Serial Joko Sableng episode Rahasia Darah Kutukan
GADIS cantik berpakaian warna ungu yang rambutnya dikelabang dua itu melompat dari sisi rumpun bambu dan tegak beberapa langkah di hadapan orang yang duduk rangkapkan kaki serta sembunyikan wajahnya di belakang rangkapan kedua kakinya. Sepasang matanya yang bulat beberapa saat memperhatikan orang di hadapannya dan gadis ini seolah acuh dengan pandangan beberapa mata yang saat itu tengah terpusatpadanya.
“Paduka Seribu Masalah! Aku telah lama mencarimu. Harap tidak tinggalkan tempat ini. Aku butuh beberapa keterangan!” Berkata gadis berbaju ungu.
Orang yang duduk rangkapkan kaki dan bukan lain memang Paduka Seribu Masalah adanya urungkan niat berkelebat. Lalu perdengarkan suara. “Aku takut mengingat apakah kita pernah bertemu atau belum....”
“Aku Dayang Tiga Purnama!” sahut gadis berbaju ungu. Lalu putar pandangan berkeliling. Yang terlihat pertama adalah dua gadis berparas cantik yang duduk berjajar. Sebelah kanan mengenakan pakaian warna merah. Di sampingnya mengenakan baju warna ku- ning. Dari sudut bibir kedua gadis ini masih terlihat genangan darah. Jelas kalau keduanya tengah terluka dalam. Mereka adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
Orang kedua yang terlihat adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang rambutnya dikepang dua. Salah satu kepangannya dilingkarkan pada lehernya yang jenjang dan putih. Gadis ini tidak lain adalah Bidadari Pedang Cinta. Tidak jauh dari Bidadari Pedang Cinta, terlihat seo- rang perempuan bertubuh bahenol berparas cantik jelita berusia kira-kira dua puluh lima tahunan. Perempuan ini tegak dengan dada berguncang. Pakaian putih ketat yang dikenakan tampak robek memanjang di bagian bawah hingga kedua pahanya yang putih mulus dan kencang terlihat jelas. Perempuan ini adalah Bidadari Tujuh Langit.
Orang terakhir yang terlihat oleh gadis berbaju ungu dan bukan lain memang Dayang Tiga Purnama adalah orang yang pernah ditemuinya ketika dia bersama Pendekar 131. Dia adalah seorang nenek berpakaian selempang kain warna hitam yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang. Nenek yang selama ini dikenal kalangan rimba persilatan dengan julukan Nenek Selir.
Seperti diketahui, setelah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak puas dengan jawaban yang diberikan pasangan guru mereka yang dikenal dengan si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah, akhirnya Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berusaha mencari Paduka Seribu Masalah. Mereka akhirnya bertemu dengan Paduka Seribu Masalah dan memperoleh jawaban.
Ketika Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berkelebat pergi dari hadapan Paduka Seribu Masalah, kedua gadis ini mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah yang membuat mereka merasa curiga jika ada orang lain yang mencuri dengar pembicaraan mereka dengan Paduka Seribu Masalah. Akhirnya mereka memutuskan kembali ke tempat mana mereka tadi berbincang dengan Paduka Seribu Masalah.
Kedua gadis itu melihat Bidadari Pedang Cinta. Tapi saat lain muncullah Bidadari Tujuh Langit. Karena sudah memendam dendam pada Bidadari Tujuh Langit akibat tindakan tidak senonoh yang diperbuat sang Bidadari, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera saja mengeroyok Bidadari Tujuh Langit. Di saat kritis, mendadak muncul Nenek Selir membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Sementara Paduka Seribu Masalah sendiri tidak tinggal diam. Dia juga sempat memberikan bantuan.
Akhirnya Bidadari Tujuh Langit tumpahkan kemarahan pada Paduka Seribu Masalah. Tapi akhirnya Bidadari Tujuh Langit merasa sadar jika orang yang dihadapi bukan saja berilmu tinggi tapi juga memiliki kesaktian aneh. Hingga akhirnya Bidadari Tujuh Langit tidak buka mulut atau mencegah saat Paduka Seribu Masalah hendak berkelebat pergi setelah mengucapkan beberapa saran. Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah benar-benar berkelebat pergi, mendadak terdengar satu seruan menahan kepergian Paduka Seribu Masalah. Yang muncul ternyata Dayang Tiga Purnama.
Dayang Tiga Purnama sendiri saat itu baru saja mengikuti perjalanan murid Pendeta Sinting. Setelah mendengar keterangan dari mulut Pendekar 131 tentang siapa sebenarnya Paduka Seribu Masalah dan memberikan ancaman pada Joko, gadis berbaju ungu ini kembali ke hutan bambu. Saat langkahnya mulai memasuki kawasan hutan bambu, Dayang Tiga Purnama mendengar beberapa debuman. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera berkelebat ke arah sumber suara. Saat itulah dari tempatnya mendekam dia melihat Paduka Seribu Masalah. Dayang Tiga Purnama tidak pedulikan lagi beberapa orang yang ada di sekitar Paduka Seribu Masalah. Dia segera saja melompat lalu berkata pada sang Paduka.
“Dayang Tiga Purnama...” Paduka Seribu Masalah perdengarkan gumaman ulangi ucapan Dayang Tiga Purnama yang memperkenalkan diri. “Aku tidak berani memastikan apakah aku pernah dengar nama itu atau tidak...”
“Paduka... Kita pernah bertemu ketika kau bersama pemuda asing bernama Joko Sableng yang bergelar Pendekar 131!” kata Dayang Tiga Purnama.
“Ah... Aku sekarang ingat! Apakah kau masih bersama pemuda sahabatku itu?!”
Mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah, semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut. Lebih-lebih Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Tujuh Langit.
“Mengapa kau diam?!” tanya Paduka Seribu Masalah ketika tidak mendapat sahutan dari Dayang Tiga Purnama. “Kau takut mengatakannya padaku?!”
“Dia sudah pulang ke negeri asalnya!” kata Dayang Tiga Purnama.
Kalau saja saat itu berada sendirian, niscaya kaki Bidadari Pedang Cinta sudah tersurut mundur saking kagetnya mendengar ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Apakah benar keterangan gadis itu?! Apa hubungannya dengan pemuda asing itu hingga dia tahu?!” Diam-diam Bidadari Pedang Cinta membatin dengan dada berdebar.
Di lain pihak, mendengar kata-kata Dayang Tiga Purnama, Nenek Selir terkesiap. Laksana terbang dia melompat lalu tegak beberapa langkah di hadapan si gadis. Lalu membentak. “Jangan kau bicara mengada-ada! Dari mana kau tahu pemuda sialan itu sudah pulang ke negeri asalnya, hah?! Kapan kau bertemu dan di mana?!”
Jelas si nenek marah besar dan penasaran, karena tidak berselang lama, dia sempat bertemu dengan murid Pendeta Sinting. Bahkan Nenek Selir sudah membekal niat akan membuat perhitungan dengan Pendekar 131 karena akibat ulah Joko, Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah bisa selamat dari tangan mautnya bahkan bisa meloloskan diri.
Dayang Tiga Purnama yang sempat geram ketika pertama kali bertemu dengan Nenek Selir berpaling ke jurusan lain dan berkata ketus. “Aku tidak bisa mengatakan kapan, di mana bertemu dengan pemuda itu! Aku juga tidak mengada-ada bicara! Yang jelas dia sudah pulang ke negeri asalnya! Terserah mau percaya atau tidak!”
“Kau bicara dusta!” bentak Nenek Selir. Wajahnya berubah angker.
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Aku sudah bilang. Terserah kau mau percaya atau tidak! Itu bukan urusanku! Aku punya hal yang harus kubicarakan dengan Paduka Seribu Masalah. Harap tidak menyela!”
Ucapan Dayang Tiga Purnama membuat Nenek Selir makin penasaran. Tanpa mau tahu urusan orang, nenek ini segera buka mulut. “Kau boleh bicara dengannya sampai kau mampus! Tapi kalau kau belum memberi penjelasan jelas, jangan harap kau bisa bicara dengannya!”
“Hem... Nenek ini begitu penasaran dan marah dengan keteranganku! Jangan-jangan tuduhan kalau kedua cucunya dibuat hamil oleh pemuda asing itu benar adanya!” kata Dayang Tiga Purnama dalam hati ingat akan tuduhan Nenek Selir pada Joko saat mereka pertama kali bertemu. “Atau nenek ini punya maksud lain?! Mungkinkah dia tahu kalau pemuda itu mendapatkan pedang sakti dan takut kalau dia kehilangan jejak?!”
Berpikir begitu, Dayang Tiga Purnama segera berpaling menghadap Nenek Selir. Lalu berkata. “Kau tak akan dapat penjelasan apa-apa sebelum kau katakan mengapa kau begitu penasaran saat kukatakan pemuda itu pulang ke negeri asalnya!”
Nenek Selir sapukan pandangan berkeliling sebelum berkata menjawab. “Pemuda sialan itu telah menyelamatkan manusia jahanam yang harus kubunuh!”
“Benar?!” tanya Dayang Tiga Purnama dengan tertawa pendek.
Mata Nenek Selir melotot besar. Sosoknya bergetar. Sambil bantingkan kaki kanan dia buka mulut dengan suara keras. “Kau pikir aku penasaran karena merasa ditinggalkan, begitu hah?! Kau kira aku kecewa dengan kepergiannya seperti saat kau kecewa ketika kukatakan pemuda sialan itu telah menghamili kedua cucuku, begitu?!”
Tampang Dayang Tiga Purnama merah mengelam. Sepasang matanya melirik pada semua orang yang ada di tempat itu. Namun karena tak mau dibuat malu di hadapan orang, gadis ini segera buka suara. “Aku tidak tahu apa sebenarnya urusanmu dengan pemuda itu! Aku hanya ingin meyakinkan! Dan kau salah besar kalau menduga aku kecewa saat kau katakan pemuda itu menghamili kedua cucumu!” Dayang Tiga Purnama gelengkan kepala. “Bahkan jika kau katakan seratus cucumu hamil karena pemuda itu, aku tidak akan merasa kecewa!”
Orang yang paling tidak enak mendengar pembicaraan Dayang Tiga Purnama dengan Nenek Selir adalah Bidadari Pedang Cinta. Dada gadis ini makin berdebar. Berkali-kali dia lempar pandang mata pada Dayang Tiga Purnama dan Nenek Selir seolah tidak percaya dengan apa yang dibicarakan keduanya.
“Benarkah Joko Sableng menghamili kedua cucu nenek itu?! Ketika pertama kali aku bertemu dengan nenek itu, dia minta keterangan ke mana perginya Joko Sableng... Mungkinkah ini ada kaitannya dengan urusan hamilnya kedua cucunya?! Hem...” Bidadari Pedang Cinta membatin seraya menghela napas panjang. Tanpa sadar terbayang raut wajah Pendekar 131 di kelopak matanya. Namun bayangan itu segera lenyap begitu terdengar ucapan Nenek Selir.
“Kau masih juga berkata dusta! Aku sudah kenyang merasakan pahit getirnya dunia! Aku tahu bagaimana perasaanmu ketika kukatakan pemuda itu menghamili kedua cucuku! Kau kecewa dan sakit hati! Karena sebenaranya kau menyukai pemuda sialan itu!”
Dayang Tiga Purnama laksana mendengar gemuruh di gendang telinganya. Hingga walau mulutnya sudah menganga akan buka suara, namun tidak terdengar sepatah kata pun.
Mendapati sikap orang, Nenek Selir tertawa cekikikan panjang. Lalu berkata. “Kau bernasib buruk... Hik Hik Hik...! Kau tahu. Pemuda sialan itu adalah kekasih gadis cantik berbaju hijau itu!” Jari tangan kanan Nenek Selir bergerak lurus menunjuk Bidadari Pedang Cinta.
Bidadari Pedang Cinta tercengang. Laksana disentak satu kekuatan dahsyat, sosoknya berkelebat dan tegak di hadapan Nenek Selir tidak jauh dari samping Dayang Tiga Purnama. “Nek! Jangan berani bicara lancang menuduh yang bukan-bukan!” tegur Bidadari Pedang Cinta.
Nenek Selir makin panjangkan tawa cekikikannya. “Anak sekarang memang pandai menutupi perasaan! Mereka tak sadar, jika sikapnya itu akan membawa bencana di kelak kemudian hari! Hik Hik Hik..!”
“Nek! Tuduhanmu sudah keterlaluan!” bentak Bidadari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga Purnama dan sambungi ucapan. “Harap kau tidak percaya dengan bualannya! Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan pemuda itu!”
Dayang Tiga Purnama tersenyum walau sikap Bidadari Pedang Cinta sudah cukup membuatnya maklum kalau sebenarnya gadis berbaju hijau itu punya perasaan lain pada murid Pendeta Sinting.
“Kau juga harap tidak percaya dengan keterangan mulutnya! Apa yang dikatakannya tidak benar!”
Mendengar perbincangan Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta, Nenek Selir putuskan tawanya. Lalu berujar. “Kalian berdua tidak mau membuka diri! Itu terserah kalian! Duka sengsara, kalian yang kelak akan merasakannya sendiri!”
Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan pandang matanya pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata. “Aku telah mengatakan mengapa aku penasaran dengan kepergian pemuda sialan itu! Sekarang jawab kapan dan di mana kau bertemu dengannya hingga kau tahu jika pemuda itu sudah pulang balik ke negeri asalnya!”
“Kemarin malam!”
“Di mana?!” sahut Nenek Selir seolah tak sabar. Dayang Tiga Purnama tidak segera menjawab. Sebaliknya tengadahkan kepala. “Di mana?!” Nenek Selir ulangi pertanyaan dengan suara makin keras.
“Perjalanannya setengah hari dari sini. Di satu tempat yang banyak diterjali batu-batu. Aku tak tahu apa nama tempat itu!” jawab Dayang Tiga Purnama dengan enggan karena dada gadis ini sebenarnya sudah di buncah kemarahan.
“Lalu bagaimana kau tahu dia pulang ke negeri asalnya?! Kau mengantarnya hingga pesisir laut?!”
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia yang mengatakan jika hendak pulang ke negeri asalnya! Dan kau harus tahu. Kalaupun dia tidak meninggalkan negeri ini, dia harus mengadu nyawa denganku!”
Habis menjawab begitu, Dayang Tiga Purnama melangkah ke arah Paduka Seribu Masalah seraya berucap. “Aku punya sesuatu yang lebih penting daripada membicarakan pemuda asing itu! Harap tidak menyela lagi!”
Dayang Tiga Purnama berhenti dua tindak di hadapan Paduka Seribu Masalah. “Bagaimana sekarang?! Rasanya tidak mungkin mengatakan urusanku pada Paduka Seribu Masalah di hadapan banyak orang begini rupa...”
Baru saja Dayang Tiga Purnama membatin begitu, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara. “Sepertinya kau tidak berani buka suara. Kau ingin kita bicara hanya berdua-dua saja?!”
“Kau tidak keberatan kita cari tempat lain?” sambut Dayang Tiga Purnama dengan lega.
Paduka Seribu Masalah tertawa. “Aku paling tidak takut kalau diajak gadis cantik....”
Paduka Seribu Masalah putar duduknya. Dayang Tiga Purnama melirik pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak tinggalku tempat itu. Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah membuat gerakan lebih jauh, dan Dayang Tiga Purnama baru mendapat satu tindak, terdengar suara.
“Siapa pun adanya laki-laki yang duduk rangkapkan kaki, dia boleh pergi! Tapi tidak kau gadis bernama Dayang Tiga Purnama!”
ORANG yang pertama kail tersentak kaget dan langsung putar kepala adalah Dayang Tiga Purnama. Disusul kemudian oleh Bidadari Pedang Cinta. Kemudian Nenek Selir lalu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Mereka sama arahkan pandang mata masing-masing pada Bidadari Tujuh Langit, orang yang baru saja perdengarkan suara. Bidadari Pedang Cinta, Galuh Sembilan Gerhana, dan Galuh Empat Cakrawala, serta Nenek Selir sudah maklum apa maksud ucapan Bidadari Tujuh Langit. Namun tidak demikian halnya dengan Dayang Tiga Purnama. Gadis ini segera buka mulut.
“Aku tidak kenal siapa dirimu. Mengapa berani mencegah?!”
Bidadari Tujuh Langit arahkan pandangan pada sosok Paduka Seribu Masalah. Saat pertama kali Dayang Tiga Purnama muncul dan langsung menyebut nama Paduka Seribu Masalah, Bidadari Tujuh Langit sempat terlonjak kaget. Mula-mula dia hampir tidak percaya. Namun setelah simak pembicaraan orang dan apa yang dialaminya saat bentrok dengan Paduka Seribu Masalah, dia mulai yakin.
Keyakinan yang timbul membuat Bidadari Tujuh Langit menjadi khawatir. Namun ingat akan kesaktian cincin yang berada di kaki kirinya, perlahan-lahan rasa khawatir itu lenyap. Malah dia merasa girang mendapati kemunculan sosok Dayang Tiga Purnama. Setelah memperhatikan Paduka Seribu Masalah, Bidadari Tujuh Langit alihkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama. Sambil sunggingkan senyum dia berkata.
“Kita memang belum kenal. Karena itulah aku mencegahmu. Aku....”
“Aku tidak punya waktu banyak! Harap katakan saja jika punya maksud!” Dayang Tiga Purnama sudah memotong sebelum Bidadari Tujuh Langit selesaikan ucapan. Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Begitu pentingkah urusanmu?!”
“Hem... Aku tak tahu apa maksud perempuan ini. Tidak ada gunanya aku meladeni!” bisik Dayang Tiga Purnama dalam hati. Lalu tanpa menjawab pertanyaan orang, dia putar kepala lagi ke arah Paduka Seribu Masalah. Saat lain dia teruskan langkah seraya berkata.
“Paduka.... Harap Ikuti aku...!”
Bidadari Tujuh Langit memandang beberapa lama. Dadanya sempat terguncang melihat gerakan sosok Dayang Tiga Purnama yang terus melangkah. Sementara Paduka Seribu Masalah perdengarkan gumaman tak jelas. Lalu putar duduk menghadap arah mana Dayang Tiga Purnama tengah melangkah. Belum sampai Paduka Seribu Masalah bergerak, Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat dan tahu-tahu tegak menghadang di depan Dayang Tiga Purnama. Sikap Bidadari Tujuh Langit membuat Dayang Tiga Purnama tak bisa menahan kemarahan. Dia langsung membentak.
“Kau tidak mau mengatakan apa maksudmu! Sekarang kau tegak menghadang! Apa maumu sebenarnya?!”
“Aku ingin mengajakmu.... Dan kita lupakan sejenak urusan dunia!”
“Bicaramu aneh! Aku tidak mengerti!”
“Nanti kau akan mengerti....”
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Sayang sekali aku masih punya sesuatu yang harus kubicarakan dengan Paduka Seribu Masalah. Jika tidak, mungkin aku akan mempertimbangkan ajakanmu!” kata Dayang Tiga Purnama meski dalam hati dia coba menindih ucapan yang keras. Dayang Tiga Purnama menyisi ke samping. Berpaling pada Paduka Seribu Masalah seraya berkata.
“Paduka.... Kita berangkat sekarang!”
“Kau akan pergi dari sini jika bersamaku...,” Bidadari Tujuh Langit menyahut.
Kali ini Dayang Tiga Purnama tidak bisa menahan diri lagi. Dengan suara keras dia berucap. “Dengar sekali lagi! Aku masih punya urusan! Dan kalau aku tidak mau pergi bersamamu, kau mau apa?!”
“Aku ingin lihat, apakah kau bisa menahan ajakanku...,” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan bibir tetap tersenyum.
“Kau yang ingin tahu. Jangan salahkan aku kalau kutunjukkan!” Dayang Tiga Purnama melompat. Begitu dua langkah di hadapan Bidadari Tujuh Langit, kedua tangannya dikelebatkan lepas pukulan.
Bidadari Tujuh Langit hadapi pukulan dengan senyum tanpa membuat gerakan apa-apa. Perempuan berparas cantik bertubuh bahenol ini tampaknya bisa membaca jika pukulan yang tengah dilancarkan orang hanya mengandalkan tenaga luar. Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama sempat terkejut melihat Bidadari Tujuh Langit tidak membuat gerakan menghadang atau berkelit. Dia sudah hendak tarik pulang kedua tangannya. Tapi ingat akan ucapan Bidadari Tujuh Langit, dan merasa jika pukulannya hanya mengandalkan tenaga luar, akhirnya Dayang Tiga Purnama teruskan pukulan.
Bukkk! Bukkk!
Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak tengadah ke samping kiri kanan. Dayang Tiga Purnama surutkan langkah dua tindak. Lalu memandang tajam dengan sedikit heran. Di hadapannya, Bidadari Tujuh Langit usap dagunya yang baru saja terhantam tangan Dayang Tiga Purnama. Tanpa buka mulut dia melangkah mendekati.
“Awas! Jangan beri dia kesempatan untuk menjamah tubuhmu!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala berteriak.
“Dia perempuan gila sinting yang punya kelainan! Dia lebih suka melihat tubuh perempuan daripada tubuh laki-laki!” Galuh Sembilan Gerhana menimpali.
Ucapan kedua gadis itu membuat Dayang Tiga Purnama tercekat dengan mata melotot memperhatikan sosok Bidadari Tujuh Langit seolah melihat hantu gentayangan. Kuduknya jadi dingin. Tanpa sadar dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit berhenti. Perlahan-lahan kepalanya diputar ke tempat mana Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berada. Bibirnya kembangkan senyum. Namun sekonyong-konyong kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuutt!
Dua sinar merah berkiblat ganas ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Karena dari tadi sudah waspada, meski Bidadari Tujuh Langit lepas pukulan secara tiba-tiba, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak merasa terkejut. Tapi kedua gadis ini tidak mau bertindak ayal. Apalagi mereka sadar jika tengah terluka dalam. Memaksakan bentrok pukulan hanya akan memperparah luka dalam bahkan mungkin bisa membuat mereka tewas.
Menyadari akan hal itu, begitu dua sinar merah berkiblat dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, Ga- luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera sentak tubuh masing-masing bergulingan di atas tanah. Dan maklum jika Paduka Seribu Masalah adalah orang yang mampu menghadapi Bidadari Tujuh Langit, kedua gadis ini gulingkan tubuh hindarkan diri ke tempat mana Paduka Seribu Masalah berada.
Wusss! Wuuss!
Beberapa rumpun bambu di belakang sana tadi Galuh Sembilan Gerhana dana Galuh Empat Cakrawala berada terhantam rata lalu amblas semburat. Beberapa orang di situ rasakan pijakan masing-masing bergetar keras. Bidadari Tujuh Langit cepat putar diri mengikuti gulingan tubuh Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala begitu mendapati kedua gadis itu bisa selamatkan diri dari pukulannya. Saat lain dia membuat gerakan hendak mengejar.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba Dayang Tiga Purnama sudah mendahului berkelebat dan tegak menghadang. Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun tiba-tiba dia melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat sarangkan totokan pada beberapa bagian tubuh Dayang Tiga Purnama. Gerakan tidak terduga Bidadari Tujuh Langit mem- buat Dayang Tiga Purnama terlambat untuk membuat gerakan menghadang walau dia masih mampu angkat kedua tangannya.
Saat itulah terdengar orang bergumam dari balik rumpun bambu. Lalu satu gelombang melesat lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang siap lancarkan totokan tertahan dan terpental ke belakang. Sosoknya ikut terjajar dua langkah ke samping. Saat yang sama sosok Dayang Tiga Purnama tersentak lalu jatuh terduduk di atas tanah.
Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Dia lang- sung putar diri menghadap rumpun bambu dari mana tadi gelombang melesat dan mampu menahan gerakannya. Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama juga buru-buru bergerak bangkit dan ikut palingkan kepala ke arah rumpun bambu. Karena rumpun bambu sangat tebal, Bidadari Tujuh Langit tidak mampu melihat siapa adanya orang di baliknya. Hingga sambil angkat kedua tangannya dia berteriak.
“Kau berani campuri urusanku. Mengapa pengecut tidak berani unjuk diri?!”
“Nah.... Apa kubilang!” Tiba-tiba terdengar suara dari balik rumpun bambu tebal. “Kini semuanya terlambat!Karena kau yang membuat ulah, kau juga yang harus berani turuti kemauannya!”
“Ah.... Bagaimana bisa begitu?! Kau tadi yang menyuruhku! Sekarang curi tangan! Memang benar aku yang membuat ulah. Tapi kau yang menyuruh! Jadi kau yang harus turuti kemauannya!” terdengar suara orang kedua menyahut.
Mendengar suara dari balik rumpun bambu, Nenek Selir terkesiap. “Telingaku hafal betul suara jahanamnya! Yang bicara pertama tadi pasti dia!” Nenek Selir pentangkan mata lalu alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kalau Nenek Selir mengenali suara orang yang pertama, lain halnya dengan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. Bidadari Pedang Cinta kernyitkan dahi seraya membatin.
“Aku seperti pernah dengar suara orang yang kedua.... Tapi mungkinkah dia?! Ah, mengapa aku selalu mengharap...?! Bukankah dia bukan pemuda baik-baik?! Dia telah menghamili kedua cucu nenek itu!”
Jika Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, diam-diam Dayang Tiga Purnama juga berkata dalam hati. “Aku yakin siapa adanya orang yang kedua! Ternyata dia belum hengkang dari negeri ini! Hem.... Dia memang baru saja menyelamatkan aku. Tapi jangan mimpi tindakannya itu bisa menghapus ancaman ku!” Gadis berbaju ungu ini segera pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Karena hanya terdengar suara tanpa adanya orang yang muncul unjuk diri, Bidadari Tujuh Langit habis kesabaran. Kedua tangannya digerakkan. Namun sebelum dua sinar merah sempat melesat, Nenek Selir berteriak.
“Tahan serangan!” Nenek Selir melompat dan tegak menjajari Bidadari Tujuh Langit. Sang Bidadari melirik lalu berucap. “Wajahmu berubah! Kau mengenali siapa adanya jahanam di balik rumpun bambu itu?!”
“Itu bukan urusanmu! Sekarang kau menyingkirlah! Urusan manusia di balik rumpun bambu menjadi hakku!”
“Enak saja kau bicara! Siapa pun adanya manusia di balik rumpun bambu, mereka telah membuka urusan denganku! Kau yang harus menyingkir!”
Baru saja Bidadari Tujuh Langit bicara begitu, mendadak dari balik rumpun bambu terdengar orang tertawa cekikikan. Disusul dengan terdengarnya suara.
“Mengapa harus turuti kemauan perempuan-perempuan jelek begitu?! Yang satu sudah bau tanah tapi masih cerewet! Yang satu benar masih cantik dan bahenol. Sayang, salah satu anggota tubuhnya ada yang tidak beres! Hik Hik Hik...! Lebih baik kita lanjutkan saja acara kita....”
Sosok Nenek Selir bergetar keras. Bukan saja karena ucapan orang, tapi karena ucapan itu jelas diperdengarkan oleh seorang perempuan! “Jahanam betul! Keparat itu membawa makhluk perempuan!” desis si nenek seraya lipat gandakan tenaga dalam.
“Betul... Betul..! Lebih baik kita lanjutkan acara kita. Di sana kulihat ada aliran sungai. Kita berenang berempat... Daripada harus melayani perempuan-perempuan aneh yang tak jelas juntrungannya!” Terdengar suara perempuan dari balik rumpun bambu menyahut suara perempuan yang pertama.
Nenek Selir dan Bidadari Tujuh Langit tak bisa menahan diri masing-masing. Belum habis suara sahutan perempuan yang kedua, tangan masing-masing sudah berkelebat lepas pukulan ke arah rumpun bambu.
Blamm! Blammm!
Kawasan hutan bambu bergetar keras. Rumpun bambu di mana dari baliknya tadi terdengar sahut-sahutan orang bicara langsung mental amblas rata dengan tanah! Malah di sana sini terlihat lobang menganga besar. Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sama pentang mata. Dan hampir berbarengan mereka berdua melompat ke bekas rumpun bambu yang sudah rata dengan tanah. Kepala keduanya bergerak memutar.
“Keparat! Mana jahanam-jahanam busuk itu?!” desis Nenek Selir seraya putar kedua tangannya siap lepas pukulan di mana pun orang terlihat muncul.
“Suara-suara tadi jelas dari rumpun bambu ini! Tapi ke mana mereka?! Kalau kena hantam, tidak kulihat potongan tubuhnya! Kalau tidak mampus, tidak kulihat batang hidungnya! Jangan-jangan yang kudengar tadi hanya permainan pengalihan suara!” Bidadari Tujuh Langit menduga-duga begitu dia juga tidak melihat siapa-siapa. Sementara itu, Bidadari Pedang Cinta yang sesaat tadi sempat berdebar dengan tindakan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir, segera pula putar pandangan berkeliling.
Mendadak sepasang mata Bidadari Pedang Cinta melotot besar tatkala tanpa sengaja matanya menumbuk pada satu sosok tubuh di balik salah satu rimbun bambu tidak jauh dari tempat tegaknya. Saking kagetnya, meski gadis cantik ini coba menahan diri, namun tak urung terdengar seruan dari mulutnya. Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir serta-merta berpaling. Lalu sama arahkan pandangan ke arah mana Bidadari Pedang Cinta tengah memandang terkejut. Saat yang sama terdengar suara orang mengeluh. Namun suara keluhan itu terputus ketika tiba-tiba dua sosok bayangan hitam dan putih berkelebat dan tegak beberapa langkah dari sumber suara keluhan!
SOSOK bayangan hitam yang bukan lain adalah Nenek Selir segera berpaling pada sosok putih yang ternyata adalah Bidadari Tujuh Langit. Lalu berteriak. “Jangan berani lancang turun tangan dulu! Aku ingin tahu tampang jahanam-jahanam keparat itu!”
Tanpa menunggu sambutan Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir segera arahkan pandangan ke satu rumpun bambu di mana terlihat satu sosok tubuh tengah mendekam sembunyi. Orang ini tidak terlihat raut wajahnya, karena sengaja sembunyikan wajah dengan menunduk dalam-dalam. Bersamaan dengan berpaling si nenek, perlahan- lahan orang yang mendekam sembunyi angkat wajahnya. Dari sela rumpun bambu, baik Nenek Selir maupun Bidadari Tujuh Langit melihat raut tampan milik seorang pemuda yang keduanya sudah sangat mengenalinya. Anehnya, begitu wajah di sela rumpun terangkat, orang ini bukannya memandang pada si nenek atau Bidadari Tujuh Langit. Melainkan pada sosok Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama yang tegak agak jauh.
“Cepat keluar!” bentak Nenek Selir.
Dengan pasang tampang nyengir, orang di sela rumpun bambu bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan melangkah keluar dengan senyam-senyum. Nenek Selir mendelik angker. Bidadari Tujuh Langit menyeringai dingin. Sementara Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang, lalu lontar lirikan pada Dayang Tiga Purnama yang tampak kuasa diri dari ra- sa tak percaya dan kaget. Yang muncul dari balik rumpun bambu adalah seorang pemuda berambut panjang acak-acakan mengenakan pakaian putih-putih.
“Setan kecil jahanam!” Nenek Selir membentak. “Lekas suruh keluar sekalian Tua Bangka keparat yang bersamamu! Juga dua gundik yang bersama kalian! Cepat!”
Si pemuda yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng menjura hormat. Lalu buka mulut. “Nek... Aku telah berulang kali menyuruhnya keluar. Tapi dia bandel. Mungkin kalau kau sendiri yang memerintah, dia akan keluar!”
“Baik! Aku akan menyuruhnya keluar dengan caraku!” kata Nenek Selir seraya maju dua langkah dan angkat kedua tangannya.
“Nek! Apa yang akan kau lakukan?!” teriak murid Pendeta Sinting saat melihat kedua tangan si nenek diarahkan lurus padanya.
Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya gerakkan kedua tangan lepas pukulan! “Celaka! Dia bisa mampus kalau menghadapi nenek itu dengan bercanda!” Tiba-tiba terdengar orang bergumam. Lalu satu rumpun bambu di bagian samping bergerak menguak. Satu sosok tubuh berkelebat keluar seraya berteriak.
“Tunggu!” Seorang kakek berambut putih panjang mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu telah tegak di seberang samping. Semula kepala menoleh. Nenek Selir tampak terguncang. Sepasang matanya mendelik nanari sosok orang yang bukan lain adalah Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah.
“Beberapa saat berselang takdir nyawamu masih baik! Kau masih mendapat pertolongan perempuan gembrot sialan itu! Lalu pagi tadi, nyawa jahanammu masih tertolong setan kecil dari negeri asing ini!” Tangan kiri Nenek Selir diluruskan tepat ke arah murid Pendeta Sinting. “Sekarang setan pun tak akan bisa menyelamatkan selembar nyawamu!” Nenek Selir berteriak. Lalu melompat dan tegak delapan langkah di hadapan Manusia Tanah Merah. Begitu tegak di hadapan Manusia Tanah Merah, kembali si nenek sudah berkata.
“Sebelum nyawamu kurobek, lekas suruh unjuk tampang perempuan-perempuan kalian yang punya mulut tak karuan itu!” Kepala si nenek pulang balik memandang ke arah Manusia Tanah Merah dan Pendekar 131.
“Nek...! Kami tidak bersama perempuan-perempuan yang kau bilang bermulut tak karuan!” Pendekar 131 menyahut.
“Mulut manusia negeri asing ternyata bukan saja pandai merayu perempuan, tapi juga pintar berdusta!” bentak Nenek Selir.
“Ah... Mungkin kau salah dengar, Nek! Kau terlalu terbawa perasaan, hingga suara laki-laki bisa berubah jadi suara perempuan!” Enak saja Joko berkata.
“Biar aku yang menjelaskan,” Manusia Tanah merah buka suara. “Kami memang tidak bersama perempuan. Kalaupun tadi kau dengar suara-suara perempuan, itu juga adalah suara kami....”
Nenek Selir mendengus. Tiba-tiba dia berpaling pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berseru. “Gadis berbaju ungu! Kau tadi bilang manusia asing itu sudah pulang ke negeri asalnya. Sekarang batang hidungnya ada di hadapanmu. Apa jawabmu, hah?! Apa yang ada dalam benakmu hingga berani lancang menutup-nutupi?! Kau takut dia mampus?!”
Tampang Dayang Tiga Purnama berubah merah mengelam. Dadanya laksana dibakar mendengar ucapan si nenek. Namun karena sadar jika kata-kata Nenek Selir benar adanya, gadis ini coba menahan diri untuk tidak meladeni ucapan si nenek. Sebaliknya dia segera berkelebat lalu tegak tidak jauh dari Pendekar 131.
“Kau pasti masih ingat ucapan terakhirku! Sekali kau masih kutemukan di negeri ini, kita akan mengadu jiwa!” teriak Dayang Tiga Purnama dengan angkat kedua tangan.
“Hem... Manusia-manusia di tempat ini tampaknya sudah saling punya sengketa. Lebih baik aku mundur dahulu walau sebenarnya aku ingin membunuh pemuda tampan ini! Terjadinya bentrokan akan menguntungkan bagiku.... Aku nanti hanya tinggal mengambil hasilnya!” Bidadari Tujuh Langit yang tegak tidak jauh dari Joko berkata sendiri dalam hati. Setelah melirik ke arah Dayang Tiga Purnama yang tegak beberapa langkah di sampingnya, perempuan bertubuh bahenol ini perlahan-lahan surutkan langkah ke belakang.
“Dayang...,” kata Joko. “Sebenarnya aku sendiri sudah tidak betah berada lama-lama di negeri aneh ini! Tapi bagaimana lagi aku harus berbuat jika kehendak lain masih menuntunku tetap di negeri ini, bahkan mengharuskan kita bertemu lagi?!”
“Kau pandai mencari alasan! Jelasnya kau memang tidak ingin tinggalkan negeri ini! Dan berarti kau ingin mengadu jiwa denganku!” Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melom- pat. Kedua tangannya dikelebatkan lepas pukulan ke arah murid Pendeta Sinting!
Tapi baru setengah jalan kedua tangan Dayang Tiga Purnama menderu ganas mengarah pada batok kepala Joko, mendadak Nenek Selir berteriak. “Jangan berani menyentuh tubuhnya!”
Satu gelombang menyambar lurus ke arah Dayang Tiga Purnama, membuat gerakan kedua tangan gadis ini tertahan, bahkan saat lain sosoknya terjajar mundur satu tindak! Dalam kaget dan marahnya, Dayang Tiga Purnama berpaling pada Nenek Selir. Namun sebelum si gadis buka mulut, si nenek sudah mendahului.
“Dia berhutang janji padaku! Aku tak ingin setan negeri asing itu mampus sebelum selesaikan janji denganku!”
“Janji apa?!” Membentak Dayang Tiga Purnama. “Kau sudah tahu masalahnya! Mengapa pura-pura bodoh?!”
Habis bicara begitu, Nenek Selir putar diri lagi menghadap Manusia Tanah Merah. Namun sebelum nenek yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang ini sempat buka mulut, Pendekar 131 berucap.
“Nek! Saat datangnya hari perjanjian masih kurang beberapa hari lagi. Sekarang aku harus pergi mencari tempat yang tenang. Aku tak mau nantinya terkecoh! Jika saatnya tiba, aku akan muncul di tempat yang kita tentukan!” Joko palingkan kepala ke arah Manusia Tanah Merah. Lalu sambungi ucapannya.
“Kek! Sebenarnya aku ingin terus bersamamu. Tapi keadaan tidak memungkinkan.... Aku harus pergi dulu!”
Joko terus putar tubuh. Kini menghadap Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang sekarang tegak tidak jauh dari Paduka Seribu Masalah. “Kalian tidak membutuhkan keterangan apa-apa lagi dariku?!”
Kedua gadis yang ditanya saling pandang. Galuh Sembilan Gerhana berbisik. “Manusia satu ini aneh. Semua yang dilakukannya dianggap main-main!”
“Orang macam begini, mampus pun akan tertawa!” sahut Galuh Empat Cakrawala.
Karena tidak ada yang menjawab, Joko putar pandangan dan berhenti kala saling pandang dengan mata Bidadari Pedang Cinta. “Senang jumpa denganmu lagi, Bidadari.... Terima kasih atas keteranganmu tempo hari!”
Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut walau sebenarnya dia ingin sekali buka mulut. Seperti diketahui, Joko sempat bertemu dengan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Dan dari keterangan Joko pula akhirnya kedua gadis ini bisa bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit yang tengah dicarinya. Sementara di lain pihak, dari keterangan Bidadari Pedang Cinta, akhirnya Joko sampai ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Murid Pendeta Sinting teruskan pandangan. Begitu matanya menumbuk pada sosok Dayang Tiga Purnama, dia berkata.
“Aku tidak bisa memastikan kapan hengkang dari negeri ini! Tapi satu hal yang harus kau tahu. Orang yang kau cari sudah ada di dekatmu!” Joko melirik ke arah Paduka Seribu Masalah. Lalu teruskan pandangan ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Namun kali ini sebelum Joko sempat bicara, Bidadari Tujuh Langit sudah mendahului. “Kau tidak akan pernah hengkang dari negeri ini!” Sambil berteriak begitu, Bidadari Tujuh Langit kembali berkelebat lalu tegak lima langkah di hadapan Joko.
“Bidadari Tujuh Langit! Manusia sepertiku kurasa tidak ada gunanya bagimu!” ujar Pendekar 131 seraya hendak balikkan tubuh.
“Kau memang tidak berguna! Dan kau pasti tahu di mana tempat manusia yang tak ada gunanya!”
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Bidadari Tujuh Langit. Dia teruskan gerakan membalik. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit menyergap kedepan.
Wuutt! Wuutt!
Joko merasakan deruan angker berkiblat dari arah samping. Joko tidak tinggal diam. Dia segera menghadang dengan sentakkan kedua tangannya.
Bukk! Bukk!
Pendekar 131 terjajar dua langkah dengan tangan terpental. Di sampingnya Bidadari Tujuh Langit tersentak mundur dan perdengarkan jeritan tertahan. Namun perempuan ini cepat kuasai diri. Saat lain dia telah pentang mata. Sementara kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Karena sudah pernah bentrok, Pendekar 131 tidak mau bertindak gegabah. Dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Didahului bentakan garang, Bidadari Tujuh Langit melompat mundur. Saat lain kedua tangannya menghantam. Sepasang matanya dipentang besar-besar.
Wuutt! Wuutt! Wusss! Wusss!
Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat dua sinar merah. Bersamaan dengan itu dari sepasang mata sang Bidadari berkiblat dua sinar hitam yang membuat suasana mendadak laksana ditelan kegelapan! Dari serangan yang dilancarkan jelas kalau Bidadari Tujuh Langit ingin membunuh Joko dalam satu kali gebrakan.
“Tahan serangan!” teriak Nenek Selir ketika Bidadari Tujuh Langit membuat gerakan menghantam.
Namun teriakan si nenek sudah sangat terlambat. Di lain pihak Joko tekuk lutut. Lalu sentakkan kedua tangan. Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting melesat gelombang dahsyat disertai kiblatan sinar kuning yang membawa hawa panas menyengat.
“Kalau sampai terjadi apa-apa pada pemuda asing itu, urusan ketiga gadis itu bisa tak karuan! Lagi pula aku tidak akan membiarkan seorang pun menjamah tubuhnya karena dia telah berani kurang ajar padaku!” Nenek Selir mendesis. Lalu kedua tangannya bergerak. Dua pedang di sanggulan rambutnya ditarik lalu dihantamkan memotong pukulan Bidadari Tujuh Langit.
Blamm! Blamm! Blaamm!
Tiga ledakan keras terdengar tiga kali berturut-turut ketika pukulan yang dilepas ketiga orang itu bertemu di udara. Suasana gelap pecah dengan semburatnya bunga-bunga api. Sinar merah dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit bertabur. Sinar kuning pukulan ‘Lembur Kuning’ bertebaran kian kemari di udara. Sementara dua kobaran api yang keluar dari kedua pedang di tangan Nenek Selir terbongkar padam. Bidadari Tujuh Langit berteriak tegang. Sosoknya mental ke udara lalu menukik deras dan jatuh terjengkang di atas tanah dengan mata terpejam dan mulut megap-megap. Saat lain dari mulutnya terlihat lelehan darah!
Saat yang hampir bersamaan, sosok Nenek Selir laksana dihantam kekuatan hebat. Sosoknya terjungkal ke udara dua setengah tombak. Lalu tersentak dan terbanting sebelum akhirnya meluncur jungkir balik ke bawah dan jatuh punggung di atas tanah dengan mulut mengembung dan kepala pulang balik tersentak-sentak. Ketika kepalanya tersentak terakhir kali, mulutnya terbuka semburkan darah! Sanggulan rambutnya terlepas terurai menutupi sebagian pundak dan sebagian wajahnya yang pucat pasi!
Di seberang, begitu terdengar ledakan, sosok Pendekar 131 terlempar dua tombak ke belakang lalu jatuh terjepit di antara sela rumpun bambu dengan kedua tangan terkulai dan mata terpejam terbuka merasakan darahnya yang jungkir balik tak karuan. Namun murid Pendeta Sinting adalah orang yang paling beruntung dibanding Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir. Karena pukulan yang dilancarkan Bidadari Tujuh Langit terpangkas dahulu oleh pukulan yang dilepas Nenek Selir. Hingga begitu pukulannya bentrok, keadaan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sudah mengalami bias bentroknya, keadaan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sudah mengalami bias bentroknya pukulan terlebih dahulu. Maka meski Joko terlempar dan jatuh terjepit di antara rumpun bambu dan merasakan darahnya menyentak-nyentak, namun dia tidak sampai semburkan darah.
KETIKA Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan Pendekar 131 sama lepas pukulan, semua orang yang ada di tempat Itu tampaknya maklum jika akan terjadi sesuatu yang hebat. Hingga saat itu juga Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta segera melompat menyingkir. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berdiri tegak lalu buru-buru berkelebat menjauh. Cuma Paduka Seribu Masalah yang tetap duduk di tempatnya semula.
Sementara Manusia Tanah Merah sesaat tadi tampak hendak buka mulut mencegah tindakan Nenek Selir yang memotong puku- lan Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai suara- nya terdengar, si nenek sudah keburu lepas pukulan. Orang tua berjubah tanpa lengan ini akhirnya hanya geleng kepala lalu mundur beberapa langkah. Di lain pihak, begitu masing-masing sosok yang lepas pukulan sama terpental jatuh, Bidadari Tujuh Langit adalah orang yang pertama kali bergerak bangkit. Disusul Nenek Selir. Untuk beberapa saat kedua perempuan ini sama perang pandang dengan unjuk tampang seringai dingin. Lalu sama arahkan pandangan pada sosok murid Pendeta Sinting yang terjepit di antara rumpun bambu.
Saat lain, seakan sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua orang ini segera kerahkan hawa sakti untuk kuasai luka dalam masing-masing. Lalu lipat gandakan tenaga dalam. Pendekar 131 buka sepasang matanya. Lalu angkat wajah memandang ke arah Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir. Tahu apa yang sudah dilakukan orang, Joko cepat sibakkan bambu yang menjepit tubuhnya.
Bunggg! Bunggg! Bungggg!
Belum sampai Joko bertindak lebih jauh, mendadak kawasan hutan bambu itu dipecah dengan terdengarnya suara gaung menggelegar bertalu-talu. Semua orang yang ada di tempat itu rasakan liang telinga laksana ditusuk-tusuk dan dada dihantam gelombang dahsyat.
“Jahanam! Ada saja yang merusak pekerjaanku!” Nenek Selir mendengus karena dengan terdengarnya suara gaung, pengerahan tenaga dalamnya jadi kacau.
Bidadari Tujuh Langit sendiri tampak terkesiap. “Ulah siapa ini?! Gaung gila! Aku tak bisa pusatkan tenaga dalam!” rutuknya dalam hati seraya sapukan pandangan berkeliling ke arah satu persatu orang yang ada di tempat itu.
“Eyang Guru...! Dia berada di sekitar sini!” Dayang Tiga Purnama bergumam pelan seraya kerahkan tenaga dalam menutup jalan pendengaran.
“Aku pernah dengar suara gaung ini...,” kata Joko dalam hati seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua telinga.
Selagi orang-orang sama membatin, mendadak suara gaung sirna. Tapi cuma sekejap. Di lain saat terdengar deruan angker membubung ke angkasa. Ketika semua orang tengadah, mereka melihat sebuah gulungan benda hitam. Namun belum sampai ada yang tahu benda apa itu, mendadak gulungan benda hitam menukik deras ke tempat mana beberapa orang tengah berada.
Blaaarrr!
Gulungan benda hitam semburat pecah perdengarkan ledakan dahsyat. Suasana berubah laksana digenggam kegelapan. Lalu asap putih menebar menungkup tempat itu. Semua orang selain Paduka Seribu Masalah tersentak dan buru-buru tundukkan kepala sambil takupkan kedua tangan pada wajah karena mereka merasakan mata masing-masing perih dan kucurkan air mata.
“Jahanam! Jahanam! Siapa berani kurang ajar berlagak buat kekacauan ini?!” Nenek Selir memaki habis-habisan.
“Munculnya pemuda asing keparat itu selalu saja membawa petaka!” Bidadari Tujuh Langit juga menyumpah-nyumpah. “Jika keparat itu tidak segera kubereskan, rejeki yang sudah di tangan terus akan melayang! Nenek bangsat itu juga harus kuhabisi sekarang! Dia bisa jadi batu sandungan di kelak kemudian hari!”
Setelah suasana kembali terang dan asap putih yang tebarkan rasa perih di mata lenyap, Nenek Selir cepat turunkan kedua tangan dari wajahnya. Lalu putar kepala dengan mata dibeliakkan. Untuk kesekian kalinya, dari mulut si nenek terdengar makian panjang pendek ketika tahu yang tinggal di tempat hanya Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala, Bidadari Tujuh Langit, dan Pendekar 131. Sosok Paduka Seribu Masalah, Manusia Tanah Merah, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari Pedang Cinta tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Siapa pun adanya jahanam yang punya pekerjaan ini, pasti dia masih kambratnya salah satu gadis yang berbaju hijau atau gadis baju ungu!” desis Nenek Selir sambil gerak-gerakkan kedua tangannya yang menggenggam pedang. Yang dimaksud gadis baju hijau dan baju ungu oleh si nenek adalah Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. “Tapi tidak tertutup kemungkinan yang punya ulah ini adalah gundik jahanam Wang Su Ji!Buktinya dia juga lenyap! Sialan betul!” Nenek Selir bantingkan kaki.
Di tempat lain, Bidadari Tujuh Langit cepat pula turunkan kedua tangan dari wajah. Lalu lepas pandangan berkeliling. Perempuan cantik jelita bertubuh bahenol ini tampak beringas kala tahu tinggal siapa saja yang berada di tempat itu. Dalam geram dan marahnya mata Bidadari Tujuh Langit saling bentrok dengan mata Nenek Selir. Kemarahan sang Bidadari sudah naik ke ubun-ubun apalagi dia tahu karena pangkasan pukulan si nenek, dia harus mengalami luka dalam walau segera bisa diatasi. Namun Bidadari Tujuh Langit masih menindih keinginan ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara gumaman dari rumpun bambu di mana Joko jongkok sambil tutupi wajah. Dia cepat berpaling.
“Wang Su Ji pasti belum jauh dari tempat ini. Urusanku dengannya lebih penting daripada masalah di tempat ini! Aku harus segera mengejarnya!” Nenek Selir membatin lalu berteriak.
“Bidadari Tujuh Langit! Silakan kau punya sengketa dengan pemuda asing sialan itu! Tapi jika dia mampus di tanganmu, aku akan menagih nyawamu sebagai ganti nyawanya!” Habis berkata begitu, Nenek Selir putar langkah. Bidadari Tujuh Langit tidak pedulikan teriakan si nenek. Sebaliknya angkat kedua tangannya.
Di depan sana, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil kucek-kucek mata. Ketika dia balikkan tubuh, sosoknya tersurut dua tindak melihat kedua tangan Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat lepas pukulan ke arahnya! Namun belum sampai sinar merah melesat dari ke- dua tangan Bidadari Tujuh Langit dan dari sepasang matanya melesat sinar hitam, tiba-tiba Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sentakkan tangan masing-masing.
Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Dari kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana melesat arakan awan hitam yang membuat suasana jadi remang-remang. Sedang dari kedua tangan Galuh Empat Cakrawala berkiblat sinar pelangi. Kedua gadis ini kembali telah lepas pukulan ‘Inti Gerhana’ dan ‘Inti Cakrawala’. Bidadari Tujuh Langit terkejut. Dia batalkan niat lepas pukulan ke arah Pendekar 131. Lalu putar tubuh dan serta-merta hantamkan kedua tangan menghadang pukulan yang datang. Melihat apa yang terjadi, entah mengapa tiba-tiba Nenek Selir urung teruskan langkah. Malah saat itu juga dia angkat kedua tangannya siap membantu Galuh Sembilan Gerhana dan saudaranya.
Di lain pihak, Joko cepat melompat dari sela rumpun bambu. Sesaat dia bimbang. Dia sebenarnya ingin membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Dia dapat membaca, kedua gadis itu tidak akan mampu menghadapi Bidadari Tujuh Langit. Joko sudah angkat kedua tangannya. Tapi mendadak dia urungkan niat ketika sekilas dapat melihat gerakan kedua tangan Nenek Selir.
Di udara, pukulan dari masing-masing ketiga orang terus melesat. Nenek Selir sudah kelebatkan kedua tangannya. Namun sekonyong-konyong, dari arah samping terdengar suara dahsyatbergemuruh. Ketika Nenek Selir melirik, kagetlah nenek ini. Dua gelombang angin luar biasa menggebrak lurus ke arahnya! Karena tak ada kesempatan lagi untuk menghadangbgelombang yang tiba-tiba datang, sambil berteriak marah dia jatuhkan diri sama rata dengan tanah hindari gelombang.
Wusss! Wusss!
Dua gelombang lewat dua jengkal di atas tubuh Ne- nek Selir. Rambut nenek ini tampak berkibar-kibar ke udara lalu sosoknya terseret hingga dua tombak di atas tanah! Kedua tangannya yang tadi lepas pukulan membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tersentak ke bawah hingga kobaran api dari kedua pedangnya menghantam udara kosong!
Saat itulah terdengar dentuman keras ketika pukulan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala bertemu pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit. Kedua gadis murid si Pasangan Mesum ini terpekik. Sosok keduanya langsung mencelat dan terkapar di atas tanah. Dari mulut masing-masing semburkan darah. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tampaknya salah menduga. Mereka tadi mengira Bidadari Tujuh Langit tidak akan mampu memutar gerakan tangannya yang saat itu tengah lepas pukulan ke arah murid Pendeta Sinting. Hingga tanpa pikir panjang lagi, mereka segera lepas pukulan. Karena mereka pikir itulah kesempatan baik untuk membuat balasan Ternyata dugaan mereka meleset.
Di seberang, Bidadari Tujuh Langit hanya terjajar beberapa tindak. Saat lain perempuan ini sudah angkat kedua tangannya lagi siap lepas pukulan! Yang paling kecewa adalah Pendekar 131. Karena dia tadi dapat menangkap gerakan kedua tangan Nenek Selir, dia urungkan niat untuk ikut menghadang pukulan Bidadari Tujuh Langit. Dia tidak menduga jika tiba-tiba Nenek Selir mendapat serangan gelap dari arah samping. Hingga pukulan si nenek melenceng dan akibatnya Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala harus menghadang pukulan Bidadari Tujuh Langit tanpa bantuan orang lain. Begitu sosoknya terhenti, Nenek Selir cepat membuat gerakan jungkir balik. Lalu tegak kembali di atas tanah seraya berteriak.
“Siapa berani pengecut membokongku, hah?” Kedua tangannya yang memegang pedang diacung-acungkan memutar. Belum habis teriakan si nenek, dua sosok berkelebat dan langsung tegak di tempat itu dengan kepala lurus menghadap ke arah sosok Galuh Sembilan Gerha- na dan Galuh Empat Cakrawala.
“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah!” Joko bergumam mengenali seorang laki-laki berusia lanjut berparas lonjong dengan kulit putih pucat laksana tidak dialiri darah.
Sosoknya kerempeng hingga anggota tubuhnya yang kelihatan hampir-hampir tidak tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang. Sepasang matanya melotot besar. Orang tua kerempeng ini mengenakan pakaian gombrong besar berwarna putih. Begitu gombrongnya pakaian yang dikenakan, hembusan angin yang masih mendera tempat itu akibat bentroknya pukulan membuat sosok orang tua ini laksana bergerak-gerak hendak amblas tersapu. Padahal dia tidak membuat gerakan apa-apa.
Tegak di samping orang tua berpakaian gombrong besar adalah seorang perempuan berparas cantik walau usianya tidak muda. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung, bibirnya dipoles merah menyala. Dadanya mencuat kencang dan padat. Pinggulnya yang besar menggoda dibalut pakaian tipis ketat warna biru. Nenek Selir mendelik angker dengan dada panas, apalagi mendapati kedua orang yang muncul dan dia yakini manusia yang membokongnya seakan tidak melihat keberadaannya di tempat itu. Untuk beberapa saat si nenek memperhatikan dengan kepala disorongkan ke depan. Jelas wajahnya menggambarkan kebimbangan.
Sementara dua orang yang baru muncul sama sunggingkan senyum melihat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala terbungkuk-bungkuk bangkit sambil pegangi dada masing-masing. Lalu tanpa pedulikan pandangan orang, kedua sosok yang baru muncul saling berpaling. Saat lain kepala keduanya bergerak ke depan. Kedua orang ini berciuman sambil lingkarkan tangan masing-masing ke pinggang lainnya!
“Gila! Dua jahanam itu adalah si Pasangan Mesum!” desis Nenek Selir sambil lemparkan pandangan ke jurusan lain dengan tampang berubah.
“Tanpa kucari, akhirnya kau datang sendiri, Perempuanku.... Gayamu sungguh luar biasa! Hingga aku tak sabar ingin segera menikmatimu!” Bidadari Tujuh Langit buka suara begitu melihat siapa adanya kedua orang yang muncul. Sepasang matanya terus menatap pada sosok si perempuan berbaju biru ketat yang masih berciuman dengan si orang tua bertubuh kerempeng berpakaian gombrong.
“Edan! Edan!” rutuk Joko dalam hati melihat apa yang tengah dilakukan dua sosok yang baru muncul yang bukan lain memang Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah. Sepasang tokoh yang dikenal dengan gelar Pasangan Mesum.
Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, Iblis Muka Setan sudah hendak tarik pulang ciumannya dari bibir Perempuan Kembang Darah. Namun si Perempuan Kembang Darah cepat rapatkan tangannya yang melingkar di pinggang si laki-laki. Lalu daratkan bibirnya lagi ke bibir Iblis Muka Setan.
Nenek Selir melirik. Ketika dilihatnya kedua orang itu masih juga berciuman, si nenek langsung berteriak. “Binatang saja masih punya rasa malu bercinta didepan orang! Kalian manusia adanya mengapa tidak punya kemaluan?!”
“Nek! Ucapanmu salah! Mana mungkin mereka berani bercinta di depan orang kalau mereka tidak punya kemaluan?! Yang benar, mereka manusia adanya mengapa tidak punya malu-malu?!” Pendekar 131 menyahut lalu tertawa bergelak.
“Setan! Berani kau menyalahkan ucapanku! Kau yang bodoh! Apa itu malu-malu?!” Nenek Selir kembali berteriak.
“Malu-malu artinya sama dengan malu! Berhubung manusia yang tidak punya malu ada dua orang, apa salah kalau dikatakan malu-malu?!” ujar murid Pendeta Sinting.
“Ah, kau sok pintar bicara! Yang jelas apa pun namanya, mereka tidak punya kemaluan!”
“Astaga! Dari mana kau tahu, Nek?!” tanya Joko dengan pasang tampang sungguh-sungguh.
“Suruh saja mereka singkap pakaian yang dikenakan! Mereka pasti memilih mampus daripada buka pakaian! Dan karena tidak punya kemaluan, maka hilang pula rasa malu-malunya!”
“Bidadari Tujuh Langit! Kau dengar ucapan nenek itu! Apa kau masih tertarik dengan perempuan berbaju biru itu?!” Joko berteriak ajukan tanya pada Bidadari Tujuh Langit.
Pertanyaan Joko bukannya disahut Bidadari Tujuh Langit, tapi disambut Nenek Selir. “Bagi dia, tidak perlu apakah adanya orang itu utuh atau tidak! Yang penting wujudnya perempuan! Nenek-nenek pun jadilah! Malah akhir-akhir ini kudengar dia lebih gandrung dengan nenek-nenek!”
Joko perdengarkan seruan kaget. Lalu buka mulut. “Bagaimana bisa begitu?!”
“Aku tak bisa menjelaskan! Aku khawatir nanti dikira tidak punya kemaluan! Ah, salah.... Aku khawatir nanti dikira tidak punya malu ungkapkan hal-hal luar biasa begitu di depan orang banyak! Apalagi kau adalah orang negeri asing! Kalau sampai kabar berita ini tersebar hingga negerimu, bisa celaka seumur-umur semua nenek-nenek negeri ini!”
BIDADARI Tujuh Langit tegak dengan dagu terangkat mendengar kata-kata Pendekar 131 serta Nenek Selir. Sementara Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah sama lepas pelukan tangan masing-masing di pinggang lainnya. Lalu tarik pulang wajahnya. Iblis Muka Setan berpaling pada Nenek Selir. Sedang Perempuan Kembang Darah sentakkan wajah menghadap murid Pendeta Sinting. Walau sudah bisa membaca raut kemarahan pada wajah orang, tapi Joko seakan tidak peduli. Sambil alihkan pandangan dari tatapan Perempuan Kembang Darah dan lirikan tajam Bidadari Tujuh Langit, dia buka suara.
“Nek! Kau bilang nenek-nenek negeri ini bisa celaka seumur-umur. Bagaimana maksudmu?!”
“Huss! Jangan keras-keras!” bentak si nenek.
Joko tengadahkan wajah. Lalu mulutnya membuat gerakan seperti orang bicara tapi tanpa perdengarkan suara.
“Bagaimana tidak bisa celaka seumur-umur. Kalau sampai berita tersebar, orang-orang pasti menduga jika seluruh nenek negeri ini sudah melakukan hal-hal luar biasa yang memalukan!” kata si nenek setelah Joko hentikan gerakan mulutnya.
“Bahkan tidak mustahil orang-orang akan menduga semua nenek negeri ini tidak punya kemaluan!” sahut Joko.
“Sialan! Ujung ucapanmu pulang balik ke situ lagi!”
“Jahanam!” Iblis Muka Setan menghardik. “Mulut nenek satu ini perlu dibuat tidak bisa bicara!”
“Soal dia dan manusia asing itu kita tunda. Sekarang sudah saatnya kita selesaikan urusan lama!” Menyahut Perempuan Kembang Darah. Lalu perempuan cantik ini putar tubuh lurus menghadap Bidadari Tujuh Langit.
Iblis Muka Setan mendelik sesaat pada Nenek Selir. Si nenek kedipkan sebelah mata lalu tertawa cekikikan. Kalau saja di situ tidak ada Bidadari Tujuh Langit, pasti Iblis Muka Setan sudah berkelebat dan menggebuk si nenek.
Melihat Perempuan Kembang Darah menghadap ke arahnya, Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berkata. “Perempuanku... Lebih baik kita lupakan urusan lama! Aku punya urusan yang pasti akan membuatmu kesenangan! Kau bisa tanyakan pada kedua muridmu itu... Sekali mereka merasakan, mereka terus mencariku...”
Perempuan Kembang Darah tidak menyahut. Seba- liknya perempuan ini diam-diam salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Bidadari Tujuh Langit saput bibirnya dengan lidah. Lalu buka suara lagi.
“Pasanganmu memang tampan. Tapi di mana enaknya bercinta dengan tulang belulang begitu rupa?! Kau harus sadar, Perempuanku! Kau perempuan cantik bertubuh bagus. Kau layak merasakan kenikmatan daripada sekadar rasa tulang belulang! Hik Hik Hik...!”
Iblis Muka Setan sudah tidak sabaran mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit. Tapi tampaknya Perempuan Kembang Darah masih bisa menahan diri. Dia segera berkata. “Biarkan mulutnya membuka sepuasnya! Mungkin saat ini terakhir kali dia bisa bicara!”
Baru saja Perempuan Kembang Darah berkata begitu, dari bagian belakang Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama berseru tertahan melihat siapa yang tegak di seberang depan. Sesaat tadi, kedua gadis ini memang belum menyadari siapa kedua orang yang tegak di seberang depan. Karena mereka berdua masih coba kuasai diri akibat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Dan begitu mereka dapat tegak dan buka mata, mereka kaget. Galuh Empat Cakrawala sudah hendak buka mulut. Tapi buru-buru Galuh Sembilan Gerhana menahan dengan berbisik.
“Jangan bicara dulu! Ada yang tak beres...”
Galuh Empat Cakrawala berpaling. Belum sampai gadis berbaju kuning ini buka suara, Galuh Sembilan Gerhana sudah bicara lagi. “Walau sekilas, aku tadi melihat nenek itu hendak membantu kita. Tapi tiba-tiba ada gelombang yang membokongnya! Aku tahu benar. Pukulan itu adalah pukulan Guru kita berdua! Mengapa mereka berdua menahan orang yang hendak membantu kita? Mengapa mereka berdua sepertinya menginginkan kita mampus?! Jangan-jangan mereka berdua sendiri yang membunuh kedua orangtua kita!”
Galuh Empat Cakrawala terdiam beberapa lama si- mak ucapan saudaranya. “Tapi... Apa mungkin?! Kalau memang mereka menginginkan kita mampus, bukankah mereka berdua tidak usah membesarkan kita atau membekali kita dengan ilmu silat?! Dan kalaupun benar dia inginkan nyawa kita, tentu mudah bagi mereka melakukannya! Mengapa harus cari jalan begini?!”
Galuh Sembilan Gerhana menghela napas. Kepalanya bergerak menggeleng perlahan. “Itulah yang tak kumengerti. Tapi jika tidak, mengapa mereka tadi tidak langsung saja membantu kita?! Bukankah Bidadari binal itu adalah musuh besarnya?! Lebih-lebih lagi mengapa mereka menahan nenek itu yang jelas akan membantu kita?!”
“Kita tunggu saja...,” akhirnya Galuh Empat Cakrawala memutuskan. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan hingga mereka lakukan itu pada kita! Tapi satu hal yang pasti, menurut Paduka Seribu Masalah, semua keterangan Guru berdua tidak benar!”
Kalau kedua gadis murid Pasangan Mesum itu berbisik menduga-duga, diam-diam Nenek Selir juga membatin dalam hati. “Bidadari edan itu mengatakan kedua gadis cantik itu adalah murid pasangan gila itu! Jika benar, mengapa pasangan gila itu menahan gerakanku?! Ada sesuatu yang aneh! Dan ketika menyaksikan kedua muridnya terluka, sepertinya pasangan gila itu tenang-tenang saja! Malah senyum-senyum dan berciuman! Kasihan nasib kedua gadis itu.... Dari ucapannya, jelas mereka telah menjadi korban kelainan Bidadari edan sialan itu!”
Nenek Selir pandangi berlama-lama Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Entah mengapa tiba-tiba timbul rasa iba pada diri si nenek. Hingga kalau tadi sudah memutuskan untuk berkelebat mengejar Manusia Tanah Merah, kini dia melupakan urusannya dengan laki-laki bekas kekasihnya itu. Malah dengan melirik ke arah Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah, dia melangkah ke arah Galuh-Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana. Namun baru saja mendapat empat tindak, tiba-tiba terdengar suara.
“Tampaknya kau juga tertarik dengan kedua gadis itu! Hik Hik Hik...! Silakan... Silakan! Mereka berdua sudah pernah mendapat pelajaran dariku. Tentu kau sudah tak perlu lagi memberi pelajaran tambahan... Kau tinggal buka baju dan berbasah-basah ria! Tapi harap tidak melakukannya di sini meski aku tahu kau sudah tidak kuat menahan diri... Aku takut nantinya tertarik melihat potongan tubuhmu!”
Nenek Selir hentikan langkah dengan kepala disentakkan ke arah Bidadari Tujuh Langit yang baru saja perdengarkan suara. Tampang si nenek berubah merah mengetam. Kedua lutut dantangannya bergetar.
“Tampangmu berubah! Kau malu..?! Hik Hik Hik...! Mengapa harus malu kalau kau sebenarnya lebih tertarik dengan gadis daripada dengan laki-laki?! Malah kalau kau mau berterus terang, di hadapan kita ada seorang perempuan yahud yang selama ini hanya menikmati tulang belulang! Kita bisa menikmati tubuhnya bersama-sama. Hik Hik Hik..! Kita bawa dia melayang-layang hingga dia sadar, apa yang kita berikan lebih asyik daripada apa yang selama ini dia pamerkan di hadapan manusia!” Bidadari Tujuh Langit kembali berkata.
“Waduh... Apa telingaku tidak salah dengar?!” Pendekar 131 berseru. Matanya dipelototkan pada Nenek Selir di seberang sana. “Jika betul, bukan saja nenek-nenek negeri ini yang bisa celaka seumur-umur. Tapi para gadis pun bisa tertimpa malapetaka dari ujung rambut sampai ujung kaki!”
Nenek Selir balik melotot angker pada murid Pendeta Sinting. Lalu membentak. “Beraninya mulutmu menuduhku yang bukan-bukan! Apa kau ingin tanganku memutus tanggal kepalamu atas bawah, hah?!”
“Aku tidak menuduh, Nek! Aku hanya...”
“Diam!” hardik Nenek Selir. Dia berpaling mendelik pada Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai dia buka mulut, Perempuan Kembang Darah yang merasa tersindir dengan ucapan Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat ke depan.
Bidadari Tujuh Langit tidak berdiam diri. Hampir bersamaan dengan berkelebatnya sosok Perempuan Kembang Darah, dia membuat gerakan melompat ke depan songsong Perempuan Kembang Darah. Di atas udara, Perempuan Kembang Darah kelebatkan kedua tangan dan kedua kakinya sekaligus! Bidadari Tujuh Langit sambuti dengan hantamkan kedua tangan dan tendangkan kedua kaki.
Bukk! Bukk! Bukk! Bukk!
Sosok Perempuan Kembang Darah terjajar dua langkah di atas udara. Di hadapannya Bidadari Tujuh Langit tersentak satu langkah. Perempuan Kembang Darah membuat gerakan berputar di atas udara. Saat lain kembali sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan dan kakinya lagi-lagi berkelebat. Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Dia kembali sambuti pukulan lawan dengan gerakkan kedua tangandan kaki. Terjadilah saling adu tangan dan kaki di atas udara. Hingga untuk beberapa lama terdengar suara bentrokan bertubi-tubi. Suara benturan baru terputus ketika sosok Perempuan Kembang Darah terbanting mencelat dan perdengarkan seruan tertahan.
Mendapati apa yang terjadi, Iblis Muka Setan cepat berkelebat lalu menyambar sosok kekasihnya. Hingga sosok Perempuan Kembang Darah selamat dari benturan dengan tanah dibawahnya. Di pihak lain, Bidadari Tujuh Langit terpental deras ke belakang. Lalu limbung sebelum akhirnya meluncur jatuh. Namun dalam keadaan begitu rupa, perempuan cantik ini masih mampu membuat gerakan jungkir balik satu kali. Lalu tegak terbungkuk-bungkuk di atas tanah dengan paras berubah memperhatikan kedua tangannya yang bengkak merah.
Begitu berhasil menyambar sosok Perempuan Kembang Darah, Iblis Muka Setan cepat meletakkan tubuh kekasihnya di atas tanah dan meneliti. Tiba-tiba sepasang mata Iblis Muka Setan mendelik besar. Dari mulutnya keluar suara seruan tegang ketika melihat bagaimana kedua kaki Perempuan Kembang Darah berubah menjadi merah laksana dipanggang! Kulitnya mengelupas dan tulang betisnya patah!
“Aku gagal memutus kaki kirinya....” Perempuan Kembang Darah berucap dengan suara tersendat. “Kau harus hati-hati menghadapi kaki kirinya....”
“Aku menawarkan kenikmatan. Kau minta yang lain! Hik Hik Hik..!” Berkata Bidadari Tujuh Langit lalu melangkah ke arah Perempuan Kembang Darah yang masih tergeletak di samping Iblis Muka Setan.
Laksana terbang, Iblis Muka Setan bergerak bangkit. Saat yang sama, Perempuan Kembang Darah ikut bergerak. Karena kedua kakinya patah, perempuan ini hanya bisa bergerak duduk.
“Iblis Muka Setan! Untuk terakhir kalinya kuberi kesempatan padamu untuk mencium kekasihmu!” kata Bidadari Tujuh Langit sambil kacak pinggang dan berhenti sepuluh langkah di hadapan Iblis Muka Setan. Pandang matanya bukan terarah pada Iblis Muka Setan, melainkan menelusuri sosok Perempuan Kembang Darah yang duduk selonjorkan kedua kaki.
Iblis Muka Setan sambuti ucapan Bidadari Tujuh Langit dengan angkat kedua tangan. Namun laki-laki kerempeng ini bukannya segera membuat gerakan menghantam. Dia hentakkan kaki ke tanah. Sosoknya membal ke udara. Dari atas udara, kedua tangannya disapukan ke pakaiannya yang gombrong besar.
"Weerr!" Pakaian putih gombrong milik Iblis Muka Setan berkelebat perdengarkan deruan angker. Beberapa rangkum angin dahsyat berkiblat lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Saat lain kedua tangan laki-laki ini terangkat ke udara, lalu dihantamkan ke bawah. Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Inilah tanda jika Iblis Muka Setan lepas pukulan ‘Inti Gerhana'.
Melihat apa yang dilakukan Iblis Muka Setan, Perempuan Kembang Darah buru-buru kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan. Lalu dihantamkan ke depan.
"Wuutt! Wuutt!" Gelapnya suasana sesaat pecah diterjang sinar pelangi yang melesat dari kedua tangan Perempuan Kembang Darah.
Bidadari Tujuh Langit rasakan sosoknya tersapu saat terdengar deruan dari pakaian gombrong Iblis Muka Setan. Rambutnya berkibar. Pakaian bawahnya yang robek menyingkap hingga terlihat jelas sepasang pahanya yang mulus padat. Bidadari Tujuh Langit cepat melompat mundur saat mana suasana berubah gelap. Lalu seraya tengadah tembusi kegelapan dia hantamkan kedua tangan sambil pentang mata. Di lain saat dia angkat kaki kirinya. Dengan bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya dikelebatkan membuat gerakan menendang ketika sinar pelangi melesat memecah suasana gelap.
Bummm! Bummm! Bummm!
Terdengar beberapa kali dentuman dahsyat ketika dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat sinar merah dan dari sepasang matanya melesat dua sinar hitam. Saat lain dari kaki kirinya juga berkiblat semburan sinar merah menyala. Suasana gelap laksana disentak kekuatan dahsyat. Lalu semburat dan berubah jadi terang kembali. Sinar pelangi bertabur pecah porak-poranda. Sementara sinar merah dan hitam yang berkiblat dari pukulan Bidadari Tujuh Langit muncrat bertebaran kian kemari. Iblis Muka Setan terbanting dua kali di atas udara. Lalu terlempar beberapa tombak. Ketika melayang turun, laki-laki ini tak bisa lagi kuasai diri. Hingga jatuh terkapar menghantam tanah!
Krakk! Krraakk!
Terdengar suara seperti benda patah. Iblis Muka Setan berseru tertahan. Lehernya lunglai ke samping dengan tulang bersembulan keluar. Darah mengucur deras dari lehernya yang patah dan mulutnya yang menganga terbuka. Kekasih Perempuan Kembang Darah ini sesaat gerak-gerakkan mulutnya seolah ingin bicara dengan memaksakan kepala bergerak menghadap pada Perempuan Kembang Darah yang juga terkapar di atas tanah dengan mulut semburkan darah. Namun belum sampai ada suara yang terdengar, mulutnya mengatup rapat laksana ditakup setan. Kedua kakinya yang sesaat tadi bergerak-gerak terdiam seketika. Sepasang matanya yang melotot besar pancarkan pandangan kosong!
WALAU dalam keadaan terluka dalam cukup parah, Perempuan Kembang Darah masih sempat dengar seruan tertahan Iblis Muka Setan. Dengan menahan rasa sakit pada sekujur tubuh, perempuan ini menoleh pada kekasihnya yang saat itu tengah memaksakan diri gerakkan lehernya yang patah dengan mulut membuka berusaha berucap.
Begitu mendapati Iblis Muka Setan katupkan mulut dan gerakan kakinya terdiam, kaget Perempuan Kembang Darah bukan alang kepalang. Laksana kalap, dia bergerak tegak dan hendak berkelebat. Dia lupa jika kedua kakinya sudah patah. Hingga begitu belum sampai tegak, sosok perempuan ini terjengkang roboh! Namun Perempuan Kembang Darah seperti orang kesetanan. Dia kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Lalu bergulingan ke arah Iblis Muka Setan.
Perempuan Kembang Darah melolong tinggi begitu mendapati Iblis Muka Setan sudah tidak bernyawa lagi. Dia menangis sambil memeluki sosok mayat kekasihnya. Tapi hal itu cuma sekejap. Ketika dia sadar, perempuan ini putuskan tangisnya. Lalu angkat wajahnya disentakkan menghadap Bidadari Tujuh Langit yang saat itu terbungkuk-bungkuk bangkit dengan kedua tangan pegangi dadanya.
“Bidadari laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Perempuan Kembang Darah. Dia angkat kedua tangannya. Namun perempuan ini jadi tercekat sendiri ketika sadar kalau tenaga dalam yang disalurkan pada kedua tangannya terasa hampa! Bahkan kedua tangannya segera luruh ke bawah seolah tidak bertenaga!
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Tanpa buka mulut, dia melangkah mendekati. Perempuan Kembang Darah tercekat dengan kuduk dingin. Sementara Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang seolah tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Seandainya kau terima tawaranku, tidak mungkin kau mengalami nasib buruk seperti ini! Kini semuanya terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya bagimu! Kematian adalah hal terbaik yang harus kau terima!” kata Bidadari Tujuh Langit seraya hentikan langkah tujuh tindak di hadapan Perempuan Kembang Darah.
Dalam keadaan tidak berdaya begitu rupa, tampaknya Perempuan Kembang Darah sudah tidak punya harapan sama sekali. Hal ini membuat dia tidak punya beban lagi. Hingga begitu dengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, dia tertawa panjang. Lalu berucap. “Kau boleh membunuhku berapa kali kau suka! Kau boleh hidup seribu tahun lagi! Tapi satu hal yang harus kau tahu. Aku mati dengan membawa kepuasan! Aku memang tidak berhasil membunuhmu, tapi setidaknya aku telah membuatmu lebih sengsara dari kematian!”
Ucapan orang membuat Bidadari Tujuh Langit balik tertawa panjang. “Orang sekarat memang selalu bicara tanpa juntrungan! Kau tahu. Dalam hidup, aku tidak akan pernah mengalami sengsara! Justru seluruh hidupku terisi dengan kenikmatan! Sayang kau harus mampus sebelum membagi kenikmatan denganku...!”
“Kau boleh bicara tidak pernah mengalami sengsara. Tapi aku tahu. Kau masih punya ganjalan besar dalam hidupmu!”
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa. “Aku punya bekal untuk membunuh semua orang! Aku....”
“Kau ingat peristiwa enam belas tahun silam?!” Perempuan Kembang Darah sudah memotong sebelum Bidadari Tujuh Langit lanjutkan ucapan.
“Aku tidak pernah mengingat apa yang telah terjadi! Maka kau salah besar jika mendugaku punya ganjalan hidup!”
“Bagus! Apa kau juga tidak pernah ingat siapa suamimu?!” Bertanya Perempuan Kembang Darah.
Bidadari Tujuh Langit terdiam sesaat. Semua orang yang ada di situ tidak ada yang buka suara membuat gerakan. Mereka seakan terkesima dengan perbincangan Bidadari Tujuh Langit dan Perempuan Kembang Darah. Namun semua orang di situ dapat menangkap raut terkejut pada paras Bidadari Tujuh Langit mendengar pertanyaan Perempuan Kembang Darah.
“Bagiku, laki-laki adalah bangkai yang harus disingkirkan! Jadi jangan tanya perihal laki-laki!” ujar Bidadari Tujuh Langit setelah terdiam sesaat. Namun sebenarnya dada perempuan ini sempat berdebar tidak enak dengan pertanyaan orang. Hanya sejauh ini dia tidak tahu mengapa.
“Baik! Aku tidak akan tanya perihal laki-laki! Sekarang aku tanya. Kau juga tidak ingat dengan anak yang kau lahirkan?!”
Berubahlah tampang Bidadari Tujuh Langit. Dia mendelik besar. Saat lain dia membentak. “Kau tahu apa tentang itu, hah?”
“Bagus.... Nada ucapanmu memberi satu petunjuk kalau kau ingat dengan anak-anak yang kau lahirkan!” kata Perempuan Kembang Darah seraya tertawa pendek. “Selama ini kau pernah bertemu dengan mereka?!”
Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya tengadahkan kepala. Perempuan Kembang Darah lagi- lagi tertawa. Lalu berucap.
“Kau tahu kalau selama ini mereka mencarimu?!”
“Jahanam! Apa maksud pertanyaan perempuan ini?! Mungkinkah dia tahu perihal anak-anakku?! Enam belas tahun lamanya aku coba menyirap kabar tentang keberadaan anak-anakku. Tapi aku tidak pernah mendapat keterangan yang benar! Kini, ada perempuan sekarat yang ucapannya aneh!” Bidadari Tujuh Langit membatin dengan dada di buncah kebimbangan.
“Wajahmu berubah. Mulutmu tidak berkata menjawab. Jadi kau berdusta kalau selama ini tidak punya ganjalan hidup! Bahkan sebenarnya kau masih ingat siapa suamimu...!”
Bidadari Tujuh Langit luruskan kepala. “Aku tahu. Kau pura-pura tahu segalanya. Padahal sebenarnya kau tidak tahu apa-apa! Kau sengaja menggantungkan ucapan agar aku tidak membunuhmu! Jangan mimpi!” Bidadari Tujuh Langit geleng kepala.
Lagi-lagi Perempuan Kembang Darah tertawa mendengar kata-kata orang. “Dengar, Bidadari Binal! Hari ini aku rela mampus seribu kali. Karena aku telah membuatmu lebih sengsara daripada kematian!”
“Jahanam! Dari tadi dia bicara hal itu! Apa maksud sebenarnya?!” Kembali Bidadari Tujuh Langit membatin. “Jangan-jangan dia....” Bidadari Tujuh Langit melompat dan tegak dua langkah di hadapan Perempuan Kembang Darah.
“Membunuhmu saat ini bukan pekerjaan sulit. Tapi aku bersumpah akan membuatmu mampus perlahan-lahan jika kau tidak mengatakan apa maksud ucapanmu!”
Sikap orang membuat Perempuan Kembang Darah tertawa bergelak seakan lupa akan keadaan dirinya. Puas tertawa dia berpaling ke jurusan lain sambil berkata. “Karena kebinalanmu hingga kau tidak sadar siapa saja yang selama ini telah kau jadikan korban! Tapi semuanya sudah terlambat! Dan perempuan macammu memang sudah layak menerima penyesalan!”
Ucapan Perempuan Kembang Darah membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang dengan dada berdebar. Mereka tadi sebenarnya sudah hendak berkelebat ke arah Iblis Muka Setan. Mereka memang masih agak jengkel setelah mendengar keterangan dari Paduka Seribu Masalah jika semua hal yang diucapkan guru mereka tidak benar adanya. Tapi kematian gurunya mau tak mau mem- buat kedua gadis ini seakan melupakan kejengkelannya. Namun begitu sadar akan keadaan diri masing-masing, apalagi ingat jika masih punya sesuatu yang harus diselesaikan, akhirnya kedua gadis ini batalkan niat untuk mendekati gurunya.
“Jangan-jangan yang dimaksud Guru adalah....” Galuh Sembilan Gerhana yang berbisik tidak lanjutkan ucapan, karena Galuh Empat Cakrawala sudah menukas.
“Kita memang telah jadi korban kebinalan Bidadari keparat itu! Tapi masih banyak lagi yang lainnya! Dan mustahil kita masih ada hubungan dengan Bidadari binal itu! Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Baru saja Galuh Empat Cakrawala berbisik begitu, di depan sana Bidadari Tujuh Langit maju satu tindak lagi. Lalu berkata dengan senyum dingin. “Aku tanya. Kau tahu perihal anak-anakku?!”
Perempuan Kembang Darah tersenyum. “Sebelum kujawab tanyamu, jawab dulu pertanyaanku! Jika kau melakukan pekerjaan gila menggauli perempuan, apakah kau tidak bisa membedakan rasa antara anak sendiri dan orang lain?!”
“Jahanam! Kau....”
“Jangan berteriak atau membuat gerakan!” potong Perempuan Kembang Darah sambil berpaling. “Jawab saja tanyakan kalau kau ingin mendengar jawaban dari pertanyaanmu!”
“Itu pertanyaan gila!”
“Tapi perlu mendapat jawaban!”
“Aku tidak akan menjawab!”
“Berarti ganjalanmu akan terus berlangsung!”
Bidadari Tujuh Langit tegak dengan dada berguncang. Saat itulah matanya menumbuk pada sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Beberapa saat perempuan ini pandangi dua gadis berbbaju merah dan kuning dengan perasaan tak karuan. Tapi saat lain perempuan bertubuh bahenol ini geleng kepala dengan menggumam.
“Mustahil.... Bukan! Bukan mereka!”
Di lain pihak, dipandangi Bidadari Tujuh Langit begitu rupa, mau tak mau membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala merasa tak enak hati. Namun ingat akan tindakan yang telah dilakukan orang terhadap mereka. Galuh Empat Cakrawala segera berbisik.
“Kalaupun benar dia orang yang kita cari, aku akan membunuhnya!”
“Segalanya bisa saja terjadi! Mengapa sudah yakin mustahil?!” Perempuan Kembang Darah berkata begitu mendengar gumaman Bidadari Tujuh Langit yang tehgak hanya dua langkah di hadapannya.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke arah Perempuan Kembang Darah. “Katakan siapa adanya kedua gadis muridmu itu!”
Perempuan Kembang Darah tidak buru-buru buka mulut. Sebaliknya menoleh ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang sama kancingkan mulut dengan mata memandang tak berkesip menunggu jawaban orang.
“Telingamu dengar pertanyaan orang! Mengapa tidak jawab?!” Bidadari Tujuh Langit membentak karena Perempuan Kembang Darah tidak segera buka mulut.
“Kau pernah berbuat gila pada mereka?!” Perempuan Kembang Darah balik ajukan tanya.
Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya. Namun kali ini Perempuan Kembang Darah bukannya merasa takut. Sebaliknya tertawa perlahan seraya berucap. “Kau tidak akan lakukan apa-apa padaku sebelum kujawab pertanyaanmu....”
Bidadari Tujuh Langit menggeram. Kedua tangannya berkelebat. Namun setelah jalan, dia hentikan gerakan kedua tangannya, membuat Perempuan Kembang Darah makin keraskan tawa dan berkata lagi.
“Mengapa tidak kau teruskan?! Kau takut aku mampus?!”
Kesabaran Bidadari Tujuh Langit pupus. “Aku tidak butuh jawabanmu!” hardiknya. Kedua tangannya diteruskan berkelebat. Namun entah mengapa tiba-tiba dia belokkan arah kelebatan tangannya.
Bummm! Bummm!
Tanah empat langkah di samping Perempuan Kembang Darah muncrat semburat. Sebagian luruh bertaburan pada sosok mayat Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah.
“Aku tak segan membuatmu seperti tanah itu kalau kau tidak segera buka mulut!” bentak Bidadari Tujuh Langit. Lalu angkat kedua tangannya lagi.
“Aku akan menjawab kalau kau jawab dulu pertanyaanku. Kau pernah berbuat gila pada kedua gadis itu?!”
“Mereka telah berani kurang ajar menipuku! Untung aku memberinya dengan imbalan kenikmatan!”
“Hem... Begitu?! Apa rasanya lain?!”
Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Empat Cakrawala sudah merah mengelam. Kalau saja mereka tak sadar tengah terluka dalam, pasti kedua gadis ini akan nekat berkelebat. Bidadari Tujuh Langit mendengus. Lalu melangkah satu tindak. Tangan kanannya berkelebat jambak rambut Perempuan Kembang Darah hingga kepala perem- puan berbaju biru ini tersentak tengadah. Namun jelas tidak ada raut ketakutan pada wajahnya! Membuat Bidadari Tujuh Langit bantingkan kaki dan berteriak.
“Jawab tanyaku atau kuputus tanggal kepalamu! Siapa adanya kedua muridmu itu!”
Mata Perempuan Kembang Darah melirik dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu perempuan kekasih Iblis Muka Setan ini pejamkan matanya dan berkata. “Enam belas tahun lalu aku mengambil mereka dari Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit rasakan darahnya laksana sirap. Tanpa sadar tangan kanannya yang menjambak rambut orang disentakkan ke depan. Hingga kepala Perempuan Kembang Darah teleng ke depan. Namun saat lain kembali Bidadari Tujuh Langit gerakkan tangan kanan dan sentakkan rambut Perempuan Kembang Darah ke belakang.
“Katakan sekali lagi siapa adanya kedua muridmu itu!”
Perempuan Kembang Darah tertawa panjang. “Enam belas tahun lalu aku mengambilnya dari Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit tahan napas. Kepalanya berputar memandang ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang masih tidak mengerti, karena mereka tidak tahu Istana Lima Bidadari.
“Benarkah ucapan perempuan ini?! Apa dia tidak mengada-ada?!” Bidadari Tujuh Langit membatin. Lalu seolah belum yakin dengan jawaban orang, dia kembali bertanya. “Benar kau mengambilnya dari Istana Lima Bidadari?!”
“Telingamu tidak tuli! Apa...”
Hanya sampai di situ ucapan yang terdengar dari mulut Perempuan Kembang Darah, karena bersama dengan itu kaki kiri Bidadari Tujuh Langit terangkat.
“Tahan!” hampir bersamaan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berteriak.
Namun Bidadari Tujuh Langit tidak acuhkan teriakan orang. Kaki kanannya yang dibuat tumpuan tubuh diputar. Kaki kirinya berkelebat.
"Desss!" Perempuan Kembang Darah tidak sempat lagi perdengarkan suara keluhan. Karena darah sudah semburat dari mulutnya. Saat yang sama sosoknya mental dan jatuh terkapar tiga tombak di belakang sana tanpa bergerak-gerak lagi! Nyawa perempuan kekasih Iblis Muka Setan ini putus dengan dada melesak dan berubah menjadi laksana dipanggang! Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tersentak kaget. Dan keduanya jadi merinding ketika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit berpaling ke arah mereka dan berkelebat lalu tegak hanya beberapa langkah di hadapan mereka dengan mata memandang tak berkesip!
SEMENTARA itu, melihat apa yang terjadi Pendekar 131 sejak tadi sempat serba salah. Dalam hati kecilnya dia tidak bisa membiarkan begitu saja Bidadari Tujuh Langit bertindak kasar pada orang yang sudah tidak berdaya. Namun dia sadar, apa pun yang akan dilakukannya tidak akan bisa membantu. Selain jarak antara dia dengan Bidadari Tujuh Langit agak jauh, sengketa antara kedua perempuan itu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan cara baik-baik. Hingga akhirnya murid Pendeta Sinting hanya bisa tegak memandang.
Di lain pihak, Nenek Selir tegak diam laksana patung begitu mendengar dan melihat apa yang terjadi. Dan sosoknya bergetar ketika melihat Bidadari Tujuh Langit sudah tegak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
“Selama ini aku telah dengar perihal perempuan binal itu! Tapi mungkinkah benar jika kedua gadis itu adalah anak-anaknya?! Ah... Aku tak dapat bayangkan bagaimana perasaan mereka kalau benar mereka adalah ibu dan anak! Padahal mereka berdua telah diperlakukan gila oleh perempuan itu..! Nasib manusia memang tidak bisa diduga! Dia mencari anaknya, begitu jumpa ternyata...”
Nenek Selir tidak lanjutkan ucapan. Dia gelengkan kepala. Lalu menghela napas panjang. “Selama ini aku juga tengah mencari di mana rimbanya anakku! Tapi aku belum juga mendapat titik terang! Mungkinkah pada akhirnya nanti aku bisa bertemu dengan anakku?!” Kembali Nenek Selir menghela napas panjang. Saat itulah dia mendengar bentakan Bidadari Tujuh Langit.
“Kalian berdua! Jangan berani berkata dusta padaku! Katakan siapa kalian sebenarnya?!”
Galuh Empat Cakrawala berpaling pada Galuh Sembilan Gerhana dan berbisik. “Siapa pun adanya perempuan ini, dia harus mampus di tangan kita! Siapkan tenaga dalam semampu kau bisa!”
Tanpa menunggu sambutan, Galuh Empat Cakrawala segera alihkan pandangan pada Bidadari Tujuh Langit dan berkata. “Kau telah tahu siapa kami! Kau tidak perlu lagi bertanya!”
Bidadari Tujuh Langit menggeram dalam hati. Namun raut wajahnya jelas membayangkan perasaan bimbang. Beberapa saat lamanya dia menatapi sosok kedua gadis di hadapannya sambil menghela napas. Saat kemudian dia buka mulut. Kali ini suaranya ditekan rendah. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum.
“Sebenarnya di antara kita tidak ada silang sengketa. Kalaupun ada itu karena salah paham kalian! Jadi...”
“Kau telah membuat aib! Aneh jika kau mengatakan di antara kita tak ada silang sengketa! Justru sengketa kita tak akan tuntas sebelum salah satu di antara kita mampus!” Galuh Empat Cakrawala sudah memotong.
“Baiklah kalau hal itu kalian anggap urusan besar! Tapi mari kita lupakan sejenak urusan itu! Aku perlu keterangan benar dari kalian!”
“Kau telah tahu. Kami berdua adalah murid Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah!” Yang buka suara Galuh Sembilan Gerhana.
“Aku tahu... Yang jadi pertanyaan, kalian tahu siapa sebenarnya adanya kalian?”
Tidak ada yang menjawab. Bidadari Tujuh Langit kembali menghela napas panjang. Lalu berkata. “Pada pertemuan kita dahulu, kalian mengatakan akulah yang membunuh kedua orang tua kalian, hingga kalian mencariku untuk membalas! Sekarang aku tanya. Kalian tahu siapa orang tua kalian yang kubunuh?!”
Setelah terdiam agak lama, akhirnya Galuh Empat Cakrawala yang menjawab. “Kami memang tidak tahu! Tapi kami percaya kaulah yang membunuhnya!”
“Kalian dengar ucapan guru perempuan kalian tadi?!”
“Telinga kami masih sempurna!” jawab Galuh Empat Cakrawala.
“Bagus! Kalian pernah dengar tentang Istana Lima Bidadari?!”
“Itu bukan urusan kami! Kalaupun kami tahu, apa pedulimu?!”
“Dengar! Istana Lima Bidadari adalah istana yang kubangun pada beberapa puluh tahun silam! Istana itu kubangun untuk kelima anakku! Kalau benar ucapan guru perempuan kalian, berarti kalian adalah....”
“Jangan mimpi! Kami tidak percaya dengan keterangan itu!” Galuh Empat Cakrawala lagi-lagi sudah menukas ucapan Bidadari Tujuh Langit.
“Hem.... Aku masih ingat benar. Kelima anakku kuberi tanda!” Bidadari Tujuh Langit berkata sendiri dalam hati dengan coba menindih rasa jengkel dengan jawaban yang didengar.bSetelah berpikir agak lama, akhirnya perempuan bertubuh bahenol ini buka mulut lagi
“Kalian boleh tidak percaya dengan keterangan yang kalian dengar. Tapi apa kalian tahu jika di...”
“Percuma kau meyakinkan!” Kali ini yang memotong adalah Galuh Sembilan Gerhana. “Siapa pun adanya dirimu, kau tetap manusia yang harus mampus di tangan kami!”
“Terpaksa aku harus bertindak dengan caraku sendiri!” gumam Bidadari Tujuh Langit. “Kalau ternyata mereka bukan, mereka harus menyusul si Pasangan Mesum!”
Berpikir begitu Bidadari Tujuh Langit segera maju dua tindak. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sudah waspada dengan gerakan orang. Hingga meski dalam keadaan terluka dalam cukup parah, namun kedua gadis ini sekuat tenaga coba kerahkan tenaga dalam yang tersisa. Lalu serentak mereka berdua angkat tangan masing-masing. Bidadari Tujuh Langit terlihat bimbang. Beberapa kali dia menghela napas dengan kepala tengadah.
“Aku ingin mengajak kalian bicara baik-baik! Siapa tahu di antara kita memang masih ada hubungan...” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit buka mulut setelah agak lama berpikir.
“Terlambat kau mengatakan hal itu! Seandainya kau mengatakannya sebelum menabur aib, mungkin kami masih bisa menerima!” kata Galuh Empat Cakrawala.
“Hem... Bodohnya diriku. Seharusnya aku melihat tanda itu sebelum peristiwa itu terjadi! Tapi semuanya memang sudah terlambat! Apa yang harus kulakukan sekarang?! Membunuh mereka?! Dan percaya saja jika mereka bukanlah anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari pada enam belas tahun silam?! Tapi selama ini aku telah berusaha mencari. Sekarang ada sebuah titik terang. Apakah kesempatan ini akan kulewatkan begitu saja?!”
Dalam kebimbangannya begitu rupa, tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit ingat akan ucapan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah saat mereka bertemu tidak lama berselang. “Dua manusia itu pernah mengatakan aku akan berperang dengan perasaanku sendiri! Dan saatnya tidak lama lagi!”
Terngiang kembali ucapan Iblis Muka Setan ketika dia bertemu dengan laki-laki berpakaian gombrong itu pada beberapa hari yang lalu. “Apakah kejadian hari ini yang dimaksud ucapannya?! Hem....”
Kalau Bidadari Tujuh Langit dilanda perasaan bimbang, sebenarnya diam-diam Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala juga didera perasaan ragu-ragu. Hanya saja karena rasa marah lebih menguasai diri kedua gadis ini, mereka tidak begitu acuhkan perasaan.
“Ah.... Sebaiknya aku menunggu waktu yang tepat!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan. “Mungkin saat ini mereka masih marah dengan peristiwa tempo hari. Saat lain siapa tahu pikiran mereka berubah!”
Habis berpikir begitu, Bidadari Tujuh Langit tatapi kedua gadis di hadapannya. Dia tersenyum, lalu tanpa buka mulut lagi dia balikkan tubuh dan melangkah menjauh. Saat itulah Galuh Empat Cakrawala memberi isyarat pada saudaranya. Saat lain kedua gadis ini telah sentakkan tangan masing-masing.
Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuuut!
Empat gelombang melabrak lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Walau gelombang yang melesat itu hanya mengandalkan sisa-sisa tenaga dalam, namun gelombang itu masih mampu melabrak hancur bongkahan batu besar! Bidadari Tujuh Langit berpaling. Namun kali ini tidak membuat gerakan apa-apa. Dia hanya kerahkan tenaga dalam untuk menahan diri.
Dess! Dess!
Sosok Bidadari Tujuh Langit terpental satu tombak dan terhuyung-huyung. Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak menunggu lagi. Mereka segera angkat tangan masing-masing, lalu kembali lepaskan pukulan!
Bidadari Tujuh Langit menghadapi gelombang yang datang dengan bibir tersenyum dan kepala lurus menatap silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lagi-lagi perempuan Ini tidak membuat gerakan hadangan atau menghindar.
Dess! Dess!
Untuk kedua kalinya sosok Bidadari Tujuh Langit terpental lalu jatuh terduduk satu setengah tombak dari tempatnya semula. Paras wajahnya berubah. Namun saat lain perempuan ini telah sunggingkan senyum dan berkata.
“Kalian kuberi kesempatan untuk tumpahkan apa yang kalian mau... Karena aku percaya kalian adalah anak-anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari..!”
“Siapa berani sebut-sebut Istana Lima Bidadari?!” Tiba-tiba satu teguran terdengar. Satu sosok tubuh berkelebat.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke samping. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berpaling. Nenek Selir pentangkan mata lalu bergumam.
“Manusia apa lagi yang muncul ini?! Nada ucapannya seperti dia tahu benar Istana Lima Bidadari!”
Orang terakhir yang menoleh adalah murid Pendeta Sinting. Tapi justru dia orang yang paling tersentak kaget!
Di tempat itu telah tegak seorang pemuda berparas tampan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Sosoknya yang kekar dibalut dengan jubah hitam panjang melapis pakaian warna putih. Rambutnya hitam panjang. Jika orang yang melihat meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki, maka akan tahu jika pemuda berjubah hitam ini mengenakan sebuah cincin berwarna hijau pada ibu jari kaki kanannya.
“Datuk Kala Sutera!” gumam Pendekar 131 mengenali siapa pemuda berjubah hitam. Dia memperhatikan sesaat seraya membatin.
“Pemuda ini mencari tahu tentang kelima anaknya yang katanya lenyap begitu saja pada enam belas tahun silam! Sementara Bidadari Tujuh Langit juga sebut-sebut masa enam belas tahun silam! Apa hubungan antara keduanya?! Dari ucapan Putri Pusar Bumi, cincin yang dikenakan di jari kaki Bidadari Tujuh Langit itu pasti yang disebut-sebut Sepasang Cincin Keabadian! Lalu beberapa saat lalu, kekasih Nenek Selir itu mengatakan pedang putih yang berada di dalam kotak emas berukir bernama Pedang Keabadian! Apakah keduanya juga ada kaitannya?! Atau hanya nama saja yang sama?!”
Selagi Joko membatin begitu, di seberang depan sana mendadak pemuda berjubah hitam panjang berpaling ke arahnya. Sepasang mata si pemuda membeliak angker dengan mulut menyeringai.
“Pasti dia menagih janji! Apa yang harus kukatakan padanya?!” Joko mendesis dengan bibir coba tersenyum pada si pemuda berjubah hitam yang bukan lain memang Datuk Kala Sutera adanya.
Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu putar kepala ke arah Nenek Selir. Saat itulah si nenek baru sadar siapa adanya si pemuda.
“Sialan! Nyatanya dia!” gumam Nenek Selir.
Seperti diketahui, ketika terjadi pertemuan antara Datuk Kala Sutera dengan Pendekar 131 beberapa hari yang lalu, muncullah Nenek Selir. Karena kemunculan nenek ini akhirnya Joko bisa lolos. Untuk beberapa saat Datuk Kala Sutera pandangi Nenek Selir dengan seksama. Lalu angkat tangan kirinya. Kepalanya didongakkan. Tangan kirinya terus diputar lurus ke arah murid Pendeta Sinting. Lalu terdengar ucapannya.
“Kau!” Tangan kiri Datuk Kala Sutera memutar ke arah si nenek. “Dan kau! Jangan berani beranjak dari tempat masing-masing! Urusan kita tempo hari belum selesai!”
“Aku tak punya urusan apa-apa denganmu!” Nenek Selir berteriak.
Datuk Kala Sutera tarik pulang tangannya. Masih dengan tengadahkan kepala dia kembali berucap. “Kau telah membawa kabur pemuda itu! Padahal dia harus menjawab pertanyaanku! Silakan kau anggap itu bukan satu urusan! Tapi bagiku itu adalah urusan besar!”
“Siapa yang membawa kabur?! Dia sendiri yang mengikutiku! Lagi pula apa untungnya aku membawa kabur pemuda jelek begitu?! Sementara aku banyak punya kenalan pemuda tampan?! Hik Hik Hik..!”
“Nek! Mengapa kau sekarang berkata begitu?! Saat kau membawaku kabur, kau bilang akulah pemuda paling tampan yang pernah kau temukan! Setelah urusanmu selesai, enak saja kau bilang aku pemuda jelek!” Joko berteriak menyahut.
“Tutup mulut kalian! Jangan kira aku percaya pada sandiwara gila ini!” bentak Datuk Kala Sutera.
Datuk Kala Sutera tampaknya bisa membaca gelagat, karena pada pertemuan mereka tempo hari, pemuda berjubah hitam ini sempat terkecoh dengan ucapan Nenek Selir dan Pendekar 131. Habis membentak begitu, Datuk Kala Sutera arahkan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pandang. Sepasang mata Datuk Kala Sutera tampak menyipit membelalak. Kepalanya disorongkan ke depan ke belakang. Diam-diam pemuda ini membatin.
“Sepertinya mataku pernah melihat sosok perempuan cantik ini! Tapi di mana...? Dia sebut-sebut Istana Lima Bidadari. Dari mana dia tahu?! Padahal cerita Istana Lima Bidadari sudah enam belas tahun silam!”
Jika diam-diam Datuk Kala Sutera membatin, Bidadari Tujuh Langit ternyata juga berkata dalam hati. “Aku ingat benar jika pernah bertemu dengan pemuda ini! Sayang aku tidak ingat kapan dan di mana! Anehnya mengapa dia sebut-sebut Istana Lima Bidadari layaknya orang yang tahu?!”
Melihat sikap kedua orang di seberang depan, Nenek Selir kernyitkan dahi. “Aneh... Sandiwara apa yang tengah dimainkan kedua manusia itu?! Aku yakin yang perempuan adalah Bidadari Tujuh Langit. Yang laki-laki adalah Datuk Kala Sutera. Cincin pada ibu jari keduanya membuktikan hal itu. Semua orang di kolong tanah Tibet juga sudah tahu kalau kedua ma-nusia itu adalah pasangan suami-istri! Tapi mengapa mereka seperti orang yang tidak saling kenal?! Tidak ada yang bicara atau saling sapa! Mereka hanya saling mendelik layaknya orang baru jatuh cinta!”
Selagi Nenek Selir menduga-duga, di seberang depan Datuk Kala Sutera buka mulut. “Harap tidak keberatan mengatakan siapa dirimu!”
“Gila! Ada apa ini...?! Apakah pemuda itu sudah lamur?!” Nenek Selir mendesis.
“Kau yang harus katakan dulu siapa adanya dirimu!” Bidadari Tujuh Langit buka suara.
Si nenek terkejut. “Aku memang mendengar kedua manusia itu berpisah. Tapi adalah gila kalau sekarang tidak saling kenal!”
DATUK Kala Sutera pandangi lekat-lekat wajah Bidadari Tujuh Langit. Mendadak dia surutkan langkah dengan mata maki mementang. “Aku ingat! Bukankah dia perempuan yang kutemui ketika aku baru mendapatkan cincin dari Sepasang Cincin Keabadian?! Perempuan ini pula yang sempat membawa perahuku! Dia juga yang kutemukan di sekitar Istana Lima Bidadari pada enam belas tahun silam!” Datuk Kala Sutera membatin. “Astaga! Perempuan ini pula yang sosoknya bisa berubah menjadi nenek-nenek!” Datuk Kala Sutera tercekat dengan kuduk dingin. Lalu putar pandangan berkeliling.
“Kau tak mau sebutkan diri! Lebih baik kau segera angkat kaki dari tempat ini!” Bidadari Tujuh Langit buka mulut.
Datuk Kala Sutera tidak hiraukan ucapan orang. Sebaliknya dia terus membatin. “Apa hubungan perempuan ini dengan gadis baju ungu bernama Dayang Tiga Purnama.... Gadis itu juga berubah sosoknya menjadi nenek-nenek saat hendak kudekati!” Sang Datuk ingat pertemuannya dengan Dayang Tiga Purnama belum lama berselang. Saat itu di mata sang Datuk, sosok Dayang Tiga Purnama memang berubah menjadi seorang nenek-nenek ketika sang Datuk mulai dibakar nafsu dan hendak mendekati. Hingga Datuk Kala Sutera batalkan niat dan kabur.
Karena ucapannya tidak diacuhkan orang, Bidadari Tujuh Langit pasang tampang angker. Lalu mulutnya membuka hendak membentak. Namun tiba-tiba mulut itu terkancing lagi. Sepasang matanya mendelik. “Kalau tak salah, bukankah manusia laki-laki berjubah hitam panjang ini adalah manusia yang kuberi tumpangan perahu setelah aku mendapatkan cincin dari Sepasang Cincin Keabadian?! Bukankah dia juga yang coba-coba mengikuti langkahku hingga ke Istana Lima Bidadari?! Tapi saat itu dia bersikap aneh... Tidak ada hujan tidak ada angin mendadak dia lari tunggang langgang! Hem... Peristiwa itu sudah berlalu enam belas tahun silam... Hem.... Anehnya, wajah dan sosoknya tidak mengalami perubahan! Apakah dia....”
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan membatin, Datuk Kala Sutera buka suara. “Kau tahu apa tentang Istana Lima Bidadari?!”
“Aku yang seharusnya tanya padamu! Kau tiba-tiba muncul dan ikut campur pembicaraanku!” sahut Bidadari Tujuh Langit.
Datuk Kala Sutera sekali lagi pandangi sosok Bidadari Tujuh Langit dengan lebih seksama. Lalu berucap. “Aku Datuk Kala Sutera! Akulah yang membangun Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit terdiam beberapa saat. Namun kejap lain tiba-tiba dia perdengarkan tawa bergelak panjang. Dengan angkat tangan menunjuk pada sosok sang Datuk dia berkata. “Kau dahulu kuberi tumpangan perahu! Kau juga coba-coba mengikutiku hingga ke Istana Lima Bidadari! Adalah aneh kalau kau sekarang mengatakan kau yang membangun Istana Lima Bidadari!”
“Hem... Jadi benar! Dialah perempuan yang sempat kujumpai pada enam belas tahun silam!” Membatin Datuk Kala Sutera. Lalu berkata.
“Sebenarnya aku yang harus merasa aneh! Kau tahu? Perahu yang kau bawa sebenarnya adalah milikku! Kalaupun saat itu aku pura-pura sebagai pengait yang perahunya hancur diterjang badai, karena saat itu aku tak mau ribut denganmu! Dan kau harus juga tahu. Aku tidak mengikutimu! Saat itu aku memang tengah menuju Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa mendengar keterangan Datuk Kala Sutera. Namun laksana disentak setan, perempuan ini putuskan gelakan tawanya. Lalu membentak. “Siapa pun adanya dirimu, aku tak punya waktu banyak untuk bicara denganmu. Katakan saja apa maumu sebenarnya!”
“Kau sebut-sebut anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari. Aku ingin tahu siapa yang kau maksud!” Datuk Kala Sutera arahkan pandangan pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lalu teruskan ucapan. “Kedua gadis itu?!”
“Kuperingatkan agar kau lekas angkat kaki dari hadapanku!” kata Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab pertanyaan orang.
“Aku tanya! Aku tak akan pergi sebelum mendapat jawaban! Lagi pula aku punya urusan dengan pemuda dan nenek keparat itu!” Datuk Kala Sutera pulang balikkan kepala memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan Nenek Selir.
“Kau boleh punya urusan dengan siapa saja! Tapi kalau kau kait-kaitkan dengan Istana Lima Bidadari, kau akan menyesal! Bukan saja kau tak akan mendapat keterangan apa-apa, tapi kau juga tak akan selesaikan urusanmu yang lain. Karena kau akan mampus terlebih dahulu!”
Kali ini Datuk Kala Sutera yang tertawa panjang. “Ucapanmu aneh. Aku yang membangun Istana Lima Bidadari. Tapi kau mengatakan aku akan menyesal kalau kait-kaitkan urusan dengan istana yang kubangun!”
“Hem.... Begitu?!” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan senyum dingin. “Aku tanya. Kau yang membangun Istana Lima Bidadari. Mengapa kau sekarang mencari keterangan yang ada kaitannya dengan istana itu?!”
“Karena anakku lenyap dari istana itu pada enam belas tahun lalu!”
Bidadari Tujuh Langit tampak terkesiap kaget. Tapi cuma sesaat. Saat lain perempuan ini tertawa dan berkata. “Tampaknya kau pandai mengarang cerita.... Bisa ceritakan padaku bagaimana anakmu bisa lenyap?!” Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Bidadari Tujuh Langit alihkan pandangan. Lalu buka mulut lagi.
“Kau tak tahu bagaimana anakmu lenyap. Bagaimana mungkin orang akan percaya jika kau manusianya yang membangun istana itu?! Kau terlalu mengada-ada cerita.... Sebelum aku muak, jalan terbaikmu adalah menyingkir dari tempat ini!”
Datuk Kala Sutera geleng kepala dengan menyeringai. “Aku tanya sekali lagi. Kedua gadis itukah yang kau sebut-sebut sebagai anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari?!”
“Kalau aku tak mau jawab, kau mau apa?!”
Merasa ditantang begitu rupa, dada Datuk Kala Sutera laksana dibakar. Tapi laki-laki ini masih coba menindih hawa kemarahan. Lalu berkata. “Enam belas tahun silam aku sengaja menghindar agar tidak terjadi silang masalah denganmu! Tapi sekarang...”
“Sekarang mengapa?!” sahut Bidadari Tujuh Langit.
“Aku tak segan membunuhmu jika kau tidak mau jawab pertanyaanku tadi!”
Bidadari Tujuh Langit lagi-lagi tertawa. “Dari tadi aku sudah tidak mau jawab pertanyaanmu. Mengapa kau masih diam saja?!”
Belum habis ucapan Bidadari Tujuh Langit. Datuk Kala Sutera sudah berkelebat dan tegak hanya beberapa langkah di hadapan sang Bidadari. “Terakhir kali aku bicara. Jawab....”
Ucapan Datuk Kala Sutera terputus. Karena bersamaan dengan itu mendadak Bidadari Tujuh Langit sudah menyergap ke depan. Kedua tangan dikelebatkan menghantam!
Bukk! Bukk!
Kedua tandan Bidadari Tujuh Langit bentrok dengan kedua tangan Datuk Kala Sutera yang diangkat menghadang pukulan yang datang. Kedua orang ini sama tersentak mundur. Wajah masing-masing berubah. Bidadari Tujuh Langit memandang sesaat pada sosok Datuk Kala Sutera. Dari bentroknya tangan, tampaknya sang Bidadari maklum jika lawan memiliki tenaga dalam cukup kuat. Hingga begitu tersentak mundur, dia cepat lipat gandakan tenaga dalam pada kedua kaki. Saat lain kembali dia berkelebat kedepan.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera sendiri tampaknya tidak mau bertindak ayal. Begitu tahu apa yang dilakukan orang, dia tidak menunggu. Dia segera pula berkelebat menyongsong sosok Bidadari Tujuh Langit. Di atas udara. Bidadari Tujuh Langit putar tubuhnya ke kiri. Lalu sekonyong-konyong kaki kirinya membuat gerakan menendang!
"Wuutt!" Terdengar deruan angker. Sekilas tampak sinar merah berkiblat.
Datuk Kala Sutera tekuk kaki kanannya. Saat lain kaki kanannya dihantamkan ke samping kanan menghadang tendangan kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.
"Wuutt!" Dari kelebatan kaki kanan Datuk Kala Sutera terdengar deruan yang tak kalah angkernya. Dan saat yang sama terlihat kilatan sinar hijau.
"Bukkkk!" Baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Sutera sama perdengarkan seruan tegang. Kaki kiri sang Bidadari terpental balik ke udara. Sosoknya ikut terputar. Lalu tersapu mencelat ke belakang. Perempuan ini memang tak sampai jatuh. Namun sempat terhuyung-huyung di atas tanah beberapa saat dengan kedua lutut goyah.
Dua tombak di seberang, Datuk Kala Sutera tampak melayang turun dengan sosok tersentak-sentak. Sesaat pemuda berjubah hitam ini sempat oleng ke samping. Namun begitu sosoknya membuat gerakan berputar. Dia telah kembali tegak.
“Aneh.... Kaki kiriku mencelat! Baru kali ini aku mengalaminya!” Bidadari Tujuh Langit mendelik memperhatikan kaki kirinya. Kaki kiri itu memang tidak mengalami cedera apa-apa. Namun Bidadari Tujuh Langit rasakan kaki itu tegang kaku dan laksana luluh lantak!
“Siapa laki-laki itu sebenarnya?!” Bidadari Tujuh Langit sentakkan kepala lurus pandangi sosok Datuk Kala Sutera. Saat yang sama, Datuk Kala Sutera yang diam-diam juga merasa heran tengah menatap tajam pada Bidadari Tujuh Langit.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laksana didorong kekuatan dahsyat, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama surutkan langkah dengan mulut perdengarkan seruan tertahan kala masing-masing mata keduanya melihat ibu jari kaki lainnya mengenakan cincin!
“Aku ingat betul! Cincin yang kukenakan adalah cincin dari Dewi Keabadian. Cuma aku tak habis pikir. Bagaimana aku lupa mengapa hanya satu cincin yang kudapatkan?! Dan aku tahu persis, cincin yang dikenakan pemuda itu adalah pasangan dari cincin yang kupakai! Bagaimana bisa begini?!” Sang Bidadari membatin.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera juga berkata dalam hati. “Perempuan itu mengenakan cincin diibu jari kaki kiri. Jelas itu adalah cincin dari Sepasang Cincin Keabadian! Bagaimana dia bisa mendapatkannya?! Aku lupa sama sekali. Bagaimana saat itu aku hanya mendapatkan satu cincin?!” Datuk Kala Sutera menggeleng. Lalu tengadah coba mengingat. Tapi sekuat tenaga dia mencoba, tetap saja tak bisa.
“Hem... Aku harus bisa merebut cincin itu dari tangannya!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan setelah agak lama berpikir namun tak juga ingat apa yang telah dilakukannya saat mendapatkan cincin yang kini berada di ibu jari kaki kirinya.
Sementara itu begitu tak bisa mengingat, Datuk Kala Sutera segera arahkan pandangan pada Bidadari Tujuh Langit dan bergumam sendiri. “Cincin yang dikenakan adalah pasangan dari cincin yang kupakai! Sekarang tak penting bagaimana dia bisa mendapatkan cincin itu! Yang pasti, dia harus menyerahkan padaku!”
Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan. Lalu berteriak. “Aku akan melupakan urusan pertanyaan yang belum kau jawab! Tapi sebagai gantinya, kau harus serahkan cincin di ibu jari kaki kirimu!”
Bidadari Tujuh Langit pasang tampang angker. Sambil menyeringai dia menyahut. “Sebelum kuturuti permintaanmu, serahkan dahulu cincin hijau di ibu jari kaki kananmu!”
“Aku meminta baik-baik!” kata Datuk Kala Sutera sambil angkat kedua tangan.
“Kau kira aku takut?!” sahut Bidadari Tujuh Langit dengan ikut angkat kedua tangan. Lalu sepasang matanya dipentang.
Datuk Kala Sutera melangkah maju. Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Dia ikut gerakkan kaki melangkah ke depan. Mata masing-masing saling perang pandang. Saat lain hampir bersamaan kedua orang ini sama gerakkan tangan masing-masing. Namun baru setengah jalan, tiba-tiba satu sosok tubuh berkelebat. Dua rangkum gelombang berkiblat kearah Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit.
Datangnya gelombang serangan yang tiba-tiba bukannya membuat Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit hilang kewaspadaan. Mereka tak mau berlaku ayal. Kesempatan kecil tidak mustahil akan dimanfaatkan lawan. Hingga tanpa berpaling ke arah datangnya gelombang, kedua orang ini hanya putar gerakan tangan masing-masing lalu dihantamkan menghadang gelombang yang datang. Sementara tangan satunya tetap berada di atas udara berjaga-jaga.
Bummm! Bummm!
Dua ledakan keras terdengar ketika gelombang yang tiba-tiba berkiblat terhadang gelombang yang melesat dari tangan kanan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit. Suara ledakan belum lenyap, terdengar orang bersuara.
“Enam belas tahun buka waktu yang panjang! Tapi terlalu lama bagi sebuah urusan darah! Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Akhirnya kita bertemu lagi!”
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling pandang beberapa saat. Lalu serentak mereka berpaling. Memandang ke depan, sang Datuk dan sang Bidadari melihat seorang laki-laki berusia agak lanjut bertampang angker. Parasnya bulat ditingkah kumis lebat dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata sebelah kanan. Mata kiri ditutup dengan sebuah kulit berbentuk bundar berwarna hitam yang diikatkan ke belakang kepalanya. Pada pipi kirinya melintang codet besar dan panjang sampai telinga. Rambutnya dibiarkan bergerai panjang menutupi sebagian paras wajah dan pundaknya. Laki-laki ini mengenakan pakaian hitam-hitam yang dilapis dengan jubah panjang warna hitam sebatas lutut.
“Enam belas tahun berlalu! Tapi pasti kalian tak lupa padaku!” berkata laki-laki bermata satu sambil memandang silih berganti pada Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit. Namun mata satu-satunya laki-laki berjubah hitam ini terhenti dan terpentang besar kala melihat pakaian bawah Bidadari Tujuh Langit yang robek dan sedikit menyingkap hingga sembulan kedua pahanya yang putih dan padat terlihat jelas!
SETAN Enam Lembah!” hampir bersamaan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit bergumam.
“Syukur mata kalian belum buta untuk mengenali- ku! Ha Ha Ha...!” Laki-laki bermata satu berucap tanpa alihkan pandangannya dari paha Bidadari Tujuh Langit. Malah dia usap-usap dagunya dengan lidah dikeluarkan sedikit menyaput bibirnya.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sama unjuk tampang terkejut. Bukan karena ucapan laki-laki yang baru disebutnya sebagai Setan Enam Lembah, melainkan merasa heran dapat bersama-sama mengenali siapa adanya silaki-laki!
“Kemunculan manusia mata satu ini pasti ada hubungannya dengan peristiwa lama! Anehnya, apa kaitannya dengan perempuan baju putih yang dipanggilnya Bidadari Tujuh Langit ini?!” Datuk Kala Sutera membatin.
Baru saja sang Datuk membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit sudah buka suara. “Setan Enam Lembah! Puluhan tahun silam nyawamu masih kusisakan! Sebelum sisanya kuambil sekalian, masih ada waktu bagimu untuk enyah dari tempat ini!”
Setan Enam Lembah tertawa panjang. “Tadi sudah kukatakan. Enam belas tahun bukan waktu yang panjang. Tapi terlalu lama untuk sebuah urusan darah! Kau tahu. Aku sudah tak tahan untuk menunggu lagi! Enam belas tahun lalu nyawamu memang masih utuh. Tapi akan berakhir hari ini!”
“Hem... Ternyata Setan itu punya urusan pula dengan perempuan itu!” Datuk Kala Sutera terus membatin. “Anehnya, mengapa urusan itu terjadi enam belas tahun lalu? Sama dengan terjadinya urusanku dengan setan mata satu itu?!”
“Setan Enam Lembah!” Kembali Bidadari Tujuh Langit buka mulut. “Kau datang mengantar sisa nyawa! Aku tak segan untuk mengambilnya!” Bidadari Tujuh Langit berkelebat ke depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua sinar merah berkiblat!
Setan Enam Lembah tahu gelagat. Dia bukannya menghadang pukulan yang datang dengan sentakkan kedua tangan, namun berkelebat menghindar. Lalu memutar arah dan tahu-tahu sudah tegak dua lang-kah di samping Bidadari Tujuh Langit! Gerakan cepat Setan Enam Lembah sempat membuat Bidadari Tujuh Langit terkesiap kaget. Namun belum sampai lenyap rasa kagetnya, kaki kanan orang sudah menderu di depan wajahnya! Bidadari Tujuh Langit pukulkan tangan kanan kiri. Tapi sebelum kedua tangannya menghantam kaki ka- nan orang, Setan Enam Lembah sudah tendangkan kaki kiri ke arah pinggul sang Bidadari.
"Bukkk!" Sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke samping. Kedua tangan perempuan ini memang masih terus menghantam, namun karena sosoknya terlempar, hantaman kedua tangannya melabrak udara kosong. Setan Enam Lembah tidak mau memberi kesempatan. Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke samping, dia susuli dengan sentakkan kedua tangan lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuuuutt!
Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Sambil melesat setengah tombak ke udara, kedua tangan dan kakinya disentakkan sekaligus! Tempat itu laksana ditelan sinar merah ketika dari kedua tangan dan kaki Bidadari Tujuh Langit melesat sinar merah yang berkiblat susul menyusul. Baru saja Bidadari Tujuh Langit lepas pukulan, mendadak Datuk Kala Sutera melompat ke depan. Tanpa diduga sama sekali, pemuda berjubah hitam panjang ini sentakkan kedua tangan ke arah Bidadari Tujuh Langit!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin yang disemburati warna hijau menggebrak ganas. Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua tangannya yang baru saja lepas pukulan menghadang pukulan Setan Enam Lembah memang masih bergerak terangkat. Namun belum sampai dihantamkan, pukulan Datuk Kala Sutera sudah menerjang!
Blaarr! Blarrr!
Di depan, terdengar ledakan hebat ketika pukulan Setan Enam Lembah bentrok dengan pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit. Kawasan hutan bambu itu berguncang keras. Tanahnya semburat bertabur ke udara. Sosok Setan Enam Lembah tersapu dan jatuh terjengkang di atas tanah dengan mulut langsung semburkan darah. Jubah yang dikenakan robek hingga sebatas pinggang. Rambutnya yang panjang terpangkas dan tebarkan hawa seperti rambut terbakar. Kulit sekujur tubuhnya mengelupas hingga sekujur tubuh laki-laki ini berubah menjadi merah keputih-putihan!
Di lain pihak, saat pukulan yang dilepas bentrok dengan pukulan Setan Enam Lembah, sosok Bidadari Tujuh Langit tersentak ke belakang. Dan belum sempat dia kuasai diri, mendadak pukulan yang dilepas Datuk Kala Sutera menyongsong! Hingga tanpa ampun lagi sosok perempuan bertubuh bahenol Ini mental deras malah sempat terbanting di udara beberapa kali sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan mulut perdengarkan seruan tertahan dan kucurkan darah!
“Jahanam licik!” maki Bidadari Tujuh Langit seraya cepat salurkan hawa sakti untuk meredam rasa nyeri pada dada dan kedua lengannya yang terasa seakan tanggal. Saat lain dia terbungkuk-bungkuk bangkit.
Datuk Kala Sutera tersenyum. Lalu melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba Setan Enam Lembah gelundungkan diri dan sekonyong-konyong mentalkan tubuhnya ke udara menghadang gerakan Datuk Kala Sutera dengan sentakkan kakinya!
Datuk Kala Sutera tak mau gegabah. Dia tahu gerakan cepat orang. Hingga begitu kaki Setan Enam Lembah bergerak, dia cepat papasi dengan tendangan. Sementara kedua tangannya terangkat di udara. Perhitungan Datuk Kala Sutera tidak meleset. Sebab begitu kakinya bergerak menendang, Setan Enam Lembah dorongkan kedua tangannya!
Wuutt! Wuutt!
Gelombang angin dahsyat menderu angker lurus ke arah kepala sang Datuk. Datuk Kala Sutera cepat rundukkan kepala. Kedua tangannya digerakkan. Saat itulah mendadak dua sinar merah menyalaberkiblat! Datuk Kala Sutera tercekat. Dalam keadaan seperti itu dia diharuskan memilih. Menghadang pukulan Setan Enam Lembah atau menghadang sinar merah yang ternyata dilepas oleh Bidadari Tujuh Langit. Karena sadar kematian Bidadari Tujuh Langit lebih berharga daripada kematian Setan Enam Lembah, akhirnya Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya menghadang kiblatan sinar merah pukulan Bidadari Tujuh Langit.
Desss! Bummm!
Sinar merah dan hijau tampak semburat ke udara. Datuk Kala Sutera terhempas beberapa tombak ke udara, lalu melayang jatuh dengan sosok terputar sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah. Untuk beberapa saat sosok Datuk Kala Sutera terdiam. Namun saat lain pemuda ini telah bergerak bangkit. Hanya saja, begitu kepalanya terangkat, mulutnya tampak mengembung. Lalu semburkan darah!
Hampir bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Datuk, sosok Setan Enam Lembah juga meluncur deras sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah. Laki-laki ini sebenarnya tidak terkena pukulan apa-apa. Bahkan pukulan yang dilepas mampu membuat sosok Datuk Kala Sutera terlempar ke udara. Namun bias bentroknya pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tidak mampu ditahan karena dirinya telah terluka dalam. Hingga begitu terdengar ledakan, sosoknya terpental lalu melayang deras ke bawah menghantam tanah!
Jika Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit masih mampu bergerak bangkit, tidak demikian halnya dengan Setan Enam Lembah. Laki-laki ini tetap berada di atas tanah tanpa mampu bergerak bangkit. Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam yang bisa dilakukan. Dan melirik ke arah Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sendiri langsung saling pandang. Saat lain keduanya sama angkat tangan masing-masing. Namun hingga agak lama, kedua orang ini belum juga ada yang membuat gerakan. Malah sesekali mata mereka melirik ke arah Setan Enam Lembah. Jelas mereka bimbang. Di satu sisi jika mereka saling pukul, tidak tertutup kemungkinan Setan Enam Lembah menggunakan kesempatan itu untuk lepas pukulan. Sementara kalau mereka lepas pukulan langsung ke arah Setan Enam Lembah tidak mustahil salah satunya akan mencuri kesempatan itu untuk menghantam.
“Urusan ini akan tertunda kalau tidak segera diselesaikan!” Akhirnya Datuk Kala Sutera bergumam. “Setan itu harus kuhabisi dahulu! Jika tidak, dia bisa menghalangi langkahku!”
Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera lipat gandakan tenaga dalam pada tangan kiri. Saat lain dia melompat ke samping. Tangan kanan dihantamkan ke arah Setan Enam Lembah. Sementara tangan kiri terus berada di atas udara berjaga-jaga kalau Bidadari Tujuh Langit lepaskan pukulan.
Namun ternyata Bidadari Tujuh Langit tidak memanfaatkan kesempatan menghantamnya sang Datuk untuk lepas pukulan ke arah pemuda berjubah hitam itu. Sebaliknya justru perempuan ini ikut berkelebat dan lepas pukulan kearah Setan Enam Lembah!
Apa yang dilakukan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit membuat Setan Enam Lembah tercengang. Laki-laki bermata satu ini tadi sempat terkejut dan hampir saja tak percaya ketika melihat Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling pukul. Tapi hal itu mau tak mau membuatnya lega meski dia tak tahu mengapa kedua orang yang dikenalnya sebagai suami-istri itu saling pukul. Namun rasa lega itu mendadak sirna ketika tahu-tahu keduanya kini lepas pukulan bersamaan ke arah-nya.
Dalam keterkejutannya, Setan Enam Lembah masih mampu berpikir cepat. Dia tidak mungkin mampu menghadang pukulan dua orang sekaligus. Apalagi dia sudah tidak bisa bergerak bangkit. Maka Setan Enam Lembah cepat sentakkan tubuh bergulingan menghindari pukulan yang dilepas Datuk Kala Sutera yang hanya sentakkan tangan kanannya.
"Wusss!" Gelombang pukulan Datuk Kala Sutera menderu hanya beberapa jengkal di samping Setan Enam Lem- bah yang memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki ilmu peringan tubuh tingkat tinggi hingga gerakannya sangat cepat.
Begitu lolos dari serapan Datuk Kala Sutera, Setan Enam Lembah sentakkan kedua tangan menghadang pukulan Bidadari Tujuh Langit. Dua jengkal lagi dua pukulan itu bentrok di udara, mendadak dari arah samping, terdengar suara deruan dahsyat. Lalu dua rangkum angin luar biasa berkiblat memangkas pukulan Bidadari Tujuh Langit!
"Bummm!" Pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit tertahan sesaat di udara. Lalu semburat. Hebatnya semburatan itu masih terus menderu! Saat itulah gelombang yang dilepas Setan Enam Lembah melabrak! Setan Enam Lembah terguling hingga dua tombak. Sementara Bidadari Tujuh Langit tersurut dua langkah.
“Siapa berani ikut campur?!” Bidadari Tujuh Langit berteriak seraya berpaling.
Saat bersamaan satu sosok bayangan berkelebat. Semua kepala yang ada di tempat itu bergerak mengi- kuti berkelebatnya sosok bayangan yang saat lain telah tegak dua langkah di samping Setan Enam Lembah.
DIA ternyata adalah seorang gadis berparas jelita. Rambutnya yang hitam lebat disanggul ke atas. Sepasang matanya bundar dipadu dengan bulu mata lentik. Hidung mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Kulitnya putih bersih dibalut dengan pakaian warna biru.
“Eyang....” Gadis jelita berbaju biru perdengarkan suara dan langsung jatuhkan diri di hadapan Setan Enam Lembah. Bahunya tampak berguncang keras. Saat lain terdengar isakan tangisnya.
Perlahan Setan Enam Lembah buka sepasang matanya. Melihat siapa yang ada di hadapannya laki-laki bermata satu ini coba sunggingkan senyum meski dari sudut bibirnya terus kucurkan darah. “Aku senang melihatmu di tempat ini...,” kata Setan Enam Lembah. Suaranya tersendat dan hampir tidak terdengar. “Kau lihat laki-laki berjubah hitam itu?!”
“Jangan banyak bicara dulu, Eyang! Aku akan berusaha menolongmu! Kita tinggalkan tempat ini!” Gadis berbaju biru buka suara. Lalu bergerak bangkit.
“Jangan berlaku tolol! Pertolongan apa pun tidak akan membuatku hidup! Dan saat ini adalah hari kesempatanmu!”
“Eyang.... Lupakan semua itu! Kau lebih berharga dari segalanya!” Gadis berbaju biru teruskan gerakannya.
Namun tangan Setan Enam Lembah segera menarik ujung pakaian yang dikenakan gadis di hadapannya, hingga gerakan bangkit si gadis tertahan. “Ini kesempatan terakhir kali bicara denganmu! Kau lihat laki-laki berjubah hitam itu! Kau harus membunuhnya! Setelah itu...” Ucapan Setan Enam Lembah terputus. Kepalanya yang tadi tengadah karena mengikuti gerakan bangkit si gadis perlahan-lahan lunglai. Tangan kanannya yang memegang ujung baju si gadis terlepas.
“Eyang....” Gadis baju biru menjerit. Lalu menubruk sosok Setan Enam Lembah yang sudah tidak bernyawa lagi.
Untuk beberapa saat tempat itu hanya dipecah oleh tangisan gadis baju biru. Namun tiba-tiba si gadis putuskan suara tangisnya. Dan laksana kesetanan, gadis ini bergerak bangkit dan balikkan tubuh menghadap Datuk Kala Sutera! Bersamaan dengan membaliknya sosok si gadis, Pendekar 131 yang sedari tadi hanya bisa diam surutkan langkah kaget. Di seberang depan, Nenek Selir juga tak kalah kagetnya. Malah kalau saja nenek ini tidak cepat sadar, mungkin dia sudah buka mulut berteriak. Yang tampak kaget tapi sunggingkan senyum adalahbBidadari Tujuh Langit. Malah perempuan ini segera melangkah maju hendak mendekat.
“Harap berhenti!” Gadis berbaju biru segera membentak tanpa berpaling ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu melompat dan tegak beberapa langkah di hadapan Datuk Kala Sutera.
“Bidadari Delapan Samudera!” Pendekar 131 bergumam tahu siapa adanya gadis baju biru. “Dari sikapnya jangan-jangan Datuk Kala Sutera yang selama ini dicari! Aku jadi makin bingung dengan urusan orang- orang di tempat ini! Sepertinya semua masih ada kaitannya.Tapi....” Joko tidak lanjutkan gumaman. Karena saat itu Nenek Selir sudah buka mulut.
“Hai! Kau lupapadaku...?!"
Gadis baju biru yang bukan lain memang Bidadari Delapan Samudera adanya melirik ke arah Nenek Selir. Sesaat bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya mengangguk. Tapi saat lain kembali pandang matanya mengarah pada Datuk Kala Sutera.
“Hai!” Joko ikut-ikutan berteriak seraya lambaikan tangan. “Kau ingat padaku?” Joko sorongkan wajah ke depan.
Bidadari Delapan Samudera tampak terkejut begitu menoleh dan melihat siapa orang yang lambaikan tangan. Dadanya jadi berdebar apalagi dia baru saja melihat adanya Nenek Selir di tempat itu. “Pemuda itu berada di tempat ini. Demikian juga nenek berselempang kain hitam. Apa mereka....”
“Kau lupa padaku?!” Joko ulangi pertanyaan. Lalu melangkah mendekati.
Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera sudah akan buka mulut mencegah. Namun walau mulutnya sudah terbuka menganga, tapi tidak ada suara yang terdengar. Baru ketika Joko hampir mendekat, suara Bidadari Delapan Samudera terdengar.
“Aku tahu siapa kau! Tapi harap tidak lanjutkan langkah!”
Murid Pendeta Sinting berhenti. Pandangi sosok Bidadari Delapan Samudera sesaat lalu berucap. “Bidadari.... Kita perlu bicara!”
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan! Harap melangkah mundur!”
“Hem.... Terlalu bahaya kalau gadis ini harus berhadapan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi bagaimana aku harus menghalangi niatnya?! Siapa pun adanya laki-laki mata satu itu, pasti dia adalah orang yang selama ini dekat dengannya! Dan kematiannya akan membuat dia bertindak nekat!” Pendekar 131 berkata dalam hati. Lalu berkata.
“Bidadari.... Kau mungkin lupa. Ada....”
“Aku mau bicara dengan pemuda berjubah hitam ini! Harap tidak buka suara!” Bidadari Delapan Samudera menukas ucapan Joko. Lalu teruskan ucapan seraya memandang lekat-lekat pada Datuk Kala Sutera.
“Kau telah membunuh eyang guruku! Tapi itu bukan hal penting bagiku!” Bidadari Delapan Samudera geleng kepala walau sebenarnya dia harus kuatkan diri untuk mengatakan hal itu. “Asal kau jawab dengan jujur pertanyaanku!”
Datuk Kala Sutera balas memandang dengan tersenyum. Namun dia segera alihkan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit. “Kalau aku meladeni gadis ini, urusan cincin itu bisa tertunda lagi! Yang akan dibicarakan pasti mampusnya manusia mata satu itu!”
Berpikir begitu, tanpa buka mulut sambuti ucapan Bidadari Delapan Samudera, Datuk Kala Sutera segera melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. Tapi gerakannya tertahan ketika Bidadari Delapan Samudera ikut melompat memotong gerakan sang Datuk.
“Aku tak punya waktu untuk jawab pertanyaanmu! Menyingkirlah dari hadapanku atau kau akan menyusul gurumu!”
“Jelitaku....” Bidadari Tujuh Langit menyahut. “Beri jalan padanya. Apa pun pertanyaanmu, nanti aku akan menjawabnya!”
“Aku tak perlu bertanya padamu! Jangan berani bicara atau bergerak dari tempatmu!” bentak Bidadari Delapan Samudera.
Selagi Bidadari Delapan Samudera bicara, Datuk Kala Sutera gerakkan tangan kanan. Tanah di sekitar tempat tegaknya Bidadari Delapan Samudera muncrat semburat. Hingga untuk beberapa saat pandangan gadis jelita ini terhalang. Ketika semburatan tanah luruh, Datu Kala Sutera sudah tidak terlihat lagi di hadapan si gadis. Bidadari Delapan Samudera berpaling ke arah mana Bidadari Tujuh Langit berada. Ternyata sang Datuk sudah tegak di hadapan perempuan bertubuh bahenol ini dengan tangan terangkat ke udara. Di hadapannya, Bidadari Tujuh Langit juga angkat kedua tangannya dengan mata terpentang besar.
Bidadari Delapan Samudera hendak melompat. Tapi belum sampai bergerak, Datuk Kala Sutera sudah melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit dengan tubuh dilorotkan ke bawah. Tangan kiri kanannya menyambar ke arah kaki kiri Bidadari Tujuh Langit. Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Kedua kakinya disentakkan ke belakang. Lalu sorongkan tubuh bagian atasnya ke bawah. Tangan kiri kanan berkelebat menghadang gerakan kedua tangan Datuk Kala Sutera.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah. Melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke arah Bidadari Delapan Samudera. Dengan pegang lengan si gadis, Joko berbisik.
“Memang tidak ada yang perlu kita bicarakan. Tapi lebih baik kita pergi dari tempat ini!”
Ketika merasa lengannya dipegang orang, hampir saja Bidadari Delapan Samudera kelebatkan tangan. Namun begitu mendengar suara orang, dia tahan gerakannya. Entah mengapa dada gadis ini berdegup kencang. Hingga dia bukannya simak ucapan yang terdengar, melainkan coba kuasai diri. Melihat si gadis hanya diam saja, Joko cepat tarik tangannya mengajak Bidadari Delapan Samudera menjauh.
“Jangan berani teruskan tindakan! Harap lepaskan tanganmu!” Bidadari Delapan Samudera buka mulut setengah membentak begitu sosoknya terseret.
“Bidadari.... Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Tapi terlalu bahaya jika turuti kemarahan!”
Bidadari Delapan Samudera berpaling dan menatap sesaat pada sepasang bola mata murid Pendeta Sinting, “terima kasih.... Tapi aku telah tentukan apa yang harus kulakukan! Harap lepaskan tanganmu dan menjauh dari tempat ini!”
Joko mempererat cekalan tangannya pada lengan Bidadari Delapan Samudera. “Harap jangan berlaku bodoh! Kau sama saja dengan bunuh diri! Kau tahu siapa yang akan kau hadapi?!”
“Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagiku! Bahkan aku memilih mati daripada hidup dengan rahasia yang terselubung!”
“Bidadari... Aku tahu seseorang yang mungkin dapat ungkap rahasia hidupmu!”
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Hanya laki-laki berjubah hitam itu yang tahu! Aku tak ingin dia mampus sebelum buka mulut jawab pertanyaanku!”
Bidadari Delapan Samudera tepiskan cekalan tangan pendekar 131. “Aku tak segan membunuhmu jika kau halangi tindakanku!”
Joko lepaskan cekalan tangannya. Namun secepat kilat kedua tangannya bergerak kembali sarangkan totokan! Bidadari Delapan Samudera berseru tertahan ketika mendapati apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting.
“Apa yang kau lakukan?! Apa maksudmu dengan semua ini?! Kau telah membuat satu kesalahan besar! Aku akan membunuhmu!” Bidadari Delapan Samudera berteriak setengah menjerit. Tapi hanya itu yang bisa dilakukan, karena bersamaan itu sosoknya melorot jatuh.
Pendekar 131 cepat menyambar sosok Bidadari Delapan Samudera. Saat lain berkelebat ke arah Nenek Selir. “Nek! Kau tahu apa yang harus kau lakukan pada gadis ini! Sekarang aku harus pergi dulu!”
Joko letakkan tubuh Bidadari Delapan Samudera di hadapan si nenek yang masih tegak dengan kedua tangan memegang pedang. Yang diajak bicara bukannya cepat menyahut, melainkan memandang tajam pada Joko.
“Kau tak akan pergi dari sini, Setan Seberang! Dosamu padaku sudah tidak bisa diucapkan kata-kata!”
Berubahlah paras Pendekar 131. “Astaga! Tadi dia bercanda denganku! Mengapa sekarang tiba-tiba berubah?!”
“Nek...!”
“Jangan buka mulut!” hardik si nenek. “Kau tetap di sini atau pedangku akan memutus batang lehermu sekarang juga!”
“Nek....” Kali ini Bidadari Delapan Samudera yang angkat suara dengan mata mendelik ke arah Joko yang tegak di sampingnya. “Harap tak keberatan melepaskan aku dari totokan ini!”
Nenek Selir alihkan pandang matanya pada Bidadari Delapan Samudera yang tergeletak di atas tanah. Mendadak nenek ini perdengarkan tawa cekikikan. “Pemuda itu yang menotokmu. Mengapa minta aku yang harus membebaskan?!”
“Nek! Harap tidak terus bercanda! Memang dia yang lakukan pekerjaan keparat ini! Tapi kurasa kau bisa membantuku!”
“Kalau aku turuti permintaanmu, berarti aku membuat satu urusan! Padahal urusanku dengan dia belum selesai! Tunggulah sampai aku tuntaskan persoalan! Setelah itu kita lihat nanti!”
Bidadari Delapan Samudera bergumam tak jelas. Lalu berkata pada Joko dengan suara meradang. “Pemuda asing! Kalau kau ingin sesuatu, mengapa berlaku pengecut seperti ini?! Lepaskan totokanku!”
Joko tidak pedulikan radangan Bidadari Delapan Samudera. Sebaliknya dia memutar tubuh.
“Kau akan tetap di sini!” Nenek Selir sudah buka suara sebelum Joko teruskan gerakan.
Ketika murid Pendeta Sinting melirik, matanya membelalak dan kuduknya jadi dingin. Nenek Selir telah angkat kedua tangannya yang memegang gagang. “Nek.... Baiklah! Kalau apa yang kulakukan tempo hari kau anggap satu dosa, aku menerima! Tapi kumohon kau memberiku kesempatan....”
“Kesempatanmu sudah habis!”
“Tapi....”
“Kau pergi dengan leher putus atau tetap di sini hingga aku memutuskan!”
Selagi Pendekar 131 dan Nenek Selir bicara, diam- diam Bidadari Delapan Samudera coba kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan diri dari totokan. Namun hingga tubuhnya bergetar dan berkeringat, dia tidak mampu membebaskan diri.
“Lebih baik kalian membunuhku!” Bidadari Delapan Samudera berteriak.
“Itu urusan mudah!” sahut Nenek Selir.
“Mengapa tidak kau lakukan?! Apa sebenarnya yang kalian inginkan?!”
“Jangan bertanya padaku! Bukan aku yang melakukannya!”
“Tapi setidaknya kau bisa lakukan sesuatu untukku! Aku telah menceritakan semuanya padamu! Seharusnya kau mengerti!”
Nenek Selir anggukkan kepala. “Kau memang telah cerita banyak padaku. Tapi satu cerita bukanlah merupakan jaminan aku harus lakukan sesuatu padamu!”
“Ah... Ternyata aku salah sangka pada kalian... Selama ini kukira kalian orang-orang yang....”
“Percuma kau mengeluh!” Nenek Selir memotong.
“Diam saja di situ! Lihat apa yang terjadi!” Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan matanya kedepan. Walau tetap waspada khawatir si nenek melakukan sesuatu yang tak terduga, perlahan-lahan Joko ikut putar kepala lalu memandang ke depan, di tempat mana Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit tampak sama bergerak bangkit.
KITA tinggalkan dahulu ketegangan di tempat mana Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada. Kita menuju satu tempat tidak jauh dari tempat mana Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada. Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir dan Pendekar 131, mendadak terdengar gaung aneh yang membuat semua orang harus salurkan hawa sakti dan tutup jalan pendengaran. Lalu terlihat gulungan benda hitam menukik dari atas udara. Saat lain suasana berubah gelap dan semua orang rasakan matanya perih.
Ketika suasana berubah terang lagi, ternyata Paduka Seribu Masalah, Manusia Tanah Merah, Bidadari Pedang Cinta, dan Dayang Tiga Purnama sudah lenyap. Ketika suasana berubah gelap dan semua orang rasakan matanya perih, mendadak Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta rasakan siuran angin di sebelahnya. Kedua gadis ini cepat membuat gerakan. Khawatir yang berkelebat ke arahnya adalah Bidadari Tujuh Langit atau Datuk Kala Sutera. Namun belum sempat kedua gadis Ini bergerak lebih jauh, mereka merasakan sosok masing-masing sudah berada di panggulan orang. Dan belum sempat keduanya buka mulut, mereka merasakan dibawa terbang.
Mungkin takut salah tindak, baik Bidadari Pedang Cinta maupun Dayang Tiga Purnama berusia tidak membuat gerakan meski diam-diam mereka kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan masing-masing. Ketika mendapati keadaan sudah terang, serta-merta Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama buka mata masing-masing. Namun belum sampai kedua gadis ini bisa mengetahui siapa gerangan sosok yang memanggulnya, mereka merasakan tubuh masing-masing terangkat keudara. Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama cepat pentang mata dari atas udara. Hampir bersamaan mereka angkat kedua tangan masing-masing lalu memandang kebawah. Namun mendadak kedua gadis itu sama tarik pulang tangan masing-masing. Lalu melayang turun.
“Eyang....” Dayang Tiga Purnama buka mulut seraya melangkah ke arah satu sosok tubuh tambun besar milik seorang perempuan berusia lanjut. Nenek ini berambut putih panjang sebatas betis. Wajahnya disamaki gumpalan daging hingga hidung dan matanya seakan melesak lenyap. Perempuan tambun besar ini mengenakan pakaian ketat warna merah. Di lain pihak, Bidadari Pedang Cinta segera pula melangkah mendekati perempuan tambun besar seraya membatin.
“Gadis ini memanggilnya Eyang. Jangan-jangan dialah gadis yang sering diceritakan Eyang Guru padaku....”
Bidadari Pedang Cinta hentikan langkah lima tindak di hadapan perempuan tambun besar. Sementara Dayang Tiga Purnama sudah menjura hormat dua tindak di hadapan si perempuan tambun besar seraya berucap lagi.
“Eyang.... Aku harus segera kembali. Aku telah menemukan orang yang selama ini kucari!”
Si perempuan tambun besar geleng kepala. “Dia tengah menuju kemari. Kau tak usah kembali!” Si perempuan tambun besar arahkan matanya pada sosok Bidadari Pedang Cinta. Bibirnya tersenyum.
Bidadari Pedang Cinta balas anggukkan kepala lalu berkata. “Putri Pusar Bumi... Sebenarnya aku tengah menuju ketempatmu...”
“Aku tahu..,” ujar perempuan bertubuh tambun besar yang ternyata bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.
“Eyang... Kau mengenalnya. Siapa dia?!” bertanya Dayang Tiga Purnama sambil melirik ke arah Bidadari Pedang Cinta.
“Kau ingat kakak kandungku si cebol berambut panjang itu?!”
“Iblis Pedang Kasih..,” gumam Dayang Tiga Purnama.
“Hem.... Dia adalah muridnya.”
Dayang Tiga Purnama berpaling pada Bidadari Pedang Cinta yang tidak lain memang murid tunggal Iblis Pedang Kasih, kakak kandung Putri Pusar Bumi. “Nenek tadi mengatakan gadis ini adalah kekasih pemuda negeri seberang itu.... Benarkah?!” Dayang Tiga Purnama ingat ucapan Nenek Selir.
Di lain pihak, diam-diam Bidadari Pedang Cinta juga tengah berkata dalam hati. “Gadis ini punya silang sengketa dengan Joko Sableng. Apa yang harus kukatakan padanya?! Jangan-jangan dia percaya ucapan nenek tadi kalau aku adalah kekasih pemuda itu... Aku harus menjelaskan padanya!”
“Mengapa kalian diam saja?! Kuharap kalian bisa menyelesaikan ganjalan di hati jika hal itu ada di antara kalian!” berkata Putri Pusar Bumi bisa membaca gelagat.
Hampir bersamaan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sama geleng kepala lalu saling lempar senyum dan anggukkan kepala.
“Eyang... Tidak ada apa-apa di antara aku dengan dia! Aku baru saja bertemu dengannya...” Dayang Tiga Purnama buka suara.
“Betul! Tidak ada ganjalan apa-apa di antara kami...” Bidadari Pedang Cinta menimpali.
“Bagus! Hal itulah yang kuharapkan!” kata Putri Pusar Bumi sambil berpaling pada satu jurusan. “Kita akan membicarakan sesuatu. Apa pun nantinya yang akan kalian dengar, kuharap kalian percaya walau sebenarnya mungkin kalian tidak menduga dan tidak percaya....”
Dada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sama berdebar. Belum sampai ada yang buka mulut bertanya, Putri Pusar Bumi sudah berkata lagi.
“Mereka sudah datang....”
Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta berpaling ke arah mana mata Putri Pusar Bumi tengah memandang. Dari sebuah tikungan rumpun bambu tampak seorang kakek bertubuh pendek melangkah perlahan- lahan. Kakek ini berambut panjang hingga menjulai tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar hingga kala melangkah, sosok orang ini seperti doyong ke depan. Pada pinggangnya tampak melilit sebuah pedang berkilat.
“Eyang Guru...,” gumam Bidadari Pedang Cinta mengenali siapa adanya laki-laki bertubuh pendek yang tengah melangkah. Dia bukan lain memang Eyang Guru gadis berbaju hijau ini, yakni Iblis Pedang Kasih.
“Apa yang akan dibicarakan...?! Kedengarannya aneh! Aku harus percaya walau sebenarnya aku tidak menduga dan tidak percaya....”
Selagi Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, pandang matanya menumbuk pada dua sosok tubuh yang muncul di belakang Iblis Pedang Kasih. Yang sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Di sebelahnya adalah satu sosok tubuh yang tidak terlihat raut wajahnya karena orang ini sengaja sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya yang ditekuk. Orang ini menjajari laki-laki berjubah tanpa lengan dengan cara melompat-lompat sambil terus sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya.
“Aku tidak kenal siapa orang tua berjubah tanpa lengan. Tapi yang pasti satunya adalah Paduka Seribu Masalah!” Dayang Tiga Purnama bergumam yang hanya mengenali orang yang sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya dan yang bukan lain memang Paduka Seribu Masalah adanya.
Hanya beberapa saat, ketiga orang yang muncul dari tikungan sudah berada tidak jauh dari tempat tegaknya Bidadari Pedang Cinta. Putri Pusar Bumi segera melangkah mendekati ketiga orang yang baru muncul. Lalu buka suara seraya memandang ke arah laki-laki berjubah tanpa lengan.
“Manusia Tanah Merah. Tidak kusangka kalau kita akan bertemu lagi! Bagaimana kabarmu?! Ah... Ah..!”
“Terima kasih kau masih ingat padaku..,” berkata laki-laki berjubah tanpa lengan yang memang Manusia Tanah Merah adanya. “Sayang, menginjak usia bau tanah, aku harus mengalami nasib kurang beruntung. Tapi aku tidak menyesal. Jika tidak begitu, jangan- jangan urusanku akan berlanjut di dalam tanah!”
Putri pusar Bumi arahkan pandang matanya pada Iblis Pedang Kasih. “Rasanya sudah tiba saatnya kita mulai pembicaraan ini!”
Iblis Pedang Kasih anggukkan kepala sambil melirik pada muridnya Bidadari Pedang Cinta, membuat gadis ini makin tak enak.
Putri Pusar Bumi menghela napas panjang. Lalu berpaling pada Paduka Seribu Masalah yang duduk rangkapkan kaki dengan sembunyikan wajah di belakang kedua kakinya. Lalu buka mulut. “Sahabatku, Paduka Seribu Masalah... Terima kasih kau mau bergabung bersama kami. Kuharap kau nanti mau...”
Belum habis ucapan Putri Pusar Bumi, Paduka Seribu Masalah sudah perdengarkan suara. “Jangan berharap banyak. Aku takut memberi harapan! Tapi aku senang bertemu dengan kalian. Sudah lama rasanya kita tidak saling bertemu muka!”
Mungkin sudah mengenal siapa adanya Paduka Seribu Masalah, Putri Pusar Bumi tidak lagi sambuti ucapan orang. Sebaliknya segera alihkan pandangan silih berganti pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta. Lalu berkata.
“Dayang Tiga Purnama... Bidadari Pedang Cinta... Kalian tadi telah dengar ucapanku. Sekali lagi kuharap kalian nanti percaya dengan apa yang kalian dengar...” Putri Pusar Bumi hentikan ucapannya sesaat. Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama saling pandang dengan wajah heran tak mengerti. Namun kedua gadis ini tidak ada yang berusaha buka mulut.
“Sebenarnya apa yang akan kukatakan pada kalian sudah tersimpan selama enam belas tahun. Kalaupun baru kali ini kuutarakan, karena harus menunggu saat yang tepat!”
Untuk kedua kalinya Putri Pusar Bumi hentikan ucapan, membuat Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta makin tak enak hati dan berdebar-debar.
“Sebenarnya kalian berdua adalah saudara kandung....”
Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sama surutkan langkah kaget. Mata mereka saling pandang membelalak. Mulut mereka menganga tanpa ada yang perdengarkan suara.
“Dayang Tiga Purnama....” Putri Pusar Bumi lanjutkan ucapan. “Kalau selama ini aku menyuruhmu mencari keterangan pada Paduka Seribu Masalah, ka- rena selain dia tahu banyak masalah orang, terus terang selama ini aku tak berani mengatakannya padamu. Aku ingin kau mendengar dari Paduka Seribu Masalah. Karena aku yakin kau pasti akan percaya... Lain halnya kalau aku bilang langsung kepadamu. Tapi karena keadaannya sudah mendesak, aku harus berani terus terang padamu. Lagi pula di sini ada Paduka Seribu Masalah...”
Dayang Tiga Purnama menghela napas panjang. Lalu buka mulut dengan suara tersendat. “Lalu siapa orangtua kami?!”
Putri Pusar Bumi bukannya segera menjawab, melainkan berpaling pada Iblis Pedang Kasih.
“Harap tidak sembunyikan sesuatu! Kalau kami memang saudara kandung, harap katakan siapa orangtua kami!” Bidadari Pedang Cinta ikut buka suara.
“Paduka Seribu Masalah... Harap kau membantu kami mengatakannya!” Iblis Pedang Kasih angkat suara.
“Ah... Mengapa kalian takut mengatakannya?! Kalau kalian saja merasa takut, apalagi aku...”
“Paduka... Masalahnya bukan takut atau tidak. Tapi ucapanmu pasti lebih bisa dipercaya...” Iblis Pedang Kasih kembali buka suara.
“Aku tak berani... Aku takberani!”
“Paduka Seribu Masalah... Aku bukannya ingin ikut campur. Tapi hal ini adalah urusan sangat penting bagi seorang anak manusia! Harap kau tidak takut mengatakan yang sebenarnya!” Manusia Tanah Merah ikut bicara.
Paduka Seribu Masalah gerakkan pantat ke belakang. Kepalanya seakan-akan digerakkan terangkat. Namun saat lain kembali orang ini benamkan wajah dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya. Terdengar dia menghela napas panjang sebelum akhirnya terdengar ucapan.
“Baiklah... Tapi kuharap ini adalah keterangan terakhir yang dapat kuberikan. Aku takut jika menjawab pertanyaan lainnya...”
Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sama anggukkan kepala. Sementara Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama terlihat makin tegang.
“Gadis-gadis cantik... Ibu kalian adalah Bidadari Tujuh Langit... Ayah kalian adalah Datuk Kala Sutera...”
Saking kagetnya, hampir bersamaan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berkelebat dan tegak di kanan kiri Paduka Seribu Masalah.
“Harap jangan bertanya lagi. Aku tidak berani menjawab!” Paduka Seribu Masalah sudah perdengarkan suara sebelum ada yang buka mulut.
“Dayang Tiga Purnama, Bidadari Pedang Cinta... Kalian ingat ucapanku tadi... Kalian harus percaya apa yang telah kalian dengar!”
“Tapi itu tidak mungkin! Bidadari Tujuh Langit adalah perempuan yang memiliki kelainan! Bagaimana mungkin perempuan seperti dia punya anak?!” Bidadari Pedang Cinta berteriak.
“Kelainan itu terjadi setelah dia melahirkan kalian,” kata Putri Pusar Bumi.
“Datuk Kala Sutera selama ini tidak kenal siapa istrinya! Bagaimana mungkin dia juga bisa memiliki anak?!” Kali ini yang buka suara adalah Dayang Tiga Purnama ingat akan keterangan Pendekar 131.
“Kejanggalan aneh itu memang masih jadi tanda tanya besar hingga sekarang... Mungkin Paduka Seribu Masalah bisa memberi penjelasan..,” berkata Iblis Pedang Kasih.
Paduka Seribu Masalah gerakkan kepala pulang balik perlahan di belakang rangkapan kedua kakinya. “Kalian tadi sudah dengar. Harap jangan bertanya lagi... Aku takut!”
“Aku tidak percaya dengan semua ini!” Bidadari Pedang Cinta berseru dengan tubuh bergetar dan suara serak.
“Aku juga tidak percaya!” Dayang Tiga Purnama ikut berteriak.
“Anak-anak cantik... Harap tenangkan diri...” Manusia Tanah Merah coba menenangkan suasana.
“Tidak! Aku tak bisa tenang sebelum bisa membuktikan sendiri!” teriak Bidadari Pedang Cinta.
“Bukti memang diperlukan... Tapi harap kau berlaku tenang dan tabahkan hati. Apalagi hal ini tidak mudah!” kembali Manusia Tanah Merah angkat bicara.
Bidadari Pedang Cinta memandang lekat-lekat pada Dayang Tiga Purnama. Yang dipandang balas memandang.
“Benarkah semua ini?! Benarkah?!” Bidadari Pedang Cinta membatin. “Seandainya bukan Bidadari Tujuh Langit yang disebutkan namanya...” Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang.
“Bidadari... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi kau harus sadar. Ini adalah kenyataan yang harus kau terima! Siapa pun adanya Bidadari Tujuh Langit, kau harus menganggap apa adanya!” berkata Iblis Pedang Kasih.
“Aku bisa menerima kenyataan macam apa pun, Eyang. Tapi dalam hal satu ini, rasanya aku sulit dan belum percaya!” ujar Bidadari Pedang Cinta. Lalu ajukan tanya pada Dayang Tiga Purnama.
“Kau sendiri bagaimana?!”
Dayang Tiga Purnama terdiam beberapa saat sebelum akhirnya buka mulut. “Aku tak bisa menjawab sebelum aku mendapat keterangan pasti dari orang yang bersangkutan! Hanya saja rasa percaya ini begitu kecil dibanding tidak percaya!” Dayang Tiga Purnama tengadahkan kepala. Lalu lanjutkan ucapan seperti bicara dengan diri sendiri. “Seandainya benar, sebagai seorang ibu pasti dia akan mencari anak-anaknya! Tapi hal itu tidak dia lakukan!”
“Perempuan itu bukan saja tidak berusaha mencari anak-anaknya! Tapi sudah berani hendak berbuat gila menjijikkan pada anaknya! Tidak pantas perempuan seperti dia dipanggil ibu!” Bidadari Pedang Cinta sahuti ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Bukan hanya itu. Laki-laki bernama Datuk Kala Sutera itu juga tidak layak dipanggil ayah! Dia pernah berusaha hendak bertindak aib padaku!” Dayang Tiga Purnama menimpali.
“Anak-anakku...,” kata Putri Pusar Bumi. “Mereka melakukannya karena tidak tahu siapa sebenarnya kalian adanya!”
“Eyang... Justru itulah yang membuatku tidak percaya. Bagaimana seorang ayah dan seorang ibu tidak bisa mengenali anak-anaknya!”
“Eyang...” Bidadari Pedang Cinta berkata seraya berpaling pada Iblis Pedang Kasih. “Aku harus pergi....”
“Tunggu!” tahan Iblis Pedang Kasih.
Tapi Bidadari Pedang Cinta seolah tidak mendengar teriakan orang. Dia berkelebat tinggalkan tempat itu dan berlari sekuat yang dia bisa. Dayang Tiga Purnama berpaling pada Putri Pusar Bumi. Tanpa buka mulut, gadis ini balikkan tubuh lalu berkelebat mengejar Bidadari Pedang Cinta. Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih, Manusia Tanah Merah saling pandang. Tanpa ada yang coba buka suara, perlahan-lahan ketiga orang ini melangkah meninggalkan tempat itu mengambil arah mana tadi Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berkelebat.
“Hai... Mengapa kalian tidak mengajakku?! Kalian takut aku ikut serta?!” Paduka Seribu Masalah perdengarkan teriakan. Saat lain orang ini melompat-lompat mengejar dengan kaki ditekuk dan wajah disembunyikan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya...!
SATU
GADIS cantik berpakaian warna ungu yang rambutnya dikelabang dua itu melompat dari sisi rumpun bambu dan tegak beberapa langkah di hadapan orang yang duduk rangkapkan kaki serta sembunyikan wajahnya di belakang rangkapan kedua kakinya. Sepasang matanya yang bulat beberapa saat memperhatikan orang di hadapannya dan gadis ini seolah acuh dengan pandangan beberapa mata yang saat itu tengah terpusatpadanya.
“Paduka Seribu Masalah! Aku telah lama mencarimu. Harap tidak tinggalkan tempat ini. Aku butuh beberapa keterangan!” Berkata gadis berbaju ungu.
Orang yang duduk rangkapkan kaki dan bukan lain memang Paduka Seribu Masalah adanya urungkan niat berkelebat. Lalu perdengarkan suara. “Aku takut mengingat apakah kita pernah bertemu atau belum....”
“Aku Dayang Tiga Purnama!” sahut gadis berbaju ungu. Lalu putar pandangan berkeliling. Yang terlihat pertama adalah dua gadis berparas cantik yang duduk berjajar. Sebelah kanan mengenakan pakaian warna merah. Di sampingnya mengenakan baju warna ku- ning. Dari sudut bibir kedua gadis ini masih terlihat genangan darah. Jelas kalau keduanya tengah terluka dalam. Mereka adalah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
Orang kedua yang terlihat adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang rambutnya dikepang dua. Salah satu kepangannya dilingkarkan pada lehernya yang jenjang dan putih. Gadis ini tidak lain adalah Bidadari Pedang Cinta. Tidak jauh dari Bidadari Pedang Cinta, terlihat seo- rang perempuan bertubuh bahenol berparas cantik jelita berusia kira-kira dua puluh lima tahunan. Perempuan ini tegak dengan dada berguncang. Pakaian putih ketat yang dikenakan tampak robek memanjang di bagian bawah hingga kedua pahanya yang putih mulus dan kencang terlihat jelas. Perempuan ini adalah Bidadari Tujuh Langit.
Orang terakhir yang terlihat oleh gadis berbaju ungu dan bukan lain memang Dayang Tiga Purnama adalah orang yang pernah ditemuinya ketika dia bersama Pendekar 131. Dia adalah seorang nenek berpakaian selempang kain warna hitam yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang. Nenek yang selama ini dikenal kalangan rimba persilatan dengan julukan Nenek Selir.
Seperti diketahui, setelah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak puas dengan jawaban yang diberikan pasangan guru mereka yang dikenal dengan si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah, akhirnya Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berusaha mencari Paduka Seribu Masalah. Mereka akhirnya bertemu dengan Paduka Seribu Masalah dan memperoleh jawaban.
Ketika Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berkelebat pergi dari hadapan Paduka Seribu Masalah, kedua gadis ini mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah yang membuat mereka merasa curiga jika ada orang lain yang mencuri dengar pembicaraan mereka dengan Paduka Seribu Masalah. Akhirnya mereka memutuskan kembali ke tempat mana mereka tadi berbincang dengan Paduka Seribu Masalah.
Kedua gadis itu melihat Bidadari Pedang Cinta. Tapi saat lain muncullah Bidadari Tujuh Langit. Karena sudah memendam dendam pada Bidadari Tujuh Langit akibat tindakan tidak senonoh yang diperbuat sang Bidadari, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera saja mengeroyok Bidadari Tujuh Langit. Di saat kritis, mendadak muncul Nenek Selir membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Sementara Paduka Seribu Masalah sendiri tidak tinggal diam. Dia juga sempat memberikan bantuan.
Akhirnya Bidadari Tujuh Langit tumpahkan kemarahan pada Paduka Seribu Masalah. Tapi akhirnya Bidadari Tujuh Langit merasa sadar jika orang yang dihadapi bukan saja berilmu tinggi tapi juga memiliki kesaktian aneh. Hingga akhirnya Bidadari Tujuh Langit tidak buka mulut atau mencegah saat Paduka Seribu Masalah hendak berkelebat pergi setelah mengucapkan beberapa saran. Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah benar-benar berkelebat pergi, mendadak terdengar satu seruan menahan kepergian Paduka Seribu Masalah. Yang muncul ternyata Dayang Tiga Purnama.
Dayang Tiga Purnama sendiri saat itu baru saja mengikuti perjalanan murid Pendeta Sinting. Setelah mendengar keterangan dari mulut Pendekar 131 tentang siapa sebenarnya Paduka Seribu Masalah dan memberikan ancaman pada Joko, gadis berbaju ungu ini kembali ke hutan bambu. Saat langkahnya mulai memasuki kawasan hutan bambu, Dayang Tiga Purnama mendengar beberapa debuman. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera berkelebat ke arah sumber suara. Saat itulah dari tempatnya mendekam dia melihat Paduka Seribu Masalah. Dayang Tiga Purnama tidak pedulikan lagi beberapa orang yang ada di sekitar Paduka Seribu Masalah. Dia segera saja melompat lalu berkata pada sang Paduka.
“Dayang Tiga Purnama...” Paduka Seribu Masalah perdengarkan gumaman ulangi ucapan Dayang Tiga Purnama yang memperkenalkan diri. “Aku tidak berani memastikan apakah aku pernah dengar nama itu atau tidak...”
“Paduka... Kita pernah bertemu ketika kau bersama pemuda asing bernama Joko Sableng yang bergelar Pendekar 131!” kata Dayang Tiga Purnama.
“Ah... Aku sekarang ingat! Apakah kau masih bersama pemuda sahabatku itu?!”
Mendengar ucapan Paduka Seribu Masalah, semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut. Lebih-lebih Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Tujuh Langit.
“Mengapa kau diam?!” tanya Paduka Seribu Masalah ketika tidak mendapat sahutan dari Dayang Tiga Purnama. “Kau takut mengatakannya padaku?!”
“Dia sudah pulang ke negeri asalnya!” kata Dayang Tiga Purnama.
Kalau saja saat itu berada sendirian, niscaya kaki Bidadari Pedang Cinta sudah tersurut mundur saking kagetnya mendengar ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Apakah benar keterangan gadis itu?! Apa hubungannya dengan pemuda asing itu hingga dia tahu?!” Diam-diam Bidadari Pedang Cinta membatin dengan dada berdebar.
Di lain pihak, mendengar kata-kata Dayang Tiga Purnama, Nenek Selir terkesiap. Laksana terbang dia melompat lalu tegak beberapa langkah di hadapan si gadis. Lalu membentak. “Jangan kau bicara mengada-ada! Dari mana kau tahu pemuda sialan itu sudah pulang ke negeri asalnya, hah?! Kapan kau bertemu dan di mana?!”
Jelas si nenek marah besar dan penasaran, karena tidak berselang lama, dia sempat bertemu dengan murid Pendeta Sinting. Bahkan Nenek Selir sudah membekal niat akan membuat perhitungan dengan Pendekar 131 karena akibat ulah Joko, Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah bisa selamat dari tangan mautnya bahkan bisa meloloskan diri.
Dayang Tiga Purnama yang sempat geram ketika pertama kali bertemu dengan Nenek Selir berpaling ke jurusan lain dan berkata ketus. “Aku tidak bisa mengatakan kapan, di mana bertemu dengan pemuda itu! Aku juga tidak mengada-ada bicara! Yang jelas dia sudah pulang ke negeri asalnya! Terserah mau percaya atau tidak!”
“Kau bicara dusta!” bentak Nenek Selir. Wajahnya berubah angker.
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Aku sudah bilang. Terserah kau mau percaya atau tidak! Itu bukan urusanku! Aku punya hal yang harus kubicarakan dengan Paduka Seribu Masalah. Harap tidak menyela!”
Ucapan Dayang Tiga Purnama membuat Nenek Selir makin penasaran. Tanpa mau tahu urusan orang, nenek ini segera buka mulut. “Kau boleh bicara dengannya sampai kau mampus! Tapi kalau kau belum memberi penjelasan jelas, jangan harap kau bisa bicara dengannya!”
“Hem... Nenek ini begitu penasaran dan marah dengan keteranganku! Jangan-jangan tuduhan kalau kedua cucunya dibuat hamil oleh pemuda asing itu benar adanya!” kata Dayang Tiga Purnama dalam hati ingat akan tuduhan Nenek Selir pada Joko saat mereka pertama kali bertemu. “Atau nenek ini punya maksud lain?! Mungkinkah dia tahu kalau pemuda itu mendapatkan pedang sakti dan takut kalau dia kehilangan jejak?!”
Berpikir begitu, Dayang Tiga Purnama segera berpaling menghadap Nenek Selir. Lalu berkata. “Kau tak akan dapat penjelasan apa-apa sebelum kau katakan mengapa kau begitu penasaran saat kukatakan pemuda itu pulang ke negeri asalnya!”
Nenek Selir sapukan pandangan berkeliling sebelum berkata menjawab. “Pemuda sialan itu telah menyelamatkan manusia jahanam yang harus kubunuh!”
“Benar?!” tanya Dayang Tiga Purnama dengan tertawa pendek.
Mata Nenek Selir melotot besar. Sosoknya bergetar. Sambil bantingkan kaki kanan dia buka mulut dengan suara keras. “Kau pikir aku penasaran karena merasa ditinggalkan, begitu hah?! Kau kira aku kecewa dengan kepergiannya seperti saat kau kecewa ketika kukatakan pemuda sialan itu telah menghamili kedua cucuku, begitu?!”
Tampang Dayang Tiga Purnama merah mengelam. Sepasang matanya melirik pada semua orang yang ada di tempat itu. Namun karena tak mau dibuat malu di hadapan orang, gadis ini segera buka suara. “Aku tidak tahu apa sebenarnya urusanmu dengan pemuda itu! Aku hanya ingin meyakinkan! Dan kau salah besar kalau menduga aku kecewa saat kau katakan pemuda itu menghamili kedua cucumu!” Dayang Tiga Purnama gelengkan kepala. “Bahkan jika kau katakan seratus cucumu hamil karena pemuda itu, aku tidak akan merasa kecewa!”
Orang yang paling tidak enak mendengar pembicaraan Dayang Tiga Purnama dengan Nenek Selir adalah Bidadari Pedang Cinta. Dada gadis ini makin berdebar. Berkali-kali dia lempar pandang mata pada Dayang Tiga Purnama dan Nenek Selir seolah tidak percaya dengan apa yang dibicarakan keduanya.
“Benarkah Joko Sableng menghamili kedua cucu nenek itu?! Ketika pertama kali aku bertemu dengan nenek itu, dia minta keterangan ke mana perginya Joko Sableng... Mungkinkah ini ada kaitannya dengan urusan hamilnya kedua cucunya?! Hem...” Bidadari Pedang Cinta membatin seraya menghela napas panjang. Tanpa sadar terbayang raut wajah Pendekar 131 di kelopak matanya. Namun bayangan itu segera lenyap begitu terdengar ucapan Nenek Selir.
“Kau masih juga berkata dusta! Aku sudah kenyang merasakan pahit getirnya dunia! Aku tahu bagaimana perasaanmu ketika kukatakan pemuda itu menghamili kedua cucuku! Kau kecewa dan sakit hati! Karena sebenaranya kau menyukai pemuda sialan itu!”
Dayang Tiga Purnama laksana mendengar gemuruh di gendang telinganya. Hingga walau mulutnya sudah menganga akan buka suara, namun tidak terdengar sepatah kata pun.
Mendapati sikap orang, Nenek Selir tertawa cekikikan panjang. Lalu berkata. “Kau bernasib buruk... Hik Hik Hik...! Kau tahu. Pemuda sialan itu adalah kekasih gadis cantik berbaju hijau itu!” Jari tangan kanan Nenek Selir bergerak lurus menunjuk Bidadari Pedang Cinta.
Bidadari Pedang Cinta tercengang. Laksana disentak satu kekuatan dahsyat, sosoknya berkelebat dan tegak di hadapan Nenek Selir tidak jauh dari samping Dayang Tiga Purnama. “Nek! Jangan berani bicara lancang menuduh yang bukan-bukan!” tegur Bidadari Pedang Cinta.
Nenek Selir makin panjangkan tawa cekikikannya. “Anak sekarang memang pandai menutupi perasaan! Mereka tak sadar, jika sikapnya itu akan membawa bencana di kelak kemudian hari! Hik Hik Hik..!”
“Nek! Tuduhanmu sudah keterlaluan!” bentak Bidadari Pedang Cinta. Lalu berpaling pada Dayang Tiga Purnama dan sambungi ucapan. “Harap kau tidak percaya dengan bualannya! Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan pemuda itu!”
Dayang Tiga Purnama tersenyum walau sikap Bidadari Pedang Cinta sudah cukup membuatnya maklum kalau sebenarnya gadis berbaju hijau itu punya perasaan lain pada murid Pendeta Sinting.
“Kau juga harap tidak percaya dengan keterangan mulutnya! Apa yang dikatakannya tidak benar!”
Mendengar perbincangan Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta, Nenek Selir putuskan tawanya. Lalu berujar. “Kalian berdua tidak mau membuka diri! Itu terserah kalian! Duka sengsara, kalian yang kelak akan merasakannya sendiri!”
Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan pandang matanya pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata. “Aku telah mengatakan mengapa aku penasaran dengan kepergian pemuda sialan itu! Sekarang jawab kapan dan di mana kau bertemu dengannya hingga kau tahu jika pemuda itu sudah pulang balik ke negeri asalnya!”
“Kemarin malam!”
“Di mana?!” sahut Nenek Selir seolah tak sabar. Dayang Tiga Purnama tidak segera menjawab. Sebaliknya tengadahkan kepala. “Di mana?!” Nenek Selir ulangi pertanyaan dengan suara makin keras.
“Perjalanannya setengah hari dari sini. Di satu tempat yang banyak diterjali batu-batu. Aku tak tahu apa nama tempat itu!” jawab Dayang Tiga Purnama dengan enggan karena dada gadis ini sebenarnya sudah di buncah kemarahan.
“Lalu bagaimana kau tahu dia pulang ke negeri asalnya?! Kau mengantarnya hingga pesisir laut?!”
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. “Dia yang mengatakan jika hendak pulang ke negeri asalnya! Dan kau harus tahu. Kalaupun dia tidak meninggalkan negeri ini, dia harus mengadu nyawa denganku!”
Habis menjawab begitu, Dayang Tiga Purnama melangkah ke arah Paduka Seribu Masalah seraya berucap. “Aku punya sesuatu yang lebih penting daripada membicarakan pemuda asing itu! Harap tidak menyela lagi!”
Dayang Tiga Purnama berhenti dua tindak di hadapan Paduka Seribu Masalah. “Bagaimana sekarang?! Rasanya tidak mungkin mengatakan urusanku pada Paduka Seribu Masalah di hadapan banyak orang begini rupa...”
Baru saja Dayang Tiga Purnama membatin begitu, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara. “Sepertinya kau tidak berani buka suara. Kau ingin kita bicara hanya berdua-dua saja?!”
“Kau tidak keberatan kita cari tempat lain?” sambut Dayang Tiga Purnama dengan lega.
Paduka Seribu Masalah tertawa. “Aku paling tidak takut kalau diajak gadis cantik....”
Paduka Seribu Masalah putar duduknya. Dayang Tiga Purnama melirik pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu tanpa buka mulut lagi dia melangkah hendak tinggalku tempat itu. Namun belum sampai Paduka Seribu Masalah membuat gerakan lebih jauh, dan Dayang Tiga Purnama baru mendapat satu tindak, terdengar suara.
“Siapa pun adanya laki-laki yang duduk rangkapkan kaki, dia boleh pergi! Tapi tidak kau gadis bernama Dayang Tiga Purnama!”
DUA
ORANG yang pertama kail tersentak kaget dan langsung putar kepala adalah Dayang Tiga Purnama. Disusul kemudian oleh Bidadari Pedang Cinta. Kemudian Nenek Selir lalu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Mereka sama arahkan pandang mata masing-masing pada Bidadari Tujuh Langit, orang yang baru saja perdengarkan suara. Bidadari Pedang Cinta, Galuh Sembilan Gerhana, dan Galuh Empat Cakrawala, serta Nenek Selir sudah maklum apa maksud ucapan Bidadari Tujuh Langit. Namun tidak demikian halnya dengan Dayang Tiga Purnama. Gadis ini segera buka mulut.
“Aku tidak kenal siapa dirimu. Mengapa berani mencegah?!”
Bidadari Tujuh Langit arahkan pandangan pada sosok Paduka Seribu Masalah. Saat pertama kali Dayang Tiga Purnama muncul dan langsung menyebut nama Paduka Seribu Masalah, Bidadari Tujuh Langit sempat terlonjak kaget. Mula-mula dia hampir tidak percaya. Namun setelah simak pembicaraan orang dan apa yang dialaminya saat bentrok dengan Paduka Seribu Masalah, dia mulai yakin.
Keyakinan yang timbul membuat Bidadari Tujuh Langit menjadi khawatir. Namun ingat akan kesaktian cincin yang berada di kaki kirinya, perlahan-lahan rasa khawatir itu lenyap. Malah dia merasa girang mendapati kemunculan sosok Dayang Tiga Purnama. Setelah memperhatikan Paduka Seribu Masalah, Bidadari Tujuh Langit alihkan pandangan pada Dayang Tiga Purnama. Sambil sunggingkan senyum dia berkata.
“Kita memang belum kenal. Karena itulah aku mencegahmu. Aku....”
“Aku tidak punya waktu banyak! Harap katakan saja jika punya maksud!” Dayang Tiga Purnama sudah memotong sebelum Bidadari Tujuh Langit selesaikan ucapan. Bidadari Tujuh Langit tertawa. “Begitu pentingkah urusanmu?!”
“Hem... Aku tak tahu apa maksud perempuan ini. Tidak ada gunanya aku meladeni!” bisik Dayang Tiga Purnama dalam hati. Lalu tanpa menjawab pertanyaan orang, dia putar kepala lagi ke arah Paduka Seribu Masalah. Saat lain dia teruskan langkah seraya berkata.
“Paduka.... Harap Ikuti aku...!”
Bidadari Tujuh Langit memandang beberapa lama. Dadanya sempat terguncang melihat gerakan sosok Dayang Tiga Purnama yang terus melangkah. Sementara Paduka Seribu Masalah perdengarkan gumaman tak jelas. Lalu putar duduk menghadap arah mana Dayang Tiga Purnama tengah melangkah. Belum sampai Paduka Seribu Masalah bergerak, Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat dan tahu-tahu tegak menghadang di depan Dayang Tiga Purnama. Sikap Bidadari Tujuh Langit membuat Dayang Tiga Purnama tak bisa menahan kemarahan. Dia langsung membentak.
“Kau tidak mau mengatakan apa maksudmu! Sekarang kau tegak menghadang! Apa maumu sebenarnya?!”
“Aku ingin mengajakmu.... Dan kita lupakan sejenak urusan dunia!”
“Bicaramu aneh! Aku tidak mengerti!”
“Nanti kau akan mengerti....”
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin. “Sayang sekali aku masih punya sesuatu yang harus kubicarakan dengan Paduka Seribu Masalah. Jika tidak, mungkin aku akan mempertimbangkan ajakanmu!” kata Dayang Tiga Purnama meski dalam hati dia coba menindih ucapan yang keras. Dayang Tiga Purnama menyisi ke samping. Berpaling pada Paduka Seribu Masalah seraya berkata.
“Paduka.... Kita berangkat sekarang!”
“Kau akan pergi dari sini jika bersamaku...,” Bidadari Tujuh Langit menyahut.
Kali ini Dayang Tiga Purnama tidak bisa menahan diri lagi. Dengan suara keras dia berucap. “Dengar sekali lagi! Aku masih punya urusan! Dan kalau aku tidak mau pergi bersamamu, kau mau apa?!”
“Aku ingin lihat, apakah kau bisa menahan ajakanku...,” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan bibir tetap tersenyum.
“Kau yang ingin tahu. Jangan salahkan aku kalau kutunjukkan!” Dayang Tiga Purnama melompat. Begitu dua langkah di hadapan Bidadari Tujuh Langit, kedua tangannya dikelebatkan lepas pukulan.
Bidadari Tujuh Langit hadapi pukulan dengan senyum tanpa membuat gerakan apa-apa. Perempuan berparas cantik bertubuh bahenol ini tampaknya bisa membaca jika pukulan yang tengah dilancarkan orang hanya mengandalkan tenaga luar. Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama sempat terkejut melihat Bidadari Tujuh Langit tidak membuat gerakan menghadang atau berkelit. Dia sudah hendak tarik pulang kedua tangannya. Tapi ingat akan ucapan Bidadari Tujuh Langit, dan merasa jika pukulannya hanya mengandalkan tenaga luar, akhirnya Dayang Tiga Purnama teruskan pukulan.
Bukkk! Bukkk!
Kepala Bidadari Tujuh Langit tersentak tengadah ke samping kiri kanan. Dayang Tiga Purnama surutkan langkah dua tindak. Lalu memandang tajam dengan sedikit heran. Di hadapannya, Bidadari Tujuh Langit usap dagunya yang baru saja terhantam tangan Dayang Tiga Purnama. Tanpa buka mulut dia melangkah mendekati.
“Awas! Jangan beri dia kesempatan untuk menjamah tubuhmu!” Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala berteriak.
“Dia perempuan gila sinting yang punya kelainan! Dia lebih suka melihat tubuh perempuan daripada tubuh laki-laki!” Galuh Sembilan Gerhana menimpali.
Ucapan kedua gadis itu membuat Dayang Tiga Purnama tercekat dengan mata melotot memperhatikan sosok Bidadari Tujuh Langit seolah melihat hantu gentayangan. Kuduknya jadi dingin. Tanpa sadar dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Di lain pihak, Bidadari Tujuh Langit berhenti. Perlahan-lahan kepalanya diputar ke tempat mana Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berada. Bibirnya kembangkan senyum. Namun sekonyong-konyong kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuutt!
Dua sinar merah berkiblat ganas ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Karena dari tadi sudah waspada, meski Bidadari Tujuh Langit lepas pukulan secara tiba-tiba, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak merasa terkejut. Tapi kedua gadis ini tidak mau bertindak ayal. Apalagi mereka sadar jika tengah terluka dalam. Memaksakan bentrok pukulan hanya akan memperparah luka dalam bahkan mungkin bisa membuat mereka tewas.
Menyadari akan hal itu, begitu dua sinar merah berkiblat dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit, Ga- luh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera sentak tubuh masing-masing bergulingan di atas tanah. Dan maklum jika Paduka Seribu Masalah adalah orang yang mampu menghadapi Bidadari Tujuh Langit, kedua gadis ini gulingkan tubuh hindarkan diri ke tempat mana Paduka Seribu Masalah berada.
Wusss! Wuuss!
Beberapa rumpun bambu di belakang sana tadi Galuh Sembilan Gerhana dana Galuh Empat Cakrawala berada terhantam rata lalu amblas semburat. Beberapa orang di situ rasakan pijakan masing-masing bergetar keras. Bidadari Tujuh Langit cepat putar diri mengikuti gulingan tubuh Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala begitu mendapati kedua gadis itu bisa selamatkan diri dari pukulannya. Saat lain dia membuat gerakan hendak mengejar.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba Dayang Tiga Purnama sudah mendahului berkelebat dan tegak menghadang. Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Namun tiba-tiba dia melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat sarangkan totokan pada beberapa bagian tubuh Dayang Tiga Purnama. Gerakan tidak terduga Bidadari Tujuh Langit mem- buat Dayang Tiga Purnama terlambat untuk membuat gerakan menghadang walau dia masih mampu angkat kedua tangannya.
Saat itulah terdengar orang bergumam dari balik rumpun bambu. Lalu satu gelombang melesat lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Kedua tangan Bidadari Tujuh Langit yang siap lancarkan totokan tertahan dan terpental ke belakang. Sosoknya ikut terjajar dua langkah ke samping. Saat yang sama sosok Dayang Tiga Purnama tersentak lalu jatuh terduduk di atas tanah.
Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Dia lang- sung putar diri menghadap rumpun bambu dari mana tadi gelombang melesat dan mampu menahan gerakannya. Di lain pihak, Dayang Tiga Purnama juga buru-buru bergerak bangkit dan ikut palingkan kepala ke arah rumpun bambu. Karena rumpun bambu sangat tebal, Bidadari Tujuh Langit tidak mampu melihat siapa adanya orang di baliknya. Hingga sambil angkat kedua tangannya dia berteriak.
“Kau berani campuri urusanku. Mengapa pengecut tidak berani unjuk diri?!”
“Nah.... Apa kubilang!” Tiba-tiba terdengar suara dari balik rumpun bambu tebal. “Kini semuanya terlambat!Karena kau yang membuat ulah, kau juga yang harus berani turuti kemauannya!”
“Ah.... Bagaimana bisa begitu?! Kau tadi yang menyuruhku! Sekarang curi tangan! Memang benar aku yang membuat ulah. Tapi kau yang menyuruh! Jadi kau yang harus turuti kemauannya!” terdengar suara orang kedua menyahut.
Mendengar suara dari balik rumpun bambu, Nenek Selir terkesiap. “Telingaku hafal betul suara jahanamnya! Yang bicara pertama tadi pasti dia!” Nenek Selir pentangkan mata lalu alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Kalau Nenek Selir mengenali suara orang yang pertama, lain halnya dengan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. Bidadari Pedang Cinta kernyitkan dahi seraya membatin.
“Aku seperti pernah dengar suara orang yang kedua.... Tapi mungkinkah dia?! Ah, mengapa aku selalu mengharap...?! Bukankah dia bukan pemuda baik-baik?! Dia telah menghamili kedua cucu nenek itu!”
Jika Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, diam-diam Dayang Tiga Purnama juga berkata dalam hati. “Aku yakin siapa adanya orang yang kedua! Ternyata dia belum hengkang dari negeri ini! Hem.... Dia memang baru saja menyelamatkan aku. Tapi jangan mimpi tindakannya itu bisa menghapus ancaman ku!” Gadis berbaju ungu ini segera pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Karena hanya terdengar suara tanpa adanya orang yang muncul unjuk diri, Bidadari Tujuh Langit habis kesabaran. Kedua tangannya digerakkan. Namun sebelum dua sinar merah sempat melesat, Nenek Selir berteriak.
“Tahan serangan!” Nenek Selir melompat dan tegak menjajari Bidadari Tujuh Langit. Sang Bidadari melirik lalu berucap. “Wajahmu berubah! Kau mengenali siapa adanya jahanam di balik rumpun bambu itu?!”
“Itu bukan urusanmu! Sekarang kau menyingkirlah! Urusan manusia di balik rumpun bambu menjadi hakku!”
“Enak saja kau bicara! Siapa pun adanya manusia di balik rumpun bambu, mereka telah membuka urusan denganku! Kau yang harus menyingkir!”
Baru saja Bidadari Tujuh Langit bicara begitu, mendadak dari balik rumpun bambu terdengar orang tertawa cekikikan. Disusul dengan terdengarnya suara.
“Mengapa harus turuti kemauan perempuan-perempuan jelek begitu?! Yang satu sudah bau tanah tapi masih cerewet! Yang satu benar masih cantik dan bahenol. Sayang, salah satu anggota tubuhnya ada yang tidak beres! Hik Hik Hik...! Lebih baik kita lanjutkan saja acara kita....”
Sosok Nenek Selir bergetar keras. Bukan saja karena ucapan orang, tapi karena ucapan itu jelas diperdengarkan oleh seorang perempuan! “Jahanam betul! Keparat itu membawa makhluk perempuan!” desis si nenek seraya lipat gandakan tenaga dalam.
“Betul... Betul..! Lebih baik kita lanjutkan acara kita. Di sana kulihat ada aliran sungai. Kita berenang berempat... Daripada harus melayani perempuan-perempuan aneh yang tak jelas juntrungannya!” Terdengar suara perempuan dari balik rumpun bambu menyahut suara perempuan yang pertama.
Nenek Selir dan Bidadari Tujuh Langit tak bisa menahan diri masing-masing. Belum habis suara sahutan perempuan yang kedua, tangan masing-masing sudah berkelebat lepas pukulan ke arah rumpun bambu.
Blamm! Blammm!
Kawasan hutan bambu bergetar keras. Rumpun bambu di mana dari baliknya tadi terdengar sahut-sahutan orang bicara langsung mental amblas rata dengan tanah! Malah di sana sini terlihat lobang menganga besar. Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sama pentang mata. Dan hampir berbarengan mereka berdua melompat ke bekas rumpun bambu yang sudah rata dengan tanah. Kepala keduanya bergerak memutar.
“Keparat! Mana jahanam-jahanam busuk itu?!” desis Nenek Selir seraya putar kedua tangannya siap lepas pukulan di mana pun orang terlihat muncul.
“Suara-suara tadi jelas dari rumpun bambu ini! Tapi ke mana mereka?! Kalau kena hantam, tidak kulihat potongan tubuhnya! Kalau tidak mampus, tidak kulihat batang hidungnya! Jangan-jangan yang kudengar tadi hanya permainan pengalihan suara!” Bidadari Tujuh Langit menduga-duga begitu dia juga tidak melihat siapa-siapa. Sementara itu, Bidadari Pedang Cinta yang sesaat tadi sempat berdebar dengan tindakan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir, segera pula putar pandangan berkeliling.
Mendadak sepasang mata Bidadari Pedang Cinta melotot besar tatkala tanpa sengaja matanya menumbuk pada satu sosok tubuh di balik salah satu rimbun bambu tidak jauh dari tempat tegaknya. Saking kagetnya, meski gadis cantik ini coba menahan diri, namun tak urung terdengar seruan dari mulutnya. Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir serta-merta berpaling. Lalu sama arahkan pandangan ke arah mana Bidadari Pedang Cinta tengah memandang terkejut. Saat yang sama terdengar suara orang mengeluh. Namun suara keluhan itu terputus ketika tiba-tiba dua sosok bayangan hitam dan putih berkelebat dan tegak beberapa langkah dari sumber suara keluhan!
TIGA
SOSOK bayangan hitam yang bukan lain adalah Nenek Selir segera berpaling pada sosok putih yang ternyata adalah Bidadari Tujuh Langit. Lalu berteriak. “Jangan berani lancang turun tangan dulu! Aku ingin tahu tampang jahanam-jahanam keparat itu!”
Tanpa menunggu sambutan Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir segera arahkan pandangan ke satu rumpun bambu di mana terlihat satu sosok tubuh tengah mendekam sembunyi. Orang ini tidak terlihat raut wajahnya, karena sengaja sembunyikan wajah dengan menunduk dalam-dalam. Bersamaan dengan berpaling si nenek, perlahan- lahan orang yang mendekam sembunyi angkat wajahnya. Dari sela rumpun bambu, baik Nenek Selir maupun Bidadari Tujuh Langit melihat raut tampan milik seorang pemuda yang keduanya sudah sangat mengenalinya. Anehnya, begitu wajah di sela rumpun terangkat, orang ini bukannya memandang pada si nenek atau Bidadari Tujuh Langit. Melainkan pada sosok Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama yang tegak agak jauh.
“Cepat keluar!” bentak Nenek Selir.
Dengan pasang tampang nyengir, orang di sela rumpun bambu bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan melangkah keluar dengan senyam-senyum. Nenek Selir mendelik angker. Bidadari Tujuh Langit menyeringai dingin. Sementara Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang, lalu lontar lirikan pada Dayang Tiga Purnama yang tampak kuasa diri dari ra- sa tak percaya dan kaget. Yang muncul dari balik rumpun bambu adalah seorang pemuda berambut panjang acak-acakan mengenakan pakaian putih-putih.
“Setan kecil jahanam!” Nenek Selir membentak. “Lekas suruh keluar sekalian Tua Bangka keparat yang bersamamu! Juga dua gundik yang bersama kalian! Cepat!”
Si pemuda yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng menjura hormat. Lalu buka mulut. “Nek... Aku telah berulang kali menyuruhnya keluar. Tapi dia bandel. Mungkin kalau kau sendiri yang memerintah, dia akan keluar!”
“Baik! Aku akan menyuruhnya keluar dengan caraku!” kata Nenek Selir seraya maju dua langkah dan angkat kedua tangannya.
“Nek! Apa yang akan kau lakukan?!” teriak murid Pendeta Sinting saat melihat kedua tangan si nenek diarahkan lurus padanya.
Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya gerakkan kedua tangan lepas pukulan! “Celaka! Dia bisa mampus kalau menghadapi nenek itu dengan bercanda!” Tiba-tiba terdengar orang bergumam. Lalu satu rumpun bambu di bagian samping bergerak menguak. Satu sosok tubuh berkelebat keluar seraya berteriak.
“Tunggu!” Seorang kakek berambut putih panjang mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu telah tegak di seberang samping. Semula kepala menoleh. Nenek Selir tampak terguncang. Sepasang matanya mendelik nanari sosok orang yang bukan lain adalah Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah.
“Beberapa saat berselang takdir nyawamu masih baik! Kau masih mendapat pertolongan perempuan gembrot sialan itu! Lalu pagi tadi, nyawa jahanammu masih tertolong setan kecil dari negeri asing ini!” Tangan kiri Nenek Selir diluruskan tepat ke arah murid Pendeta Sinting. “Sekarang setan pun tak akan bisa menyelamatkan selembar nyawamu!” Nenek Selir berteriak. Lalu melompat dan tegak delapan langkah di hadapan Manusia Tanah Merah. Begitu tegak di hadapan Manusia Tanah Merah, kembali si nenek sudah berkata.
“Sebelum nyawamu kurobek, lekas suruh unjuk tampang perempuan-perempuan kalian yang punya mulut tak karuan itu!” Kepala si nenek pulang balik memandang ke arah Manusia Tanah Merah dan Pendekar 131.
“Nek...! Kami tidak bersama perempuan-perempuan yang kau bilang bermulut tak karuan!” Pendekar 131 menyahut.
“Mulut manusia negeri asing ternyata bukan saja pandai merayu perempuan, tapi juga pintar berdusta!” bentak Nenek Selir.
“Ah... Mungkin kau salah dengar, Nek! Kau terlalu terbawa perasaan, hingga suara laki-laki bisa berubah jadi suara perempuan!” Enak saja Joko berkata.
“Biar aku yang menjelaskan,” Manusia Tanah merah buka suara. “Kami memang tidak bersama perempuan. Kalaupun tadi kau dengar suara-suara perempuan, itu juga adalah suara kami....”
Nenek Selir mendengus. Tiba-tiba dia berpaling pada Dayang Tiga Purnama. Lalu berseru. “Gadis berbaju ungu! Kau tadi bilang manusia asing itu sudah pulang ke negeri asalnya. Sekarang batang hidungnya ada di hadapanmu. Apa jawabmu, hah?! Apa yang ada dalam benakmu hingga berani lancang menutup-nutupi?! Kau takut dia mampus?!”
Tampang Dayang Tiga Purnama berubah merah mengelam. Dadanya laksana dibakar mendengar ucapan si nenek. Namun karena sadar jika kata-kata Nenek Selir benar adanya, gadis ini coba menahan diri untuk tidak meladeni ucapan si nenek. Sebaliknya dia segera berkelebat lalu tegak tidak jauh dari Pendekar 131.
“Kau pasti masih ingat ucapan terakhirku! Sekali kau masih kutemukan di negeri ini, kita akan mengadu jiwa!” teriak Dayang Tiga Purnama dengan angkat kedua tangan.
“Hem... Manusia-manusia di tempat ini tampaknya sudah saling punya sengketa. Lebih baik aku mundur dahulu walau sebenarnya aku ingin membunuh pemuda tampan ini! Terjadinya bentrokan akan menguntungkan bagiku.... Aku nanti hanya tinggal mengambil hasilnya!” Bidadari Tujuh Langit yang tegak tidak jauh dari Joko berkata sendiri dalam hati. Setelah melirik ke arah Dayang Tiga Purnama yang tegak beberapa langkah di sampingnya, perempuan bertubuh bahenol ini perlahan-lahan surutkan langkah ke belakang.
“Dayang...,” kata Joko. “Sebenarnya aku sendiri sudah tidak betah berada lama-lama di negeri aneh ini! Tapi bagaimana lagi aku harus berbuat jika kehendak lain masih menuntunku tetap di negeri ini, bahkan mengharuskan kita bertemu lagi?!”
“Kau pandai mencari alasan! Jelasnya kau memang tidak ingin tinggalkan negeri ini! Dan berarti kau ingin mengadu jiwa denganku!” Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama melom- pat. Kedua tangannya dikelebatkan lepas pukulan ke arah murid Pendeta Sinting!
Tapi baru setengah jalan kedua tangan Dayang Tiga Purnama menderu ganas mengarah pada batok kepala Joko, mendadak Nenek Selir berteriak. “Jangan berani menyentuh tubuhnya!”
Satu gelombang menyambar lurus ke arah Dayang Tiga Purnama, membuat gerakan kedua tangan gadis ini tertahan, bahkan saat lain sosoknya terjajar mundur satu tindak! Dalam kaget dan marahnya, Dayang Tiga Purnama berpaling pada Nenek Selir. Namun sebelum si gadis buka mulut, si nenek sudah mendahului.
“Dia berhutang janji padaku! Aku tak ingin setan negeri asing itu mampus sebelum selesaikan janji denganku!”
“Janji apa?!” Membentak Dayang Tiga Purnama. “Kau sudah tahu masalahnya! Mengapa pura-pura bodoh?!”
Habis bicara begitu, Nenek Selir putar diri lagi menghadap Manusia Tanah Merah. Namun sebelum nenek yang sanggulan rambutnya dihias dua buah pedang ini sempat buka mulut, Pendekar 131 berucap.
“Nek! Saat datangnya hari perjanjian masih kurang beberapa hari lagi. Sekarang aku harus pergi mencari tempat yang tenang. Aku tak mau nantinya terkecoh! Jika saatnya tiba, aku akan muncul di tempat yang kita tentukan!” Joko palingkan kepala ke arah Manusia Tanah Merah. Lalu sambungi ucapannya.
“Kek! Sebenarnya aku ingin terus bersamamu. Tapi keadaan tidak memungkinkan.... Aku harus pergi dulu!”
Joko terus putar tubuh. Kini menghadap Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang sekarang tegak tidak jauh dari Paduka Seribu Masalah. “Kalian tidak membutuhkan keterangan apa-apa lagi dariku?!”
Kedua gadis yang ditanya saling pandang. Galuh Sembilan Gerhana berbisik. “Manusia satu ini aneh. Semua yang dilakukannya dianggap main-main!”
“Orang macam begini, mampus pun akan tertawa!” sahut Galuh Empat Cakrawala.
Karena tidak ada yang menjawab, Joko putar pandangan dan berhenti kala saling pandang dengan mata Bidadari Pedang Cinta. “Senang jumpa denganmu lagi, Bidadari.... Terima kasih atas keteranganmu tempo hari!”
Bidadari Pedang Cinta tidak menyahut walau sebenarnya dia ingin sekali buka mulut. Seperti diketahui, Joko sempat bertemu dengan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Dan dari keterangan Joko pula akhirnya kedua gadis ini bisa bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit yang tengah dicarinya. Sementara di lain pihak, dari keterangan Bidadari Pedang Cinta, akhirnya Joko sampai ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai. Murid Pendeta Sinting teruskan pandangan. Begitu matanya menumbuk pada sosok Dayang Tiga Purnama, dia berkata.
“Aku tidak bisa memastikan kapan hengkang dari negeri ini! Tapi satu hal yang harus kau tahu. Orang yang kau cari sudah ada di dekatmu!” Joko melirik ke arah Paduka Seribu Masalah. Lalu teruskan pandangan ke arah Bidadari Tujuh Langit.
Namun kali ini sebelum Joko sempat bicara, Bidadari Tujuh Langit sudah mendahului. “Kau tidak akan pernah hengkang dari negeri ini!” Sambil berteriak begitu, Bidadari Tujuh Langit kembali berkelebat lalu tegak lima langkah di hadapan Joko.
“Bidadari Tujuh Langit! Manusia sepertiku kurasa tidak ada gunanya bagimu!” ujar Pendekar 131 seraya hendak balikkan tubuh.
“Kau memang tidak berguna! Dan kau pasti tahu di mana tempat manusia yang tak ada gunanya!”
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Bidadari Tujuh Langit. Dia teruskan gerakan membalik. Saat itulah Bidadari Tujuh Langit menyergap kedepan.
Wuutt! Wuutt!
Joko merasakan deruan angker berkiblat dari arah samping. Joko tidak tinggal diam. Dia segera menghadang dengan sentakkan kedua tangannya.
Bukk! Bukk!
Pendekar 131 terjajar dua langkah dengan tangan terpental. Di sampingnya Bidadari Tujuh Langit tersentak mundur dan perdengarkan jeritan tertahan. Namun perempuan ini cepat kuasai diri. Saat lain dia telah pentang mata. Sementara kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Karena sudah pernah bentrok, Pendekar 131 tidak mau bertindak gegabah. Dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan siapkan pukulan ‘Lembur Kuning’. Didahului bentakan garang, Bidadari Tujuh Langit melompat mundur. Saat lain kedua tangannya menghantam. Sepasang matanya dipentang besar-besar.
Wuutt! Wuutt! Wusss! Wusss!
Dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat dua sinar merah. Bersamaan dengan itu dari sepasang mata sang Bidadari berkiblat dua sinar hitam yang membuat suasana mendadak laksana ditelan kegelapan! Dari serangan yang dilancarkan jelas kalau Bidadari Tujuh Langit ingin membunuh Joko dalam satu kali gebrakan.
“Tahan serangan!” teriak Nenek Selir ketika Bidadari Tujuh Langit membuat gerakan menghantam.
Namun teriakan si nenek sudah sangat terlambat. Di lain pihak Joko tekuk lutut. Lalu sentakkan kedua tangan. Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting melesat gelombang dahsyat disertai kiblatan sinar kuning yang membawa hawa panas menyengat.
“Kalau sampai terjadi apa-apa pada pemuda asing itu, urusan ketiga gadis itu bisa tak karuan! Lagi pula aku tidak akan membiarkan seorang pun menjamah tubuhnya karena dia telah berani kurang ajar padaku!” Nenek Selir mendesis. Lalu kedua tangannya bergerak. Dua pedang di sanggulan rambutnya ditarik lalu dihantamkan memotong pukulan Bidadari Tujuh Langit.
Blamm! Blamm! Blaamm!
Tiga ledakan keras terdengar tiga kali berturut-turut ketika pukulan yang dilepas ketiga orang itu bertemu di udara. Suasana gelap pecah dengan semburatnya bunga-bunga api. Sinar merah dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit bertabur. Sinar kuning pukulan ‘Lembur Kuning’ bertebaran kian kemari di udara. Sementara dua kobaran api yang keluar dari kedua pedang di tangan Nenek Selir terbongkar padam. Bidadari Tujuh Langit berteriak tegang. Sosoknya mental ke udara lalu menukik deras dan jatuh terjengkang di atas tanah dengan mata terpejam dan mulut megap-megap. Saat lain dari mulutnya terlihat lelehan darah!
Saat yang hampir bersamaan, sosok Nenek Selir laksana dihantam kekuatan hebat. Sosoknya terjungkal ke udara dua setengah tombak. Lalu tersentak dan terbanting sebelum akhirnya meluncur jungkir balik ke bawah dan jatuh punggung di atas tanah dengan mulut mengembung dan kepala pulang balik tersentak-sentak. Ketika kepalanya tersentak terakhir kali, mulutnya terbuka semburkan darah! Sanggulan rambutnya terlepas terurai menutupi sebagian pundak dan sebagian wajahnya yang pucat pasi!
Di seberang, begitu terdengar ledakan, sosok Pendekar 131 terlempar dua tombak ke belakang lalu jatuh terjepit di antara sela rumpun bambu dengan kedua tangan terkulai dan mata terpejam terbuka merasakan darahnya yang jungkir balik tak karuan. Namun murid Pendeta Sinting adalah orang yang paling beruntung dibanding Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir. Karena pukulan yang dilancarkan Bidadari Tujuh Langit terpangkas dahulu oleh pukulan yang dilepas Nenek Selir. Hingga begitu pukulannya bentrok, keadaan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sudah mengalami bias bentroknya, keadaan Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir sudah mengalami bias bentroknya pukulan terlebih dahulu. Maka meski Joko terlempar dan jatuh terjepit di antara rumpun bambu dan merasakan darahnya menyentak-nyentak, namun dia tidak sampai semburkan darah.
EMPAT
KETIKA Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir, dan Pendekar 131 sama lepas pukulan, semua orang yang ada di tempat Itu tampaknya maklum jika akan terjadi sesuatu yang hebat. Hingga saat itu juga Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta segera melompat menyingkir. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berdiri tegak lalu buru-buru berkelebat menjauh. Cuma Paduka Seribu Masalah yang tetap duduk di tempatnya semula.
Sementara Manusia Tanah Merah sesaat tadi tampak hendak buka mulut mencegah tindakan Nenek Selir yang memotong puku- lan Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai suara- nya terdengar, si nenek sudah keburu lepas pukulan. Orang tua berjubah tanpa lengan ini akhirnya hanya geleng kepala lalu mundur beberapa langkah. Di lain pihak, begitu masing-masing sosok yang lepas pukulan sama terpental jatuh, Bidadari Tujuh Langit adalah orang yang pertama kali bergerak bangkit. Disusul Nenek Selir. Untuk beberapa saat kedua perempuan ini sama perang pandang dengan unjuk tampang seringai dingin. Lalu sama arahkan pandangan pada sosok murid Pendeta Sinting yang terjepit di antara rumpun bambu.
Saat lain, seakan sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua orang ini segera kerahkan hawa sakti untuk kuasai luka dalam masing-masing. Lalu lipat gandakan tenaga dalam. Pendekar 131 buka sepasang matanya. Lalu angkat wajah memandang ke arah Bidadari Tujuh Langit dan Nenek Selir. Tahu apa yang sudah dilakukan orang, Joko cepat sibakkan bambu yang menjepit tubuhnya.
Bunggg! Bunggg! Bungggg!
Belum sampai Joko bertindak lebih jauh, mendadak kawasan hutan bambu itu dipecah dengan terdengarnya suara gaung menggelegar bertalu-talu. Semua orang yang ada di tempat itu rasakan liang telinga laksana ditusuk-tusuk dan dada dihantam gelombang dahsyat.
“Jahanam! Ada saja yang merusak pekerjaanku!” Nenek Selir mendengus karena dengan terdengarnya suara gaung, pengerahan tenaga dalamnya jadi kacau.
Bidadari Tujuh Langit sendiri tampak terkesiap. “Ulah siapa ini?! Gaung gila! Aku tak bisa pusatkan tenaga dalam!” rutuknya dalam hati seraya sapukan pandangan berkeliling ke arah satu persatu orang yang ada di tempat itu.
“Eyang Guru...! Dia berada di sekitar sini!” Dayang Tiga Purnama bergumam pelan seraya kerahkan tenaga dalam menutup jalan pendengaran.
“Aku pernah dengar suara gaung ini...,” kata Joko dalam hati seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua telinga.
Selagi orang-orang sama membatin, mendadak suara gaung sirna. Tapi cuma sekejap. Di lain saat terdengar deruan angker membubung ke angkasa. Ketika semua orang tengadah, mereka melihat sebuah gulungan benda hitam. Namun belum sampai ada yang tahu benda apa itu, mendadak gulungan benda hitam menukik deras ke tempat mana beberapa orang tengah berada.
Blaaarrr!
Gulungan benda hitam semburat pecah perdengarkan ledakan dahsyat. Suasana berubah laksana digenggam kegelapan. Lalu asap putih menebar menungkup tempat itu. Semua orang selain Paduka Seribu Masalah tersentak dan buru-buru tundukkan kepala sambil takupkan kedua tangan pada wajah karena mereka merasakan mata masing-masing perih dan kucurkan air mata.
“Jahanam! Jahanam! Siapa berani kurang ajar berlagak buat kekacauan ini?!” Nenek Selir memaki habis-habisan.
“Munculnya pemuda asing keparat itu selalu saja membawa petaka!” Bidadari Tujuh Langit juga menyumpah-nyumpah. “Jika keparat itu tidak segera kubereskan, rejeki yang sudah di tangan terus akan melayang! Nenek bangsat itu juga harus kuhabisi sekarang! Dia bisa jadi batu sandungan di kelak kemudian hari!”
Setelah suasana kembali terang dan asap putih yang tebarkan rasa perih di mata lenyap, Nenek Selir cepat turunkan kedua tangan dari wajahnya. Lalu putar kepala dengan mata dibeliakkan. Untuk kesekian kalinya, dari mulut si nenek terdengar makian panjang pendek ketika tahu yang tinggal di tempat hanya Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala, Bidadari Tujuh Langit, dan Pendekar 131. Sosok Paduka Seribu Masalah, Manusia Tanah Merah, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari Pedang Cinta tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Siapa pun adanya jahanam yang punya pekerjaan ini, pasti dia masih kambratnya salah satu gadis yang berbaju hijau atau gadis baju ungu!” desis Nenek Selir sambil gerak-gerakkan kedua tangannya yang menggenggam pedang. Yang dimaksud gadis baju hijau dan baju ungu oleh si nenek adalah Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama. “Tapi tidak tertutup kemungkinan yang punya ulah ini adalah gundik jahanam Wang Su Ji!Buktinya dia juga lenyap! Sialan betul!” Nenek Selir bantingkan kaki.
Di tempat lain, Bidadari Tujuh Langit cepat pula turunkan kedua tangan dari wajah. Lalu lepas pandangan berkeliling. Perempuan cantik jelita bertubuh bahenol ini tampak beringas kala tahu tinggal siapa saja yang berada di tempat itu. Dalam geram dan marahnya mata Bidadari Tujuh Langit saling bentrok dengan mata Nenek Selir. Kemarahan sang Bidadari sudah naik ke ubun-ubun apalagi dia tahu karena pangkasan pukulan si nenek, dia harus mengalami luka dalam walau segera bisa diatasi. Namun Bidadari Tujuh Langit masih menindih keinginan ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara gumaman dari rumpun bambu di mana Joko jongkok sambil tutupi wajah. Dia cepat berpaling.
“Wang Su Ji pasti belum jauh dari tempat ini. Urusanku dengannya lebih penting daripada masalah di tempat ini! Aku harus segera mengejarnya!” Nenek Selir membatin lalu berteriak.
“Bidadari Tujuh Langit! Silakan kau punya sengketa dengan pemuda asing sialan itu! Tapi jika dia mampus di tanganmu, aku akan menagih nyawamu sebagai ganti nyawanya!” Habis berkata begitu, Nenek Selir putar langkah. Bidadari Tujuh Langit tidak pedulikan teriakan si nenek. Sebaliknya angkat kedua tangannya.
Di depan sana, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil kucek-kucek mata. Ketika dia balikkan tubuh, sosoknya tersurut dua tindak melihat kedua tangan Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat lepas pukulan ke arahnya! Namun belum sampai sinar merah melesat dari ke- dua tangan Bidadari Tujuh Langit dan dari sepasang matanya melesat sinar hitam, tiba-tiba Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sentakkan tangan masing-masing.
Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Dari kedua tangan Galuh Sembilan Gerhana melesat arakan awan hitam yang membuat suasana jadi remang-remang. Sedang dari kedua tangan Galuh Empat Cakrawala berkiblat sinar pelangi. Kedua gadis ini kembali telah lepas pukulan ‘Inti Gerhana’ dan ‘Inti Cakrawala’. Bidadari Tujuh Langit terkejut. Dia batalkan niat lepas pukulan ke arah Pendekar 131. Lalu putar tubuh dan serta-merta hantamkan kedua tangan menghadang pukulan yang datang. Melihat apa yang terjadi, entah mengapa tiba-tiba Nenek Selir urung teruskan langkah. Malah saat itu juga dia angkat kedua tangannya siap membantu Galuh Sembilan Gerhana dan saudaranya.
Di lain pihak, Joko cepat melompat dari sela rumpun bambu. Sesaat dia bimbang. Dia sebenarnya ingin membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Dia dapat membaca, kedua gadis itu tidak akan mampu menghadapi Bidadari Tujuh Langit. Joko sudah angkat kedua tangannya. Tapi mendadak dia urungkan niat ketika sekilas dapat melihat gerakan kedua tangan Nenek Selir.
Di udara, pukulan dari masing-masing ketiga orang terus melesat. Nenek Selir sudah kelebatkan kedua tangannya. Namun sekonyong-konyong, dari arah samping terdengar suara dahsyatbergemuruh. Ketika Nenek Selir melirik, kagetlah nenek ini. Dua gelombang angin luar biasa menggebrak lurus ke arahnya! Karena tak ada kesempatan lagi untuk menghadangbgelombang yang tiba-tiba datang, sambil berteriak marah dia jatuhkan diri sama rata dengan tanah hindari gelombang.
Wusss! Wusss!
Dua gelombang lewat dua jengkal di atas tubuh Ne- nek Selir. Rambut nenek ini tampak berkibar-kibar ke udara lalu sosoknya terseret hingga dua tombak di atas tanah! Kedua tangannya yang tadi lepas pukulan membantu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tersentak ke bawah hingga kobaran api dari kedua pedangnya menghantam udara kosong!
Saat itulah terdengar dentuman keras ketika pukulan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala bertemu pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit. Kedua gadis murid si Pasangan Mesum ini terpekik. Sosok keduanya langsung mencelat dan terkapar di atas tanah. Dari mulut masing-masing semburkan darah. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tampaknya salah menduga. Mereka tadi mengira Bidadari Tujuh Langit tidak akan mampu memutar gerakan tangannya yang saat itu tengah lepas pukulan ke arah murid Pendeta Sinting. Hingga tanpa pikir panjang lagi, mereka segera lepas pukulan. Karena mereka pikir itulah kesempatan baik untuk membuat balasan Ternyata dugaan mereka meleset.
Di seberang, Bidadari Tujuh Langit hanya terjajar beberapa tindak. Saat lain perempuan ini sudah angkat kedua tangannya lagi siap lepas pukulan! Yang paling kecewa adalah Pendekar 131. Karena dia tadi dapat menangkap gerakan kedua tangan Nenek Selir, dia urungkan niat untuk ikut menghadang pukulan Bidadari Tujuh Langit. Dia tidak menduga jika tiba-tiba Nenek Selir mendapat serangan gelap dari arah samping. Hingga pukulan si nenek melenceng dan akibatnya Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala harus menghadang pukulan Bidadari Tujuh Langit tanpa bantuan orang lain. Begitu sosoknya terhenti, Nenek Selir cepat membuat gerakan jungkir balik. Lalu tegak kembali di atas tanah seraya berteriak.
“Siapa berani pengecut membokongku, hah?” Kedua tangannya yang memegang pedang diacung-acungkan memutar. Belum habis teriakan si nenek, dua sosok berkelebat dan langsung tegak di tempat itu dengan kepala lurus menghadap ke arah sosok Galuh Sembilan Gerha- na dan Galuh Empat Cakrawala.
“Iblis Muka Setan! Perempuan Kembang Darah!” Joko bergumam mengenali seorang laki-laki berusia lanjut berparas lonjong dengan kulit putih pucat laksana tidak dialiri darah.
Sosoknya kerempeng hingga anggota tubuhnya yang kelihatan hampir-hampir tidak tertutup daging. Rambutnya panjang serta jarang. Sepasang matanya melotot besar. Orang tua kerempeng ini mengenakan pakaian gombrong besar berwarna putih. Begitu gombrongnya pakaian yang dikenakan, hembusan angin yang masih mendera tempat itu akibat bentroknya pukulan membuat sosok orang tua ini laksana bergerak-gerak hendak amblas tersapu. Padahal dia tidak membuat gerakan apa-apa.
Tegak di samping orang tua berpakaian gombrong besar adalah seorang perempuan berparas cantik walau usianya tidak muda. Rambutnya hitam lebat dikuncir tinggi. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung, bibirnya dipoles merah menyala. Dadanya mencuat kencang dan padat. Pinggulnya yang besar menggoda dibalut pakaian tipis ketat warna biru. Nenek Selir mendelik angker dengan dada panas, apalagi mendapati kedua orang yang muncul dan dia yakini manusia yang membokongnya seakan tidak melihat keberadaannya di tempat itu. Untuk beberapa saat si nenek memperhatikan dengan kepala disorongkan ke depan. Jelas wajahnya menggambarkan kebimbangan.
Sementara dua orang yang baru muncul sama sunggingkan senyum melihat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala terbungkuk-bungkuk bangkit sambil pegangi dada masing-masing. Lalu tanpa pedulikan pandangan orang, kedua sosok yang baru muncul saling berpaling. Saat lain kepala keduanya bergerak ke depan. Kedua orang ini berciuman sambil lingkarkan tangan masing-masing ke pinggang lainnya!
“Gila! Dua jahanam itu adalah si Pasangan Mesum!” desis Nenek Selir sambil lemparkan pandangan ke jurusan lain dengan tampang berubah.
“Tanpa kucari, akhirnya kau datang sendiri, Perempuanku.... Gayamu sungguh luar biasa! Hingga aku tak sabar ingin segera menikmatimu!” Bidadari Tujuh Langit buka suara begitu melihat siapa adanya kedua orang yang muncul. Sepasang matanya terus menatap pada sosok si perempuan berbaju biru ketat yang masih berciuman dengan si orang tua bertubuh kerempeng berpakaian gombrong.
“Edan! Edan!” rutuk Joko dalam hati melihat apa yang tengah dilakukan dua sosok yang baru muncul yang bukan lain memang Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah. Sepasang tokoh yang dikenal dengan gelar Pasangan Mesum.
Mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, Iblis Muka Setan sudah hendak tarik pulang ciumannya dari bibir Perempuan Kembang Darah. Namun si Perempuan Kembang Darah cepat rapatkan tangannya yang melingkar di pinggang si laki-laki. Lalu daratkan bibirnya lagi ke bibir Iblis Muka Setan.
Nenek Selir melirik. Ketika dilihatnya kedua orang itu masih juga berciuman, si nenek langsung berteriak. “Binatang saja masih punya rasa malu bercinta didepan orang! Kalian manusia adanya mengapa tidak punya kemaluan?!”
“Nek! Ucapanmu salah! Mana mungkin mereka berani bercinta di depan orang kalau mereka tidak punya kemaluan?! Yang benar, mereka manusia adanya mengapa tidak punya malu-malu?!” Pendekar 131 menyahut lalu tertawa bergelak.
“Setan! Berani kau menyalahkan ucapanku! Kau yang bodoh! Apa itu malu-malu?!” Nenek Selir kembali berteriak.
“Malu-malu artinya sama dengan malu! Berhubung manusia yang tidak punya malu ada dua orang, apa salah kalau dikatakan malu-malu?!” ujar murid Pendeta Sinting.
“Ah, kau sok pintar bicara! Yang jelas apa pun namanya, mereka tidak punya kemaluan!”
“Astaga! Dari mana kau tahu, Nek?!” tanya Joko dengan pasang tampang sungguh-sungguh.
“Suruh saja mereka singkap pakaian yang dikenakan! Mereka pasti memilih mampus daripada buka pakaian! Dan karena tidak punya kemaluan, maka hilang pula rasa malu-malunya!”
“Bidadari Tujuh Langit! Kau dengar ucapan nenek itu! Apa kau masih tertarik dengan perempuan berbaju biru itu?!” Joko berteriak ajukan tanya pada Bidadari Tujuh Langit.
Pertanyaan Joko bukannya disahut Bidadari Tujuh Langit, tapi disambut Nenek Selir. “Bagi dia, tidak perlu apakah adanya orang itu utuh atau tidak! Yang penting wujudnya perempuan! Nenek-nenek pun jadilah! Malah akhir-akhir ini kudengar dia lebih gandrung dengan nenek-nenek!”
Joko perdengarkan seruan kaget. Lalu buka mulut. “Bagaimana bisa begitu?!”
“Aku tak bisa menjelaskan! Aku khawatir nanti dikira tidak punya kemaluan! Ah, salah.... Aku khawatir nanti dikira tidak punya malu ungkapkan hal-hal luar biasa begitu di depan orang banyak! Apalagi kau adalah orang negeri asing! Kalau sampai kabar berita ini tersebar hingga negerimu, bisa celaka seumur-umur semua nenek-nenek negeri ini!”
LIMA
BIDADARI Tujuh Langit tegak dengan dagu terangkat mendengar kata-kata Pendekar 131 serta Nenek Selir. Sementara Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah sama lepas pelukan tangan masing-masing di pinggang lainnya. Lalu tarik pulang wajahnya. Iblis Muka Setan berpaling pada Nenek Selir. Sedang Perempuan Kembang Darah sentakkan wajah menghadap murid Pendeta Sinting. Walau sudah bisa membaca raut kemarahan pada wajah orang, tapi Joko seakan tidak peduli. Sambil alihkan pandangan dari tatapan Perempuan Kembang Darah dan lirikan tajam Bidadari Tujuh Langit, dia buka suara.
“Nek! Kau bilang nenek-nenek negeri ini bisa celaka seumur-umur. Bagaimana maksudmu?!”
“Huss! Jangan keras-keras!” bentak si nenek.
Joko tengadahkan wajah. Lalu mulutnya membuat gerakan seperti orang bicara tapi tanpa perdengarkan suara.
“Bagaimana tidak bisa celaka seumur-umur. Kalau sampai berita tersebar, orang-orang pasti menduga jika seluruh nenek negeri ini sudah melakukan hal-hal luar biasa yang memalukan!” kata si nenek setelah Joko hentikan gerakan mulutnya.
“Bahkan tidak mustahil orang-orang akan menduga semua nenek negeri ini tidak punya kemaluan!” sahut Joko.
“Sialan! Ujung ucapanmu pulang balik ke situ lagi!”
“Jahanam!” Iblis Muka Setan menghardik. “Mulut nenek satu ini perlu dibuat tidak bisa bicara!”
“Soal dia dan manusia asing itu kita tunda. Sekarang sudah saatnya kita selesaikan urusan lama!” Menyahut Perempuan Kembang Darah. Lalu perempuan cantik ini putar tubuh lurus menghadap Bidadari Tujuh Langit.
Iblis Muka Setan mendelik sesaat pada Nenek Selir. Si nenek kedipkan sebelah mata lalu tertawa cekikikan. Kalau saja di situ tidak ada Bidadari Tujuh Langit, pasti Iblis Muka Setan sudah berkelebat dan menggebuk si nenek.
Melihat Perempuan Kembang Darah menghadap ke arahnya, Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Lalu berkata. “Perempuanku... Lebih baik kita lupakan urusan lama! Aku punya urusan yang pasti akan membuatmu kesenangan! Kau bisa tanyakan pada kedua muridmu itu... Sekali mereka merasakan, mereka terus mencariku...”
Perempuan Kembang Darah tidak menyahut. Seba- liknya perempuan ini diam-diam salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Bidadari Tujuh Langit saput bibirnya dengan lidah. Lalu buka suara lagi.
“Pasanganmu memang tampan. Tapi di mana enaknya bercinta dengan tulang belulang begitu rupa?! Kau harus sadar, Perempuanku! Kau perempuan cantik bertubuh bagus. Kau layak merasakan kenikmatan daripada sekadar rasa tulang belulang! Hik Hik Hik...!”
Iblis Muka Setan sudah tidak sabaran mendengar ucapan Bidadari Tujuh Langit. Tapi tampaknya Perempuan Kembang Darah masih bisa menahan diri. Dia segera berkata. “Biarkan mulutnya membuka sepuasnya! Mungkin saat ini terakhir kali dia bisa bicara!”
Baru saja Perempuan Kembang Darah berkata begitu, dari bagian belakang Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama berseru tertahan melihat siapa yang tegak di seberang depan. Sesaat tadi, kedua gadis ini memang belum menyadari siapa kedua orang yang tegak di seberang depan. Karena mereka berdua masih coba kuasai diri akibat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit. Dan begitu mereka dapat tegak dan buka mata, mereka kaget. Galuh Empat Cakrawala sudah hendak buka mulut. Tapi buru-buru Galuh Sembilan Gerhana menahan dengan berbisik.
“Jangan bicara dulu! Ada yang tak beres...”
Galuh Empat Cakrawala berpaling. Belum sampai gadis berbaju kuning ini buka suara, Galuh Sembilan Gerhana sudah bicara lagi. “Walau sekilas, aku tadi melihat nenek itu hendak membantu kita. Tapi tiba-tiba ada gelombang yang membokongnya! Aku tahu benar. Pukulan itu adalah pukulan Guru kita berdua! Mengapa mereka berdua menahan orang yang hendak membantu kita? Mengapa mereka berdua sepertinya menginginkan kita mampus?! Jangan-jangan mereka berdua sendiri yang membunuh kedua orangtua kita!”
Galuh Empat Cakrawala terdiam beberapa lama si- mak ucapan saudaranya. “Tapi... Apa mungkin?! Kalau memang mereka menginginkan kita mampus, bukankah mereka berdua tidak usah membesarkan kita atau membekali kita dengan ilmu silat?! Dan kalaupun benar dia inginkan nyawa kita, tentu mudah bagi mereka melakukannya! Mengapa harus cari jalan begini?!”
Galuh Sembilan Gerhana menghela napas. Kepalanya bergerak menggeleng perlahan. “Itulah yang tak kumengerti. Tapi jika tidak, mengapa mereka tadi tidak langsung saja membantu kita?! Bukankah Bidadari binal itu adalah musuh besarnya?! Lebih-lebih lagi mengapa mereka menahan nenek itu yang jelas akan membantu kita?!”
“Kita tunggu saja...,” akhirnya Galuh Empat Cakrawala memutuskan. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan hingga mereka lakukan itu pada kita! Tapi satu hal yang pasti, menurut Paduka Seribu Masalah, semua keterangan Guru berdua tidak benar!”
Kalau kedua gadis murid Pasangan Mesum itu berbisik menduga-duga, diam-diam Nenek Selir juga membatin dalam hati. “Bidadari edan itu mengatakan kedua gadis cantik itu adalah murid pasangan gila itu! Jika benar, mengapa pasangan gila itu menahan gerakanku?! Ada sesuatu yang aneh! Dan ketika menyaksikan kedua muridnya terluka, sepertinya pasangan gila itu tenang-tenang saja! Malah senyum-senyum dan berciuman! Kasihan nasib kedua gadis itu.... Dari ucapannya, jelas mereka telah menjadi korban kelainan Bidadari edan sialan itu!”
Nenek Selir pandangi berlama-lama Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Entah mengapa tiba-tiba timbul rasa iba pada diri si nenek. Hingga kalau tadi sudah memutuskan untuk berkelebat mengejar Manusia Tanah Merah, kini dia melupakan urusannya dengan laki-laki bekas kekasihnya itu. Malah dengan melirik ke arah Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah, dia melangkah ke arah Galuh-Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana. Namun baru saja mendapat empat tindak, tiba-tiba terdengar suara.
“Tampaknya kau juga tertarik dengan kedua gadis itu! Hik Hik Hik...! Silakan... Silakan! Mereka berdua sudah pernah mendapat pelajaran dariku. Tentu kau sudah tak perlu lagi memberi pelajaran tambahan... Kau tinggal buka baju dan berbasah-basah ria! Tapi harap tidak melakukannya di sini meski aku tahu kau sudah tidak kuat menahan diri... Aku takut nantinya tertarik melihat potongan tubuhmu!”
Nenek Selir hentikan langkah dengan kepala disentakkan ke arah Bidadari Tujuh Langit yang baru saja perdengarkan suara. Tampang si nenek berubah merah mengetam. Kedua lutut dantangannya bergetar.
“Tampangmu berubah! Kau malu..?! Hik Hik Hik...! Mengapa harus malu kalau kau sebenarnya lebih tertarik dengan gadis daripada dengan laki-laki?! Malah kalau kau mau berterus terang, di hadapan kita ada seorang perempuan yahud yang selama ini hanya menikmati tulang belulang! Kita bisa menikmati tubuhnya bersama-sama. Hik Hik Hik..! Kita bawa dia melayang-layang hingga dia sadar, apa yang kita berikan lebih asyik daripada apa yang selama ini dia pamerkan di hadapan manusia!” Bidadari Tujuh Langit kembali berkata.
“Waduh... Apa telingaku tidak salah dengar?!” Pendekar 131 berseru. Matanya dipelototkan pada Nenek Selir di seberang sana. “Jika betul, bukan saja nenek-nenek negeri ini yang bisa celaka seumur-umur. Tapi para gadis pun bisa tertimpa malapetaka dari ujung rambut sampai ujung kaki!”
Nenek Selir balik melotot angker pada murid Pendeta Sinting. Lalu membentak. “Beraninya mulutmu menuduhku yang bukan-bukan! Apa kau ingin tanganku memutus tanggal kepalamu atas bawah, hah?!”
“Aku tidak menuduh, Nek! Aku hanya...”
“Diam!” hardik Nenek Selir. Dia berpaling mendelik pada Bidadari Tujuh Langit. Tapi belum sampai dia buka mulut, Perempuan Kembang Darah yang merasa tersindir dengan ucapan Bidadari Tujuh Langit sudah berkelebat ke depan.
Bidadari Tujuh Langit tidak berdiam diri. Hampir bersamaan dengan berkelebatnya sosok Perempuan Kembang Darah, dia membuat gerakan melompat ke depan songsong Perempuan Kembang Darah. Di atas udara, Perempuan Kembang Darah kelebatkan kedua tangan dan kedua kakinya sekaligus! Bidadari Tujuh Langit sambuti dengan hantamkan kedua tangan dan tendangkan kedua kaki.
Bukk! Bukk! Bukk! Bukk!
Sosok Perempuan Kembang Darah terjajar dua langkah di atas udara. Di hadapannya Bidadari Tujuh Langit tersentak satu langkah. Perempuan Kembang Darah membuat gerakan berputar di atas udara. Saat lain kembali sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan dan kakinya lagi-lagi berkelebat. Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Dia kembali sambuti pukulan lawan dengan gerakkan kedua tangandan kaki. Terjadilah saling adu tangan dan kaki di atas udara. Hingga untuk beberapa lama terdengar suara bentrokan bertubi-tubi. Suara benturan baru terputus ketika sosok Perempuan Kembang Darah terbanting mencelat dan perdengarkan seruan tertahan.
Mendapati apa yang terjadi, Iblis Muka Setan cepat berkelebat lalu menyambar sosok kekasihnya. Hingga sosok Perempuan Kembang Darah selamat dari benturan dengan tanah dibawahnya. Di pihak lain, Bidadari Tujuh Langit terpental deras ke belakang. Lalu limbung sebelum akhirnya meluncur jatuh. Namun dalam keadaan begitu rupa, perempuan cantik ini masih mampu membuat gerakan jungkir balik satu kali. Lalu tegak terbungkuk-bungkuk di atas tanah dengan paras berubah memperhatikan kedua tangannya yang bengkak merah.
Begitu berhasil menyambar sosok Perempuan Kembang Darah, Iblis Muka Setan cepat meletakkan tubuh kekasihnya di atas tanah dan meneliti. Tiba-tiba sepasang mata Iblis Muka Setan mendelik besar. Dari mulutnya keluar suara seruan tegang ketika melihat bagaimana kedua kaki Perempuan Kembang Darah berubah menjadi merah laksana dipanggang! Kulitnya mengelupas dan tulang betisnya patah!
“Aku gagal memutus kaki kirinya....” Perempuan Kembang Darah berucap dengan suara tersendat. “Kau harus hati-hati menghadapi kaki kirinya....”
“Aku menawarkan kenikmatan. Kau minta yang lain! Hik Hik Hik..!” Berkata Bidadari Tujuh Langit lalu melangkah ke arah Perempuan Kembang Darah yang masih tergeletak di samping Iblis Muka Setan.
Laksana terbang, Iblis Muka Setan bergerak bangkit. Saat yang sama, Perempuan Kembang Darah ikut bergerak. Karena kedua kakinya patah, perempuan ini hanya bisa bergerak duduk.
“Iblis Muka Setan! Untuk terakhir kalinya kuberi kesempatan padamu untuk mencium kekasihmu!” kata Bidadari Tujuh Langit sambil kacak pinggang dan berhenti sepuluh langkah di hadapan Iblis Muka Setan. Pandang matanya bukan terarah pada Iblis Muka Setan, melainkan menelusuri sosok Perempuan Kembang Darah yang duduk selonjorkan kedua kaki.
Iblis Muka Setan sambuti ucapan Bidadari Tujuh Langit dengan angkat kedua tangan. Namun laki-laki kerempeng ini bukannya segera membuat gerakan menghantam. Dia hentakkan kaki ke tanah. Sosoknya membal ke udara. Dari atas udara, kedua tangannya disapukan ke pakaiannya yang gombrong besar.
"Weerr!" Pakaian putih gombrong milik Iblis Muka Setan berkelebat perdengarkan deruan angker. Beberapa rangkum angin dahsyat berkiblat lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Saat lain kedua tangan laki-laki ini terangkat ke udara, lalu dihantamkan ke bawah. Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Inilah tanda jika Iblis Muka Setan lepas pukulan ‘Inti Gerhana'.
Melihat apa yang dilakukan Iblis Muka Setan, Perempuan Kembang Darah buru-buru kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan. Lalu dihantamkan ke depan.
"Wuutt! Wuutt!" Gelapnya suasana sesaat pecah diterjang sinar pelangi yang melesat dari kedua tangan Perempuan Kembang Darah.
Bidadari Tujuh Langit rasakan sosoknya tersapu saat terdengar deruan dari pakaian gombrong Iblis Muka Setan. Rambutnya berkibar. Pakaian bawahnya yang robek menyingkap hingga terlihat jelas sepasang pahanya yang mulus padat. Bidadari Tujuh Langit cepat melompat mundur saat mana suasana berubah gelap. Lalu seraya tengadah tembusi kegelapan dia hantamkan kedua tangan sambil pentang mata. Di lain saat dia angkat kaki kirinya. Dengan bertumpu pada kaki kanan, kaki kirinya dikelebatkan membuat gerakan menendang ketika sinar pelangi melesat memecah suasana gelap.
Bummm! Bummm! Bummm!
Terdengar beberapa kali dentuman dahsyat ketika dari kedua tangan Bidadari Tujuh Langit melesat sinar merah dan dari sepasang matanya melesat dua sinar hitam. Saat lain dari kaki kirinya juga berkiblat semburan sinar merah menyala. Suasana gelap laksana disentak kekuatan dahsyat. Lalu semburat dan berubah jadi terang kembali. Sinar pelangi bertabur pecah porak-poranda. Sementara sinar merah dan hitam yang berkiblat dari pukulan Bidadari Tujuh Langit muncrat bertebaran kian kemari. Iblis Muka Setan terbanting dua kali di atas udara. Lalu terlempar beberapa tombak. Ketika melayang turun, laki-laki ini tak bisa lagi kuasai diri. Hingga jatuh terkapar menghantam tanah!
Krakk! Krraakk!
Terdengar suara seperti benda patah. Iblis Muka Setan berseru tertahan. Lehernya lunglai ke samping dengan tulang bersembulan keluar. Darah mengucur deras dari lehernya yang patah dan mulutnya yang menganga terbuka. Kekasih Perempuan Kembang Darah ini sesaat gerak-gerakkan mulutnya seolah ingin bicara dengan memaksakan kepala bergerak menghadap pada Perempuan Kembang Darah yang juga terkapar di atas tanah dengan mulut semburkan darah. Namun belum sampai ada suara yang terdengar, mulutnya mengatup rapat laksana ditakup setan. Kedua kakinya yang sesaat tadi bergerak-gerak terdiam seketika. Sepasang matanya yang melotot besar pancarkan pandangan kosong!
ENAM
WALAU dalam keadaan terluka dalam cukup parah, Perempuan Kembang Darah masih sempat dengar seruan tertahan Iblis Muka Setan. Dengan menahan rasa sakit pada sekujur tubuh, perempuan ini menoleh pada kekasihnya yang saat itu tengah memaksakan diri gerakkan lehernya yang patah dengan mulut membuka berusaha berucap.
Begitu mendapati Iblis Muka Setan katupkan mulut dan gerakan kakinya terdiam, kaget Perempuan Kembang Darah bukan alang kepalang. Laksana kalap, dia bergerak tegak dan hendak berkelebat. Dia lupa jika kedua kakinya sudah patah. Hingga begitu belum sampai tegak, sosok perempuan ini terjengkang roboh! Namun Perempuan Kembang Darah seperti orang kesetanan. Dia kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Lalu bergulingan ke arah Iblis Muka Setan.
Perempuan Kembang Darah melolong tinggi begitu mendapati Iblis Muka Setan sudah tidak bernyawa lagi. Dia menangis sambil memeluki sosok mayat kekasihnya. Tapi hal itu cuma sekejap. Ketika dia sadar, perempuan ini putuskan tangisnya. Lalu angkat wajahnya disentakkan menghadap Bidadari Tujuh Langit yang saat itu terbungkuk-bungkuk bangkit dengan kedua tangan pegangi dadanya.
“Bidadari laknat! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Perempuan Kembang Darah. Dia angkat kedua tangannya. Namun perempuan ini jadi tercekat sendiri ketika sadar kalau tenaga dalam yang disalurkan pada kedua tangannya terasa hampa! Bahkan kedua tangannya segera luruh ke bawah seolah tidak bertenaga!
Bidadari Tujuh Langit tersenyum. Tanpa buka mulut, dia melangkah mendekati. Perempuan Kembang Darah tercekat dengan kuduk dingin. Sementara Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang seolah tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Seandainya kau terima tawaranku, tidak mungkin kau mengalami nasib buruk seperti ini! Kini semuanya terlambat. Hidup pun tidak ada gunanya bagimu! Kematian adalah hal terbaik yang harus kau terima!” kata Bidadari Tujuh Langit seraya hentikan langkah tujuh tindak di hadapan Perempuan Kembang Darah.
Dalam keadaan tidak berdaya begitu rupa, tampaknya Perempuan Kembang Darah sudah tidak punya harapan sama sekali. Hal ini membuat dia tidak punya beban lagi. Hingga begitu dengar ucapan Bidadari Tujuh Langit, dia tertawa panjang. Lalu berucap. “Kau boleh membunuhku berapa kali kau suka! Kau boleh hidup seribu tahun lagi! Tapi satu hal yang harus kau tahu. Aku mati dengan membawa kepuasan! Aku memang tidak berhasil membunuhmu, tapi setidaknya aku telah membuatmu lebih sengsara dari kematian!”
Ucapan orang membuat Bidadari Tujuh Langit balik tertawa panjang. “Orang sekarat memang selalu bicara tanpa juntrungan! Kau tahu. Dalam hidup, aku tidak akan pernah mengalami sengsara! Justru seluruh hidupku terisi dengan kenikmatan! Sayang kau harus mampus sebelum membagi kenikmatan denganku...!”
“Kau boleh bicara tidak pernah mengalami sengsara. Tapi aku tahu. Kau masih punya ganjalan besar dalam hidupmu!”
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa. “Aku punya bekal untuk membunuh semua orang! Aku....”
“Kau ingat peristiwa enam belas tahun silam?!” Perempuan Kembang Darah sudah memotong sebelum Bidadari Tujuh Langit lanjutkan ucapan.
“Aku tidak pernah mengingat apa yang telah terjadi! Maka kau salah besar jika mendugaku punya ganjalan hidup!”
“Bagus! Apa kau juga tidak pernah ingat siapa suamimu?!” Bertanya Perempuan Kembang Darah.
Bidadari Tujuh Langit terdiam sesaat. Semua orang yang ada di situ tidak ada yang buka suara membuat gerakan. Mereka seakan terkesima dengan perbincangan Bidadari Tujuh Langit dan Perempuan Kembang Darah. Namun semua orang di situ dapat menangkap raut terkejut pada paras Bidadari Tujuh Langit mendengar pertanyaan Perempuan Kembang Darah.
“Bagiku, laki-laki adalah bangkai yang harus disingkirkan! Jadi jangan tanya perihal laki-laki!” ujar Bidadari Tujuh Langit setelah terdiam sesaat. Namun sebenarnya dada perempuan ini sempat berdebar tidak enak dengan pertanyaan orang. Hanya sejauh ini dia tidak tahu mengapa.
“Baik! Aku tidak akan tanya perihal laki-laki! Sekarang aku tanya. Kau juga tidak ingat dengan anak yang kau lahirkan?!”
Berubahlah tampang Bidadari Tujuh Langit. Dia mendelik besar. Saat lain dia membentak. “Kau tahu apa tentang itu, hah?”
“Bagus.... Nada ucapanmu memberi satu petunjuk kalau kau ingat dengan anak-anak yang kau lahirkan!” kata Perempuan Kembang Darah seraya tertawa pendek. “Selama ini kau pernah bertemu dengan mereka?!”
Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya tengadahkan kepala. Perempuan Kembang Darah lagi- lagi tertawa. Lalu berucap.
“Kau tahu kalau selama ini mereka mencarimu?!”
“Jahanam! Apa maksud pertanyaan perempuan ini?! Mungkinkah dia tahu perihal anak-anakku?! Enam belas tahun lamanya aku coba menyirap kabar tentang keberadaan anak-anakku. Tapi aku tidak pernah mendapat keterangan yang benar! Kini, ada perempuan sekarat yang ucapannya aneh!” Bidadari Tujuh Langit membatin dengan dada di buncah kebimbangan.
“Wajahmu berubah. Mulutmu tidak berkata menjawab. Jadi kau berdusta kalau selama ini tidak punya ganjalan hidup! Bahkan sebenarnya kau masih ingat siapa suamimu...!”
Bidadari Tujuh Langit luruskan kepala. “Aku tahu. Kau pura-pura tahu segalanya. Padahal sebenarnya kau tidak tahu apa-apa! Kau sengaja menggantungkan ucapan agar aku tidak membunuhmu! Jangan mimpi!” Bidadari Tujuh Langit geleng kepala.
Lagi-lagi Perempuan Kembang Darah tertawa mendengar kata-kata orang. “Dengar, Bidadari Binal! Hari ini aku rela mampus seribu kali. Karena aku telah membuatmu lebih sengsara daripada kematian!”
“Jahanam! Dari tadi dia bicara hal itu! Apa maksud sebenarnya?!” Kembali Bidadari Tujuh Langit membatin. “Jangan-jangan dia....” Bidadari Tujuh Langit melompat dan tegak dua langkah di hadapan Perempuan Kembang Darah.
“Membunuhmu saat ini bukan pekerjaan sulit. Tapi aku bersumpah akan membuatmu mampus perlahan-lahan jika kau tidak mengatakan apa maksud ucapanmu!”
Sikap orang membuat Perempuan Kembang Darah tertawa bergelak seakan lupa akan keadaan dirinya. Puas tertawa dia berpaling ke jurusan lain sambil berkata. “Karena kebinalanmu hingga kau tidak sadar siapa saja yang selama ini telah kau jadikan korban! Tapi semuanya sudah terlambat! Dan perempuan macammu memang sudah layak menerima penyesalan!”
Ucapan Perempuan Kembang Darah membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala saling pandang dengan dada berdebar. Mereka tadi sebenarnya sudah hendak berkelebat ke arah Iblis Muka Setan. Mereka memang masih agak jengkel setelah mendengar keterangan dari Paduka Seribu Masalah jika semua hal yang diucapkan guru mereka tidak benar adanya. Tapi kematian gurunya mau tak mau mem- buat kedua gadis ini seakan melupakan kejengkelannya. Namun begitu sadar akan keadaan diri masing-masing, apalagi ingat jika masih punya sesuatu yang harus diselesaikan, akhirnya kedua gadis ini batalkan niat untuk mendekati gurunya.
“Jangan-jangan yang dimaksud Guru adalah....” Galuh Sembilan Gerhana yang berbisik tidak lanjutkan ucapan, karena Galuh Empat Cakrawala sudah menukas.
“Kita memang telah jadi korban kebinalan Bidadari keparat itu! Tapi masih banyak lagi yang lainnya! Dan mustahil kita masih ada hubungan dengan Bidadari binal itu! Tidak mungkin! Tidak mungkin!”
Baru saja Galuh Empat Cakrawala berbisik begitu, di depan sana Bidadari Tujuh Langit maju satu tindak lagi. Lalu berkata dengan senyum dingin. “Aku tanya. Kau tahu perihal anak-anakku?!”
Perempuan Kembang Darah tersenyum. “Sebelum kujawab tanyamu, jawab dulu pertanyaanku! Jika kau melakukan pekerjaan gila menggauli perempuan, apakah kau tidak bisa membedakan rasa antara anak sendiri dan orang lain?!”
“Jahanam! Kau....”
“Jangan berteriak atau membuat gerakan!” potong Perempuan Kembang Darah sambil berpaling. “Jawab saja tanyakan kalau kau ingin mendengar jawaban dari pertanyaanmu!”
“Itu pertanyaan gila!”
“Tapi perlu mendapat jawaban!”
“Aku tidak akan menjawab!”
“Berarti ganjalanmu akan terus berlangsung!”
Bidadari Tujuh Langit tegak dengan dada berguncang. Saat itulah matanya menumbuk pada sosok Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Beberapa saat perempuan ini pandangi dua gadis berbbaju merah dan kuning dengan perasaan tak karuan. Tapi saat lain perempuan bertubuh bahenol ini geleng kepala dengan menggumam.
“Mustahil.... Bukan! Bukan mereka!”
Di lain pihak, dipandangi Bidadari Tujuh Langit begitu rupa, mau tak mau membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala merasa tak enak hati. Namun ingat akan tindakan yang telah dilakukan orang terhadap mereka. Galuh Empat Cakrawala segera berbisik.
“Kalaupun benar dia orang yang kita cari, aku akan membunuhnya!”
“Segalanya bisa saja terjadi! Mengapa sudah yakin mustahil?!” Perempuan Kembang Darah berkata begitu mendengar gumaman Bidadari Tujuh Langit yang tehgak hanya dua langkah di hadapannya.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke arah Perempuan Kembang Darah. “Katakan siapa adanya kedua gadis muridmu itu!”
Perempuan Kembang Darah tidak buru-buru buka mulut. Sebaliknya menoleh ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang sama kancingkan mulut dengan mata memandang tak berkesip menunggu jawaban orang.
“Telingamu dengar pertanyaan orang! Mengapa tidak jawab?!” Bidadari Tujuh Langit membentak karena Perempuan Kembang Darah tidak segera buka mulut.
“Kau pernah berbuat gila pada mereka?!” Perempuan Kembang Darah balik ajukan tanya.
Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya. Namun kali ini Perempuan Kembang Darah bukannya merasa takut. Sebaliknya tertawa perlahan seraya berucap. “Kau tidak akan lakukan apa-apa padaku sebelum kujawab pertanyaanmu....”
Bidadari Tujuh Langit menggeram. Kedua tangannya berkelebat. Namun setelah jalan, dia hentikan gerakan kedua tangannya, membuat Perempuan Kembang Darah makin keraskan tawa dan berkata lagi.
“Mengapa tidak kau teruskan?! Kau takut aku mampus?!”
Kesabaran Bidadari Tujuh Langit pupus. “Aku tidak butuh jawabanmu!” hardiknya. Kedua tangannya diteruskan berkelebat. Namun entah mengapa tiba-tiba dia belokkan arah kelebatan tangannya.
Bummm! Bummm!
Tanah empat langkah di samping Perempuan Kembang Darah muncrat semburat. Sebagian luruh bertaburan pada sosok mayat Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah.
“Aku tak segan membuatmu seperti tanah itu kalau kau tidak segera buka mulut!” bentak Bidadari Tujuh Langit. Lalu angkat kedua tangannya lagi.
“Aku akan menjawab kalau kau jawab dulu pertanyaanku. Kau pernah berbuat gila pada kedua gadis itu?!”
“Mereka telah berani kurang ajar menipuku! Untung aku memberinya dengan imbalan kenikmatan!”
“Hem... Begitu?! Apa rasanya lain?!”
Tampang Galuh Sembilan Gerhana dan Empat Cakrawala sudah merah mengelam. Kalau saja mereka tak sadar tengah terluka dalam, pasti kedua gadis ini akan nekat berkelebat. Bidadari Tujuh Langit mendengus. Lalu melangkah satu tindak. Tangan kanannya berkelebat jambak rambut Perempuan Kembang Darah hingga kepala perem- puan berbaju biru ini tersentak tengadah. Namun jelas tidak ada raut ketakutan pada wajahnya! Membuat Bidadari Tujuh Langit bantingkan kaki dan berteriak.
“Jawab tanyaku atau kuputus tanggal kepalamu! Siapa adanya kedua muridmu itu!”
Mata Perempuan Kembang Darah melirik dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu perempuan kekasih Iblis Muka Setan ini pejamkan matanya dan berkata. “Enam belas tahun lalu aku mengambil mereka dari Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit rasakan darahnya laksana sirap. Tanpa sadar tangan kanannya yang menjambak rambut orang disentakkan ke depan. Hingga kepala Perempuan Kembang Darah teleng ke depan. Namun saat lain kembali Bidadari Tujuh Langit gerakkan tangan kanan dan sentakkan rambut Perempuan Kembang Darah ke belakang.
“Katakan sekali lagi siapa adanya kedua muridmu itu!”
Perempuan Kembang Darah tertawa panjang. “Enam belas tahun lalu aku mengambilnya dari Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit tahan napas. Kepalanya berputar memandang ke arah Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala yang masih tidak mengerti, karena mereka tidak tahu Istana Lima Bidadari.
“Benarkah ucapan perempuan ini?! Apa dia tidak mengada-ada?!” Bidadari Tujuh Langit membatin. Lalu seolah belum yakin dengan jawaban orang, dia kembali bertanya. “Benar kau mengambilnya dari Istana Lima Bidadari?!”
“Telingamu tidak tuli! Apa...”
Hanya sampai di situ ucapan yang terdengar dari mulut Perempuan Kembang Darah, karena bersama dengan itu kaki kiri Bidadari Tujuh Langit terangkat.
“Tahan!” hampir bersamaan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berteriak.
Namun Bidadari Tujuh Langit tidak acuhkan teriakan orang. Kaki kanannya yang dibuat tumpuan tubuh diputar. Kaki kirinya berkelebat.
"Desss!" Perempuan Kembang Darah tidak sempat lagi perdengarkan suara keluhan. Karena darah sudah semburat dari mulutnya. Saat yang sama sosoknya mental dan jatuh terkapar tiga tombak di belakang sana tanpa bergerak-gerak lagi! Nyawa perempuan kekasih Iblis Muka Setan ini putus dengan dada melesak dan berubah menjadi laksana dipanggang! Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tersentak kaget. Dan keduanya jadi merinding ketika tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit berpaling ke arah mereka dan berkelebat lalu tegak hanya beberapa langkah di hadapan mereka dengan mata memandang tak berkesip!
TUJUH
SEMENTARA itu, melihat apa yang terjadi Pendekar 131 sejak tadi sempat serba salah. Dalam hati kecilnya dia tidak bisa membiarkan begitu saja Bidadari Tujuh Langit bertindak kasar pada orang yang sudah tidak berdaya. Namun dia sadar, apa pun yang akan dilakukannya tidak akan bisa membantu. Selain jarak antara dia dengan Bidadari Tujuh Langit agak jauh, sengketa antara kedua perempuan itu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan cara baik-baik. Hingga akhirnya murid Pendeta Sinting hanya bisa tegak memandang.
Di lain pihak, Nenek Selir tegak diam laksana patung begitu mendengar dan melihat apa yang terjadi. Dan sosoknya bergetar ketika melihat Bidadari Tujuh Langit sudah tegak di hadapan Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala.
“Selama ini aku telah dengar perihal perempuan binal itu! Tapi mungkinkah benar jika kedua gadis itu adalah anak-anaknya?! Ah... Aku tak dapat bayangkan bagaimana perasaan mereka kalau benar mereka adalah ibu dan anak! Padahal mereka berdua telah diperlakukan gila oleh perempuan itu..! Nasib manusia memang tidak bisa diduga! Dia mencari anaknya, begitu jumpa ternyata...”
Nenek Selir tidak lanjutkan ucapan. Dia gelengkan kepala. Lalu menghela napas panjang. “Selama ini aku juga tengah mencari di mana rimbanya anakku! Tapi aku belum juga mendapat titik terang! Mungkinkah pada akhirnya nanti aku bisa bertemu dengan anakku?!” Kembali Nenek Selir menghela napas panjang. Saat itulah dia mendengar bentakan Bidadari Tujuh Langit.
“Kalian berdua! Jangan berani berkata dusta padaku! Katakan siapa kalian sebenarnya?!”
Galuh Empat Cakrawala berpaling pada Galuh Sembilan Gerhana dan berbisik. “Siapa pun adanya perempuan ini, dia harus mampus di tangan kita! Siapkan tenaga dalam semampu kau bisa!”
Tanpa menunggu sambutan, Galuh Empat Cakrawala segera alihkan pandangan pada Bidadari Tujuh Langit dan berkata. “Kau telah tahu siapa kami! Kau tidak perlu lagi bertanya!”
Bidadari Tujuh Langit menggeram dalam hati. Namun raut wajahnya jelas membayangkan perasaan bimbang. Beberapa saat lamanya dia menatapi sosok kedua gadis di hadapannya sambil menghela napas. Saat kemudian dia buka mulut. Kali ini suaranya ditekan rendah. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum.
“Sebenarnya di antara kita tidak ada silang sengketa. Kalaupun ada itu karena salah paham kalian! Jadi...”
“Kau telah membuat aib! Aneh jika kau mengatakan di antara kita tak ada silang sengketa! Justru sengketa kita tak akan tuntas sebelum salah satu di antara kita mampus!” Galuh Empat Cakrawala sudah memotong.
“Baiklah kalau hal itu kalian anggap urusan besar! Tapi mari kita lupakan sejenak urusan itu! Aku perlu keterangan benar dari kalian!”
“Kau telah tahu. Kami berdua adalah murid Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah!” Yang buka suara Galuh Sembilan Gerhana.
“Aku tahu... Yang jadi pertanyaan, kalian tahu siapa sebenarnya adanya kalian?”
Tidak ada yang menjawab. Bidadari Tujuh Langit kembali menghela napas panjang. Lalu berkata. “Pada pertemuan kita dahulu, kalian mengatakan akulah yang membunuh kedua orang tua kalian, hingga kalian mencariku untuk membalas! Sekarang aku tanya. Kalian tahu siapa orang tua kalian yang kubunuh?!”
Setelah terdiam agak lama, akhirnya Galuh Empat Cakrawala yang menjawab. “Kami memang tidak tahu! Tapi kami percaya kaulah yang membunuhnya!”
“Kalian dengar ucapan guru perempuan kalian tadi?!”
“Telinga kami masih sempurna!” jawab Galuh Empat Cakrawala.
“Bagus! Kalian pernah dengar tentang Istana Lima Bidadari?!”
“Itu bukan urusan kami! Kalaupun kami tahu, apa pedulimu?!”
“Dengar! Istana Lima Bidadari adalah istana yang kubangun pada beberapa puluh tahun silam! Istana itu kubangun untuk kelima anakku! Kalau benar ucapan guru perempuan kalian, berarti kalian adalah....”
“Jangan mimpi! Kami tidak percaya dengan keterangan itu!” Galuh Empat Cakrawala lagi-lagi sudah menukas ucapan Bidadari Tujuh Langit.
“Hem.... Aku masih ingat benar. Kelima anakku kuberi tanda!” Bidadari Tujuh Langit berkata sendiri dalam hati dengan coba menindih rasa jengkel dengan jawaban yang didengar.bSetelah berpikir agak lama, akhirnya perempuan bertubuh bahenol ini buka mulut lagi
“Kalian boleh tidak percaya dengan keterangan yang kalian dengar. Tapi apa kalian tahu jika di...”
“Percuma kau meyakinkan!” Kali ini yang memotong adalah Galuh Sembilan Gerhana. “Siapa pun adanya dirimu, kau tetap manusia yang harus mampus di tangan kami!”
“Terpaksa aku harus bertindak dengan caraku sendiri!” gumam Bidadari Tujuh Langit. “Kalau ternyata mereka bukan, mereka harus menyusul si Pasangan Mesum!”
Berpikir begitu Bidadari Tujuh Langit segera maju dua tindak. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sudah waspada dengan gerakan orang. Hingga meski dalam keadaan terluka dalam cukup parah, namun kedua gadis ini sekuat tenaga coba kerahkan tenaga dalam yang tersisa. Lalu serentak mereka berdua angkat tangan masing-masing. Bidadari Tujuh Langit terlihat bimbang. Beberapa kali dia menghela napas dengan kepala tengadah.
“Aku ingin mengajak kalian bicara baik-baik! Siapa tahu di antara kita memang masih ada hubungan...” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit buka mulut setelah agak lama berpikir.
“Terlambat kau mengatakan hal itu! Seandainya kau mengatakannya sebelum menabur aib, mungkin kami masih bisa menerima!” kata Galuh Empat Cakrawala.
“Hem... Bodohnya diriku. Seharusnya aku melihat tanda itu sebelum peristiwa itu terjadi! Tapi semuanya memang sudah terlambat! Apa yang harus kulakukan sekarang?! Membunuh mereka?! Dan percaya saja jika mereka bukanlah anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari pada enam belas tahun silam?! Tapi selama ini aku telah berusaha mencari. Sekarang ada sebuah titik terang. Apakah kesempatan ini akan kulewatkan begitu saja?!”
Dalam kebimbangannya begitu rupa, tiba-tiba Bidadari Tujuh Langit ingat akan ucapan Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah saat mereka bertemu tidak lama berselang. “Dua manusia itu pernah mengatakan aku akan berperang dengan perasaanku sendiri! Dan saatnya tidak lama lagi!”
Terngiang kembali ucapan Iblis Muka Setan ketika dia bertemu dengan laki-laki berpakaian gombrong itu pada beberapa hari yang lalu. “Apakah kejadian hari ini yang dimaksud ucapannya?! Hem....”
Kalau Bidadari Tujuh Langit dilanda perasaan bimbang, sebenarnya diam-diam Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala juga didera perasaan ragu-ragu. Hanya saja karena rasa marah lebih menguasai diri kedua gadis ini, mereka tidak begitu acuhkan perasaan.
“Ah.... Sebaiknya aku menunggu waktu yang tepat!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan. “Mungkin saat ini mereka masih marah dengan peristiwa tempo hari. Saat lain siapa tahu pikiran mereka berubah!”
Habis berpikir begitu, Bidadari Tujuh Langit tatapi kedua gadis di hadapannya. Dia tersenyum, lalu tanpa buka mulut lagi dia balikkan tubuh dan melangkah menjauh. Saat itulah Galuh Empat Cakrawala memberi isyarat pada saudaranya. Saat lain kedua gadis ini telah sentakkan tangan masing-masing.
Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuuut!
Empat gelombang melabrak lurus ke arah Bidadari Tujuh Langit. Walau gelombang yang melesat itu hanya mengandalkan sisa-sisa tenaga dalam, namun gelombang itu masih mampu melabrak hancur bongkahan batu besar! Bidadari Tujuh Langit berpaling. Namun kali ini tidak membuat gerakan apa-apa. Dia hanya kerahkan tenaga dalam untuk menahan diri.
Dess! Dess!
Sosok Bidadari Tujuh Langit terpental satu tombak dan terhuyung-huyung. Mendapati hal demikian, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala tidak menunggu lagi. Mereka segera angkat tangan masing-masing, lalu kembali lepaskan pukulan!
Bidadari Tujuh Langit menghadapi gelombang yang datang dengan bibir tersenyum dan kepala lurus menatap silih berganti pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lagi-lagi perempuan Ini tidak membuat gerakan hadangan atau menghindar.
Dess! Dess!
Untuk kedua kalinya sosok Bidadari Tujuh Langit terpental lalu jatuh terduduk satu setengah tombak dari tempatnya semula. Paras wajahnya berubah. Namun saat lain perempuan ini telah sunggingkan senyum dan berkata.
“Kalian kuberi kesempatan untuk tumpahkan apa yang kalian mau... Karena aku percaya kalian adalah anak-anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari..!”
“Siapa berani sebut-sebut Istana Lima Bidadari?!” Tiba-tiba satu teguran terdengar. Satu sosok tubuh berkelebat.
Bidadari Tujuh Langit sentakkan wajah ke samping. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala berpaling. Nenek Selir pentangkan mata lalu bergumam.
“Manusia apa lagi yang muncul ini?! Nada ucapannya seperti dia tahu benar Istana Lima Bidadari!”
Orang terakhir yang menoleh adalah murid Pendeta Sinting. Tapi justru dia orang yang paling tersentak kaget!
Di tempat itu telah tegak seorang pemuda berparas tampan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Sosoknya yang kekar dibalut dengan jubah hitam panjang melapis pakaian warna putih. Rambutnya hitam panjang. Jika orang yang melihat meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki, maka akan tahu jika pemuda berjubah hitam ini mengenakan sebuah cincin berwarna hijau pada ibu jari kaki kanannya.
“Datuk Kala Sutera!” gumam Pendekar 131 mengenali siapa pemuda berjubah hitam. Dia memperhatikan sesaat seraya membatin.
“Pemuda ini mencari tahu tentang kelima anaknya yang katanya lenyap begitu saja pada enam belas tahun silam! Sementara Bidadari Tujuh Langit juga sebut-sebut masa enam belas tahun silam! Apa hubungan antara keduanya?! Dari ucapan Putri Pusar Bumi, cincin yang dikenakan di jari kaki Bidadari Tujuh Langit itu pasti yang disebut-sebut Sepasang Cincin Keabadian! Lalu beberapa saat lalu, kekasih Nenek Selir itu mengatakan pedang putih yang berada di dalam kotak emas berukir bernama Pedang Keabadian! Apakah keduanya juga ada kaitannya?! Atau hanya nama saja yang sama?!”
Selagi Joko membatin begitu, di seberang depan sana mendadak pemuda berjubah hitam panjang berpaling ke arahnya. Sepasang mata si pemuda membeliak angker dengan mulut menyeringai.
“Pasti dia menagih janji! Apa yang harus kukatakan padanya?!” Joko mendesis dengan bibir coba tersenyum pada si pemuda berjubah hitam yang bukan lain memang Datuk Kala Sutera adanya.
Datuk Kala Sutera anggukkan kepala. Lalu putar kepala ke arah Nenek Selir. Saat itulah si nenek baru sadar siapa adanya si pemuda.
“Sialan! Nyatanya dia!” gumam Nenek Selir.
Seperti diketahui, ketika terjadi pertemuan antara Datuk Kala Sutera dengan Pendekar 131 beberapa hari yang lalu, muncullah Nenek Selir. Karena kemunculan nenek ini akhirnya Joko bisa lolos. Untuk beberapa saat Datuk Kala Sutera pandangi Nenek Selir dengan seksama. Lalu angkat tangan kirinya. Kepalanya didongakkan. Tangan kirinya terus diputar lurus ke arah murid Pendeta Sinting. Lalu terdengar ucapannya.
“Kau!” Tangan kiri Datuk Kala Sutera memutar ke arah si nenek. “Dan kau! Jangan berani beranjak dari tempat masing-masing! Urusan kita tempo hari belum selesai!”
“Aku tak punya urusan apa-apa denganmu!” Nenek Selir berteriak.
Datuk Kala Sutera tarik pulang tangannya. Masih dengan tengadahkan kepala dia kembali berucap. “Kau telah membawa kabur pemuda itu! Padahal dia harus menjawab pertanyaanku! Silakan kau anggap itu bukan satu urusan! Tapi bagiku itu adalah urusan besar!”
“Siapa yang membawa kabur?! Dia sendiri yang mengikutiku! Lagi pula apa untungnya aku membawa kabur pemuda jelek begitu?! Sementara aku banyak punya kenalan pemuda tampan?! Hik Hik Hik..!”
“Nek! Mengapa kau sekarang berkata begitu?! Saat kau membawaku kabur, kau bilang akulah pemuda paling tampan yang pernah kau temukan! Setelah urusanmu selesai, enak saja kau bilang aku pemuda jelek!” Joko berteriak menyahut.
“Tutup mulut kalian! Jangan kira aku percaya pada sandiwara gila ini!” bentak Datuk Kala Sutera.
Datuk Kala Sutera tampaknya bisa membaca gelagat, karena pada pertemuan mereka tempo hari, pemuda berjubah hitam ini sempat terkecoh dengan ucapan Nenek Selir dan Pendekar 131. Habis membentak begitu, Datuk Kala Sutera arahkan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit. Untuk beberapa saat kedua orang ini saling pandang. Sepasang mata Datuk Kala Sutera tampak menyipit membelalak. Kepalanya disorongkan ke depan ke belakang. Diam-diam pemuda ini membatin.
“Sepertinya mataku pernah melihat sosok perempuan cantik ini! Tapi di mana...? Dia sebut-sebut Istana Lima Bidadari. Dari mana dia tahu?! Padahal cerita Istana Lima Bidadari sudah enam belas tahun silam!”
Jika diam-diam Datuk Kala Sutera membatin, Bidadari Tujuh Langit ternyata juga berkata dalam hati. “Aku ingat benar jika pernah bertemu dengan pemuda ini! Sayang aku tidak ingat kapan dan di mana! Anehnya mengapa dia sebut-sebut Istana Lima Bidadari layaknya orang yang tahu?!”
Melihat sikap kedua orang di seberang depan, Nenek Selir kernyitkan dahi. “Aneh... Sandiwara apa yang tengah dimainkan kedua manusia itu?! Aku yakin yang perempuan adalah Bidadari Tujuh Langit. Yang laki-laki adalah Datuk Kala Sutera. Cincin pada ibu jari keduanya membuktikan hal itu. Semua orang di kolong tanah Tibet juga sudah tahu kalau kedua ma-nusia itu adalah pasangan suami-istri! Tapi mengapa mereka seperti orang yang tidak saling kenal?! Tidak ada yang bicara atau saling sapa! Mereka hanya saling mendelik layaknya orang baru jatuh cinta!”
Selagi Nenek Selir menduga-duga, di seberang depan Datuk Kala Sutera buka mulut. “Harap tidak keberatan mengatakan siapa dirimu!”
“Gila! Ada apa ini...?! Apakah pemuda itu sudah lamur?!” Nenek Selir mendesis.
“Kau yang harus katakan dulu siapa adanya dirimu!” Bidadari Tujuh Langit buka suara.
Si nenek terkejut. “Aku memang mendengar kedua manusia itu berpisah. Tapi adalah gila kalau sekarang tidak saling kenal!”
DELAPAN
DATUK Kala Sutera pandangi lekat-lekat wajah Bidadari Tujuh Langit. Mendadak dia surutkan langkah dengan mata maki mementang. “Aku ingat! Bukankah dia perempuan yang kutemui ketika aku baru mendapatkan cincin dari Sepasang Cincin Keabadian?! Perempuan ini pula yang sempat membawa perahuku! Dia juga yang kutemukan di sekitar Istana Lima Bidadari pada enam belas tahun silam!” Datuk Kala Sutera membatin. “Astaga! Perempuan ini pula yang sosoknya bisa berubah menjadi nenek-nenek!” Datuk Kala Sutera tercekat dengan kuduk dingin. Lalu putar pandangan berkeliling.
“Kau tak mau sebutkan diri! Lebih baik kau segera angkat kaki dari tempat ini!” Bidadari Tujuh Langit buka mulut.
Datuk Kala Sutera tidak hiraukan ucapan orang. Sebaliknya dia terus membatin. “Apa hubungan perempuan ini dengan gadis baju ungu bernama Dayang Tiga Purnama.... Gadis itu juga berubah sosoknya menjadi nenek-nenek saat hendak kudekati!” Sang Datuk ingat pertemuannya dengan Dayang Tiga Purnama belum lama berselang. Saat itu di mata sang Datuk, sosok Dayang Tiga Purnama memang berubah menjadi seorang nenek-nenek ketika sang Datuk mulai dibakar nafsu dan hendak mendekati. Hingga Datuk Kala Sutera batalkan niat dan kabur.
Karena ucapannya tidak diacuhkan orang, Bidadari Tujuh Langit pasang tampang angker. Lalu mulutnya membuka hendak membentak. Namun tiba-tiba mulut itu terkancing lagi. Sepasang matanya mendelik. “Kalau tak salah, bukankah manusia laki-laki berjubah hitam panjang ini adalah manusia yang kuberi tumpangan perahu setelah aku mendapatkan cincin dari Sepasang Cincin Keabadian?! Bukankah dia juga yang coba-coba mengikuti langkahku hingga ke Istana Lima Bidadari?! Tapi saat itu dia bersikap aneh... Tidak ada hujan tidak ada angin mendadak dia lari tunggang langgang! Hem... Peristiwa itu sudah berlalu enam belas tahun silam... Hem.... Anehnya, wajah dan sosoknya tidak mengalami perubahan! Apakah dia....”
Belum sampai Bidadari Tujuh Langit lanjutkan membatin, Datuk Kala Sutera buka suara. “Kau tahu apa tentang Istana Lima Bidadari?!”
“Aku yang seharusnya tanya padamu! Kau tiba-tiba muncul dan ikut campur pembicaraanku!” sahut Bidadari Tujuh Langit.
Datuk Kala Sutera sekali lagi pandangi sosok Bidadari Tujuh Langit dengan lebih seksama. Lalu berucap. “Aku Datuk Kala Sutera! Akulah yang membangun Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit terdiam beberapa saat. Namun kejap lain tiba-tiba dia perdengarkan tawa bergelak panjang. Dengan angkat tangan menunjuk pada sosok sang Datuk dia berkata. “Kau dahulu kuberi tumpangan perahu! Kau juga coba-coba mengikutiku hingga ke Istana Lima Bidadari! Adalah aneh kalau kau sekarang mengatakan kau yang membangun Istana Lima Bidadari!”
“Hem... Jadi benar! Dialah perempuan yang sempat kujumpai pada enam belas tahun silam!” Membatin Datuk Kala Sutera. Lalu berkata.
“Sebenarnya aku yang harus merasa aneh! Kau tahu? Perahu yang kau bawa sebenarnya adalah milikku! Kalaupun saat itu aku pura-pura sebagai pengait yang perahunya hancur diterjang badai, karena saat itu aku tak mau ribut denganmu! Dan kau harus juga tahu. Aku tidak mengikutimu! Saat itu aku memang tengah menuju Istana Lima Bidadari!”
Bidadari Tujuh Langit makin keraskan tawa mendengar keterangan Datuk Kala Sutera. Namun laksana disentak setan, perempuan ini putuskan gelakan tawanya. Lalu membentak. “Siapa pun adanya dirimu, aku tak punya waktu banyak untuk bicara denganmu. Katakan saja apa maumu sebenarnya!”
“Kau sebut-sebut anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari. Aku ingin tahu siapa yang kau maksud!” Datuk Kala Sutera arahkan pandangan pada Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala. Lalu teruskan ucapan. “Kedua gadis itu?!”
“Kuperingatkan agar kau lekas angkat kaki dari hadapanku!” kata Bidadari Tujuh Langit tidak menjawab pertanyaan orang.
“Aku tanya! Aku tak akan pergi sebelum mendapat jawaban! Lagi pula aku punya urusan dengan pemuda dan nenek keparat itu!” Datuk Kala Sutera pulang balikkan kepala memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan Nenek Selir.
“Kau boleh punya urusan dengan siapa saja! Tapi kalau kau kait-kaitkan dengan Istana Lima Bidadari, kau akan menyesal! Bukan saja kau tak akan mendapat keterangan apa-apa, tapi kau juga tak akan selesaikan urusanmu yang lain. Karena kau akan mampus terlebih dahulu!”
Kali ini Datuk Kala Sutera yang tertawa panjang. “Ucapanmu aneh. Aku yang membangun Istana Lima Bidadari. Tapi kau mengatakan aku akan menyesal kalau kait-kaitkan urusan dengan istana yang kubangun!”
“Hem.... Begitu?!” ujar Bidadari Tujuh Langit dengan senyum dingin. “Aku tanya. Kau yang membangun Istana Lima Bidadari. Mengapa kau sekarang mencari keterangan yang ada kaitannya dengan istana itu?!”
“Karena anakku lenyap dari istana itu pada enam belas tahun lalu!”
Bidadari Tujuh Langit tampak terkesiap kaget. Tapi cuma sesaat. Saat lain perempuan ini tertawa dan berkata. “Tampaknya kau pandai mengarang cerita.... Bisa ceritakan padaku bagaimana anakmu bisa lenyap?!” Datuk Kala Sutera tidak segera menjawab. Bidadari Tujuh Langit alihkan pandangan. Lalu buka mulut lagi.
“Kau tak tahu bagaimana anakmu lenyap. Bagaimana mungkin orang akan percaya jika kau manusianya yang membangun istana itu?! Kau terlalu mengada-ada cerita.... Sebelum aku muak, jalan terbaikmu adalah menyingkir dari tempat ini!”
Datuk Kala Sutera geleng kepala dengan menyeringai. “Aku tanya sekali lagi. Kedua gadis itukah yang kau sebut-sebut sebagai anak yang diambil dari Istana Lima Bidadari?!”
“Kalau aku tak mau jawab, kau mau apa?!”
Merasa ditantang begitu rupa, dada Datuk Kala Sutera laksana dibakar. Tapi laki-laki ini masih coba menindih hawa kemarahan. Lalu berkata. “Enam belas tahun silam aku sengaja menghindar agar tidak terjadi silang masalah denganmu! Tapi sekarang...”
“Sekarang mengapa?!” sahut Bidadari Tujuh Langit.
“Aku tak segan membunuhmu jika kau tidak mau jawab pertanyaanku tadi!”
Bidadari Tujuh Langit lagi-lagi tertawa. “Dari tadi aku sudah tidak mau jawab pertanyaanmu. Mengapa kau masih diam saja?!”
Belum habis ucapan Bidadari Tujuh Langit. Datuk Kala Sutera sudah berkelebat dan tegak hanya beberapa langkah di hadapan sang Bidadari. “Terakhir kali aku bicara. Jawab....”
Ucapan Datuk Kala Sutera terputus. Karena bersamaan dengan itu mendadak Bidadari Tujuh Langit sudah menyergap ke depan. Kedua tangan dikelebatkan menghantam!
Bukk! Bukk!
Kedua tandan Bidadari Tujuh Langit bentrok dengan kedua tangan Datuk Kala Sutera yang diangkat menghadang pukulan yang datang. Kedua orang ini sama tersentak mundur. Wajah masing-masing berubah. Bidadari Tujuh Langit memandang sesaat pada sosok Datuk Kala Sutera. Dari bentroknya tangan, tampaknya sang Bidadari maklum jika lawan memiliki tenaga dalam cukup kuat. Hingga begitu tersentak mundur, dia cepat lipat gandakan tenaga dalam pada kedua kaki. Saat lain kembali dia berkelebat kedepan.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera sendiri tampaknya tidak mau bertindak ayal. Begitu tahu apa yang dilakukan orang, dia tidak menunggu. Dia segera pula berkelebat menyongsong sosok Bidadari Tujuh Langit. Di atas udara. Bidadari Tujuh Langit putar tubuhnya ke kiri. Lalu sekonyong-konyong kaki kirinya membuat gerakan menendang!
"Wuutt!" Terdengar deruan angker. Sekilas tampak sinar merah berkiblat.
Datuk Kala Sutera tekuk kaki kanannya. Saat lain kaki kanannya dihantamkan ke samping kanan menghadang tendangan kaki kiri Bidadari Tujuh Langit.
"Wuutt!" Dari kelebatan kaki kanan Datuk Kala Sutera terdengar deruan yang tak kalah angkernya. Dan saat yang sama terlihat kilatan sinar hijau.
"Bukkkk!" Baik Bidadari Tujuh Langit maupun Datuk Kala Sutera sama perdengarkan seruan tegang. Kaki kiri sang Bidadari terpental balik ke udara. Sosoknya ikut terputar. Lalu tersapu mencelat ke belakang. Perempuan ini memang tak sampai jatuh. Namun sempat terhuyung-huyung di atas tanah beberapa saat dengan kedua lutut goyah.
Dua tombak di seberang, Datuk Kala Sutera tampak melayang turun dengan sosok tersentak-sentak. Sesaat pemuda berjubah hitam ini sempat oleng ke samping. Namun begitu sosoknya membuat gerakan berputar. Dia telah kembali tegak.
“Aneh.... Kaki kiriku mencelat! Baru kali ini aku mengalaminya!” Bidadari Tujuh Langit mendelik memperhatikan kaki kirinya. Kaki kiri itu memang tidak mengalami cedera apa-apa. Namun Bidadari Tujuh Langit rasakan kaki itu tegang kaku dan laksana luluh lantak!
“Siapa laki-laki itu sebenarnya?!” Bidadari Tujuh Langit sentakkan kepala lurus pandangi sosok Datuk Kala Sutera. Saat yang sama, Datuk Kala Sutera yang diam-diam juga merasa heran tengah menatap tajam pada Bidadari Tujuh Langit.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laksana didorong kekuatan dahsyat, Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama surutkan langkah dengan mulut perdengarkan seruan tertahan kala masing-masing mata keduanya melihat ibu jari kaki lainnya mengenakan cincin!
“Aku ingat betul! Cincin yang kukenakan adalah cincin dari Dewi Keabadian. Cuma aku tak habis pikir. Bagaimana aku lupa mengapa hanya satu cincin yang kudapatkan?! Dan aku tahu persis, cincin yang dikenakan pemuda itu adalah pasangan dari cincin yang kupakai! Bagaimana bisa begini?!” Sang Bidadari membatin.
Di lain pihak, Datuk Kala Sutera juga berkata dalam hati. “Perempuan itu mengenakan cincin diibu jari kaki kiri. Jelas itu adalah cincin dari Sepasang Cincin Keabadian! Bagaimana dia bisa mendapatkannya?! Aku lupa sama sekali. Bagaimana saat itu aku hanya mendapatkan satu cincin?!” Datuk Kala Sutera menggeleng. Lalu tengadah coba mengingat. Tapi sekuat tenaga dia mencoba, tetap saja tak bisa.
“Hem... Aku harus bisa merebut cincin itu dari tangannya!” Akhirnya Bidadari Tujuh Langit memutuskan setelah agak lama berpikir namun tak juga ingat apa yang telah dilakukannya saat mendapatkan cincin yang kini berada di ibu jari kaki kirinya.
Sementara itu begitu tak bisa mengingat, Datuk Kala Sutera segera arahkan pandangan pada Bidadari Tujuh Langit dan bergumam sendiri. “Cincin yang dikenakan adalah pasangan dari cincin yang kupakai! Sekarang tak penting bagaimana dia bisa mendapatkan cincin itu! Yang pasti, dia harus menyerahkan padaku!”
Berpikir begitu, Datuk Kala Sutera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan. Lalu berteriak. “Aku akan melupakan urusan pertanyaan yang belum kau jawab! Tapi sebagai gantinya, kau harus serahkan cincin di ibu jari kaki kirimu!”
Bidadari Tujuh Langit pasang tampang angker. Sambil menyeringai dia menyahut. “Sebelum kuturuti permintaanmu, serahkan dahulu cincin hijau di ibu jari kaki kananmu!”
“Aku meminta baik-baik!” kata Datuk Kala Sutera sambil angkat kedua tangan.
“Kau kira aku takut?!” sahut Bidadari Tujuh Langit dengan ikut angkat kedua tangan. Lalu sepasang matanya dipentang.
Datuk Kala Sutera melangkah maju. Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Dia ikut gerakkan kaki melangkah ke depan. Mata masing-masing saling perang pandang. Saat lain hampir bersamaan kedua orang ini sama gerakkan tangan masing-masing. Namun baru setengah jalan, tiba-tiba satu sosok tubuh berkelebat. Dua rangkum gelombang berkiblat kearah Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit.
Datangnya gelombang serangan yang tiba-tiba bukannya membuat Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit hilang kewaspadaan. Mereka tak mau berlaku ayal. Kesempatan kecil tidak mustahil akan dimanfaatkan lawan. Hingga tanpa berpaling ke arah datangnya gelombang, kedua orang ini hanya putar gerakan tangan masing-masing lalu dihantamkan menghadang gelombang yang datang. Sementara tangan satunya tetap berada di atas udara berjaga-jaga.
Bummm! Bummm!
Dua ledakan keras terdengar ketika gelombang yang tiba-tiba berkiblat terhadang gelombang yang melesat dari tangan kanan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit. Suara ledakan belum lenyap, terdengar orang bersuara.
“Enam belas tahun buka waktu yang panjang! Tapi terlalu lama bagi sebuah urusan darah! Datuk Kala Sutera, Bidadari Tujuh Langit! Akhirnya kita bertemu lagi!”
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling pandang beberapa saat. Lalu serentak mereka berpaling. Memandang ke depan, sang Datuk dan sang Bidadari melihat seorang laki-laki berusia agak lanjut bertampang angker. Parasnya bulat ditingkah kumis lebat dan alis tebal mencuat. Dia hanya memiliki mata sebelah kanan. Mata kiri ditutup dengan sebuah kulit berbentuk bundar berwarna hitam yang diikatkan ke belakang kepalanya. Pada pipi kirinya melintang codet besar dan panjang sampai telinga. Rambutnya dibiarkan bergerai panjang menutupi sebagian paras wajah dan pundaknya. Laki-laki ini mengenakan pakaian hitam-hitam yang dilapis dengan jubah panjang warna hitam sebatas lutut.
“Enam belas tahun berlalu! Tapi pasti kalian tak lupa padaku!” berkata laki-laki bermata satu sambil memandang silih berganti pada Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit. Namun mata satu-satunya laki-laki berjubah hitam ini terhenti dan terpentang besar kala melihat pakaian bawah Bidadari Tujuh Langit yang robek dan sedikit menyingkap hingga sembulan kedua pahanya yang putih dan padat terlihat jelas!
SEMBILAN
SETAN Enam Lembah!” hampir bersamaan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit bergumam.
“Syukur mata kalian belum buta untuk mengenali- ku! Ha Ha Ha...!” Laki-laki bermata satu berucap tanpa alihkan pandangannya dari paha Bidadari Tujuh Langit. Malah dia usap-usap dagunya dengan lidah dikeluarkan sedikit menyaput bibirnya.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sama unjuk tampang terkejut. Bukan karena ucapan laki-laki yang baru disebutnya sebagai Setan Enam Lembah, melainkan merasa heran dapat bersama-sama mengenali siapa adanya silaki-laki!
“Kemunculan manusia mata satu ini pasti ada hubungannya dengan peristiwa lama! Anehnya, apa kaitannya dengan perempuan baju putih yang dipanggilnya Bidadari Tujuh Langit ini?!” Datuk Kala Sutera membatin.
Baru saja sang Datuk membatin begitu, Bidadari Tujuh Langit sudah buka suara. “Setan Enam Lembah! Puluhan tahun silam nyawamu masih kusisakan! Sebelum sisanya kuambil sekalian, masih ada waktu bagimu untuk enyah dari tempat ini!”
Setan Enam Lembah tertawa panjang. “Tadi sudah kukatakan. Enam belas tahun bukan waktu yang panjang. Tapi terlalu lama untuk sebuah urusan darah! Kau tahu. Aku sudah tak tahan untuk menunggu lagi! Enam belas tahun lalu nyawamu memang masih utuh. Tapi akan berakhir hari ini!”
“Hem... Ternyata Setan itu punya urusan pula dengan perempuan itu!” Datuk Kala Sutera terus membatin. “Anehnya, mengapa urusan itu terjadi enam belas tahun lalu? Sama dengan terjadinya urusanku dengan setan mata satu itu?!”
“Setan Enam Lembah!” Kembali Bidadari Tujuh Langit buka mulut. “Kau datang mengantar sisa nyawa! Aku tak segan untuk mengambilnya!” Bidadari Tujuh Langit berkelebat ke depan. Sekali kedua tangannya bergerak, dua sinar merah berkiblat!
Setan Enam Lembah tahu gelagat. Dia bukannya menghadang pukulan yang datang dengan sentakkan kedua tangan, namun berkelebat menghindar. Lalu memutar arah dan tahu-tahu sudah tegak dua lang-kah di samping Bidadari Tujuh Langit! Gerakan cepat Setan Enam Lembah sempat membuat Bidadari Tujuh Langit terkesiap kaget. Namun belum sampai lenyap rasa kagetnya, kaki kanan orang sudah menderu di depan wajahnya! Bidadari Tujuh Langit pukulkan tangan kanan kiri. Tapi sebelum kedua tangannya menghantam kaki ka- nan orang, Setan Enam Lembah sudah tendangkan kaki kiri ke arah pinggul sang Bidadari.
"Bukkk!" Sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke samping. Kedua tangan perempuan ini memang masih terus menghantam, namun karena sosoknya terlempar, hantaman kedua tangannya melabrak udara kosong. Setan Enam Lembah tidak mau memberi kesempatan. Begitu sosok Bidadari Tujuh Langit terlempar ke samping, dia susuli dengan sentakkan kedua tangan lepas pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuuuutt!
Bidadari Tujuh Langit berteriak marah. Sambil melesat setengah tombak ke udara, kedua tangan dan kakinya disentakkan sekaligus! Tempat itu laksana ditelan sinar merah ketika dari kedua tangan dan kaki Bidadari Tujuh Langit melesat sinar merah yang berkiblat susul menyusul. Baru saja Bidadari Tujuh Langit lepas pukulan, mendadak Datuk Kala Sutera melompat ke depan. Tanpa diduga sama sekali, pemuda berjubah hitam panjang ini sentakkan kedua tangan ke arah Bidadari Tujuh Langit!
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin yang disemburati warna hijau menggebrak ganas. Bidadari Tujuh Langit berseru tegang. Kedua tangannya yang baru saja lepas pukulan menghadang pukulan Setan Enam Lembah memang masih bergerak terangkat. Namun belum sampai dihantamkan, pukulan Datuk Kala Sutera sudah menerjang!
Blaarr! Blarrr!
Di depan, terdengar ledakan hebat ketika pukulan Setan Enam Lembah bentrok dengan pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit. Kawasan hutan bambu itu berguncang keras. Tanahnya semburat bertabur ke udara. Sosok Setan Enam Lembah tersapu dan jatuh terjengkang di atas tanah dengan mulut langsung semburkan darah. Jubah yang dikenakan robek hingga sebatas pinggang. Rambutnya yang panjang terpangkas dan tebarkan hawa seperti rambut terbakar. Kulit sekujur tubuhnya mengelupas hingga sekujur tubuh laki-laki ini berubah menjadi merah keputih-putihan!
Di lain pihak, saat pukulan yang dilepas bentrok dengan pukulan Setan Enam Lembah, sosok Bidadari Tujuh Langit tersentak ke belakang. Dan belum sempat dia kuasai diri, mendadak pukulan yang dilepas Datuk Kala Sutera menyongsong! Hingga tanpa ampun lagi sosok perempuan bertubuh bahenol Ini mental deras malah sempat terbanting di udara beberapa kali sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah dengan mulut perdengarkan seruan tertahan dan kucurkan darah!
“Jahanam licik!” maki Bidadari Tujuh Langit seraya cepat salurkan hawa sakti untuk meredam rasa nyeri pada dada dan kedua lengannya yang terasa seakan tanggal. Saat lain dia terbungkuk-bungkuk bangkit.
Datuk Kala Sutera tersenyum. Lalu melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba Setan Enam Lembah gelundungkan diri dan sekonyong-konyong mentalkan tubuhnya ke udara menghadang gerakan Datuk Kala Sutera dengan sentakkan kakinya!
Datuk Kala Sutera tak mau gegabah. Dia tahu gerakan cepat orang. Hingga begitu kaki Setan Enam Lembah bergerak, dia cepat papasi dengan tendangan. Sementara kedua tangannya terangkat di udara. Perhitungan Datuk Kala Sutera tidak meleset. Sebab begitu kakinya bergerak menendang, Setan Enam Lembah dorongkan kedua tangannya!
Wuutt! Wuutt!
Gelombang angin dahsyat menderu angker lurus ke arah kepala sang Datuk. Datuk Kala Sutera cepat rundukkan kepala. Kedua tangannya digerakkan. Saat itulah mendadak dua sinar merah menyalaberkiblat! Datuk Kala Sutera tercekat. Dalam keadaan seperti itu dia diharuskan memilih. Menghadang pukulan Setan Enam Lembah atau menghadang sinar merah yang ternyata dilepas oleh Bidadari Tujuh Langit. Karena sadar kematian Bidadari Tujuh Langit lebih berharga daripada kematian Setan Enam Lembah, akhirnya Datuk Kala Sutera sentakkan kedua tangannya menghadang kiblatan sinar merah pukulan Bidadari Tujuh Langit.
Desss! Bummm!
Sinar merah dan hijau tampak semburat ke udara. Datuk Kala Sutera terhempas beberapa tombak ke udara, lalu melayang jatuh dengan sosok terputar sebelum akhirnya jatuh terkapar di atas tanah. Untuk beberapa saat sosok Datuk Kala Sutera terdiam. Namun saat lain pemuda ini telah bergerak bangkit. Hanya saja, begitu kepalanya terangkat, mulutnya tampak mengembung. Lalu semburkan darah!
Hampir bersamaan dengan jatuhnya sosok sang Datuk, sosok Setan Enam Lembah juga meluncur deras sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah. Laki-laki ini sebenarnya tidak terkena pukulan apa-apa. Bahkan pukulan yang dilepas mampu membuat sosok Datuk Kala Sutera terlempar ke udara. Namun bias bentroknya pukulan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera tidak mampu ditahan karena dirinya telah terluka dalam. Hingga begitu terdengar ledakan, sosoknya terpental lalu melayang deras ke bawah menghantam tanah!
Jika Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit masih mampu bergerak bangkit, tidak demikian halnya dengan Setan Enam Lembah. Laki-laki ini tetap berada di atas tanah tanpa mampu bergerak bangkit. Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam yang bisa dilakukan. Dan melirik ke arah Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera.
Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit sendiri langsung saling pandang. Saat lain keduanya sama angkat tangan masing-masing. Namun hingga agak lama, kedua orang ini belum juga ada yang membuat gerakan. Malah sesekali mata mereka melirik ke arah Setan Enam Lembah. Jelas mereka bimbang. Di satu sisi jika mereka saling pukul, tidak tertutup kemungkinan Setan Enam Lembah menggunakan kesempatan itu untuk lepas pukulan. Sementara kalau mereka lepas pukulan langsung ke arah Setan Enam Lembah tidak mustahil salah satunya akan mencuri kesempatan itu untuk menghantam.
“Urusan ini akan tertunda kalau tidak segera diselesaikan!” Akhirnya Datuk Kala Sutera bergumam. “Setan itu harus kuhabisi dahulu! Jika tidak, dia bisa menghalangi langkahku!”
Berpikir begitu, akhirnya Datuk Kala Sutera lipat gandakan tenaga dalam pada tangan kiri. Saat lain dia melompat ke samping. Tangan kanan dihantamkan ke arah Setan Enam Lembah. Sementara tangan kiri terus berada di atas udara berjaga-jaga kalau Bidadari Tujuh Langit lepaskan pukulan.
Namun ternyata Bidadari Tujuh Langit tidak memanfaatkan kesempatan menghantamnya sang Datuk untuk lepas pukulan ke arah pemuda berjubah hitam itu. Sebaliknya justru perempuan ini ikut berkelebat dan lepas pukulan kearah Setan Enam Lembah!
Apa yang dilakukan Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit membuat Setan Enam Lembah tercengang. Laki-laki bermata satu ini tadi sempat terkejut dan hampir saja tak percaya ketika melihat Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit saling pukul. Tapi hal itu mau tak mau membuatnya lega meski dia tak tahu mengapa kedua orang yang dikenalnya sebagai suami-istri itu saling pukul. Namun rasa lega itu mendadak sirna ketika tahu-tahu keduanya kini lepas pukulan bersamaan ke arah-nya.
Dalam keterkejutannya, Setan Enam Lembah masih mampu berpikir cepat. Dia tidak mungkin mampu menghadang pukulan dua orang sekaligus. Apalagi dia sudah tidak bisa bergerak bangkit. Maka Setan Enam Lembah cepat sentakkan tubuh bergulingan menghindari pukulan yang dilepas Datuk Kala Sutera yang hanya sentakkan tangan kanannya.
"Wusss!" Gelombang pukulan Datuk Kala Sutera menderu hanya beberapa jengkal di samping Setan Enam Lem- bah yang memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki ilmu peringan tubuh tingkat tinggi hingga gerakannya sangat cepat.
Begitu lolos dari serapan Datuk Kala Sutera, Setan Enam Lembah sentakkan kedua tangan menghadang pukulan Bidadari Tujuh Langit. Dua jengkal lagi dua pukulan itu bentrok di udara, mendadak dari arah samping, terdengar suara deruan dahsyat. Lalu dua rangkum angin luar biasa berkiblat memangkas pukulan Bidadari Tujuh Langit!
"Bummm!" Pukulan yang dilepas Bidadari Tujuh Langit tertahan sesaat di udara. Lalu semburat. Hebatnya semburatan itu masih terus menderu! Saat itulah gelombang yang dilepas Setan Enam Lembah melabrak! Setan Enam Lembah terguling hingga dua tombak. Sementara Bidadari Tujuh Langit tersurut dua langkah.
“Siapa berani ikut campur?!” Bidadari Tujuh Langit berteriak seraya berpaling.
Saat bersamaan satu sosok bayangan berkelebat. Semua kepala yang ada di tempat itu bergerak mengi- kuti berkelebatnya sosok bayangan yang saat lain telah tegak dua langkah di samping Setan Enam Lembah.
SEPULUH
DIA ternyata adalah seorang gadis berparas jelita. Rambutnya yang hitam lebat disanggul ke atas. Sepasang matanya bundar dipadu dengan bulu mata lentik. Hidung mancung ditingkah bibir merah tanpa polesan. Kulitnya putih bersih dibalut dengan pakaian warna biru.
“Eyang....” Gadis jelita berbaju biru perdengarkan suara dan langsung jatuhkan diri di hadapan Setan Enam Lembah. Bahunya tampak berguncang keras. Saat lain terdengar isakan tangisnya.
Perlahan Setan Enam Lembah buka sepasang matanya. Melihat siapa yang ada di hadapannya laki-laki bermata satu ini coba sunggingkan senyum meski dari sudut bibirnya terus kucurkan darah. “Aku senang melihatmu di tempat ini...,” kata Setan Enam Lembah. Suaranya tersendat dan hampir tidak terdengar. “Kau lihat laki-laki berjubah hitam itu?!”
“Jangan banyak bicara dulu, Eyang! Aku akan berusaha menolongmu! Kita tinggalkan tempat ini!” Gadis berbaju biru buka suara. Lalu bergerak bangkit.
“Jangan berlaku tolol! Pertolongan apa pun tidak akan membuatku hidup! Dan saat ini adalah hari kesempatanmu!”
“Eyang.... Lupakan semua itu! Kau lebih berharga dari segalanya!” Gadis berbaju biru teruskan gerakannya.
Namun tangan Setan Enam Lembah segera menarik ujung pakaian yang dikenakan gadis di hadapannya, hingga gerakan bangkit si gadis tertahan. “Ini kesempatan terakhir kali bicara denganmu! Kau lihat laki-laki berjubah hitam itu! Kau harus membunuhnya! Setelah itu...” Ucapan Setan Enam Lembah terputus. Kepalanya yang tadi tengadah karena mengikuti gerakan bangkit si gadis perlahan-lahan lunglai. Tangan kanannya yang memegang ujung baju si gadis terlepas.
“Eyang....” Gadis baju biru menjerit. Lalu menubruk sosok Setan Enam Lembah yang sudah tidak bernyawa lagi.
Untuk beberapa saat tempat itu hanya dipecah oleh tangisan gadis baju biru. Namun tiba-tiba si gadis putuskan suara tangisnya. Dan laksana kesetanan, gadis ini bergerak bangkit dan balikkan tubuh menghadap Datuk Kala Sutera! Bersamaan dengan membaliknya sosok si gadis, Pendekar 131 yang sedari tadi hanya bisa diam surutkan langkah kaget. Di seberang depan, Nenek Selir juga tak kalah kagetnya. Malah kalau saja nenek ini tidak cepat sadar, mungkin dia sudah buka mulut berteriak. Yang tampak kaget tapi sunggingkan senyum adalahbBidadari Tujuh Langit. Malah perempuan ini segera melangkah maju hendak mendekat.
“Harap berhenti!” Gadis berbaju biru segera membentak tanpa berpaling ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu melompat dan tegak beberapa langkah di hadapan Datuk Kala Sutera.
“Bidadari Delapan Samudera!” Pendekar 131 bergumam tahu siapa adanya gadis baju biru. “Dari sikapnya jangan-jangan Datuk Kala Sutera yang selama ini dicari! Aku jadi makin bingung dengan urusan orang- orang di tempat ini! Sepertinya semua masih ada kaitannya.Tapi....” Joko tidak lanjutkan gumaman. Karena saat itu Nenek Selir sudah buka mulut.
“Hai! Kau lupapadaku...?!"
Gadis baju biru yang bukan lain memang Bidadari Delapan Samudera adanya melirik ke arah Nenek Selir. Sesaat bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya mengangguk. Tapi saat lain kembali pandang matanya mengarah pada Datuk Kala Sutera.
“Hai!” Joko ikut-ikutan berteriak seraya lambaikan tangan. “Kau ingat padaku?” Joko sorongkan wajah ke depan.
Bidadari Delapan Samudera tampak terkejut begitu menoleh dan melihat siapa orang yang lambaikan tangan. Dadanya jadi berdebar apalagi dia baru saja melihat adanya Nenek Selir di tempat itu. “Pemuda itu berada di tempat ini. Demikian juga nenek berselempang kain hitam. Apa mereka....”
“Kau lupa padaku?!” Joko ulangi pertanyaan. Lalu melangkah mendekati.
Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera sudah akan buka mulut mencegah. Namun walau mulutnya sudah terbuka menganga, tapi tidak ada suara yang terdengar. Baru ketika Joko hampir mendekat, suara Bidadari Delapan Samudera terdengar.
“Aku tahu siapa kau! Tapi harap tidak lanjutkan langkah!”
Murid Pendeta Sinting berhenti. Pandangi sosok Bidadari Delapan Samudera sesaat lalu berucap. “Bidadari.... Kita perlu bicara!”
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan! Harap melangkah mundur!”
“Hem.... Terlalu bahaya kalau gadis ini harus berhadapan dengan Datuk Kala Sutera. Tapi bagaimana aku harus menghalangi niatnya?! Siapa pun adanya laki-laki mata satu itu, pasti dia adalah orang yang selama ini dekat dengannya! Dan kematiannya akan membuat dia bertindak nekat!” Pendekar 131 berkata dalam hati. Lalu berkata.
“Bidadari.... Kau mungkin lupa. Ada....”
“Aku mau bicara dengan pemuda berjubah hitam ini! Harap tidak buka suara!” Bidadari Delapan Samudera menukas ucapan Joko. Lalu teruskan ucapan seraya memandang lekat-lekat pada Datuk Kala Sutera.
“Kau telah membunuh eyang guruku! Tapi itu bukan hal penting bagiku!” Bidadari Delapan Samudera geleng kepala walau sebenarnya dia harus kuatkan diri untuk mengatakan hal itu. “Asal kau jawab dengan jujur pertanyaanku!”
Datuk Kala Sutera balas memandang dengan tersenyum. Namun dia segera alihkan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit. “Kalau aku meladeni gadis ini, urusan cincin itu bisa tertunda lagi! Yang akan dibicarakan pasti mampusnya manusia mata satu itu!”
Berpikir begitu, tanpa buka mulut sambuti ucapan Bidadari Delapan Samudera, Datuk Kala Sutera segera melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit. Tapi gerakannya tertahan ketika Bidadari Delapan Samudera ikut melompat memotong gerakan sang Datuk.
“Aku tak punya waktu untuk jawab pertanyaanmu! Menyingkirlah dari hadapanku atau kau akan menyusul gurumu!”
“Jelitaku....” Bidadari Tujuh Langit menyahut. “Beri jalan padanya. Apa pun pertanyaanmu, nanti aku akan menjawabnya!”
“Aku tak perlu bertanya padamu! Jangan berani bicara atau bergerak dari tempatmu!” bentak Bidadari Delapan Samudera.
Selagi Bidadari Delapan Samudera bicara, Datuk Kala Sutera gerakkan tangan kanan. Tanah di sekitar tempat tegaknya Bidadari Delapan Samudera muncrat semburat. Hingga untuk beberapa saat pandangan gadis jelita ini terhalang. Ketika semburatan tanah luruh, Datu Kala Sutera sudah tidak terlihat lagi di hadapan si gadis. Bidadari Delapan Samudera berpaling ke arah mana Bidadari Tujuh Langit berada. Ternyata sang Datuk sudah tegak di hadapan perempuan bertubuh bahenol ini dengan tangan terangkat ke udara. Di hadapannya, Bidadari Tujuh Langit juga angkat kedua tangannya dengan mata terpentang besar.
Bidadari Delapan Samudera hendak melompat. Tapi belum sampai bergerak, Datuk Kala Sutera sudah melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit dengan tubuh dilorotkan ke bawah. Tangan kiri kanannya menyambar ke arah kaki kiri Bidadari Tujuh Langit. Bidadari Tujuh Langit tidak tinggal diam. Kedua kakinya disentakkan ke belakang. Lalu sorongkan tubuh bagian atasnya ke bawah. Tangan kiri kanan berkelebat menghadang gerakan kedua tangan Datuk Kala Sutera.
Bukkk! Bukkk!
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera sama terbanting ke samping dan jatuh menghantam tanah. Melihat apa yang terjadi, murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke arah Bidadari Delapan Samudera. Dengan pegang lengan si gadis, Joko berbisik.
“Memang tidak ada yang perlu kita bicarakan. Tapi lebih baik kita pergi dari tempat ini!”
Ketika merasa lengannya dipegang orang, hampir saja Bidadari Delapan Samudera kelebatkan tangan. Namun begitu mendengar suara orang, dia tahan gerakannya. Entah mengapa dada gadis ini berdegup kencang. Hingga dia bukannya simak ucapan yang terdengar, melainkan coba kuasai diri. Melihat si gadis hanya diam saja, Joko cepat tarik tangannya mengajak Bidadari Delapan Samudera menjauh.
“Jangan berani teruskan tindakan! Harap lepaskan tanganmu!” Bidadari Delapan Samudera buka mulut setengah membentak begitu sosoknya terseret.
“Bidadari.... Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Tapi terlalu bahaya jika turuti kemarahan!”
Bidadari Delapan Samudera berpaling dan menatap sesaat pada sepasang bola mata murid Pendeta Sinting, “terima kasih.... Tapi aku telah tentukan apa yang harus kulakukan! Harap lepaskan tanganmu dan menjauh dari tempat ini!”
Joko mempererat cekalan tangannya pada lengan Bidadari Delapan Samudera. “Harap jangan berlaku bodoh! Kau sama saja dengan bunuh diri! Kau tahu siapa yang akan kau hadapi?!”
“Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagiku! Bahkan aku memilih mati daripada hidup dengan rahasia yang terselubung!”
“Bidadari... Aku tahu seseorang yang mungkin dapat ungkap rahasia hidupmu!”
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. “Hanya laki-laki berjubah hitam itu yang tahu! Aku tak ingin dia mampus sebelum buka mulut jawab pertanyaanku!”
Bidadari Delapan Samudera tepiskan cekalan tangan pendekar 131. “Aku tak segan membunuhmu jika kau halangi tindakanku!”
Joko lepaskan cekalan tangannya. Namun secepat kilat kedua tangannya bergerak kembali sarangkan totokan! Bidadari Delapan Samudera berseru tertahan ketika mendapati apa yang dilakukan murid Pendeta Sinting.
“Apa yang kau lakukan?! Apa maksudmu dengan semua ini?! Kau telah membuat satu kesalahan besar! Aku akan membunuhmu!” Bidadari Delapan Samudera berteriak setengah menjerit. Tapi hanya itu yang bisa dilakukan, karena bersamaan itu sosoknya melorot jatuh.
Pendekar 131 cepat menyambar sosok Bidadari Delapan Samudera. Saat lain berkelebat ke arah Nenek Selir. “Nek! Kau tahu apa yang harus kau lakukan pada gadis ini! Sekarang aku harus pergi dulu!”
Joko letakkan tubuh Bidadari Delapan Samudera di hadapan si nenek yang masih tegak dengan kedua tangan memegang pedang. Yang diajak bicara bukannya cepat menyahut, melainkan memandang tajam pada Joko.
“Kau tak akan pergi dari sini, Setan Seberang! Dosamu padaku sudah tidak bisa diucapkan kata-kata!”
Berubahlah paras Pendekar 131. “Astaga! Tadi dia bercanda denganku! Mengapa sekarang tiba-tiba berubah?!”
“Nek...!”
“Jangan buka mulut!” hardik si nenek. “Kau tetap di sini atau pedangku akan memutus batang lehermu sekarang juga!”
“Nek....” Kali ini Bidadari Delapan Samudera yang angkat suara dengan mata mendelik ke arah Joko yang tegak di sampingnya. “Harap tak keberatan melepaskan aku dari totokan ini!”
Nenek Selir alihkan pandang matanya pada Bidadari Delapan Samudera yang tergeletak di atas tanah. Mendadak nenek ini perdengarkan tawa cekikikan. “Pemuda itu yang menotokmu. Mengapa minta aku yang harus membebaskan?!”
“Nek! Harap tidak terus bercanda! Memang dia yang lakukan pekerjaan keparat ini! Tapi kurasa kau bisa membantuku!”
“Kalau aku turuti permintaanmu, berarti aku membuat satu urusan! Padahal urusanku dengan dia belum selesai! Tunggulah sampai aku tuntaskan persoalan! Setelah itu kita lihat nanti!”
Bidadari Delapan Samudera bergumam tak jelas. Lalu berkata pada Joko dengan suara meradang. “Pemuda asing! Kalau kau ingin sesuatu, mengapa berlaku pengecut seperti ini?! Lepaskan totokanku!”
Joko tidak pedulikan radangan Bidadari Delapan Samudera. Sebaliknya dia memutar tubuh.
“Kau akan tetap di sini!” Nenek Selir sudah buka suara sebelum Joko teruskan gerakan.
Ketika murid Pendeta Sinting melirik, matanya membelalak dan kuduknya jadi dingin. Nenek Selir telah angkat kedua tangannya yang memegang gagang. “Nek.... Baiklah! Kalau apa yang kulakukan tempo hari kau anggap satu dosa, aku menerima! Tapi kumohon kau memberiku kesempatan....”
“Kesempatanmu sudah habis!”
“Tapi....”
“Kau pergi dengan leher putus atau tetap di sini hingga aku memutuskan!”
Selagi Pendekar 131 dan Nenek Selir bicara, diam- diam Bidadari Delapan Samudera coba kerahkan tenaga dalam untuk lepaskan diri dari totokan. Namun hingga tubuhnya bergetar dan berkeringat, dia tidak mampu membebaskan diri.
“Lebih baik kalian membunuhku!” Bidadari Delapan Samudera berteriak.
“Itu urusan mudah!” sahut Nenek Selir.
“Mengapa tidak kau lakukan?! Apa sebenarnya yang kalian inginkan?!”
“Jangan bertanya padaku! Bukan aku yang melakukannya!”
“Tapi setidaknya kau bisa lakukan sesuatu untukku! Aku telah menceritakan semuanya padamu! Seharusnya kau mengerti!”
Nenek Selir anggukkan kepala. “Kau memang telah cerita banyak padaku. Tapi satu cerita bukanlah merupakan jaminan aku harus lakukan sesuatu padamu!”
“Ah... Ternyata aku salah sangka pada kalian... Selama ini kukira kalian orang-orang yang....”
“Percuma kau mengeluh!” Nenek Selir memotong.
“Diam saja di situ! Lihat apa yang terjadi!” Habis berkata begitu, Nenek Selir arahkan matanya kedepan. Walau tetap waspada khawatir si nenek melakukan sesuatu yang tak terduga, perlahan-lahan Joko ikut putar kepala lalu memandang ke depan, di tempat mana Datuk Kala Sutera dan Bidadari Tujuh Langit tampak sama bergerak bangkit.
********************
SEBELAS
KITA tinggalkan dahulu ketegangan di tempat mana Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada. Kita menuju satu tempat tidak jauh dari tempat mana Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera berada. Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara Bidadari Tujuh Langit, Nenek Selir dan Pendekar 131, mendadak terdengar gaung aneh yang membuat semua orang harus salurkan hawa sakti dan tutup jalan pendengaran. Lalu terlihat gulungan benda hitam menukik dari atas udara. Saat lain suasana berubah gelap dan semua orang rasakan matanya perih.
Ketika suasana berubah terang lagi, ternyata Paduka Seribu Masalah, Manusia Tanah Merah, Bidadari Pedang Cinta, dan Dayang Tiga Purnama sudah lenyap. Ketika suasana berubah gelap dan semua orang rasakan matanya perih, mendadak Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta rasakan siuran angin di sebelahnya. Kedua gadis ini cepat membuat gerakan. Khawatir yang berkelebat ke arahnya adalah Bidadari Tujuh Langit atau Datuk Kala Sutera. Namun belum sempat kedua gadis Ini bergerak lebih jauh, mereka merasakan sosok masing-masing sudah berada di panggulan orang. Dan belum sempat keduanya buka mulut, mereka merasakan dibawa terbang.
Mungkin takut salah tindak, baik Bidadari Pedang Cinta maupun Dayang Tiga Purnama berusia tidak membuat gerakan meski diam-diam mereka kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan masing-masing. Ketika mendapati keadaan sudah terang, serta-merta Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama buka mata masing-masing. Namun belum sampai kedua gadis ini bisa mengetahui siapa gerangan sosok yang memanggulnya, mereka merasakan tubuh masing-masing terangkat keudara. Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama cepat pentang mata dari atas udara. Hampir bersamaan mereka angkat kedua tangan masing-masing lalu memandang kebawah. Namun mendadak kedua gadis itu sama tarik pulang tangan masing-masing. Lalu melayang turun.
“Eyang....” Dayang Tiga Purnama buka mulut seraya melangkah ke arah satu sosok tubuh tambun besar milik seorang perempuan berusia lanjut. Nenek ini berambut putih panjang sebatas betis. Wajahnya disamaki gumpalan daging hingga hidung dan matanya seakan melesak lenyap. Perempuan tambun besar ini mengenakan pakaian ketat warna merah. Di lain pihak, Bidadari Pedang Cinta segera pula melangkah mendekati perempuan tambun besar seraya membatin.
“Gadis ini memanggilnya Eyang. Jangan-jangan dialah gadis yang sering diceritakan Eyang Guru padaku....”
Bidadari Pedang Cinta hentikan langkah lima tindak di hadapan perempuan tambun besar. Sementara Dayang Tiga Purnama sudah menjura hormat dua tindak di hadapan si perempuan tambun besar seraya berucap lagi.
“Eyang.... Aku harus segera kembali. Aku telah menemukan orang yang selama ini kucari!”
Si perempuan tambun besar geleng kepala. “Dia tengah menuju kemari. Kau tak usah kembali!” Si perempuan tambun besar arahkan matanya pada sosok Bidadari Pedang Cinta. Bibirnya tersenyum.
Bidadari Pedang Cinta balas anggukkan kepala lalu berkata. “Putri Pusar Bumi... Sebenarnya aku tengah menuju ketempatmu...”
“Aku tahu..,” ujar perempuan bertubuh tambun besar yang ternyata bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.
“Eyang... Kau mengenalnya. Siapa dia?!” bertanya Dayang Tiga Purnama sambil melirik ke arah Bidadari Pedang Cinta.
“Kau ingat kakak kandungku si cebol berambut panjang itu?!”
“Iblis Pedang Kasih..,” gumam Dayang Tiga Purnama.
“Hem.... Dia adalah muridnya.”
Dayang Tiga Purnama berpaling pada Bidadari Pedang Cinta yang tidak lain memang murid tunggal Iblis Pedang Kasih, kakak kandung Putri Pusar Bumi. “Nenek tadi mengatakan gadis ini adalah kekasih pemuda negeri seberang itu.... Benarkah?!” Dayang Tiga Purnama ingat ucapan Nenek Selir.
Di lain pihak, diam-diam Bidadari Pedang Cinta juga tengah berkata dalam hati. “Gadis ini punya silang sengketa dengan Joko Sableng. Apa yang harus kukatakan padanya?! Jangan-jangan dia percaya ucapan nenek tadi kalau aku adalah kekasih pemuda itu... Aku harus menjelaskan padanya!”
“Mengapa kalian diam saja?! Kuharap kalian bisa menyelesaikan ganjalan di hati jika hal itu ada di antara kalian!” berkata Putri Pusar Bumi bisa membaca gelagat.
Hampir bersamaan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sama geleng kepala lalu saling lempar senyum dan anggukkan kepala.
“Eyang... Tidak ada apa-apa di antara aku dengan dia! Aku baru saja bertemu dengannya...” Dayang Tiga Purnama buka suara.
“Betul! Tidak ada ganjalan apa-apa di antara kami...” Bidadari Pedang Cinta menimpali.
“Bagus! Hal itulah yang kuharapkan!” kata Putri Pusar Bumi sambil berpaling pada satu jurusan. “Kita akan membicarakan sesuatu. Apa pun nantinya yang akan kalian dengar, kuharap kalian percaya walau sebenarnya mungkin kalian tidak menduga dan tidak percaya....”
Dada Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sama berdebar. Belum sampai ada yang buka mulut bertanya, Putri Pusar Bumi sudah berkata lagi.
“Mereka sudah datang....”
Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta berpaling ke arah mana mata Putri Pusar Bumi tengah memandang. Dari sebuah tikungan rumpun bambu tampak seorang kakek bertubuh pendek melangkah perlahan- lahan. Kakek ini berambut panjang hingga menjulai tanah. Pada punggungnya terlihat punuk besar hingga kala melangkah, sosok orang ini seperti doyong ke depan. Pada pinggangnya tampak melilit sebuah pedang berkilat.
“Eyang Guru...,” gumam Bidadari Pedang Cinta mengenali siapa adanya laki-laki bertubuh pendek yang tengah melangkah. Dia bukan lain memang Eyang Guru gadis berbaju hijau ini, yakni Iblis Pedang Kasih.
“Apa yang akan dibicarakan...?! Kedengarannya aneh! Aku harus percaya walau sebenarnya aku tidak menduga dan tidak percaya....”
Selagi Bidadari Pedang Cinta membatin begitu, pandang matanya menumbuk pada dua sosok tubuh yang muncul di belakang Iblis Pedang Kasih. Yang sebelah kanan adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Di sebelahnya adalah satu sosok tubuh yang tidak terlihat raut wajahnya karena orang ini sengaja sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya yang ditekuk. Orang ini menjajari laki-laki berjubah tanpa lengan dengan cara melompat-lompat sambil terus sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya.
“Aku tidak kenal siapa orang tua berjubah tanpa lengan. Tapi yang pasti satunya adalah Paduka Seribu Masalah!” Dayang Tiga Purnama bergumam yang hanya mengenali orang yang sembunyikan wajah di belakang rangkapan kedua kakinya dan yang bukan lain memang Paduka Seribu Masalah adanya.
Hanya beberapa saat, ketiga orang yang muncul dari tikungan sudah berada tidak jauh dari tempat tegaknya Bidadari Pedang Cinta. Putri Pusar Bumi segera melangkah mendekati ketiga orang yang baru muncul. Lalu buka suara seraya memandang ke arah laki-laki berjubah tanpa lengan.
“Manusia Tanah Merah. Tidak kusangka kalau kita akan bertemu lagi! Bagaimana kabarmu?! Ah... Ah..!”
“Terima kasih kau masih ingat padaku..,” berkata laki-laki berjubah tanpa lengan yang memang Manusia Tanah Merah adanya. “Sayang, menginjak usia bau tanah, aku harus mengalami nasib kurang beruntung. Tapi aku tidak menyesal. Jika tidak begitu, jangan- jangan urusanku akan berlanjut di dalam tanah!”
Putri pusar Bumi arahkan pandang matanya pada Iblis Pedang Kasih. “Rasanya sudah tiba saatnya kita mulai pembicaraan ini!”
Iblis Pedang Kasih anggukkan kepala sambil melirik pada muridnya Bidadari Pedang Cinta, membuat gadis ini makin tak enak.
Putri Pusar Bumi menghela napas panjang. Lalu berpaling pada Paduka Seribu Masalah yang duduk rangkapkan kaki dengan sembunyikan wajah di belakang kedua kakinya. Lalu buka mulut. “Sahabatku, Paduka Seribu Masalah... Terima kasih kau mau bergabung bersama kami. Kuharap kau nanti mau...”
Belum habis ucapan Putri Pusar Bumi, Paduka Seribu Masalah sudah perdengarkan suara. “Jangan berharap banyak. Aku takut memberi harapan! Tapi aku senang bertemu dengan kalian. Sudah lama rasanya kita tidak saling bertemu muka!”
Mungkin sudah mengenal siapa adanya Paduka Seribu Masalah, Putri Pusar Bumi tidak lagi sambuti ucapan orang. Sebaliknya segera alihkan pandangan silih berganti pada Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta. Lalu berkata.
“Dayang Tiga Purnama... Bidadari Pedang Cinta... Kalian tadi telah dengar ucapanku. Sekali lagi kuharap kalian nanti percaya dengan apa yang kalian dengar...” Putri Pusar Bumi hentikan ucapannya sesaat. Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama saling pandang dengan wajah heran tak mengerti. Namun kedua gadis ini tidak ada yang berusaha buka mulut.
“Sebenarnya apa yang akan kukatakan pada kalian sudah tersimpan selama enam belas tahun. Kalaupun baru kali ini kuutarakan, karena harus menunggu saat yang tepat!”
Untuk kedua kalinya Putri Pusar Bumi hentikan ucapan, membuat Dayang Tiga Purnama dan Bidadari Pedang Cinta makin tak enak hati dan berdebar-debar.
“Sebenarnya kalian berdua adalah saudara kandung....”
Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama sama surutkan langkah kaget. Mata mereka saling pandang membelalak. Mulut mereka menganga tanpa ada yang perdengarkan suara.
“Dayang Tiga Purnama....” Putri Pusar Bumi lanjutkan ucapan. “Kalau selama ini aku menyuruhmu mencari keterangan pada Paduka Seribu Masalah, ka- rena selain dia tahu banyak masalah orang, terus terang selama ini aku tak berani mengatakannya padamu. Aku ingin kau mendengar dari Paduka Seribu Masalah. Karena aku yakin kau pasti akan percaya... Lain halnya kalau aku bilang langsung kepadamu. Tapi karena keadaannya sudah mendesak, aku harus berani terus terang padamu. Lagi pula di sini ada Paduka Seribu Masalah...”
Dayang Tiga Purnama menghela napas panjang. Lalu buka mulut dengan suara tersendat. “Lalu siapa orangtua kami?!”
Putri Pusar Bumi bukannya segera menjawab, melainkan berpaling pada Iblis Pedang Kasih.
“Harap tidak sembunyikan sesuatu! Kalau kami memang saudara kandung, harap katakan siapa orangtua kami!” Bidadari Pedang Cinta ikut buka suara.
“Paduka Seribu Masalah... Harap kau membantu kami mengatakannya!” Iblis Pedang Kasih angkat suara.
“Ah... Mengapa kalian takut mengatakannya?! Kalau kalian saja merasa takut, apalagi aku...”
“Paduka... Masalahnya bukan takut atau tidak. Tapi ucapanmu pasti lebih bisa dipercaya...” Iblis Pedang Kasih kembali buka suara.
“Aku tak berani... Aku takberani!”
“Paduka Seribu Masalah... Aku bukannya ingin ikut campur. Tapi hal ini adalah urusan sangat penting bagi seorang anak manusia! Harap kau tidak takut mengatakan yang sebenarnya!” Manusia Tanah Merah ikut bicara.
Paduka Seribu Masalah gerakkan pantat ke belakang. Kepalanya seakan-akan digerakkan terangkat. Namun saat lain kembali orang ini benamkan wajah dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya. Terdengar dia menghela napas panjang sebelum akhirnya terdengar ucapan.
“Baiklah... Tapi kuharap ini adalah keterangan terakhir yang dapat kuberikan. Aku takut jika menjawab pertanyaan lainnya...”
Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sama anggukkan kepala. Sementara Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama terlihat makin tegang.
“Gadis-gadis cantik... Ibu kalian adalah Bidadari Tujuh Langit... Ayah kalian adalah Datuk Kala Sutera...”
Saking kagetnya, hampir bersamaan Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berkelebat dan tegak di kanan kiri Paduka Seribu Masalah.
“Harap jangan bertanya lagi. Aku tidak berani menjawab!” Paduka Seribu Masalah sudah perdengarkan suara sebelum ada yang buka mulut.
“Dayang Tiga Purnama, Bidadari Pedang Cinta... Kalian ingat ucapanku tadi... Kalian harus percaya apa yang telah kalian dengar!”
“Tapi itu tidak mungkin! Bidadari Tujuh Langit adalah perempuan yang memiliki kelainan! Bagaimana mungkin perempuan seperti dia punya anak?!” Bidadari Pedang Cinta berteriak.
“Kelainan itu terjadi setelah dia melahirkan kalian,” kata Putri Pusar Bumi.
“Datuk Kala Sutera selama ini tidak kenal siapa istrinya! Bagaimana mungkin dia juga bisa memiliki anak?!” Kali ini yang buka suara adalah Dayang Tiga Purnama ingat akan keterangan Pendekar 131.
“Kejanggalan aneh itu memang masih jadi tanda tanya besar hingga sekarang... Mungkin Paduka Seribu Masalah bisa memberi penjelasan..,” berkata Iblis Pedang Kasih.
Paduka Seribu Masalah gerakkan kepala pulang balik perlahan di belakang rangkapan kedua kakinya. “Kalian tadi sudah dengar. Harap jangan bertanya lagi... Aku takut!”
“Aku tidak percaya dengan semua ini!” Bidadari Pedang Cinta berseru dengan tubuh bergetar dan suara serak.
“Aku juga tidak percaya!” Dayang Tiga Purnama ikut berteriak.
“Anak-anak cantik... Harap tenangkan diri...” Manusia Tanah Merah coba menenangkan suasana.
“Tidak! Aku tak bisa tenang sebelum bisa membuktikan sendiri!” teriak Bidadari Pedang Cinta.
“Bukti memang diperlukan... Tapi harap kau berlaku tenang dan tabahkan hati. Apalagi hal ini tidak mudah!” kembali Manusia Tanah Merah angkat bicara.
Bidadari Pedang Cinta memandang lekat-lekat pada Dayang Tiga Purnama. Yang dipandang balas memandang.
“Benarkah semua ini?! Benarkah?!” Bidadari Pedang Cinta membatin. “Seandainya bukan Bidadari Tujuh Langit yang disebutkan namanya...” Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang.
“Bidadari... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi kau harus sadar. Ini adalah kenyataan yang harus kau terima! Siapa pun adanya Bidadari Tujuh Langit, kau harus menganggap apa adanya!” berkata Iblis Pedang Kasih.
“Aku bisa menerima kenyataan macam apa pun, Eyang. Tapi dalam hal satu ini, rasanya aku sulit dan belum percaya!” ujar Bidadari Pedang Cinta. Lalu ajukan tanya pada Dayang Tiga Purnama.
“Kau sendiri bagaimana?!”
Dayang Tiga Purnama terdiam beberapa saat sebelum akhirnya buka mulut. “Aku tak bisa menjawab sebelum aku mendapat keterangan pasti dari orang yang bersangkutan! Hanya saja rasa percaya ini begitu kecil dibanding tidak percaya!” Dayang Tiga Purnama tengadahkan kepala. Lalu lanjutkan ucapan seperti bicara dengan diri sendiri. “Seandainya benar, sebagai seorang ibu pasti dia akan mencari anak-anaknya! Tapi hal itu tidak dia lakukan!”
“Perempuan itu bukan saja tidak berusaha mencari anak-anaknya! Tapi sudah berani hendak berbuat gila menjijikkan pada anaknya! Tidak pantas perempuan seperti dia dipanggil ibu!” Bidadari Pedang Cinta sahuti ucapan Dayang Tiga Purnama.
“Bukan hanya itu. Laki-laki bernama Datuk Kala Sutera itu juga tidak layak dipanggil ayah! Dia pernah berusaha hendak bertindak aib padaku!” Dayang Tiga Purnama menimpali.
“Anak-anakku...,” kata Putri Pusar Bumi. “Mereka melakukannya karena tidak tahu siapa sebenarnya kalian adanya!”
“Eyang... Justru itulah yang membuatku tidak percaya. Bagaimana seorang ayah dan seorang ibu tidak bisa mengenali anak-anaknya!”
“Eyang...” Bidadari Pedang Cinta berkata seraya berpaling pada Iblis Pedang Kasih. “Aku harus pergi....”
“Tunggu!” tahan Iblis Pedang Kasih.
Tapi Bidadari Pedang Cinta seolah tidak mendengar teriakan orang. Dia berkelebat tinggalkan tempat itu dan berlari sekuat yang dia bisa. Dayang Tiga Purnama berpaling pada Putri Pusar Bumi. Tanpa buka mulut, gadis ini balikkan tubuh lalu berkelebat mengejar Bidadari Pedang Cinta. Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih, Manusia Tanah Merah saling pandang. Tanpa ada yang coba buka suara, perlahan-lahan ketiga orang ini melangkah meninggalkan tempat itu mengambil arah mana tadi Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama berkelebat.
“Hai... Mengapa kalian tidak mengajakku?! Kalian takut aku ikut serta?!” Paduka Seribu Masalah perdengarkan teriakan. Saat lain orang ini melompat-lompat mengejar dengan kaki ditekuk dan wajah disembunyikan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya...!
S E L E S A I