Serial Joko Sableng episode Kuil Atap Langit
DARI salah satu ruangan di deretan sebelah kiri bangunan utama, Guru Besar Liang San keluar dengan langkah terhuyung dan hampir saja roboh jika salah seorang pemuda berkepala gundul tidak segera menyongsong lalu menahan sosok Guru Besar Liang San dengan kedua tangannya.
“Guru Besar Liang San...,” kata si pemuda.
Guru Besar Liang San gelengkan kepala seraya lepaskan pegangan tangan si pemuda. “Aku tak apa-apa.... Kumpulkan semua murid perguruan!”
Si pemuda masih memandang dengan khawatir. Namun setelah melihat Guru Besar Liang San memandang ke arahnya dengan mata agak melotot, si pemuda buru-buru berkelebat untuk lakukan perintah Guru Besar Liang San. Hanya beberapa saat, di halaman depan bangunan utama telah tegak berbaris beberapa pemuda berkepala gundul. Sebagian di antara mereka ada yang masih tampak terluka dengan mulut kucurkan darah.
“Dengar.... Kumpulkan semua yang terluka. Lalu kuburkan yang sudah meninggal! Mulai nanti malam, lipat gandakan penjagaan! Untuk sementara semua tamu yang tidak dikenal jangan izinkan masuk!” Guru Besar Liang San berkata seraya bersandar pada sebuah tiang bangunan. Sepasang matanya menyapu ke seluruh halaman. Lalu ke deretan ruang di sebelah kanan dan kiri bangunan utama. Terakhir dia arahkan pandang matanya pada ruang penyimpanan.
“Ingat! Jangan ada yang masuk ruang penyimpanan!”
“Amitaba....” Serentak para pemuda di halaman depan bangunan utama takupkan kedua tangan seraya anggukkan kepala. Saat lain mereka pun bubar.
Begitu halaman depan bangunan utama kosong, Guru Besar Liang San berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di depan pintu sebuah ruangan. Dia melirik ke kanan kiri. “Aku tidak melihat Guru Besar Wu Wen She.... Apakah mereka gagal menghabisinya?! Ini tidak boleh terjadi. Walau dia mungkin tidak tahu peristiwa di balik semua ini, namun bagaimanapun juga dia akan jadi penghalang jika masih hidup!” Guru Besar Liang San dorongkan tangan kanan ke pintu. Perlahan-lahan pintu terbuka. Guru Besar Liang San memandang berkeliling ke dalam ruangan. Dahinya berkerut.
“Kosong...!” desisnya dengan seringai dingin.
Dengan membuat satu kali gerakan, sosok Guru Besar Liang San telah berada di dalam ruangan. Kembali sepasang matanya menyapu. Namun dia tidak melihat siapa-siapa! “Hem.... Mungkinkah dia berhasil meloloskan diri?! Aku harus segera dapat kepastian! Tapi aku harus memastikan dahulu keadaan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
Berpikir begitu, Guru Besar Liang San segera berkelebat keluar dan terus berlari ke ruang persembayangan. Matanya segera tertuju pada satu ruangan di sebelah kanan ruang persembayangan. Pintunya tampak terbuka. Beberapa pemuda tampak hilir mudik. Ketika salah seorang pemuda melihat kemunculan Guru Besar Liang San, si pemuda segera mendekati. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Sambil mengangguk dia berkata.
“Amitaba.... Guru Besar Liang San.... Maha Guru Besar Su Beng Siok...!” Hanya sampai di situ si pemuda berucap. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapan. Sebaliknya hanya arahkan pandang matanya pada satu sosok tubuh yang diangkat beberapa pemuda dari sebelah kiri ranjang.
Guru Besar Liang San ikut arahkan pandang matanya pada sosok berlumuran darah yang dipandang pemuda tadi. Dia bukan lain adalah sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok. Hanya dengan sekali pandang, Guru Besar Liang San sudah tahu bagaimana keadaan Maha Guru Besar Su Beng Siok. Dia menghela napas panjang lalu buka mulut.
“Kuburkan mayat Maha Guru Besar Su Beng Siok...!”
Si pemuda di hadapan Guru Besar Liang San segera anggukkan kepala. Saat lain meninggalkan Guru Besar Liang San mendekati beberapa pemuda yang mengangkat sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok. Baru saja si pemuda berlalu dan belum sampai Guru Besar Liang San balikkan tubuh, salah seorang pemuda buru-buru mendekati dari luar ruangan. Setelah anggukkan kepala dia berucap.
“Guru Besar Liang San.... Guru Besar Pu Yi telah....”
Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, Guru Besar Liang San telah angkat tangan kanannya. Tanpa berkata apa-apa lagi dia putar diri lalu berkelebat dan berlari ke salah satu ruangan di sebelah kanan bangunan utama. Beberapa pemuda terlihat mengangkat satu sosok tubuh. Guru Besar Liang San yakinkan diri sebentar. Lalu berkata.
“Makamkan Guru Besar Pu Yi berdampingan dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok!”
Beberapa pemuda yang mengangkat sosok tubuh, dan bukan lain adalah sosok mayat Guru Besar Pu Yi, sempat terkesiap. Namun saat mengetahui siapa adanya orang yang baru saja berkata, mereka anggukkan kepala. Guru Besar Liang San balikkan tubuh.
“Hem.... Guru Besar Wu Wen She benar-benar lenyap! Aku tahu apa yang harus kulakukan untuk hindarkan diri dari rintangannya!” Setelah membatin begitu, tanpa balikkan tubuh dia berkata. “Setelah pemakaman, semua kumpul di halaman!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San berkelebat. Dia terus berlari menuju ruang penyimpanan. Karena di sana tidak ada orang, dia segera masuk. Dia meneliti sesaat. Lalu anggukkan kepala. “Sekarang tinggal memburu pemuda asing itu! Dengan bantuan prajurit Yang Mulia Baginda Ku Nang, tidak perlu waktu lama untuk menemukannya!”
Tidak berapa lama, di halaman depan bangunan utama telah tegak berbaris beberapa pemuda. Guru Besar Liang San melangkah perlahan-lahan dengan kepala menunduk. Beberapa pemuda di halaman juga tundukkan kepala dengan kedua tangan menakup di depan dada. Tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan.
“Hari ini kita harus belasungkawa atas terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi..,” kata Guru Besar Liang San dengan suara tersendat. “Aku sangat menyesal dan kecewa dengan peristiwa ini! Aku merasa berdosa tidak bisa menyelamatkan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi.... Setelah ini.... Aku harus meninggalkan kalian semua! Kalian bebas memilih jalan yang kalian kehendaki!”
“Guru Besar Liang San...!” Salah seorang pemuda yang tampak berusia paling tua angkat suara. “Ini semua bukanlah semata-mata kesalahan Guru Besar Liang San.... Harap Guru Besar Liang San tidak meninggalkan kami! Kami masih menginginkan Guru Besar Liang San untuk memimpin perguruan ini! Dan kami siap melakukan apa saja untuk menemukan siapa di balik peristiwa terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
Guru Besar Liang San gelengkan kepala. “Rasanya tidak mudah menuruti permintaan kalian.... Lagi pula aku tidak punya niat untuk memimpin perguruan ini! Kalian kubebaskan mencari orang yang bisa memimpin dan meneruskan perguruan ini!”
“Amitaba.... Guru Besar Liang San...,” kata pemuda yang tadi angkat suara. “Harap jangan tinggalkan kami. Kalaupun kami harus mencari orang yang harus memimpin perguruan ini, tidak lain hanyalah Guru Besar Liang San! Hari ini juga kami mengangkat Guru Besar Liang San sebagai pemimpin perguruan ini!” Habis berkata begitu, si pemuda tekuk kedua lututnya dengan kedua tangan ditakupkan di atas kepala.
“Benar! Kami mengangkat Guru Besar Liang San menjadi pemimpin perguruan!” serentak beberapa pemuda di halaman depan bangunan utama membuat sikap seperti pemuda yang tadi berkata.
“Amitaba...!” Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada dengan kepala mengangguk. “Sebenarnya aku tak menginginkan semua ini. Tapi kalau kalian mengharapkan, aku tidak bisa menolak!”
“Amitaba.... Terima kasih, Guru Besar Liang San!” Para pemuda hampir bersamaan buka mulut. Lalu tegakkan tubuh masing-masing. Kedua tangan mereka kini ditarik dan menakup di depan dada.
“Apa kalian ada yang melihat Guru Besar Wu Wen She?!” tanya Guru Besar Liang San.
Para pemuda di halaman sama gelengkan kepala. Guru Besar Liang San tersenyum dingin. Lalu berkata dengan suara berat. “Tadi malam terjadi peristiwa yang menyebabkan terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi. Lalu satu benda di ruang penyimpanan lenyap! Bersamaan itu Guru Besar Wu Wen She tidak kelihatan! Benda yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah benda berharga dan salah seorang yang tahu rahasianya adalah Guru Besar Wu Wen She...!”
Guru Besar Liang San hentikan sesaat ucapan sebelum akhirnya melanjutkan. “Aku tak menaruh prasangka buruk. Tapi adalah aneh kalau tiba-tiba Guru Besar Wu Wen She menghilang! Untuk menjunjung tinggi martabat perguruan dan menyelesaikan urusan ini, satu-satunya jalan adalah minta keterangan pada Guru Besar Wu Wen She! Setelah itu, aku akan mengutus beberapa orang dari kalian untuk mencari jejak Guru Besar Wu Wen She. Tapi sekali lagi ini bukanlah pernyataan kalau Guru Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa tadi malam. Ini semua kita lakukan untuk mencari kebenaran siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa tadi malam!”
“Kami siap lakukan perintah, Guru Besar Liang San!” kata beberapa pemuda serentak.
“Bagus! Mulai saat ini perketat penjagaan. Dan untuk beberapa lama aku harus meninggalkan kalian. Ada satu urusan yang harus kuselesaikan yang masih ada kaitannya dengan peristiwa tadi malam! Nanti akan kuputuskan siapa yang akan memimpin kalian selama aku tidak ada! Sekarang kalian benahi seluruh ruangan!”
Para pemuda sama anggukkan kepala. Guru Besar Liang San memandang sejurus pada beberapa pemuda yang berbaris di halaman bangunan Utama. Saat lain dia melangkah menuju ruangannya.
Tiga hari kemudian....
Malam sudah jauh bergulir. Angin dan udara dini hari telah menggantikan udara malam. Satu sosok tubuh tampak melangkah mondar-mandir di sebuah bukit yang banyak diranggasi pohon-pohon besar dan semak belukar rimbun. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar mengenakan pakaian hitam-hitam. Dia juga mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam ke atas kepalanya hingga di tengah gelap suasana, bukan hanya sosoknya yang terlihat samarsamar, namun wajahnya sulit dikenali.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping lebar ini sesekali menghela napas panjang seraya usap bagian bawah wajahnya dengan telapak tangan. Saat lain dia angkat bagian depan caping lebarnya. Sepasang matanya memandang lurus ke bawah bukit. Dari gerak-gerik dan sikap orang, jelas kalau lakilaki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar tengah menunggu sesuatu, atau setidaknya tengah menanti kedatangan seseorang.
“Seharusnya dia datang malam ini! Tapi mengapa hingga hari akan berganti pagi dia belum kelihatan batang hidungnya?!” gumam si laki-laki seraya turunkan tangan dari bagian depan capingnya hingga matanya tidak kelihatan lagi. Dia kembali menghela napas dalam lalu melangkah perlahan-lahan di puncak bukit. Namun baru saja kedua kakinya bergerak, dia segera balikkan tubuh. Kepalanya sedikit didongakkan. Sepasang matanya melirik ke bawah.
“Hem.... Akhirnya dia muncul!” desis si laki-laki berpakaian hitam-hitam. Dia luruskan kepala lalu putar diri.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam tidak menunggu lama. Bersamaan dengan putaran tubuhnya, satu bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di sampingnya. Si laki-laki berpakaian hitam-hitam berpaling pada sosok yang baru muncul. Perasaan lega yang sesaat terpancar dari nada desisan si laki-laki yang tadi berada di puncak bukit mendadak sirna.
“Hem.... Tampaknya bukan dia yang datang! Aneh....”
“Siapa kau?!” Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping buka mulut dengan suara meradang. Dia palingkan kembali kepalanya lurus ke depan.
“Guru Besar Liang San.... Harap dimaafkan.... Yang Mulia Baginda Raja Ku Nang tidak dapat menemui Guru Besar malam ini. Dia menugaskan aku untuk mewakilinya.... Aku adalah Wang Su Chin, salah seorang pengawal kerajaan....”
“Kenapa dia tidak datang?!” Laki-laki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar yang ternyata adalah Guru Besar Liang San ajukan tanya dengan suara masih keras meradang. Jelas kalau orang ini mulai diamuk hawa amarah.
“Ada beberapa tamu yang tidak bisa ditinggalkan.... Tapi dia membawa pesan untukmu....”
“Ini adalah urusan sangat rahasia! Tidak seharusnya Baginda Ku Nang mewakilkan pada seseorang meski dia adalah orang kepercayaannya! Baginda Ku Nang.... Tampaknya dia sudah menomor-satukan tamu lain setelah kotak berisi peta wasiat itu jatuh ke tangannya! Aku tak mau dibodohi!” Guru Besar Liang San membatin.
“Guru Besar Liang San.... Yang Mulia....”
“Cukup!” tukas Guru Besar Liang San. “Tinggalkan tempat ini! Katakan pada Baginda Ku Nang aku menunggunya besok malam di tempat ini juga! Ingat, suruh dia datang sendiri! Aku tak mau bicara dengan orang lain! Kau dengar?!”
Tapi....”
Lagi-lagi belum sampai orang teruskan ucapan, Guru Besar Liang San telah menukas. “Kau dengar ucapanku. Tinggalkan tempat ini!”
Tanpa menyahut ucapan Guru Besar Liang San, orang yang baru muncul balikkan tubuh. Dia perdengarkan gumaman tak jelas, lalu putar diri dan berkelebat menuruni bukit.
“Aku telah korbankan beberapa nyawa! Aku tak mau pengorbanan ini tidak ada hasilnya! Kalau besok malam dia tidak muncul, terpaksa aku akan menuju istana!” Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San tekan caping lebarnya hingga wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia berkelebat menerabas dinginnya pagi menuruni bukit.
LAKI-LAKI berbaju kuning berupa pakaian khas orang Budha dengan kepala mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam ke kepalanya seakan wajahnya tidak ingin dikenali itu hentikan langkahnya di satu kaki bukit. Dia celingukan sebentar lalu melangkah lagi mendekati sebatang pohon. Saat lain lakilaki ini telah duduk bersandar dengan tangan kanan diletakkan di atas capingnya hingga raut wajahnya makin tertutup sulit dikenali. Sementara tangan kirinya ditopangkan pada dagunya.
“Hem.... Sudah enam hari aku berada di negeri orang. Tapi banyak kejadian tak terduga yang kualami! Kalau saja tidak turuti ucapan Guru Besar Pu Yi, tentu aku sudah tiba di tanah kelahiranku! Namun tujuh hari lagi bukanlah waktu yang lama.... Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Guru Besar Pu Yi. Hanya saja untuk sementara ini aku harus terus menyamar untuk selamatkan diri dari kejaran beberapa prajurit kerajaan! Aku juga harus menjauh dari Perguruan Shaolin untuk menjaga kecurigaan orang!” Laki-laki di bawah pohon perhatikan dirinya dengan kepala ditundukkan. “Untung aku bisa memperoleh pakaian ini dari seseorang penduduk yang baik hati....” Dia perdengarkan tawa perlahan. Lalu kepalanya kembali diangkat dan diluruskan ke depan.
“Aku heran.... Mengapa Guru Besar Pu Yi memberikan kantong yang katanya berisi peta wasiat padaku?! Padahal dia baru saja mengenalku dan belum tahu siapa aku sebenarnya! Seharusnya dia tak boleh melakukan hal ini.... Dia terlalu percaya pada orang yang belum dikenalnya.... Tapi.... Ah, mungkin dia telah memikirkan tindakannya dengan matang. Lagi pula mengapa aku berpikir sampai ke sana? Bukankah dia tidak memberikan kantong ini padaku? Dia hanya menitipkan padaku untuk jangka waktu tertentu. Dan waktu itu tinggal tujuh hari di depan!” Si laki-laki terus bergumam sendiri.
“Setelah tujuh hari di depan, aku harus segera tinggalkan negeri ini! Dengan peristiwa di atas laut beberapa hari yang lalu, aku tidak akan aman jika terus berada di....” Si laki-laki bercaping putuskan gumamannya. “Ada seseorang berlari ke arah bukit ini!” Dia tengadahkan kepala agar matanya dapat melihat. “Dari pakaiannya jelas dia bukanlah prajurit kerajaan. Tapi mengapa dia berlari ke arah bukit ini? Apakah dia salah seorang.... Ah. Siapa pun dia adanya yang jelas aku tak akan membuat urusan!”
Si laki-laki di bawah pohon tundukkan kepala hingga wajahnya seakan tenggelam di dalam caping lebarnya. Namun baru saja kepala si laki-laki bercaping bergerak menunduk, tahu-tahu orang yang tadi dilihatnya berlari dari arah depan sana, mendadak sudah tegak hanya berjarak tujuh langkah!
“Heran...,” gumam si laki-laki bercaping di bawah pohon. Walau kepala orang ini menunduk dan tidak melihat orang, namun tampaknya dia bisa merasakan kehadiran orang yang tidak jauh dari tempatnya duduk. “Dia tadi masih berada jauh di sana.... Tapi tahu-tahu dia sudah tidak jauh lagi dari tempatku! Melihat dia tidak lanjutkan larinya, pasti dia punya kepentingan denganku! Tapi bagaimana dia tahu kalau aku....”
Belum selesai si laki-laki bercaping teruskan kata hatinya, terdengar orang berdehem beberapa kali. Namun laki-laki bercaping coba bertahan untuk tidak angkat kepala meski dia tahu kalau suara deheman orang memberi petunjuk akan kehadirannya.
“Selamat jumpa lagi, Sahabat jauh....”
Laki-laki bercaping tersentak. “Telingaku pernah dengar suaranya!” katanya dalam hati namun dia belum juga angkat kepala untuk dapat melihat siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan suara.
“Dua hari aku mencarimu.... Tak tahunya kau berada di sini! Kuharap keadaanmu baik-baik saja....”
“Betul! Aku pernah dengan suaranya! Dan sepertinya dia telah mengenaliku meski aku yakin dia tidak bisa melihat wajahku!”
Laki-laki bercaping di bawah pohon terus bergumam lalu perlahan-lahan angkat kepalanya tengadah. Dari balik capingnya yang lebar, dia melirik ke depan. Di depan sana, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut berwajah bulat bermata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada batang lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak menggantung sebuah anting-anting besar. Kakek ini mengenakan sebuah jubah tanpa leher berwarna putih. Laki-laki bercaping di bawah pohon terus arahkan matanya ke bagian bawah wajah orang. Ternyata kakek di depan sana hanya memiliki tangan sebelah kiri dan juga kaki sebelah kiri!
“Kakek yang pernah bertemu denganku saat aku baru saja mengubur mayat Yang Kui Tan!” desis lakilaki bercaping. “Menurut Guru Besar Pu Yi, kakek ini bergelar Tiyang Pengembara Agung.... Seorang tokoh berilmu tinggi dan juga memiliki kepandaian sangat langka! Hem.... Dengan penyamaran ini, dia masih bisa tepat menebak, padahal kepalaku sempat kutundukkan!”
"Tiyang Pengembara Agung!” kata laki-laki bercaping lebar seraya bergerak bangkit lalu menjura hormat.
“Hem.... Rupanya kau sudah tambah pengetahuan meski selama ini kau baru bertemu beberapa orang!” kata si kakek bertangan dan berkaki satu yang tidak lain memang seorang tokoh daratan Himalaya yang dikenal kalangan persilatan dengan gelar Tiyang Pengembara Agung.
“Kau mencariku.... Tanpa aku bertanya tentu kau akan mau menjelaskan!” kata laki-laki bercaping lebar seraya tersenyum.
Dia teringat akan pertemuannya dengan si kakek di dekat pesisir beberapa hari berselang. Saat itu baik si kakek maupun si laki-laki bercaping saling tawar menawar untuk jawab pertanyaan satu sama lain. Namun karena tak ada yang mau mengalah, akhirnya keduanya gagal mengadakan pembicaraan. Hanya saja sebelum si kakek pergi, orang tua itu sempat perdengarkan sebuah syair. Dilihat dari sini, jelas membuktikan kalau laki-laki bercaping tidak bukan adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
(Lebih jelasnya tentang pertemuan Joko dengan Tiyang Pengembara Agung silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Wasiat Agung Dari Tibet)
Tiyang Pengembara Agung membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di depan murid Pendeta Sinting yang saat itu memang tengah menyamar dengan mengenakan pakaian mirip seorang Budha dan mengenakan caping lebar. “Anak muda.... Satu peristiwa besar telah terjadi....”
Dada Joko berdebar. Tanpa sadar dia melompat ke depan lalu buka mulut. “Harap kakek mau jelaskan peristiwa besar apa yang telah terjadi!”
“Kau telah bertemu orang yang selama ini kau cari?!” Tiyang Pengembara Agung bertanya.
Karena telah tahu dari Guru Besar Pu Yi siapa sebenarnya Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepala seraya berkata. “Aku memang telah bertemu dengan orang yang kucari! Apakah peristiwa besar yang kau katakan masih ada hubungannya dengan orang itu?!” Joko balik bertanya dengan dada makin berdebar.
Tiyang Pengembara Agung tidak segera menjawab. Dia putar kepala sebelum akhirnya buka mulut. “Sebelum pertanyaanmu kujawab, harap kau mau jawab dulu pertanyaanku. Kau masih memegang amanat itu?!”
“Hem.... Yang dimaksud tentu kantong ini!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati. Karena tidak lagi merasa curiga pada Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu Joko kembali anggukkan kepala tanpa angkat suara.
Meski tidak melihat orang, tapi Tiyang Pengembara Agung dapat merasakan gerakan isyarat kepala Joko. Hingga saat lain dia anggukkan kepala dengan menghela napas panjang dan berujar. “Syukur.... Berarti mereka belum bisa laksanakan niatnya! Tapi keselamatanmu makin terancam!”
“Aku belum mengerti maksud ucapanmu, Kek!”
“Anak muda.... Tiga malam yang lalu, telah terjadi peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin! Sahabat baik ku Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa itu! Lalu sebuah kotak lenyap dari ruang penyimpanan!”
Pendekar 131 terlengak. Paras wajahnya langsung berubah tegang. “Siapa yang melakukannya?!”
“Sekarang tengah dalam penyelidikan! Namun dari caranya, jelas peristiwa ini melibatkan orang dalam meski yang banyak berperan adalah orang luar!” Tiyang Pengembara Agung putar lagi kepalanya menghadap Joko. Lalu lanjutkan ucapannya. “Guru besar Wu Wen She menghilang. Kini Perguruan Shaolin dipegang oleh Guru Besar Liang San!”
“Apakah kau menduga lenyapnya Guru Besar Wu Wen She karena dia terlibat dalam peristiwa berdarah itu?!”
“Aku hanya mengenal baik Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok. Namun aku tidak berani menduga keterlibatan Guru Besar Wu Wen She meski kini semua orang telah menduga bahwa Guru Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa itu!”
“Mengapa kau tidak berani menduganya? Bukankah tindakannya itu telah menunjukkan kalau Guru Besar Wu Wen She terlibat? Jika tidak, mengapa dia harus melenyapkan diri?!”
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Tidak semudah itu menduga orang, Anak Muda.... Dalam pandangan dan teori, tindakan Guru Besar Wu Wen She memang mengarah pada dugaan yang kini telah meluas. Tapi kita juga harus memandangnya dari sisi lain!”
“Maksudmu...?!”
“Mungkin saja kepergiannya karena dia merasa tidak mampu melawan dan tahu banyak di balik apa yang telah terjadi!”
“Sebagai salah seorang pemimpin, seharusnya dia tidak meloloskan diri demi keselamatan pribadi!” ujar Pendekar 131.
“Seharusnya memang demikian! Tapi kita pun harus berpikir panjang. Kalau keselamatannya demi untuk membuka siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa berdarah itu dan demi untuk menyusun kekuatan baru, kurasa apa yang dilakukan Guru Besar Wu Wen She bisa kita terima.... Meski dia sekarang harus membangun kepercayaan orang!”
“Baiklah kalau begitu. Sekarang kau dapat menduga siapa orang luar yang terlibat dan berperan banyak dalam peristiwa berdarah itu?!” kata Joko.
“Itu pun masih sulit diduga! Karena harus kau ketahui, apa yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah benda yang sejak bertahun-tahun lamanya jadi incaran kalangan Bu Lim...!”
“Bu Lim.... Apa itu?!”
Tiyang Pengembara Agung tertawa. “Bu Lim adalah istilah negeri ini untuk kalangan orang persilatan!”
Joko ikut tertawa. Tiyang Pengembara Agung kernyitkan dahi. “Apa yang lucu, Anak Muda?!”
“Di kampung halamanku, kalau ada orang menyebut Bu Lim pasti artinya dia adalah istrinya Pak Lim!”
“Hem.... Ucapanmu membuatku ingat jika kau adalah orang asing di sini. Lebih dari itu kau belum perkenalkan diri padaku! Sekarang kau tak merasa keberatan bukan untuk mengatakannya padaku?!” kata Tiyang Pengembara Agung.
“Aku berasal dari tanah Jawa bagian timur. Namaku Joko Sableng....”
“Kau tentu punya seorang guru berilmu tinggi! Siapa dia?!”
“Guruku bergelar Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak!”
Tiyang Pengembara Agung picingkan matanya yang sipit. “Selain memiliki guru berilmu tinggi, tampaknya kau juga membekal senjata sakti.... Kau harus hati-hati membawa senjata saktimu itu, Anak Muda! Kau tahu.... Kalangan Bu Lim di negeri ini selalu tergila-gila dengan benda mustika!”
“Hem.... Dia bisa melihat pedang di balik pakaianku!” kata Joko dalam hati. Lalu berujar. “Terima kasih atas nasihatmu, Kek!”
“Lain daripada itu, kau sekarang harus lebih waspada lagi. Kau kini membawa amanat besar! Kau telah bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, jadi aku tak perlu menjelaskan lagi!”
“Tapi aku minta petunjukmu, Kek. Apa yang harus kulakukan sekarang?! Guru Besar Pu Yi menitipkan amanat ini padaku. Sekarang Guru Besar Pu Yi telah tiada. Kepada siapa amanat ini harus kuberikan? Saat bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, dia tidak mengatakan kepada siapa amanat ini harus kuberikan!”
“Karena amanat itu diberikan padamu dan Guru Besar Pu Yi tidak mengatakan kepada siapa lagi amanat itu harus diberikan, berarti kaulah yang harus mengemban amanat itu!”
“Jadi...?!”
“Mungkin takdir sudah menuliskan meski kau orang dari negeri jauh, namun kau harus mengemban amanat di negeri ini dan menyelesaikannya sampai tuntas!”
“Kek! Demi rimba persilatan, sebenarnya aku tidak keberatan untuk melakukan amanat ini! Tapi bukankah di negeri ini masih banyak orang berilmu tinggi dan salah satunya adalah kau sendiri? Bukankah lebih baik kau yang melakukannya?! Apalagi kau telah mengenal benar negeri ini dan orang-orang yang terlibat di dalamnya?”
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Takdir telah ditulis, Anak Muda.... Siapa pun tak bisa merubahnya!”
“Tapi sampai di mana amanat ini harus selesai?!”
“Sampai misteri di dalamnya terbuka dan semua orang sadar jika mereka tidak ditakdirkan untuk melakukan amanat itu! Sekaligus mereka harus maklum jika mereka tidak akan mendapat apa-apa meski mereka rela korbankan nyawa untuk mendapatkannya!”
“Hem.... Ini isyarat jika aku masih harus lama di negeri ini!” Joko membatin. Lalu setelah agak lama berpikir, dia angkat suara. “Lalu apa pertama-tama yang harus kulakukan?!”
“Kau harus mendapatkan kembali benda yang lenyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin! Karena dengan bersatunya kembali benda itu dengan apa yang ada padamu, baru pergolakan di negeri ini bisa tenang! Jika tidak, gelombang itu akan makin menggila dan akan banyak jatuh korban!”
Tengkuk murid Pendeta Sinting menjadi dingin demi mendengar keterangan Tiyang Pengembara Agung. Dengan suara agak bergetar dia berucap. “Kek.... Dalam perjalananku menuju negeri ini, di tengah laut aku telah dihadang beberapa prajurit kerajaan. Demikian juga pada beberapa malam yang lalu.... Apakah ini satu bukti jika pihak kerajaan juga menginginkan benda yang ada padaku? Dan apakah tidak mungkin peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin didalangi juga oleh pihak kerajaan?!”
“Itu satu hal yang tidak harus kau tanyakan padaku! Tapi sebaliknya harus segera kau selidiki! Karena secara tidak langsung kau telah terlibat di dalamnya!”
“Tapi akan lebih enak bagiku jika mendapat sedikit keterangan darimu, karena aku masih asing dengan negeri ini!”
“Tidak, Anak Muda.... Tahu dengan pengalaman sendiri akan lebih baik daripada tahu dengan keterangan dari mulut orang! Aku harus segera pergi....”
Suara Tiyang Pengembara Agung belum selesai, orang tua bertangan dan berkaki satu itu telah membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah berada jauh di depan sana. Saat orang tua ini membuat gerakan lagi, sosoknya telah lenyap.
“Akar urusan ini dari Perguruan Shaolin. Sementara orang yang mencurigakan adalah Guru Besar Wu Wen She. Jalan satu-satunya sekarang adalah menemukan orang itu! Tapi.... Aku belum pernah bertemu dengan orangnya! Bagaimana aku bisa mencarinya?!” Murid Pendeta Sinting kebingungan. Saat itulah terlintas bayangan seorang gadis cantik di pelupuk matanya.
“Mei Hua.... Ah.... Benar! Aku harus mencarinya! Siapa tahu dia mengenali Guru Besar Wu Wen She! Pada beberapa hari yang lalu dia telah memberi keterangan dan ternyata keterangannya benar! Mungkin dia bisa membantuku lagi.... Kalaupun tidak bisa, setidaknya aku punya teman untuk bicara. Apalagi dia seorang gadis berwajah jelita!”
Joko tersenyum lalu dia berkelebat begitu saja tanpa arah tujuan meski maksud sebenarnya adalah mencari Mei Hua. (Tentang pertemuan Joko dengan Mei Hua silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Wasiat Agung Dari Tibet)
MALAM telah turun ketika satu bayangan hitam berkelebat laksana kesetanan menuju ke satu bukit. Dalam beberapa saat si bayangan hitam telah mendaki dan tahu-tahu telah tegak di puncak bukit dengan kepala lurus ke bawah dan mata terpentang besar memperhatikan ke rimbun pepohonan di bawah sana yang makin menambah pekatnya suasana.
“Kalau malam ini dia tidak muncul, terpaksa aku akan mendatangi ke tempatnya! Aku telah melewati bahaya besar dengan taruhan nyawa! Aku tak akan tinggal diam kalau dia berani coba-coba mengelabuiku!” Orang di atas puncak bukit mendesis. Dia adalah seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pakaian hitam-hitam. Raut wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis dengan jenggot jarang dan agak panjang. Sepasang matanya besar. Dia bukan lain adalah Guru Besar Liang San.
Seperti diketahui, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Yang Mulia Baginda Ku Nang penguasa kerajaan saat ini. Dengan bantuan Baginda Ku Nang akhirnya kotak berisi peta wasiat lenyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin. Namun setelah tiga hari berlalu dari peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin, Baginda Ku Nang tidak muncul di tempat yang telah disepakati. Malah sang Baginda mengutus seseorang sebagai wakilnya untuk menemui Guru Besar Liang San. Tapi Guru Besar Liang San tidak mau bicara dengan utusan Baginda Ku Nang. Dia berpesan pada si utusan agar Baginda Ku Nang menemuinya sendiri pada malam berikutnya di tempat yang sama. Beberapa saat berlalu. Guru Besar Liang San masih coba menahan diri untuk menunggu meski dengan dada mulai geram karena orang yang ditunggu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan muncul.
“Tampaknya dia tidak akan hadir malam ini! Dia pikir aku akan berdiam diri dengan tindakannya!” Guru Besar Liang San kembali bergumam dengan seringai dingin. “Dia tak tahu.... Kalau dia coba-coba mengelabuiku, berarti baik aku ataupun dia tidak akan mendapatkan peta wasiat itu! Apalagi separo peta wasiat itu masih harus dicari!”
Guru Besar Liang San dongakkan kepala. “Kalau aku berhasil dengan baik merencanakan peristiwa di Perguruan Shaolin, apa dia pikir aku tak dapat menerobos penjagaan istana?!” Guru Besar Liang San tertawa pendek. Saat lain dia putar tubuh. Dia telah memutuskan untuk meninggalkan puncak bukit. Tapi belum sampai Guru Besar Liang San lakukan niat, sepasang matanya menangkap gerakan satu bayangan hitam yang berkelebat di kaki bukit.
“Hem.... Ada orang menuju kemari! Kalau yang muncul adalah selain orang yang kutunggu, berarti orang itu bernasib jelek! Dia tak akan turun bukit lagi dengan nyawa masih utuh!” Guru Besar Liang San kembali balikkan tubuh. Kepalanya ditengadahkan lagi. Dia menunggu dengan kedua tangan telah dialiri tenaga dalam!
“Harap kau mengerti akan keterlambatan...!” Mendadak satu suara terdengar dari arah belakang Guru Besar Liang San.
“Hem.... Rupanya dia sendiri yang muncul!” kata Guru Besar Liang San dalam hati lalu balikkan tubuh dengan kedua tangan menakup di depan dada dan kepala mengangguk. “Amitaba.... Aku gembira melihat kau sendiri yang hadir, Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Guru Besar Liang San angkat bicara. Sepasang matanya melirik tajam pada orang di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan. Kumisnya lebat, jenggotnya lebat, dan panjang. Kedua alis matanya mencuat ke atas. Sepasang matanya tajam. Rambutnya yang putih panjang digeraikan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir agak tinggi. Dialah orang yang kini menduduki takhta kerajaan di daerah Himalaya.
Dia dahulu hanya seorang pemimpin perguruan silat. Namun karena ambisinya besar ditambah dengan kepandaiannya mempengaruhi orang, lambat laun dia hampir bisa menguasai seluruh perguruan silat yang ada di daratan Tibet. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dengan caranya sendiri dia berhasil menghasut beberapa pembesar kerajaan yang saat itu berkuasa di daratan Tibet. Lalu menggandeng beberapa tokoh aliran sesat.
Pada satu saat yang dirasa tepat, Ku Nang bergerak dan akhirnya bisa menggulingkan raja yang saat itu memerintah. Mungkin karena tak mau di kelak kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ku Nang sengaja tidak menyisakan satu pun dari kerabat raja yang digulingkan.
Begitu berhasil memegang tampuk kekuasaan, Ku Nang tidak segan-segan menyingkirkan orang yang diduga akan menjadi duri penghalang. Namun sejauh ini dia coba menghindarkan diri dari perselisihan dengan perguruan silat. Tampaknya dia sadar, meski di belakangnya ada beberapa pesilat tangguh, namun sebuah perguruan silat akan menjadi petaka bagi kekuasaannya jika dia coba-coba membuat urusan.
Namun begitu, Ku Nang bukanlah orang bodoh. Dia sengaja memasang beberapa orangnya di setiap perguruan silat. Atau bahkan dia sengaja mendekati para pemimpin perguruan silat. Dengan begitu selain kekuasaannya aman, dia tahu apa yang tengah terjadi di dalam satu perguruan. Sejak masih menjadi pemimpin sebuah perguruan silat, Ku Nang telah mendengar jika Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta rahasia. Dan begitu dia berhasil naik takhta, dia tidak buang kesempatan. Dia mendekati salah satu pemimpin Perguruan Shaolin.
Karena yang dirasa dapat didekati adalah Guru Besar Liang San, maka dia pun segera mengadakan pendekatan. Dugaan Baginda Ku Nang tampaknya tidak meleset. Guru Besar Liang San menerima uluran tangan Baginda Ku Nang. Hingga untuk beberapa lama di antara kedua orang ini terjalin persahabatan. Perlahan-lahan Baginda Ku Nang mengutarakan maksudnya. Tampaknya Guru Besar Liang San menyambut baik maksud Baginda Ku Nang karena dia sendiri ternyata menginginkan peta wasiat itu. Apalagi dia tahu jika peta wasiat itu tidak akan jatuh ke tangannya karena Maha Guru Besar Su Beng Siok lebih cenderung dan sangat dekat dengan Guru Besar Pu Yi yang juga adalah kakak seperguruannya.
“Guru Besar Liang San...,” kata Baginda Ku Nang setelah agak lama terdiam. “Kuharap kau mengerti mengapa aku tidak bisa menepati janji pada malam kemarin. Ada beberapa sahabat datang. Aku tak bisa meninggalkan mereka! Lagi pula aku harus bisa menjelaskan peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin meski sebenarnya itu bukanlah urusan kerajaan. Namun kalau mereka tahu dariku soal duduk permasalahannya, kurasa posisimu akan lebih aman!”
“Amitaba.... Tapi apakah kau juga menceritakan tentang lenyapnya kotak berisi peta wasiat itu?!” Tanya Guru Besar Liang San.
“Itu harus kuceritakan! Dengan begitu mereka akan penasaran dan pasti mencari-cari Guru Besar Wu Wen She!”
“Dari mana kau tahu Wu Wen She lolos?!”
Baginda Ku Nang tertawa pendek. “Itu bukan urusan yang sulit bagiku! Dan tentunya kau setuju dengan langkah yang kutempuh! Karena dengan begitu namamu jadi bersih dan kau tak perlu memusingkan urusan Guru Besar Wu Wen She! Dia kini telah menjadi orang buruan. Bukan saja dari pihak kerajaan namun juga bagi para kalangan rimba persilatan!”
“Amitaba.... Tapi hal itu akan membuat suasana jadi kacau!”
“Urusan keamanan daratan Tibet ada di tanganku! Aku yang menciptakan suasana itu, tentu aku bisa mengendalikannya! Dan sementara kalangan rimba persilatan berburu, kita akan teruskan langkah yang sudah setengah jalan ini!”
“Tapi untuk lebih amannya, harap kau serahkan kotak itu padaku! Aku akan menyimpannya di tempat aman sebelum kita menemukan pasangannya!”
Baginda Ku Nang gelengkan kepala perlahan. “Di tempatmu baru saja terjadi peristiwa berdarah. Itu satu bukti jika tempat itu tidak aman lagi!”
“Benar! Namun peristiwa itu kita yang merencanakan!”
“Kalau rencana kita berhasil, apa orang lain tak bisa merencanakannya?! Apalagi Perguruan Shaolin tanpa ditulang-punggungi Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Aku masih punya kekuatan untuk menghadang setiap orang yang hendak menerobos! Dan aku tak akan menyimpan kotak itu di tempatnya semula!”
“Bukannya aku meremehkan kekuatanmu! Tapi bagaimanapun juga kharisma Maha Guru Besar Su Beng Shiok dan Guru Besar Pu Yi masih melekat di benak siapa saja! Kalau masih ada Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, mungkin orang akan berpikir tiga kali untuk datang menerobos. Kini, tanpa mereka berdua, mungkin mereka hanya berpikir satu kali!”
“Jadi...?!”
“Kau tak usah khawatir! Untuk sementara ini biarlah kotak itu aku yang menyimpannya! Kuharap kau percaya! Urusan kotak peta wasiat itu, hanya kita berdua yang tahu!”
“Tapi untuk lebih adilnya, bagaimana kalau kita simpan kotak itu secara bersama-sama?! Maaf.... Bukannya aku tidak percaya. Tapi kotak itu adalah peninggalan perguruanku! Aku harus tahu di mana letak penyimpanannya!”
Baginda Ku Nang terdiam beberapa lama. “Baiklah.... Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit ini! Dan agar kau tidak bimbang, aku menurut saja di mana akan kau simpan kotak itu!”
“Amitaba.... Terima kasih atas pengertianmu! Sekarang harap kau jelaskan bagaimana pengejaran terhadap orang asing yang kau katakan sebagai orang yang telah menolong dan menyembunyikan Yang Kui Tan!”
“Sampai saat ini belum ada kabar beritanya! Orang asing itu seakan lenyap!”
“Jangan-jangan dia sudah meninggalkan negeri ini!”
Baginda Ku Nang gelengkan kepala. “Seluruh perbatasan baik darat maupun laut telah dijaga ketat! Tak mungkin seseorang bisa lolos keluar dari negeri ini!”
“Bisa diketahui siapa nama orang itu dan dari mana asalnya?!”
“Belum bisa diketahui siapa nama orang asing itu! Namun dari arah datangnya, mungkin dia berasal dari negeri di sebelah selatan daratan Tibet! Dia seorang pemuda berparas tampan. Tubuhnya sedang. Namun melihat dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan, pasti dia membekal ilmu tinggi! Dan kalau benar dia bersahabat dengan Yang Kui Tan, cepat atau lambat dia akan muncul di tempatmu!”
Kali ini kepala Guru Besar Liang San menggeleng. “Peristiwa di perguruan telah tersebar luas. Kalau sampai hari ini dia tidak muncul, kecil kemungkinan dia akan datang ke tempatku! Apalagi jika telah mendengar kalau Guru Besar Pu Yi telah mampus!”
“Hem.... Lalu menurutmu, apa sebaiknya yang harus kita lakukan?!” tanya Baginda Ku Nang.
“Tak ada jalan lain. Kita harus kerahkan orang sebanyak mungkin untuk mendapatkannya! Tapi mereka hanya perlu menangkap tanpa harus membunuhnya! Karena keterangan dari mulutnyalah yang kita perlukan! Karena urusan ini sangat penting, aku juga akan turun tangan sendiri!”
“Ah.... Terima kasih kalau kau punya gagasan begitu! Tapi harap kau mau memaklumi kalau aku tidak dapat membantumu!”
“Amitaba.... Aku tahu, Baginda! Lagi pula urusan ini sangat berbahaya kalau kau ikut turun tangan sendiri! Kita sedapat mungkin harus hindarkan diri dari dugaan orang kalau pihak kerajaan ikut campur urusan perguruan silat! Apalagi ini masih ada hubungannya dengan peta wasiat yang telah berpuluh puluh tahun jadi incaran orang!”
“Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Kita harus segera berpisah. Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit! Kuharap kau telah mendapatkan tempat yang aman untuk menyimpan kotak itu!”
Guru Besar Liang San menjura. Baginda Ku Nang anggukkan kepala lalu balikkan tubuh dan berkelebat menuruni bukit. Tak berselang lama, Guru Besar Liang San ikut berkelebat dan berlari menuruni bukit. Di kaki bukit, Baginda Ku Nang terus berlari ke arah barat, sementara Guru Besar Liang San ke arah timur.
PADA awalnya Joko memang kebingungan untuk menemukan arah di mana dia dapat menemukan Mei Hua. Namun begitu teringat di mana dia bertemu pertama kali, murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke tempat di mana dia pernah berjumpa dengan Mei Hua. Namun Pendekar 131 lebih waspada. Selain dia telah tahu benda apa yang kini berada di tangannya, dia juga tahu tempat di mana dia pernah bertemu dengan Mei Hua bukanlah tempat yang aman. Karena di tempat itu Joko sempat dihadang beberapa prajurit. Begitu memasuki kawasan luas yang hanya ditumbuhi bunga-bunga dan ilalang, Joko hentikan larinya. Caping lebarnya diangkat sedikit ke atas. Dia memandang berkeliling.
“Meski saat itu malam hari, namun aku yakin di tempat inilah aku berjumpa dengan gadis cantik itu! Tapi mana dia?!” Murid Pendeta Sinting kembali putar pandangan. Namun hingga beberapa lama, dia tidak melihat siapa-siapa!
“Mengapa aku jadi begini bodoh?! Satu purnama pun aku mencari di sini, gadis itu tak mungkin kutemukan! Di sini tidak ada tempat yang didiami penduduk! Yang ada hanya bunga-bunga dan ilalang! Saat itu pasti dia tengah kebetulan berada di sini! Hem.... Ke mana aku harus mencarinya?!” Joko menggumam seraya arahkan pandang matanya ke arah barat.
“Perguruan Shaolin tidak jauh dari sini. Apa sebaiknya aku menyelidik ke sana?! Tapi dengan peristiwa berdarah itu, tentu keadaan di sana masih sangat ketat! Setiap orang yang datang apalagi secara diam-diam pasti akan mendapat tuduhan buruk! Belum lagi jika melihat orang asing sepertiku! Ah.... Untuk sementara ini aku memang harus menjauhi Perguruan Shaolin! Tapi ke mana sekarang aku harus pergi?! Aku butuh seseorang yang....”
“Kau mencari seseorang?!” Mendadak Joko dikejutkan dengan satu suara.
“Hem.... Suara perempuan! Tapi rasanya bukan suara gadis cantik itu! Mudah-mudahan perempuan yang ini tak kalah cantiknya dengan gadis yang tengah kucari! Lebih-lebih bisa membantuku...,” kata Joko dalam hati seraya mengatasi rasa kejutnya.
Namun dia tidak segera putar diri menghadap ke arah sumber suara yang tiba-tiba terdengar. Joko tetap tegak tak membuat gerakan. Kalaupun dia bergerak, itu adalah tangan kanannya yang menekan caping lebarnya hingga masuk dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia buka suara menjawab.
“Aku memang tengah mencari dan menunggu seseorang! Bahkan hampir saja aku putus asa dan hendak pergi! Namun syukur kau telah datang!”
Dari tempat suara perempuan yang tadi terdengar, dua bayangan berkelebat. Lalu terlihat dua sosok tubuh tegak sepuluh langkah di belakang murid Pendeta Sinting. Untuk beberapa saat kedua orang yang baru muncul saling palingkan kepala ke arah tegaknya masing-masing orang. Mereka berpandangan sesaat. Jelas paras wajah mereka membayangkan keheranan.
Orang di sebelah kanan adalah seorang perempuan berusia lanjut berambut putih. Sepasang matanya sipit tanpa ditingkahi kedua alis mata di atasnya. Dia mengenakan pakaian panjang warna hitam. Di pundaknya tampak selendang panjang warna hitam yang di sampirkan hingga menjulai hampir menyapu tanah.
Di sebelah si nenek, tegak seorang gadis berparas jelita. Rambutnya yang hitam lebat dibiarkan bergerai sampai punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna kuning agak tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda. Hingga busungan dadanya yang mencuat tampak semakin menggoda. Pinggulnya besar ditingkah dengan pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisinya.
Hingga gadis ini tegak dengan kaki sedikit direnggangkan, maka tampak jelas pahanya yang padat dan mulus. Di pinggangnya yang ramping melingkar sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning. Tepat di bagian sisi kiri pinggang terlihat satu pedang pendek bergagang batu berwarna kuning pula.
Si gadis sorongkan kepala ke arah si nenek lalu berbisik. “Guru.... Apakah dia yang hendak kau temui?!”
Si nenek luruskan kepala menatap punggung Joko. “Dari sikap dan suaranya, meski aku belum tahu wajahnya aku bisa memastikan bukan dia orang yang kita cari dan sepakat untuk bertemu di sini!”
“Tapi mengapa dia yang muncul? Dan dari ucapannya tadi jelas dia menunggu kita! Jangan-jangan orang yang hendak kau temui tidak bisa hadir dan dia mewakilkan pada orang itu!”
Si nenek menyeringai. “Kalau itu yang dilakukan, berarti Wang Cen membuat satu kesalahan besar! Nama gelaran si Bayangan Tanpa Wajah yang disandangnya hanya besar di suara tapi kosong dalam Kenyataan! Terbukti dia tidak berani datang sendiri menghadapiku! Tapi mewakilkan pada manusia kecil tak berguna! Aku akan memberi peringatan pada Wang Cen agar tidak meremehkan orang!” Habis berbisik begitu, si nenek maju dua langkah.
“Mengapa Wang Cen tidak datang sendiri menemuiku?! Mengapa dia memberiku undangan untuk bertemu di sini kalau dia takut datang, hah?!” Si nenek perdengarkan bentakan garang.
Ucapan si nenek membuat Pendekar 131 terlengak kaget. Kali ini dia tak dapat lagi sembunyikan rasa kejutnya. Namun dia masih coba menahan diri untuk tidak segera berbalik menghadap orang. Hanya saja dia tahu, jika orang di belakangnya bukan satu orang! Dia tadi mendengar suara bisik-bisik namun dia tak bisa jelas menangkap apa yang dibicarakan orang.
“Busyet! Dari ucapannya jelas kalau mereka sudah sepakat untuk bertemu di sini dengan seseorang! Dan ucapanku tadi tentu mereka artikan akulah orang yang hendak menemuinya! Sial betul.... Padahal aku tadi cuma bercanda!” Joko membatin seraya lebih tekankan caping di atas kepalanya.
“Kau dengar ucapanku! Kau jawab atau tidak, sama saja nasib yang akan kau terima!”
“Gawat! Aku harus segera mencari dalih sambil menunggu orang yang sebenarnya hendak ditemuinya muncul di sini!” gumam murid Pendeta Sinting lalu perlahan-lahan dia putar diri.
Si nenek dan si gadis sama pentangkan mata. Namun karena caping di kepala Joko masuk terlalu dalam, kedua orang di hadapannya tidak bisa mengenali paras wajah orang. Hal ini membuat dada si nenek makin bergolak dibuncah rasa marah.
Pendekar 131 angkat kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata. “Amitaba.... Harap dimaafkan.... Aku tadi menduga kalian orang yang tengah kutunggu! Tapi ternyata kalian bukanlah orang yang saat ini kutunggu! Sekali lagi harap maafkan kekeliruanku....”
Sebenarnya Joko ingin melihat paras kedua orang di hadapannya. Namun karena dia tak ingin wajahnya diketahui orang, terpaksa Joko berkata dengan tanpa angkat caping lebarnya hingga dia sendiri tidak bisa melihat tampang kedua orang di hadapannya. Hanya saja Joko bisa menduga-duga berapa kira-kira usia orang yang tadi angkat suara membentak. Hal ini pulalah yang membuatnya enggan untuk angkat caping lebarnya karena dia sudah bisa mengira kalau perempuan di hadapannya tidak muda lagi!
Sementara itu, mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berparas jelita bertubuh montok di hadapannya berpaling ke arah si nenek yang dari panggilannya tadi jelas menunjukkan kalau si nenek adalah gurunya. Namun kali ini si nenek tidak ikut menoleh. Sebaliknya makin pentangkan mata seakan coba tembusi caping di kepala orang untuk dapat melihat wajah di baliknya. Saat lain tiba-tiba si nenek buka suara.
“Kalau bukan aku yang kau tunggu, siapa yang kau tunggu di sini?! Tak mungkin terjadi satu pertemuan dalam waktu dan tempat yang sama namun beda orang!”
“Amitaba.... Kukira kebetulan itu bisa terjadi kapan dan di mana saja! Dan bisa menimpa pada siapa saja! Buktinya kebetulan itu terjadi pada kita....”
“Tapi itu adalah hal yang mustahil! Kau pasti orangnya Wang Cen!” kata si nenek masih dengan suara keras.
Joko gerakkan kepala menggeleng. “Harap kalian percaya padaku! Apa pun yang kau katakan mustahil terjadi, nyatanya kebetulan itu telah benar-benar terjadi.... Aku menunggu seseorang di tempat ini, tapi bukan kalian. Aku juga bukan orangnya Wang Cen...!”
“Lalu siapa orang yang hendak kau temui?!” Kali ini yang angkat suara adalah gadis cantik di sebelah si nenek.
Dahi di balik caping lebar Pendekar 131 tampak mengernyit. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata dalam hati. “Suaranya merdu meski keras. Hem.... Dari suaranya mungkin dia seorang gadis.... Apakah aku harus melihat parasnya?! Tapi untuk apa? Aku yakin suara itu bukan milik Mei Hua....”
“Katakan siapa orang yang kau tunggu!” Si nenek membentak.
“Waduh bagaimana ini? Bagaimana aku harus mencari nama...? Tak mungkin aku berterus terang tengah mencari Mei Hua!”
“Jangan buat kesabaran kami pupus!” kata si gadis begitu agak lama Joko belum juga mau menjawab.
Entah karena kesulitan mencari nama, akhirnya enak saja murid Pendeta Sinting angkat suara. “Aku menunggu seorang bernama Hua Mei....”
“Kau sendiri siapa?!” tanya si nenek.
“Aku.... Aku Lon Tong Bu Lim....”
Si nenek dan si gadis sama kerutkan dahi dan hampir bersamaan sama gerakkan kepala berpaling dan saling pandang satu sama lain.
“Hidup berpuluh tahun di daratan ini, baru kali ini aku dengar nama itu!” ujar si nenek. “Sikap orang ini mencurigakan! Aku makin yakin dia adalah orangnya Wang Cen! Apalagi dia takut dikenali!”
Rupanya Joko mendengar ucapan si nenek meski suara tadi sangat pelan. Maka sebelum si nenek sempat angkat bicara, Joko telah buka mulut.
“Harap tidak salah duga.... Nama Lon Tong Bu Lim memang belum pernah kau dengar dan tak mungkin akan kau dengar kalau tidak bertemu denganku. Karena nama itu pemberian seseorang di daerah asalku yang jauh dari sini!”
“Hem.... Jadi kau orang asing?!” tanya si gadis.
“Dikatakan asing sekali tidak. Karena aku menetap di sini sudah hampir setengah dari usiaku! Hanya saja aku dilahirkan jauh dari sini! Kalau orang daerah sini memanggilku Han Ko! Tentu kalian pernah dengar nama itu.... Nama bagus pemberian seorang sahabat!”
“Lalu mengapa kau tutupi wajah dengan caping?! Orang yang punya niat baik tentu tak takut tunjukkan tampang!” ucap si nenek.
“Ini sudah menjadi kebiasaanku.... Dan biasanya pula, aku baru akan tunjukkan tampang jika orang telah mengatakan siapa dia sebenarnya!”
Mungkin karena ingin dan penasaran untuk segera melihat tampang orang, si nenek segera menyahut. “Aku Li Muk Cin. Namun orang lebih mengenalku dengan Ratu Selendang Asmara!”
“Hem.... Gelaran bagus.... Dan orang di sebelahmu?!” kata Joko.
“Dia Bang Sun Giok! Tapi kalangan persilatan Himalaya lebih mengenalinya dengan Dewi Bunga Asmara!” Yang menjawab adalah si nenek yang tadi sebutkan diri dengan gelar Ratu Selendang Asmara.
“Hem.... Gelar kalian membuatku jadi ingin melihat bagaimana paras wajah kalian! Kalau gelarannya ada hubungannya dengan kata asmara, tentu orangnya cantik....” Seraya berkata, tangan kanan murid Pendeta Sinting terangkat ke atas. Perlahan-lahan caping di kepalanya diangkat.
Si nenek dan si gadis sama memandang tak berkesip. “Hem.... Dari tampangnya, jelas anak muda ini bukan orang daerah sini!” kata si nenek begitu melihat tampang Pendekar 131.
Di lain pihak, gadis yang bergelar Dewi Bunga Asmara diam-diam juga membatin. “Hem.... Ternyata seorang pemuda berwajah tampan!”
Pendekar 131 sempat tersentak kala melihat paras wajah gadis di hadapannya. “Dugaanku ternyata tidak jauh meleset. Dia benar-benar gadis cantik jelita! Hanya saja aku tidak menyangka kalau dia mengenakan pakaian begitu menggoda!” Tanpa sadar sepasang mata Joko terpaku pada dada dan paha Dewi Bunga Asmara yang tampak jelas busungan dan kemulusannya.
Mendapati pandangan orang, Dewi Bunga Asmara tersenyum seraya busungkan dadanya dan lebarkan pentangan kedua kakinya. Hingga cuatan buah dadanya makin terlihat dan pakaian bawahnya makin tersingkap membuat dada Joko berdebar!
“Han Ko...,” Dewi Bunga Asmara angkat suara. “Ada yang salah pada diriku?!”
Ucapan si gadis membuat Joko sadar. Dia buru-buru alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang Asmara dengan tersenyum lebar dan gelengkan kepala. Caping lebarnya kembali dimasukkan pada kepalanya namun kini dia sengaja perlihatkan matanya.
“Kau benar-benar tengah menunggu seseorang?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
Joko menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya. Ratu Selendang Asmara menyeringai dingin. Lalu kembali buka suara. “Kalau benar ucapanmu, harap kau tunda niatmu! Hari ini aku akan bertemu seseorang di sini!”
“Hem.... Begitu?! Baiklah.... Aku akan menunggunya di sana....” Joko angkat tangan kanannya menunjuk pada satu arah.
Si nenek gelengkan kepala. “Kau dengar ucapanku! Urungkan niatmu! Kau harus pergi tinggalkan tempat ini! Aku tak mau urusanku dilihat apalagi didengar orang lain!”
“Nek.... Aku telah berjanji untuk bertemu hari ini di tempat ini! Kalau kau tak mau urusanmu dilihat atau didengar orang lain, aku akan pejamkan mata dan tutup telinga! Urusan beres, bukan?!”
“Aku tak mau ada orang lain di tempat ini! Cepat tinggalkan tempat ini!” hardik si nenek.
Joko alihkan pandangannya pada Dewi Bunga Asmara. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke jurusan lain, tatkala dilihatnya si gadis tersenyum memandangnya. “Hem.... Sebenarnya aku ingin melihat apa yang akan terjadi. Ini untuk menambah pengetahuanku tentang beberapa orang di daerah sini! Tapi kalau dia tidak menghendaki, apa boleh buat. Daripada cari penyakit, lebih baik aku pergi....”
Membatin begitu, Pendekar 131 Joko Sableng arahkan kembali pandang matanya pada Ratu Selendang Asmara lalu pada Dewi Bunga Asmara. Namun saat melihat ke arah si gadis, mata Joko bukannya menatap ke arah wajah orang, melainkan pada busungan dada Dewi Bunga Asmara. Saat bersamaan dia berkata.
“Untuk hari ini aku bersedia mengalah.... Tapi jika terjadi kebetulan untuk kedua kalinya, kuharap kalian yang ganti mengalah....”
Joko tersenyum. Lalu gerakkan kaki hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru saja melangkah tiga tindak, dari arah samping terlihat satu bayangan berkelebat!
PENDEKAR 131 hentikan gerakan. Kepalanya berpaling ke samping. Si gadis berpakaian kuning pentangkan mata lalu ikut menoleh. Hanya si nenek yang tetap tegak tanpa membuat gerakan! Malah melirik pun tidak! Bayangan yang baru muncul tegak dua belas langkah di sebelah samping sana. Joko memperhatikan sejenak. Tiba-tiba sepasang matanya mementang lebar. Keningnya berkerut. Dan seolah belum percaya pada pandang matanya, dia sorongkan kepala ke depan. Matanya makin dibeliakkan.
“Astaga! Kurasa mataku benar-benar melihat bayangan tanpa melihat wajahnya!”
Dewi Bunga Asmara tak kalah kejutnya. Sepasang matanya juga membelalak. Saat lain dia menoleh pada Ratu Selendang Asmara. Namun yang dipandang tetap tegak tanpa berpaling ke arah bayangan yang baru muncul yang ternyata hanyalah bayangan satu sosok tubuh. Anehnya, bayangan itu tidak memperlihatkan wajah orang! Sebaliknya bayangan itu hanyalah sebuah sosok hitam tanpa bentuk!
“Han Ko! Orang yang kutunggu akan segera muncul! Lekas tinggalkan tempat ini!” Ratu Selendang Asmara berkata pada murid Pendeta Sinting tanpa gerakkan kepala.
Mungkin masih terkesima dengan apa yang dilihat, Joko tidak turuti ucapan si nenek. Dia terus pandangi bayangan hitam tanpa bentuk. Karena ucapannya tak dituruti orang, si nenek cepat melompat. Tangan kanannya bergerak mendorong ke arah tubuh murid Pendeta Sinting. Karena masih tercenung, terlambat bagi Joko untuk berkelit dari dorongan tangan si nenek. Hingga sosoknya terlempar satu tombak! Entah agar tidak dicurigai orang, meski Joko bisa saja kuasai diri, namun dia tak berusaha untuk membuat gerakan. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya jatuh terjengkang! Saat itulah terdengar suara.
"Busss!" Pendekar 131 segera berpaling. Bayangan tanpa bentuk keluarkan asap hitam. Saat lain si bayangan tanpa bentuk lenyap tak berbekas! Belum lagi asap hitam sirna, dari arah mana tadi si bayangan tanpa bentuk datang, berkelebat dua bayangan hitam. Kejap lain tahu-tahu dua bayangan hitam telah tegak tidak jauh dari bayangan yang baru saja lenyap.
Lagi-lagi Joko dan Dewi Bunga Asmara pentangkan mata. Di depan sana tegak dua sosok bayangan. Hanya saja dua bayangan ini punya bentuk mirip sosok manusia. Cuma keduanya tidak memiliki wajah! Bagian wajah bayangan hanya merupakan lapisan daging rata. Ratu Selendang Asmara lagi-lagi tidak pedulikan dua bayangan sosok manusia tanpa wajah yang baru muncul, sebaliknya putar kepala ke arah Joko yang masih terduduk di atas tanah. Sepasang matanya mendelik angker. Saat lain terdengar bentakannya.
“Kau akan menyesal jika tidak turuti ucapanku!” Tangan kanan si nenek terangkat. Namun dia urungkan niat ketika tiba-tiba dari arah dua bayangan terdengar deruan menyambar!
Ratu Selendang Asmara cepat putar tangan kanannya yang sesaat tadi hendak lepaskan pukulan ke arah murid Pendeta Sinting. Kejap lain tangan kanannya disentakkan ke arah dua bayangan hitam tanpa wajah yang ternyata telah gerakkan tangan masing-masing. Dari gerakan tangan dua bayangan hitam tanpa wajah mencuat dua gelombang hitam disertai menderunya dua gelombang angin dahsyat. Anehnya, begitu gerakkan tangan, dua bayangan hitam tanpa wajah perdengarkan suara.
"Busss! Busss!" Saat kemudian dua bayangan hitam tanpa wajah kepulkan asap hitam dan lenyap tanpa bekas!
"Blammm! Blammm!" Terdengar dua kali ledakan keras ketika gelombang angin dari gerakan dua bayangan hitam tanpa wajah bertemu dengan gelombang yang menyambar dari tangan kanan Ratu Selendang Asmara. Beberapa tumbuhan bunga di tempat itu porak-poranda membubung ke angkasa. Tanahnya bergetar dan muncrat pula ke udara.
“Bayangan Tanpa Wajah!” Si nenek berteriak lantang. “Mengapa kau takut unjuk diri?!”
Teriakan Ratu Selendang Darah belum selesai, satu bayangan hitam berkelebat. Saat lain satu sosok tubuh telah tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat tegaknya Ratu Selendang Asmara. Pendekar 131 segera bergerak bangkit. Lalu arahkan pandang matanya pada sosok tubuh yang tegak di hadapan Ratu Selendang Asmara. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian terusan warna hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas.
Raut wajahnya telah dipenuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini usianya sudah tidak muda lagi. Parasnya agak bulat dengan sepasang mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya, bukan hanya pakaiannya yang berwarna hitam, namun sekujur kulit laki-laki ini juga berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih dari raut wajahnya adalah larikan kecil pada bagian kedua matanya!
“Bayangan Tanpa Wajah.... Hem.... Itu pasti gelar laki-laki aneh itu!” kata Joko dalam hati. “Ternyata bukan hanya di tanah Jawa ada beberapa orang yang memiliki keanehan. Dan....” Murid Pendeta Sinting putuskan kata hatinya. Sepasang matanya mendelik. “Astaga.... Keanehan apa lagi ini?!”
Laki-laki berwajah hitam di depan sana, tiba-tiba tersenyum perlihatkan giginya yang putih. Namun saat lain samar-samar raut wajahnya laksana ditutup dengan daging! Kejap kemudian raut wajahnya berubah datar tanpa bentuk! Tapi hal itu cuma berlangsung sesaat. Saat lain kembali parasnya membentuk raut wajah. Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara terkesima. Keduanya memandang tak berkesip. Lain halnya dengan Ratu Selendang Asmara. Nenek ini tetap tegak dan hanya melirik sesaat pada wajah orang yang berubah. Saat lain si nenek telah buka suara.
“Bayangan Tanpa Wajah! Hampir dua belas tahun aku menunggu pertemuan seperti ini! Kau pasti masih ingat ucapan terakhirku pada dua belas tahun yang lalu!”
Sosok laki-laki hitam yang dipanggil Bayangan Tanpa Wajah yang kini rautnya telah kembali membentuk seperti raut orang biasa, buka matanya lebar-lebar. Bukannya memandang ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menatap tajam pada Dewi Bunga Asmara. Lalu kepalanya bergerak. Kini sepasang mata-nya diarahkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tegak di belakang sana. Masih dengan arahkan pandang matanya pada Pendekar 131, Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan suara.
“Apa yang terjadi pada dua belas tahun lalu masih terpacak pada mata dan telingaku! Tapi rupanya kau masih belum percaya diri! Kau takut kejadian lalu terulang lagi?!”
Ratu Selendang Asmara dapat menangkap maksud ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Dia tertawa pendek. Lalu buka mulut. “Aku memang penuhi undanganmu dengan membawa satu muridku! Tapi kau tak perlu khawatir! Dia hanya akan menyaksikan apa yang akan terjadi!”
Ucapan si nenek disambut Bayangan Tanpa Wajah dengan perdengarkan suara tawa bergelak panjang. “Tapi aku bukannya melihat satu orang yang kau bawa!”
Ratu Selendang Asmara putar sedikit kepalanya ke arah Pendekar 131. Di lain pihak, karena dapat menangkap gerakan kepala si nenek, Joko buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan mulut perdengarkan siulan!
“Anak manusia itu bukan aku yang membawa! Dia berada di sini sebelum aku datang! Kau jangan berpura-pura membalik kenyataan! Bukankah dia adalah anak manusia yang kau suruh menyelidik sebelum aku datang?!”
“Aku punya beberapa sahabat yang kupercaya! Aku tak butuh bantuan seorang anak manusia! Percuma aku bergelar Bayangan Tanpa Wajah kalau masih membutuhkan bantuan manusia!”
Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah, Joko putuskan siulannya. Lalu tanpa memandang ke arah orang yang berada di situ, dia angkat bicara. “Nek.... Apa kubilang.... Aku datang ke sini karena punya janji dengan seseorang!”
“Hem.... Dari penampilan dan sosoknya, sepertinya dia bukan orang sini! Jangan-jangan....” Bayangan Tanpa Wajah membatin.
Namun belum sempat dia teruskan membatin, Ratu Selendang Asmara telah bersuara. “Kau telah dengar ucapannya, Bayangan Tanpa Wajah! Kalau kau tak suka pertemuan dilihat orang lain, tidak sulit aku mengusirnya dari sini!”
“Ratu Selendang Asmara! Sebenarnya aku memang tak ingin pertemuan ini dihadiri orang lain tak terkecuali gadis cantik di belakangmu itu!” Sepasang mata Bayangan Tanpa Wajah mengarah pada dada dan paha Dewi Bunga Asmara. “Namun, karena sudah terjadi, apa boleh buat.... Hanya saja kau harus tahu. Undanganku bukannya untuk meneruskan kejadian dua belas tahun silam!”
Si nenek kerutkan dahi. Kepalanya menyentak menghadap Bayangan Tanpa Wajah. Sepasang matanya menyengat tajam. Saat lain dia membentak. “Kau terlambat memberi tahu! Apa pun tujuan undanganmu, yang jelas kedatanganku untuk tuntaskan kejadian dua belas tahun silam! Kau tahu, selama kurun waktu dua belas tahun, hatiku tidak bisa tenang, tidurku tak bisa nyenyak! Aku selalu menunggu dan menanti pertemuan seperti ini! Jadi jangan coba-coba berdalih untuk mengalihkan persoalan!”
Bayangan Tanpa Wajah tertawa panjang seraya gelengkan kepala. “Aku tahu apa yang kau rasakan! Malah sebenarnya aku ingin sekali pertemuan seperti ini segera berlangsung agar bebanku segera selesai! Aku tak ingin dendam di dadamu terus membara! Tapi keadaan rupanya berubah.... Ada sesuatu yang mengharuskan kita untuk sementara waktu melupakan kejadian lama!”
“Tak ada keadaan yang bisa merubah niatku, Bayangan Tanpa Wajah!”
“Pada mulanya aku berpendapat sepertimu! Tapi keadaan ini benar-benar dapat merubah niatanku juga! Dan kalaupun kau tak setuju dengan usulku nanti, harap kau sabar menunggu! Aku akan selesaikan tugas terlebih dahulu lalu kita adakan pertemuan lagi untuk selesaikan sengketa lama!”
“Aku tak bisa menunggu lagi! Aku tak ingin nyawamu tercabut tangan orang lain!” kata si nenek seraya angkat tangan kiri kanannya.
“Aku bisa menjaga selembar nyawaku! Kau tak perlu gelisah pikirkan nyawaku! Dan kuharap kau dengar dulu ucapanku!”
Ratu Selendang Asmara tertawa sinis. “Baiklah.... Aku akan dengar ucapanmu. Tapi harus kau ingat, apa pun nanti yang akan kau ucapkan, semua itu tak dapat merubah niat yang kupendam selama dua belas tahun!”
Bayangan Tanpa Wajah tak pedulikan ancaman orang. Dia buka mulut tanpa membuat gerakan meski tahu kalau si nenek telah siap lepaskan pukulan. “Aku mendapat undangan dari Yang Mulia Baginda Ku Nang. Dia menjanjikan hadiah besar untuk satu pekerjaan mudah!”
“Hem.... Jadi kau telah menjadi antek kerajaan! Teruskan bicaramu!” kata Ratu Selendang Asmara seraya tertawa.
“Aku hanya diberi tugas untuk menangkap seorang pemuda asing!”
“Hik Hik Hik...! Untuk menangkap seorang pemuda asing saja kau mau bersekongkol denganku!” ujar si nenek dengan tertawa cekikikan.
“Pada awalnya aku memang tidak tertarik dengan tawaran itu. Hadiah sebesar apa pun juga tak ada gunanya bagiku! Namun satu hal yang membuatku tertarik dan menerima tawaran itu....”
“Cukup!” putus Ratu Selendang Asmara. “Aku tidak tertarik dengan lanjutan ucapanmu! Itu adalah urusanmu dan sekarang kita selesaikan urusan kita!”
“Aku belum selesai berkata!” bentak Bayangan Tanpa Wajah yang sedari tadi telah menindih gejolak amarah mendapati ejekan si nenek. “Pemuda asing itu menyembunyikan seseorang bernama Yang Kui Tan yang diduga membawa bagian dari peta wasiat yang selama ini diincar kalangan rimba persilatan!”
Sekonyong-konyong Ratu Selendang Asmara putuskan tawanya. Kedua tangannya serentak diluruhkan ke bawah. Saat lain dia melompat lalu tegak enam langkah di hadapan Bayangan Tanpa Wajah. Di lain pihak, mendengar percakapan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Pendekar 131 terkesiap kaget. Paras wajahnya berubah tegang. Dari percakapan kedua orang tadi, dia sudah maklum siapa gerangan yang dimaksud pemuda asing oleh Bayangan Tanpa Wajah.
“Apakah aku harus segera tinggalkan tempat ini?! Ah.... Itu akan menambah kecurigaan mereka! Sebaiknya aku menunggu seraya mencuri dengar percakapan mereka!” kata Joko dalam hati. Dia kembali bersiul namun sepasang telinganya dipasang dengan seksama. Kepalanya didongakkan seolah acuh dengan keadaan di tempat itu. Namun begitu, dadanya masih berdebar dan dia makin tingkatkan kewaspadaan.
“Kau tak main-main dengan ucapanmu?!” Ratu Selendang Asmara ajukan tanya.
Mendapati perubahan sikap si nenek, Bayangan Tanpa Wajah tertawa seraya gelengkan kepala. “Aku sengaja mengundangmu untuk lakukan pekerjaan ini, karena aku tahu kaulah salah satu orang yang memiliki ilmu tinggi di daratan ini!”
“Tapi kalau nanti aku setuju, bukan berarti aku mengharapkan imbalan hadiah! Yang kuinginkan adalah peta wasiat itu! Peduli setan dengan keinginan Yang Mulia Baginda Ku Nang!” kata Ratu Selendang Asmara.
“Kita punya maksud yang sama! Dan aku tahu bagaimana caranya setelah nanti peta wasiat itu berada di tangan kita!”
“Tapi menurut yang pernah kudengar, sebagian dari peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin.”
“Rupanya kau telah lama tak turun gunung hingga tak tahu apa yang telah terjadi!”
“Apa maksudmu...?!” tanya si nenek.
“Dua atau tiga malam yang lalu, terjadi peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin. Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa itu!”
“Tapi masih ada Guru Besar Liang San dan Guru Besar Wu Wen She!”
“Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu peristiwa terjadi. Kini perguruan itu dipimpin Guru Besar Liang San! Tanpa Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, rasanya mudah bagi kita untuk menerobos masuk!”
“Baik, aku terima usulmu! Kita bersatu untuk mendapatkan pemuda asing itu! Tapi apa tidak lebih baik kalau kita menerobos dahulu Perguruan Shaolin? Begitu kita berhasil, baru kita cari pemuda asing itu!”
Bayangan Tanpa Wajah gelengkan kepala. “Kalau Yang Mulia Baginda Ku Nang menginginkan peta wasiat dari pemuda asing itu, tentu dia tak akan lengah untuk membiarkan Perguruan Shaolin tanpa penjagaan beberapa orang sahabat Baginda Ku Nang. Aku yakin saat ini Perguruan Shaolin dalam pengawasan pihak kerajaan meski pengawasan itu dilakukan beberapa orang dari luar orang kerajaan. Baginda Ku Nang tidak mungkin ceroboh untuk menempatkan orang-orang kerajaan untuk mengawasi, karena hal itu akan menimbulkan urusan!”
Bayangan Tanpa Wajah hentikan ucapannya sesaat. Lalu meneruskan. “Untuk sementara ini kita terpaksa mencari pemuda asing itu! Dan sambil lalu kita pasang telinga mencari kabar bagaimana keadaan di Perguruan Shaolin!”
“Siapa nama pemuda asing itu? Dan bagaimana ciri-cirinya?!”
Pertanyaan Ratu Selendang Asmara membuat Joko segera palingkan kepala dengan kuduk merinding. Namun dia sengaja bersikap biasa malah keraskan siulannya dan bergumam tak jelas seperti orang tengah dendangkan nyanyian.
“Dia mengenakan jubah hitam. Wajahnya tampan. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa namanya! Hanya saja menurutku dia bukan pemuda sembarangan! Dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan! Untuk itulah mengapa Yang Mulia Baginda Ku Nang mengundang beberapa sahabatnya yang dikenal memiliki ilmu tinggi untuk mencari sekaligus menangkap pemuda itu!”
“Bagaimana Baginda bisa yakin pemuda itu yang membawa peta wasiat?!”
“Aku sendiri tak tahu persis bagaimana duduk urusannya hingga Baginda Ku Nang terlibat dalam masalah ini! Tapi dari peristiwanya, jelas Yang Mulia punya hubungan dekat dengan orang dalam Perguruan Shaolin. Kalau tidak, bagaimana dia tahu kalau seseorang bernama Yang Kui Tan mengadakan perjalanan untuk mengambil peta wasiat itu dari tempat penyimpanannya?!” Bayangan Tanpa Wajah hentikan lagi keterangannya seraya menghela napas. Saat kemudian dia buka mulut lagi.
“Menurut kabar yang kudengar dari Baginda, Yang Kui Tan telah terluka parah. Namun dia masih sempat merebut sebuah perahu milik pengawal kerajaan. Panglima Muda Lie bersama beberapa anak buahnya segera mengejar. Namun karena besarnya gelombang, Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan serta beberapa orang sahabat Baginda kehilangan jejak. Ketika gelombang telah reda, tiba-tiba Panglima Muda Lie dan anak buahnya melihat perahu yang tadi ditumpangi Yang Kui Tan. Namun mereka jadi tercengang ketika mendapati si penumpang perahu bukanlah Yang Kui Tan. Melainkan seorang pemuda asing!” Bayangan Tanpa Wajah mengatur napasnya sejenak sebelum melanjurkan.
“Namun Panglima Muda Lie merasa curiga pada sebuah barang di lantai perahu yang ditutup dengan sebuah jubah hitam. Panglima Muda Lie menduga tubuh Yang Kui Tan berada di balik jubah hitam itu! Tapi si pemuda asing penumpang perahu tak mau mengaku! Akhirnya terjadi bentrok. Beberapa anak buah Panglima Muda Lie tewas. Panglima sendiri terluka! Perahu itu terus menuju ke pesisir Tibet. Namun sejak kejadian itu, si pemuda asing dan Yang Kui Tan lenyap tak ada kabar beritanya!”
“Apa kira-kira mereka tidak menyelinap masuk ke dalam Perguruan Shaolin?”
“Beberapa orang kerajaan dan sahabat Baginda Ku Nang telah diperintahkan berjaga-jaga di perbatasan daerah yang memasuki Perguruan Shaolin. Tapi sampai sejauh ini tidak ada laporan tentang kedatangan pemuda asing itu ke Perguruan Shaolin hingga terjadi peristiwa berdarah yang menewaskan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Hem.... Lalu apa rencanamu sekarang?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
“Kita mulai mencari dari pesisir!” Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah hendak berkelebat. Namun diurungkan ketika matanya melirik dia tidak lagi mendapati sosok murid Pendeta Sinting.
“Siapa pemuda itu tadi?!” Bayangan Tanpa Wajah bertanya. Sepasang matanya mengedar berkeliling mencari-cari.
Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara sama arahkan pandang matanya ke tempat di mana tadi Pendekar 131 tegak berdiri. Keduanya sama terkejut melihat sosok murid Pendeta Sinting telah tidak ada lagi di tempatnya.
“Dia mengaku bernama Han Ko! Dia tengah menunggu seseorang di sini!” Si nenek menjawab.
“Aneh.... Meski aku hanya melihat sebagian wajahnya, namun aku hampir merasa yakin dia bukan orang sini!” gumam Bayangan Tanpa Wajah.
“Dia memang mengaku dilahirkan jauh dari sini. Lagi pula mengapa kau menaruh curiga padanya? Dia tidak memiliki ilmu.... Jadi bukan dia pemuda asing itu!” kata Ratu Selendang Asmara.
“Sebagai orang yang tengah diburu, tak mungkin dia mau tunjukkan siapa dia sebenarnya! Dia pasti akan memerankan sebagai orang bodoh agar luput dari perhatian orang! Kau tertipu.... Kita kejar dia! Pasti belum jauh dari sini!”
Tanpa menunggu sambutan Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat. Ratu Selendang Asmara menyeringai dan tersenyum mengejek. Namun dia segera memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. Saat lain kedua guru dan murid ini berkelebat menyusul Bayangan Tanpa Wajah!
PENDEKAR 131 Joko Sableng berlari laksana dikejar setan. Karena dia belum paham benar daerah yang dilewati, dia berlari tanpa memperhatikan arah. Yang terpikir dalam benaknya, dia harus menjauh dari tempat di mana terjadi pertemuan antara Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Malah dia sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan. Yang terpikir hanya berlari dan berlari menjauh.
Sementara di tempat terpisah, Bayangan Tanpa Wajah tiba-tiba hentikan larinya. Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara ikut berhenti. “Kalau dia merasa tak ada kaitannya dengan urusan yang tengah kita lakukan sekarang ini, tak mungkin dia pergi begitu saja! Dan melihat kita kehilangan jejaknya, apa kau kira dia pemuda bodoh yang tak mengerti ilmu silat?” Bayangan Tanpa Wajah buka mulut seraya edarkan pandangan.
“Hem....” Ratu Selendang Asmara hanya mendehem tanpa menyahut. Namun diam-diam dalam hati dia membenarkan ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Sementara Dewi Bunga Asmara juga membatin.
“Tak kusangka jika pemuda tampan itu memiliki ilmu tinggi! Raut wajahnya memang seperti bukan orang daerah sini! Tapi apa mungkin dia pemuda asing yang dicari Bayangan Tanpa Wajah?!”
“Kau harus lakukan sesuatu! Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki, pasti dia belum jauh dari sini!” kata Ratu Selendang Asmara.
Bayangan Tanpa wajah anggukkan kepala. Kedua tangannya ditakupkan di depan kepala. Saat lain dia perdengarkan bentakan keras seraya buka takupan kedua tangannya. Saat bersamaan dari kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah mengepul asap hitam. Asap itu membentuk jalur lurus ke udara. Lalu melayang jatuh ke bawah. Begitu asap hitam menyentuh tanah, terjadi hal yang luar biasa. Asap hitam perdengarkan suara deruan.
Saat lain asap hitam membentuk dua bayangan hitam seperti sosok manusia. Hanya saja raut wajahnya rata tak berbentuk. Inilah ilmu ‘Bayangan Asap’. Sebuah ilmu yang membuat Wang Cen digelari rimba persilatan dengan Bayangan Tanpa Wajah. Karena dia bisa merubah asap hitam menjadi sosok bayangan manusia tanpa wajah. Bukan hanya itu saja, dua bayangan tanpa wajah itu bisa melepas pukulan yang dimiliki Wang Cen dan bisa menghadang pukulan orang! Wang Cen alias Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki kanan. Saat yang sama mulutnya perdengarkan perintah.
“Kejar pemuda itu!”
Seolah punya telinga seperti manusia biasa, dua bayangan hitam putar diri. Saat berkelebat satu berlari ke arah kanan dan satunya lagi berlari mengambil arah berlawanan.
“Kita mengambil arah tengah!” kata Bayangan Tanpa Wajah. Lalu berkelebat. Ratu Selendang Asmara tidak menunggu lama. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara lalu berlari di belakang Bayangan Tanpa Wajah. Sementara itu, di satu tempat yang dirasa agak aman dan banyak tempat berlindung dari batu-batuan besar, murid Pendeta Sinting memperlambat larinya. Dia memilih batu agak besar lalu menyelinap dan duduk bersandar seraya menarik napas dalam-dalam.
“Langkahku kini semakin tak bebas lagi! Selain rupaku mudah dikenali kalau bukan berasal dari daerah ini, kini banyak orang yang telah diperintah untuk mencariku! Hem.... Urusan ini ternyata tak semudah yang kubayangkan!” gumam Joko lalu pejamkan sepasang matanya berpikir apa yang kini harus dilakukan.
Belum lagi dia dapat menemukan jalan apa yang harus dilakukan, dia merasakan deruan angin pelan dari samping kiri. Tanpa buka mata dan berpaling, murid Pendeta Sinting sudah maklum kalau sekarang dia tidak berada sendirian di tempat itu. Dan belum sampai Joko membuat gerakan, satu suara terdengar.
“Jangan mimpi kau bisa lolos sebelum jawab beberapa pertanyaanku!”
Dengan dada berdebar, Joko bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan buka sepasang matanya dengan bibir tersenyum. Namun jelas senyum itu untuk menutupi rasa kejutnya. “Bayangan Tanpa Wajah!” gumam Joko dalam hati begitu melihat sosok yang tegak tidak jauh dari sampingnya. “Ke mana Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara?” Joko edarkan pandangan. Namun baru saja dia gerakkan kepala, satu suara menyeruak.
“Kau mencariku, Han Ko?!”
Pendekar 131 putar diri. Di belakangnya tegak Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. Joko tersenyum seraya mainkan ujung caping lebarnya. “Kalian mencariku...?! Atau sengaja lewat sini?!” Joko ajukan tanya.
“Bukan kami yang harus jawab tanyamu! Tapi kau yang harus jawab pertanyaan kami!” Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan suara. Saat lain kedua tangannya ditakupkan di depan kepala. Kaki kirinya menghentak ke tanah. Tiba-tiba dari arah barat dan timur tampak membubung asap hitam. Asap hitam membentuk jalur lurus lalu menukik deras dan kejap lain asap hitam masuk ke dalam kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah.
“Siapa kau sebenarnya?!” Bayangan Tanpa Wajah ajukan tanya dengan suara keras.
Murid Pendeta Sinting putar wajah menghadap Bayangan Tanpa Wajah. “Apakah kau belum diberi tahu oleh sang Ratu?!”
“Aku tanya! Jangan berani balik ajukan tanya!” sentak Bayangan Tanpa Wajah.
“Masa kecilku aku diberi nama Lon Tong Bu Lim.... Nama itu kusandang hingga aku menginjak usia sepuluh tahun. Sepuluh tahun ke atas, aku jumpa dengan seorang sahabat di sekitar daerah sini. Dia bilang aku tak cocok menyandang nama Lon Tong Bu Lim. Lalu dia memberiku nama Han Ko! Nama itulah yang kini kusandang! Tapi aku menyerah saja pada orang mau panggil yang mana boleh!”
“Kau dilahirkan di mana?!” Kembali Bayangan Tanpa Wajah ajukan tanya.
Murid Pendeta Sinting terdiam sesaat. “Aku lahir di.... Di....”
“Di mana?!” bentak Bayangan Tanpa Wajah karena Joko tidak segera lanjutkan ucapannya.
“Di kampung Nang Ku!” kata Joko dengan menahan tawa dalam hati.
Seperti halnya saat ditanya Ratu Selendang Asmara tengah menunggu siapa, Joko hanya membalik nama Mei Hua menjadi Hua Mei. Dan begitu ditanya oleh Bayangan Tanpa Wajah, karena merasa kesulitan untuk mencari nama, akhirnya Joko hanya membalik nama Baginda Ku Nang menjadi Nang Ku. Sementara mendengar jawaban murid Pendeta Sinting, kening hitam Bayangan Tanpa Wajah tampak berkerut. Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara saling lirik.
“Hem.... Selama hidup aku baru dengar nama kampung yang disebut pemuda ini! Jangan-jangan dia hanya mengarang!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati. Saat lain orang berwajah hitam legam ini kembali buka mulut ajukan tanya. “Kau dari perguruan mana?!”
“Ah.... Aku tidak masuk dalam perguruan mana pun! Aku hidup berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya! Cuma aku memang agak lama di daerah ini! Karena terus terang saja, aku punya seorang kekasih di daerah ini! Jadi tak mungkin aku teruskan perjalanan berkelana! Hanya....”
“Hanya apa?!” Kali ini yang menyahut adalah Ratu Selendang Asmara. Sementara Dewi Bunga Asmara tampak unjukkan wajah tak senang mendengar keterangan Joko. “Hanya aku tadi merasa menyesal! Kekasihku tak menepati janji! Kami telah sepakat untuk bertemu hari ini di tempat aku jumpa kalian tadi! Namun kalian tahu sendiri. Dia tidak datang untuk tepati janji! Padahal....”
“Cukup!” tukas Bayangan Tanpa Wajah. Dia melangkah mendekati murid Pendeta Sinting. Kuduk Joko jadi dingin. Namun sekuat tenaga dia coba menahan diri agar tidak gugup dan membuat orang curiga.
“Kau berkata dusta! Berpuluh-puluh tahun aku hidup di sini. Tapi belum pernah aku dengar kampung bernama Nang Ku!”
Joko tunjukkan tampang terkejut. Bukan karena orang telah tahu kalau dibohongi, namun karena seolah heran dengan keterangan orang. “Jadi kau belum pernah dengar Kampung Nang Ku?!” tanya Joko seraya tertawa bergelak. “Sekarang aku tanya, apakah kau dengar kampung bernama San Liang?!”
Bayangan Tanpa Wajah lagi-lagi kernyitkan kening. Perubahan sikap orang telah membuat Joko maklum. Dia alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. “Kalian pernah dengar?!”
Ratu Selendang Asmara tidak buka mulut menjawab atau membuat gerakan jawaban. Di sebelahnya Dewi Bunga Asmara gelengkan kepala. Joko kembali arahkan pandangan pada Bayangan Tanpa Wajah.
“Bagaimana?! Kau pernah dengar?!”
“Di daerah ini tak ada kampung bernama San Liang!”
“Hem.... Aku sekarang tak heran. Kalau kalian tak tahu Kampung San Liang, mana mungkin kalian akan tahu Kampung Nang Ku!” kata Joko seraya dongakkan kepala. Tangan kanannya diangkat lalu berucap. “Kalian pasti tahu Gunung Sim Yao In. Sebelah selatan gunung itu berjarak kira-kira seribu lima ratus tombak, ada sebuah dusun kecil yang dihuni beberapa orang. Itulah Kampung San Liang. Dari Kampung San Liang ke arah selatan lagi berjarak lima puluh tombak, ada sebuah kampung yang juga dihuni beberapa orang saja. Itulah Kampung Nang Ku! Kalau kalian tak percaya, aku bisa mengantar kalian! Tapi tidak hari ini. Sebab aku masih harus bertemu kekasihku untuk mengetahui duduk soalnya mengapa dia sampai tak datang tepati janji!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara saling pandang. Joko tersenyum lalu berkata. “Masih ada yang hendak kalian tanyakan?!”
“Kau bisa berlari cepat. Sementara kau tak berguru pada perguruan mana pun! Itu adalah hal yang mustahil!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Di kampung kelahiranku, meski hanya dihuni beberapa orang, namun setiap tujuh hari sekali diadakan lomba lari mengitari sebuah lapangan! Setiap pemenang akan mendapatkan hadiah. Malah untuk calon kepala kampung, dia harus orang yang paling cepat larinya! Itulah sebabnya setiap orang pasti berlatih lari tiap pagi dan sore. Selain untuk merebut hadiah, siapa tahu dia kelak bisa menjadi kepala kampung! Jadi harap tidak heran kalau aku bisa berlari cepat!”
Pendekar 131 pandang silih berganti pada ketiga orang yang ada di situ. Lalu tengadah dan berkata. “Hari sudah akan sore. Aku harus menemui kekasihku!” Joko luruskan kepala dan berpaling pada Dewi Bunga Asmara. Sepasang matanya melirik pada dada dan paha gadis cantik itu. Lalu tersenyum sembari kedipkan sedikit mata kirinya. Saat lain dia melangkah. Wajah si gadis tampak sedikit berubah namun bibirnya sunggingkan senyum.
“Jangan berani beranjak dari tempatmu!” Bayangan Tanpa Wajah menahan. Pendekar 131 hentikan langkah lalu menoleh. Tapi kali ini dia tak berusaha untuk angkat bicara.
“Aku tidak percaya pada semua keteranganmu! Pasti kau orang asing di negeri ini!” kata Bayangan Tanpa Wajah.
“Hem.... Aku tak aneh mendengar ucapanmu! Karena bukan sekali ini saja aku mendengarnya! Beberapa orang yang baru pertama kali melihatku pasti mengatakan seperti ucapanmu!”
“Aku harus mencobanya! Kalau benar-benar tak dapat menahan pukulanku, berarti bukan dia pemuda asing itu!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia angkat kedua tangannya. Sekonyong-konyong dia sentakkan tangan kiri kanan melepas pukulan jarak jauh ke arah murid Pendeta Sinting!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang deras menghampar. Meski Joko sudah waspada dan bisa menahan pukulan orang, namun karena tak mau dicurigai, dia sengaja tidak menghadang pukulan yang datang ke arahnya. Sebaliknya dia takupkan kedua tangannya di atas caping lebarnya. Saat bersamaan dia lorotkan tubuh lalu disentakkan ke bawah. Hingga saat itu juga sosoknya telungkup sejajar tanah! Namun demikian gerakannya itu menyelamatkannya dari gelombang yang datang menghajar.
"Brakk! Brakk!" Dua gugusan batu di belakang sana langsung pecah berantakan terhantam pukulan gelombang yang luput menghajar sasaran.
“Mengapa kalian hendak membunuhku?! Apa salah dan dosaku?! Apa ada ucapanku yang menyinggung perasaan kalian?! Apa ada tindakanku yang membuat kalian....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapannya, dua gelombang kembali telah melabrak ke arahnya. Tanah tampak berhamburan ke udara karena tersapu gelombang yang sengaja diarahkan menyusur tanah karena sosok Joko masih telungkup sejajar tanah.
“Celaka!” gumam Joko seraya mendelik.
Karena pukulan itu dilepas dari jarak yang tidak jauh, sementara posisi Joko dalam keadaan telungkup, maka sulit baginya untuk membuat gerakan menghindar. Sebab biarpun dia membuat gerakan melenting Ke udara, sambaran gelombang itu pasti masih akan melabraknya! Maka karena satu-satunya jalan adalah menghadang pukulan yang datang, terpaksa Joko angkat kedua tangannya lalu disorong ke depan.
Bummm! Bummm!
Terdengar ledakan dua kali. Tanah yang tadi hanya tersapu kini muncrat sampai satu setengah tombak ke udara. Bukan hanya itu saja, mungkin masih mengira orang tidak akan menghadang pukulannya, Bayangan Tanpa Wajah tidak siap menahan bentroknya pukulan. Hingga begitu bentrok pukulan terjadi, sosoknya sempat terhuyung tiga langkah ke belakang. Saat bersamaan, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil terus tekan caping lebarnya karena khawatir akan tersapu bias bentroknya pukulan. Dan begitu melihat huyungan sosok Bayangan Tanpa Wajah, dengan mimik seolah tak mengerti dia angkat suara.
“Apa yang terjadi...?!”
Bayangan Tanpa Wajah tegak dengan mata mendelik berkilat dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak. “Hem.... Pemuda ini ternyata membekal ilmu! Namun dia coba menutupi dengan lagak konyol!” batin Ratu Selendang Asmara. “Jangan-jangan dugaan Bayangan Tanpa Wajah benar jika pemuda inilah orang asing itu!”
“Han Ko!” bentak Ratu Selendang Asmara. “Kami tidak akan membuat urusan denganmu meski dunia kami hanya ada dua pilihan yaitu membunuh dan dibunuh! Beri keterangan yang jelas di mana kau sembunyikan orang yang bernama Yang Kui Tan! Jika itu kau lakukan, maka kau akan kubebaskan dalam urusan ini!”
“Nek.... Jangan membuatku jadi bingung dengan pertanyaan yang tak kumengerti! Aku tak kenal dengan orang yang kau sebut!”
“Berarti kau pilih masuk duniaku! Membunuh atau dibunuh!”
“Tidak, tidak!” kata Joko sembari geleng kepala. “Aku tak pilih duniamu! Karena duniaku lebih asyik.... Tak ada kata bunuh-bunuhan! Yang ada kata mesra-mesraan!”
Belum sampai ucapan Joko selesai, Bayangan Tanpa Wajah sudah membuat gerakan melompat. Bukan ke arah Joko melainkan mendekati Ratu Selendang Asmara. Saat lain dia berbisik. “Aku makin yakin pemuda inilah orang asing itu. Tapi ingat, jangan sampai dia mampus! Kita hanya perlu melumpuhkannya lalu kita korek keterangan dari mulutnya!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. Kejap lain kedua orang tua ini telah angkat kedua tangan masing-masing.
“Aku sudah bilang tak mau masuk dunia kalian! Mengapa kalian sepertinya memaksa?!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tidak ada yang menyahut. Sebaliknya cepat sentakkan tangan masing-masing melepas satu pukulan!
TERDENGAR deruan dua gelombang luar biasa ganas. Dua angin berkiblat laksana prahara. Untuk kesekian kalinya udara di tempat itu disamaki muncratan tanah yang tersapu gelombang. Murid Pendeta Sinting tak punya pilihan lain kecuali harus menghadang pukulan yang datang. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan serta-merta lepaskan pukulan dengan dorong kedua tangannya. Dua gelegar segera terdengar saat pukulan yang dilepas Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah bentrok dengan pukulan jarak jauh yang dilepas Joko.
Sosok Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tampak tersurut dua langkah dengan wajah sama berubah pucat. Tangan masing-masing orang bergetar keras. Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting juga tersapu dan mundur dua tindak. Paras wajahnya juga pias. Sementara di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara segera melompat begitu bentrok pukulan terjadi. Namun entah mengapa, begitu ledakan terdengar, gadis cantik bertubuh menggoda ini bukannya berpaling ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menoleh ke tempat Joko tadi tegak berdiri menghadang pukulan! Wajahnya jelas membayangkan rasa khawatir dan cemas!
“Hem.... Aku sekarang jadi yakin....” Ratu Selendang Asmara bergumam dengan kepala menoleh pada Bayangan Tanpa Wajah. “Pemuda ini membekal ilmu tinggi! Kita tak boleh memandang sebelah mata kalau tidak ingin mendapat celaka!”
“Tapi ingat! Keterangan dari mulutnya sangat kita perlukan! Kalau sampai dia mampus, lepas pula apa yang kita inginkan!” sahut Bayangan Tanpa Wajah. “Kita coba dengan bentrok langsung!”
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah segera berkelebat ke depan. Ratu Selendang Asmara tidak menunggu. Begitu Bayangan Tanpa Wajah berkelebat, dia segera pula melesat ke depan.
Joko tak mau bertindak ayal. Dia tidak menunggu datangnya pukulan lawan. Begitu melihat gerakan orang berkelebat, dia cepat pula melompat dan menyongsong. Tangan kiri kanan menghadang pukulan Bayangan Tanpa Wajah, sementara kaki kanannya membuat gerakan menghadang sergapan kedua tangan Ratu Selendang Asmara! Sergapan Joko membuat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara sempat terkesiap kaget karena mereka sama sekali tidak menduga. Hingga mereka berdua lepaskan pukulan tanpa pengerahan tenaga dalam penuh karena telah dipotong oleh sergapan gerakan murid Pendeta Sinting.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. Tubuh Pendekar 131 mental balik dan terhuyung sesaat. Namun segera dapat kuasai diri meski dia merasakan dadanya nyeri dan kedua tangan serta kaki kanannya laksana menghantam dinding kokoh. Aliran darahnya menyentak-nyentak dan mulutnya tampak terbuka menutup megap-megap!
Di pihak lain, tubuh Bayangan Tanpa Wajah mencelat terbang seraya perdengarkan seruan tertahan. Orang berwajah hitam ini memang tidak sampai jatuh menghantam tanah. Namun karena sewaktu lepaskan pukulan dalam keadaan belum siap betul, maka tak ampun lagi dia merasakan dadanya sesak dan kedua tangannya lunglai. Dia cepat salurkan tenaga dalam dan mengurut dadanya ketika merasakan perutnya mual tanda ia mengalami cedera dalam walau tidak parah.
Di sebelahnya, begitu benturan terjadi, kedua tangan Ratu Selendang Asmara tampak terlempar balik ke belakang. Hal ini membuat sosoknya terputar di udara sebelum akhirnya terpelanting di atas udara. Untung nenek ini cepat membuat gerakan jungkir balik satu kali, hingga meski sempat terhuyung-huyung kala mendarat di atas tanah, namun tidak sampai terjerembab!
“Harap dimaafkan.... Aku tidak punya waktu banyak untuk terus berada di sini! Aku harus menemui kekasihku...,” ujar Joko.
“Kau tak akan meninggalkan tempat ini tanpa menjawab jujur pertanyaan kami!” sahut Ratu Selendang Asmara. Si nenek telah sentakkan selendang hitam di pundaknya. Selendang hitam panjang itu diputar-putar perdengarkan deruan angker. Tidak jauh dari Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah memandang tajam dengan mulut terkancing rapat. Kedua tangannya menakup di atas kepala.
Pendekar 131 sempat terkesiap ketika melihat paras wajah Bayangan Tanpa Wajah. Karena wajah orang ini berubah-ubah. Sesaat tampak membentuk seperti raut wajah orang biasa, namun saat lain berubah menjadi tanpa bentuk. Hal ini berlangsung terus menerus. Inilah tanda jika Bayangan Tanpa Wajah telah dilanda kemarahan besar!
Mendadak Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki kanannya. Dari takupan kedua tangannya melesat asap hitam ke udara. Dengan cepat asap hitam menukik dan menghantam tanah. Begitu bersentuhan dengan tanah, asap hitam membentuk dua bayangan sosok manusia tanpa wajah. Bayangan Tanpa Wajah buka takupan kedua tangannya lalu disentakkan ke depan. Saat yang sama dua sosok bayangan hitam tanpa wajah ikut pula gerakkan kedua tangan masing-masing. Bukan hanya sampai di situ, begitu lepas pukulan, dua sosok bayangan hitam tanpa wajah segera membuat gerakan berputar-putar. Kini dua sosok bayangan hitam itu berubah menjadi beberapa bayangan hitam!
Tiga gelombang asap hitam menyergap ganas ke arah Pendekar 131. Saat bersamaan dua sosok bayangan hitam yang berputar dan berubah menjadi beberapa bayangan terus mengitari sosok murid Pendeta Sinting. Mereka seolah tidak terpengaruh dengan gelombang asap hitam yang baru saja melesat.
Pendekar 131 cepat siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Saat itu juga kedua tangannya berubah disemburati warna kekuningan. Namun Joko tidak bisa benar-benar pusatkan perhatian. Karena perhatiannya pecah oleh beberapa bayangan hitam yang terus berputar dan mendekat ke arahnya. Dia jadi serba salah. Kalau menghadang pukulan orang, dia khawatir beberapa bayangan hitam yang berputar akan langsung menyergapnya. Namun kalau tidak menghadang pukulan orang, niscaya jiwanya tidak akan selamat! Dalam keadaan begitu rupa, Joko berpikir cepat. Dia segera melepas pukulan ‘Lembur Kuning’. Dan begitu kedua tangannya telah bergerak, dia melompat ke atas.
"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang dahsyat segera menyambar disertai bertebarannya hawa panas luar biasa. Sinar warna kuning berkiblat silaukan mata.
Tiga gelombang asap hitam tampak tertahan di atas udara. Lalu tersapu begitu sinar kuning berkiblat. Tiga gelombang asap hitam bertabur berantakan. Sinar kuning mental lalu porak-poranda! Terdengar tiga gelegar ledakan. Sosok Bayangan Tanpa Wajah terbang tersapu sampai satu setengah tombak ke belakang. Bersamaan dengan itu putaran beberapa bayangan hitam terhenti lalu ikut bergerak mundur beberapa langkah! Kedua kaki Bayangan Tanpa Wajah tampak menekuk lalu jatuh terduduk dengan mulut semburkan darah. Hebatnya, beberapa bayangan hitam yang sesaat mundur, tiba-tiba bergerak dan berputar lagi! Malah putarannya makin cepat dan Joko laksana hanya melihat bayangan samar-samar!
Saat itulah Pendekar 131 mendengar beberapa deruan dahsyat. Joko tak mau menunggu. Dia kembali siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ meski sosoknya sempat terpelanting jungkir balik di atas udara. Namun belum sampai kedua tangan Joko bergerak lepaskan pukulan ke arah beberapa bayangan di bawah, satu benda hitam meliuk ganas perdengarkan suara angker. Murid Pendeta Sinting urungkan niat untuk lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Sebaliknya segera hantamkan kedua tangannya ke arah benda hitam yang bukan lain adalah selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara! Namun ternyata gerakan selendang hitam lebih cepat dari hantaman kedua tangan Joko. Hingga tanpa ampun lagi ujung selendang hitam menyambar ke arah lambung murid Pendeta Sinting.
"Breett!" Pakaian Joko langsung robek menganga. Saat yang sama beberapa gelombang dahsyat menyambar dari bawah! Joko tersentak. Kedua tangannya yang belum sempat menghantam cepat ditarik pulang lagi lalu dihantamkan ke arah beberapa gelombang yang datang.
Bummm! Bummmm! Bummm! Bummmm!
Terdengar beberapa kali ledakan keras. Beberapa bayangan hitam langsung perdengarkan suara laksana api terkena siraman air. Lalu kepulkan asap hitam membubung ke angkasa. Saat itulah terdengar bentakan keras dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Asap hitam menukik deras lalu melesat dan masuk ke dalam takupan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah yang tampak duduk bersila dengan mata terpejam.
Di atas udara sana, sosok murid Pendeta Sinting terbanting dua kali. Saat lain sosoknya melayang ke bawah. Ratu Selendang Asmara tak menunggu lagi. Tangan kanannya segera bergerak. Selendang hitam meliuk ganas. Joko masih dapat menangkap gerakan selendang hitam. Namun sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan menghadang atau berkelit. Ratu Selendang Asmara menyeringai. Tangan kanannya yang memegang selendang hitam bergerak dua kali. Tahu-tahu tukikan sosok murid Pendeta Sinting tertahan. Joko melirik karena dia tidak bisa bernapas. Ternyata bagian perut dan dadanya telah terlilit selendang hitam si nenek!
Walau masih menahan sakit pada kedua tangan dan dadanya akibat bentrok pukulan, namun Joko masih berusaha untuk hantamkan kedua tangannya untuk memotong gerakan selendang. Tapi si nenek lebih cepat bergerak. Dia sentakkan tangan kanannya. Selendang hitam yang melilit perut dan dada murid Pendeta Sinting pun terlepas. Namun bersamaan itu sosok Joko menukik deras dan akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan mulut kucurkan darah!
Bayangan Tanpa Wajah tak sia-siakan kesempatan. Dia segera melesat ke depan dengan posisi masih duduk bersila. Tangan kiri kanannya berkelebat hendak sarangkan dua totokan dahsyat. Pendekar 131 hanya bisa memandang pada gerakan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah tanpa bisa membuat gerakan apa-apa!
"Takkkk!" Tangan kanan Bayangan Tanpa Wajah lakukan totokan pada lambung kiri Pendekar 131. Sementara tangan kiri terus berkelebat hendak sarangkan totokan pada pundak kanan murid Pendeta Sinting.
Joko berseru tertahan. Dia merasakan lambungnya kaku dan separo anggota tubuhnya sebelah kiri tegang tak bisa digerakkan! Namun Joko masih coba gerakkan tangan kanan untuk menghadang kelebatan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Tapi gerakan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah rupanya lebih cepat. Hingga baru saja murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya, tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sudah menyusup ke arah ketiaknya!
Satu telunjuk jari lagi tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sarangkan totokan, mendadak satu bayangan putih berkelebat. Tidak terdengar adanya gelombang yang menyambar. Namun bersamaan itu sosok tubuh murid Pendeta Sinting tersapu ke belakang lalu menyusur tanah dan akhirnya menghantam satu gugusan batu di belakang sana. Namun sapuan itu membuat dirinya selamat dari totokan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan dengusan keras. Dia cepat berpaling ke samping kanan. Dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa adanya bayangan putih. Namun Bayangan Tanpa Wajah tidak peduli. Dia maklum kalau ada orang yang ikut campur urusannya. Hingga tanpa melihat siapa adanya orang, dia segera hantamkan kedua tangannya. Ratu Selendang Asmara terlengak melihat munculnya orang. Tanpa pedulikan pula siapa adanya orang, dia sentakkan selendang di tangan kanannya. Selendang hitam meliuk ganas.
Orang berbaju putih membuat gerakan berputar satu kali. Tangan kiri kanannya bergerak. Gelombang yang menggebrak dari kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah langsung ambyar lenyap! Bahkan bersamaan itu sosok Bayangan Tanpa Wajah terjengkang jatuh di atas tanah. Di lain pihak, tiba-tiba gerakan selendang hitam Ratu Selendang Asmara laksana dihempas gelombang luar biasa dan mental balik! Tangan kanan si nenek terlempar ke belakang.
Orang berbaju putih gerakkan tangan kirinya sekali lagi ke arah ujung selendang yang ikut tertarik ke belakang. Selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara meliuk dan tahu-tahu melilit pada tubuh si nenek sendiri! Orang berbaju putih putar pandangan sesaat. Lalu berkelebat ke arah jatuhnya murid Pendeta Sinting. Tanpa perdengarkan suara, dia gerakkan tangan kanannya. Tahu-tahu sosok tubuh Joko sudah berada di pundak kanan orang.
Bayangan Tanpa Wajah menggeram marah. Dia cepat bergerak duduk. Kembali kedua tangannya lepas pukulan. Ratu Selendang Asmara tak berdiam diri. Tangan kirinya ikut lepas pukulan. Di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara yang sejak tadi hanya melihat seraya bergerak mundur hindarkan diri dari bias bentroknya pukulan, segera pula hantamkan kedua tangan begitu melihat orang berbaju putih angkat tubuh murid Pendeta Sinting. Gabungan pukulan tiga orang melesat angker ke arah orang berbaju putih. Di depan sana, orang berbaju putih hanya memandang sesaat. Tanpa berusaha menghadang pukulan, dia sentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat ke samping lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Blarr! Blarrr! Blarrr!" Gugusan batu di belakang mana tadi Joko terkapar langsung semburat. Tanahnya ikut bertabur menutup pemandangan.
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara hendak mengejar. Namun mendadak mereka urungkan niat masing-masing tatkala mereka berdua merasakan sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan! Di lain pihak, karena tidak merasakan seperti apa yang dialami Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat.
“Tahan!” seru Ratu Selendang Asmara, membuat Dewi Bunga Asmara hentikan gerakan. Dia berpaling pada gurunya yang perlahan-lahan melorot jatuh di atas tanah dengan selendang masih melilit tubuhnya. “Bang Sun Giok! Cepat lepas lilitan selendang ini! Lalu lepas pula totokan keparat di tubuhku!” Ratu Selendang Asmara berteriak.
“Aneh.... Bagaimana mungkin dia bisa terkena totokan?!” kata Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara dalam hati seraya melompat ke arah gurunya. Dia cepat lepaskan lilitan selendang pada tubuh Ratu Selendang Asmara.
“Apa lagi yang kau tunggu! Lepas totokan di empat jalur darah punggungku!” kata Li Muk Cin alias Ratu Selendang Asmara ketika mendapati Dewi Bunga Asmara masih diam memperhatikan.
Walau masih merasa heran, namun Dewi Bunga Asmara cepat melangkah ke belakang. Kedua tangannya bergerak di empat tempat punggung Ratu Selendang Asmara. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak pejamkan kedua matanya. Dan begitu Dewi Bunga Asmara telah gerakkan kedua tangannya, si nenek menghela napas panjang. Perlahan-lahan sepasang matanya dibuka lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah Bayangan Tanpa Wajah yang duduk bersimpuh tak bergerak-gerak. Ratu Selendang Asmara duduk bersila di depan Bayangan Tanpa Wajah. Saat bersamaan kedua tangan-nya bergerak. Jari telunjuk kedua tangannya dilipat lalu dihantamkan perlahan pada empat tempat di sekitar dada dan lambung Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah mendongak. “Orang itu melepas pukulan ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ tingkat tiga!”
“Bagaimana mungkin? Bukankah satu-satunya orang yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ sudah dikabarkan tewas karena beberapa puluh tahun terakhir tidak terdengar lagi beritanya?!” sahut Ratu Selendang Asmara dengan wajah keheranan.
“Kabar yang tersiar tidak selamanya benar. Terbukti masih ada orang yang bisa melepas ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!”
“Jadi...?”
“Aku yakin orang tadi itu adalah Bu Beng La Ma! Satu-satunya orang di daratan Tibet yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!”
“Hem.... Ini satu tanda kalau rencana kita akan terganjal! Mustahil kita mampu berhadapan dengan Bu Beng La Ma!”
“Ini juga satu isyarat jika pemuda itulah yang kita cari! Tak mungkin Bu Beng La Ma turun tangan tanpa ada sesuatu yang sangat penting! Apalagi akhir-akhir ini namanya sudah lenyap dari peredaran rimba persilatan. Bahkan hampir semua orang sudah menduga kalau dia telah tewas ditelan usia!” kata Bayangan Tanpa Wajah seraya beranjak bangkit mengikuti Ratu Selendang Asmara yang bangkit dahulu.
“Lalu apa yang harus kita perbuat?!”
“Kita teruskan rencana pencarian ini! Tak mungkin Bu Beng La Ma akan terus mengikuti ke mana langkah pemuda itu!” jawab Bayangan Tanpa Wajah seraya menahan dadanya dengan kedua tangan karena masih terasa nyeri.
“Selama ini aku hanya mengenal Bu Beng La Ma tanpa tahu di mana tempat tinggalnya! Kau tahu di mana tokoh itu berdiam diri?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
“Mendiang guruku pernah bercerita. Bu Beng La Ma tinggal di sebuah kuil di puncak bukit. Karena kuil itu tidak beratap, kalangan rimba persilatan saat itu menamakannya Kuil Atap Langit.”
“Tempatnya...?!”
“Perjalanan dua hari dua malam dari pesisir ke arah utara!”
“Kita harus ke sana!” kata Ratu Selendang Asmara. “Kita tunggu sampai pemuda itu turun bukit! Dan sedapat mungkin kita hindari bentrok dengan Bu Beng La Ma!”
Tanpa menunggu jawaban dari Bayangan Tanpa Wajah, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewi Bunga Asmara. “Sun Giok! Kau pulanglah! Perjalanan ini sangat berbahaya!”
Dewi Bunga Asmara geleng kepala. “Aku ikut!”
Karena sudah tahu bagaimana sifat muridnya, meski amat berat pada akhirnya Ratu Selendang Asmara tak bisa mencegah. “Tapi kau harus berhati-hati! Jangan berani lancang melepas pukulan kalau tidak dalam keadaan terpaksa! Kau kuajak hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi padaku!”
Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala meski dalam hati dia mengatakan sebaliknya. “Aku sudah besar. Aku tahu apa yang harus kulakukan!”
“Kita berangkat sekarang!” kata Ratu Selendang Asmara. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. Saat lain si nenek mendahului berkelebat. Disusul kemudian oleh Dewi Bunga Asmara. Bayangan Tanpa Wajah menyusul di belakang.
YANG Mulia Baginda Ku Nang melangkah mondarmandir di ruangan tidak begitu besar yang hanya diterangi sebuah lampu kecil, hingga suasana ruangan itu tampak temaram. Ruangan itu terletak di bagian samping ruang tidur yang besar. Namun ruangan di mana sekarang Baginda Ku Nang berada lebih penting keberadaannya. Karena di ruangan inilah Baginda Ku Nang meletakkan semua pusaka kerajaan. Di ruangan ini pula Baginda Ku Nang sering menyendiri. Yang Mulia Baginda Ku Nang hentikan langkahnya ketika telinganya mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati ruangan di mana dia berada. Saat lain pintu ruangan diketuk orang.
“Masuk!” kata Baginda Ku Nang.
Pintu ruangan berderit membuka. Cahaya lampu terang menerobos masuk dari lampu di luar. Satu sosok tubuh kekar tampak tegak di ambang pintu. Orang ini bungkukkan tubuh.
“Panglima Su Jin! Masuklah!” Baginda Ku Nang kembali buka mulut.
Orang di ambang pintu yang dipanggil Panglima Su Jin kembali bungkukkan tubuh. Dia adalah seorang laki-laki berumur empat puluh tahun. Wajahnya garang. Rambutnya disanggul tinggi. Dia mengenakan pakaian kebesaran seorang panglima. Tanpa buka mulut, dia melangkah masuk. Setelah menutup pintu dia melangkah mendekati Baginda Ku Nang yang begitu buka mulut langsung balikkan tubuh.
“Bagaimana?! Apakah pekerjaan itu selesai?!” Baginda Ku Nang ajukan tanya dengan tubuh masih membelakangi Panglima Su Jin. Tangan kirinya tampak dirangkapkan di depan dada, sementara tangan kanan mengelus jenggotnya.
“Pekerjaan itu selesai, Yang Mulia!”
Baginda Ku Nang cepat balikkan tubuh menghadap Panglima Su Jin. Sepasang matanya memandang tajam. Bukan pada paras wajah orang di hadapannya, melainkan pada kedua tangan orang yang memegang dua kotak kulit.
“Hem.... Bagus! Aku ingin lihat hasilnya!” kata Baginda Ku Nang. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Panglima Su Jin memberikan dua kotak di tangannya. Dengan tersenyum Baginda Ku Nang membawa dua kotak kulit ke sebuah meja. Lalu perlahan-lahan dua kotak kulit diletakkan berdampingan. Saat lain tangan kiri kanan sang Baginda telah bergerak membuka dua kotak kulit di atas meja. Pada masing-masing kotak, terlihat satu gelang agak besar terbuat dari baja. Lingkaran pada setiap gelang itu sebesar jari telunjuk berwarna putih. Pada setiap gelang terlihat satu sambungan yang nyaris tidak tampak. Di bawah gelang terlihat kain beludru berwarna merah.
“Hem.... Nyaris sempurna tanpa cacat!” gumam Baginda Ku Nang dalam hati sambil anggukkan kepala. “Panglima! Mendekatlah kemari!”
Panglima Su Jin melangkah mendekati Baginda Ku Nang lalu tegak di sampingnya. Matanya memandang silih berganti pada gelang di dalam kotak kulit.
“Kau tunjuk mana yang asli!” kata Baginda Ku Nang.
Panglima Su Jin sorongkan kepalanya. Untuk beberapa lama dia pentangkan mata memandang silih berganti pada gelang baja. “Maaf, Yang Mulia.... Mataku tak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang buatan!” ujar Panglima Su Jin seraya gelengkan kepala.
Baginda Ku Nang tertawa perlahan. “Mundurlah!” perintahnya.
Panglima Su Jin surutkan langkah. Baginda Ku Nang maju lalu mengambil salah satu gelang di dalam kotak. Dia pegang bagian samping kiri kanan sambungan gelang yang nyaris tidak terlihat. Perlahan-lahan Baginda Ku Nang menarik sambungan gelang. Sambungan gelang bergerak ke samping kanan kiri. Bersamaan itu terlihat sebuah gulungan kain kecil berwarna putih di dalam batangan gelang. Baginda Ku Nang menarik gulungan kain di batangan gelang. Kain itu agak keras hingga mudah untuk menarik dari luar. Dengan masih sunggingkan senyum, sang Baginda membuka gulungan kain. Ternyata kain putih itu kosong tanpa ada tulisan atau gambar!
Baginda Ku Nang memperhatikan sesaat. Lalu angkat kain putih dan diterawangkan pada lampu kecil di sudut meja. Dia anggukkan kepala lalu kembali menggulung kain putih hingga kecil dan saat lain dimasukkan kembali ke dalam batangan gelang. Kedua kotak kulit ditutup kembali. Lalu Baginda Ku Nang putar tubuh menghadap Panglima Su Jin.
“Bagaimana dengan si pembuatnya?!”
Panglima Su Jin bungkukkan tubuh. “Sesuai perintah, si pembuat telah kami kubur!”
“Bagus! Ingat, Panglima! Hanya kau seorang yang tahu urusan ini! Kalau mulutmu membuka, kau tahu akibatnya!”
Panglima Su Jin anggukkan kepala. “Kami tahu apa akibatnya, Yang Mulia! Harap Yang Mulia tidak meragukan tindakan kami!”
“Hem.... Sekarang keluarlah! Mulai malam ini perketat penjagaan istana. Jangan biarkan masuk orang yang tidak dikenal! Lalu cari kabar mengenai beberapa orang sahabatku yang mendapat tugas mengawasi Perguruan Shaolin. Malam ini aku ada urusan. Siapa pun yang hendak menemuiku, katakan suruh menunggu sampai besok!”
Panglima Su Jin kembali anggukkan kepala. Saat lain dia melangkah ke arah pintu. Setelah membungkuk sekali lagi, dia tutupkan pintu dan melangkah menjauhi ruangan. Begitu pintu tertutup, Baginda Ku Nang balikkan tubuh. Dia mengambil salah satu kotak kulit lalu membuka sebuah almari kecil di pojok ruangan. Kejap lain dia melompat kembali mendekati meja. Lampu kecil dimatikan. Beberapa saat kemudian dia keluar dari ruangan dengan mengenakan pakaian hitam-hitam. Tangan kanannya menjinjing kotak kulit.
Di kaki bukit, sosok berpakaian hitam-hitam itu tampak tegak bersandar pada sebatang pohon. Sesekali kepalanya bergerak memandang ke satu jurusan. Meski suasana gelap, namun sosok ini tampaknya bisa melihat keadaan. Terbukti ketika satu sosok hitam berkelebat ke arahnya, sosok yang tegak bersandar ke batangan pohon ini langsung menyongsong.
“Amitaba.... Aku sudah merasa khawatir, Yang Mulia!” kata laki-laki yang tadi bersandar di batangan pohon seraya takupkan kedua tangan di depan dada.
Orang yang baru muncul dan ternyata laki-laki berpakaian hitam-hitam yang tangan kanannya membawa sebuah kotak kulit dan bukan lain adalah Yang Mulia Baginda Ku Nang tertawa pendek. “Kita telah melangkah menempuh bahaya, Guru Besar Liang San! Dan aku tak mau semuanya berakhir dengan sebuah pengkhianatan!”
“Amitaba.... Terima kasih, Yang Mulia!” kata lakilaki yang tadi tegak bersandar di batangan pohon yang ternyata adalah Guru Besar Liang San.
“Kau telah menemukan tempat yang aman dan sesuai untuk menyimpan kotak ini?!” tanya Baginda Ku Nang.
Guru Besar Liang San menjawab dengan anggukkan kepala. Baginda Ku Nang tersenyum lalu memberikan kotak kulit di tangannya pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San memandang sesaat dengan sikap bimbang. Baginda Ku Nang lagi-lagi tersenyum.
“Kau yang memilih tempat. Kuharap kau yang membawanya pula!”
Kebimbangan pada raut wajah Guru Besar Liang San lenyap seketika. Dia segera sambuti kotak kulit dari tangan Baginda Ku Nang. Dia memandang sejenak lalu anggukkan kepala dan berucap. “Harap Yang Mulia mengikutiku....”
Baginda Ku Nang memberi isyarat dengan lempangkan tangan kanannya mempersilakan Guru Besar Liang San bergerak dahulu. Tanpa menunggu lama, Guru Besar Liang San berkelebat. Baginda Ku Nang mengikuti dari belakang setelah putar pandang berkeliling. Setelah berlari kira-kira seratus tombak, pada sebuah aliran sungai kecil, Guru Besar Liang San hentikan larinya. Baginda Ku Nang ikut hentikan gerakan. Lalu mendekati Guru Besar Liang San.
“Kau percaya tempat ini aman?!” tanya Baginda Ku Nang.
“Aku telah menyelidik tempat ini beberapa purnama. Harap Yang Mulia percaya!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San melangkah mendekati sebuah batu padas. Sang Baginda mengikuti dari belakang dengan mata terus memperhatikan berkeliling. Guru Besar Liang San jongkok di dekat batu padas. Perlahan tangan kirinya bergerak. Batu padas terangkat. Terlihatlah satu batu yang di tengahnya berlobang agak besar.
“Hem.... Ternyata dia sudah menyiapkan tempat! Jadi dia benar-benar telah merencanakan semua ini dengan cermat!” kata sang Baginda dalam hati.
Guru Besar Liang San pandangi kotak kulit di tangan kanannya. Lalu beralih pada Baginda Ku Nang yang tegak tidak jauh di sampingnya. Rupanya sang Baginda dapat menangkap arti pandangan orang. Hingga seraya tersenyum dia berkata.
“Agar tidak terjadi ganjalan hati, harap Guru Besar Liang San sudi membuka kotak itu!”
Paras wajah Guru Besar Liang San tampak berubah. Namun kotak kulit segera diletakkan di atas tanah. Perlahan-lahan dia buka kotak kulit. Sepasang matanya membesar memperhatikan gelang di dalam kotak. Dada Baginda Ku Nang berdebar. Dia tidak perhatikan gelang di dalam kotak, melainkan pada gerakan kepala Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tutupkan kembali kotak kulit. Kepalanya berpaling tengadah ke arah sang Baginda dengan bibir tersenyum. Baginda Ku Nang menghela napas. Dengan cepat Guru Besar Liang San angkat kotak kulit. Lalu diletakkan ke dalam lobang batu. Tangan kirinya yang masih menahan batu padas segera diturunkan. Batu padas kembali ke tempatnya seperti se mula. Lobang di dalam batu lenyap tidak kelihatan.
“Yang Mulia.... Tempat ini hanya kita berdua yang tahu. Harap tidak mengambilnya tanpa adanya salah satu dari kita!”
“Aku mengerti, Guru Besar Liang San! Dan kita harus cepat tinggalkan tempat ini!”
Baginda Ku Nang berkelebat terlebih dahulu. Guru Besar Liang San tersenyum lalu melesat menyusul. Pada satu tempat, Baginda Ku Nang berhenti dan langsung buka mulut. “Kau masih tetap dengan rencanamu untuk turun tangan sendiri memburu setengah dari peta wasiat itu?!”
“Perjalanan ini telah sampai pada pertengahan. Akan sia-sia semua yang telah kita lakukan kalau berhenti sampai di sini! Kuharap Yang Mulia bersabar menunggu kabar! Begitu aku berhasil, aku akan segera menemuimu!”
“Tapi....”
“Aku tahu, Yang Mulia.... Hari ganda sepuluh memang enam hari di muka. Berarti aku cuma memiliki waktu enam hari. Tapi aku yakin, dalam kurun waktu enam hari ini, aku bisa mendapatkan setengah dari peta wasiat itu! Sekarang juga aku akan mulai melakukan perjalanan!”
Baginda Ku Nang anggukkan kepala tanpa perdengarkan suara. Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. Tanpa berkata lagi, dia segera berkelebat tinggalkan Baginda Ku Nang yang perhatikan kepergian Guru Besar Liang San dengan bibir sunggingkan senyum!
KARENA tahu dirinya diselamatkan, Pendekar 131 tidak berusaha buka mulut bertanya pada orang yang membawanya lari. Bahkan dia juga tidak berusaha untuk mengenali paras wajah orang dengan angkat kepalanya yang kini menggelantung tepat di dada orang. Sebaliknya dia pejamkan mata lalu salurkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dada sekaligus untuk membuyarkan totokan pada lambung kirinya. Namun setelah agak lama kerahkan tenaga dalam, murid Pendeta Sinting hanya bisa kurangi rasa nyeri pada dadanya dan gagal buyarkan totokan yang bersarang pada lambung.
“Jangan paksakan diri untuk membuyarkan totokan itu, Anak Muda!” Tiba-tiba terdengar teguran dari mulut orang yang membawa lari ketika Pendekar 131 berusaha lagi kerahkan tenaga dalam untuk membuyarkan totokan orang. “Ilmumu memang tinggi, namun bukan berarti kau mudah untuk melepaskan diri dari totokan itu! Dibutuhkan cara sendiri untuk lakukan hal itu!”
Pendekar 131 urungkan niat. Perlahan-lahan dia buka sepasang matanya lalu dia coba angkat kepala untuk mengenali orang. Namun baru saja kepalanya bergerak, terdengar lagi ucapan.
“Kau nanti akan tahu. Tak usah khawatir atau cemas!”
Murid Pendeta Sinting batalkan angkat kepala. Dan tanpa banyak mulut, dia pejamkan lagi matanya. Joko tidak tahu ke mana arah yang tengah dituju orang yang membawanya lari. Dia baru buka matanya yang membawanya terasa memperlambat larinya. Malah kini melangkah. Karena saat itu suasana telah gelap, Joko tidak tahu tengah berada di mana. Yang jelas dia merasa ada di tempat ketinggian karena begitu arahkan pandangan berkeliling, yang terlihat adalah hamparan tempat kosong!
Pendekar 131 mulai khawatir. Dia putar kepala melihat ke bawah. Samar-samar matanya melihat tangga naik dari batu. Tapi Joko segera pejamkan matanya kembali tatkala merasakan orang yang membawanya mulai berlari lagi hingga membuat kepalanya pening jika terus memandang ke arah tangga naik di bawahnya. Joko baru buka matanya kembali ketika merasakan orang yang membawanya hentikan langkah dan perlahan-lahan meletakkan tubuhnya di atas lantai batu. Joko cepat bergerak hendak bangkit. Dia lupa akan keadaan dirinya yang masih tertotok lambung kirinya hingga separo tubuhnya tak bisa digerakkan.
“Jangan bergerak dulu, Anak Muda!” Terdengar suara teguran.
Saat yang sama Joko merasakan sentuhan lembut pada dua tempat di lambungnya. Bersamaan itu Joko merasakan aliran darahnya lancar. Ketegangan pada lambung kirinya lenyap! Merasa sudah bisa bergerak, Joko cepat bergerak duduk. Pandang matanya membentur pada satu sosok tubuh seorang kakek mengenakan jubah putih duduk bersila di hadapannya. Parasnya agak tirus. Kumis dan jenggotnya panjang serta putih. Rambutnya yang juga telah memutih disanggul tinggi ke atas dan diikat dengan kain warna merah. Sepasang matanya agak sipit. Tepat di tengah keningnya terdapat bundaran sebesar ibu jari berwarna putih mengkilat.
“Terima kasih atas bantuanmu, Kek...,” kata Joko sambil menjura.
Orang tua yang di keningnya terdapat gambar bundaran warna putih berkilat tersenyum lalu balas anggukkan kepala.
“Kek.... Boleh aku tahu siapa dirimu?!”
“Itu tidaklah begitu penting, Anak Muda. Sebaliknya justru aku yang harus ajukan tanya untuk tahu siapa dirimu dan mengapa sampai terlibat bentrok dengan tokoh negeri ini yang dikenal orang dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara....”
Pendekar 131 berpikir sesaat. Dia memandang agak lama pada orang tua yang duduk di hadapannya. Orang yang dipandang tampaknya tahu apa yang dipikirkan murid Pendeta Sinting. Dengan tersenyum dia buka mulut.
“Anak muda.... Kau tak usah memaksakan diri kalau merasa keberatan dengan pertanyaanku tadi....”
Joko gelengkan kepala. “Dia telah menyelamatkan aku. Rasanya tidak pantas kalau aku berdusta padanya. Apalagi kulihat sikapnya seperti orang baik-baik!” kata Joko dalam hati lalu buka suara. “Aku Joko Sableng, Kek....”
“Hem.... Dari nama dan paras wajahmu, tentu kau bukan berasal dari negeri ini!” kata si orang tua berjubah putih.
“Benar.... Aku hanya kebetulan hingga sampai di negeri ini!” Lalu Joko menceritakan mengapa sampai terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Namun Joko masih coba tidak menyinggung-nyinggung soal peta wasiat.
“Hem.... Biasanya, kalau tokoh macam Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara turun dari kediamannya, pasti ada sesuatu yang sangat penting! Dan melihat mereka coba membuat urusan denganmu, tentu urusan penting itu ada padamu! Dan kalau dihubungkan dengan kejadian yang peristiwanya baru saja terjadi di Perguruan Shaolin, mungkin kau masih ada hubungannya dengan semua itu!”
Pendekar 131 tidak menyahut. Dia tengah tenggelam dalam kebimbangan antara menceritakan terus terang apa yang dialaminya semenjak dari pertemuannya dengan Yang Kui Tan hingga sampai terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara.
“Anak muda.... Kau masih beruntung. Saat bentrok tadi kulihat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara belum perlihatkan jurus-jurus andalannya! Sepertinya mereka hanya ingin membuatmu lumpuh. Hal ini makin membuatku yakin jika mereka memerlukan sesuatu atau setidaknya ada yang diharapkan darimu! Aku tidak memaksamu untuk memberi keterangan. Namun kalau kau mau mengatakannya, tentu sedikit banyak aku bisa mencarikan jalan keluar. Karena mereka berdua pasti akan terus mengejarmu sebelum mereka dapatkan apa yang mereka harapkan!”
Mendengar ucapan si orang tua dan setelah menimbang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting menceritakan terus terang apa yang dialaminya mulai dari pertemuannya dengan Yang Kui Tan sampai terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Orang tua di hadapan Pendekar 131 tampak sedikit tercengang mendengar penuturan keterangan Joko. Dia beberapa kali menghela napas panjang. Lalu berkata setelah Joko mengakhiri penuturannya.
“Kau bernasib baik, Anak Muda.... Tapi kau juga harus menanggung beban bahaya dalam mengarungi kebaikan nasibmu ini.... Sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, urusan peta wasiat itu memang telah banyak dibuat pembicaraan kalangan rimba persilatan sampai para penguasa kerajaan meski secara diamdiam. Hanya saja karena kharisma Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, selama ini tidak pernah terjadi hal-hal buruk apalagi sampai pertumpahan darah demi peta wasiat itu! Walau aku punya dugaan, selama ini banyak orang yang menunggu saat tepat untuk bergerak dan mengambil peta wasiat itu!” Si orang tua berjubah putih sesaat hentikan ucapan. Lalu melanjutkan setelah menghela napas beberapa kali.
“Beberapa hari yang lalu, aku hendak berkunjung menemui Maha Guru Besar Su Beng Siok. Ini adalah untuk pertama kalinya aku turun dari tempatku ini selama hampir sepuluh tahun terakhir. Sebenarnya aku sudah tak ingin lagi turun, tapi demi mendengar Maha Guru Besar Su Beng Siok yang juga adalah sahabat baikku tengah mengalami sakit keras, aku terpaksa hendak menemuinya! Tapi ternyata kedatanganku sudah terlambat....”
Karena sudah mendengar apa yang terjadi di Perguruan Shaolin dari Tiyang Pengembara Agung, Joko segera angkat suara. “Orang tua.... Kau dapat menduga siapa kira-kira di balik peristiwa berdarah itu?!”
Yang ditanya gelengkan kepala perlahan. “Tidak baik mencurigai orang tanpa melihat dahulu buktibukti yang kuat! Tapi aku bisa memastikan jika ada orang dalam yang ikut terlibat dalam peristiwa itu!”
“Orang tua! Kau juga telah dengar kalau Guru Besar Wu Wen She tiba-tiba lenyap begitu peristiwa terjadi?!”
“Aku dengar hal itu. Tapi itu bukanlah satu-satunya yang dapat dijadikan bukti keterlibatan Guru Besar Wu Wen She!”
“Lalu mengapa dia melenyapkan diri?! Bukankah tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan?!”
“Bagi orang yang berpikir panjang, tidak akan semudah itu menjatuhkan kecurigaan!”
“Kau bisa memberikan alasan?!”
“Secara diam-diam aku berhasil masuk Perguruan Shaolin. Rupanya bukan hanya Guru Besar Wu Wen She yang lenyap begitu saja!”
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. “Jadi...?!”
“Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun juga lenyap! Kuduga anak itu dibawa Guru Besar Wu Wen She!”
“Tapi apa hubungannya anak kecil itu dengan peristiwa yang terjadi?!”
“Anak muda.... Beberapa tahun yang lalu, sahabatku Maha Guru Besar Su Beng Siok sempat berkunjung kemari. Saat itu baru saja terjadi pergantian kekuasaan dari Yang Mulia Baginda Lo pada Baginda Ku Nang yang menjadi penguasa sekarang! Dia bercerita bahwa kalau dirinya telah menyelamatkan seorang anak kecil. Dan anak kecil Ku adalah putra dari Yang Mulia Baginda Lo yang digulingkan dengan kekerasan oleh Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Si orang tua berjubah putih berhenti sebentar. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain lalu melanjutkan.
“Aku memberi ingat padanya agar berhati-hati. Karena jika sampai tindakannya itu diketahui pihak kerajaan, maka malapetaka tidak akan bisa dihindari lagi. Maha Guru Besar Su Beng Siok memberi alasan, jika penyelamatan itu semata-mata didasarkan pada kemanusiaan tanpa menghubung-hubungkan dengan kedudukan. Dan dia ingin menjadikan dan membimbing anak itu agar nantinya dapat menerima kenyataan tanpa harus membalas apa yang telah terjadi! Dan dia juga merahasiakan hal ini. Mungkin hanya aku dan Guru Besar Pu Yi yang tahu. Dan kalau pada akhirnya Guru Besar Wu Wen She lenyap bersama anak itu, berarti salah satu dari Maha Guru Besar Su Beng Siok atau Guru Besar Pu Yi telah memberitahukan siapa sebenarnya anak itu pada Guru Besar Wu Wen She.... Itulah salah satu alasanku mengapa aku menduga Guru Besar Wu Wen She bukan orang yang di belakang peristiwa berdarah itu!”
“Bagaimana dengan Guru Besar Liang San atau pihak kerajaan sendiri? Karena waktu di atas laut, Panglima Muda Lie jelas-jelas menginginkan tubuh Yang Kui Tan! Pihak kerajaan tampaknya sudah tahu jika Yang Kui Tan membawa sebagian peta wasiat itu! Ditambah dengan percakapan Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah, aku yakin pihak kerajaan terlibat dalam urusan ini!”
“Ini memang sesuatu yang aneh. Selama ini pihak kerajaan tidak pernah melibatkan diri dalam urusan rimba persilatan secara terang-terangan. Dan melihat pihak kerajaan tahu persis siapa Yang Kui Tan dan apa yang tengah diembannya, jelas ini memberi bayangan ada orang dalam yang berhubungan erat dengan pihak kerajaan! Tapi untuk saat ini hal itu tidak begitu penting untuk dipikirkan, Anak Muda....”
“Mengapa begitu, Kek?!”
“Kalau kau memikirkan dan hendak menyelidik urusan itu, dibutuhkan waktu lama. Sementara hari ganda sepuluh di mana peta wasiat itu bisa terlihat, sudah tidak lama lagi! Jadi yang penting sekarang adalah mencari jejak di mana peta yang lenyap dari Perguruan Shaolin saat terjadinya peristiwa berdarah itu!”
“Tapi tanpa mengetahui siapa orang dalam yang terlibat, rasanya akan sulit mencari jejak peta yang lenyap itu!”
“Betul, Anak Muda. Tapi kau harus hindarkan diri menyelidik orang-orang kerajaan! Itu akan membuat langkahmu tersendat. Kalaupun kau ingin menyelidik, mulailah dari orang dalam Perguruan Shaolin!”
Joko anggukkan kepala. “Kalau Guru Besar Wu Wen She sudah termasuk orang yang bersih dari keterlibatan dengan urusan ini, sekarang tinggal Guru Besar Liang San!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati lalu ajukan tanya.
“Orang tua. Menurut penilaianmu, bagaimana Guru Besar Liang San?!”
“Aku tak begitu banyak tahu tentang dia. Aku hanya akrab dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Terima kasih atas semua keteranganmu, Orang Tua. Tapi sebelum aku pergi, mau kau mengatakan siapa dirimu?”
Orang tua di hadapan Joko tersenyum. “Aku Bu Beng La Ma.... Waktu seusiamu dulu, aku memang pernah melibatkan diri dalam kancah rimba persilatan. Namun begitu eyang guruku meninggal, aku diberi pesan oleh mendiang eyang guruku untuk menetap di sini. Ini adalah tempat tinggal eyang guruku.... Orang-orang menamakan tempat ini Kuil Atap Langit! Kau lihat ke atas....”
Pendekar 131 dongakkan kepala. Tempat di mana dia berada ternyata memang tidak beratap. Hingga tatkala kepala Joko mendongak, yang terlihat adalah hamparan langit! Joko luruskan kepala. Lalu diputar dengan mata memperhatikan. Ternyata dia berada di satu ruangan agak besar dari batu. Di pojok sebelah kanan terlihat beberapa patung Budha. Di sebelah depan terdapat sebuah jalan masuk tanpa daun pintu. Joko beranjak bangkit lalu melangkah ke arah jalan masuk.
Pendekar 131 tercengang sesaat. Di depan jalan masuk itu ternyata terdapat tangga menurun dari batu. Tapi bukan tangga batu itu yang membuat Joko tercengang. Karena ternyata tangga batu itu lurus ke bawah dan karena saking panjangnya, Joko tidak bisa melihat tangga di bagian paling bawah! Padahal meski saat itu malam telah datang, namun sang rembulan tampak pancarkan sinar terang benderang, hingga ke mana mata diarahkan, orang tentu masih bisa melihat.
“Anak muda.... Sebenarnya aku sendiri dahulu merasa gamang waktu pertama kali tinggal bersama eyang guruku di sini. Namun pada akhirnya aku jadi terbiasa. Dan sebenarnya, kalau tidak karena pesan Eyang Guru agar aku menetap di sini, tentu aku pilih berdiam diri di bawah sana....”
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Orang tua yang mengaku bernama Bu Beng La Ma sudah bangkit. “Kek.... Aku akan pergi sekarang....”
“Anak muda.... Kuharap kau tunda dulu niatmu! Perjalananmu nanti menempuh bahaya yang tidak kecil. Tidak tertutup kemungkinan kau akan berhadapan dengan beberapa tokoh negeri ini. Apalagi kini jika kabar lenyapnya peta wasiat itu telah tersebar!”
“Tapi....”
“Aku tahu.... Kau membekal ilmu tinggi. Tapi jangan lupa, kau kini berada di negeri asing. Kau belum banyak mengenal tokohnya dan bagaimana kehebatan ilmunya! Aku ingin memberikan sedikit apa yang kumiliki. Siapa tahu pemberianku ini nantinya bisa membantumu dalam perjalanan. Karena hanya bantuan itulah yang dapat kuberikan padamu!”
Pendekar 131 tercenung sesaat lalu memandang Bu Beng La Ma dengan pandangan hampir tak percaya. Saat lain Joko telah jatuhkan diri berlutut. “Terima kasih.... Mulai saat ini kau adalah guruku!”
“Ah.... Aku tidak layak dipanggil Guru! Berdirilah.... Anggap saja kita dua sahabat! Sebagai sahabat, apa yang kumiliki, patut juga kau miliki!” Bu Beng La Ma kembali duduk bersila. “Mendekatlah. Dan duduklah bersila membelakangiku! Kosongkan pikiran!”
Perlahan-lahan Joko beranjak bangkit lalu turuti ucapan Bu Beng La Ma.
KARENA telah memiliki dasar ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sangat terlatih, tidak sulit bagi Joko untuk menyergap semua jurus yang diajarkan Bu Beng La Ma begitu orang tua ini memberikan petunjuk setelah sebelumnya sempat alirkan tenaga dalamnya lewat telapak kedua tangannya pada punggung Pendekar 131. Hingga dalam waktu semalam, Joko telah dapat kuasai apa yang diajarkan Bu Beng La Ma.
“Anak muda...,” kata Bu Beng La Ma. Saat itu Bu Beng La Ma dan Pendekar 131 tengah duduk berhadap-hadapan. “Kuharap sedikit ilmu yang kuberikan padamu dapat membantu dalam perjalananmu nanti. Aku tak akan beri nasihat, kau tentu sudah dapat mengerti apa yang layak dan tidak layak kau lakukan!” Pendekar 131 anggukkan kepala. Bu Beng La Ma arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu buka mulut lagi. “Hindari bentrok selama hal itu bisa kau lakukan! Dan sedapat mungkin jangan membuat urusan dengan pihak kerajaan. Karena hal itu nantinya dapat menyulut terjadinya salah paham dan bentrok antara kalangan persilatan negeri ini dengan pihak kerajaan yang berkuasa. Bila itu terjadi, kalangan persilatan yang akan merugi. Sebab biasanya, pihak kerajaan dengan mudah akan menuduh kalangan persilatan sebagai orang-orang yang membawa para pemberontak!”
“Tapi Guru.... Selama ini banyak pihak kerajaan yang memburuku! Bagaimana aku harus menghindarinya?!” Joko memanggil Bu Beng La Ma dengan sebutan Guru karena ia sudah menganggapnya sebagai guru.
Bu Beng La Ma terdiam beberapa saat mendengar ucapan Joko. “Hem.... Tampaknya keadaan keruh akan terjadi...” gumamnya dengan nada menyesal. “Anak Muda! Aku tak bisa mengatakan bagaimana cara menghindarinya. Tapi kalau memang keadaan tidak memungkinkan, dan pihak kerajaan memang benar-benar terlibat dalam urusan ini, kau tentu dapat memilih jalan terbaik! Dan ingat.... Jangan sekali-kali mudah turunkan tangan sebelum kau tahu pasti bukti keterlibatannya! Kau sekarang hanya punya tugas untuk mendapatkan peta yang lenyap dari Perguruan Shaolin. Jadi hindari semua urusan yang tidak ada hubungannya dengan peta wasiat itu. Karena kau sendiri pasti telah tahu, di mana-mana orang rimba persilatan pasti akan terpecah dalam dua golongan! Dalam hal ini kau harus berada di pihak tengah! Tidak membela pihak putih namun jangan membuat urusan dengan pihak hitam! Sekarang pergilah....”
Pendekar 131 sekali lagi anggukkan kepala. Setelah menjura dia bergerak bangkit. “Aku akan datang kemari begitu peta wasiat itu telah kudapatkan!”
Habis berkata begitu, Joko melangkah ke arah jalan masuk. Dia memandang sesaat ke bawah. Karena saat itu matahari telah muncul dari langit timur, kali ini meski samar-samar Joko dapat melihat tangga batu paling bawah. Murid Pendeta Sinting berpaling lagi pada Bu Beng La Ma. Menjura sekali lagi lalu mulai melangkah keluar dari ruangan. Saat lain dia berkelebat menuruni anak tangga menurun dari batu. Begitu injakkan kakinya di atas tanah, Joko berpaling dengan kepala tengadah. Kuil di mana semalam dia berada tampak hanya merupakan onggokan batu hitam yang dihubungkan dengan tangga batu naik yang tinggi dan panjang.
Joko menunggu beberapa saat berharap Bu Beng La Ma tunjukkan diri. Namun hingga agak lama dia menunggu, di atas sana tidak terlihat adanya sosok yang muncul. Joko menghela napas lalu berkelebat. Baru saja berlari dua puluh lima tombak, murid Pendeta Sinting mendadak hentikan langkah. Memandang ke depan, dia melihat satu sosok tubuh tegak dengan sikap menghadang. Pendekar 131 memperhatikan sesaat.
Dia adalah seorang perempuan berparas cantik berusia empat puluh tahunan. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke atas, sebagian lagi digeraikan di bagian samping pipi kanan kirinya. Bibirnya dipoles merah menyala. Kedua alis matanya ditambah pewarna hitam. Pada lehernya yang putih dan jenjang terlihat tato bergambar bulan sabit. Perempuan cantik ini mengenakan pakaian warna putih tipis hingga seluruh lekuk anggota tubuhnya terlihat sangat jelas. Pada kepalanya juga mengenakan sebuah mahkota yang atasnya bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan.
Dari sikap orang, tampaknya Joko sudah menangkap gelagat tidak baik. Dan karena tidak mau membuat urusan, Joko coba menahan diri untuk tidak buka mulut bertanya. Dia hanya anggukkan kepala dengan tersenyum. Saat kemudian dia menyisi ke samping lalu hendak teruskan melangkah. Si perempuan melirik gerakan murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba dia perdengarkan bentakan kala Joko mulai melangkah.
“Tahan gerakan kakimu! Kita perlu bicara!”
Pendekar 131 hentikan tindakan kakinya. Dia berpaling dengan dahi berkerut. “Rasanya kita baru pertama kali ini bertemu. Sebelum kita mulai pembicaraan, harap kau suka sebutkan diri....”
Si perempuan dongakkan kepala hingga Joko bisa melihat jelas tato bergambar bulan sabit pada lehernya. “Aku Ouw Kiu Lan! Namun hanya sebagian orang yang tahu nama itu. Mereka lebih mengenaliku dengan Bidadari Bulan Emas!”
“Hem.... Aku adalah....”
“Aku tahu siapa kau!” tukas si perempuan yang sebutkan diri sebagai Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas. “Aku hanya perlu menawarkan sesuatu. Ini demi keselamatan jiwamu!”
“Terima kasih kau mau menawarkan jasa baik padaku! Tapi rasanya aku masih bisa menjaga diri. Lagi pula adalah aneh kalau kau katakan jiwaku perlu diselamatkan! Aku tidak pernah membuat urusan!”
Bidadari Bulan Emas tertawa pendek. “Kau tak perlu berpura-pura! Kau tadi telah dengar ucapanku. Aku tahu siapa kau! Dengar sekali lagi. Aku tahu siapa kau!”
Joko gelengkan kepala. “Kalau kau yakin jiwaku perlu diselamatkan, itu satu petunjuk kalau kau tidak tahu siapa aku!”
Bidadari Bulan Emas rangkapkan kedua tangan di depan dada. “Kau seorang pemuda dari negeri asing. Kau yang menyelamatkan jiwa seorang kepercayaan Perguruan Shaolin yang membawa tugas mengambil setengah peta wasiat!” Bidadari Bulan Emas berpaling. “Serahkan peta wasiat itu. Telah kusiapkan perahu untukmu! Dan beberapa orang akan mengawal sampai kau benar-benar aman dan bisa pulang ke kampung halamanmu dengan selamat!”
Pendekar 131 tersentak. Namun dia masih coba menutupi dengan tersenyum dan berkata. “Harap kau perhatikan sekali lagi siapa orang yang ada di hadapanmu! Mungkin kali ini kau salah lihat!”
“Kau jangan coba memerintahku! Aku tahu banyak apa yang mungkin tak kau duga!” Bidadari Bulan Emas melangkah pulang balik. “Di negerimu sana, kau boleh punya nama besar dengan gelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!” Bidadari Bulan Emas gelengkan kepala. “Tapi di sini, nama besarmu tak akan ada artinya!” Bidadari Bulan Emas gerakkan kedua tangan membuat sikap seperti orang meminta. “Serahkan saja peta wasiat itu! Setelah itu pulanglah! Kehadiranmu di negeri ini hanya akan membuat malapetaka! Mungkin di negerimu kau masih dibutuhkan. Tapi tidak di sini!”
Pendekar 131 tercekat. Kali ini dia tidak bisa lagi sembunyikan rasa kagetnya. “Busyet! Bagaimana dia bisa tahu banyak tentang diriku?! Siapa perempuan cantik ini sebenarnya?!”
“Kurasa keteranganku sudah terlalu banyak! Aku tak akan ulangi permintaanku! Dan satu hal yang harus kau ketahui, aku tak akan membiarkan seseorang pergi jika aku menginginkan sesuatu darinya!”
“Tapi kuharap aku adalah orang pertama yang kau biarkan pergi meski rasanya aku tidak dapat memenuhi keinginanmu!” ujar Joko seraya tersenyum lebar.
“Syarat yang kuminta tidak sulit, Pendekar 131 Joko Sableng! Kau tinggal serahkan peta wasiat itu! Dan kau bebas pergi bahkan aku telah menyiapkan perahu dan beberapa orang untuk mengawalmu!”
“Bidadari.... Aku belum berniat untuk balik kampung!”
“Kau tahu akibatnya?!”
“Aku tak pernah pikirkan akibat karena aku tak membuat sebab!”
Bidadari Bulan Emas perdengarkan tawa. “Kau jangan berpikir bodoh! Kedatanganmu ke negeri ini adalah sebab utama yang membuat kau kelak akan mendapat akibat yang mungkin tidak pernah terbayang dalam benakmu!”
“Aku datang ke negeri ini hanya karena kebetulan! Tidak terbetik sebelumnya niatan hati untuk datang ke negeri ini apalagi membuat sebab!”
“Tapi justru kebetulan itulah yang kelak akan mengantarmu menemui kesulitan!”
“Aku tidak percaya!” sahut murid Pendeta Sinting dengan gelengkan kepala.
“Aku akan menunjukkan!” kata Bidadari Bulan Emas. Perempuan berparas cantik ini tarik pulang kedua tangannya ke belakang. Saat lain dia membuat gerakan melompat ke arah Joko. Kedua tangannya melesat cepat.
Pendekar 131 terkesiap melihat gerakan cepat orang. Namun dia cepat mundur satu langkah. Kedua tangannya bergerak menghadang gerakan kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Ternyata Bidadari Bulan Emas bukan lepas pukulan, melainkan cepat memutar arah gerakan tangan dan lancarkan totokan ke arah pergelangan kedua tangan Joko. Gerakan Bidadari Bulan Emas ternyata sudah dapat dimaklumi Joko. Apalagi dia telah mendapat banyak keterangan dari Bu Beng La Ma tentang gerakan-gerakan kebanyakan kaum persilatan di negeri Tibet. Hingga begitu Bidadari Bulan Emas coba lancarkan totokan, Joko segera pula putar arah gerakan kedua tangannya.
Bidadari Bulan Emas tersentak sesaat melihat gerakan kedua tangan murid Pendeta Sinting yang bukan saja mampu membaca gerakan kedua tangannya namun kini malah balik lakukan penyergapan dengan lepaskan totokan ke arah lambungnya! Bidadari Bulan Emas tarik pulang kedua tangannya lalu cepat disentakkan menghadang lajunya gerakan kedua tangan Joko.
Bukk! Bukkkk!
Terdengar benturan. Kedua tangan Bidadari Bulan Emas tampak terpental ke atas. Sementara kedua tangan Joko terlempar ke bawah. Namun, Bidadari Bulan Emas cepat putar tubuh. Dengan bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya diangkat membuat gerakan menendang ke arah dada!
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya. Bidadari Bulan Emas tersentak ketika merasakan kaki kirinya bukan menendang sasaran, melainkan tertahan di udara dan terasa dipegang tangan orang! Bidadari Bulan Emas terbelalak melihat bagaimana kakinya dipegang kedua tangan Joko. Sementara sepasang mata murid Pendeta Sinting tampak terpentang besar memperhatikan ke arah sibakan pakaian si perempuan karena kakinya terangkat dan tertahan di udara.
“Jahanam!” sentak Bidadari Bulan Emas. Kaki kirinya ditarik sedikit ke belakang. Saat lain disentakkan lagi ke depan. Namun sebelum kaki itu sempat menyentak, Pendekar 131 cepat lepaskan pegangan tangannya pada kaki si perempuan. Lalu rundukkan kepala dengan mata makin dipentang melihat ke arah kangkangan kaki Bidadari Bulan Emas! Mendapati tendangannya menghantam tempat kosong, Bidadari Bulan Emas cepat tarik kedua tangannya ke belakang begitu kaki kirinya telah berada di atas tanah kembali. Kejap lain kedua tangannya melepas pukulan.
"Wuutt! Wuuttt!" Satu gelombang angin menderu angker. Karena jarak antara sang Bidadari serta Pendekar 131 tidak jauh, tidak ada jalan lain bagi Joko selain harus menghadang dengan pukulan pula. Maka dia sentakkan kedua tangannya.
Bummmm...!
Sosok Bidadari Bulan Emas tersapu tiga langkah ke belakang. Sementara karena saat menghadang pukulan dengan posisi setengah merunduk, sosok murid Pendeta Sinting tempat terhuyung empat langkah.
“Heran... Dia sepertinya menguasai salah satu jurus aliran negeri ini! Dia berhasil berkelit dari jurus tingkat pertama dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’! Padahal tak mungkin aliran jurus negeri ini diketahui orang asing! Aku memang belum jelas bisa memperhatikan jurus apa yang dilakukan. Tapi jelas-jelas jurus tadi adalah aliran di negeri ini!” Bidadari Bulan Emas berkata dalam hati dengan sepasang mata mendelik tak berkesip memperhatikan pada murid Pendeta Sinting.
“Bidadari.... Mungkin kau benar dengan apa yang kau ketahui tentang diriku. Tapi percayalah, kau salah jika mengatakan aku membawa atau menyimpan peta wasiat! Dan aku memang pernah menolong seseorang. Tapi aku tak tahu siapa dia. Saat itu dia tengah terluka parah. Aku tak tega untuk ajukan pertanyaan. Hanya saja sebelum dia meninggal, dia berpesan agar ceburkan mayatnya ke laut! Setelah itu aku terbawa gelombang sampai negeri ini!”
Bidadari Bulan Emas terdiam sepertinya menyimak ucapan murid Pendeta Sinting, namun sebenarnya diam-diam perempuan ini berkata sendiri dalam hati tidak hiraukan ucapan Joko. “Hem.... Mengapa aku tidak bertanya pada beberapa orang yang kusuruh menyelidik ke tempat negeri kelahiran pemuda itu tentang ilmu apa saja yang dimiliki?! Namun itu tidak begitu penting, yang jelas aku masih yakin dialah yang menyimpan peta wasiat itu, atau setidaknya dia tahu di mana tempat disembunyikannya peta wasiat itu! Jika tidak, tak mungkin pihak kerajaan ikut terlibat memburu pemuda ini! Kalau pihak kerajaan sudah ikut campur tangan, berarti peristiwa di Perguruan Shaolin melibatkan orang dalam dan kemungkinan besar bersekongkol dengan seseorang dari pihak kerajaan! Lenyapnya peta wasiat di ruang penyimpanan Perguruan Shaolin dan ikut turun tangannya pihak kerajaan memburu pemuda ini membuktikan semua itu!”
Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas buka suara. “Pendekar 131 Joko Sableng! Aku akan memberitahukan sesuatu....”
Belum sampai Bidadari Bulan Emas lanjutkan ucapan, Joko telah menukas. “Bidadari.... Aku tak punya waktu banyak! Lain kali saja kita lanjutkan pembicaraan ini! Dan kalau nanti aku sudah punya niat dan rindu kampung halaman, aku akan mencarimu....”
Pendekar 131 berkelebat. Namun Bidadari Bulan Emas ikut berkelebat memotong gerakan murid Pendeta Sinting. Kembali tangan kanannya menjulur ke depan membuat gerakan orang meminta. “Ke mana kau pergi, kau akan mendapat halangan yang sama! Namun aku masih berbaik hati dengan menyediakan perahu dan beberapa pengawal untukmu! Jika orang lain, mereka pasti menginginkan peta wasiat itu sekaligus selembar nyawamu!”
“Kau meminta pada orang yang salah!”
Bidadari Bulan Emas tegak dengan mata mendelik dan pelipis bergerak-gerak. “Baik! Aku telah tawarkan jalan terbaik, namun nyatanya kau inginkan agar aku mengambil peta wasiat itu beserta nyawamu sekalian!”
Bidadari Bulan Emas angkat kedua tangannya dan ditarik ke depan kepala. Telapak kedua tangannya diletakkan di kening sesaat lalu diangkat ke atas kepala. Saat bersamaan tampak cahaya kekuningan memancar dari kedua tangan sang Bidadari.
“Hem.... Dari sikapnya, mungkin dia tengah mengerahkan ilmu andalannya. Aku tadi telah coba jurus pemberian Bu Beng La Ma tingkat pertama. Karena dia sekarang tidak main-main dan ingin membunuhku, terpaksa aku akan menghadang dengan coba tingkat delapan!” Joko membatin. Lalu angkat kedua tangannya membentuk bundaran besar dengan ujung kedua jari-jari tangan bertemu di atas kepala. Kaki kanannya ditarik ke belakang sementara kaki kiri ditekuk.
Bidadari Bulan Emas tersentak. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara. “Ouw Kiu Lan! Tahan! Biarkan dia pergi!”
Joko berpaling ke arah sumber datangnya suara. Namun dia tidak melihat siapa-siapa. Namun kesempatan ini tak disia-siakan Joko. Dia memandang sesaat pada Bidadari Bulan Emas untuk yakinkan jika perempuan itu benar-benar lakukan ucapan orang. Begitu yakin, Joko segera balikkan tubuh lalu tanpa berkatakata lagi, dia berlari seperti orang kesetanan!
BERSAMAAN dengan berlalunya Pendekar 131, satu sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Bidadari Bulan Emas telah tegak seorang laki-laki. Orang ini berambut tipis tapi panjang sampai punggung. Kedua alis matanya juga menjulai panjang hampir menutupi mata. Sepasang matanya melotot besar. Paras wajahnya bulat dengan kumis dan jenggot lebat. Tepat di tengah kedua alis matanya terlihat tato bergambar bulan sabit berwarna kekuningan. Laki-laki ini mengenakan pakaian berupa jubah panjang warna kuning. Pada bagian dada kanannya juga terdapat gambar bulan sabit.
“Pemuda asing itu tampaknya telah menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!” kata laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas sambil arahkan pandang matanya pada kelebatan sosok murid Pendeta Sinting.
Bidadari Bulan Emas memandang sesaat pada laki-laki yang baru muncul. Pandang matanya jelas membayangkan rasa tidak senang. Di lain pihak, meski tidak melihat ke arah orang, namun si laki-laki tampaknya bisa menangkap bayangan sikap Bidadari Bulan Emas. Masih tanpa memandang dia berkata.
“Aku tahu kau tak suka dengan teguranku tadi! Tapi....”
Belum sampai si laki-laki teruskan ucapan, Bidadari Bulan Emas telah memotong dengan sengatkan pandangannya pada laki-laki di hadapannya. “Guru! Aku telah bersusah payah menyelidik! Kalau pada akhirnya hanya begini yang kudapat, rasanya percuma apa yang selama ini kulakukan!”
“Ouw Kiu Lan! Selama ini ilmu ‘Delapan Gerbang Rembulan’ yang kita miliki memang dapat mengimbangi ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’. Namun kau harus sadar, pemuda itu memiliki ilmu lain yang belum kita kenal! Terlalu berbahaya jika berhadapan dengan orang yang telah tahu ilmu kita tapi kita tidak tahu ilmu yang dimilikinya!”
“Aku heran.... Bagaimana mungkin pemuda itu dapat menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’! Padahal menurut yang pernah Guru katakan, ilmu itu hanya ada di negeri ini!”
Laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas putar diri. Namun pandang matanya bukan mengarah pada sang Bidadari, melainkan jauh ke depan menembusi jajaran beberapa pohon. “Ternyata kabar yang tersiar dalam rimba persilatan lain dengan kenyataan!” kata si laki-laki yang dari cara sebut Bidadari Bulan Emas, menunjukkan jika si lakilaki bertato bulan sabit di antara kedua alis matanya ini adalah gurunya.
“Kenyataan kalau pemuda tadi menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ menunjukkan kalau Bu Beng La Ma masih bernapas! Pemuda itu dengan singkat dapat menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ mungkin saja karena pemuda itu telah memiliki dasar yang kuat! Hem.... Dengan Kenyataan ini, berarti musuh besarku bukan tinggal satu, namun kini bertambah satu lagi!”
“Ouw Kiu Lan! Ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ memang hanya ada di negeri ini!” kata si laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas setelah terdiam beberapa lama. “Kau tak usah heran kalau pemuda itu dapat menguasai ilmu itu. Justru ini sangat membuatku gembira! Karena itu menunjukkan satu hal yang selama ini masih menjadi tanya bagiku!”
Bidadari Bulan Emas kerutkan dahi. Dia sudah hendak buka mulut akan bertanya. Namun sebelum suaranya terdengar, sang Guru sudah mendahului. “Ini satu pertanda jika orang yang selama ini dikabarkan tewas berarti masih hidup!”
“Maksudmu...?!”
“Bu Beng La Ma masih bernyawa! Dan rupanya takdir telah menuliskan jika manusia itu akhirnya akan mampus di tanganku!”
“Guru! Saat ini kurasa yang paling penting adalah memburu peta wasiat itu! Urusan nyawa Bu Beng La Ma bisa ditunda!”
“Ouw Kiu Lan! Seribu peta wasiat tidak ada artinya bagiku dibanding satu nyawa milik Bu Beng La Ma! Aku mengajakmu turun gunung dengan dua tujuan. Memburu peta wasiat sekaligus menjajaki kabar berita tentang Bu Beng La Ma! Kini keduanya sudah jelas bagi kita! Kau tahu siapa pembawa peta wasiat itu, dan aku yakin Bu Beng La Ma masih hidup! Masih hidupnya Bu Beng La Ma membuat aku tidak tertarik lagi dengan peta wasiat itu!”
“Guru....”
“Ouw Kiu Lan!” potong sang Guru sembari angkat tangan kirinya. “Aku akan mencari Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Kau teruskan tujuanmu! Tapi harus kau ingat. Kau tak bisa menghadapi pemuda asing itu hanya dengan andalkan ilmu ‘Delapan Gerbang Matahari’! Kau harus pergunakan cara lain! Kau adalah perempuan, sementara orang yang kau hadapi adalah seorang laki-laki. Tentu kau paham maksudku....”
Bidadari Bulan Emas tersenyum. Sang Guru melangkah tiga tindak, lalu lanjutkan ucapan. “Sementara ini kita harus berpisah! Berhati-hatilah!”
Habis berkata begitu, sang Guru arahkan kembali pandangannya ke arah jauh di depan sana. Dan tanpa berkata-kata lagi dia membuat satu kali gerakan. Sosoknya melesat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan jajaran pohon. Bidadari Bulan Emas berpaling memperhatikan arah kelebatan gurunya. Saat lain perempuan cantik ini melesat mengambil arah ke mana tadi murid Pendeta Sinting berkelebat.
Kita tinggalkan dahulu pengejaran yang dilakukan Bidadari Bulan Emas terhadap Pendekar 131 Joko Sableng. Sekarang kita ikuti perjalanan guru Bidadari Bulan Emas. Laki-laki yang tepat di tengah kedua alis matanya terdapat tato bergambar bulan sabit itu hentikan larinya ketika memasuki sebuah kawasan terbuka di mana ketika mata dilayangkan ke depan, berjarak dua puluh langkah, terlihat satu tangga naik dari batu. Tangga naik ini lurus ke atas berujung pada sebuah onggokan batu berbentuk kuil. Karena ketinggiannya, bangunan kuil di atas sana terlihat sangat kecil sekali. Guru Bidadari Bulan Emas tengadahkan kepala dengan mata dipicingkan. Kejap lain dia berkelebat. Namun belum sampai sosok tubuhnya melesat, tiba-tiba terdengar satu suara dari puncak bangunan kuil di atas sana.
“Kwe Bun Lim...! Rasanya tidak baik kalau pertemuan kita kembali harus diwarnai dengan sisa urusan lama.... Dan kehadiranmu kali ini kuharap tanpa sisa-sisa itu!”
Guru Bidadari Bulan Emas yang dipanggil dengan Kwe Bun Lim batalkan niat menaiki tangga batu. Dia dongakkan kepala dengan seringai dingin. Lalu membatin. “Bu Beng La Ma! Ternyata kau benar-benar masih hidup! Sayang sekali.... Justru sisa urusan itulah aku datang ke sini!”
Setelah membatin begitu, dia berteriak lantang. “Bu Beng La Ma! Aku datang memang bukan untuk sisa-sisa urusan lama! Namun aku datang untuk mencabut selembar nyawamu!”
“Kwe Bun Lim! Harap maafkan aku. Kalau itu urusannya, aku tak bisa menemuimu! Rasanya terlalu sayang jika di akhir usia kita ini harus dilembari dengan kucuran darah! Apa yang pernah tertumpah biarlah berlalu....”
“Bu Beng La Ma! Itu urusanmu! Kau mau atau tidak, yang jelas aku ingin kucuran darah beberapa puluh tahun yang lalu berakhir hari ini! Turunlah! Atau aku akan menjemputmu ke atas!"
“Kwe Bun Lim! Aku tidak coba mengguruimu. Tapi kurasa lebih baik kau pikirkan dahulu semuanya.... Cuma, apa pun keputusanmu nanti, aku tetap tidak akan menemuimu!”
“Bu Beng La Ma! Aku telah punya keputusan. Kau pun juga telah memutuskan! Mari kita lihat keputusan siapa yang akan berlaku!”
Habis berteriak begitu, Kwe Bun Lim berkelebat. Namun baru saja tubuhnya akan bergerak, matanya menangkap satu sosok bayangan. Kwe Bun Lim cepat berpaling. Di seberang samping sana tegak seorang laki-laki bertubuh kekar mengenakan pakaian selempang tanpa leher berwarna kuning. Di bagian pundaknya melapis kain berwarna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Laki-laki ini berkepala gundul dan tampak beberapa titik putih di batok kepalanya. Paras wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang namun panjang. Kwe Bun Lim sipitkan mata.
“Guru Besar Liang San...,” gumamnya mengenali siapa adanya laki-laki berpakaian selempang kuning tanpa leher.
“Amitaba....” Laki-laki berpakaian selempang warna kuning dan bukan lain memang Guru Besar Liang San adanya buka mulut seraya anggukkan kepala dengan kedua tangan ditakupkan di depan dada. “Bukankah yang tegak di hadapanku saat ini adalah sahabat Kwe Bun Lim...?! Tokoh ternama negeri ini yang dikenal dengan Hantu Bulan Emas?!”
Kwe Bun Lim yang di negeri Tibet memang lebih dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar Hantu Bulan Emas tidak menyahut. Sebaliknya diam-diam dia membatin. “Untuk apa dia datang ke sini?! Apakah peristiwa berdarah di perguruannya melibatkan Bu Beng La Ma?!”
Masih tanpa buka mulut, Hantu Bulan Emas melesat dan tegak lima langkah di hadapan Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San melirik tajam lalu kembali anggukkan kepala. “Guru Besar Liang San...,” kata Hantu Bulan Emas dengan nada pelan namun jelas nadanya terdengar sumbang. “Senang bisa bertemu kau lagi.... Tapi rasanya pertemuan kita kali ini sungguh di luar dugaan!”
Guru Besar Liang San tersenyum. “Aku paham apa maksudmu. Tapi harap kau tidak berprasangka. Aku terpaksa keluar sendirian karena ada sesuatu yang harus segera kuselesaikan. Beberapa...”
Belum sampai Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan, Hantu Bulan Emas sudah menukas. “Aku ikut belasungkawa dengan peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu! Dan kurasa kehadiranmu di sini pasti masih ada hubungannya dengan peristiwa itu! Benar?!”
“Amitaba...! Dugaanmu tidak meleset. Aku perlu bertemu dengan Bu Beng La Ma.
Hantu Bulan Emas melirik dengan kepala disentakkan ke jurusan lain. Sebelum guru Bidadari Bulan Emas ini buka suara. Guru Besar Liang San telah sambungi ucapannya. “Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu saja saat terjadinya peristiwa berdarah di perguruan kami. Untuk itulah aku perlu datang hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma. Mungkin dia tahu atau setidaknya dapat memberi petunjuk ke mana kira-kira lenyapnya adik Wu Wen She! Bagaimanapun juga aku harus segera menemukan adik Wu Wen She. Sebab dalam peristiwa itu, bukan saja Maha Guru Besar Su Beng Shiok dan kakak Pu Yi yang terbunuh, namun sebuah benda juga hilang dari ruang penyimpanan!”
“Kau menduga Guru Besar Wu Wen She yang melarikan benda itu?!”
“Amitaba.... Aku tidak berani menduga. Tapi aku harus menemukan adik Wu Wen She!”
“Hem.... Kalau dia datang ke sini dan langsung mengatakan hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma, berarti selama ini dia telah tahu kalau Bu Beng La Ma masih hidup! Aku tidak yakin akan kebenaran ucapannya.... Mungkin saja dia yang bersekongkol dengan Bu Beng La Ma! Apalagi pemuda asing itu jelas telah bersahabat dengan Bu Beng La Ma, sementara peta wasiat yang setengahnya, menurut penyelidikan Ouw Kiu Lan memang berada di tangan pemuda asing itu! Jadi, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Bu Beng La Ma untuk mendapatkan peta yang masih tersimpan, sementara Bu Beng La Ma bersekutu dengan pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti peta wasiat itu telah utuh! Dan untuk menghilangkan jejak, mereka sengaja mengkambing-hitamkan Guru Besar Wu Wen She! Kalau Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi mampus, bagaimana mungkin Wu Wen She bisa lolos! Wu Wen She mungkin sudah tewas, hanya saja sengaja mereka sembunyikan untuk dijadikan kambing hitam! Hem....” Hantu Bulan Emas berkata sendiri menduga-duga dalam hati.
“Sobat Hantu Bulan Emas! Aku tahu kau punya urusan dengan Bu Beng La Ma.... Tapi kuharap kau memberiku kesempatan!”
Ucapan Guru Besar Liang San membuat keyakinan Hantu Bulan Emas makin kuat. “Tentu mereka akan membicarakan hasil tindakan mereka! Ini satu rejeki besar bagiku! Berhasil menemukan Bu Beng La Ma sekaligus mendapatkan peta wasiat itu dengan utuh!” Habis membatin begitu, Hantu Bulan Emas buka mulut. Tapi bersamaan dengan itu, dari kuil di puncak sana terdengar suara.
“Guru Besar Liang San.... Maaf jika aku tidak bisa menyambutmu dengan layak! Namun perlu kau ketahui, aku tidak tahu menahu dengan lenyapnya Guru Besar Wu Wen She.... Aku juga tak bisa memberi petunjuk apa-apa tentang dia....”
“Amitaba.... Sungguh sayang sekali! Tapi harap kau memberikan izin untuk bertemu denganmu.... Karena masih ada yang perlu kubicarakan!”
“Guru Besar Liang San.... Aku tak mau membuat urusan dengan buka mulut membicarakan apa yang telah terjadi! Aku sudah berniat tak akan ikut campur dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia persilatan.... Mohon dimaafkan!”
Guru Besar Liang San dongakkan kepala memandang ke arah kuil di puncak sana. “Hem.... Kurasa pemberitahuan ini cukup. Dengan begitu para sahabat Maha Guru Besar Su Beng Siok tidak akan menaruh curiga padaku.... Aku harus segera pergi! Hantu Bulan Emas tampaknya sudah tak sabar! Tapi aku harus tahu bagaimana akhir dari bentrok mereka. Dan kalau keadaan memungkinkan, aku tak segan membunuh mereka berdua!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Lalu luruskan kepala menghadap Hantu Bulan Emas dan berkata kalem.
“Tampaknya kehadiranku mengganggu urusan kalian. Aku harus segera pergi....”
Hantu Bulan Emas gelengkan kepala, membuat Guru Besar Liang San kerutkan dahi. Dan belum sempat dia menduga lebih jauh isyarat gelengan kepala orang, Hantu Bulan Emas telah angkat suara. “Tidak akan ada yang pergi dari sini!”
Guru Besar Liang San tersentak. Hantu Bulan Emas tertawa panjang. Lalu berkata lagi. “Kau tak usah bertanya mengapa, karena jawabannya sudah ada padamu!” Hantu Bulan Emas teruskan suara tawanya seraya mendongak. Guru Besar Liang San mendugaduga dengan paras berubah tegang...!
SATU
DARI salah satu ruangan di deretan sebelah kiri bangunan utama, Guru Besar Liang San keluar dengan langkah terhuyung dan hampir saja roboh jika salah seorang pemuda berkepala gundul tidak segera menyongsong lalu menahan sosok Guru Besar Liang San dengan kedua tangannya.
“Guru Besar Liang San...,” kata si pemuda.
Guru Besar Liang San gelengkan kepala seraya lepaskan pegangan tangan si pemuda. “Aku tak apa-apa.... Kumpulkan semua murid perguruan!”
Si pemuda masih memandang dengan khawatir. Namun setelah melihat Guru Besar Liang San memandang ke arahnya dengan mata agak melotot, si pemuda buru-buru berkelebat untuk lakukan perintah Guru Besar Liang San. Hanya beberapa saat, di halaman depan bangunan utama telah tegak berbaris beberapa pemuda berkepala gundul. Sebagian di antara mereka ada yang masih tampak terluka dengan mulut kucurkan darah.
“Dengar.... Kumpulkan semua yang terluka. Lalu kuburkan yang sudah meninggal! Mulai nanti malam, lipat gandakan penjagaan! Untuk sementara semua tamu yang tidak dikenal jangan izinkan masuk!” Guru Besar Liang San berkata seraya bersandar pada sebuah tiang bangunan. Sepasang matanya menyapu ke seluruh halaman. Lalu ke deretan ruang di sebelah kanan dan kiri bangunan utama. Terakhir dia arahkan pandang matanya pada ruang penyimpanan.
“Ingat! Jangan ada yang masuk ruang penyimpanan!”
“Amitaba....” Serentak para pemuda di halaman depan bangunan utama takupkan kedua tangan seraya anggukkan kepala. Saat lain mereka pun bubar.
Begitu halaman depan bangunan utama kosong, Guru Besar Liang San berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di depan pintu sebuah ruangan. Dia melirik ke kanan kiri. “Aku tidak melihat Guru Besar Wu Wen She.... Apakah mereka gagal menghabisinya?! Ini tidak boleh terjadi. Walau dia mungkin tidak tahu peristiwa di balik semua ini, namun bagaimanapun juga dia akan jadi penghalang jika masih hidup!” Guru Besar Liang San dorongkan tangan kanan ke pintu. Perlahan-lahan pintu terbuka. Guru Besar Liang San memandang berkeliling ke dalam ruangan. Dahinya berkerut.
“Kosong...!” desisnya dengan seringai dingin.
Dengan membuat satu kali gerakan, sosok Guru Besar Liang San telah berada di dalam ruangan. Kembali sepasang matanya menyapu. Namun dia tidak melihat siapa-siapa! “Hem.... Mungkinkah dia berhasil meloloskan diri?! Aku harus segera dapat kepastian! Tapi aku harus memastikan dahulu keadaan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
Berpikir begitu, Guru Besar Liang San segera berkelebat keluar dan terus berlari ke ruang persembayangan. Matanya segera tertuju pada satu ruangan di sebelah kanan ruang persembayangan. Pintunya tampak terbuka. Beberapa pemuda tampak hilir mudik. Ketika salah seorang pemuda melihat kemunculan Guru Besar Liang San, si pemuda segera mendekati. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Sambil mengangguk dia berkata.
“Amitaba.... Guru Besar Liang San.... Maha Guru Besar Su Beng Siok...!” Hanya sampai di situ si pemuda berucap. Dia tidak kuasa untuk lanjutkan ucapan. Sebaliknya hanya arahkan pandang matanya pada satu sosok tubuh yang diangkat beberapa pemuda dari sebelah kiri ranjang.
Guru Besar Liang San ikut arahkan pandang matanya pada sosok berlumuran darah yang dipandang pemuda tadi. Dia bukan lain adalah sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok. Hanya dengan sekali pandang, Guru Besar Liang San sudah tahu bagaimana keadaan Maha Guru Besar Su Beng Siok. Dia menghela napas panjang lalu buka mulut.
“Kuburkan mayat Maha Guru Besar Su Beng Siok...!”
Si pemuda di hadapan Guru Besar Liang San segera anggukkan kepala. Saat lain meninggalkan Guru Besar Liang San mendekati beberapa pemuda yang mengangkat sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok. Baru saja si pemuda berlalu dan belum sampai Guru Besar Liang San balikkan tubuh, salah seorang pemuda buru-buru mendekati dari luar ruangan. Setelah anggukkan kepala dia berucap.
“Guru Besar Liang San.... Guru Besar Pu Yi telah....”
Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, Guru Besar Liang San telah angkat tangan kanannya. Tanpa berkata apa-apa lagi dia putar diri lalu berkelebat dan berlari ke salah satu ruangan di sebelah kanan bangunan utama. Beberapa pemuda terlihat mengangkat satu sosok tubuh. Guru Besar Liang San yakinkan diri sebentar. Lalu berkata.
“Makamkan Guru Besar Pu Yi berdampingan dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok!”
Beberapa pemuda yang mengangkat sosok tubuh, dan bukan lain adalah sosok mayat Guru Besar Pu Yi, sempat terkesiap. Namun saat mengetahui siapa adanya orang yang baru saja berkata, mereka anggukkan kepala. Guru Besar Liang San balikkan tubuh.
“Hem.... Guru Besar Wu Wen She benar-benar lenyap! Aku tahu apa yang harus kulakukan untuk hindarkan diri dari rintangannya!” Setelah membatin begitu, tanpa balikkan tubuh dia berkata. “Setelah pemakaman, semua kumpul di halaman!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San berkelebat. Dia terus berlari menuju ruang penyimpanan. Karena di sana tidak ada orang, dia segera masuk. Dia meneliti sesaat. Lalu anggukkan kepala. “Sekarang tinggal memburu pemuda asing itu! Dengan bantuan prajurit Yang Mulia Baginda Ku Nang, tidak perlu waktu lama untuk menemukannya!”
Tidak berapa lama, di halaman depan bangunan utama telah tegak berbaris beberapa pemuda. Guru Besar Liang San melangkah perlahan-lahan dengan kepala menunduk. Beberapa pemuda di halaman juga tundukkan kepala dengan kedua tangan menakup di depan dada. Tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan.
“Hari ini kita harus belasungkawa atas terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi..,” kata Guru Besar Liang San dengan suara tersendat. “Aku sangat menyesal dan kecewa dengan peristiwa ini! Aku merasa berdosa tidak bisa menyelamatkan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi.... Setelah ini.... Aku harus meninggalkan kalian semua! Kalian bebas memilih jalan yang kalian kehendaki!”
“Guru Besar Liang San...!” Salah seorang pemuda yang tampak berusia paling tua angkat suara. “Ini semua bukanlah semata-mata kesalahan Guru Besar Liang San.... Harap Guru Besar Liang San tidak meninggalkan kami! Kami masih menginginkan Guru Besar Liang San untuk memimpin perguruan ini! Dan kami siap melakukan apa saja untuk menemukan siapa di balik peristiwa terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
Guru Besar Liang San gelengkan kepala. “Rasanya tidak mudah menuruti permintaan kalian.... Lagi pula aku tidak punya niat untuk memimpin perguruan ini! Kalian kubebaskan mencari orang yang bisa memimpin dan meneruskan perguruan ini!”
“Amitaba.... Guru Besar Liang San...,” kata pemuda yang tadi angkat suara. “Harap jangan tinggalkan kami. Kalaupun kami harus mencari orang yang harus memimpin perguruan ini, tidak lain hanyalah Guru Besar Liang San! Hari ini juga kami mengangkat Guru Besar Liang San sebagai pemimpin perguruan ini!” Habis berkata begitu, si pemuda tekuk kedua lututnya dengan kedua tangan ditakupkan di atas kepala.
“Benar! Kami mengangkat Guru Besar Liang San menjadi pemimpin perguruan!” serentak beberapa pemuda di halaman depan bangunan utama membuat sikap seperti pemuda yang tadi berkata.
“Amitaba...!” Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada dengan kepala mengangguk. “Sebenarnya aku tak menginginkan semua ini. Tapi kalau kalian mengharapkan, aku tidak bisa menolak!”
“Amitaba.... Terima kasih, Guru Besar Liang San!” Para pemuda hampir bersamaan buka mulut. Lalu tegakkan tubuh masing-masing. Kedua tangan mereka kini ditarik dan menakup di depan dada.
“Apa kalian ada yang melihat Guru Besar Wu Wen She?!” tanya Guru Besar Liang San.
Para pemuda di halaman sama gelengkan kepala. Guru Besar Liang San tersenyum dingin. Lalu berkata dengan suara berat. “Tadi malam terjadi peristiwa yang menyebabkan terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi. Lalu satu benda di ruang penyimpanan lenyap! Bersamaan itu Guru Besar Wu Wen She tidak kelihatan! Benda yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah benda berharga dan salah seorang yang tahu rahasianya adalah Guru Besar Wu Wen She...!”
Guru Besar Liang San hentikan sesaat ucapan sebelum akhirnya melanjutkan. “Aku tak menaruh prasangka buruk. Tapi adalah aneh kalau tiba-tiba Guru Besar Wu Wen She menghilang! Untuk menjunjung tinggi martabat perguruan dan menyelesaikan urusan ini, satu-satunya jalan adalah minta keterangan pada Guru Besar Wu Wen She! Setelah itu, aku akan mengutus beberapa orang dari kalian untuk mencari jejak Guru Besar Wu Wen She. Tapi sekali lagi ini bukanlah pernyataan kalau Guru Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa tadi malam. Ini semua kita lakukan untuk mencari kebenaran siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa tadi malam!”
“Kami siap lakukan perintah, Guru Besar Liang San!” kata beberapa pemuda serentak.
“Bagus! Mulai saat ini perketat penjagaan. Dan untuk beberapa lama aku harus meninggalkan kalian. Ada satu urusan yang harus kuselesaikan yang masih ada kaitannya dengan peristiwa tadi malam! Nanti akan kuputuskan siapa yang akan memimpin kalian selama aku tidak ada! Sekarang kalian benahi seluruh ruangan!”
Para pemuda sama anggukkan kepala. Guru Besar Liang San memandang sejurus pada beberapa pemuda yang berbaris di halaman bangunan Utama. Saat lain dia melangkah menuju ruangannya.
********************
Tiga hari kemudian....
Malam sudah jauh bergulir. Angin dan udara dini hari telah menggantikan udara malam. Satu sosok tubuh tampak melangkah mondar-mandir di sebuah bukit yang banyak diranggasi pohon-pohon besar dan semak belukar rimbun. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar mengenakan pakaian hitam-hitam. Dia juga mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam ke atas kepalanya hingga di tengah gelap suasana, bukan hanya sosoknya yang terlihat samarsamar, namun wajahnya sulit dikenali.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping lebar ini sesekali menghela napas panjang seraya usap bagian bawah wajahnya dengan telapak tangan. Saat lain dia angkat bagian depan caping lebarnya. Sepasang matanya memandang lurus ke bawah bukit. Dari gerak-gerik dan sikap orang, jelas kalau lakilaki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar tengah menunggu sesuatu, atau setidaknya tengah menanti kedatangan seseorang.
“Seharusnya dia datang malam ini! Tapi mengapa hingga hari akan berganti pagi dia belum kelihatan batang hidungnya?!” gumam si laki-laki seraya turunkan tangan dari bagian depan capingnya hingga matanya tidak kelihatan lagi. Dia kembali menghela napas dalam lalu melangkah perlahan-lahan di puncak bukit. Namun baru saja kedua kakinya bergerak, dia segera balikkan tubuh. Kepalanya sedikit didongakkan. Sepasang matanya melirik ke bawah.
“Hem.... Akhirnya dia muncul!” desis si laki-laki berpakaian hitam-hitam. Dia luruskan kepala lalu putar diri.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam tidak menunggu lama. Bersamaan dengan putaran tubuhnya, satu bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di sampingnya. Si laki-laki berpakaian hitam-hitam berpaling pada sosok yang baru muncul. Perasaan lega yang sesaat terpancar dari nada desisan si laki-laki yang tadi berada di puncak bukit mendadak sirna.
“Hem.... Tampaknya bukan dia yang datang! Aneh....”
“Siapa kau?!” Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping buka mulut dengan suara meradang. Dia palingkan kembali kepalanya lurus ke depan.
“Guru Besar Liang San.... Harap dimaafkan.... Yang Mulia Baginda Raja Ku Nang tidak dapat menemui Guru Besar malam ini. Dia menugaskan aku untuk mewakilinya.... Aku adalah Wang Su Chin, salah seorang pengawal kerajaan....”
“Kenapa dia tidak datang?!” Laki-laki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar yang ternyata adalah Guru Besar Liang San ajukan tanya dengan suara masih keras meradang. Jelas kalau orang ini mulai diamuk hawa amarah.
“Ada beberapa tamu yang tidak bisa ditinggalkan.... Tapi dia membawa pesan untukmu....”
“Ini adalah urusan sangat rahasia! Tidak seharusnya Baginda Ku Nang mewakilkan pada seseorang meski dia adalah orang kepercayaannya! Baginda Ku Nang.... Tampaknya dia sudah menomor-satukan tamu lain setelah kotak berisi peta wasiat itu jatuh ke tangannya! Aku tak mau dibodohi!” Guru Besar Liang San membatin.
“Guru Besar Liang San.... Yang Mulia....”
“Cukup!” tukas Guru Besar Liang San. “Tinggalkan tempat ini! Katakan pada Baginda Ku Nang aku menunggunya besok malam di tempat ini juga! Ingat, suruh dia datang sendiri! Aku tak mau bicara dengan orang lain! Kau dengar?!”
Tapi....”
Lagi-lagi belum sampai orang teruskan ucapan, Guru Besar Liang San telah menukas. “Kau dengar ucapanku. Tinggalkan tempat ini!”
Tanpa menyahut ucapan Guru Besar Liang San, orang yang baru muncul balikkan tubuh. Dia perdengarkan gumaman tak jelas, lalu putar diri dan berkelebat menuruni bukit.
“Aku telah korbankan beberapa nyawa! Aku tak mau pengorbanan ini tidak ada hasilnya! Kalau besok malam dia tidak muncul, terpaksa aku akan menuju istana!” Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San tekan caping lebarnya hingga wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia berkelebat menerabas dinginnya pagi menuruni bukit.
********************
DUA
LAKI-LAKI berbaju kuning berupa pakaian khas orang Budha dengan kepala mengenakan caping lebar dan dimasukkan dalam-dalam ke kepalanya seakan wajahnya tidak ingin dikenali itu hentikan langkahnya di satu kaki bukit. Dia celingukan sebentar lalu melangkah lagi mendekati sebatang pohon. Saat lain lakilaki ini telah duduk bersandar dengan tangan kanan diletakkan di atas capingnya hingga raut wajahnya makin tertutup sulit dikenali. Sementara tangan kirinya ditopangkan pada dagunya.
“Hem.... Sudah enam hari aku berada di negeri orang. Tapi banyak kejadian tak terduga yang kualami! Kalau saja tidak turuti ucapan Guru Besar Pu Yi, tentu aku sudah tiba di tanah kelahiranku! Namun tujuh hari lagi bukanlah waktu yang lama.... Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Guru Besar Pu Yi. Hanya saja untuk sementara ini aku harus terus menyamar untuk selamatkan diri dari kejaran beberapa prajurit kerajaan! Aku juga harus menjauh dari Perguruan Shaolin untuk menjaga kecurigaan orang!” Laki-laki di bawah pohon perhatikan dirinya dengan kepala ditundukkan. “Untung aku bisa memperoleh pakaian ini dari seseorang penduduk yang baik hati....” Dia perdengarkan tawa perlahan. Lalu kepalanya kembali diangkat dan diluruskan ke depan.
“Aku heran.... Mengapa Guru Besar Pu Yi memberikan kantong yang katanya berisi peta wasiat padaku?! Padahal dia baru saja mengenalku dan belum tahu siapa aku sebenarnya! Seharusnya dia tak boleh melakukan hal ini.... Dia terlalu percaya pada orang yang belum dikenalnya.... Tapi.... Ah, mungkin dia telah memikirkan tindakannya dengan matang. Lagi pula mengapa aku berpikir sampai ke sana? Bukankah dia tidak memberikan kantong ini padaku? Dia hanya menitipkan padaku untuk jangka waktu tertentu. Dan waktu itu tinggal tujuh hari di depan!” Si laki-laki terus bergumam sendiri.
“Setelah tujuh hari di depan, aku harus segera tinggalkan negeri ini! Dengan peristiwa di atas laut beberapa hari yang lalu, aku tidak akan aman jika terus berada di....” Si laki-laki bercaping putuskan gumamannya. “Ada seseorang berlari ke arah bukit ini!” Dia tengadahkan kepala agar matanya dapat melihat. “Dari pakaiannya jelas dia bukanlah prajurit kerajaan. Tapi mengapa dia berlari ke arah bukit ini? Apakah dia salah seorang.... Ah. Siapa pun dia adanya yang jelas aku tak akan membuat urusan!”
Si laki-laki di bawah pohon tundukkan kepala hingga wajahnya seakan tenggelam di dalam caping lebarnya. Namun baru saja kepala si laki-laki bercaping bergerak menunduk, tahu-tahu orang yang tadi dilihatnya berlari dari arah depan sana, mendadak sudah tegak hanya berjarak tujuh langkah!
“Heran...,” gumam si laki-laki bercaping di bawah pohon. Walau kepala orang ini menunduk dan tidak melihat orang, namun tampaknya dia bisa merasakan kehadiran orang yang tidak jauh dari tempatnya duduk. “Dia tadi masih berada jauh di sana.... Tapi tahu-tahu dia sudah tidak jauh lagi dari tempatku! Melihat dia tidak lanjutkan larinya, pasti dia punya kepentingan denganku! Tapi bagaimana dia tahu kalau aku....”
Belum selesai si laki-laki bercaping teruskan kata hatinya, terdengar orang berdehem beberapa kali. Namun laki-laki bercaping coba bertahan untuk tidak angkat kepala meski dia tahu kalau suara deheman orang memberi petunjuk akan kehadirannya.
“Selamat jumpa lagi, Sahabat jauh....”
Laki-laki bercaping tersentak. “Telingaku pernah dengar suaranya!” katanya dalam hati namun dia belum juga angkat kepala untuk dapat melihat siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan suara.
“Dua hari aku mencarimu.... Tak tahunya kau berada di sini! Kuharap keadaanmu baik-baik saja....”
“Betul! Aku pernah dengan suaranya! Dan sepertinya dia telah mengenaliku meski aku yakin dia tidak bisa melihat wajahku!”
Laki-laki bercaping di bawah pohon terus bergumam lalu perlahan-lahan angkat kepalanya tengadah. Dari balik capingnya yang lebar, dia melirik ke depan. Di depan sana, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut berwajah bulat bermata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada batang lehernya. Pada daun telinga sebelah kiri tampak menggantung sebuah anting-anting besar. Kakek ini mengenakan sebuah jubah tanpa leher berwarna putih. Laki-laki bercaping di bawah pohon terus arahkan matanya ke bagian bawah wajah orang. Ternyata kakek di depan sana hanya memiliki tangan sebelah kiri dan juga kaki sebelah kiri!
“Kakek yang pernah bertemu denganku saat aku baru saja mengubur mayat Yang Kui Tan!” desis lakilaki bercaping. “Menurut Guru Besar Pu Yi, kakek ini bergelar Tiyang Pengembara Agung.... Seorang tokoh berilmu tinggi dan juga memiliki kepandaian sangat langka! Hem.... Dengan penyamaran ini, dia masih bisa tepat menebak, padahal kepalaku sempat kutundukkan!”
"Tiyang Pengembara Agung!” kata laki-laki bercaping lebar seraya bergerak bangkit lalu menjura hormat.
“Hem.... Rupanya kau sudah tambah pengetahuan meski selama ini kau baru bertemu beberapa orang!” kata si kakek bertangan dan berkaki satu yang tidak lain memang seorang tokoh daratan Himalaya yang dikenal kalangan persilatan dengan gelar Tiyang Pengembara Agung.
“Kau mencariku.... Tanpa aku bertanya tentu kau akan mau menjelaskan!” kata laki-laki bercaping lebar seraya tersenyum.
Dia teringat akan pertemuannya dengan si kakek di dekat pesisir beberapa hari berselang. Saat itu baik si kakek maupun si laki-laki bercaping saling tawar menawar untuk jawab pertanyaan satu sama lain. Namun karena tak ada yang mau mengalah, akhirnya keduanya gagal mengadakan pembicaraan. Hanya saja sebelum si kakek pergi, orang tua itu sempat perdengarkan sebuah syair. Dilihat dari sini, jelas membuktikan kalau laki-laki bercaping tidak bukan adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
(Lebih jelasnya tentang pertemuan Joko dengan Tiyang Pengembara Agung silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Wasiat Agung Dari Tibet)
Tiyang Pengembara Agung membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di depan murid Pendeta Sinting yang saat itu memang tengah menyamar dengan mengenakan pakaian mirip seorang Budha dan mengenakan caping lebar. “Anak muda.... Satu peristiwa besar telah terjadi....”
Dada Joko berdebar. Tanpa sadar dia melompat ke depan lalu buka mulut. “Harap kakek mau jelaskan peristiwa besar apa yang telah terjadi!”
“Kau telah bertemu orang yang selama ini kau cari?!” Tiyang Pengembara Agung bertanya.
Karena telah tahu dari Guru Besar Pu Yi siapa sebenarnya Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepala seraya berkata. “Aku memang telah bertemu dengan orang yang kucari! Apakah peristiwa besar yang kau katakan masih ada hubungannya dengan orang itu?!” Joko balik bertanya dengan dada makin berdebar.
Tiyang Pengembara Agung tidak segera menjawab. Dia putar kepala sebelum akhirnya buka mulut. “Sebelum pertanyaanmu kujawab, harap kau mau jawab dulu pertanyaanku. Kau masih memegang amanat itu?!”
“Hem.... Yang dimaksud tentu kantong ini!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati. Karena tidak lagi merasa curiga pada Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu Joko kembali anggukkan kepala tanpa angkat suara.
Meski tidak melihat orang, tapi Tiyang Pengembara Agung dapat merasakan gerakan isyarat kepala Joko. Hingga saat lain dia anggukkan kepala dengan menghela napas panjang dan berujar. “Syukur.... Berarti mereka belum bisa laksanakan niatnya! Tapi keselamatanmu makin terancam!”
“Aku belum mengerti maksud ucapanmu, Kek!”
“Anak muda.... Tiga malam yang lalu, telah terjadi peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin! Sahabat baik ku Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa itu! Lalu sebuah kotak lenyap dari ruang penyimpanan!”
Pendekar 131 terlengak. Paras wajahnya langsung berubah tegang. “Siapa yang melakukannya?!”
“Sekarang tengah dalam penyelidikan! Namun dari caranya, jelas peristiwa ini melibatkan orang dalam meski yang banyak berperan adalah orang luar!” Tiyang Pengembara Agung putar lagi kepalanya menghadap Joko. Lalu lanjutkan ucapannya. “Guru besar Wu Wen She menghilang. Kini Perguruan Shaolin dipegang oleh Guru Besar Liang San!”
“Apakah kau menduga lenyapnya Guru Besar Wu Wen She karena dia terlibat dalam peristiwa berdarah itu?!”
“Aku hanya mengenal baik Guru Besar Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok. Namun aku tidak berani menduga keterlibatan Guru Besar Wu Wen She meski kini semua orang telah menduga bahwa Guru Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa itu!”
“Mengapa kau tidak berani menduganya? Bukankah tindakannya itu telah menunjukkan kalau Guru Besar Wu Wen She terlibat? Jika tidak, mengapa dia harus melenyapkan diri?!”
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Tidak semudah itu menduga orang, Anak Muda.... Dalam pandangan dan teori, tindakan Guru Besar Wu Wen She memang mengarah pada dugaan yang kini telah meluas. Tapi kita juga harus memandangnya dari sisi lain!”
“Maksudmu...?!”
“Mungkin saja kepergiannya karena dia merasa tidak mampu melawan dan tahu banyak di balik apa yang telah terjadi!”
“Sebagai salah seorang pemimpin, seharusnya dia tidak meloloskan diri demi keselamatan pribadi!” ujar Pendekar 131.
“Seharusnya memang demikian! Tapi kita pun harus berpikir panjang. Kalau keselamatannya demi untuk membuka siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa berdarah itu dan demi untuk menyusun kekuatan baru, kurasa apa yang dilakukan Guru Besar Wu Wen She bisa kita terima.... Meski dia sekarang harus membangun kepercayaan orang!”
“Baiklah kalau begitu. Sekarang kau dapat menduga siapa orang luar yang terlibat dan berperan banyak dalam peristiwa berdarah itu?!” kata Joko.
“Itu pun masih sulit diduga! Karena harus kau ketahui, apa yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah benda yang sejak bertahun-tahun lamanya jadi incaran kalangan Bu Lim...!”
“Bu Lim.... Apa itu?!”
Tiyang Pengembara Agung tertawa. “Bu Lim adalah istilah negeri ini untuk kalangan orang persilatan!”
Joko ikut tertawa. Tiyang Pengembara Agung kernyitkan dahi. “Apa yang lucu, Anak Muda?!”
“Di kampung halamanku, kalau ada orang menyebut Bu Lim pasti artinya dia adalah istrinya Pak Lim!”
“Hem.... Ucapanmu membuatku ingat jika kau adalah orang asing di sini. Lebih dari itu kau belum perkenalkan diri padaku! Sekarang kau tak merasa keberatan bukan untuk mengatakannya padaku?!” kata Tiyang Pengembara Agung.
“Aku berasal dari tanah Jawa bagian timur. Namaku Joko Sableng....”
“Kau tentu punya seorang guru berilmu tinggi! Siapa dia?!”
“Guruku bergelar Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak!”
Tiyang Pengembara Agung picingkan matanya yang sipit. “Selain memiliki guru berilmu tinggi, tampaknya kau juga membekal senjata sakti.... Kau harus hati-hati membawa senjata saktimu itu, Anak Muda! Kau tahu.... Kalangan Bu Lim di negeri ini selalu tergila-gila dengan benda mustika!”
“Hem.... Dia bisa melihat pedang di balik pakaianku!” kata Joko dalam hati. Lalu berujar. “Terima kasih atas nasihatmu, Kek!”
“Lain daripada itu, kau sekarang harus lebih waspada lagi. Kau kini membawa amanat besar! Kau telah bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, jadi aku tak perlu menjelaskan lagi!”
“Tapi aku minta petunjukmu, Kek. Apa yang harus kulakukan sekarang?! Guru Besar Pu Yi menitipkan amanat ini padaku. Sekarang Guru Besar Pu Yi telah tiada. Kepada siapa amanat ini harus kuberikan? Saat bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, dia tidak mengatakan kepada siapa amanat ini harus kuberikan!”
“Karena amanat itu diberikan padamu dan Guru Besar Pu Yi tidak mengatakan kepada siapa lagi amanat itu harus diberikan, berarti kaulah yang harus mengemban amanat itu!”
“Jadi...?!”
“Mungkin takdir sudah menuliskan meski kau orang dari negeri jauh, namun kau harus mengemban amanat di negeri ini dan menyelesaikannya sampai tuntas!”
“Kek! Demi rimba persilatan, sebenarnya aku tidak keberatan untuk melakukan amanat ini! Tapi bukankah di negeri ini masih banyak orang berilmu tinggi dan salah satunya adalah kau sendiri? Bukankah lebih baik kau yang melakukannya?! Apalagi kau telah mengenal benar negeri ini dan orang-orang yang terlibat di dalamnya?”
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. “Takdir telah ditulis, Anak Muda.... Siapa pun tak bisa merubahnya!”
“Tapi sampai di mana amanat ini harus selesai?!”
“Sampai misteri di dalamnya terbuka dan semua orang sadar jika mereka tidak ditakdirkan untuk melakukan amanat itu! Sekaligus mereka harus maklum jika mereka tidak akan mendapat apa-apa meski mereka rela korbankan nyawa untuk mendapatkannya!”
“Hem.... Ini isyarat jika aku masih harus lama di negeri ini!” Joko membatin. Lalu setelah agak lama berpikir, dia angkat suara. “Lalu apa pertama-tama yang harus kulakukan?!”
“Kau harus mendapatkan kembali benda yang lenyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin! Karena dengan bersatunya kembali benda itu dengan apa yang ada padamu, baru pergolakan di negeri ini bisa tenang! Jika tidak, gelombang itu akan makin menggila dan akan banyak jatuh korban!”
Tengkuk murid Pendeta Sinting menjadi dingin demi mendengar keterangan Tiyang Pengembara Agung. Dengan suara agak bergetar dia berucap. “Kek.... Dalam perjalananku menuju negeri ini, di tengah laut aku telah dihadang beberapa prajurit kerajaan. Demikian juga pada beberapa malam yang lalu.... Apakah ini satu bukti jika pihak kerajaan juga menginginkan benda yang ada padaku? Dan apakah tidak mungkin peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin didalangi juga oleh pihak kerajaan?!”
“Itu satu hal yang tidak harus kau tanyakan padaku! Tapi sebaliknya harus segera kau selidiki! Karena secara tidak langsung kau telah terlibat di dalamnya!”
“Tapi akan lebih enak bagiku jika mendapat sedikit keterangan darimu, karena aku masih asing dengan negeri ini!”
“Tidak, Anak Muda.... Tahu dengan pengalaman sendiri akan lebih baik daripada tahu dengan keterangan dari mulut orang! Aku harus segera pergi....”
Suara Tiyang Pengembara Agung belum selesai, orang tua bertangan dan berkaki satu itu telah membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu sudah berada jauh di depan sana. Saat orang tua ini membuat gerakan lagi, sosoknya telah lenyap.
“Akar urusan ini dari Perguruan Shaolin. Sementara orang yang mencurigakan adalah Guru Besar Wu Wen She. Jalan satu-satunya sekarang adalah menemukan orang itu! Tapi.... Aku belum pernah bertemu dengan orangnya! Bagaimana aku bisa mencarinya?!” Murid Pendeta Sinting kebingungan. Saat itulah terlintas bayangan seorang gadis cantik di pelupuk matanya.
“Mei Hua.... Ah.... Benar! Aku harus mencarinya! Siapa tahu dia mengenali Guru Besar Wu Wen She! Pada beberapa hari yang lalu dia telah memberi keterangan dan ternyata keterangannya benar! Mungkin dia bisa membantuku lagi.... Kalaupun tidak bisa, setidaknya aku punya teman untuk bicara. Apalagi dia seorang gadis berwajah jelita!”
Joko tersenyum lalu dia berkelebat begitu saja tanpa arah tujuan meski maksud sebenarnya adalah mencari Mei Hua. (Tentang pertemuan Joko dengan Mei Hua silakan baca serial Joko Sableng dalam episode Wasiat Agung Dari Tibet)
********************
TIGA
MALAM telah turun ketika satu bayangan hitam berkelebat laksana kesetanan menuju ke satu bukit. Dalam beberapa saat si bayangan hitam telah mendaki dan tahu-tahu telah tegak di puncak bukit dengan kepala lurus ke bawah dan mata terpentang besar memperhatikan ke rimbun pepohonan di bawah sana yang makin menambah pekatnya suasana.
“Kalau malam ini dia tidak muncul, terpaksa aku akan mendatangi ke tempatnya! Aku telah melewati bahaya besar dengan taruhan nyawa! Aku tak akan tinggal diam kalau dia berani coba-coba mengelabuiku!” Orang di atas puncak bukit mendesis. Dia adalah seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pakaian hitam-hitam. Raut wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis dengan jenggot jarang dan agak panjang. Sepasang matanya besar. Dia bukan lain adalah Guru Besar Liang San.
Seperti diketahui, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Yang Mulia Baginda Ku Nang penguasa kerajaan saat ini. Dengan bantuan Baginda Ku Nang akhirnya kotak berisi peta wasiat lenyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin. Namun setelah tiga hari berlalu dari peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin, Baginda Ku Nang tidak muncul di tempat yang telah disepakati. Malah sang Baginda mengutus seseorang sebagai wakilnya untuk menemui Guru Besar Liang San. Tapi Guru Besar Liang San tidak mau bicara dengan utusan Baginda Ku Nang. Dia berpesan pada si utusan agar Baginda Ku Nang menemuinya sendiri pada malam berikutnya di tempat yang sama. Beberapa saat berlalu. Guru Besar Liang San masih coba menahan diri untuk menunggu meski dengan dada mulai geram karena orang yang ditunggu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan muncul.
“Tampaknya dia tidak akan hadir malam ini! Dia pikir aku akan berdiam diri dengan tindakannya!” Guru Besar Liang San kembali bergumam dengan seringai dingin. “Dia tak tahu.... Kalau dia coba-coba mengelabuiku, berarti baik aku ataupun dia tidak akan mendapatkan peta wasiat itu! Apalagi separo peta wasiat itu masih harus dicari!”
Guru Besar Liang San dongakkan kepala. “Kalau aku berhasil dengan baik merencanakan peristiwa di Perguruan Shaolin, apa dia pikir aku tak dapat menerobos penjagaan istana?!” Guru Besar Liang San tertawa pendek. Saat lain dia putar tubuh. Dia telah memutuskan untuk meninggalkan puncak bukit. Tapi belum sampai Guru Besar Liang San lakukan niat, sepasang matanya menangkap gerakan satu bayangan hitam yang berkelebat di kaki bukit.
“Hem.... Ada orang menuju kemari! Kalau yang muncul adalah selain orang yang kutunggu, berarti orang itu bernasib jelek! Dia tak akan turun bukit lagi dengan nyawa masih utuh!” Guru Besar Liang San kembali balikkan tubuh. Kepalanya ditengadahkan lagi. Dia menunggu dengan kedua tangan telah dialiri tenaga dalam!
“Harap kau mengerti akan keterlambatan...!” Mendadak satu suara terdengar dari arah belakang Guru Besar Liang San.
“Hem.... Rupanya dia sendiri yang muncul!” kata Guru Besar Liang San dalam hati lalu balikkan tubuh dengan kedua tangan menakup di depan dada dan kepala mengangguk. “Amitaba.... Aku gembira melihat kau sendiri yang hadir, Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Guru Besar Liang San angkat bicara. Sepasang matanya melirik tajam pada orang di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan. Kumisnya lebat, jenggotnya lebat, dan panjang. Kedua alis matanya mencuat ke atas. Sepasang matanya tajam. Rambutnya yang putih panjang digeraikan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir agak tinggi. Dialah orang yang kini menduduki takhta kerajaan di daerah Himalaya.
Dia dahulu hanya seorang pemimpin perguruan silat. Namun karena ambisinya besar ditambah dengan kepandaiannya mempengaruhi orang, lambat laun dia hampir bisa menguasai seluruh perguruan silat yang ada di daratan Tibet. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dengan caranya sendiri dia berhasil menghasut beberapa pembesar kerajaan yang saat itu berkuasa di daratan Tibet. Lalu menggandeng beberapa tokoh aliran sesat.
Pada satu saat yang dirasa tepat, Ku Nang bergerak dan akhirnya bisa menggulingkan raja yang saat itu memerintah. Mungkin karena tak mau di kelak kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ku Nang sengaja tidak menyisakan satu pun dari kerabat raja yang digulingkan.
Begitu berhasil memegang tampuk kekuasaan, Ku Nang tidak segan-segan menyingkirkan orang yang diduga akan menjadi duri penghalang. Namun sejauh ini dia coba menghindarkan diri dari perselisihan dengan perguruan silat. Tampaknya dia sadar, meski di belakangnya ada beberapa pesilat tangguh, namun sebuah perguruan silat akan menjadi petaka bagi kekuasaannya jika dia coba-coba membuat urusan.
Namun begitu, Ku Nang bukanlah orang bodoh. Dia sengaja memasang beberapa orangnya di setiap perguruan silat. Atau bahkan dia sengaja mendekati para pemimpin perguruan silat. Dengan begitu selain kekuasaannya aman, dia tahu apa yang tengah terjadi di dalam satu perguruan. Sejak masih menjadi pemimpin sebuah perguruan silat, Ku Nang telah mendengar jika Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta rahasia. Dan begitu dia berhasil naik takhta, dia tidak buang kesempatan. Dia mendekati salah satu pemimpin Perguruan Shaolin.
Karena yang dirasa dapat didekati adalah Guru Besar Liang San, maka dia pun segera mengadakan pendekatan. Dugaan Baginda Ku Nang tampaknya tidak meleset. Guru Besar Liang San menerima uluran tangan Baginda Ku Nang. Hingga untuk beberapa lama di antara kedua orang ini terjalin persahabatan. Perlahan-lahan Baginda Ku Nang mengutarakan maksudnya. Tampaknya Guru Besar Liang San menyambut baik maksud Baginda Ku Nang karena dia sendiri ternyata menginginkan peta wasiat itu. Apalagi dia tahu jika peta wasiat itu tidak akan jatuh ke tangannya karena Maha Guru Besar Su Beng Siok lebih cenderung dan sangat dekat dengan Guru Besar Pu Yi yang juga adalah kakak seperguruannya.
“Guru Besar Liang San...,” kata Baginda Ku Nang setelah agak lama terdiam. “Kuharap kau mengerti mengapa aku tidak bisa menepati janji pada malam kemarin. Ada beberapa sahabat datang. Aku tak bisa meninggalkan mereka! Lagi pula aku harus bisa menjelaskan peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin meski sebenarnya itu bukanlah urusan kerajaan. Namun kalau mereka tahu dariku soal duduk permasalahannya, kurasa posisimu akan lebih aman!”
“Amitaba.... Tapi apakah kau juga menceritakan tentang lenyapnya kotak berisi peta wasiat itu?!” Tanya Guru Besar Liang San.
“Itu harus kuceritakan! Dengan begitu mereka akan penasaran dan pasti mencari-cari Guru Besar Wu Wen She!”
“Dari mana kau tahu Wu Wen She lolos?!”
Baginda Ku Nang tertawa pendek. “Itu bukan urusan yang sulit bagiku! Dan tentunya kau setuju dengan langkah yang kutempuh! Karena dengan begitu namamu jadi bersih dan kau tak perlu memusingkan urusan Guru Besar Wu Wen She! Dia kini telah menjadi orang buruan. Bukan saja dari pihak kerajaan namun juga bagi para kalangan rimba persilatan!”
“Amitaba.... Tapi hal itu akan membuat suasana jadi kacau!”
“Urusan keamanan daratan Tibet ada di tanganku! Aku yang menciptakan suasana itu, tentu aku bisa mengendalikannya! Dan sementara kalangan rimba persilatan berburu, kita akan teruskan langkah yang sudah setengah jalan ini!”
“Tapi untuk lebih amannya, harap kau serahkan kotak itu padaku! Aku akan menyimpannya di tempat aman sebelum kita menemukan pasangannya!”
Baginda Ku Nang gelengkan kepala perlahan. “Di tempatmu baru saja terjadi peristiwa berdarah. Itu satu bukti jika tempat itu tidak aman lagi!”
“Benar! Namun peristiwa itu kita yang merencanakan!”
“Kalau rencana kita berhasil, apa orang lain tak bisa merencanakannya?! Apalagi Perguruan Shaolin tanpa ditulang-punggungi Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Aku masih punya kekuatan untuk menghadang setiap orang yang hendak menerobos! Dan aku tak akan menyimpan kotak itu di tempatnya semula!”
“Bukannya aku meremehkan kekuatanmu! Tapi bagaimanapun juga kharisma Maha Guru Besar Su Beng Shiok dan Guru Besar Pu Yi masih melekat di benak siapa saja! Kalau masih ada Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, mungkin orang akan berpikir tiga kali untuk datang menerobos. Kini, tanpa mereka berdua, mungkin mereka hanya berpikir satu kali!”
“Jadi...?!”
“Kau tak usah khawatir! Untuk sementara ini biarlah kotak itu aku yang menyimpannya! Kuharap kau percaya! Urusan kotak peta wasiat itu, hanya kita berdua yang tahu!”
“Tapi untuk lebih adilnya, bagaimana kalau kita simpan kotak itu secara bersama-sama?! Maaf.... Bukannya aku tidak percaya. Tapi kotak itu adalah peninggalan perguruanku! Aku harus tahu di mana letak penyimpanannya!”
Baginda Ku Nang terdiam beberapa lama. “Baiklah.... Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit ini! Dan agar kau tidak bimbang, aku menurut saja di mana akan kau simpan kotak itu!”
“Amitaba.... Terima kasih atas pengertianmu! Sekarang harap kau jelaskan bagaimana pengejaran terhadap orang asing yang kau katakan sebagai orang yang telah menolong dan menyembunyikan Yang Kui Tan!”
“Sampai saat ini belum ada kabar beritanya! Orang asing itu seakan lenyap!”
“Jangan-jangan dia sudah meninggalkan negeri ini!”
Baginda Ku Nang gelengkan kepala. “Seluruh perbatasan baik darat maupun laut telah dijaga ketat! Tak mungkin seseorang bisa lolos keluar dari negeri ini!”
“Bisa diketahui siapa nama orang itu dan dari mana asalnya?!”
“Belum bisa diketahui siapa nama orang asing itu! Namun dari arah datangnya, mungkin dia berasal dari negeri di sebelah selatan daratan Tibet! Dia seorang pemuda berparas tampan. Tubuhnya sedang. Namun melihat dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan, pasti dia membekal ilmu tinggi! Dan kalau benar dia bersahabat dengan Yang Kui Tan, cepat atau lambat dia akan muncul di tempatmu!”
Kali ini kepala Guru Besar Liang San menggeleng. “Peristiwa di perguruan telah tersebar luas. Kalau sampai hari ini dia tidak muncul, kecil kemungkinan dia akan datang ke tempatku! Apalagi jika telah mendengar kalau Guru Besar Pu Yi telah mampus!”
“Hem.... Lalu menurutmu, apa sebaiknya yang harus kita lakukan?!” tanya Baginda Ku Nang.
“Tak ada jalan lain. Kita harus kerahkan orang sebanyak mungkin untuk mendapatkannya! Tapi mereka hanya perlu menangkap tanpa harus membunuhnya! Karena keterangan dari mulutnyalah yang kita perlukan! Karena urusan ini sangat penting, aku juga akan turun tangan sendiri!”
“Ah.... Terima kasih kalau kau punya gagasan begitu! Tapi harap kau mau memaklumi kalau aku tidak dapat membantumu!”
“Amitaba.... Aku tahu, Baginda! Lagi pula urusan ini sangat berbahaya kalau kau ikut turun tangan sendiri! Kita sedapat mungkin harus hindarkan diri dari dugaan orang kalau pihak kerajaan ikut campur urusan perguruan silat! Apalagi ini masih ada hubungannya dengan peta wasiat yang telah berpuluh puluh tahun jadi incaran orang!”
“Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Kita harus segera berpisah. Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit! Kuharap kau telah mendapatkan tempat yang aman untuk menyimpan kotak itu!”
Guru Besar Liang San menjura. Baginda Ku Nang anggukkan kepala lalu balikkan tubuh dan berkelebat menuruni bukit. Tak berselang lama, Guru Besar Liang San ikut berkelebat dan berlari menuruni bukit. Di kaki bukit, Baginda Ku Nang terus berlari ke arah barat, sementara Guru Besar Liang San ke arah timur.
********************
EMPAT
PADA awalnya Joko memang kebingungan untuk menemukan arah di mana dia dapat menemukan Mei Hua. Namun begitu teringat di mana dia bertemu pertama kali, murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke tempat di mana dia pernah berjumpa dengan Mei Hua. Namun Pendekar 131 lebih waspada. Selain dia telah tahu benda apa yang kini berada di tangannya, dia juga tahu tempat di mana dia pernah bertemu dengan Mei Hua bukanlah tempat yang aman. Karena di tempat itu Joko sempat dihadang beberapa prajurit. Begitu memasuki kawasan luas yang hanya ditumbuhi bunga-bunga dan ilalang, Joko hentikan larinya. Caping lebarnya diangkat sedikit ke atas. Dia memandang berkeliling.
“Meski saat itu malam hari, namun aku yakin di tempat inilah aku berjumpa dengan gadis cantik itu! Tapi mana dia?!” Murid Pendeta Sinting kembali putar pandangan. Namun hingga beberapa lama, dia tidak melihat siapa-siapa!
“Mengapa aku jadi begini bodoh?! Satu purnama pun aku mencari di sini, gadis itu tak mungkin kutemukan! Di sini tidak ada tempat yang didiami penduduk! Yang ada hanya bunga-bunga dan ilalang! Saat itu pasti dia tengah kebetulan berada di sini! Hem.... Ke mana aku harus mencarinya?!” Joko menggumam seraya arahkan pandang matanya ke arah barat.
“Perguruan Shaolin tidak jauh dari sini. Apa sebaiknya aku menyelidik ke sana?! Tapi dengan peristiwa berdarah itu, tentu keadaan di sana masih sangat ketat! Setiap orang yang datang apalagi secara diam-diam pasti akan mendapat tuduhan buruk! Belum lagi jika melihat orang asing sepertiku! Ah.... Untuk sementara ini aku memang harus menjauhi Perguruan Shaolin! Tapi ke mana sekarang aku harus pergi?! Aku butuh seseorang yang....”
“Kau mencari seseorang?!” Mendadak Joko dikejutkan dengan satu suara.
“Hem.... Suara perempuan! Tapi rasanya bukan suara gadis cantik itu! Mudah-mudahan perempuan yang ini tak kalah cantiknya dengan gadis yang tengah kucari! Lebih-lebih bisa membantuku...,” kata Joko dalam hati seraya mengatasi rasa kejutnya.
Namun dia tidak segera putar diri menghadap ke arah sumber suara yang tiba-tiba terdengar. Joko tetap tegak tak membuat gerakan. Kalaupun dia bergerak, itu adalah tangan kanannya yang menekan caping lebarnya hingga masuk dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia buka suara menjawab.
“Aku memang tengah mencari dan menunggu seseorang! Bahkan hampir saja aku putus asa dan hendak pergi! Namun syukur kau telah datang!”
Dari tempat suara perempuan yang tadi terdengar, dua bayangan berkelebat. Lalu terlihat dua sosok tubuh tegak sepuluh langkah di belakang murid Pendeta Sinting. Untuk beberapa saat kedua orang yang baru muncul saling palingkan kepala ke arah tegaknya masing-masing orang. Mereka berpandangan sesaat. Jelas paras wajah mereka membayangkan keheranan.
Orang di sebelah kanan adalah seorang perempuan berusia lanjut berambut putih. Sepasang matanya sipit tanpa ditingkahi kedua alis mata di atasnya. Dia mengenakan pakaian panjang warna hitam. Di pundaknya tampak selendang panjang warna hitam yang di sampirkan hingga menjulai hampir menyapu tanah.
Di sebelah si nenek, tegak seorang gadis berparas jelita. Rambutnya yang hitam lebat dibiarkan bergerai sampai punggung. Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna kuning agak tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda. Hingga busungan dadanya yang mencuat tampak semakin menggoda. Pinggulnya besar ditingkah dengan pakaian bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisinya.
Hingga gadis ini tegak dengan kaki sedikit direnggangkan, maka tampak jelas pahanya yang padat dan mulus. Di pinggangnya yang ramping melingkar sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning. Tepat di bagian sisi kiri pinggang terlihat satu pedang pendek bergagang batu berwarna kuning pula.
Si gadis sorongkan kepala ke arah si nenek lalu berbisik. “Guru.... Apakah dia yang hendak kau temui?!”
Si nenek luruskan kepala menatap punggung Joko. “Dari sikap dan suaranya, meski aku belum tahu wajahnya aku bisa memastikan bukan dia orang yang kita cari dan sepakat untuk bertemu di sini!”
“Tapi mengapa dia yang muncul? Dan dari ucapannya tadi jelas dia menunggu kita! Jangan-jangan orang yang hendak kau temui tidak bisa hadir dan dia mewakilkan pada orang itu!”
Si nenek menyeringai. “Kalau itu yang dilakukan, berarti Wang Cen membuat satu kesalahan besar! Nama gelaran si Bayangan Tanpa Wajah yang disandangnya hanya besar di suara tapi kosong dalam Kenyataan! Terbukti dia tidak berani datang sendiri menghadapiku! Tapi mewakilkan pada manusia kecil tak berguna! Aku akan memberi peringatan pada Wang Cen agar tidak meremehkan orang!” Habis berbisik begitu, si nenek maju dua langkah.
“Mengapa Wang Cen tidak datang sendiri menemuiku?! Mengapa dia memberiku undangan untuk bertemu di sini kalau dia takut datang, hah?!” Si nenek perdengarkan bentakan garang.
Ucapan si nenek membuat Pendekar 131 terlengak kaget. Kali ini dia tak dapat lagi sembunyikan rasa kejutnya. Namun dia masih coba menahan diri untuk tidak segera berbalik menghadap orang. Hanya saja dia tahu, jika orang di belakangnya bukan satu orang! Dia tadi mendengar suara bisik-bisik namun dia tak bisa jelas menangkap apa yang dibicarakan orang.
“Busyet! Dari ucapannya jelas kalau mereka sudah sepakat untuk bertemu di sini dengan seseorang! Dan ucapanku tadi tentu mereka artikan akulah orang yang hendak menemuinya! Sial betul.... Padahal aku tadi cuma bercanda!” Joko membatin seraya lebih tekankan caping di atas kepalanya.
“Kau dengar ucapanku! Kau jawab atau tidak, sama saja nasib yang akan kau terima!”
“Gawat! Aku harus segera mencari dalih sambil menunggu orang yang sebenarnya hendak ditemuinya muncul di sini!” gumam murid Pendeta Sinting lalu perlahan-lahan dia putar diri.
Si nenek dan si gadis sama pentangkan mata. Namun karena caping di kepala Joko masuk terlalu dalam, kedua orang di hadapannya tidak bisa mengenali paras wajah orang. Hal ini membuat dada si nenek makin bergolak dibuncah rasa marah.
Pendekar 131 angkat kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata. “Amitaba.... Harap dimaafkan.... Aku tadi menduga kalian orang yang tengah kutunggu! Tapi ternyata kalian bukanlah orang yang saat ini kutunggu! Sekali lagi harap maafkan kekeliruanku....”
Sebenarnya Joko ingin melihat paras kedua orang di hadapannya. Namun karena dia tak ingin wajahnya diketahui orang, terpaksa Joko berkata dengan tanpa angkat caping lebarnya hingga dia sendiri tidak bisa melihat tampang kedua orang di hadapannya. Hanya saja Joko bisa menduga-duga berapa kira-kira usia orang yang tadi angkat suara membentak. Hal ini pulalah yang membuatnya enggan untuk angkat caping lebarnya karena dia sudah bisa mengira kalau perempuan di hadapannya tidak muda lagi!
Sementara itu, mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berparas jelita bertubuh montok di hadapannya berpaling ke arah si nenek yang dari panggilannya tadi jelas menunjukkan kalau si nenek adalah gurunya. Namun kali ini si nenek tidak ikut menoleh. Sebaliknya makin pentangkan mata seakan coba tembusi caping di kepala orang untuk dapat melihat wajah di baliknya. Saat lain tiba-tiba si nenek buka suara.
“Kalau bukan aku yang kau tunggu, siapa yang kau tunggu di sini?! Tak mungkin terjadi satu pertemuan dalam waktu dan tempat yang sama namun beda orang!”
“Amitaba.... Kukira kebetulan itu bisa terjadi kapan dan di mana saja! Dan bisa menimpa pada siapa saja! Buktinya kebetulan itu terjadi pada kita....”
“Tapi itu adalah hal yang mustahil! Kau pasti orangnya Wang Cen!” kata si nenek masih dengan suara keras.
Joko gerakkan kepala menggeleng. “Harap kalian percaya padaku! Apa pun yang kau katakan mustahil terjadi, nyatanya kebetulan itu telah benar-benar terjadi.... Aku menunggu seseorang di tempat ini, tapi bukan kalian. Aku juga bukan orangnya Wang Cen...!”
“Lalu siapa orang yang hendak kau temui?!” Kali ini yang angkat suara adalah gadis cantik di sebelah si nenek.
Dahi di balik caping lebar Pendekar 131 tampak mengernyit. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata dalam hati. “Suaranya merdu meski keras. Hem.... Dari suaranya mungkin dia seorang gadis.... Apakah aku harus melihat parasnya?! Tapi untuk apa? Aku yakin suara itu bukan milik Mei Hua....”
“Katakan siapa orang yang kau tunggu!” Si nenek membentak.
“Waduh bagaimana ini? Bagaimana aku harus mencari nama...? Tak mungkin aku berterus terang tengah mencari Mei Hua!”
“Jangan buat kesabaran kami pupus!” kata si gadis begitu agak lama Joko belum juga mau menjawab.
Entah karena kesulitan mencari nama, akhirnya enak saja murid Pendeta Sinting angkat suara. “Aku menunggu seorang bernama Hua Mei....”
“Kau sendiri siapa?!” tanya si nenek.
“Aku.... Aku Lon Tong Bu Lim....”
Si nenek dan si gadis sama kerutkan dahi dan hampir bersamaan sama gerakkan kepala berpaling dan saling pandang satu sama lain.
“Hidup berpuluh tahun di daratan ini, baru kali ini aku dengar nama itu!” ujar si nenek. “Sikap orang ini mencurigakan! Aku makin yakin dia adalah orangnya Wang Cen! Apalagi dia takut dikenali!”
Rupanya Joko mendengar ucapan si nenek meski suara tadi sangat pelan. Maka sebelum si nenek sempat angkat bicara, Joko telah buka mulut.
“Harap tidak salah duga.... Nama Lon Tong Bu Lim memang belum pernah kau dengar dan tak mungkin akan kau dengar kalau tidak bertemu denganku. Karena nama itu pemberian seseorang di daerah asalku yang jauh dari sini!”
“Hem.... Jadi kau orang asing?!” tanya si gadis.
“Dikatakan asing sekali tidak. Karena aku menetap di sini sudah hampir setengah dari usiaku! Hanya saja aku dilahirkan jauh dari sini! Kalau orang daerah sini memanggilku Han Ko! Tentu kalian pernah dengar nama itu.... Nama bagus pemberian seorang sahabat!”
“Lalu mengapa kau tutupi wajah dengan caping?! Orang yang punya niat baik tentu tak takut tunjukkan tampang!” ucap si nenek.
“Ini sudah menjadi kebiasaanku.... Dan biasanya pula, aku baru akan tunjukkan tampang jika orang telah mengatakan siapa dia sebenarnya!”
Mungkin karena ingin dan penasaran untuk segera melihat tampang orang, si nenek segera menyahut. “Aku Li Muk Cin. Namun orang lebih mengenalku dengan Ratu Selendang Asmara!”
“Hem.... Gelaran bagus.... Dan orang di sebelahmu?!” kata Joko.
“Dia Bang Sun Giok! Tapi kalangan persilatan Himalaya lebih mengenalinya dengan Dewi Bunga Asmara!” Yang menjawab adalah si nenek yang tadi sebutkan diri dengan gelar Ratu Selendang Asmara.
“Hem.... Gelar kalian membuatku jadi ingin melihat bagaimana paras wajah kalian! Kalau gelarannya ada hubungannya dengan kata asmara, tentu orangnya cantik....” Seraya berkata, tangan kanan murid Pendeta Sinting terangkat ke atas. Perlahan-lahan caping di kepalanya diangkat.
Si nenek dan si gadis sama memandang tak berkesip. “Hem.... Dari tampangnya, jelas anak muda ini bukan orang daerah sini!” kata si nenek begitu melihat tampang Pendekar 131.
Di lain pihak, gadis yang bergelar Dewi Bunga Asmara diam-diam juga membatin. “Hem.... Ternyata seorang pemuda berwajah tampan!”
Pendekar 131 sempat tersentak kala melihat paras wajah gadis di hadapannya. “Dugaanku ternyata tidak jauh meleset. Dia benar-benar gadis cantik jelita! Hanya saja aku tidak menyangka kalau dia mengenakan pakaian begitu menggoda!” Tanpa sadar sepasang mata Joko terpaku pada dada dan paha Dewi Bunga Asmara yang tampak jelas busungan dan kemulusannya.
Mendapati pandangan orang, Dewi Bunga Asmara tersenyum seraya busungkan dadanya dan lebarkan pentangan kedua kakinya. Hingga cuatan buah dadanya makin terlihat dan pakaian bawahnya makin tersingkap membuat dada Joko berdebar!
“Han Ko...,” Dewi Bunga Asmara angkat suara. “Ada yang salah pada diriku?!”
Ucapan si gadis membuat Joko sadar. Dia buru-buru alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang Asmara dengan tersenyum lebar dan gelengkan kepala. Caping lebarnya kembali dimasukkan pada kepalanya namun kini dia sengaja perlihatkan matanya.
“Kau benar-benar tengah menunggu seseorang?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
Joko menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya. Ratu Selendang Asmara menyeringai dingin. Lalu kembali buka suara. “Kalau benar ucapanmu, harap kau tunda niatmu! Hari ini aku akan bertemu seseorang di sini!”
“Hem.... Begitu?! Baiklah.... Aku akan menunggunya di sana....” Joko angkat tangan kanannya menunjuk pada satu arah.
Si nenek gelengkan kepala. “Kau dengar ucapanku! Urungkan niatmu! Kau harus pergi tinggalkan tempat ini! Aku tak mau urusanku dilihat apalagi didengar orang lain!”
“Nek.... Aku telah berjanji untuk bertemu hari ini di tempat ini! Kalau kau tak mau urusanmu dilihat atau didengar orang lain, aku akan pejamkan mata dan tutup telinga! Urusan beres, bukan?!”
“Aku tak mau ada orang lain di tempat ini! Cepat tinggalkan tempat ini!” hardik si nenek.
Joko alihkan pandangannya pada Dewi Bunga Asmara. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke jurusan lain, tatkala dilihatnya si gadis tersenyum memandangnya. “Hem.... Sebenarnya aku ingin melihat apa yang akan terjadi. Ini untuk menambah pengetahuanku tentang beberapa orang di daerah sini! Tapi kalau dia tidak menghendaki, apa boleh buat. Daripada cari penyakit, lebih baik aku pergi....”
Membatin begitu, Pendekar 131 Joko Sableng arahkan kembali pandang matanya pada Ratu Selendang Asmara lalu pada Dewi Bunga Asmara. Namun saat melihat ke arah si gadis, mata Joko bukannya menatap ke arah wajah orang, melainkan pada busungan dada Dewi Bunga Asmara. Saat bersamaan dia berkata.
“Untuk hari ini aku bersedia mengalah.... Tapi jika terjadi kebetulan untuk kedua kalinya, kuharap kalian yang ganti mengalah....”
Joko tersenyum. Lalu gerakkan kaki hendak tinggalkan tempat itu. Namun baru saja melangkah tiga tindak, dari arah samping terlihat satu bayangan berkelebat!
LIMA
PENDEKAR 131 hentikan gerakan. Kepalanya berpaling ke samping. Si gadis berpakaian kuning pentangkan mata lalu ikut menoleh. Hanya si nenek yang tetap tegak tanpa membuat gerakan! Malah melirik pun tidak! Bayangan yang baru muncul tegak dua belas langkah di sebelah samping sana. Joko memperhatikan sejenak. Tiba-tiba sepasang matanya mementang lebar. Keningnya berkerut. Dan seolah belum percaya pada pandang matanya, dia sorongkan kepala ke depan. Matanya makin dibeliakkan.
“Astaga! Kurasa mataku benar-benar melihat bayangan tanpa melihat wajahnya!”
Dewi Bunga Asmara tak kalah kejutnya. Sepasang matanya juga membelalak. Saat lain dia menoleh pada Ratu Selendang Asmara. Namun yang dipandang tetap tegak tanpa berpaling ke arah bayangan yang baru muncul yang ternyata hanyalah bayangan satu sosok tubuh. Anehnya, bayangan itu tidak memperlihatkan wajah orang! Sebaliknya bayangan itu hanyalah sebuah sosok hitam tanpa bentuk!
“Han Ko! Orang yang kutunggu akan segera muncul! Lekas tinggalkan tempat ini!” Ratu Selendang Asmara berkata pada murid Pendeta Sinting tanpa gerakkan kepala.
Mungkin masih terkesima dengan apa yang dilihat, Joko tidak turuti ucapan si nenek. Dia terus pandangi bayangan hitam tanpa bentuk. Karena ucapannya tak dituruti orang, si nenek cepat melompat. Tangan kanannya bergerak mendorong ke arah tubuh murid Pendeta Sinting. Karena masih tercenung, terlambat bagi Joko untuk berkelit dari dorongan tangan si nenek. Hingga sosoknya terlempar satu tombak! Entah agar tidak dicurigai orang, meski Joko bisa saja kuasai diri, namun dia tak berusaha untuk membuat gerakan. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya jatuh terjengkang! Saat itulah terdengar suara.
"Busss!" Pendekar 131 segera berpaling. Bayangan tanpa bentuk keluarkan asap hitam. Saat lain si bayangan tanpa bentuk lenyap tak berbekas! Belum lagi asap hitam sirna, dari arah mana tadi si bayangan tanpa bentuk datang, berkelebat dua bayangan hitam. Kejap lain tahu-tahu dua bayangan hitam telah tegak tidak jauh dari bayangan yang baru saja lenyap.
Lagi-lagi Joko dan Dewi Bunga Asmara pentangkan mata. Di depan sana tegak dua sosok bayangan. Hanya saja dua bayangan ini punya bentuk mirip sosok manusia. Cuma keduanya tidak memiliki wajah! Bagian wajah bayangan hanya merupakan lapisan daging rata. Ratu Selendang Asmara lagi-lagi tidak pedulikan dua bayangan sosok manusia tanpa wajah yang baru muncul, sebaliknya putar kepala ke arah Joko yang masih terduduk di atas tanah. Sepasang matanya mendelik angker. Saat lain terdengar bentakannya.
“Kau akan menyesal jika tidak turuti ucapanku!” Tangan kanan si nenek terangkat. Namun dia urungkan niat ketika tiba-tiba dari arah dua bayangan terdengar deruan menyambar!
Ratu Selendang Asmara cepat putar tangan kanannya yang sesaat tadi hendak lepaskan pukulan ke arah murid Pendeta Sinting. Kejap lain tangan kanannya disentakkan ke arah dua bayangan hitam tanpa wajah yang ternyata telah gerakkan tangan masing-masing. Dari gerakan tangan dua bayangan hitam tanpa wajah mencuat dua gelombang hitam disertai menderunya dua gelombang angin dahsyat. Anehnya, begitu gerakkan tangan, dua bayangan hitam tanpa wajah perdengarkan suara.
"Busss! Busss!" Saat kemudian dua bayangan hitam tanpa wajah kepulkan asap hitam dan lenyap tanpa bekas!
"Blammm! Blammm!" Terdengar dua kali ledakan keras ketika gelombang angin dari gerakan dua bayangan hitam tanpa wajah bertemu dengan gelombang yang menyambar dari tangan kanan Ratu Selendang Asmara. Beberapa tumbuhan bunga di tempat itu porak-poranda membubung ke angkasa. Tanahnya bergetar dan muncrat pula ke udara.
“Bayangan Tanpa Wajah!” Si nenek berteriak lantang. “Mengapa kau takut unjuk diri?!”
Teriakan Ratu Selendang Darah belum selesai, satu bayangan hitam berkelebat. Saat lain satu sosok tubuh telah tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat tegaknya Ratu Selendang Asmara. Pendekar 131 segera bergerak bangkit. Lalu arahkan pandang matanya pada sosok tubuh yang tegak di hadapan Ratu Selendang Asmara. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian terusan warna hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas.
Raut wajahnya telah dipenuhi dengan kerutan tanda laki-laki ini usianya sudah tidak muda lagi. Parasnya agak bulat dengan sepasang mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya, bukan hanya pakaiannya yang berwarna hitam, namun sekujur kulit laki-laki ini juga berwarna hitam legam! Hingga yang terlihat putih dari raut wajahnya adalah larikan kecil pada bagian kedua matanya!
“Bayangan Tanpa Wajah.... Hem.... Itu pasti gelar laki-laki aneh itu!” kata Joko dalam hati. “Ternyata bukan hanya di tanah Jawa ada beberapa orang yang memiliki keanehan. Dan....” Murid Pendeta Sinting putuskan kata hatinya. Sepasang matanya mendelik. “Astaga.... Keanehan apa lagi ini?!”
Laki-laki berwajah hitam di depan sana, tiba-tiba tersenyum perlihatkan giginya yang putih. Namun saat lain samar-samar raut wajahnya laksana ditutup dengan daging! Kejap kemudian raut wajahnya berubah datar tanpa bentuk! Tapi hal itu cuma berlangsung sesaat. Saat lain kembali parasnya membentuk raut wajah. Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara terkesima. Keduanya memandang tak berkesip. Lain halnya dengan Ratu Selendang Asmara. Nenek ini tetap tegak dan hanya melirik sesaat pada wajah orang yang berubah. Saat lain si nenek telah buka suara.
“Bayangan Tanpa Wajah! Hampir dua belas tahun aku menunggu pertemuan seperti ini! Kau pasti masih ingat ucapan terakhirku pada dua belas tahun yang lalu!”
Sosok laki-laki hitam yang dipanggil Bayangan Tanpa Wajah yang kini rautnya telah kembali membentuk seperti raut orang biasa, buka matanya lebar-lebar. Bukannya memandang ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menatap tajam pada Dewi Bunga Asmara. Lalu kepalanya bergerak. Kini sepasang mata-nya diarahkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang tegak di belakang sana. Masih dengan arahkan pandang matanya pada Pendekar 131, Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan suara.
“Apa yang terjadi pada dua belas tahun lalu masih terpacak pada mata dan telingaku! Tapi rupanya kau masih belum percaya diri! Kau takut kejadian lalu terulang lagi?!”
Ratu Selendang Asmara dapat menangkap maksud ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Dia tertawa pendek. Lalu buka mulut. “Aku memang penuhi undanganmu dengan membawa satu muridku! Tapi kau tak perlu khawatir! Dia hanya akan menyaksikan apa yang akan terjadi!”
Ucapan si nenek disambut Bayangan Tanpa Wajah dengan perdengarkan suara tawa bergelak panjang. “Tapi aku bukannya melihat satu orang yang kau bawa!”
Ratu Selendang Asmara putar sedikit kepalanya ke arah Pendekar 131. Di lain pihak, karena dapat menangkap gerakan kepala si nenek, Joko buru-buru alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan mulut perdengarkan siulan!
“Anak manusia itu bukan aku yang membawa! Dia berada di sini sebelum aku datang! Kau jangan berpura-pura membalik kenyataan! Bukankah dia adalah anak manusia yang kau suruh menyelidik sebelum aku datang?!”
“Aku punya beberapa sahabat yang kupercaya! Aku tak butuh bantuan seorang anak manusia! Percuma aku bergelar Bayangan Tanpa Wajah kalau masih membutuhkan bantuan manusia!”
Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah, Joko putuskan siulannya. Lalu tanpa memandang ke arah orang yang berada di situ, dia angkat bicara. “Nek.... Apa kubilang.... Aku datang ke sini karena punya janji dengan seseorang!”
“Hem.... Dari penampilan dan sosoknya, sepertinya dia bukan orang sini! Jangan-jangan....” Bayangan Tanpa Wajah membatin.
Namun belum sempat dia teruskan membatin, Ratu Selendang Asmara telah bersuara. “Kau telah dengar ucapannya, Bayangan Tanpa Wajah! Kalau kau tak suka pertemuan dilihat orang lain, tidak sulit aku mengusirnya dari sini!”
“Ratu Selendang Asmara! Sebenarnya aku memang tak ingin pertemuan ini dihadiri orang lain tak terkecuali gadis cantik di belakangmu itu!” Sepasang mata Bayangan Tanpa Wajah mengarah pada dada dan paha Dewi Bunga Asmara. “Namun, karena sudah terjadi, apa boleh buat.... Hanya saja kau harus tahu. Undanganku bukannya untuk meneruskan kejadian dua belas tahun silam!”
Si nenek kerutkan dahi. Kepalanya menyentak menghadap Bayangan Tanpa Wajah. Sepasang matanya menyengat tajam. Saat lain dia membentak. “Kau terlambat memberi tahu! Apa pun tujuan undanganmu, yang jelas kedatanganku untuk tuntaskan kejadian dua belas tahun silam! Kau tahu, selama kurun waktu dua belas tahun, hatiku tidak bisa tenang, tidurku tak bisa nyenyak! Aku selalu menunggu dan menanti pertemuan seperti ini! Jadi jangan coba-coba berdalih untuk mengalihkan persoalan!”
Bayangan Tanpa Wajah tertawa panjang seraya gelengkan kepala. “Aku tahu apa yang kau rasakan! Malah sebenarnya aku ingin sekali pertemuan seperti ini segera berlangsung agar bebanku segera selesai! Aku tak ingin dendam di dadamu terus membara! Tapi keadaan rupanya berubah.... Ada sesuatu yang mengharuskan kita untuk sementara waktu melupakan kejadian lama!”
“Tak ada keadaan yang bisa merubah niatku, Bayangan Tanpa Wajah!”
“Pada mulanya aku berpendapat sepertimu! Tapi keadaan ini benar-benar dapat merubah niatanku juga! Dan kalaupun kau tak setuju dengan usulku nanti, harap kau sabar menunggu! Aku akan selesaikan tugas terlebih dahulu lalu kita adakan pertemuan lagi untuk selesaikan sengketa lama!”
“Aku tak bisa menunggu lagi! Aku tak ingin nyawamu tercabut tangan orang lain!” kata si nenek seraya angkat tangan kiri kanannya.
“Aku bisa menjaga selembar nyawaku! Kau tak perlu gelisah pikirkan nyawaku! Dan kuharap kau dengar dulu ucapanku!”
Ratu Selendang Asmara tertawa sinis. “Baiklah.... Aku akan dengar ucapanmu. Tapi harus kau ingat, apa pun nanti yang akan kau ucapkan, semua itu tak dapat merubah niat yang kupendam selama dua belas tahun!”
Bayangan Tanpa Wajah tak pedulikan ancaman orang. Dia buka mulut tanpa membuat gerakan meski tahu kalau si nenek telah siap lepaskan pukulan. “Aku mendapat undangan dari Yang Mulia Baginda Ku Nang. Dia menjanjikan hadiah besar untuk satu pekerjaan mudah!”
“Hem.... Jadi kau telah menjadi antek kerajaan! Teruskan bicaramu!” kata Ratu Selendang Asmara seraya tertawa.
“Aku hanya diberi tugas untuk menangkap seorang pemuda asing!”
“Hik Hik Hik...! Untuk menangkap seorang pemuda asing saja kau mau bersekongkol denganku!” ujar si nenek dengan tertawa cekikikan.
“Pada awalnya aku memang tidak tertarik dengan tawaran itu. Hadiah sebesar apa pun juga tak ada gunanya bagiku! Namun satu hal yang membuatku tertarik dan menerima tawaran itu....”
“Cukup!” putus Ratu Selendang Asmara. “Aku tidak tertarik dengan lanjutan ucapanmu! Itu adalah urusanmu dan sekarang kita selesaikan urusan kita!”
“Aku belum selesai berkata!” bentak Bayangan Tanpa Wajah yang sedari tadi telah menindih gejolak amarah mendapati ejekan si nenek. “Pemuda asing itu menyembunyikan seseorang bernama Yang Kui Tan yang diduga membawa bagian dari peta wasiat yang selama ini diincar kalangan rimba persilatan!”
Sekonyong-konyong Ratu Selendang Asmara putuskan tawanya. Kedua tangannya serentak diluruhkan ke bawah. Saat lain dia melompat lalu tegak enam langkah di hadapan Bayangan Tanpa Wajah. Di lain pihak, mendengar percakapan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Pendekar 131 terkesiap kaget. Paras wajahnya berubah tegang. Dari percakapan kedua orang tadi, dia sudah maklum siapa gerangan yang dimaksud pemuda asing oleh Bayangan Tanpa Wajah.
“Apakah aku harus segera tinggalkan tempat ini?! Ah.... Itu akan menambah kecurigaan mereka! Sebaiknya aku menunggu seraya mencuri dengar percakapan mereka!” kata Joko dalam hati. Dia kembali bersiul namun sepasang telinganya dipasang dengan seksama. Kepalanya didongakkan seolah acuh dengan keadaan di tempat itu. Namun begitu, dadanya masih berdebar dan dia makin tingkatkan kewaspadaan.
“Kau tak main-main dengan ucapanmu?!” Ratu Selendang Asmara ajukan tanya.
Mendapati perubahan sikap si nenek, Bayangan Tanpa Wajah tertawa seraya gelengkan kepala. “Aku sengaja mengundangmu untuk lakukan pekerjaan ini, karena aku tahu kaulah salah satu orang yang memiliki ilmu tinggi di daratan ini!”
“Tapi kalau nanti aku setuju, bukan berarti aku mengharapkan imbalan hadiah! Yang kuinginkan adalah peta wasiat itu! Peduli setan dengan keinginan Yang Mulia Baginda Ku Nang!” kata Ratu Selendang Asmara.
“Kita punya maksud yang sama! Dan aku tahu bagaimana caranya setelah nanti peta wasiat itu berada di tangan kita!”
“Tapi menurut yang pernah kudengar, sebagian dari peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin.”
“Rupanya kau telah lama tak turun gunung hingga tak tahu apa yang telah terjadi!”
“Apa maksudmu...?!” tanya si nenek.
“Dua atau tiga malam yang lalu, terjadi peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin. Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa itu!”
“Tapi masih ada Guru Besar Liang San dan Guru Besar Wu Wen She!”
“Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu peristiwa terjadi. Kini perguruan itu dipimpin Guru Besar Liang San! Tanpa Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, rasanya mudah bagi kita untuk menerobos masuk!”
“Baik, aku terima usulmu! Kita bersatu untuk mendapatkan pemuda asing itu! Tapi apa tidak lebih baik kalau kita menerobos dahulu Perguruan Shaolin? Begitu kita berhasil, baru kita cari pemuda asing itu!”
Bayangan Tanpa Wajah gelengkan kepala. “Kalau Yang Mulia Baginda Ku Nang menginginkan peta wasiat dari pemuda asing itu, tentu dia tak akan lengah untuk membiarkan Perguruan Shaolin tanpa penjagaan beberapa orang sahabat Baginda Ku Nang. Aku yakin saat ini Perguruan Shaolin dalam pengawasan pihak kerajaan meski pengawasan itu dilakukan beberapa orang dari luar orang kerajaan. Baginda Ku Nang tidak mungkin ceroboh untuk menempatkan orang-orang kerajaan untuk mengawasi, karena hal itu akan menimbulkan urusan!”
Bayangan Tanpa Wajah hentikan ucapannya sesaat. Lalu meneruskan. “Untuk sementara ini kita terpaksa mencari pemuda asing itu! Dan sambil lalu kita pasang telinga mencari kabar bagaimana keadaan di Perguruan Shaolin!”
“Siapa nama pemuda asing itu? Dan bagaimana ciri-cirinya?!”
Pertanyaan Ratu Selendang Asmara membuat Joko segera palingkan kepala dengan kuduk merinding. Namun dia sengaja bersikap biasa malah keraskan siulannya dan bergumam tak jelas seperti orang tengah dendangkan nyanyian.
“Dia mengenakan jubah hitam. Wajahnya tampan. Tidak seorang pun yang mengetahui siapa namanya! Hanya saja menurutku dia bukan pemuda sembarangan! Dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan! Untuk itulah mengapa Yang Mulia Baginda Ku Nang mengundang beberapa sahabatnya yang dikenal memiliki ilmu tinggi untuk mencari sekaligus menangkap pemuda itu!”
“Bagaimana Baginda bisa yakin pemuda itu yang membawa peta wasiat?!”
“Aku sendiri tak tahu persis bagaimana duduk urusannya hingga Baginda Ku Nang terlibat dalam masalah ini! Tapi dari peristiwanya, jelas Yang Mulia punya hubungan dekat dengan orang dalam Perguruan Shaolin. Kalau tidak, bagaimana dia tahu kalau seseorang bernama Yang Kui Tan mengadakan perjalanan untuk mengambil peta wasiat itu dari tempat penyimpanannya?!” Bayangan Tanpa Wajah hentikan lagi keterangannya seraya menghela napas. Saat kemudian dia buka mulut lagi.
“Menurut kabar yang kudengar dari Baginda, Yang Kui Tan telah terluka parah. Namun dia masih sempat merebut sebuah perahu milik pengawal kerajaan. Panglima Muda Lie bersama beberapa anak buahnya segera mengejar. Namun karena besarnya gelombang, Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan serta beberapa orang sahabat Baginda kehilangan jejak. Ketika gelombang telah reda, tiba-tiba Panglima Muda Lie dan anak buahnya melihat perahu yang tadi ditumpangi Yang Kui Tan. Namun mereka jadi tercengang ketika mendapati si penumpang perahu bukanlah Yang Kui Tan. Melainkan seorang pemuda asing!” Bayangan Tanpa Wajah mengatur napasnya sejenak sebelum melanjurkan.
“Namun Panglima Muda Lie merasa curiga pada sebuah barang di lantai perahu yang ditutup dengan sebuah jubah hitam. Panglima Muda Lie menduga tubuh Yang Kui Tan berada di balik jubah hitam itu! Tapi si pemuda asing penumpang perahu tak mau mengaku! Akhirnya terjadi bentrok. Beberapa anak buah Panglima Muda Lie tewas. Panglima sendiri terluka! Perahu itu terus menuju ke pesisir Tibet. Namun sejak kejadian itu, si pemuda asing dan Yang Kui Tan lenyap tak ada kabar beritanya!”
“Apa kira-kira mereka tidak menyelinap masuk ke dalam Perguruan Shaolin?”
“Beberapa orang kerajaan dan sahabat Baginda Ku Nang telah diperintahkan berjaga-jaga di perbatasan daerah yang memasuki Perguruan Shaolin. Tapi sampai sejauh ini tidak ada laporan tentang kedatangan pemuda asing itu ke Perguruan Shaolin hingga terjadi peristiwa berdarah yang menewaskan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Hem.... Lalu apa rencanamu sekarang?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
“Kita mulai mencari dari pesisir!” Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah hendak berkelebat. Namun diurungkan ketika matanya melirik dia tidak lagi mendapati sosok murid Pendeta Sinting.
“Siapa pemuda itu tadi?!” Bayangan Tanpa Wajah bertanya. Sepasang matanya mengedar berkeliling mencari-cari.
Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara sama arahkan pandang matanya ke tempat di mana tadi Pendekar 131 tegak berdiri. Keduanya sama terkejut melihat sosok murid Pendeta Sinting telah tidak ada lagi di tempatnya.
“Dia mengaku bernama Han Ko! Dia tengah menunggu seseorang di sini!” Si nenek menjawab.
“Aneh.... Meski aku hanya melihat sebagian wajahnya, namun aku hampir merasa yakin dia bukan orang sini!” gumam Bayangan Tanpa Wajah.
“Dia memang mengaku dilahirkan jauh dari sini. Lagi pula mengapa kau menaruh curiga padanya? Dia tidak memiliki ilmu.... Jadi bukan dia pemuda asing itu!” kata Ratu Selendang Asmara.
“Sebagai orang yang tengah diburu, tak mungkin dia mau tunjukkan siapa dia sebenarnya! Dia pasti akan memerankan sebagai orang bodoh agar luput dari perhatian orang! Kau tertipu.... Kita kejar dia! Pasti belum jauh dari sini!”
Tanpa menunggu sambutan Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat. Ratu Selendang Asmara menyeringai dan tersenyum mengejek. Namun dia segera memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. Saat lain kedua guru dan murid ini berkelebat menyusul Bayangan Tanpa Wajah!
********************
ENAM
PENDEKAR 131 Joko Sableng berlari laksana dikejar setan. Karena dia belum paham benar daerah yang dilewati, dia berlari tanpa memperhatikan arah. Yang terpikir dalam benaknya, dia harus menjauh dari tempat di mana terjadi pertemuan antara Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Malah dia sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan. Yang terpikir hanya berlari dan berlari menjauh.
Sementara di tempat terpisah, Bayangan Tanpa Wajah tiba-tiba hentikan larinya. Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara ikut berhenti. “Kalau dia merasa tak ada kaitannya dengan urusan yang tengah kita lakukan sekarang ini, tak mungkin dia pergi begitu saja! Dan melihat kita kehilangan jejaknya, apa kau kira dia pemuda bodoh yang tak mengerti ilmu silat?” Bayangan Tanpa Wajah buka mulut seraya edarkan pandangan.
“Hem....” Ratu Selendang Asmara hanya mendehem tanpa menyahut. Namun diam-diam dalam hati dia membenarkan ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Sementara Dewi Bunga Asmara juga membatin.
“Tak kusangka jika pemuda tampan itu memiliki ilmu tinggi! Raut wajahnya memang seperti bukan orang daerah sini! Tapi apa mungkin dia pemuda asing yang dicari Bayangan Tanpa Wajah?!”
“Kau harus lakukan sesuatu! Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki, pasti dia belum jauh dari sini!” kata Ratu Selendang Asmara.
Bayangan Tanpa wajah anggukkan kepala. Kedua tangannya ditakupkan di depan kepala. Saat lain dia perdengarkan bentakan keras seraya buka takupan kedua tangannya. Saat bersamaan dari kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah mengepul asap hitam. Asap itu membentuk jalur lurus ke udara. Lalu melayang jatuh ke bawah. Begitu asap hitam menyentuh tanah, terjadi hal yang luar biasa. Asap hitam perdengarkan suara deruan.
Saat lain asap hitam membentuk dua bayangan hitam seperti sosok manusia. Hanya saja raut wajahnya rata tak berbentuk. Inilah ilmu ‘Bayangan Asap’. Sebuah ilmu yang membuat Wang Cen digelari rimba persilatan dengan Bayangan Tanpa Wajah. Karena dia bisa merubah asap hitam menjadi sosok bayangan manusia tanpa wajah. Bukan hanya itu saja, dua bayangan tanpa wajah itu bisa melepas pukulan yang dimiliki Wang Cen dan bisa menghadang pukulan orang! Wang Cen alias Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki kanan. Saat yang sama mulutnya perdengarkan perintah.
“Kejar pemuda itu!”
Seolah punya telinga seperti manusia biasa, dua bayangan hitam putar diri. Saat berkelebat satu berlari ke arah kanan dan satunya lagi berlari mengambil arah berlawanan.
“Kita mengambil arah tengah!” kata Bayangan Tanpa Wajah. Lalu berkelebat. Ratu Selendang Asmara tidak menunggu lama. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara lalu berlari di belakang Bayangan Tanpa Wajah. Sementara itu, di satu tempat yang dirasa agak aman dan banyak tempat berlindung dari batu-batuan besar, murid Pendeta Sinting memperlambat larinya. Dia memilih batu agak besar lalu menyelinap dan duduk bersandar seraya menarik napas dalam-dalam.
“Langkahku kini semakin tak bebas lagi! Selain rupaku mudah dikenali kalau bukan berasal dari daerah ini, kini banyak orang yang telah diperintah untuk mencariku! Hem.... Urusan ini ternyata tak semudah yang kubayangkan!” gumam Joko lalu pejamkan sepasang matanya berpikir apa yang kini harus dilakukan.
Belum lagi dia dapat menemukan jalan apa yang harus dilakukan, dia merasakan deruan angin pelan dari samping kiri. Tanpa buka mata dan berpaling, murid Pendeta Sinting sudah maklum kalau sekarang dia tidak berada sendirian di tempat itu. Dan belum sampai Joko membuat gerakan, satu suara terdengar.
“Jangan mimpi kau bisa lolos sebelum jawab beberapa pertanyaanku!”
Dengan dada berdebar, Joko bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan buka sepasang matanya dengan bibir tersenyum. Namun jelas senyum itu untuk menutupi rasa kejutnya. “Bayangan Tanpa Wajah!” gumam Joko dalam hati begitu melihat sosok yang tegak tidak jauh dari sampingnya. “Ke mana Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara?” Joko edarkan pandangan. Namun baru saja dia gerakkan kepala, satu suara menyeruak.
“Kau mencariku, Han Ko?!”
Pendekar 131 putar diri. Di belakangnya tegak Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. Joko tersenyum seraya mainkan ujung caping lebarnya. “Kalian mencariku...?! Atau sengaja lewat sini?!” Joko ajukan tanya.
“Bukan kami yang harus jawab tanyamu! Tapi kau yang harus jawab pertanyaan kami!” Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan suara. Saat lain kedua tangannya ditakupkan di depan kepala. Kaki kirinya menghentak ke tanah. Tiba-tiba dari arah barat dan timur tampak membubung asap hitam. Asap hitam membentuk jalur lurus lalu menukik deras dan kejap lain asap hitam masuk ke dalam kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah.
“Siapa kau sebenarnya?!” Bayangan Tanpa Wajah ajukan tanya dengan suara keras.
Murid Pendeta Sinting putar wajah menghadap Bayangan Tanpa Wajah. “Apakah kau belum diberi tahu oleh sang Ratu?!”
“Aku tanya! Jangan berani balik ajukan tanya!” sentak Bayangan Tanpa Wajah.
“Masa kecilku aku diberi nama Lon Tong Bu Lim.... Nama itu kusandang hingga aku menginjak usia sepuluh tahun. Sepuluh tahun ke atas, aku jumpa dengan seorang sahabat di sekitar daerah sini. Dia bilang aku tak cocok menyandang nama Lon Tong Bu Lim. Lalu dia memberiku nama Han Ko! Nama itulah yang kini kusandang! Tapi aku menyerah saja pada orang mau panggil yang mana boleh!”
“Kau dilahirkan di mana?!” Kembali Bayangan Tanpa Wajah ajukan tanya.
Murid Pendeta Sinting terdiam sesaat. “Aku lahir di.... Di....”
“Di mana?!” bentak Bayangan Tanpa Wajah karena Joko tidak segera lanjutkan ucapannya.
“Di kampung Nang Ku!” kata Joko dengan menahan tawa dalam hati.
Seperti halnya saat ditanya Ratu Selendang Asmara tengah menunggu siapa, Joko hanya membalik nama Mei Hua menjadi Hua Mei. Dan begitu ditanya oleh Bayangan Tanpa Wajah, karena merasa kesulitan untuk mencari nama, akhirnya Joko hanya membalik nama Baginda Ku Nang menjadi Nang Ku. Sementara mendengar jawaban murid Pendeta Sinting, kening hitam Bayangan Tanpa Wajah tampak berkerut. Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara saling lirik.
“Hem.... Selama hidup aku baru dengar nama kampung yang disebut pemuda ini! Jangan-jangan dia hanya mengarang!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati. Saat lain orang berwajah hitam legam ini kembali buka mulut ajukan tanya. “Kau dari perguruan mana?!”
“Ah.... Aku tidak masuk dalam perguruan mana pun! Aku hidup berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya! Cuma aku memang agak lama di daerah ini! Karena terus terang saja, aku punya seorang kekasih di daerah ini! Jadi tak mungkin aku teruskan perjalanan berkelana! Hanya....”
“Hanya apa?!” Kali ini yang menyahut adalah Ratu Selendang Asmara. Sementara Dewi Bunga Asmara tampak unjukkan wajah tak senang mendengar keterangan Joko. “Hanya aku tadi merasa menyesal! Kekasihku tak menepati janji! Kami telah sepakat untuk bertemu hari ini di tempat aku jumpa kalian tadi! Namun kalian tahu sendiri. Dia tidak datang untuk tepati janji! Padahal....”
“Cukup!” tukas Bayangan Tanpa Wajah. Dia melangkah mendekati murid Pendeta Sinting. Kuduk Joko jadi dingin. Namun sekuat tenaga dia coba menahan diri agar tidak gugup dan membuat orang curiga.
“Kau berkata dusta! Berpuluh-puluh tahun aku hidup di sini. Tapi belum pernah aku dengar kampung bernama Nang Ku!”
Joko tunjukkan tampang terkejut. Bukan karena orang telah tahu kalau dibohongi, namun karena seolah heran dengan keterangan orang. “Jadi kau belum pernah dengar Kampung Nang Ku?!” tanya Joko seraya tertawa bergelak. “Sekarang aku tanya, apakah kau dengar kampung bernama San Liang?!”
Bayangan Tanpa Wajah lagi-lagi kernyitkan kening. Perubahan sikap orang telah membuat Joko maklum. Dia alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. “Kalian pernah dengar?!”
Ratu Selendang Asmara tidak buka mulut menjawab atau membuat gerakan jawaban. Di sebelahnya Dewi Bunga Asmara gelengkan kepala. Joko kembali arahkan pandangan pada Bayangan Tanpa Wajah.
“Bagaimana?! Kau pernah dengar?!”
“Di daerah ini tak ada kampung bernama San Liang!”
“Hem.... Aku sekarang tak heran. Kalau kalian tak tahu Kampung San Liang, mana mungkin kalian akan tahu Kampung Nang Ku!” kata Joko seraya dongakkan kepala. Tangan kanannya diangkat lalu berucap. “Kalian pasti tahu Gunung Sim Yao In. Sebelah selatan gunung itu berjarak kira-kira seribu lima ratus tombak, ada sebuah dusun kecil yang dihuni beberapa orang. Itulah Kampung San Liang. Dari Kampung San Liang ke arah selatan lagi berjarak lima puluh tombak, ada sebuah kampung yang juga dihuni beberapa orang saja. Itulah Kampung Nang Ku! Kalau kalian tak percaya, aku bisa mengantar kalian! Tapi tidak hari ini. Sebab aku masih harus bertemu kekasihku untuk mengetahui duduk soalnya mengapa dia sampai tak datang tepati janji!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara saling pandang. Joko tersenyum lalu berkata. “Masih ada yang hendak kalian tanyakan?!”
“Kau bisa berlari cepat. Sementara kau tak berguru pada perguruan mana pun! Itu adalah hal yang mustahil!”
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. “Di kampung kelahiranku, meski hanya dihuni beberapa orang, namun setiap tujuh hari sekali diadakan lomba lari mengitari sebuah lapangan! Setiap pemenang akan mendapatkan hadiah. Malah untuk calon kepala kampung, dia harus orang yang paling cepat larinya! Itulah sebabnya setiap orang pasti berlatih lari tiap pagi dan sore. Selain untuk merebut hadiah, siapa tahu dia kelak bisa menjadi kepala kampung! Jadi harap tidak heran kalau aku bisa berlari cepat!”
Pendekar 131 pandang silih berganti pada ketiga orang yang ada di situ. Lalu tengadah dan berkata. “Hari sudah akan sore. Aku harus menemui kekasihku!” Joko luruskan kepala dan berpaling pada Dewi Bunga Asmara. Sepasang matanya melirik pada dada dan paha gadis cantik itu. Lalu tersenyum sembari kedipkan sedikit mata kirinya. Saat lain dia melangkah. Wajah si gadis tampak sedikit berubah namun bibirnya sunggingkan senyum.
“Jangan berani beranjak dari tempatmu!” Bayangan Tanpa Wajah menahan. Pendekar 131 hentikan langkah lalu menoleh. Tapi kali ini dia tak berusaha untuk angkat bicara.
“Aku tidak percaya pada semua keteranganmu! Pasti kau orang asing di negeri ini!” kata Bayangan Tanpa Wajah.
“Hem.... Aku tak aneh mendengar ucapanmu! Karena bukan sekali ini saja aku mendengarnya! Beberapa orang yang baru pertama kali melihatku pasti mengatakan seperti ucapanmu!”
“Aku harus mencobanya! Kalau benar-benar tak dapat menahan pukulanku, berarti bukan dia pemuda asing itu!” kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia angkat kedua tangannya. Sekonyong-konyong dia sentakkan tangan kiri kanan melepas pukulan jarak jauh ke arah murid Pendeta Sinting!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang deras menghampar. Meski Joko sudah waspada dan bisa menahan pukulan orang, namun karena tak mau dicurigai, dia sengaja tidak menghadang pukulan yang datang ke arahnya. Sebaliknya dia takupkan kedua tangannya di atas caping lebarnya. Saat bersamaan dia lorotkan tubuh lalu disentakkan ke bawah. Hingga saat itu juga sosoknya telungkup sejajar tanah! Namun demikian gerakannya itu menyelamatkannya dari gelombang yang datang menghajar.
"Brakk! Brakk!" Dua gugusan batu di belakang sana langsung pecah berantakan terhantam pukulan gelombang yang luput menghajar sasaran.
“Mengapa kalian hendak membunuhku?! Apa salah dan dosaku?! Apa ada ucapanku yang menyinggung perasaan kalian?! Apa ada tindakanku yang membuat kalian....”
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapannya, dua gelombang kembali telah melabrak ke arahnya. Tanah tampak berhamburan ke udara karena tersapu gelombang yang sengaja diarahkan menyusur tanah karena sosok Joko masih telungkup sejajar tanah.
“Celaka!” gumam Joko seraya mendelik.
Karena pukulan itu dilepas dari jarak yang tidak jauh, sementara posisi Joko dalam keadaan telungkup, maka sulit baginya untuk membuat gerakan menghindar. Sebab biarpun dia membuat gerakan melenting Ke udara, sambaran gelombang itu pasti masih akan melabraknya! Maka karena satu-satunya jalan adalah menghadang pukulan yang datang, terpaksa Joko angkat kedua tangannya lalu disorong ke depan.
Bummm! Bummm!
Terdengar ledakan dua kali. Tanah yang tadi hanya tersapu kini muncrat sampai satu setengah tombak ke udara. Bukan hanya itu saja, mungkin masih mengira orang tidak akan menghadang pukulannya, Bayangan Tanpa Wajah tidak siap menahan bentroknya pukulan. Hingga begitu bentrok pukulan terjadi, sosoknya sempat terhuyung tiga langkah ke belakang. Saat bersamaan, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil terus tekan caping lebarnya karena khawatir akan tersapu bias bentroknya pukulan. Dan begitu melihat huyungan sosok Bayangan Tanpa Wajah, dengan mimik seolah tak mengerti dia angkat suara.
“Apa yang terjadi...?!”
Bayangan Tanpa Wajah tegak dengan mata mendelik berkilat dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak. “Hem.... Pemuda ini ternyata membekal ilmu! Namun dia coba menutupi dengan lagak konyol!” batin Ratu Selendang Asmara. “Jangan-jangan dugaan Bayangan Tanpa Wajah benar jika pemuda inilah orang asing itu!”
“Han Ko!” bentak Ratu Selendang Asmara. “Kami tidak akan membuat urusan denganmu meski dunia kami hanya ada dua pilihan yaitu membunuh dan dibunuh! Beri keterangan yang jelas di mana kau sembunyikan orang yang bernama Yang Kui Tan! Jika itu kau lakukan, maka kau akan kubebaskan dalam urusan ini!”
“Nek.... Jangan membuatku jadi bingung dengan pertanyaan yang tak kumengerti! Aku tak kenal dengan orang yang kau sebut!”
“Berarti kau pilih masuk duniaku! Membunuh atau dibunuh!”
“Tidak, tidak!” kata Joko sembari geleng kepala. “Aku tak pilih duniamu! Karena duniaku lebih asyik.... Tak ada kata bunuh-bunuhan! Yang ada kata mesra-mesraan!”
Belum sampai ucapan Joko selesai, Bayangan Tanpa Wajah sudah membuat gerakan melompat. Bukan ke arah Joko melainkan mendekati Ratu Selendang Asmara. Saat lain dia berbisik. “Aku makin yakin pemuda inilah orang asing itu. Tapi ingat, jangan sampai dia mampus! Kita hanya perlu melumpuhkannya lalu kita korek keterangan dari mulutnya!”
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. Kejap lain kedua orang tua ini telah angkat kedua tangan masing-masing.
“Aku sudah bilang tak mau masuk dunia kalian! Mengapa kalian sepertinya memaksa?!”
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tidak ada yang menyahut. Sebaliknya cepat sentakkan tangan masing-masing melepas satu pukulan!
TUJUH
TERDENGAR deruan dua gelombang luar biasa ganas. Dua angin berkiblat laksana prahara. Untuk kesekian kalinya udara di tempat itu disamaki muncratan tanah yang tersapu gelombang. Murid Pendeta Sinting tak punya pilihan lain kecuali harus menghadang pukulan yang datang. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan serta-merta lepaskan pukulan dengan dorong kedua tangannya. Dua gelegar segera terdengar saat pukulan yang dilepas Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah bentrok dengan pukulan jarak jauh yang dilepas Joko.
Sosok Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara tampak tersurut dua langkah dengan wajah sama berubah pucat. Tangan masing-masing orang bergetar keras. Di lain pihak, sosok murid Pendeta Sinting juga tersapu dan mundur dua tindak. Paras wajahnya juga pias. Sementara di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara segera melompat begitu bentrok pukulan terjadi. Namun entah mengapa, begitu ledakan terdengar, gadis cantik bertubuh menggoda ini bukannya berpaling ke arah Ratu Selendang Asmara, melainkan menoleh ke tempat Joko tadi tegak berdiri menghadang pukulan! Wajahnya jelas membayangkan rasa khawatir dan cemas!
“Hem.... Aku sekarang jadi yakin....” Ratu Selendang Asmara bergumam dengan kepala menoleh pada Bayangan Tanpa Wajah. “Pemuda ini membekal ilmu tinggi! Kita tak boleh memandang sebelah mata kalau tidak ingin mendapat celaka!”
“Tapi ingat! Keterangan dari mulutnya sangat kita perlukan! Kalau sampai dia mampus, lepas pula apa yang kita inginkan!” sahut Bayangan Tanpa Wajah. “Kita coba dengan bentrok langsung!”
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah segera berkelebat ke depan. Ratu Selendang Asmara tidak menunggu. Begitu Bayangan Tanpa Wajah berkelebat, dia segera pula melesat ke depan.
Joko tak mau bertindak ayal. Dia tidak menunggu datangnya pukulan lawan. Begitu melihat gerakan orang berkelebat, dia cepat pula melompat dan menyongsong. Tangan kiri kanan menghadang pukulan Bayangan Tanpa Wajah, sementara kaki kanannya membuat gerakan menghadang sergapan kedua tangan Ratu Selendang Asmara! Sergapan Joko membuat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara sempat terkesiap kaget karena mereka sama sekali tidak menduga. Hingga mereka berdua lepaskan pukulan tanpa pengerahan tenaga dalam penuh karena telah dipotong oleh sergapan gerakan murid Pendeta Sinting.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. Tubuh Pendekar 131 mental balik dan terhuyung sesaat. Namun segera dapat kuasai diri meski dia merasakan dadanya nyeri dan kedua tangan serta kaki kanannya laksana menghantam dinding kokoh. Aliran darahnya menyentak-nyentak dan mulutnya tampak terbuka menutup megap-megap!
Di pihak lain, tubuh Bayangan Tanpa Wajah mencelat terbang seraya perdengarkan seruan tertahan. Orang berwajah hitam ini memang tidak sampai jatuh menghantam tanah. Namun karena sewaktu lepaskan pukulan dalam keadaan belum siap betul, maka tak ampun lagi dia merasakan dadanya sesak dan kedua tangannya lunglai. Dia cepat salurkan tenaga dalam dan mengurut dadanya ketika merasakan perutnya mual tanda ia mengalami cedera dalam walau tidak parah.
Di sebelahnya, begitu benturan terjadi, kedua tangan Ratu Selendang Asmara tampak terlempar balik ke belakang. Hal ini membuat sosoknya terputar di udara sebelum akhirnya terpelanting di atas udara. Untung nenek ini cepat membuat gerakan jungkir balik satu kali, hingga meski sempat terhuyung-huyung kala mendarat di atas tanah, namun tidak sampai terjerembab!
“Harap dimaafkan.... Aku tidak punya waktu banyak untuk terus berada di sini! Aku harus menemui kekasihku...,” ujar Joko.
“Kau tak akan meninggalkan tempat ini tanpa menjawab jujur pertanyaan kami!” sahut Ratu Selendang Asmara. Si nenek telah sentakkan selendang hitam di pundaknya. Selendang hitam panjang itu diputar-putar perdengarkan deruan angker. Tidak jauh dari Ratu Selendang Asmara, Bayangan Tanpa Wajah memandang tajam dengan mulut terkancing rapat. Kedua tangannya menakup di atas kepala.
Pendekar 131 sempat terkesiap ketika melihat paras wajah Bayangan Tanpa Wajah. Karena wajah orang ini berubah-ubah. Sesaat tampak membentuk seperti raut wajah orang biasa, namun saat lain berubah menjadi tanpa bentuk. Hal ini berlangsung terus menerus. Inilah tanda jika Bayangan Tanpa Wajah telah dilanda kemarahan besar!
Mendadak Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki kanannya. Dari takupan kedua tangannya melesat asap hitam ke udara. Dengan cepat asap hitam menukik dan menghantam tanah. Begitu bersentuhan dengan tanah, asap hitam membentuk dua bayangan sosok manusia tanpa wajah. Bayangan Tanpa Wajah buka takupan kedua tangannya lalu disentakkan ke depan. Saat yang sama dua sosok bayangan hitam tanpa wajah ikut pula gerakkan kedua tangan masing-masing. Bukan hanya sampai di situ, begitu lepas pukulan, dua sosok bayangan hitam tanpa wajah segera membuat gerakan berputar-putar. Kini dua sosok bayangan hitam itu berubah menjadi beberapa bayangan hitam!
Tiga gelombang asap hitam menyergap ganas ke arah Pendekar 131. Saat bersamaan dua sosok bayangan hitam yang berputar dan berubah menjadi beberapa bayangan terus mengitari sosok murid Pendeta Sinting. Mereka seolah tidak terpengaruh dengan gelombang asap hitam yang baru saja melesat.
Pendekar 131 cepat siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Saat itu juga kedua tangannya berubah disemburati warna kekuningan. Namun Joko tidak bisa benar-benar pusatkan perhatian. Karena perhatiannya pecah oleh beberapa bayangan hitam yang terus berputar dan mendekat ke arahnya. Dia jadi serba salah. Kalau menghadang pukulan orang, dia khawatir beberapa bayangan hitam yang berputar akan langsung menyergapnya. Namun kalau tidak menghadang pukulan orang, niscaya jiwanya tidak akan selamat! Dalam keadaan begitu rupa, Joko berpikir cepat. Dia segera melepas pukulan ‘Lembur Kuning’. Dan begitu kedua tangannya telah bergerak, dia melompat ke atas.
"Wuutt! Wuutt!" Dua gelombang dahsyat segera menyambar disertai bertebarannya hawa panas luar biasa. Sinar warna kuning berkiblat silaukan mata.
Tiga gelombang asap hitam tampak tertahan di atas udara. Lalu tersapu begitu sinar kuning berkiblat. Tiga gelombang asap hitam bertabur berantakan. Sinar kuning mental lalu porak-poranda! Terdengar tiga gelegar ledakan. Sosok Bayangan Tanpa Wajah terbang tersapu sampai satu setengah tombak ke belakang. Bersamaan dengan itu putaran beberapa bayangan hitam terhenti lalu ikut bergerak mundur beberapa langkah! Kedua kaki Bayangan Tanpa Wajah tampak menekuk lalu jatuh terduduk dengan mulut semburkan darah. Hebatnya, beberapa bayangan hitam yang sesaat mundur, tiba-tiba bergerak dan berputar lagi! Malah putarannya makin cepat dan Joko laksana hanya melihat bayangan samar-samar!
Saat itulah Pendekar 131 mendengar beberapa deruan dahsyat. Joko tak mau menunggu. Dia kembali siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’ meski sosoknya sempat terpelanting jungkir balik di atas udara. Namun belum sampai kedua tangan Joko bergerak lepaskan pukulan ke arah beberapa bayangan di bawah, satu benda hitam meliuk ganas perdengarkan suara angker. Murid Pendeta Sinting urungkan niat untuk lepaskan pukulan ‘Lembur Kuning’. Sebaliknya segera hantamkan kedua tangannya ke arah benda hitam yang bukan lain adalah selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara! Namun ternyata gerakan selendang hitam lebih cepat dari hantaman kedua tangan Joko. Hingga tanpa ampun lagi ujung selendang hitam menyambar ke arah lambung murid Pendeta Sinting.
"Breett!" Pakaian Joko langsung robek menganga. Saat yang sama beberapa gelombang dahsyat menyambar dari bawah! Joko tersentak. Kedua tangannya yang belum sempat menghantam cepat ditarik pulang lagi lalu dihantamkan ke arah beberapa gelombang yang datang.
Bummm! Bummmm! Bummm! Bummmm!
Terdengar beberapa kali ledakan keras. Beberapa bayangan hitam langsung perdengarkan suara laksana api terkena siraman air. Lalu kepulkan asap hitam membubung ke angkasa. Saat itulah terdengar bentakan keras dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Asap hitam menukik deras lalu melesat dan masuk ke dalam takupan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah yang tampak duduk bersila dengan mata terpejam.
Di atas udara sana, sosok murid Pendeta Sinting terbanting dua kali. Saat lain sosoknya melayang ke bawah. Ratu Selendang Asmara tak menunggu lagi. Tangan kanannya segera bergerak. Selendang hitam meliuk ganas. Joko masih dapat menangkap gerakan selendang hitam. Namun sudah terlambat baginya untuk membuat gerakan menghadang atau berkelit. Ratu Selendang Asmara menyeringai. Tangan kanannya yang memegang selendang hitam bergerak dua kali. Tahu-tahu tukikan sosok murid Pendeta Sinting tertahan. Joko melirik karena dia tidak bisa bernapas. Ternyata bagian perut dan dadanya telah terlilit selendang hitam si nenek!
Walau masih menahan sakit pada kedua tangan dan dadanya akibat bentrok pukulan, namun Joko masih berusaha untuk hantamkan kedua tangannya untuk memotong gerakan selendang. Tapi si nenek lebih cepat bergerak. Dia sentakkan tangan kanannya. Selendang hitam yang melilit perut dan dada murid Pendeta Sinting pun terlepas. Namun bersamaan itu sosok Joko menukik deras dan akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan mulut kucurkan darah!
Bayangan Tanpa Wajah tak sia-siakan kesempatan. Dia segera melesat ke depan dengan posisi masih duduk bersila. Tangan kiri kanannya berkelebat hendak sarangkan dua totokan dahsyat. Pendekar 131 hanya bisa memandang pada gerakan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah tanpa bisa membuat gerakan apa-apa!
"Takkkk!" Tangan kanan Bayangan Tanpa Wajah lakukan totokan pada lambung kiri Pendekar 131. Sementara tangan kiri terus berkelebat hendak sarangkan totokan pada pundak kanan murid Pendeta Sinting.
Joko berseru tertahan. Dia merasakan lambungnya kaku dan separo anggota tubuhnya sebelah kiri tegang tak bisa digerakkan! Namun Joko masih coba gerakkan tangan kanan untuk menghadang kelebatan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Tapi gerakan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah rupanya lebih cepat. Hingga baru saja murid Pendeta Sinting angkat tangan kanannya, tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sudah menyusup ke arah ketiaknya!
Satu telunjuk jari lagi tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sarangkan totokan, mendadak satu bayangan putih berkelebat. Tidak terdengar adanya gelombang yang menyambar. Namun bersamaan itu sosok tubuh murid Pendeta Sinting tersapu ke belakang lalu menyusur tanah dan akhirnya menghantam satu gugusan batu di belakang sana. Namun sapuan itu membuat dirinya selamat dari totokan tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan dengusan keras. Dia cepat berpaling ke samping kanan. Dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa adanya bayangan putih. Namun Bayangan Tanpa Wajah tidak peduli. Dia maklum kalau ada orang yang ikut campur urusannya. Hingga tanpa melihat siapa adanya orang, dia segera hantamkan kedua tangannya. Ratu Selendang Asmara terlengak melihat munculnya orang. Tanpa pedulikan pula siapa adanya orang, dia sentakkan selendang di tangan kanannya. Selendang hitam meliuk ganas.
Orang berbaju putih membuat gerakan berputar satu kali. Tangan kiri kanannya bergerak. Gelombang yang menggebrak dari kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah langsung ambyar lenyap! Bahkan bersamaan itu sosok Bayangan Tanpa Wajah terjengkang jatuh di atas tanah. Di lain pihak, tiba-tiba gerakan selendang hitam Ratu Selendang Asmara laksana dihempas gelombang luar biasa dan mental balik! Tangan kanan si nenek terlempar ke belakang.
Orang berbaju putih gerakkan tangan kirinya sekali lagi ke arah ujung selendang yang ikut tertarik ke belakang. Selendang hitam milik Ratu Selendang Asmara meliuk dan tahu-tahu melilit pada tubuh si nenek sendiri! Orang berbaju putih putar pandangan sesaat. Lalu berkelebat ke arah jatuhnya murid Pendeta Sinting. Tanpa perdengarkan suara, dia gerakkan tangan kanannya. Tahu-tahu sosok tubuh Joko sudah berada di pundak kanan orang.
Bayangan Tanpa Wajah menggeram marah. Dia cepat bergerak duduk. Kembali kedua tangannya lepas pukulan. Ratu Selendang Asmara tak berdiam diri. Tangan kirinya ikut lepas pukulan. Di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara yang sejak tadi hanya melihat seraya bergerak mundur hindarkan diri dari bias bentroknya pukulan, segera pula hantamkan kedua tangan begitu melihat orang berbaju putih angkat tubuh murid Pendeta Sinting. Gabungan pukulan tiga orang melesat angker ke arah orang berbaju putih. Di depan sana, orang berbaju putih hanya memandang sesaat. Tanpa berusaha menghadang pukulan, dia sentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat ke samping lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Blarr! Blarrr! Blarrr!" Gugusan batu di belakang mana tadi Joko terkapar langsung semburat. Tanahnya ikut bertabur menutup pemandangan.
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara hendak mengejar. Namun mendadak mereka urungkan niat masing-masing tatkala mereka berdua merasakan sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan! Di lain pihak, karena tidak merasakan seperti apa yang dialami Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat.
“Tahan!” seru Ratu Selendang Asmara, membuat Dewi Bunga Asmara hentikan gerakan. Dia berpaling pada gurunya yang perlahan-lahan melorot jatuh di atas tanah dengan selendang masih melilit tubuhnya. “Bang Sun Giok! Cepat lepas lilitan selendang ini! Lalu lepas pula totokan keparat di tubuhku!” Ratu Selendang Asmara berteriak.
“Aneh.... Bagaimana mungkin dia bisa terkena totokan?!” kata Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara dalam hati seraya melompat ke arah gurunya. Dia cepat lepaskan lilitan selendang pada tubuh Ratu Selendang Asmara.
“Apa lagi yang kau tunggu! Lepas totokan di empat jalur darah punggungku!” kata Li Muk Cin alias Ratu Selendang Asmara ketika mendapati Dewi Bunga Asmara masih diam memperhatikan.
Walau masih merasa heran, namun Dewi Bunga Asmara cepat melangkah ke belakang. Kedua tangannya bergerak di empat tempat punggung Ratu Selendang Asmara. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak pejamkan kedua matanya. Dan begitu Dewi Bunga Asmara telah gerakkan kedua tangannya, si nenek menghela napas panjang. Perlahan-lahan sepasang matanya dibuka lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah Bayangan Tanpa Wajah yang duduk bersimpuh tak bergerak-gerak. Ratu Selendang Asmara duduk bersila di depan Bayangan Tanpa Wajah. Saat bersamaan kedua tangan-nya bergerak. Jari telunjuk kedua tangannya dilipat lalu dihantamkan perlahan pada empat tempat di sekitar dada dan lambung Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah mendongak. “Orang itu melepas pukulan ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ tingkat tiga!”
“Bagaimana mungkin? Bukankah satu-satunya orang yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ sudah dikabarkan tewas karena beberapa puluh tahun terakhir tidak terdengar lagi beritanya?!” sahut Ratu Selendang Asmara dengan wajah keheranan.
“Kabar yang tersiar tidak selamanya benar. Terbukti masih ada orang yang bisa melepas ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!”
“Jadi...?”
“Aku yakin orang tadi itu adalah Bu Beng La Ma! Satu-satunya orang di daratan Tibet yang menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!”
“Hem.... Ini satu tanda kalau rencana kita akan terganjal! Mustahil kita mampu berhadapan dengan Bu Beng La Ma!”
“Ini juga satu isyarat jika pemuda itulah yang kita cari! Tak mungkin Bu Beng La Ma turun tangan tanpa ada sesuatu yang sangat penting! Apalagi akhir-akhir ini namanya sudah lenyap dari peredaran rimba persilatan. Bahkan hampir semua orang sudah menduga kalau dia telah tewas ditelan usia!” kata Bayangan Tanpa Wajah seraya beranjak bangkit mengikuti Ratu Selendang Asmara yang bangkit dahulu.
“Lalu apa yang harus kita perbuat?!”
“Kita teruskan rencana pencarian ini! Tak mungkin Bu Beng La Ma akan terus mengikuti ke mana langkah pemuda itu!” jawab Bayangan Tanpa Wajah seraya menahan dadanya dengan kedua tangan karena masih terasa nyeri.
“Selama ini aku hanya mengenal Bu Beng La Ma tanpa tahu di mana tempat tinggalnya! Kau tahu di mana tokoh itu berdiam diri?!” tanya Ratu Selendang Asmara.
“Mendiang guruku pernah bercerita. Bu Beng La Ma tinggal di sebuah kuil di puncak bukit. Karena kuil itu tidak beratap, kalangan rimba persilatan saat itu menamakannya Kuil Atap Langit.”
“Tempatnya...?!”
“Perjalanan dua hari dua malam dari pesisir ke arah utara!”
“Kita harus ke sana!” kata Ratu Selendang Asmara. “Kita tunggu sampai pemuda itu turun bukit! Dan sedapat mungkin kita hindari bentrok dengan Bu Beng La Ma!”
Tanpa menunggu jawaban dari Bayangan Tanpa Wajah, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewi Bunga Asmara. “Sun Giok! Kau pulanglah! Perjalanan ini sangat berbahaya!”
Dewi Bunga Asmara geleng kepala. “Aku ikut!”
Karena sudah tahu bagaimana sifat muridnya, meski amat berat pada akhirnya Ratu Selendang Asmara tak bisa mencegah. “Tapi kau harus berhati-hati! Jangan berani lancang melepas pukulan kalau tidak dalam keadaan terpaksa! Kau kuajak hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi padaku!”
Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala meski dalam hati dia mengatakan sebaliknya. “Aku sudah besar. Aku tahu apa yang harus kulakukan!”
“Kita berangkat sekarang!” kata Ratu Selendang Asmara. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara. Saat lain si nenek mendahului berkelebat. Disusul kemudian oleh Dewi Bunga Asmara. Bayangan Tanpa Wajah menyusul di belakang.
********************
DELAPAN
YANG Mulia Baginda Ku Nang melangkah mondarmandir di ruangan tidak begitu besar yang hanya diterangi sebuah lampu kecil, hingga suasana ruangan itu tampak temaram. Ruangan itu terletak di bagian samping ruang tidur yang besar. Namun ruangan di mana sekarang Baginda Ku Nang berada lebih penting keberadaannya. Karena di ruangan inilah Baginda Ku Nang meletakkan semua pusaka kerajaan. Di ruangan ini pula Baginda Ku Nang sering menyendiri. Yang Mulia Baginda Ku Nang hentikan langkahnya ketika telinganya mendengar suara langkah-langkah kaki mendekati ruangan di mana dia berada. Saat lain pintu ruangan diketuk orang.
“Masuk!” kata Baginda Ku Nang.
Pintu ruangan berderit membuka. Cahaya lampu terang menerobos masuk dari lampu di luar. Satu sosok tubuh kekar tampak tegak di ambang pintu. Orang ini bungkukkan tubuh.
“Panglima Su Jin! Masuklah!” Baginda Ku Nang kembali buka mulut.
Orang di ambang pintu yang dipanggil Panglima Su Jin kembali bungkukkan tubuh. Dia adalah seorang laki-laki berumur empat puluh tahun. Wajahnya garang. Rambutnya disanggul tinggi. Dia mengenakan pakaian kebesaran seorang panglima. Tanpa buka mulut, dia melangkah masuk. Setelah menutup pintu dia melangkah mendekati Baginda Ku Nang yang begitu buka mulut langsung balikkan tubuh.
“Bagaimana?! Apakah pekerjaan itu selesai?!” Baginda Ku Nang ajukan tanya dengan tubuh masih membelakangi Panglima Su Jin. Tangan kirinya tampak dirangkapkan di depan dada, sementara tangan kanan mengelus jenggotnya.
“Pekerjaan itu selesai, Yang Mulia!”
Baginda Ku Nang cepat balikkan tubuh menghadap Panglima Su Jin. Sepasang matanya memandang tajam. Bukan pada paras wajah orang di hadapannya, melainkan pada kedua tangan orang yang memegang dua kotak kulit.
“Hem.... Bagus! Aku ingin lihat hasilnya!” kata Baginda Ku Nang. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Panglima Su Jin memberikan dua kotak di tangannya. Dengan tersenyum Baginda Ku Nang membawa dua kotak kulit ke sebuah meja. Lalu perlahan-lahan dua kotak kulit diletakkan berdampingan. Saat lain tangan kiri kanan sang Baginda telah bergerak membuka dua kotak kulit di atas meja. Pada masing-masing kotak, terlihat satu gelang agak besar terbuat dari baja. Lingkaran pada setiap gelang itu sebesar jari telunjuk berwarna putih. Pada setiap gelang terlihat satu sambungan yang nyaris tidak tampak. Di bawah gelang terlihat kain beludru berwarna merah.
“Hem.... Nyaris sempurna tanpa cacat!” gumam Baginda Ku Nang dalam hati sambil anggukkan kepala. “Panglima! Mendekatlah kemari!”
Panglima Su Jin melangkah mendekati Baginda Ku Nang lalu tegak di sampingnya. Matanya memandang silih berganti pada gelang di dalam kotak kulit.
“Kau tunjuk mana yang asli!” kata Baginda Ku Nang.
Panglima Su Jin sorongkan kepalanya. Untuk beberapa lama dia pentangkan mata memandang silih berganti pada gelang baja. “Maaf, Yang Mulia.... Mataku tak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang buatan!” ujar Panglima Su Jin seraya gelengkan kepala.
Baginda Ku Nang tertawa perlahan. “Mundurlah!” perintahnya.
Panglima Su Jin surutkan langkah. Baginda Ku Nang maju lalu mengambil salah satu gelang di dalam kotak. Dia pegang bagian samping kiri kanan sambungan gelang yang nyaris tidak terlihat. Perlahan-lahan Baginda Ku Nang menarik sambungan gelang. Sambungan gelang bergerak ke samping kanan kiri. Bersamaan itu terlihat sebuah gulungan kain kecil berwarna putih di dalam batangan gelang. Baginda Ku Nang menarik gulungan kain di batangan gelang. Kain itu agak keras hingga mudah untuk menarik dari luar. Dengan masih sunggingkan senyum, sang Baginda membuka gulungan kain. Ternyata kain putih itu kosong tanpa ada tulisan atau gambar!
Baginda Ku Nang memperhatikan sesaat. Lalu angkat kain putih dan diterawangkan pada lampu kecil di sudut meja. Dia anggukkan kepala lalu kembali menggulung kain putih hingga kecil dan saat lain dimasukkan kembali ke dalam batangan gelang. Kedua kotak kulit ditutup kembali. Lalu Baginda Ku Nang putar tubuh menghadap Panglima Su Jin.
“Bagaimana dengan si pembuatnya?!”
Panglima Su Jin bungkukkan tubuh. “Sesuai perintah, si pembuat telah kami kubur!”
“Bagus! Ingat, Panglima! Hanya kau seorang yang tahu urusan ini! Kalau mulutmu membuka, kau tahu akibatnya!”
Panglima Su Jin anggukkan kepala. “Kami tahu apa akibatnya, Yang Mulia! Harap Yang Mulia tidak meragukan tindakan kami!”
“Hem.... Sekarang keluarlah! Mulai malam ini perketat penjagaan istana. Jangan biarkan masuk orang yang tidak dikenal! Lalu cari kabar mengenai beberapa orang sahabatku yang mendapat tugas mengawasi Perguruan Shaolin. Malam ini aku ada urusan. Siapa pun yang hendak menemuiku, katakan suruh menunggu sampai besok!”
Panglima Su Jin kembali anggukkan kepala. Saat lain dia melangkah ke arah pintu. Setelah membungkuk sekali lagi, dia tutupkan pintu dan melangkah menjauhi ruangan. Begitu pintu tertutup, Baginda Ku Nang balikkan tubuh. Dia mengambil salah satu kotak kulit lalu membuka sebuah almari kecil di pojok ruangan. Kejap lain dia melompat kembali mendekati meja. Lampu kecil dimatikan. Beberapa saat kemudian dia keluar dari ruangan dengan mengenakan pakaian hitam-hitam. Tangan kanannya menjinjing kotak kulit.
********************
Di kaki bukit, sosok berpakaian hitam-hitam itu tampak tegak bersandar pada sebatang pohon. Sesekali kepalanya bergerak memandang ke satu jurusan. Meski suasana gelap, namun sosok ini tampaknya bisa melihat keadaan. Terbukti ketika satu sosok hitam berkelebat ke arahnya, sosok yang tegak bersandar ke batangan pohon ini langsung menyongsong.
“Amitaba.... Aku sudah merasa khawatir, Yang Mulia!” kata laki-laki yang tadi bersandar di batangan pohon seraya takupkan kedua tangan di depan dada.
Orang yang baru muncul dan ternyata laki-laki berpakaian hitam-hitam yang tangan kanannya membawa sebuah kotak kulit dan bukan lain adalah Yang Mulia Baginda Ku Nang tertawa pendek. “Kita telah melangkah menempuh bahaya, Guru Besar Liang San! Dan aku tak mau semuanya berakhir dengan sebuah pengkhianatan!”
“Amitaba.... Terima kasih, Yang Mulia!” kata lakilaki yang tadi tegak bersandar di batangan pohon yang ternyata adalah Guru Besar Liang San.
“Kau telah menemukan tempat yang aman dan sesuai untuk menyimpan kotak ini?!” tanya Baginda Ku Nang.
Guru Besar Liang San menjawab dengan anggukkan kepala. Baginda Ku Nang tersenyum lalu memberikan kotak kulit di tangannya pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San memandang sesaat dengan sikap bimbang. Baginda Ku Nang lagi-lagi tersenyum.
“Kau yang memilih tempat. Kuharap kau yang membawanya pula!”
Kebimbangan pada raut wajah Guru Besar Liang San lenyap seketika. Dia segera sambuti kotak kulit dari tangan Baginda Ku Nang. Dia memandang sejenak lalu anggukkan kepala dan berucap. “Harap Yang Mulia mengikutiku....”
Baginda Ku Nang memberi isyarat dengan lempangkan tangan kanannya mempersilakan Guru Besar Liang San bergerak dahulu. Tanpa menunggu lama, Guru Besar Liang San berkelebat. Baginda Ku Nang mengikuti dari belakang setelah putar pandang berkeliling. Setelah berlari kira-kira seratus tombak, pada sebuah aliran sungai kecil, Guru Besar Liang San hentikan larinya. Baginda Ku Nang ikut hentikan gerakan. Lalu mendekati Guru Besar Liang San.
“Kau percaya tempat ini aman?!” tanya Baginda Ku Nang.
“Aku telah menyelidik tempat ini beberapa purnama. Harap Yang Mulia percaya!”
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San melangkah mendekati sebuah batu padas. Sang Baginda mengikuti dari belakang dengan mata terus memperhatikan berkeliling. Guru Besar Liang San jongkok di dekat batu padas. Perlahan tangan kirinya bergerak. Batu padas terangkat. Terlihatlah satu batu yang di tengahnya berlobang agak besar.
“Hem.... Ternyata dia sudah menyiapkan tempat! Jadi dia benar-benar telah merencanakan semua ini dengan cermat!” kata sang Baginda dalam hati.
Guru Besar Liang San pandangi kotak kulit di tangan kanannya. Lalu beralih pada Baginda Ku Nang yang tegak tidak jauh di sampingnya. Rupanya sang Baginda dapat menangkap arti pandangan orang. Hingga seraya tersenyum dia berkata.
“Agar tidak terjadi ganjalan hati, harap Guru Besar Liang San sudi membuka kotak itu!”
Paras wajah Guru Besar Liang San tampak berubah. Namun kotak kulit segera diletakkan di atas tanah. Perlahan-lahan dia buka kotak kulit. Sepasang matanya membesar memperhatikan gelang di dalam kotak. Dada Baginda Ku Nang berdebar. Dia tidak perhatikan gelang di dalam kotak, melainkan pada gerakan kepala Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tutupkan kembali kotak kulit. Kepalanya berpaling tengadah ke arah sang Baginda dengan bibir tersenyum. Baginda Ku Nang menghela napas. Dengan cepat Guru Besar Liang San angkat kotak kulit. Lalu diletakkan ke dalam lobang batu. Tangan kirinya yang masih menahan batu padas segera diturunkan. Batu padas kembali ke tempatnya seperti se mula. Lobang di dalam batu lenyap tidak kelihatan.
“Yang Mulia.... Tempat ini hanya kita berdua yang tahu. Harap tidak mengambilnya tanpa adanya salah satu dari kita!”
“Aku mengerti, Guru Besar Liang San! Dan kita harus cepat tinggalkan tempat ini!”
Baginda Ku Nang berkelebat terlebih dahulu. Guru Besar Liang San tersenyum lalu melesat menyusul. Pada satu tempat, Baginda Ku Nang berhenti dan langsung buka mulut. “Kau masih tetap dengan rencanamu untuk turun tangan sendiri memburu setengah dari peta wasiat itu?!”
“Perjalanan ini telah sampai pada pertengahan. Akan sia-sia semua yang telah kita lakukan kalau berhenti sampai di sini! Kuharap Yang Mulia bersabar menunggu kabar! Begitu aku berhasil, aku akan segera menemuimu!”
“Tapi....”
“Aku tahu, Yang Mulia.... Hari ganda sepuluh memang enam hari di muka. Berarti aku cuma memiliki waktu enam hari. Tapi aku yakin, dalam kurun waktu enam hari ini, aku bisa mendapatkan setengah dari peta wasiat itu! Sekarang juga aku akan mulai melakukan perjalanan!”
Baginda Ku Nang anggukkan kepala tanpa perdengarkan suara. Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. Tanpa berkata lagi, dia segera berkelebat tinggalkan Baginda Ku Nang yang perhatikan kepergian Guru Besar Liang San dengan bibir sunggingkan senyum!
********************
SEMBILAN
KARENA tahu dirinya diselamatkan, Pendekar 131 tidak berusaha buka mulut bertanya pada orang yang membawanya lari. Bahkan dia juga tidak berusaha untuk mengenali paras wajah orang dengan angkat kepalanya yang kini menggelantung tepat di dada orang. Sebaliknya dia pejamkan mata lalu salurkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dada sekaligus untuk membuyarkan totokan pada lambung kirinya. Namun setelah agak lama kerahkan tenaga dalam, murid Pendeta Sinting hanya bisa kurangi rasa nyeri pada dadanya dan gagal buyarkan totokan yang bersarang pada lambung.
“Jangan paksakan diri untuk membuyarkan totokan itu, Anak Muda!” Tiba-tiba terdengar teguran dari mulut orang yang membawa lari ketika Pendekar 131 berusaha lagi kerahkan tenaga dalam untuk membuyarkan totokan orang. “Ilmumu memang tinggi, namun bukan berarti kau mudah untuk melepaskan diri dari totokan itu! Dibutuhkan cara sendiri untuk lakukan hal itu!”
Pendekar 131 urungkan niat. Perlahan-lahan dia buka sepasang matanya lalu dia coba angkat kepala untuk mengenali orang. Namun baru saja kepalanya bergerak, terdengar lagi ucapan.
“Kau nanti akan tahu. Tak usah khawatir atau cemas!”
Murid Pendeta Sinting batalkan angkat kepala. Dan tanpa banyak mulut, dia pejamkan lagi matanya. Joko tidak tahu ke mana arah yang tengah dituju orang yang membawanya lari. Dia baru buka matanya yang membawanya terasa memperlambat larinya. Malah kini melangkah. Karena saat itu suasana telah gelap, Joko tidak tahu tengah berada di mana. Yang jelas dia merasa ada di tempat ketinggian karena begitu arahkan pandangan berkeliling, yang terlihat adalah hamparan tempat kosong!
Pendekar 131 mulai khawatir. Dia putar kepala melihat ke bawah. Samar-samar matanya melihat tangga naik dari batu. Tapi Joko segera pejamkan matanya kembali tatkala merasakan orang yang membawanya mulai berlari lagi hingga membuat kepalanya pening jika terus memandang ke arah tangga naik di bawahnya. Joko baru buka matanya kembali ketika merasakan orang yang membawanya hentikan langkah dan perlahan-lahan meletakkan tubuhnya di atas lantai batu. Joko cepat bergerak hendak bangkit. Dia lupa akan keadaan dirinya yang masih tertotok lambung kirinya hingga separo tubuhnya tak bisa digerakkan.
“Jangan bergerak dulu, Anak Muda!” Terdengar suara teguran.
Saat yang sama Joko merasakan sentuhan lembut pada dua tempat di lambungnya. Bersamaan itu Joko merasakan aliran darahnya lancar. Ketegangan pada lambung kirinya lenyap! Merasa sudah bisa bergerak, Joko cepat bergerak duduk. Pandang matanya membentur pada satu sosok tubuh seorang kakek mengenakan jubah putih duduk bersila di hadapannya. Parasnya agak tirus. Kumis dan jenggotnya panjang serta putih. Rambutnya yang juga telah memutih disanggul tinggi ke atas dan diikat dengan kain warna merah. Sepasang matanya agak sipit. Tepat di tengah keningnya terdapat bundaran sebesar ibu jari berwarna putih mengkilat.
“Terima kasih atas bantuanmu, Kek...,” kata Joko sambil menjura.
Orang tua yang di keningnya terdapat gambar bundaran warna putih berkilat tersenyum lalu balas anggukkan kepala.
“Kek.... Boleh aku tahu siapa dirimu?!”
“Itu tidaklah begitu penting, Anak Muda. Sebaliknya justru aku yang harus ajukan tanya untuk tahu siapa dirimu dan mengapa sampai terlibat bentrok dengan tokoh negeri ini yang dikenal orang dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara....”
Pendekar 131 berpikir sesaat. Dia memandang agak lama pada orang tua yang duduk di hadapannya. Orang yang dipandang tampaknya tahu apa yang dipikirkan murid Pendeta Sinting. Dengan tersenyum dia buka mulut.
“Anak muda.... Kau tak usah memaksakan diri kalau merasa keberatan dengan pertanyaanku tadi....”
Joko gelengkan kepala. “Dia telah menyelamatkan aku. Rasanya tidak pantas kalau aku berdusta padanya. Apalagi kulihat sikapnya seperti orang baik-baik!” kata Joko dalam hati lalu buka suara. “Aku Joko Sableng, Kek....”
“Hem.... Dari nama dan paras wajahmu, tentu kau bukan berasal dari negeri ini!” kata si orang tua berjubah putih.
“Benar.... Aku hanya kebetulan hingga sampai di negeri ini!” Lalu Joko menceritakan mengapa sampai terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Namun Joko masih coba tidak menyinggung-nyinggung soal peta wasiat.
“Hem.... Biasanya, kalau tokoh macam Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara turun dari kediamannya, pasti ada sesuatu yang sangat penting! Dan melihat mereka coba membuat urusan denganmu, tentu urusan penting itu ada padamu! Dan kalau dihubungkan dengan kejadian yang peristiwanya baru saja terjadi di Perguruan Shaolin, mungkin kau masih ada hubungannya dengan semua itu!”
Pendekar 131 tidak menyahut. Dia tengah tenggelam dalam kebimbangan antara menceritakan terus terang apa yang dialaminya semenjak dari pertemuannya dengan Yang Kui Tan hingga sampai terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara.
“Anak muda.... Kau masih beruntung. Saat bentrok tadi kulihat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara belum perlihatkan jurus-jurus andalannya! Sepertinya mereka hanya ingin membuatmu lumpuh. Hal ini makin membuatku yakin jika mereka memerlukan sesuatu atau setidaknya ada yang diharapkan darimu! Aku tidak memaksamu untuk memberi keterangan. Namun kalau kau mau mengatakannya, tentu sedikit banyak aku bisa mencarikan jalan keluar. Karena mereka berdua pasti akan terus mengejarmu sebelum mereka dapatkan apa yang mereka harapkan!”
Mendengar ucapan si orang tua dan setelah menimbang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting menceritakan terus terang apa yang dialaminya mulai dari pertemuannya dengan Yang Kui Tan sampai terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Orang tua di hadapan Pendekar 131 tampak sedikit tercengang mendengar penuturan keterangan Joko. Dia beberapa kali menghela napas panjang. Lalu berkata setelah Joko mengakhiri penuturannya.
“Kau bernasib baik, Anak Muda.... Tapi kau juga harus menanggung beban bahaya dalam mengarungi kebaikan nasibmu ini.... Sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, urusan peta wasiat itu memang telah banyak dibuat pembicaraan kalangan rimba persilatan sampai para penguasa kerajaan meski secara diamdiam. Hanya saja karena kharisma Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, selama ini tidak pernah terjadi hal-hal buruk apalagi sampai pertumpahan darah demi peta wasiat itu! Walau aku punya dugaan, selama ini banyak orang yang menunggu saat tepat untuk bergerak dan mengambil peta wasiat itu!” Si orang tua berjubah putih sesaat hentikan ucapan. Lalu melanjutkan setelah menghela napas beberapa kali.
“Beberapa hari yang lalu, aku hendak berkunjung menemui Maha Guru Besar Su Beng Siok. Ini adalah untuk pertama kalinya aku turun dari tempatku ini selama hampir sepuluh tahun terakhir. Sebenarnya aku sudah tak ingin lagi turun, tapi demi mendengar Maha Guru Besar Su Beng Siok yang juga adalah sahabat baikku tengah mengalami sakit keras, aku terpaksa hendak menemuinya! Tapi ternyata kedatanganku sudah terlambat....”
Karena sudah mendengar apa yang terjadi di Perguruan Shaolin dari Tiyang Pengembara Agung, Joko segera angkat suara. “Orang tua.... Kau dapat menduga siapa kira-kira di balik peristiwa berdarah itu?!”
Yang ditanya gelengkan kepala perlahan. “Tidak baik mencurigai orang tanpa melihat dahulu buktibukti yang kuat! Tapi aku bisa memastikan jika ada orang dalam yang ikut terlibat dalam peristiwa itu!”
“Orang tua! Kau juga telah dengar kalau Guru Besar Wu Wen She tiba-tiba lenyap begitu peristiwa terjadi?!”
“Aku dengar hal itu. Tapi itu bukanlah satu-satunya yang dapat dijadikan bukti keterlibatan Guru Besar Wu Wen She!”
“Lalu mengapa dia melenyapkan diri?! Bukankah tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan?!”
“Bagi orang yang berpikir panjang, tidak akan semudah itu menjatuhkan kecurigaan!”
“Kau bisa memberikan alasan?!”
“Secara diam-diam aku berhasil masuk Perguruan Shaolin. Rupanya bukan hanya Guru Besar Wu Wen She yang lenyap begitu saja!”
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut. “Jadi...?!”
“Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun juga lenyap! Kuduga anak itu dibawa Guru Besar Wu Wen She!”
“Tapi apa hubungannya anak kecil itu dengan peristiwa yang terjadi?!”
“Anak muda.... Beberapa tahun yang lalu, sahabatku Maha Guru Besar Su Beng Siok sempat berkunjung kemari. Saat itu baru saja terjadi pergantian kekuasaan dari Yang Mulia Baginda Lo pada Baginda Ku Nang yang menjadi penguasa sekarang! Dia bercerita bahwa kalau dirinya telah menyelamatkan seorang anak kecil. Dan anak kecil Ku adalah putra dari Yang Mulia Baginda Lo yang digulingkan dengan kekerasan oleh Yang Mulia Baginda Ku Nang....” Si orang tua berjubah putih berhenti sebentar. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain lalu melanjutkan.
“Aku memberi ingat padanya agar berhati-hati. Karena jika sampai tindakannya itu diketahui pihak kerajaan, maka malapetaka tidak akan bisa dihindari lagi. Maha Guru Besar Su Beng Siok memberi alasan, jika penyelamatan itu semata-mata didasarkan pada kemanusiaan tanpa menghubung-hubungkan dengan kedudukan. Dan dia ingin menjadikan dan membimbing anak itu agar nantinya dapat menerima kenyataan tanpa harus membalas apa yang telah terjadi! Dan dia juga merahasiakan hal ini. Mungkin hanya aku dan Guru Besar Pu Yi yang tahu. Dan kalau pada akhirnya Guru Besar Wu Wen She lenyap bersama anak itu, berarti salah satu dari Maha Guru Besar Su Beng Siok atau Guru Besar Pu Yi telah memberitahukan siapa sebenarnya anak itu pada Guru Besar Wu Wen She.... Itulah salah satu alasanku mengapa aku menduga Guru Besar Wu Wen She bukan orang yang di belakang peristiwa berdarah itu!”
“Bagaimana dengan Guru Besar Liang San atau pihak kerajaan sendiri? Karena waktu di atas laut, Panglima Muda Lie jelas-jelas menginginkan tubuh Yang Kui Tan! Pihak kerajaan tampaknya sudah tahu jika Yang Kui Tan membawa sebagian peta wasiat itu! Ditambah dengan percakapan Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wajah, aku yakin pihak kerajaan terlibat dalam urusan ini!”
“Ini memang sesuatu yang aneh. Selama ini pihak kerajaan tidak pernah melibatkan diri dalam urusan rimba persilatan secara terang-terangan. Dan melihat pihak kerajaan tahu persis siapa Yang Kui Tan dan apa yang tengah diembannya, jelas ini memberi bayangan ada orang dalam yang berhubungan erat dengan pihak kerajaan! Tapi untuk saat ini hal itu tidak begitu penting untuk dipikirkan, Anak Muda....”
“Mengapa begitu, Kek?!”
“Kalau kau memikirkan dan hendak menyelidik urusan itu, dibutuhkan waktu lama. Sementara hari ganda sepuluh di mana peta wasiat itu bisa terlihat, sudah tidak lama lagi! Jadi yang penting sekarang adalah mencari jejak di mana peta yang lenyap dari Perguruan Shaolin saat terjadinya peristiwa berdarah itu!”
“Tapi tanpa mengetahui siapa orang dalam yang terlibat, rasanya akan sulit mencari jejak peta yang lenyap itu!”
“Betul, Anak Muda. Tapi kau harus hindarkan diri menyelidik orang-orang kerajaan! Itu akan membuat langkahmu tersendat. Kalaupun kau ingin menyelidik, mulailah dari orang dalam Perguruan Shaolin!”
Joko anggukkan kepala. “Kalau Guru Besar Wu Wen She sudah termasuk orang yang bersih dari keterlibatan dengan urusan ini, sekarang tinggal Guru Besar Liang San!” kata murid Pendeta Sinting dalam hati lalu ajukan tanya.
“Orang tua. Menurut penilaianmu, bagaimana Guru Besar Liang San?!”
“Aku tak begitu banyak tahu tentang dia. Aku hanya akrab dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!”
“Terima kasih atas semua keteranganmu, Orang Tua. Tapi sebelum aku pergi, mau kau mengatakan siapa dirimu?”
Orang tua di hadapan Joko tersenyum. “Aku Bu Beng La Ma.... Waktu seusiamu dulu, aku memang pernah melibatkan diri dalam kancah rimba persilatan. Namun begitu eyang guruku meninggal, aku diberi pesan oleh mendiang eyang guruku untuk menetap di sini. Ini adalah tempat tinggal eyang guruku.... Orang-orang menamakan tempat ini Kuil Atap Langit! Kau lihat ke atas....”
Pendekar 131 dongakkan kepala. Tempat di mana dia berada ternyata memang tidak beratap. Hingga tatkala kepala Joko mendongak, yang terlihat adalah hamparan langit! Joko luruskan kepala. Lalu diputar dengan mata memperhatikan. Ternyata dia berada di satu ruangan agak besar dari batu. Di pojok sebelah kanan terlihat beberapa patung Budha. Di sebelah depan terdapat sebuah jalan masuk tanpa daun pintu. Joko beranjak bangkit lalu melangkah ke arah jalan masuk.
Pendekar 131 tercengang sesaat. Di depan jalan masuk itu ternyata terdapat tangga menurun dari batu. Tapi bukan tangga batu itu yang membuat Joko tercengang. Karena ternyata tangga batu itu lurus ke bawah dan karena saking panjangnya, Joko tidak bisa melihat tangga di bagian paling bawah! Padahal meski saat itu malam telah datang, namun sang rembulan tampak pancarkan sinar terang benderang, hingga ke mana mata diarahkan, orang tentu masih bisa melihat.
“Anak muda.... Sebenarnya aku sendiri dahulu merasa gamang waktu pertama kali tinggal bersama eyang guruku di sini. Namun pada akhirnya aku jadi terbiasa. Dan sebenarnya, kalau tidak karena pesan Eyang Guru agar aku menetap di sini, tentu aku pilih berdiam diri di bawah sana....”
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Orang tua yang mengaku bernama Bu Beng La Ma sudah bangkit. “Kek.... Aku akan pergi sekarang....”
“Anak muda.... Kuharap kau tunda dulu niatmu! Perjalananmu nanti menempuh bahaya yang tidak kecil. Tidak tertutup kemungkinan kau akan berhadapan dengan beberapa tokoh negeri ini. Apalagi kini jika kabar lenyapnya peta wasiat itu telah tersebar!”
“Tapi....”
“Aku tahu.... Kau membekal ilmu tinggi. Tapi jangan lupa, kau kini berada di negeri asing. Kau belum banyak mengenal tokohnya dan bagaimana kehebatan ilmunya! Aku ingin memberikan sedikit apa yang kumiliki. Siapa tahu pemberianku ini nantinya bisa membantumu dalam perjalanan. Karena hanya bantuan itulah yang dapat kuberikan padamu!”
Pendekar 131 tercenung sesaat lalu memandang Bu Beng La Ma dengan pandangan hampir tak percaya. Saat lain Joko telah jatuhkan diri berlutut. “Terima kasih.... Mulai saat ini kau adalah guruku!”
“Ah.... Aku tidak layak dipanggil Guru! Berdirilah.... Anggap saja kita dua sahabat! Sebagai sahabat, apa yang kumiliki, patut juga kau miliki!” Bu Beng La Ma kembali duduk bersila. “Mendekatlah. Dan duduklah bersila membelakangiku! Kosongkan pikiran!”
Perlahan-lahan Joko beranjak bangkit lalu turuti ucapan Bu Beng La Ma.
SEPULUH
KARENA telah memiliki dasar ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sangat terlatih, tidak sulit bagi Joko untuk menyergap semua jurus yang diajarkan Bu Beng La Ma begitu orang tua ini memberikan petunjuk setelah sebelumnya sempat alirkan tenaga dalamnya lewat telapak kedua tangannya pada punggung Pendekar 131. Hingga dalam waktu semalam, Joko telah dapat kuasai apa yang diajarkan Bu Beng La Ma.
“Anak muda...,” kata Bu Beng La Ma. Saat itu Bu Beng La Ma dan Pendekar 131 tengah duduk berhadap-hadapan. “Kuharap sedikit ilmu yang kuberikan padamu dapat membantu dalam perjalananmu nanti. Aku tak akan beri nasihat, kau tentu sudah dapat mengerti apa yang layak dan tidak layak kau lakukan!” Pendekar 131 anggukkan kepala. Bu Beng La Ma arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu buka mulut lagi. “Hindari bentrok selama hal itu bisa kau lakukan! Dan sedapat mungkin jangan membuat urusan dengan pihak kerajaan. Karena hal itu nantinya dapat menyulut terjadinya salah paham dan bentrok antara kalangan persilatan negeri ini dengan pihak kerajaan yang berkuasa. Bila itu terjadi, kalangan persilatan yang akan merugi. Sebab biasanya, pihak kerajaan dengan mudah akan menuduh kalangan persilatan sebagai orang-orang yang membawa para pemberontak!”
“Tapi Guru.... Selama ini banyak pihak kerajaan yang memburuku! Bagaimana aku harus menghindarinya?!” Joko memanggil Bu Beng La Ma dengan sebutan Guru karena ia sudah menganggapnya sebagai guru.
Bu Beng La Ma terdiam beberapa saat mendengar ucapan Joko. “Hem.... Tampaknya keadaan keruh akan terjadi...” gumamnya dengan nada menyesal. “Anak Muda! Aku tak bisa mengatakan bagaimana cara menghindarinya. Tapi kalau memang keadaan tidak memungkinkan, dan pihak kerajaan memang benar-benar terlibat dalam urusan ini, kau tentu dapat memilih jalan terbaik! Dan ingat.... Jangan sekali-kali mudah turunkan tangan sebelum kau tahu pasti bukti keterlibatannya! Kau sekarang hanya punya tugas untuk mendapatkan peta yang lenyap dari Perguruan Shaolin. Jadi hindari semua urusan yang tidak ada hubungannya dengan peta wasiat itu. Karena kau sendiri pasti telah tahu, di mana-mana orang rimba persilatan pasti akan terpecah dalam dua golongan! Dalam hal ini kau harus berada di pihak tengah! Tidak membela pihak putih namun jangan membuat urusan dengan pihak hitam! Sekarang pergilah....”
Pendekar 131 sekali lagi anggukkan kepala. Setelah menjura dia bergerak bangkit. “Aku akan datang kemari begitu peta wasiat itu telah kudapatkan!”
Habis berkata begitu, Joko melangkah ke arah jalan masuk. Dia memandang sesaat ke bawah. Karena saat itu matahari telah muncul dari langit timur, kali ini meski samar-samar Joko dapat melihat tangga batu paling bawah. Murid Pendeta Sinting berpaling lagi pada Bu Beng La Ma. Menjura sekali lagi lalu mulai melangkah keluar dari ruangan. Saat lain dia berkelebat menuruni anak tangga menurun dari batu. Begitu injakkan kakinya di atas tanah, Joko berpaling dengan kepala tengadah. Kuil di mana semalam dia berada tampak hanya merupakan onggokan batu hitam yang dihubungkan dengan tangga batu naik yang tinggi dan panjang.
Joko menunggu beberapa saat berharap Bu Beng La Ma tunjukkan diri. Namun hingga agak lama dia menunggu, di atas sana tidak terlihat adanya sosok yang muncul. Joko menghela napas lalu berkelebat. Baru saja berlari dua puluh lima tombak, murid Pendeta Sinting mendadak hentikan langkah. Memandang ke depan, dia melihat satu sosok tubuh tegak dengan sikap menghadang. Pendekar 131 memperhatikan sesaat.
Dia adalah seorang perempuan berparas cantik berusia empat puluh tahunan. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke atas, sebagian lagi digeraikan di bagian samping pipi kanan kirinya. Bibirnya dipoles merah menyala. Kedua alis matanya ditambah pewarna hitam. Pada lehernya yang putih dan jenjang terlihat tato bergambar bulan sabit. Perempuan cantik ini mengenakan pakaian warna putih tipis hingga seluruh lekuk anggota tubuhnya terlihat sangat jelas. Pada kepalanya juga mengenakan sebuah mahkota yang atasnya bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan.
Dari sikap orang, tampaknya Joko sudah menangkap gelagat tidak baik. Dan karena tidak mau membuat urusan, Joko coba menahan diri untuk tidak buka mulut bertanya. Dia hanya anggukkan kepala dengan tersenyum. Saat kemudian dia menyisi ke samping lalu hendak teruskan melangkah. Si perempuan melirik gerakan murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba dia perdengarkan bentakan kala Joko mulai melangkah.
“Tahan gerakan kakimu! Kita perlu bicara!”
Pendekar 131 hentikan tindakan kakinya. Dia berpaling dengan dahi berkerut. “Rasanya kita baru pertama kali ini bertemu. Sebelum kita mulai pembicaraan, harap kau suka sebutkan diri....”
Si perempuan dongakkan kepala hingga Joko bisa melihat jelas tato bergambar bulan sabit pada lehernya. “Aku Ouw Kiu Lan! Namun hanya sebagian orang yang tahu nama itu. Mereka lebih mengenaliku dengan Bidadari Bulan Emas!”
“Hem.... Aku adalah....”
“Aku tahu siapa kau!” tukas si perempuan yang sebutkan diri sebagai Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas. “Aku hanya perlu menawarkan sesuatu. Ini demi keselamatan jiwamu!”
“Terima kasih kau mau menawarkan jasa baik padaku! Tapi rasanya aku masih bisa menjaga diri. Lagi pula adalah aneh kalau kau katakan jiwaku perlu diselamatkan! Aku tidak pernah membuat urusan!”
Bidadari Bulan Emas tertawa pendek. “Kau tak perlu berpura-pura! Kau tadi telah dengar ucapanku. Aku tahu siapa kau! Dengar sekali lagi. Aku tahu siapa kau!”
Joko gelengkan kepala. “Kalau kau yakin jiwaku perlu diselamatkan, itu satu petunjuk kalau kau tidak tahu siapa aku!”
Bidadari Bulan Emas rangkapkan kedua tangan di depan dada. “Kau seorang pemuda dari negeri asing. Kau yang menyelamatkan jiwa seorang kepercayaan Perguruan Shaolin yang membawa tugas mengambil setengah peta wasiat!” Bidadari Bulan Emas berpaling. “Serahkan peta wasiat itu. Telah kusiapkan perahu untukmu! Dan beberapa orang akan mengawal sampai kau benar-benar aman dan bisa pulang ke kampung halamanmu dengan selamat!”
Pendekar 131 tersentak. Namun dia masih coba menutupi dengan tersenyum dan berkata. “Harap kau perhatikan sekali lagi siapa orang yang ada di hadapanmu! Mungkin kali ini kau salah lihat!”
“Kau jangan coba memerintahku! Aku tahu banyak apa yang mungkin tak kau duga!” Bidadari Bulan Emas melangkah pulang balik. “Di negerimu sana, kau boleh punya nama besar dengan gelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!” Bidadari Bulan Emas gelengkan kepala. “Tapi di sini, nama besarmu tak akan ada artinya!” Bidadari Bulan Emas gerakkan kedua tangan membuat sikap seperti orang meminta. “Serahkan saja peta wasiat itu! Setelah itu pulanglah! Kehadiranmu di negeri ini hanya akan membuat malapetaka! Mungkin di negerimu kau masih dibutuhkan. Tapi tidak di sini!”
Pendekar 131 tercekat. Kali ini dia tidak bisa lagi sembunyikan rasa kagetnya. “Busyet! Bagaimana dia bisa tahu banyak tentang diriku?! Siapa perempuan cantik ini sebenarnya?!”
“Kurasa keteranganku sudah terlalu banyak! Aku tak akan ulangi permintaanku! Dan satu hal yang harus kau ketahui, aku tak akan membiarkan seseorang pergi jika aku menginginkan sesuatu darinya!”
“Tapi kuharap aku adalah orang pertama yang kau biarkan pergi meski rasanya aku tidak dapat memenuhi keinginanmu!” ujar Joko seraya tersenyum lebar.
“Syarat yang kuminta tidak sulit, Pendekar 131 Joko Sableng! Kau tinggal serahkan peta wasiat itu! Dan kau bebas pergi bahkan aku telah menyiapkan perahu dan beberapa orang untuk mengawalmu!”
“Bidadari.... Aku belum berniat untuk balik kampung!”
“Kau tahu akibatnya?!”
“Aku tak pernah pikirkan akibat karena aku tak membuat sebab!”
Bidadari Bulan Emas perdengarkan tawa. “Kau jangan berpikir bodoh! Kedatanganmu ke negeri ini adalah sebab utama yang membuat kau kelak akan mendapat akibat yang mungkin tidak pernah terbayang dalam benakmu!”
“Aku datang ke negeri ini hanya karena kebetulan! Tidak terbetik sebelumnya niatan hati untuk datang ke negeri ini apalagi membuat sebab!”
“Tapi justru kebetulan itulah yang kelak akan mengantarmu menemui kesulitan!”
“Aku tidak percaya!” sahut murid Pendeta Sinting dengan gelengkan kepala.
“Aku akan menunjukkan!” kata Bidadari Bulan Emas. Perempuan berparas cantik ini tarik pulang kedua tangannya ke belakang. Saat lain dia membuat gerakan melompat ke arah Joko. Kedua tangannya melesat cepat.
Pendekar 131 terkesiap melihat gerakan cepat orang. Namun dia cepat mundur satu langkah. Kedua tangannya bergerak menghadang gerakan kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Ternyata Bidadari Bulan Emas bukan lepas pukulan, melainkan cepat memutar arah gerakan tangan dan lancarkan totokan ke arah pergelangan kedua tangan Joko. Gerakan Bidadari Bulan Emas ternyata sudah dapat dimaklumi Joko. Apalagi dia telah mendapat banyak keterangan dari Bu Beng La Ma tentang gerakan-gerakan kebanyakan kaum persilatan di negeri Tibet. Hingga begitu Bidadari Bulan Emas coba lancarkan totokan, Joko segera pula putar arah gerakan kedua tangannya.
Bidadari Bulan Emas tersentak sesaat melihat gerakan kedua tangan murid Pendeta Sinting yang bukan saja mampu membaca gerakan kedua tangannya namun kini malah balik lakukan penyergapan dengan lepaskan totokan ke arah lambungnya! Bidadari Bulan Emas tarik pulang kedua tangannya lalu cepat disentakkan menghadang lajunya gerakan kedua tangan Joko.
Bukk! Bukkkk!
Terdengar benturan. Kedua tangan Bidadari Bulan Emas tampak terpental ke atas. Sementara kedua tangan Joko terlempar ke bawah. Namun, Bidadari Bulan Emas cepat putar tubuh. Dengan bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya diangkat membuat gerakan menendang ke arah dada!
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya. Bidadari Bulan Emas tersentak ketika merasakan kaki kirinya bukan menendang sasaran, melainkan tertahan di udara dan terasa dipegang tangan orang! Bidadari Bulan Emas terbelalak melihat bagaimana kakinya dipegang kedua tangan Joko. Sementara sepasang mata murid Pendeta Sinting tampak terpentang besar memperhatikan ke arah sibakan pakaian si perempuan karena kakinya terangkat dan tertahan di udara.
“Jahanam!” sentak Bidadari Bulan Emas. Kaki kirinya ditarik sedikit ke belakang. Saat lain disentakkan lagi ke depan. Namun sebelum kaki itu sempat menyentak, Pendekar 131 cepat lepaskan pegangan tangannya pada kaki si perempuan. Lalu rundukkan kepala dengan mata makin dipentang melihat ke arah kangkangan kaki Bidadari Bulan Emas! Mendapati tendangannya menghantam tempat kosong, Bidadari Bulan Emas cepat tarik kedua tangannya ke belakang begitu kaki kirinya telah berada di atas tanah kembali. Kejap lain kedua tangannya melepas pukulan.
"Wuutt! Wuuttt!" Satu gelombang angin menderu angker. Karena jarak antara sang Bidadari serta Pendekar 131 tidak jauh, tidak ada jalan lain bagi Joko selain harus menghadang dengan pukulan pula. Maka dia sentakkan kedua tangannya.
Bummmm...!
Sosok Bidadari Bulan Emas tersapu tiga langkah ke belakang. Sementara karena saat menghadang pukulan dengan posisi setengah merunduk, sosok murid Pendeta Sinting tempat terhuyung empat langkah.
“Heran... Dia sepertinya menguasai salah satu jurus aliran negeri ini! Dia berhasil berkelit dari jurus tingkat pertama dari ‘Delapan Gerbang Rembulan’! Padahal tak mungkin aliran jurus negeri ini diketahui orang asing! Aku memang belum jelas bisa memperhatikan jurus apa yang dilakukan. Tapi jelas-jelas jurus tadi adalah aliran di negeri ini!” Bidadari Bulan Emas berkata dalam hati dengan sepasang mata mendelik tak berkesip memperhatikan pada murid Pendeta Sinting.
“Bidadari.... Mungkin kau benar dengan apa yang kau ketahui tentang diriku. Tapi percayalah, kau salah jika mengatakan aku membawa atau menyimpan peta wasiat! Dan aku memang pernah menolong seseorang. Tapi aku tak tahu siapa dia. Saat itu dia tengah terluka parah. Aku tak tega untuk ajukan pertanyaan. Hanya saja sebelum dia meninggal, dia berpesan agar ceburkan mayatnya ke laut! Setelah itu aku terbawa gelombang sampai negeri ini!”
Bidadari Bulan Emas terdiam sepertinya menyimak ucapan murid Pendeta Sinting, namun sebenarnya diam-diam perempuan ini berkata sendiri dalam hati tidak hiraukan ucapan Joko. “Hem.... Mengapa aku tidak bertanya pada beberapa orang yang kusuruh menyelidik ke tempat negeri kelahiran pemuda itu tentang ilmu apa saja yang dimiliki?! Namun itu tidak begitu penting, yang jelas aku masih yakin dialah yang menyimpan peta wasiat itu, atau setidaknya dia tahu di mana tempat disembunyikannya peta wasiat itu! Jika tidak, tak mungkin pihak kerajaan ikut terlibat memburu pemuda ini! Kalau pihak kerajaan sudah ikut campur tangan, berarti peristiwa di Perguruan Shaolin melibatkan orang dalam dan kemungkinan besar bersekongkol dengan seseorang dari pihak kerajaan! Lenyapnya peta wasiat di ruang penyimpanan Perguruan Shaolin dan ikut turun tangannya pihak kerajaan memburu pemuda ini membuktikan semua itu!”
Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas buka suara. “Pendekar 131 Joko Sableng! Aku akan memberitahukan sesuatu....”
Belum sampai Bidadari Bulan Emas lanjutkan ucapan, Joko telah menukas. “Bidadari.... Aku tak punya waktu banyak! Lain kali saja kita lanjutkan pembicaraan ini! Dan kalau nanti aku sudah punya niat dan rindu kampung halaman, aku akan mencarimu....”
Pendekar 131 berkelebat. Namun Bidadari Bulan Emas ikut berkelebat memotong gerakan murid Pendeta Sinting. Kembali tangan kanannya menjulur ke depan membuat gerakan orang meminta. “Ke mana kau pergi, kau akan mendapat halangan yang sama! Namun aku masih berbaik hati dengan menyediakan perahu dan beberapa pengawal untukmu! Jika orang lain, mereka pasti menginginkan peta wasiat itu sekaligus selembar nyawamu!”
“Kau meminta pada orang yang salah!”
Bidadari Bulan Emas tegak dengan mata mendelik dan pelipis bergerak-gerak. “Baik! Aku telah tawarkan jalan terbaik, namun nyatanya kau inginkan agar aku mengambil peta wasiat itu beserta nyawamu sekalian!”
Bidadari Bulan Emas angkat kedua tangannya dan ditarik ke depan kepala. Telapak kedua tangannya diletakkan di kening sesaat lalu diangkat ke atas kepala. Saat bersamaan tampak cahaya kekuningan memancar dari kedua tangan sang Bidadari.
“Hem.... Dari sikapnya, mungkin dia tengah mengerahkan ilmu andalannya. Aku tadi telah coba jurus pemberian Bu Beng La Ma tingkat pertama. Karena dia sekarang tidak main-main dan ingin membunuhku, terpaksa aku akan menghadang dengan coba tingkat delapan!” Joko membatin. Lalu angkat kedua tangannya membentuk bundaran besar dengan ujung kedua jari-jari tangan bertemu di atas kepala. Kaki kanannya ditarik ke belakang sementara kaki kiri ditekuk.
Bidadari Bulan Emas tersentak. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara. “Ouw Kiu Lan! Tahan! Biarkan dia pergi!”
Joko berpaling ke arah sumber datangnya suara. Namun dia tidak melihat siapa-siapa. Namun kesempatan ini tak disia-siakan Joko. Dia memandang sesaat pada Bidadari Bulan Emas untuk yakinkan jika perempuan itu benar-benar lakukan ucapan orang. Begitu yakin, Joko segera balikkan tubuh lalu tanpa berkatakata lagi, dia berlari seperti orang kesetanan!
SEBELAS
BERSAMAAN dengan berlalunya Pendekar 131, satu sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Bidadari Bulan Emas telah tegak seorang laki-laki. Orang ini berambut tipis tapi panjang sampai punggung. Kedua alis matanya juga menjulai panjang hampir menutupi mata. Sepasang matanya melotot besar. Paras wajahnya bulat dengan kumis dan jenggot lebat. Tepat di tengah kedua alis matanya terlihat tato bergambar bulan sabit berwarna kekuningan. Laki-laki ini mengenakan pakaian berupa jubah panjang warna kuning. Pada bagian dada kanannya juga terdapat gambar bulan sabit.
“Pemuda asing itu tampaknya telah menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’!” kata laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas sambil arahkan pandang matanya pada kelebatan sosok murid Pendeta Sinting.
Bidadari Bulan Emas memandang sesaat pada laki-laki yang baru muncul. Pandang matanya jelas membayangkan rasa tidak senang. Di lain pihak, meski tidak melihat ke arah orang, namun si laki-laki tampaknya bisa menangkap bayangan sikap Bidadari Bulan Emas. Masih tanpa memandang dia berkata.
“Aku tahu kau tak suka dengan teguranku tadi! Tapi....”
Belum sampai si laki-laki teruskan ucapan, Bidadari Bulan Emas telah memotong dengan sengatkan pandangannya pada laki-laki di hadapannya. “Guru! Aku telah bersusah payah menyelidik! Kalau pada akhirnya hanya begini yang kudapat, rasanya percuma apa yang selama ini kulakukan!”
“Ouw Kiu Lan! Selama ini ilmu ‘Delapan Gerbang Rembulan’ yang kita miliki memang dapat mengimbangi ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’. Namun kau harus sadar, pemuda itu memiliki ilmu lain yang belum kita kenal! Terlalu berbahaya jika berhadapan dengan orang yang telah tahu ilmu kita tapi kita tidak tahu ilmu yang dimilikinya!”
“Aku heran.... Bagaimana mungkin pemuda itu dapat menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’! Padahal menurut yang pernah Guru katakan, ilmu itu hanya ada di negeri ini!”
Laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas putar diri. Namun pandang matanya bukan mengarah pada sang Bidadari, melainkan jauh ke depan menembusi jajaran beberapa pohon. “Ternyata kabar yang tersiar dalam rimba persilatan lain dengan kenyataan!” kata si laki-laki yang dari cara sebut Bidadari Bulan Emas, menunjukkan jika si lakilaki bertato bulan sabit di antara kedua alis matanya ini adalah gurunya.
“Kenyataan kalau pemuda tadi menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ menunjukkan kalau Bu Beng La Ma masih bernapas! Pemuda itu dengan singkat dapat menguasai ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ mungkin saja karena pemuda itu telah memiliki dasar yang kuat! Hem.... Dengan Kenyataan ini, berarti musuh besarku bukan tinggal satu, namun kini bertambah satu lagi!”
“Ouw Kiu Lan! Ilmu ‘Sembilan Gerbang Matahari’ memang hanya ada di negeri ini!” kata si laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas setelah terdiam beberapa lama. “Kau tak usah heran kalau pemuda itu dapat menguasai ilmu itu. Justru ini sangat membuatku gembira! Karena itu menunjukkan satu hal yang selama ini masih menjadi tanya bagiku!”
Bidadari Bulan Emas kerutkan dahi. Dia sudah hendak buka mulut akan bertanya. Namun sebelum suaranya terdengar, sang Guru sudah mendahului. “Ini satu pertanda jika orang yang selama ini dikabarkan tewas berarti masih hidup!”
“Maksudmu...?!”
“Bu Beng La Ma masih bernyawa! Dan rupanya takdir telah menuliskan jika manusia itu akhirnya akan mampus di tanganku!”
“Guru! Saat ini kurasa yang paling penting adalah memburu peta wasiat itu! Urusan nyawa Bu Beng La Ma bisa ditunda!”
“Ouw Kiu Lan! Seribu peta wasiat tidak ada artinya bagiku dibanding satu nyawa milik Bu Beng La Ma! Aku mengajakmu turun gunung dengan dua tujuan. Memburu peta wasiat sekaligus menjajaki kabar berita tentang Bu Beng La Ma! Kini keduanya sudah jelas bagi kita! Kau tahu siapa pembawa peta wasiat itu, dan aku yakin Bu Beng La Ma masih hidup! Masih hidupnya Bu Beng La Ma membuat aku tidak tertarik lagi dengan peta wasiat itu!”
“Guru....”
“Ouw Kiu Lan!” potong sang Guru sembari angkat tangan kirinya. “Aku akan mencari Bu Beng La Ma di Kuil Atap Langit. Kau teruskan tujuanmu! Tapi harus kau ingat. Kau tak bisa menghadapi pemuda asing itu hanya dengan andalkan ilmu ‘Delapan Gerbang Matahari’! Kau harus pergunakan cara lain! Kau adalah perempuan, sementara orang yang kau hadapi adalah seorang laki-laki. Tentu kau paham maksudku....”
Bidadari Bulan Emas tersenyum. Sang Guru melangkah tiga tindak, lalu lanjutkan ucapan. “Sementara ini kita harus berpisah! Berhati-hatilah!”
Habis berkata begitu, sang Guru arahkan kembali pandangannya ke arah jauh di depan sana. Dan tanpa berkata-kata lagi dia membuat satu kali gerakan. Sosoknya melesat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan jajaran pohon. Bidadari Bulan Emas berpaling memperhatikan arah kelebatan gurunya. Saat lain perempuan cantik ini melesat mengambil arah ke mana tadi murid Pendeta Sinting berkelebat.
********************
Kita tinggalkan dahulu pengejaran yang dilakukan Bidadari Bulan Emas terhadap Pendekar 131 Joko Sableng. Sekarang kita ikuti perjalanan guru Bidadari Bulan Emas. Laki-laki yang tepat di tengah kedua alis matanya terdapat tato bergambar bulan sabit itu hentikan larinya ketika memasuki sebuah kawasan terbuka di mana ketika mata dilayangkan ke depan, berjarak dua puluh langkah, terlihat satu tangga naik dari batu. Tangga naik ini lurus ke atas berujung pada sebuah onggokan batu berbentuk kuil. Karena ketinggiannya, bangunan kuil di atas sana terlihat sangat kecil sekali. Guru Bidadari Bulan Emas tengadahkan kepala dengan mata dipicingkan. Kejap lain dia berkelebat. Namun belum sampai sosok tubuhnya melesat, tiba-tiba terdengar satu suara dari puncak bangunan kuil di atas sana.
“Kwe Bun Lim...! Rasanya tidak baik kalau pertemuan kita kembali harus diwarnai dengan sisa urusan lama.... Dan kehadiranmu kali ini kuharap tanpa sisa-sisa itu!”
Guru Bidadari Bulan Emas yang dipanggil dengan Kwe Bun Lim batalkan niat menaiki tangga batu. Dia dongakkan kepala dengan seringai dingin. Lalu membatin. “Bu Beng La Ma! Ternyata kau benar-benar masih hidup! Sayang sekali.... Justru sisa urusan itulah aku datang ke sini!”
Setelah membatin begitu, dia berteriak lantang. “Bu Beng La Ma! Aku datang memang bukan untuk sisa-sisa urusan lama! Namun aku datang untuk mencabut selembar nyawamu!”
“Kwe Bun Lim! Harap maafkan aku. Kalau itu urusannya, aku tak bisa menemuimu! Rasanya terlalu sayang jika di akhir usia kita ini harus dilembari dengan kucuran darah! Apa yang pernah tertumpah biarlah berlalu....”
“Bu Beng La Ma! Itu urusanmu! Kau mau atau tidak, yang jelas aku ingin kucuran darah beberapa puluh tahun yang lalu berakhir hari ini! Turunlah! Atau aku akan menjemputmu ke atas!"
“Kwe Bun Lim! Aku tidak coba mengguruimu. Tapi kurasa lebih baik kau pikirkan dahulu semuanya.... Cuma, apa pun keputusanmu nanti, aku tetap tidak akan menemuimu!”
“Bu Beng La Ma! Aku telah punya keputusan. Kau pun juga telah memutuskan! Mari kita lihat keputusan siapa yang akan berlaku!”
Habis berteriak begitu, Kwe Bun Lim berkelebat. Namun baru saja tubuhnya akan bergerak, matanya menangkap satu sosok bayangan. Kwe Bun Lim cepat berpaling. Di seberang samping sana tegak seorang laki-laki bertubuh kekar mengenakan pakaian selempang tanpa leher berwarna kuning. Di bagian pundaknya melapis kain berwarna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Laki-laki ini berkepala gundul dan tampak beberapa titik putih di batok kepalanya. Paras wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang namun panjang. Kwe Bun Lim sipitkan mata.
“Guru Besar Liang San...,” gumamnya mengenali siapa adanya laki-laki berpakaian selempang kuning tanpa leher.
“Amitaba....” Laki-laki berpakaian selempang warna kuning dan bukan lain memang Guru Besar Liang San adanya buka mulut seraya anggukkan kepala dengan kedua tangan ditakupkan di depan dada. “Bukankah yang tegak di hadapanku saat ini adalah sahabat Kwe Bun Lim...?! Tokoh ternama negeri ini yang dikenal dengan Hantu Bulan Emas?!”
Kwe Bun Lim yang di negeri Tibet memang lebih dikenal kalangan rimba persilatan dengan gelar Hantu Bulan Emas tidak menyahut. Sebaliknya diam-diam dia membatin. “Untuk apa dia datang ke sini?! Apakah peristiwa berdarah di perguruannya melibatkan Bu Beng La Ma?!”
Masih tanpa buka mulut, Hantu Bulan Emas melesat dan tegak lima langkah di hadapan Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang San melirik tajam lalu kembali anggukkan kepala. “Guru Besar Liang San...,” kata Hantu Bulan Emas dengan nada pelan namun jelas nadanya terdengar sumbang. “Senang bisa bertemu kau lagi.... Tapi rasanya pertemuan kita kali ini sungguh di luar dugaan!”
Guru Besar Liang San tersenyum. “Aku paham apa maksudmu. Tapi harap kau tidak berprasangka. Aku terpaksa keluar sendirian karena ada sesuatu yang harus segera kuselesaikan. Beberapa...”
Belum sampai Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan, Hantu Bulan Emas sudah menukas. “Aku ikut belasungkawa dengan peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu! Dan kurasa kehadiranmu di sini pasti masih ada hubungannya dengan peristiwa itu! Benar?!”
“Amitaba...! Dugaanmu tidak meleset. Aku perlu bertemu dengan Bu Beng La Ma.
Hantu Bulan Emas melirik dengan kepala disentakkan ke jurusan lain. Sebelum guru Bidadari Bulan Emas ini buka suara. Guru Besar Liang San telah sambungi ucapannya. “Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu saja saat terjadinya peristiwa berdarah di perguruan kami. Untuk itulah aku perlu datang hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma. Mungkin dia tahu atau setidaknya dapat memberi petunjuk ke mana kira-kira lenyapnya adik Wu Wen She! Bagaimanapun juga aku harus segera menemukan adik Wu Wen She. Sebab dalam peristiwa itu, bukan saja Maha Guru Besar Su Beng Shiok dan kakak Pu Yi yang terbunuh, namun sebuah benda juga hilang dari ruang penyimpanan!”
“Kau menduga Guru Besar Wu Wen She yang melarikan benda itu?!”
“Amitaba.... Aku tidak berani menduga. Tapi aku harus menemukan adik Wu Wen She!”
“Hem.... Kalau dia datang ke sini dan langsung mengatakan hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma, berarti selama ini dia telah tahu kalau Bu Beng La Ma masih hidup! Aku tidak yakin akan kebenaran ucapannya.... Mungkin saja dia yang bersekongkol dengan Bu Beng La Ma! Apalagi pemuda asing itu jelas telah bersahabat dengan Bu Beng La Ma, sementara peta wasiat yang setengahnya, menurut penyelidikan Ouw Kiu Lan memang berada di tangan pemuda asing itu! Jadi, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Bu Beng La Ma untuk mendapatkan peta yang masih tersimpan, sementara Bu Beng La Ma bersekutu dengan pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti peta wasiat itu telah utuh! Dan untuk menghilangkan jejak, mereka sengaja mengkambing-hitamkan Guru Besar Wu Wen She! Kalau Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi mampus, bagaimana mungkin Wu Wen She bisa lolos! Wu Wen She mungkin sudah tewas, hanya saja sengaja mereka sembunyikan untuk dijadikan kambing hitam! Hem....” Hantu Bulan Emas berkata sendiri menduga-duga dalam hati.
“Sobat Hantu Bulan Emas! Aku tahu kau punya urusan dengan Bu Beng La Ma.... Tapi kuharap kau memberiku kesempatan!”
Ucapan Guru Besar Liang San membuat keyakinan Hantu Bulan Emas makin kuat. “Tentu mereka akan membicarakan hasil tindakan mereka! Ini satu rejeki besar bagiku! Berhasil menemukan Bu Beng La Ma sekaligus mendapatkan peta wasiat itu dengan utuh!” Habis membatin begitu, Hantu Bulan Emas buka mulut. Tapi bersamaan dengan itu, dari kuil di puncak sana terdengar suara.
“Guru Besar Liang San.... Maaf jika aku tidak bisa menyambutmu dengan layak! Namun perlu kau ketahui, aku tidak tahu menahu dengan lenyapnya Guru Besar Wu Wen She.... Aku juga tak bisa memberi petunjuk apa-apa tentang dia....”
“Amitaba.... Sungguh sayang sekali! Tapi harap kau memberikan izin untuk bertemu denganmu.... Karena masih ada yang perlu kubicarakan!”
“Guru Besar Liang San.... Aku tak mau membuat urusan dengan buka mulut membicarakan apa yang telah terjadi! Aku sudah berniat tak akan ikut campur dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia persilatan.... Mohon dimaafkan!”
Guru Besar Liang San dongakkan kepala memandang ke arah kuil di puncak sana. “Hem.... Kurasa pemberitahuan ini cukup. Dengan begitu para sahabat Maha Guru Besar Su Beng Siok tidak akan menaruh curiga padaku.... Aku harus segera pergi! Hantu Bulan Emas tampaknya sudah tak sabar! Tapi aku harus tahu bagaimana akhir dari bentrok mereka. Dan kalau keadaan memungkinkan, aku tak segan membunuh mereka berdua!” kata Guru Besar Liang San dalam hati. Lalu luruskan kepala menghadap Hantu Bulan Emas dan berkata kalem.
“Tampaknya kehadiranku mengganggu urusan kalian. Aku harus segera pergi....”
Hantu Bulan Emas gelengkan kepala, membuat Guru Besar Liang San kerutkan dahi. Dan belum sempat dia menduga lebih jauh isyarat gelengan kepala orang, Hantu Bulan Emas telah angkat suara. “Tidak akan ada yang pergi dari sini!”
Guru Besar Liang San tersentak. Hantu Bulan Emas tertawa panjang. Lalu berkata lagi. “Kau tak usah bertanya mengapa, karena jawabannya sudah ada padamu!” Hantu Bulan Emas teruskan suara tawanya seraya mendongak. Guru Besar Liang San mendugaduga dengan paras berubah tegang...!
S E L E S A I