Dewi Bunga Asmara

Cersil Online Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode dewi bunga asmara
Sonny Ogawa
Serial Joko Sableng episode Dewi Bunga Asmara

Cersil Online Serial Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131 episode Dewi Bunga Asmara


SATU

PENDEKAR 131 Joko Sableng, Guru Besar Liang San, dan Bidadari Bulan Emas tidak melihat siapa-siapa meski baru saja telinga masing-masing mendengar suara dua orang. Suara seorang laki-laki dan perempuan. Bahkan sekalipun mereka telah putar pandangan masing-masing sekali lagi dengan mata dipentang besar-besar. Sementara Dewa Cadas Pangeran tidak acuhkan ucapan yang baru saja terdengar. Orang tua yang wajahnya tertutup batu putih ini terus langkah-kan kaki mendekati Bidadari Bulan Emas!

Seperti dituturkan dalam episode Dewa Cadas Pangeran, ketika Pendekar 131 akan menyelidik ke Perguruan Shaolin, mendadak muncul Guru Besar Liang San. Setelah terjadi pembicaraan, keduanya tahu siapa orang yang ada di hadapannya. Tapi ketika Guru Besar Liang San bersikeras meminta peta wasiat pada murid Pendeta Sinting dan terjadi bentrok, muncullah Bidadari Bulan Emas. Dengan pesona tubuhnya, Bidadari Bulan Emas coba menggoda Joko.

Untuk mengalihkan perhatian Guru Besar Liang San, Joko pura-pura tertarik dengan Bidadari Bulan Emas. Kedua orang ini akhirnya hendak pergi. Guru Besar Liang San tidak membiarkan begitu saja. Namun belum sampai Guru Besar Liang San berbuat sesuatu, muncul Dewa Cadas Pangeran. Dewa Cadas Pangeran minta agar Joko memberikan kesempatan padanya untuk dapat membawa pergi Bidadari Bulan Emas.

Karena merasa yakin Dewa Cadas Pangeran tahu apa yang tengah dihadapi dan maklum apa yang tersirat di balik ucapan Dewa Cadas Pangeran, akhirnya Joko mengizinkan Dewa Cadas Pangeran untuk membawa pergi Bidadari Bulan Emas. Bidadari Bulan Emas terkejut besar. Sementara Guru Besar Liang San sama palingkan kepala dengan raut membayangkan rasa kaget. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tampak tenangtenang saja, malah orang ini gerakkan kaki mendekati Bidadari Bulan Emas.

“Aneh! Dari gerakan kepala Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas, jelas kalau suara dua orang tadi benar-benar ada! Tapi mana manusianya?!” Pendekar 131 kernyitkan kening. Ekor matanya melirik pada Dewa Cadas Pangeran yang bergerak ke arah Bidadari Bulan Emas.

“Jangan-jangan suara tadi diperdengarkan orang tua ini! Bukankah kalau dia perdengarkan suara, orang tidak akan tahu karena mukanya tertutup batu putih?! Tapi suara tadi jelas bersumber dari arah seberang lain! Atau mungkinkah dia pergunakan ilmu memindahkan suara?!”

Kalau murid Pendeta Sinting bertanya-tanya tentang siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan suara, tidak demikian halnya dengan Bidadari Bulan Emas. Walau dia juga menduga-duga, namun perhatiannya justru tertuju pada gerakan Dewa Cadas Pangeran. Hingga begitu kepalanya berpaling dan tak melihat siapa-siapa, perempuan bertubuh sintal mulus dan berparas cantik ini cepat alihkan pandang matanya pada Dewa Cadas Pangeran.

“Celaka kalau dia memang hendak mengajakku pergi! Ini bisa merusak rencanaku pada Pendekar 131 Joko Sableng! Padahal siasatku hampir saja berjalan lancar! Jahanam betul! Menurut yang kudengar, orang tua itu berilmu tinggi dan memiliki keanehan.... Apa yang harus kulakukan sekarang?!” Bidadari Bulan Emas membatin dengan wajah makin tegang dan dada berdebar.

Sementara di lain pihak, Guru Besar Liang San tegak dengan tampang geram. Apalagi kala sepasang matanya tidak menemukan sosok orang yang suaranya baru saja terdengar. “Keparat! Urusan satu belum juga tuntas, sudah ada lagi penghalang yang muncul!” Orang tua berkepala gundul dan sekarang menjadi Pimpinan Perguruan Shaolin ini tidak pedulikan gerakan Dewa Cadas Pangeran. Dia menoleh pada Pendekar 131 begitu sepasang matanya tidak melihat sosok orang yang baru saja perdengarkan suara.

Saat itulah, kembali tempat itu dipecah dengan terdengarnya suara. “Aku telah berkata! Telingamu telah mendengar! Kalau kau teruskan langkah, berarti kau menjemput kematian!”

Semua orang di tempat itu tahu kalau suara yang baru terdengar adalah suara seorang laki-laki. Semua juga tahu jika suara teguran itu ditujukan pada Dewa Cadas Pangeran. Karena dialah satusatunya orang yang bergerak melangkah mendekati Bidadari Bulan Emas. Belum sampai ada yang gerakkan kepala, suara lain menyahut.

“Perintah telah diperdengarkan! Kalau ingin nyawa selamat, turuti perintah kami!” Suara ini adalah suara perempuan.

Tahu kalau ucapan orang ditujukan padanya, Dewa Cadas Pangeran hentikan tindakan. Namun orang tua ini tidak berusaha gerakkan kepala ke sumber suara meski hampir bersamaan Pendekar, Guru Besar Liang San, dan Bidadari Bulan Emas berpaling ke arah dari mana suara terdengar! Ketiga orang ini melihat satu sosok bayangan berkelebat. Kejap lain di depan sana telah tegak satu sosok tubuh!

Guru Besar Liang San, Pendekar, dan Bidadari Bulan Emas tegak di tempat masing-masing dengan mata mendelik dan mulut sama terkancing. Mereka melihat seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Rambutnya hitam lebat dibiarkan bergerai. Tapi bukan karena ketampanan wajah orang yang membuat Guru Besar Liang San, Joko, dan Bidadari Bulan Emas pentangkan mata.

Ternyata, meski sosok yang muncul adalah seorang pemuda, bibir pemuda ini diberi warna merah menyala! Pipi kanan kirinya yang berkulit putih juga disaput dengan pewarna merah muda. Bahkan dia juga mengenakan pakaian panjang mirip kebaya milik seorang perempuan! Tangan kirinya disilangkan didepan dadanya yang mencuat kencang, sementara tangan kanannya bergerak pulang balik lemah gemulai mempermainkan sebuah kipas.

Melihat tampang orang yang baru muncul, perlahan-lahan ketegangan di wajah Joko lenyap. Bibirnya sunggingkan senyum meski dalam hati dia berkata. “Dari lagak dan tampangnya, pasti suara dua orang tadi diperdengarkan oleh pemuda satu ini!”

Sementara demi melihat munculnya si pemuda, Guru Besar Liang San mendengus. Dia memperhatikan agak lama. Lalu edarkan pandangan berkeliling. “Apakah dua suara tadi diucapkan oleh pemuda ini?! Ataukah ada orang lain?! Aku belum pernah melihat pemuda ini.... Jangan-jangan kemunculannya bersamaan dengan....”

Belum sampai Guru Besar Liang San teruskan kata hatinya, murid Pendeta Sinting telah angkat suara. “Boleh kami tahu siapa kau adanya?! Dan apakah kau yang mengucapkan perintah tadi?!”

Yang ditanya tidak menjawab. Dia sapukan pandang matanya pada Guru Besar Liang San, lalu ke arah Bidadari Bulan Emas dan Dewa Cadas Pangeran. Terakhir si pemuda hujamkan matanya pada Pendekar. Untuk beberapa saat sepasang matanya meneliti dari kaki sampai kepala.

Dipandangi orang begitu rupa, Joko makin lebarkan senyum meski dalam hati dia terus membatin. “Apakah perangai orang macam dia di negeri ini sama dengan di tanah Jawa?! Yang kudengar, orang seperti dia lebih suka sama laki-laki! Hem.... Seandainya dia benar-benar seorang perempuan, sungguh sayang kalau dilewatkan berlalu begitu saja.... Kulitnya putih, bibirnya merah menggoda. Rambutnya panjang bergerai. Dadanya....”

“Apa yang kau lihat?! Mengapa senyam-senyum?!” Mendadak si pemuda yang mengenakan kebaya perdengarkan suara. Suaranya keras menggelegar dan jelas suaranya adalah suara seorang laki-laki. Tangan kanannya yang bergerak pulang balik berkipas dihentikan. Sepasang matanya dibeliakkan menusuk tajam ke dalam bola mata murid Pendeta Sinting.

Belum sempat Joko buka mulut, si pemuda telah sambungi ucapannya. “Dari apa yang kudengar dan kulihat, kau adalah pemuda asing dari seberang laut bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Benar?!”

Selain Dewa Cadas Pangeran, semua yang ada di tempat itu sempat terkejut. Karena suara si pemuda kali ini jelas suara milik seorang perempuan! Tapi yang paling tampak kaget adalah murid Pendeta Sinting demi mendapati si pemuda telah tahu siapa dirinya.

“Dugaannya tepat! Berarti dia telah lama berada di sekitar tempat ini dan mendengar pembicaraanku dengan Guru Besar Liang San, Bidadari Bulan Emas, serta Dewa Cadas Pangeran!” kata Joko dalam hati. Namun Joko tidak mau tunjukkan rasa kaget. Dia tetap sunggingkan senyum lalu berucap.

“Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kau dengar dan kau lihat di tempat ini. Kalau kau ingin penjelasan, kita pergi dari sini!”

Ucapan Joko membuat Bidadari Bulan Emas berpaling. “Celaka! Apakah dia telah tahu rencanaku?! Tadi dia memberikan kesempatan yang kuberikan pada Dewa Cadas Pangeran, sekarang dia mengajak pergi pemuda yang baru datang itu! Ini tidak boleh terjadi! Siapa tahu pemuda banci itu juga tahu urusan peta wasiat!”

Membatin begitu, tanpa memandang pada pemuda yang mengenakan kebaya, Bidadari Bulan Emas angkat bicara. “Pemuda berkebaya! Harap katakan saja apa maksud kedatanganmu!”

Yang ditanya lagi-lagi tidak segera menjawab. Sebaliknya dia tertawa panjang sebelum akhirnya berkata dengan tangan kanan kembali bergerak pulang balik berkipas-kipas. “Perempuan cantik! Hari ini aku mendapat rejeki besar. Maksud pertama kedatanganku tadi sebenarnya tertarik dengan pemuda asing bergelar Pendekar 131 Joko Sableng itu. Sebelum aku utarakan apa maksudku, ternyata Pendekar 131 telah tahu.... Malah kau dengar sendiri dia mengajakku pergi dari sini!” Suara si pemuda kali ini adalah suara milik seorang perempuan.

Tanpa menunggu sambutan Bidadari Bulan Emas, si pemuda berkebaya berpaling sesaat pada Bidadari Bulan Emas. Bibirnya yang merah sunggingkan senyum. Lalu kepalanya menoleh pada Joko. Sebelah matanya dikedipkan lalu berkata. Suaranya masih seperti suara perempuan. “Pendekar.... Aku memang ingin banyak penjelasan darimu. Dan kurasa tempat ini memang kurang enak kalau dibuat menjelaskan. Apalagi ada yang lebih kuinginkan darimu daripada sebuah penjelasan!” Si pemuda hentikan ucapannya sejenak.

Dada Joko jadi berdebar. Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas tegak dengan mata saling lontar pandang. Kedua orang ini tampaknya telah dapat menangkap apa tujuan kata-kata si pemuda berkebaya. Si pemuda berkebaya sapukan pandangannya sekali lagi. Saat bersamaan terdengar dia tertawa pendek. Lalu berkata.

“Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan! Aku belum selesai dengan ucapanku. Yang kuinginkan lebih bukanlah ada hubungannya dengan peta wasiat!” Si pemuda lontarkan pandang matanya pada Pendekar. Lalu lanjutkan ucapan. “Dia seorang pemuda tampan.... Tanpa kujelaskan lebih lanjut, kurasa kalian tahu apa maksudku!” Si pemuda tertawa cekikikan. Kipas di tangan kanannya ditutupkan pada mulutnya. Sementara sebelah matanya berkedip-kedip.

“Busyet! Ternyata di sini dan di tanah Jawa tidak ada bedanya!” gumam Pendekar 131 dengan kecut. Senyumnya yang dari tadi terus tersungging mendadak pupus.

“Kita pergi sekarang, Pendekar?! Aku tahu tempat yang aman untuk menjelaskan dan bersenang-senang!” Si pemuda berkebaya berujar dengan perdengarkan suara perempuan. Saat lain dia melangkah ke arah murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum dan kembali berkipas-kipas.

Namun belum sampai bergerak lebih jauh, Bidadari Bulan Emas membentak. “Siapa pun kau adanya, jangan kira gampang memotong langkah orang!”

Si pemuda berkebaya hentikan langkah. “Pemuda tampan itu telah melepasmu untuk diberikan pada orang tua yang malu-malu tunjukkan wajah itu! Jadi sekarang dia bebas menentukan langkah! Dan seperti kau dengar tadi, dia mengajakku pergi dari sini! Apakah aku salah kalau menuruti kemauannya?! Lagi pula sejak pertama aku memang tertarik padanya! Baru kali ini aku menemukan pemuda imut-imut seperti dia... Hik Hik Hik...! Kalau kau saja tergoda, apakah keliru jika aku juga tergiur?! Padahal di balik semua ini, aku tidak punya keinginan lain! Berbeda denganmu.... Kurasa di balik ketergodaanmu, kau punya keinginan lain!”

Paras wajah Bidadari Bulan Emas merah padam. Sementara si pemuda berkebaya tersenyum lagi lalu teruskan langkah. Namun baru mendapat tiga tindak, terdengar bentakan keras.

“Ingat! Penentu hidup matimu adalah gerakan kedua kakimu! Sekali lagi kau gerakkan kaki maju, itu adalah akhir hidupmu!” Yang perdengarkan bentakan adalah Guru Besar Liang San.

Untuk kedua kalinya si pemuda berkebaya hentikan langkah. Kepalanya berpaling pada Guru Besar Liang San. Kipas di tangan kanannya disentakkan. Seketika kipas itu menutup. Saat lain kedua tangannya disatukan di depan dadanya yang membusung kencang. Tubuh bagian atasnya sedikit dibungkukkan. Lalu terdengar ucapannya.

“Amitaba.... Kalau aku boleh bertanya. Apakah Perguruan Shaolin mengajarkan gerakan kaki maju adalah akhir hidup seseorang?!”

“Jangan bicara soal ajaran di tempat ini!” sahut Guru Besar Liang San.

“Kalau begitu, jangan keluarkan ucapan aneh di tempat ini!” Si pemuda berkebaya menimpali.

“Hem.... Jika demikian, berarti aku sekarang bisa lanjutkan acaraku?!” Dewa Cadas Pangeran yang sejak tadi diam, perdengarkan suara. Karena tidak ada yang buka mulut menjawab, Dewa Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Lalu kakinya bergerak ke arah Bidadari Bulan Emas.

Bidadari Bulan Emas karuan saja jadi tercekat. Sementara pemuda berkebaya rundukkan kepala sekali lagi. Kipas di tangan kanannya disentakkan membuka. Saat berikutnya dia tidak acuhkan peringatan Guru Besar Liang San. Kakinya bergerak melangkah. Mungkin tak dapat menahan rasa geram, apalagi dengan ucapan si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya. Bidadari Bulan Emas melirik. Perempuan setengah baya berparas cantik ini berpikir cepat. Kejap lain dia berkelebat ke arah Joko yang tegak tidak jauh dari tempatnya.

Pendekar 131 terkesiap. Terlambat baginya untuk membuat gerakan. Hingga belum sempat dia tahu apa yang akan dilakukan Bidadari Bulan Emas, sosoknya telah melesat dalam dekapan si perempuan yang menyambarnya dan berkelebat tinggalkan tempat itu! Tahu apa yang terjadi, Guru Besar Liang San urungkan niat kelebatkan tangan ke arah pemuda berkebaya. Dia cepat putar diri menghadap ke arah mana Bidadari Bulan Emas berkelebat. Tangan kiri kanannya bergerak lepaskan pukulan.

“Amitaba.... Mengapa kau hendak mencelakai orang yang mengajakku pergi?!” Si pemuda berkebaya berteriak melengking. Kipas di tangan kanannya disentakkan memotong pukulan tangan Guru Besar Liang San.

Di lain pihak, Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepala. “Ini kesempatan baik di akhir usiaku.... Bersenang-senang dengan perempuan cantik! Dia tak boleh lari begitu saja!” serunya. Kejap lain kepalanya ditarik ke belakang lalu disentakkan ke depan! Batu putih di ujung tambang yang selalu menutupi wajahnya melenting deras ke udara. Bersamaan itu satu gelombang luar biasa dahsyat berkiblat!

DUA

"Bummm!" Terdengar ledakan keras saat gelombang angin pukulan Guru Besar Liang San dipotong gerakan kipas si pemuda berkebaya yang juga lesatkan satu gelombang hebat.

Sementara hampir bersamaan dengan terdengarnya ledakan, sosok Bidadari Bulan Emas tampak limbung tersapu gelombang yang menyambar keluar dari gerakan batu putih yang selalu menutupi wajah Dewa Cadas Pangeran. Bidadari Bulan Emas cepat kerahkan tenaga dalam. Tapi belum sampai berbuat sesuatu, dia merasakan tubuhnya mencelat! Namun perempuan ini tidak hendak lepaskan dekapannya pada sosok murid Pendeta Sinting. Hingga saat lain kedua orang ini tampak jatuh bertindihan di atas tanah! Bidadari Bulan Emas berada di bawah sementara Joko jatuh di atas tubuhnya.

Kalau tadi Joko berusaha lepaskan diri dari dekapan Bidadari Bulan Emas, tapi begitu merasakan gelombang menyambar, kedua tangannya segera melingkar pada tubuh sang Bidadari. Dan begitu merasakan sosoknya jatuh di atas sosok Bidadari Bulan Emas, entah karena khawatir akan mendapat pukulan lagi, Joko cepat benamkan kepalanya ke atas dada Bidadari Bulan Emas. Sementara kedua tangannya makin dikencangkan merangkul tubuh si perempuan.

Di lain pihak, karena tak mau dirinya dihantam lagi sementara dia tidak bisa bergerak karena tertindih sosok murid Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas berusaha lepaskan diri. Namun Joko makin kencangkan lingkaran kedua tangannya serta makin benamkan kepalanya menindih dada Bidadari Bulan Emas, membuat si perempuan berseru.

“Bukan sekarang saatnya bersenang-senang, Pendekar!”

Joko seolah tidak mendengarkan seruan orang. Malah dia makin eratkan lingkaran kedua tangannya hingga Bidadari Bulan Emas tampak megap-megap tak bisa bernapas! Di seberang samping, melihat gelombang pukulannya dipotong si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang San tak bisa lagi menindih gemuruh kobaran amarah.

Namun Guru Besar Liang San kini jadi maklum. Gerakan si pemuda berkebaya yang memotong pukulannya dan sempat membuat sosoknya bergetar satu tanda jika si pemuda berkebaya tidak bisa dilihat sebelah mata. Hingga begitu terdengar ledakan, Guru Besar Liang San cepat lipat gandakan tenaga dalam. Kedua tangannya cepat ditakupkan di depan dada. Namun begitu melirik dan melihat apa yang terjadi pada Bidadari Bulan Emas dan Pendekar, dia membatin.

“Hem.... Perempuan itu bisa berbuat hal di luar dugaan jika keadaannya terus begitu! Tanpa diketahui orang, mungkin saja kedua tangannya bergerak menyelinap dan mengambil peta wasiat itu!”

Berpikir begitu, Guru Besar Liang San sapukan pandang matanya pada si pemuda berkebaya dan Dewa Cadas Pangeran. Saat lain tiba-tiba laki-laki berkepala gundul ini berkelebat ke arah Bidadari Bulan Emas dan murid Pendeta Sinting yang masih bertindihan di atas tanah. Bidadari Bulan Emas terkesiap kaget melihat gerakan sosok Guru Besar Liang San. Sementara si pemuda berkebaya dan Dewa Cadas Pangeran tidak membuat gerakan atau perdengarkan suara meski keduanya melihat gerakan Guru Besar Liang San. Hal ini makin membuat Bidadari Bulan Emas jadi tercekat.

“Pendekar! Lepaskan tanganmu!” Bidadari Bulan Emas berbisik dengan suara tersendat.

Tapi Joko seolah tidak mendengar. Dia hanya gerakkan kepala ke arah samping. Dan begitu melihat kelebatan sosok Guru Besar Liang San, dia cepat benamkan kembali kepalanya pada dada Bidadari Bulan Emas seolah ngeri. Saat bersamaan kedua tangannya makin kencang memeluk tubuh Bidadari Bulan Emas. Bidadari Bulan Emas tak mau menanggung risiko. Kaki kanan kirinya ditekuk lalu dihantamkan ke atas.

Bukkk! Bukkk!

Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Pelukan tangannya pada sosok Bidadari Bulan Emas seketika lepas. Saat lain sosok tubuh bagian bawahnya mencelat ke udara. Bidadari Bulan Emas sentakkan kedua tangannya yang kini sudah bisa bergerak bebas ke arah bahu kiri kanan Joko.

Bukkk! Bukkk!

Untuk kedua kalinya terdengar seruan dari mulut murid Pendeta Sinting. Sosoknya melenting ke udara. Guru Besar Liang San pentangkan mata melihat pada kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Dan begitu matanya tidak melihat apa-apa pada kedua tangan si perempuan, laki-laki berkepala gundul ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Saat berikutnya dia teruskan kelebatan menyongsong sosok Pendekar 131 yang kini meluncur deras ke bawah. Kedua tangannya bergerak menyambar. Bukannya lepaskan pukulan, tapi sengaja menyahut ke arah pinggang kanan kiri Joko.

Rupanya Bidadari Bulan Emas bisa menangkap gelagat. Hingga begitu Guru Besar Liang San teruskan kelebatan dan gerakkan kedua tangannya, perempuan bertubuh sintal ini gulingkan tubuhnya dua kali. Saat lain dia gerakkan kedua tangannya memotong gerakan Guru Besar Liang San. Si pemuda berkebaya tampaknya tidak diam begitu saja demi melihat luncuran tubuh murid Pendeta Sinting. Kipas di tangan kanannya segera disentakkan. Satu gelombang dahsyat kembali melesat.

Guru Besar Liang San cepat rundukkan kepala begitu rasakan sambaran gelombang dari arah belakang. Dan dia cepat putar kedua tangannya ketika tahu Bidadari Bulan Emas memotong gerakannya. Lalu kedua tangannya disentakkan ke arah Bidadari Bulan Emas.

"Bummm!" Untuk kedua kalinya tempat itu diguncang dengan suara ledakan ketika gelombang yang keluar dari kedua tangan Bidadari Bulan Emas bentrok dengan gelombang dari kedua tangan Guru Besar Liang San.

Saat bersamaan, Joko kembali perdengarkan seruan tatkala rasakan tubuhnya mencelat tersapu gelombang yang melesat dari kipas pemuda berkebaya. Namun hal ini menyelamatkan dirinya dari jangkauan Guru Besar Liang San. Dan untuk kesekian kalinya tempat itu dibuncah seruan tertahan dari mulut murid Pendeta Sinting ketika sosoknya jatuh terjengkang di atas tanah.

Di lain pihak, begitu ledakan terdengar, sosok Guru Besar Liang San tampak bergetar. Kelebatannya terhenti. Sepasang matanya menyengat tajam pada sosok Bidadari Bulan Emas yang bergerak bangkit setelah bergulingan di atas tanah. Guru Besar Liang San tidak menunggu lama. Begitu Bidadari Bulan Emas bergerak tegak, dia melesat dengan kedua tangan berkelebat.

“Amitaba.... Dia calon pengantinku di mana aku bisa mereguk kenikmatan pada akhir usiaku! Harap Guru Besar Liang San mau mengerti.... Kalau dia sampai cedera, aku tak tahu ke mana lagi harus mencari penggantinya!”

Habis berkata begitu, Dewa Cadas Pangeran gerakkan kepalanya. Batu putih di depan wajahnya bergerak menyambar ke atas udara. Saat bersamaan satu gelombang angin melesat ke arah Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San putar diri di atas udara. Namun orang ini tidak mau berlaku ayal, apalagi dia telah menangkap gerakan kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Hingga untuk menjaga diri dari pukulan Bidadari Bulan Emas selagi dirinya akan menghadang gelombang yang menyambar ke arahnya, tangan kirinya bergerak lepaskan pukulan terlebih dahulu pada Bidadari Bulan Emas, sementara tangan kanannya bergerak lepaskan pukulan menghadang gelombang dari Dewa Cadas Pangeran.

Terdengar dua ledakan berturut-turut. Karena harus menahan dua gempuran, sosok Guru Besar Liang San tampak mencelat di atas udara. Sementara sosok Bidadari Bulan Emas terhuyung dua tindak ke belakang. Namun Bidadari Bulan Emas kali ini tidak siasiakan kesempatan, apalagi tahu jika Dewa Cadas Pangeran tidak akan membiarkan dirinya cedera oleh pukulan Guru Besar Liang San. Bidadari Bulan Emas kerahkan hampir setengah dari tenaga dalamnya. Lalu melompat mengejar ke arah Guru Besar Liang San. Kedua tangannya diangkat.

Guru Besar Liang San mendarat di atas tanah dengan kaki sedikit bergetar. Sepasang matanya dipentang besar melihat pada gerakan sosok Bidadari Bulan Emas. Namun laki-laki berkepala gundul ini tidak membuat gerakan apa-apa meski tahu kedua tangan Bidadari Bulan Emas hendak lepaskan pukulan ke arahnya. Sebaliknya ia sunggingkan senyum lalu sepasang matanya dipejamkan. Kedua tangannya diangkat ditakupkan di depan dada.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar benturan keras tatkala kedua tangan Bidadari Bulan Emas menghantam telak dada Guru Besar Liang San. Namun Bidadari Bulan Emas tampak terkesiap kaget. Sosok Guru Besar Liang San tidak bergeming dari tempatnya! Malah sepasang kakinya amblas masuk ke dalam tanah sebatas mata kaki! Bidadari Bulan Emas mundur dua tindak. Sepasang matanya dibeliakkan seolah tidak percaya. Saat lain kembali kedua tangan perempuan ini bergerak.

Bukkk! Bukkk!

Untuk kedua kalinya dada Guru Besar Liang San perdengarkan benturan keras akibat hantaman kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Namun sosok Guru Besar Liang San lagi-lagi tidak bergeming. Malah kedua tangan Bidadari Bulan Emas terpental balik ke belakang! Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah tegang. Dia perhatikan sekali lagi sosok Guru Besar Liang San dari kaki sampai kepala. Saat lain dia bergerak maju. Kedua tangannya bergerak cepat menghantam ke bagian tertentu dari tubuh Guru Besar Liang San.

“Kau tak akan bisa menemukan di mana letak kelemahanku!” Guru Besar Liang San berucap tanpa buka kelopak matanya. Sosoknya pulang balik ke depan ke belakang akibat hantaman-hantaman kedua tangan Bidadari Bulan Emas yang coba mencari titik lemah Guru Besar Liang San. Namun sejauh ini sosok tubuh Guru Besar Liang San tetap tidak bergerak dari tempatnya!

Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan ucapan Guru Besar Liang San. Dia yakin ada bagian titik lemah dari laki-laki berkepala gundul ini. Hingga dia teruskan hantamannya ke bagian tertentu dari tubuh Guru Besar Liang San.

“Cukup!” Mendadak Guru Besar Liang San berteriak. Kedua tangannya berkelebat. Karena tidak menduga, apa pun yang akan dilakukan Bidadari Bulan Emas, terlambat bagi perempuan ini untuk menghadang kelebatan kedua tangan Guru Besar Liang San.

Bukkk! Bukkk!

Bidadari Bulan Emas menjerit. Sosoknya mental ke belakang. Di atas udara, dari mulutnya tampak menyembur kucuran darah. Saat lain sosoknya terbanting di atas udara sebelum akhirnya meluncur ke bawah. Belum sampai sosok Bidadari Bulan Emas terjerembab di atas tanah, satu sosok tubuh berkelebat. Satu benda putih meluncur. Sosok Bidadari Bulan Emas tertahan di udara oleh benda putih yang ternyata adalah batu putih di ujung tambang milik Dewa Cadas Pangeran.

Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepala melihat sosok Bidadari Bulan Emas yang tertahan oleh batu putihnya. Namun cuma sekejap. Saat lain orang tua ini gerakkan kepalanya. Tambang pengikat batu putih bergerak ke belakang. Sosok Bidadari Bulan Emas meluncur lagi ke bawah. Namun kali ini kedua tangan Dewa Cadas Pangeran telah menantinya!

TIGA

SI PEMUDA berkebaya sesaat tadi terkejut melihat hantaman-hantaman kedua tangan Bidadari Bulan Emas seakan tidak dirasa oleh Guru Besar Liang San. Namun dia segera alihkan pandang matanya pada Pendekar 131 yang bergerak bangkit di seberang sana. Dan ketika Dewa Cadas Pangeran berkelebat menyelamatkan Bidadari Bulan Emas, dia segera melesat ke arah Joko.

“Untuk sementara sebaiknya aku pergi dari sini!” gumam Joko. Dia pandangi gerakan pemuda berkebaya dan tidak membuat gerakan apa-apa.

“Pendekar! Akan kutunjukkan tempat yang baik untuk bicara!” kata pemuda berkebaya seraya teruskan lesatannya. Kejap lain kedua tangannya telah menyambar sosok murid Pendeta Sinting lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

Pendekar 131 memang tidak berusaha untuk lepaskan diri dari sambaran tangan si pemuda berkebaya. Dia berpikir akan lebih enak menghadapi pemuda berkebaya daripada harus berhadapan dengan Guru Besar Liang San, Dewa Cadas Pangeran, dan Bidadari Bulan Emas.

“Aku akan menurut saja ke mana dia membawaku pergi. Namun aku harus segera bisa meloloskan diri dan kembali mengikuti jejak Guru Besar Liang San!” kata Joko dalam hati sembari melirik pada pemuda berkebaya yang melesat dengan membawa tubuhnya.

Mendapati apa yang dilakukan si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Didahului bentakan keras, sosoknya berkelebat mengejar. Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran tertawa panjang, lalu melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu dengan membopong sosok Bidadari Bulan Emas. Takut kehilangan jejak, Guru Besar Liang San kerahkan hampir segenap ilmu peringan tubuhnya. Hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menangkap arah kelebatan si pemuda berkebaya. Saat itu juga Guru Besar Liang San sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh!

"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang ganas semburat menghantam ke arah pemuda berkebaya.

“Pendekar.... Kita cari selamat sendiri-sendiri!” bisik pemuda berkebaya. Kedua tangannya bergerak. Sosok murid Pendeta Sinting lepas mencelat. Saat bersamaan dia balikkan tubuh lalu kedua tangannya diangkat. Kipas di tangan kanannya disentakkan membuka lalu dikibaskan. Sementara tangan kirinya berkelebat menghantam dengan telapak terbuka.

"Werrr! Wuuutt!" Terdengar deruan keras. Dua gelombang menyambar susul menyusul menghadang gelombang dari kedua tangan Guru Besar Liang San.

Bummmm! Bummmm!

Dua ledakan keras terdengar mengguncang tempat itu. Sesaat pemandangan tertutup semburatan tanah. Sosok Guru Besar Liang San tampak terhuyunghuyung. Wajahnya berubah pucat pasi. Di seberang, si pemuda berkebaya terlihat limbung. Namun pemuda berbibir merah dan mengenakan pakaian milik perempuan ini cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain dia kembali berkelebat. Bukan untuk menghantam balik ke arah Guru Besar Liang San, tapi tinggalkan tempat itu! Guru Besar Liang San masih melihat kelebatan si pemuda. Sebenarnya dia hendak mengejar, namun ketika pandangannya menumbuk pada sosok murid Pendeta Sinting, dia urungkan niat. Sebaliknya dia segera melesat ke arah Pendekar.

“Busyet! Mengapa dia lari?! Jangan-jangan pemuda tadi kambratnya Guru Besar Liang San! Mereka sengaja bersekongkol dan pura-pura bermusuhan agar dapat mengalihkan perhatian orang dan membawaku ke tempat ini!” Joko bergumam sendiri seraya edarkan pandangan. Sosok pemuda berkebaya memang telah tidak kelihatan lagi.

“Aku tidak akan ulangi ucapan! Kau telah tahu semuanya!” Guru Besar Liang San angkat suara. Kedua tangannya diulurkan ke depan. “Serahkan peta wasiat itu!”

“Aku juga tidak akan ulangi keterangan! Kau telah mendengar semuanya!” jawab Joko.

Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah tidak sabar. Namun orang ini tampaknya masih coba menahan diri. Apalagi dia tahu pemuda di hadapannya telah kuasai ilmu Sembilan Gerbang Matahari, ilmu yang dimiliki salah satu tokoh ternama di dataran Tibet.

“Anak Muda.... Kalau boleh aku tahu, mengapa kau bersikeras menyimpan peta wasiat itu? Padahal kau tahu, peta wasiat itu tidak ada gunanya di tanganmu!”

Pendekar 131 tidak buka mulut menjawab. Guru Besar Liang San tersenyum, lalu teruskan ucapannya. “Kalau kau ingin imbalan, katakan saja apa imbalan yang kau minta! Aku bahkan bisa memberimu lebih dari apa yang dijanjikan Bidadari Bulan Emas!”

“Hem.... Benar kau akan memberikan imbalan yang kuminta?!” tanya murid Pendeta Sinting.

Guru Besar Liang San tarik pulang kedua tangannya dengan bibir tersenyum. Kepalanya mengangguk. Murid Pendeta Sinting memperhatikan sesaat. Lalu berkata.

“Aku ingin separo lagi dari peta wasiat itu!”

Guru Besar Liang San tegak dengan tampang terkejut. Sepasang matanya mendelik besar. Untuk beberapa lama lelaki berkepala gundul ini kancingkan mulut.

“Bagaimana?! Imbalan yang kuminta tidak susah, bukan?!” ujar Joko seraya ikut-ikutan sunggingkan senyum.

“Hem.... Baiklah! Tapi aku minta kau tunjukkan dulu peta wasiat yang ada di tanganmu! Karena kau tadi mengatakan peta wasiat itu telah kau berikan pada Guru Besar Pu Yi!”

Kini ganti Pendekar 131 yang terkesiap mendengar jawaban Guru Besar Liang San. Dia sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban demikian. Karena dia tadi merasa yakin jika Guru Besar Liang San tidak akan kabulkan permintaannya.

“Aku tidak mau dibodohi orang.... Siapa tahu kau memang benar-benar telah berikan peta wasiat itu pada orang lain!” Guru Besar Liang San sambungi ucapannya dengan tetap sunggingkan senyum. “Barang yang kau minta sekarang kubawa!” Tangan kanan Guru Besar Liang San bergerak menyelinap ke balik selempang kain merah di pundaknya. “Tunjukkan peta wasiat itu, dan kau akan segera mendapatkan apa yang kau minta....”

“Hem.... Meski dia berkata hendak memberikan apa yang kuminta, tapi aku tidak percaya dengan janjinya! Namun tidak ada salahnya aku ingin melihat kebenaran ucapannya sekaligus melihat separo dari peta wasiat itu!”

Joko membatin. Perlahan-lahan dia juga selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya. Tiba-tiba paras wajah Pendekar 131 berubah. Dia hentikan sejenak gerakan tangan kanannya. Keningnya berkerut. Saat lain kembali tangannya bergerak di balik pakaiannya. Sementara di seberang sana, Guru Besar Liang San memperhatikan dengan seksama. Diam-diam orang ini telah siapkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan siap melesat ke depan.

“Celaka! Kantong itu tidak ada! Ke mana?! Tak mungkin jatuh....”

“Bagaimana, Anak Muda?! Aku hanya ingin melihat dulu. Tidak susah, bukan?!” tanya Guru Besar Liang San seolah menirukan ucapan Joko tadi.

Joko tidak hiraukan pertanyaan orang. Kini tangan kirinya ikut digerakkan menyelinap ke balik pakaiannya. Namun hingga pakaiannya kedodoran, Joko tidak menemukan apa yang dicari. “Kantong itu benar-benar lenyap!” gumam Joko seraya hentikan gerakan kedua tangannya. “Astaga! Jangan-jangan ini ulah pemuda berkebaya itu!”

Tanpa sadar kepala Joko berpaling ke arah mana tadi si pemuda berkelebat pergi. “Hem.... Dia lari begitu saja. Padahal sebelumnya hendak mengajakku pergi.... Ini satu petunjuk kalau dia yang mengambil kantong itu saat membawa tubuhku berlari! Sialan betul!”

“Anak muda.... Bagaimana?! Kau merasa keberatan dengan usulku?!” Guru Besar Liang San kembali ajukan tanya. Tangan kanannya dikeluarkan lagi dari balik selempang kain merahnya.

Joko berpaling. Matanya melihat ke arah tangan kanan Guru Besar Liang San. Ternyata tangan kanan itu tetap kosong. “Hem.... Jangan-jangan pertanyaan dan usulnya tadi hanya untuk meyakinkan kalau apa yang diminta sudah tidak ada di tanganku! Jadi benar dia bersekongkol dengan pemuda berkebaya itu!”

Berpikir begitu, tanpa buka mulut menjawab pertanyaan orang, Pendekar 131 segera berkelebat ke arah mana tadi pemuda berkebaya melesat pergi. Namun Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Sebelum Joko bergerak lebih jauh, dia telah ikut berkelebat dan tegak menghadang.

“Anak muda! Aku telah memberimu beberapa jalan. Namun tampaknya kau keras kepala! Mungkin jalan kematian yang kau inginkan!” Tangan kiri kanan Guru Besar Lang San terangkat.

“Peta wasiat itu lenyap dari tanganku! Pemuda tadi telah mengambilnya!”

Guru Besar Liang San kernyitkan dahi. Namun saat lain dia perdengarkan tawa panjang. “Kau jangan berkata dusta padaku, Anak Muda!”

“Guru Besar Liang San! Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas pemuda temanmu itu telah mengambilnya!”

“Aku tidak kenal pemuda itu! Kau jangan berkata mengada-ada! Mungkin kau yang berteman dengan pemuda itu!”

Murid Pendeta Sinting tidak acuhkan kata-kata Guru Besar Liang San, dia kembali arahkan pandang matanya ke jurusan mana si pemuda berkebaya berkelebat. “Dia pasti belum jauh dari tempat ini! Aku harus mendapatkan kembali peta wasiat itu!”

Membatin begitu, dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Saat lain kedua tangannya disentakkan ke depan lepaskan pukulan. Bukan langsung mengarah pada Guru Besar Liang San, tapi sengaja dihantamkan pada tanah dua tindak di hadapan Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San sempat terkejut. Karena mengira pukulan ditujukan ke arahnya, kedua tangannya segera pula dikelebatkan lepaskan pukulan hadangan.

"Blaarrr!" Tanah di hadapan Guru Besar Liang San langsung membubung ke udara menutupi pemandangan. Dan mungkin tahu gelagat, begitu terdengar ledakan keras akibat bentroknya pukulan, Guru Besar Liang San cepat berkelebat menerobos hamburan tanah. Namun ternyata Joko sudah tak kehilangan lagi batang hidungnya!

Guru Besar Liang San tegak dengan sosok bergetar keras. Kedua tangannya mendelik besar memperhatikan berkeliling. “Bagaimana ini bisa terjadi?! Mungkinkah peta wasiat itu benar-benar jatuh ke tangan pemuda berkebaya itu?! Dari sikapnya, kedua orang tadi memang tidak saling kenal....”

Guru Besar Liang San arahkan pandangannya ke jurusan si pemuda berkelebat pergi. “Kalau ucapannya benar, berarti anak muda asing itu mengejar pemuda berkebaya. Mereka tidak boleh lolos dari tanganku!”

Guru Besar Liang San mendongak sesaat. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas kepalanya tampak bergerak mengangguk sejenak. Kejap lain dia berkelebat mengambil arah ke mana tadi si pemuda berkebaya berlari tinggalkan tempat itu.

********************

EMPAT

DUA sosok bayangan itu berkelebat cepat laksana dikejar setan. Jarak keduanya kira-kira lima belas langkah. Meski tampak dikejar, namun sosok yang berada di depan tidak berusaha menyelinap atau mempercepat larinya. Sementara sosok yang berada di belakang, meski tampak mengejar namun tidak berusaha memperpendek jarak. Hanya saja dia terus memperhatikan seolah tidak mau kehilangan orang di hadapannya.

Pada satu tempat sepi, sosok yang berada di depan memperlambat larinya. Saat lain dia berhenti dan langsung putar diri. Sosok yang berada di belakang ikut berhenti dan tegak memandang ke depan. Sosok yang tadi berada di depan ternyata adalah seorang gadis muda berwajah jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang digeraikan menutup sebagian pundak kanan kirinya. Matanya bulat dengan hidung mancung dan bibir merah.

Sementara sosok yang tadi berada di belakang dan kini tegak memandang ke arah gadis berbaju merah ternyata juga seorang gadis berwajah cantik. Dia mengenakan pakaian warna merah muda. Rambutnya diberi pita warna merah muda pula. Untuk beberapa lama kedua gadis cantik ini sama lempar pandang tanpa ada yang buka mulut. Namun pandang mata mereka jelas membayangkan rasa tidak senang.

“Siao Ling Ling.... Aku telah turuti permintaanmu! Harap segera utarakan apa yang akan kau bicarakan!” Gadis berbaju merah muda angkat bicara.

Gadis jelita berpakaian merah yang dipanggil Siao Ling Ling alihkan pandangan. “Mei Hua.... Kita telah saling kenal bahkan bersahabat! Kuharap pembicaraan kita nanti tidak membuat putusnya persahabatan kita!” Siao Ling Ling buka mulut.

Gadis berbaju merah muda yang ternyata bukan lain adalah Mei Hua ikut alihkan pandang matanya ke jurusan lain. (Tentang Siao Ling Ling dan Mei Hua, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Dewa Cadas Pangeran)

“Siao Ling Ling.... Harap tidak terlalu jauh menduga! Kurasa persahabatan lebih dari segalanya...,” ujar Mei Hua.

“Dari sikapmu, ternyata kau sudah kenal dengan pemuda asing itu! Benar?!” Siao Ling Ling ajukan tanya.

Yang ditanya tidak segera buka mulut. Dia arahkan kembali pandang matanya pada Siao Ling Ling. “Aku memang telah mengenalnya. Tapi harap tidak punya prasangka yang bukan-bukan....”

Seperti diketahui, ketika hendak menyelidik ke Kuil Shaolin, Pendekar 131 bertemu dengan Siao Ling Ling. Namun belum sampai kedua orang ini bicara lebih jauh, muncullah Mei Hua. Baik Siao Ling Ling maupun Mei Hua tampak sama terkejut. Tapi Siao Ling Ling kelihatan lebih kaget demi mendapati Joko telah mengenal Mei Hua. Mei Hua sendiri tampak curiga dengan Siao Ling Ling. Hingga dia hendak mengajaknya bicara. Namun Siao Ling Ling tidak mau bicara di hadapan Joko hingga akhirnya kedua gadis ini setuju untuk mencari tempat.

“Aku tidak punya perangkap.... Aku hanya merasa heran. Bukankah kau telah tahu siapa pemuda asing itu?!” Siao Ling Ling menyahut.

Mei Hua tersenyum meski tampak dipaksakan. “Aku tahu betul siapa dia! Dia adalah seorang pemuda asing yang kini menjadi buruan kerajaan bahkan beberapa tokoh dunia persilatan negeri ini!”

“Hem.... Kau tahu apa akibatnya jika berhubungan dengan seorang buruan kerajaan?!”

“Siao Ling Ling! Harap kau tidak campur adukkan urusan kerajaan dengan rasa persahabatan! Siapa pun adanya pemuda asing itu, yang jelas aku hanya bersahabat!”

Siao Ling Ling tertawa perlahan. “Mei Hua.... Kau harus tahu siapa dirimu dan siapa pemuda asing itu! Jika hal itu diketahui orang kerajaan, kau tentu bisa bayangkan akibatnya!”

“Kau mengancamku?!” tanya Mei Hua dengan suara ketus.

Siao Ling Ling gelang kepala. “Aku hanya memperingatkan! Ini demi kebaikanmu!”

“Siao Ling Ling! Aku tahu mana yang terbaik untukku!”

“Hem.... Dari ucapanmu, kuduga dia tidak hanya sekadar sebagai sahabat. Namun kau telah jatuh cinta padanya!”

Paras muka Mei Hua seketika berubah merah padam. “Kau telah lancang menduga! Sekarang aku ingin tahu apa maksudmu sebenarnya mengajakku bicara!”

“Kau ini aneh.... Bukankah tadi kau yang lebih dahulu hendak mengajakku bicara saat berada di depan pemuda asing itu?! Mengapa sekarang kau berbalik kata?! Seharusnya aku yang bertanya, apa yang hendak kau bicarakan denganku?!”

“Mengapa kau ingin tahu siapa sebenarnya pemuda asing itu?!” tanya Mei Hua.

“Hem.... Berarti dia telah mendengar pembicaraanku dengan pemuda asing itu! Jadi mungkin dia telah berada di sekitar tempat itu ketika aku menemukan pemuda asing itu! Hem.... Apa benar antara keduanya telah terjalin hubungan tertentu?! Tapi secepat itukah?! Bukankah pemuda asing itu baru saja muncul di negeri ini?! Ataukah ini hanya siasatnya saja untuk mendapatkan sesuatu yang selama ini diburu oleh pihak kerajaan dan tokoh rimba persilatan negeri ini?!” Siao Ling Ling menduga-duga dalam hati.

Karena Siao Ling Ling tidak segera angkat suara, Mei Hua kembali berucap. “Kau menginginkan sesuatu darinya?! Atau kau tertarik padanya?!”

Pertanyaan Mei Hua membuat tampang Siao Ling Ling berubah. Namun gadis berbaju merah ini segera perdengarkan suara tawa dan berkata. “Mei Hua! Kalau aku memberi ingat padamu, mungkinkah aku melakukan hal yang akibatnya kita berdua sudah tahu?!”

“Mulut bisa saja bicara, tapi hati orang sukar diduga!”

“Nada ucapanmu menunjukkan kau cemburu padaku!” kata Siao Ling Ling dengan keraskan suara tawanya. “Tapi perlu kau dengar! Aku masih bisa melihat siapa diriku dan siapa pemuda asing itu!”

“Hem.... Jika demikian, apakah kau akan memberitahukan urusan ini pada pihak kerajaan?!”

“Aku masih melihatmu sebagai sahabat! Tapi kalau kau tidak hiraukan peringatanku, aku tahu apa yang harus kulakukan!”

Mei Hua memandang tajam pada Siao Ling Ling. Saat lain dia balikkan tubuh seraya berkata. “Masih ada yang akan kau utarakan?!”

“Kita sama tahu siapa kita sebenarnya! Aku akan menutup urusan ini jika kau melakukan peringatanku! Jauhi pemuda itu dan jangan turut campur urusan kerajaan!”

“Kau telah ikut campur urusan pribadiku! Terserah apa yang akan kau lakukan. Yang jelas aku tidak butuh peringatanmu! Selamat tinggal!”

Mei Hua gerakkan tubuh berkelebat. Namun Siao Ling Ling segera berteriak. “Tunggu!”

Mei Hua batalkan niat. Namun dia tidak balikkan tubuh saat berucap. “Jangan berkata lagi jika itu masih ada kaitannya dengan pemuda asing itu!”

Siao Ling Ling hendak buka mulut. Namun belum sampai suaranya terdengar, ekor matanya menangkap kelebatan satu sosok bayangan ke arahnya. Dia cepat berpaling. Di lain pihak, Mei Hua juga segera menoleh. Walau sama terkejut, tapi Mei Hua tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Malah saat itu juga dia segera berkelebat ke samping, di mana tahu-tahu telah tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Pancaran wajahnya dingin. Alis matanya tebal sedikit mencuat ke atas di bagian ujung sampingnya. Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata kirinya terlihat tahi lalat agak besar.

“Ayah...,” Mei Hua berkata dengan mata menyelidik ke dalam bola mata laki-laki yang tegak di hadapannya. Diam-diam gadis ini merasa khawatir. “Apakah dia tahu apa yang kubicarakan dengan Siao Ling Ling...?!”

Laki-laki di hadapan Mei Hua anggukkan kepalanya sejenak. Lalu berpaling pada Siao Ling Ling. Dia bungkukkan tubuh hormat seraya berkata. “Tuan Putri.... Harap maafkan jika kehadiranku mengejutkanmu.... Aku sama sekali tidak menduga kalau Tuan Putri berada di sini....”

Siao Ling Ling tersenyum. Dia melirik sesaat pada Mei Hua sebelum berkata pelan. “Panglima Muda Lie.... Aku juga kebetulan berada di sini. Secara tidak sengaja aku bertemu dengan putrimu.... Kau tengah mencarinya?!”

Laki-laki di hadapan Mei Hua yang ternyata ayah gadis cantik berbaju merah muda itu dan tidak lain ternyata Panglima Muda Lie, tidak menjawab pertanyaan Siao Ling Ling. Sebaliknya dia berkata. “Tuan Putri.... Saat ini keadaan tidak aman. Sebaiknya Tuan Putri tidak keluar tanpa pengawalan.... Jika Yang Mulia Baginda tahu....” Belum sampai Panglima Muda Lie teruskan ucapan, Siao Ling Ling segera menukas.

“Panglima Muda Lie.... Terima kasih atas peringatanmu. Namun tentunya peringatan ini bukan berlaku untukku saja, bukan?! Sebagai putri seorang panglima, Mei Hua juga sebaiknya tidak keluar tanpa pengawal....” Mata Siao Ling Ling melirik pada Mei Hua. “Aku harus pergi....”

“Tuan Putri!” seru Panglima Muda Lie. Laki-laki ini hendak mendekat. Tapi sebelum melangkah, Siao Ling Ling telah berucap. “Panglima.... Putrimu lebih membutuhkan pengawalan.... Dan kuharap pertemuan kita kali ini cukup untuk kita bertiga saja yang tahu....” Habis berkata begitu, Siao Ling Ling berkelebat tinggalkan tempat itu.

Panglima Muda Lie memandang sesaat lalu berpaling pada Mei Hua. “Mei Hua.... Ada apa sebenarnya?! Harap kau tidak membuat masalah! Kau pasti tahu akibatnya jika bikin urusan dengan putri penguasa negeri ini!”

“Ayah.... Aku tahu....”

“Hem.... Lalu ada apa sebenarnya?! Dari ucapan Tuan Putri tadi, tampaknya ada sesuatu di antara kalian!”

Mei Hua terdiam beberapa saat. “Dari pertanyaannya, berarti dia tidak tahu apa yang kubicarakan dengan Siao Ling Ling....” Mei Hua membatin. Lalu buka mulut. “Ayah.... Seperti Ayah dengar tadi, dia hanya memberi ingat agar aku tidak keluar tanpa pengawalan!”

“Hem.... Benar?!”

“Tidak ada gunanya berkata dusta pada Ayah!”

Panglima Muda Lie memandang beberapa lama pada putrinya. “Anakku.... Kuharap kau mengerti siapa kita. Dan kalaupun ada masalah antara kau dengan Tuan Putri Siao, kau harus mengalah! Dan satu hal lagi, jangan kau keluar tanpa adanya orang yang mengawal!”

“Ayah.... Rasanya aku tidak pantas kalau kau samakan dengan Putri Siao. Sebagai putri raja, dia memang sudah selayaknya mendapat pengawal! Sementara aku hanya anak seorang panglima! Lagi pula aku sudah dewasa dan bisa menjaga diri!”

“Mei Hua.... Aku tidak menyamakan kedudukanmu dengan Tuan Putri Siao. Namun sebaiknya kau menggunakan kesempatan yang diberikan pihak kerajaan. Apalagi saat ini keadaan tidak begitu aman.... Aku percaya kau bisa menjaga diri. Tapi perlu kau tahu, saat ini banyak kejadian yang mengakibatkan munculnya beberapa orang berilmu tinggi. Aku tak mau kau akan dijadikan batu loncatan bagi orang yang punya tujuan tertentu!”

“Ayah.... Apakah yang kau maksud ada kaitannya dengan kejadian di biara Perguruan Shaolin?”

“Mei Hua.... Seharusnya kau tidak perlu tahu urusan ini. Namun agar kau berhati-hati, terpaksa aku memberitahukan padamu.”

“Jadi betul dugaanku?!”

Panglima Muda Lie anggukkan kepala. “Sejak kejadian di Perguruan Shaolin, keadaan memang tidak aman lagi! Menurut beberapa penyelidik pihak kerajaan, sekarang ini telah muncul beberapa tokoh yang tidak dikenal bahkan ada pula tokoh yang sudah dikabarkan tewas, ternyata muncul lagi!”

Paras wajah Mei Hua tampak sedikit berubah. Dia alihkan pandang matanya jauh ke depan sana. Anehnya, yang muncul perlahan-lahan di depan sana adalah sosok Pendekar 131 Joko Sableng! Mei Hua cepat angkat kedua tangannya dan diusapkan pada kelopak matanya. Dia terdengar menggumam tak jelas, membuat Panglima Muda Lie berpaling.

“Kau memikirkan sesuatu, Anakku?!”

Mungkin takut sikapnya ditangkap sang ayah, Mei Hua tidak berpaling saat berucap. “Ayah.... Kalau benar banyak beberapa tokoh yang muncul, pasti ada sesuatu yang luar biasa! Dan selama ini menurut Ayah, bukankah pihak kerajaan tidak pernah ikut campur masalah dunia persilatan?!”

Panglima Muda Lie tidak segera menyahut. Dia dongakkan kepala. Lalu saat lain dia putar pandangan berkeliling sebelum akhirnya berkata. “Pada dasarnya, pihak kerajaan memang tidak akan pernah ikut campur urusan dunia persilatan. Namun karena urusan yang timbul saat ini adalah urusan yang sangat penting, terpaksa pihak kerajaan ikut turun tangan meski hal itu dilakukan dengan secara diam-diam!”

“Hem.... Saatnya aku mengorek keterangan lebih jelas!” kata Mei Hua dalam hati. Lalu berkata. “Ayah.... Boleh aku tahu, urusan apakah sebenarnya?!”

Sekali lagi kepala Panglima Muda Lie berputar dahulu sebelum berkata. “Menurut keterangan yang bisa dipercaya, Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat! Sebenarnya, sudah banyak tokoh yang coba mengambilnya dari Perguruan Shaolin. Namun usaha itu selalu gagal hingga sampai terjadinya peristiwa berdarah di perguruan itu beberapa waktu yang lalu....”

“Dalam peristiwa berdarah itu, apakah pihak kerajaan juga terlibat?!”

“Hem.... Aku tidak boleh berterus terang padanya meski dia anakku! Ini adalah rahasia kerajaan!” Panglima Muda Lie membatin seraya tertawa dan berkata. “Mei Hua.... Kau jangan salah paham. Kalaupun pihak kerajaan ikut campur dalam urusan Perguruan Shaolin, bukan berarti pihak kerajaan terlibat dalam peristiwa berdarah itu! Kau tahu.... Begitu peristiwa terjadi, salah seorang guru besar di perguruan itu lenyap meloloskan diri dan tidak ada kabar beritanya hingga sekarang! Ini satu petunjuk kalau peristiwa itu terjadi akibat perselisihan di dalam tubuh Perguruan Shaolin sendiri!”

“Guru besar itu lenyap dengan membawa peta wasiat?!” tanya Mei Hua.

“Sampai sekarang belum jelas! Dan untuk itulah pihak kerajaan terpaksa turun tangan. Hal ini dilakukan agar tidak terus terjadi saling pertumpahan darah! Sebab hal itu bisa digunakan pihak tertentu untuk mengusik keamanan pihak kerajaan!”

“Aku juga mendengar tentang munculnya seorang pemuda asing. Apakah....”

Belum sampai Mei Hua lanjutkan ucapannya, Panglima Muda Lie telah menukas. “Tampaknya kau sudah terlalu banyak tahu urusan ini! Siapa yang memberi keterangan?!”

Mei Hua tertawa pendek. “Ayah.... Urusan ini sekarang sudah menjadi buah bibir di mana-mana! Bahkan aku mendapat keterangan pemuda asing itu sekarang menjadi orang buruan kerajaan! Hal ini bagiku sangat aneh.... Apalah artinya seorang pemuda asing hingga harus diburu begitu rupa?!”

“Hem.... Bagaimana aku harus menjawab?!” Panglima Muda Lie tampak kebingungan. Mei Hua arahkan pandang matanya pada sang ayah.

“Ayah.... Apakah benar, pemuda asing itu membawa peta wasiat?!”

Panglima Muda Lie terkesiap. Untuk beberapa lama dia terdiam. Mei Hua tengadahkan kepala dan sambungi ucapannya. “Ayah.... Ayah tak usah berdusta padaku! Aku hanya sekadar ingin tahu....”

“Pemuda itu memang membawa peta wasiat!” Akhirnya Panglima Muda Lie berterus terang setelah berpikir agak lama.

“Aneh.... Ayah tadi mengatakan peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin. Lalu bagaimana seorang pemuda asing bisa membawa peta wasiat?!”

“Mei Hua.... Aku akan menceritakan padamu. Tapi kuharap ini adalah satu-satunya rahasia kerajaan yang kau dengar!”

Panglima Muda Lie sekali lagi putar pandangan berkeliling sebelum lanjutkan ucapan. “Sebenarnya peta wasiat itu dipecah menjadi dua bagian. Separo disimpan dalam Perguruan Shaolin, separonya lagi disimpan di satu tempat rahasia. Hal ini mungkin untuk menjaga keamanannya. Dan beberapa waktu yang lalu, seorang kepercayaan dari Perguruan Shaolin diberi tugas untuk mengambil separo dari peta wasiat itu yang disimpan di lain tempat. Hal ini dilakukan karena menurut yang kudengar, peta wasiat itu baru bisa dilihat pada bulan ini!” Panglima Muda Lie hentikan keterangan sejenak. Setelah memandang ke arah putrinya, dia melanjutkan.

“Rupanya kepergian orang kepercayaan shaolin dapat dicium beberapa orang yang telah memperhitungkan! Mereka menghadang dan meminta separo dari peta wasiat itu! Tapi orang shaolin itu memilih mati daripada menyerahkan peta wasiat pada orang yang tidak berhak! Terjadilah bentrokan dahsyat. Orang kepercayaan shaolin itu akhirnya terluka parah. Namun dia berhasil melarikan diri menyeberang laut! Dan ternyata diselamatkan oleh pemuda asing itu! Sejak itu orang kepercayaan shaolin tidak diketahui ke mana rimbanya! Karena pemuda asing itu yang menyelamatkan, pasti peta wasiat itu berada di tangannya!”

“Hem.... Tapi mengapa pihak kerajaan ikut memburunya?! Bukankah kalau pemuda itu kini yang membawa peta wasiat, itu adalah urusan Perguruan Shaolin?!”

“Benar! Tapi dengan kemunculannya, keamanan kerajaan jadi kacau! Dan kalaupun pihak kerajaan memburunya, itu untuk mengembalikan peta wasiat pada pihak yang berhak. Dengan demikian, keamanan bisa terjaga!”

“Ayah....”

“Mei Hua....” Panglima Muda Lie sudah memotong sebelum Mei Hua lanjutkan ucapan. “Kuharap kau tidak terlalu ingin tahu urusan ini! Selain tidak ada artinya bagimu, ini adalah rahasia kerajaan! Aku masih punya tugas yang harus kuselesaikan! Aku akan mengantarmu pulang!”

Sebenarnya Mei Hua masih ingin buka mulut. Namun Panglima Muda Lie sudah ulurkan tangan kanannya. Saat lain dia telah menggandeng putrinya dan melangkah meninggalkan tempat itu.

********************

LIMA

LINGKARAN malam telah menguak hamparan bumi. Udara dingin mulai menusuk menggantikan suasana sengatan sang matahari. Dan perlahan-lahan sang rembulan muncul. Satu sosok bayangan tampak berkelebat melintas dataran sepi, lalu berhenti tidak jauh dari hamparan ilalang tinggi. Beberapa saat sosok ini putar kepala dengan mata dipentang besar. Lalu dongakkan kepala melihat bundaran sang rembulan. Paras wajah orang ini tiba-tiba berubah. Ada bayang kekecewaan dan kesal di raut mukanya.

“Bulan sudah tidak utuh lagi! Malam ini adalah malam kesembilan belas! Berarti waktuku tinggal satu hari lagi! Sementara jejak pemuda berkebaya itu tidak bisa kudapatkan! Sialan betul! Tampaknya peta wasiat itu tidak bisa kuraih....”

Orang yang bergumam itu alihkan pandang matanya dari sinar bulan. Kini pandangannya jauh menelusuri kegelapan malam. “Kalau aku tidak bisa mendapatkan peta wasiat itu, orang lain pun tidak boleh mendapatkannya! Aku harus mengambil separo dari peta wasiat yang tersimpan.... Siapa tahu pemuda berkebaya itu adalah kaki tangan pihak kerajaan! Aku menangkap tanda-tanda buruk pada sikap Yang Mulia Baginda Ku Nang....”

Setelah berpikir begitu, orang ini yang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala gundul, mengenakan pakaian kuning panjang yang di pundaknya menyelempang kain merah dan bukan lain adalah Guru Besar Liang San, segera berkelebat. Begitu mencapai sebuah aliran sungai kecil, Guru Besar Liang San hentikan larinya. Dia tegak dengan kepala mendongak. Telinganya dipasang baik-baik. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Kejap lain dia putar kepala dengan mata tembusi pekatnya suasana. Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San terus memperhatikan sekeliling. Setelah yakin suasana aman, dia berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di dekat sebuah gundukan batu padas.

Guru Besar Liang San putar pandangan sekali lagi sebelum akhirnya jongkok. Dengan cepat tangan kirinya bergerak ditempelkan pada batu padas. Namun orang ini tidak segera melakukan sesuatu. Dia berhenti agak lama Paras mukanya tampak tegang. Malah tangan kiri kanannya bergetar. Sepasang matanya mendelik.

“Mudah-mudahan aku tidak kedahuluan!” gumamnya dalam hati dengan dada berdegup keras. Saat lain tangan kirinya digerakkan. Batu padas terangkat.

Guru Besar Liang San menghela napas kala matanya melihat sebuah kotak kulit di bawah batu padas yang terangkat. Saat bersamaan bibirnya sunggingkan senyum. Lalu dengan cepat tangan kanannya bergerak. Kotak kulit diambil, lalu tangan kirinya kembali digerakkan. Batu padas kembali bergerak menutup. Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San memperhatikan kotak kulit di tangannya. Setelah putar kepala, tangan kanannya kembali bergerak kotak kulit. Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San menghela napas ketika pandang matanya menumbuk sebuah gelang agak besar terbuat dari baja. Lingkaran gelang itu sebesar jari telunjuk berwarna keputihan. Di bawah gelang terlihat kain beludru berwarna merah.

Guru Besar Liang San ambil gelang di dalam kotak kulit. Ditimang-timang sesaat dengan tangan tetap bergetar sebelum akhirnya dimasukkan ke balik pakaiannya. Kotak kulit ditutup lagi. Tangan kiri kembali mengangkat batu padas, lalu kotak kulit yang telah kosong diletakkan kembali seperti semula. Setelah batu padas tertutup lagi, Guru Besar Liang San beranjak bangkit. Tanpa putar kepala, dia segera berkelebat.

“Malam baru saja menjelang. Mengapa buru-buru pergi?!” Mendadak satu suara terdengar.

Kejut Guru Besar Liang San bukan alang kepalang. Darahnya laksana sirap. Dan laksana disentak setan, kepalanya segera berpaling. Dia urungkan niat berkelebat. Tenaga dalamnya cepat dialihkan pada kedua tangannya. Sepasang matanya dibeliakkan. Namun sejauh ini Guru Besar Liang San belum melihat siapa-siapa, membuat tubuhnya bergetar dan wajahnya tegang.

“Siapa pun adanya orang ini, dia harus mampus!” gumam Guru Besar Liang San. Baru saja dia bergumam, satu sosok tubuh melesat dan tahu-tahu sejarak sepuluh langkah di hadapannya telah duduk bersila satu sosok tubuh!

Dia adalah seorang kakek mengenakan jubah warna putih tanpa leher. Paras wajahnya agak bulat dengan mata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada lehernya. Pada daun telinga kirinya tampak menggantung sebuah anting-anting agak besar. Kakek ini hanya memiliki tangan dan kaki sebelah kiri. Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San picingkan mata. Saat lain mulutnya perdengarkan gumaman.

“Tiyang Pengembara Agung!”

Kakek di depan sana dan bukan lain memang Tiyang Pengembara Agung, tersenyum lalu angkat suara. “Amitaba.... Selamat malam dan selamat berjumpa Guru Besar Liang San.... Kuharap kau tidak terkejut dengan keberadaanku di sini. Lebih-lebih harap tidak menduga yang bukan-bukan....”

Untuk menutup rasa curiga orang, Guru Besar Liang San angkat kedua tangannya di depan dada seraya berkata. “Amitaba.... Tidak sangka kalau malam ini kita bisa bertemu. Namun sayang.... Malam ini aku tidak punya waktu banyak. Aku harus segera pergi. Namun kalau ada yang hendak kau katakan, aku senang untuk mendengarkannya....”

“Ah.... Memang sayang kalau kau tidak punya waktu banyak! Padahal karena lama tidak bertemu, aku ingin berbincang lama denganmu....”

“Tiyang Pengembara Agung.... Kalau kau ingin berbincang, kau bisa datang ke tempatku. Dan memang ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu....” Guru Besar Liang San arahkan pandang matanya jauh melewati pundak Tiyang Pengembara Agung sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. “Aku menunggumu di tempatku empat hari di depan! Sekarang aku harus pergi!”

“Malam ini kau sangat lain dari biasanya.... Pasti ada sesuatu. Sebagai sahabat, kau tak keberatan mengatakannya padaku? Siapa tahu aku....”

Belum sampai ucapan Tiyang Pengembara Agung selesai, Guru Besar Liang San telah memotong dengan suara agak keras dan bergetar. “Harap maafkan! Kau telah dengar aku tidak punya waktu banyak! Lagi pula aku tidak punya satu masalah apa pun! Kalaupun ada yang ingin kubicarakan denganmu itu ada hubungannya dengan Perguruan Shaolin. Dan rasanya kurang pantas membicarakan soal shaolin di tempat ini!”

Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan Tiyang Pengembara Agung, Guru Besar Liang San berkelebat tinggalkan tempat itu. Tiyang Pengembara Agung tidak berusaha mencegah kepergian Guru Besar Liang San. Hanya saja, bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar Liang San, Tiyang Pengembara Agung angkat bicara.

“Guru Besar.... Manusia telah berencana dan bertindak. Namun jarang manusia yang tahu, bahwa urusan rencana dan tindakan tidak terlampau sederhana seperti prasangka manusia!”

Sebenarnya Guru Besar Liang San ingin berhenti karena dia menangkap gelagat di balik ucapan Tiyang Pengembara Agung. Namun karena tak mau keberadaannya di tempat itu diketahui orang lain lagi, dia teruskan kelebatannya meski dalam hati dia mulai dibuncah dengan kegelisahan.

Seperti diketahui, begitu berhasil mendapatkan kotak kulit berisi separo peta wasiat dengan bantuan Baginda Ku Nang, Guru Besar Liang San dan Yang Mulia Baginda Ku Nang sepakat untuk menyimpan kotak kulit di satu tempat yang hanya mereka berdua yang tahu. Dan mereka berdua berjanji tidak akan mengambil kotak kulit tanpa hadirnya salah satu dari keduanya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kuil Atap Langit)

********************

Sementara itu di lain tempat, dua sosok tubuh tampak tegak berdiri dengan sesekali kepala mereka berpaling ke kiri kanan dan ke belakang. Saat lain mereka saling lontar pandang. Tapi mulut masing-masing orang ini sama terkancing.

“Tampaknya orang yang kita tunggu tidak akan muncul!” Akhirnya orang yang sebelah kanan angkat suara karena sudah tidak sabar. Paras wajahnya pun membayangkan rasa jengkel dan tidak senang. Dia adalah seorang nenek berambut putih mengenakan pakaian panjang warna hitam. Sepasang matanya sipit tanpa ditingkah alis mata di atasnya. Di pundaknya tampak menyelempang selendang warna hitam panjang menjulai menyapu tanah. Nenek ini tidak lain adalah Li Muk Cin atau yang lebih dikenal dengan gelaran Ratu Selendang Asmara.

“Kuharap kau bersabar! Ini urusan penting! Tak mungkin dia tidak muncul!” orang sebelah kiri menyahut tanpa menoleh. Dia adalah orang laki-laki mengenakan pakaian warna hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut wajahnya telah dipenuhi kerutan tanda dia telah berusia lanjut. Parasnya agak bulat dengan mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebar serta hitam. Dan ternyata bukan hanya pakaian, rambut, dan kumis serta jenggotnya yang hitam, sekujur tubuh kulit laki-laki ini juga berwarna hitam legam. Hingga yang kelihatan putih hanyalah larikan kecil pada sepasang matanya! Lakilaki ini bukan lain adalah Bayangan Tanpa Wajah.

“Urusan penting itu sekarang tidak ada artinya lagi! Dan rasanya percuma kita menunggunya! Ini hanya akan mendatangkan masalah baru!” Ratu Selendang Asmara kembali angkat suara.

“Kita memang gagal mendapatkan peta wasiat itu! Tapi bagaimanapun juga aku harus mengatakannya! Dengan begitu aku bisa lepas beban dan bebas bertindak tanpa bayang-bayang kekhawatiran!”

“Kalau dia nanti meminta tebusan atas kegagalanmu ini?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

Bayangan Tanpa Wajah tertawa dahulu sebelum menjawab. “Aku tidak punya perjanjian apa-apa jika gagal!”

Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah ganti Ratu Selendang Asmara yang tertawa dahulu sebelum menyahut. “Kau sadar siapa orang yang akan kau hadapi?!”

Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. “Dia memang seorang raja penguasa negeri ini! Tapi aku tidak akan tinggal diam kalau dia meminta sesuatu yang sebelumnya tidak ada sepakat!”

Suara Bayangan Tanpa Wajah belum habis, tiba-tiba satu sosok tubuh berkelebat. Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah melihat seorang lakilaki berusia lima puluh tahunan. Kumis dan jenggotnya panjang serta lebat dan telah berwarna putih. Rambutnya yang juga telah putih dan panjang digeraikan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir agak tinggi. Kedua alisnya mata mencuat ke atas. Sementara sepasang matanya tajam.

“Yang Mulia Baginda....” Bayangan Tanpa Wajah bungkukkan sedikit tubuhnya. Sementara ekor matanya melirik pada Ratu Selendang Asmara. Laki-laki berwajah hitam ini tegang sesaat begitu melihat si nenek tetap diam dan tak membuat gerakan apa-apa!

“Jahanam! Dia bisa bikin masalah!” ujar Bayangan Tanpa Wajah melihat sikap acuh Ratu Selendang Asmara. Dia segera berbisik. “Kuharap kau tidak memulai suatu urusan dengan tanpa memberi hormat atas kedatangannya! Kau tahu bukan siapa yang kini di hadapan kita?!”

“Aku tahu siapa dia! Dia adalah Baginda Ku Nang! Tapi aku tidak bisa memberi hormat pada pihak kerajaan! Aku orang rimba persilatan! Dan pihak kerajaan ada di luar jalur dunia persilatan!” Ratu Selendang Asmara balas berbisik.

Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Bayangan Tanpa Wajah menggebuk muka si nenek. Namun karena tahu keadaan, dia coba menahan diri dan berkata. “Ucapanmu benar! Namun kuharap saat ini kau sadar, apa yang menjadi urusan masih ada hubungannya dengan dunia persilatan! Kau lihat.... Dia tidak mengenakan pakaian kebesaran seorang raja. Berarti malam ini dia sebagai salah satu dari kaum dunia persilatan!”

“Aku tidak suka basa-basi.... Dan aku memang tidak ingin dihormati!” Tiba-tiba orang yang baru muncul dan ternyata adalah Yang Mulia Baginda Ku Nang buka mulut. Dia memandang sesaat pada Ratu Selendang Asmara dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu alihkan pandang matanya pada Bayangan Tanpa Wajah.

“Sahabat Bayangan Tanpa Wajah...,” kata Baginda Ku Nang. “Kita dahulu sepakat tanpa kehadiran orang lain! Dan kuharap kesepakatan itu masih berlaku!”

Merasa ucapan Baginda Ku Nang ditujukan padanya, Ratu Selendang Asmara tengadahkan kepala sedikit dan berkata. “Aku tak bermaksud ikut campur! Kalaupun aku berada di sini, itu karena dipaksa!”

Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan Tanpa Wajah dengan mata mendelik angker. Tanpa menunggu orang buka suara, nenek ini melangkah menjauh.

“Sahabat.... Kulihat wajahmu tidak ceria....” Baginda Ku Nang berkata dengan mata memandang ke arah Ratu Selendang Asmara yang terus melangkah.

“Maafkan, Yang Mulia.... Kami gagal mendapatkan peta wasiat dan menangkap pemuda asing itu!”

Baginda Ku Nang tertawa. “Air mukamu telah memberi jawaban sebelum kau berkata! Dan aku maklum atas kegagalanmu meski aku sedikit merasa kecewa!”

“Pemuda asing itu bukan saja berilmu tinggi, namun ada beberapa orang....”

“Bukan itu yang membuatku kecewa!” Baginda Ku Nang memotong seraya gelengkan kepala. “Namun kehadiranmu yang tidak seorang diri! Padahal kau tahu, urusan ini akan menjadi bumerang bagi kerajaan jika ada orang lain yang mencium!”

“Harap maafkan kami, Yang Mulia! Aku diharuskan mencari seorang teman dalam menyelesaikan urusan ini. Dan Yang Mulia tidak usah khawatir, Ratu Selendang Asmara telah berjanji tidak akan membocorkan keterlibatan pihak kerajaan dalam urusan satu ini....”

“Hem.... Mudah-mudahan ucapanmu benar!” ujar Baginda Ku Nang meski dalam hati dia membatin. “Dia telah menambah pekerjaan! Seharusnya hanya satu orang yang kubunuh. Kini bertambah satu lagi! Tapi untuk sementara ini mereka berdua akan kubiarkan hidup dahulu! Tenaga mereka masih kubutuhkan. Setelah semuanya beres.... Kematian adalah imbalan yang pantas bagi mereka berdua!”

“Sahabatku Bayangan Tanpa Wajah.... Aku berterima kasih padamu atas jerih payahmu meski tidak mendatangkan hasil. Namun kuharap kegagalan ini bukan menjadi jalan putusnya hubungan kita....”

“Maksud Yang Mulia?!”

“Aku ingin kau bersama Ratu Selendang Asmara terus melakukan pemburuan! Dan berhasil atau tidak, esok malam, kalian kutunggu di Bukit Toyongga!”

“Yang Mulia....” Hanya itu yang sempat terucap dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Karena saat yang sama Baginda Ku Nang telah menukas.

“Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Walau kalian nanti gagal, namun aku tetap akan memberi imbalan atas apa yang telah kalian lakukan! Dan satu hal lagi, sebarkan berita kalau akan ada pertemuan besar di Bukit Toyongga pada besok malam! Sebarkan kabar kalau pertemuan besar itu ada hubungannya dengan peta wasiat!”

“Yang Mulia....”

Lagi-lagi belum sampai Bayangan Tanpa Wajah teruskan ucapan, Baginda Ku Nang telah menyahut. “Sahabatku.... Aku tahu. Peta wasiat itu kini berada di tangan dua orang.... Salah seorang pasti membutuhkan satunya! Dan kedua-duanya pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini! Selanjutnya pasti kau sudah bisa menebak!”

Bayangan Tanpa Wajah menatap sejenak pada Baginda Ku Nang. Entah apa yang dipikirkan, yang jelas laki-laki berwajah hitam ini sunggingkan senyum dengan kepala mengangguk.

Baginda Ku Nang dongakkan kepala memandang bulan. “Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Aku tak ingin menyita waktumu. Sebab waktumu hanya malam ini sampai besok petang!”

Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu setelah melirik sesaat pada Ratu Selendang Asmara yang tegak di seberang sana. Sesaat setelah sosok Baginda Ku Nang tidak kelihatan, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat ke arah Ratu Selendang Asmara.

“Aku tak mau turut campur lagi! Aku tahu siasat apa yang akan dilakukannya!”

“Jangan bodoh! Ini kesempatan bagi kita! Aku juga tahu apa yang terpikir dalam benaknya! Tapi kita juga orang yang tidak mudah dikelabui, bukan?!”

“Apa maksudmu?!” tanya Ratu Selendang Asmara.

“Dia boleh punya siasat. Namun kita juga punya rencana! Kita akan pura-pura mengikuti perintahnya dengan menyebar berita. Dan begitu saat pertemuan berlangsung, kita tunjukkan siapa kita!”

“Dia tidak mungkin datang sendiri!”

“Jangan kau lupa! Ini masalah rahasia kerajaan! Kalaupun dia tidak datang sendiri, mungkin hanya beberapa orang yang dibawa! Dia tidak mungkin berani ambil risiko dengan mengerahkan prajurit!”

Ratu Selendang Asmara tersenyum. “Hem... Berarti dia membuat lobang sendiri atas kuburnya!”

“Dan kita bisa menangguk keuntungan atas lobang itu!” sahut Bayangan Tanpa Wajah seraya tertawa bergelak panjang.

“Tapi bagaimana mungkin kita bisa sebarkan berita itu? Bukankah waktu kita hanya sedikit?!”

Masih dengan tertawa Bayangan Tanpa Wajah berkata. “Kita buat undangan untuk beberapa tokoh yang masih ada kaitannya dengan urusan ini! Setelah itu kita tinggal menunggu seraya membuat rencana!”

Habis berkata begitu, masih tertawa ngakak, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat yang kemudian diikuti Ratu Selendang Asmara yang juga ikut-ikutan tertawa panjang.

********************

ENAM

PENDEKAR 131 duduk menggelosoh di bawah sebatang pohon dengan tampang lusuh. Beberapa kali tangan kiri kanannya bergerak pulang balik menggaruk rambutnya yang acak-acakan. Dan sesekali tangan kanannya dibuka ditadangkan di atas kening menghadang silaunya matahari yang baru saja muncul dari lintasan kaki langit di sebelah timur.

“Tampaknya tidak saja nasibku yang jelek hingga terdampar di negeri orang.... Malah pesanan orang yang sudah ada di tangan lenyap pula disambar orang! Belum lagi di sini harus bertemu dengan beberapa orang aneh dan tindakannya sukar diduga! Tahu begini akibatnya.... Aku pilih tinggal di kampung halaman sendiri. Di sana aku masih bisa melihat Putri Kayangan, Dewi Seribu Bunga, Saraswati, Puspa....”

“Kasmaran memang aneh.... Meski telah menyeberang laut, namun tak juga hilang dari kelopak mata!” Satu suara mendadak terdengar membuat Joko putuskan gumaman.

Meski terkejut, namun murid Pendeta Sinting tidak segera palingkan kepala. Diam-diam dia membatin. “Siapa pun dia adanya, aku tak akan melayani! Kedatangannya mungkin hanya akan mempersulit urusan! Anehnya.... Mengapa dia seolah tahu kalau aku tengah melamunkan....” Belum lagi Joko sempat lanjutkan kata hatinya, terdengar lagi suara.

“Harinya telah tiba. Kalau manusia masih juga tenggelam pada ketidakpastian, bukan hanya sia-sia perjalanan jauh, tapi malapetaka akan datang!”

Ucapan orang membuat Pendekar 131 palingkan kepala. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut. Paras wajahnya lonjong. Rambutnya putih dan panjang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar. Pada mulutnya yang mungil terdapat satu pipa cangklong yang terus menerus kepulkan asap. Dia mengenakan celana pendek warna putih kusam, pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelempang sebuah ikat pinggang besar yang dihias beberapa pipa. Anehnya, setiap mulut orang ini kepulkan asap dari pipa di mulutnya, semua pipa yang menggantung pada ikat pinggang di pundaknya ikut semburkan asap! Hingga begitu asap mengepul, wajah orang ini hanya terlihat samar-samar.

“Lagi-lagi orang aneh! Pasti membawa masalah baru! Tapi dia tahu kalau aku telah menyeberangi laut! Dia juga sebut-sebut harinya telah tiba! Hari ini memang hari ganda sepuluh.... Apakah ini masih ada hubungannya dengan peta wasiat itu?! Tapi apa yang bisa dia lakukan untukku?!”

Orang tua di depan sana kembali isap pipanya. Saat lain sosoknya terlihat samar-samar karena tertutup asap yang menyembur dari semua pipa yang ada pada ikat pinggang di pundaknya. Joko menunggu orang berucap lagi. Namun hingga agak lama, orang tua itu tidak perdengarkan suara. Bahkan dia mulai bergerak melangkah hendak tinggalkan tempat itu. Beberapa saat Pendekar 131 tampak bimbang.

“Ah.... Tak ada salahnya kalau aku bertanya!” Akhirnya Joko memutuskan seraya beranjak bangkit dan angkat suara. “Orang tua! Pasti kau seorang peramal!”

Orang tua di depan sana hentikan langkah. Dia jerengkan matanya yang besar menatap angker pada murid Pendeta Sinting. Joko merinding dengan senyum dipaksakan. Mendadak orang tua di hadapan Joko tertawa bergelak panjang. Murid Pendeta Sinting pupuskan senyum dengan dahi berkerut.

“Aneh.... Apakah ucapanku ada yang lucu?!” Joko pentangkan mata beberapa saat. Kerutan di keningnya makin membersit tatkala mendapati pipa di mulut orang tidak bergeming sama sekali meski orangnya tertawa ngakak!

“Dari sikapnya, jelas dia bukan orang sembarangan!”

Baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba orang tua itu putuskan gelakan tawanya. Sepasang matanya kembali menusuk tak berkesip pada Joko. Namun sejauh ini dia belum perdengarkan suara meski Joko mencoba diam untuk memberi kesempatan.

“Orang tua! Benarkah kau seorang peramal?!” Karena tak sabar akhirnya Joko kembali ajukan tanya.

“Hem.... Peramal?! Bagaimana kau bisa menduga begitu, hah?!” Orang tua di hadapan Joko perdengarkan bentakan.

“Ucapanmu tadi, Kek!” sahut Joko. “Kau seolah dapat membaca pikiran orang.... Kau juga seakan tahu apa yang tengah dilakukan orang!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Ucapanku tadi tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu! Apa yang kuucapkan adalah apa yang tengah kualami!”

“Hem.... Kalau ucapannya benar, apakah mungkin?! Dia tadi sebut-sebut tentang kasmaran! Apakah mungkin orang seusia dia masih juga kasmaran?! Dan kalau juga benar, berarti dia bukan asli orang negeri ini! Karena dia tadi juga sebut-sebut tentang menyeberang laut!” Joko membatin. Lalu seraya menahan tawa dia berkata. “Kek! Kau tengah kasmaran?!”

“Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu?!”

“Sialan! Mengapa dia balik bertanya?!” kata Joko dalam hati. Dia memperhatikan orang sesaat sebelum akhirnya berkata. “Kek! Bukankah kau mengatakan apa yang kau ucapkan adalah apa yang tengah kau alami! Sementara kau tadi sebut-sebut soal kasmaran! Berarti kau sekarang tengah jatuh cinta!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Perihal cinta tidak boleh diutarakan pada orang lain! Itu porno! Kau tahu porno, bukan?!”

“Hem.... Baiklah! Kalau membicarakan cinta kau anggap porno, aku akan membicarakan hal satunya lagi! Kau bukan asli orang negeri ini, bukan?!”

“Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu?!” Meski mulai agak jengkel dengan ucapan orang, namun akhirnya Joko berkata juga. “Kek! Bukankah kau tadi sebut-sebut tentang menyeberang laut?!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Tabu membicarakan asal usul orang! Apalagi pada orang yang belum dikenal!”

“Aku Joko Sableng!”

“Hem.... Begitu?!”

“Kau sendiri siapa, Kek?”

“Jangan tanya soal nama, Anak Muda! Itu tidak pantas! Kau tahu, nama kadang-kadang bisa membuat orang lupa diri!”

“Kalau begitu, bagaimana aku harus memanggilmu?!”

“Aku tidak menyuruhmu untuk memanggilku!”

“Tepat dugaanku!” gumam Joko dengan geleng kepala. “Percuma melayani orang seperti dia!” Joko balikkan tubuh. “Tapi mengapa dia tadi sebut-sebut harinya telah tiba! Pasti ini masih ada hubungannya dengan peta wasiat itu!” Joko kembali putar diri menghadap orang.

“Kek! Kau tadi sebut-sebut harinya telah tiba! Mau kau memberi penjelasan padaku?!”

“Hem.... Mengapa kau menduga ucapan itu perlu penjelasan?!”

“Busyet benar! Aku bisa terjebak sendiri bila terus bicara dengan orang ini! Lebih baik aku pergi saja daripada menambah pusing kepala!” Meski Joko telah berpikir begitu, entah karena apa dia tidak segera bergerak tinggalkan tempat itu. Malah dia pandangi orang tua di hadapannya dengan lebih seksama.

“Anak muda.... Aku tidak bisa memberi penjelasan apa-apa! Karena sebenarnya aku pun tak mengerti dengan ucapanku tadi!”

“Hem.... Begitu?!” Joko ikut-ikutan apa yang tadi dikatakan orang.

Orang tua di hadapan murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. “Aku tadi berkata karena membaca ini!” Tangan kanan si orang tua bergerak ke salah satu pipa di ikat pinggang yang ada di pundaknya. Pipa itu dicabut lalu diletakkan di sebelah pipa yang ada di mulutnya. Saat lain dia meniup.

"Wuuttt!" Dari lobang pipa melesat keluar gulungan kecil berwarna hijau kecoklatan.

Joko sempat tersentak kaget. Karena gulungan itu meluncur deras ke arahnya dengan perdengarkan deruan keras. Mungkin karena khawatir, Joko tidak berusaha menangkap. Dia gerakkan kaki ke kanan menghindar hingga gulungan itu jatuh di sebelahnya. Sementara kepalanya bergerak mengikuti arah jatuhnya gulungan. Saat gulungan berada di atas tanah, gulungan itu membuka. Ternyata gulungan itu adalah sehelai daun. Joko picingkan mata. Karena saat gulungan terbuka, terlihat tulisan:

Malam ganda sepuluh. Bukit Toyongga. Peta wasiat akan disatukan.

Joko ulangi membaca tulisan beberapa kali. Dadanya berdebar. Kejap lain dia arahkan pandang matanya pada si orang tua. Namun sebelum dia buka mulut, si orang tua telah mendahului.

“Joko! Jangan ajukan tanya. Percuma saja, karena aku juga tidak mengerti apa tujuannya! Yang ku tahu, hari ganda sepuluh adalah malam nanti! Itulah sebabnya mengapa aku tadi bicara harinya telah tiba!”

“Kek! Dari mana kau mendapatkan ini?!”

“Aku tidak pernah bertanya nama seseorang! Karena menurutku itu tidak pantas! Apalagi aku bukanlah orang daerah sini!”

“Apakah tulisan ini bisa dipercaya?!” tanya Joko dalam hati. Sekali lagi Joko pandangi tulisan yang tertera di daun. Lalu memandang pada si kakek. “Ini bukan buatanmu, bukan?!”

“Hem.... Mengapa kau bisa menduga begitu?!”

“Aku bertanya, Kek!”

Si kakek tertawa panjang. Tapi dua pipa di mulutnya tidak juga bergeming. “Anak Muda.... Kau telah dengar bahwa aku tidak mengerti! Itulah sebabnya kukatakan aku tidak bisa memberi penjelasan apa-apa! Jadi kau salah duga kalau mengira aku yang membuatnya!”

“Kek! Kau pernah dengar tentang peta wasiat?!”

“Kau boleh percaya boleh tidak! Kata-kata itu pun baru saat ini aku membaca dan mendengarnya! Aku tidak tahu apa itu peta wasiat! Yang ku tahu tongkat wasiat!”

“Tongkat wasiat?!” Joko bergumam mengulangi ucapan si kakek.

“Benar! Tongkat wasiat! Kalau itu aku tahu betul dan mengenalnya sampai ke ujung-ujungnya!”

“Apakah itu sebuah tongkat sakti?!”

“Lebih seribu kali sakti! Karena dengan perantara tongkat itu muncul yang namanya anak manusia! Dan tanpa adanya tongkat itu, laki-laki tidak akan ada artinya!”

“Kek! Kalau tongkat itu aku juga punya!”

“Hem.... Begitu?! Syukurlah.... Mudah-mudahan kau bisa mempergunakannya dengan baik!”

“Kau tidak tahu peta wasiat! Sekarang, kau tahu di mana Bukit Toyongga?!”

Yang ditanya gelengkan kepala. Joko menghela napas. Lalu berkata lagi. “Kek! Terima kasih atas pemberitahuanmu ini!” Joko anggukkan kepala dengan mata melirik. Saat lain dia putar diri hendak tinggalkan tempat itu.

“Tunggu! Kau hendak ke mana?!”

Joko terdiam beberapa lama. Si kakek membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di samping murid Pendeta Sinting. “Anak muda! Seperti halnya dirimu, aku adalah orang asing! Tidak keberatan bukan kalau kau kutemani?!”

“Kek! Aku....”

“Aku tidak peduli ke mana kau pergi! Aku juga tidak akan tanya ke mana kau akan pergi dan apa tujuanmu! Yang pasti aku ikut!”

“Orang seperti ini bisa menghadang rencana kalau kemauannya tidak dituruti! Lagi pula siapa tahu dia nanti bisa membantu!”

Berpikir begitu, akhirnya Joko anggukkan kepala seraya berkata. “Baiklah, Kek! Kita jalan bersama....” Joko melangkah dahulu. Si kakek tertawa, lalu melangkah di belakang Pendekar.

TUJUH

ENTAH karena ingin tahu tanpa harus bertanya, begitu melangkah kira-kira sepuluh tombak, tanpa menoleh dan buka mulut pada si kakek yang melangkah di belakangnya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuhnya. Kejap lain dia berkelebat. Mula-mula Joko agak memperlambat kelebatannya dengan kepala sesekali melirik ke arah si kakek. Yang dilirik tampak enak-enakan melangkah dengan isap dua pipa di mulutnya. Dan karena Joko mulai berlari sementara si orang tua tetap melangkah, jarak kedua orang ini mulai jauh.

“Hem.... Apa sebaiknya kutinggal saja? Tidak mungkin aku mencari dengan gerak lambat begini rupa!” Joko berhenti dengan kepala lurus memandang ke depan.

“Mengapa berhenti, Anak Muda?! Ada sesuatu yang menarik perhatianmu?!”

Pendekar 131 tersentak dan berpaling. “Aneh.... Dia baru saja ada di belakang sana! Sekarang tahu-tahu sudah ada di sini!”

Tak mau orang melihat gelagat rasa terkejutnya, Joko segera menyahut. “Kek! Kau benar-benar hendak ikut aku?!”

“Hem.... Mengapa kau masih sangsikan diriku?! Kau merasa keberatan?!”

“Terus terang saja, Kek! Apa yang akan kudatangi mengandung banyak bahaya! Apakah kau nanti tidak akan merasa menyesal? Bukankah saat ini kau lagi kasmaran?”

Si kakek tertawa bergelak. “Joko.... Bahaya itu tidak ada! Itu hanya perasaan manusia! Dan bahaya itu juga ciptaan manusia! Kalau manusia mau berjalan di hukum alam, tidak akan ada bahaya di atas bumi ini!”

“Ah.... Repot kalau sudah begini!” batin Joko. “Tapi satu hal yang aku masih sangsi, bagaimana dia bisa menyusul begitu cepat?! Aku akan mencobanya sekali lagi!” Membatin begitu, Joko anggukkan kepala lalu berkata.

“Kek! Aku sudah memberi ingat padamu! Kalau nanti terjadi apa-apa, harap tidak menyalahkan aku atau....”

“Anak muda.... Aku yakin bahaya itu tidak ada! Jadi kau tak usah cemas!” Si kakek telah memotong ucapan Joko.

Pendekar 131 melirik sesaat. Kejap lain dia kembali berkelebat tanpa terlebih dahulu buka mulut. Kali ini dia sengaja langsung berlari kencang laksana orang kesetanan. Bahkan dia tidak berusaha untuk berpaling melihat ke arah si kakek yang ada di belakangnya. Begitu memasuki kawasan sepi dan banyak ditumbuhi pohon, Joko coba palingkan kepalanya sedikit ke belakang tanpa mengurangi kecepatan larinya. Murid Pendeta Sinting sempat kernyitkan dahi tatkala dia tidak lagi melihat sosok si kakek.

“Ke mana dia?!” Joko memperlambat larinya dengan kepala terus berpaling ke belakang. Dan ternyata si kakek memang tidak kelihatan lagi batang hidungnya hingga akhirnya Joko berhenti dengan mulut megapmegap. Dia balikkan tubuh. Dia tegak memandang ke depan menunggu. Namun hingga agak lama, yang ditunggu tidak juga muncul!

“Jangan-jangan dia berbalik jalan! Ah.... Mengapa aku jadi memusingkannya?! Bukankah aku harus segera menemukan di mana Bukit Toyongga?! Walau aku belum yakin benar dengan apa yang tertera di gulungan daun itu, tapi tidak ada salahnya aku mencoba! Tapi sebaiknya kutunggu barang sesaat, siapa tahu dia akan menyusul. Bagaimanapun juga dia telah memberi keterangan berharga padaku...,” Joko terus tegak dengan mata jelalatan memandang ke arah mana dia tadi datang.

Namun setelah agak lama menunggu dan tidak ada tanda-tanda kemunculan si kakek, Joko memutuskan untuk teruskan berjalan. Seraya angkat tangan kanan menyisir rambutnya yang basah, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Namun mendadak gerakan tangan di rambut Joko terhenti. Sepasang matanya mendelik menatap ke depan. Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia melihat satu sosok tubuh duduk bersandar pada satu batang pohon. Joko memang tidak bisa jelas melihat raut wajah dan sosok tubuh orang karena sekujur sosok itu disemburati asap!

“Busyet! Bagaimana dia bisa berada didepanku?! Padahal aku tidak merasa dilewati! Berarti bukan aku yang menunggu, tapi dia yang menunggu!”

“Anak muda.... Kulihat kau selalu cemas. Kepalamu sering menoleh ke belakang! Bahkan kau sering berhenti! Apa kau takut bahaya itu?!” Orang yang duduk bersandar di batangan pohon dan sekujur tubuhnya disemburati asap dan bukan lain adalah kakek yang terus isap pipa, perdengarkan suara seraya bergerak bangkit.

“Sekarang aku yakin! Dan ini menambah keyakinanku jika tulisan yang tertera di gulungan daun bukan main-main!” gumam Joko talu melangkah hendak mendekati si kakek.

“Anak muda.... Aku memang tidak akan bertanya ke mana kau akan pergi! Tapi aku menduga kau tengah kebingungan mencari tempat yang hendak kau tuju! Sayang sekali aku bukan orang sini, jadi tidak bisa memberi tahu meski kau bertanya! Tapi.... Mungkin kau bisa bertanya pada orang itu!” Kepala si kakek berpaling ke kanan.

Joko ikut arahkan pandang matanya ke arah mana si kakek berpaling. Namun Joko tidak melihat siapa-siapa. “Kek! Yang kau maksud bertanya pada siapa?!” Karena menduga dari tempatnya Joko tidak bisa melihat keberadaan orang, Joko cepat melompat dan tegak di samping si kakek. Si kakek segera berpaling dengan tersenyum. Namun Joko tidak balas senyuman orang. Sebaliknya dia segera arahkan pandangannya ke mana tadi si kakek melihat.

“Aku tidak melihat orang! Siapa yang dimaksud orang ini?!” Joko sudah akan bertanya. Namun sebelum suaranya terdengar, si kakek angkat tumitnya. Tangan kanan diangkat ditadangkan di depan kening. Lalu kepalanya bergerak pulang balik ke kanan ke kiri seakan mencari orang yang sembunyi.

Karena tak mau banyak tanya dan penasaran, Joko ikut-ikutan angkat tumit. Lalu tangan kanan ditadangkan pula di depan kening dengan kepala digerakkan ke samping kiri kanan. Matanya nyalang tembusi jajaran batang pepohonan. Namun hingga tumitnya kelu dan matanya mendelik panas, Joko tidak juga melihat siapa-siapa. Merasa dipermainkan orang, Joko segera berpaling. Si kakek tampak tenang-tenang saja sambil bersandar ke batangan pohon. Malah kedua tangannya dilingkarkan ke belakang merangkul batangan pohon!

“Kek! Harap kau tidak main-main!”

“Hem.... Begitu?!”

“Dari ucapanmu tadi, jelas kau sepertinya melihat orang! Tapi mana?! Mana orangnya?!”

Suara Joko terdengar agak keras karena mulai jengkel. Si kakek tidak menyahut. Dia hanya tertawa perlahan membuat Joko tambah dongkol.

“Kek! Aku mau mengajakmu bukan untuk bersenda gurau!”

“Hem.... Begitu?!”

“Ya! Begitu!” sahut Joko saking jengkelnya.

“Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Aku memang suka bercanda. Tapi aku tahu kapan dan di mana serta bagaimana suasananya!”

“Jadi, kau berlagak seperti melihat orang hingga aku jadi penasaran, padahal orangnya tidak ada, itu kau anggap bukan main-main?!”

“Aku memang melihat orang...!”

“Mana manusianya?!” sahut murid Pendeta Sinting.

Baru saja Joko ajukan tanya begitu, dari arah depan sana, terlihat satu sosok bayangan berkelebat cepat di antara jajaran pohon. Joko tergagu diam beberapa lama dengan mata pulang balik memandang ke depan dan ke arah si kakek di sampingnya.

“Anak muda! Ternyata kau yang suka bercanda, bukan?! Kau melihat orang, tapi kau berkata tidak melihat siapa-siapa!”

“Dia bisa melihat kemunculan orang meski orangnya belum kelihatan!” kata Joko dalam hati. “Siapa orang tua ini sebenarnya?! Sayang dia pelit untuk memberitahukan siapa dirinya!”

Sosok di depan sana, mendadak hentikan larinya tatkala sadar tidak jauh di hadapannya ada orang lain. Sosok ini terlihat hendak berkelebat menyelinap. Namun karena kesadarannya terlambat, meski dia masih berusaha melompat ke balik batangan pohon, dia tidak bisa lepas dari pandang mata orang. Hanya saja, Joko masih belum bisa melihat bagaimana wajah orang. Yang dia tahu pasti, sosok itu adalah seorang perempuan.

“Anak muda! Seandainya aku sendirian, aku tidak akan menunggu lama-lama.... Tapi karena ada kau, aku maklum dan tahu diri! Bertaruh apa pun, pasti dia akan memilihmu....”

Joko berpaling. Raut wajahnya tampak bimbang. “Aku harus tetap berhati-hati. Apalagi menghadapi perempuan....”

“Anak muda.... Kau tunggu apa lagi? Bukankah kau perlu orang tempat bertanya? Atau kau tadi hanya bersenda gurau?!”

Tanpa buka mulut menyahut, Joko segera berkelebat ke depan dan tegak sepuluh langkah dari batangan pohon di mana orang menyelinap sembunyi. Joko memandang sesaat. Karena batangan pohon di mana orang sembunyikan diri agak kecil, Joko bisa melihat sebagian pakaian orang.

“Pakaiannya warna kuning. Hem.... Berarti dia bukan pemuda berkebaya atau Bidadari Bulan Emas!” Joko menghela napas lega. Lalu berteriak. “Harap tidak sembunyikan diri! Kami bukan orang jahat atau orang yang suka bersenda gurau mempermainkan orang! Kami hanya perlu tahu bagaimana bentuk wajahmu!”

“Ah.... Dasar anak muda! Mengapa berteriak begitu rupa?!” Si kakek yang bersandar di batangan pohon bergumam seraya isap dua pipa di mulutnya.

Joko menunggu sejenak. Namun orang di balik batangan pohon tidak juga bergeming dari tempatnya atau perdengarkan suara. “Orang berbaju kuning! Aku tahu kau berada di balik pohon. Mengapa takut sembunyi?! Aku cuma ingin bertanya....”

Sesaat hening. Joko masih bersabar menunggu. Namun karena tidak juga ada gerakan atau terdengarnya suara jawaban, Joko buka mulut lagi. Namun sebelum suaranya sempat keluar, terdengarlah suara perempuan menyahut. “Aku tidak mau bicara denganmu!”

Joko kerutkan dahi. “Dari suaranya, aku bisa menebak dia seorang nenek-nenek! Hem.... Sayang sekali! Tapi tak apalah.... Aku kali ini hanya perlu bertanya di mana beradanya Bukit Toyongga! Anehnya.... Mengapa suaranya terdengar tidak dari tempatnya dia bersembunyi?! Suara itu seperti bersumber dari langit! Hem.... Ini satu tanda kalau dia memiliki ilmu! Mungkin dia sengaja unjuk diri agar tidak mudah dipandang sepele orang.... Tapi mengapa dia tidak mau bicara denganku?! Ah.... Dasar perempuan.... Sudah tua pun masih suka malu-malu kucing!”

Habis membatin begitu, Joko kembali angkat suara. “Orang di balik pohon! Jangan menaruh prasangka dahulu! Aku cuma ingin bertanya.... Setelah itu, seumur hidup tidak bicara denganku pun tak apa-apa!”

“Kau dengar ucapanku! Aku tak sudi bicara denganmu apalagi menjawab semua pertanyaanmu! Aku hanya mau bicara dengan kakek tampan pengisap pipa temanmu itu!” Terdengar suara jawaban.

Joko tercengang. Dia berpaling pada si kakek yang bersandar di batangan pohon. Si kakek tersenyum dengan tangan kanan digerakkan pulang balik melambai-lambai. “Orang di balik pohon! Yang punya urusan ini aku! Bukan kakek temanku itu!”

Joko buka mulut lagi. Namun diam-diam dia melirik ke arah si kakek di batangan pohon. Sesaat tidak ada jawaban. Namun begitu Joko arahkan pandang matanya pada batangan pohon tempat orang sembunyi, terdengar suara sahutan.

“Ini memang urusanmu. Tapi aku sudah katakan tidak mau bicara denganmu! Aku memilih kakek tampan itu! Dia punya tongkat sakti! Padahal kau tidak!”

Untuk kesekian kalinya dahi murid Pendeta Sinting berkerut. Apalagi dari balik batangan pohon tempat orang bersembunyi terdengar orang bergumam dan mendengus tak senang. Joko manggut-manggut. Saat lain dia berucap. “Orang di balik pohon! Kau keliru jika menduga aku tidak punya tongkat sakti! Aku punya yang lebih sakti dari milik kakek temanku itu!”

“Ah.... Yang benar?! Mau memperlihatkan padaku?! Aku akan keluar!”

Suara sahutan orang belum selesai, Joko sudah sentakkan kepalanya ke arah si kakek yang bersandar di batangan pohon. Matanya mendelik angker dengan mulut terkancing saat melihat mulut si kakek tampak bergerak-gerak perdengarkan suara!

“Jangkrik! Dia menipuku! Sahutan itu suara dia! Bukan suara orang di balik pohon!”

“Kek! Mengapa kau masih juga mempermainkan aku, hah?!”

Yang dibentak tidak menyahut. Sebaliknya tertawa bergelak-gelak! Saat itulah terdengar suara.

“Kalian manusia-manusia lancang yang tak punya aturan! Mulut orang macam kalian perlu diberi gebukan!”

Meski suara yang baru terdengar nadanya membentak, namun suara itu merdu, hingga Joko cepat sentakkan kepala berpaling lagi ke arah pohon di mana orang bersembunyi. Murid Pendeta Sinting beliakkan mata ketika di depan pohon di mana orang bersembunyi telah tegak satu sosok tubuh. Dia adalah seorang gadis cantik jelita berambut hitam lebat digeraikan hingga punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna kuning tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda hingga busungan dadanya yang mencuat tampak sekali menggoda.

Pinggulnya besar ditingkah pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga tatkala gadis ini tegak dengan sedikit renggangkan kaki, Joko bisa melihat jelas pahanya yang padat dan mulus. Pada pinggangnya yang ramping melilit sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning. Dan tepat di bagian sisi bagian kiri pinggangnya tampak satu pedang pendek bergagang batu berwarna kuning pula.

Saat Joko berpaling, baik Joko maupun si gadis berpakaian kuning tampak sama terkejut. Joko cepat tersenyum. Si gadis segera pula hendak sunggingkan senyum. Namun mungkin karena teringat akan ucapan-ucapan orang, si gadis urungkan senyum dan balik unjukkan tampang ketus seraya alihkan pandangan!

DELAPAN

JOKO angkat tangan kanannya menunjuk pada gadis di hadapannya. “Sun.... Sun.... Sun....”

Gadis cantik berbaju kuning menggoda berpaling lagi memandang tak berkesip pada murid Pendeta Sinting.

“Walah.... Aku lupa siapa namanya! Yang kuingat ada Sun... Sun...!”

Sementara mendengar ucapan Joko, kakek yang bersandar di batangan pohon perdengarkan ledakan tawa keras. Lalu berujar begitu tawanya putus.

“Anak muda.... Jangan kira aku tak tahu apa artinya Sun.... Sun sama dengan cium, bukan?!”

Mendengar kata-kata si kakek, gadis berbaju kuning makin pentangkan mata. Namun bukan saja memandang pada Joko, tapi juga mendelik pada si kakek!

“Kalian memang pantas digebuk!” teriak si gadis. Tangan kanannya diangkat.

“Tunggu!” tahan Joko dengan takupkan kedua tangan di depan dada dan bungkukkan sedikit tubuhnya. “Maaf kalau ucapanku ada yang menyinggung! Tapi harap kau tidak percaya pada ucapan kakek temanku itu. Sun artinya bukan cium, tapi pantat! Dan maafkan juga jika ucapanku salah! Terus terang, karena kita cuma sekali bertemu, aku lupa siapa nama lengkapmu! Yang kuingat hanya Sun tadi....”

Si gadis berbaju kuning tipis masih belum buka mulut. Tangan kanannya tetap berada di atas udara siap lepaskan pukulan. Joko anggukkan kepala dengan tersenyum dan berkata lagi. “Kalau mau, aku ingin dengar lagi siapa nama lengkapmu agar aku tidak salah ucap jika kelak berjumpa lagi!”

“Aku Dewi Bunga Asmara!” Si gadis mulai angkat bicara dengan nada ketus.

“Kalau gelarmu itu aku masih ingat! Yang aku lupa, namamu yang mengenakan Sun.... Sun.... Sun....”

“Ah.... Aku pernah dengar....” Si kakek menyahut. “Kalau tak salah masih berkisar antara Sun Jauh dan Sun Dekat!”

“Siapa temanmu itu?!” Si gadis yang menyebut dirinya dengan gelar Dewi Bunga Asmara dan tidak lain memang murid tunggal Li Muk Cin alias Ratu Selendang Asmara ini ajukan tanya dengan mata menyorot tajam pada si kakek. Karena tak mau dianggap mempermainkan orang, meski belum tahu siapa nama si kakek, Joko segera menjawab.

“Dia bernama Ci Kam Pek! Namun tak jarang orang memanggilnya Ci Ka Long! Dan tentu kau masih ingat namaku, bukan?!”

Yang ditanya diam sejenak. “Kau Han Ko, bukan?!”

“Syukur kau masih mengingatnya, hingga aku tak usah ulangi lagi! Tapi aku sungguh-sungguh lupa akan nama lengkapmu”

“Bang Sun Giok!” kata si gadis.

“Bang Sun Sun!” Si kakek di belakang sana menyela. “Jangan percaya dia bernama Han Ko!”

“Jangan hiraukan ucapan temanku itu! Dia memang suka bercanda!” kata Joko setengah berbisik pelan. Namun dari tadi sepasang matanya terus menatap pada belahan dada dan paha Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara.

“Dewi.... Aku senang bisa bertemu kau lagi! Dan ku harap kau melupakan peristiwa yang pernah terjadi antara kita....” Saat itulah Joko sadar. Dia cepat edarkan pandang matanya berkeliling. “Celaka kalau dia muncul bersama gurunya....” Diam-diam Joko membatin.

Seperti diketahui, Joko pernah bertemu dengan Dewi Bunga Asmara beserta gurunya si Ratu Selendang Asmara. Mereka sempat terlibat bentrok karena Ratu Selendang Asmara meminta peta wasiat yang ada di tangan murid Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Kuil Atap Langit)

“Ah.... Tampaknya kalian pernah terlibat satu peristiwa! Pasti peristiwa itu masih ada kaitannya dengan sun jauh dan sun dekat....” Si kakek perdengarkan suara.

“Hem.... Kakek itu benar-benar bisa membuat suasana jadi panas lagi!” kata Joko dalam hati. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi dia kini tahu jika si kakek bukan orang sembarangan. Hingga untuk meredakan gemuruh dada Dewi Bunga Asmara, Joko segera angkat suara.

“Dewi.... Sekali lagi harap kau tidak termakan ucapan kakek itu! Dia itu begini!” Joko angkat tangan kanannya, lalu jarinya disilangkan di depan keningnya.

“Kalau temanmu sinting, bagaimana dengan kau sendiri?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya.

“Apa tampangku pantas dikatakan orang sinting?!” Joko balik bertanya.

“Biasanya, orang itu dilihat dari siapa temannya!”

“Tapi aku orang luar biasa! Banyak temanku yang sinting, namun sejauh ini aku masih bisa bertahan untuk tidak ikut sinting!”

Dewi Bunga Asmara amati Joko silih berganti dengan si kakek yang masih tegak bersandar di batangan pohon. “Pemuda asing ini ternyata mempesona.... Hem. Dia tadi berkata hendak bertanya. Apa yang akan ditanyakan?! Saat ini orang tengah sibuk menuju Bukit Toyongga akibat selebaran.... Tapi dia dan temannya enak-enakan berada di sini! Apakah ini satu bukti jika peta wasiat itu benar-benar tidak ada ditangannya?!”

“Dewi.... Sebagai orang daerah sini, tentu kau tahu di mana letak Bukit Toyongga....”

Air muka Dewi Bunga Asmara berubah sedikit tegang. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Tampaknya Joko bisa membaca perubahan wajah orang, hingga sebelum Dewi Bunga Asmara buka mulut, Joko sudah angkat suara lagi.

“Dewi.... Perlu kukatakan sekali lagi padamu. Peta wasiat itu tidak ada padaku!”

“Lalu mengapa kau ingin ke Bukit Toyongga?!”

“Seorang teman mengatakan....”

“Bukan seorang teman! Tapi sebuah undangan yang tertera di gulungan sehelai daun!” Dewi Bunga Asmara sudah menyahut sebelum ucapan Joko selesai.

“Bagaimana dia bisa tahu?! Jangan-jangan ini ulah kakek itu pula! Dia sengaja membuat sandiwara untuk mempertemukanku dengan gadis ini! Bukankah dia tadi sudah tahu akan kemunculan orang meski orangnya belum kelihatan?!” Tanpa sadar, Joko berpaling pada si kakek.

“Kau tak usah berprasangka buruk pada orang! Sekarang semua orang tahu jika nanti malam ada sebuah pertemuan di Bukit Toyongga!” gadis ini berujar seakan tahu apa yang ada di benak murid Pendeta Sinting.

Joko pandangi sekali lagi gadis cantik di hadapannya. “Dewi.... Kuharap kau juga tidak berprasangka padaku.... Kalaupun aku ingin ke Bukit Toyongga, semata-mata hanya ingin tahu bagaimana cerita sebenarnya dan bagaimana bentuk peta wasiat itu. Karena ulah peta wasiat itu, aku sampai mengalami hal yang hampir merenggut nyawaku! Aku dikejar banyak orang! Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa!”

“Bagaimana ini? Apakah ucapannya bisa dipegang?” Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama.

“Dewi.... Kau boleh percaya, juga boleh tidak. Tapi itulah sebenarnya yang kualami! Dan kalau kau tidak mau mengatakan di mana letak Bukit Toyongga, aku tidak akan memaksa!” Joko memandang sesaat. Lalu tersenyum dan balikkan tubuh melangkah ke arah si kakek.

“Aku akan tunjukkan padamu!” kata Dewi Bunga Asmara.

Joko balikkan tubuh. “Terima kasih....”

“Tapi aku minta syarat!” Si gadis sambungi ucapannya.

“Hem.... Katakanlah! Mudah-mudahan aku bisa mengabulkan syaratmu!”

“Aku bukan saja akan menunjukkan di mana Bukit Toyongga. Tapi aku akan mengantarmu sampai ke sana! Tapi.... Tanpa bersama kakek temanmu itu!”

“Hem.... Begitu?!” Si kakek menyahut. Sementara Joko palingkan muka pulang balik ke arah Dewi Bunga Asmara dan si kakek.

“Daripada berjalan dengan kakek yang suka usil, memang lebih baik berjalan bersama gadis cantik! Apalagi dadanya rendah, pahanya kelihatan dan....”

“Aku minta kau segera memutuskan!” Dewi Bunga Asmara berujar.

“Hem.... Baiklah! Syaratmu kupenuhi! Kita ke sana berdua!”

“Han Ko!” seru si kakek. “Jangan kau lupa! Pada mulanya kau tahu urusan ini dari aku! Tidak sepantasnya kau akan membuangku begitu saja karena hadirnya pihak ketiga!”

“Kek! Aku memang dengar pertama kali darimu. Tapi kau tidak bisa menunjukkan di mana tempat yang kutuju! Untuk itulah aku ucapkan terima kasih sekaligus maaf jika aku tidak bisa mengajakmu ikut serta!”

“Tapi kau telah dengar ucapanku, bukan?! Ke mana kau pergi, aku akan ikut! Aku tak akan tanya apa tujuanmu! Kau juga tak usah khawatir kalau aku mengganggu keasyikanmu! Sebagai orang tua, aku tahu diri dan maklum.... Lagi pula, soal sun, sun itu aku sudah bosan.... Jangan takut aku akan mengintip!”

Paras wajah Dewi Bunga Asmara tampak bersemu merah. Sementara sepasang matanya mendelik besar ke arah si kakek. “Ucapannya itu yang membuatku tidak mau berjalan bersamanya!” bisiknya dengan suara bergetar.

“Kek! Ini bukan soal intip-intipan apalagi sun-sunan, ini urusan ada kaitannya dengan apa yang kualami selama ini! Jadi jangan salah tafsir kalau kami tidak mau mengajakmu ikut serta!”

“Hem.... Begitu?! Selagi aku masih muda dulu.... Aku juga punya banyak alasan agar kepergianku bersama sang kekasih tidak diikuti orang! Jadi kau masih kalah masa denganku kalau mengatakan alasan!”

“Bagaimana sekarang?! Melihat dari bagaimana tadi dia bisa menyusulku tanpa kuketahui, tampaknya sulit menghindari orang itu....” Joko tampak bingung. “Hem.... Ada-ada saja yang membuat rejeki besar lepas dari tangan....”

Dewi Bunga Asmara melangkah mendekati Joko. “Bagaimana kalau dia kita tinggal? Lagi pula kalau berjalan dengan orang tua seperti dia, kurasa kita akan terlambat sampainya!” bisik Dewi Bunga Asmara.

Pendekar 131 gelengkan kepala. “Dia bukan seperti yang kau duga!”

“Maksudmu...?!”

“Aku tadi sudah mencobanya. Dia kutinggal jauh di belakang! Dan aku berhenti di sini karena kuduga dia tidak bisa menyusulku. Sialnya, tahu-tahu dia sudah ada di sini! Bahkan mendahuluiku!”

“Hem.... Begitu?!” Tiba-tiba si kakek berkata lagi. “Kalian bisik-bisik membuat rencana?!” Si kakek tertawa ngakak. “Perlu kalian tahu satu hal. Kalian boleh membuat seribu satu rencana. Yang pasti aku tetap akan ikut!”

“Bagaimana kalau kita gebuk saja?!” usul Dewi Bunga Asmara.

“Itu tak mungkin! Kalau dia memiliki ilmu peringan tubuh luar biasa, pasti kepandaiannya luar biasa pula! Lagi pula aku tak mau membuat masalah!”

“Ah.... Sebenarnya aku ingin berdua saja bersamanya....” Dewi Bunga Asmara berkata sendiri dalam hati. “Mungkin ini tidak akan direstui oleh Guru. Apalagi aku disuruhnya pulang dan menunggu sampai dia datang! Tapi.... Aku tidak bisa! Sejak pertama kali jumpa tempo hari, sebenarnya aku tertarik padanya... Aku tak tahu mengapa ini harus terjadi?”

“Dewi.... Bagaimana sekarang?!”

Karena tengah melamun, ucapan Joko membuat Dewi Bunga Asmara gelagapan. Namun gadis ini cepat tersenyum dan gelengkan kepala.

“Bagaimana kalau dia kita ajak saja?!”

“Sebenarnya.... Ah, tapi kalau itu keputusanmu, aku ikut saja! Tapi kuharap kau berpesan padanya agar dia tidak melakukan hal-hal yang tak ada gunanya! Dan setibanya di Bukit Toyongga, kuharap pula dia tidak mengeluarkan ucapan yang membikin panas suasana. Aku menduga, akan banyak tokoh dunia persilatan yang hadir.... Dan satu hal lagi, begitu tiba di sana, kita harus berpencar!”

“Mengapa begitu?!” tanya murid Pendeta Sinting.

“Guruku pasti akan ada di sana!”

“Hem.... Kau takut karena bersamaku?!”

“Bukan begitu...,” kata Dewi Bunga Asmara dengan gelengkan kepala. “Aku tahu bagaimana sifat guruku. Dan selama ini dia mungkin masih menduga peta wasiat itu berada di tanganmu! Selain itu, bentrokan tempo hari mungkin masih tidak bisa dilupakannya! Aku tak mau kau celaka gara-gara bersamaku.... Demikian pula sebaliknya! Namun setelah itu, aku akan memberitahukan pada Guru bagaimana duduk persoalan sebenarnya! Dan di sana pula mungkin nanti Guru tahu sendiri siapa sebenarnya yang memegang peta wasiat itu!”

“Hem.... Bagaimana kalau kita menemui gurumu bersama-sama?! Aku yang akan menjelaskan sendiri!”

“Saat seperti sekarang ini, bukan waktu yang tepat untuk melakukan hal seperti itu!” ujar Dewi Bunga Asmara meski hatinya berdebar senang mendengar ucapan Joko.

“Hem.... Itu kita bicarakan nanti sambil jalan. Sekarang aku akan memberi tahu persyaratan apa yang harus dilakukan kakek itu kalau dia mau ikut bersama kita!”

Habis berkata begitu, Joko melompat dan tegak di hadapan kakek yang tetap sandarkan tubuh ke batangan pohon di belakangnya. “Kek.... Kami memutuskan akan mengajakmu ikut serta! Tapi....”

“Hem.... Begitu?!” Si kakek sudah menyahut sebelum Joko selesai berkata. “Jadi kalian sudah memutuskan. Namun kalian memasang syarat! Ha Ha Ha... Anak Muda.... Perlu kau tahu satu hal. Jika seseorang memasang satu syarat, itu satu bukti kalau orang itu kurang percaya diri! Tapi tak apalah.... Katakan apa syarat itu...?!”

“Harap tidak berlaku usil saat di tengah jalan! Dan jika sampai di Bukit Toyongga, harap tidak melakukan atau berucap yang membikin suasana berubah jadi panas....”

“Hem.... Begitu?! Hanya itu syaratnya?!”

Joko menjawab dengan anggukkan kepala. Si kakek tertawa panjang. Lalu berujar. “Syarat mudah.... Aku bersedia melakukannya!”

“Orang aneh.... Sebenarnya apa maksudnya dia hendak ikut ke Bukit Toyongga...? Dia juga tidak bertanya ada apa sebenarnya! Hem....” Joko membatin memperhatikan si kakek sekali lagi dengan lebih seksama. Yang dipandangi balas memandang.

“Anak muda! Rasanya tak ada dari tubuhku yang sedap untuk dipandang! Sementara di belakangmu ada pemandangan indah yang terlalu sayang disia-siakan! Atau barangkali kau lebih tertarik dengan dada dan pahaku?!”

Joko menyeringai. Saat lain dia balikkan tubuh dan melompat ke arah Dewi Bunga Asmara. “Dewi.... Kita berangkat sekarang....”

Dewi Bunga Asmara tersenyum lalu anggukkan kepala dan mulai melangkah. Joko berpaling sesaat pada si kakek, lalu tanpa buka mulut dia mengikuti langkah Dewi Bunga Asmara. Anehnya, meski tahu Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara sudah bergerak bahkan sudah agak jauh melangkah, si kakek masih saja tegak bersandar di batangan pohon. Malah saat sosok murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara lenyap tidak kelihatan, si kakek belum juga beranjak dari tempatnya.

Baru begitu sudah agak lama, si kakek mulai melangkah dari dekat batangan pohon di mana tadi dia bersandar. Herannya, dia tidak segera berkelebat menyusul agar tidak kehilangan jejak. Sebaliknya melangkah perlahan-lahan seraya mengisap dua pipa di mulutnya. Dan ternyata dia melangkah tidak mengambil arah seperti yang diambil Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara!

SEMBILAN

KARENA telah maklum akan kehebatan ilmu peringan tubuh si kakek, Pendekar 131 memberi saran agar Dewi Bunga Asmara berlari sekuat yang dia mampu. Dan begitu si gadis mulai berlari, tanpa memandang ke belakang, murid Pendeta Sinting pun segera berlari. Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari, pada satu tempat, Dewi Bunga Asmara berhenti.

“Perjalanan kita sudah tak jauh lagi. Kita istirahat sejenak!” berkata Dewi Bunga Asmara dengan tangan mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dadanya tampak bergerak keras turun naik.

Joko ikut hentikan larinya dan tegak menjajari. Dia berpaling hendak berkata, namun meski mulutnya telah terbuka, tidak terdengar suaranya. Sebaliknya sepasang matanya tampak membesar memandang tak berkesip. “Edan! Dalam keadaan basah oleh keringat begini rupa, sosoknya begitu menggoda....” Joko bergumam dalam hati dengan mata menatap tajam pada sosok Dewi Bunga Asmara.

Karena pakaian yang dikenakan si gadis sangat tipis dan basah oleh keringat, membuat pakaian itu laksana melekat hingga membikin semua lekukan tubuhnya terlihat jelas. Belum lagi gerakan dadanya yang turun naik dan renggangkan kedua kakinya yang membuat belahan pakaian bawahnya melebar menampakkan pahanya yang berkulit putih dan padat.

“Aku tidak mendengar suara kakek temanmu itu!” Dewi Bunga Asmara kembali angkat suara. Saat bersamaan dia gerakkan tubuh menghadap Joko yang tegak di sampingnya.

Murid Pendeta Sinting tampak salah tingkah. Dia buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Tampaknya Dewi Bunga Asmara sadar. Dia tundukkan kepala melihat ke arah belahan di dadanya yang memang dibuat agak rendah. Lalu memandang pada belahan pakaian di pahanya. Saat lain dia kembali putar diri menghadap ke depan. Wajahnya sedikit berubah. Mungkin karena sama-sama salah tingkah, untuk beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mulut. Hanya mata mereka yang sesekali melirik.

“Dewi.... Berapa lama lagi perjalanan sampai bukit itu?!” Akhirnya Joko memecah kebisuan.

“Kalau kita berlari seperti tadi, mungkin sebelum petang kita sudah sampai!”

“Kau yakin memang akan banyak tokoh yang hadir di sana?! Apakah tidak mungkin undangan ini hanya ulah seseorang yang mengail di air keruh?!”

“Menurut kesimpulanku setelah melihat apa yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, aku yakin akan banyak tokoh yang hadir! Dan aku pun juga menduga, undangan ini adalah ulah seseorang! Hanya saja orang itu pasti memegang peta wasiat!”

“Mengapa kau menduga begitu?!”

“Kau tahu sendiri. Peta wasiat itu terbagi dua. Satu berada di Perguruan Shaolin, satunya lagi masih menjadi teka-teki di mana beradanya. Sementara waktunya telah tiba. Jika malam ini peta wasiat tidak bisa disatukan, maka peta wasiat itu tidak akan ada artinya lagi! Untuk itulah salah seorang yang memegang peta wasiat menyebar undangan. Dengan begitu, siapa pun yang memegang peta wasiat satunya pasti akan datang, karena dia juga menginginkan separo dari peta wasiat! Jika tidak, untuk apa menyebar undangan?! Dan karena orang ini belum tahu siapa yang memegang peta wasiat satunya, terpaksa dia memberi undangan pada beberapa orang yang diduga tahu dan ikut terlibat memperebutkan peta wasiat itu!”

“Hem.... Selain cantik, bertubuh bagus, dia juga pintar!” Joko anggukkan kepala seraya terus melirik. “Jika kesimpulanmu demikian, berarti akan ada bentrokan di bukit itu!”

“Itu mungkin saja terjadi jika tidak ada kesepakatan! Dan untuk itulah sebenarnya aku bertujuan ke bukit itu! Karena aku menduga guruku akan ada di sana.... Aku tak mau sesuatu menimpa guruku! Meski aku yakin, kehadiranku di sana akan membuatnya marah!”

“Mengapa kau yakin gurumu akan marah melihat kehadiranmu? Apa karena kau datang bersamaku?!”

Dewi Bunga Asmara berpaling tanpa putar tubuh. Sepasang matanya menatap tajam pada bola mata Joko, hingga untuk beberapa lama kedua orang ini saling pandang. Namun Dewi Bunga Asmara segera alihkan pandangannya dan berkata. “Keberadaanmu bersamaku mungkin saja satu sebab. Tapi sebelumnya sudah ada sebab. Kau masih ingat pertemuan kita pertama kali?!”

Kepala Dewi Bunga Asmara kembali menghadap Joko. Pendekar 131 anggukkan kepala. Kini dia yang alihkan pandang matanya dari dada Dewi Bunga Asmara ke jurusan lain.

“Hem.... Aku begitu bahagia bersamanya.... Seandainya pertemuan dengannya tanpa didahului satu masalah, tentu akan lain ceritanya!” Dewi Bunga Asmara diam-diam membatin dengan dada berdebar.

“Kau belum menjelaskan, mengapa dengan pertemuan kita dahulu?!” Joko berujar karena si gadis belum juga buka mulut lagi.

Karena Joko berkata tanpa memandang, Dewi Bunga Asmara memberanikan terus memandang seraya berkata. “Setelah aku, Guru, dan Bayangan Tanpa Wajah tahu kalau kau diselamatkan Bu Beng La Ma, kami bertiga sepakat untuk mengejarmu ke tempat kediaman Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Di tengah jalan, mungkin karena mengkhawatirkan keselamatanku, Guru menyarankan agar aku kembali dan tidak ikut! Namun aku bersikeras untuk ikut!” Dewi Bunga Asmara hentikan ucapannya sesaat. Namun sebenarnya dia berkata sendiri dalam hati. “Sebenarnya aku bersikeras ikut karena ingin berjumpa lagi denganmu dan untuk yakinkan diri jika kau tidak apa-apa....”

“Pada mulanya, Guru memang mengizinkan aku ikut serta. Tapi begitu akan sampai di Kuil Atap Langit, tiba-tiba Bayangan Tanpa Wajah mengusulkan agar aku kembali saja. Karena dia tahu benar siapa tokoh yang hendak dihadapi! Usulan Bayangan Tanpa Wajah membuat Guru berubah niat. Hingga akhirnya dia memerintahkan padaku untuk kembali saja! Dan meskipun aku bersikeras dan memberi alasan, Guru tidak mau dengar! Akhirnya aku kembali pulang....”

Dewi Bunga Asmara kembali hentikan keterangan dengan wajah sedikit berubah. Setelah menghela napas panjang, dia melanjutkan. “Beberapa hari sendiri, aku dilanda perasaan cemas dan khawatir. Karena sampai menjelang hari ganda sepuluh, tidak ada kabar berita guruku. Aku sudah berniat untuk mencarinya. Namun sebelum berangkat, aku mendapatkan undangan gulungan daun itu....”

Dewi Bunga Asmara putar kepala dengan mata mengedar berkeliling karena saat itu dia teringat kembali pada si kakek. Dia sudah buka mulut lagi hendak bertanya karena dia tidak melihat batang hidung orang yang dicari. Namun sebelum suaranya terdengar, Joko sudah angkat bicara mendahului.

“Kau pernah kenal dengan seorang pemuda yang mengenakan pakaian mirip kebaya? Wajahnya tampan berkulit putih. Bibirnya diberi pewarna merah. Tangan kanannya memegang sebuah kipas....”

Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama dengan dahi berkerut. Saat lain kepalanya bergerak menggeleng. “Aku tidak pernah melihatnya! Ada apa?!”

Murid Pendeta Sinting tersenyum dan geleng kepala. “Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya. Aku cuma heran, ada pemuda yang mengenakan pakaian milik perempuan. Bibirnya dipoles lagi! Apakah di negeri ini banyak pemuda yang bertingkah seperti dia?!”

Joko tidak mau berterus terang dan coba mengorek keterangan. Dia khawatir di negeri ini banyak pemuda yang seperti pemuda berkebaya yang ditemuinya beberapa hari lalu. Karena jika banyak, hal ini akan membuatnya susah. Sebab Joko yakin peta wasiat di tangannya dibawa kabur pemuda berkebaya itu.

“Setahuku, baru kali ini aku mendengar ada pemuda seperti yang kau katakan!” Dewi Bunga Asmara menjawab seraya memandang ke arah Joko. Pandangannya jelas menyelidik. Lalu bertanya. “Sebenarnya ada apa dengan pemuda itu?! Kau bentrok dengannya?!”

Kembali Joko geleng kepala dan berkata. “Aku hanya melihat dan bicara sebentar. Kalaupun aku bertanya tentang dia, karena aku merasa heran tadi! Bahkan saking heran dan penasaran, secara diam-diam aku mengikutinya. Aku berharap dia pergi ke sebuah sungai dan mandi! Aku ingin tahu, apakah miliknya masih seperti milik....” Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu Dewi Bunga Asmara pelototkan mata dengan raut merah padam.

“Maaf. Bukan maksudku berkata yang bukan-bukan. Aku cuma ingin menerangkan agar kau tidak terus bertanya-tanya....”

“Hem.... Apakah kau pernah bertemu lagi dengan guruku sejak kau diselamatkan oleh Bu Beng La Ma?!” Dewi Bunga Asmara alihkan pembicaraan.

Joko menjawab dengan gelengan kepalanya. “Aku hanya sempat bertemu dengan pemuda berkebaya itu dan kakek pengisap pipa....” Habis berkata begitu, Joko palingkan kepala ke kanan kiri. Ucapannya membuat dia teringat pada si kakek.

“Ke mana dia?! Dari tadi aku tidak melihat batang hidungnya! Jangan-jangan dia sembunyi di sekitar tempat ini!” Joko kembali putar kepala dengan mata menyelidik.

“Kau mencari seseorang?!” tanya Dewi Bunga Asmara meski dia tahu apa yang tengah dilakukan Joko.

“Kakek temanku itu! Aku tidak melihatnya!”

Dewi Bunga Asmara ikut-ikutan putar kepala dengan mata menyiasati keadaan. Namun hingga beberapa lama, kedua orang ini tidak melihat sosok si kakek. “Mungkin dia batalkan niatnya untuk ikut! Di tengah perjalanan tadi, aku sempat mencari-cari dengan berpaling ke belakang, tapi aku memang tidak melihatnya!” kata Dewi Bunga Asmara.

Joko tidak sambuti ucapan si gadis. Dan karena telah tahu ulah si kakek sebelumnya, dia terus menyelidik untuk yakinkan diri. Dan begitu tidak menemukan orang yang dicari, dia ajukan tanya. “Dewi.... Kau tahu siapa kakek itu sebenarnya?!”

Yang ditanya sipitkan mata. “Kau ini aneh. Bukankah dia temanmu?! Mengapa kau bertanya padaku tentang siapa dia?!”

“Terus terang, sebenarnya aku baru saja berkenalan dengannya! Bahkan aku tidak tahu siapa namanya!”

Dahi Dewi Bunga Asmara makin berkerut. “Bukankah kau tadi menyebutkan namanya padaku Ci Kam Pek dan Ci Ka Long?!”

“Ah.... Itu cuma main-main.... Sebab jika aku tidak menjawab siapa namanya saat itu, pasti kau akan menduga jelek padaku!” jawab Joko dengan cengar cengir.

“Kau sama saja dengan kakek itu! Suka main-main!” ujar Dewi Bunga Asmara dengan suara ketus dan pasang tampang cemberut. “Namamu yang kau beri tahukan padaku jangan-jangan juga main-main! Kau bukan Han Ko!”

“Ah.... Namaku memang yang baru kau sebut tadi! Aku tidak main-main dengan nama itu!” ujar murid Pendeta Sinting seraya bergerak mendekat.

Entah agar orang percaya dan.si gadis tidak cemberut, perlahan-lahan Joko mengambil tangan kanan Dewa Bunga Asmara. Dewi Bunga Asmara sempat terkejut. Anehnya dia tidak berusaha menolak, bahkan dia balik meremas saat tangan Joko mulai berani meremas. Dada gadis ini berdebar keras. Wajahnya berubah merah dan tidak berani memandang langsung ke arah murid Pendeta Sinting yang makin berani dengan ambil tangan kirinya!

“Kuharap kau percaya padaku....” Joko berkata dengan suara agak tersendat seakan tenggelam oleh debaran dadanya.

“Kau memang tidak main-main, bukan?!” kata Dewi Bunga Asmara dengan palingkan kepala perlahan-lahan menghadap Joko. Joko gelengkan kepala meski dalam hati menahan tawa.

“Kau benar berani menghadap guruku?!”

“Dia juga manusia sepertiku. Apa yang ditakutkan?! Lagi pula masalahnya hanya salah paham.... Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan! Apalagi....”

Belum lagi Joko lanjutkan ucapannya, Dewi Bunga Asmara lepaskan kedua tangannya dari tangan Joko, membuat murid Pendeta Sinting terkejut. Dan belum hilang rasa kejut Joko, mendadak Dewi Bunga Asmara gerakkan kedua tangannya melingkar pada pinggang Joko. Saat lain kepalanya disandarkan pada dada Joko! Pendekar 131 terkesiap. Dadanya bergemuruh. Apalagi saat yang sama Dewi Bunga Asmara angkat kepalanya tengadah hingga hidungnya yang mancung menyentuh ujung dagunya.

“Kau tahu.... Baru saat ini aku merasakan bahagia.... Dan kau tahu, sejak pertama kali jumpa denganmu, aku sudah tertarik padamu....” Dewi Bunga Asmara berbisik pelan dengan suara serak.

Joko tidak tahu apa yang harus diucapkan. Dan tanpa sadar kedua tangannya bergerak pula melingkar pada pinggang Dewi Bunga Asmara. Saat lain kepalanya ditundukkan. Dewi Bunga Asmara memandang sesaat pada bola mata Joko. Lalu perlahan-lahan gadis ini pejamkan sepasang matanya. Debaran dada murid Pendeta Sinting makin keras. Dan perlahan-lahan kepalanya bergerak ke bawah. Dewi Bunga Asmara makin pejamkan matanya saat terasa keningnya dicium murid Pendeta Sinting dan saat lain bibirnya terasa hangat ketika bibir Joko bergerak menyentuh bibirnya.

Untuk beberapa lama kedua orang itu tenggelam dalam pelukan mesra hingga satu saat tiba-tiba Dewi Bunga Asmara tarik kepalanya dari wajah Joko dengan perdengarkan batuk-batuk kecil beberapa kali. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting pun cepat takupkan tangan kanan pada mulutnya dan berusaha menahan napas.

“Busyet! Ada-ada saja yang mengganggu.... Dari mana sebenarnya asap ini...? Hem.... Kalau ada asap, pasti ada api! Dan berarti ada orang di tempat ini!” Murid Pendeta Sinting membatin karena saat itu mendadak saja tempat di mana dia berada bersama Dewi Bunga Asmara telah dipenuhi asap!

“Dewi.... Aku yakin ada orang lain di tempat ini!” bisik Joko.

“Aku juga menduga demikian!” ujar Dewi Bunga Asmara dengan palingkan kepala tidak berani memandang.

Joko pentangkan mata. Merasa aneh, karena ternyata asap itu tidak melingkupi sekitar tempat itu. Sebaliknya hanya berputar-putar di tempat mana Joko dan Dewi Bunga Asmara tegak. Lalu memanjang ke atas. Pendekar 131 gerakkan kepala mengikuti arah asap. Ternyata asap itu memanjang ke atas dan bersumber dari satu dahan di sebuah pohon!

Karena masih tertutup asap, Joko belum bisa melihat bagaimana asap bisa bersumber pada dahan sebuah pohon. Namun diam-diam hatinya berdebar dan menduga-duga. Saat lain dia berkelebat keluar dari putaran asap yang melingkupinya. Dan hampir bersamaan, Dewi Bunga Asmara juga melompat. Murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara sama mendongak ke arah dahan pohon dari mana asap bersumber. Mata Joko terpentang seketika. Sementara Dewi Bunga Asmara langsung palingkan wajah dengan bergumam tak jelas.

“Kakek usil itu!” bisik murid Pendeta Sinting demi melihat satu sosok tubuh enak-enakan duduk bersandar di salah satu dahan dengan mulut kepulkan asap dari dua pipa!

SEPULUH

“Harap tidak berburuk duga.... Kalian lihat sendiri. Kepalaku tengadah melihat langit. Kalaupun kalian terganggu dan batuk-batuk terkena asapku, jangan salahkan aku. Asap itu yang nyasar tak tahu diri...."

Orang di atas dahan yang ternyata si kakek adanya perdengarkan suara. Saat bersamaan dia menghela napas. Asap yang semburat ke bawah laksana disedot kekuatan dahsyat. Lalu bergulung-gulung mengecil dan masuk amblas ke kedua pipa di mulutnya!

Joko dan Dewi Bunga Asmara berpaling saling pandang tanpa ada yang buka mulut. Namun mau tak mau Joko sedikit jengkel dengan ulah si kakek. Dia yakin, meluncurnya asap tidak akan terjadi kalau tidak disertai tenaga dalam. “Kek! Kau telah menerima syarat jika akan terus ikut! Tapi dengan....”

“Hem.... Begitu?!” Si kakek telah memotong. “Aku memang telah terima syarat! Tapi kurasa aku masih belum melanggar ketentuan!”

“Asapmu itu!”

“Anak muda.... Seharusnya kau berterima kasih! Bukan padaku, karena aku tidak mengharap rasa terima kasih! Tapi pada asap itu! Sebab dengan asap itu, kau terlepas dari malu besar! Bukan malu padaku, tapi pada seseorang... Bukan pada gadis cantik di sampingmu itu, tapi pada gadis lain....”

“Kek! Kau bicara apa?! Jangan mencari dalih!”

Si kakek tertawa. “Apa gunanya dalih?! itu dilakukan seseorang yang tidak punya bukti kuat! Sekarang coba jangan terus pandangi aku begitu rupa! Bukan karena aku malu padamu, namun sebagai temanmu, aku jadi malu pada orang lain!”

“Keki Di sini tidak ada orang lain! Jangan kau terus mencari alasan!”

“Sebaiknya kita teruskan perjalanan! Kalau perdebatan ini dilanjutkan, tidak akan selesai.... Lagi pula ini kesalahan kita! Kalau tidak disadarkan olehnya, mungkin kita akan terus berada di sini dan itu akan membuat kita terlambat!” Dewi Bunga Asmara berbisik.

Namun karena sudah jengkel, Joko tidak pedulikan ucapan Dewi Bunga Asmara. Dia kembali berteriak. “Kek! Karena kau telah melanggar syarat, harap sampai di sini saja kau mengikutiku!”

“Hem.... Begitu?! Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Orang dimabuk cinta memang akan lupa segalanya. Tempat, waktu, dan keadaan! Aku maklum hal itu.... Tapi sekarang kau tentu telah agak sadar. Kuharap kau sekarang ingat tempat, waktu, dan keadaan....”

Joko sudah akan buka mulut lagi. Namun si kakek di atas pohon telah lanjutkan ucapan. “Jangan kau potong ucapanku! Sekarang kuharap kalian berdua berpaling jauh ke samping kanan sana! Ingat.... Perlahan-lahan saja dan jangan terkejut!”

Meski belum mengerti ke mana arah tujuan ucapan si kakek, baik Pendekar 131 maupun Dewi Bunga Asmara segera turuti ucapan orang. Mereka berdua berpaling ke samping kanan. Dan mungkin karena penasaran, Joko bukannya berpaling perlahan-lahan, namun kepalanya disentakkan! Kepala Joko laksana dipacak. Sepasang matanya membesar dengan mulut terkancing rapat. Wajahnya berubah merah padam dan tegang. Saat lain dia melirik pada Dewi Bunga Asmara dengan dada berdebar. Di lain pihak, Dewi Bunga Asmara tampak terkejut. Parasnya berubah merah meski tidak tegang. Bahkan pandang matanya mengisyaratkan rasa tidak senangi

“Anak muda sekalian.... Apa pendapat kalian berdua?! Perlu kalian tahu, dia telah tegak di sana hampir bersamaan dengan keberadaan kalian di tempat ini! Tapi aku tak tahu, apakah dia tengadah ke langit sepertiku atau melotot seperti sekarang....”

“Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tahu apa yang kulakukan bersama Dewi Bunga Asmara.... Busyet betul! Mengapa aku sampai tidak tahu kehadirannya?!” Joko membatin.

“Dari sikapmu, sepertinya kau kenal dengan dia! Siapa dia?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya dengan suara pelan namun nadanya agak ketus.

Joko tidak segera menjawab. Sebaliknya terus arahkan pandang matanya ke depan. Pada satu sosok tubuh yang tegak dengan mata memandang tak berkesip ke arah Joko dan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah muda. Rambutnya panjang digerai dan diberi hiasan pita.

“Mei Hua.... Mengapa dia berada di tempat ini?! Apakah dia juga bermaksud ke Bukit Toyongga?!”

“Kau belum jawab pertanyaanku.... Kau kenal dengan gadis itu?! Siapa dia...? Ada hubungan apa denganmu?!” Dewi Bunga Asmara ajukan tanya. Sepasang matanya terus memperhatikan sosok gadis di seberang sana. Di lain pihak, gadis berbaju merah muda dan bukan lain ternyata adalah Mei Hua, juga arahkan pandang matanya pada Dewi Bunga Asmara. Hingga untuk beberapa lama kedua gadis ini sama perang pandang.

“Aku memang mengenalnya.... Dia bernama Mei Hua....” Akhirnya Joko menjawab dengan suara ditekan.

“Hem.... Hubunganmu dengannya?!” tanya Dewi Bunga Asmara.

“Hanya sebagai sahabat! Dia pernah menolongku....”

“Aku tak mau kau dustai ! Kalau dia hanya sebagai sahabat, mengapa pancaran matanya membayangkan rasa cemburu?! Kau kekasihnya...?!”

“Dewi.... Terus terang saja. Aku orang baru di negeri ini. Bagaimana mungkin dalam waktu singkat, aku bisa menjalin hubungan dengan dia?!”

“Ah.... Benarkah ucapannya?! Jangan-jangan gadis itu sama sepertiku! Meski baru saja kenal tapi sudah jatuh cinta.... Kalau benar, apa yang harus kulakukan...? Dia berwajah cantik.... Mungkinkah pemuda ini akan lebih tertarik padanya?!” Dewi Bunga Asmara membatin.

Sementara di depan sana, Mei Hua juga berkata sendiri dalam hati. “Siapa gadis di sampingnya itu?! Ah.... Mengapa aku bodoh? Bukankah mereka tadi begitu mesra saling peluk cium?! Pasti dia kekasihnya?! Hem.... Tidak kusangka sama sekali kalau pemuda yang selama ini selalu kurindu telah memiliki seorang kekasih! Seharusnya aku dulu bertanya dan menyelidik dahulu.... Kini semuanya sudah terlambat! Hanya saja.... Mengapa sesingkat itu dia punya seorang kekasih di negeri ini? Jangan-jangan dia pemuda yang suka mempermainkan perempuan! Terbukti dia tidak tahu tempat dan keadaan! Dia berpeluk cium seenaknya saja di sembarang tempat! Malah dia seolah tak peduli dengan diriku dan orang tua yang ada di atas pohon! Dia tidak risih bercinta di depan orang! Hem.... Sebaiknya kuteruskan perjalanan ini ke Bukit Toyongga! Dari gelagatnya, mereka juga akan menuju ke sana! Atau aku batalkan saja ke sana?! Bukankah tidak ada gunanya lagi?! Aku ke sana demi pemuda itu. Sekarang aku tahu dia di sini dan bercinta dengan seorang gadis! Tapi, aku akan teruskan perjalanan ini! Aku sekarang tahu siapa sebenarnya pemuda itu! Dan melihat tingkahnya, dia tidak pantas memegang peta wasiat! Akan kukatakan nanti pada orang-orang di sana siapa sebenarnya pemegang peta wasiat itu!”

Berpikir begitu, setelah memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, Mei Hua balikkan tubuh.

“Mei Hua! Tunggu!” Joko menahan seraya berkelebat dan tegak menghadang di hadapan Mei Hua.

Mei Hua batalkan niat. Meski dia tegak di hadapan Joko, namun sepasang mata gadis cantik ini memandang ke jurusan lain. Bahkan dia tidak berusaha buka mulut.

“Dari sikapnya, aku tahu dia cemburu...,” Joko membatin lalu berkata. “Mei Hua.... Kalau tak keberatan, mau katakan padaku kau hendak ke mana?!”

“Itu urusanku! Dan jangan coba-coba menghadang! Dan perlu kau tahu, malam nanti, aku menunggumu! Kau tentu sudah tahu di mana tempatnya!”

“Kau perlu sesuatu dariku?!” tanya Joko dengan coba sunggingkan senyum.

“Bukan hanya aku! Tapi semua kaum persilatan di negeri ini! Bahkan juga pihak kerajaan pun perlu sesuatu darimu! Kau tak pantas memegang sesuatu itu!”

“Aku tahu apa yang dimaksudkannya! Pasti urusan peta wasiat itu! Apakah aku harus mengatakan terus terang padanya soal lenyapnya peta wasiat itu dari tanganku? Tapi dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia mau percaya ucapanku?!”

Selagi Joko membatin begitu, Mei Hua sudah angkat bicara lagi. “Masih ada yang ingin kau katakan?! Aku tak mau membuat orang lain marah padaku karena kau bicara denganku! Dan mulai saat ini, harap kau tidak lagi memandangku sebagai sahabat! Anggap saja kita tidak pernah bertemu!”

“Mei Hua.... Jangan kau terlalu cepat menuduh! Aku dan....”

“Katakan saja apa perlumu menahanku!” Mei Hua sudah menukas dengan suara keras. Dan sejauh ini dia tidak memandang ke arah murid Pendeta Sinting. “Kau tidak perlu memberi penjelasan! Aku sudah tahu. Perbuatan lebih bisa bicara daripada kata-kata!”

“Ah.... Repot! Kalau ini dibiarkan dan aku tidak berterus terang, hal ini akan jadi urusan besar di bukit sana!”

Membatin begitu, akhirnya Joko memutuskan untuk berterus terang. Hingga setelah melirik pada Dewi Bunga Asmara, dia berkata pelan. “Mei Hua.... Kau boleh mempercayai ucapanku atau tidak. Tapi ucapan ini hanya kau yang tahu, karena aku percaya padamu!” Joko hentikan ucapannya dan berharap Mei Hua mau berpaling memandang ke arahnya. Namun ternyata Mei Hua tetap tegak dengan mata memandang ke jurusan lain.

Joko menghela napas lalu lanjutkan ucapan. “Peta wasiat itu lenyap diambil orang!”

Mai Hua tidak terkejut dengan kata-kata Pendekar. Bahkan dia sunggingkan senyum bernada sinis dan dingin. Saat lain dia berucap. “Hanya itu yang ingin kau sampaikan?! Ingat.... Aku tak mau orang lain memandangku dengan tatapan cemburu! Dan aku tak ingin membuat urusan garagara kau tegak di hadapanku!”

“Mei Hua.... Dia itu sahabatku.... Jangan kau menduga yang tidak-tidak! Aku....”

“Aku tak ingin membicarakan gadis itu! Dia kekasihmu atau sahabatmu atau apamu, itu urusanmu! Dan kalau peta wasiat di tanganmu lenyap, aku tahu siapa orang yang mengambilnya! Kau begitu gigih mempertahankan dari tangan beberapa tokoh.... Tak tahunya kau patah di bawah ketiak perempuan! Aku tetap akan mengambilnya nanti malam di Bukit Toyongga!”

“Mei Hua.... Tunggu!” seru Joko tatkala melihat Mei Hua sudah berkelebat begitu selesai bicara.

Namun kali ini Mei Hua tidak pedulikan teriakan orang. Dia terus berlari dan kemudian lenyap di depan sana. Semua orang tidak tahu, begitu sosoknya berkelebat, gadis cantik putri Panglima Muda Lie itu teteskan air mata!

“Anak muda.... Kau masih ingat kata-kataku, bukan?! Orang tak perlu takut menghadapi bahaya, karena bahaya itu dibuat manusia itu sendiri! Kalau orang tidak membuat tindakan di luar hukum alam, pasti bahaya itu tidak ada....” Kakek di atas pohon perdengarkan suara.

Karena masih bingung, Joko tidak pedulikan ucapan si kakek. Dewi Bunga Asmara pun tidak acuhkan kata-kata orang tua di atas pohon karena dadanya saat itu mulai panas terbakar perasaan cemburu. Bahkan begitu Mei Hua berlalu, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat dan tegak di samping Joko dan langsung berucap ketus.

“Aku tahu ke mana gadis itu pergi! Kau selama ini memang telah berjanji dengannya untuk bertemu di sana?!”

“Aku tidak pernah berjanji...,” ujar Joko pelan. Namun dalam hati dia membatin. “Mudah-mudahan dia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mei Hua tadi...”

“Sebelum kita lanjutkan perjalanan dan bertemu dengan guruku, aku ingin satu kepastian darimu! Aku tak mau nantinya mendapat malu di hadapan guruku!”

“Kepastian apa?!”

“Katakan terus terang apa hubunganmu dengan gadis itu tadi!”

“Sial betul aku hari ini! Kalau sampai aku salah ucap, aku tidak akan pernah sampai ke Bukit Toyongga....” Joko membatin lalu berkata. “Dewi.... Dia sahabatku.... Jadi kau tak usah berburuk duga padanya!”

“Benar...?!” tanya Dewi Bunga Asmara dengan bibir mulai akan tersenyum.

“Sayang aku tidak bisa membelah dadaku.... Kalau dapat, kau tentu akan melihat ucapanku benar adanya....”

“Hem.... Begitu?! Puitis betul ucapanmu.... Orang lagi kasmaran, kadang-kadang ucapannya sukar ditangkap nalar.... Anehnya, orang yang mendengar mengerti begitu saja.... Dasar cinta!” Si kakek di atas pohon perdengarkan suara.

Joko melirik ke atas dengan mata mendelik. Sementara mendengar ucapan Pendekar, Dewi Bunga Asmara langsung mendekat dengan bibir tersenyum. Dan dengan cepat gadis ini mengambil lengan murid Pendeta Sinting. “Kita lanjutkan perjalanan ini! Aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan guruku....”

“Aduh.... Bagaimana ini nanti?! Benar-benar bisa celaka!”

“Apa yang tengah kau pikirkan?! Kau masih teringat gadis itu?!” Dewi Bunga Asmara menegur kala Joko agak enggan meski dia telah berusaha mengajaknya melangkah tinggalkan tempat itu.

Joko gelengkan kepala. “Aku masih merasa heran, bagaimana kakek temanku itu tahu-tahu berada di sini?!”

“Itu urusannya dia! Mengapa kau pusing memikirkannya?! Mungkin saja dia tadi sembunyi....”

“Aku harus memanggil kakek itu dan jalan bersama-sama. Jika tidak, akan jadi urusan besar kalau sampai aku terus jalan dengan bergandengan tangan begini rupa hingga Bukit Toyongga!”

Setelah berpikir begitu, Joko tengadah dan berteriak. “Kek! Kuharap kau turun dan jalan bersama-sama kami! Ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu!”

“Hem.... Begitu?! Kau jangan menjebakku, Anak Muda! Aku tahu, ucapanmu itu semata-mata agar aku berlaku usil pada kalian saat jalan bersama. Dengan begitu kalian akan mendepakku tidak boleh ikut! Lebih baik aku jalan sendiri saja.... Lagi pula, terlalu sering melihat orang bermesraan, membuat aku jadi berdebar dan jadi ingin punya kekasih! Padahal aku sudah punya kekasih. Kalau aku sampai punya kekasih lagi, itu melanggar hukum alam. Dan aku tak mau membuat bahaya!” Si kakek tertawa terkekeh. Lalu lanjutkan ucapannya. “Punya kekasih baru memang sedap betul! Tapi kalau kekasih lama tahu, aku bisa sendiri laaagiiii....”

Joko menggerutu dalam hati. Sebenarnya dia hendak berteriak merayu lagi. Tapi Dewi Bunga Asmara telah menyeretnya untuk melangkah. Kakek di atas pohon kepulkan asapnya seraya gerakkan tangan kiri kanan pulang balik melambai ke arah murid Pendeta Sinting. Orang ini menunggu sampai Joko dan Dewi Bunga Asmara lenyap di depan sana. Dan begitu sosok murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara tidak kelihatan, si kakek meluncur turun lalu berkelebat. Dan lagi-lagi dia mengambil jalan tidak searah dengan yang diambil Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara.

********************

SEBELAS

KARENA ditindih perasaan jengkel, geram, dan cemburu, Mei Hua berlari laksana orang kesetanan. Gadis cantik jelita putri Panglima Muda Lie ini baru hentikan larinya tatkala dadanya terasa sesak sulit bernapas. Bukan saja karena dibuat berlari dengan pengerahan segenap ilmu peringan tubuhnya, namun juga karena dibuat terisak sepanjang dia berlari. Hingga begitu langkahnya berhenti, gadis ini merasakan kedua kakinya berat. Saat lain sosoknya jatuh menggelosoh di atas tanah dengan kedua tangan menakup di depan wajah. Mei Hua tidak sadar berapa lama dia duduk menggelosoh di atas tanah dengan sosok berguncang menahan isakan tangis. Yang dia tahu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang berkata.

“Tidak disangka, di tempat sepi begini ada seorang gadis duduk sendirian dengan wajah tertutup tangan dan menangis. Dari suara isakanmu, pasti baru saja terjadi peristiwa yang sangat memilukan! Dan melihat tempat yang kau pilih, tentu urusannya masih berkaitan dengan asmara....”

Mei Hua buru-buru hentikan isakan. Dia jelas dapat menebak jika yang baru saja perdengarkan suara adalah seorang perempuan. Kedua tangannya perlahan diturunkan. Namun belum sampai wajahnya terbuka, kembali terdengar ucapan.

“Urusan asmara kadang-kadang memang sangat menyakitkan. Herannya, orang tidak juga merasa jera untuk melewatinya. Padahal dia tahu, kepedihan itu sudah di hadapan mata jika dia sudah tenggelam melewati api asmara....”

Niat Mei Hua yang hendak palingkan kepala seketika dibatalkan. Dia usap linangan air matanya dengan kedua tangan seraya membatin. “Suara yang pertama jelas suara milik seorang perempuan. Dan suara yang kedua adalah milik seorang laki-laki! Hem.... Berarti ada dua orang di tempat ini! Mengapa mereka berdua seakan tahu apa yang tengah menimpaku? Siapa mereka sebenarnya? Ataukah mereka berdua juga tahu apa yang tadi terjadi antara aku dengan pemuda asing serta gadis itu?!”

Mungkin karena merasa malu karena mendapati orang yang bersuara telah tahu apa urusannya, Mei Hua tidak berusaha berpaling saat dia berkata. “Harap tidak mengganggu dan segera tinggalkan tempat ini!”

“Ah.... Tidak ada maksud untuk mengganggumu. Aku hanya kebetulan lewat dan tahu kau berada di sini! Dan kalaupun aku berhenti, karena mataku sepertinya pernah mengenalimu!”

Mei Hua jelas mendengar suara yang baru saja terdengar adalah suara si perempuan. Dadanya jadi berdebar tidak enak. Dan dia terlonjak kaget saat terdengar suara tadi.

“Kalau mataku tidak salah pandang, bukankah kau putri Panglima Muda Lie?!”

Telinga Mei Hua jelas mendengar jika suara yang baru saja adalah suara si laki-laki. Mei Hua tegarkan diri. Saat lain kepalanya berpaling. Sesaat mata gadis ini menyipit dengan dahi berkerut. Mungkin belum percaya, dia bergerak bangkit lalu putar diri menghadap orang.

“Aneh.... Jelas-jelas telingaku mendengar suara dua orang! Perempuan dan laki-laki. Tapi yang di hadapanku hanya satu orang! Sikap dan dandanannya pun aneh....”

Mei Hua memang hanya melihat satu sosok tubuh. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Rambutnya yang hitam lebat dibiarkan bergerai. Tapi bukan karena ketampanan si pemuda yang membuat Mei Hua sipitkan mata dengan dahi berkerut. Karena meski dia adalah seorang pemuda, namun bibir pemuda ini dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya juga disaput dengan polesan berwarna merah muda. Selain itu, ternyata pemuda ini juga mengenakan pakaian mirip kebaya yang biasanya dikenakan orang perempuan! Dadanya tampak membusung kencang laksana seorang dara. Tangan kanannya bergerak gemulai pulang balik mainkan sebuah kipas.

Mei Hua edarkan pandangan berkeliling karena dari suara orang yang tadi terdengar, dia masih menduga kalau di tempat itu bukan hanya satu orang yang muncul.

“Kau mencari seseorang?!” tanya si pemuda berkebaya. Mei Hua mendengar suara si pemuda persis seperti suara seorang perempuan.

Mei Hua berpaling tanpa menjawab. Dahinya makin berkerut. “Jangan-jangan suara dua orang tadi hanya dia yang mengucapkannya!”

“Kau putri Panglima Muda Lie, bukan?!”

“Ah.... Jadi benar dia orangnya! Tidak ada orang lain di tempat ini!” Mei Hua terus membatin begitu si pemuda berkebaya perdengarkan suara lagi. Namun kali ini jelas suaranya adalah suara laki-laki. “Siapa pemuda ini?! Dari mana dia tahu aku adalah putri panglima?! Ataukah dia teman ayahku...?! Bisa celaka kalau dia benar-benar mengenal ayahku dan sekarang hendak pergi ke Bukit Toyongga!”

“Siapa kau?!” Mei Hua ajukan tanya setelah agak lama berdiam diri.

“Kau belum jawab pertanyaanku....” Si pemuda berkebaya angkat suara.

“Aku tidak akan menjawab!” kata Mei Hua dengan nada agak ketus karena dadanya masih dibuncah rasa jengkel.

“Hem.... Kau pun tak akan tahu siapa diriku! Tapi satu hal yang pasti, mataku tak mungkin salah mengenalimu!”

Mei Hua menyeringai. “Salah atau benar itu urusanmu! Yang pasti kau salah dalam satu urusan ini!” Mei Hua arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu lanjutkan ucapan. “Harap segera tinggalkan tempat ini!”

Pemuda berkebaya tertawa panjang. “Dari arah yang kau tuju, pasti kau hendak ke Bukit Toyongga! Tampaknya bukan hanya ayahmu yang tertarik urusan peta wasiat, namun kau juga suka melibatkan diri dalam urusan ini! Hem.... Mau turut saranku?!”

“Aku tak butuh saran! Aku perlu kau segera angkat kaki dari hadapanku!”

Si pemuda berkebaya bukannya segera melangkah pergi. Namun makin keraskan tawanya dan berkata. “Sedang patah hati?! Mau katakan siapa pemuda yang menyakiti hatimu?!”

Mei Hua berpaling dengan mata mendelik angker. Saat lain dia membentak. “Kalau kau tak bisa diberi tahu dengan ucapan, aku punya cara lain! Sebelum niatku berubah, harap segera turuti ucapanku!”

Si pemuda berkebaya gelengkan kepala. “Kau memang putri salah seorang pembesar negeri ini. Tapi bukan berarti kau bisa seenaknya saja mengusir orang! Lagi pula tempat ini bukan milik ayahmu!”

Ucapan orang membuat Mei Hua makin geram, namun dia sadar jika ucapan orang benar adanya. Hingga dia segera menyahut. “Aku tidak mengusirmu. Aku hanya tak ingin diganggu apalagi urusannya berkaitan dengan pribadiku!”

“Aku tak akan ikut campur urusanmu. Aku hanya bertanya, siapa tahu aku bisa menolong....”

“Maaf, aku tidak perlu bantuan orang lain....”

“Hem.... Kalau begitu jawabmu, aku tidak memaksa. Dan kuharap kau juga tidak memaksaku untuk angkat kaki dari tempat ini!”

“Terus di sini bersama orang ini akan membuat dadaku jengkel. Lebih baik aku saja yang pergi!” Akhirnya Mei Hua memutuskan. Dia putar diri lalu berkelebat.

“Tunggu!” Mendadak si pemuda berkebaya menahan.

Mei Hua batalkan niat meski dengan dada tambah dongkol. “Kau mau bicara?! Silakan. Tapi jangan harap kau akan mendapat jawaban apa-apa dariku!”

“Aku tidak perlu jawaban. Namun tak ada salahnya kau dengarkan ucapanku.... Sebagai putri panglima, pasti kau telah tahu siapa yang memegang peta wasiat, karena pihak kerajaan telah ikut campur urusan ini meski secara diam-diam. Dan kalaupun kau ikut-ikutan hendak pergi ke Bukit Toyongga, kurasa bukan karena peta wasiat itu. Namun kau lebih tertarik dengan orang yang memegang peta wasiat itu! Bagaimana? Betul bukan?!”

“Dari mana dia tahu?!” Mei Hua membatin dengan paras berubah kaget.

Sementara melihat sikap orang, tampaknya si pemuda berkebaya dapat membaca. “Hem.... Dugaanku tampaknya tidak jauh meleset! Dan jangan-jangan dia menangis akibat urusan dengan pemuda itu....” Membatin si pemuda berkebaya dengan bibir tersenyum.

Di lain pihak, tampaknya Mei Hua jadi terpancing mendapati orang sebut-sebut pemuda yang membawa peta wasiat. Mei Hua sudah bisa menebak jika yang dimaksud si pemuda berkebaya adalah Pendekar. Mendapati pancingannya mengena, si pemuda berkebaya tidak sia-siakan kesempatan. Dia segera berujar.

“Aku tahu betul siapa pemuda itu.... Kau boleh percaya boleh tidak. Dia sebenarnya adalah sahabatku...”

Mei Hua kontan balikkan tubuh. “Kalau kau sahabatnya, kau juga perlu mendapatkan hajaran!”

“Hem.... Antara dia dengan pemuda itu tampaknya ada urusan! Dugaanku tidak meleset lagi!” Si pemuda berkebaya lagi-lagi membatin mendapati sikap Mei Hua. Lalu berkata. “Ah.... Apa pun yang dilakukan sahabatku itu, tidak selayaknya getahnya juga kau limpahkan padaku! Itu urusan kalian berdua.... Cuma satu hal yang harus kau tahu, selama ini dia sering membicarakanmu.... Kalau aku tak salah pandang, tampaknya dia tertarik padamu....”

Dada Mei Hua berdebar. Sepasang matanya berbinar. Bibirnya hampir saja sunggingkan senyum jika tiba-tiba saja dia tidak teringat akan kejadian yang baru dilihat. “Kau jangan berkata mengada-ada! Dan kalaupun dia tertarik padaku, kau kira aku juga tertarik padanya?!” kata Mei Hua dengan suara keras.

“Ah.... Ada apa sebenarnya antara kau dengannya?! Beberapa hari yang lalu dia masih membicarakanmu dan tampaknya tidak terjadi apa-apa! Jangan-jangan dia menyembunyikan sesuatu padaku! Tapi itu tak mungkin.... Dia selalu berterus terang padaku.... Atau kau....”

Belum sampai si pemuda berkebaya lanjutkan ucapan, Mei Hua telah menyahut. “Aku melihat sendiri dia bercinta dengan gadis lain! Kalau kau sahabatnya, katakan padanya. Jika bercinta harap lihat tempat dan keadaan! Jangan bercinta seenaknya di sembarang tempat!”

“Ah.... Kau jangan mengarang cerita! Tak mungkin dia melakukan hal itu! Aku tahu betul siapa dia! Mungkin saja kau salah lihat....”

“Mataku tidak buta! Dan lagi pula apa perlunya aku mengarang cerita?!”

“Kalau betul, kau bisa mengatakan siapa gadis yang bercinta dengannya?!”

“Aku tak kenal gadis itu!”

“Kau bisa mengatakan ciri-cirinya?! Siapa tahu aku bisa menerangkan padamu hingga tidak ada lagi kesalahpahaman antara kalian berdua!”

“Terlambat kalau kau akan menengahi urusan ini! Tapi agar kau percaya, akan kukatakan padamu ciriciri gadis binal itu! Dia berwajah cantik. Mengenakan pakaian warna kuning. Dadanya dibuka lebar begitu juga pahanya!”

Pemuda berkebaya dongakkan kepala seolah berpikir dan mengingat. Kejap lain dia berucap. “Dia tidak pernah sebut-sebut gadis dengan ciri yang kau sebutkan. Tapi kalau aku tak salah, aku bias menebak siapa gadis itu adanya!”

Si pemuda berkebaya hentikan ucapannya sesaat. Sementara Mei Hua tampak menunggu dan menyimak ucapan orang dengan seksama. Dia memang ingin tahu siapa sebenarnya gadis berbaju kuning yang bermesraan dengan Pendekar.

“Siapa dia?!” Mei Hua ajukan tanya karena si pemuda berkebaya tidak segera lanjutkan ucapannya.

“Dia bernama Bang Sun Giok. Namun orang lebih mengenalnya dengan Dewi Bunga Asmara. Dia adalah murid tunggal seorang tokoh dunia persilatan bernama Li Muk Cin yang lebih dikenal dengan Ratu Selendang Asmara....”

“Pantas.... Selama ini aku hanya dengar namanya tanpa tahu bagaimana orangnya!” ujar Mei Hua. “Dan ternyata memang benar! Dan kalau memang dia, aku kini tidak heran lagi. Gadis macam dia memang tidak memandang tempat bila bercinta!”

“Tunggu dulu.... Apakah benar kau melihat sendiri sahabatku itu bersama gadis yang kusebutkan tadi?!” tanya pemuda berkebaya.

“Untuk apa aku membuat cerita dusta?!”

“Kalau saja bukan kau yang berkata, mungkin aku masih sangsi!”

“Kau sahabatnya! Aku tak heran kalau kau sangsi dan membelanya!”

“Aku tidak membelanya. Hanya aku terkejut. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?! Karena selama ini dia tidak pernah cerita tentang Dewi Bunga Asmara!”

“Laki-laki di mana-mana sama! Dia tidak akan melihat siapa yang diajaknya bercinta!”

“Hem.... Dari tadi ucapanmu selalu bernada ketus. Kau tampak diliputi perasaan cemburu. Kalau tak salah duga, kau berada di sini menangis sendirian pasti masih ada kaitannya dengan gadis berbaju kuning itu....”

Tampang Mei Hua tampak berubah. Namun karena tak mau orang tahu, dia segera menyahut. “Dugaanmu salah! Ada hal lain yang membuatku berada di sini! Dan jangan bertanya hal apa itu. Karena aku tidak akan menjawab!”

Si pemuda berkebaya tertawa. “Aku tak akan bertanya. Karena semua keteranganmu tadi sudah cukup buatku untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.... Hanya saja aku masih heran. Kau tadi bilang mereka bercinta tidak memandang tempat keadaan. Apakah hal ini benar?!”

Pertanyaan si pemuda membuat dada Mei Hua yang sudah agak mereda jadi kembali bergemuruh. Dia sentakkan kepalanya ke jurusan lain seraya berkata. “Dia berpeluk cium di tempat terbuka! Sampai dia tidak tahu jika aku lewat! Bahkan dia tidak pedulikan seseorang yang ada di atasnya!”

“Aneh.... Bagaimana mungkin?! Barangkali orang itu tengah mengintip!”

“Tidak! Orang yang di atasnya itu tidak mengintip! Malah mungkin karena malu, orang itu sengaja tengadahkan kepala terus menerus! Dan ternyata dia adalah temannya!”

“Astaga! Bagaimana bisa begitu?!” gumam si pemuda berkebaya dengan tampang sedikit berubah.

Namun Mei Hua tidak begitu memperhatikan perubahan wajah orang, karena gadis ini menduga perubahan itu karena terkejut tidak percaya. “Dia seorang kakek?!” tanya pemuda berkebaya.

“Benar!”

“Wajahnya tidak kelihatan karena selalu tertutup batu putih?!”

Mei Hua geleng kepala membuat pemuda berkebaya sedikit kerut dahi. Diam-diam pemuda ini membatin. “Siapa yang bersamanya?!”

“Kakek itu wajahnya memang terlihat samar-samar. Namun bukan karena tertutup batu putih. Melainkan tertutup asap putih yang selalu mengepul dari dua pipa di mulutnya!”

Kali ini si pemuda berkebaya tidak bisa lagi menahan rasa kejutnya. Hingga Mei Hua dapat menebak jika rasa kejut orang bukan karena keterangannya, tapi ada sebab lain. “Mengapa kau terkejut?! Kau kenal dengan kakek itu?!”

“Karena pemuda itu adalah sahabatku, tentu aku kenal siapa kakek itu!”

“Siapa dia?!”

“Aku tidak akan mengatakannya padamu! Bukan karena apa, aku malu sendiri jika punya teman yang tindakannya memalukan begitu rupa! Bagaimana mungkin dia diam begitu saja melihat sahabatnya berbuat yang tidak senonoh di hadapan matanya?!”

Mei Hua tersenyum mendengar ucapan si pemuda berkebaya. Namun tiba-tiba senyumnya pupus tatkala dia menyadari sesuatu. “Aneh.... Bukankah pemuda pembawa peta wasiat itu pemuda asing?! Bagaimana pemuda ini bisa mengatakan sebagai sahabatnya?! Dari paras wajahnya serta dia mengenal banyak tokoh di negeri ini, aku yakin pemuda ini asli dari negeri ini...”

Berpikir begitu, Mei Hua sudah buka mulut hendak bertanya. Namun si pemuda berkebaya keburu angkat suara mendahului. “Kau bertemu mereka di mana?!”

“Kira-kira lima ratus tombak dari sini!”

“Kau menduga mereka akan ke Bukit Toyongga?!”

“Aku tak bisa menerka. Tapi dari jalan yang mereka tempuh dan hari yang ditentukan, aku hampir yakin mereka juga hendak ke Bukit Toyongga!”

“Ah.... Kalau begitu, aku harus menghadang mereka!”

Mei Hua mengernyit. Namun belum lagi dia ajukan tanya, si pemuda berkebaya sudah bersuara lagi seolah tahu apa yang akan ditanyakan orang.

“Kau pasti telah tahu siapa Ratu Selendang Asmara. Muridnya pasti tidak akan jauh berbeda! Sahabatku itu tidak boleh bersama gadis binal itu! Siapa tahu gadis itu punya tujuan tertentu!”

“Yang kau maksud, gadis itu hendak menginginkan peta wasiat?!” tanya Mei Hua.

“Betul! Pasti gadis itu menggoda sahabatku dengan kemontokan tubuhnya! Lalu akan mengambil peta wasiat itu begitu sahabatku terlena! Ini tidak boleh terjadi!”

Si pemuda berkebaya balikkan tubuh. Mei Hua tersenyum sekali lagi dan ikut putar diri. Saat lain gadis putri Panglima Muda Lie ini berkata. “Mudah-mudahan kau tidak terlambat! Karena dia telah mengatakan jika peta wasiat di tangannya sudah lenyap diambil orang! Tapi aku tidak percaya itu! Dan kalaupun benar-benar lenyap, aku tahu siapa yang mengambilnya! Pasti gadis binal yang bercinta dengannya itu!”

Habis berkata begitu, Mei Hua hendak berkelebat. Namun mendadak dia teringat lagi akan kejanggalan yang belum sempat ditanyakan karena si pemuda berkebaya keburu ajukan tanya. Mei Hua cepat balikkan tubuh lagi. Dia terkejut. Karena dia sekarang tinggal seorang diri. Pemuda berkebaya tidak kelihatan lagi batang hidungnya...!

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.