Serial Pendekar Naga Putih
Episode Dedemit Bukit Iblis
Karya T. Hidayat
Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
KEGELAPAN malam kini telah menyelimuti bumi. Angin dingin yang membawa titik‐titik air, terasa berhembus keras. Sementara cahaya rembulan yang seharusnya menghiasi sang malam, nampak lebih suka bersembunyi di balik gumpalan awan hitam. Suasana pada malam itu semakin hening dan mencekam!
Demikian pula keadaan Desa Ganjar yang terletak di wilayah sebelah Barat. Di kedai‐kedai makan hanya terlihat satu dua orang saja yang tengah menghangatkan badan, dengan segelas teh panas. Sedangkan di jalan‐jalan, tampak lengang dan sepi. Padahal, malam belum begitu larut.
Namun, di balik kesunyian yang mencekam itu terlihat beberapa penduduk yang berkelompok di tempat‐tempat yang tersembunyi. Mereka berjaga‐jaga dengan senjata di tangan. Memang, ada sesuatu yang bakal mengancam desa itu. Di pintu masuk, maupun di batas desa, tampak telah dijaga ketat. Puluhan orang dengan senjata di tangan, telah siap di posnya masing‐masing.
Di sebuah pos jaga yang terdapat di mulut desa, kurang lebih lima belas orang laki‐laki tampak tengah mengelilingi sebuah api unggun. Mereka sengaja membuatnya untuk mengusir hawa dingin yang seperti menusuk tulang.
"Hm..., malam sudah semakin larut. Ayo, kita keliling!" ajak salah seorang dari para peronda itu.
"Ah! Kakang Jarwa, nanti sajalah! Sebentar lagi, Kakang!" bantah beberapa orang saling bersahutan, sambil menggosok‐gosokkan tangannya dekat api unggun. Udara malam yang semakin dingin, rupanya membuat mereka merasa malas untuk meronda keliling desa
Orang yang dipanggil Jarwa itu menghela napas sejenak. Dia sendiri pun sebenarnya merasa enggan untuk keliling dalam suasana seperti ini. Namun, pada saat‐saat desa tengah mengalami bencana begini, rasanya tidak pantas untuk mementingkan diri pribadi. Apalagi ia yang mendapat kepercayaan sebagai kepala keamanan desa.
Sebab pada akhir‐akhir ini, Desa Ganjar telah diteror oleh peristiwa penculikan bayi. Dalam dua hari, ini saja, tiga orang bayi yang baru dilahirkan di Desa Ganjar lenyap tanpa jejak. Malah, keluarga dari salah satu bayi yang hilang itu, kedapatan tewas dalam keadaan yang hampir tak dapat dikenali lagi.
Desa Ganjar pun menjadi gempar! Para penduduk desa dibayangi rasa takut yang hebat! Terlebih lagi, Para wanita yang sedang hamil tua. Kehadiran sang bayi yang biasanya mereka tunggu‐tunggu, kini malah jadi beban yang menakutkan! Sebenarnya, kejadian itu bukan hanya terjadi di Desa Ganjar saja. Tetapi juga dialami oleh hampir seluruh desa yang terletak di wilayah Barat.
Oleh karena itulah, mengapa pada malam ini hampir di setiap sudut Desa Ganjar tampak para penduduk berjaga‐jaga. Baik yang sembunyi‐sembunyi maupun secara terang‐terangan. Sementara, sang malam kian larut. Meskipun hujan belum turun, namun hembusan angin terasa semakin dingin, membekukan tulang.
"Ayolah! Apakah kalian ingin menunggu hujan?" ajak Jarwa lagi, yang menjadi kepala jaga di gardu depan.
Dengan rasa malas, beberapa orang dari para peronda itu segera bangkit dari duduknya.
"Kalian bertujuh, tetaplah di sini. Awas! Jangan ads seorang pun yang boleh meninggalkan tempat ini tanpa sepengetahuanku! Mengerti?!" tegas suara Jarwa memberi perintah.
"Baik, Kakang! Berhati‐hatilah!" jawab mereka.
Kedelapan orang itu pun, segera beranjak meninggalkan pos jaga itu. Dengan diterangi tiga buah obor, mereka mulai mengadakan perondaan di sekitar Desa Ganjar.
Tok! Tok! Tok!
Suara kentongan terdengar saling bersahutan. Para peronda yang dipimpin Jarwa berjalan menerobos kegelapan malam yang dingin. Kadang‐kadang, mereka berhenti di sudut‐sudut yang agak gelap. Setelah memastikan keadaan di tempat itu aman, para peronda itu pun segera meneruskan langkahnya.
Tanpa sepengetahuan para peronda, sesosok bayangan putih nampak berkelebat menerobos kepekatan malam. Gerakan bayangan putih itu bukan main cepatnya! Sepertinya bayangan itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Bayangan putih itu berkelebat bagai secercah sinar yang samar‐samar.
Bayangan putih itu berloncatan dengan lincahnya dari satu atap rumah penduduk ke atap lainnya, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih itu berkibaran tertiup angin. Sosok yang bagaikan hantu yang berkeliaran itu terus melesat ke arah sebelah Timur Desa Ganjar.
Waktu sudah lewat tengah malam, ketika Jarwa bersama ketujuh orang kawannya sampai di Balai Desa yang terletak di tengah‐tengah desa itu. Sementara dari arah yang berlawanan, tampak para peronda lain yang sudah tiba pula di tempat itu.
"Selamat malam, Kang Jarwa... tegur salah seorang dari mereka, yang bertindak selaku pimpinan dari para peronda itu.
"Ah..., Adi Lugat! Selamat malam," sambut Jarwa, yang kemudian diikuti oleh para peronda lainnya yang saling berteguran. "Bagaimana keadaan di batas desa, Adi Lugat!" tanya Jarwa kemudian.
"Yah..., sampai saat ini masih aman, Kakang!" jawab orang yang dipanggil Lugat itu.
"Oh..., syukurlah kalau demikian. Mudah‐mudahan malam ini tidak ada kejadian apa‐apa...,"ujar ujar Jarwa mengharap.
"Begitulah yang kita semua harapkan, Kakang!" ujar Lugat senada. "Eh! Mari, Kakang! Kami ingin meneruskan perondaan!" pamitnya kemudian.
"Oh! Silakan..., silakan, Adi Lugat!" sahut Jarwa pula.
Setelah berbasa‐basi sejenak, kedua rombongan itu pun berpisah. Jarwa beserta rombongannya meneruskan perondaan ke arah batas desa. Sedangkan rombongan Lugat, menuju ke arah yang berlawanan.
Tok! Tok! Tok!
Suara kentongan kembali terdengar mengiringi langkah kaki mereka, dengan Irama yang tetap. Baru saja beberapa langkah mereka berjalan, tiba‐ tiba terdengar jerit ketakutan yang melengking tinggi memecah kesunyian malam.
"Aaaaaawwww...!"
Dengan sigap, Jarwa beserta rombongannya segera berbalik ke tempat semula. Demikian juga dengan rombongan Lugat. Sehingga kedua rombongan itu bertemu kembali.
"Adi Lugat! Kau dengar jeritan itu?" tanya Jarwa dengan wajah diliputi ketegangan.
"Tentu saja, Kakang! Sepertinya dari arah Timur!" jawab Lugat tidak kalah tegangnya.
"Bunyikan kentongan tanda bahaya!" perintah Jarwa dan Lugat berbarengan.
Tanpa diperintah dua kali, kentongan segera dipukul. Suaranya segera disambut oleh kentongan‐ kentongan lainnya. Maka terdengarlah bunyi kentongan yang bertalu‐talu dan bersahut‐sahutan. Suasana malam yang semula sunyi dan mencekam itu pun berubah menjadi ramai, bagai ada pesta rakyat saja. Dalam sekejap saja, keadaan di Desa Ganjar berubah menjadi terang benderang oleh puluhan batang obor yang bermunculan dari segala penjuru.
Sementara itu, rombongan Jarwa dan Lugat telah lebih dahulu berlari ke arah asal suara jeritan tadi. Semakin lama, rombongan mereka semakin bertambah banyak. Karena di dalam perjalanan menuju tempat itu, banyak penduduk desa yang bergabung dengan kedua rombongan itu. Meskipun demikian, sebagian dari mereka tetap siaga di posnya masing‐masing.
Tidak lama kemudian, rombongan itu tiba di tempat yang dituju. Ternyata, di situ juga telah banyak para penduduk dengan senjata di tangan. Mereka mengurung sebuah rumah, yang merupakan sumber suara teriakan tadi. Rumah yang tidak begitu besar, dan berdinding bilik.
"Kakang Jarwa...!" sambut mereka penuh harap. "Iblis itu ada di dalam!" sambung mereka lagi.
Jarwa segera melangkah mendekati rumah itu. Setelah memperhatikan sejenak ia pun segera berteriak keras; "Hei, manusia, iblis! Keluarlah! Rumah ini sudah dikepung!"
Ketika tidak mendapat jawaban sepatah kata pun, mereka mulai tidak sabar untuk segera bertindak Para penduduk Desa Ganjar memang merasa geram sekali oleh malapetaka yang selalu, menimpa desa mereka akhir‐akhir ini. Mereka ingin sekali memergoki orang biadab itu, untuk dicincang.
Melihat keadaan yang semakin memanas, Jarwa dan Lugat kemudian mengatur siasat. Mereka lalu memerintahkan beberapa orang penduduk untuk berjaga‐jaga di depan. Sementara Jarwa dan beberapa orang lainnya bersepakat untuk menerobos ke dalam. Dengan satu teriakan nyaring, Jarwa menendang pintu rumah itu hingga jebol. Tubuhnya langsung bergulingan dengan sigapnya. Disusul kemudian beberapa orang lainnya, yang berlompatan masuk.
Apa yang mereka saksikan dalam rumah itu, benar‐benar telah melenyapkan nyali mereka. Beberapa orang penduduk yang telah berlompatan masuk itu menjadi lemas kakinya. Sehingga hanya dapat memandang saja dengan kaki gemetar! Bahkan ada pula yang terhuyung‐ huyung jatuh sambil menekap mulutnya, karena menahan rasa mual yang amat sangat.
Siapa yang tidak akan gemetar, apabila di hadapan mereka tampak mayat suami istri pemilik rumah tergeletak dalam keadaan yang mengenaskan sekali. Kedua mayat itu tidak dapat dikenali lagi. Tubuh mereka terpisah‐pisah bagai habis dicabik‐cabik seekor binatang buas yang amat liar. Percikan‐percikan darah yang masih segar membanjiri hampir seluruh ruangan itu!
Dan yang lebih mengerikan lagi, di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh berjubah putih sambil menghirup darah bayi yang masih merah. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih berjuntai hampir menutupi sebagian wajahnya. Matanya yang bersinar kebiruan memandang dengan liar orang‐orang yang berdiri di depan pintu. Tapi, sepertinya dia tak peduli, dan terus menggigit leher bayi itu untuk dihisap darahnya.
"Hmmrrr! Nikmat sekali!" terdengar suara yang serak dan menyeramkan dan mulutnya yang dibasahi darah segar bayi itu.
"Ibb... Iblisss...!" dengan susah payah Jarwa dan Lugat dapat juga mengeluarkan suara. Kerongkongan mereka bagaikan tercekik, seperti berat untuk mengeluarkan suara.
"Hi hi hi...!" Diiringi tawa yang mendirikan bulu roma, iblis itu berkelebat sambil melemparkan mayat bayi yang telah pucat itu ke arah Jarwa dan Lugat. Bayi yang telah mati itu terus melesat menghantam Jarwa.
"Bluk!" Kedua orang yang bagaikan tersihir itu tak sempat lagi untuk menghindar. Dan anehnya, tubuh Jarwa terjengkang keras ke belakang. Lugat yang berada di belakang Jarwa ikut terjengkang. Padahal lemparan tadi nampak pelahan sekali. Dan lagi, kedua orang itu bukanlah tokoh kosong. Dapat dibayangkan, betapa kuatnya tenaga iblis itu.
Sedangkan tubuh iblis itu melesat ke atas atap dan menjebol wuwungan rumah itu hingga hancur. Tubuhnya langsung berloncatan, melalui atap‐atap rumah penduduk. Beberapa orang penduduk yang berjaga‐jaga di luar segera memburu bayangan itu.
"Hei, lihat! iblis itu melarikan diri...!" teriak salah seorang penduduk sambil menunjuk ke atas atap.
“Serang ... !" teriak yang lainnya.
Tanpa diperintah dua kali, para penduduk Desa Ganjar itu pun segera melemparkan senjata‐senjata mereka ke arah bayangan itu.
Siiinnng! Seeennng! Seennngg!
Trakk! Trakk!
Ketika iblis itu mengebutkan tangannya untuk menangkis senjata‐senjata itu, tombak dan golok yang beterbangan langsung berjatuhan ke tanah. Bahkan ada beberapa di antaranya yang jatuh dalam keadaan patah!
"Gila! iblis itu memiliki ilmu kebal...!" teriak beberapa orang penduduk kaget.
Rupanya, Iblis itu tidak ingin memperpanjang urusan. Sebab, selagi para penduduk itu terpaku, iblis itu pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Beberapa saat setelah kepergian iblis itu, nampak seekor kuda yang ditunggangi seorang lelaki gagah mendatangi tempat itu. Usia lelaki itu kurang lebih lima puluh tahun. Sementara di belakangnya terlihat dua orang yang mengawalnya.
"Ki Selangkit...!" seru para penduduk serentak, sambil menganggukkan kepalanya kepada orang tua itu.
Orang yang bernama Ki Selangkit Itu balas menganggukkan kepalanya sedikit. Kemudian dengan gerakan gesit, dia melompat turun dari kudanya. Demikian pula kedua orang pembantunya itu, yang tak kalah gesit melompat dan alas punggung kudanya.
"Ah! Nampaknya aku sudah terlambat!" ujar Ki Selangkit dengan wajah yang menggambarkan kekecewaan.
"Benar, Ki! iblis itu baru saja pergi!" jawab salah seorang dari para penduduk
"Hhh.... Lalu, di mana Jarwa dan Lugat?" tanya Ki Selangkit, ketika tidak menemukan kedua orang kepercayaannya itu di antara kerumunan penduduk.
"Kami di sini, Ki...!" tiba‐tiba terdengar sahutan dari arah rumah yang terkena musibah tadi
Para penduduk desa yang berkerumun itu segera menoleh ke arah datangnya suara tadi. Tampaklah dua orang yang dicari Ki Selangkit, keluar dari dalam rumah itu.
"Apa yang terjadi Jarwa..., Lugat...?" tanya Ki Selangkit, ketika kedua orang itu sudah dekat di hadapannya.
"Hhh...! Kepandaian iblis itu ternyata hebat sekali, Ki!" lapor Jarwa. Di wajahnya tergambar rasa ngeri yang masih tersisa.
"Benar, Ki! Dan hampir saja kami tewas ditangannya!" sambung Lugat melengkapi laporan Jarwa.
"Lalu, bagaimana keadaan di dalam rumah itu?" tanya Ki Selangkit dengan wajah yang menggambarkan rasa ingin tahu yang besar.
Jarwa dan Lugat segera menceritakan segala kejadian yang dialaminya, tanpa mengurangi ataupun menambahkan sedikit pun. Setelah mendengar cerita Jarwa dan Lugat, Ki Selangkit menghela napas dalam. Lalu dilangkahkan kakinya ke arah rumah yang kini jadi pusat perhatian itu. la terpaku di ambang pintu rumah itu. Wajahnya memucat. Sebentar kemudian wajahnya berubah merah, karena menahan geram yang amat sangat. Selama sepuluh tahun memimpin Desa Ganjar, baru kali inilah la merasa benar‐benar sangat terpukul.
"Kumpulkan semua anggota tubuh mayat‐mayat itu! Besok baru kita kebumikan sebagaimana mestinya!" perintah Ki Selangkit, kepada para penduduk yang masih berkumpul di tempat itu.
"Baik, Ki!" jawab mereka serempak.
"Dan ingat! Kejadian ini jangan kalian ceritakan kepada anak dan istri kalian! Ingat itu!" pesan Ki Selangkit sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.
********************
Keesokan paginya, Ki Selangkit bersama para pembantunya telah berada di Balai Desa, untuk membicarakan musibah yang terus menerus menimpa penduduk Desa Ganjar.
"Saudara‐saudaraku! Sengaja kukumpulkan. kalian pada hari ini di sini, untuk membicarakan masalah yang kita hadapi di desa kita ini. Nampaknya keadaan sudah semakin gawat!" ujar Ki Selangkit kepada para pembantunya yang hadir di tempat pertemuan itu.
"Lalu, bagaimana kita harus mengatasi masalah ini, Ki? Sedangkan kepandaian iblis itu sangatlah hebat!" potong Lugat dengan wajah putus asa.
"Oleh karena itulah aku mengajak kalian berkumpul di tempat ini untuk meminta pendapat ataupun usul‐usul kalian!" sergah Ki Selangkit agak keras.
"Maafkan saya, Ki! Saya..., saya bingung.... ucap Lugat gagap, ketika melihat Ki Selangkit gusar karena pembicaraannya dipotong. Namun Ki Selangkit menjadi sadar akan perkataannya yang terdengar agak kasar itu.
"Aku pun minta maaf, Lugat! Aku juga heran, mengapa akhir‐akhir ini aku menjadi mudah sekali marah!" gumamnya dengan wajah lesu.
Mereka pun menjadi terdiam. Untuk beberapa saat lamanya ruangan itu menjadi hening, terbawa arus pikiran masing‐masing.
"Nah! Sekarang aku ingin mendengar pendapatmu, Adi Jarwa!" ujar Ki Selangkit kemudian, sambil mernandang ke arah kepala keamanan desa itu
"Mmm..., begini, Ki! Menurut apa yang saya ketahui, kepandaian iblis itu sangatlah tinggi. Dan rasa‐rasanya usaha yang kita lakukan bersama‐sama penduduk desa selama ini akan sia‐sia saja! Ah! Maaf, Ki! Bukan berarti saya meremehkan apa yang telah kita lakukan selama ini!" ucap Jarwa panjang lebar.
"Lalu, menurutmu apa yang harus kita perbuat?" tanya Ki Selangkit yang masih belum dapat menerka arah pembicaraan pembantunya ini.
"Menurut hemat saya, untuk mengatasi keganasan iblis itu adalah dengan meminta bantuan para pendekar persilatan!" usul Jarwa kemudian.
"Hmm... Ya, ya," gumam Ki Selangkit sambil mengangguk‐ anggukkan kepalanya. Dan memang sepertinya ia dapat menerima usul yang diajukan Jarwa itu.
"Bagaimana, apa ada usul yang lain lagi?" tanya Ki Selangkit kepada pembantunya yang lain.
"Saya kira usul Kakang Jarwa tepat sekali, Ki' tegas Lugat sependapat.
"Baiklah! Kalau demikian, kita harus membagi tugas!" ujar Ki Selangkit kemudian.
Setelah semua yang hadir mendapat tugasnya masing‐masing, Ki Selangkit pun segera membubarkan rapat itu. Kemudian, undangan segera disebarkan ke perguruan‐perguruan silat yang menjadi sahabat‐sahabat Ki Selangkit, juga kepada pendekar‐pendekar yang telah mereka ketahui kepandaiannya.
Pada hari yang telah ditentukan, Desa Ganjar menjadi ramai oleh, para pendekar yang berdatangan memenuhi undangan Ki Selangkit. Puluhan orang‐orang gagah dan berbagai perguruan berkumpul di Desa Ganjar. Mereka semua datang dengan hati rela, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Memang sudah menjadi kewajiban mereka untuk menggunakan ilmu yang mereka miliki untuk kepentingan orang banyak.
Ki Selangkit pun sibuk menyambut kedatangan para pendekar‐pendekar itu. Wajahnya nampak berseri seri Terutama setelah berjumpa dengan sahabat‐sahabat lamanya.
"Ah, Kakang Danu Wirya! silakan, silakan, Kakang! Terima kasih atas kerelaan Kakang yang telah sudi datang dari tempat yang jauh untuk memenuhi undangan kami...!" sambut Ki Selangkit kepada salah seorang sahabat lamanya itu.
"Ah, Adi Selangkit! Mengapa sungkan‐sungkan? Apakah kau telah melupakan persahabatan kita...?" ujar orang yang dipanggil Danu Wirya itu dengan wajah gembira.
"Ah! Kakang bisa saja.... ucap Ki Selangkit senang.
Danu Wirya merupakan salah seorang sahabat lama Ki Selangkit. la memiliki sebuah perguruan silat yang cukup terkenal di wilayah Barat ini. Perguruannya bernama Gagak Putih, dan telah banyak menciptakan pendekar‐pendekar tangguh berjiwa ksatria. Sehingga nama perguruan Gagak Putih itu sangat disegani kawan dan ditakuti lawan.
Hampir semua pendekar yang diundang Ki Se langkit itu datang memenuhi undangan. Mereka dipersilakan untuk beristirahat melepaskan lelah di tempat‐tempat yang telah disediakan sebelumnya oleh Ki Selangkit. Kedatangan para pendekar persilatan itu untuk sementara ini telah melegakan hati penduduk Desa Ganjar yang selama ini tertekan akibat teror yang melanda desa mereka. Melihat kegagahan para pendekar itu, penduduk Desa Ganjar merasa yakin kalau malapetaka yang menimpa desa mereka akan segera berakhir.
Pada sore harinya Ki Selangkit mengundang mereka untuk menghadiri pertemuan yang diadakan di Balai Desa. Tidak lama kemudian, para pendekar pun mulai berdatangan ke Balai Desa. Dari langkah‐langkah kaki mereka yang ringan, dapat ditebak bahwa mereka rata‐rata mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Sikap mereka juga sopan, mencerminkan sifat seorang pendekar sejati.
"Silakan masuk, Tuan‐ tuan...," sambut Lugat yang bertugas menyambut di pintu depan.
Para pendekar itu segera mengambil tempat duduk yang telah disediakan. setelah semua pendekar yang diundang itu berkumpul, Ki Selangkit segera membuka pertemuan.
"Sahabat‐sahabat sekalian! Sebelum pertemuan ini kita mulai, kami persilakan untuk mencicipi hidangan ala kadarnya...!" ujar Ki Selangkit membuka pertemuan.
Tanpa ragu‐ragu lagi, para pendekar itu lalu mencicipi hidangan yang telah tersedia di atas meja. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, ruang pertemuan itu menjadi sedikit gaduh. Sambil mencicip hidangan, para pendekar itu saling bertegur sapa satu sama lain.
"Adi Selangkit, rasanya pertemuan ini sudah bisa kita mulai!" bisik Ketua Perguruan Gagak Putih, yang duduk di sebelah Ki Selangkit.
"Baiklah, Kakang!" jawab Ki Selangkit.
Plok! Plok! Plok!
Para pendekar itu menoleh secara bersamaan ke arah suara tepukan itu berasal. Seketika suara‐ suara gaduh itu pun lenyap, berganti keheningan. Mereka menunggu apa yang akan dibicarakan Ki Selangkit.
"Sahabat‐sahabat sekalian, apakah pertemuan ini sudah bisa kita mulai?" tanya Ki Selangkit. Suaranya begitu berwibawa.
Terdengar suara riuh sejenak, ketika para pendekar itu menyetujui usul Ki Selangkit ini. Ki Selangkit segera mengangkat kedua tangannya ke atas untuk menghentikan suara gaduh yang seperti kumpulan lebah. Beberapa saat kemudian, keadaan pun menjadi hening kembali.
"Sahabat‐sahabat sekalian! Mungkin sebagian besar pendekar‐pendekar yang hadir di sini belum saling mengenal satu sama lainnya, tetapi sudah sering mendengar nama masing‐masing, maka kini aku akan memperkenalkan kalian," ajar Ki Selangkit dengan wajah berseri‐seri. "Orang yang duduk di sebelah kanan saya, adalah Ki Danu Wirya atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Hati Emas. Dia adalah Ketua Perguruan Gagak Putih!"
Ki Danu Wirya segera bangkit dari tempat duduknya, lalu menganggukkan kepalanya. Semua yang hadir di situ memandang ke arahnya dengan kagum Nama Pendekar Hati Emas memang cukup mengguncangkan dunia persilatan. Sepak terjangnya pun membuat lawan akan berpikir dua kali untuk berurusan dengannya. Dalam lima tahun belakangan ini, namanya mencuat karena tindakannya yang selalu menolong orang yang lemah. Banyak sudah tokoh hitam yang tewas di tangannya. Namun, tidak sedikit pula yang dilepaskan begitu saja. Mungkin karena memiliki pertimbangan lain.
"Ah! Sebuah julukan yang kosong saja, kawan‐kawan!" ucap Ki Danu Wirya merendah. Setelah berkata demikian, pendekar sakti itu pun kembali duduk di kursinya.
"Dan, di sebelah kiri saya adalah seorang pendekar yang tidak kalah terkenalnya. Apakah di antara para sahabat sekalian ada yang dapat menerkanya?" lanjut Ki Selangkit berteka‐teki.
"He he he… Hanya sebuah julukan yang berlebihan..., hik...!” seru orang yang dimaksud Ki Selangkit sambil menggoyang‐goyangkan guci araknya.
"Pendekar Pemabuk...!" seru beberapa orang yang hadir di situ dengan mata bertanya‐tanya
Mendengar disebutnya nama Pendekar Pemabuk, beberapa pendekar lain pun menjadi terkejut. Sebab. bagaimana caranya Ki Selangkit mengundang pendekar itu? Menurut khabar, Pendekar Pemabuk adalah seorang pendekar perantau. Dan tidak seorang pun yang mengetahui tempat tinggal pendekar sakti itu. Pendekar Pemabuk pun bukan tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh beberapa pendekar yang hadir di tempat itu. Dan ia pun tidak ingin membuat mereka kebingungan.
"He he he... Hanya kebetulan lewat! Ya, hanya kebetulan...!" ujarnya patah‐patah. Setelah berkata demiklan pendekar sakti itu segera menuangkan arak ke dalam mulutnya dari dalam guci yang tak pernah lepas dari tangannya itu. Terdengar suara arak memasuki kerongkongannya.
Glek... glek...!
Ada beberapa orang pendekar andal lagi yang dikirimkan beberapa perguruan terkenal yang diperkenalkan oleh Ki Selangkit. Demikianlah, pertemuan para pendekar itu pun berjalan lancar, sebagaimana yang diharapkan. Beberapa keputusan pun telah diambil dan disepakati bersama. Ki Selangkit dan para pendekar itu segera mengatur siasat guna menjebak iblis yang telah membunuh beberapa penduduk Desa Ganjar, dan membawa petaka bagi keselamatan umat manusia.
Hari sudah mulai gelap ketika pertemuan para pendekar itu dibubarkan Ki Selangkit. Dan mereka segera kembali ke tempat penginapan masing‐masing. Mereka akan berkumpul kembali pada waktu yang telah disepakati bersama.
********************
DUA
Malam itu, angin bertiup lembut. Bulan yang muncul penuh itu memancarkan sinarnya yang berwarna putih keperakan. Bintang‐ bintang pun bertaburan menghiasi wajah sang malam. Sehingga, suasana pada malam purnama itu menjadi semakin cerah. Namun, keindahan suasana malam itu ternyata tidak menarik perhatian penduduk Desa Ganjar. Sebab, tak seorang pun para penduduk desa itu yang berada di luar rumah.
Suasana desa itu menjadi sunyi dan mencekam. Peronda desa pun hanya terlihat beberapa orang saja di gardu jaga. Sedangkan para peronda yang keliling desa hanya empat orang. Sungguh aneh! Padahal keadaan Desa Ganjar saat itu tengah diliputi ketegangan! Benar‐benar aneh!
Waktu sudah lewat tengah malam. Di antara bayangan sinar rembulan, tampak berkelebat sesosok bayangan putih yang berambut meriap. Gerakannya sangat cepat, melalui atap‐atap rumah penduduk. Bayangan putih itu berloncatan dengan ringannya, bagaikan seekor burung besar yang berloncatan dari dahan kedahan. Arah yang dituju ke arah sebelah Barat Desa Ganjar.
Dari ciri‐ciri yang terlihat, jelas kalau bayangan yang berkelebat bagai hantu itu adalah iblis penculik bayi yang telah membuat resah penduduk desa wilayah Barat. Rupanya malam itu ia kembali beraksi di desa yang dipimpin Ki Selangkit.
Iblis penculik bayi itu kelihatan ragu‐ragu sejenak. Kemudian dipalingkan wajahnya ke sekeliling tempat itu. Seolah‐olah merasa curiga dengan keadaan yang sepi itu. Nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, sepertinya iblis itu tidak mempedulikan keadaan desa yang sepi itu. la pun kembali meneruskan larinya ke arah tempat yang ditujunya.
Ketika iblis itu sampai di tempat tujuannya, tampak ia kembali ragu‐ragu. Pandangannya beredar berkeliling. Nalurinya yang hampir menyerupai binatang buas itu, membisikkan ada bahaya besar yang sedang mengintainya. Tapi, bayangan bayi yang masih segar itu telah menghilangkan keragu‐raguannya.
"Oooaaa..., 0ooaaa ... !"
Tiba‐tiba terdengar suara tangis bayi yang keras. Seolah‐olah naluri bayi yang masih suci itu merasakan adanya suatu ancaman yang membuat tidurnya gelisah. la seperti tengah minta pertolongan kepada kedua orang tuanya. Mendengar tangis bayi, air liur iblis itu berlelehan di bibirnya. Nafsu binatangnya telah terusik untuk segera menyantap si bayi yang terus menerus menangis.
Tanpa, mempedulikan apa yang akan terjadi nanti, iblis itu segera melesat ke atap rumah tempat asal suara tangisan tadi. Dengan hati‐ hati, dibukanya atap rumah itu. Sementara air liurnya semakin banyak menetes ketika melihat sesosok tubuh mungil tergeletak di pembaringan. Sedang sang ibu setengah tertidur di sampingnya sambil mengelus‐elus kepala si bayi untuk menenangkannya.
Mata iblis itu mulai memancarkan sinar yang berwarna kehijauan. Suatu tanda bahwa nafsu si iblis sudah mencapai puncaknya. Tiba‐tiba iblis itu meluncur turun dengan gerakan yang ringan sekali, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Namun sebelum kaki si iblis menyentuh tanah, mendadak sebuah bayangan menyambutnya dengan sebuah pukulan yang dahsyat! Angin pukulan yang ditimbulkannya membuat jubah luar iblis itu berkibar dengan kuatnya. Kibaran itu memperdengarkan suara gemuruh yang keras!
Betapa terkejutnya iblis penculik bayi itu demi mendapat serangan yang tiba‐tiba. Jelas pukulan yang meluncur datang itu, adalah pukulan maut yang mematikan! Tentu saja iblis itu tidak ingin membiarkan tubuhnya dijadikan sasaran pukulan. Dengan sigap segera digerakkan tangannya memapak pukulan itu.
Duukk!
Terdengar sebuah suara nyaring, bagai dua, batang besi yang dibenturkan keras! Tubuh keduanya, terdorong beberapa langkah ke belakang. Keduanya memperlihatkan rasa kaget yang tak dapat disembunyikan. Ternyata tenaga keduanya berimbang! Iblis penculik bayi itu merasa terkejut karena kehadiran orang yang sama sekali tidak diduganya. Ternyata nalurinya tidak salah! Nyatanya, kini ia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang tinggi.
Si penyerang itu pun tidak pula kalah terkejutnya. Tidak disangkanya sama sekali kalau kepandaian iblis itu demikian hebat sehingga dalam adu tenaga tadi, telah membuat lengannya terasa nyeri. Keduanya kembali berhadapan dan saling memandang dalam jarak sepuluh langkah. Sementara di dalam rumah itu telah bermunculan belasan orang lainnya dengan senjata terhunus di tangan mereka.
"Selamatkan bayi itu...!" seru salah seorang dari mereka yang baru datang itu.
"Hai, iblis biadab! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos lagi!" seru Ki Selangkit yang tiba‐tiba saja muncul dari ruangan dalam rumah itu.
"Grrhhh...! Kau ingin menangkapku?! Hi hi hi...! Cobalah...!" desis iblis penculik bayi itu dengan suara parau.
“Lihatlah, iblis! Kau sudah terkepung!" ujar Ki Selangkit lagi.
Iblis penculik bayi itu segera memandang ke sekelilingnya. Di dalam rumah itu, belasan orang telah mengurungnya. Ketika memandang ke atas atap, juga telah dipenuhi belasan orang bersenjata. Dan iblis itu kembali memandang kepada penyerangnya tadi.
"Hm.... rupanya dia merasa gentar kepadamu, Kakang Danu Wirya!" kata Ki Selangkit. Si penyerang yang ternyata Pendekar Hati Emas itu pun, tetap memandang tajam si iblis penculik bayi.
Beberapa saat kemudian, rupanya iblis itu telah mengambil keputusan. Dengan sebuah teriakan parau, iblis itu segera menjejak bumi. Tubuhnya cepat melambung ke atas atap, sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menghadapi segala kemungkinan. Ketika melihat sesosok bayangan putih berkelebat menerobos atap, Pendekar Pemabuk yang memimpin pengepungan di atas segera menyambut dengan hantaman guci araknya. Suaranya mengaung membelah udara malam dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Tapi, si iblis yang telah memperhitungkan hal itu tidak menjadi terkejut. Segera digerakkan tangannya untuk menyambut serangan guci arak tersebut.
Baaannng!
Benturan antara telapak tangan si iblis dengan guci Pendekar Pemabuk menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. Tubuh iblis penculik bayi itu terpental dengan keras. Namun dengan sebuah gerakan yang indah, iblis itu bersalto beberapa kali di udara. Tubuhnya kemudian mendarat di tanah dengan ringannya. Untuk kedua kalinya ia merasa terkejut, ketika tangan kanannya yang menyambut serangan guci arak tadi terasa linu.
Demikian pula dengan Pendekar Pemabuk. Dengan beberapa kali salto di udara, ia mendaratkan kakinya di tanah. Pendekar Pemabuk cepat‐cepat memeriksa guci araknya. Setelah memastikan bahwa guci tersebut tidak mengalami kerusakan, ia pun segera mengalihkan pandangannya ke arah si iblis.
"Gila! Tidak kusangka, tenaga dalam iblis Itu hebat sekali!" umpat Pendekar Pemabuk pelahan. Pendekar Hati Emas juga merasakan lengannya nyeri sekali akibat benturan tadi. Untunglah tadi ia hanya mengerahkan tiga perempat dari tenaga saktinya. Kalau tidak, tentu ia sudah terluka parah. Sementara itu, iblis penculik bayi masih tetap berada di tengah‐tengah kepungan para pendekar. Pendekar Pemabuk segera melesat ke arah kepungan itu. Ternyata, Pendekar Hati Emas dan Ki Selangkit telah pula berada di antara para pendekar yang mengepung si iblis.
"Hm. Malam ini adalah akhir dari petualanganmu, Iblis!" bentak seorang pendekar yang mengurungnya.
"Begithukahh?! Hi hi hi...! Kemarilah Anak Baik Khemarilahhh…!" ujar si iblis dengan suara yang menyeramkan.
Suara iblis itu menggetar dan menyelusup ke dalam alam pikiran. Sementara matanya yang memancarkan sinar kehijauan itu menatap dengan tajam ke arah orang yang berbicara tadi.
Untuk sekejap orang itu menjadi gelagapan ketika mendengar suara ajakan itu la terus saja menatap ke arah iblis itu dengan sinar mata yang kian meredup. Dan dengan tertatih‐tatih, orang itu pun mulai melangkah mendekati si iblis. Raut wajah orang itu bagai orang yang hilang ingatan.
"Bhagusss.... kemarilah! Terus... terus...!" dengan suaranya yang parau, iblis itu terus memerintah.
Para pendekar yang mengepung tempat itu menjadi terpaku ketika melihat salah seorang kawannya melangkah ke tempat si iblis berdiri. Mereka menjadi tidak mengerti, apa yang hendak dilakukan oleh temannya itu. Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk juga agak terkesiap demi melihat kejadian yang tidak diduganya itu. Kedua pendekar itu segera dapat menerka apa yang telah terjadi terhadap salah seorang kawannya itu.
"Ilmu sihir...!" seru kedua orang sakti itu bersamaan.
Tanpa membuang‐buang waktu lagi, kedua orang pendekar sakti itu segera menerjang iblis yang tetap melancarkan kekuatan sihir dari matanya. Sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang mengandung tenaga Sakti, tubuh mereka melesat menerjang.
Iblis penculik bayi itu tersentak mundur. Wajahnya seketika berubah. la terkejut ketika mendengar suara lengkingan yang mampu membuyarkan pengaruh sihirnya itu. Semenjak ia melakukan aksinya, baru kali inilah ia menemukan lawan yang berat! Ketika serangan kedua orang lawannya itu meluncur datang, iblis itu pun segera berkelit dengan indah. Langsung dibalasnya serangan‐serangan itu.
Namun, kali ini yang dihadapinya bukanlah tokoh‐tokoh kosong. Kepandaian Pendekar Hati Emas maupun Pendekar Pemabuk tidaklah dapat dianggap remeh. Kedua orang sakti itu sudah terbiasa menghadapi lawan tangguh. Apalagi kini mereka maju bersama! Terlihat betapa sibuknya iblis penculik bayi itu menghadapi serangan‐serangan yang dahsyat dari kedua pendekar itu.
Dua puluh jurus pun telah terlewat. Kini kedua Pendekar sakti itu benar‐benar tidak memberi peluang bagi si iblis untuk membalas. Mereka terus mendesak dengan serangan‐serangan gencar yang susul menyusul. Pada suatu saat, iblis itu tidak dapat menghindari lagi, ketika sebuah pukulan yang dilancarkan Pendekar Hati Emas meluncur deras ke dada kirinya. Pada saat bersamaan, hantaman guci arak Pendekar Pemabuk pun melayang ke kepalanya.
Dhiieesss! Blaaakkk!
Tubuh iblis itu terlempar dengan keras, dan jatuh tersuruk menghantam bumi. Namun, kedua orang pendekar Sakti itu menjadi ternganga ketika melihat iblis itu bangkit tanpa menderita luka sedikit pun. Sungguh suatu hal yang mustahil.
"Gila! Apakah ia memiliki ilmu kebal?!" seru Pendekar Pemabuk dengan wajah heran.
"Entahlah! Padahal aku telah mengerahkan tiga perempat dari tenagaku! Apakah tubuh iblis itu lebih keras dari batu karang?" seru Pendekar Hati Emas pula.
"Hi hi hi! Ayo, keluarkan seluruh kepandaian kalian!" ejek si iblis.
Tiga orang lainnya yang turut mengurung iblis itu segera melompat sambil membabatkan senjatanya dengan sekuat tenaga. Tapi, iblis itu seolah‐olah tidak melihat serangan Itu. Tentu saja ketiga orang penyerang itu menjadi girang. Dan ketiganya merasa yakin dapat membunuh si iblis dengan sekali tebas.
Buukk! Duukk! Dhaaakk!
Senjata ketiga orang itu memang tepat mengenai tubuh si iblis. Namun, mereka menjadi tertegun. Ternyata, senjata mereka bagaikan bertemu dengan sebatang besi yang kuat. Kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia‐siakan oleh iblis itu. Dengan cepat bagai kilat, dilontarkannya tiga buah pukulan sekaligus!
Dhiesss! Buukk! Dhieeess!
Tubuh ketiga orang pendekar itu terpental sejauh dua tombak. Seteiah memuntahkan gumpalan darah yang mengental, ketiga orang itu pun tewas seketika. Itulah pukulan ilmu 'Iblis Pengejar Roh' yang menjadi andalan iblis itu.
"Iblisss ... !" teriak para pendekar bersamaan. Mereka menjadi marah sekali ketika melihat tiga orang kawannya tewas secara mengerikan. Dengan teriakan‐teriakan gusar, mereka pun segera menyerbu iblis penculik bayi itu.
"Jahanam...!" !" bentak Pendekar Hati Emas, Pendekar Pemabuk, dan Ki Selangkit, bersamaan dengan wajah merah padam.
Ketiganya segera melesat ke arah si iblis yang tengah dikeroyok oleh para pendekar lainnya. Menghadapi keroyokan itu, iblis penculik bayi menjadi kalang kabut. Tubuhnya jatuh bangun terkena hantaman pukulan maupun senjata‐senjata yang berkelebatan di sekebling tubuhnya. Untunglah iblis itu mempunyai kekebalan terhadap segala macam senjata.
Meskipun si iblis dibuat jatuh bangun oleh para pendekar itu, namun tak segores pun luka yang tampak di tubuhnya. Kecuali, hantaman dan Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk yang terasa agak menyakitkan. Berkali‐kali hantaman dari kedua orang Sakti itu mendarat telak di tubuhnya. Tapi iblis itu kembali bangkit tanpa menderita luka sedikit pun, kecuali hanya meringis‐ringis.
Puluhan jurus telah terlewati. Namun, iblis itu masih sukar untuk ditundukkan. Tentu saja para pendekar Itu menjadi cemas. Kalau keadaan ini tidak berubah, lama‐kelamaan tenaga mereka akan habis juga. Sebenarnya dalam hal ilmu siat, kepandaian iblis itu tidaklah terlalu tinggi. Meskipun ilmunya hanya satu tingkat lebih tinggi dari Pendekar Hati Emas maupun Pendekar Pemabuk, namun apabila kedua pendekar itu maju bersama, pasti iblis itu dapat ditaklukkan. Apalagi kini ia harus menghadapi keroyokan dari para pendekar lain yang rata‐rata memiliki ilmu yang lumayan tinggi itu.
Hanya berkat ilmu hitam serta ilmu sihirnyalah, sehingga iblis itu dapat bertahan dari gempuran para pendekar. Setiap kali hantaman mereka mengenai tubuh si iblis, seketika itu pula ia dapat bangkit kembali. Akibatnya, para pendekar itu hampir putus asa.
Dhiieeess! Dhiiiggg!
Kembali tubuh iblis itu terjengkang terkena pukulan para pendekar. Selagi tubuh iblis itu bergulingan di atas tanah, para pendekar itu segera memburunya. Tubuh si iblis kini siap dicacah. Namun, tiba‐tiba tubuh iblis itu melenting ke atas dan mendarat sejauh tiga tombak.
"Hei!" Tiba‐tiba iblis itu membentak. Suaranya keras menggetarkan hati. "Mengapa kalian menyerangku dengan ular?!"
Para pendekar yang tengah meluncur ke arahnya, mendadak berhenti dengan wajah bingung. Iblis itu pasti telah gila, karena tidak dapat meloloskan diri dari kepungan mereka. Dan dalam keputusasaannya, jiwa iblis itu pun menjadi terguncang. Demikian pikir para pendekar itu. Tapi, bukan main terkejutnya para pendekar, ketika memandang ke arah senjata yang mereka genggam. Ternyata di tangan mereka masing‐masing telah tergenggam seekor ular yang mendesis‐desis dengan ganas.
"Hah!?! U... u... ular...!" teriak para pendekar itu. Mereka langsung membuang ular‐ular itu ketanah. Namun, untuk ke sekian kalinya mereka kembali terkejut. Karena ular‐ular yang mereka lemparkan ke tanah, mendadak berubah menjadi senjata‐ senjata mereka kembali.
"Eh! Ini... ini...!" teriak mereka gagap. Dan tidak ada seorang pun dari para pendekar itu yang berani menyentuh senjatanya.
"Ini pasti sihir...!" teriak pendekar Hati Emas. "Awas! Jangan memandang kearah matanya!" seru Pendekar Pemabuk. Karena ia seringkali menemukan hal‐hal aneh dalam perantauannya, maka ia sedikit mengerti tentang cara menanggulangi ilmu sihir itu.
"Hi hi hi...! Aku adalah seorang raksasa yang besaaar... dan menyeramkan! Dan Aku akan menyantap tubuh kalian satu persatu! Hi hi hi...!" kembali terdengar suara iblis itu yang menggetarkan sukma.
Dan para pendekar itu kini merasakan jantung mereka seperti copot! Ketika di hadapan mereka, telah berdiri sesosok tubuh yang tinggi besar dan menyeramkan! Matanya yang Iiar dan bersinar kehijauan itu menatap para pendekar yang berdiri dengan kaki gemetar! Betapa tidak? Karena, mimpi seperti ini pun mereka tidak pernah, apalagi menghadapinya secara nyata!
Untunglah Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk langsung mengambil tindakan cepat! Kedua pendekar sakti itu segera mengempos semangatnya untuk menyatukan tenaga sakti mereka. Lalu, terdengar lengkingan tinggi yang merobek angkasa!
Aneh! Tubuh tinggi besar yang menyeramkan itu pun mendadak lenyap dan berubah menjadi sediakala. Bahkan tubuh iblis itu sedikit terdorong ke belakang. Sedangkan dan sela‐sela bibirnya tampak mengalir cairan yang berwarna merah!
Sementara para pendekar lain tersentak kaget oleh suara lengkingan yang menggetarkan jantung itu. Serentak para pendekar itu duduk bersila. Mereka mengerahkan hawa murni untuk melawan getaran suara itu. Dan dengan sendirinya, pengaruh sihir dari iblis itu pun lenyap. Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk yang telah menyatukan tenaganya, serentak meluncur ke arah iblis penculik bayi dengan serangan gabungan mereka yang bergemuruh bagai angin topan!
Rupanya iblis itu telah menjadi murka. la bukannya mengelakkan pukulan kedua orang sakti itu, tapi malah membiarkan tubuhnya jadi sasaran. Kedua pendekar sakti itu kaget bukan main! Mereka sama sekali tidak menyangka kalau iblis itu akan melakukan hal yang nekad. Namun, untuk menarik pulang tenaganya, mereka sudah terlambat! Ketika serangan itu hampir mencapai sasaran, tiba‐tiba iblis itu menghentakkan tangannya ke depan.
Dhiieess! Blakkk! Dhliggg!
Tubuh iblis penculik bayi itu melayang bagai sehelai daun kering. Pukulan kedua orang sakti itu dengan telak menghantam dada dan lambungnya. Tubuhnya bergulingan di atas tanah sejauh lima depa, tetapi kemudian ia bangkit dengan sigapnya. Tidak terlihat luka sedikit pun pada tubuhnya, kecuali rasa ngilu pada dada dan lambungnya.
Sedangkan keadaan Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk lebih parah lagi. Tubuh keduanya terbanting ke tanah disertai semburan darah yang memercik membasahi bumi. Pukulan balasan si iblis yang disertai tenaga dalam penuh itu memang luar biasa sekali. Dada kedua pendekar itu bagai dihantam palu godam yang berat. Sehingga, untuk beberapa saat mereka harus mengatur jalan napas mereka yang terasa sesak.
Ki Selangkit, Jarwa, Lugat, dan para pendekar lainnya kembali menyerbu ke arah si lblis. Sepertinya tidak ingin memberi peluang kepada iblis itu untuk meloloskan diri. Pertarungan pun kembali berlangsung dengan seru. Tangan Ki Selangkit yang menegang kaku bagai cakar itu berkelebatan mengincar kelemahan di tubuh lawan. Sedangkan pedang dan golok para pendekar lainnya, berdengung bagai lebab‐lebah marah! serangan‐serangan mereka selalu ditujukan ke mata si iblis.
Tentu saja iblis penculik bayi itu menjadi terperanjat Sehingga dalam pertarungan kali ini, ia lebih banyak melindungi kedua matanya yang merupakan kelemahan dari ilmunya itu. Dengan demikian, serangan‐serangannya pun menjadi, berkurang.
Ketika memasuki jurus kelima belas, Ki Selangkit mulai mengubah serangannya. Dengan jurus 'Dewa Menunjukkan Jalan', cakar Ki Selangkit meluncur ke tenggorokan, lawan. Sedangkan kaki kanannya melepaskan tendangan kilat ke perut bagian bawah si iblis. Sementara tangan kirinya, yang berada di sisi pinggang, siap terlontar dengan tiba‐tiba. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya!
Namun, Ki Selangkit telah melupakan sesuatu! Ternyata si iblis mempunyai kekebalan tubuh yang sukar ditembus. Itulah sebabnya ketika serangan Ki Selangkit meluncur datang, ia sama sekali tidak menghindar. Malah iblis itu mengulurkan tangannya untuk mencengkeram leher Ki Selangkit, yang menjadi terkejut setengah mati!
Ki Selangkit segera menarik pulang kedua serangannya. Tangan kirinya yang dipersiapkan untuk serangan susulan itu, terpaksa digunakan untuk menangkis cengkeraman ke lehernya. Ki Selangkit memiringkan tubuhnya ke kiri. Sementara tangan kirinya yang terbuka, menepak ke arah pergelangan tangan lawan. Si iblis yang rupanya sudah memperhitungkan gerakan lawan, secepat kilat menarik pulang cengkeramannya. Dan sekaligus lengan kirinya melayang ke arah kepala Ki Selangkit.
Breeettt!
Tubuh orang tua itu melintir, ketika tangan yang membentuk cakar itu menyambar pipi kanannya. Ki Selangkit berdiri limbung dengan pandangan berkunang‐kunang. Sementara dari luka yang memanjang di pipi kanannya, mengalir darah segar. Bersamaan dengan melintirnya tubuh Ki Selangkit, golok di tangan Jarwa meluncur deras membabat tengkuk si iblis dari samping kiri. Sedangkan dari sisi sebelah kanan, pedang dari salah seorang pendekar yang mengeroyoknya berkelebat ke arah dadanya.
Menghadapi kedua serangan yang meluncur datang itu, si iblis tidak menjadi gugup. Dengan sigap, kedua tangannya segera terulur menangkap pergelangan kedua lawannya. Tentu saja kedua penyerang itu menjadi terkejut dan wajah mereka berubah pucat. Dengan sebuah teriakan parau, iblis itu menyentak kedua tangannya. Akibatnya kedua, tubuh lawannya itu tersuruk ke depan. Segera disambutnya dua tubuh itu dengan jari‐jari terbuka yang menusuk ke tenggorokan..
Jreepp! Creeeppp!.
"Arrrgghhh…!" Dibarengi sebuah jeritan yang panjang, tubuh kedua orang itu tersentak ke belakang Sebentar mereka meregang nyawa lalu diam tidak bergerak. Kedua orang itu tewas dengan tenggorokan berlubang!.
Menyaksikan kehebatan iblis itu, para pendekar yang mengeroyoknya serentak mundur. Hati mereka diliputi bermacam perasaan yang berkecamuk. Sedih, marah dan gentar bercampur menjadi satu Sehingga sulit untuk membedakan perasaan apa yang sebenarnya ada di hati mereka saat itu..
Ketika melihat para pengeroyoknya melangkah mundur, tanpa membuang‐ buang waktu lagi iblis penculik bayi itu segera melesat meninggalkan arena pertarungan. Tubuhnya berkelebatan di antara pepohonan dan atap rumah‐rumah penduduk..
"Kejar...!" tiba‐tiba terdengar sebuah teriakan yang dibarengi dengan berkelebatnya dua sosok tubuh dengan kecepatan yang sukar dikuti mata..
Para pendekar yang masih belum menyadari kejadian itu, menjadi tersentak kaget. Dan tanpa diperintah dua kali, para, pendekar itu berlarian mengejar iblis penculik bayi yang melarikan diri. lblis itu semakin mempercepat larinya ketika melihat para pendekar itu telah pula mengejarnya. Tubuhnya melesat bagaikan anak panah yang lepas dari busur. Dan dalam waktu yang singkat saja, para pendekar itu tertinggal jauh di belakang..
Memang kalau dalam hal ilmu meringankan tubuh, sulit sekali rasanya untuk dapat menandingi kecepatannya. Karena ilmu meringankan tubuhnya benar‐benar sangat hebat, dan jarang dimiliki tokoh dunia persilatan. Dua sosok bayangan yang berteriak tadi, tak lain adalah Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk Kedua orang sakti itu pun masih tak mampu juga menandingi kecepatan si iblis. Padahal mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan meringankan tubuh mereka. Namun, jarak antara mereka dengan si iblis tetap saja tidak berubah..
"Huh! Tidak kusangka, ilmu meringankan tubuh iblis itu hebat sekali!" ujar Pendekar Pemabuk antara dengusan napasnya yang mulai memburu..
"Ya! Benar‐benar di luar dugaan kita!" jawab Pendekar Hati Emas menimpali..
Akhirnya, kedua orang pendekar sakti itu hanya dapat membayangi si iblis dari kejauhan. Sedangkan para pendekar lainnya telah tertinggal jauh di belakang. lblis penculik bayi terus berlari melewati per batasan Desa Ganjar. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi itu, ia berlari di atas pematang‐pematang sawah tanpa mengalami kesukaran sedikit pun..
Setelah cukup lama mereka berkejaran, Pendekar Hati Emas dan Pendekar Pemabuk sempat melihat iblis itu memasuki sebuah hutan lebat yang membentang di hadapan mereka. Kedua orang sakti itu ikut pula memasuki hutan itu. Namun ketika tiba pada sebuah daerah perbukitan, kedua orang Sakti itu telah kehilangan buruannya. Iblis penculik bayi itu telah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Hilang bagai ditelan bumi!.
"Aneh! Ke mana larinya iblis keparat itu...!" gerutu Pendekar Pemabuk dengan perasaan jengkel..
"Entahlah! Tapi yang jelas, ia menghilang di sekitar bukit‐bukit ini!" ujar Pendekar Hati Emas pula..
Kemudian kedua orang pendekar sakti itu segera memeriksa semak‐semak di sekitar tempat itu. Mereka menduga ada sebuah jalan rahasia yang telah dipergunakan iblis tersebut. Namun, hingga para pendekar lainnya tiba, belum juga ditemukan jalan yang mereka cari..
"Bagaimana, Kakang ... ?" tanya Ki Selangkit kepada Pendekar Hati Emas, begitu tiba bersama para pendekar lainnya..
"Entahlah, Adi Selangkit! Ketika kami mengejarnya, tiba‐tiba saja ia lenyap di sekitar daerah ini!" jelas Pendekar Hati Emas.
Mendengar keterangan itu, Ki Selangkit segera, mengedarkan pandang ke sekitar tempat tersebut. Tiba‐tiba hatinya tersentak kaget ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah bukit yang berdiri tegak menyeramkan.
"Bukit... lblisss ... !" seru Ki Selangkit dengan bibir bergetar. Wajahnya seketika berubah pucat.
"Bukit Iblis...!" teriak para pendekar lainnya tidak kalah kaget.
Sebagian orang persilatan memang telah lama mendengar tentang bukit tersebut. Namun baru kali inilah mereka mengetahui bentuk dan letak bukit yang terkenal itu. Sebuah bukit yang dikhabarkan menjadi tempat persembunyian para dedengkot kaum sesat.
"Hm.... Kalau kita nekad menyatroni tempat tersebut, sama saja dengan mengantarkan nyawa!" ujar Pendekar Hati Emas. "Meskipun kepandaian iblis itu tidak terlalu tinggi, namun ilmu hitam dan ilmu kebalnya itulah yang membuat dia sukar dikalahkan. Perlu diketahui kalau di atas bukit itu, terdapat juga kawan‐ kawannya! Maka, akan sia‐sialah segala usaha kita," lanjut pendekar itu lagi.
"Jadi..., apa yang harus kita lakukan?" tanya Selangkit bingung.
"Ya..., kurasa kita harus meminta bantuan kepada orang‐orang Sakti yang tahu kelemahan ilmu dedemit itu," jawab Pendekar Hati Emas pula.
"Lalu..., kepada siapa kita meminta bantuan? Sedangkan para tokoh kelas atas jelas tidak mungkin! Sebab mereka lebih suka mengasingkan diri, daripada mencampuri urusan dunia!" ujar Ki Selangkit. Dari matanya terpancar sinar kekecewaan.
"Tunggu dulu!" potong Pendekar Pemabuk. "Apakah kalian pernah mendengar seorang pendekar muda yang telah menewaskan Tiga Iblis Gunung Tandur dengan ilmu ilmunya yang mujizat?" tanya Pendekar Pemabuk.
"Eh! Tiga Iblis Gunung Tandur telah dibunuh seorang pendekar muda?" seru para pendekar itu tidak percaya.
"Ya! Bahkan ketiga‐tiganya sekaligus!" tambah Pendekar Pemabuk. Wajahnya barseri gembira.
"Oh, hebat! Hebat!" teriak mereka semakin terkejut.
"Bagaimanakah ceritanya, Adi?" tanya Pendekar Hati Emas tertarik.
Pendekar Pemabuk lalu menceritakan kabar yang sudah tersebar didaerah Selatan. Dan sebagai seorang pendekar pengembara, ia juga telah mendengar khabar ini.
i "Luar biasa...!" seru para pendekar itu kagum. "Tapi, ke mana kita harus mencarinya?" tanya Ki Selangkit penuh harap.
"Mudah saja! Setiap pendekar yang berada di sini harus menyebarkan berita tentang mengganasnya makhluk yang bernama Dedemit Bukit lblis di wilayah Barat, " usul Pendekar Pemabuk.
"Tepat sekali!" sergah Pendekar Hati Emas. "Dan sebagai seorang pendekar sejati, apabila ia mendengar berita itu, pastilah ia akan datang untuk membasminya. Bagaimana, sahabat‐sahabat?" tanya pendekar itu kepada yang lainnya.
"Setuju!!" jawab para pendekar tersebut serempak.
"Kalau demikian, sekarang marilah kita kembali ke desa. Para penduduk tentu telah menantikan dengan hati cemas!" seru Ki Selangikit.
Demikianlah, rombongan para pendekar itu pun segera meninggalkan tempat tersebut. Sementara, di kejauhan mulai terdengar kokok ayam jantan yang menandakan pagi akan segera datang.
********************
TIGA
Hari masih pagi ketika para tokoh rimba persilatan yang dipimpin Pendekar Pemabuk bergegas meninggalkan Desa Ganjar. Mereka akan menyebar ke berbagai penjuru untuk menyebarkan berita tentang mengganasnya iblis penculik dan penghisap darah bayi yang berjuluk Dedemit Bukit Iblis! Sementara Pendekar Hati Emas dan Ki Selangkit tetap berada di Desa Ganjar untuk berjaga‐jaga kalau si iblis kembali membuat ulah di desa itu.
Dalam waktu beberapa bulan saja, kekejaman dan kebiadaban Dedemit Bukit Iblis itu telah ramai dibicarakan orang, Baik di desa‐desa, di kedai‐ kedai minum maupun di pasar‐pasar. Demikian pula para petani, pedagang, maupun para pembesar tinggi kerajaan. Mereka semua ikut membicarakan hal berita itu, sehingga semakin meluas ke pelbagai lapisan!
Apalagi di kalangan persilatan. Para pendekar yang merasa ikut bertanggung jawab untuk mengatasi masalah itu, mulai berdatangan dari berbagai penjuru. Perguruan‐perguruan dari berbagai aliran, mengutus murid‐murid utamanya untuk menyelidiki kebenaran berita yang telah tersebar luas itu.
Maka tidaklah mengherankan apabila setiap hari selalu saja ada rombongan orang berkuda maupun yang berjalan kaki, mendatangi desa‐desa yang terletak tidak jauh dari Bukit iblis itu. Selain datang secara rombongan, ada pula pendekar yang datang secara perorangan. Karena mereka merupakan pendekar perantau, dan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Bagi mereka, di mana langit dijunjung dan bumi dipijak, maka di situlah rumah mereka.
Dan tidak sedikit pula dari para pendatang itu yang berstatus pedagang‐pedagang yang memanfaatkan kesempatan itu. Mereka berdatangan dengan harapan dapat memperoleh keuntungan besar. Karena tempat‐tempat yang mereka datangi adalah desa‐desa yang terdekat dengan Bukit iblis. Dan tentulah tempat‐tempat tersebut akan ramai dikunjungi orang!
Memang tepatlah apa yang diperkirakan para pedagang itu. Desa‐desa yang dekat dengan Bukit iblis lebih ramai dikunjungi para pendatang, daripada desa‐desa lainnya. Seperti Desa Ganjar, Desa Pasiran, dan beberapa desa lainnya, yang berada di sekitar Bukit iblis. Namun, ternyata tidak semua rombongan para pendatang itu yang singgah ke desa‐desa itu‐ Ada pula rombongan yang langsung menuju ke Bukit iblis. Dari keberanian itu, jelas kalau mereka tentulah rombongan yang terdiri dari pendekar persilatan yang tangguh.
Rombongan yang langsung menuju sasaran, kurang lebih berjumlah empat puluhan orang. Mereka tergabung dari tujuh buah perguruan yang terbesar pada masa itu, dan ditambah belasan orang pendekar perantau yang berdiri sandiri. Sikap mereka terlihat gagah dan berwibawa. Senjata yang dibawa pun bermacam‐macam bentuknya. Kebanyakan pendekar itu, membawa pedang, golok, dan tombak. Hanya sebagian kecil saja yang menggunakan kapak, tongkat, dan senjata lain.
Setelah melakukan perjalanan setengah hari, rombongan itu tiba di Kaki Bukit iblis. Mereka bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing‐masing. Kemudian para pendekar itu pun beristirahat, karena telah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Kuda‐kuda mereka ddepaskan di padang rumput luas, yang banyak terdapat di sekitar tempat itu.
Setelah dirasa cukup beristirahat, para pendekar itu segera berkumpul untuk menentukan langkah berikutnya. Seorang lelaki gagah yang bernama Ki Teja Laksana, tampil ke depan. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Bulu‐ bulu menghiasi pipi dan dagunya, sehingga membuat wajahnya tampak semakin berwibawa. Namanya pun cukup terkenal dikalangan persilatan, yang selalu menjunjung tinggi kebenaran Dia berjulukan Pendekar Tangan Baja.
Pendekar Tangan Baja adalah pendekar perantau yang tidak terikat suatu partai pun. Namun, ia mempunyai hubungan baik di setiap perguruan. Oleh karena itulah, maka hampir dari seluruh pendekar yang hadir di situ telah mengenalnya dengan baik. Dan para pendekar yang hadir segera mempercayakan Pendekar Tangan Baja untuk memimpin rapat ini.
"Sahabat‐sahabatku para pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran!" kata Ki Teja Laksana. Sengaja suaranya disertai pengerahan tenaga dalamnya agar semua yang hadir dapat mendengar jelas. "Dalam musyawarah ini, para sahabat dipersilakan mengeluarkan pendapat masing‐masing, agar dapat diambil satu keputusan! Tentu saja keputusan yang terbaik dan disetujui kita bersama! Nah, sekarang, silahkan para sahabat mengajukan pendapat secara bergiliran," seru Pendekar Tangan Baja mengakhiri ucapannya.
Ketika Pendekar Tangan Baja alias Ki Teja Laksana mengakhiri perkataannya, terdengar suara gaduh yang disebabkan pembicaraan para pendekar itu di antara sesama kawannya. Ki Teja Laksana cepat‐cepat mengangkat kedua tangannya ke atas, untuk meredakan kegaduhan itu.
Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening. Dan Ki Teja Laksana pun kembali mengulangi perkataannya. Salah seorang dari para pendekar itu segera mengangkat tangannya ke atas sebagai tanda ingin mengajukan usul. Ki Teja Laksana menganggukkan kepalanya ke arah pendekar itu.
"Begini, Kakang! Bagaimana kalau beberapa orang di antara kita menyelidiki keadaan bukit itu terlebih dahulu? Siapa tahu bukit itu dipenuhi perangkap yang akan mencelakakan kita!" usul pendekar itu.
"Hm.... Sebuah usul yang sangat bagus, Adi Kalingga!" ajar Pendekar Tangan Baja. la tampak cukup gembira mendengar usul itu.
Mendengar usulnya disambut gembira, pendekar yang dipanggil Kalingga itu berseri‐seri wajahnya. Tokoh ini adalah seorang murid andalan perguruan 'Tongkat Sakti'. la dikenal dengan julukan Pendekar Tongkat Maut Kepandaiannya hanya satu tingkat di bawah gurunya. Maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian pendekar itu. Kalingga bersama tiga orang adik seperguruannya diutus gurunya untuk menyelidiki kebenaran berita yang menggemparkan itu.
Sementara itu, rapat dilanjutkan oleh beberapa usulan lagi yang diajukan para pendekar lainnya kemudian para pendekar yang memimpin musyawarah itu segera berembuk untuk mencapai kata sepakat. Beberapa saat kemudian, Pendekar Tangan Baja alias Ki Teja Laksana kembali tampil di hadapan para pendekar itu untuk mengumumkan keputusannya.
Setelah mendengar alasan‐alasan yang dikemukakan Ki Teja Laksana, akhirnya para pendekar itu pun menyetujui usul yang telah diajukan Pendekar Tongkat Maut. Setelah mendengar persetujuan dari para pendekar lainnya, Ki Teja Laksana lalu meminta setiap perguruan yang hadir untuk mengajukan seorang wakil. Ketujuh perguruan itu pun segera menyerahkan wakiInya, untuk menyelidiki keadaan Bukit Iblis. Dengan dibantu oleh dua orang pendekar perantau, rombongan yang dipimpin langsung oleh KI Teja Laksana segera berangkat.
********************
Matahari sudah semakin meninggi ketika rombongan yang berjumlah sepuluh orang mulai mendaki Bukit lblis. Kesepuluh orang pendekar itu berloncatan di atas batu‐batu yang bertonjolan di Badan Bukit lblis. Tidak berapa lama kemudian, kesepuluh orang pendekar itu pun mulai memasuki daerah yang sukar dilewati. Melihat keadaan medan yang semakin sukar, Pendekar Tangan Baja yang berjalan paling depan segera menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Ki?" tanya seorang pendekar yang bertubuh tinggi kurus itu dengan suara pelahan.
Ki Teja Laksana tidak segera menjawab pertanyaan rekannya. Segera diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Wajahnya terlihat agak tegang. "Rasanya..., kita harus lebih meningkatkan kewaspadaan! Aku merasa ada suatu bahaya mengancam!" ujar Pendekar Tangan Baja memperingatkan kawan‐kawannya.
Mendengar peringatan dari Pendekar Tangan Baja, seketika wajah kesembilan orang pendekar itu berubah tegang! Meskipun tidak mengetahui apa yang dkhawatirkan itu, namun perkataan seorang pendekar seperti Ki Teja Laksana, tidak mungkin hanya omong kosong belaka.
Sementara Ki Teja Laksana masih terus mengawasi sekitarnya. Memang pernah didengarnya perihal bukit yang belum pernah dijamah manusia itu. Dan menurut cerita kakek gurunya, di bukit itu terdapat banyak ancaman yang mengerikan dan telah banyak memakan korban. Namun, sampai saat ini belum jelas apa bahaya itu. Belum ada orang yang mengetahui bentuk ancaman itu, karena yang didengar hanyalah cerita dari mulut ke mulut. Belum ada seorang pun yang dapat membuktikannya. Itulah, mengapa Ki Teja Laksana merasa ragu‐ragu untuk melanjutkan langkahnya.
Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana sudah memiliki banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Nalurinya pun telah terlatih dengan baik. Dan kini, nalurinya mengatakan bahwa di sekitar tempat ini banyak bahaya yang tengah mengincar. Namun Pendekar Tangan Baja tidak ingin membiarkan kawan‐kawannya dihantui bayangan menakutkan. Pendekar itu lalu mengajak kesembilan orang kawannya untuk meneruskan langkah, tanpa meninggalkan kewaspadaan. Dengan hati penuh ketegangan, kesepuluh orang pendekar itu meneruskan langkahnya. Ki Teja Laksana yang berjalan paling depan melangkah pelahan, sambil sesekali memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Selang beberapa waktu kemudian, mereka tiba pada sebuah tempat yang agak terbuka. Di hadapan mereka terbentang sebuah tanah lapang yang ditumbuhi ilalang setinggi dua tombak yang tumbuh di kiri kanan jalan setapak. Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana tiba‐tiba, menghentikan langkahnya. Kesembilan orang pendekar lainnya segera mengikutinya. Untuk beberapa saat lamanya, orang tua gagah itu terdiam mengamati hamparan ilalang yang terlihat agak aneh. Bentuk tanah lapang yang ditumbuhi ilalang itu tampaknya seperti sengaja dibuat sedemiklan rupa, sehingga jika diperhatikan secara teliti seolah‐olah membentuk kedudukan delapan penjuru angin. Tentu saja hal ini dapat membingungkan orang yang masuk ke dalamnya.
"Kita coba berjalan seorang demi seorang. Jarak antara kita tidak boleh lebih dari tiga tombak, agar tidak kehilangan jalan keluar!" perintah Ki Teja Laksana.
Kesembilan orang pendekar yang juga merasa, curiga, akan tempat itu, segera mengikuti petunjuk yang diberikan Ki Teja Laksana. Mereka kini sudah menghunus senjata masing‐masing. Hanya Ki Teja Laksana saja yang masih bertangan kosong. Tapi justru pada kedua tangan itulah terletak keistimewaan pendekar tersebut!
Dengan kesiagaan penuh, kesepuluh orang pendekar itu pun melangkah memasuki padang ilaiang. Ki Teja Laksana yang menjadi pimpinan, berjalan di depan. Setelah Ki Teja Laksana berjalan sejauh tiga tombak salah seorang pendekar segera melangkah mengikuti Pendekar Tangan Baja, dan begitu seterusnya. Ki Teja Laksana sudah berjalan sejauh lima belas tombak. Dan Berarti sudah empat orang pendekar yang mengikutinya. Mendadak, pendengarannya yang tajam menangkap suara-suara mencurigakan yang datangnya dari rimbunan ilalang. Secara spontan, tenaga dalamnya menyebar ke seluruh tubuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Awas! Hati‐hati!" teriak Pendekar Tangan Baja. Sementara dirinya sendiri sudah melangkah mundur, sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ki Teja Laksana masih belum dapat menduga, apa gerangan yang akan terjadi.
Suara berkeresekan itu semakin lama semakin keras, dan tampaknya menuju ke arah para pendekar yang berada di tengah padang ilalang itu. Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana mulai dapat menduga, apa yang telah menimbulkan suara demikian ribut dalam rimbunan ilalang itu.
"Kawan‐kawan, munduuur!!" teriak Ki Teja Laksana keras memperingatkan para pendekar lainnya. Sedangkan ia sendiri sudah melangkah mundur, sambil meningkatkan kewaspadaannya.
Terlambat! Ternyata secara tiba‐tiba saja benda hitam pekat, dan panjangnya kurang lebih dua jengkal telah beterbangan ke arah mereka. Pendekar Tangan Baja bergulingan menghindari serangan benda‐benda itu. Begitu meloncat bangun, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang bersinar kuning. Segera dikelebatkan pedang itu membabat ke arah Benda‐benda hitam pekat. Namun hati Pendekar Tangan Baja menjadi tercekat, ketika benda‐benda hitam itu dapat mengelak dari sambaran pedangnya.
"Gila! Apa ini...?" teriaknya kaget.
Di tempat lain, tiga orang pendekar yang telah ikut masuk ke dalam rimbunan ilalang juga mengalami hal serupa. Mereka segera membabatkan pedang ke arah benda tersebut. Seperti halnya Ki Teja Laksana, mereka juga menjadi terkejut, karena benda‐benda hitam pekat itu dapat mengelak dari sambaran pedang mereka! Benda‐benda hitam pekat yang panjangnya hanya dua jengkal itu kini beterbangan mengincar tenggorokan dengan kecepatan yang luar biasa!
Wess… wes... wes...!
Crebb...! Crebb...!
"Aaahhhkkk...!" Salah seorang dari tiga orang pendekar itu berteriak ngeri. Dua buah benda yang berwarna hitam pekat itu telah menembus tenggorokannya. Tubuhnya terjungkal, lalu berkelojotan dengan mata mendelik. Beberapa saat kemudian orang itu pun tewas dengan tenggorokan bolong!
"Lariii...! Cepat! Lari keluar...!” Ki Pendekar Tangan Baja berteriak panik sambil memutar‐mutar pedang untuk melindungi tubuhnya dan sambaran benda‐benda itu.
Ki Teja Laksana melompat‐lompat dan bergulingan ke arah jalan keluar. Kembali terdengar teriakan menyayat dari dua orang pendekar yang lainnya.
Ketika ia menemukan mayat ke tiga kawannya yang tergeletak di sepanjang jalan menuju keluar, wajah Ki Teja Laksana pucat dan merah berganti‐ganti. Perasaan marah dan ngeri bercampur menjadi satu. Sedangkan benda‐benda berwarna hitam pekat itu menggeliat geliat di sekujur tubuh tiga orang pendekar yang kini telah menjadi mayat. Benar‐benar sebuah pemandangan yang mendirikan bulu roma!
"U... ular... terbang…!" desis Ki Teja Laksana dengan wajah pucat dan bibir gemetar! Seketika itu juga pendekar pemimpin rombongan itu menghambur keluar, sambil memutar pedangnya sekuat tenaga.
Benda‐benda hitam pekat yang disebut ular terbang itu berjatuhan terbabat pedangnya. Sementara itu, enam orang pendekar yang masih berada di luar hanya dapat menunggu dengan wajah penuh ketegangan. Mereka hanya mendengar teriakan Pendekar Tangan Baja memperingatkan kawan‐kawannya. Namun ketika mendengar teriakan ngeri dari ketiga kawannya yang berada di dalam tempat rimbunan ilalang itu, wajah keenam orang pendekar itu menjadi pucat! Serentak mereka menghunus senjata untuk menjaga segala kemungkinan.
Keenam orang pendekar itu tidak mengetahui secara pasti kejadian yang menimpa Ki Teja Laksana dan ketiga orang pendekar lainnya. Namun dari teriakan dan jeritan tadi, tentulah mereka tengah menghadapi sesuatu yang mengerikan!
Dengan pedang di tangan, keenam orang pendekar itu berniat memasuki tempat itu membantu kawan-kawannya. Keenam orang pendekar itu segera melesat ke arah padang ilalang. Namun, sebelum mereka memasuki daerah itu, tiba‐tiba sesosok bayangan melesat keluar dari jalan yang akan mereka masuki.
"Munduuur! Jauhi tempat ini...!" Bayangan yang ternyata adalah Pendekar Tangan Baja itu, berteriak gugup memperingatkan keenam orang pendekar tersebut.
Keenam orang pendekar yang sedianya akan membantu teman‐temannya, segera menarik senjatanya. Mereka pun berlompatan mundur menjauhi daerah yang ditumbuhi ilalang itu.
"Hah...?!" Enam orang pendekar itu terbeliak memandang Ki Teja Laksana. Di wajah mereka tergambar kengerian yang amat sangat!
"Ada apa?!" seru Pendekar Tangan Baja sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Bajumu, Ki...! Bajumu!" teriak mereka sambil menunjuk pakaian Ki Teja Laksana.
Dengan wajah tegang, Pendekar Tangan Baja segera memandang pakaian yang dikenakannya itu. Alangkah terkejutnya hati pendekar itu, ketika melihat pakaiannya yang tak ubahnya seperti yang dikenakan para jembel.
"Aaah!!!" Pendekar Tangan Baja melangkah mundur. Wajahnya semakin memucat. Bagaimana hati pendekar itu tidak ngeri? Sebab pakaian yang dikenakannya telah menjadi compang camping! Benar‐benar seperti seorang jembel saja.
"Gila! Benar benar mengerikan!" ujar Pendekar Tangan Baja. Suaranya bernada penuh kengerian. Pendekar itu menarik napas panjang sambil memandang ke arah hamparan padang ilalang dan pakaiannya berganti‐ganti.
"Apa yang terjadi, Ki...?" tanya keenam pendekar itu. Mereka masih belum mengerti kejadian yang telah menimpa Ki Teja Laksana dan kawan‐kawannya itu.
"Hhh! Sungguh berbahaya sekali! Ternyata, padang ilalang itu dipenuhi ular terbang yang sangat berbisa!" gumam Ki Teja Laksana pelahan, seolah‐olah berkata pada dirinya sendiri. Ki Teja Laksana belum berhasil menenangkan hatinya yang terguncang akibat kejadian tadi.
"Ular terbang?!" seru keenam orang pendekar itu heran. "Bukankah ular‐ular itu hanya terdapat di daerah Utara? Lagi pula, ular jenis itu sudah langka sekali!" kata salah seorang pendekar yang agaknya lebih mengetahui dari pada kelima orang kawannya.
"Benar! Aku pun pernah mendengar hal itu dari guruku. Tapi kalau melihat bentuk padang ilalang itu, nampaknya dedemit itu sengaja memelihara ular terbang! Jelas, maksudnya agar tempatnya tidak mudah didatangi sembarang orang!" ujar Ki Teja Laksana pula.
"Ya! Rasanya ucapan Ki Teja Laksana cukup beralasan. Mungkin dedemit itu memang sengaja memeliharanya, supaya aman dari gangguan musuh‐musuhnya," ucap seorang pendekar yang bertubuh tinggi besar.
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di sekitar tempat itu menjadi sunyi. Ketujuh orang pendekat itu sama‐sama terdiam, terbawa arus pikiran masing masing.
"Ayo, kita kembali...!" seru Ki Teja Laksana tiba‐tiba membuyarkan lamunan pendekar‐ pendekar lain.
Keenam orang itu tersentak kaget. Tanpa berkata sepatah pun, keenam, orang pendekar itu segera mengikuti langkah Pendekar Tangan Baja. Belum lagi jauh berjalan, tiba‐tiba Ki Teja Laksana menghentikan langkahnya. Kening Pendekar Tangan Baja berkerut‐kerut, bagai tengah memikirkan sesuatu. Secara serentak enam orang pendekar yang berada di belakangnya ikut pula menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Ki?" tanya salah seorang dari keenam orang pendekar itu. Sedangkan lima orang lainnya ikut memandang Ki Teja Laksana dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Pendekar Tangan Baja terdiam sejenak, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Cobalah perhatikan keadaan di sekitar sini!" kata Pendekar Tangan Baja, tanpa mempedulikan keheranan keenam pendekar itu. Pandangannya pun tak lepas memperhatikan sekitarnya.
Meskipun keenam orang pendekar itu tidak mengerti maksudnya, namun mereka tetap mengikuti apa yang diinginkan Pendekar Tangan Baja itu. Dengan wajah keheranan, keenam, orang pendekar itu segera memperhatikan ke sekeliling tempat itu.
"Rasanya tidak ada yang aneh pada tempat ini, Ki...?" jawab salah seorang pendekar itu, setelah tidak menemukan apa yang dianggapnya aneh ataupun mencurigakan.
Berturut turut kelima orang pendekar lainnya mengatakan hal serupa. Mereka juga tidak menemukan apa yang dimaksud Pendekar Tangan Baja.
"Apakah kalian sudah memperhatikan secara teliti?" tanya Pendekar Tangan Baja lagi.
"Rasanya sudah, Ki...!" jawab enam orang pendekar itu pasti.
"Hm.... Sekarang, coba kalian perhatikan sekali lagi! Dan ingat‐ingatlah! Apakah ini jalan yang tadi kita lewati?" tanya Ki Teja Laksana. Wajahnya mulai diliputi ketegangan.
Ketika mendengar ucapan Pendekar Tangan Baja, keenam orang pendekar itu baru menyadari kesalahan mereka. Wajah mereka mendadak pucat, ketika memperhatikan sekitar tempat itu.
"Benar! Jalan ini bukanlah jalan yang kita lalui sewaktu kita datang!" ujar salah seorang pendekar yang wajahnya dipenuhi cambang bawuk yang lebat.
"Ah…! Tapi, bukankah kita bisa mencari jalan lain? Kan hanya salah salah jalan saja?" bantah seorang pendekar yang bertubuh tinggi kurus. Rupanya la masih belum mengerti, apa yang dimaksudkan Pendekar Tangan Baja.
"Hm..., tidak sesederhana itu, Kawan! Kurasa, kita telah masuk dalam perangkap yang dibuat Dedemit Bukit lblis!" jelas Pendekar Tangan Baja. Tentu saja hal ini membuat keenam orang pendekar itu semakin tegang saja.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Ki? Apakah kita harus menyerah begitu saja?" tanya salah seorang pendekar yang sudah dapat menangkap maksud pembicaraan Pendekar Tangan Baja.
"Marilah kita berpencar, untuk mencari jalan yang semula kita lalui. Dan, apabila salah seorang dari kita telah menemukannya, harus memberikan tanda dengan siulan! Bagaimana? Setuju?" usul Pendekar Tangan Baja.
Keenam orang pendekar itu segera menyetujui usul yang dikemukakan Ki Teja Laksana. Mereka lalu berpencar, untuk menemukan jalan yang semula mereka lalui. Pendekar Tangan Baja menuju sebelah Timur. Sedangkan enam orang pendekar lainnya menuju ke sebelah Barat, Utara, dan Selatan secara berpasangan.
Ketujuh pendekar yang tersesat itu melangkah dengan kesiagaan penuh. Tangan mereka masing‐ masing telah menggenggam senjata yang sewaktu‐ waktu siap digunakan. Memang disadari bahwa di sekitar mereka banyak bahaya yang mengancam! Bahkan dapat mencabut nyawa setiap saat. Pendekar Tangan Baja telah berpesan kepada keenam kawannya untuk memberi tanda pada setiap jaIan yang mereka lewati. Agar mereka tidak kehilangan arah dan dapat kembali ke tempat semula.
********************
EMPAT
Hari sudah mulai beranjak sore. Namun Pendekar Tangan Baja belum juga menemukan jalan yang dicari. Demikian juga dengan keenam orang pendekar lainnya. Ketujuh orang pendekar itu mulai merasa cemas. Sebab apabila, kegelapan sudah menyelimuti sekitarnya, pupuslah harapan untuk dapat keluar dari Bukit lblis itu. Bahkan kematianlah yang akan mereka temui!
Pada dasarnya, Bukit lblis memang tempat yang angker dan mengerikan. Tidak ada seorang pun yang dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat. Karena, di bukit itu banyak terdapat binatang yang sangat berbisa dan lumpur hidup yang menyedot apa saja yang lewat di atasnya. Apalagi, pohon‐pohon besar yang tumbuh di sekitarnya, semakin menambah keangkeran saja.
Semenjak didiami oleh seorang tokoh sesat yang amat jahat, Bukit Iblis semakin terlihat angker saja. Tokoh sesat itu juga menambahkan jebakan‐jebakan yang tidak kalah berbahayanya. Bahkan di tempat itu juga dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat menyesatkan orang yang datang tanpa diundang! Jalan yang berliku‐liku dan berkotak‐kotak itu, dibuat mirip satu sama lain. Sehingga sulit membedakan satu sama lainnya. Kadang‐kadang para pendekar itu menemui jalan buntu yang tertutup semak belukar, sehingga terpaksa harus kembali ke tempat semula. Benar‐ benar sebuah tempat yang membingungkan!
Pada saat itu, dua orang pendekar yang menuju ke arah Barat telah tiba pada sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Rumput‐rumput yang tumbuh di tempat itu memang tidak terlalu tinggi, paling‐paling hanya seukuran anak panah saja. Dua orang pendekar itu saling berpandangan satu sama lain, seolah minta pendapat masing‐ masing. Tanpa dikomando, mereka mengangguk berbarengan. Dengan penuh kewaspadaan, dua orang pendekar itu melangkah memasuki daerah lapangan berumput itu. Mereka terpisah kurang lebih sekitar dua meter. Tiba‐tiba....
Bress!
Rumput yang terpijak salah seorang dari mereka melesak hingga sebatas lutut. Dengan sekuat tenaga ia berusaha keluar dari lumpur itu. Tapi alangkah terkejutnya pendekar itu, ketika dirasakan setiap gerakannya justru semakin menambah daya sedot lumpur itu.
"Adi Ragil, tolooong .. !" dengan wajah pucat pendekar itu berteriak meminta pertolongan kawannya.
Orang yang dipanggil Ragil itu tersentak kaget ketika melihat kawannya terperosok sebatas pinggang. Cepat bagai kilat Ragil segera mendekati kawannya.
"Adi Ragil! Jangan mendekat! Jauhi daerah berumput ini. Cepat...!" pendekar itu berteriak memperingatkan Ragil yang sedang menuju ke arahnya.
Terlambat! Tiba‐tiba saja tubuh Ragil telah melesak dalam rerumputan yang dipijaknya. "Kakang Juminta, awas! Ini lumpur hidup!" teriak Ragil. Wajahnya pucat pasi. la berontak untuk membebaskan diri dari lumpur maut yang menjepitnya itu. Namun semakin keras memberontak, semakin dalam pula tubuhnya terperosok! Bukan main takutnya Ragil ketika melihat kenyataan ini. Tanpa malu‐malu lagi, la pun melolong sekuat‐kuatnya, "Tolooong...! Tolooong...!"
Teriakan Ragil bergema ke sekitar tempat itu. Kelima, orang pendekar lainnya, serentak berlari menuju tempat semula. Pendekar Tangan Baja tiba lebih dulu dari yang lainnya. Sejenak mereka semua saling pandang dengan wajah tegang!
"Mana Ragil dan Juminta?" tanya Ki Teja Laksana alias Pendekar Tangan Baja kepada empat orang kawannya.
"Pasti teriakan itu datang dari mereka, Ki" seru seorang pendekar yang bercambang bawuk.
Tanpa membuang‐buang waktu lagi, lima orang pendekar itu pun segera melesat ke arah Barat. Mereka berlari sambil mengikuti tanda‐tanda yang telah dibuat Ragil dan Juminta itu. Tentu saja perjalanan itu tidak secepat yang diharapkan, karena harus berhenti untuk mencari tanda‐tanda yang dibuat oleh kedua kawannya ltu. Selang beberapa waktu kemudian, lima orang pendekar itu pun tiba di tempat Ragil dan Juminta terperosok. Ketika melihat dua pasang lengan sebatas siku yang menggapai‐gapai, tiga orang dari mereka segera melesat untuk memberi pertolongan.
"Hei! Awaaass…!" Pendekar Tangan Baja terlambat memperingatkan tiga orang kawannya yang ceroboh itu. Akibatnya, tiga orang pendekar tersebut juga terjebak dalam lumpur hidup itu.
"Diam! Jangan banyak bergerak! Kalau terus bergerak, lumpur itu akan semakin kuat menyedot tubuh kalian!" teriak Pendekar Tangan Baja kepada rekannya yang terperosok itu. Sementara matanya mencari‐cari sesuatu yang kira‐kira dapat dipergunakan untuk menyelamatkan mereka.
Sementara tiga orang pendekar itu terus bergerak‐gerak sambil menggaruk di sana‐sini. Mereka merasakan ada binatang kecil yang menggigit sekujur tubuh. Terasa panas dan perih! Ketiganya terus bergerak dan berteriak‐teriak, tanpa mempedulikan peringatan Pendekar Tangan Baja.
Pendekar Tangan Baja segera berlari menghampiri segerombolan pohon bambu yang terdapat di sekitar tempat itu. Dipilihnya sebatang pohon bambu yang besar. Terdengar suara batang bambu yang patah oleh hantaman tangan pendekar itu. Dengan mengerahkan tenaga saktinya, Pendekar Tangan Baja melemparkan batang bambu itu ke lapangan berumput, tempat tiga orang kawannya tengah berjuang melawan maut. Sedangkan dua orang lagi, dipastikan telah tewas. Batang bambu itu melayang dan jatuh melintang di hadapan tiga orang pendekar itu.
"Cepat! Pegang bambu ini kuat‐kuat!" teriak Pendekar Tangan Baja. Dengan dibantu seorang kawannya yang masih tersisa itu, Pendekar Tangan Baja segera menarik batang bambu itu. Tidak berapa lama kemudian, tiga orang pendekar itu pun dapat diselamatkan dari ancaman lumpur maut.
Begitu keluar dari lumpur maut, ketiga orang pendekar itu segera melepaskan pakaian mereka. Pendekar Tangan Baja dan pendekar yang tadi ikut membantunya memandang ketiga kawannya dengan wajah bingung. Namun, kebingungan itu segera berganti dengan rasa kaget yang luar biasa. Pendekar Tangan Baja dan seorang kawannya melangkah mundur sambil terbelalak! Sebab, di tubuh tiga orang pendekar yang baru saja diselamatkan itu, menempel ketat puluhan binatang sebesar ibu jari kaki. Sekujur tubuh mereka telah basah oleh darah akibat gigitan binatang‐binatang itu.
"Lintah Kelabang...!" seru Pendekar Tangan Baja. "Jangan sentuh! Lintah‐lintah itu sangat beracun!" teriaknya lagi, ketika melihat kawannya akan menolong ketiga orang pendekar itu.
Ketika mendengar peringatan Pendekar Tangan Baja, orang itu pun segera menarik kembali tangannya yang sudah terulur itu.
"Tapi.., tapi..., mereka harus ditolong, Ki!" bantah pendekar itu, yang merasa tidak tega melihat penderitaan tiga orang kawannya.
"Terlambak Adi Jalung! Mereka sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Racun Lintah Kelabang amatlah ganas, dan cepat sekali menyebar ke seluruh tubuh! Maafkan aku, Adi Jalung! Bukan tidak mau menyelamatkan mereka. Tapi, harus pula dipikirkan keselamatan kita!" ujar Pendekar Tangan Baja. Sinar matanya memancarkan rasa penyesalan.
"Huh! Dedemit itu benar‐benar tidak punya jantung!" geram orang yang dipanggil Jalung itu. Wajahnya kelihatan gusar.
Kedua orang pendekar itu memandang tiga orang kawannya yang berkelojotan dan bergulingan di tanah sambil menggaruk‐garuk sekujur tubuhnya. Mereka berteriak‐teriak dan melolong menyayat hati.
"Aaah..., gatal.... Gatal sekali! Aduh..., arrrhh...!"
ketiga orang pendekar itu meratap‐ratap sambil terus menggaruk‐garuk sampai kulit tubuh mereka terkelupas dan berdarah. Tidak berapa lama kemudian tiga orang pendekar itu pun tewas dalam keadaan yang menyedihkan.
Pendekar Tangan Baja dan Jalung memalingkan wajahnya. Tidak tega melihat kematian tiga orang kawannya yang mengenaskan itu. Titik air mata pun bergulir dari dua pasang mata pendekar gagah itu. Walaupun sudah terbiasa hidup dalam dunia yang penuh dengan kekerasan dan bunuh‐membunuh itu, mereka juga merasa tidak sanggup melihat penderitaan tiga orang kawannya itu.
"Apakah tidak sebaiknya kita kuburkan mayat mereka, Ki?" ujar Jalung yang merasa tidak tega melihat mayat kawan‐kawannya dibiarkan begitu saja.
"Ah! apakah kau sudah lupa, Jalung! Tubuh mereka sudah tercemar racun‐racun keparat itu!" jawab Pendekar Tangan Baja mengingatkan kawannya.
"Ah! Maaf, Ki! Mengapa aku begitu pelupa?" ujar Jalung sambil menepak kepalanya.
"Sudahlah! Yang penting sekarang, bagaimana kita dapat keluar dari tempat keparat ini!" ucap Pendekar Tangan Baja. Wajahnya menerawang lesu.
"Ki! Apakah kita akan dapat keluar dari tempat ini?" tanya Jalung dengan nada putus asa.
Jalung memang nampaknya sudah merasa putus asa! Kematian kawan‐kawannya yang berturut‐turut dan mengerikan itu, telah membuatnya terpukul. Kini dia hanya pasrah menanti maut yang akan datang menjemputnya.
"Hm.... Apakah engkau ingin menantikan kematian tanpa melakukan perlawanan sedikit pun? Ingatlah, Jalung! Selagi masih hidup, kita harus mempertahankan hidup kita ini sampai titik darah yang terakhir! Tidak malukah dirimu dengan julukan pendekarmu? Ke manakah perginya sifat kependekaran yang selama ini ditanamkan oleh gurumu? Hm.... Alangkah kasihannya orang tua itu, yang bertahun‐tahun mendidik dan menanamkan sifat‐sifat kependekaran dalam dirimu. Ternyata kini usahanya sia‐sia! Ah, sungguh sayang sekali" ujar Pendekar Tangan Baja sambil menggeleng‐ gelengkan kepalanya. Kelihatan ada kesedihan pada wajahnya.
Pada mulanya Jalung hanya menunduk tanpa mempedulikan perkataan Pendekar Tangan Baja yang terdengar gusar itu. Namun, ketika Pendekar Tangan Baja mulai menyinggung‐ nyinggung tentang gurunya, wajah Jalung merah seketika. Terbayang olehnya wajah orang tua yang penuh kasih itu. Orang tua yang telah mendidiknya tanpa mengharapkan imbalan sedikit pun! Ilmu yang telah diberikan gurunya selama bertahun‐tahun itu, kini akan dihancurkannya begitu saja, hanya karena rasa takut mati. "Tidak! Aku tidak boleh berputus asa! Aku harus bangkit! Harus!" Demikian kata hati Jalung yang telah dibakar semangat hidupnya oleh perkataan Pendekar Tangan Baja.
"Maafkan aku, Ki! Ah.... Betapa memalukannya sikapku tadi," desah Jalung yang telah menyadari kekeliruannya. Sikapnya memang memalukan karena tidak mencerminkan sikap seorang pendekar.
"Sudahlah, Jalung! Maafkan juga sikapku yang agak keterlaluan tadi!" ucap Pendekar Tangan Baja tersenyum.
"Tidak, Ki! Akulah yang telah berbuat bodoh! Semua yang kau katakan itu memang benar! Aku yang bodoh, dan aku jugalah yang seharusnya minta maaf!" bantah Jalung lagi.
"Ah..., sudahlah. Hari sudah hampir gelap. Marilah kita bergegas, Jalung!" ajak Pendekar Tangan Baja. Dia segera beranjak meninggalkan tempat itu.
"Baiklah, Ki! Mari.... Jalung pun segera melangkah mengikuti Pendekar Tangan Baja yang telah melangkah lebih dahulu.
Kedua orang pendekar itu pun memulai lagi usahanya untuk mencari jalan keluar dari tempat yang mengerikan itu. Kali ini mereka benar‐benar harus berpacu dengan waktu. Karena tidak lama lagi seluruh bukit itu akan tertutup oleh kegelapan.
********************
Cahaya kemerahan mulai tampak di ufuk Barat. Para pendekar yang menanti di Kaki Bukit Iblis mulai dicekam kecemasan! Mereka mulai gelisah, karena kesepuluh orang pendekar yang ditugaskan untuk menyelidiki keadaan di Bukit iblis belum juga kembali. Kalingga yang dipercayakan untuk memimpin teman‐temannya, tampak gelisah sekali. la berjalan mondar‐mandir sambil menggendong tangannya ke belakang. Sebentar‐ sebentar Kalingga berhenti dan perhatikan jalan tempat kesepuluh kawannya mulai mendaki tadi. Beberapa kali dihapus butir‐butir keringat yang membasahi dahinya.
Para pendekar yang lain pun tidak kalah gelisahnya. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan rombongan yang dipimpin Pendekar Tangan Baja itu. Berbagai dugaan memenuhi pikiran mereka. Memang, para pendekar itu telah juga mengetahui betapa banyaknya bahaya yang mengincar di daerah Bukit Ibis itu.
"Kakang Kalingga, apakah tidak sebaiknya beberapa orang di antara kita menyusul mereka?" usul salah seorang pendekar. Dia memang sudah tidak sabar menantikan kesepuluh orang teman mereka.
“Betul, Kakang! Kami khawatir, jangan‐jangan mereka dalam bahaya!" ujar salah seorang lainnya, menimpali usul tadi.
"Sabarlah, kawan‐kawan! Aku percaya akan kepandaian maupun pengalaman yang dimiliki oleh Pendekar Tangan Baja. Jadi, biarlah kita tunggu beberapa saat lagi!" pinta Kalingga kepada kawan‐kawannya. Padahal sesungguhnya dia juga mulai curiga alas keterlambatan kesepuluh orang pendekar itu. Namun semua itu tidak ingin ditunjukkannya di hadapan para pendekar yang juga sedang dilanda kegelisahan itu.
"Tapi, Kakang! Kalau hari sudah muiai gelap, bukankah mereka akan mengalami kesulitan untuk keluar dari tempat itu? Sedangkan mereka sama sekali tidak membawa obor, untuk menyusuri jalan yang akan mereka lalui!" bantah seorang pendekar lainnya lagi.
”Hm… baiklah. Kalau memang itu sudah kesepakatan kalian. Ayo, kita berangkat. Bawalah beberapa buah obor untuk menandai jalan‐jalan yang kita lalui. Dan sebagian dari kalian, tetaplah berjaga jaga di sini!" tutur Kalingga yang akhirnya menyetujui usul kawan‐kawannya itu.
"He he he! Tidak harus begitu, Kalingga! Kau harus tetap tinggal di sini!" tiba‐tiba terdengar sebuah suara yang membuat semua yang ada di situ terkejut. Serentak semuanya menoleh ke arah asal suara itu.
Sementara di tangan mereka masing‐masing telah tergenggam senjata yang siap dihantamkan. Untuk beberapa saat lamanya para pendekar itu menjadi tertegun melihat si pemilik suara tadi tengah menghampiri mereka dengan langkah yang terhuyung‐huyung bagai orang mabuk. Sesekali orang itu berhenti, seraya menuangkan arak dari dalam sebuah guci yang tergenggam di tangan kanannya. Terdengar suara tegukan, ketika arak melewati tenggorokannya.
"Pendekar Pemabuk!" seru Kalingga dan beberapa orang pendekar yang sudah pernah berjumpa dengan pendekar itu sebelumnya. Wajah mereka yang semula diliputi ketegangan, mendadak cerah. Karena, dengan kehadiran pendekar konyol itu, berarti mereka akan memperoleh tambahan tenaga yang dapat diandalkan.
Kalingga yang sudah mengenal Pendekar Pemabuk dengan baik, segera menyambut dan menyalaminya. Wajahnya berseri‐seri gembira! Kedatangan pendekar yang terkenal berwatak jenaka itu, benar‐benar melegakan hatinya. Jelas pada saat ini pengalaman maupun nasihat pendekar itu sangatlah diperlukan.
"He he he.... Apa khabar, Kalingga? Sudah lama sekali kita tidak jumpa! Oh, ya. Bagaimana keadaan gurumu? Apakah baik‐baik saja?" berondong Pendekar Pemabuk dengan pertanyaan begitu ia tiba di depan Kalingga.
Mendengar pertanyaan Pendekar Pemabuk yang bagai air bah itu, Kalingga hanya tersenyum‐ senyum. Ditatapnya Pendekar Pemabuk yang tengah menuangkan arak ke dalam mulutnya. Pendekar Pemabuk segera menurunkan guci araknya, ketika tidak didengarnya jawaban Kalingga.
"Eh! Mengapa engkau diam, Kalingga? Apakah pertanyaanku ada yang aneh?" tanya Pendekar Pemabuk. Wajahnya diliputi keheranan.
"Ha ha ha... Bagaimana aku harus menjawabnya, Kakang? Pertanyaanmu begitu banyak! Jadi, mana yang harus kujawab lebih dulu?" ujar Kalingga yang menjadi geli ketika melihat pendekar kocak itu memandang penuh ketololan.
"Eh! Apa betul begitu?" tanya Pendekar Pemabuk sambil memandang ke sekelilingnya, seolah‐olah meminta kepastian dari para pendekar lain. "Ah! Sudahlah..., sudahlah...!" katanya lagi dengan goyangan tangan berkali‐kali.
"Eh, Kakang! Apakah maksud kata‐kata Kakang yang menyuruhku tetap tinggal di sini?" tanya Kalingga mengalihkan persoalan. Memang, dia masih belum mengerti maksud kata‐kata Pendekar Pemabuk itu.
"Oh, ya...! Mengapa aku sampai lupa tujuanku semula?" ujar Pendekar Pemabuk sambil menepuk dahinya sendiri.
"Tujuan? Tujuan apa yang Kakang maksudkan?" tanya Kalingga yang semakin tak mengerti.
"Begini, Kalingga!" ujarnya mantap. "Ketika tiba di tempat ini, aku mendengar kalian hendak menyusul kawan‐kawan yang hingga kini belum kembali dari Bukit lblis. Mendengar hal itu, aku menjadi tertarik! Lalu, kuputuskan untuk ikut dengan kalian. Itu pun kalau kalian tidak keberatan!"
"Ah! Kakang ini ada‐ada saja! Mana mungkin kami akan keberatan? Malah kami akan berterima kasih sekali apabila Kakang bersedia ikut membantu!" jawab Kalingga sungguh‐sungguh.
"Betul, Ki! Kami betul‐betul membutuhkan bantuan!" timpal beberapa orang pendekar lainnya.
"Hm.... Siapakah yang memimpin pendakian sebelumnya itu?" tanya Pendekar Pemabuk kepada Kalingga.
"Yang memimpin adalah Ki Teja Laksana, Kakang!" jawab Kalingga.
"Ki Teja Laksana?! Maksudmu Ki Teja Laksana yang berjuluk Pendekar Tangan Baja itu?" tanya Pendekar Pemabuk menegaskan.
“Betul, Kakang! Siapa lagi yang mempunyai julukan Pendekar Tangan Baja kalau bukan Ki Teja Laksana?!" jawab Kalingga dengan nada bangga.
"Hm.... Kalau begitu, pasti terjadi apa‐apa mereka!" gumam Pendekar Pemabuk pelahan.
"Eh! Mengapa Kakang berpikir begitu?" tanya Kalingga. Dia memang tengah mengkhawatirkan keselamatan kesepuluh kawannya itu.
"Ya! Sebab aku kenal betul sifat Pendekar Tangan Baja. Dia itu seorang pendekar yang selalu menepati janjinya," Jelas Pendekar Pemabuk sambil memandang lawan bicaranya.
"Jadi, menurut Kakang...?" tanya Kalingga. la memang tidak ingin berpikir yang bukan‐bukan tentang kawan kawannya itu.
"Hm..., begini, saja! Kau tetap saja di sini, Kalingga! Biar aku dan beberapa orang pendekar lainnya yang pergi menyusul mereka," tegas Pendekar Pemabuk.
"Tap, Kakang...," Kalingga ingin membantah usul Pendekar Pemabuk.
"Sudahlah! Bukankah engkau ditugaskan oleh Pendekar Tangan Baja untuk menunggu di sini? Nah, laksanakanlah tugasmu dengan baik!" potong Pendekar Pemabuk cepat. Lalu la pun segera mengajak beberapa orang pendekar untuk segera mengadakan pencarian. "Cepatlah! Hari sudah mulai gelap!" ujar Pendekar Pemabuk.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Pemabuk yang ditemani dua belas orang pendekar lainnya itu pun mulai mendaki Bukit iblis. Dengan diterangi delapa buah obor, mereka berjalan menerobos semak belukar yang menghalangi jalan. Selang beberapa waktu kemudian, mereka mulai melintasi jalan yang tertutup pohon‐pohon besar. Sehingga tempat itu lebih gelap daripada tempat‐tempat lainnya.
"Mulai dari sini, obor‐obor harus ditinggalkan dengan jarak tertentu, agar tidak kehilangan arah pulang!" ujar Pendekar Pemabuk. Dia mulai merasakan keanehan pada tempat di sekitarnya. Kecurigaannya mulai timbul ketika melihat bentuk semak semak setinggi tiga tombak lebih itu.
Tanpa banyak bertanya, para pendekar itu pun mulai meninggalkan obor‐obornya satu persatu, dan ditancapkan pada tempat yang agak tinggi. Ini berguna untuk dapat melihat dari kejauhan. Dengan demikian mereka tidak akan tersesat, dan mudah menemukan jalan melalui sinar obor itu. Tiba‐tiba Pendekar Pemabuk yang berjalan di depan itu, mengangkat tangan kanannya ke atas. Melihat isyarat itu, para pendekar yang berada di belakangnya serentak menghentikan langkah.
"Ada apa, Ki...?" bisik seorang pendekar yang berada tepat di belakangnya. Suaranya sedikit tegang.
Pendekar Pemabuk tidak segera menjawab pertanyaan itu, tapi malah menoleh dan tersenyum sambil menepuk‐nepuk bahu pendekar itu. "Coba kemarikan obor itu!" pinta Pendekar Pemabuk kepada salah seorang dari mereka yang masih memegang obor. "Kalian tetaplah di sini!" perintahnya lagi dengan suara pelahan.
Sambil memegang obor di tangan kirinya, Pendekar Pemabuk segera melangkah hati‐hati. Tenaga saktinya telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Dipertajam indra pendengarannya, sehingga suara yang kecil sekalipun telah cukup, untuk membuatnya berbalik dengan kesiagaan penuh. Sementara kedua belas orang pendekar lainnya, tetap siaga di tempat. Mereka, menanti dengan wajah tegang! Tangan‐tangan mereka telah meraba gagang senjata masing‐masing, dan siap melindungi Pendekar Pemabuk apabila terjadi sesuatu.
Di tempat lain, Pendekar Pemabuk telah menghentikan langkahnya. la berdiri di tengah jalan dengan kaki terpentang. Ditengadahkan kepalanya ke atas. Dan tiba‐tiba terdengar siulan dari mulutnya. Mula‐mula siulan itu terdengar pelahan, namun makin lama semakin keras. Iramanya pun terdengar aneh! Secara pelahan-lahan suara siulan itu mulai menyelusup semak belukar. Hembusan angin membawa siulan itu hingga memenuhi daerah sekitarnya.
********************
Sementara itu, Pendekar Tangan Baja dan Jalung yang masih sibuk merambas semak belukar sejenak menghentikan gerakannya. Kedua orang itu segera menelengkan kepalanya sedikit untuk memperjelas pendengaran mereka. Setelah mendengar jelas, tiba‐tiba paras Pendekar Tangan Baja berubah cerah! Sudah dikenalnya betul suara siulan yang bernada aneh itu. Sekilas, terbersit secercah harapan di hati Pendekar Tangan Baja. Segera digenggamnya tangan Jalung erat‐erat. Laki‐laki itu masih belum mengetahui apa yang membuat Pendekar Tangan Baja kelihatan begitu gembira.
"Suara apakah itu, Ki? Mengapa Ki Teja begitu gembira mendengarnya?" tanya Jalung heran.
"Sudahlah! Mari ikuti aku! Dan jangan banyak tanya!" ujar Pendekar Tangan Baja gembira. Sambil melangkah pelahan, Pendekar Tangan Baja mengerahkan tenaganya lalu menyalurkannya melalui kerongkongannya, Tidak lama kemudian, terdengarlah lengkingan halus yang menyambut suara siulan Pendekar Pemabuk tadi.
Di tempat lain, Pendekar Pemabuk yang mendengar suara lengkingan itu menjadi berseri wajahnya. Sambil meneruskan siulannya, Pendekar Pemabuk menggerakkan tangannya ke depan sebagai isyarat agar kawan‐kawannya datang mendekat. Dengan sigap, kedua belas orang pendekar itu pun segera menghambur kearahnya.
"Angkat ketiga obor itu tinggi‐tinggi!" perintah Pendekar Pemabuk.
Tiga orang pendekar yang membawa obor itu seperti tidak mengerti, namun dituruti juga perintah pendekar itu. Secara samar‐samar, kedua belas orang pendekar itu mulai mendengar lengkingan halus berkepanjangan. Serentak mereka saling pandang satu sama lain, lalu saling menggeleng tanda tidak mengerti. Pendekar Pemabuk sengaja tidak memberitahu kawan‐kawannya. Hal ini dilakukan agar tidak memancing keramaian yang dapat mengundang perhatian Dedemit Bukit Iblis.
Makin lama suara lengkingan dan siulan itu pun semakin dekat jaraknya. Sedangkan pancaran sinar obor yang membias di antara semak belukar itu, semakin menambah keyakinan pendekar Tangan Baja. Kedua orang pendekar itu pun semakin mempercepat langkahnya. Dengan berpedoman cahaya itu, mereka segera menyusuri jalan yang berliku‐liku. Suara siulan yang dikeluarkan Pendekar Pemabuk tidak lagi segencar semula. Dan kini suara siulan itu hanya sekali‐sekali terdengar.
"Ayo! Tiga orang ikut denganku. Dan yang lainnya tetap tinggal di sini!" ujar Pendekar Pemabuk sambil melangkah meninggalkan kawan‐kawannya. Dengan diterangi cahaya obor yang dibawa salah seorang dari mereka, keempat orang pendekar itu pun melangkah hati‐hati.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba‐tiba dari segerombol semak belukar, melompat dua sosok bayangan dengan gerakan gesit. Cepat bagai kilat keempat orang pendekar itu langsung menggeser kakinya membuat posisi kuda‐kuda. Bahkan tiga orang yang menemani Pendekar Pemabuk sudah pula menghunus pedangnya!
"Kakang Teja! Kaukah itu...?" sapa Pendekar Pemabuk yang lebih dahulu dapat menguasai keadaan.
"Benar! Akulah adanya, Adi Panggal!" jawab salah satu dari bayangan itu.
Pendekar Pemabuk yang dipanggil Panggal itu segera menyalami dua sosok bayangan yang tak lain adalah Ki Teja Laksana dan Jalung. Mereka pun saling berpelukan erat, dan saling menyapa dengan wajah gembira. Pendekar Tangan Baja dan Pendekar Pemabuk adalah merupakan dua orang sahabat lama. Mereka sama‐sama pernah berguru pada seorang pertapa sakti selama satu tahun lamanya. Maka tidaklah heran apabila kedua orang pendekar Itu, telah mengenal baik satu sama lain.
"Kakang Teja, bukankah kalian berjumlah sepuluh orang? Ke manakah para pendekar yang lainnya?” tanya Pendekar Pemabuk ketika melihat Ki Teja Laksana, hanya datang bersama seorang pendekar yang bernama Jalung.
"Huh! Panjang sekali ceritanya, Adi! Nantilah kuceritakan! Sekarang lebih baik kita tinggalkan tempat ini secepatnya! Ayo!" ajak Pendekar Tangan Baja.
"Baiklah, Kakang! Mari...," ujar Pendekar Pemabuk yang ingin segera mendengar cerita Pendekar Tangan Baja itu.
Dengan diterangi oleh cahaya obor, para pendekar itu pun bergegas meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Kelima belas orang pendekar itu dengan mudah dapat keluar dari tempat itu, karena berpedoman obor‐obor yang telah ditinggalkan sepanjang jalan.
********************
LIMA
Hembusan angin sejuk mengiringl langkah kaki seorang laki‐laki muda. Langkahnya mantap menyusuri Jalan berbatu‐batu di daerah perbukitan tandus. Wajahnya yang bersih dan tampan itu, selalu dihiasi senyum cerah. Jubahnya yang berwarna putih berkibar lembut diterpa angin yang sesekali berhembus agak kuat.
Laki‐laki muda yang berusia sekitar Sembilan belas tahun itu ternyata adalah Panji. Dia lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Pandang matanya yang cerah menandakan bahwa Panji adalah seorang yang menganggap bahwa hidup adalah untuk dinikmati dari segi‐segi yang menyenangkan.
Kaki‐kaki Panji melangkah tetap dan kokoh. Dia berniat mengunjungi Desa Pasiran yang terletak di wilayah Barat, karena mendengar berita tentang mengganasnya Dedemit Bukit Iblis di sana. Dan sebagai seorang yang memiliki jiwa kependekaran dan kesatriaan, dirinya merasa terpanggil untuk ikut bertanggung jawab mengatasi keadaan itu.
Pada saat memikirkan tentang sebuah desa, tiba‐ tiba terlintas dalam bayangannya akan sebuah desa yang telah mendatangkan kesan terindah dalam hidupnya. Terlintas bayangan seraut wajah yang cantik dan mempesona. Wajah seorang gadis jelita yang telah mencuri sekeping hatinya.
"Kenanga...," desah Panji penuh getaran rasa rindu yang menyeruak dari dalam relung hatinya. "Ah, tidak ada salahnya kalau aku mengunjunginya terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mengunjungi Desa Pasiran yang menjadi tujuan semula," gumamnya pada diri sendiri.
Setelah berpikir demikian, Panji segera, membelokkan langkah kakinya ke arah Selatan. Mendadak pemuda itu menghentikan langkahnya. Keraguan mulai menyelimuti hatinya. "Hm.... Mana yang harus didahulukan?" ujarnya seorang diri.
Rupanya dalam dirinya terjadi pertentangan batin. Pertentangan yang berkecamuk dalam hatinya itu, membuat Panji menunda langkahnya. Pemuda itu berdiri termenung sambil mengangguk‐anggukkan kepalanya. Keningnya berkerut‐kerut, pertanda bahwa ia tengah berpikir keras. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya Panji bagaikan sebuah patung bisu. Di saat Panji tengah dilanda kebimbangan, tiba‐ tiba terngiang kata‐kata gurunya.
"Panji! Sebagai seorang yang memiliki kepandaian, engkau harus lebih mementingkan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi. Dengan dianugerahi kepandaian, berarti kita telah ditugaskan untuk menggunakannya demi menegakkan kebenaran." Demikian kata‐kata yang telah ditanamkan Eyang Tirta Yasa atau Malaikat Petir ke dalam jiwa murid kesayangannya itu.
Panji kini tertunduk dalam‐dalam. Bukan kata‐kata gurunya yang menyentuh hatinya, tapi justru bayangan orang tua itulah yang membuatnya tertunduk haru. Laki‐laki tua yang telah mendidik dan mengasuhnya sehingga, kini ia menjadi pendekar digdaya.
"Eyang..., maafkanlah cucumu! Ternyata batinku masih terlalu lemah, Eyang!" desah Panji mengakui kesalahannya.
Beberapa saat kemudian, Panji kembali meneruskan perjalanannya menuju Desa Pasiran. "Nantilah! Setelah tugas ini selesai, baru aku akan segera mengunjungimu, Adik Kenanga," ujar Pendekar Naga Putih atau Panji dalam hati.
Setelah cukup lama melakukan perjalanan, tibalah Panji pada sebuah hutan kecil. Letaknya tidak begitu jauh dari perbatasan Desa Pasiran. Baru saja la berniat meneruskan perjalanannya, tiba‐tiba pendengarannya yang terlatih menangkap suara pertempuran. Tanpa berpikir panjang lagi, Panji pun melesat ke arah asal suara‐suara itu.
Suara benturan pedang yang disertai bentakan‐ bentakan itu semakin jelas terdengar, sehingga, Panji semakin mempercepat larinya. Dan dari kejauhan, pemuda itu melihat lima orang laki‐laki gagah tengah bertarung melawan belasan orang yang berwajah kasar dan bengis!
Panji yang belum mengetahui sebab‐sebab terjadinya pertempuran itu, tidak ingin cepat‐cepat mencampurinya. Pemuda itu berjalan mengendap‐ endap, di balik rimbunan semak di tepi jalan. Dia terus melangkah semakin mendekati arena pertempuran itu.
"He he he.... Apakah kalian masih belum bersedia menyerahkan peti harta itu?" ejek salah seorang di antara belasan orang itu. Suaranya berat dan parau.
Orang itu bertubuh tinggi besar dan berotot kekar di kedua lengannya. Sehingga ia terlihat sangat kokoh dan kuat! Kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi, menyambar‐nyambar dan menimbulkan angin yang menderu‐deru. Jelas sekali kalau orang itu memiliki tenaga yang amat besar.
"Huh! Jangan mimpi kau, bangsat! Lebih baik kami mati daripada hidup menjadi seorang pengecut!" bentak salah seorang dari kelima orang gagah itu. Setelah berkata demikian, lelaki itu menyabetkan pedangnya ke pinggang orang yang bertubuh tinggi besar itu.
"Hm.... Rupanya kau ingin merasakan kepalan Setan Bertenaga Gajah! Nah, sambutlah!" Disertai egosan badan untuk menghindari sabetan pedang, orang yang berjulukan Setan Bertenaga Gajah itu langsung melontarkan kepalannya ke dada lawan.
Bukkk!
"Uugghhh...!" Lelaki gagah itu menjerit tertahan ketika hantaman Setan Bertenaga Gajah tepat mengenai dadanya. Orang itu terjungkal dengan kerasnya! Dadanya bagai dihantam palu godam yang berat! Lelaki gagah itu terbatuk‐batuk. Dadanya, serasa remuk! Darah segar keluar bersama batuknya yang menghebat!
Sementara dua orang kawannya yang lain berteriak ngeri, ketika senjata di tangan anak buah Setan Bertenaga Gajah melukai tubuhnya. Tanpa ampun lagi dua orang itu terjungkal dan tewas seketika.
"He he he..., Gotawa Lihatlah dua orang anak buahmu itu! Apakah itu yang kau inginkan?" kembali Setan Bertenaga Gajah tertawa mengejek.
"Sudah kubilang, lebih baik aku mati, iblis!" teriak orang yang ternyata bernama Gotawa itu. Wajahnya terlihat merah padam. Dengan teriakan keras, Gotawa menerjang lawannya. Ternyata meskipun luka yang dideritanya akibat pukulan Setan Bertenaga Gajah cukup parah, namun laki‐laki gagah itu masih cukup berbahaya bagi lawannya.
"Huh, manusia tolol! Rupanya kau memang menghendaki kematian! Tidak semudah itu, monyet! Kau harus menerima siksaan terlebih dahulu, agar kau mati secara pelahan‐lahan!" ancam Setan Bertenaga Gajah sambil menyeringai kejam. Sedangkan kakinya berloncatan menghindari sabetan pedang lawan yang berdesingan mengancam tubuhnya.
Sementara itu, beberapa orang anak buah Setan Bertenaga Gajah sudah menghampiri sebuah kereta Yang ditarik empat ekor kuda. Kereta itu cukup bagus dan indah, seperti yang dimiliki para saudagar kaya.
"Ayo! Keluar kau, monyet gendut!" bentak salah seorang perampok sambil memasang wajah bengis. Ditendangnya pintu kereta itu hingga hancur berantakan. Sambil menimang‐ nimang senjatanya, orang itu terus membentak‐ bentak dua orang yang berada di dalam kereta.
"Tolong..., jangan bunuh kami! Ambillah semua Yang kau suka, asal kami berdua dibebaskan," rintih orang yang berperut gendut dan berkepala botak sambil melangkah turun. Kedua kakinya gemetar ketakutan. Sedangkan pada bagian tengah celananya telah dibasahi cairan yang berbau tak sedap.
Seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh lima tahun, ikut pula melangkah turun. Wajah wanita itu telah dibasahi air mata yang mengalir tak henti‐hentinya. Dari perutnya yang membukit, mudah diduga kalau wanita cantik itu tengah hamil tua.
"He he he.... Istrimu cantik juga, bandot tua!" ujar salah seorang dari Iaki‐laki berwajah bengis itu. Matanya liar merayapi wajah cantik itu, sambil menelan sudah. "Hm.... Sayang sedang hamil tua," desisnya pelan.
"Ampun, Tuan! Jangan ganggu istriku! Ambillah apa saja yang kalian mau, asal jangan ganggu dia," rengek lelaki berkepala botak itu. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia lalu berlutut di depan kaki orang‐orang berwajah bengis itu dan merintih‐rintih mohon dikasihani.
Seorang di antara pengikut Setan Bertenaga Gajah itu langsung menyambar pinggang wanita cantik tadi. Diciuminya wanita itu dengan penuh nafsu. Namun, tiba‐tiba, laki‐laki itu menjerit tertahan dan terkulai di bahu si wanita cantik.
"Iiihhh...!" Wanita cantik itu melangkah mundur, sehingga tubuh laiki‐laki bengis itu ambruk ke tanah tanpa nyawa lagi.
"Hei! Apa yang kau lakukan kepadanya?" bentak salah seorang yang lainnya sambil menodongkan pedangnya ke leher wanita cantik itu. Sedangkan seorang lagi segera memeriksa tubuh kawannya yang sudah tak bernyawa itu.
"Ah, dia.... Dia sudah tewas!" teriak orang itu kaget. Ternyata, didapati kepala kawannya terdapat luka yang membiru dan amat dingin. Rupanya luka Itu telah menghancurkan urat‐ urat saraf di kepalanya sehingga membuatnya tewas seketika.
Laki‐laki bengis yang tengah menodongkan ujung pedangnya ke leher wanita cantik itu menjadi terkejut setengah mati! Bergegas didekati dan diperiksa mayat kawannya itu. "Bangsat! Siapa yang telah melakukannya?" teriaknya gusar.
"Aku! Akulah yang telah membunuh manusia bejad itu! Apakah kalian ingin mengikuti jejaknya?" Entah dari mana datangnya, tahu‐tahu saja di dekat wanita itu telah berdiri sesosok tubuh berjubah putih. Jelas dia tak lain adalah Panji si Pendekar Naga Putih. Pemuda itu berdiri tegak, dengan kedua, kaki terpentang. Sinar matanya mencorong tajam bagai mata seekor naga yang sedang murka.
"Setan...! Kau harus bayar mahal perbuatanmu itu!" teriak salah seorang laki‐laki bengis itu sambil menyabetkan pedangnya ke tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi serangan itu mudah sekali dielakkannya. Bahkan Pendekar Naga Putih langsung mengirimkan tamparan ke arah kepala orang itu.
Seketika terdengar lolong kematian, disertai terpentalnya tubuh orang itu. Orang itu tewas dengan kepala pecah! Melihat salah seorang kawannya mati, maka yang lain serentak menerjang Pemuda sakti itu. Pendekar Naga Putih segera membagi‐bagi pukulannya Yang mengandung tenaga sakti yang hebat itu. Kontan saja tubuh para penyerangnya berpentalan ke segala Penjuru dalam keadaan telah menjadi mayat.
Setan Bertenaga Gajah yang masih berusaha melumpuhkan lawannya menjadi terkejut melihat anak buahnya berpentalan diiringi jeritan yang memilukan. Dengan wajah merah padam, tubuh tinggi besar itu segera meninggalkan lawannya, melayang ke arah kereta kuda itu. Bukan main murkanya Setan Bertenaga Gajah ketika mendapati para pengikutnya telah tewas bergelimpangan.
“Setan belang! Siapa kau, Anak Muda?! Rupanya kau belum mengenalku, sehingga berani jual lagak di hadapanku!" bentak Setan Bertenaga Gajah murka.
"Hm..., bukankah kau yang bejuluk setan, Orang Tua?! Dan mengapa pula kau campuri urusanku?" tanya Pendekar Naga Putih alias Panji sambil tersenyum mengejek.
Sementara, para pengikut Setan Bertenaga Gajah yang lain sudah pula berdatangann ke tempat itu. Rupanya mereka telah melupakan lawannya yang masih tersisa, tiga orang itu.
"Bangsat! Kalau tertangkap, akan kukuliti seluruh tubuhmu biar tau rasa!" Begitu ucapannya selesai, Setan Bertenaga Gajah langsung menyerang Pendekar Naga Putih dengan pukulan‐ pukulan yang menimbulkan angin kuat!
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak merasa gentar menghadapinya. Sebab diketahui bahwa lawannya hanyalah mengandalkan kekuatan tenaga luarnya saja. Sedangkan kekuatan tenaga dalam laki‐laki itu sama sekali tidak berarti bagi Pendekar Naga Puth. Pukulan‐pukulan yang selalu mengenai tempat kosong itu, semakin membuat Setan Bertenaga Gajah geram dan penasaran. Laki‐laki tinggi besar itu segera mengerahkan seluruh kemampuannya. Dia bermaksud memecahkan kepala lawannya dengan sekali pukul.
Pada jurus yang kedelapan, Pendekar Naga Putih sengaja ingin membuka mata lawannya. la sama sekali tidak menghindar ketika pukulan lawan meluncur deras menuju dadanya. Diam‐diam dikerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tubuh. Dan entah dari mana datangnya, tahu‐ tahu saja di sekujur tubuh pemuda itu terlihat selapis kabut yang bersinar putih keperakan.
Bukkk!
Kepalan sebesar kepala bayi itu mendarat keras di dada Pendekar Naga Putih. Sungguh aneh luar biasa! Ternyata tubuh Setan Bertenaga Gajah malah terlontar ke belakang sejauh tiga tombak. Tubuh yang tinggi besar itu merintih kesakitan sambil memegangi kepalan tangan kanannya yang telah membengkak dan tulang‐tulangnya terasa hancur! Bukan main terkejutnya hati Setan Bertenaga Gajah menghadapi kenyataan yang sungguh di luar dugaannya itu.
Sementara, tubuh Pendekar Naga Putih yang terhantam pukulan itu, sama sekali tidak bergeming! Dan sebelum Setan Bertenaga Gajah menyadari hal itu, Pendekar Naga Putih sudah melayang ke arahnya diiring pukulan sisi telapak tangannya. Angin dingin berhembus keras menyertai dorongan tangan pemuda sakti itu.
"Pendekar Naga Putih...!" seru tiga orang lelaki gagah yang juga turut menyaksikan pertarungan itu. Semula ketiga orang lelaki gagah itu sama sekali tidak mengenali Pendekar Naga Putih. Tapi, begitu melihat selapis kabut yang bersinar putih keperakan menyelimuti tubuh pemuda itu, ketiganya segera paham. Jelas itu adalah ciri‐ciri Pendekar Naga Putih. Namanya memang sering dibicarakan orang, karena kedigdayaannya dalam menumpas kejahatan.
Ketika pertarungan memasuki pada jurus ketiga belas, Setan Bertenaga Gajah yang sudah semakin terdesak itu sepertinya tidak mampu lagi menghindari serangan Pendekar Naga Putih. Pendekar muda ini bagai seekor naga, yang tengah murka! Maka akibatnya memang sudah bisa diduga. Sebuah hantaman telapak tangan pemuda itu telak menghantam dadanya.
"Deeesss!" Tiba‐tiba terdengar raunga kematian yang panjang dan parau, disertai terlemparnya tubuh Setan Bertenaga Gajah dari arena pertempuran. Tubuh tinggi besar itu berkelojotan sesaat, lalu diam tak bergerak lagi. Dada pemimpin perampok itu remuk. Pelahan‐lahan tubuhnya mulai membiru, bagai orang kedinginan.
Melihat pemimpinnya mati, para pengikut Setan Bertenaga Gajah yang tinggal delapan orang serentak menjatuhkan dirinya bersujud di hadapan Pendekar Naga Putih.
"Ampuni kami, Tuan Pendekar...!" seru delapan orang kasar itu, sambil membentur‐benturkan dahinya ke tanah. Bahkan beberapa orang di antaranya ada yang sampai berdarah!
"Hm… Pergilah kalian! Awas, kalau melakukan hal ini lagi, aku tak akan segan‐segan membunuh kalian! Mengerti?!" bentak Pendekar Naga Putih dengan suara keras.
Sambil mengangguk‐angguk dan berkali‐kali mengucapkan terima kasih, delapan orang itu segera berlari tanpa menoleh‐noleh lagi. Gerakan mereka cukup cepat, sehingga dalam waktu yang tak lama telah lenyap dari pandangan.
Setelah orang‐orang itu pergi, Pendekar Naga Putih segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Tiga orang laki‐laki gagah itu hanya sempat melihat bayangannya saja, karena kepergiannya begitu cepat. Mereka hanya bengong dan bergumam, seolah ingin mengucapkan rasa terima kaslh kepada pendekar muda itu.
********************
Malam belum begitu larut. Di dalam kamar sebuah rumah penginapan yang terdapat di Desa Pasiran, tampak seorang gadis tengah melakukan semadi. Gadis Itu cantik sekali, apalagi ditambah pakaiannya yang serba merah. Benar‐benar bagaikan seorang Dewi yang agung dan mempesona layaknya.
Namun, jangan disangka bahwa ia adalah seorang gadis biasa yang lemah dan mudah untuk dipikat. Karena dalam rimba persilatan gadis yang bernama Sundari itu sudah sangat dikenal dan berjulukan Dewi Tangan Merah. Sepak terjangnya yang tidak kenal kompromi dalam memberantas setiap kejahatan membuat namanya semakin ditakuti oleh tokoh golongan sesat. Dan kehadirannya di Desa Pasiran juga untuk melakukan hal yang serupa. Membasmi Dedemit Bukit lblis!
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara kentongan yang dipukul para peronda malam. Mereka memang tengah berkeliling menyusuri jalan‐jalan desa dengan diterangi dua buah obor. Udara malam yang dingin bukan halangan, karena keenam orang peronda Itu sudah terbiasa dengan suasana seperti Itu. Mereka kini hampir mencapai sebuah kedai yang ramai dikunjungi orang.
"Hai! Sahabat‐sahabat! Mari singgah sejenak untuk menghangatkan tubuh!" ajak salah seorang yang ada di kedai ketika para peronda melewati tempat itu. Orang yang mengajak itu berusia sekitar tiga puluh tahunan.
Wajahnya terlihat gagah dengan bentuk rahang yang kokoh. Di pinggangnya tergantung sebilah golok besar yang terlihat berat. Kalau dilihat dari sikapnya, jelas dia adalah seorang pendekar yang pada waktu itu banyak berdatangan ke Desa Pasiran.
"Ah! Terima kasih, Kisanak! Biarlah kami melaksanakan tugas kami terlebih dahulu," jawab salah seorang dari para peronda itu.
"Oh! Kalau begitu, silakan, sahabat‐sahabat! Dan selamat bertugas!" ujar seorang pendekar lain yang bertubuh jangkung.
Setelah berbasa‐basi sebentar, keenam orang peronda itu pun meneruskan langkahnya untuk menjaga keamanan Desa Pasiran. Suara kentongan pun kembali terdengan mengiringi langkah kaki mereka.
Sudah hampir sebulan lebih keadaan Desa Pasiran aman‐aman saja. Dedemit Bukit Iblis sudah tidak pernah muncul lagi di desa itu. Para penduduk Desa Pasiran pun sudah mulai merasa tenang. Apalagi kehadiran para pendekar di desa ini membuat hati penduduk desa semakin tentram. Namun, tidak demikian halnya dengan Kepala Desa Pasiran yang tetap berjaga‐jaga meskipun Dedemit Bukit Iblis tidak pernah muncul lagi. Penjagaan ketat tetap dijalankan seperti biasa. Dan kepala desa itu tidak akan pernah merasa tenang, sebelum Dedemit Bukit Iblis tersebut benar‐benar musnah.
Dan memang, kesiagaan sang kepala desa tidaklah berlebihan. Buktinya pada suasana malam yang cerah itu, tampak sesosok bayangan putih berkelebatan di atas rumah‐ rumah penduduk Gerakannya ringan sekali, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun llmu meringankan tubuhnya benar‐benar sempurna, dan jarang terdapat di dunia persilatan.
Bayangan putih itu berloncatan menuju ke sebelah Timur Desa Pasiran. Jubah luarnya yang lebar dan berwarna putih, tampak berkibar tertiup angin. Rambutnya yang panjang berwarna putih, dibiarkan meriap menutupi sebagian wajahnya. Jelas itu adalah bayangan Dedemit Bukit Iblis yang menjadi momok bagi penduduk desa di wilayah Barat.
Kadang‐kadang, tubuh Dedemit Bukit Iblis itu berloncatan dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Bayangannya terus berkelebat menuju sebuah rumah yang letaknya agak terpencil. Di rumah itu, istri pemilik rumah baru saja melahirkan seorang bayi laki‐laki yang sehat. Dan kini, Dedemit Bukit Iblis telah tiba di rumah itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukarlah bagi Dedemit Bukit Iblis untuk hinggap di atap rumah itu tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Sebentar diedarkan pandangannya untuk memastikan keadaan di sekitarnya. Setelah merasa aman, Dedemit Bukit lblis menggerakkan tangannya melubangi atap rumah itu.
Air liur Dedemit Bukit Iblis menetes seketika melihat sesosok tubuh mungil tergolek di pembaringan. Matanya bersinar kehijauan, tanda seleranya mulai tergugah. Sejenak dedemit tersebut mengurungkan niatnya ketika bayi itu tersentak bangun sambil menangis keras‐keras. Rupanya, naluri bayi yang masih murni itu, mulai merasakan adanya bahaya mengancam. Ibu si bayi yang masih terlelap itu langsung bangun ketika mendengar tangisan anaknya. Bergegas dia beringsut, lalu bangkit untuk menimang dan menghibur buah hatinya.
"Shhh.... Tidur, ya Sayang...! Cup, cup, shhh..." rayu sang ibu, berusaha mendiamkan anaknya. Namun celakanya, tangis si bayi malah semakin keras. Matanya yang bening berputar‐putar liar, seolah‐olah mengungkapkan kegelisahan hatinya. Melihat keadaan bayinya yang aneh itu, si lbu menjadi khawatir.
"Kang! Bangun, Kang! Lihat ini anak kita, Kang!" teriak sang istri sambil membangunkan suaminya yang masih tertidur pulas. Wajahnya mulai cemas karma anaknya menanangis semakin keras.
Si suami tersentak bangun sambil mengerjap‐ ngerjapkan kedua matanya. Lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu terkejut melihat keadaan anaknya. "Ada apa, Nyai... Si kecil kenapa?" tanya laki‐laki itu dengan wajah tegang! Sejenak dia termenung dan teringat akan cerita dan para tetangganya. Benar! Tangis bayi itu adalah tanda‐tanda bayi itu bakal menjadi korban Dedemit Bukit Iblis.
"Kang! Jangan‐jangan?!" ujar istrinya tiba‐tiba dengan wajah pucat pasi. Mendadak tubuh ibu muda itu gemetar!
Si suami tidak menyahut. Segera disambarnya sebilah golok yang tergantung di bilik, dan langsung dihunusnya! Pandangannya beredar ke tiap sudut dalam rumahnya. Napasnya seperti tertahan dan wajahnya penuh ketegangan! Butir‐butir keringat sebesar biji jagung memenuhl seluruh wajahnya!
"Brraaakkk...!" Tiba‐tiba atap rumah itu ambrol dengan menimbulkan suara ribut! Berbareng dengan suara itu, sesosok bayangan putih melayang turun sambil memperdengarkan suara tawa yang mendirikan bulu roma.
"Kek kek kek...!" tahu‐tahu sesosok tubuh berambut meriap telah berdiri di hadapan mereka. Sinar matanya yang berwarna kehijauan memandang ke arah si bayi penuh nafsu.
"Nyai, lariii ... !" teriak laki‐laki itu kepada istrinya. "Hei. iblis! Pergi kau dari Sini! Jangan ganggu anak kami!" lanjut si suami dengan golok melintang di depan dada.
Mendengar teriakan suaminya, wanita itu menghambur keluar. "Tolooong...! Setaaannn...! Tolooong....!" teriaknya sambil berlari.
Sementara itu, sang suami sudah langsung menerjang Dedemit Bukit lblis dengan golok di tangan. Berkali‐kali lelaki muda itu membacokkan goloknya ke tubuh iblis itu. Anehnya... Iblis itu sama sekali tidak terluka, tapi malah tertawa terkekeh.
Tiba‐tiba Dedemit Bukit Iblis menggerakkan tangannya pelahan, bagai mengusir nyamuk. Akibatnya sungguh luar biasa. Tubuh lelaki muda itu terbanting sejauh tiga tombak, dan kontan menabrak bilik rumah hingga jebol! Lelaki muda itu terkulai dengan luka menganga pada lehernya!
Sementara itu, ketika suara minta tolong itu terdengar oleh Para peronda, maka bunyi kentongan tanda bahaya pun terdengar bertalu‐talu membelah udara malam yang dingin! Suasana malam pun yang semula hening, kini berubah menjadi ribut dan bising! Teriakan‐teriakan bernada perintah terdengar bersahut‐ sahutan. Dalam sekejap saja, Desa Pasiran menjadi terang benderang. Puluhan orang belarian hingga menimbulkan suara bergemuruh! Cahaya‐cahaya obor bermunculan dari setiap pelosok desa. Mereka semua menuju sumber suara minta tolong tadi.
Para pendekar yang memang sudah menantikan kedatangan Dedemit Bukit lblis segera berkelebatan mendahului para penduduk desa. Mereka berusaha saling mendahului, untuk segera tiba di tempat kejadian. Maka dikerahkan Ilmu peringan tubuh agar dapat tiba, lebih cepat!
Di tempat lain, ibu muda yang berusaha menyelamatkan anaknya itu terus berlari menjauhi rumahnya. Tubuhnya telah basah oleh peluh. Namun, tiba‐tiba sesosok bayangan putih itu berkelebat melampaui kepalanya, dan tahu‐tahu telah berdiri di hadapannya. Tak salah lagi. Dialah Dedemit Bukit Iblis.
"Iblis! Pergi, kau! Jangan ambil anakku! Pergi...!" teriak ibu muda itu ketakutan. Air matanya mengalir bercampur keringatnya. Tubuhnya gemetar karena diserang rasa takut yang hebat! Meskipun demikian, dia berusaha untuk mempertahankan buah hatinya. Sambil berteriak dan menjerit‐jerit, dilemparinya tubuh iblis itu dengan batu‐batu yang berada di dekatnya. Tapi, Dedemit Bukit Iblis malah tertawa terkekeh tanpa menghiraukan lemparan‐lemparan itu. tiba‐tiba tangan Dedemit Bukit Iblis terulur ke arah tubuh mungil yang berada dalam gendongan lbu muda itu.
"Iblis keji! Mampuslah...!" tiba‐tiba terdengar bentakan yang disertai dengan melayangnya dua sosok tubuh menhalangi niat Dedemit Bukit Iblis. Dua buah sinar putih berkilatan memotong ke arah tangan yang terulur itu. Tangan Dedemit Bukit Iblis itu sama sekali tidak mengelak ataupun ditarik pulang, tapi malah terus terulur. Seolah‐olah dia tidak mengetahui serangan yang mengancam tangannya.
Takkk! Takkk!
Terdengar suara berdentang nyaring, dibarengi terpentalnya dua tubuh si penyerang. Kedua sosok tubuh itu terbanting keras, hingga menimbulkan suara berdebum. Ketika berusaha bangkit, terlihat mereka mentegangi Langan kanannya yang telah patch! Mereka memang bagai membacok sebuah balok baja yang amat keras, sehingga tenaganya berbalik dan meluka! diri sendiri.
Tapi usaha kedua orang itu pun tidaklah sia‐sia. Akibat dari bacokan itu, tangan iblis tersebut melenceng dari sasarannya. Maka bayi itu pun terbebas pula dari cengkraman Dedemit Bukit Iblis! Alangkah murkanya Iblis itu melihat ada orang yang menghalangi niatnya.
"Grrr .. ! Khu bunuhhh... khaliaan ... !" dengus iblis itu gusar. Setelah berkata demikian, tubuh Dedemit Bukit lblis meluncur ke arah dua orang pendekar yang masih belum mampu bangkit itu. Jari jari tangannya yang berkuku panjang dan hitam itu siap merejam tubuh lawan.
Dengan susah payah, kedua orang pendekar itu bergulingan untuk menghindari ancaman kuku‐kuku yang sekeras baja itu. Dan hebatnya, ke mana pun kedua orang pendekar itu menghindar, sepasang tangan yang berkuku runcing itu tetap saja mengikuti mereka. Hingga pada suatu saat, tidak dapat dihindari lagi!
Breettt! Breettt!
"Aaarrrgghhh...!"
Kedua orang pendekar itu berteriak setinggi langit! Tubuh mereka terlempar dengan usus memburai. Jari‐jari tangannya yang berkuku runcing itu telah merobek perut mereka! Setelah meregang nyawa sesaat, kedua orang pendekar itu pun tewas.
"Biadab! Iblis keji! Mampuslah...! Heaaattt...!" terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang menerjang Dedemit Bukit lblis. Kemudian berturut‐turut beberapa bayangan lainnya sudah pula berdatangan, dan langsung ikut mengeroyok. Tidak lama kemudian, tempat itu pun menjadi terang benderang oleh sinar‐sinar obor yang dibawa penduduk desa yang baru saja tiba di tempat itu.
ENAM
Dengan kemarahan yang meluap‐luap, pendekar yang berjumlah sekitar sembilan belas orang itu menyerang secara bertubi‐tubi. Mereka mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk dapat segera meringkus Dedemit Bukit Iblis. Pada jurus yang kelima, tiga buah senjata berkelebat secara bersilangan mengancam tubuh si iblis. Namun berkat kegesitannya yang luar biasa, Dedemit Bukit Iblis mampu menyelinap di antara sambaran tiga batang senjata itu. Dan dengan kecepatan yang tak tampak oleh mata, tahu‐tahu cakar Dedemit Bukit Iblis sudah mengancam tenggorokan ketiga orang pendekar yang menyerangnya tadi!
Crakkk! Jreppp! Crottt!
Ketiga orang pendekar itu menjerit menyayat ketika kuku‐kuku yang sekeras baja itu merobek tenggorokan mereka! Darah kontan memercik ke sekitarnya bersamaan terhempasnya tubuh tiga orang pendekar yang bernasib sial itu. Mereka tewas seketika.
Menyaksikan keadaan tiga orang kawannya yang tewas secara mengerikan itu, tanpa sadar para pendekar lain melangkah mundur dengan wajah pucat. Beberapa di antaranya yang pernah merasakan kepandaian Dedemit Bukit Iblis, menjadi terkejut sekali!
"Gila! Kepandaian iblis itu semakin hebat saja! serunya heran.
Memang benar apa yang dikatakan salah seorang dari pendekar itu. Kepandaian Dedemit Bukit Iblis dalam beberapa bulan belakangan ini telah meningkat jauh. Itulah sebabnya, mengapa iblis itu tidak lagi menghindarkan diri ketika perbuatannya dipergoki para pendekar. Rupanya dia sudah merasa yakin akan kepandaiannya.
"Huh! Lebih baik mati daripada melihat makhluk biadab ini tetap berkeliaran di muka bumi! Heaaattt...!" kata salah seorang pendekar. Setelah berkata demikian diterjangnya Dedemit Bukit Iblis dengan serangan yang ganas dan cepat!
Mendengar ucapan itu, para pendekar lainnya merasa tergugah semangatnya. Ya! Lebih baik mati di tangan iblis itu, daripada hidup sebagai seorang pengecut! Dibarengi teriakan nyaring, para pendekar itu pun kembali mengeroyok Dedemit Bukit Iblis yang ganas itu. Para pendekar yang kini berjumlah enam belas orang itu, membabatkan senjatanya secara cepat dan kuat! Mereka bertarung bagaikan singa lapar!
Meskipun demikian, mereka tidaklah bertempur secara membabi buta! Serangan para pendekar itu tetaplah diperhitungkan secara tepat. Mereka bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan saja, tapi sudah terlatih dengan baik. Namun kemajuan yang diperoleh Dedemit Bukit Iblis memang hebat sekali! Dalam beberapa jurus saja lima orang pendekar sudah menggeletak tewas! Dua orang di antaranya, tewas dengan kepala pecah! Sedangkan tiga lainnya dengan leher hampir patah dan isi perut berhamburan! Benar‐benar mengerikan akibat dari jurus 'Tangan Pengejar Roh' yang menjadi jurus andalan Dedemit Bukit Iblis itu. Meskipun telah jatuh korban lagi, namun semangat Para pendekar itu masih tetap tinggi. Memang tekad Para pendekar itu sudah mantap. Iblis itu yang tewas, atau mereka yang terkubur!
"Heaaattt...!"
Dua orang pendekar kembali menusukkan pedangnya ke mata dan tenggorokan Dedemit Bukit iblis. Suara pedang yang berdesing tajam, terdengar karena digerakkan dengan sepenuh tenaga. Lagi‐lagi Dedemit Bukit Iblis sama sekali tidak berusaha untuk menghindar! Dengan sikap acuh tak acuh, iblis itu menanti datangnya dua serangan itu.
Takkk! Takkk!
Dengan kecepatan luar biasa, tahu‐tahu lengan Dedemit Bukit Iblis telah menangkis dua pedang yang mengarah ke tubuhnya. Kedua orang pendekar itu merasakan lengannya lumpuh seketika. Dan sebelum menyadari hal itu, mendadak leher mereka bagai dijepit oleh baja yang amat kuat! Kedua orang pendekar itu meronta‐ronta berusaha melepaskan jepitan tangan Iblis itu pada leher mereka.
"Kreeaahh...!" Dengan gerengan yang mendirikan bulu roma, dua tangan Dedemit Bukit Iblis menghentak ke atas. Tubuh kedua orang pendekar itu menggantung di udara, dengan napas yang hampir putus! Dedemit Bukit Iblis makin memperketat cengkraman tangannya hingga terdengar suara gemeretak. Kepala kedua orang pendekar itu terkulai, karena tulang lehernya telah patah!
Huh...!" sambil mendengus kasar, Dedemit Bukit Iblis membanting tubuh kedua orang pendekar yang telah menjadi mayat itu. Dua tubuh itu meluncur deras dan menghantam sebuah batu besar yang berada tidak jauh darinya.
"Praakkk!" Seketika cairan merah berhamburan dari kepala dua orang pendekar itu.
Para pendekar yang kini tinggal sembilan orang itu serentak mundur dengan mata membelalak! Di wajah mereka terbayang kengerian yang luar biasa! Tubuh mereka gemetar dengan hebatnya! Berbagai perasaan bercampur di hati, hingga kesembilan orang pendekar itu tidak mengetahui apa sebenarnya yang mereka rasakan saat itu!
Sementara Dedemit Bukit Iblis yang sudah dilanda kemurkaan itu melangkah mendekati mereka. Kedua tangannya yang berkuku runcing itu siap melumat hancur sembilan tubuh yang tengah dilanda kengerian itu. Matanya yang bersinar kehijauan menatap dengan memancarkan daya sihir yang kuat. Akibatnya kesembilan orang pendekar itu hanya dapat memandang dengan wajah pucat.
"Dengarrr...!" sera Dedemit Bukit Iblis serak. "Kalian adalah budak‐budakku yang selalu tunduk pada segala perintahku...! Dan sekarang kalian kuperintahkan untuk merebut bayi yang ada dalam gendongan wanita itu! Bunuh siapa saja yang menghalangi kalian.
Suara Dedemit Bukit Iblis yang mengandung kekuatan gaib itu, menggeletar dan menyusup ke dalam pikiran mereka. Untuk beberapa saat lamanya tubuh kesembilan orang pendekar itu menegang, lalu pelahan‐lahan mata yang semula membeliak berubah menjadi layu tak bergairah. Wajah‐wajah mereka pun menjadi dingin tak berperasaan.
"Kami siap menjalankan perintah tuanku...!" ujar kesembilan orang pendekar itu. Suara mereka terasa begitu dingin dan tak berperasaan. Dan dengan langkah lambat, kesembilan orang pendekar itu bergerak menghampiri si ibu muda yang sudah diamankan para penduduk itu.
Melihat kejadian yang tak disangka‐sangka itu, para penduduk menjadi pucat. Mereka tidak mengerti, mengapa Para pendekar itu berbalik hendak menyerang mereka? Dengan wajah tegang, para penduduk menanti apa yang hendak dilakukan para pendekar itu.
"Jauhkan bayi itu dari tempat ini, cepat!" teriak seorang lelaki tua, sambil melompat menghadang jalan kesembilan orang pendekar itu. Walaupun telah berusia sekitar enam puluhan tahun, namun tubuhnya masih terlihat gagah. Sorot matanya tajam dan berwibawa. Suaranya pun terdengar lantang ketika memberi perintah kepada orang‐orang desa itu.
"Hati‐hati, Ki! Nampaknya para pendekar itu kini sudah dalam kekuasaan Dedemit Bukit Iblis. Lihat saja wajah mereka! Dingin dan kaku, bagai tak memiliki perasaan!" ujar salah seorang penduduk memperingatkan orang tua gagah itu. Dalam nada suaranya terkandung kekhawatiran yang dalam.
"Hm...!! Tampaknya iblis itu telah mempergunakan kekuatan gaibnya untuk menguasai para pendekar itu! Iblis keparat! Rupanya ini sengaja dilakukan, agar kita saling bunuh di antara kawan sendiri. Licik sekali iblis keparat itu!" umpat orang tua gagah itu cemas. Wajahnya menjadi murung terselimut kedukaan yang hebat. Dengan hati berat, ia terpaksa harus berhadapan dengan para pendekar itu.
"Rebut bayi itu! Bunuh siapa saja yang menghalangi...," suara Dedemit Iblis terus bergema, mempengaruhi kesembilan orang pendekar yang melangkah semakin dekat ke arah kerumunan penduduk.
"Ya! Bunuh siapa saja yang menghalangi...!" bisik kesembilan orang pendekar Itu, mengulangi kata‐ kata Dedemit Bukit Iblis. Mendadak sinar mata yang semula meredup itu berkilat penuh nafsu membunuh!
Melihat sinar mata yang mengandung kekuatan gaib, orang tua gagah itu agak gentar juga hatinya. Tanpa sadar ia pun melangkah mundur beberapa tindak. Beberapa orang yang berada di kiri dan kanannya, ikut pula melangkah mundur! Bulu kuduk mereka meremang ketika beradu Pandang dengan kesembilan orang pendekar itu. Beberapa kali mereka menelan ludah dengan wajah pucat!
Tanpa banyak bicara lagi, kesembilan orang pendekar itu sudah menerjang ke arah para penduduk dengan, serangan yang cepat dan ganas! Dari suara desingan tajam yang ditimbulkan ayunan pedang para pendekar itu, mudah ditebak kalau serangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang tinggi!
"Ki Palaran! Awas...!" teriak beberapa orang yang berada di sampingnya yang langsung bergulingan menghindari serangan yang ganas tersebut.
Namun, orang tua gagah yang dipanggil Ki Palaran itu tidak mempunyai waktu lagi untuk menghindar! Posisinya yang berada di tengah‐tengah kawannya itu sepertinya memang tidak memungkinkan dia untuk menghindar. Satu‐satunya jalan untuk menyelamatkan kepalanya dari sambaran pedang adalah memapak dengan pedangnya.
Traaannng!
Terdengar benturan yang nyaring disertai memerciknya bunga api yang menandai betapa kerasnya benturan tadi. Dan sebagai akibatnya, tubuh Ki Palaran terdorong sejauh lima langkah! Lengan kanannya yang dipakai menangkis tadi terasa nyeri dan linu. Cepat‐cepat Ki Palaran memeriksa pedangnya. Dan alangkah terkejutnya orang tua gagah itu ketika mendapati mata pedangnya telah rompal!
"Gila! Mengapa tenaga mereka menjadi demikian hebat?" umpat Ki Palaran. Wajah laki‐laki tua itu diliputi keheranan. Padahal ia tahu betul kepandaian para pendekar itu tidaklah berada di atasnya! "Hm.... Tidak salah lagi! Pastilah ilmu gaib iblis inilah yang telah melipatgandakan tenaga para pendekar itu!" ucap Ki Palaran dalam hati. Tapi orang tua gagah itu tidak dapat berpikir panjang lagi. Karena tiba‐tiba serangan dari lawan telah meluncur datang.
Terjadilah pertarungan yang tak dapat dihindari lagi. Pendekar yang jiwanya telah dikuasai Dedemit Bukit lblis itu membabatkan pedangnya dengan serangan‐serangan maut! Seolah‐olah pendekar itu berhadapan dengan orang yang sangat dibencinya. Sehingga apablia Ki Palaran lengah sedetik saja, maka malaikat maut pasti segera menjemputnya!
Dapat dibayangkan, betapa sulitnya posisi Ki Palaran saat itu. Di satu pihak, ia sebagai kepala desa berkewajiban membela warganya. Sementara di pihak lain, harus pula dimaklumi keadaan pendekar itu yang tidak menyadari perbuatannya, akibat pengaruh gaib si iblis. Itulah sebabnya, mengapa sampai pada jurus kelima Ki Palaran masih belum juga membalas serangan lawan. Memang, kepandaian mereka tidak berselisih jauh. Tentu saja hal ini membuat Ki Palaran menjadi terdesak hebat. Dan kalau pada jurus‐jurus selanjutnya Ki Palaran masih tidak membalas serangan lawan, maka kerugianlah yang akan didapatnya.
Di arena lain, para pendekar yang telah dikuasai Dedemit Bukit lblis juga mengamuk hebat. Para penduduk yang tidak mengerti tentang ilmu olah kanuragan, berlarian menjauhi tempat tersebut. Mereka merasa ngeri menyaksikan akibat dari amukan para pendekar yang sudah seperti gila itu. Beberapa orang penduduk yang tak sempat menghindar, langsung berpentalan tewas. Usus mereka terburai, dan kepala terpisah dari badan. Jerit dan tangis bergema merobek udara malam yang semakin dingin itu. Darah pun mengalir membasahi rerumputan yang lembab.
Desa Pasiran malam itu benar‐benar telah berubah menjadi neraka! Mayat para penduduk yang tidak berdosa bergelimpangan tumpang tindh dengan keadaan yang sangat menyedihkan! Amukan kesembilan orang pendekar yang dipengaruhi iblis itu sangat memilukan hati siapa saja yang berada di dekatnya, langsung dibabat tanpa kenal ampun!
Pengawal kepala desa yang jumlah dua belas orang segera mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membendung amukan Para pendekar yang kesetanan itu. Meskipun sadar sepenuhnya bahwa mereka bukanlah tandingan para pendekar Itu, namun tanggung Jawab terhadap keselamatan desa kelahiran membuat kedua belas orang Pengawal Kepala Desa rela mengorbankan nyawa mereka.
Tapi sayang, kepandaian para Pengawal kepala desa Itu masih terlalu rendah jika dibandingkan kepandaian lawan‐lawannya. Sehingga dalam tiga jurus saja, pedang kedelapan orang pendekar itu telah membabat putus leher mereka! Darah kembali menyembur membasahi bumi. Delapan tubuh tanpa kepala itu terhuyung‐ huyung untuk kemudian jatuh tanpa dapat bangkit lagi.
Sedangkan empat orang lainnya melompat mundur dengan tubuh mengigil bagai terserang demam hebat. Wajah mereka pucat bagai tak dialiri darah! Bibir mereka gemetar, tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Rupanya kejadian itu telah mengguncangkan hati para Pengawal kepala desa yang masih tersisa Itu. Mereka benar‐benar tidak menyadari kalau pada saat itu tengah terancam oleh dua batang pedang yang siap mencincang hancur tubuh mereka.
Pada saat yang menentukan, tiba‐tiba sesosok bayangan merah yang terbungkus oleh segulung sinar hijauan meluncur memotong serangan kedelapan orang pendekar itu.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara berdentang sebanyak delapan kali, ketika pedang di tangan para pendekar itu membentur sebatang pedang yang bersinar kehijauan. Kedelapan orang pendekar itu terdorong mundur sejauh lima langkah. Sementara pedang di tangan mereka hanya tinggal separuhnya, akibat terbabat pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan itu. Meskipun demikian, kedelapan orang pendekar itu sama sekali tidak menunjukkan rasa terkejut. Wajah mereka tetap dingin dan kaku bagai mayat hidup.
Sedangkan di lain pihak, bayangan merah itu menjadi terkejut! Akibat benturan tadi, tubuhnya terdorong sejauh dua tindak. Dan tangannya yang memegang pedang terasa bergetar dan nyeri. Dan bayangan merah itu lebih terkejut lagi ketika melihat wajah kedelapan orang lawannya yang nyaris bagai mayat hidup itu.
"Iiih...!" pekik si bayangan merah tertahan! Pandangan bayangan merah itu tak lepas ke arah delapan orang di depannya. Tanpa sadar kakinya melangkah ke belakang. Hatinya berdebar bercampur tegang. Namun, sebelum dapat berpikir leblh jauh, kedelapan orang lawannya sudah menerjang dengan ganasnya. Si bayangan merah pun segera menggerakkan pedangnya untuk menyambut serangan lawan‐lawannya.
Pertarungan pun kembali berlangsung. Bahkan kali ini, lebih hebat lagi. Si bayangan merah yang tak lain adalah Sundari, atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewi Tangan Merah itu, segera membalas serangan lawan dengan tidak kalah ganasnya. Pedangnya yang bersinar kehijauan itu berkelebatan mengancam tubuh semua lawannya.
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Ki Palaran dan seorang pendekar yang telah dikendalikan Dedemit Bukit Iblis itu, mulai tidak seimbang. Ki Palaran terdesak begitu hebatnya oleh serangan lawan yang makin lama makin ganas dan kuat! Seolah‐ olah, lawannya itu memiliki sumber tenaga yang tidak pernah habis‐habisnya. Hingga pada suatu saat....
"Aaakh!" Ki Palaran memekik tertahan. Ternyata pedang lawan berhasil melukai pangkal lengan laki‐laki tua itu. Ki Palaran terhuyung sambil menekap pangkal lengan kanannya. Sabetan pedang lawannya itu kuat sekali, hingga terasa menembus sampai ke tulang. Darah pun mulai menetes membasahi pakaiannya. Sedangkan lengannya terasa kaku dan sukar sekali digerakkan. Ki Palaran terpaksa me mindahkati pedangnya ke tangan kiri, karena lengan kanannya telah lumpuh! Dan, belum lagi dapat memperbaiki kuda‐kudanya, kini pedang lawan sudah meluncur mengancam ulu hatinya. Karena tidak mempunyal pilihan lain, Ki Palaran berusaha menangkis sebisa‐bisanya.
Trannng! Cappp!
"Aaahhkk...!" Ki Palaran menjerit kesakitan karena pedang lawan telah menembus lambung kirinya. Meskipun telah ditangkis dengan baik, namun tenaganya sangatlah lemah. Sehingga pedang itu tetap mengarah dan menancap di lambungnya. Ki Palaran terhuyung‐huyung sambil meringis menahan sakit pada lambungnya. Sedangkan pedang lawannya sudah berputar menyambar lehernya dengan kecepatan kilat.
Siiinnng!
"Ahh...!" orang tua itu tersentak dengan wajah memucat! la hanya dapat memejamkan matanya, menanti datangnya sang maut yang siap menjemput.
Duukkk! Dhieeesss!
Pada saat yang berbahaya itu sesosok bayangan putih berkelebat cepat dan menyambut serangan lawan terhadap Ki Palaran. Dengan gerakan yang tak tampak oleh mata, bayangan putih itu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah tangan yang memegang pedang. Itu pun masih dibarengi dengan gedoran telapak tangannya ke arah dada! Betapa dahsyatnya tenaga dalam orang yang berjubah putih tersebut.
"Aarrrghh...!" Terdengar raung kematian yang mendirikan bulu roma, disusul terpentalnya sesosok tubuh yang menyemburkan darah segar dari mulut. Tubuh itu berkelojotan sejenak untuk kemudian diam tak bergerak untuk selama‐lamanya. Orang itu tewas dengan dada remuk!
Ki Palaran yang telah pasrah menanti kematiannya menjadi heran. Ternyata pedang lawan belum juga menebas lehernya. Setelah menunggu beberapa saat serangan tersebut belum juga tiba, maka dengan wajah ketakutan bercampur heran orang tua itu mencoba membuka matanya. Dan keheranan Ki Palaran semakin menjadi‐jadi ketika mendapati tubuh lawannya tergeletak tak bernyawa sejauh dua tombak darinya. Sedang di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh. Yang mengenakan jubah luar berwarna putih.
Orang berjubah putih itu membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara berdebuk di belakangnya. Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat tubuh Ki Palaran sudah menggeletak di atas rumput dengan napas satu‐satu. Bergegas dihampirinya dan diperiksanya keadaan orang tua itu. Si jubah putih semakin terkejut melihat luka Ki Palaran yang cukup parah itu. Cepat ditotoknya tubuh Ki Palaran di beberapa, tempat untuk menghentikan derasnya darah yang keluar.
"Terima... kasih..., Kisanak," ucap orang tua itu perlahan sambil menggerakkan tangannya.
"Ah, sudahlah, Ki! Jangan terlalu banyak bergerak dulu! Luka ini harus segera diobati dan dibersihkan agar tidak membusuk!" ujar laki‐laki berjubah putih Itu.
Setelah berkata demikian, orang berjubah putih Itu segera mengangkat tubuh Ki Palaran dan membawanya ke tempat yang aman. Kemudian dipanggilnya salah seorang dari pengawal Ki Palaran. Setelah memberikan beberapa, Petunjuk cara mengobati luka yang diderita Ki Palaran, si jubah putih memutar tubuhnya dan memperhatikan pertarungan Dewi Tangan Merah yang masih berlangsung seru.
Orang berjubah putih itu ternyata masih muda. Paling tidak, usianya baru sekitar sembilan belas tahun. Namun sikapnya terlihat tenang sekali. Wajahnya yang tampan dan berkulit putih itu selalu dihiasi senyum. Sudah bisa diduga, siapa, pemuda berjubah putih Itu. Dia tak lain adalah Panji, yang merupakan pewaris tunggal dari seorang tokoh persilatan yang berjuluk Malaikat Petir. (baca episode Tiga lblis Bukit Tandur)
Dahi Panji yang dijuluki Pendekar Naga Putih itu berkerut ketika memandang wajah delapan orang yang mengeroyok Dewi Tangan Merah. Wajah pengeroyok yang dingin dan kaku tak berperasaan itu telah mencurigakan hatinya. "Hm. Sepertinya ada yang tidak wajar dalam diri orang‐orang yang mengeroyok wanita berbaju merah itu?" gumam Panji pelahan.
Panji mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Kerut di dahi pemuda itu tampak semakin dalam ketika melihat mayat‐mayat yang bergelimpangan dalam keadaan mengerikan. Dan pemuda itu sangat tersentak ketika pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang berdiri tegak di bawah sebuah pohon besar yang berjarak sekitar lima belas tombak darinya. Hati Panji sempat tergetar ketika matanya sempat beradu pandang dengan mata yang bersinar kehijauan milik sosok tubuh itu. Panji menduga‐duga sosok tubuh itu, tapi segera perhatiannya beralih pada pertarungan yang masih berlangsung seru itu.
Pada saat itu pertarungan sudah berjalan lima puluh jurus. Dewi Tangan Merah tampak mulai terdesak oleh kedelapan orang lawannya yang sepertinya memiliki sumber tenaga yang tak pernah habis. Dewi Tangan Merah yang tenaganya mulai berkurang itu, merasakan tekanan yang makin lama semakin berat! Sehingga, kini tidak dapat lagi ia membalas serangan lawan‐lawannya. Dia hanya mampu bertahan sambil bermain mundur.
"Kurang ajar! Mengapa tenaga mereka semakin lama semakin bertambah kuat saja? Setan apa yang telah merasuk ke dalam tubuh mereka?" umpat Dewi Tangan Merah geram.
Dewi Tangan Merah semakin terdesak hebat! Dia benar‐benar tidak mampu lagi untuk menahan serangan lawan‐lawannya yang kuat dan ganas itu. Bahkan beberapa kali pedang lawan hampir melukai tubuhnya. Pada saat yang gawat itu, tiba‐ tiba sesosok bayangan putih berkelebat memasuki arena pertempuran.
"Nisanak! Mari kita gempur mereka bersama sama!" seru bayangan putih yang tak lain dari Panji, sambil melancarkan serangan ke arah delapan orang yang mengeroyok Dewi Tangan Merah.
Setelah Panji ikut membantu, barulah Dewi Tangan Merah merasa lega. Sepertinya baru saja terbebas dari sebuah himpitan yang menyesakkan dada. Mula‐mula Dewi Tangan Merah atau Sundari merasa khawatir kalau‐ kalau pemuda itu akan mendapat celaka. Akan tetapi ketika melihat gerakan‐gerakannya yang kuat dan mantap, kekhawatiran itu pun lenyap. Apalagi ketika pemuda yang hanya menggunakan tangan kosong itu telah dapat mendesak kedelapan orang pengeroyoknya. Maka tak ada alasan lagi untuk ragu‐ragu, bahkan kini berubah menjadi kekaguman!
"Siapakah dia? Kalau dilihat dari caranya menghadapi kedelapan orang itu, pastilah ia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Bahkan mungkin, berada di atas kepandaianku! Hebat!" ucap Dewi Tangan Merah dalam hati.
"Kisanak, hati‐hatilah! Kedelapan orang itu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan! Mereka dalam pengaruh kekuatan gaib Dedemit Bukit lblis!" seru Dewi Tangan Merah. Wanita itu merasa khawatir kalau pemuda itu akan berlaku kejam kepada delapan orang yang sebenarnya tak tahu apa‐apa.
"Hm..., pantas saja kedelapan orang ini bertempur bagai orang glia! Rupanya mereka dikendalikan oleh ilmu sihir! Hm, lalu di manakah Dedemit Bukit Iblis itu sekarang, Nisanak?" tanya Panji tanpa mengurangi serangannya terhadap lawan‐ lawannya. Meskipun Panji sudah menduganya, namun ia ingin memastikan dugaannya itu.
"Kau lihat orang yang berdiri di bawah pohon besar itu? Dialah yang berjuluk Dedemit Bukit lblis! Entah manusia, atau bukan, aku sendiri tidak tahu!" jawab Dewi Tangan Merah sambil mengelak dari sambaran pedang lawan yang menuju ke pinggangnya.
Setelah mendapatkan kepastian dari Dewi Tangan Merah, tiba‐tiba Panji melompat mundur dan mengeluarkan sebuah bentakan yang merontokkan jantung! Begitu dahsyatnya bentakan itu, sehingga udara di sekitarnya terasa bergetar.
Dewi Tangan Merah melompat ke belakang sejauh dua tombak. Cepat dikerahkan tenaga saktinya, untuk melindungi dadanya yang terasa sesak akibat bentakan yang dahsyat tadi. "Gila! Siapakah sebenarnya pemuda ini?" pikir Dewi Tangan Merah semakin kagum.
Sebenarnya Dewi Tangan Merah atau Sundari sudah mempunyai dugaan tentang pemuda berjubah putih itu. Namun dugaannya menjadi kabur karena tidak dilihat adanya selapis kabut berwarna Putih keperakan yang khabarnya menjadi ciri khas Pendekar Naga Putih.
Sementara, akibat bentakan Panji terhadap kedelapan orang lawannya itu lebih dahsyat lagi! Tubuh mereka jatuh bergulingan sambil menutup, kedua telinganya yang terasa pecah! Wajah mereka menyeringai menahan rasa sakit yang hebat. Tidak terkecuali pula Dedemit Bukit Iblis. Meskipun berada agak jauh dari arena pertempuran, namun bentakan Panji tadi telah membuat dadanya berdebar. Dedemit Bukit Ibis terkejut bukan main! Tidak disangkanya kalau pada malam ini akan menemui lawan Yang tangguh! Cepat dikerahkan kekuatan sihirnya kembali untuk menguasai para pendekar yang tengah bergulingan itu.
"Bangkitlah… Bangkit… Bunuh pemuda berjubah putih dan gadis berbaju merah itu! Rasa sakit itu tidak akan menghalangi niat kalian! Bangkit..! Seraaang...! Bunuh mereka....!" perintah Dedemit Bukit Iblis dengan suara parau namun mengandung kekuatan sihir yang luar biasa. Suaranya bergema ke sekeliling tempat itu. Menyelusup dan menggetarkan sukma delapan orang pendekar itu
Panji dan Sundari tersentak mundur! Mereka terkejut sekali ketika melihat kedelapan orang pendekar yang tengah bergulingan itu, tiba‐tiba melompat bangkit dengan sigapnya. Diiringi gerengan yang dirikan bulu roma, kedelapan orang pendekar itu menyerbu Panji dan Sundari. Serangan budak iblis itu kini lebih kuat dan lebih ganas daripada sebelumnya seolah‐ olah bentakan Panji tadi telah melipat gandakan tenaga mereka.
"Nisanak, tahanlah serangan mereka untuk beberapa jurus! Aku akan mencoba untuk menghadapi Dedemit Bukit Iblis agar perhatiannya menjadi terpecah. Siapa tahu dengan berbuat demikian, la tidak dapat lagi mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi mereka," ujar Panji kepada Dewi Tangan Merah.
"Baiklah, Kisanak! Aku akan mencobanya. Dan hati‐ hatilah! lblis itu sangat licik dan kepandaiannya pun tinggi sekali!" jawab Dewi Tangan Merah memperingatkan pemuda Sakti itu.
"Terima kasih.... ujar Panji sambil melemparkan senyumnya kepada dara jelita berbaju merah Itu. Setelah berkata demikian, tubuh Panji berkelebat ke arah berdirinya Dedemit Bukit Iblis.
Dewi Tangan Merah tidak sempat lagi memperhatikan senyuman Panji, karena pada saat itu delapan orang lawannya sudah datang menyerbu. Tanpa membuang‐buang waktu lagi Dewi Tangan Merah langsung menggerakkan pedangnya untuk menghalau serangan lawan. Pertarungan pun kembali berlangsung sengit. Namun kali ini Dewi Tangan Merah benar‐benar terkejut! Ternyata serangan‐serangan lawan kini semakin mengandung tenaga yang berlipat ganda, sehingga dalam beberapa jurus saia Dewi Tangan Merah sudah terdesak hebat.
Dewi Tangan Merah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membendung serangan yang datang bagai air bah itu. Pedangnya yang bersinar kehijauan bergulung‐gulung membentuk sebuah benteng Pertahanan yang sangat kuat, dan sulit untuk ditembus. Lima jurus pun berlalu cepat memasuki jurus keenam, empat buah pedang lawan meluncur keempat bagian tubuhnya! Suaranya berdesing tajam. Jelas betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu.
Traanng! Triinng! Traanng!
"Aaahh...!" pekik Dewi Tangan Merah tertahan. Tubuh Dewi Tangan Merah terjengkang akibat tangkisan yang dilakukannya sendiri. la merangkak, berusaha bangun dengan tangan yang terasa bagai patah! Sama sekali tidak diduga kalau tenaganya sudah tidak mampu mengatasi lawan‐lawannya. Dewi Tangan Merah meringis menahan rasa sakit pada tangan kanannya.
Sedangkan keempat orang lawannya hanya terdorong mundur sejauh empat langkah. Melihat lawannya masih belum dapat bangkit, keempat orang itu segera menerjang Dewi Tangan Merah dengan serangan yang mematikan! Empat batang pedang Itu meluncur ke arah leher dan lambungnya!
Dewi Tangan Merah hanya mampu memandang dengan wajah pucat Rasanya tidak ada lagi waktu untuk menghindar. Lengannya pun belum lagi dapat digerakkan. Keadaan Dewi Tangan Merah saat itu benar‐benar di ambang kematian. Pada saat yang berbahaya utu, seberkas sinar putih keperakan meluncur. Kecepatannya luar biasa menyambut serangan keempat batang pedang itu.
Siiinnng! Traaannng! Triiinnng!
Craatt! Sreett!
“Oouuuggh...! Aaakkhhh...!”
Terdengar suara berdenting yang memekak telinga, bercampur jerit kesakitan! Tubuh keempat orang penyerang itu terpelanting ke segala penjuru. Pedang mereka pun terpental dalam keadaan patah! Keempat orang itu meringkuk disertai keluhan seperti orang yang menderita rasa dingin yang hebat! Setelah beberapa saat menggigil, mereka pun mengeluh untuk kemudian diam tak bergerak lagi. Sementara itu, keempat orang lainnya kontan berloncatan mundur, karena pada saat hendak menyerang, dirasakan sambaran hawa dingin yang luar biasa menerpa tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih...!" teriak Dewi Tangan Merah penuh kagum. Kini dara jelita itu sudah tidak ragu‐ragu lagi ketika melihat sosok tubuh berjubah putih yang diselimuti selapis kabut bersinar putih keperakan itu.
Orang yang memang Panji itu segera membalikkan tubuhnya ke arah Dewi Tangan Merah sambil tersenyum. "Kau tidak apa‐apa, Nisanak?" tanya Panji ramah. Pemuda itu mengulurkan tangannya untuk membantu Dewi Tangan Merah bangkit.
"Ah, tidak apa‐apa! Terima kasih atas pertolonganmu!" ucap, Dewi Tangan Merah. Mata wanita itu tetap tertuju pada wajah pendekar yang telah mengguncang dunia persilatan. Sepak terjangnya langsung mencuat ketika menewaskan tiga pentolan kaum sesat yang berkepandaian tinggi. (Baca episode Tiga Iblis Gunung Tandur)
Sementara itu, Panji segera berbalik untuk menghadapi keempat orang pendekar yang masih dalam pengaruh sihir Dedemit Bukit Iblis Itu. Pendekar Naga Putih itu menjadi terkejut ketika melihat sinar mata mereka mulai melemah. Belum lagi hilang rasa herannya, tiba‐tiba keempat orang pendekar itu mengeluh lalu roboh pingsan!
TUJUH
Panji segera melompat ke arah empat orang pendekar yang kini tergeletak di tanah. Hatinya pun menjadi lega setelah mengetahui keadaan mereka.
"Apa yang terjadi terhadap mereka, Kisanak?" tanya Dewi Tangan Merah yang sudah berada dekat pemuda Sakti itu. Di wajahnya terbayang keheranan, karena keempat orang pendekar itu tahu‐tahu roboh tanpa disentuh pemuda berjubah putih itu.
"Ah! Tidak apa‐apa, Nisanak! Mereka hanya pingsan! Mungkin ini disebabkan oleh lenyapnya pengaruh gaib dari Dedemit Bukit Iblis!" jelas Panji.
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih itu melangkah menghampiri tubuh empat orang lainnya yang juga masih tergeletak pingsan akibat tangkisan dan serangan yang dilakukannya tadi. Dewi Tangan Merah melangkah mengikuti pemuda itu. Ingin juga diketahui apa yang akan diperbuat pemuda itu terhadap empat orang yang tengah dihampirinya. Tubuh empat orang itu terlihat mulai membiru. Padahat luka mereka tidaklah terlalu parah! Sebab pedang pemuda itu hanya menggores pangkal lengan mereka masing‐masing. Dan itu pun tidak terlalu dalam! Memang sulit dimengerti.
Sementara Panji sudah berjongkok dan memeriksa keadaan empat orang pendekar itu. Pendekar Naga Putih menotok di beberapa bagian tubuh salah seorang dari mereka. Setelah beberapa kali tangannya menotok dan memijit, warna kebiruan di tubuh orang itu pun pelahan memudar.
"Iiihh...!" pekik Dewi Tangan Merah tertahan, dan cepat‐cepat menarik Pulang tangannya. Wanita Itu mencoba‐coba menyentuh tubuh salah seorang dari empat orang yang tergeletak pingsan tersebut. Dan Dewi Tangan Merah pun menjadi terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa tubuh orang itu terasa dingin bagai segumpal salju. Dingin dan keras!
"Apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa tubuh mereka begitu dingin?" tanya Dewi Tangan Merah.
Panji yang langsung menoleh karena mendengar Pekikan tadi, segera tersenyum mellhat gadis jelita Yang tengah kebingungan Itu. Pemuda itu tidak segera menjawabnya la pun melangkah menghampiri orang yang tadi disentuh Dewi Tangan Merah. Kemudian jari‐ jarinya pun bergerak melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukannya.
"Mereka hanya terserang hawa dingin akibat goresan pedangku tadi! Untunglah tubuh mereka cukup kuat, sehingga keadaannya tidaklah membahayakan," Jelas Panji sambil menotok dan memijit orang itu.
"Hm.... Seorang Pemuda yang mengagumkan!" ucap gadis itu dalam hati. "la tidak membanggakan kehebatan tenaga saktinya, namun memuji kekuatan tubuh keempat orang lawannya. Benar‐benar sikap seorang pendekar sejati!"
Panji menarik napas lega setelah berturut‐turut melakukan pengobatan kepada empat orang pendekar itu. Tidak berapa lama kemudian, terdengar keluhan‐ keluhan dari mulut empat orang pendekar itu rupanya mereka mulai sadar dari pingsannya.
"Eh Sudah mulai siuman," seru Dewi Tangan Merah dengan wajah terseri. Kedua anak muda itu pun bergegas menghampirinya.
"Oooh...! Siapakah Kisanak dan Nisanak ini Apa... apa yang terjadi dengan diri kami? Dan, mana Iblis jahat itu?" tanya salah seorang dari empat pendekar itu memberondong begitu tersadar dari pingsannya. Setelah berkata demikian, orang itu pun segera melompat berdiri. Tapi alangkah terkejut hatinya ketika ia kembali terjatuh karena kedua kakinya terasa lemas sekali.
"Tenanglah, Kisanak! Kesehatanmu belum pulih benar. Tenaga dalammu telah terkuras habis ketika bertanding tadi!" ujar Panji sambil menggerakkan tangannya ketika melihat orang itu akan bangkit kembali.
"Berkelahi? Menguras tenaga? Apa... apa maksudmu?" tanya pendekar itu heran. Dia memang tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya.
"Nantilah aku ceritakan! Sekarang lebih baik melakukan semadi untuk mengembalikan tenagamu. Mudah‐mudahan, setelah semadi tubuhmu segera pulih kembali," kata Panji menasehati.
"Benar apa yang dikatakannya, Kisanak! Kalau kurang percaya, cobalah kerahkan tenagamu sekarang!" timpal Dewi Tangan Merah. Dia juga telah dapat mengerti apa yang telah diucapkan Pendekar Naga Putih tadi.
Meskipun merasa bingung, namun orang itu segera mencoba mengerahkan tenaga saktinya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika ternyata tenaganya benar‐benar lenyap! Maka tanpa ragu‐ragu lagi, segera dipusatkannnya untuk segera memulihkan tenaganya. Seperti yang disarankan Panji tadi. Demikian pula dengan ketujuh orang Pendekar lainnya. Begitu tersadar, mereka pun ikut melakukan hal yang sama.
"Hm, Kisanak! Bagaimana dengan Dedemit Bukit Iblis? Apakah sudah kau temukan?" tanya Dewi Tangan Merah.
Memang, sewaktu Panji memburu Dedemit Bukit Iblis, Dewi Tangan Merah tak tahu kalau iblis itu telah melesat pergi. Dan, Pendekar Naga Putih tak berhasil mengejarnya.
Pengawal kepala desa yang kini tinggal empat orang itu ikut berkumpul bersama Panji dan Sundari, mereka semua duduk di atas batu‐ batu padas yang banyak terdapat di sekitar tempat itu. Sedangkan Ki Palaran, sang kepala desa, sudah dibawa kerumah. Dia mengalami luka‐luka yang cukup parah, sehingga harus beristirahat beberapa hari untuk mengembalikan kesehatannya.
Sementara itu, Panji yang mendengar pertanyaan Dewi Tangan Merah tadi, menjadi tertunduk dengan wajah kecewa. Melihat sikap pemuda itu, Dewi Tangan Merah pun merasa heran.
"Ah..., menyesal sekali, Nisanak! Aku tidak berhasil menemukan Dedemit Bukit lblis itu. Padahal telah kucari ke sekitar tempat ini, namun iblis itu tidak juga kutemukan," jawab Panji lesu.
"Hm... mungkin Dedemit itu merasa gentar meIihat kepandaianmu, lalu mengambil keputusan untuk kembali ke sarangnya!" Ujar Dewi Tangan Merah yang berniat memancing pendapat pemuda itu.
"Ah! Aku rasa tidak begitu, Nisanak! Menurut khabar yang kudengar, kepandaian Dedemit Bukit Iblis sangatlah tinggi. Dan selama dalam perjalanan, aku pun mendengar bahwa dia juga memiliki ilmu sihir dan ilmu kebal yang sangat hebat! Jadi menurut pendapatku, iblis itu sangatlah berhati‐hati dalam mengambil suatu tindakan. Dan kalau tidak dalam keadaan yang sangat terpaksa, dia tidak ingin bentrok dengan siapa pun!" jelas Panji.
Dia memang cukup cerdik dalam mengemukakan sebuah alasan yang sangat tepat. Mau tidak mau Dewi Tangan Merah harus mengakui bahwa apa yang dikatakan pemuda itu sangat tepat dan tidak dapat disangkal kebenarannya.
"Memang benar apa yang dikatakan Kisanak ini. Karena menurut yang kuketahui, Dedemit Bukit Iblis itu selalu menghindar apabila bertemu dengan para peronda desa. Padahal kalau mau, dengan kepandaiannya yang tinggi ia dapat membunuh para peronda itu semudah membalikkan telapak tangannya!" tegas seorang dari para pengawal kepala desa itu.
"Memang, hal itu pun tidak kusangkal! Tapi aku pun yakin, iblis keparat itu akan lari terbirit‐ birit apabila sudah merasakan kehebatan ilmu dan ajian Pendekar Naga Putih yang mukjizat itu. Lihat saja apa yang dilakukannya terhadap tokoh sesat yang berjuluk Laba‐ Laba Beracun dan Tiga Iblis Gunung Tandur. Padahal mereka sudah terkenal kepandaian dan kehebatannya!" bantah Dewi Tangan Merah tidak mau kalah.
"Ah! Nisanak terlalu memuji! Padahal mereka itu tewas karena kesombongan mereka sendiri. Kalau saja lebih berhati‐hati, mana bisa aku mengungguli kepandaian mereka?" jawab Panji lagi. Dia memang tidak ingin menonjol‐nonjolkan kepandaiannya.
"Oh, jadi begitu?!" ujar Dewi Tangan Merah sambil membelalakkan kedua matanya. Lagaknya seperti orang terkejut.
Panji menganggukkan kepalanya tanpa meninggalkan senyumnya. la mulai dapat menduga kalau dara berbaju Merah itu sengaja hendak menjajagi sifatnya. "Hm..., benar‐benar gadis yang cerdik dan pandai bicara. Aku harus lebih berhati‐hati dalam menanggapi ucapannya. Salah‐salah bisa terjebak oleh jawabanku sendiri," ucap Panji dalam hati.
"Nini Dewi Tangan Merah, benarkah sahabat muda yang gagah ini yang berjuluk Pendekar Naga Putih?" tanya seseorang yang tiba‐tiba saja ikut meramaikan pembicaraan itu.
Keenam orang itu pun segera menoleh ke arah asal suara itu. Panji dan Dewi Tangan Merah sedikit terkejut juga, karena keduanya tidak mendengar suara langkah kaki yang mendatangi tempat itu. Namun, mereka tersenyum senang ketika mengetahui bahwa orang yang bertanya tad adalah salah seorang dari delapan orang pendekar yang telah menyelesaikan semadinya.
Panji dan Dewi Tangan Merah saling berpandangan, kemudian meledaklah tawa kedua orang muda‐mudi itu. Mereka telah mengetahui apa yang ada dalam pikiran masing‐masing. Sedangkan keempat orang pengawal kepala desa itu hanya dapat saling pandangan dengan wajah bingung, karena tidak mengerti apa yang ditertawakan dua pendekar muda itu.
"Hai, mengapa kalian malah tertawa? Apakah pertanyaanku ada yang salah?" tanya pendekar itu tak mengerti.
Pendekar yang telah diselamatkan Panji itu pun bangkit dan menghampiri enam orang yang tengah berkumpul. Ketujuh orang pendekar lainnya yang juga sudah menyelesaikan semadinya, ikut pula bangkit menghampiri tempat itu. Panji yang khawatir kalau‐ kalau pendekar itu akan merasa tersinggung, buru‐buru bangkit menyambut kedatangan mereka.
"Ah! Mari..., mari Kisanak semua! Silakan... silakan!" ucap Panji sambil tersenyum ramah.
Kedelapan orang pendekar itu pun segera mengambil tempat duduk masing‐masing. Tiga orang di antaranya duduk di alas hamparan rumput tebal, karena tidak ada batu‐batu lagi yang dapat digunakan untuk tempat duduk. Empat buah sinar obor yang ditancapkan di empat penjuru, ikut pula menyemaraki tempat pertemuan yang sederhana itu.
"Maaf, Kisanak. Terpaksa kuulangi pertanyaanku! Apakah yang menyebabkan kalian tertawa begitu lepas? Ataukah pertanyaanku ada yang salah? Kalau benar demikian, mohon dimaafkan, Nini Dewi Tangan Merah!" kata pendekar itu sambil membungkukkan kepalanya kepada Dewi Tangan Merah dan Panji.
“Begini, Kisanak…” Panji menghentikan kata‐katanya karena belum mengenal nama pendekar itu. "Panggil saya Ludira, Kisanak," jawab Pendekar itu cepat
"Oh, ya. Panggil juga saya Panji. Hm..., begini Kakang Ludira! Sebenarnya kami bukan menertawai pertanyaan Kakang, tapi adalah kebodohan diri kami Sendiri! " jawab Panji sambil tersenyum geli. Dia masih teringat dengan tingkahnya itu.
"Menertawakan diri sendiri? Mengapa begitu?", tanya pendekar yang bertubuh tinggi besar dan kokoh. Tampak otot‐otot yang melingkar di tangannya.
"Begini, Kisanak semua! Sebagai orang persilatan yang telah terlatih semenjak kecil, maka kepekaan kita pun terlatih dalam hal pendengaran. Nah! Pada saat Kakang Ludira mengeluarkan pertanyaan secara tiba‐tiba tadi, kami berdua merasa terkejut, Sebab sama sekali tidak mendengar suara langkah sedikit pun pada saat kedatangannya. Tentu saja kami menduga bahwa orang yang bertanya itu pastilah memiliki kepandaian tinggi. Dan ketika kami menoleh ke tempat asal suara, ternyata orang itu adalah Kakang Ludira yang baru saja menyelesaikan semadinya. Tentu saja kami tidak dapat mendengar langkahnya, karena dia tengah duduk bersila dengan santainya!" tutur Dewi Tangan Merah sambil tertawa terpingkal‐pingkal.
Meledaklah gelak tawa kedelapan orang pendekar dan keempat orang Pengawal kepala desa itu. Bahkan beberapa di antaranya sampai mengeluarkan air mata, karena cerita itu benar‐ benar menggelikan.
********************
Sementara malam sudah mulai berganti pagi. Kokok ayam jantan terdengar bersahut‐sahutan menyambut datangnya fajar. Pertanda sebentar lagi kehidupan akan segera dimulai kembali. Setelah kedelapan orang pendekar itu benar‐benar pulih tenaganya, Panji pun minta diri. Pemuda itu berniat untuk menyatroni, Bukit lblis. Namun, maksudnya itu tidak diceritakan kepada mereka semua. Sebelum, meninggalkan tempat ini, Panji berpesan kepada kedelapan orang pendekar itu untuk menjaga keamanan Desa Pasiran selama Dedemit Bukit Iblis masih berkeliaran mencari mangsa.
"Hendak pergi ke manakah, Kakang Panji?" tanya Dewi Tangan Merah atau Sundari yang sudah menyebut Panji dengan panggilan 'Kakang'. Memang, sejak peristiwa itu, mereka sudah saling mengenalkan nama masing‐masing. Bahkan semakin akrab saja.
"Aku hendak melanjutkan perjalananku, Adik Sundari..."
"Hm.... Kalau begitu, aku pun hendak pamit pula. Rasanya sudah tidak ada lagi yang dapat kukerjakan di sini!" ujar Dewi Tangan Merah seraya bangkit dari duduknya untuk berpamitan kepada yang lainnya.
"Kau... kau hendak ke mana, Adik Sundari?" tanya Panji cemas. Dari senyuman gadis baju merah itu, sudah dapat diduga kalau gadis itu sengaja hendak menggodanya.
"Tentu saja hendak melanjutkan perjalananku! Apakah tidak boleh?" Dewi Tangan Merah pura‐pura membelalakkan matanya sambil berkacak pinggang. Sengaja diberi tekanan pada kata 'tidak boleh', untuk memancing perhatian Panji. Pemuda itu menjadi tertegun. karena tentu saja tidak mempunyai hak untuk melarang kepergian gadis itu.
"Ah! Bukan begitu, Adik Sundari! Aku hanya bertanya saja, kok. Tentu saja kau boleh pergi ke mana kau suka!" jawab Panji tersenyum masam. Dan dia pun tidak berkata‐kata lagi, karena khawatir kalau kata‐ katanya nanti dijadikan senjata oleh gadis yang pandai bicara itu.
"Nah, begitu dong! Mari kita berangkat sama sama, Kakang!" ujar Dewi Tangan Merah sambil menarik tangan Panji untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Eh… eh… bagaimana ini?!" Panji menjadi bingung bercampur malu. Dan untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tidak mampu berkata‐kata. "Kalau kutolak gadis ini pasti akan marah. Tapi, kalau kuterima, tentu akan membuat repot perjalananku! Hm..., apa yang harus kukatakan agar ia tidak marah?" lanjut Panji dalam hati.
Sementara itu, kedelapan orang pendekar dan empat pengawal kepala desa tersenyum geli melihat Panji yang tidak berdaya menghadapi Dewi Tangan Merah atau Sundari yang memang pandai bicara itu.
"Sudahlah, Adi Panji. Turuti saja kemauannya! Bukankah lebih menyenangkan daripada melakukan perjalanan sendirian! Apalagi yang menemani seorang Dewi?" goda Ludira sambil tertawa terbahak‐bahak melihat kebingungan pemuda yang mereka kagumi itu.
"Hm..., baiklah! Baiklah, aku mengalah! Mari, Kakang!" akhirnya Panji pun mengalah, walaupun di wajahnya menyemburat merah menahan malu. Terpaksa dituruti kehendak gadis itu karena tidak ingin membuat gadis itu tersinggung. Maka, Panji segera berpamitan kepada yang lainnya.
"Nah, begitu baru enak! Lagi pula apa sih ruginya melakukan perjalanan bersamaku?" ujar gadis itu lagi sambil mencibirkan bibirnya yang merah menantang.
Panji tidak menjawab perkataan gadis itu, tapi hanya menoleh sambil tersenyum melihat keriangan Dewi Tangan Merah. Memang pada dasarnya, dia adalah gadis yang periang dan pandai bicara.
Diiringi gelak tawa kedua belas kawannya, sepasang muda‐mudi itu segera berjalan meninggalkan Desa Pasiran dan menuju ke Bukit Iblis. Angin fajar berhembus lembut mengantar kepergian sepasang pendekar muda yang akan melaksanakan kewajibannya sebagai penegak keadilan.
********************
DELAPAN
Di tengah kegelapan malam yang hampir menjelang pagi, sesosok bayangan putih berambut meriap melesat meninggalkan perbatasan Desa Pasiran. Kecepatan lari bayangan putih itu memang sukar ditangkap mata biasa. Seolah‐olah, bayangan itu tengah berpacu dengan sang waktu yang saat itu sudah hampir berganti.
Bayangan itu terus berlari ke arah mulut hutan yang terletak jauh di luar Desa Pasiran. Setelah cukup memakan waktu, barulah ia tiba di mulut hutan itu. Padahal, perjalanan itu biasa ditempuh orang selama satu hari. Tapi oleh bayangan itu hanya ditempuh kurang dari seperempat hari! Dapat dibayangkan, betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bayangan putih itu!
Bayangan putih itu terus melesat melewati hutan belantara yang sukar dan gelap. Dan kini dia tiba pada sebuah daerah perbukitan yang tegak berjajar bagaikan raksasa‐raksasa yang sedang tidur. Mendadak bayangan putih yang ternyata Dedemit Bukit Iblis itu, menghentikan larinya. Kepalanya ditengadahkan ke langit yang bergerak‐ gerak, seolah‐olah mengendus sesuatu yang tidak berkenan di hatinya. Perlahan‐lahan sinar matanya yang menyeramkan itu berubah kehijauan. Otot‐otot di seluruh tubuhnya menegang! Ternyata nalurinya yang tajam memperingatkan adanya bahaya mengancam yang tengah mengintainya. Iblis itu terdiam sejenak seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
Beberapa saat setelah hatinya mantap, Dedemit Bukit Iblis melangkah pelahan menuju tempat kediamannya. Langkah kakinya yang satu‐satu itu, menandakan kalau ia tengah bersiap‐siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dan, tiba‐tiba....
Siiinnng! Seennng! Siiinng!
Terdengar suara berdesing yang disusul meluncurnya beberapa buah senjata yang menyambar ke arah tubuhnya! Namun dengan gerakan yang sangat mengagumkan, kedua tangan Dedemit Bukit lblis menangkap empat batang tombak yang mengancam kepalanya. Sedangkan yang mengancam tubuhnya, sama sekah tidak digubris.
Tappp! Tappp! Trakkk! Trakkk!
Luar biasa sekali! Senjata‐seniata yang menyentuh tubuhnya langsung patah dan runtuh ke tanah! Sementara empat batang tombak yang ditangkapnya, langsung dikembalikan dengan kecepatan empat kali lipat dari semula. Senjata‐ senjata itu meluncur menuju semak‐semak yang berada lima depa di sebelah kirinya.
Krosakkk!
"Aaarrggghhh..." Terdengar raungan tinggi, disusul munculnya empat sosok tubuh yang berdiri limbung. Tangan mereka memegangi tombak yang telah menembus dada dan lehernya. Cairan merah seketika membasahi pakaian mereka. Empat orang itu ambruk ke tanah dan tidak bergerak‐gerak lagi.
Belum lagi ibiis itu dapat menarik napas lega, tiba‐ tiba bermunculan beberapa sosok tubuh dari sekitar tempat itu. Dalam waktu yang singkat saja Dedemit Bukit lblis sudah terkurung oleh puluhan orang yang bersenjata.
"Hm..., iblis busuk! Bersiaplah menerima kematianmu! Seraaanng ... !" seru seseorang yang memimpin penyerangan itu.
Tanpa diperintah dua kali puluhan orang itu pun sagera berlompatan ke arah Dedemit Bukit Iblis . Senjata‐senjata mereka berdesingan dan menyambar‐nyambar dengan kuatnya.
"Arahkan senjata‐senjata kalian ke bagian kepala!" kembali terdengar perintah yang dikeluarkan oleh seorang lelaki gagah yang berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya masih terlihat tampan dan berwibawa. Pada dagu dan pipinya ditumbuhi bulu‐bulu halus yang lebat dan hitam. Orang tua gagah itu tak lain adalah Ki Teja Laksana atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Tangan Baja.
Di sebelah kiri Pendekar Tangan Baja, terlihat seorang pendekar yang selalu membawa‐bawa guci arak. Tidak salah lagi, pendekar itu adalah Pendekar Pemabuk. Kedua orang pendekar itu hanya berdiri di tepi arena pertandingan, sambil memperhatikan jalannya pertarungan itu. Rupanya kedua orang pendekar itu sedang mengamati gerakan maupun kelebihan Dedemit Bukit lblis, untuk mencari kelemahan‐kelemahannya.
Dedemit Bukit Iblis yang lagi dikeroyok puluhan orang pendekar itu, memang benar‐benar lihai. Dalam beberapa jurus saja, tiga orang pendekar telah menggeletak tewas dengan leher berlubang! Namun mesikipun demikian, para pendekar itu tidak menjadi gentar. Mereka tetap bersemangat menyerang dengan semangat yang tinggi.
Menghadapi serangan yang susul‐menyusul itu, Dedemit Bukit Iblis menggeram gusar. Dengan teriakan yang mendirikan bulu roma, tubuhnya melesat melompat mundur. Tiba‐tiba kedua tangannya berputar‐putar dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Dari sela‐sela bibirnya terdengar suara desisan yang menggetarkan jantung! Itulah jurus 'Tangan Pengejar Roh' yang merupakan, gabungan antara ilmu silat dengan ilmu sihir. Tentu saja pengaruh dan kedahsyatannya pun sangatlah hebat!
Pada saat itu, dua orang pendekar melancarkan serangan berbahaya yang mengarah pada mata dan tenggorokan si iblis. Tapi entah dengan cara bagaimana, tahu‐tahu kedua tangan Dedemit Bukit Iblis sudah mencengkram leher kedua orang itu.
Krekkk! Krakkk!
Terdengar bunyi tulang leher yang patah ketika Dedemit Bukit Iblis itu mengerahkan tenaga pada cengkramannya. Tanpa dapat menjerit lagi, dua pendekar itu tewas. Dan dengan sekali sentak, dua tubuh yang telah menjadi mayat itu terlempar dan langsung menimpa kawan‐kawannya. Seketika para pendekar itu serentak mundur sambil menahan senjatanya. Meskipun telah menjadi mayat, namun sungguh tidak diinginkan kalau pedang mereka membelah tubuh dua Pendekar itu.
"Wah, Kakang! Kalau didiamkan terus, bisa‐bisa semua pendekar tewas di tangan iblis terkutuk itu!" ujar Pendekar Pemabuk geram.
Pendekar Tangan Baja atau Ki Teja Laksana pun menjadi gusar melihat keadaan itu. Maka ketika melihat Pendekar Pemabuk sudah tidak sabar, dia pun segera melesat ke arena pertempuran. "Mari, Adi. Kita gempur iblis itu!" ujar Pendekar Tangan Baja.
"Mari, Kakang!" sahut Pendekar Pemabuk. Setelah berkata demikian, Pendekar Pemabuk pun segera menggerakkan tubuhnya mengikuti Pendekar Tangan Baja yang telah mendahului melesat ke arena pertarungan.
Para pendekar yang semula sudah mulai gentar, menjadi bangkit semangatnya ketika melihat dua pemimpinnya telah memasuki arena pertarungan. Mereka pun kembali menyerbu ke arah Dedemit Bukit Iblis itu. Pendekar Tangan Baja dan Pendekar Pemabuk yang tidak ingin melihat kawan‐kawannya terbantai, segera menghadang serangan‐serangan iblis itu dengan ilmu andalannya. Maka dikerahkanlah ilmu yang terkenal yaitu jurus 'Sepasang Kepalan Baja'.
Sepasang kepalan Ki Teja Laksana menyambar‐nyambar menimbulkan suara menderu tajam karena disertai oleh tenaga dalam penuh! Bukan main hebatnya serangan itu! Kedua tangannya benar‐ benar kuat seperti baja. Jangankan kepala manusia, bahkan batu karang pun akan hancur apabila terlanggar pukulannya. Pantaslah kalau ia dijuluki orang Pendekar Tangan Baja!
Dedemit Bukit Iblis sempat terkejut ketika mendengar suara angin pukulan yang kuat mengancam dadanya. Tapi sebagai tokoh sesat yang selalu percaya akan kekuatannya, Dedemit Bukit Iblis tidak mempedulikannya. Dipapaknya serangan itu, bahkan dibarenginya dengan cengkraman kedua tangannya ke arah pundak dan kepala Iawan.
Bukkk! Breettt! Breettt!
"Aaakkkhhh ... !" Pendekar Tangan Baja menjerit tertahan. Tubuh tua itu terpelanting. Kedua pangkal lengannya terluka, dan tampak mengeluarkan darah!
Rupanya ketika pukulannya telak menghantam dada si iblis, ia menjadi terkejut setengah mati. Karena tangannya seperti menghantam segumpal besi yang keras dan licin. Dan bukan itu saja. Dari tubuh Dedemit Bukit Iblis itu pun keluar daya dorong yang sangat kuat! Akibatnya, tubuh Pendekar Tangan Baja terlempar dengan kuatnya. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, sepasang cakar si iblis itu sudah mencengkram bahunya. Ki Teja Laksana segera mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi bahunya, yang dibarengi dengan sentakan ke belakang. Untunglah, cengkraman itu hanya melukai kedua pangkal lengannya.
Pendekar Tangan Baja meringis menahan rasa sakit yang hebat pada lukanya. Untung saja bahunya masih dapat diselamatkan. Kalau tidak, pasti bakal remuk terkena, cengkraman jurus 'Tangan Pengejar Roh' yang sangat mengerikan itu. Cepat Pendekar Tangan Baja mengerahkan hawa murni ke arah luka itu, untuk menghilangkan rasa nyeri pada luka akibat cengkraman tadi.
Sedangkan yang dialami Dedemit Bukit Iblis, tidaklah separah Pendekar Tangan Baja. Iblis itu hanya terdorong mundur sejauh tiga langkah. Namun dadanya sempat bergetar akibat pukulan yang dilancarkan Pendekar Tangan Baja. Mau tidak mau iblis itu juga harus mengakui kehebatan tenaga lawannya. Dan pada saat yang hampir bersamaan di saat tubuh Dedemit Bukit Iblis terjajar mundur, guci di tangan Pendekar Pemabuk melayang dengan kecepatan tinggi ke arah punggungnya.
"Wuuukkk!" Guci arak itu meluncur deras menimbulkan suara mengaung karena digerakkan oleh tenaga dalam penuh! Jangankan tubuh manusia batu pun akan hancur apabila terkena hantamannya.
Namun Dedemit Bukit Iblis yang dihadapinya kali ini tidaklah sama dengan beberapa bulan yang lalu. Kemajuan yang dicapai iblis itu saat ini sangatlah pesat. Selain itu, dia juga sudah Pernah merasakan kelihaian Pendekar Pemabuk. Maka, kini dengan mudahnya iblis itu menggerakkan tangan kanannya untuk menangkis serangan Pendekar Pemabuk. Bahkan langsung disusulnya dengan sebuah tendangan berputar yang menuju ke dada lawan.
Klaaannng! Dheerr!
"Ouuugghhh...!”
Terdengar suara bagaikan dua batang besi dibenturkan keras! Tubuh Pendekar Pemabuk bergetar bagaikan menghantam sebuah tiang baja kokoh! Sebelum Pendekar itu menyadari keadaannya, sebuah tendangan yang berkekuatan tenaga dalam penuh menghantam telak dadanya. Dengan sebuah keluhan pendek, tubuh Pendekar Pemabuk terlempar sejauh dua tombak. Dan dari mulutnya menyembur darah segar Yang berhamburan ke sekitarnya.
"Adi Panggal...!" seru Pendekar Tangan Baja seraya berlari memburu laki‐laki itu dengan, wajah pucat pasi. "Adi Panggal! Kau... kau tidak apa‐apa?" tanyanya cemas.
"Uuuh..., Kakang Teja! Tendangan iblis itu hebat sekali! Dadaku serasa remuk! Mungkin ada beberapa tulangku yang patah! Ah, maafkan aku, Kakang! Rasanya aku tidak mungkin dapat membantumu lagi! Hati‐hatilah, Kakang! Kepandaian iblis itu sudah, maju sedemikian pesatnya," kata Pendekar Pemabuk.
Sedangkan Pendekar Tangan Baja hanya dapat mengangguk dengan, wajah sedih. "Istirahatlah dulu, Adi! Aku akan mencoba menghadapinya. Mudah‐mudahan nasibku sedang baik hari ini," tegas Pendekar Tangan Baja, penuh harap. Kemudian pendekar itu pun melangkah meninggalkan Pendekar Pemabuk yang sudah tak berdaya. Dengan wajah gusar, Pendekar Tangan Baja segera melesat ke arena pertarungan.
Pada saat itu, pertarungan antara Dedemit Bukit Iblis melawan pendekar‐pendekar lain sudah memasuki jurus ketiga puluh. Kesaktian Dedemit Bukit lblis benar‐benar telah menggentarkan hati mereka. Pada tiga jurus terakhir tadi, tujuh orang pendekar kembali menjadi korban cengkeraman iblis tersebut Mereka tewas dengan batok kepala berlubang.
"Aarrggghhh...!" Kembali terdengar lengking kesakitan yang disusul dengan terlemparnya tiga orang Pendekar. Isi perut mereka berhamburan, karena pecah dirobek jari-jari tangan Dedemit Bukit His yang sekeras baja. Benar-benar mengerikan jurus 'Tangan Pengejar Roh' Itu.
"Iblis keji! Mampuslah!" bentak Ki Teja Laksana sambil melancarkan serangan‐serangan yang menimbulkan angin bersiutan. Pendekar Tangan Baja yang marahnya sudah memuncak itu segera mengerahkan seluruh tenaganya. Serangannya dilancarkan secara bertubi‐tubi.
Dedemit Bukit Iblis yang sudah mengetahui kekuatan lawan, segera mengelak. Langsung didesaknya lawan dengan serangan serangan yang ganas dan mengerikan. Sepasang tangannya bergerak cepat, dan menimbulkan hawa yang menggetarkan. Memang, sepasang tangan itu juga dialiri kekuatan gaib, sehingga kehebatan jurus iblis itu berlipat ganda.
Jurus demi jurus berlalu cepat tidak terasa pertarungan telah melewati lima belas jurus. Meskipun para pendekar sudah dibantu Ki Teja Laksana, namun beberapa orang kembali menggeletak dengan leher patah!
"Gila! Iblis keparat! Biadab!" teriak Ki Teja Laksana penuh kemarahan. Ternyata, iblis itu kembali membunuh beberapa orang kawannya tanpa mampu dicegah. Bahkan ini terjadi di depan hidungnya. Betapa terpukulnya hati Pendekar Tangan Baja melihat hal itu. Dan dengan kemarahan yang meluap‐luap, Pendekar Tangan Baja kembali memperhebat serangan‐ serangannya. Namun celakanya, ke mana saja ia menyerang, Dedemit Bukit Iblis itu selalu dapat mengelak. Kemarahan Ki Teja Laksana semakin menjadi‐jadi saja.
Di saat pertarungan sudah memasuki jurus yang kesembilan belas, Pendekar Tangan Baja melontarkan dua buah pukulan disertai pengerahan tenaga dalam penuh ke arah leher dan ulu hati Dedemit Bukli Iblis. Terkesiap hati Dedemit Bukit Iblis ketika melihat serangan maut itu. Segera digerakkan tangannya secara bersilangan, untuk menangkis serangan lawan. Terdengar suara yang keras ketika kedua tangan mereka bertemu. Ternyata, Dedemit Bukit Iblis masih meneruskan kedua telapak tangannya yang terbuka untuk menghantam dada Pendekar Tangan Baja.
Dheeesss...!
Bagai layang‐layang putus, tubuh Pendekar Tangan Baja terlempar dan jatuh di tanah. Darah menyemprot dari mulutnya sehingga membasahi pakaian lawan. Ki Teja Laksana tergeletak dengan napas satu‐satu. Dirasakan dadanya hancur akibat hantaman telapak tangan Dedemit Bukit Iblis yang menggunakan jurus 'Tangan Pengejar Roh'. Cairan merah masih mengalir dari sela‐sela bibirnya. Jelas, kalau pendekar itu terluka dalam cukup parah.
Sementara itu, ketika melihat gedorannya menemukan hasil, Dedemit Bukit lblis segera melompat untuk menghabisi lawan yang sudah tidak berdaya itu. Kedua tangan iblis itu terkembang dan siap mengirim lawannya ke akhirat. Pendekar Tangan Baja yang sudah tidak berdaya itu, hanya dapat memandang tak berkedip. Dia hanya pasrah, menantikan tangan‐ tangan maut itu menghunjam batok kepalanya.
"Dheerrr!" Terdengar sebuah ledakan dahsyat yang memekak telinga! Disusul dangan terlemparnya Dedemit Bukit Iblis di iringi dengan dengan jeritannya yang parau. Rupanya pada saat yang gawat itu, tiba‐tiba sesosok bayangan putih keperakan berkelebat memapak kedua tangan Dedemit bukit Iblis. Bumi bagai bergetar akibat pertemuan dua tenaga dalam penuh.
Sedangkan sosok tubuh berjubah putih itu terjajar mundur sejauh lima langkah! Dia tak lain adalah Panji. Pemuda yang dikenal sebagai Pendekar Naga Putih ini merasa terkejut juga ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dalam lawannya ternyata begitu dahsyat!
Pendekar Pemabuk yang masih dalam keadaan lemah hanya mampu memandang takjub kejadian itu. Sedangkan Pendekar Tangan Baja hampir tak percaya mendapati dirinya dalam keadaan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Pendekar Tangan Baja dan Pendekar Pemabuk berbarengan. Kedua orang pendekar Sakti itu pun menarik napas lega dengan wajah berseri‐seri.
"Tidak salah lagi! Dia pasti Pendekar Naga Putih! Lihat saja salah satu ciri dari ilmunya yang mukjizat itu!" seru Pendekar Pemabuk yang pernah mendengar ciri‐ciri Pendekar Naga Putih itu.
"Grrhh..., Anak Muda! Kaukah yang berjulukan Pendekar Naga Putih itu? Rasanya tak percaya kalau kau telah membunuh Tiga Iblis Gunung Tandur!" kata Dedemit Bukit Iblis dengan suara parau dan menjijikan.
“Begitulah orang‐orang menyebutku! Dan sekarang bersiaplah kau untuk menerima kematianmu, iblis keparat!" bentak Panji berang. Dia memang merasa terpukul sekali melihat mayat‐mayat pendekar yang telah dibantai secara kejam itu.
"Anak Muda sombong! Kulumat tubuhmu dan akan kuhirup darahmu!" teriak Iblis itu gusar. Setelah berkata demikian, tubuh Dedemit Bukit Iblis mencelat ke arah Panji dengan jurus andalannya yang mengerikan itu. Kedua tangannya berputaran mengaburkan pandangan lawan. Dalam sekali serang saja, dia telah mengancam delapan jalan darah kematian di tubuh lawan.
"Hhm...!" dengus Panji ketika melihat serangan itu. Secara spontan 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan'nya bergolak dan membentuk selapis kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Tangannya lalu digerakkan membentuk cakar naga. Dengan menggunakan ilmu 'Naga Sakti', Panji segera menyambut serangan lawan.
Kini keduanya segera terlibat dalam sebuah pertarungan seru dan mendebarkan! Tubuh mereka yang sama‐sama terselubung jubah putih itu, saling serang dengan cepatnya. Kalau saja tubuh Panji tidak mengeluarkan sinar putih keperakan, Cukup sulit juga untuk dapat membedakan keduanya. Memang sukar sekali mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya!
Kalau dilihat dari gerakan yang sama‐sama gesit dan sama‐sama ringan itu, rasanya ilmu meringankan tubuh keduanya berimbang! Kadang‐ kadang tubuh dua orang sakti itu melambung tinggi melakukan serangan dari udara. Angin pukulan itu membuat daun‐ daun pohon di sekitar tempat itu bagai dilanda angin topan dahsyat! Debu dan pasir beterbangan akibat pukulan‐pukulan jarak jauh yang dilancarkan masing‐masing lawan. Tanpa terasa, pertarungan dua orang sakti itu telah berlangsung empat puluh jurus. Dan pada suatu kesempatan, Panji berhasil memancing lawannya. Pemuda itu melontarkan sebuah pukulan yang mengarah lambung. Sengaja dikerahkan separuh dari tenaganya untuk mengetahui reaksi lawan. Angin pukulannya berdesing tajam karena didorong tenaga dalam penuh!
Melihat pukulan itu, Dedemit Bukit Iblis tidak berani untuk memberikan tubuhnya. Segera digeser kaki kanannya ke belakang dan sambil memutar tubuhnya, segera dilepaskannya sebuah tendangan disertai pengerahan tenaga dalamnya ke perut Panji. Suara mengaung keras menandakan kalau serangan itu disertai tenaga dalam yang cukup sempurna. Panji yang memang sudah memperhitungkan hal itu, segera memutar tubuhnya dengan kuda‐kuda sangat rendah. Sehingga tendangan Dedemit Bukit Iblis hanya lewat sedikit di atas kepalanya. Kemudian dengan posisi kuda‐kuda 'Sepasang Kaki Berakar Di Bumi', Pendekar Naga Putih itu segera mendorongkan kedua telapak tangannya sekuat tenaga ke dada Dedemit Bukit Iblis. Hembusan angin yang luar biasa dinginnya mengiringi dorongan tangan Pendekar Naga Putih itu.
Deeesss!
"Aaarrrhhkk...!" Dedemit Bukit lblis meraung dahsyat ketika dorongan telapak tangan Panji telah mengenai dadanya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh iblis itu terlempar sejauh lima tombak, dan terus bergulingan sampai satu tombak jauhnya. Namun, karena ilmu kekebalan tubuhnya yang mengharuskan dia menghisap darah seorang bayi yang baru lahir, dorongan itu seperti tidak berpengaruh. Iblis itu langsung melompat berdiri meskipun agak limbung. Memang luar biasa sekali kekebalan tubuh yang dimiliki iblis itu.
Meskipun keadaan Panji tidak separah keadaan Dedemit Bukit Iblis, tapi pemuda itu cukup terkejut juga! Walaupun kuda‐kudanya tidak sampai tergempur, namun tubuhnya terdorong sejauh setengah meter. Bahkan sampai meninggalkan bekas sedalam setengah anak panah di atas tanah!
"Gila! Iblis ini mempunyai daya tolak yang kuat!" kata pemuda itu dalam hati.
Sementara itu Dedemit Bukit Iblis menjadi murka sakali ketika mendapati ada cairan merah yang merembes dari sela‐ sela bibirnya. Matanya yang memancarkan sinar kehijauan itu bergerak‐gerak liar. Rupanya, pengaruh pukulan Panji tadi memang berjalan lambat, tapi hasilnya cukup memuaskan juga.
"Hm.... cabutlah pedangmu, Anak Muda! Cabutlah...! Aku adalah tuanmu. Turuti semua perintahku! Cabutlah pedang dan bunuhlah dirimu sendiri, sebagai tanda baktimu kepadaku!" bujuk Dedemit Bukit Iblis, sambil menatap kedua mata Panji. Tentu saja disertai kekuatan gaib yang mempengaruhi jalan pikiran. Suaranya menggeletar memasuki alam bawah sadar dan menguasai pikiran. Pengaruh kata‐kata yang di ucapkan iblis itu sangatlah kuat dan seakan‐akan tidak dapat dibantah lagi.
Beberapa orang pendekar yang menyaksikannya, sudah siap mencabut pedang. Ternyata pengaruh kekuatan gaib yang terkandung dalam suara Dedemit Bukit Iblis juga mempengaruhi mereka. Dan para pendekar itu pun segera mengacungkan pedangnya tinggi tinggi dan siap dihunjamkan ke perutnya masing‐masing. Tiba‐tiba terdengar lengkingan tinggi yang menindih getaran suara Dedemit Bukit Iblis. Terjadilah sebuah letupan kecil di udara yang menandakan musnahnya pengaruh sihir iblis itu.
Mendadak tubuh Dedemit Bukii Iblis terdorong sambil menekap dadanya yang bergetar hebat akibat lengkingan yang dikeluarkan Panji tadi. Merasa ilmu sihirnya tidak dapat mempengaruhi lawannya, Dedemit Bukit Iblis menggereng bagaikan binatang terluka. Disertai teriakan yang merontokkan jantung, tubuh iblis itu meluncur ke arah Panji dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata biasa. Dia langsung mengirim serangan dengan, jurus 'Tangan Pengejar Roh' yang sangat mengerikan itu.
Panji yang sudah ingin menyelesaikan pertarungan ini, segera mengempos semangatnya. Hasilnya, 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan' semakin deras mengalir ke seluruh anggota tubuhnya. Dengan sebuah teriakan yang mengguntur, Panji segera melompat menyambut serangan lawan.
Pertarungan pun kembali berlangsung dengan hebatnya. Debu dan pasir beterbangan dilanda angin Pukulan yang dahsyat itu. Daun‐daun pohon berguguran membuat suasana pertarungan semakin menegangkan. Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu merasa terbelak kagum! Mereka benar‐benar tercengang menyaksikan semua itu. Selama hidup, baru kali inilah mereka dapat menyaksikan pertarungan yang benar hebat dan dahsyat!
Tiga Puluh jurus pun kembali berlalu dengan cepatnya. Dan kali ini Dedemit Bukit Iblis benar‐benar terdesak oleh serangan‐serangan gencar yang dilakukan lawannya. Nyalinya pun mulai gentar merasakan kehebatan anak muda yang menjadi lawannya itu. Secara diam‐diam, mulai dipikirkan jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya. Justru hal inilah yang menjadi pantangan bagi seorang ahli silat. Karena dengan demikian perhatiannya telah terbagi. Dan hal semacam ini tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri.
Memasuki Jurus ketiga puluh tujuh, Panji mulai tahu apa yang dipikirkan lawannya. Maka semakin diperhebatlah serangannya! Dan ketika Dedemit Bukit Iblis melontarkan sebuah pukulan ke arah bawah perutnya, pemuda itu segera melompat ke samping sambil melepaskan tendangan beruntun yang mengancam tujuh jalan darah kematian di tubuh lawan.
Tentu saja iblis itu menjadi terkejut setengah mati! Dengan gugup dilempar tubuhnya ke belakang. Namun Panji juga tidak tinggal diam. Pemuda itu segera melompat ke atas tubuh lawannya dan langsung dicengkramnya leher iblis itu. Dengan pengerahan tenaga saktinya, disentakannya kuat‐kuat.
Brettt! Brettt!
"Krrooohhhk...!" Terdengar suara mengorok yang keluar dari kerongkongan iblis itu. Darah segar memancur dari batang lehernya yang bolong akibat cengkraman Panji tadi. Tubuh Dedemit Bukit Iblis berkelojotan meregang nyawa, lalu, terdiam untuk selama‐lamanya. Dedemit Bukit Iblis akhimya tewas dalam keadaan yang tidak berbeda dengan korban‐korbannya.
Panji berdiri mematung sambil menengadahkan wajahnya ke langit yang sudah mulai agak terang itu. Ditariknya napas penuh kelegaan. Senyumnya terkembang ketika melihat Dewi Tangan Merah atau Sundari berlari menghampirinya.
"Kau.... Kau tidak apa‐apa, Kakang Panji...?" tanya Dewi Tangan Merah cemas. Tanpa disadarinya tangannya telah pula menggenggam kedua tangan pemuda itu penuh kehangatan. Tiba‐tiba tubuh Panji melorot jatuh di atas rerumputan tebal, disertai suara keluhan pendek yang keluar dari mulutnya. Tentu saja Dewi Tangan Merah menjadi terkejut setengah mati! Wajahnya yang cantik itu mendadak pucat karena kekhawatiran yang amat sangat.
"Kakang Panji! Kau..., kau kenapa?" teriak Dewi Tangan Merah sambil mengguncang‐guncangkan tubuh pemuda itu. Dan kecemasannya pun semakin memuncak ketika dilihatnya kedua mata Pendekar Naga Puth itu terpejam.
Namun, tiba‐tiba Panji tersenyum sambil membuka kedua matanya. "Aku hanya kepingin tidur!" kata Pendekar Naga Putih singkat.
“Kurang ajar Rupanya kau sengaja menggodaku. Awas kau!" rutuk Dewi Tangan Merah dengan wajah kemerahan karena malu.
Panji cepat‐cepat bangkit dan berlari, karena Dewi Tangan Merah sudah menggerakkan tangannya untuk memukul. Panji terus berlari sambil tertawa terbahak‐bahak. Rasanya senang sekali la telah berhasil membohongi dara jelita yang sangat cerdik itu.
Angin pagi bertiup lembut seolah‐olah ikut gembira menyaksikan dua muda‐mudi yang sedang bersenda gurau itu. Cahaya kemerahan pun mulai muncul dari ufuk timur. Pertanda sang matahari sudah memulai tugasnya.
S E L E S A I