaskan diri dari totokanku! Tapi....” Bidadari Tujuh Langit tampak bingung dan bimbang. Hingga untuk beberapa lama dia hanya tegak dengan pandangi Pendekar 131. “Gara-gara bangsat itu rejeki besar bisa lepas dari tangan!”

Bidadari Tujuh Langit berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak delapan langkah di hadapan Joko. “Pemuda bangsat! Kau harus bayar hilangnya dua calon pengantinku dengan nyawa dan cincangan tubuhmu!”

Pendekar 131 bergerak bangkit. Dia sudah hendak menyahut ucapan Bidadari Tujuh Langit. Namun mendadak mulutnya dikatupkan lagi. Sepasang matanya dijerengkan besar-besar. Bukan memandang pada Bidadari Tujuh Langit, melainkan pada jurusan lain di mana terlihat satu sosok tubuh tengah berjalan menuju ke arahnya dengan bibir sunggingkan senyum.

“Hem.... Dia!” Joko berseru dalam hati mengenali siapa adanya sosok yang melangkah di depan sana. “Kalau dia berada di tempat ini, aku hampir merasa yakin pasti dia yang membawa kedua gadis tadi!”

Di lain pihak, entah karena telah dibuncah dengan hawa kemarahan karena lenyapnya Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru, serta karena datangnya orang yang melangkah ke arahnya dari bagian belakang, Bidadari Tujuh Langit tidak bisa menangkap kemunculan orang yang teruskan langkah seraya senyam-senyum.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Joko buka mulut lagi dan berkata. “Bidadari Tujuh Langit! Bagaimana kalau aku menawarkan seorang calon pengantin padamu sebagai ganti dari kedua calon pengantinmu yang lenyap tadi?!”

Bidadari Tujuh Langit tidak menyahut. Sebaliknya makin sengatkan pandangannya pada sosok murid Pendeta Sinting.

“Bidadari.... Kau tak usah khawatir! Meski calon yang kutawarkan padamu hanya satu orang, tapi aku yakin, dia bisa membuatmu menikmati malam pengantin seperti jika kau bersama dua calon pengantinmu yang lenyap tiada kabar tadi...! Lebih dari itu, seandainya kecantikan dua calon pengantinmu tadi dipadu jadi satu, pasti belum bisa menandingi kecantikan calon pengantin yang akan kutawarkan padamu...!”

Karena Bidadari Tujuh Langit belum juga menyahut, murid Pendeta Sinting kembali angkat suara seraya senyum-senyum. “Dan perlu kau tahu. Calon pengantin yang kutawarkan kujamin tidak akan bertindak macam-macam apalagi menentang keinginanmu seperti halnya dua calon pengantinmu tadi!”

“Apa yang dikatakannya benar, Bidadariku....” Mendadak satu suara menyahut. “Dengan senang hati aku akan menyediakan diri bersenang-senang menikmati indahnya cinta bersamamu.... Ah.... Ah.... Lebih dari itu, aku sudah persiapkan tempat indah buat kita! Juga gaun pengantin berbulu domba...!”

Kepala Bidadari Tujuh Langit langsung berputar. Memandang ke depan, ia melihat seorang nenek berambut putih panjang menjulai hingga betis. Sosoknya tambun besar hingga gumpalan daging di perutnya tampak bergerak turun naik ketika nenek ini bergerak melangkah. Sepasang matanya sipit. Bukan karena bola matanya sipit, namun karena tebalnya kulit wajah yang dimilikinya. Hidungnya melesak masuk ke dalam gumpalan kulit wajah yang tebal. Mulutnya hampirhampir tak kelihatan karena tertutup tebalnya kulit pada kedua pipinya. Perempuan tua ini mengenakan pakaian merah menyala dan sangat ketat.

“Putri Pusar Bumi!” desis Bidadari Tujuh Langit dapat mengenali siapa adanya nenek bertubuh tambun besar berpakaian merah menyala. Dia terlihat tercekat beberapa saat melihat kemunculan si nenek yang bukan lain memang Putri Pusar Bumi adanya.

Putri Pusar Bumi hentikan langkah sepuluh tindak di hadapan Bidadari Tujuh Langit. Lalu buka mulut. “Bidadari.... Telah lama aku dengar namamu.... Telah lama pula aku mencarimu....” Sepasang mata milik Putri Pusar Bumi yang seakan terlipat di dalam tebalnya kulit wajah mengerjap beberapa kali.

“Hem.... Tak kusangka kalau hari ini aku akan bertemu dengan beberapa manusia yang pada beberapa puluh tahun silam punya urusan denganku! Kemunculan nenek gembrot ini pasti sama dengan niat Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah! Hendak selesaikan urusan masa silam! Hem.... Perempuan gembrot ini memang tidak bisa kutaklukkan pada beberapa puluh tahun silam. Tapi sekarang aku bukanlah Bidadari Tujuh Langit seperti beberapa puluh tahun yang lalu...!” Bidadari Tujuh Langit bergumam dalam hati.

“Bidadari.... Kau jangan salah duga. Keberadaanku di sini bukan untuk selesaikan masalah seperti halnya dua sahabatku yang baru saja pergi! Masalah itu sudah kuanggap tidak pernah terjadi!” Putri Pusar Bumi berkata seolah bisa menangkap apa yang baru digumamkan Bidadari Tujuh Langit.

“Hem.... Lalu apa maksudmu?!” bentak Bidadari Tujuh Langit.

Putri Pusar Bumi tertawa melengking dahulu sebelum berkata. “Kudengar sekarang kau memiliki satu hal aneh....” Putri Pusar Bumi putuskan ucapan beberapa saat dengan kepala diputar berkeliling. Lalu lanjutkan ucapan. “Di sini tidak ada perempuan. Jadi aku berani berterus terang padamu.... Sebenarnya aku juga punya hal aneh sepertimu! Mungkin ini sudah satu takdir yang harus kita terima.... Kita memiliki rasa suka pada sesama perempuan!”

Bidadari Tujuh Langit tampak terkesiap kaget. Dia perhatikan lebih seksama sosok Putri Pusar Bumi dengan dahi berkerut. Yang diperhatikan tertawa ngakak, hingga gumpalan daging di perut dan wajahnya bergerak-gerak. Saat lain dia teruskan bicara.

“Hal aneh itulah yang membuatku selalu ingin bertemu dan mencarimu! Aku juga dengar kau telah memiliki Sepasang Cincin Keabadian! Sungguh satu keberuntungan bagimu.... Karena dengan cincin itu, kau akan tetap terlihat cantik dan awet muda.... Dan berarti kesempatanmu untuk menikmati kesenangan hidup bisa lebih lama....”

“Hem.... Dia tahu banyak tentang diriku.... Tapi aku tidak percaya pada apa yang baru saja diucapkan! Tak mungkin dia suka sama perempuan!” Bidadari Tujuh Langit terus membatin tanpa buka suara.

“Bidadariku.... Pemuda itu tadi telah menawarkan satu calon pengantin padamu. Kau tahu siapa calon yang ditawarkan!”

Lagi-lagi Bidadari Tujuh Langit hanya memandang tanpa bersuara. Putri Pusar Bumi tersenyum lagi lalu berkata. “Bidadariku.... Pemuda itu adalah orang kepercayaanku yang kuperintahkan mencari beberapa gadis muda dan cantik....” Putri Pusar Bumi tunjuk murid Pendeta Sinting. “Karena tak mungkin aku berjalan mencari sendiri. Dengan umpan parasnya yang tampan, akan banyak gadis yang tergaet olehnya. Lalu dia akan serahkan gadis-gadis itu padaku.... Dan kalaupun hari ini terpaksa aku berjalan sendiri, itu karena kau!”

“Hem.... Jangan kira aku tak tahu apa yang ada dalam benakmu, Perempuan Gembrot!” Tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit berteriak.

“Ah.... Ah.... Aku sangat senang kau telah tahu apa yang ada dalam benakku. Jadi, apakah kita pergi sekarang?!”

“Siapa mau bercinta dengan nenek gembrot sepertimu?!”

“Ah.... Ah.... Kau ini bagaimana?! Kau baru saja bilang tahu apa yang ada dalam benakku. Tapi mengapa kau meradang saat kuajak pergi?! Jangan-jangan kau salah menebak apa yang ada dalam benakku!”

“Kau inginkan Sepasang Cincin Keabadian!”

Putri Pusar Bumi tertawa panjang hingga gumpalan daging perutnya turun naik pulang balik. Lalu kepalanya menggeleng saat berkata. “Dugaanmu keliru, Bidadariku.... Tak terlintas dalam benakku untuk memiliki Sepasang Cincin Kebadian! Yang kuinginkan justru menjadi pengantinmu mulai hari ini hingga waktu yang tak terhingga.... Itulah tujuanku selalu ingin bertemu dan mencarimu!”

Sepasang mata Bidadari Tujuh Langit mendelik angker. Sosoknya bergetar keras. Lalu berteriak lantang. “Kau kira aku sudi bercinta dengan nenek kedodoran sepertimu, hah?!” Habis berteriak begitu, tawa Bidadari Tujuh Langit meledak keras.

Putri Pusar Bumi surutkan langkah seolah ngeri dengan jawaban Bidadari Tujuh Langit. Namun saat lain kembali perempuan bertubuh tambun ini telah maju selangkah dan berujar pelan setengah terisak.

“Bidadariku.... Telah kuhabiskan beribu-ribu hari untuk merawat wajahku. Sudah kutelusuri beribu-ribu tombak untuk mencari daun-daunan obat agar potongan tubuhku tetap menggairahkan saat dipandang! Telah kuhabiskan berbatang-batang kayu cendana agar aromaku seperti Bidadari sungguhan. Telah beratus-ratus purnama tubuhku kutimpuki lulur bengkuang agar kulitku tetap padat dan kencang! Telah kupergunakan beribu-ribu daun lidah buaya untuk merawat rambutku. Malah telah berpuluh-puluh pemuda tampan yang kutolak keinginannya melamar diriku...!”

Putri Pusar Bumi hentikan ucapannya lalu tersedu-sedu keras. Saat lain dia pukul-pukulkan kedua tangannya pada gumpalan daging di depan perutnya sambil berkata.

“Kalau pada akhirnya kau menolak kehadiranku di sampingmu, tak mungkin semua itu kulakukan! Tak mungkin! Tak mungkin! Ah.... Ah....”

LIMA

BIDADARI Tujuh Langit perdengarkan dengusan keras mendengar ratapan Putri Pusar Bumi. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut perempuan bertubuh tambun besar itu. Namun sebelum dia sempat buka mulut, Pendekar 131 sudah menyahut.

“Bidadari Tujuh Langit.... Dia tidak berkata dusta! Malah dia telah habiskan beribu-ribu tombak untuk berlari-lari kecil tiap pagi dan sore agar tubuhnya tidak bergumpal kedodoran! Dia telah lewatkan berjuta-juta suara yang terdengar di telinganya agar tidak tergoda dengan rayuan beberapa pemuda yang tergila-gila padanya! Dia telah tutup mata dan tutup mulut agar tidak melihat sesuatu yang bisa membuat hatinya tergoda dan mulutnya mengatakan rasa cinta pada beberapa pemuda yang selalu menanti jawabannya! Malah dia tidak berusaha membalas beberapa surat yang dikirim beberapa tokoh yang diam-diam mengharapkannya.... Maka dari itu, kuharap kau tidak menolaknya! Dia manusia sempurna.... Potongan yahut, wajah imut-imut, sifat penurut, sikap pantang surut, hatinya lembut, pusarnya berambut, dan....”

“Diam!” Bidadari Tujuh Langit berteriak setengah menjerit. Kepalanya pulang balik menghadap Putri Pusar Bumi dan Pendekar 131 dengan unjuk tampang berang.

Sekonyong-konyong Putri Pusar Bumi dan Pendekar 131 putuskan tawa masing-masing. Sementara Bidadari Tujuh Langit mendongak sambil membatin.

“Aku memang telah memiliki Sepasang Cincin Keabadian walau cuma satu. Tapi itu sudah cukup membuat ilmuku bertambah pesat. Namun bersama berlalunya waktu, bukan tak mungkin perempuan gembrot itu juga bertambah pesat perkembangannya. Hem.... Inilah saatnya aku mencoba! Tapi....”

Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan membatin, Putri Pusar Bumi sudah angkat suara. “Bidadariku.... Sebenarnya aku kecewa dengan penolakanmu ini. Karena kau telah dengar bagaimana berat pengorbananku selama ini. Tapi rasa kecewa ini bisa lenyap kalau kau mau dengar sedikit ucapanku....”

Tanpa menunggu jawaban dari mulut Bidadari Tujuh Langit, Putri Pusar Bumi berkata lagi. “Kembalikanlah Sepasang Cincin Keabadian pada orang yang berhak memilikinya! Dengan begitu malapetaka besar yang sudah menghadang di depanmu bisa hilang...!”

Bidadari Tujuh Langit tertawa pendek lalu berkata. “Bidadari Tujuh Langit pantang mengembalikan benda yang sudah berada di tangannya! Dan Bidadari Tujuh Langit pantang surutkan langkah menghadapi aral yang melintang! Jangan kau mimpi bisa merayuku dengan ucapan kampungan seperti itu! Lagi pula....”

“Aku tidak merayumu!” Putri Pusar Bumi sudah menyahut sebelum Bidadari Tujuh Langit lanjutkan ucapannya. “Apa yang kukatakan adalah sesuatu yang selama ini dapat kutangkap! Aral maha besar akan menghadangmu jika kau tidak mengembalikan Sepasang Cincin Keabadian pada orang yang berhak!”

“Aral apa, hah?!” Bidadari Tujuh Langit bertanya.

Putri Pusar Bumi geleng kepala. “Aku tidak bisa mengatakannya. Yang jelas aral itu masih ada kaitannya dengan tindakanmu saat mengambil Sepasang Cincin Keabadian!”

“Kau keliru, Perempuan Gembrot! Sepasang Cincin Keabadian bukan kuambil. Tapi diserahkan suka rela padaku!”

Lagi-lagi Putri Pusar Bumi gelengkan kepala. “Aku memang tidak melihat bagaimana saat kau mendapatkannya. Namun dari perubahanmu aku bisa menebak apa yang terjadi saat itu!”

“Apa yang kau ketahui, hah?”

“Kau mengambilnya dengan paksa. Dan karena siapa pun sudah tahu bagaimana si pemilik Sepasang Cincin Keabadian, maka tanpa satu muslihat yang direncanakan matang, tak mungkin Cincin Keabadian dapat diambil dari tangannya!”

“Hem.... Kalau aku tak mau mengembalikan, kau mau apa?!”

“Aku hanya memberi saran pada seorang sahabat. Soal saranku diterima, aku akan berucap syukur. Kalau tidak, terserah!”

“Lantas urusan kenikmatan itu bagaimana?!” Pendekar 131 menyela sambil memandang pada Putri Pusar Bumi.

“Pujaanku.... Aku tidak akan memaksakan kehendak pada orang yang tidak suka. Meski karena Itu aku telah berkorban puluhan tahun lamanya! Atau barangkali sahabat cantik kita itu sudah berubah. Dia sekarang tidak lagi memiliki rasa suka pada perempuan sepertiku. Tapi sudah kesengsem dengan pemuda sepertimu!”

Tak tahan dengan ucapan Putri Pusar Bumi, Bidadari Tujuh Langit balikkan tubuh menghadap lurus pada Putri Pusar Bumi. Kedua tangannya diangkat. Anehnya, Putri Pusar Bumi tidak unjukkan rasa takut. Sebaliknya tersenyum lalu enak saja berkata dengan luruskan wajah ke arah murid Pendeta Sinting.

“Kau pemuda beruntung. Datang jauh-jauh dari negeri seberang lalu mendapat perempuan yang beraroma bak kembang! Kuucapkan selamat padamu.... Juga selamat tinggal!”

Dari ucapan orang tampaknya Bidadari Tujuh Langit sudah bisa meraba apa lanjutan yang akan dilakukan Putri Pusar Bumi. Hingga belum sampai perempuan bertubuh tambun besar ini berkelebat pergi, Bidadari Tujuh Langit sudah sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh.

"Wuutt! Wuuutt!" Dua gelombang dahsyat perdengarkan deruan keras berkiblat lurus ke arah Putri Pusar Bumi.

Putri Pusar Bumi pukulkan tangan kanan pada gumpalan daging di depan perutnya.

"Buunggg!" Terdengar gaung menggelegar pekakkan gendang telinga. Lalu satu gulungan gelombang menggelundung deras menghadang gelombang yang melesat keluar dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit.

Busss! Busss! Busss!

Terdengar beberapa kali suara seperti hembusan balon saat gelombang dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit bentrok dengan gulungan gelombang dari gumpalan daging perut Putri Pusar Bumi. Hebatnya, bersamaan dengan itu, tanah terbuka yang banyak ditebari bongkahan batu itu laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Bidadari Tujuh Langit tersentak-sentak mundur beberapa tindak dengan paras pucat.

Sementara meski tidak surutkan langkah, sosok besar Putri Pusar Bumi tampak berguncang-guncang. Hingga gumpalan daging pada wajah dan perutnya bergerak pulang balik turun naik. Rambutnya yang panjang menjulai berkibar-kibar. Bidadari Tujuh Langit cepat kuasai diri. Lalu lipat gandakan tenaga dalam. Sepasang matanya dipejamkan. Lalu kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.

“Bidadari.... Maaf kalau aku tak bisa melayanimu lebih lama lagi....” Putri Pusar Bumi berkata. Suaranya jelas masih terngiang di tempat itu, tapi sosoknya sudah berada jauh di depan sana! Hingga tatkala Bidadari Tujuh Langit buka sepasang matanya dan luruhkan kedua tangannya hendak lepaskan pukulan, perempuan bertubuh sintal ini menjadi tersentak sendiri.

“Gerakannya cepat sekali! Astaga! Jangan-jangan dia yang mengambil dua gadis itu saat keadaan gelap tadi!” Bidadari Tujuh Langit bergumam. Teringat akan kedua gadis itu, Bidadari Tujuh Langit jadi lupa pada murid Pendeta Sinting yang masih tegak di tempat itu. Hingga tanpa pikir panjang lagi dia hentakkan kaki. Sosoknya melesat laksana kesurupan mengejar Putri Pusar Bumi!

“Hilang sudah satu kesempatan! Tak mungkin aku ikut mengejar. Dan berarti aku harus mencari orang lain yang bisa menjelaskan di mana letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Hem.... Apakah aku harus mencari orang selain Dewa Asap Kayangan untuk menjelaskan peta wasiat ini? Ah... itu tidak mungkin. Negeri ini banyak sekali dirundung masalah! Satu urusan belum tuntas betul, kini ada urusan lagi yang tampaknya tak kalah serunya dengan urusan peta wasiat.... Hem.... Ke mana aku harus pergi?!"

Selagi Pendekar 131 dilanda kebimbangan, mendadak satu bayangan berkelebat lalu tegak sejarak dua puluh lima langkah di seberang sana. Orang ini putar pandangan beberapa saat. Lalu melangkah perlahanlahan ke arah murid Pendeta Sinting. Dia baru hentikan langkah saat berada tujuh tindak di depan Joko.

Joko memperhatikan beberapa lama. Namun sejauh ini murid Pendeta Sinting tidak bisa melihat wajah orang, karena orang ini mengenakan kerudung besar hingga raut wajahnya hanya terlihat bagian hidung dan sebagian bibirnya. Tapi dari sikap dan pakaian yang dikenakan, Joko bisa menebak jika sosok orang itu adalah seorang perempuan.

“Kalau tak salah lihat, bukankah yang tegak di hadapanku saat ini adalah seorang pemuda dari negeri asing yang dikenal dengan Pendekar 131 Joko Sableng?!” sosok berkerudung perdengarkan suara. Suara orang ini sangat merdu.

“Hem.... Aku yakin sekarang. Dia adalah seorang perempuan! Herannya, dari mana dia bisa mengenaliku?! Padahal aku yakin. Baru kali ini bertemu dengan orang yang berciri seperti dia!” Pendekar 131 membatin dengan wajah terkejut mendapati orang telah tahu siapa dirinya. Joko pentangkan mata coba meneliti raut wajah orang. Namun yang dilihat segera tarik kerudung besarnya. Hingga hidung dan sebagian mulutnya tidak kelihatan.

“Siapa kau?!” Akhirnya Joko menegur setelah gagal mengetahui siapa adanya orang dan orang itu tampaknya juga tidak ingin diketahui.

“Pendekar 131.... Siapa aku rasanya tidak begitu penting. Dan kau tak usah paksakan diri untuk mengetahui siapa adanya aku. Selain hal itu hanya buang-buang waktu, juga tidak ada gunanya! Di antara kita tidak ada urusan. Namun aku bisa menangkap satu hal dari dirimu. Kau tengah dilanda kebimbangan tak tahu harus ke mana bertanya! Benar?!”

Untuk kedua kalinya Joko tersentak kaget mendapati orang seolah tahu apa yang tengah melanda dirinya. Joko sudah buka mulut hendak ajukan tanya. Namun sebelum suaranya terdengar, orang perempuan berkerudung di hadapannya sudah bersuara.

“Pendekar 131.... Waktu pertemuan kita tidak banyak.... Aku memberimu kesempatan kalau kau ingin bertanya apa saja padaku! Aku tahu. Sebagai pendatang baru di negeri ini, kau masih belum kenal benar dengan orang-orang maupun daerah sekitar sini! Aku bersedia menjelaskan padamu kalau ada sesuatu yang belum kau ketahui....”

“Hem.... Siapa orang ini sebenarnya?! Mengapa tiba-tiba menawarkan jasa padaku?!” Joko terus membatin dengan menduga-duga. Hingga untuk beberapa lama dia tidak perdengarkan suara.

“Hem.... Kau tampaknya tidak percaya padaku. Tak apa-apa! Kita memang harus waspada pada setiap orang yang belum kita kenal. Tapi kau harus sadar. Saat ini kau butuh penjelasan seseorang yang masih ada kaitannya dengan urusanmu di puncak Bukit Toyongga....”

Kali ini murid Pendeta Sinting tak dapat lagi sembunyikan rasa kejutnya. “Dia tahu banyak sekali urusanku! Apakah aku harus bertanya padanya?!” Karena murid Pendeta Sinting tidak juga buka suara, akhirnya perempuan berkerudung putar diri seraya berkata.

“Pendekar 131.... Kuucapkan selamat jalan! Mudah-mudahan kau bertemu dengan orang yang kau percaya untuk menjelaskan semua urusanmu!” Habis berkata begitu, perempuan berkerudung melangkah hendak tinggalkan tempat itu.

“Tunggu!” Pendekar 131 berteriak. Lalu melompat dan tegak lima langkah di samping perempuan berkerudung.

“Aku memberimu kesempatan untuk menimbang dulu sebelum kau berbicara urusanmu denganku! Aku tak ingin bicara dengan orang yang hatinya masih dirasuki perasaan curiga!”

“Mau katakan dahulu siapa kau adanya?!” tanya Joko.

“Ucapanmu satu petunjuk kalau kau masih curiga! Berarti mustahil bagiku untuk terus berada di tempat ini!” Si perempuan berkerudung kembali akan melangkah.

Tapi Joko cepat-cepat menghadang di hadapannya dan berujar. “Aku percaya padamu.... Tapi kuharap kau nantinya tidak berkata dusta!”

“Kau kira ada untungnya aku bicara dusta padamu?! Kita tidak saling kenal sebelum ini meski aku tahu banyak siapa dirimu! Dan kalaupun aku menawarkan jasa, semata-mata karena aku tahu siapa dirimu sebenarnya, serta tugas apa yang ada di pundakmu! Juga sebagai rasa terima kasih atas tindakanmu hingga dunia persilatan tanah Tibet bisa selamat dari bencana yang makin besar!”

“Ucapanmu terlalu menyanjung.... Padahal aku tidak merasa sebagai juru selamat tanah Tibet! Aku tidak melakukan apa-apa...!”

Si perempuan berkerudung tertawa pelan. “Rasanya sulit menemukan orang sepertimu di masa sekarang ini! Kau telah berbuat banyak demi tenteramnya dunia persilatan tanah Tibet, tapi kau tidak merasa berjasa.... Jadi sudah selayaknya kalau dirimu mulai menjadi buah bibir beberapa orang di tanah ini!”

“Ah.... Kau terlalu mengada-ada. Kau terlalu membesarkan urusan kecil!”

“Hem.... Urusan peta wasiat yang tersimpan di Perguruan Shaolin bukan urusan kecil, Pendekar 131.... Kalau tidak ada dirimu, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi! Pasti pertumpahan darah akan terus berlangsung! Dan rakyat pun tak luput dari getahnya. Karena kau tahu sendiri. Ternyata pihak kerajaan telah turun tangan ikut campur!”

“Hem.... Jadi orang ini benar-benar tahu banyak tentang urusanku.... Dan tampaknya bisa dipercaya!” Joko membatin.

“Pendekar 131.... Aku siap menjelaskan apa yang belum jelas bagimu! Tapi kuminta kau tidak bicara dusta! Karena sekali kau berdusta, jalan urusanmu jadi berbelok!”

Pendekar 131 berpikir beberapa saat sebelum akhirnya buka suara. “Kau tahu di mana letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!”

Yang ditanya bukannya segera menjawab, melainkan tegakkan wajah mendongak seraya rapikan kerudung yang menutupi wajahnya!

ENAM

"KAU tahu letak Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?!” kembali Pendekar 131 ajukan tanya setelah ditunggu agak lama perempuan berkerudung hanya tegak tanpa memberi jawaban.

“Pergilah ke utara. Kira-kira seratus tombak dari sini kau akan menemukan sebuah lembah. Itulah lembah yang kau cari!” Perempuan berkerudung akhirnya buka mulut. Lalu ajukan tanya.

“Siapa yang hendak kau temui?!”

Kali ini Pendekar 131 yang terdiam beberapa lama. Hingga akhirnya perempuan berkerudung ajukan tanya lagi. “Kau keberatan mengatakan siapa orang yang akan kau temui?!”

“Aku hendak menemui Dewa Asap Kayangan!”

Perempuan berkerudung perdengarkan tawa perlahan, membuat murid Pendeta Sinting sedikit merasa heran dan bertanya. “Mengapa kau tertawa. Apa ada yang menggelikan?!”

“Kau berjanji untuk jumpa di sana?!” Perempuan berkerudung balik ajukan tanya.

“Bukankah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai adalah tempat tinggal Dewa Asap Kayangan?”

“Siapa yang mengatakan begitu padamu?!”

“Jadi...?!” Pendekar 131 melongo.

“Aku tahu siapa Dewa Asap Kayangan. Karena dia adalah salah seorang sahabatku. Kau boleh percaya atau tidak. Yang jelas Dewa Asap Kayangan tidak menetap di sana!”

“Bagaimana ini...?! Apakah perempuan ini tidak berdusta?! Tapi mengapa Dewa Asap Kayangan mengatakan....”

Belum sampai Joko teruskan membatin, perempuan berkerudung sudah buka suara. “Pendekar 131! Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai memang dihuni seseorang. Tapi bukan Dewa Asap Kayangan!”

“Lalu siapa?!”

“Dia adalah adik kandung Dewa Asap Kayangan!”

“Hem....” Murid Pendeta Sinting bergumam seraya anggukkan kepala. “Jadi Dewa Asap Kayangan sengaja hendak menungguku di tempat adik kandungnya.... Mudah-mudahan perempuan ini berkata apa adanya...!” Membatin murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.

“Terima kasih atas penjelasanmu. Sebelum aku pergi, mungkin kau mau mengatakan siapa dirimu?!”

Perempuan berkerudung geleng kepala. “Untuk sementara ini biarlah kita saling tahu dengan cara begini. Dan sekali lagi kuharap kau menganggap penjelasanku tadi sebagai rasa terima kasih atas semua tindakanmu selama berkunjung di daratan Tibet!”

Pendekar 131 pandangi sekali lagi sosok berkerudung di hadapannya. Lalu putar diri hendak tinggalkan tempat ini.

“Tunggu!”

Pendekar 131 batalkan niat untuk melangkah. Kepalanya berpaling. Sebelum sempat buka mulut, perempuan berkerudung sudah mendahului.

“Aku tak bisa menerangkan mengapa. Yang jelas, mungkin pertemuan kita hanya sekali ini. Untuk itu, kalau memang masih ada yang belum kau ketahui, aku masih bersedia memberi penjelasan padamu!”

Murid Pendeta Sinting sudah akan geleng kepala ketika tiba-tiba teringat perbincangan Putri Pusar Bumi dan Bidadari Tujuh Langit. Dia segera ajukan tanya. “Kau tahu tentang Sepasang Cincin Keabadian?!”

Yang ditanya kembali tengadahkan kepala sebelum akhirnya angkat suara. “Sepasang Cincin Keabadian adalah sepasang cincin yang selama ini diketahui dapat membuat si pemakainya tetap kelihatan muda dan cantik kalau dia adalah seorang perempuan. Dan dapat membuat si pemakainya tetap muda dan tampan jika si pemakainya adalah seorang laki-laki! Sepasang Cincin Keabadian dimiliki seorang tokoh bergelar Dewi Keabadian! Tokoh ini sukar ditentukan di mana tempat tinggalnya karena sering berpindah-pindah! Mengapa kau bertanya mengenai Sepasang Cincin Keabadian?!”

Walau nadanya bertanya, namun perempuan berkerudung tampaknya tidak mau memberi kesempatan pada murid Pendeta Sinting untuk menjawab. Karena bersamaan dengan itu, si perempuan berkerudung sudah angkat suara lagi.

“Pendekar 131.... Selama ini beberapa tokoh rimba persilatan memang ada yang mengincar Sepasang Cincin Keabadian. Karena selain diketahui mampu membuat si pemakainya tetap awet muda, Sepasang Cincin Keabadian mengandung tenaga dahsyat. Si pemakainya akan jadi seorang berilmu tinggi! Kau juga menginginkan cincin itu, Pendekar 131?”

“Ah.... Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Bahkan setelah urusan di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai selesai, aku akan cepat-cepat pulang kampung!”

“Rindu pada kekasih...?!” tanya si perempuan berkerudung seraya tertawa.

“Aku memang banyak mempunyai kenalan beberapa gadis cantik. Namun sejauh ini mereka hanya sebagai sahabat biasa!”

“Bagaimana dengan beberapa gadis kenalanmu di negeri ini?! Bukankah selama di negeri ini kau juga punya kenalan beberapa gadis?! Malah di antaranya kudengar telah menjalin hubungan tertentu denganmu!”

“Astaga! Dia benar-benar tahu banyak.... Siapa perempuan ini sesungguhnya?!” Joko membatin terheran-heran. Lalu menjawab. “Seperti halnya beberapa gadis kenalanku di tanah Jawa, beberapa gadis yang sempat kukenal di negeri ini juga masih terbatas sebagai sahabat. Tidak ada yang punya hubungan tertentu denganku....”

“Ah.... Sebenarnya aku lebih suka kalau kau punya pilihan gadis di negeri ini! Kurasa putri Panglima Muda Lie atau putri Yang Mulia Baginda Ku Nang serasi jika menjadi pilihanmu! Atau murid tokoh bergelar Ratu Selendang Asmara itu.... Bukankah mereka juga gadis-gadis cantik?!”

“Waduh.... Jangan-jangan perempuan ini juga tahu kalau keperluanku menemui Dewa Asap Kayangan selain minta petunjuk urusan peta wasiat ini juga untuk menjernihkan urusanku dengan gadis bernama Dewi Bunga Asmara, murid tokoh bergelar Ratu Selendang Asmara yang kini tampaknya diambil murid oleh Dewa Cadas Pangeran...!” Pendekar 131 berkata dalam hati dengan dada berdebar.

Seperti diketahui, putri Panglima Muda Lie yang bernama Mei Hua dan putri Yang Mulia Baginda Ku Nang yang bernama Siao Ling Ling memang menyukai murid Pendeta Sinting. Demikian pula murid tunggal Ratu Selendang Asmara yang bergelar Dewi Bunga Asmara juga diam-diam menyintai Pendekar 131. Bahkan keduanya sudah berjanji akan menemui gurunya Ratu Selendang Asmara. Tapi urusan di Bukit Toyongga yang akhirnya membuat Ratu Selendang Asmara tewas, membuat urusan jadi berkepanjangan.

Apalagi setelah secara tak terduga, Dewi Cadas Pangeran mengambil Dewi Bunga Asmara menjadi muridnya. Dan Dewa Cadas Pangeran meminta Pendekar 131 menemuinya dengan meminta bantuan pada Dewa Asap Kayangan. Karena saat itu Dewa Cadas Pangeran tidak memberitahukan di mana harus menemuinya dan hanya meminta pada Joko agar bertanya pada Dewa Asap Kayangan, akhirnya Joko minta penjelasan pada Dewa Asap Kayangan di mana harus menemui Dewa Cadas Pangeran.

Di sinilah Dewa Asap Kayangan mengatakan pada Joko bahwa dia menunggu kedatangan murid Pendeta Sinting di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Tabir Peta Shaolin)

“Gadis-gadis di negeri ini memang cantik-cantik....” Akhirnya Joko buka mulut setelah terdiam beberapa lama. “Bahkan aku menduga di balik kerudungmu itu tersimpan seraut wajah yang tak kalah cantiknya dengan beberapa gadis yang sempat kukenal!”

Perempuan berkerudung lagi-lagi perdengarkan tawa perlahan. Lalu terdengar ucapannya. “Kau salah menduga, Pendekar 131. Kalau aku memiliki raut wajah cantik, tak mungkin aku menutupinya dengan kerudung! Ini semua kulakukan karena aku malu dengan wajahku sendiri! Tapi ini memang sudah suratan. Aku harus menerima apa yang telah diberikan padaku....”

“Ah.... Seandainya saja kau mau memberitahukan siapa dirimu, atau setidaknya mau mengatakan di mana tempat tinggalmu, aku ingin sekali bicara lebih lama pada suatu hari kelak....”

Perempuan berkerudung geleng kepala. “Hal itu tidak usah kita persoalkan, Pendekar 131. Kalau suratan menggariskan, tanpa kuberi tahu siapa diriku dan di mana tempat tinggalku, kita tentu akan bisa berjumpa lagi....”

“Mudah-mudahan begitu.... Sekarang aku harus segera pergi....”

Pendekar 131 memperhatikan sesaat pada sosok perempuan berkerudung dengan harapan si perempuan akan membuka kerudungnya atau setidak-tidaknya mau buka mulut mengatakan di mana tempat tinggalnya. Namun setelah ditunggu agak lama tidak juga ada tanda-tanda si perempuan hendak buka kerudung atau buka suara, akhirnya Joko berkelebat tinggalkan tempat itu.

Perempuan berkerudung putar diri menghadap ke mana murid Pendeta Sinting berkelebat. Setelah agak jauh, perempuan ini luruhkan kedua tangannya yang memegangi kain kerudungnya untuk menutupi sebagian hidung dan mulutnya yang tadi sedikit terlihat. Saat lain seraya perdengarkan gumaman tak jelas, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.

*******************

Seakan takut terlambat, Pendekar 131 kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya dan berlari menuju arah yang ditunjuk perempuan berkerudung. Hingga sosoknya menyerupai bayang-bayang yang melesat cepat menerabas beberapa jajaran pohon dan semak belukar. Sambil berlari, murid Pendeta Sinting menghitung jarak. Dan begitu hitungannya sampai kira-kira seratus tombak, Pendekar 131 hentikan larinya.

Memandang ke depan, terlihat hamparan lembah terbuka yang terjal naik turun dan banyak ditebari batu-batu cadas dan ranggasan semak tinggi-tinggi. Joko tegak dengan memandang berkeliling. Lalu menghela napas panjang. Tangan kiri kanannya bergerak menyisir rambutnya yang basah oleh keringat.

“Apakah perempuan berkerudung itu tak salah tunjukkan tempat?! Yang kucari adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Tapi di sini tidak ada hiasan bintang atau aliran tujuh sungai.... Jangan-jangan....”

Murid Pendeta Sinting mulai didera perasaan bimbang. Dia lepas pandangan sekali lagi. Mencari-cari berharap menemukan sesuatu yang pantas hingga lembah yang di hadapannya dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Namun hingga matanya pedih mendelik mencari-cari, dia tidak juga menemukan sesuatu yang layak untuk menamakan hamparan lembah di hadapannya adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.

“Hem.... Aku sudah telanjur datang ke tempat ini. Sementara tidak ada orang yang bisa kuminta penjelasan. Aku akan menyelidik. Siapa tahu aku menemukan satu petunjuk jika lembah inilah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Lebih dari itu siapa tahu aku memang bisa bertemu dengan Dewa Asap Kayangan di sini!”

Membatin begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan langkah. Dia sengaja mendekati sebuah batu cadas paling tinggi. Dengan begitu, dia berpikir bisa melihat keadaan seantero lembah. Baru saja murid Pendeta Sinting hendak melompat ke atas batu cadas yang terlihat paling tinggi, mendadak telinganya mendengar alunan suara. Alunan suara itu jelas terdengar, namun Joko tidak mengerti apa maksudnya, karena alunan suara itu mirip suara orang membaca mantera-mantera.

“Hem.... Walau akhirnya tempat ini bukan tempat yang kucari, namun setidaknya aku mendapatkan orang yang mungkin bisa kumintai keterangan!” Pendekar 131 bergumam lalu melompat ke atas batu cadas paling tinggi dengan kepala langsung berpaling ke sebelah kanan dari mana suara alunan mantera terdengar.

Di balik sebuah batu cadas, Pendekar 131 melihat satu sosok tubuh duduk bersila di atas sebuah altar batu cadas. Joko belum bisa melihat tampang orang yang duduk bersila. Karena orang itu membelakanginya. Sementara bagian samping wajahnya juga tertutup kain panjang yang menjulai dari kepala hingga bagian dadanya.

Murid Pendeta Sinting memperhatikan sekali lagi. Saat lain dia berkelebat turun lalu karena khawatir mengganggu kekhusukan orang, Joko sengaja melangkah mendekati secara perlahan-lahan dari sebelah samping dengan harapan sedikit banyak bisa melihat bagian samping tampang orang.

Di lain pihak, seolah tidak merasa ada orang yang datang mendekati, orang yang duduk bersila terus mengumandangkan mantera-mantera. Bahkan makin lama alunan suaranya makin tinggi. Murid Pendeta Sinting hentikan langkah sepuluh tindak di samping orang yang duduk bersila seraya mengawasi dengan seksama.

“Dari suara dan jubah putih yang dikenakan, jelas dia adalah seorang laki-laki....” Joko membatin menduga-duga orang yang duduk di atas altar batu cadas.

Dia adalah satu sosok yang mengenakan jubah putih panjang. Karena orang ini tengah duduk bersila, sebagian kain jubah putihnya tampak menghampar di kanan kiri altar batu cadas. Raut wajahnya tidak kelihatan karena tertutup kerudung putih panjang yang diletakkan di atas kepala hingga menjulai sampai menutupi sebagian dadanya. Kedua tangannya merangkap di depan dada dengan menekan julaian kerudungnya yang jatuh di depan dadanya.

“Hem.... Sebaiknya aku menunggu.... Tidak baik mengganggu orang yang tengah khusuk...,” kata Joko dalam hati. Lalu seraya terus memperhatikan orang, Joko melangkah mencari tempat duduk yang sekiranya dapat mengawasi gerak-gerik orang.

Namun setelah duduk beberapa lama, dan orang yang membaca mantera tidak juga hentikan bacaannya, murid Pendeta Sinting mulai gelisah dan tidak sabar. Dia beranjak bangkit. Lalu melangkah mondarmandir dengan sesekali perdengarkan deheman pelan, berharap orang yang tengah membaca mantera tidak merasa terkejut dan terganggu dengan kehadirannya.

Namun deheman Joko tampaknya tidak membuat orang hentikan bacaannya. Sebaliknya orang ini masih cepatkan bacaan manteranya bahkan kini kepalanya bergerak pulang balik ke bawah ke atas dan sesekali ke samping kiri kanan. Mungkin karena tak sabar sementara dia perlu keterangan, akhirnya Joko beranikan diri mengambil keputusan untuk buka suara. Namun sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba orang yang duduk bersila putuskan bacaan manteranya. Saat lain terdengar dia berucap.

“Anak muda dari negeri asing! Apa perlumu datang ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini?!”

TUJUH

Sepasang kaki Pendekar 131 laksana disapu gelombang dahsyat hingga tersurut dua tindak, saking kagetnya mendengar pertanyaan orang. Sepasang matanya mendelik besar. Namun dia segera dapat kuasai diri setelah membatin. “Mungkin Dewa Asap Kayangan telah bercerita padanya tentang diriku hingga dia bisa tahu kalau aku berasal dari negeri asing!

Dan rupanya perempuan berkerudung tadi berkata benar. Ini adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Hem.... Bagaimana lembah begini bisa dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai?! Aku tidak melihat adanya tanda-tanda yang pantas lembah ini dinamakan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Tapi itu tidaklah penting! Yang jelas aku telah menemukan lembah yang kucari...!”

“Pendekar 131! Kau telah dengar pertanyaanku. Kuharap kau segera memberi jawaban!”

“Aku ingin bertemu dengan Dewa Asap Kayangan...”

“Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai bukan tempat tinggalnya Dewa Asap Kayangan! Kau salah alamat jika ingin bertemu dengannya di sini!”

“Tapi Dewa Asap Kayangan berjanji menungguku di tempat ini....”

“Kau jangan bicara dusta! Kapan dan di mana dia mengatakannya?!” tanya orang yang duduk bersila di atas altar batu cadas.

“Tidak lama berselang, di puncak Bukit Toyongga!”

“Hem....” Orang di atas altar batu cadas mendehem. Lalu berpaling ke arah mana murid Pendeta Sinting tegak berdiri.

Namun Joko tidak bisa melihat raut wajah orang, karena wajah itu tertutup julaian kerudung putih yang diletakkan di atas kepalanya dan ditekan dengan rangkapan kedua tangannya di depan dada. “Kakakku Dewa Asap Kayangan memang telah cerita tentang janjinya dengan seseorang! Namun karena ada sesuatu yang harus segera dilakukan, dan yang ditunggu tidak juga segera muncul, terpaksa dia pergi dengan pesan agar aku memberi penjelasan yang diinginkan orang yang hendak menemuinya!”

Habis berkata begitu, orang yang duduk bersila putar kepalanya lagi lurus ke depan. Namun sebelum murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, orang di atas altar batu cadas sudah berucap lagi.

“Dari jawabanmu, sepertinya kaulah orang yang ditunggu! Tapi itu belumlah membuatku yakin jika kau adalah orang yang membuat perjanjian dengan Dewa Asap Kayangan saat berada di puncak Bukit Toyongga!”

Joko kernyitkan dahi. “Aku tak paham apa maksudmu...!”

“Jawaban kata-kata bisa dibuat. Tapi tidak demikian halnya dengan bukti! Dan aku baru percaya kaulah orang yang membuat janji pertemuan jika kau bisa tunjukkan bukti!”

“Bukti apa yang kau minta?!” tanya murid Pendeta Sinting masih dengan dahi berkerut.

“Hasil dari peristiwa di puncak Bukit Toyongga!”

Pendekar 131 terdiam beberapa lama. “Bukti yang diminta pasti peta wasiat itu!” Joko membatin menebak apa yang diminta orang.

“Anak muda! Aku tidak punya waktu banyak untuk menunggu! Kalau kau tidak bisa menunjukkan bukti dari hasil apa yang terjadi di puncak Bukit Toyongga, kuharap kau segera angkat kaki dari sini! Carilah Dewa Asap Kayangan. Hanya saja kau perlu tahu. Kakakku itu tidak punya tempat tinggal tetap....”

“Hem.... Apa yang harus kulakukan?! Di negeri asing begini, rasanya sulit mencari manusia seperti Dewa Asap Kayangan! Tapi mungkinkah adiknya ini bisa memenuhi permintaanku...?! Seandainya saja aku paham daerah ini dan tahu di mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran, mungkin tak sampai aku berurusan dengan orang ini.... Bodohnya diriku! Seharusnya aku bertanya sekalian pada perempuan berkerudung tadi! Dia mau menjelaskan apa yang kuminta tanpa minta bukti segala! Tidak seperti orang yang duduk membaca mantera itu! Sudah wajahnya ditutup, lalu minta bukti lagi!” Joko menggerutu dalam hati. Lalu buka mulut.

“Aku akan tunjukkan bukti bahwa akulah yang membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan. Tapi sebelumnya aku minta ketegasan....”

“Katakan ketegasan apa yang kau inginkan?!”

“Kau nantinya mau mengantarku jika aku ingin menemui orang lain lagi?!”

“Aku telah berjanji pada kakakku. Dan aku pantang ingkar! Ke mana dan apa pun yang kau minta aku akan berusaha memenuhinya!”

“Hem.... Aku harus pastikan dahulu apakah dia tahu di mana tempat tinggal Dewa Cadas Pangeran....” Joko berkata dalam hati. Lalu buka suara. “Kau tahu tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?!”

Yang ditanya perdengarkan tawa perlahan bernada seakan mengejek. Lalu berkata. “Kau boleh percaya atau tidak. Dewa Asap Kayangan tidak pernah cerita panjang lebar padaku. Dia hanya bilang akan kedatangan seseorang. Tapi aku tahu banyak tentang apa yang telah terjadi!”

Orang yang mengaku sebagai adik kandung Dewa Asap Kayangan ini hentikan ucapannya sesaat. Lalu dongakkan kepala dan lanjutkan ucapan.

“Aku tahu tewasnya Yang Mulia Baginda Ku Nang, juga Panglima Muda Lie, dan nenek bergelar Ratu Selendang Asmara, serta Hantu Bulan Emas, dan Bayangan Tanpa Wajah.... Aku juga tahu tentang perselisihan antara gadis bernama Mei Hua dengan Dewi Bunga Asmara dan Siao Ling Ling serta Bidadari Bulan Emas karena memendam rasa padamu! Bahkan aku tahu siapa yang memberi keterangan padamu hingga kau sampai muncul di Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini! Bukankah yang memberimu petunjuk adalah seorang perempuan berkerudung?! Aku bukan seorang peramal. Tapi aku tahu pasti, perempuan berkerudung itu tidak mau sebutkan siapa dirinya dan di mana tempat tinggalnya meski kau berusaha ingin tahu!”

“Busyet! Bagaimana dia bisa tahu hal sebanyak itu?! Peristiwa di puncak Bukit Toyongga mungkin saja dia mendengar cerita dari Dewa Asap Kayangan walau dia mengaku Dewa Asap Kayangan tidak cerita apaapa. Tapi mengenai perempuan berkerudung yang memberi petunjuk itu.... Sewaktu aku berbincang dengan perempuan berkerudung aku yakin tak ada orang yang mencuri dengar.... Tapi nyatanya dia bisa tahu.... Hem....”

“Anak muda! Kalau aku tahu semua yang telah terjadi padamu, bagaimana mungkin aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran?! Apalagi dia adalah salah seorang sahabatku?! Sekarang tunjukkan hasil dari peristiwa di Bukit Toyongga sebagai bukti kalau kau adalah orang yang membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan! Setelah itu baru aku bisa menjelaskan apa yang kau minta dan mengantarmu ke mana kau hendak menuju!”

“Boleh aku tahu siapa dirimu?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Kau datang ke tempat ini untuk berkenalan denganku atau minta keterangan?!” Orang di atas altar batu cadas balik ajukan tanya dengan suara agak tinggi.

“Daripada cari penyakit, lebih baik aku segera selesaikan urusan ini!” Membatin begitu, akhirnya perlahan-lahan Pendekar 131 selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya. Lalu terlihatlah satu kain putih yang bersambung saat tangan kanannya ditarik keluar.

Seakan tahu apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting, orang di atas altar batu cadas palingkan kepala. Rangkapan kedua tangannya yang menekan julaian kain kerudungnya bergerak membuka sedikit hingga kedua mata orang ini terlihat. Beberapa saat sepasang mata dari balik Kerudung membelalak memperhatikan kain putih bersambung yang ada di tangan Joko yang bukan lain adalah kain berisi peta wasiat yang didapat di puncak Bukit Toyongga. Kepala orang di atas altar batu cadas mengangguk pelan. Lalu diputar ke arah depan seraya berkata.

“Anak muda.... Saat ini rimba persilatan masih terguncang dengan kabar berita mengenai peta wasiat. Dan mulai pula tersebar gunjingan tentang urusan Sepasang Cincin Keabadian milik Dewi Keabadian. Dan meski kau bukan berasal dari negeri ini, tapi kau tentu sudah tahu. Di mana-mana rimba persilatan pasti selalu dipenuhi dengan fitnah, balas dendam, pertumpahan darah, dan benda-benda mustika palsu!”

Ucapan orang membuat Joko tersedak. Tanpa sadar dia melompat mendekat dengan dada berdebar tidak enak. Lalu seraya acungkan kain putih di tangannya dia berseru. “Kau menduga ini palsu?!”

“Kau jangan salah duga dengan ucapanku. Aku tidak mengatakan kain yang ada di tanganmu adalah palsu! Tapi tidak ada salahnya kalau aku memeriksa! Karena aku tahu sendiri, saat di puncak Bukit Toyongga telah muncul beberapa benda palsu yang ada kaitannya dengan kain di tanganmu!”

Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 julurkan tangannya yang memegang kain berisi peta wasiat. Orang di atas altar batu cadas gerakkan tangan kanan sambuti kain dari tangan murid Pendeta Sinting. Sementara tangan kiri tetap menekan julaian kain kerudungnya hingga wajahnya tetap tidak jelas kelihatan. Untuk beberapa lama orang di atas altar batu cadas memeriksa kain yang diberikan Joko dengan dekatkan pada wajahnya. Sepasang matanya melirik silih berganti pada kain di tangannya dan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan dada berdebar-debar, khawatir kalau kain di tangannya adalah palsu.

“Hem.... Kau beruntung sekali, Anak Muda.... Kain bergambar peta ini adalah asli...,” kata orang di atas altar batu cadas sambil angguk-anggukkan kepala.

“Maksud kedatanganku kemari adalah ingin bertanya arah mana yang harus kuambil untuk memulai perjalanan seperti yang ada dalam peta itu. Sekaligus untuk bertanya di mana aku bisa bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran!” kata Joko dengan menghela napas lega mendengar keterangan orang.

“Anak muda.... Aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi katakan dahulu. Urusan mana yang akan kau dahulukan?! Mengadakan perjalanan atau ingin bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran?!”

Joko berpikir beberapa lama. Dia tampak bingung tak tahu mana yang harus didahulukan. Orang di atas altar batu cadas tampaknya bisa menangkap kebingungan murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.

“Anak muda.... Perjalananmu kelak memerlukan waktu panjang. Kalau urusanmu dengan Dewa Cadas Pangeran tidak begitu penting, menurutku, lebih baik kau selesaikan dahulu urusanmu dengan Dewa Asap Kayangan. Dengan begitu, kau bisa melakukan perjalanan dengan tenang tanpa beban! Tapi itu semua terserah padamu. Aku hanya memberi jalan....”

Pendekar 131 menghela napas berulang kali. Paras wajahnya jelas menunjukkan kalau dia belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Orang di atas altar batu cadas tertawa. Lalu sambil letakkan kain peta di atas pangkuannya dia berkata.

“Aku bukannya ikut campur masalahmu. Tapi kalau kau tak keberatan mengatakan urusanmu dengan Dewa Cadas Pangeran, mungkin aku bisa sedikit membantu jalan mana yang harus kau tempuh dalam urusan ini!”

“Hem.... Apakah aku harus mengatakan terus terang apa perluku hendak menemui Dewa Cadas Pangeran?! Ah.... Dia adalah adik Dewa Asap Kayangan. Tak ada salahnya aku berterus terang padanya....” Joko akhirnya memutuskan, lalu berkata dengan wajah sedikit berubah karena merasa malu.

“Sebenarnya urusanku dengan Dewa Cadas Pangeran tidaklah begitu penting. Tapi kalau tidak segera kuselesaikan, seperti katamu, mungkin bisa menambah beban pikiranku....”

“Hem.... katakan saja urusanmu, Anak Muda! Walau aku adik Dewa Asap Kayangan, bukan tak mungkin apa yang akan kukatakan nanti tidak jauh berbeda dibanding jika kau mengatakannya pada Dewa Asap Kayangan!”

“Aku pernah berjanji pada Dewi Bunga Asmara untuk menemui gurunya. Namun sebenarnya janji itu kuucapkan agar gadis itu mau membawaku ke Bukit Toyongga yang saat itu tidak kuketahui di mana letaknya. sayangnya, gadis itu salah paham dan menduga terlalu jauh. Begitu sampai di Bukit Toyongga, ternyata aku tidak sempat bicara dengan gurunya yakni Ratu Selendang Asmara, karena urusan di puncak bukit sudah memanas. Hingga akhirnya Ratu Selendang Asmara tewas....”

Pendekar 131 hentikan keterangannya sesaat seraya alihkan pandangan ke jurusan lain takut orang di hadapannya tahu perubahan wajahnya. Sementara orang di atas batu cadas mendengarkan dengan seksama dengan sesekali melirik pada gerakgerik murid Pendeta Sinting.

“Setelah urusan di puncak Bukit Toyongga selasai, aku juga belum sempat bicara dengan Dewi Bunga Asmara, karena aku merasa tak enak dengan Mei Hua, dan putri Baginda Ku Nang, serta Bidadari Bulan Emas. Ternyata Dewi Bunga Asmara mengatakan perihalnya pada Dewa Cadas Pangeran yang tiba-tiba saja mengambilnya sebagai murid. Dan sebelum Dewa Cadas Pangeran meninggalkan puncak Bukit Toyongga, dia sempat mengatakan padaku agar menemuinya dengan minta bantuan Dewa Asap Kayangan untuk selesaikan urusanku dengan Dewi Bunga Asmara.”

“Aku mengerti perasaanmu, Anak Muda.... Sekarang jawab jujur pertanyaanku. Kau menyintai Dewi Bunga Asmara?!”

“Sebenarnya dia gadis baik meski gurunya berada di jalur yang salah.... Dia juga berparas cantik. Tapi.... Rasanya aku belum sampai pada titik jatuh cinta.... Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat! Dan hal inilah yang akan kukatakan pada Dewa Cadas Pangeran agar nantinya tidak terjadi salah paham!”

“Anak muda! Sekarang jelas masalahnya. Dan menurutku, sebaiknya kau mengadakan perjalanan dahulu. Urusan dengan Dewa Cadas Pangeran bisa kau tunda....”

“Mengapa begitu?!”

“Urusan perempuan bukan urusan mudah, Anak Muda. Apalagi dia tahu beberapa gadis lain menaruh rasa cinta padamu. Dia memerlukan waktu untuk berpikir dan menenangkan diri! Kalau sekarang kau memberi penjelasan padanya, bukan tak mungkin dia malah akan salah paham dan membuat urusan jadi tak karuan! Waktu yang kau perlukan untuk mengadakan perjalanan kurasa cukup membuat Dewi Bunga Asmara untuk berpikir dan menenangkan diri....”

“Hem.... Benar juga kata-katanya...,” gumam Pendekar 131 seraya anggukkan kepala perlahan.

Tampaknya orang di atas altar batu cadas maklum akan gerakan kepala murid Pendeta Sinting. Sambil mengambil kembali kain peta di atas pangkuannya dia berkata. “Anak muda.... Setelah kau selesaikan perjalanan nanti, aku menunggumu di sini. Aku akan memberi keterangan padamu di mana kau bisa bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran. Dan terimalah kembali kainmu ini!” Orang di atas altar batu cadas julurkan tangan memberikan kembali kain putih pada Pendekar 131.

Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil anggukkan kepala. Lalu mendekat dengan sambuti kainnya kembali. Namun baru saja tangannya menyentuh kain putih di tangan orang, mendadak orang di atas altar batu cadas tarik sedikit tangannya yang mengulur memberikan kain. Kejap lain sekonyong-konyong kaki kanan kirinya bergerak lepaskan tendangan! Bukan hanya sampai di situ, tangan satunya yang sedari tadi menekan julaian kain kerudungnya juga bergerak menghantam!

DELAPAN

Buukkk! Buukkk! Buuukkk!

Terdengar tiga kali suara benturan keras saat kedua kaki dan tangan orang di atas altar batu cadas menghantam telak lambung kanan kiri dan dada Pendekar 131 Joko Sableng. Murid Pendeta Sinting berseru tegang. Sosoknya langsung terpental tiga tombak ke belakang dengan tersentak-sentak. Dan baru mendapat dua tombak, mulutnya sudah mengembung semburkan darah! Lalu terjengkang roboh di atas tanah dengan kepala menghantam sisi satu bongkahan batu cadas hingga kulit kepalanya robek dan kucurkan darah!

Tampaknya orang yang tadi duduk di atas altar batu cadas tak mau memberi kesempatan. Begitu sosok Joko terpental, dia cepat selinapkan kain putih berisi peta. Saat lain melesat mengejar murid Pendeta Sinting dan langsung menghajar dengan tendangan kaki kiri kanan bertenaga dalam tinggi! Di lain pihak, karena masih terkejut dan belum dapat kuasai diri, meski sempat angkat kedua tangannya, namun terlambat bagi Pendekar 131 untuk membuat hadangan.

Buuukk! Buukk!

Untuk kedua kalinya terdengar seruan tertahan tegang dari mulut murid Pendeta Sinting. Sosoknya pulang balik ke samping kiri kanan mengikuti arah tendangan orang, sebelum akhirnya tersapu deras dan baru terhenti setelah menghajar gundukan batu cadas! Pendekar 131 buka mulut hendak berseru menahan rasa sakit. Namun yang tersembur keluar bukannya suara, melainkan muncratan darah! Joko bertahan sekuat tenaga agar tidak pingsan. Lalu perlahan-lahan pula kerahkan tenaga dalam dan buka sepasang matanya untuk mengetahui gerakan orang. Saat itulah terdengar suara.

“Nyawamu sudah di ujung jariku, Pendekar 131! Tapi agar arwahmu nanti tidak penasaran, untuk terakhir kalinya kau kuberi kesempatan melihat siapa yang mengantarmu ke liang lahat!”

Dada murid Pendeta Sinting bergetar. Dia tersentak, karena telinganya mendengar suara seorang perempuan yang masih diingatnya! Bola matanya langsung berputar liar memperhatikan berkeliling.

“Aneh.... Jelas telingaku mendengar suara perempuan berkerudung yang memberiku petunjuk! Tapi mengapa nadanya lain?! Ataukah telingaku yang tertipu...?! Tapi mana sosoknya?!”

Baru saja membatin begitu, satu bayangan berkelebat dan orang yang tadi duduk di atas altar batu cadas sudah tegak di hadapannya dengan tangan diletakkan di atas pinggang.

“Aku tertipu manusia satu ini! Dia bukan adik Dewa Asap Kayangan! Jadi jelas kalau tempat ini bukan Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Berarti petunjuk perempuan berkerudung itu... Astaga! Jangan-jangan....”

Pendekar 131 seakan lupa dengan luka yang dideritanya. Dia bangkit terhuyung-huyung dengan mata menatap tajam pada orang yang tadi duduk di atas altar batu cadas yang kini tegak berkacak pinggang di hadapannya. “Siapa kau sebenarnya?!” Joko membentak.

Yang dibentak perdengarkan tawa panjang. Lalu tangan kirinya membuat gerakan sentakkan kerudung putih panjangnya.

"Bettt!" Kerudung yang tadi menutupi raut wajah orang di atas altar batu cadas terbang ke udara. Joko jelas melihat tampang orang di hadapannya.

“Hantu Pesolek!” desis murid Pendeta Sinting mengenali tampang di balik kerudung milik seorang pemuda berparas sangat tampan berkulit putih dengan bibir diberi polesan pewarna merah.

“Kau masih ingat ucapanku sebelum aku turun dari Bukit Toyongga, Pendekar 131?! Kau dan dua sahabatmu Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran boleh sembunyi sampai ujung bumi, di bawah tanah, dan di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai urusan kita selesaikan!”

Orang yang berpakaian jubah putih panjang dan tadi duduk di atas altar batu cadas dengan wajah ditutup kain kerudung yang menjulai sampai dada dan ternyata tidak lain adalah Hantu Pesolek ulangi ucapan seperti saat dia akan turun dari puncak Bukit Toyongga karena bisa ditaklukkan Pendekar 131 ketika terjadi perebutan peta wasiat.

“Sekarang kau bisa lihat bukti ucapanku! Bukan saja peta itu sekarang berada di tanganku tapi selembar nyawamu juga berada di ujung jariku!”

“Sialan benar! Jadi perempuan berkerudung yang memberi petunjuk tempat ini adalah dia juga! Hem.... Pantas dia tahu banyak urusan di Bukit Toyongga! Aku sama sekali tidak menduga.... Tapi apa boleh buat.... Aku harus dapat merebut kembali kain berisi peta wasiat itu dari tangannya!”

Pendekar 131 cepat kerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya. Namun Joko jadi tertegun dengan kuduk merinding. Dadanya terasa sakit bukan alang kepalang. Dan mulutnya terasa asin, tanda luka dalamnya akibat hantaman Hantu Pesolek sudah keluarkan darah lagi. Tapi Joko berusaha katupkan mulut rapat-rapat agar orang tidak tahu parahnya luka dalam yang diderita.

Namun sebagai tokoh yang sudah kenyang pengalaman, Hantu Pesolek tampaknya bisa membaca gelagat. Pemuda yang sebenarnya sudah berusia sangat lanjut ini perdengarkan tawa bergelak dan berkata. “Kau sudah terluka parah, Pendekar 1311 Membunuhmu saat ini semudah menekuk jari tangan!”

Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Hantu Pesolek. Dia terus kerahkan tenaga dalam meski hal itu makin membuat dadanya nyeri dan napas-nya megap-megap.

“Pendekar 131! Sebelum kau berangkat ke alam baka mendahului dua sahabatmu Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran, kuberi waktu untuk ucapkan pesan terakhir!”

Joko tidak menyahut. Hantu Pesolek dongakkan kepala sambil tertawa bergelak sebelum akhirnya berucap. “Kau tak mau titip pesan! Itu urusanmu dan urusanku sekarang adalah mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhir!” Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek sudah melompat ke arah Pendekar 131 dengan kedua tangan berkelebat lepas pukulan.

Joko angkat kedua tangannya menghadang. Namun kali ini tidak mau tertipu lagi. Seraya angkat kedua tangannya menghadang pukulan orang, kaki kanannya diangkat bersiap menghadapi tipuan orang.

Bukkkl Buuukkk!

Rupanya Hantu Pesolek tidak membuat gerakan menipu dengan kelebatan kedua tangannya. Dia teruskan saja menghantam. Dan hal ini justru membuat Joko tertipu sendiri. Karena dengan angkat kaki kanannya, maka dia hanya bertumpu pada satu kaki. Hingga saat terjadi bentrok, sosoknya langsung terpelanting dan terbanting jatuh di atas tanah! Mulutnya kembali semburkan darah! Hantu Pesolek sendiri hanya tampak bergoyanggoyang sesaat. Dan sekali tangannya mengibas, goyangan tubuhnya terhenti.

“Ajalmu sudah saatnya datang, Pendekar 131!” teriak Hantu Pesolek seraya angkat kedua tangannya.

Luka dalam yang diderita membuat murid Pendeta Sinting hanya mampu kerahkan sedikit tenaga dalamnya. Dan dia sadar, hal itu tak mungkin mampu menghadapi pukulan yang akan dilepas Hantu Pesolek.

“Celaka! Jangan-jangan ajalku memang sudah waktunya! Aduh.... Mengapa begini suratan takdirku...? Tewas di negeri orang tanpa diketahui sahabat dan kenalan...!” Joko membatin dengan wajah tegang. Sosoknya bergetar. Sekujur tubuhnya telah basah kuyup.

Di hadapannya, Hantu Pesolek tegakkan wajah. Dan bersamaan dengan itu kedua tangannya lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi!

"Wuuttl Wuutt!" Dua gelombang angin dimuati tenaga dalam berkiblat ganas ke arah murid Pendeta Sinting yang karena sudah terluka dalam hanya bisa memandang dengan mulut menganga tanpa mampu membuat gerakan apa-apa! Setengah tombak lagi gelombang angin itu menghajar sosok Pendekar 131, mendadak satu sosok bayangan berkelebat.

Murid Pendeta Sinting mendengar deruan angker dari samping. Dia makin tercekat hingga kalau dia tadi masih hendak menghadang gelombang yang dilepas Hantu Pesolek dengan sisa-sisa tenaganya, kini membuat perhatiannya jadi terpecah, hingga kini dia hanya pulang balikkan kepala. Saat itulah tiba-tiba pandangan murid Pendeta Sinting tertutup kibaran benda putih yang perdengarkan deruan.

Belum sempat tahu benda apa yang berkibar di depan matanya, mendadak dia merasakan kepalanya terjerat dan terangkat lalu berputar-putar di udara. Bersamaan itu terdengar pula dua ledakan keras mengguncang lembah yang ditebari terjalan batu cadas.

“Apa yang terjadi?! Beginikah rasanya orang hendak tercabut nyawanya?! Tubuh terasa ringan dengan kepala berputar-putar...,” gumam Joko dalam hati dengan tidak berani buka mata.

Namun baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba dia merasakan jeratan di kepalanya lepas. Sosoknya kini terasa terbang tanpa kendali. Pendekar 131 hendak menjerit. Namun suaranya tertinggal di tenggorokan. Dia akan buka matanya, namun justru yang dilakukan adalah pejamkan mata rapat-rapat!

"Buukkk!" Murid Pendeta Sinting jatuh terkapar di atas tanah. Justru saat itulah mulutnya membuka perdengarkan seruan tertahan!

“Aduh.... Sudah matikah aku...?!”

“Kau adalah Pujaanku. Bagaimana kau akan pergi meninggalkan Bidadarimu ini selama-lamanya tanpa pesan?! Kau belum mati, Pujaanku! Kalaupun mati.... Kita harus mati bersama-sama seperti janji yang pernah kita ucapkan di bawah siraman bulan purnama....” Tiba-tiba terdengar suara menyahut.

“Aku hafal benar siapa yang bersuara itu?! Apakah dia bisa hidup di dua alam...?!” gumam murid Pendeta Sinting.

“Aku manusia biasa sepertimu, Pujaanku! Mana bisa aku hidup di dua alam yang berbeda?! Bukalah matamu. Pandanglah Bidadarimu ini....”

“Suara itu.... Jadi aku masih hidup...?” Joko membatin. Lalu perlahan-lahan buka kelopak matanya. Yang terlihat pertama kali adalah hamparan langit biru. Lalu terjalan-terjalan batu cadas.

Pendekar 131 terus edarkan bola matanya ke samping. Saat itulah sepasang matanya melihat seraut wajah yang dibalut gumpalan daging, hingga sepasang matanya laksana melesak masuk ke dalam lipatan daging dan hampir-hampir tidak kelihatan.

“Putri Pusar Bumi!” kata Joko dengan berbisik. Lalu berusaha bangkit. Sosoknya memang oleng beberapa kali sebelum akhirnya bisa duduk dengan kepala menoleh ke samping.

Pendekar 131 melihat seorang nenek berambut panjang hingga betis. Wajahnya tebal dengan gumpalan daging. Demikian pula perut dan bahunya. Nenek tambun besar ini mengenakan pakaian ketat warna merah. Dia bukan lain adalah Putri Pusar Bumi. Joko putar pandangan. Sejarak dua puluh langkah di seberang sana terlihat Hantu Pesolek tegak dengan mata berkilat memandang silih berganti pada Joko dan Putri Pusar Bumi.

“Hem.... Jadi aku benar-benar masih hidup!” Akhirnya Joko baru percaya. Lalu berpaling lagi pada Putri Pusar Bumi dan berkata. “Terima kasih, Bidadariku....”

Ucapan Joko belum selesai, tiba-tiba Hantu Pesolek sudah berkelebat ke depan lalu tegak tujuh langkah di hadapan Putri Pusar Bumi. Bola matanya menatap sesaat lalu berpaling pada dua bongkahan batu cadas yang porak-poranda terkena hantamannya yang lolos menghajar sosok murid Pendeta Sinting. Saat lain dia berucap garang.

“Putri Pusar Bumi! Kita sudah saling kenal! Di antara kita tidak ada silang sengketa! Aku sekarang punya urusan dengan pemuda itu! Kuharap kau segera angkat kaki tidak ikut campur!”

“Hantu Pesolek.... Ah.... Ah.... Apa urusanmu dengan pemuda ini aku tidak akan turut campur! Tapi perlu kau tahu. Aku adalah Bidadarinya. Dan dia adalah Pujaanku.... Kami sudah berjanji untuk tidak hidup atau hidup bersama-sama selalu.... Maka dari itu, kalau kau ingin membunuhnya, berarti kau juga harus membunuhku! Aku tak bisa hidup tanpa dirinya....”

Hantu Pesolek sentakkan kepala menghadap lurus pada Putri Pusar Bumi. Tanpa buka suara lagi sosoknya berkelebat. Putri Pusar Bumi berpaling pada murid Pendeta Sinting yang duduk di sebelahnya. Bersamaan itu rambutnya yang panjang berkibar perdengarkan deruan angker menyongsong kelebatan Hantu Pesolek! Karena tidak menduga, Hantu Pesolek tampak terkejut di atas udara. Hal ini membuatnya terlambat untuk membuat gerakan menghindar.

Namun pemuda ini tidak tinggal diam. Kedua tangannya segera dihantamkan! Namun untuk kedua kalinya Hantu Pesolek terkesiap. Geraian rambut Putri Pusar Bumi tahu-tahu sudah menjerat kedua tangannya! Dan belum sempat Hantu Pesolek membuat gerakan menendang, di bawah sana Putri Pusar Bumi sudah gerakkan lagi kepalanya.

"Werr!" Kedua tangan Hantu Pesolek terangkat ke udara. Bersamaan itu tubuhnya ikut pula terbang ke angkasa. Putri Pusar Bumi maju satu langkah. Saat lain perempuan bertubuh tambun besar ini gerakkan kepala pulang balik ke kanan kiri dengan cepat. Terdengar deruan beberapa kali. Sosok Hantu Pesolek terombang-ambing di udara mengikuti gerakan kepala Putri Pusar Bumi.

“Hem.... Jadi yang menjerat kepalaku tadi adalah rambut nenek ini!” gumam murid Pendeta Sinting seraya perhatikan sosok Hantu Pesolek.

“Jahanam!” teriak Hantu Pesolek dari atas udara. Dia kerahkan tenaga dalam. Lalu angkat kedua kakinya untuk menghajar geraian rambut si nenek.

Tapi belum sampai kedua kaki Hantu Pesolek menendang, Putri Pusar Bumi sudah sentakkan kepalanya. Rambutnya yang menjerat kedua tangan Hantu Pesolek lepas. Namun geraian rambut itu bukannya segera luruh ke bawah, melainkan meliuk lalu melesat lagi ke atas menyergap sosok Hantu Pesolek!

SEMBILAN

Hantu Pesolek tersentak kaget. Tundukkan wajah dia tercengang sendiri. Kini geraian rambut si nenek sudah melilit tubuhnya! “Keparat!” lagi-lagi Hantu Pesolek berteriak marah. Dia kelebatkan kedua tangannya menghantam pada geraian rambut si nenek.

Tapi hantaman kedua tangan Hantu Pesolek hanya menghajar udara kosong. Karena bersamaan dengan itu Putri Pusar Bumi sentakkan kepalanya ke bawah. Hingga geraian yang melilit tubuh Hantu Pesolek terlepas. Hebatnya, lilitan itu mampu merobek pakaian yang dikenakan Hantu Pesolek mulai dari dada hingga sebatas pahanya! Hantu Pesolek menyumpah habis-habisan dari atas udara. Lalu memandang pada robekan pakaiannya yang melayang-layang ke bawah.

“Kain peta itu...,” seru Hantu Pesolek. Tanpa hiraukan aurat bawahnya yang terbuka menganga, Hantu Pesolek berkelebat mengejar. Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba geraian rambut Putri Pusar Bumi sudah menderu dan menyambar robekan pakaian dan kain peta yang tadi tersimpan di balik pakaian Hantu Pesolek.

Di samping Putri Pusar Bumi, Pendekar 131 mengawasi kain peta yang tersambar geraian rambut si nenek. Dan begitu geraian rambut itu berbalik pada kepala Putri Pusar Bumi, robekan pakaian dan kain peta terhampar lima langkah di samping sosok murid Pendeta Sinting. Joko tidak menunggu. Dia segera tekuk tubuhnya lalu menggelundung ke arah kain dan robekan pakaian Hantu Pesolek. Kain peta dan robekan pakaian Hantu Pesolek segera diraih lalu dimasukkan ke balik pakaiannya.

Hantu Pesolek melayang turun dengan dada laksana pecah karena hawa marah. Dia sudah kerahkan segenap tenaga luar dalamnya. Namun begitu sadar akan keadaan auratnya yang terbuka menganga, pemuda berperangai perempuan ini cepat katupkan kedua tangannya pada bagian pangkal pahanya. Lalu putar diri di atas udara dan menjejak tanah dengan tegak membelakangi Putri Pusar Bumi dan Pendekar 131.

“Bidadariku....” Berkata murid Pendeta Sinting sambil tertawa meski dadanya masih nyeri saat tertawa. “Mengapa bentuk senjatanya aneh?! Dan warnanya pun mengherankan. Tidak seperti layaknya, tapi belang putih hitam...?!”

“Pujaanku.... Jangan membuatku malu. Ah.... Ah.... Tidak baik membuka barang rahasia orang! Mungkin itu dipoles agar terlihat keren dan bisa tampil beda! Tapi menurutku malah jadi lucu....”

“Bukan saja lucu, tapi juga menggemaskan!” timpal Joko.

“Bukan saja menggemaskan, tapi juga mendirikan bulu roma!” sambung Putri Pusar Bumi.

“Bukan saja mendirikan bulu roma, tapi juga bulu ketiak!” sambut Pendekar 131 lalu tawanya meledak.

Di sampingnya, Putri Pusar Bumi tekap mulutnya rapat-rapat. Namun tak urung suara tawanya menyembur keluar. Hingga gumpalan daging pada perut dan wajahnya terguncang-guncang turun naik.

Hantu Pesolek sendiri tampak tak bisa menahan diri mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting dan Putri Pusar Bumi. Sosoknya bergetar keras tanda hawa amarahnya tak bisa dibendung lagi. Namun keadaan dirinya membuat tokoh yang sebenarnya sudah berusia lanjut meski terlihat muda ini tak tahu apa yang harus dilakukannya. Hingga untuk beberapa lama dia hanya berdiri membelakangi Joko dan Putri Pusar Bumi dengan takupkan kedua telapak tangannya pada pangkal paha. Di lain pihak, puas tertawa Pendekar 131 segera buka mulut lagi.

“Bidadariku.... Lihat! Bukan saja senjatanya yang terlihat aneh dan berwarna beda. Tapi pantatnya juga lain dari biasa!”

“Ah.... Ah.... Kau makin membuatku malu saja, Pujaanku! Aku tak berani memandangnya. Tapi tolong jelaskan apa yang kau katakan lain dari biasa itu!”

“Pantat sebelah kanan padat, besar, kencang, putih mulus, pokoknya menggairahkan dan sedap dipandang...!”

“Ah.... Ah.... Ucapanmu membuat dadaku berdebar-debar tak karuan. Lantas pantat satunya?!”

Pendekar 131 cekikikan dahulu sebelum akhirnya menjawab. “Pantat sebelah kiri kendor, tipis, hitam legam, di sana-sini terlihat bisul besar-besar berwarna merah menyala dan sepertinya siap meledak!”

Hantu Pesolek bantingkan kaki hingga tanahnya muncrat dan bergetar. Lalu berteriak. “Putri Pusar Bumi! Kau menambah deretan nama manusia bangsat yang nyawanya kelak hanya boleh tercabut dengan tanganku! Dan kau Pendekar 131! Kelak nyawamu akan kucabut dua kali!” Habis berteriak begitu, Hantu Pesolek hantamkan kembali kaki kirinya. Lalu melesat tinggalkan tempat itu dengan kedua tangan menakup selangkangannya yang terbuka menganga!

“Terima kasih atas pertolonganmu, Putri...,” kata Joko seraya menjura hormat.

Putri Pusar Bumi tidak menyahut. Sebaliknya mendekati Joko dan tegak di belakangnya. Dada Joko jadi berdebar. Baru saja dia hendak berpaling, mendadak Putri Pusar Bumi sudah bungkukkan tubuh. Tangan kanannya ditempelkan pada punggung murid Pendeta Sinting. Joko maklum apa yang dilakukan orang. Dia cepat salurkan hawa murni lalu pejamkan mata.

Perlahan-lahan rasa nyeri pada dadanya lenyap. Demikian pula rasa sakit pada lambung dan bahunya. Untuk pulihkan seluruh tenaganya, Joko teruskan pejamkan mata dengan salurkan hawa murni meski dia merasa telapak tangan si nenek sudah diangkat dari punggungnya. Setelah beberapa lama, baru Joko buka lagi sepasang matanya. Lalu berucap.

“Putri.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih....” Karena tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting menoleh. Ternyata yang diajak bicara sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya!

“Ke mana perginya...?!” gumam Joko sambil putar pandangan. Namun hingga kepalanya teleng dan matanya pedih mencari-cari, sosok si nenek tidak dapat ditemukan.

“Kepada siapa lagi aku harus bertanya?!” gumam Joko seraya melangkah tinggalkan lembah berbatu cadas.

********************

Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang tengah tenggelam dalam kebingungan tak tahu ke mana harus bertanya. Kita kembali sejenak pada satu tempat tidak jauh dari tempat bentroknya Bidadari Pedang Cinta dengan Bidadari Tujuh Langit. Di balik salah satu batangan pohon besar, seorang laki-laki bertubuh cebol berambut panjang hingga menyapu tanah yang di pinggangnya melilit sebuah pedang berkilat dan bukan lain adalah Iblis Pedang Kasih adanya, terlihat duduk bersandar pada batangan pohon.

Matanya memandang pada dua sosok tubuh yang duduk di hadapannya. Sebelah kanan adalah seorang gadis berbaju hijau berwajah cantik. Sebelah kiri adalah juga seorang gadis berparas jelita mengenakan pakaian warna biru. Mereka adalah dua gadis yang sempat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit dan sempat tertotok hingga tak bisa bergerak tak mampu bicara. Namun ketika Bidadari Tujuh Langit tengah lepaskan pukulan dan suasana berubah pekat, satu bayangan berkelebat laksana setan gentayangan menyambar sosok gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru.

“Terima kasih atas pertolonganmu....” Si gadis berbaju biru angkat suara setelah beberapa lama terdiam. Berkat pertolongan si bayangan yang ternyata adalah Iblis Pedang Kasih, Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru bisa gerakkan anggota tubuhnya lagi, juga mampu perdengarkan suara.

Iblis Pedang Kasih tersenyum. Lalu buka suara. “Kau tak keberatan mengatakan siapa dirimu?!”

Gadis berbaju biru melirik sesaat pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu buka mulut. “Aku biasa dipanggil Bidadari Delapan Samudera.”

“Sepertinya kau sedang mengadakan perjalanan jauh.... Bisa jelaskan akan ke mana?”

Yang ditanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata. “Aku memang tengah mengadakan perjalanan. Bukan hanya jauh tapi juga tak tahu ke mana arah yang harus kutuju....”

Ucapan gadis baju biru membuat Iblis Pedang Kasih tertawa pendek. Tapi tidak demikian halnya dengan Bidadari Pedang Cinta. Gadis baju hijau cucu Iblis Pedang Kasih ini berpaling dan berkata dalam hati. “Dari ucapannya, yang dicari pasti Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai seperti halnya pemuda bernama Joko Sableng itu.... Bukankah dia adalah kekasih pemuda itu?!”

Bidadari Pedang Cinta teringat akan ucapan Pendekar 131 saat mengatakan pada Bidadari Tujuh Langit jika salah satu dari dirinya atau gadis berbaju biru adalah kekasihnya.

“Bidadari Delapan Samudera.... Ucapanmu aneh!” berkata Iblis Pedang Kasih. “Tapi aku bisa menebak apa maksud ucapanmu! Jika tak salah, kau tengah mencari seseorang yang tempat tinggalnya tak kau ketahui....”

Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. “Sebenarnya bukan hanya itu. Selain aku tak tahu di mana tempat tinggalnya, aku juga tak tahu siapa namanya!”

Bidadari Pedang Cinta makin kernyitkan dahi mendengar sambutan Bidadari Delapan Samudera. Tapi entah mengapa, dia punya perasaan enggan untuk buka mulut ajukan tanya. Sementara Iblis Pedang Kasih tidak unjukkan rasa heran dengan sambutan Bidadari Delapan Samudera. Dia tertawa lagi lalu berkata. “Kau mencari seseorang yang hanya kau ketahui bagaimana ciri-cirinya?”

Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. Lalu memandang berkeliling. Diam-diam gadis jelita berbaju biru ini berkata dalam hati. “Dari percakapan bisik-bisik mereka tadi, aku tahu gadis bernama Bidadari Pedang Cinta ini adalah cucunya. Hem.... Tapi ke mana pemuda yang mengaku sebagai kekasihnya tadi?! Apakah masih terlibat bentrok dengan perempuan cantik yang bernama Bidadari Tujuh Langit itu...?!” Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera segera melirik ke seantero tempat di mana dia kini berada.

Namun baru saja bola matanya bergerak, Iblis Pedang Kasih sudah berucap. “Aku tidak punya maksud apa-apa. Tapi kalau kau mau mengatakan bagaimana ciri-ciri orang yang tengah kau cari, mungkin....”

“Terima kasih, Orang Tua....” Bidadari Delapan Samudera memotong ucapan Iblis Pedang Kasih. “Kurasa aku mampu menyelesaikan urusanku tanpa bantuanmu...!”

“Kau mencari seorang laki-laki?!” tanya Iblis Pedang Kasih tidak peduli dengan penolakan halus Bidadari Delapan Samudera.

“Maaf, Orang Tua.... Kalau urusan lain, mungkin aku akan berterus terang padamu, karena kau telah menolongku. Tapi untuk urusan satu ini, biarlah hanya aku yang tahu....”

“Kau jangan menganggap apa yang kulakukan adalah sebuah jasa. Seandainya pun tadi kau tidak bersama cucuku Bidadari Pedang Cinta ini, pasti aku tetap melakukan hal yang sama! Jadi kau tak usah merasa sungkan mengatakannya...! Siapa tahu aku bisa membantu!”

Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Masalahnya bukan itu, Orang Tua. Ini adalah urusan teka-teki hidupku... Jadi rasanya tak layak kalau aku melibatkanmu di dalamnya... Sekali lagi harap maafkan...”

Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera melirik pada Bidadari Pedang Cinta. Entah karena apa, begitu melihat paras wajah Bidadari Pedang Cinta, dia teringat pada Pendekar 131 Joko Sableng. Dan mendadak hatinya berdebar dengan perasaan gelisah. “Mengapa dia tidak muncul juga di tempat ini? Kalau gadis ini adalah cucunya, sementara pemuda itu adalah kekasih gadis ini, kuyakin pasti dia tahu di mana harus mencari! Ah.... Mengapa aku memikirkannya?!” Paras wajah Bidadari Delapan Samudera jadi bersemu merah dan tertawa sendiri dalam hati. Lalu berkata.

“Orang tua.... Aku harus segera pergi....”

“Seandainya aku bisa mencegah, rasanya aku sangat gembira. Apalagi jika kau berubah pikiran dengan mau mengatakan bagaimana ciri orang yang kau cari...,” ujar Iblis Pedang Kasih.

“Seandainya nanti aku gagal tanpa bantuan, pasti aku akan mencarimu untuk minta tolong....” Bidadari Delapan Samudera sambuti ucapan Iblis Pedang Kasih sambil bergerak bangkit. Menjura hormat pada Iblis Pedang Kasih, lalu menoleh pada Bidadari Pedang Cinta seraya sunggingkan senyum dan mengangguk lantas putar diri dan berkelebat keluar dari balik batangan pohon.

SEPULUH

Begitu berlari keluar dari balik batangan pohon, entah mengapa mendadak rasa gelisah kembali membuncah dada Bidadari Delapan Samudera. Dia hentikan larinya dan tegak seraya sedikit tegakkan wajah.

“Aku tidak bisa memastikan berapa lama berada di balik pohon bersama orang tua dan gadis itu. Tapi aku hampir bisa menduga, jika tidak terjadi apa-apa dengan pemuda itu, pasti dia telah muncul atau setidaknya dia mencari.... Anehnya, mengapa gadis dan orang tua itu tidak merasa gelisah? Mereka juga tidak menyebut-nyebut pemuda itu.... Padahal, dari ucapan si pemuda dan tatapan gadis baju hijau itu, aku bisa menebak jika mereka berdua adalah sepasang kekasih.... Hem.... Apakah aku harus melihat ke tempat mana dia tadi bentrok dengan perempuan berbaju putih itu...? Tapi apa pantas...? Bagaimana kalau tiba-tiba gadis baju hijau itu juga berada di sana?! Apa katanya nanti...?! Hem.... Aku tahu mereka adalah sepasang kekasih, tapi mengapa aku....”

Bidadari Delapan Samudera tidak lanjutkan membatin. Dia gigit bibirnya sendiri dengan menghela napas panjang. Dan untuk beberapa lama, gadis jelita ini tegak dengan perasaan yang makin lama tambah gelisah dan cemas. “Aku harus melihatnya!” Akhirnya Bidadari Delapan Samudera mengambil keputusan. “Terserah apa katanya nanti! Aku hanya ingin memastikan keselamatannya. Karena bagaimanapun juga dia tadi telah berusaha menolongku dari tindakan aneh Bidadari Tujuh Langit...”

Berpikir sampai ke sana, akhirnya Bidadari Delapan Samudera putar tubuh. Lalu berkelebat menuju tempat mana dia tadi sempat bertemu dengan Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Tujuh Langit, dan Pendekar 131. Karena masih dihantui rasa tak enak jika bertemu dengan Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Samudera sengaja memilih jalan berputar dan sesekali menyelinap sembunyi begitu merasa dekat dengan tempat yang dituju.

Namun begitu sampai di tempat di mana tadi terjadi bentrok antara Bidadari Tujuh Langit dan Pendekar 131, Bidadari Delapan Samudera tidak melihat siapasiapa. Gadis ini memperhatikan sekeliling beberapa saat. Yakin jika Bidadari Pedang Cinta tidak berada di sekitar tempat itu, Bidadari Delapan Samudera beranikan diri melangkah berkeliling dengan mata nyalang mencari-cari. Walau Bidadari Delapan Samudera tidak menemukan siapa-siapa, namun kegelisahan dada gadis ini agak berkurang.

“Aku tidak menemukan mereka, tapi juga tidak menemukan mayat mereka, berarti pemuda itu masih hidup! Hanya saja, ke mana dia...?! Mungkinkah tengah mencari gadis berbaju hijau itu...?!”

Tak tahu mana dugaannya yang tepat, akhirnya Bidadari Delapan Samudera memutuskan tinggalkan tempat itu meski dadanya masih digelayuti perasaan tidak enak. Dan tampaknya perasaan tidak enak yang terus mendera dada Bidadari Delapan Samudera membuat gadis berparas jelita ini berlari dengan setengah hati. Malah pada satu tempat rindang di pinggiran sungai kecil, gadis ini hentikan larinya lalu duduk di salah satu batu yang berada di pinggiran sungai. Kedua kakinya yang putih mulus dibuat mainan di permukaan air hingga suasana sunyi di pinggiran sungai samar-samar dipecah suara berkecipaknya gemercik muncratan air.

Suara kecipak air untuk sementara dapat meredam kegelisahan hati Bidadari Delapan Samudera. Gadis ini tampak sunggingkan senyum. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Saat gadis jelita ini memperhatikan kakinya yang ada di atas permukaan air, mendadak dia hentikan gerakan kakinya. Senyumnya pupus berganti wajah sedikit gelisah dan kaget. Sepasang matanya membelalak. Permukaan air bukan pantulkan wajahnya namun pantulkan raut wajah milik orang lain yang belum lama berselang membuat dadanya gelisah!

“Mengapa aku selalu teringat padanya?! Ada apa dengan diriku?! Dia telah memiliki seorang kekasih.... Tidak seharusnya aku selalu mengingatnya!” Bidadari Delapan Samudera cepat-cepat tegakkan wajahnya tengadah, menghindari pantulan permukaan air yang menggambarkan raut wajah murid Pendeta Sinting. “Ada tugas yang harus segera kuselesaikan! Aku tidak boleh terus tenggelam dalam kegelisahan ini!” Dengan tegarkan hati, Bidadari Delapan Samudera angkat kedua kakinya dari permukaan air. Namun belum sampai pantatnya bergerak, terdengar suara.

“Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya ingin bertanya kalau kau tidak merasa keberatan....”

Dada Bidadari Delapan Samudera laksana disapu angin. Berdesir sesaat lalu berdebar. Namun gadis ini segera kuasai diri dan berkata dalam hati. “Orangnya belum tentu sama walau suaranya hampir mirip!”

Tapi ketabahan Bidadari Delapan Samudera perlahan-lahan luruh tatkala dia teruskan ucapan hatinya. “Bagaimana kalau benar-benar dia ada bersama Bidadari Pedang Cinta...?!”

“Tampaknya kau tak mau diganggu.... Aku akan segera pergi!” Suara yang tadi terdengar, kembali berucap.

“Tunggu!” Bidadari Delapan Samudera menahan, lalu perlahan-lahan putar tubuhnya yang masih duduk di atas batu di pinggiran sungai.

“Ternyata memang dia.... Dan dia sendirian!” gumam Bidadari Delapan Samudera ketika matanya melihat satu sosok tubuh milik seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang sedikit acak-acakan dan bukan lain adalah Pendekar 131.

Karena perasaannya gembira, khawatir dan gelisah, untuk beberapa lama Bidadari Delapan Samudera hanya duduk memandang tanpa buka suara. Sebaliknya, murid Pendeta Sinting meski tampak gembira namun perasaannya biasa-biasa saja. Karena sebenarnya saat itu dia memang butuh seseorang yang bisa memberi keterangan.

Sejak keluar dari lembah berbatu cadas dan tertipu oleh Hantu Pesolek, murid Pendeta Sinting memang telah dilanda kebingungan. Hingga dia teruskan langkah dengan tanpa tujuan. Dan begitu melihat Bidadari Delapan Samudera, Joko merasa lega. Karena dari ucapan dan tindakannya saat membela Bidadari Pedang Cinta, Joko bisa menarik kesimpulan jika gadis berbaju biru itu adalah gadis baik-baik.

“Kau tengah menunggu seseorang?!” Murid Pendeta Sinting pecah kebisuan dengan ajukan tanya. Lalu balas pandangan si gadis. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling berpandangan.

Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala sambil alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan sembunyikan parasnya yang berubah memerah.

“Kehadiranku mengganggumu?!” kembali Joko bertanya. Lagi-lagi Bidadari Delapan Samudera menjawab dengan isyarat gelengan kepalanya.

“Boleh aku bertanya?!”

Bidadari Delapan Samudera menoleh lagi menghadap Pendekar 131. Namun tidak berusaha menatap bola mata murid Pendeta Sinting. Dia tenangkan dadanya beberapa lama sebelum akhirnya buka mulut. “Apa yang akan kau tanyakan...?”

“Kau tiba-tiba saja lenyap dan kutemukan di sini! Kau sendirian?!”

Bidadari Delapan Samudera tidak segera menjawab. “Hem.... Aku tahu maksud pertanyaannya. Dia pasti mengkhawatirkan Bidadari Pedang Cinta! Berarti dia belum bertemu dengan kekasihnya itu! Dia sekarang tengah mencari!”

Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera segera buka mulut. “Kau mencari kekasihmu?!”

Pendekar 131 tersentak dengan pertanyaan balik Bidadari Delapan Samudera. Dia tertawa panjang lalu berkata. “Aku heran ketika kau tiba-tiba tidak kulihat lagi dan kutemukan di sini sendirian! Kau bias menjelaskan?!”

“Aku ditolong seseorang. Laki-laki bertubuh pendek dan berambut panjang....”

“Hem.... Iblis Pedang Kasih...,” ujar Joko. “Lalu....”

Tampaknya Bidadari Delapan Samudera sudah bisa menebak ke mana arah ucapan Pendekar 131. Hingga sebelum Joko sempat lanjutkan bicara, Bidadari Delapan Samudera sudah menukas. “Seperti halnya diriku, kekasihmu juga tidak mengalami cedera apa-apa! Kau belum bertemu dengan mereka?!”

“Aneh.... Dari tadi dia selalu menyebut-nyebut kekasihku! Aku tahu siapa yang dimaksud. Pasti Bidadari Pedang Cinta! Mengapa dia menduga aku adalah kekasih Bidadari Pedang Cinta?! Hem.... Dia telah diselamatkan Iblis Pedang Kasih yang juga adalah eyang Bidadari Pedang Cinta. Jangan-jangan orang tua itu yang iseng menebar berita pada gadis ini!”

Pendekar 131 menduga-duga. Dia lupa akan ucapannya sendiri saat bentrok dan mencegah Bidadari Tujuh Langit yang akan bertindak tidak senonoh pada Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Delapan Samudera.

Bidadari Delapan Samudera melompat dari batu di pinggiran kali. Lalu tegak dan berujar. “Aku berterima kasih padamu. Setidaknya kau telah ikut menyelamatkan jiwaku dari Bidadari Tujuh Langit... Soal orang tua bertubuh pendek....”

“Dia Iblis Pedang Kasih...,” sahut Joko memperkenalkan orang yang dimaksud Bidadari Delapan Samudera.

“Hem.... Dia dan kekasihmu sekarang berada tidak jauh dari tempat di mana kita sempat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit.... Mereka ada di balik sebuah batangan pohon besar.... Mungkin mereka tengah menunggumu!”

Mendengar keterangan Bidadari Delapan Samudera, murid Pendeta Sinting tertawa. Lalu berujar seolah berkata pada dirinya sendiri. “Menungguku...?! Untuk apa...?!”

Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, kini ganti Bidadari Delapan Samudera yang tertawa seraya berkata. “Sayang aku tidak sempat menanyakan pada mereka. Lagi pula rasanya tidak pantas hal itu kutanyakan... Segeralah ke sana! Jangan buat mereka menanti dengan perasaan khawatir dan cemas....” Setelah berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera hendak berlalu tinggalkan pinggiran sungai.

“Tunggu!”

“Aku tak mau mendapat urusan dengan orang yang telah menolongku hanya gara-gara karena kita bicara di tempat ini!” berkata Bidadari Delapan Samudera dengan suara agak ketus.

“Kau ini aneh... Bagaimana kau bisa mengatakan mereka menungguku?! Bagaimana pula kau bisa mengatakan mereka akan khawatir dan cemas pada diriku?! Apa hubungan dan kaitan mereka dengan diriku...?!”

Bidadari Delapan Samudera berpaling dengan mata sedikit mendelik. “Kau berani mengatakan terus terang dihadapan gadis itu! Tapi begitu dia tidak ada di depanmu, mengapa kau jadi lain?!” ujar Bidadari Delapan Samudera dengan tertawa gusar. “Jangan kau jadi pemuda pengecut! Lebih dari itu aku tak mau mendapat tuduhan yang bukan-bukan!”

Pendekar 131 lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Bidadari Delapan Samudera. Dan enak saja dia berucap. “Kau ini ada-ada saja.... Ucapan apa yang kukatakan di depan Bidadari Pedang Cinta...? Dan tuduhan apa yang akan dialamatkan padamu?!” Joko sengaja langsung menunjuk Bidadari Delapan Samudera.

Ucapan Pendekar 131 membuat Bidadari Delapan Samudera putar diri menghadap murid Pendeta Sinting dengan dada mulai jengkel. Dalam hati dia berucap. “Dasar laki-laki! Belum sampai matahari tenggelam tapi sudah lupa dengan kata-kata yang baru saja diucapkan!”

Karena Bidadari Delapan Samudera tidak segera menjawab, Pendekar 131 segera berucap lagi. “Mungkin kau salah dengar dengan apa yang kuucapkan.... Kau juga terlalu punya perasaan yang tidak-tidak.... Padahal, jangankan hanya bicara begini, seandainya pun kita jalan bergandengan, kau tidak akan mendapat tuduhan apa-apa....”

Sepasang mata Bidadari Delapan Samudera mendelik angker. Lalu terdengar bentakannya. “Telingaku tidak tuli! Ingatanku masih normal!”

“Astaga.... Kau tidak main-main...?”

“Siapa main-main?! Telingaku dengar sendiri kau menyebutnya kekasih di depan Bidadari Tujuh Langit dan di depan mataku!”

“Ah....” Pendekar 131 mengeluh sambil tepuk jidatnya sendiri. Namun bersamaan dengan itu tawanya meledak!

“Apa yang kau anggap lucu?! Kau pikir semua ini main-main, hah?!”

Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. “Hem.... Apa yang harus kukatakan padanya?! Apakah aku harus berterus terang kalau ucapanku itu hanya agar aku mendapatkan alasan mengapa sampai Ikut campur urusan Bidadari Pedang Cinta dan urusannya dengan Bidadari Tujuh Langit?! Tapi mungkinkah dia percaya?! Apakah kalau aku berterus terang malah tidak menambah dia salah paham...?!”

Saat itulah Joko baru ingat akan peringatan orang tua pemilik kedai Han Pek Kun. “Hem.... Ucapan orang tua itu ternyata benar. Di hadapan seorang gadis, ucapan canda bisa diartikan lain.... Tapi apa boleh buat.... Semua sudah telanjur terucapkan....”

“Dengar!” Bidadari Delapan Samudera membentak. “Kau tentu sudah tahu tempat yang baru saja kukatakan! Pergilah cepat! Kau harus menghormati seorang gadis yang menunggumu dengan cemas!” Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera berkelebat tinggalkan pinggiran sungai.

Namun tanpa buka mulut menahan, Joko mendahului berkelebat dan tegak menghadang di hadapan sang Bidadari. “Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu....”

“Aku tak butuh penjelasan! Lagi pula di antara kita tidak ada urusan apa-apa!”

“Justru kalau kau tidak mau dengar penjelasanku, berarti di antara kita secara tak sengaja telah ada urusan!”

Bidadari Delapan Samudera tahan rasa jengkelnya. Sambil alihkan pandang matanya ke jurusan lain, gadis ini berkata dengan ketus. “Katakan penjelasan apa yang akan kau ucapkan! Tapi jangan berharap aku akan menanggapi penjelasanmu!”

SEBELAS

Pendekar 131 tersenyum. Lalu berkata. “Anggap saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa dan kau tidak pernah dengar apa-apa! Saat ini kita berdiri sebagai orang yang baru saja bertemu. Dan aku butuh penjelasan darimu, karena kulihat kau orang daerah sini dan paham dengan daerah sekitar sini....”

“Itu bukan penjelasan! Itu pernyataan laki-laki pengecut!” Bidadari Delapan Samudera menyahut dengan suara tinggi.

“Hem.... Terserah bagaimana anggapanmu.... Yang jelas menurutku, aku telah menjelaskan sesuatu padamu! Dan aku sekarang hendak minta penjelasan darimu....” Enak saja murid Pendeta Sinting berujar.

“Kau tak akan mendapat penjelasan apa-apa!”

“Kalau kau merasa keberatan, aku tidak memaksa.... Namun kuharap kau tidak merasa keberatan kalau mengatakan siapa dirimu....”

“Pergilah menemui kekasihmu. Kau akan mendapat jawaban!”

“Itu pernyataan seorang gadis yang belum tahu....”

“Belum tahu apa?!” bentak Bidadari Delapan Samudera.

“Bukan jawaban yang akan kudapat, melainkan gebukan!”

“Bidadari Pedang Cinta sama sekali tidak menyebut-nyebut pemuda ini.... Wajahnya juga tidak membayangkan perasaan khawatir atau cemas. Lalu penjelasan pemuda ini.... Hem.... Mungkin di antara mereka ada masalah! Ah.... Kalau aku terus-terusan berada di tempat ini dan gadis itu tahu, tentu akan jadi masalah besar....”

Membatin Bidadari Delapan Samudera. Lalu berkata. “Aku akan sebutkan siapa diriku. Tapi setelah itu kau harus menemui mereka. Selesaikan urusan kalian dengan baik-baik. Dan satu hai lagi, kuharap kau tidak sebut-sebut diriku di hadapan kekasihmu itu. Bukan karena apa, aku tak mau terjadi salah paham....”

Sebenarnya murid Pendeta Sinting hendak buka mulut menyahut. Tapi sebelum suaranya sempat terdengar, Bidadari Delapan Samudera telah mendahului. “Kau bisa memanggilku Bidadari Delapan Samudera...!”

“Kau tahu daerah....”

“Aku hanya bisa memberi tahu siapa diriku. Soal lainnya mungkin kau bisa menanyakannya pada orang lain. Selamat tinggal!”

“Tunggu dulu!” lagi-lagi Pendekar 131 menahan.

Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera tak ingin batalkan niatnya untuk berkelebat. Namun sekuat tenaga dia berusaha gerakkan kaki hendak pergi, hatinya justru makin tak tega. Hingga gadis ini akhirnya hanya tegak menunggu tanpa buka suara.

“Kau tidak bertanya siapa aku?!”

“Kalau kau sudi mengatakannya....”

“Aku Joko Sableng....”

“Hanya itu yang ingin kau katakan?” tanya Bidadari Delapan Samudera.

“Boleh bertanya ke mana kau akan pergi?”

Bidadari Delapan Samudera menghela napas panjang. Lalu geleng kepala dan berkata. “Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu. Sayang.... Aku sendiri tak tahu harus ke mana...”

“Ah.... Sepertinya kita senasib!”

Bidadari Delapan Samudera berpaling. Tanpa menunggu si gadis bertanya, murid Pendeta Sinting sudah mendahului berkata. “Aku berasal dari negeri jauh. Mencari tempat yang hanya kukenal namanya....”

“Hem.... Berarti kita tidak senasib!” ujar Bidadari Delapan Samudera. “Kau lebih beruntung dariku. Kau masih mengenal nama tempat yang kau cari. Sementara aku tidak!” Entah mengapa tiba-tiba Bidadari Delapan Samudera mau bicara terus terang.

“Maksudmu...?!”

“Aku hanya tahu cirinya! Tidak tahu di mana tempatnya!”

“Kau mencari seseorang atau mencari satu tempat?!”

Bidadari Delapan Samudera terdiam beberapa lama. Gadis ini dilanda kebimbangan antara berterus terang atau tidak.

“Aku memang bukan orang daerah sini. Kita juga baru kenalan. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mau mengatakannya padaku. Siapa tahu....”

“Apa yang bisa kau lakukan untukku?! Kau bukan berasal dari negeri ini. Sementara urusanku masih berhubungan erat dengan negeri ini! Rasanya percuma aku mengatakannya padamu! Lagi pula kau masih punya urusan yang harus kau selesaikan dengan gadis itu.... Aku tak mau menambah beban....”

“Bidadari Delapan Samudera.... Kuharap kau percaya. Sebenarnya aku juga baru berkenalan dengan Bidadari Pedang Cinta...”

Ucapan Joko membuat Bidadari Delapan Samudera mendelik lagi. “Kau masih saja berlaku pengecut!”

“Ah.... Sebaiknya aku tidak mengungkit-ungkit urusan ucapanku di hadapan Bidadari Tujuh Langit. Ini bisa membuat dia tidak mau memberi penjelasan yang kuinginkan. Padahal dia sudah mulai mau berkata....” Joko membatin.

“Baiklah.... Anggap saja ucapanku di hadapan Bidadari Tujuh Langit benar. Sekarang mau menjawab pertanyaanku tadi?! Kau mencari seseorang atau satu tempat?!” Joko ulangi lagi pertanyaannya.

“Yang kucari seseorang. Tapi aku hanya tahu cirinya tanpa tahu siapa nama dan tempat tinggalnya!”

“Urusannya...?!”

“Setelah kukatakan, kau mau memenuhi permintaanku untuk segera pergi dari sini menemui gadis itu?!”

Pendekar 131 menghela napas. Lalu anggukkan kepala. “Dialah yang bisa membuka....”

Belum sampai Bidadari Delapan Samudera selesaikan ucapannya, mendadak satu bayangan berkelebat. Gadis berbaju biru ini cepat putuskan ucapan. Lalu berpaling. Sepasang matanya membelalak beberapa saat. Lalu anggukkan kepala dan menoleh pada murid Pendeta Sinting sambil berkata pelan.

“Aku harus segera pergi! Kuharap kau menceritakan apa yang kita bicarakan agar nantinya tidak terjadi salah paham dan jadi pembuka urusan!” Ucapan Bidadari Delapan Samudera membuat Pendekar 131 batalkan niat untuk berpaling melihat siapa yang datang. Karena pada saat itu Bidadari Delapan Samudera sudah berkelebat.

“Bidadari.... Tunggu!”

Bidadari Delapan Samudera tidak pedulikan teriakan murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin percepat kelebatannya. Joko sudah akan mengejar. Namun niatnya tertahan tatkala tiba-tiba terdengar suara.

“Aku tidak bermaksud mengganggu kalian.... Aku tidak tahu kalau kalian berada di tempat ini!”

Pendekar 131 cepat berpaling. “Bidadari Pedang Cinta..,” gumamnya mengenali satu sosok tubuh yang tegak sepuluh langkah di seberang depan sana. Gadis ini tegak dengan memandang ke arah mana baru saja Bidadari Delapan Samudera berkelebat pergi.

“Aku harus pergi...,” berkata gadis yang baru muncul, dan bukan lain memang Bidadari Pedang Cinta adanya.

“Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!” tahan murid Pendeta Sinting lalu melompat dan tegak tidak jauh dari Bidadari Pedang Cinta.

“Kau masih punya urusan yang harus kau selesaikan! Kau masih punya kesempatan untuk mengejarnya sebelum dia pergi jauh....”

“Waduh.... Pasti urusannya sama dengan Bidadari Delapan Samudera! Mengapa harus jadi begini akibatnya?!” Joko mengeluh dalam hati bisa membaca dari sambutan Bidadari Pedang Cinta. “Dia yang bisa memberi petunjuk. Aku harus bisa menjernihkan urusan ini. Jika tidak, aku akan kehilangan lagi tempat untuk bertanya....” Membatin sampai di situ, Pendekar 131 akhirnya berkata.

“Bidadari Pedang Cinta. Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu!”

Bidadari Pedang Cinta geleng kepala. “Aku berada di tempat ini tidak sengaja! Jadi jangan kau mengira yang bukan-bukan! Tidak ada yang perlu dijelaskan antara kita!”

“Hem.... Maksudku, aku ingin menjelaskan ucapanku saat bicara dengan Bidadari Tujuh Langit!”

“Ucapan yang mana?!”

“Aku saat itu mengatakan bahwa salah satu di antara dirimu dan Bidadari Delapan Samudera adalah kekasihku....”

“Aku sudah paham apa maksud ucapanmu itu! Tidak perlu dijelaskan lagi!”

“Bukan begitu! Ucapan itu masih perlu penjelasan! Ucapan itu kukatakan dengan maksud agar kau punya alasan ikut campur menahan tindakan Bidadari Tujuh Langit!”

Bidadari Pedang Cinta tertawa pendek. Nadanya jelas menunjukkan rasa tidak percaya. Lalu sambil berpaling dia berkata. “Keberadaanmu di tempat ini membuatku tidak yakin dengan ucapanmu!”

“Waduh.... Apa yang harus kuperbuat sekarang?! Yang satu tidak percaya. Satunya lagi tidak yakin!”

“Bidadari Pedang Cinta....” Akhirnya Joko berkata setelah agak lama terdiam. “Kau boleh yakin atau tidak. Yang jelas aku mengatakan apa adanya! Lebih dari itu kau harus tahu. Penjelasanku ini bukan karena aku butuh keterangan darimu tentang Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai!”

“Hem.... Lalu apa maksudmu menjelaskan padaku?!”

“Agar nantinya tidak terjadi salah paham....”

“Salah paham apa?! Hubunganmu dengan gadis itu adalah urusanmu! Apa yang patut dijadikan alasan salah paham?! Atau kau berpikir aku akan ribut urusan hubunganmu dengan gadis itu hanya gara-gara kau mengucapkannya di hadapanku, begitu?!”

“Bukan begitu maksudku....”

“Lalu...?!”

Belum sempat Joko buka mulut menjawab karena merasa kebingungan harus menjawab bagaimana, mendadak dua sosok bayangan berkelebat. Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta segera berpaling. Memandang ke depan, mereka melihat dua gadis tegak berjajar.

Sebelah kanan adalah seorang gadis berparas cantik. Rambutnya disanggul tinggi ke atas dan diberi konde. Kulitnya putih. Hidungnya mancung dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah. Sementara gadis sebelah kiri juga berparas cantik. Sekali orang melihat, pasti sudah dapat menebak jika kedua gadis ini adalah kembar. Karena parasnya memang mirip. Yang membedakan keduanya adalah pakaian yang dikenakan. Yang sebelah kanan mengenakan pakaian warna merah sementara yang sebelah kiri mengenakan pakaian warna kuning.

Untuk beberapa lama kedua gadis yang baru muncul memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta. Lalu saling pandang. Gadis sebelah kanan yang mengenakan pakaian warna merah sorongkan wajahnya ke arah gadis di sebelahnya lalu berbisik. “Aku yakin. Pasti pemuda ini yang dimaksud Guru!”

“Tapi mengapa dia bersama gadis baju hijau itu?! Dari tampang dan cirinya, jelas bukan dia perempuan yang kita cari!” Gadis sebelah kiri menyahut. Sepasang matanya memperhatikan Bidadari Pedang Cinta dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seakan ada keanehan. Gadis berbaju kuning ini memperhatikan berlama-lama pada sepasang kaki Bidadari Pedang Cinta.

“Aku juga yakin memang bukan perempuan ini yang kita cari!”

“Jangan-jangan Guru salah memberi petunjuk....”

Gadis berbaju merah geleng kepala. “Ciri pemuda yang dikatakannya benar. Berarti tak mungkin petunjuknya salah!”

“Tapi mana perempuan yang kita cari?!” tanya gadis berbaju kuning.

“Kita sudah menemukan siapa yang bisa memberi petunjuk di mana perempuan yang kita cari! Dia harus mengatakannya!”

Sementara gadis berbaju merah dan kuning saling berbisik, murid Pendeta Sinting segera mendekati Bidadari Pedang Cinta. Begitu dekat, dia langsung bertanya. “Kau kenal siapa mereka...?!”

“Dari gelagat mereka, seharusnya kau tidak bertanya begitu!” jawab Bidadari Pedang Cinta. Suaranya jelas menandakan dia masih jengkel.

“Hem.... Hari ini aku bernasib mujur sekaligus malang! Mujur bertemu dengan beberapa gadis cantik. Malang karena pertemuannya selalu ditandai dengan urusan!” Pendekar 131 bergumam lalu tertawa nyengir.

“Mana perempuan itu?!” Tiba-tiba gadis berbaju merah perdengarkan bentakan keras.

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Lalu berbisik pada Bidadari Pedang Cinta. “Dia bertanya padamu atau padaku...?!”

Bidadari Pedang Cinta mendengus. Dia menduga yang dimaksud pertanyaan gadis berbaju merah adalah Bidadari Delapan Samudera. Maka dia segera buka mulut. “Yang ditanyakan adalah perempuan! Masih pantaskah kau bertanya siapa yang ditanya?!”

“Lalu perempuan mana yang dimaksud?!” tanya Pendekar 131.

“Itu urusanmu! Mengapa tanya padaku?!” bentak Bidadari Pedang Cinta.

“Hai! Mana perempuan itu?!” kembali terdengar bentakan. Kali ini diperdengarkan gadis berbaju kuning.

Pendekar 131 menoleh. Pandang matanya diarahkan pada gadis berbaju merah lalu bertanya. “Kau bertanya padaku atau padanya?!” Joko menunjuk dirinya lalu pada Bidadari Pedang Cinta. “Dan perempuan mana yang kau maksud?!”

Habis bertanya begitu, murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya pada gadis berbaju kuning. Lalu buka mulut bertanya. “Dan kau. Bertanya padanya atau padaku?!” Joko menunjuk pada Bidadari Pedang Cinta lalu pada dirinya sendiri. “Dan siapa pula perempuan yang kau maksud?!”

“Tampaknya kita berhadapan dengan manusia gila!” mendesis gadis berbaju merah dengan mata mendelik pada Pendekar 131.

“Mungkin dia hanya berpura-pura seperti manusia gila agar bisa lepas dari tangan kita!” timpal gadis berbaju kuning. Lalu membentak.

“Aku bertanya padamu!” Tangan kanan gadis berbaju kuning ini menunjuk lurus pada murid Pendeta Sinting.

“Hem....” Pendekar 131 gerakkan kepala pulang balik ke atas ke bawah. Lalu berujar. “Di sini ada tiga perempuan. Mana yang kau tanyakan?!” Joko sapukan pandangan berkeliling, menatap satu persatu pada Bidadari Pedang Cinta, lalu pada gadis berbaju merah, dan terakhir ke arah gadis berbaju kuning sendiri.

“Kau jangan berlagak gila! Kau sadar tengah berhadapan dengan siapa?!” bentak gadis berbaju kuning.

Sebelum Joko sempat buka suara, Bidadari Pedang Cinta yang tak mau terjadi urusan segera ikut bicara. “Harap katakan saja siapa perempuan yang kalian tanyakan...!”

“Aku tidak bertanya padamu! Saatnya nanti akan tiba giliranmu untuk menjawab pertanyaan!” Gadis berbaju kuning membentak lagi.

Bidadari Pedang Cinta coba tahan hawa amarah yang mulai melanda dadanya mendengar ucapan orang. Lalu berpaling pada Pendekar 131 dan berkata dalam hati. “Gara-gara pemuda ini aku jadi terlibat dalam urusan yang tak karuan! Pemuda ini pasti hidung belang yang suka iseng mempermainkan perempuan!”

“Pemuda gila! Mana perempuan berbaju putih itu?!” Gadis berbaju merah bertanya.

Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta sama agak terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga yang dimaksud dua gadis di hadapan mereka adalah Bidadari Tujuh Langit.

“Apa hubungan kalian dengan perempuan baju putih itu?!” tanya Joko.

“Kau tidak usah bertanya! Kau hanya perlu menjawab!” hardik gadis berbaju merah.

“Yang kau maksud Bidadari Tujuh Langit?!” Bidadari Pedang Cinta tanpa sadar menyahut karena ingin meyakinkan.

“Untung kau benar sebutkan nama orang! Jika tidak, mungkin mulutmu sudah kubuat tak bisa bicara!” ujar gadis berbaju merah. Lalu tertawa pendek sebelum berkata lagi.

“Sekarang peduli setan siapa yang akan menjawab di antara mulut kalian berdua! Yang jelas kami minta kau tunjukkan di mana Bidadari Tujuh Langit!” Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta saling pandang. Namun mendadak saja Pendekar 131 tertawa bergelak!

Gadis berbaju merah dan gadis berbaju kuning saling lontar pandang. Sementara Bidadari Pedang Cinta surutkan langkah dengan tampang kebingungan...!

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.